Kitab Nurul Yaqin Dan Terjemah [PDF]

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

Kami panjatkan puja dan puji kepada-Mu ya Allah, Engkaulah yang telah memberikan penerangan jalan hidayah kepada kami, dan Engkau pulalah yang menyingkapkan kabut kesesatan dari pandangan kami. Semoga shalawat dan salam Engkau curahkan kepada orang yang Engkau utus sebagai saksi, pembawa berita gembira, pemberi peringatan, penyeru kepada agama Allah dengan izin-Mu, dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Semoga shalawat dan salam Engkau curahkan kepada para sahabat yang telah rela meninggalkan tanah kelahirannya demi mengharapkan kemurahan dan keridaan Mu, dan semoga Engkau curahkan pula kepada para sahabat Anshar, yaitu mereka yang telah memberikan tempat kediaman dan pertolongan, serta mengorbankan apa yang telah mereka kumpulkan dan apa yang telah mereka simpan demi memperkuat agama.

 

Amma ba’du:

 

Muhammad al-Khudhari ibnu Syekh ‘Afifi al-Bajuri, penulis buku ini, mengatakan, semenjak saya masih kecil saya telah mempunyai kegemaran membaca buku-buku sejarah tentang orang-orang zaman dahulu dan kisah-kisah tentang mereka. Ternyata saya menjumpai bahwa sejarah dan riwayat hidup mereka merupakan pelajaran yang paling baik dan guru yang paling berharga bagi manusia. Telah saya pelajari sejarah Nabi kita dan hal-hal yang pernah dialaminya berupa perlakuan yang menyakitkan dari pihak kaumnya, yaitu sewaktu dia menyerukan ajakannya ke jalan kebenaran. Kami pelajari pula tentang kesabarannya yang begitu teguh sehingga dia melakukan hijrah dari tanah kelahirannya. Hal-hal tersebut merupakan guru yang paling agung bagi pemikiran kaum Muslimin dan dapat dijadikan petunjuk bagi mereka dalam melakukan apa yang seharusnya mereka ikuti dan apa yang seharusnya mereka jauhi supaya mereka menjadi orang-orang yang berjaya sebagaimana para pendahulu mereka memperoleh ‘kejayaannya. Khususnya hal-hal yang menyangkut masalah kepemimpinan yang dijalankan oleh Nabi saw. mampu menarik hati kaumnya dan mampu pula mempersatukan hati mereka. Mengenai hal-hal yang menyangkut kemiliteran dan para panglima tentara, dengan penuh kebijaksanaan akhirnya terhimpunlah personel tentara yang kuat dengan peralatan yang dapat dipersiapkan sehingga mereka mampu memperoleh kemenangan atas musuh-musuh mereka. Begitupun hal-hal yang berkaitan dengan integritas mereka sehingga hati mereka bersatu dan merupakan kekuatan yang menyatu atas musuh mereka.

 

Setiap saya membaca buku sejarah perjalanan Nabi saw. saya merasakan suatu kepuasan yang besar, hanya saja saya merasa sangat kecewa bila mengingat banyaknya kaum Muslimin yang kurang memperhatikannya, dan sedikit sekali orang yang mau menyibukkan diri dengannya. Akan tetapi, saya menyadari akan keengganan mereka terhadap hal ini karena mengingat bertele-telenya buku-buku yang ditulis dalam hal ini.

 

Tatkala saya tiba di kota Al-Manshurah, saya dipertemukan dengan Mahmud Bek Salim yang menjabat sebagai gadhi pada mahkamah kota AlManshurah. Ternyata setelah saya bergaul dengannya, saya mengetahui bahwa dia adalah orang yang alim dalam masalah agama dan sangat langka tandingannya. Bila menjelaskan masalah agama ia selalu mempunyai kelebihan dalam mengemukakan jawaban atas soal yang diajukan kepadanya. Adapun mengenai pengetahuannya tentang sejarah hidup Rasulullah saw, dia adalah orang yang membidangi hal ini dan sangat mantap. Saya sering mendengar ungkapan dan keinginan hatinya untuk membuat suatu karya tulis tentang sejarah Nabi saw. yang tidak bertele-tele dan berbelit-belit sehingga dapat dimanfaatkan oleh kalangan awam kaum Muslimin. Hal ini membuat hati saya tergugah, ternyata orang yang saya muliakan ini mempunyai keinginan dan tekad yang sama dengan diri saya. Hanya saja pada waktu itu tekad saya masih belum bulat untuk melaksanakan niat dan citacita yang luhur ini. Saya menyadari bahwa untuk merealisasikan hal ini tidak mudah dan banyak kesulitannya.

 

Akan tetapi, setelah saya sering mendengar dari para tokoh ulama AlManshurah, yaitu tentang keinginan mereka untuk mengerjakan suatu karya tulis dalam bidang ini yang bermanfaat untuk segala lapisan masyarakat, saya menganggap hal ini sebagai suatu keharusan yang tidak bisa dielakkan lagi. Dengan tekad yang bulat dan penuh rasa percaya akan pertolongan Allah, serta berharap kepada-Nya semoga Dia memberikan taufik kepada saya terhadap hal-hal yang diridai-Nya, akhirnya saya tempuh juga pekerjaan ini sehingga tercapailah apa yang saya cita-citakan itu. Alhamdulillah, akhirnya terciptalah suatu karya tulis tentang sejarah Nabi saw: dengan penyajian yang mudah dicerna dan tidak berbelit-belit sehingga dapat bermanfaat bagi kalangan awam. Selain itu dapat pula dijadikan bahan referensi oleh kalangan khusus.

 

Bahan referensi dalam tulisan ini adalah Al-Quranul-Karim dan hadishadis sahih yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Kami sengaja tidak mengambil referensi lain kecuali dalam masalahmasalah yang tidak dapat dielakkan lagi untuk memperjelas penyajian. Dalam hal ini banyak sekali menolong kami bahan-bahan referensi yang kami ambil dari kitab As-Syifa karya Qadhi “Iyadh, kitab As-Siratul Halabiyah dan kitab AlMawahibul Ladunniyyah, keduanya merupakan karya Al-Qashthalani, dan kitab Ihya “Ulumud-Din karya Imam Chazali.

 

Demikianlah akhirnya kami memohon kepada Allah swt. akan limpahan kemurahan-Nya, semoga Allah memberikan taufik kepada imamimam dan para pemimpin kami untuk dapat mengikuti jejak junjungan kita Rasulullah saw. dan menghidupkan syiar-syiar agama-Nya sehingga mereka mendapat dukungan dari sisi Allah swt. Maka sudah tiba saatnya bagi kami untuk memulainya dengan pertolongan Allah swt.

 

Syekh Muhammad Al-Khudhari Bek Penilik pada Kementrian Pendidikan dan merangkap sebagai dosen sejarah Islam pada Universitas Mesir.

Berkat adanya junjungan kita yaitu Muhammad ibnu ‘Abdullah, maka umat manusia menjadi mulia. Ibunya bernama Siti Aminah binti Wahab az-Zubriyah” dari kabilah Quraisy. ‘Abdullah adalah anak lelaki ‘Abdul Muththalib dari istrinya yang bernama Fathimah binti ‘ Amr al-Makhzumiyah? dari kabilah Quraisy. ‘Abdul Muththalib adalah seorang syekh (pemimpin) yang diagungkan di kalangan kabilah Quraisy. Mereka selalu meminta keputusan daripadanya bila menghadapi perkara-perkara yang sulit, dan mereka selalu mendahulukannya di dalam hal-hal yang penting. ‘Abdul Muththalib adalah anak Hasyim dari istrinya yang bernama Salma binti ‘Amran-Najjariyah” dari kabilah Khazraj. Hasyim adalah anak ‘Abdu Manaf dari istrinya yang bernama ‘Atikah binti Murrah as-Sulamiyah? Dan ‘Abdu Manaf adalah anak Qushay dari istrinya yang bernama Hubbiy binti Halilai-Khuza’iyah?.

 

Jabatan hijabah (pengurus )Baitullah (Ka’bah) pada masa jahiliah dipercayakan kepada Qushay, demikian pula jabatan rifadah (bertugas memberi minum dan makanan kepada para jema’ah haji), dan jabatan memimpin Nudwah, yaitu majelis permusyawaratan yang harus memecahkan semua masalah di rumahnya, serta jabatan Jiwa (panglima perang). Ketika ajal telah dekat, ia menyerahkan semua jabatan tersebut kepada salah seorang anak lelakinya yang bernama ‘Abdud-Dar. Akan tetapi, Bani ‘Abdu Manaf (anak-anak ‘Abdu Manaf) sepakat tidak akan membiarkan anak-anak mereka, Bani ‘Abdud-Dar, menguasai kedudukan yang di banggakan ini sehingga hampir saja pecah perang saudara di kalangan mereka andaikata tidak ada orang-orang bijaksana dari kedua kelompok itu yang melerai mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk menyerahkan jabatan sigayah dan rifadah kepada Bani ‘Abdu Manaf: kedua jabatan penting ini berlangsung di tangan mereka sehingga sampai kepada tangan Al-‘Abbas ibnu ‘Abdul-Muththalib, yang selanjutnya menurunkan pula kepada anakanaknya sesudah Al-‘ Abbas meninggal dunia. Adapun jabatan sigayah masih tetap berada di tangan Bani ‘Abdud-Dar, yang selanjutnya diakui oleh syara’ (agama Islam). Hingga sekarang jabatan tersebut masih tetap berada di tangan mereka, yaitu Bani Syaibah ibnu ‘Utsman ibnu Abu Thalhah ibnu ‘Abdul ‘Aziz ibnu ‘Utsman ibnu ‘Abdud-Dar. Adapun jabatan liwa masih tetap berada di tangan mereka (Bani ‘Abdud-Dar) sehingga dibatalkan oleh Islam, kemudian Islam menjadikannya sebagai hak khalifah kaum Muslimin, dan hanya boleh dipegang oleh orang yang dinilai oleh Islam sebagai orang yang layak untuk memangkunya, demikian pula jabatan nudwah.

 

Qushay adalah anak lelaki Kilab dari istrinya, Fathimah binti Sa’d dari aegeri Yaman dan dari kalangan kabilah Azdsyanuah. Kilab adalah anak Marrah dari istrinya yang bernama Hindun binti Sarir dari Bani Fihr ibnu Malik. Murrah adalah anak Ka’ab dari istrinya, Wahsyiyah binti Syaiban dari kalangan Bani Fihr pula. Ka’b adalah anak Luay dari istrinya yang dikenal dengan nama panggilan Ummu Ka’b , nama aslinya adalah Bariah biati Ka’b, dari kabilah Qudha’ah. Dan Luay adalah anak Ghalib dari istrinya yang dikenal dengan nama panggilan Ummu Luay, nama aslinya adalah Salma binti ‘Aror al Khuza’iy. Ghalib adalah anak Fibr dari istrinya yang dikenal dengan nama panggilan Ummu Ghalib, nama aslinya adalah Laila binti Sa’d , dari kalangan kabilah Hudzzail.

 

Menurut pendapat mayoritas ahli sejarah, Fihr adalah Quraisy, dan Quraisy merupakan suatu kabilah besar yang terdiri atas beberapa puak, yaitu Bani ‘Abdu Manaf, Bani ‘Abdud-Dar ibnu Qushay, Bani Asad ibnu ‘Abdul ‘Uzza ibnu Qushay, Bani Zahrah ibnu Kilab, Bani Makhzum ibnu Yagzhah ibnu Murrah, Bani Taim ibnu Murrah, Bani ‘Addiy ibnu Kab, Bani Sahm ibnu Hushaish ibnu ‘Amr ibnu Ka’b, Bani ‘Amir ibnu Luay, Bani Taim ibnu Ghalib, Bani al-Harits ibnu Fihr, dan Bani Muharib ibnu Fibr. Orang-orang Quraisy yang mendiami kota Makkah dinamakan Quraisy al-Bithah (orang-orang Quraisy kota), sedangkan orang-orang Quraisy yang diam di sekitar kota Makkah dinamakan Quraisy Azh-Zhawahir orang-orang Quraisy pedalaman).

 

Fihr adalah anak Malik dari istrinya yang bernama Jandalah binti ai Harb dari kabilah Jurhum. Malik adalah anak An-Nadhr dari istrinya yang bernama ‘Atikah binti ‘Adwan dari kabilah Qais ‘Ailan. An-Nadhr adalah anak Kinanah dari istrinya yang bernama Barrah binti Mur ibnu Idd. Kinanah adalah anak Khuzaimah dari istrinya yang bernama ‘Awwanah binti Sa’d dari kalangan kabilah Qais ‘Ailan. Khuzaimah adalah anak Mudrikah dari istrinya yang bernama Salma binti Aslam dari kabilah Qudha’ah. Mudrikah adalah anak Ilyas dari istrinya yang bernama Khandaf, seorang wanita teladan dalam hal kehormatan dan keperkasaan. Ilyas adalah anak Mudhar dari istrinya yang bernama Ar-Rabbab binti Jundah ibnu Ma’d. Mudhar adalah anak Nizzar dari istrinya yang bernama Saudah binti ‘Ak. Nizzar adalah anak Ma’d dari istrinya yang bernama Mu’anah binti Jausyam dari kabilah Jurhum. Dan Ma’d adalah anak ‘Adnan.

 

Demikianlah nasab keturunan Nabi saw. yang keabsahannya telah disepakati oleh para ulama tarikh dan ahli hadis. Adapun mengenai nasav mulai dari ‘Adnan hingga ke atasnya tidak ada satu jalur periwayatan pun yang sahih. Pada garis besarnya mereka telah sepakat bahwa nasab Rasulullah saw. sampai kepada Nabi Isma’il sebagai bapak orang-orang Arab yang musta’ribah dan Nabi Isma’il adalah anak Nabi Ibrahim a.s.

 

Seperti yang telah Anda lihat sendiri, nasab Nabi saw. adalah nasab yang mulia lagi terhormat, yaitu terdiri dari bapak-bapak yang suci dan ibu-ibu yang suci pula. Rasulullah saw. masih terus berpindah-pindah dari tulang sulbi suci mereka kepada rahim-rahim yang suci pula sehingga Allah swt. memilih dua orang ibu-bapaknya dari kalangan bangsa Arab, yaitu dari kabilah Quraisy. Kabilah Quraisy merupakan kabilah yang memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat di kalangan bangsa Arab. Anda tidak akan menjumpai dalam silsilah Rasulullah saw. selain orangorang yang mulia: tidak seorang pun dari mereka yang merupakan rakyat jelata, bahkan semuanya merupakan pemimpin dan orang yang terhormat. Demikian pula sislilah ibu-ibu dari kakek moyang Rasulullah saw., mereka semua termasuk kabilah-kabilah yang memiliki kedudukan yang tinggi dan disegani. Memang tidak diragukan bahwa kemuliaan silsilah dan sucinya tempat kelahiran merupakan syarat kenabian. Perkawinan yang dilakukan oleh setiap moyang Nabi saw. sehingga sampai kepada kedua orang ibubapaknya merupakan perkawinan yang sah sesuai dengan syariat yang berlaku pada bangsa Arab (agama Nabi Isma’il, pen.). Tidak pernah sesuatu dari sifat jahiliah (zina) menyentuh silsilah keturunan Nabi saw., bahkan Allah memelihara silsilah keturunannya dari perbuatan tersebut. Alhamdulillah.

Abdullah adalah salah seorang anak ‘Abdul-Muththalib yang paling dicin tainya. Setelah ‘Abdullah dewasa, ‘Abdul-Muththalib menikahkannya de: ngan Siti Aminah binti Wahb ibnu ‘Abdu Manaf ibnu Zahrah ibnu Kilab Pada saat itu usia ‘Abdullah telah mencapai delapan belas tahun, dan Siti Aminah merupakan wanita Quraisy yang paling utama nasab dan kedudukannya. ‘Abdullah mulai bercampur dengan Siti Aminah. Tidak berapa lama kemudian Siti Aminah mengandung Rasulullah saw. Ketika masa mengandung Siti Aminah mencapai dua bulan, ‘Abdullah meninggal dunia dan dikebumikan di Madinah di tempat paman-paman dari pihak ibunya sendiri, yaitu Bani ‘Addiy ibnu-Najjar. Pada mulanya ia berniat melakukan misi dagang ke negeri Syam, akan tetepi, ketika ia kembali dari negeri Syam dan sampai di Madinah maut menjemputnya.

 

Setelah masa mengandung dijalani, Siti aminah akhirnya melahirkan. Seluruh semesta alam merasa gembira dengan kelahiran bayi yang mulia ini, yang kelak akan menyiarkan ke seluruh dunia norma-norma etika dan akan menyempurnakan akhlak yang mulia. Mahmud Basya almarhum, seorang ahli ilmu falak, telah melakukan penelitian tentang peristiwa besar ini. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa peristiwa itu terjadi pada hari Senin pagi tanggal 9 Rabiulawal bertepatan dengan tanggal 20 April 571 Masehi. Peristiwa ini bertepatan pula dengan tahun pertama peristiwa AlFil (tentara bergajah).

 

Kelahiran Nabi saw. terjadi di rumah Abu Thalib, yaitu dalam perkampungan orang-orang Bani Hasyim. Yang bertindak sebagai bidannya ialah Ummu ‘Abdur-Rahman ibnu ‘Auf. Setelah Nabi dilahirkan, ibunya, Siti Aminah, mengirimkan berita gembira ini kepada kakek Nabi saw., ‘AbdulMuththalib. Setelah mendengar berita itu ‘Abdul-Muththalib bergegas menuju ke rumah Abu Thalib dengan perasaan yang meledak penuh dengan kegembiraan. Setelah sampai lalu ia memberi nama anak tersebut Muhammad. Nama ini masih belum dikenal oleh orang-orang Arab. Akan tetapi, rupanya Allah berkehendak untuk melangsungkan apa yang telah dipastikan oleh-Nya sesuai dengan berita yang telah disebutkan di dalam kitabkitab para nabi terdahulu, seperti kitab Taurat dan kitab Injil. Allah memberikan ilham kepada kakek Nabi saw., hendaknya ia melaksanakan perintah-nya ini, yaitu memberikan nama tersebut kepada bayi yang baru dilahirkan itu. Wanita pertama yang mengasuh Nabi saw. sewaktu ia masih bayi adalah Ummu Ayman, nama aslinya adalah Barakah al-Habsyiyyah, hamba sahaya perempuan ayahnya, ‘Abdullah. Wanita pertama yang menyusukannya adalah Tsuwaibah, hamba sahaya perempuan pamannya, Abu Lahab.

Telah menjadi tradisi bagi orang-orang Arab pada masa itu, mereka selalu mencari wanita-wanita yang mau menyusukan anak-anak mereka di daerah pedalaman. Maksudnya supaya kelak anak-anak itu tumbuh menjadi orang yang mulia. Mereka mempunyai anggapan bahwa wanita pengasuh di kota itu pemalas lagi kurang tekun. Kemudian datanglah kaum wanita dari Bani Sa’d ibnu Bakr mencari anak-anak yang akan mereka susukan. Ternyata wanita yang berhasil mendapat pekerjaan menyusukan Muhammad adalah Halimah binti Dzuaib as-Sa’diyah. Nama suaminya Abu Kabsyah: dan nama inilah yang kemudian dipakai sebagai nama panggilan Nabi saw. oleh orang-orang Quraisy manakala mereka mengejek Nabi saw. Mereka mengatakan, “Orang ini adalah anak Abu Kabsyah yang menyampaikan wahyu dari langit.” Keberkahan selalu meliputi keluarga tempat Muhammad disusui dan dipelihara selagi Muhammad masih bersama mereka, Muhammad tinggal bersama. keluarga Halimah selama empat tahun.

Sewaktu Muhammad masih bersama keluarga Siti Halimah, terjadilah suatu peristiwa penting, yaitu dibelahnya dada Muhammad, lalu dikeluarkan tempat bercokol setan dari dalam dadanya. Peristiwa tersebut menyebabkan Halimah menjadi takut, maka ia mengembalikan Nabi saw. kepada ibunya. Ketika berada di hadapan ibunya, Siti Halimah menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada diri Nabi saw. “Ketika Muhammad bersama saudara-saudara sepersusuannya sedang menggembala ternaknya di belakang rumah, tiba-tiba saudara sepersusuannya datang berlari-lari sambil terengah-engah menceritakan kepadaku dan suamiku. Saudaraku dari kabilah Quraisy itu ditangkap oleh dua orang lelaki berbaju putih. Lalu kedua orang lelaki itu membaringkannya, kemudian membedah perutnya sedangkan kedua lelaki itu terus menggerakkannya dengan cemeti. Aku dan suamiku segera menuju ke tempat itu, dan ternyata kami jumpai dia dalam keadaan pucat pasi. Setelah peristiwa itu aku dan suamiku selalu bersama dengannya, dan kami bertanya kepadanya. ‘Hai Anakku, apakah gerangan yang terjadi dengan dirimu? Kemudian ia menjawab, ‘Ada dua orang lelaki berbaju putih datang kepadaku, entah dari mana asalnya. Lalu salah seorang dari mereka bertanya kepada temannya: Apakah anak ini memang dia? Temannya menjawab, Ya. Kemudian keduanya menangkapku dan membaringkan diriku, setelah itu mereka berdua membedah perutku. Keduanya mencari sesuatu di dalam perutku. Setelah bertemu, lalu keduanya mengeluarkannya dari dalam perutku dan langsung membuangnya, tetapi aku tidak mengetahui apa yang dibuangnya itu.”

Setelah Muhammad diambil lagi oleh ibunya dari tangan Halimah, pada suatu ketika Siti Aminah membawa Muhammad pergi ke Madinah untuk bersilaturrahim kepada paman-paman ayah Nabi saw. dari pihak ibu, yaitu Bani ‘Addiy ibnu Najjar. Dalam perjalanan pulang ke Makkah, tiba-tiba Siti Aminah diserang sakit keras. Sesampai di suatu desa yang bernama AlAbwa” Siti Aminah meninggal dunia dan dikebumikan di tempat tersebut.

 

Selanjutnya Nabi saw. berada di bawah asuhan Ummu Ayman dan di bawah tanggungan kakeknya, ‘Abdul-Muththalib. ‘Abdul-Muththalib sangat sayang kepada Muhammad. Hal seperti ini belum pernah dirasakannya terhadap anak-anaknya karena dari dalam diri Muhammad tampak tandatanda yang menunjukkan bahwa kelak di masa mendatang ia akan memiliki suatu perkara yang agung. ‘Abdul Muththalib sangat memuliakannya.

 

Tidak berapa lama kemudian ‘Abdul-Muththalib pun meninggal dunia, sedangkan usia Muhammad baru menginjak delapan tahun. Kemudian Muhammad dijamin oleh saudara sekandurg ayahnya, Abu Thalib. Abu Thalib memelihara Muhammad dengan penuh kasih sayang dan penuh perhatian. Harta yang dimiliki Abu Thalib waktu itu sedikit, tetapi berkat adanya Muhammad akhirnya Allah swt. melimpahkan keberkahan pada hartanya. Selama di dalam pemeliharaan Abu Thalib, Muhammad merupakan teladan yang paling baik: ia bersikap gana’ah (menerima apa adanya) dan jauh dari perbuatan-perbuatan rendah yang biasa dilakukan oleh kebanyakan anak-anak seusia dengannya. Demikianlah diceritakan oleh pengasuhnya, Ummu Ayman. Bila saat makan tiba, anak-anak lainnya datang melahap makanan yang ada, sedangkan Muhammad tetap tenang dan menerima apa adanya.

Tatkala Muhammad mencapai usia dua belas tahun, pamannya, Abu Thalib, bermaksud hendak mengadakan misi dagang ke negeri Syam. Akan tetapi, kelihatan Muhammad sangat berat ditinggalkan oleh Abu Thalib sehingga akhirnya, karena kasihan, Abu Thalib mengajak Muhammad bersamanya ke negeri Syam. Perjalanan ini adalah untuk yang pertama kalinya dan mereka tidak begitu lama melakukan perjalanan ini. Sesampainya mereka di dekat daerah Bushra, seorang pendeta Yahudi bernama Buhaira datang menemui orang-orang dari kafilah Abu Thalib. Pendeta Yahudi itu menanyakan kepada mereka tentang berita yang terdapat di dalam kitab suci orang-orang Yahudi, yaitu mengenai diutusnya seorang nabi dari kalangan bangsa Arab yang saatnya sudah tiba. Mereka menjawab bahwa sampai saat itu belum tampak tanda-tandanya.

 

Ungkapan ini sering dilontarkan oleh orang-orang ahli kitab sebelum Rasulullah saw. diutus, baik dari kalangan orang Yahudi maupun dari kalangan orang Nasrani. Akan tetapi, Allah swt. telah berfirman di dalam Kitab-Nya: , ,

 

Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang: orang yang ingkar itu. (QS. 2 Al-Bagarah: 89)

 

Ketika Muhammad berusia dua puluh tahun, pecahlah Perang Fujjar, yaitu peperangan yang terjadi di antara kabilah Kinanah dan kabilah Qais, sedangkan kabilah Quraisy berada di pihak kabilah Kinanah. Penyebab pecahnya perang ini ialah sebagai berikut: AnNu’man ibnul-Mundzir. raja orang Arab di negeri Hairah,! memiliki barang dagangan yang biasa dikirimkannya setiap tahun untuk dipasarkan di ‘Ukazh.” An-Nu’man selalu mengirimkannya dalam pengawalan yang dipimpim oleh seorang kuat dan perkasa lagi dihormati di kalangan kaumnya supaya ia mengantarkan dagangan tersebut ke tempat tujuan dengan selamat. Pada suatu hari ia duduk-duduk bersama Al-Barradh ibnu Qais al-Kinani yang terkenal pemberani, tetapi telah dipecat dari keanggotaan kaumnya karena banyak kejahatan yang telah dilakukannya. Hadir pula pada saat itu ‘Urwah ibnu ‘Atabah, seorang pengembara. An-Nu’man membuka pembicaraan. “Siapakah yang mampu mengantarkan daganganku kali ini hingga sampai ke ‘Ukazh?” Al-Barradh menjawab, “Biarlah aku yang mengantarkannya hingga sampai kepada Bani Kinanah.” An-Nu’man menjawab, “Sesungguhnya aku hanya menginginkan seseorang yang mau mengantarkan (menawarkan)-nya kepada semua orang.” Lalu ‘Urwah berkata, “Semoga engkau dijauhkan dari semua hal yang menghinakan, apakah engkau rela membiarkan anjing yang sudah dipecat ini mengantarkannya? Biarlah aku yang akan mengantarkannya kepada semua syekh kabilah dan penduduk Qaishum, yaitu penduduk daerah Naja? dan Tihamah”.” Kemudian Al-Barradh bertanya, “Apakah engkau akan mengantarkannya juga hingga sampai kepada kabilah Kinanah, hai ‘Urwah?” ‘Urwah menjawab, “Aku akan mengantarkannya kepada semua orang.”

 

Al-Barradh merasa sakit hati, lalu ia merahasiakan berita itu dan menunggu-nunggu kesempatan yang paling baik. Ketika ‘Urwah keluar membawa dagangan An-Nu’man, di tengah jalan Al-Barradh menghadangnya, lalu membunuhnya secara licik. Setelah itu Al-Barradh mengirimkan berita kepada kaumnya, yaitu kabilah Kinanah, dan menceritakan kepada mereka semua yang terjadi dengan ‘Urwah, lalu ia memperingatkan kaumnya supaya berhati-hati terhadap pembalasan kaum ‘Urwah, yaitu kabilah Qais. Kabilah Qais, begitu mendengar kejadian yang menimpa ‘Urwah itu, langsung menghimpun kekuatan guna menuntut balas atas darah ‘Urwah. Mereka bertemu dengan kabilah Quraisy dan kabilah Kinanah di Nakhlah”, maka terjadilah pertempuran di antara mereka. Dalam peperangan berkobar dengan sengit itu orang-orang Qais tampak begitu nekad dan berani. Akhirnya orang-orang Quraisy berlindung di kota Makkah, dan Muhammad ada bersama mereka.

 

Setelah peristiwa itu orang-orang Qais berkata kepada musuh-musuhnya, “Sesungguhnya kami tidak akan membiarkan begitu saja darah ‘Urwah, maka pertemuan kita adalah kelak pada tahun depan di ‘Ukazh.” Lalu mereka kembali ke negeri mereka seraya membakar semangat orang-orang mereka. Setahun sejak peristiwa itu, kabilah Qais menghimpun semua kekuatannya. Mereka dibantu oleh orangorang Tsagif dan kabilah-kabilah lainnya. Demikian pula kabilah Quraisy, mereka pun menghimpun kekuatannya yang terdiri dari kabilah Kinanah dan orang-orang Habsyah yang menjadi pendukung orang-orang Quraisy. Pada saat itu yang memimpin Bani Hasyim ialah Az-Zubair ibnu ‘Abdul-Muththalib yang dibantu oleh saudara-saudaranya, yaitu Abu Thalib, Hamzah, Al-Abbas, dan keponakan mereka, yaitu Muhammad. Bani Umayyah berada di bawah pimpinan Harb ibnu Umayyah, dan ia merangkap menjadi panglima tertinggi semua orang Quraisy. Ia menjabat kedudukan ini karena kedudukannya yang di. segani di kalangan Quraisy, demikian pula mengingat usianya yang paling tua. Demikianlah setiap puak kabilah Quraisy mempunyai pemimpinnya sendiri. Kemudian mereka berangkat menuju ke medan peperangan. Peperangan yang terjadi pada saat itu merupakan peperangan yang dirasakan paling dahsyat dan menakutkan oleh bangsa Arab. Kesucian kota Makkah banyak dinodai oleh peperangan tersebut, padahal kota Makkah dianggap suci oleh mereka semua. Mereka namakan perang tersebut Perang Fujjar. Kekalahan hampir menimpa kabilah Qais karena kabilah-kabilahnya banyak yang terpukul. Tiba-tiba muncullah para penengah yang mengajak pihak-pihak yang berperang untuk berdamai. Kedua belah pihak menghitung mereka yang telah gugur. Barangsiapa menemukan pihaknya lebih banyak yang gugur, ia diperbolehkan mengambil diat kelebihannya. Setelah dihitung, ternyata di pihak Qais lebih banyak yang gugur. Akhirnya mereka mengambil diat dari kabilah Quraisy. Harb ibnu Umayyah berjanji akan membayarnya, dan sebagai kepercayaan dari pihaknya ia memberikan anaknya yang bernama Abu Sufyan sebagai sandera.

 

Demikianlah akhir peperangan yang sering terjadi di kalangan orang Arab, yang bermula dari hal-hal yang kecil saja. Setelah agama Islam datang, akhirnya Allah mempersatukan hati mereka dan menyingkapkan gelapnya kesesatan ini dengan tersebarnya nur Islam di kalangan mereka.

Setelah orang-orang Quraisy kembali dari Perang Fujjar, mereka sepakat untuk mengadakan perundingan. Hal itu akhirnya terlaksana di rumah ‘Abdullah ibnu Jad’ah at-Taimiy, seorang pemimpin salah satu puak kabilah Quraisy. Orang-orang yang membuat perjanjian itu terdiri dari Bani Hasyim dan BanilMuththalib, yaitu dua orang anak Bani Abdu Manaf, dua orang anak Bani Asad ibnu ‘Abdul ‘Uz-za, dua orang anak Bani Zahrah ibnu Kilab, dan dua orang anak Bani Taim ibnu Murrah. Mereka telah mengadakan perjanjian untuk tidak membiarkan seseorang teraniaya di dalam kota Makkah, baik dia penduduk asli ataupun pendatang, mereka akan membelanya dan mengembalikan hak kepadanya.

 

Perundingan ini dihadiri pula oleh Muhammad yang pada waktu itu ikut bersama paman-pamannya. Sesudah Allah mengangkatnya menjadi rasul, dia memberikan komentar tentang perjanjian tersebut sebagai berikut:

 

Sungguh aku telah menyaksikan sendiri perjanjian yang telah dibuat oleh paman-pamanku di rumah ‘Abdullah ibnu Jad’an, yang lebih aku senangi daripada memiliki ternak unta. Seandainya di masa Islam ini aku diajak melakukan hal yang sama, niscaya aku akan menerimanya.

 

Hal itu adalah karena Muhammad diutus dengan membawa akhlakakhlak yang mulia, dan hal ini termasuk di antaranya. Memang Islam telah banyak mengakui hal seperti itu. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw.:

 

Aku diutus guna menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia. Ternyata Nabi saw. sering mengajak orang-orang untuk melaksanakan perjanjian ini. Akhirnya mereka menyadarinya dan mau menerimanya.

 

Tatkala Muhammad berusia dua puluh lima tahun dia melakukan perjalanan yang kedua ke negeri Syam.

 

Siti Khadijah binti Khuwailid al-Asadiyah,” seorang wanita pengusaha yang terkemuka lagi terpandang dan kaya, selalu menyewa orang-orang untuk memasarkan barang dagangannya, kemudian ia membagi keuntungan dengan mereka. Ia mendengar tentang sifat amanah dan kejujuran Muhammad di dalam berbicara, yang belum pernah ditemukannya pada diri orang lain, sehingga kaumnya sendiri menjulukinya sebagai Al-Amin (orang yang dipercaya). Oleh sebab itu, Siti Khadijah menyewa Muhammad untuk membawa barang dagangannya ke negeri Syam, kemudian menjajakannya di sana. Ia bersedia memberinya lebih banyak dari apa yang pernah diberikannya kepada orang lain. Kemudian Muhammad berangkat bersama pembantu Siti Khadijah yang bernama Maisarah. Keduanya menjual barang-barang bawaannya, dan ternyata mendapat laba yang besar sekali. Selama dalam perjalanan tampak keberkahan-keberkahan yang timbul dari diri Muhammad. Hal ini membuat Maisarah Senang sekali.

Setelah keduanya tiba kembali di Makkah. Siti Khadijah melihat hasil penjualannya ternyata mendapat laba yang sangat besar. Maka ia mulai tertarik kepada Muhammad. Lalu Siti Khadijah mengirimkan utusan untuk menyatakan kesediaan dirinya menjadi teman hidup Muhammad. Siti Khadijah pada saat itu berumur empat puluh tahun dan termasuk orang yang mempunyai kedudukan di kalangan kaum Quraisy dan paling banyak hartanya. Muhammad bersama paman-pamannya segera menemui paman Siti Khadijah, ‘Amr ibnu Asad, dan mengajukan lamaran untuk memperistri Siti Khadijah melalui pamannya, Abu Thalib. Paman Siti Khadijah menikahkan keponakannya itu dengan Muhammad. Pada hari itu Abu Thalib mengucapkan khotbahnya yang terkenal seperti berikut ini:

 

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita sebagai anak-cucu Nabi Ibrahim: keturunan Nabi Isma’il: berasal dari Ma’ad, dan lahir dari kalangan Mudhar. Dia telah menjadikan kita sebagai pengurus Bait-Nya (Ka’bah) dan pelindung tanah sucinya. Dan dia telah menJadikan untuk kita Ka’bah yang diziarahi dan tanah suci yang aman, serta Dia pulalah yang menjadikan kita sebagai pemimpin manusia. Kemudian sesungguhnya keponakanku ini, Muhammad ibnu ‘Abdullah, tiada seorang pun yang dapat mengimbanginya dalam hal kehormatan, kemuliaan, dan keutamaannya. Bila dalam hal harta benda tidak banyak yang dimilikinya, maka sesungguhnya harta itu adalah bayangan yang pasti lenyap karena ia merupakan penghambat dan pinjaman yang pasti dikembalikan. Dia, demi Allah, sesudah peristiwa ini memiliki berita yang besar dan kedudukan yang agung. Dan dia telah datang kepada kalian untuk melamar putri kalian, Siti Khadijah, dan dia telah memberikan maskawin untuknya sebanyak anu.

 

Setelah itu dilangsungkanlah akad nikah di antara keduanya. Siti Khadijah sebelum itu pernah nikah dengan Abu Halah, lalu Abu Halah meninggal dunia dan mempunyai seorang putri bernama Halah dari hasil perkawinannya dengan Siti Khadijah. Selanjutnya Halah menjadi anak tiri Muhammad.

 

Ketika Muhammad mencapai usia tiga puluh lima tahun, terjadi banjir besar sehingga merobohkan bangunan Ka’bah yang sebelumnya memang sudah rapuh karena pernah kebakaran. Setelah peristiwa itu orang-orang Quraisy bermaksud untuk merobohkan Ka’bah, kemudian membangunnya kembali dan memberinya atap serab, sebelum itu, bangunan Ka’bah hanyalah merupakan batu yang ditumpuk-tumpukkan sehingga berdiri merupakan suatu bangunan. Lalu semua kabilah berkumpul untuk memusyawarahkan hal ini, hanya saja mereka tidak berani merobohkannya karena Ka’bah sangat diagungkan oleh mereka. Al-Walid ibnul Mughirah berkata kepada mereka, “Apakah kalian merobohkannya dengan maksud untuk memperbaikinya atau merusaknya?” Mereka menjawab, “Tidak, kami bermaksud untuk memperbaikinya.” Maka Al-Walid ibnul Mughirah menjawab, “Kalau memang demikian, sesungguhnya Allah tidak akan membinasakan orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Setelah itu Al-Walid ibnul Mughirah mulai mengambil inisiatif merobohkannya, lalu diikuti oleh mereka hingga bangunan itu roboh. Manakala mereka sampai kepada fondasi Hijir Isma’il, di situ mereka menemukan prasasti-prasasti, terukir pada batu-batunya, yang berisi berbagai macam kata-kata hikmah. Hal seperti itu biasa dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu di kala mereka membangun suatu bangunan yang agung. Maksudnya supaya menjadi peringatan bagi generasi selanjutnya tentang pekerjaan-pekerjaan yang telah dilakukan oleh orang-orang dahulu.

 

Kemudian mereka mulai membangunnya. Untuk itu mereka menyediakan dana yang dikumpulkan bukan dari hasil riba atau hasil pelacuran. Mulailah orang-orang terpandang dari kabilah Quraisy memanggul batubatu di atas pundak mereka, dan Al-‘Abbas, paman Muhammad, bersama dengan Muhammad termasuk orang-orang yang memanggul batubatu. Orang yang menjadi arsitek pelaksana bangunan itu adalah seorang bangsa Romawi bernama Bagum. Setiap rukun (sudut) bangunan Ka’bah dikhususkan untuk segolongan pemimpin, mereka mengangkut batu-batu ke rukun tersebut, lalu membangunnya. Akan tetapi, dana dari barang halal sangat terbatas dan tidak cukup untuk menyempurnakan bangunan tersebut hingga sampai pada fondasi-fondasi Nabi Isma’il. Akhirnya mereka mengeluarkan kembali batu-batu dari fondasinya, kemudian mereka membangun tembok pendek di atasnya sebagai pertanda, bahwa tembok tersebut termasuk bagian dalam Ka’bah.

 

Bangunan telah mereka selesaikan dengan panjang dan lebar yang sama, yaitu delapan belas hasta. Bangunan tersebut ditambah sembilan hasta dari bentuk asalnya. Kemudian pintu Ka’bah ditinggikan dari permukaan tanah sehingga orang yang ingin memasukinya harus memakai tangga. Setelah itu mereka bermaksud meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya, tetapi para pemimpin kabilah Quraisy bertentangan, siapakah di antara mereka yang berhak meletakkannya. Mereka bersaing dalam hal ini, masing-masing pihak menginginkan dirinya sebagai peletak Hajar As. wad, sehingga peristiwa ini hampir saja menjadi penyebab terjadinya per. tempuran di antara mereka. Persengketaan ini berlangsung selama empat malam. Pada saat itu orang yang paling tua di kalangan kabilah Quraisy adalah Abu Umayyah ibnul Mughirah al-Makhzumi, paman Khalid ihnul. Walid. Abu Umayyah berkata kepada mereka, “Hai kaum, janganlah kalian berselisih, tetapi putuskanlah masalah ini di antara kalian melalui ge. seorang yang kalian relakan akan keputusannya.” Lalu mereka menjawah, “Baiklah, kalau demikian kami menyerahkan masalah ini kepada orang yang paling awal memasuki Ka’bah besok.” Ternyata orang yang paling awal memasuki Ka’bah adalah Muhammad. Mereka merasa lega karena mereka telah mengetahui sifat amanah dan kejujuran Muhammad dalam berbicara. Mereka mengatakan, “Baiklah, kami rela terhadap orang yang dipercaya ini.” Demikianlah Muhammad dijuluki sebagai orang yang amin (dipercaya) karena mereka meminta keputusan daripadanya pada waktu mereka tidak mengetahui bagaimana memutuskan perkara yang sedang mereka alami itu. Setelah mereka memberitahukan kepada Muhammad bahwa dia adalah orang yang terpilih untuk memutuskan perkara mereka, Muhammad segera menggelarkan kain serbannya seraya berkata, “Hendaknya masing-masing kabilah memegang pinggiran kain serban ini.” Kemudian Muhammad meletakkan Hajar Aswad ke atas kain serban itu, dan memerintahkan mereka untuk mengangkatnya secara bersamaan. Setelah sampai pada tempat Hajar Aswad, Muhammad mengambilnya dan meletakkannya ke tempatnya semula.

 

Demikianlah, akhirnya terpecahkanlah masalah ini yang kebanyakan merupakan penyebab timbulnya peperangan besar di kalangan mereka, padahal masalahnya kecil dan sepele, tetapi akibatnya fatal jika tidak terpecahkan. Niscayalah peperangan akan terjadi seandainya Allah tidak menganugerahkan kepada mereka seorang yang berakal seperti Abu Umayyah, yang menunjukkan kepada mereka jalan yang baik, dan seorang yang bijaksana seperti Muhammad guna memutuskan perkara mereka dengan keputusan yang diridai oleh semua pihak. Tidak mengherankan jika masalah ini sempat membuat mereka bersaing demi meraih kemuliaan karena Baitullah adalah kiblat bangsa Arab dan Ka’bah selalu mereka ziarahi. Setiap pekerjaan yang agung merupakan kebanggaan tersendiri bagi pelakunya dan akan membawa pelakunya untuk berkuasa. Dialah rumah pertama di bumi ini yang dijadikan tempat beribadah, dan hal ini disaksikan oleh Al-Quranul-Karim melalui firman-Nya:

 

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) makam Ibrahim: barang siapa yang memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. (Q.S. 3 AL Imran: 96-97).

 

Orang-orang yang mengurus Ka’bah sesudah Nabi Isma’il adalah kabilah Jurhum, tetapi ternyata mereka bertindak semena-mena dan berlaku aniaya terhadap orang-orang yang memasuki kota Makkah. Kabilah Khuza’ah sepakat mengusir mereka dari Baitullah. Setelah itu kepengurusan Ka’bah dipegang oleh orang-orang Khuza’ah selama beberapa masa. Kemudian jabatan ini direbut oleh kabilah Quraisy pada masa Gushay ibnu Kilab, dan berkat Qushay akhirnya amanlah negeri tempat tinggal mereka karena semua kabilah Arab merasa takut kepada kabilah Quraisy. Apabila mereka berlindung kepada Qushay, maka dia merupakan benteng yang kuat dan aman bagi mereka dari serangan orang-orang jahat. Allah swt. menganugerahkan hal ini kepada mereka sebagaimana yang telah dijelaskan melalui firman-Nya:

 

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia di sekitarnya saling merampok. (Q.S. 29 Al-A’nkabut: 67)

 

Muhammad tidak mewarisi harta apa-pun dari ayahnya, bahkan dia dilahirkan dalam keadaan yatim, tak berayah lagi tidak mampu, dan selanjutnya ia dititipkan pada kalangan Bani Sa’d. Tatkala ia telah mencapai usia yang cukup untuk bekerja, maka ia mulai bekerja menggembala ternak bersama-sama dengan saudara sepersusuannya di daerah pedalaman. Begitu pula tatkala ia kembali ke Makkah, ia pun bekerja menggembalakan ternak milik penduduk kota Makkah dengan imbalan upah beberapa girath emas seperti apa yang telah dituturkan Iman Bukhari di dalam kitah Shahih-nya.

 

Tidak mengherankan jika para nabi melepaskan dirinya dari masalah duniawi dan kesibukan-kesibukannya karena hal ini merupakan keharusan bagi mereka. Seandainya mereka berada dalam kekayaan yang berlimpah, niscaya perkara duniawi akan melalaikan dan menyibukkan dirinya dari kebahagiaan ukhrawi yang abadi. Oleh sebab itu Anda pasti melihat semua syariat Ilahi dan sepakat menganggap baik perbuatan zuhud (menjauhi keduniawian). Hal ini telah dibuktikan oleh para nabi zaman dahulu. Mereka merupakan saksi yang paling agung dalam masalah ini. Nabi ‘Isa a.s. adalah orang yang paling menjauhi keduniawian, demikian pula apa yang telah dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Ibrahim a.s. Sewaktu masih kecil mereka tidak hidup dalam kemewahan, tetapi mereka hidup dalam kesederhanaan. Yang demikian merupakan hikmah yang agung dari Allah, sengaja dinampakkan Allah kepada nabi-nabi-Nya supaya mereka menjadi teladan buat para pengikutnya dalam mencegah diri dari mengejar keduniawian karena sesungguhnya perkara duniawi itu merupakan penyebab malapetaka dan musibah.

 

Demikian pula yang menggembalakan kambing atau domba, bukan hanya seorang nabi, melainkan mereka semua pernah menggembalakannya sesuai dengan berita yang dikemukakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahih-nya dari Rasulullah saw. Hal ini pun mengandung hikmah yang sangat besar karena seorang manusia bila menggembala kambing atau domba yang merupakan makhluk paling lemah, niscaya hatinya akan dipenuhi dengan rasa kasih sayang dan sikapnya akan menjadi lemah lembut. Bilamana ia beralih untuk menggembalakan manusia, maka modal pertama yang berhasil diraihnya ialah, dirinya terlepas dari sifat egois dan tidak ada kecenderungan untuk menganiaya, dan dengan demikian ia akan menjadi orang yang mempunyai kondisi paling prima untuk mengemban tugas berat ini.

 

Tatkala Muhammad tumbuh menjadi seorang pemuda, ia mulai berdagang. Yang menjadi temannya pada saat itu adalah As Saib ibnu Abu Saib. Ia pernah membawa dagangan Siti Khadijah r.a. ke negeri Syam dengan imbalan upah yang diambil dari keuntungannya. Setelah Siti Khadijah menyatakan kesediaan untuk menikah dengannya, sedangkan Siti Khadijah adalah wanita pengusaha yang kaya, lalu Muhammad bekerja mengembangkan hartanya, dan dia selalu memakan dari hasil keringatnya sendiri. Allah swt. menyebutkan hal ini sebagai anugerah daripada-Nya sebagaimana diungkapkan Allah dalam surat Adh-Dhuha berikut ini:

 

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan. (Q.S. 93 Adh-Dhuha: 68)

 

Allah telah memberi perlindungan dan membuatnya berkecukupan sebelum masa kenabiannya dan sebelum ia mendapat hidayah berkat kenabiannya. Selanjutnya Allah memberinya petunjuk Al-Kitab, iman, dan agama Nabi Ibrahim a.s., padahal sebelumnya ia tidak mengetahui tentang hal-hal tersebut. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. berfirman:

 

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah AlKitab (Al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman ita, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. (Q.5. 42 Asy-Syura: 52)

Muhammad adalah orang yang paling baik di antara kaumnya dalam masalah akhlak, paling jujur perkataannya, paling dipercaya, dan paling jauh dari perbuatan keji meskipun perilaku rendah telah membudaya pada masa itu. Selain itu, Muhammad adalah orang yang paling utama di antara kaumnya dalam hal memelihara harga diri, paling mulia di dalam bergaul, paling baik dalam bertetangga, paling besar rasa maafnya, dan paling jujur dalam berbicara: oleh sebab itu mereka menjulukinya sebagai Al-Amin (orang yang dipercaya). Hal itu berkat anugerah yang telah dilimpahkan oleh Allah kepadanya berupa hal-hal yang baik lagi terpuji dan watak watak terpuji seperti penyantun, penyabar, bersyukur, adil, rendah diri, memelihara kehormatan diri, dermawan, pemberani, dan pemalu. Hal ter. sebut diakui oleh musuh bebuyutannya sendiri, yaitu AnNadhr ibnu. Harits dari kalangan Bani ‘Abdud-Dar. Ia pernah mengatakan kepada kaumnya, “Dahulu, ketika Muhammad masih remaja, kalian telah rela dengan keputusannya, dan dia adalah orang yang paling dipercaya per. kataannya di antara kalian. Ketika ia telah dewasa ia datang membawa berita kepada kalian, tetapi kalian mengatakannya sebagai seorang tukang tenung. Tidak, demi Allah, dia bukan seorang tukang tenung.” An-Nadhr ibnul-Harts menyatakan hal ini dalam sanggahannya terhadap apa yang telah dikatakan oleh orang-orang Arab terhadap diri Nabi saw., yang pada waktu itu sedang menghadiri musim haji sehingga akibatnya mereka mengakui apa yang dikatakannya.

 

Tatkala kaisar Romawi, Heraclius, bertanya kepada Abu Sufyan yang pada saat itu menjadi utusan Nabi saw. untuk menyampaikan pesannya, “Apakah kalian menuduhnya pernah melakukan kedustaan sebelum ia (Rasulullah saw.) mengatakan apa yang telah dikatakannya itu?” Abu Sufyan spontan menjawab, “Tidak.” Lalu Kaisar Heraclius berkata, “Sungguh, bila ia tidak membiarkan dirinya berbuat dusta terhadap manusia. maka ia pun tidak akan membiarkan dirinya berbuat dusta terhadap Allah.” Demikianlah menurut hadis yang dikemukakan oleh Imam Bukhari di dalam awal kitab Shahih-nya.

 

Allah swt. memelihara dirinya sejak ia masih kecil dari semua perbuatan jahiliyah yang bertentangan dengan ajaran syariat” yang dibawanya kemudian. Sudah menjadi pembawaannya ia sangat benci kepada berhalaberhala sehingga ia sama sekali belum pernah menghadiri pesta atau perayaan yang biasa diselenggarakan oleh para penyembahnya. Rasulullah saw. pernah bercerita, “Tatkala aku masih kecil, aku mulai membenci berhala-berhala, dan aku pun benci terhadap syair (yang biasa diucapkan oleh orang-orang jahiliah), dan aku belum pernah mempunyai maksud untuk melakukan suatu perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliah kecuali hanya dua kali, tetapi sebelum kedua hal itu terjadi Allah swt. menghalang-halangi diriku melakukan perbuatan tersebut. Kemudian setelah peristiwa itu aku sama sekali tidak mempunyai maksud lagi untuk melakukan perbuatan jelek sehingga Allah memuliakan diriku dengan risalah-Nya.

 

“Pada suatu malam aku berkata kepada seorang teman yang samasama menggembala ternak denganku, “Tolong perhatikan domba gembalaanku ini dan jaga mereka, aku bermaksud memasuki kota Makkah dan ikut menonton pertunjukan sebagaimana layaknya pemuda-pemuda lainnya. Lalu aku keluar dari daerah pengembalaan untuk tujuan tersebut sehingga aku sampai di sebuah rumah yang terletak paling pinggir di kota Makkah. Ketika itu aku mulai mendengar suara musik rebana dan seruling untuk pesta perkawinan salah seorang dari mereka. Kemudian di tempat itu aku duduk beristirahat sambil mendengarkan suara musik tersebut, tetapi tiba-tiba Allah mendatangkan rasa kantuk yang sangat hingga aku tertidur pulas, dan baru pada keesokan harinya aku terbangun setelah merasakan sengatan panas matahari pagi. Aku tidak sempat menyaksikan pertunjukkan tersebut sama sekali: dan hal serupa pernah pula menimpa diriku pada kesempatan lain.”

 

Rasulullah saw. belum pernah memakan daging sembelihan yang disembelih untuk nushub ” sebagaimana ia pun mengharamkan atas dirinya khamar, padahal minuman khamar telah membudaya di kalangan kaumnya. Semuanya itu merupakan sifat-sifat yang dianugerahkan oleh Allah swt. kepada para nabi-Nya supaya mereka memiliki persiapan yang matang untuk menerima wahyu daripada-Nya. Para nabi semuanya dimaksum (dipelihara) dari perbuatan-perbuatan yang kotor dan buruk, baik sebelum mereka diangkat menjadi nabi maupun sesudahnya. Sebelum masa kenabian, hal tersebut dimaksudkan supaya mereka bersiap-siap menerima perkara yang agung yang kelak akan dipikulkan kepadanya. Sesudah masa kenabian, hal tersebut dimaksudkan supaya mereka menjadi teladan yang paling utama buat umatnya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam-Nya yang paling utama dan paling sempurna kepada mereka.

Anugerah pertama yang dikaruniakan Allah swt. ialah keberkahankeberkahan yang dilimpahkan kepada keluarga Halimah tempat Muhammad disusukan. Padahal sebelum kedatangan Muhammad di tengah keluarga mereka, mereka hidup dalam keadaan serba kekurangan. Ketika Muhammad berada di tengah-tengah mereka rezeki mereka berlimpah yang datang dari ternak gembalaan mereka. Lagi pula, sebelum itu air susu Halimah kering, tetapi setelah ia menerima Muhammad sebagai anak yang akan disusukannya, tiba-tiba air susunya mengalir secara berlimpah. Sehubungan dengan kemuliaan yang dianugerahkan Allah kepada Muhammad ini seorang penyair shufi bernama Al-Bushairi mengatakan dalam gashi. dah Hamziyahnya: Bilamana Tuhan menundukkan orang-orang kepada orang yang berba. hagia, maka sesungguhnya mereka adalah orangorang yang berbahagia. Selanjutnya hal itu disusul pula dengan peristiwa pembedahan dada Muhammad yang dialaminya guna mengeluarkan tempat bercokolnya setan dari dalam dadanya. Hal ini bukan merupakan sesuatu yang ajaib bila dikaitkan dengan kekuasaan Allah swt. Barang siapa menganggap mustahil hal-hal tersebut, berarti jangkauan pandangan akalnya pendek sekali, dan tidak mengetahui sama sekali tentang kekuasaan Allah swt. Pada hakikatnya peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan hukum alam yang timbul dari diri para nabi bukanlah merupakan hal yang aneh atau hal yang baru.

 

Di antara irhash (pertanda kenabian) yang dilimpahkan Allah kepada Muhammad ialah dijinakkan-Nya mega untuk Muhammad sewaktu dia mengadakan perjalanan niaga ke negeri Syam. Mega selalu menaunginya dari sengatan sinar matahari musim panas. Hal itu hanya dialami oleh dia sendiri, dan tidak ada seorang pun di antara rombongan kafilahnya yang ternaungi. Demikianlah diceritakan oleh Maisarah, pembatu Siti Khadijah, yang mendampinginya dalam perjalanan tersebut. Hal inilah yang mendorong Siti Khadijah berani melamar Muhammad untuk menjadi suaminya. Siti Khadijah merasa yakin bahwa Muhammad akan memiliki perkara yang agung di masa mendatang. Tatkala berita kenabian sampai kepadanya, ia adalah orang pertama yang beriman kepada Rasulullah saw. Dalam hal ini Siti Khadijah secara spontan menampakkan reaksi keimanannya terhadap Nabi saw. tanpa menunggu-nunggu pertanda kenabian lainnya seperti akhlak-akhlak mulia yang dimiliki oleh nabi dan mukjizat-mukjizat lain yang pernah didengarnya.

 

Di antara anugerah lain yang dilimpahkan Allah kepada Rasulullah saw. ialah batu-batuan dan pohon-pohon dapat mengucapkan salam kepadanya. ) Bilamana Rasulullah bermaksud buang hajat (buang air besar), dia pergi jauh hingga bangunan kota Makkah tidak kelihatan, lalu dia mencari tempat di lereng bukit atau lembah yang sepi guna buang hajat. Pada saat itu tiada sebuah batu dan pohon pun yang dilewatinya yang tidak mengucapkan, “Ash-shalatu was-salamu ‘Alaika ya Rasulullah.

 

(Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada dirimu, hai Rasulullah)” Pada saat yang sama dia menengok ke kiri dan ke kanan serta ke belakang untuk mengetahui siapa yang mengucapkannya, tetapi dia tidak melihat seorang pun. Hal ini diceritakan Rasulullah saw. sendiri sewaktu dia menceritakan kejadian-kejadian yang telah dialaminya. Tidaklah aneh karena Allah swt. memang telah menundukkan benda-benda mati kepada para nabi sebelumnya, yaitu seperti yang pernah dilakukan Allah terhadap tongkat Nabi Musa a.s. Tongkat Nabi Musa dapat menelan bulat-bulat semua tipu muslihat yang dibuat oleh para ahli sihir raja Fir’aun sesudan tongkat tersebut beralih rupa menjadi ular besar, setelah itu ular tersebut menjadi tongkat kembali seperti semula. Kemudian, tatkala Nabi Musa memukulkan tongkat tersebut ke sebuah batu besar, memancarlah dari batu tersebut sebanyak dua belas buah mata air sehingga masing-masing puak Bani Israil mendapat bagian satu mata air untuk minum mereka. Demikian pula terhadap para nabi lainnya, Allah swt. telah menundukkan untuk mereka berbagai macam benda mati sesuai dengan kehendakNya supaya orang-orang yang berakal mengerti akan kebesaran kedudukan mereka dan pentingnya fungsi mereka.

Allah swt. telah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s. Di dalamnya terkandung syariat-syariat yang sesuai dengan kondisi umat pada masa itu. Kemudian Allah menyebutkan pula di dalamnya tentang para nabi yang kelak akan diutus-Nya berdasarkan pengetahuan-Nya. Di antara berita gembira yang disebutkan dalam kitab Taurat ialah berita tentang kedatangan Rasul kita yang mulia yang ditujukan kepada Nabi Musa a.s. Berita gembira tersebut berbunyi sebagai berikut, “Kelak Aku akan menjadikan di antara mereka seorang nabi seperti engkau dari kalangan saudara-saudara mereka, dan Aku akan menjadikan kalam-Ku (firman-Ku) melalui mulutnya, kemudian ia berbicara kepada mereka tentang segala sesuatu yang Aku perintahkan. Barang siapa tidak menaati sabdanya yang dikatakannya atas nama-Ku, maka Akulah yang akan menghukumnya. Adapun mengenai nabi yang berani lancang berbuat takabur dan berkata atas nama-Ku padahal Aku tidak menyuruhnya, atau ia berkata atas nama tuhan lain, maka hendaknya ia dibunuh. Bila engkau ingin membedakan nabi yang benar dan nabi yang dusta (palsu), berikut ini adalah petandanys untuk engkau ingat, yaitu bahwa apa yang dikatakan oleh nabi atas nama Rabb, sedangkan Rabb tidak mengatakannya, dan ia hanya sematamata berdusta dengan maksud ingin mengagungkan dirinya, engkau tidak usah takut terhadapnya.” Yahuda berkata bahwa subjek berita gembira ini ada. lah Yosua bin Nun, pengganti Nabi Musa a.s. padahal mereka masih tetap menunggu-nunggu seorang nabi lain sewaktu mereka berada di masa Al. Masih selain Al-Masih itu sendiri. Mereka mengirimkan utusan kepada Yahya (Yohanes) si pembaptis untuk menanyakan tentang kedudukan dirinya. Untuk itu mereka mengatakan, “Apakah engkau Elia?” Yahya men. jawab, “Bukan.” Lalu mereka bertanya lagi, “Apakah engkau Al-Masih” Yohanes menjawab, “Bukan.” Mereka bertanya kembali, “Apakah engkau seorang nabi?” Yohanes menjawab, “Bukan.” Lalu mereka berkata, “Mengapa engkau membaptis jika memang engkau bukan Elia, bukan Al-Masih, dan bukan pula seorang nabi?” Kesaksian ini menunjukkan bahwa kitab Taurat menyatakan berita gembira tentang Elia, Al-Masih, dan seorang nabi lainnya yang masih belum datang hingga zaman Nabi ‘Isa a.s.

 

Selanjutnya kitab Taurat pun mengatakan tentang sifat dan ciri khas Nabi saw., bahwa dia seperti Musa. Telah dinaskan pula pada akhir kitab Ulangan bahwa tidak akan ada seorang nabi lagi yang seperti Nabi Musa di kalangan Bani Israil. Telah disebutkan pula di dalamnya berita gembira yang menyatakan bahwa nabi yang berdusta atas nama Allah dibunuh. Hal ini mirip dengan apa yang dikatakan oleh Al-Quran melalui firman-Nya: ,

 

Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya (Q.S. 69 Al-Haggah: 44-46)

 

Nabi kita tinggal bersama musuh-musuh bebuyutannya dari kalangan kaum mugyrikin dan orang-orang Yahudi selama dua puluh tiga tahun sambil menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah. Sekalipun demikian, Allah memelihara diri Nabi saw. dan gangguan mereka. Untuk menenangkan hatinya Allah swt. menurunkan firman-Nya: , “

 

Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (Q.S. 5 Al-Maidah: 87)

 

Apakah terhadap hal tersebut Allah tidak mampu melakukannya? Dia Mahakuasa terhadap segala sesuatu dan Mahakuasa untuk menurunkan azab terhadap orang yang menuduh Nabi saw. berkata dusta, dan Dialah yang berfirman:

 

Bahkan mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap Allah.” Maka jika Allah menghendaki, niscaya Dia mengunci mati hatimu, dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimahkalimah-Nya. (Al-Quran) Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati. (Q.S. 42 Asy-Syura: 24)

 

Berita gembira tersebut telah memberikan informasi kepada kita semua tentang tanda-tanda yang dengan melaluinya kita dapat membedakan nabi yang benar dan nabi yang dusta, yaitu melalui ramalannya yang tepat terhadap apa yang akan terjadi di kemudian hari. Memang Nabi saw. banyak memberitakan hal yang akan terjadi di kemudian hari, kemudian ternyata kejadiannya sesuai dengan apa yang telah dikatakannya. Di antara beritaberita tersebut ada yang tidak dapat ditelaah dengan cara ramalan atau dugaan akal, yaitu seperti berita yang dinyatakan oleh Nabi saw. bahwa kekaisaran Romawi kelak akan dikalahkan oleh Kerajaan Persia dengan kekalahan yang sangat parah sehingga digambarkan oleh Nabi saw. bahwa orang-orang Persia hampir saja menguasai Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Romawi. Selanjutnya digambarkan pula oleh Nabi saw. bahwa orang-orang Romawi beberapa tahun kemudian berhasil menghimpun kekuatannya, lalu mereka dapat merebut kembali kekalahannya beberapa tahun yang silam. Dapat disimpulkan bahwa berita yang tepat itu tiada lain hanyalah dari sisi Allah swt. belaka. Oleh sebab itu, sebagian kaum musyrikin yang terdiri dari kaum Quraisy merasa heran sekali dengan ketepatan ramalan Nabi saw. sehingga disebutkan bahwa sahabat Abu Bakar r.a. bertaruh dengan mereka, dan ternyata kejadiannya sesuai dengan apa yang telah diberitakan oleh Nabi saw. berdasarkan wahyu dari Allah swt. Akhirnya Sahabat Abu Bakar berhasil meraih kemenangan dari taruhannya itu. Hal tersebut merupakan sekelumit dari banyak hal yang keterangannya akan menyusul nanti, insya Allah secara terinci.

 

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan dalam kitab Asy-Syifa bahwa ‘Atha ibnu Yasar pernah bertanya kepada Sahabat ‘Amr ibnul-Ash r.a. tentang sifat Rasulullah saw. ‘Amr ibnul. ‘Ash menjawab, “Ya memang, demi Allah, sesungguhnya Nabi saw. telah disebutkan sifat-sifatnya dalam kitab Taurat sesuai dengan sebagian sifatnya disebutkan oleh firman-Nya: –

 

Hat Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. (Q.S. 33 Al-Ahzab): 45)

 

Berita dalam kitab Taurat tersebut mengatakan, “Demi memelihara kaum yang ummi (buta huruf), engkau adalah hamba dan rasulKu. Kunamakan engkau Al-Mutawakkil (orang yang bertawakkal) yang tidak keras, tidak berhati kasar, dan tidak bersuara gaduh di pasar-pasar. Dia tidak menolak keburukan dengan keburukan yang lain, tetapi dia pemaaf dan pengampun. Allah tidak akan mematikannya sebelum agama-Nya tegak kokoh sehingga mereka mau mengatakan Ia ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah), sebelum Allah membukakan mata yang buta dan telinga yang tuli serta hati yang terkunci.”

 

Al-Gadhi ‘Iyadh meriwayatkan hal yang serupa melalui Sahabat ‘Abdullah ibnu Sallam r.a. Dahulu ‘Abdullah ibnu Sallam adalah pemimpin orang Yahudi, tetapi :a tidak menghiraukan kedudukannya itu, dan dengan sukarela ja masuk agama yang lurus, yaitu agama Islam. Demikian pula Ka’b Al-Ahbar, bekas pendeta Yahudi, ia berbuat serupa. Menurut riwayat lain yang disebutkan dalam kitab Taurat sehubungan dengan berita gembira tentang Nabi saw. adalah seperti berikut ini: “Tidak pernah mengeluarkan perkataan keras sekalipun di pasar-pasar dan tidak pula pernah mengatakan hal-hal yang tidak senonoh. Aku selalu membimbingnya kepada setiap perbuatan yang indah (baik). Aku memberinya semua akhlak yang mulia. Aku jadikan ketenangan sebagai pakaiannya, kebajikan sebagai lambangnya, takwa sebagai perasaannya, hikmah (kebijaksanaan) sebagai perkataannya, jujur dan menepati janji sebagai wataknya, pemaaf dan berbuat yang makruf sebagai akhlaknya, adil sebagai perjalanan hidupnya, perkara yang hak sebagai syariatnya, hidayah sebagai imamnya, Islam sebagai agamanya, dan Ahmad sebagai namanya. Aku memberinya hidayah sesudah tersesat: Aku mengajarinya sesudah bodoh: Aku mengangkat sebutannya sesudah ia tidak dikenal, Aku meninggikan derajatnya sesudah ia tidak dianggap: Aku memperbanyak pengikutnya sesudah sedikit, Aku membuatnya berkecukupan sesudah ia miskin, Aku mempersatukan dengannya sesudah berpecah belah: Aku merukunkan hati-hat yang bertentangan melaluinya, kecenderungan yang berbeda-beda dan bangsa yang bermacam-macam, dan Aku menjadikan umatnya sebagai umat yang paling baik di antara umat manusia.”

 

Nabi Musa a.s. memberitakan tentang sifat Nabi saw dalam kitab Taurat. Musa menurunkan firman Allah swt. sebagai berikut. “Dia adalah orang yang jujur lagi percaya, hamba-Ku yang bernama Ahmad adalah pilihan-Ku, tempat kelahirannya di Makkah, dan tempat hijrahnya adalah Madinah atau Thayyiban dan umatnya adalah orang-orang yang selalu memuji kepada Allah setiap saat.”

Nabi ‘Isa a.s. memberikan berita gembira kepada kaumnya dalam kitab Injil tentang Fargalith yang artinya sama dengan Muhammad atau Ahmad. Hal ini dibenarkan oleh Al-Qur’an melalui firman-Nya:

 

Dan (ingatlah) ketika ‘Isa putra Maryam berkata, “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, bernama Ahmad (Muhammad).” (Q.S. 61 AshShaff: 6)

 

Nabi ‘Isa a.s. menceritakan tentang ciri-ciri khas Fargalith ini dengan gambaran-gambaran yang tidak sesuai kecuali kepada Nabi kita. Selanjutnya Nabi ‘Isa mengatakan bahwa dia (Muhammad) mencela semua umat manusia atas kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan, dan dia mengajarkan kepada mereka semua perkara yang hak karena dia tidak mengucapkan keta-kata dari dirinya sendiri, tetapi hanya menyampaikan apa yang telah didengarnya dari wahyu Allah. Ciri khas inilal. yang disebutkan oleh AlQuranul-Karim melalui firman-Nya:

 

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kamauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (Q.S. 53 An-Najm: 3-4)

 

Disebutkan pula dalam kitab Injil Barnabas tentang nama Rasulullah saw. secara jelas, tetapi sangat disayangkan kitab Injil Barnabas ini, yang baru saja ditemukan kemudian, tidak lama kemudian disembunyikan oleh tangan-tangan jahil. )

Pembahasan mengenai hal ini berkisar pada pergerakan besar yang dilakukan oleh para pendeta dan para rahib sebelum diutusnya Rasulullah saw. Orang-orang Yahudi menunggu-nunggu kemenangan mereka atas orang-orang Arab penduduk Madinah melalui seorang rasul yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya. ‘Ashim ibnu ‘Amr ibnu Gatadah menceritakan hal ini kepada kaumnya: “Sesungguhnya dia (Rasulullah) menyeru kami untuk memeluk Islam dengan membawa rahmat Allah buat kami. Sebelumnya kami tidak mempunyai pengetahuan mengenai kedatangannya. Kami adalah penyembah berhala dan orang-orang musyrik sedangkan mereka adalah kaum ahli kitab. Mereka banyak mengetahui tentang hal-hal yang tidak kami ketahui melalui kitab mereka. Antara kami dan mereka sering terjadi pertengkaran dan perselisihan. Bila kami menang atas mereka, lalu mereka mengatakan, ‘Sekarang sudah dekat masanya bagi kami kedatangan seorang nabi yang diutus, kelak kami akan bertempur bersamanya melawan kalian bagaikan kami memerangi orang-orang ‘Ad dan kaum Irmia.’ Hal seperti itu sering kami dengar melalui mulut mereka. Akan tetapi, setelah Allah mengutus Rasul-Nya, Muhammad, kami mengabulkan seruannya ketika ia mengajak kami menyembah Allah. Kami telah mengetahui apa-apa yang telah mereka ancamkan kepada kami dengan datangnya Rasulullah ini. Kami segera lebih dahulu beriman kepadanya, tetapi ternyata mereka sendiri ingkar dan kafir.”

 

Orang-orang Yahudi berani mengatakan kepada orang-orang musyrik Arab, “Kami akan membunuh kalian sebagaimana Allah membinasakan kaum ‘Ad dan kaum Irmia, bersama nabi yang sedang ditunggu-tunggu itu, “Karenh sifat-sifat Nabi saw. telah tertera di dalam kitab suci mereka yang di dalamnya disebutkan bahwa nabi ini kelak akan memberantas kemusyrikan dengan kekuatan. Akan tetapi, mereka tidak menyadari bahwa kedengkian dan kezaliman akan menguasai diri mereka sehingga mereka enggan memeluk agama yang lurus yang dibawanya. Oleh sebab itu, mereka berhak mendapat azab di dunia dan di akhirat.

 

Umayyah ibnu Abush-Shilt, seorang Arab pemeluk agama Nasrani, sering mengatakan, “Sesungguhnya aku telah menemukan dalam kitab Injil sifat seorang nabi yang kelak akan di utus di negeri kami.”

 

Salman al-Farisi r.a. menceritakan pula bahwa ia pernah menemani seorang pendeta Nasrani selama beberapa waktu. Ternyata pendeta itu sering berkata kepadanya, “Hai Salman, sesungguhnya Allah kelak akan mengutus seorang rasul bernama Ahmad. Ia dilahirkan di daerah pegunungan Tihamah, Tandanya ialah ia mau memakan hadiah, tetapi tidak mau memakan zakat.” Cerita yang dikemukakan pendeta tersebut merupakan penyebab masuk Islamnya Salman di kemudian hari.

 

Tatkala Rasulullah saw. mengirimkan surat kepada raja-raja di seluruh penjuru dunia, tiada seorang raja pun yang menghina suratnya kecuali Kisra, raja Persia, yang tidak mempunyai pengetahuan dari kitab suci. Semua raja pemeluk agama Nasrani, seperti raja Negus dari Abesinia, Mugaugis raja Mesir, dan Kaisar Heraclius dari Romawi, memuliakan tamu utusan Nabi saw. yang datang kepada mereka menyampaikan surat Nabi saw. Di antara mereka ada yang mau beriman kepada Rasulullah saw, seperti Raja Nequs, ada juga yang menolak, tetapi dengan tolakan yang lemah lembut dan hampir saja mau masuk Islam seandainya tidak karena kedudukannya sebagai seorang raja besar, seperti Kaisar Heraclius. Di antara mereka ada yang mendapat hidayah seperti Raja Mugaugis dari Mesir. Pada saat itu Rasulullah saw. masih belum memiliki kekuatan yang dapat mengantarkan raja-raja tersebut masuk Islam. Perlakuan yang baik itu tiada lain karena mereka mengetahui bahwa Al-Masih a.s. telah memberikan berita gembira tentang datangnya seorang rasul sesudah dia. Ternyata sifat-sifat Rasulullah saw. sesuai dengan apa yang disebutkan dalam kitab mereka. Mereka pun mau menyambut seruan yang lebih baik itu.

 

Berita yang didengar melalui bisikan-bisikan para juru ramal sebelum masa Rasulullah saw. cukup banyak yang menyatakan kedatangannya, tetapi kiranya cukup bukti apa yang telah kami tuturkan tadi karena datadatanya cukup autentik. Sekalipun demikian, pekerjaan-pekerjaan yang telah dilimpahkan Allah swt. kepadanya dan semua perkataaan yang telah disampaikannya kepada kita merupakan bukti paling kuat tentang kenabiannya dan pengukuhan bagi seruannya. Keterangan mengenai dia akan menyusul secara terinci. Maka hendaknya hal tersebut diperhatikan benarbenar, insya Allah Anda akan mendapat petunjuk. Semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda ke jalan yang lurus.

Tatkala Muhammad telah mencapai usia kesempurnaannya, yaitu usia em. pat puluh tahun, maka Allah swt. mengutusnya kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan guna mengeluarkan mereka dari kegelapan dan kebodohan (kemusyrikan) kepada cahaya ilmu (iman). Hal itu tepatnya terjadi pada awal bulan Februari tahun 610 Masehi, sebagaimana telah dijelaskan oleh almarhum Mahmud Basya, ahli ilmu falak. Sesudah dilakukan penelitian yang men. detail, ternyata hal tersebut terjadi pada tanggal 13 Ramadan tahun 13 sebelum Hijrah, bertepatan dengan bulan Juli tahun 610 Masehi. Permulaan wahyu yang diturunkan kepadanya berupa impian yang benar, dan disebutkan bahwa Muhammad tidak melihat wahyu datang selain bagaikan cahaya subuh, sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan oleh Allah terhadap makhluk-nya, yaitu selalu dalam bentuk bertahap dalam semua hal, lalu meningkat sampai kepada tingkat yang sempurna karena sangat sulit bagi manusia untuk menerima wahyu dari malaikat secara langsung untuk yang pertama kalinya. Kemudian Muhammad dibekali dengan kecenderungan senang ber-khalwat (menyendiri) supaya ia menjauhkan diri dari kegelapan umat manusia pada saat itu, memencilkan diri dari makhluk untuk ber-tahannuts (beribadah) kepada Allah swt. karena sesungguhnya ber-‘uzlah (mengasingkan diri) itu dapat menjernihkan jiwa. Muhammad sering melakukan ‘uzlah di Gua Hira. Dia melakukan ibadah selama beberapa hari, kadang-kadang selama sepuluh hari atau lebih dari itu hingga sampai sebulan. Ibadah yang dilakukannya ialah menurut agama Nabi Ibrahim a.s. Untuk itu Muhammad membawa bekal secukupnya. Bilamana bekal yang dibawanya telah habis, dia kembali kepada Siti Khadijah untuk mengambil bekal serupa sampai wahyu datang kepadanya di Gua Hira tersebut.

 

Pada suatu hari, ketika Muhammad sedang berada di dalam Gua Hira, tiba-tiba muncullah seseorang, lalu berkata kepadanya, “Bergembiralah, hai Muhammad, aku adalah Jibril, dan engkau adalah utusan Allah untuk umat ini.” Selanjutnya malaikat Jibril berkata kepadanya, “Bacalah.” Muhammad menjawab, “Aku tidak bisa membaca,” Karena Muhammad adalah seorang ummi (buta huruf) yang belum pernah belajar membaca. Lalu malaikat Jibril menutupi diri Muhammad dengan selimut yang dipakai sebagai alas tempat tidurnya sehingga Muhammad kepayahan karenanya. Kemudian malaikat Jibril melepaskannya. Ia berkata lagi, “Bacalah.” Muhammad menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Kemudian malaikat Jibril menyekab diri Muhammad untuk yang kedua kalinya.

 

Setelah itu dilepaskannya. Ia berkata lagi, “Bacalah.” Muhammad menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” kemudian malaikat Jibril menyekapnya lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu dilepaskannya lagi dan berkata,

 

“Bacalah!” Akhirnya Muhammad mengucapkannya seperti berikut ini:

 

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari ‘alag. Bacalah dan Rabb-mulah Yang paling pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan galam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. 96 Al-‘Alag: 1-5)

 

Setelah peristiwa itu Rasulullah saw. langsung kembali kepada Siti Khadijah dengan hati berdebar-debar dan badannya gemetar karena rasa takut yang masih tetap melekat pada dirinya sebagai akibat bertemu dengan malaikat untuk pertama kalinya. Lalu Rasulullah saw. memasuki rumah Siti Khadijah, dan langsung berkata, “Selimutilah diriku, selimutilah diriku!” supaya perasaan takut yang menghantuinya lenyap. Kemudian Siti Khadijah menyelimutinya hingga perasaan takut itu lenyap. Setelah semua berlalu, kemudian Rasulullah saw. bercerita kepada Siti Khadijah tentang peristiwa yang baru saja dialaminya itu, bahwa dirinya baru saja bertemu dengan seorang malaikat, lalu malaikat itu menyekap dirinya sehingga ia merasa amat takut. Sebelum itu Rasulullah saw. tidak mengetahui sama sekali tentang malaikat Jibril, juga tentang bentuknya. Siti Khadijah langsung menjawab, “Tidak, demi Allah, Dia selamanya tidak akan menyianyiakan engkau. Sesungguhnya engkau selalu memperhubungkan silaturrahim, menanggung beban, menolong orang yang tidak mampu, menghormati tamu, dan menolong orang-orang yang tertimpa bencana. Allah swt. tidak akan membiarkan setan dan angan-angan (hawa nafsu) menguasai diri engkau, dan tidak mengherankan bila Allah swt. telah memilih engkau untuk memberikan hidayah kepada kaum engkau.” Untuk memperkuat dugaannya itu Siti Khadijah berangkat menanyakan tentang hal itu kepada orang yang mengetahui perihal rasul-rasul di antara orang-orang yang telah melihat kitab-kitab orang-orang zaman dahulu. Siti Khadijah datang menemui Waraqah ibnu Naufal, saudara misannya yang telah memeluk agama Nasrani sejak Zaman Jahiliyah. Waragah ibnu Naufal ini pandai menulis dan menguasai bahasa ibrani. Ia menukil dari kitab Injil hal-hal yang dikehendakinya dalam bahasa Ibrani. Ia telah berusia lanjut, dan kedua matanya telah buta. Siti Khadijah berkata kepadanya, “Hai anak pamanku, dengarlah apa yang akan diceritakan oleh anak pamanmu ini! Lalu Waragah berkata, “Hai anak pamanku, apakah yang telah engkay lihat?” Rasulullah saw. menceritakan kepadanya semua yang telah dilihat dan dialaminya. Setelah itu Waragah berkata kepada Rasulullah saw., “Ini adalah An-Namus (malaikat) yang pernah diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa,” karena Waragah mengetahui bahwa utusan Allah kepada para nabi-Nya tiada lain hanyalah malaikat Jibril. Selanjutnya ia mengatakan “Aku ingin menyaksikan andaikata diriku pada masa itu masih muda dan kuat, yaitu ketika kaum engkau mengusir engkau dari tanah tumpah darah engkau karena mereka memusuhi engkau dan mereka benci terhadap engkau, yaitu tatkala engkau menyuruh mereka mengubah agama dan keyakinan yang telah mereka temukan dari nenek-moyang mereka.” Mendengar keterangan tersebut Rasulullah saw. merasa heran, yaitu sehubungan dengan tindakan yang akan dilakukan oleh kaumnya terhadap dirinya karena selama ini ia merasakan bahwa kaumnya mencintainya mengingat ia berakhlak mulia dan selalu jujur dalam berbicara sehingga mereka menjulukinya Al-Amin (orang yang dipercaya). Oleh sebab itu Rasulullah saw. bertanya menegaskan, “Apakah benar mereka akan mengusirku?” Waragah menjawab, “Siapapun lelaki yang datang membawa seperti apa yang engkau bawa pasti dimusuhi mereka.” Hal ini memang telah dijelaskan dalam Al-Quran, yaitu sebagaimana yang telah difirmankan dalam surat Ibrahim:

 

Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka, “Kami sungguhsungguh akan mengusir kalian dari negeri kami atau kalian kembali kepada agama kami.” (Q.S. 14 Ibrahim: 13)

 

Untuk menyempurnakan kepercayaan Waragah terhadap risalah yang diemban oleh Rasulullah saw., ia berkata, “Seandainya aku masih sempat mengalami zaman engkau, niscaya aku akan menolong engkau dengan sekuat tenaga.” Hanya sangat disayangkan karena tidak berapa lama kemudian Waragah meninggal dunia.

Sehubungan dengan pembahasan ini tiada seorang pun dari kalangan ahli tarikh yang sepakat mengenai masa terputusnya wahyu. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat menyatakan bahwa tenggang masa tidak turunnya wahyu lamanya empat puluh hari. Maksudnya supaya Rasulullah saw. makin bertambah rindu kepada turunnya wahyu berikutnya. Memang, hal tersebut benar-benar terjadi sehingga disebutkan bahwa karena rasa rindu yang telah mencekam diri Rasulullah saw., ia menaiki puncak bukit, lalu bermaksud melemparkan dirinya dari puncak bukit itu, karena ia merasa bahwa Allah swt. telah melupakannya sesudah ia merasakan nikmat-Nya yang paling agung, yaitu pengangkatan dirinya sebagai perantara Allah dengan makhluk-Nya. Akan tetapi, sebelum ia melaksanakan niatnya, tibatiba muncullah malaikat Jibril seraya berkata, “Engkau benar-benar utusan Allah.” Mendengar jawaban tersebut hati Rasulullah saw. menjadi tenang kembali, lalu ia surut dari niatnya. Allah swt. menghendaki supaya ia menampakkan di dalam wujud cahaya agama-Nya. Sejak saat itu wahyu kembali turun kepadanya.

Tatkala Rasulullah saw. sedang berjalan-jalan, tiba-tiba ia mendengar suara dari langit, lalu ia mengangkat mukanya ke langit. Tiba-tiba ia melihat malaikat yang pernah mendatanginya ketika di Gua Hira. Malaikat tersebut selang duduk di antara langit dan bumi. Rasulullah saw. kembali merasa takut mengingat perlakuan malaikat tersebut terhadap dirinya di waktu yang pertama. Rasulullah saw. kembali ke rumah dan berkata kepada keluarganya, “Selimutilah diriku, selimutilah diriku.” Kemudian Allah swt. menurunkan firman-Nya:

 

 Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan. (Q.S. 74 Al-Muddatstsir: 1-2)

 

Makna ayat: Berilah peringatan umat manusia dengan azab Allah bila mereka tidak juga mau kembali dari kesesatan dan penyembahan berhala seperti apa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka.

 

Dan Rabb-mu, agungkanlah. (Q.5. 74 Al-Muddatstsir: 3)

 

Makna ayat: Khususkanlah Dia dengan pengegunganmu terhadap-Nya, dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dalam hal tersebut dengan selain Dia.

 

Dan pakaianmu, bersihkanlah. (Q.S. 74 Al-Muddassir: 4)

 

Makna ayat: Bersihkanlah pakaianmu supaya kamu benar-benar mempersiapkan diri untuk berdiri di hadapan Allah, karena tidak pantas bagi seorang mukmin melakukan hal itu dalam keadaan kotor dan berpakaian yang terkena najis.

 

Dan perbuatan dosa, tinggalkanlah. (Q.5. 74 Al-Muddassir: 5)

 

Makna ayat: Tinggalkanlah hal-hal yang menyebabkan datangnya azab, yaitu dengan cara kamu taat kepada Allah dan melaksanakan perintahNya.

 

 Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (Q.S. 14 Al-Muddatstsir: 6)

 

Makna ayat: Janganlah kamu memberi kepada seseorang suatu pemberian sedangkan kamu mempunyai maksud untuk mendapat balasan yang lebih banyak dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, sebab hal ini bukan termasuk sifat orang yang dermawan.

 

Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu, bersabarlah. (Q.S. 74 AlMuddatstsir: 7)

 

Makna ayat: Kamu harus bersabar atas apa yang akan menimpa dirimu sebagai akibat dari perlakuan kaummu yang menyakitkan sewaktu kamu menyeru mereka untuk menyembah Allah.

Kemudian Rasulullah saw. bangkit mengerjakan perintah Allah, yaitu menyeru kaum yang berhati keras dan tidak beragama untuk menyembah Allah swt. Mereka adalah kaum penyembah berhala yang tidak dapat memberikan manfaat atau mudarat kepada diri mereka, dan mereka tidak mempunyai hyijah dalam hal tersebut selain hanya mengikuti apa yang disembah oleh nenek-moyang mereka. Mereka sama sekali tidak memiliki akhlak yang mulia selain hanya fanatisme dan kebanggaan belaka. Hal ini merupakan penyebab banyaknya timbul peperangan, saling menyerang di antara mereka, dan banjir darah. Kemudian Rasulullah saw. datang kepada mereka dengan membawa ajaran-ajaran syariat yang belum mereka ketahui. Adapun sikap orang-orang yang berakal sehat dari kalangan mereka bergegas menyambut seruannya dan mempercayainya serta meninggalkan penyembahan berhala. Adapun yang terlena oleh empuknya kursi kedudukan, ia berpaling dan bersikap takabbur supaya kursi kedudukannya tidak lepas dari tangannya.

 

Orang pertama yang menyambut seruannya adalah Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah saw. sendiri, dan sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib, anak paman Rasulullah. Pada waktu itu sahabat ‘Ali berada dalam asuhan dan jaminan Rasulullah saw. Kisahnya bermula pada saat orang-orang Quraisy terkena paceklik, sedangkan Abu Thalib tidak mampu karena anaknya banyak. Maka Rasulullah saw. berkata kepada Al-Abbas ibnu ‘AbdulMuththalib, pamannya yang lain, “Sesungguhnya saudara engkau, Abu Thalib, banyak anaknya, sedangkan sekarang ini seperti yang engkau lihat sendiri sedang musim paceklik. Marilah kita pergi kepada Abu Thalib untuk meringankan bebannya, engkau mengambil seorang di antara anakanaknya, dan aku pun akan mengambil seorang anaknya pula.” Lalu mereka berdua berangkat menuju ke rumah Abu Thalib. Keduanya langsurz mengemukakan maksudnya, dan Abu Thalib pun mau menerima usul mereka berdua. Akhirnya Al-Abbas mengambil Ja’far ibnu Abu-Thalib, sedangkan Rasulullah saw. mengambil sahabat ‘Ali untuk dipelihara dalam jaminannya dan diperlakukan sama dengan anak-anaknya yang lain. Ketika ia diangkat menjadi nabi, umur sahabat ‘Ali telah mencapai usia balig. Sahabat ‘Ali selalu mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Ia belum pernah mengotori dirinya dengan perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah seperti menyembah berhala dan mengikuti kemauan hawa nafsu. Selain itu, yang menyambut pula ajakan Rasulullah saw. adalah Zaid ibnu Haritsah ibnu Syurahbil al-Kalbiy, bekas hamba sahaya Rasulullah saw. sendiri. Zaid dikenal pula dengan nama Zaid ibnu Muhammad karena sewaktu Rasulullah saw. membelinya, dia langsung memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak angkat. Pada saat itu anak angkat kedudukannya sama dengan anak sendiri dalam arti kata ia dapat mewarisi dan diwarisi. Yang juga menyambut ajakannya ialah Ummu Ayman, bekas pengasuhnya, yang kemudian dinikahkannya dengan Zaid, bekas hamba sahaya tadi.

 

Orang pertama yang menyambut ajakan Rasulullah saw. yang buka, dari kalangan ahli baitnya (keluarga Rasulullah sendiri) jalah Abu Baka ibnu Abu Quhafah ibnu ‘Amir ibnu Ka’b ibnu Sa’d ibnu Taim ibnu Murrah at-Taimi al-Qurasyi. Sebelum masa kenabian, Abu Bakar sangat akrab dengan Muhammad. Ia memiliki akhlak yang mulia dan belum pernah berkata dusta sejak ia bergaul dengan Rasulullah saw. Pada pertama kali ia menerima berita tentang pengangkatan Muhammad sebagai utusan Allah ia langsung percaya, dan berkata, “Demi ayah, engkau, dan ibuku, orang yang paling jujur adalah engkau, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan engkau adalah utusan-Nya.” Sahabat Abu Bakar r.a. termasuk orang terpandang di kalangan kaum Quraisy. Ia memiliki banyak harta dan berakhlak mulia. Ia termasuk orang yang paling dermawan di kalangan kaumnya dan baik dalam bergaul. Ia dicintai oleh kaumnya. Oleh sebab itu, Sahabat Abu Bakar dianggap oleh Rasulullah saw. sebagai wakilnya. Rasu. lullah saw. selalu bermusyawarah dengannya dalam semua hal. Rasulullah saw. pernah bersabda sehubungan dengan perihal Sahabat Abu Bakar r.a ini:

 

Aku belum pernah mengajak seseorang untuk masuk Islam melainkan masih menemui ganjalan padanya, terkecuali Abu Bakar.

 

Pada mulanya seruan Rasulullah saw. untuk mengajak mereka masuk Islam dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi. Rasulullah saw. melakukannya secara hati-hati karena khawatir orang-orang Arab menjadi kaget dengan adanya perkara yang berat ini, yang akibatnya sulit bagi mereka untuk masuk Islam. Oleh sebab itu Rasulullah saw. tidak menyeru selain kepada orang-orang yang benar-benar dapat dipercaya.

 

Sahabat Abu Bakar meniru jejak Rasulullah saw. Ia pun turut andil dalam menyerukan agama Islam dengan menyeru orang-orang yang dapat dipercaya dari kalangan kabilah Quraisy. Ternyata ajakannya ini mendapat sambutan hangat dari segolongan orang, antara lain dari ‘Utsman ibnu ‘Affan ibnul’Ash ibnu Umayah ibnu ‘Abdi Syams ibnu ‘Abdu Manaf al Umawiy al-Qurasyi. Tatkala Al-Hakam, paman Sahabat ‘Utsman, mengetahui tentang keislamannya, maka ia mengikatnya dengan kuat, lalu berkata , “Apakah engkau benci dengan agama nenek-moyang engkau lalu engkau memeluk agama yang baru itu? Demi Allah, aku tidak akan melepaskan ikatan ini sehingga engkau meninggalkan agama yang baru engkau peluk itu.” Lalu ‘Utsman menjawab” Demi Allah, aku tidak akan meninggalkannya dan tidak akan berpisah daripadanya.” Setelah Al-Hakam melihat keteguhan hati “Utsman dalam memeluk agamanya, lalu ia mele paskan ikatannya. Al-Hakam sudah tua, tetapi, kelihatannya seolah-olah masih berumur tiga puluh tahun.

 

Yang juga menyambut seruan Nabi saw. ialah Az-Zubair ibnul’Awwam ibnu Khuwailid ibnu Asad ibnu ‘Abdul ‘Uzza ibnu Qushay alQurasyi. Ibunya adalah Shafiyah binti ‘Abdul-Muththalib. Paman Az-Zubair, sewaktu mendengar keponakannya masuk Islam, lalu mengikatnya dan menyekapnya dengan asap supaya ia kembali kepada agama nenekmoyangnya. Akan tetapi, Allah swt. meneguhkan hatinya. Pada saat itu AzZubair masih remaja dan belum mencapai usia balig. Yang lainnya lagi ialah ‘Abdur-Rahman ibnu ‘Auf ibnu ‘Abdu ‘Auf ibnul-Harits ibnu Zahrah ibnu Kilab al-Qurasyi al-Hasyimiy. Sebelum masuk Islam ia bernama ‘Abdu ‘Amr, kemudian namanya diganti oleh Rasulullah saw. menjadi ‘AbdurRahman.

 

Di antara mereka juga termasuk Sa’d ibnu Abu Waqqash Malik ibnu Uhaib ibnu ‘Abdu Manaf ibnu Zahrah ibnu Kilab az-Zuhri al-Qurasyi. Tatkala ibunya yang bernama Hamnah binti Abu Sufyan mengetahui tentang keislamannya, ia berkata kepada Sa’d, “Hai Sa’d, aku telah mendengar bahwa engkau telah memeluk agama yang baru (Islam). Demi Allah, aku sekarang tidak mau dinaungi oleh atap rumah biar kepanasan dan kedinginan sekalipun, dan makanan serta minuman kuharamkan atas diriku sehingga engkau ingkar terhadap Muhammad.” Hal itu berlangsung selama tiga hari tiga malam. Lalu Sa’d datang kepada Rasulullah saw. untuk mengadukan perihal ibunya itu. Turunlah firman Allah sebagai pemberitahuan untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu:

 

Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Kulah kembali kalian, lalu Aku kabarkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan. (Q.S. 29 AlAnkabut: 8)

 

Allah swt. berpesan kepada Sa’d agar berbuat baik terhadap kedua orang tuanya, dan Dia memerintahkan supaya ia tetap memuliakan ibu-bapaknya, baik mereka berdua mukmin ataupun kafir. Adapun jika keduanya memerintahkan Sa’d’ supaya berbuat musyrik, maka perbuatan maksiat dilarang sama sekali oleh-Nya. Sebab sesungguhnya, betapa pun besarnya kewajiban, menjadi gugur di hadapan perbuatan maksiat, karena pada prinsipnya tiada ketaatan bagi makhluk untuk berbuat maksiat terhadap Khaliqnya. Selanjutnya Allah swt. menegaskan dalam ayat tersebut bahw, “hanya kepada Akulah tempat kembali kalian, baik kalian beriman atay musyrik, maka Aku akan membalas kalian sesuai dengan pembalasan yang berhak kalian terima.” Pada akhir ayat ini terkandung dua kesimpular yang sangat penting, yaitu:

 

Pertama: Suatu pe.ingatan yang menyatakan bahwa masalah pem. balasan itu berada di tangan kekuasaan Allah, maka jangan sekali-kali engkau mempunyai niat untuk berlaku keras terhadap mereka berdua yang disebabkan oleh kemusyrikan mereka.

 

Kedua: Anjuran untuk tetap teguh dalam memegang agama dan iman supaya jangan mendapat balasan yang buruk kelak di akhirat

 

Di antara mereka lagi yang menyambut dengan segera seruan Rasulul. lah saw. jalah Thalhah ibnu “Ubaidillah ibnu ‘Utsman ibnu ‘Amr ibnu Ka) ibnu Sa’d ibnu Taim ibnu Murrah at-Taimi al-Qurasyi. Sebelumnya Thal. hah ibnu “Ubaidillah telah mengetahui berita tentang Rasulullah saw. dan sifat-sifatnya dari para rahib. Tatkala Sahabat Abu Bakar mengajaknya masuk Islam, ia telah mendengar secara langsung dari Rasulullah saw. tentang wahyu yang diturunkan Allah kepadanya, dan ia melihat agama yang dibawa oleh Rasulullah saw. mempunyai hujjah yang kuat serta jauh dari kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang Arab, maka ia segera masuk Islam.

 

Di antara mereka yang pertama masuk Islam terdapat juga Shuhaib ar-Rumi, bekas hamba sahaya, dan ‘Ammar ibnu Yasir al-‘Anasi. ‘Ammar ibnu Yasir r.a. pernah mengatakan, “Aku melihat Rasulullah saw. pada permulaan dakwahnya hanya diikuti oleh lima orang hamba sahaya, dua orang wanita, dan Sahabat Abu Bakar.” Demikian pula ayahnya yang bernama Yasir serta ibunya yang bernama Sumayyah masuk Islam mengikuti jejak anaknya.

 

Yang paling dahulu masuk Islam lainnya ialah Sahabat ‘Abdullah ibnu Mas’ud. Semula ia seorang penggembala ternak milik orang musyrik dari kabilah Quraisy. Tatkala ia mendengar ayat-ayat yang cemerlang dan ajakan yang diserukan oleh Rasulullah saw., ia langsung meninggalkan berhala-berhala yang dahulu disembah-sembahnya, kemudian ia selalu mendampingi Rasulullah saw. Sejak saat itu Sahabat ‘Abdullah ibnu

 

Masud sering mengunjungi Rasulullah saw., dan tiada satu pun yang menghalang-halanginya untuk bertemu dengan Rasulullah. Bila Rasulullah saw. berjalan, Ibnu Mas’ud selalu mengawalnya: dan bila Rasulullah mandi, maka Ibnu Mas’udlah yang menutupinya. Bilamana Rasulullah saw. tidur, dialah yang membangunkannya, dan dia pulalah yang memakaikan alas kakinya bila Rasulullah saw. hendak bangun, dan bilamana Rasulullah saw. duduk, maka Ibnu Mas’ud memegang kedua alas kaki itu pada kedua hastanya.

 

Yang lain lagi yang paling dahulu masuk Islam ialah Sahabat Abu Dzar al-Ghifari. Dia adalah seorang Arab yang tinggal di daerah pedalaman, fasih gaya bahasanya dan manis tutur katanya. Tatkala telah sampai kepadanya berita tentang diutusnya Rasulullah saw., lalu ia berkata kepada saudara lelakinya, “Naikilah kendaraanmu untuk menuju ke lembah ini, kemudian berikanlah keterangan dan penjelasan kepadaku tentang seorang lelaki yang mengaku bahwa dirinya adalah seorang nabi yang diberi wahyu dari langit, kemudian dengarlah percakapannya, lalu ceritakan olehmu semuanya kepadaku.” Saudara lelaki Abu Dzar segera berangkat ke Makkah. Ia mendengar apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. Setelah itu ia kembali menemui Abu Dzar dan berkata kepadanya, “Aku lihat dia memerintahkan kepada umat manusia agar berakhlak mulia, dan ia mengatakan kalam yang bukan syair.” Abu Dzar menjawab,” Aku masih belum puas dengan keteranganmu itu.” Lalu Abu Dzar segera membawa bekal dan sebuah Qirbah (tempat air minum) air dan berangkat ke Makkah. Ketika sampai di Makkah, ia langsung menuju ke Masjidil-Haram. Ia mencari Nabi saw., tetapi ia masih belum kenal kepadanya, dan ia pun tidak pula mau bertanya kepada orang lain karena ia telah mengetahui bahwa orang-orang Quraisy membenci orang yang ingin berbicara dengan Rasulullah saw. Manakala malam hari tiba, ia diketahui oleh Sahabat ‘Ali bahwa dia adalah orang asing. Lalu Sahabat ‘Ali menerimanya sebagai tamu, tetapi baik Sahabat ‘Ali maupun Abu Dzar tidak saling menanya karena memang demikianlah etika menghormati tamu di kalangan bangsa Arab pada masa itu. Mereka tidak mau menanyakan kepada tamunya tentang maksud kedatangannya kecuali setelah tiga hari ia berada di rumah mereka. Keesokan harinya Abu Dzar membawa girbah dan bekalnya, lalu berangkat menuju ke Masjidil Haram. Pada hari itu ia selalu berada di dalam Masjid, tetapi ia masih juga belum bertemu dengan Rasulullah hingga sore harinya. Setelah hari sore dan menjelang malam, lalu ia kembali ke tempat istirahatnya, tetapi Sahabat ‘Ali di Masjid bertemu lagi dengannya. Sahabat ‘Ali berkata dalam hati, “Sekarang sudah tiba saatnya menanyakan orang ini untuk mengetahui tempat ia bermalam kemarin sebagai tamuku.” Kemudian Sahabat ‘Ali membangunkannya dan mengajaknya pergi ke tempat ia menginap tadi malam. Mereka berdua tidak saling menanya. Pada hari yang ketiganya, setelah Sahabat ‘Ali melakukan hal yang serupa, lalu ia bertanya kepada Abu Dzarg, “Tidakkah engkau ceritakan kepadaku apa maksud kedatangan engkau.” Abu Dzar menjawab, “Jika engkau berjanji bersedia memberikan petunjuk kepadaku, aku bersedia mengemukakan tujuanku kepada engkau.” Ternyata Sahabat ‘Ali bersedia Maka Abu Dzar menceritakan tujuannya. Setelah Sahabat ‘Ali mendengar tujuannya, segera ia berkata, “Sesungguhnya dia (Muhammad) memang benar utusan Allah. Untuk itu, pagi hari nanti engkau harus mengikutiku, dan jika aku melihat sesuatu yang aku khawatir akan membahayakan diri engkau, aku akan melakukan gerakan seolah-olah menuangkan air. Bila ternyata aku terus berjalan tanpa rintangan, hendaknya engkau tetap mengikutiku sehingga engkau memasuki rumah yang aku masuki.” Keduanya mengerjakan hal yang telah disepakati itu. Maka Abu Dzar berangkat mengikuti Sahabat ‘Ali sehingga memasuki rumah tempat Rasulullah saw. berada. Setelah memasuki rumah itu Abu Dzar langsung bertemu dengan Rasulullah saw. dan mendengar langsung daripadanya. Maka segera Abu Dzar masuk Islam. Sesudah masuk Islam, Rasulullah berkata kepadanya, “Sekarang kembalilah kepada kaum engkau, dan sampaikanlah berita ini kepada mereka sehingga utusanku datang menemui engkau di sana.” Abu Dzar menjawab, “Demi Zat yang jiwaku ini berada di dalam kekuasaanNya, niscaya aku akan menjelaskan secara terang-terangan di hadapan mereka.” Kemudian Abu Dzar keluar hingga sampai di Masjidil-Haram, lalu ia berseru dengan sekuat suaranya, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.” Semua orang bangkit dan memukulinya hingga ia terkapar, lalu datanglah Al-‘Abbas menelungkupinya untuk melindunginya dari pukulan orang banyak seraya berkata, “Celakalah kalian. Tidakkah kalian tahu bahwa dia dari Bani Ghiffar? Tidakkah kalian tahu bahwa jalur perdagangan kalian ke negeri Syam melalui kampung halamannya?” Akhirnya Al-‘Abbas berhasil menyelamatkan Abu Dzar dari tangan mereka. Kemudian pada keesokan harinya Abu Dzar melakukan hal yang serupa, maka semua orang memukulinya lagi, tetapi Al Abbas membelanya. Demikianlah riwayat yang dikemukakan oleh Imam Bukhari.

 

Setelah Abu Dzar masuk Islam, dia terkenal sebagai orang yang paling jujur dalam berbicara dan paling zuhud (menjauhi) terhadap masalah duniawi.

 

Orang lainnya lagi yang paling dahulu masuk Islam ialah Sa’id ibnu Zaid al-‘Adawiy al-Qurasyi. Ia mempunyai dua orang istri, yaitu Fathimah binti al-Khaththab, saudara perempuan ‘Umar, dan Ummul Fadhl atau Lubabah binti al-Harits al-Hilaliyah, bekas istri al Abbas ibnu ‘AbdulMuththalib. ‘Ubaidah ibnul-Harits ibnu ‘Abdul-Muththalib ibnu Hasyim adalah saudara misan Rasulullah saw. Abu Salamah ibnu ‘Abdullah ibnu ‘Ahdul-Asad al-Makhzumi al-Qurasyi adalah anak bibi Rasulullah saw., sedangkan istrinya bernama Ummu Salamah. Kemudian ‘Utsman ibnu Mazh’un al-Jumahiy al-Qurasyi dan dua orang saudara lelakinya, Qudamah dan ‘Abdullah, dan al-Argam ibnul-Argam al-Makhzumi al-Qurasyi.

 

Yang lainnya lagi lebih dahulu masuk Islam ialah Khalid ibnu Sa’id ibnul-‘Ash ibnu Umayyah ibnu ‘Abdu Syams al-Umawi al-Qurasyi. Ayah Khalid adalah seorang pemimpin terkemuka kabilah Quraisy. Bila ia terlambat menyuguhi tamu, maka orang-orang Quraisy bergegas menyuguhi tamunya demi menghormati kedudukannya. Pada mulanya Khalid ibnu Sa’id bermimpi dalam tidurnya seolaholah dirinya akan terjatuh ke dalam suatu jurang yang dalam sekali, tetapi ia ditolong oleh Rasulullah hingga selamat. Keesokan harinya ia datang menemui Rasulullah dan bertanya, “Apakah yang engkau serukan itu, ya Muhammad?” Rasulullah saw. menjawab, “Aku mengajak engkau untuk beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Hendaknya engkau berhenti dari apa yang sekarang engkau lakukan, yaitu menyembah berhala yang tidak dapat mendengar dan melihat serta tidak dapat memberikan madarat dan manfaat, dan hendaknya engkau berbuat baik kepada kedua orang tuamu. Janganlah engkau membunuh anak engkau karena takut miskin, janganlah engkau melakukan perbuatan zina, baik terang-terangan maupun secara tersembunyi, janganlah engkau membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya kecuali dengan alasan yang hak: dan janganlah engkau mendekati harta anak yatim kecuali dengan maksud yang lebih baik sehingga anak yatim itu mencapai usia balig, Hendaknya engkau menunaikan takaran dan timbangan secara adil: hendaknya engkau berlaku adil dalam keputusan engkau jika diserahi tugas untuk memutuskan sekalipun terhadap kerabat engkau sendiri, dan hendaknya engkau menunaikan janji dengan orang yang mengadakan perjanjian dengan engkau.” Akhirnya Khalid ibnu Sa’d masuk Islam, dan sejak saat itu ayah Khalid marah sekali, lalu dihukumnya Khalid hingga tidak diberinya makan. Sejak ia tidak diberi makan oleh orang tuanya, ia pergi menemui Rasulullah saw. dan selalu bersamanya. Ditinggalkannya orang tuanya itu untuk hidup bersama Rasulullah di pinggiran kota Makkah. Tidak berapa lama kemudian saudara lelakinya yang bernama ‘Amr ibnu Sa’id mengikuti jejak saudaranya masuk Islam.

 

Demikianlah orang-orang mulia tersebut masuk agama Islam. Pada saat itu Rasulullah saw. tidak mempunyai kekuatan yang dapat dijadikan sebagai senjata guna menekan mereka untuk taat kepadanya dalam keada an menyerah. Rasulullah pun tidak memiliki hal-hal yang menyenangkan hati mereka sehingga mereka rela meninggalkan orang-orang tua mereka untuk mengikuti Rasulullah saw. dan memakan kelebihan harta yang dimiliki oleh Rasulullah. Bahkan kebanyakan dari mereka yang masuk Islam terdiri dari orang-orang yang jauh lebih kaya daripada Rasulullah saw. sen. diri, yaitu seperti Abu Bakar, ‘Utsman, Khalid ibnu Sa’id. Adapun para pengikut Rasulullah saw. yang terdiri dari kalangan hamba sahaya lebih senang memilih disakiti, lapar, dan hidup susah. Sekiranya mereka mau mengikuti majikan-majikan mereka, niscaya kehidupan mereka di dunia ini lebih nikmat dan lebih menyenangkan bagi mereka. Tiada lain hal tersebut berkat adanya hidayah dari Allah swt. dan munculnya cahaya agama Islam dalam hati mereka sehingga mereka menyadari kesesatan yang selama ini mereka lakukan, lalu mereka mengikuti hidayah Rasulullah saw. dengan sukarela.

 

Selama beberapa tahun Nabi saw. tidak berani menampakkan seruannya pada perkumpulan-perkumpulan umum orang-orang Quraisy, dan kaum Muslimin masih belum mampu menampakkan ibadah mereka karena khawatir terhadap kefanatikan kaum Quraisy. Setiap orang Muslim yang hendak melakukan ibadahnya terpaksa pergi keluar kota Makkah, dan di sanalah mereka melakukan salat secara sembunyi-sembunyi.

 

Tatkala telah masuk Islam sekitar tiga puluh orang, keadaan memaksa Rasulullah saw. berkumpul dengan mereka guna menyampaikan bimbingan dan ajarannya kepada mereka. Maka untuk merealisasikan tujuan ini Rasulullah saw. memilih rumah Al-Argam ibnu Abul-Argam sebagai tempat berkumpul. Mereka terdiri dari orang-orang yang telah kami sebutkan tadi. Akan tetapi selama beberapa waktu Rasulullah saw. terus menyiarkan dakwahnya secara sembunyi-sembunyi dan rahasia sehingga turunlah firman-Nya:

 

Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (Q.S. 15 Al-Hijr: 94)

 

Sejak turunnya ayat tersebut, sistem dakwah secara sembunyi-sembunyi diubah menjadi dakwah secara terang-terangan demi melaksanakan perintah Allah karena yakin akan janji dan pertolongan-Nya. Rasulullah saw. menaiki Bukit Shafa, lalu berseru. “Hai Bani Fihr, hai Bani ‘Addi.” Seruan itu ditujukan kepada puak-puak kabilah Quraisy. Mendengar seruan tersebut, bila ada yang tidak mempunyai kesempatan untuk menghadiri seruan itu, ia mengirimkan utusannya guna melihat apa yang terjadi. Pada saat itu hadir Abu Lahab ibnu ‘Abdul-Muththalib dan orang-orang Quraisy. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Hai kaum, bagaimana pendapat kalian bila aku beritakan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda hendak menyerang kalian di balik lembah itu, apakah kalian mempercayaiku?” Mereka menjawab, “Ya, kami belum pernah melihat engkau berdusta.” Lalu Rasulullah saw, berkata, “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian di hadapan siksaan yang keras.” Kemudian Abu Lahab berkata, “Celakalah engkau ini, apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?” Selanjutnya Allah menurunkan firman-Nya sehubungan dengan Abu Lahab tadi yaitu:

 

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang diusahakannya. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut. (Q.S. 111 Al-Lahab: 1-5)

 

Yang dimaksud dengan “pembawa kayu bakar” ialah berjalan seraya mengumpat, sebab istri Abu Lahab selalu memfitnah dengan menuduh Rasulullah saw. sebagai pembuat kebohongan-kebohongan. Hal itu dikatakannya di hadapan kumpulan kaum wanita. Setelah peristiwa itu, turun pula kepada Rasulullah saw. Firman berikut ini:

 

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S. 26 Asy-Syu’ara: 214)

 

Yang dimaksud dengan kaum “kerabat yang terdekat” oleh ayat di atas adalah Bani Hasyim, Bani Muththalib, Bani Naufal, dan Bani ‘Abdusy Syamsy, mereka adalah anak-cucu ‘Abdu Manaf.

 

Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman, jika mereka mendurhakaimu. (Q.S. 26 Asy-Syw’ara: 215-216)

 

Yang dimaksud dengan “mereka” adalah kaum Rasulullah dan kerabat-kerabatnya.

 

Maka katakanlah,” Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian kerjakan.” (Q.S. 26 Asy-Syu’ara: 216)

 

Selanjutnya Rasulullah saw. mengumpuikan mereka, lalu dia berkata, “Sesungguhnya seorang pemimpin itu tidak akan berdusta terhadap kaum kerabatnya. Demi Allah, seandainya semua manusia berdusta, aku tidak akan berdusta terhadap kalian: dan seandainya semua manusia menipu kalian, aku tidak akan menipu kalian. Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kalian secara khusus dan untuk umat manusia seluruhnya. Demi Allah (jika kalian menurut aku), niscaya kalian akan mati bagaikan orang yang tidur, dan kalian niscaya akan dibangkitkan bagaikan orang yang bangun dari tidurnya, dan niscaya kalian akan dihisab sesuai dengan apa yang telah kalian lakukan, dan niscaya kalian akan dibalas: kebaikan dengan kebaikan dan keburukan dengan keburukan. Sesungguhnya balasan itu surga yang abadi atau neraka yang abadi.”

 

Setelah kaum mendengar perkataan Rasulullah tersebut, lalu mereka membicarakannya dengan lembut selain pamannya sendiri, yaitu Abu Lahab, yang merupakan seteru bebuyutan Rasulullah. Pada saat itu Abu Lahab berkata, “Tangkaplah dia sebelum semua orang Arab berkumpul dengannya. Bilamana kalian mau menyerah kepadanya, berarti kalian hina, dan bilamana kalian mempertahankannya, niscaya kalian akan kami perangi.” Langsung Abu Thalib menjawab, “Demi Allah, kami akan tetap mempertahankannya selagi kami masih hidup.” Akhirnya semuanya bubar.

 

Tatkala Rasulullah melancarkan dakwahnya secara terang-terangan, orang Quraisy mengejek dan menjadikannya sebagai bahan ejekan setiap kali mereka bertemu. Bilamana Rasulullah saw. lewat di hadapan mereka, mereka mengatakan. “Ini adalah anak Abu Kabsyah yang mengucapkan kata-kata dari langit.” Terkadang mereka berkata, “Ini adalah pelayan Abu Thalib yang mengucapkan kata-kata dari langit.” Kata-kata yang mereka ucapkan tidak lebih dari itu. Akan tetapi, tatkala Rasulullah saw. mula! mencaci berhala-berhala mereka dan menganggap bodoh orang-orang pandai mereka, serta berkata kepada mereka, “Demi Allah, hai kaum, sungguh kalian telah menyimpang dari agama nenek-moyang kalian, Ibrahim,” darah mereka naik dan fanatisme jahiliah mereka terbakar karena sesembahan kakek-moyang mereka dihina. Lalu mereka menemui Abu Thalib, pemimpin Bani Hasyim yang selalu melindungi Rasulullah saw. dari ulah musuh-musuhnya. Mereka meminta kepada Abu Thalib agar ia melepaskan jaminan dan perlindungannya terhadap Rasulullah supaya mereka bertindak leluasa terhadapnya, atau Abu Thalib mencegah apa yang selalu dikatakannya. Akan tetapi, Abu Thalib menolak permintaan mereka dengan lembut sehingga mereka bubar.

 

Setelah peristiwa itu, Rasulullah saw. tetap melancarkan dakwahnya dan tidak seorang pun yang dapat menghalang-halangi keinginannya. Hal ini akhirnya menambah kebencian dan permusuhan pihak orang-orang Quraisy terhadap dirinya. Untuk itu mereka menganjurkan di antara sesama mereka supaya memusuhi Rasulullah saw. Setelah mereka mencapai kesepakatan, lalu mereka mendatangi kembali Abu Thalib dan berkata, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang paling tua dan paling kami segani, dan kami pernah meminta kepada engkau supaya mencegah keponakan engkau itu. Akan tetapi, ternyata engkau tidak mencegahnya. Sesungguhnya kami tidak tahan lagi mendengar caciannya terhadap nenek-moyang kami dan terhadap perkataanya yang membodoh-bodohkan orang-orang pandai kami serta caciannya terhadap berhala-berhala sesembahan kami.” Sewaktu mereka mengemukakan alasan mengikuti jejak nenek-moyang mereka dan tidak mau mengikuti ajakan yang hak yang dikemukakan oleh Rasulullah saw., maka Rasulullah saw. mengejek mereka karena mereka tidak mau menggunakan akal yang telah diberikan. Allah swt. kepada mereka. Sehubungan dengan hal ini Allah berfirman:

 

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenekmoyang kami,” (apakah akan mengikuti juga) walaupun nenek-moyang mereka itu lidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? (Q.S. 2 Al-Bagarah: 170)

 

Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang di turunkan Allah dan mengikuti Rasul!” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek-moyang mereka walaupun nenek-moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (Q.5. 5 Al-Maidah: 104) :

 

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah.” mereka menjawab, “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya,” dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang meny. ‘a-nyala (neraka)? (Q.S.31 Lugman: 21)

 

Sehubungan dengan keterangan tentang hujjah (alasan) mereka yang batil itu, Allah swt. berfirman:

 

Bahkan mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami mendapati bapakbapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orangorang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Q.S. 43 Az-Zukhruf: 22)

 

Tatkala Allah menyerupakan keadaan mereka sama dengan umat terdahulu dalam ber-hyjjah dengan alasan yang menunjukkan kefanatikan dan keingkaran mereka, Allah swt. mengisahkan hal tersebut melalui firmanNya:

 

(Rasul itu) berkata, “Apakah (kalian akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untuk kalian (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kalian dapati bapak-bapak kalian menganutnya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kalian diutus untuk menyampaikannya.” (QS. 43 Az-Zukhruf: 24)

 

Tatkala orang Quraisy beralasan mengikuti jejak bapak-bapak mereka, hal ini mengakibatkan bapak-bapak mereka dicap oleh Rasululah saw. sebagai orang-orang yang tidak berakal dan tidak mendapat petunjuk. Hal ini menyebabkan kedengkian mereka semakin berkobar. Lalu mereka berkata kepada Abu Thalib, “Hendaknya engkau mencegahnya atau kami akan menghajarnya, dan hati-hatilah engkau dalam hal ini. Biarkanlah sehingga salah seorang di antara kami ada yang binasa.” Lalu mereka pergi. Sesudah kaumnya pergi, Abu Thalib merasa berat, tetapi ia pun tidak suka melihat keponakannya dihina. Oleh sebab itu ia berkata, “Hai keponakanku, sesungguhnya kaum Quraisy telah datang kepadaku. Mereka mengatakan demikian kepadaku. Aku mohon agar engkau memelihara dirimu dan janganlah engkau membebani diriku dengan hal-hal yang aku tidak .mampu melakukannya.” Ketika mendengar perkataan pamannya itu, Rasulullah saw. menduga bahwa pamannya telah menganggap remeh dirinya, maka segera ia menjawab: “Demi Allah, hai Paman, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kjriku supaya aku meninggalkan perkara ini, aku tidak akan melakukannya sehingga Allah menampakkannya (memenangkannya) atau aku binasa di dalam membelanya.” Setelah itu Rasulullah saw. menangis seraya pergi. Maka Abu Thalib memanggilnya, “Hai keponakanku, kemarilah.” Maka Rasulullah saw. menghadap, dan Abu Thalib berkata kepadanya, “Pergilah dan katakanlah sesuka hatimu, demi Allah aku tidak akan menyerahkan dirimu (kepada mereka).”

 

Rasulullah saw. mengalami banyak perlakuan yang menyakitkan dan kekerasan dari kaum musyrikin, khususnya bilamana ia pergi untuk menunaikan salatnya di Ka’bah. Golongan orang yang sering menimpakan perlakuan yang menyakitkan terhadap diri Rasulullah saw. adalah golongan yang dijuluki Mustahziin. Mereka dijuluki dengan panggilan ini karena mereka adalah orang-orang yang paling banyak menyakiti Rasulullah saw. Pemim. pin mereka serta yang paling keras adalah Abu Jahal, nama aslinya “Amr ibnu Hisyam ibnul-Mughirah al-Makhzumi al-Qurasyi. Pada suatu hari ia berkata, “Hai kaum Quraisy, sesungguhnya Muhammad seperti yang telah kalian lihat sendiri, ia telah mencela agama kalian, dan telah mencaci sesembahan-sesembahan kalian, membodoh-bodohkan orang-orang pandai di antara kalian, dan telah mencaci maki bapak-bapak kalian. Sekarang aku bersumpah akan membebankan kepadanya sebuah batu besar yang berat sekali. Bilamana ia sujud dalam salatnya, aku akan menindihkan batu besar itu pada kepalanya. Pada saat itu silakan kalian membiarkan aku atau memihak aku, sesudah itu biarkanlah Bani ‘Abdu Manaf (keluarga Rasulullah) melakukan sekehendak hati mereka terhadap dirinya.” Keesokan harinya Abu Jahal mengambil sebuah batu besar sesuai dengan apa yang telah dikatakannya kemarin, lalu ia duduk menunggu kedatangan Rasulullah saw. Rasulullah saw. berangkat untuk menunaikan salat sebagaimana biasanya, sedangkan orang-orang Quraisy pada saat itu sedang berada di dalam rumah perkumpulan mereka sambil menunggu apa yang akan dilakukan oleh Abu Jahal. Tatkala Rasulullah sujud, Abu Jahal segera mengangkat batu besar itu, lalu menuju ke arah Rasulullah saw. Akan tetapi, setelah ia berada dekat dengan Rasulullah saw., tiba-tiba ia mundur dan wajahnya pucat pasi karena kaget, lalu ia melepaskan batu di tangannya dan berlari. Orang-orang Quraisy yang menyaksikannya segera menemuinya, lalu mereka berkata, “Mengapa engkau ini, hai Abul Hakam, “Abu Jahal menjawab, “Ketika aku hendak melakukan seperti apa yang telah aku katakan kepada kalian, setelah aku berada dekat dengannya, tiba-tiba ada unta jantan yang besarnya belum pernah aku lihat sebelumnya. Lalu unta itu hendak memakan diriku.” Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah saw. Dia berkata, “Itu adalah malaikat Jibril. Seandainya Abu Jahal mendekat kepadaku, niscaya Jibril akan memakannya benar-benar.”

 

Abu Jahal sering sekali melarang Rasulullah saw. melakukan salat di Ka’bah. Pada suatu hari ia berkata kepada Rasulullah saw. setelah melihat Rasulullah melakukan salat di Ka’bah, “Bukankah aku telah melarangmu melakukan hal itu disini?” Lalu Rasulullah berkata kasar terhadapnya seraya mengancamnya. Setelah mendengar jawaban dari Rasulullah, Abu Jahal berkata, “Apakah engkau mengancamku sedangkan aku adalah orang yang paling berpengaruh di lembah ini?” Kemudian Allah swt. menurunkan firman-Nya sebagai ancaman yang ditujukan kepada Abu Jahal, yaitu:

 

Ketahuilah, sunggih jika dia tidak berhenti (berbuat demikian), niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah, sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya, dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah). (Q.S. 96 Al ‘Alag: 15-19)

 

Di antara perlakuan menyakitkan yang dialami oleh Rasulullah saw. ialah sebagaimana riwayat yang dikemukakan oleh Imam Bukhari melalui Sahabat Ibnu Mas’ud r.a. dalam riwayat hadis ini Sahabat Ibnu Mas’ud menceritakan: Ketika kami sedang bersama Rasulullah saw. di dalam MasjidilHaram, sedangkan Rasulullah saw. pada saat itu sedang mengerjakan salat, Abu Jahal berkata, “Tidakkah ada seorang lelaki yang mau mengambilkan tahi unta dari Bani Fulan, lalu ia mau melemparkannya kepada Muhammad yang sedang salat itu?” Kemudian berdirilah ‘Ugbah ibnu Abu Mu’ith ibnu Abu ‘Amr ibnu Umayyah ibnu ‘Abdusy Syamsy, lalu ia mendatangkan kotoran unta tersebut dan langsung melemparkannya kepada Nabi saw. yang pada waktu itu sedang sujud. Pada waktu itu tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang berada di Masjid mampu membersihkan kotoran tersebut dari tubuh Rasulullah saw. karena mereka masih lemah dan belum mampu melawan musuh mereka. Rasulullah saw. masih tetap dalam keadaan sujud sehingga datanglah Siti Fathimah, anaknya lalu ia membersihkan kotoran tersebut dan membuangnya. Setelah bar”gun dari sujudnya, segera ia berdoa melaknat orang-orang yang melakukan perbuatan yang buruk itu. Rasulullah saw. mengatakan di dalam doanya, “Ya Allah, turunkanlah laknatmu kepada segolongan orang Quraisy, “lalu dia menyebutkan beberapa orang. Ibnu Mas’ud melanjutkan ceritanya, “Maka aku melihat mereka semuanya terbunuh dalam Perang Badar.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari)

 

Di antara peristiwa yang dialami oleh Rasulullah dari Abu Jahal ialah sebagai berikut: Abu Jahal membeli beberapa ekor unta dari seorang lelaki yang dikenal dengan nama Al-Arasyi, tetapi Abu Jahal selalu menangguhnangguhkan pembayarannya. Kemudian Al-Arasyi mendatangi perkumpulan orang Quraisy dengan maksud untuk meminta bantuan mereka supaya ia dapat mengambil harga untanya dari Abu Jahal. Mereka menunjukkannya kepada Rasulullah saw. supaya dialah yang menagihnya dari Abu Jahal. Padahal mereka bermaksud mengejek Rasulullah saw. ka. rena telah mengetahui kebiasaan yang dilakukan oleh si terkutuk itu ter. hadap diri Rasulullah, sedangkan Al-Arasyi sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi di antara Rasulullah dan Abu Jahal. Al-Arasyi menuruti saran mereka, lalu ia datang menemui Rasulullah saw. dan meminta bantuannya untuk menagih piutangnya dari Abu Jahal. Rasulullah saw. ke. luar bersamanya hingga sampai ke rumah Abu Jahal, lalu Rasulullah saw. mengetuk pintu rumah Abu Jahal. Dari dalam rumah, Abu Jahal bertanya, “Siapakah Anda? Rasulullah saw. menjawab, “Muhammad.” Abu Jahal keluar, sedangkan mukanya tampak pucat pasi. Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Berikanlah hak orang ini.” Abu Jahal menjawab, ‘jangan pergi dahulu, aku akan mengambilnya.” Lalu Rasulullah saw. menunggu sehingga berhasil menerima piutang Al-Arasyi. Kemudian. orangorang Quraisy berkata kepadanya, “Celakalah engkau, hai Abdul-Hakam, kami belum pernah melihat perlakuanmu yang sebaik itu terhadapnya.”Abu Jahal langsung menjawab, “Celakalah kalian ini, dem’ Allah, sewaktu ia mengetuk pintu rumahku, tiba-tiba aku mendengar suara yang mengerikan sekali. Aku sangat takut dibuatnya, dan tiba-tiba di atas kepalaku terdapat unta pejantan yang belum pernah aku lihat ada unta sebesar itu.”

 

Di antara orang-orang yang melakukan penghinaan dan ejekan terhadap diri Rasulullah saw. ialah Abu Lahab ibnu ‘Abdul-Muththalib, paman Rasulullah sendiri. Penghinaannya jauh lebih menyakitkan daripada penghinaan orang-orang lain. Abu Lahab sering melemparkan kotoran ke pintu rumah Rasulullah saw. karena ia adalah tetangga Rasulullah. Rasulullah membersihkan kotoran yang dilemparkannya itu seraya mengatakan, “Hai Bani ‘Abdu Manaf, tetangga macam apakah yang berlaku seperti ini?” Istri Abu Lahab pun ikut andil pula di dalam melakukan perbuatan buruk seperti apa yang dilakukan oleh suaminya. Ia dikenal dengan nama Ummu Jamilah binti Harb ibnu Umayyah. Dia sering mencaci Rasulullah saw. dan mempergunjingkannya, terlebih lagi setelah turun firman Allah mengenai dirinya dan suaminya, yaitu surat Al-Lahab.

 

Di antara orang-orang yang menghina Rasulullah saw, ialah ‘Aqabah ibnu Mu’ith. ‘Agabah adalah tetangga kedua Rasulullah saw. Ia sering melakukan hal-hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Abu Lahab terhadap diri Rasulullah saw. Pada suatu hari ia mengadakan pesta perkawinan. Ia mengundang semua orang terhormat dari kabilah Quraisy, termasuk Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Demi Allah, aku tidak akan memakan jamuan engkau sebelum engkau beriman kepada Allah dan membaca Syahadat.” Peristiwa itu terdengar oleh Ubay ibnu Kalaf al Jumahi al-Qurasyi, teman akrab ‘Agabah. Ubay bertanya kepadanya, “Apakah gerangan yang telah terjadi pada dirimu?” Agabah menjawab, “Tidak apa-apa, hanya ada seseorang yang terhormat menghadiri pestaku, tetapi ia tidak mau memakan jamuanku kecuali jika aku membaca Syahadat. Aku sangat malu bila ada seseorang yang menghadiri pesteku keluar dari rumahku tanpa memakan jamuanku. Oleh karena itu, terpdksa aku membaca syahadat.” Lalu Ubay berkata kepadanya, “Aku haramkan diriku bertemu dengan engkau jika engkau bertemu dengan Muhammad, kemudian engkau tidak menginjak lehernya dan meludahi – mukanya serta menampar mukanya.” Tatkala ‘Agabah melihat Rasulullah saw., ia langsung melakukan seperti yang dikatakan oleh Ubay tadi. Turunlah firman Allah swt. sehubungan dengan apa yang dilakukan oleh ‘Aqabah:

 

Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata, “Aduhai kiranya (dahulu) aku mengambil Jalan bersama-sama Rasul. “Kecelakaan besarlah bagiku kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab-(ku). (Q.S. 25 Al-Furgan: 27-28)

 

Di antara perlakuan yang paling keras yang dilakukan oleh orang yang celaka ini (‘Ugbah ibnu Abu Mu’ith) terhadap diri Rasulullah saw. ialah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yaitu: Ketika Nabi sedang melakukan salat di Hijir Isma’il, tiba-tiba datanglah ‘Ugbah ibnu Abu Mu’ith. Kemudian ia meletakkan kainnya pada leher Rasulullah, lalu ia mencekiknya dengan keras sekali, tetapi datanglah Sahabat Abu Bakar, lalu Sahabat Abu Bakar mengcengkeram pundak ‘Ugbah dan menariknya dari Nabi Saw. Selanjutnya Sahabat Abu Bakar mengucapkan Firman-Nya: “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan, ‘Rabb-ku adalah Allah ‘ padahal dia telah datang kepada kalian dengan membawa keterangan-keterangan dari Rabb kalian?” (Q.S. 40 Al-Mu’min: 28) (Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari).

 

Di antara golongan yang menghina Rasulullah saw. ialah Al-‘Ash ibnu Wail as-Sahmiy al-Qurasyi, orang tua ‘Amr ibnul ‘Ash. Dia terkenal sangat memusuhi Rasulullah saw. dan dia pernah mengatakan, “Muhammad telah menipu para sahabatnya bahwa mereka akan dihidupkan kembali sesudah mati. Demi Allah, tiada yang dapat membinasakan kami selain hanya masa.” Maka Allah menurunkan firman-Nya sebagai jawaban atas tuduhan yang dilancarkan oleh Al-‘Ash ibnu Wail tadi, yaitu :

 

Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa,” dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu: mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (Q.S. 45 Al-Jatsiyah: 24)

 

Pernah Al-‘Ash ibnu Wail mempunyai utang kepada Khabbab ibnul Art, salah seorang dari kaum Muslimin. Khabbab menagihnya, tetapi Al-‘Ash berkata kepadanya, “Bukankah Muhammad yang agamanya engkau peluk sekarang menduga bahwa di surga terdapat semua yang diingini oleh para penghuninya berupa emas, atau perak, atau pakaian, atau pelayan?” Khabbab menjawab, “Memang benar.”Lalu Al-‘Ash berkata, “Kalau memang demikian, tunggulah aku sampai pada hari itu. Aku akan diberi harta dan anak, dan aku akan membayar utangku kepada engkau,” Kemudian Allah swt. menurunkan firman-Nya:

 

Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia mengatakan,”Pasti aku akan diberi harta dan anak.”! Adakah dia melihat yang gaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah?. Sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang dikatakannya, dan benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya, dan kami akan mewariskan apa yang dikatakannya itu, dan ia akan datang kepada Kami seorang diri. (Q.S. 19 Maryam: 7180)

 

Di aftara orang-orang yang menghina Rasulullah saw. terdapat pula AlAswad ibnu ‘Abdu Yaghuts z-Zuhriy al-Qurasyi. Ia berasal dari kalangan Bani Zahrah, paman (dari pihak ibu) Rasulullah saw. Apabila ia melihat para sahabat Nabi saw. datang, ia berkata, “Telah datang kepada kalian raja-raja besar,” dengan maksud mengejek mereka, karena mereka tampak sederhana sekali dan pakaian mereka penuh dengan tambalan, sedangkan kehidupan mereka miskin. Ia sering berkata kepada Rasulullah saw. dengan nada sinis, “Tidakkah hari ini engkau berbicara dari langit?” Orang lainnya yang sering menghina Rasulullah saw. ialah al Aswad ibnu ‘Abdul-Muththalib Al-Asadiy, anak lelaki paman Siti Khadijah. Dia dan golonganya, apabila bertemu dengan kaum Muslimin yang melewati mereka, saling mengedip-ngedipkan mata di antara sesama mereka dengan maksud mengejek kaum Muslimin. Dalam surah At-Tathfif terdapat ayatayat yang diturunkan berkenaan dengan sikap mereka itu, yaitu firmanNya: ,

 

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan, “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang sesat.” (Q.S. 83 At-Tathtif/ AlMuthaffin: 29-32)

 

Yang lain lagi yang menghina Rasulullah saw. ialah Al-Walid ibnul-Mughirah, paman Abu Jahal. Dia termasuk pembesar kabilah Quraisy dan kehidupannya mewah. Pada suatu ketika ia mendengar Al-Qur’an yang dibacakan oleh Rasulullah saw., lalu ia berkata kepada kaumnya, yaitu Bani Makhzum, “Demi Allah, tadi aku baru saja mendengar dari Muhammad suatu kalam yang bukan kalam manusia dan bukan pula kalam jin. Sesungguhnya kalam itu memiliki keindahan serta kecemerlangan: sesungguhnya (ibarat pohon) puncaknya penuh dengan buah dan di bawahnya (akarnya) sangat subur sekali: dan sesungguhnya ia sangat tinggi dan tidak ada yang melebihinya.”Maka orang-orang Quraisy berkata, “Demi Allah, Al-Walid sungguh telah masuk agama baru (Islam). Niscaya orang-orang Quraisy semua akan masuk agama baru itu.” Lalu Abu Jahal berkata kepada mereka, “Tenanglah, cukup aku sebagai pengganti kalian yang akan menyadarkannya. “Kemudian Abu Jahal pergi ke rumahnya. Sesampainya | di rumah Al Walid. ia duduk di hadapannya seraya bersedih dan berbicara | kepadanya dengan kata-kata yang membakar semangat kejahiliahannya.

 

Setelah Al-Walid mendengar hasutan Abu Jahal yang membakar itu, is segera bangkit dan langsung mendatangi orang-orang Quraisy, kemudian ia berkata kepada mereka, “Kalian menuduh Muhammad gila, apakah kalian pernah melihat dia ngelantur (gila)? Kalian telah mengatakan bahwa dia peramal: apakah kalian pernah melihatnya meramal? Kalian telah menuduhnya sebagai seorang penyair, apakah kalian per. nah melihat dia mengucapkan syair?

 

Kalian telah menuduhnya sebagai pendusta, apakah kalaian pernah mengalami/melihat dia berdusta dalam suatu hal?” Semua pertanyaan tersebut mereka jawab, tidak pernah. Kemudian mereka bertanya, “Kalau memang demikian, lalu dia menjadi apa” Lalu Al-Walid berpikir sejenak, kemudian berkata, “Dia tiada lain adalah seorang ahli sihir. Bukankah kalian telah melihat dia sering memisahkan seorang laki-laki dengan istri, anak, dan hamba-hamba sahayanya?” Setelah mendengar jawaban dari Al-Walid tersebut, orang-orang bersorak karena gembira sehingga aula tempat pertemuan mereka seolah-olah bergetar carena suara luapan kegembiraan mereka. Allah menurunkan firman-Nya sehubungan dengan sikap Al-Walid ini yang ditujukan kepada Rasulullah saw. khithab-nya yaitu:

 

Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang telah Aku ciptakan sendiri. Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak, dan anakanak yang selalu bersama dia, dan Kulapangkan baginya (rezeki dan kekuasaan) dengan selapang-lapangnya, kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya. Sekali-kali tidak (akan Aku tambah) karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami (Al-Quran). Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan. Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya), maka celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan, kemudian dia memikirkan, sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata, Al-Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang orang dahulu), ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” Aku akar memasukkannya ke dalam (neraka) Sagar. (Q.S. 74 Al-Muddatstsir: 1126)

 

Firman-Nya yang lain yang diturunkan sehubungan dengan Al-Walid ini, yaitu:

 

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian-kemari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain itu yang terkenal kejahatannya karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala.” Kelak akan Kami beri tanda dia di belalai(-nya). (Q.5. 68 Al-QGalam: 10-15)

 

Hallaf artinya banyak bersumpah atau mudah mengeluarkan sumpah. Kami kira ayat ini cukup sebagai peringatan buat orang yang sering mengucapkannya.

 

Mahin artinya hina, dan makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang yang suka berdusta karena orang yang sering berdusta itu berarti menghina dirinya sendiri.

 

Hammazin artinya banyak mencela lagi jahat.

 

Masysyain binamimin artinya mempunyai kebiasaan memindah-mindahkan perkataan di antara manusia dengan tujuan menghasut (mengadu domba).

 

‘Utullin artinya kaku lagi kasar.

 

Zanim artinya sangat tercela lagi terkenal kejahatannya.

 

Al-khurthum merupakan ungkapan kinayah (kata kiasan) tentang menghina dan merendahkan. Karena wajah atau muka merupakan anggota tubuh manusia yang paling terhormat, sedangkan bagian muka yang paling mulia adalah hidung, maka orang Arab selalu memakainya untuk menunjukkan ungkapan yang mengandung arti kebesaran, seperti al-anafah yang artinya kebesaran jiwa. Memberi tanda (tatoo) pada anggota yang paling terhormat menunjuk kepada pengertian menghina dan merendahkan.

 

Orang lainnya lagi yang menghina Rasulullah saw. ialah An-Nadhr ibnul-Harits al-‘Abdari dari kalangan Bani ‘Abdud Dar, dan ‘Abdud-Dar adalah anak Qushay. Apabila Rasulullah saw. berada di dalam suatu majelis dalam rangka dakwah dan memberikan peringatan kepada mereka, kemudian apa yang dikemukakannya itu kelihatan mengena di hati mereka, maka An-Nadhr bangkit dan berkata, “Hai orang Quraisy, kemarilah! Sesungguhnya aku lebih baik daripada dia dalam berbicara.” Kemudian An-Nadhr mulai bercerita kepada mereka tentang kisah rajaraja Persia, sedangkan An-Nadhr sebelumnya telah mengetahui apa yang telah dibicarakan oleh Rasulullah saw. terhadap mereka. Lalu ia berkata menegaskan, “Tiada lain pembicaraan Muhammad itu hanyalah dongengan-dongengan (mitos) orang-orang dahulu.” Maka Allah swt menurunkan firman-Nya sehubungan dengan sikap An-Nadhr ini, yaitu:

 

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka Itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telingganya: maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. (Q.S. 31 Lugman: 6-7)

 

Mereka semua yang telah kami sebutkan adalah orang-orang yang kelak pasti akan mendapat balasan azab dari Allah swt. sebagaimana yang telah disebutkan oleh firman-Nya:

 

Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang: orang yang memperolok-olokkan (kamu), (yaitu) orang-orang yang menganggap adanya tuhan yang lain di samping Allah: maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya). (Q.S. 15 Al-Hijr: 95-96)

 

Allah swt. telah menentukan ancaman-Nya melalui firman-Nya yang tadi (Al-Hijr) untuk diketahui bahwa ancaman-Nya itu benar-benar terjadi mengingat surat tersebut Makkiyah, sedangkan kebinasaan mereka, terjadi sesudah Hijrah. Di antara mereka ada yang mati terbunuh, yaitu seperti Abu Jahal, An-Nadhr ibnul Harits, dan ‘Ugbah ibnu Abu Mur’ith. Ada yang mati oleh sebab musibah yang ditimpakan Allah kepada mereka berupa penyakit yang berat sehingga mereka mati sesudah mengalami penderitaan yang hebat. Mereka yang mati karena penyakit yang berat sehingga mereka mati sesudah mengalami penderitaan yang hebat. Mereka yang mati karena penyakit adalah seperti Abu Labab, al-‘Ash ibnu Wail, dan Al-Walid ibnul-Mughirah.

Sebagian perlakuan dari orang-orang Quraisy yang menyakitkan tersebut . merupakan penyebab yang mendorong Hamzah ibnu ‘Abdul-Muththalib, — paman Rasulullah saw., masuk Islam.

 

Kefanatikan Hamzah terbakar ketika pada suatu hari ia dicela oleh sebagian kaum wanita karena dia diam saja sewaktu Abu Jahal menyakiti keponakannya sendiri (yaitu Rasulullah saw.) Segera ia berangkat menemui orang yang celaka itu, lalu ia memarahi dan memaki-makinya seraya mengatakan, “Mengapa engkau mencaci-maki Muhammad, sedangkan aku memeluk agamanya? Kemudian Allah memberikan cahaya keyakinan ke dalam hatinya sehingga ia menjadi orang yang paling baik keislamannya dan paling besar rasa ghirah-nya terhadap kaum Muslimin, serta paling kuat permusuhannya terhadap musuh-musuh agama sehingga ia dijuluki Asadullah (Harimau Allah).

 

Sebagaimana Rasulullah saw. menerima perlakuan yang menyakitkan dari kaumnya, para sahabat pun mendapat perlakuan yang sama karena mereka mengikuti Rasulullah saw. Terutama sekali sahabat yang tidak memiliki keluarga yang dapat melindungi dirinya dari serangan musuh. Semua perlakuan yang menyakitkan itu dianggap remeh oleh mereka karena menyadari bahwa sikap mereka itu diridai oleh Allah swt. Keyakinan mereka terhadap agama Islam tetap kuat dan tidak goyah serta tidak terkena fitnah. Allah swt, menegakkan keimanan mereka sehingga akhirnya Dia menyempurnakan agama-Nya di tangan mereka, dan mereka akhirnya menjadi raja-raja di muka bumi yang sebelumnya mereka adalah orangorang lemah sebagaimana yang telah disebutkan dalam firman-Nya:

 

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). (Q.S. 28 AlQashash: 5)

 

Allah swt. mewujudkan apa yang telah dikehendaki-Nya itu.

 

Di antara orang-orang yang disakiti di jalan Allah ialah Sahabat Bilal ibnu Rabbah. Dahulu ia seorang hamba sahaya milik Umayyah ibnu Khalaf al-Jumahi al-Qurasyi. Umayyah ibnu Khalaf memasang tali pada leher Bilal, kemudian ia menyerahkannya kepada anak-anak untuk dipermainkan. Akan tetapi, Bilal masih tetap mengucapkan, “Ahad, Ahad,” dan ja sama sekali tidak menghiraukan apa yang dialaminya. Ia tetap mengesakan Allah. Pada suatu hari yang panas sekali Umayyah pergi membawa Bilal menuju padang pasir yang hanya terdiri dari pasir yang panas sekali, andaikata diletakkan daging di atasnya, pasti daging itu akan matang. Lalu Umayyah memerintahkan orang-orangnya supaya meletakkan batu besar di atas dada Bilal. Kemudian ia berkata kepada Bilal, “Engkau akan tetap dalam keadaan begini hingga mati kecuali jika engkau ingkar kepada Muhammad. Kemudian kembali menyembah Latta dan ‘uzza.” Akan tetapi, bilal hanya mengucapkan, “Ahad, Ahad.”

 

Lewatlah Sahabat Abu Bakar dan ia melihat Bilal dalam keadaan demikian. Kemudian Abu Bakar berkata, “Hai Umayyah, tidakkah engkau takut kepada Allah terhadap orang miskin ini? Sampai kapan engkau menyiksanya?” Umayyah menjawab, “Engkau telah merusaknya.” Sahabat Abu Bakar menolongnya. Ia membeli Bilal dari tangan Umayyah dan langsung memerdekakannya. Selanjutnya Allah swt. menurunkan firmanNya sehubungan dengan Umayyah ini yaitu:

 

Maka Kami memperingatkan kalian dengan neraka yang menyalanyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya selain orang yang celaka, yang mendustakan (kebenaran), dan berpaling (dari iman). Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkah hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorang pun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari | keridaan Rabb-Nya yang Mahatinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan. (Q.S. 92 Al-Lail: 14-21)

 

Al-asyqa artinya orang yang celaka, dan yang dimaksud adalah Umayyah ibnu Khalaf.

 

Al-atqa artinya orang yang paling takwa, dan yang dimaksud ialah Sahabat Abu Bakar.

 

Walasaufayardha artinya dia benar-benar akan mendapat kepuasan dari pahala yang diberikan Allah kepadanya, kelak di akhirat, sebagai balasan dari amal-amalnya yang baik itu.

 

Dengan ayat-ayat di atas Allah telah mengingatkan bahwa harta yang telah disumbangkan oleh Sahabat Abu Bakar untuk membeli Bilal dan kemudian memerdekakannya, tiada lain demi mendapat keridaan Allah swt. Kiranya cukuplah bagi Sahabat Abu Bakar dengan kehormatan dan keutamaan ini.

 

Di samping itu, Sahabat Abu Bakar r.a. telah memerdekakan pula budak-budak lain kecuali Bilal, kemudian mereka masuk Islam, tetapi bekas majikan-majikan mereka mencela perbuatan itu. Di antara mereka yang dimerdekakan oleh Sahabat Abu Bakar r.a. ialah Hammamah, ibu Sahabat Bilal, dan ‘Amir ibnu Fuhairah. ‘Amir ibnu Fuhairah disiksa oleh majikannya sehingga ia tidak menyadari apa yang dikatakannya. Abu Bakar r.a telah memerdekakan pula hamba sahaya lainnya yang bernama Abu Fuhaihah. Sebelum dibeli,ia adalah hamba sahaya milik shafwan ibnu Umayyah ibnu Khalaf.

 

Yang lainnya yang telah dimerdekakan oleh Sahabat Abu Bakar ialah seorang wanita bernama Zanirah. Ia disiksa karena memeluk agama Islam hingga matanya buta, tetapi hal tersebut justru makin menambah keimanannya. Abu Jahal pernah mengatakan, “Tidakkah kalian heran melihat kelakuan mereka (para Sahabat) dan para pengikutnya. Seandainya apa yang didatangkan kepada Muhammad itu baik, niscaya mereka tidak akan dapat mendahului kami untuk beriman kepadanya. Apakah pantas Zanirah mendahului kami kepada petunjuk itu?” Kemudian Allah swt. menurunkan firman-Nya :

 

Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Kalau sekiranya dia (Al-Quran) adalah sesuatu yang baik, tentulah mereka tidak mendahului kami (beriman) kepadanya.” Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk daripadanya, maka mereka akan berkata, “Ini adalah dusta yang lama.” (Q.S. 46 Al-Ahgaf : 11)

 

Di antara hamba sahaya lain yang dimerdekakan oleh Sahabat Abu Bakar sesudah terlebih dahulu dibelinya ialah Ummu ‘Unais. Sebelumnya ‘Unais adalah hamba sahaya perempuan milik Bani Zahrah, dan orang yang sering menyiksanya adalah Al-Aswad ibnu ‘Abdu Yaghuts.

 

Di antara orang-orang yang disiksa karena memeluk agama Islam ialah ‘ Ammar ibnu Yasir berikut saudara, ayah dan ibunya. Mereka disiksa dengan api, kemudian datang kepada mereka Rasulullah saw. seraya bersabda:

 

Bersabarlah, hai keluarga Yasir, karena sesungguhnya surga adalah tempat kalian. Ya Allah, ampunilah keluarga Yasir, sungguh mereka sedang menghadapi cobaan yang berat. Adapun ayah dan ibu ‘Ammar keduanya meninggal dunia sewaktu dalam siksaan. Sedangkan ‘Ammar sendiri, karena tidak tahan menghadapi siksaan yang keras dan bertubi-tubi itu, akhirnya terpaksa mengucapkan kalimat kekufuran. Sebelum itu Abu Jahal memakaikan kepada ‘Ammar baju besi, sedangkan pada waktu itu hari panas sekali hingga ‘Ammar tidak mampu menahan panas, lalu melisankan kata-kata kekafiran. Kaum Muslimin berkata,” Ammar telah kafir.” Akan tetapi, dijawab oleh Rasulullah saw. bahwa ‘Ammar dipenuhi dengan keimanan mulai dari atas kapalanya hingga kedua telapak kakinya. Sehubungan dengan peristiwa itu Allah swt. menurunkan firman-Nya sebagai pengecualian dalam hukum kemurtadan, yaitu:

 

Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (Q.S. 16 An-Nahl: 106)

 

Orang lainnya yang disakiti karena memeluk agama Islam ialah Khabbab ibnul-Art. Pada Zaman Jahiliah ia menjadi tawanan, kemudian dibeli oleh Ummu Ammar. Ia adalah seorang pandai besi, dan Muhammad sering berkunjung kepadanya sebelum diangkat menjadi nabi. Tatkala Allah swt. mengangkatnya menjadi nabi, Khabbab ibnul-Art langsung masuk Islam.

 

Majikannya pernah menyiksanya dengan api: diambilnya sepotong besi yang membara, lalu ditempelkannya di punggung Khabbab. Akan tetapi, hal itu tidak menggoyahkan keimanan Khabbab, bahkan makin menarnbah keimanannya. Pada suatu hari Khabbab datang menemui Rasulullah saw. yang pada waktu itu sedang rebah-rebahan berbantalkan kain jubahnya di bawah naungan Ka’bah. Lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau berdoa untuk kemenangan kita?” Mendengar pertanyaan itu Rasulullah saw. langsung bangkit dan mukanya merah padam (menandakan marah, pen.) seraya berkata:

 

Sesungguhnya dahulu, di antara orang-orang sebelum kalian seseorang dikuliti dengan sisir yang terbuat dari besi di antara daging dan tulangnya, dan ada pula yang diletakkan gergaji di tengah-tengah kepala mereka kemudian dibelah, tetapi hal tersebut sama sekali tidak mampu membelokkannya dari agamanya. Dan sungguh niscaya Allah akan menampakkan (memenangkan) agama ini (Islam) sehingga seorang musafir berangkat dari Shan’a hingga Hadhralmaut tidak lagi merasa takut kecuali kepada Allah dan kepada serigala atas dombanya.

 

Rasulullah saw. mengatakan demikian karena dalam keadaan menerima tekanan yang sangat keras dari pihak kaum musyrikin, yang tidak akan dapat diramalkan oleh orang yang pandai dan orang yang bijaksana mana pun bahwa di balik itu telah menunggu suatu kekuatan atau kebahagiaan masa depan. Tiada lain ramalan tersebut hanyalah merupakan wahyu yang diturunkan kepadanya. Kemudian Allah swt. menurunkan firman-Nya guna memperteguh keimanan kaum mukminin yaitu:

 

Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Q.S. 29 ‘Ankabut: 1-3)

 

Orang lainnya lagi yang disakiti di jalan Allah ialah Sahabat Abu Bakar Shiddig. Tatkala tekanan yang dilancarkan oleh: kaum musyrikin terhadap dirinya kian bertambah keras, ia bertekad untuk melakukan hijrah dari Makkah ke Abesinia (Etiopia sekarang). Kemudian ia berangkat untuk melaksanakan maksudnya itu.

 

Ketika ia sampai ke suatu daerah yang dikenal dengan nama Barkul Ghimad, ia bertemu dengan Ibnud-Daghmah, pemimpin suatu kabilah yang besar, yaitu kabilah Al-Garah. Ibnud-Daghnah bertanya kepadanya, “Ke mana engkau hendak pergi, hai Abu Bakar?” Sahabat Abu Bakar menjawab, “Kaumku telah mengusirku, maka aku bermaksud untuk mengembara di bumi dan menyembah Rabb-ku.” Ibnud-Daghnah berkata, “Orang yang seperti engkau tidak boleh diusir. Sesungguhnya engkau adalah orang yang suka membantu orang yang miskin, menghubungkan silaturrahim, menanggung beban, menjamu tamu, dan menolong orang-orang yang tertimpa bencana. Maka aku adalah orang yang melindungi engkau. Sekarang kembalilah engkau ke tanah tumpah darah engkau, dan sembahlah Rabbmu di negerimu.” Kemudian Abu Bakar kembali sedangkan Ibnud-Daghnah berangkat pula mendampinginya. Ibnud-Daghnah berkeliling mengunjugi orang-orang terkemuka dari kabilah Quraisy seraya mengatakan kepada mereka.” Orang yang seperti Abu Bakar tidak boleh diusir. Apakah kalian mengusir seorang lelaki yang suka membantu orang miskin, selalu menghubungkan silaturrahim, suka menanggung beban, gemar menjamu tamu, dan suka menolong orang-orang yang tertimpa bencana?”

 

Tidak seorang pun yang menentang jaminan yang diberikan oleh Ibnud-Daghnah. Lalu mereka berkata, “Perintahkanlah Abu Bakar supaya ia menyembah Rabb-nya di dalam rumahnya saja. Silakan dia melakukan salat sesukanya, dan silakan ia membaca ayat-ayat yang disukainya. Akan tetapi, janganlah dia menyakiti kami, dan jangan pula ia menonjolkan dirinya, sebab sesungguhnya kami khawatir wanitawanita dan anak-anak kami terhasut olehnya.”

 

Kemudian Ibnud-Daghnah menyampaikan hal tersebut kepada Abu Bakar. Abu Bakar berdiam di rumahnya, menyembah Rabb-nya, dan ia tidak menonjolkan salat serta bacaan Al-QQur’an selain di dalam rumahnya sendiri, sesuai dengan apa yang diminta oleh mereka. Lama-kelamaan Abu Bakar mempunyai pikiran untuk membangun sebuah langgar di halaman rumahnya. Lalu ia mewujudkan niatnya itu. Sejak saat itu ia mulai melakukan salat dan membaca Al-Quran di dalam langgar tersebut. Setiap kali Abu Bakar melakukan salat dan membaca Al-Guran, kaum wanita orangorang musyrik dan anak-anak mereka datang mengerumuni karena merasa takjub dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, dan mereka merasa senang melihat apa yang dilakukannya. Suhabat Abu Bakar mudab menangis bila membaca Al-Guran. Orang-orang terkemuka kabilah Quraisy terkejut melihat hal tersebut, lalu mereka mengirimkan utusan kepada Ibnud Daghnah.

 

Setelah utusan kaum Quraisy menemui Ibnud-Daghnah, mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah melindungi Abu Bakar atas jaminan engkau dengan syarat hendaknya dia menyembah Rabb-nya di dalam rumahnya saja. Akan tetapi, ternyata ia telah melebihi hal tersebut. Kini ia membangun langgar di halaman rumahnya: ia menonjolkan salat dan bacaannya di dalam langgar. Sesungguhnya kami merasa khawatir wanitawanita dan anak-anak kami termakan oleh hasutannya. Bila ia mau menyembah Rabb-nya di halaman rumahnya saja, ia boleh melakukan hal itu. Bila ia membangkang serta tetap bersikeras untuk menonjolkan diri, maka mintalah kembali jaminan engkau daripadanya. Sesungguhnya kami tidak suka melanggar jaminan yang telah engkau berikan, dan kami pun tidak suka Abu Bakar menonjolkan dirinya.”

 

Ibnud-Daghnah pun mendatangi Abu Bakar, lalu berkata, “Engkau tentunya telah mengetahui perjanjian yang telah aku buat untuk menjamin keamanan engkau. Hendaknya engkau membatasi diri sesuai dengan syarat tersebut, atau engkau mengembalikan jaminanku. Sesungguhnya aku tidak suka bila orang-orang Arab mendengar bahwa aku telah melanggar janjiku terhadap seseorang yang aku beri janji untuk memberikan perlindungan kepadanya.”

 

Sahabat Abu Bakar menjawab, “Kini aku kembalikan kepada engkau perlindungan itu, dan aku rela hanya berlindung kepada Allah.”

 

Demikianlah menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Hal tersebut akhirnya merupakan penyebab pertama yang mengakibatkan Sahabat Abu Bakar tertimpa perlakuan yang menyakitkan sekali dari pihak kaum musyrikin. Kesimpulannya, tiada seorang pun dari kaum Muslimin yang selamat dari perlakuan keras kaum musyrikin. Akan tetapi, kesemuanya itu hancur-luluh di hadapan keteguhan dan kebesaran iman mereka. Sesungguhnya mereka masuk Islam bukan karena tujuan duniawi yang mereka harap-harapkan untuk dapat meraihnya sehingga dengan mudah mereka dapat dijadikan murtad kembali. Akan tetapi, mereka adalah orang-orang yang mendapat taufik dari Allah swt. sehingga mereka menemukan hakikat keimanan. Dengan demikian maka segala suatu yang menghambatnya terasa amat mudah untuk mereka lalui.

 

Orang-orang kafir Quraisy melihat bahwa perlakuan menyakitkan yang mereka lancarkan tidak memperoleh hasil apa-apa, bahkan setiap kali kaum Muslimin mendapat tekanan, keyakinan dan iman mereka semakin bertambah kuat. Maka mereka sepakat untuk mengadakan rausyawarah di antara mereka. Lalu berkata kepada mereka seseorang yang dikenal dengan nama ‘Atabah ibnu Rabi’ah al-‘Absyamiy dari Bani ‘Abdusy-Syama seorang yang ditaati di kalangan kaumnya, “Hai orang-orang Quraisy bolehkah aku mendatangi Muhammad, kemudian aku berbicara kepada. nya untuk menawarkan beberapa hal? Mudah-mudahan dia mau mene. rima sebagian daripadanya, kemudian kita berikan hal tersebut, lalu dia mencegah dirinya dari kita.” Mereka menjawab, “Hai Abul-Walid (nama panggilan ‘Atabah), berangkatlah, dan bicarakan hal tersebut kepadanya.”

 

Atabah pergi menemui Rasulullah saw. yang pada saat itu sedang men. jalankan salatnya. Lalu ‘Atabah berkata, “Hai anak saudaraku, sesungguh. nya engkau di kalangan kami seperti yang telah engkau ketahui sendiri, termasuk orang yang memiliki nasab dan kedudukan terhormat. Sesung. guhnya engkau telah mendatangi kaum engkau dengan membawa perkara yang besar. Engkau telah memecah belah persatuan mereka, dan engkau telah membodoh-bodohkan orang-orang pandai mereka, dan engkau telah mencela tuhan-tuhan mereka serta agama mereka, dan engkau telah ing:kar terhadap nenek-moyang mereka. Sekarang dengarlah perkataanku, aku menawarkan kepada engkau beberapa hal agar engkau mempertimbangkannya, barangkali saja engkau mau menerima sebagian daripadanya.” Rasulullah saw. menjawab, “Silakan kau katakan, hai Abul-Walid, aku akan mendengarkannya.”

 

Abul-Walid berkata, “Hai anak saudaraku, bilamana dengan apa yang telah engkau datangkan itu engkau menghendaki harta-benda, kami akan mengumpulkannya dari harta-benda kami buat engkau sehingga engkau akan menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Bilamana engkau menghendaki kedudukan, kami akan menjadikanmu pemimpin kami hingga kami tidak berani memutuskan suatu perkara tanpa restu engkau. Bilamana engkau menghendaki kerajaan, kami akan menjadikanmu sebagai raja kami. Bilamana hal (wahyu) yang datang kepada engkau itu merupakan gangguan dari jin yang engkau tidak mampu mengusirnya dari diri engkau kami akan mencari seorang tabib buat engkau, dan untuk itu kami siap mengorbankan harta kami sehingga engkau sembuh dari gangguannya. Sesungguhnya terkadang seseorang tidak mampu mengalahkan gangguannya selain harus diobati.”

 

Kemudian Rasulullah saw. berkata, “Apakah kata-kata engkau sudah cukup, hai Abul-Walid.” Abul-Walid menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. berkata kepadanya. “Sekarang engkau dengarkan aku.” Lalu Rasulullah saw. membacakan ayat-ayat pertama dari surat Fushshilat:

 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Haa miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya): maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata, “Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kalian seru kami kepadanya, dan telinga kami ada sumbatan, dan antara kami dan kalian ada dinding, maka bekerjalah kalian. Sesungguhnya kami bekerja (pula). Katakanlah, “Bahwasannya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Mahaesa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya, dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan(-Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh itu mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.” Katakanlah, “Sesungguhnya patutlah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Rabb semesta alam.” Dan Dia menciptakan di bumi ini gunung. gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya, dan Dia menen. tukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)-nya dalam empa masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang ber. tanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kalian keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Lalu keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.” Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa, dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang, dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Jika mereka berpaling, maka katakanlah, “Aku telah memperingatkan kalian dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Aad dan kaum Tsamud.” Ketika rasul-rasul datang kepada mereka dari depan dan dari belakang mereka (dengan menyerukan), “Janganlah kalian menyembah selain Allah,” Mereka menjawab, “Kalau Rabb kami menghendaki, tentu Dia akan menurun. kan malaikat-malaikat-Nya, maka sesungguhnya kami kafir kepada wahyu yang kamu diutus membawanya.” (Q.S. 41 Fushshilat: 1-14)

 

Kemudian ‘Atabah menutup mulut Rasulullah saw. dengan tangannya seraya memohon supaya Rasulullah saw. menghentikan bacaannya itu demi hubungan silaturrahim (kekerabatan) di antara dirinya dengan Rasulullah saw. Setelah ‘Atabah kembali, orang-orang Quraisy bertanya kepadanya. Ia berkata, “Demi Allah, aku telah mendengar suatu kalam yang belum pernah aku dengar bandingannya. Demi Allah, ia bukan syair, bukan ramalan, dan bukan pula sihir. Hai orang Quraisy, taatlah kalian. Aku mohon kalian mau menjadikan dia di bawah perlindunganku. Biarkanlah dia (Muhammad) dan apa yang sedang dilakukannya, dan (jika kalian tidak suka) janganlah kalian mempergaulinya. Demi Allah, sungguh dalam kalam yang baru aku dengar itu terkandung berita yang besar. Bila dia dikalahkan oleh orang-orang Arab (selaian kabilah Quraisy), berarti kalian tidak usah bersusah-payah menghadapinya, cukup hanya dengan orang-orang selain kalian. Bilamana ternyata ia menang atas orang-orang Arab yang lain, maka kejayaannya berarti sama juga dengan kejayaan kalian (kaum Quraisy) Mereka menjawab, “Sungguh kamu ini telah terkena sihir Muhammad: ‘Atabah berkata, “Ini hanya pendapatku sendiri.” Setelah peristiwa itu kaum Quraisy mengajak Rasulullah sama-sama menyembah apa yang mereka sembah, dan mereka pun akan bersama gama pula menyembah apa yang disembah oleh Rasulullah. Lalu Allah swt. menurunkan firman-Nya sehubungan dengan peristiwa ini, yaitu:

 

Katakanlah, “Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah, agamaku.” (Q.S. 109 Al-Kafirun: 1-6)

 

Janganlah kalian menduga bahwa aku mau mengabulkan permintaan kalian untuk melakukan kemusyrikan terhadap Allah.

 

Setelah peristiwa itu mereka berputus asa untuk membujuk Rasulullah saw. Akhirnya mereka meminta supaya Rasulullah saw. menghentikan bacaan Al-Qur’an yang mengandung celaan terhadap berhala-berhala sesembahan mereka karena hal itu sangat mereka benci. Kemudian mereka meminta kepada Rasulullah saw. agar membaca Al-Qur’an selain itu atau menggantinya dengan yang lain. Sebagai jawaban atas permintaan mereika Allah swt. menurunkan firman-Nya.

 

Katakanlah, “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (Q.5. 10 Yunus: 15)

 

Ada peristiwa yang jarang terjadi antara Rasulullah dengan orang Quraisy. Peristiwa itu dapat dijadikan pelita bagi orang yang menganggap remeh terhadap drang yang lemah. Pada suatu hari Rasulullah saw. sedang menghadapi para pemimpin kabilah Quraisy dalam rangka mengajak mereka untuk masuk Islam sambil membeberkan Al-Quran dan ajaran agama Islam kepada mereka. Pada saat yang bersamaan datang pula menghadap “Abdullah ibnu Ummi Maktum yang kedua matanya telah buta. Dia termasuk orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam. Pada waktu itu Nabi saw. sedang sibuk menghadapi para pemimpin Quraisy, dan Nabi kali ini melihat mereka ramah sekali sehingga Nabi saw. bersemangat untuk mengajak mereka masuk Islam. Lalu “Abdullah berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.” ‘Abdullah terus-menerus mengucapkan permintaan itu se. hingga dirasakan amat berat oleh Rasulullah. Rasulullah tidak suka ‘Abdullah memotong pembicaraannya karena ia merasa khawatir bahwa bila perhatiannya dipalingkan untuk meladeni ‘Abdullah yang miskin itu, hal tersebut akan mengakibatkan mereka antipati terhadap Islam. Akhirnya Rasulullah saw. memutuskan untuk tidak meladeninya. Maka turunlah firman-Nya sebagai teQur’an atas sikapnya yaitu:

 

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapat pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapat penggjaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), kamu mengabaikannya. (Q.S. 80 ‘Abasa: 1-10)

 

Setelah peristiwa itu Rasulullah saw. sama sekali tidak berani bermuka masam terhadap orang miskin. Bilamana datang menghadap kepadanya ‘Abdullah ibnu Ummi Maktum, Rasulullah saw. selalu menyambutnya dengan kata-kata:

 

Selamat datang orang yang menyebabkan aku ditegur oleh Rabb-ku. Tatkala kaum musyrikin telah melihat bahwa tuntutan-tuntutan yang mereka ajukan tidak diterima, mereka bermaksud menggunakan cara lain, yaitu meminta kepada Rasulullah saw. untuk megeluarkan bukti-bukti yang menurut dugaan mereka Rasulullah saw. tidak akan mampu melakukannya. Kemudian mereka sepakat untuk melakukan hal itu, lalu mereka berkata kepada Rasulullah saw., “Hai Muhammad, jika engkau memang benar-benar (seorang rasul), perlihatkanlah kepada kami suatu mukjizat yang kami minta supaya engkau mendatangkannya, Yaitu hendaknya engkau membelah bulan menjadi dua bagian. “Maka Allah memberikan mukjizat ini kepada Rasulullah saw. sehingga terbelahlah bulan purnama menjadi dua bagian. Lalu Rasulullah berkata, “Saksikanlah oleh kalian.” Hadis mengenai kisah ini diriwayatkan oleh Sahabat ‘Abdullah ibnu Mas’ud yang termasuk salah seorang yang paling dahulu masuk Islam, dan hadis ini diriwayatkan olehnya melalui banyak jalur sanad. Hadis mengenai kisah ini diriwayatkan pula oleh Sahabat ‘Abdullah ibnu ‘Abbas r.a. dan sahabat-sahabat lainnya. Kemudian diriwayatkan oleh mereka melalui banyak perawi sehingga hadis ini sama kedudukannya dengan hadis yang mutawatir. Peristiwa ini disebutkan pula melalui firman-Nya:

 

Telah dekat (datangnya) saat itu, dan terbelahlah bulan. (Q.S. 54 Al-Gamar: 1)

 

Tatkala orang-orang yang ingkar melihat mukjizat yang besar ini, di antara mereka ada yang berkata, “Sungguh kalian telah terkena pengaruh sihir anak Abu Kabsyah.” Maka Allah menurunkan firman-Nya yang lain, yaitu :

 

Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukJizat), mereka berpaling dan berkata, “(Ini adalah) sihir yang terusmenerus.” (Q.5. 54 Al-Gamar: 2)

 

Kemudian mereka meminta supaya Rasulullah saw. mengeluarkan mukjizat-mukjizat lainnya. Mereka meminta hal tersebut tiada lain hanya karena terdorong oleh rasa ingkar dan keras hati mereka. Di antara permintaan yang mereka ajukan itu ialah seperti yang disebutkan dalam surat Al-Isra’:

 

Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah-celah kebun yang deras airnya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami sebagaimana kamu katakan, atau kamu datangkan Allah mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca. (Q.S. 17 Al-Isra’ : 90. 93)

 

Akan tetapi, Allah swt. tidak mengabulkan permintaan mereka selain hanya menjawab permintaan mereka itu melalui firman selanjutnya, yaitu :

 

Katakanlah, “Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” (Q.S. 17 Al-Isra’ : 93)

 

Allah mengetahui bahwa apa yang tersimpan dalam hati mereka tiada lain hanyalah kefanatikan jahiliah dan keingkaran. Sekalipun didatangkan kepada mereka mukjizat-mukjizat yang jelas, mereka tetap tidak akan mau beriman seperti yang disebutkan dalam firman-Nye

 

Dan apakah yang memberitahukan kepada kalian bahwa apabila mukJizat datang (kepada orang-orang musyrik itu maka mereka mau beriman, tidak) mereka tidak akan beriman. (Q.S. 6 Al-An’am: 109)

 

Mana mungkin kita mengharapkan mendapat kebaikan dari orang-orang yang berani mengatakan hal-hal berikut ini, yaitu seperti yang diceritakan oleh firman-Nya:

 

Ya Allah, jika betul (Al-Quran) ini dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih. (Q.S. 8 Al-Anfal: 32)

 

Mereka tidak mengatakan “bila hal ini (Al-Quran) benar dari sisi Engkau, berilah kami petunjuk kepadanya.” Memang demikianlah kebiasaan yang sering dialami oleh para nabi bilamana mereka melihat adanya tandatanda keingkaran dalam hati orang-orang yang meminta agar mukjizat mukjizat ditampakkan. Mereka meminta hal tersebut hanya untuk tujuan memperolok-olokan saja. Maka para nabi tidak mau meminta kepada Allah swt. untuk menampakkan mukjizat-mukjizat yang mereka minta agar kaum mereka yang ingkar tidak tertimpa kebinasaan seperti apa yang dialami oleh kaum Tsamud dan kaum-kaum lainnya yang ingkar terhadap para nabi mereka. Pengertian tersebutlah yang dimaksud olet firman-Nya

 

Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orangorang dahulu. (Q.S. 17 Al-Isra’: 59)

 

Hal tersebut pernah dialami oleh Al-Masih a.s., yaitu tatkala ia dihadapkan kepada Kaisar Herodes. Herodes meminta kepadanya supaya mengadakan suatu mukjizat, tetapi Al-Masih a.s. tidak mengabulkan permintaannya. Lalu mulailah Herodes dan orang-orangnya memperolok-olokkannya. Setelah itu Herodes mengembalikan Al-Masih ke tangan Pilatus, musuhnya, setelah Herodes putus asa karena permintaannya tidak dikabulkan, padahal sebelumnya ia sangat ingin bertemu dengan Al-Masih. Kisah mengenai peristiwa ini disebutkan dalam Injil Lukas pasal 23.

 

Demikianlah, manakala kaum musyrikin melihat dirinya sudah tidak mampu lagi menghadapi kaum Muslimin dengan argumentasi, maka mereka memakai siasat lain, yaitu dengan memakai kekuatan dan senjata seperti apa yang pernah dilakukan oleh kaum Nabi Ibrahim terhadap Nabi Ibrahim. Mereka mengatakan seperti yang diwahyukan dalam firmanNya:

 

Bakarlah dia (Nabi Ibrahim), dan bantulah tuhan-tuhan kalian. (Q.S. 21 Al-Anbiya: 68)

 

Langkah-langkah yang diambil oleh kaum musyrikin terhadap para sahabat semakin menambah gencar tekanannya terhadap setiap orang yang masuk Islam. Mereka bertindak demikian untuk menghalangi orang-orang supaya tidak mengikuti Rasulullah. Mereka sama sekali tidak pernah meninggalkan setiap kesempatan untuk menyiksa kaum muslimin. Akhirnya Rasulullah saw.berkata kepada para Sahabatnya, “Berpencarlah kalian di bumi ini. Sesungguhnya Allah kelak akan mengumpulkan kalian kembali.” Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah saw., arah mana yang harus, mereka tempuh. Maka Rasulullah saw. mengisyaratkan kepada Merek, supaya berangkat ke Habsyah (Etiopia).

 

Pada saat itu kaum Muslimin mulai mempersiapkan diri untuk ke luar dari tanah tumpah darah mereka dan meninggalkan harta-benda milik mereka untuk menyelamatkan agama mereka sesuai dengan apa yang te lah diisyaratkan oleh Rasulullah saw. Peristiwa ini merupakan hijrah per. tama yang dilakukan oleh kaum Muslimin dari kota Mekkah. Jumlah mereka yang melakukan hijrah ini sepuluh orang laki-laki dan lima orang perempuan. Mereka adalah Sahabat ‘Utsman ibnu ‘Affan beserta istrinya, Rugayyah binti Rasulullah: Abu Salamah dan istrinya, Ummu Salamah, serta saudara seibunya yang bernama Abu Sabrah ibnu Abu Rahm dan istrinya, Ummu Kaltsum: Amir ibnu Rabi’ah dan istrinya, Laila: Abu Hudzaifah ibnu ‘Atabah ibnu Rabi’ah beserta istrinya, Sahlah binti Suhail: ‘Abdur Rahman ibnu ‘Auf: Utsman ibnu Mazh’un: Mush’ab ibnu ‘Umair, Sahl ibnu Baidha, dan Az-Zubair ibnul-‘Awwam. Sebagian besar terdiri dari anggota kabilah Quraisy, sedangkan yang menjadi pemimpin perjalanan tersebut menurut riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Hisyam adalah “Utsman ibnu Mazh’un. Mereka berjalan menuju Abesinia (Etiopia) di bawah naungan keberkahan Allah swt. Tatkala mereka sampai di tepi pantai, lalu mereka menyewa sebuah perahu yang dapat mengantarkan mereka ke tujuan. Mereka tiba di Abesinia dengan selamat, dan tinggal di negeri tersebut dalam keadaan aman dan tenteram bebas dari gangguan kaum mu syrikin. Dengan demikian maka kaum Muslimin yang tertinggal bersama: Nabi saw. jumlahnya sedikit UMAR MASUK ISLAM

 

Pada saat kaum Muslimin sedang melakukan hijrah pertama ke Abesinis, masuk Islamlah orang yang terkenal kuat lagi perkasa, yaitu ‘Umar ibnu: Khaththab al-Adawiy al-Qurasyi. Sebelumnya ia amat benci terhadap kaum Muslimin, dan terkenal pula sebagai orang yang paling keras dalam menyakiti mereka. Salah seorang wanita yang turut hijrah ke Abesinia bergama suaminya menceritakan bahwa ‘Umar adalah orang yang paling keras terhadap mereka karena mereka masuk Islam. “Tatkala aku menaiki kendaraanku berangkat menuju Abesinia, tiba-tiba aku bertemu dengan ‘Umar di tengah jalan. Lalu ‘Umar bertanya,? Hendak ke manakah engkau, hai Ummu ‘Abdillah? Aku jawab, Kalian telah menyakiti kami dalam agama kami, maka kami akan pergi ke tanah Allah tempat kami tidak disakit. Lalu ‘Umar menjawab,? Semoga Allah menyertai kalian. Tatkala ‘Amir, suamiku, datang menyusul, aku ceritakan kepadanya tentang sikap ‘Umar yang lemah-lembut itu. Maka suamiku berkata, Engkau mengharapkan keislamannya, demi Allah, dia tidak akan masuk Islam sehingga keledai milik Al Khaththab masuk Islam terlebih dahulu.” ‘Amir mengatakan demikian berdasarkan pengetahuannya tentang ‘Umar yang sikapnya begitu keras dan kejam terhadap kaum Muslimin. Ia beruntung mendapat berkah dari doa Rasulullah saw. karena sebelum “Umar masuk Islam, Rasulullah saw. pernah berdoa:

 

Ya Allah, perkuatlah Islam dengan (masuk Islamnya) ‘Umar.

 

“Umar mulai masuk Islam di rumah Al-Argam ibnu Abul Argam, tempat berkumpul kaum muslimin. Allah swt. telah membuktikan berkat keislaman “Umar terhadap apa yang diharapkan oleh Rasulullah saw. sehingga Sahabat ‘Abdullah ibnu Mas’ud pernah mengatakan, “Kami tetap dalam keadaan jaya sejak ‘Umar masuk Islam.” Demikianlah yang dikemukakan oleh Imam Bukhari. ‘Umar pernah meminta kepada Rasulullah saw. supaya ia menampakkan ibadah salatnya di masjid, kemudian Rasulullah saw. melakukan apa yang dianjurkannya itu.

 

Orang-orang Quraisy amat bersedih ketika mereka melihat ‘Umar masuk Islam, dan mereka kemudian sepakat untuk membunuhnya. Mereka mengepung rumah ‘Umar, menunggu saat dia keluar rumah. Akan tetapi, tiba-tiba datanglah Al-‘Ash ibnu Wail as-Sahmiy dari kalangan Bani Sahm, sekutu Bani ‘Addi, kaumnya ‘Umar. Ia datang membawa perhiasan emas dan baju gamis yang terbuat dari sutera, lalu ia bertanya kepada ‘Umar, “Apakah gerangan yang terjadi terhadap dirimu?” ‘Umar menjawab, “Kaummu bermaksud untuk membunuhku jika aku masuk Islam.” Al-‘ Ash berkata, “Mereka tidak akan dapat menyakitimu karena aku akan melindungimu.”Kemudian Al-‘Ash keluar dari rumah. Ia melihat banyak orang telah memenuhi lembah. Lalu ia bertanya, “Hendak ke mana kalian?” Mereka menjawab, “Kami bermaksud menangkap Ibnul Khaththab yang telah memeluk agama baru.” Al-‘Ash menjawab, “Kalian tidak kuperkenankan menyentuhnya.” Akhirnya orang-orang itu bubar dan kembali ke rumah mereka masing-masing.

Selang tiga bulan sejak kaum Muslimin hijrah ke Abesinia, mereka kem. bali ke Makkah. Mereka merasa sangat sulit tinggal di Abesinia, sebab jum. lah mereka sedikit. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka rindu kepada tanah airnya. Selain itu mereka adalah orang-orang terpandang dari kabilah Quraisy, dan mereka pun membawa istri-istri mereka sehingga mereka tidak betah tinggal di negeri asing dalam keadaan demikian.

 

Akan tetapi, ada sebagian ahli sejarah yang tergiur oleh suatu kisah, kemudian mereka jadikan sebagai penyebab kembalinya para Muhajirin dari Abesinia. Kisah tersebut mengatakan, mereka mendengar kaumnya telah masuk Islam sewaktu Rasulullah saw, membacakan kepada mereka surah An-Najm. Kisah itu menyebutkan bahwa pada saat itu Rasulullah saw. mengucapkan kata-kata yang baik tentang berhala-berhala mereka. Hal ini dikemukakannya sesudah mengucapkan firman-Nya:

 

 

Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap lata dan ‘uzza dan manah yang ketiga, yang paling kemudian (sebagai anak perempuan Allah)? (Q.S. 53 An-Najm: 19-20)

 

Dalam kisah ini disebutkan bahwa Rasulullah saw. mengatakan, “Malaikatmalaikat yang tinggi itu sangat diharapkan safaatnya.” Kemudian orang: orang musyrik sujud mengagungkan berhala manat (patung malaikatmalaikat tersebut, pen.) sebagai ungkapan rasa gembira mereka.

 

Riwayat seperti itu hanya dikemukakan oleh orang-orang yang pendek jangkauan pemikirannya, yaitu mereka yang kebiasaannya hanya menukil setiap kisah yang mereka temukan tanpa menguji lebih dahulu kebenarannya. Berikut ini kami kemukakan kepada para pembaca dalil-dalil nagli dan ‘agli yang menyatakan batilnya kisah tersebut. Secara singkat sanad dan matan kisah tersebut kacau dan lemah sekali. Khusus mengenai sanad, Al-Gadhi ‘Iyadh mengatakan dalam kitab Asy-Syifa bahwa sanad ki sah tersebut tidak seorang pun dari kalangan ahlus-sunnah yang mence ritakannya, dan tidak pernah diriwayatkan oleh seorang yang dipercaya de ngan sanad yang benar. Khusus mengenai matannya, sudah barang tentu, baik para sahabat Rasulullah saw. maupun orang-orang musyrik, bukar orang-orang yang gila hingga mereka mendengar pujian di sela-sela celaan, kemudian mereka membiarkannya.

 

Selanjutnya dalam kisah tersebut dikatakan bahwa sesudah Rasulullah saw. menyebutkan berhala-berhala mereka dengan sebutan yang baik, lalu dia mengucapkan firman-Nya:

 

Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengada-adakannya: Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)-nya. (Q.5. 53 An-Najm: 23)

 

Dari sini tampak jelas bahwa ternyata hubungan antara ayat ini dengan ayat sebelumnya (jika dipahami menurut versi kisah tersebut, pen.) tidak ada, padahal kedua ayat tersebut berkaitan erat sekali. Seandainya hal tersebut benar-benar terjadi, niscaya orang-orang kafir akan menjadikannya sebagai hyijah mereka untuk memukul kaum Muslimin sewaktu mereka berdebat dengan kaum Muslimin. Sedangkan kaum musyrikin itu adalah orang-orang yang telah kita kenal keingkarannya. Dengan segala upaya mereka ber-hujjah sekalipun dengan hujjah yang lemah, terlebih lagi dengan hujjah ini. Tuduhan tersebut tidaklah lebih ringan daripada apa yang telah dikatakan oleh orang-orang semacam perawi kisah tersebut sehingga dicap oleh Allah melalui firman-Nya dalam surah Al-Bagarah sebagai orang-orang yang tidak waras akalnya, yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya berikut ini:

 

Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata, “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Magdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya.” (Q.S. 2 AlBagarah: 142)

 

Memang belum pernah terdengar dari salah seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin dalam menentang Rasulullah saw. yang mengatakan kepada Rasulullah saw., “Mengapa engkau mencaci tuhan-tuhan kami sesudah engkau memujinya?” Kami kira hyjjah ini cukup buat mereka dalam menghadapi Rasulullah saw. daripada memakai pedang dan mengorbankan banyak nyawa mereka.

 

Perlu diketahui bahwa ahli sejarah menukil ungkapan-ungkapan kisah tersebut untuk dijadikan penyebab kaum Muslimin yang hijrah ke Abesinia berani kembali ke Makkah. Selanjutnya di tengah-tengah pembicaraan ini mereka mengatakan bahwa hijrah ke Abesinia mereka lakukan pada bulan Rajab, kemudian mereka kembali pada bulan Syawaj. Sedangkan surah Najm diturunkan pada bulan Ramadan, dan jarak antarg turunnya ayat dengan kembalinya kaum Muhajirin hanya satu bulan.

 

Akan tetapi, orang yang mau memperhatikan perkataan mereka itu, walau hanya sejenak, niscaya akan menyimpulkan bahwa jarak satu bulan tidak cukup untuk melakukan perjalanan pulang-pergi dari Makkah ke Abesinia. Sebab pada masa itu belum ada kapal bermesin yang dapat membawa seseorang melakukan perjalanan di laut dengan cepat. Dan belum ada telegram yang dapat menyampaikan berita dengan cepat tentang masuk Islamnya orang-orang Quraisy kepada kaum Muslimin yang berada di Abesinia. Tidak aneh bilamana kita katakan, sesungguhnya kisah itu hanyalah merupakan isapan jempol dan buatan orang-orang yang ingin menghancurkan Islam. Alhamdulilah, Allah telah memberikan anugerah kepada kita bahwa Al-Guranul-Karim, yang memutuskan antara kita dan setiap penghasut lagi hanya berdusta, masih tetap terpelihara. Dalam surah yang sama Allah swt. berfirman pula, yaitu:

 

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. (Q.S. 53 An-Najm: 3)

 

Apa yang diajarkan oleh setan mencakup riwayat yang paling buruk: mana mungkin Rasulullah saw. mengucapkannya, atau dia berani mengatakan hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan pada wahyu? Akan tetapi, ternyata hasutan yang dilancarkan oleh orang-orang yang akalnya tidak waras dikembalikan kepada mereka oleh Allah swt. sehingga tipu muslihat yang mereka buat justru menjerat diri mereka sendiri.

 

Menurut hadis yang sahih, mengenai masalah sujud ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh Sahabat Ibnu Mas’ud. Dalam hadis ini Sahabat ‘Abdullah Ibnu Mas’ud menceritakan:

 

Bahwasanya Nabi saw. membacakan surah An-najm, maka Nabi sujud,

dan sujud pula orang-orang yang bersamanya (sujud tilawah, pen.) kecuali hanya seorang lelaki: ia mengambil segenggam batu kerikil, lalu diletakkannya pada jidatnya seraya mengatakan, “Untukku cukup hanya dengan cara ini.” (Selanjutnya Sahabat ‘Abdullah Ibnu Mas’ud meneruskan riwayatnya), kemudian aku lihat sesudah peristiwa itu ia mati dibunuh karena murtad.

 

Dari makna hadis di atas tiada suatu pengertian pun yang menunjukkan bahwa orang-orang yang melakukan sujud (tilawah itu) bersama Nabi saw. adalah orang-orang musyrik. Bahkan yang dapat kami simpulkan dari perkataan Ibnu Mas’ud itu hanyalah bahwa lelaki tersebut dahulunya Muslin., kemudian Sahabat Ibnu Mas’ud melihat dia murtad sesudah peristiwa itu. Memang demikianlah apa yang terjadi pada sebagian orang yang berhati lemah, mereka tidak tahan menanggung siksaan, akhirnya mereka kembali menjadi kafir. Di antara mereka yang berbuat demikian jalah ‘Ali ibnu Umayyah ibnu Khalaf.

 

Tatkala kaum Muhajirin Abesinia kembali ke Makkah, ternyata mereka tidak mampu memasukinya kembali kecuali orang-orang yang mempunyai pelindung. Abu Salamah berlindung di bawah pamannya dari pihak ibu, yaitu Abu Thalib, sedangkan “Utsman ibnu Mazh’un berlindung di bawah Al-Walid ibnul-Mughirah yang kini bersedia melindunginya kembali. Pada mulanya Al-Walid telah mencabut jaminannya dari ‘Utsman. Ketika ja melihat orang-orang musyrik menyakiti kaum Muslimin, ia memberikan kembali jaminannya. Ia tidak merasa senang bila ia hidup enak-enak sedangkan saudara-saudaranya hidup dalam keadaan tersiksa.

 

Setelah orang-orang kafir Quraisy kehabisan akal dalam melancarkan tipu muslihat terhadap Rasulullah saw. dan para pengikutnya, mereka menawarkan kepada Bani ‘Abdu Manaf yang di dalamnya termasuk Rasulullah saw. diat yang berlipat ganda. Mereka bersedia membayar diat tersebut dengan syarat orang-orang Bani ‘Abdu Manaf mau menyerahkan Rasulullah saw. ke tangan mereka. Akan tetapi, Bani ‘Abdu Manaf menolak tawaran tersebut. Lalu mereka menawarkan kepada Abu Thalib seorang pemuda yang terhormat dari kalangan mereka untuk dijadikan anak angkatnya, dan ja menyerahkan Rasulullah saw. kepada mereka. Dengan spontan Abu Thalib menjawab, “Sungguh aneh sikap kalian ini, kalian berikan anak kalian supaya aku mendidiknya dan memberinya makan sebagai ganti dari kalian, sedangkan aku harus menyerahkan anakku untuk kalian bunuh.”

 

Ketika mereka menemui jalan buntu, lalu mereka sepakat untuk mengucilkan Bani Hasyim dan Banil-Muththalib, keduanya merupakan anakcucu ‘Abdu Manaf. Kemudian mereka mengusir Bani Hasyim dan banil-Muththalih dari kota Makkah, lalu memutuskan hubungan ekonomi dengan Bani Hasyim dan Banil-Muththalib. Mereka tidak mau mengadakan hubungan jual-beli dengan kedua kabilah tersebut kecuali jika kedua kabilah itu mau menyerahkan Muhammad kepada mereka untuk dibunuh. Tindakan mereka tidak sampai di situ saja, bahkan mereka menuliskan sanksi ini pada selembar shahifah, kemudian mereka letakkan shahifah tersebut di dalam Ka’bah.

 

Akhirnya Bani Hasyim bergabung dengan blok Abu Thalib yang kemudian disusul oleh Banil-Muththalib karena adanya sanksi tersebut. Baik yang Muslim maupun yang kafir, semua orang dari kalangan Bani Hasyim dan Banil-Muththalib bergabung ke dalam blok Abu Thalib tempat Nabi saw. berada, kecuali Abu Lahab. Adapun Abu Lahab berpihak kepada orang-orang kafir Quraisy. Ja tidak menghiraukan lagi celaan yang dilancarkan oleh saudara-saudara misannya, yaitu ‘Abdusy-Syams dan Naufal yang sama-sama dari Bani ‘Abdul Manaf.

 

Setelah mendapat sanksi tersebut, semua orang terkena sanksi kelaparan sehingga mereka terpaksa memakan dedaunan. Sedangkan musuhmusuh mereka mencegah orang-orang lain melakukan hubungan dagang dengan mereka. Orang yang paling sengit dalam hal ini adalah Abu Lahab.

 

Sesudah Rasulullah saw. dan kaumnya memasuki blok Abu Thalib, Rasulullah saw. memerintahkan kaum Muslimin untuk berhijrah ke Abesinia, sehingga dengan jumlah yang banyak mereka dapat saling membantu dalam pengasingan. Maka berhijrahlah sebagian besar kaum Muslimin. Jumlah mereka diperkirakan ada delapan puluh tiga orang lakilaki dan delapan belas orang perempuan. Di antara mereka yang laki-laki ialah Ja’far ibnu Abu Thalib beserta istrinya, Asma binti ‘Umais, Al-Migdad ibnu-Aswad, ‘Abdullah ibnu Mas’ud, ‘Ubaidullah ibnu Jahsy beserta istrinya, Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Kemudian menyusul orang-orang dari negeri Yaman yang telah masuk Islam. Mereka adalah orang-orang Asy’ariyin, yaitu Abu Musa dan kaumnya.

 

Tatkala orang-orang musyrik Quraisy mendengar berita tentang hijrahnya kaum Muslimin, mereka mengirim ‘Amr ibnul-‘Ash dan ‘Ammarab ibnul-Walid untuk menghadap Raja Negus dengan membawa hadiahhadiah. Mereka berlaku demikian untuk membujuk Raja Negus supaya menyerahkan kaum Muslimin kepada mereka, tetapi mereka pulang kembali ke Makkah dengan tangan hampa. Yang mereka dapati sewaktu berbicara dengan Raja Negus hanyalah hinaan, karena Raja Negus tidak suka melanggar janji yang telah diberikannya kepada orang-orang yang meminta perlindungan kepadanya.

 

Adapun Bani Hasyim, tetap berada dalam blok Abu Thalib selama kurang-lebih tiga tahun dalam keadaan paceklik dan kekurangan, tidak ada guatu makanan pun yang sampai kepada mereka selain dengan cara sembunyi-sembunyi.

Kemudian bangkit lima orang dari kalangan orang-orang terhormat kabilah Quraisy. Mereka menuntut supaya perjanjian yang tertera dalam shahifah yang isinya zalim itu dibatalkan. Mereka adalah Hisyam ibnu ‘Arnr ibnul-Harits al-‘Amiri, yang paling sengit di antara kelima orang itu dalam memperjuangkan tuntutan ini, kemudian Zuhair ibnu Abu Umayyah al-Makhzumi, anak bibi Rasulullah, ‘Atikah: Al-Muth’im ibnu ‘Addiy an-Naufalis AbulBukhturi ibnu Hisyam al-Asadi: dan Zam’ah Ibnul-Asad al-Asadi. Mereka mengadakan kesepakatan mengenai hal ini pada malam hari. Keesokan harinya mereka berangkat, kemudian Zuhair melakukan thawaf di Ka’bah sambil membawa perhiasan emas. Orangorang berdatangan kepadanya. Lalu ia berkata, “Hai penduduk Makkah, apakah kita tega makan kenyang dan berpakaian sepuasnya, sedangkan Bani Hasyim dan Banil-Muththalib kelaparan? Mereka tidak dapat melakukan jual-beli sama sekali. Demi Allah, saya tidak akan duduk dan bertopang dagu sebelum shahifah yang zalim dan memutuskan silaturrahim itu dirobek-robek.”

 

Abu Jahal berkata, “Engkau berdusta.” Tetapi Zam’ah menjawab perkataan Abu Jahal, “Engkau, demi Allah, adalah orang yang paling berdusta. Sebenarnya kami tidak rela ketika engkau menulis shahifah itu.” Kemudian Abul-Bukhturi berkata, “Benarlah apa yang dikatakan oleh Zam’ah.” Tak ketinggalan Muth’im ibnu ‘Abdi pun berkata, “Kalian berdua memang benar, dan dustalah orang yang mengatakan selain itu.” Kemudian Hisyam membenarkan apa yang telah dikatakan teman-temannya. Maka al-Muth’im ibnu ‘Abdi berdiri menuju tempat shahifah digantungkan untuk merobek-robeknya. Akan tetapi, sesampainya di tempat itu ternyata shahifah tersebut telah dimakan rayap: tiada suatu tulisan pun yang tertinggal kecuali nama Allah yang masih utuh.

 

Akan tetapi, sebelum kejadian tersebut Rasulullah saw. telah terlebih dahulu memberitahukan kepada Abu Thalib, pamannya, tentang rayap yang memakan shahifah tersebut. Setelah shahifah itu dibatalkan, kaum yang diasingkan itu kembali ke rumah mereka masing-masing sesudah sekian lama mereka menahan derita.

 

Setelah Rasulullah saw. bebas dari pengucilan itu, datanglah kepadanya utusan dari kaum Nasrani Najran. Mereka telah mendengar berita tentang Rasulullah saw. dari kaum Muslimin yang sedang melakukan hijrah ke Abesinia. Mereka bergegas datang menemui Rasulullah saw. supaya mereka melihat secara langsung sifat-sifat Rasulullah, lalu mereka sesuaikan dengan apa yang terdapat di dalam kitab suci mereka. Jumlah mereka kurang-lebih ada dua puluh orang laki-laki. Maka Rasulullah saw. membacakan kepada mereka Al-Quran. Akhirnya mereka semua beriman. Akan tetapi, Abu Jahal berkata kepada mereka, “Aku belum pernah melihat kafilah yang lebih bodoh daripada kalian. Kaum kalian mengutus kalian untuk mengetahui berita lelaki ini (Nabi Muhammad saw.), tetapi kemudian kalian memeluk agama baru.” Mereka menjawab perkataan Abu Jahal, “Semoga kesejahteraan atas diri kalian. Kami tidak menganggap bodoh kalian atas apa yang kalian lakukan, dan kami berhak memilih sesuai dengan kehendak kami.” Sehubungan dengan peristiwa tersebut Allah swt. menurunkan firman-Nya :

 

Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Quran, mereka beriman (pula) dengan Al-Quran itu. Dan apabila dibacakan (Al-Quran itu) kepada mereka, mereka berkata, “Kami beriman kepadanya: sesungguhnya Al-Quran itu adalah suatu kebenaran dari Rabb kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(-nya). Mereka itu diberi pahala dua kali karena kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebahagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan. Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya, dan mereka berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagi kalian amal-amal kalian. Kesejahteraan atas diri kalian. Kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang yang jahil.” (Q.S. 28 Al-Gashash: 52-55)

 

Penduduk Makkah, setelah mereka tidak mampu menghadapi Rasulullah saw. dengan hujjah, akhirnya menuduh Rasulullah saw. dengan tuduhan yang bukan-bukan. Terkadang mereka menuduhnya sebagai seorang tukang tenung, terkadang sebagai pendusta atau orang gila, dan terkadang sebagai peramal. Semuanya itu hanyalah merupakan gambaran tentang orang yang lemah lagi ingkar hingga keingkarannya itu membuatnya tidak punya rasa malu lagi untuk mengatakan hal-hal berikut ini seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:

 

Ya Allah, jika betul (Al-Quran) ini dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih (Q.9. 8 Al-Anfal: 32)

 

Setelah Rasulullah saw. keluar dari pengucilan, tidak lama kemudian, yaitu tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah, Siti Khadijah r.a. wafat. Setelah itu Rasulullah saw. sering menyebut-nyebutnya dan menghubungkan silaturrahim-nya. Memang tidak aneh jika Rasulullah saw. berbuat demikian karena jiwa Siti Khadijah amat bersih, dan dialah orang pertama yang beriman terhadap apa yang disampaikan kepada Rasulullah dari Rabb-nya. Rasulullah saw. banyak mempunyai anak daripadanya, bahkan semua anak Rasulullah adalah dari Siti Khadijah, kecuali Ibrahim. Di antara anak Rasulullah saw. dari Siti Khadijah ialah Zainab. Zainab adalah anak perempuannya yang paling besar. Kemudian Zainab dikawin oleh Abul-‘Ash ibnur-Rabi’ sewaktu masih Zaman Jahiliyah. Dari hasil perkawinan ini Zainab mempunyai seorang putri bernama Umamah, yang kelak dikawin oleh Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib setelah Siti Fathimah wafat.

 

Di antara anak-anak Rasulullah yang lain ialah Rugayyah dan Ummu Kaltsum yang kedua-duanya dikawin oleh Sahabat ‘Utsman ibnu ‘Affan. Siti Ruqayyah dikawin olehnya di Makkah sebelum hijrah. Ketika Sahabat “Utsman hijrah ke Abesinia, ia dibawa serta. Sedangkan Siti Ummu Kaltsum dinikahnya di Madinah sesudah saudaranya wafat lebih dahulu.

 

Anak Rasulullah yang bungsu ialah Siti Fathimah az-Zahra. Siti Fathimah dikawin oleh Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib. Selain itu Siti Khadijah dianugerahi pula anak-anak yang lain: mereka wafat sewaktu masih kecil. Sesudah Rasulullah saw. wafat tidak ada seorang pun yang hidup di antara anak-anaknya selain Siti Fathimah yang masih hidup selama beberapa waktu sesudah Nabi wafat.

 

Sewaktu Siti Khadijah wafat, Rasulullah saw. sangat sedih karena Siti Khadijah lembut sekali, menjadi tempat pengaduan dan benteng Rasulullah dari perlakuan orang-orang kafir, sebab Siti Khadijah mempunyai kedudukan yang terpandang dalam lingkungan keluarganya, yaitu Bani Asad, hingga orang-orang kafir tidak berani berbuat sembarangan terhadap suaminya, Rasulullah saw.

 

Di antara anak-anak lelaki Rasulullah dari Siti Khadijah ialah AlQasim sehingga Rasulullah saw. dijuluki Abul Qasim (ayah AlQasim). Anak Rasulullah yang lainnya ialah ‘Abdullah, dijuluki Ath-Thayyib dan Ath-Thahir.

 

Setelah Siti Khadijah wafat, dan masih dalam bulan yang sama, Rasulullah saw. menikah dengan Siti Saudah binti Zam’ah al’Amiriyah al-Qurasyiyah sesudah suami dan saudara sepupunya yang bernama As-Sakran ibnu ‘Amr meninggal. Siti Saudah adalah wanita yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Prinsipnya berbeda dengan semua karib kerabatnya dan anak-anak pamannya. Ia turut hijrah bersama suaminya ke Abesinia karena takut terkena fitnah (cobaan). Hijrah yang dilakukannya adalah hijrah ke Abesinia yang kedua.

 

Akan tetapi, sekembali dari hijrahnya, tidak lama kemudian suaminya meninggal dunia. Tidak ada alternetif lain yang lebih baik bagi Rasulullah saw. selain menikahi bekas istri orang yang beriman kepadanya. Seandainya Rasulullah membiarkan Siti Saudah bersama kaumnya yang keras terhadap kaum Muslimin dan sangat membenci Islam itu, niscaya mereka akan memfitnahnya. Begitu pula karena mengingat keturunannya yang mulia di kalangan kaumnya, ia tidak mau kawin dengan lelaki yang lebih rendah keturunan dan kedudukannya.

Selang sebulan kemudian Rasulullah saw. menikah lagi dengan Siti ‘Aisyah binti Abu Bakar, yang pada waktu itu umurnya tidak lebih dari tujuh tahun. Rasulullah saw. tidak pernah kawin dengan perawan selain Siti ‘Aisyah. Rasulullah saw. baru mencampurinya setelah berada di Madinah, sedangkan dengan Siti Saudah ia mencampurinya sewaktu masih berada di Makkah.

 

Setelah Siti Khadijah wafat, sebulan kemudian pamannya, Abu Thalib, meninggal dunia pula. Abu Thalib adalah orang yang selalu melindungi Rasulullah saw. dari perlakuan musuh-musuhnya. Sekalipun Abu Thalib tidak pernah mendustakan Rasulullah atas apa yang didatangkan kepadanya, bahkan dia meyakini kebenarannya, ia tidak mengucapkan kalimah Syahadat hingga akhir hayatnya. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan firman-Nya:

 

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (Q.9. 28 Al-Gashash: 58)

 

Hanya perbuatan-perbuatannya yang agung yang telah dilakukannya terhadap Rasulullah saw. kami memohon kepada-Nya semoga dia mendapat keringanan. Tidak Islamnya Abu Thalib dan sebagian besar kerabat Rasul mengandung hikmah yang nyata karena sesungguhnya, jika mereka segera mengikuti Rasul saw., niscaya ada orang yang mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang mencari pengaruh dan kebanggaan yang belum mereka miliki, akhirnya mereka melakukan buat-buatan itu.

 

Setelah orang-orang yang ingkar dan para pengikutnya mengetahui bahwa para pengikut Rasulullah saw. hanyalah terdiri dari orang-orang lain, dan bukan keluarganya, bahkan terkadang justru bekas musuhnya seperti “Utsman ibnu ‘Affan dari Bani Umayyah, mereka tidak mempunyai alasan hujjah sedikit pun buat menuduh Rasulullah saw. kecuali dengan taduhan-tuduhan bohong belaka manakala mereka terdesak dan tidak mempunyai alasan lain, yaitu seperti perkataan mereka bahwa Muham. mad seorang tukang sihir yang memecah belah seseorang dengan istrinya. Terkadang mereka mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang tukang ramal yang dapat meramal hal-hal gaib.

 

Rasulullah saw. menamakan tahun istri dan pamannya meninggal dunia sebagai ‘amul huzn (tahun kesedihan). Setelah Abu Thalib mening:gal dunia, orang-orang musyrik Quraisy dapat melancarkan tekanantekanan terhadap diri Rasulullah saw. yang belum pernah mereka lakukan sewaktu Abu Thalib masih hidup. Tekanan yang mereka lancarkan itu kian hari kian bertambah keras sehingga mereka berani menaburkan tanah di atas kepalanya ketika ia sedang berjalan, dan mereka pernah meletakkan kotoran kambing di tubuh Rasulullah saw. pada saat ia sedang menjalankan salat.

 

Pada suatu hari orang-orang kafir Quraisy menarik-narik tubuh Rasulullah saw. di antara sesama mereka, lalu mereka mengatakan, “Engkaukah orang yang hendak menjadikan tuhan-tuhan banyak menjadi satu Tuhan?” Pada saat itu tidak ada seorang pun dari kalangan kaum Muslimin yang menyaksikan kejadian itu, berani maju untuk membebaskan Rasulullah saw. dari cengkeraman mereka karena kaum Muslimin pada saat itu masih lemah sekali. Akhirnya majulah Sahabat Abu Bakar dengan berani seraya berkata kepada mereka, “Apakah kalian hendak membunuh seorang lelaki yang hanya mengatakan, Rabb-ku-Allah?”

 

Tatkala Rasulullah saw. melihat orang-orang Quraisy mulai berani menghina dirinya, ia bermaksud pergi menemui orang-orang Bani Tsagif di kota Thaif. Rasulullah saw. pergi ke Thaif dengan maksud meminta bantuan dan pertolongan dari mereka untuk menghadapi kaumnya hingga ia dapat menunaikan perintah Allah swt., yaitu menyiarkan dakwah Islam. Orangorang Thaif tinggal di dekat kota Makkah, dan pula Rasulullah saw. masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka karena ibu Hasyim ibnu ‘Abdu Manaf, yaitu ‘Atikah as-Sulamiyyah, berasal dari Bani Salim ibnu Manshur, sedangkan Bani Salim ini adalah halif (sekutu) Bani Tsaqif.

 

Rasulullah saw. berangkat menuju Thaif dengan ditemani bekas hamba sahayanya, yaitu Zaid ibnul-Haritsah. Sesampainya di Thaif Rasulullah di sambut oleh pemimpin-pemimpin Thaif. Mereka bertiga, yaitu ‘Abdu Yalil, Mas’ud, dan Habib, semuanya anak ‘Amr ibnu ‘Umair ats-Tsagafiy. Lalu Rasulullah saw. mengemukakan maksud kedatangannya,.yaitu meminta pertolongan dari mereka untuk membantunya sehingga ia dapat menunaikan dakwahnya. Akan tetapi, mereka menolak permintaan Rasulullah dengan tolakan yang buruk, dan Rasulullah saw. tidak melihat adanya tanda-tanda kebaikan pada diri mereka. Pada saat itu juga Rasulullah saw. meminta kepada mereka agar hal tersebut jangan mereka siarkan supaya orang-orang Quraisy tidak mengetahuinya. Jika orang-orang Quraisy mengetahui hal ini, niscaya tekanan mereka akan bertambah keras karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah meminta bantuan dari orang-orang Thaif untuk memusuhi mereka.

 

Akan tetapi, orang-orang Tsagif tidak mau memenuhi apa yang diharapkan oleh Rasulullah saw., bahkan sebaliknya, mereka mengirimkan orang-orang bodoh dan anak-anak mereka untuk berbaris di sepanjang jalan, lalu melempari Rasulullah saw. dengan batu. Akibat perlakuan tersebut Rasulullah saw. mengalami luka-luka berdarah. Pada saat itu Zaid ibnul-Haritsah selalu menjadi perisai Rasulullah dari lemparan batu. Akhirnya Rasulullah saw. sampai pada sebatang pohon anggur yang riudang, lalu berteduh di bawahnya. Pohon anggur itu terletak di sebelah kebun milik ‘Atabah dan Syaibah. Keduanya anak Rabi’ah, dan mereka merupakan musuh Rasulullah saw. Pada waktu itu mereka berada di dalam kebun itu. Melihat keduanya berada di situ, Rasulullah saw. tidak suka, tetapi ia hanya bisa berdoa dengan kata-kata berikut ini:

 

Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang lemahnya kekuatan diriku dan remehnya aku di mata manusia, wahai Zat Yang Maha Penyayang di antara para penyayang, Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, dan Engkau adalah Rabb-ku, kepada siapa pun Engkau serahkan diriku selagi Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak perduli dengan hal itu. Tatkala kedua anak Rabi’ah melihat Rasulullah saw. mengucapkan doa tersebut, keduanya merasa kasihan. Kemudian keduanya mengirimkan buah anggur kepada Rasulullah saw. melalui ‘Addas, bekas hamba sahaya mereka yang beragama Nasrani. Tatkala Rasulullah saw. mulai memakannya, dia mengucapkan bismillahir-rahmanir-rahim (dengan menyebut hama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). ‘Addas berkata, “Perkataan itu belum pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini.” Lalu Rasulullah saw. bertanya, “Dari negeri manakah engkau, dan apa aga. mamu?” ‘Addas menjawab, “Aku pemeluk agama Nasrani dari Neinewi.”) Rasulullah saw. bersabda, “Kalau begitu, engkau berasal dari kampung orang yang saleh, yaitu Yunus ibnu Matta (Matius).” ‘Addas bertanya keheranan, “Siapakah yang mengajarimu tentang Yunus?” Lalu Rasulullah membacakan kepadanya Al-Quran yang di dalamnya terdapat kisah ten. tang Nabi Yunus. Tatkala ‘Addas mendengar hal tersebut, lalu ia langsung masuk Islam.

 

Setelah itu datanglah malaikat Jibril seraya membawa pesan dari Allah swt. Lalu malaikat Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan aku supaya menuruti apa yang kamu kehendaki terhadap kaummu oleh sebab apa yang telah mereka perbuat terhadap dirimu.” Akan tetapi, Rasulullah saw. hanya berdoa:

 

Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.

 

Mendengar doa yang diucapkan oleh Rasulullah itu, malaikat Jibril berkata, “Benarlah orang menamakanmu sebagai orang yang berhati lembut dan penuh dengan kasih sayang.”

 

Ketika Rasulullah saw. berada di Nakhlah, datanglah kepadanya serombongan jin untuk mendengarkan bacaan Al-Guran. Mereka adalah kaum jin yang berasal dari zaman Nabi Musa a.s. Tatkala mereka mendengar bacaan Al-Qur’an dari Rasulullah saw., lalu mereka kembali kepada kaumnya untuk memberi peringatan. Mereka memberitahukan kaumnya tentang Rasulullah saw. Lalu Allah swt. menurunkan firman-Nya ber: kenaan dengan mereka itu yaitu:

 

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (-nya), lalu mereka berkata, “Diamlah kalian (untuk mendengarkannya).” Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan melepaskan kalian dari azab yang redih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, dia tidak akan dapat melepaskan diri dari azab Allah di muka bum’ dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. 46 Al-Ahqaf: 2932)

 

Allah swt. telah menceritakan tentang jin ini dengan kisah yang cukup panjang, yaitu dalam surah Al-QQur’an yang juga dinamai dengan nama mereka. Permulaan surah itu mengatakan:

 

Katakanlah (hai Muhammad), “Telah diwahyukan kepadaku bahwa telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al-Quran), :alu mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Quran yang menakJubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Rabb kami….” (Q.5. 72 Al-Jin: 1-2)

 

Tatkala meninggalkan Thaif menuju Makkah, Rasulullah saw. tidak dapat masuk begitu saja ke kota Makkah karena orang-orang Quraisy telah mengetahui bahwa ia berangkat ke Thaif untuk meminta bantuan penduduknya guna menghadapi mereka. Rasulullah saw. mengirimkan utusannya kepada Al-Muth’im ibnu’Addi ibnu Naufal ibnu ‘Abdu Manaf, memberitahukan kepadanya bahwa ia akan memasuki kota Makkah di bawah perlindungannya. Al-Muth’im mengabulkan permintaan tersebut, lalu is dan semua anaknya menyandang senjata untuk menyambut kedatangan Rasulullah. Setelah Rasulullah saw. datang, Al-Muth’im mengajaknya ber. thawaf di Ka’bah, memberitahukan kepada orang-orang bahwa Rasulullah saw. berada di dalam perlindungannya.

 

Di antara kaum mugyrikin ada yang berkata, “Hai Muth’im, apakah engkau sebagai pemberi perlindungan atau sebagai pengikutnya?” Al. Muth’im menjawab, “Aku sebagai pelindungnya.” Mereka berkata, “Kalau memang demikian, maka jaminan engkau tidak akan dilanggar.”

 

 

Telah datang kepada Rasulullah saw., yang waktu itu telah berada kembali di kota Makkah, utusan Ath-Thufail ibnu ‘Amr ad-Dausi dari kabilah Daus, keluarga Sahabat Abu Hurairah yang terkenal itu. Ath-Thufail adalah seorang yang dihormati di kalangan kaumnya. Ia seorang yang bijaksana lagi penyair. Tatkala Rasulullah saw. membacakan Al-Quran kepadanya, ia langsung masuk Islam. Lalu Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Berangkatlah kepada kaum engkau, lalu ajak mereka masuk Islam.” Rasulullah pun mendoakannya: “Ya Allah, berilah petunjuk kepada orangorang Daus.”

 

Kemudian Ath-Thufail kembali kepada kaumnya dan mengajak mereka masuk Islam. Akhirnya banyak di antara mereka yang masuk Islam berkat dakwah Ath-Thufail ini. Kelak akan datang pula utusan dari mereka kepada Rasulullah saw. untuk yang kedua kalinya, tetapi Rasulullah saw. pada waktu itu telah hijrah ke Madinah, dan Aththufail beserta kaumnya menemui Rasulullah di sana.

 

Sebelum Rasulullah saw. melakukan hijrah ke madinah, terlebih dahulu Allah swt. memuliakannya dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Isra” artinya perjalanan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. pada malam hari dari Makkah ke Baitul Magdis di Yerusalem, kemudian masih pada malam itu juga kembali ke Makkah. Adapun mi’raj berarti dinaikkannya Rasulullah saw. ke alam langit.

 

Ulama jumhur ahlus-sunnah wal-jama’ah berpendapat bahwa hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah saw. berikut jasadnya yang mulia. Siti “Aisyah r.a. melarang orang-orang mengatakan bahwa Muhammad telah melihat Rabb-nya. Ia berkata, “Barang siapa mengatakan bahwa sesungguhnya Muhammad telah melihat Rabb-nya, maka berarti ia telah membuat suatu kebohongan yang besar terhadap Allah”)”

 

Mengenai kisah Isra’ dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu

 

Mahasuci Allah Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil-Haram ke Masjidil-Agsha yang telah diberkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tandatanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. 17 Al-Isra’: 1)

 

Adapun mengenai kisah al-Mi’raj telah disebutkan secara jelas dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui Sahabat Abas ibnu Malik r.a. Selanjutnya hadis ini dinukil oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dalam kitab Asy-Syifa. Sahabat Anas ibnu Malik r.a menceritakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:

 

Aku diberi kendaraan al-burag, ja adalah hewan yang lebih besar dari keledai, tetapi tidak sebesar bagal ia sekali melangkah dapat mencapai sejangkauan pandangan matanya. (Kemudian Rasulullah saw. melanjutkan ceritanya), lalu aku naiki kendaraan al-burag itu hingga sampai di Baitul-Magdis, kemudian aku tambatkan dia di tempat para nabi biasa menambatkan kendaraannya. Lalu aku memasuki Masjidil-Agsha dan melakukan salat dua raka’at di dalamnya. Setelah itu aku keluar dan malaikat Jibril datang kepadaku seraya membawa dua buah wadah, yang satu berisi khamar sedangkan yang lain berisi susu. Akan letapi, aku memilih susu. Lalu malaikat Jibril berkata, “Engkau ternyata telah memilih al-fitrah (dinul-Islam).” Kemudian malaikat Jibril membawaku naik ke langit. Sesampainya di pintu langit malaikat Jibrit meminta pintu langit agar dibuka, lalu ada yang bertanya, “Siapakah engkau?” Malaikat Jibril menjawab, “Aku Jibril.” Lalu ada yang ber. tanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?” Malaikat Jibril menjawab, “Muhammad.” Ia bertanya lagi, “Apakah dia telah diutus untuk meng. hadap kepada-Nya?” Malaikat Jibril menjawab, “Ya, dia telah diutus untuk menghadap kepada-Nya.” Kemudian pintu terbuka. Tiba-tiba muncul Nabi Adam, lalu ia menyambutku dengan hangat sekali dan ia berdoa untuk kebaikanku. Selanjutnya malaikat Jibril membawaku naik ke langit yang kedua. Jibril meminta supaya pintu dibuka. Lalu ada yang bertanya, “Siapakah engkau?” Jibril menjawab, “Aku Jibril.” Ia bertanya lagi, “Dan siapakah yang bersamamu itu?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Ia bertanya, “Apakah ia telah diutus kepada-Nya?” Jibril menjawab, “Ya dia telah diutus untuk menghadap kepada-Nya.” Lalu pintu dibuka. Tiba-tiba aku bertemu dengan dua orang nabi anak bibiku, yaitu Yahya dan ‘Isa ibnu Maryam. Keduanya menyambutku dengan hangat, dan keduanya berdoa untuk kebaikanku. Kemudian Jibril membawaku naik ke langit yang ketiga, dan malaikat Jibril mengulangi apa yang telah dikatakan sebelumnya. Lalu pintu langit dibuka untuk kami. Maka tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Yusuf, dan ternyata dip telah dianugerahi separuh kegantengan. Lalu ia menyambut: ku dengan hangat dan mendoakan kebaikan untukku. Lalu Jibril membawaku naik ke langit yang keempat, dan in mengulangi lagi tanya-jawab yang semula tadi. Kemudian pintu langit dibuka, dan tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Idris. Ia menyambutku dengan hangat dan mendoakan kebaikan untukku. Allah telah berfirman dalam surah Maryam, “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (Q.S. 19 Maryam: 57). Kemudian Jibril membawaku naik ke langit yang kelima, dan ia menyebutkan jawaban yang seperti semula. Maka tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Harun, lalu ia menyambutku dengan hangat dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian malaikat Jibril membawaku naik ke langit yang keenam, dan ia memberikan jawaban seperti semula. Tiba-tiba aku bertemu dengan nabi Musa, lalu ia menyambutku dengan hangat dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian malaikat Jibril membawaku naik ke langit yang ketujuh, lalu ia menyebutkan jawaban seperti semula. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Ibrahim yang sedang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma’mur. Ternyata baitul Ma’mur itu setiap hari dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat di mana mereka tidak kembali lagi ke situ (sesudah memasukinya). Kemudian malaikat Jibril membawaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya sebesar telinga gajah dan buahnya seperti gentong yang besar. Maka tatkala ia tertutup oleh perintah Rabb-ku (tertutup oleh nur Rabb), tiba-tiba ia berubah. Kala itu ia tampak sangat indah sehingga tidak ada seorang pun dari makhluk Allah yang mampu menggambarkan keindahannya. Kemudian Allah swt. memberikan wahyu kepadaku (secara langsung). Dia mewajibkan kepadaku dan umatku ibadah salat sebanyak lima puluh kali untuk setiap siang dan malam hari. Kemudian aku turun menemui Nabi Musa, dan Nabi Musa bertanya, “Apakah yang telah diwajibkan oleh Raab-mu terhadap umatmu?” Lalu aku jawab, “Lima puluh kali salat.” Nabi Musa berkata. “Kembalilah menemui Rabb-mu, dan mintalah keringanan daripadaNya karena sesungguhnya umatmu tidak akan mampu melakukan hal tersebut, sebab aku telah menguji dan mencoba kaum bani Israil.” (Sahabat Anas r.a. melanjutkan ceritanya). Maka aku kembali kepada Rabb-ku, dan aku berkata kepada-Nya, “Wahai Rabb-ku ringankanlah beban umatku.” Lalu Dia mengurangi kewajiban itu sebanyak lima salat. Setelah itu aku kembali kepada Nabi Musa, lalu aku berkata bahwa Dia telah menguranginya kepadaku sebanyak lima salat. Nabi Musa berkata, “Sesungguhnya umatmu tidak akan mampu melakukan hal tersebut, maka sebaiknya engkau kembali kepada Rabb-mu, untuk meminta keringanan daripada-Nya (Sahabat Anas r.a. melanjutkan cerita Nabi saw.) Pada saat itu aku masih tetap mondar-mandir antara Rabb-ku dan Nabi Musa sehingga pada akhirnya Allah swt. memutuskan perkara-Nya melalui firman-Nya: “Hai Muhammad, sesungguhnya kewajiban-kewajiban tersebut adalah lima kali salat untuk setiap hari dan semalamnya: bagi setiap salat (sebagai pengganti dari) sepuluh (salat), maka semuanya menjadi genap lima puluh kali salat. Dan barang siapa yang berniat untuk melakukan kebaikan, kemudian ia tidak melaksanakan niatnya itu, maka dituliskan baginya pahala satu kebaikan. Dan barang siapa yang berniat untuk melakukan kebaikan, kemudian ternyata ia melakukannya, maka dituliskan baginya pahala sepuluh kali kebaikan. Dan barang siapa yang berniat untuk melakukan keburukan, kemudian ia tidak mengerjakannya, maka tidak dituliskan baginya sesuatu pun.Dan barang siapa berniat untuk melakukan keburukan, kemudian ternyata ia melakukannya, maka ditulislah baginya dosa satu kali keburukan.” (Sahabat Anas r.a. melanjutkan kisah nabi saw.). Kemudian aku turun hingga sampai kepada Nabi Musa, lalu aku ceritakan kepadanya apa yang telah aku alami. Akan tetapi, ia masih tetap mengatakan, “Kembalilah kepada Rabb-mu, dan mintalah keringanan lagi daripada-Nya. Maka aku jawab, “Aku telah bolak-balik kepada Rabb-ku sehingga aku merasa malu terhadap-Nya.” (Hadis diriwayatkan oleh Syaikhain melalui sahabat Anas ibnu Malik r.a.)

 

Pada malam itu juga Rasulullah saw. kembali turun ke bumi. Kemudian pada keesokan harinya Rasulullah saw. berangkat menuju ke tempat orang Quraisy berkumpul. Di situ Rasulullah saw. didatangi oleh Abu Jahal Rasulullah saw. langsung bercerita kepadanya tentang apa yang telah dialaminya semalam. Sebelum Rasulullah saw. bercerita, Abu Jahal berseru, “Hai Bani Ka’b ibnu Luay, kemarilah kalian semua.” Maka semua orang kafir Quraisy datang berkumpul kepadanya.

 

Kemudian Rasulullah saw. menceritakan kepada mereka hal tersebut. Sebagian di antara mereka bertepuk tangan (mengejek) dan sebagian yang lain meletakkan tangan pada kepala mereka masing-masing sebagai ungkapan rasa takjub, tetapi dibarengi rasa ingkar. Ternyata peristiwa itu mengakibatkan murtadnya orang-orang yang masih lemah imannya. Selanjutnya orang-orang bergegas menemui Abu Bakar, tetapi Abu Bakar berkata kepada mereka, “Jika benar Rasulullah mengatakan hal tersebut, niscaya apa yang dikatakannya itu benar.” Mereka bertanya, “Apakah engkau percaya kepada ceritanya itu” Sahabat Abu Bakar menjawab, “Sesungguhnya aku percaya kepadanya lebih jauh dari itu.” Sejak saat itu sahabat Abu Bakar dijuluki Ash-Shiddig.

 

Kemudian orang-orang kafir mulai menguji kebenaran cerita Rasulullah saw. itu. Mereka menanyakan spesifikasi tentang Baitul-Magdis. Pada saat itu di kalangan mereka terdapat beberapa orang yang telah melihat Baitul-Magdis. Adapun Rasulullah saw. belum pernah melihatnya sebelum peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu. Allah swt. menampakkan Baitul-Magdis kepada Rasulullah sehingga ia mampu menggambarkan kepada mereka, pintu demi pintu dan tempat demi tempat. Mereka berkata, “Mengenai spesifikasinya memang benar. Sekarang coba engkau beritahukan kepada kami tentang iring-iringan ekspedisi kami.” Memang iring-iringan ekspedisi niaga mereka pada saat itu sedang dalam perjalanan kembali dari negeri Syam. Selanjutnya Rasulullah saw. memberitahukan kepada mereka tentang jumlah unta yang dipakai dan pula mengenai keadaannya. Kemudian ia mengatakan bahwa mereka akan datang pada hari anu bersamaan dengan terbitnya matahari pada hari tersebut, sedangkan yang berada paling depan adalah unta yang paling muda. Pada hari yang telah diisyaratkan oleh Rasululalh itu mereka keluar menuju ke lembah, lalu seseorang dari mereka berkata, “Demi Allah, memang benar sekarang matahari telah terbit.” Sedangkan orang yang lainnya mengatakan, “Demi Allah, coba lihat, iring-iringan kita itu telah datang, dan yang paling depan adalah unta yang paling muda, persis seperti yang diberitakan oleh Muhammad.”

 

Akan tetapi, kenyataan tersebut hanyalah membuat mereka semakin ingkar dan besar kepala sehingga akhirnya mereka mengatakan, “Ini adalah perbuatan sihir yang nyata.”

 

Pada pagi hari setelah malamnya Rasulullah melakukan Isra’, malaikat Jibril datang mengajarkan cara salat dan ketentuan waktu pelaksanaannya kepada Rasulullah saw. Malaikat Jibril memberikan contoh kepada Rasulullah saw. Ia melakukan salat dua rakaat sewaktu fajar menyingsing (salat subuh), empat rakaat sewaktu matahari tergelincir sedikit dari tengah, empat rakaat lagi sewaktu bayangan mencapai dua kali lipat panjangnya, tiga rakaat sewaktu matahari tenggelam, dan empat rakaat sewaktu mega merah lenyap. Sebelum disyariatkannya ibadat salat lima waktu, Rasulullah saw. hanya melakukan salat dua rakaat pada pagi hari dan dua rakaat pada sore harinya seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s.

 

Ketika Rasulullah saw. telah merasakan bahwa orang-orang Quraisy mencegahnya menyampaikan risalah Rabb-nya, dan sifat takabur serta sombong telah menguasai hati mereka, maka Allah swt. berkehendak menampakkan perkara agama-Nya melalui orang-orang Arab selain orangorang Quraisy. Keluarlah Rasulullah saw. untuk mengunjungi pasar orang-orang Arab, yaitu pasar-pasar yang didirikan oleh orang-orang Arab untuk memamerkan barang dagangan dan kebudayaan mereka. Kemudian Rasulullah saw. menawarkan dirinya kepada para kabilah yang hadir agar mereka mau melindunginya supaya ia dapat menunaikan risalah Rabbnya. Di antara mereka ada yang menolak tawaran itu dengan baik, dan sebagian dari mereka menolaknya dengan kasar. Di antara orang-orang yang paling jelek penolakannya adalah dari bani Hanifah, kabilah Musailamah al-Kadzdzab. Kemudian Bani ‘Amir meminta kepada Rasulullah saw. bahwa mereka mau beriman kepada Rasulullah saw bila Rasulullah mau menyerahkan tampuk kepemimpinan sesudah dia wafat. Permintaan mereka itu dijawab oleh Rasulullah saw. bahwa masalah itu sepenuhnya berada di tangan Allah: Dialah yang menyerahkannya kepada orang yang dikehendaki-Nya.

 

Di antara orang-orang yang datang berziarah ke Baitullah adalah orang-orang Arab dari Yatsrib (Madinah). Yatsrib adalah nama kota yang terletak di antara Makkah dan negeri Syam. Penduduknya terdiri dari dua kabilah. Salah satu di antaranya ialah bani AlAus, sedangkan yang lain. nya ialah Bani Al-Khazraj. Al-Aus dan AlKhazraj merupakan saudara sekandung, tetapi anak-cucu mereka terlibat dalam permusuhan yang se. ngit di antara mereka, sehingga timbullah peperangan di antara kedua golongan tersebut tanpa henti-hentinya. Mereka selalu hidup di dalam per. sengketaan dan pertentangan. Di samping mereka terdapat pula di Madinah beberapa kaum dari kalangan Yahudi. Mereka adalah Bani Qainuqa’, Bani Quraizhah, dan Bani Nadhir. Pada mulanya merekalah yang berkuasa di kota Madinah, kemudian orang-orang Arab memerangi mereka sehingga dapat menguasainya dan mempunyai kekuatan yang disegani mereka.

 

Jika orang-orang Yahudi mengalami kekalahan, mereka memohon kemenangan dalam menghadapi musuh-musuh mereka dengan menyebut nama nabi yang kini sudah dekat masa pengutusannya. Akan tetapi, apabila perselisihan telah berkecamuk di kalangar. orang Arab, dan persatuan mereka pecah, mereka mengadakan perjanjian dengan orang-orang Yahudi buat diri mereka masing-masing. Orang-orang kabilah Aus mengadakan pakta pertahanan dengan Bani Quraizhah, sedangkan orang-orang kabilah Khazraj dengan Bani Nadhir dan Bani Qainuglqa’. Peperangan paling akhir di kalangan mereka dan para sekutunya adalah Perang Bi’ats. Dalam perang tersebut banyak pemimpin orang Yahudi terbunuh. Tiada seorangpun dari para pemimpin orang Yahudi yang masih hidup selain ‘Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul dari kalangan Yahudi yang memihak kepada kabilah Khazraj, dan Abu ‘Amir, seorang rahib Yahudi, dari kalangan mereka yang memihak kabilah Aus.

 

Oleh sebab itu, berdasarkan kenyataan ini Siti ‘Aisyah r.a. pernah mengatakan, “Perang Bi’ats adalah peperangan yang dihadiahkan oleh Allah swt. kepada Rasulullah saw.” Timbul dalam pikiran para pemimpin kabilah Aus untuk mengadakan perjanjian dengan orang-orang Quraisy dalam menghadapi kabilah Khazraj. Mereka mengutus Iyas ibnu Mu’adz dan Abul-Haisar Anas ibnu Rafi’ bersama segolongan orang Madinah untuk mengajukan perjanjian tersebut kepada orang-orang Quraisy. Tatkala mereka datang di kota Makkah, mereka ditemui oleh Rasulullah saw., lalu Rasulullah berkata kepada mereka, “Apakah kalian tidak menginginkan agar kedatangan kalian dipenuhi dengan kebaikan?. (Yaitu) hendaknya kalian beriman kepada Allah semata, dan jangan sekali-kali kalian menyekutukan-Nya dengan apa pun. Sungguh Allah swt. telah mengutus diriku kepada umat manusia semuanya.” Kemudian Rasulullah saw. membacakan Al-Qur’an kepada mereka, Maka Iyas ibnu Mu’adz berkata, “Ha! kaum, demi Allah ini lebih baik daripada maksud kita datang untuknya.”

 

Akan tetapi, perkataannya itu langsung dipotong oleh Abul Haisar. Abul Haisar berkata kepada Iyas ibnu Mu’adz, “Biarkanlah kami dengan urusan, mu. Sesungguhnya kita datang ke sini bukan untuk urusan itu.” Maka Iyas , ibnu Mu’adz pun diam.

Tatkala musim ziarah ke Baitullah telah datang, Rasulullah saw. menemui | mereka yang jumlahnya hanya enam orang, semuanya dari kabilah Khaz— raj. Mereka adalah As’ad ibnu Zararah, ‘Auf ibnul Harits dari bani Najjar, ” Rafi’ ibnu Malik dari Bani Zuraig, QGathabah ibnu ‘Amir dari Bani ‘ Salamah, ‘Ugbah ibnu ‘Amir dari bani Haram, dan Jabir ibnu ‘Abdullah dari kalangan Bani ‘Ubaid ibnu ‘Addi. Rasulullah saw. mengajak mereka ‘ masuk Islam dan membantunya dalam menyampaikan risalah Rabb-nya. ” Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Sungguh dia – adalah nabi yang sering disebut-sebut oleh orang-orang Yahudi dalam – menghadapi kalian dahulu, maka janganlah orang-orang Yahudi mendahului kalian untuk beriman kepadanya.” Akhirnya mereka beriman dan – percaya kepada Nabi saw., lalu mereka berkata, “Sesungguhnya kami ” meninggalkan kauyn kami, sedangkan mereka berada dalam permusuhan di antara sesama mereka. Bilamana ternyata Allah menyatukan mereka melalui engkau, niscaya tidak ada seorang pun yang lebih mulia daripada engkau.” Kemudian mereka menjanjikan kepada Nabi saw. untuk bertemu kembali dengannya di musim ziarah tahun depan. Peristiwa inilah yang mengawali masuk Islamnya orang-orang Arab penduduk kota Yatsrib.

 

Tahun berikutnya telah tiba. Datanglah sebanyak dua belas orang lelaki dari kalangan mereka, sepuluh orang dari kabilah Khazraj, sedangkan yang dua orang lainnya dari kabilah Aus. Mereka adalah As’ad ibnu Zararah dan ‘Auf serta Mu’adz, keduanya anak Al-Harits: Rafi’ ibnu Malik: Dzakwan ibnu Qais: ‘Ubadan ibnushShamit, Yazid ibnu Tsa’labah, Al-‘Abbas ibnu ‘Ubadah, ‘Agabah ibnu ‘Amir, dan Qathabah ibnu ‘Amir, semuanya dari kabilah Khazraj: Abul Haitsam ibnu Taihan serta ‘Uwaim ibnu Sa’idah, dari kabilah ‘Aus. Mereka semua berkumpul di ‘Agabah dan masuk Islam serta berbai’at kepada Rasulullah saw. seperti bai’atnya kaum wanita karena pada masa itu perang (jihad) masih belum diwajibkan. Yaitu, hen. daknya mereka tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak boleh membunuh anak-anak mereka, tidak boleh melakukan perbuatan dusta di antara tangan dan kaki mereka, dan tidak boleh mendurhakai Allah dalam perkara makruf (kebajikan). Apabila mereka menunaikan janji, bagi mereka surga sebagai pahalanya. Apabila mereka melakukan kecurangan di antara salah satunya, perkara mereka terserah kepada Allah. Jika Allah swt. menghendaki memberikan ampunan kepada mereka, niscaya Dia akan memberikan ampunan, dan jika Dia menghendaki azab, niscaya Dia akan mengazab mereka. Bai’at ini adalah bai’at ‘Agabah yang pertama.

 

Selanjutnya Rasulullah saw. mengirimkan kepada mereka Mush’ab ibnu ‘Umair al-‘Abdari dan “Abdullah ibnu Ummi Maktum, anak bibi Siti Khadijah, dengan membawa tugas membacakan Al-QQur’an kepada mereka dan mengajari mereka agama Islam. Mush’ab tinggal di rumah salah seorang yang telah berbai’at, yaitu Abu Umamah, nama aslinya ialah As’ad ibnu Zarrarah. Kemudian Mush’ab aktif mengajak sisa-sisa orang Aus dan Khazraj yang belum masuk Islam untuk masuk Islam.

 

Ketika pada suatu hari Mush’ab sedang duduk-duduk di sebuah kebun bersama As’ad ibnu Zarrarah, tiba-tiba Sa’ad ibnu Mu’adz, pemimpin kabilah Aus, berkata kepada Usaid ibnu Hudhair, saudara misan As’ad, “Tidakkah engkau bertindak terhadap dua orang lelaki itu, yang keduanya datang untuk mencekoki orang-orang lemah di antara kita? Cegahlah keduanya oleh engkau.” Lalu Usaid berdiri menghunus tombak pendeknya untuk menemui kedua utusan itu. Akan tetapi, ketika As’ad melihatnya datang, ia memberikan penjelasan kepada Mush’ab, “Ini adalah pemimpin kaumnya. Ia datang kepada engkau, maka berikanlah petunjuk jalan Allah kepadanya.” Tatkala Usaid datang di hadapan kedua utusan itu, ia berkata, “Apakah gerangan yang menyebabkan kedatangan kalian berdua sehingga kalian berani mencekoki orang-orang lemah di antara kami? Apakah kalian berdua mempunyai keperluan tertentu?” Lalu Mush’ab berkata kepadanya, “Tenanglah, silakan engkau duduk dulu, kemudian dengarkanlah apa yang akan kusampaikan. Jika engkau suka perkara yang akan kusampaikan itu, engkau boleh menerimanya, dan jika engkau tidak menyukainya, maka aku akan menahan diriku, tidak melakukan apa yang tidak engkau sukai terhadap diri engkau.” Kemudian Mush’ab membacakan Al-Qur’an kepadanya. Akhirnya Usaid menganggap bahwa agama Islam itu baik dan mendapat hidayah dari Allah, karena itu ia membaca Syahadat (masuk Islam). Lalu ia kembali menemui Sa’ad ibnu Muw’adz. Sa’ad bertanya kepadanya mengenai apa yang telah dilakukannya terhadap kedua utusan Nabi itu. Usaid menjawab, “Demi Allah, menurut pendapatku kedua orang itu tidak apa-apa setelah aku melihatnya.” Setelah mendapat jawaban tersebut Sa’ad ibnu Mu’adz marah-marah, lalu ia segera berangkat untuk menemui keduanya. Mush’ab pun melakukan hal yang sama, dan ternyata Allah swt. memberinya petunjuk sehingga ia pun masuk Islam seperti Usaid tadi. Kemudian ia kembali bergabung dengan orang-orang Bani ‘Abdul-Asyhal. Mereka adalah salah satu puak kabilah Aus. Ia berkata kepada mereka, “Bagaimana anggapan kalian terhadap diriku ini?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemimpin kami dan anak pemimpin kami.” Sa’d berkata kepada mereka, “Kaum lelaki dan kaum perempuan kalian haram berbicara denganku sebelum kalian mau masuk Islam.” Akhirnya semua keluarga Bani ‘Abdul-Asyhal masuk Islam dan memenuhi ajakan Sa’d ibnu Mu’adz. Akhirnya agama Islam menyebar ke seluruh rumah di kota Madinah, sehingga tiada obrolan lain bagi mereka kecuali masalah agama Islam.

 

Pada musim haji berikutnya, yaitu setahun setelah Bai’at ‘Agabah. Pertama, datanglah ke Makkah sebagian besar dari mereka dengan maksud menunaikan ibadah haji. Di antara mereka terdapat pula orang-orang yang masih musyrik. Utusan mereka menghadap Rasulullah saw.dan menyampaikan pesan bahwa mereka berjanji akan bertemu dengan Rasulullah saw. pada malam hari di ‘Agabah. Kemudian Rasulullah saw. berpesan kepada mereka agar mereka jangan sampai membangunkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak, dan jangan pula mereka menunggu-nunggu orang yang tidak ada. Semua kegiatan ini dilakukan secara tersembunyi dan sangat rahasia agar orang-orang musyrik Quraisy tidak mengetahuinya. Jika sampai mereka mengetahui hal ini, niscaya mereka akan mencegah apa yang telah mereka sepakati sejak semula bersama Rasulullah saw.

 

Setelah orang-orang Anshar menunaikan hajinya, mereka bergerak menuju ke tempat pertemuan yang telah dijanjikan secara sembunyisembunyi supaya tidak diketahui oleh rekan-rekan mereka yang musyrik. Hal itu mulai mereka lakukan setelah malam hari berlangsung sepertiganya (sekitar jam 10.00 malam). Mereka berangkat seorang demi seorang tanpa ribut-ribut sehingga jumlah mereka lengkap berada di tempat. Jumlah mereka semua ada tujuh puluh tiga orang. Di antara mereka terdapat enam puluh dua orang dari kabilah Khazraj, sedangkan sebelas orang lain. nya berasal dari kabilah Aus. Ikut dengan mereka ada dua orang perem. puan, yaitu Nasibah binti Ka’b dari Bani Najjar dan Asma binti ‘Amr dari Bani Salamah.

 

Rasulullah saw. menemui mereka di tempat tersebut. Ia diikuti oleh Al-‘Abbas ibnu ‘Abdul-Muththalib yang pada saat itu masih memeluk aga. ma kaumnya, tetapi ia ingin menghindari perkara keponakannya itu supaya ia yakin dan melihat sendiri apa yang akan dilakukannya. Setelah mereka berkumpul, Al-‘Abbas mengatakan kepada mereka bahwa keponakannya ini masih tetap disegani di kalangan kaumnya sehingga tiada seorang pun dari kalangan kaumnya yang menampakkan permusuhan dan kebencian terhadapnya dan mencelakakannya. Bahkan sebaliknya, mereka sendirilah yang menanggung banyak penderitaan dan keresahan dalam menghadapinya. Selanjutnya Al-‘ Abbas menegaskan kepada mereka, “Bila kalian benar-benar akan menepati janji kalian terhadapnya sesuai dengan apa yang telah kalian utarakan kepadanya, maka kalian benar-benar harus siap membelanya dari perlakuan orang-orang yang menentangnya, siap sedia menanggung segala akibatnya. Bila kalian tidak bersedia melakukan hal tersebut, biarkanlah dia berada di kalangan keluarganya, sebab keluarganya berada dalam kedudukan yang besar (yang mampu melindunginya).” Lalu pemimpin mereka selaku jurubicara mereka semua, yaitu Al-Barra ibnu Ma’rur, berkata, “Demi Allah, seandainya kami mempunyai sesuatu yang hendak kami katakan kepadanya, niseaya kami akan mengatakannya. Akan tetapi, kami datang ke sini tiada lain hanya demi memenuhi janji dan percaya serta siap mengorbankan jiwa demi Rasulullah.” Kemudian pada saat itu mereka semua berkata kepada Rasulullah saw, “Ambillah (dari kami) demi engkau dan Rabb-engkau apa-apa yang engkau sukai.” Maka Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Aku mensyaratkan kepada kalian, demi Rabb-ku, hendaklah kalian menyembah-Nya semata, dan jangan sekali-kali kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Aku mensyaratkan kepada kalian untukku, hendaknya kalian mempertahankan diriku sebagaimana kalian mempertahankan perempuan-perempuan dan anakanak kalian sendiri bilamana aku datang kepada kalian.”

 

Kemudian Al-Haitsam ibnut-Taihan berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di antara kami dan orang-orang lain terdapat ikatan perjanjian, dan kami telah siap untuk memutuskannya. Apakah jika kami melakukan hal tersebut, kemudian ternyata Allah swt. menyuruh engkau kembali kepada kaum engkau lalu engkau membiarkan kami begitu saja?” Mendengar perkataan tersebut Rasulullah saw. tersenyum, lalu berkata, “Tidak, tetapi darah dengan darah dan kehancuran dengan kehancuran.” Artinya, bila mereka ingin menuntut darah, maka Rasulullah akan menuntutnya: dan bila mereka ingin menyia-nyiakannya, niscaya Rasulullah akan menyia-nyiakan mereka pula. Atau dengan kata lain, Rasulullah saw. siap sehidup-semati dengan mereka.

 

Sejak saat itu mulailah pembai’atan, Bai’at ini dinamakan Bai”at “Agabah kedua. Kemudian mulailah orang-orang Anshar membai’at Rasulullah saw. sesuai dengan apa yang dimintanya. Orang yang mula-mula berbai’at ialah As’ad ibnu Zarrarah, tetapi menurut pendapat lain adalah Al-Barra ibnu Ma’rur. Kemudian Rasulullah saw. memilih dua belas orang di antara mereka dari setiap keluarga diambil seorang, untuk dijadikan sebagai pemimpin mereka, sembilan orang dari kabilah Khazraj dan tiga orang dari kalangan kabilah Aus. Mereka adalah Abul-Haitsam ibnut-Taihan, As’ad ibnu Zarrarah, Usaid ibnu Hudhair, Al-Barra ibnu Ma’rur, Rafi” ibnu Malik, Sa’d ibnu Khaitsamah, Sa’d ibnur-Rabi”’, Sa’d ibnu ‘Ubadah, ‘Abdullah ibnu Rawwahah, ‘Abdullah ‘Amr, ‘Ubadah ibnush-Shamit, dan Al-Mundzir ibnu ‘Arnr.

 

Selanjutnya Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Kalian adalah para pelindung kaum kalian sebagaimana kaum Hawariyin melindungi ‘Isa ibnu Maryam, dan aku adalah pelindung kaumku.” Akan tetapi, sudah merupakan kehendak Allah swt. Akhirnya berita pembai’atan ini sampai juga ke telinga orang-orang musyrik QQuraisy. Mereka mendatangi perkemahan orang-orang Anshar, lalu mereka berkata, “Hai orang-orang Khazraj, aku dengar kalian telah mendatangi Muhammad dan kalian akan mengeluarkannya dari tanah air kami, kemudian kalian telah berbai’at kepadanya untuk memerangi kami.” Akan tetapi, kaum Anshar membantah hal tersebut. Orang-orang musyrik yang datang dari Madinah bersama kaum Anshar, yaitu mereka yang tidak menghadiri bai’at tersebut, bersumpah kepada kaum musyrikin QQuraisy bahwa teman-teman mereka pada malam itu tidak pergi ke mana-mana dan tidak melakukan apa-apa (karena mereka tidak tahu, pen.) sehingga ‘Abdullah ibnu Ubay, seorang pemimpin dari kabilah Khazraj berkata, “Jika memang kaumku melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut, niscaya mereka mengikutsertakan diriku.”

Ketika orang-orang Anshar kembali ke Madinah, agama Islam semakin bertambah semarak lebih dari semula. Sedangkan Hasulullah dan para sahabatnya mendapat tekanan yang lebih keras lagi dari kaum musyrikir sebab orang-orang musyrik telah mendengar berita bahwa Rasulullah telah mengadakan perjanjian dengan penduduk Madinah untuk melawan me. reka. Hal ini membuat mereka makin memusuhi Rasulullah saw.

 

Selanjutnya Rasulullah saw. memerintahkan seluruh kaum Muslimin untuk berhijrah ke Madinah. Kemudian mereka secara diam-diam be. rangkat ke Madinah karena takut ketahuan oleh orang-orang Quraisy. Jika mereka mengetahui hal tersebut, niscaya mereka akan mencegahnya. Orang yang mula-mula keluar dari Makkah adalah Abu Salamah al. Makhzumi bersama istrinya, Ummu Salamah. Pada mulanya kaum Ummu Salamah mencegahnya mengikuti jejak suaminya, tetapi akhirnya mereka membiarkannya juga pergi bersama suaminya, lalu Ummu Salamah menyusul suaminya dan berangkat menuju Madinah.

 

Secara berturut-turut kaum Muhajirin hijrah ke Madinah seraya mem. bawa agama mereka, agar mereka dapat beribadah kepada Allah, karena hal ini telah mendarah daging dalam diri mereka. Mereka tidak lagi mempedulikan berpisah dengan tanah air tercinta dan jauh dari orang-orang tua dan anak-anak mereka selagi hal itu merupakan kerelaan Allah dan Rasul-Nya.

 

Pada saat itu kaum Muslimin yang masih tetap berada di Makkah hanyalah Sahabat Abu Bakar, Sahabat ‘Ali, Sahabat Shuhaib, Sahabat Zaid, dan beberapa orang yang tidak mampu melakukan hijrah mengingat kondisi mereka yang tidak memungkinkan. Sahabat Abu Bakar sendiri sangat menginginkan hijrah, tetapi Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Tenanglah engkau, karena sesungguhnya aku sedang menunggu-nunggu izin dari Allah untuk melakukannya.” Abu Bakar bertanya, “Ayahku menjadi tebusan engkau. Apakah memang engkau sedang mengharap-harap hal tersebut?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” Maka Sahabat Abu Bakar mengekang keinginannya itu demi Rasulullah saw. Ia mengerti bahwa dirinya diperlukan oleh Rasulullah saw. untuk menemaninya. Akan tetapi, Sahabat Abu Bakar tidak tinggal diam. Ia memberikan makanan secukupnya kepada dua ekor unta miliknya sebagai persiapan untuk kendaraan dalam hijrah nanti, dan Sahabat Abu Bakar sering tidak tidur.

Orang-orang Quraisy seolah-olah terbakar telinga mereka tatkala mendengar bahwa orang-orang Anshar berbai’at kepada Nabi saw., siap membelanya hingga mati. Para pemimpin dan para panglima perang mereka berkumpul di Darun-Nudwah, tempat yang mula-mula dibangun oleh Gushay ibnu Kilab. Di tempat tersebutlah setiap perkara orang-orang Quraisy diputuskan. Mereka bermusyawarah di situ untuk mencari cara terbaik dalam menghadapi Rasulullah saw. yang kini semakin membuat mereka khawatir.

 

Lalu seorang dari mereka berkata, “Kita usir saja Muhammad dari tempat kita ini sehingga tidak membuat kita lagi repot.” Tetapi mereka menolak usul tersebut mengingat bahwa jika dia keluar, niscaya banyak orang yang mengikutinya sebab mereka pasti tertarik oleh kemanisan tutur katanya dan kefasihan bahasanya. Seseorang lainnya mengatakan, “Bagaimana kalau kita pasung dia seperti apa yang telah kita lakukan terhadap para penyair sebelumnya hingga dia menemui nasib yang sama seperti mereka, yaitu mati dalam pasungan?” Usul ini pun mereka tolak sebab lama-kelamaan pasti beritanya akan sampai ke telinga para penolongnya. “Kita semua telah mengetahui sikap orang-orang yang memasuki agamanya, mereka lebih mengutamakan Muhammad daripada orangorang tua dan anak-anak mereka sendiri. Jika mereka mendengar hal tersebut, pasti mereka akan datang membebaskannya dari tangan kita, dan tak dapat dielakkan lagi hal ini pasti akan menimbulkan peperangan. Hal tersebut jelas tidak kita inginkan.” Akan tetapi, orang yang paling jahat di antara mereka mengatakan, “Tidak, lebih baik kita bunuh saja dia. Untuk mencegah saudara-saudara ayahnya melakukan pembalasan, kita ambil seorang pemuda yang kuat dari setiap kabilah. Kemudian mereka kita suruh mengepung rumahnya. Apabila ia keluar, mereka semua harus memukulnya secara berbarengan. Dengan demikian darahnya terbagi-bagi di antara setiap kabilah. Niscaya Bani ‘Abdu Manaf tidak akan mampu melawan kabilah Quraisy secara keseluruhan, bahkan dapat dipastikan mereka akan rela hanya dengan menerima diat.” Akhirnya mereka menyetujui pendapat ini, Demikianlah tipu muslihat mereka. Akan tetapi, mereka tidak menyadari bahwa kehendak Allah berada di atas semua kehendak sebagaimana yang diungkapkan-Nya melalui firman berikut ini:

 

Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah adalah Pembalas tipu daya yang sebaikbaiknya. (Q.S. 8 Ali ‘Imran: 654)

 

Kemudian Allah swt. memberitahukan kepada Nabi-Nya tentang rencana rahasia mereka terhadapnya. Allah memerintahkan Nabi saw. untuk segera berangkat ke tempat hijrahnya, yaitu Madinah. Di tempat tersebut agama Islam akan lebih menyebar dan di tempat tersebut pula kedudukan Rasulullah saw. akan lebih disegani dan akan memperoleh kejayaannya.

 

Ini jelas merupakan suatu hikmah besar karena, seandainya agama Islam tersebar pada awal mulanya di Makkah, orang-orang yang tidak menyukai Islam pasti mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Quraisy berambisi untuk merajai bangsa Arab. Untuk itu mereka mengangkat seseorang dari kalangan mereka, kemudian mereka memopulerkan bahwa dia menyerukan ajakan tersebut (agama Islam), sehingga pada akhirnya hal tersebut dijadikan mereka sebagai sarana untuk meraih tujuan-tujuan mereka.

 

Akan tetapi, kenyatannya tidaklah demikian, sebab orang-orang Quraisy justru merupakan musuh bebuyutan Nabi saw., dan merekalah yang menghalang-halangi ajakannya itu. Mereka telah memperlakukannya dengan cara yang sangat menyakitkan sehingga Allah swt. memilihkan untuknya berpisah dari tanah airnya untuk menjauhi kejahatan mereka.

Setelah Rasulullah saw. mendapat izin dari Allah swt., pada saat itu juga ia berangkat ke rumah Sahabat Abu Bakar. ia memberitahukan bahwa Allah swt. telah mengizinkannya untuk hijrah. Sahabat Abu Bakar meminta agar ikut menemaninya. Permintaan itu diluluskan oleh Rasulullah saw. Sahabat Abu Bakar menawarkan kepada Rasulullah saw. salah satu di antara kedua kendaraan yang telah dipersiapkannya secara baik-baik untuk melakukan maksud tersebut. Selanjutnya ia mempersiapkan bekal perjalanan dengan serapi-rapinya. Semua makanan untuk di perjalanan dimasukkan ke dalam kantung besar. Asma binti Abu Bakar secara sukarela membelah menjadi dua ikat pinggangnya, kemudian mengikatkannya pada mulut kantung perbekalan tersebut.

 

Selanjutnya Sahabat abu Bakar menyewa ‘Abdullah ibnu Uraigith dari kalangan Bani Dail ibnu Bakr. Dia adalah penunjuk jalan yang mahir. Sekalipun ia masih memeluk agama musyrik seperti orang-orang Quraisy lainnya, ia dapat dipercaya. Nabi saw. dan Abu Bakar menyerahkan kendaraannya kepadanya seraya berpesan agar ia menemui mereka berdua di Gua Tsaur tiga malam berikutnya.

 

Setelah sepakat, lalu Nabi saw. berpisah dengan Sahabat Abu Bakar. Nabi saw. menjanjikan untuk bertemu di luar kota Makkah nanti malam.

 

Pada malam tersebut, bertepatan dengan pelaksanaan rencana rahasia orang-orang Quraisy, para pemuda dari semua kalangan kabilah Quraisy mengepung rumah Rasulullah saw. Pada saat itu Rasulullah saw. berada di dalam rumahnya. Tatkala saat untuk keluar telah tiba, Rasulullah saw. memerintahkan anak pamannya, yaitu Sahabat ‘Ali, untuk tidur di tempat tidurnya supaya orang-orang Quraisy tidak mencurigai kepergiannya. Sesungguhnya mereka selalu mengamat-amati semua gerakan Rasulullah saw. dari celah-celah kubah untuk menyelidiki keberadaannya pada malam itu.

 

Kemudian Rasulullah saw. menyelimuti Sahabat ‘Ali dengan kain burdahnya, lalu ia keluar meliwati para pemuda Quraisy yang berada di luar pintu rumahnya seraya membacakan firman-Nya:

 

Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. (Q.S. 36 Yasin: 9)

 

Allah menimpakan kepada mereka rasa kantuk yang sangat. Akhirnya mereka semua tertidur sehingga tiada seorang pun dari mereka yang melihat kepergian Rasulullah.

 

Rasulullah saw. terus berjalan tanpa menoleh hingga bertemu dengan Sahabat Abu Bakar di tempat yang telah dijanjikan, lalu keduanya melanjutkan perjalanan hingga sampai di Gua Tsaur. Kemudian mereka berdua bersembunyi di dalamnya. Tatkala orangorang musyrik mengetahui bahwa tipu muslihatnya itu tidak membawa hasil apa-apa, bahwa mereka semalaman hanya mengawasi ‘Ali ibnu Abu Thalib, bukannya Muhammad ibnu ‘Abdullah, maka kemarahan mereka semakin memuncak. Lalu mereka mengutus orang-orangnya ke segala penjuru. Mereka menyediakan hadiah yang besar bagi orang yang dapat menangkap Muhammad atau menunjukkan tempat persembunyiannya. Padahal Rasulullah telah sampai di Gua Tsaur sewaktu mereka mencarinya. Seandainya seseorang dari mereka mau melihat ke arah telapak kaki mereka, niscaya ia akan melihat orang yang mereka cari. Hal ini membuat Abu Bakar menangis karena khawatir akan diketahui mereka. Akan tetapi, Rasulullah saw. bersabda kepadanya seraya mengycapkan firman-Nya:

 

 

Janganlah engkau bersedih hati karena sesungguhnya Allah beserta kita. (Q.3. 9 At-Taubab: 40)

 

Allah memalingkan pandangan mata mereka. Sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang memandang ke arah gua akhirnya musuh bebuyutan Rasulullah saw., yaitu Ummayyah ibnu Khalaf, memustahilkan orang yang dicarinya itu bersembunyi di dalam gua tersebut. Rasulullah saw. dan Sahabat Abu Bakar tinggal di dalam Gua Tsaur selama tiga malam hingga pencarian mereka berhenti.

 

“Abdullah ibnu Abu Bakar, anak Sahabat Abu Bakar, sebelum peris. tiwa tersebut biasa menginap di tempat yang berdekatan dengan orangorang Quraisy. Dia adalah seorang pemuda yang terdidik dan berpengalaman. Bila malam hari hampir habis, yaitu pada waktu sahur, ia meninggalkan Rasulullah saw. dan Sahabat Abu bakar. Kemudian pada pagi harinya ia menampakkan dirinya di mata orang-orang Quraisy sehingga mereka menduga bahwa dia bermalam bersama mereka. Ia selalu mengintai gerak-gerik orang-orang Quraisy dan menyadap semua rencana orangorang Quraisy. Kemudian ia berangkat menuju tempat Rasulullah saw. dan Sahabat Abu Bakar berada bila malam telah pekat untuk menyampaikan berita yang diperolehnya itu.

 

Selain itu ‘Amir ibnu Fuhairah selalu berangkat menuju ke arah tempat Rasulullah saw. dan Sahabat Abu Bakar berada dengan membawa domba-domba gembalaannya. Apabila ‘Abdullah ibnu Abu Bakar berangkat meninggalkan Rasulullah saw. dan Sahabat Abu Bakar, lalu ‘Amir mengikuti jejak ‘Abdullah bersama domba gembalaannya supaya jejak ‘Abdullah terhapus oleh jejak domba.

 

Setelah pencarian orang orang Quraisy berhenti, Rasulullah saw. dan Sahabat Abu Bakar keluar dari gua. Hal itu terjadi setelah lewat tiga malam. Lalu keduanya menemui penunjuk jalan yang membawa hewan kendaraan mereka berdua. Fuda waktu itu penunjuk jalan telah siap untuk melakukan tugas sesuai dengan perjanjian semula. Kemudian Rasulullah saw. dan Sahabat Abu Bakar beserta penunjuk jalan berjalan meniti daerah pantai. Akan tetapi, di tengah jalan mereka disusul oleh Suragah ibnu Malik al-Mudlaji yang sedang memburu mereka.

 

Pada mulanya ia kedatangan utusan dari orang-orang musyrik kabilah Quraisy. Utusan itu mengatakan bahwa orang-orang Quraisy telah menyediakan hadiah sebesar diat jiwa Rasulullah dan Abu Bakar bagi siapa saja yang dapat membunuh atau menangkap mereka berdua. Ketika itu Suragah sedang duduk-duduk di majelis kaumnya, yaitu Bani Mudlaj. Tiba-tiba datanglah seseorang dari Bani Mudlaj yang langsung berdiri di hadapan mereka yang sedang duduk-duduk. Ia berkata, “Hai Suragah, sesungguhnya aku tadi telah melihat titik hitam di daerah pantai. Aku yakin bahwa titik hitam tersebut Muhammad dan sahabatnya.” Suraqah berkata di dalam hatinya mereka pasti Muhammad dan sahabatnya, tetapi ja ingin agar pemberi informasi itu jangan mencari mereka. Lalu ia berkata, Sesungguhnya apa yang telah engkau lihat itu adalah si Anu dan si Anu. Mereka berdua sepengetahuanku berangkat untuk mencari barang mereka yang hilang di kawasan tersebut.”

 

Setelah diam sesaat di antara kaumnya, Suragah bangkit, lalu menaiki kudanya, dan ia langsung memacu kudanya ke arah pantai sehingga ia dekat dengan Rasulullah saw. dan Sahabatnya, Abu Bakar. Akan tetapi, tatkala ia mendekat, ternyata kaki depan kudanya terperosok sehingga ia terjatuh. Ia menaikinya kembali mengejar Rasulullah saw. hingga ia sempat mendengarkan bacaan Al-Quran Rasulullah saw. Rasulullah saw. tidak pernah menengok ke belakang, tetapi Sahabat Abu bakar sering menengok ke belakang. Kaki depan kuda Suragah masuk ke dalam pasir hingga batas lututnya, Suragah terjungkal jatuh. Lalu ia kembali menghardik kudanya supaya bangkit, tetapi ketika kaki depan kudanya hendak tercabut, tibatiba keluarlah dari dalamnya debu yang pekat sekali hingga membumbung ke langit. Debu itu tampak bagaikan asap. Kini mengertilah Suragah bahwa pekerjaannya itu sia-sia belaka, bahkan kini perasaan takut merayap ke dalam dirinya. Segera ia berseru meminta perlindungan Rasulullah saw. dan Sahabat Abu Bakar. Rasulullah saw. dan Sahabat Abu Bakar menghentikan kendaraannya hingga Suragah datang kepada mereka. Suragah meminta perlindungan dari Rasulullah dan Sahabat Abu Bakar setelah ia merasakan apa yang telah dialaminya itu. Ia merasa yakin bahwa perkara yang dibawa oleh Rasulullah ini pasti akan mengalami kemenangan. Setelah bertemu dengan mereka berdua, Suragah berkata, “Sesungguhnya kaum engkau kini telah menyediakan hadiah sebesar diat engkau.” Kemudian Suragah pun memberitahukan kepada mereka berdua tentang apa yang dikehendaki oleh orang banyak terhadap diri Rasulullah dan Sahabat Abu Bakar karena mereka melihat hadiah sebesar itu.

 

Lalu Suragah menawarkan bekal dan harta kepada mereka berdua, tetapi keduanya tidak mau mengambil sesuatu pun daripadanya, bahkan mereka berdua berkata, “Sekarang pergilah engkau dari kami.” Tetapi, sebelum Suragah pergi, terlebih dahulu ia meminta surat jaminan keamanan bagi dirinya. Maka Rasulullah saw. memerintahkan Abu Bakar untuk menuliskannya. Dengan demikian selesailah peristiwa tersebut yang menandakan besarnya perhatian Allah terhadap Rasul:Nya.

 

Sejak penduduk Madinah mendengar berita tentang keluarnya Rasulullah saw. dari Makkah untuk bergabung dengan mereka, mereka selalu keluar menuju ke daerah Harrah, yaitu suatu daerah yang penuh dengan batu hitam, untuk menyambut kedatangannya. Bila sudah tengah hari mereka kembali ke rumah masing-masing karena panasnya sengatan sinar matahari. Pada suatu hari, ketika mereka baru kembali dari Harrah dalam rangka menunggu kedatangan Rasulullah saw., tatkala mereka telah sam. pai ke rumah masingmasing, tiba-tiba seorang Yahudi yang pada saat itu sedang menaiki sebuah bukit karena ingin ikut melihat kedatangan Rasulullah saw. melihat Rasulullah saw. dan sahabatnya dari kejauhan, terkadang tampak dan terkadang tidak karena tertutup oleh fatamorgana. Kemudian orang Yahudi itu berseru sekuat suaranya, “Hai orang Arah semuanya, keberuntungan kalian yang sedang kalian tunggu-tunggu telah datang.” Mereka bergegas mengambil senjata masing-masing, lalu berangkat ke daerah Harrah menyambut kedatangan Rasulullah saw.

Akan tetapi, Rasulullah saw. membelok ke arah kanan, tidak langsung ke Madinah, sehingga sampai di tempat Bani ‘Amr ibnu ‘Auf di Quba’. Lalu dia dan orang-orang yang bersamanya singgah di tempat Bani ‘Amr ibnu ‘Auf. Peristiwa ini, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mahmud Basya, ahli falak itu, terjadi pada tanggal 2 Rabiulawal, bertepatan dengan tanggal 20 September tahun 622 Masehi. Hari tersebut merupakan permulaan penanggalan baru” sebagai peringatan munculnya Islam sesudah sekian lama, yaitu tiga belas tahun, mengalami tekanan berat dari kaum musyrikin Quraisy. Pada masa tiga belas tahun itu Rasulullah saw. dilarang melakukan ibadah kepada Rabb-nya secara terang-terangan. Tetapi sekarang Allah swt. telah menempatkan Rasulullah saw. dan para sahabatnya sesudah sekian lama mereka diganggu oleh kaum musyrikin.

Dengan peristiwa hijrah ini berarti Rasulullah saw. telah memenuhi sunnah (perjalanan) saudara-saudaranya, yaitu para nabi sebelumnya. Tiada seorang pun dari para nabi yang tidak dikeluarkan dari tempat kelahirannya, kemudian hijrah meninggalkannya. Hal ini telah dilakukan sejak Nabi Ibrahim sampai Nabi ‘Isa a.s. Sekalipun mereka semua memiliki derajat yang besar dan kedudukan yang tinggi, mereka dihina oleh kaumnya sendiri. Tetapi mereka sabar dalam menghadapi ujian ini, supaya mereka menjadi teladan yang baik bagi para pengikutnya di kemudian hari dalam hal keteguhan dan kesabaran dalam menghadapi hal-hal yang tidak disukai selagi hal tersebut dalam rangka taat kepada Allah.

 

Lihatlah negeri Mesir dan sejarahnya. Anda pasti akan mendengar tentang Nabi Ya’gub dan anak-anaknya. Mereka hijrah ke Mesir tatkala melihat penduduk Mesir menyambut dengan baik kehadiran mereka di negerinya, dan membiarkan mereka menunaikan ibadahnya sebagai penghormatan mereka kepada nabi Yusuf dan kebijaksanaannya. Hanya saja, setelah bertahun-tahun orang Mesir lupa akan jasa Nabi Yusuf terhadap mereka. Akhirnya mereka mulai menekan dan menyakiti Bani Israil. Lalu kaum Bani Israil di bawah pimpinan Nabi Musa dan Nabi Harun keluar dari negeri tersebut supaya mereka dapat menunaikan kewajiban mereka kepada Allah, yaitu menyembahnya.

 

Nabi ‘Isa a.s. lari dari orang Yahudi ketika mereka mendustakannya dan bermaksud membunuhnya sehingga di antara ajaran-ajaran yang disampaikan oleh nabi ‘Isa kepada murid-muridnya ialah, “Berbahagialah orang-orang yang diusir demi kebajikan karena sesungguhnya mereka memperoleh kerajaan langit (surga).” Selanjutnya Nabi ‘Isa pun pernah mengatakan kepada murid-muridnya, “Bergembiralah dan beribadahlah kalian karena sesungguhnya pahala kalian besar, dan tidak aneh karena mereka telah mengusir nabi-nabi sebelum kalian.”

 

Lihatlah negeri-negeri yang telah tertimpa azab Allah swt. karena kekufuran penduduknya seperti negeri kaum Nabi Luth, kaum ‘Ad, dan kaum Tsamud. Mereka akan menceritakan tentang hijrah para Nabi dari negeri-negeri tersebut sebelum ditimpa oleh azab Allah. Tidak aneh bila Rasulullah saw. hijrah meninggalkan negeri yang penduduknya telah mencegahnya menyampaikan risalah yang telah dikehendaki oleh Allah swt. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. telah berfirman:

 

Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum kamu, dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (Q.S. 38 Al-Ahzab: 62)

 

 

Dalam pembahasan ini kami akan mengemukakan hal-hal yang telah dita. namkan oleh Rasulullah saw. sewaktu di Makkah, berupa pokok-pokok agama (ushulud-din). Hal tersebut ada dua perkara, yaitu:

 

Pertama: Meyakini keesaan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun dalam hal ibadah, apakah sesuatu itu berupa berhala seperti apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang musyrik Makkah, atau berupa bapak, istri, anak seperti yang telah dilakukan oleh agamaagama lain, misalnya seperti agama Nasrani. Seandainya tidak ada ke. yakinan bahwa Allah itu Mahaesa, pasti orang tidak akan membebani dirinya dengan kewajiban melaksanakan norma-norma kehidupan berupa akhlak dan etika. Akan tetapi, ia pasti akan hidup sekehendak hawa nafsunya demi mencapai kepuasannya selagi apa yang dilakukannya itu tidak terlihat oleh orang lain.

 

Kedua: Percaya akan adanya hari kebangkitan dan bahwa di sana terdapat alam lain bagi manusia, di dalam alam tersebut setiap orang akan menerima pembalasan atas amal perbuatannya sewaktu ia hidup di dunia. Apabila amal perbuatannya itu baik, maka balasannya akan baik pula. Apabila amal perbuatannya buruk, niscaya balasannya akan buruk pula.

 

Kedua masalah inilah yang mendominasi kandungan ayat-ayat AlQuran yang diturunkan di Makkah. Jarang sekali surah Makkiyyah yang tidak membahas kedua masalah tersebut, tetapi pasti dipenuhi dengan dalil-dalil yang menunjukkan kedua masalah itu, dan pasti mengandung celaan terhadap orang-orang yang meninggalkannya. Semuanya itu disuguhkan oleh Al-QQur’an dengan metode yang memikat akal dan penuh dengan bukti-bukti yang terang. Di dalamnya terkandung semua manfaat dunia dan akhirat bagi umat manusia.

 

Telah diturunkan kepada Rasulullah saw. sebagian besar Al-QQur’an di Makkah, sedangkan bagian lainnya, terdiri dari dua puluh tiga surah, tidak diturunkan di Makkah. Surah-surah yang tidak diturunkan di Makkah itu jalah Al-Bagarah, Ali ‘Imran, An-Nisa, Al-Maidah, Al-Anfal, At-Taubah, Al-Haj, An-Nur, Al-Ahzab, Al-Qital (Muhammad), Al-Fath, Al-Hujurat, AlHadid, Al-Mujadilah, Al-Hasyr, Al-Mumtahanah, Ash-Shaf, Al-Jumw’ah, Al-Munafigun, At-Taghabun, Ath-Thalag, At-Tahrim, dan An-Nashr. Se mua surah tersebut diturunkan di Madinah, sedangkan yang lainnya diturunkan di Makkah.

 

Ketika Rasulullah saw. singgah di Quba’, dia tinggal di rumah syekh dari Bani ‘Amr, yaitu Kultsum ibnul-Hadm. Akan tetapi, manakala Rasulullah saw. menerima orang-orang dan berbicara kepada mereka, hal itu dilakukannya di rumah Sa’d ibnu Khaitsamah karena Sa’d adalah seorang duda. Sahabat Abu Bakar tinggal di AsSanh (salah satu daerah di kota Madinah), yaitu di rumah Kharijah ibnu Zaid dari kalangan BanilHarits, kabilah Khazraj.

 

Rasulullah saw. tinggal di Quba’ selama beberapa hari. Sejak hari pertama tinggal di Quba’, dia langsung membangun Masjid Guba’ yang kemudian dikenal sebagai masjid yang didirikan di atas landasan takwa. Kemudian Rasulullah saw. melakukan salat bersama dengan para sahabatnya yang terdiri dari kalangan Muhajirin dan Anshar, sedangkan mereka merasa aman dan tenang.

 

Bentuk masjid-masjid pada zaman Rasulullah saw. amat sederhana. Di dalamnya tidak terdapat hiasan-hiasan seperti lazimnya yang dilakukan oleh para arsitek masjid beberapa generasi kemudian. Kita dapat memaklumi bahwa yang menjadi pusat perhatian Rasulullah saw. dan para sahabatnya pada saat itu, hanyalah menghiasi hati dan membersihkannya dari godaan setan sehingga tembok masjid pada masa itu tingginya hanya sampai setinggi orang berdiri dan tidak lebih dari itu, kemudian di atasnya dipasang atap guna perlindungan dari sengatan panasnya sinar matahari.

Selanjutnya Rasulullah saw. berangkat menuju ke Madinah, sedangkan para sahabat Anshar pada saat itu mengawalnya seraya menyandang pedang mereka masing-masing. Pada saat itu terjadilan suatu hal yang bid’ah, tetapi tidak mengapa karena hal itu merupakan ungkapan rasa gembira yang meluap dari penduduk Madinah. Hari itu berubah menjadi hari yang sangat semarak, penuh dengan kegembiraan, yang pada sebelumnya mereka tidak pernah merasakannya. Hal ini tiada lain karena kegembiraan mereka dalam menyambut kedatangan Rasulullah saw. Kaum wanita, anak-anak, dan gadis-gadis keluar menyambut kedatangan Rasulullah saw. seraya mengucapkan:

 

Kini rembulan (Rasulullah saw.) telah datang kepada kami dari Tsaniyyatul Wada”. Kami harus bersyukur atas kedatangan orang yang mengajak kepada Allah. Hai orang yang diutus kepada kami, engkau telah datang dengan membawa perkara yang ditaati. Pada saat itu orang-orang berjalan mengiringi Rasulullah saw. Di antarg mereka ada yang berjalan kaki dan ada pula yang menaiki kendaraan Kemudian mereka saling bersengketa dalam hal memegang tali kendal kendaraan Rasulullah. Setiap orang menginginkan agar Rasulullah saw. singgah di rumahnya.

 

Ketika Rasulullah saw. sampai di tempat orang-orang Bani Salim, datanglah waktu salat Jumat. Rasulullah saw. turun dari kendaraannya, lalu melakukan salat Jumat bersama orang-orang yang ada pada saat itu. Salat Jumat ini adalah untuk yang pertama kalinya dilakukan oleh Rasulullah saw., dan ini pun merupakan khotbah pertama yang diberikannya. Pada permulaan khotbah itu Rasulullah saw. terlebih dahulu mengucapkan hamdalah dan sanjungan kepada Allah swt., kemudian ia bersabda:

 

Amma ba’du. Hai umat manusia, suguhkanlah untuk diri kalian sendiri. Niscaya kalian akan mengetahui, demi Allah, seseorang di antara kalian pasti akan mati, kemudian pasti ia akan meninggalkan kambing gembalaannya, yang kemudian tidak mempunyai penggembala lagi. Selanjutnya pasti Rabb akan berkata kepadanya, tanpa ada penerjemah alau pengawal yang menghalang-halangi dirinya bertemu dengan Rabb, “Bukankah telah datang kepadamu utusan-Ku, kemudian ia menyampaikan seruan-Ku kepada-Mu, dan Aku telah memberimu harta serta Aku telah mengaruniakan kepadamu (nikmat yang banyak). Sekarang apakah yang telah engkau lakukan buat dirimu sendiri? Kemudian niscaya ia menoleh ke kanan dan ke kiri, maka ia tidak menemukan apa-apa, selanjutnya ia pasti melihat ke arah depannya, dan ternyata yang dilihatnya hanyalah neraka Jahannam. Make barang siapa yang mampu memelihara wajahnya dari neraka, se kalipun hanya dengan sedekah separuh biji kurma, maka hendaknys dilakukannya hal itu. Dan barang siapa yang tidak menemukannya, hendaknya ia berkata dengan tutur kata yang baik. Karena sesungguh nya semua ilu merupakan kebaikan yang akan dibalas sepuluh kali lipat hingga mencapai tujuh ratus kali lipat. Dan semoga kesejahteraan dan rahmat serta barakah Allah atas kalian semuanya.

Rasulullah saw. dan para pengiringnya melanjutkan perjalanannya. Setiap kali Rasulullah saw. melewati rumah orang Anshar, penghuninya meminta agar ia singgah di rumahnya dan tinggal bersama mereka. Mereka berebutan mengambil kendali kendaraan Rasulullah saw. untuk dituntun ke rumahnya. Akan tetapi, Rasulullah saw. bersabda kepada mereka, “Biarkanlah dia (kendaraannya) karena sesungguhnya dia mendapat perintah (dari Allah).” Rasulullah saw. terus berjalan hingga sampai di halaman tempat Bani ‘Addi ibnun-Najjar. Bani ‘Addi ibnun Najjar adalah pamanpaman dari pihak ibu Rasulullah saw. karena buyut Rasulullah saw., Hasyim, kawin dengan seorang wanita dari kalangan Bani ‘Addi. Tiba-tiba unta kendaraan Rasulullah saw. berhenti di suatu pekarangan milik mereka, tepatnya di hadapan rumah Abu Ayyub al-Anshari yang nama aslinya Khalid ibnu Zaid.” lalu di tempat itu dibangun Masjid Nabawi. Rasulullah saw. bersabda, “Di sinilah rumahku, insya Allah.” Selanjutnya Rasulullah saw. berdoa seraya membacakan firman-Nya :

 

Rabb-ku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat.” (Q.S. 23 AlMu’minun: 29)

 

Kemudian Abu Ayyub al-Anshari membawa pelana dan perbekalan Rasulullah saw., lalu ditempatkannya di rumahnya. Kemudian datanglah As’ad ibnu Zarrarah, lalu ia membawa hewan kendaraan Rasulullah saw. untuk ditambatkan di kandang miliknya.

 

Gadis-gadis Bani Najjar keluar seraya mengatakan: Kami adalah gadis-gadis dari Bani Najjar: alangkah bahagianya Muhammad berada di samping kami. Rasulullah saw. bersabda kepada mereka, “Apakah kalian mencintai diriku?” Mereka menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Allah mengetahui bahwa hatiku mencintai kalian.” Rasulullah memilih tinggal di salah satu rumah milik Abu Ayyub yang terletak di daerah bagian bawah supaya memudahkan bagi orang-orang yang ingin mengunjunginya. Akan tetapi, sahabat Abu Ayyub al-Anshari tidak merelakan hal tersebut karena menghormati Rasulullah saw. Sebab, bilamana Rasulullah saw. tinggal di bagian bawah, niscaya akan terkena debu yang ditimbulkan oleh kaki orang-orang yang berjalan di bagian atasnya, atau akan terkena air yang dituangkan dari bagian atasnya. Secara kebetulan pada suatu malam gentong tempat air istri Abu Ayyuh pecah, kemudian Abu Ayyub dan istrinya membersihkan pecahannya seraya mengelap air yang tertuang karena mereka takut akan mengenai Rasulullah saw. Oleh sebab itu, Abu Ayyub r.a. terus membujuk Rasulul. lah saw. untuk tinggal di bagian atas. Lama-kelamaan Rasulullah saw. mau menerima permintaannya. Kiriman hidangan selalu datang di tempat ting. gal Rasulullah saw. dari para sahabat Anshar yang mampu seperti Sa’d ibnu ‘Ubadah, As’ad ibnu Zarrarah, dan ibu sahabat Zaid ibnu Tsabit. Tiada suatu malam pun yang terlewat, di depan pintu tempat Rasulullah saw selalu terdapat tiga atau empat fabsi makanan.

Tatkala sebagian besar dari kaum Muhajirin yang ikut bersama Rasulullah saw. sampai di Madinah, orang-orang Anshar berlomba-lomba menerima mereka. Akhirnya diputuskan melalui undian di antara mereka sehingga tiada seorang Muhajir pun yang tinggal di tempat orang Anshar tanpa melalui undian.

Barang siapa memperhatikan kecintaan ini, mustahil disebabkan oleh pe ngaruh manusia, tetapi berkat kemurahan dan rahmat Allah swt., dan niscaya ia akan memahami mengapa mereka mampu menang melawan kaum musyrikin dan kaum ahli kitab yang menentangnya sekalipun bilangan dan perlengkapan mereka sedikit.

 

Orang Anshar lebih mementingkan kaum Muhysjirin daripada diri mereka sendiri seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:

 

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. 59 Al-Hasyr: 9)

 

Ini jelas merupakan derajat persaudaraan yang paling tinggi. Semua perlakuan itu dianggap oleh sahabat Anshar masih belum memadai kewajiban yang harus mereka suguhkan kepada kaum Muhajirin. Hal ini berkat pengaruh Rasulullah saw. yang mampu mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, sehingga setiap orang Anshar bersama tamu Muhajirinnya merupakan dua saudara karena Allah swt. Sia-sialah jika kami memaksakan diri untuk menjelaskan kepada para pembaca bahwa persaudaraan ini lebih tinggi rasa solidaritasnya daripada persaudaraan kefanatikan. Akan tetapi, hal tersebut tiada lain adalah berkat perasaan Islam yang telah memateri di hati mereka. Hanya kenyataan inilah yang dapat kami ungkapkan.

 

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa hati mereka telah dipersatukan oleh Allah swt. sehingga seolah-olah mereka adalah satu hati sekalipun jasad mereka berbeda. Mudah-mudahan saja Allah swt. mempersatukan pula hati umat Islam pada zaman kita sekarang, sehingga mereka memiliki pengaruh seperti pengaruh yang dimiliki oleh kaum Muslimin zaman dahulu yang telah bersatu.

 

Persaudaraan ini berlandaskan asas saling menolong menegakkan perkara yang hak, dan hendaknya mereka saling mewarisi sekalipun tanpa adanya hubungan kekerabatan.

 

Rasulullah saw. berpesan kepada setiap dua orang di antara mereka (seorang Muhajir dan seorang Anshar):

 

Bersaudardiah kalian berdua di jalan Allah setiap dua orang bagaikan dua bersaudara.

 

Sistem pewarisan ini terus berlangsung pada permulaan Islam sehingga turunlah firman Allah swt.: :

 

Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain

 

lebih berhak (waris-mewaris) dalam kitab Allah ….. (Q.S. 33 Al. Ahzab: 6)

 

Ketika telah menetap di Madinah dengan tenang, Rasulullah saw. mengirimkan utusan yang terdiri dari Sahabat Zaid ibnu Haritsah dan Abu Rafi’ ke Makkah. Keduanya diberi tugas mengambil keluarga Rasulullah saw. yang masih tertinggal di Makkah. Rasulullah saw. menyertakan bersama mereka ‘Abdullah ibnu Uraigith sebagai penunjuk jalan. Mereka berdua datang menemui Siti Fathimah dan Ummu Kaltsum, kedua putri Rasulullah saw. Mereka menemui pula istri Rasulullah saw., yaitu Siti Saudah. Selanjutnya mereka menghubungi Ummu Aiman, istri Zaid, dan Usamah, anaknya. Adapun putri Rasulullah saw. yang lain, yaitu Siti Zainab, dilarang oleh suaminya, Abul ‘Ash ibnur-Rabi’, sehingga tidak ikut hijrah. Bersama mereka ikut ‘Abdullah ibnu Abu Bakar, Ummu Rauman (istri Sahabat Abu Bakar), dan kedua saudara perempuan ‘Abdullah, yaitu Siti ‘Aisyah dan Asma. Asma adalah istri Sahabat Az-Zubair ibnul’Awwam. Pada saat itu Asma sedang mengandung. Kemudian ia melahirkan anaknya di Madinah dan diberi nama ‘Abdullah.

 

‘Abdullah adalah anak pertama kaum Muhajirin yang dilahirkan di Madinah.

 

Pada permulaannya udara kota Madinah kurang cocok bagi kaum Muhajirin penduduk kota Makkah sehingga banyak di antara mereka yang terserang penyakit demam. Rasulullah saw. sangat rajin menjenguk mereka tatkala mereka mengadukan masalah ini, lalu Rasulullah saw. berdoa:

 

Ya Allah, jadikanlah kami mencintai kota Madinah sebagaimana Engkau menjadikan kami cinta kepada kota Makkah dengan kecintaan yang lebih kuat. Dan berkahilah untuk kami mudd dan sha’nya, dan pindahkanlah wabah (penyakit)nya ke Juhfah.

 

Allah swt. memperkenankan doa Rasulullah saw. sehingga kaum Muhajirin hidup di Madinah dengan tenang dan damai.

Kemarahan telah membakar hati kaum musyrikin Makkah. Akhirnya mereka mencegah sebagian kaum Muslimin yang hendak melakukan hijrah. Mereka ditahan dan disiksa oleh kaum musyrikin. Di antara mereka yang mengalami perlakuan ini ialah Al-Walid ibnul-Walid, ‘Iyasy ibnu Rabi’ah, dan Hisyam ibnul-Ash. Untuk itu Rasulullah saw. selalu mendoakan mereka di dalam salatnya. Hal ini merupakan asal mula doa gunut. Doa ini dilakukan Rasulullah saw. pada waktu-waktu salat yang berbeda dan di tempat salat yang berbeda pula. Doa ini dilakukan Rasulullah saw. terkadang dalam rakaat ganjil salat isya dan terkadang di dalam salat subuh sesudah rukuk dan sebelumnya. Setiap sahabat meriwayatkan hadis mengenai masalah doa gunut ini sesuai dengan apa yang telah dilihatnya, dan hal inilah yang menjadi penyebab selisih paham di para imam ahli figih dalam menempatkan doa qunut.

 

Selanjutnya Rasulullah saw. mulai merencanakan pembangunan masjidnya di tempat bekas mendekamnya unta beliau, yaitu di depan perkampungan Bani Najjar. Sebelum itu tempat terscbut merupakan penjemuran kurma milik dua anak lelaki yatim di bawah pemeliharaan As’ad ibnu Zarrarah. Rasulullah saw. memanggil kedua anak lelaki itu, lalu menawar harga tempat penjemuran kurma tersebut guna tempat mendirikan masjid. Akan tetapi kedua anak itu berkata, “Tidak, bahkan kami menghibahkannya kepada engkau hai Rasulullah.” Rasulullah saw. tetap bersikeras tidak mau menerima pemberian kedua anak yatim itu. Akhirnya Rasulu. lah saw. berhasil membelinya dari mereka.

 

Pada tanah tersebut terdapat kuburan kaum musyrikin dan beberapa lubang galian serta pohon-pohon kurma. Kemudian kuburannya digali dan dipindahkan, sedangkan tanah-tanah yang berlobang diratakan dan pohon. pohon kurmanya ditebang. Selanjutnya Rasulullah memerintahkan mem. buat batu bata, lalu dimulailah pembangunannya. Mereka membuat kedua tiang penopang pintunya dari batu dan atap masjid itu dari pelepah daun kurma, sedangkan tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon kurma. Tinggi temboknya hanya lebih sedikit jika diukur dengan orang yang tegak ber. diri. Dalam pekerjaan ini Rasulullah saw. sendiri langsung melibatkan diri untuk memberikan semangat kepada kaum Muslimin yang bekerja. Sambil bekerja mereka mengumandangkan syair dan Rasulullah saw. ikut bersyair bersama mereka. Syair yang mereka ucapkan ialah seperti berikut ini:

 

Ya Allah, tiada kebaikan melainkan kebaikan akhirat: maka belas kasihanilah kaum Anshar dan Muhajirin. Arah kiblat ditempatkan di sebelah kiri masjid yang menghadap ke arah Baitul-Magdis, dan masjid itu mempunyai tiga pintu. Tanahnya diberi batu-batu kecil karena bila hujan turun tanahnya becek sehingga Rasulullah saw. memerintahkan supaya tanahnya dilapisi dengan batu-batu kecil. Masjid tersebut tidak diberi hiasan apapun, tidak ada permadani dan juga tidak ada tikarnya. Kemudian Rasulullah saw. membangun dua kamar di sebelah masjid: satu untuk Siti Saudah binti Zam’ah dan yang lain untuk Siti’Aisyah karena pada saat itu Rasulullah saw. hanya mempunyai dua orang istri, yaitu Siti Saudah dan Siti ‘ Aisyah. Kedua kamar tersebut bersebelahan dan letaknya menempel pada tembok bangunan masjid. Kemudian dibangun pula kamar-kamar lainnya manakala ada istri baru lagi.

 

 

Allah swt. telah mewajibkan atas kaum Muslimin ibadah salat supays mereka selalu dalam keadaan ingat akan kebebasan Yang Mahatinggi. De ngan demikian mereka akan menaati perintah-perintah-Nya dan men jauhi larangan-larangan-Nya. Allah swt. telah berfirman :

 

Sesungguhnya salat itu mencegah (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (Q.S. 29 Al-Ankabut: 45)

 

Kemudian Allah menjadikan salat yang paling utama adalah salat yang dilakukan secara berjamaah untuk mengingatkan kaum Muslimin terhadap satu sama lain dalam urusan dan keperluan mereka dan guna mempererat ikatan kerukunan dan persatuan di antara mereka.

 

Bila waktu salat telah tiba, sangat diperlukan adanya perbuatan yang menyadarkan orang yang lalai dan mengingatkan orang yang lupa sehingga berjamaah akan bersifat sangat umum. Rasulullah saw. bermusyawarah dengan para sahabat untuk memilih pekerjaan yang lebih utama guna mewujudkan tujuan tersebut. Sebagian dari para sahabat ada yang mengatakan bahwa sebaiknya mereka memancangkan bendera bilamana waktu salat tiba. Mereka menolak usul tersebut mengingat pekerjaan itu, tidak mengingatkan orang yang sedang tidur atau orang yang lalai. Sebagian sahabat yang lain mengusulkan agar menyalakan api di tempat yang tertinggi. Usul ini pun ditolak mereka. Sebagian lainnya lagi mengusulkan agar dibunyikan terompet. Hal ini sama dengan apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai panggilan untuk melakukan misa mereka. Rasulullah saw. tidak menyukai cara tersebut, sebab dia sangat tidak suka meniru perbuatan orangorang Yahudi dalam hal apa pun. Kemudian ada sahabat yang mengemukakan agar memakai lonceng, yaitu hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Hal ini pun dibenci oleh Rasulullah saw. Kemudian di antara para sahabat ada yang mengusulkan agar bilamana waktu salat tiba, ada seseorang yang berseru untuk itu. Akhirnya usul inilah yang diterima oleh Rasulullah saw. Di antara para sahabat yang diberi tugas untuk mengumandangkan seruan itu ialah sahabat ‘Abdullah ibnu Zaid al-Anshari. Tatkala ia sedang dalam keadaan setengah tidur dan setengah jaga, tiba-tiba tampaklah seseorang berdiri di hadapannya, lalu orang tersebut berkata, “Maukah engkau aku ajari kalimat-kalimat yang akan engkau serukan sebagai panggilan untuk salat?” Sahabat ‘Abdullah ibnu Zaid menjawab, “Tentu saja aku mau.” Orang itu lalu berkata, “Katakanlah ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar’ (Allah Mahabesar, Allah Mahabesar) sebanyak dua kali”. Dan selanjutnya engkau membaca syahadat sebanyak dua kali, kemudian katakanlah, ‘Hayya ‘alash-shalah’ (Marilah salat) sebanyak dua kali, dan katakanlah pula, ‘Hayya ‘alal falah” (Marilah menuju kepada kebahagiaan) sebanyak dua kali. Kemudian bertakbirlah kepada Allah sebanyak dua kali, dan terakhir katakanlah, ‘LaaIlaha illallah’ (Tiada Tuhan selain Allah).

 

Ketika Sahabat ‘Abdullah ibnu Zaid terjaga, segera ia menghadap Nabi saw., lalu menceritakan apa yang telah dilihatnya dalam mimpinya itu. Spontan Rasulullah saw. menjawab, “Sungguh, hal itu merupakan impian yang hak (benar).” Setelah itu Rasulullah bersabda, “Ajarkanlah kalimat. kalimat tersebut kepada Sahabat Bilal karena ia lebih keras suaranya dari. pada engkau.” Ketika Sahabat Bilal sedang menyerukan panggilan tersebut, tiba-tiba datanglah Sahabat ‘Umar seraya menyingsingkan kain. nya, lalu berkata, “Demi Allah, hai Rasulullah, sungguh aku telah memimpikan hal yang serupa.” Rila melakukan azan untuk salat subuh, sesudah kalimat ‘Hayya ‘alal falah’ Bilal. menambahkan kalimat “Ash-shalaatu khairum-minan-nauum” (Salat itu lebih baik daripada tidur). Kemudian Rasulullah saw. mengakui kebenaran hal tersebut.

 

Rasulullah saw. selalu memerintahkan Sahabat Bilal pada setiap fajar Ramadan agar menyerukan azan dua kali: yang pertama untuk membangunkan orang-orang guna melakukan sahur, yang kedua untuk melakukan salat subuh. Adapun azan untuk salat Jumat pada permulaannya diserukan bilamana khatib duduk di mimbar. Hal ini berlaku sejak zaman Rasulullah saw. hingga zaman Khalifah Abu Bakar dan Khalifah ‘Umar. Akan tetapi pada masa pemerintahan Khalifah “Utsman dan ketika orangorang Islam semakin bertambah banyak, ia menambahkan seruan lainnya yang dilakukan di atas az-zaura. Demikianlah menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

 

Tatkala Hisyam ibnu ‘Abdul-Malik memegang tampuk pemerintahan, seruan yang ditambahkan oleh Khalifah ‘Utsman yang dilakukan di az zaura dijadikannva di atas menara. Selanjutnya, azan yang tadinya diserukan di atas menara, yaitu azan yang diserukan sewaktu imam menaiki mimbar sebagaimana pada zaman Rasulullah saw., kini dilakukan di hadapan imam. Dengan demikian berarti azan di dalam masjid yang dilakukan di hadapan khatib merupakan bid’ah yang dibuat oleh Hisyam ibnu Malik. Seruan ini tidak ada artinya karena maksudnya untuk panggilan melakukan salat, sedangkan orang-orang yang berada di dalam masjid tidak memerlukan seruan ini karena mereka telah berada di tempat yang diminta. Orangorang yang berada di Juar masjid tidak dapat mendengar karena seruan itu dilakukan di dalam masjid. Demikianlah menurut keterangan yang dikemukakan oleh Syekh Muhammad ibnuk Hajj dalam kitab Al-Madkha.

 

Al-Hafizh ibnu Hajar dalam kitab Fathul-Bari mengatakan bahwa hal hal yang dilakukan oleh orang-orang sebelum salat Jumat, yaitu seruanuntuk galat Jumat berupa zikir dan membaca shalawat kepada Nabi saw., hanya terdapat di beberapa negeri saja, tidak semua negeri Islam. Dalam hal ini lebih baik ittiba’ kepada ulama Salaf. Demikianlah menurut keterangan yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul-Bari.

 

Dari keterangan itu dapat disimpulkan bahwa sunah Rasulullah saw. dalam masalah azan salat Jumat ialah bahwa bila imam telah duduk di mimbar, muazin menyerukan azan di atas menara. Apabila khotbah telah selesai, barulah igamah untuk salat diserukan. Selain itu semuanya merupakan bid’ah belaka.

 

Igamah ialah seruan untuk mendirikan salat di dalam masjid. Sehubungan dengan masalah ini riwayat-riwayat hadis mengenai nasnya berbeda-beda. Menurut Imam Muhammad ibnu Idris asy Syafi’i, igamah diucapkan satu kali-satu kali, kecuali kalimat “gad gamatish-shalah” (shalat telah didirikan). Kalimat ini diucapkan secara genap (dua kali). Menurut Imam Malik ibnu Anas, kalimatnya hanya diucapkan ganjil (satu kali-satu kali). Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah semua kalimatnya dibaca dua kali.

 

 

Sebagaimana Allah swt. telah menguji kaum Muslimin sewaktu mereka berada di Makkah melalui kaum musyrikin Ouraisy, Allah swt. mencoba mereka pula di Madinah melalui orang Yahudi yang mendiami kota Madinah. Orang Yahudi itu terdiri dari Bani Qainuga, Bani Quraizhah, dan Bani Nazhir. Sesungguhnya mereka menampakkan permusuhan dan kebenciannya terhadap Rasulullah saw. dan kaum Muslimin karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri setelah kebenaran itu nyata bagi mereka. Padahal sebelum itu, ketika berperang melawan orang-orang Arab musyrik mereka selalu memohon kemenangan dengan datangnya seorang nabi yang sudah dekat waktunya. Setelah ternyata datang nabi yang telah mereka kenal, para pemimpin mereka merasa tinggi diri, mereka memustahilkan kenabian dari anak cucu Nabi Isma’il. Akhirnya mereka ingkar terhadap Al-Quran yang diturunkan oleh Allah karena terdorong oleh keangkaramurkaan mereka. Pada kenyataannya mereka mengetahui bahwa Rasul Allah Muhammad tidak mendatangkan Kitab selain yang membenarkan Kitab-Kitab Allah yang telah diturunkan kepada para rasul sebelum Rasulullah saw. Kitab (Al-Guran) yang diturunkan kepadanya menjelaskan hal-hal yang telah dirusak oleh penakwilan mereka sendiri, yang mereka masukkan ke dalam kitab-kitab mereka itu. Akan tetapi mereka sama sekali mengesampingkan Al-Quran, seolah-olah mereka tidak mengetahuinya. Di antara hal-hal yang mereka cela ialah karena Al-Qur’an menasakh kitab-kitab mereka. Mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui lebih mengetahui daripada mereka tentang apa-apa yang dibutuhkan oleh umat manusia. Sesungguh. nya manusia itu bertabiat selalu ingin maju.

 

Rasulullah saw. pada mulanya hidup di tengah-tengah masyarakat Arab yang ummi. Mereka sama sekali tidak mengerti apa pun tentang akidah uluhiyah. Amat bijaksanalah bila syari’at Islam diturunkan kepada mereka secara bertahap. Seandainya Allah swt. mengharamkan mereka meminum khamar dan memakan riba, kemudian mereka diperintahkan salat, zakat, dan sebagainya, yang merupakan perintah dan larangan yang didatangkan oleh syariat Islam, tiada seorang pun dari mereka yang mau menerima Islam mengingat mereka mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda, dan mereka tenggelam ke dalam banyak kesesatan. Rasulullah saw. datang kepada mereka dengan membawa perintah dari Allah secara sedikit demi sedikit sehingga akhirnya akal mereka dapat ditundukkan dan jiwa mereka dapat dibersihkan.

 

Hukum Islam yang diturunkan oleh Allah swt. tiada satu pun turun di luar suatu peristiwa. Semuanya diturunkan setelah terjadi peristiwa yang berkaitan dengannya. Maksudnya agar hukum tersebut lebih melekat pada ingatan dan jiwa mereka. Akan tetapi, orang-orang Yahudi telah membelenggu kemampuan mereka dengan menenggelamkannya ke dalam halhal yang dianggap baik oleh hawa nafsu mereka. Al-Quran sendiri telah membantah mereka dengan hujjah yang menunjukkan bahwa mereka sebenarnya mengetahui, jiwa mereka berada jauh dari jalan kebenaran. Mengenai hal itu Allah swt. berfirman:

 

Katakanlah, “Jika kalian (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian kalian jika kalian memang benar (9.5. 2 AlBagarah: 94)

 

Pada ayat selanjutnya Allah swt. langsung memutuskan bahwa mereka pasti tidak akan mau menjawab tantangan ini, yaitu melalui firman-Nya:

 

Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selamalamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah maha mengetahui orangorang yang aniaya (Q.S. 2 Al-Bagarah: 95)

 

Seandainya mereka mengetahui bahwa diri mereka benar-benar dalam kebenaran, niscaya mereka tidak akan menangguh-nangguhkan tantangan tersebut karena caranya jelas mudah sekali. Akan tetapi, sikap mereka itu tiada lain hanyalah karena terdorong oleh keinginan mereka yang sangat dalam mendustakan Rasulullah yang jujur lagi dapat dipercaya. Ternyata belum pernah ada suatu nukilan pun yang menyatakan bahwa ada seseorang di antara mereka yang mengharapkan hal tersebut (ingin mati) sekalipun bal itu hanya diungkapkan melalui lisan. Sekalipun demikian, ternyata hidayah Rasulullah saw. ini dapat diterima dengan jelas oleh salah seorang pemimpin Bani QGaunuga’, yaitu ‘Abdullah ibnu Sallam. Ia rela meninggalkan hawa nafsunya, lalu masuk Islam. Hal ini dilakukannya setelah ia mendengar bacaan Al-Guran. Sebelum itu ia dianggap oleh kaumnya sebagai salah seorang pemimpin mereka. Kini, setelah ia masuk Islam, mereka menganggapnya sebagai seseorang yang kurang akal. Penilaian ini mereka kemukakan setelah mereka mendengar berita tentang keislamannya. Alangkah buruknya hasil perbuatan mereka yang menjual diri sendiri dengan kekafiran kepada apa yang diturunkan Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Setelah memateri di dalam hati mereka rasa memusuhi Islam, mereka berupaya sekuat tenaga untuk memadamkan nur Allah, tetapi dibalas oleh Allah melalui firmanNya:

 

Akan tetapi Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukainya (Q.5. 9 AtTaubah: 32)

 

 

Maksud orang Yahudi ini ternyata mendapat dukungan dari sebagian orang Arab Madinah yang mata hatinya dibutakan oleh Allah swt., dan mereka menyembunyikan kekufuran mereka karena takut jiwa mereka terancam. Pemimpin orang-orang munafik ini ialah ‘Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul dari kabilah Khazraj. Sedianya, sebelum kedatangan Rasulullah, dia akan diangkat menjadi pemimpin penduduk kota Madinah.

 

Tidak diragukan lagi bahwa bahaya kaum munafikin itu dirasakan oleh kaum Muslimin lebih berat ketimbang bahaya orang-orang kafir sendiri. Sebabnya ialah orang-orang munafik dapat memasuki kalangan Muslimin sehingga mereka mengetahui rahasia-rahasia kaum Muslimin, setelah itu mereka menyiarkannya kepada musuh-musuh kaum muslimin yaitu orang Yahudi dan lain-lainnya seperti yang pernah terjadi berkali-kali.

 

Dasar yang dijadikan pegangan oleh Rasulullah saw. ialah dia menerima hal-hal yang lahiriah saja adapun mengenai apa yang tersimpan di dalam hati, urusannya terserah kepada Allah. Sekalipun demikian, Rasulullah saw. tetap bertindak waspada dan tidak gegabah sehingga dia belum pernah mempercayakan kepada mereka suatu pekerjaan pun. Rasulullah saw. sering meninggalkan kota Madinah, dan dia selalu menyerahkan urusan kota Madinah kepada kaum Anshar. Belum pernah dia menyerahkan urusan kota Madinah kepada seseorang yang tanda-tanda kemunafikan dirinya dapat dibaca, sebab Rasulullah saw. telah mengetahui seanaainya mereka dipercaya untuk melakukan suatu pekerjaan tidak ayal lagi mereka akan memperoleh kesempatan untuk menimpakan kemudaratan kepada kaum Muslimin. Hal ini merupakan pelajaran penting bagi para pemimpin Islam: hendaknya mereka jangan mempercayakan urusanurusan penting mereka ke tangan orang-orang yang menampakkan kemunafikannya atau menampakkan hal-hal yang berbeda dengan apa yang tersimpan di dalam hatinya.

Telah kami jelaskan bahwa di Madinah ada dua golongan yang menentang kaum Muslimin, mereka adalah orang-orang Yahudi dan kaum munafikin. Akan tetapi, Rasulullah saw. tetap menerima sikap lahiriah mereka Kemudian dia mengadakan perjanjian yang isinya ialah tidak boleh berperang dan tidak boleh menyakiti. Oleh sebab itu Rasulullah saw. tidak mengizinkan memerangi mereka, tidak membolehkan menyakiti mereka, dan mereka tidak boleh meminta bantuan kepada seorang pun untuk memerangi Rasulullah saw. Bilamana di Madinah Rasulullah saw. ads yang memeranginya, mereka harus membantunya. Sebaliknya, Rasulullah saw. membiarkan mereka (orang-orang ahli kitab) memeluk agamanya dengan bebas.

 

Telah kita ketahui dari pembahasan yang telah lalu bahwa Rasulullah saw. belum pernah memerangi seorang pun untuk memeluk Islam, tetapi ajakan tersebut hanya terbatas dengan cara menyampaikan berita gembira dan memberi peringatan. Untuk itu Allah swt. selalu menurunkan ayat-ayatNya yang memberikan semangat kepada Rasulullah saw., bersabar di dalam mehghadapi perlakuan yang menyakitkan dari pihak kaum Quraisy. Di antara ayat-ayat tersebut ialah firman-Nya:

 

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar, dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. (Q.S. 46 Al-Ahgaf: 35)

 

Di antara ayat-ayat yang diturunkan Allah swt. pada masa-masa tersebut sering menceritakan kepada Rasulullah saw. kisah-kisah para rasul sebelumnya. Maksudnya untuk meneguhkan hati Rasulullah. Tatkala keangkaramurkaan penduduk Makkah makin bertambah, Rasulullah saw. terpaksa keluar dari tanah airnya. Hal ini dilakukannya setelah mereka mengadakan persekongkolan untuk membunuhnya. Jadi, merekalah yang memulai permusuhan terhadap kaum Muslimin karena mereka jelas telah mengusir kaum Muslimin dari tanah airnya tanpa alasan yang benar. Setelah hijrah, Allah swt. memberikan izin kepada kaum Muhajirin untuk memerangi kaum musyrikin Makkah melalui firman-Nya

 

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benarbenar mahakuasa menolong mereka. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar kecuali karena mereka berkata, “Rabb kami hanyalah Allah.” (Q.S 22 Al-Hajj: 39-40)

 

Kemudian Allah swt. memerintahkan pelaksanaannya melalui firmanya:

 

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (Makkah), dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil-Haram, kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian, Jika mereka berhenti (dari memerangi kalian), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali terhadap orang-orang zalim. (Q.S. 2 AlBagarah: 190-193)

 

Dengan demikian Rasulullah saw. hanya terbatas memerangi orang Quraisy saja, tidak semua bangsa Arab. Akan tetapi, tatkala mereka bahumembahu bersama orang-orang musyrik Arab selain penduduk kota Makkah, mereka bersatu padu untuk memerangi kaum Muslimin, maka Allah swt. memerintahkan kepada Rasulullah saw. untuk memerangi orang-orang musyrik secara keseluruhan seperti yang telah dijelaskan oleh firman-Nya

 

Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka memerangi kalian semuanya. (Q.S. 9 At-Taubah: 36)

 

Dengan demikian berarti bahwa jihad itu bersifat umum, yaitu diadakan untuk melawan orang-orang yang tidak memiliki kitab atau orang-orang watsani. Pengertian ini disimpulkan dari sabda Rasulullah saw. yang mengatakan:

 

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan laa ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah), maka bilamana mereka mau mengatakannya, berarti mereka telah memelihara darah dan harta benda mereka dariku kecuali berdasarkan alasan yang hak, kemudian perhitungan mereka terserah kepada Allah. Ketika kaum Muslimin melihat orang-orang Yahudi mulai mengkhianati perjanjian yang telah disepakati bersama, ternyata mereka telah membantu kaum musyrikin di dalam memerangi mereka, maka Allah swt. memerintahkan Rasulullah saw. supaya memerangi pula orang-orang ahli kitab, firman-Nya itu ialah.

 

Dan jika kalian mengetahui pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat (Q.S. 8 Al-Anfal: 58)

 

Dengan demikian, memerangi mereka bagi Rasulullah saw. wajib sehingga mereka memeluk agama Islam atau memberikan jizyah, sedangkan mereka dalam keadaan kalah dan hina, supaya kaum Muslimin aman dari makar mercka. Dapat disimpulkan dari penjelasan yang telah lalu bahwa peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap musuh-musuhnya berlandaskan prinsip-prinsip berikut ini :

 

1) Kaum musyrikin Quraisy dianggap sebagai kafir harbi karena merekalah yang memulai permusuhan terhadap kaum Muslimin. Maka kaum Muslimin berhak memerangi mereka dan menyita harta dagangan mereka sehingga Allah memberi izin kepada Rasulullah saw. untuk menaklukkan kota Makkah atau mengadakan perjanjian yang bersifat sementara di antara kedua golongan tersebut.

 

2) Bilamana orang-orang Yahudi kelihatan berbuat khianat, kemudian mereka berpihak kepada kaum musyrikin, maka mereka pun harus diperangi sehingga bukan merupakan bahaya lagi bagi kaum Muslimin, yaitu melalui cara pengusiran atau peperangan.

 

3) Bilamana ada suatu kabilah Arab memusuhi kaum Muslimin, atau mereka membantu orang-orang Quraisy, mereka pun harus diperangi sehingga mereka mau memeluk agama Islam.

 

4) Setiap golongan yang lebih dahulu memulai permusuhan dari ka. langan ahli kitab seperti orang-orang Nasrani, mereka akan diperangi se. hingga tunduk kepada Islam atau membayar jizyah, sedangkan mereka dalam keadaan hina dan kalah.

 

5) Setiap orang yang telah memasuki Islam, darah dan hartanya ter. pelihara kecuali dengan alasan yang hak, agama Islam menghapus semua yang telah lalu.

 

Allah swt. telah menurunkan dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menganjurkan kaum Muslimin untuk memerangi musuh-musuhnya dan larangan mengenai lari dari barisan perang. Maka sehubungan dengan masalah pokok bagian pertama, Allah swt. berfirman :

 

Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barang siapa berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar. (Q.5. 4 ArNisa: 74)

 

Kemudian Allah swt berfirman pula sehubungan dengan masalah pokok bagian kedua melalui firman-Nya:

 

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang orang yang kafir yang sedang menyerang kalian, janganlah kalian membelakangi mereka (mundur). Barang siapa membelakangi mereka (mundur) pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atav hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kem balinya (Q.S. 8 Al-Anfal:16-18).

 

Kebiasaan yang dilakukan oleh orang Quraisy ialah pergi ke negeri Syam membawa barang dagangan mereka. Di negeri Syam mereka menjual barang dagangan itu dan sekaligus mereka pun berbelanja. Kafilah yang membawa barang dagangan ini dinamakan ir (ekspedisi perdagangan). Untuk menjaga keamanan kafilah tersebut banyak orang terhormat dan orang kaya yang ikut serta melakukan tugas ini. Akan tetapi, perjalanan mereka ke negeri Syam mesti melewati kota Hijrah (Madinah). Maka Rasulullah saw. menggunakan kesempatan ini untuk mencegat iring-iringan orang musyrik Makkah, baik yang berangkat maupun yang sedang menuju perjalanan pulang. Hal ini dilakukan supaya dijadikan hukuman buat kaum musyrikin Makkah sehingga kekuatan ekonomi mereka melemah, dan jelas akan mempengaruhi daya tempur mereka di medan perang yang pasti akan terjadi. Kami katakan peperangan pasti terjadi karena orang Quraisy pasti tidak akan membiarkan orang yang mereka anggap kurang waras yang dulunya mereka anggap bijak. Mereka tidak akan membiarkan pula orang yang mencela peribadatan mereka, terlebih lagi mereka menganggap bahwa diri mereka merupakan teladan bangsa Arab dalam masalah agama. SARIYYAH”

 

Pada bulan Ramadan Rasulullah saw. mengirimkan pamannya, Hamzah ibnu ‘Abdul-Muththalib, untuk memimpin tiga puluh orang pasukan yang terdiri dari kaum Muhajirin. Rasulullah saw. memberinya panji berwarna putih yang dibawa oleh Abu Martsad, sekutu Hamzah. Pasukan sariyyah ini dimaksud untuk menghadang kafilah ekspedisi dagang orang Quraisy yang kembali dari negeri Syam. Dalam kafilah ini terdapat Abu Jahal dan tiga ratus orang kaum musyrikin yang menjadi teman-temannya. Sahabat Hamzah berangkat membawa pasukannya sampai di tepi pantai laut yang terletak di daerah Al-‘Aish?. Mereka bertemu dengan kafilah tersebut, Akan tetapi, tatkala kedua golongan itu telah berhadap-hadapan, tiba-tiba muncullah seseorang yang bernama Majdi ibnu ‘Amr al-Juhani memisah kedua golongan yang akan bertempur itu. Akhirnya mereka menaatinya dan tidak jadi berperang. Rasulullah saw. berterima kasih sekali atas peran yang dilakukan oleh Majdi karena pada waktu itu personel pasukan Mug limin sedikit, sedangkan musuh mereka jauh lebih banyak.

 

Pada bulan Syawal tahun itu juga Rasulullah saw. mengirimkan ‘Ubaidah ibnul-Harits, Saudara sepupu Sahabat Hamzah, untuk memim. pin delapan puluh orang pasukan berkuda dari kalangan Muhajirin. Ra. sulullah membuat panji berwarna putih untuk pasukan tersebut. Sebagai pembawanya ialah Misthah ibnu Atsatsah. Tujuannya ialah untuk meng. hadang kafilah dagang kaum Quraisy yang melewati kawasan tersebut, Kafilah itu dikawal oleh dua ratus orang pasukan. Mereka bertemu dengan iring-iringan ekspedisi di Lembah Rabigh.” Lalu terjadilah saling panah dj antara kedua pasukan. Akan tetapi, pasukan kaum musyrikin merasa takut bahwa hal itu merupakan jebakan yang sengaja dipasang oleh kaum Muslimin. Akhirnya mereka lari dan kalah, tetapi kaum Muslimin tidak mengejarnya. Pada saat itu ada di antara pasukan kaum musyrikin yang membelot lari ke pihak tentara Muslimin. Mereka adalah Al-Migdad ibnul. Aswad dan ‘Atabah ibnu Ghazwan karena pada kenyataannya kedua orang tersebut sebelumnya telah masuk Islam. Mereka berdua sengaja ikut ke dalam pasukan kaum musyrikin untuk bergabung dengan kaum Muslimin.

Pada tahun tersebut dari kalangan Muhajirin telah meninggal dunia ‘Utsman ibnu Mazh’un, saudara sepersusuan Rasulullah saw. Ia termasuk orang yang paling dahulu masuk Islam dan telah mengikuti hijrah kaum Muslimin sebanyak dua kali. Tatkala “Utsman ibnu Mazh’un telah dikebumikan, Rasulullah saw. memerintahkan agar kuburannya disiram dengan air, kemudian diletakkan di atasnya sebuah batu. Setelah itu Rasulullah saw. bersabda, “Aku jadikan batu itu sebagai pertanda kuburan saudaraku, dan aku akan mengebumikan keluargaku yang meninggal dunia dengan cara yang sama.” Hal inilah yang melatarbelakangi peletakan batu nisan di atas kuburan, jadi tidaklah seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup jauh sesudah dia. Mereka membangun bangunanbangunan di atas kuburan, kemudian diberi gambar-gambar yang kelihatan mirip dengan berhala-berhala. Mereka bermaksud supaya kaum kerabat mayat datang, lalu menyelenggarakan pesta-pesta yang beraneka ragam sehingga sangat mirip dengan apa yang biasa dilakukan oleh kaum musyrikin Makkah di tempat-tempat peribadatan mereka. Alangkah siasianya jika kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menyangkut masalah akhirat.

 

Pada tahun itu dari kalangan sahabat Anshar ada pula yang meninggal dunia, yaitu As’ad ibnu Zarrarah, salah seorang pemimpin dari yang dua belas orang itu. Sahabat As’ad ibnu Zarrarah r.a. adalah pemimpin Bani Najjar. Ketika ia meninggal dunia, Rasulullah saw. memilih sendiri penggantinya untuk memimpin kaum Sahabat As’ad ibnu Zarrarah karena Rasulullah saw. adalah anak saudara perempuan mereka. Kemudian pada tahun itu wafat pula salah seorang pemimpin sahabat Anshar lainnya, yaitu Sahabat Al-Barra ibnu Ma’rur. Al-Barra ibnu Ma’rur merupakan juru bicara kaumnya pada waktu Bai’at ‘Agabah kedua.

 

Pada tahun itu juga dari kalangan kaum musyrikin Makkah meninggal Al-Walid ibnul-Mughirah. Ketika sedang menghadapi kematiannya, ia tampak sangat gelisah. Lalu Abu Jahal berkata kepadanya, “Apakah gerangan yang menyebabkan paman gelisah sekali?” Al-Walid ibnul-Mughirah menjawab, “Demi Allah, sebenarnya aku tidak gelisah karena menghadapi maut, tetapi aku gelisah karena aku merasa khawatir bila agama Ibnu Abu Kabsyah (Nabi Muhammad saw.) mengalami kemenangan di Makkah.” Kemudian dijawab oleh Abu Sufyan, “Jangan khawatir, aku jamin ia tidak akan menang.”

 

Pada tahun itu juga meninggal pula Al-‘Ash ibnu Wail as-Sahmi. Akhirnya Allah swt. membungkam kejahatan kedua orang yang celaka itu.

PERANG WUDDAN

 

Setelah lewat dua belas malam dari tahun kedua Hijriah, Rasulullah saw. keluar dari kota Madinah sesudah terlebih dahulu mengangkat Sa’d ibnu ‘Ubadah untuk menggantikan kedudukannya di Madinah. Rasulullah saw. bersama pasukannya keluar dari kota Madinah dengan tujuan menghadang ekspedisi perdagangan orang Quraisy.

 

Rasulullah saw. berangkat hingga mencapai Wuddan.” Pada saat ity yang membawa panji peperangan adalah paman Rasulullah, Hamzah Akan tetapi, ternyata Rasulullah saw. tidak menjumpai ekspedisi yang di. tuju itu karena mereka telah mendahuluinya.

 

Akhirnya Rasulullah saw. hanya dapat melakukan hal lain, yaitu mengadakan perjanjian pertahanan dengan Bani Dhamrah dengan keten. tuan sebagai berikut:

 

Bahwasannya kaum Muslimin tidak akan mengganggu keamanan orang-orang Bani Dhamrah, dan kaum Muslimin harus membantu mereka jika mereka ada yang menyerang. Sebaliknya orang-orang Bani Dhamrah harus membantu kaum Muslimin bilamana mereka diperlukan bantuan. nya. Lima belas malam kemudian kaum Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah saw. kembali ke Madinah.

 

PERANG AL-BUWATH

 

Tidak lama setelah Rasulullah saw. berada di Madinah sekembalinya dari Wuddan, sampai berita kepadanya bahwa ekspedisi orang Quraisy sedang dalam perjalanan pulang dari negeri Syam. Kali ini ekspedisi itu di bawah pimpinan Umayyah ibnu Khalaf beserta seratus orang Quraisy. Mereka membawa dua ribu lima ratus ekor unta.

 

Setelah mendengar berita tersebut, Rasulullah saw. berangkat dengan membawa dua ratus orang prajurit, semuanya terdiri dari kaum Muhajirin, Untuk kali ini sebagai pembawa panji adalah Sahabat Sa’d ibnu Abu Waqqash r.a. Rasulullah saw. membawa pasukannya sampai di AlBuwath.”: Akan tetapi, ternyata dia tidak menemukan ekspedisi tersebut karena sudah berlalu. Akhirnya dia kembali dan tidak mengalami suatu peperangan pun. Kaum musyrikin sangat hati-hati dalam menjaga diri mereka. Mereka berupaya sekuat tenaga menyembunyikan hal-ihwal ekspedisi mereka supaya tidak terdengar oleh penduduk Madinah.

 

PERANG AL-‘ASYIRAH

 

Sewaktu Rasulullah saw. kembali dari Al-Buwath, berbarengan dengar peristiwa itu orang Quraisy keluar dari Makkah dengan membawa suatu ekspedisi perdagangan yang paling besar. Orang Quraisy telah mengumpulkan semua harta benda mereka sehingga tidak ada seorang lelaki atau seorang perempuan Quraisy yang memiliki satu mitsgal emas yang tidak dikirimkannya untuk diperdagangkan melalui ekspedisi ini. Ekspedisi tersebut di bawah pimpinan Abu Sufyan ibnu Harb disertai dua puluh orang lelaki lebih untuk mengawalnya.

 

Setelah mendengar berita tersebut, pada bulan Jumadiawal Rasulullah saw. keluar bersama seratus lima puluh tentara Muhajirin untuk mencegatnya. Sebelum Rasulullah saw. berangkat, terlebih dahulu dia menyerahkan urusan kota Madinah kepada Abu Salamah ibnu ‘Abdul-Aswad. Yang memegang panji pasukan tersebut adalah Sahabat Hamzah, paman Rasulullah saw. Rasulullah saw. terus berjalan hingga sampai di daerah Al’Asyirah, tetapi ternyata ekspedisi tersebut telah jauh melewatinya. Akhirnya dalam ekspedisi ini Rasulullah saw. hanya dapat mengadakan perjanjian pertahanan dengan Bani Mudlaj beserta teman-temannya. Lalu Rasulullah saw. kembali ke Madinah untuk menunggu pulangnya ekspedisi itu.

 

PERANG BADAR PERTAMA

 

Tidak lama setelah Rasulullah saw. sampai di Madinah, datanglah Karz ibnu Jabir al-Fihri menyerang dan merampok hewan ternak milik penduduk Madinah, kemudian ia lari bersama kawan-kawannya. Lalu Rasulullah saw. keluar mengejarnya. Sebelum itu dia terlebih dahulu menyerahkan urusan kota Madinah kepada Zaid ibnu Haritsah al-Anshari. Yang memegang panji peperangan pada waktu itu adalah Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib. Rasulullah saw. terus melakukan pengejaran hingga sampai di daerah Sifwan.” Rupanya Karz telah lari jauh sehingga Rasulullah saw. tidak mengalami peperangan. Peperangan ini dinamakan Perang Badar Pertama.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Rajab tahun itu juga Rasulullah saw. mengirimkan sariyyah yang personelnya terdiri dari delapan orang di bawah pimpinan Sahabat “Abdullah ibnu Jahsy. Rasulullah saw. memberinya sepucuk surat yang di. segel. Surat itu tidak boleh dibuka sebelum ia meninggalkan Madinah se. lama dua hari. Setelah ‘Abdullah ibnu Jahsy berjalan selama dua hari, lalu ia membuka surat tersebut dan langsung membacanya. Bunyi surat itu se. bagai berikut:

 

Bilamana engkau telah melihat suratku ini, berangkatlah terus hingga engkau mencapai Nakhlah. Engkau harus berkemah di situ, kemudian intailah dari tempat itu gerakan orang-orang Quraisy. Setelah itu engkau beri tahukan kepada kami mengenai keadaan mereka. Kali ini sengaja Rasulullah saw. tidak memberitahukan kepada mereka tentang tujuannya ketika mereka masih berada di dalam kota Madinah karena Rasulullah saw. khawatir bila berita ini tersiar, musuh-musuh Islam yang terdiri dari kaum munafikin atau orang-orang Yahudi akan menyampaikannya kepada kaum musyrikin Quraisy. Apabila berita ini bocor, keadaannya akan menjadi berbalik, yaitu orang-orang Quraisy akan menunggu kedatangan mereka. Selain itu karena jumlah personel kaum Muslimin yang dikirimkan pada saat itu sangat sedikit dan tidak akan mampu mengadakan perlawanan.

 

Sahabat ‘Abdullah ibnu Jahsy meneruskan perjalanannya, tetapi di tengah jalan Sahabat Sa’d ibnu Abu Waqqash dan Sahabat ‘Atabah ibnu Ghazwan tertinggal karena keduanya sibuk mencari unta mereka yang hilang. Pasukan lainnya terus berjalan hingga sampai di daerah Nakhlah. Ternyata tidak lama kemudian lewatlah iring-iringan ekspedisi orangorang Quraisy dengan tujuan Makkah. Dalam ekspedisi tersebut terdapat ‘Armr ibnul-Hadhrami, “Utsman ibnu ‘Abdullah ibnul-Mughirah dan saudara lelakinya, serta Al-Hakam ibnu Kaisan. Kaum Muslimin sepakat untuk menyerang mereka dan merampas semua barang yang mereka bawa itu. Tepatnya pada akhir bulan Rajab kaum Muslimin menyerang ekspedisi itu. Mereka berhasil membunuh ‘Amr ibnul-Hadhrami dan menawan ‘Utsman serta Al-Hakam, sedangkan Naufal sempat melarikan diri. Setelah itu mereka menggiring iring-iringan ekspedisi itu, yang kini telah dikuasai oleh kaum Muslimin. Ini merupakan ghanimah pertama bagi kaum Muslimin yang diambil dari musuh-musuh mereka, kaum musyrikin Quraisy.

 

Kaum Muslimin kembali ke Madinah, dan orang-orang musyrik yang mengejar mereka tidak dapat menyusulnya. Setelah mereka tiba di Marinah, tersiar berita bahwa mereka telah melakukan peperangan dalam bulan-bulan haram (bulan-bulan haji). Orang Quraisy mencela perbuatan kaum Muslimin itu, demikian pula orang Yahudi. Mereka pun ditegur dengan keras oleh kaum Muslimin sendiri sehingga Rasulullah saw. bersabda kepada jamaah kaum Muslimin yang ikut berperang, “Aku tidak memerintahkan kalian untuk melakukan peperangan dalam bulan-bulan haram.” Akhirnya mereka menyesali perbuatannya itu. Akan tetapi, lalu Allah menurunkan firman-Nya

 

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah. “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar: tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah (menghalangi masuk) Masjidil-Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (Q.S. 2 Al-Bagarah: 217)

 

Dengan turunnya ayat ini legalah hati kaum Muslimin yang terlibat dalam peperangan tersebut.

 

Lalu kaum musyrikin meminta untuk menebus kedua orang yang kini, ditawan oleh kaum Muslimin, tetapi Rasulullah saw. menolak permintaan tersebut kalau Sa’d dan ‘Atabah belum kembali dengan selamat. Setelah Sa’d dan ‘Atabah pulang dengan selamat, barulah Rasulullah saw. menerima tebusan mereka untuk membebaskan dua orang tawanannya. Sedangkan Al-Hakam ibnu Kaisan, salah seorang yang tertawan, masuk Islam dan menjalankan Islamnya dengan baik bersama kaum Muslimin lainnya. Adapun ‘Utsman, tawanan yang lainnya, pulang ke Makkah dan tetap kafir.

 

PERPINDAHAN KIBLAT

 

Selama lima belas bulan tinggal di Madinah, Rasulullah saw. selalu menghadap ke arah Baitul Magdis dalam salatnya. Padahal ia sendiri sangat menginginkan supaya kiblat salatnya menghadap ke arah Ka’bah. Maka dia sering menengadah ke langit seraya berdoa kepada Allah untuk hal ter. sebut. Pada suatu hari, ketika Rasulullah sedang melakukan salat, turun. lah wahyu kepadanya yang memerintahkan agar mengalihkan kiblat ke Ka’bah. Seketika itu juga Rasulullah saw. berpaling ke arah kiblat, dan orang-orang yang makmum kepadanya pada saat itu turut berpaling pula Ternyata kejadian ini menjadi penyebab terfitnahnya sebagian kaum Mus. limin yang masih lemah imannya, mereka murtad dan kembali ke aga. manya semula. Orang Yahudi melancarkan kecaman dengan deras ter. hadap Islam dengan perpindahan arah kiblat ini. Mereka tidak menyadari bahwa bagi Allahlah timur dan barat itu. Dialah yang memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.

 

PUASA BULAN RAMADAN

 

Pada bulan Sya’ban tahun itu juga Allah swt. mewajibkan ibadah puasa bulan Ramadan kepada umat Islam. Sebelum itu puasa yang selalu di lakukan oleh Rasulullah saw. hanya tiga hari dalam setiap bulannya. Puasa merupakan tiang agama Islam dan kewajiban yang membuat tatanan Islam berjalan dengan sempurna karena watak manusia cenderung hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak menghiraukan kebutuhan-kebutuhan kaum yang lemah dan miskin. Dengan ibadah puasa ditanamkan di dalam diri mereka rasa solidaritas hingga membuatnya turut merasakan keadaan orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka karena tidak mempunyai kemampuan yang memadai. Tiada hal lain yang lebih pedih dan lebih berpengaruh terhadap diri seseorang untuk melatih perasaan tersebut selain menahan lapar dan haus. Sebab, dengan lapar dan haus, hati mereka menjadi lunak dan akhlak mereka pun menjadi bersih pula, akhirnya mereka sadar dan mudah mengeluarkan zakatnya.

 

ZAKAT FITRAH

 

Allah Yang Maha Bijaksana mewajibkan zakat fitrah setelah berpuasa selama bulan Ramadan. Setelah terlatih berpuasa selama sebulan dengan mudah dan penuh kecintaan yang tulus mereka mengeluarkan zakat.

 

ZAKAT HARTA BENDA

 

Pada tahun itu juga diwajibkan pula mengeluarkan zakat harta benda. Hal ini merupakan tatanan yang terpadu. Berkat adanya tatanan ini orangorang fakir dan orang-orang miskin dapat makan dari harta saudarasaudara mereka yang kaya tanpa membuat saudara-saudara mereka merasa dirugikan. Apabila jumlah uang yang dimiliki oleh seorang Muslim mencapai sepuluh dinar atau dua ratus dirham, dan telah genap satu tahun masa pemilikannya, maka orang yang bersangkutan diharuskan menunaikan zakat harta bendanya sebanyak dua setengah persen. Apabila lebih, diperhitungkan sesuai dengan kelebihannya. Apabila harta yang dimiliki itu berupa kambing harus mencapai empat puluh ekor, jika berupa sapi harus mencapai tiga puluh ekor, dan jika unta harus mencapai lima ekor. Setelah masa pemilikannya genap setahun, diwajibkan baginya mengeluarkan zakat harta yang dimilikinya itu, yaitu sebanyak apa yang telah ditentukan oleh syara”. Demikian pula harta berupa barang dagangan dan hasil pertanian, diwajibkan pula membayar zakat yang kadarnya telah ditentukan oleh syara”.

 

Kemudian semua harta zakat itu diambi’ oleh imam, dan dialah yang membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya, yaitu kaum fakir-miskin dan orang-orang lain seperti yang disebutkan oleh firman-Nya berikut ini:

 

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibuJuk hatinya: untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S. 9 At-Taubah: 60)

 

Orang yang cerdik dan berakal serta jauh dari fanatik niscaya akan menilai pada awal perhatiannya terhadap sistem ini bahwa sistem ini, di samping tidak menimbulkan mudarat kepada orang-orang kaya, dapat pula meringankan tekanan musibah yang menimpa kaum fakir-miskin. Musibahmusibah tersebut sering sekali mendorong kebanyakan kaum fakirmiskin di berbagai bangsa untuk menentang tatanan negara mereka, kemudian mendorong mereka untuk menciptakan prinsip.yang justru menghancurkan pembangunan dan merusak stabilitas keamanan seperti apa yang biasa dilakukan oleh golongan kaum sosialis dan golongan lainnya. PERANG BADAR BESAR

 

Setelah peristiwa ekspedisi besar itu, ketika Rasulullah saw. keluar untuk mencegat ekspedisi ke negeri Syam, tetapi ternyata Rasulullah saw. tidak dapat menemuinya karena kafilah tersebut telah berlalu, Rasulullah saw. masih tetap menunggu-nunggu pulangnya ekspedisi itu. Begitu Rasulullah saw. mendengar kedatangannya, segera dia berseru kepada para sahabat. nya, “Ini adalah kafilah ekspedisi orang Quraisy. Keluarlah kalian untuk mencegatnya semoga Allah menghadiahkannya kepada kalian sebagai barang ghanimah.” Di antara kaum ada yang mau dan sebagian lagi merasa keberatan karena mereka berpandangan bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. tidak bermaksud untuk berperang. Mereka memahami perkataan Rasulullah saw. itu dengan pengertian seperti berikut: Barang siapa yang kendaraannya telah siap, hendaknya dia berangkat bersama kami. Dengan demikian Rasulullah saw. tidak menunggu-nunggu lagi orang-orang yang kendaraannya masih belum siap atau yang tidak memilikinya.

 

Tepatnya pada tanggal 3 Ramadan Rasulullah saw. keluar untuk mencegat kafilah tersebut sesudah dia terlebih dahulu menyerahkan urusan kota Madinah kepada ‘Abdullah ibnu Ummi Maktum. Pada waktu itu Rasulullah saw. disertai 313 orang lelaki: 240 orang lebih terdiri dari para sahabat Anshar, sedangkan yang lainnya terdiri dari para sahabat Muhajirin. Mereka membawa dua ekor kuda dan tujuh puluh ekor unta. Yang membawa panji peperangan adalah Mush’ab ibnu ‘Umair al-Abdari.

 

Tatkala Abu Sufyan, pemimpin kafilah tersebut, mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah keluar untuk menghadangnya, ia segera menyewa seorang pengendara kuda cepat untuk menghubungi orang-orang Quraisy dan menyampaikan kabar tersebut kepada mereka. Sewaktu orang-orang Quraisy mendengar berita tersebut, fanatisme mereka terbakar, dan mereka takut kafilah dagangnya diserang. Maka segeralah mereka meniup terompet siap berperang sehingga tiada seorang pun dari kalangan orang terhormat mereka yang ketinggalan kecuali Abu Lahab ibnu ‘Abdul-Muththalib. Ia hanya mengirimkan penggantinya, yaitu Al-‘Ash ibnu Hisyam ibnul-Mughirah. Umayyah bermaksud tidak ikut serta karena ia telah mendengar berita dari Sa’d ibnu Mu’adza sewaktu ia melakukan ibadah ‘umrah sesudah Hijrah tidak begitu lama berselang seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Sa’d ibnu Mu’adz berkata kepadanya, “Aku telah mendengar langsung dari Kasulullah bahwa mereka (kaum Muslimin) akan memerangimu di Makkah.” Umayyah menjawab, “aku tidak mengetahui berita tersebut.” Ternyata berita ini membuatnya kaget. Oleh sebab itu, ia bersumpah tidak akan keluar. Akan tetapi, Abu Jahal terus mem’bujuknya sehingga akhirnya ia pun mau keluar dengan maksud akan kembali lagi ke Makkah dalam waktu yang tidak lama. Hanya saja kehendak Allah swt. berada di atas semua kehendak, akhirnya ajal telah menggiringnya kepada kebinasaan sekalipun ia tidak berniat untuk ikut berperang. Allah swt. telah menggariskan bahwa ia harus mati dalam Perang Badar. Demikian pula beberapa orang dari kalangan orang terhormat kaum Quraisy bermaksud tetap tinggal di Makkah, tetapi mereka dicela oleh teman-temannya. Pada akhirnya pasukan Quraisy sepakat untuk keluar bersama. Mereka keluar dengan perasaan segan dan malas. Di barisan muka terdapat perempuan-perempuan penyanyi yang menyanyikan lagulagu bernada menghina kaum Muslimin. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. berfirman:

 

Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka, dan mengatakan, “Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kalian hari ini, dan sesungguhnya aku ini adalah pelindung kalian.” (Q.S. 8 Al-Anfal: 48)

 

Allah swt. sengaja menjelaskan tentang pekerjaan setan supaya hal itu dijadikan perumpamaan yang harus dijauhi oleh orang-orang yang mempunyai akal sesudah mereka. | Allah berfirman:

 

(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu.” Maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.” (Q.S. 59 Al-Hasyr: 16)

 

Demikianlah pekerjaan setan dan andilnya dalam peristiwa tersebut. Kemudian Allah swt. menjelaskan melalui firman-Nya yang lain, yaitu:

 

Maka tatkala kedua pasukan itu telah saling melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri daripada kalian, sesungguhnya aku dapat melihat apa yang kalian tidak dapat melihat: sesungguhnya aku takut kepada Allah.” Dan Allah sangat keras siksaan-Nya. (Q.S 8 Al-Anfal: 48)

 

Jumlah pasukan kaum musyrikin yang ikut berperang pada saat itu 950 orang. Di antara mereka terdapat 100 pasukan berkuda dan 700 pasukan berunta. Rasulullah saw. sedikit pun tidak mengetahui tentang apa yang telah dikerjakan oleh kaum musyrikin karena dia keluar hanya untuk mencegat kafilah perdagangan milik orang Quraisy. Oleh sebab itu Rasulullah saw. tidak membuat persiapan yang lengkap buat menghadapi mereka. Rasulullah saw. berkemah di Buyutus-Sugya yang terletak di luar kota Madinah, lalu dia memeriksa barisan tentara kaum Muslimin. Dalam pemeriksaan ini Rasulullah saw. menyuruh pulang orang-orang yang dinilai kurang mampu melakukan peperangan, kemudian dia mengirimkan dua orang untuk mencari berita tentang kafilah orang-orang Quraisy itu. Sewaktu Rasulullah saw. sampai di Rauha,” ia mendengar berita tentang pasukan kaum musyrikin Quraisy yang bermaksud melindungi kafilah perdagangan mereka kemudian datang pula dua orang mata-matanya yang membawa berita bahwa kafilah kaum Quraisy akan sampai di Badar besok atau lusa.

 

Setelah mendengar kedua berita tersebut, Rasulullah saw. segera mengumpulkan para pemimpin tentaranya, lalu berkata kepada mereka:

 

Hai manusia, sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu di antara dua golongan, yaitu kafilah atau pasukan.

 

Di sini tampak jelas bagi Rasulullah saw. bahwa sebagian di antara mereka berkeinginan memilih golongan yang tidak mempunyai kekuatan, yaitu kafilah perdagangan. Mereka bermaksud supaya dapat menguasai harta benda yang dibawa oleh kafilah tersebut: dan ternyata jawaban mereka adalah, “Mengapa engkau tidak menyebutkan kepada kami mau berperang sehingga kami membuat persiapan untuknya?” Hal ini sesuai dengan penjelasan yang telah dikemukakan Allah swt melalui firman-Nya:

 

Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepada kalian bahwa salah satu dari dua golongan (yang kalian hadapi) adalah untuk kalian, sedangkan kalian menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah untuk kalian. (Q.S. 8 Al-Anfal: 7)

 

Kemudian berdirilah Al-Migdad ibnul-Aswad r.a., lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, teruskanlah langkah engkau sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah kepada engkau. Demi Allah, kami tidak mengatakan seperti apa yang telah dikatakan oleh orang-orang Bani Israil kepada Nabi Musa:

 

Karena itu pergilah kamu bersama Rabb-mu, dan berperanglah kalian berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja. (Q.S. 5 Al-Maidah: 24)

 

Akan tetapi (kami katakan), ‘Pergilah kamu bersama Rabb-mu, dan berperanglah kalian berdua, sesungguhnya kami akan ikut serta berperang bersama kalian berdua.” Demi Allah, seandainya engkau bawa kami ke Barkil Ghimad, niscaya kami akan bertahan bersama engkau sehingga engkau mencapainya.” Lalu Rasulullah saw. mendoakan kebaikan untuk AlMigdad ibnul-Aswad. Setelah itu Rasulullah saw. bersabda, “Hai manusia, kemukakanlah pendapat kalian kepadaku!” Ini ditujukan kepada kaum Anshar. Rasulullah saw. mengatakan demikian karena barangkali mereka menafsirkan Bai’at ‘Agabah bahwa tidak wajib bagi mereka untuk membantu Rasulullah saw. kecuali bila dia telah berada di kalangan mereka (Madinah). Sesungguhnya pada waktu Bai’at ‘Agabah itu mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak bertanggung jawab terhadap diri engkau kecuali bila engkau telah sampai di negeri kami. Apabila engkau telah sampai di negeri kami, berarti engkau telah berada di dalam perlindungan kami: kami akan mempertahankan diri engkau sebagaimana kami mempertahankan anak-anak dan kaum wanita kami.” Kemudian berkatalah Sa’d ibnu Mu’adza, pemimpin kabilah Aus, “Seolah-olah engkau menghendaki kami, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya, benar.” Maka Sa’d berkata, “Kami telah beriman kepada engkau dan telah — mempercayai engkau serta kami telah memberikan janji-janji kami. Terus kanlah langkah engkau sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah swt. kepada engkau. Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan benar, seandainya engkau harus mengarungi laut ini, kemudian engkay mengarunginya, niscaya kami akan ikut mengarunginya bersama engkau, Kami tidak benci untuk bertempur malawan musuh-musuh kami besok, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tangguh di medan peperang. an dan pantang mundur. Semoga Allah swt. memperlihatkan kepada engkau dari kami hal-hal yang akan membuat hati engkau senang. Berang. katlah!. Semoga engkau selalu dibarengi keberkahan dari Allah.” Setelah mendengar sambutan itu, bercahayalah wajah Rasulullah saw. karena gembira, lalu dia bersabda seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:

 

“Bergembiralah kalian, demi Allah, seolah-olah aku melihat tempat kematian kaum.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari)

 

Tentara kaum Muslimin mengerti dari sabda itu bahwa peperangan merupakan suatu keharusan dan kenyataan yang tidak dapat dielakkan lagi.

 

Tatkala Abu Sufyan mengetahui kaum Muslimin telah keluar untuk menghadangnya, ia tidak memakai jalan yang biasa, tetapi berjalan menuruti jalur pantai sehingga ia selamat. Ia mengirimkan utusan kepada orang-orang Quraisy untuk memberitahukan kepada mereka bahwa dia dan kafilahnya telah selamat, lalu ia mengisyaratkan kepada mereka agar kembali ke Makkah. Akan tetapi, Abu Jahal berkata, “Kami tidak akan kembali sebelum sampai di Badar,”) kemudian bermukim di sana selama tiga hari, lalu kita akan menyembelih unta, membeli makanan dan meminum khamar supaya orang-orang Arab mendengar tentang kita, agar mereka tetap selamanya takut kepada kita.” Akan tetapi, Al-Akhnas ibnu Syuraig ats-Tsagafi al-Adawi berkata kepada teman sepaktanya, yaitu Bani Zahrah, “Hai kaum, marilah kita kembali karena Allah telah menyelamatkan kita semua.” Maka mereka pun kembali ke Makkah sehingga tiada seorang pun baik dari kalangan Bani Zahrah maupun Bani ‘Adawi yang ikut dalam Perang Badar. Kemudian tentara kaum musyrikin meneruskan perjalanannya hingga sampai di lembah Badar, lalu mereka turun di pinggir lembah yang letaknya jauh dari kota Madinah, yaitu di suatu tempat yang tanahnya lembek.

 

Ketika tentara Muslimin telah mendekati kampung Badar, Rasulullah saw. menyuruh Sahabat ‘Ali Abu Thalib dan sahabat Az-Zubair ibnul’Awwam untuk menyelidiki keadaan musub. Di tengah jalan kedua utusan itu bertemu dengan pengambil air dari orang Quraisy. Di antara mereka terdapat dua orang pesuruh Banil-Hajjaj dan Banil-‘ Ash, keduanya dari Bani Sahm. Sahabat ‘Ali dan Sahabat AzZubair menangkap kedua orang pesuruh itu lalu membawa keduanya ke hadapan Rasulullah saw. yang pada saat itu sedang melakukan salat Sebelum kedua pesuruh itu dihadapkan kepada Rasulullah saw., Sahabat ‘Ali dan Sahabat Az-Zubair menginterogasinya terlebih dahulu. Kedua pesuruh itu ditanyai tentang identitas mereka. Keduanya menjawab, “Kami adalah pengangkut air buat orang-orang Quraisy. Mereka menyuruh kami mengangkut air minum buat mereka.” Sahabat ‘Ali dan Sahabat Az-Zubair memukuli kedua pesuruh karena mereka menduga bahwa kedua pesuruh tersebut kepunyaan Abu Sufyan. Kedua pesuruh dapat membaca apa yang dimaksud oleh Sahabat ‘Ali dan Sahabat AzZubair. Akhirnya keduanya mengatakan, “Kami adalah orang-orang suruhan Abu Sufyan.” Setelah mendengar jawaban tersebut, Sahabat ‘Ali dan Sahabat Az-Zubair tidak memukulinya lagi.

 

Setelah Rasulullah saw. selesai salatnya, dia berkata, “Apabila keduanya berkata jujur kepada kalian, niscaya keduanya akan dipukuli terus. Dan bila keduanya berdusta terhadap kalian, niscaya kalian tidak memukulinya lagi karena kalian percaya kepadanya. Demi Allah, keduanya merupakan suruhan orang Quraisy.” Lalu Rasulullah saw. berkata kepada kedua pesuruh itu., “Beri tahukanlah kepadaku tentang keadaan orang Quraisy.” Keduanya menjawab, “Mereka berada di balik bukit itu.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Berapa orangkah mereka?” Keduanya menjawab, “Kami tidak tahu berapa jumlah mereka.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Berapa ekorkah setiap harinya mereka menyembelih?” Keduanya menjawab, “Terkadang sembilan ekor, dan terkadang sepuluh ekor.” Rasulullah saw. bersabda, “Kalau demikian berarti jumlah mereka antara sembilan ratus dan seribu orang.” Selanjutnya Rasulullah saw. bertanya kepada keduanya tentang pemimpin-pemimpin Quraisy yang berada di dalam pesukan tersebut. Kedua pesuruh itu menyebutkan jumlah yang cukup besar dari kalangan mereka. Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Ini adalah Makkah yang telah menghadiahkan kepada kalian para pembesarnya.” Setelah memperoleh informasi yang lengkap mengenai mereka, tentara kaum Muslimin bergerak maju hingga mereka turun berkemah di tepi lembah Badar yang dekat dengan Madinah. Tempat tentara kaum Muslimin berkemah itu jauh dari air, sedangkan tanahnya kering dan keras. Akhirnya kaum Muslimin merasa kehausan. sedangkan di antara mereka ada yang mempunyai Jinabah dan ada pula yang mempunyai hadas kecil. Pada saat itu setan membisikkan godaannya kepada mereka. Seandainya tidak ada kemurahan dan rahmat Allah, niscaya semangat mereka akan pudar. Sebab setan membisikkan kepada mereka bahwa kaum musyrikin tidak akan mengulur-ulur waktu supaya mereka kehilangan kekuatan oleh sebab kehausan, dengan demikian kaum musyrikin akan mudah menguasai mereka dan berlaku sesuka hati, terhadap mereka.

 

Lalu Allah swt menurunkan hujan buat mereka sehingga lembah tem. pat mereka berkemah menjadi banyak airnya. Kemudian mereka minum dari air hujan tersebut dan membuat kolam penampungan air di tepi lembah. Mereka yang mempunyai jinabah segera mandi, dan mereka yang berhadas kecil segera berwudu, lalu memenuhi kantung air mereka masingmasing. Tanah menjadi padat sehingga pijakan kaki mereka menjadi teguh dan kuat. Tetapi, ketika hujan itu menimpa kaum musyrikin, tanah tempat berpijak mereka menjadi lumpur sehingga mereka tiadak dapat mudah bergerak. Peristiwa ini telah dijelaskan oleh firman-Nya :

 

Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengan hujan itu dan menghilangkan dari kalian gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hati kalian dan memperteguh telapak kaki (kalian). (Q.S. 8 Al-Anfal: 11)

 

Allah swt. sebelumnya telah memperlihatkan kepada Rasulullah saw. dalam mimpinya tentang keadaan musuh-musuhnya, persis seperti apa yang disaksikan oleh Rasulullah saw. sendiri ketika berhadapan dengan mereka, yaitu jumlah mereka kelihatan sedikit. Hal itu dimaksudkan supaya kaum Muslimin tidak patah semangat dan karena Allah swt. hendak melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan. Mengenai hal ini telah dijelaskan oleh firman-Nya:

 

Yaitu ketika Allah menampakkan mereka kepadamu di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepada kamu (berjumlah) banyak, tentu saja kalian menjadi gentar, dan tentu saja kalian akan berbantah-bantahan dalam urusan itu, tetapi Allah telah menyelamatkan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Dan ketika Allah menampakkan mereka kepada kamu sekalian, ketika kalian berjumpa dengan mereka berjumlah sedikit pada penglihatan mata kalian, dan kalian ditampakkan-Nya berjumlah sedikit pada penglihatan mata mereka, karena Allah hendak melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan. Dan hanya kepada Allahlah segala urusan dikembalikan. (Q.S. 8 Al-Anfal: 43-44)

 

Kemudian bergeraklah tentara kaum Muslimin sehingga sampai di suatu tempat yang paling rendah dari Badar, lalu Rasulullah saw. memerintahkan semua pasukan «gar turun. Akan tetapi, Al-Habbab ibnul-Mundzir alAnshari berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, apakah tempat ini adalah tempat yang telah ditentukan oleh wahyu Allah yang diturunkan-Nya kepadamu sehingga kami tidak boleh menawar-nawarnya lagi? Ataukah ia hanya merupakan pendapat dan siasat dalam peperangan” Sahabat Al-Habbab ibnul-Mundzir terkenal mempunyai pendapatpendapat yang baik dan jitu. Rasulullah saw. menjawab, “Tidak, tetapi ia hanyalah pendapat belaka dan siasat dalam peperangan.” ,

 

Al-Habbab ibnul-Mundzir berkata,”Wahai Rasulullah, tempat ini tidak | Sesuai bagi kita, dan bawalah kami semua ke tempat yang paling rendah di , daerah ini karena saya mengetahui suatu tempat yang banyak airnya, kemudian kita bermarkas di situ. Setelah itu kita tutup semua sumur lainnya, lalu kita bangun kolam yang besar untuk menampung air sehingga ‘ kita mempunyai persediaan air yang banyak, sedangkan mereka tidak akan dapat menemukan air minum.” Rasulullah saw. menjawab, “Sungguh engkau telah mengemukakan pendapat yang paling baik.”

 

Selanjutnya Rasulullah saw. menggerakkan pasukan kaum Muslimin sehingga mencapai daerah terendah di kawasan tersebut yang banyak airnya. Sebelum itu dia memerintahkan agar semua sumur yang berada di belakang kaum Muslimin ditimbun supaya kaum musyrikin tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat menemukan air minum. Lalu Rasulullah ! 8aw. memerintahkan agar membuat sebuah kolam untuk menampung air di tempat mereka bermarkas. Setelah semua selesai, Sahabat Sa’d ibnu Mu’adz, pemimpin kabilah Aus, berkata, “Wahai Rasulullah, maukah aku bangunkan sebuah kemah khusus untuk tempat engkau dan kami , mempersiapkan kendaraan engkau di dekatnya? Selanjutnya kami akan menghadapi musuh. Bila ternyata Allah swt. memenangkan kita dan dapat mengalahkan musuh kita, maka hal tersebutlah yang kita harapkan. Apa. bila ternyata yang terjadi sebaliknya, wahai Nabiyullah, sesungguhnya dj belakang engkau (di Madinah) terdapat kaum-kaum yang lebih cinta ter. hadap engkau dibandingkan dengan mereka, dan kami lebih taat kepada engkau dibandingkan dengan mereka dalam hal berjihad dan keikhlasan niat. Seandainya mereka mempunyai dugaan bahwa engkau menemui peperangan, niscaya tiada seorang pun dari mereka yang tertinggal, semuanya pasti mengikuti engkau. Sesungguhnya mereka tidak ikut serta dengan engkau karena mereka menduga bahwa engkau hanya bermaksud mencegat kafilah Quraisy. Mereka adalah kaum yang oleh Allah swt. di. jadikan sebagai benteng pertahanan bagi engkau. Mereka siap sedia untuk berjihad bersama engkau.” Rasulullah saw. menjawab, “Aku percaya bahwa tidak ada pendapat yang lebih baik lagi daripada pendapat ini.”

 

Kemudian mereka membangun kemah khusus di suatu tebing yang menghadap ke daerah medan pertempuran buat Rasulullah saw. Sesudah barisan kaum Muslimin berkumpul semuanya, Rasulullah meratakan barisan mereka. Bahu mereka saling menempel dengan ketat sehingga keadaan mereka mirip dengan bangunan yang rapi dan kokoh. Lalu Rasulul. lah saw. bersabda kepada mereka:

 

Ya Allah, mereka adalah orang-orang Quraisy yang kini datang dengan membawa kesombongan dan ketakaburan mereka: mereka bermaksud menantang-Mu dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku mengharapkan pertolongan-Mu yang telah Engkau janjikan kepadaku. Pada saat itu di barisan kaum musyrikin terjadi perselisihan di antara para pemimpin mereka. ‘Atabah ibnu Rabi’ah mencegah kaumnya melakukan peperangan, sebab ia hanya bermaksud menuntut diat teman sepaktanya, yaitu ‘Amr ibnul-Hadhrami yang dibunuh oleh sariyyah ‘Abdullah ibnu Jahsy. Ia pun mau menuntut diat orang-orangnya yang terbunuh pada saat itu selain ‘Amr ibnul-Hadhrami. Kemudian ia menyeru orang-orang untuk melakukan hal tersebut. Akan tetapi, tatkala beritanya terdengar oleh Abu jahal, Abu Jahal mengecapnya sebagai pengecut seraya berkata, “Demi Allah, kami tidak akan mundur setapak pun sehingga Dia memutuskan di antara kita dan Muhammad.”

 

Sebelum peperangan dimulai, tiba-tiba keluarlah dari barisan kaum musyrikin Al-Aswad ibnu ‘Abdul Asad al-Makhzumi seraya berkata, “aku bersumpah kepada Allah, aku harus minum dari kolam mereka atau aku meruntuhkannya atau aku harus mati karenanya.” Kedatangannya itu disambut oleh Sahabat Hamzah ibnu ‘AbdulMuththalib. Sahabat Hamzab memukulnya dengan pedang sehingga memotong kakinya hingga batas setengah betisnya. Al-Aswad jatuh menggeletak, tetapi ia masih tetap merangkak menuju kolam sekalipun kakinya sudah putus. Ia hendak memenuhi sumpahnya. Ia dikejar oleh Sahabat Hamzah, lalu dibunuhnya. Kemudian Rasulullah saw. berdiri dan berkhotbah memberikan semangat kepada barisan kaum Muslimin supaya teguh dan sabar menghadapi peperangan ini. Di antara yang dikatakannya ialah seperti berikut ini:

 

Dan sesungguhnya bersabar dalam menghadapi kemelut peperangan merupakan saat-saat Allah swt. akan melenyapkan semua kesedihan, dan Dia akan melenyapkan semua kesulitan. Kemudian peperangan dimulai dengan perang tanding. Dari barisan kaum musyrikin keluar tiga orang, yaitu ‘Atabah ibnu Rabi’ah dan saudaranya, Syaibah, beserta anak ‘Atabah yang bernama Al-Walid. Mereka menantang orang-orang yang sepadan dengan kedudukan mereka dari tentara kaum Muslimin. Keluar pulalah dari barisan kaum Muslimin tiga orang dari kalangan sahabat Anshar. Tetapi mereka menjawab, “Kami tidak ada urusan dengan kalian, tetapi kami hanya mau dengan orangorang yang sepadan dengan kami, yaitu dari kalangan anak-anak paman kami”. Maka Rasulullah saw. menyuruh Sahabat ‘Ubaidah ibnul-Harts ibnu ‘Abdul-Muththalib untuk menghadapi ‘Atabah ibnu Rabi’ah, dan Sahabat Hamzah untuk menghadapi Syaibah, serta Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib untuk menghadapi Al-Walid anak Syaibah.

 

Akhirnya Sahabat Hamzah ibnu ‘Abdul-Muththalib dan Sahabat ‘Ali dapat membunuh kedua orang lawan mereka, tetapi ‘Ubaidah yang menghadapi ‘Atabah sama-sama terluka karena masing-masing sempat melancarkan pukulan terhadap lawannya. Teman ‘Ubaidah menyerang ‘Atabah dan langsung membunuhnya, membawa ‘Ubaidah ke dalam barisan kaum Muslimin. Abu ‘Ubaidah dalam keadaan terluka sehingga darah putih (sumsum) meleleh dari tulang betisnya. Mereka membaringkannya di sebelah tempat Rasulullah saw. Rasulullah saw. memangku kakinya yang terluka berat itu, dan dia meletakkan pipinya padanya seraya memberitahukan kepadanya berita gembira bahwa ia mendapat derajat syuhada. ‘Ubaidah berkata kepada Rasulullah saw., “Demi Allah, sungguh aku senang sekali seandainya Abu Thalib masih hidup, dan niscaya aku katakan kepadanya bahwa akulah yang lebih berhak daripadanya untuk mendapat gelar seperti apa yang telah dikatakannya:

 

Dan kami tidak akan menyerahkannya (Muhammad) sampai kami mati berkalang tanah di sekitarnya, dan niscaya (demi mempertahankannya) akan kami lupakan anak-anak dan istri-istri-kami.”

 

Setelah perang tanding usai, Rasulullah saw. berjalan memeriksa barisan kaum Muslimin seraya meratakannya dengan tongkat yang dibawanya untuk tujuan itu. Ketika Rasulullah saw. melewati Sawwad ibnu Ghazyah, teman sepakta Bani Najjar, ternyata ia keluar agak menonjol dari barisan tersebut. Rasulullah saw. memukul perutnya dengan tongkat seraya ber. kata, “Hai Sawwad, luruskanlah barisanmu.” Sawwad menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau telah menyakitiku, sedangkan engkau diutus dengan membawa perkara yang hak dan keadilan. Maka berikanlah kesempatan bagiku untuk membalas kepada engkau.” Kemudian Rasulullah saw. membuka perutnya seraya berkata kepada Sawwad, “Silakan engkau balas, hai Sawwad.” Akan tetapi, ternyata Sawwad hanya memeluk perut Rasulullah saw. dan menciuminya. Rasulullah saw. berkata, “Apakah yang membuat engkau berlaku demikian.” Sawwad menjawab, “Wahai Rasulul. lah, seperti apa yang engkau lihat sendiri, peperangan telah diambang pintu. Maka aku mengharapkan agar sebelum aku gugur hendaknya kulit ku ini bersentuhan dengan kulit engkau yang mulia itu.” Maka Rasulullah saw. mendoakan kebaikan untuknya.

 

Rasulullah saw. mulai menyampaikan pesannya kepada semua tentara kaum Muslimin:

 

Janganlah kalian melakukan apa-apa sebelum aku memerintahkannya, dan bilamana musuh mengepung kalian, hujanilah mereka dengan panah. Janganlah kalian mencabut pedang kalian kecuali bila mereka menyerang kalian dari jarak dekat.

 

Selanjutnya Rasulullah saw. menganjurkan supaya mereka teguh dan sabar. Kemudian dia kembali ke kemahnya bersama Sahabat Abu Bakar yang selalu menemaninya. Yang menjadi pengawalnya adalah Sahabat Sa’d ibnu Mu’adz. Ia selalu berdiri di depan pintu kemah dengan pedang terhunus.

 

Di dalam kitab Shahih Bukhari telah disebutkan bahwa di antara doa yang diucapkan oleh Rasulullah saw. pada saat itu ialah: Ya Allah, aku mendambakan perintah dan janji-Mu. Ya Allah, bila Engkau menghendaki, niscaya Engkau tidak akan disembah.

 

Sahabat Abu bakar r.a. berkata, “Cukuplah apa yang telah engkau katakan itus sesungguhnya Allah pasti akan memenuhi janji-Nya kepada engkau.” Lalu Rasulullah saw. keluar dari kemahnya seraya membacakan firman Allah:

 

Golongan itu pasti akan dikalahkan, dan mereka akan mundur ke belakang. (Q.S. 54 Al-Gamar: 45)

 

Selanjutnya Rasulullah saw. berkhotbah kepada barisan tentara kaum Muslimin untuk memberi semangat dengan sabdanya: Demi Zat (Allah) yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tiada seorang lelaki pun yang memerangi mereka hari ini, kemudian ia gugur dalam keadaan sabar dan mengharapkan pahala Allah serta maju tak mundur, melainkan Allah memasukkannya ke dalam surga. Dan barang siapa yang membunuh lawannya, maka ia berhak mengambil ghanimah-nya. “Umair ibnul-Hammam yang sedang memegang beberapa butir buah kurma berkata, “Wah, kalau demikian, tiada jarak di antara diriku dan surga selain mereka harus membunuhku.” Selanjutnya ia membuang kurma yang ada ditangannya, lalu mengambil pedangnya, menyerang ke dalam barisan musuh, mengobrak-abriknya sehingga ia sendiri gugur.

 

Pertempuran di antara kedua pasukan makin bertambah seru dan suasana semakin panas membakar. Kemudian Allah swt. memperkuat barisan kaum Muslimin dengan bantuan para malaikat sebagai berita gembira buat mereka agar hati mereka menjadi tenang. Hanya tidak berapa lama golongan kaum musyrikin itu kalah dan lari tunggang langgang. Kemudian mereka dikejar oleh tentara kaum Muslimin sehinga banyak di antara mereka yang terbunuh dan tertawan. Jumlah tentara kaum musyrikin yang terbunuh dalam peperangan itu kuranglebih tujuh puluh orang. Di antara mereka ialah ‘Atabah dan Syaibah, keduanya adalah anak Rabi’ah, serta Al-Walid anak ‘Atabah, semuanya terbunuh di dalam duel pada permulaan peperangan.

 

Di antara mereka yang terbunuh ialah Abul-Buhturi ibnu Hisyam dan Al-Jarrah, ayah Abu ‘Ubaidah, yang mati dibunuh oleh Abu ‘Ubaidah, anaknya sendiri, setelah terlebih dahulu Abu ‘Ubaidah memberikan peringatan kepadanya agar menjauh dari medan perang, tetapi ia tidak menghiraukannya. Mati pula di dalam peperangan itu Umayyah ibnu Khalaf dan anak lelakinya. Mereka mati dikeroyok oleh segolongan orang Anshar bersama Sahabat Bilal ibnu-Rabbah dan Sahabat ‘Ammar ibnu Yasir. Sahabat Bilal dan Sahabat ‘Amr ibnu Yassir telah berusaha untuk melakukan hal tersebut mengingat kekejaman yang telah dilakukan oleh Umayyah sewaktu di Makkah terhadap mereka berdua. Yang lainnya di antara orang-orang yang mati dari kaum musyrikin dalam perang tersebut ialah Hanzhalah ibnu Abu Sufyan dan Abu Jahal ibnu Hisyam, keduanya dilukai oleh dug orang pemuda yang masih remaja dari kaum Anshar karena mereka ber. dua telah mendengar bahwa kedua orang tersebut sering menyakiti Rasulullah saw. Selanjutnya Hanzhalah dan Abu Jahal yang dibunuh oleh Sahabat ‘Abdullah ibnu Mas’ud. Kemudian Naufal ibnu Khuwalid yang mati dibunuh oleh Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib, dan ‘Ubaidah serta Al. Ash yang telah membunuh ayah Abu Uhaihah yang bernama Sa’id ibnul. Ash ibnu Umayyah. Masih banyak lagi dari kalangan kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar itu.

 

Mengenai tawanan perang, jumlah mereka mencapai tujuh puluh orang. Kemudian Rasulullah saw. membunuh dua orang di antara mereka, yaitu ‘Ugbah ibnu Abu Mu’ith dan An-Nadhr ibnul-Harits, keduanya se. waktu di Makkah termasuk orang-orang yang paling keras dalam menghina Rasulullah saw. Kejadian ini berlangsung pada tanggal 17 Ramadan, yaitu bertepatan dengan hari ulang tahun turunnya Al-Guran. Jarak an. tara permulaan turunnya Al-Qur’an dan Perang Badar genap empat belas tahun Qamariyah.

 

Selanjutnya Rasulullah saw. memerintahkan agar jenazah orangorang yang terbunuh dari kalangan kaum musyrikin dibereskan. Jenazah mereka dipindahkan dari tempat kematian mereka yang telah diberitakan oleh Rasulullah saw. sebelum kejadian tersebut, lalu dimasukkan menjadi satu ke dalam sumur tua di Badar, sebab termasuk sunnah Rasulullah saw. dalam semua peperangan yang dialaminya bilamana ia menemukan jenazah manusia, ia memerintahkan supaya jenazah itu dikuburkan tanpa menanyakan apakah jenazah itu mukmin atau kafir. Ketika jenazah ‘Atabah, orang tua Sahabat Abu Hudzaifah, salah seorang yang paling dahulu masuk Islam, dilemparkan ke dalam sumur tua itu, Rasulullah saw. menghampiri anaknya. Ia menangkap sesuatu dari roman mukanya, maka ia bersabda kepadanya, “Barangkali ada sesuatu yang menjadi pikiranmu sehubungan dengan ayahmu itu?” Abu Hudzaifah menjawab, “Tidak, demi Allah, hanya saja aku mengetahui bahwa ayahku itu adalah seorang yang kritis, penyantun, dan memiliki keut?maan. Aku selalu mengharapkan semoga Allah memberinya petunjuk masuk Islam, tetapi setelah aku melihat kematiannya dalam keadaan kafir, hal itu membuatku sedih.” Maka Rasulullah saw. mendoakan kebaikan untuknya.

 

Setelah itu lalu Rasulullah saw. memerintahkan agar kendaraannya dipersiapkan. Dia menaikinya dan berhenti di pinggir sumur tua tempat jenazah orang-orang musyrik dilemparkan. Di situ Rasulullah saw. memanggil nama mereka masing-masing lengkap dengan nama ayah-ayah mereka:

 

“Hai Fulan ibnu Fulan, dan hai Fulan ibnu Fulan! Apakah menggembirakan kalian seandainya kalian taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena sesungguhnya kami benar-benar telah menemukan apa yang telah dijanjikan oleh Rabb kami, maka apakah kalian pun telah menemukan pula apa yang telah dijanjikan oleh Rabb kalian dengan sebenarnya?” Lalu Sahabat ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau berbicara dengan jasad-jasad yang sudah tidak ada rohnya?”. Rasulullah saw. menjawab, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sungguh mereka pun dapat mendengarkan apa yang sedang aku katakan, sama dengan kalian.”

 

Siti ‘Aisyah r.a. menafsirkan apa yang dimaksud oleh Rasulullah saw. tadi ialah bahwa dia bermaksud agar mereka sekarang benar-benar mengetahui apa yang dikatakannya kepada mereka itu memang benar. Selanjutnya Siti ‘Aisyah r.a. membacakan firman Allah:

 

Sesungguhnya engkau tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati itu mendengar. (Q.S. 27 An-Naml: 80)

 

Dan engkau sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang berada di dalam kubur dapat mendengar. (Q.S. 35 Fathir: 22)

 

Yang dimaksudkan oleh Siti ‘Aisyah ialah agar mereka mengetahui hal tersebut pada saat mereka menduduki tempatnya di neraka. Demikianlah menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Siti ‘Aisyah r.a.

 

Setelah peristiwa itu Rasulullah saw. mengirimkan utusannya untuk menyampaikan berita gembira. Rasulullah saw. mengirimkan ‘Abdullah ibnu Abu Rawwahah kepada penduduk daerah ‘Aliyah,” dan mengirimkan Sahabat Zaid ibnu Haritsah kepada penduduk As-Safilah (yang mendiami dataran rendah Madinah) seraya menaiki unta Rasulullah saw. Orang-orang munafik dan orang-orang kafir, yaitu orang Yahudi, selalu menakut nakuti kaum Muslimin penduduk Madinah dengan berita yang negatif mengenai Rasulullah saw. Demikianlah kebiasaan musuh, mereka menyiarkan berita yang tidak enak mengenai tentara kaum Muslimin dengan mak, sud untuk memfitnah kaum Muslimin. Akan tetapi, tatkala utusan Ra sulullah saw. datang membawa berita gembira, yaitu kemenangan kaun Muslimin, bergembiralah penduduk Madinah yang Muslim. Para Utusan itu datang ketika kaum Muslimin Madinah baru saja mengebumikan jeng, zah putri Rasulullah saw., yaitu Siti Rugayyah, istri Sahabat ‘Utsman.

 

Kemudian Rasulullah saw. kembali ke Madinah. Pada saat itu ter. jadilah perselisihan di antara sebagian kaum Muslimin mengenai masalah pembagian ghanimah. Kaum muda mengatakan bahwa mereka adalah pe. risai bagi kaum tua, maka mereka ikut mengambil bagian ghanimah sama dengan kaum tua. Mengingat perselisihan ini dapat mengakibatkan kele. mahan dan menanamkan rasa permusuhan serta kebencian yang akan mencerai-beraikan persatuan, maka Allah swt. menurunkan wahyu-Nya guna mengakhiri perselisihan ini, yaitu melalui firman-Nya:

 

Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian orang-orang yang beriman.” (Q.S. 8 AlAnfal: 1)

 

Sinar Al-Quran menembus hati mereka sehingga mereka menjadi rukun setelah hampir saja berpecah belah. Akhirnya mereka menyerahkan urusan ghanimah sepenuhnya kepada Rasulullah saw. sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh Al-Quran. Lalu Rasulullah saw. membagikannya secara adil: pasukan berjalan kaki disamakan bagiannya dengan pasukan berjalan kaki lainnya, dan pasukan berkuda disamakan bagiannya dengan pasukan berkuda lainnya. Rasulullah saw. memberikan jatah bagian ghanimah kepada orang-orang yang tidak ikut berperang, tetapi mereka diberi tugas khusus oleh rasulullah saw. Mereka yang mendapat bagian jenis ini jalah Abu Lubanah al-Anshari, karena ia diberi tugas menjadi pengganti Rasulullah saw. untuk mengurusi penduduk Madinah, Al-Harits ibnu Hathib mendapat bagian karena Rasulullah saw. memberinya tugas sebagai pengganti Rasulullah saw. atas Bani ‘Amr ibnu ‘Auf, yaitu untuk melakukan tugas khusus yang telah diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepadanya: Al-Harits ibnushShummah dan Akhawat ibnu Jubair mendapat bagian karena kedua kakinya terkilir sewaktu di Rauha sehinga mereka tidak dapat berjalan: Thalhah ibnu “Ubaidillah dan Sa’id ibnu Zaid keduanya mendapat bagian karena mereka dilepaskan oleh Rasulullah saw. untuk menjadi mata-mata yang mengawasi semua gerakan musuh, dan keduanya baru kembali ke Madinah setelah perang usai, “Utsman ibnu “Affan r.a. diberi bagian karena Rasulullah saw. menitipkan putrinya, Siti Rugayyah, yang telah menjadi istri ‘Utsman supaya ‘Utsman merawatnya, ‘Ashim ibnu ‘Addi mendapat bagian karena Rasulullah saw. memberinya tugas sebagai pengganti Rasulullah saw. untuk mengatur penduduk Quba dan daerah ‘Aliyah. Demikian pula Rasulullah pun memberikan bagian ghanimah kepada orang-orang Muslim yang gugur di medan perang. Jumlah mereka ada empat belas orang. Di antara mereka yang gugur ialah ‘Ubaidah ibnul-Harits ibnu ‘Abdul Muththalib ibnu Hasyim yang terluka sewaktu duel pada permulaan perang. Ia meninggal dunia ketika kaum Muslimin dalam perjalanan kembali ke Madinah dari Badar, dikebumikan di Ash-Shafra.

 

Tatkala Rasulullah saw. hampir memasuki kota Madinah, kedatangannya disambut oleh para gadis Madinah yang memukul rebana seraya mengucapkan:

 

Rasulullah telah datang kepada kami, dari Tsaniyatul-Wada’. Kami wajib bersyukur atas seruannya yang mengajak kepada Allah. Wahai orang yang diutus kepada kami, sungguh engkau datang dengan membawa perkara yang ditaati.

 

 

TAWANAN PERANG BADAR

 

Ketika pasukan Muslimin telah memasuki kota Madinah, Rasulullah saw. bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang apa yang harus mereka lakukan terhadap para tawanan. Sahabat ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, mereka telah mendustakanmu, memerangi dan mengusirmu. Menurut pendapatku, biarkanlah aku menguasai si Fulan yang ada hubungan famili denganku, lalu aku penggal lehernya. Biarkanlah Hamzah menguasai saudaranya, Al-‘Abbas, serta ‘Ali menguasai saudaranya, ‘Ugail. Demikian Seterusnya sehingga semua orang mengetahui bahwa di dalam hati kami Ini tidak ada kecintaan terhadap kaum musyrikin. Aku tidak mempunyai pendapat lain kecuali semua tawanan harus aku penggal leher mereka. Mereka adalah para pendekar, para pemimpin dan para panglima kaum musyrikin.” Pendapat sahabat ‘Umar itu disetujui oleh Sahabat Sa’d ibnu Mu’adz dan ‘Abdullah ibnu Rawwahah.

 

Akan tetapi, Sahabat Abu Bakar berpendapat, “Wahai Rasulullah, mereka adalah keluarga dan kaum engkau. Allah telah memberikan keme. nangan dan pertolongan-Nya kepada engkau atas mereka. Menurut penda. patku, sebaiknya engkau biarkan mereka hidup, kemudian ambil tebusan mereka. Dengan demikian, apa yang kita ambil dari mereka akan menjadi kekuatan bagi kita untuk melawan orang-orang kafir. Mudah-mudahan Al. lah swt. memberikan hidayah kepada mereka melalui engkau. Dengan demikian, mereka akan menjadi pembantu engkau.”

 

Kemudian Rasulullah saw. berkata, “Sesungguhnya Allah telah melunakkan hati beberapa kaum sehingga jadilah mereka orang yang berhati lunak seperti air susu. Sesungguhnya Allah telah memperkeras hati beberapa kaum yang lain sehingga mereka menjadi orang yang lebih keras hatinya daripada batu. Sesungguhnya perumpamaan engkau itu, hai Abu Bakar, adalah seperti Nabi Ibrahim, yaitu sewaktu dia mengatakan:

 

Maka barang siapa yang mengikutiku, sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.5. 14 Ibrahim: 36)

 

Sesungguhnya perumpamaan engkau itu, hai ‘Umar, seperti Nabi Nuh a.s,, yaitu ketika ia mengatakan:

Ya Rabb-ku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. (Q.S. 71 Nuh: 26)

 

Ternyata Rasulullah saw. memilih pendapat Sahabat Abu Bakar setelah terlebih dahulu memuji pendapat kedua sahabat itu, karena tujuan kedua pendapat tersebut sama, yaitu memperkuat agama dan menghinakan orang-orang musyrik. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada para sahabatnya, “Kalian sekarang adalah orang-orang yang menanggung beban, maka jangan biarkan seorang pun dari tawanan kalian dilepaskan selain dengan tebusan.” Berita tentang apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah saw. sehubungan dengan para tawanan itu terdengar oleh orang Quraisy, lalu mereka bermaksud untuk menangisi orang-orang mereka yang telah mati dalam Perang Badar selama satu bulan. Tetapi salah seorang dari pembesar mereka memberikan isyarat bahwa janganlah mereka mengerjakan hal itu sebab, jika beritanya terdengar oleh Muhammad dan para sahabatnya, niscaya mereka akan bersorak gembira karenanya. Akhirnya mereka diam dan bertekad untuk tidak menangisi orang-orang mereka yang telah mati sehingga nanti tiba saatnya untuk membalas dendam untuk menebus kekalahannya. Di antara sesama mereka saling berpesan supaya jangan terburu-buru melakukan tebusan terhadap orang-orang mereka yang ditawan sebab, jika terburu-buru, niscaya kaum Muslimin akan memasang harga yang tinggi untuknya.

 

TEBUSAN

 

Akan tetapi, anjuran tersebut tidak dihiraukan oleh Al-Muththalib ibnu Abu Wadda’ah as-Sahmi yang ayahnya kini berada dalam tahanan kaum Muslimin. Ia keluar dengan sembunyi-sembunyi, lalu menuju Madinah. Setelah sampai di Madinah, ia menebus ayahnya dengan bayaran empat ribu dirham. Pada saat itu juga orang Quraisy mengirimkan utusannya untuk menebus tawanan-tawanan mereka. Tebusan untuk setiap orang adalah empat ribu dinar, dan kepada orang yang tidak memiliki harta untuk menebus diri, dan ia pandai membaca dan menulis, maka diberikan sepuluh orang anak Madinah untuk diajarinya membaca dan menulis. Jasanya itu dijadikan sebagai tebusan dirinya.

 

Di antara para tawanan itu terdapat ‘Amr ibnu Abu Sufyan. Tatkala ia meminta tebusan dirinya kepada ayahnya, Abu Sufyan, ayahnya menolak, bahkan mengatakan, “Demi Allah, tidak boleh Muhammad mengumpulkan anakku dan hartaku. Biarkanlah dia tetap berada di tangan mereka. Mereka boleh sesukanya memperlakukannya.” Akan tetapi, ketika Abu Sufyan berada di kota Makkah, tiba-tiba ia menjumpai Sa’d anNu’man al-Anshari sedang melakukan ibadah ‘umrah. Kemudian Abu Sufyan menangkap Sa’d dan menyanderanya untuk dijadikan tebusan bagi anaknya, ‘Amr. Lalu kaum Sa’d menghadap kepada Rasulullah saw. dan memberitakan kepadanya tentang peristiwa yang telah menimpa diri Sa’d. Akhirnya Rasulullah saw. menyerahkan ‘Amr kepada utusan orang-orang Quraisy, dan sebaliknya Abu Sufyan dan kaum musyrikin melepas pula imbalannya, yaitu Sa’d.

 

Di antara para tawanan itu terdapat pula Abul-‘Ash ibnur-Rabi’, suami butri Rasulullah, yaitu Siti Zainab. Sebelum itu Rasulullah saw. sangat memujinya karena kebaikannya dalam hubungan selaku menantu. Sebah ketika permusuhan di antara orang-orang musyrik Quraisy dengan Rasu. lullah saw. di Makkah semakin memuncak, mereka meminta kepada Abul. ‘Ash untuk menceraikan Siti Zainab seperti apa yang telah dilakukan oleh kedua anak lelaki Abu Lahab terhadap kedua putri Rasulullah saw. yang lain. Akan tetapi, Abul-‘Ash menolak permintaan mereka dan mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan menceraikan teman hidupku ini, dan aku sangat senang mempunyai istri dari kalangan Quraisy.” Ketika Abul-‘Ash ditawan Siti Zainab mengirimkan tebusan berupa kalung pribadinya yang diterimanya dari ibunya, Siti Khadijah, pada hari perkawinannya. Ketika Rasulullah saw. melihat kalung tersebut, hatinya menjadi sangat sayang kepada putrinya. Lalu Rasulullah saw berkata kepada para sahabatnya, “Jika kalian setuju untuk melepaskan suaminya dan mengembalikan kalung tersebut kepadanya, lakukanlah hal itu.” Akhirnya para sahabat semua setuju dengan usul Rasulullah saw. itu. Kemudian Rasulullah saw. melepaskan Abul-‘Ash dengan syarat, hendaknya ia membiarkan Siti Zai. nab pergi hijrah ke Madinah. Ketika Abdul-‘Ash sampai di Makkah, ia memerintahkan Siti Zainab supaya menyusul ayahnya. Rasulullah saw. ketika itu mengirimkan orang-orangnya untuk menjemput putrinya itu. Ketika Abul-Ash masuk Islam sebelum penaklukan kota Makkah, Rasulullah saw. mengembalikan putrinya, Siti Zainab, kepadanya atas dasar pernikahan pertama.

 

Di antara para tawanan lainnya terdapat Suhail ibnu ‘Amr. Ia seorang ahli pidato dari kabilah Quraisy dan ahli sastra serta sering sekali menyakiti kaum Muslimin melalui lisannya. Sahabat ‘Umar r.a berkata, “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku mencabut kedua gigi seri Suhail ini. Ia selalu mengumbar mulutnya, maka ia tidak akan lagi mencela engkau melalui pidatonya di mana pun ia berada.” Akan tetapi, Rasulullah saw. menjawab, “Aku tidak akan melakukan pembalasan yang serupa, karena Allah niscaya akan melakukan pembalasan serupa pula terhadap diriku, sekalipun aku seorang nabi. Semoga Suhail kelak akan menduduki suatu kedudukan yang engkau tidak akan mencelanya.” Orang yang datang untuk menebusnya adalah Mukarriz ibnu Hafsh. Mukarriz rela dirinya dijadikan sandera pengganti Suhail. Lalu Suhail datang dengan membawa tebusan dirinya untuk membebaskan Mukarriz. Hal ini berlangsung setelah Mukarriz mendapat persetujuan dari kaum Muslimin.

 

Kemudian, ternyata Allah swt. membuktikan kebenaran berita yang telah diucapkan oleh Rasulullah saw. itu sehubungan dengan Suhail. Ketika Rasulullah saw. wafat, penduduk Makkah banyak yang bermaksud murtad dari Islam seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Arab lainnya. Berdirilah Suhail seraya berkhotbah kepada mereka. Khotbahnya itu dimulainya setelah terlebih dahulu ia memanjatkan pujian dan sanjungan kepadz Allah swt. setelah membaca shalawat kepada Rasulullah saw. Selanjutnya ia mengatakan. “Hai umat manusia, barang siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah mati, dan barang siapa yang menyembah Allah, Allah mahahidup lagi tidak akan mati. Tidakkah kalian mengetahui bahwasanya Allah swt. telah berfirman:

 

Sesungguhnya kamu akan mati, dan sesungguhnya mereka akan mati pula. (Q.S. 39 Az-Zumar: 30).

 

Dan Allah swt. telah berfirman pula:

 

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, lalu kalian berbalik ke belakang (murtad)?” (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 144)

 

Selanjutnya Suhail mengatakan,”Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahwa agama ini (Islam) pengaruhnya akan terus meluas sepanjang sinar matahari terbit, maka janganlah kalian terbujuk oleh rayuan orang ini (yang dimaksud ialah Abu Sufyan). Sekalipun ia mengetahui tentang perkara ini seperti apa yang aku ketahui, hatinya telah terkunci mati akibat dengki kepada Bani Hasyim. Bertakwalah kalian kepada Rabb kalian karena sesungguhnya agama Allah itu tetap tegak dan kalimah-Nya tetap sempurna. Sesungguhnya Allah akan menolong orang yang menolong dan mempexuat agama-Nya, dan Allah telah mempersatukan kalian di bawah pimpinan orang yang paling baik dari kalian (yang dimaksudkannya ialah Sahabat Abu Bakar). Hal ini tidak akan menambah beban terhadap agama Islam selain hanya kekuatan, maka barang siapa yang kami lihat ia murtad, niscaya kamu akan memenggal lehernya.”

 

Akhirnya semua penduduk Makkah mundur kembali, tidak berani melakukan apa yang telah diniatkan mereka itu. Berita ini merupakan mukjizat Rasulullah saw. karena kejadiannya tepat dengan apa yang telah di ramalkannya sebelumnya.

 

Di antara para tawanan tersebut terdapat pula, Al-Walid ibnul Walid yang kemudian ditebus oleh kedua saudaranya, yaitu Khalid dan Hisyam. Setelah Al-Walid ditebus dan kembali ke Makkah, lalu ia masuk Islam, ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak masuk Islan sebelum ditebus?” Ia menjawab, “Aku khawatir kalau-kalau mereka meng. anggap keislamanku karena takut.” Selanjutnya, ketika ia bermaksug untuk hijrah ke Madinah, ia dicegah oleh kedua saudaranya, tetapi ia lari sewaktu sedang melakukan ibadah ‘umrah gadha untuk bergabung dengan Nabi saw.

 

Tawanan lainnya ialah As-Saib ibnu Zaid. Ia pemegang panji peperang. an kaum musyrikin dalam perang itu. Ia dibebaskan setelah menebus dirinya. Dia adalah kakek yang kelima dari Imam Muhammad ibnu Idris asy-Syafi’i.

 

Tawanan lain lagi ialah Wahb ibnu ‘Umari al-Jumahi. Ayahnya ber. nama ‘Umari, salah seorang penjahat Quraisy dan termasuk orang yang paling banyak menyakiti Rasulullah saw. Pada suatu hari setelah Perang Badar berlalu, ia duduk-duduk dengan Shafwan ibnu Umayyah seraya menceritakan kembali kekalahan dalam Perang Badar. ‘Umair berkata, “Demi Allah, seandainya aku tidak mempunyai utang yang aku tidak mampu membayarnya, dan anak-anak yang aku khawatirkan akan menjadi miskin bila aku tinggalkan, niscaya aku akan mendatangi Muhammad, kemudian aku bunuh dia, karena sesungguhnya anakku sekarang menjadi tawanan mereka”. Lalu Shafwan berkata kepadanya,”Utangmu menjadi tanggunganku, dan anak-anakmu akan kupelihara bersama anak-anakku.” Maka ‘Umair segera mengambil pedangnya, lalu diasahnya dan diberinya racun, kemudian ia berangkat hingga sampai ke Madinah.

 

Tatkala Sahabat ‘Umar sedang bersama segolongan kaum Muslimin, tiba-tiba ia melihat kedatangan ‘Umair lengkap dengan pedangnya. Lalu Sahabat ‘Umar berkata, “Anjing ini adalah musuh Allah, tidak sekali-kali ia datang kecuali hanya membawa keburukan.” Lalu Sahabat ‘Umar melapor kepada Rasulullah saw. “Ini adalah musuh Allah, ‘Umair. Ia datang lengkap membawa pedangnya.” Rasulullah saw. bersabda, “Persilakanlah ia masuk kepadaku.” Sahabat “Umar mengambil pedangnya terlebih dahulu, kemudian mempersilakannya masuk dengan pengawalan yang ketat. Tatkala Rasulullah saw. melihatnya, ia berkata, “Lepaskanlah dia, hai ‘Umar. Engkau, ‘Umair, mari mendekat kepadaku.” Lalu ‘Umair mendekat dan berkata memberi hormat, “Selamat pagi.” Rasulullah saw. bersabda, “Allah swt. telah menggantikan ucapan penghormatan itu dengan ucapan penghormatan lainnya yang lebih baik, yaitu as-salam (salam).” Kemudian Rasulullah saw. mulai bertanya, “Apakah gerangan yang membuat engkau datang kemari, hai ‘Umair?” ‘Umair menjawab, “Aku datang untuk tawanan yang berada di tangan kalian. Aku minta supaya kalian berbuat baik-baik terhadapnya.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Kalau demikian, apa gunanya pedang itu?” ‘Umair menjawab, “Pedang sial ini, apakah ia dapat berbuat sesuatu untukku? ” Rasulullah saw. bertanya kembali, “Jujurlah engkau kepadaku. Apakah yang menyebabkan engkau datang kemari?” ‘Umair menjawab, “Aku hanya datang untuk itu.” Rasulullah saw. berkata, “Tidak, bahkan engkau telah berbincang-bincang dengan Shafwan di dekat Ka’bah, lalu kalian berdua mengatakan demikian dan demikian.” Akhirnya ‘Umair masuk Islam, lalu ia berkata, “Sebelumnya kami mendustakan berita dari langit yang engkau sampaikan dan wahyu yang diturunkan kepada engkau. Sungguh hal tersebut tiada seorang pun yang menyaksikannya selain aku dan Shafwan saja.” Selanjutnya Rasulullah saw. berkata kepada para sahabatnya, “Ajarkan kepadanya agama Islam, dan bacakanlah kepadanya Al-Quran, kemudian lepaskanlah tawanannya.” Kemudian ‘Umair kembali ke Makkah, dan ternyata sesampainya di Makkah ia menampakkan keislamannya.

 

Tawanan yang lainnya lagi ialah Abu ‘Aziz ibnu ‘”Umair, saudara Sahabat Mush’ab ibnu ‘Umair. Pada suatu hari Mush’ab bertemu dengan saudaranya itu, lalu Mush’ab berkata kepada orang yang menawannya, “Pegang dia erat-erat karena ibunya adalah seorang wanita yang kaya, barangkali saja ia mau menebusnya.” Maka Abu ‘Aziz berkata kepada saudaranya itu, “Hai saudaraku, apakah demikian pesanmu kepadaku.” Akhirnya ibunya yang kaya itu mengirimkan tebusan untuk membebaskannya. Jumlah tebusan itu empat ribu dirham.

 

Tawanan lainnya lagi ialah Al-‘ Abbas ibnu ‘Abdul Muththalib, paman Rasulullah saw. sendiri. Ia ikut dalam perang ini karena dipaksa. Ketika ia menjadi tawanan, ia diminta untuk menebus dirinya dan anak saudaranya yang ikut tertawan pula, yaitu ‘Ugail ibnu Abu Thalib. Lalu ia berkata, “Untuk apa kami harus membayar, sedangkan kami ikut hanyalah karena dipaksa?” Kemudian Rasulullah saw. menjawab, “Akan tetapi, menurut lahiriah engkau tetap musuh kami.” Akhirnya terpaksa ia membayar tebusan dirinya dan keponakannya. Selanjutnya ia mengatakan kepada Rasulullah saw., “Sungguh engkau telah menjadikan aku orang yang paling miskin di antara orang-orang Quraisy untuk selamanya.” Tetapi Rasulullah saw. menjawab, “Mana mungkin begitu, bukankah engkau sendiri telah meninggalkan harta yang cukup banyak kepada Ummul Fadhl (istrinya sendiri), lalu engkau berkata kepadanya, ‘Bila aku mati, aku meninggalkanmu dalam keadaan kaya?’ “Al-‘Abbas menjawab, “Demi Allah, tiada Seorang pun yang mengetahui hal tersebut tetapi mengapa engkau dapat mengetahuinya?).” Keputusan tersebut menggambarkan keadilan dan kearifan Rasulullah yang luar biasa. Rasulullah saw. tidak memberikan ampunan kepada pamannya sendiri, sekalipun ia mengetahui bahwa pamannya itu ikut berperang karena dipaksa. Bahkan Rasulullah saw. sendiri telah memberikan maaf kepada banyak tawanan lainnya. yang ternyata be. nar-benar tidak mampu. Demikianlah yang dinamakan keadilan. Tidak aneh karena sikap yang demikian itu merupakan terjemahan dari firman. Nya:

 

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri kalian sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabat kalian. (Q.S. 4 An. Nisa: 135)

 

Tawanan lainnya, Abu ‘Izzah al-Jumahi, adalah seorang penyair. Dahulu ia termasuk orang yang paling keras dalam menyakiti Rasulullah saw. sewaktu di Makkah. Tatkala ia tertawan dalam Perang Badar, ia berkata kepada Rasulullah saw., “Hai Muhammad, sesungguhnya aku adalah orang yang miskin dan banyak tanggungan serta banyak kebutuhan seperti yang telah engkau ketahui sendiri. Maka tolonglah bebaskan aku.” Maka Rasulullah saw. membebaskan Abu ‘Izzah berkat kemurahannya.

 

TEQUR’AN KARENA TEBUSAN

 

Tatkala peristiwa penebusan itu telah selesai, Allah swt. menurunkan firman-Nya:

 

Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kalian menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Dan Allah maha perkasa lagi mahabijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Allah, niscaya kalian ditimpo siksaan yang besar karena tebusan yang kalian ambil. (Q.S. 8 Al-Anfal: 67-68)

 

Allah swt. melarang Rasulullah saw. mempunyai tawanan sebelum ia melenyapkan musuh-musuhnya, yaitu dengan membunuh orang-orang yang menghalang-halangi jalan Allah dan mencegah tersiarnya agama Allah. Kemudian Allah mencela sebagian kaum Muslimin yang menghendaki harta benda keduniawian, yaitu fidyah itu sendiri. Seandainya tidak ada keputusan yang terdahulu dari Allah yang mengatakan bahwa Dia tidak akan menghukum orang yang berijtihad selagi tujuannya adalah kebaikan belaka, maka niscaya Dia akan menurunkan azab-Nya. Kemudian Allah swt. memperbolehkan mereka memakan tebusan (fidyah) yang cara pengambilannya berdasarkan pandangan yang benar. Hal ini merupakan dalil kuat yang membuktikan kebenaran Nabi kita dalam menyampaikan apa yang diperolehnya. Sebah, seandainya hal ini ternyata dari sisi Allah swt., niscaya Rasulullah saw. tidak akan terkena teguran-Nya. Akan tetapi, ternyata apa yang telah dilakukannya itu hanya berdasarkan hasil musyawarah dengan kebanyakan sahabat. Allah swt. telah menjanjikan kepada para tawanan yang telah diketahui Allah bahwa di dalam hati mereka terkandung niat baik, maka niscaya Allah akan memberikan pahala yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari mereka (tebusan), dan Dia pun akan memberikan ampunan kepada mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh firman-Nya, yaitu:

 

Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian. niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian, dan Dia akan mengampuni kalian.” Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. 8 Al-Anfal: 70)

 

Perang Badar merupakan peperangan yang dengan melaluinya, Allah swt. membuat agama Islam berjaya dan para pemeluknya menjadi orang-orang yang kuat, kemusyrikan hancur berantakan dalam perang ini, dan kedudukan mereka porak-peranda dibuatnya sekalipun jumlah kaum Muslimin sedikit sedangkan musuh mereka banyak. Hal ini merupakan pertanda yang jelas tentang perhatian Allah terhadap agama Islam dan para pemeluknya. Sekalipun musuh mereka lebih lengkap persenjataan dan perbekalannya serta lebih banyak personelnya, kaum Musliminlah yang menang. Oleh sebab itu, Allah swt. menyebutkan kemenangan ini Sebagai anugerah daripada-Nya terhadap hamba-hamba-Nya, yaitu melalui firman-Nya:

 

Sungguh Allah telah menolong kalian dalam Perang Badar, padahal kalian (ketika itu) orang-orang lemah. (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 123)

 

Pada saat itu jumlah kalian sedikit: supaya kalian mengetahui bahwa ke. menangan itu tiada lain hanya dari sisi Allah.

 

Perang Badar merupakan perang terbesar dalam Sejarah Islam sebah dengan perang tersebut agama Islam tampak menonjol, setelah perang ter. sebut nur Islam memancarkan sinarnya ke segala penjuru. Dalam perang itu banyak orang kuat mati terbunuh, yang sebelumnya merupakan musuh bebuyutan Islam. Kini perasaan takut mulai menyusup ke dalam hati orang-orang Arab lainnya terhadap kaum Muslimin yang kini memiliki kekuasaan hebat yang dapat mengalahkan pasukan yang terbilang paling kuat. Tidak aneh bila kita wajib bersyukur kepada Allah Yang Maha tinggi atas perhatian-Nya terhadap kaum Muslimin. Kemudian kita menjadikan hari Perang Badar yang jatuh pada tanggal 17 Ramadan sebagai hari raya untuk memperingati nikmat Allah swt. yang telah dilimpahkan kepada Rasul-Nya dan kepada kaum Muslimin.

 

PERANG QAINUQA’

 

Apabila seseorang mempunyai dua musuh, kemudian keduanya saling bertempur sehingga salah satu di antaranya menang atas pihak yang lain, maka keadaan seperti ini akan menggerakkannya untuk berani memerangi musuhnya yang kini hanya tinggal satu pihak. Dengan demikian, ia akan menampakkan kebencian tanpa memikirkan akibat apa yang bakal menimpa dirinya. Demikianlah keadaan orang-orang Yahudi Bani Qainuga’ ketika kaum Muslimin mengalami kemenangan dalam Perang Badar. Setelah peristiwa itu, mereka berani merusak perjanjian yang telah mereka ikrarkan bersama kaum Muslimin. Kini mereka benar-benar berani menampakkan isi hati mereka yang sebenarnya terhadap kaum Muslimin. Peristiwanya dimulai setelah mereka berani menodai kehormatan seorang wanita Anshar. Hal ini mendorong kaum Muslimin untuk bersikap hatihati dan waspada terhadap mereka, serta tidak percaya lagi terhadap mereka di masa mendatang. Terlebih lagi jika terjadi peperangan di kota Madinah antara kaum Muslimin dengan orang-orang lain. Untuk itu Allah swt. menurunkan firman-Nya:

 

 

Dan jika kamu mengetahui pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.”) Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat (Q.S. 8 Al-Anfal: 58)

 

Tindakan Rasulullah saw. ialah memanggil ketua-ketua mereka, lalu Rasulullah saw. memperingatkan mereka terhadap akibat perbuatan zina dan merusak perjanjian. Akan tetapi, dengan lancang mereka menjawab, “Hai Muhammad, janganlah engkau merasa bangga dengan kemenangan yang telah engkau peroleh atas kaum engkau, karena mereka bukanlah orang-orang yang ahli dalam peperangan. Bila engkau berhadapan dengan kami, niscaya engkau akan mengetahui bahwa kami adalah orang-orang yang ahli dalam peperangan.” Orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ terkenal keberaniannya, maka Allah swt. menurunkan firman-Nya:

 

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir,”Kalian pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya telah ada tanda bagi kalian pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati. (QS. 3 Ali ‘Imran: 12-13)

 

Pada saat itu orang yang telah mengadakan perjanjian dengan mereka, ya. itu ‘Ubadah ibnush-Shamit, salah seorang pemimpin kabilah Khazraj, ber. lepas diri dari perjanjian tersebut. Akan tetapi, ada juga orang yang masih tetap berpegang kepada perjanjian tersebut, yaitu ‘ Abdullah ibnu Ubay. Ia mengatakan, Sesungguhnya aku takut akan tertimpa bencana. Sehubungan dengan itu Allah swt. menurunkan firman-Nya sebagai pemberitahuan kepada kaum Muslimin, yaitu :

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin kalian, sebagian mereka. adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudahmudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau suatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (Q.5S. 5 Al-Maidah: 51-52)

 

Tatkala orang Yahudi Bani Qainuqa’ merasa tidak mampu mengadakan perlawanan terhadap kaum Muslimin, dan hati mereka merasa takut karena mereka menyaksikan Rasulullah saw. berangkat pada pertengahan bulan Syawal tahun itu juga untuk memerangi mereka. Pada saat itu yang memegang panji peperangan adalah Sahabat Hamzah, paman Rasulullah saw. sendiri, dan Rasulullah saw. telah mengangkat Abu Lubabah al-Anshari untuk menjadi penggantinya di Madinah. Rasulullah saw. mengepung benteng mereka selama lima belas hari.

 

TERUSIRNYA ORANG-ORANG BANI QAINUQA’

 

Tatkala orang Yahudi Bani Qainuqa’ merasa tidak mampu untuk mengadakan perlawanan terhadap kaum Muslimin, dan hati mereka takut melihat tentara kaum Muslimin, mereka meminta kepada Rasulullah saw. supaya ia membiarkan mereka pergi dari Madinah. Mereka hanya membawa kaum wanita dan anak-anak mereka, sedangkan harta benda mereka boleh diambil oleh kaum Muslimin. Rasulullah saw. menerima tawaran tersebut. Selanjutnya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Sahabat ‘Ubadah ibnush-Shamit untuk mengusir orang Yahudi. Rasulullah saw. memberi mereka waktu selama tiga hari, setelah itu mereka pergi meninggalkan Madinah menuju ke Adzri’at. ) Hanya saja belum setahun sejak kepergian mereka dari Madinah, mereka semua binasa.

 

Setelah itu Rasulullah saw. mengambil seperlima dari harta mereka, kemudian memberikan bagian yang seperlima itu kepada semua kerabatnya, yaitu Bani Hasyim dan Banil-Muththalib, tetapi Bani ‘ Abdusy-Syams dan Bani Naufal yang masih bersaudara dengan Bani Hasyim dan BanilMuththalib tidak diberi bagian. Tatkala ada seseorang bertanya mengenai hal tersebut, Rasulullah saw. menjawab :

 

“Sesungguhnya Bani Hasyim dan Banil-Muththalib pada Zaman Jahiliyah dan Islam merupakan suatu kesatuan, seperti ini,” seraya merangkumkan jari-jemari kedua tangannya.

 

PERANG SAWIQA

 

Abu Sufyan sangat terbakar hatinya. Ia sangat penasaran karena tidak ikut dalam Perang Badar. Anak dan kaum kerabatnya telah terbunuh dalam perang tersebut. Ia bersumpah untuk tidak mencuci rambutnya sebelum ia berperang dengan Muhammad. Untuk memenuhi sumpahnya itu ia keluar bersama dua ratus orang temannya untuk menyerang kota Madinah. Ketika ia sampai di dekat kota Madinah, ia bermaksud menemui orang Yahudi Bani Nadhir dengan tujuan untuk membakar semangat mereka supaya sama-sama bergabung memerangi kaum Muslimin.

 

Kemudian Abu Sufyan menghubungi pemimpih mereka, yaitu Hay ibnu Akhthab, tetapi Hay ibnu Akhthab tidak mau menemuinya. Lalu Abu Sufyan menghubungi Sallam ibnu Misykum, dan ternyata Sallam ibny Misykum mau menerimanya sehingga Abu Sufyan dapat berunding me. ngenai rencana yang akan dilakukannya. Setelah itu Abu Sufyan keluar dari Sallam ibnu Misykum, lalu mengirimkan orang-orangnya untuk me. ngadakan teror di kota Madinah. Orang-orang kiriman Abu Sufyan sesam. painya di Madinah membakar pohon-pohon kurma milik orang Madinah, dan mereka bertemu dengan seorang sahabat Anshar, lalu mereka langsung membunuhnya secara beramai-ramai.

 

Setelah berita kejadian tersebut sampai ke telinga Rasulullah saw, segera Rasulullah saw. keluar bersama dua ratus orang tentara untuk mengejar mereka. Hal itu dilakukan oleh Rasulullah saw. pada tanggal 5 Zulhijjah, setelah terlebih dahulu mengangkat sahabat Basyir ibnu ‘Abdul Mundzir untuk menjadi penggantinya di Madinah. Akan tetapi, ternyata Rasulullah dan bala tentaranya tidak dapat mengejar mereka karena mereka telah lebih dahulu lari. Untuk memperingan beban, Abu Sufyan memerintahkan tentaranya untuk melemparkan sebagian dari bekal mereka supaya mereka lari lebih cepat lagi dan tidak dapat dikejar oleh tentara kaum Muslimin Madinah. Mereka melemparkan karung-karung berisi tepung yang menjadi bekal mereka yang kemudian diambil oleh tentara kaum Muslimin. Oleh sebab itu peperangan tersebut dinamakan Perang Sawig (Perang Tepung).

 

SALAT ‘ID

 

Pada tahun itu juga Allah swt. mensyariatkan suatu sunnah yang besar kepada semua pemeluk agama Islam. Dengan sunnah tersebut para pemeluk agama Islam suatu negara dapat berkumpul dengan saudarasaudara mereka seagama untuk mempererat tali persaudaraan dan memperkuat pertalian agama, yaitu berkumpul (pada Hari Raya Fitri dan Hari Raya Adha. Pada kedua hari raya itu Rasulullah saw. mengumpulkan kaum Muslimin di suatu lapangan untuk melakukan salat bersama mereka sebanyak dua rakaat seraya mendekatkan diri kepada Allah swt. agar Allah tidak memutuskan persatuan mereka dan menolong mereka dalam menghadapi musuh. Selanjutnya Rasulullah saw. berkhotbah memberikan semangat kepada mereka untuk bersatu dan hidup rukun seraya mengingatkan kewajiban yang harus mereka lakukan terhadap satu sams jain. Selanjutnya kaum Muslimin saling berjabatan tangan, lalu mereka keluar dari masjid untuk menunaikan sedekah kepada kaum fakir dan mis kin supaya kegembiraan pada hari raya itu menyeluruh mencakup semua lapisan kaum Muslimin. Dengan demikian berarti sesudah Hari Raya Fitri mengeluarkan zakat dan sesudah Hari Raya Adha memberikan kurban, Kami memohon kepada Allah swt. hendaknya Dia mempersatukan hati kami dan memberikan taufik kepada kami untuk dapat meniru pekerjaanpekerjaan yang telah dilakukan oleh ulama salaf.

 

PERNIKAHAN SAHABAT ‘ALI DAN FATHIMAH

 

Pada tahun itu juga sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib menikah dengan Siti Fathimah Umur sahabat ‘Ali pada waktu itu dua puluh satu tahun, dan umur Siti Fathimah binti Rasulullah saw. lima belas tahun. Dari hasil perkawinan inilah Rasulullah saw. mempunyai tiga orang cucu, yaitu AlHasan, Al-Husain, dan Siti Zainab. Pada tahun itu juga Rasulullah saw. mulai menggauli Siti ‘Aisyah bin Abu Bakar r.a. Pada saat itu umur Siti ‘Aisyah r.a. sembilan tahun.

 

Semoga Allah swt. menghabisi orang yang celaka dengan kecelakaan sehingga ia tidak didengar dan tidak kelihatan lagi. Jika tetap dibiarkan, niscaya ia akan selalu berbuat curang dan khianat. Maka cara yang terbaik untuk menghadapi orang yang berwatak demikian ialah hendaknya dihabisi saja supaya alam ini tenang dari gangguannya. Demikianlah perihal Ka’b ibnul-Asyraf, pemimpin Yahudi Bani Nadhir. Perasaan dendam telah membakarnya sehingga tidak malu-malu lagi ia membakar orang-orang Quraisy untuk memerangi Rasulullah saw. Hatinya dipenuhi oleh rasa permusuhan terhadap kaum Muslimin. Ia tidak segan-segan menghina Rasulullah saw. lewat syair-syairnya, dan berupaya sekuat tenaga untuk menimbulkan pertentangan dan permusuhan di antara kaum Muslimin. Setiap perpecahan yang telah berhasil ditambal oleh Rasulullah saw., lalu orang celaka ini (Ka’b ibnul Asyaraf) memecahkannya kembali, yaitu melalui hasutan mulutnya yang beracun.

 

TERBUNUHNYA KA’B IBNUL-ASYRAF

 

Tatkala kaum Muslimin mengalami kemenangan dalam Perang Badar, Ka’b ibnul-Asyraf melihat

 para tawanan perang yang terdiri dari kaum musyvrikin dibawa ke gunung. Lalu ia keluar dari kota Madinah menuju Makkah dengan tujuan menemui orang-orang Quraisy. Setelah bertemu dengan mereka ia menangisi orang-orang yang telah mati dari kalangan mereka dan menganjurkan agar mereka memerangi kaum Muslimin lagi. Maka Rasulullah saw. berkata, “Siapakah yang akan menghukum Ka’b ibnul-Asyraf? Sebab sungguh ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” Muhammad ibnu Maslamah al-Ausi berkata, “Apakah engkau suka jika aku membunuhnya?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” Muhammad ibnul Maslaham berkata, “Akulah yang akan membunuhnya demi engkau, tetapi sebelumnya izinkanlah kami nanti mengatakan sesuatu (kepadanya) supaya kami dapat menguasainya.” Rasulullah saw. memberi izin kepada Muhammad ibnu Maslamah untuk melakukannya.

 

Kemudian Muhammad ibnu Maslamah keluar bersama empat orang dari kaumnya sendiri sehingga ia datang menemui Ka’b. Lalu Muhammad ibnu Maslamah berkata kepada Ka’b ibnul-Asyraf, “Sesungguhnya lelaki itu (Nabi Muhammad) telah meminta zakat kepada kami, dan ia benarbenar telah membuat susah kami. Karena itu kami datang kepada engkau, untuk meminjam uang.” Ka’b ibnul Asyraf berkata, “Tetapi mengapa engkau masih mau mengikuti agamanya juga?” Muhammad ibnu Maslamah menjawab, “Sesungguhnya kami mengikutinya sekadar ingin tahu sampai di mana akhir perkaranya. Oleh sebab itu kami tidak mau meninggalkannya. Kami datang ke sini dengan maksud mau meminjam dari engkau satu atau dua wasag.” Ka’b ibnul Asyraf berkata, “Ya, boleh saja asalkan kalian memberikan jaminannya kepadaku.” Mereka berkata, “Jaminan apakah yang engkau ingini? “Ka’b menjawab, “Berikanlah wanita-wanita kalian kepadaku sebagai jaminannya.” Mereka berkata, “Bagaimana kami harus memberikan jaminan wanita-wanita kami kepada engkau sedangkan engkau adalah orang yang paling ganteng?” Ka’b berkata, “Baiklah, kalau begitu berikanlah anak-anak lelaki kalian kepadaku sebagai jaminannya.” Mereka menjawab, “Bagaimana kami harus memberikan anak-anak lelaki kami kepadamu sebagai jaminannya? Niscaya salah seorang dari mereka akan mengatakan dengan nada memaki bahwa diri-nya dijadikan sebagai jaminan hanya dengan satu atau dua wasag saja. Ini adalah aib bagi kami. Akan tetapi, bagaimana bila kami memberikan jaminannya kepadamu berupa senjata?” Akhirnya Ka’b setuju. Lalu Muhammad ibnu Maslamah berjanji bahwa pada suatu malam, is akan mendatanginya.

 

Pada malam itu Muhammad ibnu Maslamah mendatanginya bersama Abu Nailah, yaitu saudara sepersusuan Ka’b, ‘Ibad ibnu Bisyr, Al-Harits ibnu Aus, dan Abu “Abbas ibnu Jabar, semuanya dari kabilah Aus. Lalu Muhammad ibnu Maslamah memanggilnya. Ka’b bermaksud turun dari rumahnya menemui Muhammad dan kawan-kawannya, tetapi tiba-tiba istrinya berkata, “Hendak ke manakah engkau malam-malam begini? Ingat bahwa engkau adalah orang yang sedang dalam keadaan berperang.” Ka’b ibnul-Asyraf menjawab, “Sesungguhnya orang yang memanggilku itu adalah keponakanku sendiri, Muhammad ibnu Maslamah, dan saudara sepersusuanku, Abu Nailah. Sesungguhnya orang yang mulia itu jika diajak berperang sekalipun pada malam hari, niscaya ia akan menyambutnya.”

 

Muhammad ibnu Maslamah berkata kepada teman-temannya, “Apabila dia mendatangiku, aku akan memegang rambutnya kemudian aku menciumnya. Apabila kalian melihat aku benar-benar telah memegang kepalanya, kalian harus menetaknya dengan pedang.” Ka’b turun dari rumahnya menemui mereka seraya menyandang pedangnya dan memakai minyak kesturi. Muhammad ibnu Maslamah berkata, “Aku belum pernah mencium harumnya wewangian seperti saat ini. Bolehkah aku mencium kepalamu?” Ka’b ibnu Asyraf menjawab, “Ya, boleh saja.” Maka Muhammad ibnu Maslamah segera mencium kepalanya. Setelah Muhammad berhasil memegang kepalanya, ia berkata kepada teman-temannya, “Cepatlah kalian bunuh dia!” Lalu mereka pun segera membunuhnya. Akhirnya Allah swt. membebaskan kaum Muslimin dari kejahatan perbuatan-perbuatan Ka’b yang biasa dilancarkannya terhadap mereka.

 

Muhammad ibnu Maslamah dan kawan-kawannya memberitahukan kepada Rasulullah saw. bahwa tugas mereka telah dilaksanakan dengan baik. Terbunuhnya orang celaka itu pada bulan Rabi’ul Awal tahun itu juga. Bila melihat ada seorang pemimpin suatu kabilah berbuat khianat dan bermaksud jahat serta hendak menimbulkan peperangan, Rasulullah saw. mengirimkan seseorang untuk membungkam kejahatannya itu. Rasulullah saw. telah berbuat serupa terhadap Abu ‘Afk, seorang Yahudi yang sikapnya sama dengan Ka’b ibnulAsyraf, yaitu tukang menghasut.

 

PERANG GHATHAFAN

 

Rasulullah saw. telah mendengar berita bahwa Bani Tsa’labah dan para pendekar perang dari Ghathafan telah menghimpun suatu kekuatan di bawah pimpinan seseorang yang terkemuka dari kalangan mereka, bernama Da’tsur. Mereka bermaksud hendak menyerang Madinah. Maka Rasulullah saw. bermaksud untuk melumpuhkan kekuatan mereka terlebih dahulu supaya mereka tidak melaksanakan penyerangan itu. Untuk ity Rasulullah saw. keluar dari kota Madinah bersama empat ratus lima puluh orang tentara pada tanggal 12 Rabiulawal. Dia mengangkat ‘Utsman ibny ‘Affan sebagai khalifahnya untuk mengatur urusan Madinah sebelum berangkat.

 

Tatkala mereka mendengar bahwa Rasulullah saw. sedang dalam per. jalanan, mereka melarikan diri ke puncak-puncak pegunungan. Tentara kaum Muslimin tetap meneruskan perjalanannya hingga sampai di suaty tempat yang dikenal dengan nama Dza Amrin. Rasulullah saw. berkemah di tempat tersebut. Di tempat tersebut Rasulullah saw. melepaskan bajunya untuk dikeringkan karena telah basah oleh air hujan, lalu beris. tirahat di bawah sebuah pohon yang rindang, sedangkan kaum Muslimin berpencar. Ternyata Rasulullah saw. kelihatan oleh Da’tsur. Lalu Da’tsur mendatanginya dengan pedang siap di tangan sehingga ia berdiri tepat di atas kepala Rasulullah saw. Lalu ia berkata, “Hai Muhammad, siapakah yang akan mencegah dirimu dari tanganku?” Rasulullah saw. menjawab, “Allah.” Setelah mendengar jawaban itu, tiba-tiba Da’tsur menjadi takut dan ngeri sehingga pedangnya terjatuh dari tangannya. Rasulullah saw. segera memungut pedangnya dan berkata, “Sekarang siapakah yang akan mencegah dirimu dari tanganku?” Da’tsur menjawab, “Tak seorang pun.” Rasulullah saw. memberinya maaf, dan akhirnya Da’tsur masuk Islam. Ia kembali kepada kaumnya seraya mengajak mereka masuk Islam. Ternyata Allah swt. telah mengubah hatinya. Yang semula sangat memusuhi Rasulullah saw. dan bahkan mengajak orang-orang untuk memeranginya, kini ia menjadi orang yang sangat cinta kepada Rasulullah saw. dan bahkan ia sangat rajin menyeru manusia untuk membantu Rasulullah saw. Allah swt. telah berfirman:

 

Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendakiNya. (Q.S. 5 Al-Maidah: 54)

 

Itulah hasil perlakuan baik dan jauh dari sikap kasar dan hati yang keras seperti apa yang telah dijelaskan oleh firman-Nya yang lain, yaitu:

 

Maka disebabkan oleh rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini. (Q.S. 3 Ali Imran: 159)

 

PERANG NAJRAN

 

Telah sampai berita kepada Rasulullah saw. bahwa ada segolongan orang dari kalangan Bani Salim yang bermaksud hendak menyerang Madinanh Oleh karena itu Rasulullah saw. keluar dari Madinah bersama tiga ratus orang sahabat. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 6 Jumadilawal. Dia mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai penggantinya di Madinah sebelum berangkat menuju medan perang. Akan tetapi, tatkala Rasulullah saw. sampai di Najran, ) ternyata orang-orang Bani Salim telah melarikan diri meninggalkan kota tersebut. Akhirnya Rasulullah saw. tidak menemukan suatu peperangan pun dalam perjalanannya ini, lalu ia kembali ke Madinah.

 

SARIYYAH

 

Orang Quraisy menyadari bahwa jalan menuju ke negeri Syam telah tertutup bagi kafilah dagang mereka. Mereka tidak lagi sabar melihat keadaan seperti ini karena jalur tersebut merupakan urat nadi perdagangan mereka yang merupakan sumber penghidupan mereka. Terpaksa mereka harus mengirimkan kafilah dagang mereka, hanya kali ini melalui Irak. Kafilah Quraisy kali ini dikawal oleh segolongan orang Quraisy, di antaranya ialah Abu Sufyan Harb, Shafwan ibnu Umayyah, dan Huwaithib ibnu ‘Abdul’Uzza. Berita mereka terdengar oleh Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw. mengirimkan pasukannya yang terdiri dari seratus orang pasukan berkendaraan di bawah pimpinan Sahabat Zaid ibnu Haritsah untuk menunggu mereka datang. Peristiwa itu terjadi pada bulan Jumadilakhir. Pasukan kaum Muslimin tersebut terus berjalan sehingga mereka bertemu dengan kafilah Quraisy di suatu mata air yang bernama Al-Qirdah, terletak di kawasan Najd. Pasukan kaum Muslimin berhasil merampas sebagian dari kalifah itu berikut orang-orangnya yang berjalan kaki. Setelah ghanimah sampai di hadapan Rasulullah saw. dia mengambil seperlimanya.

 

PERANG UHUD

 

Ketika orang Quraisy mengalami kekalahan fatal dalam Perang Badar, dan jalur kafilah perdagangan mereka kini telah tertutup rapat bagi mereka, maka orang-orang terhormat yang masih ada dari kalangan mereka men. datangi pemimpin kafilah yang baru terkena musibah, yaitu Abu Sufyan. Pada saat itu Abu Sufyan dan rombongan kafilahnya masih berdiri di depan Darun-Nudwah, dan barang-barangnya masih belum diserahkan kepada para pemiliknya. Lalu mereka terlebih dahulu berkata, “Sesungguhnya Muhammad telah membuat kami kehilangan banyak orang pilihan kami, dan kami rela bila laba hasil perdagangan kami ini dijadikan biaya untuk persiapan memerangi Muhammad beserta para sahabatnya.” Kemudian ternyata orang-orang yang mempunyai saham dalam kafilah tersebut semua merelakannya. Laba yang berhasil mereka peroleh adalah sekitar lima puluh ribu dinar. Mereka berhasil mengumpulkan orang-orang yang bersedia melakukan tugas tersebut dengan adanya dana sebesar itu. Orang-orang Quraisy yang menyatakan kesediaannya berjumlah tiga ribu orang berikut orang-orang Habsyah teman sepakta sebagian dari mereka, yaitu Banil-Musthalig dan Banil-Haun ibnu Khuzaimah. Bergabung pula dengan mereka seorang rahib bernama Abu ‘Amir dari kabilah Aus. Ia meninggalkan Madinah karena merasa tidak senang terhadap Rasulullah saw. Ia bergabung dengan orang-orang Quraisy bersama sejumlah teman seperjuangannya. Kemudian bergabung pula dengan mereka beberapa kelompok orang Arab Kinanah dan Tihamah.

 

Selanjutnya Shafwan ibnu Umayyah berkata kepada Abu ‘Izzah, seorang penyair yang telah diketahui pembaca bahwa dia telah mendapat ampunan dari Rasulullah saw. dalam Perang Badar sehingga ia dapat bebas tanpa tebusan sepeser pun, “Sesungguhnya engkau adalah seorang penyair. Maka bantulah kami dengan lisanmu.” Tetapi Abu ‘Izzah menjawab, “Sesungguhnya aku telah berjanji kepada Muhammad bahwa aku tidak akan lagi membantu seseorang untuk memeranginya, dan aku khawatir bila diriku jatuh lagi ke tangannya sehingga pasti aku tidak bakal selamat.” Akan tetapi, Shafwan terus membujuknya sehingga akhirnya Abu ‘Izzah menuruti kemauannya, lalu ia berangkat menyeru orang-orang supaya memerangi kaum Muslimin.

 

Selanjutnya Jubair ibnu Muth’im memanggil seorang hamba sahaya miliknya, Wahsyi yang berasal dari negeri Habsyah. Ia dikenal sebagai seorang pelempar tombak yang jarang meleset. Jubair ibnu Muth’im berkata, “Pergilah engkau bersama orang-orang untuk berperang. Bila ternyata engkau dapat membunuh Hamzah sebagai pembalasan atas kematian pamanku, Thu’aimah, niscaya engkau akan kumerdekakan kala itu juga.”

 

Kemudian balatentara kaum mugyrikin keluar seraya membawa para penyayi, iringan rebana, genderang, dan khamar, sedangkan orang-orang terhormat dari kalangan mereka membawa serta kaum wanita mereka supaya semangat mereka menyala-nyala dan pantang mundur. Mereka terus berjalan sehingga sampai di suatu tempat di dekat dengan Madinah, yaitu Dzil-Hulaifah.

 

Rasulullah saw. ternyata telah mendapat berita dari pamannya, Al”Abbas ibnu Abdul-Muththalib, melalui surat yang dikirimkan kepadanya. Al-“Abbas ibnu ‘Abdul-Muththalib kali ini tidak ikut dengan kaum musyrikin. Ia berdalih kepada mereka, bahwa ia masih ingat akan musibah yang menimpanya dalam Perang Badar. Ketika berita telah mendekatnya kaum musyrikin di kota Madinah sampai kepada Rasulullah saw. dia mengumpulkan para sahabat dan memberitahukan kepada mereka tentang berita tersebut. Rasulullah saw. bersabda kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian jika kita tetap tinggal di dalam kota Madinah, dan kita biarkan mereka di tempat mereka berkemah? Bila ternyata mereka berdiam di tempat berkemah, sesungguhnya mereka berada di tempat yang paling berbahaya bagi mereka. Bila ternyata mereka memasuki kota Madina, maka kita akan memeranginya.” Semua ketua sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar mendukung pendapat Rasulullah saw. dan sependapat pula dengan

 

mereka ‘Abdullah ibnu Ubay. Adapun orang-orang yang baru masuk Islam, terutama sekali mereka yang tidak ikut dalam Perang Badar, berpendapat lain, sebaiknya keluar memukul mereka. Sahabat Hamzah setuju dengan pendapat mereka sehingga mereka masih terus mempertahankan pendapatnya. Akhirnya Rasulullah saw. menuruti pendapat mereka sebab mereka terdiri dari orang-orang yang jumlahnya lebih banyak dan termasuk orang-orang yang kuat dalam peperangan. Kemudian Rasulullah saw. melakukan salat Jumat bersama mereka. Hari itu tanggal 10 Syawal. Dalam khotbahnya Rasulullah saw. menganjurkan mereka supaya teguh dan bersabar, lalu dia bersabda:

 

Kalian pasti menang jika kalian bersabar.

 

Selanjutnya Rasulullah saw. memasuki kamarnya untuk memakai pakaian perangnya, kemudian muncul dengan memakai dua lapis baju besi seraya menyandang pedang, sedangkan tamengnya diletakkan di punggungnya. Ketika orang-orang yang bijak dari kalangan Anshar melihat Rasulullah saw. dipaksa oleh mereka untuk keluar, mereka mencela orang-orang yang baru masuk Islam itu. Akhirnya orang-orang yang baru masuk Islam berkata, sebaiknya kita kembalikan perkaranya kepada Rasulullah saw. Bila. mana dia memerintahkan sesuatu, kita akan melaksanakannya sepenuh. nya. Ketika Rasulullah saw. keluar dari kamarnya, mereka semua ber. kata, “Wahai Rasulullah, kami semua mengikuti pendapat engkau. Laly Rasulullah saw. menjawab, “Tidaklah pantas bagi seorang nabi yang telah menyandang senjatanya lalu meletakkannya kembali. Ia akan terus maju sehingga Allah swt. memutuskan antara dia dan musuhmusuhnya.” Kemudian Rasulullah saw. membentuk panji-panji perang. Dia mem. berikan panji perang kaum Muhajirin kepada Sahabat Mush’ab ibnu ‘Umair, panji perang untuk kabilah Khazraj diberikan kepada Al-Habbah ibnul-Mundzir, dan panji perang untuk kabilah Aus diberikan kepada Usayid ibnul-Hudhair.

 

Selanjutnya Rasulullah saw. keluar membawa seribu orang tentara. Akan tetapi, tatkala pasukan kaum Muslimin itu telah sampai di puncak Tsaniyyah, Rasulullah saw. melihat sepasukan tentara yang cukup besar jumlahnya. Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya tentang pasukan yang datang itu. Ada yang mengatakan, bahwa mereka adalah teman-teman ‘Abdullah ibnu Ubay dari kalangan Yahudi. Rasulullah saw. langsung berkata, “Sesungguhnya kami tidak akan meminta bantuan kepada orang kafir untuk menghadapi orang musyrik.” Rasulullah saw. memerintahkan supaya mereka ditolak, sebab mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipercaya dan mereka adalah orang-orang yang telah terkenal sering berbuat khianat.

 

Setelah itu lalu Rasulullah saw. memeriksa barisan perangnya dan menyuruh kembali ke rumah setiap orang yang masih di bawah umur. Di antara orang-orang yang disuruh kembali adalah Rafi’ ibnu Khudaij dan Samirah ibnu Jundab. Tetapi Rasulullah saw. akhirnya memperbolehkan Rafi” ketika dia menyatakan bahwa dia adalah seorang pemanah yang ulung. Akan tetapi Samurah menangis, lalu ia berkata kepada ayah angkatnya, “Rasulullah saw. telah membolehkan Rafi’ dan menolak saya, sedangkan saya dapatmengalahkan Rafi'” Berita tentang hal tersebut sampai ke telinga Rasulullah saw. Maka dia menyuruh keduanya bergulat. Hasilnya ternyata Samurahlah yang menang. Akhirnya Rasulullah saw. membolehkan pula Samurah ikut berperang. Pada malam Sabtu itu Rasulullah menginap di tempat tersebut, sedangkan yang berjaga pada malam itu adalah Muhammad ibnu Maslamah, yang menjadi pengawal pribadinya adalah Dzakwan ibnu Qais.

 

Pada keesokan harinya, tepatnya pada waktu sahur, Rasulullah saw. berangkat membawa tentaranya menuju ke Uhud. Akan tetapi, tatkala Rasulullah saw sampai di Asy-Syauth, yaitu nama sebuah kebun yang terletak di antara Uhud dan Madinah, tiba-tiba ‘Abdullah ibnu Ubay kembali ke Madinah bersama tiga ratus orang temannya. Lalu mereka dikejar oleh ‘Abdullah ibnu ‘Amr, orang tua Jabir, seraya berkata kepada mereka,”Hai kaum, aku peringatkan kalian demi Allah, janganlah kalian menghina kaum dan Nabi kalian sendiri.” Akan tetapi mereka menjawab, sebagaimana yang diungkapkan dalam firman-Nya: ,

Mereka menjawab,”Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kalian.” (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 167)

 

“Abdullah ibnu ‘Amr berkata, “Semoga kalian dijauhkan dari rahmat Allah, Allah swt. tidak butuh bantuan kalian terhadap Nabi-Nya.” Tatkala ‘Abdullah ibnu Ubay melakukan hal itu, ternyata hampir saja mempengaruhi dua golongan kaum Mu’minin, yaitu Bani Haritsah dari kabilah Khazraj dan Bani Salamah dari kabilah Aus. Tetapi Allah swt. memelihara kedua golongan tersebut sehingga tidak terpengaruh. Kaum Muslimin pada waktu itu terbagi menjadi dua golongan sehubungan dengan apa yang oleh orang-orang yang mengundurkan diri itu. Segolongan di antara mereka berpendapat bahwa mereka harus memeranginya terlebih dahulu, sedangkan golongan yang lain berpendapat biarkanlah mereka menurut kehendaknya. Sehubungan dengan peristiwa ini Allah swt. menurunkan firmanNya: Dalam surah An-Nisa

 

Maka mengapa kalian menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran disebabkan oleh usaha mereka sendiri? Apakah kalian bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa telah disesatkan Allah, sekali-kali kalian tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. (QS. 4 An-Nisa: 88)

 

Kemudian tentara kaum Muslimin meneruskan perjalanannya hingga sampai di lereng Bukit Uhud, ) Jalu mereka bermarkas di situ. Di belakang pasukan kaum Muslimin adalah Bukit Uhud, sedangkan di hadapan mereka arah kota Madinah. Pasukan kaum musyrikin bermarkas di lembah yang berhadapan dengan Bukit Uhud. Sayap kanan mereka di bawah pimpinan Khalid ibnu Walid, sedangkan sayap kiri mereka di bawah pimpinan ‘Ikrimah, anak Abu Jahal, dan pasukan mereka yang berjalan kaki dj bawah pimpinan Shafwan ibnu Umayyah. Rasulullah saw. menunjuk Az. Zubair ibnul-Awwam untuk memimpin pasukan yang berhadap-hadapan dengan pasukan Khalid ibnul-Wahid, sedangkan sisa pasukan kaum Muslimin ditugaskan menghadapi kedua sayap pasukan kaum musyrikin yang lain. Rasulullah saw. membentuk pasukan pemanah yang jumlahnya lima puluh orang di bawah pimpinan sahabat ‘Abdullah ibnu Jubair al-Anshari. Kemudian dia menempatkan mereka di belakang barisan kaum Muslimin, yaitu di atas puncak bukit, dan berpesan kepada mereka:

 

Jangan sekali-kali kalian meninggalkan tempat ini, sekalipun kalian melihat kami menang atas mereka. Demikian pula jika kalian melihat bahwa mereka menang atas kami, maka kalian tetap tidak boleh meninggalkan tempat ini. Setelah itu Rasulullah saw. meluruskan barisan mereka dan berkhotbah kepada mereka. Di antara yang diucapkan oleh Rasulullah saw. kala itu ialah:

 

Malaikat Jibril telah menurunkan wahyu kepadaku, bahwa sese. orang tidak akan mati sebelum semua rezekinya diberikan secara penuh kepadanya, tanpa dikurangi sedikit pun, sekalipun reseki tersebut datangnya terlambat. Bertakwalah kalian kepada Rabb kalian, carilah rezeki kalian dengan cara yang baik (halal), dan jangan sekali-kali keterlambatan rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara yang mendurhakai Allah. Sesungguhnya seorang mukmin terhadap orang mukmin yang lain kedudukannya bagaikan kepala dari suatu tubuh: apabila kepala merasakan sakit, maka sakitnya akan menjalar terasa ke seluruh tubuh.

 

Peperangan itu dimulai dengan perang tanding. Dari barisan kaum musyrikin keluar seorang yang kemudian disambut oleh Az-Zubair. AzZubair akhirnya dapat membunuhnya. Selanjutnya yang memegang panji peperangan mereka diganti oleh Thalhah ibnu Abu Thalhah, tetapi akhirnya ia terbunuh oleh sahabat ‘Ali. Kemudian panji mereka dipegang oleh saudara Thalhah, yaitu ‘Utsman, tetapi ‘Utsman pun dapat dibunuh oleh sahabat Hamzah. Lalu panji dipegang oleh saudara mereka berdua yang bernama Abu Sa’id, tetapi Sahabat Sa’d ibnu Abu Waqqash memanahnya hingga akhirnya ia pun mati seperti saudara-saudaranya. Panji peperangan mereka sesudah itu dipegang oleh empat orang anak Thalhah ibnu Abu Thalhah secara bergantian, tetapi akhirnya mereka semua mati terbunuh. Ketika ‘Abdur Rahman, anak sahabat Abu Bakar keluar dari barisan kaum musyrikin menantang kaum Muslimin, Sahabat Abu Bakar bermaksud akan menandingi anaknya itu, tetapi Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Hai Abu Bakar, buatlah kami senang dengan keselamatan dirimu.”

 

Pasukan berkuda kaum musyrikin mencoba tiga kali untuk membuyarkan barisan kaum Muslimin, tetapi semuanya mundur karena dihujani anak panah pasukan pemanah kaum Muslimin. Ketika kedua barisan bertemu dan terlibat dalam perang campuh yang hebat, kaum wanita dari orang-orang musyrik mulai menabuh genderang dan menyanyikan syair-syair pembangkit semangat kaum lelaki mereka. Setiap kali Rasulullah saw. mendengar nyanyian mereka, dia selalu berdoa:

 

Ya Allah, hanya kepada-Mulah aku memohon daya-upaya, dan hanya kepada-Mulah aku memohon kekuatan, serta untuk-Mulah aku berperang. Kiranya cukup Allah sebagai Penolongku. Sesungguhnya Allah adalah Pelindung yang terbaik. Dalam perang campuh ini Sahabat Hamzah ibnu ‘Abdul-Muththalib, paman Rasulullah saw., gugur sebagai sayyidusy-syuhada. Ia dibokong oleh Wahsyi. Ketika itu Sahabat Hamzah sedang mengamuk di dalam barisan musuh, kemudian dengan tidak sepengetahuannya ia dibidik oleh Wahsyi dengan tombaknya yang jarang meleset itu. Akhirnya tombak itu menembus perutnya, lalu gugurlah Hamzah sebagai seorang syuhada.

 

Ketika para pemegang panji kaum musyrikin semuanya terbunuh dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mampu mendekat untuk merebut panjinya, mereka lari dari medan perang, sedangkan kaum wanita mereka menangis seraya menjerit-jerit. Lalu mereka dikejar oleh tentara kaum Muslimin sambil mengumpulkan ghanimah dan barang di tinggalkan mereka sebagai barang rampasan.

 

Akan tetapi, ketika pasukan pemanah kaum Muslimin yang berada di puncak bukit, yang bertugas menjaga bagian belakang tentara kaum Muslimin, melihat kejadian itu mereka berkata, “Sekarang kita tidak perlu lagi menjaga posisi ini. “Mereka melupakan perintah Rasulullah saw. Pemimpin mereka mengingatkannya, tetapi mereka tetap tidak menggubrisnya, bahkan mereka turun ikut mengambil barang-barang ghanimah, sedangkan pemimpin mereka tetap berada pada posisinya bersama sebagian kecil dari mereka yang tetap taat kepada komando Rasulullah.

 

Khalid ibnul-Walid, salah seorang pemimpin pasukan kaum musyrikin, setelah melihat puncak bukit yang strategis itu ditinggalkan oleh sebagian besar penjaganya, lalu menyerang posisi tersebut bersama sebagian tentaranya. Ia dapat membunuh pasukan berpanah kaum Muslimin yang masih bertahan di situ. Setelah itu ia menggerakkan semua pasukannya menyerang kaum Muslimin dari arah belakang, yang pada saat itu sedang Sibuk-sibuknya mengumpulkan ghanimah. Ketika kaum Muslimin melihat serangan yang mendadak itu, mereka menjadi panik, lalu mereka melepas. kan ghanimah yang baru mereka kumpulkan itu. Barisan mereka menjadi buyar dan campur aduk tak keruan, sehingga secara tidak terasa karena paniknya mereka baku hantam dengan teman-teman sendiri. Pada saat itu salah seorang wanita dari kaum musyrikin mengangkat panji peperangan. Maka tentara kaum mugyrikin berkumpul di bawah panji tersebut. Salah seorang dari tentara kaum mugsyrikin yang dikenal dengan nama Ibnu Qumaiah berhasil membunuh Mush’ab ibnu ‘Umair, pemegang panji peperangan kaum Muslimin. Lalu Ibnu Gumaiah menyiarkan berita bahwa Muhammad telah gugur. Ternyata siasatnya itu berhasil membuat frustasi barisan kaum Muslimin sehingga di antara mereka ada yang mengatakan, “Buat apa kita meneruskan perang bila ternyata Muhammad telah gugur? Kembalilah kepada kaum kalian, niscaya mereka akan menjamin keamanan kalian. “Dan ada pula yang mengatakan, “Bila ternyata Muhammad telah gugur, berperanglah kalian demi agama kalian.”

 

Sebagai akibat adanya frustasi ini, sebagian dari tentara kaum Muslimin kalah perang. Di antara mereka adalah Al-Walid ibnu ‘Ugbah, Kharijah ibnu Zaid, Rifa’ah ibnu-Mu’alla, dan ‘Utsman ibnu ‘Affan. Mereka lari dari medan perang menuju Madinah, tetapi mereka merasa malu untuk memasukinya. Maka setelah tiga hari mereka kembali ke medan perang.

 

Adapun Rasulullah saw. tetap bertahan bersama sejumlah sahabat, antara lain Abu Thalhah al-Anshari. Abu Thalhah al-Anshari dengan gigihnya bertahan untuk melindungi Rasulullah saw. dengan perisainya Dia adalah seorang pemanah yang ulung. Ia menebarkan anak panahnya ke sekitar Rasulullah saw. seraya berkata, “Badanku ini menjadi tebusan bagi tubuh engkau.” Rasulullah saw. selalu berkata kepada setiap prajurit kaum Muslimin yang lewat di dekatnya sedang ia membawa anak panah, “Berikanlah anak panahmu kepada Abu Thalhah.” Rasulullah saw. selalu melongok melihat apa yang sedang dilakukan oleh kaumnya. Kala itu Abu Thalhah berkata kepadanya, “Wahai Nabi Allah, ayah dan ibuku menjadi tebusan bagi dirimu. Janganlah engkau melihat-lihat, nanti engkau akan terkena anak panah musuh. Leherku menjadi perisai bagi leher engkau.” Di antara orang-orang yang bertahan bersama Rasulullah saw. terdapat Sahabat Sa’d ibnu Abu Waggash. Rasulullah saw. selalu berkata kepadanya, “Hai Sa’d, lepaskanlah anak-anak panahmu. Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.” Di antara mereka terdapat pula Sahabat Sahl ibnu Hanif. Is terkenal sebagai pemanah ulung. Anak panahnya menghujani musuh demi melindungi Rasulullah sehingga akhirnya musuh-musuh bubar tidak lagi mengerubutinya. Abu Dujanah, yang nama aslinya Samak Kharsyah al Anshari melindungi Rasulullah saw. dengan tubuhnya dari anak-anak payah musuh sehingga panah-panah musuh mengenai punggungnya. Akhirnya punggungnya penuh dengan anak panah musuh. Yang juga melindungi tubuh Rasulullah saw. ialah Ziadah ibnul-Harits sehingga karena banyak mendapat luka akhirnya ia meninggal dunia. Ketika Rasulullah saw. melihat Ziadah terluka parah, dia membaringkannya pada kakinya sehingga ia gugur sebagai syuhada.

 

Dalam perang ini Rasulullah saw. banyak tertimpa musibah besar. Semuanya dapat ditahankannya berkat keteguhan yang dianugerahkan Allah swt. Pada suatu ketika datanglah seorang tentara kaum musyrikin, bernama Ubay ibnu Khalaf dengan maksud hendak membunuh Rasulullah saw. Rasulullah saw. segera mengambil tombak dari tangan salah seorang yang bersamanya, lalu bersabda, “Biarkanlah ia mendekat.” Ketika Ubay mendekat, Rasulullah saw. melemparkan tombaknya. Pada saat itu Ubay hendak melarikan diri, tetapi tombak yang dilemparkan Rasulullah mendahuluinya sehingga ia mati. Rasulullah saw. telah membunuhnya. Baik sebelum atau pun sesudah perang ini Rasulullah saw tidak pernah membunuh orang selain Ubay.

 

Abu ‘Amir, si rahib itu, telah membuat beberapa lubang perangkap. Lubang-lubang itu ditutupnya dengan maksud supaya tentara kaum Muslimin terjerumus ke dalamnya. Ternyata Rasulullah saw. jatuh terperosok ke dalam perangkap tersebut sehingga dia pingsan dan kedua lututnya terluka. Lalu sahabat ‘Ali menarik tangannya sedangkan Sahabat Thalhah ibnu ‘Ubaidillah mengangkatnya dari dalam lubang. Sahabat ‘Ali dan sahabat Thalhah ibnu’Ubaidillah termasuk orang-orang yang bertahan bersama Rasulullah. Baru saja Rasullah saw. berdiri setelah diangkat dari lubang perangkap itu, tiba-tiba dia dilempar dengan batu oleh ‘Atabah ibnu Abu Waqqash sehingga merontokkan gigi serinya. Lalu ‘Atabah dikejar oleh Hathib ibnu Abu Balta’ah dan langsung dibunuhnya. Wajah Rasulullah saw. terkena Juka oleh tetakan pedang ‘Abdullah ibnu Syihan az-Zuhri, kedua pelipisnya oleh pukulan Ibnu Qumaiah: semoga Allah melaknatnya. Pukulan Ibnu Qumaiah mengenai topi besi Rasulullah saw. sehingga kedua bagian topi besi yang runcing itu melukai kedua pelipisnya. Kemudian datanglah Sahabat Abu ‘Ubaidah untuk mencabut bagian topi besi yang runcing yang menancap pada kedua pelipis Rasulullah saw. Pada saat itu gigi seri Rasulullah saw. ada yang rontok. Lalu Rasulullah saw. bersabda:

 

Mana mungkin suatu kaum akan mendapat kebahagiaan bila mereka berani melukai wajah nabinya.

 

Pada saat itu Allah menurunkan firman-Nya:

 

Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 128)

 

Sesudah musibah besar itu, orang yang pertama mengetahui bahwa Ra. sulullah saw. masih hidup ialah Sahabat Ka’b ibnu Malik al-Anshari. Oleh karena itu, ia berseru dengan sekuat suaranya, “Hai kaum Muslimin, bergembiralah kalian!” Akan tetapi, seruannya itu keburu dipotong oleh isyarat Rasulullah saw. yang menyuruhnya diam. Selanjutnya Rasulullah saw, berjalan diapit oleh Sahabat Sa’d ibnu Abu Waqqash dan Sa’d ibnu ‘Ubadah untuk menaiki lereng bukit, ditemani oleh beberapa orang sahabat, yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, dan Al-Harist ibnush-Shumt. Tetapi tiba-tiba datanglah “Utsman ibnu ‘Abdullah ibnulMughirah seraya sesumbar, “Di manakah Muhammad? Celakalah aku bila ternyata dia masih selamat.” Kudanya tiba-tiba terperosok sehingga ia masuk ke dalam lubang perangkap itu. Lalu Al-Harist ibnush-Shumt menyerbu langsung membunuhnya.

 

Setelah Rasulullah saw. sampai di lereng bukit, Siti Fathimah mencuci darah dari luka-lukanya, sedangkan Sahabat ‘Ali menuangkan air. Selanjutnya Siti Fathimah mengambil secarik kain tikar, dibakarnya, dan abunya diletakkan pada luka-luka Rasulullah saw. Setelah itu darah pun tidak mengalir lagi. Selesai diobati, Rasulullah saw. bermaksud menaiki suatu batu besar yang terletak di lereng bukit itu, tetapi tenaganya sudah tidak mampu lagi karena terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhnya sehingga untuk berdiri saja tidak kuat. Lalu Sahabat Thalhah ibnu ‘Ubaidillah menggendongnya hingga sampai ke atas batu besar itu. Rasulullah saw. melihat segolongan tentara kaum musyrikin berada di kaki bukit. Lalu beliau bersabda, “Jangan biarkan mereka berada di atas kita. Ya Allah, tiada kekuatan bagi kami selain hanya bersama-Mu.” Selanjutnya Rasulullah saw. menyuruh Sahabat ‘Umar untuk memimpin sekelompok pasukan kaum Muslimin guna mengusir pasukan kaum musyrikin dari kaki bukit.

 

Orang-orang Muslimin yang pada saat itu melindungi Rasulullah saw. banyak yang menderita luka karena mereka menghadang anak panah, agar tidak mengenai Rasulullah. Ternyata pada tubuh sahabat Thalhah terdapat tujuh puluh lebih luka sehingga salah satu tangannya menjadi lumpuh. Ka’b ibnu Malik mendapat sebanyak tujuh belas luka. Adapun jumlah kaum Muslimin yang gugur di dalam perang tersebut, diperkirakan tujuh puluh orang lebih, enam orang dari kalangan Muhajirin dan sisanya dari kalangan Anshar.

 

Di antara kaum Muhajirin yang gugur di medan Uhud ialah Sahabat Hamzah ibnu ‘Abdul-Muththalib dan Mush ‘ab ibnu ‘Umair. Dari kalangy sahabat Anshar yang gugur di antaranya Hanzhalah ibnu Abu ‘Amir, Amr ibnul Jamuh dan anaknya yang bernama Khallad ibnu ‘Amr serta saudara lelaki istrinya, yaitu orang tua Jabir ibnu ‘Abdullah. Kemudian datanglah istri ‘ Amr, yaitu Hindun binti Haram. Selanjutnya ia membawa jenazah suami, anak, dan saudara lelakinya di atas unta untuk dikebumikan dii Madinah. Akan tetapi, Rasulullah saw. melarang mengebumikan mereka di luar daerah Uhud. Akhirnya jenazah mereka dikembalikan di Uhud.

 

Sa’d ibnur Rabi’ telah gugur pula dalam perang ini. Pada mulanya, seusai perang Rasulullah saw. mengutus beberapa orang untuk mencarinya. Utusan itu menemukannya di antara orang-orang yang gugur. Ketika itu ia masih bernapas. Lalu utusan itu berkata kepadanya, bahwa Rasulullah gaw. menanyakan tentang keadaan dirinya. Ia berkata kepada utusan itu, “Katakanlah kepada kaumku bahwa telah berpesan kepada kalian Sa’d ibnur Rabi’, berpeganglah kepada Allah! Berpeganglah kepada Allah dan apa yang telah kalian bai’atkan terhadap Rasulullah saw. pada malam ‘Agabah. Demi Allah, selain itu kalian tidak kuizinkan walau dengan dasan apa pun.”

 

Anas ibnun-Nadhr gugur pula dalam perang ini. Dia adalah paman Sahabat Anas ibnu Malik. Ketika Anas ibnun Nadhr mendengar tentang terbunuhnya Rasulullah saw. di medan perang, ia berkata, “Hai kaum, apakah yang akan kalian perbuat bila kalian masih tetap hidup sedangkan dia telah tiada? Matilah kalian dalam membela apa yang karenanya saudarasaudara kalian rela mati.” Akhirnya Sahabat Anas ibnun-Nadhr maju merangsak barisan musuh dan terus bertempur dengan semangat yang meIyala-nyala, tetapi kesudahannya ia gugur sebagai syuhada.

 

Terdorong oleh rasa dendam, orang Quraisy mencincang jenazah kaum Muslimin yang gugur dalam perang itu. Hindun, istri Abu Sufyan, meTobek perut jenazah Sahabat Hamzah. Kemudian ia mengambil hatinya Intuk dimakan mentah-mentah, tetapi ia hanya mengunyahnya, kemudian temuntahkannya kembali. Demikian pula orang-orang Quraisy lainnya, mereka berbuat hal yang sama terhadap rekan-rekan Sahabat Hamzah Yang telah gugur sebagai syuhada.

 

Selanjutnya Abu Sufyan menaiki bukit lalu berseru dengan sekuat tuaranya, “Sesungguhnya perang itu silih berganti. Hari ini adalah pembalasan dari Perang Badar, dan kita akan bertemu lagi tahun depan dj Badar.” Kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Kalian akan menjumpy di antara orang-orang kalian yang telah mati dalam keadaan tercincang Akan tetapi, aku tidak memerintahkan hal tersebut, maka janganlah ber. prasangka buruk terhadap diriku.”

 

Kiranya perlu diingat, bahwa tentara kaum musyrikin, setelah itu kembali ke Makkah. Mereka tidak mengejar ke Madinah. Ini merupakan pertanda bahwa kaum Muslimin dalam perang tersebut tidak mengalami kekalahan, sebab, andaikata kaum Muslimin kalah, niscaya kaum musy. rikin akan melakukan pengejaran hingga sampai ke Madinah, lalu mereka langsung menyerang kota Madinah.

 

Setelah itu Rasulullah saw. meneliti orang-orang yang gugur dari ka. langan kaum Muslimin. Dia sangat sedih ketika melihat keadaan pamannya, Hamzah. Semua syuhada yang gugur dikebumikan di Uhud lengkap dengan pakaian yang mereka kenakan ketika gugur. Pada saat itu dua atau tiga orang dikuburkan menjadi satu dalam satu liang lahad karena kaum Muslimin terlalu lelah sehingga dirasakan amat berat untuk menggali satu liang kubur buat setiap orang yang mati syahid.

 

Ketika kaum Muslimin kembali ke Madinah, orang Yahudi dan orangorang munafik mengejek mereka. Kini mereka mulai berani menampakkan kebencian yang terpendam selama ini di dalam hati mereka. Mereka berkata kepada teman-temannya sebagaimana yang diungkapkan dalam firman-Nya:

 

Seandainya mereka tetap bersama kami, tentulah mereka tidak mati dan tidak terbunuh. (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 156)

 

Musibah yang telah menimpa kaum Muslimin dalam Perang Uhud ini merupakan pelajaran yang penting bagi mereka serta mengingatkan mereka akan dua perkara yang ditinggalkan oleh mereka sehingga mereka terkena musibah yang berat ini, yaitu:

 

Pertama: Mereka tidak menaati perintah Rasulullah saw. karena Rasulullah saw. telah berpesan kepada pasukan pemanah agar mereka sekali kali tidak meninggalkan posisi yang strategis itu sekalipun kaum Muslimi dalam keadaan menang atau terpukul mundur. Akan tetapi, ternyata mereka mendurhakai perintahnya, lalu turun meninggalkan posisinya.

 

Kedua: Hendaknya semua amal perbuatan itu didasari karena Allah swt. dan jangan sekali-kali sewaktu melaksanakannya melirik kepada ke duniawian karena perkara duniawi itu sebagian besar merupakan penyebab timbulnya malapetaka yang besar. Ternyata mereka yang meningyalkan posisinya karena tergiur oleh perkara duniawi sehingga mereka sayik mengumpulkan ghanimah: hal ini berakibat mereka kena azab Allah. Sehubungan dengan hal tersebut Allah swt. menurunkan firman-Nya: lam surah Ali ‘Imran secara rinci

 

Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kalian ketika kalian membunuh mereka dengan seizin-Nya sampai pada saat kalian lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai. Di antara kalian ada orang yang menghendaki dunia, dan di antara kalian ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kalian dari mereka untuk menguji kalian: dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kalian. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman. (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 152)

 

Penyebab datangnya musibah ini ialah perselisihan pendapat, padahal pada saat demikian mereka harus rukun. Mereka mengalami frustasi, sedangkan seharusnya mereka teguh dan bersemangat. Mereka mendurhakai perintah Rasul, padahal seharusya mereka menaatinya. Akhirnya kami memohon taufik dari Allah swt. untuk tidak melakukan hal-hal tersebut.

 

PERANG HAMRAUL ASAD

 

Ketika Rasulullah saw. kembali ke Madinah, dia masih tetap dalam keadaan siaga dan waspada terhadap kembalinya kaum mugyrikin, yang barangkali bermaksud menyempurnakan kemenangan mereka dengan melakukan penyerangan ke Madinah. Rasulullah saw. menyerukan para sahabatnya supaya keluar untuk membuntuti musuh, dan hendaknya yang keluar hanya orang-orang yang bersamanya kemarin di Uhud. Ternyata Yereka memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya itu sekalipun mereka baru tja mengalami luka-luka. Mereka membalut luka-lukanya dan keluar mengikuti Rasulullah saw. Pada saat itu panji peperangan masih tetap dan belum dilepaskan. Kemudian Rasulullah saw. memberikan panji peperang:. an itu kepada Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib, dan dia mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai penggantinya di Madinah.

 

Rasulullah saw. membawa balatentaranya sampai di Hamraul Asad. Ternyata dugaan Rasulullah saw. itu memang benar karena sesungguhnya orang-orang musyrikin saling mencela di antara sesama mereka. Sebagian di antara mereka mencela sebagian yang lain karena kaum Muslimin dibiarkan kembali ke Madinah tanpa dikejar dan tidak dilakukan penyerangan ke Madinah demi menyempurnakan kemenangan mereka. Setelah itu mereka semua bertekad kembali mengadakan penyerangan. Akan tetapi, ketika ada berita kepada mereka bahwa Rasulullah saw. telah keluar dari Madinah membuntuti mereka, mereka menduga bahwa Rasulullah saw. datang bersama orang-orang yang tidak hadir dalam Perang Uhud. Kemudian Allah swt. menjadikan hati mereka takut menghadapi kaum Muslimin. Akhirnya mereka meneruskan perjalanannya ke Makkah.

 

Di Hamraul-Asad Rasulullah saw. sempat menangkap Abu ‘Izzah, penyair yang dahulu pernah ditawan dalam Perang Badar, yang kemudian dibebaskan oleh Rasulullah saw. tanpa tebusan dengan syarat bahwa dia tidak akan lagi memerangi kaum Muslimin. Akhirnya Rasulullah saw. memerintahkan agar dia dihukum mati. Tetapi sebelum itu Abu ‘Izzah berkata, “Hai Muhammad, bebaskanlah aku dan berikanlah ampunan kepadaku, ‘Biarkanlah aku mengurusi anak-anak perempuanku, dan aku berjanji tidak akan lagi melakukan hal yang pernah aku kerjakan ini.” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan membiarkan mulutmu yang besar itu berkoar lagi lalu mengatakan bahwa kamu telah menipu Muhammad. Tidak, sesungguhnya orang yang mukmin tidak akan dipatuk dua kali dari satu liang. Hai Zaid, penggallah kepalanya.” Kemudian Zaid melaksanakan perintah Rasulullah saw., langsung memenggal kepalanya. Peristiwa ini merupakan pendidikan yang agung dari pemilik syariat yang mulia. Sesungguhnya seorang lelaki yang tidak bertindak hatihati terhadap suatu hal yang pernah menimpanya bukanlah termasuk orang yang berakal waras. Seorang pemimpin harus bersikap tegas demi menegakkan pilar-pilar kerajaannya.

 

BEBERAPA PERISTIWA PENTING

 

Pada tahun itu juga Rasulullah saw. menikahkan putrinya yang bernama Ummu Kaltsum dengan Sahabat ‘Utsman ibnu ‘Affan setelah Siti Rugayyah, istri pertamanya, meninggal dunia. Oleh sebab itu Sahabat ‘Utsman sejak saat itu diberi julukan Dzun Nuraini. Pada tahun itu juga Rasujullah saw. menikah dengan Siti Hafshah binti “Umar ibnul-Khaththab. Ibu Siti Hafshah adalah saudara perempuan Sahabat “Utsman ibnu Mazh’un. Sebelum itu Siti Hafshah menjadi istri Khunais ibnu Hudzafah as-Sahmi r.a. yang meninggal dunia akibat luka-luka yang dideritanya dalam Perang Badar.

 

Pada tahun itu Rasulullah saw. menikah pula dengan Siti Zainab binti Khuzaimah al-Hilaliyah dari Bani Hilal-ibnu ‘Amir. Pada Zaman Jahiliah ia terkenal dengan julukan Ummul-Masakin (ibu kaum fakir-miskin) karena ia sangat sayang dan gemar berbuat kebajikan terhadap mereka. Sebelumnya ia menjadi istri ‘Abdullah ibnu Jahsy yang gugur dalam Perang Uhud. Ia adalah saudara perempuan seibu dari Siti Maimunah binti-Harits. Pada tahun itulah lahir Al-Husain ibnu ‘Ali r.a.

 

Pada tahun itu pula khamar diharamkan secara tuntas. Pada mulanya khamar diharamkan secara bertahap mengingat orang-orang Arab pada Zaman Jahiliah sangat menyukainya sehingga sangat sulit apabila diharamkan secara drastis dan sekaligus. Pengharaman khamar sealur dengan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan khamar merupakan sesuatu yang menjijikkan, sebab sesuatu yang mungkar bila pengharamannya dikaitkan dengan peristiwa yang menonjolkan kepada semua orang keburukannya, niscaya pengaruhnya akan mendalam di dalam jiwa semua orang. Langkah pertama untuk menjelaskan pengharaman khamar ini dikemukakan oleh Allah swt. melalui firiman-Nya :

 

Mereka bertanya kepadamu tentang Kkhamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia.” (Q.S. 2 Al-Bagarah: 219)

 

Manfaat yang terdapat di dalam judi ialah mendermakan keuntungan kepada orang-orang miskin seperti apa yang telah dilakukan orang-orang Arab pada Zaman Jahiliah. Manfaat khamar ialah dapat menguatkan badan. Akan tetapi, ketika ada sebagian kaum Muslimin yang meminumnya, kemudian ternyata bacaan Al-Gurannya bercampur aduk, maka salat diharamkan bagi seseorang yang sedang dalam keadaan mabuk. Untuk itu Allah swt. berfirman dalam surah An-nisa:

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat sementara kalian dalam keadaan mabuk sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (Q.S. 4 An-Nisa: 43)

 

Setelah ada sebagian dari kaum Muslimin yang meminumnya, kemudian ia melakukan penganiayaan terhadap teman-temannya, maka khamar diharamkan secara tuntas, yaitu melalui firman-Nya:

 

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingati Allah dan salat. Maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Q.S. 5 Al-Maidah: 90-91)

 

Akhirnya kaum Muslimin pada saat itu menanggapi hal tersebut melalui perkataan mereka, “Sekarang kami telah berhenti (dari meminumnya).”

 

Pada permulaan tahun keempat Hijriah Rasulullah saw. mendengar berita bahwa Thulaihah dan Salamah, keduanya anak Khuwailid dari kabilah Asad, mengajak kaumnya untuk memerangi Rasulullah saw. Lalu Rasululjah saw. memanggil Abu Salamah ibnu ‘Abdul-Asad dari kabilah Makhgum, kemudian mengangkatnya sebagai pemegang panji peperangan, dan berkata, “Berjalanlah engkau hingga sampai di daerah orang-orang Bani Asad ibnu khuzaimah, lalu seranglah mereka.”Selain itu Rasulullahpun mengirimkan tentaranya bersama Abu Salamah sebagai pemimpin mereka. Abu Salamah berangkat pada pertengahan bulan Muharam sehingga sampai di perkemahan mereka, lalu menyerang mereka. Akan tetapi, mereka telah meninggalkan kampung itu. Akhirnya Abu Salamah hanya menemukan unta dan kambing mereka saja. Maka semuanya diambil oleh Abu Salamah. Dengan demikian berarti Abu Salamah tidak mengalami peperangan dan telah berhasil membawa ghanimah tanpa perlawanan sesudah sepuluh hari sejak hari keberangkatannya.

 

Pada permulaan tahun ini Rasulullah saw. mendengar berita bahwa Sufyan ibnu Khalid ibnu Nabih al-Hazali yang tinggal di daerah ‘Arafah telah mengumpulkan orang-orang untuk memerangi Rasulullah saw. Rasulullah saw. mengirimkan ‘Abdullah ibnu Unais al-Juhani sendirian untuk membunuhnya. Akan tetapi, sebelum itu ‘Abdullah terlebih dahulu meminta izin kepada Rasulullah untuk menyampaikan kata-kata yang dibuat-buat supaya ia dapat meringkusnya. Rasulullah saw. memberikan izin untuk melakukan hal tersebut seraya berpesan kepadanya, “Mengakulah engkau bahwa engkau berasal dari kabilah Khuza’ah.” ‘Abdullah ibnu Unais keluar dari Madinah pada tanggal 5 Muharam. Tatkala ia sampai Sufyan bertanya kepadanya, “Dari manakah engkau?” ‘Abdullah ibnu Unais menjawab, “Dari kabilah Khuza’ah. Aku mendengar berita bahwa engkau telah mengumpulkan orang-orang untuk memerangi Muhammad. Maka aku datang ke sini untuk bergabung dengan engkau.” Sufyan ibnu Khalid berkata, “Memang betul, aku telah mengumpulkan orang-orangku untuk memeranginya.” Selanjutnya ‘Abdullah ibnu Unais berjalan bersamanya seraya berbincang-bincang. Ketika itu Sufyan berbicara ramah sekali. Setelah sampai di kemahnya, semua orang yang berkumpul di situ bubar, dan kini yang ada di dalam hanya Sufyan dan ‘Abdullah. Keduanya berbincang-bincang hingga Sufyan tertidur, lalu ‘Abdullah ibnu Unais bangkit dan langsung membunuhnya. Setelah itu ‘Abdullah ibnu Unais pergi tanpa permisi hingga sampai di Madinah, dan ternyata tidak ada orang yang mengejarnya. Dengan demikian berarti Allah swt. telah membuat kaum mukminin tidak usah repot-repot melakukan peperangan dengan Sufyan.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Safar Rasulullah saw. mengirimkan sepuluh orang tentara sebagai mata-mata untuk mengamat-amati orang-orang Quraisy bersama rombongan ‘Adhl dan al-Garah yang datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta seseorang mengajarkan kepada mereka agama Islam. Untuk mengajari mereka Rasulullah saw. mengirimkan ‘Ashim ibnu Tsabit al-An. shari. Mereka berangkat pada malam hari. Bila malam tiba mereka ber. jalan, dan bila siang mereka berhenti menyembunyikan diri sehingga mereka sampai di suatu tempat yang bernama Ar-Raji.” Ternyata rombongan ‘Adhil dan al-Qarah berbuat khianat terhadap mereka karena rombongan itu memberikan informasi kepada Hudzail, kaum Sufyan ibnu Khalid al-Hazali yang telah dibunuh oleh ‘Abdullah ibnu Unais, tentang mereka. Kaum Sufyan berangkat menelusuri jejak mereka bersama orangorang mereka yang jumlahnya kurang-lebih dua ratus orang, semuanya terdiri dari pasukan pemanah sehingga mereka berada dekat dengan rombongan sariyyah yang dikirim oleh Rasulullah.

 

Tatkala rombongan sariyyah merasakan bahwa diri mereka dikejar oleh kaum Sufyan, lalu mereka bersembunyi di salah satu bukit yang ada di tempat tersebut. Musuh-musuh mereka berkata, “Turunlah kalian, kami berjanji tidak akan membunuh kalian.” Tiga orang di antara orang-orang sariyyah ada yang tertipu oleh janji mereka, lalu ketiganya turun dari bukit tempat mereka berlindung, sedangkan sisanya tetap bertahan hingga titik darah penghabisan bersama ‘Ashim ibnu Tsabit yang tidak rela turun dan berada di bawah perlindungan kaum musyrikin. Akan tetapi, ketika salah seorang dari ketiga orang yang turun tadi merasakan adanya pengkhianatan dari pihak kaum musyrikin, ia hendak bergabung lagi dengan teman-temannya, tetapi keburu dibunuh oleh mereka. Kedua orang lainnya dijual di Makkah kepada orang-orang Makkah yang mempunyai dendam terhadap kaum Muslimin. Selanjutnya mereka berdua dibunuh oleh orang-orang yang membelinya. Salah seorang di antara mereka, yaitu Habib ibnu ‘Addi, berkata sewaktu mereka hendak membunuhnya:

 

Aku tidak peduli bila dibunuh dalam keadaan Muslim. Dengan cara apakah aku dibunuh, karena Allah nyawaku akan diterima di sisi-Nya. Bila Ia menghendaki, niscaya ia akan memberkahi setiap anggota tubuhku yang tercabik-cabik.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Safar datang bertamu kepada Rasulullah saw. Abu ‘Amir ibnu Malik Mulai’bul-Asinnah, termasuk salah seorang ketua Bani ‘Amir. Rasulullah saw. mengajaknya masuk agama Islam, tetapi ia tidak mau dan juga tidak menolaknya. Dia hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku melihat perkara engkau itu baik lagi mulia. Alangkah baiknya seandainya engkau mengutus para sahabat engkau bersama kepada penduduk Najd. Kemudian mereka mengajak penduduk Najd untuk memeluk agama engkau. Aku berharap mudah-mudahan mereka mau menerimanya. “Rasulullah saw. menjawab, “Akan tetapi, aku merasa khawatir akan nasib mereka dalam menghadapi orang-orang Najd. “Abu ‘Amir menjawab, “Akulah yang akan menjamin keselamatan mereka.”

 

Setelah mendengar kesediaan Abu ‘Amir, Rasulullah saw. mengutus bersama rombongan Abu ‘Amir sebanyak tujuh puluh orang dari para sahabat di bawah pimpinan Al-Mundzir ibnu ‘Amr. Rombongan utusan Rasulullah saw. itu dinamakan para ahli gurra karena mereka adalah orang-orang yang banyak hafal Al-Quran.

 

Mereka melakukan perjalanan tersebut. Ketika sampai di Bir Ma’unah,”) lalu mereka mengutus Haram ibnu Milhan untuk menyampaikan surat kepada ‘Amir ibnuth – Thufail, pemimpin Bani ‘Amir. Ketika Haram sampai kepadanya, ‘Amir ibnuth-Thufail tidak mengindahkan surat yang disampaikannya, bahkan ia menyerang dan membunuhnya. Selanjutnya ‘Amir ibnuth-Thufail meminta bantuan kepada teman-temannya dari kalangan Bani ‘Amir untuk menghadapi para utusan Rasulullah saw. yang lain, tetapi mereka tidak mau melanggar jaminan yang telah diberikan oleh Abu ‘Amir ibnu Malik. ‘Amir ibnuth-Thufail tidak putus asa, lalu meminta bantuan untuk menyerang mereka kepada kabilah Bani Salim, yaitu orang-orang Dzakwan dan ‘Ashabah. Ternyata mereka mengabulkan permintaannya. Mereka berangkat bersamaan. Ketika telah berhadapan dengan para ahli gurra, mereka mulai mengepungnya dari segala penjuru. Akhirnya para ahli gurra terbunuh sesudah mereka mengadakan perlawanan sengit hingga titik darah penghabisan. Perlawanan yang mereka lakukan tidak mempunyai arti apa-apa mengingat jumlah mereka sedikit dan musuh terlalu banyak. Hampir tidak seorang pun diantara mereka yang selamat selain Ka’b ibnu Zaid yang jatuh terluka di antara Orang-orang yang gugur sehingga mereka menduga ia sudah mati. Orang yang selamat lainnya ialah ‘Amr ibnu Ummayyah yang ditawan oleh mereka.

 

Berita tentang nasib para ahli gurra ini sampai kepada Rasulullah saw Lalu ia berpidato kepada semua sahabat. Di antara yang diucapkannya pada saat itu ialah, “Sesungguhnya saudara-saudara kalian telah bertem pur melawan kaum mugyrikin, dan kaum mugyrikin telah membunuh mereka semuanya. Sesungguhnya mereka telah mengatakan, “Ya Rabb kami, sampaikanlah kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu dengan Rabb kami (meninggal dunia), dan kami rela kepada-Nya serta Dia rela ter. hadap kami. “Berita tentang kedua sariyyah itu datang pada hari itu juga. Oleh karena Rasulullah saw. amat sedih sehingga ia mendoakan orang. orang yang dicurangi itu selama sebulan penuh dalam salat-salatnya.

 

PERANG BANI NADHIR

 

Ya Allah, alangkah buruknya akibat perbuatan yang membabi buta itu. Keadaan umat pada saat itu sangat tenang dan damai serta aman. Akan tetapi, setelah ada beberapa orang dari pemimpinnya yang melakukan pengkhianatan dengan dugaan bahwa mereka akan meraih keberhasilan dengan perbuatannya itu, justru hal itu membawa malapetaka bagi mereka sendiri, menyebabkan mereka terusir dari tempat tinggal mereka. Demikianlah yang terjadi terhadap orang-orang Yahudi Bani Nadhir, teman sepakta kabilah Khazraj. Mereka hidup di sebelah kota Madinah, bertetangga dengan kaum Muslimin. Di antara mereka dan kaum Muslimin terdapat perjanjian pertahanan, yaitu masing-masing pihak terikat dengan perjanjian, untuk melindungi pihak yang lain. Akan tetapi, orang-orang Bani Nadhir tidak memenuhi perjanjian ini karena terdorong oleh rasa dengki dan permusuhan yang telah mengakar di hati mereka terhadap kaum Muslimin.

 

Pada suatu saat, ketika Rasulullah saw. bersama dengan para sahabat: nya berada di dalam rumah orang-orang Bani Nadhir, tiba-tiba ada sekelompok orang Bani Nadhir hendak berbuat makar terhadap diri Rasulullah saw. Mereka bermaksud hendak menjatuhkan batu besar dari tempat yang tertinggi kepada Rasulullah saw. Akan tetapi, Rasulullah saw. telah waspada dan mengetahui rencana busuk mereka itu. Lalu ja segera pergi meninggalkan tempat tersebut, yang segera diikuti oleh para sahabatnya. Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan Muhammad ibnu Maslamab untuk mengatakan kepada mereka, “Keluarlah kalian dari negeriku ini.

 

Kalian benar-benar telah bertekad untuk berbuat khianat. “Sikap yang tegas memang diperlukan sekali, terlebih dalam menghadapi orang-orang yang dikenal suka berkhianat. Yang demikian itu merupakan pelajaran baginya.

 

Orang Bani Nadhir pun segera berkemas-kemas meninggalkan tempat tinggal mereka, tetapi teman-teman mereka yang terdiri dari orang-orang munafik mengatakan kepada mereka, “Janganlah kalian keluar dari tempat tinggal kalian karena kami telah siap membantu kalian. “Kisah tentang mereka itu disebutkan dalam firman-Nya berikut ini:

 

“Sesungguhnya, jika kalian diusir, niscaya kami pun akan keluar bersama kalian, dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kalian, dan jika kalian di perangi, pasti kami akan membantu kalian. “Dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. Sesungguhnya, jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama-sama mereka. Dan sesungguhnya, jika mereka diperangi, niscaya mereka tiada akan menolongnya. Sesungguhnya, jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat perlindungan. (Q.5. 59 Al-Hasyr : 11-12)

 

Ternyata orang Yahudi tergiur oleh janji mereka sehingga dengan sengaja mereka memperlambat keberangkatannya. Akhirnya Rasulullah saw. memerintahkan untuk siap memerangi mereka. Ketika orang-orang sudah berkumpul, Rasulullah saw. keluar bersama mereka sesudah ia mengangkat Ibnu Ummi Maktum untuk menjadi penggantinya di Madinah. Panji peperangan diberikan Rasulullah saw. kepada Sahabat ‘Ali r.a.

 

Orang Bani Nadhir hanya berlindung di dalam benteng mereka dengan dugaan bahwa benteng itu akan dapat melindungi diri mereka dari Allah swt. Rasulullah saw. mengepung benteng tempat mereka berlindung selama enam hari dan memerintahkan agar pohon-pohon kurma mereka ditebang supaya mereka lebih cepat menyerah. Allah menjatuhkan perasaan takut yang amat sangat dalam hati mereka. Ternyata mereka tidak mendapatkan bantuan apa pun dari ‘Abdullah ibnu Ubay (pemimpin orang-orang munafik), bahkan menghina mereka seperti yang dilakukan mereka terhadap orang Yahudi Bani Qainiqa’ sebelumnya.

 

ingkari janjinya, ia menyewa Na’im ibnu Mas’ud al-Asyja’i untuk datang ke Madinah dan mengkut-nakuti penduduknya dengan berita yang di buat. buat, bahwa Abu Sufyan telah mengumpulkan tentaranya dengan jumlah yang sangat besar. Setelah Na’im datang di Madinah, ia berkata kepada kaum Muslimin seperti yang diwahyukan -Nya :

 

“Sesungguhnya manusia (orang Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka.” Maka perkataan itu menambah keimanan mereka, dan mereka men. jawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami, dan Allah adalah Pelindung yang sebaik-baiknya.” (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 173)

 

Rasulullah saw. sama sekali tidak menghiraukan gertakan itu karena ia hanya bertawakal kepada Rabb-nya. Kemudian Rasulullah saw. mengumpulkan balatentaranya sebanyak seribu lima ratus orang yang semuanya terdiri dari para sahabat. Sebelum itu Rasulullah saw. mengangkat penggantinya untuk mengatur Madinah, yaitu ‘Abdullah ibnu ‘Abdullah ibnu Ubay. Kemudian pasukan kaum Muslimin berjalan menuju Badar. Ketika mereka sampai di Badar, ternyata mereka tidak menjumpai seorang pun dari musuh-musuhnya. Hal itu terjadi karena Abu Sufyan memberikan isyarat kepada orang Quraisy untuk keluar dengan niat kembali lagi ke Makkah sesudah melakukan perjalanan satu atau dua malam. Ia menduga bahwa gertakan yang disampaikan kepada kaum Muslimin melalui Na’im dapat mempengaruhi kaum Muslimin. Dengan demikian, yang melanggar janji adalah kaum Muslimin sendiri, bukan mereka. Kemudian Abu Sufyan membawa tentaranya hingga di Majinnah, nama sebuah tempat yang sudah terkenal dengan pasarnya, terletak di daerah Zhahran. Sesampai di Majinnah Abu Sufyan berkata kepada kaumnya, “Sesunggubnya tahun ini adalah tahun paceklik, dan tidak layak bagi kita semua selain tahun yang subur. Maka kembalilah kalian semua.”

 

Setelah tidak menjumpai musuh-musuh mereka, tentara Muslimin bermukim di Badar untuk melakukan jual-beli sehingga tidak ada orang lain di dalam perniagaan itu kecuali mereka. Hal ini diungkapkan oleh firman-Nya :

 

mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Q.S. 3 Ali Imran: 174)

 

setelah berita mengenai hal tersebut tersiar, Shafwan ibnu Umayyah perkata kepada Abu Sufyan, “Sungguh aku telah mencegahmu untuk mesgembalikan kaum. Kini mereka berani terhadap kita karena mereka memandang bahwa kitalah yang mulai ingkar janji.”

 

BEBERAPA PERISTIWA

 

Pada tahun ini lahir Al-Husain ibnu ‘Ali, dan pada tahun ini pula wafat Siti Jainab binti Jahsy Ummul-Mu’minin (istri Rasulullah saw.) Wafat pula Abu Salamah r.a., anak lelaki bibi Rasulullah saw. dan sekaligus saudara sepersusuannya. Abu Salamah adalah salah seorang yang terdahulu melakukan hijrah ke Abesinia (Habsyah). Pada tahun itu juga Rasulullah saw, menikahi Ummu Salamah, bekas istri Abu Salamah, sesudah Abu Salamah wafat.

 

PERANG DAUMATUL JANDAL

 

Pada bulan Rabiulawal tahun kelima Hijriah sampai berita kepada Nabi saw. bahwa ada segolongan orang Arab di Daumatul Jandal yang selalu berbuat aniaya terhadap orang-orang yang melewati daerah mereka, dan mereka mempunyai maksud mendekati kota Madinah. Rasulullah saw. mempersiapkan tentara guna memerangi mereka. Dia keluar bersama seribu orang sahabat setelah terlebih dahulu menguasakan kota Madinah kepada Siba’ ibnu ‘Urfuthah al-Ghifari.

 

Rasulullah saw. membawa mereka berjalan hanya pada malam hari, bila siang hari berhenti sehingga berada dekat dengan mereka. Akan tetapi, ketika berita tentang kedatangan Rasulullah saw. bersama balatentaranya terdengar oleh mereka, mereka melarikan diri. Akhirnya tentara kaum Muslimin menyerang ternak milik mereka dan para gembalanya. Di antara para gembala itu ada yang terbunuh dan ada pula yang sempat lari. Selanjutnya kaum Muslimin memasuki kampung halaman mereka, tetapi tidak nenemukan seorang pun di dalamnya. Rasulullah saw. mengirimkan pasukan-pasukan khusus untuk mencari mereka, tetapi ternyata tidak ada seorang pun yang mereka jumpai. Maka Rasulullah saw. kembali dengan membawa ghanimah. Dalam perjalanan kembali itu ia mengadakan perjan. jian dengan ‘Uyaynah ibnu Hishn al-Fazzari, orang yang oleh Rasulullah saw. dijuluki sebagai si Tolol yang Ditaati karena ia selalu diikuti oleh seribu orang gadis. Kemudian Rasulullah saw. memberikan kepadanya sebidang tanah supaya ia dapat menggembalakan ternaknya di tanah ter. sebut, karena tanah miliknya kekeringan. Tanah tempat gembalaan itu sejauh tiga puluh mil dari batas kota Madinah.

 

PERANG BANIL-MUSHTHALIQ

 

Dalam bulan Sya’ban tahun itu juga ada berita yang sampai kepada Rasulullah saw. bahwa Al-Harits ibnu Dhirar, pemimpin orang BanilMushthalig yang pernah membantu orang Quraisy memerangi kaum Muslimin di Uhud, telah berhasil mengumpulkan orang-orangnya untuk memerangi Rasulullah saw. Dengan sigap Rasulullah saw. segera mengumpulkan balatentara yang cukup banyak guna memerangi Al-Harits ibnu Dhirar dar. orang-orangnya. Sebelum berangkat dia terlebih dahulu mengangkat Sahabat Zaid ibnu Haritsah sebagai wakilnya untuk mengurusi kota Madinah. Pada saat itu Rasulullah saw. membawa dua orang istrinya saja, sedangkan istri-istri yang lain tetap berada di Madinah. Ikut pula pada saat itu segolongan orang munafik, yaitu mereka yang sama sekali belum pernah keluar untuk berperang bersama Rasulullah saw. Mereka kali ini mau ikut dengan harapan akan memperoleh keuntungan duniawi, yaitu ghanimah.

 

Di tengah perjalanan Rasulullah saw. berhasil menangkap seseorang yang ternyata mata-mata kaum Banil-Mushthalig. Lalu orang itu diinterogasi tentang keadaan musuh, tetapi dia tidak mau menjawab. Akhirnya Rasulullah saw. memerintahkan agar ia dihukum mati. Ketika berita kedatangan kaum Muslimin terdengar oleh AlHarits, pemimpin tentara kaum Banil Mushthalig, dengan maksud untuk memeranginya, dan kaum Muslimin telah berhasil menangkap dan membunuh mata-mata mereka, Al-Harits merasa takut, demikian pula balatentaranya merasa sangat gentar sehingga sebagian dari mereka memisahkan diri dan tidak mau ikut berperang.

 

Ketika kaum Muslimin sampai di Muraisi, mereka bertemu dengan musuh mereka, lalu kedua pasukan itu berhadap-hadapan untuk berperang. Akan tetapi, sebelum itu Rasulullas saw. mengajak mereka masuk felam. Mereka menolak ajakan itu. Maka mulailah peperangan dengan seling memanah selama satu jam. Setelah itu kaum Muslimin menyerang mereka secara serentak sehingga tidak memberikan kesempatan bagi sorang pun dari musuh-musuhnya untuk melarikan diri. Akhirnya kaum Muslimin berhasil membunuh sepuluh orang dari musuh-musuhnya, kemudian menawan sisa-sisanya yang terdiri dari kaum wanita dan anaksak, dan menggiring semua unta dan kambing milik mereka. Jumlab hewan yang berhasil digiring oleh kaum Muslimin adalah dua ribu ekor unta dan lima ribu ekor kambing. Untuk menghitung semua ternak itu Rasulullah saw. memerintahkan bekas budaknya, yaitu Syagran, sedangkan orang yang ditugaskan untuk menghitung jumlah tawanan ialah Buraidah.

 

Di antara tawanan kaum wanita terdapat Burairah bintil-Harits, anak perempuan pemimpin kaum Banil-Mushthalig. Setelah diteliti ternyata kaum wanita yang tertawan itu berasal dari seratus rumah tangga karena memang semuanya diikutsertakan oleh Burairah. Selanjutnya mereka dibagi-bagikan kepada tertara kaum Muslimin. Di sini mulai tampak kebijaksanaan politik dan sifat ke dermawanan Rasulullah saw. karena Rasulullah menyadari bahwa orang Banil-Mushthalig termasuk orangorang Arab yang kehidupannya cukup mewah. Apabila kaum wanita mereka di tawan dalam kondisi demikian, amat sulitlah bagi kaum Muslimin untuk memelihara mereka. Oleh sebab itu, Rasulullah saw. mempunyai maksud agar kaum Muslimin mau memerdekakan kaum wanita secara sukarela. Untuk itu Rasulullah saw. menikahi Burairah bintilHarits yang kemudian diganti namanya menjadi Siti Juwairiah. Pada saat itu kaum Muslimin berkata, “Saudara-saudara ipar Rasulullah saw. tidak patut menjadi bawahan kami.” Maka dengan secara sukarela mereka memerdekakan semua tawanan wanita yang berada di tangan mereka tanpa tebusan apa pun. Menurut Siti ‘Aisyah r.a., Siti Juairiah adalah wanita yang paling dipercaya oleh kaumnya.

 

Dengan adanya sumbangan yang amat besar dan perlakuan yang amat baik ini akhirnya orang Banil-Mushthalig tanpa kecuali semuanya masuk Islam. Mereka kini menjadi kawan kaum Muslimin yang sebelumnya merupakan musuh kaum Muslimin.

 

Dalam peperangan ini terjadi dua peristiwa yang amat langka di ka. langan kaum Muslimin. Seandainya tidak ada kebijaksanaan Rasulullah SAW, niscaya kaum Muslimin akan terpecah belah seperti keadaan semula sebelum masuk Islam. Kedua peristiwa tersebut ialah:

 

Pertama: Seorang pesuruh Sahabat “Umar ibnul-Khaththab berteng. kar dengan seorang halif (sekutu) orang Khazraj. Pesuruh Sahabat ”Umar memukul teman orang Khazraj itu hingga ia terluka dan mengeluarkan darah. Lalu ia meminta tolong kepada kaumnya, yaitu orang Khazraj, demikian pula pesuruh Sahabat ‘Umarpun meminta tolong kepada kaum Muhaijirin sehingga ketegangan meliputi kedua golongan kaum Muslimin yang bersangkutan. Seandainya Rasulullah saw. tidak melerai mereka, niscaya peperangan akan terjadi di antara kedua golongan itu. Lalu Rasulullah saw. berkata kepada mereka,”Mengapa seruan jahiliah dipakai lagi?” Seruan jahiliah ialah perkataan yang diucapkan oleh seseorang sewaktu meminta pertolongan seperti, “Hai Fulan! Tolong bantu saya.” Seterusnya Rasulullah berkata, “Kalian harus meninggalkan katakata itu karena sesungguhnya kata-kata tersebut busuk.” Rasulullah saw. menasihati orang yang terpukul sehingga ia rela dan memaafkan orang yang telah memukulnya. Dengan demikian redalah suasana yang menegangkan itu, dan padamlah api fitnah.

 

Ketika berita tersebut terdengar oleh “Abdullah ibnu Ubay, ia marah sekali. Pada saat itu di hadapannya terdapat segolongan orang Khazraj. Lalu ia berkata, “Aku belum pernah mendapat penghinaan seperti hari ini. Kenapa mereka berani berbuat kurang ajar seperti itu? Tantanglah kami oleh kalian di tempat kami untuk berperang. Demi Allah, perumpamaan antara kami dan Muhajirin tiada lain seperti apa yang telah dikatakan oleh orang-orang dahulu, ‘Gemukkanlah anjingmu, niscaya ia akan memakan kamu. ‘Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya, jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.”

 

Kemudian ‘Abdullah ibnu Ubay melayangkan pandangannya kepada orang-orang Khazraj yang bersamanya pada saat itu. Lalu ia berkata untuk membakar amarah mereka, “Demikianlah balasan yang telah mereka lakukan terhadap kalian, padahal kalian telah memberi tempat kepada mereka di negeri kalian, dan kalian telah membagikan harta kalian sendiri bersama mereka. Ingatlah, demi Allah, seandainya kalian menggenggamkan tangan dengan tidak memberikan apa yang kalian miliki kepada mereka, niscaya mereka akan meninggalkan negeri kalian. Kemudian ternyata mereka masih kurang puas dengan apa yang telah kalian lakukan itu, lalu mereka menjadikan kalian sebagai sasaran maut buat melindungi diri Muhammad sehingga kalian membuat anak-anak kalian menjadi yatim dan jumlah kalian menjadi sedikit sedangkan jumlah mereka makin bertambah banyak. Janganlah kalian membelanjakan harta kalian buat mereka sehingga orang-orang yang bersama Muhammad bubar meninggalkannya.”

 

Pada saat itu di tempat tersebut ada seorang pemuda yang Islamnya yuat, bernama Zaid ibnu Argam. Segera ia memberitakan hal itu kepada fasulullah saw. Ketika Rasulullah saw. mendengar berita itu, mukanya perubah, lalu ia berkata,”Hai anak muda, apakah engkau membencinya sehingga engkau mengatakan apa yang telah engkau katakan tadi mengenainya?” Zaid ibnu Argam menjawab,”Demi Allah, wahai Rasulullah, aku benar-benar telah mendengarnya secara langsung.”Rasulullah saw. berkata, “Barangkali saja engkau salah dengar.”

 

Setelah itu Sahabat ‘Umar r.a. meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk membunuh Ibnu Ubay, atau dia memberikan izin kepadanya untuk memerintahkan orang lain agar membunuhnya. Akan tetapi Rasulullah saw. melarangnya. Lalu ia berkata,”Hai ‘Umar, apakah kelak yang akan dikatakan oleh orang-orang? Mereka pasti mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh teman-temannya sendiri.” Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan semua orang untuk berangkat pulang, padahal saat itu bukan waktunya pulang karena panas matahari sangat terik. Rasulullah saw. sengaja memerintahkan demikian supaya perhatian mereka berpaling tidak membicarakan lagi masalah tersebut. Usaid ibnu Hudhair menanyakan kepada Rasulullah saw. tentang penyebab keberangkatannya pada saat yang terik ini. Rasulullah saw. menjawab, “Tidakkah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Ubay tadi? Ia menduga bahwa biia kembali ke Madinah, niscaya orang-orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.”Usaid ibnu Hudhair berkata,”Wahai Rasulullah, demi Allah, engkaulah yang akan mengusirnya jika engkau suka, dan dia, demi Allah, adalah orang yang lemah sedangkan engkau adalah orang yang menang.”

 

Rasulullah saw. membawa orang-orang untuk kembali dengan langkah perlahan-lahan sehingga mereka menderita sengatan panas matahari. Setelah dia melihat mereka benar-benar telah kelelahan, dia mengajak mereka beristirahat, dan begitu mereka menyentuh tanah yang teduh, mereka langsung tertidur.

 

Selanjutnya ada beberapa orang dari kelangan sahabat Anshar pergi menemui ‘Abdullah ibnu Ubay dan berbicara kepadanya supaya ia meminta maaf kepada Rasulullah saw. Akan tetapi, ia memalingkan muka dan bersikap sombong, tidak mau meminta maaf. Pada saat itu turunlah kepada Rasulullah saw. surah Al-Munafigun yang isinya membuka kedok ‘Abdullah ibnu Ubay dan teman-temannya serta membenarkan apa yang lelah diucapkan oleh Sahabat Zaid ibnu Argam.

 

Ketika berita tersebut sampai ke telinga ‘ Abdullah ibnu ‘Abdullah ibnu Ubay, ia segera meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk membunuh ayahnya. la melakukan demikian karena khawatir bila Rasulullah saw. menugaskan orang lain untuk melakukan hal tersebut, akibatnya ia akan merasa dendam kepada orang itu. Akan tetapi ternyata Rasulullah saw. memerintahkannya untuk berbuat baik kepada ayahnya, dan Rasulullah saw. tidak memberikan hukuman terhadap ayahnya itu.

 

HADITSUL IFKI (CERITERA BOHONG)

 

Kedua: Peristiwa haditsul ifki lebih berbahaya daripada peristiwa yang pertama, pengaruh yang ditimbulkannya sempat membikin banyak musibah di kalangan kaum Muslimin. Subjek peristiwa itu adalah Siti ‘Aisyah ashShiddigah, istri Rasulullah saw. Ia dituduh oleh mereka telah melakukan perbuatan yang keji bersama Shafwan ibnulMu’aththal as-Sulami. Kisahnya bermula ketika mereka sudah dekat ke kota Madinah, lalu Rasulullah saw. memerintahkan mereka berangkat. Pada saat itu hari telah malam. Sebelum itu Siti ‘Aisyah r.a. telah pergi untuk menunaikan hajat besarnya sehingga ia memisahkan diri dari rombongan pasukan kaum Muslimin. Setelah selesai menunaikan hajatnya, ia kembali ke kendaraannya. Akan tetapi, dalam perjalanan kembali ia meraba dadanya, ternyata kalungnya hilang karena putus. Ia kembali lagi ke tempat ia menunaikan hajatnya untuk mencari kalungnya yang hilang itu sehingga terlambat karena sibuk mencarinya.

 

Kemudian orang-orang yang menaikkan haudaj (sekedup)-nya langsung menaikkannya ke atas punggung unta. Mereka mengira Siti ‘ Aisyah r.a. telah berada di dalamnya. Sedikit pun mereka tidak mempunyai rasa curiga dengan ringannya haudaj yang mereka naikkan sebab pada saat itu kaum wanita tidak ada yang gemuk. Apabila seseorang dari mereka menaiki haudaj lalu dipikul, perbedaan berat haudaj tidak begitu menyolok. Kenyataan ini tidak disangkal oleh seorang pun yang memikul haudaj-nya kala itu, terlebih lagi Siti ‘Aisyah r.a. pada saat itu seorang wanita yang masih sangat muda. Siti ‘Aisyah r.a. kembali kepada rombongannya setelah sekian lama mencari kalungnya dan berhasil menemukannya kembali. Akan tetapi, sesampainya di tempat rombongan, ternyata semuanya telah berangkat, tidak ada seorang pun yang tertinggal di tempat tersebut. Karena terlalu lelah, Siti ‘Aisyah r.a. tertidur dengan pulasnya.

 

Ada seseorang diantara kaum Muslimin yang berjalan jauh di belakang rombongan. Ia pun tertinggal dari rombongan karena mencari miliknya yang hilang. Dia bernama Shafwan ibnul-Mu’aththal. Ketika ia sampai di tempat Siti ‘Aisyah r.a., ia melihat Siti ‘Aisyah r.a. sedang tertidur. Ig segera mengetahui bahwa wanita yang sedang tidur lelap itu Siti ‘Aisyah ra. istri Rasulullah saw., karena ia pernah mengenalnya sebelum ayat hijab diturunkan. Melihat hal itu Shafwan merasa kaget, lalu ia ber-istirja’ (mengucapkan kalimah inna lillahi wa inna ilaihi raji’una) Siti? Aisyah r.a. terbangun ketika mendengarnya, lalu menutupi wajahnya dengan jilbabnya. Kemudian Shafwan merundukkan unta kendaraannya dan menyuruh Siti ‘ Aisyah menaikinya tanpa berkata sepatah kata pun, tetapi hanya dengan isyarat. Setelah itu Shafwan berangkat meneruskan perjalanannya seraya menuntun untanya yang kini dinaiki Siti ‘ Aisyah r.a. hingga mereka dapat menyusul rombongan balatentara yang pada saat itu sedang berhenti untuk istirahat.

 

Sejak saat itu mulai tersebar kedustaan yang di hembuskan oleh orang-orang ahli fitnah, yaitu mereka menuduh Siti ‘Aisyah r.a. dan Shafwan melakukan perbuatan mesum. Orang yang pertama kali mengembuskan kedustaan ini dan sebagai sumbernya gdalah ‘Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul.

 

Tatkala Siti ‘Aisyah sampai di Madinah, ia jatuh sakit selama sebulan, sedangkan orang-orang ramai mempergunjingkan perkataan ahlul ifki (para pembuat berita dusta), padahal ia sendiri tidak menyadari sedikit pun apa yang sedang dipergunjingkan oleh khalayak ramai itu. Sebelumnya Rasulullah saw. selalu bersikap lemah lembut terhadapnya manakala ia sakit, tetapi kali ini Rasulullah saw. tidak berbuat demikian. Bahkan ia hanya lewat di depan pintu Siti ‘Aisyah r.a, dan perkataan yang diucapkannya tidak lebih daripada pertanyaan, “Bagaimana keadaanmu?” Sikap ini membuat gelisah hati Siti ‘Aisyah r.a. Setelah agak ringan penyakitnya, Siti ‘Aisyah r.a. keluar bersama ibu Misthah ibnu Atsatsah. Misthah adalah salah seorang yang ikut terlibat dalam cerita dusta ini. Siti ‘Aisyah keluar di antar oleh ibu Misthah untuk buang hajat besar di luar perkampungan. Di tengah jalan Ummu Misthah tersandung, lalu ia memaki, “Celakalah Misthah (anak lelakinya).” Siti ‘Aisyah r.a. menjawab, “Alangkah buruknya apa yang telah kau katakan itu. Apakah engkau berani mencaci seorang lelaki yang ikut Perang Badar?” Ummu Misthah menjawab,”Wahai saudaraku, tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan?” Siti ‘Aisyah r.a. menanyakan hal tersebut kepadanya. Lalu ia menceritakan semuanya sehingga membuat Siti ‘Aisyah makin bertambah parah sakitnya.

 

Tatkala Rasulullah saw. mendatanginya seperti biasa, Siti ‘Aisyah r.a. meminta izin kepadanya untuk tinggal di rumah ayahnya selama sakit. Rasulullah saw. mengizinkan. Sesampai di rumahnya, Siti ‘Aisyah r.a. bertanya kepada ibunya mengenai apa yang sedang dipergunjingkan orang banyak. Ibu Siti ‘Aisyah berkata,”Wahai anakku, sabarlah engkau. Dem Allah, jarang sekali wanita yang menjadi istri seorang lelaki yang mem. punyai banyak istri lain, kemudian ia sangat mencintainya, yang tidak banyak dibicarakan orang.” Siti ‘Aisyah r.a. berkata, “Mahasuci Allah, apakah memang benar orang-orang membicarakan hal ini” Pada malam itu hingga pagi harinya Siti ‘Aisyah r.a. terus-menerus menangis dan sekejap pun tidak dapat tidur sehingga terasa air matanya habis tercurahkan.

 

Pada masa-masa tersebut Rasulullah saw. bermusyawarah dengan orang-orang dewasa dari kalangan keluarganya tentang apa yang harus di lakukannya dalam menghadapi masalah ini. Usamah ibnu Zaid yang merasa yakin akan kesucian dan kebersihan diri Siti ‘Aisyah berkata kepada Rasulullah saw., “Peganglah keluarga engkau, peganglah keluarga engkau. Kami tidak mengetahui mereka selain kebaikan belaka.” Akan tetapi, lain halnya dengan Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib. Ia mengatakan,”Allah tidak mempersempit engkau. Wanita selain dia masih banyak. Tanyakanlah kepada sahaya perempuannya, niscaya ia akan berkata yang sebenarnya.”Maka Rasulullah saw, memanggil Burairah, sahaya perempuan Siti ‘Aisyah, lalu bertanya kepadanya, “Apakah engkau melihat sesuatu yang meragukan (terhadap dirinya)?” Burairah menjawab, “Demi Zat Yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku belum pernah melihatnya melakukan sesuatu pun, kemudian aku memejamkan mata daripadanya. Hanya saja dia (Siti ‘Aisyah) adalah gadis yang masih remaja. Ia tertidur melupakan rotinya, lalu datanglah burung yang kemudian langsung memakan rotinya.”

 

Pada hari itu Rasulullah saw. berdiri, lalu menaiki mimbar sementara kaum Muslimin sedang berkumpul. Kemudian Rasulullah saw. berkhotbah kepada mereka,”Siapakah yang memaafkan aku terhadap seorang lelaki yang telah berani menyakiti hatiku sehingga menyinggung perihal keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui keluargaku selain yang baik-baik saja. Akan tetapi, sungguh mereka telah memperbincangkan seorang lelaki yang aku ketahui dia hanyalah orang yang baik-baik, trada sekali-kali ia menemui keluargaku kecuali bersamaku.” Sahabat Sa’d ibnu Mu’adz berkata, “Akulah yang memaafkan engkau daripadanya. Maka apabila ternyata ia adalah seseorang dari kabilah Aus (kabilahnya sendiri), niscaya aku penggal kepalanya. Apabila ternyata ja adalah dari saudara-saudara kami dari kalangan kabilah Khazraj, lalu engkau memerintahkan kepada kami (untuk menghukumnya), niscaya akan kami lakukan perintah engkau itu.” Pada saat itu juga berdirilah Sahabat Sa’d ibnu ‘Ubadah dari kabilah Khazraj seraya berkata,””Engkau dusta, demi Allah, niscaya engkau tidak akan membunuh dan tidak akan mampu membunuhnya. Seandainya dia dari golongan engkau sendiri, niscaya engkau tidak senang bila ia dibunuh.” Maka Usaid ibnu Hudhair berkata kepada Sa’d ibnu ‘Ubadah, Engkau dusta, demi Allah, kami niscaya akan membunuhnya. Sesungguhaya engkau ini adalah orang munafik, dan engkau mendebat orang-orang munafik pula.”

 

Fitnah hampir menyala di antara kabilah Aus dan Khazraj seandainya Rasulullah saw. tidak segera turun dari mimbar, lalu melerai mereka sehingga mereka menjadi tenang kembali. Adapun Siti ‘Aisyah, selama dua malam ia tiada hentinya menangis dan tidak tidur sama sekali. Pada suatu ketika, sewaktu ia bersama kedua orang tuanya, tiba-tiba masuklah Nabi saw. seraya berucap salam, kemudian ikut duduk bersama mereka. Nabi saw. berkata, Amma ba’du, hai ‘Aisyah. Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku mengenai dirimu bahwa kamu melakukan demikian dan demikian. Seandainya kamu memang tidak bersalah, niscaya Allah akan membersihkanmu. Bilamana kamu telah melakukan suatu dosa, mohonlah ampunan kepada Allah, dan bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya seorang hamba itu apabila mengakui perbuatan dosanya, kemudian bertobat, maka Allah pasti akan mengampuninya.” Ketika itu berhentilah air mata Siti ‘Aisyah, lalu ia berkata kepada kedua orang tuanya, “Jawablah Rasulullah oleh kalian berdua.” Tetapi kedua orang tuanya menjawab, “Demi Allah, kami tidak mengetahui apa yang akan kami katakan.”Maka Siti ‘Aisyah r.a. berkata,” Sesungguhnya aku, demi Allah, telah mengetahui bahwa engkau telah mendengar berita tersebut sehingga engkau terpengaruh olehnya dan mau mempercayainya. Seandainya aku katakan kepada engkau bahwa aku tidak bersalah, niscaya engkau tidak akan mempercayaiku. Seandainya aku mengakui kepada engkau bahwa aku telah melakukan suatu perkara, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah, niscaya engkau percaya kepadaku. Demi Allah, aku tidak menemukan guatu perumpamaan yang kukatakan kepada engkau kecuali sebagaimana ayah Nabi Yusuf ketika ia mengatakan:

 

Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan.” (Q.S. 12 Yusuf: 18)

 

Kemudian Siti ‘Aisyah berpaling dan langsung merebahkan diri di peraduannya, sedangkan Rasulullah saw. sendiri tidak lagi menetapi majelisnya sehingga turun kepadanya ayat-ayat surah An-Nur yang menyatakan kesucian Siti ‘Aisyah r.a. melalui firman-Nya:

 

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, bahkan ia adalah baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar. Mengapa pada waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin uan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata,” Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang: orang yang dusta. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua di dunia dan di akhirat, niscaya kalian ditimpa azab yang besar karena pembicaraan kalian tentang berita bohong itu. (Ingatlah) pada waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikit pun, dan kalian menganggapnya sesuatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kalian fidak berkata pada waktu mendengar berita bohong itu, “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Mahasuci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” Allah memperingatkan kalian agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya jika kalian orang-orang yang beriman, dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang (niscaya kalian akan ditimpa azab yang besar). Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.5. 24 AnNur: 11-21)

 

Wahyu itu membuat Rasulullah sangat senang. Dia tertawa dengan muka berseri-seri, lalu segera memberitahukan berita gembira ini kepada Siti ‘Aisyah r.a. bahwa dirinya bersih. Maka Siti ‘Aisyah ditegur oleh ibunya, “Berdirilah dan berterima kasihlah kepada Rasulullah.” Kemudian Siti ‘Aisyah menjawab,“ Tidak, demi Allah, aku tidak akan berterima kasih selain kepada Allah yang telah menurunkan (wahyu) kebersihanku.” Sesudah itu Rasulullah saw. memerintahkan supaya orang-orang yang terang-terangan menyebabkan berita bohong ini didera sebanyak delapan puluh kali, yaitu sebagai hadd menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti yang dibenarkan. Mereka yang terkena hukuman ini sebanyak tiga orang, yaitu Hamnah binti Jahsy, Misthah ibnu Atsatsah, dan Hissan ibnu Tsabit. Sebelum peristiwa ini, Sahabat Abu Bakar selalu memberikan nafkah penghidupan kepada Misthah ibnu Atsatsah karena Misthah masih kerabatnya, tetapi miskin. Setelah Misthah ikut terlibat di dalam peristiwa berita bohong ini, Sahabat Abu Bakar memutuskan nafkahnya. Maka turunlah firman Allah swt. mencelanya :

 

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapang. an di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (-nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. 24 An-Nur: 22)

 

Sahabat Abu Bakar berkata,”Tentu saja kami mencintai hal tersebut (ampunan Allah), wahai Rasulullah.”Lalu Sahabat Abu Bakar mengembalikan nafkahnya kepada Misthah.

 

Itulah bahaya yang ditimbulkan oleh orang-orang munafik, yaitu mereka menyusup ke dalam tubuh umat, lalu menampakkan kepada mereka kesetiaannya, padahal hati mereka penuh dengan kedengkian dan selalu mencari-cari kesempatan untuk melancarkan hasutan: Apabila melihat adanya celah-celah kerapuhan, mereka segera memasukinya. Kami berlindung kepada Allah dari orang-orang semacam itu.

 

PERANG KHANDAQ

 

Para pembesar Bani Nadhir masih belum merasa puas sesudah mereka diusir dari tempat tinggalnya yang kini diduduki oleh kaum Muslimin. Bahkan di dalam jiwa mereka masih tersimpan dendam kesumat, dan mereka masih tetap ingin dapat merebut kembali tanah tempat tinggal mereka dari tangan kaum Muslimin. Maka segolongan dari mereka berangkat ke Makkah untuk menemui para pemimpin kabilah Quraisy. Sesampainya di Makkah mereka bertemu dengan para pemimpin kabilah Quraisy dan menganjurkan mereka supaya memerangi Rasulullah saw. Mereka bersedia membantu orang-orang Quraisy dalam hal ini dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Ternyata permintaan orang Bani Nadhir ini mendapat sambutan hangat dari kabilah Quraisy. Kemudian orang Bani Nadhir mendatangi kabilah Ghathafan dan menganjurkan kaum lelakinya untuk memerangi Rasulullah, lalu mereka memberitahukan bahwa orang-orang Quraisy telah bersedia berperang bersama mereka. Permintaan mereka mendapat sambutan yang hangat pula dari orang Ghathafan ini.

 

Orang Quraisy mempersiapkan balatentaranya yang langsung dipimpin oleh Abu Sufyan sendiri. Sebagai pemegang panji peperangan ialah Utsman ibnu Thalhah ibnu Abu Thalhah al-‘Abdari. Jumlah mereka empat ribu orang. Bersama mereka terdapat tiga ratus tentara berkuda dan seribu tentara berunta. Orang-orang Ghathafan mempersiapkan puls palatentaranya yang dipimpin oleh ‘Uyaynah ibnu Hishn. ‘Uyaynah ibnu dishn ini, seperti pada penjelasan yang lalu, pernah mendapat kebaikan dari Rasulullah saw., tetapi ternyata kini ia membalas kebaikan Rasulullah dengan kekufuran. Dahulu Rasulullah saw. pernah memberikan kepadanya sebidang tanah untuk gembalaan ternaknya, dan setelah ternaknya subur dan gemuk-gemuk serta bertambah banyak, kini ia memimpin palatentaranya untuk memerangi orang yang pernah berbuat baik terhadapnya, air susu dibalas dengan air tuba. “Uyaynah pada saat itu membawa seribu orang tentara berkuda.

 

Bani Murrah ikut pula ambil bagian dalam penyerbuan ini. Mereka mempersiapkan balatentaranya yang berjumlah empat ratus orang di bawah pimpinan Al-Harits ibnu ‘Auf al-Murri. Bani Asyja’ telah mempersiapkan balatentaranya pula di bawah pimpinan Abu Mas’ud ibnu Rakhilah. Bani Salim tidak ketinggalan, mereka mempersiapkan balatentaranya di bawah pimpinan Sufyan ibnu ‘Abdusy-Syams, Jumlah mereka tujuh ratus orang. Bani-Asad pun telah mempersiapkan pula balatentaranya di bawah pimpinan Thulainah ibnu Khuwailid al-Asadi sehingga jumlah mereka seluruhnya ada sepuluh ribu tentara, yang semuanya berada di bawah komando tertinggi Abu Sufyan.

 

Setelah berita tentang persiapan tentara musuh yang akan menyerang kaum Muslimin ini sampai ke telinga Rasulullah saw. ia segera bermusyawarah dengan para sahabat tentang apa yang harus dilakukan oleh kaum Muslimin dalam menghadapi mereka: apakah tetap berada di Madinah atau keluar untuk menghadapi tentara musuh yang begitu banyak jumlahnya itu? Sahabat Salman al-Farisi mengusulkan kepada Rasulullah saw. supaya membuat parit. Pekerjaan ini belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka. Rasulullah saw. memerintahkan kaum Muslimin supaya membuat parit itu, lalu mereka mulai menggali parit di sebelah utara kota Madinah, mulai dari arah timur sampai ke arah barat, sebab arah inilah yang tidak terbentengi karena berada di belakang kota Madinah. Adapun batas-batas kota Madinah yang lin semuanya terbentengi oleh rumah-rumah dan pohon-pohon kurma, sehingga tidak mungkin bagi musuh mengadakan penyerangan dari arah itu. :

 

Kaum Muslimin melakukan kerja berat yang amat melelahkan dalam Upaya menggali parit ini karena keadaan penghidupan mereka masih tederhana sekali sehingga tidak mudah bagi mereka untuk melakukan tekerjaan seberat itu. Rasulullah saw. sendiri ikut terjun bersama mereka mengerjakan pekerjaan ini sehingga disebutkan bahwa dia ikut memindah. kan tanah seraya mengumandangkan syair yang telah dikatakan oleh Ibnu Rawwahah, yaitu :

 

Ya Allah, seandainya tiada Engkau kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak akan dapat menunaikan zakat, dan tidak akan pula melakukan salat. Kami mohon dengan sangat turunkanlah ketenangan di hati kami dan teguhkanlah hati kami di kala menghadapi musuh. Orang-orang musyrik telah melampaui batas terhadap kami, bilamana mereka menghendaki fitnah (peperangan) maka kami mempertahankan diri.

 

Kemudian tentara kaum Muslimin bermarkas di sebelah utara kota Ma. dinah sedangkan bagian belakang mereka terlindungi oleh Bukit Sila” yang letaknya memanjang di kota Madinah, jumlah mereka semua hanya tiga ribu orang tentara. Panji peperangan kaum Muhajirin pada saat itu berada di tangan Zaid ibnu Haritsah, sedangkan panji peperangan orang-orang Anshar dipegang oleh Sa’d ibnu ‘Ubadah. Balatentara orang Quraisy, bermarkas di tempat yang paling rendah, sedangkan orang Ghathafan bermarkas di arah Bukit Uhud. Orang-orang musyrik sangat kagum terhadap benteng yang memakai parit itu karena orang-orang Arab sebelum itu tidak mengenalnya sehingga peperangan di antara mereka dengan kaum Muslimin dilakukan dengan saling memanah.

 

Tatkala perang panah telah berlangsung cukup lama, ada segolongan tentara kaum musyrikin yang merasa bosan. Akhirnya sebagian pasukan berkuda mereka melompati parit, lalu berhadap-hadapan dengan kaum Muslimin. Di antara mereka yang melakukan hal tersebut ialah ‘Ikrimah ibnu Abu Jahal dan ‘Amr ibnu Wudd. Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib r.a. menghadapi ‘Amr ibnu Wudd dan dapat membunuhnya, sedangkan teman-temannya lari ketakutan. Pada saat itu jatuh ke parit Naufal ibnu ‘Abdullah sehingga lehernya patah, dan Sahabat Sa’d ibnu Mw’adz r.a. terkena panah musuh sehingga urat lengannya terputus. Perang campuh dan perang panah ini berlangsung sehari penuh sehingga kaum Muslimin tidak sempat melakukan salat pada hari itu, kemudian mereka menggadha-nya.

 

Rasulullah saw. memerintahkan supaya parit dijaga pada malam hari. Untuk itu Rasulullah saw. menentukan orang-orang yang menjaganya supaya musuh jangan sampai menyerbu pada malam hari. Rasulullah saw. sendiri ikut berjaga pada salah satu pos sekalipun malam sangat dingin. Ia selalu menyampaikan berita gembira kepada sahabat-sahabatnya, bahwa mereka pasti akan mendapat pertolongan dan kemenangan, dan ia menjanjikan kebaikan (ghanimah) kepada mereka. Adapun orang-orang munafik mulai menampakkan apa yang terpendam selama ini dalam hati mereka setelah melihat keadaan yang sangat kritis ini sehingga mereka mengatakan seperti yang diwahyukan oleh firman-Nya:

 

Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami selain tipu daya. (Q.S. 33 Al-Ahzab: 12)

 

Lalu mereka mengundurkan diri seraya mengatakan bahwa rumah-rumah mereka terbuka, mereka khawatir bila musuh menyerangnya. Perkataan mereka itu diungkapkan oleh firman-Nya :

 

Rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari. (Q.S. 33 Al-Ahzab:13)

 

Keadaan yang sangat berat dirasakan oleh kaum Muslimin karena pengepungan ini dibarengi pula dengan kehidupan yang makin menghimpit orang-orang miskin Madinah. Hal yang dirasakan menambah berat keadaan kaum Muslimin ialah adanya berita yang sampai kepada mereka bahwa orang Yahudi yang hidup bersama mereka di kota Madinah kini bersiap-siap untuk merusak perjanjiannya dengan kaum Muslimin. Hal itu bermula ketika Huyay ibnu Akhthab, pemimpin Bani Nadhir yang telah terusir bersama kaumnya, datang menemui Ka’b ibnu As’ad al-Gurazhi, pemimpin Bani Quraizhah.Ia menghasut supaya mau merusak perjanjian dengan kaum muslimin. Ia terus-menerus membujuk sehingga Ka’b mau memerangi kaum Muslimin.

 

Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah saw. dia mengirimkan Maslamah ibnu Aslam bersama dua ratus orang tentara, dan Zaid ibnu Haritsah bersama dengan tiga ratus tentara guna menjaga kota Madinah karena dia khawatir terhadap kaum wanita dan anak-anak. Rasulullah pun mengirimkan Az-Zubair ibnul–Awwam untuk mengecek kebenaran berita itu, kemudian ia melaporkan hal itu kepadanya. Tatkala Az-Zubair sampai kepada orang-orang Bani Quraizhah, ia menjumpai mereka dalam keadaan berang dan marah. Pada muka mereka tampak ada maksud-maksud jahat, kemudian dihadapannya mereka menghina Rasulullah saw.

 

Sahabat Zubair ibnul-‘Awwam segera kembali kepada Rasulullah dan Menceritakan apa yang telah dilihat dan dialaminya. Hati kaum Muslimin nulai merasa ngeri dan guncang setelah mendengar berita tersebut karena musuh datang menyerang mereka dari atas dan dari bawah mereka, Penglihatan kaum Muslimin tidak tetap lagi karena kaget, dan hati mereka menyesak naik ke tenggorokan. Mereka mulai menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Orang-orang munafik mulai ang. kat bicara menurut kehendak hati mereka. Pada saat itu Rasulullah saw, bermaksud mengirimkan utusan kepada ‘Uyaynah ibnu Hishn untuk menyampaikan pesannya bahwa ia mau berdamai dan bersedia memberi. kan kepada ‘Uyaynah sepertiga dari hasil kurma Madinah dengan syarat ia menarik pasukannya. Akan tetapi, orang Anshar menolak usul itu seraya mengatakan bahwa orang Ghathafan belum pernah memperoleh sedikit pun dari kurma mereka sewaktu mereka masih kafir. Apakah setelah mereka Islam, orang Ghathafan diperbolehkan merasakannya bersama mereka?

 

Apabila Allah swt. berkehendak untuk menolong suatu kaum, maka Dia telah mempersiapkan untuk mereka sarana-sarana yang membuat mereka dapat menang tanpa sepengetahuan mereka. Pada saat itu muncullah Nu’aim ibnu Mas’ud al-Asyja’i dari Ghathafan, teman orang Quraisy dan orang Yahudi. Ia berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah masuk Islam, sedangkan kaumku masih belum mengetahui keislamanku. Maka perintahkanlah aku sehingga aku dapat membantu.” Rasulullah saw. berkata, “Engkau hanya seorang diri. Apakah yang dapat engkau perbuat? Sekalipun demikian, buatlah semampu engkau supaya musuh kalah karena sesungguhnya perang itu adalah tipu muslihat.”

 

TIPU MUSLJHAT DALAM PERANG

 

Nu’aim pergi dari hadapan Rasul dan langsung menuju orang Bani Quraizhah yang telah merusak perjanjiannya dengan kaum Muslimin. Tatkala orang Bani Quraizhah melihat kedatangannya, mereka memuliakan nya karena mengingat persahabatan yang terjalin di antara mereka dengan dia. Nu’aim langsung berkata, “Hai Bani Quraizhah, kalian tentu sudah mengetahui tentang persahabatanku dengan kalian dan kekhawatiranku .atas diri kalian. Sesungguhnya sekarang aku akan bercerita kepada kalian, tetapi kumohon supaya kalian menyembunyikannya. “Mereka menjawab, “Ya.” Nu’aim berkata kepada mereka, “Kalian tentu sudah menyaksikan sendiri apa yang menimpa orang Bani Gainuga’ dan Bani Nadhir. Mereka telah diusir dan harta benda serta rumah-rumah mereka telah diambil alih. Akan tetapi, orang Quraiay dan orang Ghathafan tidaklah seperti kajian. Bilamana mereka melihat ada kesempatan mereka segera menggunakannya, dan apabila tidak, maka mereka kembali ke negeri mereka ma sing-masing. Adapun kalian tetap hidup bersama lelaki itu, Rasulullah, sedangkan kalian sendiri tidak akan mampu memeranginya. Untuk itu aku sarankan kepada kalian sebaiknya jangan ikut campur dalam perang ini kecuali jika kalian telah yakin mendapat jaminan dari orang Quraisy dan orang Ghathafan bahwa mereka tidak akan meninggalkan kalian begitu saja sesudahnya. Sebagai jaminan, hendaknya kalian mengambil sebanyak tujuh puluh orang yang terhormat dari kalangan mereka untuk tetap bersama kalian.” Ternyata mereka menganggap baik usul yang diajukan oleh Nu’aim, dan mereka mau menerimanya. Kemudian Nu’aim meninggalkan mereka dan langsung menuju kepada orang Quraisy, lalu berkumpul dengan para pemimpinya. Ia mengatakan kepada mereka, “Kalian tentu sudah mengetahui kecintaanku terhadap kalian, dan sekarang sungguh aku akan membicarakan sesuatu yang penting dengan kalian. Kami berharap supaya kalian mau menyembunyikannya, dan janganlah kalian membocorkan bahwa kami telah mengatakannya kepada kalian.” Mereka menjawab,”Kami bersedia melakukannya.” Lalu Nu’aim berkata, “Sesungguhnya orang Bani Quraizhah telah menyesali apa yang telah mereka lakukan terhadap Muhammad, dan kini mereka khawatir kalau-kalau kalian meninggalkan dan membiarkan mereka berhadapan dengan Muhammad. Mereka berpesan kepadaku, bagaimana jika aku usulkan kepada kalian agar mereka mengambil segolongan dari orang-orang terhormat kalian supaya kerapuhan yang telah dialami mereka (Bani Nadhir) dapat terobati. Ternyata sebagian besar dari mereka setuju dengan usul tersebut. Nah, sekarang mereka akan mengirimkan utusannya untuk menemui kalian. Maka hati-hatilah jangan sampai kalian menyebutkan sesuatu pun dari apa yang telah aku katakan kepada kalian sekarang ini.”

 

Kemudian Nu’aim pergi menemui orang Ghathafan dan mengatakan kepada mereka seperti apa yang telah di katakannya kepada orang Quraisy. Abu Sufyan mengirimkan utusannya kepada orang Yahudi Bani Quraizhah untuk mengajak mereka ikut berperang besok. Akan tetapi orang-orang Bani Quraizhah menjawab, “Sesungguhnya kami tidak dapat melakukan peperangan pada hari Sabtu (utusan itu dikirimkan pada malam Sabtunya). Apa-apa yang telah menimpa kami tiada lain karena kami melakukan pelanggaran pada hari Sabtu. Selain itu kami tetap tidak mau ikut berperang sebelum kalian memberikan kepada kami sandera yang terdiri dari orang-orang kalian agar kalian tidak meninggalkan kami sendirian lalu pergi ke negeri kalian seenak sendiri.” Nyatakanlah kini bagi orang Quraisy dan Ghathafan bahwa apa yang telah dikatakan oleh Nu’aim tadi benar. Karena pengaruh tipu muslihat Nu’aim, kini mereka menjadi saling mencurigai dan hati mereka menjadi khawatir.

 

Adapun Rasulullah saw. selalu ber-ibtihal kepada Allah Yang tiada tempat berlindung selain pada-Nya. Pada saat itu Rasulullah saw. selalu mengucapkan doa berikut ini :

 

Ya Allah, Engkau Yang telah menurunkan Al-Kitab lagi sangat cepat perhitungan-Nya, kalahkanlah golongan-golongan itu, ya Allah, kalahkanlah mereka, dan tolonglah kami dalam menghadapi mereka. Allah swt. mengabulkan doa Rasulullah sawdia mengirimkan kepada musuh-musuh Rasulullah saw. angin yang sangat dingin pada malam yang sangat gelap gulita. Akhirnya orang Arab merasa khawatir kalau-kalau orang Yahudi bersepakat dengan kaum Muslimin, lalu menyerang mereka pada malam yang gelap itu. Akhirnya mereka sepakat untuk berangkat sebelum pagi hari.

 

Tatkala Rasulullah saw.mendengar suara gaduh di pihak musuh, dia berkata kepada para sahabat,” pasti sedang terjadi sesuatu. Siapakah di antara kalian yang mau melihat keadaan musuh demi kita bersama?” Para sahabat diam semuanya sehingga Rasulullah saw. mengulang-ulang perkataannya tiga kali. Di antara para sahabat itu terdapat Hudzifah ibnulYaman. Lalu Rasulullah saw. bersabda,”Engkau telah mendengar perkataanku sejak tadi, tetapi mengapa engkau tidak mau menyahut?” Hudzifah ibnul-Yaman berkata, “Wahai Rasulullah, malam ini dingin sekali. “Rasulullah saw. kembali berkata, “Pergilah engkau demi keperluan Rasulullah, dan lihatlah keadaan musuh demi kepentingan kita bersama! “Akhirnya Hudzifah ibnul-Yaman memberanikan diri memikul tugas itu demi berkhidmat kepada Nabinya sehingga ia dapat melihat keadaan musuh yang sebenarnya. Ternyata ia melihat bahwa musuh telah bersiap-siap untuk berangkat.

 

TERPUKULNYA GOLONGAN YANG BERSEKUTU

 

Kekhawatiran mereka dapat digambarkan melalui apa yang dikatakan oleh pemimpin mereka, Abu Sufyan. Ia mengatakan, “Hendaknya setiap orang di antara kalian mengenal baik-baik temannya, dan hendaknya ia berpegang tangan dengan temannya karena saya khawatir musuh akan menyusup di antara kalian. “Abu Sufyan telah melepaskan pengikat tambatan kendaraannya dengan maksud akan berangkat, tetapi Shafwan ibnu Uma yah berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau adalah pemimpin ibnv ym, maka janganlah engkau meninggalkan mereka begitu saja, kemudiar pergi sendiri. “Lalu Abu Sufyan turun dari kendaraannya dan menyerukan kepada semuanya untuk segera berangkat. Akan tetapi, ia menugaskan Khalid ibnul-Walid bersama sepasukan tentara supaya menjaga bagian belakang orang-orang yang berangkat agar kaum Muslimin tidak menyerang mereka dari belakang.

 

Allah swt. telah melenyapkan dari kaum Muslimin kesusahan ini, yaitu dari ulah golongan yang bersekutu yang terdiri dari orang-orang Arab musyrik dan orang-orang Yahudi. Seandainya tidak ada kasih sayang dari Allah dan pertolongan-Nya sebagai anugerah dan kemurahan daripadaNya kepada kaum Muslimin, niscaya keadaan itu akan berakibat buruk terhadap kaum Muslimin. Terusirnya golongan-golongan yang bersekutu itu pada bulan Zulkaedah, dan memang tepat sekali bila dinamakan sebagai nikmat sebagaimana yang diungkapkan Allah swt. melalui firman-Nya :

 

Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepada kalian ketika datang kepada kalian tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kalian melihatnya. Dan Allah maha melihat akan apa yang kalian kerjakan. (Yaitu) ketika mereka datang kepada kalian dari atas dan dari bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian). dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan, dan kalian menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan yang hebat. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami selain tipu daya.” Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: “Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian, maka kembalilah ka. lian. “Dan sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk kem. bali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)” Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari. (Q.S. 33 Al-Ahzab: 9-13)

 

PERANG BANI OURAIZHAH

 

Ketika Rasulullah saw. kembali bersama para sahabat, dia bermaksud untuk menanggalkan baju perangnya. Lalu datanglah perintah dari Allah swt. supaya ia meneruskan perjalanan menuju ke Bani Quraizhah. Maksudnya supaya tanah tempat tinggal Rasulullah saw. bersih dari kaum yang perjanjiannya tidak ada manfaatnya lagi dan kepercayaan sudah tidak berguna lagi terhadap mereka. Keadaan kaum Muslimin selalu terancam bahaya bila hidup berdampingan dengan mereka, terlebih lagi pada saat-saat kritis. Rasulullah saw. berkata kepada para sahabat, “Janganlah seseorang di antara kalian melakukan salat asar selain di Bani Quraizhah.” Lalu mereka berjalan dengan cepat yang diikuti oleh Rasulullah saw. seraya menunggang keledainya. Panji peperangan pada waktu itu dipegang oleh Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib, dan yang menjadi penggantinya untuk mengurus kota Madinah adalah ‘Abdullah ibnu Ummi Maktum. Jumlah tentara kaum Muslimin pada saat itu tiga ribu orang.

 

Segolongan di antara sahabat, ketika datang waktu salat asar, menunaikan salat asar di tengah jalan. Mereka melakukan demikian karena memahami perintah Rasulullah saw. yang menyuruh mereka tidak melakukan salat asar sebagai perintah untuk berjalan cepat. Sedangkan para sahabat yang lain tidak melakukan salat asar sebelum sampai di Bani Guraizhah ketika waktu salat asar sudah lewat. Golongan yang kedua ini memahami perintah Rasulullah saw. secara harfiah. Sekalipun demikian, Rasulullah saw. tidak mencegah kedua kelompok tersebut melakukan ijtihad masingmasing.

 

Tatkala orang Bani Quraizhah melihat kedatangan tentara kaum Muslimin, Allah swt. membuat hati mereka menjadi takut dan ngeri terhadap kaum Muslimin. Di dalam hati mereka muncul keinginan untuk membersihkan diri mereka dari kelakuan yang buruk itu, yaitu berbuat khianat terhadap orang-orang yang terikat perjanjian dengan mereka. Hal itu dilakukan mereka sewaktu kaum Muslimin sedang sibuk-sibuknya menzhadapi musuh dari luar. Akan tetapi, mana mungkin hal tersebut dapat mereka lakukan karena kaum Muslimin telah mempunyai bukti yang kuat tentang pengkhianatan mereka. Tatkala mereka melihat kenyataan itu, mereka berlindung di dalam benteng mereka, sedangkan kaum Muslimin mengepung mereka selama dua puluh lima hari. Manakala mereka tidak dapat mengelak lagi dari peperangan, dan apabila mereka masih tetap dalam keadaan demikian, niscaya mereka akan mati kelaparan. Lalu mereka meminta kepada kaum Muslimin supaya mereka diperlakukan sebagaimana kaum Muslimin memperlakukan Bani Nadhir, yaitu mengusirnya tanpa membawa harta benda selain senjata mereka. Akan tetapi, usul mereka itu ditolak oleh Rasulullah saw. Kemudian mereka meminta kepada Rasulullah saw. supaya ia memperbolehkan mereka meninggalkan tempat tersebut tanpa senjata. Ternyata usul ini ditolak pula, bahkan dia mengatakan bahwa mereka harus menyerah dan harus rela menerima hukuman yang akan ditimpakan kepada mereka, apakah hukuman baik atau buruk. Lalu mereka berkata kepada Rasulullah, “Kalau demikian, kirimkanlah kepada kami Abu Lubabah. Kami akan bermusyawarah dengannya.” Abu Lubabah adalah seorang dari kabilah Aus, sekutu Bani Quraizhah, dan ternyata ia memiliki anak-anak yang hidup di antara mereka, demikian pula harta benda.

 

Ketika Abu Lubabah datang kepada mereka, lalu mereka meminta pendapatnya tentang menyerahkan diri kepada hukum yang akan ditentukan oleh Rasulullah saw. Akan tetapi, Abu Lubabah justru berkata kepada mereka, “Pasrahkanlah diri kalian!” seraya mengisyaratkan tangannya ke tenggorokan, maksudnya bahwa hukumnya adalah disembelih. Lalu Abu Lubabah bercerita, “Sebelum aku meninggalkan tempatku, aku telah sadar bahwa diriku telah berbuat khianat kepada Allah dan RasulNya.” Abu Lubabah mengundurkan diri dari hadapan mereka dan berangkat menuju Madinah karena ia malu bertemu dengan Rasulullah. Lalu ia mengikatkan dirinya pada salah satu tiang Masjid Madinah sehingga Allah swt. memutuskan perihal yang menyangkut dirinya.

 

Ketika Rasulullah saw. menanyakan tentang Abu Lubabah, diceritakan kepadanya apa yang telah diperbuatnya. Lalu Rasulullah saw. berkata, “Mengapa ia tidak datang saja kepadaku? Seandainya ia datang kepadaku, niscaya aku akan mengampuninya. Akan tetapi, sekarang segalanya telah terlanjur, maka kami biarkan dia sehingga Allah memutuskan perihal dirinya.”

 

Ketika Bani Quraizhah melihat bahwa tidak ada jalan lain di hadapan mereka kecuali mengikuti apa yang diputuskan oleh Rasulullah saw., maka mereka melakukan hal tersebut. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan balatentaranya supaya bersiaga, tetapi tiba-tiba datanglah kepadanya orang-orang dari kabilah Aus. Mereka meminta kepada Rasulullah saw. supaya ia memperlakukan mereka sama dengan apa yang pernah di lakukannya ter. hadap Bani Qainuga’, sekutu saudara-saudara mereka, kabilah Khazraj. Lalu Rasulullah saw. berkata kepada semua orang Aug, “Tidakkah kalian rela jika seseorang dari kalian memutuskan tentang nasib mereka?” Mere. ka menjawab, “Ya.” Akhirnya Rasulullah saw. memilih pemimpin mereka, yaitu Sa’d ibnu Mu’adz, yang pada saat itu dalam keadaan terluka oleh panah yang mengenai tangannya. Ia berada di dalam sebuah kemah di dalam masjid yang telah disediakan buat mengobati orang-orang yang terluka. Rasulullah saw. mengutus orang-orang yang menjemputnya, lalu mereka menaikkannya ke atas keledai Rasulullah saw. Kemudian segolongan orang Aus mengelilinginya seraya berkata kepadanya, ““Baik-baiklah terhadap teman-temanmu. Ingat, tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan Ibnu Ubay terhadap teman-temannya” Maka Sa’d berkata, “Sungguh sekarang sudah tiba saatnya bagi Sa’d untuk memutuskan perkara, demi Allah tanpa menghiraukan celaan orang-orang yang mencela.” Ketika Sa’d datang menghadap kepada Rasulullah saw. yang pada waktu itu sedang duduk bersama semua sahabat, Rasulullah saw. berkata, “Berdirilah kalian untuk menyambut pemimpin kalian, dan turunkanlah dia.” Mereka segera melaksanakan perintah Rasulullah saw. dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah telah mempercayakan kepadamu untuk memutuskan perkara teman-temanmu itu.” Kemudian Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Hai Sa’d, berikanlah keputusan kepada mereka!” Maka Sa’d menoleh ke arah yang tidak ada Rasulullah saw., lalu berkata kepada mereka, “Kalian harus menepati janji Allah dan kepercayaan-Nya dan keputusannya nanti seperti apa yang aku putuskan. “Mereka menjawab, “Ya.” Selanjutnya Sa’d menoleh ke arah Rasulullah saw. seraya mengatakan, “Demikian pula terhadapjorang-orang vang berada di pihak ini.” Ia mengatakannya seraya menundukkan pandangan mata karena menghargai Rasulullah. Rasulullah menjawab, “Ya.” Selanjutnya Sa’d berkata, “Sesungguhnya aku memutuskan supaya kalian membunuh kaum lelakinya dan menawan kaum perempuan dan anak-anak.” Rasulullah saw. berkata, “Sungguh engkau telah memberikan keputusan terhadap mereka dengan keputusan Allah, hai Sa’d.” Memang yang pantas adalah demikian sebagai pembalasan buat pengkhianat dan tukang ingkar janji.

 

Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan agar keputusan tersebut dilaksanakan terhadap mereka. Akhirnya kaum Muslimin menang dan dapat mengumpulkan banyak ghanimah. Jumlah ghanimah yang berhasil diambil oleh kaum Muslimin pada saat itu ialah seribu lima ratus bilah pedang, tiga ratus buah baju besi, dua ribu batang tombak, serta lima ratus buah perisai dan senjata lainnya. Di samping itu Rasulullah saw. banyak memperoleh ghanimah lainnya berupa perabot dan wadah-wadah berharga, unta, dan kambing. Rasulullah saw. mengambil seperlima dari keseluruhannya berikut kurma dan tawanan. Pasukan berjalan kaki mendapat sepertiga bagian dari pasukan berkuda, dan Rasulullah memberi bagian pula dari ghanimah tersebut kepada kaum wanita yang merawat orangorang yang terluka. Rasulullah saw. menemukan di antara ghanimah tersebut gentong-gentong yang berisi khamar, lalu ditumpahkannya semuanya.

 

Sesudah peristiwa itu, luka Sahabat Sa’d pecah, sampai membawa kepada kematiannya. Kedudukan Sahabat Sa’d ibnu Mu’adz dari kalangan Anshar di sisi Rasulullah saw. bagaikan kedudukan Sahabat Abu Bakar dari kalangan Muhajirin. Ia mempunyai tekad dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam semua peperangan yang mendahului Perang Khandag. Rasulullah saw. sangat mencintainya sehingga ia memberikan berita gembira kepadanya bahwa ia masuk surga sebagai imbalan atas amal-amalnya yang agung itu.

 

Sesudah kaum Muslimin kembali ke Madinah, tidak berapa lama kemudian Allah swt. memberikan ampunan kepada Abu Lubabah melalui firman-Nya:

 

Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.8. 9 At-Taubah: 102)

 

Abu Lubabah telah berjanji kepada Allah bahwa ia akan berhijrah dari rumah orang-orang Bani Quraizhah untuk selamanya. Di tempat itu dia telah melakukan perbuatan yang hina.

 

Dengan berakhirnya peperangan ini Allah swt. telah membebaskan kaum Muslimin dari kejahatan orang-orang Yahudi yang hidup berdampingan dengan mereka karena orang-orang Yahudi sering berlaku dan biasa berbuat licik dan khianat. Kini sisa-sisa mereka masih hidup di Khaibar bersama keluarga mereka. Kebanyakan dari mereka terdiri dari para pemimpinnya, dan mereka adalah penyebab utama terhimpunnya golongan yang bersekutu tadi. Para pembaca yang budiman akan segera mengetahui tentang saatnya mereka mendapat pembalasan yang setimpal sebagai akibat perbuatan mereka.

 

PERKAWINAN DENGAN ZAINAB BINTI JAHSY

 

Pada tahun ini juga Rasulullah saw. menikah dengan Zainab binti Jahzy. Ibunya bernama Umaimah, bibi dari pihak ayah Rasulullah sendiri. Rasulullah saw. mengawininya sesudah ia ditalak oleh Zaid ibnu Haritsah, bekas hamba sahaya Rasulullah saw. yang kemudian di jadikan anak angkatnya. Pernikahan antara Zainab dengan Zaid pada mulanya disebabkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah meminang Zainab untuk dikawinkan kepada Zaid. Akan tetapi, keluarga Zainab merasa keberatan dengan lamaran ini mengingat kedudukan Zainab yang mulia di kalangan kaum. nya tidak seimbang dengan kedudukan Zaid. Orang Arab tidak suka mengawinkan anak perempuan mereka kepada bekas hamba sahaya, dan mereka berkeyakinan bahwa tiada seorang pun dari kalangan bekas budak yang sekufu dengan anak perempuan mereka. Sekalipun Zaid diambil sebagai arak angkat Rasulullah, ia tidak dapat mengikuti kemuliaan yang dimiliki oleh Rasulullah. Berkenaan dengan masalah tersebut Allah menurunkan firman-Nya:

 

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. 33 Al-Ahzab: 36)

 

Keluarga Zainab tidak punya pilihan lain kecuali menerima lamaran Rasulullah saw. itu. Tatkala Zaid menggaulinya, Zainab menampakkan kesombongan dan tinggi kedudukannya sehingga membuat Zaid tidak tahan untuk hidup bersamanya. Zaid mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah, dan Rasulullah memerintahkannya agar ia tetap bersabar dalam menghadapi sikapnya yang demikian itu. Akan tetapi, lama-kelamaan Zaid tidak tahan lagi, lalu ia memberitahukan kepada Rasulullah tekadnya untuk menalak Zainab. Setelah keharmonisan dan kerukunan hidup berkeluarga tidak dapat dipertahankan lagi di antara pasangan suami-istri tersebut, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya supaya mengawini Zainab sesudah ia ditalak oleh Zaid di satu pihak supaya tidak terjadi persengketaan, dan di pihak lain demi memelihara kehormatan Zainab sesudah ia dikawin oleh bekas hamba sahaya. Akan tetapi, Rasulullah saw. merasa khawatir akan celaan orang Yahudi dan orang Arab terhadap dirinya karena mengawini bekas istri anak angkatnya. Maka Nabi saw. berkata kepada Zaid, “Peganglah istrimu itu, dan bertakwalah kepada Allah.” Akan tetapi, Nabi tidak memberitahukan kepadanya apa yang telah dikatakan Allah. Maka Allah memastikan hukum-Nya dengan membatalkan tradisi yang mengharamkan seseorang menikah dengan bekas istri anak angkatnya, yaitu melalui firman-Nya :

 

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengannya supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istriistri anak-anak angkat mereka apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istri-nya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi. (Q.S. 33 Al Ahzab: 37)

 

Kemudian Allah swt. membatalkan hukum anak angkat ini mengingat banyak kemudaratannya. Sehubungan dengan masalah ini Allah swt. ber firman:

 

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu. .(Q.S. 33 AlAhzab : 40)

 

Sejak saat itu nama Zaid yang tadinya Zaid ibnu Muhammad diganti menjadi Zaid ibnu Haritsah. Pergantian nama itu disebutkan dengan jelas dalam Al-Quran sehingga namanya dibaca sepanjang masa.

 

Sebagian ahli sejarah, khususnya mereka yang mempunyai tujuan rendah, memberikan komentar dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas dikeluarkan kecuali dari seseorang yang akal warasnya sudah hilang dan tidak menyadari lagi apa yang dikatakannya. Mereka mengatakan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. berkunjung ke rumah Zaid. Kemudian Rasulullah saw. secara kebetulah melihat istri Zaid karena pada saat itu angin berUup cukup kencang sehingga menyibakkan kain penutup wajahnya. Sejak saat itu Rasulullah saw. mencintainya, dan Rasulullah mengucapkan subhanallah (Mahasuci Allah). Ketika suami Zainab datang, ia menuturkan hal tersebut kepadanya. Lalu Zaid merasa berkewajiban untuk menalaknya. Untuk itu ia berangkat menuju ke rumah Rasulullah saw. dan menceritakan kepadanya akan tekadnya untuk menalak istrinya. Akan tetapi, Rasulullah saw. mencegahnya … dan seterusnya.

 

Kisah tersebut dusta sama sekali karena sesungguhnya wanita Arab pada saat itu masih belum mengenal adanya kain penutup wajah, dan pula Zainab adalah anak bibi Rasulullah saw. sendiri, serta ia sudah sejak lama masuk Islam, ketika masih di Makkah. Mana mungkin Rasululllah saw. belum pernah melihatnya sebelum itu, sedangkan masa keislamannya telah berlangsung selama sepuluh tahun, dan pula Zainab adalah anak perempuan bibinya sendiri. Apakah mungkin jika dikatakan bahwa Rasulullah saw. baru melihatnya tatkala angin menyibak penutup wajahnya secara kebetulan? Bukankah Rasulullah saw. sendiri yang mengawinkannya dengan Zaid? Seandainya Rasulullah mempunyai minat terhadap diri Zainab, niscaya dia sendirilah yang akan mengawininya, dan untuk itu kami kira tidak ada yang dapat mencegahnya. Siapakah di antara kita yang terlintas di dalam pikirannya bahwa pemimpin yang mulia itu, yang telah mengatakan kepada kaumnya bahwa dirinya diutus dari Rabb-nya, dan membacakan kepada mereka setiap pagi dan sore perintah Allah sebagaimana yang telah diungkapkan oleh firman-Nya:

 

Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka. (Q.S. 15 Al-Hijr: 88)

 

Dalam surat lain Allah berfirman:

 

Dan janganlah kalian tujukan kedua mata kalian kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia. (Q.S. 20 Thaha: 131)

 

kemudian ia memasuki rumah seorang lelaki dari pengikutnya, dan melihat istrinya secara kebetulan, lalu berselera kepadanya? Sesungguhnya hal ini merupakan perkara besar dan dapat dirasakan oleh hati kita sendiri. Sekalipun perkara seperti itu dilakukan oleh orang yang paling rendah derajatnya, ia tetap akan dicela. Terlebih lagi jika dilakukan oleh para sejarawan yang telah sepakat bahwa dia adalah orang yang paling baik akhlaknya, paling jauh dari kerendahan, dan sangat cerdas lagi sangat tajam firasatnya sehingga Allah swt. sendiri memujinya seperti yang telah diungkapkan dalam firman-Nya:

 

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. 68 Nun: 4)

 

Tidak diragukan lagi bahwa kisah tersebut mirip dengan dongeng yang sengaja dibuat-buat oleh musuh agama guna mencapai maksudnya. Akan tetapi, alhamdulillah, hal tersebut telah disanggah oleh dalil nagli dan dalil ‘agli sehingga lenyaplah segala kekaburan dan tampaklah bahwa hakikat yang sebenarnya adalah seperti apa yang telah kami nukilkan tadi. Apa yang telah kami ceritakan itu merupakan pengertian yang disimpulkan dari firman Allah swt. :

 

Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang telah ditimpahi nikmat oleh Allah, dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah” “sedangkan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan Allah, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allahlah yang lebih berhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi. (Q.5. 33 Al-Ahzab: 37).

 

Perihal yang dijelaskan oleh Allah swt. ialah perkawinan Nabi dengannya, dan tidak lebih dari itu. Ini merupakan kesaksian yang paling besar karena ia adalah Al-Quran.

 

HIJAB

 

Pada tahun itu juga turun ayat mengenai hijab: hal ini khusus bagi istriistri Rasulullah saw.

 

Sahabat ‘Umar ibnu Khaththab sebelum turunnya ayat hijab ini selalu berharap agar Al-Qur’an menurunkan penjelasan mengenai hal ini, dan ia sering sekali menyebut-nyebutnya. Ia selalu berkata kepada mereka (istriistri Nabi saw.), “Andaikata kalian bersikap hati-hati terhadap diri kalian sendiri, niscaya tidak akan ada mata (orang lain) yang melihat kalian.” Turunlah firman-Nya :

 

Dan apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan bagi hati mereka. (Q.S. 33 Al-Ahzab: 53)

 

Ada sebagian dari para sahabat yang berkata, “Apakah kami dilarang berbicara dengan anak-anak perempuan paman kami sendiri kecuali dari balik hijab? Seandainya Muhammad mati, niscaya aku akan mengawini ‘Aisyah,” Lalu turunlah ayat :

 

Dan tidak boleh kalian menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Q.S. 33 Al-Ahzab :53)

 

Selain istri-istri Nabi, kaum Mukminat pun diperintahkan untuk merundukkan pandangan mata dan memelihara kehormatan dan diperintahkan pula supaya jangan memperlihatkan perhiasan-perhiasan mereka kepada lelaki lain yang bukan mubrim selain yang biasa tampak seperti cincin pada jari, cat kuku pada ujung jari, dan celak pada mata. Adapun perhiasan yang tersembunyi sama sekali tidak boleh diperlihatkan seperti gelang tangan, gelang lengan, gelang kaki, kalung leher, konde kepala, leontin pada dada, dan anting-anting pada telingga. Yang dimaksud dengan perhiasan yang tampak dan yang tersembunyi adalah tempatnya, atau dengan  kata lain yang diharamkan itu menampakkan anggota tubuh tempat perhiasan tersebut.

 

Kaum wanita diperintahkan pula untuk menutupi dada mereka dengan kerudung supaya dada mereka tidak tampak atau terbuka. Sesungguhnya pakaian kaum wanita pada saat itu terbuka lebar bagian depannya sehingga leher dan buah dada serta sekitarnya tampak. Mereka selalu memakai kerudung hanya dengan menyampirkannya dari arah belakang. Kemudian mereka dilarang pula memukul-mukulkan kaki dengan maksud supaya diketahui bahwa mereka memiliki gelang kaki. Larangan memperdengarkan bunyi perhiasan dinyatakan sesudah larangan menampakkan perhiasan untuk menunjukkan bahwa menampakkan anggota tempat perhiasan itu lebih dilarang lagi. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. berfirman:

 

Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan Janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, alau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanitawanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang ‘aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung. (Q.3. 24 An-Nur: 81)

 

Cara berpakaian kaum wanita, pada permulaan zaman Islam sama dengan pada Zaman Jahiliah, yaitu pakaian mereka sederhana sehingga bagian atas dan lengan mereka kelihatan, tidak ada bedanya antara wanita yang merdeka dan hamba sahaya. Para pemuda yang suka iseng sering mengganggu gadis-gadis bilamana pergi pada malam hari untuk keperluan mereka di kebun kurma atau di tempat buang air besar. Terkadang mereka berani mengganggu wanita merdeka dengan alasan mengira dia hamba sahaya. Akhirnya mereka diperintahkan supaya berpakaian berbeda dengan hamba sahaya. Untuk itu mereka diperintahkan supaya menutupi bagian atas tubuh mereka berikut wajah dan lengannya supaya tidak ada orang yang berani mengganggunya lagi. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. berfirman:

 

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. “Maksudnya supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.3. 33 AlAhzab : 69)

 

Adapun hijab bagi kaum wanita terhadap orang-orang yang hendak melamarnya belum pernah dilakukan pada zaman Rasulullah saw, demikian pula pada zaman ulama salaf yang saleh. Dengan kata lain, hal tersebut (berhijab) tidak diperintahkan. Hal ini sengaja digalakkan oleh syariat yang bijaksana supaya pihak calon suami mengetahui benar-benar calon istrinya sehingga persesuaian dan keserasian dapat terselenggara di antara kedua calon mempelai dalam hal-hal yang telah disepakati oleh para imam. Sehubungan dengan masalah ini Hujjatul Islam Imam Ghazali di dalam kitab ihya ‘Ulumud-Din mengatakan bahwa syariat selalu mengimbau agar penyebab-penyebab yang dapat menciptakan kerukunan dan keserasian selalu diperhatikan. Oleh sebab itu, melihat kepada calon istri sebagai suatu hal yang disunnahkan. Selanjutnya Imam Ghazali mengatakan, apabila Allah telah menggerakkan hati seseorang di antara mereka terhadap seorang wanita, maka hendaklah ia melihat kepadanya. Sesungguhnya hal itu akan lebih membuat rukun dan serasi di antara keduanya daripada persentuhan antara kulit dengan kulit. Hal ini disebutkan dengan maksud mubalaghah dalam menciptakan kerukunan dan keserasian. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah saw. bersabda :

 

Sesungguhnya pada mata (kaum wanita) Anshar itu terdapat sesuatu, maka apabila seseorang di antara kalian hendak mengawini seorang wanita dari kalangan mereka, hendaknya ia melihatnya terlebih dahulu. Menurut suatu riwayat, mata kaum wenita Anshar itu banyak yang terkena penyakit rabun. Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa mats mereka sipit.

 

Sehubungan dengan hal ini Al-A’masy mengatakan bahwa setiap perkawinan yang terjadi tanpa saling mengenal terlebih dahulu, kesudahannya adalah kesusahan dan kesedihan serta penyesalan. Tidak jauh bila kerusakan zaman dan jauh dari pendidikan agama, padahal pendidikan agama itu dapat membawa kepada akhlak yang mulia, merupakan gejala yang dialami oleh kalangan awam kaum Muslimin pada zaman permulaan Islam. Oleh sebab itu, datanglah perintah supaya kaum wanita memakai hijab untuk mengakhiri kerusakan akhlak dan untuk menolak terjadinya fitnah.

 

DIWAJIBKAN IBADAH HAJI

 

Tahun itu, menurut pendapat yang dikemukakan oleh mayoritas ahli tarikh, merupakan juga tahun di-fardhu-kannya ibadah haji terhadap kaum Muslimin. Allah telah mem-fardhu-kan ibadah haji pada tahun tersebut kepada umat Islam supaya kaum Muslimin dari segala penjuru dunia berkumpul, lalu menghadap kepada Allah seraya mengagungkan-Nya, sambil meminta hendaknya Dia memperteguh mereka dengan pertolongan-Nya, dan membantu mereka untuk dapat mengikuti agama-Nya yang lurus. Dalam ibadah haji itu terkandung pula faedah-faedah lain, yaitu untuk memperkuat ikatan dan persatuan kaum Muslimin. Semua itu merupakan faedah yang sangat besar bagi kaum Muslimin.

 

Pada tanggal 10 Muharam tahun keenam Hijriah, Rasulullah saw. mengirimkan Muhammad ibnu Maslamah bersama tiga puluh orang pasukan berkuda dengan tujuan memerangi Bani Bakar ibnu Kilab yang perkemahannya terletak di daerah Dhariyyah.” Kemudian Muhammad ibnu Maslamah membawa pasukannya menuju tempat mereka: bila siang ber. henti untuk istirahat, dan bila malam hari berjalan sehingga sampai ke tempat mereka. Sesampainya di tempat mereka Muhammad ibnu Maslamah langsung menyerbu sehingga ia dapat membunuh sepuluh orang di antara mereka, sedangkan yang lainnya lari tunggang-langgang. Akhirnya pasukan Muhammad ibnu Maslamah mendapat ghanimah berupa unta dan kambing, lalu ia dan balatentaranya kembali ke Madinah dengan membawa ghanimah.

 

Di tengah jalan, sewaktu mereka kembali, mereka bertemu dengan Tsamamah ibnul-Atsal al-Hanafi, salah seorang yang terkemuka dari kalangan Bani Hanifah. Kemudian kaum Muslimin menawannya sedangkan mereka belum mengetahui siapa dia. Ketika mereka menghadapkannya kepada Rasulullah saw., Rasulullah saw. memperkenalkannya kepada mereka dan memperlakukannya berlandaskan akhlak yang mulia. Sudah tiga hari Rasulullah saw. melepaskannya. Selama itu dia ditawari oleh Rasulullah saw. untuk masuk Islam, tetapi ia tidak mau menuruti ajakannya. Akan tetapi, setelah Tsamamah merasakan semua perlakuan yang baik dan akhlak yang mulia dari Rasulullah saw, terlintas di dalam benaknya, bahwa tidak ada gunanya lagi ia memperturutkan hawa nafsunya dan meninggalkan agama yang pilarnya adalah hal-hal yang terpuji. Ia kembali kepada Rasulullah saw. dalam keadaan Muslim tanpa dipaksa. Lalu Tsamamah berkata kepada Rasulullah, “Hai Muhammad, demi Allah, dahulu tiada suatu wajah pun di muka bumi ini yang lebih aku benci daripada wajah engkau. Akan tetapi, sekarang wajah engkau adalah wajah yang paling aku cintai lebih daripada segalanya. Demi Allah, dahulu tiada suatu agama pun di muka bumi ini yang lebih aku benci daripada agama engkau, tetapi sekarang sungguh ia adalah agama yang paling aku cintai. Demi Allah, dahulu tiada suatu negeri pun yang lebih aku benci daripada negeri engkau, tetapi sekarang sungguh ia adalah negeri yang paling aku cintai.” Mendengar pernyataan itu Rasulullah saw. gembira sekali, sebab di belakangnya terdapat kaum yang taat kepadanya.

 

Ketika Tsamamah kembali ke negerinya melewati Makkah seraya ber’umrah, di Makkah ia menampakkan keislamannya. Orang Quraisy bermaksud menyakitinya, tetapi mereka ingat bahwa kebutuhan mereka akan biji-bijian disuplai dari negeri Yamamah tempat tinggal Tsamamah. Akhirnya mereka membiarkannya. Selain itu Tsamamah telah bersumpah bahwa ia tidak akan mengirimkan hasil biji-bijiannya lagi kepada penduduk Makkah sebelum mereka mau beriman kepada Rasulullah. Hal tersebut membuat penduduk Makkah kelabakan dan menderita sekali, lalu mereka tidak punya alternatif lain kecuali meminta pertolongan kepada Rasulullah saw. Rasululah saw. menerima kedatangan mereka dengan baik dan memperlakukan mereka dengan sikap belas kasihan yang telah menjadi pembawaan dirinya. Akhirnya Rasulullah saw. mengirimkan surat kepada Tsamamah supaya ia mengembalikan keadaan seperti semula, yaitu menyuplai penduduk Makk-h dengan hasil biji-bijian tanah Yamamah. Tsamamah memenuhi permintaan Rasulullah saw. dengan baik.

 

Lelaki yang mulia ini (Tsamamah) mempunyai peranan penting dalam kaumnya sehabis Rasulullah saw. wafat, yaitu ketika kebanyakan penduduk negerinya murtad. Ia selalu mencegah kaumnya mengikuti Musailamah al-Kadzdzab, dan selalu mengatakan kepada mereka, “Hati-hatilah kalan dengan perkara yang gelap lagi tidak ada cahayanya itu (perkara Musailamah al-Kadzdzab), sesungguhnya barang siapa yang mengikutinya, berarti telah dipastikan oleh Allah sebagai orang yang celaka.” Banyak di antara kaumnya yang berpendirian teguh bersamanya, tidak tergoda oleh Musailamah dan para pengikutnya.

 

PERANG BANI LIHYAN

 

Bani Lihyan adalah orang-orang yang membunuh ‘Ashim ibnu Tsabit dan kawan-kawannya. Rasulullah saw. masih tetap dalam keadaan belasungkawa atas kematian mereka, dan selalu mengharapkan dapat membalas musuh-musuh mereka dengan hukum gishash. Kemudian pada bulan Rabiulawal tahun keenam Hijriah, Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat untuk bersiap-siap. Sebagaimana biasa dalam kebanyakan peperangan yang dilakukannya, dia tidak memberitahukan kepada mereka tujuan yang akan menjadi sasaran. Maksudnya supaya rencana yang telah disusunnya tidak diketahui oleh pihak musuh. Kemudian sebelum itu dia mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai penggantinya di Madinah.

 

Rasulullah saw. berjalan dengan membawa dua ratus orang pasukan berkendaraan, di antaranya dua puluh orang pasukan berkuda. Rasulullah saw. terus melakukan perjalanan hingga sampai di suatu tempat yang bernama Ar-Raji’. Di tempat itu Rasulullah saw. teringat akan para sahabatnya yang dibunuh oleh orang-orang katir di tempat tersebut. Lalu Rasulullah saw. memohonkan rahmat dan ampunan kepada Allah buat mereka yang telah gugur sebagai syuhada.

 

Tatkala Bani Lihyan mendengar tentang kedatangan Rasulullah dan pasukannya, mereka melarikan diri ke daerah pegunungan. Rasulullah saw. tinggal di perkampungan mereka selama dua hari seraya mengirimkan beberapa kelompok pasukan untuk mengejar mereka, tetapi ternyata tidak seorang pun dari mereka yang ditemukan. Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan sebagian dari para sahabat untuk mendatangi ‘Asfan” supaya mereka diketahui oleh penduduk Makkah dan penduduk Makkah akan takut dibuatnya. Selanjutnya kaum Muslimin berangkat menuju Kura’il Ghaim,? dan terus pulang ke Madinah. Rasulullah saw. bersabda:

 

Kami kembali dalam keadaan bertobat dan memuji kepada Rabb kami. Aku berlindung kepada Allah dari perjalanan yang melelahkan, pulang dalam keadaan kecewa, dan buruknya keadaan keluarga dan harta benda.

 

PERANG GHABAH

 

Nabi saw. memiliki dua puluh ekor unta perah yang digembalakan di daerah Ghabah. Kemudian ternak milik Nabi itu diserang oleh ‘Uyaynah ibnu Hishn bersama empat puluh orang tentara berkuda, lalu mereka merampas semua ternak tersebut dari tangan penggembalanya. Berita mengenai peristiwa itu sampai dengan cepat kepada Rasulullah saw. Orang yang menyampaikan berita itu adalah Salamah ibnul-Akwa’, seorang anggota pasukan pemanah Anshar dan jago maraton. Rasulullah saw. memerintahkan supaya keluar membuntuti musuh, lalu menyibukkan mereka dengan panah-panahnya. Ia berlari cepat mengejar mereka sehingga dapat menyusulnya, lalu memanahi mereka. Apabila pasukan berkuda musuh mengejarnya, ia lari dengan cepat sehingga tidak terkejar oleh mereka. Apabila pasukan berkuda memasuki daerah yang sempit di antara dua bukit, maka Salamah ibnul Akwa’ menaiki bukit, lalu melempari mereka dengan batu-batu dari atas bukit. Akhirnya mereka melemparkan tombak dan tameng-tameng yang ada di tangan mereka supaya beban mereka menjadi ringan dan dapat lari kencang hingga pasukan kaum Muslimin tidak dapat mengejar mereka.

 

Salamah ibnul Akwa’ terus melakukan hal ini sampai pasukan kaum Muslimin dapat bergabung dengannya. Sebelum itu Rasulullah saw. mengajak para sahabat untuk melakukan pengejaran ini, lalu mereka mengabulkan permintaannya. Orang yang terakhir diajak oleh Rasulullah saw. adalah Al-Migdad ibnul-Aswad. Lalu Rasulullah bersabda, “Keluarlah engkau untuk mengejar mereka, nanti aku akan menyusulmu.” Kemudian Rasulullah saw. memberikan kepadanya panji peperangan. Ia berangkat diikuti oleh pasukan berkuda. Akhirnya mereka dapat menyusul barisan belakang musuh, lalu terjadilah di antara kedua pasukan tersebut peperangan yang seru. Seorang Muslim gugur dan dua orang kafir mati terbunuh. Kaum Muslimin dapat menyelamatkan sebagian besar dari ternak untanya, sedangkan sisanya dibawa lari oleh pasukan barisan depan musuh yang melarikan diri.

 

Kemudian Salamah ibnul Akwa’ meminta kepada Rasulullah saw. supaya mengizinkannya mengejar tentara musuh yang tersisa bersama segolongan tentara kaum Muslimin maksudnya supaya ia menyerang mereka sewaktu mereka dalam keadaan lengah dan sedang beristirahat di oase mereka. Rasulullah saw. berkata, “Sekarang engkau telah berhasil mengalahkan mereka, maka maafkanlah mereka.” Kemudian kaum Muslimin kembali lagi ke Madinah setelah lewat lima hari.

 

SARIYYAH

 

Bani Asad yang kisahnya telah kami kemukakan di muka sering menyakiti kaum Muslimin yang lewat di daerah mereka. Rasulullah saw. mengirimkan ‘Ukasyah ibnu Muhashshin bersama empat puluh orang pasukan berkuda guna menyerang mereka. Akan tetapi, tatkala pasukan itu hampir sampai di daerah mereka, mereka mendengar kedatangannya, lalu melarikan diri. Di tempat itu kaum Muslimin menemukan seorang lelaki yang sedang tidur, lalu mereka menawannya supaya menunjukkan tempat ternak milik Bani Asad. Lelaki tersebut mau menunjukkan tempatnya. Kaum Muslimin menggiring semua ternak milik mereka yang jumlah seluruhnya seratus ekor unta. Setelah itu mereka kembali ke Madinah tanpa menemukan perlawanan sedikit pun dari pihak musuh.

 

SARIYYAH

 

Dalam bulan Rabiulawal tahun itu juga (enam Hijriyah) ada berita yang sampai kepada Rasulullah saw. bahwa orang-orang yang mendiami daerah Drul-Qishshah bermaksud menyerang ternak milik kaum Muslimin yang digembalakan di daerah Haifa. Rasulullah saw. mengirimkan Muham. mad ibnu Maslamah bersama sepuluh orang tentara kaum Muslimin untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Kaum Muslimin sampai di tempat mereka pada malam hari.

 

Akan tetapi, kaum Musyrikin yang telah mengetahui kedatangan mereka memasang perangkap buat kaum Muslimin. Ketika kaum Muslimin tidur untuk beristirahat, tanpa sepengetahuan mereka tiba-tiba anak-anak panah musuh telah menghujani mereka. Kaum Muslimin berlompatan menuju senjatamasing-masing, tetapi musuh telah mencegat mereka terlebih dahulu. Akhirnya musuh dapat membunuh mereka semua, kecuali Muhammad ibnu Maslamah sendiri. Musuh mengira bahwa ia telah mati bersama teman-temannya, dan ia ditinggalkan begitu saja. Muhammad ibnu Maslamah kembali ke Madinah sendirian, lalu mengabarkan kepada Rasulullah saw. semua peristiwa yang telah dialaminya.

 

Selanjutnya pada bulan Rabiulakhir Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Abu “Ubaidah ‘Amir ibnul-Jarrah untuk membalas perlakuan mereka. Ketika tentara kaum Muslimin sampai di tempat mereka, ternyata mereka telah melarikan diri meninggalkan kampung halaman mereka. Akhirnya kaum Muslimin menggiring semua ternak milik mereka dan kembali ke Madinah dengan membawa ghanimah.

 

SARIYYAH

 

Bani Salim adalah orang-orang yang bergabung dengan golongan yang bersekutu dalam Perang Khandag. Mereka selalu mengganggu kaum Muslimin yang mengadakan perjalanan lewat daerah mereka. Rasulullah saw. mengirimkan sahabat Zaid ibnu Haritsah bersama pasukan kaum Muslimin untuk menyerang mereka di Al-Jamum. Hal ini terjadi pada bulan Rabiulakhir tahun keenam Hijriah. Ketika Zaid bersama tentaranya sampai di tempat mereka, ternyata ia tidak menemukan seorang pun karena mereka sudah lari meninggalkannya. Di tempat tersebut ia dan balatentaranya hanya menemukan seorang wanita dari Muzayyanah. Kemudian wanita itu menunjukkan kepada tentara kaum Muslimin tempat perkemahan Bani Salim. Akhirnya di perkemahan mereka kaum Muslimin memperoleh banyak ternak unta dan domba, dan mereka pun menemukan pula kaum lelaki. Semuanya ditawan, termasuk suami wanita tersebut yang ada bersama mereka. Kemudian kaum Muslimin kembali ke Madinah. Sesampainya di Madinah mereka dihadapkan kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. membebaskan wanita tersebut bersama suaminya.

 

SARIYYAH

 

Telah sampai berita bahwa kafilah dagang milik orang Quraisy sedang dalam perjalanan kembali ke Makkah. Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Zaid ibnu Haritsah bersama seratus tujuh puluh tentara berkuda guna mencegat mereka. Akhirnya tentara kaum Muslimin berhasil mengambil semua yang di bawa oleh kafilah tersebut, sedangkan para pembawanya ditawan, termasuk Abul-‘Ash ibnur-Rabi’, suami putri Rasulullah saw., Siti Zainab, yang ikut bersama mereka.

 

Abul-‘Ash ibnur-Rabi’, termasuk orang Makkah yang terpandang dalam hal berniaga, banyak harta, dan dipercaya. Ia meminta perlindungan kepada istrinya, Siti Zainab. Akhirnya Siti Zainab mau memberikan perlindungan kepadanya, kemudian Siti Zainab meminta dukungan dari kelompok orang Quraisy (yang telah masuk Islam). Rasulullah saw. berkata, “Kaum Muslimin itu bagaikan satu tangan: orang yang paling bawah dari kaum Muslimin dapat memberikan perlindungan kepada mereka (yang ditawan). Sekarang kami mau membebaskan orang-orang yang engkau lindungi.”

 

Hal ini merupakan gambaran tentang prinsip persamaan yang paling kuat di kalangan Muslimin. Kemudian Rasulullah saw. mengembalikan semua harta yang dibawanya tanpa kurang sedikit pun. Selanjutnya Abul’Ash ibnur-Rabi’ kembali ke Makkah dengan selamat, lengkap dengan hasil perniagaannya. Sesampainya di Makkah ia mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya, kemudian ia kembali ke Madinah dalam keadaan Muslim. Lalu Rasulullah saw. mengembalikan istrinya kepadanya.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Jumadilakhir tahun keenam Hijriah Rasulullah saw. mengiTimkan sahabat Zaid ibnu Haritsah bersama lima belas orang tentara untuk menyerang Bani Tsa’labah. Bani Tsa’labah adalah orang-orang yang telah membunuh teman-teman Sahabat Muhammad ibnu Maslamah, Mereka tinggal di Ath-Tharf.” Oleh sebab itu Rasulullah saw. mengirimkan sariyyah-nya untuk menghajar mereka.

 

Tatkala musuh melihat mereka, musuh menduga bahwa mereka adalah balatentara besar di bawah pimpinan Rasulullah saw. Mereka ketakutan, lalu lari dan meninggalkan ternak unta berikut domba yang mereka miliki. Akhirnya kaum Muslimin menggiring semua ternak milik mereka sebagai ghanimah. Setelah empat hari mereka kembali ke Madinah.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Rajab Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Zaid ibnu Haritsah bersama sejumlah tentara kaum Muslimin untuk menyerang Bani Fazzarah sebab mereka pernah mencegat kafilah Zaid ibnu Haritsah yang baru kembali dari negeri Syam dengan membawa barang dagangan. Mereka merampas semua yang dibawa oleh Zaid, dan bahkan mereka hampir saja membunuhnya. Tatkala datang di Madinah, Zaid melaporkan kepada Rasulullah saw. semua yang terjadi atas dirinya. Segera Rasulullah saw. mengirimkannya kembali untuk membalas perlakuan Bani Fazzarah yang bermukim di Wadil-Qura? itu.

 

Sahabat Zaid berangkat sehingga sampai ke tempat musuh, lalu langsung mengepung dan menyerang mereka. Zaid bersama balatentaranya dapat membunuh sebagian besar tentara musuh dan dapat menawan seorang wanita dari kalangan pembesar mereka. Sesampai di Madinah tawanan wanita itu diminta oleh Rasulullah saw. untuk dijadikan tukaran dengan orang Muslim yang ditawan di Makkah.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Sya’ban tahun keenam Hijriah Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat ‘Abdur-Rahman ibnu ‘Auf bersama tujuh ratus sahabat untuk memerangi Bani Kalb di Daumatul-Jandal?. Sebelum pasukan diberangkatkan, Rasulullah saw. berpesan kepada mereka: Berperanglah kalian semua di jalan Allah. Bunuhlah orang-orang yang kafir kepada Allah, tetapi janganlah kalian berbuat korup (dengan ghanimah), jangan berbuat khianat, jangan membunuh dengan cara mencincang, dan jangan membunuh anak-anak. Hal itu merupakan janji Allah dan perjalanan Nabi-Nya di antara kalian. Kemudian Rasulullah saw. menyerahkan panji peperangan kepada Sahabat ‘Abdur-Rahman ihnu ‘Auf.

 

Sahabat ‘Abdur-Rahman berangkat membawa pasukannya disertai berkah Allah hingga sampai di tempat musuh. Kemudian tentara kaum Muslimin menyeru mereka selama tiga hari untuk masuk Islam. Pada hari yang keempat pemimpin mereka yang bernama Al-Ashbagh ibnu ‘Amr masuk Islam. Turut masuk Islam bersamanya seorang yang beragama Nasrani bersama segolongan kaumnya, sedangkan yang lainnya dengan suka rela memilih membayar jizyah.

 

Selanjutnya Sahabat ‘Abdur-Rahman ibnu ‘Auf mengawini anak perempuan pemimpin mereka sesuai dengan perintah Rasulullah kepadanya. Hal ini merupakan sarana yang paling mengena demi memperkuat hubungan di antara para pemimpin sehingga terjalinlah hubungan kekeluargaan di antara mereka. Sebagian di antara mereka ikut merasakan apa yang dirasakan oleh sebagian yang lain. Yang demikian itu merupakan cara yang terbaik, yaitu menjalin perdamaian dan rasa kasih sayang.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Sya’ban Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib bersama seratus tentara kaum Muslimin untuk memerangi Bani Sa’d ibnu Bakr di Fadak” karena Rasulullah saw. mendapat informasi yang akurat, bahwa mereka telah menghimpun balatentara untuk membantu orang Uahudi Khaibar memerangi kaum Muslimin dengan imbalan akan diberi kurma Khaibar.

 

Bergeraklah tentara kaum Muslimin yang dipimpin oleh Sahabat ‘Alj ibnu Abu Thalib. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan mata-mata musuh yang dikirim oleh Bani Sa’d untuk mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi di Khaibar sebagai wakil mereka. Kaum Muslimin meminta supaya ia menunjukkan tempat kaum mereka, dan kaum Muslimin men. jamin keselamatannya. Orang itu mau menunjukkan tempat mereka. Ak. hirnya dari tempat musuh kaum Muslimin berhasil menggiring ternak milik mereka, sedangkan para penggembalanya lari terbirit-birit ketakut. an. Kemudian para pengembala itu memberitahukan kedatangan tentara kaum Muslimin kepada kaumnya. Hal ini membuat mereka takut, lalu mereka melarikan diri meninggalkan perkampungan mereka. Kembalilah kaum Muslimin bersama lima ratus ekor ternak unta dan seribu ekor kambing milik kaum sebagai barang ghanimah. Ternyata Allah swt. telah mematahkan tipu muslihat kaum musyrikin sehingga mereka sama sekali tidak dapat memberikan bantuan apa pun kepada orang Yahudi.

 

TERBUNUHNYA ABU RAFI

 

Orang yang menggerakkan penduduk Khaibar untuk memerangi kaum Muslimin adalah pemuka mereka sendiri, yaitu Abu Rafi” Sallam ibnu Abul Hagig yang terkenal dengan julukan Pedagang Ulung dari Hijaz. Ia mendapat julukan demikian karena ia seorang yang ahli dalam masalah perniagaan dan memiliki harta yang banyak sekali, dengan hartanya itu ia dapat mempengaruhi orang Yahudi Khaibar. Rasulullah saw. mengutus beberapa orang untuk membereskannya. Tugas ini disanggupi oleh lima orang lelaki dari kabilah Khazraj di bawah pimpinan ‘Abdullah ibnu “Utaig. Mereka sengaja menyanggupi memikul tugas ini supaya mereka mendapat pahala yang sama dengan saudara-saudara mereka dari kabilah Aus yang telah membunuh Ka’b ibnul Asyraf. Termasuk di antara karunia yang dilimpahkan Allah terhadap Rasul-Nya ialah, bilamana kabilah Aus merasa bangga terhadap apa yang telah mereka lakukan dalam memenuhi keinginan Rasulullah, kabilah Khazraj pun berupaya sekuat tenaga untuk mengimbanginya dengan melakukan hal yang serupa.

 

Rasulullah saw. memerintahkan mereka untuk melakukan tugas itu setelah dia berpesan kepada mereka, agar tidak membunuh anak kecil dan wanita. Mereka berangkat hingga sampai di Khaibar, lalu ‘Abdullah berkata kepada teman-temannya, “Kalian harap tetap di tempat ini karena aku akan berangkat menuju penjaga pintu dan membujuknya supaya ia memperbolehkan aku masuk, barangkali saja caraku membawa hasil.” Lalu ‘Abdullah mendekati penjaga pintu gerbang Khaibar seraya menutup! kepalanya dengan pakaiannya seolah-olah ia baru kembali dari buang air pesar, sedangkan orang-orang lain telah memasuki gerbang tersebut. Penjaga gerbang itu berkata, “Hai ‘Abdullah, bila engkau hendak masuk cepatjah karena sebentar lagi aku akan menutup pintu ini.” Lalu ‘Abdullah masuk dan bersembunyi selama beberapa waktu sehingga penjaga gerbang tertidur. Setelah itu Abdullah mendekatinya dan mengambil kunci gerbang jalu membuka pintu gerbang supaya ia mudah lari sehabis menunaikan tugasnya nanti.

 

Kemudian ‘Abdullah ibnu Utaig langsung menuju rumah Abu Rafi’, jalu membuka pintu-pintu yang menuju ke tempatnya satu demi satu. Setiap ia membuka pintu, ia langsung menguncinya dari dalam hingga sampai ke suatu ruangan tempat tinggal Abu Rafi’. Ternyata ruangan tersebut sangat gelap. Abu Rafi’ pada saat itu berada di tengah-tengah anakanak dan keluarganya, hingga Abdullah tidak dapat memastikan di mana Abu Rafi’ berada. Lalu ia berseru, “Hai Abu Rafi!” Abu Rafi’ menjawab, “Siapakah engkau?” Lalu ‘Abdullah ibnu ‘Utaig mengayunkan pedangnya ke arah suara tersebut, tetapi tidak membawa hasil apa-apa. Pada saat itu istri Abu Rafi’ berkata, “Ini tidak salah lagi suara Ibnu Abu ‘Utaig”. Abu Rafi’menjawab, “Celakalah ibumu, di mana Ibnu Abu ‘Utaig sekarang?” Kemudian ‘Abdullah berseru lagi seraya mengubah suaranya, “Suara siapakah yang sekarang kamu dengar, hai Abu Rafi’?” Abu Rafi’ menjawab, “Celakalah ibumu, sesungguhnya sekarang ada seorang lelaki di dalam rumah yang mencoba menetakku dengan pedang.” Maka ‘Abdullah kembali menetakkan pedangnya ke arah suara itu, tetapi kali ini pun tidak membawa hasil apa-apa. Lalu beberapa saat ia bersembunyi dahulu, kemudian mendatangi sambil meminta tolong dan mengubah suaranya. Akhirnya ia dapat menemukan Abu Rafi’ sedang membaringkan tubuhnya, lalu langsung mengayunkan pedangnya ke perutnya sehingga ia mendengar suara tulang berdetak.

 

Setelah itu ‘Abdullah ibnu ‘Utaig keluar dari rumah Abu Rafi’, pandangan matanya lemah akibat penyakit rabun. Ja terjatuh dari atas tangga. Hal ini mengakibatkan kakinya keseleo, lalu ia membalut kakinya yang keseleo itu dengan kain serbannya dan bergabung dengan teman-temannya. Pada waktu keluar ia berseru, “Tolong, demi Allah, Abu Rafi’ telah mati terbunuh.”

 

Akhirnya mereka kembali dengan selamat dan menceritakan segalanya kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw. berkata kepada ‘Abdullah, “Coba luruskan kakimu itu.” Rasulullah mengusapnya. Setelah itu ‘Abdullah merasakan kakinya sembuh sama sekali seperti sedia kala dan tidak merasakan sakit sedikit pun. Coba Anda lihat, semoga Allah swt. memelihara diri Anda. Bagaimana keadaan kaum Muslimin pada zaman Rasulul. lah saw? Mereka menganggap mudah semua rintangan dan kesulitan selagi hal itu demi keridaan Rasulullah saw. Semoga Allah meridai (merestui) mereka.

 

SARIYYAH

 

Setelah Ka’b ibnul-Asyraf terbunuh, tampuk pimpinan orang Yahudi dipegang oleh penggantinya, yaitu Asir ibnu Razzam. Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan orang untuk mengawasi gerak-geriknya. Sampailah berita kepada Rasulullah bahwa Asir telah berkata kepada kaumnya, “Aku akan melakukan terhadap Muhammad apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh para pendahuluku. Aku akan berangkat menuju Ghathafan, lalu aku kumpulkan mereka guna memerangi Muhammad.” Ternyata ia melakukan usaha tersebut. Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat ‘Abdullah ibnu Rawwahah al-Khazrajiy bersama tiga puluh orang tentara dari kalangan kaum Anshar untuk membujuknya supaya tidak melangsungkan niatnya.

 

Keluarlah mereka hingga sampai di Khaibar, lalu mereka berkata kepada Asir, “Kami datang dengan baik-baik hingga kami menawarkan kepadamu maksud kedatangan kami ini.” Asir menjawab, “Ya, kami pun demikian.” Lalu mereka menyetujuinya. Kemudian mereka mengajak Asir menghadap Rasulullah dan agar mau meninggalkan niatnya memerangi Rasulullah. Kelak Rasulullah saw. akan mengangkatnya menjadi pemimpin di tanah Khaibar. dan penduduknya akan hidup dengan aman dan damai. Asir mau menerima usul itu. Akhirnya keluarlah ‘ia bersama tiga puluh orang Yahudi. Setiap orang Yahudi membonceng kepada seorang Muslim.

 

Akan tetapi, di tengah perjalanan Asir merasa menyesal atas kesediaannya mau menghadap Rasulullah saw. Maka ia bermaksud berbuat khianat terhadap orang-orang yang telah menjamin keselamatannya. Lalu ja mencoba meraih pedang yang dibawa oleh ‘Abdullah ibnu Rawwahah. ‘Abdullah ibnu Rawwahah berkata, “Hai musuh Allah, apakah engkau mau berkhianat?” Kemudian ‘Abdullah ibnu Rawwahah turun dan menyabetnya dengan pedang sehingga memutuskan pahanya. Tidak lama kemudian binasalah Asir. Kaum Muslimin yang ada pada saat itu bangkit melawan setiap orang Yahudi yang ikut bersamanya, lalu mereka membunuh semuanya. Demikianlah pembalasan atas pengkhianatan itu.

 

KISAH MENGENAI ‘AKL DAN ‘ARINAH

 

Pada bulan Syawal tahun keenam Hijriah datang menghadap Rasulullah saw. segolongan orang dari ‘Akl dan ‘Arinah. Mereka datang dengan menampakkan keislamannya dan mau berbai ‘at kepada Rasulullah. Mereka dalam keadaan sakit, tubuh mereka tampak pucat, dan perut mereka tampak besar-besar. Cuaca kota Madinah tidak sesuai bagi mereka. Ragulullah saw. memerintahkan penggembalanya untuk menggembalakan unta mereka. Kemudian ia memerintahkan mereka supaya menyusul para penggembala tersebut di tempat penggembalaan. Maksudnya supaya orang-orang ‘Akl dan ‘Arinah itu berobat di sana dengan meminum air sugu dan air seni unta. Lalu mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah.

 

Setelah sembuh, mereka membalas air susu dengan air tuba. Mereka membunuh penggembala ternak itu dan bahkan mencincangnya, selanjutnya mereka menggiring ternaknya. Ketika berita tersebut sampai kepada Rasulullah saw. dia memerintahkan Sahabat Karz ibnu Jabir al-Fihri bersama dua puluh orang tentara berkuda untuk mengejar mereka. Akhirnya Sahabat Karz dapat menyusul mereka dan menangkap semuanya. Ketika mereka dihadapkan kepada Rasulullah saw. di Madinah, Rasulullah saw. memerintahkan supaya mereka diberi pembalasan yang setimpal dengan perlakuan mereka terhadap penggembala ternak. Tangan dan kaki mereka dipotong serta mata mereka dibutakan, lalu mereka dilemparkan di padang pasir sehingga semuanya mati. Demikianlah pembalasan pengkhianat yang tidak diharapkan lagi kebaikannya. Perilaku mereka yang jahat menunjukkan rusaknya watak mereka dan tercelanya sikap pergaulan mereka. Akan tetapi, sesudah peristiwa itu Rasulullah saw. melarang perbuatan mencincang.

 

SARIYYAH

 

Pada suatu hari ketika sedang duduk-duduk di tempat berkumpul kaumnya, tiba-tiba Abu Sufyan ibnu Harb berkata, “Adakah seorang lelaki yang mau pergi besok untuk menemui Muhammad lalu membunuhnya karena ia suka berjalan di pasar-pasar, supaya kita bebas daripadanya?”. Majulah seorang lelaki yang bersedia melakukan apa yang dikehendaki oleh Abu Sufyan, dan ia berjanji untuk melaksanakannya. Lalu Abu Sufyan memberinya kendaraan dan bekal serta mempersiapkannya untuk melakukan tugas itu.

 

Lelaki tersebut berangkat hingga sampai di Madinah pada pagi hari keenam sejak keberangkatannya. Ia menanyakan tempat Rasulullah saw. berada dan mendapat petunjuk. Pada saat itu Rasulullah saw. berada di da. lam masjid orang-orang Bani ‘Abdul-Asyhal. Ketika Rasulullah saw. melihat kedatangannya, dia berkata, “Sesungguhnya lelaki ini bermaksud untuk berbuat khianat, dan Allah akan mencegahnya.” Lalu lelaki itu menghadap Rasulullah saw. Ketika ia membungkuk sebagai penghormatan, tiba-tiba Usaid ibnu Hudhair menarik kainnya dari belakang. Pada saat itu pisau belati yang terselip dalam kainnya terjatuh, lalu lelaki itu menyesali perbuatannya. Kemudian Rasulullah saw. menanyai penyebab ia mau berbuat demikian. Lelaki itu menceritakan dengan sejujurnya semua maksudnya sesudah ia merasa yakin bahwa jiwanya selamat dan tidak diapa-apakan. Setelah itu Rasulullah saw. melepaskannya. Lelaki itu berkata, “Demi Allah, wahai Muhammad, aku belum pernah merasa takut kepada lelaki mana pun, tetapi begitu aku melihat engkau langsung pikiranku menjadi kacau dan jiwaku menjadi lemah. Kemudian engkau telah mengetahui maksud yang tersimpan di dalam hatiku. Hal itu tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Kini aku mengetahui bahwa engkau terpelihara dan bahwa engkau adalah benar serta golongan Abu Sufyan adalah golongan setan.” Selanjutnya lelaki itu masuk agama Islam.

 

Rasulullah saw. langsung mengirimkan ‘Amr ibnu Umayyah adh-Dhimri. Pada Zaman Jahiliah ia terkenal sebagai orang gagah dan berani. Nabi saw. menyuruhnya membawa seorang teman untuk membunuh Abu Sufyan secara diam-diam sebagai pembalasan atas perbuatannya terhadap dirinya. Setelah sampai di Makkah keduanya langsung menuju ke Ka’bah untuk melakukan thawaf sebelum menunaikan tugas yang dibebankan kepada mereka. Akan tetapi, salah seorang penduduk Makkah mengenalnya. Lalu ia berkata, “Ini adalah ‘Amr ibnu Umayyah, sekali-kali ia tidak akan datang kecuali membawa keburukan.” Tatkala ‘ Amr menyadari bahwa (kaum QQuraisy) telah mengetahui Ledatangannya, dak ada pilihan lain kecuali segera angkat kaki dari Makkah. Segera ia mengajak temannys untuk kembali ke Madinah. Dengan demikian seolah-olah Allah swt. menghendaki Abu Sufyan tetap hidup sehingga ia menyerahkan kunci Ka’bah kepada kaum Muslimin dan sampai ia masuk Islam.

 

PERANG HUDAIBIYAH

 

Pada suatu malam Rasulullah saw. bermimpi bahwa ia dan para sahabat memasuki Masjidil-Haram dalam keadaan aman. Di antara mereka ada yang mencukur rambut dan ada yang memperpendeknya saja. Rasulullah saw. memberitahukan kepada kaum Muslimin bahwa ia bermaksud mepunaikan ‘umrah. Lalu ia menyeru kepada orang Arab yang tinggal di sekitar Madinah untuk ikut bersamanya, maksudnya sebagai tindakan hatihati karena dikhawatirkan orang Quraisy akan menolak kedatangan mereka Orang-orang Arab itu sengaja memperlambat jawaban mereka karena mereka mempunyai harapan, Rasul dan kaum Muslimin tidak kembali lagi kepada mereka untuk selama-lamanya sehingga mereka bebas. Mereka berdalih sedang sibuk dengan urusan harta dan keluarga mereka dan mohon maaf.

 

Akhirnya Rasulullah saw. keluar bersama kaum Muhajirin dan Anshar yang jumlahnya mencapai seribu lima ratus orang. Sebelum itu Rasulullah saw. mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai penggantinya di Madinah. Rasulullah saw. kali ini membawa istrinya yang bernama Ummu Salamah dan mengeluarkan hewan kurban sebagai pemberitahuan kepada kaumnya bahwa ia datang bukan untuk tujuan berperang. Para sahabat pada saat itu tidak membawa senjata apa-apa selain pedang yang tetap dalam sarungnya masing-masing karena Rasulullah saw. tidak suka mereka membawa pedang terhunus sambil melakukan ibadah ‘umrah.

 

Rasulullah saw. berangkat hingga sampai di ‘Asfan”. Di tempat itu Rasulullah saw. kedatangan informannya yang mengabarkan bahwa orangorang Quraisy telah sepakat untuk mencegah kaum Muslimin agar tidak memasuki kota Makkah, dan mereka berupaya supaya kaum Muslimin tidak memasukinya dengan kekerasan. Untuk itu mereka telah mempersiapkan diri untuk berperang, lalu mereka menyuruh Khalid ibnul-Walid bersama dua ratus orang tentara berkuda menghambat perjalanan kaum Muslimin. Setelah mendengar berita itu Rasulullah saw. berkata, “Siapakah yang dapat memberi petunjuk jalan kepada kami supaya tidak berpapasan dengan mereka?” Seorang lelaki dari kabilah Aslam berkata, “Saya, wahai Rasulullah.” Maka lelaki itu membawa kaum Muslimin menempuh jalan yang sulit, lalu ia membawa keluar dari jalan sulit itu menuju suatu jalan yang rata dan mudah ditempuh. Jalan ini menuju ke Makkah dari daerah bawah.

 

Tatkala Khalid mengetahui apa yang telah dilakukan oleh kaum Muslimin, ia kembali ke Makkah menemui orang-orang Quraisy dan mengabarkan kepada mereka semua yang telah dialaminya. Ketika Rasulullah saw. sampai di Tsaniyyatul Mirar,” tiba-tiba unta kendaraannya berhenti dan mendekam. Para sahabat menghardiknya agar unta itu bangkit, tetapi tidak juga mau berdiri. Mereka berkata, “Qashwa (nama unta kendaraan Rasulullah) membandel tidak mau menurut.” Rasulullah saw. berkata, “Sebenarnya ia tidak membandel dan hal ini bukan kebiasaannya, tetapi ia telah ditahan oleh Tuhan yang telah menahan tentara bergajah. Demi zat yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidak sekali-kali orang Quraisy mengajakku kepada suatu hal yang berprinsip untuk mengagungkan tempat suci Allah, melainkan aku diharuskan mau mengabulkan permintaan mereka.” Padahal jika saat itu langsung memerangi musuh-musuh mereka, niscaya kaum Muslimin menang. Akan tetapi, rupanya Allah swt. mencegah kaum Muslimin terhadap orang-orang Quraisy sebagaimana Dia pun mencegah orang-orang Quraisy terhadap kaum Muslimin. Maksudnya supaya kesucian Ka’bah tidak ternodai oleh peperangan. Allah menghendaki Ka’bah menjadi tempat yang suci lagi aman, tempat kaum Muslimin dari segala penjuru kelak memperkuat sendi-sendi persaudaran mereka.

 

Selanjutnya Rasulullah saw, memerintahkan kaum Muslimin untuk berhenti pada akhir batas Hudaibiyah” Ke tempat itu datanglah Badil ibnu Waraqa’ al-Khuza’iy, utusan orang Quraisy untuk menanyakan maksud kedatangan kaum Muslimin ke Makkah. Lalu Rasulullah saw. menceritakan maksud yang sebenarnya kepadanya. Ketika Badil kembali kepada orang Quraisy dan menceritakan kepada mereka hal tersebut, mereka tidak mempercayainya, sebab dia berasal dari Khuza’ah yang berpihak kepada Rasulullah seperti yang telah dilakukan oleh kakek-moyangnya. Lalu orang-orang Quraisy berkata kepadanya, “Apakah Muhammad bermaksud memasuki kota kami bersama balatentaranya untuk ber’umrah? Tidakkah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh orang-orang Arab bahwa Muhammad ingin memasuki kota kami dengan kekerasan, dan antara kami dengan dia telah berlangsung peperangan sekian lamanya? Demi Allah, tidak, sedikit pun kami tidak mempercayainya.”

 

Kemudian mereka mengutus Hulais ibnu ‘Algamah, pemimpin orang Habgyi sekutu orang Quraisy. Ketika Rasulullah saw. melihat kedatangannya, dia berkata, “Dia berasal dari kaum yang mengagungkan berkurban, maka tampakkanlah hewan kurban itu oleh kalian di hadapannya supaya ja melihatnya.” Mereka melakukan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah, lalu mereka menyambut kedatangannya seraya mengucapkan talbiyah. Setelah Hulais melihat semuanya itu, ia kembali dan mengatakan kepada orang Quraisy, “Mahasuci Allah, tidak layak bila mereka dihambat. Apakah Lahm, Judzam, dan Himyar diperbolehkan haji sedangkan cucu ‘Abdul-Muththalib sendiri dicegah menziarahi Ka’bah?, Demi Tuhan Ka’bah, celakalah orang-orang Quraisy. Sesungguhnya mereka datang untuk tujuan ‘umrah.” Setelah orang-orang Quraisy mendengar kata-kata tersebut dari Hulais, mereka berkata kepadanya, “Duduklah engkau dan tepanglah, sesungguhnya engkau ini orang kampung yang sama sekali tidak mengetahui arti tipu muslihat.”

 

Lalu orang Quraisy mengirimkan ‘Urwah ibnu Mas’ud ats-Tsagafi, pemimpin orang Thaif. Ia menghadap Rasulullah dan langsung berkata kepadanya, “Hai Muhammad, engkau telah mengumpulkan berbagai kabilah, kemudian engkau datang kepada kaum dan keluarga engkau. Hal ini berarti engkau ingin mencerai-beraikan mereka. Sesungguhnya orang-orang Quraisy telah keluar. Mereka berjanji kepada Allah supaya engkau tidak memasuki Makkah dengan cara kekerasan untuk selama-lamanya. Demi Allah, seolah-olah diriku ini membayangkan bahwa mereka akan dapat mengalahkan engkau.” Mendengar kalimat tersebut Sahabat Abu Bakar naik darah, lalu berkata, “Celakalah engkau ini. Kamilah yang akan mengalahkan mereka untuk membelanya.”

 

Sewaktu ‘Urwah berbicara, ia selalu mengelus-elus janggut Rasulullah saw. (sebagai tanda penghormatan), sedangkan Al-Mughirah ibnu Syu’bah, bila mempunyai keinginan untuk itu, ia mengetuk tangannya supaya jangan melakukannya. Setelah itu ‘Urwah kembali, dan ia telah melihat semua yang telah dilakukan oleh para sahabat terhadap Rasulullah saw. Setiap kali Rasulullah berwudu, para sahabat hampir saling bertengkar di antara sesama mereka untuk memperebutkan air bekas wudunya untuk diusap-usapkan kepada anggota tubuh mereka. Bilamana mereka berbicara kepada Rasulullah saw., mereka selalu merendahkan suara serta merundukkan pandangan matanya. Lalu ‘Urwah berkata kepada orang-orang Quraisy, “Demi Allah, hai orang-orang Quraisy, aku baru menemui seorang Kisra di kerajaannya dan seorang kaisar di dalam kebesarannya. Aku belum pernah melihat seorang raja yang dihormati oleh kaumnya seperti penghormatan para sahabat terhadap Muhammad. Aku telah melihat suatu kaum yang tidak akan pernah mau menyerahkannya dengan imbalan apa pun. Pertimbangkanlah masakmasak pendapat kalian. sesungguhnya dia menawarkan kepada kalian hal yang masuk akal. Maka kunasihatkan agar kalian mau menerima tawarannya. Aku sangat khawatir terhadap kalian karena niscaya kalian tidak akan memperoleh kemenangan dalam menghadapinya.” Orang Quraisy langsung menjawab, “Janganlah engkau membicarakan hal itu lagi. Kami telah sepakat untuk menolak kedatangannya tahun ini, dan ia boleh kemari tahun depan.”

 

Kemudian Rasulullah saw. memilih Sahabat ‘Utsman ibnu ‘Affan sebagai utusannya untuk memberitahukan kepada orang Quraisy maksud kedatangannya. Berangkatlah Sahabat ‘Utaman diiringi sepuluh orang ‘ lainnya. Sebelum itu mereka meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk menziarahi kaum kerabat mereka masing-masing. Rasulullah saw. me’ merintahkan Sahabat “Utsman supaya mengunjungi golongan yang lemah dari kaum mukminin Makkah, lalu memberitahukan kepada mereka berita gembira bahwa zaman penaklukkan Makkah telah dekat dan bahwa Allah pasti akan menampakkan agama-Nya.

 

Sahabat “Utsman memasuki kota Makkah di bawah perlindungan Abban ibnu Sa’id al-Umawiy, lalu menyampaikan pesan yang dibawanya. Orang Quraisy menjawab, “Sesungguhnya Muhammad selamanya tidak boleh memasukinya dengan kekerasan terhadap kami.” Lalu mereka meminta supaya ‘Utsman melakukan fhawaf di Ka’bah, tetapi “Utsman menjawab, “Aku tidak akan melakukan thawaf selagi Rasulullah saw. dilarang melakukannya.” Kemudian mereka menahan “Utsman ibnu ‘Af-. fan, dan tersiarlah berita di kalangan Muslimin bahwa shahabat “Utsman dibunuh. Ketika Rasulullah saw. mendengar berita tersebut dia bersabda, “Kami tidak akan membiarkan hal ini sebelum membalas mereka melalui peperangan.”

 

BAI ‘ATUR-RIDHWAN

 

Rasulullah saw. mengajak orang-orang untuk berbai’at kepadanya dengan menyatakan kesediaan mereka berperang, lalu mereka berbai’at kepada Rasulullah saw. di bawah sebuah pohon yang terdapat di tempat tersebut. Belanjutnya pohon tersebut dinamakan Syajaratr-Ridhwan (pohon tempat kaum Muslimin mengucapkan bai’atnya untuk rela berkorban demi aganta).” Kemudian perihal bai’at ini terdengar oleh orang Quraisy, dan mereka menjadi takut.

 

Sebelum itu orang Quraisy telah mengirimkan lima puluh orang tentaranya di bawah pimpinan Mukarriz ibnu Hafsh, untuk mengintai perkemahan kaum Muslimin, dengan harapan mereka dapat menyerang sebagian dari kaum Muslimin sewaktu dalam keadaan Tengah. Akan tetapi, mereka dapat ditangkap oleh patroli yang dilakukan oleh Sahabat Muhammad ibnu Maslamah. Pemimpin mereka, Mukarriz, sempat melarikan diri. Setelah orang Quraisy mengetahui hal tersebut, mereka mengumpulkan sepasukan tentara dari kalangan mereka untuk menyerbu kaum Muslimin.

 

Terjadilah pertempuran antara mereka dengan kaum Muslimin. Kesudahannya dua belas orang tentara kaum musyrikin tertawan, sedangkan dari pihak Muslimin hanya seorang yang gugur.

 

PERJANJIAN HUDAIBIYAH

 

Sejak saat itu orang Quraisy mulai merasa takut terhadap kaum Muslimin. Lalu mereka mengutus Suhail ibnu ‘Amr sebagai jubir perdamaian. Ketika datang ia berkata, “Hai Muhammad, sesungguhnya hal yang baru terjadi bukan buah pikiran orang-orang pandai kami, melainkan tindakan gegabah dari orang-orang bodoh kalangan kami. Maka kami minta supaya engkau mengirimkan orang-orang kami yang telah engkau tawan.” Rasulullah menjawab, “Kami mau melakukannya bilamana kalian mengirimkan pula orang-orang kami yang kalian tawan.” Pada saat itu mereka melepaskan Sahabat “Utsman berikut sepuluh orang Muslim.

 

Selanjutnya Suhail menawarkan syarat-syarat yang dikehendaki oleh orang Quraisy kepada Rasulullah saw. Syarat-syarat tersebut seperti berikut ini:

 

  1. Gencatan senjata antara kaum Muslimin dan orang Quraisy selama empat tahun.

 

  1. Barang siapa datang kepada kaum Muslimin (di Madinah) dari kalangan orang Quraisy, kaum Muslimin harus mengembalikannya kepada mereka. Barang siapa dari kaum Muslimin datang kepada orang Quraisy, orang Quraisy tidak diharuskan mengembalikannya kepada kaum Muslimin (di Madinah).

 

  1. Hendaknya Nabi kembali tanpa melakukan ‘umrah untuk tahun ini. la boleh datang tahun depan bersama para sahabatnya sesudah terlebih dahulu orang-orang Quraisy keluar dari kota Makkah. Nabi boleh bermukim selama tiga hari di dalam kota Makkah, sedangkan para sahabat tidak diperkenankan membawa senjata apa pun selain pedang yang disarungkan dan busur panah.

 

  1. Barang siapa ingin masuk ke dalam perjanjian dengan Muhammad, bukan ke dalam orang Quraisy, ia boleh melakukannya. Dan barang siapa ingin masuk ke dalam perjanjian dengan orang Quraisy, ia boleh melakukannya.

 

Rasulullah saw. mau menerima semua syarat tersebut. Adapun tanggapan kaum Muslimin berbeda. Mereka berkata, “Mahasuci Allah, bagaimana kami diharuskan mengembalikan kepada mereka orang yang datang kepada kami dalam keadaan Muslim, dan mereka tidak diharuskan me. ngembalikan orang yang datang kepada mereka dalam keadaan murtad” Rasulullah saw. menjawab, “Barang siapa pergi kepada mereka dari kala. ngan kami, niscaya Allah akan menjauhkannya (dari rahmat-Nya). Barang siapa datang kepada kami dari kalangan mereka, kemudian kami diharus. kan mengembalikannya, maka kelak Allah akan menunjukkan baginya jalan keluar.” Persyaratan nomor tiga, yaitu dilarangnya kaum Muslimin melakukan thawaf di Baitullah (Ka’bah), sangat mempengaruhi hati kaum Muslimin karena Rasulullah saw. telah memberitahukan kepada mereka bahwa ia telah bermimpi bahwa mereka memasuki Baitullah dalam keadaan aman. Sahabat ‘Umar menanyakan hal tersebut kepada Sahabat Abu Bakar, lalu Sahabat Abu Bakar r.a. menjawab, “Apakah Rasulullah menyebutkan bahwa hal itu terjadi tahun ini?”

 

Kemudian syarat-syarat perjanjian tersebut ditulis oleh kedua belah pihak. Sekretaris dari pihak Nabi saw. adalah Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib. Lalu Rasulullah saw. mengimlakannya: “Bismillahir-rahmanir-rahim” (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Akan tetapi. Suhail memotongnya, “Tulislah, Bismikallahumma” (Dengan nama-Mu, ya Allah): lalu Rasulullah saw. memerintahkan Sahabat ‘Ali menurutinya. Selanjutnya Rasulullah saw. berkata, “Ini adalah perjanjian yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah.” Suhail memotongnya lagi, “Seandainya kami mengakui bahwa engkau utusan Allah, kami tidak akan menentang engkau. Akan tetapi, tulislah Muhammad ibnu ‘Abdullah,” Lalu Rasulullah saw. menyuruh Sahabat ‘Ali untuk menghapusnya dan menggantinya dengan tulisan “Muhammad ibnu ‘Abdullah’. Akan tetapi, Sahabat ‘Ali r.a. tidak mau melakukannya. Akhirnya Rasulullah saw. sendiri yang menghapusnya dengan tangannya sendiri. Surat perjanjian ini ditulis sebanyak dua lembar: satu lembar buat orang Quraisy, yang lain buat kaum Muslimin.

 

Setelah penulisan perjanjian itu selesai, datanglah kepada kaum Muslimin Abu Jandal ibnu Suhail yang masih dalam keadaan terbelenggu. Dia termasuk orang-orang Muslim yang tidak boleh melakukan hijrah, lalu ia melarikan diri ke kubu kaum Muslimin untuk meminta perlindungan mereka. Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Bersabarlah dan lakukanlah demi Allah karena sesungguhnya Allah akan membuatkan jalan keluar dan pemecahannya bagi engkau dan orang-orang yang bersama engkau dari kalangan yang lemah. Sesungguhnya kami telah mengadakan perjanjian dengan kaum Quraisy. Antara kami dan mereka telah terjalin kesepakatan. Untuk itu kami tidak mau berbuat khianat terhadap perjanjian yang telah kami setujui bersama.” Pada saat itu kabilah Khuza’ah masuk ke dalam perjanjian dengan Rasulullah, sedangkan Bani Bakar masuk ke dalam perjanjian dengan orang Quraisy.

 

Setelah perkara perjanjian ini selesai, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mencukur rambut mereka dan memotong hewan kurban mereka sebagai pertanda tahallul (berlepas diri) dari ‘umrah mereka (yang tidak jadi itu). Hal ini mengakibatkan kaum Muslimin menanggung beban perasaan yang sangat besar, sehingga mereka tidak segera melaksanakan perintah Rasulullah. Rasulullah saw. masuk menemui Ummul Mu’minin Ummu Salamah, lalu berkata kepadanya, “Celakalah kaum Muslimin, kuperintahkan mereka untuk melakukannya, tetapi mereka tidak mau melakukannya.” Ummu Salamah menjawab, “Maafkanlah mereka. Sungguh engkau telah menanggung perkara yang besar dalam perjanjian yang telah engkau lakukan itu. Kaum Muslimin kembali tanpa melakukan penaklukan. Oleh sebab itu, mereka sedih dan susah. Akan tetapi, sebaiknya keluarlah engkau, wahai Rasulullah, kemudian berilah contoh apa yang engkau kehendaki itu. Bilamana mereka melihat engkau telah melakukannya, niscaya mereka akan mengikuti langkahmu.

 

Kemudian Rasulullah saw. melangkah menuju hewan kurbannya, lalu menyembelihnya. Sesudah itu ia meminta pencukur lalu langsung mencukur rambutnya sendiri. Manakala kaum Muslimin melihat Rasulullah melakukan hal tersebut, mereka bergegas kepada hewan kurban masingmasing, kemudian mencukur rambut mereka seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah. Setelah itu kaum Muslimin kembali ke Madinah. Masingmasing pihak memelihara perjanjian tersebut.

 

Akan tetapi, ketika hal itu telah berjalan dengan lancar, tiba-tiba datanglah kepada mereka Ummu Kaltsum binti “Uqbah ibnu Abu Mu’ith, saudara perempuan seibu Sahabat “Utsman ibnu ‘Affan, dengan maksud berhijrah. Kaum musyrikin meminta supaya kaum Muslimin mengembalikannya ke Makkah. Tetapi Ummu Kaltsum berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini seorang perempuan. Bilamana aku dikembalikan kepada mereka, niscaya mereka akan memfitnah agamaku.” Lalu Allah swt. menurunkan firman-Nya:

 

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepada kalian perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, Jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan berilanlah ke. pada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atas kalian mengawini mereka apabila kalian bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir: dan hendaklah kalian minta mahar yang telah kalian bayar: dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. Dan Allah| Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S. 60 Al-Mumtahanah: 10)

 

Ummu Kaltsum yang berhijrah itu bersumpah bahwa ia keluar dari Makkab bukan karena ingin pindah tempat, bukan karena benci kepada suami, bukan untuk mencari duniawi, dan bukan karena senang kepada seorang lelaki dari kaum Muslimin. Ia keluar hanya untuk tujuan berhijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Setelah ia menyatakan sumpah, ia tidak dikembalikan, tetapi yang dikembalikan hanyalah apa yang telah diberikan oleh suaminya, berupa nafkah dan mahar yang telah dikeluarkan oleh suaminya. Sesudah itu Ummu Kaltsum boleh dikawin oleh orang Muslim, siapa saja yang mau kepadanya. Dalam ayat tersebut terkandung makna bahwa haram mempertahankan istri yang mukmin untuk tetap bersama dengan suami yang kafir, bahkan istri harus dikembalikan kepada keluarganya, dan keluarga istri harus mengganti kerugian kepada suaminya.

 

Abu Buhsair yang nama aslinya ‘Atabah ibnu Usaid ats-Tsagafi r.a, sempat melarikan diri, lalu datang kepada Rasulullah. Orang Quraisy mengirimkan dua orang untuk mengembalikannya kepada mereka. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan dia supaya kembali. Akan tetapi, Abu Bushair berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tega mengembalikan diriku kepada orang-orang kafir? Niscaya mereka akan memfitnah agamaku sesudah Allah menyelamatkan diriku dari cengkraman mereka.” Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya Allah pasti akan menyediakan jalan keluar untuk engkau dan kawan-kawan engkau yang senasib,”

 

Akhirnya Abu Bushair tidak menemukan jalan lain kecuali menuruti perintah Rasulullah. Maka ia kembali ke Makkah dengan dikawal oleh dua orang dari kaum Quraisy. Ketika mereka mendekati Dzul Hulaifah, Abu Bushair menyerang salah satu di antara kedua temannya itu hingga dapat membunuhnya, sedangkan yang satunya lagi sempat melarikan diri kembali ke Makkah. Abu Bushair kembali lagi ke Madinah, lalu menemui Ragulullah saw. dan berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, aku telah memenuhi janjimu. Adapun diriku sekarang telah selamat,” Maka Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Pergilah engkau sesuka tetapi jangan tinggal d. Madinah.” Laiu Abu Bushair pergi ke suatu tempat yang terletak di tengah perjalanan yang menuju ke negeri Syam. Jalan itu biasa dilalui oleh kafilah dagang orang Quraisy.

 

Selanjutnya Abu Bushair bermukim di tempat tersebut dan bergabung dengannya golongan kaum Muslimin Makkah yang selamat melarikan diri. Abu jandal pun bergabung dengan mereka. Selain itu ikut bergabung pula bersama mereka sebagian dari orang-orang kampung yang mendiami daerah tersebut. Mereka membegal setiap kafilah orang Quraisy yang melalui tempat tersebut sehingga perdagangan orang-orang Quraisy macet dan suplai mereka terputus sama sekali. Orang Quraisy mengirimkan utusannya untuk meminta tolong kepada Rasulullah saw. supaya membatalkan syarat yang menyangkut hal ini. Mereka rela memberikan hak kepada Rasulullah saw. untuk tidak mengembalikan orang-orang Quraisy yang datang kepadanya sebagai Muslim. Rasulullah saw. menerima usul tersebut. Akhirnya Allah swt. melenyapkan dari kaum Muslimin kesusahan yang menyangkut syarat ini, sebab mereka tidak tahan melihat kejadian yang mereka alami di Hudaibiyah, yaitu ketika Rasulullah saw. memerintahkan mereka untuk mengembalikan Abu Jandal kepada orang Quraisy.

 

Kini mereka baru mengetahui bahwa pendapat Rasulullah saw. lebih utama dan lebih baik daripada pendapat mereka karena dengan dijalankannya syarat ini, terciptalah perdamaian antara urang-orang Muslim dan orang-orang kafir. Dengan demikian orang-orang kafir bergaul dengan kaum Muslimin, dan selanjutnya sinar Islam sempat mempengaruhi hati mereka sehingga Jslam bertambah berkembang. Sahabat Abu Bakar menanggapi hal ini melalui perkataannya, “Tiada suatu penaklukan pun yang paling besar dalam Islam daripada penaklukan Hudaibiyah. Akan tetapi, jangkauan mereka (kaum Muslimin) pendek, tidak seperti apa yang dipandang oleh Nabi Muhammad dan Rabb-nya, Hamba-hamba Allah selalu bersikap terburu-buru, sedangkan Allah tidak akan tergesa-gesa oleh ketergesaan hamba-hambaNya karena Daia menunggu matangnya perkara terlebih dahulu.”

 

Ketika Rasulullah saw. kembali dari Hudaibiyah, turunlah kepadanya Ayat:

 

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. (9.5. 48 Al-Fath: 1)

 

Peperangan ini dinamakan Al-Fathul Mubin (Kemenangan yang Nyata) adalah sebagai pembenaran terhadap apa yang telah dikatakan oleh Saha. bat Abu Bakar ash-Siddig di atas tadi.

 

MENYURATI RAJA-RAJA

 

Sesudah kaum Muslimin kembali dari Hudaibiyah pada akhir tahun keenam Hijriah, dan jalur-jalur telah aman dari gangguan orang Quraisy. Lalu Nabi saw. mengirimkan surat kepada raja-raja di seluruh dunia pada masa itu, mengajak mereka masuk Islam. Sejak saat itu Rasulullah saw. membuat stempel dari perak guna dicapkan pada semua surat-suratnya. Stempel tersebut bertuliskan lafazh “Muhammadur Rasulullah” (Muhammad Rasulullah).

 

Rasulullah saw. mengutus Dahiyyah al-Kalbiy untuk menyampaikan suratnya kepada kaisar Romawi. Ia memerintahkan supaya surat itu disampaikan melalui pembesar Bashra, selanjutnya pembesar Bashralah yarg akan mengantarkannya kepada Kaisar Romawi.

 

SURAT KEPADA KAISAR

 

Bunyi surat tersebut sebagai berikut:

 

“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad ibnu ‘Abdullah untuk Heraclius kaisar Romawi. Kesejahteraan atas orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba” du: Sesungguhnya aku mengajak engkau dengan seruan Islam: masuk Jslamlah engkau, niscaya selamat, Allah akan memberi engkau pahala dua kali lipat. Bilamana engkau berpaling, maka sesungguhnya di atas pundak engkau terpikul dosa-dosa para Petani”.

 

Katakanlah, “Hai ahli kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyrahkan diri ( kepada Allah).” (Q.5. 3 Ali ‘Imran: 64)

 

CERITA ABU SUFYAN

 

Tatkala surat itu sampai ke tangan Kaisar Heraclius, ia berkata, “Coba ha’dapkan kepadaku seseorang dari kalangan kaumnya. Aku akan menanyakan tentang dia (Nabi Muhammad) kepadanya.”

 

Pada saat itu Abu Sufyan ibnu Harb sedang berada di negeri Syam bersama orang-orang Quraisy yang sedang melakukan misi perniagaan. Kemudian datanglah utusan Kaisar kepada Abu Sufyan, lalu mengajaknya menghadap Kaisar. Abu Sufyan mau memenuhi ajakan itu.

 

Tatkala mereka sampai di Baitul-Magdis, Kaisar berkata kepada penerjemahnya, “Katakanlah kepadanya, siapakah diantara mereka yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan lelaki tersebut (Nabi Muhammad) yang mengaku seorang nabi?” Lalu Abu Sufyan menjawab, “Saya!” karena memang di dalam rombongan kafilah tersebut tiada orang lain dari kalangan Bani ‘Abdu Manaf kecuali Abu Sufyan sendiri. Kaisar berkata kepada Abu Sufyan, “Coba engkau mendekat kepadaku.” Kemudian Kaisar memerintahkan teman-temannya supaya berdiri di belakangnya. Lalu Kaisar berkata kepada penerjemahnya, “Katakanlah kepada teman-temannya, sesungguhnya aku sengaja menaruh lelaki ini (Abu Sufyan) di hadapan kalian karena aku bermaksud menanyakan kepadanya tentang lelaki tersebut (Nabi Muhammad) yang mengaku dirinya nabi. Aku menyuruh kalian untuk berada di belakangnya supaya kalian tidak malu kepadanya untuk menyanggah bila ada perkataannya yang dusta.” Kemudian Kaisar mulai bertanya tentang keturunan lelaki tersebut di antara mereka. Abu Sufyan menjawab, “Dia adalah orang yang mempunyai nasab (keturunan) yang terhormat di kalangan kami.” Kaisar selanjutnya bertanya, “Apakah ada seseorang dari kalian yang mengatakan hal seperti ini sebelumnya?”

 

Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada.” Kaisar bertanya, lagi, “Apakah kalian pernah menuduhnya melakukan perbuatan dusta sebelum ia mengatakan apa yang di katakannya sekarang?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak pernah.” Kaisar seterusnya bertanya, “Apakah ada di antara kakek-moyangnya yang pernah menjadi raja?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada.” Kaisar bertanya lagi, “Orang-orang yang terhormatkah yang mengikutinya, ataukah orangorang yang lemah?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak, bahkan orang-orang yang lemah.” Kaisar seterusnya bertanya lagi, “Apakah para pengikutnya makin bertambah atau makin berkurang?” Abu Sufyan menjawab “Bahkan kian hari kian bertambah.” Kaisar bertanya lagi, “Apakah ada seseorang yang murtad karena benci terhadap agamanya?” Abu Sufyan bertanya, “Tidak ada.” Kaisar bertanya lagi, “Apakah ia pernah berbuat khianat bilamana berjanji?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak pernah, dan sekarang kami sedang mengadakan perjanjian dengannya, tetapi kami tidak mengetahui apa yang akan dilakukannya dengan perjanjian tersebut. Kaisar bertanya, “apakah kalian memeranginya?” Abu Sufyan menjawab, ” Ya.” Kaisar kembali bertanya, “Bagaimana keadaan perang kalian dengannya?” Abu Sufyan menjawab, “Perang di antara kami dan dia silih berganti, terkadang untuk kemenangan kami dan terkadang kami kalah.” Kaisar bertanya, “Ia memerintahkan apa kepada kalian?” Abu Sufyan menjawab, “Ia mengatakan, sembahlah oleh kalian Allah semata, dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Ia melarang menyembah apa-apa yang biasa disembah oleh nenek-moyang kami, dan memerintahkan salat, zakat, memelihara kehormatan, menepati perjanjian, dan memelihara amanat.” Kemudian Kaisar berkata, “Sesungguhnya aku telah bertanya kepadamu tentang nasabnya, lalu kamu mengatakannya bahwa ia mempunyai nasab yang terhormat di kalangan kalian, demikian pula perihal para rasul, mereka dibangkitkan dari kalangan kaumnya yang bernasab terhormat. Aku bertanya kepadamu, apakah ada seseorang di antara kalian yang mengatakan hal ini sebelumnya, lalu kami mengatakan, tidak ada. Seandainya ada seseorang yang telah mengatakan hal ini sebelumnya, niscaya aku akan menduganya bahwa dia adalah seseorang yang hanya mengatakan apa yang telah dikatakan oleh orang-orang sebelumnya. Aku bertanya kepadamu, apakah kalian pernah menuduhnya berlaku dusta sebelum ia mengatakan apa yang dikatakannya itu? Lalu kamu menjawab, belum pernah. Maka aku berkesimpulan bahwa mustahil ia tidak pernah berdusta terhadap manusia, lalu ia berbuat dusta kepada Allah. Aku bertanya kepadamu, apakah ada di antara kakek-moyangnya yang menjadi raja? Lalu kamu mengatakan, tidak. Seandainya ada di antara kakek-moyangnya yang menjadi raja, niscaya aku berkesimpulan bahwa dia menuntut kerajaan kakek-moyangnya. Aku telah bertanya kepadamu, apakah orang-orang yang terhormat yang menjadi para pengikutnya, ataukah orang-orang yang lemah? Lalu kamu mengatakan, tidak, bahkan para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang lemah. Maka aku berkesimpulan pahwa memang demikianlah para pengikut rasul-rasul. Aku bertanya kepadamu, apakah para pengikutnya makin bertambah atau makin berkurang. Lalu kamu mengatakan, bahkan mereka makin bertambah. Memang demikianlah iman sehingga ia sempurna. Aku bertanya kepadamu, apakah ada seseorang dari para pengikutnya yang murtad karena benci pada agamanya? Lalu kamu mengatakan, tidak ada. Memang demikianlah keadaan iman bilamana ia telah meresap ke dalam kalbu. Akn telah bertanya kepadamu, apakah kalian memeranginya? Lalu kalian mengiakan, dan sesungguhnya pertempuran antara kalian dan dia silih berganti. Memang demikianlah perihal para rasul, mereka diuji terlebih dahulu, tetapi pada akhirnya merekalah yang menang. Aku bertnya kepadamu, apa yang diperintahkannya agar orang-orang melakukannya? Lalu kamu mengatakan bahwa dia memerintahkan untuk salat, berzakat, memelihara kehormatan, menunaikan janji, dan memelihara amanat. Aku bertanya kepadamu, apakah dia pernah berkhianat? Kemudian kamu menjawabnya, tidak pernah. Demikian pula keadaan para rasul, mereka sama sekali tidak pernah berkhianat.

 

Kini aku mengetahui bahwa dia adalah seorang nabi, dan aku mengetahui bahwa dia benar-benar diutus menjadi seorang rasul. Aku tidak menduga bahwa dia berasal dari kalian. Apabila ternyata apa yang telah kamu katakan padaku itu benar, niscaya dia akan menguasai tempat berpijak kedua kakiku ini. Seandainya aku menaatinya, berarti aku memaksakan diriku terhadap hal tersebut.”

 

Abu Sufyan menceritakan bahwa pada saat itu terjadilah suara gaduh karena mereka membicarakan hal ini dengan suara yang keras, tetapi dia tidak mengerti apa yang mereka katakan. Selanjutnya mereka memerintahkan agar Abu Sufyan dan kawan-kawannya dikeluarkan. Ketika sudah keluar Abu Sufyan berkata, “Sungguh perkara mengenai Ibnu Abu Kabsyah ini sempat membuat khawatir raja orang-orang yang berkulit kuning.”

 

Ketika Kaisar berangkat ke Himsha, ia menyeru kepada para pembesar Romawi agar berkumpul di istana pribadinya. Setelah semuanya berkumpul, ia memerintahkan kepada penjaga pintu supaya mengunci pintu istananya. Kemudian ia berkata,” Hai orang-orang Romawi, apakah kalian ingin beruntung dan mendapat petunjuk serta menginginkan supaya kerajaan kalian ini tetap tegak? Maka hendaknya kalian membai’at nabi itu (Nabi Muhammad).” Tiba-tiba mereka menjadi binal dan berebutan menuju pintu keluar, tetapi ternyata mereka menjumpainya telah terkunci dari dalam. Ketika Kaisar melihat rasa antipati mereka yang sungguh-sungguh itu, ia berkata kepada para pengawal pribadinya, “Kembalikanlah mereka menghadap kepadaku!” Lalu Kaisar berkata kepada mereka,”Sesungguhnya aku katakan hal ini sekadar untuk menguji keteguhan kalian dalam memegang agama kalian.” Kemudian mereka diam dan tenang kembali serta rela dengan keputusannya. Ternyata kecintaan Kaisar terhadap kerajaannya lebih besar daripada kecintaannya terhadap Islam. Hal ini berarti ia menanggung dosanya sendiri dan dosa rakyatnya seperti yang telah diungkapkan oleh surat Nabi saw. tadi, hanya saja ia menolak Dahiyyah dengan cara yang baik dan sopan.

 

SURAT KEPADA PEMBESAR BASHRA

 

Rasulullah saw. mengutus Al-Harits ibnu ‘Umair al-Azdi membawa suratnya supaya disampaikan kepada pembesar Bashra. Akan tetapi, ketika ia sampai di Mu’tah, yaitu salah satu perkampungan yang termasuk ke dalam wilayah Al-Balga, negeri Syam, ia dihadang oleh Syurahbil ibnu ‘Amr alGhassaniy (orang Arab yang memihak kepada raja Romawi, pen.), Kemudian Syurahbil berkata kepadanya , “Hendak ke manakah kamu?” Al-Harits menjawab, “Negeri Syam.” Syurahbil bertanya lagi, “Barangkali engkau ini termasuk utusan Muhammad, bukan?” Al-Harits menjawab, “Ya.” Maka Syurahbil memerintahkan orang-orangnya supaya menangkapnya, kemudian ia dibunuh dengan cara dipenggal. Al-Harits merupakan satu-satunya utusan Rasulullah yang terbunuh, Rasulullah saw. sangat bersedih atas kehilangannya.

 

SURAT KEPADA AL-HARITS IBNU ABU SYAMR

 

Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan Syuja’ ibnu Wahb untuk menyampaikan suratnya kepada amir Damaskus dari pihak Heraclius, yang bernama Al-Harits ibnu Abu Syamr. Ia tinggal di daerah perkebunan kota Damaskus. Isi surat tersebut adalah sebagai berikut:

 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad Rasul Allah, kepada Al-Harist ibnu Abu Syamr. Kesejahteraan atas orang yang mengikuti petunjuk dan mau beriman dan percaya kepada Allah.

 

Sesungguhnya aku mengajak engkau supaya beriman kepada Allah se mata, tiada sekutu bagi-Nya. Maka niscaya kerajaan engkau akan tetap. Tatkala Al-Harits selesai membaca surat Nabi, lalu ia melemparkan surat itu seraya berkata, “Siapakah yang berani merebut kerajaanku dari tanganku?” Setelah itu ia bersiap-siap menghimpun balatentaranya guna memerangi kaum Muslimin, lalu berkata kepada Syuja’ “Beritahukanlah kepada sahabatmu (Nabi saw.) apa yang telah engkau lihat sekarang ini.” Lalu AlHarits mengirimkan surat kepada Kaisar untuk meminta izin melaksanakan hal tersebut. Ternyata ketika utusan itu menghadap, ia sempat bertemu dengan Dahiyyah yang juga ada di situ. Lalu Kaisar membalas suratnya seraya memuji niatnya itu, dan ia memerintahkan Al-Harits supaya membuat persiapan bagi kunjungannya nanti karena, setelah Kaisar berhasil memukul pasukan kerajaan Persia, ia berniat mengunjunginya di Elia. Setelah Al-Harist membaca surat Kaisar, lalu ia mempersilakan Syuja’ ibnu Wahb kembali dengan cara yang baik-baik, bahkan menghadiahkan kepadanya perbekalan dan pakaian.

 

SURAT KEPADA MUQAUQIS

 

Rasulullah saw. mengutus Hathib ibnu Abu Balta’ah untuk membawa surat yang ditujukan kepada Mugaugis, raja Mesir,yang diangkat oleh kaisar Romawi. Surat ini berbunyi:

 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasul Allah, ditujukan kepada Mugaugis pembesar orang-orang Mesir (Qibth). Kesejahteraan atas orang yang mau mengikuti petunjuk.

 

Amma ba’du: Sesungguhnya aku mengajak engkau dengan ajakan Islam, masuk Islamlah engkau, niscaya engkau akan selamat, Allah akan memberikan pahala kepada engkau dua kali hpat. Bilamana engkau berpaling, maka sesungguhnya di atas pundak engkau terpikul beban semua dosa orang Mesir. Hai orang-orang ahli kitab, marilah kepada suatu kalimat… dan seterusnya.

 

Kemudian surat itu disampaikan oleh Hathib kepada Mugaugis di Iskandariah. Setelah Mugaugis membacanya, ia berkata, “Apakah gerangan yang mencegahnya, bila memang ia seorang nabi, dari berdoa supaya orangorang yang menentangnya dan yang telah mengusirnya dari tanah tumpah darahnya dihancurkan dan dibinasakan” Hathib menjawab, “Tidakkah engkau percaya bahwa Nabi ‘Isa ibnu Maryam adalah Rasul Allah ketika kaumnya menangkap dirinya dan bermaksud hendak membunuhnya? Mengapa dia tidak berdoa saja kepada Allah supaya membinasakan mereka?. Mengapa ia menunggu sampai Allah mengangkat dirinya ke sisi-Nya?” Mugaugis berkata, “Jawaban engkau sangat bagus. Engkau memang bijaksana dan datang dari seorang yang bijaksana pula.” Selanjutnya Mugaugis berkata, “Sesungguhnya aku telah memperhatikan perihal nabi ini, ternyata aku menjumpainya bahwa dia tidak memerintahkan kepada hal yang tidak disukai dan pula dia tidak melarang hal yang disukai. Aku menemukannya bukan seorang penyihir lagi sesat, dan bukan pula seorang juru ramal lagi pendusta. Aku menemukan pada dirinya tanda kenabian, yaitu dapat mengetahui hal gaib yang tersembunyi, dan dapat menceritakan tentang apa yang terbetik dalam hati. Aku akan mempertimbangkannya lebih dahulu.” Selanjutnya ia menulis surat balasan sebagai berikut:

 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ditujukan kepada Muhammad ibnu ‘Abdullah, dari Mugaugis penguasa bangsa Mesir. Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas diri engkau.

 

Amma ba’du: Aku telah membaca surat engkau dan telah mengerti apa yang engkau serukan, serta aku telah mengetahui bahwa masih ada seorang nabi yang aku duga keluar dari negeri Syam. Aku telah memuliakan utusan engkau serta aku kirimkan bersamanya dua orang jariah yang keduanya mempunyai kedudukan terhormat di kalangan kami, dan kami kirimkan pula pakaian-pakaian, serta aku hadiahkan khusus untuk engkau seekor bagal sebagai kendaraan engkau.

 

Wassalam.

 

Salah seorang di antara kedua jariah tersebut bernama Mariah, yang kemudian dikawin oleh Nabi saw. sebagai hasil perkawinannya dengan Mariah, Nabi saw. mempunyai seorang anak lelaki bernama Ibrahim. Sedangkan jariah yang seorang lagi diberikan kepada Sahabat Hissan ibnu Tsabit. Sangat disayangkan, Mugaugis tidak mau masuk Islam.

 

SURAT KEPADA KISRA, RAJA PERSIA

 

Rasulullah saw. mengutus Sahaba’ ‘Abdullah ibnu Hudzafah as-Sahmiy untuk menyampaikan surat kepada Kisra, raja Persia. Surat itu berbunyi:

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad Rasul Allah kepada Kisra penguasa negeri Persia. Kesejahteraan atas orang yang mengikuti petunjuk, mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

 

Aku menyeru engkau dengan seruan Allah. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada seluruh umat manusia, untuk memberi peringatan kepada orang yang hidup, dan untuk menyatakan perkara yang hak terhadap orang-orang kafir. Masuk Islamlah engkau, niscaya engkau selamat. Apabila engkau membangkang, maka sesungguhnya di atas pundak engkau terpikul dosa-orang-orang majusi. Setelah ia membaca surat tersebut, lalu ia merobek-robeknya dengan sikap yang angkuh. Ketika hal tersebut sampai ke telinga Rasulullah saw, dia berdoa, “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya dengan sesungguhnya.” Ternyata doa Rasulullah saw. itu dikabulkan. Kerajaan Persia merupakan kerajaan yang paling dahulu runtuh. Raja celaka ini memulai lebih dahulu permusuhannya. Ia memerintahkan gubernurnya yang menguasai negeri Yaman supaya ia memerintahkan orangorangnya untuk mendatangkan Rasulullah ke hadapannya. Akan tetapi niatnya itu tidak kesampaian karena Allah swt. telah membinasakannya terlebih dahulu melalui anaknya yang bernama Syairuwaih. Syairuwaih merebut takhta kerajaan ayahnya, dan membunuhnya. Selanjutnya Syairuwaih mengirimkan utusan kepada wakilnya yang berada di negeri Yaman supaya ia tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh ayahnya.

 

SURAT KEPADA RAJA NAJASYI (NEQUS)

 

Rasulullah saw. mengutus Sahabat ‘Amr ibnu Umayyah adh-Dhimriy un “uk membawa suratnya kepada Raja Najasyi, raja negeri Habsyah (Etio pia). Bunyi surat itu sebagai berikut:

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad utusan Allah kepada Najasyi penguasa negeri Habsyah. Semoga kesejahteraan atas kamu.

 

Amma ba’du: Aku memulai suratku kepada engkau dengan memuji kepada Allah, Yang tiada tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, dan aku bersaksi bahwa ‘Isa anak Maryam adalah tiupan roh Allah yang disampaikan-Nya kepada Maryam Perawan Suci, maka ia mengandung ‘Isa dengan tiupan roh daripada-Nya sebagaimana Dia menciptakan Adam dengan tangan kekuasaan-Nya.

 

Sesungguhnya aku mengajak engkau untuk menyembah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bersedia taat kepada-Nya, dan hendaknya engkau mau mengikutiku serta meyakini apa yang disampaikan kepadaku. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Aku mengajak engkau dan balatentara engkau untuk menyembah kepada Allah swt. Aku telah menyampaikan dan telah mengutarakan nasihatku maka terimalah nasihatku. Semoga kesejahteraan atas orang yang mengikuti hidayah.

 

Tatkala surat Rasulullah saw. sampai ke tangannya dan telah dibacanya, ia menghormati utusan Rasulullah saw. dengan penghormatan yang luar biasa. Lalu ia berkata kepada ‘Amr, “Sesungguhnya aku telah mengetahui, demi Allah, bahwa ‘Isa telah memberikan kabar gembira tentang kedatangannya. Hanya saja pembantu-pembantuku di Habsyah masih sedikit jumlahnya. Untuk itu tangguhkanlah diriku hingga pengikutku banyak, dan aku dapat melunakkan hati mereka.”

 

Selanjutnya ‘Amr menawarkan kepada orang-orang yang masih tertinggal di Habsyah dari kalangan Muhajirin Muslimin untuk kembali bergabung dengan Rasulullah saw. di Madinah. Di antara mereka terdapat Ummu Habibah binti Abu Sufyan, istri ‘Abdullah ibnu Jahsy yang telah masuk Islam dan kemudian membawa istrinya hijrah ke Habsyah. ‘Abdullah ibnu Jahsy telah ditakdirkan tergiur oleh agama Nasrani, akhirnya ia masuk agama nasrani (dan dia menceraikan istrinya). Kemudian Rasulullah saw. mengawini Ummu Habibah melalui perantaraan kaum Muslimin yang berada di Habsyah. Orang yang mengawinkannya adalah Raja Najasyi berdasarkan wakil dari Rasulullah saw.

 

SURAT KEPADA AL-MUNDZIR IBNU SAWI

 

Untuk menyampaikan suratnya kepada Al-Mundzir ibnu Sawiy, raja negeri Bahrain, Rasulullah saw. mengutus Al’Ala ibnulHadhramiy. Tujuan surat ini mengajaknya untuk masuk agama Islam. Isi surat adalah sebagai berikut:

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, masuk Islamlah engkau. Sesungguhnya aku memulai suratku kepadamu dengan memuji kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia.

 

Amma ba’du: Sesungguhnya orang yang melakukan salat seperti kami, menghadap kiblat kami, dan memakan sesembelihan kami, maka dia adalah orang Muslim, baginya jaminan Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang menyukai hal tersebut dari kalangan orang-orang majusi, maka berarti ia telah beriman. Barang siapa yang membangkang, maka diwajibkan baginya membayar jizyah, maka masuk Islamlah engkau.

 

Al-Mundzir ibnu Sawiy membalas surat Rasulullah saw , bunyinya sebagai berikut:

 

Amma ba’du: WahaiRasulullah, sesungguhnya aku telah membacakan surat engkau kepada penduduk Bahrain. Di antara mereka ada yang menyukai Islam dan membuatnya kagum, lalu ia masuk Islam. Di antara mereka ada pula yang tidak menyukainya. Di negeri kami terdapat orang-orang yang beragama majusi dan Yahudi, maka ceritakanlah kepadaku sehubungan dengan hal ini tentang perkara engkau itu.

 

Maka Rasulullah saw. mengirimkan surat lagi kepadanya yang bunyinya sebagai berikut:

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad utusan Allah kepada Al-Mundzir ibnu Sawiy. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada diri engkau. Aku memulai kepada engkau dengan memuji kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia, dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

 

Amma ba’du: Sesungguhnya aku mengingatkan diri engkau kepada Allah swt. Barang siapa yang mau menerima nasihat, maka manfaatnya bagi dirinya sendiri, dan sesunggunnya barang siapa yang menaati utusanku ini dan mau mengikuti perintahnya. maka berarti ia taat kepadaku. Barang siapa yang mau menasihati mereka, berarti dia menasihati atas namaku. Sesungguhnya para utusanku telah memuji engkau dengan pujian yang baik, dan kini aku memberikan pertolongan kepada engkau dalam menghadapi kaum engkau. Biarkanlah harta kaum Muslimin sejak mereka masuk Islam, dan aku telah memaafkan orang-orang yang berdosa, maka terimalah (jizyah) dari mereka. Sesungguhnya betapa baiknya sikap engkau maka aku tidak sekali-kali akan mengubah tugas engkau. Barang siapa yang menetapi keyahudiannya atau kemajusiannya, maka baginya harus membayar jizyah.

 

SURAT KEPADA DUA PENGUASA ‘AMMAN

 

Rasulullah saw. mengutus ‘Amr ibnul ‘Ash untuk menyampaikan surat kerada Jaifar dan ‘Abd, dua orang anak Al-Jalandi yang keduanya merupakan penguasa negeri ‘Amman. Isi gurai itu sebagai berikut:

 

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad utusan Allah kepada Jaifar dan ‘Abd, kedua anak AlJalandi. Kesejahteraan atas orang yang mengikuti hidayah.

 

Amma ba’du: Sesungguhnya aku menyeru kalian berdua dengan seruan Islam. Masuk Islamlah kalian berdua, niscaya kalian berdua selamat. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada umat manusia seluruhnya, untuk memberi peringatan terhadap orang-orang yang hidup dan menegakkan perkara yang hak terhadap orang-orang kafir. Sesungguhnya bila kalian berdua mau berikrar masuk Islam, maka aku akan mengangkat kalian berdua. Bilamana kalian berdua membangkang, maka sesungguhnya kerajaan kalian berdua pasti lenyap, dan akan ada pasukan berkuda menempati negeri kalian, dan kenabianku pasti akan muncul pada kerajaan kalian berdua.

 

Ketika ‘Amr memasuki ruangan kedua penguasa itu, ‘Abd ibnul-Jalandi bertanya kepadanya tentang apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh Rasulullah saw. ‘Amr menjawab, “Ia memerintahkan taat kepada Allah swt. dan melarang berbuat maksiat kepada-Nya: memerintahkan kepada kebajikan dan silaturrahim: melarang berbuat zalim, permusuhan, zina, meminum khamar, dan menyembah batu, berhala dan salib.” ‘Abd ibnul-Jalandi berkata, “Alangkah baiknya apa yang diserukan olehnya itu. Seandainya saudaraku mengikuti aku, niscaya kami akan berangkat untuk beriman kepada Muhammad dan percaya kepadanya. Akan tetapi, sangat disayangkan, saudaraku itu begitu kuat memegang kerajaannya. Ia sangat khawatir akan kehilangan kerajaannya dan tidak mau menjadi pengikut.” Lalu ‘Amr berkata kepadanya, “Apabila saudaramu itu mau masuk Islam, niscaya Rasulullah akan mengangkatnya menjadi raja bagi kaumnya, lalu ia bertugas mengambil zakat dari orang-orang kaya di antara kaumnya untuk diberikan kepada kaum fakir-miskin.” ‘Abd ibnul-Jalandi berkata, “Sesungguhnya hal ini merupakan akhlak yang baik. Apakah zakat itu”

 

Selanjutnya ‘Amr menceritakan kepadanya tentang apa yang telah diwajibkan oleh Allah berupa zakat harta benda, tetapi ketika ‘Amr menyebutkan masalah zakat ternak, ‘Abd berkata, “Hai ‘Amr, apakah diambil puia zakat dari ternak kami yang digembalakan dengan memakan tumbuh-tumbuhan dan meminum airnya sendiri” ‘Amr menjawab, “Ya.” Maka ‘Abd berkata, “Demi Allah, menurut pendapatku, aku merasakan bahwa kaumku yang vegitu berjauhan letaknya dan jumlahnya cukup banyak, tidak akan rels dengan hal ini.” Selanjutnya ‘Abd mengantarkan ‘Amr kepada saudaranya yang bernama Jaifar. Lalu ‘Amr berbicara dengan Jaifar dengan pempicaraan yang dapat melunakkan hatinya. Akhirnya Jaifar mau masuk Islam berikut saudaranya. Begitu pula ‘Amr dapat menyadarkan mereka berdua untuk mau menunaikan zakat.

 

SURAT KEPADA HAUDZAH IBNU ‘ALI

 

Rasulullah saw. mengirimkan Salbath ibnu ‘Amr al-‘Amiriy untuk menyampaikan suratnya kepada Haudzah ibnu ‘Ali, penguasa negeri Yamamah. Isi surat tersebut seperti berikut:

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada Haudzah ibnu ‘Ali. Kesejahteraan atas orang yang mau mengikuti petunjuk.

 

Aku beritahukan bahwa agamaku akan tampak sampai sejauh kaki dan teracak melangkah, maka masuk Islamlah, niscaya engkau akan selamat, dan aku akan mengangkat engkau sebagai penguasa di daerah engkau.

 

Ketika surat sampai kepadanya, dan setelah dibacanya, lalu Haudzah membalas surat tersebut yang bunyinya seperti berikut: Alangkah baik dan indahnya ajakan engkau itu. Aku adalah penyair kaumku dan juru pidato mereka. Orang Arab menyegani kedudukanku. Maka jadikanlah untukku sebagian perkara, niscaya aku akan mengikuti engkau. Tatkala balasannya itu sampai ke tangan Rasulullah, lalu Rasulullah saw. berkata “Seandainya ia meminta kepadaku sebidang tanah, niscaya aku tidak akan memberikannya. Sungguh akan lenyaplah apa yang berada di tangannya. Tidak lama kemudian ia mati sewaktu Rasulullah saw. kembali ke Madinah dari penaklukan kota Makkah. Bagi setiap kaum yang mau memeluk Islam, Rasulullah saw. selalu mengangkat orang yang paling terhormat dari kalangan mereka untuk menjadi pemimpin kaumnya.

PERANG KHAIBAR

 

Pada bulan Muharam tahun ketujuh Hijriah Rasulullah saw. memerintahkan kaum Muslimin supaya bersiap-siap untuk menyerang orang Yahudi Khaibar, sebab merekalah penyebab utama yang menggerakkan golongan : bersekutu untuk melawan Rasulullah saw. dalam Perang Khandag yang telah lalu. Sampai saat itu mereka masih tetap berupaya sekuat tenaga bersekutu dengan orang Arab untuk melawan Rasulullah saw. sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam kisah Ka’b ibnul-Asyraf. Rasulullah saw. pada saat itu berhasil menggerakkan orang Arab yang berada di sekitarnya, yaitu mereka yang ikut andil bersamanya dalam Perang Hudaibiyah. Pada saat itu datang pula orang-orang yang tidak ikut dalam Perang Hudaibiyah, meminta diizinkan untuk ikut kali ini. Maka Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Jangan sekali-kali kalian keluar bersamaku selain untuk berjihad. Adapun mengenai ghanimah, aku tidak akan memberikannya sedikit pun kepada kalian.” Lalu Rasulullah saw. memerintahkan seseorang untuk mengumumkan seruan tersebut.

 

Kemudian Rasulullah saw. berangkat setelah mengangkat Sahabat Siba’ ibnu “Urfuthah al-Ghifariy untuk menjadi penggantinya di Madinah. Di antara istri-istri Rasulullah yang ikut kali ini ialah Ummu Salamah r.a.. Ketika tentara kaum Muslimin memasuki tanah Khaibar yang jauhnya hanya seratus mil dari kota Madinah, yaitu di sebelah barat daya, mereka mengangkat suara seraya mengumandangkan takbir dan doa. Rasulullah saw. berkata kepada mereka: .

 

Perlahan-lahanlah karena sesungguhnya kalian bukan berdoa (meminta) kepada yang tuli dan pula bukan kepada yang gaib, sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Dia selalu bersama kalian. Benteng orang Khaibar itu terdiri dari tiga bagian, antara satu dengan yang lain terpisah-pisah, yaitu benteng Nithah, benteng Katsibah, dan benteng Syig. Benteng yang pertama (Nithah) terdiri dari tiga bagian lagi, yaitu benteng Na’im, benteng Sha’b, dan benteng Qillah. Benteng yang kedua (Katsibah) terdiri dari dua bagian, yaitu benteng Abi dan benteng Barri. Sedangkan benteng yang ketiga (Syig) terdiri dari tiga bagian, yaitu benteng Gamush, benteng Wathih, dan benteng Salalim.

 

Rasulullah saw. memulai serangannya pada benteng Nithah, sedangkan perkemahan pasukan kaum Muslimin berada di sebelah timurnya, jaUh dari jangkauan panah. Akan tetapi, sebelum itu Rasulullah saw. memerintahkan balatentaranya supaya menebangi pohon-pohon kurma milik musuh dengan maksud untuk menakut-nakuti mereka supaya mau menyerah. Lalu kaum Muslimin menebang pohon-pohon kurma itu. Diperkirakan jumlah yang ditebang pada waktu itu sebanyak empat ratus batang pohon. Ketika Rasulullah saw. melihat bahwa orang-orang Yahudi masih juga tidak mau menyerah, bertekad untuk melakukan peperangan, Rasulullah mulai melancarkan serangan ke benteng Na’im. Peperangan berlangsung dengan saling memanah di antara kedua belah pihak. Panji peperangan kaum Muslimin pada saat itu dipegang oleh salah seorang dari kalangan Muhajirin. Peperangan pada hari itu tidak membawa hasil apaapa. Pada hari itu gugur Mahmud ibnu Maslamah, saudara Sahabat Muhammad ibnu Maslamah. Setiap hari Rasulullah saw. berangkat ke medan perang bersama sebagian tentaranya untuk menyerang musuh, sebagian pasukan lainnya ditinggalkan untuk menjaga perkemahan. Pada malam ketujuh, penjaga perkemahan, yaitu Sahabat “Umar ibnul-Kaththab, berhasil menangkap seorang Yahudi yang mencoba keluar dari bentengnya. Lalu orang Yahudi itu dihadapkan kepada Rasulullah. Ketika ia melihat , Rasulullah saw. ia tampak sangat takut. Ia berkata, “Apabila kalian menjamin keselamatanku, aku akan menunjukkan kepada kalian suatu hal yang dapat mengantarkan kalian kepada kemenangan.” Para sahabat menjawab, “Baiklah, coba tunjukkan pada kami, kami bersedia menjamin keselamatan dirimu.”

 

Lelaki Yahudi itu Jalu berkata, “Sesungguhnya penduduk benteng ini telah tertimpa rasa jenuh dan letih. Ketika aku keluar, mereka sedang mengungsikan anak-anak mereka ke benteng Syig. Besok mereka akan keluar untuk bertempur melawan kalian. Apabila kalian besok dapat menaklukkan benteng ini, niscaya aku akan menunjukkan kepada kalian suatu gudang yang di dalamnya terdapat manjanik (alat pelontar batu), dabbabat (alat pendobrak benteng), baju-baju besi, dan banyak pedang. Bilamana kalian berhasil menguasai semua senjata itu, niscaya akan mudah bagi kalian untuk menaklukkan benteng-benteng yang lain. Karena pada hari itu juga kalian dapat menggunakan manjanik, beberapa orang dari kalian dapat masuk ke dalam dabbabat dan mereka pasti akan bisa mendobrak benteng, maka pada hari itu juga kalian dapat membuka benteng mereka.

 

Lalu Rasulullah saw. berkata kepada Sahabat Muhammad ibnu Maslamah, “Besok aku akan memberikan panji peperangan kepada seorang lelaki yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta keduanya mencintainya.” Kaum Muhajirin dan kaum Anshar pada malam itu semuanya mengharapharapkan hal tersebut sehingga Sahabat ‘Umar ibnul Khaththab berkata “Aku belum pernah mengharap-harapkan pengangkatan selain pada malam ini.” Ketika keesokan harinya Rasulullah saw. menanyakan Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib, ada yang mengatakan bahwa matanya sedang sakit. Rasulullah saw. mengirimkan seseorang untuk menjemputnya. Ketika Sahabat ‘Ali sampai di hadapannya, lalu ia meludahi kedua matanya. Seketika itu juga Sahabat ‘Ali sembuh, seolah-olah matanya tidak pernah kena apa-apa. Selanjutnya Rasulullah saw. memberikan panji peperangan kepadanya, lalu Sahabat ‘Ali berangkat bersama kaum Muslimin ke medan perang.

 

Di medan perang kaum Muslimin menjumpai orang Yahudi telah bersiap-siap untuk menyambut mereka. Lalu keluarlah seorang Yahudi meminta perang tanding. Sahabat ‘Ali maju meladeninya dan dapat membunuhnya. Kemudian muncullah Mirhab. Dia seorang Yahudi yang paling pemberani, tetapi Sahabat ‘Ali dapat membunuhnya. Lalu muncul saudaranya yang bernama Yasir, tetapi Yasir pun mati terbunuh oleh Sahabat Zubair ibnul-“ Awwam.

 

Setelah perang tanding usai, kaum Muslimin menyerang pasukan Yahudi sehingga dapat memukul mereka. Mereka melarikan diri menuju ke benteng, dan kaum Muslimin terus mengejarnya. Kaum Muslimin memasuki benteng mereka didahului oleh peperangan yang sengit. Akhirnya musuh melarikan diri ke benteng yang berada di sebelah benteng pertama, yaitu benteng Sha’b. Kaum Muslimin memperoleh banyak ghanimah dari dalam benteng Na’im berupa roti dan kurma. Setelah itu kaum Muslimin

 

mengejar orang-orang Yahudi yang kini berlindung di dalam benteng Sha’b. Orang Yahudi dengan gigih mempertahankan benteng ini sehingga mereka dapat menahan laju pasukan kaum Muslimin dan dapat mengusir mereka dari benteng tersebut. Akan tetapi, Al-Habbab ibnul-Mundzir bersama kawan-kawannya tetap bertahan. Mereka bertempur dengan gigih, dan akhirnya mereka berhasil memukul mundur pasukan Yahudi. Kemudian Al-Habbab bersama kawan-kawannya berhasil menaklukkan benteng tersebut. Di dalam benteng itu mereka menemukan banyak ghanimah berupa makanan. Rasulullah saw. memerintahkan penyeru supaya mengatakan, “Makanlah dan berilah makan hewan kendaraan kalian, tetapi jangan mengambil sesuatu pun daripadanya.”

 

Selanjutnya orang-orang Yahudi yang kalah meninggalkan benteng tersebut pindah ke benteng Qillah, tetapi mereka dikejar oleh kaum Muslimin, dan kaum Muslimin mengepung mereka selama tiga hari. Tetapi benteng tersebut kuat sekali dan sulit didobrak. Pada hari keempat orang Yahudi yang tertangkap tadi menunjukkan kepada Kaum Muslimin sumbersumber air minum mereka. Kemudian sumber-sumber air itu dikuasai kaum Muslimin sehingga orang Yahudi tidak memperoleh suplai air minum. Akhirnya mereka keluar dari benteng dan bertempur melawan kaum Muslimin. Kedua pasukan terlibat dalam pertempuran yang sengit sekali. Ak. hirnya pasukan Yahudi kalah, lalu mereka pindah ke benteng Syiq

 

Akan tetapi, tentara kaum Muslimin mengejar mereka, lalu memulai serangan yang ditujukan kepada benteng Abi. Penduduk benteng Syig keluar bertempur melawan kaum Muslimin. Mereka terlibat dalam pertempuran sengit. Dalam pertempuran ini Abu Dujanah al-Anshari memperoleh kemenangan yang gemilang sehingga ia bersama temantemannya dapat memasuki benteng tersebut secara paksa. Di dalam benteng itu kaum Muslimin menemukan banyak ghanimah berupa perabot rumah tangga, harta benda, ternak, dan makanan, sedangkan orang Yahudi yang kalah pindah ke benteng Barri yang berada di sebelahnya. Mereka mempertahankan benteng ini dengan kuat sekali. Para penduduknya terkenal sebagai orang-orang Yahudi yang paling ahli dalam melempar tombak dan batu sehingga Rasulullah saw. sempat terkena sebagian lemparannya. Kemudian kaum Muslimin memasang manjanik dan mengebomi mereka dengan batu. Batu-batu yang dilemparkan dengan manjanik kaum Muslimin jatuh di tengah-tengah benteng sehingga membuat panik penduduknya, lalu mereka lari meninggalkannya. Dengan demikian kali ini kaum Muslimin dapat menaklukkan benteng tersebut tanpa jerih payah yang berat. Di dalam benteng itu kaum Muslimin menemukan ghanimah milik orang Yahudi berupa perabotan yang terbuat dari tembaga dan keramik. Rasulullah saw. berkata kepada tentara kaum Muslimin, “Cucilah semuanya, lalu kalian boleh memakainya untuk memasak.”

 

Selanjutnya kaum Muslimin mengejar sisa-sisa pasukan Yahudi yang berlindung di dalam benteng Katsibah, lalu mereka memulai serangan terhadap benteng Qamush. Kaum Muslimin mengepung benteng ini selama dua puluh hari. Akhirnya benteng ini berhasil ditaklukkan oleh Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib, dan dari dalam benteng ini ditawan Shafiyyah binti Huyay ibnu Akhthab.

 

Pasukan kaum Muslimin meneruskan serangannya ke benteng Wathi’ dan benteng Salalim, tetapi penduduknya tidak mengadakan perlawanan sedikit pun, bahkan mereka menyerah. Mereka meminta kepada Rasulullah saw. supaya jiwa mereka dilindungi. Untuk itu mereka bersedia keluar dari Khaibar berikut anak-cucu mereka. Tiada seorang pun dari mereka yang membawa selain satu pasang pakaiannya di atas pundaknya. Rasulullh saw. menyetujui permintaan mereka. Kaum muslimin memperoleh ghanimah dari kedua benteng ini berupa 100 buah baju besi, 400 bilah pedang, 1000 pucuk tombak, dan 500 buah busur panah buatan Arab. Selain itu mereka menemukan kitab-kitab Taurat, lalu mereka memberikannya kepada orang-orang yang menginginkannya.

 

Dalam perang tersebut Rasulullah saw. memerintahkan supaya Kinahah ibnu Abul-Haqiq dihukum mati karena ia menyembunyikan perhiasan Milik Huyay ibnu Akhthab. Hal ini diketahui oleh kaum Muslimin. Setelah dibuka, ternyata di dalamnya terdapat banyak perhiasan berupa gelang, anting, dan cincin yang semuanya terbuat dari emas. Di dalamnya ditemukan pula berbagai macam permata dan zamrud serta perhiasan lainnya.

 

Orang-orang yang gugur mati syahid dari pasukan Muslimin ada lima belas orang, sedangkan dari pasukan Yahudi berjumlah sembilan puluh tiga orang yang mati terbunuh dalam perang tersebut. Dalam perang ini ada seorang wanita Yahudi yang menghadiahkan masakan kaki kambing kepada Rasulullah. Sebelumnya wanita itu menaburkan racun pada masakannya. Rasulullah saw. mengambil sebagian daripadanya, lalu dikunyahrnya, tetapi tidak dimakannya, bahkan langsung dikeluarkannya kembali karena ada yang memberi tahu bahwa masakan itu telah dibubuhi racun. Akan tetapi, Bisyr ibnul-Barra memakannya sebagian, dan ia mati seketika itu juga. Selanjutnya Rasulullah saw. berdiam diri, kemudian memerintahkan supaya wanita yang melakukan perbuatan ini ditangkap. Ketika Rasulullah saw. menginterogasinya mengapa ia melakukan hal tersebut, wanita Yahudi itu menjawab, “Aku berkata kepada diriku sendiri, bilamana dia benarbenar seorang nabi, niscaya makanan itu tidak akan membahayakannya, dan bilamana dia bukan nabi, maka Allah akan membebaskan kami daripadanya.” Lalu Rasulullah saw. memaafkannya, tetapi dia tetap dihukum mati menjalani hukum gishash karena Bisyr ibnul-Barra telah mati akibat racun.

 

PERKAWINAN DENGAN SHAFIYYAH

 

Sesudah berhasil memperoleh kemenangan dan keberuntungan, Rasulullah saw. mengawini Shafiyyah binti Huyayin, putri pemimpin Bani Nadhir. Sebagai maskawinnya ia dimerdekakan. Shafiyyah kemudian masuk Islam dan berhasil rnemperoleh kehormatan, yaitu gelar Ummul-Mu’minin.

 

LARANGAN NIKAH MUT’AH

 

Sewaktu Rasulullah saw. di Khaibar, dia melarang nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah sementara. Pada masa jahiliah pernikahan macam ini diperbolehkan, dan pada permulaan Islam masih tetap berlaku, kemudian oleh syara” diharamkan pada tahun ketujuh Hijriah, yaitu sewaktu Rasulullah berada di Khaibar. Rasulullah pun melarang memakai daging keledai kampung. Ketika larangan itu disampaikan, kaum Muslimin menumpahkan panci-panci mereka yang berisi daging keledai kampung, padahal sudah matang, tetapi mereka tidak memakannya karena ada larangan dari Rasulullah.

 

KEMBALINYA KAUM MUHAJIRIN HABSYAH

 

Ketika kaum Muslimin kembali dari tanah Khaibar, datanglah dari negeri Habsyah Sahabat Ja’far ibnu Abu Thalib bersama orang-orang Asy’ari, yaitu Sahabat Abu Musa dan kaumnya. Mereka baru menyelesaikan hijrahnya yang telah mereka alami selama sepuluh tahun. Dalam masa itu mereka hidup aman dan tenang di Habsyah. Rasulullah saw. menyambut dengan gembira kedatangan mereka, kemudian dia memberikan bagian ghanimah dari benteng-benteng yang ditaklukkan secarra damai kepada orang-orang Asyi’ari. Pada saat itu juga datang pula kepada Nabi saw. orang-orang Daus. Mereka teman-teman Sahabat Abu Hurairah r.a. Pada saat itu Sahabat Abu Hurairah pun bersama mereka. Rasulullah saw. memberikan pula bagian ghanimah kepada mereka.

 

PENAKLUKAN TANAH FADAK

 

Sesudah tanah Khaibar ditaklukkan secara tuntas, lalu Rasulullah mengirimkan surat kepada orang Yahudi yang mendiami tanah Fadak supaya mereka tunduk dan taat kepadanya. Orang Yahudi mengadakan perjanjian dengan Rasulullah saw. dengan syarat, hendaknya darah mereka dipelihara. Untuk itu mereka bersedia meninggalkan harta mereka, yaitu tanah Fadak. Tanah Fadak ini kemudian khusus hanya bagi Rasulullah saw. Rasulullah menggunakan hasil tanah ini buat menafkahi keluarganya, dan selebihnya digunakan untuk menafkahi anak-anak kecil (yatim) Bani Hasyim, dan selebihnya digunakan pula untuk biaya menikahkan jandajandanya.

 

PERJANJIAN TAIMA

 

Ketika terdengar oleh orang Yahudi Taima” apa yang telah dilakukan oleh kaum Muslimin terhadap orang Yahudi tanah Khaibar, lalu mereka mengadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Untuk itu mereka bersedia membayar jizyah, dan karenanya mereka dapat hidup di tempat ting. gal mereka dengan tenang dan aman.

 

TAKLUKNYA TANAH WADIL-QURA

 

Kemudian Rasulullah saw. menyeru kepada orang Yahudi yang mendiami tanah Wadil-Gura untuk menyerah, tetapi mereka menolak dan memilih berperang. Akhirnya kaum Muslimin memerangi mereka dan dapat menawan dua belas orang lelaki dari kalangan mereka serta memperoleh cukup banyak ghanimah. Ghanimah itu dibagi lima oleh Rasulullah, dan tanah Wadil-Qura dibiarkan dikelola oleh para penduduknya. Mereka diperbolehkan menanaminya dengan syarat bahwa sebagian dari hasilnya diberikan kepada kaum Muslimin (sebagai jizyah). Perlakuan yang sama ditetapkan pula atas orang-orang Khaibar. Untuk itu Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat ‘Abdullah ibnu Rawwahah yang bertindak sebagai juru hitung.

 

Sahabat ‘Abdullah ibnu Rawwahah sangat ketat dalam melakukan perhitungannya terhadap orang Yahudi Khaibar. Akhirnya mereka berupaya untuk menyuapnya. Tetapi mereka mendapat jawaban yang tegas dari Abdullah yang mengatakan kepada mereka, Hai musuh-musuh Allah, apakah kalian mau memberikan barang haram (riba) kepadaku? Demi Allah, aku datang kepada kalian dari sisi orang yang paling aku cintai. Sungguh kalian ini lebih aku benci daripada kera-kera dan babi-babi. Janganlah kalian coba-coba mendesakku untuk berlaku tidak adil. Perlu kalian ketahui bahwa aku sangat benci kepada kalian, dan sangat cinta kepadanya.

 

Dengan ditaklukkannya semua orang Yahudi yang tinggal di sekitar Madinah, terbebaslah kaum Muslimin dari kejahatan musuh yang sebelumnya selalu mengintai untuk menjatuhkan kaum Muslimin. Sekalipun terikat oleh perjanjian atau persetujuan, orang Yahudi itu selalu berkhianat. Semua perjanjian tiada manfaatnya terhadap mereka. Akhirnya kaum Muslimin kembali ke Madinah dalam keadaan kust dan membawa kemenangan.

 

KHALID DAN KEDUA TEMANNYA MASUK ISLAM

 

Peristiwa Perang Khaibar ini disusul oleh peristiwa lain yang menggembirakan, yaitu masuk Islamnya tiga orang, yang sebelumnya adalah orangorang kuat dalam memimpin barisan tentara untuk melawan kaum Muslimin. Mereka adalah Khalid ibnul-Walid al-Makhzumi ‘Amr ibnul’Ash asSahmi, dan ‘Utsman ibnu Abu Thalhah al-‘Adawi. Rasulullah saw. sangat gembira menyambut keislaman mereka, lalu dia berkata kepada Khalid, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada engkau. Sungguh aku melihat diri engkau sebagai orang yang cerdas, dan aku berharap semoga engkau tidak diarahkan oleh-Nya selain kepada kebaikan (Islam).” Lalu Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untuk memohonkan ampunan buatku atas peperangan-peperangan yang telah aku alami dalam melawanmu,” Maka Rasulullah saw. menjawab. “Islam memutuskan (melebur dosa) yang telah lalu.”

 

SARIYYAH

 

Dalam bulan Sya’ban Rasulullah saw. mendengar berita bahwa ada segolongan orang Hawazin di Turbah” yang menampakkan permusuhan terhadap kaum Muslimin… Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat ‘Umar ibnul-Khaththab bersama tiga puluh orang pasukan berkuda untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Sahabat “Umar berangkat membawa pasukannya, tetapi ketika berita kedatangan pasukan itu sampai ke telinga mereka, lalu mereka melarikan diri sehingga ketika ‘Umar sampai ke tempat mereka tidak menemukan seorang pun. Lalu ‘Umar kembali ke Madinah.

 

SARIYYAH

 

Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Bagyir ibnu Sa’d alAnshari untuk memerangi Bani Murrah yang mendiami kawasan tanah Fadak. Akan tetapi, tatkala Baqyir ibnu Sa’d sampai ke tempat mereka bersama balatentaranya, ia tidak menemukan seorangpun. Akhirnya dia mengambil semua ternak mereka. Adapun kaum yang dituju oleh mereka sedang berada di lembah, lalu datang kepada mereka seseorang untuk meMinta tolong. Mereka dapat mengejar Basyir pada malam hari yang pada waktu itu sedang dalam perjalanan kembali. Kemudian kedua pasukan saling memanah.

 

Pada keesokan harinya kedua pasukan bertemu dan terlibat dalam ‘ pertempuran sengit sehingga anggota pasukan kaum Muslimin banyak yang gugur. Basyir sendiri dalam pertempuran itu menderita lukaluka yang parah sehingga musuh menduganya telah mati. Ketika musuh telah bubar meninggalkannya, Basyir memaksakan dirinya bangkit dan pulang ke Madinah. Sesampainya di hadapan Rasulullah ia menceritakan semua yang terjadi pada diri dan pasukannya.

 

Pada bulan Ramadan Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Ghalib ibnu “Ubaidillah al-Laitsi untuk menyerang penduduk Maifa’ah. Ia memimpin seratus tiga puluh orang tentara kaum Muslimin. Ghalib berangkat membawa pasukannya, lalu langsung menyerang musuh begitu sampai di tempatnya. Ghalib bersama pasukannya sempat membunuh sebagian musuh dan menawan sebagian lainnya dalam peperangan tersebut. Usamah ibnu Zaid, sewaktu perang sedang berkecamuk, sempat mengejar seorang musyrik. Ketika orang musyrik itu melihat tidak ada jalan lain untuk meloloskan diri dari Usamah, lalu ia membaca syahadat. Akan tetapi, Usamah menduga bahwa orang musyrik tersebut mau mengatakan demikian untuk menyelamatkan diri. Akhirnya Usamah tetap membunuhnya.

 

Ketika kaum Muslimin kembali ke Madinah, Rasulullah saw. dikabari tentang yang telah dilakukan Usamah. Setelah mendengar kisah itu, Rasulullah saw. berkata, “Apakah engkau membunuhnya sesudah ia mengucapkan Jaa ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah)? Apakah yang akan engkau perbuat dengan kalimah laa ilaha illallah?”” Usamah menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia mengatakan hal itu hanya karena melindungi dirinya dari kematian.” Rasulullah saw. berkata, Mengapa engkau tidak membelah dadanya saja, lalu engkau belah hatinya sehingga engkau mengetahui, apakah ia benar atau dusta?” Usamah berkata, “Wahai Rasulullah mohonkanlah ampunan buatku.” Rasulullah bertanya, “Lalu bagaimana dengan Ia ilaha illallah?” Dia mengulang-ulang pertanyaan itu. Hal itu membuat Usamah sangat menyesal sehingga ia berharap belum masuk Islam pada waktu itu. Sehubungan dengan peristiwa ini Allah menurunkan firman-Nya:

 

Dan janganlah kalian mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian, “Kamu bukan seorang mukmin,” (lalu kalian membunuhnya) dengan maksud mencari harta bendg kehidupan karena di sisi Allah ada harta yang banyak. (Q.5. 4 An-Nisa: 94)

 

Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan Sahabat Usamah untuk memerdekakan seorang hamba sahaya sebagai kifarat-nya karena ia dikategorikan membunuh secara keliru.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Syawal sampai berita kepada Rasulullah saw. bahwa ‘Uyaynah ibnu Hishn telah berjanji dengan segolongan orang Ghathafan yang tinggal di dekat tanah Khaibar, yaitu suatu daerah yang dikenal dengan nama Yumn dan Jabbar, untuk menyerang kaum Muslimin di Madinah. Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Basyir ibnu Sa’d bersama tiga ratus orang tentara guna menyerang mereka terlebih dahulu. Basyir membawa pasukannya berjalan pada malam hari, dan bila siang hari mereka berhenti sehingga sampailah mereka ke tempat yang dituju. Ketika telah sampai di tempat itu, mereka langsung menyerbu. Kaum Muslimin mendapat banyak ghanimah berupa hewan ternak, sedangkan para penggembalanya melarikan diri dan memberitahukan apa yang telah mereka alami kepada kaumnya. Mereka terkejut atas serbuan yang mendadak ini, sedangkan kaum Muslimin mengejar mereka sampai ke dataran tinggi daerah mereka. Dalam peperangan kali ini kaum Muslimin cuma dapat menangkap dua orang dari pihak musuh yang kemudian kedur ‘aanya masuk Islam. Kemudian kaum Muslimin kembali ke Madinah dengan membawa ghanimah.

 

‘UMRAH OADHA

 

Setahun telah genap sejak “Umrah Hudaibiyah. Lalu Rasulullah saw. keluar bersama orang-orang yang dicegah pada tahun lalu, untuk meng-gadha ‘Umrahnya. Sebelum itu Rasulullah mengangkat Sahabat Abu Dzar alGhifariy sebagai penggantinya untuk mengatur urusan kota Madinah. Keberangkatan Rasulullah saw. disertai pula dengan membawa hewan untuk kurban yang jumlahnya enam puluh ekor unta. Selain itu Rasulullah pun membawa senjata, demikian pula para sahabat karena dikhawatirkan orang Quraisy akan mengkhianati janjinya. Di dalam rombongan itu tersebut terdapat seratus pasukan berkuda yang dipimpin oleh Basyir ibnu Sa’d.

 

Rasulullah saw. memulai ihram dari pintu masjid Madinah. Ketika dia tampai di Dzul Hulaifah, datang menghadap pasukan berkuda yang berada di barisan paling depan. Ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, engkau membawa senjata, bukankah mereka telah mempersyaratkan supaya engkau tidak membawa senjata?”

 

Rasulullah saw. menjawab, “Kami tidak bermaksud membawanya masuk ke Tanah Suci (Makkah), tetapi hanya berada di dekat kami. Apabila terjadi pertempuran, kami dapat meraihnya dengan cepat.”

 

Ketika kaum Muslimin melewati daerah Zhahr, mereka bersua dengan segolongan orang Quraisy. Mereka kaget melihat semua perlengkapan itu. Mereka segera melaporkan hal itu kepada orang Quraisy. Kemudian datanglah menemui kaum Muslimin sebagian dari para pemuda Quraisy, lalu mereka berkata, “Demi Allah, wahai Muhammad, aku belum pernah mengetahui engkau berbuat khianat, baik sewaktu engkau kecil maupun sudah dewasa, dan sesungguhnya kami tidak melakukan apa-apa.” Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya kami tidak akan memasuki Tanah Suci dengan membawa senjata.”

 

Ketika tiba saatnya Rasulullah saw. memasuki kota Makkah, semua penduduk keluar dari kota Makkah karena benci melihat kaum Muslimin melakukan fhawaf di Baitullah (Ka’bah). Kemudian Rasulullah dan para sahabat memasuki kota Makkah dari lembah Kada seraya menyarungkan pedang mereka. Di muka Rasulullah berjalan Sahabat ‘Abdullah ibnu Rawwahah seraya mengucapkan:

 

Tiada tuhan selain Allah semata. Dia telah menunaikan janji-Nya, menolong hamba-Nya, memenangkan tentara-Nya, dan mengalahkan golongan bersekutu sendirian. Rasulullah saw. melakukan thawaf di sekeliling Baitullah seraya menaiki kendaraan dan memegang Hajar Aswad hanya dengan tongkat bengkoknya. Kemudian dia memerintahkan para sahabat supaya melakukan tiga kali thawaf berikutnya dengan langkah yang cepat, untuk memamerkan kepada kaum musyrikin bahwa mereka kuat karena orang-orang musyrik berkata, “Kelak akan thawaf di Ka’bah suatu kaum yang telah kepayahan karena kena pengaruh panas kota Yatsrib.” Rasulullah saw. berkata “Semoga Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang memperlihatkan kepada mereka bahwa dirinya kuat.” Pada saat itu Rasulullah saw. menyingsingkan lengan selendangnya yang sebelah kanan sehingga lengan kanannya kelihatan. Hal ini mirip dengan kebiasaan yang dilakukan oleh para pemuda. Kemudian sikap itu ditiru oleh kaum Muslimin. Kini kaum Muslimin telah menyempurnakan thawaf mereka di Baitullah dalam keadaan aman. Setelah itu mereka ada yang mencukur rambutnya dan ada pula yang hanya memendekkannya saja atau memotongnya. Impian yang pernah dilihat oleh Rasulullah saw. kini menjadi kenyataan.

 

PERKAWINAN DENGAN MAIMUNAH

 

Sewaktu di Makkah Rasulullah saw. kawin dengan siti Maimunah bintilHarits al-Hilaliyah, bekas istri pamannya, Hamzah ibnu ‘Abdul-Muththalib, orang yang mati syahid dalam Perang Uhud. Siti Maimunah adalah bibi Sahabat ‘Abdullah ibnul-‘Abbas. Ia merupakan istri Rasulullah saw. yang terakhir., dan Rasulullah saw. tidak mencampurinya sewaktu di Makkah, tetapi setelah keluar dari kota itu, yaitu sewaktu berada di Saraf

 

Ketika Rasulullah saw. keluar dari kota Makkah, dia memerintahkan orang-orang yang tidak ikut karena menjaga kuda-kuda mereka untuk melakukan thawaf. Lalu mereka melakukannya. Setelah semuanya selesai, Rasulullah saw. kembali ke Madinah dengan hati yang gembira atas karunia yang telah diberikan Allah kepadanya, yaitu impiannya menjadi kenyataan.

SARIYYAH

 

Pada bulan Safar Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Ghalib ibnu ‘Abdullah al-Laitsiy kepada Banil-Muluh, suatu kaum dari bangsa Arab yang mendiami daerah Qadid?. Berangkatlah Ghalib ibnu ‘Abdullah bersama balatentaranya. Ketika sampai di Gadid mereka bertemu dengan Al-Harits ibnu Malik al-Laitsiy yang dikenal dengan nama julukan Ibnul-Barsha. Dia adalah musuh bebuyutan Rasulullah. Lalu mereka menangkap dan menahannya. Al-Harits berkata kepada mereka, “Aku datang hanya untuk masuk Islam.” Mereka menjawab, “Bila engkau ini benar-benar seorang Muslim, niscaya tidak akan membahayakan dirimu ikut berjaga semalam suntuk. Bila engkau tidak mau, niscaya engkau akan kami ikat.”

 

Selanjutnya mereka meneruskan perjalanannya hingga sampai di perkampungan orang Banil-Muluh, lalu mereka langsung menggiring ternak berupa unta dan kambing milik mereka. Para penggembalanya meminta tolong kepada kaumnya, lalu orang Banil Muluh datang dengan jumlah yang sangat besar yang tidak diduga sama sekali oleh kaum Muslimin. Allah menganugerahkan karunia-Nya kepada kaum Muslimin pada saat itu, Lalu Allah mengirimkan banjir yang sangat besar. Banjir itu memisahkan kedua pasukan, yaitu antara kaum Muslimin dan musuh mereka sehingga kaum musyrikin tidak mampu mengadakan serangan terhadap kaum Muslimin. Mereka hanya bisa melihat kaum Muslimin menggiring ternak milik mereka di seberang, dan mereka sama sekali tidak mampu merebutnya karena terhalang oleh banjir besar yang memenuhi lembah.

 

SARIYYAH

 

Setelah Ghalib kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan, Rasulullah saw. mengirimkannya kembali bersama dua ratus orang tentara guna membalas apa yang telah dilakukan oleh Bani Murrah di Fadak. Bani Murrah adalah orang-orang yang telah mengalahkan sariyyah di bawah pimpinan Basyir ibnu Sa’d. Mereka berangkat untuk menunaikan tugas ini. Ketika mereka telah dekat dari tempat kaum yang dituju, Ghalib ibnu ‘Abdullah berkhotbah kepada para pengikutnya. Terlebih dahulu Ghalib memanjatkan puja dan puji kepada Allah swt., lalu berkata.

 

Amma ba’du.Sesungguhnya aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, hendaknya kalian taat kepadaku, dan jangan sekali-kali kalian melanggar perintahku karena sesungguhnya pemimpin itu haruslah ditaati.” Selanjutnya Ghalib ibnu ‘Abdullah saling mempersaudarakan balatentaranya dengan mengatakan, “Hai Fulan, engkau bersaudara dengan si Fulan, hai Fulan, engkau harus bersaudara dengan si Fulan yang lain. Jangan sekali-kali seseorang berpisah dari saudaranya. Jangan sekali-kali seseorang dari kalian kembali sendirian, lalu jika aku bertanya kepadanya, ‘Ke manakah saudaramu”? lalu ia menjawab, ‘Tidak tahu.’ Apabila aku bertakbir, bertakbirlah kalian semuanya sebagai pertanda mulai serangan.”

 

Ketika mereka telah mengepung musuh-musuh mereka, lalu Ghalib bertakbir, maka bertakbirlah seluruh pasukan kaum Muslimin, dan mereka menghunus pedangnya masing-masing. Dalam peperangan ini tidak ada seorang pun dari kalangan musuh yang selamat, semuanya ditumpas sampai habis. Lalu kaum Muslimin menggiring ternak mereka yang jumlahnya cukup banyak sehingga pada saat itu setiap tentara membawa sepuluh ekor unta.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Rabiulawal Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Ka’b ibnu “Umair al-Ghifariy ke Dzatu Athlah, bawahan negeri Syam. Ketika itu Ka’b ibnu ‘Umair membawahi lima belas orang kaum Muslimin. Tatkala mereka sampai di tempat tersebut, mereka menjumpai penduduknya banyak sekali. Lalu Ka’b ibnu ‘Umair menyeru mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka tidak mau. Akhirnya terjadilah pertempuran di antara kedua belah pihak, sedangkan musuh besar sekali jumlahnya. Dalam pertempuran itu semua kaum Muslimin gugur sebagai syuhada kecuali pemimpin mereka, Sahabat Ka’b ibnu ‘Umair. Ia dapat meloloskan diri, lalu ia menyampaikan beritanya kepada Rasulullah saw. Mendengar berita itu Rasulullah saw. sangat sedih. Dia bermaksud mengirimkan orang-orang guna mengadakan pembalasan terhadap mereka, tetapi ada suatu berita yang mengatakan bahwa mereka telah berpindah tempat dan tidak diketahui ke mana. Akhirnya Rasulullah saw. mengurungkan niatnya.

 

PERANG MU’TAH

 

Pada bulan Jumadilawal tahun ketujuh Hijriah Rasulullah saw. mempersiapkan balatentara untuk mengadakan pembalasan terhadap orang-orang yang telah membunuh Al-Harits ibnu ‘Umair al-Azadiy yang di kirimkan untuk menyampaikan suratnya kepada penguasa Basira. Rasulullah saw. mengangkat Sahabat Zaid ibnu Haritsah sebagai pemimpin mereka dan dia berkata kepada mereka, “Bilamana Zaid ibnu Haritsah gugur, sebagai penggantinya adalah Ja’far ibnu Abu Thalib: dan bilamana Ja’far gugur, maka sebagai penggantinya adalah ‘Abdullah ibnu Rawwahah.”

 

Pada saat itu jumlah tentara kaum Muslimin mencapai tiga ribu orang. Mereka berangkat dilepas oleh Rasulullah saw. sendiri. Di antara pesan yang dikatakan Rasulullah saw. kepada mereka ialah seperti berikut ini:

 

Berperanglah kalian dengan nama Allah, bunuhlah musuh Allah dan musuh kalian di negeri Syam itu. Dan kelak kalian akan menjumpai di dalamnya kaum laki-laki di dalam tempat-tempat peribadatan mereka mengasingkan diri, maka jangan sekali-kali kalian mengganggu mereka, dan janganlah kalian membunuh wanita, anak-anak kecil, dan orang yang sudah tua sekali, serta janganlah kalian menebang pohon dan jangan pula meruntuhkan bangunan.

 

Pasukan kaum Muslimin melakukan perjalanan hingga sampai di Mu’. tah,” tempat dibunuhnya Sahabat Al-Harits ibnu ‘Umair. Di tempat itu kaum Muslimin bertemu dengan orang-orang Romawi yang kini telah mempersiapkan pasukannya dengan jumlah yang sangat besar. Di antara mereka terdapat orang-orang Arab yang telah memeluk agama Nasrani. Pasukan kaum Muslimin bermusyawarah di antara sesama mereka tentang apa yang harus mereka perbuat dalam menghadapi pasukan musuh yang demikian besar itu. Apakah mereka harus mengirimkan berita kepada Rasulullah saw. untuk meminta balabantuan? Ataukah mereka tetap maju ke medan peperangan? .

 

Sahabat ‘Abdullah ibnu Rawwahah berkata, “Hai kaum, demi Allah, sesungguhnya kalian tidak suka kepada tujuan kalian keluar. Kalian keluar untuk mencari syahadah (mati syahid), dan kami tidak sekali-kali berperang hanya karena kekuatan dan tidak pula karena besarnya jumlah. Kami berperang demi membela agama ini (Islam) yang Allah telah memuliakan kami dengannya. Sesungguhnya masalahnya hanyalah salah satu di antara kedua kebaikan, yaitu adakalanya menang dan adakalanya mati syahid.” Pada saat itu orang-orang berkata, “Benarlah, demi Allah, apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Rawwahah.”

 

Lalu mereka maju semua ke medan perang, dan terjadilah pertempuran sengit di antara kedua pasukan yang jumlahnya sangat besar. Dalam pertempuran itu Sahabat Zaid ibnu Haritsah r.a. gugur sebagai syuhada, lalu panji peperangan diambil oleh Sahabat Ja’far ibnu Abu Thalib seraya berkata:

 

Aduhai surga yang kini sudah dekat, ia amat indah dan sejuk minumannya. Orang-orang Romawi kini sudah dekat masa azabnya. Mereka kafir lagi jauh nasabnya. Aku harus memukul mereka dalam perang nanti.

 

Sahabat Ja’far ibnu Abu Thalib terus berperang hingga gugur sebagai syuhada. Kemudian panji peperangan beralih ke tangan ‘Abdullah ibnu Rawwahah. Ia maju ke dalam barisan musuh, tetapi ia agak terpukul, kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri:

 

Aku bersumpah, majulah engkau hai diriku, turutlah perintahku atau aku akan memaksa engkau maju. Bila orang-orang maju, engkau pun harus maju pantang mundur. Aku kira engkau tidak akan membenci surga yang selama ini engkau tunggu-tunggu. Bukankah engkau hanya berasal dari air mani?

 

Kemudian ia maju terus merangsak barisan musuh, dan terus mengamuk di dalam barisan musuh bersama kudanya, tetapi akhirnya gugur juga sebagai syuhada. Ketika itu sebagian tentara kaum Muslimin bermaksud mundur, tetapi Sahabat ‘Ugbah ibnu ‘Amir berkata, “Hai kaum, pasukan yang gugur dalam keadaan maju itu lebih baik daripada gugur dalam keadaan mundur.” Akhirnya balatentara kaum Muslimin bersiap-siap lagi untuk maju, kemudian mereka sepakat untuk mengangkat seseorang yang terkenal berani lagi gagah, yaitu Sahabat Khalid ibnul-Walid, sebagai panglima mereka. Berkat pengalaman dan keahliannya dalam peperangan, akhirnya ia berhasil menyatukan kembali tekad tentara kaum Muslimin sehingga mereka tidak kocar-kacir, sebab apa artinya tiga ribu orang melawan seratus lima puluh ribu orang.

 

Ketika Sahabat Khalid ibnul-Walid memegang tampuk pimpinan kaum Muslimin, pada hari itu juga ia bertempur dengan gigihnya. Pada keesokan harinya ia mengubah strategi pasukan kaum Muslimin. Ia memindahkan barisan tengah menjadi di depan dan barisan yang tadinya di depan menjadi di belakang, sayap kanan diubah untuk menempati sayap kiri sedangkan sayap kiri ditempatkan pada sayap kanan. Siasat ini ternyata membuat takut musuh karena mereka menduga bahwa kini balabantuan kaum Muslimin telah datang.

 

Kemudian Sahabat Khalid membawa mundur pasukannya sehingga sampai di Mu’tah. Di tempat tersebut kaum Muslimin berperang melawan musuhnya selama tujuh hari. Setelah itu kedua belah pihak menghentikan serangan karena orang-orang kafir menduga bahwa balabantuan kaum Muslimin kini datang berbondong-bondong. Mereka kini merasa ngeri karena khawatir kaum Muslimin menjebaknya ke padang sahara sehingga mereka tidak dapat melarikan diri lagi bilamana terpukul mundur. Dengan demikian berhentilah peperangan itu.

 

Rasulullah saw. sebelum kedatangan berita telah berbela sungkawa atas gugurnya Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawwahah. Dia menceritakan keadaan medan pertempuran, “Panji peperangan mulanya dipegang oleh Zaid, Zaid gugur, lalu panji peperangan beralih ke tangan Ja’far, dan Ja’far pun gugur, lalu panji peperangan dipegang oleh Ibnu Rawwahah, dan ternyata ia pun gugur,” Pada saat itu kedua mata Rasulullah saw. mencucurkan air mata. Selanjutnya dia meneruskan kisahnya, “Akhirnya panji peperangan dipegang oleh salah seorang yang dijuluki Pedang Allah sehingga Allah menganugerahkan kemenangan atas kaum Muslimin.”

 

Pada saat itu datanglah seorang lelaki dan langsung berkata. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri-istri Ja’far semuanya menangis.” Rasulullah saw. memerintahkan dia agar mencegah mereka menangis. Lalu lelaki itu berangkat. Akan tetapi, tidak lama kemudian ia kembali lagi dan berkata, “Saya telah mencegah mereka, tetapi mereka tidak mau juga berhenti.” Rasulullah saw. memerintahkannya supaya pergi lagi kepada mereka untuk yang kedua kalinya. Akan tetapi, ia datang lagi seraya berkata, “Demi Allah, kami tidak mampu menghadapi mereka.” Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Kalau demikian, taburkanlah debu ke mulut mereka.”

 

Ketika balatentara kaum Muslimin datang di Madinah dan kaum Muslimin menyambut kedatangan mereka, kaum Muslimin berkata kepada mereka, “Haji orang-orang yang melarikan diri.” Rasulullah saw. langsung memotong perkataan mereka, “Bahkan mengapa terus maju.” Hal itu karena kaum Muslimin menduga bahwa mundurnya Khalid bersama dengan pasukannya merupakan kekalahan. Akan tetapi kemudian Rasulullah saw. memberikan pengertian kepada mereka bahwa hal tersebut merupakan salah satu tipuan dalam perang. Rasulullah saw. memuji tindakan yang telah diambil oleh Khalid itu.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Jumadilakhir Rasulullah saw. mendengar berita bahwa sekelompok orang Qudha’ah telah menghimpun kekuatan di tempat mereka, yaitu di belakang Wadil-Qura, dengan tujuan menyerang Madinah. Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat ‘Amr ibnul ‘Ash bersama tiga ratus orang tentara yang terdiri dari kaum berada Muhajirin untuk menyerang mereka terlebih dahulu. Kemudian Rasulullah saw. mendukung mereka dengan tentara di bawah pimpinan ‘Abu Ubaidah ibnul-Jarrah dengan jumlah mencapai dua ratus orang yang terdiri dari kaum Muhajirin. Di dalamnya terdapat Sahabat Abu Bakar dan Sahabat ‘Umar. Lalu mereka menyusul balatentara yang dipimpin oleh ‘Amr sebelum sampai ke tempat kaum yang ditujunya.

 

Pada saat itu ada sebagian dari tentara kaum Muslimin yang ingin menyalakan api, tetapi dicegah oleh ‘Amr namun Sahabat ‘Umar tidak mau menerima larangannya itu. Berkatalah Sahabat Abu Bakar, “Sesungguhnya ia telah diangkat oleh Rasulullah untuk menjadi pemimpin kita karena pengetahuannya dalam hal peperangan jauh lebih banyak daripada kita. Oleh sebab itu, janganlah engkau menentangnya”. Barulah sahabat ‘Umar mau menaatinya.

 

Ketika kaum Muslimin sampai di tempat musuh mereka langsung menyerang, dan hanya dalam beberapa saat musuh telah kocar-kacir dan melarikan diri. Kaum Muslimin mengumpulkan ghanimah. Ketika mereka bermaksud untuk mengejar musuh, dicegah oleh pemimpin mereka. Kemudian pasukan-pasukan kaum Muslimin kembali ke Madinah dengan kemenangan dan memperoleh ghanimah. Akan tetapi, sewaktu mereka sedang beristirahat pada malam yang sangat dingin, Sahabat ‘Amr ibnul’Ash mengalami jinabah.

 

Pada keesokan harinya ia berkata, “Sesungguhnya jika aku mandi, niscaya aku akan binasa karena kedinginan, sedangkan Allah telah berfirman.

 

Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (Q.S. 2 AlBagarah: 195)

 

Kemudian Sahabat ‘Amr ibnul-‘Ash hanya bertayamum, lalu mengerjakan salat. Selanjutnya ‘Amr memerintahkan pasukannya untuk meneruskan perjalanan. Ketika sampai di Madinah, mereka disambut oleh Rasulullah saw. Sebagaimana biasanya Rasulullah saw. menanyakan pengalaman yang diperoleh mereka dalam perjalanannya. Lalu orang-orang menceritakan kepadanya semua yang telah dilakukan oleh ‘Amr . Hal itu membuat mereka kurang senang terhadapnya, yaitu ‘Amr melarang mereka menyalakan api, melarang mereka mengejar musuh, serta melakukan salat dalam keadaan mempunyai jinabah.

 

Lalu Rasulullah saw. menanyakan hal tersebut langsung kepada ‘Amr. ‘Amr menjawab, “Aku sengaja mencegah mereka menyalakan api (padahal malam dingin sekali) supaya musuh tidak melihat jumlah mereka yang sedikit itu. Jika musuh dapat melihat keadaan mereka, maka musuh akan bertambah berani. Sengaja pula aku mencegah mereka mengejar musuh yang kalah supaya mereka tidak terkena jebakan musuh. Kemudian sengaja pula aku melakukan salat dalam keadaan junub karena Allah swt. telah berfirman:

 

Dan janganlah kalian menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. (Q.S. 2 Al-Bagarah: 195)

 

Sebab, apabila aku mandi, niscaya aku akan binasa karena kedinginan.” Setelah mendengar jawaban ‘Amr, Rasulullah saw. tersenyum, lalu memuji tindakan yang telah diambilnya itu.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Rajab Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Abu ‘Ubaidah alias ‘Amir ibnul-Jarrah bersama tiga ratus pasukan berkuda untuk mengadakan serangan terhadap kabilah Juhainah yang mendiami daerah pantai. Rasulullah saw. membekali pasukan ini dengan beberapa karung kurma. Berjalanlah pasukan kaum Muslimin ini hingga sampai di daerah pantai. Mereka tinggal di sana selama setengah bulan menunggu kedatangan musuh sedangkan perbekalan makanan yang mereka bawa semuanya habis. Mereka terpaksa memakan daun-daunan yang ada hingga bibir mereka pecah-pecah. Sebelum dimakan terlebih dahulu membasahi daun-daunan itu dengan air.

 

Di dalam barisan kaum Muslimin terdapat orang yang dermawan dan anak seorang yang dermawan pula, yaitu Qais ibnu ‘Ubadah. Qais menyembelih untuk mereka tiga ekor unta, setiap hari disembelih seekor. Pada hari yang keempat, ketika Qais bermaksud menyembelih untanya yang keempat, Abu ‘Ubaidah, pemimpinnya, melarang melakukannya karena Abu ‘Ubaidah mengetahui bahwa Qais mengambil unta-unta itu atas dasar utang dari ayahnya sehingga ia khawatir Qais tidak akan mampu membayar utang kepada ayahnya. Akan tetapi Qais berkata, “Tidakkah engkau melihat bahwa Sa’d (ayahnya) mau membayar utang orang-orang, dan ia mau memberi makan dalam musim paceklik, lalu apakah ia tega menagih utang yang aku pinjam daripadanya untuk memberi makan kaum Mujahidin di jalan Allah?”

 

Setelah pasukan kaum Muslimin putus harapan dapat bertemu dengan musuh, mereka kembali ke Madinah. Sesampai di Madinah Qais berkata kepada ayahnya, Sa’d,”Aku berada di dalam barisan tentara, lalu mereka ke laparan.” Sa’d menjawab,”Kalau demikian, sembelihlah untaku.” Qais ber kata,”Aku telah menyembelihnya, tetapi mereka lapar lagi.” Sa’d menja wab, “Mengapa tidak engkau sembelihkan lagi?” Qais berkata “Aku telah menyembelihnya, tetapi mereka lapar lagi.” Sa’d berkata, “Mengapa tidak engkau sembelihkan lagi?” Qais menjawab, “Aku telah melakukannya, tetapi mereka masih lapar juga, dan ketika akan menyembelih yang keempat, aku dilarang melakukannya lagi.”

 

PERANG AL-FATH (PENAKLUKAN MAKKAH) YANG TERBESAR

 

Bilamana Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia mempersiapkan pe nyebab-penyebabnya dan melenyapkan semua penghalangnya. Rasulullah saw. telah mengetahui bahwa orang Arab itu tidak dapat dikalahkan kecu ali bila orang Quraisy dikalahkan terlebih dahulu. Orang Arab tidak akan mau tunduk kecuali bilamana penduduk Makkah ditundukkan terlebih da hulu. Rasulullah saw. selalu mendambakan untuk menaklukkan kota Makkah, tetapi terhambat oleh perjanjian-perjanjian yang telah dibuat dengan orang Quraisy sewaktu di Hudaibiyah, sedangkan Rasulullah saw. adalah para penghulu orang yang menunaikan janjinya. Akan tetapi, bila mana Allah menghendaki suatu perkara terjadi, maka Dia akan memudah kan penyebab-penyebab yang menimbulkannya.

 

Sebagaimana telah pembaca ketahui, kabilah Khuza’ah telah mengikat diri ke dalam perjanjian dengan pihak Rasulullah, sedangkan kabilah Ba kar dengan pihak Quraisy. Di antara kabilah Khuza’ah dan kabilah Bakar terdapat utang darah pada Zaman Jahiliah. Hal ini menjadi terpendam karena munculnya agama Islam. Ketika perjanjian dan gencatan senjata telah ditandatangani, ada seorang laki-laki dari kalangan Bakr mendendangkan syair-syair yang menghina Rasulullah di hadapan seorang lelaki dari kalangan Khuza’ah. Lelaki Khuza’ah ini bangkit dan langsung memukulnya sehingga peristiwa tersebut membangkitkan kembali dendam kesumat yang selama ini terpendam di antara kedua kabilah tersebut. Bani Bakr kini teringat kembali akan keinginan mereka untuk membalas dendam kepada orang-orang Khuza’ah. Maka mereka membulatkan tekad untuk memerangi musuhmusuh mereka. Mereka meminta bantuan kepada sekutu mereka dari kalangan Quraisy. Orang Quraisy memberikan bantuan kepada mereka secara rahasia, yaitu berupa alat perang berikut prajurit. Kemudian mereka berangkat menyerang orang Khuza’ah yang hidup dalam kedamaian. Akhirnya mereka berhasil membunuh sekitar dua puluh orang dari kalangan Khuza’ah.

 

Ketika orang Khuza’ah yang kini menjadi sekutu Rasulullah saw. melihat kejadian tersebut, lalu mereka mengirimkan utusan di bawah pimpinan ‘Amr ibnu Salim al-Khuza’iy untuk memberitahukan kepada Rasulullah saw. tentang apa yang telah dilakukan oleh Bani Bakr dan kabilah Quraisy terhadap mereka. Ketika para utusan tersebut sampai di hadapan Rasulullah saw. dan telah memberitahukan semua kejadian kepadanya. Nabi saw. berkata, “Demi Allah, aku akan mempertahankan kalian sebagaimana aku mempertahankan diriku sendiri.”

 

Tatkala orang Quraisy menyadari bahwa apa yang telah mereka laku: kan itu sama saja dengan merusak perjanjian yang telah mereka tanda tangani dengan kaum Muslimin, mereka sangat menyesal. Mereka bermaksud mengobati cela ini, lalu mereka mengutus pemimpin mereka, yaitu Abu Sufyan ibnu Harb, ke Madinah guna memperkuat perjanjian dan un tuk menambah masa berlakunya. Abu Sufyan menaiki kendaraannya dan langsung menuju Madinah. Ia menduga bahwa tiada seorang pun yang mendahuluinya.

 

Ketika ia sampai di Madinah, ia turun di tempat Ummul Mu’minin Ummu Habibah, putrinya sendiri. Ketika ia bermaksud duduk di permadani tempat duduk Rasulullah saw. Ummu Habibah segera melipatnya. Abu Sufyan berkata,”Hai anakku, apakah engkau lebih menyukainya daripada diriku, ataukah engkau lebih menyukai diriku daripadanya?”” Ummu Habibah langsung menjawab,”engkau tidak berhak menduduki permadani Rasulullah sementara engkau musyrik lagi najis.” Abu Sufyan menjawab, “Sungguh engkau ini telah terkena keburukan sesudahku.”

 

Lalu Abu Sufyan keluar dari rumah Ummu Habibah dan langsung mendatangi Nabi saw. yang pada waktu itu berada di dalam masjid. Ia menyatakan maksud kedatangannya kepada Rasulullah. Rasulullah berkata, “Apakah telah terjadi sesuatu?” Abu Sufyan menjawab,”Tidak.” Maka Rasulullah saw. berkata,”Kami hanya berpegang kepada masa perjanjian yang telah lalu.” artinya dia tidak mau memperpanjang masa berlakunya.

 

Selanjutnya Abu Sufyan bangkit dan berkeliling di antara sesepuh kaum Muhajirin dari kalangan kabilah Quraisy dengan harapan mereka mau membantu melaksanakan maksudnya. Ternyata ia tidak mendapat pertolongan apapun dari mereka. Semua sahabat mengatakan, “Perlindungan kami berada di bawah perlindungan Rasulullah.”

 

Lalu Abu Sufyan kembali kepada kaumnya tanpa membawa hasil apa pun. Akhirnya mereka menuduh bahwa ia telah berkhianat kepada mereka dan ia telah masuk agama Islam. Maka Abu Sufyan melakukan penyembahan di hadapan berhala-hala untuk melenyapkan tuduhan ini.

 

Sementara itu Rasulullah saw. mengadakan persiapan untuk melakukan perjalanan. Dia memerintahkan para sahabat untuk melakukan hal yang sama. Kemudian Rasulullah saw. menjelaskan tujuannya kepada Sahabat Abu Bakar Shiddiq. Sahabat Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah di antara engkau dan orang-orang Quraisy terdapat perjanjian gencatan senjata?” Rasulullah menjawab,”Ya, memang benar, tetapi orangorang Quraisy telah menghianati dan merusaknya.”

 

Rasulullah saw. berseru kepada orang-orang Arab yang berada di sekitar Madinah,”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, hendaklah hadir di Madinah pada bulan Ramadan.” Lalu datanglah kepadanya beberapa golongan dari kabilah Aslam, Muzayyanah, Asyje’, dan Juhainah untuk menyatakan kesediaan mereka mengikuti seruan Rasulullah. Rasulullah saw. sengaja menyembunyikan berita ini supaya tidak tersebar sehingga orang Quraisy dapat menyadapnya,kemudian mereka membuat persiapan untuk berperang, sedangkan Rasulullah saw. tidak menginginkan terjadi peperangan di Makkah. Tujuan Nabi saw. hanya menakjubkan penduduk Makkah tanpa menyentuh kesucian kota itu. Untuk itu dia berdoa kepada Allah swt, “Ya Allah, tutuplah mata-mata dan sembunyikanlah berita-berita dari orang-orang Quraisy supaya kami dapat mengejutkan mereka di negerinya.

 

Akan tetapi, Hathib ibnu Abu Balta’ah, salah seorang sahabat yang ikut dalam Perang Badar, menulis surat kepada orang Quraisy. Isi surat itu memberitahukan kepada mereka tentang sebagian persiapan yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. Kemudian ia mengirimkan surat tersebut melalui seorang hamba sahaya perempuan untuk disampaikan kepada orang Quraisy dengan segera. Allah swt. memberitahukan hal tersebut kcpada Rasul-Nya. Maka Rasulullah langsung menyuruh sahabat ‘Ali, Sahabat Zubair, dan Sahabat Migdad untuk menyusulnya. Rasulullah saw. berpesan kepada mereka,”Berangkatlah kalian hingga mencapai perkebunan Khakh. Sesungguhnya di kebun itu terdapat seorang wanita musafir yang membawa surat rahasia, maka kalian harus mengambil surat itu dari tangannya.” Kemudian mereka berangkat hingga sampai di kebun tersebut . Di sana mereka menjumpai seorang wanita, lalu mereka berkata keradanya, “Keluarkanlah surat itu.” Perempuan itu menjawab,”Saya tidak membawa surat apa-apa.” Mereka berkata,”Engkau harus mengeluarkan surat itu dan memberikannya kepada kami, atau kami akan melemparkan pakaian engkau itu.” Akhirnya perempuan itu terpaksa mengeluarkan surat tersebut dari dalam bungkusan bajunya.

 

Mereka memberikan surat itu kepada Rasulullah, lalu Rasulullah saw. menegur Hathib, “Hai Hathib, apa-apaan ini? “Hathib menjawab, “Wahai Rasulullah, jangan tergesa-gesa menjatuhkan sanksi kepada diriku. Sesungguhnya aku adalah sekutu orang Quraisy, dan aku bukan dari kalangan mereka. Sedangkan di antara orang-orang yang bersama engkau dari kalangan Muhajirin mempunyai kaum kerabat, lalu mereka melindungi kaum kerabat dan harta bendanya. Aku ingin sekali, karena tidak mempunyai hubungan keluarga dengan mereka, untuk memelihara hubungan ini, padahal aku sangat mencintai mereka. Aku melakukan demikian bukan karena murtad dari agamaku dan bukan pula karena rela dengan kekufuran sesudah Islam.” Rasulullah saw. berkata, Ingatlah, sekarang ia benarbenar telah berkata jujur kepada kalian.” Akan tetapi Sahabat ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku memenggal leher si munafik ini. “Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya dia telah ikut serta dalam Perang Badar. Tahukah engkau, barangkali Allah mempunyai pertimbangan lain kepada orang-orang yang menyaksikan Perang Badar. “Selanjutnya Rasulullah saw. berkata “Berbuatlah sesuka kalian karena sesungguhnya kalian telah mendapat ampunan.” Sehubungan dengan peristiwa ini turunlah firman-Nya

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuhKu dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar dari kebenaran yang datang kepada kalian, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kalian karena kalian beriman kepada Allah, Rabb kalian Jika kalian benarbenar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku janganlah kalian berbuat demikian). Kalian memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan. Dan barang siapa di antara kalian yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (Q.S. 60 Al-Mumtahanah: 1)

 

Rasulullah saw membawa pasukannya yang berjurnlah besar itu pada pertengahan bulan Ramadan sesudah terlebih dahulu mengangkat sahabat Ibnu Ummi Maktum sebagai khalifahnya di Madinah. Jumlah yang ikut serta pada saat itu sepuluh ribu orang Mujahidin. Ketika sampai di Al-Abwa mereka bertemu dengan dua orang lelaki yang termasuk musuh bebuyutan Rasulullah saw, yaitu saudara sepupu Rasulullah sendiri yang bernama Abu Sufyan ibnul-Harits ibnu ‘Abdul-Muththalib. Dia adalah saudara sekandung sahabat ‘Ubaidah ibnul-Harits yang telah gugur dalam Perang Badar sebagai syuhada. Yang seorang lagi adalah saudara ipar Rasulullah saw. sendiri yang bernama ‘Abdullah ibnu Abu Umayyah ibnul-Mughirah, saudara lelaki Ummu Salamah, istri Rasulullah saw. Keduanya datang dengan sengaja untuk masuk Islam. Maka Rasulullah saw. menyambutnya dengan penuh kegembiraan, lalu dia membacakan firman-Nya:

 

Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni (kalian), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. (Q.S. 12 Yusuf: 92)

 

Ketika Rasulullah saw. sampai di Qadid, dia melihat bahwa shaum dirasakan amat berat oleh kaum Muslimin. Lalu ia memerintah mereka untuk berbuka, dan dia berbuka. Di tengah perjalanan Rasulullah saw. bertemu pula dengan pamannya, yaitu Al-‘Abbas, yang dalam perjalanan untuk hijrah ke Madinah bersama keluarga dan anak-anaknya. Rasulullah saw. memerintahkan dia kembali ke Makkah bersamanya, kemudian ia mengirimkan anak-anaknya ke Madinah.

 

Ketika sampai di Jalan Zhahran, Nabi saw memerintahkan kaum Muslimin supaya menyalakan sepuluh ribu obor. Orang Quraisy pada saat itu telah mendengar berita bahwa Muhammad bersama pasukan yang amat besar sedang bergerak, tetapi secara pasti tidak diketahui ke mana arahnya. Mereka mengirimkan Abu Sufyan ibnu Harb dan Hakim ibnu Hizam serta Badil ibnu Warga’ untuk mencari informasi tentang Rasulullah dan pasukannya. Ketiga orang tersebut menyanggupi tugas ini, lalu mereka berjalan hingga sampai di Jalan Zhahran. Di tempat itu mereka dikejutkan dengan banyaknya obor bagaikan obor orang-orang ‘Arafah. Abu Sufyan berkata,”Apakah itu? Seolah-olah orang ‘Arafah.” Badil ibnu Warga berkata, “Mungkin itu obor orang Bani ‘Amr. “Tetapi Abu Sufyan menyangkal, “Orang ‘Amr jumlahnya lebih sedikit daripada itu.”

 

Mereka dipergoki oleh orang-orang yang mengawal Rasulullah, lalu para pengawal mengejar dan menangkap mereka, kemudian mereka dihadapkan kepada Rasulullah. Ketika dihadapkan kepada Rasulullah saw. Abu Sufyan masuk Islam di hadapannya. Sewaktu Rasulullah saw. berangkat, ia berkata kepada Al-‘Abbas, “Tahanlah Abu Sufyan di bukit sehingga ia dapat melihat kaum Muslimin. “AI’Abbas segera melaksanakan perintahnya, lalu setiap kabilah berlalu di hadapanya, satu golongan demi satu golongan. Pada saat itu Abu Sufyan bertanya-tanya, “Apakah artinya aku dengan mereka? “Lewatlah di hadapannya suatu kabilah dari kalangan Anshar. Yang membawa panji adalah sahabat Sa’d ibnu ‘Ubadah. Sa’d berkata, “Hai Abu Sufyan, hari ini adalah hari pertempuran. Pada hari ini Ka’ bah dihalalkan.” Lalu Abu Sufyan berkata, “Hai ‘Abbas, andaikata aku dapat membela tanah tumpah darahku.” Kemudian datang segolongan pasukan yang jumlahnya agak sedikit. Di dalamnya terdapat Rasulullah saw. dan para sahabat, sedangkan orang yang memegang panji adalah sahabat Zubair ibnul–Awwam. Abu Sufyan memberitahukan kepada Rasulullah apa yang telah dikatakan oleh Sa’d. Rasulullah saw. berkata, “Sa’d bohong, bahkan hari ini adalah hari Allah mengagungkan Ka’bah, dan hari ini adalah hari Ka’bah diberi pakaian”.

 

Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan agar panji ditancapkan di Juhun” lalu memerintahkan pula agar sahabat Khalid ibnul-Walid memasuki Makkah dari daerah bawah, yaitu dari Kuda sedangkan Rasululah sendiri memasukinya dari daerah atas, yaitu Kadaun.? Selanjutnya penyeru mengumandangkan, “Barang siapa memasuki rumahnya lalu mengunci pintu, ia berada dalam keamanan: dan barang siapa memasuki Masjidil-Haram, ia dalam keadaan aman, dan barang siapa memasuki rumah Abu Sufyan, ia dalam keadaan aman. “Hal ini merupakan anugerah besar bagi Abu sufyan yang kini telah masuk Islam. Akan tetapi dikecualikan dari hal tersebut segolongan orang yang dosanya sangat besar dan telah menyakiti Islam serta para pemeluknya dengan tindakan-tindakan yang sangat menyakitkan. Darah mereka tidak dilindungi sekalipun mere. ‘! ka bergantungan pada kain Ka’bah.

 

Di antara mereka yang tidak dilindungi ialah ‘Abdullah ibnu Sa’d ibnu Abu Sarah yang telah masuk Islam dan pernah menjadi juru tulis wahyu Rasulullah selama beberapa waktu. Akan tetapi, ia murtad dari Islam, kemudi| an membuat-buat kebohongan tentang diri Rasulullah saw. Ia pernah me’ ngatakan, “Sesungguhnya Muhammad pernah memerintahkan kepadaku supaya menuliskan alimun hakim. Lalu aku menuliskannya menjadi ghafurun rahim, kemudian ia mengatakan, bahwa semuanya baik.” :

 

Yang juga tidak dilindungi adalah ‘Ikrimah ibnu Abu Jahal, Shafwan | ibnu Umayyah, Harib Ibnul-Aswad, Al-Harits ibnu Hisyam, Zuhair ibnu Abu Umayyah, Ka’b ibnu Zuhair, Wahsyi pembunuh Sahabat Hamzah, Hindun binti ‘Atabah (istri Abu Sufyan), Qalil, dan lain-lain. Rasulullah : saw. melarang kaum Muslimin membunuh siapa pun kecuali yang telah disebutkan di atas dan yang melawan mengajak perang.

 

Pasukan Khalid ibnul-Walid disambut oleh orang Quraisy dengan maksud menghalang-halangi mereka masuk. Maka Khalid bertempur melawan mereka sehingga berhasil membunuh dua puluh empat orang pihak musuh, sedangkan dari pasukannya hanya dua orang yang gugur. Khalid memasuki Makkah dari arah ini dengan melalui peperangan terlebih dahulu, dan berhasil mendobraknya. Pasukan Rasulullah saw. tidak menemukan hambatan apa pun. Pada saat itu Rasulullah saw. menaiki hewan kendaraannya seraya merundukkan tubuhnya karena merendahkan diri kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya atas karunia yang agung ini sehingga kelihatan kepalanya hampir menyentuh pelana kendaraannya. Ketika itu dia memboncengkan Usamah ibnu Zaid. Hal itu terjadi pada pagi hari Jumat tanggal 20 Ramadan. Rasulullah saw. terus berjalan hingga sampai di Juhun, tempat panji dipancangkan. Di tempat itu telah disediakan pula sebuah kemah untuknya. Di dalam kemah telah ada Ummu Salamah dan Maimunah, lalu Nabi saw. beristirahat sejenak. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya, di sampingnya ada Sahabat Abu Bakar yang menjadi teman berbicara, sedangkan Rasulullah saw. pada saat itu membacakan surah AlFath hingga sampai di Baitullah.

 

Ketika Rasulullah saw. sampai di Ka’bah, dia langsung thawaf sebanyak tujuh kali dengan menunggang kendaraannya, dan mencium Hajar Aswad hanya dengan perantaraan tongkat bengkoknya. Pada saat itu di sekeliling Ka’bah terdapat sekitar tiga ratus enam puluh buah berhala. Rasulullah saw. menusuki berhala-berhala itu dengan tongkat kayu yang berada di tangannya seraya mengatakan:

 

Telah datang perkara yang hak, dan lenyaplah perkara yang batil. Kebatilan tidak akan muncul dan tidak akan kembali lagi.

 

Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan kaum Muslimin supaya mengeluarkan berhala-berhala tersebut dari Ka’bah. Di dalam Ka’bah terdapat gambar Nabi Isma’il dan Nabi Ibrahim yang lagi memegang azlam (alat pengundi). Lalu Rasulullah saw. berkata “Semoga Allah melaknat mereka yang menggambarnya. Sebenarnya mereka telah mengetahui bahwa keduanya belum pernah sama sekali memakai azlam tersebut.”

 

Ini adalah untuk yang pertama kalinya Ka’bah disucikan dari penyembahan-penyembahan yang batil itu. Dengan bersihnya Ka’bah dari hal-hal yang najis seperti itu, maka lenyaplah penyembahan berhala dari kalangan bangsa Arab seluruhnya. Ada yang masih tetap melakukannya, tetapi jumlahnya sangat sedikit sehingga boleh dikatakan hampir lenyap.

 

MEMBERI MAAF DI KALA BERKUASA

 

Rasulullah saw. memasuki Ka’bah dan bertakbir di setiap penjuru ruangan. Setelah itu dia keluar menuju makam Ibrahim dan menunaikan salat di tempat itu, lalu meminum air zamzam dan duduk di Masjid. Sementara itu Semua mata tertuju kepadanya, menunggu-nunggu keputusan yang akan dijatuhkannya terhadap orang-orang musyrik Quraisy yang telah menyakiti dan mengusirnya dari tanah kelahirannya serta memeranginya. Akan tetapi, pada detik-detik yang mendebarkan itu muncullah kemuliaan akhlaknya. Hal ini harus ditiru oleh setiap Muslim, yaitu hendaknya kerelaan dan kemarahan hanya demi Allah belaka, bukan demi hawa nafsu. Pada saat itu Rasulullah saw. berkata, “Haj orang orang Quraisy, bagaimana aku Ini menurut pendapat kalian, apakah yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Hanya kebaikan belaka, engkau adalal: saudara yang mulia anak saudara kami yang mulia pula. “Maka Rasulullah saw. berkata, “Pergilah kalian semua karena kalian telah bebas.”

 

Kemudian Rasulullah saw. mengucapkan khotbahnya yang di dalamnya terkandung banyak hukum Islam. Antara lain dia mengatakan bahwa hendaknya seorang Muslim tidak boleh dihukum mati oleh sebab membunuh orang kafir, dua orang yang berbeda agama tidak boleh saling mewaris, seorang wanita tidak boleh dimadu dengan bibi dari pihak ayah atau bibi dari pihak ibunya, bukti bagi orang yang menuduh dan sumpah bagi orang yang mengingkari tuduhan, seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan sejauh tiga hari jarak tempuh kecuali dibarengi muhrimnya: tidak ada salat sesudah subuh dan asar: dan tidak boleh melakukan shaum pada hari Idul-Adha dan Idul-Fitri.

 

Selanjutnya Rasulullah berkata, “Hai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah melenyapkan dari kalian tradisi Jahiliah dan mengagungagungkan nenek-moyang. Manusia itu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.” Setelah itu dia membacakan firman-Nya :

 

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. 49 Al-Hujurat: 13)

 

Setelah itu orang-orang berdatangan membai’at Rasulullah saw. dan menyatakan diri masuk Islam. Di antara orang-orang yang masuk Islam pada hari itu ialah Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan dan Abu Quhafah, ayah Sahabat Abu Bakar ash-Shiddig. Rasulullah saw. sangat gembira menyambut keislaman mereka. Kemudian pada hari itu datang seorang lelaki yang gemetar karena takut. Rasulullah saw. berkata kepadanya :

 

Tenangkanlah dirimu, sesungguhnya aku bukanlah seorang raja, aku hanyalah anak seorang wanita Quraisy yang biasa memakan dendeng kering. Bagi orang yang tidak mendapat perlindungan dari Rasulullah saw. bumi yang luas ini terasa amat sempit. Di antara mereka ada yang telah dipastikan oleh Allah untuk mendapat siksaan-Nya, akhirnya ia mati dibunub dalam keadaan kafir. Di antara mereka ada yang mendapat pertolonganNya sehingga masuk Islam. ‘Abdullah ibnu Sa’d ibnu Abu Sarah berlindung kepada saudara sepersusuannya yaitu Sahabat ‘Utsman ibnu ‘Affan, lalu ia meminta kepadanya supaya memintakan perlindungan kepada Rasulullah buat dirinya. Sahabat ‘Utsman menyembunyikannya hingga keadaan tenang kembali, setelah itu ia menghadapkannya kepada Rasulullah saw. Di hadapan Rasulullah saw. Sahabat ‘Utsman meminta, “Wahai Rasulullah, aku telah menjamin keamanannya, maka aku mohon engkau mau memberi bai’at kepadanya. “Rasulullah saw. berpaling daripadanya berkali-kali, tetapi akhirnya dia mau memberikan bai’at kepadanya.

 

Ketika Sahabat ‘Utsman dan ‘Abdullah telah keluar, Rasulullah saw. berkata, “Sengaja aku berpaling daripadanya supaya salah seorang dari kalian menebas batang lehernya. “Para sahabat berkata, “Mengapa engkau tidak memberikan isyarat kepada kami?” Rasulullah menjawab, “Tidaklah patut bagi seorang nabi melakukan kecurangan. “Adapun ‘Ikrimah ibnu Abu Jahal melarikan diri, kemudian dikejar oleh istrinya dan anak perempuan pamannya, yaitu Ummu Hakim bintil-Harits ibnu Hisyam, yang telah masuk Islam sebelum penaklukan kota Makkah. Ia telah meminta perlindungan kepada Rasulullah, dan Rasulullah saw. mengabulkan permintaannya. Setelah mendapat izin dari Rasulullah, ia segera mengejar ‘Ikrimah. Ketika ‘Ikrimah hendak menaiki perahu, Ummu Hakim dapat menyusulnya dan berkata, “Aku datang kepadamu dari sisi orang yang paling baik dan paling terpilih. Janganlah engkau membinasakan diri engkau sendiri. Sesungguhnya aku telah meminta perlindungan kepadanya untuk engkau. “Akhirnya ‘Ikrimah mau kembali ke Makkah. Ketika ia terlihat oleh Rasulullah, Rasulullah saw. melompat berdiri karena kegirangan atas kedatangannya seraya berkata, “Selamat datang dengan orang yang hijrah (dari kemusyrikan) dan masuk Islam. “Kemudian “Ikrimah masuk Islam dan meminta kepada Rasulullah untuk memohonkan ampunan atas semua permusuhan yang telah dilakukannya, dan Rasulullah saw. memohonkan ampunan buatnya. Sesudah itu ‘Ikrimah termasuk orang Islam pilihan dan paling besar ghirahnya terhadap agama Islam.

 

Hubar ibnu)-Aswad melarikan diri dan bersembunyi. Sewaktu Rasulullah saw. berada di Jaranah”. Ia datang menemui Rasulullah saw. untuk masuk Islam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melarikan diri dar! engkau dan bermaksud bergabung dengan orang ‘Ajam. Akan tetapi, aku teringat kembali akan kepulangan engkau, silaturrahim engkau, dan maaf engkau terhadap orang-orang yang tidak mengerti mengenai diri engkau. Sebelumnya kami, wahai Rasulullah, adalah orang musyrik, kemudian Allah memberikan petunjuk melalui engkau, dan Dia telah menyelamatkan diriku dari kebinasaan. Maka maafkanlah daku dengan maaf yang baik.” Maka Rasulullah saw. berkata. “Aku telah memaafkan engkau.”

 

Al-Harits ibnu Hisyam dan Zuhair ibnu Umayyah al-Makhzumiy, mendapat perlindungan dari Ummu Hani binti Abu Thalib, maka Rasulullah saw. mengizinkan perlindungan itu. Ketika Al-Harits ibnu Hisyam menghadap Rasulullah dalam keadaan Muslim, Rasulullah saw. berkata “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah kepada engkau. Tidak pantas orang seperti engkau ini tidak mengerti Islam.” Setelah itu AlHarits termasuk sahabat yang utama.

 

Shafwan ibnu Umayyah menyembunyikan diri dan bermaksud melemparkan dirinya ke dalam laut hendak bunuh diri. Datanglah anak pamannya, yaitu ‘Umair ibnu Wahb al-Jumahi, menghadap Rasulullah seraya berkata “Wahai Nabiyullah, sesungguhnya Shafwan adalah ketua kaumnya. Ia telah melarikan diri dan bermaksud mencampakkan dirinya ke laut. Kami mohon supaya engkau memberikan keamanan (perlindungan) kepadanya karena sesungguhnya engkau pun telah memberikan keamanan kepada orang yang berkulit merah dan orang yang berkulit hitam. “Rasulullah saw. menjawab, “Susullah anak pamanmu itu. Ia sekarang telah mendapat perlindunganku. “Umar berkata, ‘Kalau demikian, berilah aku tanda buktinya. “Maka Rasulullah saw. memberikan kepada ‘Umar kain serbannya. ‘Umair menerima kain serban Rasulullah dan langsung menyusul Shafwan. Setelah berhasil menyusulnya, ia berkata , “Ayah dan ibuku menjadi tebusan bagi engkau. Aku datang kepada engkau dari sisi orang yang paling utama, paling mulia, paling penyantun, dan paing baik. Dia adalah anak paman engkau, kemuliaannya adalah kemuliaan engkau, kejayaannya adalah kejayaan engkau, dan kerajaannya adalah kerajaan engkau juga. “Shafwan menjawab, “Akan tetapi, sesungguhnya aku sangat takut terhadapnya. “Umair menjawab, “Dia lebih penyantun dan lebih dermawan daripada apa yang engkau gambarkan. “Lalu ‘Umair memperlihatkan kain serban Rasulullah saw. sebagai pertanda keamanan. Maka kembalilah Shafwan, lalu menghadap Rasulullah. Sesampainya di hadapannya Shafwan berkata, “Sesungguhnya orang ini menduga bahwa engkau telah memberikan keamanan kepada diriku. “Rasulullah saw. menjawab, “Ya, dia benar”. Shafwan berkata, “Tangguhkanlah aku selama dua bulan untuk memilih”. Rasulullah saw. berkata, “Kuberikan masa tangguh kepadamu selama empat bulan. “Tidak lama kemudian ia masuk Islam, dan ternyata sesudah itu ia menjadi orang Muslim yang baik.

 

Hindun binti ‘Atabah bersembunyi, kemudian masuk Islam. Lalu ia mendatangi Rasulullah saw, dan Rasulullah saw. menyambutnya dengan baik. Hindun berkata kepadanya, “Demi Allah, wahai Rasulullah, sebelumnya tiada suatu keluarga pun di muka bumi ini yang aku inginkan terhina selain keluarga engkau. Sekarang tiada suatu keluarga pun di muka bumi ini yang aku inginkan berjaya selain keluarga engkau.”

 

UTUSAN DARI KA’B IBNU ZUHAIR

 

Ka’b ibnu Zuhair, ketika ia merasakan bumi yang luas ini menjadi sempit baginya, dan tidak menemukan seorang pun mau melindungi dirinya, lalu ja datang menghadap Rasulullah saw. di Madinah sesudah Rasulullah pulang dari Makkah, kemudian ia masuk Islam. Pada saat itu mengumandangkan syair-syairnya sebagai pujian kepada Rasulullah, yaitu:

 

Setiap teman yang menjadi harapanku, semuanya mengatakan aku tidak mau mencampuri lagi urusanmu, maka aku katakan, menyingkirlah kalian, aku tidak peduli lagi dengan kalian, setiap yang telah ditakdirkan oleh Yang Maha Pengasih pasti akan terjadi. Setiap anak yang bersembunyi sekalipun keselamatannya lama, pada suatu hari pasti ia akan tertangkap pula. Aku mendapat firasat bahwa Rasulullah menjanjikan keamanan bagi diriku, dan ampunan di sisi Rasulullah adalah harapanku. Tunggu, semoga Zat yang telah memberimu AlQuran yang di dalamnya terdapat nasihat dan keutamaan memberikan kesabaran kepadamu. Dalam syairnya itu ia mengatakan pula sanjungannya terhadap diri Rasulullah saw, yaitu : Sesungguhnya Rasul adalah pedang yang dapat dijadikan pencerah (jalan), pedang itu sangat kuat dan ia termasuk di antara pedang pedang Allah yang terhunus.

 

Ketika Zuhair mengucapkan bait syair ini, Rasulullah saw. melepaskan kain burdahnya yang kemudian dihadiahkan kepada Zuhair. Adapun Wahsyi, pembunuh Sahabat Hamzah, ia pun masuk Islam dan akhirnya ia menjadi Muslim yang baik: Rasulullah saw. telah memaafkannya. Kemudian kedua anak Abu Lahab, yaitu ‘Atabah dan Mu’tib, datang menghadap Rasulullah saw, lalu mereka berdua masuk Islam. Keislaman mereka berdua disambut dengan gembira oleh Rasulullah saw.

 

Di antara orang-orang yang menyembunyikan dirinya adalah Suhail ibnu ‘Amr. Kemudian ia mendapat perlindungan dari anaknya, ‘Abdullah. Rasulullah saw. memberikan keamanan kepadanya seraya berkata, “Sesungguhnya Suhail itu orang yang berakal dan terhormat, tidak pantas bagi orang seperti Suhail tidak mengerti tentang Islam.” Ketika perkataan Rasulullah saw. itu sampai ke telinga Suhail, ia berkata, “Demi Allah, dia adalah orang yang mulia sewaktu kecil dan mulia pula sewaktu dewasa. “Tidak berapa lama Kemudian ia masuk Islam.

 

BAI’AT KAUM WANITA

 

Setelah kaum lelaki selesai berbai’at kepada Rasulullah, lalu Rasulullah saw. menerima bai’at kaum wanita. Mereka berbai’at kepada Rasulullah saw. bahwa mereka tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak mendatangkan kedustaan yang dibuat-buat di antara kedua tangan dan kedua kakinya, dan tidak mendurhakai Rasulullah dalam perkara yang bajik. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan Sahabat Bilal untuk mengumandangkan azan di atas Ka’bah. Hal ini merupakan permulaan munculnya Islam di atas Ka’bah yang mulia, maka tidaklah mengherankan bilamana kaum Muslimin menjadikan hari tersebut sebagai hari bersejarah yang mereka rayakan. Pada hari itu mereka memuji kepada Allah dengan pujian yang sebenar-benarnya atas karunia yang besar dan kemenangan yang agung ini.

 

Rasulullah saw. bermukim di Makkah sesudah menaklukkannya selama sembilan belas hari. Selama itu Rasulullah selalu meng-gashar salatnya. Selanjutnya Rasulullah saw. mengangkat ‘Itab ibnu Usaid sebagai wali kota Makkah. Ia digaji satu dirham sehari. Setelah pengangkatannya Sahabat ‘Itab ibnu Usaid selalu mengatakan, “Semoga Allah tidak mengenyangkan perut yang lapar ini atas imbalan satu dirham sehari.”

 

DIHANCURKANNYA BERHALA ‘UZZA

 

Pada hari yang kelima Rasulullah bermukim di Makkah, dia mengirimkan Sahabat Khalid ibnul-Walid bersama tiga puluh orang pasukan berkuda untuk meruntuhkan berhala ‘Uzza. Berhala ‘Uzza merupakan berhala orang Quraisy yang paling besar bentuknya, ditempatkan di kampung Nakhlah. Sahabat Khalid membawa pasukannya menuju tempat tersebut. Sesampainya di sana Khalid bersama pasukannya menghancurkan berhala itu.

 

DIHANCURKANNYA BERHALA SUWA’

 

Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat ‘Amr ibnul-‘Ash untuk meruntuhkan berhala Suwa’. Suwa’ merupakan berhala orang Hudzail yang bentuknya besar sekali. Berhala itu ditempatkan di suatu tempat yang jauhnya tiga mil dari Makkah. Sahabat ‘Amir ibnul’Ash mendatangi tempat tersebut dan langsung merobohkannya.

 

DIHANCURKANNYA BERHALA MANAT

 

Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Sa’d ibnu Zaid al-Asyhaliy bersama dua puluh orang pasukan berkuda untuk meruntuhkan berhala Manat. Manat merupakan berhala yang dipuja-puja oleh orang Kalb dan Khuza’ah tempatnya di Al-Mugyallal, suatu bukit yang terletak di pantai. Dari tempat tersebut, apabila turun akan menuju ke daerah Qadid. Sahabat Sa’d ibnu Zaid berangkat dengan pasukannya ke tempat itu. Sesampainya di sana ia merobohkan berhala tersebut.

 

PERANG HUNAIN

 

Dengan penaklukan ini dan runtuhnya kerajaan berhala, maka tunduklah semua golongan orang Arab kepada Islam, dan mereka mulai masuk agama Islam secara berbondong-bondong. Akan tetapi, dua kabilah lain, yaitu kabilah Hawazin dan kabilah Tsagif, orang-orangnya termakan oleh fanatisme jahiliah. Lalu orang-orang terhormat dari kedua kabilah tersebut berkumpul untuk melakukan musyawarah. Mereka berkata, “Muhammad telah selesai memerangi kaumnya, maka tidak ada halangan lagi baginya Untuk memerangi kita. Sebaiknya kita serang dahulu dia sebelum dia menyerang kita. “Akhirnya mereka sepakat untuk melaksanakan keputusan tersebut, lalu mereka mengangkat Malik ibnu ‘Auf an Nadhri sebagai panglima perang mereka. Bergabung puladenganmereka berbagai kabilah sehingga jumlah mereka banyak sekali. Di dalamnya terdapat Bani Sa’d ibnu Bakr dari kalangan tempat Rasulullah saw. menyusu sewaktu kecil. Di antara kaum tersebut terdapat Duraid ibnush-Shummah yang dikenal sebagai orang cerdik dalam mengemukakan pendapat, terkenal hebat di medan perang. Karena umurnya sudah terlalu tua dalam perang ini ia hanya ikut andil dalam mengemukakan pendapat.

 

Malik ibnu ‘Auf memerintahkan pasukannya agar membawa istri-istri dan anak-anak serta harta benda mereka. Hal ini diketahui oleh Duraid. Lalu Duraid bertanya kepada Malik mengapa ia berbuat demikian. Malik mengemukakan alasannya. “Sengaja aku menyuruh orang-orang membawa harta benda dan anak-anak serta istri-istri mereka, kemudian aku tempatkan di belakang setiap lelaki keluarga dan harta bendanya, di tempat itu ia harus bertempur dan harus membelanya.” Duraid bertanya, “Apakah orang yang kalah dapat merebut kembali sesuatu dari miliknya? Apabila engkau ingin menang, tidak bermanfaat bagi engkau selain lelaki dengan pedang dan tombaknya. Apabila engkau kalah, sedangkan engkau membawa keluarga dan harta benda, maka berarti engkau membuat bahaya terhadap keluarga dan harta benda engkau. “Akan tetapi, Malik tidak mau menuruti usul Duraid. Ia tetap pada pendiriannya. Ia membariskan kaum wanita di belakang pasukan, dan di belakang mereka unta, lalu sapi dan kambing. Malik mengatur strategi demikian supaya tidak ada seorang pun dari pasukan yang melarikan diri bila terpukul.

 

Sewaktu Rasulullah saw. mendengar berita bahwa orang Hawazin dan orang Tsagif sedang bersiap-siap untuk memeranginya, ia bersama kaum Muslimin sepakat untuk berangkat memerangi mereka. Rasulullah saw. keluar bersama dua belas ribu orang tentara. Dua ribu orang di antara mereka terdiri dari penduduk Makkah, sedangkan sisanya terdiri dari orang-orang yang datang bersamanya dari Madinah. Pada saat itu penduduk Makkah ikut keluar. Di antara mereka ada yang berkendaraan dan ada pula yang berjalan kaki sehingga kaum wanita pun ikut pula berjalan kaki tanpa merasa penat sedikit pun karena mereka mengharapkan dapat memperoleh ghanimah. Dalam pasukan Rasulullah saw. ikut serta pula delapan puluh orang yang masih musyrik. Di antara mereka adalah Shafwan ibnu Umayyah dan Suhail ibnu ‘Amr.

 

Ketika perkemahan musuh telah dekat, Rasulullah saw. mengatur barisan pasukan dan mengangkat pemimpin-pemimpin kelompok pasukan. Panji orang-orang Muhajirin diberikan kepada Sahabat ‘Ali, panji kabilah Khazraj diberikan kepada Al-Habbab ibnul-Mundzir, dan panji kabilah Aus diberikan kepada Usaid ibnu Hudhair, Rasulullah pun memberikan panji-panji peperangan kepada kabilah-kabilah Arab lainnya. Setelah itu Rasulullah saw. menaiki bagalnya dan memakai dua lapis baju besi.

 

Sewaktu berhadapan dengan musuh, kaum Muslimin amat heran dengan jumlah yang begitu banyak, tetapi mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa dalam menghadapi musuh. Ketika barisan depan kaum Muslimin maju menghadapi musuh, tiba-tiba mereka masuk perangkap musuh yang tersembunyi. Mereka terjebak di antara dua tebing, lalu musuh menghujani mereka dengan anak panah, banyaknya bagaikan belalang yang menyebar. Akhirnya mereka membelokkan kuda-kudanya untuk mundur. Ketika mereka sampai di barisan belakang, barisan belakang pun ikut mundur karena terkejut. Rasulullah tetap bertahan dengan gigih di medan perang bersama tentara yang jumlahnya sedikit dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Di antara mereka yang ikut bertahan bersama Rasulullah pada saat itu adalah Sahabat Abu Bakar, Sahabat ‘Umar, Sahabat Ali, Sahabat Al-‘Abbas dan anaknya, Al-Fadhl, Abu Sufyan ibnul Harits dan saudaranya, Rabi’ah ibnul-Harits, dan Mut’ib ibnu Abu Lahab. Rasulullah saw. berseru, “Hai manusia, majulah bersamaku.” Tetapi ternyata tidak seorang pun yang menoleh kepadanya. Pada saat itu orang-orang yang mundur merasa bahwa bumi yang luas ini terasa amat sempit bagi mereka.

 

Di antara orang Makkah yang baru masuk Islam, dan orang yang belum meninggalkan kemusyrikannya ada yang gembira menyaksikan hal ini, dan ada pula yang merasa kecewa dengan kekalahan ini. Abu Sufyan ibnu Harb berkata, “Kekalahan mereka masih belum begitu fatal.” Saudara Shafwan ibnu Umayyah berkata pula, “Sekarang sihir batal.” Lalu Shafwan yang masih musyrik berkata kepada saudaranya, “Diamlah engkau, semoga Allah merobek mulutmu itu. Demi Allah, lebih baik aku.ditangisi orang Quraisy daripada aku ditangisi orang Hawazin.” Kemudian ada seseorang dari kabilah Quraisy lewat di hadapannya seraya berkata “Bergembiralah dengan kekalahan Muhammad dan para sahabatnya. Demi Allah, Muhammad dan para sahabatnya tidak akan dapat mengalahkan mereka.” Marahlah Shafwan seraya berkata, “Celakalah engkau ini. Apakah engkau merasa senang dengan kemenangan orang Badui?” Ikrimah ibnu Abu Jahal berkata kepada lelaki yang telah berbicara itu, “Muhammad dan para Sahabatnya tidak dapat mengalahkan mereka sama sekali bukan terletak di tanganmu. Ketentuan sepenuhnya berada di tangan kekuasaan Allah, dan Udak ada kaitannya sama sekali dengan Muhammad. Apabila ia kalah hari Ini, pasti akhirnya dia pulalah yang akan menang besok.” Suhail ibnu ‘Amr berkata, “Demi Allah, biasanya engkau selalu menentangnya, dan baru kali ini engkau memihak kepadanya. “Ikrimah menjawab, “Hai Abu Yazid (nama panggilan Suhail Ibnu ‘Amr), sesungguhnya kami dahulu tidak mempunyai pegangan apa-apa dan akal kami tidak digunakan karena menyembah batu yang tidak dapat memberikan mudarat dan manfaat.” Berita mengenai terpukulnya pasukan kaum Muslimin ini telah sampai pula di Makkah.

 

Dalam keadaan yang sangat kritis ini Rasulullah saw. tetap bertahan pada posisinya seraya mengucapkan :

 

Aku adalah nabi yang tidak pernah dusta. Aku adalah anak ‘Abdul-Muththalib. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada Sahabat Al-‘Abbas yang terkenal memiliki suara yang keras, “Hai ‘Abbas, serulan orangorang Anshar! ” Kemudian Al-‘Abbas berseru, “Hai orang-orang Anshar, hai orang-orang yang telah ikut dalam bai’aturRidhwan.”Seruan ini terdengar oleh orangorang yang terjebak di dalam lembah. Kemudian orang-orang Anshar yang berada di tempat itu menyambut seruan itu, “Labbaik, labbaik.”Setiap orang dari mereka bermaksud memutar kembali kendali untanya, tetapi terhambat oleh banyaknya orang yang mundur. Terpaksa mereka mengalungkan baju besinya pada lehernya, lalu mengambil pedang dan perisainya, kemudian turun dari untanya untuk menyingkapkan jalan seraya mengumandangkan kembali seruan Sahabat Al-‘ Abbas. Akhirnya bergabunglah sejumlah besar pasukan dari kalangan mereka bersama Rasulullah saw. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasulullah dan kaum Mukminin, dan Dia pun menurunkan untuk membantu mereka balatentara yang tidak kelihatan (para malaikat). Akhirnya kaum Muslimin maju kembali melawan musuhnya secara bersatu padu dan dapat memukul mundur musuh. Musuh banyak yang terbunuh lalu mereka melarikan diri tanpa menghiraukan lagi harta benda dan kaum wanita serta anakanak mereka yang ditinggalkan di medan perang. Akan tetapi, kaum Muslimin mengejar mereka seraya membunuh dan menawannya. Akhirnya kaum Muslimin menangkap kaum wanita dan anak-anak musuh. Kaum Muslimin juga memperoleh banyak tawanan pasukan musuh yang tertangkap, sedangkan pasukan musuh yang selamat melarikan diri. Dalam pertempuran ini Sahabat Khalid ibnul-Walid mendapat luka yang cukup parah. Pengaruh kemenangan dalam peperangan ini membuat banyak musyrikin Makkah masuk Islam karena mereka melihat adanya pertolongan Allah kepada kaum Muslimin.

 

Apa yang terjadi dalam peperangan ini merupakan pelajaran yang sangat penting karena sesungguhnya di dalam pasukan kaum Muslimin pada saat itu terdapat cukup banyak unsur campuran yang terdiri dari orangorang musyrik, orang-orang Badui, dan orang-orang yang baru masuk Islam. Bagi mereka sama saja apakah Islam menang atau kalah. Oleh sebab itu, ketika pada permulaan peperangan kaum Muslimin terdesak, mereka buru-buru melarikan diri dari medan pertempuran. Hal ini hampir saja membuat kekalahan yang fatal bagi barisan Muslimin andaikata tidak ada kemurahan dari Allah. Seharusnya barisan Muslimin hanya terdiri dari orang-orang yang benar-benar ikhlas untuk mempertahankan agamanya. Dengan demikian hati mereka akan tetap teguh dan tidak akan tergiur untuk melarikan diri, sebab mereka pasti takut akan siksaan yang telah disediakan Allah buat orang-orang yang lari dari medan perang, yaitu siksaan yang amat pedih.

 

Selanjutnya Rasulullah saw. memerintahkan supaya para tawanan dan barang-barang ghanimah dikumpulkan menjadi satu. Jumlah semua ghanimah yang berhasil diraih kaum Muslimin terdiri dari 24.000 ekor unta, 40.000 ekor lebih kambing, dan 4.000 augiyah perak. Kesemuanya dikumpulkan menjadi satu di Ja’ranah.

 

Kaum musyrikin yang kalah perang itu, berpencar melarikan diri. Segolongan di antara mereka berlindung di Thaif, sebagian lagi berlindung di Nakhlah, dan sebagian lainnya melarikan diri lalu membuat perkemahan di daerah Authas.”

 

SARIYYAH

 

Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Abu ‘Amir al Asy’ari bersama segolongan orang Asy’ari, di dalamnya ikut serta Sahabat Abu Musa al-Asy’ari, untuk menumpas sisa-sisa tentara musuh. Abu ‘Amir membawa pasukannya untuk mengejar mereka. Akhirnya ia bersama pasukannya berhasil menumpas mereka semua dan memperoleh sisa ghanimah yang masih dimiliki musuh. Akan tetapi, dalam peperangan ini Abu ‘Amir sendiri gugur sebagai syuhada, kemudian tampuk pimpinan pasukan dipegang oleh keponakannya, yaitu Sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Akhirnya Sahabat Abu Musa kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan dan ghanimah.

 

PERANG THAIF

 

Selanjutnya Rasulullah saw. berangkat bersama orang-orang yang mengikutinya ke Thaif guna menumpas sisa-sisa orang Thaif dan orang Hawazin yang bergabung dengan mereka. Rasulullah mengangkat Sahabat Khalid ibnul-Walid sebagai panglima perang yang berada di barisan paling depan. Di tengah perjalanan Rasulullah melewati benteng orang ‘Auf ibnu Malik an-Nadhri, lalu ia memerintahkan kaum Muslimin supaya merobohkannya. Rasulullah pun melewati sebuah kebun milik seorang lelaki dari Tsagif. Rasulullah saw. pernah dilarang memasukinya. Lalu Rasulullah saw. mengirimkan seseorang supaya lelaki tersebut keluar dari kebunnya. Jika ia membangkang, kebunnya akan dibakar. Lelaki itu membangkang. Akhirnya Rasulullah memerintahkan agar kebun lelaki itu dibakar.

 

Ketika tentara kaum Muslimin sampai di Thaif, mereka menemukan musuh-musuhnya telah berlindung di dalam benteng kota Thaif, dan mereka memasukkan bahan makanan yang cukup untuk bertahun-tahun ke dalam benteng. Kaum Muslimin bermarkas di dekat benteng, tetapi kaum musyrikin menembaki mereka sangat gencar dengan panah sehingga tentara kaum Muslimin banyak yang terluka. Di antara mereka yang terluka ialah ‘Abdullah ibnu Abu Bakar. Lukanya semakin parah hingga ia meninggal dunia pada masa kekhalifahan ayahnya. Abu Sufyan ibnu Harb juga terluka sehingga salah satu matanya buta terkena panah musuh. Anggota pasukan kaum Muslimin yang meninggal dunia karena terluka kena panah ada dua belas orang.

 

Rasulullah saw. melihat situasi itu tidak menguntungkan posisi kaum Muslimin. Kelihatan musuh dapat menjangkau perkemahan kaum Muslimin dengan panah mereka. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan kaum Muslimin supaya perkemahan mereka pindah ke tempat yang lebih tinggi, yaitu yang sekarang menjadi tempat Masjid Thaif. Selanjutnya di tempat itu Rasulullah saw. membuat dua kemah khusus untuk Ummu Salamah dan Zainab.

 

Pengepungan ini berlangsung selama delapan belas hari. Pada suatu hari Sahabat Khalid ibnul-Walid menantang musuh untuk perang tanding, tetapi tiada seorang pun yang meladeninya. Tantangan itu dijawab oleh ‘Abdu Yalil, pembesar orang Tsagif, “Tidak akan ada seorang pun dari kami yang turun dari benteng. Kami akan tetap tinggal di dalam benteng kami ini. Sesungguhnya di dalam benteng ini terdapat bahan makanan yang cukup untuk beberapa tahun. Bilamana engkau tetap menunggu sampai bahan makanan ini habis, niscaya sesudah itu kami semua, tak ada yang ketinggalan, akan keluar berperang sampai titik darah penghabisan.”

 

Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan supaya kaum Muslimin menghujani mereka dengan batu-batu yang dilontarkan dengan majanik. Perintah itu segera dilaksanakan. Ada segolongan sahabat yang masuk ke dalam dabbabat untuk mendobrak benteng mereka. Akan tetapi, orangorang Tsagif yang ada di dalam benteng melempari mereka dengan lempengan-lempengan besi yang membara sehingga para sahabat yang berada di dalam dabbabat mundur karena kepanasan. Melihat usahanya tidak berhasil, Rasulullah saw. memerintahkan pasukannya untuk menebangi pohon anggur dan pohon kurma milik mereka. Kemudian kaum Myslimin sungguh-sungguh menebangi pohon-pohon mereka. Akhirnya penduduk benteng berseru kepada Rasulullah saw. supaya menghentikan penebangan pohon-pohon milik mereka karena Allah dan demi hubungan silaturrahim. Rasulullah saw. menjawab, “Baiklah, kalau demi Allah dan demi silaturrahim aku mau menghentikannya.” Selanjutnya Rasulullah saw. memerintahkan juru serunya untuk mengatakan bahwa barang siapa yang turun dari benteng, ia dijamin keselamatannya. Lalu keluarlah dari benteng itu sebanyak sepuluh orang lebih, menyerah kepada kaum Muslimin, sedangkan sebagian besar dari mereka masih tetap di dalam dan tidak mau keluar.

 

Ketika Rasulullah saw. melihat kekerasan hati orang-orang Tsagif yang tidak mau menyerah, pembukaan benteng Thaif masih belum diizinkan. Lalu dia bermusyawarah dengan Naufal ibnu Mu’awiyah ad-Daily, apakah pergi saja atau tetap menunggu mereka keluar. Naufal menjawab, “Wahai Rasulullah, seekor musang di dalam lubang, bilamana engkau tunggu niscaya engkau akan dapat menangkapnya, dan bilamana engkau tinggalkan, ia tidak akan membahayakan engkau. “Rasulullah saw. memerintahkan pasukannya berangkat. Sebelum itu ada sebagian sahabat yang meminta kepada Rasulullah supaya berdoa untuk kecelakaan orang Tsagif. Akan tetapi Rasulullah saw. justru mengucapkan doa seperti berikut:

 

Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada orang Tsagif, hanya kepada Engkaulah mereka ku serahkan.

 

PEMBAGIAN GHANIMAH

 

Setelah itu Rasulullah saw. kembali ke Ja’ranah tempat ditinggalkannya barang-barang ghanimah, kemudian dia menghitung dan mengambil seperlimanya. Rasulullah saw. memberikan bagian yang cukup banyak kepada orang-orang yang agamanya masih lemah untuk membuat mereka lebih tertarik kepada agama Islam, sebagaimana dia memberikannya pula kepada orang-orang yang masih belum masuk Islam supaya mereka mau masuk Islam.

 

Di antara orang-orang yang mula-mula diberi bagian dari ghanimah ini ialah Abu Sufyan. Ia diberi sebanyak empat puluh augiyah emas dan seratus ekor unta, demikian pula kedua anaknya, yaitu Mu’awiyah dan Yazid. Setelah itu Abu Sufyan berkata, “Demi ayah dan ibuku, engkau ini sungguh sangat dermawan, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang.” Di antara mereka yang diberi adalah Hakim ibnu Hizam. Rasulullah saw. memberinya seperti kepada Abu Sufyan, tetapi ia meminta tambahan lagi. Lalu Rasulullah saw. memberinya, dan sesudah itu ia meminta tambahan lagi. Maka Rasulullah saw. memberinya seperti pemberian yang pertama. Sesudah itu dia berkata :

 

Hai hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis, maka barang sia

 

pa mengambilnya dengan hati yang lapang, niscaya akan diberi keberkahan, dan barang siapa mengambilnya dengan hati yang berlebih-lebihan, niscaya ia tidak akan diberkahi, perumpamaannya bagaikan orang makan yang tidak pernah kenyang. Tangan di atas itu lebih baik . daripada tangan di bawah. Hakim mengambil seratus unta pemberian yang pertama, lalu ia menolak yang lainnya seraya mengatakan, “Demi zat yang telah mengutus engkau dengan membawa kebenaran, aku tidak akan mau menerima sesuatu dari seorang pun sesudah pemberian engkau ini hingga aku berpisah dari dunia yang fana ini. Dalam masa pemerintahan para khalifah, mereka masingmasing memberinya ‘atha yang berhak diterimanya dari baitulmal, tetapi ia tidak mau menerimanya. .

 

Kemudian Rasulullah saw. memberikan seratus ekor unta kepada ‘Uyaynah ibnu Hishn, serupa dengan yang diberikannya kepada Al-Agra’ ibnu Habis dan Al-‘ Abbas ibnu Muradis. Kepada Shafwan ibnu Umayyah ia memberikan suatu lereng bukit yang penuh dengan unta, sapi, dan kambing. Pada saat itu Shafwan melihatnya, lalu ia merasa takjub dengan jumlah ternak yang demikian banyaknya itu. Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Apakah semuanya itu membuatmu takjub?” Shafwan menjawab, “Ya, tentu saja.” Rasulullah saw. berkata, “Kalau demikian, semuanya buat kamu, ambillah.” Shafwan ibnu Umayyah berkata, “Tiada seorang pun

 

yang rela memberikan hal seperti itu selain engkau.” Hal ini merupakan penyebab Shafwan mau masuk Islam.

 

Tujuan utama dari semua pemberian itu tiada lain untuk melunakkan hati mereka, supaya mereka mau masuk Islam. Hal ini merupakan salah satu taktik dari agama untuk menarik orang-orang agar mau masuk Islam, yaitu menjadikan salah satu bagian dari zakat buat mereka guna melunakkan hati mereka terhadap agama Islam sehingga mereka mau masuk Islam. Ternyata sikap ini pengaruhnya sangat berfaedah terhadap kepentingan agama Islam karena hati kebanyakan dari orang-orang yang diberi bagian pada hari itu belum di resapi cinta terhadap Islam. Sesudah itu mereka menjadi orang-orang Muslim yang terhormat dan sangat bermanfaat bagi agama Islam seperti Shafwan ibnu Umayyah, Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan, dan Al-Harits ibnu Hisyam.

 

Setelah itu Rasulullah saw. memerintahkan kepada Sahabat Zaid ibnu Tsabit untuk menghitung sisa ghanimah yang masih ada, kemudian dia membagi-bagikan kepada pasukan perangnya sesudah terlebih dahulu orang-orang Badui mengerubuti dirinya. Orang-orang Badui itu berkata, “Berilah kami bagian!” sehingga mereka menyudutkan Rasulullah saw. pada suatu pohon sampai kain serbannya terkait padanya. Dia berkata, “Hai manusia, kembalikanlah kain serbanku itu kepadaku. Demi Allah, seandainya aku mempunyai ternak yang banyak hingga memenuhi daerah Tihamah, niscaya aku akan membagi-bagikannya kepada kalian. Kalian tentu telah mengetahui bahwa aku ini bukanlah orang yang bakhil, bukan pengecut, dan bukan pula orang yang sulit.”

 

Kemudian Rasulullah saw. menaiki untanya dan mencabut seutas bulu dari punuk untanya, lalu berkata, “Hai manusia, demi Allah, aku hanya mengambil seperlima dari ghanimah kalian ini tanpa lebih seujung rambut pun, dan yang seperlima itu nantinya kembali juga kepada kalian. Kumpulkanlah ghanimah yang besar maupun yang kecil karena sesungguhnya ghulul” itu merupakan keaiban bagi pelakunya, dan kelak pada hari kiamat akan menjadi api yang membakarnya. “Setelah ada pernyataan dari Rasulullah, kemuadian setiap orang yang menyembunyikan ghanimah secara diam-diam mengembalikannya lagi sekalipun yang diambil itu sedikit. Lalu Rasulullah saw. membagi-baginya sehingga setiap pasukan yang berjalan kaki mendapat bagian empat ekor unta dan empat puluh ekor kambing, sedangkan bagi pasukan berkuda bagian masing-masingnya tiga kali lipat bagian pasukan berjalan kaki.

 

Ada seorang lelaki dari kalangan orang munafik yang berkata “Ini adalah pembagian yang bukan karena Allah. “Merah padamlah wajah Rasulullah saw. Lalu ia berkata kepadanya “Celakalah engkau ini. Siapakah yang akan berlaku adil jika aku tidak adil?” Akan tetapi, kemarahan ini tidak mendorongnya untuk melampiaskannya kepada orang yang kurang ajar itu, bahkan hal itu membuat dirinya makin berhati-hati dan waspada serta mengoreksi diri, sebab Rasulullah saw. jauh dari perasaan seperti itu. Ketika itu Sahabat ‘Umar dan Sahabat Khalid berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, biarkanlah kami memenggal leher orang itu.” Rasulullah saw. menjawab, “Jangan, barangkali ia termasuk orang yang salat.” Khalid menjawab, “Tetapi banyak dari kalangan orang yang salat yang suka mengatakan apa yang berlainan dengan hatinya”. Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk melubangi hati manusia, dan tidak pula untuk membelah dada mereka.”

 

Ketika Rasulullah saw. membagi-bagikan ghanimah itu kepada orangorang Quraisy dan kabilah-kabilah Arab, orang-orang Anshar dilewatkan begitu saja sehingga sebagian dari mereka merasa jengkel dan berkata, “Sungguh aneh dia ini, mengapa orang-orang Quraisy diberi dan ia melewatkan kami begitu saja, sedangkan pedang-pedang kami masih meneteskan darah mereka?” Perkataan mereka itu terdengar oleh Rasulullah, lalu ia mengumpulkan mereka semua di suatu tempat. Setelah mereka berkumpul, dan ternyata di tempat tersebut tidak ada orang lain kecuali mereka, Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Hai orang-orang Anshar, perkataan apakah yang telah sampai kepadaku dari kalian? Bukankah aku menemukan kalian dalam keadaan sesat, lalu Allah memberikan petunjuk kepada kalian melalui aku? Aku jumpai kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah membuat kalian kaya melalui aku. Aku menemukan kalian dalam keadaan bermusuhan, Allah merukunkan kembali hati di antara sesama kalian melalui aku. Sesungguhnya orang Quraisy itu masih baru lepas dari kekufuran dan musibah, maka aku bermaksud melipur hati mereka dan membuat mereka jinak. Apakah kalian, hai orang-orang Anshar, marah hanya karena barang sedikit dari dunia yang aku gunakan untuk menjinakkan suatu kaum supaya mereka mau masuk Islam, kemudian aku membiarkan kalian karena agama Islam kalian sudah mantap dan tidak tergoyahkan lagi? Tidakkah kalian rela, hai orang-orang Anshar, bilamana manusia pergi dengan membawa kambing dan unta, kemudian kalian kembali ke Madinah bersama Rasulullah yang bergabung dengan kafilah kalian? Demi zat Yang jiwa Muhammad berada di tangan kekuasaan-Nya, seandainya tidak ada Hijrah, niscaya aku ini akan menjadi orang Anshar pula. Seandainya orang-orang menempuh suatu jalan, dan kemudian orangorang Anshar pun menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan yang dilalui oleh orang-orang Anshar. Ya Allah, kasihanilah orang-orang Anshar dan anak-anak mereka.” Seketika itu juga kaum Anshar menangis semua sehingga kelihatan janggut mereka basah kuyup oleh air mata, dan mereka berkata, “Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian dan jatah kami.” Setelah itu Rasulullah pergi dan mereka pun bubar.

 

UTUSAN DARI HAWAZIN

 

Sesudah lewat sepuluh hari lebih, datanglah menghadap kepada Rasulullah saw. para utusan dari Hawazin yang dipimpin oleh Zuhair ibnu Shard. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di antara orang-orang yang engkau tawan terdapat ibu-ibu dan bibi-bibi engkau. Mereka adalah kaum yang sederhana. Kami akan membujuk mereka supaya menyenangi Allah dan diri engkau.” Zuhair berkata pula, “Sesungguhnya di antara para tawanan itu terdapat bibi-bibi engkau dan para pengasuh engkau yang pernah memelihara diri engkau.” Selanjutnya Zuhair mengucapkan beberapa bait syair seraya memohon belas kasihan:

 

Bebaskanlah kami, wahai Rasulullah, dengan kemurahan engkau karena sesungguhnya engkau adalah orang yang kami harap-harapkan dan kami tunggu maafnya. Bebaskanlah kaum wanita yang pernah engkau menyusu kepadanya, sebab mulut engkau pernah penuh oleh air susunya. Sesungguhnya kami akan sangat berterima kasih atas anugerah engkau bilamana engkau mau membebaskanriya, sesudah hari ini kami sangat berhutang budi kepada engkau. Sesungguhnya kami berlindung kepada maaf engkau. Engkau adalah petunjuk bagi makhluk, hendaklah memberi maaf dan pertolongan. Ulurkanlah maaf engkau kepada ibu-ibu yang pernah menyusukan engkau. Sesungguhnya maaf engkau itu lebih dikenal. Rasulullah saw. berkata, “Sesungguhnya perkataan yang paling aku sukai adalah yang paling benar, maka pilihlah oleh kalian di antara dua golongan: para tawanan atau harta benda. Sungguh, sebenarnya aku sedang menunggu-nunggu kalian sehingga sebelumnya aku menduga bahwa kalian tidak akan datang.” Mereka menjawab, “Keturunan kami bukan berarti apa-apa bagi engkau dan tidak sebanding, maka kembalikanlah kepada kami istri-istri dan anakanak kami. Hal ini lebih kami sukai, dan kami tidak akan membicarakan lagi masalah kambing dan unta.”

 

Lalu Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Adapun bagianku dan bagian Bani ‘Abdul-Muththalib, semuanya untuk kalian. Apabila aku telah melakukan salat zuhur, berdirilah kalian, lalu katakanlah, “Kami memohon syafaat (pertolongan) melalui Rasulullah terhadap kaum Muslimin, dan melalui kaum Muslimin terhadap Rasulullah. Kalian lakukan hal ini sesudah terlebih dahulu kalian menampakkan keislaman kalian terhadap mereka, lalu kalian harus mengatakan, kami adalah saudara-saudara kalian yang seagama.” Lalu mereka melakukan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah itu. Setelah itu Rasulullah saw. berkata, “Amma ba’du. Sesungguhnya saudara-saudara kalian itu telah datang dalam keadaan tobat, dan menurut pendapatku sebaiknya aku mengembalikan tawanan kepada mereka. Barang siapa yang suka dengan hal tersebut, hendaknya ia melakukannya. Barang siapa ada di antara kalian yang suka bila aku memberikan gantinya, kelak akan aku berikan kepadanya begitu Allah menganugerahkan harta fai’ kepada kami, hendaknya ia melakukannya.”

 

Lalu kaum Anshar menjawab, “Apa yang untuk kami, itu adalah untuk Rasulullah.” Akan tetapi, ada segolongan orang Arab yang tidak mau memberikannya secara cuma-cuma, seperti Al-Agra’ ibnu Habis, ‘Uyaynah ibnu Hishn, dan Al-‘Abbas ibnu Muradis. Rasulullah saw. mengambil dari mereka secara utang, kemudian ia memerintahkan supaya keluarga Malik ibnu ‘Auf an-Nadhri ditahan di Makkah di tempat bibi mereka, yaitu di rumah Ummu ‘Abdillah, istri Umayyah. Para utusan Hawazin itu berkata, “Mereka adalah pemimpin-pemimpin kami.” Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bermaksud baik terhadap mereka.”

 

Kemudian Rasulullah saw. menanyakan tentang Malik ibnu ‘Auf. Para sahabat menjawab bahwa ia telah melarikan diri bersama orang Tsagif. Rasulullah berkata, “Beri tahukan kepadanya bahwa bilamana ia mau datang sebagai seorang Muslim, akan aku kembalikan kepadanya keluarga dan harta bendanya, serta aku akan menghadiahkan kepadanya seratus ekor unta.” Ketika berita tersebut sampai ke telinga Malik, ia turun dari benteng dan secara diam-diam menemui Rasulullah yang pada waktu itu berada di Ja’ranah. Lalu Malik masuk Islam dan memperoleh kembali harta bendanya. Setelah itu Rasulullah saw. mengangkatnya menjadi pemimpin orang Hawazin yang telah masuk Islam.

 

“UMRAH JA’RANAH

 

Setelah peristiwa itu, Rasulullah saw. pergi ke Makkah untuk melakukan ibadah ‘umrah. Dia mulai ihram dari Ja’ranah, dan memasuki kota Makkah pada malam hari. Dia melakukan thawaf dan mencium Hajar Aswad, kemudian pada malam itu juga kembali lagi. Rasulullah saw. bermukim di Ja’ranah selama tiga belas hari. Setelah itu dia memerintahkan kaum Muslimin supaya kembali ke Madinah, Pasukan kaum Muslimin berangkat menuju ke Madinah dalam keadaan aman dan tenang, dan pada tanggal 3 Zulkaedah barulah mereka sampai di Madinah.

 

Perang Hunain adalah peperangan yang mencerai-beraikan golongangolongan kaum musyrikin sehingga lenyaplah kekuasaan mereka. Orangorang kaya dari kalangan mereka juga habis karena orang Hawazin mengharuskan setiap orang lelaki berperang dengan menyertakan semua harta bendanya sehingga tiada seekor unta atau domba pun yang tidak mereka ikutkan ke dalam barisan pasukan. Allah menghendaki Islam menang dan mengalahkan musuh-musuhnya. Untuk itu harta benda musuh-musuh Islam di rampas oleh tentara Islam sehingga hancurlah kekuatan kaum musyrikin. Setelah peristiwa tersebut, tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat diandalkan mereka untuk menentang Islam atau untuk mempertahankan diri.

 

Oleh sebab itu, dapat kami katakan bahwa dengan hancurnya orang Hawazin, berarti peperangan melawan orang Arab sudah selesai. Sisa-sisa mereka yang masih ada hanya merupakan golongan-golongan kecil saja yang secara membabi buta menghunus senjata untuk menentang Islam. Akan tetapi, tidak lama kemudian mereka menyarungkan kembali senjatanya setelah melihat bahwa kekuatan yang hak benar-benar tidak tertandingi lagi.

 

SARIYYAH

 

Setelah Rasulullah saw. kembali ke Madinah, dia mengirimkan Sahabat Qais ibnu Sa’d bersama empat ratus orang pasukan untuk mengajak penduduk Shada (suatu kabilah yang mendiami negeri Yaman) kepada Islam. Datang menghadap Rasulullah saw. seorang lelaki dari kalangan mereka, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku datang kepada engkau sebagai wakil dari orang-orang yang berada di belakangku. Aku mohon supaya engkau menarik kembali pasukan engkau. Aku dan kaumku tunduk kepada engkau.” Lalu Rasulullah saw. memerintahkan pasukan yang telah dikirimkannya itu untuk kembali ke Madinah.

 

UTUSAN DARI SHADA

 

Kemudian lelaki itu mendatangi kaumnya, lalu datang lagi bersama lima belas orang lelaki dari kaumnya. Mereka tinggal di rumah Sahabat Sa’d ibnu ‘Ubadah sebagai tamu. Kemudian mereka berbai’at kepada Rasulullah saw. untuk masuk Islam, dan mereka mengatakan, “Kami menyerahkan diri kepada engkau bersama kaumku yang berada di belakangku.” Setelah mereka kembali ke negerinya, agama Islam tersiar di kalangan mereka. Pada saat Hajji Wada’ datang, seratus orang dari kalangan mereka menghadap Rasulullah saw.

 

SARIYYAH

 

Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Bisyr ibnu Sufyan al’Adawiy kepada Bani Ka’b dari kabilah Khuza’ah untuk mengambil zakat harta benda mereka. Akan tetapi, orang-orang Bani Tamim yang hidup bertetangga dengan mereka melarang mereka menunaikan apa yang telah diwajibkan atas mereka, yaitu zakat. Ketika Rasulullah saw. mengetahui hal itu, dia mengirimkan Sahabat ‘Uyaynah ibnu Hishn bersama lima puluh orang pasukan berkuda yang terdiri dari kalangan orang Badui. ‘Uyaynah mendatangi mereka dan memerangi mereka. Akhirnya pasukan ‘Uyaynah berhasil menawan 11 orang laki-laki dan 21 orang perempuan serta 30 orang anak-anak. “Uyaynah membawa semuanya ke Madinah. Sesampai di Madinah, Rasulullah saw. memerintahkan agar semua tawanan itu di tempatkan di rumah Ramlah bintil-Harits.

 

UTUSAN DARI TAMIM

 

Ketika mereka sampai di Madinah, datanglah di belakang mereka utusan dari Bani Tamim. Di antaranya terdapat ‘Utharid ibnu Hajib, Zabargan ibnu Badar, dan ‘Amr ibnul-Ahtam. Mereka duduk menunggu Rasulullah keluar. Ketika Rasulullah saw. sangat lama menemui mereka, mereka berseru dari belakang kamarnya dengan suara yang kasar, “Hai Muhammad, keluarlah untuk menemui kami. Kami akan membangga-banggakan diri engkau. Sesungguhnya pujian kami enak untuk didengar dan celaan kami amat tidak enak bila didengar.” Rasulullah saw. keluar menemui mereka sementara ia merasa sakit hati oleh seruan mereka yang kasar itu. Berkenaan dengan peristiwa itu turunlah firman Allah:

 

Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan tidak mengerti. Kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka, sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 19.5. 49 Al-Hujurat: 4-5)

 

Pada saat itu waktu zuhur telah tiba. Sahabat Bilal menyerukan azan, kemudian keluarlah Rasulullah saw. dari dalam kamarnya. Tatkala mereka melihat Rasulullah saw. telah keluar, lalu mereka menggandulinya seraya berkata, “Kami adalah orang-orang dari Bani Tamim. Kami sengaja datang dengan membawa penyair dan ahli pidato kami dengan maksud membangga-banggakan diri engkau Rasulullah menjawab:

 

Kami diutus bukan untuk syair, dan kami tidak diperintahkan untuk membangga-banggakan diri. Kemudian Rasulullah saw. melakukan salat. Setelah itu orang-orang dari Tamim berkumpul di sekitarnya seraya membangga-banggakan kejayaan mereka dan kejayaan nenek-moyang mereka. ‘Amr ibnul Ahtam memuji Az-Zabargan ibnu Badar melalui perkataannya, “Sesungguhnya dia adalah orang yang selalu ditaati selamanya dan pemimpin di kalangan kaumnya.” Maka Az-Zabargan berkata, “wahai Rasulullah, dia merasa iri terhadap kehormatanku, padahal ia mengetahui apa yang lebih baik dari perkataannya itu.” ‘Amr berkata lagi, “Sesungguhnya dia tidak mempunyai hafga diri, orang-orang menjauh dari padanya, dan buruk perangai.” Pada saat itu kelihatan tanda kemarahan pada wajah Rasulullah karena mendengar dua perkataan ‘Amr yang berbeda. ‘Amr berkata, “Wahai Rasulullah, pada ucapan yang pertama aku berkata benar, tetapi aku tidak berdusta pada perkataan yang kedua. Pada perkataan yang pertama aku dalam keadaan senang, maka aku katakan yang sebaik-baiknya dari yang pernah aku ketahui mengenai dirinya. Pada perkataan yang kedua aku dalam keadaan marah, maka aku katakan yang seburuk-buruknya dari yang telah aku ketahui mengenai dirinya.” Lalu Rasulullah saw. berkata:

 

“Sesungguhnya di dalam ilmu bayan itu terkandung keindahan yang memukau bagai sihir.” Kemudian para utusan itu semuanya masuk Islam. Rasulullah saw. mehgembalikan kepada mereka tawanannya, selain itu juga memberikan kepada mereka hadiah yang baik. Mereka tidak langsung pulang, tetapi tinggal selama beberapa waktu untuk belajar Al-Qur’an dan pengetahuan agama.

 

SARIYYAH

 

Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan Al-Walid ibnu ‘Ugbah ibnu Abu Mu’ith untuk mengambil zakat orang-orang Banil-Mushthalig. Ketika orang Banil-Musthalig melihat kedatangannya, keluarlah dari kalangan mereka sebanyak dua puluh orang lelaki seraya menyandang senjata dengan tujuan menyambut kedatangannya, dan bersama mereka unta-unta untuk zakat. Akan tetapi, ketika Al-Walid melihat keadaan mereka, ia menduga bahwa mereka bermaksud memeranginya mengingat antara dia dan mereka pernah terjadi permusuhan pada masa jahiliah. Melihat hal itu Al-Walid kembali lagi dengan cepat ke Madinah, lalu ia memberitahukan kepada Rasulullah bahwa kaum Banil-Musthalig telah murtad dan tidak mau membayar zakat mereka. Rasulullah saw. segera mengirimkan Sahabat Khalid ibnul-Walid untuk mengecek kebenaran berita itu. Lalu sahabat Khalid berangkat menuju perkemahan mereka secara diam-diam. Ketika ia memasuki tempat berkumpul mereka, ia mendengar salah seorang dari kalangan mereka mengumandangkan azan salat subuh. Kemudian Sahabat Khalid ibnul-Walid mendatangi mereka, dan ternyata ia melihat mereka sungguh-sungguh taat. Kemudian Khalid kembali ke Madinah dan menceritakan semua yang telah disaksikannya. Lalu Rasulullah saw. mengirimkan selain Al-Walid untuk mengambil zakat mereka. Sehubungan dengan peristiwa |(Al-Walid ini turunlah firman-Nya.

 

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan itu. (Q.S. 49 Al-Hujurat: 6)

 

SARIYYAH Pada suatu ketika sampai berita kepada Rasulullah bahwa segolongan orang Habsyah terlihat oleh penduduk Jeddah berada di dalam perahu-perahu mereka. Dari gerak-gerik mereka dapat dibaca bahwa mereka bermaksud menyerang kota Jeddah. Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat ‘Algamah bersama tiga ratus orang pasukan untuk mengusir mereka. Kemudian ‘Algamah membawa pasukannya hingga sampai di Jeddah, dan ia langsung menuju ke pantai, lalu naik perahu untuk mengejar mereka. Pada saat itu orang-orang Habsyah berada di dalam suatu benteng yang terletak di sebuah pulau. Ketika orang-orang Habsyah itu melihat ke’ datangan kaum Muslimin, mereka mengetahui bahwa kaum Muslimin itu datang untuk menyerang mereka, lalu mereka buru-buru melarikan diri. Dengan demikian, ketika kaum Muslimin sampai di tempat mereka berlindung, mereka tidak menemukan seorang pun. Akhirnya kaum Muslimin kembali tanpa mengalami peperangan dengan pihak musuh.

 

Ketika pasukan kaum Muslimin berada di tengah perjalanan pulang, ‘Algamah memerintahkan mereka melalui seruan supaya berjalan agak cepat. Lalu ‘Algamah mengangkat ‘ Abdullah ibnu Hudzafah as-Sahmiy untuk memimpin mereka. ‘Abbdullah ibnu Hudzafah as-Sahmiy suka bergurau. Ia menyalakan api yang cukup besar untuk mereka sewaktu istirahat di tengah perjalanan. Setelah itu ‘Abdullah berkata kepada mereka, “Bukankah kalian diperintahkan supaya menaati perintahku?” Mereka menjawab, “Ya.” Lalu ‘Abdullah berkata, “Aku bermaksud dengan api ini supaya kalian melompat ke dalamnya.” Di antara mereka ada yang berkata, “Tidak, kami masuk Islam untuk menghindarkan diri dari api (neraka).” Akan tetapi, ternyata ada sebagian dari mereka yang benar-benar menaatinya sehingga mau melemparkan dirinya ke dalam api tersebut, kemudian dicegah oleh ‘Abdullah seraya berkata, “Aku hanya bergurau.” Ketika mereka menuturkan hal tersebut kepada Rasulullah saw., dia berkata:

 

“Tidak ada ketaatan terhadap makhluk bila ia menyuruh untuk berbuat maksiat terhadap Khaliq (Allah).”

SARIYYAH

 

Pada bulan Rabiulawal Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib bersama lima puluh orang pasukan berkuda untuk menghancurkan berhala Fuls kepunyaan orang Thayyi.’ Kemudian Sahabat ‘Ali berangkat bersama pasukannya hingga sampai ke tempat tersebut, lalu ia langsung merobohkan dan membakar berhala itu dengan seketika. Akan tetapi, para penyembahnya mempertahankannya sehingga mereka berperang dengan kaum Muslimin. Sahabat ‘Ali dapat mengalahkan mereka dan semua ternak milik mereka digiring, demikian pula para tawanan yang berhasil ditangkapnya. Di antara para tawanan itu terdapat Sifanah binti Hatim ath-Thaiy. .

 

Setelah Sahabat ‘Ali dan pasukannya kembali ke Madinah, Sifanah meminta kepada Rasulullah saw. supaya ia dibebaskan tanpa tebusan apa pun. Rasulullah mengabulkan permintaannya karena kebiasaan Rasulullah ialah memuliakan orang yang mulia. Sifanah berterima kasih kepada Rasulullah saw. dan berkata kepadanya, “Tangan yang menjadi miskin sesudah ia kaya kini bersyukur kepada engkau, dan tangan yang telah kaya sesudah miskin tidak akan dapat memiliki engkau. Allah benar-benar telah menempatkan kebajikan terhadap diri engkau sebagai tempat yang paling sesuai. Tidak sekali-kali ada orang yang tercela berhajat kepada engkau, dan tidak sekali-kali ada suatu anugerah yang telah dirampas dari orang yang mulia kecuali jika engkau yang menjadi perantara bagi kembalinya hal itu kepada orang yang bersangkutan.” ‘

 

Perlakuan yang sangat baik dari Rasulullah terhadap Sifanah merupakan penyebab yang mendorong saudara lelaki Sifanah mau masuk Islam. Ia bernama ‘Addi ibnu Hatim ath-Thaiy. Ia melarikan diri ke negeri Syam tatkala melihat bahwa panji-panji Islam sedang menuju ke negerinya. Mengenai kisah kedatangannya ke Madinah disebutkan bahwa saudara perempuannya, yaitu Sifanah, berangkat menyusulnya ke negeri Syam. Lalu Sifanah memberitahukan kepadanya tentang perlakuan baik yang dialaminya dari Rasulullah. ‘Addi berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu tentang lelaki itu (nabi Muhammad)?” Sifanah menjawab, “Menurut pendapatku, hendaknya engkau segera datang kepadanya. Bilamana ia memang seorang nabi, maka orang yang lebih dahulu mengakuinya memiliki keutamaan: dan bilamana ia seorang raja, maka engkau …” Kemudian dipotong oleh ‘Addi, “Demi Allah, pendapatmu itu memang benar.”

 

KEDATANGAN ‘ADDI IBNU HATIM

 

Maka ‘Addi meninggalkan negeri Syam menuju Madinah. Ia langsung bertemu dengan Rasulullah. Rasulullah bertanya, “Siapakah lelaki yang datang itu.” ‘Addi menjawab, “Aku adalah ‘Addi ibnu Hatim.” Kemudian Rasulullah saw. membawanya serta ke rumahnya. Ketika mereka berdua sedang dalam perjalanan, tiba-tiba ada seorang wanita tua menghadap Rasulullah. Wanita tua itu memberhentikannya. Rasulullah saw. berhenti cukup lama dan berbicara dengannya untuk memenuhi keperluannya. Pada saat itu ‘Addi berkata dalam hatinya, “Demi Allah, dia bukanlah seorang raja.”

 

Setelah itu Rasulullah saw. melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah. Sesampainya di rumah, ia mengambil sebuah bantal yang.terbuat dari kulit dan diisi dengan serabut untuknya. Bantal itu disuguhkan kepada ‘Addi seraya berkata, “Duduklah engkau di atas bantal ini.” Akan tetapi, ‘Addi menolak seraya berkata, “Tidak, engkaulah yang harus duduk di atasnya.” Rasulullah tetap menolak dan memberikan bantal itu kepada ‘Addi, sedangkan ia sendiri duduk di atas tanah. Setelah itu Rasulullah berkata, “Hai ‘Addi, masuk Islamlah, niscaya engkau selamat.” Rasulullah mengucapkan perkataan ini tiga kali. ‘Addi menjawab, “Sesungguhnya aku telah memeluk suatu agama (ia adalah seorang Nasrani).” Rasulullah berkata, “Aku lebih mengetahui agama engkau daripada engkau sendiri.”

 

‘Addi bertanya keheranan, “Apakah benar engkau lebih mengetahui agamaku daripada aku sendiri?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Selanjutnya Rasulullah saw. menyebutkan kepadanya beberapa hal yang dilakukannya berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku di kalangan bangsa Arab. Hal-hal itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama Al-Masih, seperti mengambil al-mirba’, yaitu seperempat dari ghanimah. Selanjutnya Rasulullah berkata, “Hai ‘Addi, sesungguhnya hal yang mencegah engkau masuk Islam adalah apa yang telah engkau lihat. Tentunya engkau mengatakan bahwa pengikutnya terdiri dari orang-orang yang lemah dan orangorang yang tidak mempunyai kemampuan. Akan tetapi, orang-orang Arab sungguh telah membuangnya (duniawi) jauh-jauh, padahal mereka membutuhkannya. Demi Allah, kelak pasti harta benda akan menjadi berlimpah di tangan mereka sehingga tidak ada orang yang mau menerimanya. Barangkali hal yang mencegah diri engkau masuk Islam ialah apa yang telah engkau saksikan, yaitu karena kaum Muslimin mempunyai banyak musuh sedangkan jumlah mereka sedikit. Tidakkah engkau mengetahui AlHivarah?” ‘Addi menjawab, “Tidak, aku belum pernah melihatnya, tetapi pernah mendengarnya.” Rasulullah saw. berkata, “Demi Allah, perkara ini sangat diharap-harapkan sehingga seorang wanita keluar dari Al-Hirayah, lalu melakukan thawaf di Baitullah tanpa perlindungan seorang pun. Atau barangkali hal yang membuat engkau tidak mau masuk Islam ialah engkau telah menyaksikan raja dan sultan dalam memperlakukan orang-orang selain mereka. Demi Allah, sudah dekat masanya engkau akan mendengar gedung-gedung putih negeri Babilonia dapat ditaklukkan oleh mereka (kaum Muslimin).” Akhirnya ‘Addi mau masuk Islam, dan ia berumur panjang sehingga dapat melihat semua yang telah diramalkan oleh Rasulullah tadi.

 

PERANG TABUK

 

Telah sampai berita kepada Rasulullah bahwa orang Romawi telah mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Madinah. Pada saat itu kaum Muslimin sedang dilanda kesulitan (resesi) karena paceklik dan Udara sangat panas, yaitu pada saat buah-buahan sudah mulai masak dan orangorang lebih senang menunggui buah-buahan serta bernaung di bawah pohon-pohonnya yang rindang. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan kaum Muslimin untuk bersiap-siap, padahal sebelum itu Rasulullah saw. selalu menyembunyikan hal ini bila bermaksud melakukan perjalanan untuk berperang, supaya beritanya jangan sampai terdengar oleh musuh. Akan tetapi, dalam peperangan kali ini dia memberitahukan maksudnya kepada mereka, mengingat perjalanan yang sangat jauh dan kuatnya musuh yang akan dihadapi supaya mereka mempersiapkan segalanya.

 

Selanjutnya Rasulullah mengirimkan utusannya ke Makkah dan kabilah-kabilah Arab untuk menyerukan hal ini kepada mereka. Kemudian dia menganjurkan kepada orang-orang kaya supaya menyediakan perlengkapan buat orang-orang yang tidak mampu. Sahabat ‘Utsman ibnu “Affan mengeluarkan biaya sebanyak sepuluh ribu dinar, kemudian memberikan tiga ratus ekor unta lengkap dengan pelananya dan lima puluh ekor kuda. Lalu Rasulullah saw. mendoakannya, “Ya Allah, ridakanlah “Utsman karena sesungguhnya aku rida terhadapnya.” Sahabat Abu Bakar mendermakan semua harta miliknya, yaitu berupa uang sebanyak empat ribu dirham. Lalu Rasulullah saw. bertanya kepadanya, “Apakah masih ada yang engkau sisakan buat keluarga engkau?” Sahabat Abu Bakar menjawab, “Aku sisakan buat mereka Allah dan Rasul-Nya.” Adapun Sahabat ‘Umar waktu itu mendermakan setengah dari miliknya. Sahabat ‘AbdurRahman ibnu ‘Auf mendermakan seratus augiyah emasnya. Demikian pula Sahabat Al-Abbas dan Sahabat Thalhah mendermakan hartanya yang jumlahnya cukup banyak. ‘Ashim ibnu ‘Addiy menyedekahkan tujuh puluh wasag kurma. Kaum Muslimat pun ikut andil. Mereka memberikan apa yang mampu mereka berikan dari perhiasannya. Kemudian datang menghadap kepada Rasulullah tujuh orang miskin dari para sahabat. Mereka meminta kepada Rasulullah supaya dia membawa serta mereka dalam perang ini. Akan tetapi, Rasulullah menjawab, “Aku tidak menemukan bekal untuk dapat membawa kalian ikut serta bersama kami.” Mereka pergi sementara mata mereka basah oleh air mata karena sedih tidak menemukan nafkah untuk membiayai mereka dalam perang ini. Lalu Sahabat ‘Utsman memberikan bekal terhadap tiga orang dari mereka, Sahabat Al-‘ Abbas membekali dua orang, sedangkan Yamin ibnu ‘Amr memberikan perbekalan kepada dua orang lainnya.

 

Ketika semua pasukan sudah berkumpul dan siap, Rasulullah saw. berangkat bersama mereka. Jumlah mereka semuanya ada tiga puluh ribu orang. Rasulullah saw. mengangkat Sahabat Muhammad ibnu Maslamah untuk menjadi penggantinya di Madinah, dan Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib untuk menjaga keluarganya. Banyak orang dari kalangan munafikin yang tidak mau ikut serta. Pemimpin mereka adalah ‘Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul. ‘Abdullah ibnu Ubay berkata, “Muhammad berangkat untuk berperang melawan orang-orang yang berkulit putih dalam kondisi yang sulit, panas, lagi negeri yang dituju amat jauh. Apakah Muhammad mengira memerangi orang-orang kulit putih merupakan mainan? Demi Allah, seolah-olah aku melihat para sahabatnya dalam keadaan terbelenggu semua dalam tambang (ditawan musuh).”

 

Segolongan orang munafik berkumpul antara sesama mereka, lalu mereka membuat isyu-isyu yang tujuannya untuk menakut-nakuti Rasulullah dan para sahabat. Berita mengenai isyu mereka itu sampai ke telinga Rasulullah. Lalu dia mengirimkan Sahabat ‘Ammar ibnu Yasir untuk menanyakan kepada mereka apa yang telah mereka katakan itu. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bergurau dan tidak sungguhan.”

 

Selanjutnya datang menghadap kepada Rasulullah saw. segolongan orang dari kaum munafikin. Di antara mereka terdapat Al-Jadd ibnu Qais. Mereka datang dengan maksud meminta maaf karena tidak dapat ikut serta bersama Rasulullah. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah kami tidak ikut, dan janganlah membuat kami terfitnah karena kami tidak tahan bila melihat wanita kulit putih.” Kemudian datang menghadap pula orang-orang Arab untuk meminta izin tidak ikut. Mereka adalah orang-orang yang berhalangan karena lemah dan ada pula yang karena tidak mampu. Maka Rasulullah saw. memberikan izin kepada mereka untuk tidak ikut. Sehubungan dengan izin ini Allah swt. menegur Rasulullah melalui firman-Nya :

 

Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam alasannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? (Q.S. 9 At-Taubah: 43)

 

Selanjutnya Allah berfirman sehubungan dengan mereka yang berdalih untuk tidak ikut berperang, yaitu:

 

Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orangorang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguan. (Q.S. 9 At-Taubah: 45)

 

Kemudian Allah mendustakan dalih mereka itu melalui firman-Nya:

 

Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, “Tinggallah kalian bersama orang-orang yang tinggal itu.” (Q.5. 9 At-Taubah: 46)

 

Agar kaum Muslimin tidak putus asa karena tidak ikutnya kaum munafikin, Allah swt. menghibur mereka melalui firman-Nya, yaitu:

 

Jika mereka berangkat bersama kalian, niscaya mereka tidak menambah kalian selain kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk membuat kekacauan di antara kalian, sedangkan di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.(Q.S. 9 At-Taubah: 47)

 

Dalam perang ini ada segolongan kaum Muslimin yang agamanya tidak diragukan, yang uzur tidak ikut perang. Di antaranya ialah Ka’b ibnu Malik, Hilal ibnu Umayyah, Mararah ibnur Rabi’ dan Abu Khaitsamah.

 

Tatkala Rasulullah saw. meninggalakan Sahabat ‘Ali, orang-orang munafik berkata, “Ternyata Muhammad sangat berat terhadap ‘Ali sehingga ia meninggalkannya.” Ketika Sahabat ‘Ali mendengar perkataan mereka, ia bergegas menemui Rasulullah dan mengadukan kepadanya apa yang telah dikatakan oleh orang-orang munafik. Maka Rasulullah saw. berkata kepadanya:

 

Tidakkah engkau rela bila kedudukan engkau di sisiku bagaikan Harun terhadap Nabi Musa?

 

Kemudian Rasulullah saw. membawa pasukannya berjalan. Dia menyerahkan pimpinan pasukan kepada Sahabat Abu Bakar ash-Shiddig. Diberikannya tampuk pimpinan pasukan kepada Sahabat Abu Bakar dalam perang terakhir yang dilakukan Rasulullah, dan diberikannya kekhalifahan untuk keluarganya kepada Sahabat ‘Ali, mengandung hikmah lembut yang dapat dimengerti oleh pembaca. Selanjutnya Rasulullah saw. membagi-bagikan panji kepada berbagai kabilah. Dia memberikan kepada Sahabat Zubair panji kaum Muhajirin, dan Usaid ibnu Hudhair memegang panji kabilah Aus, serta Al-Habbab ibnul-Mundzir memegang panji kabilah Khazraj.

 

Ketika pasukan kaum Muslimin sampai di daerah Al-Hijr, yaitu tempat kaum Tsamud, Rasulullah saw. berkata kepada para sahabatnya:

 

Janganlah kalian memasuki perkampungan orang-orang yang zalim, kecuali bila kalian dalam keadaan menangis.

 

Maksudnya supaya mereka merasa ngeri dan takut kepada Allah. Rasulullah saw. mengangkat Sahabat ‘Ubbad ibnu Bisyr sebagai pengawal dan penjaga pasukan kaum Muslimin, dan Sahabat Abu Bakar sebagai imam salat bagi pasukan kaum Muslimin. Ketika mereka sampai di Tabuk, Tabuk merupakan daerah yang sama sekali tidak mempunyai bangunan, Rasulullah saw. berkata kepada Sahabat Mu’adz ibnu Jabal, “Bilamana umur engkau panjang, niscaya engkau akan melihat di tempat ini penuh dengan kebun,” dan memang pada akhirnya presis seperti yang telah ditamalkan oleh Rasulullah.

 

Ketika pasukan kaum Muslimin sedang beristirahat, tiba-tiba datang menyusul Abu Khaitsamah. Kisah kedatangannya itu bermula ketika pada Suatu hari ia bermaksud mendatangi keluarganya. Pada saat itu hari panas Sekali. Ketika ia memasuki kebunnya, tiba-tiba ia menemukan kedua orang kstrinya berada di dalam kebun tersebut. Masing-masing telah menggelarkan kemahnya dan telah mendinginkan air serta menyediakan makanan pada hari yang sangat panas itu. Ketika Abu Khaitsamah rnelihat hal itu, lalu ia berkata, “Rasulullah saw. berada dalam kepanasan sedangkan Abu Khaitsamah berada dalam naungan yang sejul, air yang telah tersedia dan wanita yang cantik, hal ini tidak adil.” Selanjutnya ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memasuki kemah salah seorang di antara kalian berdua sebelum aku menyusul Rasulullah. Maka sediakanlah oleh kalian berdua perbekalan secukupnya.” Kedua istrinya itu lalu mengerjakan apa telah diperintahkannya. Setelah semuanya siap, lalu ia menaiki kendaraannya. Sebelum itu ia mengambil pedang dan tombaknya, lalu berangkat menuju Rasulullah, dan ia dapat menyusulnya ketika Rasulullah baru sampai di Tabuk.

 

UTUSAN ORANG AILAH

 

Ketika Rasulullah saw. sampai di Tabuk, ia tidak melihat seorang pun dari pasukan musuh, tidak seperti berita yang di dengarnya ia bermukim di Tabuk selama beberapa hari. Ketika itu datang menghadap Yohanes, pemimpin Ailah, bersama penduduk Jarba dan penduduk Adzrakh serta penduduk Maina. Yohanes mengadakan perjanjian damai dengan Rasulullah serta menyatakan kesediannya untuk menunaikan jizyah, tetapi ia tidak mau masuk Islam. Lalu Rasulullah saw. mengirimkan surat kepada Yohanes yang bunyinya seperti berikut:

 

SURAT KEPADA PEMIMPIN AILAH

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ini adalah surat jaminan keamanan dari Allah dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya kepada Yohanes serta penduduk Ailah. Perahuperahu dan kafilah-kafilah mereka, baik di daratan maupun di lautan, berada dalam jaminan keamanan Allah dan Muhammad, dan ini berlaku pula bagi orang-orang yang bersama mereka terdiri dari penduduk negeri Syam, penduduk Yaman dan penduduk daerah pesisir. Barang siapa di antara mereka yang menimbulkan suatu hal yang baru, sesungguhnya tidak akan diambil daripadanya apa yang melindungi dirinya karena sesungguhnya ia (jizyah) diambil dari orang-orang secara sukarela. Dan sesungguhnya tidak diperbolehkan mencegah air yang mengalir kepada mereka, dan tidak boleh pula mencegah jalan yang menuju kepada mereka, baik jalan darat maupun laut.

 

SURAT KEPADA PENDUDUK ADZRAKH DAN JARBA’ Kemudian Rasulullah pun mengirimkan surat kepada penduduk Adzrakh dan penduduk Jarba yang isinya sebagai berikut:

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ini adalah surat dari Muhammad Nabi Allah kepada penduduk Adzrakh dan penduduk Jarba.

 

Sesungguhnya mereka berada dalam jaminan keamanan dari Allah dan Muhammad, dan diwajibkan atas mereka membayar seratus dinar pada setiap bulan Rajab, secara penuh dan sukarela. Allah menjamin kaum Muslimin untuk berlaku baik dan menaati perjanjian ini.

 

Kemudian Rasulullah mengadakan perjanjian pula dengan penduduk Maina dengan syarat mereka harus memberikan seperempat dari hasil buahbuahannya.

 

Setelah itu Rasulullah saw. bermusyawarah dengan para sahabat tentang meneruskan perjalanan melampaui Tabuk untuk menyju tempat yang lebih jauh lagi masuk ke dalam negeri Syam. Sahabat ‘Umar berkata, “Jika engkau memang mendapat perintah (dari Allah) untuk meneruskan perjalanan, maka teruskanlah.” Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Seandainya aku diperintahkan untuk melakukannya, niscaya aku tidak bermusyawarah lagi.” Sahabat ‘Umar r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang Romawi itu memiliki jumlah pasukan yang besar sekali, dan di negeri Syam ini tidak ada seorang pun yang memeluk agama Islam, dan sekarang kita telah dekat dengan mereka. Mendekatnya engkau dari mereka akan membuat mereka bersiaga. Menurut pendapatku, lebih baik kita kembali saja untuk tahun ini sehingga menunggu kelanjutannya atau Allah akan menakdirkan suatu perkara,” Akhirnya Rasulullah saw. menuruti apa yang disarankan oleh Sahabat ‘Umar itu. Selanjutnya dia memerintahkan segenap pasukan untuk kembali ke Madinah.

 

MASJID DHIRAR

 

Ketika Rasulullah saw. hampir sampai di Madinah, sampailah berita kepadanya tentang Masjid Dhirar. Masjid ini telah didirikan oleh sekelompok orang munafik untuk menyaingi Masjid Quba dan untuk memecah belah persatuan kaum Muslimin. Segolongan di antara kaum munafikin itu datang menghadap Rasulullah untuk memohon supaya Rasulullah mau melakukan salat di dalam masjid tersebut demi mereka. Kemudian Rasulullah saw. menanyakan kepada mereka tentang penyebab dibangunnya masjid tersebut. Mereka bersumpah bahwa tiada sekali-kali mereka membangunnya kecuali dengan tujuan yang baik. Akan tetapi Allah menyaksikan bahwa mereka adalah orangorang yang berdusta.

 

Lalu Rasulullah saw: memerintahkan sekelompok sahabat untuk berangkat menuju magjid tersebut, dan mereka diperintah untuk merobohkannya. Kemudian mereka melakukan semua yang diperintahkan itu.

 

Ketika Rasulullah saw. berada kembali di Madinah dan segalanya berjalan lancar, datanglah beberapa golongan dari orang-orang yang tidak ikut berperang meminta maaf kepadanya secara dusta. Rasulullah saw. hanya mau menerima alasan lahiriah mereka, dan dia menyerahkan masalah hati mereka kepada Allah swt. kemudian Rasulullah memintakan ampunan buat mereka.

 

KISAH TENTANG TIGA ORANG YANG TIDAK IKUT PERANG

 

Datang kepada Rasulullah saw. Ka’b ibnu Malik al-Khazraji serta Mararah ibnur Rabi’ dan Hilal ibnu Umayyah yang keduanya dari kabilah Aus. Mereka datang seraya mengakui dosa-dosa mereka karena tidak ikut berperang. Ketika Ka’b memasuki rumah Rasulullah saw., Rasulullah tersenyum sinis seraya bertanya, “Apakah yang mengakibatkan engkau tidak ikut perang” Ka’b ibnu Malik berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya aku duduk di hadapan selain engkau di antara penduduk dunia ini, niscaya aku akan memilih alternatif menghindarkan kemarahannya dengan beberapa alasan. Aku telah dianugerahi keahlian dalam berdebat, tetapi demi Allah, aku telah mengetahui bahwa seandainya aku berbicara kepada engkau pada hari ini dengan pembicaraan yang dusta, pastilah Allah akan memurkai diriku. Seandainya aku berbicara kepada engkau dengan sejujurnya, niscaya engkau akan murka kepadaku. Aku memohon semoga Allah memaafkan diriku dalam hal ini. Sesungguhnya aku tidak mempunyai alasan apa-apa ketika tidak ikut berperang.” Rasulullah saw. berkata, “Orang ini berkata sebenarnya. Sekarang pergilah engkau hingga Allah memutuskan tentang perihal engkau. Demikian pula kedua temannya yang tidak ikut berperang mengucapkan hal yang sama, maka Rasulullah pun mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakannya kepada Ka’b. Selanjutnya Rasulullah saw. melarang kaum Muslimin berbicara dengan ketiga orang tersebut sehingga orang-orang mengucilkan mereka. Rasulullah melarang ketiga orang itu menggauli istri masing-masing. Untuk itu ia memerintahkan supaya mereka menjauhi istri-istrinya. Akan tetapi, istri Hilal ibnu Umayyah meminta izin kepada Rasulullah supaya diperbolehkan meladeni suaminya karena suaminya itu adalah seorang yang sudah tua dan tidak memiliki pelayan. Akhirnya Rasulullah mengizinkannya.

 

Ketiga orang itu menjalankan hukumannya sehingga terasa oleh mereka dunia yang luas ini menjadi sempit, jiwa mereka merasa sempit, dan mereka kini merasakan bahwa tiada tempat berlindung selain kepada Allah. Setelah itu Allah swt. memberikan tobat terhadap mereka. Maka Rasulullah saw. mengirimkan seseorang untuk menyampaikan berita gembira ini kepada ketiga orang itu. Akhirnya orang-orang menyambut mereka secara berbondong-bondong seraya mengucapkan selamat atas pemberian tobat dari Allah ini.

 

Sewaktu Ka’b memasuki masjid, ia disambut oleh Rasulullah dengan sambutan yang gembira. Lalu Rasulullah saw. berkata, “Hai Ka’b, bergembiralah dengan hari yang paling baik ini sejak engkau dilahirkan oleh ibu engkau.” Lalu Ka’b bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tobat (ampunan) ini berasal dari dirimu ataukah dari sisi Allah?” Rasulullah menjawab, “Bahkan ia datangnya dari sisi Allah.” Ka’b berkata, “Wahai Rasulullah, sebagai pertanda tobatku ini aku akan memberikan semua harta bendaku sebagai sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya.” Lalu Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Tidak, jangan semuanya. Peganglah sebagian daripadanya, hal itu lebih baik bagi diri engkau.” Selanjutnya Rasulullah membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan pengampunan dirinya dan kedua temannya seperti yang tertera dalam surah Baraah:

 

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (terasa pula) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah selain kepada-Nya. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allahlah yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Q.S. At-Taubah: 118)

 

UTUSAN ORANG TSAQIF

 

Ketika Rasulullah saw. baru kembali dari Tabuk, datanglah kepadanya para utusan dari orang Tsagif. Kisah kedatangan mereka bermula sewaktu Rasulullah kembali sehabis mengepung orang Tsagif. Kemudian keberangkatan Rasulullah itu diikuti oleh ‘Urwah ibnu Mas’ud ats-Tsagafiy sehingga ia berhasil menyusulnya sebelum Rasulullah sampai di Madinah. Lalu ‘Urwah masuk Islam, dan ia meminta kepada Rasulullah supaya mengizinkannya kembali kepada kaumnya untuk mengajak mereka masuk Islam. Rasulullah saw. menasihatinya, “Sesungguhnya (jika engkau kembali) mereka pasti akan membunuh engkau, ‘Urwah menjawab, “Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang sangat dicintai di kalangan mereka semuanya.”

 

‘Urwah memaksa berangkat menuju kaumnya. Lalu ia pergi kepada mereka dengan harapan mereka mau taat kepadanya maengingat kedudukannya di kalangan mereka karena ia orang yang disegani dan dicintai oleh kaumnya. Ketika ia sampai di Thaif, ia menampakkan kepada mereka apa yang dibawanya, tetapi mereka menghujaninya dengan anak panah sehingga ia mati terbunuh.

 

Sesudah lewat satu bulan sejak “Urwah terbunuh, di antara mereka saling bertukar pikiran. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi semua orang Arab yang berada di sekitar mereka karena semuanya telah masuk Islam. Mereka sepakat untuk mengirimkan kepada Rasulullah seorang lelaki dari kalangan mereka untuk berunding dengan Rasulullah. Kemudian mereka meminta supaya orang yang melakukan tugas ini ‘Abdu Yalil ibnu ‘Amr, tetapi ‘Abdu Yalil menolak tugas tersebut seraya berkata, “Aku tidak mau mengerjakan tugas ini kecuali bilamana kalian menunjuk pula orang-orang yang menemani aku.” Akhirnya mereka menunjuk lima orang dari kalangan orang terhormatnya untuk menemani ‘Abdu Yalil. Maka ‘Abdu Yalil pun bersama rombongannya berangkat menuju Madinah.

 

Ketika mereka telah mengadakan pertemuan dengan Rasulullah, Rasulullah membuat perkemahan buat tempat tinggal mereka di salah satu halaman dekat masjid. Maksudnya supaya mereka dapat mendengarkan bacaan Al-Quran dan melihat orang-orang yang melakukan salat. Setiap hari mereka menemui Rasulullah saw., dan mereka meninggalkan seseorang yang paling muda, yaitu ‘Utsman ibnu Abul-‘Ash, untuk menjaga hewan-hewan kendaraan mereka. Bilamana mereka kembali, ‘Utsman pergi menemui Nabi, kemudian Nabi membacakan Al-Quran kepadanya, Apabila Nabi sedang tidur, Sahabat Abu Bakarlah yang membacakan Al-Quran kepadanya. Dengan demikian ia banyak hafal ayat-ayat Al-Quran. Selama itu ia menyembunyikan hal tersebut dari teman-temannya. Tidak lama kemudian rombongan itu pun masuk Islam semua, lalu mereka meminta supaya Rasulullah saw. menentukan seseorang dari kalangan mereka yang menjadi imam untuk mereka. Rasulullah saw. mengangkat ‘Utsman ibnu Abul’Ash sebagai pemimpin mereka karena Rasulullah telah melihat sendiri kesungguhannya terhadap agama Islam dan kerajinannya dalam membaca Al-Quran dalam mempelajari agama Islam.

 

SURAT KEPADA PENDUDUK THAIF

 

Kemudian Rasulullah saw. menulis surat buat penduduk Thaif yang isinya disimpulkan sebagai berikut:

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad Nabi dan Rasul Allah kepada orang-orang yang beriman.

 

Sesungguhnya pohon-pohonan Thaif terlindungi dan binatang-binatang buruannya haram untuk dibunuh dan tetumbuhannya tidak boleh ditebang. Barang siapa yang ditemukan telah melakukan hal-hal yang telah dilarang tersebut, ia harus didera dan bajunya dilepaskan. Kemudian mereka meminta kepada Rasulullah supaya menangguhkan penghancuran berhala mereka dalam waktu sebulan. Maksudnya supaya agama Islam dapat diresapi oleh kaumnya terlebih dahulu sehingga orangorang yang bodoh dari kalangan kaum wanita mereka tidak ragu-ragu lagi merobohkannya. Akhirnya Rasulullah menyetujui permintaan mereka. Ketika mereka meninggalkan Rasulullah, pemimpin mereka berkata, “Aku adalah orang yang paling mengetahui di antara kalian tentang watak orang Tsagif. Kuminta supaya kalian menyembunyikan keislaman kalian. Kemudian mari kita takut-takuti mereka dengan peperangan dan pertumpahan darah, dan kabarkanlah kepada mereka bahwa Muhammad meminta perSyaratan yang berat-berat sehingga kita menolaknya.”

 

Ketika mereka telah sampai di tempat tinggal mereka, datanglah orang-orang Tsagif menemui mereka. Para utusan itu berkata kepada mereka, “Kami baru datang dari seorang lelaki (Nabi Muhammad) yang berhati keras dan kasar. Ia telah mengunjukkan giginya sehingga semua orang tunduk kepadanya. Ia menawarkan hal-hal yang sangat berat,” Lalu mereka menyebutkan hal-hal yang tadi. Orang-orang Thaif menjawab, “Demi Allah, kami tidak akan menaatinya untuk selama-lamanya.” Para utusan itu pun berkata kepada mereka, “Sekarang persiapkanlah semua senjata kalian, dan tutuplah rapat-rapat benteng kalian. Kemudian bersiap-siaplah untuk berperang.” Mereka melakukan hal itu sehingga berlangsung di kalangan mereka selama dua atau tiga hari. Selanjutnya Allah menimpakan rasa takut ke dalam hati mereka. Akhirnya mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak akan kuat bertempur melawan dia (Nabi Muhammad). Kembalilah kalian (para utusan) kepadanya, dan berikanlah kepadanya semua yang dimintanya.” Pada saat itu para utusan baru mengatakan yang sebenarnya, “Kami telah menyetujuinya dan kami telah masuk Islam.” Mereka berkata dengan nada jengkel, “Mengapa kalian menyembunyikan hal itu dari kami?” Para utusan menjawab, “Ya, sengaja kami lakukan hal itu supaya terlebih dahulu kesombongan setan kalian lenyap.” Akhirnya semua penduduk Thaif masuk Islam.

 

DIHANCURKANNYA BERHALA LATA

 

Ketika Rasulullah saw. mendengar bahwa orang Tsagif kini telah masuk Islam, lalu dia mengirimkan Sahabat Abu Sufyan dan al-Mughirah ibnu Syu’bah ats-Tsagafiy untuk menghancurkan berhala Lata, sesembahan orang Tsagif dahulu, di Thaif. Abu Sufyan dan al-Mughirah berangkat menuju Thaif. Sesampai di sana, lalu mereka menghancurkan berhala Lata itu hingga rata dengan tanah.

 

SAHABAT ABU BAKAR BERHAJI

 

Pada akhir bulan Zulkaedah Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Abu Bakar untuk melakukan ibadah haji bersama orang-orang yang lain. Sahabat Abu Bakar berangkat bersama tiga ratus orang dari Madinah. Ia membawa serta hewan kurban sebanyak dua puluh ekor unta pemberian Rasulullah, sedangkan ia sendiri membawa hewan kurban sebanyak lima ekor unta.

 

Ketika Sahabat Abu Bakar dan jamaahnya telah berangkat, turunlah kepada Rasulullah saw. ayat-ayat yang terdapat pada permulaan surah AtTaubah. Rasulullah saw. mengutus Sahabat ‘Ali r.a. untuk menyampaikannya kepada kaum Muslimin pada hari Haji Akbar nanti. Rasulullah saw. berkata, “Tiada seorang pun yang akan menyampaikannya dariku kecuali seorang lelaki dari kalangan keluargaku.”

 

Sahabat ‘Ali menyusul Sahabat Abu Bakar dan rombongannya. Ia dapat menyusulnya sewaktu masih di tengah perjalanan. Sahabat Abu Bakar bertanya, “Apakah Rasulullah mengangkatmu menjadi pemimpin haji?” Sahabat ‘Ali menjawab, “Tidak, tetapi dia mengirimkan aku untuk membacakan surah Al-Baraah kepada semua orang. Ketika mereka berkumpul di Mina pada hari kurban, Sahabat ‘Ali membacakan kepada mereka tiga belas ayat dari awal surah AlBaraah. Makna ayat-ayat tersebut mengandung pernyataan pemutusan hubungan perjanjian dengan semua kaum musyrikin, yaitu mereka yang tidak pernah menunaikan perjanjian mereka. Selanjutnya mereka diberi masa tangguh selama empat bulan. Dalam masa tangguh itu mereka boleh pergi ke mana saja di muka bumi ini sesuka mereka. Adapun perjanjian dengan kaum musyrikin yang belum pernah menentang kaum Muslimin dan pula belum pernah berbuat khianat ditangguhkan sampai masa perjanjian selesai.

 

Setelah itu Sahabat ‘Ali r.a. berseru, “Tidak boleh melakukan haji sesudah tahun ini seorang musyrik pun, dan tidak boleh thawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang.”

 

Dalam perjalanan ini Sahabat ‘Ali selalu melakukan salat di belakang Sahabat Abu Bakar sebagai makmum.

 

MENINGGALNYA IBNU UBAY

 

Pada bulan Zulkaedah ‘Abdullah ibnu Ubay mati. Rasulullah saw. melakukan salat jenazah yang cukup lama, tidak seperti biasanya. Selanjutnya dia pun mengantarkan jenazahnya sampai di kuburan. Rasulullah saw. sengaja melakukan demikian demi menghibur hati anaknya, yaitu Sahabat ‘Abdullah ibnu ‘Abdullah, sekaligus guna menyenangkan hati orang Khazraj karena Ibnu Ubay mempunyai kedudukan yang dihormati di kalangan mereka. Ternyata sesudah peristiwa itu banyak orang dari kaum munafikin yang meninggalkan kemunafikan mereka karena mereka telah melihat sendiri perlakuan Rasulullah saw. yang begitu baik terhadap pemimpin mereka. Akan tetapi, sesudah peristiwa itu Rasulullah saw. dilarang oleh Allah swt. melakukan salat jenazah untuk orang-orang munafik. Untuk itu Allah swt. menurunkan firman-Nya :

 

Dan janganlah kamu sekali-kali melakukan salat (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. (Q.5. 9 At-Taubah: 84)

 

WAFATNYA UMMU KALTSUM

 

Pada tahun itu juga Ummu Kaltsum binti Rasulullah, istri Sahabat “Utsman ibnu ‘Affan, meninggal dunia.

SARIYYAH

 

Pada bulan Rabiulakhir Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Khalid ibnul-Walid bersama sepasukan kaum Muslimin untuk mendatangi orangorang Bani ‘Abdul Madan di Najran, wilayah Yaman. Sebelum berangkat Rasulullah saw. memerintahkan Khalid ibnul-Walid supaya menyeru mereka untuk masuk Islam sebanyak tiga kali. Apabila mereka menolak, maka mereka harus diperangi.

 

Setelah Sahabat Khalid dan pasukannya sampai di negeri mereka, ia mengirimkan orang-orangnya ke segala penjuru negeri itu sambil menyeru mereka untuk masuk Islam. Mereka berseru, “Masuk Islamlah kalian, niscaya kalian selamat.” Akhirnya mereka masuk Islam secara berbondongbondong, dan kini mereka menjadi pemeluk agama Allah.

 

Sahabat Khalid ibnul-Walid bermukim di antara mereka selama beberapa waktu untuk mengajarkan kepada mereka agama Islam dan AlQuran. Selanjutnya ia mengirimkan surat kepada Rasulullah untuk memberitahukan apa yang telah di lakukannya. Rasulullah saw. membalas suratnya seraya memerintahkan supaya ia mengirimkan utusan dari kalangan Bani ‘Abdul Madan untuk menghadap kepadanya. Sahabat Khalid melaksanakan perintah itu.

 

Ketika para utusan orang Bani ‘Abdul Madan bertemu dengan Rasulullah saw. dia bertanya kepada mereka, “Apakah yang menyebabkan kalian selalu menang terhadap orang-orang yang memerangi kalian pada masa jahiliah dahulu?” Mereka menjawab, “Kami selalu bersatu dan tidak pernah bercerai-berai, dan kami tidak pernah memulai berbuat zalim terhadap orang lain.” Rasulullah saw. berkata, “Kalian memang benar.” Selanjutnya Rasulullah saw. mengangkat Zaid ibnu Hushain sebagai pemimpin mereka.

 

SARIYYAH

 

Pada bulan Ramadan Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat ‘Ali sebagai pemimpin suatu pasukan untuk menemui Bani Mudzahih (salah satu kabilah di Yaman). Rasulullah saw. memakaikan serban kepada Sahabat ‘Ali dengan tangannya sendiri seraya berkata, “Berangkatlah engkau hingga sampai di tempat mereka, lalu ajaklah mereka kepada kalimah Ia ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah). Bilamana mereka mau mengatakannya, perintahkanlah mereka untuk mengerjakan salat, dan jangan engkau menyuruh mereka selain itu. Sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepada seorang lelaki melalui engkau. Hal itu lebih baik bagi engkau daripada matahari terbit padanya. Jangan sekali-kali kamu memerangi mereka sebelum mereka memulai dahulu peperangan.”

 

Sesampainya Sahabat ‘Ali bersama pasukannya di tempat mereka, ia mengajak mereka masuk Islam, tetapi mereka membangkang, tidak mau, dan bahkan mereka menembaki kaum Muslimin dengan anak panah. Sahabat ‘Ali dengan sigap menyusun barisan pasukannya, dan terjadilah pertempuran di antara kedua pasukan. Akhirnya Sahabat ‘Ali dapat mengalahkan mereka dan mereka melarikan diri, tetapi Sahabat ‘Ali membiarkan mereka lari selama beberapa waktu. Setelah itu Sahabat ‘Ali mengejar mereka. Sesudah terkejar, lalu ia mengajak mereka masuk Islam. Akhirnya mereka mau menurut dan para pemimpinnya berbai’at masuk Islam. Mereka berkata, “Kami adalah wakil dari orang-orang yang berada di belakang kami, yaitu kaum kami. Ini semua harta milik kami, silakan ambil sebagian daripadanya sebagai hak Allah (zakat).” Sahabat ‘Ali melakukannya. Setelah itu ia kembali kepada Rasulullah. Ternyata Rasulullah saw. berada di Makkah pada saat Haji Wada,’ dan ia menemuinya di sana.

 

MENGIRIMKAN WAKIL UNTUK NEGERI YAMAN

 

Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan wakil-wakilnya untuk negeri Yaman. Ia mengirimkan Sahabat Mu’adz ibnu Jabal ke daerah pegunungan Yaman dari arah ‘Aden, dan Sahabat Abu Musa al-Asy’ari ke daerah dataran rendahnya. Kemudian Rasulullah saw. berpesan kepada keduanya: Berlaku mudahlah kalian berdua, jangan sekali-kali mempersulit, dan berikanlah kesan yang baik, jangan sekali-kali menimbulkan rasa antipati. Secara khusus ia berpesan kepada Sahabat Mu’adz ibnu Jabal sebagai berita: Sesungguhnya engkau kelak akan bertemu dengan kaum ahli kitab, maka apabila engkau telah mendatangi mereka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Maka bilamana mereka mau menaati ajakan engkau itu, beri tahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka, kemudian diberikan kepada kaum fakir-miskin mereka. Bilamana mereka mau menaati seruan engkau itu, hati-hatilah engkau terhadap harta mereka yang berharga. Dan takutlah engkau terhadap doa orang yang dianiaya karena sesungguhnya doa orang yang dianiaya itu tidak akan ditolak oleh Allah. Sahabat Mu’adz ibnu Jabal bermukim di Yaman hingga Rasulullah saw. wafat, sedangkan Sahabat Abu Musa kembali kepada Rasulullah dan bertemu dengannya pada Haji Wada”.

 

HAJI WADA’

 

Pada tahun kesepuluh Hijriah Rasulullah saw. melakukan ibadah haji bersama kaum Muslimin. Dalam ibadah haji ini Rasulullah berpamitan kepada kaum Muslimin semuanya. Dia belum pernah melakukan ibadah haji selain ketika itu. Tepatnya pada hari Sabtu tanggal 5 Zulkaedah Rasulullah saw. berangkat dari Madinah untuk menunaikan Haji Wada’. Ia mengangkat Sahabat Abu Dujanah alAnshari menjadi khalifahnya di Madinah. Pada saat itu Rasulullah disertai golongan yang sangat besar jumlahnya sehingga jumlah kaum Muslimin mencapai sembilan puluh ribu orang. Dia melakukan ihram hajinya sejak menaiki kendaraannya, kemudian membaca talbiyah, seperti berikut ini: Kupenuhi panggilan-Mu, ya Allah, kupenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, kupenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat serta kerajaan hanyalah bagi-Mu, tiada sekutu bagiMu.

 

Rasulullah berjalan terus hingga memasuki kota Makkah pada waktu dhuha dari celah-celah ‘Ulya, yaitu celah-celah Kuda’. Sewaktu melihat Ka’bah, lalu ia berdoa:

 

Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, keagungan, pengaruh, dan kebaJikan kepadanya. Kemudian Rasulullah langsung melakukan thawaf di Baitullah sebanyak tujuh kali, lalu mencium Hajar Aswad dan melakukan salat dua rakaat pada makam Ibrahim. Sehabis itu ia meminum air zamzam, kemudian melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali seraya menaiki kendaraannya. Bilamana menaiki bukit Shafa, ia selalu mengucapkan doa berikut ini:

 

Tiada tuhan selain Allah. Allah Mahabesar, tiada tuhan selain Allah semata. Dia telah menunaikan janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan golongan yang bersekutu sendirian. Pada tanggal 8 Zulhijjah Rasulullah berangkat menuju Mina, lalu menginap di sana.

 

KHUTHBATUL WADA’ (PIDATO PAMITAN)

 

Pada tanggal 9 Rasulullah. berangkat menuju ‘Arafah. Di ‘Arafah ia mengucapkan khotbahnya yang mulia itu. Isi khotbahnya kali ini mengandung pokok dan cabang ajaran Islam. Bunyi khotbah itu seperti berikut ini: Segala puji bagi Allah, kami memuji kepada-Nya, memohon pertolonganNya, meminta ampunan kepada-Nya, bertobat kepada-Nya, dan berlindung kepada-Nya dari keburukan diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, niscaya tidak akan ada yang menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan oleh-Nya, niscaya tidak akan ada yang memberikan petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Wahai hamba-hamba Allah, aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, dan aku perintahkan kalian supaya taat kepada-Nya, serta aku membuka khotbah ini dengan hal yang lebih baik. ‘

 

Amma Ba’du: Wahai umat manusia, dengarkanlah aku baik-baik, aku akan menjelaskan kepada kalian karena sesungguhnya aku tidak mengelahui, barangkali aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian sesudah tahun ini di tempat yang sama. Wahai umat manusia, sesungguhnya darah dan harta benda kalian diharamkan atas kalian hingga kalian bertemu dengan Rabb kalian, sama haramnya dengan hari, bulan, dan negeri kalian ini. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikannya? Ya Allah, saksikanlah. Barang siapa yang di sisinya terdapat amanat, hendaknya ia menyampaikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Sesungguhnya riba jahiliah itu telah dihapus, dan sesungguhnya pertama kali riba yang aku hapus adalah riba pamanku, Al-‘Abbas ibnu ‘Abdul Muththalib. Sesungguhnya darah jahiliah itu telah dihapus, dan darah pertama yang aku hapus adalah darah ‘Amir ibnu Rabi’ah ibnul-Harits. Sesungguhnya tradisi jahiliah telah dihapus selain sidanah dan sigayah. Membunuh dengan sengaja pembalasannya gishash, dan membunuh serupa itu dengan sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan dengan tongkat dan batu, diatnya adalah seratus ekor unta. Barang siapa menambah-nambahkannya, maka ja adalah orang jahiliah.

 

Wahai umat manusia, sesungguhnya setan telah berputus asa untuk dapat disembah di tanah kalian ini, tetapi ia akan senang bila ditaati dalam hal-hal selain itu yang kalian anggap remeh dalam amal perbuatan kalian. Wahai umat manusia, sesungguhnya nasi”) itu merupakan tambahan dalam kekufuran. Dengan demikian orang-orang kafir semakin bertambah sesat: mereka menghalalkannya satu tahun dan mengharamkannya satu tahun yang lain supaya sesuai dengan bilangan bulan yang disucikan oleh Allah. Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana keadaannya semula ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah itu ada dua belas, telah disebutkan dalam Kitabullah sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan yang haram (suci), tiga di antaranya berturut-turut dan yang satunya lagi menyendiri, yaitu bulan Zulkaedah, Zulhijjah, Muharam dan Rajab yang terletak di antara bulan Jumada dan Sya’ban. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikannya? Ya Allah, saksikanlah.

 

Wahai umat manusia, sesungguhnya istri-istri kalian mempunyai hak atas diri kalian, tetapi mereka mempunyai kewajiban, yaitu janganlah mereka membiarkan seseorang menginjak kamarnya selain kalian sendiri, janganlah mereka memasukkan seseorang yang tidak kalian sukai selain atas izin kalian, dan janganlah mereka melakukan perbuatan fahisyah (zina). Apabila ternyata mereka melakukan (salah satu di antaranya), maka Allah mengizinkan kalian untuk menyekap dan mempersulit mereka, kemudian berpisah dari mereka dalam tempat tidur, lalu memukul mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Apabila ternyata mereka telah berhenti dari perbuatannya lalu mereka taat kepada kalian, maka kalian harus memberi rezeki dan pakaian kepada mereka dengan cara yang makruf. Sesungguhnya teman hidup kalian tidak memiliki apa-apa terhadap dirinya sendiri. Kalian telah mengambil mereka sebagai amanat dari Allah, dan kalian menghalalkan farji mereka dengan kalimat Allah. Bertakwalah kalian terhadap Allah dalam hal wanita, dan nasihatilah mereka dengan baik. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikannya? Ya Allah, saksikanlah.

 

Wahai umat manusia, sesungguhnya kaum mukminin itu bersaudara, tidak dihalalkan bagi seseorang harta saudaranya kecuali dengan secara sukarela. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikannya? Ya Allah, saksikanlah. Janganlah kalian menjadi orang-orang yang ingkar sesudah aku, sebagian di antara kalian memukul leher sebagian yang lain, karena sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian suatu hal yang bila kallan mau mengamalkannya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (dan sunnah Rasul-Nya). Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikannya? Ya Allah, saksikanlah.

 

Hai umat manusia, sesungguhnya Rabb kalian adalah satu dan sesungguhnya kakek-moyang kalian pun satu pula. Kalian berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah. Orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa. Tidak ada suatu kelebihan bagi orang Arab atas orang selain Arab kecuali ketakwaannya. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikannya? Ya Allah, saksikanlah. Orang yang menyaksikan di antara kalian harus menyampaikan (khotbah ini) kepada yang tidak hadir.

 

Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah membagikan kepada setiap ahli waris bagian warisannya. Wasiat tidak diperbolehkan untuk ahli waris, dan wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga (tirkah). Anak itu bagi hamparan (ibu)-nya, dan bagi lelaki pelaku zina adalah batu (rajam). Barang Siapa mengingkari ayahnya atau menjadikan pemimpin bukan pemimpinpemimpinnya, maka ia terkena laknat dari Allah, para malaikat, dan manusia semuanya, tidak diterima amal sunnah dan ibadahnya.

 

Wassalamu ‘alaikum warahmatullah.

 

Pada hari itu juga Allah menganugerahkan kepada kaum mukminin karunia-Nya, yaitu melalui firman-Nya:

 

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam menjadi agama bagi kalian. (Q.S. 5 Al-Maidah: 3)

 

Tidak aneh bilamana kaum Muslimin menjadikan hari itu sebagai hari raya mereka yang penuh dengan kebahagiaan. Pada hari itu mereka menampakkan rasa syukur kepada Allah atas karunia yang agung ini.

 

Kem adian perlu diketahui bahwa Rasulullah saw. menunaikan manasik hajinya mulai dari melempar jumrah, menyembelih kurban, mencukur rambut, dan thawaf. Sesudah bermukim di Makkah selama sepuluh hari, lalu ia kembali ke Madinah. Ketika melihat kota Madinah, lalu ia mengucapkan takbir sebanyak tiga kali, sesudah itu berdoa seperti berikut ini:

 

Tiada tuhan selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya semua kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu. Kami kembali dalam keadaan bertobat, beribadah, dan bersujud kepada Rabb kami serta memuji(Nya). Allah telah memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan golongan yang bersekutu sendirian.

 

DATANGNYA UTUSAN DARI BERBAGAI KABILAH

 

Pada tahun kesepuluh Hijriah dan tahun sebelumnya datanglah kepada Rasulullah saw. utusan dari berbagai kabilah untuk berbai’at masuk Islam kepadanya. Mereka datang secara berbondong-bondong. Mengingat kisah tentang para utusan ini mengandung ajaran-ajaran yang terpuji dan sangat perlu diketahui, maka pada pembahasan berikutnya kami, sengaja mengemukakannya.

 

UTUSAN DARI NAJRAN

 

Utusan kaum Nasrani Najran yang menghadap Rasulullah berjumlab enam puluh orang. Setelah sampai di Madinah, mereka langsung memasuki masjid. Mereka memakai jubah dan selendang sutera yang memakai jahitan benang emas. Mereka membawa permadani yang di dalamnya terdapat gambar-gambar patung dan kain yang terbuat dari bulu. Hal itu sengaja mereka bawa untuk dihadiahkan kepada Nabi saw. Nabi ternyata hanya mau menerima kain yang terbuat dari bulu dan menolak pemberian permadani. Ketika waktu salat mereka datang, mereka melakukan salat di dalam masjid dengan menghadap ke arah Baitul-Magiis. Setelah mereka menunaikan salat, Rasulullah saw. mengajak mereka masuk Islam, tetapi mereka menolak dan berkata, “Sesungguhnya kami telah Muslim sebelum kalian.” Rasulullah saw. menjawab, “Ada tiga hal yang menyebabkan kalian tidak mau masuk Islam, yaitu kalian menyembah salib, memakan daging babi, dan dugaan kalian yang mengatakan bahwa Allah mempunyai Anak.” Lalu mereka bertanya, “Siapakah orang yang seperti ‘Isa penciptaannya?”” Maka pada saat itu Allah swt. menurunkan firman-Nya: |

 

Sesungguhnya misal (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah” (seorang manusia) maka jadilah dia. (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 59)

 

Untuk menampakkan kepada mereka bahwa sebenarnya mereka masih dalam keraguan tentang perkara yang mereka yakini itu, Allah menurunkan firman-Nya, yaitu:

 

Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah, dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 61)

 

Rasulullah saw. mengajak mereka untuk ber-mubahalah, tetapi mereka menolak dan lebih suka membayar jizyah, banyaknya seribu hullah pada bulan Safar dan seribu hullah yang lain pada bulan Rajab. Untuk setiap hullah terdapat satu auqiyah emas. Kemudian mereka berkata kepada Rasulullah, “Kirimkanlah kepada kami seseorang yang dapat dipercaya dari kalangan kalian.” Rasulullah saw. mengirimkan Sahabat Abu ‘”Ubaidah ‘Amir ibnul-Jarrah untuk melakukan tugas itu. Maka sesudah peristiwa tersebut Abu ‘Ubaidah diberi julukan sebagai orang yang dipercaya dari umat ini.

 

KEDATANGAN DHAMAM IBNU TSA’LABAH

 

Pada suatu hari Rasulullah saw. sedang duduk bersama para sahabatnya. Tiba-tiba datang menghadap seorang lelaki dari kampung. Rambut lelaki itu kusut dan dari mulutnya terdengar suara, tetapi tidak dapat dimengerti. Lelaki itu merundukkan unta yang dinaikinya di depan masjid, lalu ia berkata, “Siapakah di antara kalian anak ‘Abdul Muththalib?” Para sahabat menunjukkannya. Lalu lelaki itu mendekat dan berkata, “Sesungguhnya aku akan banyak bertanya kepada engkau, maka aku mohon engkau jangan marah kepadaku.”

 

Rasulullah saw. berkata, “Katakanlah apa yang hendak engkau tanyakan.” Lelaki itu bertanya, “Demi Allah aku bertanya, apakah Allah yang telah mengutus engkau kepada seluruh umat manusia? Rasulullah menjawab, “Ya, benar.” Lelaki itu bertanya, “Demi Allah aku bertanya kepada engkau, apakah Allah telah memerintahkan kepada engkau supaya kami melakukan salat lima waktu setiap hari” Rasulullah menjawab, “Ya Allah, memang benar.” Lelaki itu kembali bertanya, “Demi Allah aku bertanya kepada engkau, apakah Allah telah memerintahkan engkau untuk memungut harta orang-orang kaya kami kemudian memberikannya kepada orang-orang miskin kami” Rasulullah menjawab, “Ya Allah, memang benar.” Lalu lelaki itu bertanya kembali, “Demi Allah, aku bertanya kepada engkau, apakah Allah telah memerintahkan engkau untuk melakukan shaum selama satu bulan dalam satu tahun?” Rasulullah menjawab, “Ya Allah, memang benar.” Lalu lelaki itu bertanya lagi, “Demi Allah aku bertanya kepada engkau, apakah Allah telah memerintahkan engkau supaya ibadah haji dilakukan oleh setiap orang yang mampu mengadakan perjalanan hingga sampai kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ya Allah, memang benar.”

 

Setelah itu lelaki tersebut berkata, “Sesungguhnya kini aku telah beriman dan percaya, aku adalah Dhamam ibnu Tsa’labah.” Setelah lelaki itu pergi, Rasulullah saw. berkata, “Alangkah pandainya lelaki itu.” Selanjutnya lelaki itu kembali kepada kaumnya dan mengajak mereka masuk Islam dan meninggalkan penyembahan berhala. Akhirnya semua kaumnya masuk Islam.

 

UTUSAN ‘ABDUL QAIS

 

Utusan lain yang datang kepada Rasulullah saw. ialah delegasi dari ‘ Abdul Qais. Kisah kedatangan mereka bermula ketika pada suatu hari Rasulullah saw. dan para sahabat sedang duduk-duduk, lalu ia berkata kepada mereka, “Kelak akan datang ke hadapan kalian dari arah ini suatu kafilah. Mereka terdiri dari penduduk daerah timur yang paling baik. Mereka masuk Islam bukan karena terpaksa. Kendaraan mereka telah letih dan bekal mereka pun telah habis semua. Ya Allah, ampunilah ‘Abdul Qais.”

 

Ketika para utusan dari ‘Abdul Qais itu melihat Nabi saw., mereka langsung turun dari kendaraannya di depan pintu masjid, lalu mereka segera menyalami Rasulullah. Di antara mereka terdapat orang yang bernama ‘Abdullah ibnu ‘Auf al-Asyaj. Dia adalah orang yang paling muda usianya di antara mereka. Ia tidak tergesa-gesa seperti teman-temannya, tetapi terlebih dahulu merundukkan kendaraannya, lalu turun dengan tenang. Setelah itu lalu membenahi barang-barang bawaannya. Kemudian ia mengeluarkan dua buah pakaian putih yang dibawanya, selanjutnya ia memakainya. Ia datang menghadap Rasulullah dengan langkah yang tenang hingga bersalam kepada Rasulullah. Dia adalah orang yang rapi dan sopan. Hal ini diketahui oleh Rasulullah saw. ketika ia melihat sikap dan gerakgeriknya. Kemudian ‘Abdullah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya tidak pantas untuk menghadap kepada engkau sore hari ini dalam keadaan berpakaian seperti orang-orang tersebut sekalipun seseorang itu hanya dinilai dari dua anggota kecil, yaitu hati dan lisannya.” Maka Rasulullah saw. menjawab:

 

Sesungguhnya di dalam diri engkau itu terdapat dua perhiasan (akhlak) yang disukai oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu penyantun dan tenang (tidak terburu-buru). Rasulullah saw. menyambut kedatangan mereka dengan hangat seraya berkata, “Selamat datang kepada kaum yang tidak akan terhina dan tidak akan menyesal.” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami datang kepada engkau dari daerah yang jauh,” dan sesungguhnya di antara negeri kami dan negeri engkau terdapat penghalang yaitu suatu kabilah yang terdiri dari orang-orang kafir Mudhar. Kami tidak dapat sampai kepada engkau selain pada bulan haram (bulan suci), maka berikanlah kepada kami perintah yang tuntas.” Rasulullah saw. berkata, “Aku memerintahkan kalian untuk beriman kepada Allah. Tidakkah kalian mengetahui arti iman kepada Allah? Yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah: mendirikan salat: menunaikan zakat: melakukan shaum dalam bulan Ramadan, dan kalian harus memberikan seperlima dari ghanimah. Aku melarang kalian meminum diba, hantam, nagir, dan muzaffat.” Yang dimaksud dari keseluruhan adalah wadah untuk membuat khamar.

 

Lalu Al-Asyaj berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya daerah kami iklimnya kejam sekali. Bilamana kami tidak meminum minuman tersebut, niscaya perut kami akan menjadi busung (membengkak). Berikanlah kemurahan kepada kami dalam hal seperti itu.” Ia mengatakan demikian seraya berisyarat dengan tangannya. Lalu Rasulullah saw. berisyarat dengan kedua tangannya pula seraya berkata kepadanya, “Hai Asyaj, bilamana aku berikan kemurahan kepada engkau dalam keadaan seperti ini, niscaya engkau akan meminumnya pula dalam keadaan seperti ini (seraya membuka kedua tangannya dan merentangkannya). Maka, apabila seseorang di antara kalian mabuk karena minuman yang diminumnya, niscaya ja akan bangkit ke arah anak pamannya, lalu ia menetak betisnya dengan pedang.” Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang mereka hal ini secara khusus, mengingat banyaknya macam minuman keras di kalangan mereka.

 

UTUSAN BANI HANIFAH

 

Di antara para utusan dari Bani Hanifah itu terdapat Musailamah alKadzdzab (Musailamah si Pendusta). Sebelum itu ia pernah mengatakan, “Bilamana ia (Nabi Muhammad) memberikan kenabiannya kepadaku sesudahnya, niscaya aku mau mengikutinya.” Lalu Rasulullah saw. menemui mereka. Pada waktu itu Rasulullah bersama Qais ibnu Syammas, sedangkan di tangannya terdapat sebuah pelepah kurma. Rasulullah saw. berdiri di hadapan Musailamah yang pada waktu itu bersama temantemannya, kemudian ia berkata, “Jika engkau meminta pelepah ini, niscaya aku tidak akan memberikannya kepada engkau, dan sesungguhnya aku akan memperlihatkan kepada engkau sesuai dengan apa yang telah aku lihat dalam mimpiku.”

 

Sebelum itu Rasulullah saw. bermimpi, di tangannya terdapat dua gelang emas. Hal ini tentu saja membuatnya susah. Kemudian Allah memberikan wahyu kepadanya supaya meniup kedua gelang emas tersebut. Lalu ia meniupnya dan keduanya terbang. Hal ini ditakwilkan oleh Rasulullah saw. sebagai adany» dua pendusta yang bakal datang sesudahnya. Ternyata salah satu di antaranya adalah Musailamah, sedangkan orang yang kedua adalah Al-Aswad al-‘Anasiy dari Shana”. Pada saat itu orang-orang Bani Hanifah masuk Islam.

 

UTUSAN DARI THAYYI’

 

Utusan lain yang datang kepada Rasulullah saw. ialah orang Thayyi’. Di antara rombongan utusan itu terdapat Zaid al-Khail, pemimpin mereka. Mengenai pribadi Zaid al-Khail ini Rasulullah saw. telah berkata, “Tiada seorang pun dari orang Arab yang dituturkan perihalnya kepadaku yang tidak berada di bawah dari apa yang dikatakan mengenai dirinya, kecuali Zaid al-Khail.” Sejak saat itu Rasulullah saw. memberinya julukan Zaid alKhair (Zaid yang Baik).

 

UTUSAN DARI KINDAH

 

Di antara utusan dari Kindah, itu terdapat seseorang yang bernama AlAsy’ats ibnu Qais. Dia sangat dihormati dan disegani oleh kaumnya. Ketika mereka menghadap Rasulullah, mereka menyembunyikan sesuatu seraya bertanya kepada Rasulullah saw., “Coba engkau tebak apa yang kami sembunyikan untuk engkau.” Rasulullah saw. menjawab, “Mahasuci Allah, Sesungguhnya hal itu hanya dilakukan oleh tukang ramal, dan sebenarnya tukang ramal dan orang-orang yang meminta diramal akan terjerumus ke dalam neraka.” Selanjutnya Rasulullah saw. berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutusku dengan membawa perkara yang hak, dan Dia telah menurunkan sebuah Kitab yang tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya.”

 

Kemudian mereka berkata, “Kalau demikian, bacakanlah kepada kami sebagian dari Al-Kitab itu.” Maka Rasulullah saw. membacakan firmanya:

 

Demi (rombongan) yang bersaf-saf dengan sebenar-benarnya, dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatanperbuatan maksiat), dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran. Sesungguhnya Tuhan kalian benar-benar Esa, Tuhan langit dan bumi dan apa yang berada di antara keduanya, dan Tuhan tempat-tempat terbit matahari. (Q.S. 37 AshShaffat: 1-5)

 

Setelah itu Rasulullah saw. diam dan tenang, sedangkan air matanya membasahi pipinya. Mereka bertanya, “Sesungguhnya kami melihat engkau menangis. Apakah karena engkau takut kepada Zat yang telah mengutus engkau hingga engkau menangis?” Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya aku menangis karena takut kepadaNya. Dia telah mengutusku membawa jalan yang lurus bagaikan tajamnya pedang. Bilamgna aku menyimpang, niscaya aku akan binasa.” Selanjutnya dia membacakan pula firman Allah yang lainnya, yaitu:

 

Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu kamu tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami kecuali karena rahmat dari Rabb-mu. Sesungguhnya karunia-Nya atasmu besar. (Q.S. 17 Al-Isra: 86-87)

 

Kemudian Rasulullah saw. bertanya, “Tidakkah kalian masuk Islam?” Mereka menjawab, “Ya, tentu saja,” Rasulullah bertanya lagi “Kalau memang demikian, lalu apakah artinya sutera yang terdapat pada leher kalian itu? Seketika itu juga mereka merobek-robek selendang sutera mereka dan langsung mencampakkannya.

 

UTUSAN DARI AZD SYANUAH

 

Utusan yang juga datang kepada Rasulullah saw. ialah dari Azd Syanuah, pemimpin utusan itu adalah Shard ibnu ‘Abdullah al-Azdi. Mereka masuk Islam, dan Rasulullah saw. mengangkat Shard ibnu ‘Abdullah al-Azdi menjadi pemimpin kaumnya. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan dia supaya berjuang bersama kaumnya yang telah masuk Islam untuk melawan kaum musyrikin yang tinggal di sekitar mereka.

 

UTUSAN DARI RAJA-RAJA HIMYAR

 

Utusan yang datang dari raja-raja Himyar dan membawa pesan dari rajaraja mereka ialah Al-Harits ibnu ‘Abdu Kulal, An-Nu’man, Mu’afir, dan Hamdan. Sebelumnya mereka telah masuk Islam. Kemudian mereka mengirimkan utusannya kepada Rasulullah saw. untuk menjelaskan hal tersebut. Rasulullah saw. mengirimkan surat kepada mereka yang bunyinya seperti berikut:

 

SURAT KEPADA RAJA HIMYAR

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad Rasul Allah kepada Al-Harits ibnu ‘Abdu Kulal dan kepada An-Nu’man alias Dzu Ra’in, Mu’afir, dan Hamdan. Amma ba’du: Sesungguhnya aku memulai suratku kepada kalian ini dengan memuji kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia. Amma ba’du: Sesungguhnya telah datang kepada kami utusan kalian sewaktu kami baru saja kembali dari negeri Romawi, dan kami bertemu dengannya di Madinah. Kemudian ia menyampaikan pesan kalian yang dibawakannya dan berita tentang apa yang telah kalian lakukan sebelumnya. Utusan itu telah memberitahukan kepada kami tentang keislaman kalian dan peperangan yang kalian Jakukan terhadap kaum musyrikin. Sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepada kalian dengan petunjuk-Nya. Bila kalian berbuat baik dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kalian mendirikan salat, menunaikan zakat, dan memberikan seperlima dari ghanimah untuk diberikan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kalian menyerahkan pula apa-apa yang telah diwajibkan atas kaum mukminin berupa shadagah. Amma ba’du: Sesungguhnya Nabi Muhammad telah mengutus seseorang kepada Zar’ah ibnu Dzi Yazin. Apabila datang para utusanku kepada kalian, aku berpesan kepada kalian untuk berlaku baik terhadapnya. Mereka adalah Mu’adz ibnu Jabal, ‘Abdullah ibnu Zaid, Malik ibnu ‘Ubadah, ‘Ugbah ibnu Namir, Malik ibnu Murrah dan teman-temannya. Bilamana mereka telah mengumpulkan zakat yang ada pada kalian, dan jizyah dari orang-orang yang berlainan agama, maka sampaikanlah hal itu kepada para utusanku, dan pemimpin mereka adalah Mu’adz ibn Jabal, maka jangan sekali-kali ia kembali melainkan dalam keadaan rela.

 

Amma ba’du: Sesungguhnya Muhammad bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya ia adalah hamba dan Rasul-Nya. Kemudian Malik ibnu Murrah ar-Rahawiy telah bercerita kepadaku bahwa engkau adalah orang Himyar pertama yang masuk Islam dan engkau pun telah memerangi kaum musyrikin. Maka terimalah berita gembira ini: Aku mengangkat engkau menjadi pemimpin Himyar. Pimpinlah mereka dengan baik. Janganlah kalian berbuat khianat dan jangan (pula) kalian saling menghina karena sesungguhnya Rasulullah adalah pemimpin orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad dan tidak halal (pula) bagi keluarganya. Sesungguhnya zakat itu merupakan pembersih harta yang kemudian diberikan kepada orang-orang miskin kaum Muslimin

 

dan ibnus-sabil. Malik menyampaikan berita ini serta menyerahkan segalanya kepada Allah. Aku perintahkan kepada kalian supaya berlaku baik terhadapnya. Semoga kesejahteraan, rahmat Allah dan berkahNya tercurahkan kepada kalian.

 

UTUSAN DARI HAMDAN

 

Di antara utusan dari Hamdan yang datang kepada Rasulullah saw. terdapat Malik ibnu Namath. Ia adalah seorang penyair yang agung. Mereka bersua dengan Rasulullah saw. sewaktu ia baru kembali dari Tabuk. Mereka datang dengan memakai jubah buatan Yaman dan kain serban dari ‘Aden. Pada saat itu Malik ibnu Namath memuji Rasulullah melalui syairnya, sebagai berikut: Aku bersumpah dengan nama Tuhan para penari wanita yang menuju ke Mina, dan berada di barisan paling depan dari suatu iring-iringan yang turun dari bukit cadas bahwa Rasulullah di kalangan kami dipercaya, dia seorang rasul yang datang dari sisi Yang memiliki ‘arasy, sebagai pemberi petunjuk. Apa yang telah dimuat oleh unta kendaraan mereka adalah hal yang paling dimusuhi oleh Muhammad.

 

Kemudian Rasulullah saw. mengangkatnya menjadi pemimpin bagi kaumnya yang telah masuk Islam. Rasulullah saw. telah berkata mengenai orang Hamdan, “Kabilah yang sebaik-baiknya adalah Hamdan. Mereka paling cepat dalam menolong dan paling sabar dalam menghadapi kepayahan, serta di kalangan mereka terdapat Ibdal dan Awtad.

 

UTUSAN DARI TAJIB

 

Utusan yang datang menghadap Rasulullah saw. dari Tajib (nama dari salah satu kabilah di negeri Kindah) sebanyak tiga belas orang. Mereka datang dengan membawa zakat harta benda mereka yang telah di-fardhu-kan oleh Allah atas diri mereka. Rasulullah saw. menyambut mereka dengan penuh kegembiraan dan hormat. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami membawa harta benda kami yang menjadi hak Allah (zakat).” Rasulullah saw. menjawab, “Kembalikanlah semuanya, dan berikanlah kepada kaum fakir-miskin kalian!” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, tidak sekali-kali kami datang ke hadapan engkau selain membawa kelebihan dari apa yang telah diterima oleh kaum fakir-miskin kami.” Maka Sahabat Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, belum pernah ada utusan yang datang kepada engkau dari kalangan orang Arab seperti mereka itu.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya petunjuk itu berada di tangan kekuasaan Allah. Maka barang siapa yang dikehendakiNya baik, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk beriman.”

 

Selanjutnya mereka meminta kepada Rasulullah saw. untuk diajari Al Guran. Hal ini menambah tertarik hati Rasulullah terhadap mereka. Ketika mereka bermaksud kembali kepada keluarga mereka, ada yang bertanya, “Apakah gerangan yang menyebabkan kalian tergesa-gesa ingin kembali?” Mereka menjawab, “Kami akan kembali untuk menemui orang-orang yang ada di belakang kami, lalu kami akan memberitahukan kepada mereka pertemuan kami dengan Rasulullah dan apa-apa yang di kembalikannya lagi kepada kami.” Kemudian mereka datang menghadap Rasulullah dan langsung berpamitan kepadanya. Rasulullah saw. memberikan kepada mereka hadiah yang lebih utama dari pada yang pernah di berikannya kepada utusan-utusan yang lain. Kemudian Rasulullah saw. bertanya kepada mereka, “Apakah masih ada seseorang di antara kalian yang ketinggalan?”” Mereka menjawab, “Masih ada seseorang yang paling muda di antara kami. Sengaja kami meninggalkannya untuk mengurusi kendaraan kami.” Rasulullah menyuruh, “Datangkanlah dia kemari!” Maka mereka pun menyuruhnya untuk menghadap Rasulullah. Pemuda itu kemudian datang menghadap seraya berkata, “Wahai Rasulullah, saya adalah salah seorang dari rombongan yang datang kepada engkau kemarin. Engkau telah memenuhi keperluan mereka, maka penuhilah keperluanku. Rasulul. lah bertanya, “Lalu apa keperluan engkau”” Pemuda itu berkata, “Minta. kanlah ampunan kepada Allah buat diriku, dan mintakan rahmat-Nya untukku, serta mintakan kepada-Nya semoga Dia menjadikan kecukupan. ku berada dalam hatiku.” Lalu Rasulullah saw. berdoa, “Ya Allah, ampunilah dia, dan berilah dia rahmat, serta jadikanlah kecukupan berada dalam hatinya.” Setelah itu Rasulullah saw. memerintahkan sahabat untuk memberinya hadiah sebagaimana yang telah diberikan kepada teman-temannya.

 

UTUSAN TSA’LABAH

 

Yang datang sebagai utusan dari Tsa’labah terdiri dari empat orang untuk menghadap Rasulullah dan menyatakan keislaman mereka. Ketika mereka datang, langsung bersalam kepada Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah utusan dari kaum kami yang berada di belakang kami. Sengaja kami datang untuk menyatakan masuk Islam, tetapi kami telah mendengar bahwa engkau telah bersabda bahwa tidak ada Islam bagi orang yang belum mengalami hjjrah.” Rasulullah saw. menjawab. “Di mana pun kalian berada, kemudian kalian bertakwa kepada Allah, hal itu sudah cukup bagi kalian.” Kemudian Rasulullah saw. bertanya kepada mereka, “Bagaimana keadaan negeri kalian?” Mereka menjawab, “Subur dan makmur.” Rasulullah berkata, “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Kemudian selama beberapa hari mereka menjadi tamu Rasulullah. Ketika mereka bermaksud hendak pulang, Rasulullah saw. memberikan kepada setiap orang dari mereka lima augiyah perak sebagai hadiah.

 

UTUSAN BANI SA’D IBNU HUDZAIM

 

Salah seorang dari utusan yang datang dari Bani Sa’d ibnu Hudzaim dari Qudhaah bernama An-Nu’man. Ia bercerita: “Aku datang menghadap Rasulullah bersama segolongan dari kaumku sebagai delegasi. Pada saat itu Rasulullah saw. telah menguasai berbagai negeri dan mengalahkan pengaruh orang Arab. Manusia pada saat itu terdiri dari dua golongan, yaitu yang masuk Islam karena senang dan yang masuk Islam karena takut akan pedang. Setelah sampai di Madinah kami berkemah di salah satu sudut kota Madinah. Kemudian kami keluar menuju masjid hingga sampai di muka pintunya. Pada saat itu kami menjumpai Rasulullah saw. sedang melakukan salat jenazah di dalam masjid. Maka kami berdiri di salah satu sudut masjid, lurus di belakangnya, tetapi kami tidak ikut salat bersama mereka. Kami hanya diam menunggu hingga Rasulullah selesai salatnya. Pada saat itu kami akan berbai’at kepadanya.

 

“Ketika Rasulullah selesai salatnya, dia memandang kepada kami dan memanggil kami. Dia bertanya, “Dari manakah kalian? Kami menjawab, ‘Dari Bani Sa’d ibnu Hudzaim.” Rasulullah bertanya kembali, ‘Apakah kalian Muslim? Kami menjawab, ‘Ya.” Rasulullah bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak salat terhadap jenazah saudara kalian” Kami menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kami menduga bahwa hal tersebut tidak boleh kecuali setelah kami berbai’at kepada engkau.’ Rasulullah berkata, ‘Di mana pun kalian masuk Islam, berarti kalian orang Muslim.”

 

Selanjutnya An-Nu’man meneruskan kisahnya: ‘Kemudian kami masuk Islam dan berbai’at kepada Rasulullah secara langsung. Setelah itu kami pergi ke tempat kendaraan kami yang ditunggu oleh seseorang dari kami yang paling muda usianya. Tiba-tiba datang pesuruh dari Rasulullah saw. mencari kami supaya kami semua datang menghadap. Ketika kami sampai di hadapan Rasulullah, orang yang paling muda di antara kami itu menyatakan bai’atnya kepada Rasulullah untuk masuk Islam. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, dia adalah orang yang paling muda di antara kami, dan dia adalah pelayan kami. ‘Lalu Rasulullah saw. berkata,

 

Penghulu suatu kaum adalah pembantunya. Semoga Allah memberkatinya !

 

An-Nu’man menceritakan bahwa pemuda itu akhirnya menjadi orang yang paling baik di antara mereka dan orang yang paling pandai dalam membaca Al-Quran. Semua itu berkat doa Rasulullah bagi dirinya. Setelah itu Rasulullah saw. memberikan hadiah kepada mereka semua, lalu mereka pun berangkat pulang ke kampung halaman mereka.

 

UTUSAN BANI FAZZARAH

 

Kali ini utusan yang datang menghadap Rasulullah ialah dari Bani FazZarah. Segolongan dari kalangan mereka datang kepada Rasulullah saw. seraya menyatakan dirinya masuk Islam. Pada saat itu kaumnya sedang ditimpa paceklik. Mereka meminta kepada Rasulullah saw. supaya mendoakan untuk kesuburan negeri mereka. Seorang lelaki dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, negeri kami sedang tertimpa paceklik, ternak kami binasa, kami mengalami kekeringan, dan anak-anak kami dilanda kelaparan. Maka mintakanlah kepada Rabb engkau supaya menurunkan hujan atas negeri kami. Mintakanlah syafaat kepada Rabb engkau buat kami, serta hendaknya Rabb engkau meminta syafaat kepada engkau buat kami.” Rasulullah menjawab, “Subhanallah (Mahasuci Allah), celakalah engkau ini. Apakah aku memberikan syafaat kepada Rabb ku? Siapakah gerangan yang akan diberi syafaat oleh-Nya? Tiada tuhan selain Dia Yang Mahatinggi lagi Mahaagung, kursi-Nya mencakup langit dan bumi, sedangkan kursi-Nya berbunyi karena kebesaran dan keagungan-Nya sebagaimana berbunyinya muatan yang baru.” Artinya kursi itu berbunyi karena beratnya muatan. Selanjutnya Rasulullah menaiki mimbar lalu berdoa kepada Allah swt. untuk memohon hujan. Negeri para utusan itu seketika itu juga tertimpa hujan lebat yang membawa banyak rahmat.

 

UTUSAN BANI ASAD

 

Di antara utusan Bani Asad terdapat Dhirar ibnul-Azur dan Thulaihah ibnu ‘Abdullah yang sesudah itu mengakui dirinya sebagai nabi. Semua delegasi itu menyatakan masuk agama Islam. Lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah berjalan dengan berselimutkan gelapnya malam yang berbintang dengan tujuan datang ke hadapan engkau. Akan tetapi, mengapa engkau tidak mengirimkan utusan kepada kami?” Pada saat itu juga turunlah firman-Nya :

 

Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepada-Ku dengan keislaman kalian. Sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjukkan kalian kepada keimanan jika kalian adalah orang-orang yang benar. (Q.S. 49 Al-Hujurat: 17)

 

Mereka bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang biasa mereka lakukan pada Zaman Jahiliah, yaitu tentang perbuatan ‘iyafah, kahanah? dan meramal memakai batu kerikil. Rasulullah saw. mencegah mereka melakukan semua itu. Kemudian mereka bertanya lagi kepada Rasulullah tentang meramal dengan memakai pasir. Lalu Rasulullah berkata, “Hai itu pernah diajarkan oleh seorang nabi, barang siapa yang secara kebetulan memiliki ilmu seperti apa yang pernah diajarkannya, hal itu boleh dan bilamana kebalikannya, maka tidak boleh.”

 

Mereka tinggal selama beberapa hari untuk mempelajari hal-hal yang fardhu. Sesudah itu mereka berpamitan untuk pulang, tetapi sebelum itu mereka diberi hadiah oleh Rasulullah untuk melunakkan hati mereka.

 

UTUSAN DARI BANI ‘UDZRAH

 

Yang menghadap Rasulullah ialah utusan dari Bani ‘Udzrah, dari Bani Bala, dari Bani Murrah, dan dari Khaulan. Mereka adalah kabilah-kabilah yang mendiami negeri Yaman. Rasulullah saw. memerintahkan mereka supaya memenuhi janji dan menunaikan amanat serta memperlakukan tetangga dengan perlakuan yang baik, dan hendaknya mereka tidak menganiaya seorang pun. Sesungguhnya perbuatan zalim itu merupakan kegelapan belaka pada hari kiamat nanti.

 

UTUSAN DARI BANI MUHARIB

 

Semula Bani Muharib termasuk orang-orang yang menolak Rasulullah saw. dengan cara yang buruk. Ketika itu Rasulullah sedang berada di pasar ‘Ukazh dalam rangka mengajak kabilah-kabilah yang ada di tempat itu untuk masuk Islam. Alangkah agungnya karunia Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka. Dahulu mereka musuh bebuyutan, dan kini mereka menjadi kaum Muslimin yang taat.

 

UTUSAN DARI GHASSAN .

 

Para utusan yang datang kepada Rasulullah ialah dari Ghassan, dari Bani “Ais, dan dari Bani Nakh’i. Sebagaimana biasanya, Rasulullah saw. menyambut kedatangan semua utusan dengan wajah yang berseri-seri dan akhlak yang mulia, dan tidak lupa dia memberikan hadiah yang menyenangkan buat mereka. Rasulullah mengajari mereka tentang iman dan syariat dengan maksud supaya mereka menyampaikannya lagi kepada orangorang yang berada di belakang mereka dari kaumnya masing-masing. Dengan adanya para utusan tersebut agama Islam makin bertambah pesat perkembangannya di daerah-daerah pedalaman.

 

WAFATNYA IBRAHIM IBNU MUHAMMAD RASULULLAH

 

Pada tahun kesepuluh Hijriah ini wafat anak laki-laki Rasulullah saw. yang bernama Ibrahim.

SARIYYAH

 

Pada tanggal 26 Shafar Rasulullah saw. mempersiapkan suatu pasukan yang dipimpin oleh Usamah ibnu Zaid untuk menyerang suatu perkampungan di dekat Mu’tah yang dikenal dengan nama Ibni, tempat terbunuhnya Sahabat Zaid ibnu Haritsah, ayah Sahabat Usamah. Rasulullah saw. berkata, “Berangkatlah hingga engkau mencapai tempat terbunuhnya ayah engkau, kejutkanlah mereka dengan pasukan berkuda engkau. Aku telah mengangkat engkau menjadi panglima pasukan ini. Seranglah mereka pada pagi hari dan kalahkanlah mereka, serta berangkatlah dengan cepat supaya engkau mendahului berita. Apabila Allah mentakdirkan engkau menang, maka jangan lama-lama engkau berdiam di tempat mereka. Pakailah penunjuk jalan, dahulukan mata-mata engkau sementara pasukan bersama engkau.” Dalam pasukan Usamah terdapat para sahabat terkemuka dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Di antara mereka adalah Sahabat Abu Bakar, Sahabat ‘Umar, Sahabat Abu ‘Ubaidah, serta Sahabat Sa’d.

 

“Setelah mengangkat Usamah menjadi panglima pasukan, Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah, dan perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah.” Akan tetapi, ada segolongan sahabat yang mengkritik pengangkatan Usamah ini karena ia seorang yang masih muda usia, baru berumur tujuh belas tahun, sedangkan yang dipimpinnya terdiri dari para sahabat Muhajirin yang terkemuka. Kemudian berita itu terdengar oleh Rasulullah, lalu ia keluar dalam keadaan sangat marah dan berkata, “Amma ba’du: Wahai manusia, apakah yang telah dikatakan oleh sebagian di antara kalian tentang pengangkatanku terhadap Usamah? Bilamana kalian menuduh yang tidak-tidak tentang pengangkatanku terhadap Usamah, berarti kalian telah menuduh yang tidak-tidak pula tentang pengangkatanku terhadap ayahnya sebelum dia. Demi Allah, dia adalah orang yang pantas untuk memegang kepemimpinan, dan sesungguhnya anaknya pun sesudah dia pantas pula untuk menjabatnya. Sesungguhnya dia termasuk orang yang paling aku cintai. Keduanya adalah orang yang benar-benar baik. Maka aku pesankan kepada kalian supaya berlaku baik terhadapnya. Dia termasuk orang-orang yang terpilih di antara kalian.”

 

Pasukan ini belum sempat berangkat karena pada saat itu sakit Rasulullah saw. semakin gawat sehingga dia dipanggil olehNya ke RafigulA’la (meninggal dunia). Para pembaca yang budiman, insya Allah akan mengetahui kelanjutan perjalanan pasukan ini dalam buku kami yang berjudul Siratul-Khulafa.

 

RASULULLAH SAW. SAKIT

 

Setelah Rasulullah saw. menyempurnakan semua tugas yang dibebankan kepadanya dan telah menunaikan apa yang dipercayakan kepadanya, telah memberikan petunjuk terhadap umatnya, lalu Allah swt. memanggilnya ke tisi-Nya. Pada suatu hari sebelum ia dipanggil ke sisi-Nya, ia duduk di atas mimbarnya, lalu berkata, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang disuruh memilih oleh Allah antara gemerlapan keduniawian dan pahala yang berada di sisi-Nya, Dia memilih apa yang ada di sisi-Nya.” Sahabat Abu Bakar seketika itu juga menangis seraya berkata, “Wahai Rasulullah, kami lebus engkau dengan kakek dan nenek-moyang kami.” Rasulullah saw. berkata: Sesungguhnya orang yang paling aku percayai dalam hal bersahabat dan harta bendanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku mengambil kekasih, niscaya aku akan mengambil Abu Bakar (sebagai kekasih), tetapi (mengingat) persaudaraan Islam. Tiada suatu celah-celah (tempat duduk) di dalam masjid yang tidak ditutup terkecuali celah-celah Abu Bakar.

 

Rasulullah saw. mulai tertimpa sakit keras pada akhir bulan Safar tahun sebelas Hijriah di rumah Siti Maimunah, salah seorang istrinya. Rasulul. lah saw. mengalami sakit selama tiga belas hari. Dalam masa itu ia berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain di antara istri-istrinya. Ketika sakitnya mulai gawat ia meminta izin kepada istri-istri yang lain untuk dirawat di rumah Siti ‘Aisyah binti Abu Bakar, dan mereka mengizinkannya. Ketika Rasulullah saw. mulai tinggal di rumah Siti ‘Aisyah, sakitnya semakin parah, lalu ia berkata, “Tuangkanlah kepadaku air sebanyak tujuh girbah yang masih sejuk karena aku akan menengok apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang di luar.” Kemudian istri-istrinya mendudukkannya di bangku, lalu dituangkan air tersebut kepada dirinya. Setelah merasa cukup, ia mengisyaratkan dengan tangannya supaya mereka menghentikannya. Air itu dimaksudkan dan untuk menurunkan suhu badan yang diakibatkan oleh demam. Panas tubuhnya dapat dirasakan oleh orang yang memegangnya.

 

ABU BAKAR MENJADI IMAM SALAT

 

Ketika Rasulullah saw. tidak dapat keluar dari rumah untuk mengimami salat, ia berkata, “Perintahkanlah Abu Bakar untuk salat dengan manusia.” Rasulullah saw. rela Abu Bakar menjadi penggantinya pada masa ia masih hidup. Ketika orang-orang Anshar melihat bahwa sakit yang diderita oleh Rasulullah kian parah, mereka berkerumun di sekeliling masjid. Sahabat Al-Abbas masuk ke dalam rumah Rasulullah, lalu memberitahukan kekhawatiran semua sahabat terhadap dirinya. Maka Rasulullah saw. keluar seraya diapit oleh Sahabat ‘Ali dan Sahabat Al-Fadhl, sedangkan Sahabat Al-Abbas berjalan di depannya. Pada saat itu kepala Nabi saw. dibalut dan ja berjalan dengan langkah yang lemah hingga duduk di atas anak tangga pertama mimbar. Kemudian orang-orang berebutan menuju ke arah Rasulullah. Rasulullah memuji kepada Allah dan menyanjung-Nya, kemudian berkata, “Wahai umat manusia, aku telah mendengar bahwa kalian merass khawatir akan kematian nabi kalian. Apakah ada sebelumku seorang nabi yang diutus Allah dapat hidup abadi, kemudian ia dapat hidup selamanya di antara kalian? Ingatlah, sesungguhnya aku akan dipanggil ke sisi-Nya, dan sesungguhnya kalian pun akan menyusulku. Maka aku berwasiat kepada kalian, berlaku baiklah terhadap kaum Muhajirin pertama, dan aku berwasiat kepada kaum Muhajirin untuk berlaku baik terhadap sesama mereka. Sesungguhnya Allah swt. telah berfirman:

 

Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasihatmenasihati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. 103 Al-Ashr: 1-3)

 

Semua perkara itu dapat berjalan berkat izin Allah swt. Maka janganlah terlambatnya suatu perkara membuat kalian tergesa-gesa melakukannya, sebab Allah swt. tidak akan menyegerakan suatu perkara karena tergesagesanya seseorang. Barang siapa menantang Allah, niscaya Dia akan mengalahkannya, dan barang siapa menipu Allah, niscaya Dia yang akan menipunya. ,

 

Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? (Q.8. 47 Muhammad: 22)

 

Aku berwasiat kepada kalian agar berlaku baik terhadap kaum Anshar karena mereka adalah orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan kalian. Bukankah mereka telah merelakan separuh dari buah-buahan mereka untuk kalian? Dan bukankah mereka telah melapangkan rumah-rumah mereka buat tempat tinggal kalian? Dan bukankah mereka lebih mementingkan diri kalian daripada diri mereka sendiri, padahal mereka sendiri sedang dalam kesusahan? Ingatlah, barang siapa diberi kekuasaan untuk memutuskan suatu perkara di antara dua orang lelaki, hendaknya ia menerima orang yang baik (tidak bersalah) dan hendaknya ia memberi ma’af kepada orang yang buruk (bersalah). Ingatlah, jangan sekali-kali kalian mempunyai dendam kesumat. Ingatlah, tesungguhnya diriku ini merupakan orang yang akan mendahului kalian, dan kelak kalian akan menyusulku. Ingatlah, sesungguhnya tempat bertemu kalian denganku adalah di Al-Haudh (telaga Kautsar). Ingatlah, barang siapa ingin dapat bertemu denganku kelak, hendaknya ia mencegah tangan dan lisannya kecuali dalam hal-hal yang sudah merupakan keharusan baginya.”

 

Ketika kaum Muslimin sedang melakukan salat subuh pada hari Senin tanggal 13 Rabiulawal dan yang menjadi imamnya Sahabat Abu Bakar, tiba-tiba Rasulullah saw. membuka tirai kamar Siti ‘Aisyah, lalu memandang mereka yang pada saat itu sedang melakukan salat di dalam safnya masing-masing. Melihat keadaan mereka itu Rasulullah saw. tersenyum. Maka Sahabat Abu Bakar mundur untuk meneruskan salatnya bersama saf yang paling depan karena ia menduga bahwa Rasulullah saw. keluar untuk melakukan salat. Hal ini hampir-hampir membuat kaum Muslimin terfitnah dalam salat karena mereka gembira melihat Rasulullah, tetapi ternyata Rasulullah saw. mengisyaratkan dengan tangannya supaya mereka meneruskan salatnya bersama dengan Sahabat Abu Bakar. Setelah itu ia kembali memasuki kamarnya dan menutupkan kembali tirai kamarnya.

 

RASULULLAH SAW. WAFAT

 

Belum lagi saat dhuha hari itu, Rasulullah saw. telah dipanggil ke sisi-Nya dan meninggalkan dunia yang fana ini. Hal itu terjadi pada hari Senin tanggal 13 Rabiulawal tahun 11 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 8 Juni tahun 633 Masehi. Dengan demikian usia Rasulullah saw. adalah 63 tahun 3 hari berdasarkan perhitungan tahun gamariyah, atau 81 tahun 84 hari berdasarkan perhitungan tahun syamsiyah.

 

Pada saat itu Sahabat Abu Bakar sedang berada di As-Sanh, yaitu tempat perkemahan Banil-Harits ibnul-Khazraj, sedang menggilir istrinya yang bernama Habibah binti Kharijah ibnu Yazid. Kemudian Sahabat ‘Umar menghunus pedangnya seraya berkata, “Sesungguhnya dia hanya diutus untuk menemui-Nya sebagaimana Musa diutus untuk menemuiNya hingga ia meninggalkan kaumnya selama empat puluh hari. Demi Allah, aku akan memutuskan tangan dan kaki orang-orang yang mengatakan bahwa ia telah wafat.”

 

Ketika Sahabat Abu Bakar mendengar berita tersebut ia, segera datang dan langsung memasuki rumah Siti ‘Aisyah. Sahabat Abu Bakar membuka kain penutup wajah jenazah Rasulullah, kemudian ia membungkuk dan menciuminya sambil menangis dan mengucapkan kata-kata, “Demi Zat yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, dia telah wafat, semoga shalawat Allah tercurahkan kepada engkau, wahai Rasulullah, alangkah harumnya engkau, baik sewaktu hidup ataupun sesudah meninggal. Demi ayah dan ibuku, Allah tidak akan membuat diri engkau meninggal dua kali.”

 

Setelah itu Abu Bakar keluar, kemudian berpidato dengan terlebih dahulu memuji dan menyanjung-Nya, “Ingatlah, barang siapa menyembah Muhammad, sesungguhnya dia telah meninggal dunia, dan barang siapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah mahahidup dan tidak akan mati.” Kemudian Sahabat Abu Bakar membacakan firman-Nya:

 

Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). (Q.S. 39 Az-Zumar: 30)

 

Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kalian berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 144)

 

Kemudian Sahabat ‘Umar berkata, “Seolah-olah aku belum pernah membaca ayat-ayat tersebut sama sekali.

 

Jenazah Rasulullah saw. tinggal di rumahnya mulai hari itu sampai malam Rabunya hingga kaum Muslimin selesai memilih khalifahnya untuk mengatur kaum Muslimin. Orang yang memandikan jenazah Rasulullah saw. adalah Sahabat ‘Ali ibnu Abu Thalib dibantu oleh Sahabat Al-Abbas bersama kedua anaknya yaitu Al-Fadhl dan Qatsm, dan Usamah Ibnu Zaid Serta Syagran, bekas hamba sahaya Rasulullah. Jenazah Rasulullah dikafankan dengan tiga lapis kain, tanpa baju gamis dan kain serban. Setelah Mereka selesai mengurus jenazahnya, kemudian jenazah diletakkan di atas balai dalam rumahnya sendiri. Lalu orang-orang mulai berdatangan secara berturut-turut untuk menyalatkannya, dan tidak ada seorang pun yang mengimami salat jenazah itu. Setelah itu mulailah digali liang lahad di dalam kamar Siti ‘Aisyah, tempat Rasulullah. meninggal dunia. Orang yang meletakkan jenazah ke dalam liang lahad adalah Sahabat ‘Ali dan Sahabat Al ‘Abbas bersama dua orang anaknya, Al-Fadhl dan Qatsm. Setelah itu Sahabat Bilal menyiramkan air ke atas kuburan Rasulullah. Kuburan Kasulullah ditinggikan sejengkal dari permukaan tanah.

 

Rasulullah saw. wafat dengan meninggalkan sesuatu untuk kaum Muslimin. Bilamana mereka mengikutinya, niscaya tidak ada sesuatu pun yang membahayakan mereka, yaitu Kitabullah yang tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang mahabijaksana lagi Maha Terpuji. Dia meninggalkan pula para sahabat yang berbakti lagi mulia sebagai jurupenerang agama Islam untuk menyempurnakan pembukaan negaranegara yang belum dimasuki Islam serta menerbitkan sinar matahari Islam ke seluruh dunia sehingga Allah menyempurnakan kalimah-Nya dan menunaikan janji-Nya. Ternyata Allah swt. telah menunaikannya.

 

Kami memohon kepada Allah semoga Dia memberikan kemampuan kepada diri kami untuk dapat bersyukur kepada-Nya atas nikmat yang agung lagi besar ini, yaitu agama Islam.

Allah swt. telah menganugerahkan kepada Nabi kita semua kesempurnaan dunia dan akhirat yang belum pernah dianugerahkan kepada siapa pun, baik sebelum ataupun sesudahnya. Sudah merupakan keharusan bagi kami untuk mengemukakan dalam bab ini ) sekilas mengenai sifat-sifat yang baik dari Rasulullah dan akhlak-akhlaknya yang mulia. Hal ini dimaksudkan supaya dapat dijadikan teladan oleh para pembaca yang budiman sehingga barangsiapa yang mengikuti jejaknya, maka ia akan berhak mendapat pujian di dunia dan pahala di akhirat.

 

Perlu diketahui, semoga Allah memberikan bimbingan kepada diriku dan pembaca sekalian, semoga Dia memberikan petunjuk kepada kita kejalan yang lurus, bahwa perilaku yang agung lagi sempurna bagi manusia itu ada dua macam, yaitu: 1. Bersifat pembawaan sejak lahir karena merupakan kebutuhan yang mutlak bagi kehidupan manusia. 2. Bersifat kasbi lagi keagamaan, yaitu perilaku yang pelakunya terpuji, dan hal ini dapat dijadikan sebagai amal takarrub kepada Allah swt. Adapun perilaku yang bersifat pembawaan, yang dimaksud adalah hal yang tidak ada pilihan serta tidak ada upaya bagi orang yang bersangkutan sehubungan dengan keberadaannya. Yaitu seperti pembawaan yang terdapat di dalam diri Rasulullah berupa bentuk yang sempurna, indah penampilan, kekuatan daya pikir, pemahaman yang benar, lisan yang fasih, pancaindera dan anggota tubuh yang kuat, gerak yang seimbang, keturunan yang terhormat, kaum dan tempat tinggal yang mulia. Termasuk pula ke dalam kategori ini hal-hal yang merupakan kebutuhan pokok hidup seperti makanan, tidur, pakaian, tempat tinggal, harta benda, dan kedudukan.

 

Adapun mengenai hal-hal yang bersifat kasbi lagi ukhrawi semuanya berupa akhlak dan etika yang luhur seperti kuat beragama, memiliki ilmu, penyantun, sabar, bersyukur, adil, zuhud dan rendah diri, pemaaf, memelihara kehormatan, dermawan, pemberani, pemalu, berharga diri, pendiam, tenang dalam segala hal, anggun, belas kasihan, baik dalam bergaul, dan hal-hal lain yang tercakup ke dalam akhlak yang baik. Bilamana engkau melihat, semoga Allah memelihara diri watak-watak sempurna yang bersifat bukan kasbi dan terkandung di dalam fitrah kejadian, niscaya engkau akan menemukan semua seginya yang baik terdapat di dalam diri Rasulullah saw.

 

Adapun mengenai penampilannya, kegantengannya, dan keserasian bentuknya yang begitu indah, telah banyak disebutkan oleh atsar-atsar yang sahih dan terkenal lagi cukup banyak. Disebutkan bahwa warna kulit Rasulullah itu putih kemerah-merahan, bagian hitam bola matanya cukup besar, matanya lebar tapi indah, warna putih matanya dicampuri warna kemerah-merahan, bulu matanya tebal, wajahnya selalu tampak bercahaya dan berseri-seri, alis matanya tipis tetapi memanjang, hidungnya mancung, wajahnya bundar, keningnya lebar, dan janggutnya lebat, keriting dan tidak terlalu panjang. Perutnya rata (tidak buncit), dadanya bidang, pundaknya kekar, tulangnya besar, lengan dan hastanya kekar, telapak tangannya lebar demikian pula telapak kakinya, dan jari-jemarinya cukup panjang tetapi memadai, dadanya berbulu, dan tingginya sedang tidak terlalu tinggi dan pula tidak pendek. Sekalipun demikian, siapa pun yang berjalan bersamanya, yang terbilang orang yang tinggi, Nabi saw. kelihatan lebih tinggi. Dia selalu menyisir rambutnya. Apabila tertawa, kelihatan wajahnya bercahaya bagaikan kilatan petir dan bagaikan butiran air hujan. Apabila berkata, maka kelihatan seolah-olah ada cahaya yang keluar dari gigi serinya. Bentuk lehernya paling baik, tidak terlalu gemuk dan tidak kurus, badannya kekar dan tidak gemuk. Al-Barra ibnu ‘Azib menceritakan: Aku belum pernah melihat seseorang yang memiliki Cambang yang hitam disemir warna merah lebih indah dari milik Rasulullah saw. Sahabat Abu Hurairah r.a. telah menceritakan pula: Aku belum pernah melihat wajah yang lebih indah daripada wajah Rasulullah, seolah-olah bagaikan matahari yang memancarkan sinar nya, dan apabila tertawa maka nampaklah wajahnya gemerlapan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Halah disebutkan: Wajah Rasulullah selalu tampak gemerlapan bagaikan rembulan pada tanggal lima belas. Sahabat ‘Ali r.a. mengatakan pada akhir kalimatnya sewaktu ia menggambarkan diri Rasulullah saw.: Barang siapa yang melihatnya sekilas, niscaya ia takut terhadapnya, dan barang siapa yang telah bergaul mengenalnya, niscaya akan mencintainya. Orang yang menggambarkan tentang bentuknya niscaya mengatakan, aku belum pernah melihat seseorang yang mirip dengan Rasulullah, baik sebelum melihatnya ataupun sesudahnya. Adapun mengenai kebersihan tubuhnya, bau harum tubuhnya, keringatnya, kesuciannya dari kotoran-kotoran, dan kerapiannya dalam menutupi aurat tubuh, merupakan karunia Allah yang khusus diberikan kepada dirinya dan tidak terdapat pada orang lainnya. Kemudian hal ini disempurnakan pula dengan kebersihan dalam bersyariat. Rasulullah saw. telah bersabda: Agama itu berlandaskan kebersihan. Sahabat Anas ibnu Malik pernah mengatakan: Aku belum pernah mencium bau minyak wangi dan tidak pula minyak kesturi serta wewangian yang lain yang lebih wangi daripada bau tubuh Rasulullah. Sahabat Jabir menceritakan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. mengusap pipinya. Selanjutnya Jabir berkata, “Terasa tangannya ketika menyentuh pipiku begitu sejuk dan harum, seolah-olah tangan tersebut baru dikeluarkan dari tempat minyak wangi.” Sedangkan dalam riwayat yang lain ditambahkan bahwa apakah tangannya itu menyentuh wewangian sebelumnya atau tidak, tangannya tetap berbau harum. Seseorang yang menjabat tangannya, tangan dia akan tetap berbau harum seharian penuh. Umpamanya dia menaruh telapak tangannya pada kepala anak kecil, niscaya anak kecil itu mengetahui bahwa bau wangi tersebut bekas berjabat tangan dengan Rasulullah. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab tarikhnya melalui Sahabat Jabir r.a.:

 

Belum pernah Nabi saw. melalui suatu jalan, kemudian bekasnya diikuti oleh seseorang, dia tidak mengetahui bahwa Rasulullah baru saja melewati jalan itu karena tercium dari baunya yang wangi. Ditinjau dari kecerdesan akal, pandangan mata hatinya yang tajam, kekuatan pacainderanya, kefasihan lisannya, keseimbangan semua gerakgeriknya, dan kebaikan penampilannya, tidak diragukan lagi bahwa dia orang yang paling cerdas dan paling pandai. Barang siapa memperhatikan pengaturannya terhadap perkara batiniah dan lahiriah makhluk, serta kebijaksanaannya dalam mengatur masyarakat umum, penampilan dan gerak-geriknya yang menakjubkan itu, terlebih lagi bila dibarengi pula dengan ilmu yang dimilikinya dan keputusan syara’ yang telah ditetapkannya tanpa mengalami proses belajar terlebih dahulu dan pula tanpa proses latihan serta tanpa membaca kitab-kitab, maka kesan pertama yang terlintas pada dirinya tidak meragukan lagi tentang kecemerlangan akal dan ketajaman pandangannya dalam segala hal.

 

Apabila Rasulullah saw. melakukan salat, dia dapat melihat orang yang di belakangnya sebagaimana dia melihat seseorang yang berada di hadapannya. Berdasarkan pengertian ini, ada seorang mufassir yang mengartikan firman-Nya dengan pengertian tersebut:

 

Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. (Q.S. 26 Asy-Syu’ara: 219)

 

Siti ‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah saw. dapat melihat di dalam gelap sebagaimana dia melihat di dalam terang. Dia pernah menghitung bahwa jumlah bintang Tsurayya itu ada sebelas. Banyak hadis yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. pada suatu hari mengajak Rukanah masuk Islam. Rukanah adalah orang yang paling kuat pada masa itu. Akan tetapi, Rukanah menolak kecuali bila Nabi saw. dapat mengalahkannya dalam bergulat. Akhirnya beliau dapat menjatuhkannya.

 

Sahabat Abu Hurairah r.a. dalam salah satu hadisnya menceritakan: Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih cepat jalannya daripada Rasulullah saw., seolah-olah bumi ini melipatkan diri untuknya.

 

Sesungguhnya kami sangat payah mengimbanginya dalam berjalan, sedangkan dia tidak menghiraukannya sama sekali.

 

Sehubungan dengan sifat Rasulullah saw. telah disebutkan bahwa tertawanya hanyalah berupa senyuman: bilamana berpaling, tubuhnya pun ikut memalingkan dirinya, dan bilamana berjalan, langkah-langkahnya tegap. Adapun mengenai kefasihan lisan dan paramasastra pembicaraannya dia menduduki tempat paling utama. Gaya bahasa Rasulullah saw. dalam percakapannya mudah dicerna, lihai dalam membuat istilah, ringkas, fasih, anggun, makna yang tepat dan tidak dibuat-buat. Dia dianugerahi kalimat-kalimat yang bermakna global dan mempunyai keistimewaan lihai dalam membuat kata-kata yang bijak serta mempunyai pengetahuan yang mencakup semua dialek bahasa Arab.

 

Dia selalu berbicara dengan setiap kabilah sesuai dengan dialek yang mereka pakai dan menyaingi paramasastra mereka, serta berbicara dengan bahasa yang populer di kalangan mereka, sehingga banyak sahabat yang bertanya kepadanya tentang arti dan penafsiran pembicaraannya, bukan hanya satu-dua kali. Barang siapa merenungkan pembicaraannya dan menekuninya, niscaya ia akan mengetahui dan dapat membuktikan hal tersebut. Pembicaraan Nabi saw. dengan orang-orang Quraisy tidaklah seperti pembicaraannya dengan kabilah-kabilah Hadhramaut, raja-raja negeri Yaman, dan para penguasa negeri Najed. Dia selalu berbicara terhadap setiap kabilah sesuai dengan apa yang dianggap baik di kalangan mereka dalam hal kata-kata dan paramasastranya. Dengan demikian Nabi saw. dapat menjelaskan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya dia dapat berbicara dengan mereka sesuai dengan apa yang biasa berlaku di kalangan mereka.

 

Adapun mengenai pembicaraan sehari-harinya, kefasihan bahasanya yang mudah dipahami dan keglobalan pembicaraannya banyak dihimpun di dalam kitab-kitab, dan lafazh-lafazh serta makna-maknanya diabadikan di dalamnya. Di antaranya adalah pembicaraan-pembicaraan yang langka tandingannya dalam hal kefasihan bahasa dan paramasastranya seperti kata-katanya:

 

Darah kaum Muslimin itu sebanding, orang yang paling rendah dari mereka dapat memberikan jaminannya, mereka bagaikan satu tangan terhadap orang-orang selain mereka. Perkataan-perkataan Rasulullah saw., Manusia itu bagaikan gigi-gigi sisir.

 

Seseorang itu (kelak di akhirat) akan bersama orang yang dicintainya.

 

Tiada baiknya engkau berteman dengan seseorang yang memandang dirimu tidak sebagaimana pandanganmu terhadap dirinya.

 

Manusia itu bagaikan benda-benda dari logam.

 

Tidaklah akan binasa seseorang yang mengetahui bobot dirinya.

 

Penasihat itu orang yang dipercaya.

 

Semoga Allah mengasihi seorang hamba yang berkata baik kemudian ia memperoleh kebaikan, atau ia diam kemudian memperoleh keselamatan.

 

Masuk Islamlah, niscaya engkau akan selamat: dan masuk Islamlah, niscaya Allah akan memberi pahala dua kali lipat kepadamu.

 

Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat tempat kedudukannya di antara kalian kelak pada hari kiamat ialah di antara kalian yang paling baik akhlaknya lagi merendahkan diri, yaitu orang-orang yang mencintai orang lain dan dicintai oleh orang lain.

 

Supaya ia mengatakan apa yang tidak ada urusan dengannya atau bersikap bakhil terhadap apa yang ia telah berkecukupan daripadanya.

 

Orang yang bermuka dua kelak (pada hari kiamat) tidak akan dapat berhadapan dengan Allah.

 

Demikian pula perkataan Rasulullah saw. sehubungan dengan larangannya terhadap perbuatan gil dan gal, banyak bertanya, gemar menyianyiakan harta, dan larangannya terhadap perbuatan hat (berikanlah), menyakiti ibu, dan mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup.

 

Rasulullah saw. telah bersabda:

 

Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada: imbangilah perbuatan buruk dengan amal baik, niscaya amal baik akan menghapus perbuatan buruknya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. Dan perkara yang sebaik-baiknya adalah yang paling perte. ngahan.

 

Cintailah kekasihmu biasa saja, barangkali dia kelak akan menjadi orang yang engkau benci. Perbuatan zalim itu (akan menjadi) kegelapan yang pekat pada hari kiamat (nanti).

 

Rasulullah saw. dalam salah satu doanya mengatakan:

 

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rahmat yang dapat memberikan petunjuk kepada hatiku, yang dapat menghimpun perkaraku, yang dapat merapikan kekacauanku, yang dapat memperbaiki semua keinginanku, yang dapat membersihkan amalku, yang dapat memberikan ilham kepada jalan petunjuk, yang dapat mengembalikan kecintaanku, dan yang dapat memelihara diriku dari semua perbuatan jelek. Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu keberuntungan di dalam gadha-Mu, kedudukan para syuhada, kehidupan yang bahagia, dan kemenangan atas musuh-musuh(-Mu).

 

Masih banyak lagi hal lain yang diceritakan oleh para ulama tanpa kecuali berupa ceramah-ceramah, khotbah-khotbah, doa-doa, surat-surat, dan perjanjian-perjanjian yang telah dibuatnya. Semuanya itu secara sepakat menyimpulkan bahwa Nabi saw. dalam hal ini menduduki tempat yang tiada bandingannya dan menjadi pendahulu yang tak dapat digambarkan keagungannya.

 

Pada suatu hari para sahabat berkata kepada Rasulullah saw. “Kami belum pernah melihat seseorang yang lebih fasih dasipada engkau.” Rasulullah saw. menjawab, “Tiada sesuatu pun yang dapat mencegahku karena sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan memakai bahasaku, yaitu bahasa Arah yang jelas.” Dalam riwayat yang lain ditambahkan, “Hanya saja aku berasal dari kabilah Quraisy dan aku ditumbuhkan di Kalangan Bani Sa’d.” Dengan demikian terhimpunlah di dalam dirinys daya talar bahasa orang Badui dan keanggunan gaya bahasanya. Hal ter

 

sebut dibarengi pula oleh kecemerlangan kata-kata orang perkotaan dav keindahan gaya bahasanya. Hal itu diperkuat oleh dukungan Illahi melalw wahyu-Nya yang tidak dapat diliputi oleh ilmu manusia.

 

Adapun mengenai keagungan nasab (keturunan) Nabi saw. dan kemujaan negeri tempat ia dibesarkan tidak perlu bukti lagi karena sudah jelas dan tidak diragukan. Rasulullah saw. berasal dari keturunan Bani Hasyim, salah satu golongan dari kabilah Quraisy, dan bahkan merupakan intinya. Ayah dan ibu Rasulullah saw. berasal dari golongan orang Arab yang paling terhormat dan paling dimuliakan, dan tempat kelahirannya adalah kota Makkah yang disucikan oleh Allah swt. buat hamba-hambaNya. Penjelasan secara rinci telah kami kemukakan pada permulaan kitab ini, karena itu kami tidak akan mengulanginya kembali.

 

Adapun mengenai hal-hal yang terdorong oleh keharusan dalam hidup, sikap Rasulullah saw. dalam hal ini antara lain ada yang dinilai utama bilamana sedikit, dan ada yang dinilai utama bilamana banyak, dan ada pula hal-hal yang penilaiannya bergantung pada situasi dan kondisi. Mengenai jenis yang pertama, yaitu sesuatu yang dinilai utama bilamana sedikit, menyangkut masalah makan dan tidur.

 

Sehubungan dengan kedua hal itu orang-orang Arab dan orang-orang yang bijak pada zaman dahulu menganggap bahwa mengurangi diri dari kedua hal tersebut merupakan suatu hal yang terpuji, sedangkan memperbanyak diri dari kedua hal tersebut merupakan hal yang tercela. Terlalu banyak makan dan minum mencerminkan bahwa pelakunya berwatak rakus, tamak, buas, dan selalu memperturutkan kemauan hawa nafsu, dapat menyebabkan kemudaratan di dunia dan akhirat, mengundang banyak penyakit pada tubuh, kekeruhan dalam jiwa, dan tersumbatnya pemikiran. Mempersedikit diri dalam hal tersebut merupakan cermin bahwa pelakunya bersifat menerima apa adanya, dapat menguasai diri, dan dapat menekan hawa nafsunya. Kemudian hal ini akan mendatangkan kesehatan, kejernihan hati, dan ketajaman berpikir. Sebagaimana terlalu banyak tidur merupakan cermin yang menunjukkan bahwa pelakunya orang yang malas, lemah, tidak pandai, dan tidak cerdik. Tentu saja kebanyakan tidur dapat menyebabkan malas, lemah, menyia-nyiakan umur untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, dapat menyebabkan hati menjadi keras, lali, dan mati

 

Sehubungan dengan hal ini Rasulullah saw. berkata dalam salah satu hadis:

 

Tiada wadah yang dipenuhi oleh anak Adam (manusia) yang lebih jelek daripada perutnya sendiri. Cukuplah bagi anak Adam hanya beberapa suap (makanan) guna menegakkan tulang shulbinya (menguatkan badannya). Apabila tidak ada pilihan lain baginya, maka sepertiga dari (perut)-nya untuk makanannya, dan sepertiga lagi untuk minumannya, serta sepertiga yang lain untuk napasnya.

 

Lagi pula banyaknya tidur itu diakibatkan oleh terlalu banyak makan dan minum. Siti ‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa perut Nabi saw. sama sekali belum pernah penuh karena kekenyangan. Bilamana berada di rumah istri-istrinya, ia belum pernah meminta kepada mereka makanan, dan tidak pula mengemukakan keinginannya untuk makan. Bilamana mereka memberinya makan, ia memakannya: dan bilamana mereka tidak memberinya makan, ia diam saja, dan bilamana mereka memberinya minum, ia minum. Dalam sebuah hadis yang sahih disebutkan bahwa Nabi saw. pernah berkata:

 

Adapun aku, belum pernah makan sambil bersandar.

 

Pengertian kata al-ittika (bersandar) pada hadis di atas ialah duduk dengan posisi yang memberikan keleluasaan untuk makan banyak, seperti bersila dan cara duduk yang serupa. Duduk dalam posisi tersebut dapat memberikan dorongan untuk makan banyak, dan sesungguhnya duduk yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika makan ialah duduk dalam posisi yang tidak memberikan keleluasaan untuk makan banyak. Nabi saw. berkata:

 

Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, aku makan bagaikan seorang hamba sedang makan.

 

Demikian pula tidur Rasulullah saw. sangat sedikit. Dalam hal ini ia telah berkata pula:

 

Sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur. Adapun mengenai hal-hal yang dinilai utama bilamana banyak, sebagai contohnya ialah kedudukan. Kedudukan merupakan suatu hal yang terpuji di kalangan orang-orang yang berakal, demikianlah kebiasaannya. Ia ditentukan oleh kadar kehormatan dan keagungan seseorang di hati orangorang banyak. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. berfirman mengenai sifat Nabi ‘Isa a.s., yaitu :

 

Seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat. (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 45)

 

Nabi saw. telah dianugerahi sifat disegani, dikagumi oleh hati masyarakat, dan diagungkan. Hal ini telah menyatu dengan pribadinya sejak Zaman Jahiliah dan sesudahnya. Kaumnya mendustakan dan menyakiti para sahabatnya serta secara diam-diam mereka bermaksud mencelakakannya. Apabila mereka bertujuan demikian, lalu berhadap-hadapan dengannya, maka keadaan menjadi sebaliknya, lalu mereka segan terhadapnya dan mau memberikan kepadanya apa yang diperlukannya seperti yang sering kami sebutkan di muka.

 

Seseorang yang belum pernah mengenalnya, ketika pertama kali memandangnya ia langsung akan gemetar dan gugup karena melihatnya, seperti sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Qublah. Disebutkan dajam hadis tersebut bahwa ketika pertama kali QGublah melihat Nabi saw. ia menjadi gugup dan gemetar, lalu Rasulullah saw. berkata kepadanya:

 

Kasihan engkau ini, tenanglah.

 

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Mas’ud disebutkan bahwa ada seorang lelaki ketika berhadapan dengan Rasulullah saw. karena ada suatu keperluan, tiba-tiba tubuhnya gemetar karena ketakutan. Lalu Rasulullah saw. berkata kepadanya:

 

Tenanglah engkau, karena sesungguhnya aku bukanlah seorang raja. Adapun derajat yang agung oleh sebab kenabian, kedudukan yang mulia karena kerasulan, dan pangkat yang tinggi oleh sebab menjadi makhluk yang terpilih dan dimuliakan di dunia, mencapai puncak kesempurnaannya, sedangkan di akhirat dia adalah penghulu umat manusia.

 

Hal-hal yang penilaiannya berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi, dalam arti kata bahwa hal tersebut dapat dijadikan sebagai subjek pujian dan kebanggaan serta keutamaan, sebagai contoh ialah harta benda. Pemilik harta benda semuanya dihormati oleh kalangan awam karena mereka mempunyai keyakinan bahwa harta benda itu dapat mengantarkan pemiliknya untuk meraih keperluan dan untuk mencapai tujuan. Apabila tidak demikian, maka ia bukan merupakan keutamaan. Bilamana harta benda itu seperti demikian, kemudian pemiliknya membelanjakannya untuk kepentingan dirinya dan kepentingan orang-grang yang menjadi tujuan dan dambaannya, maka ia membelanjakannya pada tempat yang Sebenarnya dengan tujuan untuk memperoleh keluhuran dan pujian yang baik serta tempat di hati. Berarti harta benda tersebut merupakan keutamaan bagi pemiliknya menurut penduduk dunia. Apabila pemilik harta membelanjakannya untuk tujuan-tujuan kebajikan dan ia mengintakannya ke jalan kebaikan dengan tujuan mencari keridaan Allah dan pahala di akhirat, maka harta benda merupakan keutamaan bagi pemiliknya dalam semua kondisi dan situasi menurut penilaian seluruhnya.

 

Bilamana pemilik harta benda memegangnya erat-erat tanpa membelanjakannya kepada hal-hal yang semestinya karena sangat getol mengumpulkannya, maka memiliki harata yang banyak sama saja dengan tidak mempunyai harta sama sekali, dan merupakan aib dan cela bagi pemiliknya karena ia tidak menggunakannya untuk keselamatan dirinya, bahkan menggunakannya sebagai sarana untuk menjerumuskan dirinya ke dalam jurang kekikiran dan keajaiban yang hina.

 

Harta benda bukanlah tujuan melainkan sarana untuk meraih hal yang lain dan untuk meng-infak-kannya ke jalan yang sebenarnya, sesuai dengan fungsinya. Nabi kita telah diberi semua perbendaharaan bumi dan kunci berbagai negeri: semua ghanimah telah dihalalkan baginya, dan semasa hidupnya telah dibukakan untuknya negeri Hijaz, Yaman, dan semua kawasan Jazirah Arabia serta negeri-negeri yang berdekatan seperti Syam dan negeri Irak juga diserahkan kepadanya semua harta khumus, Jizyah, dan zakat dari negeri-negeri tersebut sebagaimana telah dihadiahkan kepadanya dari kebanyakan raja yang berada di Jazirah Arabia. Akan tetapi, ia tidak pernah menggunakan sesuatu pun untuk kepentingan pribadinya, dan tidak pernah pula ia memegang satu dirham pun yang tidak dibelanjakannya kepada hal-hal yang semestinya, dan menginfakkannya untuk diri orang lain serta untuk memperkuat kaum Muslimin. Rasulullah saw. telah berkata:

 

Tidaklah aku merasa gembira andaikata aku mempunyai emas sebanyak Gunung Uhud, lalu ada satu dinar daripadanya yang sempat menginap di sisiku, yang tidak aku infak-kan untuk kepentingan agamaku. Pada suatu hari Rasulullah saw. mendapat banyak uang dinar sehingga hatinya merasa tidak tenang, karena itu beliau cepat-cepat membagi-bagikan nya dan disisakannya sedikit, sisa yang sedikit itu pun langsung beliau bagikan kepada istri-istrinya, setelah itu beliau berkata: “Sekarang aku merasa tenang”.

 

Sewaktu Rasulullah saw. wafat, baju besi miliknya masih dalam keadaan tergadai untuk menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Dalam hal nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, ia selalu membatasi diri hanya pada keperluan yang penting saja. Hal-hal yang lebih dari itu selalu dijauhinya. Dia selalu berpakaian apa adanya. Sebagian besar pakaiannya terdiri dari kain tenun yang sederhana dan kain bulu yang kasar. Dia membagi-bagikan kain-kain sutera yang diberi bordelan benang emas kepada orang-orang yang hadir di hadapannya, dan mengirimkannya kepada orang-orang yang tidak hadir di antara para sahabat. Seperti yang telah pembaca saksikan sendiri, Rasulullah saw. telah memperoleh keutamaan dari harta benda miliknya dengan cara menjauhinya dan menginfak-kannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

 

Adapun watak yang bersifat kasbi, berupa akhlak yang terpuji dan etika yang mulia, semuanya tersimpul ke dalam kategori akhlak yang baik. Semuanya telah berada di dalam diri Nabi saw. dalam bentuk yang sangat sempurna dan stabil sehingga Allah swt. sendiri memujinya melalui firman-Nya:

 

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Q.S. 68 Al-Galam: 4)

 

Siti ‘Aisyah r.a. telah meriwayatkan dalam salah satu hadis:

 

Akhlak Rasulullah adalah Al-Quran: ia rida demi Al-Quran, dan ia marah demi Al-Quran (pula).

 

Rasulullah saw. dalam salah satu hadis telah berkata:

 

Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia. Sahabat Anas r.a. dalam hadis yang diriwayatkannya mengatakan:

 

Rasulullah saw. adalah orang yang paling baik akhlaknya.

 

Bagi Rasulullah saw., semua(nya) etika yang mulia tadi adalah seperti yang terdapat pula di dalam diri saudara-saudaranya yang terdiri dari para nabi. Mereka telah diciptakan mempunyai watak yang mulia itu, kemudian semakin mengakar di dalam diri mereka, dan sentuhan-sentuhan dari Allah yang datang secara beruntun membuat cahaya pengetahuan makin bersinar cemerlang di dalam hati mereka. Setelah itu mereka dapat mencapai tujuan dan berhasil meraih derajat kenabian di dalam mengamalkan akhlak yang mulia itu tanpa batas dan latihan. Akhlak yang terpuji dan watak yang indah ini cukup banyak, tetapi kami akan mengetengahkan pokok-pokoknya saja dan mengisyaratkan seginya saja untuk menyatakan sifat Rasulullah saw. yang mencakup kesemuanya itu seperti pembahasan berikut ini.

 

Pokok cabangnya, unsur sumbernya, dan titik lingkarannya adalah akal. Dari akal muncullah ilmu dan pengetahuan, dan dari akal serta pengetahuan timbullah ketajaman pandangan, kepandaian yang cemerlang, ketepatan dalam berpikir, dugaan yang tepat, dapat melihat akibat segala sesuatu dan kemaslahatan diri. Ilmu dan pengetahuan itu dapat pula mendorong kemampuan pemiliknya dalam melawan hawa nafsu dirinya, me. miliki giasat dan pengaturan yang baik, dan selalu mencari keutamaan serta menjauhi kerendahan. Dalam hal ini Rasulullah saw. telah mencapai puncak kesempurnaan yang belum pernah dicapai oleh manusia lainnya. Hal tersebut dapat diketahui oleh orang yang mau menelusuri sejarah kehidupannya, hadis-hadis yang diucapkannya, akhlak-akhlaknya yang baik, serta semua sepak terjangnya yang menakjubkan. Dapat pula diketahui melalui hikmah-hikmah yang terkandung dalam hadis-hadisnya, pengetahuannya mengenai isi kitab Taurat, kitab Injil, dan kitab-kitab yang diturunkan Allah swt., yang dapat diketahui melalui pengetahuannya tentang hikmah-hikmah yang dikatakan oleh orang-orang yang bijak, pengetahuannya tentang perjalanan umat-umat terdahulu dan kejadian-kejadian yang telah dialami oleh mereka. Hal itu dapat diketahui melalui tamsil-tamsil yang telah dikemukakannya, kebijaksanaannya dalam mengatur umat manusia, ketetapan-ketetapan syariat yang telah diputuskannya, dan melalui akhlak-akhlak yang agung serta sifat-sifat yang terpuji, di samping berbagai cabang ilmu yang menggunakan kata-kata Nabi saw. sebagai teladan dan hujjah bagi orang-orang yang menekuninya. Cabang-cabang ilmu tersebut ialah ilmu tabib, ilmu hisab, ilmu faraidh (bagi waris), ilmu nasab (keturunan), dan lain-lain yang semuanya dapat di kuasai oleh Nabi saw. tanpa melalui proses pendidikan, tanpa belajar, tanpa membaca kitab-kitab umat terdahulu, dan pula tanpa bergaul dengan para ulama mereka. Dia adalah seorang nabi yang ummi dan tidak mengetahui sedikit pun tentang hal-hal tersebut, tetapi Allah swt. melapangkan dadanya dan menjelaskan hal-hal tersebut kepadanya serta mengajarkannya kepadanya.

 

Semua pengetahuan Rasulullah saw. yang bersumberkan akalnya sendiri ditunjang pula oleh semua yang telah diajarkan Allah swt. dan apa yang diperlihatkan kepadanya, berupa ilmu mengenai yang bakal terjadi dan yang telah terjadi serta mengenai keajaiban-keajaiban kekuasaan Allah serta kebesaran kerajaan-Nya. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. telah berfirman:

 

Dan Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan karunia Allah sangat besar atasmu. (Q.S. 4 An-Nisa: 113)

 

Adapun sifat penyantun, menguasai diri, pemaaf, mampu dan sabar dalam menghadapi semua hal yang tidak disukai, termasuk etika yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi-Nya. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. telab berfirman:

 

Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Q.S. 7 Al-A’raf: 199)

 

Kemudian Rasulullah saw. bertanya kepada malaikat Jibril a.s. tentang penakwilan ayat di atas. Malaikat Jibril a.s. menjawab: Hai Muhammad, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu supaya kamu menghubungkan silaturrahim kepada orang yang memutuskannya dari kamu, dan hendaknya kamu memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, serta hendaknya engkau memaafkan orang yang telah berbuat aniaya kepada dirimu. Allah swt. berfirman :

 

Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa dirimu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. 81 Lugman: 17)

 

Berfirman pula dalam ayat lainnya:

 

Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.5. 24 An-Nur: 22)

 

 

 Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (Q.S. 42 AsySyura: 43).

 

Banyak sekali hadis yang menceritakan tentang diri Nabi saw. bahwa di dalam dirinya telah terdapat sifat tersebut dalam bentuk yang paling sempurna. Tiada seorang pun yang memiliki sifat penyantun yang tidak pernah berbuat suatu kealpaan dan kekeliruan. Sedangkan Nabi kita, sekalipun banyak menerima perlakuan yang menyakitkan, hanya semakin menambah kesabarannya, dan dalam menghadapi orang yang bersikap tidak mengerti tentang keadaan dirinya, ia sangat penyantun. Siti ‘Aisyah r.a. dalam salah satu hadis yang diriwayatkannya telah menceritakan:

 

Belum pernah sama sekali Rasulullah saw. disuruh memilih antara dua perkara, sementara ia tidak memilih perkara yang paling mudah di antara keduanya selagi hal itu bukan merupakan perkara yang berdosa, Maka apabila ternyata hal tersebut adalah perbuatan yang berdosa, dia adalah orang yang paling menjauhinya. Dan dia belum pernah membalas untuk pribadinya, kecuali bila larangan Allah dilanggar, pada saat itu dia membalas karena Allah.

 

Ketika kaum musyrikin melakukan pukulan yang berat terhadap kaum Muslimin dalam Perang Uhud, kemudian Rasulullah saw. diminta untuk berdoa kepada Allah untuk kebinasaan mereka, ternyata yang dikatakan dalam doanya adalah seperti berikut ini:

 

Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui (kebenaran).

 

Untuk dijadikan sebagai bukti, cukuplah dalam hal ini apa yang telah dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy. Mereka telah menyakiti dan menghina serta mengusirnya bersama para sahabat dari tanah tumpah darahnya, kemudian mereka memeranginya dan bahkan menganjurkan kepada orang-orang selain mereka yang terdiri dari kaum musyrikin Arab untuk memeranginya, sehingga terbentuklah golongan yang bersekutu dari kaum musyrikin. Akan tetapi, setelah Allah swt. menganugerahkan kepadanya pembukaan kota Makkah, maka sikap yang diambil tidak lebih dari memberi maaf dan ampunan. Dia berkata kepada mereka yang telah ditaklukkan, “Bagaimana menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap diri kalian?” Mereka menjawab, “Baik-baik saja karena engkau adalah saudara yang mulia dan anak saudara kami yang mulia (pula).” Rasulullah saw. hanya berkata kepada mereka:

 

Pergilah, sekarang kalian adalah orang-orang yang bebas.

 

Sahabat Anas r.a. menceritakan bahwa pada suatu hari ia bersama Nabi saw. yang pada saat itu memakai selendang yang terbuat dari kain yang kasar. Kemudian datang seorang Badui yang langsung menarik selendangnya dengan kasar sekali sehingga kain selendang jtu membuat bekasbekas memerah pada lehernya. Lalu lelaki Badui itu berkata, “Hai Muhammad, berikanlah kepadaku sebagian dari harta Allah yang ada padamu untuk aku muatkan pada dua ekor unta milikku ini. Sebab se sungguhnya engkau memberi kepadaku bukan dari hartamu sendiri dar bukan pula dari harta orang tuamu.” Ketika itu Nabi saw. diam sejenak, lalu berkata, “Harta ini adalah milik Allah dan aku adalah hamba-Nya.” Selanjutnya dia berkata, “Engkau akan dibalas sesuai dengan perbuatar engkau terhadap diriku.” Lelaki Badui itu menjawab, “Tidak mungkin.” Rasulullah saw. bertanya, “Mengapa tidak mungkin” Lelaki Badui itu berkata, “Karena sesungguhnya engkau tidak akan membalas keburukan dengan keburukan yang lain.” Rasulullah saw. tertawa setelah mendengar jawaban lelaki badui itu, kemudian ia memerintahkan supaya dimuatkan kepada salah seekor unta milik Badui itu gandum, dan unta miliknya yang lain supaya dimuati kurma.

 

Di antara sifat yang dimiliki Rasulullah saw. adalah berani dan suka menolong. Kedua sifat itu seperti yang dikisahkan oleh Siti ‘Aisyah r.a., “Aku belum pernah melihat Rasulullah saw. melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berbuat aniaya terhadapnya selagi hal itu bukan merupakan pelanggaran terhadap apa-apa yang telah dilarang oleh Allah swt. Dia belum pernah memukul seseorang dengan tangannya kecuali dalam berjihad di jalan Allah. Dia belum pernah memukul pembantunya dan belum pernah pula memukul istrinya.” Akhirnya Allah swt. mencurahkan shalawat-Nya kepadanya dan membuat hatinya menjadi senang karena sikapnya itu diikuti oleh kaum Muslimin.

 

Adapun sifat kedermawanan, kebaikan dan kemurahan serta rasa toleransinya Rasulullah saw. merupakan contoh yang utama bagi akhlak yang mulia. Tiada seorang pun yang dapat menandinginya. Hal ini diungkapkan oleh orang-orang yang telah melihat langsung dan mengenalnya dengan baik. Sahabat Jabir r.a. menceritakan dalam salah satu hadis yang diriwayatkannya:

 

Rasulullah saw. belum pernah diminta sesuatu, lalu dia menjawab,

 

“Tidak.”

 

Sahabat Ibnu ‘Abbas r.a. telah menceritakan pula:

 

Rasulullah saw. adalah orang yang paling dermawan dalam hal kebaikan (harta benda), dan lebih dermawan lagi dalam bulan Ramadan.

 

Apabila malaikat Jibril menemuinya, maka dia lebih dermawan daripada angin yang berhembus sepoi-sepoi basa.

 

Siti Khadijah r.a. menceritakan tentang sifat Nabi saw. pada saat ia berbicara kepadanya, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang suka menanggung beban penderitaan (orang lain) dan suka berusaha demi orang yang tidak punya.”

 

Kiranya cukup untuk dijadikan sebagai bukti dalam hal ini apa yang telah dilakukan Rasulullah terhadap orang-orang Hawazin, yaitu tentang pengembalian para tawanan mereka. Apa yang telah dilakukannya ketika membagi-bagi ghanimah, ketika ia memberikan bagian yang besar kepada Orang-orang yang hatinya dilunakkan untuk masuk Islam. Hal ini telah kami bahas secara rinci. Pada suatu hari disuguhkan kepada Rasulullah saw. uang logam sebanyak sembilan puluh ribu keping, lalu ia langsung membagi-bagikannya dan ia baru pergi setelah semuanya habis terbagikan, Pada suatu hari datang menghadap seorang lelaki. Lelaki itu meminta sesuatu kepadanya. Ia menjawab, “Aku sedang tidak mempunyai sesuatu pun yang dapat aku berikan kepada engkau, tetapi jangan khawatir, aku anggap hal ini sebagai hutangku kepada engkau. Nanti, bila aku mendapat sesuatu, akan kubayarkan kepada engkau. “Sahabat ‘Umar r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, Allah tidak membebankan kepada engkau hal-hal yang di luar kemampuan engkau.” Hal itu membuat Rasulullah saw. tidak senang, tetapi tiba-tiba seorang lelaki dari kalangan sahabat Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, ber-infak-lah, janganlah engkau takut dikurangi oleh Zat yang menguasai ‘arasy (Allah).” Perkataan itu membuat wajah Rasulullah saw. berseri, lalu ia berkata “Memang demikianlah aku diperintahkan.”

 

Berita-berita yang menceritakan kedermawanan dan kemurahannya memang cukup banyak. Kami cukupkan hal ini dengan pembahasan tadi sebagai bukti supaya diketahui.

 

Rasulullah saw. telah banyak mengikuti keadaan yang amat sulit dalam peperangan. Pada saat itu semua orang kuat dan para pendekar perang sering sekali lari meninggalkan Rasulullah saw. Akan tetapi Rasulullah saw. tetap teguh bertahan menghadapi musuh dan tidak lari serta tidak goyah dari posisinya dalam berbagai peperangan. Tiada seorang pun yang dibilang pemberani yang tidak pernah terpukul mundur dan tidak pernah melarikan diri kecuali Rasulullah saw. Kiranya cukup untuk dijadikan bukti apa yang telah dilakukan Rasulullah saw. dalam Perang Hunain dan Perang Uhud seperti yang telah kami jelaskan di muka. Dalam hal ini Sahabat ‘Abdullah ibnu ‘Umar r.a. menceritakan, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berani, lebih suka menolong, dan lebih rela daripada Rasulullah saw.” Sahabat ‘Ali r.a. menceritakan pula, “Sesungguhnya, apabila keadaan sangat kritis dalam suatu peperangan dan suasana peperangan sedang berkecamuk dengan hebatnya, kami berlindung di belakang Rasulullah. Pada saat itu tiada seorang pun dari kaum Muslimin yang lebih dekat kepada musuh daripada Rasulullah. Aku telah menyaksikan dalam Perang Badar, kami semua berlindung di belakang Rasulullah saw. Dia adalah orang yang paling dekat dengan musuh di antara kami, dan pada saat itu dia adalah orang yang paling hebat dalam peperangan.” Sahabat Anas dalam hal ini menceritakan bahwa Rasulullab saw. adalah orang yang paling berani, paling baik, dan paling dermawan. Pada suatu hari penduduk kota Madinah dilanda prahara. Pada saat itu hari telah malam. Semua orang berangkat menuju ke arah sumber suara yang gemuruh itu seraya membawa senjata masing-masing. Akan tetapi, mereka bersua dengan Rasulullah saw. yang baru saja kembali dari sumber suara tersebut. Ternyata dia telah mendahului mereka. Pada saat itu Rasulullah saw. menaiki kuda milik Abu Thalhah yang tidak berpelana, sedangkan pedangnya tergantung di leher kuda. Lalu Rasulullah saw. menenangkan mereka dengan berkata, “Kalian tidak usah takut, tidak ada apa-apa.”

 

Mengenai sifat malu dan merundukkan pandangan mata, Rasulullah saw. adalah orang yang paling pemalu dan paling merundukkan pandangan mata terhadap aurat. Sahabat Abu Sa’id alKhudri sehubungan dengan hal ini telah menceritakan, “Rasulullah saw. adalah orang yang lebih pemalu daripada gadis pingitan. Bilamana ia tidak menyukai sesuatu, hal itu dapat kami ketahui melalui roman mukanya, dan dia adalah orang yang lemah lembut lagi ramah-tamah. Dia belum pernah memperlihatkan kepada seseorang hal-hal yang tidak disukainya karena kemuliaan jiwanya dan karena malu.”

 

Siti ‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah saw., apabila mendengar berita tentang seseorang yang tidak disukainya, tidak mengatakan mengapa si Fulan berlaku demikian dan demikian. Akan tetapi, yang Dikatakannya adalah, apakah gerangan yang telah dilakukan atau yang telah dikatakan oleh kaum hingga ia berani melakukan atau mengatakan demikian. Kala itu ia tidak menyebutkan pelakunya secara tertentu tetapi memakai ungkapan yang bersifat menyeluruh dengan maksud melarangnya.

 

Siti ‘Aisyah r.a. menceritakan pula bahwa Rasulullah saw. tidak pernah berkata buruk dan tidak pernah memburuk-burukkan orang lain. Ia tidak pernah berkata gaduh di pasar-pasar yang dilaluinya, dan tidak pernah membalas perbuatan buruk dengan perbuatan buruk yang lainnya. Dia adalah pemaaf dan mengampuni orang yang berlaku buruk terhadapnya.

 

Mengenai kebaikannya dalam bergaul dan sopan santun serta akhlaknya yang mulia bersama berbagai macam manusia, banyak disebutkan dalam hadis-hadis yang sahih. Sehubungan dengan hal ini Sahabat ‘Ali r.a. menceritakan bahwa Rasulullah saw. adalah orang yang paling lapang dadanya, paling jujur dalam berbicara, paling lembut sikapnya, dan paling mulia akhlaknya dalam bergaul. Rasulullah saw. adalah orang yang dapat membuat orang-orang rukun dan tidak membuat mereka merasa antipati terhadapnya. Dia memuliakan setiap orang yang mulia di kalangan kaumnya, kemudian dia mengangkatnya menjadi pemimpin kaumnya. Rasulullah saw. memberikan peringatan kepada umat manusia dan bersikap waspada terhadap mereka tanpa mendiskreditkan seorang pun dari kalangan mereka tentang kejelekan dan akhlak yang telah dilakukannya. Dia selalu memeriksa keadaan para sahabatnya dan selalu memberikan kepada setiap teman duduknya bagian yang selayaknya diperolehnya sehingga tidak ada seorang pun dari tempat duduknya yang merasakan bahwa ada seseorang yang lebih dimuliakan daripada dirinya di antara orang-orang yang duduk bersamanya, atau di antara kerabatnya yang datang karena suatu keperluan yang sengaja ditahannya sehingga orang itu pergi daripadanya. Siapapun yang meminta kepadanya suatu keperluan belum pernan ditolaknya. Ia berhasil memperoleh keperluannya itu atau ia hanya memperoleh nasihat yang baik. Kelapangan dada dan akhlaknya membuat diri Nabi saw. menjadi tempat mengadu bagi semua orang sehingga jadilah ia bagaikan ayah mereka dan mereka mempunyai hak dan perlakuan yang sama di sisinya. Oleh sebab itu, Ibnu Abu Halah menggambarkan sifatnya bahwa ia adalah orang yang selalu gembira, mudah dalam bergaul dan lemah lembut, tidak keras, tidak kasar, tidak gaduh, tidak buruk, tidak mencela, dan tidak banyak memuji. Dia selalu melupakan hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi orang-orang tidak pernah merasa putus harapan terhadapnya. Sehubungan dengan sifat Rasulullah saw. Allah swt. berfirman: –

 

Maka karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 159)

 

Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia. Q.S. 41 Fushshilat: 34

 

Disebutkan bahwa Rasulullah saw. selalu memenuhi orang-orang yang mengundangnya dan selalu menerima hadiah sekalipun dalam bentuk kaki kambing, lalu ia langsung membalas hadiah itu. Telah disebutkan pula bahwa dia senang bergurau dengan para sahabatnya, bergaul dengan mereka dan berbincang-bincang bersama mereka, serta senang bermain dengan anak-anak mereka dan mendudukkan anak-anak mereka pada pangkuannya. Dia selalu memenuhi undangan orang merdeka, hamba sahaya lelaki, hamba sahaya perempuan, dan orang miskin. Dia selalu menjenguk teman-temannya yang sakit sekalipun rumahnya jauh dari batas kota Madinah, dan dia selalu menerima alasan orang yang diajukan kepadanya.

 

Sahabat Anas ibnu Malik r.a. menceritakan bahwa belum pernah ada seorang pun yang mengemukakan alasannya di hadapan Rasulullah untuk mendapat izin daripadanya, kemudian Rasulullah saw. memalingkan mukanya, kecuali setelah orang itu memalingkan mukanya terlebih dahulu. Belum pernah ada seorang pun yang berjabat tangan dengan Rasulullah saw. kemudian dia melepaskan tangannya sebelum orang itu lebih dahulu melepaskan tangannya. Rasulullah saw. selalu mulai lebih dahulu mengucapkan salam kepada orang-orang yang bertemu dengannya. Bilamana bertemu dengan para sahabatnya, ia selalu yang lebih dahulu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan mereka.

 

Disebutkan pula bahwa dia belum pernah mengulurkan kakinya di antara para sahabatnya sehingga ada orang yang merasa kesempitan karenanya. Rasulullah saw. selalu memuliakan orang yang bertamu kepadanya, dan terkadang ia menggelarkan pakaian atau bantal yang didudukinya, kemudian mempersilakan tamunya itu duduk di atasnya sekalipun tamunya menolak. Dia selalu memanggil para sahabatnya dengan nama panggilan yang disukai mereka sebagai penghormatan kepada mereka, dan belum pernah ia memotong pembicaraan seorang pun sebelum ia selesai pembicaraannya: setelah itu baru ia menjawabnya, baik dengan larangan ataupun dengan perintah. Disebutkan pula bahwa Rasulullah saw. adalah orang yang paling banyak senyum dan paling baik budinya selain ketika sedang menerima wahyu Al-Qur’an atau sedang memberi nasihat atau sedang berkhotbah.

 

Rasa belas kasihan, rasa penyayang dan sifat rahmatnya terhadap se mua makhluk digambarkan Allah swt. melalui firman-Nya:

 

Berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (Q.S. 9 At-Taubah: 128)

 

Dan tiadalah Karni mengutus kamu selain untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S. 21 Al-Anbiya: 107)

 

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa pada suatu hari ada seorang lelaki Badui datang menghadap dengan tujuan meminta sesuatu dari Rasulullah saw. Rasulullah saw. memberi apa yang dimintanya, kemudian ia berkata, “Apakah aku telah berbuat kebaikan terhadap diri engkau?” Lelaki Badui itu menjawab, “Tidak, dan engkau tidak pula berbuat yang baik terhadap diriku.” Kala itu para sahabat marah terhadap lelaki Badui itu, kemudian mereka bangkit untuk menghajar lelaki Badui yang kurang ajar itu, tetapi Rasulullah saw. memberikan isyarat kepada mereka supaya tenang. Lalu Rasulullah saw. bangkit dan masuk ke dalam rumah, kemudian menambahkan pemberiannya kepada lelaki Badui itu. Setelah itu Rasulullah saw. berkata lagi kepadanya, “Apakah aku telah berbuat baik terhadap diri engkau?” Lelaki Badui itu menjawab, “Ya, semoga Allah swt. membalas pemberian engkau kepada kaum engkau sendiri dengan balasan yang baik.” Kala itu Rasulullah saw. berkata, “Sesungguhnya engkau telah mengatakan perkataan yang telah engkau ucapkan tadi, dan ternyata di dalam diri para sahabatku terdapat sesuatu karena perilaku engkau itu. Jika engkau suka, katakanlah di hadapan mereka seperti apa yang telah engkau ucapkan di hadapanku sekarang ini supaya sesuatu yang mengganjal di hati mereka terhadap diri engkau lenyap.” Lelaki Badui itu menjawab, “Baiklah, aku akan mengatakannya.” Ketika pada keesokan harinya atau pada sore hari itu juga lelaki Badui itu datang, Rasulullah saw. berkata, : “Sesungguhnya lelaki Badui ini telah mengatakan apa yang tadi dikatakannya, lalu kami memberinya tambahan, dan ja menduga bahwa ia telah merasa suka dengan pemberian tersebut. Bukankah demikian?” Lelaki Badui itu menjawab, “Ya, semoga Allah swt. memberikan balasan atas pemberian engkau terhadap kaum engkau sendiri dengan pembalasan yang baik.” Rasulullah saw. memberikan penjelasan kepada para sahabatnya,” Perumpamaan antara aku dan dia bagaikan seorang lelaki yang memiliki seekor unta, kemudian unta itu larat tak terkendali lagi. Orang-orang mengejarnya, tetapi justru makin menambah larat unta. Lelaki itu atau pemilik unta tersebut memanggil mereka, biarkanlah dia yang akan menangkap untanya itu karena dia lebih belas kasihan terhadapnya daripada mereka, dan dia lebih mengetahui tentang untanya daripada mereka. Selanjutnya lelaki itu berangkat dan sampai di hadapan untanya, lalu ia langsung dapat menangkapnya dari tempat pelariannya, dan ia dapat mengembalikannnya ke tempat semula. Setelah itu ia datang dan merundukkan untanya, kemudian mengikatkan pelana ke atas punggungnya, lalu langsung menaikinya. Sesungguhnya jika aku membiarkan kalian sewaktu lelaki Badui itu mengatakan apa yang telah dikatakannya, kemudian kalian membunuhnya karena emosi, niscaya lelaki Badui itu akan masuk neraka.” Selanjutnya Rasulullah saw. berkata, “Aku tidak menginginkan ada seseorang di antara kalian menyampaikan suatu berita tentang para sahabatku karena sesungguhnya aku ingin agar bertemu dengan kalian sementara dadaku dalam keadaan lapang.”

 

Pada suatu ketika, sewaktu Rasulullah sedang melakukan salat dan menjadi imam, ia mendengar tangisan anak kecil. Ia segera mempercepat salatnya karena merasa kasihan kepada anak kecil itu sebab ibunya sedang makmum bersamanya. Sahabat ‘Abdullah ibnu Mas’ud menceritakan, bahwa Rasulullah saw. selalu menyelingi nasihatnya kepada mereka dengan hal-hal lain karena takut mereka akan bosan bila dilakukan terus-menerus.

 

Sehubungan dengan akhlak Rasulullah saw., khususnya dalam hal memenuhi janji, dalam berjanji, serta kegemarannya bersilaturrahim, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibnu Abul Khamsa yang menceritakan bahwa ia telah berjanji akan mengadakan transaksi jual-beli bersama Nabi saw. sebelum ia diangkat menjadi rasul. Setelah hal itu berlangsung, ternyata ia masih berutang kepada Nabi, maka ia berjanji akan membawanya sendiri guna melunasi utangnya itu di tempat yang telah dijanjikannya. Akan tetapi, ternyata ia lupa. Setelah lewat tiga hari ia teringat akan janjinya kepada Nabi, lalu ia mendatangi tempat tersebut. Ternyata ia menjumpai Nabi saw. telah berada di tempat yang dijanjikannya itu. Nabi saw. lalu berkata, “Hai pemuda, engkau ini sungguh telah membuat aku capai menunggu engkau. Aku sudah berada di tempat ini sejak tiga hari yang lalu menunggu kedatangan engkau.”

 

Bilamana Rasulullah saw. mendapat hadiah, dia berkata, “Bawalah oleh kalian hadiah itu ke rumah si Fulanah karena sesungguhnya dia adalah teman baik Khadijah, dia benar-benar mencintainya.” Rasulullah saw. selalu menghubungkan silaturrahim dengan semua kerabatnya tanpa memandang bulu dan tanpa pilih kasih.

 

Pada suatu hari datang para utusan menghadap Rasulullah saw. Dia bangkit meladeni mereka, lalu para sahabat berkata, “Biarkanlah kami yang meladeni mereka.” Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya para utusan itu berlaku sangat hormat terhadap para sahabatku, maka aku bernaksud membalas budi mereka.” Siti Khadijah r.a. berkata, “Bergembiralah, demi Allah, selamanya Dia tidak akan mengecewakan engkau, sesungguhnya engkau adalah orang yang gemar ber-silaturrahim, menanggung beban, mengupayakan orang yang tidak mampu, selalu menghormati tamu, dan selalu menolong orang-orang yang tertimpa bencana.”

 

Adapun sifat rendah diri Rasulullah saw., sekalipun kedudukan dan pangkatnya sangat tinggi, ia adalah orang yang paling rendah diri dan hampir tidak pernah takabbur. Kiranya cukup untuk dijadikan sebagai bukti, bahwa pada suatu hari dia disuruh memilih antara menjadi seorang nabi lagi seorang raja, atau seorang nabi tetapi bersifat sebagai hamba biasa. Kala itu Rasulullah saw. memilih menjadi seorang nabi lagi hamba biasa. Pada suatu hari Rasulullah saw. keluar menemui para sahabatnya. Pada waktu itu ia berjalan seraya bertopang pada sebilah tongkat. Ketika para sahabat melihat kedatangannya, lalu mereka bediri sebagai penghormatan kepadanya. Ketika itu juga Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Janganlah kalian berdiri sebagaimana orang-orang ‘Ajam berdiri karena menghormat sesama mereka.: Lalu ia meneruskan, “Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah. Aku makan sebagaimana seorang hamba Allah makan, dan aku duduk sebagaimana seorang hamba Allah duduk.”

 

Bila menaiki kendaraannya, Rasulullah saw. sering memboncengkan seseorang di belakangnya. Dia gemar berkunjung kepada kaum fakir-miskin dan bergaul dengan mereka, atau memenuhi undangan seorang hamba sahaya. Dia selalu duduk-duduk, campur bersama para sahabatnya, di mana ada tempat, maka di situlah dia duduk bersama para sahabatnya.

 

Rasulullah saw. berkata, “Janganlah kalian menyanjung-nyanjung diriku bagaikan orang-orang Nasrani menyanjung-nyanjung anak lelaki Maryam (Nabi ‘Isa). Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Sebutlah aku sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah saw. melakukan ibadah haji hanya membawa bekal yang harganya tidak mencapai empat dirham, dan hanya memakai pelana yang sederhana sekali. Kemudian ia berdoa, “Ya Ailah, jadikanlah hal ini sebagai haji yang sebenarnya, bukan karena ria dan bukan pula karena harga diri.” Padahal waktu ia melakukan ibadah haji, dihadiahkan kepadanya sebanyak seratus ekor unta, dan berbagai negeri telah dapat dibukanya.

 

Ketika kota Makkah dibuka (ditaklukkan), kemudian beliau memasuki kota Makkah bersama tentara kaum Muslimin, ia merundukkan kepalanya di atas kendaraan sehingga kepalanya hampir menyentuh bagian depan pelananya. Demikianlah yang dilakukannya karena merendahkan diri kepada Allah. Sahabat Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan sebuah hadis, “Aku memasuki pasar bersama Rasulullah saw. lalu ia membeli beberapa celana dan mengatakan kepada penjualnya, “Ukurlah dan lebihkanlah.” Selanjutnya Abu Hurairah menceritakan, “Penjual itu menangkap tangan Rasulullah dan langsung menciuminya, tetapi Rasulullah saw. menarik tangannya seraya mengatakan, ‘Ini kebiasaan yang dilakukan oleh orangorang ‘Ajam terhadap raja-raja mereka. Aku bukanlah seorang raja. Sesungguhnya aku hanyalah seorang lelaki diantara kalian. Selanjutnya Rasulullah saw. mengambil celana-celana yang dibelinya itu. Aku bermaksud membawakannya, tetapi dia berkata, ‘Orang yang memiliki sesuatu lebih berhak untuk membawanya.”

 

Mengenai keadilan, sifat amanah, memelihara kehormatan dan jujur di dalam berkata, Rasulullah saw. adalah orang yang paling jujur katakatanya sejak semula. Hal ini diakui oleh musuh-musuhnya dan oleh orang-orang yang menentangnya sekalipun. Sebelum diangkat menjadi nabi, ia dijuluki Al-Amin (Orang yang Dipercaya). Hal ini telah kami jelaskan secara rinci dalam pembahasan perjalanan hidupnya sebelum masa kenabian.

 

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa tangan Rasulullah saw. belum pernah menyentuh tangan wanita lain yang kebebasannya tidak dimilikinya.

 

Abul ‘Abbas al-Mubarrad mengatakan bahwa Kisra (raja Persia) membagi hari-harinya menjadi beberapa bagian, yaitu hari bertiup angin kencang digunakannya untuk tidur, hari mendung digunakannya untuk berburu, hari hujan digunakannya untuk bermain dan minum-minum, dan hari matahari cerah digunakannya untuk keperluan-keperluan. Akan tetapi, Nabi kita membagi siang harinya menjadi tiga bagian, yaitu satu bagian untuk Allah swt., satu bagian lagi untuk keluarganya, sedangkan satu bagian yang lain untuk dirinya sendiri. Kemudian Rasulullah saw. membagibagikan waktu bagi dirinya untuk keperluan menghadapi orang-orang.

 

Rasulullah saw. selalu meminta tolong kepada orang-orang khusus untuk menyampaikan pesannya kepada orang-orang awam. Untuk itu ia berkata, “Sampaikanlah oleh kalian hal yang diperlukan oleh orang-orang yang tidak sempat mendatangiku karena sesungguhnya barang siapa yang menyampaikannya kepada orang yang tidak mampu hadir, niscaya Allah akan memelihara dirinya pada hari kiamat nanti.” Rasulullah saw. belum pernah menghukum seseorang oleh sebab kesalahan atau dosa yang telah dilakukan oleh orang lain sebagaimana ia pun belum pernah pula mempercayai seseorang yang menjelek-jelekkan orang lain di hadapannya.

 

Mengenai keanggunan, keagungan, ketenangan, harga diri, dan petunjuk yang baik ia terkenal sebagai orang yang paling diagungkan di dalam majelisnya sehingga di dalam majelis selalu tenang dan khidmat. Bilamana ia duduk, posisi yang diambilnya selalu dalam ber-ihtiba sehingga kebanyakan posisi duduknya ber-ihtiba.

 

Rasulullah saw. adalah orang yang banyak diam. Ia tidak pernah berbicara tanpa ada keperluan yang penting, dan tidak pernah meladeni orang yang berbicara kurang baik. Perkataannya tegas, tidak bertele-tele, dan tidak pernah melantur. Para sahabat ikut tertawa manakala melihat dia tersenyum karena menghargainya dan mengikuti jejaknya. Majelis tempat duduk Rasulullah adalah majelis yang penuh dengan rasa santun, rasa malu, penuh dengan kebaikan dan rasa amanah. Di dalam majelis Rasulullah belum pernah ada suara bernada tinggi dan belum pernah hal-hal yang haram dikatakan. Bilamana Nabi saw. sedang berbicara, teman-temannya duduk merundukan kepalanya karena mendengarkan pembicaraannya, seolah-olah di atas kepala mereka ada burung.

 

Ibnu Abu Halah mengatakan bahwa diamnya Rasulullah saw. itu karena empat perkara, yaitu sabar, waspada, hormat, dan berpikir. Siti ‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa bilamana Rasulullah saw. berbicara jika ada seseorang yang menghitungnya, niscaya ia akan dapat menghitungnya. Rasulullah saw. adalah orang yang suka memakai wewangian yang baik, dan ia sering sekali memakainya serta menganjurkan orang-orang supaya memakainya.

 

Di antara hal-hal yang menunjukkan harga diri Rasulullah saw. ialah bahwa ia mencegah seseorang meniup makanan dan minuman, memerintahkan orang untuk memakan makanan yang ada di hadapannya, dan memerintahkan orang supaya selalu bersiwak dan membersihkan celahcelah jari tangan dan kaki, baik bagian luar maupun bagian dalamnya.

 

Mengenai kezuhudannya terhadap masalah duniawi, dalam pembahasan yang lalu telah kami kemukakan secara rinci. Kiranya yang cukup dijadikan bukti yang menunjukkan kezuhudan Rasulullah saw. terhadap perkara duniawi dan berpalingnya dari kegemerlapan duniawi ialah ketika dia meninggal dunia, baju besinya dalam keadaan tergadai pada seorang Yahudi demi menafkahi keluarganya. Padahal banyak ghanimah yang mengalir kepadanya dan banyak pula negeri yang dibukanya. Rasulullah saw. selalu berdoa:

 

Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad berupa makanan pokok.

 

Siti ‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah saw. belum pernah mengalami kekenyangan karena makan roti selama tiga hari berturut-turut hingga dia wafat. Siti Aisyah r.a. menceritakan pula bahwa Rasulullah saw. sewaktu wafat tidak meninggalkan dinar, atau dirham, atau kambing, atau unta. Ternyata di dalam rumahnya tiada sesuatu pun yang dapat dimakan oleh makhluk yang hidup, selain sekerat roti kering yang tersimpan di dalam lemari makanannya.

 

Rasulullah saw. berkata, “Sesungguhnya aku pernah ditawari agar tanah Makkah dijadikan untukku penuh dengan emas. Aku berkata, “Wahai Rabb, jangan Engkau jadikan hal itu. Aku ingin agar sehari merasa lapar dan sehari yang lain merasa kenyang. Adapun mengenai hari ketika aku merasakan lapar akan kugunakan untuk merendahkan diri dan berdoa kepada-Mu. Adapun hari ketika aku merasakan kenyang akan kugunakan untuk memuji dan menyanjung-Mu.”

 

Kemudian Siti ‘Aisyah r.a. menceritakan, “Sesungguhnya kami keluarga Muhammad pernah selama satu bulan tidak pernah menyalakan api aapur walau hanya sekali. Makanan kami kala itu hanyalah kurma dan air. “Sahabat Anas ibnu Malik r.a. menceritakan pula bahwa Rasulullah saw. belum pernah makan pada tabsi atau piring besar, belum pernah memakan roti bersama sop, dan sama sekali belum pernah pula memakan daging kambing yang dipanggang.

 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah r.a. disebutkan, “Kasur tempat tidur Rasulullah saw. di dalam rumahnya terbuat dari kain bulu yang tebal. Kami lipat menjadi dua lipatan, kemudian Rasulullah saw. tidur di atasnya. Pada suatu malam kami melipatnya menjadi empat lipat, dan pada keesokan harinya dia bertanya, “Apakah yang telah kalian lakukan terhadap tilam tidurku?” Kemudian kami menjelaskan kepadanya apa yang telah kami lakukan. Lalu ia berkata, ‘Kembalikanlah tilam itu kepada posisinya semula (dua kali lipat) karena sesungguhnya keempukannya membuat aku lupa akan salat sunnahku.”

 

Siti ‘Aisyah r.a. menceritakan pula “Perut Rasulullah saw. belum pernah penuh karena kekenyangan makan, dan dia belum pernah mengeluh kepada siapa pun karena lapar. Kemiskinan lebih dicintainya daripada kekayaan. Sekalipun ia tetap dalam keadaan lapar semalam suntuk, hal itu tidak dapat mencegahnya melakukan shaum pada keesokan harinya. Seandainya mau, dia dapat meminta kepada Rabb-nya semua perbendaharaan bumi, buah-buahannya, dan semua kemewahan hidup yang terdapat di muka bumi. Sungguh aku telah menangisinya karena terdorong oleh rasa belas kasihan ketika melihat keadaannya. Seraya kuelus-elus perutnya yang kosong itu, aku berkata kepadanya. “Diriku ihi menjadi tebusan engkau. Mengapa engkau tidak mencari bekal duniawi untuk engkau jadikan sebagai bekal makan? Kala itu Rasulullah saw. menjawab, ‘Hai ‘Aisyah, aku tidak ada urusan dengan masalah duniawi, sedangkan Saudara-saudaraku para rasul yang termasuk ke dalam Ulul-‘Azmi tetap bersabar dalam menghadapi hal-hal yang lebih berat daripada ini. Sekalipun demikian, mereka tetap menunaikan risalahnya dalam keadaan demikian hingga mereka menghadap kepada Rabb mereka, lalu Rabb memuliakan tempat kembali mereka dan memberikan kepada mereka pahala yang agung. Aku merasa sangat malu terhadap mereka bilamana aku hidup dalam keadaan mewah sehingga aku merasa khawatir kelak kedudukanku berada di bawah mereka. Tiada sesuatu pun yang lebih aku cintai kecuali menyusul saudara-saudara dan kekasihkekasihku.” Selan. jutnya Siti ‘Aisyah r.a. menceritakan, peristiwa itu terjadi satu bulan menjelang wafatnya. Semoga shalawat dan salam-Nya tercurahkan kepadanya.”

 

Rasa takut dan taatnya kepada Allah swt. serta kegetolannya dalam beribadah, sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Oleh sebab itu, Rasulullah saw. pernah berkata, “Seandainya kalian mengetahui apa yang telah aku ketahui, niscaya kalian hanya sedikit tertawa dan banyak menangis. Aku dapat melihat hal-hal yang tidak dapat kalian lihat, atau aku dapat mendengar hal-hal yang tidak dapat kalian dengar. Langit ini telah bersuara karena keberatan, dan memang ia berhak untuk bersuara karena tiada suatu tempat pun, biar sekadar empat jari, di mana tidak ada malaikat yang meletakkan jidatnya karena bersujud kepada Allah swt. Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang telah aku ketahui, niscaya kalian akan tertawa sedikit dan banyak menangis. Kalian niscaya tidak akan dapat bersenang-senang dengan istri-istri kalian di atas tempat tidur kalian, dan niscaya kalian akan keluar ke tempat-tempat yang tinggi lalu kalian meminta tolong kepada Allah swt. Sungguh aku menginginkan sekali diriku ini menjadi sebuah pohon yang dicabut.

 

Rasulullah saw. selalu melakukan salat sehingga kedua telapak kakinya bengkak-bengkak. Lalu ada yang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau paksakan hal ini terhadap diri engkau sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa engkau yang terdahulu dan yang kemudian?” Kala itu Rasulullah saw. menjawab:

 

Bukankah aku ini seorang hamba yang banyak bersyukur?

 

Siti ‘Aisyah r.a. menceritakan pula, “Amal ibadah Rasulullah saw. itu bersifat terus menerus. Siapakah di antara kalian yang mampu melakukan seperti apa yang telah dilakukannya?” Siti ‘Aisyah r.a. menceritakan pula, “Rasulullah saw. selaluber-shaum sehingga kami mengatakan ia tidak pernah berbuka (tidak shaum), dan dia selalu berbuka sehingga kami mengatakan ia tidak pernah ber-shaum.”

 

‘Auf ibnu Malik menceritakan, “Pada suatu malam kami bersamasama dengan Rasulullah saw. Kemudian dia bersiwak lalu melakukan wudu. Setelah itu dia berdiri untuk salat. Kami pun ikut berdiri pula bermakmum kepadanya. Dalam salatnya itu Rasulullah saw. mulai dengan bacaan surah Al-Bagarah. Dia tidak pernah melewati ayat rahmat tanpa berhenti lalu berdoa, dan tidak pernah melewati ayat ‘Adzab tanpa berhenti lalu meminta perlindungan kepada Allah. Kemudian Rasulullah saw. rukuk dan diam di dalam rukuknya sama lamanya dengan ketika dia berdiri. Lalu dia berdoa:

 

Maha Suci Zat Yang memiliki keperkasaan, kerajaan yang agung, kebesaran dan keagungan.

 

Setelah itu Nabi saw. bersujud dan mengucapkan doa yang serupa dengan ketika ia sedang melakukan rukuk. Selanjutnya dia membacakan surah Ali Imran dan surah-surah lain pada rakaat berikutnya, dan ia melakukan pula hal yang serupa dengan apa yang telah dilakukannya pada rakaat pertama.”

 

Di antara para sahabat ada yang menceritakan, “Aku datang menemui Rasulullah saw. yang pada waktu itu sedang melakukan salat. Dari dalam perutnya terdengar suara bagaikan suara air mendidih di dalam panci.”

 

Abu Halah menceritakan sehubungan dengan sifat-sifat Rasulullah saw. bahwa ia adalah orang yang terus-menerus merasa susah dan selalu berpikir tanpa istirahat. Sahabat ‘Ali r.a. menceritakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sunnah (kebiasaan)nya Dia menjawab:

 

Makrifah adalah modalku, akal adalah pokok agamaku, cinta adalah dasarku, rindu adalah kendaraanku, dzikrullah (ingat kepada Allah) adalah hiburanku, percaya diri adalah simpananku, susah adalah temanku, ilmu adalah senjataku, sabar adalah pakaianku, rida adalah ghanimah-ku, tidak mampu adalah kebanggaanku, zuhud (menjauhi keduniawian) adalah pekerjaanku, keyakinan adalah kekuatanku, kejuJuran adalah pandangaku, taat adalah kecukupanku, jihad adalah akhlakku, kesenanganku berada di dalam salat, dan buah hatiku adalah sewaktu berzikir kepada-Nya, dan kesusahanku adalah demi umatku, serta kerinduanku hanya kepada Rabb-ku. Semoga Allah membalas Nabi-Nya dengan balasan yang baik dari umatnya, semoga Allah mengasihi seorang hamba yang mau memperhatikan akhlak-akhlak yang mulia serta sifat-sifat yang indah ini, kemudian ia berpegang teguh kepadanya dan mengikutinya jejak Rasulullah saw. supaya ia mendapat syafaatnya kelak pada hari kiamat dan mendapat keridaan-Nya. Ya Allah, kami memohon taufik kepada-Mu yang di dalamnya terkandung kebaikan sebagai berkah dari karunia dan kemurahan-Mu, wahai Yang Maha Pemurah di antara orang-orang yang pemurah.

Bilamana seseorang mau memperhatikan pembahasan yang telah kami kemukakan di muka, yaitu sehubungan dengan perjalanan hidup Rasul yang mulia ini, jejak-jajaknya yang terpuji, keunggulan ilmunya, kecemerlangan

 

akalnya, sifat penyantunnya, semua kesempurnaan kemanusiaannya, se. mua akhlak-akhlaknya, tingkah lakunya, dan kebenaran ucapannya, niscaya tidak akan diragukan lagi keabsahan kenabiannya dan kebenaran dakwahnya. Hal ini telah cukup disaksikan oleh seseorang yang tidak diragukan keislaman dan keimanannya seperti ‘Abdullah ibnu Sallam. Ia menceritakan, “Ketika Nabi saw. datang ke Madinah, aku datang kepadanya untuk melihat keadaan yang sebenarnya. Ketika kulihat wajahnya, tampak jelas bagiku, bahwa bukanlah wajah orang yang suka berdusta.”

 

Imam Muslim meriwayatkan pula bahwa tatkala Dhamad datang menghadap Rasulullah saw. sebagai utusan dari kaumnya, Rasulullah berkata:

 

Sesungguhnya segala puji hanyalah bagi Allah. Kami memuji dan meminta pertolongan kepada-Nya. Barang siapa telah diberi petunjuk oleh Allah, niscaya tiada seorang pun yang dapat menyesatkannya.

 

Barang siapa telah diberi menyesatkan-Nya, niscaya tiada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

 

Pada saat itu juga Dhamad berkata kepadanya, “Ulangi lagi kepadaku perkataan engkau tadi. Sungguh kalimat-kalimat itu telah mencapai perbendaharaan kata yang amat luas. Berikanlah tangan engkau, aku akan berbai’at kepada engkau.”

 

Ketika sampai ke telinga raja ‘Amman bahwa Rasulullah telah menyeru dirinya untuk masuk Islam, ia berkata, “Demi Allah, sungguh Nabi yang ummi ini telah memberi petunjuk kepadaku. Tiada sekali-kali ia memerintahkan kepada kebaikan kecuali jika dia orang yang pertama kali meneladaninya. Tidak sekali-kali ia melarang sesuatu kecuali jika ia orang yang pertama kali menjauhinya. Dia selalu menang, tetapi tidak sombong. Bila menang ia tidak gaduh. Dia selalu setia kepada janjinya dan selalu melaksanakan apa yang telah dijanjikannya. Aku bersaksi bahwa dia adalah nabi.”

 

Ibnu Rawwahah dalam salah satu bait syairnya mengatakan:

 

Seandainya di dalam diri Nabi tidak terdapat tanda-tanda yang jelas (mengenai kenabiannya), niscaya penampilannya akan memberikan kesan kepadamu sebagai orang yang berwibawa.

 

Terlebih lagi Allah swt. telah menampakkan melalui tangannya berbagai macam mukjizat sebagai pembenaran atas kenabiannya. Mukjizat yang memancar dari dirinya tak terhitung banyaknya. Hal ini membuat dirinya nabi yang paling banyak mukjizatnya dan paling jelas bukti-buktinya. Dalam pasal ini insya Allah akan kami ketengahkan mukjizat-mukjizat Rasulullah yang dapat membuat hati pembaca puas serta menambah keyakinan. Mukjizat-mukjizat tersebut berdasarkan periwayatan yang telah diketengahkan oleh sebagian besar sahabat dan telah diakui kebenarannya oleh para ahli hadis. Berikut ini kami mulai dengan mengetengahkan mukjizat yang paling terkenal dan paling jelas keterangannya, yaitu mukjizat Al-Quran.

 

Perlu untuk diketahui bahwa Kitabullah itu mengandung cukup banyak mukjizat. Hal ini dapat disimpulkan ke dalam empat kategori seperti penjelasan berikut ini:

 

Pertama: Al-Qur’an memiliki metode yang baik, kalimat-kalimatnya membentuk perpaduan yang serasi, dan kefasihan bahasa serta keringkasan ibaratnya dan paramasastranya benar-benar berbeda dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan orang Arab. Karena mereka adalah orang-orang yang ahli dalam bidang ini dan sebagai jago-jago berbicara, mereka memiliki keahlian dalam bidang berparamasastra dan menguntai kata-kata bijak yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa yang lain. Mereka dianugerahi kefasihan lisan yang tidak dimiliki oleh orang lain, dan ketajaman pidato mereka dapat memikat hati pendengarnya. Hal ini telah dijadikan oleh Allah swt. di dalam diri mereka sebagai pembawaan dan watak yang sudah menyatu secara alami.

 

Di dalam diri mereka hal ini telah terbentuk secara naluriah lagi sangat kuat pengaruhnya. Mereka dengan mudah dapat menciptakan ungkapan yang menakjubkan, dan ungkapan itu mereka pakai di dalam setiap kebutuhan. Mereka dapat berpidato secara naluriah dalam berbagai munasabah dan keadaan yang genting. Mereka dapat mengumandangkan keahliannya dalam bersyair sewaktu mereka sedang berperang. Melalui keahliannya ini mereka dapat mendiskreditkan seseorang, meminta perantara, mengangkat atau merendahkan seseorang, dengan demikian mereka mampu mendatangkan ungkapan yang sangat memukau yang pengaruhnya bagaikan sihir.

 

Ungkapan-ungkapan mereka lebih indah daripada untaian mutiara, dan dapat membuat hati terpesona karenanya, semua hambatan dan kesulitan dapat dimudahkan, dan semua malapetaka serta ujian dapat disingkirkan. Melalui keahlian mereka di dalam berparamasastra, mereka dapat membuat orang yang pemberani menjadi pengecut, orang yang pengecut menjadi pemberani, orang yang mempunyai kekurangan menjadi tampak Sempurna, dan orang yang terkenal menjadi tidak terkenal. Di antara mereka ada yang dibesarkan di kalangan Badui (perkampungan) yang memili ki ciri khas perbendaharaan yang luas, kalimat yang tegas, gaya bahasanya cukup anggun, memiliki bakat yang cemerlang dan kecenderungan yang kuat dalam bidang ini. Di antara mereka ada yang dibesarkan di lingkungan hadhar (perkotaan) yang memiliki ciri khas berupa kelihaian dalam berparamasastra, mempunyai lafazh yang cemerlang dan kalimat-kalimat yang bersifat umum serta memiliki ungkapan yang mudah dicerna, dan pandai dalam menguntai kata-kata yang tidak dipaksakan, tetapi sangat indah dan lembut didengar.

 

Dalam kedua lingkungan tersebut dalam hal paramasastra mereka mempunyai hujjah yang tegas dan kekuatan yang dapat mematahkan, serta pengaruh yang sangat dominan dalam mematahkan hujjah lawan dan menggerakkan potensi. Mereka tidak meragukan lagi bahwa ilmu berbicara tunduk di bawah pengaruh mereka dan berparamasastra sudah menjadi bakat mereka. Mereka telah berhasil mencakup semua jenisnya, menguasai semua sumbernya, memasuki semua pintunya, dan mereka dapat menguasai menaranya untuk mencapai tujuannya. Mereka dapat mengungkapkan semua peristiwa yang besar dan yang kecil sebagaimana mereka pun ahli pula dalam mengungkapkan hal-hal yang jelek. Mereka pun pandai menguntai kata-kata dalam hal yang sedikit atau yang banyak sebagaimana mereka pun ahli dalam menguntai kata-kata berupa syair maupun kalam biasa, tetapi mereka sama sekali tidak takut selain terhadap Rasulullah bersama Kitabullah yang tidak mengandung kebatilan, baik dari hadapan maupun dari belakangnya, dan ia diturunkan oleh Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji. Ayat-ayatnya disusun secara rapi, kalimat-kalimatnya sangat jelas, paramasastranya memukau semua akal, dan kefasihan bahasanya melampaui semua yang telah dikatakan. Keringkasan bahasanya dan kemukjizatannya telah terpadu di dalamnya, dan hakikat serta majasnya tampak menonjol di dalamnya. Permulaanpermulaannya sangat langka keindahannya, dan keglobalan keglobalan serta keindahannya mencakup semua kejelasan. Kepadatannya seimbang dengan keindahan susunan kalimatnya serta lafaz-nyayang pilihan itu sangat sesuai dengan faedahnya yang banyak.

 

Padahal mereka (orang-orang Arab) memiliki pengetahuan yang sangat luas sekali dalam hal ini, mereka sangat terkenal ahli di dalam berkhotbah dan perbendaharaan syair serta sajak mereka sangat luas. Mereka sangat pandai dalam menguntai kata-kata yang beristilah. Sekalipun demikian, Al-Quran jauh lebih unggul dari mereka. Ia berbicara dan menyanggah mereka setiap saat dan mengingatkan mereka selama dua puluh tahun lebih sebagaimana yang telah dijelaskan oleh firman-Nya:

 

Atau (patutkah) mereka mengatakan, “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah,” Kalau benar yang kalian katakan itu) maka cobalah datangkan sebuah surat seperti itu dan panggillah siapa yang dapat kalian panggil (untuk membuatnya) selain Allah jika kalian orangorang yang benar. (Q.S. 10 Yunus: 38)

 

Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) semacam Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah jika kalian orang-orang yang memang benar. (Q.S. 2 Al-Bagarah: 23)

 

Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya sekalipun sebagian dari mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (Q.5. 17 AlIsra: 88).

 

Katakanlah, “(Kalau demikian) datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya.” (Q.S. 11 Hud: 13)

 

Al-Qur’an masih tetap mengingatkan mereka dengan peringatan yang keras mencela mereka dengan celaan yang keras, membodoh-bodohkan orang-orang bijak mereka, merendahkan orang-orang pandai mereka, memorakperandakan tatanan mereka, mencela tuhan-tuhan dan nenek-moyang mereka, dan menghalalkan tanah serta rumah-rumah dan harta benda milik mereka. Padahal mereka dalam semuanya itu tidak berdaya menantangnya dan tidak mampu mendatangkan hal yang semisal dengannya. Akhirnya mereka menipu diri mereka sendiri melalui pengacauan, pendustaan, dan membangga-banggakan diri sebagai kompensasi bagi ketidakmampuan mereka, yaitu melalui perkataan mereka seperti berikut ini: “Al-Quran itu tiada lain hanyalah sihir yang dibuat-buat. Al-Qur’an adalah sihir yang terus-menerus dan kedustaan yang dibuat-buat serta dongengan-dongengan orang-orang terdahulu.” Mereka rela dengan kerendahan diri mereka sebagaimana yang telah diungkapkan oleh firman-Nya:

 

Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya, dan di telinga kami ada sumbatan, dan antara kami dan kamu ada dinding. (Q.S. 41 Fushshilat: 65)

Allah swt. telah berfirman yang menceritakan perkataan mereka:

 

Janganlah kalian mendengarkan dengan sungguh-sungguh Al-Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya. (Q.S. 41 Fushshilat: 28)

 

Mereka hanya mengaku-aku saja, padahal kenyataannya mereka sama sekali tidak mampu menandinginya sebagaimana yang telah diceritakan dalam firman-Nya:

 

Seandainya kami suka, niscaya kami dapat mengatakan hal yang serupa dengannya (Al-Guran). (Q.5. 8 Al-Anfal: 31)

 

Kemudian Allah swt. menyanggah perkataan mereka itu melalui firmanNya:

 

 Kalian tidak akan dapat melakukannya. (Q.5. 2 Al-Bagarah: 24)

 

Mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak akan mampu. Orang yang tolol dari kalangan mereka, yang berani melakukan hal itu, justru membuka keaiban dirinya di mata semua orang seperti apa yang telah dilakukan oleh Musailamah al-Kadzdzab.

 

Allah swt. telah mencabut kefasihan berbicara yang telah menjadi kebiasaan mereka. Bilamana tidak demikian, niscaya orang-orang yang ahli dari kalangan mereka tidak akan menilai bahwa Al-Quran itu bukan termasuk jenis kefasihan mereka dan bukan paramasastra mereka. Bahkan mereka akan melarikan diri daripadanya, tetapi kenyataannya mereka mau mendatanginya dalam keadaan tunduk bilamana memikirkan firman Allah swt. berikut ini:

 

Dan dalam gishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian. (Q.S. 2 Al-Bagarah: 179)

 

Dan (alangkah hebatnya) jika kamu melihat ketika mereka (orang-orang kafir) terperanjat ketakutan (pada hari kiamat). Mereka tidak dapat melepaskan diri dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (untuk dibawa ke neraka). (Q.S. 34 Saba: 51)

 

Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang diantara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Q.S. 41 Fushshilat: 34)

 

Dan difirmankan, “Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itu pun berlabuh di atas vukit Judi, dan dikatakan, “Binasalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. 11 Hud: 44).

 

Maka masing-masing (merera itu) Kami siksa karena dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Q.5. 29 Al-Ankabut: 40)

 

Ayat-ayat lainnya yang serupa, bahkan sebagian besar dari AlGuran, niscaya akan dapat membuktikan apa yang telah kami jelaskan di muka tadi, yaitu berkenaan dengan keringkasan lafazh AlQGuran, kepadatan maknanya, keindahan ungkapannya, dan keindahan susunan huruf serta keserasiannya. Sesungguhnya di balik setiap lafazh-nya terkandung pengertian yang cukup panjang sehingga berpasal-pasal dan menjadi berbagai macam disiplin ilmu yang kini telah memenuhi kitab-kitab sebagai kesimpulan dari ana vang dikandungnya.

 

Kemudian penyajian Al-Qur’an tentang kisah-kisah yang panjang mengenai berita kaum-kaum zaman dahulu kala, yang biasanya orang-orang fasih mereka tidak mampu melakukannya merupakan bukti bagi orang yang memperhatikannya, yaitu mengenai hubungan antara suatu jumlah kalimat dengan jumlah kalimat yang lain, keterpaduan penyajiannya, dan kejelasan segi-seginya, seperti kisah tentang Nabi Yusuf yang panjang itu. Kemudian bilamana kisahnya berulang-ulang, ternyata ungkapan yang dipakainya berbeda-beda dan keserasian ungkapannya begitu memukau. Jiwa seseorang tidak akan bosan sekalipun diulang-ulang dan tidak akan merasa antipati terhadapnya: justru hal itu semakin membuatnya tertarik.

 

Kedua: Mukjizat Al-Qur’an menyangkut gambaran susunannya yang menakjubkan, uslub-uslub-nya yang aneh dan berbeda pula uslub-uslub yang biasa berlaku dalam bahasa Arab, serta berbeda pula dari nizham dan natsar yang berlaku di kalangan mereka. Semua yang dikemukakan dalam Al-Qur’an berbeda, dan baik sebelumnya ataupun sesudahnya tidak pernah dijumpai hal yang serupa dengannya, serta tidak ada seorang pun yang mampu membuat sesuatu yang serupa dengannya. Bahkan Al-Qur’an membuat mereka menjadi bingung dan kemampuan mereka melemah di hadapannya. Mereka tidak menemukan jalan untuk membuat hal yang setara dengannya dari kalam mereka. Hal seperti Al-Qur’an tidak mereka jumpai di dalam natsar, nizham, dan sajak mereka. Mukjizat Al-Qur’an baik ditinjau dari segi keringkasan ungkapannya, balaghah (paramasastra), atau dari segi ungkapannya yang aneh, masing-masing segi itu tidak mampu mereka melakukannya, karena masing-masing berada di Juar jangkauan kemampuan mereka dan berbeda densan kefasihan bicara mereka.

 

Ketiga: Di antara mukjizat al-Quran ialah karena ditinjau dari segi bahwa dalam Al-Qur’an terkandung berita-berita mengenai masalah gaib dan hal-hal yang belum terjadi, kemudian kejadiannya persis seperti yang telah diberitakan di dalamnya sebagaimana yang terdapat dalam firmanNya:

 

Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil-Haram, insya Allah dalam keadaan aman. (Q.S. 48 Al-Fath: 27)

 

Sehubungan dengan bangsa Romawi Allah berfirman:

 

Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. (Q.5. 30 Ar-Rum: 3-4)

 

Untuk dimenangkan-Nya atas segala agama. (Q.S. 9 At-Taubah: 33)

 

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentausa. (Q.S. 24 An-Nur: 55)

 

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. (9.5. 110 An-Nashr: 1-2)

 

Ternyata semua yang telah diberitakan oleh Al-Qur’an menjadi kenyataan. Kekaisaran Romawi akhirnya dapat mengalahkan Kerajaan Persia, kemudian manusia masuk agama Islam secara berbondongbondong, dan kekuasaan kaum Muslimin kian meluas, sehingga pada suatu waktu kekuasaan mereka sampai ke Andalusia (Spanyol) di sebelah barat, sampai batas India di sebelah timur, hingga ke Anatolia (Asia Kecil) di sebelah utara, dan sampai mencapai batas terakhir Sudan di sebelah selatan. Allah swt. mengatakan dalam firman-Nya:

 

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-guran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.5. 15 Al-Hijr: 9)

 

Ternyata keadaannya, al-hamdulillah seperti apa yang telah diberitakan oleh-Nya hingga sekarang. Allah swt. berfirman pula dalam ayat yang Jain:

 

Golongan (orang-orang kafir) itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. (Q.S. 54 Al-Gamar: 45)

 

Kemudian kejadiannya memang seperti yang telah diberitakan oleh AlQuran, yaitu dalam Perang Badar. Ayat di atas diturunkan di Makkah. Dalam ayat yang lain Allah swt. berfirman:

 

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tangan kalian. (Q.S. 9 At-Taubah: 14)

 

Kejadiannya memang persis seperti yang telah diberitakan Allah swt. dalam Kitab-Nya. Hal ini dapat para pembaca ketahui melalui sejarah hidup Rasulullah saw. yang telah kami kemukakan. Di dalamnya telah disebutkan tentang terbongkarnya rahasia orang-orang munafik dan orang-orang Yahudi serta kedustaan perkataan mereka di dalam sumpahnya sebagaimana yang difirmankan-Nya:

 

Dan mereka mengatakan kepada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita karena apa yang kita katakan?” (Q.S. 58 Al-Mujadilah: 8)

 

Mereka menyembunyikan di dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu. (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 154)

 

Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, “Kami mendengar,” tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula), “Dengarlah” semoga kamu tidak dapat mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan) “Raina,” dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. (Q.S. 4 An-Nisa: 46)

 

Masih banyak ayat lain yang menceritakan hal ihwal mereka.

 

Keempat: Di antara mukjizat Al-Quran ialah karena di dalamnya terkandung berita-berita tentang umat-umat terdahulu dan syariat-syariatnya. Satu kisah di antaranya tidak akan dapat diketahui selain oleh para pendeta ahli kitab yang benar-benar cemerlang, yang hanya menekuni hal ini seumur hidupnya. Hal ini dapat dikemukakan oleh Rasulullah saw. sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi pada masa dahulu. Ahli kitab yang mengetahui kisah ini dengan sebenarnya langsung membenarkan apa yang telah dikemukakannya, karena mereka telah mengetahui bahwa Rasulullah saw. adalah seorang ummi, tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis, serta tidak pernah belajar di madrasah atau duduk di majelis ilmu. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak diingkari oleh para ahli kitab. Tiada seorang pun di antara mereka yang mengingkari hal ini. Sering kali ahli kitab bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kisahkisah ini. Maka turunlah kepada Rasulullah Al-Qur’an yang di bacakan kepada mereka sebagai peringatan seperti kisah para nabi, kisah tentang kejadian, dan apa-apa yang telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu. Ternyata para ulama mereka tiada sorang pun yang berani mendustakan apa yang telah diceritakan oleh Rasulullah saw. karena semuanya benar. Semua yang diceritakan oleh Rasulullah saw. ternyata dapat membedakan mana yang benar dan mana yang telah mengalami perubahan dari kitab mereka sesudah terlebih dahulu Al-Qur’an yang dibacakannya itu mengingatkan dan mencela mereka sebagaimana yang difirmankan-Nya:

 

Katakanlah, “(Jika kalian mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kalian orang-orang yang benar.” (Q.5. 3 Ali ‘Imran: 93)

 

Di antara bukti yang menunjukkan bahwa para ahli kitab mengetahui kebenaran yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw. ialah adanya tantangan dari Allah swt. kepada mereka melalui firman-Nya:

 

Katakanlah, “Jika kalian (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (kalian) jika kalian memang benar. (Q.S. 2 Al-Bagarah: 94)

 

Kemudian dalam ayat yang lain Allah swt. memastikan tentang ketidakmauan mereka untuk mati, yaitu melalui firman-Nya:

 

Dan sekali-kali mereka tidak-akan mengingini kematian itu selamalamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah di perbuat oleh tangan mereka (sendiri). (Q.S. 2 Al-Bagarah: 95)

 

Ternyata tidak pernah terdengar bahwa ada seseorang di antara mereka yang mengharapkan hal tersebut (kematian) sekalipun hanya melalui mulut saja tanpa dilaksanakan. Sekalipun demikian, mereka adalah orangorang yang paling sengit mendustakan Rasulullah saw. Sebagai contoh ialah seperti yang telah dilakukan oleh penduduk Najran tatkala Rasulullah saw. mengajak mereka untuk ber-mubahalah dan mereka menolak. Hal ini telah kami kemukakan dalam pembahasan mengenai utusan orang Najran.

 

Di antara hal-hal yang menunjukkan bahwa Al-Quran itu bukanlah perkataan manusia ialah adanya rasa takut yang menyusup di hati para pendengarnya dan pengaruh yang menguasai mereka sewaktu AlQuran dibacakan. Hal ini tidak lain disebabkan oleh kekuatan yang terkandung di dalam Al-Quran dan wibawanya yang anggun membuat mereka merasa berat untuk mendengarkannya dan semakin dibacakan, semakin bertambah pula antipati mereka terhadapnya. Oleh sebab itu, benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. yaitu:

 

Sesungguhnya Al-Quran itu sulit dan menyulitkan bagi orang yang membencinya: Al-Quran adalah hukum.

 

Bagi orang mukmin, keagungan dan pengaruh Al-Quran sewaktu ia membacanya justru makin menambahnya senang dan kepercayaannya makin menebal terhadapnya sebagaimana yang telah diungkapkan oleh firmanNya:

 

Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka pada waktu mengingat Allah. (Q.S. 39 Az-Zumar: 23).

 

Dalam ayat lain Allah swt. berfirman:

 

Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah di sebabkan oleh takut kepada Allah. (Q.S. 59 Al-Hasyr: 21)

 

Di antara segi-segi mukjizat Al-Quran ialah karena ia merupakan tanda (mukjizat) yang bersifat abadi dan tidak akan lenyap sepanjang dunia masih ada. Di samping itu Allah swt, telah menjamin pemeliharaan keutuhannya sebagaimana yang telah diungkapkan melalui firman-Nya:

 

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S. 15 Al-Hijr: 9)

 

Di dalam ayat yang lain Allah swt. telah berfirman pula:

 

Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) adalah kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya. (Q.S. 41 Fushshilat: 42)

 

Mukjizat-mukjizat para nabi yang lain tidak ada satu pun yang tertinggal, yang ada hanyalah beritanya saja, tetapi mukjizat Al-Qur’an sampai sekarang masih tetap ada. Ia merupakan hujjah yang dapat mengalahkan semua hujjah, dan ia adalah penantang tanpa tandingan. Zaman itu penuh dengan ahli ilmu bayan, pemangku ilmu bahasa dan imam ilmu balaghah, serta jago bicara dan cendekiawan. Sebagian besar dari mereka tidak percaya dan ingkar terhadap syariat Al-Guran. Sekalipun demikian, ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan mereka yang mampu mendatangkan sesuatu yang berarti untuk menantang Al-Quran, dan mereka sama sekali tidak mampu membuat dua kalimat yang serupa dengannya. Bahkan setiap orang yang berani mencoba-coba menentang Al-Quran dengan mengerahkan segala kemampuannya, pada akhirnya mundur dengan perasaan patah karena tidak mampu menyainginya.

 

Alangkah baiknya bilamana bab ini kami akhiri dengan menyebutkan hadis Rasulullah saw. mengenai Al-Quran, yaitu:

 

Sesungguhnya Allah swt. menurunkan Al-Quran dalam bentuk perintah, larangan, menceritakan tentang sunnah-sunnah terdahulu, dan perumpamaan-perumpamaan (yang dibuat oleh-Nya). Di dalamnya terkandung berita mengenai kalian dan cerita tentang umat-umat sebelum kalian, berita tentang apa yang bakal terjadi sesudah kalian, dan hukum mengenai apa yang ada di antara kalian. Al-Quran tidak membosankan sekalipun banyak yang diulang-ulang, dan keajaibannya tidak pernah habis. Al-Quran adalah perkara ygng hak dan bukan mainan-mainan. Barang siapa mengatakannya, berarti ia benar, barang siapa memutuskan hukum dengan memakainya, berarti ia adil, barang siapa bersengketa dengan memakainya (sebagai dalilnya), berarti ia akan menang: barang siapa menghukumi (sesuatu) dengan memakainya, berarti ia berlaku adil: barang siapa mengamalkannya, akan mendapat pahala, barang siapa berpegang kepadanya, niscaya mendapat petunjuk jalan yang lurus, barang siapa mencari petunjuk kepada selain Al-Quran, niscaya Allah akan menyesatkannya, dan barang siapa membuat hukum dengan selainnya, niscaya ia dipatahkan oleh Allah. Al-Qur’an adalah peringatan yang bijaksana, cahaya yang jelas, Jalan yang lurus, tali Allah yang kuat, dan penawar yang mujarab. AlQuran merupakan pemelihara bagi orang yang berpegang kepadanya serta merupakan keselamatan bagi orang yang mengikuti (petunjuk)nya. Al-Quran tidak bengkok yang membutuhkan pelurusan, dan ia tidak menyimpang sehingga membuatnya tercela.

Di antara mukjizat Rasulullah saw. yang lain ialah terbelahnya rembulan: hal ini telah disebutkan oleh hadis secara rinci.

 

Di antaranya lagi ialah memancarnya air dari celah-celah jari-jemari Rasulullah saw. sehingga air makin bertambah banyak berkat mukjizatnya. Hal ini diriwayatkan oleh sebagian besar sahabat, di antara mereka adalah Sahabat Anas ibnu Malik, Sahabat Jabir, dan Sahabat ‘Abdullah ibnu Mas’ud. Sahabat Anas r.a. menceritakan bahwa ia pernah melihat Rasulullah saw. pada suatu hari ketika salat asar telah tiba. Para sahabat mencari air untuk berwudu, tetapi mereka tidak menemukannya. Akhirnya Nabi saw. mendatangkan air dalam suatu wadah yang cukup untuk satu kali wudu, kemudian dia meletakkan tangannya ke dalam wadah tersebut. Setelah itu Rasulullah saw. memerintahkan orang-orang untuk berwudu dari wadah itu. Sahabat Anas r.a. melanjutkan ceritanya, bahwa ia melihat ada air yang keluar dari celah-celah jari-jemari Rasulullah saw. Kemudian orang-orang berwudu sehingga mereka semua sempat melakukan wudu dari wadah itu. Setelah itu Rasulullah saw. bertanya, “Berapa orangkah jumlah kalian?” Ada yang menjawab bahwa jumlah mereka sekitar tiga ratus orang.

 

Sahabat ‘Abdullah ibnu Mas’ud r.a. menceritakan pula, “Kami sedang bersama Nabi saw. pada waktu itu kami tidak membawa air. Nabi saw. berkata, “Carikanlah air oleh kalian dari orang-orang yang mempunyai kelebihan air.” Ada seseorang yang membawa sedikit air. Nabi saw. menuangkan air tersebut ke dalam suatu wadah, kemudian ia meletakkan telapak tangannya ke dalam wadah tersebut. Kala itu seolah-olah air memancar dari sela-sela jari-jemarinya.

 

Sahabat Jabir menceritakan. “Pada peristiwa Hudaibiyah orang-orang kehausan sementara di tangan Rasulullah saw. terdapat wadah yang berisi sedikit air. Lalu Nabi saw. berwudu. Ketika itu orang-orang berdatangan kepadanya seraya mengatakan, bahwa mereka tidak mempunyai air ke. cuali yang ada di dalam wadah yang sedang dipakainya. Rasulullah saw. meletakkan tangannya ke dalam wadah tersebut. Saat itu air seolah-olah menyembur dari sela-sela jari-jemarinya bagaikan mata air. Lalu ada yang bertanya, ‘Berapakah jumlah kalian?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Seandainya kita ini berjumlah seratus ribu orang, niscaya air ini akan mencukupi kita semua.’ Pada saat itu jumlah kami hanya seribu lima ratus orang.” Kisah seperti hadis-hadis di atas telah diriwayatkan oleh banyak sahabat. Hal-hal seperti itu, yang terjadi di tempat-tempat yang disaksikan banyak orang, merupakan hal yang tidak diragukan lagi kebenarannya oleh perawi. Sebab para perawi itu adalah orang-orang yang paling selektif dalam mengemukakan hadis-hadis, dan mereka adalah orang-orang yang tidak akan tinggal diam bilamana melihat suatu hal yang batil. Sedangkan sebagian besar sahabat telah menyaksikan sendiri kejadian-kejadian tersebut dan mengalaminya sehingga tidak ada seorang pun dari para perawi yang mengingkari apa yang telah diceritakan oleh para sahabat. Karena para sahabat sendiri yang menjadi pelaku dan saksi dalam peristiwa-peristiwa tersebut, maka kedudukannya sama dengan hadis yang telah disepakati oleh para sahabat semua.

 

Mukjizat lainnya yang menyerupai memancarnya air dari sela-sela jarijemari berkah doa dan sentuhan tangannya ialah seperti yang diceritakan oleh Sahabat Mw’adz. Sahabat Mu’adz ibnu Jabal r.a. menceritakan bahwa sewaktu para sahabat berada dalam Perang Tabuk, mereka menemukan mata air yang airnya tinggal sedikit sekali. Mereka mencedok airnya dengan tangan, lalu mereka kumpulkan dalam suatu wadah. Kemudian Rasulullah saw. membasuh muka dan kedua tangannya dengan air itu, lalu air bekas basuhannya itu di kembalikan ke dalam mata air. Pada saat itu juga mata air itu menjadi banyak kembali airnya sehingga semua orang dapat minum daripadanya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishag disebutkan bahwa pada saat itu terdengar dari mata air suara seperti guntur. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada Sahabat Mu’adz:

 

Hai Mu’adz, bilamana umur engkau panjang, niscaya engkau akan melihat banyak kebun di sekitar sini.

 

Kisah mengenai kejadian di atas telah kami kemukakan dalam pasal yang membahas Perang Tabuk.

 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan melalui Al-Barra dan Salamah ibnul Akwa’ disebutkan pula mengenai mata air di Hudaibiyah yang menjadi banyak airnya berkat doa Rasulullah saw.

 

Abu Qatadah meriwayatkan, “Dalam suatu perjalanan, para sahabat mengadu kepada Rasulullah saw. tentang rasa haus yang mencekik tenggorokan mereka. Rasulullah saw. memerintahkan supaya didatangkan sebuah wadah untuk berwudu kepadanya, lalu wadah itu di dekapnya, kemudian dia meletakkan mulutnya kepinggiran wadah itu. Hanya Allahlah Yang maha tahu, apakah dia meniup wadah tersebut atau tidak. Setelah itu orang-orang minum dari wadah itu sehingga segar kembali, dan mereka memenuhi setiap wadah air yang mereka bawa. Anehnya, kulihat wadah itu masih berisi air seperti semula sewaktu diambilnya dariku. Pada saat itu jumlah sahabat ada tujuh puluh orang.” Masih banyak lagi kisah serupa yang terjadi di berbagai tempat, semuanya telah diriwayatkan oleh banyak sahabat sehingga tidak diragukan lagi kebenarannya, terlebih lagi diperkuat oleh para perawinya yang dapat dipercaya. “

 

Mukjizat lainnya lagi yang dimiliki Rasulullah saw. ialah makanan yang sedikit dapat menjadi banyak berkat doanya. Sahabat Thalhah telah menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberi makan delapan puluh atau tujuh puluh orang hanya dari sedikit syair (gandum) yang dibawa oleh Sahabat Anas. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan agar gandum itu dibagi-bagikan, dan sebelum itu dia membacakan doa seperti apa yang telah dikehendaki oleh Allah. Akhirnya gandum yang hanya sedikit itu dapat mencukupi kebutuhan makan orang banyak.

 

Sahabat Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. telah memberi makan seribu orang hanya dari satu sha’ gandum. Hal ini terjadi pada waktu Perang Khandag berlangsung. Sahabat Jabir r.a. memberikan komentarnya, “Aku bersumpah dengan Allah, sungguh mereka telah makan semuanya sehingga mereka meninggalkannya. Ketika mereka meninggalkan makanan, tabsi milik kami masih penuh dengan makanan seperti semula, padahal mereka sudah kenyang semuanya. Adonan roti milik kami masih tetap utuh sehingga kami masih sempat membuatnya menjadi roti. Sebelum itu Rasulullah saw. meludahi adonan dan fabsi makanan itu dan memberkahinya dengan doa.”

 

Abu Ayyub r.a. menceritakan pula bahwa ia telah membuat makanan untuk Rasulullah saw. dan Sahabat Abu Bakar r.a. yang hanya cukup untuk mereka berdua. Akan tetapi, dari makanan tersebut Rasulullah saw. dapat memberikan makan kepada seratus delapan puluh orang sahabatnya. Hal seperti ini diriwayatkan pula oleh banyak sahabat, di antara mereka adalah Sahabat ‘Abdur Rahman ibnu Abu Bakar, Salamah ibnul-Akwa’, Abu Hurairah, ‘Umar ibnul-Khaththab, dan Anas ibnu Malik, semoga Allah meridai mereka semuanya.

 

Mukjizat Rasulullah saw. yang lainnya ialah kisah tentang rintihan batang kurma. Sahabat Jabir ibnu ‘Abdullah r.a. menceritakan bahwa Masjid Madinah pada saat itu diberi atap yang ditopang oleh batang-batang kurma. “Bilamana Rasulullah saw. berkhotbah, ia berdiri di dekat salah satu dari batang kurma tersebut. Ketika dibuatkan mimbar untuk Rasulullah, kami mendengar suara yang bersumber dari batang kurma itu mirip dengan suara unta.” Dalam riwayat yang dikemukakan oleh Sahabat Anas disebutkan bahwa masjid sampai bergetar karena rintihannya itu. Menurut riwayat yang dikemukakan oleh Sahl, banyak orang yang menangis ketika mereka melihat hal itu.

 

Dalam hadits di atas, menurut riwayat yang dikemukakan oleh AlMuththalib, disebutkan bahwa batang kurma itu pecah, lalu Nabi saw mendatanginya dan meletakkan tangannya pada batang kurma yang pecah itu sehingga batang kurma itu diam dan tenang. Dalam riwayat selain AlMuththalib ditambahkan bahwa setelah itu Rasulullah saw. berkata, “Sesungguhnya batang kurma ini menangis karena ia merasa kehilangan zikir.” Perawi lainnya lagi menambahkan. “Demi Zat yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seandainya Rasulullah saw. tidak segera menenangkannya, niscaya batang kurma itu akan tetap dalam keadaan demikian karena merasa sedih ditinggal oleh Rasulullah. Setelah itu Rasulullah saw. memerintahkan agar batang kurma itu dikubur, lalu dikubur di bawah mimbarnya.”

 

Hadits ini dikemukakan oleh para perawi yang dapat dipercaya kesahihannya, dan banyak pula Tabi’in yang telah meriwayatkannya dengan bersumberkan para sahabat. Kemudian hadis ini diriwayatkan oleh para Tabi’in yang berpredikat lemah dan oleh orang-orang yang kedudukannya di bawah mereka dengan bersumberkan para Tabi’in. Akan tetapi, kebeparan kisah ini akan dapat diketahui oleh orang yang menekuni bab ini. Semoga Allah menetapkan kebenaran.

 

Mukjizat Rasulullah saw. yang lainnya lagi ialah dia dapat menyembuhkan orang-orang sakit dan orang-orang cacat. Dalam Perang Uhud, mata Sahabat Qatadah ibnu Nu’man terkena pukulan sehingga bola matanya ke luar. Kemudian bola mata yang keluar itu di kembalikan lagi ke tempatnya semula oleh Rasulullah saw. Setelah itu ternyata mata yang dikembalikan oleh Rasul jauh lebih tajam pandangannya daripada yang satunya lagi.

 

Dalam Perang Dzu QGard muka Abu Qatadah terkena anak panah, kemudian Rasulullah saw. meludahi lukanya (mengobatinya). Ternyata setelah itu sembuh tanpa meninggalkan bekas. Ibnu Mula’ibul-Asinnan terkena suatu penyakit yang berat sekali. Ia mengirimkan utusan kepada Rasulullah saw. untuk meminta obat. Rasulullah saw. mengambil segenggam tanah, kemudian meludahinya, lalu di berikannya tanah itu kepada utusan Ibnu Mula’ib. Utusan itu menerima tanah tersebut, tetapi kelihatan ia merasa jijik dan meremehkannya. Sekalipun demikian, terpaksa ia menyampaikannya juga kepada Ibnu Mula’ib yang pada saat itu hampir meninggal. Lalu tanah itu dicampur dengan air dan diminumkan kepadanya. Akhirnya Allah menyembuhkan Ibnu Mula’ib.

 

Dalam pembahasan tentang Perang Khaibar telah kami sebutkan kisah mengenai Sahabat ‘Ali dan sakit mata yang dideritanya, yang kemudian disembuhkan oleh Nabi saw. Pada kenyataannya masih banyak hal yang seperti itu dan diriwayatkan oleh ulama kaum Muslimin yang dapat dipercaya, tetapi tidak dapat kami kemukakan semua karena banyaknya.

 

Mengenai anugerah Allah yang dilimpahkan kepada Rasulullah saw. sehubungan dengan doa-doanya yang dikabulkan, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas ibnu Malik r.a. Ia meriwayatkan bahwa ibunya yang bernama Ummu Sulaim berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah pembantumu si Anas.ini.” Rasulullah saw. berdoa, “Ya Allah, perbanyaklah harta benda dan anak-anaknya, dan berkahilah apa yang telah aku berikan kepadanya.” Selanjutnya Sahabat Anas ibnu Malik berkata, “Demi Allah, sesungguhnya harta bendaku menjadi banyak sekali, dan anak-cucuku sekarang telah mencapai sekitar seratus orang.”

 

Rasulullah saw. pernah pula mendoakan kebaikan untuk Sahabat ‘Abdur-Rahman ibnu ‘Auf, supaya harta miliknya diberkahi. Ternyata bagian setiap orang di antara istri-istrinya yang berjumlah empat orang, setelah ia meninggal dunia, unta-untanya berkembang biakmenjadi sebanyak delapan puluh ribu ekor. Ia pernah menyedekahkan satu kafilah miliknya bersama unta-unta dan barang-barang yang dibawanya, sedangkan jumlah unta dalam kafilahnya itu tujuh ratus ekor.

 

Rasulullah saw. pernah pula mendokan Mu’awiyah supaya diberi kekuasaan di muka bumi ini. Akhirnya ternyata Mu’awiyah menjadi khalfah. Rasulullah saw. juga pernah mendoakan Sahabat Sa’d supaya menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Setelah itu tiada seorang pun yang didoakan oleh Sa’d yang permintaannya tidak dikabulkan. Pada pembahasan yang telah lalu telah kami terangkan doa Rasulullah saw. untuk Sahabat ‘Umar r.a., yaitu semoga Allah menjayakan Islam melaluinya. Pada suatu hari Rasulullah saw. berdoa untuk Sahabat Abu Gatadah, “Semoga dirimu beruntung, ya Allah, berkahilah rambut dan kulitnya.” Ternyata ketika sahabat Abu Qatadah meninggal dunia dalam umur tujuh puluh tahun, jenazahnya kelihatan seolah-olah masih baru berumur lima belas tahun. Doa-doa Rasulullah saw. yang mustajab memang cukup banyak hingga sulit dihitung. Hal ini dapat diketahui oleh seseorang yang membaca seluruh kitab riwayat hidupnya ini. Adapun mengenai yang telah ditampakkan Allah kepada Rasulullah saw. berupa pengetahuan mengenai hal-hal yang belum terjadi, banyak diceritakan oleh para sahabat. Sahabat Hudzaifah r.a. menceritakan, “Rasulullah saw. singgah pada kami, lalu dia berdiri di suatu tempat. Apa yang bakal terjadi pada tempat tersebut hingga hari kiamat nanti niscaya semuanya diceritakannya. Hal ini dihafal oleh orang-orang yang menghafalnya, dan ada pula di antara mereka yang melupakannya. Telah diketahui oleh semua temanku bahwa kelak akan terjadi sesuatu di tempat itu. Aku langsung dapat mengetahui dan mengenalnya sebagaimana seseorang mengingat wajah orang lain yang pergi, kemudian bilamana ia melihatnya, ia langsung dapat mengenalnya. Akan tetapi, aku tidak mengetahui, apakah teman-temanku lupa kepadanya atau pura-pura lupa saja. Demi Allah, Rasulullah saw. tidak pernah tidak menyebutkan suatu pemimpin fitnah pun hingga hari kiamat, yang jumlahnya ada tiga ratus orang lebih. Dia menyebutkan kepada kami namanya, nama bapaknya, dan nama kabilahnya.

 

Para perawi hadis yang sahih dan para imam telah mengemukakan hadis-hadis yang menceritakan janji Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya, yaitu bahwa mereka akan memperoleh kemenangan atas mushmusuh mereka, Makkah akan ditaklukkan oleh mereka, begitu pula Baitul-Magdis, Yaman, Syam, dan Irak. Kemudian stabilitas keamanan akan menaungi negeri-negeri yang telah dikuasai mereka sehingga seorang wanita berani melakukan perjalanan dari Hairah sampai ke Makkah sendirian tanpa merasa takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah swt. Juga bahwa kota Madinah akan diserang, dan tanah Khaibar pada keesokan harinya akan ditundukkan oleh Sahabat ‘Ali r.a. Rasulullah saw. telah memberitakan pula tentang penaklukan yang dianugerahkan Allah terhadap umatnya sehingga banyak negara besar yang ditaklukkan umatnya, sehingga Persia takluk di bawah kekuasaan para sahabatnya, dan mereka memperoleh banyak harta benda serta kemewahan. Pada pembahasan yang telah lalu dari kitab ini telah kami jelaskan sebagian besar daripadanya. Hal itu cukup untuk dijadikan pegangan.

 

Untuk lebih jelasnya lagi kami kisahkan tentang anugerah yang dilimpahkan Allah terhadap Nabi-Nya, yaitu ia selalu berada dalam pemeliharaan-Nya dari ulah manusia dan perbuatan mereka yang ingin mencelakakan dirinya. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. telah berfirman:

 

Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (Q.S. 5 AlMaidah: 67)

 

Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam pemeliharaan Kami. (Q.S. 62 Ath-Thur: 48)

 

Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-himba-Nya? (Q.S. 39 Az-Zumar: 36)

 

Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokan (kamu). (Q.S. 15 Al-Hijr: 95)

 

Ketika turun kepada Rasulullah saw. firman Allah swt. berikut ini:

 

Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (Q.S. 5 AlMaidah: 67)

 

Rasulullah saw. langsung menyuruh pergi pengawal-pengawal pribadinya seraya berkata kepada mereka, “Pergilah kalian karena sesungguhnya Allah telah memelihara diriku.”

 

Pada pembahasan yang telah lalu kami telah menjelaskan tentang Da’tsur yang bermaksud membunuhnya, kemudian Allah swt. memelihara Nabi-Nya dari kejahatan Da’tsur. Kami banyak menceritakan mengenai yang telah dilakukan oleh Abu Jahal, yaitu ketika Abu Jahal bermaksud menipu Rasulullah saw. dengan berbagai macam cara yang menyakitkan, tetapi Allah swt. memelihara Nabi saw. dari kejahatannya. Telah kami kisahkan pula tentang anugerah Allah swt. yang dilimpahkan kepadanya pada malam Hijrah serta cerita tentang Suragah sewaktu Nabi saw. dalam perjalanan hijrah.

 

Dapat kami simpulkan dari pembahasan yang telah lalu bahwa Rasulullah saw. telah tinggal di Makkah di antara musuh-musuh bebuyutannya selama tiga belas tahun (setelah dia diangkat menjadi rasul). Dia tinggal di Madinah di tengah-tengah orang-orang yang berpura-pura masuk Islam, yaitu kaum munafikin, dan orang-orang Yahudi selama sepuluh tahun. Akan tetapi, dalam waktu yang cukup lama itu ternyata tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat menimpakan hal-hal yang membahayakan terhadap dirinya karena Allah swt. telah memeliharanya dari kejahatan musuh-musuhnya sehingga Allah memenangkan dan menyempurnakan agama-Nya

 

Segala puji bagi Allah dengan pujian yang seimbang dengan limpahan karunia-karunia-Nya dan lebih dari itu lagi, dan kami memohon kepada Allah semoga Dia memberikan taufik kepada para pembaca kitab riwayat hidup Rasulullah ini untuk dapat mengikuti jejak-jejaknya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam-Nya kepada diri Rasulullah, para sahabatnya, dan semua kaum Ansharnya,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

perandakan tatanan mereka, mencela tuhan-tuhan dan nenek-moyang mereka, dan menghalalkan tanah serta rumah-rumah dan harta benda milik mereka. Padahal mereka dalam semuanya itu tidak berdaya menantangnya dan tidak mampu mendatangkan hal yang semisal dengannya. Akhirnya mereka menipu diri mereka sendiri melalui pengacauan, pendustaan, dan membangga-banggakan diri sebagai kompensasi bagi ketidakmampuan mereka, yaitu melalui perkataan mereka seperti berikut ini: “Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah sihir yang dibuat-buat. Al-Qur’an adalah sihir yang terus-menerus dan kedustaan yang dibuat-buat serta dongengan-dongengan orang-orang terdahulu.” Mereka rela dengan kerendahan diri mereka sebagaimana yang telah diungkapkan oleh firman-Nya:

 

Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya, dan di telinga kami ada sumbatan, dan antara kami dan kamu ada dinding. (Q.S. 41 Fushshilat: 5)

 

Allah swt. telah berfirman yang menceritakan perkataan mereka:

 

 Janganlah kalian mendengarkan dengan sungguh-sungguh Al-Quran Ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya. (Q.S. 41 Fushshilat: 28)

 

Mereka hanya mengaku-aku saja, padahal kenyataannya mereka sama sekali tidak mampu menandinginya sebagaimana yang telah diceritakan dalam firman-Nya:

 

 Seandainya kami suka, niscaya kami dapat mengatakan hal yang serupa dengannya (Al-Quran). (Q.5. 8 Al-Anfal: 31)

 

Kemudian Allah swt. menyanggah perkataan mereka itu melalui firmanNya:

 

Kalian tidak akan dapat melakukannya. (Q.S. 2 Al-Bagarah: 24)

 

Mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak akan mampu. Orang yang tolol dari kalangan mereka, yang berani melakukan hal itu, justru membuka keaiban dirinya di mata semua orang seperti apa yang telah dilakukan oleh Musailamah al-Kadzdzab.

 

Allah swt. telah mencabut kefasihan berbicara yang telah menjadi kebiasaan mereka. Bilamana tidak demikian, niscaya orang-orang yang ahli dari kalangan mereka tidak akan menilai bahwa Al-Qur’an itu bukan termasuk jenis kefasihan mereka dan bukan paramasastra mereka. Bahkan mereka akan melarikan diri daripadanya, tetapi kenyataannya mereka mau mendatanginya dalam keadaan tunduk bilamana memikirkan firman Allah swt. berikut ini:

 

Dan dalam gishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian. (Q.3. 2 Al-Bagarah: 179)

 

Dan (alangkah hebatnya) jika kamu melihat ketika mereka (orangorang kafir) terperanjat ketakutan (pada hari kiamat). Mereka tidak dapat melepaskan diri dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (untuk dibawa ke neraka). (Q.S. 34 Saba: 51)

 

Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang diantara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Q.S. 41 Fushshilat: 34)

 

Dan difirmankan, “Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan, “Binasalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. 11 Hud: 44).

 

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa karena dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Q.5S. 29 Al-Ankabut: 40)

 

Ayat-ayat lainnya yang serupa, bahkan sebagian besar dari AlGuran, niscaya akan dapat membuktikan apa yang telah kami jelaskan di muka tadi, yaitu berkenaan dengan keringkasan lafazh AlQuran, kepadatan maknanya, keindahan ungkapannya, dan keindahan susunan huruf serta keserasiannya. Sesungguhnya di balik setiap lafazh-nya terkandung pengertian yang cukup panjang sehingga berpasal-pasal dan menjadi berbagai macam disiplin ilmu yang kini telah memenuhi kitab-kitab sebagai kesimpulan dari ana yang dikandungnya.

 

Kemudian penyajian Al-Qur’an tentang kisah-kisah yang panjang mengenai berita kaum-kaum zaman dahulu kala, yang biasanya orang-orang fasih mereka tidak mampu melakukannya merupakan bukti bagi orang yang memperhatikannya, yaitu mengenai hubungan antara suatu jumlah kalimat dengan jumlah kalimat yang lain, keterpaduan penyajiannya, dan kejelasan segi-seginya, seperti kisah tentang Nabi Yusuf yang panjang itu. Kemudian bilamana kisahnya berulang-ulang, ternyata ungkapan yang dipakainya berbeda-beda dan keserasian ungkapannya begitu memukau. Jdiwa seseorang tidak akan bosan sekalipun diulang-ulang dan tidak akan merasa antipati terhadapnya: justru hal itu semakin membuatnya tertarik.

 

Kedua: Mukjizat Al-Qur’an menyangkut gambaran susunannya yang menakjubkan, uslub-uslub-nya yang aneh dan berbeda pula uslub-uslub yang biasa berlaku dalam bahasa Arab, serta berbeda pula dari nizham dan natsar yang berlaku di kalangan mereka. Semua yang dikemukakan dalam Al-Quran berbeda, dan baik sebelumnya ataupun sesudahnya tidak pernah dijumpai hal yang serupa dengannya, serta tidak ada seorang pun yang mampu membuat sesuatu yang serupa dengannya. Bahkan Al-Qur’an membuat mereka menjadi bingung dan kemampuan mereka melemah di hadapannya. Mereka tidak menemukan jalan untuk membuat hal yang setara dengannya dari kalam mereka. Hal seperti Al-Qur’an tidak mereka jumpai di dalam natsar, nizham, dan sajak mereka. Mukjizat Al-Qur’an baik ditinjau dari segi keringkasan ungkapannya, balaghah (paramasastra), atau dari segi ungkapannya yang aneh, masing-masing segi itu tidak mampu mereka melakukannya, karena masing-masing berada di luar jangkauan kemampuan mereka dan berbeda dengan kefasihan bicara mereka.

 

Ketiga: Di antara mukjizat al-Quran ialah karena ditinjau dari segi bahwa dalam Al-Quran terkandung berita-berita mengenai masalah gaib dan hal-hal yang belum terjadi, kemudian kejadiannya persis seperti yang telah diberitakan di dalamnya sebagaimana yang terdapat dalam firmanNya:

 

Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil-Haram, insya Allah dalam keadaan aman. (Q.S. 48 Al-Fath: 27)

 

 Sehubungan dengan bangsa Romawi Allah berfirman:

 

Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. (Q.S. 30 Ar-Rum: 3-4)

 

dimenangkan-Nya atas segala agama. (Q.S. 9 At-Taubah: 33)

 

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentausa. (Q.S. 24 An-Nur: 55)

 

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. (Q.S. 110 An-Nashr: 1-2)

 

Ternyata semua yang telah diberitakan oleh Al-Quran menjadi kenyataan. Kekaisaran Romawi akhirnya dapat mengalahkan Kerajaan Persia, kemudian manusia masuk agama Islam secara berbondongbondong, dan kekuasaan kaum Muslimin kian meluas, sehingga pada suatu waktu kekuasaan mereka sampai ke Andalusia (Spanyol) di sebelah barat, sampai batas India di sebelah timur, hingga ke Anatolia (Asia Kecil) di sebelah utara, dan sampai mencapai batas terakhir Sudan di sebelah selatan. Allah swt. mengatakan dalam firman-Nya:

 

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-gduran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S. 15 Al-Hijr: 9)

 

Ternyata keadaannya, al-hamdulillah seperti apa yang telah diberitakan oleh-Nya hingga sekarang. Allah swt. berfirman pula dalam ayat yang Jain:

 

Golongan (orang-orang kafir) itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. (Q.S. 54 Al-Gamar: 45)

 

Kemudian kejadiannya memang seperti yang telah diberitakan oleh AlQuran, yaitu dalam Perang Badar. Ayat di atas diturunkan di Makkah. Dalam ayat yang lain Allah swt. berfirman:

 

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tangan kalian. (Q.S. 9 At-Taubah: 14)

 

Kejadiannya memang persis seperti yang telah diberitakan Allah swt. dalam Kitab-Nya. Hal ini dapat para pembaca ketahui melalui sejarah hidup Rasulullah saw. yang telah kami kemukakan. Di dalamnya telah disebutkan tentang terbongkarnya rahasia orang-orang munafik dan orang-orang Yahudi serta kedustaan perkataan mereka di dalam sumpahnya sebagaimana yang difirmankan-Nya:

 

Dan mereka mengatakan kepada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita karena apa yang kita katakan?” (Q.S. 58 Al-Mujadilah: 8)

 

Mereka menyembunyikan di dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu. (Q.S. 3 Ali ‘Imran: 154)

 

Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, “Kami mendengar,” tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula), “Dengarlah” semoga kamu tidak dapat mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan) “Raina,” dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. (Q.S. 4 An-Nisa: 46)

 

Masih banyak ayat lain yang menceritakan hal ihwal mereka.

 

Keempat: Di antara mukjizat Al-Quran ialah karena di dalamnya terkandung berita-berita tentang umat-umat terdahulu dan syariat-syariatnya. Satu kisah di antaranya tidak akan dapat diketahui selain oleh para pendeta ahli kitab yang benar-benar cemerlang, yang hanya menekuni hal ini seumur hidupnya. Hal ini dapat dikemukakan oleh Rasulullah saw. sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi pada masa dahulu. Ahli kitab yang mengetahui kisah ini dengan sebenarnya langsung membenarkan apa yang telah dikemukakannya, karena mereka telah mengetahui bahwa Rasulullah saw. adalah seorang ummi, tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis, serta tidak pernah belajar di madrasah atau duduk di majelis ilmu. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak diingkari oleh para ahli kitab. Tiada seorang pun di antara mereka yang mengingkari hal ini. Sering kali ahli kitab bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kisahkisah ini. Maka turunlah kepada Rasulullah Al-Quran yang di bacakan kepada mereka sebagai peringatan seperti kisah para nabi, kisah tentang kejadian, dan apa-apa yang telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu. Ternyata para ulama mereka tiada sorang pun yang berani mendustakan apa yang telah diceritakan oleh Rasulullah saw. karena semuanya benar.

 

Semua yang diceritakan oleh Rasulullah saw. ternyata dapat membedakan mana yang benar dan mana yang telah mengalami perubahan dari kitab mereka sesudah terlebih dahulu Al-Qur’an yang dibacakannya itu mengingatkan dan mencela mereka sebagaimana yang difirmankan-Nya:

 

Katakanlah, “(Jika kalian mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kalian orang-orang yang benar.” (Q.5S. 3 Ali ‘Imran: 93)

 

Di antara bukti yang menunjukkan bahwa para ahli kitab mengetahui kebenaran yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw. ialah adanya tantangan dari Allah swt. kepada mereka melalui firman-Nya:

 

Katakanlah, “Jika kalian (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (kalian) jika kalian memang benar. (Q.S. 2 Al-Bagarah: 94)

 

Kemudian dalam ayat yang lain Allah swt. memastikan tentang ketidakmauan mereka untuk mati, yaitu melalui firman-Nya:

 

 Dan sekali-kali mereka tidak-akan mengingini kematian itu selamalamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah di perbuat oleh tangan mereka (sendiri). (Q.S. 2 Al-Bagarah: 95)

 

Ternyata tidak pernah terdengar bahwa ada seseorang di antara mereka yang mengharapkan hal tersebut (kematian) sekalipun hanya melalui mulut saja tanpa dilaksanakan. Sekalipun demikian, mereka adalah orangorang yang paling sengit mendustakan Rasulullah saw. Sebagai contoh ialah seperti yang telah dilakukan oleh penduduk Najran tatkala Rasulullah saw. mengajak mereka untuk ber-mubahalah dan mereka menolak. Hal ini telah kami kemukakan dalam pembahasan mengenai utusan orang Najran.

 

Di antara hal-hal yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu bukanlah perkataan manusia ialah adanya rasa takut yang menyusup di hati para pendengarnya dan pengaruh yang menguasai mereka sewaktu AlQuran dibacakan. Hal ini tidak lain disebabkan oleh kekuatan yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan wibawanya yang anggun membuat mereka merasa berat untuk mendengarkannya dan semakin dibacakan, semakin bertambah pula antipati mereka terhadapnya. Oleh sebab itu, benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. yaitu:

 

Sesungguhnya Al-Quran itu sulit dan menyulitkan bagi orang yang membencinya: Al-Quran adalah hukum.

 

Bagi orang mukmin, keagungan dan pengaruh Al-Quran sewaktu ia membacanya justru makin menambahnya senang dan kepercayaannya makin menebal terhadapnya sebagaimana yang telah diungkapkan oleh firmanNya:

 

Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka pada waktu mengingat Allah. (Q.S. 39 Az-Zumar: 23).

 

Dalam ayat lain Allah swt. berfirman:

 

Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah di sebabkan oleh takut kepada Allah. (Q.S. 59 Al-Hasyr: 21)

 

Di antara segi-segi mukjizat Al-Quran jalah karena ia merupakan tanda (mukjizat) yang bersifat abadi dan tidak akan lenyap sepanjang dunia masih ada. Di samping itu Allah swt, telah menjamin pemeliharaan keutuhannya sebagaimana yang telah diungkapkan melalui firman-Nya:

 

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S. 15 Al-Hjjr: 9)

 

Di dalam ayat yang lain Allah swt. telah berfirman pula:

 

Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) adalah kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya. (Q.S. 41 Fushshilat: 42)

 

Mukjizat-mukjizat para nabi yang lain tidak ada satu pun yang tertinggal, yang ada hanyalah beritanya saja, tetapi mukjizat Al-Qur’an sampai sekarang masih tetap ada. Ia merupakan hujjah yang dapat mengalahkan semua hujjah, dan ia adalah penantang tanpa tandingan. Zaman itu penuh dengan ahli ilmu bayan, pemangku ilmu bahasa dan imam ilmu balaghah, serta jago bicara dan cendekiawan. Sebagian besar dari mereka tidak percaya dan ingkar terhadap syariat Al-Quran. Sekalipun demikian, ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan mereka yang mampu mendatangkan sesuatu yang berarti untuk menantang Al-Guran, dan mereka sama sekali tidak mampu membuat dua kalimat yang serupa dengannya. Bahkan setiap orang yang berani mencoba-coba menentang Al-Qur’an dengan mengerahkan segala kemampuannya, pada akhirnya mundur dengan perasaan patah karena tidak mampu menyainginya.

 

Alangkah baiknya bilamana bab ini kami akhiri dengan menyebutkan hadis Rasulullah saw. mengenai Al-Guran, yaitu:

 

Sesungguhnya Allah swt. menurunkan Al-Quran dalam bentuk perintah, larangan, menceritakan tentang sunnah-sunnah terdahulu, dan perumpamaan-perumpamaan (yang dibuat oleh-Nya). Di dalamnya terkandung berita mengenai kalian dan cerita tentang umat-umat sebelum kalian, berita tentang apa yang bakal terjadi sesudah kalian, dan hukum mengenai apa yang ada di antara kalian. Al-Quran tidak membosankan sekalipun banyak yang diulang-ulang, dan keajaibannya tidak pernah habis. Al-Quran adalah perkara yang hak dan bukan mainan-mainan. Barang siapa mengatakannya, berarti ia benar, barang siapa memutuskan hukum dengan memakainya, berarti ia adil, barang siapa bersengketa dengan memakainya (sebagai dalilnya), berarti ia akan menang: barang siapa menghukumi (sesuatu) dengan memakainya, berarti ia berlaku adil: barang siapa mengamalkannya, ie akan mendapat pahala: barang siapa berpegang kepadanya, niscaya mendapat petunjuk jalan yang lurus, barang siapa mencari petunjuk ke pada selain Al-Quran, niscaya Allah akan menyesatkannya, dan barang siapa membuat hukum dengan selainnya, niscaya ia dipatahkan oleh

 

Allah. Al-Quran adalah peringatan yang bijaksana, cahaya yang jelas, jalan yang lurus, tali Allah yang kuat, dan penawar yang mujarab. AlQuran merupakan pemelihara bagi orang yang berpegang kepadanya serta merupakan keselamatan bagi orang yang mengikuti (petunjuk)nya. Al-Quran tidak bengkok yang membutuhkan pelurusan, dan ia tidak menyimpang sehingga membuatnya tercela.

Di antara mukjizat Rasulullah saw. yang lain ialah terbelahnya rembulan: hal ini telah disebutkan oleh hadis secara rinci.

 

Di antaranya lagi ialah memancarnya air dari celah-celah jari-jemari Rasulullah saw. sehingga air makin bertambah banyak berkat mukjizatnya. Hal ini diriwayatkan oleh sebagian besar sahabat: di antara mereka adalah Sahabat Anas ibnu Malik, Sahabat Jabir, dan Sahabat ‘Abdullah ibnu Mas’ud. Sahabat Anas r.a. menceritakan bahwa ia pernah melihat Rasulullah saw. pada suatu hari ketika salat asar telah tiba. Para sahabat mencari air untuk berwudu, tetapi mereka tidak menemukannya. Akhirnya Nabi saw. mendatangkan air dalam suatu wadah yang cukup untuk satu kali wudu, kemudian dia meletakkan tangannya ke dalam wadah tersebut. Setelah itu Rasulullah saw. memerintahkan orang-orang untuk berwudu dari wadah itu. Sahabat Anas r.a. melanjutkan ceritanya, bahwa ia melihat ada air yang keluar dari celah-celah jari-jemari Rasulullah saw. Kemudian orang-orang berwudu sehingga mereka semua sempat melakukan wudu dari wadah itu. Setelah itu Rasulullah saw. bertanya, “Berapa orangkah jumlah kalian?” Ada yang menjawab bahwa jumlah mereka sekitar tiga ratus orang.

 

Sahabat ‘Abdullah ibnu Mas’ud r.a. menceritakan pula, “Kami sedang bersama Nabi saw. pada waktu itu kami tidak membawa air. Nabi saw. berkata, “Carikanlah air oleh kalian dari orang-orang yang mempunyai kelebihan air.” Ada seseorang yang membawa sedikit air. Nabi saw. menuangkan air tersebut ke dalam suatu wadah, kemudian ia meletakkan telapak tangannya ke dalam wadah tersebut. Kala itu seolah-olah air memancar dari sela-sela jari-jemarinya.

 

Sahabat Jabir menceritakan. “Pada peristiwa Hudaibiyah orang-orang kehausan sementara di tangan Rasulullah saw. terdapat wadah yang berisi sedikit air. Lalu Nabi saw. berwudu. Ketika itu orang-orang berdatangan kepadanya seraya mengatakan, bahwa mereka tidak mempunyai air kecuali yang ada di dalam wadah yang sedang dipakainya. Rasulullah saw. meletakkan tangannya ke dalam wadah tersebut. Saat itu air seolah-olah menyembur dari sela-sela jari-jemarinya bagaikan mata air. Lalu ada yang bertanya, “Berapakah jumlah kalian? Rasulullah saw. menjawab, ‘Seandainya kita ini berjumlah seratus ribu orang, niscaya air ini akan mencukupi kita semua.’ Pada saat itu jumlah kami hanya seribu lima ratus orang.” Kisah seperti hadis-hadis di atas telah diriwayatkan oleh banyak sahabat. Hal-hal seperti itu, yang terjadi di tempat-tempat yang disaksikan banyak orang, merupakan hal yang tidak diragukan lagi kebenarannya oleh perawi. Sebab para perawi itu adalah orang-orang yang paling selektif dalam mengemukakan hadis-hadis, dan mereka adalah orang-orang yang tidak akan tinggal diam bilamana melihat suatu hal yang batil. Sedangkan sebagian besar sahabat telah menyaksikan sendiri kejadian-kejadian tersebut dan mengalaminya sehingga tidak ada seorang pun dari para perawi yang mengingkari apa yang telah diceritakan oleh para sahabat. Karena para sahabat sendiri yang menjadi pelaku dan saksi dalam peristiwa-peristiwa tersebut, maka kedudukannya sama dengan hadis yang telah disepakati oleh para sahabat semua.

 

Mukjizat lainnya yang menyerupai memancarnya air dari sela-sela jarijemari berkah doa dan sentuhan tangannya ialah seperti yang diceritakan oleh Sahabat Mu’adz. Sahabat Mu’adz ibnu Jabal r.a. menceritakan bahwa sewaktu para sahabat berada dalam Perang Tabuk, mereka menemukan mata air yang airnya tinggal sedikit sekali. Mereka mencedok airnya dengan tangan, lalu mereka kumpulkan dalam suatu wadah. Kemudian Rasulullah saw. membasuh muka dan kedua tangannya dengan air itu, lalu air bekas basuhannya itu di kembalikan ke dalam mata air. Pada saat itu juga mata air itu menjadi banyak kembali airnya sehingga semua orang dapat minum daripadanya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishag disebutkan bahwa pada saat itu terdengar dari mata air suara seperti guntur. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada Sahabat Mu’adz:

 

Hai Mu’adz, bilamana umur engkau panjang, niscaya engkau akan melihat banyak kebun di sekitar sini.

 

Kisah mengenai kejadian di atas telah kami kemukakan dalam pasal yang membahas Perang Tabuk.

 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan melalui Al-Barra dan Salamah ibnul Akwa’ disebutkan pula mengenai mata air di Hudaibiyah yang menjadi banyak airnya berkat doa Rasulullah saw.

 

Abu Qatadah meriwayatkan, “Dalam suatu perjalanan, para sahabat mengadu kepada Rasulullah saw. tentang rasa haus yang mencekik tenggorokan mereka. Rasulullah saw. memerintahkan supaya didatangkan sebuah wadah untuk berwudu kepadanya, lalu wadah itu di dekapnya, kemudian dia meletakkan mulutnya kepinggiran wadah itu. Hanya Allahlah Yang maha tahu, apakah dia meniup wadah tersebut atau tidak. Setelah itu orang-orang minum dari wadah itu sehingga segar kembali, dan mereka memenuhi setiap wadah air yang mereka bawa. Anehnya, kulihat wadah itu masih berisi air seperti semula sewaktu diambilnya dariku. Pada saat itu jumlah sahabat ada tujuh puluh orang.” Masih banyak lagi kisah serupa yang terjadi di berbagai tempat, semuanya telah diriwayatkan oleh banyak sahabat sehingga tidak diragukan lagi kebenarannya, terlebih lagi diperkuat oleh para perawinya yang dapat dipercaya. “

 

Mukjizat lainnya lagi yang dimiliki Rasulullah saw. ialah makanan yang sedikit dapat menjadi banyak berkat doanya. Sahabat Thalhah telah menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberi makan delapan puluh atau tujuh puluh orang hanya dari sedikit syair (gandum) yang dibawa oleh Sahabat Anas. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan agar gandum itu dibagi-bagikan, dan sebelum itu dia membacakan doa seperti apa yang telah dikehendaki oleh Allah. Akhirnya gandum yang hanya sedikit itu dapat mencukupi kebutuhan makan orang banyak.

 

Sahabat Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. telah memberi makan seribu orang hanya dari satu sha’ gandum. Hal ini terjadi pada waktu Perang Khandag berlangsung. Sahabat Jabir r.a. memberikan komentarnya, “Aku bersumpah dengan Allah, sungguh mereka telah makan semuanya sehingga mereka meninggalkannya. Ketika mereka meninggalkan makanan, tabsi milik kami masih penuh dengan makanan seperti semula, padahal mereka sudah kenyang semuanya. Adonan roti milik kami masih tetap utuh sehingga kami masih sempat membuatnya menjadi roti. Sebelum itu Rasulullah saw. meludahi adonan dan tabsi makanan itu dan memberkahinya dengan doa.”

 

Abu Ayyub r.a. menceritakan pula bahwa ia telah membuat makanan untuk Rasulullah saw. dan Sahabat Abu Bakar r.a. yang hanya cukup untuk mereka berdua. Akan tetapi, dari makanan tersebut Rasulullah saw. dapat memberikan makan kepada seratus delapan puluh orang sahabatnya. Hal seperti ini diriwayatkan pula oleh banyak sahabat, di antara mereka adalah Sahabat ‘Abdur Rahman ibnu Abu Bakar, Salamah ibnul-Akwa’, Abu Hurairah, ‘Umar ibnul-Khaththab, dan Anas ibnu Malik, semoga Allah meridai mereka semuanya.

 

Mukjizat Rasulullah saw. yang lainnya ialah kisah tentang rintihan batang kurma. Sahabat Jabir ibnu ‘Abdullah r.a. menceritakan bahwa Masjid Madinah pada saat itu diberi atap yang ditopang oleh batang-batang kurma. “Bilamana Rasulullah saw. berkhotbah, ia berdiri di dekat salah satu dari batang kurma tersebut. Ketika dibuatkan mimbar untuk Rasulullah, kami mendengar suara yang bersumber dari batang kurma itu mirip dengan suara unta.” Dalam riwayat yang dikemukakan oleh Sahabat Anas disebutkan bahwa masjid sampai bergetar karena rintihannya itu. Menurut riwayat yang dikemukakan oleh Sahl, banyak orang yang menangis ketika mereka melihat hal itu.

 

Dalam hadits di atas, menurut riwayat yang dikemukakan oleh AlMuththalib, disebutkan bahwa batang kurma itu pecah, lalu Nabi saw mendatanginya dan meletakkan tangannya pada batang kurma yang pecah itu sehingga batang kurma itu diam dan tenang. Dalam riwayat selain AlMuththalib ditambahkan bahwa setelah itu Rasulullah saw. berkata, “Sesungguhnya batang kurma ini menangis karena ia merasa kehilangan zikir.” Perawi lainnya lagi menambahkan. “Demi Zat yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seandainya Rasulullah saw. tidak segera menenangkannya, niscaya batang kurma itu akan tetap dalam keadaan demikian karena merasa sedih ditinggal oleh Rasulullah. Setelah itu Rasulullah saw. memerintahkan agar batang kurma itu dikubur, lalu dikubur di bawah mimbarnya.”

 

Hadits ini dikemukakan oleh para perawi yang dapat dipercaya kesahihannya, dan banyak pula Tabi’in yang telah meriwayatkannya dengan bersumberkan para sahabat. Kemudian hadis ini diriwayatkan oleh para Tabi’in yang berpredikat lemah dan oleh orang-orang yang kedudukannya di bawah mereka dengan bersumberkan para Tabi’in. Akan tetapi, kebenaran kisah ini akan dapat diketahui oleh orang yang menekuni bab ini. Semoga Allah menetapkan kebenaran.

 

Mukjizat Rasulullah saw. yang lainnya lagi ialah dia dapat menyembuhkan orang-orang sakit dan orang-orang cacat. Dalam Perang Uhud, mata Sahabat Qatadah ibnu Nu’man terkena pukulan sehingga bola matanya ke luar. Kemudian bola mata yang keluar itu di kembalikan lagi ke tempatnya semula oleh Rasulullah saw. Setelah itu ternyata mata yang dikembalikan oleh Rasul jauh lebih tajam pandangannya daripada yang satunya lagi.

 

Dalam Perang Dzu QGard muka Abu Qatadah terkena anak panah, kemudian Rasulullah saw. meludahi lukanya (mengobatinya). Ternyata setelah itu sembuh tanpa meninggalkan bekas. Ibnu Mula’ibul-Asinnan terkena suatu penyakit yang berat sekali. Ia mengirimkan utusan kepade Rasulullah saw. untuk meminta obat. Rasulullah saw. mengambil segenggam tanah, kemudian meludahinya, lalu di berikannya tanah itu kepada utusan Ibnu Mula’ib. Utusan itu menerima tanah tersebut, tetapi kelihatan ia merasa jijik dan meremehkannya. Sekalipun demikian, terpaksa ia menyampaikannya juga kepada Ibnu Mula’ib yang pada saat itu hampir meninggal. Lalu tanah itu dicampur dengan air dan diminumkan kepadanya. Akhirnya Allah menyembuhkan Ibnu Mula’ib.

 

Dalam pembahasan tentang Perang Khaibar telah kami sebutkan kisah mengenai Sahabat ‘Ali dan sakit mata yang dideritanya, yang kemudian disembuhkan oleh Nabi saw. Pada kenyataannya masih banyak hal yang seperti itu dan diriwayatkan oleh ulama kaum Muslimin yang dapat dipercaya, tetapi tidak dapat kami kemukakan semua karena banyaknya.

 

Mengenai anugerah Allah yang dilimpahkan kepada Rasulullah saw. sehubungan dengan doa-doanya yang dikabulkan, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas ibnu Malik r.a. Ia meriwayatkan bahwa ibunya yang bernama Ummu Sulaim berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah pembantumu si Anas.ini.” Rasulullah saw. berdoa, “Ya Allah, perbanyaklah harta benda dan anak-anaknya, dan berkahilah apa yang telah aku berikan kepadanya.” Selanjutnya Sahabat Anas ibnu Malik berkata, “Demi Allah, sesungguhnya harta bendaku menjadi banyak sekali, dan anak-cucuku sekarang telah mencapai sekitar seratus orang.”

 

Rasulullah saw. pernah pula mendoakan kebaikan untuk Sahabat ‘Abdur-Rahman ibnu ‘Auf, supaya harta miliknya diberkahi. Ternyata bagian setiap orang di antara istri-istrinya yang berjumlah empat orang, setelah ia meninggal dunia, unta-untanya berkembang biakmenjadi sebanyak delapan puluh ribu ekor. Ia pernah menyedekahkan satu kafilah miliknya bersama unta-unta dan barang-barang yang dibawanya, sedangkan jumlah unta dalam kafilahnya itu tujuh ratus ekor.

 

Rasulullah saw. pernah pula mendokan Mu’awiyah supaya diberi kekuasaan di muka bumi ini. Akhirnya ternyata Mu’awiyah menjadi khalifah. Rasulullah saw. juga pernah mendoakan Sahabat Sa’d supaya menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Setelah itu tiada seorang pun yang didoakan oleh Sa’d yang permintaannya tidak dikabulkan. Pada pembahasan yang telah lalu telah kami terangkan doa Rasulullah saw. untuk Sahabat ‘Umar r.a., yaitu semoga Allah menjayakan Islam melaluinya. Pada suatu hari Rasulullah saw. berdoa untuk Sahabat Abu Qatadah, “Semoga dirimu beruntung, ya Allah, berkahilah rambut dan kulitnya.” Ternyata ketika sahabat Abu Qatadah meninggal dunia dalam umur tujuh puluh tahun, jenazahnya kelihatan seolah-olah masih baru berumur lima belas tahun. Doa-doa Rasulullah saw. yang mustajab memang cukup banyak hingga sulit dihitung. Hal ini dapat diketahui oleh seseorang yang membaca seluruh kitab riwayat hidupnya ini. Adapun mengenai yang telah ditampakkan Allah kepada Rasulullah saw. berupa pengetahuan mengenai hal-hal yang belum terjadi, banyak diceritakan oleh para sahabat. Sahabat Hudzaifah r.a. menceritakan, “Rasulullah saw. singgah pada kami, lalu dia berdiri di suatu tempat. Apa yang bakal terjadi pada tempat tersebut hingga hari kiamat nanti niscaya semuanya diceritakannya. Hal ini dihafal oleh orang-orang yang menghafalnya, dan ada pula di antara mereka yang melupakannya. Telah diketahui oleh semua temanku bahwa kelak akan terjadi sesuatu di tempat itu. Aku langsung dapat mengetahui dan mengenalnya sebagaimana seseorang mengingat wajah orang lain yang pergi, kemudian bilamana ia melihatnya, ia langsung dapat mengenalnya. Akan tetapi, aku tidak mengetahui, apakah teman-temanku lupa kepadanya atau pura-pura lupa saja. Demi Allah, Rasulullah saw. tidak pernah tidak menyebutkan suatu pemimpin fitnah pun hingga hari kiamat, yang jumlahnya ada tiga ratus orang lebih. Dia menyebutkan kepada kami namanya, nama bapaknya, dan nama kabilahnya.

 

Para perawi hadis yang sahih dan para imam telah mengemukakan hadis-hadis yang menceritakan janji Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya, yaitu bahwa mereka akan memperoleh kemenangan atas mushmusuh mereka, Makkah akan ditaklukkan oleh mereka, begitu pula Baitul-Magdis, Yaman, Syam, dan Irak. Kemudian stabilitas keamanan akan menaungi negeri-negeri yang telah dikuasai mereka sehingga seorang wanita berani melakukan perjalanan dari Hairah sampai ke Makkah sendirian tanpa merasa takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah swt. Juga bahwa kota Madinah akan diserang, dan tanah Khaibar pada keesokan harinya akan ditundukkan oleh Sahabat ‘Ali r.a. Rasulullah saw. telah memberitakan pula tentang penaklukan yang dianugerahkan Allah terhadap umatnya sehingga banyak negara besar yang ditaklukkan umatnya, sehingga Persia takluk di bawah kekuasaan para sahabatnya, dan mereka memperoleh banyak harta benda serta kemewahan. Pada pembahasan yang telah lalu dari kitab ini telah kami jelaskan sebagian besar daripadanya. Hal itu cukup untuk dijadikan pegangan.

 

Untuk lebih jelasnya lagi kami kisahkan tentang anugerah yang dilimpahkan Allah terhadap Nabi-Nya, yaitu ia selalu berada dalam pemeliharaan-Nya dari ulah manusia dan perbuatan mereka yang ingin mencelakakan dirinya. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. telah berfirman:

 

Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (Q.S. 5 AlMaidah: 67)

 

Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam pemeliharaan Kami. (Q.S. 52 Ath-Thur: 48)

 

Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-himba-Nya? (Q.S. 39 Az-Zumar: 36)

 

Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokan (kamu). (Q.S. 15 Al-Hijr: 95)

 

Ketika turun kepada Rasulullah saw. firman Allah swt. berikut ini:

 

Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (Q.S. 5 AlMaidah: 67)

 

Rasulullah saw. langsung menyuruh pergi pengawal-pengawal pribadinya seraya berkata kepada mereka, “Pergilah kalian karena sesungguhnya Allah telah memelihara diriku.”

 

Pada pembahasan yang telah lalu kami telah menjelaskan tentang Da’tsur yang bermaksud membunuhnya, kemudian Allah swt. memelihara Nabi-Nya dari kejahatan Da’tsur. Kami banyak menceritakan mengenai yang telah dilakukan oleh Abu Jahal, yaitu ketika Abu Jahal bermaksud menipu Rasulullah saw. dengan berbagai macam cara yang menyakitkan, tetapi Allah swt. memelihara Nabi saw. dari kejahatannya. Telah kami kisahkan pula tentang anugerah Allah swt. yang dilimpahkan kepadanya pada malam Hijrah serta cerita tentang Suragah sewaktu Nabi saw. dalam perjalanan hijrah.

 

Dapat kami simpulkan dari pembahasan yang telah lalu bahwa Rasulullah saw. telah tinggal di Makkah di antara musuh-musuh bebuyutannya selama tiga belas tahun (setelah dia diangkat menjadi rasul). Dia tinggal di Madinah di tengah-tengah orang-orang yang berpura-pura masuk Islam, yaitu kaum munafikin, dan orang-orang Yahudi selama sepuluh tahun. Akan tetapi, dalam waktu yang cukup lama itu ternyata tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat menimpakan hal-hal yang membahayakan terhadap dirinya karena Allah swt. telah memeliharanya dari kejahatan musuh-musuhnya sehingga Allah memenangkan dan menyempurnakan agama-Nya Segala puji bagi Allah dengan pujian yang seimbang dengan limpahan karunia-karunia-Nya dan lebih dari itu lagi, dan kami memohon kepada Allah semoga Dia memberikan taufik kepada para pembaca kitab riwayat hidup Rasulullah ini untuk dapat mengikuti jejak-jejaknya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam-Nya kepada diri Rasulullah, para sahabatnya, dan semua kaum Ansharnya.