Terjemah Rauda al-Talibin al-Ghazali

Pengantar

 

Asy-Syaikh al-Imam al-‘Alim al-‘Allamah al-Auhad Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi ra. berkata: segala puji bagi Allah yang telah membakar hati para kekasih-Nya dengan api cinta kepada-Nya.

 

Yang memenuhi semangat dan jiwa mereka dengan kerinduan untuk bertemu dan menyaksikan-Nya. Yang memberi kemampuan mata dan nurani mereka untuk menyaksikan keindahan-Nya, hingga mereka “mabuk” karena jiwa mereka telah sampai kepada-Nya. Hati mereka takjub karena menyaksikan keagungan dan kewibawaan-Nya, sehingga mereka tak melihat apa pun di alam ini kecuali Dia.

 

Walaupun mata mereka melihat berbagai gambar dan bentuk yang mengantarkan mata hati mereka kepada Allah: meskipun telinga mereka mendengar langgam yang membuat batin mereka berlari menuju Sang Kekasih, kendati mereka mendengar suara yang mengejutkan atau menggelisahkan, menggembirakan atau menyedihkan, menggelorakan atau merindukan, namun, ketakjuban mereka hanyalah kepada-Nya, kebahagiaan mereka hanyalah bersama-Nya, kegelisahan mereka hanyalah karena-Nya, kesedihan mereka hanya karena-Nya, kerinduan mereka hanya pada apa yang ada di sisi-Nya, dan semangat mereka hanya untuk-Nya.

 

Mereka tidak datang dan pergi melainkan di sekeliling Nya. Pendengaran mereka berasal dari-Nya dan mereka has nya mendengarkan-Nya, karena mata dan telinga mereka telah ditutup dari selain-Nya. Merekalah orang-orang yang Dia pilih untuk menjadi kekasih-Nya di antara orang-orang pilihan dan istimewa bagi-Nya.

 

Semoga shalawat dan salam Allah selalu tercurah kepada sosok yang diutus membawa risalah-Nya, beserta keluarga, para sahabat, dan para pempimpin menuju kebenaran.

 

Selanjutnya, aku menulis risalah ini sebagai pegangan bagi para pencari kebenaran, dan membantu mereka dalam menempuh suluk, insya Allah. Dalam menulisnya, aku memohon pertolongan kepada Allah swt. agar terhindar dari kekurangan dan kesalahan. Dialah Penolong dan Pembantu Terbaik.

 

Risalah ini kuberi nama “Raudhatut Thalibin wa Umdatus Salikin.” Kepada-Nya aku meminta agar risalah ini bermanfaat. Sesungguhnya, Dia sangat dekat dan Maha Mengabulkan Doa.

 

 

 

 

 

 

 

 

Pendahuluan

 

Ketahuilah, keterputusan makhluk dari Allah dikarenakan mereka bergantung kepada makhluk, diri sendiri, memandang amal, dan menyimpang dari akidah yang benar melalui berbagai keinginan yang menjadi kodrat nafsu setiap orang.

 

Demikian pula karena cinta kepada kedudukan, harta, dunia, kekuasaan, ketenaran, suka berangan-angan, suka menunda-nunda, kikir, hawa nafsu, kesombongan, makanan dan minuman, pakaian, keduniaan mereka yang rusak, dikuasainya hati mereka oleh keinginan nafsu.

 

Mengabaikan perjuangan melawan hawa nafsu (mujahadatu an-nafs) juga turut andil dalam meningkatkan syahwat dan kebodohan diri, menghias diri karena manusia, berperangai dengan sifat-sifat tercela seperti dengki, iri hati, bodoh, dungu, riya”, dan munafik.

 

Selain itu, mengabaikan mujahadatu an-nafs juga menyebabkan anggota tubuh seperti mata, telinga, lidah, tangan, dan kaki berbuat di luar ketaatan kepada Allah, mengakibatkan kemalasan, kelalaian, dan hal-hal lain yang dapat menjauhkan diri dari Allah swt.

 

Dia berfirman,

 

“Semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (QS. al-Isra’ (17): 36)

 

Ruang Lingkup Kajian

 

Risalah ini terdiri atas beberapa bagian, pendahuluan, dan fasal. Bagian pertama berbicara perihal fondasi agama: bagian kedua makna adab, bagian ketiga makna suluk dan tasawuf, bagian keempat, wushul dan wishal, bagian kelima arti tauhid dan makrifat, bagian keenam jiwa, ruh, hati, dan akal, bagian ketujuh makna cinta (mahabbah), bagian kedelapan makna kedamaian bersama Allah swt.: bagian kesembilan arti malu (haya”) dan muragabah, bagian kesepuluh makna gurb (kedekatan).

 

Selain itu, kitab ini juga membicarakan berbagai aspek lain, seperti: bagian kesebelas, kemuliaan ilmu dan kewajiban mencarinya, bagian kedua belas, makna Asmaul Husna, bagian ketiga belas, meyakini dan berpegang teguh kepada akidah yang benar, bagian keempat belas, sifat-sifat Allah swt.

 

Bagian kelima belas, hakikat ikhlas: bagian keenam belas, bantahan terhadap kemungkinan berbuat dosa kecil bagi Nabi saw., bagian ketujuh belas, bisikan dan jenis-jenisnya, bagian kedelapan belas, makna ketergelinciran lidah (afat lisan), bagian kesembilan belas, menjaga perut, bagian kedua puluh, setan dan tipu muslihatnya,

 

Bagian kedua puluh satu, segala hal yang wajib dijaga: bagian kedua puluh dua, makna perilaku baik dan buruk, bagian kedua puluh tiga, arti berpikir, bagian kedua puluh empat, makna tobat, bagian kedua puluh lima, pengertian sabar, bagian kedua puluh enam, makna khauf (ketakutan): bagian kedua puluh tujuh, arti raja” (berharap), bagian kedua puluh delapan, makna fakir, bagian kedua puluh sembilan, pemahaman zuhudj: bagian ketiga puluh: makna muhasabah:

 

Bagian ketiga puluh satu, makna syukur, bagian ketiga puluh dua, arti tawakal: bagian ketiga puluh tiga, niat, bagian ketiga puluh empat, makna jujur, bagian ketiga puluh lima, pengertian ridha, bagian ketiga puluh enam, larangan ghibah, bagian ketiga puluh tujuh, makna futuwwah (kedermawanan).

 

Bagian ketiga puluh delapan, arti akhlak mulia: bagian ketiga puluh sembilan, rnakna qana’ah, bagian keempat puluh, perihal orang yang bertanya, bagian keempat puluh satu, berbelas kasih terhadap makhluk Allah swt.: bagian keempat puluh dua, keterjerumusan ke lembah dosa: dan bagian keempat puluh tiga, gambaran shalat orang-orang yang dekat dengan Allah swt.

 

Hal-hal Selain Allah Menjadi Penghalang dari-Nya

 

Ketahuilah, bersanding bersama makhluk dan hawa nafsu menjadi penghalang dari Allah swt. Sedangkan melihat perbuatan (diri sendiri) termasuk syirik, karena seluruh perbuatan hamba hanya layak diatributkan kepada Allah, penciptaan maupun pewujudannya.

 

Adapun yang diatributkan kepada hamba hanyalah usahanya, agar dia mendapat pahala jika taat kepada-Nya dan memeroleh hukuman jika bermaksiat. Ketika hamba bergantung kepada sesuatu yang diwujudkan Allah swt. maka hal itu disebut kasb (usaha). Karena kemampuan hamba hanyalah saat melakukan pekerjaan, bukan sebelumnya. Inilah pandangan Ahlus Sunnah.

 

Barang siapa mengatributkan kehendak dan usaha kepada diri sendiri, berarti ia termasuk golongan Qadariyah, Barang siapa menafikan kehendak dan usaha dirinya, ia tergolong Jabariyah. Dan siapa saja yang mengatributkan kehendak kepada Allah dan menyandarkan usaha kepada hamba, maka ia seorang Sunni sekaligus sufi yang lurus.

 

Demikianlah, permbahasan ini memerlukan dialog panjang, tetapi di sini bukan tempat yang tepat. Permasalahan ini akan kami bicarakan segera, insya Allah.

 

Adapun terjadinya penyimpangan akidah yang benar, disebabkan dominasi hawa nafsu terhadap hati dan fana tisme terhadap mazhab ahli bidah. Seorang imam berkata, “Banyak kaum yang diselamatkan oleh akidah, meskipun amalan mereka sedikit. Namun, tidak sedikit pula yang binasa karena akidah, walaupun amalan mereka banyak. Cinta kedudukan, harta, dan dunia adalah racun yang mematikan. Kekuasaan dan ketenaran melahirkan kesombongan dan menjerumuskan hamba ke dalam keduniaan. Keduanya merupakan perusak agama.”

 

Seorang imam lain mengatakan, “Aku tak melakukan satu pun amal yang disaksikan orang, kecuali amal tersebut kugugurkan (karena takut riya ‘, ed).”

 

Selain itu, panjang angan-angan akan menghalangi perbuatan baik dan kebenaran. Menunda-nunda amal menjadi salah satu tentara setan yang paling besar. Kikir, hawa nafsu, dan kesombongan adalah hal-hal yang menghancurkan.

 

Makanan haram membuat hati gelap dan keras, serta menjauhkan diri dari Allah swt. Sebaliknya, rnakanan yang baik (halal) membuat hati terang dan lembut, serta mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. al-Bagarah (2): 172)

 

Kata ath-thayyibat (yang baik-baik) dalam ayat di atas berarti makanan yang halal. Karena itu, perbaikilah makanan dan minumanmu. Jangan kautinggalkan shalat malam dan puasa di siang hari. Makanan yang baik menjadi fondasi utama bagi perjalanan suatu kaum.

 

Sekiranya seorang hamba melakukan shalat layaknya shalatnya budak, hal itu tak berguna sepanjang ia tidak mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya. Manusia yang paling cepat menyeberangi titian akhirat adalah yang paling wira’i terhadap dunia. Allah swt. berfirman,

 

“Hai hamba-Ku, laparkanlah dirimu niscaya kau melihat-Ku, bersikap wara’-lah pasti kau mengenal-Ku, dan telanjanglah (dari dunia) niscaya kau akan sampai kepada-Ku.”

 

Dan Dia berfirman,

 

“Adapun orang-orang yang wara’, Aku malu untuk menyiksa mereka.”

 

Salah seorang ulama kenamaan berkata, “Pegang teguhlah ilmu, lapar, rendah diri, dan puasa. Karena ilmu adalah cahaya yang menerangi, dan lapar adalah hikmah.” Abu Yazid al-Busthami pernah mengatakan, “Tak sehari pun aku berpuasa karena Allah, melainkan aku melihat satu pintu hikmah di hatiku yang belum pernah kulihat sebelumnya.”

 

Kerendahan diri adalah ketenangan dan keselamatan, dan puasa merupakan sifat abadi yang tiada bandingannya, Seperti firman Allah swt., “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. asy-Syura (42): 11)

 

Oleh karena itu, barang siapa mengenakan sifat ini, ia akan mewarisi ilmu, makrifat, dan musyahadah (menyaksikan Allah).

 

Dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman,

 

 

“Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa untuk-Ku, dan Akulah yang membalasnya.”

 

Bagi Allah, bau tak sedap yang keluar dari mulut orang berpuasa itu lebih harum daripada aroma misik. Sedangkan kesibukan dunia dan dominannya syahwat pada hati akan melahirkan semua sifat tercela. Maka, tak ada lagi harapan mendekat (kepada Allah) selama sifat-sifat tercela itu tak digantikan dengan sifat-sifat terpuji.

 

Seorang ulama berkata, “Selama hamba masih dikotori oleh selain Allah, ia tak pantas mendekat dan bersanding dengan-Nya sebelum menyucikan hati dari selain Dia.” Utsman ra. berkata, “Jika hati itu suci, ia tak akan kenyang membaca al-Quran. Sebab, dengan kesucian itu, hati akan naik menyaksikan Sang Pembicara (Allah). Tak ada yang lain.”

 

Ketahuilah, segala hal selain Allah menjadi penghalang dari-Nya. Andaikan bukan karena gelapnya semesta, cahaya Sang Gaib (Allah) pasti akan tampak. Sekiranya bukan karena fitnah nafsu, semua hijab pasti tersingkap.

 

Jika bukan karena rintangan-rintangan, seluruh hakikat pasti terungkap. Sekiranya bukan karena berbagai penyakit diri, kuasa Allah pasti akan terlihat jelas. Andaikata bukan karena ketamakan, cinta-Nya pasti akan tertancap tajam.

 

Bila tak ada bagian yang abadi, kerinduan pasti membakar ruh. Jika manusia tidak jauh dari-Nya, tentu Tuhan bisa disaksikan. Jadi, ketika hijab tersingkap, sebab-sebab pasti terungkap. Seluruh rintangan akan hilang dengan memutus ikatan-ikatan ini.

 

Kau menyaksikan rahasia

 

yang telah lama tersembunyi darimu pagi telah menyingsing Setelah kau menjadi gulitanya kaulah penghalang hati dari rahasia Sang Gaib

 

Jika bukan karena engkau, Penghujung hati itu tak akan menjadi tabiatmu jika kau jauh darinya, ia akan ditempati di atas pundak kasyf yang terlindungi tenda-tendanya tibalah pembicaraan yang tak membosankan didengarkan, Natsr dan nazham-nya menarik bagi kami

 

Seorang ulama lain mengatakan, “Jika Allah menghendaki keburukan terhadap hamba, niscaya Dia akan menutup pintu amal dan membuka pintu kemalasan untuknya.”

 

Suatu kala, seorang laki-laki mendatangi Mu’adz, lalu berkata, “Beritahu aku tentang dua orang. Pertama, yang bersungguh-sungguh dalam beribadah, banyak beramal, dan sedikit dosa, tetapi keyakinannya lemah dan senantiasa diselimuti keraguan.”

 

Mu’adz menjawab, “Keraguannya itu pasti akan menghilangkan amalnya.”

 

“Lalu yang kedua, beritahu aku tentang seseorang yang sedikit amalnya, banyak dosanya, tetapi memiliki kuat keyakinannya,” lanjut laki-laki itu. Mu’adz pun diam.

 

Sejurus kemudian ia berkata, “Demi Allah, jika keraguan orang pertama menghapus amal-amal kebaikannya, tentulah keyakinan orang kedua akan menghapus semua dosanya.” Lantas Mu’adz memegang tangannya dan berkata, “Aku tak pernah bertemu orang yang lebih mengerti agama dari orang ini.”

 

Amalan Abu Yazid al-Busthami

 

Abu Yazid al-Busthami ra. berkata, “Aku tinggal selama 12 tahun untuk mengasah diri, lima tahun menggosok cermin hati, dan satu tahun melihat antara keduanya. Ternyata dalam diriku terdapat ikatan, dan selama 50 tahun aku bekerja untuk memutuskannya. Aku mencari cara bagaimana memutuskannya. Aku pun mengalami penyingkapan. Aku melihat semua makhluk adalah mayat. Lalu, kubaca takbir empat kali untuk mereka.”

 

Ungkapan ini mengandung makna—hanya Allah yang Maha tahu —bahwa Abu Yazid berusaha melakukan mujahadatu an-nafs (perang melawan hawa nafsu), menghilangkan noda dan kotoran hawa nafsu beserta sifat-sifat yang menyelimutinya, seperti ujub, sombong, rakus, iri, dengki, dan lain-lain yang menjadi kebiasaan hawa nafsu.

 

Ia pun berusaha menghilangkan semua itu dengan memasukkan hawa nafsunya ke dalam tungku ancaman Allah. Ia pukul nafsu itu dengan palu-palu perintah dan larangan hingga kelelahan. Ia mengira nafsunya telah bersih, lalu melihat cermin keikhlasan hatinya.

 

Ternyata, masih adasisa-sisasyirik tersembunyi, seperti riya, melihat amal, memperhitungkan pahala dan hukuman, serta mengharap karamah dan pemberian. Inilah syirik dalam keikhlasan bagi orang-orang khawash. Ini ikatan yang dimaksud Abu Yazid dan berusaha dia putuskan tadi.

 

Artinya, Abu Yazid berusaha memutus hawa nafsu dan “menyapihnya” dari segala penghalang dan penghambat. Ia berpaling dari makhluk, sampai-sampai ia “membunuh” semua nafsunya yang masih hidup, dan menghidupkan hatinya yang mati. la melakukan itu sampai mantap hanya Sang Oidam dan menganggap selain Dia tiada. Saat itulah, ia bertakbir empat kali untuk makhluk dan lari kepada Allah al-Hagg.

 

Ungkapan, “Aku bertakbir empat kali untu mereka,” maksudnya adalah, setiap orang yang mati itu dibacakan takbir empat kali. Selain itu, penghalang makhluk dari Allah pun ada empat hal: nafsu, keinginan, setan, dan dunia. Maka, ia mematikan hawa nafsu dan keinginannya serta mengusir setan dan dunianya. Ia pun membaca takbir untuk setiap yang telah mati dari dirinya sekali takbir, karena Dialah yang Mahaagung. Selain Dia adalah hina dan kecil.

 

Selanjutnya, pahamilah bahwa engkau tak akan mencapai posisi kedekatan (dengan Allah) sebelum memutus enam rintangan:

 

Pertama, mencegah anggota tubuh dari pembangkangan syariat, kedua, mencegah hawa nafsu dari kebiasaan, ketiga, mencegah hati dari kesenangan hawa nafsu, keempat, mencegah sirri (batin) dari noda-noda tabiat: kelima, mencegah ruh dari asap indrawi: keenam, mencegah akal dari imajinasi-imajinasi ilusif.

 

Dari rintangan pertama, engkau akan dapat meraih Sumber-sumber kebijaksanaan dalam hati. Dari rintangan kedua, kau akan mengetahui rahasia ilmu-ilmu laduni. Dari rintangan ketiga, akan tampak olehmu tanda-tanda munajat alam Malakut. Cahaya-cahaya munazalat gurbiyyah (kedekatan dengan Allah) akan muncul di hadapanmu pada rintangan keempat.

 

Lalu, pada rintangan kelima, purnama penyaksian (musyahadah) cinta akan muncul di hadapanmu. Dan dari rintangan terakhir, kau akan turun ke taman-taman kesucian (hadhrah qudsiyyah). Di sini, karena menyaksikan lembutnya kedamaian, kau “lenyap” dari hal-hal indrawi.

 

Bila Allah menghendaki untuk memilihmu, Dia akan memberimu seteguk minuman dari gelas cinta-Nya. Tetapi dengan minuman itu kau semakin haus. Dengan rasa minuman itu, kau semakin rindu. Kau semakin ingin mendekat, dan dengan ketenteraman itu kau semakin gelisah.

 

Seandainya kemabukan ini telah menguasaimu, kau akan dibuat kagum. Jika kau telah kagum, maka kau akan dibuat bingung. Di sini kau adalah murid (yang menginginkan). Manakala kebingunganmu bertahan lama, Dia akan mengambil dan menarikmu dari dirimu sendiri, sehingga kau tetap dalam keadaan majlub dan majdzub. Saat itulah kau menjadi murad (yang diinginkan).

 

Ketika dzatmu telah fana” (lenyap) dan sifat-sifatmu musnah, dan kau pun telah fana” dari kefana’anmu karena keabadian-Nya, maka Dia menganugerahimu pakaian “Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat.” Dia pun menjadi pengendali dan pelindungmu.

 

Apabila kau berbicara, maka kau berbicara dengan ucapan-Nya, jika kau melihat, maka kau melihat dengan cahaya-Nya, bila kau bergerak, itu karena kemampuan dariNya, dan bila kau memukul, itu karena kekuatan dari-Nya.

 

Di sini, tak ada lagi dualisme atau jarak. Jika kakimu telah berdiri kokoh dan batinmu telah mantap, maka lenyaplah kemabukanmu itu.

 

Kukatakan, Jika rasa cintamu telah menguasaimu, dan batasan dirimu telah melampaui batasan diam, maka kau pun akan berkata, Pada kondisi pertama kau menjelma pribadi yang memiliki kedudukan kokoh (mutamakkin), dan kedua kau menjadi pribadi yang terus berubah-ubah (mutalawwin). Sampai di sini, pemahaman pun akan mengalami kemuskilan untuk mengurai simbol perbincangan ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Pertama: Fondasi Agama

 

KETAHUILAH, SECARA RINGKAS dua kalimat syahadat mengandung penegasan tentang Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, kebenaran Rasulullah saw., dan bangunan iman berdasarkan empat fondasi di bawah ini:

 

Fondasi pertama, mengenal Allah, yang meliputi sepuluh prinsip, yaitu: ilmu (pengetahuan) tentang wujud Allah, sifat gidam dan baga -Nya, dan bahwa Dia bukan substansi, materi, maupun aksiden. Dia tidak terbatasi oleh suatu arah, tidak menetap pada sebuah tempat, dan Dia Maha Melihat dan Maha Esa.

 

Fondasi kedua, mengenal sifat-sifat Allah swt. yang terdiri atas sepuluh prinsip: mengenali bahwa Allah itu Hidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Berkehendak, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berbicara, Mahabenar dalam menyampaikan berita, suci dari hal-hal baru, dan sifat-sifat-Nya adalah kadim.

 

Fondasi ketiga, mengenali perbuatan-perbuatan Allah swt., yang berkisar atas sepuluh prinsip: perbuatan-perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, akibat kehendak-Nya, perbuatan-perbuatan itu merupakan sesuatu yang diupayakan (muktasab),

 

Dia adalah Pemberi anugerah kepada makhluk, Dia berhak memberi beban syariat (taklif) di luar kemampuan, Dia boleh menyakiti makhluk, Dia tidak wajib memerhatikan hal yang lebih maslahat, tidak ada kewajiban kecuali atas dasar syariat, pengutusan para nabi as. adalah perkara ja’is (boleh), dan kenabian Muhammad saw. yang didukung ber. bagai mukjizat merupakan kepastian.

 

Fondasi keempat, perkara yang hanya didengar (samiyyat) mencakup sepuluh prinsip, hari pengumpulan makhluk (hasyr), hari kebangkitan (nasyr), azab kubur, pertanyaan Munkar dan Nakir, shirat, penciptaan surga dan neraka dan hukum-hukum imamah.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kedua: Adab

 

NABI MUHAMMAD SAW. bersabda,

 

“Tuhanku telah mendidikku, maka Dia mendidikku dengan baik.”

 

Adab adalah pendidikan lahir dan batin. Jika lahir dan batin seorang hamba telah bersih, ia akan beranjak menjadi sufi yang beradab. Barang siapa membiasakan diri mengikuti adab-adab sunah maka Allah menerangi hatinya dengan cahaya makrifat.

 

Tidak ada magam (kedudukan) yang lebih mulia dibanding mengikuti sang kekasih, Rasulullah saw., dalam menjalankan perintah-perintah, perbuatan, dan akhlaknya, serta berperilaku sebagaimana adab beliau, baik ucapan, perbuatan, tekad, maupun niat.

 

Perbuatan adil antara Allah dan hamba itu terletak pada tiga hal, meminta pertolongan, usaha, dan adab. Hamba meminta pertolong, Allah yang membantu untuk bertobat. Hamba berusaha, Allah yang memberi taufik (pertolongan). Dan hamba berperilaku dengan adab yang baik: Allah yang memberi karamah (kemuliaan).

 

Barang siapa beradab seperti adab orang-orang saleh, ia pantas meraih hamparan karamah. Siapa pun yang beradah layaknya adab para wali maka ia pantas mendapat hamparan gurbah (kedekatan dengan Allah): barang siapa beradab sebagaimana kaum shiddigun, ia berhak atas hamparan musyahadah (menyaksikan Allah), siapa yang beradab semisal para nabi, maka ia layak memeroleh hamparan uns (kasih sayang Allah) dan inbisath (kemudahan dari-Nya).

 

Sebaliknya, barang siapa terhalang dari adab, berarti ia telah terbentengi dari segala kebaikan, barang siapa tidak terdidik dengan perintah dan didikan para guru, maka ia tidak beradab dengan Kitab dan sunah.

 

“PERBUATAN ADIL ANTARA ALLAH DAN HAMBA ITU TERLETAK PADA TIGA HAL: MEMINTA PERTOLONGAN, USAHA, DAN ADAB.”

 

Siapa pun yang tidak berperilaku dengan adab para salik pemula (ahli bidayah), bagaimana ia bisa mengaku memiliki magam para peraih puncak (ahli nihayah). Barang siapa tidak mengenal Allah maka dia tidak akan pernah menghampiriNya, dan siapa saja yang tidak beradab dengan perintah dan larangan-Nya, berarti ia jauh dari adab.

 

Adapun adab khidmah (pengabdian kepada Allah) adalah tidak melihat khidmah tersebut, namun melihat secara total Dzat yang membuatnya melakukan khidmah itu, yaitu adalah Allah swt.

 

Karena ketaatannya, seorang hamba bisa mencapai surga, dan dengan adabnya ia sampai kepada Allah swt. Selain itu, tauhid merupakan suatu keharusan yang berkonsekuensi pada keimanan.

 

Jadi, barang siapa tidak memilikiiman, ia tidak memiliki tauhid. Dan iman merupakan keharusan yang melahirkan konsekuensi syariat. Karena itu, barang siapa tak memiliki syariat maka ia tidak memiliki iman maupun tauhid.

 

Di samping itu, syariat juga menjadi kewajiban yang melahirkan konsekuensi adab. Oleh sebab itu, barang siapa tak memiliki adab, ia tidak memiliki syariat, iman, maupun tauhid.

 

Meninggalkan adab adalah faktor yang menyebabkan seseorang “terusir”. Barang siapa tak berperilaku dengan adab yang baik saat berada di karpet kehormatan, ia akan dikembalikan ke pintu gerbang istana. Siapa pun tidak beradab di pintu gerbang istana, ia akan dikembalikan ke aturan binatang melata.

 

Adab yang paling bermanfaat adalah mendalami agama, zuhud terhadap dunia, dan mengetahui kewajibanmu terhadap Allah swt. Jika seseorang yang telah mencapai magam makrifat meninggalkan adab terhadap Allah, ia akan binasa bersama orang-orang binasa.

 

Dikatakan, ada tiga yang haljika bersamanya seseorang tidak akan terasing (ghurbah): menjauhi orang ragu, adab yang baik, dan menahan diri dari tindakan menyakiti. Sebagian besar adab ahli ibadah adalah membersihkan hawa nafsu, mendidik anggota tubuh, memelihara batasan-batasan (perintah dan larangan), dan meninggalkan syahwat.

 

Sementara adab kebanyakan orang khusus (khawash) adalah menyucikan hati, menjaga rahasia-rahasia (asrar), menepati janji, memelihara waktu, tidak menghiraukan berbagai bisikan, etika yang baik dalam proses pencarian (thalab), dan melanggengkan kehadiran hati di sisi Allah (hudhur).

 

Maka, barang siapa memaksa nafsunya untuk mengikuti adab, itulah orang yang beribadah kepada Allah secara ikhlas.

 

Ada yang mengatakan, inilah ma’rifatul yagin (mengenal Allah tanpa sedikit pun keraguan). Ada pula yang mengatakan dengan mendasarkan pada firman Allah dalam hadis qudsi,

 

“Barang siapa Kukehendaki untuk menjaga asma dan sifat-sifat-Ku maka kuwajibkan ia berada dalam adab. Barang siapa menginginkan untuk menyingkap hakikat Dzat-Ku, Kuwajibkan ia untuk memperoleh kebinasaan. Maka pilihlah mana yang kaukehendaki, adab ataukah kerusakan? Barang siapa tidak beradab kepada waktu, maka waktunya adalah kemurkaan. Jika murid tidak mengikuti adab, ia akan kembali lagi ke tempat semula.”

 

Alkisah, Abu “Ubaid al-Oasim bin Salam berkata, “Aku memasuki kota Mekah, lalu duduk di teras Ka’bah. Aku tidur menyandar pada dinding Ka’bah dan menyelonjorkan kakiku.

 

Kemudian, “Aisyah al-Makkiyah mendatangiku seraya berkata, Wahai Abu “Ubaid, konon engkau adalah orang berilmu, maka itu terimalah kata-kata dariku, janganlah kau berada di dekat Ka’bah, kecuali dengan adab. Jika tidak demikian, namamu akan dihapus dari daftar orang-orang yang dekat (ahlul gurb).”

 

Abu “Ubaid pun mengatakan, “Aisyah termasuk salah seorang ahli makrifat.” Seorang sufi lain berkata, “Tetaplah mengikuti adab, baik lahir maupun batin. Setiap kali orang berperangai buruk secara lahir, pasti akan dihukum secara lahir. Dan setiap kali orang berbuat keburukan secara batin, ja akan dihukum secara batin.”

 

Adab adalah mengeluarkan apa yang bercokol di dalam potensi dan perangai, ke dalam tindakan nyata. Hal ini terjadi pada orang-orang yang memiliki karakter saleh.

 

Karakter atau sajiyah adalah hasil perbuatan Allah. Manusia tidak memiliki kuasa untuk menciptakannya, seperti terciptanya api di dalam batang kayu. Ia murni perbuatan Allah. Andil manusia hanyalah melakukan usaha untuk mengeluarkan api itu.

 

Demikianlah, jadi adab itu bersumber dari karakter yang baik dan anugerah Ilahi. Ketika batin kaum sufi disiapkan Allah dengan karakter-karakter sempurna, maka dengan praktik dan latihan yang baik, mereka bisa mengeluarkan apa yang ada di dalam jiwa menjadi tindakan nyata, seraya menjaga konsentrasi bahwa itu adalah ciptaan Allah.

 

Dengan demikian, mereka masuk dalam golongan orang-orang yang beradab dan terdidik (muhadzdzah).

 

Adab Ahlul Hadhrah Ilahiyyah terhadap Ahlul Qurb

 

Semua adab diterima dari Rasulullah saw. karena beliaulah tempat berkumpulnya adab, baik lahir maupun batin. Allah swt. telah memberitahukan tentang kualitas adab beliau saat berada dalam hadhrah (yaitu ketika beliau berada di Sidratul Muntaha bersama Jibril, ed) dengan firman-Nya,

 

“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (QS. an-Najm (531: 17)

 

Inilah salah satu adab yang samar (ghamidh), yang hanya dimiliki Rasulullah saw. Di samping itu, Allah swt. juga telah mengabarkan perihal kelurusan hati beliau yang suci dalam “berpaling” dan “menyambut”.

 

Beliau berpaling dari selain Allah dan hanya menghadap kepada-Nya. Beliau meninggalkan seluruh bumi dan negeri dunia dengan seluruh bagiannya: seluruh langit dan negeri akhirat beserta segala bagiannya. Beliau tak pernah menyesali apa yang lepas darinya karena berpaling dari itu semua. Allah swt. berfirman, “Supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian.” (QS. al-Hadid (57): 23)

 

Konteks ayat di atas berlaku umum. Kalimat “  ” adalah pemberitahuan tentang kondisi Nabi saw. dengan sifat khusus, diambil dari makna ayat yang ditujukan untuk umum. Maka, kalimat “  ” adalah kondisi beliau dalam hal berpaling (dari dunia dan akhirat beserta isinya).

 

Sedangkan dalam kondisi menyambut, beliau menerima apa yang disampaikan kepadanya dengan sepenuh hati dan jiwa, di tempat yang dekat dengan Jibril sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Kemudian, beliau berlari dari Allah karena malu, segan, dan hormat.

 

Beliau menempatkan dirinya dalam lipatan kelemahan dan kefakiran, agar hawa nafsunya tidak leluasa dan melampaui batas. Sebab, perbuatan melampaui batas ketika sedang dalam kondisi serba cukup menjadi tabiat nafsu, sebagaimana firman Allah swt., “Ketahuilah! sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena ia melihat dirinya serba cukup.” (QS. al-‘Alag (961: 6-7)

 

Pada saat mawahib? datang kepada ruh dan hati, nafsu mencuri-dengar. Jika ia memperoleh sedikit saja bagian

 

“BARANG SIAPA TERHALANG DARI ADAB, BERARTI IA TELAH TERBENTENGI DARI SEGALA KEBAIKAN.”

 

dari anugerah, maka ia merasa cukup, lalu berbuat melampaui batas. Dari perbuatan melampaui batas ini kemudian muncul penyia-nyiaan terhadap kelapangan.

 

Sementara itu, berlebihan dalam kelapangan akan menutup pintu kelapangan yang lebih banyak. Perbuatan melampaui batas itu terjadi karena sempitnya wadah jiwa untuk menerima pemberian.

 

Musa as. mengalami salah satu dari dua kondisi ini (berpaling dan menyambut) saat berada di hadhrah (sisi Allah), matanya tak beralih dari yang dilihatnya, dan tidak menoleh pada apa yang telah lepas darinya dengan menyesal, karena adabnya yang baik.

 

Akan tetapi, jiwanya dipenuhi anugerah. Dan saat itulah nafsu mencuri-dengar, berharap mendapat jatah dan bagian. Ketika nafsu itu memperoleh bagian, ia merasa serba cukup. Apa yang diperolehnya itu memenuhinya hingga tumpah ruah. Ruangnya menjadi sempit.

 

Maka, hawa nafsu itu pun melampaui batas karena menyalahgunakan kelapangan. Ketika itu, Musa berkata, “Tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau (QS. al-A’raf (7): 143). Akan tetapi, Musa tak sanggup menerima itu. Dia tak kuat bersabar dan teguh dalam menerima tambahan anugerah.

 

Di sinilah perbedaan antara al-Habib (Nabi Muhammad) dan al-Kalim (Nabi Musa). Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata, “Rasulullah saw. tidak kembali kepada penyaksi hawa nafsunya itu, maupun apa yang dia saksikan, melainkan seluruh dirinya menyaksikan Tuhannya. Beliau menyaksikan sifat-sifat Allah yang tampak padanya, yang menghayuskannya tetap berada pada tempatnya saat itu.”

 

Ungkapan ini diperuntukkan bagi mereka yang menganggap hal ini sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan sebagaimana ucapan Sahl bin Abdullah di atas. Sungguh, Allah Maha tahu.

 

 

 

 

Bagian Ketiga: Makna Suluk dan Tasawuf

 

PAHAMILAH, SULUK ADALAH proses penyucian akhlak, amal, dan pengetahuan. Suatu kesibukan untuk membangun lahir dan batin. Dalam kondisi ini, seorang hamba akan dibuat lupa kepada Tuhannya, tetapi ia sibuk membersihkan batin agar siap untuk wushul.?

 

Adapun hal-hal yang merusak suluk seorang salik ada dua macam, mengambil keringanan (rukhshah) melalui berbagai takwil, dan bermakmum kepada para pengikut syahwat yang kerap berlaku salah.

 

Barang siapa menyia-nyiakan hikmah waktunya, ia adalah orang bodoh, barang siapa gegabah dengan waktunya, berarti ia orang lalai, siapa pun yang mengabaikan waktunya, maka ia orang yang lemah.

 

Keinginan seorang murid belum benar sebelum Allah dan Rasul-Nya menjadi bisikan hatinya, di siang hari ia berpuasa, lidahnya tak bicara. Sebab banyak makan, bicara, dan tidur, membuat hati keras. Keinginannya juga belum benar sebelum punggungnya melakukan rukuk, keningnya bersujud, matanya berlinang dan terpejam, hatinya bersedih, dan lidahnya berzikir.

 

Dengan ungkapan yang lebih sederhana, seluruh anggota tubuhnya sibuk karena Allah swt, memerhatikan tugas yang diberikan Allah dan Rasul-Nya, serta meninggalkan apa yang tak disukai Allah dan Rasul-Nya. Ia memegang erat sifat wara, meninggalkan sepenuhnya segala hasrat, dan melihat semua anugerah yang dikaruniakan Allah kepadanya.

 

Ia berusaha dengan sungguh-sungguh agar semuanya bertujuan mencari ridha Allah, bukan mencari pahala: sebagai ibadah, bukan kebiasaan. Karena, siapa yang melihat sosok yang menjadi tujuan amalnya, ia akan sibuk terhadapnya, bukan sibuk tak melihat amalnya. Selain itu, dirinya pun meninggalkan seluruh syahwat.

 

Sehingga, kehendak seseorang menjadi benar ketika ia meninggalkan upaya pribadinya dan menerima aliran takdir, seperti dikatakan,

 

Aku ingin bertemu dengannya tapi ia ingin meninggalkanku maka kutinggalkan apa yang kukehendaki, untuk apa yang ia kehendaki

 

Dengan demikian, lenyaplah dari makhluk dengan hukum Allah, dari keinginanmu melalui perintah Allah, dari kehendakmu dengan perbuatan Allah. Maka, saat itulah engkau layak menjadi wadah ilmu Allah.

 

Karena tanda kefana’an (kelenyapan)-mu dari makhluk adalah keterputusanmu dari mereka, berhubungan dengan mereka, dan putus asa terhadap apa yang ada di tangan mereka. Tanda kelenyapanmu dari dirimu dan hawa nafsumu adalah meninggalkan amal dan ketergantungan kepada sebab dalam mendatangkan manfaat dan menolak bahaya.

 

Maka dari itu, jangan menggerakkan sesuatu untukmu denganmu, jangan bersandar padamu untukmu, jangan membela, jangan membahayakan dirimu. Akan tetapi, serahkanlah semua itu kepada Dzat yang sejak awal telah menguasainya agar terus menguasainya sampai akhir, sebagaimana Dia menguasainya saat engkau tak sadar dalam rahim dan menyusu dalam buaian.

 

Di samping itu, tanda lenyapmu dari kehendakmu dengan perbuatan Allah yaitu jika engkau sama sekali tak menghendaki sesuatu. Sebab, engkau tidak akan menghendaki kehendak lain bersamaan dengan kehendak Allah, tetapi perbuatan-Nya berlangsung padamu, hingga engkau menjadi kehendak dan perbuatan-Nya.

 

Engkau tenang dan tenteram, lapang dada, wajahmu bercahaya, dan sejahtera. Engkau dikendalikan oleh qudrah, diseru oleh lidah azali, diajar oleh Pemilik kerajaan, yang memberimu pakaian dari cahaya halal, serta menempatkanmu pada kedudukan para orang-orang saleh terdahulu dan pemilik ilmu.

 

Menekuni Uzlah’

 

Seorang salik wajib menekuni uzlah agar dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Uzlah ada dua macam, wajib dan keutamaan. Uzlah wajib adalah uzlah dari keburukan beserta segala hal yang mengikutinya. Sedangkan uzlah keutamaan adalah uzlah dari sikap berlebihan dan yang menyertainya.

 

Ada yang mengatakan bahwa khalwat bukan termasuk uzlah. Khalwat berarti menghindar dari orang lain, Sementara uzlah yaitu menjauhi nafsu dan apa yang ia Serukan serta yang melalaikan dari Allah.

 

Ada yang mengatakan, keselamatan itu ada sepuluh bagian, satu bagian dalam uzlah, sembilan lainnya terletak dalam diam. Ada pula yang mengungkapkan, hikmah ada sepuluh bagian, sembilan di antaranya dalam diam terha dap apa yang tak berguna, dan yang kesepuluh terletak dalam uzlah dari manusia.

 

Berkaitan dengan yang terakhir, kebanyakan orang menyesal karena bicara, tetapi sedikit orang yang menyesal sebab diam.

 

Demikian pula ada yang mengatakan, khalwat adalah asal dan bergaul dengan orang lain (khalatah) merupakan hal baru. Maka, seseorang yang menekuni khalwat berarti ia berpegang kepada asal, dan tidak bergaul kecuali secukupnya. Kalau pun bergaul, ia selalu diam karena diam adalah asal.

 

Jika ada orang bersih dari zamanku itulah yang dicari lantas, di manakah satu orang itu

 

Ada yang berkata, “Khalwat itu dengan hati sehingga ia tenggelam sepenuhnya bersama Allah swt. Hatinya iktikaf, terpesona, dan rindu kepada-Nya, seraya meyakini seakanakan Dia hadir di hadapannya.” Seseorang mengatakan bahwa prinsip pertama bagi salik hendaknya ia memperbanyak zikir dengan hati dan lidah, hingga zikir itu mengalir ke seluruh tubuh dan otot-ototnya.

 

Lalu, zikir itu beralih ke hatinya. Saat itulah lidahnya diam dan hatinya tetap berzikir dengan mengucapkan “Allah… Allah” dalam hati tanpa melihat zikirnya. Kemudian, hatinya diam dan tetap melihat apa yangia cari. Ia tenggelam dan iktikaf kepada-Nya, terpesona dan menyaksikan-Nya. Lantas hilang dari dirinya karena menyaksikan-Nya. Ia Fana’ dari keseluruhan dirinya karena totalitas-Nya, hingga seolah-olah ia di hadapan-Nya, sebagaimana firman Allah,

 

“Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. Ghafir (40): 16)

 

Ketika itu, Allah ber-tajalli menuju hatinya hingga ia bergetar dan terpesona. Mengalami kemabukan dan kehadiran (hudhur), menghormati dan mengagungkan. Hatinya tak lagi bisa menampung selain tujuannya yang paling agung, seperti dikatakan, “Orang-orang yang sampai pada puncak kehadiran (ahlul hudhur) tak membutuhkan selain kesaksian-Nya.” Allah swt. berfirman,

 

“Dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.” (QS. al-Buruj (85): 3)

 

Berkaitan dengan firman ini, ada yang mengatakan bahwa yang menyaksikan adalah Allah, dan yang disaksikan merupakan pantulan keindahan kehadiran Allah sebagai puncak bergantungnya segala sesuatu (Hadhrah Shamadiyyah). Jadi, Dialah yang menyaksikan dan yang disaksikan. 

 

Duhai kekasihku, tutuplah kedua pelupuk matamu, dan saksikanlah apa yang kaulihat. Jika engkau berkata “Ketika itu aku tak bisa melihat”, maka hal itu menjadi salah sebab kau melihat dengan mata. Namun, gelapnya wujud yang begitu dekat dengan mata hatimu tidak kauketahui. Jika kauingin melihat dan menyaksikannya di depanmu, sementara kedua pelupuk matamu tertutup, kurangilah sedikit wujudmu, atau jauhilah wujudmu. Sedangkan cara untuk sedikit menqurangi dan menjauhinya dengan mujahadah.

 

Makna mujahadah yaitu mengerahkan upaya untuk mengusir yang lain, wujud, nafsu, dan setan. Sementara mengerahkan usaha itu ditentukan dengan cara-cara berikut:

 

Pertama, menqurangi makanan secara bertahap. Halini dikarenakan kekuatan wujud, nafsu, dan setan, berasal dari makanan sehingga bila makanan dikurangi, berkuranglah kekuatan mereka.

 

Kedua, meninggalkan dan meleburkan pilihan di dalam pilihan guru yang tepercaya supaya ia memilihkan sesuatu yang lebih maslahat. Hal ini dikarenakan murid ibarat bocah yang belum mencapai perolehan orang dewasa, atau orang bodoh yang boros. Keduanya harus memiliki washi, wali, gadhi, atau penguasa yang mengatur urusan mereka.

 

Ketiga, cara berikutnya seperti cara al-Junaid ra., yaitu dengan delapan syarat: Melanggengkan wudhu, melestarikan puasa: membakakan diam, melanggengkan khalwat: meneruskan zikir “La ilaha illa Allah”, melanggengkan hubungan hati dengan guru dan memanfaatkan ilmu darinya dengan meleburkan perbuatan dalam tindakan guru, menetapkan penafian pemikiran, mengekalkan untuk tidak membantah Allah dalam segala hal yang datang dari-Nya, baik bahaya maupun manfaat, dan meninggalkan permintaan surga atau berlindung dari neraka kepada-Nya.

 

Selanjutnya, perbedaan antara wujud, nafsu, dan setan pada magam penyaksian (nusyahadah) bahwa pada mulanya wujud itu sangat gelap: jika sedikit jernih, ia tampak di depanmu dalam bentuk mendung hitam, bila menjadi singgasana setan, ia akan berwarna merah: manakala sudah membaik dan kerendahannya menghilang, tinggallah kebenarannya.

 

Sehingga ia semakin jernih dan putih layaknya kapas. Apabila nafsu itu terlihat, warnanya biru ibarat langit. Ia memiliki sumber seperti memancar dari pusat mata air. Apabila ia menjadi singgasana setan, ia seolah mata kegelapan dan api. Mata airnya lebih kecil karena setan sama sekali tak membawa kebaikan.

 

Sementara itu, pancaran nafsu itu kepada wujud, dan wujud dididik olehnya. Jika nafsu ini jernih dan bersih, ia pancarkan kebaikan kepada wujud. Ketika nafsu memancarkan keburukan, maka lahirlah keburukan dari wujud.

 

Dengan demikian, setan adalah api yang tak jernih, bercampur dengan gelapnya kekufuran tingkat tinggi. Sehingga terkadang setan mewujud di depanmu dalam bentuk lelaki tinggi yang berwibawa. Ia berjalan seakan mencari jalan masuk ke dalam dirimu.

 

Jika kau menghendakinya pergi, ucapkanlah dalam hatimu “Wahai yang Maha Menolong orang-orang yang meminta pertolongan, berilah pertolongan kepadaku.” Maka setan pun meninggalkanmu.

 

Tasawuf

 

Tasawuf berarti mencampakkan nafsu dalam ibadah dan menggantungkan hati dengan hal-hal Ilahiah. Ada yang mengatakan, tasawuf adalah menyembunyikan kemiskinan dan melawan penyakit.

 

Berkaitan dengan hukum seorang sufi, selayaknya kefakiran menjadi perhiasannya, sabar menjadi minumannya, ridha menjadi binatang tunggangannya, dan tawakal menjadi tingkah lakunya. Hanya Allah swt. yang memberinya kecukupan. Ia gunakan anggota tubuhnya untuk ketaatan.

 

Ia potong syahwat dan bersikap zuhud terhadap dunia, wara’ pada segala jatah nafsu, dan sama sekali tak memiliki keinginan pada dunia.

 

Jika ia harus mengambil dunia, keinginan tersebut tidak melampui batas kecukupannya. Hatinya bersih dari noda, sangat mencintai Tuhannya, dan berlari kepada Allah dengan sirri-nya. Segala sesuatu berlindung dan damai bersamanya, tetapi ia sama sekali tidak berlindung kepada sesuatu.

 

Dalam arti, ia tidak memiliki kecenderungan terhadap apa pun, tidak merasa tenteram bersama apa pun selain sesembahannya, sembari berpegang kepada yang lebih utama dan lebih penting. Ia pun senantiasa lebih berhati-hati dalam urusan agama, dan mendahulukan Allah atas segalanya.

 

Sahl bin “Abdullah berkata, “Seorang sufi adalah orang yang hatinya bersih dari noda-noda dan penuh pikiran. Baginya, tak ada bedanya antara emas dan batu.” Ada pula yang mengatakan, “Tasawuf berarti menjernihkan hati dari pertemanan dengan makhluk, meninggalkan akhlak yang biasa, memadamkan sifat-sifat kemanusiaan, melawan ajakan-ajakan nafsu, menetapi sifat-sifat ruhaniah, berpegang kepada ilmu-ilmu hakiki, dan mengikuti syariat Rasulullah saw.”

 

Seseorang berkata, “Sufi adalah orang yang selalu membersihkan waktu dari noda dengan menyucikan hati dari kotoran nafsu. Sedangkan yang membantunya adalah kefakirannya yang terus-menerus kepada tuannya. Dengan kefakirannya yang terus-menerus, ia mampu mengetahui noda.

 

Setiap kali nafsu bergerak dan muncul dalam satu perilaku, ia segera mengetahui dengan mata hatinya yang waskita, lalu segera berlari dari nafsu menuju Tuhannya. Dengan selalu membersihkan hati terjadi kesatuan, dan dengan gerak nafsu terjadi perpecahan dan noda. Dia berpijak kepada hati bersama Tuhannya, dan dengan berpijak pada nafsu bersama hatinya. Allah swt. berfirman,

 

“Wahaiorang-orang yangberiman, hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.” (QS. al-Ma ‘idah (5): 8)

 

Inilah kewajiban nafsu kepada Allah yang dapat terwujud melalui tasawuf.

 

Dasar-dasar Tasawuf

 

Dasar-dasar tasawuf di antaranya: Mengonsumsi makanan halal, mengikuti akhlak, perbuatan, perintah, dan sunah Rasulullah saw. Dalam hal ini, barang siapa tidak menghafal al-Quran dan tidak menulis hadis, maka ia tak bisa dijadikan panutan. Karena ilmu kita terikat oleh Kitab dan Sunah. Dan mazhab ini diambil dengan wara’ dan ketakwa, an, bukan dengan pengakuan-pengakuan.

 

Pada awalnya tasawuf adalah ilmu, tengahnya amal dan akhirnya pemberian. Ilmu bisa mengungkap tujuan, amal membantu mencari, dan pemberian mencapai puncak harapan.

 

Sementara pengikut tasawuf ada tiga tingkatan, ting. katan murid yang sedang mencari, tingkatan menengah yang sedang berjalan, dan tingkatan puncak yang telah wushul. Murid adalah pemilik waktu, yang menengah pemilik hal, dan tingkat puncak adalah pemilik keyakinan. Hal yang paling utama bagi mereka adalah menghitung nafas.

 

“KEBANYAKAN ORANG MENYESAL KARENA BICARA, TETAPI SEDIKIT ORANG YANG MENYESAL SEBAB DIAM.”

 

Magam murid adalah mujahadah dan mukabadah (bersusah payah), mencicipi kepahitan dan melawan kesenangan, serta hal-hal yang mengikuti nafsu. Magam golongan menengah, mengalami berbagai kesulitan dalam mencari murad (yang dikehendaki), memelihara kejujuran, dan mengenakan adab dalam berbagai magam.

 

Ia dituntut berpegang pada adab dari berbagai tingkatan, dan termasuk orang yang mengalami bermacam-macam hal karena masih berpindah dari satu hal ke hal lain. Maka, inilah yang disebut pertambahan.

 

Keadaan golongan puncak adalah kejernihan, keteguhan, memenuhi setiap panggilan Allah, dan telah melampaui berbagai magam. Ia berada pada posisi yang kokoh (tamkin): tidak berubah oleh berbagai kesulitan, dan tidak terpengaruh dengan beragam ahwal.

 

Tak ada bedanya antara keadaan sulit maupun lapang, ditahan maupun diberi, kesulitan maupun kesetiaan. Makannya seperti laparnya, tidurnya layaknya terjaganya. Semua kebahagiaannya (huzhuzh) telah Fana” dan yang tersisa tinggal hak-haknya (hugug).

 

Lahirnya bersama makhluk, sedangkan batinnya bersama Allah. Inilah ahwal Nabi saw. Sekiranya seseorang dari tingkatan puncak ini berdiri di atas dataran bumi tertinggi, lalu tertiup angin kencang, ia tetap bergeming seujung rambut pun.

 

Sehingga ada yang mengatakan bahwa mereka disebut sufi karena berada di barisan terdepan di hadapan Allah, dengan ketinggian tekad dan penghadapan mereka kepada Allah. Berdiri di hadapan Allah dengan hati mereka.

 

Golongan Malamafiyah:

 

Dalam hukum Mulamati, seseorang dituntut untuk tidak memamerkan kebaikan dan tidak menyembunyikan keburukan. Dengan ungkapan lain, otot-otot seorang Mulamati telah mencicipi rasa ikhlas dan mengetahui kejujuran secara pasti. Ia merasa tidak senang ketika ada seseorang yang mengetahui ahwal dan amalnya.

 

Bagi mereka, Malamatiyah merupakan keistimewaan yang lebih dalam berpegang teguh dan ikhlas. Mereka berpandangan untuk menyembunyikan ahwal dan menikmati penyembunyian tersebut sehingga jika amal dan ahwal mereka terlihat seseorang, mereka merasa gerah layaknya orang durhaka yang merasa gerah karena perbuatan maksiatnya terungkap. Jadi, Mulamati adalah markas terbesar untuk tempat dan posisi ikhlas, serta berpegang dan bersandar kepadanya. Dan, seorang sufi akan lebur dalam keikhlasan.

 

Abu Ya’qub as-Sausi berkata, “Ketika mereka menyaksikan ikhlas dalam keikhlasan mereka, maka keikhlasan tersebut membutuhkan keikhlasan.” Seorang sufi berkata, “Kebenaran ikhlas adalah lupa melihat makhluk karena selalu menyaksikan Allah swt., sedangkan Mulamati itu melihat makhluk hingga amal dan ahwal-nya tak tampak.”

 

Selain itu, Ja’far al-Khaladi berkata, “Aku bertanya kepada Abu Oasim al-Junaid, “Apakah ada perbedaan antara ikhlas dan jujur?” Ia menjawab, “Benar, kejujuran adalah pangkal dan yang pertama, sedangkan ikhlas merupakan cabang yang mengikutinya.” Lantas, ia berkata, “Ada perbedaan antara keduanya.

 

Karena ikhlas itu tidak terjadi melainkan setelah melakukan amal.” Ia juga berkata, “Sesungguhnya, itu tiada lain adalah pemurnian keikhlasan, dan kemurnian keikhlasan terletak dalam pemurnian. Oleh karena itu, di dalam keikhlasan ini terletak hal orang Mulamati, dan pemurnian keikhlasan merupakan hal orang sufi.

 

Kemurnian yang berada dalam pemurnian menjadi buah akhir (mukhalasah) keikhlasan, yaitu fana -nya hamba dari bentuk dirinya karena melihat keberdiriannya. Sebab yang Maha Berdiri, bahkan tidak melihat keberdiriannya karena tenggelam dalam Dzat darijejak-jejak dan lepas dari noda ketertutupan. Inilah ahwal seorang sufi. Sementara seorang Mulamati tinggal di dalam ruang-ruang keikhlasannya, tanpa melihat hakikat keikhlasannya.

 

Inilah perbedaan tegas antara Mulamati dan sufi. Seorang Mulamati, meski berpegang teguh kepada tali keikhlasan dan beralaskan hamparan kejujuran, ia masih mengalami sisa penglihatan terhadap makhluk.

 

Alangkah bagusnya sisa tersebut mewujudkan keikhlasan dan kejujuran. Dan, sufi adalah kebersihan dari sisasisa amal ini. Meninggalkan dan beruzlah dari makhluk secara total dengan mata fana” dan tidak abadi. Ia melihat kejernihan tauhid dan menyaksikan rahasia firman Allah, “Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” (QS. al-Qashash (28): 83)

 

Sebagaimana seorang sufi dalam ketidaksadarannya mengatakan, “Di dunia dan akhirat ini tidak ada wujud selain Allah,” penyembunyian ahwal oleh seorang Mularmnati karena salah satu dari dua hal: pertama, untuk memastikan keikhlasan dan kejujuran, kedua —yang lebih sempurnauntuk menutupi ahwal dari selainnya dengan jenis selain dirinya. 

 

“HIKMAH ADA SEPULUH BAGIAN: SEMBILAN DI ANTARANYA DALAM DIAM TERHADAP APA YANG TAK BERGUNA, DAN YANG KESEPULUH TERLETAK DALAM UZLAH DARI MANUSIA.”

 

Sebab, orang yang menyepi bersama kekasih tidak suka dilihat oleh selain dirinya. Bahkan karena kesungguhan cintanya, sampai-sampai ia tidak rela seseorang melihat cintanya kepada kekasih. Halini meski sudah tinggi, tetapi di jalan orang sufi masih ada penyakit dan kekurangan. Dengan demikian, seorang Mulamati lebih maju dari orang yang bertasawuf, dan lebih tertinggal daripada seorang sufi.

 

Ada yang mengatakan, salah satu dasar para penganut Malamatiyah adalah zikir yang terdiri dari empat macam, zikir secara lisan, zikir dengan hati, zikir dengan sirri, dan zikir secara ruh. Jika zikir ruh sudah benar, hati dan lidah berhenti berzikir. Kondisi ini disebut zikir haibah. Apabila zikir hati sudah benar maka lisan tak mampu berzikir. Inilah zikir anugerah dan nikmat. Dan, jika hati lalai dari zikir maka lisan mulai berzikir, dan ini menjadi zikir kebiasaan.

 

Masing-masing zikir di atas memiliki penyakit. Penyakit zikir ruh adalah dilihat oleh sirri. Penyakit zikir sirri dilihat oleh hati, penyakit zikir hati dilihat oleh nafsu, penyakit zikir nafsu yaitu melihat zikir dan mengagungkannya sekaligus meminta pahala, atau menyangka dengan zikir itu ia telah mencapai suatu magam.

 

Bagi mereka, manusia yang paling rendah nilainya adalah orang yang ingin menampakkan zikirnya, dan menarik simpati manusia dengan berzikir. Rahasia dari prinsip yang mereka jadikan pijakan adalah zikir ruh merupakan zikir kenikmatan: zikir sirri adalah zikir sifat-sifat: zikir hati dari anugerah dan kenikmatan yaitu zikir terhadap jejak-jejak sifat, zikir nafsu itu terancam penyakit.

 

Jadi, arti ucapan mereka, “Melihatnya sirri kepada ruh” menunjukkan kesungguhan fana” ketika zikirnya Dzat. Pada saat itulah, zikir kebesaran (haihah) adalah zikir sifatsifat atau hadirnya kebesaran. Sedangkan adanya haibah menuntut wujud atau bekas, dan hal itu berlawanan dengan kondisi fana”.

 

Dengan demikian, zikir sirri disebabkan hadirnya kebesaran. Ia adalah zikir sifat-sifat yang menyadarkan kedekatan. Sementara itu, zikir kedekatan yang juga zikir anugerah dan kenikmatan menyadarkan akan jauhnya sesuatu yang menyibukkan, guna mengingatkan kenikmatan dan kelalaian terhadap Pemberi nikmat. Sibuk dalam melihat pemberian dan lupa terhadap Sang Pemberi merupakan bentuk jauhnya derajat.

 

Dan, memerhatikan nafsu karena melihat tujuan menjadi persiapan bagi wujudnya amal. Inilah kekurangan sesungguhnya. Demikian macam-macam golongan sufi. Sebagian lebih tinggi dari sebagian lain. Dan, Allah Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

Bagian Keempat: Makna Wushul dan Wishal

 

KETAHUILAH, MAKNA WUSHUL adalah manakala hamba mampu melihat hiasan Allah dan tenggelam karena-Nya. Jika ia melihat kepada pengetahuannya, ia tak melihat hal lain selain Allah. Bila ia melihat tujuan hidupnya, ia tidak melihat yang lain selain Dia.Ia secara total sibuk dengan Allah, dalam segala hal yang dia saksikan maupun tujuan hidup. Dalam hal ini, ia tidak menoleh (mengandalkan) kepada dirinya sendiri untuk mengisi lahir dengan ibadah, atau mengisi batin dengan penyucian akhlak. Semua itu merupakan bentuk penyucian dan menjadi awal perjalanan. Puncaknya adalah ketika ia telah lepas sepenuhnya dari dirinya sendiri dan ber-tajarrudf hanya untuk-Nya, hingga seolah-olah ia adalah Dia. Inilah yang disebut wushul. Karena itu, pahamilah sebaik-baiknya.

 

Adapun makna wishal yaitu melihat dan menyaksikan Allah di dunia dengan rahasia hati, serta menyaksikan Allah dengan mata kepala di akhirat. Sehingga makna wishal bukanlah pertemuan dzat (manusia) dengan Dzat (Allah). Mahasuci Allah dari semua itu.

 

Seorang sufi berkata,

 

Mataku senantiasa dapat melihat-Nya meski tempat-Nya jauh dari tempatku

 

Selanjutnya, pahamilah bahwa fondasi jalan tasawuf ada empat hal: ijtihad, suluk, sair (perjalanan), dan thair (terbang).

 

ljitihad adalah mengetahui hakikat-hakikat Islam secara pasti. Suluk yaitu mengetahui dengan pasti berkaitan dengan hakikat-hakikat keimanan. Sair (berjalan) berarti mengenal hakikat-hakikat ihsan dengan sesungguhnya, dan thair (terbang) artinya mengalami ekstase Gadzb) dengan jalan berlaku dermawan dan ihsan menuju makrifat Sang Raja Pemberi Anugerah.

 

Posisi ijtihad terhadap suluk seperti posisiistinja terhadap wudhu. Jadi, barang siapa tidak beristinja berarti tidak memiliki wudhu. Dan siapa pun yang tak memiliki wudhu, maka shalatnya tidak sah.

 

Demikian pula, seseorang yang tidak melakukan suluk, ia tidak melakukan sair (perjalanan). Sedangkan thair berarti wushul sehingga jalan dan tingkatan orang-orang wushul disebut thair (terbang). Inilah jalan para salik dan tingkatan para pelaku. Dan, Allah Mahatahu.

 

Ittishal

 

Ats-Tsauri berkata, “Ittishal adalah penyingkapan hati dan penyaksian rahasia-rahasia Ilahi dalam magam keterkaguman (dzuhul).”

 

Ketahuilah, ittishal dan ketersambungan (muwashalah) itu tergantung pada isyarat para guru. Setiap orang yang mencapai jernihnya keyakinan melalui pencerapan (dzaug) dan cinta (wajd), berartiia berada dalam satu derajat wushul.

 

Tingkatan mereka berbeda-beda. Di antara mereka ada yang menemukan Allah melalui perbuatan: satu derajat tajalli, hingga perbuatannya rmmaupun perbuatan selain dirinya menjadi fana” karena ia telah berdiri bersama Allah swt. Dalam keadaan ini, ia tak lagi membuat rancangan maupun pilihan. Inilah satu tingkatan wushul.

 

Ada pula yang diberhentikan pada magam kebesaran (haibah) dan kedamaian karena apa yang tersingkap bagi hatinya yaitu melihat keagungan dan keindahan. Ia bertajalli melalui sifat-sifat, dan berada pada satu derajat dalam magam wushul.

 

Selain itu, ada juga yang naik ke magam fana” sembari melihat cahaya keyakinan dan penyaksikan pada batinnya. Ia tak lagi mengenali wujudnya karena penampakan yang dialaminya. Inilah jenis tajalli Dzat khusus bagi kaum Muqarrabin sekaligus satu tingkatan wushul.

 

Di atasnya ada haggul yagin. Orang-orang khusus (khash) di dunia ini dapat menyaksikannya. Tingkatan ini bisa dikatakan sebagai berjalannya cahaya penyaksian dalam totalitas diri seorang hamba sehingga ruh, hati, nafsu, bahkan anggota lahirnya menggapai cahaya tersebut. Demikian inilah tingkatan wushul yang paling tinggi.

 

Jika berbagai hakikat telah dikenali secara pasti, maka dengan kemuliaan ini hamba mengetahui bahwa ia berada pada tingkatan pertama. Lantas, di manakah wushul? Sangat jauh. Persinggahan jalan menuju wushul tak pernah bisa dilewati di akhirat yang abadi, terlebih dengan umur duniawi yang begitu singkat. Dan, Allah Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kelima: Makna Tauhid dan Penyingkapan (Mukasyafah)

 

TAUHID DAN PENYINGKAPAN menjadi sandaran sekaligus buah dari bashirah, mukasyafah, musyahadah, muayanah, hidup, yakin, ilham, firasat. Selain itu, tauhid berarti memisahkan yang dahulu (gadim) dengan yang baru (huduts), berpaling dari makhluk, dan menghadap kepada yang Mahadahulu, hingga tak melihat keunggulan diri dibanding orang lain.

 

Sebab, sekiranya ia melihat diri dalam keadaan mengesakan Allah atau yang lain, hal itu sama halnya telah menduakan, bukan mengesakan Dzat Allah yang kadim dengan sifat keesaan dan ciri ketunggalan.

 

Di antara tabiat makhluk yaitu memiliki kesamaan, kemiripan, pertemuan, perpisahan, perbandingan, bersebelahan, berbaur, hulul, keluar, masuk, berubah, hilang, berganti, berpindah dari kesucian diri, serta kebersihan sifat-sifat-Nya yang telah terampas. Kekurangan tak bisa disandarkan kepada kesempurnaan keindahan-Nya.

 

Kesempurnaan keindahan keesaan-Nya suci dari pengamatan pikiran. Keagungan keabadian-Nya bersih dari desakan kerancuan zikir. Bahkan, ungkapan-ungkapan para punggawa kefasihan pun tak mampu menggambarkan kebesaran-Nya.

 

Mereka yang terlebih dahulu berada dalam belantara makrifat tidak mampu mendefinisikan Dzat Allah swt.

 

Mahasuci Ilmu-Nya untuk diketahui indra dan pencarian analogis. Para pemilik mata hati (bashirah) yang berada dalam sinar keagungan-Nya tidak mempunyai jalan untuk pura-pura buta dan tak sadar.

 

Jika engkau bertanya di mana? Maka tempat adalah makhluk-Nya. Bila engkau bertanya kapan? Waktu juga ciptaan-Nya. Ketika engkau bertanya bagaimana? Persamaan dan bagaimana merupakan kreasi-Nya. Dan tatkala engkau bertanya berapa? Maka ukuran dan kuantitas juga termasuk makhluk-Nya.

 

“ALLAH MEMBUAT KEPUTUSAN MENURUT TUNTUTAN HIKMAH, DAN SESUATU YANG LAHIR BERDASARKAN HIKMAH TAK ADA YANG MERUBAHNYA.”

 

Ajal dan keabadian termasuk dalam keluasan-Nya. Alam semesta dan tempat terlipat dalam hamparan-Nya. Dzat Allah itu suci dari segala yang termuat akal, pemahaman, indra, dan analogi. Karena semuanya adalah baru, maka yang baru tidak mengetahui kecuali yang baru sebagai dalil wujudnya dan bukti penyaksiannya.

 

Mengenali magam ini merupakan bentuk ketidakmampuan, dan ketidakmampuan mengetahui pengetahuan adalah pengetahuan. Tak ada yang bisa mengetahui esensi Yang Esa kecuali Yang Esa sendiri. Semua yang dicapai oleh pengetahuan seseorang yang mengesakan sekadar menjadi puncak pengetahuannya, bukan puncak Yang Esa. Mahasuci Allah dari semua itu.

 

Maka, siapa pun yang mengaku mengetahui Yang Esa, pada hakikatnya ia adalah orang yang teperdaya dan tertipu. Allah swt. berfirman, “Dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.” (QS. al-Hadid (57): 14). Inilah isyarat ketertipuan tersebut.

 

Tauhid

 

Pada awalnya, tauhid adalah menafikan pembedaan dan berdiri di atas segalanya. Akhirnya, ketika orang yang bertauhid melakukan pemilahan, ia tenggelam dalam mata semua, dan di mata keseluruhan dengan mata semua seraya memandang pemilahan.

 

Masing-masing menjadi bagian dari semua, dan pemilahan tersebut tidak mencegahnya dari yang lain. Inilah kesempurnaan tauhid, manakala tauhid menjadi sifat paten pada diri orang yang bertauhid.

 

Kegelapan gambaran wujudnya memudar dan melemah dalam tumpukan pancaran cahaya tauhid. Dan cahaya ilmu tauhid bersembunyi dan tenggelam dalam cahaya ahwalnya, seperti tenggelamnya bintang-bintang ke dalam cahaya matahari.

 

Ketika pagi merekah, cahayanya mengalahkan sinar bintang-bintang. Dalam magam ini, wujud ahli tauhid tenggelam dalam persaksian keindahan Sang Maha Esa dalam pandangan semua. Ia tidak menyaksikan selain Dzat Yang Esa beserta sifat-sifat-Nya, dan ditarik oleh gelombang lautan tauhid dan tenggelam dalam mata penyatuan.

 

Al-Junaid berkata, “Itu artinya, gambaran-gambaran memudar dalam dirinya, dan ilmu-ilmu masuk ke dalamnya. Dan Allah swt. tak pernah berubah.” Ada yang mengatakan, “Barang siapa jatuh ke dalam lautan tauhid, maka dari waktu ke waktu ia akan semakin haus.”

 

Macam-macam Tauhid

 

Pahamilah, tauhid menegaskan lima prinsip yang har , diyakini oleh setiap mukalaf (orang dewasa yg wajib menjalankan hukum agama).

 

Pertama, Wujud Allah untuk membebaskan diri dar pandangan ateisme, kedua, keesaan Allah untuk membebaskan diri dari kemusyrikan, ketiga, penyucian Allah dar keberadaan sebagai substansi maupun aksiden, akibat dar keduanya, sekaligus membebaskan diri dari penyerupaan keempat, penciptaan Allah dengan kekuasaan dan kehen dak-Nya terhadap segala sesuatu selain Dia, dan untuk membebaskan diri dari ungkapan sebab dan akibat, kelima perancangan Allah terhadap semua ciptaan-Nya guna membebaskan diri dari pengaturan tabiat, bintang-bintang, dan malaikat. Sedangkan firman Allah, “Tiada Tuhan selain Allah”, menunjukkan kelima hal ini. 

 

Kaum Muslimin sepakat, Allah swt. memiliki segala kesempurnaan dan bersih dari segala kekurangan, tetapi mereka berselisih pendapat tentang beberapa sifat Allah. Sebagian mereka meyakini bahwa sifat-sifat itu adalah kesempurnaan. Sementara yang lain memandang sifat-sifat tersebut sebagai kekurangan sehingga mereka pun menafikan sifat Allah swt.

 

Berikut ini beberapa contoh terkait perihal di atas:

 

Pertama, pendapat kaum Muktazilah bahwa manusia adalah pencipta perbuatan-perbuatannya. Sebab, sekiranya Allah menciptakan perbuatan-perbuatan itu, lalu menisbatkannya kepada manusia, atau seandainya Dia melakukan, padahal manusia tidak melakukan, lantas Dia menyiksanya karena itu, padahal Dia tidak menciptakan perbuatan itu, berarti Dia telah menzalimi manusia.

 

Dan kezaliman merupakan kekurangan. Bagaimana bisa Dia melakukan sesuatu, lalu mencela orang lain karena sesuatu itu seraya berkata, “Bagaimana kau melakukannya? Mengapa kau melakukannya?”

 

Adapun golongan Ahlus Sunnah mengatakan, “Kami menemukan kesempurnaan Allah dalam kesendirian. Menafikan kehendak merupakan suatu aib dan kekurangan. Penyiksaan Allah terhadap apa yang telah Dia ciptakan bukanlah kezaliman, dengan dalil penyiksaan terhadap binatang, orang-orang gila, dan anak-anak. Karena di dalam kera jaan-Nya, Allah bebas berbuat semau-Nya seperti firman-Nya,

 

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya.” (QS. al-Anbiya’ (211: 23)

 

Sehingga pendapat yang menganggap baik dan buruk adalah batil karena mereka berpendapat bahwa Dia adalah Pencipta perbuatan-perbuatan manusia. Mereka juga berpandangan, penyiksaan terhadap mereka atas sesuatu yang tidak mereka ciptakan bisa jadi merupakan perbuatan Allah, dan itu tidak buruk.

 

Kedua, perbedaan sekte Mujassimah’ dan Munazzihah.? Kaum Mujassimah mengatakan, “Andaikan Dia bukan materi (jisim), berarti Dia tiada. Dan tidak ada aib yang lebih buruk dibanding ketiadaan.” Begitu pula, mereka yang menafikan arah Allah sama halnya mengatakan ketiadaan Nya. Karena sesuatu yang tidak ada dalam arah berart:j keberadaannya tak bisa dibayangkan.

 

Golongan Munazzihah mengatakan, “Sekiranya Dia adalah materi, berarti Dia baru, dan tentu akan kehilangan kesempurnaan azalinya. Menafikan semua arah tiada lain meniadakan Dzat yang terbatas dan terkungkung dalam arah. Sedangkan Dzat yang maujud dan kadim itu tetap dan tidak berada pada arah, hingga tak bisa dinafikan.”

 

Ketiga, golongan Muktazilah mengharuskan Allah untuk meneguhkan orang-orang taat agar Dia tidak menzaliminya karena kezaliman berarti kekurangan. Sementara itu, pengikut Mazhab Asy’ari mengatakan, “Hal itu bukanlah kezaliman karena Dia tidak memiliki kewajiban terhadap selain Dia. Sebab, jika Dia memiliki kewajiban terhadap hak orang lain, itu artinya Dia terbatas oleh yang lain, dan pembatasan tersebut menjadi sebuah kekurangan.

 

Keempat, pendapat Muktazilah bahwa Allah menghendaki perbuatan taat meskipun tidak terjadi. Karena menghendaki perbuatan taat adalah kesempurnaan. Sebaliknya, Dia membenci kemaksiatan walaupun telah terjadi karena menghendaki perbuatan maksiat adalah kekurangan.

 

Sedangkan ungkapan Mazhab Asy’ari yang menyatakan bahwa sekiranya Dia menghendaki sesuatu yang tidak terjadi, berarti itu kekurangan dalam kehendak-Nya. Karena kehendak ini tidak terlaksana dalam hal-hal yang berhubungan dengannya. Andaikan Dia menghendaki maksiat, tetapi terjadi, hal itu adalah ketumpulan dalam kebencianNya. Dan ini juga suatu kekurangan.

 

Kelima, kaum Muktazilah menghendaki Allah untuk memerhatikan yang lebih maslahat bagi para hamba-Nya karena meninggalkan halitu adalah kekurangan. Sementara Mazhab Asy’ari mengatakan, hal ini tidak wajib atas Allah karena keharusan merupakan kekurangan, dan kesempurnaan-Nya. Jika Dia tidak terbelenggu oleh hamba, maka pertolongan adalah milik Allah.

 

Pahamilah, barang siapa menisbatkan kehendak dan usaha kepada diri sendiri, ia termasuk Qadariyah. Dan siapa pun yang menafikan usaha dan kehendak ini dari dirinya berarti ja seorang Jabariyah. Barang siapa menisbatkan kehendak kepada Allah dan menisbatkan usaha kepada hamba, berarti ia seorang Sunni dan sufi yang benar. Karena kekuasaan dan gerak hamba termasuk makhluk Allah. Keduanya menjadi sifat dan usaha seorang hamba.

 

Selain itu, takdir (gadar) adalah nama untuk sesuatu yang terjadi dengan ketentuan perbuatan Sang Mahakuasa, sedangkan gadha” merupakan makhluk-Nya. Perbedaan antara gadha dan gadar: gadar lebih umum dan gadha lebih khusus.

 

Perencanaan adalah gadar, dan menuntun gadar dengan segala ukuran dan keadaan menuju sesuatu yang dituntutnya termasuk gadha’. Dengan demikian, gadar adalah pengukuran sesuatu sebelum terjadi, dan gadha’ yaitu pemutusan persoalan, sebagaimana dikatakan, “Hakim telah memutuskan.”

 

Hawa Nafsu

 

Ketahuilah, para pengikut hawa nafsu itu ada enam sekte. Setiap dua di antaranya berlawan satu sama lain. Enam kelompok tersebut adalah: Tasybih dan Ta’thil, Jabariyah dan Qadariyah, menolak dan mendukung. Tasybih dan Ta’thil berlawanan, Jabariyah dan Qadariyah bertentangan: yang menolak dan yang mendukung berseberangan. Masing. masing terpecah menjadi dua belas sekte. Mereka semua menyimpang dari jalan lurus, dan hanya satu kelompok yang selamat, yaitu kelompok tengah-tengah, Ahlus Sunnah wal Jamaah.

 

Kelompok Musyabihah dianggap berlebihan dan keterlaluan dalam memastikan sifat-sifat Allah, hingga menyerupakan-Nya dan menganggap mungkin bahwa Dia berpindah, hinggap, menetap, duduk, dan lain-lain. Kelompok Muathilah juga keterlaluan dalam menafikan penyerupaan Allah sehingga mereka terjerumus dalam penegasian (ta’thil).

 

Sedangkan Jabariyah maupun Qadariyah sama-sama jauh dari jalan lurus. Karena siapa pun yang menafikan kehendak dan usaha dari dirinya, maka ia seorang Jabariyah, dan siapa pun yang menisbatkan kehendak dan usaha pada diri sendiri, berarti ia termasuk Qadariyah. Lantas, barang siapa menisbatkan kehendak kepada Allah dan menyandarkan usaha kepada hamba berarti ia seorang Sunni.

 

Selain itu, kalangan Rafidhah dan Nashibah sama-sama jauh dari jalan yang lurus. Mazhab Rafidhah mengaku cinta kepada Ahlul Bait, tetapi berlebihan dalam memaki dan membenci para sahabat. Sebaliknya, mazhab Nashibah berlebihan dalam sikap fana tik terhadap para sahabat, hingga terjerumus dalam memusuhi Ahlul Bait dan menuduh Ali ra. sebagai orang zalim dan kufur.

 

Maka, dalam hal ini Ahlus Sunnah menempuh jalan tengah. Mereka mencintai Ahlul Bait maupun para sahabat, dan Allah menjaga lidah mereka dari membicarakan salah satu dari keduanya, kecuali untuk menyanjung dan memujinya. Segala puji, sanjungan, dan syukur bagi Allah swt.

 

Tentang Qadha’ Kadangkala, kata gadha” diartikan sebagai sesuatu yang pasti terjadi (mubram), seperti firman Allah swt.,

 

“Maka apabila Dia menetapkan suatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah,” makajadilah ia.” (QS. Ghafir (40): 68)

 

Selain itu, tidak jarang pula ditujukan untuk memberitahu tentang wajibnya hukum wajib bagi Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kalian jangan menyembah selain Dia.” (QS. al-Isra (17): 23) Sebab, jika ini berarti ketentuan yang pasti, tentu tak ada sesuatu selain Allah yang disembah. Karena mustahil bila pengaruh tidak mengikuti pemberi pengaruh. Demikian pula firman-Nya, “Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat (51): 56) Ayat ini berlaku sebagai pemberitahuan. Sebab, jika merupakan gadha” dan hukum yang wajib atas seluruh hamba, maka akan terjadi perselisihan karena tak ada sesuatu yang membedakan.

 

Pahamilah, Allah swt. telah memutuskan perkara sejak Zaman azali bahwa segala perbuatan dan perkataan terikat dan bergantung kepada hamba. Apa yang Dia putuskan maka Dia laksanakan sehingga tidak mungkin diubah, dan tak bisa juga dikatakan bahwa Allah merubah apa yang telah Dia putuskan.

 

Karena Allah tidak mempertentangkan diri sendiri dalam perkara yang telah Dia putuskan, dan Dia tak main-main serta tidak mengikuti hasrat. Dia membuat keputusan menurut tuntutan hikmah, dan sesuatu yang lahir berdasarkan hikmah tak ada yang merubahnya, apa yang Dia tentukan menurut perbuatan hamba layaknya menanam dan kawin, apa yang Dia tetapkan berdasarkan perbuatan hamba seperti doa dan istigfar.

 

Ketahuilah, Allah swt. telah menegaskan perbuatan hamba di beberapa tempat dalam al-Quran, seperti firmanNya, “Sebagai Balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-Waqi’ah (56): 24) Atau dalam firman-Nya, “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kaujumpai mereka.” (QS. at-Taubah (9): 5) Akan tetapi, Dia juga menegasikan perbuatan hamba di beberapa tempat lain, seperti firman-Nya,

 

“Maka (yang sebenarnya) bukan kalian yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kalian yang melempar ketika kalian melempar, tetapi Allahlah yang melempar.” (QS. al-Anfal (8): 17)

 

Ayat di atas mengandung hikmah bahwa Allah swt. menciptakan dan menentukan perbuatan hamba, sementara hamba-lah yang berusaha sekaligus menjadi sebab. Karena hamba yang melakukan ibadah, maka Allah yang membalasnya.

 

Andaikan bukan karena penisbatan perbuatan-perbuatan tersebut dalam penciptaan maupun usaha, tentu takda yang menyembah dan yang disembah. Jadi, tampak jelas bahwa manusia adalah yang menyembah dan berusaha, sedangkan Allah adalah Dzat Yang Disembah dan Menciptakan.

 

Ketahuilah, perbuatan itu ada dua macam: (1) apa yang dilakukan hamba berupa usaha yang dinisbatkan kepadanya. Karena itulah diturunkan kitab-kitab dan diutus para rasul as. Juga dipastikan hajat terhadap akal guna menegakkan hujjah dan menjelaskan sasarannya, (2) apa yang diperoleh hamba sebagai balasan, yaitu apa yang ada di tangan Allah dan di tangan hamba. Keduanya tidak terjadi, kecuali selaras dengan yang diusahakan hamba, sesuai firman-Nya, “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahankesalahanmu).” (QS. asy-Syura (42): 30), beserta ayat-ayat lain yang serupa.

 

“ILMU ITU LAYAKNYA MELIHAT API, DAN MAKRIFAT LAKSANA MENGGUNAKAN API GUNA MENGHANGATKAN TUBUH.”

 

Maka dari itu, barang siapa memahami kalimat di atas, ia dapat memahami maksud firman Allah yang dinisbatkan kepada hamba. Sebagai contoh, algojo memotong tangan pencuri. Bisa dikatakan yang memotong adalah si algojo karena dialah yang berusaha.

 

Dapat juga dikatakan yang memotong adalah Allah melalui tangan algojo karena Allahlah yang membalas tangan yang dipotong tersebut ketika terlihat si algojo. Bisa juga dikatakan bahwa si pencuri adalah orang yang memotong tangannya sendiri karena dialah yang memulai kejahatan sehingga tidak memperoleh selain apa yang telah ia perbuat.

 

Jadi, perbuatan yang muncul dari Allah merupakan ba. lasan bagi pihak yang dipotong, sedangkan dari orang yang memotong berupa usaha. Hal tersebut tidak bertentangan satu sama lain.

 

Berkaitan dengan hal di atas, banyak dalil tegas yang di. nyatakan dalam al-Quran. Barang siapa memahami kalimat ini dengan sungguh-sungguh, ia tidak akan takut kecuali kepada diri sendiri, dan tak akan berharap selain kepada Allah swt.

 

la berkata, “Di manakah hamba Allah? Kita semua dalam Dzat Allah adalah orang-orang tolol.” Dalam arti, pandangan kita terhadap gadha ‘-Nya menyiratkan prasangka bahwa hamba akan dimaafkan atas apa yang ia lakukan.

 

Di samping itu juga menyiratkan suatu pandangan terhadap perintah dan larangan serta pilihan bebas hamba, yang mengantarkan dugaan bahwa hamba diperbudak melalui apa yang ia lakukan. Namun demikian, pernyataan yang benar berkenaan dengan hal ini jika diyakini bahwa hamba itu butuh kepada Allah dalam seluruh perbuatan, ucapan, dan ahwal-nya.

 

Bahkan, ia bergerak dalam kehendak-Nya, tidak terpaksa dan tidak ditundukkan layaknya binatang dan bendabenda mati. Akan tetapi, ia memperoleh pertolongan dalam naungan sebab-sebab kebahagiaan dan kerendahan, atau tercampakkan dalam naungan sebab-sebab kesengsaraan. Apabila dikatakan, kehendak (gudrat) yang baru memiliki jejak pada hal-hal yang dikuasai. Dan hal ini adalah kemusyrikan yang samar. Bila kehendak tak memiliki jejak pada sesuatu yang dikuasai, hal itu berarti Jabariyah.

 

Selain itu, ada pula yang mengatakan, “Disebut syirik hanya jika kehendak memiliki jejak pada penciptaan, sedangkan pengaruhnya ada pada usaha. Dan, Allah swt. bukanlah Dzat yang berusaha sehingga menciptakan persekutuan.

 

Sebaliknya, apabila kehendak tidak memiliki jejak pada sesuatu yang dikuasai, berarti wujud-Nya sama dengan tiada. Itu sama halnya Dia Mahakuasa tanpa gudrat. Dan, ini mustahil.

 

Pahamilah, barang siapa menyangka Allah telah menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul, memerintah dan melarang, menasihati dan memberi janji kepada makhluk yang tak memiliki kekuatan dan pilihan bebas, berarti Dia berperangai cacat dan perlu diobati. |

 

Demikian ini disebabkan oleh perbedaan manusia dalam menggali dalil al-Quran sebelum memahaminya, hingga mereka terjerumus ke dalam Jabariyah dan Qadariyah. Karena mereka tak mampu membedakan antara kehendak Allah yang kadim dengan kehendak manusia yang baru.

 

Perbedaan kedua kehendak ini bahwa kehendak yang kadim berdiri sendiri dalam menciptakan dan tak bisa diusahakan. Sementara kehendak yang baru berdiri sendiri dalam bekerja, serta tidak memiliki kuasa untuk menciptakan.

 

Kezaliman hanya dinisbatkan pada kehendak yang baru, sedangkan kehendak yang kadim bebas dari kezaliman, sebagaimana firman Allah swt., “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” (QS. Yunus (10): 44)

 

Perbedaan Anfara Ilmu dan Makrifaf

 

Makrifat adalah kedekatan itu sendiri, atau adanya sesuaty yang menyentuh hati dan meninggalkan pengaruh padanya, lalu berpengaruh kepada anggota-anggota tubuh lainnya.

 

Dengan kata lain, ilmu itu layaknya melihat api, dan makrifat laksana menggunakan api guna menghangatkan tubuh. Secara bahasa, makrifat berarti ilmu yang tidak mengandung keraguan. Sedangkan menurut istilah, ilmu yang tidak mengandung keraguan karena yang diketahui adalah Dzat Allah swt. beserta sifat-sifat-Nya.

 

Jika ditanyakan, “Apakah makrifat Dzat dan sifat itu?” Maka jawabannya, “Makrifat Dzat, jika seseorang mengetahui bahwa Allah itu Wujud, Esa, Sendiri, Dzat, Sesuatu Yang Agung, berdiri sendiri, dan tak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Sedangkan makrifat sifat-sifat yaitu bila engkau mengetahui Allah swt. itu Hidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sifat-sifat lainnya.”

 

Apabila ditanyakan, “Apakah rahasia makrifat itu?” Jawabannya, “Rahasia dan ruh makrifat adalah tauhid. Caranya, engkau menyucikan Hidup, Ilmu, Oudrat, Iradah, Pendengar, Penglihatan, dan Kalam-Nya dari keserupaan dengan sifat-sifat makhluk, tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”

 

Ketika ditanyakan, “Apakah tanda makrifat itu?” Jawabnya, “Hidupnya hati bersama Allah karena Dia telah mewahyukan kepada Daud as., “Tahukah engkau apakah makrifat kepada-Ku itu? Nabi Daud menjawab, Tidak. Maka Allah menjelaskan, “Hidupnya hati dalam menyaksikan Aku.”

 

Apabila ditanyakan, “Lantas, pada magam apakah bisa terjadi makrifat hakiki?” Maka jawabannya, “Pada magam ruyah dan musyahadah dengan sirri hati. Ia tiada lain menyaksikan mmakrifat (pengenalan) karena makrifat hakiki itu berada pada kedalaman kehendak.

 

Kemudian, Allah menghilangkan beberapa hijab dan menunjukkan kepada mereka cahaya Dzat dan sifat-sifatNya dari balik hijab tersebut agar mereka mengenal-Nya. Tetapi, Dia tidak melenyapkan seluruh hijab supaya orangorang yang menyaksikan-Nya itu tidak terbakar. Dengan ungkapan ahwal, seorang sufi berkata,

 

Oh… andai Aku tampak tanpa hijab tentulah Aku melelehkan seluruh makhluk tapi hijab itu lembut maknanya dengan hijab ini hiduplah hati para pecinta

 

Ada yang mengatakan, “Matahari hati seorang makrifat itu lebih terang dan lebih cerah daripada matahari siang. Karena matahari siang itu terkadang mengalami gerhana, sedangkan matahari hati tak pernah mengalami gerhana: matahari siang tenggelam pada petang hari, sementara matahari hati tidak pernah tenggelam.” Berkaitan dengan hal ini, mereka melantunkan syair berikut,

 

Sungguh, matahari siang tenggelam pada malam hari tapi matahari hati tak pernah tenggelam, siapa mencintai kekasih ia terbang kepadanya karena rindu bertemu kekasihnya

 

Dzun Nun berkata, “Hakikat makrifat yaitu melihat Allah dalam asrar, dikarenakan datangnya cahaya-cahaya yang halus.” Karena itu, mereka melantunkan,

 

Para ahli makrifat memiliki hati yang bisa mengetahui cahaya Allah dengan sirru sirri dalam hijab tuli dari makhluk, dan buta dari pandangan mereka bisu mengucapkan pengakuan dusta

 

Sebagian orang bertanya, “Kapankah hamba mengetahui dirinya telah mencapai makrifat?” Ia menjawab, Jika di dalam hatinya sudah tak ada lagi ruang untuk selain Tuhannya.” Seorang ulama sufi berkata, “Hakikat makrifat adalah mengetahui Allah tanpa perantara, tanpa gambaran, dan tanpa kekaburan.”

 

Hal ini sebagaimana ketika “Ali bin Abi Thalib ditanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau menyembah Dzat yang engkau lihat atau tak kaulihat?” Ali menjawab, “Tidak, namun aku menyembah Dzat yang aku lihat tapi tidak dengan penglihatan mata, melainkan penglihatan hati.”

 

Demikian pula saat Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah engkau telah melihat Allah?” Ia menjawab, “Aku tidaklah menyembah Tuhan yang tak kulihat” Kemudian ia ditanya, “Bagaimana kaubisa melihat-Nya, sementara Dia adalah Dzat yang tak bisa ditangkap mata?” Ia berkata, “Penglihatan mata tak bisa melihat-Nya, tapi hati melihatNya dengan kesungguhan iman. Dia tak bisa diketahui dengan indra dan tak bisa diukur oleh manusia.”

 

Seorang bijak ditanya tentang hakikat makrifat, ia pun menjawab, “Pengosongan sirri dari segala kehendak, meninggalkan kebiasaan, ketenangan hati di sisi Allah tanpa ikatan, dan tidak berpaling dari Allah kepada selain-Nya. Tidak mungkin mengetahui hakikat Dzat Allah maupun hakikat sifat-sifat-Nya, dan tak ada yang mengetahui siapa Dia kecuali Dia sendiri. Dan, keagungan hanya milik Allah semata.”

 

Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah, dan Mu’ayanah

 

Pada dasarnya, empat kata ini sinonim dan memiliki arti sama. Namun, terdapat perbedaan pada kesempurnaan penampakannya, bukan pada asalnya. Kedudukan bashirah terhadap akal seperti kedudukan sinar mata bagi mata.

 

Kedudukan makrifat terhadap bashirah layaknya kedudukan bola matahari bagi sinar mata, yang menjadikannya bisamengetahui hal-hal yang tampak maupun tersembunyi. Sedangkan hidup adalah tauhid itu sendiri, seperti firman Allah swt., “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian ia Kami hidupkan.” (QS. al-An’am (6): 122)

 

Adapun yagin adalah manakala keyakinan dan ilmu telah menguasai hati serta tak ada lagi sesuatu yang berlawanan, hingga keduanya melahirkan makrifat dalam hati. Inilah yang disebut dengan yagin. Karena hakikatnya yaitu jernihnya ilmu yang diusahakan (muktasab), hingga menjadi layaknya ilmu primer (dharuri).

 

Lalu hati menyaksikan segala hal yang disampaikan syariat, baik urusan dunia maupun akhirat, sebagaimana ungkapan, “Air itu meyakinkan (aigana al-ma”)” jika bersih dari kekeruhan.

 

Selanjutnya, ilham berarti tercapainya makrifat tanpa disertai sebab maupun usaha, melainkan melalui ilham dari Allah karena sucinya hati dari menganggap baik segala hal yang berada di dua alam (kaunain). Sedangkan firasat (farasah) yaitu memahami pertanda atau sinyal yang datang dari Allah yang menjadi penghubung antara Dia dan hamba.

 

Dia mempergunakannya untuk menunjukkan hukumhukum batin. Hal ini tak bisa terjadi, kecuali dalam tingkat perkiraan yang lebih rendah daripada ilham. Karena ilham tidak memerlukan pertanda, sedangkan firasat membutuh. kan pertanda. Begitu pula dengan ilham, ada yang Umum dan yang khusus. Dan Allah swt. Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Keenam: Makna Nafsu, Ruh, Hafi,

 

KETAHUILAH, EMPAT NAMA ini saling berhubungan (musytarak) dalam beberapa hal yang berbeda-beda. Dalam kesempatan ini kita akan menjelaskan makna masing-masing sejauh berkaitan dengan tema yang dimaksud.

 

Pertama, kata al-qalb digunakan dalam dua pengertian: (1) daging melingkar yang diletakkan di sisi kiri dada. Di dalamnya terdapat lubang berisi darah hitam. Daging ini merupakan sumber dan tambang bagi ruh kehidupan, (2) kelembutan (lathifah) rabbani-ruhaniah yang memiliki hati jasmani yang bergantung kepadanya, seperti bergantungnya aksiden pada materi dan sifat pada sesuatu yang disifati. Kelembutan ini menjadi hakikat manusia yang mampu memahami, mengetahui, disapa, dituntut, diberi pahala, serta diberi hukuman.

 

Kedua, ruh dalam konteks ini juga memiliki memiliki dua arti: (1) materi halus beruap yang dibawa oleh darah hitam. Bersumber dari lubang hati jasmani dan menyebar melalui otot-otot yang menancap ke seluruh bagian tubuh. Aliran kelembutan ini bersemayam di dalam tubuh beserta pancaran cahaya kehidupan, rasa, penglihatan, pendengaran, dan penciuman ke anggota-anggotanya layaknya pancaran cahaya lampu ke sudut-sudut rumah.

 

Jadi, perumpamaan kehidupan seperti cahaya yang terpancar di tembok, dan ruh ini laksana pelita. Aliran dan gerak ruh dalam batin ibarat gerak pelita di sisi-sisi rumah akibat gerakan penggeraknya. Karena itu, ketika para dokter menyebut kata ruh maka yang mereka maksud adalah makna ini, uap halus yang dimasak oleh suhu hati: (2) kelembutan (lathifah) yang mengetahui dan memahami yang dimiliki oleh manusia.

 

Inilah salah satu dari dua nama al-galb, seperti yang dimaksud dalam firman Allah swt., “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku.” (QS. al-Isra’ (17): 85) Dengan ungkapan lain, ruh adalah urusan rabbani yang menakjubkan. Dan kebanyakan akal dan pemahaman tak mampu mencapai hakikatnya.

 

Ketiga, nafsu. Perihal ini juga mengandung dua arti: Arti pertama, yang merangkum dua potensi: marah dan syahwat pada manusia. Penggunaan inilah yang populer di kalangan sufi, yaitu nafsu asal yang mencakup sifat-sifat manusia yang tercela. Mereka mengatakan, “Adalah keharusan untuk mujahadat nafs dan menghancurkan syahwatnya.” Hal ini juga disinggung dalam sabda Rasulullah saw.,

 

“Musuhmu yang paling keras adalah nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu.”

 

Arti kedua, kelembutan, yang berarti hakikat, jiwa, dan diri manusia. Tetapi digambarkan dengan bermacam macam sifat menurut perbedaan ahwal-nya. Jika ia tenang di bawah perintah dan terhindar dari kekacauan karena melawan kehendak syahwat, ia disebut jiwa yang tenang (an-nafs al-muthma’innah). Allah swt. berfirman, “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr 189): 27-28)

 

Nafsu dalam pengertian pertama tak bisa dibayangkan akan kembali kepada Allah karena ia dijauhkan dari-Nya sekaligus menjadi pasukan setan. Jika ketenangannya belum sempurna, tetapi melawan nafsu syahwat, ia disebut dengan nafsu lawwamah. Namun bila tidak menolak syahwat, Jalu tunduk kepada tuntutan syahwat dan ajakan-ajakan setan, maka ia disebut dengan nafsu ammarah bi as-su’.

 

“TAK MUNGKIN SEORANG HAMBA BISA SAMPAI KEPADA ALLAH SELAMA IA TIDAK MENGHUNI TUBUH DAN MELAMPAUI DUNIA UNTUK MENJADIKANNYA BEKAL MENUJU PERSINGGAHAN TERTINGGI.”

 

Keempat, akal. Dalam konteks ini mengandung dua pengertian: 1) Akal yang digunakan dan ditujukan sebagai ilmu tentang hakikat-hakikat persoalan. Maka ia berarti sifat ilmu yang bertempat di dalam khazanah hati, 2) terkadang digunakan dan dimaksudkan untuk mengetahui ilmu. Jadi, ia adalah hati, kelembutan yang menjadi hakikat manusia.

 

Karena itu, ketika kata al-galb disebutkan dalam alQuran dan Sunnah, hal tersebut berarti sesuatu yang dapat memahamkan manusia dan mengetahui hakikat segala sesuatu.

 

Tidak jarang pula disematkan ungkapan samar (kinayah) dengan sebutan “Hati jasmaniah” yang ada di dalam dada. Sebab, ia memiliki hubungan khusus antara bagian ini dengan kelembutan yang menjadi hakikat manusia, sekaligus karena memiliki kaitan dengan seluruh tubuh dan berada di titik tengah.

 

Dengan demikian, ia yang menguasai dan mengendalikan badan, serta menjadi titik pertama untuk mengurus dan mengatur badan. Dan hati jasmaniah dan dada bagi manusia layaknya Kursi Arsy bagi Allah swt.

 

Tenfara Hafi

 

Pahamilah, dalam hati, ruh, dan alam-alam lainnya, Allah memiliki tentara-tentara yang dikerahkan. Tak ada yang mengetahui hakikat dan rincian jumlah mereka selain Allah swt. Sekarang, kita akan menyebutkan beberapa tentara hati yang berkaitan dengan tema ini.

 

Ketahuilah, Allah memiliki dua pasukan tentara, satu tentara bisa dilihat dengan mata, dan satu lagi hanya bisa dilihat dengan mata hati. Hati berlaku sebagai raja, sedangkan tentara-tentara tersebut berlaku sebagai pelayan dan pendukung.

 

Adapun tentara-tentara Allah yang bisa disaksikan dengan mata adalah tangan, kaki, telinga, mata, dan lisan. Atau secara sederhana, tentara hati bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

 

Kelompok pertama, pemantik yang mendorong untuk mendatangkan sesuatu yang sejalan dan bermanfaat, seperti ketenaran. Dan kadangkala mendorong untuk menolak hal yang berseberangan dan berbahaya, seperti kemahiran. Pendorong ini disebut dengan kehendak (iradah).

 

Kelompok kedua, penggerak anggota-anggota tubuh untuk mencapai berbagai tujuan. Hal ini disebut dengan kekuasaan (qudrah) sekaligus merupakan tentara yang tersebar di seluruh tubuh.

 

Kelompok-kelompok ketiga, yang mengetahui dan memberitahu benda-benda layaknya mata-mata, seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa, dan peraba. Mereka tersebar pada anggota-anggota lahir yang tersusun dari daging, lemak, syaraf, darah, dan tulang, yang dipersiapkan sebagai sarana bagi tentara-tentara tersebut.

 

Pekerjaan tentara kelompok ini disebut ilmu dan kesadaran (idrak). Selain itu, kelompok ketiga ini juga merupakan tentara yang mengetahui. Tentara ini terbagi menjadi dua golongan: satu golongan menempati anggota-anggota lahir, seperti panca indra, pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa, dan peraba. Dan satu golongan lagi menghuni rumah-rumah batin, semisal rongga-rongga otak yang lima, indra musytarak (yang berkaitan), imajinasi, pemikiran, ingatan, dan memori.

 

Potensi pertama, indra musytarak, yaitu indra yang menjadi tempat gambaran segala hal yang dihantarkan oleh indra lahir, sebagaimana gambar yang dilukis dalam cermin. Tempat kerjanya ada di bagian depan perut otak pertama.

 

Potensi kedua, imajinasi. Sebuah tempat penyimpanan indra musytarak yang berfungsi menampung hal-hal yang terlukis pada otak untuk disimpan sampai saat diperlukan. Karena hati hanya memiliki energi penerima dan tidak mempunyai energi penyimpan. Sementara imaji memiliki energi penyimpan dan tidak mempunyai energi penerima. Tempat beroperasinya di bagian belakang perut otak.

 

Potensi ketiga, ilusi. Tempat beroperasinya di bagian depan perut otak belakang. Karena kerja ilusi adalah konsep-konsep partikular yang bermacam-macam dari berbagai gambaran yang tersimpan dalam imajinasi. Jadi, jaraknya jauh sebab ia terpengaruh oleh imajinasi.

 

Potensi keempat, memori. Tempat bekerjanya ada di bagian belakang perut otak belakang, bersebelahan dengan tempat operasi ilusi. Karena ia menjadi tempat penampun. gan ilusi tersebut.

 

Potensi kelima, penguasa (mutasharrifah). Tempat beroperasinya di bagian tengah otak karena merupakan potensi yang paling kuat. Di samping itu, dalam keadaan tertentu ia menerima dari imajinasi, dan dalam keadaan lain menyampaikan kepada imajinasi, baik dalam kondisi tidur maupun jaga.

 

Ia juga menyampaikan sekaligus mengambil dari memori saat lupa. Maka yang paling layak baginya berada di antara kedua suhu panas agar memudahkan mengambil dan memberi keduanya. Dan, Allah Mahatahu.

 

Hati memerlukan tentara-tentara di atas karena ia butuh kendaraan, juga untuk melakukan perjalanan menuju Allah dan melewati beberapa persinggahan guna bertemu dengan-Nya. Untuk itulah ia diciptakan.

 

Kendaraannya tiada lain adalah tubuh, dan bekalnya yaitu ilmu dan amal. Tak mungkin seorang hamba bisa sampai kepada Allah selama ia tidak menghuni tubuh dan melampaui dunia untuk menjadikannya bekal menuju persinggahan tertinggi.

 

Oleh sebab itu, ia perlu merawat tubuh dengan cara menghadirkan segala hal yang sesuai, seperti makanan dan lain-lain, serta mengusir segala sesuatu yang mengganggu dan mungkin mengakibatkan kehancuran.

 

Jadi, demi memperoleh makanan, ia butuh dua tentara, (1) tentara batin, yaitu kemarahan untuk mengusir hal-hal merusak dan menuntut balas terhadap musuh:j, (2) tentara lahir, berwujud tangan, kaki, dan senjata, yang digunakan bekerjanya tentara kemarahan, kemudian memerlukan makanan.

 

Ketika tidak mengenali makanan, syahwat untuk mengetahuinya makanan beserta alatnya tidak berguna. Karena itu, guna mengetahui makanan ini ia memerlukan dua tentara. Pertama, tentara batin: kesadaran indra pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa, dan peraba. Kedua, tentara lahir, mata, telinga, hidung, dan lain-lain.

 

Selebihnya, penjelasan detail tentang kebutuhan terhadap tentara-tentara ini beserta hikmahnya merupakan perihal yang panjang dan memerlukan berjilid-jilid kitab. Mahasuci Allah Yang Mahamurah dan Mahabijaksana.

 

Ketahuilah, pembagian itu ada tiga, materi, aksiden, dan substansi murni. Ruh hewani adalah materi halus layaknya pelita yang menyala. Kehidupan merupakan pelita, darah adalah minyaknya, indra dan gerak menjadi cahayanya, syahwat adalah suhunya, marah merupakan asapnya, potensi yang mencari makanan dan tinggal dalam hati berlaku sebagai penjaga dan wakilnya.

 

Ruh itu dimiliki oleh semua binatang karena ia merupakan sesuatu yang sama di antara semua ternak dan segala jenis binatang. Sedangkan manusia adalah materi, dan pengaruh-pengaruhnya merupakan aksiden. Ruh tidak bisa mengetahui ilmu, tidak mengetahui jalan makhluk, dan tidak mengetahui hak pencipta. Ia hanya pelayan yang tertawan oleh kematian tubuh.

 

Jika minyak darah bertambah, ia akan padam akibat suhunya naik. Dan, jika minyak darah berkurang, ia juga padam karena semakin dingin. Padamnya ruh disebabkan oleh matinya tubuh. Di samping itu, sapaan Allah dan taklif Rasulullah tidak ditujukan untuk ruh ini sebab binatang ternak dan yang sejenisnya tidak diberi beban taklif dan tidak dikenai hukum-hukum syariat.

 

Manusia dibebani dan dikenai taklif tiada lain karena makna lain tertentu yang ada padanya. Makna tersebut adalah jiwa yang berpikir dan ruh yang halus. Ruh ini bu. kanlah materi maupun aksiden karena ia menjadi urusan Allah swt., seperti dikabarkan dalam firman-Nya, Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku.” (QS. al-Isra” (17): 85)

 

Urusan Allah itu bukan materi maupun aksiden, tetapi substansi yang kekal dan abadi, tidak bisa rusak, tidak pudar, tidak fana”, dan tidak mati. Ia meninggalkan tubuh, dan menunggu waktu untuk kembali ke tubuh pada Hari Kiamat kelak, sebagaimana dijelaskan syariat. Dari ruh ini, lahirlah kebaikan atau keburukan tubuh.

 

Ruh hewani dan seluruh potensi menjadi tentara ruh ini. Jika ruh hewani meninggalkan tubuh maka fungsi potensi hewaniah berhenti sehingga yang bergerak pun akan diam. Adapun diamnya sesuatu yang bergerak disebut kematian.

 

Walaupun demikian, meski ruh termasuk urusan Allah dan berada dalam tubuh sebagai makhluk asing, tetapi ketahuilah, ia tidak hinggap dan tinggal di suatu tempat. Tubuh bukan tempat hinggapnya ruh maupun hati, namun alat bagi ruh. Allah swt. Mahatahu.

 

Berikut ini penjelasan firman Allah swt.,

 

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, mereka jatuh tersujud kepadanya.” (QS. al-Hijr (15): 29)

 

Taswiyah bermakna perbuatan yang terjadi di tempat yang bisa menerima ruh, yaitu tanah dalam kaitannya dengan Adam as., dan nuthfah dalam hubungannya dengan anak-anak Adam.

 

Dengan pemurnian dan pelurusan watak serta berjalan melalui fase-fase penciptaan menuju puncak tujuan, hingga berakhir dalam kejernihan dan keselarasan berbagai bagian kepada tujuannya. Pada akhirnya, ia akan siap menerima dan menahan ruh, seperti kesiapan sumbu pelita setelah menyedot minyak bakar untuk menerima dan menahan api.

 

Adapun an-nafkhu (peniupan) berarti menyalanya cahaya ruh di tempat penerimaannya. Karena peniupan menjadi sebab yang menyalakan, dan gambaran peniupan merupakan hal yang mustahil bagi Allah, sedangkan sebab tersebut tidak mustahil. Maka ia mengungkapkan akibat dari peniupan tersebut: menyala pada sumbu nuthfah.

 

Peniupan itu mengandung gambaran dan hasil (akibat). Bentuk peniupan itu sendiri dengan mengeluarkan udara dari dalam perut seseorang ke dalam perut orang yang ditiup: ke sumbu nuthfah, hingga nuthfah itu pun menyala.

 

Adapun sebab yang membuat cahaya ruh menyala adalah sifat Dzat yang berbuat dan tabiat tempat yang menerimanya. Sifat Dzat yang berbuat adalah kedermawanan sekaligus sebagai sumber wujud. Dia memancarkan Dzat-Nya kepada segala maujud secara nyata. Sifat tersebut dinamakan qudrah (kekuasaan). Sebagai misal, pancaran cahaya matahari pada segala sesuatu yang bisa disinari tatkala tidak ada hijab antara keduanya.

 

Dan sesuatu yang menerima sinar adalah segala hal yang memiliki warna, bukan udara karena ia tak memiliki warna. Selain itu, sifat penerima adalah kesamaan dan kelurusan yang terjadi akibat keselarasan, seperti firman Allah swt., Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya.

 

Permisalan sifat penerima seumpama sifat-sifat cermin. Sebelum diasah hingga bening, cermin tak bisa menerima gambar meskipun gambar itu lurus di depannya. Jika ia telah bening maka di dalamnya tercetak gambar dari gambar yang lurus di depannya.

 

Demikian pula, bila terjadi kesejajaran pada nuthfah, muncullah ruh dari Sang Pencipta ruh, tanpa terjadi perubahan saat ini pada-Nya. Bahkan, ruh itu sudah terjadi sebelumnya akibat berubahnya tempat dan kesejajaran saat ini.

 

Selanjutnya, maksud dari pancaran kedermawanan bahwa kedermawanan Ilahiah menjadi sebab terciptanya cahaya wujud pada setiap esensi yang dapat menerima kedermawanan. Inilah yang disebut dengan pancaran (faidh).

 

Tidak sebagaimana dipahami dalam peristiwa memancarnya air dari wadah ke tangan karena hal itu berarti terpisahnya bagian air yang ada di dalam wadah dan tersambung dengan tangan. Sungguh, Mahasuci Allah dari hal-hal sernacam ini.

 

Sementara itu, menyingkap makna esensi ruh dan mengetahui hakikatnya menjadi bagian rahasia. Bahkan, Rasulullah pun tak mengizinkan seseorang yang bukan ahlinya untuk menyingkapnya. Jika engkau termasuk ahlinya maka dengarkanlah. Ketahuilah, ruh itu bukan materi yang bertempat pada tubuh layaknya air yang menempati wadah.

 

Bukan pula aksiden yang melekat pada hati atau otak, seperti melekatnya hitam pada sesuatu yang berwarna hitam dan ilmu pada orang yang berilmu. Akan tetapi, ruh adalah substansi yang tak dapat terbagi-bagi menurut semua orang yang memiliki mata hati.

 

Sebab, jika ruh bisa dibagi, tentu saja bagian tertentu bisa jadi akan ditempati ilmu tentang sesuatu, dan bagian lain ditempati kebodohan terhadap sesuatu yang sama. Sehingga secara bersamaan ia mengetahui sesuatu sekaligus tidak mengetahuinya. Dan ini mustahil. Demikian ini menunjukkan bahwa ruh tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terbagi.

 

Jika ditanyakan, “Mengapa Rasulullah saw. melarang manusia untuk menyebarkan rahasia ruh dan mengungkap hakikatnya?” Jawabannya, “Karena ruh itu memiliki sifat-sifat di luar kapasitas pemahaman manusia pada umumnya. Karena manusia itu ada dua kategori, awam dan khusus (khash).

 

Bagi orang awam, ia tidak akan percaya bahwa sifat ruh itu menjadi sifat Allah, terlebih membenarkannya dalam sifat ruh manusia. Begitu pula kelompok Karamiyah, Hambaliyah, dan lain-lain yang tergolong awam, akan mengingkari kesucian Allah dari sifat jasmaniah dan aksiden. Karena mereka tak bisa memahami maujud kecuali memiliki tubuh yang bisa ditunjuk.

 

Maka, barang siapa sedikit lebih tinggi dari kelompok awam ini, ia akan menafikan unsur materi dari Allah beserta hal-hal yang dipastikan tak memiliki sifat-sifat jasmani tapi menetapkan arah. Lebih tinggi dari kelompok awam adalah kaum Asy’ariyah dan Muktazilah. Dan mereka pun menyucikan Allah dari kejisiman dan arah.”

 

Jika ditanyakan, “Mengapa rahasia ini tak boleh diungkap kepada mereka?” Jawabnya, “Sebab mereka memustahilkan jika sifat ini menjadi milik selain Allah. Karena bila engkau menyebut masalah ini, mereka akan menganggapmu kafir. Mereka berkata, “Ini adalah penyerupaan (tasybih) sebab engkau menggambarkan diri sendiri dengan sesuatu yang secara khusus menjadi sifat Allah swt. Inilah kebodohan terhadap sifat-sifat Allah yang paling khusus.”

 

Apabila dikatakan bahwa manusia itu hidup, mengetahui, kuasa, berkehendak, melihat, dan berbicara, sementara Allah juga demikian, hal ini tidak mengandung penyerupaan Allah dengan makhluk. Karena sifat-sifat ini bukan sifat Allah yang paling khusus. Demikian pula kebebasan dari tempat dan arah bukan sifat Allah yang paling khusus.

 

Sifat Allah yang paling khusus adalah Dia Berdiri Sendiri, dan selain Allah tidak. Maka, pada dirinya sendiri segala sesuatu hanyalah ketiadaan karena ia sekadar memiliki wujud pinjaman dari yang lain. Apa saja selain Allah mempunyai wujud—pinjaman—dari-Nya, sementara wujud Allah adalah wujud Dzati, bukan pinjaman. Dan sifat berdiri sendiri ini tidak ada yang memiliki kecuali Allah swt. Jika ditanyakan, “Apakah makna penisbatan ruh kepada Allah dalam firman-Nya, “Dan telah Aku tiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.” (QS. al-Hijjr (15): 29)

 

Ketahuilah, ruh itu suci dari arah dan tempat. Ia memiliki potensi untuk mengetahui dan melihat segala objek yang diketahui. Hal ini sekaligus menjadi kesamaan dan kesesuaian yang tidak dimiliki seluruh materi. Karena itu, ia memperoleh keistimewaan dengan disandarkan kepada Allah swt.

 

“KEHIDUPAN MERUPAKAN PELITA, DARAH ADALAH MINYAKNYA, INDRA DAN GERAK MENJADI CAHAYANYA: SYAHWAT ADALAH SUHUNYA, MARAH MERUPAKAN ASAPNYA, POTENSI YANG MENCARI MAKANAN DAN TINGGAL DALAM HATI BERLAKU SEBAGAI PENJAGA DAN WAKILNYA.”

 

Lantas, apabila ditanyakan, “Apakah makna firman Allah swt. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku.” (QS. al-Isra (17): 85), dan apa makna alam amar dan alam penciptaan?” Maka jawabannya, “Segala sesuatu yang memiliki jarak dan ukuran berarti materi dan aksiden, dan ini berarti alam penciptaan.

 

Penciptaan di sini dalam pengertian pengukuran, bukan pengadaan atau (proses) penciptaan. Karena di. katakan, “Penciptaan sesuatu” berarti ukurannya. Segala sesuatu yang tak memiliki kuantitas maupun ukuran, maka ia menjadi urusan rabbani. Dan perihal persamaan ini telah kami tuturkan.

 

Jadi, segala hal yang termasuk jenis ini, seperti ruh manusia dan malaikat disebut dengan alam amar. Dengan ungkapan lain, alam amar berarti wujud-wujud di luar jangkauan indra, imajinasi, arah, tempat, kecenderungan, jarak, dan ukuran. Karena hal-hal tersebut tidak memiliki kuantitas.

 

Jika dikatakan, “Hal ini mengesankan bahwa ruh itu kadim, bukan makhluk.” Jawabnya, “Pernyataan semacam ini adalah pemahaman orang-orang bodoh dan sesat. Barang siapa mengatakan ruh bukan makhluk karena tidak dibatasi kuantitas, tidak bisa dibagi-bagi, serta tidak butuh termnpat maka ia benar.

 

Akan tetapi, ruh adalah makhluk dalam pengertian sebagai sesuatu yang baru, bukan kadim. Sebab terjadinya ruh manusia itu tergantung pada kesiapan nuthfah, sebagaimana terjadinya gambar dalam cermin akibat jernihnya kaca, meski ia memiliki wujud yang mendahului terjadinya kejernihan kaca.”

 

Jika dikatakan, “Apakah makna sabda Rasulullah saw.

 

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam seperti rupaNya. Menurut riwayat lain, seperti rupa ar-Rahman.” Maka jawabannya, rupa (shurah) adalah kata benda berkait (musytarak), yang kadangkala digunakan untuk menyebut urutan bentuk-bentuk, penyusunan, dan komposisi yang berbeda-beda. Dan ini adalah rupa yang dapat diindra. Terkadang juga digunakan untuk menyebut runtutan konsep-konsep yang tak terindra. Selain itu, konsep-konsep itu juga memiliki susunan, urutan, dan keserasian, yang disebut dengan shurah (rupa).

 

Sehingga dikatakan, “Gambaran persoalannya demikian…, gambaran peristiwanya semacam ini… dan gambaran ilmu-ilmu jasmaniah dan rasional seperti ini…”

 

Perihal gambaran yang disebutkan merupakan gambaran rasional dan konseptual, serta menyinggung tentang persoalan kesamaan yang telah kami jelaskan. Hal tersebut merujuk kepada Dzat, sifat-sifat, dan perbuatan.

 

Hakikat Dzat ruh adalah ia berdiri sendiri, bukan aksiden dan materi, bukan pula substansi yang membutuhkan tempat: tidak hinggap pada tempat maupun arah, tidak melekat pada tubuh dan alam, tidak pula terpisah, dan tidak berada di dalam atau di luar tubuh maupun alam. Kesemuanya ini adalah sifat-sifat Allah swt., yaitu: hidup, mengetahui, kuasa, berkehendak, mendengar, melihat, dan berbicara.

 

Adapun perbuatan manusia bemula dari kehendak. Pertama-tama jejak-jejaknya tampak dalam hati. Menyebar melalui ruh hewani yang berupa uap lembut dalam lubang hati, lalu naik ke otak. Dari otak, jejak-jejak tersebut mengalir ke seluruh anggota tubuh sampai jari-jari. Kemudian, jari-jari itu pun bergerak dan menyebabkan geraknya pena, dan pena pun menggerakkan tinta. Dari tinta ini lahirlah gambar sesuatu yang ia kehendaki dalam perbendaharaan imajinasi untuk dituliskan di atas kertas.

 

Karena sesuatu itu tidak dibayangkan dalam imajinasi terlebih dahulu maka tidak mungkin diciptakan dari nol. Maka, barang siapa meneliti perbuatan-perbuatan Allah dan cara menciptakan berbagai binatang dan tetumbuhan di atas bumi, dengan cara menggerakkan bintang-bintang dan langit melalui perantara para malaikat, pasti mengetahui bahwa perilaku manusia di alamnya sendiri menyerupai perilaku Allah dalam makrokosmos (jagad besar). Dengan demikian, ia akan mampu memahamisabda Rasulullah saw,.,

 

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sepertirupa-Nya.”

 

Apabila dikatakan, “Jika arwah itu baru bersama jasad, lantas apa makna sabda Nabi Saw,

 

“Allah swt. menciptakan ruh dua ribu tahun sebelum menciptakan jasad.”

 

Dan sabda Nabi saw.

 

“Aku adalah Nabi yang paling pertama diciptakan dan paling akhir diutus. Aku sudah menjadi nabi, sementara Adam masih antara air dan tanah.”

 

Ketahuilah, sedikit pun sabda ini tidak menunjukkan kekadiman ruh, tapi sabda beliau “Aku adalah Nabi yang paling awal diciptakan” secara lahir bisa jadi menyiratkan kemendahuluan wujud ruh daripada jasad, sedangkan selainnya sudah jelas.

 

Maka dari itu, menakwilkan sabda ini adalah hal yang mungkin. Sementara dalil yang pasti tidak menolak petunjuk lahiriah, tetapi untuk mengendalikan penakwilan lahiriah, sebagaimana lahiriah penyerupaan berkaitan dengan Allah swt.

 

Sabda Nabi saw., “Allah swt. menciptakan ruh dua yibu tahun sebelum menciptakan jasad.” Artinya, arwah di sini adalah ruh para malaikat, dan yang dimaksud dengan materi (jisim) yaitu materi alam, seperti Arys, kursi, langit, bintang-bintang, udara, air, dan bumi.

 

Sedangkan sabda beliau, “Aku adalah Nabi yang paling pertama diciptakan,” mengandung arti bahwa penciptaan di sini adalah penentuan, bukan perwujudan. Karena sebelum Rasulullah dilahirkan oleh ibunya, beliau belum wujud dan tercipta. Namun tujuan dan kesempurnaan itu sudah lebih dahulu diukur (direncanakan), kemudian menyusul dalam wujudnya.

 

Demikianlah, Allah swt. terlebih dahulu mengukur dengan menggambarkan urusan-urusan Ilahiah di Lauh Mahfuzh berdasarkan ilmu-Nya. Jika engkau telah memahami dua macam wujud ini, maka Rasulullah telah ada sebelum adanya Adam as. Wujud pertama dalam perencanaan, bukan wujud indrawi yang nyata. Inilah perbicangan tentang makna ruh. Sungguh, Allah Mahatahu.

 

HALAMAN 81-83

 

 

 

 

Bagian Kedelapan: Makna Kedamaian karena Allah swt.

 

PAHAMILAH, SALAH SATU efek terbesar dari cinta adalah kedamaian. Dan hakikat kedamaian yaitu kebahagiaan dan kegembiraan hati karena sesuatu yang tersingkap baginya, berupa kedekatan Allah beserta keindahan dan kesempurnaan-Nya. Seorang sufi berkata, “Hakikat kedekatan adalah merasakan segala sesuatu dengan hati serta damainya nuyani bersama Allah swt.”

 

Aku mengatakan bahwa ini menjadi perantara untuk mencapai kedekatan, bukan kedekatan itu sendiri. Sebab, hal ini merupakan kesucian hati dari sesuatu selain Allah swt. Jika hati telah suci dari selain-Nya, Dia hadir bersama hamba karena tidak ada hijab antara hamba dan Allah selain diri dan sifat-sifat-Nya.

 

Jika hamba telah Fana’ dari diri dan sifat-sifat-Nya, serta mengetahui bahwa seluruh alam ini berdiri karena kekuasaan Allah, maka ia mengetahui kedekatan Allah secara penyingkapan (kasyf). Ia mengerti kehendak-Nya sebagai kekhususan, dan mengetahui kekuasaan-Nya dalam mewujudkan dan mengabadikan.

 

Sifat-sifat itu tak pernah terpisah dari sesuatu yang disifati, tetapi melekat padanya. Bila orang makrifat berbicara, ia tidak berbicara dengan dirinya sendiri: begitu pula ketika ia mendengar, sebagaimana disebutkan dalam hadis.

 

Jadi, ahwal para “arifin atau orang-orang yang telah makrifat itu muncul karena kedekatan Allah, sedangkan ahwal kaum Abrar disebabkan mereka mengerti wujud Tuhan dengan mengetahui kekuasaan-Nya untuk mencegah dan memberi, mencipta kebahagiaan dan membuat kesengsaraan.

 

Para ahli makrifat (arifin) melihat Tuhan mereka di dunia dengan mata yakin dan mata hati. Di akhirat, mereka menyaksikan Tuhan dengan mata kepala. Dia dekat dengan mereka di dunia maupun akhirat.

 

Kedekatan-Nya di akhirat tidak berbeda dengan kedekatan di dunia, melainkan melalui naiknya kelembutan dan kasih sayang. Jika tidak demikian, hilanglah kedekatan jarak di sana-sini, dan sama sekali tak ada penyandaran antara Dia dan makhluk, baik di dunia maupun akhirat.

 

Kemudian, makrifat ini membuahkan kedamaian (uns) dengan syarat hadirnya kejernihan. Kedamaian pun membuahkan ketenangan (sakinah), berupa kekuatan yang mengimbangi pemberuntakan hati. Ia meneguhkan dan menghentikannya sampai batas keseimbangan dalam etika kehadiran. Nikmat kedekatan dalam kedamaian ini akan menerbangkan hati para arifin dan melahirkan pemberuntakan. Karena ketika dalam kondisi kecukupan manusia cenderung melampaui batas.

 

Adapun thuma’ninah adalah wujud setelah itidal yang disebabkan oleh rasa bahagia dan gembira karena hati mengetahui anugerah. Wujud ini hadir bersama keadamaian (uns), sekaligus pada dirinya sendiri thuma’ninah menjadi tujuan. Ketenangan menjadi perantara yang mendorong untuk memiliki adab dan i’tidal (lurus).

 

Di antara buah mahabbah adalah kelapangan dan kemanjaan. Jika kedamaian (uns) telah abadi dan kokoh, ia tidak dikotori oleh kegelisahan hati karena tidak mampu melihat ahwal. Hal itu akan melahirkan kelonggaran dalam ucapan, perbuatan, dan munajat. Demikian itu juga sama sekali tidak layak mendapatkan penghormatan dan pengagungan yang meniscayakan hadirnya kebesaran.

 

Seseorang yang memperoleh ketenangan dan kelonggaran, ia layak mendapatkan sesuatu yang tidak layak bagi orang yang segan. Karena salah satu perbuatan Allah yang mungkin yaitu Dia meridhai perbuatan yang dilakukan suatu kaum.

 

Dan akan marah terhadap perbuatan kaum lain karena ahwal mereka sekaligus hikmah yang lebih dahulu untuk mereka. Oleh sebab itu, Dia cemburu jika kalam-Nya didengar, kecuali oleh orang-orang istimewa bagi-Nya. Allah swt. berfirman,

 

“Dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya.” (QS. al-Isra (171: 46)

 

Berkaitan dengan rahasia hal ini, Dia mengungkapkan dalam firman-Nya,

 

“Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (QS. al-Anfal (8): 23)

 

Inilah hijab ghirah (kecemburuan), dan hakikatnya adalah menjaga waktu di sisi Allah agar tidak ternodai dengan ketamakan.

 

Salah satu buah dari cinta adalah kerinduan, dan ini lebih utama daripada kedamaian. Karena kedamaian akan membatasi pandangan yang disingkapkan oleh pesona kekasih kepadanya, dan pandangan itu tidak membentang hingga tak terlihat olehnya. Seseorang yang merindu laksana orang kehausan. Dahaganya tak akan hilang oleh air lautan.

 

Karena ia lebih mengetahui persoalan-persoalan Ilahiah yang terungkap padanya dibanding apa yang tak terlihat olehnya, laksana sebiji atom dibandingkan dengan luasnya wujud. Dan, Allah memiliki sifat yang Mahatinggi.

 

Makrifat ini menuntut lahirnya kegalauan, kegelisahan, dan kehausan yang terus-menerus. Karena hakikat kegelisahan adalah kecepatan gerak sekaligus mencampakkan kesabaran guna meraih apa yang dicari. Sementara itu, hakikat dari kehausan yaitu pencarian yang sungguh-sungguh terhadap sesuatu yang pasti dibutuhkan.

 

Barang siapa yang kegelisahan dan kehausannya memuncak, ia akan mengalami kegembiraan. Sebuah kerinduan yang telah menguasai hati pencarinya.

 

Setelah meraih semuanya, ketahuilah bahwa wajd memiliki beberapa ahwal. Pertama, ketakjuban (dahsy), sebagaimana firman Allah swt., “Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya (Yusuf), mereka kagum kepada keelokan rupanya, dan mereka melukai (jari) tangannya.” (QS. Yusuf, 12: 31) Oleh sebab itu, hakikat ketakjuban disini diartikan sebagai hilangnya kesadaran hati karena dikejutkan oleh sesuatu yang agung.

 

Kedua, kekaguman, yang berarti jika ia sedikit tenang dan berulang-ulang mengetuk hati maka hati menjadi kagum dan bingung, tapiia tetap abadi. Ketiga, merasa damai dan tenang seolah tidak ada apa pun yang memasukinya, dan tak sesuatu pun yang mengetuknya. Inilah yang disebut dengan tamkin.

 

“SESEORANG YANG MERINDU LAKSANA ORANG KEHAUSAN. DAHAGANYA TAK AKAN HILANG OLEH AIR LAUTAN.”

 

Syaikh ra. berkata, “Tamkin adalah isyarat puncak ketenangan. Hal ini disebabkan oleh ahwal apa pun yang ditemui pecinta bersama Allah. Sehingga ahwal itu terkadang menguatkannya, kadangkala ia menguatkan ahwal, kadang-kadang bervariasi, dan terkadang ia mengalami kemapanan dan tenang. Demikian ini terjadi dalam setiap keadaan. Maka, ketika tenang ia naik ke tingkat lain agar tingkat yang dituju menjadi ahwal dan yang ditinggalkan menjadi magam.”

 

Pahamilah, jika hamba menemukan ahwal seperti di atas di tengah keramaian, tetapi tak menemukannya di tempat sepi maka ia termasuk orang yang sakit. Ia harus melakukan muhasabah dan menuntut diri dengan berbagai tanda.

 

Apabila ia menemukan ahwal di tempat sepi, bukan di keramaian berarti itu baik, tapi belum mencapai puncak kesempurnaan. Sebab, kesempurnaan terjadi ketika tidak ada perbedaan ahwal, baik di tempat sepi maupun ramai, di rumah maupun dalam perjalanan, saat longgar atau sibuk.

 

Karena waktu luang menjadi syarat dalam permulaan (per. jalanan), bukan pada ujungnya.

 

Adapun batasan cinta yang wajib yaitu kecenderungan yang lahir dari keyakinan terhadap dasar-dasar keimanan, dalam kaitannya dengan Dzat dan sifat-sifat Allah. Jika ia tidak mengetahui salah satu dasarnya, berkuranglah cinta sebanding dengan dasar tersebut.

 

Ia juga telah melakukan dua dosa, dosa karena bodoh, dan karena hilangnya buah iman. Sementara hakikat iman adalah kehadiran hati bersama Allah, serta menyaksikan jejak-jejak yang menunjukkan wujud-Nya. Allah Mahatahu.,

 

Berkenaan dengan hal di atas dikatakan, kedamaian bersama Allah tak termuat oleh penganggur tak akan bisa dicapai dengan usaha para pekerja mereka yang damai para lelaki pilihan semuanya pilihan: beramal karena Allah

 

Barang siapa diliputi kedamaian (uns), ia tak memiliki keinginan selain menyendiri dan menyepi. Al-Wasithi berkata, “Tidak akan mencapai posisi kedamaian, orang yang tidak merasa gerah dengan seluruh alam.”

 

Abu al-Husain al-Warrag mengungkapkan, “Tidak akan ada kedamaian bersama Allah, melainkan disertai pengagungan. Barang siapa yang engkau damai bersamanya maka hilanglah rasa ketakjuban dari hatimu kepadanya, kecuali Allah swt. Sebab, setiap kali kau merasa damai karena-Nya, engkau akan semakin segan dan ta’zhim kepada-Nya.”

 

Bisa jadi kedamaian tersebut karena taat dan ingat kepada Allah, dan membaca kalam-Nya beserta seluruh pintu kedekatan dengan-Nya. Kadar kedamaiannya berupa nikmat dan anugerah Allah, bukan kedamaian yang dialami para pecinta. Kedamaian di sini adalah peristiwa mulia yang terjadi ketika batin suci, lalu dibersihkan dengan kejujuran hati, kesempurnaan takwa, pemutusan berbagai sebab dan ketergantungan, serta penghapusan beragam pikiran dan bisikan.

 

Adapun hakikat kedamaian yaitu membersihkan wujud dengan beratnya pancaran keagungan dan beredarnya ruh dalam medan-medan penyingkapan (fath). Kedamaian ini mempunyai kemandirian untuk mencakup kedekatan, lantas menggabungkannya dengan kewibawaan.

 

Dalam kewibawaan (haibah) ini terkumpul ruh, dan sifat ini kemudian menjadi kedamaian Dzat. Sedangkan kewibawaan Dzat terjadi pada magam baga’ setelah menyeberangi jembatan fana”. Keduanya bukanlah kedamaian dan kewibawaan yang lenyap karena fana”. Kewibawaan dan kedamaian sebelum fana’ itu akan tampak karena menyaksikan sifat-sifat keagungan dan keindahan.

 

Inilah posisi pemberian warna (magam talwin). Dan setelah fana”, Kami menyingkapnya dalam magam tamkin dan baqa” karena menyaksikan Dzat. Dari kedamaian ini, lahirlah ketundukan nafsu muthma’innah, dan dari kewiba

 

waan muncullah kekhusyukan nafsu. Sedangkan Khudhu’ dan khusyuk itu berdekatan. Keduanya dibedakan dengan perbedaan yang sangat lembut yang dapat dikenali hanya melalui isyarat ruh. Sungguh, Allah Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kesembilan: Makna Haya dan Muraqabah

 

KETAHUILAH, MALU (HAYA ) adalah magam pertama bagi kelompok mugarrabin, sebagaimana tobat menjadi posisi pertama bagi kelompok Muttagin. Sementara ilmu yang melahirkan sifat malu yaitu pengetahuan hamba akan pengawasan Allah terhadap dirinya.

 

Hal ini hukumnya wajib karena merupakan bagian dari keimanan kepada Allah swt. Demikian pula pengetahuan hamba terhadap cacat-cacat diri dan ketidakmampuannya untuk menunaikan hak-hak Allah swt. Ini juga hukumnya wajib karena menjadi bagian dari iman kepada Allah swt.

 

Dari kedua makrifat di atas, terbukalah hal yang disebut dengan malu, yaitu tertunduknya mata hati karena malu kepada Allah, seperti ketika gegabah dalam melaksanakan hak Allah swt. Sementara kadar wajib dari ahwal ini sejauh hal-hal yang mendorongnya untuk meninggalkan larangan dan menunaikan kewajiban.

 

Di samping itu, muragabah dan ihsan adalah dua kata dengan satu makna yang saling tumpang tindih. Dalam arti, buah awal muragabah adalah menjaga sekaligus mengungkap getar hati (khawatir) yang kabur, serta meniti adab bersama Allah karena menghormati pengawasan-Nya.

 

Selain itu, malu itu ada dua: umum dan khusus. Maly yang umum, sebagaimana diperintahkan Rasulullah saw dalam sabdanya,

 

“Bukan seperti itu, tetapi barang siapa malu kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya, hendaklah ia menjaga kepala beserta apa yang ada di dalamnya, perut beserta apa yang dimuat, dan selayaknya ia mengingat maut dan bencana. Barang siapa menginginkan akhirat maka ia tinggalkan hiasan dunia. Maka, siapa yang melakukan hal ini, berarti ia malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya.”

 

Malu semacam ini juga menjadi bagian dari magam. Sedangkan malu yang khusus seperti diriwayatkan dari ‘Utsman bin “Affan ra., ia berkata, “Sungguh aku mandi dalam rumah yang gelap, lalu aku merunduk karena malu kepada Allah swt.”

 

Diceritakan dari Ahmad bin Shaleh, ia berkata, “Aku mendengar Muhammad bin ‘Abdun berkata, “Aku mendengar Abu al-‘Abbas al-Mu’adzin berkata, “Sirri-ku berkata kepadaku, Jagalah untukku apa yang kukatakan kepadamu sebab malu dan damai itu mengelilingi hati.

 

Jika menemukan hati yang memiliki sifat zuhud dan wara ‘, maka mereka mendarat. Bila tidak, mereka pun pergi. Malu adalah menundukkan ruh karena menghormati keagungan yang Mahaagung. Dan kedamaian (uns) adalah kenikmatan ruh karena keindahan yang sempurna. Jika keduanya (damai dan malu) bersatu, itulah puncak harapan dan ujung paling agung.”

 

“ILMU TERBESAR ADALAH KEWIBAWAAN DAN MALU. JIKA ORANG TIDAK MEMILIKI WIBAWA DAN MALU, MAKA TAK ADA LAGI KEBAIKAN PADANYA.”

 

Seorang bijak berkata, “Barang siapa berbicara tentang malu, tapi tidak merasa malu kepada Allah berkaitan dengan apa yang ia bicarakan, ia termasuk orang yang digiring menuju azab (Gmustadraj))” Dzun Nun berkata, “Malu itu hadirnya rasa segan dalam hati dengan kekaguman terhadap apa yang sudah kaulakukan kepada Tuhanmu.” Ibnu Atha’ mengungkapkan, “Ilmu terbesar adalah kewibawaan dan malu. Jika orang tidak memiliki wibawa dan malu, maka tak ada lagi kebaikan padanya.” Sulaiman juga mengatakan, “Para hamba itu berbuat (amal) dalam empat tingkatan, takut, berharap Gaja”), hormat (ta’zhim), dan malu (haya”). Adapun yang paling tinggi derajatnya adalah Orang yang beramal disertai perasaan malu karena yakin bahwa Allah melihatnya dalam segala keadaan. la lebih malu ketika melakukan kebaikan daripada malunya para pendurhaka yang berbuat keburukan.” Hal ini seperti ungkapan salah seorang ulama bahwa hal yang dominan pada hati orang-orang yang malu yaitu selalu mengangungkan dan hormat saat Allah me. mandang mereka.”

 

Syekh Abu Najib as-Suhrawardi melantunkan sebu. ah syair,

 

Aku rindu kepada-Nya

tapi ketika Dia tampak aku tertunduk karena keagungan-Nya,

bukan takut tapi segan dan menjaga keindahan-Nya adalah kematian dalam kepergian-Nya dan kehidupan dalam kedatangan-Nya aku berpaling dari-Nya karena membangkang lalu, kukejar bayangan imaji-Nya

 

Selanjutnya, muragabah itu ada dua tingkatan, muragabah kaum Shiddigun dan muragabah Ashabul Yamin:

 

Tingkatan pertama adalah kaum Shiddigin Mugarrabin. Inilah muragabah penghormatan dan pengagungan, jika hati tenggelam tatkala menyaksikan keagungan tersebut dan gelisah di bawah cahaya kewibawaan, hingga sama sekali tak memiliki ruang untuk menoleh kepada yang lain.

 

Muragabah semacam ini tidak bisa dibahas secara panjang lebar, terutama berkaitan dengan penjelasan pahalanya karena terbatas di dalam hati. Dan anggota-anggota tubuh berhenti menoleh kepada munajat, terlebih pada hal-hal yang tampak.

 

Jika anggota-anggota ini bergerak melakukan ketaatan, ia dapat dimanfaatkan sehingga tidak memerlukan perancangan dan mencari sebab untuk menjaganya dari penyimpangan terhadap sunah-sunah yang lurus.

 

Tingkatan kedua, muragabah Ashabul Yamin yang wara”. Mereka adalah satu kaum yang lahir dan batinnya selalu melihat Allah, tetapi tidak merasa kagum karena memerhatikan keagungan. Hati mereka tetap dalam batas sedang dan memiliki ruang untuk menoleh kepada ahwal dan amal. Hanya saja, di samping melakukan amal, ia tak lepas dari muragabah.

 

Memang, mereka sangat malu kepada Allah hingga tidak melangkah dan beruntak, kecuali setelah memastikan dan menghindari segala hal yang menyebabkan mereka dicemooh pada hari kiamat nanti.

 

Di dunia ini, mereka melihat pengawasan Allah swt. tanpa harus menanti hari kiamat. Dengan demikian, engkau bisa melihat perbedaan kedua tingkatan ini dengan persaksian. Allah swt. Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kesepuluh: Makna Kedekatan

 

ALLAH SWT. BERFIRMAN,

 

“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan). (QS. al-‘Alag (96): 19)

 

Sujud adalah posisi paling dekat antara hamba dengan Tuhannya. Ia menjadi dekat ketika merasakan nikmatnya sujud. Dengan sujudnya, ia telah melipat hamparan semesta, baik yang ada maupun yang akan ada. Ia bersujud di ujung selendang keagungan, lalu mendekat.

 

Sebagian sufi berkata, “Aku tidak merasakan kehadiran. Maka kukatakan, Ya Allah, Ya Tuhan. Lantas, aku merasakan hal itu lebih berat daripada gunung.” Lalu ditanya, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Karena seruan itu datang dari balik hijab. Lantas, apakah engkau melihat teman: duduk memanggil sahabatnya?” Itu tiada lain merupakan isyarat, pengawasan, kehalusan, dan kelembutan.

 

Inilah yang digambarkan magam yang mulia. Di dalamnya ada kedekatan, tetapi ia memberi kesadaran penghapusan dan menunjukkan kemabukan. Demikian itu terjadi bagi orang yang jiwanya hilang dalam cahaya ruhnya karena dominasi kemabukan dan kuatnya penghapusan. Ketika bangun dan sadar, maka ruhnya melepaskan diri dari jiwa, dan jiwanya melepaskan diri dari ruh.

 

Kemudian, setiap hamba kembali ke posisi dan magamnya masing-masing, seraya berkata, “Ya Allah, Ya Rabb” dengan lidah jiwa yang tenang, kembali ke magam hajatnya dan posisi kehambaannya. Sementara ruh tak mampu berkata-kata karena disibukkan berbagai penyingkapan dalam kesempurnaan ahwal. Keadaan ini lebih sempurna dan lebih dekat daripada yang pertama.

 

Sebab, dengan lepasnya ruh melalui berbagai penyingkapan ia berada dalam kedekatan, dan membangun gambaran kehambaan dengan kembalinya kekuasaan jiwa ke posisi kefakiran. Bagi ruh, bagian kedekatan tetap terpenuhi dengan cara menegakkan gambaran kehambaan dari jiwa.

 

Imam al-Junaid berkata, “Sesungguhnya Allah swt. mendekati hati hamba sejauh kedekatan mereka kepadaNya. Maka, lihatlah apa yang dekat dari hatimu.” Abu Ya ‘gub as-Susi berkata, “Selama hamba berada dalam kedekatan, ia tak akan menjadi orang dekat selama tidak melihat kedekatan karena kedekatan. Jika ia tidak sanggup melihat kedekatan karena kedekatan, maka itulah kedekatan.”

 

Seorang sufi berkata,

 

Telah kutemukan Engkau dalam sirri, lalu lidahku bermunajat kepada-Mu kami berkumpul sebab beragam makna dan berpisah karena berbagai arti jika aibmu bukanlah mengagungkan pandangan mataku maka cinta akan membuatmu dekat dari berbagai penjuru

 

Dzun Nun berkata, “Semakin dekat seseorang kepada Allah, ia akan semakin segan.” Sahl berkata, “Di antara magam kedekatan, magam terendah adalah malu.” Nashr Abadi berkata, “Dengan mengikuti sunah akan diraih makrifat, dengan menunaikan ibadah wajib akan dicapai kedekatan, dengan membiasakan sunah akan digapai cinta.” Segala puji hanya milik Allah semata.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kesebelas: Kemuliaan Ilmu dan Kewajiban Mencarinya

 

KETAHUILAH, KARENA ILMU dan amal diciptakanlah langit dan bumi beserta segala isinya. Allah swt. berfirman, “Allahlah) yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kau mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalag (65): 12)

 

Cukuplah ayat di atas menjadi dalil atas kemuliaan ilmu dan kewajiban mencarinya, terlebih ilmu tauhid.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat (51): 56)

 

Cukuplah ayat ini menjadi petunjuk atas kemuliaan ibadah dan senantiasa melaksanakannya. Jadi, alangkah agung kedua hal ini karena menjadi tujuan diciptakannya dunia dan akhirat. Maka, hak seorang hamba agar tidak menyibukkan diri kecuali untuk keduanya, ilmu dan ibadah, serta tidak mengikuti selain keduanya. Namun, ilmu adalah hal yang paling mulia dari kedua mutiara ini, tetapi harus disertai ibadah. Jika tidak, ilmu akan sia-sia.

 

Pahamilah, adalah wajib untuk mendahulukan ilmu daripada ibadah. Hal ini karena dua alasan, pertama, agar ibadahmu menjadi sah dan benar, kedua, ilmu yang bermanfaat akan membuahkan takut dan segan kepada Allah dalam hati hamba. Takut dan segan ini akan melahirkan ketaatan dan mencegah maksiat atas taufik dan pertolongan Allah swt. Selain kedua hal ini, tak ada yang dituju oleh hamba dalam beribadah kepada Allah swt. Maka dari itu, engkau harus mencari ilmu yang bermanfaat.

 

“HAK SEORANG HAMBA AGAR TIDAK MENYIBUKKAN DIRI KECUALI UNTUK ILMU DAN IBADAH, SERTA TIDAK MENGIKUTI SELAIN KEDUANYA.”

 

Pertama-tama, engkau harus mengetahui dan mengenal sesembahanmu, lalu menyembahnya. Bagaimana bisa kau menyembah Dzat yang tidak kaukenal Asma dan sifatsifat Dzat-Nya, sifat wajib dan mustahil bagi-Nya. Atau, barangkali engkau meyakini sesuatu dalam sifat-sifat-Nya dengan keyakinan yang tidak benar sehingga ibadahmu sia-sia.

 

Setelah itu, engkau dituntut mengetahui kewajibankewajiban syariat yang wajib kaukerjakan agar dapat menunaikan apa yang telah diperintahkan. Engkau pun wajib mengenali larangan-larangan syariat yang harus kautinggalkan supaya kaubisa meninggalkannya.

 

Ketahuilah, ilmu yang menjadi kewajiban setiap mukalaf itu ada tiga macam. Pertama, ilmu tauhid. Kewajibanmu adalah sejauh mengetahui dasar-dasar agama dan kaidah-kaidah akidah. Kedua, ilmu sirri, yaitu ilmu yang berhubungan dengan hati beserta peran-perannya, baik kewajiban maupun larangan.

 

Ketiga, ilmu ibadah lahiriah yang berkaitan dengan tubuh dan harta. Kemudian, Allah mewajibkanmu untuk mengetahui apa yang wajib kauketahui dan menunaikan apa yang wajib kaukerjakan, serta meninggalkan segala hal yang wajib kautinggalkan.

 

Dengan demikian, engkau telah menunaikan semua yang diwajibkan Allah kepadamu sehingga jadilah kau ahli ilmu yang beramal. Dan, hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian kedua Belas: Makna al-Asma’ al-Husna

 

PAHAMILAH, MENURUT MAZHAB Ahlus Sunnah seluruh Asmaul Husna itu merujuk kepada Dzat dan tujuh sifat. Ini berbeda dengan kelompok Muktazilah dan para filosof. Asma tersebut bukanlah penyematan, bukan pula yang diberi nama. Demikianlah pandangan yang benar karena pengertian nama adalah lafazh yang diciptakan untuk menunjukkan sesuatu yang diberi nama.

 

Ketahuilah, kesempurnaan dan kebahagiaan hamba itu hanya dengan berakhlak seperti akhlak Allah, serta berhias dengan makna-makna Asma dan sifat-sifat-Nya sejauh yang bisa ia gambarkan. Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa kemiripan dalam setiap sifat menghendaki kesamaan. Itu sangat jauh.

 

Tidakkah kautahu Allah itu berada tidak pada suatu tempat. Dia Hidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Berkehendak, Maha Mendengar, Maha Berbicara dan Aktif, dan manusia juga demikian. Akankah engkau melihat bahwa yang menetapkan sifat-sifat tersebut bagi manusia serupa dan sama. Persoalannya tidak demikian. Tetapi kesamaan itu berarti kesamaan dalam jenis dan esensi.

 

Sementara itu, keistimewaan Allah adalah Dia itu wujud yang Wajibul Wujud dengan Dzat. Dengan kekuasaan-Nya maka wujudlah segala sesuatu yang mungkin wujud dengan keteraturan dan kesempurnaan yang paling indah.

 

Keistimewaan ini sama sekali tak terbayangkan kemiripan maupun kesamaannya, bahkan tidak ada yang mengetahuinya selain Allah swt. Jadi, seluruh makhluk tidak akan mengetahui selain kebutuhan alam yang teratur dan sempurna ini terhadap Pencipta Yang Hidup, Mengetahui, dan Kuasa.

 

“MAKNA ASMA-ASMA ALLAH ITU TERANGKUM DALAM EMPAT KATA YANG TERMASUK AL-BAAIYAT ASHSHALIHAT, YAITU: SUBHANALLAH WALHAMDULILLAH WA LA ILAHA ILLA ALLAH WA ALLAHU AKBAR.”

 

Makrifat semacam ini memiliki duajalan: Pertama, berhubungan dengan ilmu, dan yang diketahui membutuhkan perancang. Kedua, berkaitan dengan Allah dan yang Dia ketahui, yaitu asma-asma yang diturunkan dari sifat-sifat yang tidak termasuk dalam hakikat dan esensi Dzat.

 

Jika kita katakan bahwa Dia Hidup, Mengetahui, dan Kuasa, itu berarti sesuatu yang samar (mubham) yang memiliki sifat hidup dan kuasa karena hamba tidaklah mengetahui selain dirinya terlebih dahulu, kemudian membandingkan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat dirinya.

 

Mahasuci sifat-sifat Allah yang menyerupai sifatsifat kita. Dengan demikian, mustahil untuk mengetahui Allah secara hakiki selain Allah sendiri. Bahkan, mustahil mengenali kenabian, kecuali sang nabi sendiri. Sehingga selain nabi tidak akan mengetahui kenabian melainkan sekadar namanya.

 

Jika dikatakan, “Lantas, apakah puncak makrifat kaum arifin terhadap Allah swt.?” Kami menjawab, “Puncak makrifat mereka, jika tersingkap kemustahilah pengetahuan hakikat Dzat Allah bagi selain Allah. Dan, keluasan makrifat orang-orang yang telah menggapai marifatullah dengan mengetahui asma dan sifat-sifat-Nya.

 

Maka, sejauh apa pengetahuan dan keajaiban kekuasaan-Nya, serta keindahan ayat-ayat-Nya di dunia maupun di akhirat yang tersingkap bagi mereka. Di sinilah Jetak perbedaan derajat makrifat kepada Allah swt. Allah Maha Mengetahui.

 

Ketahuilah, keseluruhan Asma Allah al-Husna itu merujuk pada sepuluh hal:

 

  1. Asma yang hanya menunjukkan Dzat-Nya, seperti ucapanmu, “Allah,” dan yang mendekati nama al-Haqq, jika dimaksudkan sebagai Dzat yang Wajibul Wujud.

 

  1. Asma yang merujuk pada Dzat disertai penegasian (salab), seperti al-Quddus, as-Salam, al-Ghaniy, al-Ahad, dan lain-lain. Karena al-Quddus adalah Dzat yang dari-Nya dicabut segala sesuatu yang terpikir dalam benak dan masuk dalam dugaan. As-Salam merupakan Dzat yang dari-Nya tercabut segala aib dan kekurangan. Al-Ghaniy yaitu Dzat yang dari-Nya tercabut semua hajat. Dan, alAhad bermakna Dzat yang dari-Nya tercabut padanan dan keterbagian.

 

  1. Asma yang merujuk Dzat dengan penyandaran, seperti al-‘Ali, al-‘Azhim, al-Awwal, al-Akhir, azh-Zhahir, al-Bathin, dan lain-lain. Karena al-‘Ali adalah Dzat yang mengatasi segala Dzat dalam segi derajat, daninimerupakan bentuk penyandaran. Al-Azhim yaitu sifat yang menunjukkan Dzat yang melampaui batas-batas penangkapan indra. Al-Awwal berarti yang mendahului segala yang wujud. Al-Akhir adalah yang menjadi tempat kembali seluruh wujud. Azh-Zhahir bermakna Dzat yang disandarkan kepada dalil akal. Dan, al-Bathin merupakan Dzat yang disandarkan kepada pengetahuan indra dan ilusi.

 

  1. Asma yang merujuk kepada Dzat disertai pencabutan (salab) dan penyandaran (izhafah), seperti al-Malik dan al-‘Aziz. Al-Malik yaitu Dzat yang tidak membutuhkan apa pun, tetapi segala sesuatu membutuhkan-Nya, Sedangkan al-Aziz berarti Dzat yang tiada duanya: sangat dibutuhkan, tapi sulit diraih dan digapai.

 

  1. Asma yang merujuk pada Dzat disertai sifat ketetapanNya, seperti al-Hay, al-Alim, al-Gadir, al-Murid, as-Sami’ al-Bashir, dan al-Mutakallim.

 

  1. Asma yang merujuk kepada ilmu disertai penyandaran, seperti al-Hakim, al-Khabir, asy-Syahid, dan al-Muhshi. Karena al-Hakim menunjukkan ilmu yang disandarkan kepada objek ilmu yang paling mulia. Al-Khabir menunjukkan ilmu yang disandarkan pada hal-hal batin (tidak tampak). Asy-Syahid menunjukkan Sang Maha Mengetahui yang disandarkan kepada apa yang disaksikan. Dan al-Muhshi mengindikasikan ilmu yang mencakup objek-objek yang diketahui yang terbatas dan terhingga.

 

  1. Asma yang merujuk kepada kekuasaan disertai tambahan penyandaran, seperti al-Qawiy, al-Matin, dan al-Qahhar. Sebab, al-quwwah adalah kesempurnaan kekuasaan, al-matanah menunjukkan kuatnya kekuasaan, al-qahr menjadi pengaruh dominasi kekuasaan terhadap hal yang dikuasai.

 

  1. Asma yang merujuk kepada kehendak (iradah) disertai perbuatan dan penyandaran, seperti ar-Rahman, arRahim, ar-Ra’uf, dan al-Wadud. Karena ar-Rahman merujuk kepada kehendak yang disandarkan pada pemenuhan hajat orang yang butuh danlemah.Ar-Ra’fah menunjukkan kuatnya rahmah, yaitu keberlebihan dalam rahmat. Sementara al-Wadud merujuk kepada kehendak yang disandarkan kepada ihsan dan pemberian nikmat. Pelaksanaan rahmat menuntut adanya orang yang butuh, sedangkan pelaksanan alwudd tidak memerlukan hal ini, memberi nikmat sejak awal (tanpa sebab).

 

  1. Asma yang merujuk kepada Dzat disertai sifat sandaran, seperti al-Khalig, al-Bari, al-Mushawwir, al-Wahhab, Ar-Razzaq, al-Fattah, al-Basith, al-Qabidh, al-Khafidh, ar-Rafi’, al-Mu’iz, al-Muzhil, al-‘Adl, al-Mugit, al-Mughits, al-Mujib, al-Wasi’, al-Bahits, al-Mubdi, al-Mu’id, al-Muhyi, al-Mumit, al-Muqaddim, al-Mu ‘akhir, al-Waliy, al-Barr, at-Tawwahb, al-Muntaqim, al-Muqsith, al-Jami’, al-Mu thi, al-Mani’, al-Mughni, al-Hadi, dan lain-lain.

 

  1. Asma yang merujuk kepada makna perbuatan disertai penyandaran, seperti al-Majid, al-Karim, dan al-Lathif. Karena al-Majid menunjukkan luasnya penghormatan disertai kemuliaan Dzat. Demikian pula al-Karim. Adapun al-Lathif menunjukkan perbuatan disertai kelembutan.

 

Asma-asma di atas dan lainnya tidak keluar dari sepuluh bagian ini. Maka, analogikan asma yang belum kami sebutkan dengan yang telah kami sebutkan. Hal itu sebagai bentuk keluarnya asma-asma dari kesamaan arti, serta merujuk kepada sifat-sifat yang masyhur dan terhingga. Dan Allah Mahatahu. Mengertilah, makna asma-asma Allah itu terangkum dalam empat kata yang termasuk al-bagiyat ash-shalihat, yaitu: Subhanallah walhamdulillah wa la ilaha illa Allah wa Allahu Akbar (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah: tiada Tuhan selain Allah: dan Allah Mahabesar).

 

Kalimat pertama, subhanallah. Dalam kalam Arab kalimat ini berarti penyucian dan pencabutan, peniadaan kekurangan dan aib dari Dzat dan sifat-sifat Allah swt Maka, di antara asma Allah yang berarti penegasian terma. suk kalimat seperti al-Guddus yang berarti suci dari aib, dan as-Salam yang bermakna selamat dari segala penyakit.

 

Kalimat kedua, al-hamdulillah. Kalimat ini mencakup penerimaan (itsbat) berbagai macam kesempurnaan pada Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya. Jadi, asma Allah yang mengandung makna penegasan, seperti al-Alim, al-Qadir, asSami’, dan al-Bashir, termasuk ke dalam kalimat ini. Dengan kalimat subhanallah, kita menafikan segala macam aib yang kita pikirkan dan segala kekurangan yang kita pahami.

 

Dan dengan alhamdulillah, kita tegaskan segala jenis kesempurnaan yang kita kenal dan segala bentuk keagungan yang kita ketahui. Di balik sifat yang kita tanggalkan dan sematkan terdapat hal-hal agung yang tak kita lihat dan saksikan. Karena itu, kita memastikannya secara menyeluruh dengan ucapan “Allahu Akbar.”

 

Allahu Akbar adalah kalimat ketiga. Artinya, Dia lebih Agung dari apa yang kita tiadakan dan yang kita adakan. Inilah makna sabda Rasulullah saw.,

 

“Aku tak bisa menghitung pujian terhadap-Mu. Engkau sebagaimana Engkau puji diri-Mu sendiri.”

 

Jadi, Asma Allah yang mengandung hal-hal yang tidak kita kenal dan tak kita ketahui, seperti al-A’la dan al-Muta’ali, tercakup dalam ucapan “Allahu Akbar” dalam wujud. Kita menafikan jika di antara maujud ini ada yang menyerupai atau menandingi Allah. Maka dari itu, kita pastikan hal ini dengan ucapan “La ilaha illa Allah.”

 

Kalimat keempat, Ia ilaha illa Allah. Karena uluhiyyah (ketuhanan) itu merujuk kepada hak untuk disembah, dan

 

“TAK SATU PUN PENGUASA YANG TIDAK DIRENDAHKAN OLEH ALLAH KARENA MENGIKUTI HAWA NAFSU, MELAMPAUI BATAS, DAN DURHAKA KEPADA TUANNYA.”

 

tak ada yang berhak disembah melainkan Dzat yang memiliki semua sifat yang telah kami tuturkan di atas. Jadi, Asma Allah yang mengandung semuanya secara global, seperti al-Wahid, al-Ahad, dan Dzul Jalal wa al-Ikram terangkum dalam ucapan “La ilaha illa Allah.”

 

Sesungguhnya, Dialah yang berhak disembah karena harus memiliki sifat-sifat keindahan dan kesempurnaan yang tak bisa digambarkan oleh orang-orang yang menggambar, dan tak bisa dihitung oleh orang-orang yang menghitung. Jika kita memasuki al-bagiyat ash-shalihat dalam satu kalimat global, maka kalimat tersebut adalah “Alhamdulillah.” Semuanya terangkum di dalamnya.

 

Hal ini sebagaimana dikatakan as-Sayyid al-Jalil alImam al-Hafizh “Ali bin Abi Thalib ra., “Andai aku menghendaki untuk menenangkan unta dengan ucapan alhamdulillah, tentu akan kulakukan.”

 

Karena Alhamdulillah adalah pujian, dan pujian itu kadangkala terjadi dengan memastikan kesempurnaan terkadang dengan menampik (mencabut) kekurangan, kadang-kadang dengan mengakui ketidakberdayaan untuk menangkap pengetahuan, dan tidak jarang dengan mene. gaskan kesendirian dalam kesempurnaan. Dengan kata lain, kesendirian dalam kesempurnaan pujian dan kesem. purnaan puncak.

 

Sebagaimana telah kami sampaikan, kalimat alham, dulillah ini mencakup al-bagiyat ash-shalihat karena huruf alif dan lam (.  ) pada kalimat ini berfungsi menyapu-bersih seluruh jenis sanjungan dan pujian, baik yang kita ketahui maupun tidak.

 

Pujian ini tak akan sedikit pun keluar dari apa yang telah kami jelaskan. Tidak ada yang memiliki hak ketuhanan, kecuali Dzat yang memiliki semua sifat yang telah kami sampaikan. Tidak ada yang keluar dari keyakinan ini, bahkan malaikat yang didekatkan maupun nabi yang diutus.

 

Tak satu pun penguasa yang tidak direndahkan oleh Allah karena mengikuti hawa nafsu, melampaui batas, dan durhaka kepada Tuannya. Mereka adalah kaum yang diliputi rendahnya hijab, diusir dari pintu, dan dijauhkan darisisi (Allah). Oleh sebab itu, manusia yang terhijab dari pengagungan dan makrifat kepada-Nya di dunia, ia layak terhijab dari penghormatan dan penyaksian-Nya di akhirat.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Ketiga Belas: Meyakini dan Berpegang “Teguh kepada Akidah yang Benar ”

 

KEYAKINAN BERARTI MENGIKAT gambaran ilmu atau dugaan dalam hati tentang hal-hal gaib. Dan ilmu merupakan keyakinan yang pasti, kokoh, dan sesuai dengan kenyataan.

 

Seorang pembesar ulama berkata, “Ilmu adalah cahaya. Jika ia turun ke dalam hati, sinarnya menembus ke dalam sesuatu yang diketahui, lalu melekat padanya sebagaimana sinar mata melekat pada sesuatu yang dilihatnya.

 

Keyakinan yang benar adalah keyakinan yang tidak mengandung penegasian (ta thil), pengingkaran (ilhad), penyerupaan (tasybih): penyamaan dengan materi (tajsim), pertanyaan bagaimana (takyif), kekurangan, penitisan Tuhan ke dalam makhluk atau benda (hulul), penyatuan (ittihad), kebolehan (ibahah), dan lain-lain. Keyakinan tersebut juga harus disertai penyucian, keagungan, dan kebesaran, sebagaimana dialami para sahabat ra. Dan dalil keyakinan yang benar yaitu Kitab, Sunah, dan ijmak ulama.”

 

Kemudian ia berkata, “Seorang hamba harus mengetahui bahwa Allah swt. itu Satu dan Esa, Sendiri, serta menjadi tempat bergantung dalam Dzat dan sifat-sifat-Nya. Tak ada yang menyerupai dalam Dzat-Nya, dan tidak ada duanya dalam sifat-sifat-Nya, tidak memiliki sekutu dalam kerajaan-Nya, tidak ada sesuatu yang baru pada sifat-sifatNya: tidak mengalami sirna, tidak ada permulaan bagi kemendahuluannya, tidak ada akhir bagi keabadiannya:

 

wujud-Nya abadi tanpa akhir, Maha Memelihara semua maujud, tidak pernah berhenti, tetap, dan selalu memiliki sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, tak ada akhir bagi kesombongan-Nyaj, dan tidak ada akhir bagi keagungan dan kebesaran-Nya.

 

“DIA MAHADEKAT DENGAN SEGALA WUJUD, DAN LEBIH DEKAT KEPADA HAMBA DARIPADA URAT LEHER.”

 

Dia bukanlah materi, jasmani, ruh, ruhani, bukan pula substansi yang terbatas, dan tidak dihinggapi oleh substansi-substansi. Akan tetapi, Dia adalah Pencipta segala sesuatu, Maha Esa, tempat bergantung, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, suci dari gerak, berpindah, arah, dan tempat.

 

Dia Mahadekat dengan segala wujud, dan lebih dekat kepada hamba daripada urat leher. Kedekatan-Nya dengan makhluk tidak seperti kedekatan makhluk satu sama lain, tetapi kedekatan yang layak bagi Allah swt.

 

Al-Junaid ra. ditanya tentang makna kedekatan, ia menjawab, “Kedekatan bukan dalam pengertian menempel, dan jauh bukan terpisah. Kedekatan dan kebersamaan-Nya tidak bisa digambarkan. Sebagaimana tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, kedekatan dan kebersamaanNya tidak seperti kebersamaan dan kedekatan seseorang. Allah swt. itu ada, dan tidak ada sesuatu pun bersama-Nya. Sekarang, Dia sebagaimana ada-Nya.”

 

Ketahuilah, barang siapa menafsirkan kata “istawa di atas Arsy” berdasarkan makna kata lahiriah, yaitu “istiqrar (tenang) di puncak ‘Arys,” berarti ia telah berpegang kepada tajsim. Jika ia ragu akan hal ini, maka ia juga termasuk orang yang merancang tajsim.

 

Dan bila ia memastikan kemustahilan (Allah) diam di atas Arsy, itu sama halnya telah menakwilkan kata-kata lahiriah, dan merupakan keyakinan orang-orang yang benar. Demikian pula orang yang mengartikan “nuzul” menurut apa yang ditunjukkan oleh kata-kata lahiriahnya, yaitu gerak dan berpindah, berarti ia juga berpegang pada tajsim. Apabila ia memastikan kemustahilan gerak dan berpindah, maka ia telah menakwilkannya, dan inilah keyakinan orang-orang yang benar.

 

Pahamilah, menolak untuk menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat karena takut terjerumus ke dalam keyakinan terlarang, membawa kepada keraguan dan prasangka, serta menyebabkan orang-orang awam terpeleset, memasukkan syubhat ke dalam dasar-dasar agama, membawa beberapa ayat-ayat Allah untuk meluntarkan berbagai prasangka, maka, segala puji bagi Allah, inilah akidah yang selamat dan benar.

 

Demikian ini diikuti oleh orang yang memiliki hati yang sehat. Ia terhindar dari bidah, penyimpangan, godaan setan, dan bisikan nafsu. Dihiasi oleh takwa, ditopang dengan hidayah, dipoles sikap wira’i, dan diberi makan dengan zikir. Dan Allah Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Keempat Belas: Penjelasan Sifat-sifat Allah swt.

 

SIFAT-SIFAT YANG TETAP (tsubutiyah) bagi Allah itu ada tujuh: Hayat (Mahahidup), Ilmu, Iradah (Maha Berkehendak), Qudrah (Mahakuasa), Sama’ (Maha Mendengar), Bashar (Maha Melihat), dan Kalam (Maha Berbicara). Masingmasing dari sifat ini memiliki hubungan, kecuali Hayat karena ia menjadi sumber segala kesempurnaan.

 

Ilmu berhubungan dengan wajib, jaiz, dan mustahil. Wajib adalah Dzat Allah beserta sifat-sifat-Nya, jaiz (mungkin) yaitu segala sesuatu yang mungkin ada, mustahil berarti yang tidak mungkin wujud.

 

Iradah berhubungan dengan pengkhususan (takhshish), dan ini memenangkan salah satu yang mungkin ada, dari tiada menjadi ada sesuai apa yang Dia kehendaki untuk ditampakkan. Qudrah berhubungan dengan pengaruh yang menampakkan sesuatu yang tidak ada atau meniadakan yang ada.

 

Sekiranya ilmu tidak mendahului, tak akan terjadi pengkhususan kehendak. Seandainya tidak terjadi pengkhususan kehendak maka tidak akan ada pengaruh qudrah. Kemudian, mendengar (sama’) berhubungan dengan segala yang terdengar, baik kadim maupun baru. Kalam (berbicara) berkaitan dengan segala yang memiliki kaitan dengan ilmu. Semua sifat-sifat ini ada pada Dzat Allah swt.

 

Sifat-sifat ini terbagi menjadi: sifat untuk diungkap dan berhubungan dengan yang lain, seperti ilmu, mendengar dan melihat, sifat yang berhubungan dengan lainnya tanpa mengungkap dan memberi pengaruh, seperti kalam.

 

Sifat yang memiliki hubungan paling umum yaitu ilmu dan kalam, paling khusus adalah mendengar, menengah ya. itu melihat. Adapun baqa” bermakna berlanjutnya wujud, bukan sifat yang melampaui pengertian Dzat.

 

Sehingga kaum Asy’ariyah mengatakan, “Allah swt. itu hidup dengan kehidupan, mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan kekuasaan, berkehendak dengan kehendak, mendengar dengan pendengaran, melihat dengan penglihatan, dan berbicara dengan kalam.”

 

Lain halnya dengan pandangan mazhab Qadariyah bahwa Allah itu hidup dengan Dzat-Nya, Berkuasa dengan Dzat-Nya, Berkehendak dengan Dzat-Nya, Mendengar dengan Dzat-Nya, dan Berbicara dengan Dzat-Nya. Dan, yang demikian ini adalah pandangan yang salah.

 

Mazhab Thabi’iyyah (naturalis) berpandangan, api itu membakar dengan tabiatnya, air itu menyegarkan sesuai tabiatnya, makanan itu mengenyangkan selaras dengan tabiatnya, cakrawala dan bintang-bintang berpengaruh sejalan dengan tabiatnya, demikian pula semua sebab-sebab lainnya. Sementara pandangan mazhab yang benar bahwa yang memberi pengaruh adalah kekuasaan Allah, dan sebabsebab itu tidak memiliki pengaruh. Dan Allah Mahatahu.

 

Ketahuilah, tujuh sifat di atas menurut mazhab Asy’ari merupakan makna-makna di luar pengertian Dzat, dan ini mengandung entitas-entitas dan hukum-hukum yang tetap dan tak berubah. Arti dari entitas-entitas tetap dan tak berubah (tsubut al-a’yan) bahwa ia bukanlah Dzat itu sendiri sekaligus tidak berada di luar Dzat.

 

Para muhaqqiq lain mengatakan, sifat-sifat tersebut merupakan nisbah dan penyandaran pada hukum-hukum permanen tanpa disertai entitas-entitas (al-a’yan). Artinya, sifat-sifat ini tidak mengandung entitas-entitas, dan ia bukanlah tempelan di luar pengertian Dzat.”

 

Pembesar ulama lain berkata, “Ketahuilah, asma dan sifat-sifat adalah nisbah dan penyandaran yang merujuk kepada satu wujud (‘ain wahid) karena ketidakberbilangan dengan adanya entitas tempelan pada Dzat Yang Suci, sebagaimana diyakini oleh sebagian pemikir yang tidak mengenal Allah swt.

 

Seandainya asma dan sifat-sifat itu merupakan entitasentitas di luar Dzat, dan Dia tidak menjadi Tuhan kecuali dengan asma dan sifat-sifat tersebut, maka Dia menjadi akibat dari asma dan sifat-sifat ini hingga tidak menutup kemungkinan bahwa asma dan sifat adalah Dzat-Nya. Karena sesuatu tidak mungkin menjadi akibat bagi dirinya sendiri atau tidak.

 

Jadi, Tuhan bukanlah akibat dari sebab yang bukan Dzat-Nya sebab hal tersebut menghendaki kefakiran-Nya, sedangkan kefakiran Tuhan adalah mustahil. Dengan demikian, adanya asma dan sifat sebagai entitas di luar Dzat adalah sesuatu yang mustahil. Maka pahamilah baik-baik. Dan segala puji hanya milik Allah semata.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kelima Belas: Hakikat Ikhlas dan Riya’ Hukum dan Pengaruhnya

 

KETAHUILAH, IKHLAS MENURUT para ulama ada dua macam, ikhlas dalam beramal, dan ikhlas dalam mencari pahala. Adapun ikhlas dalam beramal adalah kehendak untuk mendekat kepada Allah swt., mengagungkan urusan-Nya, dan menjawab seruan-Nya. Munculnya keikhlasan semacam ini didorong oleh keyakinan yang benar. Kebalikan dari semuanya adalah nifag (kemunafikan) atau mendekat kepada selain Allah swt.

 

Adapun ikhlas dalam mencari pahala berarti kehendak untuk memperoleh keuntungan akhirat dengan melakukan kebaikan. Kebalikannya adalah riya atau keinginan mendapatkan keuntungan dunia dengan amal akhirat, baik mengharap dari Allah maupun dari manusia.

 

Karena yang diperhitungkan dalam perilaku riya yaitu apa yang diinginkan, bukan dari siapa. Selain itu, kedua bentuk keikhlasan di atas mempunyai pengaruh yaitu bahwa keikhlasan dalam beramal menjadikan amal sebagai pendekatan (tagarrub), dan keikhlasan mencari pahala membuat amal diterima serta memperoleh pahala berlimpah.

 

Sebaliknya, kemunafikan itu merusak amal dan mengeluarkannya dari posisi taqarrub. Sementara riya mengakibatkan ditolaknya amal. Lantas, pada posisi ikhlas yang bagaimana, dan dalam perbuatan taat yang manakah ia harus berada?

 

Pahamilah, menurut sebagian ulama amal itu ada tiga macam: amal yang mengandung kedua macam ikhlas di atas sekaligus, ibadah lahir yang asal: ibadah yang tidak me. ngandung keikhlasan mencari pahala, tetapi mengandung keikhlasan beramal, yaitu hal-hal mubah yang diambil sebagai bekal.

 

Guru kita berkata, “Setiap ibadah asal yang mungkin dibelokkan kepada selain Allah mengandung keikhlasan amal. Dan kebanyakan ibadah batin mengandung keikhlasan dalam beramal.”

 

“IKHLAS MENURUT PARA ULAMA ADA DUA MACAM: IKHLAS DALAM BERAMAL, DAN IKHLAS DALAM MENCARI PAHALA.”

 

Berkaitan dengan keikhlasan dalam mencari pahala, guru kita berkata, “Jika dengan melakukan ibadah-ibadah batin seseorang menginginkan keuntungan dunia dari Allah, hal itu termasuk riya.” Maka, tidak salah jika kebanyakan ibadah batin mengandung kedua macam ikhlas, begitu pula ibadah-ibadah sunah.

 

Oleh karena itu, saat melaksanakan ibadah-ibadah batin dan sunah harus disertai kedua macam keikhlasan ini sekaligus. Dan perbuatan-perbuatan mubah yang diambil sebagai persiapan hanya mengandung keikhlasan dalam mencari pahala tanpa keikhlasan beramal.

 

Karena dengan sendirinya ia tak bisa dijadikan sebagai taqarrub, melainkan sekadar sebagai persiapan untuk melakukan taqarrub. Sementara waktu atau momen ikhlas melakukan amal harus bersamaan dengan amal dan ikhlas mencari pahala, atau mungkin sedikit terlambat dari amal Menurut sebagian ulama, bisa jadi keikhlasan dalam mencari pahala ini diperhitungkan sesudah melakukan amal. Jika amal berjalan tanpa keikhlasan, maka persoalannya telah berlalu dan tak mungkin diulang lagi. Allah Mahatahu. 

 

Ketahuilah, telah menjadi kewajiban hamba untuk mewaspadai sepuluh hal saat mengerjakan amal, yaitu: Kemunafikan, riya, kekacauan, menyebut-nyebut kebaikan, menyakiti, menyesal (atas kebaikan), ujub, meratap, menganggap enteng, dan takut terhadap cercaan manusia. Lalu syekh kita menyebutkan lawan masing-masing berikut bahayanya terhadap amal.

 

Lawan kemunafikan adalah memurnikan amal karena Allah, lawan riya yaitu ikhlas mencari pahala, lawan kekacauan adalah takwa, lawan menyebut-nyebut kebaikan adalah menyerahkan amal kepada Allah: lawan menyakiti berupa membentengi amal, lawan menyesal berarti meneguhkan jiwa, lawan ujub yaitu mengingat anugerah Allah, lawan meratap adalah dengan memanfaatkan kebaikan, lawan menganggap enteng ialah mengagungkan pertolongan, lawan takut terhadap cercaan manusia yaitu takut kepada Allah swt.

 

Selanjutnya, pahamilah bahwa kemunafikan itu merusak amal, dan riya meniscayakan ditolaknya amal. Mengungkit-ungkit kebaikan dan menyakiti akan merusak sedekah seketika. Menurut sebagian ulama, kedua sifat ini menghilangkan pelipatgandaan sedekah.

 

Mereka pun sepakat bahwa penyesalan (terhadap kebaikan) itu merusak amal. Selain itu, ujub menghilangkan pelipatgandaan amal, ratapan dan menganggap enteng akan meringankan bobot amal. Karena itulah, engkau ha. rus memutus rintangan yang berbahaya dan kritis ini. Dan, Allahlah tempat meminta pertolongan.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Keenam Belas: Sanggahan Pendapat tentang Dibolehkannya Dosa Kecil bagi Para Nabi

 

DALAM KITAB ASY-SYIFA , al-Qadhi ‘Iyadh mengatakan, “Pahamilah, para fugaha, ahli hadis, dan Mutakallimun membolehkan dosa kecil bagi para nabi dengan mendasarkan pada banyak ungkapan lahir al-Quran dan Hadis.

 

Namun, jika mereka berpegang kepada ungkapan lahir al-Quran dan Hadis, mereka akan terseret untuk membenarkan terjadinya dosa kecil bagi para nabi as. dan menentang ijmak yang tidak dikatakan oleh seorang muslim.

 

Bagaimana tidak, sementara makna semua dalil yang mereka gunakan menjadi perdebatan para mufassir dan memunculkan berbagai kemungkinan dari banyaknya ucapan para fuqaha’ salaf yang berbeda dengan yang mereka pegang.

 

Bila pandangan mereka bukan hasil ijmak sehingga terjadi perselisihan dalam dalil yang mereka gunakan, atau terdapat bukti atas kesalahan ucapan mereka dan kebenaran yang lain maka pendapat mereka harus ditinggalkan dan kembali kepada yang benar. Allah swt. Mahatahu.”

 

Kewajiban Manusia terhadap Nabi saw

 

Pertama: Membenarkan semua yang beliau bawa lalu mengucapkan dengan pembenaran hati. Hal tersebut dibuktikan melalui persaksian lisan bahwa beliau adalah utusan Allah bagi seluruh manusia, serta mengikuti segala perintah dan menjauhi semua larangannya.

 

Di samping itu, juga mencintai, mengambil nasihat, menghormati, berbakti, dan membaca shalawat untuknya. Seluruhnya merupakan sebentuk kewajiban karena menjadi bagian dari apa yang beliau bawa-serta.

 

Ketahuilah, dalam hal ini umat sepakat atas keterjagaan dan keterpeliharaan Nabi saw. dari setan. Karena itu, setan tak mampu menimpakan gangguan terhadap lahirnya, dan tidak sanggup menyampaikan bisikan ke dalam batinnya.

 

Begitu pula keterjagaan beliau dari kebodohan terhadap Allah beserta sifat-sifat-Nya, atau penegasian ilmu tentang hal tersebut secara total menurut akal dan ijmak setelah kenabian, dan melalui sima’i dan nagli sebelum kenabian. |

 

Atau tidak mengetahui urusan-urusan syariat yang beliau nyatakan dan lakukan dari Allah melalui wahyu, secara tegas, rasional, dan syar’i, atau keterlindungan beliau dari dusta dan merubah ucapan semenjak diutus dan diwahyukan oleh Allah, baik dengan sengaja maupun tidak. Atau kemustahilan terjadinya perbuatan tersebut menurut akal maupun ijmak sebab bertentangan dengan mukjizat yang dapat dipastikan beliau suci dari perbuatan semacam itu sebelum kenabian.

 

Demikian pula kesucian beliau dari dosa-dosa besar secara ijmak dan dosa-dosa kecil. Bahkan, menyucikan himmah beliau yang mulia dari menjamah hal-hal mubah, kecuali dengan maksud menjelaskan kemubahannya dan untuk ketaatan kepada Allah swt.: atau keterpeliharaan beliau dalam segala keadaan, baik senang maupun marah, serius maupun bercanda, sehat maupun sakit: atau kemustahilannya untuk lalai dan lupa, terlena dan mengalami kekacauan dalam menyampaikan berita dan ucapan-ucapan indah karena berseberangan dengan mukjizat, atau dimungkinkan lupa dalam perbuatan-perbuatan puncak, dengan ketentuan lupa yang tidak bertahan lama, melainkan segera ingat seketika. Semua ini agar lupa itu bermanfaat sebagai pengetahuan hukum sekaligus mengikutinya dalam segala hal yang beliau syariatkan.

 

Berkaitan dengan hal yang terakhir di atas, mereka membedakan antara lupa dalam perbuatan-perbuatan puncak dan ungkapan-ungkapan indah. Karena keberadaan mukjizat tersebut membuktikan kejujurannya dalam ucapan sehingga menentang persoalan ini berarti menentang mukjizat.

 

Sedangkan lupa dalam perbuatan tidaklah bertentangan dengan mukjizat dan tidak mengenal kenabian. Lebih dari itu, peristiwa lupa yang dialami Rasulullah saw. menjadi sebab untuk mengambil ilmu dan penetapan syariat, sebagaimana sabda beliau,

 

“Sesungguhnya aku tidaklah lupa, tapi aku dibuat lupa demi kepentingan syariat.”

 

Kondisi ini jauh dari tanda-tanda kekurangan, justru merupakan kelebihan dalam menyampaikan dan kesempurnaan nikmat bagi beliau.

 

Penjelasan Wajib, Haram, dan Mubah bagi Nabi saw. Serta Keutamaan Beliau

 

Perihal wajib atas beliau adalah shalat tahajud, Witir, dhuha, menyembelih kurban, musyawarah, memberi Pilihan kepada para istri, bersiwak, bersabar terhadap musuh mes. ki jumlahnya banyak, serta merubah kemungkaran.

 

Sementara hal-hal haram khusus bagi Nabi, bukan untuk yang lain, di antaranya: Menulis, bersyair, sedekah, zakat, menginginkan sesuatu yang dikaruniakan ke orang lain, melakukan tipu daya dalam perang, menahan istri yang tidak disukai dan menceraikan yang senang, mengonsumsi bawang bakung, bawang merah, dan bawang putih.

 

Selain itu, makan sambil bersandar, tetapi hal ini diperselisihkan, paling kuat adalah rmmakruh, bukan haram, menikahi perempuan merdeka Ahli Kitab atau budak muslimah dan lain-lain, menshalatkan mayat yang berhutang meski diperselisihkan, dan yang paling baik setelah itu beliau bersedia menshalatkan: mencabut persiapan perang sebelum terjadi perang.

 

Hal-hal mubah bagi Rasul saw. yaitu memberi keputusan untuk diri sendiri atau anak-anaknya, memberi dan menerima persaksian untuk diri sendiri atau anak-anaknya, mengambil seperlima (dari harta rampasan perang), menghalalkan harta rampasan perang (ghanimah). Karena itu, barang siapa menghendaki ghanimah, rnaka sang suami harus menceraikannya. Beliau juga diperbolehkan menikah tanpa mahar, dan nikahnya sah dengan lafal hibah.

 

Beliau diperbolehkan pula mengambil rnakanan orang yang membutuhkan atau terpaksa harus memberikannya, bisa menghidupkan apa saja yang mati, selalu membuat keputusan berdasarkan ilmu, pikirannya mampu menolak maksud perbuatan jahat seseorang terhadap dirinya, wudhunya tidak batal karena tidur atau bersentuhan (dengan perempuan), tidak mewariskan harta, wanita yang tak bersuami dan tak beranak (khaliyyah) wajib menjawab lamarannya, nikahnya sah tanpa wali atau saksi, dan boleh menikah lebih dari empat, bahkan sembilan, boleh menikah saat ihram, dan sah menikahkan diri sendiri dan siapa saja yang dikehendakinya.

 

Adapun keutamaan-keutamaan khusus beliau, para istri yang beliau tinggalkan haram dinikahi orang lain secara mutlak. Demikian pula para istri yang beliau cerai setelah digauli, sebagaimana pendapat yang lebih sahih. Mereka adalah ibu-ibu kaum Muslimin.

 

Syariat beliau menghapus syariat sebelumnya dan berlaku selama-lamanya, kitabnya merupakan mukjizat abadi yang selamat dari penggantian dan perubahan, serta menjadi hujjah-Nya atas para hamba-Nya.

 

Seluruh bumi dijadikan masjid yang suci bagi beliau, diberi lima macam syafaat, dan memiliki keistimewaan memberi syafaat agung (asy-syafa’ah al-‘uzhma), orang pertama yang mengetuk pintu surga, umatnya adalah umat terbaik dan tak akan bersepakat dalam kesesatan: pemberi syafaat pertama yang diberi hak syafaat, dan orang pertama yang keluar dari dalam bumi.

 

Pada hari kiamat nanti setengah umatnya laksana para malaikat. Keutamaan-keutamaannya yang suci bisa diambil berkah maupun dijadikan obat penyembuh. Beliau bisa melihat apa yang ada di belakang seperti di depannya, tidak diperbolehkan memanggil beliau dari balik bilik, boleh shalat sunah dengan duduk bersila seperti shalatnya ketika wuguf, dan tidak diperbolehkan memanggil beliau dengan namanya langsung. Beliau dianugerahi kehormatan dengan jawami al-kalim.”

 

Ketahuilah, di dalam al-Quran Allah swt. mengharamkan untuk menyakiti Nabi saw., dan melaknat orang yang menyakitinya. Umat Islam sepakat bahwa orang Islam yang merendahkan dan menghina beliau boleh dibunuh, baik di. lakukan secara terang-terangan maupun dengan sindiran, Dan pelakunya sendiri berhak atas umpatan atau kehinaan.

 

Pahamilah, barang siapa mengumpat atau mencela beliau, atau menisbatkan kekurangan fisik, akhlak, agama, perilaku, atau nasab beliau, menyindir atau menyamakan beliau dengan sesuatu dengan cara mengumpat, merendahkan, serta meremehkan dengan kata-kata, berarti telah mengumpatnya, dan si pengumpat tersebut sah untuk dibunuh.

 

Begitu pula penilaian orang lain terhadap apa yang dialaminya, seperti ujian dan cobaan, atau sifat-sifat kemanusiaan yang mungkin melekat dalam dirinya. Demikianlah, semua ini berdasarkan ijmak para ulama semenjak para sahabat hingga saat ini.

 

Ibnu Mundzir ra. berkata, “Sebagian besar ulama sepakat, barang siapa mengumpat terhadap Rasulullah, maka sah untuk dibunuh. Salah seorang ulama yang menyatakan pendapat ini yaitu Malik, al-Laits, Ahmad, Ishaq, dan para pengikut Mazhab Syafi’i. Pandangan ini merupakan turunan dari Abu Bakar ash-Shidiq ra.

 

Dan menurut mereka, tobatnya pengumpat Nabi tidak diterima. Selain itu, pandangan ini juga diamini oleh Abu Hanifah dan para pendukungnya, di antaranya ats-Tsauri, penduduk Kufah, dan al-Auza’i. Mereka mengatakan, Itu ,dalah perbuatan murtad (riddah)” Allah Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Ketujuh Belas: Mengenali Macam-macam Bisikan, Memerangi Setan, serta Rancangan untuk Menolak Kejahajannya

 

MINTALAH PERLINDUNGAN KEPADA Allah dari setan, lalu perangilah. Pertama, sebaiknya engkau mengenali jebakanjebakan, rekayasa, dan tipu daya setan. Kedua, selayaknya engkau meremehkan seruannya, dan jangan menggantungkan hati kepadanya. Ketiga, melanggengkan zikrullah dengan hati dan lisan karena zikir di lambung setan itu seperti gerayap dalam lambung manusia.

 

Adapun untuk mengenali jebakan-jebakan setan dengan mengetahui bisikan dan macam-macamnya. Sementara untuk mengetahui macam-macam bisikan, ketahuilah bahwa bisikan merupakan jejak-jejak yang muncul dalam hati seorang hamba, lalu mendorongnya untuk bertindak atau meninggalkannya. Semua itu terjadi di dalam hati dari Allah karena Dia adalah pencipta segala sesuatu.

 

Bisikan-bisikan itu ada empat macam: 1) diciptakan oleh Allah swt. dalam hati hamba sejak semula (tanpa sebab), atau disebut bisikan saja (khatir): 2) diciptakan sesuai tabiat manusia, atau disebut nafsu, 3) diciptakan mengikuti ajakan setan yang dinisbatkan kepadanya, dan disebut bisikan (waswas), 4) diciptakan oleh Allah swt., dan dikenal dengan ilham.

 

Ketahuilah, sejak awal bisikan yang berasal dari Allah itu ada yang baik sebagai penghormatan dan penegasan hujjah, dan adakalanya keburukan sebagai ujian. Bisikan yang berasal dari pemberi ilham itu hanya berupa kebaikan karena Dia adalah pemberi nasihat dan pembimbing yang tidak mengirim utusan kecuali untuk itu.

 

Sebaliknya, bisikan dari setan hanya berupa keburukan yang menyesatkan, dan mungkin berupa kebaikan dalam bentuk tipu daya dan istidraj. Sedangkan bisikan yang berasal dari hawa nafsu hanya berupa keburukan, dan kadangkala berbentuk kebaikan tetapi bukan untuk kebaikan itu sendiri.

 

Maka dari itu, engkau memerlukan tiga kategori:

 

Kategori pertama, para ulama mengatakan, jika kauingin mengetahui bisikan baik atau buruk dan membedakan keduanya, timbanglah dengan tiga macam timbangan. Dengan begitu, niscaya keduanya akan terlihat olehmu.

 

Pertama-tama, bandingkanlah dengan syariat. Jika sesuai maka hal itu baik. Bila berlawanan, baik berupa keringanan atau kekaburan, berarti ia buruk. Namun, bila dengan timbangan ini belum jelas, bandingkanlah dengan teladan orang-orang saleh.

 

Sekiranya ada teladan pada mereka, itu berarti kebaikan, jika tidak, hal itu merupakan keburukan. Apabila dengan timbangan ini masih belum jelas, bandingkanlah dengan hawa dan nafsu. Jika secara alami bisikan itu termasuk sesuatu yang digandrungi oleh nafsu, tidak sesuai harapan kepada Allah, berarti itu keburukan.

 

Kategori kedua, apabila engkau hendak membedakan antara bisikan buruk dari setan, nafsu, ataukah dari Allah maka lihatlah dari tiga sisi, (1) jika ternyata ini tetap, teratur, dan terancang dalam satu keadaan, ia berasal dari Allah atau dari hawa nafsu. Bila ternyata kacau dan tak teratur, hal itu berasal dari setan: (2) bila ternyata engkau menemukannya setelah melakukan dosa, berarti itu berasal dari Allah sebagai hukuman. Dan, jika tidak terjadi setelah engkau melakukan dosa maka itu dari setan, (3) Ketika ternyata ia tidak melemah, berkurang, dan tidak hilang karena zikir kepada Allah maka ia berasal dari hawa nafsu. Sebaliknya, jika melemah sebab zikir maka ia berasal dari setan.

 

“SEMANGAT ADALAH RINGANNYA SESEORANG UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN, TANPA MELIHAT DAN MENGINGAT PAHALA YANG DIHASILKAN.”

 

Kategori ketiga, jika engkau ingin membedakan antara bisikan baik dari Allah atau dari malaikat, lihatlah dari tiga sisi:

 

  1. Jika tetap dalam satu keadaan maka ia berasal dari Allah swt. Dan bila tidak tetap, ia berasal dari malaikat karena ja adalah penasihat.

 

  1. Apabila itu terjadi setelah upaya dan ketaatan yang kaulakukan, berarti berasal dari Allah. Jika tidak, berartiia berasal dari malaikat.

 

  1. Sekiranya bisikan itu berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan (ushul) dan amalan-amalan batin, ia berasal dari Allah swt. Jika berhubungan dengan cabang-cabangnya (furu) dan amalan-amalan lahir, biasanya berasal dari malaikat. Karena menurut sebagian ulama malaikat tidak memiliki jalan untuk mengetahui batin hamba. Adapun bisikan baik yang berasal dari setan merupakan bentuk penggiringan (istidraj) menuju keburukan yang melebihi kebaikan itu sendiri. Karena itu, perhatikanlah, Jika engkau melihat dirimu dalam mengerjakan perbuatan yang tebersit dalam pikiran itu dengan semangat, bukan karena takut: dengan tergesa-gesa, tidak dengan tenang: dengan rasa tenang, bukan merasa takut, tanpa melihat dampaknya, tidak dengan sadar, ketahuilah, bisikan itu berasal dari setan maka jauhilah. Dan, ketika kaulihat dirimu dalam kebalikan itu semua, ketahuilah bahwa bisikan itu berasal dari Allah atau dari malaikat.

 

Aku katakan, “Semangat adalah ringannya seseorang untuk melakukan perbuatan, tanpa melihat dan mengingat pahala yang dihasilkan. Adapun pelan-pelan (taanni) merupakan perbuatan terpuji, kecuali pada kasus-kasus tertentu. Sedangkan takut (khauf) itu untuk menyempurnakan dan menunaikan perbuatan seperti seharusnya, dan supaya Allah swt. menerimanya.

 

Sementara itu, berkaitan dengan akibat yang membahayakan, selayaknya engkau melihat dan memastikan bahwa perbuatan itu benar dan baik. Atau bisa juga dengan melihat dan mengharapkan pahala di hari kemudian. Inilah tiga kategori yang harus kauketahui.

 

Maka dari itu, camkan! Karena ketiganya merupakan bagian dari ilmu-ilmu yang halus dan rahasia yang mulia dalam persoalan ini. Hanya kepada Allah kami meminta pertolongan, Dialah pemilik hidayah.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kedelapan Belas Dua Puluh Makna Bahaya Lidah

 

ADA DUA PULUH macam bahaya lidah, yaitu: Berbicara tentang sesuatu yang tak bermanfaat, berlebihan dalam berkata-kata, berbicara tentang hal-hal batil, meragukan, perdebatan: permusuhan, berbicara terus-menerus, omongan kotor, mengumpat, melaknat, bersyair, berguyau, meremehkan, dan menghina, menyebarkan rahasia orang lain, janji palsu, berdusta dalam ucapan dan sumpah, menggunjing, adu domba (namimah) berlidah dua, memuji, salah dalam menyimpulkan ucapan, dan pertanyaan orang awam tentang sifat-sifat Allah di luar pemahaman mereka.

 

Adapun batasan pembicaraan yang tidak bermanfaat, jika seseorang berbicara tentang suatu hal, yang sekiranya tidak ia bicarakan, ia tak berdosa dan tidak mendapatkan bahaya di dunia maupun akhirat. Sedangkan berbicara berlebihan merupakan pembicaraan yang melampaui batas kebutuhan.

 

Percakapan tentang kebatilan sama halnya memperbincangkan tentang kemaksiatan, seperti membicarakan perihal perzinahan atau persetubuhan (wiqa”), perhelatan minuman keras, kekejaman orang-orang zalim, atau menceritakan kelompok-kelompok pengikuti hawa nafsu. Begitu juga menceritakan peristiwa yang terjadi antarsahabat dengan cara merendahkan sebagian mereka.

 

Sementara itu, meragukan yaitu menyanggah orang lain dengan menunjukkan celah kata-kata, makna, atau maksud ucapannya. Adapun mujadalah (perdebatan) adalah keraguan yang berhubungan dengan berbagai golongan berikut pernyataannya.

 

Selain itu, permusuhan (khushumah) berarti kegaduhan dalam berbicara dengan mempertontonkan permusuhan, atau bertujuan menyakiti dan mengejek lawan dengan kata-kata menyakitkan yang tidak ia butuhkan guna mendukung argumentasinya. Sedangkan maksud memaksakan (taga ur) dalam berbicara yaitu memaksakan kefasihan dan keindahan saat berbicara.

 

Di samping itu, ucapan keji sama artinya mengungkapkan hal-hal yang dianggap buruk secara terang-terangan. Lain halnya dengan melaknat, yaitu sesuatu yang terjadi pada benda mati, binatang, atau manusia. Semua itu terlarang karena bisa menjauhkan dari Allah swt. Dan melaknat tidak diperbolehkan, kecuali terhadap orang yang memiliki sifat-sifat yang menjauhkannya dari Allah.

 

Sifat-sifat yang mendatangkan laknat ada tiga, kufur, bidah, dan fasik. Dan kita diperbolehkan melaknat masing-masing dari ketiga golongan ini. Sementara melaknat individu secara khusus yang termasuk dalam tiga golongan ini tidak diperbolehkan, kecuali terhadap seseorang yang diketahui mati dalam keadaan kafir, seperti Firaun, Abu Jahal, dan Abu Lahab. Karena bisajadi orang yang dilaknat itu mati dalam keadaan Islam.

 

Sebagaimana ucapan, syair itu ada yang baik dan ada yang buruk. Lain halnya dengan bergurau, hal itu itu terlarang kecuali sedikit, tidak mengandung dusta, dan tidak menyakitkan. Sedangkan mengejek berarti mengingatkan perihal ilmu dan kekurangan dengan cara menertawakan.

 

Jika hal ini menyakitkan maka hukumnya haram. Namun, bila tidak menyakitkan hal itu tidak haram. Sama halnya dengan menyebarkan rahasia, jika mengandung bahaya maka hukumnya haram, dan bila tidak mengandung bahaya, hukumnya tercela.

 

Adapun janji palsu merupakan sebagian tanda-tanda kemunafikan. Dikatakan demikian, ketika janji itu bertujuan untuk tidak ditepati, berarti ia tidak menepatinya tanpa halangan.

 

“SIFAT-SIFAT YANG MENDATANGKAN LAKNAT ADA TIGA: KUFUR, BIDAH, DAN FASIK.”

 

Dan orang yang berniat menepati janji, tetapi ada halangan yang membuatnya tidak bisa menepatinya maka hal itu bukan kemunafikan. Walaupun demikian, ia tetap harus berhati-hati terhadap bentuk kemunafikan. Karena dusta dalam ucapan dan sumpah termasuk dosa yang paling keji, meski ada dusta yang dimaafkan.

 

Oleh sebab itu ketahuilah, berbicara merupakan sarana mencapai tujuan. Segala tujuan terpuji bisa dicapai dengan kejujuran maupun dusta. Maka dusta dalam hal ini hukumnya haram. Jika hanya bisa diraih dengan dusta dan tak bisa dengan kejujuran, maka dusta dalam perkara ini hukumnya mubah. Inilah batasannya manakala meraih tujuan tersebut adalah perkara yang wajib.

 

Selanjutnya, hukum menggunjing (ghibah) menurut Kitab, Sunah, maupun ijmak adalah haram, kecuali dalam beberapa kasus. Batasannya, bila engkau menyebut saudatamu sesama muslim yang tidak ada tentang sesuatu yang tidak ia sukai manakala pembicaraan itu terdengar olehnya.

 

Pembicaraan itu berkaitan dengan berbagai hal, seperti kekurangan dalam agama, dunia, ucapan, perbuatan, fisik, akhlak, makan, pekerjaan, nasab, rumah, atau kendara, annya. Dalam hal ini, tidak ada bedanya antara ucapan perbuatan, isyarat mata, bahasa simbol, bahasa sindiran, maupun kinayah. Semuanya haram.

 

Selain itu, sebab-sebab yang mendorong perbuatan ghi. bah antara lain, ada yang hanya terjadi para orang awam, dan ada yang hanya terjadi pada ahli agama dan ulama khash.

 

Sebab-sebab khusus bagi orang awam adalah marah, iri hati, dengki, mengikuti gurauan teman, bermain, meremehkan, merendahkan, mengada-ada, berbangga diri, meninggikan diri di atas orang lain, keinginan melepaskan diri dari keburukan yang ia nisbatkan kepada pelakunya: bersegera menjelek-jelekkan seseorang yang ia khawatirkan akan menjelek-jelekkannya di hadapan khalayak.

 

Sementara itu, sebab-sebab tertentu bagi ahli agama dan ulama-ulama khash, yaitu marah karena Allah terhadap orang yang berbuat kemungkaran, heran dengan perbuatannya, serta kasihan dan sayang kepadanya. Ini merupakan sebab paling samar dan tak tampak.

 

Sebab setan akan memberi kesan kepada para ulama yang bodoh bahwa marah dan berkhayal karena Allah merupakan alasan diperbolehkannya menyebut-nyebut orang yang tidak hadir disebabkan hajat tertentu yang tidak bisa dihindari, seperti mengadukan kezaliman para penguasa, meminta fatwa dan bantuan untuk memberantas kemungkaran. Sedangkan memberi peringatan, nasihat, dan menyebut dengan julukan menjadi tiga hal pengecualian ghibah karena terpaksa.

 

Untuk mengobati penyakit ghibah, hendaknya engkau senantiasa merasa terancam oleh kemurkaan Allah karena menggunjing saudaramu sesama muslim. Dia akan menggugurkan kebaikanmu dengan dipindahkannya catatan amal kebaikanmu kepada orang yang kaugunjingkan. Di samping itu, rukun tobat dari ghibah yaitu mengetahui, menyesal, berhenti, bertekad, dan meminta maaf kepada orang yang kaubicarakan dengan menyebutkan apa yang kaugunjingkan. Jika hal ini tidak memungkinkan, selayaknya engkau mendoakannya.

 

Adapun hukum adu domba (namimah), maka kenalilah bahwa perbuatan ini haram berdasarkan Kitab, Sunnah, dan ijmak. Adu domba artinya menyampaikan ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak, baik hal itu tidak disukai orang yang ucapannya dibawa maupun orang yang menerimanya, atau orang lain.

 

Perbuatan ini adakalanya didorong oleh niat jahat terhadap orang satu ke orang lain, agar disukai orang yang menerima ucapan tersebut, atau pembicaraan tentang kebatilan. Cara mengobatinya dengan menahan lidah sekaligus menghindari bahayanya.

 

Berkaitan dengan hal terakhir, rukun tobat dari penyakit adu domba di antaranya, mengetahui, menyesal, berhenti, dan bertekad meninggalkannya. Sementara hal-hal yang wajib dilakukan seseorang yang mendengar adu domba ada enam, yaitu tidak mempercainya, mencegahnya, marah kepadanya karena Allah sebab hal itu merupakan perbuatan yang sangat dimurkai Allah, dan marah kepada orang yang dimurkai Allah adalah wajib: tidak melakukan adu domba terhadapnya, tidak memata-matai orang yang dibicarakan, tidak berburuk sangka.

 

Ketahuilah, buruk sangka terhadap seorang muslim hukumnya haram, sebagaimana ucapan yang buruk. Batasannya, jika engkau menilai keburukan saudaramu sesama muslim dengan sesuatu yang tak kauketahui.

 

Sedangkan berlidah dua yaitu seseorang menyampaikan ucapan dari dua orang yang saling bermusuhan dengan tujuan merusak, atau tidak menyampaikan ucapan, tetapi menganggap baik permusuhan yang mereka lakukan: atau menjanjikan bantuan kepada mereka, atau memuji permusuhan salah satu dari mereka, tetapi ketika ia pergi meninggalkan orang tersebut, ia mencelanya. Inilah orang yang berlidah dua. Karena itu, hendaknya ia diam atau memuji yang benar di antara mereka, baik dalam kehadiran, ketidakhadiran, maupun di sisi musuhnya.

 

“MENGEJEK BERARTI MENGINGATKAN PERIHAL ILMU DAN KEKURANGAN DENGAN CARA MENERTAWAKAN. JIKA HAL INI MENYAKITKAN MAKA HUKUMNYA HARAM.”

 

Dalam beberapa kasus, pujian menjadi tindakan terlarang. Karena ia mengandung enam bahaya. Empat di antaranya ada pada orang yang memuji, dan dua lainnya ada pada orang yang dipuji. Bahaya yang akan diterima orang yang memuji adalah: Pertama, kadangkala ia berlebihan dalam memuji, hingga berujung pada dusta.

 

Kedua, bisa jadi pujian itu mengandung riya. Karena dengan pujian tersebut ia bermaksud menunjukkan rasa senang, padahal tidak demikian. Atau, bisa jadi ia meyakini semua yang ia katakan, hingga menjadi orang yang riya dan munafik. Ketiga, mungkin saja ia mengatakan apa yang belum ia pastikan, sampai-sampai ia berdusta, dar membersihkan orang yang tidak dibersihkan Allah adalah bentuk kehancuran.

 

Keempat, bisa jadi ia membuat senang orang yang dipuji, padahal ia memuji orang yang zalim atau fasik. Sikap ini tidak diperbolehkan karena Allah akan murka manakala orang fasik dipuji.

 

Adapun bahaya bagi orang yang dipuji ada dua hal: (1) Karena pujian itu akan melahirkan sikap ujub dan takabur. Keduanya adalah sikap yang merusak. (2) Jika ia dipuji dengan kebaikan, ia akan merasa senang, lalu terlena dan ridha terhadap dirinya. Pada akhirnya, ia tak lagi giat dalam urusan akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah saw. ketika mendengar seseorang dipuji,

 

“Engkau telah memenggal leher kawanmu.”

 

Namun demikian, jika pujian-pujian itu terhindar dari bahaya-bahaya di atas maka tidak menjadi masalah, bahkan dianjurkan (sunah). Oleh sebab itu, Rasulullah saw. memuji para sahabat ra. dengan bersabda,

 

“Andai aku tidak diutus, tentulah engkau yang akan diutus, wahai Umar.”

 

Pujian apa lagi yang melebihi pujian ini. Sebuah pujian yang keluar dari kejujuran dan mata hati tertinggi yang dapat memunculkan kesombongan atau sikap ujub. Dengan demikian, memuji manusia itu adalah perilaku buruk karena hal itu mengandung kesombongan dan kebanggaan, kecuali jika pujian itu termasuk yang tidak melahirkan kesombongan maupun ujub, seperti sabda Nabi saw.,

 

“Aku adalah pemimpin umat manusia, dan tak ada kebanggan (padaku).”

 

Dalam arti, aku tidak mengucapkan hal ini untuk membanggakan diri sebagaimana dilakukan orang-orang yang memuji diri sendiri. Sebab kebanggaan beliau tiada lain karena Allah swt.: disebabkan kedekatan dengan-Nya, karena beliau diutamakan dari semua keturunan Adam as.

 

Selanjutnya, kelalaian perihal kesalahan-kesalahan lembut dalam menyimpulkan pembicaraan, seperti jika seseorang mengatakan, “Kami mendapatkan hujan karena suara ini dan itu.” Atau berkata kepada anggur sebagai penghormatan dengan kata-kata terlarang.

 

Sedangkan pertanyaan orang awam tentang sifat-sifat Allah yang tak terjangkau oleh pemahaman mereka, seperti ketika ia bertanya tentang sebagian sifat-sifat Allah, baik Kalam-Nya atau huruf-huruf Kalam-Nya, apakah baru ataukah kadim.

 

Semua ini adalah pertanyaan tercela karena mereka tidak mampu memahaminya. Hal ini supaya tidak terjadi kekaburan antara yang benar dan yang salah dalam pandangan mereka. Dan, Allah Mahatahu.

 

 

 

Bagian Kesembilan Belas: Perihal Perut dan Penjagaannya

 

PERUT ADALAH TAMBANG. Dari perutlah kebaikan atau keburukan bergerak ke seluruh anggota tubuh. Karena itu, jika engkau memiliki niat untuk beribadah kepada Allah, engkau harus menjaga perut dari makanan haram, subhat, atau Sikap berlebihan.

 

Berkaitan dengan makanan haram dan subhat, engkau harus menghindarinya karena tiga hal. (1) Karena menghindari neraka Jahanam (2) seseorang yang mengonsumsi makanan haram dan subhat itu ditolak dan tidak memperoleh pertolongan untuk melakukan ibadah. Sebab, selain hati yang suci tidak layak mengabdi kepada Allah swt.

 

Aku berkata, “Bukankah Allah melarang orang yang junub memasuki rumah-Nya, melarang orang yang berhadas menyentuh Kitab-Nya, padahal keduanya adalah mubah? Lantas, bagaimana dengan orang yang tenggelam dalam lumpur haram dan subhat, kapankah ia mengajak mengabdi kepada Allah dan berzikir kepada-Nya.”

 

Sungguh, hal itu tak akan terjadi, (3) seseorang yang memakan makanan haram dan subhat itu terhalang. Dalam arti, jika kebetulan ia melakukan kebaikan, maka perbuatan itu ditolak, dan ia tidak mendapatkan balasan selain susah payah.

 

Pahamilah, hukum makanan haram dan subhat beserta batasannya masing-masing yaitu: segala hal yang kau yakini atau kauduga kuat sebagai milik orang lain dan dilarang syariat, maka itu adalah haram.

 

Jika kedua tanda itu seimbang, berarti halitu subhat ka. rena menyerupai haram dan halal. Kemudian, menghindarj hal-hal haram itu mutlak wajib, sedangkan menghindari perkara subhat merupakan bentuk ketakwaan dan wira’.

 

Ketahuilah, asal hukum haram dalam kitab ada dua macam: hukum syariat dan lahirnya: hukum wira’i dan haknya. Hukum syariat, hendaknya engkau mengambil apa yang diberikan Allah swt. dari orang yang terlihat baik, dan jangan bertanya, kecuali jika terbukti hal itu adalah hasil rampasan atau haram pada Zatnya sendiri.

 

“PERUT ADALAH TAMBANG. DARI PERUTLAH KEBAIKAN ATAU KEBURUKAN BERGERAK KE SELURUH ANGGOTA TUBUH.”

 

Sementara hukum wira’i, selayaknya engkau tidak mengambil sesuatu pun dari seseorang sebelum meneliti dengan sangat seksama, hingga kauyakin hal itu sama sekali tidak mengandung subhat. Jika tidak demikian, sebaiknya engkau menolaknya.

 

Apabila engkau berkata, “Kalau begitu, sikap wara’ atau wira’i itu berbeda dengan syariat dan hukumnya?” Pahamilah, sikap wara’ juga bagian dari syariat. Keduanya sama-sama dari segi hukum asal.

 

Dalam hal ini, syariat itu memiliki dua hukum: hukum jawaz (boleh), dan hukum ideal atau lebih waspada. Hukum yang boleh ini kita sebut dengan hukum syariat, sedangkan yang ideal dan lebih berhati-hati kita sebut dengan wirai. Allah swt. Mahatahu.

 

Adapun batasan berlebihan dalam hal-hal halal atau mubah secara umum ada beberapa macam:

 

Pertama, jika hamba mengambil makanan dalam rangka berbangga-bangga, berlomba-lomba dalam banyaknya, dan riya. Kesemuanya ini meniscayakan datangnya celaan pada perbuatan lahiriah serta azab pada batinnya karena tujuannya untuk perbuatan maksiat. Dan, seseorang yang memiliki niat semacam ini akan diancam oleh azab.

 

Kedua, bila hamba meraih makanan yang halal guna menuruti gejolak nafsu semata. Perbuatan ini menghendaki penahanan dan hisab.

 

Ketiga, jika dalam keadaan uzur seorang hamba meraih makanan yang halal sejauh dapat membantunya untuk beribadah kepada Tuhannya. Inilah kebaikan dan adab. Tidak dihisab maupun dicela, bahkan mendatangkan pahala dan pujian. Allah swt. Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kedua Puluh: Mengenai Rekayasa dan Tipu Daya Setan

 

SEORANG ULAMA BERKATA, “Mengenal rekayasa dan tipu daya setan terhadap manusia saat berbuat ketaatan dapat dilakukan dengan tujuh cara:

 

(1) Setan akan menghalangi hamba untuk berbuat ketaatan. Jika Allah melindunginya dari bujukan ini, setan menyuruhnya untuk menunda-nunda amal: (2) bila Allah menyelamatkannya dari hal ini maka setan akan mendorongnya untuk tergesa-gesa, (3) manakala Allah menyelamatkannya dari rekayasa ini, setan pun memerintahkan untuk menyempurnakan amal dengan tujuan riya,

 

(4) Apabila Allah menyelamatkannya dari rekayasa ini maka setan memasukkan sikap ujub ke dalam hatinya, (5) ketika setan melihat hal itu padanya, ia pun menyuruh hamba untuk bersungguh-sungguh dalam kesendirian, seraya berkata, “Sesungguhnya Allah akan menampakkannya kepadamu.” Dengan perkataan ini, setan menghendaki terbentuknya sikap riya, (6) jika hamba mencukupkan diri dengan ilmu Allah swt. maka ia akan selamat dari setan,

 

(7) Apabila hamba tidak mematuhi setan dalam semua ini, dan setan tak mampu lagi menggodanya, ia pun berkata, “Engkau tak memerlukan amal ini. Karena, jika engkau diciptakan sebagai orang yang bahagia maka meninggalkan amal tak akan membahayakanmu.

 

Dan jika engkau ditakdirkan sebagai orang yang sengsara maka amal ini tak akan berguna untukmu.” Dengan demikian, bila Allah melindungi hamba-Nya dari rekayasa ini ia akan berkata, “Aku adalah hamba, dan seorang hamba wajib mengikuti perintah Tuannya. Sedangkan Sang Tuan bisa berbuat apa saja dan memutuskan sekehendak-Nya,” Maka, atas pertolongan Allah swt. ia selamat dari setan. Mewaspadai Nafsu Beliau ra. berkata, “Halangan keempat adalah nafsu. Engkau harus mewaspadai nafsu ini karena ia adalah musuh yang paling berbahaya. Menaklukkan nafsu merupakan perihal paling sulit sebab ia adalah musuh dari dalam. Seperti pencuri, jika ia orang dalam rumah, maka sulit ditangani dan sangat berbahaya karena ia musuh sekaligus sosok yang dicintai.

 

Dan manusia itu tak mampu melihat aib kekasihnya, tak pernah melihat dan mengetahuinya. Maka dari itu, cara menanganinya, hendaknya engkau membelenggunya dengan belenggu takwa dan wara’ agar meraih manfaat dalam menunaikan perintah dan meninggalkan larangan.

 

Ketahuilah, tak ada yang dapat merendahkan nafsu dan mencegah keinginannya kecuali tiga hal: Pertama, mencegah keinginan nafsu: kedua, membebankan beban ibadah kepadanya, ketiga, memohon pertolongan kepada Allah untuk mengalahkannya, dan merendahkan diri serendahrendahnya kepada-Nya. Jika tidak atas pertolongan Allah, maka tidak ada yang bisa lepas dari kejahatan setan. Amalan-amalan Hafi yang Membuat Hamba Disiksa dan Selamat Ketahuilah, ada empat kondisi hati sebelum berbuat dengan anggota tubuh:

 

  1. Kehendak hati (khatir), yaitu kata hati, kecenderungan, keyakinan, dan tekad. Keinginan hati ini tidaklah disiksa karena tidak termasuk pilihan bebas. Demikian pula kecenderungan dan gelora nafsu sebab keduanya tidak termasuk pilihan bebas. Selain itu, keduanya adalah yang dimaksud dalam sabda Nabi saw.,

 

“Allah mengampuni umatku terhadap apa yang dikatakan hatinya.”

 

Jadi, kata hati adalah hasrat-hasrat yang berbisik dalam hati, tetapi tidak diikuti keinginan untuk melakukannya. Sedangkan tekad dan kemauan tidak disebut sebagai kata hati.

 

  1. Keyakinan dan keputusan hati yang selayaknya ia berbuat. Hal ini bisa berupa keterpaksaan atau pilihan bebas sehingga kondisinya berbeda-beda. Keyakinan yang merupakan pilihan bebas akan disiksa, dan yang terpaksa tidak disiksa.

 

  1. Tekad untuk berbuat. Yang demikian ini disiksa, kecuali jika tidak dikerjakan maka masih dipertimbangkan. Jika ditinggalkan karena takut kepada Allah swt. dan menyesali tekadnya, maka dicatat sebagai kebaikan.

 

Bila ada halangan untuk melakukan, atau ditinggalkan bukan karena takut kepada Allah, maka dicatat sebagai keburukan. Sebab, tekad adalah perbuatan hati yang menjadi pilihan bebas. Dalil tegas berkaitan dengan hal ini yaitu hadis Rasulullah saw.,

 

Jika dua orang muslim saling membunuh dengan pedang mereka maka yang membunuh dan yang terbunuh (sama-sama) masuk neraka.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, ini untuk si pembunuh, lantas bagaimana dengan yang terbunuh?” Nabi saw. menjawab, “Sebab ia juga hendak membunuh temannya.”

 

Inilah dalil yang menegaskan bahwa orang yang terbunuh akan masuk neraka hanya karena hasrat, padahal ia terbunuh secara zalim. Lalu, bagaimana bisa ia menyangka dirinya tidak mendapat siksa disebabkan niat dan tekad yang termasuk dalam pilihan hati.

 

Maka ia pun disiksa, kecuali jika dilebur dengan kebaikan. Dengan demikian, merusak tekad dengan penyesalan adalah kebaikan sebab ia akan dicatat sebagai kebaikan. Sedangkan terlambatnya maksud karena suatu halangan bukanlah kebaikan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kedua Puluh Satu: Hak Allah swt. yang Wajib Diperhatikan

 

ADA DUA MACAM hak Allah swt. yang wajib diperhatikan. Pertama, menunaikan semua kewajiban: kedua, meninggalkan hal-hal haram.

 

Menunaikan setiap kewajiban dan meninggalkan jarangan adalah bentuk ketakwaan. Barang siapa melaksanakan sebagian dari hal ini, berarti telah menjaga diri dari akibat yang akan diterima, berupa keburukan di dunia maupun akhirat. Dan ia akan menerima kenikmatan surga dan ridha Allah swt.

 

Ketahuilah, Allah swt. tidak bisa didekati, melainkan dengan ketaatan kepada-Nya. Bentuk ketaatan tersebut seperti melaksanakan yang wajib atau sunah, dan meninggalkan yang haram atau makruh.

 

Di antara bentuk ketakwaan adalah mendahulukan kewajiban atas sunah, serta mendahulukan meninggalkan yang haram daripada makruh. Lain halnya dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang bodoh. Mereka menyangka telah ber-tagarrub kepada Allah, padahal mereka jauh dari-Nya.

 

Salah seorang dari mereka meninggalkan ibadah wajib demi memelihara yang sunah, melakukan perbuatan haram demi meninggalkan yang makruh. Begitu pula banyak orang yang memelihara bentuk-bentuk ketaatan, sementara hatinya menyimpan riya, benci, dengki, sombong, ujub dengan amal, pamer terhadap Allah dengan ketaatannya.

 

Maka pahamilah, takwa itu ada dua macam: satu bagian berhubungan dengan hati, dan ini terbagi dua, pertama, wajib, seperti ikhlasnya amal dan iman, kedua, haram, se. perti riya dan menghormati berhala.

 

Jenis takwa yang kedua berhubungan dengan anggota lahir, seperti pandangan mata, tamparan tangan, berjalan. nya kaki, dan ucapan lidah. Ketahuilah, jika takwa sudah benar, ia akan melahirkan sikap wara”. Sikap wara’ berarti meninggalkan sesuatu yang tak mengandung dosa karena takut terjerumus pada hal-hal yang mengandung dosa. Allah swt. Mahatahu. Ketahuilah, kebaikan dunia dan akhirat telah dikumpulkan ke dalam satu perilaku yang disebut takwa. Maka, renungkanlah ayat-ayat al-Quran yang menyebutkan perihal takwa. Betapa sering al-Quran menggantungkan kebaikan kepada takwa serta menjanjikan pahala terhadapnya. Begitu seringnya Kitab ini menyandarkan kebahagiaan pada ketakwaan. Oleh sebab itu, pahamilah bahwa hal-hal khusus berkaitan dengan urusan ibadah ada tiga prinsip: Pertama, pertolongan dan dukungan sehingga kaumau melakukan amal. Demikian ini diperuntukkan bagi orang-orang bertakwa, sebagaimana firman Allah swt., “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang takwa.” (QS. an-Nahl (16): 128)

 

Kedua, menyempurnakan amal dan memperbaiki kecerobohan hingga sempurna. Ini juga bagi orang-orang yang takwa, seperti firman Allah swt., “Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu.” (QS. al-Ahzab (33): 71)

 

Ketiga, diterimanya amal ketika telah sempurna. Ini juga untuk orang-orang yang bertakwa, seperti firman Allah swt., “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Ma ‘idah ISI: 27)

 

Selain itu, pusaran ibadah ada pada tiga prinsip dasar, taufik, perbaikan, dan penerimaan. Dan Allah swt. telah menjanjikan semua itu pada ketakwaan serta memuliakan semua orang yang bertakwa, baik mereka meminta maupun tidak. Jadi, takwa adalah tujuan. Tak seorang pun yang melewatkannya, dan tak ada tujuan selainnya.

 

Kenalilah, batasan takwa menurut pendapat guru-guru kita adalah mmenyucikan hati dari dosa serupa yang belum pernah kaulakukan. Sehingga seorang hamba memiliki tekad kuat meninggalkannya. Hal ini berfungsi sebagai tameng untuk melindungi dirinya dari para ahli maksiat.

 

Jika hatinya telah terbiasa melakukan hal tersebut, ia dikatakan sebagai orang bertakwa. Maka, tobat dan tekad juga disebut takwa. Dalam halini, tingkatan takwa ada tiga, takwa dari syirik, takwa dari bidah, dan takwa dari perbuatan maksiat beserta turunannya.

 

Berlainan dengan hal di atas, keburukan itu ada dua macam: Utama, yaitu segala hal yang dilarang untuk mendidiknya, seperti perbuatan maksiat murni, dan tidak utama, yaitu semua perbuatan yang dilarang untuk mengayominya, seperti berlebihan dalam hal-hal halal layaknya makanan mubah yang dikonsumsi dengan syahwat.

 

Adapun takwa jenis pertama adalah takwa wajib yang, jika ditinggalkan pasti mendatangkan azab: dan yang kedua, takwa kebaikan dan adab, jika ditinggalkan akan mengakibatkan penahanan, hisab, dan celaan. Barang siapa menunaikan takwa yang pertama, ia berada dalam takwa tingkat pertama. Itulah tingkatan orang-orang yang istigamah dalam ketaatan.

 

Dan, barang siapa menunaikan takwa kedua, maka ia menempati tingkatan takwa tertinggi. Dengan demikian, apabila hamba telah menggabungkan semua perilaku meninggalkan maksiat maupun berlebihan, berarti ia telah menyempurnakan arti takwa sekaligus menjalankan sikap wara secara sempurna yang menjadi kendali problematika agama.

 

Hal-hal yang harus dilakukan di sini adalah menjaga lima anggota pokok, mata, telinga, lidah, perut, dan hati. Selayaknya seseorang bersungguh-sungguh dalam menjaga kelima anggota ini dari segala hal yang dikhawatirkan membawa bahaya, seperti tindakan haram, sikap berlebihan, serta menghambur-hamburkan yang halal.

 

Jika penjagaan terhadap lima anggota ini berhasil, engkau bisa berharap untuk sanggup memenuhi semua rukun yang lain, dan telah menunaikan hak takwa dengan segenap tubuhmu karena Allah swt.

 

Ketahuilah, para ulama akhirat telah menyebutkan hal-hal yang dibutuhkan hamba. Dalam hal ini, ada tujuh puluh perilaku terpuji berikut lawan-lawannya yang tercela. Di samping itu, berbagai tindakan dan usaha wajib yang membahayakan terhadap hal tersebut akan kita lihat pada dasar-dasar tentang pengobatan hati.

 

Dalam urusan ibadah, semua ini sama sekali tak bisa dihindari sehingga kita akan menyaksikan empat hal, yaitu, bahaya orang-orang yang bersungguh-sungguh, fitnahfitnah hati yang merintangi, mengaburkan, dan merusak. Empat hal lainnya yang berlawanan serta menjamin kelurusan hati, pengaturan ibadah, dan perbaikan bagi hamba.

 

Empat penyakit itu adalah, angan-angan, tergesa-gesa, dengki, dan sombong. Sedangkan empat kebajikan yaitu, mernotong angan-angan, berhati-hati dalam segala urusan, menasihati manusia, serta tawadhu’, dan khusyuk. Inilah dasar-dasar bagi kesembuhan dan kerusakan hati. Karena itu, berusahalah sekuat tenaga untuk menghindari penyakit-penyakit ini serta memperoleh kebajikan di atas, niscaya engkau meraih harapan dan tujuan. Insya Allah.

 

Panjang angan-angan akan menjadi penghalang seluruh kebajikan, sekaligus mendorong untuk mematuhi semua keburukan dan fitnah yang menjerumuskan makhluk ke dalam segala bencana. Oleh sebab itu, ketahuilah, jika engkau panjang angan-angan maka dalam dirimu akan bergelora empat hal:

 

  1. Meninggalkan ketaatan dan bermalas-malasan, sembari berkata, “Akan kukerjakan itu nanti.”

 

  1. Meninggalkan dan menunda-nunda tobat, seraya bergumam, Kelak, aku akan bertobat.”

 

  1. Menjadikanmu cinta dan rakus terhadap dunia, sambil berkata, “Apa yang akan kupakai dan kumakan?” lalu kausibuk mengurusnya. Atau, setidaknya hatimu akan disibukkan olehnya. Maka sia-sialah waktumu dan akan banyak merasakan kesedihan.

 

  1. Kerasnya hati dan lupa terhadap akhirat. Karena, jika engkau mengangankan hidup yang panjang, engkau tak akan mengingat akhirat, bahkan tidak akan mengingat kematian maupun alam kubur. Dengan demikian, pikiranmu hanya tercurah pada dunia hingga hatimu menjadi keras, sebagaimana firman Allah swt., “Kemudian, berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras.” (QS. al-Hadid (57): 16) Sebab, kelembutan dan kejernihan hati hanya dapat diraih dengan mengingat kematian, alam kubur, dan hiruk-pikuk akhirat.

 

Berkaitan dengan perihal panjang angan-angan, para ulama mengatakan bahwa hal itu adalah keinginan untuk hidup lama dengan waktu yang telah direncanakan. Sebaliknya, memotong angan-angan berarti tidak menentukan angan-angan dan membatasinya pada kehendak dan ilmu Allah dalam zikir, atau dengan memperbaiki keinginan.

 

Jika engkau mengingat hidupmu karena kau akan hidup satu tarikan nafas lagi, atau satu jam lagi secara jelas dan pasti, berarti engkau termasuk orang yang beranganangan. Dan itu merupakan bentuk kemaksiatan yang kaulakukan sebab turut menentukan hal-hal gaib.

 

Apabila engkau membatasi angan-angan dengan kehendak dan ilmu Allah swt., seperti mengatakan, “Jika Allah menghendaki maka saya hidup…” engkau tidak termasuk orang yang berangan-angan, dan telah memotong anganangan karena tidak menentukannya. Maksud zikir di sini yaitu zikir hati, dalam rangka membiasakan dan meneguhkan hati untuk berzikir. Jadi, pahamilah dengan benar!

 

Angan-angan itu ada dua macam, angan-angan awam dan angan-angan khusus. Angan-angan awam yaitu menginginkan kehidupan abadi untuk mengumpulkan dan menikmati dunia. Dan ini adalah kemaksiatan. Kebalikannnya yaitu dengan mermotong angan-angan. Adapun anganangan khusus berarti hasrat untuk hidup abadi guna menyempurnakan amal kebaikan yang membahayakan.

 

Inilah sesuatu yang tak dapat dipastikan kebaikannya. Karena, bisa jadi ia merupakan kebaikan tertentu yang jika dilaksanakan atau disempurnakan tidak membawa kebaikan bagi hamba, bahkan besar kemungkinan ia tidak melakukan kebaikan

 

“KETAHUILAH, ALLAH SWT. TIDAK BISA DIDEKATI, MELAINKAN DENGAN KETAATAN KEPADA-NYA.”

 

Maka dariitu, diawal shalat, puasa, dan lainnya, seorang hamba tidak diperbolehkan memastikan akan menyempurnakan amalan-amalan tersebut. Karena hal itu merupakan persoalan gaib, dan sama sekali bukan menjadi tujuan. Akan tetapi, hendaknya ia membatasi dengan pengecualian dan syarat kebaikan agar terhindar dari buruknya angan-angan.

 

Menurut para ulama, kebalikan angan-angan ini adalah niat yang baik. Sebab orang yang memiliki niat yang baik tak akan berangan-angan, dan niat yang baik menjadi prinsip paling dasar. Mereka pun telah menyebutkan batasan niat yang baik yang mencakup dan sempurna.

 

la merupakan kehendak untuk melakukan amal. Kehendak ini dihadirkan sebelum melakukan semua amal lain secara pasti, disertai keinginan menyempurnakannya dengan pasrah dan pengecualian.

 

Jika ditanyakan, “Mengapa diperbolehkan memastikan pada permulaan, dan wajib pasrah dan mengecualikan saat penyempurnaan?” Jawabannya, “Karena tidak ada bahaya pada permulaan. Ia adalah kondisi permulaan, dan bukan sesuatu yang jauh darimu.

 

Sedangkan saat penyempurnaan, pasti ada bahaya karena terjadi dalam waktu yang berjarak. Jadi, pada tahap penyempurnaan terdapat dua bahaya, bahaya wushul (pencapaian) karena engkau tidak tahu, apakah ini mengandung kebaikan untukmu atau tidak, bahaya jika engkau mencapai kehendak dengan syarat-syarat semacam ini, yang berartj niat terpuji di luar aturan dan penyakit angan-angan. Dan Allah Mahatahu.

 

Ketahuilah, benteng untuk memotong angan-angan itu dengan mengingat serangan dan kedatangan maut tanpa disadari atau mendadak. Maka, pergunakanlah ungkapan ini guna menjaga diri karena ia sangat dibutuhkan, dan hindarilah desas-desus yang tak bermakna. Dan, Allahlah Sang Pemberi pertolongan. Sedangkan tergesa-gesa dan terburu-buru termasuk perilaku yang menghilangkan tujuan dan menjerumuskan ke dalam jurang kemaksiatan.

 

Pahamilah, fondasi dan kendali ibadah adalah sikap wara’. Sedangkan fondasi wara’ yaitu melihat segala sesuatu secara mendalam serta meniti semua hal baik makanan, minuman, pakaian, ucapan, maupun perbuatan secara seksama. Jika seseorang tergesa-gesa, tidak pelan-pelan dalam memastikan dan memperjelas masalah maka ia tak akan mampu berpikir maupun berhati-hati dalam segala urusan.

 

Seperti, jika ia memaksakan kehendak dan tergesa-gesa dalam mendapatkan setiap makanan, ia akan terjerumus ke dalam makanan haram dan subhat. Jika ia tergesa-gesa dalam berbicara maka ia berpeluang besar terjerumus dalam kesalahan. Demikian pula seluruh perkara yang kehilangan nilai-nilai wira’i. Tidak ada kebaikan dalam ibadah tanpa sikap wara’ sehingga seorang hamba wajib bersungguhsungguh untuk menghilangkan penyakit ini. Dan, Allahlah Pemberi Pertolongan.

 

Adapun batasan tergesa-gesa ada pada pikiran yang masuk ke dalam hati, lalu mendorongnya untuk berbuat sesuatu sejak pertama tebersit, tanpa berpikir. Sebaliknya, pelan-pelan adalah pikiran yang masuk ke dalam hati, lalu | mengajaknya berhati-hati dalam segala hal sekaligus mengikuti dan melakukannya.

 

| Sementara itu, berpikir (tawagguf) adalah kebalikan dari gegabah (a’asuf). Perbedaannya, berpikir itu terjadi sebejum melakukan pekerjaan sehingga bisa memenuhi hak setiap bagiannya. Sedangkan dengki merupakan perangai gang merusak ketaatan dan memicu tindakan kesalahan.

 

Perilaku ini juga melahirkan kelelahan dan perhatian terhadap hal-hal yang tak berguna, yang disertai dengan dosa, bahkan mengakibatkan butanya hati. Cukuplah kesesatan dan kerugian bagi pendengki. Ia menjadi musuh bagi nikmat Allah karena menentang kehendak-Nya dan membenci keputusan-Nya.

 

Selanjutnya, batasan dengki adalah menginginkan hilangnya nikmat Allah dari saudaramu sesama muslim yang mengandung kebaikan untuknya. Jika engkau tidak menghendaki hilangnya nikmat tersebut, tetapi menginginkan nikmat yang sama untuk dirimu maka hal itu disebut harapan atau keinginan seperti orang lain (ghibthah).

 

Bila nikmat itu tidak mengandung kebaikan bagi saudaramu, lalu engkau menghendaki agar hilang darinya, hal itu disebut cemburu. Inilah perbedaan antara ketiga perilaku tersebut.

 

Kebalikan dengki adalah nasihat, yaitu menginginkan langgengnya nikmat Allah pada saudaramu sesama muslim yang berguna baginya. Jika perkaranya tidak jelas, janganlah kau mengharapkan hilangnya nikmat tersebut, dan jangan pula menginginkan keabadiannya dari saudaramu sesama muslim. Akan tetapi, serahkanlah semuanya kepada Allah agar engkau terhindar dari dengki serta memperoleh manfaat nasihat.

 

Sementara benteng nasihat yang mampu mencegah kedengkian adalah dengan mengingat perintah Allah untuk menjaga persaudaraan sesama muslim. Benteng dari benteng ini mengingatkan kewajiban untuk senan, tiasa mengagungkan Allah, meninggikan derajat-Nya, mengingat karamah-karamah yang dianugerahkan Allah di akhirat kelak, serta maslahat-maslahat agama maupun dunia, baik di dunia maupun di akhirat. Dan, Allah swt. Pemberi Pertolongan.

 

“ORANG YANG MEMILIKI NIAT YANG BAIK TAK AKAN BERANGAN-ANGAN, DAN NIAT YANG BAIK MENJADI PRINSIP PALING DASAR.”

 

Selain itu, sombong (takabbur) juga termasuk perilaku yang benar-benar merusak. Bukankah engkau telah mendengar firman Allah swt. perihal Iblis, “Ia (Iblis) enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (QS. al-Bagarah (2): 34)

 

Dengan ungkapan lain, sikap sombong merupakan pikiran untuk meninggikan dan mengagungkan diri sendiri, serta menuruti perilaku yang menafikan sikap rendah hati (tawadhw). Kedua sikap ini, baik takabbur maupun tawadhu’ itu ada yang umum dan khusus. Tawadhu’ yang umum yaitu mencukupkan diri dengan pakaian, rumah, dan lainlain yang sederhana. Sebaliknya, sikap sombong adalah bermewah-mewahan dalam berpakaian, rumah, dan lain sebagainya. Demikian inilah kemaksiatan besar.

 

Maka dari itu, kenalilah benteng tawadhu’ yang umum. Selayaknya engkau mengingat titik berangkat dan titik ujungmu, serta berbagai macam penyakit dan kotoran yang sedang kaualami saat ini. Sementara benteng tawadhu Khusus dengan mengingat hukuman yang adil dari Allah swt. Kesemuanya ini sudah mencukupi bagi orang-orang yang mampu melihat. Allahlah Maha Pemberi Pertolongan.

 

 

 

Bagian Kedua Puluh Dua: Hakikat Akhlak Baik dan Perangai Buruk

 

KETAHUILAH, SEMUA KEBAHAGIAAN dan amal kebajikan yang terus-menerus (al-bagiyyat ash-shalihat) yang tetap bersamamu ketika perahumu tenggelam itu terletak pada dua hal. Pertama, kebersihan dan kesucian hati dari selain Allah, seperti firman-Nya, “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. asy-Sywara’ (26): 89). Kedua, penuhnya hati dengan makrifatullah yang menjadi tujuan penciptaan alam dan pengutusan para rasul as. Akhlak mulia adalah perilaku atau sikap yang merangkum kedua hal di atas. Dan aku tidak mengetahui perbuatan yang memiliki keutamaan melebihi akhlak yang baik. Karena itu, Allah swt. memuji Nabi saw. sebagai sosok yang berakhlak mulia dalam firman-Nya,

 

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Oalam (68): 4)

 

Dalam firman-Nya yang lain,

 

“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal yang saleh dinaikkan oleh-Nya.” (QS. Fathir (35): 10)

 

Perkataan yang baik (al-kalim ath-thayib) adalah tauhid dan makrifat. Dan amal saleh berarti kesucian hati, yang kemudian mengangkat derajat tauhid dan makrifat. Pengangkatan di sini artinya hadir dan terpengaruhnya hati oleh tauhid dan makrifat, agar mau menunduk dengan khudhu’, tenang, dan segan. la pun semakin dekat dengan Allah swt.

 

Manusia itu memiliki aspek batin, dan para rasul diutus untuk meluruskan, membersihkan, dan menyempurnakannya. Aspek batin ini melahirkan akhlak terpuji secara mudah, tanpa ragu-ragu dan berpikir. Inilah makna hakikat akhlak mulia. Sementara perangai buruk merupakan kebalikan akhlak mulia. Maka ketahuilah, semua akhlak terpuji maupun tercela berasal dari tiga sifat. Ketiganya laksana induk dari semua akhlak.

 

Sifat pertama, akal beserta potensi dan kesamaanya karena ilmu dan hikmah. Dan hakikat hikmahnya adalah kemampuan membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dalam hal keyakinan, membedakan kejujuran dan kebohongan dalam ucapan: memilah antara perbuatan baik dan buruk.

 

Sifat kedua, potensi marah yang mendorong timbulnya bahaya, yang memang diciptakan untuk fungsi ini. Kesempurnaan dan ketenangan potensi ini jika ia tunduk kepada hikmah. Bila hikmah mengisyaratkan kebebasan, maka ia bebas. Jika hikmah mengisyaratkan agar bersikap tertekan, ia pun tertekan layaknya anjing piaraan.

 

Sifat ketiga, potensi syahwat yang mendatangkan manfaat. Tabiat syahwat ini diciptakan untuk patuh pada akal sehingga kebaikan dan ketenangannya pada saat ia tunduk pada hikmah. Maka ketahuilah, yang dituntut akhlak yaitu sikap moderat dan berada di tengah-tengah dalam segala perkara. Hal ini selaras dengan firman Allah swt., “Dan janganlah kaujadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan janganlah kau terlalu mengulurkannya.” (QS. al-Isra (17): 29)

 

“MANUSIA ITU MEMILIKI ASPEK BATIN, DAN PARA RASUL DIUTUS UNTUK MELURUSKAN, MEMBERSIHKAN, DAN MENYEMPURNAKANNYA.”

 

Jadi, persamaan dalam tiga sifat di atas menjadi rukun keempat. Contoh tenangnya sifat-sifat ini ada pada potensi hikmah yang mengandung sikap melampaui batas, pemborosan, dan titik tengah, atau yang sering disebut hikmah. Maka, berdasarkan hikmah dan kesamaannya lahirlah perancangan, kebaikan pikiran, dan penyelaman terhadap amal-amal yang rumit, serta penyakit nafsu yang samar.

 

Di samping itu, tindakan gegabah melahirkan rekayasa, tipu daya, kelicikan, dan lain-lain, kecenderungan berlebihan melahirkan kebodohan, kedunguan, ketololan, dan kegilaan: kedunguan yaitu sedikitnya pengalaman, kebodohan berarti benarnya tujuan disertai perilaku yang salah: kegilaan berarti kerusakan tujuan maupun perilaku.

 

Adapun potensi marah mengandung ketenangan yang disebut dengan keberanian. Ia melahirkan kedermawanan, keberanian, menahan amarah, dan menepati janji. Potensi marah juga memiliki kecenderungan berlebihan yang melahirkan sikap sombong, ujub, kesewenang-wenangan, dan lain-lain. Ia Juga mengandung kecerobohan yang melahirkan sikap meremehkan, merendahkan, panik, dan membatasi diri sekadar untuk melakukan kewajiban.

 

Sebaliknya, potensi syahwat memiliki ketenangan yang disebut kehormatan (‘iffah). Ia melahirkan sikap dermawan, sabar, wara”, suka membantu, dan tidak tamak, sikap berlebihan yang melahirkan sikap tamak, rakus, dan lain-lain, kecerobohan melahirkan sikap dengki, senang mengumpat, mencaci, dan lain-lain.

 

Dengan demikian, induk akhlak terpuji adalah hikmah, keberanian, kehormatan, dan keadilan, serta menyempurnakan ketiganya. Selain apa yang telah disebut di atas adalah turunan dari keempat sifat ini. Dan, tidak ada seorang pun yang mencapai kesempurnaan keempat sifat ini kecuali junjungan kita, Rasulullah saw. Hanya kepada Allahlah tempat memohon pertolongan.

 

Befasan, Hakikat, Puncak, dan Tanda-tanda Jewadhu Secara sederhana, tawadhu’ bisa diartikan meniru akhlak Allah swt., serta mencukupkan diri dengan kehidupan akhirat. Inilah makna sabda Nabi saw.

 

“Barang siapa tawadhu karena Allah, maka Dia akan mengangkatnya.”

 

Batasan tawadhu’ yaitu mengontrol berbagai keadaan dan pilihan agar tidak berlebihan dan ceroboh, hingga engkau tidak sombong atau hina. Sementara hakikat tawadhu adalah hina, tunduk, dan patuh kepada kebenaran dengan mudah. Kebenaran di sini digunakan untuk menyebut Allah dan perintah-perintah-Nya. Puncaknya, ketika seseorang tidak merasa hina ketika memuji dan tidak merasa sakit ketika dicela.

 

“BATASAN TAWADHU’ YAITU MENGONTROL BERBAGAI KEADAAN DAN PILIHAN AGAR TIDAK BERLEBIHAN DAN CEROBOH, HINGGA ENGKAU TIDAK SOMBONG ATAU HINA.”

 

Sebab telah mengetahui hikmah Allah dan bertauhid dalam perbuatan karena ia tak akan merasa hina di hadapan tuannya. Inilah metode orang-orang yang bertauhid.

 

Orang yang tawadhu’ menganggap dirinya memiliki harga diri, lalu ia rendahkan, sedangkan orang yang mengesakan tidak menganggap diri memiliki harga yang perlu direndahkan. Orang yang tawadhu’ mengontrol perbuatan-perbuatan bebasnya, hingga tidak menjadi Sombong maupun penakut, meski mengalami kehinaan tanpa dikehendaki.

 

Caranya yang terpenting dengan ridha dan merasakan kenikmatan karena semuanya terjadi menurut kekuasaan, Ilmu, dan kehendak Allah swt. Ia tak merasa rendah karena tak mampu mengetahui hikmah Allah.

 

Keindahan perlakuan-Nya hanya bisa diketahui dengan kehinaan. Seseorang yang sombong, bodoh, dan lalai, maka bandangannya terbatas pada melihat pelaksanaan perbuatan. Semakin rendah dirinya, ia akan semakin takabur,

 

Dalam hal ini, para ulama Allah tidak menyaksikan selain Allah dan tidak pernah mencurigai keputusan-Nya. Bahkan, mereka mengetahui bahwa hal tersebut merupakan tanda kemuliaan mereka.

 

Beberapa imam menyebutkan, makrifat itu tak akan ditemukan, kecuali dalam hati orang-orang tawadhu’ yang menjadikan kehinaan sebagai sifat pribadi mereka. Dengan kekuasaan dan pandangan Allah, mereka tidak merasa sempurna ketika diangkat sampai langit, dan tak merasa kekurangan ketika direndahkan serendah-rendahnya. Ini disebabkan mereka sudah tak memiliki kehendak maupun pilihan karena mengetahui bahwa kesempurnaan mutlak itu terletak pada apa yang diputuskan dan ditentukan Allah untuk mereka.

 

Dan karena mereka menemukan tambahan dari Allah dalam ahwal mereka. Inilah derajat kaum Mugarrabin. Adapun sikap tawadhu’ orang-orang saleh sejauh makrifat mereka terhadap diri sendiri dan Tuhan mereka.

 

Sedangkan tanda sikap tawadhu-nya dengan tidak menolak kebenaran yang diperintahkan. Jika ia merasakan ketenteraman karena hal itu, berarti ia sombong dalam menerima kebenaran sekaligus merupakan bentuk kemaksiatan besar. Dan, Allah Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kedua Puluh Tiga: Makna Pikiran, Pendahuluan, dan Turunannya

 

PIKIRAN DIDAHULUI DENGAN mendengar, sadar, dan mengingat. Buah dari semua ini adalah ilmu. Karena barang siapa yang mendengar berarti ia sadar, siapa yang sadar akan mengingat, siapa yang ingat akan berpikir, barang siapa berpikir akan mengetahui, barang siapa mengetahui, maka akan mengamalkan jika ilmunya adalah ilmu untuk diamalkan. Namun, jika ilmunya ditujukan untuk ilmu itu sendiri, ia akan merasa bahagia. Dan kebahagiaan menjadi puncak pencarian.

 

Hakikat mendengar yaitu memanfaatkan apa yang didengar, seperti mendengar hikmah, nasihat, dan lainlain. Syarat mendengar yaitu dengan menyimak. Dalam hal mendengarkan setiap ilmu yang wajib ‘ain, yang diketahui melalui pendengaran hukumnya wajib: sunah dalam mendengarkan selain yang wajib berkaitan dengan ilmu-ilmu terpuji: haram jika mendengarkan hal-hal yang diharamkan Syariat: makruh manakala mendengarkan sesuatu yang makruh didengarkan.

 

Adapun hakikat kesadaran (yagzhah) adalah kewaspadaan hati terhadap kebaikan. Hal ini ditandai dengan bangun dan bangkit dari himpitan kekosongan (pikiran). Kesadaran hukum itu wajib dilakukan dengan bergegas dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan, dan hal tersebut berada pada setiap keadaan (tingkatan).

 

Sementara mengingat berarti mengulang-ulang pengetahuan agar menancap dan kokoh dalam hati. Berpikir (tafakkur) sama halnya jika engkau menggabungkan dua ilmu yang selaras guna mengetahui apa yang kaucari. Dengan syarat, tanpa ada keraguan dalam kedua ilmu tersebut, kosongnya hati dari keduanya, dan memikirkan keduanya secara mendalam.

 

Sehingga ia tak merasakan selain perpindahan hati dari kecenderungan yang menuju kecenderungan

 

“HAKIKAT KESADARAN (YAQZHAH)J ADALAH KEWASPADAAN HATI TERHADAP KEBAIKAN.”

 

yang bernilai tinggi seraya menghadirkan kedua makrifat tersebut. Hal tersebut juga disebut dengan mengingat (tadzakkur), yang berhubungan dengan akad, ucapan, serta melaksanakan dan meninggalkan perbuatan.

 

Berkaitan dengan sesuatu yang wajib diingat, maka mengingat itu hukumnya wajib. Sedangkan mengingat kemaksiatan hukumnya haram ketika hal itu dikhawatirkan akan mendatangkan kemaksiatan. Maka dari itu, tercapainya makrifat ketiga yang dituju oleh kedua makrifat ini disebut dengan berpikir (tafakkur). Dan berpikir itu wajib ketika mengalami keraguan dan terjadinya kekaburan, juga saat menghilangkan penyakit yang wajib dihilangkan dari hati.

 

Sejalan dengan apa yang telah disebutkan di atas, ilmu itu tercakup dalam lima kategori. Pertama, ilmu-ilmu wajib, yaitu ilmu tentang dasar-dasar keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, dan Hari Akhir.

 

Kedua, ilmu perihal ibadah yang berkaitan dengan jasmani dan harta-benda. Ketiga, ilmu tentang hal-hal yang berhubungan dengan panca indra, seperti lisan, kemaluan, perut, pendengaran, dan penglihatan. Keempat, ilmu mengenai perilaku tercela yang harus dihilangkan dari dalam hati. Kelima, ilmu berkenaan dengan akhlak terpuji yang menjadi kewajiban hati kepada Allah swt.

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kedua Puluh Empat: Makna Tobat dan Buahnya: Lari, Kembali, dan Rendah Hati

 

HAKIKAT TOBAT ADALAH kembali dari maksiat menuju taat, dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat, serta mengatur ilmu, hal, dan amal, begitu juga dalam pengaturan pada setiap maqam. Ilmu merupakan salah satu pengikat keimanan kepada Allah swt. Sementara itu, hal adalah perasaan yang lahir dari tobat, dan amal yaitu perbuatan-perbuatan yang lahir dari perasaan di dalam hati dan anggota tubuh.

 

Tobat didahului dua kewajiban. Pertama, memastikan bahwa dosa yang ditinggalkan benar-benar dosa. Kedua, tidak menganggap bahwa tobat itu semata-mata karena dirinya sendiri. Sebab, Allahlah yang menciptakan tobat itu di dalam dirinya dan memudahkannya untuk bertobat.

 

Kesadaran bahwa Allahlah yang membuatnya bertobat ini termasuk bentuk keimanan kepada Allah, karena erat kaitannya dengan kuasa Allah. Selain itu, juga berkaitan erat dengan kabar-kabar dari Allah.

 

Rukun tobat ada empat: mengetahui, menyesal, bertekad, dan meninggalkan. Adapun batasan penyesalan yang wajib, yaitu penyesalan yang mendorong untuk meninggalkan dosa. Sementara hakikat berlari artinya meninggalkan maksiat menuju taat.

 

Inilah lari yang wajib dan didasarkan atas fondasi keimanan. Artinya, kembalinya hamba dari kesibukan-kesibukan yang melalaikan Allah, dan dari kebaikan menuju yang lebih baik. Ini juga merupakan tobat dan kembali, serta menjadi syarat kebahagiaan di akhirat. Demikianlah lari yang wajib yang didasarkan atas kesempurnaan iman. Tiada akhir bagi derajat dan tingkatan tobat.

 

Selain dikenal dengan tobat, kondisi di atas juga disebut sebagai inabah (kembali) karena hakekatnya adalah kembali kepada Allah secara berulang-ulang, meski tanpa didahului dosa. Dengan begitu, tobat adalah menyesali setiap dosa, bukan tanpa dosa. Terakhir, tawadhu dalam konteks ini berarti tunduk dan patuh pada kebenaran secara mudah. Allah Mahatahu.

Bagian Kedua Puluh Lima : Sabar dan Buahnya: Riyadhah dan Tahdzib

 

ILMU SABAR YAITU membenarkan segala yang disampaikan Allah kepada kita perihal permusuhan nafsu, setan, syahwat, akal, makrifat, dan malaikat yang mengilhamkan kebaikan serta peperangan yang terjadi di antara mereka secara abadi.

 

Barang siapa menundukkan pasukan setan dan menolong tentara Allah, ia dimasukkan ke dalam surga-Nya. Demikian ini hukumnya wajib karena menjadi bagian dari keimanan kepada Allah swt.

 

Adapun ahwal yang tumbuh dari keimanan ini dapat diartikan sebagai teguhnya motivasi agama melawan bisikan hawa nafsu. Kadar wajib dari sabar yaitu mendukungnya dengan janji dan ancaman sehingga tentara Allah mampu mengalahkan pasukan setan. Dan ingatlah, tentara Allahlah pemenangnya.

 

Riyadhah berarti melatih nafsu untuk melakukan kebaikan. Membawanya dari yang ringan menuju yang berat seCara lembut dan bertahap, hingga nafsu ini naik mencapai Suatu keadaan, yang mana amal yang berat menjadi ringan dan mudah baginya.

 

Sementara itu, tahdzib artinya menguji nafsu serta memilih ahwal berkaitan dengan pengakuan terhadap maqam-maqam, apakah ia jujur atau dusta. Dan tanda lurusnya magam sabar ialah ketika ia mampu menghadirkan amalan-amalan secara mudah, tanpa rintangan maupun hambatan. Allahlah Pemberi pertolongan.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Kedua Puluh Enam: Khauf dan Turunannya

 

Sedih, Tinduk, Belas Kasih, Khusyuk dan Wara’ sebagai Buahnya

 

ILMU KHAUF (TAKUT) yaitu menyaksikan sifat-sifat ketuhanan dan kaitannya dengan perbuatan mendekatkan dan menjauhkan, membahagiakan serta menyengsarakan, tanpa perantara maupun sesuatu yang mendahului.

 

Khauf ini ditujukan pada diri sendiri, dan harus diyakini karena termasuk bagian keimanan kepada Allah swt. Dan faedahnya bisa dirasakan oleh mereka yang berpindah dari melihat banyaknya amal menuju ketenangan dan keamanan dari rekayasa Allah. Sebab tidak ada yang merasa aman dari rekayasa Allah, melainkan orang-orang yang merugi.

 

Khauf yang tidak ditujukan untuk diri sendiri ada dua macam: Pertama, takut dicabut nikmatnya. Takut semacam ini mendorong untuk memiliki adab dan melihat nikmat. Kedua, takut terhadap hukuman yang diakibatkan oleh kejahatan. Kadar wajibnya, hendaknya takut ini mendorong untuk meninggalkan larangan dan mengerjakan perintah.

 

Dan hal atau keadaan khauf ini sebaiknya disertai rintihan dan kegelisahan hati karena membayangkan sesuatu yang tidak disukai atau lepas darinya. Jika keduanya adalah hal yang terpuji, hukumnya wajib atau sunah. Bila merupakan sesuatu yang tidak disukai, maka hukumnya menjadi terlarang atau makruh.

 

Selanjutnya, hakikat gabdh berarti mengetuk hati. Kadangkala sebabnya diketahui sehingga hukumnya sama dengan kesedihan, dan terkadang tidak diketahui dan menjadi hukuman bagi murid karena gegabah di kala senggang (basth).

 

Adapun hakikat isyfag yaitu bersatu dan seimbang antara khauf dan raja’, hakikat khusyuk berarti ketenangan dan diamnya hati beserta anggota tubuh, sebab hati menyaksikan sesuatu yang agung atau menakutkan secara nyata. Dan hakikat wara’ adalah menghindari sesuatu karena takut terhadap bahaya yang ditimbulkan olehnya. Allah swt. Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

Bagian Kedua Puluh Tujuh : Raja” dan Raghbah, Basih sebagai Buahnya

 

ILMU RAJA BERMAKNA melihat sifat-sifat kadim sebagai sumber segala keburukan maupun kesenangan, kemanfaatan maupun bahaya. Barang siapa mengetahui hal ini, ia akan takut sekaligus berharap kepada-Nya.

 

Inilah yang dimaksud dengan raja” pada dirinya sendiri. Sebab, ia tak bisa diharapkan karena kebaikan dan tidak berhenti oleh keburukan. Demikian ini tidak lain lahir karena anugerah Allah yang dikehendaki untuk memperoleh kebahagiaan. Dan mereka yang akan mengalami raja” semacam ini adalah orang-orang yang dibawa oleh takut (khauf) ke dalam khusyuk.

 

Raja” yang bukan pada dirinya sendiri berarti raja” yang mendorong banyak berbuat ketaatan. Jika tak mendorong pada hal tersebut, ia disebut sebagai harapan koSong (tamanni). Sebab hakikat raja” adalah kegembiraan dan kelapangan hati karena menanti kekasih yang sudah tampak tanda-tandanya.

 

Lain halnya dengan raghbah, yaitu dominasi keadaan di atas pada hati orang-orang yang berharap hingga seolaholah ia menyaksikan harapan. Inilah kesempurnaan raja Ian puncak hakikatnya. Sementara itu, basth mengandung arti kegembiraan hati dan terbukanya jalan petunjuk kareha semangat raja”.

 

 

 

 

 

 

Bagian Kedua Puluh Delapan: Kefakiran beserta Variannya

 

Tebattul, Fana’, dan Tajrid

 

KEFAKIRAN ADALAH KEHILANGAN dan butuh. Dalam konteks ini, “butuh” ada dua macam: mutlak dan terbatas. “Butuh” mutlak adalah butuhnya seorang hamba kepada pencipta yang menciptakannya, kepada keabadian setelah diciptakan, dan kepada hidayah menuju penciptanya.

 

Inilah kefakiran kepada Allah swt. Karena Allahlah Penciptanya, yang mengabadikannya, dan memberinya hidayah. Kefakiran semacam ini hukumnya wajib sebab termasuk bagian keimanan kepada Allah dan karena Allah. Dan ahwal yang lahir dari makrifat ini pun menjadi kesaksian hamba terhadap kefakiran dan hajat kepadaNya selama-lamanya.

 

Adapun “butuh” yang terbatas yaitu kebutuhan hamba kepada sarana-sarana yang membuat dirinya mampu berdiri tegak dan bisa diraih dengan harta. Ia adalah sesuatu yang hilang sekaligus dibutuhkan.

 

Kefakiran mutlak dimaksudkan untuk Zatnya sendiri karena ia berhubungan dengan Allah, sedangkan kefakiran terbatas ditujukan untuk selain dirinya dengan menyendiri dan mengasingkan diri menuju Allah swt.

 

Keduanya merupakan sarana untuk menjadi kaya kareha Allah, yaitu kebergantungan hati kepada-Nya. Kekayaan karena Allah menjadi perantara untuk melepaskan diri dari selain Allah. Maka dari itu, tak ada kewajiban dalam tajrid selain meyakini bebasnya al-Oadim dari yang baru (makhluk). Allah Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

Bagian Kedua Puluh Sembilan: Zuhud dan Mendahulukan Orang Lain

 

Futuwwah sebagai Akhlak dan Magam Murad sebagai Peninggalan

 

ILMU YANG MELAHIRKAN sikap zuhud terhadap dunia adalah keimanan kepada Allah swt., seperti firman-Nya, “Tetapi kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. alAla (87): 16-17) Dan ahwal yang lahir dari ilmu ini ialah berpalingnya kehendak dari dunia karena mengagungkan segala hal yang ada di sisi Allah swt.

 

Adapun pemantik sikap zuhud terhadap hal-hal selain Allah, seperti kenikmatan surga dan lain-lain karena menganggap remeh wujud (selain Allah) dan mengagungkan kesempurnaan Allah swt. Inilah zuhud yang ditujukan untuk dirinya sendiri, dan merupakan bagian dari keimanan kepada Allah sebab berhubungan dengan keagungan dan kesempurnaan.

 

Sebelum itu, zuhud yang ditujukan untuk selain dirinya yaitu dengan konsentrasi hati terhadap makrifat ini. Sementara kadar zuhud yang wajib yang ditujukan untuk selain dirinya yaitu mendorong untuk berkonsentrasi pada waktu-waktu yang wajib. Karena zuhud itu hanya berhubungan dengan hal-hal mubah, dan salah satu syaratnya adalah jika hal tersebut bisa dilakukan.

 

Buah dari zuhud adalah mendahulukan orang lain (itsar), sekaligus bentuk kedermawanan (futuwwah) paling tinggi. Kedermawanan berarti mempersembahkan sesuatu yang tidak dibutuhkan secara suka rela, bukan terpaksa. Dan itsar bermakna mencurahkan segala sesuatu yang dibutuhkan orang lain tanpa ganti dan tanpa tujuan, selain meniru akhlak Allah swt.

 

Selain itu, kedermawanan bersumber dari akhlak mulia. Jadi, barang siapa menunaikan kewajiban syariat dan bersikap mulia, ia termasuk orang-orang yang dermawanan. Barang siapa berbaur dengan anak-anak dunia tentang apa yang mereka alami, ia sama halnya orang yang tak memiliki kemurahan hati maupun akhlak mulia.

 

Sedangkan magam murad yaitu keadaan seseorang yang mengenali hakikat persoalan tanpa penyangkalan (munaz?) maupun pertentangan (mudaft). Karena tak ada sesuatu pun yang mampu melalaikannya dari Allah swt. Dan, Allah Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

Bagian Ketiga Puluh: Muhasabah dan Manfaatnya: I’tisham dan Istiqamah

 

HAKIKAT MUHASABAH BERARTI memerinci perbuatan yang telah lalu dan yang akan datang. Berdasarkan ijmak ulama, muhasabah hukumnya wajib, dan menuntut untuk berpegang teguh kepada Kitab Allah (itisham). Selain itisham, ada juga istigamah (lurus dan teguh).

 

Perbedaan antara i’tisham dan istigamah yaitu: Ptisham artinya berpegang kepada Kitab Allah swt. dan memerhatikan batasan-batasannya, sedangkan istigamah bermakna teguh dan lurus, serta tidak condong kepada salah satu ujung dari hal-hal yang dijadikan pegangan.

 

Di samping itu, istigamah ditujukan untuk dirinya sendiri maupun selain dirinya. Istigamah untuk diri sendiri karena ia menjadi perantara untuk memasukkan magam al-jam’ (penyatuan) dari lembah perpecahan. Allah swt. Mahatahu.

 

 

 

 

 

 

Bagian Ketiga Puluh Satu: Syukur dan Kebahagiaan sebagai Ahwal dan Hikmah seb agai Amalannya

 

SAAT ENGKAU MENGETAHUI bahwa seluruh kenikmatan semata-mata berasal dari Allah swt. maka inilah ilmu yang mendorong lahirnya rasa syukur. Ilmu ini hukumnya wajib karena termasuk bagian keimanan kepada Allah swt. Dia berfirman,

 

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian. Maka (semua itu) dari Allahlah (datangnya).” (QS. an-Nahl (16): 53) Bersyukur kepada pemberi nikmat merupakan hal wajib karena termasuk bagian dari keimanan. Karena itu, ahwal yang tumbuh dari ilmu ini berupa kegembiraan dan kebahagiaan yang disebabkan oleh nikmat-nikmat Allah Swt,

 

Dalam konteks ini, kegembiraan berarti syukur sebab ditujukan untuk dirinya sendiri. Hukumnya pun wajib, dan termasuk bagian serta buah dari iman kepada Allah swt.

 

Demikian pula dengan perilaku syukur yang ditujukan Untuk dirinya sendiri maupun selain dirinya. Ditujukan untuk dirinya sendiri sebab memanfaatkan kenikmatan sesuai tujuan penciptaan dan menjadi kesempurnaan hikmah.

 

Sedangkan yang ditujukan untuk selain dirinya guna memelihara nikmat-nikmat yang ada sekaligus menambahkannya. Singkat kata, syukur artinya menggunakan nikmat sesuai tujuan pemberiannya.

 

Dengan begitu, barang siapa memiliki ahwal yang sedang, hingga mampu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, berarti ia adalah orang bijak. Sebab hikmah itu (kebijaksanaan) sama halnya meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, baik ilmu maupun amal. Dan Allahlah Pemberi pertolongan.

 

 

 

 

 

 

 

Bagian Ketiga Puluh Dua: Tawakal dan Adabnya

 

Tefwidh, Taslim, Biqah, dan Ridha

 

MANAKALA ENGKAU MENGETAHUI bahwa Allah swt. itu Berdiri Sendiri dan Maha Mendirikan yang lain, inilah ilmu yang menuntut tindakan tawakal. Kemudian, engkau memahami keluasan ilmu dan hikmah-Nya, serta kesempurnaan kekuasaan-Nya.

 

Sehingga ahwal yang lahir dari ilmu ini berupa penyandaran dan ketenangan hati kepada Allah, serta tidak kacau karena bergantung kepada-Nya. Tak ada kewajiban terhadap ilmu dan ahwal tawakal selain menahan diri dari sebab-sebab terlarang. Namun meskipun mulia, tawakal ini lebih rendah derajatnya daripada tafwidh dan taslim. Sebab tujuan tawakal untuk mendatangkan keuntungan dan menolak kerugian (bahaya), sedangkan hakikat tafwidh dan taslim berarti patuh dan tunduk terhadap perintah, tanpa pilihan dalam segala yang telah ditentukan Allah swt.

 

Adapun tsigah artinya mengikatkan hati dan tidak terputus terhadap pembenaran-pembenaran yang dikandunghya. Tsigah merupakan penyempurna bagi semua magam Ian ahwal. Jika ridha itu terjadi setelah adanya sesuatu yang diputuskan, tafwidh dan taslim terjadi sebelum ada Sesuatu yang diputuskan.

 

Kadar yang wajib dari ridha manakala ia ridha dengan akal, meski tabiatnya tidak senang karena ketidaksenangan berada di luar pilihan hamba. Jadi, barang siapa dalam pikirannya tidak menyukai sesuatu yang digunakan Allah untuk menguji para hamba-Nya di dunia maupun akhirat, atau mengeluh dengan lidahnya maka ia telah berdosa dan melanggar kewajiban ridha. Dan Allahlah Maha Pemberi pertolongan.

 

 

 

 

 

 

Bagian Ketiga Puluh Tiga : Macam-macam Niat: Qashd, Azm, dan Iradah

 

NIAT ADALAH SARANA selain iman untuk memeroleh kebahagiaan yang agung di dunia maupun akhirat. Jika engkau mengetahui hal ini, kau harus memahami hakikat niat.

 

Membentenginya dari bagian-bagian duniawi yang membuatnya keruh sebagai bentuk kewajiban, dan dari tujuan-tujuan dan balasan-balasan ukhrawi sebagai anjuran (sunah). Dengan ungkapan yang lebih sederhana, niat bertujuan membedakan antara satu maksud dengan maksud lainnya.

 

Selain niat, ada pula gashd, ‘azm, dan iradah. Gashd berarti memusatkan perhatian (himmah) terhadap tujuan yang dimaksud: ‘azm yaitu menguatkan dan menggiatkan tujuan tersebut, iradah artinya menyingkirkan rintanganrintangan yang melemahkan.

 

 

 

 

 

 

Bagian Ketiga Puluh Empat : Kejujuran dan Tanda-fandanya

 

Intishal, ittishal, Tahqiq, dan Tafrid

 

KEJUJURAN BAGI ALLAH swt. merupakan sifat Dzatiyyah yang bersumber dari makna Kalam-Nya. Dalam sifat hamba, kejujuran berarti tidak adanya perbedaan antara rahasia dan terang-terangan, lahir dan batin. Dengan sifat jujur, tercapailah seluruh magam dan ahwal.

 

Meski keikhlasan beserta keagungannya itu memerlukan kejujuran, tetapi kejujuran tidak membutuhkan apa pun. Karena hakikat keikhlasan dalam beribadah yaitu menghendaki Allah dengan berlaku taat. Karena, terkadang Allah menjadi tujuan seseorang dalam shalat, tetapi justru ia melalaikan dengan ketidakhadiran hatinya.

 

Kejujuran yaitu menghendaki Allah dengan beribadah disertai kehadiran bersama-Nya. Jadi, setiap orang yang jujur berarti ikhlas, tetapi tidak setiap orang yang ikhlas itu jujur. Inilah makna terpisah (infishal) sekaligus bersambung (ittishal). Terpisah dari selain Allah dan bersambung dengan-Nya melalui kehadiran hati.

 

Adapun tahqiq artinya membedakan berbagai magam dan ahwal satu sama lain, dan memurnikannya dari segala sesuatu selain Allah dan noda-noda. Tafrid bermakna berdirinya hamba bersama Allah tanpa ilmu maupun ahwal. Sebab ia menyaksikan kesendirian Allah dalam menciptakan segala wujud dan kekuasaan-Nya yang mencakup segala sesuatu.

 

“ORANG YANG JUJUR BERARTI IKHLAS, TETAPI SETIAP ORANG YANG IKHLAS ITU JUJUR.”

 

 

 

 

 

 

Bagian Ketiga Puluh Lima : Ridha”

 

AL-HARITS BERKATA, “RIDHA adalah ketenangan hati di bawah berlangsungnya keputusan.” Lain halnya dengan Dzun Nun yang mengatakan, “Ridha artinya kebahagiaan hati dengan berjalannya gadha.” Berkaitan dengan masalah ini, Rasulullah saw. bersabda,

 

“Seseorang yang ridha dengan Allah sebagai tuhan, ia akan mencicipi nikmatnya iman.”

 

Demikian pula sabdanya,

 

Sesungguhnya Allah dengan hikmah-Nya meletakkan ketenangan dalam ridha dan yakin. Dan meletakkan duka dan sedih dalam ragu dan marah.”

 

Al-Junaid mengatakan, “Ridha berarti kebenaran ilmu yang sampai ke dalam hati. Jika hakikat ilmu menyentuh hati, ilmu tersebut membawanya ke dalam ridha. Tidak seperti takut (khauf) dan pengharapan (raja”), ridha dan mahabbah merupakan ahwal yang tak pernah berpisah dari hamba, baik di dunia maupun akhirat. Dan di surga ia pun tak bisa lepas dari keduanya.”

 

Ibnu “Atha’ berkata, “Ridha yaitu ketenangan hati atas pilihan Allah terdahulu (gadim) untuk hamba. Dia telah memilihkan untuknya yang paling utama, hingga ia pun ridha terhadap-Nya. Dan, ridha sama halnya meninggalkan marah.” Abu Turab “Ali bin Abi Thalib ra. menjelaskan, “Tidak akan meraih ridha Allah orang yang di hatinya menganggap dunia masih berarti.”

 

Sirri berkata, “Lima hal yang termasuk perangai mulia kaum Mugarrabin, ridha kepada Allah, baik berkaitan dengan hal yang kausukai maupun tidak, berusaha mencintaiNya, malu kepada Allah, damai karena-Nya, gerah terhadap selain Dia.”

 

Al-Fudhail berkata, “Ridha bermakna jika seseorang tak mengharapkan sesuatu pun melebihi posisinya.” Ibnu Sam’un berkata, “Ridha terhadap Allah yaitu ridha karena-Nya dan terhadap-Nya. Ridha karena-Nya sebagai yang Mengatur dan Memilih, ridha terhadap-Nya sebagai Pembagi dan Pemberi, dan ridha pada-Nya sebagai Tuhan sekaligus Tuan.

 

Suatu ketika Abu Sa’id ditanya, “Mungkinkah seseorang ridha sekaligus marah?” Ia menjawab, “Iya. Bisa jadi ja ridha kepada Tuhannya, dan marah terhadap nafsu serta segala hal yang memutuskannya dari Allah swt.”

 

Seseorang berkata kepada Hasan bin Ali ra. bahwa Abu Dzar berkata, “Fakir lebih aku sukai daripada kaya, dan sakit lebih kusenangi daripada sehat.” Kemudian, Hasan berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar.” Maka aku berkata, “Barang siapa tawakal kepada baiknya pilihan Allah untuknya, ia tak berharap selain keadaan yang telah dipilihkan Allah swt.”

 

“ORANG BERIMAN ADALAH CERMIN BAGI ORANG BERIMAN.”

 

“Ali ra. berkata, “Barang siapa duduk di atas hamparan seraya meminta, berarti ia tidak ridha kepada Allah dalam setiap kondisi.” Di hadapan al-Junaid asy-Syibli mengatakan, “Tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah.” Maka al-Junaid berkata, “Ucapanmu itu kaukatakan saat sesaknya dada.” asy-Syibli menjawab, “Benar.” Lalu al-Junaid melanjutkan, “Sesaknya dada karena tidak ridha terhadap ketetapan (gadha) Allah.”

 

Ucapan di atas disampaikan al-Junaid untuk mengingatkan pangkal ridha yang lahir karena kelapangan dan keluasan dada. Kelapangan itu berasal dari cahaya yakin. Jika cahaya telah menancap dalam batin, maka hati menjadi luas dan dipenuhi manisnya cinta dan perbuatan kekasih, dikarenakan hadirnya ridha terhadap pecinta sejati. Sebab sang pecinta melihat bahwa perbuatan kekasih itulah yang la kehendaki.

 

Seperti dikatakan, “Segala yang diperbuat kekasih adalah kekasih.” Karena hamba itu tidak suka menjadi pelayan selain Allah dan tidak mau berbaur bersama mereka. Barang Siapa yang tidak menyukai jalan mereka, bisa jadi melihat mereka lebih berbahaya daripada manfaatnya.

 

Dalam sebuah berita disebutkan, “Orang beriman adalah cermin bagi orang beriman.” Karena, ketika tampak perpecahan di antara mereka maka mereka akan menghindarinya sebab perpecahan itu lahir akibat nafsu. Dan munculnya nafsu ini dipicu oleh tindakan menyia-nyiakan waktu.

 

Jadi, kapan pun nafsu orang-orang fakir muncul, mereka akan mengetahui bahwa ia telah keluar dari lingkaran kebersamaan. Memvonisnya telah menyia-nyiakan waktu serta mengabaikan pengaturan dan pemeliharaan yang baik. Maka dari itu, melalui perbicangan ini ia dikembalikan ke dalam lingkaran kebersamaan.

 

 

 

 

 

 

Bagian Ketiga Puluh Enam : Larangan Bergunjing

 

ALLAH SWT. BERFIRMAN, “Adakah seseorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (QS. al-Hujurat (49): 12)

 

Firman Allah di atas dipertegas dengan sabda Nabi Muhammad saw. yang bersumber dari Abu Hurairah ra.

 

Dari Abu Hurairah ra. ada seorang laki-laki di sisi Rasulullah saw., lalu Rasulullah berdiri, tapi laki-laki itu “dak. Maka, beberapa orang berkata, “Alangkah lemahnya la. Rasulullah bersabda, “Kalian telah memakan daging Saudara kalian dan menggunjingnya.”

 

Dikatakan bahwa Allah swt. telah mewahyukan kepada Musa bin Imran as.,

 

“Barang siapa mati dalam keadaan tobat dari perilaku ghibah, ia adalah orang terakhir yang masuk surga. Dan siapa yang mati dalam keadaan tetap dalam ghibah, berarti ia orang pertama yang masuk neraka.”

 

Ada pula yang mengatakan, “Ibrahim bin Adham pernah diundang dalam sebuah perhelatan. Kemudian, orang-orang di sekitarnya menggunjingkan seseorang yang tidak datang pada acara tersebut. Maka Ibrahim berkata, “Sungguh, nafsuku berbuat seperti ini terhadapku. Aku mendatangi sebuah tempat yang di dalamnya orang-orang berbuat ghibah.” Ia pun keluar dan tidak makan selama tiga hari.

 

Berkenaan dengan pergunjingan, dikatakan bahwa perumpaan orang yang menggunjing orang lain layaknya orang yang mendirikan alat pelontar (munjanig), yang ia gunakan untuk melemparkan kebaikannya ke timur dan ke barat.

 

Demikian pula disebutkan, pada hari kiamat nanti, seorang hamba diberi kitab (catatannya), tetapi tidak melihat catatan kebaikan di dalamnya. Ia pun berkata, “Manakah shalatku, puasaku, dan ketaatanku?” Lalu dijawab, “Amalamalmu hilang karena engkau telah menggunjing orang lain.” Maka dikatakan, “Barang siapa digunjingkan orang lain, maka diampunilah separuh dosa-dosanya.”

 

Disebutkan, ada seseorang menerima kitabnya dengan tangan kanan, lalu melihat catatan kebaikannya yang tak pernah ia lakukan. Kemudian dikatakan kepadanya, “Ini karena engkau digunjingkan orang, tapi engkau tak menyadarinya.”

 

Suatu saat ada kabar yang disampaikan kepada Hasan Bashri, “Seseorang telah menggunjingmu,” Maka, Hasan Bashri pun mengirimkan sebuah talam berisi manisan kepada orang tersebut sambil berujar, “Aku mendengar engkau telah menghadiahkan kebaikanmu untukku, maka aku ingin membalasnya.”

 

Dari al-Junaid ra., ia berkata, “Aku berada di Baghdad, di sebuah tempat untuk menanti jenazah yang akan kushalatkan. Kemudian aku bertemu seorang fakir yang menampakkan jejak-jejak ahli ibadah dan meminta-minta kepada orang-orang. Aku pun berkata dalam hati, andaikan orang ini melakukan amal yang bisa menjaga dirinya, itu akan lebih baik baginya.

 

Lantas, aku pulang ke rumah dan melakukan wirid pada malam hari. Selesai membaca wirid, aku tidur, dan bermimpi melihat orang fakir tersebut membawa dirinya di atas sebuah dipan panjang. Lalu mereka berkata kepadaku, Makanlah daging orang tersebut karena engkau telah menggunjingnya, dan aku pun melihat ahwal. Aku berkata. Aku tidak menggunjingnya, melainkan berkata dalam hatiku.” Maka dikatakan, “Engkau tidak termasuk orang yang ridha terhadap orang seperti ia. Pergilah, dan mintalah maaf kepadanya.”

 

Keesokan harinya aku mondar-mandir hingga melihat orang tersebut memunguti lembaran-lembaran sayur yang jatuh karena di cuci dalam air. Aku pun mengucapkan salam kepadanya, dan ia pun menjawab, “Hai Abu Oasim, kau akan mengulang lagi?” Aku menjawab, “Tidak.” Maka, ia berkata, “Semoga Allah mengampuni kita.”

 

 

 

 

 

Bagian Ketiga Puluh Tujuh : Makna Futuwwah (Kedermawanan)

 

Ar-FATI ATAU SEORANG dermawan adalah orang yang tak lagi merancang diri, harta, dan anaknya, tetapi memberikan segalanya kepada Sang Pemilik sejati. Bahkan, apa yang diberikan itu bukanlah miliknya karena semuanya telah sirna dalam firman-Nya,

 

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka.” (QS. at-Taubah (9): 111)

 

Ia pun berakhlak selaras dengan firman Allah swt.,

 

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. an-Nahl (16): 90)

 

Tidaklah ia meninggalkan ketaatan sedikit pun kepada Allah berupa adil dan ihsan, kecuali mengumpulkannya. Dan tidaklah ia meninggalkan sedikit pun perbuatan keji dan mungkar, melainkan telah merangkumnya.

 

Maka, kedermawanan orang awam dengan harta, kedermawanan orang khas dengan harta dan perbuatan, kedermawanan para khasul khas dengan harta, perbuatan, dan ahwal: kedermawanan para nabi dengan harta, perbuatan, dan asrar. Inilah orang yang dalam batinnya mengakui, dan lahirnya tidak membuat-buat maupun riya. Rahasia antara dirinya dengan Allah tak bisa dilihat oleh dadanya sendiri, terlebih orang lain.

 

Salah satu kebiasaan seorang dermawan (al-fatiy) yaitu melihat makhluk dengan pandangan ridha dan menyaksikan diri sendiri dengan pandangan marah, mengetahui hak-hak manusia yang lebih tinggi, yang sederajat, atau yang lebih rendah darinya. Tak pernah menyinggung saudara-saudaranya dengan salah, hina, atau dusta.

 

la melihat makhluk sebagai para kekasih. Tidak pernah menganggap mereka buruk kecuali perbuatan yang bertentangan dengan syariat. Padahal, dalam masalah dosa hal itu dinisbatkan kepada setan, bukan kepada saudaranya sesama muslim, terlebih kepada Allah swt.

 

la pun sanggup merubah dengan tangannya. Kalaupun tidak mampu, maka ia akan merubah dengan hatinya. Ia putus asa terhadap makhluk, tidak mau meminta-minta, berhajat, menyembunyikan kefakiran, menampakkan kecukupan, tidak mengaku-aku, menyembunyikan maksud, menanggung penderitaan, mendahulukan keinginan orang Jain daripada keinginannya sendiri, tidak menghilangkan hajat orang lain, memberi tanpa berharap: tidak menuntut hak kepada siapa pun, menuntut diri sendiri atas hak orang Jain, melihat keutamaan pada mereka, menilai diri gegabah dalam semua yang dilakukan, tidak mengingkari apa yang dilakukan.

 

Selain itu, seorang dermawan biasa meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat bagian nafsu. Baginya, tak ada bedanya antara pujian dan celaan yang dilontarkan oleh orang awam.

 

Kebiasaan lainnya adalah jujur, menepati janji, dermawan, malu, berakhlak mulia, memuliakan jiwa, lemah lembut terhadap teman, tidak mau mendengarkan hal-hal buruk dari teman, menjunjung tinggi janji dengan menepatinya, menjauhi sikap iri, dengki, dan menipu.

 

Kebiasaan lainnya yaitu cinta dan benci karena Allah, sebisa mungkin bersikap longgar (murah) terhadap saudarasaudaranya dengan harta dan kedudukan, tidak memberi mereka dengan harta dan kedudukan (nepotisme), berteman dengan orang-orang baik dan menjauhi orang-orang jahat. Ia memusuhi nafsunya sendiri karena Tuhannya, dan tak memiliki musuh lain selain nafsunya.

 

Maka, ia pun berusaha keras untuk mengalahkan nafsu sebab dikatakan, “al-fatiy adalah orang yang menghancurkan berhala: berhala manusia.” Di antara kebiasaan seorang fatiy lainnya, yaitu tidak menjauhi orang miskin karena kemiskinannya, dan tidak mendekati orang kaya karena kekayaannya.

 

la berpaling dari jin dan manusia (kaunain). Baginya, tak ada bedanya antara yang menetap dengan yang datang, orang yang dikenal maupun tidak, tak ada bedanya antara wali dan orang kafir dari segi makanan. Tak pernah menyimpan makanan, tidak beralasan, memperlihatkan nikmat, dan menyembunyikan cinta.

 

Jika bergaul, ia tidak berubah tatkala teman sepergaulannya membawa sesuatu yang banyak atau sedikit, dan tidak membuat merah wajah orang lain berkaitan dengan hal yang tidak dianjurkan syariat. Tidak mengambil keuntungan dari sahabat, dan apa yang telah keluar darinya tidak pernah kembali.

 

Jika diberi ia bersyukur, bila tidak maka ia bersabar. Bahkan, jika diberi ia cenderung mendahulukan orang lain, dan bila tidak diberi ia bersyukur. Demikianlah, al-futuwwah yaitu apabila ia tidak melupakan Allah karena makhluk. Futuwwah ahli makrifat dengan apa yang ia ketahui, sedangkan futuwwah selain ahli makrifat dengan tradisi dan kebiasaannya.

 

Kemurahan Hafi

 

Kemurahan hati artinya mendahulukan bagian orang lain daripada bagianmu sendiri secara mutlak, baik dunia maupun akhirat. Selain itu, bergegas memberi sebelum diminta, tidak mengharap balasan atas apa yang diberikan, cepatcepat dalam memberi, serta menganggap pemberiannya kecil dan menutupinya.

 

Lebih dari itu, seorang dermawan senantiasa mempersembhakan jiwa, ruh, dan hartanya kepada manusia dengan sangat malu. Ia pun tak rela jika melihat hinanya meminta di wajah kaum Muslimin.

 

Kemurahan jiwa dengan apa yang ada di tangan manusia itu lebih besar daripada kemurahannya sendiri serta dengan memberi dan perangai ganaah. Dan, ridha lebih besar daripada perilaku memberi. Sedangkan yang lebih besar dari itu semua adalah kemurahan memberikan hikmah.

 

 

 

 

 

Bagian Ketiga Puluh Delapan : Perihal Akhlak Mulia

 

ALLAH SWT. BERFIRMAN,

 

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang” bodoh. (QS. al-A’raf (6): 199)

 

Artinya, memaafkan orang yang berbuat zalim kepadamu dan memberi orang yang tak mau memberimu, menyambung hubungan dengan orang yang memutus hubungan denganmu, mengabaikan orang yang menjahilimu: berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu. Rasulullah saw. diutus membawa akhlak mulia, beliau bersabda,

 

“Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak mengerti.”

 

Dan termasuk bentuk-bentuk kedermawanan yaitu menyebarkan salam, memberi makanan, menyambung silaturahmi, shalat malam saat orang-orang tengah tidur, dan menggapai kemuliaan dengan menjauhi hal-hal haram.

 

Adapun akhlak mulia yang menjadi amalan penduduk surga di antaranya ucapan lembut yang diikuti dengan perbuatan mulia, dan membalas orang yang berbuat baik lebih dari kebaikan yang dilakukannya.

 

Orang yang berakhlak mulia berarti telah mendorongmu meminta kepadanya dan selalu minta maaf, berlawanan dengan pelaknat yang selalu membanggakan diri. Ia senantiasa melupakan kesalahan saudara-saudarnya, bergegas memenuhi hajat mereka, serta mencurahkan dunia untuk orang yang membutuhkannya. 

 

“KEHORMATAN DAN KEKAYAAN ITU KELUAR DAN BERKELILING, LALU MEREKA BERTEMU DENGAN QANA’AH, DAN MENETAP DI DALAMNYA.”

 

 

Bagian Ketiga Puluh Sembilan: Qana’ah

 

ALLAH SWT. BERFIRMAN,

 

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. an-Nahl (16): 97)

 

Sebagian besar pakar tafsir mengatakan, kehidupan yang baik (al-hayah ath-thayyibah) di dunia dalam ayat di atas adalah qana’ah karena merupakan anugerah Allah swt., Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

 

“Oana’ah adalah kekayaan yang tiada pernah sirna.”

 

Nabi saw. juga mengatakan, “Barang siapa menginginkan teman maka Allah cukup baginya. Siapa yang menginginkan penghibur maka al-Quran cukup baginya. Barang siapa menginginkan kekayaan maka qana’ah cukup baginya. siapa pun menginginkan penasihat maka kematian cukup baginya. Dan, barang siapa yang empat hal ini tidak mencukupi baginya maka neraka akan cukup baginya.”

 

Diceritakan dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda,

 

“Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi orang yang paling taat beribadah. Jadilah orang yang ganaah, pastilah engkau menjadi manusia muslim yang paling bersyukur, dan sedikitkanlah tertawa karena banyak tertawa mematikan hati.”

 

Allah swt. berfirman,

 

“Allah benar-benar akan memberikan rezeki yang baik (surga) kepada mereka.” (QS. al-Hajj (221: 58)

 

Berkenaan dengan ayat ini, ada yang mengatakan bahwa maksud ungkapan rezeki yang baik (rizqan hasana) berarti sikap qanaah.

 

Wahb berkata perihal ayat di atas, “Kehormatan dan kekayaan itu keluar dan berkeliling, lalu mereka bertemu dengan qanaah, dan menetap di dalamnya.”

 

Dalam Kitab Zabur disebutkan, “Orang yang qana’ah itu kaya, meskipun lapar. Demikian pula dalam Kitab Taurat dikatakan, “Anak Adam bersikap ganaah hingga menjadi kaya, beruzlah dari manusia hingga selamat, dan tidak dengki hingga tampak muru ‘ah-nya.

 

Ia merasa lelah sebentar, lantas menikmati istirahat panjang.” Ada yang mengatakan, “Allah swt. meletakkan lima hal pada lima tempat, kehormatan dalam taat, kehinaan dalam maksiat, kewibawaan dalam shalat malam, hikmah dalam perut yang kosong, dan kekayaan dalam ganaah.”

 

Seorang ulama berkata, “Balaslah orang yang rakus terhadapmu dengan sikap ganaah, layaknya menuntut balas terhadap musuhmu dengan gishash.” Ada juga yang mengatakan, “Barang siapa kedua matanya lelah karena melihat apa yang ada di tangan orang maka panjanglah kesedihannya.”

 

Konon dikatakan bahwa Abu Yazid mencuci bajunya di padang sahara bersama sahabatnya, lalu sahabat tersebut berkata kepadanya, “Kita gantungkan baju di atas tembok kebun anggur.” Abu Yazid pun membalas ucapannya, Janganlah kautancapkan tiang di tembok orang.” Lalu sahabat itu berkata, “Kita gantungkan di atas pohon.” Abu Yazid menjawab, “Tidak, karena itu akan merusak dahan pohon.”

 

Sahabat itu berkata lagi, “Kita bentangkan di atas rumput. Abu Yazid menjawab, “Tidak, rumput itu makanan ternak.” Akhirnya, ia hadapkan punggung ke arah matahari, sementara bajunya di atas punggung tersebut sampai kering salah satu sisinya, lalu membaliknya hingga kedua sisinya kering.”

 

 

 

 

 

 

Bagian Keempat Puluh: Tentang Peminta-minta

 

BARANG SIAPA MEMINTA-MINTA, padahal ia memiliki makanan pokok untuk satu hari, itu sama halnya telah merampok orang-orang lemah dan miskin. Barang siapa berniat mencari akhirat, Allah akan menempatkan kekayaannya di dalam hati dan menjadikannya sebagai orang kuat, sementara dunia akan mendatanginya dengan suka rela. Dan, siapa yang bertujuan mencari dunia maka Allah akan meletakkan kefakiran di depan matanya, kekuatan dan urusannya pun tercerai-berai.

 

Tidak ada dunia yang datang kepadanya selain yang sudah ditentukan untuknya. Barang siapa membuat perhatiannya menjadi satu, Allah mencukupinya dalam urusan dunia maupun akhirat. Barang siapa perhatiannya bercabang-cabang maka Allah tidak peduli di lembah manakah ia binasa. Seluruh dunia dari awal hingga akhir tak bisa menyamai satu kesedihan, terlebih umurmu yang pendek, sementara dunia yang kauraih hanya sedikit.

 

Selain itu, barang siapa ridha terhadap apa yang telah dibagikan Allah kepadanya maka Allah akan memberkahi apa yang telah dianugerahkan dan melapangkannya. Siapa yang tak mau meminta-minta berarti ia telah diberi anugetah terbaik.

 

Siapa pun yang kaubutuh terhadapnya maka rendahlah engkau di hadapannya. Jika engkau ingin hidup bebas, jangan membiasakan untuk berharap kepada yang lain, dan teguhlah dalam sifat qana’ah. Lantas, bagaimana bisa orang bebas yang mencari (murid) merendahkan diri kepada hamba, sedangkan ia telah menemukan segala yang ia inginkan di sisi Tuannya.

 

Sekiranya seseorang mengetahui apa yang ada dalam tindakan meminta-minta, tak seorang pun yang akan melakukan tindakan tersebut. Sebaliknya, andaikan orangorang mengetahui apa yang terdapat dalam hak orang yang meminta-minta, tentulah mereka tak akan pernah menolak orang yang meminta kepadanya. Tak seorang pun meminta hajat kepada seseorang, dikabulkan atau tidak, melainkan harga dirinya telah jatuh selama empat puluh hari.

 

 

 

 

Bagian Keempat Puluh Satu: Kasih Sayang terhadap Makhluk Allah

 

KETAHUILAH, KASIH SAYANG terhadap makhluk Allah berarti mengagungkan urusan Allah swt. Maka dari itu, hendaknya engkau memberikan apa yang mereka minta darimu, tidak membebani di luar kemampuan mereka, dan tidak menyapa mereka dengan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan ketahui. Selayaknya engkau bahagia atas segala hal yang menjadikan mereka bahagia, dan bersedih dengan sesuatu yang telah membuat mereka sedih.

 

Engkau berpikir bagaimana mewujudkan kepentingan keagamaan dan duniawi mereka, dan bagaimana cara menolak apa yang membahayakan urusan agama dan dunia mereka. Bahkan, seumpama seekor lalat jatuh ke wajah salah seorang dari mereka, tentu kau akan bersedih hati.

 

Oleh sebab itu, sepatutnya menjaga hati seorang mukmin secara syar’iitu lebih kausukai daripada sekian kali pergi haji dan perang. Sebaiknya kau lebih memilih kehormatan saudaramu daripada kehormatanmu sendiri, dan lebih memilih kehinaan dirimu daripada kehinaan saudaramu.

 

 

 

 

 

 

Bagian Keempat Puluh Dua : Penjelasan Perihal Bahaya Dosa

 

BERUNTUNGLAH BAGI SIAPA yang, ketika mati, mati pula dosa-dosanya. Ada yang mengatakan, “Dosa yang paling besar adalah orang yang menzalimi orang lain yang tak mengenal dan melihatnya.” Barang siapa taat kepada Allah, Dia akan menundukkan segala sesuatu kepadanya.

 

Dan, siapa yang durhaka kepada-Nya maka Dia tundukkan orang itu kepada semua hal dan menjadikan segala sesuatu menguasainya. Andaikan dalam keterusmenerusan melakukan dosa tidak ada balasan, melainkan segala hal yang menimpanya, seperti keluasan, kesempitan, sehat, dan sakit itu menjadi hukumannya, maka cukuplah itu untuknya. Sekiranya dalam meninggalkan maksiat tidak ada balasan selain kebalikannya, hal itu pun sudah mencukupinya.

 

Sesungguhnya, seorang hamba benar-benar akan terhalang rezekinya karena dosa yang ia lakukan. Laknat itu bukan berupa hitam di wajah atau berkurangnya harta, tetapi laknat adalah setiap kali orang keluar dari suatu dosa, lajatuh kembali ke dalam dosa yang sama, atau lebih buruk.

 

Karena itu, jangan sampai ketika tobat engkau lebih lemah daripada saat berbuat dosa, sepanjang engkau mengingkari bergantinya masa, saudara, dan istri. Karena dosa-dosa melahirkan itu semua.

 

Lebih dari itu, dosa-dosa itu akan melahirkan pengingkaran terhadap penciptaan binatang melata dan tikus rumah, melupakan al-Quran atau sebagian ilmu, serta bacaan al-Quran dari orang-orang merdeka.

 

Sehingga hukuman itu menjadi tempat untuk kesulitan dan keberatan. Hukuman masing-masing dari segi kesamaan sampai dalam persoalan mimpi. Bisa jadi hukuman bagi

 

dosa adalah dosa yang setimpal manakala dosa itu besar. Seperti halnya pahala ketaatan. Dan, tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah swt.

Bagian Keempat Puluh tiga: Shalat Ahlul Qurb

 

JIKA ENGKAU MEMASUKI Shalat, lupakanlah dunia beserta penghuninya. Menghadaplah kepada Allah swt. layaknya engkau menghadap kepada-Nya pada hari kiamat kelak. Ingatlah ketika kau berdiri di hadapan Allah tanpa juru bicara antara kau dan Dia. Dia menghadap kepadamu. Kau pun berbisik kepada-Nya dan mengetahui siapa dirimu di hadapan-Nya karena Dialah Sang Raja yang Mahaagung.

 

Kepada salah seorang sufi dikatakan, “Bagaimana eng

 

kau mengucapkan takbir pertama?” Ia menjawab, “Ketika mengucapkan Allahu Akbar, sertakanlah perasaan ta’zhim kepada Allah bersamaan dengan huruf alif, rasa segan bersama huruf lam, dan rasa diawasi bersama huruf ha ‘.

 

Ketahuilah, ada di antara manusia ketika mengucapkan Allahu Akbar,” ia tenggelam dalam menyaksikan keagungan. Seluruh alam semesta berada dalam angkasa keluasan dadanya, seperti sebutir biji di atas hamparan bumi. Kemudian, ia campakkan sebutir bijiitu, hingga tak merasa takut kepada bisikan maupun suara hati.

 

Bagian alam semesta yang terbayang dalam batin menjadi layaknya biji sawi yang dicampakkan. Lantas, bagaimana bisa waswas itu menekan hamba semacam ini?” Dan, Allah Mahatahu.

 

Semoga Allah swt. menjadikan kita dan kalian termasuk golongan hamba-hamba yang dekat dan ulama-Nya yang mengamalkan ilmu serta pilihan-Nya yang tulus.

 

Semoga Shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita, Muhammad saw., penutup para nabi dan pemimpin al-ghurril muhajjalin,” beserta keluarga dan para sahabat dekat, istri-istri beliau yang baik dan suci, para keturunan beliau yang tulus, serta semua nabi, rasul, dan para malaikat. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.