Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kecintaan untuk mendapatkan apa yang dicintai sebagai jalan; yang menciptakan ketaatan dan ketundukan kepada-Nya berdasarkan ketulusan cinta sebagai bukti, yang menggerakkan jiwa kepada berbagai bentuk kesempurnaan sebagai sugesti untuk mencari dan mendapatkan cinta itu; yang telah menganugerahi alam atas dan alam bawah untuk mengeluarkan kesempurnaan-Nya dari kekuatan kepada perbuatan sebagai penghamparan; yang telah membangkitkan hasrat dan minat untuk meraih tujuannya sebagai pengkhususan baginya.

 

Mahasuci Allah yang membalikkan hati seperti yang dikehendaki dan seperti yang tidak dikehendaki menurut kekuasaan-Nya; yang telah mengeluarkan segala yang hidup berdasarkan hikmah-Nya untuk kepentingannya; yang membalikkan hati menjadi beberapa bagian dan kelompok; yang menjadikan segala yang dicintai untuk kepentingan yang mencintai sebagai bagian baginya, baik yang dicintai itu benar atau salah, yang dengan cintanya itu dia dijadikan bahagia atau menderita. Mahasuci Allah yang telah membagi-bagi hati antara yang mencintai Allah, mencintai berhala, api, salib, negara, saudara, wanita, anak, harta, iman, bahasa maupun Al-Qur’an.

 

Mahasuci Allah yang telah melebihkan orang-orang yang mencintai-Nya, mencintai Kitab dan Rasul-Nya daripada seluruh pecinta. Dengan cinta dan untuk cintalah langit serta bumi diciptakan. Atas dasar cintalah semua makhluk diberi fitrahnya masing-masing. Karena cintalah seluruh planet bergerak pada garis edarnya. Dengan cintalah semua gerakan bisa mencapai tujuannya dan yang permulaan berhubungan dengan yang Penghabisan. Dengan cintalah jiwa manusia merasa beruntung karena mendapatkan tuntutan dan harapannya, terhindar dari kebinasaan dan menjadikannya sebagai jalan untuk menuju Rabb-nya. Hanya cintalah yang bisa diharapkan dan sekaligus sebagai sarana. Dengan cintalah manusia bisa memperoleh kehidupan yang layak dan mereguk kelezatan iman, karena ridha kepada Allah sebagai Rabb, |slam sebagai agama dan Muhammad sebagai Rasul.

 

Saya bersaksi bahwa tiada ilah melainkan Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, dengan suatu kesaksian yang mengakui Rububiyah dan Wahdaniyah-Nya, diiringi kepasrahan karena cinta kepadaNya, seraya menyatakan ketaatan kepada-Nya, mengakui nikmat-Nya, menghampiri-Nya karena dosa dan kesalahan, mengharap ampunan, rahmat dan maghfirah-Nya, pasrah kepada daya dan kekuatan-Nya, tanpa mencari sesembahan, penolong dan pelindung selain-Nya, hanya berlindung dan bermuara kepada-Nya, tidak beralih dari penyembahan kepada-Nya.

 

Saya juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya; sebaik-baik Makhluk-Nya; kepercayaan-Nya untuk menerima wahyu, duta antara Dia dan Makhiuk-Nya; orang yang paling dekat denganNya sebagai perantara; orang yang paling besar kedudukannya; yang paling didengar syafa’atnya; yang paling dicintai dan paling dimuliakanNya; yang diutus untuk menyeru Kepada iman; mengajak ke surga; menuntun ke jalan yang lurus; mengusahakan keridhaan dan kasih sayang-Nya; menyuruh kepada segala yang ma’ruf; mencegah dari segala yang mungkar; yang dadanya dilapangkan; yang dosa-dosanya telah diampuni. Kehinaan dan kekerdilan diberikan pada siapa pun yang menentang perintahnya. Allah bersumpah dengan kehidupannya di dalam Kitab-Nya yang berisi penjelasan, yang namanya disebutkan setelah nama-Nya. Jika asma Allah disebut, disertai dengan penyebutan namanya, seperti yang disebutkan dalam lafazh khutbah, tasyahhud dan adzan. Khutbah, tasyahhud dan adzan seseorang dianggap tidak sah sehingga dia bersaksi bahwa beliau adalah hamba dan RasulNya, dengan kesaksian yang disertai keyakinan. Disebutkan dalam sebuah sya’ir,

 

Dia yang layak menerima penutup nubuwah

bercahaya dan dipersaksikan Allah sebagai kepercayaan

asma Nabi dipertautkan dengan asma ilah

tatkala mu’adzin menyerukan adzan lima kali berkumandang

asmanya diambilkan dari asma-Nya yang terhormat

Penguasa Arsy yang terpuji dan ini adalah Muhammad

 

Beliau diutus pada masa kevakuman para rasul, lalu diberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus dan titian yang amat jelas. Beliau mengharuskan hamba untuk mencintai dan taat kepada-Nya serta memenuhi hak-hak-Nya. Semua jalan menuju ke surga ditutup dan tidak dibukakan bagi seseorang kecuali dari jalan beliau. Tidak ada harapan untuk mendapatkan pahala yang melimpah dan keselamatan dari adzab yang pedih kecuali bagi orang yang mengikuti jejak di belakang beliau. Tak seorang hamba pun yang merasa aman kecuali menjadikan beliau sebagai orang yang lebih dicintai daripada cintanya kepada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan semua manusia. Allah, para malaikat, nabi, rasul dan semua hamba yang Mukmin bershalawat kepada beliau dengan shalawat yang tidak pernah berubah, kepada kerabat yang baik dan shahabatnya yang suci.

 

Amma ba’d. .

 

Dengan keagungan puji-Nya dan kesucian asma-Nya, Allah telah menciptakan suatu kesadaran di dalam hati. Hati yang paling baik adalah yang paling sadar untuk mengikuti kebaikan dan petunjuk, dan hati yang paling buruk adalah hati yang paling sadar untuk mengikuti kesesatan dan kerusakan. Allah juga memberi kekuasaan nafsu pada hati, mengujinya dengan cara menentang nafsu, agar ia mendapatkan surga yang menyenangkan. Adapun orang yang tidak layak mendapatkan surga, akan dilempar ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Allah menjadikan hawa nafsu sebagai tunggangan jiwa yang menyuruh kepada keburukan dan santapannya serta penyakit jiwa yang tenang. Adapun obatnya adalah menentang hawa nafsu itu.

 

Kemudian Allah mewajibkan hamba agar menentang nafsu yang menyuruh kepada keburukan dan menjauhinya, dalam rentang waktu kehidupan dunia yang pendek ini, yang tak ubahnya satu detik dari waktu sehari dan semalam atau seperti air di ujung jari yang dicelupkan ke lautan, jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Nafsu syahwat harus disingkiri dan kecenderungan untuk menikmatinya harus dicegah, agar diperoleh kehormatan dan pahala yang melimpah, sehingga di kemudian hari dia bisa mereguk berbagai kenikmatan yang telah disimpan Allah baginya. Allah juga memerintahkan puasa untuk menangkal hal-hal yang diharamkan, agar fitrahnya tetap utuh tatkala bersua dengan Allah. Allah mengabarkan bahwa banyak waktu siang yang terabaikan, sementara saat bersua dengan-Nya sudah dekat.

 

Maka tak ada kesempatan untuk mengulur-ulur waktu, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah sya’ir,

 

Kehidupan ini hanya sesaat lalu sirna

semua pergi dan enyah entah ke mana

 

Surga telah dipersiapkan untuk urusan yang besar dan seruan yang agung. Surga disimpan yang di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga; tidak pula terlintas di dalam sanubari manusia, berupa kenikmatan abadi. Keputusan Allah telah ditetapkan, bahwa surga itu tidak bisa dicapai kecuali setelah melalui hal-hal yang tidak disukai dan melelahkan; tidak bisa dilewati kecuali dengan menyeberangi jembatan yang sulit dan sukar, dihadang dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, sebagai pemeliharaan baginya dari nafsu-nafsu keduniaan yang hanya menimbulkan kehinaan. Keadaan ini harus mendorong jiwa dan hasrat yang menggebu, melebur dalam perjalanan untuk menghantarkan hingga ke tujuan yang mulia. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Ada Kafilah yang berlalu menjelang malam

jalan berdebu dan malam merambat kelam

mereka menggiring hasrat menyatu dengan bumi

perjalanan pun tenggelam di balik ambisi

Bintang malam menuntun yang mereka harapkan

yang menggantung di atas bintang dan kenikmatan

dalam pemeliharaan yang tidak didapat orang lain

tak peduli celaan orang yang suka melontar celaan

 

Orang-orang yang seperti itu akan memenuhi seruan Sang Kekasih, tatkala dibacakan adzan kepada mereka, hayya alal-falah. Mereka rela mengorbankan jiwa untuk mendapatkan keridhaan-Nya dengan sepenuh hati dan terus-menerus melanjutkan perjalanan untuk mencapai-Nya, pagi maupun petang. Jika tujuan perjalanan itu sudah tercapai, mereka menyampaikan pujian. Mereka berpayah-payah sebentar dan istirahat untuk jangka waktu yang lama. Mereka meninggalkan yang hina dan mendapatkan ganti yang besar. Mereka abaikan kenikmatan dunia namun mendapatkan kKesudahan yang terpuji. Mereka melihat suatu perbuatan yang bodoh jika harus menjual kehidupan yang baik dan abadi dengan kenikmatan sesaat, yang sirna bersama sirnanya nafsu, namun penderitaannya abadi.

 

Kalau pun kenikmatan itu bisa direguk manusia sejak awal usianya hingga menutup mata, toh kenikmatan itu tak ubahnya awan yang tampak sebentar, lalu enyah entah kemana. Allah berfirman,

 

“Maka bagaimanakah pendapat kalian jika Kamt beritkan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka adzab yang telah diancamkan kepada mereka? Niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (Asy-Syu’ara: 205-207).

 

Siapa yang beruntung mendapat pahala dari Allah seperti yang diharapkannya, tentu tidak akan gundah karena berhadapan dengan hal-hal yang dikhawatirinya. Gmar bin Al-Khaththab berpantun dengan sebait syair ini,

 

Seakan-akan engkau tiada gundah meski sekali

jika engkau tahu apa yang sedang dicari

 

Ini merupakan buah pikiran, yang karenanya Allah bisa diketahui, begitu pula asma, sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan-Nya. Dengan buah pikiran ini pula orang-orang Mukmin beriman kepada Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari perjumpaan dengan-Nya dan para Malaikat-Nya. Dengan buah pikiran itu bisa diketahui pula ayatayat RububiyahNya, dalil-dalil Wahdaniyah-Nya serta mukjizat RasulRasul-Nya. Dengan buah pikiran itu perintah-perintah-Nya diikuti dan larangan-larangan-Nya dijauhi. Buah pikiran itulah yang menampakkan bagaimana kesudahan di kemudian hari, sehingga perlu ada perhatian dan kewaspadaan; sehingga setiap diri bisa melakukan apa pun yang bermaslahat baginya; siap menghadapi hawa nafsu dan menghadang pasukannya, membantu kesabaran, menganjurkan kepada keutamaan, melarang dari kehinaan, menyibakkan makna, mengenyahkan kerumitan, menguatkan ambisi hingga dia berdiri kokoh di atas pokoknya, menguatkan keteguhan hati hingga mendapatkan taufiq Allah. Yang baik bisa diperoleh dan yang buruk bisa dienyahkan.

 

Jika kekuasaan buah pikiran terjun ke kancah, ia mampu menawan pasukan hawa nafsu dan mengerangkengnya di penjara. Siapa yang meninggalkan hawa_nafsu, Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik, lalu meninggikan pelakunya ke kursi kekuasaan.

 

Jika nafsu ditaklukkan layaknya hamba sahaya, maka ia akan menjadi pohon yang sari makanannya pikiran, cabangnya kesabaran, rantingnya ilmu, daunnya akhlak yang baik, buahnya hikmah dan batangnya taufiq serta terhindar dari krisis.

 

Jika seperti ini keadaannya, maka sungguh amat buruk jika dia masih bisa dikalahkan musuhnya, sehingga dia turun dari kekuasaannya dan melorot dari kedudukannya, lalu menjadi tawanan yang sebelumnya adalah pemimpin; menjadi rakyat jelata yang sebelumnya adalah penguasa; menjadi pengikut yang sebelumnya adalah orang yang diikuti.

 

Siapa yang sabar terhadap hikmah Allah, maka Dia akan menempatkannya di taman-taman kenikmatan seperti yang diharapkannya, dan siapa yang keluar dari hikmah-Nya, maka Dia akan melemparkannya ke jurang Kebinasaan.

 

Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, “Ada beberapa golongan orang yang lebih dahulu masuk ke surga Adn. Mereka bukan termasuk orang yang banyak melakukan shalat, puasa, haji maupun umrah, tetapi mereka senantiasa memikirkan peringatan-peringatan Allah, lalu hatinya menjadi bergetar, jiwanya menjadi tenang karena bersandar kepada-Nya dan anggota-anggota tubuhnya tunduk kepadaNya. Kedudukan mereka lebih tinggi dari orang lain tatkala hidup bersama manusia di dunia maupun di sisi Allah di akhirat.”

 

Gmar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, “Orang berakal itu bukan orang yang bisa membedakan yang baik dari yang buruk, tetapi yang bisa mengetahui mana yang lebih baik dari dua Keburukan.”

 

Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Beruntunglah orang yang menjadikan Allah sebagai akalnya.”

 

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, “Anaknya Kisra lahir. Lalu beberapa guru dipanggil dan bayi itu dititipkan kepada seorang guru. Kisra bertanya, Apakah yang paling baik pada diri anak ini?’

 

Guru itu menjawab, Akal yang dilahirkan bersamanya.’

 

Kisra bertanya, Jika tidak ada akal itu?’

 

Guru menjawab, Adab yang baik untuk bergaul dengan manusia.’

 

Jika tidak ada adab itu?’ tanya Kisra.

 

‘Guru menjawab, Akan ada petir yang menyambarnya’.”

 

Sebagian ulama berkata, “Tatkala Allah menurunkan Adam ke muka bumi, maka Jibril menyodorkan tiga hal kepadanya, yaitu agama, akhlak dan akal. Jibril berkata, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh agar engkau memilih di antara tiga hal ini.’

 

Adam berkata, ‘Wahai Jibril, saya tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari tiga hal itu melainkan ia berada di surga.’ Lalu Adam mengulurkan tangannya memilih akal, lalu merengkuhkannya ke dirinya, lalu berkata kepada dua yang lain, ‘Naiklah kembali ke atas!’

 

Keduanya berkata, ‘Kami diperintahkan untuk menyertai akal, seperti apa pun keadaannya’.”

 

Maka tiga hal itu menyertai Adam, dan tiga hal ini pula merupakan kemuliaan paling tinggi dan karunia paling besar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Namun ketiga-tiganya juga dibuatkan musuh, yaitu hawa nafsu, syetan dan jiwa yang menyuruh kepada keburukan. Peperangan antara kedua belah pihak terus-menerus berkecamuk tiada henti. Namun begitu Allah telah menetapkan,

 

“Dan, kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran: 126).

 

Wahab bin Munabbih berkata, “Syetan merasa paling kesulitan jika menghadapi orang Mukmin yang berakal. Dia bisa menggiring seratus Orang bodoh, menuntun mereka dan bahkan menunggang di atas bahu mereka, lalu membawa mereka ke mana pun yang dia kehendaki. Dia benar-benar merasa kesulitan berhadapan dengan orang Mukmin yang berakal dan membujuknya, sekalipun untuk mendapatkan sedikit apa yang dibutuhkan darinya.”

 

Dia juga berkata, “Merontokkan gunung dari sebongkah batu demi sebongkah lebih mudah bagi syetan daripada membujuk orang Mukmin yang berakal. Jika dia benar-benar tidak mampu menghadapinya, maka dia beralih kepada orang bodoh lalu menawannya. Syetan bisa menuntunnya hingga menjerumuskannya kepada berbagai macam kehinaan yang dirasakan di dunia, seperti mendapat hukuman rajam, dipotong tangannya, disalib dan kehinaan-kehinaan yang lain. Sementara di akhirat dia akan mendapat neraka dan aib yang sangat menghinakan. Boleh jadi dua orang sama dalam kebaikannya namun ada perbedaan yang memilahkan keduanya, seperti pemilahan antara timur dan barat, hanya karena akalnya. Allah tidak disembah dengan sesuatu yang lebih baik daripada dengan akal.”

 

Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu berkata, “Andaikata orang yang berakal itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa-dosa itu. Andaikata orang yang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.”

 

Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

 

Dia menjawab, “Sesungguhnya jika orang yang berakal itu terGelincir, maka dia segera menyadarinya dengan cara bertaubat dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya. Karena kebodohannya dia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal shalihnya.”

 

Al-Hasan berkata, “Agama seseorang tidak menjadi sempurna kecuali dengan kesempurnaan akalnya. Allah tidak memberikan akal kepada seseorang melainkan suatu hari Dia akan menyelamatkannya dengan akal itu.”

 

Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa yang akalnya bukan merupakan sesuatu yang paling dominan, maka dia akan mati dan binasa karena sesuatu yang paling dicintainya.”

 

Yusuf bin Asbath berkata, “Akal adalah pelita yang tidak tampak, hiasan yang tampak, pengatur badan dan pemantau urusan hamba. Kehidupan tidak akan membaik tanpa akal dan urusan tidak akan berjalan normal kecuali berdasarkan akal.”

 

Abdullah bin Al-Mubarak pernah ditanya,

“Apakah sesuatu paling baik yang diberikan kepada seseorang setelah Islam?”

Dia menjawab, “Naluri akal.”

‘Jika tidak begitu>?”

Dia menjawab, “Adab yang baik.”

‘Jika tidak begitu>?”

Dia menjawab, “Saudara yang baik adalah yang bisa dimintai pendapatnya.”

‘Jika tidak begitu>?”

Dia menjawab, “Banyak diam.”

‘Jika tidak begitu>”

Dia menjawab, “Lebih baik segera mati.”

 

Dikatakan dalam sebuah sya’ir tentang hal ini,

Allah tiada memberi anugerah kepada manusia

lebih baik dari akal dan adabnya

keduanya adalah keindahan pemuda

jika tiada, kematian lebih baik baginya

 

Apabila kekuasaan berada di tangan akal, maka hawa nafsu akan tunduk kepadanya, menjadi pelayan dan pengikutnya. Sebaliknya, jika kekuasaan berada di tangan hawa nafsu, maka akal menjadi tawanan dan bawahannya. Mengingat manusia tidak mungkin melepaskan diri dari hawa nafsu selagi masih hidup, karena memang hawa nafsu merupakan bagian dari dirinya, maka tidak mungkin dia melepaskan diri darinya secara total. Tetapi yang diperintahkan kepadanya adalah mengalihkan hawa nafsu itu dari kenikmatan-kenikmatan yang merusak ke tempat-tempat yang aman dan selamat.

 

Sebagai gambaran, Allah tidak memerintahkannya agar menutup hatinya untuk tidak menyenangi wanita secara total. Tetapi Allah memerintahkannya untuk membawa hawa nafsu itu kepada pernikahan dengan seorang wanita, dua, tiga hingga empat atau menikahi hamba sahaya menurut kehendaknya. Jadi saluran nafsu itu beralih dari satu tempat ke lain tempat.

 

Begitu pula nafsu untuk mengalahkan dan menundukkan. Allah tidak memerintahkan manusia untuk keluar dari nafsu ini, tetapi memerintahkannya untuk mengalihkan nafsu itu, dengan cara mengalahkan dan menundukkan kebatilan serta para pendukungnya. Allah juga memerintahkan macam-macam kemenangan yang bisa diperoleh dengan cara berlomba dan bertanding.

 

Nafsu menyombongkan diri dan membangga-banggakan diri juga diperbolehkan, dan bahkan dianjurkan, seperti tatkala memerangi musuh Allah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melihat Abu Dujanah Simak bin Kharasah Al-Anshary yang bersikap secara pongah di antara dua pasukan. Lalu beliau bersabda, “Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah kecuali di tempat seperti ini.”

 

Beliau juga pernah bersabda,

 

“Sesungguhnya di antara kesombongan itu ada yang dicintai Allah dan di antaranya lagi ada yang dibenci Allah. Yang dicintai-Nya adalah kesombongan seseorang di medan perang, tatkala bershadaqah dan menyebutkan hadits.”

 

Allah tidak mengharamkan sesuatu atas hamba-Nya melainkan Dia akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Seperti Allah yang mengharamkan penetapan suatu pilihan dengan menggunakan beberapa batang anak panah yang tidak ada bulunya, lalu menggantinya dengan doa istikharah. Allah mengharamkan riba dan menggantinya dengan perdagangan yang mendatangkan laba. Allah mengharamkan perjudian dan menggantinya dengan usaha mendapatkan harta lewat perlombaan yang mendatangkan manfaat, baik dalam masalah agama, menunggang kuda dan onta atau kemahiran memanah. Allah mengharamkan sutera (bagi kaum laki-laki) dan menggantinya dengan berbagai jenis pakaian dari bulu dan katun. Allah mengharamkan zina dan homoseks, dan menggantinya dengan pernikahan dengan wanita mana pun yang disenangi. Allah mengharamkan lantunan alat-alat musik dan menghalalkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. Allah mengharamkan makanan-makanan yang kotor dan menggantinya dengan makanan-makanan yang baik.

 

Siapa yang bisa menangkap isyarat ini dan mengamatinya, tentu mudah baginya untuk meninggalkan nafsu yang hina, lalu menggantinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Di samping itu, dia bisa mengetahui hikmah Allah rahmat dan kesempurnaan nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya, dalam perkara-perkara yang diperintahkan, dilarang dan dimubahkan bagi mereka. Allah tidak memberikan suatu perintah kepada mereka karena merasa membutuhkan mereka dan tidak menyampaikan suatu larangan kepada mereka karena merasa kikir terhadap mereka. Tetapi Allah memberikan perintah kepada mereka karena sebagai perwujudkan kebaikan dan rahmat, menyampaikan larangan kepada mereka karena hendak menjaga dan melindungi mereka dari hal-hal yang berbahaya.

 

Berangkat dari sinilah saya menyusun buku ini, dengan meletakkan ikatan keseimbangan antara nafsu dan akal. Jika ikatan keseimbangan antara keduanya sudah tercipta, tentu tidak sulit bagi seseorang untuk memerangi hawa nafsu dan syetan. Sesungguhnya hanya Allah yang layak dimintai pertolongan dan kepada-Nya harus bertawakkal. Kalau pun di dalam buku ini yang benar, maka itu datang dari Allah yang memberikan taufiq dan inayah; dan sekiranya ada yang salah, maka itu datang dari saya dan dari syetan, sedangkan Allah dan RasulNya terlepas dari kesalahan itu.

 

Buku ini saya bagi menjadi dua puluh sembilan bab:

 

Bab I : Istilah-istilah cinta

Bab II : Penggunaan istilah-istilah cinta dan makna masing-masing

Bab III : Kaitan antara istilah-istilah cinta

Bab IV : Penciptaan alam atas dan alam bawah karena ada cinta

Bab V : Motif dan pendorong cinta

Bab VI : Hukum-hukum pandangan mata dan dampak terhadap pelakunya

Bab VII : Dialog antara hati dan mata

Bab VIII : Syubhat yang dijadikan alasan orang-orang yang membolehkan memandang sesuatu yang haram dipandang

Bab IX : Tanggapan dan jawaban

Bab X : Hakikat cinta buta, sifat-sifatnya dan pendapat manusia

Bab XI : Apakah cinta buta itu tumbuh karena inisatif ataukah karena ketetapan takdir

Bab XII : Mabuk asmara

Bab XIII : Kenikmatan bergantung kepada cinta

Bab XIV : Para pemuja cinta

Bab XV  : Golongan yang mencela cinta

Bab XVI : Keputusan hukum tentang dua golongan dan menuntaskan perbedaan di antara keduanya

Bab XVII : Anjuran memilih hal-hal yang baik untuk mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya

Bab XVIII : Obat orang-orang yang dimabuk cinta, hubungan yang diperbolehkan Allah

Bab XIX : Keutamaan keindahan dan kecenderungan jiwa menyenangi keindahan

Bab XX : Tanda-tanda cinta

Bab XXI : Cinta menuntut penunggalan kekasih tanpa memadunya dengan yang lain

Bab XXII : Kecemburuan orang-orang yang jatuh cinta terhadap kekasihnya.

Bab XXIII : Kesucian orang-orang yang dimabuk cinta kala bersanding dengan kekasih hati

Bab XXIV : Melanggar jalan yang diharamkan dan kerusakan yang diakibatkannya

Bab XXV : Kasih sayang orang-orang syafa’at bagi sang kekasih yang Jatuh cinta dan

Bab XXVI : Meninggalkan sesuatu yang dicintai karena hukumnya haram dan menggantinya dengan yang halal

Bab XXVII : Orang yang meninggalkan kekasih yang diharamkan baginya, lalu diganti Allah dengan yang lebih baik lagi

Bab XXVIII : Orang yang lebih mementingkan siksa dan penderitaan dunia daripada hubungan yang diharamkan

Bab XXIX : Celaan terhadap nafsu.

 

Siapa pun yang hendak menyimak buku ini hendaknya berkenan memaafkan pengarangnya, karena dia menyusun buku ini di tempat yang jauh dari tempat tinggalnya dan juga tidak membawa buku-bukunya. Apa pun yang terlintas di dalam benaknya dan usaha yang telah dilakukannya, ditunjang dengan barang-barangnya yang tidak seberapa berharga, maka hal ini bisa diibaratkan seperti dalam pepatah, “Lebih baik mendengar daripada melihat”.

 

Sekalipun begitu dia telah menempatkan dirinya sebagai sasaran orang yang hendak membidikkan anak panahnya dan melayangkan serangan. Biarlah pembacanya untung dan biarlah pengarangnya rugi.

 

Inilah barang dagangannya yang ditawarkan kepada Anda. Jika kebetulan Anda melihat ada yang memadai di dalamnya, maka hal itu tidak akan menghalangi perceraian dengan cara yang ma’ruf atau rujuk dengan cara yang baik. Jika Anda mendapatkan selain itu, maka Allahlah yang layak dimintai pertolongan. Allah ridha terhadap manharnya, berupa doa yang tulus. Jika Anda setuju, maka silahkan diterima, atau Anda bisa menolak dengan cara yang baik jika ada yang tidak baik dan tidak layak. Orang yang adil adalah orang yang mau menunjukkan kesalahan orang yang salah karena dia betul dan menunjukkan keburukannya karena dia baik. Ini merupakan sunnatullah yang berlaku pada diri hamba-hamba-Nya untuk memberikan pahala dan balasan.

 

Tapi siapakah orang yang semua perkataannya lurus dan semua amalnya benar? Yang demikian ini hanya terjadi pada diri orang yang ma’shum, yang tidak berkata karena keinginan dirinya sendiri, yang perkataannya merupakan wahyu yang diturunkan kepadanya. Riwayat shahih yang berasal darinya adalah penukilan yang benar dari orang yang ma’shum, sedangkan yang berasal dari selainnya mempunyai dua ketetapan. Jika penukilannya benar-benar berasal darinya, maka tidak menjamin orang yang mengatakannya ma’shum, dan jika tidak benar berasal darinya, berarti itu pun tidak diyakini berasal darinya.

 

Buku ini layak dikonsumsi semua jenjang usia, bisa membantu dalam urusan agama dan dunia; bisa mendatangkan kenikmatan di dunia dan di akhirat. Di dalamnya disebutkan pembagian-pembagian cinta, hukum-hukum dan kaitan-kaitannya, cinta yang benar dan cinta yang rusak, buruk dan mendatangkan bencana, sebab-sebab dan penghalangnya, yang semuanya ditunjang dengan butir-butir tafsir ayat, hadits-hadits Nabawy, masalah-masalah fiqih, atsar orang-orang salaf, sya’ir dan gejala-gejala alam, sehingga diharapkan bisa memberikan kepuasan bagi pembaca dan pesona bagi yang melihatnya.

 

Di dalamnya terdapat keseriusan yang bisa memberi peringatan dan ancaman, namun di dalamnya juga terkandung kelakar yang menghibur, sehingga kadang-kadang membuat pembaca tersenyum dan kadang membuatnya menangis. Di satu sisi kandungan buku ini menyingkirkan sebab-sebab kenikmatan yang fana, dan di lain sisi menganjurkan untuk mendapatkan sebab-sebab kenikmatan itu. Jika engkau menghendaki, engkau bisa melihat buku ini sebagai pemberi nasihat dan peringatan; dan jika engkau menghendaki, engkau bisa mendapatkan di dalam buku ini kenikmatan yang bisa menghantarkan kepada sang kekasih. Tentu saja jika jalannya melalui pintu yang semestinya. Sesungguhnya Allahlah yang membuka setiap pintu untuk kebaikan.

 

Pengarang hanya memohon kepada Allah agar menjadikan penyusunan buku ini semata karena mengharap keridhaan-Nya, yang dengan keridhaan-Nya bisa mendekatkan diri ke surga yang penuh kenikmatan.

 

“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kalian, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu, dan kalian akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” (At-Taubah: 105).

 

Karena pengertian manusia tentang istilah cinta ini sangat mendalam dan lebih banyak berkaitan dengan hati mereka, maka tidak heran jika nama-nama lain untuk istilah cinta juga cukup banyak. Ini masalah yang amat lumrah dalam sesuatu yang dipahami secara mendalam atau rentan bagi hati manusia, sebagai perwujudan pengagungan atau perhatian atau luapan kecintaan kepadanya. Yang pertama, seperti singa dan pedang; yang kedua, seperti bencana besar; dan yang ketiga, seperti arak yang memabukkan. Tiga pengertian ini menyatu di dalam cinta. Sehingga tidak heran jika mereka mempunyai hampir enam puluh istilah untuk cinta, yaitu:

 

  1. [ ] : kasih sayang
  2. [ ] : cinta, hubungan, segumpal darah
  3. [ ] : hasrat, keinginan
  4. [ ] : kerinduan
  5. [ ] : kerinduan yang halus, cinta yang membara
  6. [ ] : cinta yang mendalam, birahi yang meluap
  7. [ ] : cinta
  8. [ ] : cinta yang berbuntut kesedihan
  9. [ ] : cinta yang mendalam
  10. [ ] : penghambaan
  11. [ ] : cinta yang meluap-luap
  12. [ ] : cinta yang membara
  13. [ ] : sakit karena cinta
  14. [ ] : cinta yang berakhir dengan kegelisahan atau kesedihan
  15. [ ]: rindu
  16. [ ] : cinta yang mengecoh
  17. [ ] : hati yang gundah gelisah
  18. [ ] : derita karena rindu yang membara
  19. [ ] : cinta yang berakhir dengan sesal dan rasa sedih, bodoh, lalai, mabuk
  20. [ ] : kepedihan, kesengsaraan
  21. [ ] : takut gemetar
  22. [ ] : pilu, membutuhkan
  23. [ ] : terbakar, hangus
  24. [ ] : merana karena sedih
  25. [ ] : derita cinta
  26. [ ] :kesedihan
  27. [ ] : kesedihan yang terpendam di dalam hati
  28. [ ] : terbakar api
  29. [ ] : gejala cinta
  30. [ ] : sulit tidur
  31. [ ] : tidak dapat tidur

32, [ ]: sedin

  1. [ ] : kerinduan, kasih sayang
  2. [ ] :tunduk
  3. [ ] : derita cinta
  4. [ ] : terbakar kerinduan
  5. [ ] : ujian, cobaan
  6. [ ] : gila, tidak waras
  7. [ ] : agak sinting, setengah gila
  8. [ ] : binasa
  9. [ ] : teguh, tegar
  10. [ ] : penyakit yang merasuk
  11. [ ] : kasih yang tulus
  12. [ ] : satu cinta
  13. [ ] :sahabat
  14. [ ] : cinta yang dibutuhkan
  15. [ ] : sangat dahaga
  16. [ ] : gila, linglung
  17. [ ] : gila atau bingung

50 [ ] : penghambaan

 

Masih banyak istilah-istilah lainnya lagi, namun sebenarnya tidak termasuk dalam kategori istilah cinta. Jadi hanya sekedar hukum-hukum cinta dan tuntutannya, sehingga tidak perlu saya sebutkan di sini.

 

  1. Kasih Sayang (Al-Mahabbah) asalnya adalah ‘bening’ dan ‘bersih’. Sebab bangsa Arab menyebut istilah ‘bening’ ini untuk gigi yang putih. Ada pendapat lain, yang diambilkan dari kata al-habab, yaitu ‘air yang meluap setelah turun hujan yang lebat’. Dari sini dapat diartikan bahwa al-mahabbah adalah luapan hati dan gejolaknya saat dirundung keinginan untuk bertemu dengan sang kekasih. Ada pula yang mengartikannya ‘tenang’ dan ‘teguh’, seperti onta yang tenang dan tidak mau bangun lagi setelah menderum. Seorang penyair berkata,

 

Satu cambukan mengenai onta

cambukan tatkala ia menderum

 

Jadi, seakan-akan orang yang mencinta itu telah mantap hatinya terhadap orang yang dicintai dan tidak terbetik untuk beralih darinya. Tapi, ada yang justru mengartikan sebaliknya, yaitu gundah yang tidak tetap. Maka anting-anting disebut dengan kata hiba, karena ia tidak pernah diam dan tetap berada di telinga. Seorang penyair berkata,

 

Ular tidak pernah diam

di tempat siap menerkam

 

Ada pula yang berpendapat bahwa kata al-mahabbah berasal dari al-habbu, artinya ‘inti sesuatu’, ‘biji tanaman’ atau ‘pepohonan dan asal muasalnya’. Tapi ada yang mengartikannya gelas besar untuk mencampur sesuatu agar muat banyak. Hati orang yang mencinta tidak mempunyai tempat yang lapang, kecuali bagi orang yang dicintainya.

 

Ada yang mengartikannya ‘usungan bejana’ atau lainnya, yang menjamin keamanannya. Cinta diartikan seperti ini karena orang yang mencinta mau memikul beban yang berat demi orang yang dicintainya, seperti usungan yang dibebani barang yang diletakkan di atasnya.

 

Ada pula yang berpendapat, kata ini berasal dari ‘buah hati’. Cinta dinamakan seperti ini karena cinta itu bisa sampai ke buah hatinya. Hal ini serupa dengan perkataan manusia, “Memunggungi jika punggung beradu punggung; mengepalai jika kepala beradu kepala; membatin jika batin beradu batin.” Tetapi perbuatan ini terjadi jika kedua belah saling aktif. Sedangkan dalam cinta, pengaruhnya saja yang sampai kepada orang yang dicintai.

 

Yang pasti di sini ada dua asal kata kerja: habba dan ahabba. Seorang penyair berkata,

 

Aku mencintai Abu Marwan karena kormanya

kutahu kelembutan akan berbuah kelembutan pula

demi Allah, aku tiada mencinta jika tiada korma

tidak lebih dekat dengan budak dan orang merdeka

 

Al-Jauhary merubah bacaan kata habba dan memadukan antara dua asal kata itu. Tapi untuk kata kerja dan kata subyeknya manusia lebih cenderung menggunakan kata yang terdiri dari empat huruf, seperti ahabba yuhibbu huwa muhibbun. Sedangkan untuk kata obyek penderitanya mereka menggunakan asal kata fa’ala (terdiri dari tiga huruf), sehingga menjadi mahbubun, dan mereka tidak mengatakan muhabbun (bentukan dari empat huruf). Seorang penyair berkata,

 

Kini engkau sudah datang

dan jangan engkau ragukan

diriku sebagai orang yang layak dicintai

dan memiliki kehormatan diri

 

Kata al-muhabb ‘orang yang dicintai’ berasa! dari kata kerja af’ala. Sedangkan habib lebih banyak digunakan dengan pengertian al-mahbub ‘yang dicintai’. Seorang penyair berkata,

 

Kuhampiri malam hari

agar menjadi kekasih hati

tiada hutang yang ada

justru aku mencarinya

 

Namun kadangkala mereka juga menggunakan kata itu dengan pengertian al-muhibb ‘orang yang mencinta’.

 

Jadi kata habib bisa diartikan orang yang dicintai dan bisa diartikan orang yang mencintai. Sedangkan kata al-hibbu dengan mengkasrahkan huruf ha’ juga sama artinya dengan al-hubbu. Namun tidak jarang diartikan orang yang dicintai atau kekasih. Bentukan kata ini seperti kata dzibhun yang berarti madzbuh ‘yang disembelih’. Jadi ada persekutuan antara kata subyek dan kata obyek. Abu Ubaid berkata, “Kata stbbun artinya adalah ‘orang yang banyak mencela’.” Hassan berkata di dalam syairnya,

 

Jangan engkau mencelaku

hanya orang mulia yang layak mencelaku

 

Bentukan kata seperti ini bisa menyekutukan antara mashdar dan kata obyek, seperti kata rizqqun. Namun dengan dibaca al-hubb terkandung isyarat yang lembut. Bacaan al-hibbu terasa lebih enteng. Sementara dengan dibaca al-mahbub terasa lebih pas di hati.

 

Banyak pendapat tentang batasan makna kata al-mahabbah. Ada yang berpendapat, artinya adalah kecenderungan secara terus-menerus, dengan disertai hati yang meluap-luap. Ada yang berpendapat, artinya mendahulukan kepentingan orang yang dicintai ketimbang hal-hal fain di sekitarnya. Ada yang berpendapat, artinya menuruti Keinginan orang yang dicintai, baik tatkala sang kekasih ada di sampingnya atau tidak ada di sampingnya. Ada yang berpendapat, artinya menyatukan keinginan orang yang mencintai dan orang yang dicintai. Ada yang berpendapat, artinya mendahulukan keinginan orang yang dicintai. Ada yang berpendapat, artinya pengabdian.

 

Ada yang berpendapat, artinya menyedikitkan yang banyak dan memperbanyak yang sedikit demi orang yang dicintai. Ada yang berpendapat, artinya hati orang yang mencintai tak terbendung untuk tidak mengingat orang yang dicintai. Ada yang berpendapat, artinya yang hakiki ialah menyerahkan apa pun yang ada pada dirimu kepada orang yang dicintai, sehingga tidak ada lagi yang menyisa. Ada yang berpendapat, artinya engkau harus menyingkirkan apa pun yang ada di dalam hatinya kecuali orang yang dicintai. Ada yang berpendapat, artinya kecemburuan terhadap orang yang dicintai, seandainya kehormatannya ada yang berkurang.

 

Ada yang berpendapat, artinya keinginan yang tak pernah berkurang Karena kekeringan dan tidak bertambah karena basah. Ada yang berpendapat, artinya menjaga batas. Jadi tidak benar orang yang mengaku mencintai namun dia melanggar batas. Ada yang berpendapat, artinya engkau rela mengerjakan apa pun yang disenangi orang yang dicintai. Ada yang berpendapat, artinya tidak boleh lalai apa pun yang terjadi, seperti yang dikatakan seorang penyair,

 

Siapa punya keinginan dan melalaikan

mana mungkin dia bisa merasakannya

 

Ada yang berpendapat, artinya bara yang membakar hati karena keinginan orang yang dicintai. Ada pula yang berpendapat, artinya mengingat sang kekasih sebanyak napas yang berhembus, sebagaimana yang dikatakan penyair,

 

Dia ingin engkau Ialai

tapi ingatan tetap terpatri

 

Ada yang berpendapat, artinya hati yang buta untuk melihat selain orang yang dicintai, tuli untuk mendengar selainnya, seperti yang dikatakan dalam sebuah hadits,

 

“Kecintaanmu kepada sesuatu bisa membuat buta dan tuli.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Ada pula yang berpendapat, artinya kecenderungan secara total kepada orang yang dicintai, kemudian engkau rela mengorbankan diri, nyawa dan hartamu demi dirinya, kemudian engkau mengikutinya secara sembunyi atau terang-terangan. Ada yang berpendapat, artinya usahamu untuk membuat sang kekasih menjadi ridha. Ada yang berpendapat, artinya tenang tapi gundah, gundah tapi tenang. Hati menjadi gundah kecuali setelah berdekatan dengan sang Kekasih, hati menjadi gundah Karena rindu kepadanya, dan menjadi tenang tatkala berdekatan dengannya. Inilah makna perkataan mereka, al-mahabbah adalah gerakan hati yang tiada henti mengingat sang kekasih dan ketenangannya tatkala bersanding dengannya. Ada yang berpendapat, artinya berdampingan dengan orang yang dicintai selama-lamanya, seperti yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Aku merasa aneh terhadap diriku

karena aku mencintai mereka

kutanya setiap orang yang berlalu

padahal mereka bersanding bersama

mataku mencari-cari selalu

padahal mereka tetap di tempatnya

hatimu dirundung rindu

padahal mereka ada di antara tulang iga

 

Ada yang berpendapat, artinya orang yang dicintai harus lebih dekat dengan orang yang mencintai, ketimbang dengan ruhnya sendiri, seperti yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Wahai yang bersemayam di dalam rasa dan diriku

engkau jauh dari pengliatan dan pandangan

engkau adalah ruhku jika aku tak memandangmu

dia lebih dekat denganku dari segala yang berdekatan

 

Ada yang berpendapat, artinya keinginan agar yang dicintai selaly hadir di sisi orang yang mencintai, seperti yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Angan-angan tentang dirimu ada di mataku

ingatan tentang dirimu ada di mulutku

tempat kembalimu ada di hatiku

tapi ke manakah engkau hilang dariku?

 

Ada yang berpendapat, artinya harus ada keseimbangan antara jauh dan dekatnya orang yang dicintai dengan orang yang mencintai,

 

sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,

Wahai yang bersemayam di antara perut dan iga

sekalipun tempat tinggalnya berjauhan dariku kasih sayang tercurah untuk senantiasa mencinta

jika engkau tiada menggapainya ia kan membumbung

 

Ada yang berpendapat, artinya keteguhan hati terhadap orang yang dicintai dalam menghadapi canda dan menganggap kritikan serta celaan sebagai angin lalu, sebagaimana yang dikatakan dalam syair, .

 

Keteguhanku berdiri tegar bersama dirimu

aku tiada peduli yang datang dahulu atau kemudian

engkau membuatku tak peduli dan memang aku begitu

terhadap orang yang menghinamu atau memuliakan

kucintai mereka dan seakan-akan engkau musuhku

bersamamu dan bersama mereka sama-sama ada kebahagiaan

ada kenikmatan karena celaan mereka karena mencintaimu

biarkan mencercaku mereka yang suka melancarkan cercaan

 

  1. Cinta, Hubungan, Segumpal Darah (Al-Alagah)

 

Al-Alagah bisa juga disebut al-alaq, seperti bentuk al-falaq, yang juga termasuk salah satu istilah cinta. Menurut Al-Jauhary, al-alaq juga berarti ‘nafsu’, seperti jika dikatakan, “Pandangan yang dimuati nafsu.” Seorang penyair berkata,

 

Kuingin bersabar menghadapi dirimu

tapi nafsu yang terpendam lama menghalangiku

 

Bisa juga dibaca al-aliqu, yang berarti ‘mencintai dengan segenap hati’. Cinta disebut dengan kata al-alaqah ‘hubungan’’, karena hati selalu ingin berhubungan dengan orang yang dicintai. Dikatakan dalam sebuah syail,

 

Hubungan antara ibu dan sang putra

laksana uban yang bercampur rambut yang hitam

 

  1. Hasrat, Nafsu, Keinginan (Al-Hawa)

 

Al-Hawa adalah kecenderungan jiwa kepada sesuatu, bentukan dari kata hawiya yahwa hawan, seperti bentuk amiya ya’ma aman. Sedangkan hawa yahwi artinya ‘jatuh’, mashdar-nya ialah al-huwiyyu. Disebut al-hawa, karena ada hasrat dan keinginan terhadap orang yang dicintai. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Yang berhasrat merebut hatimu telah bosan lalu hasratmu dicipta seperti yang engkau inginkan Jika dikatakan, “Inilah hasrat Fulan dan Fulanah menjadi hasrat Fulan.” Artinya Fulanah itu menjadi orang yang diinginkan Fulan dan orang yang dicintainya. Namun istilah al-hawa ini seringkali dikonotasikan untuk istilah cinta yang tercela, seperti firman Allah,

 

“Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan dirt dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (An-Nazi’at: 40-41).

 

Cinta disebut dengan istilah al-hawa ‘nafsu’’ atau ‘hasrat’, karena cinta menjadi nafsu dan hasrat orang yang memilikinya. Namun adakalanya istilah al-hawa juga digunakan untuk cinta yang terpuji sekalipun dengan batasan tertentu, seperti sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman sehingga hasratnya mengikuti apa yang kubawa.” Di dalam Ash-Shahithain disebutkan dari Urwah, dia berkata, “Khaulah binti Hakim termasuk wanita yang memasrahkan dirinya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Lalu Aisyah berkata, “Tidak malukah seorang wanita memasrahkan dirinya kepada seorang laki-laki?”

 

Tatkala turun ayat, “Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu). . .”, saya berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak melihat Rabb engkau melainkan Dia ingin segera memenuhi hasrat engkau.”

 

Dalam kisah para tawanan Perang Badar, Umar bin Al-Khaththab berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berhasrat terhadap pendapat Abu Bakar dan tidak berhasrat terhadap pendapatku.” (Diriwayatkan di dalam Shahih Muslim).

 

Dalam As-Sunan disebutkan bahwa ada seorang Araby yang berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Saya datang untuk bertanya kepada engkau tentang nafsu.”

 

Lalu beliau bersabda, “Seseorang itu bersama orang yang dicintainya.”

 

  1. Kerinduan (Ash-Shabwah)

 

Ash-Shabwah juga termasuk istilah cinta. Dikatakan di dalam AshShahhah, ash-shabwah termasuk jenis kerinduan. Jika dikatakan, “Tashaba wa shaba yashbu shabwah wa’shubuw”, artinya condong kepada kebodohan. Jika dikatakan, “Ashbathul-jariyatu wa shabiya shaba’an”, artinya bermain-main dengan anak-anak.

 

Menurut pendapat saya, asal makna kata ini adalah condong, seperti jika dikatakan, “Shaba ila kadza”,.artinya condong kepada sesuatu. Cinta disebut dengan istilah shabwah, karena pelakunya condong kepada wanita yang bersifat kekanak-kanakan. Jama’nya shabaya seperti mathaya dari kata mathiyyah. Sedangkan tashaba artinya ‘saling condong’.

 

Perbedaan antara ash-shiba, ash-shabwah, at-tashaba, bahwa ash-shiba adalah kecenderungan itu sendiri, at-tashaba adalah saling memberi kecenderungan, sedangkan ash-shabwah adalah bilangan kecenderungan itu. Tapi juga bisa diartikan sebagai sifat seperti kata alqaswah. Kata ini disebutkan dalam perkataan Yusuf Alaihis-Salam,

 

“Dan, jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tlpu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 33),

 

  1. Kerinduan yang Halus (Ash-Shababah)

 

Ash-Shababah artinya ‘kerinduan yang halus’ dan juga bisa diartikan ‘kerinduan yang membara’, sebagaimana yang dikatakan di dalam Ash-Shahhah. Jika dikatakan, “Rajulun shabbun”, artinya orang yang rindu dendam. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Engkau tidak bisa merindukan orang yang berlalu

jika yang engkau rindukan tidak merindukanmu

 

Ash-Shababah merupakan bentuk mudha’af dari shabba yashabbu, sedangkan ash-shiba dan ash-shabwah merupakan bentuk al-mu’tali. Kedua.bentuk ini mempunyai kesamaan lafazh dan makna.

 

Seorang penyair berkata, Orang yang dimabuk cinta mengadukan rasa kerinduan andaikan aku bisa menanggung beban tatkala sendirian Kata shabbun bisa untuk mu’annats dan mudzakkar, seperti kata adlun.

  1. Cinta yang Mendalam (Asy-Syaghaf)

 

Asy-Syaghaf termasuk istilah cinta. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam.” (Yusuf: 30).

 

Al-Jauhary dan lain-lainnya berkata, “Asy-Syaghghaf artinya ‘lapisan yang membungkus hati’ atau ‘semacam pembungkus’ atau ‘kulit’. Jika dikatakan, “Syaghafahal-hubbu”, artinya cinta orang itu mencapai kulitnya. lbnu Abbas mengartikan ayat ini, “Cintanya merasuk hingga melewati kulit hati.”

 

  1. Cinta (Al-Miqatu)

 

Al-Miqatu berasal dari kata wamiqa yamiqu menurut bentuk fi’latun, yang artinya ‘cinta’. Bentuknya seperti al-‘izhatu, al-‘idatu, azzinatu. Wamiqa yamiqu artinya ‘mencintai’, dan orang yang mencintai disebut wamiqun.

 

  1. Cinta yang Disertai Rasa Sedih (Al-Wajdu)

 

Al-Wajdu artinya ‘cinta yang berbuntut kesedihan’, karena memang kata ini lebih sering digunakan untuk hal-hal yang sedih. Gntuk itu dikatakan, “Wajada wajdan”.

 

Ada bentukan-bentukan lain untuk kata ini. Jika dikatakan, “Wajada mathlubahu”, artinya mendapatkan apa yang dicari. Ketergantungan kepada sesuatu yang hilang darinya disebut wijdanan. Wajada maujidatan artinya ‘saat marah’, wajada wajdan artinya ‘saat sedih’, wajada fil-mal jidatan artinya ‘merasa sudah kaya’. Mengartikan al-.wajdu hanya untuk pengertian cinta, tidak dibenarkan. Artinya yang benar adalah cinta yang berakhir dengan kesedihan.

 

  1. Cinta yang Mendalam (AI-Kalaf) .

 

Al-Kalaf termasuk salah satu istilah cinta. Jika dikatakan, “Kaliftu bihadzal-amri”, artinya saya mencintainya. Berarti saya disebut kalifun ‘yang mencintai’. Seorang penyair berkata,

 

Ketahuilah tentang cintaku padamu

setelah itu perbuatiah semaumu

 

Arti dasarnya dari al-kulfah adalah ‘kesulitan’. Jika dikatakan, “Kallafahu taklifan”, artinya dia membebaninya sesuatu yang sulit. Allah berfirman,

 

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286).

 

Al-Kulfah artinya hak yang dibebankan. Sedangkan kata al-mutakallif artinya orang yang melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan, seperti firman Allah,

 

“Katakanlah (hai Muhammad), Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas seruanku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” (Shad: 86). .

 

Al-Kalaf juga bisa berarti warna merah yang agak kehitam-hitaman, atau bintik merah kehitam-hitaman di wajah.

 

  1. Penghambaan (At-Tatayyum)

 

At-Tatayyum artinya ‘penghambaan’. Dikatakan di dalam AshShahhah, “Taimullah”, artinya hamba Allah. Jika dikatakan, “Tayyamahul-hubbu”, artinya diperhamba cinta. Orangnya disebut mutayyim. Jika dikatakan, “Tamathul-mar‘atu”, artinya laki-laki yang diperhamba wanita. Luqaith bin Zurarah berkata di dalam syairnya,

 

Hatimu diperhamba saat dirundung kesedihan oleh seorang wanita dari bani Dzuhl bin Syaiban

 

  1. Cinta yang Meluap-luap (Al-’Isyqu)

 

Al-‘Isyqu merupakan istilah cinta yang paling buruk dan penggunaannya tidak disukai orang-orang Arab. Jadi, seakan-akan mereka menyembunyikan kata ini, tidak digunakan dalam bahasa yang resmi dan hampir-hampir tidak akan mendapatkan penggunaan kata ini dalam syair mereka yang terdahulu. Kata ini hanya disukai orang-orang zaman sekarang. Di dalam Al-Qur’an dan Sunnah pun juga tidak didapatkan penggunaan kata ini, kecuali dalam perkataan Suwaid bin Sa’id. Namun mereka menggunakan kata ini di dalam perkataan mereka, seperti yang dikatakan seorang penyair,

 

Apa sulitnya bagi seorang pendusta

untuk berkata, padamu kuserahkan cinta

dia berkata sebenarnya, engkaulah kekasihku

sekalipun tak ada ketulusan pada dirimu

 

Dikatakan di dalam Ash-Shahhah, al-’isyqu artinya ‘puncak cinta’. Begitu pula pendapat yang dinukil dari Al-Farra’. Ru’bah berkata, “Dia tidak peduli marah atau cinta.”

 

Jika dikatakan, “Rasjulun ‘isyyiqun” seperti fissiqun, artinya ‘orang yang meluap-luap cintanya’. At-Ja‘asysyug artinya pelipatan dari sebuah cinta. Ibnu Sayyidah berkata, “Al-‘isyqqu artinya keta’juban orang yang mencintai terhadap orang yang dicintai, sehingga dia berada di antara suatu yang terhormat dan sesuatu yang hina.

 

Ada yang berpendapat, kata al-‘isyqu diambilkan dari sebutan untuk pohon. Jika dikatakan, “Asyiqah”, artinya pohon yang hijau lalu lama-kelamaan menguning. Menurut Al-Farra’, asyiqa isyqan wa asyaqan artinya cinta yang berlebih-lebihan. Kata subyeknya alasyiqu, dan kata obyeknya al-ma’syud.

 

Menurut Al-Farra’, al-isyqu adalah sejenis tanaman yang menghasilkan getah perekat. Cinta disebut al-isygu karena kelengketan cinta itu di dalam hati seseorang.

 

Orang-orang berbeda pendapat, apakah istilah ini juga berlaky untuk hak Allah? Ada segolongan dari kalangan sufi yang berpendapat, boleh saja. Untuk itu mereka menyebutkan atsar yang sebenarnya tidak kuat. Maka bisa dikatakan, “Dia mencintaiku dan aku mencintai-Nya.” Menurut Jumhur, hal itu tidak bisa dilakukan, sehingga tidak bisa dikatakan, “Innahu ya’syiqu” (Dia mencintai), atau, “Asyagahu abduhu” (hamba-Nya mencintai-Nya).

 

Mereka berbeda pendapat tentang sebab larangan ini, yang bisa dirinci dalam tiga hal, yaitu:

 

  1. Tidak adanya nash yang jelas. Berbeda dengan al-mahabbah yang memang disebutkan secara gamblang.

 

  1. Al-Isyqu adalah cinta yang berlebih-lebihan. Hal ini tidak mungkin terjadi pada hak Allah. Allah tidak disifati dengan hal-hal yang berlebih-lebihan dalam sesuatu pun. Bahkan hamba-Nya pun tidak bisa melebih-lebihkan haknya untuk mencintai, apalagi jika dia harus berlebih-lebihan dalam mencintai-Nya.

 

  1. Al-Isyqu diambilkan dari suatu perubahan, seperti pohon yang bisa berubah, sehingga kata ini tidak mungkin diberikan untuk Allah.

 

  1. Cinta yang Membara (Al-Jawa)

 

Al-Jawa sebagaimana yang disebutkan di dalam Ash-Shahhah, artinya cinta yang membara dan menyala-nyala, seperti jika dikatakan Jawiyar-rajulu”. Namun jika dikaitkan dengan air, maka artinya air yang berubah menjadi tak sedap baunya. Seorang penyair berkata,

 

Kemudian berubah menjadi air hujan

tiada berubah bau dan rasanya

 

  1. Sakit Karena Cinta (Ad-Danafu)

 

Ad-Danafu jarang sekali digunakan orang-orang Arab untuk istilah cinta. Tetapi di kemudian hari kata ini kadang dipakai, tetapi dikaitkan dengan rasa sakit. Sebagaimana yang disebutkan di dalam AshShahhah, ad-danafu artinya ‘penyakit yang sulit dihindari’. Kata ini bisa berlaku untuk mudzakkar maupun mu’annats, tunggal maupun banyak. Jika dikatakan, “Danifal-maridu”, artinya orang sakit yang semakin parah. Jika dikatakan, ‘Adnafal-maradhu”, artinya penyakit yang menular.

 

Menurut pendapat saya, seakan-akan mereka meminjam kata ini untuk istilah cinta, sebagai penyerupaan.

 

14, Cinta yang Berakhir dengan Kegelisahan atau Kesedihan (AsySyajwu)

 

Asy-Syajiwu artinya cinta yang berakhir dengan kegelisahan atau kesedihan. Dikatakan di dalam Ash-Shahhah, asy-syajwu artinya ‘gelisah’ dan ‘sedih’. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Tak periu mengingkari perang

karena kami sudah tertawan

di tenggorokanmu ada tulang

dan di dalam diri kami ada kedukaan

 

Jika dikatakan, “Rajulun syajin” artinya orang yang bersedih. Kata ini digunakan untuk istilah cinta karena kelaziman cinta yang menyenak tenggorokan dan seakan menyumbatnya.

 

  1. Rindu (Asy-Syauqu)

 

Asy-Syauqu adalah pengelanaan hati untuk bersua orang yang dicintai. Kata ini juga dipakai di dalam Sunnah. Di dalam Al-Musnad dari perkataan Ammar bin Yasir, bahwa dia pernah mendirikan shalat dan menyegerakannya. Lalu ada yang bertanya, “Mengapa engkau menyegerakannya wahai Abul-Yaqzhan?”

 

Dia menjawab, “Sekalipun begitu saya telah membaca beberapa doa seperti yang kudengarkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang beliau berdoa dengannya,

 

“Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang yang gaib dan dengan kekuasaan-Mu terhadap makhluk, hidupkanlah aku selagi kehidupan itu lebih baik bagiku, dan matikanlah selagi kematian itu lebih baik bagiku. Aku memohon ketakutan kepada-Mu tatkala sembunyi-sembunui dan terang-terangan, akumemohon kepada-Mu kalimat yang benar tatkala marah dan ridha, aku memohon kepada-Mu tujuan tatkala miskin dan kaya, aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak bisa habis, aku memohon kepada-Mu kesenangan hati yang tiada terputus, aku memohon kepada-Mu ridha setelah ada qadha’, aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah mati, aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan bersua dengan-Mu, bukan dalam keadaan sulit yang ada mudharatnya, tidak dalam keadaan ada cobaan yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman dan jadikanlah kami pemberi petunjuk bagi orang-orang yang mencari petunjuk.”

 

Disebutkan dalam dokumen orang-orang Israil, “Kerinduan orang-orang yang berbuat kebajikan terasa lama untuk bertemu denganku, dan kerinduanku untuk bertemu mereka jauh lebih besar.”

 

Allah berfirman,

 

‘Barangsiapa yang mengharap perternuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijfanjfikan) Allah itu pasti datang.” (Al-Ankabut: 5).

 

Seorang ulama berkata, “Tatkala Allah mengetahui kerinduan orang-orang yang ingin bertemu dengan-Nya, maka Dia membuat janji pertemuan untuk menenangkKan hati mereka.”

 

Kata ini termasuk salah satu istilah cinta. Di dalam Ash-Shahhap dikatakan, “Asy-Syauqu wal-isytiyaq” adalah pergumulan jiwa terhadap sesuatu. Jika dikatakan, “Syaqani asy-syai’u”, artinya dia merindukanky dan aku dirindukannya. Jika dikatakan, “Tasyatuivaqgtu”, artinya kerinduan terhadap dirimu bergejolak.

 

Ada perbedaan antara asy-syauqqu dan al-isytiyag, mana yang lebih kuat Ada segolongan orang yang berpendapat, asy-syauqu lebih kuat, karena kata ini merupakan sifat yang semestinya. Sedangkan di dalam kata al-isytiyaq terdapat makna pengada-adaan. Ini bisa dilihat dari bentukan katanya, seperti kata al-iktisab.

 

Ada golongan lain yang berpendapat, al-isytiyag lebih Kuat Karena jumlah hurufnya lebih banyak. Selagi maknanya lebih kuat, maka jumlah hurufnya juga semakin banyak.

 

Ada golongan ketiga yang mengompromikan dua pendapat di atas, bahwa kata al-isytiyag ditujukan kepada orang yang jauh, sedangkan asy-syaugu ditujukan kepada orang yang jauh dan dekat.

 

Pendapat yang benar, asy-syaugqu adalah mashdar dari syaga yasyudqu, yaitu jika mengundang Kepada al-isytiyaglq ‘kerinduan’ kepada orang yang dirindukan. Jadi asy-syauqu yang mengundang Kepada Kerinduan dan permulaannya, sedangkan al-isytiyaq merupakan kesudahan atau sasarannya.

 

Orang-orang yang sedang dimabuk rindu saling berbeda pendapat, apakah rasa rindu itu hilang setelah ada pertemuan atau justru semakin bertambah? Segolongan orang berpendapat, rasa rindu itu menjadi hilang. Sebab kerinduan merupakan pengelanaan hati untuk bersua orang yang dicintai. Maka jika sudah saling bertemu dan berhubungan, pengelanaan itu pun menjadi berakhir. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Tongkat dilemparkan dan yang jauh menjadi tenang

seperti ketenangan hati Karena musafir telah datang

 

Menurut mereka, Karena Kerinduan hanya tertuju kepada orang yang jauh, maka kerinduan tidak ada lagi maknanya jika yang dirindukan berdekatan. Maka biasa dikatakan kepada orang yang berjauhan, “Aku selalu rindu padamu.” Tapi jika orang yang dimaksud berdekatan, tidak disifati dengan kerinduan.

 

Ada golongan lain yang berpendapat, kerinduan itu justru semakin bertambah karena berdekatan. Mereka beralasan dengan perkataan penyair,

 

Kerinduan hari ini semakin menambah kerinduan

jika penghuni kemah dengan penghuni lain berdekatan

 

Karena kerinduan merupakan bara dan kobaran api cinta yang bersemayam di dalam hati orang yang mencintai, maka itulah yang mendorongnya untuk berdekatan dan berhubungan dengan orang yang dicintai.

 

Yang pasti, kerinduan yang muncul tatkala bertemu dan berdekatan, berbeda dengan kerinduan tatkala sedang berjauhan dengan orang yang dicintai. Ibnur-Rumy berkata dalam syairnya,

 

Ku ingin memeluknya di saat hati sedang merindukan

adakah kedekatan setelah kami saling berpelukan

kucium mesra agar kerinduan itu sirna

keinginan untuk bertemu semakin membara

kobaran di hati belum jua terobati

kecuali setelah dua hati saling mengisi

 

  1. Cinta yang Mengecoh (AI-Khilabah)

 

Al-Khilabah adalah cinta yang mengecoh dan menipu, atau cinta yang hanya sampai di bawah hati. Cinta disebut dengan istilah alkhilabah, sebab cinta itu bisa mengecoh orang yang dimabuk cinta. AlKhilabah adalah mengecoh dengan ucapan. Bisa dikatakan, “Khalaba yakhlubu wa ikhta-laba”. Dalam sebuah pepatah disebutkan, Jika engkau tidak bisa menang, maka berusahalah untuk mengecoh.” Dengan kata lain, menipulah. Al-Khalibah artinya wanita penipu dan tukang mengecoh. Seorang penyair berkata,

 

Sang pemuda membawa pergi cinta wanita penipu

dan aku bisa lolos dengan hati yang bersih tanpa noda

 

As-Sikkit berkata, rajulun khallabun artinya ‘laki-laki pengecoh dan penipu’. Penggunaan serupa terjadi untuk suara guntur yang mengecoh, yaitu yang tidak disertai turunnya hujan. Jadi seakan-akan guntur itu menipu. Maka bisa dikatakan kepada orang yang berjanji namun tidak menepati, “Engkau adalah guntur yang mengecoh.” Istilah mengecoh ini juga bisa berlaku untuk mendung yang tidak menurunkan hujan. Maka biasa dikatakan, jika engkau berbaiat, maka katakanlah tanpa ada tipuan.”

 

Cinta paling berhak mendapatkan sebutan ini, karena ia bisa mem. butakan dan menulikan, menipu hati orang yang sedang dimabuk cinta,

 

  1. Yang Gelisah (Al-Balabil)

 

Al-Balabil jama’ dari al-balbalah. Jika dikatakan, “Balabilul-hubbi wa balabilusy-syaug”, artinya cinta yang gundah rindu yang gelisah, Dikatakan di dalam Ash-Shahhah, al-balbalah artinya rasa was-was dan gundah di dalam hati.

 

  1. Yang Memuncak (At-Tabarih)

 

Bisa dikatakan, “Tabarikhul-hubbi, tabarikhusy-syauq, tabarikhul-jawa”, Jika dikatakan, “Barraha bihil-hubbu wasy-syauq”, artinya dia dilanda cinta yang membara dan memuncak. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Aku bersumpah demi Allah inilah yang sesungguhnya

cinta yang membara karena pancaran pandangan mata

 

  1. Cinta yang Berakhir dengan Sesal dan Rasa Sedih (As-Sadam)

 

As-Sadam artinya ‘cinta yang berakhir dengan penyesalan dan kesedihan’. Dikatakan di dalam Ash-Shahhah, ‘“As-Sadam artinya ‘penyesalan dan kesedihan’. Rajulun sadimun artinya ‘orang yang menyesal’.”

 

  1. Bodoh, Lalai dan Mabuk (Al-Ghamarat)

 

Al-Ghamarat jama’ dari ghamrah, artinya ‘yang membuat hati menjadi bodoh Karena gara-gara cinta atau mabuk atau lalai’. Allah berfirman,

 

“Terkutuklah orang-orang yang berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan lagi lalai.’ (Adz-Dzariyat: 10-11).

 

Artinya, kelalaian membuat hati mereka menjadi bodoh dan sesat. Allah berfirman, ‘Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.” (Al-Mukminun: 54).

 

Bisa juga diartikan ‘air yang melimpah’. Ada juga istilah ghamaratul-maut, yang artinya ‘kematian yang menyakitkan’. Ada juga istilah ghamaratul-hubbi, yang artinya ‘sesuatu yang menutupi hati orang yang mencintai sehingga dia menjadi linglung dan seperti orang bodoh’. Jika dikatakan, “Rajulun ghamrur-rida’’, artinya ‘kiasan tentang kedermawanan’. Sebab dengan kedermawanannya itu dia bisa menutupi aibnya. Dengan kata lain, aibnya tidak tampak karena tertutup kedermawanannya. Kutsayyir berkata di dalam syairnya,

 

Sang dermawan tersenyum sambil tertawa

senyuman terbungkus sebagai pemilik harta

 

  1. Takut, Gemetar (Al-Wahl)

 

Al-Wahl arti asalnya adalah ‘ketakutan’. Bisa dikatakan, wahila yau-halu wa huwa wahilun wa mustauhilun. Al-Quththamy mensifati seekor onta,

 

Dia tampak menggelinjang di samping kendaraan

seakan-akan dia sakit gila karena ketakutan

 

Al-Wahl termasuk dalam istilah cinta, karena cinta itu selalu dibayangi rasa takut. Jika dikatakan, Yamalun ra’i’un”, artinya onta yang indah mempesona. Bagaimana jika tiba-tiba orang yang mencintai melihat orang yang dicintai? Tentu saja dia akan terpesona, terperangah dan berubah rona wajahnya. Seorang penyair berkata,

 

Tiba-tiba dia melihat sang kekasih

tak sepatah kata terucap dari lidah

 

Biasanya jika tiba-tiba seseorang melihat orang yang dicintainya, maka rona wajahnya akan berubah dan gemetar. Mereka tidak tahu mengapa bisa begitu. Ada yang mengatakan, karena ada keindahan yang menguasai hati. Jika rasa cinta itu datang, maka hati menjadi gemetar karena kekuasaannya, seperti seorang raja yang gemetar karena bisa menguasai manusia. Keindahan dan cinta menguasai hati, sedangkan raja menguasai diri manusia. Kemampuan menguasai diri manusia saja bisa menggetarkan, lalu bagaimana dengan kekuasaan terhadap sesuatu yang lebih besar dari itu?

 

Karena ada keindahan yang menguasai, maka hati itu akan merasa jadi tawanan. Tentu saja seseorang yang merasa dirinya tertawan akan menjadi gemetar menghadapi orang yang menawannya. Seorang penyair berkata,

 

Tanda cinta yang menyusup ke dalam hati

ada yang berubah jika dia melihat yang dicintai

 

  1. Membutuhkan (Asy-Syajanu)

 

Asy-Syajanu termasuk dalam istilah cinta. Artinya adalah membutuhkan dalam keadaan seperti apa pun. Kebutuhan orang yang mencintai sangat besar terhadap orang yang dicintai. Seorang penyair berkata,

 

Kan kuperlihatkan padamu apa yang dibutuhkan hati

kebutuhan terhadap Najd dan ibu pertiwi

 

Jama’nya adalah syujun, seperti perkataan, ‘Jiwa ini mempunyai banyak kebutuhan.” Seorang penyair berkata,

 

Manusia meradang tiada melihat kedukaanku

mereka banyak kebutuhannya dan kebutuhanku hanya satu

 

Asy-Syajanu juga bisa diartikan ‘kepiluan’. Jama’nya asyjan. Jadj cinta itu bisa berarti membutuhkan dan bisa berarti kepiluan.

 

  1. Hangus, Terbakar (Al-La‘iju)

 

Al-La’‘iju adalah kata subyek dari la’aja. Jika dikatakan, “La‘ajahudh-dharbu”, artinya dia sakit atau kulitnya hangus karena terbakar, Al-Hudzaly berkata, “Sebuah pukulan menyakitkan yang menghanguskan kulit.

 

Dikatakan al-la‘iju ‘hangus’, karena hatinya terbakar api cinta.

 

  1. Merana Karena Sedih (Al-Ikti’ab) .

 

Al-Ikti’ab merupakan bentuk ifti’al dari kata al-ka’abah, yang artinya ‘keadaan yang buruk’ dan ‘merana karena sedih’. Bisa dikatakan, “Ka‘iba yak’abu ka’batan wa ka’‘abatan”, seperti bentuk ra’fatan wa ra’afatan. Pelakunya disebut ka’ibun.

 

Seseorang merana karena cinta dan karena orang yang dicintai menghilang, sehingga di antara keduanya muncul keadaan yang memilukan. .

 

  1. Derita Cinta (Al-Washabu)

 

Al-Washabu artinya ‘derita cinta’. Arti asalnya adalah ‘sakit’. Bisa dikatakan, “Washiba yaushibu huwa washibun”. Al-Muwashshib adalah orang yang banyak menderita. Disebutkan di dalam hadits,

 

“Tidaklah orang Mukmin ditimpa kegelisahan dan penderitaan, termasuk pula duri yang mengenainya, melainkan Allah menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Washaba yashibu wudhuban, jika penderitaan itu terjadi terusmenerus. Allah berfirman,

 

“Dan, bagi mereka siksaan yang kekal.” (Ash-Shaffat: 9).

“Dan, untuknya ketaatan itu selama-lamanya.” (An-Nahl: 52).

 

  1. Kesedihan (Al-Hazanu)

 

Al-Hazanu dianggap salah satu istilah cinta, sekalipun sebenarnya bukan termasuk salah satu di antaranya, tetapi al-hazanu ‘kesedihan’ merupakan keadaan yang terjadi pada diri orang yang mencintai. Dengan kata lain, kesedihan merupakan kedatangan sesuatu yang tidak disukainya, atau berlainan dengan sesuatu yang disukainya. Karena cinta itu jarang yang lepas dari hal-hal yang tidak menyenangkan hati orang yang mencintai, maka kesedihan ini merupakan kelaziman dari sebuah cinta. Dalam sebuah hadits shahih, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekhawatiran dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kebodohan dan kekikiran, paksaan hutang dan kekuasaan orangorang.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

 

Beliau berlindung dari delapan perkara. Setiap dua perkara merupakan pasangannya. Kekhawatiran dan kesedihan merupakan pasangan. Hal-hal yang tidak disukai hati dan sudah terjadi disebut al-hazanu ‘kesedihan’, dan hal-hal yang tidak disukai hati namun belum terjadi dan kemungkinan akan terjadi, disebut al-hammu ‘kekhawatiran’. Kelemahan dan kemalasan merupakan pasangan. Keterbatasan manusia dari kesempumaannya, jika memang dia tidak mempunyai kemampuan disebut lemah, dan jika tidak mempunyai kehendak disebut malas. Kebodohan dan kekikiran merupakan pasangan. Seseorang bisa diambil manfaat darinya, entah dari harta atau badannya. Seorang penakut tidak bisa memberi manfaat dengan badannya dan orang yang kikir tidak bisa memberi manfaat dengan hartanya. Paksaan hutang dan kekuasaan orang merupakan pasangan. Paksaan dari orang lain itu ada dua macam: Paksaan secara benar berupa paksaan hutang, dan paksaan secara batil berupa kekuasaan orang.

 

Allah telah menghapus kekhawatiran dan kesedihan dari diri para penghuni surga. Mereka tidak bersedih atas apa yang telah lalu, tidak khawatir terhadap apa yang akan datang. Kehidupan tidak akan menjadi tenteram kecuali dengan cara ini. Sedangkan cinta selalu memancing kekhawatiran dan kesedihan.

 

  1. Kesedihan yang Terpendam di dalam Hati (Al-Kamadu)

 

Al-Kamadu termasuk dalam hukum-hukum cinta dan pada hakikatnya bukan termasuk istilah cinta. Tetapi orang-orang yang berbicara dalam masalah ini jarang membedakan antara nama sesuatu, kelaziman dan hukumnya.

 

Al-Kamadu adalah kesedihan yang terpendam. Bisa dikatakan,

 

“Kamidar-rajulu, huwa kamidun wal-kumdatu artinya berubah warna. Akmadats-tsauba artinya dia belum membersihkan pakaian.

 

  1. Terbakar Api (Al-Ladz’u)

 

Al-Ladz’u termasuk dalam hukum-hukum cinta, dan makna asalnya adalah ‘terbakar api’. Jika dikatakan, “Ladza’athu an-naru”, artinya dia terbakar api. Kemudian mereka menyerupakan lidah yang membakar dengan api yang membakar. Oleh karena itu mereka biasa berkata, “Dia membakar dengan lidahnya atau dengan perkataannya.” Bisa juga dikatakan, “Saya berlindung kepada Allah dari perkataannya yang membakar.”

 

  1. Gejala Cinta (Al-Huraqu)

 

Al-Huraqu artinya gejala cinta dan pengaruhnya. Kadang-kadang al-hurqah merupakan bagian dari cinta dan kadang merupakan pengaruh dari cinta. Bisa dikatakan, “Engkau tidak mempunyai: pengaruh terhadap urusan ini.” Namun adakalanya merupakan gejala dari rasa marah.

 

  1. Sulit Tidur (As-Suhdu)

 

As-Suhdu juga merupakan pengaruh cinta dan kelaziman yang terjadi karenanya. Bisa dibaca sahidar-rajulu sahadan. Namun jika dibaca as-suhdu artinya adalah ‘sedikit tidur’. Abu Kabir Al-Hudzaly berkata di dalam syairnya,

 

Dia hampiri lelaki yang keras hati

yang tiada nyenyak tidur dan hanya sesekaili

 

  1. Tidak Dapat Tidur (Al-Araqu)

 

Al-Araqu juga termasuk pengaruh cinta dan kelazimannya, yang artinya tidak bisa tidur. Arigat artinya sahirat (tidak dapat tidur). Begitu pula jika dikatakan istaqgara. Kata subyeknya ariqun.

 

  1. Sedih (Al-Lahfu)

 

Al-Lahfu termasuk hukum dan pengaruh cinta pula. Jika dikatakan, “Lahifa yalhafu lahfan”, artinya sedih atau menyesal. Jika dikatakan, ‘Ya lahfa Fulanin”, merupakan ungkapan yang menyatakan penyesalan terhadap apa yang telah berlalu.

 

  1. Kerinduan, Belas Kasih (Al-Hanin)

 

Al-Hanin artinya sebagaimana yang disebutkan di dalam AshShahhah adalah ‘kerinduan hati’ atau ‘kasih sayang’. Jika dikatakan, “Hanna ilathi yahinnu haninan fahuwa hannun”, artinya kasih sayang. Allah berfirman, “Dan, rasa belas kasihan dari sisi Kami”. (Maryam: 12).

 

Jika dikatakan, “Tahannana alaihi”, artinya mengasihinya. Orang Arab biasa mengatakan, “Hananaka ya Rabbi”, atau “Wa hananaika”. Makna keduanya sama saja, yang artinya belas kasih-Mu. Imru’ul-Qais berkata,

 

Bani Syamja bin Hazm memberi dengan tulus

berupa rasa belas Kasih yang tiada terkira

 

Pada hakikatnya al-hanin merupakan akibat dari cinta dan kelazimannya. Onta juga mengeluarkan suara yang menunjukkan luapan belas kasih tatkala anaknya terlepas. Cinta disebut dengan istilah al-hanin, karena seorang laki-laki yang mencintai wanita akan selalu mengasihinya di mana pun dia berada.

 

  1. Tunduk, Menyerah (Al-Istikanah)

 

Al-Istikanah termasuk dalam kelaziman cinta dan hukum-hukumnya, bukan termasuk istilah cinta yang khusus. Arti asalnya adalah ‘tunduk’. Allah berfirman,

 

“Mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.” (Al-Mukminun: 76).

 

“Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh).” (Ali Imran: 146).

 

Kata ini merupakan bentuk istaf’ala dari kata al-kaun. Bentukan ini memang sudah pas. Adapun makna al-mustakinnu adalah ‘orang yang tenang dan tunduk’; kebalikan dari orang yang gegabah dan tidak hati-hati. Tetapi makna ketenangan ini tidak sesuai untuk bentukan kata di atas. Jika menurut bentuk ifta’ala, berarti istakanna. Sebab di sini tidak disebutkan bentuk ifti’al. Yang pasti kata ini berasal dari bentuk istaf‘ala dari kata al-kaun, seperti kata istigam. Al-Kaun artinya keadaan yang menggambarkan kepasrahan, kerendahan dan ketundukan. Tindakan ini terpuji jika ditujukan kepada Allah, dan dicela jika ditujukan kepada selain Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan,

 

‘Aku berlindung kepada-Mu dari pengurangan setelah penambahan.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasa’y dan Ibnu Majah).

 

  1. Derita Cinta (At-Tabbalah)

 

At-Tabalah merupakan bentuk fa’alah dari kata tabala, yang artinya ‘dibuat binasa’. Menurut Al-Jauhary, tabalahum ad-dahru artinya ‘waktu telah membinasakan mereka’. Al-Asya berkata di dalam syairnya,

 

Dia melihat sosok laki-laki yang membawa bencana

keragu-raguan waktu dan masa membuatnya binasa

 

Tabilahul-hubbu artinya dia dibuat menderita karena cinta. Ini juga merupakan pendapat Ka’b bin Zuhair bin Abu Sulma, sebagaimana yang dia katakan di dalam syairnya,

 

Kebahagiaan hatiku hari ini menjadi derita

terikat dan terbelenggu karenanya

 

  1. Terbakar Kerinduan (Al-Lau’ah)

 

Al-Lau’ah, seperti yang disebutkan di dalam Ash-Shahhah, “Lau‘atul-hubbi” artinya ‘bara cinta’. La’ahul-hubbu wa ilta’a fu’aduhu artinya ‘hati yang terbakar karena kerinduan’. Menurut Al-Ashma’y, La ‘i’atul-fuad artinya wanita yang seakan-akan bingung karena ketakutan.

 

  1. Cobaan, Ujian (Al-Futun)

 

Al-Futun adalah mashdar dari fatana yaftinu futunan. Allah befirman,

 

“Dan Kami mencobaimu dengan suatu cobaan.” (Thaha: 40).

 

Al-Fitnah mempunyai tiga makna: Pertama, ‘cobaan dan ujian, sebagaimana firman Allah,

 

“Itu hanyalah cobaan dari Engkau.” (Al-Araf: 155).

 

Kedua, ‘siksa’, seperti jika dikatakan, “Ini merupakan siksaan yang datang dari Fulan, seperti firman Allah,

 

“Dan peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kalian.” (Al-Anfal: 25).

 

Tentang firman Allah,

 

“Kemudian tiadalah fitnah mereka kecuali mengatakan, ‘Demi Allah, Rabb kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah’.” (Al-An’am: 23).

 

Maksud fitnah di dalam ayat ini, bahwa tidak ada akibat kemusyrikan mereka melainkan mereka mengingkari kemusyrikan tersebut.

 

Tentang firman Allah,

 

“(Hari pembalasan itu ialah) pada hari ketika mereka diadzab di atas api neraka. (Dikatakan kepada mereka) ‘Rasakanlah adzab kalian itu’.” (Adz-Dzariyat: 13-14).

 

Ada yang mengatakan, makna yuftanun di dalam ayat ini adalah ‘dibakar’, seperti batang emas yang dibakar untuk melihat nilai kualitasnya. Menurut Al-Khalil, al-fatnu artinya ‘membakar’, seperti firmanNya, “Pada hari ketika mereka dibakar di atas api neraka.”

 

Wariqun fatinun artinya perak yang dibakar. Uftutinar-rajulu wa futina artinya orang ditimpa musibah hingga hilang harta dan berubah pikirannya alias gila. Fatanathul-mar atu artinya dia dibuat bingung oleh seorang wanita. Tentang firman Allah,

 

“Maka sesungguhnya kalian dan apa-apa yang kalian sembah itu, sekali-kali tidak dapat menyesatkan (seseorang) terhadap Allah, kecuali.orang-orang yang akan masuk neraka yang menyala.” (Ash-Shaffat: 161-163).

 

Maksudnya, tidak ada yang menyimpang dari penyembahan terha. dap Allah, melainkan sudah ada dalam pengetahuan Allah, bahwa dia akan menjadi santapan api neraka.

 

Tentang firman Allah,

 

“Maka kelak kalian akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kalian yang gila.” (Al-Qalam: 5-6).

 

Al-Maftun dalam ayat ini adalah mashdar seperti bentuk al-ma’qul, al-maisur, al-mahluf, al-ma’sur. Sedangkan kata yubshiru berarti ‘merasa’ dan ‘melihat’.

 

Di dalam sebuah hadits disebutkan,

 

“Orang Mukmin itu adalah saudaranya orang Mukmin lainnya. Keduanya bersikap lapang dalam penggunaan air dan pepohonan, serta keduanya saling tolong-menolong menghadapi orang-orang yang hendak menimpakan cobaan.” (Diriwayatkan

 

Abu Daud, Al-Baihaqy dan Ath-Thabrany).

 

Artinya, cinta merupakan tempat timbulnya cobaan. Tidak ada cobaan yang muncul kecuali karena ada cinta.

 

  1. Gila, Tidak Waras (Al-Junun)

 

Al-Junun bisa terjadi karena cinta. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Engkau gila karena orang yang dicinta

cinta yang membara lebih nyata dari gila

bara itu tidak padam sepanjang masa

orang yang gila menggelepar kapan pun juga

 

Arti asalnya adalah ‘tutupan’, seperti kata ajannahul-lailu wa janna alaihi artinya malam yang tertutup. Atau seperti al-janin yang artinya bayi yang masih tertutup di dalam perut ibunya. Atau seperti kata alJannatu ‘taman’, yang Derarti tertutup pepohonan yang rindang. Atau seperti kata al-jinn ‘jin’, yang kKeadaannya tertutup atau tidak bisa dilihat mata, kebalikan dari al-insu ‘manusia’ yang terlihat mata. Atau seperti kata al-junnah, yang artinya alat untuk melindungi diri atau ‘tameng’, seperti firman Allah,

 

“Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai.” (Al-Mujadilah: 16).

 

Cinta yang menggelora dan berlebih-lebihan bisa menutupi akal, sehingga orang yang dimabuk cinta tidak bisa berpikir secara waras, mana yang bermanfaat baginya dan mana yang tidak bermanfaat baginya. Dengan begitu cinta termasuk bagian dari kegilaan.

 

  1. Setengah Sinting, Setengah Gila (Al-Lamamu)

 

Al-Lamamu artinya bagian dari gila. Rajulun malmum artinya orang setengah gila. Bisa juga dikatakan, ‘Ashabat Fulanan minal-jinni lammatun”, artinya ‘Fulan setengah sinting’. Begitulah menurut AlJauhary.

 

Menurut pendapat saya, arti asalnya adalah mendekati. Artinya juga bisa kesalahan atau dosa-dosa kecil, seperti firman Allah,

 

“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil.” (An-Najm: 32).

 

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berkata, “Saya tidak melihat arti yang lebih pas untuk kata al-lamamu kecuali seperti yang dikatakan Abu Hurairah, ‘Sesungguhnya mata itu bisa berzina, dan zinanya adalah pandangan. Tangan bisa berzina dan zinanya adalah perlakuan kasar. Kaki bisa berzina dan zinanya adalah berjalan. Mulut bisa berzina dan zinanya adalah berbicara sekenanya’.”

 

Jika dikatakan, alamma bikadza artinya ‘mendekati’. Ghulamun mulimmun artinya anak yang mendekati masa baligh. Di dalam sebuah hadits disebutkan,

 

“Sesungguhnya di antara pepohonan yang tumbuh pada musim semi ada pula yang bisa menggelembungkan perut atau yang seperti itu.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

 

Secara global, tidak ada petunjuk yang mengindikasikan al-lamamu sebagai bagian dari istilah cinta, sekalipun ada sebagian orang yang menyebutnya begitu. Memang bisa dikatakan, “Orang yang dicintai bisa membuat orang yang mencinta menjadi setengah gila.

 

  1. Binasa (Al-Khablu)

 

Al-Khablu merupakan akibat dan pengaruh cinta, bukan termasuk dalam istilah cinta, sekalipun ada yang menyebutnya sebagai istilah cinta.

 

Arti asalnya adalah ‘kerusakan’. Jama’nya khubul, Sedangkan al-khabal artinya ‘jin’ atau ‘bagian dari isi bumi’. Dikatakan khabala wa khabbala wa ikhtabala, jika akalnya tidak waras atau ada anggota tubuhnya yang tidak beres. Rajulun mukhabbalun, artinya ‘orang yang kurang beres’,

 

  1. Teguh, Tegar (Ar-Rasis)

 

Ar-Rasis seringkali digunakan dengan perkataan mereka, sepertj rasisul-haiwwa, rasisusy-syauqd, rasisul-hubbt. Orang yang memasukkan kata ini dalam istilah cinta menganggap bahwa ia termasuk dalam istilah cinta, padahal sebenarnya tidaklah begitu. Sebab ar-rasis artinya yang teguh. Rasisul-hubbi artinya ‘keteguhan cinta’ dan keabadiannya. Juga bisa dikatakan rassul-huma, yang artinya ‘awal permulaan berjangkitnya demam’. Mereka menyerupakan rasisul-hubbi dengan kehangatan atau panasnya badan karena terkena demam. Tapi mereka bisa menyebut kata al-uiwar ‘panas’ sebagai bagian dari istilah cinta, karena Kata ini bisa disertakan kepada kata cinta, seperti yang dikatakan seorang penyair,

 

Jika kulihat panasnya cinta di dalam hati

kucari pancuran air untuk mendinginkan

berikan padaku kedinginan air yang pasti

karena di dalam perut ada api yang menghanguskan

 

  1. Penyakit yang Merasuk (Ad-Da’ul-Mukhamir)

 

Ad-Da’ul-Mukhamir termasuk bagian dari sifat-sifat cinta. Dinamakan ‘yang merasuk’ karena cinta itu membuat hati dan ruh saling bercampur dan saling merasuk. Menurut Al-Jauhary, al-mukhamarah artinya ‘bercampur’. Khamarar-rajulu al-makana artinya dia menetap di tempat itu. Jika dikatakan, istakhmara fulanun fulanan, artinya fulan yang pertama memperbudak fulan yang kedua.

 

Seakan-akan cinta membara itu merupakan penyakit yang memperbudak orang yang dimabuk cinta itu, seperti perkataan Mu’adz, “Man istakhmara qauman”, artinya menguasai secara paksa. Jadi cinta adalah penyakit yang menyusup dan memperbudak orang yang dimabuk cinta.

 

  1. Kasih yang Tulus (Al-Wuddu)

 

Al-Wuddu adalah kasih sayang yang tulus dan lembut. Sebagai bagian dari cinta, al-.wuddu lebih tepat disebut kasih sayang yang lembut. Menurut Al-Jauhary, wadidtu ar-rajula awadduhu wuddan, waddan mawaddatan artinya aku mencintainya. Seorang penyair berkata,

 

Wahai orang yang sedang kembali

dengan kasihmu lihatlah kafan ini

 

Al-widdu al-wadid artinya al-maudud ‘orang yang dikasihi’, jama’nya awuddun, seperti kata gidhun aqduhun, dzi’bun adz’ubun. Sedangkan al-wadud artinya ‘orang yang mencintai’. Rajulun wudada’ merupakan penyangatan sifat.

 

Menurut pendapat saya, al-twadud termasuk sifat Allah, yang berasal dari kata al-mawaddah. Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini, yang dibagi menjadi dua pendapat:

 

Pertama, Wadud berarti ‘orang yang mencintai’, seperti dharub yang berarti orang yang memukul, gatul yang berarti orang yang membunuh, na’um yang berarti orang yang tidur. Pendapat ini dikuatkan dengan keberadaan fa’ul dalam sifat-sifat Allah, yang berarti yang melakukan, seperti ghafur yang berarti ghafir ‘yang mengampuni’, syakur ‘yang bersyukur’, shabur ‘yang sabar’.

 

Kedua, Wadud yang berarti ‘orang yang dicintai’ atau ‘kekasih’. Begitulah menurut penafsiran Al-Bukhary di dalam Shahih-nya.

 

Pendapat yang pertama lebih tepat, karena kata ini menyertai kata al-ghafur seperti dalam firman-Nya,

 

“Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” (Al-Buruj: 14).

 

Juga menyertai kata ar-rahim seperti dalam firman-Nya,

 

“Sesungguhnya Rabbku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (Hud: 90).

 

Di dalam kata ini terkandung rahasia yang lembut, bahwa Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai hamba-Nya yang meminta ampun kepada-Nya, lalu Dia mengampuni dan juga mencintainya, sebagaimana firman-Nya,

 

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah: 222).

 

Orang yang bertaubat merupakan kekasih Allah. Sementara itu, kasih sayang adalah cinta yang suci dan lembut.

 

44, Satu Cinta (Al-Khullah)

 

Al-Khullah artinya ‘satu cinta’. Al-Khalil artinya ‘satu cinta untuk orang yang dicintai’. Jadi ini merupakan suatu kategori yang tidak me. ngenal persekutuan. Oleh karena itu di dunia ini ada dua al-khalil yang dikhususkan, yaitu Ibrahim dan Muhammad, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan, Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (AnNisa’: 125).

 

Dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah mengambil aku menjadi kesayangan-Nya, sebagaimana Dia mengambil Ibrahim sebagai kesayangan-Nya.” (Diriwayatkan Ibnu Majah dan Al-Baihaqy).

 

Dalam hadits shahih lainnya disebutkan,

 

‘Andaikata aku boleh mengambil seorang kesayangan dari penghuni bumi ini, tentu aku akan mengambil Abu Bakar sebagai kesayangan. Tetapi sahabat kalian juga menjadi kesayangan Yang Maha Penyayang.”

 

Dalam hadits shahih juga disebutkan,

 

“Sesungguhnya aku adalah orang yang paling selamat untuk setiap kesayangan dari rasa sayangnya.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Karena kesayangan merupakan kategori yang tidak mengenal persekutuan, maka Allah menguji Ibrahim dengan penyembelihan anaknya, karena beliau menjadikan anaknya itu sebagai belahan hatinya. Untuk itu Allah perlu membersihkan hati beliau, agar tidak terbelah-belah untuk yang lain. Akhirnya Allah menguji dengan penyembelihan anaknya.

 

Maksudnya adalah penyembelihan hati dan bukan penyembelihan batang leher. Tatkala keduanya berserah diri kepada perintah Allah dan Ibrahim memprioritaskan kKecintaan kepada Allah daripada kecintaan kepada anak, berarti beliau telah memurnikan kedudukan kesayangan itu dan merelakan penyembelihan terhadap anaknya sendiri.

 

Ada yang berpendapat, disebut al-khullah, karena cinta merasuk ke seluruh bagian ruh. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Jalan-jalan ruh di tubuhku diselusupi cinta

karena itu yang disayang dinamakan kesayangan

 

Al-Khullah wa al-khalil bisa digunakan untuk mu’annats atau pun mudzakkar, karena pada dasarnya merupakan mashdar dari khalilun bayyinul-khullah. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Sampaikan kepada Jabir rasa sayangku

bahwa kekasihnya belum terbunuh

 

Al-Khillu artinya rasa kasih yang tulus dan sahabat. Al-Khilal merupakan mashdar yang artinya ‘persahabatan’, seperti firman Allah,

 

“Yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” (Ibrahim: 31).

 

“Yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan yang akrab.” (Al-Baqarah: 254).

 

Al-Khalil juga berarti ‘sahabat yang akrab’, mu’annatsnya al-khalilah. Al-Khilalah, al-khalalah, al-khulalah artinya ‘persahabatan’ atau ‘kasih sayang’. Dikatakan dalam syair,

 

Bagaimana engkau menjalin kasih sayang

seperti kasih sayang kepada ayah kandung

 

Ada sebagian orang yang minim pengetahuannya bahwa al-habib ‘kekasih’ lebih mulia daripada al-khalil. Gntuk itu dia mengatakan, “Muhammad adalah kekasih Allah dan Ibrahim adalah kesayangan Allah.” Ini adalah batil ditilik dari sudut pandang mana pun. Di antara pertimbangannya, karena al-khullah ‘kesayangan’ bersifat khusus, sedangkan al-mahabbah ‘cinta’ bersifat umum. Allah mencintai orangorang yang bertaubat dan mensucikan diri. Allah juga berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang Mukmin, .

 

“Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 57).

 

Contoh lain, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam meniadakan se. orang kesayangan dari seluruh penghuni bumi ini. Namun beliau mengabarkan, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim, bahwa Aisyah adalah wanita yang paling beliau cintai, dan bapaknya (Aby Bakar) adalah laki-laki yang paling beliau cintai.

 

  1. Sahabat (Al-Khilmu)

 

Al-Khilmu berasal dari al-mukhalamah, yang artinya ‘persahabatan’ dan ‘kasih sayang’. Al-Khilmu artinya ‘sahabat’, jama’nya Al-Akhlam, Al-Kumait berkata dalam syairnya,

 

Jika perang terbuka sudah mulai

setiap sahabat akan mengguncang bara api

 

  1. Cinta yang Dibutuhkan (Al-Gharam)

 

Al-Gharam artinya cinta yang dibutuhkan. Jika dikatakan, rajulun mughramun bil-hubbi, artinya orang yang membutuhkan cinta. Kata inj berasal dari al-luzum. Bisa juga dikatakan, rahulun mughramun minalgharam au ad-dain. Dikatakan di dalam Ash-Shahhah, al-gharam artinya al-walu’ ‘sangat cinta’. Ughrima bisy-syai’i artinya sangat mencintainya. Al-Gharim artinya orang yang mempunyai hutang, tapi juga bisa berarti orang yang memberi hutang. Yang termasuk dalam bentukan kata ini adalah firman Allah,

 

“Sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.” (Al-Furqan: 65).

 

Jadi al-gharam adalah keburukan yang terus-menerus dan siksa yang tidak bisa dihindari. Bisyr berkata di dalam syairnya,

 

Hari yang kering dan sepi

siksaan yang tiada bertepi

 

Al-A’sya berkata di dalam syairnya,

 

Siksaan itu adalah kebinasaan yang tak terkira

tapi jika diberi yang banyak pun dia tak peduli

 

Untuk mengistilahkan kelembutan cinta atau siksaannya, kata algharam jarang dipakai, sekalipun kadangkala orang-orang sekarang memakainya.

 

  1. Sangat Dahaga (Al-Huyam)

 

Al-Huyam artinya ‘sangat haus’, atau ‘seperti orang gila karena cinta’. Al-Hiyam, artinya ‘onta yang kehausan’. Haiman wa haima’ seperti athsyan wa athsya’. Qaumun hiyam artinya ‘orang-orang yang kehausan’. Firman Allah,

 

“Maka kalian minum seperti onta yang sangat haus minum.” (Al-Waqi’ah: 55).

 

Al-Hiyam artinya ‘onta yang sangat haus’. Jama’nya ahyam wa hiyam, seperti ahmar wa himar.

 

  1. Gila, Linglung (Al-Tadliyah)

 

Sebagaimana yang dikatakan di dalam Ash-Shahhah, at-tadliyah artinya kurang waras karena cinta. Jika dikatakan, dallalahul-hubbu artinya dibuat bingung dan linglung oleh cinta. Menurut Abu Zaid, daliha yadlahu artinya onta betina yang tidak menyukai pasangan dan anaknya.

 

  1. Tidak Waras dan Bingung (Al-Walahu)

 

Sebagaimana yang dikatakan di dalam Ash-Shahhah, al-walahu artinya ketidakwarasan atau kebingungan karena cinta yang meluapjuap. Al-Asya berkata di dalam syairnya,

 

Dia gila karena anaknya mati tiba-tiba

semua dianggap bencana dan semua menyatu bersama

 

At-Tauliyah artinya bayi yang dipisahkan dari ibunya. Dalam sebuah hadits disebutkan,

 

Janganlah seorang ibu dipisahkan dari bayinya.” (Diriwayatkan Al-Baihaqy).

 

Nagatun walihun artinya onta betina yang sangat menyayangi anaknya. Al-Milahu artinya kebiasaan onta yang sangat menyayangi anaknya. Ma’un mulahun wa muwallahun artinya air yang turun deras di atas hamparan pasir dan langsung meresap ke dalam pasir.

 

  1. Penghambaan (At-Ta’abbud)

 

At-Ta’abbud merupakan puncak cinta dan ketundukan. Jika dikatakan, ‘abadahul-hubbu artinya diperhamba cinta. Thariqun mu’abbadun bil-aqdam artinya jalan yang menurun. Begitu pula keadaan orang yang mencintai yang ditundukkan dan diperhamba cinta. Keadaan seperti ini tidak layak ditujukan kepada seseorang selain Allah, dan Allah tidak mengampuni orang yang menyekutukan-Nya dalam ibadah dan mengampuni dosa selain itu bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya. Cinta yang disertai penghambaan diri merupakan jenis cinta yang paling mulia. Ini merupakan hak Allah dalam beribadah kepada-Nya.

 

Diriwayatkan dari Mu’adz, dia berkata, “Saya sedang berjalan ber. sama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Lalu beliau bersabda, ‘Wahai Mu’adz!’

 

Saya menyahut, “Saya mendengar panggilanmu wahai Rasulullah dan barakah atas dirimu.”

 

Kami berjalan beberapa saat, kemudian beliau bersabda, “Wahai Mu’adz!”

 

Saya menyahut, “Saya mendengar panggilanmu wahai Rasulullah dan barakah atas dirimu.”

 

Kami berjalan beberapa saat, kemudian beliau bersabda, “Wahai Mu’adz!”

 

Saya menyahut, “Saya mendengar panggilanmu wahai Rasulullah dan barakah atas dirimu.”

 

Kami berjalan beberapa saat, kemudian beliau bersabda, “Wahai Mu’adz!”

 

Saya menyahut, “Saya mendengar panggilanmu wahai Rasulullah dan barakah atas dirimu.”

 

Beliau bertanya, “Tahukah engkau apakah hak Allah atas hambaNya?

 

Saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

 

Beliau bersabda, “Hak Allah atas mereka, hendaklah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya. Tahukah engkau apakah hak hamba atas Allah jika mereka berbuat yang demikian itu? Yaitu Dia tidak mengadzab mereka dengan api neraka.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany, Ahmad, At-Tirmidzy, lbnu Majah dan Ibnu Hibban).

 

Allah telah menyebut Rasul-Nya sebagai hamba dalam kondisikondisi yang sangat penting, seperti pada saat ada pembangkangan, saat isra’ dan saat berdoa. Allah berfirman tatkala muncul pembangkangan,

 

“Dan, jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu.” (Al-Bagarah: 23).

 

Allah berfirman tatkala Peristiwa Isra’,

 

“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil-Haram ke Masjidil-Aqsha.” (Al-Isra’: 1)

 

Allah berfirman tentang hamba-Nya yang berdoa (dalam hadits qudsy).

 

“Dan tatkala hamba Allah berdirt untuk berdoa kepada-Nya….” (Ditakhrij Abu Daud).

 

Tatkala ulul-azmi saling menolak memberl syafaat yang agung pada Hari Kiamat, maka Al-Masih berkata kepada mereka, “Pergilah menemui Muhammad, seorang hamba yang dosa-dosanya yang lalu maupun yang akan datang telah diampuni Allah.”

 

Beliau menerima kedudukan ini karena kesempurnaan penghambaan kepada Allah dan karena ampunan Allah bagi beliau. Sifat-sifat hamba yang paling mulia adalah sifat penghambaan, dan nama-nama yang paling dicintai Allah adalah nama yang ada sifat penghambaannya (abdu). Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Nama-nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman, dan nama yang paling benar adalah Harits dan Hammam, sedangkan nama yang paling buruk adalah Harb dan Murrah.”

 

Nama Harits dan Hammam merupakan nama yang paling benar, karena setiap orang harus mempunyai hasrat dan ambisi, sehingga akan menghasilkan buah tanaman dan tindakannya. Jadi setiap orang harus menjadi pencocok tanam dan yang memiliki hasrat. Sedangkan nama yang paling buruk adalah Harb dan Murrah, karena dua nama ini mengandung makna yang kurang disukai dan tidak adanya pengaktifan akal.

 

Istilah-istilah yang menunjukkan kepada satu nama, bisa dibedakan antara dua jenis:

 

Pertama, menunjukkan kepada pengungkapan dzat saja. Jenis ini merupakan istilah-istilah yang sinonim, seperti kata al-hinthah, al-qamhu, al-burru (gandum), atau seperti kata al-ismu, al-kunyatu, al-lagabu ‘nama’ jika kata-kata ini tidak mengandung pujian atau ejekan, jadi hanya sekedar untuk sebutan atau pengenalan.

 

Kedua, menunjukkan kepada satu dzat dengan ungkapan perbedaan sifat-sifatnya, seperti nama-nama Rabb, nama-nama kalam-Nya, nama-nama nabi-Nya atau nama-nama hari akhirat. Jenis ini sinonim jika dikaitkan dengan dzatnya, namun berbeda apabila dikaitkan dengan sifat-sifat dzat itu. Rabb, Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Aziz, Al-Qadir, AlMalik menunjukkan kepada satu dzat dengan ungkapan sifat-sifat yang beragam. Begitu pula dengan Al-Basyir, An-Nadzir, Al-Hasyir, Al-Agib, Al-Mahy. Begitu pula dengan istilah Yaumul-Qiyamah, Yaumul-Ba’tsi, Yaumul-Jam ii, Yaumut-Taghabun, Yaumul-Azifah dan nama-nama lainnya. Begitu pula dengan istilah Al-Qur’an, Al-Furgan, Al-Kitab, Al-Huda dan lain-lainnya. Begitu pula dengan istilah-istilah pedang. Keragaman istilah-istilah itu menurut keragaman sifat-sifatnya, seperti al-muhannad, al-adhbu, ash-sharim ‘tajam’.

 

Engkau sudah tahu perbedaan sifat-sifat dalam berbagai istilah cinta. Banyak orang yang menolak kata-kata sinonim dalam bahasa. Seakan-akan mereka hanya menghendaki makna ini. Sebab tidak ada dua nama untuk satu jenis nama, melainkan di antara keduanya tentu ada perbedaan dalam sifat, penisbatan atau pun tambahannya. Baik kita ketahui atau tidak kita ketahul.

 

Yang mereka katakan Ini memang tidak bisa dianggap salah jika ditilik dari satu orang yang meletakkannya. Tetapi penyerupaan itu tentu akan muncul jika ada dua orang berbeda yang meletakkannya. Yang satu Menamakannya dengan nama tertentu, dan orang lain akan menamakannya dengan nama lain lagi. Hal seperti ini sudah biasa terjadi di suatu kabilah. Dari sini akhirnya timbullah persekutuan. Jadi pada dasarnya menurut bahasa, hal itu merupakan perbedaan dan merupakan hal yang lumrah dalam bahasa.

 

Ini merupakan bab yang paling terhormat dari keseluruhan bab dalam buku ini. Sebelum berbicara lebih lanjut tentang kajian ini, perlu ada penjelasan pendahuluan, bahwa gerakan itu ada tiga macam:

 

  1. Gerakan berdasarkan kehendak
  2. Gerakan alami
  3. Gerakan berdasarkan paksaan

 

Keterangan secara ringkas, bahwa asal gerakan bisa dari orang yang mengeluarkan gerakan itu atau pun dari selainnya. Jika gerakan berasal dari orang yang bergerak, maka boleh jadi disertai dengan perasaan dan ilmunya, boleh jadi tidak disertai dengan perasaan dan ilmunya. Yang pertama merupakan gerakan berdasarkan kehendak, dan yang kedua merupakan gerakan alami. Jika gerakan itu berasal dari yang lain, maka dinamakan gerakan paksaan.

 

Jadi engkau bisa berkata tentang kemungkinan orang yang mengeluarkan gerakan:

 

  1. Dia bergerak berdasarkan kehendaknya; yang berarti gerakannya merupakan gerakan yang memang dikehendaki.

 

  1. Dia bergerak tidak berdasarkan kehendaknya; yang berarti ada dua kemungkinan:

– Jika gerakan itu menuju ke pusatnya; maka itu merupakan gerakan alami.

– Jika gerakan itu bergerak tidak ke pusatnya; maka itu merupakan gerakan terpaksa.

 

Jika masalah ini sudah ada kejelasan seperti ini, maka gerakan yang berdasarkan kehendak akan mengikuti kehendak orang yang bergerak. Sasarannya bisa bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain. Sasaran bagi yang lain tentu akan berhenti bagi dirinya sendiri, untuk menghentikan perputaran secara terus-menerus. Kehendak itu bisa untuk mencari manfaat dan mendapatkan kenikmatan, bagi orang yang bergerak atau bagi orang yang lain, dan bisa juga untuk mengenyahkan bahaya dan hal-hal yang tidak disukai, baik dari orang yang bergerak atau dari orang lain. Orang yang berakal tentu tidak akan mendatangkan manfaat bagi orang lain dan tidak menyingkirkan bahaya dari orang lain melainkan karena tindakannya itu dia bisa mendapatkan kenikmatan atau karena dia bisa mengenyahkan penderitaan. Sehingga tidak heran jika gerakan yang berdasarkan kehendaknya akan mengikuti orang yang dicintainya. Bahkan ini merupakan hukum setiap makhluk hidup yang bisa bergerak.

 

Sedangkan gerakan alami adalah gerakan sesuatu di pusatnya dan tempatnya. Hal ini mengikuti gerakan yang menuntut keluarnya sesuatu itu dari pusatnya, yang berarti harus ada paksaan. Paksaan ini berasal dari pemaksa yang mengeluarkannya dari pusatnya, bisa berdasarkan pilihannya sendiri, seperti gerakan batu ke arah bawah setelah ia dilemparkan ke atas, atau bisa juga bukan karena pilihan orang yang menggerakkannya, seperti gerakan angin di dalam tubuh ke tempat saluran yang semestinya. Gerakan ini mengikuti pemaksa. Gerakan pemaksa ini bukan darinya, tetapi pada mulanya berasal dari yang lain. Sebagai contoh adalah para malaikat yang dipercaya di alam atas dan alam bawah, yang diatur menurut perintah Allah. Firman-Nya,

 

“Dan (malaikat-malaikat) yang membagi urusan.” (Adz-Dzariyat: 4).

 

“Demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan, dan (malaikat-malaikat) yang terbang dengan kencangnya, dan (malaikat-malaikat) yang membedakan (antara yang hak dan yang batil) dengan sejelas-jelasnya, dan (malaikat-malaikat) yang menyampaikan wahyu.” (Al-Mursalat: 1-5).

 

“Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut, dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia).” (An-Nazi’at: 1-5).

 

Allah mewakilkan berbagai planet, matahari dan bulan kepada para malaikat untuk menggerakkannya, mewakilkan angin kepada mereka untuk menghembuskannya menurut perintah-Nya, dan mereka adalah para penjaga angin itu. Allah berfirman,

 

“Adapun kaum Aad, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang.” (Al-Haqqah: 6).

 

Allah mewakilkan setiap tetes air kepada malaikat, mempercaya. kan awan kepada malaikat yang menggiringnya ke arah mana pun yang diperintahkan Allah. Telah diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Tatkala seorang laki-laki berada di suatu tempat, tiba-tiba dia mendengar sebuah suara di atas awan, yang berkata, Airilah kebun Fulan’. Orang itu mengikuti jalannya awan hingga berhenti di sebuah kebun, hingga airnya menggenangi kebun itu. Dia melihat-lihat, yang ternyata ada seorang laki-laki di kebun itu yang sedang memindah-mindahkan air dengan menggunakan sekop. Dia bertanya kepada pemilik kebun, ‘Siapakah namamu wahai hamba Allah?’ Pemilik kebun menjawab, ‘Fulan’, yaitu nama yang didengarnya (disebut) di atas awan. Dia berkata, ‘Sesungguhnya saya tadi mendengar seseorang yang berkata di atas awan itu, Airilah kebun Fulan!’ Apa saja yang engkau perbuat terhadap kebun ini?’ Pemilik kebun menjawab, ‘Sesungguhnya saya melihat apa yang dihasilkannya, lalu saya bagi menjadi tiga bagian: Sepertiga saya shadaqahkan, sepertiga lagi saya nafkahkan kepada keluargaku dan sepertiganya lagi saya tanam kembali’.” (Ditakhrij Muslim).

 

Allah mewakilkan gunung kepada malaikat. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaiht wa Sallam, bahwa beliau didatangi seorang malaikat penjaga gunung, yang mengucapkan salam lalu meminta perkenan kepada beliau untuk membinasakan kaumnya jika memang hal itu beliau kehendaki. Tapi beliau menjawab,

 

“Bahkan aku berharap bagi mereka semoga Allah mengeluarkan dari kalangan mereka orang yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany).

 

Allah mewakilkan rahim kepada seorang malaikat, yang berkata, “Wahai Rabb-ku, adakah setetes sperma? Adakah segumpal darah? Adakah sepotong daging? ‘Laki-laki atau wanita? Bagaimana rezkinya? Bagaimana ajalnya? Dia bahagia ataukah menderita?”

 

Allah mewakilkan setiap manusia kepada empat malaikat di dunia ini: Dua malaikat menjaganya di sebelah kiri dan kanan dan juga menulis amal-amalnya, ada pula para malaikat yang menyertainya dari sebelah depan dan belakang, minimal dua malaikat, yang menjaganya menurut perintah Allah.

 

Allah mewakilkan kematian kepada seorang malaikat, mewakilkan pengajuan pertanyaan kepada orang yang meninggal di alam kubur kepada malaikat, mewakilkan rahmat kepada seorang malaikat, mewakilkan adzab kepada seorang malaikat, mewakilkan orang Mukmin kepada seorang malaikat yang menghelanya kepada berbagai macam ketaatan, mewakilkan neraka kepada malaikat yang selalu membuat dan menyalakan apinya, yang membuat belenggu dan rantai dan melaksanakan tugas menurut perintah Allah, menyerahkan surga kepada malaikat yang membangun dan menghamparkannya, yang membuat tempat sandaran, dipan-dipan, bantal-bantal dan bejana-bejananya. Semua penanganan alam atas dan alam bawah, surga dan neraka ditangani para malaikat menurut perkenan dari Allah dan menurut perintahNya. Allah berfirman,

 

“Mereka itu tidak mendahuluinya dengan perkataan dan mereka mengegakan perintah-perintah-Nya.”” (Al-Anbiya’: 27).

 

“Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintah. kan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6).

 

Allah mengabarkan bahwa para malaikat tidak mendurhakai-Nya jika mendapat perintah-Nya, mereka sanggup melaksanakan perintah. perintah-Nya dan mereka sama sekali tidak lemah, berbeda dengan orang yang meninggalkan perintah Allah karena memang tidak sanggup, se. hingga orang seperti ini juga tidak disebut orang yang mendurhakaj perintah-Nya, sekalipun memang dia tidak melaksanakannya.

 

Allah juga mewakilkan lautan kepada malaikat yang memenuhi permukaannya dan mencegahnya menggenangi daratan, agar penghuninya tidak tenggelam. Amal-amal keturunan Adam, yang baik dan yang buruk juga diwakilkan kepada malaikat, untuk ditulis dan dibukukan. Oleh karena itu iman kepada para malaikat merupakan salah satu rukun iman, sehingga rukun-rukun ini belum dianggap sempurna Kecuali dengan disertai iman kepada para malaikat.

 

Jika hal ini sudah diketahui, berarti setiap gerakan di alam ini disebabkan oleh para malaikat, dan gerakan mereka merupakan ketaatan kepada Allah berdasarkan perintah dan kehendak-Nya. Jadi semua urusan Kembali kepada pelaksanaan kehendak Allah, baik hukum maupun takarannya. Sedangkan para malaikat merupakan pelaksana perintah itu. Oleh Karena itu mereka disebut dengan malaikat, yang berasal dari kata al-alukiyah, yang berarti pengutusan. Jadi, mereka adalah utusanutusan Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya.

 

Gamblangnya, gerakan-gerakan planet dan apa pun di sekitarnya mengikuti gerakan yang memang dikehendaki, yang disertai cinta. Cinta dan kehendak merupakan asal setiap perbuatan dan permulaannya. Perbuatan tidak muncul kecuali karena cinta dan kehendak, termasuk pula upayanya untuk menyingkirkan hal-hal yang dibenci dan tidak disukai. Dengan Kehendak dan cintanya dia menyingkirkan. apa yang dibenci dan tidak disukai itu, sekalipun harus mengerjakan hal-hal sebaliknya dan demi mendapatkan Kenikmatan yang bisa diperolehnya.

 

Contohnya adalah ucapan, “Amarahnya sudah luruh, dadanya sudah lapang.” Gambaran lain, kesembuhan dan afiat merupakan sesuatu yang dicintai, sekalipun harus melakukan hal-hal yang tidak disukai, seperti meminum obat yang pahit untuk menghilangkan rasa sakit. Sekalipun di satu sisi merupakan hal yang tidak disukai, tetapi perbuatan ini dicintai, demi untuk mengenyahkan apa yang tidak disukai dan mendatangkan apa yang dicintai.

 

Begitu pula melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan diri sendiri. Sekalipun hal ini tidak disukai, tapi tetap saja hal itu dilakukan karena adanya cinta dan kehendak. Kalau pun hal ini tidak disukai dirinya, toh ini merupakan tuntutan orang yang dicintai dirinya.

 

Makhluk hidup tidak akan meninggalkan apa yang dicintai dan diinginkan dirinya, kecuali memang hal itu dicintai dan diinginkan dirinya. Tetapi dia akan meninggalkan yang paling tidak disukainya untuk mendapatkan mana yang lebih dicintainya. Oleh karena itu cinta dan kehendak merupakan sumber kebencian dan ketidaksukaan. Sesuatu yang dibenci dan tidak disukai menafikan keberadaan apa yang dicintai. Jika kemudian ada sesuatu yang dicintai atau sesuatu yang dibenci disingkirkan, maka semua perbuatan akan mengembalikan keberadaan apa yang dicintai.

 

Gerakan menurut kemauan sendiri dasarnya adalah kehendak. Sedangkan gerakan menurut paksaan dan alami mengikutinya, lalu permasalahannya kembali kepada gerakan yang dikehendaki. Semua gerakan alam atas dan alam bawah mengikuti kehendak dan cinta. Cinta inilah yang menggerakkan alam dan karenanya ia bergerak. Cinta ialah yang menjadi alasan langsung dan tidak langsung. Bahkan dengan cinta dan Karena cinta inilah alam menjadi ada. Tidak ada sesuatu yang bergerak di alam atas dan alam bawah, melainkan kehendak dan cinta merupakan sebab dan tujuannya. Bahkan hakikat cinta itu sendiri adalah gerakan jiwa yang mencintai terhadap yang dicintai. Cinta adalah gerakan yang tak bisa diam. Sedangkan kesempurnaan cinta adalah penghambaan, ketundukan, merendahkan diri dan taat kepada yang dicintai. Inilah kebenaran yang karenanya langit dan bumi, dunia dan akhirat diciptakan. Allah berfirman,

 

“Dan, tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar.” (Al-Hijr: 85).

 

“Dan, Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah.” (Shad: 27).

 

“Maka apakah kalian mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main?” (Al-Mukminun: 115)

 

Yang pasti, tujuan adanya penciptaan adalah penyembahan kepada Allah semata, yang sekaligus menjadi gambaran kesempurnaan cinta, ketundukan dan merendahkan diri. Keharusan penyembahan kepadaNya adalah adanya perintah dan larangan, pahala dan siksa. Karena itu para rasul diutus, kitab-kitab diturunkan, surga dan neraka diciptakan, Langit dan bumi bisa tegak dengan keadilan, yaitu jalan Allah, yang Dia juga berada di atasnya dan merupakan sesuatu yang paling disukai Allah, Allah berfirman tentang keadaan Nabi-Nya, Syu’aib Alathis-Salam,

 

“Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Rabbku dan Rabb kalian, Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas Jalan yang lurus.” (Hud: 56).

 

Allah berada di atas jalan lurus dalam menetapkan syariat dan takdirNya. Maksud jalan lurus di sini adalah keadilan, karenanya ada makhluk, perintah, larangan, pahala dan siksa. Karena itu orang-orang Mukmin berkata dalam ibadahnya,

 

“Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau.” (Ali Imran: 191).

 

Mereka memustahilkan Allah menciptakan langit untuk main-main, tanpa ada hikmah dan tanpa ada tujuan yang terpuji. Allah dipuji karena tujuan-tujuan yang terpuji, sebagaimana pujian terhadap dzat dan sifatsifat-Nya. Tujuan-tujuan yang terpuji dalam perbuatan-Nya adalah hikmah yang dicintai dan diridhai-Nya. Dia menciptakan apa yang tidak disukai sebagai keharusan dari apa yang dicintai dan menyertai apa yang dicintai-Nya. Oleh karena itu Allah membiarkan pelaksanaan sebagian apa yang dicintai-Nya, karena disertai dengan meninggalkan apa yang dicintainya yang jauh lebih banyak. Atau Dia membiarkan pelaksanaan apa yang dibenci sebagai sesuatu yang lebih dibenci dari apa yang dicintai. Hal ini seperti keadaan Allah yang menutup hati musuhmusuh-Nya untuk beriman dan taat kepada-Nya, karena memang mereka tidak mau taat. Tetapi Allah membiarkan hal yang lebih disenangi-Nya, berupa hal-hal yang sejalan al-wala’ wal-bara’, pengorbanan para wali-wali-Nya, yang memprioritaskan kecintaan kepada-Nya dari kecintaan kepada diri mereka sendiri. Untuk inilah Allah menciptakan kehidupan dan kematian, serta menjadikan hiasan di atas bumi. Allah berfirman,

 

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2).

 

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Al-Kahfi: 7).

 

“Dan, Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya.”(Hud: 7).

 

Allah telah mengabarkan tentang penciptaan alam, hidup, mati dan menjadikan perhiasan di bumi serta apa pun yang ada di permukaannya, untuk menguji hamba-hamba-Nya, siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya, sehingga amalnya sesuai dengan apa yang dicintai Allah, sejalan dengan tujuan penciptaannya dan penciptaan alam, yaitu untuk beribadah kepada-Nya, yang meliputi kecintaan dan taat kepada-Nya. Inilah amal yang paling baik dan inilah inti cinta dan ridhaNya. Kemudian Allah juga menakdirkan kebalikan-kebalikannya menurut hikmah-Nya, dan menguji manusia, bagaimana sikap mereka dalam menghadapi perintah dan takdir itu, siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya.

 

Dalam kaitannya dengan ujian ini, manusia dibedakan menjadi dua golongan:

 

Pertama, golongan manusia yang berbuat beserta perintah dan kecintaan kepada Allah. Mereka diam sesuai dengan perintah, bergerak sesuai dengan perintah, menggunakan perintah itu dalam menghadapi takdir, menjalankan perahu perintah di lautan takdir, menghukumi perintah berdasarkan takdir, melawan takdir dengan takdir, sebagai perwujudan komitmen terhadap perintah-Nya dan untuk mencari ridha-Nya. Mereka inilah orang-orang yang selamat.

 

Kedua, golongan yang mempertentangkan antara perintah dan takdir, antara apa yang dicintai dan diridhai-Nya, antara apa yang ditakdirkan dan ditetapkan-Nya. Mereka dibagi lagi menjadi empat kelompok:

 

  1. Kelompok yang mendustakan takdir karena hendak menjaga perintah dan meniadakan perintah dengan alasan menjaga takdir. Padahal iman kepada takdir merupakan dasar iman kepada perintah. Ini merupakan kaidah tauhid. Siapa yang mendustakan takdir, berarti telah meniadakan imannya.

 

  1. Kelompok yang menolak perintah dengan alasan takdir. Mereka adalah orang-orang yang paling kufur, dan mereka inilah orangorang yang dikisahkan Allah di dalam Al-Qur’an, tatkala mereka berkata,

 

“Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mermpersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.” (Al-An’am: 148).

 

Mereka juga berkata,

 

“Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun Selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.” (An-Nahi: 35).

 

“Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah kami tidak menyembah mereka (para malaikat).” (Az-Zukhruf: 20).

 

“Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang Jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan?” (Yasin: 47).

 

Dengan keadaan seperti itu Allah menjadikan mereka orang-orang yang mendustakan dan pembangkang yang tidak disertai pengetahuan. Allah juga mengabarkan bahwa mereka berada dalam kesesatan yang nyata.

 

  1. Kelompok yang bertindak bersama takdir, berjalan menurut jalannya takdir, turun bersama turunnya takdir, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan perintah atau bertentangan. Bahkan agamanya adalah takdir. Yang disebut halal adalah yang halal menurut takdir, yang haram adalah apa yang diharamkan takdir. Mereka bergabung dengan yang menang, baik Muslim maupun kafir, orang baik maupun orang jahat, dengan alasan takdir. Tatkala mereka melihat hakikat alam yang dianggapnya sebagai takdir, maka mereka tak segan untuk bergabung dengan orang-orang kafir yang berkuasa. Mereka ini juga disebut orang-orang kafir.

 

  1. Kelompok yang berbuat bersama takdir, sambil beranggapan bahwa sebenarnya dia berseberangan dengan perintah. Mereka tidak membatasi takdir itu tetapi membebaskannya. Mereka tidak menghukumi perintah dan tidak sanggup menolak takdir dengan takdir untuk bisa mengikuti perintah. Mereka adalah orang-orang yang menyimpang. Mereka berada di antara kondisi yang lemah dan mendurhakai Allah. Mereka adalah orang-orang yang bermakmum kepada pemimpinnya, Iblis. Sebab Iblislah yang pertama kali mendahulukan takdir daripada perintah dan juga menentangnya. Iblis berkata,

 

“Iblis berkata, “Ya Rabbku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya’.” (Al-Hijr: 39).

 

‘Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari Jalan Engkau yang lurus’.” (Al-Araf: 16).

 

Iblis menolak perintah Allah dengan takdir-Nya dan beralasan di hadapan Rabb-nya dengan takdir. Jadi, pengikut Iblis Ini dibagi menjadi empat golongan di atas. Iblis dan pasukannya mengirim utusan dengan membawa takdir menurut apa adanya. Allah berfirman,

 

“Tidakkah kamu lihat, bahwa Kami telah mengirim syetan-syetan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh?” (Maryam: 83).

 

Agama mereka adalah takdir dan kesudahan jalan yang mereka tempuh adalah neraka. Lalu Allah mengutus para rasul untuk membawa perintah dan memerintahkan agar mereka memerangi orang-orang yang berkilah di balik takdir ini. Dengan perintah Allah para rasul ini membuat perahu, lalu menyuruh para pengikutnya untuk mengarungi lautan takdir. Yang selamat hanyalah mereka yang mau balik ke atas perahu, seperti keselamatan yang diperoleh pembuat perahu itu. Yang demikian ini dijadikan bukti penguat untuk seluruh alam.

 

Orang-orang yang berpegang kepada perintah memerangi orangorang yang hanya berpegang kepada takdir, untuk membawa mereka kepada perintah. Sedangkan orang-orang yang hanya berpegang kepada takdir juga memerangi orang-orang yang berpegang kepada perintah hingga mereka keluar dari perintah itu. Jalan para rasul adalah perintah, disertai iman kepada takdir serta mengangkat perintah itu sebagai penentu atas takdir. Sedangkan jalan Iblis dan pasukannya adalah takdir serta mengesampingkan perintah. Perhatikan secara seksama masalah ini, yaitu yang berkaitan dengan takdir dan perintah serta pemilahan dunia menjadi lima bagian dalam kaitannya dengan masalah ini.

 

Gerakan alam atas dan alam bawah serta apa pun yang ada di dalamnya harus sejalan dengan perintah agama yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, atau perintah alam yang ditakdirkan Allah dan ditetapkanNya. Allah tidak menetapkan takdir baginya secara sia-sia dan mainmain. Sebab di dalam takdir itu terkandung hikmah dan tujuan-tujuan yang terpuji, juga disusul dengan hal-hal yang pasti ada tujuannya, sekalipun mungkin kurang disenangi sebab dan permulaannya.

 

Allah suka memberi ampunan sekalipun tidak menyukai kedurhakaan hamba-hamba-Nya. Allah suka tabir yang menutup aib sekalipun tidak menyukai tabir yang memisahkan hubungan dengan-Nya. Allah menyukai kemerdekaan sekalipun tidak menyukai sebab yang membebaskannya dari api neraka. Allah menyukai ampunan sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadits,

 

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan, Eng. kau menyukai ampunan, maka ampunilah dosa saya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy, An-Nasa’y dan Ibnu Majah).

 

Sekalipun Allah tidak menyukai dosa-dosa yang kemudian diampuni-Nya, tapih Allah tetap menyukai orang-orang yang bertaubat, sekalipun Dia tidak menyukai kedurhakaan, yang kemudian mereka bertaubat darinya. Allah menyukai jihad dan orang-orang yang berjihad, sekalipun Dia tidak menyukai perbuatan orang-orang yang berjihad untuk melawan-Nya. Ini merupakan masalah yang luas dan pintunya selalu terbuka. Oleh karena itu masukilah, agar engkau bisa mendapatkan pengetahuan.

 

Ini merupakan topik yang dianggap sempit oleh sebagian orang yang berpikir, dan yang hanya masuk dari pintunya sendiri. Rahasia topik ini, bahwa Allah adalah Mahasempurna, sifat dan asma-Nya. Dia memiliki kesempurnaan yang mutlak dari berbagai segi, yang tidak memiliki kekurangan dari satu segi pun. Dia menyukai asma dan sifat-sifat-Nya, menyukai pengaruhnya pada makhluk-Nya. Ini merupakan kelaziman kesempurnaan-Nya. Allah ganjil dan menyukai yang ganjil, indah dan menyukai keindahan; Maha Mengetahui dan menyukai orang-orang yang berpengetahuan, murah hati dan menyukai orang-orang yang bermurah hati; Mahakuat dan menyukai orang Mukmin yang lebih kuat daripada orang Mukmin yang lemah, malu dan menyukai orang-orang yang mempunyai rasa malu; menepati janji dan menyukai orang-orang yang menepati janji; Maha Penerima syukur dan menyukai orang-orang yang bersyukur; Mahabenar dan menyukai orang-orang yang benar; membalas perbuatan baik dan menyukai orang-orang yang berbuat baik.

 

Jika Allah menyukai ampunan, maghfirah, kelembutan, tenggang rasa, menutupi aib dan lain-lainnya, berarti tak ada campur tangan takdirNya terhadap sebab-sebab yang memunculkan pengaruh sifat-sifat itu dan yang dijadikan manusia sebagai dalil atas kesempurnaan asma dan sifat-sifat-Nya. Yang demikian ini lebih mendorong mereka untuk mencintai, memuji dan mengagungkan-Nya. Dengan begitu tercapailah tujuan penciptaan makhluk. Kalaupun tujuan ini tidak terwujud pada sebagian makhluk, maka itu karena ketiadaan sebab kesempurnaan dan kemunculamnya. Perhatikanlah baik-baik masalah ini.

 

Pada Hari Kiamat, semua yang ada pada diri makhluk akan tersibak, tatkala mereka berhimpun di satu tempat. Kebaikan dan keburukan, kenikmatan dan penderitaan akan dikembalikan kepada setiap diri, sekalipun hanya seberat biji sawi. Setiap dirl akan dihela ke tujuan yang dipersaksikannya. Pada saat itu pula semua alam akan memuji-Nya, sebagaimana firman Allah,

 

“Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat di sekeliling ‘Arsy bertasbih sambil memuji Rabb mereka, dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan, ‘Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam’.” (Az-Zumar: 75).

 

Yang melontarkan ucapan seperti dalam akhir ayat ini tidak disebutkan, karena memang tidak perlu. Sebab pada hakikatnya setiap orang akan memuji Allah seperti ketetapan yang ada pada dirinya. Semua penghuni langit dan bumi, yang baik dan yang jahat, manusia dan jin, termasuk pula para penghuni neraka, semua memuji Allah.

 

Al-Hasan dan lain-lainnya berkata, “Sekalipun mereka masuk ke neraka, tetapi pujian kepada-Nya tetap ada di dalam hati, selagi mereka mendapatkan cara untuk itu. Inilah rahasia ditiadakannya siapa yang melontarkan ucapan, seperti dalam firman-Nya,

 

“Dikatakan (kepada mereka), ‘’Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kalian kekal di dalamnya’.” (Az-Zumar: 72).

 

Begitu pula dalam firman-Nya,

 

“Dan, dikatakan (kepada keduanya), ‘Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.” (At-Tahrim: 10).

 

Seakan-akan seisi alam mengucapkan pujian itu. Allah lebih mengetahui mana yang lebih benar.

 

Yang dimaksudkan motif dan pendorong di sini adalah suatu perasaan yang disusul dengan kehendak dan kecenderungan. Hal ini berkaitan dengan diri orang yang mencinta. Tapi bisa juga diartikan sebab yang melatar belakangi tumbuhnya cinta dan menjadi gantungannya. Hal ini dikaitkan dengan orang yang dicintai. Kita maksudkan motif dan pendorong di sini adalah paduan antara keduanya, yang berkaitan dengan orang yang dicintai, yaitu sifat-sifat yang mendorong untuk mencintainya, juga yang berkaitan dengan orang yang mencintai, yaitu adanya rasa cinta dan keserasian yang memadukan orang yang mencintai dan yang dicintai. Ini merupakan jalinan antara keduanya, yang merupakan jalinan antara makhluk dengan makhluk dalam suatu keserasian.

 

Dalam bab ini ada beberapa masalah yang perlu dibicarakan, yaitu tentang:

 

  1. Sifat orang yang dicintai dan pesona keindahannya

 

  1. Perasaan orang yang mencintai terhadap orang yang dicintai

 

  1. Keserasian yang meliputi keselarasan dan kesesuaian antara orang yang mencintai dan orang yang dicintai.

 

Selagi ketiga hal ini menguat dan sempurna, maka cinta pun menjadi kuat dan mengakar. Berkurangnya rasa cinta dan kelemahannya tergantung kepada kelemahan dan berkurangnya tiga hal ini. Jika orang yang dicintai memiliki daya pesona keindahan, pesona itu benar-benar bisa ditangkap orang yang mencintai, keserasian yang mempertemukan keduanya amat kuat, maka itulah cinta yang abadi. Boleh jadi pesona keindahan itu sendiri hanya biasa-biasa saja. Tetapi di mata orang yang mencintai pesonanya tampak sempurna, sehingga cintanya pun menguat karena pertimbangan pesona keindahan itu.

 

Sesungguhnya cintamu terhadap sesuatu bisa membuatmu buta dan tuli. Orang yang mencintai tidak melihat seorang pun yang lebih menawan dari orang yang dicintai. Dikisahkan bahwa Azzah pernah menemui Al-Hajjaj. Al-Hajjaj berkata kepada wanita itu, “Wahai Azzah, demi Allah, engkau tidak seperti gambaran yang pernah dikatakan Kutsayyir. ”

 

Azzah menimpali, “Wahai Amir, sesungguhnya dia belum pernah melihat diriku dengan mata kepalanya sendiri, seperti engkau melihatku saat ini.”

 

Tidak dapat disangsikan bahwa orang yang dicintai adalah sesuatu yang paling manis di mata orang yang mencintai dan lebih besar dari segala sesuatu. Seorang penyair berkata,

 

Aku tak tahu apakah pesonanya yang memikat

atau mungkin akalku yang tidak lagi di tempat

 

Boleh jadi pesona keindahan itu diobral, tetapi toh tidak bisa dinikmati secara utuh, sehingga cinta pun biasa-biasa saja. Jika hakikat pesona keindahan itu dikuak, tentu ia akan menawan hati. Oleh karena itu para wanita diperintahkan untuk menutup wajahnya dari pandangan lakilaki. Sebab penampakan wajah mewakili kesempurnaan keindahan, sehingga mudah menimbulkan cobaan. Maka laki-laki yang hendak melamar wanita disyariatkan untuk melihat wajahnya. Sebab jika dia sudah melihat kecantikan dan keindahannya, tentu lebih bisa membuahkan cinta dan kebersamaan di antara keduanya, seperti yang diisyaratkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Jika salah seorang di antara kalian hendak melamar seorang wanita, maka hendaklah dia memandang apa yang mendorongnya untuk menikahinya, karena yang demikian itu lebih layak untuk merukunkan di antara keduanya.” (Diriwayatkan Abu Daud).

 

Jika hal ini dilakukan, maka bisa tercipta kesesuaian dan hubungan yang menumbuhkan cinta, sekalipun hal ini bukan merupakan jaminan. Sebab kesesuaian ruh merupakan sebab yang paling kuat untuk menumbuhkan cinta. Setiap orang akan condong kepada siapa yang sesuai dengannya.

 

Kesesuaian ini ada dua macam:

 

  1. Asli karena penciptaan
  2. Karena pergesekan atau persekutuan dalam hal tertentu.

 

Jika tujuanmu sesuai dengan tujuannya, maka akan tumbuh keselarasan antara jiwamu dan jiwanya. Jika tujuan ini berbenturan, maka kesesuaian juga tidak akan tercipta.

 

Kesesuaian yang asli adalah kecocokan akhlak, persamaan jiwa, kerinduan satu jiwa terhadap jiwa yang cocok dengannya. Penyerupaan sesuatu bisa mendatangkan daya tarik. Sehingga dua jiwa yang serupa dalam penciptaannya yang asli akan menghasilkan daya tarik di antara keduanya. Daya tarik itu bisa tumbuh karena hal-hal yang khusus. Kejadian seperti ini tidak bisa ditelusuri latar belakangnya dan tidak bisa dicari alasannya, seperti daya tarik sepotong besi dengan debu yang mengan. dung magnetik. Tidak dapat diragukan, daya tarik di antara ruh ini lebih kuat daripada daya tarik di antara benda-benda mati. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Keindahannya pangkal segala keindahan

dan magnetik hati laki-laki yang memandang

 

Inilah yang mendorong sebagian orang untuk berkata, Cinta tidak tumbuh karena alasan keindahan dan keelokan, sehingga jika tiada keindahan dan keelokan, tiada pula cinta. Tetapi cinta adalah kesesuaian jiwa dan kecocokan tabiatnya. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Cinta bukan karena keindahan dan yang tampak di mata

tetapi karena yang menyatukan hati dan jiwa

 

Sebagaimana yang dikatakan seseorang, pada hakikatnya cinta adalah cermin yang memantulkan gambar orang yang dicintai, sifat dan kelembutannya, tepat di hadapannya. Sehingga luapan cinta yang dia berikan kepadanya sama seperti cinta yang dia berikan kepada dirinya sendiri.

 

Orang yang mencinta akan berkata kepada orang yang dicintai, “Kudapatkan inti jiwaku pada dirimu dan kecocokannya dalam segala kondisi. Lalu jiwaku tergerak dan tertuntun untuk menemuinya, karena ternyata hatiku telah terasuki cinta.”

 

Yang seperti ini memang dibenarkan di satu sisi. Kesesuaian merupakan alasan yang paling menjamin. Sebagai penguat dari ungkapan ini, bahwa makanan yang paling disukai binatang adalah yang sesuai dengan struktur tubuhnya dan yang lebih cocok baginya. Selagi kesesuaian antara yang memakan dan makanan semakin Kuat, maka kecenderungan jiwa kepadanya juga semakin banyak. Selagi Kesesuaian semakin jauh, maka semakin jauh pula dia menjauhinya.

 

Tidak dapat diragukan, ini merupakan porsi yang lebih banyak daripada sekedar pertimbangan keindahan dan keelokan. Oleh karena itu jiwa yang mulia, agung dan suci lebih mencintai sifat-sifat kesempurnaan yang ada pada dzat yang dimaksud. Yang paling dicintainya adalah ilmu, keberanian, kemurahan hati, kehormatan diri, kebaikan, kesabaran dan keteguhan hati. Karena sifat-sifat seperti ini sesuai dengan relung sanubarinya. Berbeda dengan jiwa yang hina dan murahan, yang tidak menyukai sifat-sifat seperti ini. Banyak orang yang menjadikan kemurahan hati dan santun sebagai puncak cintanya dan kenikmatan yang tidak didapatkan pada sifat yang lain, seperti yang dikatakan Al-Ma’mun, “Yang paling kusukai adalah maaf, sehingga ada kekhawatiran aku tidak akan diberi pahala karenanya.”

 

Al-Imam Ahmad pernah ditanya, Jadi engkau mendalami ilmu ini karena Allah?”

 

Dia menjawab, “Memang Allah Maha Perkasa untuk menerima hal ini. Tetapi ini adalah sesuatu yang paling kusukai untuk kukerjakan.”

 

Sebagian yang lain berkata, “Saya benar-benar merasakan suatu kegembiraan jika bisa memberi dan saya benar-benar menikmatinya, jauh lebih besar dari kegembiraan orang yang menerima dan mengambilnya dariku.”

 

Dalam memuji sebagian orang yang murah hati, seorang penyair berkata,

 

Ada getaran yang merasuki jiwa yang murah hati

laiknya getaran dahan Karena angin yang sepoi-sepoi

 

Penyair lain berkata,

 

Kau lihat ada getaran halus di badannya

seakan kau memberinya apa yang diminta

 

Banyak orang yang murah hati, menjadikan sifat murah hati sebagai sesuatu yang paling dicintai. Dia tidak bisa bersabar untuk bermurah hati dan bederma sekalipun sebenarnya dia juga membutuhkan. Dia tidak peduli kritikan orang yang suka mengritik, dia tidak peduli celaan orang yang suka mencelanya. Sedangkan orang yang tergilagila kepada ilmu, maka dia menjadikan ilmu itu sebagai sesuatu yang paling dicintainya. Banyak di antara orang seperti ini yang tidak lagi tertarik kepada keelokan diri manusia.

 

Suatu kali ada-orang yang berkata kepada istri Az-Zubair bin Bakkar, “Kini engkau tampak tenang, karena tidak ada sesuatu yang membahayakanmu.”

 

Dia menimpali, “Demi Allah, buku-buku ini jauh lebih berbahaya bagiku dari bahaya macam apa pun.”

 

Saudara guru kami, Abdurrahman bin Taimiyah berkisah, dari ayahnya, dia berkata, Jika kakek kami ingin masuk kamar belakang, maka dia berkata kepadaku, ‘Baca buku ini dengan suara nyaring agar saya bisa mendengarnya, sehingga bisa kuketahui siapa yang sakit pusing dan demam’. Sementara buku itu diletakkan di atas kepalanya. Jika terasa ada kesembuhan, maka dia membacanya dan jika tidak, maka dia meletakkannya. Suatu hari ada tabib yang menemuinya tatkala dia dalam keadaan seperti itu. Maka tabib itu berkata, ‘Engkau tidak boleh berbuat seperti ini. Memang hal ini bermanfaat bagimu, tapi akan menjadi sebab hilangnya apa yang sedang engkau cari’.

 

Guru kami pernah berkata, “Saya mulai terjangkit penyakit. Laly tabib berkata kepadaku, Jika engkau tetap menggali dan membicarakan imu, maka penyakitmu akan semakin parah.”

 

Saya berkata, “Saya justru tidak bisa bersabar jika seperti itu dan tak mungkin saya patuh kepada ilmumu. Bukankah jika jiwa itu merasa senang bisa menguatkan tubuh, sehingga bisa menghilangkan penyakit>”

 

“Itu memang benar,” jawab tabib.

 

Saya berkata, ‘Jiwaku akan merasa senang karena ilmu dan tubuhku pun akan menjadi kuat karenanya, sehingga bisa kudapatkan ketenangan.”

 

Tabib berkata, “Yang seperti ini sudah diluar cara pengobatan kami.”

 

Mencintai sifat kesempurnaan merupakan gambaran cinta yang paling tinggi dan banyak memberi manfaat, sehingga lebih memungkinkan untuk menciptakan kesesuaian antara dua jiwa dan sifat-sifat itu. Maka dari itu jiwa yang paling tinggi dan mulia adalah yang paling layak untuk dicintai. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Engkaulah pembantai setiap pemabuk cinta

pilihlah untuk jiwamu siapa yang Kau pilih

 

Jika cinta tumbuh karena kesesuaian dan kecocokan, maka cinta itu akan menjadi kokoh dan kuat, tidak akan sirna kecuali oleh penghambat yang lebih kuat dari penyebab cinta itu. Jika cinta itu tumbuh bukan Karena kesesuaian dan kecocokan, tentunya cinta itu dilatarbelakangi tujuan tertentu, yang mudah luntur jika tujuan itu juga luntur dan menipis. Siapa yang mencintaimu Karena hal tertentu, maka tunggulah kelunturan cintanya. Jika pendorong dan motif tumbuhnya cinta adalah tujuan tertentu yang hendak diraih orang yang mencintai, maka cintanya tidak akan langgeng. Jika cinta itu karena tujuan tertentu pada diri orang yang dicintai, maka cinta itu juga akan cepat sirna jika tujuan di balik cinta itu sirna. Jika pendorong cinta karena sifat yang pasti, maka cinta itu akan langgeng, selagi tidak ada penghambat yang memaksa sirnanya cinta itu, entah karena perubahan pada diri orang yang mencintai maupun adanya sikap yang menyakiti dari orang yang dicintai. Sebab keberadaan sikap ini bisa melemahkan cinta atau bahkan membuatnya sirna sama sekali. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Terimalah maafku agar tumbuh cinta abadi

usah berkata di hadapanku saat aku emosi

aku lihat ada cinta dan sikap yang menyakitkan di hati

jika keduanya berpadu secepat itu pula cinta kan pergi

 

Tentang adanya sikap yang menyakiti ini, bisa dibagi menjadi dua: Pertama, tidak layak disebut cinta yang tulus jika ia sirna karena adanya sikap yang menyakiti. Kedua, di antara tanda cinta yang tulus adalah tiada berkurangnya rasa cinta itu sekalipun ada sikap yang menyakiti. Sebab orang yang benar-benar mencintai justru bisa menikmati sikap yang menyakiti dari orang yang dicintai, sekalipun dia diganggu orang yang dicintainya, sebagaimana yang dikatakan Abusy-Syaish,

 

Cintaku bersemi apa pun dirimu

tak peduli keadaanmu dulu dan kini

kau tak peduli padaku dan aku pun begitu

Siapa tak pedulikan dirimu hendak memuji

aku menyukai mereka sekalipun Kau seperti musuhku

pernilaianku terhadapmu sama terhadap mereka aku menilai

kudapatkan kenikmatan jika ada yang meiecehkanmu

biarkan orang mencelaku Karena cinta telah terpatri

 

Inilah cinta yang sejati, yang tumbuh karena kecocokan, yang mempertemukan tujuannya dan tujuan orang yang dicintai. Dia tak peduli terhadap dirinya karena orang yang dicintai juga tak peduli terhadap kKeadaan dirinya. Tetapi ada golongan lain yang melihat penyakit ini akan menghapus cinta. Sebab tabiat manusia ditetapkan untuk membenci orang yang menyakitinya, sebagaimana hati manusia ditetapkan untuk menyukai siapa yang berbuat baik terhadap dirinya. Apa pun pendapat yang mereka katakan, itu hanya sekedar anggapan masing-masing pihak.

 

Yang obyektif harus dikatakan, bahwa di dalam hati bisa bersemayam kebencian dan ketidaksenangan terhadap sikap yang menyakitkan di satu sisi, dan di sisi lain masih ada pula rasa cinta di dalamnya. Dia tetap mencinta tapi juga membenci sikap yang menyakitkan itu. Inilah yang pasti terjadi. Mana yang lebih dominan, maka itulah yang akan tampil sebagai pemenang. Hal ini telah diungkapkan seorang penyair,

 

Andaikan kau berkata, “Terjunlah ke bara api’

kutahu itu karena maumu dan penguat jalinan

saat itu aku kan terjun dan injakkan kaki

entah itu karena saranmu atau hendak menyesatkan

kalau pun itu adalah kejahatan yang engkau ingini

aku pun tersenyum jika terhadapmu aku bisa mencelakakan

 

Inilah yang obyektif. Seseorang juga bisa berbuat jahat jika dijahat; orang yang dicintai. Tidak seperti orang yang membual bahwa dia menikmati sikap yang menyakitkan dari orang yang dicintainya. Hal inj keluar dari tabiat manusia, kecuali jika hal itu dijadikan sarana untuk mendapatkan keridhaan orang yang dicintai dan jalan untuk mendekatj dirinya. Dia menikmati sikap yang menyakitkan itu, karena dia melihat hasil yang bakal diperoleh dengan cara itu. Yang seperti ini banyak terjadi,

 

Sebagian dokter berkata, “Saya sendiri menikmati obat-obat yang rasanya tidak enak jika saya melihat kesembuhan yang dihasilkannya, Saya letakkan obat itu di atas lidah dan saya telan, karena saya menyu. kainya.”

 

Tindakan seperti ini dilakukan orang yang mencintai, karena dimaksudkan agar dia bisa menjalin kasih dengan orang yang dicintai. Selagj dia mengingat ruh jalinan kasih dan cara untuk mendekati kekasihnya, maka beban seperti apa pun akan dia pikul. Seorang penyair berkata,

 

Dia mengobral kata tentang dirimu

minuman dihidangkan dan bekal dilupakan

dia mempunyai cahaya bersinar di hadapanmu

di balik punggungmu kata-katanya menyakitkan

Dengan kata lain, cinta itu mengharuskan adanya kesesuaian dan kecocokan.

 

Al-Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan di dalam Musnad-nya, dari hadits Aisyah Radhiyallahu Anha, bahwa ada seorang wanita yang suka memasuki tempat orang-orang Quraisy, dan membuat mereka tertawa. Lalu lain kali wanita itu tiba di Madinah dan singgah di tempat seorang wanita yang juga suka membuat orang-orang tertawa. Rasulullah bertanya, “Pada siapakah wanita itu singgah?”

 

Dia menjawab, “Pada seorang wanita yang suka membuat orang tertawa.”

 

Lalu beliau bersabda,

 

“Ruh itu laksana pasukan yang dikerahkan. Seberapa jauh pasukan itu saling mengenal, sejauh itu pula mereka akan bersatu, dan seberapa jauh mereka tidak saling mengenal, sejauh itu pula mereka akan berselisth.”

 

Sebagian dokter berkata, “Cinta adalah keterpaduan jiwa dan jiwa, karena adanya kesesuaian dan kecocokan. Jika air bercampur dengan air, maka keduanya sulit dipisahkan. Sehingga jika cinta antara dua orang sudah menyatu, yang satu akan menderita karena penderitaan yang lain, yang satu ikut sakit karena yang lain sakit, tanpa disadarinya.”

 

Dikisahkan bahwa ada seseorang yang mencintai orang lain. Rekan-rekannya menjenguk orang yang sakit itu. Setelah itu dia bertemu mereka, dan bertanya, “Dari mana kalian?”

 

“Kami menjenguk Fulan yang sedang sakit,” jawab mereka

 

“Apakah dia sedang sakit?” dia bertanya.

 

“Benar. Tapi sekarang dia sudah sembuh.”

 

Orang itu berkata, “Alhamdulillah. Tadinya saya tidak bisa percaya begitu saja bahwa saya sedang sakit, sebab saya tidak tahu mengapa saya sakit. Hanya saja saya menduga-duga, tentunya ada orang yang saya cintai yang sedang sakit. Pada hari ini saya sudah merasa baik kembali dan saya senang karena Allah telah menyembuhkan orang yang saya cintai.

 

Dikisahkan bahwa seorang laki-laki menjenguk orang yang dicintainya yang sedang sakit. Lalu saat itu pula laki-laki itu juga jatuh sakit. Tatkala orang yang dicintainya sembuh dan ganti menjenguknya, maka dia pun ikut sembuh. Saat itulah dia mendendangkan sebuah syair,

 

Kujenguk kekasih yang sedang sakit

lalu aku pun sakit karena belas kasihan

dia pun datang menjenguk

sakitku pun sirna karena saling pandang

 

Jika engkau memperhatikan kehidupan ini, tentu engkau akan mendapatkan adanya dua orang yang saling mencintai, dan tentu ada kecocokan dalam satu keadaan, perbuatan atau tujuan. Jika tujuan, sifat, perbuatan dan jalan saling bertentangan, tentu hati keduanya akan saling berjauhan. Disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam cinta, kasth sayang dan kelembutan mereka, laksana satu tubuh. Jika ada satu ang. gotanya yang sakit, maka semua anggota tubuhnya akan mengeluh karena demam dan tidak bisa tidur.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Jika ada yang berkata, “Menurut penuturanmu ini, jika seseorang mencintai orang lain, maka yang dicintai itu juga harus mencintainya, sehingga mereka berdua menyatu dalam satu cinta.” Kenyataannya justru berbicara lain. Berapa banyak orang yang mencintai justru men. dapat balasan yang menyakitkan.

 

Jawaban orang dari pertanyaan ini bisa bermacam-macam. Abu Muhammad bin Hazm berkata, “Menurut pendapat saya, cinta itu adalah hubungan antar bagian jiwa yang terbagi-bagi pada diri makhluk, dalam keaslian unsurnya yang tinggi. Jadi tidak seperti yang dikatakan Muhammad bin Daud, yang dia nukil dari sebagian filosof, bahwa jiwa itu merupakan lorong yang terbagi-bagi, tetapi harus ada kesesuaian, yang kekuatannya terpusat pada satu tempat di alam atas.

 

Kita sudah tahu bahwa rahasia kebersamaan dan pertentangan pada diri makhluk adalah karena adanya hubungan pemisahan. Suatu bentuk disesuaikan dengan bentuk yang serupa, satu gambaran dengan gambaran yang serupa pula, sehingga akan menghasilkan ketenangan. Untuk mendapatkan kesesuaian jenis ini merupakan pekerjaan yang mudah dilakukan, pengaruhnya nyata, tapi juga sering timbul perselisihan di antara kita.

 

Lalu bagaimana dengan jiwa dengan alamnya yang suci dan tingan, elemen dari segala elemennya yang bisa membumbung ke atas membentuk garis lurus, suatu keaslian yang siap menerima kecocokan, kecenderungan, penyimpangan, nafsu dan syahwat? Allah telah berfirman,

 

“Dialah yang menciptakan kalian dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (Al-Araf: 189).

 

Allah menjadikan penyebab kesenangan adalah keberadaan istri. Andaikata penyebab tumbuhnya cinta adalah rupa yang elok, tentunya yang tidak memiliki keelokan tidak akan dianggap baik sama sekaii. Kadangkala kita mendapatkan orang yang lebih memilih pasangan yang jebih buruk rupanya, padahal dia juga mengakui keelokan yang lain. Meski begitu tidak ada kendala apa-apa di dalam hatinya. Karena kecocokan akhlak merupakan sesuatu yang paling disukai manusia, dengan begitu kita tahu bahwa inilah yang paling penting dari segala-galanya. Memang bisa saja cinta tumbuh karena sebab-sebab tertentu. Tetapi cinta itu akan cepat lenyap dengan lenyapnya sebab.

 

Ada satu hal yang bisa menguatkan pendapat ini, kita tahu bahwa cinta itu ada bermacam-macam. Yang paling mulia adalah cinta orangorang yang saling mencintai karena Allah. Ada cinta yang bersemi saat sama-sama mencari lapangan kerja, karena ada kecocokan madzhab, karena ilmu yang dimiliki, cinta kekerabatan, cinta karena persahabatan, cinta karena sama-sama suka berbuat bajik kepada orang lain, cinta karena melihat kedudukan orang yang dicintai, cinta karena masingmasing mempunyai rahasia yang dipendam, karena untuk mendapatkan kenikmatan, cinta yang tidak disertai alasan yang pasti dan lain-lainnya.

 

Semua jenis cinta ini akan luntur jika penyebabnya juga luntur, menjadi mantap jika alasannya semakin mantap, menyusut jika alasannya menyusut, membara karena saling berdekatan, mereda karena saling berjauhan, dan rasanya jauh dari gambaran cinta yang sejati di dalam hati.

 

Kemudian kembali seperti pertanyaan yang sudah disampaikan di atas, jika ada yang berkata bahwa jika seseorang mencintai orang lain, maka orang lain itu juga harus mencintainya, sehingga mereka berdua bisa menyatu dalam cinta. Padahal kenyataannya banyak yang berbicara lain. Lalu bagaimana jawabannya?

 

Jawabannya, orang yang tidak mencintai dikepung dengan tabirtabir yang sebenarnya tidak dia ketahui. Dia tidak merasakan bagian yang seharusnya dijadikan alat penghubung sebelum hubungan itu terjalin. Andaikata masalah ini terpecahkan, tentu keduanya bisa saling berhubungan dan menjalin cinta. Jiwa yang mencinta tentunya tahu bagaimana jalan untuk saling berdampingan dengan orang yang dicintai dan menciptakan daya tarik tersendiri, seperti magnetik dan besi, atau seperti api dan tungku.

 

Golongan lain berusaha menjawab pertanyaan di atas, bahwa jiwajiwa itu diciptakan dalam bentuk yang bundar, lalu dibagi-bagi. Mana pun dua jiwa yang saling berdekatan dan bertemu, maka keduanya akan saling menyatu di alam ini dan saling mencintai. Jika saling berjauhan, maka keduanya akan saling menghindar. Jika kedua jiwa saling Menyaty di satu sisi dan saling menghindari di sisi lain, maka memang begitulah yang terjadi.

 

Jawaban ini dilandaskan kepada dasar yang salah, yaitu yang diciptakan orang-orang yang beranggapan bahwa jiwa itu ada sebelum adanya raga, bahwa jiwa-jiwa itu sudah saling mengenal dan berdampingan di sana, saling bertemu dan mengenal. Tentu saja anggapan ini salah. Yang benar adalah seperti yang ditunjukkan syariat dan akal, bahwa jiwa-jiwa itu diciptakan bersama-sama dengan raga. Malaikat yang diberj tugas meniupkan ruh Giwa) ke dalam raga, setelah ada proses pembentukan janin selama empat bulan dan memasuki bulan Kelima. Itulah awal Kejadian jiwa di dalam raga. Siapa yang beranggapan bahwa jiwa itu diciptakan sebelum itu, maka jelas itu merupakan anggapan yang salah. Bahkan ada pendapat yang lebih keblinger lagi, yang menyatakan bahwa jiwa itu sudah ada sejak dahulu kala.

 

Jawaban yang benar dari pertanyaan di atas bisa dikatakan sebagai berikut. Cinta itu, seperti yang sudah diisyaratkan, dibagi menjadi dua macam:

 

Pertama, cinta di permukaan dan karena alasan tertentu. Jenis ini tidak mesti ada kebersamaan. Bahkan seringkali disertai kebencian orang yang dicintai terhadap orang yang mencintai, kecuali jika dia juga mempunyai tujuan yang sama dengan orang yang mencintainya. Jadi cinta itu tumbuh karena adanya tujuan yang sama.

 

Kedua, cinta yang bernuansa ruh, yang dibangkitkan kesamaan dan kecocokan di antara dua jiwa. Cinta tumbuh dari masing-masing pihak. Andaikata orang yang mencintai meraba cinta yang terpendam di hati orang yang dicintainya, tentu dia akan mendapatkan cinta yang sama dengan cintanya, dan bahkan lebih dari sekedar cintanya.

 

Lalu bagaimana jika cinta dari dua jenis manusia bisa membuahkan kepuasan, simpati dan kesenangan bagi masing-masing, dan bahkan berujung dengan kebersamaan di antara kKeduanya?

 

Seorang wanita Arab berkata dalam syairnya,

 

Kucari alasan dari dosa yang kulakukan

tapi kaupaksa aku menjadi pemutus tali

kau bawa pergi akalku di kesempitan jurang

setelah aku berumur akal itu kau bawa kembali

itulah cinta kami yang berdampingan

engkau telah mensifati dengan adil dan jeli

 

Penyair lain berkata,

Ya Rabbi, kusibukkan dia dengan cintaku seperti Engkau sibukkan hatiku dengan cintanya agar menjadi ringan apa yang bersemayam di hatiku

 

Seorang wanita ada yang mencela suaminya, seraya berkata, “Aku memohon kepada Dzat yang telah membagi jalan kehidupan di antara hamba, sehingga Dia membagi cinta antara diriku dan dirimu.” Setelah itu dia menyenandungkan sebuah syair,

 

Aku memohon kepada Dzat yang membalikkan keinginan hasratku kepadamu dan hasratmu kepadaku timpakan cobaan padamu seperti aku yang terkena cobaan atau biarkan cinta mengalir di hatiku

 

Abul-Hudzail Al-Allaf berkata, “Dalam perputaran astronomi, susunan tabiat, hal-hal yang pasti maupun dalam hal-hal yang mungkin, tidak bisa orang yang mencintai tidak memiliki kecenderungan terhadap orang yang dicintai.”

 

Pendapat ini juga didukung Ibnul-Abbas An-Nasyi’, yang berkata dalam syairnya,

 

Dua matamu menjadi saksi kehangatan cinta kau dapatkan apa yang juga telah kudapatkan Abu Uyainah berkata, Aku dan dia mengigau dengan menyebut-nyebut nama kami menyelami sepi malam yang menjadi saksi kami saat terbangun dia melihatku ada di sampingnya saat aku terbangun begitu pula yang kualami kami satu dalam persamaan cinta sekalipun dia sabar dan tidak begitu aku Urwah bin Udzainah berkata, Orang yang kau harap jemu pada dirimu dicipta untuk mencintaimu seperti cintamu padanya

 

Jika dua jiwa sudah menemukan kecocokan, ruhnya sudah menyatu dan berinteraksi, maka badan pun akan berinteraksi pula dan menuntut kebersamaan yang dilakukan jiwa serta ruh. Sebab badan adalah alat ruh dan tunggangannya. Oleh karena itu Allah menciptakan syahwat persetubuhan antara laki-laki dan wanita, sebagai tuntutan dari kebersamaan dan penyatuan dua badan, seperti yang terjadi pada ruh dan jiwa. Maka dari itu perbuatan ini dinamakan jima’, khilath, nikah wa ifdha’; yang pada intinya masing-masing hendak bercampur dengan pasangannya, sehingga terjadilah kebersamaan di antara keduanya.

 

Jika ada orang yang berkata, “Berarti dengan persetubuhan ity mengharuskan adanya pemantapan cinta dan penguatannya. Padaha| kenyataannya justru berbicara lain. Karena persetubuhan itu justru bisa memadamkKan api cinta, mendinginkan bara kehangatannya dan me. nenteramkan jiwa orang yang mencinta.”

 

Ada pula yang mengatakan, bahwa manusia tidak sama dalam masalah ini. Di antara mereka ada yang cintanya semakin kuat setelah melakukan persetubuhan dari sebelum melakukannya. Dia bisa diibaratkan orang yang ingin mendapatkan apa yang dirasa cocok dengan apa yang dicintainya. Tatkala sudah merasakannya, maka cintanya semakin kuat dan kerinduannya semakin menggebu-gebu.

 

Telah disebutkan di dalam hadits shahih, dari Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam, tentang para malaikat yang naik ke hadapan Rabb, Lalu Allah bertanya kepada mereka tentang keadaan hamba-hamba. Nya, dan Dia lebih mengetahui tentang keadaan mereka, maka para malaikat itu menjawab, “Mereka bertasbih, bertahmid dan mensucikanMu.”

 

Allah bertanya, “Apakah mereka melihat-Ku>?”

 

Para malaikat menjawab, “Tidak.”

 

“Bagaimana jika mereka bisa melihat-Kue” Allah bertanya.

 

“Andaikata mereka bisa melihat Engkau, tentu mereka lebih banyak bertasbih, bertahmid dan mengagungkan Engkau.” Kemudian mereka berkata, “Mereka memohon surga kepada-Mu.”

 

Allah bertanya, “Apakah mereka bisa melihat surga itu?”

 

“Tidak,” jawab para malaikat.

 

“Bagaimana jika mereka bisa melihatnya>?”

 

Para malaikat menjawab, ‘Jika mereka bisa melihatnya, tentu mereka lebih keras memohonnya.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim dari hadits yang panjang).

 

Sudah sama-sama dimaklumi bahwa cinta orang yang bisa merasakan sesuatu yang sesuai dengan harapannya dan dia tidak sabar lagi untuk menikmatinya, lebih kuat dari cinta orang yang belum merasakannya. Bahkan jiwanya akan terasa tersapih darinya. Cinta yang terjalin antara suami istri dan cinta yang tumbuh setelah mereka bersetubuh, lebih besar dari cinta sebelumnya. Merupakan penyebab yang lazim jika nafsu hati bercampur dengan kenikmatan pandangan mata. Jika mata sudah bisa memandang, maka hati semakin bernafsu. Jika badan beradu badan, maka nafsu hati, kenikmatan mata dan kelezatan kebersamaan berkumpul menjadi satu. Jika hal-hal itu tidak terpenuhi, maka kerinduan akan semakin menggelora, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

” Kerinduan semakin melecut suatu waktu jika jarak sebelumnya saling berdekatan

 

Oleh karena itu penderitaan terasa menjadi berlipat bagi orang yang pernah melihat kekasihnya atau bersanding dengannya, laiu tibatiba keduanya harus berpisah. Penderitaan wanita jauh lebih terasa jika pernah merasakan madunya laki-laki, terlebih lagi jika dia baru pertama itu merasakannya. Sehingga hampir-hampir dia tak kuasa menahannya. Aiman bin Huzaim berkata,

 

Tiada lagi kesah saat bersanding wanita

kesah itu hadir saat berjauhan dengannya

 

Zuhair bin Miskin pernah menikahi seorang anak gadis. Tatkala dia tidak memiliki satu pun yang membuat istrinya tertarik padanya, dan usaha macam apa pun gagal dia Jlakukan, maka istrinya pergi darinya dan lagi kembali. Saat itu dia merangkum syair,

 

Dia katakan, seribu kali aku memeluknya

apa kau kira sudah cukup hanya dengan pelukan?

kukatakan padanya, jagalah perasaan cinta

tangis pilu karena hanya di perkataan

apalah arti kenikmatan bagi seorang pemuda

cinta dalam perkataan tak sejalan dengan perbuatan

 

Banyak orang berkata, “Cinta terasa hambar kecuali setelah seorang pria merobek selendangnya, dan seorang wanita merobek selubung wajahnya.”

 

Al-Ma’mun pernah berkata, “Cinta itu hanya sekedar sebuah pelukan”. Azh-Zharfa’ yang mendengarnya menimpali, “Al-Ma’mun dusta.” Kemudian dia melantunkan syair,

 

Cinta di hatiku merebak putih

sungguh celaka jika ia melemah

tiada arti cinta bagiku

jika aliran sungai-tak kusapu

 

Ibnur-Rumy berkata dalam syairnya,

 

Kupeluk dia dan hatiku semakin dirundung rindu

adakah aku bisa berdekatan dengannya setelah itu?

kucium bibirnya agar hilang gejolak di hati

namun hasrat untuk bersua semakin menjadi-jadi

kerinduan belum lagi terobatkan

karena dua bibir yang saling berpagutan

hatiku seakan tak pernah padam membara

kecuali setelah jiwa kami bersanding bersama

 

Ath-Thabrany menuturkan di dalam Al-Mujamul-Ausath, “Kam; diberitahu Bakr bin Sahl, kami diberitahu Abdullah bin Yusuf, kami dj, beritahu Muhammad bin Muslim, dari Ibrahim bin Maisarah, dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, bahwa ada seorang laki-laki ber. kata, “Wahai Rasulullah, kami mempunyai seorang gadis yatim yang dilamar dua orang, yang satu kaya raya dan satunya lagi miskin. Ternyata dia justru mencintai laki-laki yang miskin, sedangkan kami menginginkan agar dia kawin dengan yang kaya.”

 

Beliau bersabda, “Apakah tidak terlihat bahwa orang yang saling mencintai itu seperti pasangan?”

 

Menurut Abul-Qasim Ath-Thabrany, hadits ini tidak ada yang meri. wayatkan dari Thawus kecuali Ibrahim, tidak ada yang meriwayatkan dari Ibrahim kecuali Muhammad bin Muslim dan Sufyan Ats-Tsaury, Mu’ammal bin Isma’il menyendiri dalam periwayatannya dari Ats-Tsaury. Abul-Faraj bin Al-Jauzy meriwayatkannya dari hadits Hassan bin Bisyr, kami diberitahu Ahmad bin Harb, kami diberitahu Ibnu Uyainah, kami diberitahu Amr, dari Jabir, lalu menyebutkan hadits ini. Al-Mu’afa bin Imran berkata, “Kami diberitahu Ibrahim bin Yazid, dari Sulaiman bin Musa, dari Amr, dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma. Kami diberitahu Ali bin Harb Ath-Tha’y, kami diberitahu Ibnu Cyainah, dari Ibrahim bin Maisarah, dari Thawus. Ad-Daruquthny menyebutkannya di dalam Kitabul-Ghara ‘ib, dan dia berkata, “Yazid bin Marwan menyendiri dalam periwayatannya, dari Amr bin Harun, dari Utsman bin Al-Aswad Al-Makky, dari Ibrahim bin Maisarah, dari Thawus.”

 

Hindun binti Al-Muhallab berkata, “Saya tidak melihat sesuatu yang lebih berharga bagi wanita yang baik maupun yang buruk selain perbuatan mengikuti laki-laki yang bisa mendatangkan ketenangan bagi dirinya. Berapa banyak orang yang diharapkan bisa mendatangkan ketenangan, tapi justru tak ada gunanya. Dalam keadaan seperti apa pun ketenangan jauh lebih dibutuhkan.”

 

Al-Hakim menyebutkan di dalam tarikh Naisabur, dari perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dimarfu’kan, “Empat perkara yang sekali-kali tidak merasa kenyang karena empat perkara: tanah karena hujan, wanita karena pria, mata karena memandang, orang berilmu karena ilmu.” Tapi tentu saja perkataannya ini batil jika dinisbatkan kepada diri Rasulullah Shallallahu Alaiht wa Sallam. Perkataan yang senada banyak diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu. Ath-Thabrany menyebutkan di dalam Al-Mu‘jamul-Ausath, dari perkataan Ibnu Umar, dimarfu’kan, “Kelebihan yang ada di antara kenikmatan wanita dan kenikmatan laki-laki, bagaikan bekas goresan jarum di debu. Hanya saja Allah menutupi para wanita dengan rasa malu.”

 

Menurut Ath-Thabrany, tidak ada yang meriwayatkan dari Laits kecuali Abul-Musayyab Salm bin Salam, dari Suwaid, dari Abdullah bin Usamah, dari Ya’qub bin Khalid, dari Atha’, dari Ibnu Gmar Radhiyallahu Anhuma. Hal ini juga tidak benar dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam, karena isnadnya menyimpang, dan hal ini tidak bisa dijadikan hujjah.

 

Segolongan orang berpendapat bahwa persetubuhan bisa merusak cinta atau melemahkannya. Mereka memberikan beberapa alasan, di antaranya:

 

  1. Persetubuhan adalah tujuan yang dicari dalam bercinta. Selagi orang yang dimabuk cinta masih terus mencari, berarti cintanya masih tetap utuh. Jika dia sudah sampai ke tujuan, maka kehangatan pencariannya menjadi dingin dan bara cintanya menjadi redup. Inilah keadaan setiap orang yang mencari sesuatu dan sudah mendapatkan apa yang dicari, seperti orang yang kehausan jika sudah kenyang minum air, orang lapar yang sudah kenyang menyantap makanan. Tak ada gunanya pencarian jika sudah mendapatkan apa yang dicari.

 

  1. Latar belakang cinta adalah bersifat pemikiran. Jika pemikiran menguat, cinta pun menguat pula. Jika sudah sampai ke tujuan cinta, pemikiran itu pun tidak menyisa lagi.

 

  1. Sebelum merasakan persetubuhan, berarti persetubuhan itu merupakan sesuatu yang terhalang bagi dirinya. Padahal manusia cenderung menyukai sesuatu yang menghalangi dirinya, seperti yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Aku semakin terlecut cinta jika ada penghalang

karena manusia lebih menyukai sesuatu yang menghalang

 

Menurut pendapat mereka, orang-orang Jahiliyah dalam kekufuran mereka tidak mengharap pahala dan tidak takut siksa. Mereka menjaga cinta dengan menghindari persetubuhan. Dikisahkan, ada seorang Arab dusun yang hatinya tertambat kepada seorang wanita. Setelah sekian tahun dia baru menemui wanita itu, dan tak sedikit pun cinta mereka memudar. Dia berkata, “Di suatu malam yang gelap, kulihat kedua telapak tangannya yang putih bersih, Kugenggam erat tangannya denga;, tanganku. Namun dia berkata, Jangan kau rusak apa yang sudah terjalip baik. Pernikahan yang mengakhiri cinta hanya akan merusak cinta itu’,

 

Inilah yang mengilhami Al-Ma’mun untuk berkata dalam syairnya,

 

Cinta hanyalah sekedar pandangan mata

kerlingan, belai tangan dan gesekan bahu

lembaran surat berisi pujian kata

lebih agung dari ikatan pernikahan

cinta hanyalah begini dan begitu

cinta kan rusak jika diakhiri pernikahan

jika begitu cintanya

yang dicari hanyalah keturunan

 

Umar bin Syabbata menyebutkan dari sebagian ulama Madinah, dia berkata, “Ada seorang laki-laki mencintai gadis. Setelah cinta saling bersambut, maka keduanya saling menyenandungkan syair. Suatu harj mereka pun mengikat janji. Tatkala bertemu, tiada lagi senandung syair, seakan-akan dia menghampiri wanita itu dan meminta Abu Hurairah agar menjadi saksi pernikahannya.”

 

Al-Ashma’y berkata, “Saya pernah bertanya kepada seorang wanita Arab dusun, “Apa anggapanmu tentang cinta?” Dia menjawab, “Cinta adalah pelukan, rangkulan, duduk berdampingan dan berbincangbincang.” Kemudian wanita itu bertanya, “Wahai laki-laki dari kota, laly apa anggapan kalian tentang cinta itu?” Saya menjawab, “Bersetubuh dengan wanita dan membuatnya puas.” Wanita itu berkata, “Wahai keponakanku, itu namanya bukan orang yang sedang bercinta, tetapi ingin mendapatkan anak.”

 

Seorang laki-laki dusun juga ditanya tentang cinta itu. Maka dia menjawab, “Cinta adalah menghisap air ludah, mengecup bibir dan memilih kata-kata yang manis. Lalu bagaimana menurut anggapan kalian wahai orang dari kota?” Orang yang ditanya menjawab, “Cinta adalah menindihi tubuh, mempertemukan lutut dengan lutut, hentakan yang bisa membangunkan orang yang mengantuk dan hati yang terlelap.” Orang Arab dusun itu berkata, “Demi Allah, apa yang dilakukan musuh yang keras itu? Lalu bagaimana halnya dengan kekasih yang penuh kelembutan?”

 

Sebagian orang berkata, “Cinta terasa nikmat dengan pandangan mata dan menjadi rusak karena lirikan.”

 

Sebagian lain berkata, “Cinta yang sebenarnya menuntut pengagungan orang yang dicintai dan rasa malu di hadapannya. Nafsunya tidak boleh dituruti dengan mengesampingkan rasa malu itu. Jika ini terjadi, maka sama saja dengan menghinakannya.”

 

Sebagian orang beranggapan bahwa ada batas yang disyaratkan antara laki-laki dan wanita yang sedang dimabuk cinta, bahwa separuh badan bagian atas hingga ke pusar boleh dicumbui, seperti pelukan, elusan dan kecupan. Sedangkan separuh badan yang bawah diharamkan baginya, seperti yang dikatakan seorang penyair,

 

Separuh tubuh wanita diperbolehkan

separuh lagi bagaikan danau yang bergolak

 

Penyair lain berkata,

 

Separuh ada batas yang tak bisa dilanggar cinta

separuh lagi tiada lagi halangan bagi suami

 

Tentu saja ini adalah jalan kehidupan orang-orang Jahiliyah yang kemudian dibatilkan syariat. Semua bagian tubuh wanita dihalalkan hanya bagi suami. Sebab memang menurut para penyair itu, memandang wanita yang bukan mahramnya adalah halal. Hal ini bertentangan dengan syariat dan akal, karena pandangan itu bisa memupuk tabiat manusia yang sudah ditetapkan untuk condong kepada pandangan seperti itu. Berapa banyak orang yang mendapat cobaan dalam agama dan dunianya hanya karena pandangan mata.

 

Lalu bagaimana dengan Al-Hakim yang menyenandungkan baitbait syair dalam Managqib Asy-Syafi’y berikut ini?

 

Mereka katakan, jangan umbar pandangan mata

dua mata yang bertatap tentu kan berpandangan

bertukar celak mata adalah hal yang biasa

jika pandangan itu dengan menjaga perasaan

 

Kalau pun bait syair ini benar dari Asy-Syafi’y, tentu saja pandangan itu bukan sesuatu yang disengaja, tapi karena pandangan secara tibatiba yang tidak disengaja dan diperbolehkan. Menurut pendapat Abu Bakar Muhammad bin Daud Al-Asfhany, boleh memandang wanita lain mahram. Menurut Abul-Faraj bin Al-Jauzy, dia telah mengeluarkan pendapat yang salah, dan kesalahannya yang fatal ini sudah terkenal di kalangan manusia. Menurut pendapat Abu Muhammad bin Hazm, boleh mencumbui wanita lain mahram. Dia juga telah melakukan kesalahan yang nyata karena pendapatnya ini. Sebab dampak bercumbu jauh lebih besar daripada pandangan mata. Jika syariat mengharamkan pandangan mata, karena bisa mengakibatkan berbagai macam kerusakan, lalu bagaimana mungkin dia memperbolehkan laki-laki mencumbui wanita yang dihalalkan baginya? Masalah ini akan dibahas lebih lanjut di bagian mendatang.

 

Maksudnya, golongan ini berpendapat bahwa persetubuhan bisa merusak cinta. Daripada merusaknya, maka mereka menghindarinya, sekalipun mungkin tidak meninggalkannya secara total. Seorang Arab dusun pernah ditanya, “Apa yang diperoleh salah seorang di antara kalian dari kekasihnya, tatkala bersanding dengannya?” Maka dia menjawab, “Elusan dan pelukan, atau yang seperti itu.” Dia ditanya lagi, “Apakah keduanya melanjutinya dengan persetubuhan?” Jawabnya, “itu namanya bukan orang yang sedang bercinta, tetapi ingin mendapatkan anak.”

 

Cara untuk mengompromikan dua golongan ini, bahwa persetubuhan yang diharamkan bisa merusak cinta, yang akhirnya akan disusul dengan permusuhan, kebencian dan percekcokan. Ini kenyataan yang seringkali terjadi. Setiap cinta untuk selain Allah merupakan gambaran kebencian. Lalu bagaimana jika cinta itu disertai dengan perbuatan dosa besar? Tentu saja itu akan menjadi permusuhan di kemudian hari, seperti yang difirmankan Allah,

 

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67).

 

Di bagian mendatang akan kami uraikan tentang orang yang beruntung bersama kekasihnya, karena dia tidak mau mencumbuinya, Karena dia menjaga Keutuhan cintanya dan karena takut jika perbuatannya berbalik menjadi permusuhan dan kebencian.

 

Sedangkan persetubuhan yang dihalalkan bisa menambah cinta, jika memang hal itu dikehendaki orang yang dicintai. Jika dia sudah . mencicipi kenikmatan percintaan dan persetubuhan, keinginannya untuk merasakannya lagi justru semakin menggebu, jauh lebih menggebu dari sebelum dia merasakannya. Oleh karena itu para bujangan hampir tak mampu menahan kesabarannya untuk merasakannya. Tentu saja jika cinta itu tidak menjurus kepada hal-hal yang merusak atau dialihkan kepada orang yang tidak dicintai.

 

Tentang alasan yang diajukan golongan yang lain, maka dapat dijawab bahwa syahwat dan keinginan tidak bisa dipadamkan baranya secara total. Memang bisa saja satu jenis syahwat diredam pada saat itu, tapi kemudian akan muncul lagi syahwat yang serupa. Hal ini muncul tatkala sepasang kKekasih sedang berjauhan. Selagi mereka bersanding dan mampu menguasai diri, maka jiwanya akan merasa tenang. Keadaan ini sama dengan orang yang membutuhkan makanan, minuman atau pakaian, dan dia sanggup mendapatkannya. Pada saat itu dia akan merasa tenang. Jika ada sesuatu yang menghalangi, maka keinginannya justru akan semakin menggebu. Jika seseorang mencintai sesuatu, dan dia mendapatkan apa yang dicintainya itu secara berlebih-lebihan, tentu jiwanya akan terasa hambar kepada sesuatu itu, dan bahkan lama-kelamaan cintanya itu berubah menjadi kebencian. Masalah ini akan dibahas lagi pada bagian mendatang.

 

Pendorong cinta yang berasal dari diri orang yang dicintai adalah keelokannya, entah yang bersifat lahiriah maupun batiniah, atau keduakeduanya sekaligus. Selagi ada keelokan rupa, akhlak, perilaku dan sifat, maka pendorong cinta itu pun menjadi semakin kuat. Pendorong cinta yang datang dari diri orang yang dicintai ada tiga macam:

 

  1. Pandangan dengan menggunakan mata maupun hati, jika boleh diistilahkan begitu. Berapa banyak laki-laki yang mencintai wanita, hanya karena dia mendengar ciri-ciri wanita itu dan belum pernah melihatnya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang seorang wanita memberitahukan sifat-sifat wanita lain di hadapan suaminya, hingga seakan-akan suaminya bisa melihat wanita itu.?

 

  1. Anggapan yang baik. Sebab jika pandangan tidak disertai anggapan yang baik, mana mungkin cinta akan muncul?

 

  1. Mau memikirkan orang yang dipandang dan ada pertautan jiwa dengannya. Jika pikirannya lebih tertuju kepada orang lain yang dianggapnya lebih penting, maka cinta tidak akan tumbuh di hati. Maka ada pepatah, “Cinta adalah gerakan hati yang murni.” Jika tiga faktor ini mengisi hati yang masih kosong, maka cinta akan bersemayam di dalamnya, seperti yang dikatakan dalam syair,

 

Cinta padanya menghampiri

sebelum kutahu cinta itu

membentur hati yang sepi

lalu keduanya saling memadu

 

Jika ada yang bertanya, “Apakah ada ketergantungan kepada ketamakan untuk menjalin hubungan dengan orang yang dicintai ataukah tidak ada ketergantungan?” Pendapat manusia berbeda-beda dalam masalah ini, di antaranya:

 

* Ada orang yang mencintai keindahan secara utuh. Hatinya bergantung kepadanya, sekalipun cara yang diterapkan dan gambarannya bermacam-macam. Cinta seperti ini tidak bergantung kepada ketamakan.

 

* Ada yang mencintai keindahan yang tidak utuh, baik karena dia berhasrat menjalin hubungan atau tidak.

 

* Ada yang hanya karena ingin menjalin hubungan. Jika sudah merasa putus asa untuk menjalin hubungan, maka cinta tidak lagi ada dj dalam hatinya.

 

Tiga gambaran ini seringkali dialami manusia. Jika ada pandangan, anggapan yang baik, memikirkan dan ketamakan, maka seluruh nadinya akan tergetar, orang yang dicintai bisa menjadi pembunuhnya, penyakit bisa menjangkitinya, namun dokter mana pun tidak akan mampy mengobatinya. Seorang penyair berkata,

 

Demi Allah, .

tiadalah cinta menawan orang yang dimabuk cinta

melainkan ia akan membelah jiwanya

 

Jika pandangan merupakan permulaan tumbuhnya cinta, maka tidak selayaknya seseorang menjadikan dirinya sebagai tawanan terus. menerus lewat matanya. Jika sudah berbicara tentang pandangan, maka ada baiknya jika kita berbicara tentang hukum dan malapetaka yang diakibatkannya.

 

Allah berfirman,

 

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya’.” (An-Nur: 30-31).

 

Karena menahan pandangan mata merupakan dasar untuk menjaga kemaluan, maka menahan mata itu disebutkan paling awal. Karena pengharamannya hanya merupakan pengharaman sarana, berarti pandangan mata diperbolehkan jika untuk kemaslahatan yang pasti dan diharamkan jika dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan serta tidak mendatangkan kemaslahatan yang jelas di samping kerusakan itu. Allah tidak memerintahkan untuk menahan pandangan mata secara total, tetapi memerintahkan sebagian pandangan mata. Sedangkan menjaga kemaluan wajib dilakukan dalam keadaan seperti apa pun, tidak diperbolehkan kecuali menurut haknya. Oleh karena itu perintah untuk menjaganya seringkali disebutkan.

 

Allah menjadikan mata sebagai cermin hati. Jika seseorang menahan pandangan matanya, berarti dia menahan syahwat dan keinginan hati. Jika dia mengumbar pandangan matanya, berarti dia mengumbar syahwat hatinya. Di dalam Ash-Shahih disebutkan bahwa Al-Fadhl bin Abbas Radhiyallahu Anhu pernah membonceng Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada saat pelaksanaan kurban, dari Muzdalifah hingga ke Mina. Tiba-tiba ada beberapa onta yang dinaiki wanita sedang lewat. Seketika itu Al-Fadhl memandang mereka. Lalu Rasulullah Shallallahy, Alaihi wa Sallarn membalikkan kepalanya ke arah lain. Ini namanya larangan dan pengingkaran dengan perbuatan langsung. Andaikata pandangan itu diperbolehkan, tentunya beliau membiar. kan perbuatan Al-Fadhl. Beliau juga bersabda dalam sebuah hadits shahih,

 

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina. Dia mengetahui yang demikian tanpa dipungkiri. Mata itu bisa berzina, dan zinanya adalah pandangan. Lidah itu bisa berzina dan zinanya adalah perkataan. Kaki itu bisa berzina dan zinanya adalah ayunan langkah. Tangan itu bisa berzina dan zinanya adalah tangkapan yang keras. Hati itu bisa berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan membenarkan yang demikian itu atau mendustakannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim, An-Nasa’y dan Abu Daud).

 

Yang pertama kali disebutkan adalah zina mata, karena inilah dasar dari zina tangan, kaki, hati dan kemaluan. Ada peringatan tentang zina lidah dengan perkataan dengan mengesampingkan zina mulut dengan kecupan. Sedangkan kemaluan akan tampil sebagai pembukti yang demikian itu jika akhirnya benar-benar dilakukan, atau mendustakannya jika tidak melaksanakannya. Hadits ini merupakan bukti yang paling jelas bahwa mata bisa berbuat durhaka karena memandang, dan itulah zinanya. Di sini terkandung sanggahan terhadap orang yang memperbolehkan pandangan mata secara total. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau pernah bersabda kepada Ali,

 

“Wahai Ali, janganlah engkau susuli pandangan dengan pandangan lagi, karena yang pertama menjadi bagianmu dan yang kedua bukan lagi menjadi bagianmu (dosa atasmu).” (Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzy dan Abu Daud).

 

Ada sebuah pertanyaan, bagaimana pendapat para ulama tentang seorang laki-laki yang memandang wanita dengan sekali pandang, lalu hatinya langsung diusik cinta kepada wanita itu, dan dia benar-benar serius dengan usikan cintanya. Di dalam hati dia berkata, “Ini semua gara-gara pandangan pertama. Jika engkau memandangnya sekali lagi, boleh jadi engkau akan berubah pikiran, tidak seperti yang engkau rasakan saat pertama kali memandang”. Bolehkah dia memandangnya sekali lagi, dengan pikiran semacam itu? Jawabannya, tidak boleh.

 

Ada sepuluh pertimbangan untuk jawaban ini:

 

  1. Allah telah memerintahkan untuk menahan pandangan mata dan tidak menjadikan kesembuhan hati dengan sesuatu yang diharamkan atas hamba-Nya.

 

  1. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang pandangan yang tidak disengaja dan tiba-tiba, yang diketahui bahwa pandangan ini bisa meninggalkan pengaruh di dalam hati. Beliau memerintahkan untuk mengobatinya dengan cara mengalihkan arah pandangan, bukan dengan cara mengulanginya lagi.

 

  1. Beliau menegaskan bahwa pandangan pertama merupakan bagian (keberuntungan) baginya, sedangkan yang pandangan yang kedua bukan lagi merupakan keberuntungan baginya, yang berarti merupakan dosa baginya. Mustahil jika penyakitnya ada pada bagiannya dan obatnya bukan pada bagiannya.

 

  1. Yang pasti, permasalahannya bisa bertambah serius karena pandangan kedua dan tidak membuatnya berkurang. Pengalaman sudah banyak membuktikan hal ini. Keadaan tidak akan menjadi bertambah baik jika pandangan itu diulangi lagi.

 

  1. Boleh jadi dia akan mempunyai pikiran yang lebih dari sekedar gambaran di dalam jiwanya, sehingga justru akan menambah siksa baginya.

 

  1. Tatkala dia bermaksud mengulang pandangannya, Iblis bisa berdiri di sampingnya, lalu memberi gambaran yang serba baik, sehingga sempurnalah cobaan atas dirinya.

 

  1. Dia tidak bisa lepas dari cobaan jika dia tidak mau mengikuti perintah-perintah syariat dan berobat dengan sesuatu yang diharamkan syariat.

 

  1. Pandangan pertama adalah sebuah panah beracun dari berbagaj anak panah Iblis. Tidak dapat diragukan, pandangan yang kedua justru lebih banyak kandungan racunnya. Bagaimana mungkin dia mengobati racun dengan racun yang sama?

 

  1. Kedudukan orang ini seperti orang yang bermu’amalah dengan Allah dalam meninggalkan sesuatu yang dicintai. Dengan pandangan yang kedua itu dia bermaksud meyakinkan keadaan orang yang dipandangnya. Tapi kalau pun perbuatan itu jelas tidak diridhai, maka dia harus meninggalkannya. Jadi memang perbuatan itu harus ditinggalkannya, karena tidak sesuai dengan tujuannya dalam bermu’amalah dengan Allah.

 

  1. Lebih gamblangnya bisa dilihat dari perumpamaan Dberikut. Jika engkau menunggang kuda yang baru, lalu kuda itu menyimpang hendak masuk sebuah jalan yang sempit yang tak jelas ujungnya dan tidak bisa dibuat berputar untuk membalik, maka tahanlah kuda itu agar ia benar-benar tidak memasuki jalan sempit itu. Jika dia nekad mengayunkan selangkah atau dua langkah, maka teriakilah kuda itu dan segeralah tarik tali kekangnya agar mundur ke belakang sebelum ia benar-benar memasuki jalan itu. Jika engkau menariknya mundur ke belakang, maka permasalahannya bisa menjadi ringan. Tapi jika engkau mengacuhkannya hingga Kuda itu memasuki jalan tersebut atau bahkan engkau sengaja menggiringnya ke jalan itu, maka permasalahannya bisa menjadi ruwet dan engkau sulit untuk keluar darinya. Jika engkau nekad memasukinya, atau engkau menggiringnya ke jalan itu, lalu engkau menarik ekornya untuk mundur ke belakang, tentu engkau akan mengalami kesulitan. Apakah orang yang berakal akan mengatakan bahwa cara terbaik adalah menggiring Kuda itu memasuki jalan tersebut?

 

Begitu pula pandangan yang mempengaruhi hati. Jika pandangan itu ditahan sejak awal, maka cara untuk menuntaskannya menjadi lebih mudah. Namun jika diulang lagi, menikmati gambaran keindahan rupa yang dipandang dan memindahkannya ke hati yang kosong serta melukisnya di dalam sanubari, tentu akan membangkitkan cinta. Jika pandangan itu dilakukan secara terus-menerus dan berkali-kali, maka pandangan itu seperti air yang menyirami tanaman, sehingga pohon cinta akan tumbuh subur dan merusak hati serta mengalihkan pikiran dari apa yang diperintahkan Kepadanya. Akhirnya menggiring pelakunya kepada cobaan dan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang membahayakan. Hal ini terjadi, karena orang yang memandang bisa merasakan kenikmatan saat memandang pertama kali, lalu dia ingin mengulanginya. Jadi, tak ubahnya mencicipi sesuap makanan yang amat lezat. Andaikata dia menahan pandangan matanya sejak semula, tentu hatinya menjadi tenang dan tidak terguncang. Perhatikanlah sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Pandangan mata itu (laksana) anak panah beracun dari berbagat macam anak panah Iblis.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Anak panah itu bisa menawan hati, lalu racunnya menjalar di dajam tubuh orang yang terkena racun. Jika tidak ditolak atau segera diobati, racun itu bisa membunuhnya.

 

Al-Marrudzy berkata, “Saya bertanya kepada Ahmad, ‘Bagaimana dengan seseorang yang memandangi budak perempuannya?’

 

Dia menjawab, ‘Saya khawatir dia akan mendapat cobaan. Berapa banyak pandangan mata yang akhirnya menyusupkan bisikan ke dalam hati.’

 

Ibnu Abbas berkata, ‘Kedudukan syetan dalam diri orang laki-laki itu ada di tiga tempat: dalam pandangannya, hatinya dan ingatannya. Kedudukan syetan dalam diri orang wanita juga ada tiga: dalam lirikan matanya, hatinya dan kelemahannya’.”

 

Mengalihkan Dorongan Kekuatan Seksual

 

Karena pandangan mata merupakan sarana yang paling dekat kepada hal yang diharamkan, maka syariat menetapkan pengharamannya dan memperbolehkan jika dibutuhkan. Begitulah keadaan segala sesuatu yang ada ketentuan pengharaman sarananya, namun diperbolehkan karena pertimbangan kemaslahatan yang jelas dan pasti, seperti pengharaman shalat pada waktu-waktu tertentu yang memang diharamkan shalat, agar tidak menjadi sarana penyerupaan dengan orangorang kafir dalam menyembah matahari. Namun shalat pada waktu yang dilarang itu diperbolehkan jika ada kemaslahatan yang jelas dan pasti, seperti mengqadha’ shalat yang tertinggal dan shalat jenazah.

 

Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Pandangan mata itu (laksana) anak panah beracun dari ber. bagai macam anak panah Iblis. Barangsiapa menahan pan. dangannya dari keindahan-keindahan wanita, maka Allah me. wartskan kelezatan di dalam hatinya, yang akan dia dapatkan hingga hari dia bertemu dengan-Nya.”

 

Jarir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang pandangan yang tidak sengaja. Lalu beliau memerintahkan agar saya mengalihkan pandanganku.” (Diriwayatkan Muslim, Abu Daud dan At. Tirmidzy).

 

Nazhratul-faj’ah dalam hadits ini artinya sekali pandang tanpa dise. ngaja. Selagi pandangan itu tidak merasuk ke dalam hatinya, maka dia tidak berdosa. Jika pandangan itu diulang lagi, maka dia berdosa. Nabj Shallallahu Alaithi wa Sallam memerintahkan Jarir agar mengalihkan pandangannya karena pandangan yang tidak disengaja itu dan tidak memandang dalam jangka waktu yang lama. Karena memandang lama. lama sama seperti mengulang pandangan. Beliau juga memberi petunjuk bahwa siapa yang memandang wanita tidak secara sengaja, hendaklah mengobatinya dengan cara mengumpuli istrinya. Sebab apa yang ada pada diri istrinya seperti apa yang ada pada diri wanita yang dipandang. nya, sehingga dia mendapatkan hiburan dari dorongan seksual yang menggelitiknya. Pertimbangan lain, karena pandangan mata bisa mem. bangkitkan kekuatan birahi. Maka beliau memerintahkan untuk mengurangi kekuatan itu dengan cara mengumpuli istri. Jadi, pandangan mata merupakan dasar segala fitnah, sebagaimana yang disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu Anhuma, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

‘Aku tidak meninggalkan cobaan yang lebih membahayakan orang laki-laki selain daripada wanita.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim, Ahmad, At-Tirmidzy, An-Nasa’y dan Ibnu Majah).

 

Dalam Shahih Muslim, dari perkataan Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Takutilah dunta dan takutilah wanita.”

 

Dalam Musnad Muhammad bin Ishaq As-Sarraj, dari perkataan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam,

 

“Sesuatu yang paling kutakutkan atas umatku adalah wanita dan khamr.”

 

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, “Tidaklah orang-orang kafir dari orang-orang terdahulu menjadi kafir melainkan karena wanita. Dan, kekufuran orang-orang sesudah itu juga berasal dari wanita.”

 

Manfaat Menahan Pandangan Mata

 

Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh karena menahan pandangan mata, di antaranya:

 

  1. Membersihkan Hati dari Derita Penyesalan

 

Siapa yang suka mengumbar pandangan matanya, maka penyesalan yang dia rasakan tiada henti-hentinya. Sesuatu yang paling berbahaya bagi hati adalah mengumbar pandangan, karena dia akan melihat apa pun yang dicarinya dan tidak bersabar. Itulah derita dan siksaan yang dia rasakan.

 

Al-Ashma’y berkisah, “Saya pernah melihat seorang gadis tatkala thawaf, yang seakan-akan dia adalah matahari. Saya terus memandanginya dan hatiku berdesir karena keelokannya. Lalu wanita itu bertanya kepadaku, “Ada apa engkau ini?”

 

Saya menjawab, “Engkau memang amat layak untuk dipandangi.”

 

Wanita itu melantunkan syair,

 

Selagi pandangan matamu berkeliaran

segala pemandangan kan membebani hati

kau pandang segala sesuatu diluar Kemampuan

sebagian lain tiada kesabaran lagi

 

Pandangan akan menyusup ke dalam hati seperti anak panah yang meluncur saat dibidikkan. Jika tidak membunuh, tentu anak panah akan membuat luka. Atau pandangan itu seperti bara api yang dilemparkan ke dahan-dahan kering. Jika tidak membakar semuanya, tentu ia akan membakar sebagian di antaranya. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Segala peristiwa berawal dari pandangan mata jilatan api bermula dari setitik bara berapa banyak pandangan yang membelah hati laksana anak panah yang melesat dari tali selagi manusia masih memiliki mata untuk memandang dia tidak lepas dari bahaya yang menghadang senang di permulaan dan ada bahaya di kemudian hari tiada ucapan selamat datang dan ada bahaya saat kembali

 

Orang yang memandang melepaskan pandangan dengan anak panah seperti yang dimaksudkan hatinya, sementara dia tidak menya.darinya, yang pada hakikatnya dia melepaskan hatinya. Inilah syair rangkumanku,

 

Wahai orang yang melepaskan anak panah sesaat engkaulah sang pembunuh namun tiada mengena wahai orang yang mengumbar pandangan tuk mencari obat kau datang dengan membawa kayu bakar yang membara Al-Farazdaq berkata dalam syairnya, Hatinya tidak dibiarkan karena bekal pandangan dengan bekalnya itu dia tidak menyadari yang terjadi tak kulihat siapa pembunuh dan siapa korban pembunuhan tanpa senjata yang menyertai karena maksud hati

 

Penyair lain berkata,

 

Siapa yang didatangi musuh dan pendengki aku kan datang dengan mata dan hati keduanya berganti-ganti pandangan dan pikiran tidur dan pikiranku dijadikannya tawanan

 

Penyair lain berkata,

 

Orang yang diperbudak sedang menggembala bintang malam air matanya mengalir mengharap uluran belas kasihan mataku sudah rela menjadi korban cinta tangisilah jasadku yang membeku karenanya

 

Ada seorang penyanyi menemui Ashabahan, lalu dia melantunkan syairnya,

 

Dengarlah tembangku wahai semua orang usah perhatikan lagi penyedap makanan cinta itu berakhir dengan angan-angan bermula dari canda dan gurauan .

 

Seorang penyair menghardik pandangan matanya dengan berkata,

 

Wahai pandanganku yang berlumur dosa di badan

dengan air mata kan kuhapus siksa kepedihan

aku ingin menangis karena cinta dan lara

kau kenyang karena kantuk yang menyerangnya

tak mungkin kerlingan tanpa pandangan

tak mungkin ada diri tanpa badan

 

  1. Mendatangkan Cahaya dan Keceriaan di Hati

 

Cahaya dan keceriaan yang datang karena menahan mata ini bisa terlihat di mata, wajah dan seluruh anggota tubuh, sebagaimana mengumbar pandangan yang mendatangkan kepekatan yang terlihat di wajah dan seluruh anggota tubuh. Oleh karena itu Allah menyebutkan di dalam surat An-Nur,

 

‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” (An-Nur: 35).

 

Yang sebelumnya Allah telah berfirman,

 

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An-Nur: 30).

 

Ada pula sebuah hadits yang serupa dengan ini, dan bahkan merupakan bagian darinya, “Pandangan mata itu (laksana) anak panah beracun dari berbagai macam anak panah Iblis. Barangsiapa menahan pandangannya dari keindahan-keindahan wanita, maka Allah mewariskan kelezatan di dalam hatinya, yang akan dia dapatkan hingga hari dia bertemu dengan-Nya.”

 

  1. Mendatangkan Kekuatan Firasat yang Benar

 

Menahan pandangan bisa mendatangkan kekuatan firasat, karena firasat itu termasuk cahaya dan buah dari cahaya. Jika hati bercahaya, maka firasat juga tidak akan meleset. Sebab hati itu kedudukannya seperti cermin yang memperlihatkan seluruh data seperti apa adanya. Sedangkan pandangan adalah seperti menghembuskan napas di cermin. Jika seseorang mengumbar pandangan matanya, maka dia seperti menghembuskan napas di cermin hatinya, sehingga cahayanya menjadi pudar, seperti yang dikatakan dalam syair,

 

Cermin hatimu tiada memantulkan keindahan

karena engkau senantiasa menghembuskan napas

 

Syuja’ Al-Karmany berkata, Jika zhahir seseorang mengikuti Sunnah, batinnya merasakan pengawasan Allah, dia menahan pandangan mata dari hal-hal yang diharamkan, menahan diri dari syahwat dan memakan yang halal, tentu firasatnya tidak akan meleset.” Syuja’ ini dikenal sebagai orang yang firasatnya tidak pernah meleset.

 

Allah memberi balasan kepada hamba atas amainya dengan balasan yang sejenis. Barangsiapa menahan pandangan matanya darj hal-hal yang diharamkan, maka Allah akan menggantinya dengan pan. caran cahaya matanya. Selagi dia menahan pandangannya karena Allah, maka Dia akan memancarkan cahaya pandangannya. Siapa yang mengumbar pandangannya terhadap hal-hal yang diharamkan, maka Allah akan meredupkan pandangan matanya.

 

  1. Membuka Pintu dan Jalan flmu serta Memudahkan untuk Men. dapatkan Sebab-sebab Ilmu

 

Hal ini terjadi karena adanya hati. Jika hati bersinar terang, maka akan muncul hakikat-hakikat pengetahuan di dalamnya dan mudah dikuak, sehingga sebagian demi sebagian ilmu itu bisa diserap. Namun siapa yang mengumbar pandangan matanya, maka hatinya akan menjadi kelam dan gelap. Jalan dan pintu ilmu menjadi tertutup.

 

  1. Mendatangkan Kekuatan Hati, Keteguhan dan Keberanian

 

Dengan begitu seseorang yang menahan pandangan matanya bisa menguasai pandangan itu yang disertai penguasaan terhadap hujjah. Di dalam atsar disebutkan, “Siapa yang menentang hawa nafsunya, maka syetan merasa takut kepadanya.” Oleh karena itu di antara orang yang mengikuti hawa nafsunya ada yang hatinya menjadi hina dan lemah, jiwanya kerdil dan tak ada harganya, karena Allah juga menjadikannya orang yang lebih mementingkan hawa nafsunya daripada keridhaan-Nya.

 

Al-Hasan pernah berkata, Jika kehinaan kedurhakaan ada di hati mereka, niscaya Allah akan menghinakan orang yang mendurhakaiNya.”

 

Sebagian syaikh ada yang berkata, “Banyak orang yang mencari kehormatan di pintu-pintu raja. Namun mereka pasti tidak akan mendapatkannya kecuali dalam ketaatan kepada Allah. Siapa yang menaati Allah, maka Allah akan melindunginya dalam perkara yang ditaatinya. Siapa yang mendurhakai-Nya, maka Dia akan memusuhinya tentang apa yang didurhakainya itu.”

 

  1. Mendatangkan Kegembiraan, Kesenangan dan Kenikmatan

 

Kegembiraan dan kesenangan ini jauh lebih melegakan dari kesenangan yang diperoleh dengan mengumbar pandangan. Sebab dia mampu menahan musuhnya, dengan cara menentangnya dan menentang hawa nafsunya. Di samping itu, tatkala dia mampu membekukan kesenangan dan syahwatnya karena Allah, suatu kKesenangan yang menjurus kepada keburukan, maka Allah menggantinya dengan kesenangan dan kenikmatan yang lebih komplit, sebagaimana yang biasa dikatakan orang, “Demi Allah, kenikmatan karena menjaga diri dari hal-hal yang hina, jauh lebih besar daripada kenikmatan mencicipi dosa.”

 

Tidak dapat diragukan, jika seseorang menentang hawa nafsunya, tentu kesudahannya adalah kegembiraan, kesenangan dan kenikmatan yang jauh lebih besar dari kenikmatan mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itulah akal lebih menonjol daripada hawa nafsu.

 

  1. Membebaskan Hati dari Tawanan Syahwat

 

Sesungguhnya orang yang layak disebut tawanan adalah orang yang bisa ditawan syahwat dan hawa nafsunya, seperti yang dikatakan dalam sebuah pepatah, “Orang yang mengumbar pandangan matanya adalah seorang tawanan.”

 

Jika syahwat dan nafsu sudah menawan hati manusia, maka memungkinkan bagi musuh dan rivalnya untuk melancarkan siksaan kepadanya, sehingga dia seperti anak burung di tangan anak kecil yang memainkannya sesuka hati.

 

  1. Menutup Pintu Neraka Jahanam

 

Pandangan mata adalah pintu syahwat yang menuntut pelaksanaannya. Pengharaman Allah dan syariat-Nya merupakan tabir penghalang untuk mengumbar pandangan. Siapa yang merusak tabir ini, dia akan berani melanggar larangan. Dia tidak akan berhenti pada satu tujuan saja. Jiwa manusia tidak menentang tujuan yang sudah diperoleh, lalu dia ingin mendapatkan kesenangan dalam hal yang baru lagi. Orang yang sudah terbiasa dengan sesuatu yang pernah ada, tidak menolak untuk menerima sesuatu yang baru, apalagi jika sesuatu yang baru itu tampak lebih indah. menahan mata bisa menutup pintu ini, yang karenanya banyak raja-raja tidak mampu mewujudkan apa yang diinginkannya.

 

  1. Menguatkan dan Mengokohkan Akal

 

Mengumbar pandangan mata tidak dilakukan kecuali oleh orang yang lemah akalnya, gegabah dan tidak mempedulikan akibat di ke. mudian hari. Orang yang cemerlang akalnya adalah yang bisa mempertimbangkan akibat. Andaikata orang yang mengumbar pandangan me, ngetahui akibat dari perbuatannya, tentu dia tidak akan berani lancang mengumbar pandangan. Seorang penyair berkata,

 

Akal manusia harus tenang

tiada melakukan sesuatu pun

hingga dia memikirkan

akibat yang kan datang

 

  1. Membebaskan Hati dari Syahwat yang Memabukkan dan Kelalaian yang Melenakan Mengumbar pandangan mata pasti akan membuat pelakunya lalai terhadap Allah dan memikirkan hari akhirat serta membuatnya mabuk kepayang dalam tawanan cinta, sebagaimana firman Allah tentang orang-orang yang tertawan oleh rupa dan penampilan,

 

“Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombangambing di dalam kemabukan (kesesatan).” (Al-Hijr: 72).

 

Pandangan mata adalah segelas arak, dan cinta adalah mabuk yang diakibatkan minuman itu. Mabuk cinta jauh lebih parah daripada mabuk karena arak. Orang yang mabuk karena arak bisa segera sadar kembali. Tetapi orang yang mabuk cinta jarang yang bisa sadar kembali, kecuali jika dia sudah berada di ambang kematian, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Mabuk karena nafsu terus berkelanjutan

jangan harap kesadarannya terbangkitkan

 

Faidah menahan pandangan mata dan bencana mengumbarnya jauh lebih banyak dari apa yang kami sebutkan di sini. Ini hanya dimaksudkan untuk memberi peringatan, terutama pandangan yang tertuju kepada sesuatu yang tidak dibutuhkan menurut ketentuan syariat, seperti memandangi para pemuda yang tampan. Karena memandang mereka adalah racun yang mematikan dan penyakit yang ganas.

 

Al-Hafizh Muhammad bin Nashir meriwayatkan dari perkataan Asy-Sya’by secara mursal, dia berkata, “Para utusan Abdul-Qais mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di antara mereka ada seorang pemuda yang halus dan tampan. Lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendudukkan pemuda itu di belakang punggungnya, seraya bersabda, “Orang yang memandangnya adalah orang yang melakukan kesalahan.”

 

Sa’id bin Al-Musayyab juga pernah berkata, ‘Jika kalian melihat ada seseorang memandang tajam seorang pemuda yang halus dan tampan, maka curigailah dia!”

 

Ibnu Ady menyebutkan dari perkataan Bagiyah, dari Al-Wazi’, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang seseorang memandang tajam seorang pemuda yang tampan.”

 

Ibrahim An-Nakha’y, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari kalangan salaf melarang duduk-duduk dengan pemuda tampan. AnNakha’y berkata, “Duduk dengan pemuda tampan adalah cobaan, karena pemuda tampan itu tak ubahnya wanita.”

 

Secara global, berapa banyak orang yang suka mengumbar pandangannya, kembali dalam keadaan kalah, terguncang dan bahkan ada yang terbunuh. Padahal sebelumnya mereka adalah pasukan yang tangguh. ,

 

Wahai orang yang mengumbar pandangan walau sesaat engkau kan kembali sebagai korban yang sekarat

 

Mata adalah penuntun, dan hati adalah pendorong dan penuntut, Yang pertama memiliki kenikmatan pandangan, dan yang kedua memiliki kenikmatan pencapaian. Dalam dunia nafsu keduanya merupakan sekutu yang mesra; dan jika terpuruk ke dalam kesulitan dan keduanya bersekutu dalam cobaan; maka masing-masing akan mencela dan mencaci yang lain. Hati Berkata kepada Mata Hati berkata kepada mata, “Kaulah yang telah menyeretku kepada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman itu, kau mencari kesembuhan dari kebun yang tidak sehat, kau salahi firman Allah, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya’, kau salahi sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah akan memberi balasan iman kepadanya, yang akan didapati kelezatannya di dalam hatinya.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Umar bin Syabbata berkata, “Kami diberitahu Ahmad bin Abdullah pin Yunus, kami diberitahu Anbasah bin Abdurrahman Al-Qursyi, kami diberitahu Abul-Hasan Al-Madany, kami diberitahu Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallarm bersabda,

 

 

“Pandangan laki-laki terhadap keelokan wanita adalah panah dari berbagat macam panah Iblis yang beracun. Barangsiapa menghindar dari panah itu, maka Allah akan menggantinya dengan itbadah yang mernbuatnya senang.”

 

Lalu adakah orang yang lebih tercela daripada orang yang terkena panah beracun? Apakah engkau tidak tahu bahwa tidak ada yang lebih berbahaya bagi manusia selain dari mata dan lidah? Tidak ada kerusakan yang lebih banyak daripada kerusakan yang diakibatkan mata dan lidah. Berapa banyak Kebinasaan yang disebabkan mata dan lidah? Berapa banyak sumber kehinaan yang muncul karena mata dan lidah? Barangsiapa ingin hidup bahagia dan terpuji, maka hendaklah dia menahan ujung pandangan matanya dan lidahnya, agar dia selamat dari bahaya, karena mata menyimpan kelebihan pandangan dan lidah menyimpan kelebihan bicara.

 

Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam telah menegaskan bahwa dua mata itu bisa berzina. Keduanya merupakan permulaan zina Kemaluan, penuntun dan pendorongnya. Beliau pernah ditanya tentang pandangan secara tiba-tiba. Maka beliau memerintahkan orang yang bertanya itu untuk mengalihkan pandangannya. Beliau memberi petunjuk kepada yang bermanfaat baginya dan menghindari apa yang mendatangkan mudharat kepadanya. Beliau juga bersabda Kepada Ali bin Abu Thalib, ‘Janganliah engkau susuli pandangan dengan pandangan lagi.”

 

Inilah perkataan para ulama, “Siapa yang mengumbar pandangannya akan menunai akibatnya. Siapa yang berlama-lama memandang, penyesalannya juga akan terus berkelanjutan, hilang waktunya dan berkepanjangan deritanya.”

 

Seorang penyair berkata,

 

Mata yang beradu mata dalam pandangan

adalah jalan kerusakan ke dalam hati

beberapa saat terjadi peperangan

hingga berlumuran darah dan mati Penyair lain berkata, Wahai kedua mata, kau nikmati pandangan lalu kau Susupkan kepahitan ke dalam hati jangan lagi kau ganggu hati ini berbuat lalim dengan sekali tebasan

 

Sanggahan Mata terhadap Hati

 

Mata berkata, “Kau zhalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan penuntun yang menunjukkan jalan kepadamu.”

 

“Engkau adalah raja yang ditaati. Sedangkan kami hanyalah rakya dan pengikut. Untuk memenuhi kebutuhanmu, kau naikkan aku ke atas kuda yang binal, disertai ancaman dan peringatan. Jika kau suruh aky untuk menutup pintuku dan menjulurkan hijabku, dengan senang hatj akan kuturuti perintah itu. Jika engkau memaksakan diri untuk meng. gembala di kebun yang dipagari dan engkau mengirimku untuk berbury di tempat yang dipasangi jebakan, tentu engkau akan menjadi tawanan yang sebelumnya engkau adalah seorang pemimpin, engkau menjadj budak yang sebelumnya engkau adalah tuan. Yang demikian ini karena pemimpin manusia dan hakim yang paling adil, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, telah membuat keputusan bagiku atas dirimu, dengan bersabda

 

“Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula, dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim dan lain-lainnya).

 

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, “Hati adalah raja dan seluruh anggota tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik, maka baik pula pasukannya. Jika rajanya buruk, buruk pula pasukannya.” Jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya para pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah karena kebaikanmu. Jika engkau rusak, rusak pula para pengikutmu. Lalu engkau lemparkan kesalahanmu kepada mata yang tak perdaya. Sumber bencana yang menimpamu ialah karena engkau tidak memiliki cinta kepada Allah, tidak menyukai dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, asma’ dan sifat-sifat-Nya. Engkau beralih kepada yang jain dan berpaling dari-Nya. Engkau berganti mencintai selain-Nya. Padahal engkau telah mendengar kisah pengingkaran Allah terhadap Bani Israil, Karena mereka mengganti makanan yang ada dengan maKanan lain yang justru lebih hina. Maka Allah mencela mereka,

 

“Maukakh kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al-Baqarah: 61).

 

Bagaimana keadaan pengganti cinta kepada Pencipta, Pelindung dan yang menangani urusannya, yang tidak memiliki keberuntungan, Kenikmatan dan kesenangan? Bandingkanlah Allah dengan sesuatu yang engkau jadikan pengganti-Nya dan pengganti cinta kepada-Nya. Apakah engkau ridha berada di jamban, sementara orang-orang yang mencintai Allah berkeliling di Arsy? Jika engkau menghadapkan diri kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya, tentu engkau akan melihat berbagai macam keajaiban, engkau aman dari bencana dan kerusakan. Tentunya engkau sudah tahu bahwa Dia mengkhususkan keberuntungan dan kenikmatan kepada orang yang mendatangi-Nya dengan hati yang bersih, atau persih dari kemusyrikan, yang di dalamnya tidak ada cinta kepada selain-Nya dan hanya mengikuti ridha-Nya.

 

Mata berkata, “Antara dosaku dan dosamu di tengah manusia seperti antara kebutaanku dan kebutaanmu dalam membuat analog.” Allah telah berfirman tentang orang yang mengalami krisis,

 

“Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46).

 

Limpa Ikut Berbicara

 

Tatkala mendengar dialog antara hati dan mata serta perdebatan mereka berdua, maka limpa berkata, “Kalian berdua saling bahu-membahu untuk menghancurkan dan membunuhku. Ada orang-yang telah menggambarkan perdebatan kalian ini,

 

Mata menganggap hati menimpakan derita

hatilah yang telah memaksakan kehendaknya

namun tubuh menjadi saksi atas kedustaan mata

bencana hati memang berasal dari mata

andaikata tidak karena mata tak kan ada derita

‘hati tak kan terkapar menjadi korbannya

limpa merana sebagai korban yang teraniaya

karena hati dan mata tidak tunduk kepada Pencipta

 

Penyair lain berkata,

 

Kulemparkan cacian kepada hati

karena kulihat badanku kKurus kering

hati mengikuti apa yang diinginkan mata

dengan berkata, ‘Engkaulah sang duta’

mata berkata kepada hati,

‘Justru engkaulah yang menjadi penunjuk jalan’

limpa berkata, ‘Hentikan perdebatan ini’

kalian biarkan diriku sebagai korban

 

Limpa berkata lagi, “Saya akan menjadi pembuat keputusan gq; antara kalian berdua (mata dan hati). Kalian berdua bahu-membahy dalam bencana, begitu pula dalam kenikmatan dan kesenangan. Mata menyerap Kesenangan dan hati bernafsu serta selalu berangan-angan. Oleh karena itu seorang penyair berkata tentang kalian berdua,

 

Ada rona kegembiraan tatkala cinta menghilang

keselamatan atas Kalian wahai mata dan hati

aku tidak lagi berjaga pada malam hari

bebas dari kesepian dan penderitaan

kita semua layak mendapatkan kebahagiaan

jika kembali tiada lagi canda dan tawa

 

Limpa berkata lagi, Jika engkau tidak mendapat uluran pertolongan yang bisa merubah hati dan pandangan, maka jangan harap akan ada ketenangan di hati.” Seorang penyair berkata,

 

Aku tak tahu mengapa kKucerca cinta

ataukah matamu yang tercemar ataukah hati

mengapa kucerca hati yang bisa melihat

hatilah yang berdosa jika kucerca mata

mata dan hatiku membagi-bagi darahku

ya Rabbi tolonglah mata dan hatiku

 

Limpa berkata lagi, Jika engkau mengguyur hati dengan air cinta dari gelas-gelasmu, berarti engkau menyalakan api kerinduan kepadanya, lalu engkau membumbung naik bersama uap Kemudian jatuh ke bawah. Engkau yang pertama kali meminum dan engkau pula yang pertama kali merasakan panasnya.

 

Hakim yang membuat keputusan di antara kalian berdua adalah yang menetapkan antara ruh dan jasad, jika keduanya saling berselisih. Dikatakan dalam sebuah atsar yang masyhur, “Pertentangan di antara makhluk senantiasa ada hingga Hari Kiamat tiba, hingga ruh dan jasad pun juga saling bertentangan. Jasad berkata kepada ruh, ‘Engkaulah yang menggerakkan aku, menyuruh dan membalikkan aku. Jika tidak begitu, tentu aku tidak akan bergerak dan berbuat seperti itu’. Ruh berkata kepada jasad, ‘Engkaulah yang makan, minum, bergembira dan merasakan kenikmatan. Maka engkaulah yang layak mendapat siksaan’. Lalu Allah mengirim seorang malaikat kepada keduanya untuk memutuskan perkara mereka, seraya berkata, ‘Perumpamaan kalian berdua adalah seperti orang melihat yang hanya bisa duduk dan orang buta yang bisa berjalan. Keduanya memasuki sebuah kebun. Orang yang bisa melihat berkata kepada orang yang buta, “Di kebun ini saya melihat ada buahnya, tetapi saya tidak bisa berdiri.”

 

Orang buta berkata, “Saya bisa berdiri tapi tidak bisa melihat sesuatu pun.”

 

Orang yang bisa melihat berkata, “Panggullah aku lalu berjalanlah, agar aku bisa memetiknya.”

 

Lalu siapakah yang harus menanggung beban? Kedua-duanya yang menanggung beban. Begitulah gambaran keadaan kalian berdua.

 

Golongan ini berkata, “Kita semua sama-sama berpegang kepada Al-Qur’an, sunnah, pendapat para imam dan pemikiran yang benar. Dalam Al-Qur’an telah disebutkan,

 

“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah?” (Al-Araf: 185).

 

Hal ini mencakup semua makhluk Allah. Lalu apa yang membuat wajah yang menawan menjadi sesuatu yang dikecualikan dari keumuman pencakupan ini? Wajah adalah ciptaan yang paling indah, tempat pembuktian dan pengungkapan yang paling kuat. Oleh karena itu ada ucapan tasbih kepada Allah tatkala melihat wajah yang menawan, seperti yang dikatakan sebagian orang yang melihat keelokan sesuatu,

 

“Mahasuci pencipta wajah nan menawan sungguh agung yang telah menciptakannya angan-angan mengembara entah kemana lalu menangisi rupa yang kini tiada.”

 

Karena wajah yang elok menawan, maka orang yang memandangnya biasa mengucapkan, “Subhanallah rabbil-alamin…!” Allah tidak menciptakan keindahan ini secara sia-sia. Allah menampakkannya agar orang yang memandangnya bisa membuktikan kekuasaan dan keindahan ciptaan-Nya. Sehingga apa yang diciptakan itu tidak sia-sia.

 

Di dalam Sunnah juga disebutkan,

 

“Memandang wajah yang elok adalah Ibadah.”

 

Dalam hadits lain disebutkan,

 

“Carilah kebaikan dari wajah-wajah yang menawan.”

 

Di dalam hadits ini terkandung anjuran untuk meneliti dan memperhatikan wajah. Ada seorang laki-laki yang melamar wanita, lalu dia meminta pendapat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menikahinya. Beliau bertanya, “Apakah engkau sudah melihatnya?”

 

Orang itu menjawab, “Belum.”

 

Beliau bersabda, “Pergilah dan lihatlah dia!”

 

Andaikata memandang wanita itu haram, tentu saja beliau tidak akan menyuruh orang tersebut untuk memandang wanita yang hendak dinikahinya, yang dianggap tidak menjamin keamanannya dari cobaan.

 

Adapun pendapat para imam, maka As-Sam’any mengisahkan bahwa Asy-Syafi’y pernah mendapat surat, yang di antaranya isinya, “Tanyakanlah kepada mufti Makkah, apakah memandang wajah yang menawan hati merupakan dosa?”

 

Asy-Syafi’y menjawab, “ilah yang di Arsy tidak akan menghapus ketakwaan. Hati yang tertawan karena wajah wanita adalah luka.”

 

Al-Khara’ithy menyebutkan pertanyaan dan jawaban ini dari Atha’ bin Abi Rabah, dengan pembukaan, “Saya bertanya kepada Atha’ AlMakky…” Sedangkan Al-Hakim menyebutkan di dalam Managib Asy-Syafi’y dalam syairnya, Mereka berkata, ‘Jangan pandang yang datangkan cobaan’ namun setiap pemilik dua mata pasti kan memandang tak ada keraguan tentang celak mata di mata jika kehormatan tetap terjaga dalam perasaan

 

Al-Istirbadzy menyebutkan di dalam kitab Managib Asy-Syafi’y, bahwa seseorang menulis surat kepada Sa’id bin Al-Musayyab,

 

Wahai tuanku tabi’y yang mulia

kulupa dalam surat Al-Baqarah tentang cinta

semoga muncul kelembutan dengan fatwamu

Allah menganugerahkan kehormatan padamu

adakah Allah mengharamkan ciuman di pipi pemuda

yang memiliki keindahan nan mempesona

 

Sa‘id bin Al-Musayyab menjawab,

 

Wahai orang yang menanyakan kepedihan cinta

engkau kan terpuji di kemudian hari karena kesabaran

usah kau mencari-cari kekejian

atau seperti orang mencari aliran air kala hujan

ingatlah Allah dan takutlah adzab-Nya

hindari para pelaku kefasikan dan kekejian

peluklah pipi kekasih tercinta

pada malam-malam yang sepi dan buta

 

Abul-Abbas Al-Mubarrad berkata di dalam buku Al-Kamil, “Ada seorang Araby berkata, “Saya bertanya kepada pemuda penduduk Makkah yang memiliki ilmu, ‘Pelukan macam apakah yang diperbolehkan pada bulan Ramadhan?’ Dia menjawab, ‘Boleh memeluk istri sebanyak tujuh kali, dan boleh memeluk kekasih sebanyak delapan kali’.”

 

Abu Bakar Al-Khathib berkata di dalam sebuah buku yang diriwayatkan Malik dari sebagian orang, dia berkata, “Saya bertanya kepada seorang mufti tatkala berada antara Makkah dan Shafa, ‘Semoga engkau mendapat kebaikan. Haramkah bercumbu dengan wanita. Dosakah memeluk dan menciumnya?’ Mufti itu menjawab, dan air matanya meleleh di pipi, ‘Pada suatu sore saya juga pernah memeluk wanita tatkala sedang berada di Mina, sedangkan orang-orang !ain yang sedang ihram sedang tidur pulas’.”

 

Al-Hakim berkata di dalam buku Manaqibusy-Syafi’y, “Kami diberitahu Abul-Ala’ bin Kusyiyar Al-Hary, kami diberitahu Ali bin Sulaiman AIAhfasy, dari Muhammad bin Al-Jahm, dia berkata, ‘Saya pernah mendengar Ar-Rabi’ berkata, ‘Asy-Syafi’y tiba di Makkah, lalu ada seseorang yang menyerahkan selembar surat, yang di dalamnya tertulis, ‘Saya bertanya kepada seorang mufti tatkala berada antara Makkah dan Shafa, ‘Semoga engkau mendapat kebaikan. Haramkah bercumbu dengan wanita. Dosakah memeluk dan menciumnya?’ Mufti itu menjawab, dan air matanya meleleh di pipi, ‘Pada suatu sore saya juga pernah memeluk wanita tatkala sedang berada di Mina, sedangkan orang-orang lain yang ihram sedang tidur pulas’.”

 

Amr bin Sufyan bin Ibnah Jam!’ bin Murkhiyah berkata,

 

Kami bertanya kepada Malik dan rekannya

Laits bin Sa’d tentang ciuman kekasih tercinta

dia menjawab, “Demi yang menciptakan badan

Allah tiada mengharamkan pelukan kekasih pujaan’”

 

Yang demikian ini pernah disebutkan pengarang buku Rustaf, seorang penyair Mesir, lalu menulisnya kepada Amr bin Sufyan, dan mengirimnya lagi kepada Ibnu Uyainah, “Suatu kali kami berkata kepada Sufyan Al-Hilaly, ‘Kuharamkan pelukan seseorang terhadap kekasihnya, setelah sekian lama keduanya berpisah’. Namun dia menjawab, ‘Mengapa begitu? Toh yang menciptakan mereka adalah satu’.”

 

Ibrahim bin Al-Mudabbir menulis syair lalu mengirimkannya kepada Abu Bakar bin Ayyasy, salah seorang qari’,

 

Aku bertanya kepada Ibnu Ayyasy sang guru

adakah dosa Karena pelukan cinta

dia berikan jawaban tentang pelukan itu

bukankah sudah ada ketetapan jaminan dosa?

 

Ada sebuah syair yang dikirimkan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal, yang menurut sebagian orang berasal dari Ishaq bin Mu’adz bin Zuhair, seorang penyair Mesir terkenal pada masanya,

 

Kutanya Ibnu Hanbal, imam manusia tentang pelukan dan dekapan yang mesra jawabnya, itu perlu jika memang menghiburnya karena engkau telah menghidupkan manusia

 

Ibnu Murkhiyah merangkum syair lalu dikirimkan Kepada Abu Hanifah, :

 

Suatu hari kutulis surat kepada An-Nu’man

tentang mencium wanita yang belum dihalalkan

itu bukan dosa baginya, itu jawabannya yang pasti

menyenangkan jika dilakukan sepuluh atau empat kali

 

Abu Ja’far Ath-Thahawy juga mendapat pertanyaan dari seseorang tentang masalah pengobat cinta yang membara dan mencumbui wanita. Dia menjawab, itu perlu dilakukan jika bisa menimbulkan tindakan yang tidak diharapkan karena cintanya yang membDara itu.

 

Ibnu Murkhiyah menulis syair lalu dikirimkan kepada Abu Hanifah,

 

Suatu hari kutulis surat kepada An-Nu’man

kami tanyakan ciuman cinta yang terlarang

dia katakan tiada dosa padanya

karena itu kenikmatan yang ada

 

Yang pasti, golongan Mu’tazilah adalah orang yang paling keras dalam membela perbuatan dosa. Mereka ada di belakang orang-orang yang melakukan dosa besar dan tidak mengharamkannya, seperti yang disebutkan Al-Hafizh Abul-Qasim bin Asakir di dalam kitab Tarikh-nya yang termasyhur tentang sebagian orang-orang Mu’tazilah,

 

Kami tanyakan kepada Umar dan Washil

tentang pelukan dan ciuman di leher dan pipi

keduanya memberi jawaban yang dianggap adil

tiada dosa dan tinggalkan pendapat yang salah tentang ini

 

Ishaq bin Syabib berkata,

 

Kami bertanya kepada syaikh-syaikh Wasithiyah semua

tentang kecupan dan pelukan, adakah dosa padanya?

tiada dosa terhadap istri dan kekasih tercinta

pelukan ini sama dengan harta rampasan

 

Abul-Hasan Ali bin Ibrahim bin Muhammad bin Sa’d Al-Khair berkata di dalam bukunya, Syarhul-Kamil,

 

Tatkala kami diperbolehkan berpelukan

kami pun memeluk kekasih laksana memeluk teman

apakah dalam pandanganmu itu dosa dan kesalahan?

kerinduan diluapkan dalam siraman kerinduan

 

Al-Khathib berkata di dalam buku Tarikh Baghdad, “Kami diberitahu Abul-Hasan Ali bin Ayyub bin Al-Hasan Imla’, kami diberitahu Abu Abdullah Al-Marzubany dan Ibnu Hayyuyah serta Ibnu Syadzan, mereka berkata, ‘Kami diberitahu Abu Abdullah Ibrahim bin Muhammad bin Arafah Nifthawaih, dia berkata, ‘Saya pernah menemui Muhammad bin Daud Al-Ashbahany selagi dia sakit dan yang mengakibatkan kematiannya, seraya bertanya kepadanya, “Apa yang sedang engkau rasakan saat ini?”

 

Dia menjawab, “Aku mencintai orang yang engkau tahu bisa mewarisiku. Bagaimana menurut pendapatmu?”

 

Saya menjawab, “Apa yang menghalangimu untuk menikmatinya, padahal engkau mampu melakukannya?”

 

Dia menjawab, “Kenikmatan itu ada dua macam. Pertama, pandangan yang diperbolehkan. Kedua, kenikmatan yang dilarang. Pandangan yang diperbolehkan telah diwariskan padaku seperti yang engkau lihat.” Lalu dia menyebutkan satu kisah (yang akan disampaikan di bagian mendatang). Dengan kata lain, menurut pendapatnya, memandang orang yang dicintai itu bukanlah sesuatu yang diharamkan.

 

Yang sependapat dengannya adalah Muhammad bin Hazm di dalam bukunya Thuqul-Hamamah. Mereka berkata, “Kami bawa kalian kepada satu orang yang menyamai beribu-ribu pengarang, yaitu Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah. Dia pernah ditanya: Apakah pendapat Anda wahai pemimpin para fuqaha’ tentang orang yang dimabuk cinta. Dia berketetapan untuk menjauhi orang yang dicintainya selama sekian lama. Tapi justru hal ini tidak membuatnya semakin bertambah jauh dan justru membuatnya semakin cinta. Cintanya itu tidak dikotori dengan kefasikan dan kemesuman, tidak pula menodai cintanya dengan zina (selain zina kemaluan). Keadaannya yang jauh dari sang kekasih itu bisa menyeretnya kepada kematian. Haruskah dia tetap berjauhan dengan orang yang dicintainya? Apa yang harus dilakukan keduanya? Apa hak masing-masing atas yang lain, sesuai dengan ketentuan syariat yang mulia?

 

Syaikh Ibnu Taimiyah memberi jawaban yang cukup panjang, di antaranya: Orang yang sedang dimabuk cinta itu ada tiga jenjang: taraf permulaan, pertengahan, dan puncaknya.

 

Pada jenjang permulaan dia harus menyembunyikan perasaan cintanya dan tidak perlu memberitahukannya kepada orang lain. Tentu saja dia harus memperhatikan batas-batas kehormatan diri. Jika cintanya semakin bertambah membara, tidak ada salahnya dia menyatakan rasa cintanya kepada orang yang dicintai. Jika cintanya semakin membara lagi dan dia keluar dari batasan-batasan yang ada, berarti dia termasuk orang yang gila dan terbujuk rayuan syetan.

 

Orang yang dimabuk cinta itu ada dua golongan:

 

Pertama, Orang yang puas hanya dengan memandang dari waktu ke waktu. Bahkan di antara mereka ada yang mati dalam keadaan seperti ini, dan tak seorang pun mengetahui rahasia yang dipendamnya, termasuk pula orang yang dicintainya. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

 

“Barangsiapa jatuh cinta, lalu dia menjaga kehormatan dirinya dan menyembunyikan cintanya hingga meninggal dunia, maka dia mati syahid.”

 

Kedua, Orang yang memperbolehkan pelukan sesekali waktu, jika dirasa jiwanya bisa terganggu karena cintanya. Masih menurut golongan ini, sebab jika tidak melakukannya, maka dia bisa mengancam jiwanya sendiri. Pelukan itu hanyalah dosa kecil sedangkan bunuh diri merupakan dosa besar. Jika seseorang terancam dua jenis penyakit, maka dia harug mengobati yang lebih parah. Tidak ada yang lebih berbahaya bagj seseorang selain dari bunuh diri. Maka mereka mengharuskan orang yang dicintai menuruti kemauan orang yang mencintainya untuk mene, rima pelukan itu, jika dia menolak akan membuatnya bunuh diri. Mereka berhujjah dengan firman Allah,

 

Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan. kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil).” (An-Nisa’: 31),

 

“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil.” (An-Najm: 32).

 

Mereka juga mengacu kepada hadits, tatkala ada seseorang yang berkata kepada Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, saya berjumpa dengan seorang wanita dan melakukan segala sesuatu dengannya kecuali bersetubuh.”

 

Beliau bertanya, “Apakah engkau shalat bersama kami?” “Benar,” jawabnya. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosadosamu.” (Ditakhrij At-Tirmidzy).

 

Masih menurut pendapat mereka, lalu Allah menurunkan ayat,

 

“Dan, dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114).

 

Ibnu Taimiyah memberi jawaban lagi, jika keadaannya seperti yang dinyatakan penanya itu, bahwa orang yang dimaksud tidak akan kotor cintanya karena zina (selain zina kemaluan) dan tidak berakhir dengan kebinasaan, maka keadaannya harus dilihat lebih lanjut. Jika dia masih dalam taraf pertama, maka cukup hanya dengan pandangan mata saja. Jika sudah sampai taraf kedua, maka tak ada salahnya dia berbincang-bincang dengan orang yang dicintai, agar hatinya menjadi luluh. Jika keadaannya sampai ke taraf ketiga, maka bolehlah dia memeluknya, tapi dengan syarat, tidak boleh menjadi contoh bagi perbuatan buruk yang dilarang, yang akhirnya bisa menyeretnya kepada perbuatan dosa besar. Jika dosa besar ini dilanggar, maka dia layak mendapat hukuman hingga mati (rajam).” Begitulah jawaban yang diberikan Ibnu Taimiyah.

 

Ada segolongan fuqaha’ dari kalangan salaf dan khalaf serta sebagian ulama yang memperbolehkan masturbasi dengan menggunakan tangan, jika dia khawatir akan terseret kepada zina.

 

Bahkan sebagian fuqaha’ ada yang memperbolehkan masturbasi ini karena dorongan seksualnya yang amat kuat tatkala dia sedang puasa wajib, daripada dia harus menyetubuhi istrinya. Tidak dapat diragukan bahwa pandangan, ciuman dan pelukan, merupakan pilihan yang paling ringan daripada masturbasi dengan tangan dan bersetubuh pada saat puasa Ramadhan, jika memang hal itu menjamin bisa mengobati dorongan seksualnya.

 

Sebagian fuqaha’ juga memperbolehkan wanita memasukkan sesuatu ke lubang vaginanya lalu mengeluarkannya lagi, jika dia khawatir akan terseret kepada perbuatan zina.

 

Tidak dapat diragukan, bahwa syariat Islam datang dengan menyodorkan pilihan, mana yang lebih ringan dari dua jenis kerusakan, untuk menghindari yang lebih berat kerusakannya dan meninggalkan kemaslahatan yang lebih sedikit untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih banyak. Lalu bagaimana dengan dampak negatif pandangan, ciuman dan pelukan dibandingkan dengan sakit, gila dan kematian?

 

Alasan yang mendasari golongan ini sudah disampaikan. Kami perlu menyebutkan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh tentang hal ini dalam bahasan berikut.

 

Berikut ini akan kami sampaikan tanggapan dari alasan yang dikemukakan golongan di atas (dalam Bagian 8), mana yang bisa diterima dari alasan-alasan dan mana yang tidak boleh. Syubhat yang mereka sebutkan itu berkisar pada tiga masalah:

 

  1. Penukilan yang benar namun tidak bisa dijadikan hujjah
  2. Penukilan yang dusta yang dinisbatkan kepada pendapat orangorang fasiq dan cabul seperti yang akan kami jelaskan mendatang
  3. Penukilan secara global yang justru bertentangan dengan pendapat mereka.

 

Alasan mereka dengan ayat,

 

“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah?” (Al-Araf: 185)

 

Serupa dengan pembolehan mereka mendengarkan suara-suara fasiq dan berisi bisikan syetan, dengan menggunakan firman Allah,

 

“Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.” (Az-Zumar: 17-18).

 

Memang “perkataan” dalam ayat ini bersifat umum, lalu mereka memahami lafazhnya dengan suatu makna yang terlepas dari keumuman itu. Padahal yang dimaksudkan “perkataan” di sini adalah yang diperintahkan Allah untuk didengarkan, yaitu wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yaitu seperti yang difirmankan Allah,

 

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan>?” (AlMukminun: 68).

 

“Dan, sesungguhnya telah Kamit turunkan berturut-turut perkataan ini.” (Al-Qashash: 51).

 

Inilah maksud “perkataan”, yang mana mereka diperintahkan untuk mengikuti yang lebih baik, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan, tkutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian.” (Az-Zumar: 55).

 

Pandangan yang diperintahkan Allah kepada kita ialah pandangan yang menyebabkan kita bisa mengetahui Allah, beriman kepada-Nya dan mencintai-Nya, yang menunjukkan kebenaran rasul-rasul-Nya tentang apa-apa yang mereka kabarkan, seperti tentang asma, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, siksa dan pahala-Nya, bukan pandangan yang justru mendorong orang yang melakukannya menjadi bergantung kepada obyek pandangan yang diharamkan. Pandangan ini adalah yang diperintahkan Allah agar pelakunya menahan untuk tidak memandangnya. Itu pun harus ada jaminan bahwa mereka tidak akan menjurus kepada kedurhakaan. Sebab dengan begitu jiwa mereka akan menjadi mulia dan hati mereka menjadi bersih. Jika Allah memerintahkan mereka agar menahan pandangan dari obyek yang sesekali boleh dipandang karena dikhawatirkan akan muncul cobaan, lalu bagaimana dengan memandang obyek yang sama sekali tidak diperbolehkan dalam keadaan bagaimana pun juga?

 

Dapat pula dikatakan kepada golongan ini: Pandangan yang dianjurkan Allah adalah pandangan yang mendatangkan pahala bagi orang yang melakukannya, yaitu pandangan yang sesuai dengan perintah-Nya. Maksudnya, pandangan yang dimaksudkan untuk lebih mengenal Allah dan mencintai-Nya, bukan pandangan yang berisi bisikan syetan.

 

Cara penggunaan dalil seperti ini serupa dengan cara yang ditempuh orang-orang zindiq yang memecahkan masalah perbuatan mesum, dengan menyetubuhi hamba sahaya yang dimiliki seseorang, dengan berlandaskan kepada firman Allah,

 

“Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mukminun: 6).

 

Orang mempercayai hal ini sama dengan orang kafir yang darahnya dihalalkan, setelah dia diberi penjelasan. Golongan ini berusaha menutup-nutupi nafsu dan birahinya dengan melihat pertimbangan tertentu dan telah berlandaskan kepada dalil. Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa pandangan mereka (kepada gambar atau obyek yang semestinya tidak boleh dipandang) adalah ibadah, karena mereka memandang fenomena keindahan ilahy. Mereka beranggapan seperti anggapan orang-orang Nashara, bahwa Allah bisa tampak da. lam obyek-obyek pandangan yang indah itu. Maka mereka menjadikan cara ini sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti ang. gapan yang biasa muncul di kalangan golongan-golongan yang mem, bual memiliki ma’rifat dan olah jiwa.

 

Syaikh kami (Ibnu Taimiyah) berkata, “Kekufuran mereka itu lebih buruk dari kekufuran kaum Luth, lebih buruk dari kekufuran para pe. nyembah berhala, karena mereka tidak berkata, ‘Sesungguhnya Allah tampak dalam gambar-gambar itu’. Para penyembah berhala hanya berkata,

 

“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3). .

 

Tapi mereka berkata, ‘Kami menyembah mereka karena Allah tampak dalam gambar mereka’.

 

Syaikh kami menuturkan, bahwa ada seorang laki-laki di antara mereka yang berpapasan dengan seorang pemuda yang amat tampan dan halus kulitnya. Pandangan matanya tak lepas dari pemuda tampan itu. Teman di sebelahnya memperingatkan, “Ini tak layak dilakukan orang sepertimu.”

 

Orang itu menjawab, “Saya bisa melihat sifat-sifat yang saya sembah pada diri pemuda itu. Dia adalah salah satu dari fenomenafenomena keindahan.”

 

Temannya bertanya, Jadi engkau telah berbuat seperti itu?”

 

“Begitulah,” jawabnya.

 

Lalu Syaikh kami berkata, “Allah melaknat segolongan orang yang sembahannya ada pada orang yang disetubuhinya.”

 

Di antara orang-orang zindiq itu ada yang mengkhususkan gambar-gambar tertentu, sehingga mereka bisa dikatakan sejenis orang-orang Nashara atau lebih tepatnya saudaranya orang-orang Nashara. Memandang gambar-gambar yang diharamkan adalah ibadah menurut pendapat mereka. Boleh jadi hadits yang menyatakan: “Memandang wajah yang elok adalah ibadah”, adalah rekayasa orang-orang zindiq atau orang-orang gila dan mesum. Jika tidak, tentunya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terbebas dari yang demikian itu.

 

Syaikh kami pernah ditanya tentang memandang wajah yang cantik sebagai ibadah. Yang demikian ini telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu Alathi wa Sallam. Shahihkah riwayat ini atau tidak?

 

Syaikh kami menjawab, “Ini adalah dusta dan batil. Siapa yang meriwayatkannya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam atau yang serupa dengan itu adalah orang yang membuat kedustaan terhadap beliau. Tak seorang pun dari ahli hadits yang meriwayatkan seperti ini, tidak dengan isnad yang shahih maupun dengan Isnad yang dha’if. Kalau pun ada, itu adalah maudhu’ (dikarang-karang), yang bertentangan dengan ijma’ kaum Muslimin. Tak seorang pun mengatakan bahwa memandang wanita lain mahram adalah ibadah. Orang yang berkata seperti itu layak bertaubat jika memang dia ingin bertaubat. Jika tidak, maka dia layak dihukum mati. Pandangan itu ada yang diharamkan, ada yang dimakruhkan ada yang diperbolehkan, wallahu a‘lam.”

 

Ada pula hadits lain menurut versi mereka, “Carilah kebaikan dari wajah-wajah yang menawan”. Kalau pun hadits ini diriwayatkan dengan suatu isnad, hadits ini tetap dianggap batil, tidak shahih diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kalau pun shahih, hadits ini tetap tidak bisa dijadikan hujjah oleh golongan ini. Karena ini merupakan perintah untuk mencari kebaikan, bukan untuk melegitimasi hubungan mereka dan mendapatkan hal-hal yang diharamkan. Wajah yang elok lebih mencerminkan perbuatan yang baik. Biasanya akhlak itu selaras dengan rupa. Antara keduanya ada hubungan yang dekat.

 

Tentang perintah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada lakilaki pelamar agar memandang wanita yang dilamarnya, itu adalah pandangan sekedar menurut kebutuhan. Ini merupakan perintah bersifat anjuran menurut pendapat Jumhur. Namun menurut ahli zhahir, itu adalah perintah bersifat wajib. Pandangan ini diperbolehkan karena ada kemasalahatan yang jelas, agar yang melamar itu tidak merasa menyesal setelah menikahinya. Pandangan yang dimubahkan itu banyak jenisnya, dan ini adalah salah satu di antaranya, yang berbeda dengan memandang obyek yang diharamkan.

 

Sanggahan terhadap Atsar

 

Tentang apa yang disebutkan As-Sam’any dari Asy-Syafi’y, maka itu termasuk penyimpangan dalam penukilan. Sebab orang yang bertanya tidak menyebutkan secara persis perkataan Asy-Syafi’y. Penanya itu sendiri yang menyebutkan pertanyaan dan jawabannya. Sementara orang itu tidak diketahui identitasnya, apakah dia orang yang tepercaya atau tidak. Jawabannya juga mengarah kepada maksud golongan ini sama sekali. Bahkan bisa menjadi bumerang baginya. Sebab di dalamnya terkandung larangan menghilangkan ketakwaan karena saling mempertautkan hati. Seakan-akan dia berkata, Jangan tautkan hatimu jika hal itu menghilangkan ketakwaan. Atau bisa juga dijawab dengan jawaban lain, bahwa pertautan hati itu tidak sampai menghilangkan takwa, jika berkaitan dengan cumbuan yang memang dimubahkan, seperti mencumbui Istri.”

 

Tentang kisah yang disebutkan dari Sa’id bin Al-Musayyab, maka Sa’id sendiri yang menjawabnya, bahwa tatkala Murkhiyah yang berasal dari Bani Kilab, orang yang bertanya kepadanya, sedang lewat, maka Sa‘id berkata, “Inilah orang Arab yang paling pendusta.”

 

Ada yang bertanya, “Mengapa begitu wahai Abu Muhammad”

 

Dia menjawab, “Bukankah dia yang berkata, ’ Demi Allah, dia itu berdusta. Dia tidak pernah bertanya kepadaku seperti itu dan saya juga tidak pernah memberinya fatwa.”

 

Jika seperti itu jawaban Sa’id, lalu apa jawaban yang dia berikan kepada orang yang bertanya tentang memeluk kekasih lain mahram, yang sehari semalam dilakukan sebanyak sepuluh kali? Semoga Allah memburukan rupa orang-orang fasiq lagi pendusta, yang membuat kedustaan terhadap para ulama semacam Sa’id bin Al-Musayyab. Mereka itu adalah orang-orang fasiq yang pendusta. Mereka ingin menyusupkan kefasikannya dengan membuat kedustaan terhadap para ulama saat itu, seperti kedustaan yang dilakukan Abu Nuwas terhadap Abu Ishaq bin Yusuf Al-Azraq. Abdullah bin Muhammad bin Aisyah berkata, “Suatu hari saya mendatangi Ishaq bin Yusuf Al-Azraq. Tatkala melihatku dia menangis. Saya bertanya, “Mengapa engkau menangis?”

 

Dia menjawab, “Gara-gara Abu Nuwas.”

 

“Ada apa dengan dia?” tanyaku.

 

Dia berkata, “Wahai pembantu, tolong ambilkan kertas!” Lalu dia menulis,

 

Wahai sang penyihir leher dan mata

yang membunuhku dengan janji-janjinya

Kau janji menghubungiku lalu kau ingkari

celakalah orang yang mengingkari janji

Al-Azraq sang muhaddits memberitahuku

dari Syamr dan Auf, dari Ibnu Mas’ud

hanya orang kafirlah yang mengingkari janji

di neraka dia akan menjadi santapan api

 

Kalau pun riwayat itu benar dari Sa’id, maka itu juga tidak bisa dijadikan hujjah yang menguatkan pendapat mereka. Sebab Sa‘id menyuruh untuk bersabar terlebih dahulu, merasakan pengawasan Allah, takut siksa-Nya dan menghindari orang-orang fasik. Kemudian dia memerintahkannya mencium pipi orang yang dicintainya, sepuluh kali setiap hari. Tentu saja yang dimaksudkan adalah mencium orang yang memang diperbolehkan baginya, seperti mencium istri. Dia memerintahkan untuk tidak mencium orang yang tidak halal baginya. Sulit digambarkan jika ada ulama yang seperti itu, kecuali jika kebodohannya kelewat batas atau dia orang yang dicurigai agamanya.

 

Tentang apa yang disebutkan Al-Mubarrad dari seorang Araby yang bertanya kepada seorang pemuda penduduk Makkah tentang ciuman pada bulan Ramadhan, maka pemuda itu menjawab, “Boleh mencium istri tujuh kali, dan boleh mencium kekasih delapan kali. Tak seorang pun mengetahui siapa orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa itu, sehingga pengabarannya memang bisa diterima. Andaikata keduanya diketahui secara jelas, tentu yang dimaksudkan kekasih di sini adalah budak perempuan yang cantik. Dialah yang boleh dicium delapan kali atau lebih banyak lagi.

 

Jika ada seorang ulama Islam yang berfatwa membolehkan laki laki mencium wanita lain mahram yang diharamkan baginya sebanyak delapan kali pada bulan Ramadhan, maka kami hanya bisa berlindung kepada Allah dari yang demikian itu. Begitulah atsar yang disebutkan Al-Khathib di dalam sebuah buku yang diriwayatkan Malik. Sulit digambarkan jika ada seorang ulama yang berangan-angan akan mencium wanita lain mahram saat ihram di Mina. Sebab ciuman itu bisa merusak ibadah haji dan bahkan ada yang menganggapnya bisa membatalkan haji. Kalau pun itu benar, maka yang dimaksudkan adalah mencium istri atau budak perempuannya.

 

Tentang atsar yang disebutkan Al-Hakim di dalam ManaqibusySyafi’y, maka tidak ada yang bisa dijadikan hujjah dari apa yang terjadi antara Al-Hakim dan Ar-Rabi’. Kisah itu jelas merupakan kedustaan. Orang yang meminta fatwa beranggapan bahwa Asy-Syafi’’y telah memberikan jawaban kepadanya, dengan berkata, “Mufti itu berkata kepadaku, Air matanya meleleh’.” Ini adalah kisah orang yang meminta fatwa tentang perkataan orang yang memberi fatwa. Lalu siapakah yan menerima kisah itu dari Asy-Syafi’y Tak perlu kalian pedulikan kebohongan semacam ini.

 

Tentang apa yang disebutkan dari Amr bin Sufyan bin Binti Jami’ lalu siapakah yang menerimanya dari Ibnu Sufyan? Siapakah dia Am, bin Sufyan bin Binti Jami’ bin Murkhiyah ini? Layakkah seseorang mem, percayai perkataan yang berasal dari Malik dan Al-Laits bin Sa’d, bahwa keduanya memperbolehkan mencium pipi wanita lain mahram yan dicintai, atau mencium pipi pemuda yang tampan dan lemah lembut) Sementara itu, ada kisah tentang Malik dengan seorang pemuda yang memeluk anak yang tampan. Lalu dia mengeluarkan fatwa agar men. jatunkan hukuman cambukan sebanyak enam ratus, hingga pemuda itu mati. Bapak pemuda itu berkata kepadanya, “Engkau telah membunuh anakku.”

 

Malik menjawab, “Allahlah yang telah membunuhnya.”

 

Jika seperti ini kekerasan sikap dan fatwanya, lalu adakah dia memperbolehkan mencium pipi anak yang tampan?

 

Memang benar. Allah tidak mengharamkan seseorang mencium wanita yang layak dicintai dan mencium pipi anaknya sendiri, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq yang mencium pipi putrinya, Aisyah. Seorang Araby juga pernah melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mencium salah seorang putrinya. Araby itu berkata, “Kalian biasa mencium anakanak? Sesungguhnya saya mempunyai sepuluh anak, dan saya tak pernah mencium mereka.”

 

Beliau bersabda, “Aku tidak lagi bertanggung jawab seandainya Allah melenyapkan kasih sayang dari hatimu.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

 

Tentang pengarang buku Rustaf Al-Ittifag, dia adalah seorang penyair Mesir. Demi Allah, dia adalah orang yang rusak, fasik dan kurang waras, yang berjuluk Abu Ar-Raqamqa. Tidak dapat dipungkiri bahwa untaian kalimat itu memang pas dengan keadaan dirinya.

 

Tentang kisah Ibrahim bin Al-Mudabbir dari Abu Bakar bin Ayyas, maka itu adalah penukilan yang tidak bisa dipercaya, dari orang yang tidak terpelihara dari kesalahan.

 

Tentang riwayat dari Al-lmam Malik, maka demi Allah yang tiada lah selain-Nya, itu berasal dari orang yang membuat suatu kedustaan paling buruk yang dialamatkan kepadanya. Pendusta yang fasik ini hendak menyusupkan kedustaan tanpa disertai pengetahuan, dan juga tidak tahu tentang diri Ahmad bin Hanbal. Dia itu seperti orang yang menisbatkan dirinya kepada pendapat bahwa A! Qur’an adalah makhluk, atau seperti mendahulukan Ali daripada Abu Bakar, atau seperti mendahulukan pendapat daripada Sunnah.

 

Begitu pula yang mereka sebutkan dari Abu Hanifah. Kalau pun perkataan itu benar, maka di dalamnya tidak terdapat hujjah yang mendukung pendapat golongan ini. Abu Hanifah berkata, “Tiada dosa jika dilakukan sepuluh atau empat kali.” Dia tidak mengatakan, “Mencium wanita lain mahram.” Kami juga akan mengatakan seperti yang dikatakan Abu Hanifah jika yang dicumbu adalah orang yang memang halal untuk dicumbui.

 

Tentang apa yang disebutkan dari Ath-Thahawy, maka tidak ada kebenaran yang bisa kami lihat. Kalau pun memang benar, maka yang dimaksudkan tentunya ciuman yang diperbolehkan. Boleh jadi seorang laki-laki harus berjauhan dengan istri atau budaknya. Lalu dia bertanya kepada dokter atau ulama atau orang yang biasa menghadapi problem cinta. Masing-masing di antara mereka memberi jawaban menurut disiplin ilmu yang dimilikinya.

 

Mughith, suami Barirah pernah mengeluhkan cintanya yang masih membara kepadanya. Dia meminta tolong kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam agar Barirah ruju’ dengan Mughith. Namun Barirah tidak mau.

 

Ada pula seorang laki-laki yang mengadu kepada beliau tentang istrinya yang tidak menolak jika ada laki-laki lain yang mengulurkan tangan kepadanya. Maka beliau memerintahkan untuk menceraikannya. Namun laki-laki itu berkata, “Saya khawatir akan menimbulkan dampak terhadap diriku sendiri.” Maka beliau memerintahkan untuk tetap bersamanya. Riwayat ini disebutkan Al-lmam Ahmad dan An-Nasa’i.

 

Menurut sebagian ulama, beliau merasa berkepentingan untuk menghilangkan salah satu dari dua jenis kerusakan yang paling parah dan mempertahankan mana yang lebih sedikit kerusakannya. Tatkala ada orang yang mengadukan masalah istrinya yang tidak menolak uluran tangan orang lain, maka beliau memerintahkan untuk menceraikannya. Tapi setelah tahu laki-laki itu amat mencintai istrinya dan dikhawatirkan dia tidak akan mampu menguasai diri, maka beliau memerintahkan untuk mempertahankan perkawinannya, untuk menolak kerusakan yang lebih parah.

 

Abu Ubaidah menanggapi, maksudnya wanita itu tidak menolak uluran tangan laki-laki lain yang meminta-minta kepadanya, sehingga dia harus mengambil sebagian dari harta suaminya. Namun ta’wil ini ditanggapi lagi, jika yang dimaksudkan adalah orang yang meminta. minta kepadanya, tidak disebut dengan kata lamis, tetapi multamis Golongan lain menjawab, kedurhakaan yang tidak disengaja dalam pernikahan tidak pasti akan mendatangkan kerusakan. Menurut An-Nasa’y hadits ini mungkar.

 

Menurut pendapat saya, ada makna lain tidak seperti yang telah disebutkan ini. Laki-laki itu tidak merasa ragu bahwa istrinya telah berzing dengan laki-laki mana pun yang dia kehendaki. Andaikata beliau bertanya hingga sedetail itu, mana mungkin Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi keputusan agar orang itu hidup berdampingan dengan seorang pelacur? Padahal laki-laki yang hidup bersama pelacur layak disebut mucikari. Laki-laki itu mengadu kepada beliau bahwa istrinya tidak menghindar dari laki-laki yang mencandainya, mengulurkan tangan kepadanya, menarik-narik bajunya, atau yang sejenisnya. Karena me, mang ada sementara wanita yang bersikap lemah lembut tatkala berbi. cara atau bermain-main. Wanita itu terlalu mulia dan terhormat untuk dikatakan sebagai pezina atau pelacur. Begitulah keadaan sebagian besar wanita Arab, dan mereka tidak menganggap tindakan seperti itu sebagaj aib. Bahkan pada masa Jahiliyah mereka menganggap suami sebagaj paroh yang bawah dan kekasih sebagai paroh yang atas. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Untuk kekasih apa yang ada di balik cadar

untuk suami apa yang ada di balik izar

 

Tentang Abu Utsman yang disebut sebagai syaikh Mu’tazilah dan syaikh-syaikh Wasit Hiyin adalah Amr bin Ubaid. Sedangkan Washil adalah Washil bin Atha’. Kalau pun keduanya mengeluarkan fatwa seperti ini, maka memang begitulah fatwa yang keluar dari dua orang ahli bid’ah dan tercela di kalangan orang-orang salaf maupun khalaf. Terlebih lagi yang mengabarkan adalah orang yang tidak diketahui identitasnya.

 

Tentang orang yang kalian jadikan pengadil untuk melawan kami, yaitu Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, maka kami pasti akan ridha terhadap hukum yang keluar dari tangannya. Tapi bagian mana dia memperbolehkan seseorang memandang hal-hal yang diharamkan, mencumbui pemuda tampan dan wanita lain mahram? Bukankah ini merupakan kedustaan yang nyata? Semua tulisan dan fatwanya menyatakan kebalikan kisah yang kalian sampaikan. Fatwa-fatwa yang kalian nyatakan itu adalah dusta, karena sama sekali tidak sesuai dengan perkataan Ibnu Taimiyah. Andaikata ada tempat, tentu akan kami sebutkan perkataan Ibnu Taimiyah secara keseluruhan, sehingga bisa diketahui mana yang berasal dari orang lain, bukan darinya. Itu semua adalah dusta yang tidak sesuai dengan perkataannya.

 

Tentang mengikuti kerusakan yang paling minim untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, maka kami setuju dengan kaidah ini. Bahkan ini merupakan kaidah syariat yang paling benar. Tetapi permasalahannya menjadi lain jika kaidah ini dimasukkan ke dalam gambaran yang sedang kita bicarakan. Bahkan kami bisa mengadili kalian berdasarkan kaidah ini. Kemungkinan dampak negatif penderitaan cinta di samping menahan pandangan, tidak mencium dan memeluk orang yang dicintai, lebih sedikit daripada dampak negatif mengumbar pandangan yang disertai ciuman dan pelukan. Dampak negatif ini bisa menjurus kepada kerusakan hati dan agama. Gambaran puncak dari dampak menahan pandangan adalah tubuh yang sakit atau kematian, namun selamat dari pelanggaran yang haram. Lalu bagaimana dengan dua jenis dampak ini? Pandangan, ciuman dan pelukan belum tentu bisa menghindarkan dari penyakit dan kematian. Kerinduan justru semakin menjadijadi dan tidak menjadi hilang karenanya.

 

Luapan kerinduan selalu berharap cumbuan

seperti perindu yang tiada lagi harapan

 

Tidak dapat diragukan, luapan cinta orang yang berpengharapan, lebih kuat daripada cintanya orang yang putus asa untuk berhubungan dengan orang yang dicintai. Oleh karena itu seorang penyair berkata,

 

Suatu kali cinta bisa bergeser dari tempatnya

jika tempat tinggal tak bertaut jauh darinya

 

Jika dikatakan: Allah telah memperbolehkan orang yang dalam keadaan terpaksa untuk memakan bangkai, darah atau daging babi. Bahkan memakannya adalah wajib. Masrug dan Al-Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa harus makan bangkai, namun dia tidak memakannya lalu meninggal dunia, maka dia akan masuk neraka.” Yang pasti dari pandangan, ciuman dan pelukan adalah haram. Jika orang yang mencumbui wanita terpaksa harus melakukannya, maka setidak-tidaknya adalah mubah jika tidak wajib. Ini merupakan analogi yang bisa diterima dan benar. Lalu bagaimana dampak kematian orang yang bercumbu jika dibandingkan dengan dampak ciuman itu?

 

Jawabannya: Masalah ini bisa dijelaskan dengan suatu kaidah, bahwa Allah tidak menjadikan keterpaksaan pada diri hamba untuk melakukan persetubuhan, yang jika tidak melakukannya dia akan meninggal dunia. Berbeda dengan keterpaksaannya dalam masalah makan, minum dan berpakaian. Karena makan, minum dan pakaian ini menopang tubuh, yang jika tidak memperolehnya bisa mengakibatkan kematian. Oleh karena itu Allah tidak memperbolehkan persetubuhan yang diharamkan seperti pembolehan makan dan minum yang sebenarnya diharamkan. Persetubuhan adalah masalah birahi dan kenikmatan, yang notabene-nya merupakan pelengkap dan penyempurna. Oleh karena itu manusia tetap bisa berumur panjang sekalipun tidak menikah dan memperoleh Kenikmatan serta kesenangan. Namun manusia tidak mampu bertahan hidup tanpa makanan dan minuman. Oleh Karena itu Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam memerintahkan para pemuda agar berpuasa untuk mengobati gejolak birahi. Allah berfirman tentang orang. orang yang mencumbui pemuda tampan,

 

“Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita.” (Al-Araf: 81).

 

Allah memberitahu bahwa faktor yang mendorong Kepada perse.tubuhan adalah birahi, bukan karena kebutuhan, apalagi kebutuhan yang mendesak. Birahi yang bersifat abstrak tidak bisa disebut kebutuhan yang mendesak. Menjaga diri dari bisikan birahi yang mungkin berdampak datangnya penyakit, tidak akan sebahaya menahan dari makan dan minum. Sehingga tidak ada kebutuhan yang mendesak kepada pemenuhan birahi itu, sekalipun jiwa sangat menginginkannya. Ciuman, pandangan, pelukan atau jenis cumbuan lainnya laksana buah atau tawas yang berbahaya jika dimakan orang yang terjangkit penyakit tertentu. Jika orang yang terjangkit itu berkata, Jika saya tidak memakannya, maka saya tidak khawatir akan mati.” Tentunya dia tidak bersungguhsungguh dengan perkataannya itu. Sebab yang melakukan ciuman dan pelukan hanya Karena didorong nafsu birahi. Maka penyakitnya justru bisa semakin bertambah jika dia melakukannya. Dokter yang baik tentu tidak akan memperkenan yang seperti itu. Lalu bagaimana mungkin pembuat syariat yang Maha Bijaksana, yang tujuan syariatnya untuk menjaga hati, akan memperkenankan sesuatu yang jelas merusak? Tentu saja mustahil terjadi. Syariat memerintahkan agar manusia menjaga sebab-sebab munculnya penyakit, karena dikhawatirkan akan merembet dan menimbulkan penyakit lain yang lebih parah.

 

Tentang orang yang Khawatir buah pelirnya akan terganggu, sehingga dia memperbolehkan persetubuhan pada waktu puasa Ramadhan, maka hal itu tidak bersifat mutlak. Bahkan jika memungkinkan mengeluarkan mani (onani) tanpa harus bersetubuh, maka dia tidak boleh bersetubuh. Ini pendapat yang tidak diperselisinkan lagi. Jika terpaksa harus melakukan persetubuhan yang diperbolehkan, maka kedudukannya seperti orang yang membatalkan puasa dengan cara makan karena alasan sakit. Kemudian pada hari lain dia harus mengqadha’nya. Makan karena alasan sakit tidak terbatas karena ketakutan terhadap mati. Lalu bagaimana jika dia khawatir terhadap kerusakan anggota tubuhnya yang bisa membawa kepada kematian? Keadaan ini sama dengan orang yang sangat haus, lalu dia mengkhawatirkan dirinya akan tertimpa suatu penyakit jika tidak minum, atau dia khawatir salah satu anggota tubuhnya akan rusak. Dalam Keadaan seperti itu dia boleh minum, kemudian mengqadha’ puasanya pada hari lain.

 

Jika ada yang berkata: Ketika dalam keadaan mendesak itu, yang ada di sampingnya adalah wanita lain, bolehkan menyetubuhinya agar kedua pelirnya tidak rusak?

 

Jawabnya: Tidak boleh. Tetapi dia boleh melakukan onani dengan cara membayangkan diri wanita itu. Apabila dikatakan: Jika melakukan onani sendiri tidak bisa keluar, maka bolehkah meminta tolong kepada wanita itu dengan menggunakan tangannya? Masalah ini harus diteliti lebih lanjut. Kedudukannya serupa dengan wanita lain mahram yang mengobati seorang laki-laki dengan menyentuhnya, jika memang dia merasa perlu untuk menyentuhnya, atau seperti laki-laki lain mahram yang mengobati wanita dengan menyentuhnya, jika memang dia merasa perlu untuk menyentuhnya. Wallahu a’lam.

 

Abul-Khaththab Mahfuzh bin Ahmad Al-Kalwazany pernah ditanya lewat surat, “Sampaikan kepada Abul-Khaththab, bintang petunjuk dan panutan orang berilmu pada masanya. Saya senantiasa percaya kepada fatwa Anda, yang terlepas dari bujukan syetan atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Apa pendapat Anda tentang anak kijang yang lembut menawan di tempatnya? Apakah syariat memperbolehkan untuk menciumnya bagi orang yang sedang galau Karena cintanya, yang dikhawatirkan akan membawa dampak kKepadanya? Atau bolehKah seorang perindu memeluk tanpa bergesekan dada? Sungguh suatu dosa jika saya hanya memendamnya, hingga akhirnya saya mendapatkan jawabannya.”

 

Dia menjawab, “Wahai Syaikh sastrawan, yang terkenal karena syair-syairnya. Engkau bertanya tentang mencium bulan yang bersinar terang dan memeluk leher sang Kekasih. Adakah syariat menyebut pembolehannya bagi orang yang sedang galau Karena cinta, sehingga dia mengkhawatirkan keadaan dirinya? Siapa yang mendekati cobaan lalu mengaku dirinya terjaga, berarti dia telah berbuat munafik terhadap dirinya sendiri. Bukankah cobaan yang menimpa seorang Iaki-laki itu tiada lain mencium dan memeluk leher sang kekasih karena alasan cinta? Bukankah alasan orang yang sedang kasmaran itu hanya karena ingin memeluknya? Syariat tidak memperbolehkan sebab-sebab yang bisa menyeret orang Muslim kepada sesuatu yang membahayakan dirinya. Maka selamatkanlah dirimu dan enyahkan bisikan nafsu, semoga engkay bisa selamat dari kejahatannya. Inilah jawaban Al-Kalwazany. Dia ber. harap pahala dari Allah.”

 

Inilah jawaban seorang ulama, yang berarti cocok dengan apa yang pernah kami sebutkan di atas.

 

Al-Imam Abul-Faraj bin Al-Jauzy juga pernah ditanya lewat sebuah tulisan:

 

“Wahai ulama! Apa pendapat Anda tentang pecinta yang mencai; karena cintanya kepada anak kijang yang elok menawan. Apakah me, nurut pendapat Anda boleh mencium bibir, mata atau pipinya, tanpa menyetubuhinya? Bolehkan memeluk lehernya yang jenjang dan kelewat batas? Saya sudah siap menerima fatwa Anda.”

 

Maka Abul-Faraj menjawab, “Wahai orang yang sedang dimabuk cinta. Dengarlah nasihat yang bisa menuntunmu kepada petunjuk ini, Andaikata cumbuan itu diperbolehkan, tentunya engkau tidak perlu lagi bertanya kepadaku. Seseorang yang tulus dengan cintanya, tak perlu lagi bertanya seperti itu kepadaku. Semua masalah yang engkau min. takan fatwanya kepadaku itu adalah diharamkan Allah atas hamba-Nya. Kecuali jika memang sudah dihalalkan Allah menurut syariat, lewat ‘aad. Berpalinglah dari hawa nafsu dan berdirilah di satu pintu. Mohonlah agar hatimu tidak lagi tersiksa. Pendamlah cinta itu dan jangan tampakkan. Bersabarlah dan simpan apa yang engkau pendam. Jika engkau mati dalam keadaan bersabar dan mencari ridha Allah, di kemudian hari tentu engkau akan beruntung mendapatkan surga Allah.

 

Seringkali para dokter menghadapi pasien yang terkena penyakit waswas, menyerupai melancholia. Yang diserang adalah jiwanya, karena adanya kerancuan dalam pikirannya, sehingga tidak tepat dalam menyatakan suatu gambaran atau sifat. Sebab psikologisnya adalah anggapan dan pikiran. Sedangkan sebab fisiknya adalah naiknya tekanan darah ke otak dari sperma yang tertahan. Oleh karena itu keadaan seperti ini seringkali menimpa orang-orang bujangan. Namun akan hilang sendiri jika sudah melakukan persetubuhan.

 

Sebagian filosof berkata, “Kerinduaan adalah kerakusan yang muncul di dalam hati, yang terus bergerak dan tumbuh, kemudian bisa terarah dan menyatu dengan hasrat. Jika cinta buta ini semakin menguat, maka orang yang mengalaminya akan bertambah tergetar, gundah, dan ingin mendapatkan apa yang diharapkannya, sehingga seringkali menimbulkan keresahan hati dan kekhawatiran. Sudah barang tentu aliran darah pada saat itu memusat di otak dan jantung. Jika aliran darah terlatu banyak memusat di otak, maka menimbulkan gangguan pikiran. Jika pikirannya terganggu, berarti akalnya sudah tidak terkontro! lagi. Dia bisa mengharapkan apa yang tidak mungkin terjadi, menganganangankan apa yang tidak tercapai, sehingga akhirnya bisa menjurus kepada gila. Dalam keadaan seperti itu, boleh jadi orang yang dimabuk cinta bisa bunuh diri atau mati karena merana. Atau dia melihat orang yang dicintainya lalu mati seketika itu pula karena tak mampu menahan luapan kegembiraan. Atau bisa saja napasnya tertahan selama dua puluh empat jam, lalu dia dianggap mati. Dia pun dikubur padahal sebenarnya dia masih hidup. Atau bisa saja dia menarik napas terlalu dalam sehingga tercekat lalu mati. Jika disebutkan nama orang yang dicintainya, tenty akan melihat perubahan rona wajahnya.

 

Plato berkata, “Cinta buta adalah gerakan jiwa yang kosong.” Sedangkan Aristoteles berkata, “Cinta buta adalah cinta yang buta untuk melihat aib orang yang dicintai.”” Oleh karena itu Jarir berkata,

 

Tak kulihat semua cela kekasih tercinta

atau sebagiannya jikalau aku sudah rela

mata yarg ridha tak kan melihat cela

keburukan selalu tampak bagi mata yang benci

 

Aristoteles juga berkata, “Cinta buta adalah kebodohan yang mem. balikkan hati yang hampa, sehingga dia tidak lagi mau memikirkan urusan perniagaan dan Kerja.” Yang lain berkata, “Cinta buta merupakan pilihan yang buruk, membalikkan jiwa yang hampa.”

 

Qais bin Al-Mulawwah berkata,

 

Cinta menghampiri sebelum kukenal arti cinta

cinta telah membalikkan hati yang hampa

 

Sebagian yang lain berkata, “Saya tidak melihat kebenaran yang menyerupai kKebatilan dan kebatilan yang menyerupai kebenaran selain dari cinta buta. Kelakarnya menjadi kesungguhan dan kesungguhannya menjadi kelakar. Mulanya hanya main-main dan kesudahannya Kehancuran.”

 

Al-Jahizh berkata, “Al-Isyqu ‘cinta buta’ adalah istilah untuk cinta yang berlebih-lebihan, sebagaimana pemborosan yang merupakan sikap murah hati yang berlebih-lebihan, atau seperti kikir yang merupakan sikap ekonomis yang berlebih-lebihan. Setiap kata al-isyqu bermakna cinta, tapi tidak setiap cinta berarti al-isyqu. Cinta merupakan jenis sedangkan cinta buta merupakan bagian dari cinta. Bukankah engkau bisa melihat bahwa setiap cinta itu disertai rasa rindu, tapi tidak setiap rasa rindu itu merupakan tanda cinta?”

 

Golongan lain berkata, “Al-Isyqu ialah kepasrahan dan ketundukan kepada orang yang dicintai. Al-Wajdu adalah cinta yang tenang, sedangkan al-hawa adalah hasrat kepada sesuatu lalu mengikutinya. Al-Hubbu ‘cinta’ meliputi tiga macami istilah ini.”

 

Al-Ma’mun pernah bertanya kepada Yahya bin Aktsam, “Apakah cinta buta itu?”

 

Yahya menjawab, “Bayang-bayang keindahan yang melintas dalam diri seseorang, lalu hatinya tunduk kepadanya dan rela berkorban karenanya.”

 

Tsumamah bin Asyras menimpali, “Diamlah wahai Yahya. Engkau memberi jawaban dalam masalah perceraian atau orang sedang ihram yang berburu kijang. Ini adalah masalah kami.”

 

Al-Ma’mun berkata, “Katakanlah wahai Tsumamah”

 

Tsumamah berkata, “Cinta buta adalah teman duduk yang menyenangkan, pendamping yang lemah lembut, pemegang kekuasaan yang langkah Kakinya gemulai, pandangannya redup, menguasai badan dan jiwa, hati dan perasaan, akal dan pikiran. Kekuatannya mampu menutupi pandangan dan membutakan hati.”

 

Al-Ma’mun berkata, “Tepat sekali jawabanmu wahai Tsumamah.” Seraya memberinya hadiah seribu dinar.

 

Sebagian orang berkata, “Pernah kukatakan kepada orang yang gila dan tak waras akalnya karena cinta buta, ‘Perhatikanlah bait syair ini,

 

Cinta itu hanyalah percikan yang menutupi mata

mata yang meleleh tak sanggup memberi lirikan

 

Al-Ashma’y pernah bertanya kepada seorang Araby tentang cinta buta. Maka orang itu menjawab, “Demi Allah, itu sulit dilihat dan dipandang. Cinta itu tersembunyi di dalam dada seperti percikan api yang tersembunyi di bilik. Jika diterangi ia bersembunyi dan jika dibiarkan ia menepi.”

 

Sebagian orang berkata, “Cinta buta termasuk gila, dan gila adalah seni. Berarti cinta buta termasuk seni gila.” Hal ini didasarkan kepada perkataan Qais,

 

Kau gila karena orang yang Kau cinta

memang cinta buta itu lebih parah dari gila

orang tidak bisa sadar karena cinta buta

sedang orang gila bisa terkapar tak berdaya

 

Yang lain lagi berkata, Jika beberapa bingkai jiwa menyatu karena kecocokan, semua akan memancarkan cahaya yang menyinari jiwa untuk mengetahui keelokan orang yang dicintai, sehingga jalan untuk menghantarkan kepadanya bisa ditemukan.”

 

Araby berkata, “Cinta buta mempunyai jalan yang lebih lebar di dalam hati daripada ruh di dalam badan, lebih menguasai jiwa daripada kekuasaan jiwa itu sendiri, sulit dilukiskan dan berada di antara sihir dan gila, jalannya halus dan tersembunyi.”

 

Ada pula yang berkata, “Cinta buta laksana raja yang loba, penguasa yang Ialim. Hati, jiwa dan pikiran tunduk kepadanya. akal menjadi tawanannya, pandangan mata menjadi dutanya, halus jalannya dan sulit keluarnya.”” Ada pula yang berkata, “Apa pendapatmu tentang cinta buta? Kalau tidak bagian dari penyakit gila, maka ia adalah kekuatap, sihir.”

 

Para filosof Good Walker” berkata, “Cinta buta adalah kesesuaiap moral, kecocokan cinta, kerinduan jiwa terhadap jiwa lain yang sejalap, seiring semenjak diciptakan pertama kali, sebelum turun ke badan.” Menurut pendapat saya, hal ini dilandaskan kepada perkataan mereka yang menyimpang, karena lebih mementingkan jiwa daripada raga. Atas dasa; inilah Ibnu Sina melantunkan kata-katanya yang terkenal, ‘Jiwa turun kepadamu dari tempat yang sangat tinggi.”

 

Saya pernah mendengar syaikh kami mengisahkan dari seorang ulama Marokko, Jamaluddin bin Asy-Syarisy, yang men-syarh buku Al. Maqamat, bahwa dia mengingkari perkataan semacam itu yang di. nisbatkan kepadanya, sebab hal itu bertentangan dengan apa yang dia tetapkan di dalam buku-bukunya, bahwa munculnya jiwa yang sadar bersamaan dengan badan.

 

Orang lain juga mensifati cinta buta, Jalannya sulit dipahami, sukar dilihat tempatnya dan akal bisa dibuat bingung. Ia bergerak sejak awal, menguasai hati, kemudian mengacaukan semua gerakan tubuh. Rona muka menjadi pucat, pendapat menjadi lemah, perkataan menjadi kacay dan mudah tergelincir, sehingga pelakunya lebih mirip orang gila.”

 

Zuhair pernah ditanya, “Apakah cinta buta itu?”

 

Dia menjawab, “Gila dan kehinaan adalah penyakit orang pandai. Pandangan orang yang dimabuk cinta hanya tertuju kepada orang yang dicintai, sehingga matanya menjadi kabur dan pandangannya tertutup.”

 

Hakim pernah ditanya, “Apa yang menimpa orang dimabuk cinta>”

 

Dia menjawab, “Dia hanya melihat kepada orang yang dicintai, lalu hatinya seakan lenyap dan badannya gemetar karena keadaan hatinya seperti itu.”

 

Dia juga ditanya, “Kami mencintai anak-anak dan keluarga kami. Namun kami tidak mengalami yang seperti itu. Lalu bagaimana ini?”

 

Dia menjawab, “Itu adalah cinta di dalam akal, sedangkan ini adalah cinta di dalam ruh.”

 

Tatkala tiba-tiba dia melihat kehadirannya kedua kakinya gemetar limbung tiada daya

 

Cinta adalah sang penguasa yang mampu menundukkan jiwa dan menawan hati. Seorang penyair berkata,

 

Cinta itu menguasai dan menawan hati

menjaga agar talinya tidak lepas terburai

 

Araby mensifati cinta buta ini dengan berkata, “Ia menerkam hati, menggetarkan sanubari, apinya menyala di dalam perut, seluruh anggota tubuh menjadi pembantunya. Hati orang yang dimabuk cinta menjadi layu, air matanya meleleh, tubuhnya melemah, perjalanan malam terasa lamban dan dia tak peduli sekalipun disakiti orang yang dicintainya.”

 

Ada yang berkata, “Cinta ini tumbuh tidak hanya karena faktor keindahan dan keelokan, tetapi ia juga tumbuh karena kecocokan jiwa dan kesamaan sifat. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Cinta itu bersemi bukan karena keelokan

tapi karena dua hati yang saling bertautan

 

Ada pula yang berkata, “Permulaan cinta buta itu curahan perhatian, pertengahannya adalah penderitaan dan kesudahannya adalah nyawa yang melayang, sebagaimana yang dikatakan Ibnul-Faridh di dalam syairnya,

 

Selamatkan dirimu dari cinta pembawa bencana

aku tak memilihnya selagi masih ada akal di kepala

hirup ketenangan hidup,

karena permulaan cinta adalah ketenangan

pertengahannya derita dan kesudahannya nyawa melayang

 

Manusia saling berbeda pendapat, apakah cinta buta itu tumbuh karena inisiatif diri sendiri ataukah karena ketetapan diluar keinginan manusia? Ada golongan yang berpendapat, cinta buta itu tumbuh karena ketetapan dan bukan karena inisiatif. Menurut mereka, hal ini serupa dengan keinginan untuk minum air tatkala haus dan keinginan untuk makan pada diri orang yang lapar, yang tentu saja keadaan ini tak kan bisa dibendung.

 

Golongan lain berkata, “Demi Allah, andaikata saya boleh memilih, tentu saya tidak ingin mencair menjadi orang yang dimabuk cinta buta. Sebab dosa orang-orang yang dimabuk cinta buta itu karena kedatangannya sebagai suatu ketetapan.

 

Jika seperti ini pendapatnya tentang tindakan berdasarkan inisiatif yang berasal dari cinta buta, lalu apakah yang disebut cinta buta itu sendiri? Abu Muhammad bin Hazm berkata, ada seorang laki-laki berkata kepada Amirul-Mukminin, Umar bin Al-Khaththab, “Wahai AmirulMukminin, sesungguhnya saya melihat seorang wanita lalu saya sangat cinta kepadanya.” Umar berkata, “Itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dibendung.”

 

Kamil berkata tentang diri Salma,

Mereka mencelaku karena kucinta Salma

mereka melihat nafsu sebagai sandaran

padahal cinta yang datang secara tiba-tiba cobaan bagi hamba ketetapan dari Ar-Rahman

 

At-Tamimy berkata di dalam buku imtizajul-Arwah, “Ada tabib yang ditanya tentang cinta buta. Maka dia menjawab, “Tumbuhnya cinta itu bukan karena inisiatif pelakunya, bukan karena keinginannya dan bukan merupakan kenikmatan bagi kebanyakan di antara manusia. Tumbuhnya cinta itu laksana datangnya penyakit yang kronis. Tidak ada perbedaan di antara keduanya.”

 

Al-Mada’iny berkata, “Seseorang mencela temannya yang jatuh cinta. Maka orang yang dicela itu berkata, “Andaikata orang yang jatuh cinta itu bisa memilih, tentu aku tidak akan memilih jatuh cinta.” Hal ini ditunjukkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhary di dalam Shahih-nya, dari kisah Barirah, bahwa suaminya selalu menguntit di belakangnya setelah dia bercerai dengannya, sehingga Barirah tidak halal bagi suaminya. Sementara air mata suaminya senantiasa meleleh di kedua pipi. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Wahai Abbas, apakah engkau tidak taajub terhadap cinta Mughits kepada Barirah dan kebencian Barirah kepada Mughits?”

 

Kemudian beliau bersabda kepada Barirah, “Andaikan saja engkau rujuk dengan Mughits.”

 

Barirah bertanya, “Apakah engkau menyuruhku untuk rujuk?”

 

Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah seorang penolong.”

 

Barirah, “Saya tidak lagi membutuhkan diri Mughits.”

 

Beliau tidak mencegah tumbuhnya cinta Mughits yang membara dalam keadaan seperti itu. Sebab keadaan seperti itu merupakan sesuatu yang tidak bisa dibendung dan bukan merupakan inisiatif diri sendiri. Jami’ berkata,

 

Kutanya Sa’id bin Al-Musayyab mufti Madinah

adakah dosa karena cinta yang melimpah

Sa’id bin Al-Musayyab memberi jawaban

celaan bagi orang yang sebenarnya bisa menahan

 

Cinta buta termasuk siksaan. Orang yang berakal tentu tidak akan memilih siksaan bagi diri sendiri. Dalam hal ini Al-Mu’ammal berkata,

 

Al-Mu’ammal melemah kebingungan karena pandangan

andaikan saja dia diciptakan tanpa pandangan mata

cukuplah siksaan bagi para pecinta dalam kehidupan

hingga kelak tak kan lagi ada siksa di neraka

 

Setelah itu Al-Mu’ammal menjadi buta.

 

Ada pula yang berkata, “Cinta tak berkait dengan pandangan sehingga dia mampu membendungnya, tidak pula berkait dengan akal sehingga dia bisa menalarnya. Kemudian dia berkata,

 

Bisikan cinta bukan sekedar bisikan

tiada yang tahu apa yang telah dikabarkan

urusan cinta tiada tuntas dengan penalaran

tidak pula dengan analogi dan pikiran

urusan cinta adalah urusan sentuhan hati

urusan demi urusan datang silih berganti

 

Al-Qadhy Abu Umar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Salman An-Nuqany berkata di dalam bukunya, Mihnatuzh-Zharraf. “Orang-orang yang dimabuk cinta buta harus dimaklumi, apa pun keadaannya. Sebab cinta itu mendatangi mereka di luar inisiatifnya. Cinta itu mMenyusup secara kebetulan dan merupakan ketetapan yang tidak bisa diganggu gugat. Celaan diberikan kepada seseorang karena sesuaty yang berada di dalam kesanggupannya, bukan atas sesuatu yang sudah ditetapkan dan ditakdirkan atas dirinya. Ada yang berkata, ‘Seorang wanita yang sedang hamil langsung keguguran tatkala melihat Yusuf Alaihis Salam. Bagaimana menurut pendapatmu tentang kegugurannya itu? Apakah itu karena berdasarkan inisiatif ataukah merupakan ketetapan?’ Yang lain berkata, ‘Para wanita memotong jari-jari tangannya tatkala mereka melihat ketampanan Yusuf Alaihis-Salam dan cinta pun menggelitik hati mereka. Bagaimana jika mereka benar-benar dimabuk cinta yang membara kepada beliau?”

 

Jika ada wanita yang melihat Mush’ab bin Az-Zubair, maka dia langsung mengalami haid, karena keelokan dan ketampanannya. Lalu ada seorang penyair berkata tentang dirinya,

 

Mush’ab adalah percikan bara api dari Ilahi

kegelapan menjadi sirna karena wajahnya yang berseri

 

Dari sini Ahmad bin Al-Husain Al-Mutanabby membuat syair,

 

Bertaqwalah kepada Allah dan jangan pandang keelokan

gadis-gadis belia mengalami haid jika tetap memandang

 

Jika ini hanya sekedar pandangan, lalu bagaimana dengan cinta yang tak sanggup ditanggulangi?

 

Hisyam bin Urwah menuturkan dari ayahnya, dia berkata, “Di Madinah ada seorang laki-laki meninggal dunia karena menderita dirundung cinta. Lalu Zaid bin Tsabit menshalatinya. Pada saat itu ada seseorang yang berkata kepadanya, “Saya kasihan kepadanya.”

 

Abus-Sa’ib Al-Makhzumy, orang yang mempunyai kedudukan dalam ilmu dan agama, terlihat pernah memegango kain penutup Ka’bah, seraya berkata, “Ya Allah, kasihanilah orang-orang yang dimabuk cinta dan kuatkanlah hati mereka serta condonglah hati orang-orang yang dicintai kepada mereka.” Pada saat itu ada seseorang yang berkata kepadanya, “Demi Allah, doa ini lebih baik daripada umrah dari Ji’ranah.”” Setelah itu dia berkata dalam syairnya,

 

Wahai Hajar, enyahkan cinta

usah pedulikan orang yang dimabuk cinta

apa yang bisa kau harapkan dari seseorang

matanya terluka dan hatinya terpanggang

karena cinta dia terkulai dan melemah

wajahnya pucat seakan tak berdarah

gurat-gurat derita terlukis di pipi

butir-butir air meleleh menghiasi

 

Disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melewati seorang anak gadis yang berdendang,

 

Celaka kalian berdua

dosakah jika aku jatuh cinta?

 

Mendengar hal itu beliau tersenyum dan bersabda, “Tidak ada dosa insya Allah.”2)

 

Ada beberapa orang dari kalangan salaf yang menafsiri firman Allah, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya”, maksudnya adalah cinta yang membara. Hal ini tidak mereka maksudkan sebagai pengkhususan, tetapi mereka maksudkan sebagai perumpamaan, bahwa cinta itu adalah sesuatu yang tak mungkin sanggup dipikul. Yang dimaksudkan “Memikul” di sini adalah memikul yang bersifat takdir, bukan yang bersifat syariat dan perintah. Mereka berkata, “Kami pernah melihat sekumpulan Orang yang sedang dimabuk cinta berkerumun di sekeliling orang yang bisa berdoa bagi mereka, agar Allah melepaskan mereka dari cinta itu. Andaikata boleh memilih, tentu mereka akan mengenyahkannya dari hati. Dari sini terlihat kesalahan orang-orang yang suka mencela keadaan ini, seperti celaan mereka yang ditujukan kepada orang yang sakit.

 

Wahai pencelaku yang merasa memegang urusan mengapa engkau tak mencela dan aku juga memegang urusan

 

Golongan lain berkata, “Yang disebut inisiatifku ialah yang mengikut; hawa nafsu dan kehendaknya, atau menguasai nafsu, yang karenanya Allah memuji orang yang bisa menahan dirinya dari bisikan hawa nafsu, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (An-Nazi’at: 40-41),

 

Mereka berkata, “Cinta adalah gerakan inisiatif di dalam jiwa terhadap orang yang dicintai, bukan dalam kedudukan gerakan yang ditetapkan yang tidak termasuk dalam kesanggupan manusia. Allah mencela orang-orang yang memiliki cinta yang merusak, yaitu mencintai selainNya sebagai tandingan. Andaikata cinta itu merupakan ketetapan takdir, tentunya mereka tidak akan dicela. Karena cinta itu merupakan kehendak yang sangat kuat, sementara manusia itu bisa dipuji dan bisa dicela karena kehendaknya, maka pujian diberikan kepada orang yang mempunyai kehendak yang sangat kuat untuk berbuat baik, sekalipun dia belum mengerjakannya. Sebaliknya, celaan diberikan kepada orang yang berkehendak untuk berbuat kejelekan, sekalipun dia belum mengerjakannya. Allah mencela orang-orang yang senang jika kekejian menyebar di kalangan orang-orang yang beriman, dan mengabarkan bahwa mereka akan mendapatkan adzab yang pedih. Andaikata cinta itu tidak mampu dikendalikan, tentunya mereka tidak akan diancam dengan adzab, karena sesuatu yang berada di luar kesanggupannya. Orangorang yang berakal sepakat untuk mencela orang yang suka bermain api dengan cinta. Ini merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia. Jika ada yang beralasan, bahwa dia tidak sanggup menguasai hatinya, maka alasan seperti itu tidak akan diterima.”

 

Untuk menuntaskan perbedaan antara dua golongan ini, bahwa bibit-bibit cinta dan sebab-sebabnya adalah bersifat inisiatif, berada di bawah kewajiban yang dibebankan. Pandangan, lintasan pikiran dan kehendak untuk mencinta adalah urusan yang bersifat inisiatif. Memang jika ada sebab, maka akibat yang terjadi kemudian bukan lagi merupakan inisiatif, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Dia tenggelam dalam cinta yang membara

tatkala cinta itu menyusut dia tak berdaya

dia melihat gelombang seperti riak ombak

tatkala menggulung dia pun tenggelam

dia berharap dosanya menyusut

namun dia tak lagi sanggup

 

Hal ini seperti orang yang mabuk karena minum khamr. Perbuatan orang yang mabuk itu berdasarkan inisiatif dan akibat perbuatannya yang mabuk itu merupakan ketetapan atau akibat yang pasti terjadi karena minum khamr. Selagi sebabnya terjadi karena inisiatifnya, maka dia tidak dimaafkan karena akibat yang terjadi kemudian di luar inisiatifnya. Selagi sebabnya merupakan sesuatu yang diperingatkan, maka mabuk jtu bukan termasuk sesuatu yang dimaafkan.

 

Tidak dapat diragukan, mengumbar pandangan dan mengulurulur pikiran, serupa dengan orang mabuk yang minum khamr. Dia dicela karena sebabnya. Oleh karena itu jika seseorang jatuh cinta karena sebab yang tidak diperingatkan, maka dia tidak dicela, seperti orang yang bercinta dengan istrinya, kemudian berpisah dengannya dengan membawa sisa cintanya yang selalu melekat. Keadaan seperti ini tidak dicela, seperti kisah Barirah dan Mughits yang telah disampaikan di bagian terdahulu.

 

Begitu pula jika dia melihat secara tidak sengaja, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Cinta yang tumbuh di hatinya karena pandangan seperti ini di luar inisiatifnya, setelah dia berusaha untuk menepis cinta itu dari hatinya. Jika ada sesuatu yang menguasainya, maka dia tidak dicela setelah berusaha menepisnya. Dari keterangan ini dapat kami simpulkan bahwa mabuk cinta itu lebih parah daripada mabuk khamr. Allah berfirman tentang kaum Luth yang mencintai rupa,

 

“Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan).” (Al-Hijr: 72).

 

Jika dua jenis mabuk yang paling ringan saja tidak dimaafkan karena suatu sebab yang jelas, bagaimana mungkin mabuk yang lebih berat justru dimaafkan dengan sebab yang jelas pula?

 

Sebelum berbicara lebih lanjut tentang masalah ini, terlebih dahuly kami perlu menjelaskan hakikat mabuk, sebab dan kejadiannya. Maka dapat kami katakan, “Mabuk adalah suatu bentuk kenikmatan yang disertai hilangnya fungsi akal. Padahal dengan akal itu orang bisa menge. tahui perkataan dan bisa menalar. Allah berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.” (A-Nisa’: 43).

 

Mabuk dianggap berhenti jika orang yang mabuk sudah mengetahui dan menyadari apa yang dikatakannya. Selagi belum mengetahui perkataannya sendiri, berarti dia masih dalam keadaan mabuk. Jika dia sudah mengetahui apa yang dia katakan, berarti dia keluar dari hukum mabuk. Inilah batasan mabuk menurut pendapat Jumhur ulama.”

 

Al-Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, “Dengan tanda apa seseorang diketahui bahwa dia sedang mabuk?”

 

Dia menjawab, “Yaitu jika dia tidak bisa membedakan antara bajunya sendiri dan baju orang lain, tidak bisa membedakan antara terompahnya sendiri dengan terompah orang lain.”

 

Disebutkan dari Asy-Syafi’y, bahwa dia berkata, “Tandanya ialah jika perkataan yang seharusnya runtut menjadi kacau dan jika rahasia yang seharusnya tersembunyi menjadi mencuat.”

 

Muhammad bin Daud Al-Ashfahany berkata, “Tandanya ialah jika hasratnya hilang, rahasianya yang tersembunyi mencuat.”

 

Mabuk itu menghimpun dua pengertian: munculnya kenikmatan dan hilangnya kemampuan untuk menalar. Ada yang mengartikan mabuk hanya dengan salah satu dari keduanya, ada pula yang mengartikan mabuk dengan keduanya secara berbarengan. Sesungguhnya jiwa itu mempunyai hasrat dan nafsu yang dinikmati jika dia mengetahuinya. Namun pengetahuan tentang kerusakan yang diakibatkannya di dunia maupun di akhirat mencegahnya untuk mewujudkan hasrat dan nafsu jtu. Akal memerintahkan jiwa agar tidak melaksanakannya. Jika akal yang bisa memerintah ini tidak berfungsi dan ilmu yang bisa menguak, maka jiwa akan terseret ke dalam nafsunya dan mendapatkan area yang amat luas di sana.

 

Allah mengharamkan mabuk karena dua sebab, yang disebutkan di dalam Kitab-Nya,

 

“Sesungguhnya syetan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingati Allah dan shalat, maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah: 91).

 

Allah mengabarkan bahwa khamr itu pasti akan mengakibatkan kerusakan terhadap jiwa, karena hilangnya fungsi akal dan menghalangi kemaslahatan. Padahal kemaslahatan ini bisa terwujud hanya dengan akal itu.

 

Boleh jadi sebab mabuk itu ialah suatu penderitaan, sebagaimana sebab lainnya yang berupa kenikmatan. Allah berfirman,

 

“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian, sesungguhnya keguncangan Hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kalian melihat keguncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusukannya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah itu sangat kerasnya.” (Al-Hajj: 1-2).

 

Boleh jadi sebab mabuk itu kuatnya dorongan birahi saat melihat orang yang dicintai, sehingga perkataannya menjadi kacau, tindaktanduknya tidak terkontrol dan akalnya tidak normal. Karena terlalu gembira, dia bisa meninggal dunia karena proses alamiah, yaitu aliran darah di jantung di luar kebiasaan. Sebab darah membawa panas yang alami. Dengan aliran darah yang terlalu deras itu jantung menjadi kejang dan dingin sehingga mengakibatkan kematian. Peristiwa seperti ini pernah terjadi di depan mata Ahmad bin Thulun, jubernur Mesir. Suatu hari yang amat dingin dia melewati seorang pemburu sambil membawa anaknya. Dia merasa kasihan melihat keadaan pemburu dan anaknya itu. Lalu dia memerintahkan pembantunya aga, menyerahkan semua emas yang dibawanya saat itu, lalu dia meletak, kannya secara diam-diam di biliknya, dan langsung beranjak pergi. Permburu itu tak bisa melukiskan kegembiraannya dan langsung meningga, dunia selagi belum beranjak dari tempatnya. Sang gubernur kembaj lagi dan melihat pemburu itu sudah meninggal. Sementara anaknya me, nangis tersedu di samping bapaknya.

 

“Siapa yang telah membunuhnya?” tanya gubernur.

 

Anak itu menjawab, “Ada seorang laki-laki melewati tempat kami, lalu dia menuangkan sesuatu di bilik bapakku, dan bapakku meningga, dunia saat itu pula.”

 

“Benar. Kamilah yang telah membunuhnya,” kata gubernur, “keka. yaan datang secara tiba-tiba. Namun dia tidak mampu menguasai jiwa. nya sehingga seketika itu dia meninggal dunia. Andaikata kita membe. rikannya sedikit demi sedikit secara berangsur, tentu tidak akan mem. bunuhnya.”

 

Gubernur memerintahkan sang anak agar mengambil semua emas pemberian itu, namun dia menolaknya. Dia berkata, “Demi Allah, saya tidak sudi memegang sedikit pun sesuatu yang telah membunuh bapakku.”

 

Dengan kata lain, mabuk itu tentu menimbulkan rasa nikmat dan menghalangi kesadaran dan pengetahuan. Mabuk itu bisa karena makanan dan bisa karena minuman. Pelakunya akan merasakan rasa nikmat dan kegembiraan, karena akalnya tidak berfungsi, sehingga saat itu dia tidak merasakan duka, sedih dan nestapa. Padahal tidak begitu sebenarnya. Kesedihan itu hilang sama sekali, tetapi hanya menyisih sementara waktu. Jika sudah sadar, maka kesedihan itu terasa lebih menyenak dan terasa lebih berat, sehingga mendorongnya untuk mabuk lagi, sebagaimana yang dikatakan seorang penyair,

 

Kureguk segelas arak dengan nikmat

gelas berikutnya kan kujadikan obat

 

Sebagian orang ada yang meminum khamr untuk kesehatan badan. Tentu saja dia tidak bisa dibenarkan. Sebab mudharat yang diakibatkan mabuk itu lebih besar daripada manfaatnya.

 

Kenikmatan yang dirasakan di dunia dan di akhirat karena dzikir kepada Allah dan shalat, jauh lebih besar, lebih kekal dan lebih mampu menepis kesedihan, duka dan lara. Kenikmatan karena mabuk justru lebih banyak mendatangkan kesedihan di dunia dan di akhirat. Tetapi kenikmatan karena dzikir, menghadap ke hadirat-Nya dan shalat dengan segenap hati dan badan mendatangkan manfaat yang mulia, besar dan menyehatkan, terbebas dari kerusakan yang menjurus kepada mudharat. Manusia normal yang mencari kenikmatan semu dan sementara waktu, dengan menyingkiri kenikmatan yang lebih komplit dan sempurna, justru akan mendapatkan penderitaan yang jauh lebih berat. Sebab-sebab Mabuk Di antara sebab-sebab mabuk adalah mencintai rupa. Jika seseorang benar-benar sudah dirasuki cinta ini dan cintanya semakin kuat, maka dia menjadi mabuk. Perasaannya melayang-layang tidak karuan. Terlebih lagi jika dia sudah bersetubuh dengan orang yang dicintainya. Dalam keadaan seperti itu penalarannya menjadi berkurang atau bahkan sudah tidak lagi bisa menalar. Jika mabuk seperti ini ditambah lagi dengan mabuk karena minuman, sehingga mabuk karena nafsu, mabuk karena khamr dan mabuk karena kenikmatan persetubuhan berhimpun menjadi satu, maka itulah puncak dari mabuk.

 

Mabuk juga bisa disebabkan gila harta, gila kedudukan dan karena amarah yang memuncak. Jika kemarahan benar-benar sudah memuncak, tentu akan menimbulkan mabuk, hampir serupa dengan mabuk khamr.

 

Yang termasuk kategori mabuk ini adalah kemarahan yang memuncak, yang karenanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengakui perceraian saat sedang marah besar. Sabda beliau,

 

“Tidak ada thalaq saat marah.” (Diriwayatkan Abu Daud).” Al-Imam Ahmad bin Hanbal menafsiri ighlag di dalam hadits ini dengan pengertian marah. Yang menguatkan pengertian ini adalah firman Allah, “Dan, kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka.” (Yunus: 11).

 

Dalam menafsiri ayat ini, orang-orang salaf berkata, “Maksudnya adalah seorang laki-laki yang berdoa untuk dirinya dan keluarganya Pada saat dia marah. Padahal sebenarnya dia tidak menghendaki seperti itu. Andaikata Allah mengabulkan doanya, tentu Dia akan membinasaka,, dirinya dan orang-orang yang dimintakan doa olehnya. Tetapi karena rahmat-Nya, Dia tidak mengabulkan doanya, karena Dia mengetahui bahwa orang itu sedang mabuk Karena marah.”

 

Yang seperti ini serupa dengan perkataan seseorang yang men. dapatkan kembali ontanya, setelah dia putus asa mencarinya dan dia sudah yakin ontanya itu hilang serta mati. Dia berkata, “Ya Allah, Engkay adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.”

 

Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dia salah Karena terlalu gembira.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Orang itu tidak dianggap kafir, karena dia tidak bermaksud sepertj yang dikatakannya. Beliau bersabda seperti ini untuk meyakinkan Karena orang tersebut terlalu gembira, yang mendorongnya berkata seperti itu.

 

Kejadian-kejadian ini bisa menimbulkan mabuk, karena penyebab mabuk bisa timbul dari perasaan gembira yang menyembul tiba-tiba, memenuhi akal, dan penyebab kenikmatan adalah mengetahui orang yang dicintai. Jika cinta semakin kuat, keinginan untuk memandang orang yang dicintai juga menggebu, sementara akal melemah, maka yang terjadi adalah mabuk. Tetapi melemahnya akal kKadang-kadang bisa terjadi karena melemahnya cinta dan kadang karena menguatnya sebab yang ada. Maka dari itu mabuk biasa dialami orang yang baru pertama mendapatkan kedudukan, harta, cinta atau minum Khamr. Berbeda dengan orang yang sudah terbiasa dengan hal-hal itu.

 

Sebab Tidak Bisa Dijadikan Alasan

 

Penyebab mabuk yang paling kuat adalah mendengarkan suara nyanyian, yang bisa dilihat dari dua sisi: Pertama, karena di dalam jiwanya muncul kenikmatan yang Kuat, memenuhi akal. Kedua, karena nyanyian itu menggerakkan jiwa untuk membayangkan orang yang dicintai, dalam keadaan seperti apa pun, sehingga dengan gerakan jiwa ini muncul kerinduan dan bayangan orang yang dicintai, hadir di dalam hati dan pikirannya. Di samping itu ada pula kenikmatan yang besar seakan memenuhi akal. Sehingga ada paduan kenikmatan alunan nyanyian dan kenikmatan kepiluan hati. Oleh karena itu banyak para pecandu nyanyian yang mengiringi kenikmatan ini dengan regukan khamr, agar mabuk karena minuman keras, cinta, suara musik dan nyanyian saling melengkapi. Dengan begitu mereka mendapatkan kenikmatan yang tidak didapatkan dari yang lain.

 

Khamr merupakan santapan jiwa sedangkan nyanyian merupakan santapan ruh. Apalagi jika ada ungkapan kata-kata yang menghadirkan sosok orang yang dicintai dan menggambarkan keadaan dirinya. Syair nyanyian yang merdu terpadu dengan resapan makna yang pas dengan keadaan dirinya. Keterpaduan ini lebih banyak menghasilkan kenikmatan daripada masing-masing di antara keduanya berdiri sendiri-sendiri. Kenikmatan ini mampu menguasai jiwa, ruh dan badan, lalu menghantarkan ke puncak mabuk.

 

Lalu bagaimana dengan orang yang beralasan dengan sebab-sebab ini, lalu berkata, “Apa yang muncul dari sebab-sebab itu adalah ketetapan takdir, bukan merupakan inisiatif?”

 

Selagi cinta semakin kuat, maka kenikmatan memandang orang yang dicintai juga semakin kuat. Ini merupakan bab yang paling menonjo| dan paling bermanfaat dari bab-bab buku ini. Di sini akan kami jelaskan pengertian kenikmatan, macam-macamnya dan tingkatan-tingkatannya,

 

Kenikmatan ialah mendapatkan apa yang cocok, sebagaimana penderitaan adalah mendapatkan apa yang meleset. Syaikh kami berkata, “Yang benar jika dikatakan: Mendapatkan apa yang cocok merupakan sebab kenikmatan dan mendapatkan apa yang meleset adalah sebab penderitaan.” Kenikmatan dan penderitaan muncul dari akibat menda. patkan yang cocok dan yang meleset. Mendapatkan itu sendiri merupakan sebab kenikmatan dan penderitaan. Kenikmatan lebih jelas darj sekedar pengertian lewat definisi kata-kata, karena kenikmatan itu merupakan perkara perasaan. Yang bisa didefinisikan adalah sebab dan hukum-hukumnya.

 

Kenikmatan, kegembiraan, kesenangan, kenyamanan merupakan kata-kata yang sinonim maknanya, yang secara umum merupakan perkara yang dicari, bahkan merupakan tujuan setiap makhluk hidup dan sangat dibutuhkan. Hal ini termasuk tujuan dan sasaran, sama dengan kedudukan indera dan ilmu-ilmu aksiomatis sebagai dasar dan pendahulu. Setiap makhluk hidup tentu mempunyai ilmu dan indera, memiliki tindakan dan kehendak. Semua ilmu manusia tidak boleh hanya sekedar teori argumentatif karena tiadanya korelasi dan rotasi. Tetapi dia harus mempunyai ilmu yang awal mulanya bersifat aksiomatis dan memberi kepastian kepada jiwa. Karenanya ilmu itu disebut aksiomatis dan prinsipal, termasuk sesuatu yang memberi ketetapan kepada jiwa, dan disebut kebutuhan pokok. Kadang-kadang jiwa pasti membutuhkan ilmu dan kadang-kadang pasti membutuhkan tindakan.

 

Begitu pula tindakan inisiatif yang memang dikehendakinya, yang disebut kehendak. Kehendak ini bisa untuk kepentingan diri sendiri dan bisa untuk yang lain. Tidak mungkin semua kehendak untuk kepentingan yang lain, agar ada korelasi dan rotasi. Di sana pasti ada sesuatu yang dikehendaki, dicari dan dicintai untuk dirinya sendiri. Jika apa yang dicari, dikehendaki dan dicintai tercapai, maka kenikmatan, kegembiraan, kesenangan dan kenyamanan jiwa yang dirasakan setelah itu bergantung seberapa kuat cinta dan kehendaknya. Ini adalah masalah perasaan, masalah sanubari. Maka orang-orang yang menonjolkan kehendak dan tindakan lebih sering menggunakan istilah perasaan dan sanubari. Sebab dengan adanya sesuatu yang dikehendaki dan dicari di dalam perasaan dan sanubari, tentu akan mendatangkan kegembiraan dan kesenangan.

 

Jadi, di sini ada tiga macam kelompok istilah yang maknanya hampir mirip, yaitu:

  1. Nafsu, kehendak, kecenderungan, mencari, mencintai dan menyenangi.
  2. Perasaan, sanubari, mendapatkan dan menghasilkan.
  3. Kenikmatan, kegembiraan, kenyamanan dan kesukaan.

 

Kenikmatan yang Dicela dan yang Dipuji, Kenikmatan Sementara dan Kenikmatan Abadi Jika kenikmatan itu dicari untuk diri sendiri, lalu mengakibatkan penderitaan yang lebih besar atau menghalangi kenikmatan lain yang lebih baik, maka itu adalah kenikmatan yang dicela. Namun kenikmatan itu dipuji jika bisa membantu kenikmatan yang abadi dan kekal, yang tiada lain adalah kenikmatan di kampung akhirat, yang kenikmatannya lebih baik dari segala kenikmatan serta lebih kekal. Firman Allah, “Dan, Kamit tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan, sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” (Yusuf: 56-57).

 

“Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan, sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih batik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (An-Nahl: 30).

 

“Tetapi kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniauy Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal,” (Al-Ala: 16-17).

 

“Dan, sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut: 64).

 

“Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesung. guhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja. Sesungguhnya kami telah beriman kepada Rabb kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihip yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan, Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (adzab-Nya).” (Thaha: 72-73).

 

Allah menciptakan manusia untuk kepentingan kampung akhirat abadi dan menjadikan semua kenikmatan ada di sana. Firman.

 

“Dan, di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini hatj dan sedap (dipandang) mata.” (Az-Zukhruf: 71).

 

“Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (As-Sajdah: 17).

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Allah berfirman, Aku telah menyediakan bagi hamba-hambaKu yang shalih apa-apa yang belum dilihat mata dan didengar telinga serta tidak terlintas di dalam hati manusia, tidak seperti yang pernah kalian lihat.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim dan At-Tirmidzy).

 

Inilah tujuan yang hendak dicapai seorang Mukmin yang suka menasihati kaumnya, sebagaimana yang dijelaskan Allah,

 

“Wahai kaumku, ikutilah aku. Aku akan menunjukkan kepada kalian jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (Al-Mukmin: 38-39).

 

Allah mengabarkan bahwa dunia ini hanyalah kesenangan sementara, yang boleh dinikmati untuk mendapatkan kesenangan di kampung yang lain. Sedangkan akhirat adalah tempat kembali yang abadi dan merupakan tujuan.

 

Kenikmatan Sementara dan Kenikmatan Abadi

 

Jika sudah diketahui bahwa kenikmatan dunia merupakan perhiasan dan sarana untuk mendapatkan kenikmatan akhirat, maka perhiasan itu pun diciptakanlah, seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (Diriwayatkan Muslim, Ahmad dan Nasa’i).

 

Setiap kenikmatan yang bisa membantu kenikmatan akhirat adalah kenikmatan yang dicintai dan diridhai Allah. Pelakunya bisa menikmatinya, yang bisa dilihat dari dua sisi:

 

  1. Karena adanya kenikmatan dan kesenangannya kepada kenikmatan itu.

 

  1. Karena dia mendapatkan keridhaan Allah dan bisa mendapatkan kenikmatan yang lebih sempurna lagi.

 

Inilah kenikmatan yang harus diupayakan setiap orang yang berakal, bukan kenikmatan yang di belakang hari justru mendatangkan penderitaan dan tidak mendapatkan kenikmatan yang lebih besar. Oleh karena itu orang Mukmin mendapat pahala dari hal-hal mubah yang dinikmatinya, jika yang demikian itu dimaksudkan untuk mendapatkan kenikmatan akhirat. Jika dia mengumpuli istri atau budak yang dicintainya, sehingga dia mendapatkan kepuasan lahir dan batin, maka dia mendapat pahala. Berbeda dengan orang yang mereguk kenikmatan yang diharamkan, yang di kemudian hari justru mendatangkan siksa baginya, sebagai ganti dari kenikmatan yang sudah direguknya di dunia. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Dan, di dalam persetubuhan salah seorang di antara kalian ada pahala”. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah salah ge. orang di antara kami memuaskan birahinya dan dia mendapa, pahala karena itu?” Beliau bersabda, “Bagaimana pendapat ka. lian jika dia meletakkannya pada hal yang haram, apakah dia mendapat dosa?” Mereka menjawab, “Benar.” Beliau bersabda, “Demikian pula jika dia meletakkannya pada hal yang halal, maka dia mendapat pahala.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Ketahuilah, bahwa kenikmatan ini menjadi berlipat ganda dan semakin bertambah, tergantung seberapa jauh seorang hamba meniatkannya karena Allah, melakukannya secara ikhlas dan dengan tujuan untuk kepentingan kampung akhirat. Birahi dan kehendak yang terbagj dalam beberapa gambaran berhimpun dalam satu gambaran. Perasaan takut, gelisah, gundah dan khawatir yang biasa muncul karena mereguk kenikmatan yang diharamkan, menjadi sirna. Jika perasaan seperti inj menyatu dengan rupa yang menawan dan saling mencinta, maka pandangan matanya tidak mau tertuju kepada wanita lain dan tidak mau beralih kepada yang lain. Jelas tidak akan bisa dibandingkan antara kenikmatan yang dirasakannya dengan kenikmatan orang yang menikmati rupa yang diharamkan. Inilah puncak kenikmatan yang didapatkan di dunia. Kenikmatan bercinta dengan wanita (istri) ini dijadikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai kenikmatan ketiga dari dua kenikmatan lain, yaitu: hati yang bersyukur, lidah yang berdzikir dan istri yang baik, yang jika dipandang dia menyenangkannya dan ditinggal pergi dia menjaga kehormatannya dan kehormatan dirinya sendiri serta hartanya.

 

Al-Qasim bin Abdurrahman pernah berkata, “Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu biasa membaca Al-Qur’an. Jika sudah selesai membaca, dia bertanya, “Mana orang-orang yang masih bujangan?” Lalu dia berkata lagi, “Mendekatlah ke sini, kemudian katakan, “Ya Allah, anugerahilah aku seorang wanita, yang apabila kupandang dia membuatku senang, jika kusuruh dia menurutiku dan jika aku meninggalkannya dia menjaga dirinya dan hartaku’.”

 

Kegelisahan, kekhawatiran, kegundahan dan penderitaan muncul karena ketidaktahuan tentang apa yang dicintai dan bermanfaat, atau tidak adanya kehendak untuk mementingkannya dan sekaligus mengetahuinya, atau tidak berusaha mendapatkannya disertai kecintaan kepadanya. Ini merupakan penderitaan paling berat. Oleh karena itu penderitaan manusia di alam Barzakh dan di akhirat karena kehilangan apa yang dicintainya, lebih besar daripada penderitaannya karena kehilangan sesuatu yang dicintainya di dunia. Hal ini bisa dilihat dari tiga sisi:

 

  1. Karena di sana dia melihat kesempurnaan apa yang tidak didapatkannya di dunia.

 

  1. Karena dia sangat membutuhkan apa yang tidak didapatkannya itu, menginginkan dan merindukannya. Sementara sudah ada penghalang antara dirinya dan apa yang diinginkannya itu, firman Allah,

 

“Dan, dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini. (Saba’: 54).

 

  1. Karena dia mendapatkan kebalikannya yang membuatnya menderita.

 

Maka hendaklah orang yang berakal memperhatikan topik ini dan menempatkan dirinya pada kedudukan orang yang telah kehilangan sesuatu yang paling dia cintai, paling bermanfaat baginya dan paling dibutuhkannya, sementara pengetahuannya justru mendatangkan kebalikannya. Berarti ini merupakan musibah yang paling mengerikan dan keadaan yang paling mengenaskan. Bagaimana jika keadaan ini dibandingkan dengan orang yang mereguk kenikmatan di dunia sambil disertai maksud untuk mendapatkan ridha Allah, seperti makan, minum, berpakaian, menikah, menahan kesabaran karena berhadapan dengan musuh dan jihad fi sabilillah? Terlebih lagi jika kenikmatan itu dimaksudkan untuk mengenal Allah, mencintai-Nya, mengesakan-Nya, tunduk, tawakal dan pasrah kepada-Nya, ikhlas beramal karena-Nya, gembira karena dekat dengan-Nya dan rindu kepada-Nya, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits yang dishahihkan Ibnu Hibban dan Al-Hakim,

 

“Dan saya memohon kepada-Mu untuk dapat memandang Wajah-Mu dan rindu untuk bertemu dengan-Mu.”

 

Kenikmatan yang masih dirasakan di dunia ini senantiasa semakin bertambah jika ada pengurangan peran musuh di batin yang berupa syetan, hawa nafsu dan keduniaan serta musuh zhahir. Lalu bagaimana jika ruh ini terbebas dan meninggalkan tempat tinggal yang penuh penderitaan dan bencana, untuk berhubungan dengan Allah? Inilah keadaannya,

 

“Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahut.” (An, Nisa’: 69-70).

 

Jika sudah berada di tempat yang penuh kenikmatan (surga) maka di sana-sini terdapat berbagai macam kenikmatan, kegembiraa), dan kesenangan yang tidak pernah dilihat mata dan didengar telinga serta tidak pernah terlintas di dalam hati manusia. Kesengsaraan dap penderitaan yang bakal diterima jiwa-jiwa yang hina dan tercela, yan tidak digelitik kerinduan terhadap kenikmatan itu, yang bara kehendaknya tidak menyala dan yang tidak berupaya mendapatkan kenikmatan itu, Pandangan matanya seperti yang digambarkan dalam sebuah syair,

 

Kelelawar yang takut sinar terang

sesuai pada kegelapan malam

 

Jiwa yang hina ini hanya berputar-putar di sekitar tempat yang kotor tatkala jiwa yang mulia berputar-putar di sekitar Arsy, bersembunyj di balik batu tatkala jiwa yang suci sudah terbang di angkasa yang tinggi.

 

Kenikmatan yang Berakibat Penderitaan

 

Setiap kenikmatan yang mengakibatkan penderitaan atau menghalangi kenikmatan yang lebih komplit, pada hakikatnya bukanlah kenikmatan, sekalipun jiwa dapat merasakannya secara berlebihan. Apalah artinya kenikmatan yang dirasakan seseorang yang menyantap makanan lezat dan menggiurkan, namun di dalamnya ada racun yang kemudian menghancurkan usus-ususnya? Inilah kenikmatan yang dirasakan orangorang kafir dan fasiq karena kemenonjolan mereka di dunia dan kesenangan serta kegembiraan mereka yang menyimpang dari kKebenaran.

 

Contohnya adalah kenikmatan yang dirasakan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai pelindung. Mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Memang mereka mendapatkan cinta itu di dunia, namun kemudian berubah menjadi penderitaan yang sangat pahit. Contoh lain adalah kenikmatan dan kesenangan terhadap keyakinan-keyakinan yang rusak, kenikmatan orang-orang berbuat zhalim, mencuri, berzina, minum minuman yang memabukkan dan lain-lainnya. Allah telah mengabarkan bahwa Dia tidak mengukuhkan kebaikan seperti yang mereka harapkan, dan yang demikian itu merupakan cobaan dari-Nya, yang kemudian Dia akan menimpakan penderitaan yang lebih besar. Firman-Nya,

 

‘Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebatkan kepada mereka? Tidak, sebenamya mereka tidak sadar.” (Al-Mukminun: 55-56).

 

“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendakt dengan (rnernberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan rnelayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 55).

 

Sedikit Kenikmatan untuk Kemaslahatan

 

Kenikmatan yang mengakibatkan penderitaan di akhirat, tentu saja tidak akan menghantarkan kepada kenikmatan di sana, yang berarti itu merupakan kenikmatan yang batil. Sebab di dalamnya tidak ada yang memberi manfaat maupun mudharat. Rentang waktunya juga hanya sebentar, tidak bisa memberikan kenikmatan yang optimal terhadap jiwa. Oleh karena itu jiwa tersebut harus berusaha mencari mana yang lebih baik dan bermanfaat baginya di dunia maupun di akhirat. Jika tidak mampu, cukup mencari dasar kenikmatan untuk akhirat. Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam,

“Setiap permainan yang dilakukan seseorang adalah batil kecuali bisikan anak panah dengan busurnya, melatih kudanya dan mencandai istrinya. Yang demikian ini adalah terrnasuk kebenaran.” (Diriwayatkan Ashhabus-Sunan).

 

Menabuh rebana pada saat acara pernikahan diperbolehkan, karena tabuhan rebana itu dapat membantu kesemarakan pernikahan, seperti kenikmatan membidikkan anak panah dari busurnya dan latihan menunggang kuda yang bisa membantu jihad. Kedua-duanya dicintai Allah. Apa pun yang bisa membantu sesuatu yang dicintai Allah termasuk kebenaran. Oleh karena itu laki-laki yang mencandai istrinya dianggap kebenaran, karena hal itu membantu tujuan pernikahan yang dicintai Allah. Namun apa-apa yang tidak membantu apa yang dicintai Allah, termasuk kebatilan, yang di dalamnya tidak terdapat manfaat. Namun jika di dalamnya tidak terdapat mudharat yang pasti, tidak termasuk yang diharamkan dan dilarang. Tapi jika menghalangi untuk mengingat Allah, seperti shalat, maka hukumnya menjadi makruh dan dibenci Allah, entah pelaksanaannya hanya sekedarnya saja, apalagi secara berlebih-lebihan. Segala sesuatu yang merintangi kenikmatan yang dicari merupakan bencana bagi pelakunya. Tapi segala sesuatu yang mendatangkan, manfaat dan kenikmatan yang dicari dan abadi, maka itulah yang Paling baik dan bermanfaat baginya.

 

Karena jiwa yang lemah itu seperti jiwa wanita atau anak-anak maka jiwa itu tidak bisa diarahkan kepada sebab-sebab kenikmatan yang besar, kecuali menyertainya dengan sedikit kenikmatan permainan dap senda gurau. Sebab jika sedikit permainan ini dihilangkan sama sekajj, maka jiwa yang lemah itu akan mencari kenikmatan permainan yang lebih buruk lagi. Oleh karena itu sedikit permainan ini merupakan rukhshah ‘keringanan hukum’, yang tidak berlaku bagi yang lain. Kejadian seperti ini pernah dialami Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, tatkala dia memasuki rumah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang saat itu ada beberapa gadis yang sedang menabuh rebana. Melihat kedatangan Umar, mereka langsung menghentikan tabuhannya. Laly beliau bersabda,

 

“Ini adalah orang yang tidak menyukai kebatilan.”

 

Beliau mengabarkan bahwa tabuhan rebana itu batil, tetapi beliay tidak melarang mereka, karena hal itu bisa mendatangkan kemaslahatan yang pasti dan mereka meninggalkan kerusakan lain yang lebih parah lagi. Di samping itu, dengan adanya penderitaan karena tidak menabuh rebana seperti itu, mereka bisa melakukan kerusakan yang lebih parah dari dampak negatif menabuh rebana. Pengesahan beliau seperti ini termasuk dalam masalah rahmat, kasih sayang dan kelembutan, sebagaimana beliau yang pengesahan beliau terhadap Abu Umair yang suka bermain-main dengan burung, pengesahan beliau terhadap dua anak gadis yang bernyanyi, pengesahan beliau terhadap Aisyah yang menonton orang-orang Habsyi yang menyajikan hiburan di depan masjid, yang semuanya mereka lakukan di hadapan beliau. Kejadian lain seperti ini masih banyak.

 

Lalu bagaimana jika hal ini dibandingkan dengan pendapat para syaikh yang menjadi panutan dalam agama dan jalan kehidupan, yang mengharamkannya? Padahal masalah ini mempunyai medan yang lapang dan tujuan yang luas.

 

Sikap serupa juga pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menyerahkan zakat kepada para mu‘allaf, yang hatinya masih lemah dan tidak memberikan zakat itu kepada orang-orang yang hatinya sudah mantap dari kalangan shahabat. Beliau memberikan zakat kepada kelompok pertama dan tidak memberikannya kepada kelompok kedua. Kejadian lain juga pernah beliau lakukan, yaitu bercanda dengan beberapa orang dusun, anak-anak dan wanita, dengan tujuan untuk melujuhkan hati mereka, membangkitkan iman mereka dan sekaligus menghibur mereka.

 

Di dalam Marasilusy-Sya’by disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melewati beberapa orang yang menari jenis tarian dirakilah. Lalu beliau bersabda,

 

“Wahai anakku, sembelihlah kalkun, agar orang-orang Yahudi dan Nasrani mengetahui bahwa di dalam agama kita terdapat kelonggaran.”

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam rela mengalah dan mengorbankan harta, selagi bisa mendukung kebenaran yang diperintahkan kepada beliau, dan ternyata apa yang beliau relakan itu benar-benar bisa dinikmati dan disenangi orang yang memanfaatkannya, sebab memang hal itu merupakan sarana untuk mendekati orang lain, dan tidak beliau lakukan terhadap orang yang tidak membutuhkannya, seperti terhadap Muhajirin dan Anshar. Beliau melakukan tindakan-tindakan yang sejenis untuk bermurah hati terhadap mereka, demi kebaikan agama dan kehidupan mereka di dunia.

 

Karena Umar bin Al-Khaththab termasuk orang yang tidak menyukai kebatilan ini dan juga tidak suka mendengarnya, hatinya tidak perlu diluluhkan seperti hati orang lain yang perlu diluluhkan, juga tidak diperintahkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai sarana yang mutlak untuk membangkitkan iman, maka pengingkarannya sudah total. Bagaimana pun juga, keadaan beliau jauh lebih sempurna.

 

Macam-macam Kenikmatan

 

Jika masalah ini sudah diketahui, maka kenikmatan itu bisa dibagi menjadi tiga macam:

 

  1. Kenikmatan fisik
  2. Kenikmatan khayalan dan angan-angan
  3. Kenikmatan intelektual dan rohani.

 

Pertama, kenikmatan fisik adalah kenikmatan makan, minum dan bersetubuh. Kenikmatan yang dirasakan manusia ini sama dengan kenik. matan yang dirasakan hewan. Kesempurnaan manusia dalam kaitannya dengan kenikmatan yang sama dengan kenikmatan yang dirasakan hewan ini, bukanlah segala-galanya dan bukan kenikmatan yang sem, purna. Sebab andaikata kenikmatan itu sempurna, tentunya orang yang paling mulia, utama dan sempurna adalah orang yang paling banyak makan, minum dan bersetubuh. Andaikata kenikmatan itu sempurna, tentunya bagian yang diterima para rasul dan nabi-nabi Allah serta para wali-Nya, lebih sempurna dari bagian musuh-musuh-Nya. Karena kenyataan justru berbicara lain, maka jelaslah bahwa kenikmatan itu sendirj tidak sempurna. Kesempurnaan itu dianggap sempurna jika ia dapat menolong kenikmatan yang abadi dan lebih besar, seperti yang sudah dijelaskan di bagian terdahulu.

 

Kedua, kenikmatan khayalan dan angan-angan adalah kenikmatan kekuasaan dan kemapanan di hadapan manusia serta kemampuan membanggakan diri atau menyombong kepada mereka.

 

Sekalipun pencari kenikmatan ini tampak lebih mulia daripada kenikmatan yang pertama, tetapi penderitaan dan kerusakan yang akan dia alami jauh lebih besar. Pelakunya bertekad untuk menghadapi siapa pun yang mengunggulinya. Oleh karena itu banyak syarat dan hak yang membuat pelakunya kehilangan kenikmatan rasa, yang akhirnya justru mendatangkan penderitaan yang lebih besar. Sehingga pada hakikatnya ini bukan merupakan kenikmatan, sekalipun jiwa merasa senang tatkala melakukannya.

 

Ada yang berkata, pada hakikatnya tidak ada kenikmatan di dunia ini. Tujuan kenikmatan adalah mengenyahkan penderitaan, sebagaimana usaha mengenyahkan rasa lapar, haus dan dorongan seks dengan cara makan, minum dan bersetubuh. Tidak heran jika penderitaan kehinaan di dunia harus ditebus manusia dengan kedudukan dan pangkat. Yang pasti, kenikmatan adalah urusan perasaan, yang menuntut pengenyahan penderitaan.

 

Ketiga, sedangkan kenikmatan intelektual dan rohani adalah berupa kenikmatan pengetahuan, ilmu, memiliki sifat-sifat kesempurnaan, seperti murah hati, dermawan, menjaga kehormatan diri, pemberani, sabar, lemah lembut dan berkepribadian dan lain-lainnya. Ini termasuk kenikmatan yang paling besar, yaitu kenikmatan jiwa yang terpandang dan terhormat. Jika kehormatan ini digabungkan dengan kenikmatan mengetahui Allah, mencintai, menyembah-Nya semata tanpa menyekutukanNya, ridha kepada-Nya sebagai ganti dari segala sesuatu, maka orang yang merasakan Kenikmatan ini seakan berada di surga dunia, sebagai penisbatan terhadap berbagai macam kenikmatan dunia.

 

Tidak ada yang lebih nikmat, lezat dan manis bagi hati dan ruh selain dari kecintaan kepada Allah, pasrah kepada-Nya, menyembahNya, mendekatkan diri kepada-Nya dan rindu bersua dengan-Nya. Sekalipun kenikmatan ini hanya seberat biji sawi, tidak akan menyamai segunung kenikmatan dunia. Maka dari itu iman kepada Allah dan RasulNya yang hanya seberat biji sawi bisa membebaskan keabadian di kampung yang penuh penderitaan. Lalu bagaimana dengan iman yang mencegah datangnya penderitaan itu?

 

Sebagian orang arif berkata, “Siapa yang cinta kepada Allah, maka segala sesuatu akan tampak menyenangkan baginya, dan siapa yang tidak cinta kepada Allah, maka dia akan merasakan berbagai macam kerugian dunia. Sebagai bukti tentang keutamaan dan kemuliaan kenikmatan ini, perasaan merugi karena tidak mendapatkan bagian dari keduniaan ini akan sirna dari hati. Sehingga dia justru menderita karena kenikmatan yang dirasakan orang lain yang biasa mereguknya. Ini adalah urusan orang bijak yang memiliki perasaan, bukan sekedar ilmu di lidah.”

 

Sebagian yang lain berkata, “Orang-orang miskin dari penghuni dunia keluar dari dunia tanpa merasakan kenikmatannya yang terlezat.”

 

Lalu ada yang bertanya kepadanya, “Apa jenis kenikmatan yang terlezat itu?”

 

Dia menjawab, “Cinta dan suka kepada Allah, rindu untuk bertemu dengan-Nya, mengetahui asma’ dan sifat-sifat-Nya.”

 

Sebagian yang lain berkata, “Isi dunia yang terbaik adalah mengetahui dan mencintai Allah. Yang ternikmat dari isi surga adalah memandang-Nya dan mendengar firman-Nya tanpa perantara.”

 

Sebagian yang lain berkata, “Demi Allah, suatu kali ada sesuatu yang melintas di dalam hati, lalu kukatakan, Andaikata penghuni surga seperti ini keadaannya, tentu dia dalam kehidupan yang menyenangkan. Engkau tahu cinta yang disertai siksaan di hati dan jiwa. Bagaimana mungkin cinta semacam ini mendatangkan kenikmatan, padahal dia sendiri tidak mau melepaskan cintanya? Seorang penyair berkata,

 

Sang pecinta mengadukan kerinduannya

andaikata aku bisa menanggung kesendirian ini

ada semua kenikmatan cinta di dalam hati

yang tiada pernah dirasakan siapa-siapa

 

Rabi’ah berkata, “Hati mereka sibuk mencintai dunia dan meng. abaikan cinta kepada Allah. Andaikata cinta dunia itu ditinggalkan, tenty mereka bisa hidup kembali dan datang membawa berbagai manfaat.”

 

Salam Al-Khawwash berkata, “Kalian tinggalkan Allah dan seba. gian mengandalkan sebagian yang lain di antara kalian. Andaikata kaliay, menghadap kepada-Nya, tentu kalian akan melihat berbagai macam keajaiban.”

 

Seorang wanita ahli ibadah berkata, “Andaikata hati orang-orang Mukmin bisa mengintip apa yang disimpan bagi mereka di balik tabir kegaiban, yang berupa kebaikan di akhirat, maka tak ada sesuatu pun di dunia ini yang terasa enak dan menyenangkan.”

 

Sebagian yang lain berkata, “Cinta kepada Allah telah menyibukkan hati para pecinta-Nya, sehingga tidak lagi sempat menikmati cinta kepada yang lain. Karena sudah terlanjur cinta kepada Allah, maka tak ada sesuatu pun di dunia ini yang menyamai cintanya itu. Tiada ke. muliaan yang sangat mereka harapkan di akhirat selain memandang wajah yang mereka cintai.”

 

Sebagian salaf berkata, “Setiap manusia tentu mempunyai mata di wajahnya untuk memandang urusan dunia dan dua mata di hati untuk memandang urusan akhirat. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan bagi seorang hamba, maka dia bukakan kedua matanya yang berada di dalam hati, sehingga dengan dua mata itu dia bisa melihat kenikmatan dan kesenangan yang tidak pernah dilihatnya dengan mata kepala. Inilah janji yang diberikan pemberi janji yang dapat dipercaya perkataannya. Jika Allah menghendaki selain itu, maka dia biarkan hatinya apa adanya.” Lalu orang salaf itu membaca ayat,

 

“Ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24).

 

Abdul-Aziz bin Abu Rawwad meriwayatkan dari Nafi’, dari Ibnu Gmar Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya hati ini bisa berkarat seperti besi yang berkarat’. Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara menghilangkannya?” Beliau menjawab, “Dengan bacaan AlQur’an.”

 

Sebagian orang arif berkata, Jika besi tidak dipergunakan, maka dia akan tertutup karat lalu menjadi rusak. Begitu pula hati. Apabila hati tidak digunakan untuk mencintai Allah dan merindukan serta mengingatNya, maka ia akan dikuasai kebodohan, lalu menjadi mati dan rusak.”

 

Seseorang pernah berkata kepada Al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, saya mengadukan masalah kekerasan hatiku kepadamu.”

 

Al-Hasan menjawab, “Cairkanlah dengan mengingat Allah. Hati yang paling jauh dengan Allah adalah hati yang keras. Kekerasan ini tidak akan sirna kecuali dengan cinta dan rasa takut yang membuat badan menggigil.”

 

Jika ada yang berkata, “Mengapa orang yang jatuh cinta bisa menikmati cintanya sekalipun dia tidak beruntung mendapatkan orang yang dicintainya?” Bisa dijawab, “Yang namanya cinta itu pasti mendatangkan gerakan jiwa dan desakan pencariannya. Jiwa itu diciptakan dalam keadaan bergerak seperti gerakan api. Gerakan cinta itu bersifat alami. Siapa pun yang mencintai sesuatu, tentu akan merasakan kenikmatan dan ketenangan. Jika jiwa itu tidak diisi cinta sama sekali, maka ia tidak mempunyai gerakan, lamban, malas dan tidak menjadi ringan untuk bergerak. Oleh karena itu orang-orang yang malas adalah orangorang yang paling merana, sedih dan gundah, tidak mempunyai kegembiraan. Berbeda dengan orang yang sibuk dan banyak kegiatan. Sebab giat dalam bekerja dan aktivitas akan membawa hasil yang menyenangkan. Sehingga tidak heran jika kenikmatan dan cinta mereka terhadap kerja itu lebih kuat.

 

Ini merupakan topik, yang kemudian manusia bisa dibagi menjadj dua golongan. Boleh jadi seseorang menghimpun dua keadaan ini. Golongan pertama adalah orang-orang yang memuja cinta, mengangan. angankan dan menyukainya. Menurut mereka, siapa yang tidak may mencicipi manisnya cinta, tidak akan bisa menikmati kehidupan ini. Sudah jelas, bahwa kesempurnaan kenikmatan mengekor kepada kesempur. naan cinta. Orang yang paling bisa menikmati sesuatu ialah yang paling mencintai sesuatu itu.

 

Masih menurut pendapat mereka, Allah membuat para nabi dan rasul-Nya mencintai istri dan kekasihnya. Adam, bapak semua manusia sangat mencintai istrinya, Hawa’. Allah mengabarkan bahwa Dia menciptakan istrinya dari bagian tubuhnya, agar Adam senang kepadanya. Menurut pendapat golongan ini, karena cinta Adam kepada Hawa’ mendorongnya untuk memakan buah pohon larangan. Cinta pertama yang ada di bumi ini adalah cinta Adam kepada Hawa’, yang kemudian menjadi jalan kehidupan pada diri anak keturunannya dalam masalah cinta terhadap istri.

 

Karena besarnya cinta Daud kepada para wanita, maka dia menikahi seratus istri sekaligus. Begitu pula anaknya, Sulaiman. Orangorang Yahudi yang dilaknat Allah mencela Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam karena cintanya kepada para wanita dan menikahi beberapa wanita. Lalu Allah menurunkan pembelaan terhadap diri Rasulullah dan mengabarkan bahwa yang demikian itu termasuk karunia dan nikmat yang diberikan kepada beliau. Firman-Nya,

 

‘Ataukah mereka dengki kepada manusla (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepada manusia (tu? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (An-Nisa’: 54).

 

Di samping Ibrahim juga ada seorang wanita yang paling jelita, yaitu Sarah. Namun kemudian beliau juga menyukai Hajar sekalipun tetap mencintai Sarah. Sa’d bin Abi Waqqash berkata, “Ibrahim kekasih Allah sangat mencintai istri madunya, Hajar. Setiap hari beliau menjenguknya karena dorongan kerinduannya.”

 

Al-Khara’ithy berkata, “Kami diberitahu Nashr bin Daud, kami diberitahu Al-Waqidy, dari Muhammad bin Shalih, dari Sa’d bin Ibrahim, dari Amir bin Sa’d, dari bapaknya lalu dia menyebutkan namanya, dan telah disebutkan di dalam Ash-Shahih, dari hadits Asy-Sya’by, dari Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Saya diutus Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memimpin pasukan, yang di dalamnya juga ada Abu Bakar dan Umar. Setelah pulang saya bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling engkau cintai?”

 

Beliau balik bertanya, “Apa maksudmu?” “Saya ingin mengetahuinya,” jawabnya. “Aisyah,” jawab Rasulullah. “Yang saya maksudkan dari kalangan orang laki-laki.” Beliau menjawab, “Bapaknya.” (Diriwayatkan Al-Bukhary-Muslim).

 

Mubarak bin Fudhalah menyebutkan dari Ali bin Zaid, dari bibinya, dari Aisyah, bahwa Fathimah pernah menyebut-nyebut nama Aisyah di hadapan beliau. Lalu beliau bersabda kepadanya, “Wahai putriku, dia adalah kekasih bapakmu.”

 

Asal hadits ini ada di dalam Ash-Shahih, dari perkataan Al-Laits, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Abdurrahman, dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dia berkata, “Para istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus Fathimah binti Nabi untuk menemui beliau. Maka dia masuk dan beliau sedang tidur telentang bersamaku beralaskan kain dari bulu. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri-istrimu meminta keadilan kepadamu dalam kaitannya dengan putri Ibnu Quhafah.”

 

Saat itu saya diam saja. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya, “Bukankah engkau mencintai apa yang aku cintai?” Fathimah menjawab, “Benar.”

 

Beliau bersabda, “Maka cintai pula wanita ini.” (Diriwayatkan Mug. lim dan An-Nasa’y).

 

Disebutkan di dalam Ash-Shahih, dari hadits Hammad bin Salamah, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abdullah bin Yazid, dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaih, wa Sailam membuat pembagian di antara istri-istrinya secara adil, Seraya bersabda,

 

“Ya Allah, inilah perbuatanku menurut apa yang kumiliki. Maka janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang Engkau miliki sedang aku tidak memilikinya.” (Diriwayatkan Abu Daud, At Tirmidzy, An-Nasa’y, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

 

Yang dimaksudkan, beliau mampu berbuat adil di antara mereka dalam masalah nafkah dan pembagian di antara istri-istri beliau. Tapj dalam masalah persamaan cinta di antara mereka, maka beliau tidak mampu dan tidak memilikinya.

 

ibnu Sirin berkata, “Saya bertanya kepada Abidah As-Salmany tentang firman Allah, “Dan sekali-kali kalian tidak akan dapat berlaky adil di antara istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian.” (An-Nisa’: 129). Maka dia menjawab, “Maksudnya adalah dalam masalah cinta dan jima’.” Menurut Ibnu Abbas, seseorang tidak bisa berbuat adil! di antara istri-istrinya dalam masalah seks, sekalipun dia ingin berbuat demikian. Abu Qais, pembantu Amr bin Al-Ash berkata, “Amr mengutusku untuk menemui Gmmu Salamah, seraya berkata, “Tanyakan kepadanya, apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga memeluk istrinya tatkala beliau berpuasa? Jika Gmmu Salamah menjawab, ‘Tidak’, maka katakan kepadanya bahwa Aisyah pernah memberitahu kami, bahwa

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah memeluknya tatkala beliau sedang berpuasa’.

 

Maka saya (Abu Qais) benar-benar bertanya kepada Ummu Salamah, dan dia menjawab, ‘Tidak’. Lalu saya memberitahukan kepadanya apa yang dikatakan Abdullah.”

 

Lalu Ummu Salamah berkata, “Sesungguhnya jika Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam melihat Aisyah, maka beliau tidak mampu menahan diri untuk tidak mendekatinya. Sedangkan saya tidak begitu.”

 

Bayan Asy-Sya’by pernah berkata, “Ada seorang laki-laki mendatangiku, lalu berkata, ‘Saya mencintai semua Ummahatul-Mukminin kecuali Aisyah’. Maka saya berkata kepadanya, “Kalau begitu engkau menyalahi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena Aisyah adalah wanita yang paling beliau cintai.”

 

Mush’ab bin Sa’d berkata, “Umar bin Al-Khaththab mewajibkan tunjangan bagi Ummahatul-Mukminin, masing-masing sebanyak sepuluh ribu. Namun dia menambahi dua ribu bagi Aisyah, seraya berkata, ‘Aisyah adalah kekasih Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam’.”

 

Abu Muhammad bin Hazm berkata, “Aisyah adalah wanita yang juga sangat dicintai Al-Khulafa’ur-Rasyidun dan para imam yang mendapat petunjuk.”

 

Al-Khara’ithy berkata, “Abdullah bin Umar membeli seorang budak wanita berdarah Romawi. Dia sangat mencintainya. Suatu hari budaknya jtu jatuh dari punggung keledai miliknya, lalu Abdullah menyeka debu dari wajahnya dan membersihkannya. Budaknya berkata, ‘Engkau orang yang baik’. Kemudian budaknya itu lari meninggalkannya, dan dia berkata, ‘Tadinya kukira aku benar-benar baik. Tapi tatkala hari ini dia lari, kutahu ternyata aku tidaklah begitu.”

 

Kisah serupa juga dialami Mughits dan wanita yang dicintainya. Sehingga dia terus menguntit di belakang mantan istri yang masih dicintainya, sementara air matanya mengalir di pipi.

 

Muhammad bin Sirin pernah melantunkan syair, Jika langkah kakiku berayun tak terarahkan kupanggil Lubna seindah nama panggilannya aku berharap andaikan jiwa ini mau menuruti kan kubawa jiwaku ke sampingnya

 

Shalih berkata, dari Ibnu Syihab, Ubaidillah bin Abdullah bin Utaibah memberitahuku, bahwa Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Tatkala kami sedang berada di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama hampir delapan puluh orang yang semuanya adalah orang Quraisy, demi Allah saya tidak melihat wajah-wajah yang berseri pada saat itu selain dari wajah mereka. Lalu mereka menyebut-nyebut wanita dan memperbincangkannya. Saya pun ikut larut dalam pembicaraan itu, hingga akhirnya saya putuskan untuk diam. Mereka berkata, Andaikan tidak karena kelembutan sentuhan cinta dan kenikmatannya, tentu kami tidak berharap seperti yang diharapkan orang lain’.”

 

Seorang penyair berkata,

Sang pecinta mengadukan kerinduannya

andaikata aku bisa menanggung kesendirian ini

ada semua kenikmatan cinta di dalam hati

yang tiada pernah dirasakan siapa-siapa

 

Menurut golongan ini, cinta yang dimubahkan akan mendatangkan pahala bagi pelakunya, sebagaimana yang dikatakan Syarik bin Abdullah tatkala dia ditanya tentang orang-orang yang dimabuk cinta, “Yang Paling mendalam cintanya adalah yang paling banyak pahalanya.” Memang benar, andaikata yang dicintai adalah sesuatu yang juga dicintai Allah, seperti taqarrub dan hubungan dengan-Nya.

 

Seorang wanita berkata,

 

Allah tiada menerima tindakan wanita yang dicinta suatu hari dia lalai dan menghindari yang mencintainya

tiada pahala karena dia membunuh cinta pecintanya

sang pecinta justru mendapat pahala karenanya

 

Menurut pendapat kami, selagi seorang wanita menghindari suami yang mencintainya, maka para malaikat mengutuknya hingga pagi hari,

 

Menurut golongan ini, cinta itu bisa mensucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, mendorong untuk berpakaian yang rapi, makan yang baik-baik, memelihara akhlak yang mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang shalih dan cobaan bagi para ahli ibadah. Cinta merupakan timbangan akal dan rasa. Cinta merupakan ciptaan yang mulia, sebagaimana yang dikatakan dalam syair,

 

Bukan karena dorongan nafsu kubangkitkan cinta

tapi kulihat cinta itu adalah akhlak yang mulia

 

Menurut mereka, ruh orang-orang yang dimabuk cinta adalah titiktitik embun yang lembut. Tubuh mereka ringan dan lemas. Pasangan mereka menjadi lamban untuk diarahkan. Bisa tenang jika sudah bersanding dan mengikatkan tali cinta. dcapan mereka tertanam di pikiran, menggerakkan jiwa, mengguncang ruh dan tidak sedikit para cerdik pandai yang membicarakan keadaan mereka.

 

Kisah tentang orang-orang yang dimabuk cinta selalu menghiasi pertemuan dan menjadi bahan perbincangan orang-orang terpandang. Ada seorang Arab dusun yang namanya sama sekali tidak pernah masuk dalam jajaran orang-orang terkenal dari kalangan raja dan pahlawan yang patriotik. Lalu setelah dia dimabuk cinta dan menjadi terkenal karena cintanya itu, maka namanya disebut sebut di berbagai pertemuan raja dan pejabat. Kisahnya diabadikan, untaian syair-syairnya dilantunkan, dan akhirnya dia menjadi terkenal karena cintanya itu. Andaikata tanpa cinta, tentu namanya tidak akan menjadi tenar.

 

Sebagian orang berkata, “Cinta bagi ruh sama dengan kedudukan makanan bagi badan. Jika engkau meninggalkannya, tentu akan membahayakan dirimu, dan jika engkau terlalu banyak menyantapnya, tentu ja akan membinasakanmu.”

 

Ibnu Abdil-Barr berkata di dalam Bahjatul-Majalis, “Disebutkan di dalam lembaran papan milik sebagian penduduk India: Cinta itu kepuasan yang diciptakan di dalam ruh. Cinta adalah suatu makna yang dihasilkan bias bintang-gemintang, muncul sebagai tabiat karena jalinan dengan orang yang sejalan, dipeluk lembut oleh ruh. Cinta dianggap sebagai sinar di hati dan pedang di pikiran, selagi tidak berlebih-lebihan. Jika berlebih-lebihan, maka ia berubah menjadi derita yang mematikan dan penyakit yang mengerikan. Pendapat tentang cinta tidak pernah habis dan pengobatan cinta semakin beragam.”

 

Seorang Araby berkata, “Cinta adalah pendamping jiwa dan teman bicara akal, membuat perasaan berbunga-bunga dan mampu menguasai anggota badan.”

 

Abdullah bin Thahir, gubernur Khurasan berkata kepada anak-anaknya, “Bercintalah agar kalian merasakan keindahan dan jagalah kehormatan agar kalian terpandang.”

 

Sebagian ahli balaghah mensifati cinta sebagai berikut: la mendorong penakut menjadi pemberani, orang kikir menjadi dermawan, mencuci pikiran orang yang dungu, memfasihkan lidah orang yang gagap, membangkitkan Keinginan orang yang lemah, merendahkan kehormatan para raja, menampakkan kehebatan para pemberani, merupakan pintu pertama yang membelah pikiran dan kecerdikan, karenanya ada tipu daya yang halus, gejolak menjadi tenang, akhlak dan kepribadian menjadi tertata, ada kegembiraan yang menari-nari di dalam jiwa dan kesenangan yang bersemayam di dalam hati.”

 

Seseorang melaporkan kepada seorang pemimpin, “Putramu telah menjalin cinta dengan seorang wanita?”

 

Pemimpin itu menyahut, “Alhamdulillah. Sekarang perasaannya menjadi halus, sanubarinya menjadi lembut, isyaratnya menjadi tajam, gerakannya menjadi tertata, ungkapan kata-katanya menjadi indah, surat yang ditulisnya menjadi bagus, terbiasa dengan hal-hal yang manis dan menjauhi hal-hal yang buruk.”

 

Seseorang pernah ditanya, “Kapankah seorang anak menjaga, baligh?” Dia menjawab, jika dia sudah beranti menulis surat, Melukiskan, cinta dan menggambarkan sang kekasih.”

 

Sa’d bin Aslam pernah dilapori seseorang, “Sesungguhnya anakmy suka merangkum syair-syair yang lembut.” Maka dia menanggapi “Biarkan dia mengasah perasaannya, tampil bersih dan menjadi lemah lembut.”

 

Al-Abbas bin Al-Ahnaf berkata di dalam syairnya,

 

Tiada manusia yang tiada memiliki cinta

tiada kebaikan bagi orang yang tiada cinta

 

Yang lain berkata,

 

Tiada keindahan dan kenikmatan di dunia

jika engkau menyendiri tanpa perasaan cinta

 

Ali bin Abu Katsir bertanya kepada Abuz-Zarqa’, “Apakah engkau pernah jatuh cinta sehingga engkau menulis surat dan membuat janji>”

 

Dia menjawab, “Tidak pernah.”

 

“Berarti tak ada sesuatu pun yang akan datang dari dirimu,” kata Ali bin Abu Katsir.

 

Seorang raja mempunyai putra semata wayang yang sama sekalj tidak mempunyai gairah, lemas dan minder. Padahal raja ingin mempersiapkKannya menjadi penggantinya memegang Kekuasaan. Maka dia menyuruh beberapa anak gadis dan para biduanita untuk bergaul dengannya. Akhirnya sang putra mahkota jatuh cinta kepada salah seorang gadis itu. Raja menjadi gembira setelah mendapat kabar tentang hal itu. Dia mendatangi anak gadis yang dicintai putranya dan berkata kepadanya, “Katakan kepada putraku, ‘Saya hanya patut dipersunting seorang raja atau orang yang berilmu’.

 

Tatkala putra mahkota mendengar perkataan wanita yang dicintainya, maka dia mau menuntut ilmu, hingga akhirnya dia benar-benar layak memegang kekuasaan.

 

Abu Naufal pernah ditanya, “Apakah seseorang bisa menghindar dari cinta?” Dia menjawab, “Bisa, yaitu orang yang hatinya keras dan bodoh, yang tidak memiliki kKeutamaan dan pemahaman. Sekalipun seseorang hanya memiliki sedikit kepandaian, kehalusan penduduk Hijaz dan kepintaran penduduk Iraq, tidak mungkin bisa menghindar dari cinta.”

 

Ali bin Abdah berkata, “Tak mungkin seseorang bisa menghindar dari cinta, kecuali orang yang Kasar perangainya, Kurang waras atau tidak mempunyai gairah.”

 

Mereka berkata, “Seseorang tidak akan menjadi sempurna kecuali jika dia mencintai orang-orang yang memiliki kesempurnaan, atau setidaktidaknya menyerupai mereka. Orang yang pandai bisa mencapai tingkat kepandaiannya tergantung kepada cintanya kepada ilmu. Begitu pula setiap orang yang menekuni suatu profesi. Orang yang jatuh cinta harus memperhatikan akhlak dan tindakan yang terhormat, agar tabiatnya terangkat di hadapan orang yang dicintainya, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Kebajikan harus diperhatikan untuk kehormatan

agar suatu saat tabiatnya mendapat pujian

 

Abul-Minjab berkata, “Tatkala thawaf saya melihat seorang pemuda yang badannya kurus kering dan lemah, mengeluh dan menggumamkan sebuah syair,

 

Kuingin semua cinta menyatu di sini

merasuk ke dalam hatiku bersemayam di dada

kuingin cinta tiada sirna dari hati

keceriaan ada pada cinta atau lebih baik aku binasa

 

Saya berkata, “Wahai anak muda, bukankah kesucian Ka’bah ini melarangmu untuk berkata seperti itu?”

 

Dia menjawab, “Memang demikian. Tapi demi Allah, cinta itu benarbenar memenuhi seluruh relung hatiku. Saya senang jika mengingat orang yang kucinta. Pikiranku menerawang jauh kepada orang yang mengetahui apa yang sedang bergejolak di dalam diriku, sehingga angananganku semakin menerawang. Demi Allah, lebih menyenangkan mendapatkan dirinya daripada mendapatkan kekuasaan Amirul-Mukminin. Saya berdoa kepada Allah semoga Dia berkenan menyematkan cinta itu di dalam hatiku selama hayat, menjadikannya alas tidurku di liang kubur, tak peduli apakah saya bisa bersanding dengannya atau tidak. Inilah doaku atau lebih baik saya menghentikan manasik hajiku ini.”

 

“Apa yang membuatmu menangis?” tanyaku setelah pemuda itu menangis sesenggukan.

 

“Saya khawatir doaku ini tidak akan terkabulkan. Padahal itulah yang diharapkan dan itulah tujuan yang kuinginkan dari apa-apa yang dianugerahkan Allah kepada makhluk-Nya.” Setelah itu pemuda itu beranjak pergi.

 

Menurut golongan ini, keinginan yang kelewat batas dalam masalah cinta bisa membunuh pelakunya, seperti yang biasa terjadi pada diri orang-orang yang dimabuk cinta.

 

Suwaid bin Sa’id Al-Hadatsany berkata, kami diberitahu Ali bin, Mushir, dari Abu Yahya Al-Qattat, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas Radiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Barangsiapa jatuh cinta, lalu menyembunyikan cinta, menahan diri, bersabar lalu meninggal dunia, maka dia mati syahid.” Al-Khathib berkata, kami diberitahu Abul-Hasan Ali bin Ayyub, kami diberitahu Abu Abdullah Al-Marzubany dan Ibnu Hayyauyah serta Ibnu Syadzan, mereka berkata, kami diberitahu Abu Abdullah Ibrahim bin Muhammad bin Arafah Nifthawaih, dia berkata, “Saya menemyj Muhammad bin Daud Al-Ashbahany selagi dia sakit yang menyebab. kannya meninggal dunia. Saya bertanya kepadanya, “Apa yang engkay rasakan saat ini?” Dia menjawab, “Aku mencintai orang yang bisa mewarisiku. Ba. gaimana menurut pendapatmu?”

 

“Apa yang menghalangimu untuk menikmatinya, padahal engkay mampu melakukannya>?”

 

Dia menjawab, “Kenikmatan itu ada dua macam. Pertama, pan. dangan yang diperbolehkan. Kedua, kenikmatan yang dilarang. Pandangan yang diperbolehkan telah diwariskan kepadaku seperti yang engkau lihat. Sedangkan pandangan yang dilarang telah menghalangj diriku untuk mendekati wanita yang kucinta seperti yang dikatakan bapakku kepadaku, bahwa kami diberitahu Suwaid bin Sa’id, kami diberitahu Ali bin Mushir, dari Abu Yahya Al-Qattat, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa jatuh cinta, lalu menyembunyikan cinta, menahan diri, bersabar lalu meninggal dunia, maka dia mati syahid.”

 

Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Saya benar-benar heran terhadap hadits ini. Sebab tidak ada yang meriwayatkan selain Suwaid, atau Daud bin Ali dan anaknya, Abu Bakar, sekalipun mereka tsiqat.”

 

Kemudian Al-Khathib meriwayatkan hadits ini, kami diberitahu AlAzhury, kami diberitahu Al-Mu’afa bin Zakaria, kami diberitahu Quthbah bin Al-Fadhl bin Ibrahim Al-Anshary, kami diberitahu Ahmad bin Muhammad bin Masruq, kami diberitahu Suwaid, kami diberitahu Ali bin Mushir, dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, dari Aisyah Radhiyallahu Anha secara marfu’.

 

Az-Zubair bin Bukkar juga meriwayatkannya dari Abdul Malik bin Abdul-Aziz bin Al-Majisyun,dari Abdul-Aziz bin Abu Hazim, dari ibnu Abi Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam.

 

Adapun lafazh, “Barangsiapa jatuh cinta dan menahan diri, lalu meninggal dunia, maka dia mati syahid”, diriwayatkan Abu Bakar Muhammad bin Ja’far bin Sahl Al-Khara’ithy di dalam kitab I’tilalul Qulub. Kami diberitahu Yusuf Ya’qub bin Isa, dari anak Abdurrahman bin Auf, dari Az-Zubair, lalu dia menyebutkan hadits itu. Suwaid juga mentakhrij dari Ghdah secara sendirian. Sekalipun menyendiri, dia dianggap tsiqat. Muslim berhujjah dengannya di dalam Shahih-nya. Abdullah bin Ahmad berkata, “Bapakku pernah berkata kepadaku, ‘Tulislah darinya hadits tentang pelukan’.” Menurut Al-Baghawy, dia adalah hafizh. Menurut Muslim, dia tsiqat. Menurut Abu Hatim Ar-Razy dan Ya’qub bin Syaibah, dia orang yang bisa dipercaya. Namun dia banyak dicela karena tadlis. Dia juga dianggap cela karena dia buta pada akhir hayatnya. Boleh jadi dia memasukkan hadits ini di dalam kitab-kitabnya. Tetapi riwayat orang-orang yang lebih tua darinya tentang hadits ini, diriwayatkan sebelum dia menjadi buta. Toh dia buta pada masa akhir hayatnya, yang berarti tidak membuat hadits yang diriwayatkannya menjadi cacat.

 

Menurut pendapat kami, hadits ini batil yang diatasnamakan terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang sama sekali tidak menyerupai sabda beliau. Sebab riwayat yang shahih dari beliau, bahwa orang yang mati syahid itu ada enam macam. Di antara enam macam ini, tidak disebutkan orang yang mati karena jatuh cinta, dan tidak mungkin orang yang mati karena jatuh cinta dianggap mati syahid. Sebab boleh jadi dia jatuh cinta yang justru harus mendapat siksaan.

 

Orang-orang yang menjaga keutuhan Islam telah menisbatkan hadits ini kepada diri Suwaid, dan banyak juga orang yang menyangsikan dirinya. Gntuk itu Al-Madiny berkata, “Memang tidak ada salahnya jika orang buta bisa menulis buku. Tapi bagaimana pun juga tentu ada cacatnya yang parah.”

 

Ya’qub bin Syaibah berkata, “Dia dapat dipercaya tapi kacau hapalannya, apalagi setelah dia menjadi buta.”

 

Al-Bukhary berkata, “Dia menjadi buta, lalu ada yang mengambil darinya yang bukan dari perkataannya.”

 

Abu Ahmad Al-Jurjany berkata, “Ini termasuk hadits yang diingkari dari Suwaid.” Al-Baihaqy, Abul-Fadhi bin Thahir dan Abul-Faraj bin AlJauzy juga mengingkari haditsnya ini serta memasukkannya dalam hadits-hadits maudhu’.

 

Tatkala Abu Bakar Al-Azraq mertwayatkan hadits ini dari Suwaid maka Ibnul-Marzuban mencelanya dan menghentikan penyebutannyg dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Jika Suwaid ditanye tentang hadits ini, dia tidak memarfu’kannya. Ini lebih baik baginya jika memang hadits itu mauquf. Maka dari itu Abu Muhammad Al-Husain Al-Qary meriwayatkannya dari perkataan Abu Sa’d Al-Baqqal, dari Ikrimah, day lbnu Abbas Radhiyallahu Anhuma sebagai perkataannya. Sedangkan redaksi Al-Khathib dari perkataan Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, dari Aisyah Radhiyaliahu Anha, tidak dapat diragukan bahwa bay kebatilannya sudah langsung bisa tercium, yang diatasnamakan kepada Hisyam dari bapaknya dari Aisyah. Tidak ada kaitan antara matan inj dengan isnad tersebut. Untuk menuntaskannya harus dikembalikan ke. pada para ahli hadits, bukan kepada orang-orang yang tidak jelas jat; dirinya.

 

Yang pasti, Ibnu Masruq mencurinya dan mengubah isnadnya. Sedangkan hadits Az-Zubair bin Bakkar, berasal dari riwayat Ya’qub bin Isa. Dia adalah dha’if, tidak bisa dijadikan hujjah, yang didha’ifkan para ahli hadits dan didakwa sebagai seorang pendusta.

 

Allah berfirman mengabarkan keadaan orang-orang yang beriman,

 

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami.” (Al-Baqarah: 286).

 

Allah memuji orang-orang Mukmin dengan doa yang mereka mohon kepada-Nya ini, agar Dia tidak membebani mereka apa yang tidak sanggup mereka pikul. Beban itu ditafsiri dengan cinta. Yang dimaksudkan bukan pengkhususannya, tetapi maksudnya adalah cinta yang tidak sanggup dipikul manusia. Menurut Makhul, artinya dorongan birahi yang sangat kuat.

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Tidak selayaknya seseorang merendahkan dirinya sendiri.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Menurut Al-Imam Ahmad, penafsirannya: Tidak selayaknya seseorang menantang cobaan yang tidak sanggup dia pikul. Hal ini sama dengan keadaan orang yang jatuh cinta. Sebab dengan begitu dialah orang yang paling rendah di hadapan orang yang dicintainya, agar memperoleh ridhanya, karena dasar cinta adalah merendahkan diri dan tunduk kepada kekasih, sebagaimana yang dikatakan seorang penyair,

 

Tunduk dan rendahkan diri di mata kekasih hati

tiada cerita cinta dengan hidung yang mendongak

 

Yang lain berkata,

 

Sampai di liang kubur pun dia perlu dikasihani

di atasnya ada debu-debu yang merunduk takut

 

Yang lain berkata,

Dulu kami melihat dirimu terhormat dan mulia

tiada heran jika menjadi hina karena orang yang dicinta

usah pungkiri kehinaan mereka yang jatuh cinta

rela merunduk karena mengharap ridha kekasih tercinta

 

Mereka berkata, Jika seseorang berenang di lautan cinta dan bemain-main dengan ombaknya, bukankah dia lebih dekat dengan kebina. saan daripada keselamatan? Hal ini seperti yang dikisahkan Al-Khara’ithy bahwa di Madinah ada seorang wanita yang pandai. Dia jatuh cinta ke. pada seorang laki-laki. Maka keduanya menjalin cinta yang manis dan tidak pernah berjauhan. Namun lama-kelamaan sang lelaki merasa bosan kepadanya. Cinta wanita itu justru semakin membara, hingga akhirnya dia jatuh sakit. Pembantunya tidak sanggup lagi menampung rintihannya dan tidak tega melihat keadaannya. Dia mencakar wajahnya dan mencabik-cabik pakaiannya hingga keadaannya betul-betul mengenaskan. Tatkala sang lelaki mendengar keadaannya, maka dia berusaha untuk menyembuhkannya. Namun sia-sia. Bila malam hari dia berlalu lalang di jalan, seraya melantunkan syair,

 

Cintalah yang pertama kali menegarkan hati

ia datang bersama takdir berjalan beriringan

jika pemuda berenang di samudra cinta tak bertepi

datang banyak masalah yang tak tertanggungkan

siapa yang sanggup memikul cinta di hati

bencana datang bersama rahasia-rahasianya

 

Al-Khara’ithy berkata, “Ada beberapa rekan yang menyenandungkan syair,

 

Permulaan cinta indah menawan di hati

akhirnya kematian laksana permainan

ia bermula dari pandangan dan canda

menyala di hati laksana bara api

seperti api yang bermula dari percikan

jika membesar ia kan membakar semua kayu

 

Menurut golongan ini, bagaimana mungkin manusia memuja-muja sesuatu yang menghalangi ketegaran hati, membuat sulit tidur, melemahkan akal, menciptakan gila, bahkan sesuatu itu sendiri layak disebut gila, seperti yang dikatakan sebagian ahli hikmah, ‘Gila itu seni, dan cinta itu salah satu jenis dari bermacam-macam gila?’

 

Berapa banyak orang yang jatuh cinta harus menghabiskan hartanya, merusak pamor dan kehormatan dirinya, gara-gara orang yang dicintainya, menelantarkan keluarga, mengesampingkan kepentingan agama dan dunianyae

 

Az-Zubair bin Bakkar berkisah, ada seorang wanita Badui yang menemui saudarinya, lalu bertanya, “Bagaimana tanggapanmu tentang cinta Fulan terhadap dirimu?”

 

Saudarinya menjawab, “Demi Allah, cinta itu telah menggerakkan orang pendiam dan mendiamkan orang yang banyak bergerak.” Lalu dia bersyair,

 

Andaikan pada diriku ada kerikil yang dibelah

ada angin yang tidak bisa didengar hembusannya

andaikan aku bisa memohon ampunan kepada Allah

setiap kali mengingat dirimu tanpa dosa

 

Wanita itu berkata, “Demi Allah saya akan bertanya kepada lelaki yang engkau cintai, bagaimana tanggapannya terhadap cintamu kepadanya?”

 

Maka wanita itu menemuinya dan menanyakannya. Lelaki itu menjawab, “Cinta itu adalah ketundukan. Tapi ia tetap berbeda dengan namanya. Hal ini bisa diketahui lewat orang yang menangisi reruntuhan rumahnya.”

 

Abul-Fadhl Ar-Rab’y melantunkan syair,

 

Mataku mengalirkan air mata darah

setelah air mata itu habis tercurah

duka nestapa ada di badan yang kurus kering

sebagian malam yang sepi datang mengiring

aku lalai berapa lama waktu telah berlalu

waktu berganti dan ingatan tetap menyatu

 

Menurut golongan ini, cinta itu adalah penyakit ganas yang bisa mencair bersama ruh, sementara yang terjangkiti tidak menyadarinya. Bahkan cinta itu adalah lautan, menenggelamkan perahu yang mengarunginya, sehingga tidak ada lagi pantai yang menjanjikan keselamatan baginya. Begitulah yang dikatakan seorang penyair,

 

Tiada seorang pun mendapat sanjungan

karena cinta tampak rona kebodohan

tiada seorang pun merasakan pahit kehidupan

dia jatuh cinta dan kepahitan itu terasakan

 

Al-Abbas bin Al-Ahnaf berkata,

 

Derita jiwa bagi mereka yang jatuh cinta

sekalipun seperti yang kami alami

mereka menuang cinta dalam kehidupan ini

tapi mereka tiada mendapatkan dunia dan agama

 

Cinta membuat raja menjadi budak dan sultan menjadi hamba sebagaimana yang dikatakan Al-Hikam bin Hisyam bin Abdurrahmar, Ad-Dakhil, tatkala menjadi raja Andalus dalam syairnya,

 

Karena cintanya dia menjadi hamba

padahal sebelumnya dia adalah raja

kegarangan istana tiada lagi menyertai

dia di puncak gunung menyendiri sendiri

pipi tertempel di tanah berdebu

seakan bantal-bantal sutra untuk bertumpu

begitulah kehinaan menimpa orang merdeka

jika cinta melanda dia laksana hamba sahaya

 

Sebagian raja berkata tentang gadis yang dicintainya, padahal gadis itu lebih banyak berbuat jahat kepadanya,

 

Belum cukupkah engkau memiliki diriku?

padahal semua manusia adalah hambaku

jika engkau hendak menghancurkan diriku

Kuucapkan selamat tinggal lebih baik bagiku

 

Berapa banyak orang yang lari dari cinta karena takut kebinasaan, agar dirinya benar-benar luput dari kebinasaan itu, sekalipun akhirnya dia menemui bentuk kebinasaan yang lain. Di’bil, seorang penyair berkata, “Saya berada di garis batas dua pasukan perang. Tiba-tiba ada seruan agar kami lari dari tempat itu. Maka kami segera menyingkir. Seketika itu ada seorang pemuda yang menyeret tombaknya di depanku. Dia menoleh dan memandangku, “Kaukah yang bernama Di’bil?”

 

“Ya,” jawabku.

 

“Dengarkan aku,” katanya, lalu dia memperdengarkan sebuah syair,

 

Saya adalah orang yang waras

di medan perang dan Kancah jihad

badanku memerangi musuh saat ini

padahal cinta sedang memerangi hati

 

Lalu dia bertanya padaku, “Bagaimana menurut pendapatmu?” “Bagus, demi Allah,” jawabku.

 

Dia berkata, “Demi Allah, saya tidak keluar melainkan karena hendak lari dari cinta.” Selanjutnya anak muda itu menghambur di kancah perang hingga meninggal dunia.

 

Menurut golongan ini, berapa banyak cobaan cinta yang membenamkan kepala ke dalam siksa neraka, menuntun mereka kepada derita yang pedih dan ke gelas mereka dituangkan api yang mendidih? Berapa panyak cobaan cinta yang mengeluarkan manusia dari medan ilmu dan agamanya, seperti keluarnya selembar rambut dari tepung? Berapa panyak cobaan cinta yang menghilangkan nikmat dan mendatangkan derita? Berapa banyak orang yang turun dari tahta kehormatannya hingga menjadi orang yang hina karena cinta, dan berapa banyak orang yang tadinya berkedudukan tinggi namun kemudian hanya memiliki kedudukan yang rendah? Berapa banyak aurat yang terbuka, derita yang muncul di kemudian hari, kegelisahan yang mendera dan akhirnya hanya ada penyesalan? Berapa banyak bara kesedihan yang membakar hati dan menghilangkan kehormatan di sisi Allah serta di mata manusia? Berapa banyak cinta yang hanya mendatangkan bencana, cobaan, ketetapan yang buruk dan tipu daya musuh?

 

Hampir tak ada cinta yang tidak menghalangi nikmat, mendatangkan derita dan mengubah afiat. Andaikan engkau bertanya kepada nikmat, apa yang mengenyahkanmu? Andaikan engkau bertanya kepada derita, apa yang menuntunmu? Andaikan engkau bertanya kepada kekhawatiran dan kegelisahan, apa yang mendatangkanmu? Andaikan engkau bertanya kepada afiat, apa yang menjauhkanmu? Andaikan engkau bertanya kepada wajah, apa yang menghilangkan cahayamu? Andaikan engkau bertanya kepada kehidupan, apa yang mengeruhkanmu? Andaikan engkau bertanya kepada mentari iman, apa yang menutupimu? Andaikan engkau bertanya kepada kehormatan jiwa, apa yang merendahkanmu? Secara spontan akan dijawab, cintalah yang menyebabkan semua itu, sekalipun mungkin tiada kata yang terucap dalam jawaban ini.

 

Demi Allah, inilah di antara kejahatan cinta yang sengaja ditimpakan kepada orang yang jatuh cinta, andaikata mereka menyadarinya. Firman Allah,

 

“Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh disebabkan kezhaliman mereka. Sesungguhnya pada yang demikian itu (terdapat) pelajaran bagi kaum yang mengetahui.” (An-Naml: 52).

 

Bagi orang yang berakal bisa mengambil pelajaran dari apa yan dikisahkan Allah di dalam surat Al Araf, tentang orang-orang yang meng umbar hawa nafsu yang tercela, agar menjadi peringatan dan pelajaran, Allah memulai kisah tentang hawa nafsu Iblis yang menyombongkap, diri untuk taat kepada perintah Allah, yaitu bersujud kepada Adam. Iblig terbawa oleh hawa nafsunya untuk mendurhakai perintah Allah dan me. nyombongkan diri untuk taat kepada-Nya. Akhirnya dia mengalami apa yang dialaminya.

 

Kemudian Allah menyebutkan hawa nafsu Adam yang ingin kekal di surga. Dia terbawa oleh hawa nafsunya dengan memakan buah pohon larangan. Yang mendorong Adam melakukan hal itu ialah keinginannya untuk hidup kekal. Akibat menuruti hawa nafsu dan keinginannya itu, maka Adam dikeluarkan dari surga, turun ke tempat tinggal yang di warnai kepayahan. Ada yang berpendapat, Adam memakan buah day pohon itu karena menuruti Hawa’. Karena cintanya kepada Hawa’, maka mendorongnya untuk patuh dan menuruti keinginan Hawa’. Musuh Adam bisa mempengaruhi lewat diri Hawa’. Dia masuk lewat pintunya. Maka cobaan yang pertama kali muncul di dunia ini adalah karena wanita.

 

Kemudian Allah menyebutkan cobaan yang menimpa orang-orang kafir yang menyekutukan-Nya dengan hal-hal yang tidak diterangkan. Nya. Mereka mengada-adakan hal baru dalam agama-Nya tidak seperti yang disyariatkan, mengharamkan perhiasan yang dikeluarkan Allah bagj hamba-hamba-Nya dan rezki yang baik. Mereka menyembah Allah dengan hal-hal yang keji, dan mereka beranggapan bahwa yang demikian itu atas perintah Allah. Mereka menjadikan syetan sebagai penolong selain Allah, dan akhirnya syetan itu menuntun mereka kepada hawa nafsu dan cinta yang rusak. Selanjutnya mereka memerangi para rasul, mendustakan Kitab-kitab, mengorbankan harta, jiwa dan keluarga untuk selain Allah, maka mereka mendapat kerugian di dunia dan di akhirat.

 

Selanjutnya Allah menyebutkan kisah kaum Nuh dan hawa nafsu yang mengakibatkan mereka tenggelam dalam keduniaan dan akhirnya mereka masuk ke neraka di akhirat. Kemudian Allah menyebutkan kisah Aad dan hawa nafsu yang menyeret mereka kepada bencana yang mengerikan dan siksa yang tiada henti-henti. Kemudian kisah kaum Shalih yang juga tak jauh berbeda gambarannya, kemudian kisah para pemimpin yang fasik, orang-orang yang menyenangi sesama jenis dan meninggalkan para wanita. Mereka bermain-main dalam kesesatannya dan mereka menjadi buta karena mabuk cinta. Bagaimana Allah menghimpun siksa lalu ditimpakan kepada mereka, yang tidak pernah ditimpakan kepada umat selain mereka. Mereka dijadikan pendahulu bagi rekan mereka yang tindakannya seperti kaum Luth, baik yang dahulu atau yang datang kemudian. Tatkala mereka semakin kelewat batas dan menjadi-jadi dalam kedurhakaan itu, maka para malaikat menghampiri Allah karena perbuatan tersebut, bumi mengadu kepada Allah menghadapi urusan yang aneh itu, para malaikat lari ke penjuru langit, dan Allah sudah menetapkan bahwa Dia tidak akan menghukum orang-orang yang zhalim kecuali setelah menyampaikan hujjah atas mereka, mendahuluinya dengan janji dan ancaman. Allah juga mengutus Rasul-Nya agar memperingatkan perbuatan mereka yang buruk dan menyampaikan adzab-Nya yang pedih. Maka beliau berseru kepada semua manusia, dan beliau adalah pemberi nasihat yang paling agung,

 

“Mengapa kalian mengerjakan perbuatan mesum itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini sebelum kalian?” (Al-Araf: 80).

 

Kemudian beliau mengulang lagi perkataannya agar menjadi nasihat dan peringatan bagi mereka, sementara mereka dalam cinta yang memabukkan dan mereka tidak berpikir,

 

“Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas.” (Al-Araf: 81).

 

Orang-orang yang dimabuk cinta itu memberi jawaban layaknya orang yang tenggelam dalam nafsu dan kesewenang-wenangan serta hatinya tertutup oleh cinta,

 

“Usirlah Luth beserta keluarganya dari negeri kalian, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih.” (An-Naml: 56).

 

Tatkala waktu yang telah ditentukan tiba dan saat yang telah ditakdirkan datang, maka Allah mengirim utusan ke rumah Luth, yang tiada lain adalah malaikat yang elok rupawan dalam wujud manusia. Tidak pernah ada laki-laki yang setampan para malaikat itu. Mereka datang ke rumah Luth sebagai tamu, yang kemudian diterima dengan tangan terbuka.

 

“Dan, tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata, ‘Ini adalah hari yang sangat sulit’.” (Hud: 77).

 

Lalu ada kabar selentingan yang didengar kaum Luth, bahwa Luth kedatangan para pemuda yang tampan, yang ketampanan dan keelokannya belum pernah dilihat bandingannya. Sebagian di antara mereka menyampaikan kabar ini kepada sebagian yang lain, hingga akhirnya mereka mendatangi rumah Luth, untuk melampiaskan birahi dan menda. patkan puncak kenikmatan.

 

“Dan, datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas, Dan, sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji.” (Hud: 78).

 

Tatkala mereka memasuki rumahnya dan siap menyerangnya, maka Luth berkata kepada mereka, sementara hatinya sangat gundah, sedih bercampur khawatir,

 

“Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagi kalian, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kalian mencemarkan (nama)ku terhadap tamu-tamuku ini. Tidak adakah di antara kalian seorang yang berakal?” (Hud: 78).

 

Tatkala mendengar perkataan Luth itu, maka mereka memberj jawaban sebagaimana layaknya jawaban orang yang keji dan mesum,

 

“Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” (Hud: 79),

 

Lalu dengan suara yang berat Luth berkata,

 

“Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolak kalian) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” (Hud: 80).

 

Tatkala para malaikat yang menjadi utusan Allah itu (para tamunya) mengetahui kekerasan kaum Luth di hadapan Nabi-Nya, maka mereka membuka hakikat jati dirinya, lalu berkata, “Tenangkanlah dirimu,

 

“Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu.” (Hud: 81). Luth merasa senang, karena beliau merasa diselamatkan kekasihnya dari kejahatan. Lalu dikatakan kepada beliau, “Sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikutpengikutmu di akhir malam dan janganlah ada seorang pun di antara kalian yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa adzab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?” (Hud: 81).

 

Tatkala mereka tetap bersikukuh untuk dapat mencumbu tamutamu Luth dan mereka tidak mau mempedulikan kebenaran, maka Jibril memukulkan sayapnya ke wajah mereka, hingga mata mereka tercongkel keluar dan mereka menjadi buta. Mereka perg! dari rumah Luth dalam keadaan buta sambil meraba-raba. Meski begitu mereka berkata, “Besok engkau akan tahu apa yang bakal engkau alami wahai orang yang gila.”

 

Tatkala subuh telah tersibak, maka datang seruan dari sisi Rabb,

 

“Benamkaniah kaum Luth dan siksalah mereka dengan siksaan yang pedih.” Malaikat yang perkasa dan tepercaya, Jibril menghancurkan tempat tinggal mereka dengan satu bulu sayapnya. Sehingga para malaikat bisa mendengar lolongan anjing mereka dan jeritan ayam mereka. Tempat tinggal mereka dijungkirbalikkan, yang atas dijadikan di bawah dan yang bawah dijadikan di atas. Mereka dihujani batu-batu dari tanah liat yang panas. ‘Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum

 

Luth itu yang di atas ke bawwah (Kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dart orang-orang yang zhalim.” (Hud: 82-83).

 

Itulah kesudahan yang menimpa kaum Luth yang mencintai rupa. Mereka menjadi pelajaran bagi rekan-rekan mereka yang datang kemudian, dengan perbuatan yang sama.

 

Begitu pula kaum Syu’aib, yang suka memanipulasi timbangan dan takaran karena cinta mereka yang berlebih-lebihan terhadap harta. Hawa nafsu telah mengalahkan mereka daripada mengikuti nabinya, hingga akhirnya mereka ditimpa adzab.

 

Begitu pula Fir’aun dan kaumnya. Hawa nafsu, syahwat dan cinta kedudukan mendorong mereka untuk mendustakan Musa, hingga akhirnya menemui kesudahan yang mengerikan. Begitu pula orang-orang yang berbuat durhaka pada hari Sabtu, yang dirubah bentuknya menjadi kera, karena mereka dibutakan kesenangan menangkap ikan dan mendapatkannya. Begitu pula orang-orang yang diberi ayat-ayat dari Allah,

 

‘Kemudian dia rnelepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syetan (sarmpai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-Araf: 175).

 

Allah berfirman,

 

‘Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya ttu seperti anjing, jika kamu menghalaunya, diulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (pula).” (Al-Araf: 176).

 

Perhatikan firman Allah, “Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kam)”. Allah mengabarkan bahwa hal ini merupakan pemberian dari Allah, bukan, upayanya untuk mendapatkan ayat-ayat itu. Firman-Nya, “Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu”, dan tidak berfirman, “Kami lepas. kan dia”. Pelepasan itu dinisbatkan kepada inisiatif dirinya sendiri, yang berarti Allah berlepas diri dari pelepasan itu. Inilah keadaan orang kafir Sedangkan orang Mukmin, sekalipun dia durhaka kepada Allah, maka dia tidak akan melepaskan diri dari iman secara total.

 

Kemudian Allah berfirman, “Lalu dia diikuti syetan”. Tidak dikatakan, “Syetan mengikutinya”. Sebab dengan redaksi yang pertama itu dia mengetahui bahwa syetan mengikutinya, seperti firman Allah yang lain, “Mereka disusul Fir’aun dan tentaranya pada waktu matahari terbit.” (Asy. Syu’ara’: 60).

 

Kemudian Allah berfirman, “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu”. Di sini terkandung dalil bahwa hanya dengan ilmu saja tidak mampu mengangkat derajat orang yang memiliki ilmu itu. Hal ini telah dikabarkan Allah, bahwa Dia telah memberikan ayat-ayat-Nya, namun Dia tidak meninggikan derajat orang yang telah diberi ayat-ayat itu. Padahal ketinggian derajat dengan ilmu lebih baik daripada hanya sekedar mempelajarinya. Kemudian Allah menjelaskan sebab yang menghalangi ketinggian derajat itu, dengan berfirman, “Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah”. Artinya dia menyenangi dunia dan condong kepadanya. Jiwanya rendah dan menduniawi, tidak tinggi dan mengukhrawi. Seberapa jauh seseorang senang kepada dunia, maka sejauh itu pula dia turun dari langit.

 

Sahl berkata, “Allah membagikan keinginan kepada anggotaanggota tubuh. Setiap anggota mempunyai bagian tersendiri. Jika ada satu anggota yang condong kepada suatu keinginan, maka mudharatnya kembali ke hati. Sementara nafsu itu mempunyai tujuh tabir samawi dan tujuh tabir duniawi. Setiap kali seseorang mengubur nafsunya selapis dunia, maka hatinya naik ke atas selapis langit. Selagi dia mengubur nafsunya di dalam tanah, maka hatinya bisa mencapai Arsy.”

 

Kemudian Allah mengumpamakan orang yang mengikuti hawa nafsunya seperti anjing yang senantiasa menjilatkan lidah, baik tatkala dibiarkan atau tatkala dihela. Begitulah orang yang mengikuti hawa nafsu, yang senantiasa menjilatkan lidah menginginkan dunia, tatkala senang atau tatkala susah.

 

Surat Al-Araf ini, sejak permulaan hingga akhir menyebutkan keadaan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan syahwat serta kepentingan diri sendiri. Cinta dan nafsu adalah asal mula segala bencana. Ady bin Tsabit berkata, “Dulu di kalangan Bani Israil ada seorang rahib yang senantiasa beribadah kepada Allah, hingga suatu hari ada beberapa orang gila yang dibawa kepadanya untuk diobati. Maka mereka sembuh berkat pengobatannya. Pada kesempatan lain ada wanita terpandang dari kaumnya yang gila. Maka wanita itu dibawa saudara-saudaranya Kepada rahib untuk disembuhkan. Syetan selalu menggoda rahib jitu dan menampakkan yang indah-indah di depan matanya. Maka rahib menyetubuhi wanita itu hingga hamil. Tatkala kehamilannya semakin membesar dan rahib merasa takut terhadap nasibnya, maka syetan menggodanya hingga akhirnya dia membunuh wanita itu dan mengubur jasadnya. Syetan pergi dalam rupa seorang laki-laki dan menemui sebagian saudara wanita itu, mengabarkan apa yang telah terjadi. Sebagian di antara mereka menemui sebagian yang lain, seraya berkata, “Demi Allah, ada seseorang menemui dan menyampaikan kabar yang mengejutkan.”

 

Kabar itu menyebar di antara mereka, lalu mereka mengadukan masalah itu kepada raja. Orang-orang mendatanginya dan mengeluarKannya dari biara, hingga dia mau mengakui apa yang telah diperbuatnya. Akhirnya dia diperintahkan untuk disalib. Tatkala dia hendak disalib, syetan tampak di hadapannya, seraya berkata, “Akulah yang telah membujukmu dan membuatmu seperti ini. Apakah engkau mau tunduk Kepada perkataanku, agar aku dapat menyelamatkanmu?”

 

“Ya,” jawab rahib.

 

Syetan berkata, “Sujudlah kepadaku sekali saja!”

 

Maka rahib itu pun sujud kepada syetan, dan seketika itu pula dia dibunuh. [nilah maksud firman Allah,

 

“Seperti (bujukan) syetan ketika dia berkata kepada manusia,

 

‘Kafirlah kamu!’ maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata,

 

Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya

 

aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam’.” (Al-Hasyr: 16).

 

Washil, pembantu Abu Uyainah berkisah, “Saya menemui Muhammad bin Sirin, lalu dia bertanya kepadaku, “Apakah engkau sudah menikah?”

 

“Belum,” jawabku.

 

“Mengapa?”

 

“Karena saya tidak mempunyai apa-apa.”

 

Dia berkata, “Abdullah bin Muhammad bin Sirin menikah tatkala tatkala tidak mempunyai apa-apa, lalu Allah memberinya rezki.”

 

Dikisahkan bahwa ada seorang wanita dari Bani Israil, namanya, Maisunah. Dia bisa berbantah-bantahan dengan dua pendeta Bani Israj hingga akhirnya mereka berdua jatuh cinta kepadanya. Masing-masing dari dua pendeta itu menyembunyikan isi hatinya terhadap yang lain, Suatu kali mereka mendengar kabar bahwa wanita itu sedang berada disebuah kebun, sedang mandi. Keduanya mendatangi kebun itu dan memasukinya. Tatkala Maisunah melihat kedatangan dua pendeta itu dia masuk ke dalam air untuk menyembunyikan dirinya. Akhirnya dua pendeta itu berkata kepadanya, jika engkau tidak mau menuruti kami maka kami akan pergi dan memberikan kesaksian palsu atas dirimu.”

 

Karena Maisunah tetap menolak, maka keduanya benar-benar memberi kesaksian palsu. Tatkala hukuman hendak dilaksanakan, turun wahyu kepada Daniel tentang kedustaan dua pendeta itu. Hal ini terjaqj hanya karena cobaan cinta.

 

Syu’bah meriwayatkan dari Abdul-Malik bin Gmair, dia berkata, “Saya mendengar Mush’ab bin Sa’d berkata, ‘Sa’d mengajarkan doa inj kepada kami dan dia menyebutkannya dari Nabi Shallallahu Alaithi wa Sallam,

 

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari cobaan wanita dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.”

 

Al-Hasan bin Arafah berkata, “Abu Mu’awiyah yang buta memberitahu kami dari Laits, dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Tidaklah orang dahulu menjadi kufur melainkan karena wanita, begitu pula yang dialami orang yang datang kemudian.”

 

Sufyan bin Uyainah meriwayatkan dari Sulaiman At-Taimy, dari Abu Utsman An-Nahdy, dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Tidaklah saya meninggalkan atas umatku sesuatu yang lebih berbahaya bagi orang laki-laki selain dari wanita.”

 

Abu Ishaq meriwayatkan dari Hubairah bin Maryam, dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya yang paling kutakutkan atas umatku adalah khamr dan wanita.”

 

Ali bin Harb berkata, “Kami diberitahu Sufyan bin Uyainah, dari Ali bin Zaid, dari Sa’id bin Al-Musayyab, dia berkata, “Syetan sama sekali tidak pernah putus asa menggoda seseorang, termasuk pula lewat diri wanita.”

 

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma atau lainnya berkata, “Cobaan yang pertama kali ditimpakan kepada Bani Israil ialah gara-gara wanita.”

 

Menurut golongan ini, cukup sudah bukti-bukti yang seringkali didengar tentang mudharat cinta. Yang demikian ini pasti ada di setiap zaman. Inilah sebagian hujjah yang disodorkan golongan ini untuk mendukung pendapatnya. Selanjutnya kami akan menuntaskan pendapat dua golongan ini dalam satu bab tersendiri.

 

Dapat kami katakan, cinta itu tidak bisa dipuja secara mutlak dan tidak bisa dicela secara mutlak pula. Cinta bisa dipuja dan dicela menurut pertimbangan kaitannya. Sebab kehendak tergantung kepada apa yang dikehendaki, cinta tergantung kepada apa yang dicintai. Selagi apa yang dicintai termasuk sesuatu yang memang layak dicintai, atau sebagai sarana untuk menghantarkan kepada apa yang layak dicintai, maka cintanya yang berlebih-lebihan tidak akan dicela dan bahkan dipuji. Kebaikan keadaan orang yang mencintai juga tergantung kepada kekuatan cintanya.

 

Maka dari itu kebaikan hamba yang paling besar ialah jika dia mengalihkan semua kekuatan cintanya kepada Allah semata, sehingga dia mencintai Allah dengan segenap hati, ruh dan raganya. Dia menunggalkan kekasihnya dan menunggalkan cintanya. Masalah ini akan dibahas dalam bab tersendiri di bagian mendatang, yang pada dasarnya cinta itu tidak akan menjadi lurus kecuali dengan cara itu. Menunggalkan kekasih, artinya tidak membilang-bilang apa yang dicintainya; dan menunggalkan cinta, artinya tidak menyisakan cinta di dalam hati sehingge dia berani berkorban demi yang dicintainya. Cinta seperti inilah yang menjadi tujuan kebaikan manusia, puncak kenikmatan dan kesenangannya. Hatinya tidak merasa memiliki kenikmatan kecuali menjadikan Allah dan Rasul-Nya yang paling dia cintai daripada yang lain. Cintanya kepada selain Allah mengikuti cintanya kepada Allah. Dia tidak mencintai kecuali Karena Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits shahih,

 

“Tiga perkara, siapa yang tiga perkara itu ada padanya, maka dia mendapatkan manisnya iman, yaitu: Siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya. Sitapa yang mencintat seseorang, dia tidak mencintainya melainkan karena Allah. Siapa yang enggan kembali dalam kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia enggan untuk dilemparkan ke dalarn neraka.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy dan An-Nasa’y).

 

Beliau mengabarkan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan manisnya iman Kecuali jika Allah lebih dia cintai daripada cintanya kepada selain Allah. Cintanya kepada Rasul Allah termasuk cintanya kepada Allah. Cintanya kepada seseorang juga termasuk cintanya kepada Allah jika dimaksudkan Karena Allah. Jika karena selain Allah, maka akan mengurangi cintanya kepada Allah dan melemahkannya. Cintanya itu dianggap benar jika dia membenci apa yang paling dibenci Kekasihnya, yaitu kufur, yang diibaratkan kebenciannya jika dia dilemparkan ke dalam neraka. Tidak dapat diragukan, inilah cinta yang paling agung.

 

Seseorang sama sekali tidak bisa mendahulukan cintanya kepada diri sendiri dan kehidupannya. Jika dia mendahulukan cintanya kepada Allah daripada cintanya Kepada diri sendiri, sehingga jika dia disuruh memilih antara kufur dan dilemparkan ke Kobaran api, tentu dia akan memilih yang kedua (dilemparkan ke kobaran api). Tidak dapat diragukan bahwa Allah lebih dia cintai daripada cintanya kepada diri sendiri. Cinta seperti ini jauh lebih tinggi dari apa yang didapatkan orang-orang yang dimabuk cinta kepada orang yang dicintainya. Bahkan cinta seperti tidak akan ada bandingannya, karena ini merupakan cinta yang menuntut pelakunya untuk mendahulukan kekasihnya daripada cintanya kepada nyawanya, harta dan anak-anaknya, menuntut kesempurnaan Ketundukan, kepatuhan, pengagungan dan ketaatan, lahir maupun batin. Cinta seperti ini tidak ada bandingannya dalam cinta manusia, siapa pun dia. Oleh Karena itu siapa yang menyekutukan Allah dengan yang lain “dalam cinta yang khusus ini, maka dia adalah orang musyrik, yang syiriknya tidak akan diampuni Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan, di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintat Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165),

 

Yang benar dari makna ayat ini, bahwa orang-orang yang beriman lebih besar cintanya kepada Allah daripada cinta orang-orang yang mencintai tandingan-tandingan. Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa cinta orang-orang Mukmin kepada Rabb-nya tidak bisa disamai cinta manusia mana pun dan juga tidak bisa diserupai cinta mereka kepada selain Allah. Penderitaan karena mencintai selain Allah dianggap sebagai nikmat karena cintanya kepada Allah. Segala sesuatu yang tidak menggembirakan karena mencintai Allah dianggap sebagai kegembiraan karena cintanya Kepada Allah.

 

Barangsiapa menyerupakan cintanya kepada Allah dengan cinta manusia kepada manusia, seperti jalinan hubungan, Kemesraan, keretakan, kerenggangan, atau sifat-sifat lain yang tidak layak bagi Allah, maka dia adalah orang yang salah dan keji. Dia layak dijauhi dan dibenci. Seperti ini mencerminkan minimnya adab di hadapan kekasih. Allah melarang hamba-Nya membuat perumpamaan terhadap Allah dan Dia tidak bisa diqiyaskan dengan makhluk. Seseorang tidak melakukan bid’ah melainkan Karena dia membuat perumpamaan terhadap Allah. Para teolog yang biasa melakukan bid’ah membuat perumpamaan-perumpamaan yang batil dalam mensifati-Nya. Orang-orang yang biasa mengagungkan kehendak yang menyimpang membuat perumpamaan terhadap Allah dalam masalah kehendak dan permohonan. Kedua golongan ini berada dalam bid’ah dan kesalahan.

 

Jika cinta bergantung kepada apa yang dicintai Allah dan RasulNya, maka itu adalah cinta yang terpuji dan mendatangkan pahala. Coraknya bermacam-macam, di antaranya adalah mencintai Al-Qur’an, sehingga dia tidak perlu lagi mendengarkan suara lain selain bacaan AlQur’an. Hatinya jatuh cinta kepada makna-makna dan maksudnya. Seberapa jauh cinta seseorang kepada Allah sejauh itu pula cintanya kepada kalam-Nya. Siapa yang mencintai kekasih, tentu dia mencinta perkataan dan ucapannya, sebagaimana yang dikatakan dalam syair,

 

Jika Kau mengaku mencintaiku

mengapa Kau hindari Kitab-Ku?

Tidakkah kau mengangan-angankan

kandungannya yang penuh kenikmatan?

 

Suka mengingat Allah juga termasuk tanda cinta. Orang yang mencinta tidak pernah merasa kenyang mengingat kekasihnya. Bahkan sekalipun tidak melupakannya, dia masih membutuhkan orang yang mengingatkannya. Tanda cinta yang lain adalah Kedukaan mendengar sifat-sifat, perbuatan dan hukum-hukum-Nya. Semua jenis cinta ini merupakan cinta yang amat bermanfaat dan sekaligus merupakan kebahagiaan orang yang mencinta.

 

Begitu pula mencintai ilmu yang bermanfaat dan sifat-sifat kesempurnaan, seperti murah hati, dermawan, menjaga kehormatan, Keberanian, kesabaran dan akhlak yang mulia. Andaikata sifat-sifat ini dibentuk dalam sebuah rupa, maka ia akan menjadi rupa yang amat elok dan menawan. Andaikata ilmu itu merupakan sebuah rupa, maka ia lebih menawan daripada rupa matahari dan bulan. Tetapi, sifat-sifat ini hanya cocok untuk jiwa yang mulia dan suci, sebagaimana cinta kepada Allah, Rasul, agama dan kalam-Nya hanya cocok untuk ruh-ruh yang tinggi, berorientasi ke langit, bukan ruh yang berorientasi ke bumi dan hina. Jika engkau ingin mengukur bobot hamba dan timbangannya, maka lihatlah kepada kekasih dan siapa yang ditujunya. Ketahuilah bahwa cinta yang terpuji itu sama sekali tidak mendatangkan bencana.

 

Selanjutnya Kami akan membahas bagian lain dari cinta, yaitu cinta yang terpuji sekalipun harus berpisah dengan sang Kekasih, seperti seorang laki-laki yang mencintai istrinya, lalu harus berpisah karena kematian sang kekasih atau sebab lain: Sekalipun yang dicintai telah tiada, tetapi cinta itu tetap ada seperti sedia Kala. Ini termasuk cobaan cinta. Jika orangnya sabar dan hanya mengharapkan ridha Allah, maka dia akan mendapat pahala orang-orang yang sabar. Jika orangnya terguncang dan marah, maka dia akan kKehilangan orang yang dicintai dan sekaligus pahala. Jika dia ridha dan menerima apa adanya, maka derajatnya lebih tinggi dari derajat sabar. Lebih tinggi lagi derajatnya jika dia bisa menerima dengan diiringi rasa syukur, karena dia melihat hal itu sebagai pilihan yang dijatuhkan Allah Kepadanya. Allah tidak membuat suatu ketetapan (takdir) bagi orang Mukmin, melainkan memang itulah yang terbaik baginya. Jika dia menyadari bahwa ketetapan itu paling baik baginya, maka mengharuskannya untuk syukur kepada-Nya atas kebaikan yang ditetapkan baginya. Jika dia tidak menyadari bahwa itulah yang terbaik baginya, maka hendaklah dia menyerahkan urusan ini kepada pengabaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang dikuatkan dengan sumpah,

 

“Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, tidaklah Allah menetapkan suatu takdir bagi orang Mukmin, melainkan takdir itulah yang terbaik baginya. Jika mendapat kesenangan dia bersyukur dan jika ditimpa mudharat dia bersabar dan itu merupakan kebaikan baginya, dan yang demikian itu tidak terjadi kecuali bagi orang Mukmin.” (Diriwayatkan Muslim dan Ahmad).

 

Iman seorang hamba mendorongnya untuk merasa yakin bahwa takdir merupakan kebaikan baginya. Sehingga yang demikian ini mengharuskannya untuk mensyukuri takdir-Nya. 

 

Setelah Allah menyebutkan istri dan hamba perempuan yang dihalalkan bagi para hamba-Nya yang laki-laki serta apa saja yang diharamkan atas mereka, Dia berfirman,

 

“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepada kalian, dan menunjuki kalian kepada jalan-jalan orang yang sebelum kalian (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubat kalian. Dan, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan, Allah hendak menerima taubat kalian, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (An-Nisa’: 26-28).

 

Sebagaimana yang disebutkan Ats-Tsaury dari Ibnu Thawus, dari bapaknya, maksud “dan manusia dijadikan lemah”, adalah tidak sabar dalam menghadapi wanita. Jika memandang wanita, maka dia menjadi tidak sabar. Begitu pula menurut pendapat beberapa orang salaf.

 

Karena nafsu birahi dalam masalah ini lebih dominan, maka harus ada sesuatu yang mendorong untuk bertaubat. Bahkan Allah menyebutkan taubat ini sebanyak dua kali. Allah mengabarkan bahwa orang-orang yang menuruti nafsu birahi menginginkan agar manusia lebih banyak yang condong kepadanya. Lalu Allah mengabarkan bahwa Dia memberikan keringanan kepada kita karena kelemahan kita dalam masalah ini. Untuk itu Dia memperbolehkan kita menikahi wanita yang dirasa cocok, seorang hingga empat orang dan mengambil budak wanita menurut kehendak kita.

 

Dalam kaitannya dengan masalah ini manusia bisa dibagi menjadi tiga keadaan:

 

  1. Tidak tahu mana yang halal dan mana yang haram baginya.
  2. Meremehkan dan berlebih-lebihan.
  3. Lemah dan tidak sabar.

 

Allah menghadapi ketidaktahuan dengan keterangan dan petunjuk, menghadapi sikap meremehkan dan berlebih-lebihan dengan taubat, menghadapi kelemahan dan ketidaksabaran dengan keringanan.

 

Abdullah bin Ahmad berkata di dalam Kitabuz-Zuhd bagj bapaknya, kami diberitahu Abu Ma’mar, kami diberitahu Yusuf bin Athiyah, dari Tsabit, dari Abas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Kesenanganku dijadikan di dalam shalat dan aku dijadikan menyenangi wanita serta wewangian. Orang yang lapar bisa kenyang dan orang yang dahaga bisa minum sepuasnya. Sedangkan aku tidak kenyang karena mencintai shalat dan wanita.” (Diriwayatkan An-Nasa’y, Ahmad, Al-Hakim dan Ath-Thabrany).”

 

Di dalam Shahih Muslim, dari perkataan Urwah, dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dia berkata, “Rasulullah mendapat beberapa orang tawanan Bani Al-Musthaliq. Juwairiyah binti Al-Harits bin Abu Dhirar yang menjadi tawanan jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Asy-Syammas atau keponakannya. Lalu dia hendak membebaskan dirinya. Sementara itu Juwairiyah adalah wanita yang cantik dan lembut. Siapa pun yang memandangnya tentu ingin memilikinya. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminta bantuan pembebasannya.

 

Aisyah berkata, “Demi Allah, tatkala saya melihatnya berada di ambang pintu, maka langsung ada perasaan tidak suka kepadanya.

 

Saya tahu bahwa Rasulullah Shallallahu Alatht wa Sallam melihat ketidaksukaanku ini. Juwairiyah berkata, “Wahai Rasulullah, saya adalah Juwairiyah binti Al-Harits bin Abu Dhirar, pemimpin kaumnya. Saya telah mendapat bencana yang tentunya sudah engkau ketahui. Saya jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Asy-Syammas.” Dia meminta bantuan kepada beliau.

 

Beliau bertanya, “Apakah engkau mau menerima tawaran selain jtu?”

 

‘Apa itu?” tanya Juwairiyah.

 

Beliau menjawab, “Aku menebus pembebasanmu ataukah aku mengawinimu?”

 

“Baiklah wahai Rasulullah, saya setuju.”

 

Maka tersiarlah kabar di kalangan manusia bahwa Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sailam menikahi Juwairyah binti Al-Harits. Mereka berkata, “Dia adalah besan Rasulullah.” Lalu mereka membebaskan semua tawanan yang menjadi bagian masing-masing. Aisyah berkata, “Dengan pernikahan beliau dengan Juwairiyah ini, maka ada seratus keluarga Bani Al-Musthaliq yang masuk Islam. Saya tidak melihat seorang wanita yang lebih besar barakahnya bagi Kaumnya selain dari Juwairiyah.”

 

Dalam Ash-Shahihain dari perkataan Anas Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai di Khaibar. Tatkala Allah memberi Kemenangan dengan penakiukan benteng musuh, maka ada yang mengabarkan kepada beliau tentang Kecantikan Shafiyyah binti Huyai. Sementara sebelum itu suami Shafiyyah mati terbunuh selagi belum lama dia menjadi pengantin. Lalu beliau memilihnya untuk menjadi istri. Beliau pergi bersama Shafiyyah hingga tiba di AshShahba’ dan menetap di sana. Kemudian dibuatkan makanan dari adonan korma, keju dan minyak samin dan disajikan di atas nampannampan kecil. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Undanglah orang-orang di sekitarmu.” Itulah walimah beliau tatkala menikahi Shafiyyah. Kemudian kami pergi ke Madinah dan kulihat Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam menaikkan Shafiyyah ke atas sekedup, yang di belakang beliau ada beban bawaan. Kemudian beliau duduk di atas ontanya, meletakkan kaki Shafiyyah di atas lutut beliau.”

 

Abu Ubaidah menuturkan, bahwa Abdul-Malik bin Marwan sedang menunaikan haji. Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah, yang termasuk orang Quraisy yang terpandang dan juga disegani Abdul-Malik ikut serta bersamanya. Tatkala Khalid thawaf di sekitar Ka’bah, tiba-tiba pandangannya terpaut kepada Ramlah binti Az-Zubair bin Al-Awwam. Seketika itu dig pun jatuh cinta kepada wanita itu. Dia benar-benar sangat jatuh cinta dan tak mampu menguasai hatinya. Tatkala Abdul-Malik hendak pulang, maka Khalid tidak ingin pulang bersamanya. Abdul-Malik merasakan adanya keganjilan pada diri Khalid. Maka dia mengirim utusan untuk menanyakan hal itu kepadanya. Khalid mendatangi Abdul-Malik dan berkata, “Wahai Amirul-Mukminin, kulihat Ramlah binti Az-Zubair thawar di Kabah, yang membuat pikiranku menjadi kacau tak karuan. Demj Allah, karena saya tidak mengatakan apa yang bergejolak di dalam diriku, maka jadinya saya sulit menguasai kesabaranku. Kupaksa mataku untuk terpejam, tapi ia menolak. Kuhibur hatiku, tapi ia tetap tidak mau.”

 

Cukup lama Abdul-Malik terhenyak keheranan mendengar per. kataan Khalid ini. Lalu dia berkata, “Sebelum ini saya tidak berani berkata bahwa cinta bisa menawan orang semacam dirimu ini.”

 

Justru sayalah yang merasa heran terhadap dirimu karena kehe. rananmu terhadap diriku ini,” kata Khalid, “memang saya pernah beranggapan bahwa cinta itu hanya berasal dari dua golongan manusia: para penyair dan Araby. Para penyair biasa memusatkan pikiran kepada dirj wanita dan suka menggambarkan sifat-sifat wanita. Sehingga tidak heran jika kemudian mereka lebih menyenangi wanita dan tidak mampu menguasai hati untuk menolak kehadiran cinta terhadap wanita. Sedangkan orang-orang Araby suka bersanding dengan istrinya dan mencurahkan cinta hanya kepadanya, sehingga mereka selalu dikuasai rasa cinta dan hatinya dibelenggu cinta itu. Saya tidak pernah melontarkan pandangan mata, sehingga diriku dikuasai kehendak yang menggebu seperti ini, sementara saya juga takut melakukan dosa.”

 

Abdul-Malik tersenyum mendengarnya, lalu berkata, “Apakah semua itu benar-benar terjadi pada dirimu?”

 

Khalid menjawab, “Demi Allah, saya tidak pernah mengalami cobaan seberat ini sebelumnya.”

 

Abdul-Malik langsung menemui Az-Zubair, melamar putrinya, Ramlah untuk dinikahkan dengan Khalid.

 

Masalah ini disampaikan kepada Ramlah. Dia berkata, “Demi Allah, saya tidak mau atau jika dia mau, maka dia harus menceraikan istrinya.”

 

Maka Khalid menceraikan dua istrinya, lalu dia pindah ke Syam bersama Ramlah. Tentang kejadian ini dia merangkum syair,

 

Setiap malam kerinduan tiada mereda

setiap hari kuingin berdekatan dengannya

tiada sesaat pun ingatanku beralih darinya

setiap waktu aku harus menepis derita

kucinta keturunan Al-Awwam sepenuh cinta

karena dia kucintai pula saudara-saudaranya

gelang para wanita bergemerincing indah

tak semerdu gemerincing gelang Ramlah

 

Al-Abbas bin Hisyam Al-Kalby menuturkan, bahwa Abdul-Malik bin Marwan mengirim pasukan perang ke Yaman dan mereka menetap di sana hingga beberapa tahun lamanya. Suatu malam tatkala sedang berada di Damaskus, Abdul-Malik bin Marwan berkata, “Demi Allah, malam ini saya akan menelusuri kota Damaskus untuk mendengar apa komentar orang-orang tentang pasukan yang kukirim untuk berperang, yang terdiri dari kaum laki-laki, hingga harta mereka menjadi melimpah.”

 

Tatkala sedang berada di sebuah lorong, tiba-tiba Abdul-Malik bin Marwan mendengar suara wanita yang sedang mendirikan shalat. Dia mencuri dengar. Tatkala wanita itu beranjak ke tempat tidurnya, dia berkata, “Ya Allah yang telah menjalankan onta-onta yang cantik, menurunkan kitab-kitab dan menganugerahkan keinginan, aku memohon kepadaMu untuk mengembalikan suami yang saat ini tidak ada di sampingku, sehingga dia bisa menguak hasratku dan aku menjadi senang Karenanya. Aku memohon kKepada-Mu agar Engkau menetapkan Keputusan antara diriku dan Abdul-Malik bin Marwan yang telah memisahkan kami.” Lalu wanita itu bersenandung,

 

Malam ini terasa panjang dengan derai air mata

hatiku terasa kelu karena derita yang mendera

kutahan derita malam ini sambil menghitung bintang

cinta membuat hati terasa terpotong-potong

jika di sana ada bintang yang menghilang

mataku berpendar mencari bintang yang datang

andai tidak Kuingat jalinan di antara kami

kan kudapatkan hati ini memberontak tiada terkendali

setiap kekasih tentu mengingat kekasihnya

pertemuan setiap hari yang diharapkannya

Ya Allah, ringankanlah kerinduan yang mendera

doa dipanjatkan dan Engkau mendengarnya

kupanjatkan sepotong doa setiap waktu

karena keinginan yang menyembul di dalam diriku

 

Abdul-Malik bertanya kepada pengawalnya, “Tahukah kamu, rumah siapakah ini?” “Ya, saya tahu. Ini adalah rumah Yazid bin Sinan.”

 

“Siapakah wanita yang berada di dalamnya?”

 

“Istrinya.”

 

Esok paginya, Abdul-Malik bertanya lagi, “Berapa lama seorang wanita bisa bersabar karena berpisah dengan suaminya?”

 

Orang-orang menjawab, “Enam bulan.”

 

Jarir bin Hazim berkata dari Ya’la bin Hakim, dari Sa’id bin Jubair, dia berkata, Jika sudah tiba petang hari Gmar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu biasa berkeliling Madinah. Jika melihat sesuatu yang Narus diingkari, maka dia mengingkarinya. Suatu malam tatkala sedang meronda, dia melewati seorang wanita di dalam rumahnya, yang berkata,

 

Malam ini terasa panjang dan gelap gulita

hatiku pilu karena tiada kKekasih mendampingi

andaikan bukan Karena Allah yang tiada Rabb selain-Nya

tentu masih ada kehidupan di atas ranjang ini

aku takut kepada-Nya dan ada rasa malu menghantui

kan kujaga kehormatan suami semoga dia cepat kembali

 

Setelah itu wanita tersebut menghela napas dalam-dalam, seraya berkata, “Mestinya apa yang Kualami pada malam ini merupakan masalah yang amat remeh bagi Umar bin Al-Khaththab.”

 

Cimar mengetuk pintu rumah wanita tersebut. “Siapa yang mengetuk pintu rumah wanita yang ditinggal pergi suaminya malam-malam seperti ini?” wanita itu bertanya.

 

“Bukakan pintu!” kata Umar. Namun wanita itu menolak.

 

“Demi Allah, andaikata Amirul-Mukminin mengetahui tindakanmu ini, tentu dia akan menghukummu,” kata wanita itu setelah berkali-kali Umar meminta untuk dibukakan pintu.

 

Setelah tahu kehormatan yang dijaga wanita itu, Gmar berkata, “Aku adalah Amirul-Mukminin.”

 

“Engkau pembohong. Engkau bukanlah Amirul-Mukminin.”

 

Cimar mengeraskan dan memperjelas suaranya, sehingga akhirnya wanita itu tahu bahwa memang dia adalah Umar. Maka dia membukakan pintu baginya.

 

“He, apa saja yang telah engkau katakan tadi?” tanya Umar.

 

Wanita itu mengulang lagi apa yang dia katakan. “Mana suamimu?” tanya Umar.

 

“Ikut bergabung dalam pasukan perang ini dan itu,” jawabnya.

 

Selanjutnya Umar mengutus seorang kurir agar Fulan bin Fulan (suami wanita itu) pulang dari medan perang. Setelah benar-benar kembali, Umar berkata kepadanya, “Temuilah istrimu!”

 

Kemudian Gmar menemui Hafshah, putrinya dan bertanya, “Wahai putriku, berapa lamakah seorang wanita tahan berpisah dengan suaminya?”

 

“Bisa sebulan, dua bulan atau tiga bulan. Setelah empat bulan dia tidak mampu lagi bersabar,” jawab Hafshah.

 

Maka selanjutnya jangka waktu itu menjadi ukuran lamanya pengiriman pasukan ke medan perang. Hal ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan Allah dalam masalah ila’,? yaitu selama empat bulan. Allah mengetahui bahwa kesabaran wanita bisa menipis setelah empat bulan dan tidak mampu lagi bersabar setelah jangka waktu itu. Maka jangka waktu empat bulan itulah yang ditetapkan bagi laki-laki yang meng-ila’. Setelah masa itu dia bisa menyuruh istrinya untuk memilih tetap mempertahankan perkawinan ataukah cerai. Setelah empat bulan, tentu kesabarannya menjadi melemah, sebagaimana yang dikatakan penyair,

 

Tatkala kuseru tangis dan kesabaran setelah di antara kita ada perpisahan dengan patuh tangis memberi jawaban dan tiada jawaban dari kesabaran

 

Allah telah menciptakan obat penawar bagi setiap penyakit dan memudahkan cara untuk mendapatkan obat itu, baik dari sisi syariat maupun kemampuan. Barangsiapa ingin berobat dengan apa-apa yang telah disyariatkan Allah, meminta tolong kepada-Nya dengan mengerahkan kemampuan dan menghampiri urusan dari pintu yang semestinya, tentu dia akan memperoleh kesembuhan. Barangsiapa mencari obat dengan apa-apa yang dilarang syariat sekalipun sanggup dilakukan, berarti dia melakukan kesalahan dalam proses pengobatannya. Dia seperti orang yang hendak mengobati suatu penyakit dengan penyakit yang justru lebih berbahaya.

 

Di bagian terdahulu sudah disebutkan perkataan Thawus dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah oleh) orang-orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan.”

 

Para ilmuwan dan dokter serta kalangan lainnya telah sepakat bahwa kesembuhan sakit cinta adalah menyatunya dua ruh dan badan yang saling berdekatan.

 

Muslim telah meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari hadits AbuzZubair, dari Jabir Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melihat seorang wanita, lalu beliau menemui Zainab dan melampiaskan dorongan seksual kepadanya, lalu beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam bentuk syetan dan membelakangi dalam bentuk syetan pula. Jika salah seorang di antara kalian melihat seorang Wwanita lalu tertarik kepadanya, maka hendaklah dia mendatangi istrinya, karena yang demikian itu bisa menolak apa yang sedang bergejolak di dalarn dirinya.”

 

Isma’il bin Ayyasy menyebutkan dari Syurahbil bin Muslim, dari Abu Muslim Al-Khaulany, bahwa dia berkata, “Wahai penduduk Khaulan, nikahkanlah pemuda dan pemudi kalian, karena birahi yang berkobar itu adalah masalah yang gawat. Maka buatlah persiapan untuk urusan itu dan kKetahuilah bahwa tidak ada penolakan bagi siapa yang meminta izin untuk menikah.”

 

Al-Atby menyebutkan bahwa ada dua orang laki-laki yang mendatangi sebuah pohon yang besar dan rindang. Salah seorang di antara keduanya menulis syair dan ditempelkan di pohon itu, yang isinya,

 

Beritahukan padaku hujan yang turun

kebenaran pasti akan membawa kesembuhan

 

Orang kedua juga melakukan hal yang sama dengan sebuah syairnya,

 

Adakah pecinta akan menemui kematian Karena cinta

dan sembuh karena bertemu kekasih yang tercinta?

 

Pada kesempatan lain tatkala keduanya kembali lagi ke bawah pohon itu, mereka menemukan jawaban,

 

Tak ada gunanya kau tanya pohon ini

karena isi hatimu tak selamanya tersembunyi

tiada kenikmatan yang dirasakan orang yang jatuh cinta

selain kenikmatan bertemu dengan kekasih yang dicinta

 

Abdullah bin Shalih berkata, Jika Laits bin Sa’d ingin berkumpul dengan istrinya, maka dia berada di salah satu kamar di dalam rumahnya dan meminta sebuah pakaian yang biasa disebut al-harakan. Dia pun mengenakan pakaian itu, sehingga dengan begitu dia ingin berkumpul. Tatkala hendak berkumpul dengan istrinya, dia berkata, “Ya Allah, kuatkanlah keasliannya padaku, tinggikanlah dadanya, mudahkanlah tempat masuk dan tempat keluarnya, anugerahkanlah kenikmatannya, berikaniah kepadaku keturunannya yang shalih agar berjuang di jalanMu.” Dia baca doanya itu dengan suara nyaring, sehingga bisa didengar, oleh Abdullah.

 

Al-Khara‘ithy berkata, “Ammarmah bin Watsimah memberitahy kami, bapakku memberitahuku, dia berkata, “Abdullah bin Rabi’ah adalah orang yang terkenal di kalangan orang-orang Quraisy sebagai orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Penisnya tidak bisa ereksi. Sementara orang-orang Quraisy tidak pernah ada yang member; kesaksian tentang kebaikan atau keburukannya dalam masalah ini. Dia pernah menikahi seorang wanita. Tapi hanya beberapa berselang, istrinya lari darinya dan kembali ke keluarganya lagi. Begitu seterusnya. Laly Zainab binti Umar bin Salamah berkata, “Mengapa para wanita itu larj dari anak pamannya?”

 

Ada yang menjawab, “Karena wanita-wanita yang pernah menjadi istrinya tidak mampu membuatnya mampu melaksanakan tugas sebagai suami.”

 

“Tak ada yang menghalangiku untuk membuatnya bangkit. Demi Allah, saya adalah wanita yang berperawakan besar dan bergairah.” Maka akhirnya Zainab menikah dengannya, selalu sabar meladeninya dan akhirnya mereka dikarunia enam anak.

 

Rasyid bin Sa’id menuturkan dari Zahrah bin Ma’bad, dari Muhammad bin Al-Munkadir, bahwa dia biasa berdoa seusai shalat, “Ya Allah, buatlah dzakarku perkasa, karena yang demikian akan membawa kebaikan bagi keluargaku.”

 

Hamad bin Zaid menuturkan dari Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin, dia berkata, “Anas bin Malim mempunyai pembantu yang sudah tua. Suatu hari istrinya mengadu kepada Anas, seraya berkata, ‘Saya tidak sanggup meladeninya’. Lalu Anas menyuruh pembantunya untuk mengumpulinya sebanyak enam kali sehari semalam.”

 

Ali bin Ashim berkata, kami diberitahu Khalid Al-Hadza’, dia berkata, “Tatkala Allah menciptakan Adam dan menciptakan Hawa’, Allah berfirman kepada Adam, “Wahai Adam, datangilah istrimu!’ Hawa’ berkata, Alangkah nikmatnya ini. Lakukanlah sekali lagi!’”

 

Di dalam Ash-Shahih disebutkan bahwa Sulaiman bin Daud bisa menggilir sembilan puluh istrinya dalam semalam. Di dalam AshShahihain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menggilir istri-istrinya dalam semalam. Padahal mereka ada sembilan istri. Boleh jadi beliau mandi hanya sekali saja tatkala menggilir itu, atau sekali mandi setiap kali menggilir seorang istrinya saat itu.

 

Al-Marrudzy berkata, Abu Abdullah (Ahmad bin Hanbal) berkata, “Hidup membujang itu sama sekali tidak termasuk dalam ajaran Islam.” Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam menikahi empat belas wanita. Beliau meninggal dunia dengan sembilan istrinya. Andaikata Bisyr bin Al-Harits mau menikah, tentu urusannya menjadi beres. Andaikata manusia tidak mau menikah, tentu tak kan ada peperangan, haji dan kewajiban-kewajiban lain. Suatu hari beliau pernah tidak mempunyai apa-apa, begitu pula istri-istrinya. Beliau memilih nikah dan menganjurkannya serta melarang hidup membujang dan menyendiri supaya bisa tekun beribadah kepada Allah. Barangsiapa tidak menyukai Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, berarti dia tidak berada di atas kebenaran. Tatkala Ya’qub ditimpa musibah dan penyakit, beliau juga tetap dalam keadaan menikah dan anaknya lahir. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku dijadikan paling menyenangi wanita’.”

 

Para fuqaha’ berbeda pendapat, apakah suami harus mengumpuli istrinya? Ada golongan yang mewajibkannya. Karena itu merupakan haknya, maka dia bisa melaksanakannya jika ingin memenuhi haknya dan jika menghendaki dia bisa meninggalkannya. Hal ini seperti orang yang menyewa rumah. Jika mau dia bisa menempatinya dan jika menghendaki dia bisa membiarkannya.

 

Ini merupakan pendapat yang paling lemah. Al-Qur’an, Sunnah, tradisi kehidupan dan giyas menolak pendapat seperti itu. Di dalam AlQur’an Allah telah berfirman,

 

“Dan, para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Bagarah: 228).

 

Allah memberitahu bahwa wanita mempunyai hak yang seimbang. Jika jima’ merupakan hak suami atas istri, berarti jima’ itu juga merupakan hak yang harus dipenuhi suami berdasarkan nash Al-Qur’an. Di samping itu, Allah juga memerintahkan para suami agar mempergauli istri dengan cara yang maruf. Kebalikan dari cara yang ma’ruf ialah seseorang Mempunyai istri yang masih muda, dorongan seks istrinya sama dengan dorongan seksnya atau bahkan lebih besar lagi sekian kali lipat, sehingga suami belum bisa memberinya kepuasan hanya dengan sekali jima’. Barangsiapa beranggapan bahwa hal ini merupakan cara yang ma’ruf, maka secara langsung tabiatnya akan menolaknya. Kalau pun permasalahannya berlanjut hingga menjadi genting, maka Allah telah memberi alternatif, dengan berfirman,

 

“Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah: 229).

 

Golongan lain berpendapat, suami wajib mengumpulinya walay hanya sekali selama hidup, agar istri bisa mengimbangi maskawin yang telah diterimanya. Pendapat ini sejenis dengan pendapat pertama, dan jelas merupakan pendapat yang batil. Yang benar adalah memper. gaulinya dengan cara yang ma’ruf. Sedangkan masalah maskawin ter. masuk dalam urusan akad, sebagai pengagungan terhadap kesucian pernikahan dan untuk membedakan antara pernikahan dan “Kumpul kebo” tanpa ikatan pernikahan. Kewajiban di balik maksud pernikahan lebih kuat daripada kewajiban di balik kewajiban adanya maskawin.

 

Golongan ketiga berpendapat, suami harus mengumpulinya sekali dalam empat bulan. Mereka berhujjah bahwa Allah memperbolehkan suami yang meng-ila’ istrinya untuk menjauhinya selama empat bulan, lalu memberinya pilihan setelah itu; jika menghendaki dia bisa tetap hidup bersama suami dan jika menghendaki dia bisa bercerai dengannya. Andaikata istri mempunyai hak jima’ yang lebih banyak lagi, suami bisa memenuhinya.

 

Pendapat ini juga mirip dengan dua pendapat sebelumnya, dan tidak bisa dibenarkan dan tidak dianggap ma’ruf jika disesuaikan dengan haknya dan hak atas dirinya. Masa ila’ yang dijadikan empat bulan, merupakan pertimbangan khusus bagi suami. Karena kadang-kadang suami tidak bisa mengumpuli istri selama masa tertentu karena sebabsebab tertentu, seperti karena bepergian, untuk mendidik, menenangkan diri atau karena tugas khusus. Maka Allah membuat jangka waktu selama empat bulan. Jima’ tidak bisa dilakukan secara insidental sekali dalam empat bulan dengan membandingkan masa ila’ itu.

 

Golongan lain berpendapat, suami harus mengumpulinya dengan cara yang maruf, sebagaimana dia telah memberinya nafkah, pakaian dan mempergaulinya dengan cara yang ma’ruf pula. Bahkan ini merupakan sendi dan maksud pergaulannya. Allah telah memerintahkan agar suami mempergaulinya dengan cara yang ma’ruf. Jima’ termasuk dalam pergaulan itu dan merupakan keharusan. Menurut golongan ini, suami harus meladeni kebutuhan seks istri hingga dia merasa puas, jika memang dia sanggup melakukannya. Syaikh kami (Ibnu Taimiyah) menegaskan dan memilih pendapat ini.

 

Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam menganjurkan penggunaan obat ini, memerintahkannya, mengaitkannya dengan pahala dan menjadikannya sebagai shadaqah bagi pelakunya. Maka beliau bersabda,

 

“Dalam persetubuhan salah seorang di antara kalian ada shadaqah.”

 

Dalam persetubuhan atau jima’ terdapat puncak kenikmatan, puncak kasih sayang terhadap kekasih tercinta, pahala, shadaqah, kesenangan jiwa, hilangnya pikiran-pikiran yang kotor, hilangnya ketegangan, badan terasa ringan dan bertambah sehat dan bisa melampiaskan cumbuan. Jika persetubuhan itu sengaja dilakukan untuk suatu kebaikan, melampiaskan kasih sayang, kerinduan, kesenangan dan mengharapkan

 

pahala, maka itulah kenikmatan yang tidak bisa ditandingi kenikmatan macam apa pun. Terlebih lagi jika persetubuhan itu dilakukan hingga mencapai puncak orgasme. Puncak kenikmatan ini tidak akan terwujud kecuali jika setiap bagian tubuh mendapat sentuhan kenikmatan. Mata memperoleh kenikmatan dengan memandang kekasih, telinga mendengar perkataannya, hidung mencium aromanya, mulut mengecupnya dan tangan mengelusnya. Setiap anggota badan mendapat bagian kenikmatan yang dituntutnya. Jika ada satu anggota badan tidak mendapatkan bagiannya, maka jiwa terus akan menuntutnya dan tidak merasa tenang kecuali setelah mendapatkannya. Maka dari itu wanita juga disebut sakan (ketenteraman), karena jiwa merasa tenteram jika bersanding dengannya. Allah berfirman,

 

“Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian merasa cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (ArRum: 21).

 

Maka dari itu Allah melebihkan jima’ pada siang hari daripada jima’ pada malam hari, karena alasan yang sifatnya naluri, yaitu karena biasanya indra menjadi pasif pada malam hari dan menuntut untuk diistirahatkan. Sedangkan siang hari merupakan saat untuk lebih banyak bergerak dan beraktivitas. Allah berfirman,

 

“‘Dialah yang menjadikan untuk kalian malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.” (Al-Furgan: 47).

 

“‘Dialah yang menjadikan malam bagi kalian supaya kalian beristirahat padanya.” (Yunus: 67).

 

Nikmat ini semakin bertambah komplit karena orang yang bercinta merasa senang dengan keridhaan Allah terhadap dirinya, karena dia meniatkan kenikmatan itu untuk mendapatkan pahala di sisi-Nya dan menjadikan timbangan kebaikan bertambah berat. Maka dari itu sesuatu yang paling disenangi syetan adalah memisahkan seseorang dengan istri yang dicintainya, agar masing-masing mencari pelampiasan yang diharamkan, sebagaimana yang disebutkan dalam Sunnah Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.” (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah dan Al-Hakim).

 

Dalam Shahih Muslim, dari hadits Jabir Radhiyallahu Anhu, darj Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Iblis membuat singgasananya di permukaan air. Kemudian dia mengirim pasukan-pasukannya. Kedudukan mereka yang paling rendah ialah yang paling besar menciptakan cobaan. Salah satu di antara mereka datang melapor, Aku telah berbuat begini dan begitu’. Iblis menjawab, ‘Engkau belum berbuat apa-apa’. Kemudian yang lain lagi datang lalu melapor, Aku tidak meninggalkan manusia sehingga aku berhasil memisahkannya dengan istrinya’. Iblis menyuruhnya mendekat dan merangkulnya seraya berkata, ‘Engkaulah yang paling hebat, engkaulah yang paling hebat’.

 

Karena persetubuhan ini merupakan sesuatu yang paling disenangi Allah dan Rasul-Nya, maka itu merupakan sesuatu yang paling dibenci musuh Allah, yaitu syetan. Dia berusaha memisahkan dua orang yang saling mencinta karena Allah dengan suatu cinta yang disenangi Allah. Syetan mempertemukan dua orang dalam cinta yang dibenci Allah dan dimurkai-Nya. Sementara itu, kebanyakan orang yang dimabuk cinta termasuk pasukan dan bala tentara syetan. Keadaan mereka semakin lama semakin menjadi-jadi, hingga mereka benar-benar menjadi pasukannya yang mudah diarahkan dan dibujuk dengan berbagai macam kekejian, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Aku heran terhadap Iblis dan bujukannya

keburukan yang tampak dalam tindakannya

Adam pun luruh dan tunduk kepadanya

keturunannya tidak luput dari bujukannya

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menganjurkan para remaja yang memiliki dorongan seks lebih kuat, agar segera mengambil obat yang paling mujarab. Di dalam Ash-Shahihain, dari hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu kawin, maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan.”

 

Dalam lafazh lain disebutkan Abu Ubaid, kami diberitahu Abu Mu’awiyah, dari Al-Amasy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Hendaklah kalian kawin.”

 

Dua lafazh hadits ada perbedaannya. Yang pertama mengandung perintah mengakhiri hidup membujang dengan cara menikah. Sedangkan lafazh hadits kedua mengandung perintah bagi orang yang menikah untuk kawin. Ba’ah merupakan sebutan lain dari jima’ atau persetubuhan.

 

Ba’ah dalam hadits pertama ditafsiri dengan persetubuhan dan juga bisa ditafsiri dengan beban pernikahan. Penafsiran pertama tidak dinafikan. Sebab maknanya juga bisa termasuk beban pernikahan. Setelah itu beliau bersabda,

 

“Dan, barangsiapa tidak sanggup menikah, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu memiliki penawar.”

 

Beliau menunjukkan obat yang mujarab untuk masalah ini. Jika tidak sanggup, beliau mengalihkannya kepada penggantinya, yaitu puasa.

 

Karena puasa itu bisa membuyarkan birahi dan mengendalikan perjalanan birahi. Sebab birahi bertambah menggelora karena banyak makan dan jenis makanan yang dimakan. Berapa banyak porsi makanan dan apa jenisnya bisa menambah dorongan birahi.. Sementara itu, puasa bisa mempersempit ruang gerak birahi, sehingga dia bisa bersabar, Orang yang rajin berpuasa, tentu birahinya menjadi padam atau setidak. tidaknya akan melemah. Puasa yang disyariatkan bisa menyeimbangkan dorongan seks. Keseimbangannya merupakan sebuah kebaikan dari dua keburukan dan jalan tengah dari dua sisi jalan yang tercela, yaitu mematikan birahi secara total dan melampiaskan birahi secara berlebih-lebihan, Keduanya keluar dari keseimbangan dan dua sisi jalan yang tercela, Sebaik-baik jalan adalah pertengahannya. Semua jenis akhlak yang mulia pasti merupakan pertengahan antara dua sisi jalan, yaitu meremehkan dan berlebih-lebihan. Begitu pula agama yang lurus yang berada di pertengahan dua sisi jalan yang menyimpang. Begitu pula Sunnah yang berada di antara dua jenis bid’ah. Begitu pula kebenaran di antara masalah-masalah yang diperselisihkan.

 

Ketahilah bahwa keindahan itu ada dua macam: keindahan batin dan keindahan lahir. Keindahan batin adalah dzat yang dicintai, seperti keindahan ilmu, akal, kemurahan hati, keberanian, ksatria dan lainlainnya. Keindahan batin ini merupakan titik pandang Allah yang ada pada diri hamba-Nya dan tempat yang dicintai-Nya, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits shahih,

 

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Keindahan batin ini menghiasi rupa lahir sekalipun tidak indah. Orang yang memiliki keindahan batin ini mengenakan pakaian keindahan, kemuliaan dan karisma, tergantung seberapa jauh sifat-sifat itu tertanam di dalam ruh. Orang Mukmin diberi kemuliaan dan karisma menurut imannya. Siapa yang melihatnya, tentu akan merasa enggan kepadanya dan siapa yang bergaul dengannya tentu akan mencintainya. Yang seperti ini sudah sering didapati. Barangkali engkau pernah melihat orang yang sudah tua renta dan memiliki sifat-sifat yang terpuji. Namun dia terlihat orang yang paling bagus rupanya, sekalipun kulitnya hitam dan tidak elok. Terlebih lagi jika dia rajin mendirikan shalat malam, maka wajahnya akan tampak bersinar dan cemerlang.

 

Sebagian wanita ada yang banyak mendirikan shalat malam. Ketika hal itu ditanyakan kepadanya, maka dia menjawab, “Sesungguhnya shalat malam itu bisa membuat wajah menjadi elok, dan saya suka jika wajahku menjadi elok.”

 

Di antara bukti tentang keindahan batin yang lebih elok daripada keindahan lahir, bahwa hati manusia tidak bisa dipisahkan dari sesuaty yang sudah terlanjur dicintai dan disenanginya.

 

Keindahan Lahir

 

Keindahan lahir adalah hiasan yang secara khusus diberikan Allah kepada sebagian rupa, dan sebagian lain tidak diberi-Nya. Hal ini termasuk tambahan dalam penciptaan, sebagaimana firman-Nya,

 

‘Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendakiNya.” (Fathir: 1).

 

Menurut para ulama, maksudnya adalah suara yang merdu dan rupa yang. elok. Hati manusia tercetak dengan nama seseorang yang dicintainya, sebagaimana dia difitrahkan untuk mencari mana yang lebih baik baginya.

 

Telah disebutkan di dalam hadits shahih, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekalipun hanya seberat biji sawi.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, seseorang suka agar terompahnya bagus dan bajunya bagus. Apakah yang demikian itu termasuk kesombongan?” Beliau menjawab, “Tidak. Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sedangkan kesombongan itu adalah penolakan terhadap kebenaran dan pamer terhadap rnanusia.”

(Diriwayatkan Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzy).

 

Mengenakan terompah atau pakaian yang bagus tidak apa-apa, selagi hal itu diniatkan karena Allah. Tandanya, dia harus menganggap dirinya hina dan kecil. Tapi jika dia menghina orang lain dan menganggap dirinya hebat, maka dialah orang yang tidak akan masuk surga.

 

Keindahan Batin

 

Keindahan batin merupakan nikmat Allah paling besar yang dianugerahkan kepada hamba-Nya. Keindahan lahir juga merupakan nikmat Allah yang dianugerahkan kepada hamba-Nya, yang berarti harus disyukuri. Caranya ialah dengan bertakwa kepada-Nya. Menjaga keindahan ini akan menambah keindahan yang ada semakin bertambah indah. Jika Keindahan ini digunakan untuk mendurhakai-Nya, maka apa yang tampak di dunia akan diubah, selagi masih di dunia. Sehingga yang tadinya tampak indah berubah menjadi buruk dan menjijikkan, orang lain akan lari darinya. Siapa pun yang tidak bertakwa kepada Allah berkaitan dengan keindahan dan keelokannya, maka Keindahan itu akan berubah menjadi keburukan dan sesuatu yang menjijikkan di hadapan manusia. Keindahan batin bisa menghapus Kekurangan lahir dan menutupinya. Sedangkan keburukan batin menghapus keindahan lahir dan menutupinya.

 

Hindari kKekejian wahai yang berwajah tampan

jangan ubah keindahan dengan keburukan

berbuat baiklah wahai yang tak berwajah tampan

tidak akan menyatu dua jenis keburukan

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajak manusia menghiasi keindahan batin dengan keindahan lahir, sebagaimana yang dikatakan Jarir bin Abdullah, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam pernah bersabda kepadaku,

 

“Engkau adalah seseorang yang Allah telah membaguskan ciptaanmu, maka baguskanlah akhlakmu.” (Diriwayatkan Ad-Dailamy).

 

Ada sebagian ahli hikmah berkata, “Setiap hari manusia harus melihat ke cermin. Jika dia melihat rupanya yang bagus, maka janganlah menodainya dengan perbuatan yang buruk. Jika dia melihat rupanya yang buruk, maka janganlah dia menghimpun keburukan rupa dengan perbuatan yang buruk.”

 

Karena keindahan merupakan sesuatu yang disukai jiwa dan diidam-idamkan hati, maka Allah tidak mengutus seorang nabi pun ke. cuali rupanya elok dan wajahnya tampan, terpandang dan merdu sua. ranya. Begitulah yang dikatakan Ali bin Abu Thalib.

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah ciptaan Allah yang paling elok dan paling tampan, sebagaimana yang dikatakan Al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu Anhu. Dia pernah ditanya, “Apakah wajah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam laksana pedang?” Dia menjawab, “Tidak, tetapi seperti rembulan.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

 

Tentang sifat beliau yang lain, maka seakan-akan matahari berjalan di wajah beliau. Seseorang yang mensifati beliau berkata, “Saya tidak pernah melihat seseorang seperti beliau, sebelum maupun sesudahnya.”

 

Rabi’ah Al-Jurasyi berkata, “Keindahan itu dibagi menjadi dua paroh: Keindahan Sarah dan Yusuf merupakan satu paroh, sedangkan satu paroh lainnya dibagi di antara semua manusia. Di dalam Ash- Shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa pada malam Isra’ dan Mi’raj beliau melihat Yusuf yang dikarunia separoh keindahan. Beliau juga senang jika utusan yang menghadap beliau adalah orang yang berwajah tampan dan namanya indah. Dalam hal ini beliau bersabda,

 

“Jika kalian mengutus seorang utusan kepadaku, maka hendaklah utusan itu tampan wajahnya dan indah namanya.” (Diriwayatkan Al-Bazzar).

 

Al-Khara‘ithy meriwayatkan dari hadits Ibnu Juraij, dari [bnu Abi Mulaikah, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia memarfu’kannya,

 

“Barangsiapa yang dianugerahi wajah yang tampan, nama yang indah, akhlak yang bagus dan dia meletakkannya di tempat yang tidak tercela baginya, maka dia termasuk orang-orang pilihan Allah dari makhluk-Nya.”

 

Disebutkan dari Aisyah Radhtyallahu Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sedang ditunggu beberapa orang dari para shahabat di ambang pintu. Beliau becermin di atas permukaan air, menata rambut dan jenggotnya, kKemudian baru menemui mereka. Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, jadi engkau perlu berbuat seperti itu?”

 

Beliau menjawab, “Benar. Jika seseorang hendak menemui saudara, maka hendaklah dia menata penampilannya terlebih dahulu. Sebab Allah itu indah dan menyukai keindahan.”

 

Yahya bin Abu Katsir berkata, “Ada seorang laki-laki yang menghadap Mu’awiyah, sedang di matanya masih ada kotoran mata yang belum dibersihkannya. Mu’awiyah langsung menurunkan bungkusan hadiah yang akan diberikannya, lalu berkata, “Apa yang menghalangi salah seorang di antara Kalian untuk memperhatikan raut mukanya tatkala dia keluar dari rumahnya?”

 

Aisyah binti Thalhah adalah wanita yang paling cantik pada masanya. Anas bin Malik berkata, “Demi Allah, tidak ada orang yang lebih elok darimu selain Mu’awiyah yang sedang berada di mimbar Rasulullah.”

 

Aisyah binti Thalhah menimpali, “Demi Allah, akulah orang yang lebih elok daripada api di mata yang dingin pada malam yang dingin.”

 

Suatu hari Anas menemui Aisyah binti Thalhah Karena ada suatu keperluan, seraya berkata, “Sesungguhnya banyak orang yang ingin menemuimu untuk memandang wajahmu yang elok.”

 

Aisyah menjawab, “Bukankah ucapan seperti itu pernah engkau katakan padaku?”

 

Mush’ab bin Az-Zubair termasuk orang yang tampan. Dia biasa mendengki orang lain yang juga tampan seperti dia. Suatu hari tatkala dia sedang berpidato, tiba-tiba datang Ibnu Jaudan, orang yang juga tampan. Seketika itu Mush’ab memalingkan wajahnya ke arah lain. Lalu Ibnu Humran, orang yang juga tampan masuk dari arah lain. Maka Mush’ab mengarahkan pandangannya ke bagian belakang dari masjid. Namun tak lama kemudian Al-Hasan Al-Bashry, orang yang juga tampan masuk ke tempat itu. Akhirnya Mush’ab turun dari mimbar.

 

Pada saat Id para wanita keluar dan mereka memandangi orangorang yang lewat. Ada yang bertanya kepada mereka, “Siapakah lakilaki paling tampan yang sudah lewat?”

 

Mereka menjawab, “Seorang laki-laki berumur yang mengenakan sorban kepala bewarna hitam.” Yang tak lain adalah Al-Hasan Al-Bashry.

 

Mush’ab bin Az-Zubair pernah menangkap seseorang yang termasuk orang-orang pilihannya, lalu memerintahkan agar dia dihukum mati. Orang itu berkata, “Wahai Amir, alangkah buruknya rupaku pada Hari Kiamat jika dibandingkan dengan wajah Anda yang tampan dan bersinar ini, yang kujadikan tempat bergayut, sambil kukatakan, “Ya Rabbi, tanyakanlah kepada Mush’ab mengapa dia membunuhku?’”

 

Mush’ab berkata, “Bebaskan orang ini!”

 

Orang itu berkata, “Wahai Amir, setelah kebebasan ini berilah aku hadiah untuk menjamin kehidupanku!”

 

Mush’ab berkata, “Beri dia seratus ribu dirham!”

 

Orang itu berkata, “Saya bersaksi kepada Allah, bahwa Abdurrahman bin Qais mempunyai jampi-jampi yang bisa kami pergunakan.”

 

“Apa itu?” tanya Mush’ab.

 

Orang itu berkata, “Sesungguhnya Mush’ab adalah percikan bara dari Allah, yang tampak bersinar di wajahnya yang gelap.”

 

Mush’ab tersenyum mendengarnya dan berkata, “Engkau memang sangat pantas berbuat seperti itu.”

 

Az-Zubair bin Bakkar berkata, “Kami diberitahu Mush’ab Az-Zubairy, Kami diberitahu Abdurrahman bin Abul-Hasan, dia berkata, Abu Hazim pergi untuk melempar jumrah bersama beberapa orang ahli ibadah. Dia berbincang-bincang dan bercerita kepada mereka. Tatkala dia berjalan yang diiringi para ahli ibadah itu, tiba-tiba ada seorang gadis yang mengenakan kerudung kepala. Orang-orang sibuk melempar jumrah dan melihat jalan di samping kiri kanannya, sedangkan para ahli ibadah yang bersama Abu Hazim selalu mengarahkan pandangan matanya ke arah gadis tersebut, sehingga tidak jarang di antara mereka terpeleset dan jatuh ke tanah. Abu Hazim memandang gadis itu dan berkata kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya engkau sedang berada di salah satu tempat manasik haji. Sementara itu engkau banyak menggoda orang lain. Maka julurkanilah kerudungmu agar menutupi dadamu bagian atas. Karena Allah telah berfirman, ‘Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada’.

 

Gadis itu tersenyum mendengarnya, lalu berkata, “Aku termasuk wanita yang tidak berhijab karena pertimbangan tertentu, tetapi karena ingin menghabisi orang-orang yang lalai.”

 

Abu Hazim menghadapi ke arah rekan-rekannya serambi berkata, “Marilah kita berdoa kepada Allah agar Dia tidak mengadzab rupa yang elok itu dengan api neraka.” Maka dia berdoa dan mereka mengamininya.

 

Dhamrah bin Rabi’ah menuturkan dari Abdullah bin Syaudzab, ada seorang wanita cantik menemul Al-Hasan Al-Bashry, seraya berkata, “Wahai Abu Sa’id, haruskah kaum laki-laki menikahi wanita?”

 

“Begitulah,” jawab Al-Hasan.

 

“Bagaimana dengan diriku?” Tatkala bertanya itulah wanita tersebut sempat melihat wajah Al-Hasan yang tampan, dan dia tidak pernah mejihat wajah yang setampan dia. Maka wanita itu berkata lagi, “wahai Abu Sa’id, janganiah engkau menggoda wanita dengan wajahmu!” katanya sambil mengalihkan pandangannya,

 

Al-Hasan menimpali, “Andaikata di rumah seorang laki-laki ada wanita seperti dirimu, tentu dia tidak lagi merasa membutuhkan dunia.”

 

Abdullah bin Quraib Al-Ashma’y berkata, “Tatkala saya sedang berada di sebuah mata air, tiba-tiba orang-orang berkata, “Dia telah datang, dia telah datang.” Semua orang bangkit dan saya berdiri bersama mereka. Ternyata ada seorang gadis yang hendak mengambil air. Tak pernah kulihat wajah yang secantik dia, ditambah lagi perawakannya yang benar-benar sempurna. Tatkala dia merasa bahwa semua mata tertuju ke arah diriku, maka dia segera menutupkan kain kerudungnya, yang seakan-akan gumpalan awan yang sedang menutupi matahari. Saya berkata, Jangan engkau halangi kami untuk menikmati wajahmu yang cantik menawan itu!” Saat itu pula saya merangkum syair,

 

Selayang kau umbar pandangan mata

pandangan itu kan membebani hatimu

tidak setiap pandangan kau kuasa memikulnya

tidak pula kau bersabar menata pandanganmu

 

Seorang Araby juga ikut-ikutan memandang wanita itu, lalu berkata, “Demi Allah, aku juga termasuk orang yang tidak kuasa menahan kesabaran.” Lalu dia bersyair, .

 

Mengapa pandangan mata ini menjadi nyalang?

karena kesedihan ataukah karena kemudahan?

dari bumi manakah gerangan engkau datang?

ataukah di surga Firdaus engkau dilahirkan?

beritahukan kepada kami minuman dan makananmu

beritahukan pula kedatangan dan kepergianmu

tanda-tanda kegilaan kini telah membayang

Karena rupamu yang dibalut keelokan

kau rebut semua keelokan dari tangan para wanita

andai bulan purnama berketurunan, kaulah keturunannya

 

Penyair lain berkata,

 

Wahai orang yang telah membuyarkan duka lara karena engkau telah datang ke perjamuan kita kuhadirkan patung dirinya ke hadapan mereka ada yang menangis dan ada pula yang tertawa sungguh pantas jika keelokan ini menghibur segala kesedihan di hati

 

Apakah Makna Keindahan yang Sebenarnya?

 

Ini merupakan uraian tentang hakikat keindahan. Jadi, apakah keindahan itu? Masalah keindahan ini tidak bisa diketahui, kKecuali dengan mensifati keindahan itu sendiri.

 

Ada yang berpendapat, keindahan adalah kKeserasian ciptaan, harmoni dan Keselarasannya. Berapa banyak rupa yang memiliki keserasian ciptaan, tetapi tidak bisa disebut indah. Ada pula yang berpendapat, Keindahan adalah keelokan di wajah dan kelembutan pandangan mata. Ada pula yang berpendapat, keindahan itu terangkum dalam beberapa hal, yaitu keceriaan, keelokan, kKebagusan bentuk dan kelembutan. Ada pula yang berpendapat, keindahan adalah sebuah makna yang tidak bisa diungkapkKan lewat kKata-kata, sulit disifati. Sebab setiap manusia mempunyai kemampuan untuk mensifatinya.

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di tataran tertinggi dalam masalah keindahan ini. Suatu kali Aisyah memandangi beliau lalu tersenyum sendiri.

 

“Mengapa engkau tersenyum begitu?” tanya beliau.

 

Aisyah menjawab, “Abu Bakar Al-Hudzaliy pernah mensifati dalam syairnya,

 

Dialah penyembuh wanita yang mengalami kelainan

obat mujarab bagi wanita yang sedang menyusui

andaikan Kau lihat gurat-gurat di kKeningnya

tentu di sana dapat dilihat sinar berkilauan

 

Ada sebagian shahabat berpapasan dengan seorang rahib. Lalu rahib itu berkata, “Sebutlah ciri-ciri Muhammad kepadaku, karena seakanakan aku bisa melihatnya, karena aku telah melihatnya di dalam Taurat dan Injil.”

 

Shahabat itu menjawab, “Beliau tidak terlalu jangkung dan tidak pula pendek, di atas rata-rata. Warna kulitnya putih bersih kemerah-merahan, rambutnya tidak Keriting dan tidak pula kaku (berombak), rambutnya berjuntai hingga menyentuh daun telinga, keningnya Kuat, pipinya lebar, matanya hitam dan lebar, hidungnya mancung, gigi-giginya kokoh, lehernya seakan-akan kendi yang terbuat dari perak, wajahnya seperti rembulan.” Setelah mendengarnya, rahib itu pun masuk Islam.

 

Inilah di antara ciri-ciri beliau yang dikatakan Hindun bin Abu Halah, “Tidak terlalu jangkung dan tidak pula pendek, tingginya seperti ratarata kaum laki-laki, rambutnya tidak keriting dan tidak pula lurus kaku, tidak gemuk dan tidak pula kurus, wajahnya lebar, kulitnya putih bersih, matanya hitam dan lebar, panjang bulu matanya, kokoh telapak tangan dan kakinya, halus bulu dadanya. Jika berjalan seperti orang yang melalui jalan menurun, seperti sesuatu yang dituangkan. Jika menoleh, semua badannya ikut menoleh. Seakan-akan matahari berjalan di wajahnya.”

 

Dengan keadaan dan rupa seperti itu beliau masih dianugerahi cinta dan karisma. Siapa pun yang memandangnya tentu akan mencintai dan enggan terhadap beliau. Allah telah merangkum urut-urutan keindahan, lahir maupun batin. Beliau adalah makhluk Allah yang paling indah, ciptaan maupun akhlaknya, paling indah, rupa maupun perangainya. Seperti itu pula keadaan Yusuf Alaihis-Salam. Oleh karena itu istri tuannya berkata tentang Yusuf di hadapan para wanita yang diundangnya, sebagai alasan mengapa dia sampai jatuh cinta kepada beliau,

 

“Itulah dia orang yang kalian cela aku karena (tertarik) kepadanya.” (Yusuf: 32).

 

Dengan kata lain, itulah orang yang telah membuatku tergila-gila padanya. Begitulah ketampanannya. Setelah itu dia berkata,

 

“Sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku), tetapi dia menolak.”

 

Dengan penolakan Yusuf ini, maka batinnya lebih indah daripada rupa lahirnya, yang selalu menjaga kehormatan diri dan menghindari hal-hal yang hina. Sekalipun orang yang jatuh cinta mencela orang yang dicintainya, tapi toh lidahnya tetap akan menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan memujinya. Hal ini bisa dikaitkan dengan firman Allah tatkala mensifati para penghuni surga,

 

“Dan, memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (Al-Insan: 11).

 

Allah membaguskan lahir mereka dengan wajah yang jernih dan membaguskan batin mereka dengan kegembiraan. Yang serupa dengan ini adalah firman Allah,

 

“Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Rabbnya mereka melihat.” (Al-Qiyamah: 22-23).

 

Tidak ada yang paling mereka harapkan, tidak ada yang lebih melegakan pandangan mereka dan menggembirakan hati mereka selain dari memandang Allah. Allah membaguskan wajah mereka dengan keceriaan dan membuat hati mereka berbahagia karena bisa memandangNya. Ayat lain yang serupa,

 

“Yang dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak.” (Al Insan: 21).

 

Ini merupakan hiasan lahir. Kemudian Allah berfirman,

 

“Dan, Rabb mereka memberikan kepada mereka Minuman yang bersih.”

 

Artinya, membersihkan batin mereka dari segala penyakit. Ini merupakan hiasan batin. Firman Allah yang serupa,

 

“Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan.” (Al-Araf: 26).

 

Ini merupakan hiasan lahir. Kemudian Allah berfirman tentang hiasan batin,

 

“Dan, pakaian takwa itulah yang paling baik.” (Al-Araf: 26).

 

Dari sisi yang tersembunyi dapat pula dilihat firman Allah,

 

“Dan, Kami hiasi langit dunia dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya.” (Fushshilat: 12).

 

Allah menghiasi lahir langit dengan bintang-bintang dan menghiasi batinnya dengan memelihara-Nya dari gangguan syetan. Ayat lain yang serupa adalah,

 

 

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197).

 

Allah menyebutkan bekal lahir dan bekal batin. Ini merupakan hiasan batin dalam Al-Qur’an yang dikaitkan dengan hiasan lahir. FirmanNya yang lain, yang ditujukan kepada Adam,

 

“Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (Thaha: 118-119).

 

Allah menyertai kelaparan dengan telanjang, bukan dengan kehausan, menyertai kehausan dan kepanasan, bukan dengan kelaparan. Sebab rasa lapar itu merupakan ketelanjangan batin, sedangkan telanjang merupakan ketelanjangan lahir. Allah menyertai penafian kehinaan batin dan lahir, kelaparan batin dan lahirnya. Rasa haus adalah panasnya batin sedangkan panasnya terik matahari merupakan panasnya lahir.

 

Ada pula yang berpendapat, keindahan adalah ucapan yang keluar dari mulut orang-orang yang beribadah, seperti tasbih dan tahlil. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Mahasuci Allah yang menciptakan keceriaan

perasaan lembut muncul dari dalam diri

 

Ali bin Al-Jahm berkata,

 

Dia datang dan mereka melihat rupa yang menawan

alangkah agung Allah yang telah menciptakan.

dia mendekat dan diiringi segumpal penyesalan

berpaling sambil memalingkan kedua pipinya

 

Basyar berkata,

 

Tasbih terucap karena keindahan ciptaan-Nya

perasaan orang yang melihat menjadi gundah gulana

Saya (Ibnul-Qayyim) juga mempunyai beberapa bait syair,

 

Wahai purnama dan demi Pencipta-Nya

bukan purnama yang berkisah tentang dirimu

jangan kikir berilah harapan kepada mata

mata kan memberi jaminan kepadamu

andaikan saja engkau merasa keberatan

yang melihatmu tetap bertasbih kepada Ar-Rahman

penuhilah harapan orang yang memiliki harapan

jika kau bersembunyi dia kan tenggelam dalam tangisan

 

Ibnu Syubrumah berkata, “Keindahan (al-hasan) itu berasal dari kata al-hasanah ‘kebaikan’.”

 

Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, ‘Jika warna putih kulit wanita sama dengan rambut uban, maka keindahannya sudah sempurna.”

 

Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Kulit yang bewarna putih ity termasuk separoh dari keindahan.”

 

Sebagian salaf ada yang berkat, “Allah menjadikan keelokan dan keberanian pada postur tubuh yang tinggi, kecerdikan dan keburukan pada postur tubuh yang pendek, dan menjadikan kebaikan pada postur tubuh antara tinggi dan pendek.”

 

Di antara cacat yang layak diberikan kepada wanita ialah karena postur tubuhnya yang pendek dan gendut, sebagaimana yang diucapkan seorang penyair,

 

Engkau yang tercinta sekalipun pendek badanmu

tiada mundur langkah ini sekalipun begitu

kupersiapkan kamar mempelai yang pendek Kainnya

namun tiada kukehendaki wanita yang pendek badannya

 

Az-Zamakhsyary mendendangkan syair, Aku tak ingin mencintai wanita gemuk dan berkulit putih tapi kuingin mencintai wanita yang kecoklatan dan semampai kusuka menunggang anak kuda yang gesit dan lincah pada saat pacuan biarkan aku menunggang seekor gajah

 

Namun begitu ada orang yang lebih menyukai wanita yang gemuk, dengan berkata, “Badan yang gemuk adalah separoh keindahan, Karena kegemukan itu bisa menutupi cacat wanita dan menampakkan keindahannya.” Yang pasti, keindahan wanita itu terletak pada perawakan yang sedang-sedang, tidak kurus dan tidak gemuk.

 

Ada empat bagian yang menentukan keindahan diri wanita karena bentuknya yang panjang, yaitu tangan dan kaki, perawakan, rambut dan lehernya. Kekurangan diri wanita terletak di empat bagian, yaitu pada tangan, kaki, lidah dan matanya. Seorang wanita tidak boleh membelanjakan apa yang ada di dalam rumah suaminya, tidak boleh keluar dari tumah suaminya, tidak boleh mengumbar lidah dan pandangannya. Warna putih ada di empat bagian, yaitu kulitnya, belahan rambutnya, Gigi-giginya dan bagian matanya yang putih. Warna hitam ada di empat tempat, yaitu pada alisnya, bulu matanya, matanya yang berwarna hitam dan rambutnya. Warna merahnya ada di empat tempat, yaitu pada lidahnya, pipinya, bibirnya dan kulitnya yang agak kemerah-merahan. Kelentikannya ada di empat bagian, yaitu pada hidungnya, ujung-ujung jarinya, pinggangnya dan alis matanya. Bentuk yang lebar ada di empat bagian, yaitu pada keningnya, wajahnya, matanya dan dadanya. Bentuk yang sempit ada di empat bagian, yaitu pada mulutnya, cuping hidungnya, daun telinganya dan bagian tertentu dari badannya. Inilah ciri-ciri wanita seperti yang dikatakan Kutsayyir,

 

Andaikan wajah cantik itu menentang

mentari pagi karena keelokan dirinya

semua orang tentu setuju jika ditetapkan begitu

 

Seorang penyair berkata,

 

Andaikan dia memandang wajahnya tatkala kalah

musuh pun akan tercenung diam di belakangnya

 

Wahai orang yang dimabuk cinta! Pendengaran lebih dahulu aktif daripada pandangan mata. Terkadang telinga lebih dahulu merasakan sentuhan cinta daripada mata. Pasukan cinta memasuki kota dari pintu gerbang pendengaran, sebagaimana ia memasukinya dari pintu pandangan. Orang-orang Mukmin tentu merindukan surga dan apa-apa yang bisa dilihat di sana. Andaikata mereka bisa melihat sebagian isinya, tentu kerinduan mereka semakin menggelora. Hati orang yang bellum menunaikan haji bisa mencair karena kerinduan untuk melihat Al-BaitulHaram. Hatiku juga akan digelitik rasa rindu jika mendengar sifat-sifat berikut ini,

 

Angkat pandanganmu terhadap para wanita

yang amal shalih adalah maskawin mereka

bisikkan pada jiwa tentang cinta pertama

mencintai mereka adalah niaga yang laba

berusahalah untuk mendapatkan mereka

jika ada jalan dan telah tiba saatnya

 

Bidadari yang Cantik Jelita Menurut Pengabaran Al-Qur’an

 

Allah telah memberikan sifat-sifat yang terindah kepada bidadaribidadari surga. Mereka diberi pakaian yang paling bagus dan siapa pun yang membicarakan diri mereka pasti akan digelitik kerinduan kepada mereka, seakan-akan dia sudah melihat secara langsung bidadaribidadari itu.

 

Ath-Thabrany menuturkan, kami diberitahu Bakr bin Sahl Ad-Dimyathy, Kami diberitahu Amru bin Hisyam AI-Biruny, Kami diberitahu Sulaiman bin Abu Karimah, dari Hisyam bin Hassan, dari Al-Hassan, dari ibunya, dari Ummu Salamah Radhiyallahu Anha, dia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, jelaskanlah kepadaku firman Allah tentang bidadari-bidadari yang bermata jeli’.”

 

Beliau menjawab, “Bidadari yang kulitnya putih, matanya jeli dan lebar, rambutnya berkilau seperti sayap burung nasar.”

 

Saya berkata lagi, Jelaskan kepadaku tentang firman Allah, ‘Laksana mutiara yang tersimpan baik’.” (Al-Waqi’ah: 23).

 

Beliau menjawab, “Kebeningannya seperti kebeningan mutiara dj kedalaman lautan, tidak pernah tersentuh tangan manusia.”

 

Saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik’.” (Ar-Rahman: 70).

 

Beliau menjawab, “Akhlaknya baik dan wajahnya cantik jelita.”

 

Saya berkata lagi, Jelaskan kepadaku firman Allah, Seakan-akan mereka adalah telur (burung onta) yang tersimpan dengan baik’.” (AshShaffat: 49).

 

Beliau menjawab, “Kelembutannya seperti kelembutan kulit yang ada di bagian dalam telur dan terlindung kulit telur bagian luar, atay yang biasa disebut putih telur.”

 

Saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Penuh cinta lagi sebaya umurnya’.” (Al-Waqi’ah: 37).

 

Beliau menjawab, “Mereka adalah wanita-wanita yang meninggal di dunia pada usia lanjut, dalam keadaan rabun dan beruban. Itulah yang dijadikan Allah tatkala mereka sudah tahu, lalu Dia menjadikan mereka sebagai wanita-wanita gadis, penuh cinta, bergairah, mengasihi dan umurnya sebaya.”

 

Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli>?”

 

Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”

 

Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”

 

Beliau menjawab, “karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putin bersih, pakaiannya bewarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungutsungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya’.

 

Saya berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan dua, tiga, atau empat laki-laki lalu dia meninggal dunia. Dia masuk surga dan mereka pun masuk surga pula. Siapakah di antara laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga?”

 

Beliau menjawab, “Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu dia pun memilih siapa di antara mereka yang akhlaknya paling pagus, lalu dia berkata, ‘“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik akhlaknya tatkala hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya’. Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.”

 

Allah mensifati wanita-wanita penghuni surga sebagai kawa’ib, jama’ dari ka’tb yang artinya gadis-gadis remaja. Payudaranya sudah tumbuh sempurna, bentuknya bulat dan tidak menggelantung ke bawah. Yang seperti ini merupakan bentuk wanita yang paling indah dan pas untuk gadis-gadis remaja. Allah mensifati mereka sebagai bidadaribidadari, karena warna kulit mereka yang indah dan putih bersih. Aisyah Radhiyallahu Anha pernah berkata, “Warna putih adalah separoh keindahan.” Bangsa Arab biasa menyanjung wanita dengan warna putih. Seorang penyair berkata,

 

Kulitnya putih bersih gairahnya tiada diragukan

laksana kijang Makkah yang tak boleh dijadikan buruan

dia menjadi perhatian karena perkataannya lemah lembut

Islam menghalanginya untuk mengucapkan perkataan jahat

 

Al-‘In jama’ dari aina’, artinya wanita yang matanya lebar, yang berwarna hitam sangat hitam, dan yang berwarna putih sangat putih, bulu matanya panjang dan hitam.

 

Allah mensifati mereka sebagai bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik, yaitu wanita yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Ciptaan dan akhlaknya sempurna, akhlaknya baik dan wajahnya cantik menawan. Allah juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang suci. Firman-Nya,

 

“Dan, untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci.” (Al-Baqarah: 25).

 

Artinya, mereka suci, tidak pernah haid, tidak buang air kecil dan besar serta tidak kentut. Mereka tidak diusik urusan-urusan wanita yang mengganggu seperti yang terjadi di dunia. Batin mereka juga suci, tidak cemburu, tidak menyakiti dan tidak jahat. Allah juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang dipingit di dalam rumah. Artinya mereka hanya berhias dan bersolek untuk suaminya. Bahkan mereka tidak pernah keluar dari rumah suaminya, tidak melayani kecuali Suaminya, Allah juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang tidak liar pandangannya. Sifat ini lebih sempurna lagi. Oleh karena itu bidadari yang seperti ini diperuntukkan bagi para penghuni dua surga yang tertinggi. Di antara wanita memang ada yang tidak mau memandang suaminya dengan pandangan yang liar, karena cinta dan keridhaannya, dan dia juga tidak mau memandang Kepada laki-laki selain suaminya, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Ku tak mau pandanganmu liar ke sekitar

jika kau ingin cinta kita selalu mekar

 

Di samping keadaan mereka yang dipingit di dalam rumah dan tidak liar pandangannya, mereka juga merupakan wanita-wanita gadis, bergairah penuh cinta dan sebaya umurnya. Hal ini untuk menunjukkan kenikmatan bercinta dan bersetubuh dengan perawan daripada bersetubuh dengan wanita janda.

 

Aisyah Radhiyallahu Anha, pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, andaikata engkau melewati rerumputan yang pernah dijadikan tempat menggembala dan rerumputan yang belum pernah dijadikan tempat menggembala, maka di manakah engkau menembatkan onta gembalaanmu?”

 

Beliau menjawab, “Di tempat yang belum dijadikan tempat gembalaan.” (Ditakhrij Muslim).

 

Dengan kata lain, beliau tidak pernah menikahi perawan selain dari Aisyah.

 

Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bertanya kepada Jabir yang menikahi seorang janda, “Mengapa tidak kau nikahi wanita gadis, agar engkau bisa mencandainya dan dia pun mencandaimu?” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany).

 

Jika ada yang berkata, “Kenikmatan itu justru tidak begitu terasa nikmat saat mengadakan persetubuhan pertama kali bagi perawan, yang berbeda dengan wanita janda.” Hal ini bisa dijawab sebagai berikut:

 

Pertama, yang dimaksudkan kenikmatan bersetubuh dengan perawan ialah karena wanita perawan belum pernah merasakannya dengan lelaki lain sebelumnya, sehingga cintanya lebih tertanam di dalam hati dan dapat menjaga kelanggengan hubungan. Ini ditilik dari keadaan wanita. Jika ditilik dari keadaan suami, maka dia merasa mendapat kebun yang masih asli, tidak pernah dijamah orang lain sebelumnya. Allah telah mengisyaratkan pengertian seperti ini dalam firman-Nya,

 

“Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelurn mereka (penghuni-penghunit surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahman: 74).

 

Setelah itu kenikmatan persetubuhan masih tetap terasa seperti keadaannya yang masih perawan.

 

Kedua, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa setiap kali penghuni surga menyetubuhi seorang wanita dalam keadaan perawan, maka wanita itu kembali menjadi perawan seperti keadaan sebelumnya. Jadi, setiap kali dia menyetubuhinya, maka wanita itu tetap dalam Keadaan perawan.

 

Sifat bidadari penghuni surga yang lain adalah Al-’Urub, jama’ dari al-arub, artinya mencerminkan rupa yang lemah lembut, sikap yang luwes, perlakuan yang baik terhadap suami dan penuh cinta. Ucapan, tingkah laku dan gerak-geriknya serba halus.

 

Al-Bukhary berkata di dalam Shahih-nya, “Al-Atrab jama’ dari tirbin. Jika dikatakan, “Fulan tirbiyyun”, artinya Fulan berumur sebaya dengan orang yang dimaksudkan. Jadi mereka itu sebaya umurnya, sama-sama masih muda, tidak terlalu muda dan tidak pula tua. Usia mereka adalah usia remaja. Allah menyerupakan mereka dengan mutiara yang terpendam, dengan telur yang terjaga, seperti Yaqut dan Marjan. Mutiara diambil kebeningan, kecemerlangan dan kehalusan sentuhannya. Putih telor yang tersembunyi, adalah sesuatu yang tidak pernah dipegang tangan manusia, berwarna putih kekuning-kuningan. Berbeda dengan putih murni yang tidak ada warna kuning atau merahnya. Yaqut dan Marjan diambil keindahan warnanya dan kebeningannya.

 

Bidadari-bidadari Menurut Pengabaran Rasulullah

 

Berikut ini dengarkanlah pengabaran orang yang paling dipercaya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jika jiwa tidak merasa tersentuh penuturan ini, maka iman bisa dirasuki sesuatu yang merusaknya.

 

Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari perkataan Ayyub, dari Muhammad bin Sirin, dia berkata, “Entah karena kalian hendak berlomba dan entah karena memang mengingatnya, apakah Jaki-laki di surga itu lebih banyak ataukah justru wanita?” Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu menjawab, “Bukankah Abul-Qasim (Rasulullah) pernah bersabda,

 

“Sesungguhnya rombongan yang pertama kali masuk surga seperti bentuk bulan pada malam purnama. Yang berikutnya seperti cahaya bintang yang laksana mutiara di langit dengan sebuah cahaya. Setiap orang laki-laki di antara mereka mernPunyat dua istri, yang sumsum betisnya bisa terlihat dart balik daging, dan siapa yang di surga adalah masih bujang.” Ath-Thabrany berkata di dalam Mu’jam-nya, “Kami diberitahu Ahmad bin Yahya Al-Halwany dan Al-Hasan bin Ali Al-Qasry, keduanya berkata, “Kami diberitahu Sa’id bin Sulaiman, Kami diberitahu Fadhl bin Marzuq, dari Abu Ishaq, dari Amru bin Maimun, dari Abdullah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Rombongan pertama yang masuk surga, seakan-akan wajah mereka adalah berupa bulan pada malam purnama. Rombongan kedua lebih indah dari bintang yang bercahaya seperti mutiara di langit. Setiap orang laki-laki di antara mereka mempunyai dua istri, dari jenis bidadari yang bermata jeli. Setiap istri mengenakan tujuh puluh pakaian, yang sumsum betisnya dapat terlihat dari balik daging dan pakaiannya, sebagaimana minuman berwarna merah di gelas kaca yang putih (yang juga terlihat).”

 

Al-Hafizh Abu Abdullah Al-Maqdisy berkata, “Menurut saya, hadits ini menurut syarat Ash-Shahth.”

 

Di dalam Ash-Shahihain, dari perkataan Hammam bin Munabbih, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Rombongan yang pertama kali masuk surga, rupa mereka seperti rupa bulan pada malam purnama. Mereka tidak meludah, tidak membuang ingus dan tidak buang air di sana. Bejana dan sisir mereka dari emas dan perak. Pedupaan mereka dari kayu gaharu yang harum. Keringat mereka harum seperti minyak kesturi. Setiap orang laki-laki mempunyai dua istri, yang sumsum betisnya terlihat dari balik daging karena indahnya. Mereka tidak saling bertengkar dan tidak saling marah. Hati mereka selalu bersatu, bertasbih kepada Allah sepanjang pagi dan petang.”

 

Al-lmam Ahmad bin Hanbal berkata di dalam Musnad-nya, “Kami diberitahu Yunus bin Muhammad, kami diberitahu Al-Khazraj bin Utsman As-Sa’dy, kami diberitahu Abu Ayyub, mantan budak Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Tali cambuk salah seorang di antara kalian di surga lebih baik daripada dunia dan yang serupa dengan dunia yang bersamanya, dan tali busur salah seorang di antara kalian di surga lebih baik daripada dunia dan yang serupa dengan dunia yang bersamanya, dan kerudung kepala milik seorang wanita penghuni surga lebih baik daripada dunia dan yang serupa dengan dunia yang bersamanya.”

 

Ibnu Wahb berkata, “Kami diberitahu Amru bahwa Darraj Abus. Samh memberitahunya dari Abul-Haitsam, dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Seorang laki-laki di surga benar-benar akan didatangi seorang wanita yang menepuk pundaknya, hingga laki-laki itu bisa melihat wajahnya di pipi wanita tersebut, yang lebih bening dari cermin, dan sesungguhnya butir mutiara terkecil yang ada padanya dapat menyinari antara timur dan barat. Wanita itu mengucapkan salam kepadanya dan dia menjawab salamnya, seraya bertanya, ‘Siapakah engkau’. Wanita itu menjawab, ‘Saya adalah tambahan’. Wanita itu mengenakan tujuh puluh lembar pakaian, yang paling luar seperti darah. Dia mengarahkan pandangan ke Wanita itu sehingga bisa melihat sumsum betisnya yang tembus pandang. Dia mengenakan mahkota, dan mutiara paling kecil padanya dapat menyinari antara timur dan barat.”

 

Dalam Shahih Al-Bukhary, dari perkataan Anas Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Pergi berperang di jalan Allah pada pagi atau petang hari lebih baik daripada dunia dan seisinya, dan tali busur salah seorang di antara kalian atau tempat cambuknya lebih baik daripada dunia dan seisinya. Andaikan ada salah seorang wanita dari penghuni surga menampakkan diri ke dunia, tentu dia mampu memenuhi antara keduanya dengan aroma yang harum dan menyinari di antara keduanya. Dan, kerudung di atas kepalanya lebih baik daripada dunia dan seisinya.” Dalam Al-Musnad disebutkan dari perkataan Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Seorang laki-laki dari penghuni surga memiliki dua istri dari kalangan bidadari yang bermata jeli, yang masing-masing mengenakan tujuh puluh lembar pakaian, yang sumsum betisnya dapat terlihat dari balik pakaian itu.”

 

Ibnu Wahb berkata, “Kami diberitahu Amru, bahwa Darraj AbusSamh memberitahunya dari Abul-Haitsam, dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya tingkatan penghuni surga yang paling rendah ialah yang memiliki delapan puluh ribu pembantu dan tujuh puluh dua istri dan dibangunkan baginya kubah dari mutiara, permata dan yaqut seperti apa yang ada antara Al-Jabiyah dan Shana’.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy).

 

Di dalam Mujjamu Ath-Thabrany, dari perkataan Abu Umamah, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Bidadari yang bermata jeli itu diciptakan dari kunyit.” Jika engkau ingin mendengar nyanyian bidadari-bidadari penghunj surga, maka dengarkanlah penuturan berikut ini. Di dalam Mujam Ath-Thabrany disebutkan dari perkataan Ibny Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya istri-istri para penghuni surga itu suka bernyanyi di hadapan suaminya dengan suara yang paling merdu, yang sama sekali tidak pernah didengar seorang pun. Di antara nyanyian mereka adalah: ‘Kami adalah wanita-wanita cantik yang menarik, istri orang-orang yang mulia’. Mereka memandang dengan mata penuh pesona. Di antara nyanyian mereka yang lain: ‘Kami adalah wanita-wanita yang hidup abadi dan tidak _ mati, kami dapat dipercaya dan tidak membuat ketakutan, kami berdekatan dan tidak berjauhan’.” Abdullah bin Muhammad Al-Baghawy berkata, “Kami diberitahu Ali, kami diberitahu Zuhair, dari Abu Ishaq, dari Ashim, dari Ali Radhiyallahu Anhu, dia berkata tentang firman Allah (Az-Zumar: 73),

 

“Dan, orang-orang yang bertakwa kepada Rabb mereka dibawa ke dalam surga berombong-rombongan”, bahwa tatkala mereka tiba di salah satu pintu surga, mereka mendapatkan sebuah pohon yang dari bawah batangnya keluar dua mata air yang mengalir. Mereka mendatangi salah satu mata air itu, seakan-akan mereka diperintah untuk berbuat seperti itu, lalu mereka meminum airnya, dan Allah membersihkan perut mereka dari kotoran, sisa makanan dan penyakit. Kemudian mereka mendatangi mata air satunya lagi dan mereka bersuci dengannya. Di hadapan mereka tampak keindahan kenikmatan surga. Rambut mereka tidak berubah setelah itu dan tidak pula kusut. Seakan-akan kepala mereka diminyaki. Kemudian mereka sampai di hadapan para malaikat penjaga surga, yang berkata,

 

“Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian. Berbahagialah kalian! Maka masukilah surga ini, sedang kalian kekal di dalarmnya.” (Az-Zumar: 73).

 

Kemudian mereka disongsong rombongan anak-anak yang mengitari mereka, sebagaimana anak-anak kecil yang biasa mengitari mereka di dunia dengan riang gembira. Mereka datang dari tempat yang tiada diketahui dan berkata, “Bergembiralah dengan apa yang dijanjikan Allah, berupa kemuliaan.”

 

Kemudian dari kerumunan anak-anak itu keluar seorang anak yang berkata kepada sebagian istrinya dari jenis bidadari, seraya berkata, “Fulan telah datang.” Sambil menyebutkan namanya yang paling indah tatkala di dunia.

 

‘“Apakah engkau melihatnya sendiri?” tanya bidadari.

 

“Saya melihatnya sendiri. Dia ada di belakang saya.”

 

Salah seorang di antara bidadari itu ttdak mampu menahan kegembiraannya, lalu dia berdiri di ambang pintu rumahnya. Tatkala Fulan penghuni surga tiba di rumahnya, dia memandang tiang bangunan rumahnya, yang ternyata di sana ada batu besar dari mutiara, yang di atasnya ada istana berwarna hijau, merah, kuning dan warna-warna lainnya. Kemudian Fulan itu memandang ke atas rumahnya yang menyerupai kilat. Andaikan saja Allah menakdirkannya menjadi buta, tentu dia akan menjadi buta. Kemudian dia mengangguk-anggukkan kepala, dan istri-istrinya datang sambil membawa gelas yang diletakkan di dekatnya, bantal-bantal sandaran yang tersusun dan permadani-permadani yang terhampar. Mereka pun bersandar dan berkata,

 

“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan, kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.” (Al-Araf: 43).

 

Kemudian ada yang berkata, “Kalian hidup dan tidak mati selama-lamanya, kalian berdekatan dan tidak saling berjauhan, kalian tetap sehat dan tidak pernah sakit.”

 

Dalam Sunan Ibnu Usamah bin Zaid Radhiyallahu Anhuma disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Ketahuilah, adakah orang yang hendak berjalan menuju surga? Sesungguhnya di dalam surga itu tidak ada yang berbahaya. Demi yang menjaga Ka’bah, surga itu mempunyai cahaya yang berkilauan, pohon raithanah yang bergoyang-goyang, istana yang kokoh, sungai yang mengalir terus, buah yang masak, istri yang cantik dan elok, pakaian yang banyak, tempat tinggal yang abadi di tempat yang aman sejahtera, buah-buahan, sayur-sayuran, kegembiraan dan kenikmatan di tempat yang tinggi dan menyenangkan”. Mereka (para shahabat) menjawab, “Benar wahai Rasulullah. Kamilah yang hendak menunju ke sana”. Beliau bersabda, “Katakan, ‘Insya Allah’. Maka mereka mengucapkan, Insya Allah’.”

 

Begitulah sifat dan keindahan para bidadari penghuni surga. Sekarang dengarkan kenikmatan berhubungan dengan mereka dan keadaan hubungan itu.

 

Di dalam Musnad Abu Ya’la Al-Mushily, dari perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda menyebutkan sebuah hadits yang panjang, yang di antara isinya adalah,

 

“Lalu aku berkata, ‘Ya Rabbi, Engkau berfanfi kepadaku untuk memberikan syafaat, lalu Engkau memberiku syafaat untuk para penghuni surga untuk masuk surga’. Allah berfirman, Aku telah memberimu syafaat dan Kuperkenankan mereka masuk surga’.”

 

Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam pernah bersabda,

 

“Demi yang mengutusku dengan kebenaran, tidaklah kalian lebih mengenal istri dan ternpat tinggal kalian di dunia daripada penghuni surga yang lebih mengenal istri dan ternpat tinggalnya. Salah seorang laki-laki di antara mereka menyetubuhi tujuh puluh dua istri karena pertolongan Allah dan dua istri dari keturunan Adam. Keduanya memiliki kelebihan daripada orang yang selalu beribadah kepada Allah seperti ibadah keduanya di dunia. Dia menyetubuhi salah seorang di antara keduanya di kamar yang terbuat dari Yaqut, di atas tempat tidur yang terbuat dart emas, dthiasi butir-butir mutiara. Di atasnya juga ada tujuh puluh istri yang mengenakan kain sutera dan beludru. Dia meletakkan tangannya di atas pundak istrinya, kemudian melihat tangannya sendiri yang meraba dari dada dan dari balik baju, kulit dan dagingnya. Salah seorang di antara kalian benar-benar bisa melihat kawat yang berada di dalam pipa Yaqut. Jantung istrinya seperti cermin baginya. Tatkala dia berada di samping istrinya, maka dia tidak pernah merasa bosan dan istrinya tidak pula merasa bosan kepadanya. Sekalipun dia tidak menyetubuhinya melainkan dia mendapatkan istrinya dalam keadaan masih perawan. Penisnya tidak lemas dan vaginanya tidak pernah merasa sakit. Tatkala dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ada yang berseru, ‘Sesungguhnya kami tahu engkau tidak akan merasa bosan dan tidak dibosani’. Dia tidak mengeluarkan mani dan istrinya juga tidak mengeluarkan mani. Diserukan pula kepadanya, ‘Engkau masih mempunyai beberapa istri selain dia’. Maka dia meninggalkannya dan mendatangi mereka satu persatu. Setiap kali menemui salah seorang di antara mereka, maka dia berkata, ‘Demi Allah, di surga ini tidak ada sesuatu yang lebih menarik daripada dirimu, dan di surga tidak ada sesuatu yang lebih kucintai daripada engkau’.”

 

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari perkataan Abu Musa AlAsy’ary Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya orang Mukmin di surga itu mempunyai tenda yang terbuat dart satu bongkah mutiara yang cekung, panjangnya enam puluh mil. Di sana orang Mukmin mempunyai keluarga yang selalu dikunjungi orang Mukmin itu, namun sebagian dari mereka tidak mengetahui sebagian yang lain.”

 

Di dalam Jami’ut-Tirmidzy disebutkan dari hadits Anas Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Orang Mukmin di surga diberi kekuatan begini dan begitu untuk menyetubuhi wanita”. Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, mampukah dia melakukannya?” Beliau menjawab, “Dia diberi kekuatan seratus kali lipat.””

 

Di dalam Mujam Ath-Thabrany, disebutkan dari perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Ada seseorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kita bisa berhubungan dengan istri kita di surga” Beliau menjawab,

 

“Sesungguhnya seorang laki-laki benar-benar bisa berhubungan dengan seratus wanita perawan dalam sehari.”

 

Dalam suatu lafazh disebutkan, “Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kita bisa bersetubuh dengan istri kita di surga?” Beliau menjawab, “Demi yang diriku ada di tangan-Nya, sesungguhnya seorang laki-laki benar-benar bisa bersetubuh dengan seratus perawan dalam setiap pagi.”

 

Dalam hadits Laqith Al-Ugaily yang panjang, yang diriwayatkan Ath-Thabrany dan Abdullah bin Ahmad di dalam As-Sunnah, dia berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah di dalam surga kita mempunyai istri-istri yang shalihah?” Beliau menjawab,

 

“Para wanita shalihah itu bagi para laki-laki shalih. Kalian bisa mereguk kenikmatan dengan wanita-wanita itu seperti kenikmatan yang kalian rasakan di dunia. Mereka mereguk kenikmatan dengan kalian tanpa harus melahirkan.”

 

Ibnu Wahb menyebutkan dari Amru bin Al-Harits, dari Darraj, dari Abdurrahman bin Hujairah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia bertanya, “Apakah kita juga bersetubuh di surga?”

 

Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam menjawab, “Benar. Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, dorongannya sangat kuat, dorongannya sangat kuat. Jika dia beranjak dari istrinya, maka istrinya kembali suci dan menjadi gadis.”

 

Di dalam Mujam Ath-Thabrany, dari hadits Abul-Mutawakkil, dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya jika penghuni surga telah menyetubuhi istri-istrinya, maka mereka kembali menjadi perawan.”

 

Ada pula dari hadits Abu Umamah Radhiyallahu Anhu, bahwa dia pernah mendengar Rasulullaha Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya, “Apakah penghuni surga saling kawin?” Beliau menjawab,

 

 

“Dengan dzakar dia tidak merasa bosan dan dengan birahi yang tidak pernah berhenti, dengan dorongan yang sangat kuat.”

 

Ada pula hadits dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya, “Apakah penghuni surga bersetubuh>” Beliau menjawab, .

 

“Dengan dorongan yang sangat kuat, dengan dorongan yang sangat kuat, tetapi tidak ada mani bagi laki-laki dan mani bagi Wanita.”

 

Inilah bait-bait syair yang dirangkum penulis dalam mensifati bidadari,

 

Whai orang yang memangagil dan mencari bidadari agar dapat bercumbu dengannya di taman-taman surgawi andaikan Kau tahu siapa yang kau seru tentu kau tidak akan diam saja membisu andaikan Kau tahu di mana dia berada kau kan berusaha dengan sekuat tenaga segeralah dan tapaki jalan menuju ke sana karena jaian yang Kau tempuh tak lama Kan tiba bercintaiah dan berbicaralah di dalam kKalibu persiapkan maskawin selagi kau mampu untuk itu jadikan puasamu sebagai bekal untuk pertemuan malam pertama adalah malam fitri seusai Ramadhan harapkan keindahan dan Kecantikannya yang memikat hampirilah sang Kekasih dan jangan Kau terlambat wahai orang yang berthawaf di Ka’bah yang mulia yang dikelilingi bebatuan dan sendi-sendinya yang berlari-lari kecil di sekitar Shafa setiap saat meniti jalan Sa’y yang dilaluinya dari jauh mereka melihat Kemah dan tenda tampak jelas Karena sinar dan cahayanya hampirilah kemah-kemah itu dan tinggallah di sana di dalamnya ada rembulan tanpa ada kekurangannya bidadari-bidadari yang cantik jelita mencari pemuda-pemuda yang menjadi kekasihnya pandangan matanya indah menawan pandangan yang menjanjikan ketenteraman mengapa dia harus memandang bidadari mahasuci yang menciptakan kecantikan sejati dia meminum dari gelas-gelas kecantikannya seperti orang yang minum Karena dahaga akhlak dan kecantikannya tak ada tandingan seperti bulan setelah tanggal delapan. matahari berjalan di wajahnya yang menawan malam pun tunduk di bawah dedahanan di tempat itulah dia berdecak kagum bagaimana malam dan matahari bisa terangkum mahasuci Allah dengan segala ciptaan-Nya mahasuci yang menundukkan ciptaan manusia malam tiada mendahului matahari hingga datang pagi yang dini matahari datang bukan untuk mengusir malam tetapi untuk bergandengan sebagai kawan keduanya adalah cermin bagi yang memandang siapa yang ingin melihat wajah akan terlihat terang dia bisa melihat keelokan wajah di wajahnya melihat keelokannya tampak jelas di depan mata pipinya kemerah-merahan buah dadanya padat menarik matanya lebar dan hitam serta berbulu lentik kilat menyambar tatkala dia tersenyum ceria menyinari atap istana dan dinding-dindingnya

 

Sebelum mengupas lebih jauh masalah ini, terlebih dahulu kita perlu membagi macam-macam jiwa dan apa-apa yang dicintainya. Dapat kami katakan, bahwa jiwa itu bisa dibagi menjadi tiga jenis:

 

  1. Jiwa samawy yang tinggi. Hal-hal yang dicintainya adalah masalah-masalah yang berkait dengan pengetahuan, mencari keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia serta menjauhi kehinaan. Jiwa ini menyenangi apa-apa yang mendekatkannya kepada Kekasih Yang Mahatinggi. Itulah santapan, makanan dan obatnya. Kesibukannya pada hal-hal selain itu merupakan penyakit baginya.

 

  1. Jiwa yang jalang, buas dan temperamental. Kecintaannya adalah perbuatan yang menjurus kepada pemaksaan, kesewenang-wenangan, membanggakan diri di dunia, takabur, menggapai kedudukan dengan cara yang batil. Inilah kenikmatan dan kesenangan yang direguknya.

 

  1. Jiwa binatang penuh syahwat dan birahi. Kesenangannya adalah hal-hal yang condong kepada makanan, minuman dan persetubuhan. Boleh jadi dua jenis jiwa ini berhimpun menjadi satu, lalu akhirnya kesenangannya condong kepada kesewenang-wenangan di dunia dan kerusakan, sebagaimana firman Allah,

 

“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelth anak laki-lak; mereka dan membiarkan hidup anak-anak wanita mereka. Se. sungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat ke. rusakan.” (Al-Qashash: 4).

 

Begitu pula firman Allah,

 

“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan (kesudahan yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83).

 

Cinta di dunia ini berputar-putar di antara tiga jenis jiwa ini. Mana pun jiwa yang mendapatkan apa yang dianggap cocok dengan tabiatnya, maka itulah yang dianggapnya terbaik dan disenanginya, tak peduli cercaan dan makian yang dialamatkan kepadanya. Setiap jenis dari tiga jenis jiwa ini melihat bahwa apa yang ada di tangannya itulah yang harus dinomorsatukan. Cenderung dan menyibukkan diri dalam urusan yang lain dianggap Ketololan dan perbuatan yang menyia-nyiakan bagian yang mestinya didapatkan.

 

Jiwa samawy mempunyai kecocokan dengan tabiat para malaikat dan Kekasih Yang Mahatinggi, begitu pula kecenderungan sifat, akhlak dan amalnya. Para malaikat merupakan pelindung jenis jiwa ini di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’, kernudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka para malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepada Allah’. Kamilah Pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Sebagai hidangan (bagi kalian) dari Rabb Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 30-32).

 

Tentunya seorang raja akan mengangkat pejabat yang cocok dengannya, yang mau memberinya nasihat, petunjuk, saran, dukungan dan pengajaran, mau menyampaikan yang benar lewat lidahnya, membelanya di hadapan musuh, memintakan ampunan baginya jika dia melakukan kesalahan, mengingatkannya jika dia lalai, menghiburnya jika dia bersedih, menguatkan hatinya jika dia takut, membangunkannya untuk shalat jika terlarmbat karena tertidur, menganjurkannya untuk jujur dengan menyampaikan janji. memperingatkannya jika dia cenderung kepada keduniaan dan menganjurkannya tentang pahala di sisi Allah. Dia bisa dijadikan teman pendamping tatkala menyendiri, penolong, pengajar, pendukungnya, orang yang menganjurkannya kepada kebaikan, orang yang memperingatkannya dari kejahatan, memohonkan ampunan jika dia berbuat buruk, mendoakan Ketabahan hati baginya. Jika dia sedang tekun mengingat Allah, pendampingnya berada di sampingnya, jika ada musuh yang hendak berbuat jahat kepadanya tatkala dia sedang terlelap tidur, maka pendampingnya itu mau membelanya.

 

Sedangkan syetan merupakan pelindung orang-orang yang memiliki jenis jiwa Kedua, mengeluarkan mereka dari cahaya Kepada Kegelapan. Allah berfirman,

 

“Deri Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapit syetan menjadikan umat-umat itu memandang batk perbuatan mereka (yang buruk), maka syetan menjadi pemimpin mereka pada hari itu.” (An-Nahl: 63).

 

“Yang telah ditetapkan terhadap syetan ittu, bahwa barangsiapa yang berkai.wan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya dan membawanya ke adzab neraka.” (Al-Hajj: 4).

 

‘Dan, barangsiapa menjadikan syetan sebagai pelindung selain Allah, rnaka sesungguhnya ita menderita kerugian yang nyata. Syetan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syetan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain tipuan belaka. Mereka itu ternpatnya Jahannam dan mereka tidak memperoleh ternpat lari dari padanya.” (An-Nisa’: 119-121).

 

“Dan, (ingatlah) ketika Kami berfirrnan kepada para malaikat, Sujudlah kalian kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Rabbnya. Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pernimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuh kalian? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zhalim.” (Al-Kahfi: 50).

 

Jenis jiwa ini mempunyai kecocokan tabiat dengan syetan. Dengan jiwa seperti itu ia condong kepada sifat, akhiak dan tindakan syetan. Syetan menuntun mereka, berbeda dengan tuntunan para malaikat. Syetan menyeret mereka kepada kedurhakaan, mengguncang jiwa mereka hingga mereka tidak menjadi tenang. Syetan membuat berbagai keburukan tampak baik di mata mereka, menganggapnya sesuatu yang remeh bagi hati mereka dan terasa manis bagi jiwa mereka. Syetan

 

membuat ketaatan tampak berat, menyingkirkan dari perhatian mereka dan membuatnya tampak buruk. Syetan menyusupkan perkataan-perkataan yang buruk dan tidak bermanfaat di lidah mereka, menjadikannya terdengar bagus di pendengaran orang-orang yang mendengarnya, hingga mereka berada di mana pun syetan berada, tidur di mana pun yang diperintahkan syetan. Syetan ikut bergabung bersama mereka dalam harta, anak-anak dan istri mereka. Syetan makan bersama mereka, minum bersama mereka, bersetubuh bersama mereka dan tidur pun bersama mereka. Allah berfirman, ‘Dan, barangsiapa yang mengambil syetan itu menjadi temannya, maka syetan itu adalah ternan yang seburuk-buruknya.” (An-Nisa’: 38).

 

‘Dan, barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), maka syetan itulah yang menjadi ternan yang selalu menyertainya. Dan, sesungguhnya syetan-syetan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. Sehingga apabila orang yang berpaling itu datang kepada Kami (di Hari Kiarnat) dia berkata, Aduhat, sernoga (arak) antaraku dan kamu seperti jarak antara masyrik dan maghrib, maka syetan itu adalah sejahat-jahat teman (yang menyukai manusia)’.” (Az-Zukhruf: 36-38).

 

Orang-orang yang mempunyai jenis jiwa yang ketiga menyerupai hewan. Jiwa mereka berorientasi ke dunia dan hina, tidak ada yang diperhatikan kecuali nafsu syahwat dan tidak menghendaki selainnya.

 

Jika engkau sudah mengetahui prolog ini, maka tanda-tanda cinta juga berlaku pada masing-masing jenis, tergantung kepada apa yang dicintai dan dikehendakinya. Di antara tanda-tanda itu ada yang langsung bisa diketahui dari jenis-jenis jiwa ini. Berikut ini akan kami uraikan tandatanda cinta yang menjadi pendukung rasa cinta itu.

 

Tanda-tanda Cinta

 

  1. Menghunjamkan Pandangan Mata

 

Mata adalah pintu hati, yang berarti mata juga merupakan pengungkap kandungan hati dan penyibak rahasia-rahasianya. Dalam hal ini mata lebih mampu menyampaikan daripada lidah. Sebab indikasinya terjadi seketika itu pula, tanpa ada pilihan lain dari pelakunya. Indikasi lidah berupa ucapan, mengikuti apa maksudnya. Sehingga tidak mengherankan jika engkau melihat pandangan orang yang sedang jatuh cinta selalu terarah kepada orang yang dicintainya, ke mana pun perginya, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Kuikuti arah pandangan ke mana pun kau pergi

tak seorang pun mampu menghalangi jalan yang kulalui

 

Bahkan di mata orang yang mencintai, kekasihnya itu ibarat patung dirinya, sebagaimana kepribadiannya yang selalu ada di hatinya, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Aku heran mengapa ingatanku tertuju kepada mereka

kuajukan pertanyaan padahal mereka ada di sisiku

mataku mencari padahal mereka ada kehitaman mataku

hatiku merindu padahal mereka ada di antara tulang iga

 

Pandangan orang yang jatuh cinta hanya tertuju kepada orang yang dicintai, sebagaimana yang dikatakan dalam syair,

 

Jika mereka menghalangi agar aku tak memandangnya

mataku pun tak kan sudi lagi memandang manusia

 

  1. Malu-malu Jika Orang yang Dicintai Memandangnya

 

Untuk itu dia hanya bisa memandang ke bawah, ke permukaan tanah, karena dia merasa sungkan kepada orang yang dicintainya, karena didorong perasaan malu dan adanya keagungan kedudukan orang yang dicintai di dalam hatinya. Oleh karena itu para raja menganggap lancang lawan bicaranya yang berbicara sambil mengarahkan pandangan kepada mereka. Yang benar ialah dengan cara memandang ke arah bawah. Allah berfirman tentang kesempurnaan adab Rasul-Nya pada malam Isra’,

 

“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (An-Najm: 17).

 

Ini merupakan gambaran adab. Pandangan tidak boleh beralih. alih (celingukan) ke kiri ke kanan dan tidak memandang secara seriug dan tajam. Yang benar ialah memandang lawan bicaranya sepintas lalu, Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam melarang orang yang sedang shalat memandang ke arah langit dan mengancam siapa pun yang melakukannya, bahwa pandangan matanya bisa menjadi buta, Sebab yang seperti ini mencerminkan kesempurnaan adab, apalagi orang yang sedang shalat itu berdiri di hadapan Allah. Orang yang shalat harug berdiri tegap, menundukkan kepala dan mengarahkan pandangannya ke tanah. Kalau tidak karena keagungan Allah di atas Arsy-Nya yang berada di atas langit, tentu tak kan ada bedanya antara memandang ke atas maupun ke bawah.

 

  1. Banyak Mengingat Orang yang Dicintai, Membicarakan dan Menyebut Namanya

 

Siapa yang mencintai sesuatu, tentu dia banyak mengingatnya, dengan hati maupun menyebut dengan lidah. Oleh karena itu Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar mengingat-Nya, dalam keadaan bagaimana pun dan memerintahkan mereka agar mengingat-Nya dengan gambaran yang paling menakutkan. Firman-Nya,

 

‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi Ppasukan (musuh), maka berteguhhatilah kalian dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (Al-Anfal: 45).

 

Orang yang jatuh cinta merasa bangga jika bisa menyebut orang ang dicintai tatkala berada dalam puncak ketakutan atau tatkala beradapan dengan musuh, sebagaimana yang dikatakan seseorang,

 

Kusebut dirimu tatkala anak panah siap menghunjam senjata-senjata yang lain juga datang berseliweran Disebutkan dalam syair yang lain, Kusebut dirimu tatkala tombak berlontaran

 

Seperti lubang sumur yang diguyur susu hitam aku siap menangkap sabetan pedang mengkilat seperti kilatan buah dadamu yang padat

 

Dalam sebagian atsar llahi disebutkan: Sesungguhnya hambaKu adalah setiap hamba-Ku yang menyebut-Ku. Tanda cinta yang sejati adalah menyebut orang yang dicintai tatkala senang dan susah. Penyebutan yang menunjukkan cinta sejati ialah menyebutkan diri orang yang dicintai, dengan hati maupun dengan lidah, pertama kali saat terbangun dari tidur, dan terakhir kali menjelang tidur, sebagaimana yang dikatakan seseorang,

 

Kaulah terakhir yang kusebut sebelum terlelap

kau pula yang pertama kusebut setelah terjaga

 

Menyebut diri kekasih yang dicintai bukan karena sekian lama dia lupa. Tapi hal ini muncul dari dorongan yang kuat di dalam jiwa orang yang jatuh cinta. Gambaran penyebutan yang paling tinggi jika orang yang jatuh cinta justru bisa menahan lidahnya untuk (tidak) menyebut namanya, hatinya bisa menahan lidahnya, kemudian hati dan lidahnya mampu menahan kehadiran orang yang disebutnya. Karena penyebutan ini merupakan hasil dari cinta, maka cinta juga bisa disebut sebagai hasil dari penyebutan. Yang satu menghasilkan yang lain. Menanam cinta tentu akan disirami dengan air penyebutan. Penyebutan yang paling baik adalah yang keluar dari cinta.

 

  1. Tunduk kepada Perintah Orang yang Dicintai dan Mendahulukannya daripada Kepentingan Diri Sendiri

 

Bahkan tanda cinta ini adalah penyatuan Kehendak orang yang mencintai dan dicintai. Inilah penyatuan yang benar, Dukan penyatuan seperti yang dikatakan orang-orang Nashara. Tidak ada penyatuan kecuali penyatuan kehendak. Penyatuan ini merupakan tanda cinta sejati. Kehendak orang yang dicintai dan kehendak orang yang mencintai adalah satu. Bukan orang yang mencinta dengan cinta sejati jika dia mempunyai kehendak yang berbeda dengan kehendak orang yang dicintainya. Bahkan dia adalah orang yang mempunyai maksud tertentu terhadap orang yang dicintai, tidak bermaksud untuk kepentingan orang yang dicintai. Jika memang dia bermaksud untuk kepentingan orang yang dicintai, tentu dia tidak bermaksud untuk kepentingan dirinya sendiri.

 

Orang yang mencintai itu ada tiga macam:

 

  1. Orang yang mempunyai keinginan tertentu dari orang yang dicintai.
  2. Orang yang berkeinginan terhadap orang yang dicintai.
  3. Orang yang berkeinginan seperti keinginan orang yang dicintai.

 

Inilah tingkatan tertinggi dari orang-orang yang mencinta. Ini merupakan zuhud yang paling tinggi. Sebab dia mampu menghindari setiap kehendak yang bertentangan dengan kehendak orang yang dicintai. Jarak antara zuhud ini dan zuhud di dunia, lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi. Sementara zuhud itu bisa dibagi menjadi lima macam: zuhud dalam masalah Keduniaan, zuhud dalam masalah jiwa, zuhud dalam masalah kedudukan, zuhud dalam masalah-masalah yang tidak dicintai, zuhud dalam setiap kehendak yang bertentangan dengan kehendak orang yang dicintai. Hal ini bisa terwujud hanya dengan mengikuti Rasulullah yang tercinta. Allah berfirman, ‘“Katakanlah, Jika kalian (benar-benar) mencintat Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian’, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31).

 

Allah menjadikan kecintaan kepada Rasul-Nya merupakan sebab kecintaan manusia kepada dirinya. Keadaan manusia yang dicintai Allah,

 

lebih tinggi daripada keadaannya yang mencintai Allah. Yang penting bukan bagaimana engkau mencintai Allah, tetapi bagaimana agar engkau dicintai Allah. Ketaatan kepada yang dicintai merupakan topik cintanya, sebagaimana yang dikatakan dalam syair, Kau durhakai Allah dan kau katakan mencintai-Nya yang demikian itu mustahil bisa diqiyaskan dengan usaha andaikan cintamu tulus tentu kau kan patuh pada-Nya orang yang mencinta itu tentu patuh kepada yang dicinta

 

  1. Orang yang Mencinta Bersabar Menghadapi Gangguan Orang yang Dicintai

 

Bahkan kesabarannya di hadapan orang yang dicintai harus berubah menjadi ketaatan kepadanya. Kesabaran dalam menghadapi kedurhakaannya dan kesabaran melaksanakan keputusannya merupakan kesabaran orang yang mencinta. Sedangkan kesabaran yang disertai pemaksaan adalah kesabaran yang kosong. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

 Pujian dihaturkan kepada kesabaran di mana pun jua

pemaksaan terhadap orang yang dicinta bukanlah pujian

 

Siapa yang sabar menghadapi gangguan orang yang dicintai, bisa mengakibatkan kehilangan apa yang dicarinya. Dikatakan dalam syair,

 

Betapa indah sebuah kesabaran

tatkala tak kulihat wajahmu yang menawan

jika suatu hari atau pada saat tertentu

dunia dijual, betapa tinggi harganya

 

  1. Memperhatikan Perkataan Orang yang Dicintal dan Mendengarkannya

 

Hatinya senantiasa ada tempat untuk mendengar perkataannya. Jika ada perhatian terhadap sesuatu yang lain, berarti itu merupakan perhatian yang dipaksakan. Dikatakan dalam syair,

 

Senantiasa kuperhatikan perkataanku

agar aku tampak mengerti dengan pikiranku

 

Tatkala minim bicara pun, maka pembicaraan yang paling disukainya adalah membicarakan sesuatu atau orang yang dicintai. Terlebih lagi jika dia diajak bicara, maka topik pembicaraannya adalah tentang sesuatu yang dicintai, sebagaimana yang dikatakan seseorang, “Tidak ada sesuatu yang paling disenangi orang yang sedang jatuh cinta selain dari mendengarkan pembicaraan tentang sesuatu yang dicintai, karena memang itulah yang dicarinya. Oleh karena itu tidak ada yang lebih disenangi orang yang jatuh cinta kepada Al-Qur’an selain dari mendengarkannya. Telah disebutkan di dalam Ash-Shahih, dari Ibnu Mas’ud Rahiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berkata kepadaku, “Bacakanlah Al-Qur’an kepadaku!”

 

Saya bertanya, “Adakah saya membacakannya kepada engkau, padahal ia diturunkan kepada engkau?”

 

Beliau bersabda, “Aku suka mendengarkannya dari orang selain diriku.”

 

Maka saya membacakan sejak permulaan surat An-Nisa’ kepada beliau hingga ayat, 

 

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai) umatnya>?” (An-Nisa’: 41).

 

Beliau bersabda, “Cukup sampai di situ!”

 

Saya mengangkat kepala memandang beliau, yang ternyata kedua mata beliau meneteskan air mata.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

 

Jika pada shahabat berkumpul, maka mereka menyuruh seseorang untuk membaca Al-Qur’an, dan mereka pun menyimaknya. Setiap kali Umar bin Al-Khaththab bertemu Abu Musa, maka dia berkata kepadanya, “Wahai Abu Musa, ingatkanlah kami kepada Rabb kami!” Lalu Abu Musa membaca Al-Qur’an, dan boleh jadi Umar menangis.

 

Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam pernah melewati Abu Musa yang sedang mendirikan shalat malam. Beliau merasa kagum terhadap bacaannya, lalu diam dan menyimaknya. Esok harinya beliay bersabda, “Semalam aku melewatimu yang sedang membaca Al-Qur’an, lalu aku diam dan menikmati bacaanmu.”

 

Abu Musa berkata, “Andaikan saya tahu engkau berbuat begitu, tentu saya akan membaguskan bacaanku sedemikian rupa.” (Ditakhrij Muslim).

 

Allah yang berfirman dengan Al-Qur’an juga memasang telinga dan mendengarkan bacaan yang bagus dan merdu, karena kecintaanNya mendengarkan firman-Nya dari pembaca itu, sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

‘Allah lebih bersemangat mendengarkan pembaca (Al-Qur’an) yang merdu suaranya daripada penyanyi yang menyanyikan lagunya.” (Diriwayatkan Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqy).

 

Seorang penyair berkata,

 

Wahai hati, sibukkan dengan canda dan permainan

sesungguhnya hatiku sedang menyimak dan mendengarkan .

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Hiasilah Al-Qur‘an dengan suara kalian.” (Ditakhrij Al-Bukhary, Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’y, Ibnu Makah, Ad-Darimy, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

 

Tentu saja salah jika ada yang mengatakan, “Kalimat ini terbalik. Yang dimaksudkan adalah hiasilah suara kalian dengan Al-Qur’an.” Kalau pun ini benar, maksudnya adalah membaguskan suara dengan AlQur’an. Ada pula hadits shahih dari beliau,

 

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak berlagu dengan Al-Qur’an.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

 

Ada ketimpangan jika yataghanna di dalam hadits ini diartikan kekayaan atau kebalikan dari kefakiran atau membutuhkan, yang bisa dilihat dari beberapa sisi pertimbangan:

 

  1. Kalau memang artinya kaya atau tidak membutuhkan, maka harus dikatakan istaghna dan bukan taghanna.

 

  1. Penafsirannya telah disebutkan dalam hadits itu sendiri, yaitu dengan mengerasKan suara. Ahmad berkata, “Kami lebih mengetahui hadits ini daripada Sufyan. Yang dimaksudkan membaguskan suara ialah membaguskannya menurut kesanggupan.

 

  1. Pengertian ini tidak bisa dipahami secara mutlak menurut lafazhnya, sekalipun bisa diartikan begitu.

 

Berarti berlagu dengan suara tertentu mengandung dua pengertian, yaitu:

 

  1. Seseorang berlagu agar didengarkan teman-temannya, karena dia senang berbuat seperti itu, sebagaimana penyanyi suatu lagu yang senang menyanyikan lagunya sendiri.

 

  1. Dia membaguskan bacaan dengan suaranya menurut Kesanggupannya, sebagaimana penyanyi yang berusaha membaguskan suara tatkala menyanyikan lagu.

 

Banyak orang yang jatuh cinta meninggal dunia tatkala mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang sangat merdu mendayu. Mereka ini merupakan korban jatuh cinta kepada Al-Qur’an, bukan korban jatuh cinta kepada pemuda manis atau wanita.

 

  1. Mencintai Tempat dan Rumah Sang Kekasih

 

Di sinilah letak rahasia seseorang yang menggantungkan hatinya untuk mencintai Ka’bah dan Al-Baitul-Haram, sehingga untuk bisa berdekatan dengan sesuatu yang dicintai, dia rela meninggalkan negara dan orang-orang yang dicintainya. Perjalanan yang berat pun terasa ringan dan menyenangkan. Tidak sedikit bahaya yang mengancam dan kesulitan yang menghadang. Dia terus berusaha untuk berdekatan dengannya, seakan-akan yang hendak dicapainya ada di pelupuk mata.

 

Kuhampiri dirimu seakan kau ada di pelupuk mata kutapaki jalan sekalipun jarak jauh tiada terkira

Rahasia cinta ini adalah pengaitan Rabb kepada Ka’bah, dengan berfirman,

 

“Dan, sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf. (Al-Hajj: 26).

 

Seorang penyair berkata,

 

Aku menjadi pengagung kala kukaitkan diriku denganmu aku menjadi tinggi tanpa orang lain yang berkait denganku

Apa pun yang dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai, tentu akan menjadi barang kecintaan. Allah berfirman,

 

“Dan bahwa tatkala hamba Allah itu (Muhammad) berdiri menyembah-Nya….” (Al-Jinn: 19).

 

“Mahasuci Allah, yang telah memperalankan hamba-Nya pada suatu malam….” (Al-Isra’: 1).

 

“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al-Furgqan (Al-Qur’’an) kepada hamba-Nya….” (Al-Furqan: 1).

 

“Dan, jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad)….” (Al-Bagarah: 23).

 

Barangsiapa sudah bisa memahami masalah ini, tentu dia bisa memahami makna firman Allah,

 

“Di Tangan Engkaulah segala kebajikan.” (Ali Imran: 26).

 

Begitu pula sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Kupenuhi panggilan-Mu, kuharapkan barakah-Mu, kebaikan ada di Tangan-Mu dan kejahatan tidak kembali kepada-Mu.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Jika yang dicintai adalah manusia, maka orang yang jatuh cinta kepadanya akan mencintai tempat tinggalnya.

 

Kulewati malam dari satu rumah ke rumah lain

kuraba setiap permukaan dinding ke dinding lain

mencintai tempat tinggal adalah sebagian dari cinta

yang lebih penting lagi adalah mencintai penghuninya

 

  1. Segera Menghampiri yang Dicintai

 

Jalan yang bisa menghantarkannya kepada orang yang dicintai akan ditempuh, dia berusaha agar bisa berdekatan dan bersanding dengannya, siapa pun yang memotong jalannya akan di potong, kesibukannya ditinggalkan dan menyukai apa pun jalan yang bisa mendekatkannya dengan orang yang dicintai. Seorang penyair berkata,

 

Kan kujalani jika kau menyuruhku terjun ke api

jika itu yang kau kehendaki dan mendekatkan badan

kuhampiri dirimu dan kuayunkan langkah kaki

itu petunjukmu ataukah sengaja untuk menyesatkan

 

  1. Mencintai Apa pun yang Dicintai Sang Kekasih

 

Apa-apa yang dicintai itu bisa saja tetangga, pembantu dan siapa pun yang ada kaitan dengan orang yang dicintai, termasuk pula pekerjaan, profesi, gelas, bejana, makanan dan pakaian yang disenanginya. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Kucintai Bani Al-Awwam dengan cinta yang bercahaya

untuk itu kucintai pula anjing-anjing di sekitarnya

 

Dalam cerita tentang orang-orang yang jatuh cinta disebutkan bahwa ada seseorang yang juga mencintai model celana yang dicintai kekasihnya. Sehingga dalam daftar harta warisannya ditemukan sepuluh kantong yang berisi celana. Cerita ini disebutkan Al-Bashry. Ada pula orang yang sangat menyenangi lumpang (tempat untuk menumbuk), karena didorong suara lumpang yang ditumbuk kekasihnya. Sehingga dalam daftar harta warisannya ditemukan sekian banyak lumpang peninggalannya. Cerita tentang manusia yang seperti ini banyak ragamnya. Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu menyenangi labu, karena dia melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang selalu memandang ke arah hidangan labu di atas mangkuk.

 

  1. Jalan yang Dilalui Terasa Pendek Sekalipun Panjang Saat Mengunjungi Orang yang Dicintai

 

Sebaliknya, jalan yang dilaluinya setelah kembali dari tempat orang yang dicintainya terasa panjang sekalipun sebenarnya pendek. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Jika malam-malam aku mengunjunginya

kulihat jalan yang jauh serasa dekat di mata

 

Penyair lain berkata,

 

Demi Allah, tatkala kukunjungi tempat kalian

kulihat kalian terbentang terasa dekat di depan hasratnya tak kan beralih dari ambang pintumu kecuali jika ada sesuatu yang memelesetkan kakiku

 

Penyair lain berkata, Jalan terasa dekat tatkala kukunjungi kalian dan terasa jauh saat aku kembali pulang

 

  1. Salah Tingkah Jika Sedang Mengunjungi Orang yang Dicintat atau Sedang Dikunjungi Orang yang Dicintai

 

Keadaan serupa juga dialami orang yang sedang jatuh cinta jika dia berpisah dengan orang yang dicintai. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Dia menemuiku dan aku pun salah tingkah karenanya

karena kecemasanku ada di dalam genggamannya

kegembiraanku sirna tatkala dia sudah berlalu

karena dia menguasai semua kirimanku

 

Sebagaimana yang sudah diketahui, orang yang jatuh cinta tidak mempunyai kegembiraan dan kesenangan kecuali jika bersua orang yang dicintai. Berarti berpisah dengannya merupakan siksaan baginya.

 

  1. Kaget dan Gemetar Tatkala Berhadapan dengan Orang yang Dicintai atau Tatkala Mendengar Namanya Disebut

 

Terlebih lagi jika dia melihatnya sekonyong-konyong atau tiba-tiba saja muncul di hadapannya, sebagaimana yang dikatakan seorang penyair,

 

Aku berpapasan dengannya secara tiba-tiba

aku pun terhenyak tak tahu apa yang harus dikata

aku menata jalan pikiran semenjak semula

dan kuingat apa yang harus kulakukan jika ia tiada

 

Penyair lain berkata,

 

Tatkala tiba-tiba dia melihat kehadirannya

kedua kakinya gemetar tak kuasa menahannya

 

Boleh jadi orang yang jatuh cinta juga gemetar tatkala nama kekasihnya disebut tiba-tiba, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Ada yang menyebut namanya tatkala dia di Mina

lalu dahan-dahan hatinya gemetar tak tahu sebabnya

pada malam yang sepi kembali namanya disebutkan

seakan-akan dari hatinya ada burung yang terbang

 

Ada perbedaan pendapat di kalangan manusia tentang apa yang menyebabkannya gemetar. Ada yang berpendapat, karena sang kekasih menguasai hatinya, jauh lebih kuat dari kekuasaan raja terhadap rakyatnya. Jika tiba-tiba dia melihat kehadiran sang kekasih, maka badannya gemetar sebagaimana orang yang gemetar tatkala tiba-tiba melihat kehadiran orang yang diagung-agungkannya. Hati manusia tentu mengagungkan kekasihnya dan tunduk kepadanya. Jika seseorang didatangi orang yang diagungkannya, tentu badannya akan gemetar. Ada pula yang berpendapat, karena hatinya menjadi mekar dan berbunga-bunga, sehingga darah menyingkir dari hati, lalu menjadi dingin dan mengakipatkan gemetaran, dan bahkan bisa mengakibatkan kematian.

 

Yang pasti, ini adalah masalah perasaan yang tentunya amat sulit untuk ditelusuri sebab-musababnya.

 

  1. Cemburu kepada Orang yang Dicintai

 

Cemburu kepadanya ialah jika dia tidak menyukai sesuatu yang memang tidak disukainya. Cemburunya akan bangkit jika kekasihnya dijahati dan dirampas haknya. Ini merupakan kecemburuan yang sesungguhnya dari orang yang sedang jatuh cinta. Semua masalah agama juga termasuk dalam masalah yang harus dicemburui.

 

Orang yang paling kuat agamanya adalah orang yang paling besar rasa cemburunya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits shahih,

 

‘Apakah kalian heran terhadap kecemburuan Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d, dan Allah lebih cemburu daripada aku.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany).

 

Orang yang mencintai Allah dan Raul-Nya cemburu kepada Allah dan Rasul-Nya, tergantung kepada besar cintanya dan pengagungannya. Jika hatinya tidak memiliki kecemburuan kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti hatinya tidak memiliki cinta, sekalipun dia mengaku mencintai keduanya. Orang yang membual mencintai kekasih, padahal dia tahu kehormatan kekasihnya dilanggar, haknya dirampas dan membuatnya murka, maka dia adalah seorang pendusta, karena dia tidak cemburu kekasihnya diperlakukan seperti itu. Hatinya dingin. Bagaimana mungkin seseorang mengaku mencintai Allah, sementara dia tidak cemburu tatkala hak-hak Allah dilanggar dan diabaikan? Gambaran orang cemburu yang paling buruk ialah jika dia cemburu karena dorongan hawa nafsu dan karena bisikan syetan, lalu dia cemburu kepada kekasihnya dengan cara berbuat semena-mena dan mendurhakainya.

 

Jika cemburu ini lenyap dari hati, berarti cintanya juga pergi. Jika kecemburuan ini dalam masalah agama, berarti agamanya juga lenyap sama sekali, meskipun pada dirinya masih terlihat sisa-sisa pengaruh kecemburuan ini.

 

Kecemburuan inilah yang menjadi dasar jihad, pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Kecemburuan inilah yang menjadi pendorong semua perbuatan itu. Jika kecemburuan lenyap dari hati, maka seseorang tidak akan mau berjihad, melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena dari sinilah akan lahir kecemburuan terhadap Rabb-nya. Oleh sebab itu Allah menjadikan jihad sebagai tanda cinta kepada-Nya. Firman-Nya,

 

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Maidah: 54).

 

Kecemburuan kepada kekasih adalah sesuatu yang terpuji, jika kecemburuan itu dikhususkan kepada kekasih itu, dan dicela menurut syariat dan akal jika ada persekutuan di dalamnya, seperti kecemburuan seseorang kepada istri atau budaknya atau sesuatu yang dikhususkan baginya. Dia cemburu jika ada orang lain yang menyebut namanya. Cemburu ini dikhususkan bagi makhluk dan tidak berlaku bagi Khaliq. Bahkan orang yang mencintai Rabb-nya senang jika semua manusia mencintai-Nya, menyebut nama-Nya, beribadah kepada-Nya dan memujiNya. Tidak ada yang lebih disenanginya selain dari yang demikian itu.

 

Bahkan dia mengajak dengan perkataan dan perbuatannya kepada yang demikian itu.

 

Karena banyak orang-orang sufi yang tidak membedakan dua macam cemburu ini, maka banyak perkataan mereka yang salah dan menyimpang. Yang terbaik dari kesalahan mereka ini ialah juga perbuatan mereka diampuni dan bukan disyukuri. Sebagian orang-orang sufi yang bodoh, jika melihat orang lain menyebut Allah dan mencintai-Nya, maka dia cemburu kKepada-Nya, dan jika perlu dia akan menyuruh orang itu untuk menghentikan perbuatannya, lalu dia berkata, “Cemburu karena cinta membuatku berbuat seperti ini.” Padahal itu merupakan kedengkian, kesewenang-wenangan dan termasuk permusuhan terhadap Allah. Penyimpangan mereka dari jalan para rasul telah menempatkan diri mereka dalam cetakan cemburu. Mereka menyerupakan cinta kepada Allah dengan cinta kepada rupa atau makhluk.

 

Tidak dapat diragukan, cemburu adalah sesuatu yang dipuji, jika berkaitan dengan cinta yang tidak ada persekutuan dari orang yang mencintai. Masalah ini akan dibahas tersendiri dalam bab cemburu kepada kekasih.

 

  1. Berkorban untuk Mendapatkan Keridhaan Orang yang Dicintai

 

Orang yang sedang jatuh cinta rela berkorban menurut kesanggupannya demi keridhaan orang yang dicintai, daripada dia hanya sekedar menikmati cinta itu. Keadaan orang yang jatuh cinta dalam masalah ini ada tiga macam. Salah satu di antaranya, bahwa pada awal mulanya pengorbanan itu terasa berat dan membebani. Tapi jika cinta semakin kuat, maka pengorbanan itu dilakukan dengan suka rela dan penuh keridhaan. Jika cinta itu tertanam di dalam hati secara mantap, maka pengorbanannya sudah menjadi tuntutan dan permintaan, yang seakanakan harus diambilnya dari orang yang dicintai. Kalau perlu dia harus mengorbankan nyawanya demi orang yang dicintai, seperti pengorbanan para shahabat tatkala melindungi diri Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam dalam peperangan, sekalipun untuk itu mereka harus mati terbujur di sekeliling beliau. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Kupunya sekeping hati yang ditebari cinta

karena cinta dia rela menghadapi penyiksa

cinta menebus dirimu dengan pengorbanan jiwa

kan kutebus pula dengan sesuatu di atas jiwa

 

Barangsiapa lebih mementingkan orang yang dicintai, apa pun dikorbankan untuk kepentingan orang yang dicintainya itu. Allah berfirman,

 

 

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin daripada mereka sendiri.” (Al-Ahzab: 6).

 

Kedudukan iman mereka belum dianggap mantap kecuali menjadikan Rasulullah sebagai orang yang paling mereka cintai, lebih besar dari cinta mereka kepada diri sendiri, apalagi cinta kepada anak dan bapak-bapak mereka, sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

 

“Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman sehingga aku menjadi orang yang lebih dia cintai daripada (cintanya kepada) anak dan bapaknya serta semua manusia.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany, An-Nasa’y, Ibnu Majah dan Ahmad).

 

Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu pernah berkata kepada beliau, “Demi Allah wahai Rasulullah, engkau sungguh lebih kucintai daripada segala sesuatu, kecuali kepada diriku sendiri.”

 

Beliau bersabda, “Wahai Umar, (yang benar) hingga aku menjadi lebih engkau cintai daripada cintamu kepada dirimu sendiri.”

 

Lalu dia berkata, “Demi Allah, engkau lebih kucintai daripada cintaku kepada diriku sendiri.”

 

Beliau bersabda, “Sekarang benar wahai Umar.”

 

Jika ini merupakan gambaran cinta manusia kepada Rasul Allah, lalu bagaimana dengan cintanya kepada Allah? Jenis cinta ini tidak layak diberikan kecuali kepada Allah dan Rasul-Nya, baik menurut pertimbangan syariat maupun tabiat. Jika ada seseorang yang lebih mementingkan cintanya kepada diri sendiri dan harta bendanya, berarti pada hakikatnya itu merupakan cinta terhadap tujuannya. Cinta kepada tujuannya mendorongnya untuk berkorban untuk diri dan hartanya, bukan cinta kepada dzatnya, tetapi kepada tujuannya. Apa yang dicintainya ini mempunyai gambaran tersendiri dan cintanya mempunyai gambaran tersendiri. Sedangkan cinta kepada Allah tidak mempunyai gambaran tersendiri dan cinta kepada apa yang dicintai mempunyai gambaran tersendiri. Oleh karena itu para shahabat memasrahkan urusan diri dan harta mereka kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dengan berkata, “Ini harta benda kami, ada di hadapan engkau. Maka berilah keputusan tentang harta itu, terserah menurut kehendak engkau. Dan, ini diri kami sudah ada di hadapan engkau. Andaikan engkau membentangkan lautan di hadapan kami, tentu kami akan mengarunginya, siap bertempur di depan dan di belakang engkau, di kiri dan kanan engkau.”

 

Qais bin Shirmah Al-Anshary berkata dalam syairnya,

 

Ada beberapa orang di tengah kaum Quraisy naik haji mereka mengingatkan andaikan di sana bertemu kekasih hati mereka menawarkan diri kepada penduduk di sana namun tiada yang mau mengajak dan tiada yang menerima tatkala mendatangi kami dan ada bibit hubungan muncul rona kegembiraan keridhaan pada kebaikan kami rela mengorbankan harta yang ada dan jiwa

saat peperangan berkecamuk atau tatkala mereda

kami mememusuhi siapa pun yang memusuhi

jika memang itu yang dikehendaki kekasih hati

kami tahu bahwa tiada Allah selain-Nya

dan Rasul Allah adalah pembawa petunjuk-Nya

 

  1. Menyenangi Apa pun yang Menyenangkan Orang yang Dicintai

 

Jika ada sesuatu yang membuat kekasihnya benci, maka sesuatu itu tak ubahnya obat yang tidak disukai. Dia tidak menyukai obat itu, namun terpaksa harus tetap menyukainya karena obat itulah yang membuatnya sembuh. Begitu pula keadaan orang yang jatuh cinta bersama orang yang dicintai. Dia senang terhadap sesuatu yang disenangi kekasihnya, sekalipun dia tidak menyukainya. Sedangkan orang yang bersikukuh dengan sesuatu yang disenanginya sekalipun tidak disukai kekasihnya, maka itu namanya bukan cinta yang sejati. Itu adalah cinta yang cacat, sehingga dia menyenangi sesuatu yang diridhai kekasihnya. Jika cinta semacam ini berlaku untuk manusia terhadap yang lain, maka diri orang yang dicintai itu lebih penting dari semua itu. Abusy-Syaish berkata dalam syairnya,

 

Hawa nafsuku berhenti karena kehadiranmu

ku tak berani mendahulukan atau mengakhirkannya

kau tundukkan aku dan kutundukkan diriku

hingga tiada lagi orang yang menghinakanmu

kau laksana musuhku namun kutetap mencintai mereka kedudukanmu di mataku seperti kedudukan mereka jua mencintai dirimu adalah sebuah kenikmatan

aku tak kan peduli orang yang suka menghinakan

 

Penyair lain berkata,

 

Jika ada yang mencemooh karena cintaku padamu

aku tetap senang dengan perasaan yang ada di hatiku

 

Penyair lain berkata,

 

Aku senang jika ada yang menghalangi untuk mencintaimu tak pernah kulihat orang senang karena cintanya terhalang

 

Yang serupa dengan ini adalah perkataan Ahmad bin Al-Husain dalam syairnya, Wahai orang yang senang jika aku berpisah dengannya kebersamaan kami adalah segala-galanya tak ada duanya jika rahasia dirimu seperti ucapan orang yang dengki apalah artinya luka jika kau lebih suka benci di hati

 

Demi Allah, semua pernyataan ini hanya sekedar isapan jempol, tidak ada hakikatnya. Orang yang bersikap jujur tentu akan mengatakan pengetahuan dan kehendaknya, bukan tentang keadaan dan sifatnya. Benar apa yang dikatakan seorang penyair,

 

Mereka ridha terhadap angan-angan dan diuji keadaan

mereka mengarungi lautan cinta, mengakui apa yang dicobakan

mereka gembira tiada beranjak dari tempatnya semula

mereka tidak segera berjalan sekalipun tiada lagi beban

 

Jika ini perkataan orang yang mengalaminya sendiri, berarti dia pula yang mengarungi lautan cinta dan cobaan yang menghadangnya, lalu dia mengabarkan keadaan dirinya yang mampu menyingkap tabir penghalang itu, lalu mencari pengawal untuk membawanya kepada Rabb-nya. Benar apa yang dikatakan seseorang,

 

Jika seperti ini kedudukanku dalam cinta

 

berarti aku telah menyia-nyiakan hari sekian lama angan-angan telah kugapai setelah sekian lama hari ini kukira ia hanya angan-angan semata

 

Inilah keadaan orang yang mencintai Allah yang disertai kecintaan kepada selain-Nya. Sampai di sini boleh jadi dia masih bersabar. Namun lama-kelamaan hakikatnya akan terkuak sendiri, yang ternyata dia telah tertipu dan terpedaya oleh suatu angan-angan. Selama hayat dia mendapatkan apa yang diangan-angankannya. Namun di kemudian hari dia merasa menyesal dan merugi. Allah berfirman,

 

 

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa, dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan, berkatalah orang-orang yang mengikuti, ‘Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami’. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (Al-Baqarah: 167-168).

 

Penyebab terputusnya apa yang diangankan itu adalah cinta dan kesenangan terhadap sesuatu selain Allah atau bukan karena Allah. Inilah yang akan dibawa ke hadapan Allah, lalu Allah menjadikannya seperti debu yang beterbangan. Setiap cinta untuk selain Allah merupakan siksaan bagi pelakunya dan penyesalan di kemudian hari, kecuali kecintaan kepada sesuatu yang bisa menjadi sarana cinta kepada-Nya dan membantu ketaatan kepada-Nya. Inilah yang akan tetap bertahan di dalam hati tatkala semua rahasia dikuakkan pada hari akhirat, sebagaimana yang dikatakan penyair,

 

Di relung hati kalian akan tetap terjaga

rahasia cinta tatkala dikuakkan segala cinta

 

Penyair lain berkata,

 

Jika kau perlihatkan ciri-ciri cinta mereka

orang yang jatuh cinta punya ciri yang tak tampak

jika kau putus tali cinta saat itu pula orang yang jatuh cinta punya tali yang tak putus

 

  1. Suka Menyendiri

 

Berarti orang yang jatuh cinta juga suka menjauhi orang lain. Seakan-akan cintanya menuntut dia untuk berbuat seperti itu. Tidak ada yang lebih terasa manis bagi orang yang jatuh cinta dengan cinta yang sejati selain dari menyendiri, terlebih lagi jika dengan cara itu dia merasa dekat dengan kekasihnya. Sehingga dia tidak suka jika ada orang ketiga yang mengusik kebersamaan ini.

 

Karena rahasia seperti inilah Allah (dan Allah lebih mengetahui segala urusan) memerintahkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menghalau orang lain yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat. Bahkan jika perlu orang yang lewat itu bisa dibunuh jika dia menolak untuk dihalau. Beliau juga mengabarkan bahwa andaikata orang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat itu tahu dosa yang bakal dipikulnya, tentu lebih baik baginya untuk berhenti sejauh empat puluh, daripada harus lewat di hadapannya.”

 

Tidak ada yang merasakan derita dan gangguan karena ada yang lewat di depannya kecuali orang yang benar-benar ada di hadapan kekasihnya. Sehingga rasa cemburu langsung terusik. Adanya orang yang lewat di antara dirinya dan Rabb-nya, seperti kemarahan seseorang karena ada orang ketiga yang mengganggu kebersamaannya dengan orang lain yang dicintainya. Ini masalah yang lumrah, dan tidak bisa dipungkiri perasaan manusia.

 

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Orang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat, bisa melenyapkan separoh pahalanya.” Perkataan serupa juga disebutkan Al-lmam Ahmad.

 

Di samping itu, orang yang jatuh cinta merasa nyaman jika menyebut kekasihnya dan keberadaan kekasih di dalam hatinya tidak boleh diusik. Sebab dia merupakan pendamping dan teman duduknya, tidak merasa nyaman dengan keberadaan orang lain, dan bahkan dia bisa berang karena kesibukan yang lain.

 

Saya pernah diberitahu Tagiyyuddin bin Syagir, dia berkata, “Suatu hari Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah keluar rumah dan saya membuntutinya. Setibanya di tengah padang pasir, yang tak seorang manusia pun di sana dan tak ada yang melihatnya, tiba-tiba dia mensitir ucapan seorang penyair,

 

Kutinggalkan rumah dengan membawa sebuah angan-angan

siapa tahu aku dapat berbincang dengan hatimu sendirian

 

Kesendirian orang yang jatuh cinta bersama kekasihnya merupakan tujuan dari angan-angannya. Siapa tahu dia benar-benar dapat bersanding dengannya, atau jika tidak, dia bisa menyendiri dengan rahasia hatinya. Jika Qais bin Al-Mulawwah melihat orang lain, maka dia menghindar darinya. Jika benar-benar ada orang lain yang hendak mendekati dan berbincang-bincang dengannya, tentu dia akan membicarakan diri Laila. Sehingga dengan begitu dia merasa tenteram. Orang yang jatuh cinta harus berkata seperti yang dikatakan Yusuf Alaihis-Salam kepada saudara-saudaranya,

 

 

Jika kalian tidak membawanya kepadaku, maka kalian tidak akan mendapat sukatan lagi dariku dan janganlah kalian mendekatiku.” (Yusuf: 60).

 

Dikatakan dalam sebuah syair,

Jika kekasih hatiku di tengah kalian tidak terlihat

biar tak kupandang wajah kalian atau kutidur di liang lahat

 

  1. Tunduk dan Patuh kepada Orang yang Dicintai

 

Sebab cinta itu didasarkan kepada ketundukan. Orang yang terpandang pun tidak akan memandang hina orang yang tunduk kepada kekasihnya, tidak menganggapnya sebagai kekurangan atau aib. Bahkan banyak orang yang menganggapnya sebagai kehormatan, sebagaimana yang dikatakan dalam syair,

 

Jika engkau menghendaki kekasih dan tak pasrah

ucapkan kepadanya selamat tinggal untuk berpisah

tunduklah kepada kekasih untuk mendapatkan kehormatan

berapa banyak kehormatan diperoleh karena ketundukan

 

Dikatakan pula,

 

Tunduk dan pasrahlah kepada kekasih tercinta

tiada kehinaan karenanya dalam aturan cinta

 

Dikatakan pula,

 

Aku heran karena ketundukanku padamu

aku tak heran jika aku tunduk tanpa cinta

 

Dikatakan pula,

 

Tempat orang mabuk cinta hingga di kubur

membawa debu ketundukan selain debu-debu kubur

 

Selagi ketundukan dan cinta sudah bersenyawa, maka muncullah penghambaan, sehingga hati orang yang jatuh cinta menjadi hamba ke. kasihnya. Namun urutan-urutan ini tidak berlaku untuk manusia, dan hanya berlaku bagi Allah saja.

 

  1. Helaan Napas yang Panjang dan Lebih Kerap Helaan napas seperti ini ada dua jenis:

 

  1. Karena susah dan sedih, seperti yang dikatakan penyair, Berapa banyak malam yang terasa lebih panjang dari helaan napas cinta yang terputus talinya

 

Dikatakan pula,

 

Helaan napas orang jatuh cinta yang bertubi-tubi pertanda derita cinta yang terpendam di relung hati detak-detak cinta menghentak dinding sanubari menghela napas panjang untuk mengusir tabir di hati

 

  1. Karena gembira dan senang.

 

Penyebab dua keadaan ini ialah karena penyempitan dan pembengkakan hati, sehingga menimbulkan helaan napas panjang yang menekan paru-paru. Ini adalah helaan napas panjang karena keadaannya yang tertekan. Sedangkan helaan napas senang, karena hati mengembang lebih besar dari biasanya, sehingga menimbulkan dorongan udara di dalamnya, lalu mencari jalan keluar.

 

  1. Menghindari Hal-hal yang Merenggangkan Hubungan dengan Orang yang Dicintai dan Membuatnya Marah

 

Sebaliknya, orang yang jatuh cinta akan melakukan apa pun yang bisa mendekatkannya dengan orang yang dicintai dan dipujinya jika sudah melihatnya. Dalam masalah ini banyak keanehan yang dilakukan orang yang sedang jatuh cinta. Banyak di antara mereka yang meninggalkan suatu makanan, pakaian, tempat tinggal, pekerjaan atau kondisi tertentu yang tidak disukai orang yang dicintainya dan tak akan mungkin dilakukannya. Banyak juga di antara mereka yang mencari kelebihan dan keutamaan, yang bisa mengangkat pamornya di mata sang kekasih dan membuatnya semakin mencintainya. Masalah ini juga ada dua jenis:

 

Pertama: Ada respon dari orang yang dicintai, sehingga orang yang jatuh cinta berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh gambaran puncak dari apa yang dilakukannya menurut kesanggupannya. Jika orang yang dicintai merasa respek terhadap usaha mencari harta, maka inilah yang diprioritaskan orang yang jatuh cinta dan dia berusaha lebih bersemangat dari semangat orang yang dicintainya. Jika orang yang dicintai merasa respek terhadap ilmu, maka orang yang jatuh cinta kepadanya akan berusaha menggaili ilmu, lebih dari usaha yang dilakukan orang yang dicintainya. Jika orang yang dicintai respek terhadap suatu pekerjaan atau profesi, maka orang yang jatuh cinta kepadanya akan berusaha mempelajari profesi yang ditekuni orang yang dicintainya jika memang hal itu memungkinkan baginya. Jika orang yang dicintai merasa respek terhadap kisah, cerita dan hikayat yang bagus-bagus, maka orang yang jatuh cinta kepadanya akan memperhatikan kisah-kisah. Cinta yang bermanfaat ialah yang bisa mendorongmu pada pencarian Kesempurnaan. Tapi bencana yang mengerikan akan menimpamu jika engkau dihinggapi cinta yang sama sekali tidak mendatangkan kebaikan.

 

Kedua: Tidak ada respon dari orang yang dicintai, tetapi cinta tetap membara di hati orang yang mencintai, karena didorong oleh ambisi dan kehendak untuk menaikkan pamornya di mata orang yang dicintai. Oleh Karena itu dia justru semakin bersemangat melakukan apa yang hendak dilakukannya. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Dia lakukan kebajikan agar menjadi mulia

dan tabiatnya tampak terpuji di hadapan Laila

 

Bisa saja di sana ada sebab lain, seperti Kebencian orang-orang kepadanya, atau mereka menganggapnya kurang sempurna dan merendahkannya. Sehingga keadaan ini mendorongnya agar tampak hebat di hadapan orang yang dicintai, cemburu kepadanya atau ingin bersaing untuk mendapatkan simpatinya.

 

Siapa yang berterima Kasih kepada teman

akan kuhadiahkan terima kasihku kepada saingan

mereka mendorongku untuk mencari tabiat yang suci

jika perlu kutapakkan kakiku di zodiak gemini

boleh jadi seseorang mengambil manfaat dari musuh

terkadang racun pun berubah menjadi obat penyembuh

 

  1. Adanya Kecocokan antara Orang yang Mencintai dan yang Dicintai

 

Terlebih lagi jika cinta itu tumbuh karena adanya rasa kecocokan antara dua belah pihak. Tidak jarang orang yang mencintai jatuh sakit karena orang yang dicintainya juga sakit dan berbuat seperti yang diperbuatnya, sementara masing-masing pihak tidak menyadarinya. Orang yang dicintai mengucapkan suatu perkataan, lalu pada lain kesempatan orang yang mencintal mengucapkan perkataan serupa secara persis. Perhatikan dialog antara Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu saat Peristiwa Al-Hudaibiyah. Umar bertanya, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan>?”

 

Beliau menjawab, “Benar.” Cmar bertanya lagi, “Lalu atas dasar apa kita menimpakan kehinaan dalam agama kita>” Beliau menjawab, “Aku adalah Rasul Allah. Dia adalah penolongku dan aku tak kan mendurhakai-Nya.” Cimar bertanya lagi, “Bukankah telah engkau katakan bahwa kita akan mendatangi Ka’bah dan thawaf di sekelilingnya?” Beliau ganti bertanya, “Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa engkau bisa mendatanginya tahun depan.” Cimar menjawab, “Kalau begitu tentu engkau akan mendatanginya dan berthawaf di sekelilingnya. Tak lama kemudian Umar mendatangi Abu Bakar Radhiyallahu Anhu dan bertanya kepadanya, “Wahai Abu Bakar, bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan>?”

 

“Begitulah,” jawab Abu Bakar. Umar bertanya, “Atas dasar apa kita menimpakan kehinaan terhadap agama kita dan kita kembali, padahal Allah belum memutuskan perkara kita?” Abu Bakar menjawab, “Beliau adalah Rasul Allah. Allah tentu akan menolongnya dan beliau tidak akan mendurhakai-Nya.”

 

Kemudian Abu Bakar berkata lagi, “Bukankah beliau sudah memberitahukan bahwa kita akan mendatangi Ka’bah pada tahun depan dan berthawaf di sana.”

 

Umar bertanya, “Apakah beliau benar-benar pernah bersabda kepadamu: Engkau akan mendatanginya tahun depan?”

 

“Tidak,” jawab Abu Bakar, “Beliau bersabda saat itu: engkau akan mendatangi Ka’bah dan berthawaf di sana.

 

Abu Bakar menjawab seperti jawaban yang pernah diberikan Rasulullah, huruf per huruf tanpa disadari dan diketahuinya. Ini terjadi karena ada kecocokan antara yang mencintai dan yang dicintai. Begitulah yang disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhary. Dalam sebagian peperangan disebutkan bahwa pertama-tama Umar mendatangi Abu Bakar dan berkata seperti itu, kemudian Umar mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu beliau memberi jawaban seperti jawaban Abu Bakar.

 

Menurut As-Suhaily, ini adalah pertimbangan yang pertama, menyerupai sesuatu yang tersimpan baik. Sulit digambarkan oleh Umar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengucapkan suatu perkataan yang tidak bisa diterimanya. Sehingga dia perlu menemui Abu Bakar Radhiyallahu Anhu. Karena merasa masih ada ganjalan di dalam hatinya, maka dia menyampaikan keganjilannya itu kepada Abu Bakar. Dan, sulit digambarkan oleh Umar bahwa ternyata Abu Bakar mengatakan seperti yang dikatakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Demi Allah, Abul-Qasim telah melepaskan kesalahan yang benar.

 

Yang benar adalah seperti yang disebutkan di dalam Al-Bukhary. Semua ahli sejarah dan hadits juga mendukungnya. Tentang apa yang dinisbatkan kepada Umar, maka dia diberi jawaban bahwa sebenarnya dia menginginkan penghapusan dan ada pengesahan dari Allah seperti beberapa kejadian sebelum itu. Dia menyampaikan suatu perkataan lalu ada wahyu yang turun.

 

Pertimbangan kedua, masalah yang muncul saat itu adalah masalah ujian dan cobaan, yang biasanya sebagian besar shahabat tidak mampu menahan kesabarannya. Sehingga saat itu suasananya betulbetul genting, mereka meradang, resah dan gelisah. Berperang dengan musuh adalah masalah yang harus diprioritaskan. Oleh karena itu tatkala mereka diperintahkan untuk mencukur rambut dan menyembelih korban, tak seorang pun mau melaksanakannya. Hingga akhirnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menemui GUmmu Salamah, yang berkata, “Siapa yang membuat engkau marah, berarti dia membuat Allah marah.”

 

Beliau menyahut, “Bagaimana aku tidak marah jika aku memerintahkan kepada sesuatu dan aku tidak digubris?”

 

Riwayat ini menyangkal ta’wil orang-orang yang mena’wilinya, bahwa mereka menerima keputusan beliau itu dengan lapang dada, mereka menunggu penghapusan keputusan dan mereka tidak tercela karena itu. Jelas ini merupakan Kesalahan yang nyata. Yang benar, seharusnya mereka segera melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Andaikata mereka menerima keputusan beliau, tentunya beliau tidak akan marah seperti itu, sehingga sikap mereka yang menunggu penghapusan itu juga terasa lebih nyaman. Tetapi tindakan mereka itu adalah sesuatu yang diampuni Allah, karena kesempurnaan iman mereka dan mereka memberi nasihat itu karena Allah serta RasulNya. Allah mengampuni mereka karena semangat mereka yang menggebu-gebu dan ketidaksabaran mereka, seperti ketidaksabaran Umar untuk mengekang kekerasan hatinya. Namun Rasulullah dan Abu Bakar mampu menghadapinya, sehingga jawaban mereka berdua seakan keluar dar; satu misykat.

 

Karena Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam memiliki kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi hukum alam yang telah digariskan Allah ini, ridha dan teguh hati, tunduk dan pasrah kepada ketetapan Allah itu, maka Allah menganugerahkan empat macam balasan kepada beliau, yaitu:

 

  1. Ampunan dosanya yang akan datang maupun yang lampau
  2. Kesempurnaan nikmat yang diberikan kepada beliau
  3. Ditunjukkan jalan yang lurus
  4. Diberi kemenangan yang gemilang

 

Maka di sinilah letak jawaban dari pertanyaan yang diajukan sebagian orang: Bagaimana mungkin hukum Allah menjadi alasan dari empat macam balasan ini? Padahal Allah juga telah berfirman,

 

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” (Al-Fath: 1-2).

 

Jawabannya seperti yang sudah kami singgung di atas, bahwa kepasrahan beliau terhadap hukum ini, keridhaan dan ketundukan beliau, mengharuskan Allah untuk memberikan empat macam balasan tersebut. Lebih jelasnya, ini merupakan pengungkapan kecocokan dan kesepakatan antara orang yang mencintai dan yang dicintai. Maka itu pula yang terjadi pada diri Abu Bakar Ash-Shiddiq.

 

Umar juga mempunyai kecocokan dengan Allah dalam satu dua masalah yang dia katakan, lalu turun wahyu yang menegaskan ucapannya itu. Kecocokan ini semakin kuat, hingga seakan-akan orang yang mencintai tahu banyak keadaan orang yang dicintai, sekalipun tempatnya berjauhan. Ini hanya sekedar hubungan kehendak dan tujuan hati, sehingga kehendak mereka berdua sama persis. Sehingga boleh jadi kecocokan ini juga merembet pada saat sakit dan sehat, susah dan senang. Jika kecocokan ini juga dibarengi dengan kecocokan dan kesesuaian rupa, maka itulah kecocokan yang paling sempurna.

 

Ini termasuk salah satu di antara berbagai tuntutan dan hukum cinta yang sejati. Jika cinta semakin kuat, maka tak kan ada tempat bagi yang lain. Dikatakan dalam pepatah: “Di dalam hati tidak ada beberapa kekasih pujaan dan di langit tidak ada beberapa sesembahan.” Jika kekuatan cinta tercecer di beberapa tempat, tentu saja cinta itu akan melemah. Ini pasti terjadi. Perhatikan firman Allah,

 

“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allakt adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan, ikutilah apa yag diwahyukan Rabbmu kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan, dan bertakwalah kepada Allah. Dan, cukuplah Allah sebagai Pemelihara.” (Al-Ahzab: 1-3).

 

Perhatikan bagaimana Allah memerintahkan agar beliau bertakwa képada-Nya, yang meliputi penunggalan-Nya dalam mengikuti perintah dan larangan-Nya, sebagai cermin cinta, ketakutan dan sekaligus harapan kepada-Nya. Takwa tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan keadaan seperti ini dan mengikuti apa yang diwahyukan kepada beliau. yang juga menuntut beliau agar meninggalkan selain Allah. Takwa juga harus disertai tawakal, yang meliputi penyandaran hati kepada-Nya semata, yakin dan kecenderungan kepada-Nya serta mengabaikan selain Dia. Setelah itu Allah berfirman lagi,

 

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (Al-Ahzab: 4).

 

Dalam kalimat ini engkau bisa mendapatkan bahwa hati itu hanya mempunyai satu arah. Jika sudah tertuju ke satu arah, maka dia tidak akan condong ke arah lain. Manusia tidak mempunyai dua hati. Dengan satu hati dia menaati Allah, mengikuti perintah-Nya dan bertawakal kepadaNya, dan satu hati lagi dia peruntukkan bagi selain Allah. Dia hanya mempunyai satu hati. Jika tidak menunggalkan tawakal, cinta dan takwa kepada Rabb-nya, tentu dia akan beralih kepada yang lain.

 

Lebih jauh dari itu, Allah tidak menjadikan istri seorang laki-laki sebagai ibunya. Lebih jauh dari itu, Allah tidak menjadikan anak yang tidak jelas siapa bapaknya sebagai anaknya. Perhatikan betapa indah dasar yang dicanangkan ini, yang pasti diterima akal dan pikiran. Gambaran serupa banyak terdapat di dalam Al-Qur’an. Di antaranya firman Allah,

 

‘Dialah yang menciptakan kalian dari dirt yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya: Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami tstri) bermohon kepada Allah, Rabbnya seraya berkata, Sesungguhnya jika Kamu beri kami anak yang salih, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur’. Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang shalih, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Al-Araf: 189-190).

 

Jiwa yang satu dan pasangannya, Adam dan Hawwa’, yang kemudian muncul sekutu-sekutu yang diciptakan orang-orang musyrik dari anak keturunannya. Perhatian tidak bisa ditujukan kepada selain itu, lalu dikatakan bahwa Adam dan Hawwa’ tidak mempunyai anak yang bisa hidup, lalu Iblis berbisik kepada mereka berdua, Jika kalian ingin anak kalian bisa hidup, maka namakanlah dia Abdul-Harits’.” Lalu keduanya benar-benar melaksanakannya. Allah tetap menuntun dan menunjukinya, sehingga anak jtu tidak menyekutukan-Nya setelah itu.

 

Gambaran lain dari penyertaan ini adalah firman Allah,

 

 

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji’.” (Al-Baqarah: 189).

 

Setelah pernyataan ini dilanjutkan dengan firman-Nya,

 

“Dan bukanlah kebajikan itu memasuki rumah-rumah dari belakangnya.”

 

Orang-orang pada masa jahiliyah berbuat seperti itu tatkala ihram. Tatkala disebutkan kepada mereka masalah waktu ihram yang bisa diambilkan dari bulan sabit, maka disebutkan pula apa yang biasa mereka lakukan. Gambaran lain seperti ini banyak sekali.

 

Maksudnya, cinta itu mengharuskan penunggalan orang yang dicintai. Bahkan Abu Muhammad bin Hazm sangat berlebih-lebihan dalam mengingkari orang yang beranggapan bahwa dia bisa mencintai lebih dari satu orang, yang dia katakan dalam syairnya. Kami juga menukil perkataan dan syairnya. Setelah berbicara panjang lebar, dia berkata, “Dari sini terlihat jelas kesalahan orang yang beranggapan bahwa dia bisa mencintai dua orang yang saling berbeda. Ini termasuk bertendensi syahwat seperti yang sudah kami isyaratkan di atas. Memang secara kiasan hal itu bisa disebut cinta, tetapi tidak cinta yang sebenarnya. Tentang jiwa orang yang mencintai, maka tidak ada kelebihannya jika dia mengalihkannya dari sebab-sebab agama dan dunia. Lalu bagaimana dengan orang yang mencintai orang kedua. Dalam hal ini saya rangkum sebuah syair,

 

Dusta orang yang mengaku memiliki dua cinta

laksana kedustaan Al-Manawiyah dalam dasar agama

tidak ada tempat bagi dua kekasih dalam satu hati

satu urusan tidak bisa dituntun dari dua sisi

seperti hati yang tiada mengetahui pencipta

kecuali satu yang Maha Pengasih atas segalanya

Begitulah hati yang hanya ada satu tiada bertenaga

tak peduli jauh atau dekat dengannya

begitu pula agama yang hanya ada satu

kufur jika ada yang mengikuti dua agama

 

Ada perbedaan pendapat di kalangan manusia tentang masalah ini. Ada segolongan orang yang berpendapat, Hati itu hanya mempunyaj satu arah. Jika dia sudah menuju ke arah itu, maka tak mungkin dia alihkan ke arah lain. Menurut pendapat mereka, karena dua kehendak itu tidak bisa berkumpul menjadi satu secara bersamaan, maka tidak mungkin ada dua cinta di dalamnya. Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Raqy mendukung pendapat ini.

 

Golongan lain berpendapat, hati bisa memiliki dua arah dan lebih menurut dua pertimbangan. Hati bisa diarahkan ke satu arah dan tidak terganggu sekalipun juga ditujukan ke arah satunya lagi. Menurut mereka, hati itu selalu siap mengemban beban. Apa pun yang dibebankan kepadanya, maka dia sanggup mengembannya. Sekalipun ada beban berat yang ditimpakan kepadanya, maka dia tetap akan mengembannya. Namun jika hati itu dianggap lemah, maka dia pun tak sanggup mengemban beban di luar kapasitasnya. Hati yang lapang bisa menyatukan pelaksanaan perintah Allah dan urusan hamba-Nya. Yang satu tidak mengganggu yang lain. Hati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tetap tertuju kepada Allah tatkala mendirikan shalat, tapi juga tidak mengabaikan keadaan orang-orang yang shalat di belakangnya. Beliau pernah mendengar seorang bayi menangis tatkala mengimami shalat. Lalu beliau mempercepat shalatnya, agar ibu bayi yang juga ikut shalat di belakang beliau tidak gundah.

 

Tidakkah kau lihat kelapangan hati beliau untuk memperhatikan dua urusan tersebut? Hal ini tidak bisa dianggap sebagai kekhususan nubuwah. Inilah Umar bin Al-Khaththab yang mempersiapkan pasukan perangnya tatkala sedang shalat. Hatinya begitu lapang untuk urusan shalat dan jihad pada saat bersamaan. Hal ini tergantung kepada kelapangan dan kesempitan hati, kekuatan dan kelemahannya.

 

Masih menurut pendapat mereka, kesempurnaan ibadah ialah jika hati manusia merasakan kehadiran yang disembahnya dan memperhatikan adab ibadahnya. Yang satu tidak akan mengganggu yang lain. Yang seperti ini seringkali terjadi dalam kehidupan praktis. Jika seseorang berbuat sesuatu untuk kepentingan kepala negara umpamanya, yang dia lakukan di hadapannya dan kepala negara itu menyaksikannya secara langsung, maka hatinya menjadi lapang dan mekar. Bahkan inilah keadaan setiap orang yang sedang jatuh cinta, yang berbuat untuk kepentingan kekasihnya, baik dilakukan di hadapannya atau berjauhan dengannya.

 

Inilah Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam yang menangis saat kematian putranya, Ibrahim. Tangis beliau ini merupakan ekspresi perasaan kasih sayang kepadanya. Hati beliau begitu lapang untuk menyayangi putranya dan ridha terhadap takdir Allah. Yang satu tidak mengganggu yang lain.

 

Tetapi Al-Fudhail tidak lapang hatinya saat menghadapi kematian anaknya, yang justru tertawa karenanya.

 

“Mengapa engkau tertawa padahal anakmu meninggal dunia?” tanya seseorang.

 

Dia menjawab, “Sesungguhnya Allah telah membuat suatu ketetapan, dan aku suka jika aku ridha terhadap ketetapan-Nya.”

 

Sebagaimana yang diketahui, keadaan Al-Fudhail ini berbeda dengan keadaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berbeda jauh, yang tidak diketahui hanya oleh Allah semata. Hati Al-Fudhail tidak bisa lapang seperti hati beliau.

 

Yang serupa dengan kejadian ini adalah kelapangan hati beliau tatkala mendengar nyanyian dua gadis di tempat Aisyah. Hal ini tidak membuat beliau mengabaikan Rabb-nya. Beliau berbuat seperti itu untuk suatu kemaslahatan, yaitu membuat ridha jiwa yang lemah. Jika hati yang lemah ini tidak ditangani, maka ia bisa keluar dari area cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya. Sebab jika jiwa manusia sudah mendapatkan berbagai masukan, maka dia rela meninggalkan kebenaran. Namun hati Umar bin Al-Khaththab tidak lapang tatkala melihat nyanyian itu. Maka dari itu dia mengingkarinya. Berapa banyak masukan yang membangkitkan hasrat dan menggerakkan hatinya untuk tunduk kepada Allah, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

Kebaikan dan kejahatan mengingatkan diri

aku pun menjadi takut, berharap dan mawas diri

 

Barangsiapa terlena dengan masukan-masukan ini, dia bisa lupa Allah dan memutus perjalanan hati kepada-Nya. Hati yang lapang berjalan bersama manusia kepada Allah menurut kesanggupannya, tidak menghindari mereka dan tidak menyendiri di tengah padang yang luas, di puncak gunung atau di tempat yang sepi sunyi. Tetapi jika dia turun menemui siapa pun, dia mengajaknya berjalan berdampingan kepada Allah. Jika tidak mau, maka dia berjalan sendirian dan meninggalkan orang tersebut. Tidak dapat dipungkiri, cinta yang sejati pasti membutuhkan sikap seperti ini. AMbillah contoh seorang penyanyi. Jika dia turun dari panggung, maka dia mengajak semua orang untuk ikut menyanyi. Jika mereka tidak mau menyanyi bersamanya, maka dia tidak ingin membiarkan alat-alatnya sebagai korban aksi kekerasan mereka. Syaikh kami juga cenderung kepada pendapat ini.

 

Yang pasti, sesuatu yang layak dicintai tak lebih dari satu. Mustahil jika di dalam hati ada dua wujud kekasih, begitu pula bila di luar hatinya ada dua wujud yang berdiri sendiri-sendiri, yang setiap wujud tidak membutuhkan yang lain dalam berbagai sisi, sebagaimana kemustahilan alam yang memiliki dua Rabb yang berdiri sendiri-sendiri. Bukankah wujud yang layak dicintai hanya Allah semata, Yang Mahabenar dan yang tidak membutuhkan selain-Nya? Sedangkan sesuatu yang dicintai karena untuk Allah, bisa bermacam-macam. Cinta hamba kepada sesuatu ini tidak mengganggu cintanya kepada Allah dan tidak menyekutukannya dalam cinta. Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallarn mencintai istri-istrinya dan yang paling beliau cintai adalah Aisyah Radhiyallahu Anha. Beliau mencintai bapaknya, Abu Bakar dan mencintai Umar bin Al-Khaththab. Beliau juga mencintai shahabat-shahabatnya, dan cintanya ini bertingkattingkat. Namun begitu, semua cintanya ini karena Allah dan semua kekuatan cinta ini kembali kepada-Nya.

 

Cinta itu ada tiga macam:

 

  1. Mencintai Allah
  2. Mencintai karena Allah
  3. Mencintai bersama Allah

 

Mencintai Allah merupakan kesempurnaan cinta dan merupakan tuntutan cinta. Mencintai kekasih mengharuskan untuk mencintai apa yang dicintai sang Kekasih itu dan mencintai apa-apa yang bisa membantu cintanya, menghantarkan kepada keridhaannya dan kedekatan dengannya. Bagaimana mungkin orang Mukmin tidak mencintai sesuatu yang membantunya mendapatkan keridhaan Rabb, menghantarkan kepada cinta-Nya dan kedekatan kepada-Nya? Inilah mencintai karena Allah. Sedangkan mencintai bersama Allah adalah cinta yang berbau syirik, seperti cinta orang-orang musyrik kepada sesembahan mereka. Allah berfirman,

 

“Dan, di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165).

 

Asal-muasal syirik yang tidak diampuni Allah adalah syirik yang terdapat dalam cinta ini. Orang-orang musyrik tidak menganggap sesembahan dan patung-patung mereka menjadi sekutu bagi Allah dalam penciptaan langit dan bumi. Tetapi syirik mereka ini dilihat dari kecintaan terhadap sesembahan itu di samping cinta kepada Allah, sehingga mereka beralih dari cinta ini kepada penuhanan sesembahan itu, seraya berkata, “Ini adalah sesembahan kecil yang mendekatkan kami kepada sesembahan yang besar.” Tentu saja ada perbedaan antara mencintai Allah sebagai dasar, mencintai karena Allah sebagai ikutan dan mencintai bersama Allah sebagai syirik. Dengan menelusuri topik ini, maka di sana ada persimpangan jalan antara ahli tauhid dan ahli syirik.

 

Dikisahkan bahwa Al-Fudhail menemui putrinya yang sedang sakit. Putrinya bertanya, “Wahai bapak, apakah engkau mencintaiku>?”

 

“Ya,” jawabnya.

 

“Tiada ilah selain Allah. Demi Allah, aku tidak menyangka engkau seperti itu, dan aku juga tidak menyangka engkau bisa mencintai seseorang di samping mencintai Allah. Tunggalkanlah Allah dalam cinta dan berikan kepadaku kasih sayang, atau cintamu kepadaku sebagai cinta karena kasih sayang, yang telah dimasukkan Allah ke dalam hati orang tua kepada anaknya, bukan cinta di samping cinta kepada Allah.”

 

Allah mempunyai hak untuk dicintai, yang tidak boleh ada sekutu selain-Nya dalam cinta itu. Kezhaliman yang paling zhalim adalah meletakkan cinta itu bukan pada tempatnya dan ada persekutuan antara Allah dan selain Allah di dalamnya. Maka hendaklah orang yang berakal memikirkan masalah ini, karena ini merupakan bagian dari buku ini memberi manfaat yang sangat besar.

 

Karene bab ini berkaitan erat dengan penunggalan cinta terhadap kekasih dan sekaligus merupakan tuntutannya, maka cembutu itu tergantung kepada kekuatan cinta, dan kekuatan cinta tergantung kepada penunggalan kekasih. Maka ada baiknya jika masalah cemburu ini dikupas setelah penunggalan kekasih.

 

Asal makna cemburu adalah keksatriaan, semangat yang menggelora dan tidak mau dihina. Cemburu itu ada dua macam:

 

  1. Cemburu karena kekasih
  2. Cemburu terhadap kekasih

 

Cemburu karena (demi) kekasih ialah semangat yang menggelora dan marah karena kekasih, jika haknya diremehkan, kehormatannya dikurangi dan mendapat gangguan dari musuhnya. Sehingga orang yang mencintainya menjadi marah dan meradang, lalu cemburu karenanya, yang kemudian berubah memerangi siapa pun yang mengganggunya. Ini merupakan kecemburuan hakiki dari orang yang jatuh cinta, dan ini termasuk jenis kecemburuan para rasul dan para pengikut mereka karena Allah, karena ada orang yang menyekutukan-Nya, melanggar kehormatanNya dan mendurhakai perintah-Nya.

 

Cemburu semacam inilah yang mendorong orang yang jatuh cinta untuk mengorbankan jiwa, harta dan kehormatannya demi sang kekasih, hingga segala hal yang mengganggu atau membuatnya tidak senang menjadi sirna. Dia cemburu demi sang kekasih jika pada dirinya ada suatu sifat yang dibenci sang kekasih, membuatnya marah atau dia melakukan sesuatu yang membuatnya marah kepadanya. Kemudian dia pun cemburu jika pada selain dirinya ada suatu sifat yang tidak disukai dan dibenci kekasihnya. Semua sisi Islam ada dalam cemburu ini dan bahkan itu merupakan Islam itu sendiri. Orang Mukmin tidak berjihad dengan jiwa menghadapi musuh, tidak menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar melainkan karena cemburu ini. Jika hati dalam keadaan kosong dari cemburu ini, maka ia juga kosong dari agama. Orang Mukmin cemburu terhadap dirinya sendiri dan juga orang lain karena Rabb-nya, jika dia tidak memiliki apa yang seperti dicintai-Nya. Cemburu ini bisa mensucikan hati dan melenyapkan kotorannya, sebagaimana tungku api yang melenyapkan karat besi.

 

Sedangkan -cemburu terhadap kekasih adalah kemarahan dan ketersinggungan orang yang jatuh cinta jika ada orang lain yang bersekutu dalam mencintai kekasihnya. Jenis cemburu ini ada dua macam:

 

  1. Kecemburuan orang yang mencintai jika ada orang lain yang bersekutu dalam mencintai kekasihnya
  2. Kecemburuan kekasih terhadap orang yang mencintai, jika dia (yang mencintai) mencintai yang lain di samping juga mencintainya.

 

Cemburu merupakan salah satu dari sifat-sifat Allah. Dasar dari kecemburuan ini adalah firman Allah,

 

“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyji’.” (Al-Araf: 33).

 

Di antara kecemburuan Allah karena hamba-Nya dan terhadap hamba-Nya ialah perlindungan-Nya dari apa-apa yang membahayakan diri hamba itu di akhirat kelak, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat At-Tirmidzy dan lain-lainnya secara marfu’,

 

“Sesungguhnya Allah melindungi hamba-Nya yang Mukmin dari dunia, sebagaimana salah seorang di antara kalian melindungi orang yang sakit dari makanan dan minuman.”

 

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda di dalam khutbah shalat gerhana matahari,

 

“Demi Allah wahai umat Muhammad, tidak ada seseorang yang lebih cemburu daripada Allah, jika ada seorang hamba-Nya yang laki-laki berzina atau ada hamba-Nya yang wanita berzina.”

 

Dengan disebutkannya dosa zina ini secara khusus di dalam khutbah shalat gerhana matahari terdapat rahasia yang sangat mengagumkan, yang telah diperingatkan kepada kita dalam masalah menahan pandangan mata, yang bisa menghasilkan cahaya di dalam hati. Oleh karena itu Allah mengompromikan antara perintah menahan pandangan dan penyebutan ayat tentang cahaya. Allah mengompromikan antara cahaya hati dengan menahan pandangan mata dan cahaya-Nya, yang dimisalkan seperti misykat, karena yang satu bergantung kepada yang lain. Sementara itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengompromikan antara kegelapan hati dan zina, antara kegelapan alam dan gerhana matahari, Beliau menyebutkan salah satu di antara dua jenis ini dengan yang lain. Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Tidak ada sesuatu lebih cemburu selain daripada Allah. Untuk itu Dia mengharamkan berbagai kekejian, yang tampak maupun yang tersembunyi. Dan, tak seorang lebih mencintai pujian selain daripada Allah. Untuk itu Dia memuji Diri-Nya. Dan, tak seorang pun lebih mencintai alasan selain daripada Allah. Untuk itu Dia mengutus para rasul.”

 

Ats-Tsaury meriwayatkan dari Hammad bin Ibrahim, dari Abdullah, dia berkata,

 

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla benar-benar cemburu demi orang Muslim. Maka hendaklah dia juga cemburu.”

 

Dia juga meriwayatkan dari Abdul-Ala, dari Ibnu Uyainah,? dari jbunya, dari Abdullah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla cemburu. Maka hendaklah salah seorang di antara kalian juga cemburu.”

 

Dalam hadits shahih, dari perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah itu cemburu dan orang Mukmin itu cemburu. Kecemburuan Allah ialah jika orang Mukmin melakukan apa yang diharamkan atas dirinya.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany, Ahmad dan At-Tirmidzy).

 

Al-Qa’anaby meriwayatkan dari Ad-Darawardy, dari Al-Ala’, dari bapaknya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Orang Mukmin itu cemburu dan Allah itu lebih cemburu.”

 

Kecemburuan Manusia terhadap Kekasihnya Kecemburuan manusia terhadap kekasihnya ada dua macam:

 

  1. Cemburu yang terpuji dan disukai Allah
  2. Cemburu yang tercela dan dibenci Allah.

 

Cemburu yang disukai Allah ialah cemburu yang disertai keraguraguan, dan cemburu yang dibenci Allah ialah cemburu yang tidak disertai keragu-raguan atau bahkan hanya sekedar berasal dari buruk sangka. Cemburu semacam ini bisa merusak cinta dan memancing perselisihan antara orang yang mencintai dan yang dicintai. Di dalam Al-Musnad dan lainnya, dari Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Cemburu itu ada dua macam. Ada cemburu yang dicintai Allah dan yang lain cemburu yang dibénci Allah”. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah cemburu yang disukai Allah?” Beliau menjawab, Uika kedurhakaan-kedurhakaan kepada-Nya dilakukan dan jika hal-hal yang diharamkan-Nya dilanggar”. Kami bertanya lagi, “Lalu apakah cemburu yang dibenci Allah?” Beliau menjawab, “Kecemburuan salah seorang di antara kalian di luar kadarnya.”

 

Di dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam disebutkan,

 

“Sesungguhnya di antara cemburu itu ada yang disukai Allah dan di antara cernburu itu ada yang dibenci Allah. Cemburu yang disukai Allah adalah cemburu yang disertai keragu-raguan, dan cemburu yang dibenci Allah ialah cemburu yang tidak disertai keragu-raguan.” Beliau juga pernah bersabda,

 

“Apakah kalian heran terhadap kecemburuan Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada dirinya, dan Allah lebih cemburu daripada aku.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany dan yang lainnya).

 

Abdullah bin Syaddad berkata, “Cemburu itu ada dua macam: cemburu untuk kebaikan keluarganya dan cemburu yang membuatnya masuk neraka.”

 

Abdullah bin Lahi’ah meriwayatkan dari Yazid bin Abu Habib, dari Abdurrahman bin Syimamah Al-Mahry, dari Abdullah bin Gmar Radhiyallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam memasuki rumah Mariyah Al-Qibthiyah yang sedang mengandung jbrahim. Dia membawa seorang laki-laki dari kerabatnya yang berasal dari Mesir yang kemudian masuk Islam. Dia sering masuk ke rumah Mariyah. Suatu saat dia harus memotong kedua kakinya, sehingga hanya menyisa sedikit saja dari bagian kakinya. Suatu hari beliau memasuki rumah Mariyah dan mendapatkan laki-laki itu berada di sana. Beliau merasa cemburu seperti yang biasa dirasakan manusia. Beliau keluar dengan rona wajah yang berubah. Umar bin Al-Khaththab berpapasan dengan beliau dan bisa menangkap perubahan rona wajah beliau. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, kami bisa menangkap perubahan rona wajah engkau.”

 

Maka beliau mengatakan apa yang dirasa di dalam hati karena keberadaan kerabat Mariyah di sampingnya. Maka Umar langsung beranjak pergi sambil menentang pedangnya, hingga tiba di rumah Mariyah. Dia benar-benar melihat keberadaan kerabat Mariyah itu di sisinya. Umar langsung menghunus pedang untuk membunuh laki-laki itu. Melihat tindakan Umar ini, kerabat Mariyah tersebut memperlihatkan keadaan kakinya. Gmar kembali lagi menemui Rasulullah dan mengabarkan keadaan laki-laki kerabat Mariyah itu. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Jibril telah mendatangiku dan mrengabarkan kepadaku bahwa Allah telah mensucikan Mariyah dan kerabatnya tentang apa yang aku rasakan, dan menyampaikan kabar gembira kepadaku bahwa di dalam perut Mariyah ada janin yang rupanya mirip denganku, dan memerintahkan agar aku menamakannya Ibrahim.

 

Al-Wagidy menuturkan dari Muhammad bin Shalih, dari Sa’d bin Ibrahim, dari Amir bin Sa’d, dari bapaknya, dia berkata, “Sudah sekian lama Sarrah hidup bersama Ibrahim Alathis-Salam, namun belum jua beliau dikaruniai anak darinya. Tatkala melihat kenyataan ini, Sarrah menghadiahkan Hajar, budaknya kepada beliau, sehingga dia melahirkan seorang anak bagi Ibrahim. Namun ternyata kemudian Sarrah mencemburui Hajar dan selalu mencelanya, sampai-sampai dia bersumpah akan mencincangnya menjadi tiga bagian.

 

“Apakah engkau masih ingin berbuat sedikit kebaikan kepada madumu?” tanya Ibrahim kepada Sarrah.

 

“Apa yang bisa kuperbuat?” Sarrah balik bertanya.

 

“Lubangilah kedua daun telinganya dan khitanilah dia!”

 

Maka Sarrah melubangi daun telinga Hajar dan menyematkan anting-anting, sehingga Hajar semakin tambah cantik menarik.

 

“Saranmu itu justru membuatnya semakin bertambah cantik.”

 

Sarrah tetap tidak menghendaki bila Hajar tetap bersanding bersama Ibrahim. Ibrahim merasakan sesuatu yang menyenak di dalam hatinya. Maka beliau memindahkan Hajar ke Makkah. Setiap hari beliau menjenguknya dari Syam dengan naik Buraq, karena kerinduan beliau kepadanya dan ketidaksabaran beliau untuk bertemu dengannya.

 

Di dalam Ash-Shahih, dari hadits Humaid, dari Anas Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Ada di antara istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menghadiahkan semangkok roti dicampur kuah kepada beliau, selagi beliau sedang berada di rumah istri beliau yang lain (Aisyah). Aisyah menepis tangan pembantu yang membawa mangkok, sehingga mangkok itu pun jatuh dan pecah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam langsung memunguti roti itu dan meletakkan kembali di atas mangkok, seraya berkata, “Makanlah. Ibu kalian sedang cemburu.” Setelah itu beliau menunggu mangkok pengganti dan memberikan mangkok yang pecah kepada Aisyah.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, At-Tirmidzy, Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’y).

 

Aisyah Radhiyallahu Anha pernah berkata, “Aku tidak pernah cemburu terhadap wanita seperti kecemburuanku terhadap Khadijah, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seringkali menyebut namanya. Suatu hari beliau juga menyebut namanya, lalu aku berkata, “Apa yang engkau lakukan terhadap wanita tua yang merah kedua sudut mulutnya? Padahal Allah telah memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadamu.”

 

Beliau bersabda, “Demi Allah, Allah tidak memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadaku.” (Diriwayatkan Al-Bukhary).

 

Perhatikan kecemburuan (Aisyah) yang memuncak ini terhadap wanita yang telah meninggal dunia. Hal ini terjadi karena besarnya cinta Aisyah terhadap Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam, sehingga dia cemburu hanya karena beliau menyebut nama wanita lain.

 

Begitu pula kecemburuan Aisyah terhadap Shafiyyah. Tatkala Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tiba di Madinah bersama Shafiyyah yang telah dinikahinya, dan beliau berbulan madu bersamanya di tengah jalan, maka Aisyah berkata, “Aku menyamar lalu keluar rumah untuk melihat. Namun beliau mengenaliku. Beliau hendak menghampiriku, namun aku berbalik dan mempercepat langkah kaki. Namun beliau dapat menyusul lalu merengkuhku, seraya bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang dia?”

 

Aku menjawab, “Dia adalah wanita Yahudi di tengah para wanita yang menjadi tawanan.” (Ditakhrij [bnu Majah).

 

Di dalam Al-Musnad disebutkan dari perkataan Al-Asy’ats bin Qais, dia berkata, “Saya bertamu kepada seorang shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tak lama kemudian dia menghampiri dan memukul istrinya. Maka saya pun memisahkan mereka berdua, lalu shahabat itu kembali ke tempat tidurnya. Dia berkata, “Wahai Asy’ats, hapalkanlah dariku sebuah hadits yang pernah kudengar dari Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam,

 

“Sekali-kali janganlah engkau bertanya kepada seorang laki-laki, mengapa dia memukul istrinya.”

 

Hammad bin Zaid menyebutkan dari Ayyub, dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma pernah mendengar istrinya berbicara dengan seorang laki-laki yang masih ada hubungan kerabat dengannya dari balik dinding, namun Ibnu Umar tidak mengetahui bahwa lelaki itu kerabat istrinya. Lalu dia mengumpulkan pelepah daun korma, kemudian dia pukulkan ke tubuh istrinya, sehingga dia mengeluarkan rintihan.

 

Al-Khara’ithy menuturkan dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu, bahwa dia sedang menikmati buah bersanding dengan istrinya. Lalu ada seorang pemuda yang menghampirinya dan istrinya memberikan buah yang sebagian sudah dimakannya kepada pemuda tersebut. Maka Mu’adz memukul istrinya hingga kesakitan.

 

Ats-Tsaury menuturkan dari Asy’ats, dari Al-Hasan, bahwa ada seorang wanita yang mengadukan suaminya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena telah memukulnya. Lalu beliau memanggil sang suami, agar dia mengambil hak istrinya. Lalu Allah menurunkan ayat,

 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (An-Nisa’: 34).

 

Setelah itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Kita menghendaki suatu urusan dan Allah menghendaki urusan yang lain.”

 

Umar bin Al-Khaththab adalah orang yang sangat pecemburu, Istrinya biasa keluar untuk ikut shalat. Umar tidak menyukai hal itu. Maka istrinya berkata, Jika memang engkau melarangku, maka aku akan menghentikannya.” Namun Umar hanya bisa diam saja, karena patuh kepada sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

Janganlah kalian menghalangi hamba-hamba Allah yang wanita mendatangi masjid-masjid Allah.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany dan Ahmad).

 

Umar pula yang mengisyaratkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam agar menerapkan hijab terhadap istri-istri beliau. Kebiasaan bangsa yang sudah berlaku, wanita tidak perlu berhijab untuk menjaga kesucian mereka dan kesucian istri-istri mereka. Kemudian Islam meluruskan masalah ini. Saat itu Umar berkata, “Wahai Rasulullah, andaikata engkau tidak menghijab istri-istri engkau, maka orang yang baik dan yang buruk bisa masuk ke rumah mereka.” Maka Allah menurunkan ayat tentang hijab.

 

Pernah ada perkara yang diadukan kepada Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, berkaitan dengan seorang laki-laki yang membunuh istrinya, yang diketahui sedang berduaan dengan laki-laki lain, yang akhirnya juga dibunuhnya. Para wali korban yang wanita berkata, “Orang ini telah membunuh keluarga kami.” Dan, para wali korban yang laki-laki juga berkata serupa.

 

Umar bertanya, “Apa yang bisa mereka (para wali wanita) katakan”

 

Di antara mereka ada yang menjawab, “Orang lain itu membabatkan pedang ke paha istrinya. Andaikata di antara keduanya ada orang lain, tentu dia bisa membunuhnya.” Umar bertanya kepada para wali korban laki-laki, “Apa yang bisa mereka katakan?”

 

Di antara mereka ada yang menjawab, “Orang itu membabatkan pedangnya hingga memutuskan paha istrinya, lalu mengenai pinggang teman kencannya, hingga terbelah menjadi dua bagian.”

 

Umar berkata, Jika mereka menolak, maka kalian juga bisa menolaknya.”

 

Kisah ini disebutkan Sa’id bin Manshur di dalam Sunnah-nya. Segolongan fuqaha, seperti Al-lmam Ahmad dan rekan-rekannya juga setuju dengan keputusan ini. Menurut mereka, andaikata seseorang mendapati laki-laki lain berzina dengan istrinya, maka dia bisa membunuh mereka berdua, tanpa ada qishash dan jaminan. Kecuali jika istrinya dalam keadaan dipaksa, lalu suaminya tetap kalap dan membunuhnya, maka berlaku qishash atas dirinya. Tetapi tuduhan suami tidak bisa diterima kecuali dengan adanya pengakuan dari wali atau ada saksi.

 

Ada perbedaan riwayat dari Al-Imam Ahmad tentang jumlah saksi. Ada riwayat darinya, yang cukup hanya dengan dua orang saksi. Ada pula riwayat lain yang menyebutkan empat orang saksi. Penguat riwayat ini adalah zhahir perkataan Sa’d bin Ubadah Radhiyallahu Anhu, dia bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika saya mendapati istri saya berzina dengan seorang laki-laki? Apakah saya menangguhkan hukuman atas dirinya sehingga saya bisa mendapatkan empat orang saksi?”

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Benar.”

 

Sa’d berkata, “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, bagaimana jika saya memukulnya dengan punggung pedang?”

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Tidakkah kalian heran terhadap kecemburuan Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu darinya dan Allah lebih cemburu dariku,”

 

Sa’id bin Manshur menuturkan dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu, bahwa dia pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang memasuki rumahnya dan memergoki istrinya bersama seorang laki-laki lain, lalu dia membunuh keduanya. Maka Ali bin Abu Thalib menjawab, Jika dia bisa menghadirkan empat orang saksi, maka perbuatannya sah. Jika tidak, maka dia bisa dikenai hukuman mati.”

 

Tentang bukti riwayat yang mencukupkan hanya dengan dua orang saksi, bukan dalam masalah pelaksanaan hukuman, tetapi dimaksudkan untuk menghadirkan sebab pencegah pelaksanaan qishash. Suami harus membunuh orang yang hendak mencelakai istrinya. Tetapi tatkala para wali korban mengingkarinya, maka terdakwa pelaku pembunuhan diminta untuk menghadirkan saksi, dan cukup hanya dengan dua orang saja.

 

Ada seseorang mengaku di hadapan Umar Radhiyallahu Anhu bahwa dia telah membunuh seorang Yahudi. Lalu Umar bertanya, bagaimana rentetan kejadiannya. Maka orang itu menjawab, “Sesungguhnya Fulan pergi berperang, dan dia menitipkan keselamatan istrinya kepadaku.

 

Saya mendengar kabar bahwa ada seorang Yahudi yang mengendapendap untuk menemuinya. Maka saya bersembunyi mematai-matainya, hingga akhirnya orang Yahudi itu benar-benar datang. Saya menghampirinya dan membunuhnya hingga mati.”

 

Untuk kejadian ini Umar tidak meminta saksi kepada pelaky pembunuhan. Sebab boleh jadi dia sudah yakin atau ada pengakuan dari wali. Yang benar, selagi sudah ada petunjuk yang nyata dan tidak diragukan lagi, maka saksi mata tidak lagi dibutuhkan.

 

Sufyan bin Uyainah menuturkan dari Az-Zuhry, dari Al-Qasim bin Muhammad, dari Ubaid bin Umair, bahwa ada seorang laki-laki menerima tamu dari Hudzail. Saat itu ada seorang gadis yang mencari kayu bakar, dan tamu itu hendak merayunya. Sang gadis memungut batu sebesar kepalan tangan lalu ditimpukkan kepada laki-laki itu hingga meninggal dunia. Kejadian ini dilaporkan kepada Umar bin Al-Khaththab. Dia berkata, “Ini adalah hamba Allah yang terbunuh tanpa ada jaminan sama sekali.”

 

Hammad bin Salamah menuturkan dari Al-Qasim bin Muhammad, bahwa Abu As-Sayyarah menyenangi istri Abu Jundab dan merayunya.

 

‘Jangan lakukan itu! Jika Abu Jundab tahu, pasti dia akan membunuhmu,” kata istri Abu Jundab.

 

Namun Abu As-Sayyarah tidak mau mundur. Maka istri Abu Jundab memberitahu saudara Abu Jundab, yang langsung memperingatkan Abu As-Sayyarah. Tapi rupanya Abu As-Sayyarah tetap tidak mau mundur. Akhirnya kejadian ini diberitahukan kepada Abu Jundab. Maka Abu Jundab berkata mengatur siasat, “Kabarkanlah kepada orang-orang bahwa aku sedang pergi mengurus onta. Malam nanti aku baru pulang dan aku akan langsung ke rumah. Jika Abus-Sayyarah datang, maka suruhlah istriku agar memasukkannya ke dalam rumah, sehingga bisa berhadapan langsung denganku.”

 

Maka siasat Abu Jundab ini disampaikan kepada orang-orang. Sementara dia bersembunyi di dalam rumahnya. Abu As-Sayyarah benarbenar datang, yang saat itu istrinya sedang membuat adonan roti di biliknya yang gelap. Abu As-Sayyarah merayu istri Abu Jundab.

 

“Sial benar kau ini! Tahukah kamu apakah urusan yang hendak kau tawarkan padaku ini? Apakah saya pernah mengajakmu untuk berbuat begitu?” tanya istri Abu Jundab.

 

“Yang pasti aku tidak sabar untuk tidak menjamahmu,” kata Abu As-Sayyarah.

 

“Kalau begitu masuklah rumah, agar aku bisa bersiap-siap untuk melayanimu.”

 

Tatkala Abu As-Sayyarah masuk rumah, Abu Jundab menutup pintu dan memukul tengkuk hingga pantatnya. Istri Abu Jundab langsung lari menghampiri saudara Abu Jundab seraya berkata, “Abu Jundab telah menyerang Abu As-Sayyarah.”

 

Abu Jundab disumpahi saudaranya karena perbuatannya itu. Lalu dia digeletakkan di tempat yang biasa dilalui onta. Jika ada seseorang jewat dan bertanya, “Apa yang terjadi denganmu?” Maka dia menjawab, “Saya telah dilanggar onta yang masih muda.”

 

Kejadian ini didengar Umar bin Al-Khaththab, lalu mengirim utusan untuk mendatangi Abu Jundab. Kejadian yang sebenarnya diberitahukan Abu Jundab kepada utusan itu, kemudian dikonfrontasikan dengan keluarga istrinya. Setelah semuanya menjadi jelas, maka Umar memutuskan untuk menghukum Abu As-Sayyarah dengan seratus kali cambukan tanpa ada jaminan.

 

Al-Abbas bin Hisyam Al-Kalby menuturkan dari bapaknya, bahwa Amru bin Humamah Ad-Dausy datang di Makkah untuk menunaikan haji. Dia dikenal sebagai orang yang paling tampan di bangsa Arab pada masa itu. Ada seorang wanita yang memandangnya, seraya berkata, “Aku tak tahu, wajah dia yang lebih elok ataukah kudanya.”

 

Dia mempunyai rambut yang tergerai. Jika sedang duduk-duduk bersama rekan-rekannya, dia menguraikan rambutnya, dan jika sudah beranjak, maka dia menyanggulnya di atas kepala.

 

“Di manakah engkau akan singgah” tanya wanita itu.

 

“Najd,” jawab Amru.

 

“Percayalah padaku! Engkau tidak pantas disebutkan orang Najd, tidak pula orang Tihamah.”

 

Amru berkata, “Kalau begitu kita mampir pada seorang laki-laki yang berada di sebuah gunung antara Makkah dan Yaman.” Setelah itu memberi isyarat kepada wanita itu, “Ikutlah di belakangku.”

 

Maka wanita itu mengikutinya. Suami wanita itu juga membuntuti di belakang keduanya, namun akhirnya tertinggal dan dia pun pulang. Tatkala wanita itu ingin terus bersamanya, maka Amru memotong nadinya, seraya berkata, “Demi Allah, janganiah engkau mengikuti seorang laki-laki setelah ini, siapa pun dia.” Kemudian dia mengembalikan kepada suaminya dalam keadaan seperti itu.

 

Kecemburuan Allah terhadap Hamba-Nya

 

Allah cemburu terhadap hamba-Nya, jika hati hamba itu tidak terisi cinta, ketakutan dan harapan kepada-Nya, dan sebaliknya diisi dengan hal-hal selain Allah. Allah menciptakan hamba untuk menyembah-Nya dan memilihnya di antara semua makhluk-Nya. Dalam sebuah atsar Ilahy disebutkan, “Wahai anak Adam, Aku menciptakanmu untuk Diri-Ku dan aku menciptakan segala sesuatu untukmu. Dengan hak-Ku atas dirimu, maka janganlah engkau menyibukkan diri dengan apa-apa yang Kuciptakan bagi dirimu dan mengabaikan tujuan Kuciptakan dirimu.”

 

Dalam atsar lain disebutkan, “Aku menciptakanmu untuk Diri-Ku, maka janganlah bermain-main, dan Aku menjamin bagi dirimu dengan rezki-Ku, maka janganiah merasa payah. Wahai anak Adam, carilah Aku niscaya engkau akan mendapati aku. Jika engkau mendapatkan Aku, niscaya engkau akan mendapatkan segala sesuatu. Jika Aku tidak mendapatkan dirimu, niscaya engkau tidak akan mendapatkan segala sesuatu. Aku lebih baik bagi dirimu dari segala sesuatu.”

 

Allah juga cemburu terhadap hamba-Nya, jika lidahnya tidak digunakan untuk menyebut nama-Nya dan sibuk menyebut nama selain Allah. Dia cemburu terhadap hamba-Nya jika anggota tubuhnya tidak digunakan untuk menaati-Nya dan sibuk untuk mendurhakai-Nya. Buruk amat seorang hamba jika Pelindungnya cemburu terhadap hati, lidah dan anggota tubuhnya. Padahal tidak seharusnya Dia cemburu terhadap semua itu.

 

Jika Allah menghendaki suatu kebaikan terhadap hamba-Nya, maka Dia akan menguasai hatinya. Jika dia berpaling dari-Nya dan sibuk mencintai selain-Nya, maka hatinya akan dipenuhi dengan berbagai macam siksaan hingga akhirnya dia mengembalikan hatinya kepada Allah. Jika anggota-anggota tubuhnya disibukkan dengan hal-hal yang bukan merupakan Ketaatan kepada-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai macam siksa. Inilah gambaran kecemburuan Allah terhadap hamba-Nya. Karena Allah cemburu terhadap hamba-Nya yang Mukmin, maka Dia pun juga cemburu terhadap dirinya dan kehormatannya. Allah tidak akan membiarkan orang rusak untuk berbuat semena-mena terhadap kehormatannya, sebagai gambaran kecemburuan Allah terhadap hamba-Nya yang Mukmin itu. Allah melindungi orang-orang Mukmin, melindung hati, anggota tubuh, keluarga dan harta benda mereka. Allah berkuasa melindung semua itu sebagai perwujudan kecemburuan-Nya terhadap mereka, sebagaimana mereka cemburu terhadap hal-hal yang diharamkan-Nya. Allah cemburu terhadap hamba-hamba-Nya yang rusak, baik dipandang dari sudut syariat maupun takdir. Oleh karena itu Dia mengharamkan hal-hal yang keji dan mensyariatkan hukuman yang keras dan pedih, karena besarnya kecemburuan Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Jika siksa ini tidak ada aturannya menurut syariat, maka Allah tetap akan memberlakukannya secara takdir.

 

Di antara gambaran kecemburuan Allah ialah kecemburuan-Nya jika ada seseorang ikut andil membicarakan tauhid, agama dan firmanNya, padahal dia bukan termasuk ahlinya. Bahkan Allah membuat batas pemisah antara mereka dan Dia. Firman-Nya,

 

“Dan, Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahami dan (kami letakkan) sumbatan di telinga mereka.” (Al-An’am: 25).

 

Oleh karena itu Allah melemahkan keinginan musuh-musuh-Nya untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan bergabung bersama beliau, sebagai gambaran kecemburuan Allah. Firman-Nya,

 

“Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, ‘Tinggallah kalian bersama orang-orang yang tinggal itu’. Jika mereka berangkat bersama-sama kalian, niscaya mereka tidak menambah kalian selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian, untuk mengadakan kekacauan di antara kalian, sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan, Allah mengetahui orang-orang yang zhalim.” (At-Taubah: 46-47).

 

Allah cemburu terhadap Nabi-Nya dan para shahabat jika orangorang munafik pergi bersama mereka, lalu menyebarkan fitnah di kalangan mereka. Oleh karena itu Allah melemahkan keinginan mereka.

 

Dikisahkan bahwa Asy-Syibly pernah mendengar seorang qari’ sedang membaca ayat,

 

“Dan, apabila kamu membaca Al-Qur‘an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup.” (Al-Isra’: 45).

 

Asy-Syibly berkata kepada qari’ itu, “Tahukah kamu, apakah dinding itu? Dinding itu adalah kecemburuan, dan tidak ada seseorang yang lebih cemburu daripada Allah. Dengan kata lain, Allah tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai orang-orang yang layak mengetahui-Nya.”

 

Di sinilah letak kecemburuan Allah, yang jenisnya lembut dan tidak bisa diraba dengan nalar. Seorang hamba dibukakan pintu kesenangan dan kehidupan, lalu dia menyenanginya dan lupa tujuannya. Maka Pelindungnya cemburu terhadap dirinya. Untuk itu Dia mengembalikannya ke tujuan semula, dengan membuatnya merasa membutuhkan Allah. Tidak ada sesuatu pun murni berasal dari dirinya. Kesenangan dan kemewahan itu seperti tak ada gunanya.

 

Kecemburuan terhadap Ilmu yang Mendetail

 

Di antara kecemburuan itu ada kecemburuan terhadap ilmu yang mendetail, yang tidak cukup dipahami hanya dengan melalui pendengaran. Ali bin Abu Thalib berkata tentang kecemburuan ini, “Beritahukanlah kepada manusia menurut kadar pengetahuan mereka. Apakah kalian suka jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?”

 

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Tidaklah engkau menyampaikan suatu perkataan kepada segolongan orang yang akal mereka tidak mampu menalarnya, melainkan akan menimbulkan fitnah.”

 

Orang yang berilmu cemburu terhadap ilmunya jika disampaikan kepada orang yang tidak bisa mencernanya atau diletakkan bukan pada tempat yang semestinya, sebagaimana yang dikatakan Isa bin Maryam, “Wahai Bani Israil, janganilah kalian halangi hikmah dari orang yang memang ahlinya, sehingga kalian menzhalimi mereka, dan janganlah kalian menyampaikan hikmah itu kepada orang yang bukan ahlinya, sehingga kalian menzhalimi hikmah itu.”

 

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma ditanya tentang firman Allah,

 

‘Allah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (Ath-Thalaq: 12).

 

Maka dia menjawab, “Apa yang bisa membuatmu percaya? Jika tafsirnya kuberitahukan kepadamu, toh kamu pun tetap mengingkarinya. Karena memang kamu mendustakannya, dan kedustaanmu terhadap ayat itu merupakan kufurmu terhadapnya.”

 

Masalah mendetail yang disampaikan kepada orang yang bukan ahlinya laksana wanita cantik yang diserahkan kepada laki-laki buta dan lumpuh untuk dijadikan istrinya, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah pepatah, “Wanita elok yang diperistri laki-laki buta dan lumpuh.”

 

Jika ada suara bisikan di tengah majlis Abu Ali, maka dia berkata, “Ini termasuk kecemburuan yang benar, karena orang yang berbisik-bisik itu menghendaki agar waktu yang dipakai tidak bisa berjalan lancar.” Seorang penyair berkata,

 

Dia ingin bersama jika melihat cermin

wajahnya yang elok menahan langkahnya

ini bukan balasan yang kuterima karena keelokannya

aku menyepi sendiri dan hilang semua kesedihan

 

Al-Qusyairy menuturkan, bahwa ada sebagian orang ditanya, “Apakah engkau ingin melihat mereka?” Dia menjawab, “Tidak.” Dia ditanya lagi, “Apa sebabnya?” Dia menjawab, “Karena saya tidak ingin ada orang lain yang melihat keelokannya.”

 

Dikatakan dalam syair,

 

Aku mendengki jika ada orang lain yang memandangmu

hingga aku hanya bisa menundukkan kepala jika melihatmu

kulinat ada sentuhan sanubari di dalam sosokmu

itulah yang membuatku terpesona dan cemburu

 

Menurut pendapat kami, ini adalah cemburu yang tidak benar, yang tujuannya agar pelakunya diampuni. Ini dianggap tindakan yang bodoh dan asal-asalan. Jika ingin dianggap suatu kemuliaan, maka apabila ditanya, “Sukakah engkau memandang Allah?” Maka dia akan menjawab, “Tidak ada kenikmatan penghuni surga yang lebih tinggi daripada memandang Allah.” Allah suka terhadap hamba-Nya, jika dia memohon agar bisa memandang-Nya. Telah disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa di antara doa beliau adalah,

 

“Ya Allah, aku memohon kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan bersua dengan-Mu.”

 

Perkataan orang itu, “Aku menghindarkan orang lain yang memandang keelokan itu”, karena ini berasal dari tipuan syetan dan nafsu. Hal ini tak berbeda jauh dengan kisah yang berasa! dari sebagian orang, bahwa dia pernah ditanya, “Apakah engkau tak ingin mengingat dirinya>?” Dia menjawab, “Aku tidak ingin lidahku terus menyebut dirinya.”

 

Suatu kali kami pernah mencela seseorang yang meninggalkan shalat. Dia berkata padaku, “Aku memandang diriku tidak layak masuk ke dalam masjid, karena aku ingin melihat orang-orang yang sedang dipermainkan syetan.”

 

Al-Qusyairy menuturkan, bahwa Asy-Syibly pernah ditanya, “Kapankah engkau beristirahat?” Maka dia menjawab, Jika aku merasa tidak lagi menyebut nama-Nya.”

 

Suatu hari anaknya meninggal dunia, lalu ibunya memotong ram. butnya sendiri. Al-Qusyairy masuk kamar mandi lalu mengoleskan cairan perontok rambut, hingga jenggotnya habis. Seseorang bertanya kepa. danya, “Mengapa engkau lakukan itu?” Dia menjawab, “Mereka berta’ziyah kepadaku karena aku sedang lalai untuk mengingat Allah.” Mereka berkata, “Semoga Allah melimpahkan pahala kepadamu.” Dia berkata, “Aku menebus peringatan mereka untuk mengingat Allah dari kelalaian dengan jenggotku ini.”

 

Dikisahkan dari An-Nury, bahwa dia pernah mendengar seseorang menyerukan adzan, lalu dia berkata, “Ini adalah suatu tikaman dan racun pembawa kematian.” Setelah dia mendengar anjing menggonggong, lalu dia berkata, “Kupenuhi panggilanmu dan kebahagiaan atasmu. Ketika tindakannya itu dipertanyakan, maka dia menjawab, “Orang yang menyerukan adzan itu menyebut-Nya tatkala akan muncul kelalaian. Sedangkan tentang anjing itu, maka Allah telah berfirman, ‘Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya’.”

 

Sungguh aneh jika ada orang yang menganggap tindakan seperti ini termasuk keutamaan, menjadikannya sebagai contoh teladan dan ditulis di buku karangannya. Adakah sesuatu yang lebih menyengsarakan dan pahit bagi hati orang Mukmin selain daripada tidak bisa melihat orang yang berdzikir kepada Allah? Adakah sesuatu yang lebih menyenangkannya selain daripada melihat orang-orang yang berdzikir kepada Allah di setiap tempat?

 

Alasan orang yang berkata seperti itu, karena dia tidak melihat orang yang menyebut nama Allah dengan sebenar-benarnya sebutan. Bahkan dia tidak melihat orang yang menyebut nama Allah melainkan karena kelalaian dan nafsu yang menguasai hatinya. Sehingga dia menyebut nama Allah dengan lidahnya semata, tanpa disertai gerakan hatinya. Tentu saja ini adalah penyebutan yang tidak layak. Orang yang mencintai merasa cemburu jika ada orang lain melakukan penyebutan seperti itu, sehingga dia tidak ingin mendengar ada orang lain yang menyebut nama kekasihnya. Tatkala ada orang lain yang bersekutu dengannya dalam penyebutan itu, maka dia mengabarkan bahwa kesenangannya ialah jika dia tidak melihat orang lain yang menyebut nama kekasihnya. Ini merupakan pernyataan yang paling bisa diterima. Jika tidak, maka dilihat dari zhahirnya saja sudah bisa diketahui, bahwa itu merupakan bentuk permusuhan kepada kekasih. Tetapi sikap seperti itu bukan merupakan perangai Asy-Syibly. Cinta boleh menguasai dirinya. Tetapi meskipun begitu dia ingin agar kebodohannya diampuni, berkat ketulusan cintanya dan kemurnian tauhidnya, bukan karena dia ingin disanjung dan diteladani.

 

Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar menyebut nama-Nya dalam keadaan bagaimana pun, sekalipun memang penyeputan nama-Nya itu mempunyai berbagai macam tingkatan. Tingkatan tertinggi adalah penyebutan (dzikir) dengan hati dan lidah, disertai kepersamaan hati dengan sesuatu yang disebutkan, menggunakan lafazhjafazh sebutan yang dicintai-Nya. Tingkatan di bawahnya adalah penyeputan dengan hati dan lidah, tanpa kebersamaan hati dengan sesuatu yang disebutkan. Tingkatan berikutnya adalah penyebutan dengan hati saja, kemudian penyebutan dengan lidah saja. Inilah tingkatan-tingkatan penyebutan. Sebagiannya lebih disukai Allah daripada yang lain.

 

Untuk menyanggah perkataan Asy-Syibly, bahwa ketenangannya jalah jika dia tidak melihat orang lain yang shalat kepada Allah, membaca kalam-Nya dan mengucapkan syahadatain. Jika semua ini merupakan penyebutannya atau bahkan merupakan tingkat penyebutan yang tertinggi menurutnya, lalu bagaimana hati orang yang mencintai bisa menjadi tenang jika dia tidak melihat seseorang yang juga berbuat seperti itu? Padahal Allah senang nama-Nya disebut sekalipun dari orang kafir.

 

Ada sebagian salaf berkata, “Sesungguhnya Allah suka nama-Nya disebut dalam keadaan bagaimana pun, kecuali saat bersetubuh dan buang hajat. Allah telah mewahyukan kepada Musa, ‘Sebutlah nama-Ku, seperti apa pun keadaanmu’. Allah tidak menyia-nyiakan pahala penyebutan dengan lidah semata. Bahkan Dia tetap memberi balasan kepada orang-orang yang menyebut nama-Nya sekalipun hatinya sedang lalai. Tetapi balasan ini tidak utuh tentunya.”

 

Al-Qusyairy berkata, “Saya pernah mendengar Al-Ustadz Abu Ali berkata tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tatkala hendak membeli seekor kuda dari seorang Araby. Namun dia meminta supaya jual beli itu dibatalkan, dan beliau pun memenuhinya. Araby itu berkata, “Demi Allah, siapakah engkau ini?”

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Seseorang dari Quraisy.”

 

Seorang shahabat yang ada di dekat tempat itu berkata kepada Araby, “Engkau memang pantas disebut orang yang berperangai kasar jika engkau tidak tahu nabimu sendiri.”

 

Maka Abu Ali berkata, “Beliau menjawab seperti itu sebagai wujud kecemburuan. Jika tidak, tentunya beliau wajib memperkenalkan siapa diri beliau yang sesungguhnya kepada siapa pun. Kemudian Allah menggerakkan lidah sebagian shahabat untuk memperkenalkan diri beliau kepada Araby itu.”

 

Namun ada yang berkomentar, “Sungguh aneh jika dikatakan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam cemburu jika beliau harug menyebut diri sendiri sebagai Rasul Allah kepada Araby yang tidak mengenal beliau. Padahal beliau senantiasa menyebut siapa dirinya kepada orang-orang kafir, baik secara sembunyi-sembunyi atau terang. terangan, siang maupun malam, dan beliau tidak cemburu dengan tindakan seperti ini. Sulit dibayangkan bahwa beliau cemburu jika Araby itu mengetahui bahwa beliau adalah Rasulullah. Tentu saja ini hanya sekedar khayalan dan kebatilan orang-orang yang berpendapat seperti itu. Beliau menyembunyikan identitasnya saat itu karena hikmah yang sangat lembut yang langsung bisa dipahami seorang shahabat di dekat beliau, lalu shahabat ini pun menjelaskan siapa beliau. Hikmah itu ialah berupa penjelasan tentang diri Araby itu yang berperangai kasar. Lalu Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam ingin menjelaskan kekasaran perangainya dengan suatu cara yang tidak menyinggung perasaannya. Seakan-akan beliau bersabda seperti.apa adanya kepada orang itu, “Engkau memang layak disebut orang yang berperangai Kasar jika engkau tidak tahu siapa diriku, sehingga engkau bertanya siapa diriku.” Setelah ada shahabat yang memahami hal ini dengan ketajaman pemahamannya, maka dia memperkenalkan diri beliau, dengan berkata, “Engkau memang pantas disebut orang yang berperangai kasar jika engkau tidak tahu nabimu sendiri.”

 

Kemudian Al-Qusyairy menyebutkan perkataan Asy-Syibly: Kesemburuan Ilahy terhadap hembusan-hembusan napas yang terbuang siasia karena selain Allah. Ini adalah perkataan yang baik.

 

Al-Qusyairy menanggapi sebagai berikut: Mestinya harus dikatakan, bahwa cemburu itu ada dua macam: Pertama, kecemburuan Allah terhadap hamba. Dengan kata lain, kecemburuan ini jangan membuat Allah menjadi kikir terhadap hamba-hamba-Nya. Kedua, kecemburuan hamba terhadap Allah. Dengan kata lain, janganlah Dia menjadikan sesuatu di sekitarnya dan hembusan napasnya untuk selain Allah. Jadi tidak bisa dikatakan, “Aku cemburu terhadap Allah.” Tetapi harus dikatakan, “Aku cemburu karena Allah.” Alhasil kecemburuan terhadap Allah adalah suatu kebodohan, yang boleh jadi justru mendorongnya untuk meninggalkan agama.

 

Cemburu karena Allah mengharuskan pengagungan hak-hak-Nya dan mensucikan amal karena-Nya. Di antara sunnah-Nya yang benar bersama wali-wali-Nya ialah, jika mereka merasa senang terhadap sesuatu selain Allah, perhatian mereka tertuju kepada sesuatu atau hati mereka condong kepada sesuatu yang membuat mereka bingung, maka hati mereka menjadi cemburu untuk mengulanginya lagi, seperti Adam AlaihisSalam yang terlintas di dalam hatinya untuk hidup kekal di dalam surga, yang justru membuatnya keluar dari surga, atau seperti Ibrahim AlathisSalam yang sangat mencintai Isma’il, lalu beliau diperintahkan untuk menyembelih buah hatinya, sehingga cinta seperti ini hilang dari hati beliau. Tatkala keduanya sudah pasrah diri dan tunduk, maka Allah memerintahkan dengan suatu tebusan.

 

Sebagian orang berkata, “Waspadalah terhadap Allah, karena Dia amat pecemburu jika melihat di dalam hati hamba-Nya ada sesuatu selainNya.” Ada pula yang berkata, “Allah Ta’ala amat pecemburu. Di antara kecemburuannya, Dia tidak membuat jalan lain untuk berhubungan dengan-Nya.”

 

As-Sariy pernah berkata kepada seseorang yang arif, “Aku mempunyai penyakit batin. Lalu apa obatnya?” Orang arif itu menjawab, “Wahai Sariy, sesungguhnya Allah itu pecemburu. Dia tidak ingin melihatmu menyenangi selain-Nya, sehingga dirimu menjadi rendah di Mata-Nya.” Ini merupakan kecemburuan yang benar.

 

Kecemburuan yang Mengakibatkan Buruk Sangka

 

Ini adalah cemburu yang tercela, yaitu cemburu yang menimbulkan buruk sangka, sehingga orang yang sedang jatuh cinta tega menyakiti kekasinnya dan memanasi hatinya dengan kemarahan. Cemburu seperti ini dibenci Allah, terlebih lagi jika cemburu itu tanpa disertai keragu-raguan.

 

Ada pula cemburu yang mendorongnya menghukum sang Kekasih melebih kewajaran, sampai-sampai ada orang yang tega membunuh kekasih yang dicintainya, hanya karena cemburu. Ada seorang penyair yang mempunyai dua pembantu, seorang pemuda dan gadis. Yang satu tampan dan satunya lagi cantik. Penyair ini sangat mencintai keduanya. Suatu hari tatkala masuk rumah, dia melihat keduanya saling berpelukan. Maka dia mengikat keduanya lalu membunuh mereka. Akhirnya dia duduk termenung di dekat kepala pembantu wanitanya, sambil menangis sesenggukan entah berapa lama, kemudian dia berkata,

 

Wahai yang mengintip kematiannya

buah kematian yang bergetar di tangannya

kuguyurkan lelehan darahnya ke butir-butir embun pagi

seperti cinta yang terguyur saat pertemuan bibir kami

kukalungkan pedang di batang lehernya yang jenjang

dan air mataku menetes di pipinya yang kemerahan

Sandalnya lembut menginjak butir-butir embun basah

tiada yang lebih indah daripada sandal kekasih

apa pun yang terjadi dia telah meninggal dunia

aku tak tak kan menangis jika tanah menimbunnya

aku tak rela jika ada orang lain menikmati keelokannya

aku tak rela jika pemuda itu selalu memandangnya

 

Kemudian dia duduk di samping jasad pembantu laki-lakinya, lalu melantunkan syair lainnya.

 

Ada pula orang yang jatuh cinta cemburu terhadap kekasihnya Karena dirinya. Ini termasuk cemburu yang aneh. Sebabnya dia khawatir dirinya akan menjadi kunci bagi orang lain. Dikisahkan bahwa Al-Hasan bin Hani’ dan Ali bin Abdullah Al-Ja’fary sedang bercengkerama berdua, lalu mereka saling melantunkan syair. Al-Hasan berkata terlebih dahulu,

 

Tatkala kutahu dia tiada menaruh hati padaku

cintanya tiada pula tertuju pada diriku

Kuharap dia menjatuhkan cintanya kepada selainku

demi kehangatan cinta dan berbalik lagi padaku

Lalu Ali menimpaili,

Boleh jadi aku senang kau menghalangiku

Karena engkau ingin mendapatkan pencarianmu

Karena khawatir aku menjadi kunci bagi orang lain

kalau pun tidak menyendiri aku pun menyukai harapan

 

Sebagian orang ada yang tidak mau menyebutkan Ciri-ciri kekasihnya dan Keindahan dirinya, karena hal ini bisa memancing orang lain juga mencintainya, sebagaimana yang dikatakan Ali bin Isa Ar-Rafi’y,

 

Aku tak kan menyebut-nyebut diri kekasihku

agar tiada memancing hasrat orang yang punya mau

aku tak kan mengusik hati laki-laki lain

menyembunyikan diri wanita bisa memutus hubungan

 

Banyak orang-orang bodoh yang menyebutkan ciri-ciri istrinya dan kecantikannya kepada laki-laki lain, yang justru mengakibatkan perceraiannya dan laki-laki lain itu justru menjalin hubungan dengan istrinya.

 

Karena rasa cemburu yang berlebih-lebihan, ada pula seseorang yang menganggap dirinya seperti orang lain, sehingga dia mencemburui kekasihnya terhadap diri sendiri. Memang banyak hal-hal yang aneh dalam masalah cinta. Seorang penyair berkata,

 

Wahai yang namanya disebut dalam suatu pertemuan

kecantikan wajahnya mempesona di hati semua orang

karena pandanganku aku menjadi cemburu

begitu pula tehadap semua orang selainku

jiwaku sebagai tebusanmu meski aku kebingungan

air mataku basah seraya mengetuk pernapasan

kau tahu karena cintaku padamu aku tersiksa

terhadap hidup dan harapannya aku pun putus asa

 

Ada pula orang yang ingin menyesuaikan dirinya dengan sang kekasih, sementara kekasihnya tidak ingin dia mengait-ngaitkan cintanya kepada dirinya atau menyebut-nyebut cintanya. Karena itu dia mencemburui kekasih terhadap dirinya sendiri, seperti kesenangannya menghindari kekasih jika dia menyadari ada sesuatu yang diinginkannya dari yang kekasih. Seorang penyair berkata,

 

Aku suka menjauh dari dirimu

jika kutahu di dalam hatiku ada sesuatu

andaikan bukan karena kesenanganmu aku pun begitu

suatu saat aku tak yakin terhadap kesabaranku

 

Tingkatan cemburu yang tertinggi ada tiga macam:

 

  1. Kecemburuan hamba karena Rabb-nya jika hal-hal yang diharamkan-Nya dilanggar dan hukum-hukum-Nya disia-siakan.

 

  1. Kecemburuan hamba terhadap hatinya sendiri jika ia menyenangi hal-hal selain Allah dan condong kepada selain-Nya.

 

  1. Kecemburuan hamba terhadap kehormatan dirinya, jika ada orang lain yang mengintipnya. –

 

Cemburu yang dicintai Allah dan Rasul-Nya berkisar pada tiga jenis ini. Sedangkan jenis yang lain, entah berasal dari tipuan syetan atau entah karena ujian yang datangnya dari Allah, seperti kecemburuan istri terhadap suaminya, jika sang suami menikahi wanita lain.

 

Jika ada yang bertanya: Lalu termasuk jenis cemburu macam apakah kecemburuan Fathimah, putri Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam terhadap Ali tatkala hendak menikahi putri Abu Jahl, dan juga kecemburuan beliau demi Fathimah ini? Bisa dijawab sebagai berikut: Di antara jenis cemburu itu ada yang disukai Allah dan Rasul-Nya. Beliau telah mengisyaratkan bahwa Fathimah adalah bagian dari dirinya. Apa yang menyakiti Fathimah juga menyakiti beliau, apa yang menggelisahkan

 

Fathimah juga akan menggelisahkan beliau. Kedua wanita itu tidak baik jika berkumpul menjadi satu. Putri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak baik jika berkumpul dengan putri musuh beliau, sama-sama menjadi istri seorang laki-laki. Ini merupakan bentuk pengingkaran yang tidak bisa dianggap mainmain. Di samping itu, tatkala beliau menyebut nama besannya yang dikabari lalu membenarkan beliau, diberi peringatan lalu memperhatikan beliau, merupakan bukti bahwa Ali diberi syarat seperti itu tatkala melaksanakan akad nikah, entah lewat perkataan, entah secara tradisi, entah menurut keadaan yang terjadi saat itu. Syarat itu ialah, dia tidak boleh membuat Fathimah menjadi risau dan menyakitinya, tetapi harus menggaulinya dengan cara yang ma’ruf. Maka sudah barang tentu bukan sesuatu yang ma’tuf jika Ali menikahi putri musuh beliau dan memancing kebencian Fathimah. Oleh karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kecuali jika Ali bin Abu Thalib ingin menceraikan putriku dan menikahi putri Abu Jahl.” (Kisah ini diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy dan lain-lainnya).

 

Syarat menurut tradisi yang berlaku, seperti syarat yang diucapkan lewat kata-kata menurut pendapat sebagian besar fuqaha, fuqaha Madinah, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam khawatir akan menimbulkan cobaan terhadap agama Fathimah, karena dia-harus berkumpul dengan putri musuh Allah. Kecemburuan beliau tidak hanya karena ketidaksukaan karena keduanya harus berkumpul. Tetapi yang mendorong kecemburuan beliau ini ialah kehormatan agama. Beliau telah mengisyaratkan hal ini dengan bersabda, “Sesungguhnya aku khawatir akan mendatangkan cobaan bagi agamanya.” Allahlah yang lebih tahu mana yang benar.

 

Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orangorang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mukminun: 1-7).

 

Tatkala ayat-ayat ini turun kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka beliau bersabda,

 

“Telah diturunkan kepadaku sepuluh ayat, barangsiapa menegakkannya, maka dia masuk surga.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy).

 

Allah juga berfirman, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap adzab Rabbnya. Karena sesungguhnya adzab Rabb mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). Dan, orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Ma’arij: 19-31).

 

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya’.” (An-Nur: 30-31).

 

“Dan, orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (An-Nur: 33).

 

“Dan, berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 60).

 

“Dan (ingatlah) Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami.” (At-Tahrim: 12).

 

“Dan, kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (An-Nur: 32).

 

Allah memerintahkan agar mereka menjaga kesucian dirinya hingga mempunyai kekayaan, dan memerintahkan agar menikahkan orang-orang yang sudah layak untuk dinikahkan, sekalipun miskin. Sebab Allah akan mencukupkan mereka. Lalu apa kandungan dari dua ayat ini (An-Nur: 32 dan 33)

 

Jawabannya: Ayat 33 berkaitan dengan hak orang-orang merdeka, agar mereka menjaga kesucian diri hingga Allaah memampukan mereka dengan karunia-Nya, yaitu jika mereka mau menikah dalam keadaan masih miskin, padahal mereka harus memenuhi hak di luar kemampuannya dan tidak ada orang lain yang menyantuninya. Sedangkan dalam ayat 32, Allah memerintahkan agar mereka menikahkan al-ayama, yaitu wanita-wanita yang tidak bersuami. Inilah pendapat yang masyhur dari makna al-ayama, jika tanpa ada pembatasan, sekalipun juga bisa berlaku bagi laki-laki jika ada pembatasan, seperti kata al-’azabu yang berlaku untuk laki-laki jika tanpa ada pembatasan, tapi juga bisa berlaku untuk wanita jika ada pembatasan. Kemudian Allah menyuruh agar mereka menikahkan hamba-hamba sahaya mereka yang laki-laki maupun yang perempuan, jika mereka sudah layak untuk menikah. Ayat pertama berkaitan dengan hukum pernikahan diri mereka sendiri, dan ayat kedua berkaitan dengan hukum mengawinkan orang lain. Firman Allah dalam bagian ini, “Jika mereka miskin”, mencakup tiga golongan orang yang disebutkan di dalam ayat di atas. Anak gadis mencukupkan nafkah pada suaminya, begitu pula hamba sahaya perempuan. Sedangkan hamba sahaya laki-laki, jika dia tidak mempunyai kekayaan dan yang kaya adalah tuannya, maka selamanya dia tidak bisa berharap untuk menikah. Namun jika dia dimerdekakan, maka dia bisa memiliki harta setelah itu. Padahal dia tetap perlu menikah selama menjadi hamba sahaya. Maka dari itu Allah memerintahkan agar dia dinikahkan dan Allah akan mencukupkannya dengan karunia-Nya, entah dia sendiri yang mampu mencari nafkah, entah tuannya yang akan menjamin nafkahnya dan nafkah istrinya. Jadi, untuk menikah dia tidak perlu menunggu hingga kaya, seperti yang dilakukan orang merdeka.

 

Kesucian Yusuf

 

Allah telah menyebutkan kisah tentang Yusuf Alaihis-Salam yang menjaga kesucian dirinya. Padahal faktor-faktor pendukung yang melingkupi diri beliau sangat banyak, yang tidak pernah ada pada diri orang lain. Beliau adalah seorang pemuda, yang biasanya dorongan birahi sangat kuat pada masa muda. Beliau seorang bujangan yang tak seorang pun menjamin kehidupannya. Beliau orang asing yang jauh dari keluarga dan tempat kelahirannya. Biasanya orang yang hidup di tengah keluarga dan rekan-rekannya akan merasa malu jika mereka mengetahui tindaktanduknya sehingga kedudukannya jatuh di mata mereka. Karena keadaan beliau yang asing di suatu tempat, maka perasaan seperti itu tidak ada lagi. Dalam gambaran secara umum, yang namanya budak dan hamba sahaya tidak akan dihargai seperti halnya orang merdeka. Sementara wanita yang ditempati beliau mempunyai kedudukan terpandang dan cantik, sehingga dorongan untuk meladeni rayuannya lebih kuat daripada menghadapi wanita yang tidak mempunyai kedudukan terpandang dan tidak cantik. Terlebih lagi justru wanita itulah yang merayu beliau, sehingga tak ada lagi beban yang biasa menghantui perasaan laki-laki dan kekhawatirannya bahwa dia tidak mendapat respon. Peluang ini semakin terbuka lebar karena wanita itu sendiri yang meminta dengan hasrat yang meluap-luap dan disertai rayuan, sehingga kekuatan untuk bertahan menghadapi cobaan ini menjadi tipis. Wanita itu berada di dalam kekuasaan dan rumahnya sendiri, sehingga dia tahu persis kapan waktu yang paling tepat dan di mana tempat yang pas, agar tidak diintip orang lain. Ditambah lagi, wanita itu menutup semua pintu rumah, agar aman dari campur tangan orang lain yang hendak masuk ke dalamnya.

 

Meski ada semua faktor pendukung ini, toh beliau tetap menjaga kesucian diri karena Allah dan tidak mau meladeninya. Beliau mendahulukan hak Allah dan hak suami wanita itu. Andaikan orang selain beliau yang mengalami peristiwa seperti ini, entah apa yang bekal terjadi dengan dirinya.

 

Jika ada yang berkata, “Boleh jadi beliau ada hasrat terhadap wanita itu.” Maka di sini ada dua jawaban. Pertama, beliau tidak berhasrat terhadap wanita itu. Andaikan tidak melihat keterangan dari Allah, tentu beliau perhasrat kepadanya. Kedua, hasrat beliau adalah hasrat yang datang sepintas lalu, lalu beliau mengacuhkan hasrat ini karena Allah. Kemudian Allah memberikan pahala kepada beliau. Inilah pendapat yang lebih benar. Sedangkan hasrat wanita itu adalah hasrat yang menggebu-gebu, dengan berusaha sebisa mungkin untuk itu, namun dia tidak mampu menundukkan beliau, sehingga dia bertepuk sebelah tangan.

 

Menurut Al-Imam Ahmad bin Hanbal, hasrat itu ada dua macam, hasrat yang datang sepintas lalu dan hasrat yang menggebu-gebu. Hasrat yang datang sepintas lalu tidak mendapat hukuman, sedangkan hasrat yang menggebu-gebu mendapat hukuman. Jika ada yang bertanya, “Lalu bagaimana dengan perkataan beliau yang berusaha membebaskan diri, ‘Dan, aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan)’?”

 

Bisa dijawab sebagai berikut: Inilah yang dikatakan segolongan para mufasir, yang berbeda dengan pendapat lainnya. Menurut golongan mufasir – ini, bahwa itu adalah perkataan istri Al-Aziz, bukan perkataan Yusuf AlaihisSalam. Kebenaran pendapat ini bisa dilihat dari beberapa segi. Di antaranya, perkataan ini masih berkaitan dengan perkataan istri Al-Aziz,

 

“Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Yang demikian itu agar dia (Al-Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwa Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat. Dan, aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan).” (Yusuf: 51-53).

 

Yang menganggap bahwa itu merupakan perkataan Yusuf, maka dia perlu menahan pendapat yang tidak disertai bukti penguat sama sekali. Pendapat seperti ini tidak perlu ditutup-tutupi, agar tidak ada kesalahpahaman. Memang bisa saja itu merupakan perkataan Yusuf, dan bisa pula merupakan perkataan istri Al-Aziz. Namun pendapat yang kedua inilah yang benar.

 

Pertimbangan lain, Yusuf Alathis-Salam tidak berada di tempat tatkala istri Al-Aziz berkata seperti itu, tetapi beliau sudah mendekam di dalam penjara, yaitu tatkala wanita itu berkata, “Sekarang jelaslah kebenaran itu….” Arah kalimat yang menunjukkan makna itu sangat jelas, yaitu tatkala tuannya mengirim utusan kepada beliau, lalu beliau berkata kepada utusan itu,

 

“Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya.” (Yusuf: 50).

 

Tuannya mengirim utusan kepada wanita-wanita itu, menghadirkan mereka, bertanya kepada mereka dan menanyakan apa yang diperbuat istrinya di tengah mereka. Maka mereka memberi Kesaksian tentang kebebasan dan kesucian beliau, selagi beliau tidak ada di tempat tersebut. Tidak ada pilihan bagi mereka kecuali mengatakan yang sebenarnya,

 

“Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahut suatu keburukan daripadanya.” (Yusuf: 51). :

 

Lalu istri Al-Aziz berkata,

 

“Akulah yang menggodanya untuk menundukkan drinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Yusuf: 51).

 

Jika ada yang berkata, “Lalu bagaimana dengan perkataan, “Yang demikian itu agar dia (Al-Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwa Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat?’” Lebih baik jika ini dianggap sebagai perkataan Yusuf. Dengan pengertian lain, keterlambatanku untuk menghadap bersama-sama dengan utusan, agar tuan tahu bahwa aku tidak berkhianat tatkala dia sedang tidak di rumah. Sebab Allah tidak memberi petunjuk kepada tipu daya orang-orang yang berkhianat. Kemudian kalau pun beliau berkata, “Dan, aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada Kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, maka ini merupakan Kesempurnaan ilmu beliau tentang Allah dan juga tentang nafsu beliau. Tatkala beliau memperlihatkan kebebasannya dari kesalahan dari apa yang dituduhkan, maka beliau menjelaskan keadaan dirinya yang memang tidak lepas dari nafsu, yang selalu menyuruh kepada kejahatan. Tetapi rahmat dan karunia Allah melindungi diri beliau. Maka setelah memperjihatkan kebebasan dirinya dari kesalahan, beliau menyerahkan masalah ini kepada Allah.

 

Ada yang berpendapat, sekalipun pendapat di atas telah dikatakan sebagian golongan, toh yang benar bahwa itu berasal dari perkataan wanita jtu (istri Al-Aziz). Semua kata ganti pelaku merupakan satu bentuk, yang dikuatkan perkataan para wanita, “Kami tiada mengetahui suatu keburukan daripadanya.” Begitu pula perkataan istri Al-Aziz, “Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” Di sini ada lima kata ganti pelaku, entah yang tampak maupun yang tidak tampak. Kemudian berkait dengan perkataannya, “Yang demikian itu agar dia (Al-Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya.” Inilah yang memang disebutkan dan tidak ada sesuatu yang memberi rincian yang detail.

 

Jika ada yang berpendapat, lalu apa makna perkataan wanita itu (istri Al-Aziz), ‘Yang demikian itu agar dia (Al-Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya’?” Maka bisa dijawab, “Ini merupakan alasan yang sangat jitu. Sebuah alasan yang disertai pengakuan. Dengan kata lain, perkataan dan pengakuanku ini terhadap kebebasannya dari kesalahan, agar dia (Al-Aziz) mengetahui bahwa aku tidak berdusta di belakangnya, sekalipun aku berkhianat kepadanya pada awal mula. Sekarang dia tahu bahwa aku tidak berkhianat di belakangnya. Kemudian dia beralasan dengan berkata, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan).” Kemudian dia menjelaskan sebab mengapa dia tidak ingin membebaskan dirinya dari kesalahan, bahwa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan. Perhatikan betapa mengagumkan urusan wanita itu. Dia menetapkan kebenaran dan mengemukakan alasan tentang apa yang disukainya, kemudian mengemukakan alasan tentang dirinya. Setelah itu dia menyebutkan sebab yang mendorong perbuatannya. Kemudian dia mengakhirinya dengan mengharapkan ampunan Allah dan rahmat-Nya, jika Allah tidak merahmati hamba-Nya, maka dia terseret kepada kejahatan.

 

Bandingkanlah pendapat yang menyatakan bahwa itu merupakan perkataan wanita dan pendapat yang mengatakan bahwa itu merupakan perkataan Yusuf, baik secara lafazh maupun maknanya. Kemudian perhatikan seberapa jauh kerancuan di antara keduanya. Tidak mustahij jika wanita itulah yang berkata seperti itu. Sekalipun dia memeluk agama yang diwarnai syirik, toh kaumnya mengakui adanya Rabb Yang Mahatinggj dan hak-hak-Nya, sekalipun mereka menyekutukan yang lain dengan. Nya. Jangan lupa perkataan tuannya kepada istrinya saat pertama kali, “Mohon ampunilah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya ter. masuk orang-orang yang berbuat salah.” Di dalam Ash-Shahih, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallarn bersabda,

 

“Tujuh golongan yang dilindungi Allah di dalam lindungan-Nya pada hari yang tiada lindungan selain lindungan-Nya: pemimpin yang adil, pernuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, orang laki-laki yang hatinya tergantung di masjid, dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah dalam keadaan seperti itu, orang laki-laki yang diajak wanita yang berkedudukan dan cantik, namun dia menjawab, Aku takut kepada Allah Rabbul-alamin, orang laki-laki yang mengeluarkan shadaqah, lalu dia merahasiakannya, sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang dikeluarkan tangan kirinya dan orang-orang laki-laki yang menyebut nama Allah kala sendirian, hingga kedua matanya menangis.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasa’y dan Ahmad).

 

Di dalam Ash-Shahih, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Tatkala tiga orang sedang mengadakan peralanan, tiba-tiba hujan mengguyur mereka. Lalu mereka berteduh ke sebuah gua di gunung. Setelah itu bebatuan jatuh dari atas gunung dan menutup mulut gua mereka. Sebagian berkata kepada sebagian yang lain, “Perhatikanlah amal-amal shalih yang pernah kalian kerjakan, lalu berdoalah kepada Allah dengan amal-amal shalih itu!” Sebagian di antara mereka berkata, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku mempunyai dua orang tua yang sudah renta, seorang istri dan dua anak. Saya senantiasa mengurus mereka. Setiap kali sehabis pergi, aku memerah susu untuk mereka, dan yang pertama kali kuberi minum adalah kedua orang tuaku sebelum anak-anakku. Suatu kali aku tersesat hingga ke tempat yang jauh tatkala mencari kayu bakar, sehingga aku pulang larut malam dan kudapatkan mereka berdua sudah tertidur. Aku memeras susu seperti biasanya, lalu aku hanya berdiri di dekat kepala mereka, tidak berani membangunkan mereka dan tidak ingin mendahulukan anak-anakku sebelum mereka berdua minum. Sementara anak-anakku menangis kelaparan sambil merangkul kedua kakiku. Aku tetap seperti itu hingga fajar menyingsing. Jika Engkau tahu bahwa aku berbuat seperti itu karena mengharapkan Wajah-Mu, maka bukakanlah sedikit celah agar kami bisa melihat langit”. Maka Allah membuka sedikit celah kepada mereka. Orang kedua berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai seorang putri pamanku (keponakan), dan aku jatuh cinta kepadanya, seperti lazimnya cinta yang menggelora dari seorang laki-laki terhadap wanita. Lalu aku memintanya agar mau kugauli, namun dia menolak. Aku memberinya seratus dinar, lalu kurayu dia, dan bahkan dia kubert lagi seratus dinar, lalu kutemui dia. Tatkala aku sudah siap-siap untuk menggaulinya, dia berkata, “Wahai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau merusak cincin kecuali menurut haknya”. Aku langsung bangkit menghindarinya dan meninggalkan seratus dinar menjadi miliknya. Jika Engkau tahu bahwa aku berbuat yang demikian itu karena mengharapkan Wajah-Mu, maka bukakanlah sedikit celah kepada kami dari batu ini”. Maka Allah membukakan sedikit celah lagi kepada mereka. Orang ketiga berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai seorang buruh yang kupekerjakan untuk menangani timbangan beras. Tatkala sudah menyelesaikan pekerjaannya, dia berkata, “Berikan padaku hakku!” Maka aku memberinya upah, namun dia tidak mau menerimanya. Maka selanjutnya saya menanamkan upahnya itu dalam perdagangan dan kukembangkan, hingga akhirnya aku bisa membeli beberapa ekor sapi dan penggembalanya. Setelah sekian lama menghilang, dia datang lagi padaku dan berkata, “Wahai tuan, bertakwalah kepada Allah, janganlah engkau menzhalimiku dan berikan kepadaku hakku dulu!” Aku berkata, “Periksalah sapi-sapi itu dan penggembalanya! Semua itu adalah milikmu.” Dia berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau mengolok-olok diriku!” Aku berkata, ‘Aku tidak mengolok-olok dirimu. Ambillah semuanya!” Maka dia mengambilnya dan pergi begitu saja. Jika Engkau tahu bahwa aku berbuat yang demikian itu karena mengharapkan Wajah-Mu, maka bukakanlah sedikit celah yang masih menyisa dari batu yang menutup ini”. Maka Allah membukakan celah bagi mereka. Mereka pun keluar dari gua itu dan melanjutkan perjalanan.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

 

Ubaidillah bin Musa berkata, kami diberitahu Syaiban bin Abdurrahman, dari Al-Amasy, dari Abdullah bin Abdullah Ar-Razy, dari Sa’d budak Thalhah, dari Ibu Umar Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Saya pernah mendengar sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang tidak pernah kudengar sekali atau dua kali saja (sehingga dia menyebut hingga angka tujuh), tetapi saya mendengarnya lebih dari itu. Beliau bersabda,

 

“Dzul-Kifli adalah seseorang yang berasal dari Bani Israil yang tidak pernah mampu menahan diri dari dosa yang hendak dilakukannya. Suatu hari dia didatangi seorang wanita, lalu diberinya enam ratus dinar, agar wanita itu mau bersetubuh dengannya. Tatkala Dzul-Kifli sudah siap untuk bersetubuh sebagaimana layaknya laki-laki yang hendak menyetubuhi wanita, wanita itu gemetar dan menangis. Dzul-Kifli bertanya, “Mengapa engkau menangis? Adakah sesuatu yang mengganggumu?” Wanita itu menjawab, “Tidak ada. Hanya saja ini adalah suatu perbuatan yang tidak pernah kulakukan sama sekali”. Dzul-Kifli berkata,

 

“Saat ini engkau sudah siap melakukannya, dan kau bilang belum pernah melakukannya sama sekali?” Wanita itu menjawab,

 

“Saya terpaksa melakukannya?” Maka Dzul-Kifli meninggalkan wanita itu, seraya berkata, “Pergilah dan bawalah uang dinar itu”. Kemudian beliau bersabda, “Demi Allah, setelah itu DzulKifli tidak pernah mendurhakai Allah sama sekali, lalu dia pun mati malam itu pula, dan di ambang pintunya tertulis, “Semoga Allah mengampuni dosa Dzul-Kifli.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy).

 

Di dalam Musnad Ahmad bin Hanbal disebutkan dari hadits Uqbah bin Amir Al-Juhany Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Rabbmu merasa heran terhadap pemuda yang tidak mempunyai rasa cinta.”

 

Al-Mubarrid menuturkan dari Abu Kamil, dari Ishaq bin Ibrahim, dari Raja’ bin Amru An-Nakha’y, dia berkata, “Di kota Kufah ada seorang pemuda yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah dan berijtihad. Suatu hari dia singgah di suatu kaum dari An-Nakha’. Di sana pandangannya berpapasan dengan seorang gadis yang cantik jelita dari kaum itu, sehingga dia langsung jatuh cinta kepadanya dan dia berpikir untuk memilikinya. Dia pun singgah di tempat yang lebih dekat dengan rumah gadis jtu. lalu mengirim utusan untuk menyampaikan lamaran kepada bapak sang gadis. Namun dia dikabari bapaknya, bahwa gadis itu sudah dilamar anak pamannya sendiri. Tatkala keduanya semakin didera derita cinta, maka sang gadis mengirim utusan kepada pemuda untuk mengatakan, “Saya sudah mendengar tentang besarnya cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika engkau mau, maka aku bisa menemuimu, atau jika engkau mau, maka saya bisa mengatur cara agar engkau bisa masuk ke dalam rumahku.”

 

Sang pemuda berkata kepada utusan itu, “Dan tidakkah ada pilihan di antara dua hal yang dicintai ini, “Sesungguhnya aku takut adzab hari yang besar (Hari Kiamat), jika aku mendurhahai Rabbku?’ Sesungguhnya aku takut api neraka yang baranya tidak pernah padam dan tidak surut jilatannya.”

 

Tatkala utusan menyampaikan perkataan pemuda, maka sang gadis bertanya-tanya, “Apakah dalam keadaan seperti ini dia masih merasa takut kepada Allah? Demi Allah, tak seorang pun yang lebih berhak atas demikian itu kecuali satu orang saja, sekalipun manusia bisa bersekutu dalam masalah ini.” Setelah itu gadis tersebut memisahkan diri dari segala urusan dunia, tidak mau peduli terhadap urusan harta, suami dan anak. Semua ditinggalkan dan hanya beribadah semata. Tapi sekalipun begitu dia tidak mampu memadamkan cinta dan kerinduannya kepada pemuda tersebut, hingga dia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu. Sang pemuda menziarahi kuburannya, menangis di sana dan berdoa baginya. Suatu hari dia tak kuasa menahan kantuk tatkala sedang berada di atas kuburnya, sehingga dia tertidur pulas. Lalu dia bermimpi melihat gadis yang dicintainya dalam rupa yang sangat menawan. Dia bertanya, “Bagaimana keadaanmu? Apa yang kau temukan setelah berpisah denganku?”

 

Gadis itu menjawab, “Cinta yang manis wahai orang yang kubutuhkan. Cintamu adalah cinta yang menuntun kepada kebaikan dan kesantunan.”

 

“Sampai kapan engkau dalam keadaan seperti itu?” tanya sang pemuda.

 

“Hingga mencapai kenikmatan dan kehidupan yang tiada sirna di taman surga yang abadi, suatu kekayaan yang tiada lenyap.”

 

Sang pemuda berkata, “Sebutlah namaku di sana, karena aku tak dapat melupakan dirimu.”

 

“Demi Allah, aku pun begitu pula, tidak dapat melupakanmu. Aky telah memohon kepada Pelindungku dan Pelindungmu agar menyatukan kita berdua. Maka tolonglah aku untuk menggapai tujuan ini dengan sekuat tenaga.”

 

“Kapan aku bisa melihatmu lagi?” tanya sang pemuda.

 

“Tak lama engkau akan bertemu aku dan melihatku,” jawab sang gadis.

 

Setelah bermimpi seperti itu, pemuda tersebut hanya hidup selama tujuh hari.

 

Az-Zubair bin Bakkar menuturkan, bahwa Abdurrahman bin Abu Ammar tiba di Makkah. Dia adalah orang yang dikenal sebagai ahli ibadah, sehingga dia dijuluki pendeta karena kerajinannya dalam ibadah. Suatu hari dia melewati rumah seorang gadis yang sedang bernyanyi. Dia pun berhenti dan mendengarkan nyanyiannya. Namun pembantu gadis itu sempat memergokinya dan justru menyuruhnya untuk masuk ke rumah gadis itu. Namun Abdurrahman menolaknya. Pembantu itu berkata, “Kalau begitu duduklah di suatu tempat, sehingga engkau bisa mendengarkan nyanyiannya tanpa harus melihatnya.”

 

Maka Abdurrahman melakukan saran itu, sehingga dia semakin tertarik kepada wanita itu.

 

“Apakah engkau berkenan jika saya mengatur agar dia bisa bertemu denganmu?” kata pembantu sang gadis memberi saran.

 

Abdurrahman tampak ragu-ragu, namun akhirnya dia memberi jawaban yang mengisyaratkan persetujuannya. Setelah mereka benarbenar bertemu, maka Abdurrahman jatuh kepada wanita itu, begitu pula sebaliknya. Akhirnya seluruh penduduk Makkah mengetahui cinta mereka. Suatu hari wanita itu berkata kepadanya, “Demi Allah, aku mencintaimu.”

 

“Demi Allah, aku pun begitu pula,” Abdurrahman menimpali.

 

“Demi Allah, aku ingin sekali bibirku berpagutan dengan bibirmu,” Kata wanita itu.

 

“Demi Allah, aku pun juga ingin melakukannya,” jawab Abdurrahman.

 

“Lalu mengapa engkau tidak segera melakukannya? Toh tempat ini sepi,” kata sang wanita.

 

“Celaka engkau! Sesungguhnya aku mendengar Allah telah berfirman, “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa’. Demi Allah, aku tidak ingin hubungan di antara kita di dunia ini akan berubah menjadi permusuhan pada Hari Kiamat.” Setelah itu Abdurrahman beranjak pergi sambil meneteskan air mata karena cintanya kepada wanita itu.

 

Abdullah bin Quraib berkata, “Aku bertanya kepada seorang Araby, ‘Ceritakan kepadaku tentang malam yang pernah engkau lalui bersama Fulanah.”

 

Dia berkata, “Baiklah. Aku duduk bersanding dengannya, dan sinar pulan menyinari wajahnya. Tatkala bulan sudah tenggelam, aku pun merindukannya. Aku bertanya kepada hatiku sendiri, “Apa yang terjadi pada dirimu?”

 

Hatiku menjawab, “Sesuatu yang dihalalkan Allah yang lebih dekat dengan apa yang diharamkan-Nya adalah isyarat yang tidak berbahaya dan berdekatan tanpa bersentuhan. Sekalipun hari terasa panjang saat berpisah dengannya, tapi akan terasa singkat tatkala bersanding dengannya.”

 

Inilah sebuah ungkapan cinta,

Tatkala cinta mengajak kepada kemesuman

rasa malu menghalangiku dan juga kehormatan

tanganku tak kan terulur kepada kekejian

kakiku tak kan melangkah kepada keragu-raguan

 

Al-Husain bin Muthair berkata di dalam syairnya,

 

Tanpa keraguan aku cinta kamu wahai Salma

tiada mengapa dengan cinta tanpa tahu rahasianya

aku mencintaimu dan tiada kekerasan setelah ini

tetapi aku tiada terima jika ada caci maki

hatiku telah mati tatkala cinta tumbuh pertama kali

kan kukorbankan cinta yang terakhir jika aku mati

 

Muhammad bin Abu Zur’ah Ad-Damasay berkata,

 

Bagianku terhadap kekasih cukup sudah

tiada tertahan dan tiada pula hanya setengah

setiap kali kutanya tentang hubungan

dia menjadi menawan karena kehormatan

aku berdiri antara cinta dan tiada cinta

seperti berdiri di antara surga dan neraka

di Taman Al-A’raf namanya

kadang berharap dan kadang putus asa

 

Utsman bin Adh-Dhahhak Al-Khizamy berkata, “Aku pergi untuk menunaikan haji. Di Al-Abwa’ aku singgah sementara waktu. Tiba-tiba aku melewati seorang wanita yang berada di ambang pintu kemahnya.

 

Kecantikan wajahnya membuatku terpesona. Maka aku menyitir syair Nushaib,

 

Singgahlah di tempat Zainab sebelum pergi lagi

katakan saja jika engkau jemu Karena gejolak hati

 

Wanita di ambang kemahnya itu bertanya, “Siapa engkau? Tahukah engkau siapakah yang merangkum syair yang engkau bacakan itu?”

 

“Aku tahu. Dia adalah Nushaib,” jawabku.

 

“Tahukah engkau, siapakah Zainab yang dimaksudkannya>?” dia bertanya.

 

“Tidak,” jawabku.

 

“Akulah Zainab yang dimaksudkannya,” katanya.

 

“Semoga Allah memberkahimu.” kataku.

 

Dia berkata, “Sekarang adalah hari yang dijanjikannya untuk menghadap Amirul-Mukminin. Dia pergi ke sana pada awal tahun dan berjanji kepadaku untuk bertemu pada hari ini. Kumohon janganlah engkau pergi sebelum engkau melihat dirinya.”

 

Utsman menuturkan, “Tatkala aku dalam keadaan seperti itu, tibatiba muncul seseorang yang menunggang hewan kendaraannya.

 

“Apakah engkau kenal siapakah penunggang itu?” dia bertanya, lalu berkata melanjutkan, “aku mengira dialah orangnya.”

 

Penunggang yang terlihat dari kejauhan itu akhirnya tiba, dan ternyata dia adalah Nushaib. Dia turun dari hewan tunggangannya di dekat kemah, mendekat, mengucapkan salam lalu duduk di dekat Zainab. Dia menanyakan keadaannya dan memintanya agar melantunkan syair ciptaannya, yang kemudian diturutinya.

 

Aku berkata di dalam hati, “Dua sejoli yang lama tiada berdekatan. Tentunya yang seorang membutuhkan yang lain.” Kemudian aku bangkit untuk mengikat ontaku.

 

‘Janganlah engkau pergi. Aku akan ikut bersamamu,” kata Nushaib mencegahku.

 

Aku pun duduk, sampai akhirnya Nushaib bangkit dan beranjak pergi bersamaku. Dia menoleh ke arahku, serambi berkata, “Apakah engkau sudah berkata, ‘Dua sejoli yang lama tiada berdekatan, tentunya yang seorang membutuhkan yang lain?”

 

“Ya, dan aku sudah mengatakannya di dalam hati,” jawabku.

 

Dia berkata, “Wahai Yang Menguasai Ka’bah, aku tidak pernah duduk bersamanya sedekat dudukku tadi.”

 

Umar bin Syabbah berkata, “Kami diberitahu Abu Ghassan, dia perkata, “Aku pernah mendengar sebagian penduduk Madinah berkata, ‘Ada seorang laki-laki mencintai seorang gadis. Lalu dia berputar-putar mengeliling rumah gadis itu, sebagai upaya agar dia bisa mendapatkan orang yang bisa menghantarkannya kepada gadis itu. Jika dia benarpenar beruntung bisa bersanding dengan gadis itu, maka terbayang di dalam benaknya untuk saling melantunkan syair. Suatu hari dia memberi memberi isyarat kepada sang gadis, dan pada hari lain gadis itu yang memberi isyarat kepadanya. Begitu mereka lakukan berulang-ulang. Tatkala mereka benar-benar sudah saling bertemu, ternyata tak ada kata cinta yang terucap dan tidak ada pula syair yang dilantunkan. Pemuda itu menghampiri sang gadis, seakan-akan Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu telah mempersaksikan pernikahannya.

 

Al-Mubarrid menuturkan, Al-Atby mencintai seorang gadis yang pernama Malak. Lalu dia menulis surat kepada gadis itu, yang berisi untaian syair,

 

Wahai Malak, Kaki ini sudah kulangkahkan

aku rela terhadap dirimu sekalipun ada kezhaliman

kedua mataku tiada terpejam sekejap waktu

semenjak kau tiada tampak di depan mataku

aku senantiasa menangis dan mataku hampir buta

karena kedua mata senantiasa terjaga

hasrat dan cintaku padamu bergelora

kematian selalu mengintai jiwa

banyak orang mencelaku Karena mencintaimu

padahal mereka lebih layak dicela daripada dirimu

Lalu gadis itu menulis balasannya,

Jika hasrat cintamu menggelora

Kuasai hasrat itu dengan berpuasa

memang engkau tak bisa lari dari cinta

tapi itu mengalihkanmu dari bayang-bayang wanita

 

Yang dimaksudkan wanita yang dicintainya itu adalah sabda Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam, “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu kawin, maka hendaklah dia kawin, karena yang demikian itu lebih bisa menundukkan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa tidak sanggup, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu menjadi penawarnya.”

 

Abul-Hasan Al-Mada’iny menuturkan, ada di antara kaum Muslimin yang jatuh cinta kepada seorang gadis Makkah, lalu dia ingin menikahinya, namun gadis itu menolak. Lalu dia mengisahkan dialognya dengan Atha’ bin Abu Rabbah,

 

Kutanya seorang pemuda Makkah adakah dosa

dalam rangkulan dan pelukan penuh cinta

katanya, na’udzu billah jika takwa harus sirna

pergesekan hati dengan mereka adalah luka menganga

 

Wanita itu berkata, “Demi Allah, aku bertanya kepada Atha’ tentang hal ini. Dia bertanya, “Apakah cinta itu ditujukan kepada dirimu.” Aku menjawab, “Begitulah.”

 

Kemudian wanita itu mengunjungi laki-laki yang mencintainya dan berkata, Janganlah engkau berlebih-lebihan tentang apa yang difatwakan Atha’.”

 

Az-Zubair bin Bakkar menuturkan dari Abdul-Malik bin Abdul-Aziz Al-Majisyun, dia berkata, “Aku membacakan syair Wadhdhah Al-Yaman di hadapan Muhammad bin Al-Munkadir,

 

Apa yang terjadi hingga Kubersimpuh di hadapannya

dan kubacakan keringanan Allah tentang dosa pelukan cinta

 

Setelah mendengarnya Muhammad bin Al-Munkadir tersenyum, lalu berkata, “Itu karena Wadhdhah berfatwa terhadap dirinya sendiri.”

 

Al-Ashma’y menuturkan, ada seseorang bertanya kepada Araby, “Apa yang engkau perbuat jika bersanding dengan kekasih yang kau cintai?”

 

Dia menjawab, “Aku memuaskan mataku dengan memandang wajahnya, memuaskan hatiku dengan mendengar perkataannya, aku menahan diri darinya dari apa-apa yang tidak disukai Allah, tidak membuka kecuali apa yang dihalalkan.” .

 

Dia ditanya lagi, “Bagaimana jika engkau merasa khawatir tidak akan bisa bersanding lagi dengannya setelah itu”

 

Dia menjawab, “Aku menyandarkan hatiku kepada cintanya. Aku tidak ingin membayangkan sesuatu yang buruk itu dengan pengingkaran janjinya.”

 

Araby lain ditanya tatkala kekasihnya terpaksa kawin dengan anak pamannya, “Sukakah kau jika malam ini dia ada di sampingmu?”

 

Dia menjawab, “Tentu saja, demi yang telah membuatku pernah menemukan cintanya.”

 

“Tapi apa yang bisa engkau perbuat jika hal itu terjadi?”

 

Dia menjawab, “Aku akan mematuhi panggilan cinta jika menciumnya dan menentang syetan jika harus berbuat dosa dengannya. Aku tidak ingin merusak cinta yang telah bersemi selama sepuiuh tahun, namun aibnya tetap abadi, kabar buruknya menyebar ke mana-mana, yang xenikmatannya hanya bisa direguk selama sesaat, namun akibatnya terus perkelanjutan, sehingga aku menjadi orang yang hina.”

 

Abbas Ad-Daury berkata, “Ada di antara shahabat kami yang menuturkan, bahwa Sufyan Ats-Tsaury biasa melantunkan dua bait syair ini,

 

Kenikmatan tidak lagi dirasa pelaku yang haram

dosa dan aib tetap berlanjut sepanjang masa

akibat tetap abadi dengan akibatnya lagi

apalah artinya kenikmatan yang berkesudahan api

 

Al-Husain bin Muthair berkata,

 

Muliakan dirimu dalam banyak urusan

nafsu yang membawa aib jangan turutkan

jangan kau dekati tempat gembalaan yang dilarang

kenikmatannya sirna dan kepahitannya berkelanjutan

 

Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Masa muda adalah meninggalkan hasrat nafsu yang ditakutkan.”

 

Al-Khara’ithy berkata, “Kami diberitahu Ibrahim bin Al-Junaid, kami diberitahu Abdullah bin Abu Bakar Al-Muqaddamy, kami diberitahu Ja’far bin Sulaiman Adh-Dhuba’y, dia berkata, “Aku mendengar Malik bin Dinar berkata, “Tatkala aku sedang thaweaf, tiba-tiba saya melewati seorang gadis yang khusyu’, berpegangan pada tabir Ka’bah, seraya berkata, “Wahai Rabb-ku, berapa banyak nafsu syahwat yang kenikmatannya begitu cepat sirna dan akibatnya tetap abadi. Wahai Rabb-ku, apakah Engkau tidak mempunyai hukuman selain dari api neraka>?” Gadis itu terus berpegangan pada tabir Ka’bah hingga fajar menyingsing. Setelah semua itu kulihat dengan mata kepalaku sendiri, maka aku meletakkan tangan di kepala sambil beranjak pergi. Aku berkata, ‘Ibnu Malik meninggal dunia karena melahirkannya. Semalam ada seorang gadis yang membuatnya seakanakan melayang-layang’.”

 

Seorang gadis di dekat Ka’bah pada malam gulita

berbisik sendiri di pipinya mengalir air mata

berapa banyak nafsu syahwat yang kulakukan

kenikmatan hidup dan talinya tiada bersambungan

tidakkah cukup hukuman bagi seorang hamba

dan siksaan selain dari api yang menyala-nyala

dia terus tertunduk khusyu’ sambil bergumam

hingga fajar pagi datang menyingsing

aku hanya bisa menganyam jari dan pergi

tangan di kepala dengan bayangan yang menari-nari

 

Makhramah bin Utsman berkata, “Kukabarkan bahwa ada seorang pemuda yang rajin beribadah, jatuh cinta kepada seorang gadis darj penduduk Bashrah. Lalu dia mengirim seorang utusan untuk melamarnya, Namun ternyata gadis itu menolak lamaran itu, seraya berkata, ‘Jika engkau menginginkan selain itu, maka aku tidak keberatan.”

 

Citusan dikirim kembali untuk mengatakan, “Subhanallah. Aky mengajakmu kepada perbuatan yang tidak berdosa, namun justru engkay mengajak kepada perbuatan yang sama sekali tidak layak.”

 

“Sudah kuberitahukan apa yang kukehendaki. Jika engkau mau, silahkan jalan, dan jika mau engkau juga bisa mundur,” kata gadis itu. Lalu sang pemuda melantunkan syair,

 

Aku meminta yang halal kepada kekasih hati

namun dia menawarkan keharaman yang tak kukehendaki

seperti orang yang menyeru para pengikut Fir’aun

dan mereka menyerunya untuk menyembah patung

dia mereguk kenikmatan di surga nan abadi

mereka kekal di neraka dan siksa yang pedih

 

Tatkala dia menolak untuk berbuat zina, maka aku mengirim utusan, untuk mengatakan, “Aku mendukung tindakanmu.” Lalu aku juga mengirim utusan kepada gadis itu untuk berkata, “Kami tidak membutuhkan orang yang pernah kami ajak kepada ketaatan, namun dia justru mengajak kami kepada kedurhakaan.” Setelah itu dia melantunkan syair,

 

Tiada kebaikan pada orang yang mengabaikan ilahy

bisikan hawa nafsu dituruti dan iman ditakuti

jalan-jalan nafsu menghadang panggilan takwa

orang bertakwa takut panggilan nafsunya

 

Abdul-Malik bin Marwan bertanya kepada Laila Al-Ckhailiyah, “Demi Allah, apakah ada yang tidak beres antara dirimu dan dirinya?”

 

Laila menjawab, “Tidak ada, semua beres. Hanya saja pada suatu hari dia tiba dari perjalanan jauh, lalu aku menyalaminya. Namun dia meremas-remas tanganku, sehingga aku mengira dia mengajakku bercumbu. Itulah makna syairku,

 

Kukatakan kepada orang yang menginginkan

jalan ke perbuatan itu tak kan kukabulkan

kami punya pendamping yang tak kukhianati

engkau adalah pendamping lain selain diri ini

 

Laila menuturkan, “Setelah itu dia tidak pernah berbicara yang tidaktidak Kepadaku, hingga akhirnya kami dipisahkan oleh kematian.”

 

Ibnu Ahmar berkata, “Tatkala aku sedang thawaf di sekitar Ka’bah, aku melewati seorang wanita yang mengenakan cadar, seraya berkata,

 

Allah tiada menerima amal wanita yang dicintai

karena pria yang mencintainya marah dan menghindari

tiada balasan bagi wanita yang membuat kekasihnya mati

tetapi pria yang mencintainya mendapat balasan yang abadi

 

Aku (ibnu Ahmar) bertanya kepada wanita itu, “Adakah engkau perkata begitu di tempat suci seperti ini?”

 

Dia berkata, “Enyahlah dari sisiku, karena engkau tidak mengenal cinta.”

 

“Apa cinta itu?” aku bertanya.

 

Dia menjawab, “Demi Allah, ia sangat jelas untuk disembunyikan, namun tersembunyi jika mau dilihat. Cinta itu seperti api di dalam sekam. Jika dikipasi ia akan menyala dan jika dibiarkan tetap tersembunyi dan tak tampak.” Setelah itu dia melantunkan syair,

 

Ia lemah lembut penuh hasrat tiada disangsikan

laksana kijang Makkah tak boleh dijadikan buruan

lemah lembut dipadu dengan kelembutan ucapan

perkataan kotor tidak diperkenankan Islam

 

Muhammad bin Abdullah Al-Anshary meriwayatkan, kami diberitahu Abdul-Warits, dari Muhammad bin Juhadah, dari Al-Walid, dari Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda,

 

“Jika wanita itu mendirikan shalatnya yang lima waktu, melakukan puasanya sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka dia masuk surga.” (Diriwayatkan Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrany).

 

Hisyam bin Ammar berkata, “Kami diberitahu Al-Walid bin Muslim, kami diberitahu bapakku, kami diberitahu Ibnu Lahi’ah, dari Musa bin Wardan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Siapa pun wanita yang bertakwa kepada Rabbnya, memelihara kemaluannya dan menaati suaminya, maka pada Hari Kiamat dikatakan kepadanya, ‘Masuklah dari pintu surga mana pun yang engkau kehendaki’.” (Diriwayatkan Ahmad)

 

Az-Zubair bin Bakkar menuturkan dari Abbas bin Sahl As-Sa’idy, dia berkata, “Tatkala aku sedang berada di Syam, secara tak sengaja aku berpapasan dengan seorang rekanku. Dia bertanya, “Bagaimana jika kita jenguk Jamil untuk mengetahui keadaannya>?” Maka kami pun mendatangi tempat tinggalnya. Dia bersungguh-sungguh mengingat tentang diriku, karena tampaknya kematian hampir menghampiri dirinya. Dia memandangku, lalu berkata, “Wahai Ibnu Sahl, apa komentarmu tentang orang yang sekalipun tidak pernah minum khamr, tidak pernah berzina dan tidak pernah membunuh satu nyawa pun? Dia juga bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah.”

 

Aku menjawab, “Kukira dia telah selamat dan aku memohon agar dia masuk surga. Tapi siapakah orang yang kau maksudkan itu?”

 

“Aku sendiri,” jawabnya.

 

Aku berkata, “Demi Allah, aku tidak berani menduga engkau akan selamat. Sebab selama dua puluh tahun engkau selalu memikirkan diri Butsainah.”

 

Dia berkata, “Tidak. Aku telah mendapatkan syafaat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam pada Hari Kiamat, karena saat ini aku sedang berada pada hari pertama dari Hari Kiamat dan hari terakhir dari kehidupan dunia. Jika aku pernah bersentuhan tangan dengannya, memang perlu disangsikan.” Tak sampai sore hari, akhirnya dia meninggal dunia.

 

Uwanah bin Al-Hakam menuturkan, bahwa setiap kali AbdulMuththalib bepergian, maka dia selalu disertai anaknya, Al-Harits, yang rupanya mirip dia, tampan dan gagah. Suatu kali dia tiba di Yaman dan singgah di rumah salah seorang pembesar di sana.

 

“Bagaimana jika anakmu tetap berada di sini, agar kami bisa berbincang-bincang dengannya>” kata tuan rumah. Maka dia pun menyetujuinya.

 

Ternyata istri pembesar itu jatuh cinta kepada Al-Harits. Dia mengirim utusan, namun Al-Harits menolak. Dia semakin nekad dan memaksa untuk melayaninya. Maka masalah ini disampaikan Al-Harits kepada papaknya. Tatkala usaha istri pembesar itu nihil dan dia sudah putus asa, maka minuman Al-Harits dibubuhi racun yang mematikan. Tentu saja Abdul-Muththalib menjadi risau melihat keadaan anaknya. Dia segera membawanya ke Makkah, namun jiwanya tetap tidak terselamatkan. Kisah jni disebutkan Hisyam bin Muhammad bin As-Sa’ib Al-Kalby, dari bapaknya, lalu menyebutkan ketenangan bapaknya. Ada pun di antara bunyi syairnya,

 

Al-Harits yang menawan dan mulia

tatkala diracun hingga meninggal dunia

 

Tatkala Urwah bin Az-Zubair menjenguk Al-Walid bin AbdulMuththalib, di kaki Al-Walid muncul kurap dan koreng. Para tabib sepakat untuk mengamputasi kakinya yang sakit itu. Sebab jika tidak diamputasi, penyakitnya bisa menjalar ke seluruh tubuh, sehingga justru membahayakan nyawanya. Tatkala amputasi sudah siap dilaksanakan, para tabib berkata, “Kami akan memberimu obat tidur.”

 

“Untuk apa?” Al-Walid bertanya.

 

“Agar engkau tidak merasa sakit tatkala diamputasi.”

 

“Tidak perlu. Biarkan saja apa adanya,” kata Al-Walid.

 

Maka para tabib itu mengamputasi betisnya dengan menggunakan gergaji. Setelah selesai, mereka memanasi sisa bagian tubuhnya yang diamputasi agar darah tidak terus mengalir. Tatkala dia melihat bagian tubuhnya yang sudah terlepas, dia berkata, “Segala puji bagi Allah. Demi Dzat yang telah membebani diriku dengan bagian ini. Tentunya Dia mengetahui bahwa aku tidak akan bisa berjalan menghampiri yang haram sama sekali.”

 

Tatkala Umar bin Abu Rabi’ah berada di ambang kematian, saudaranya, Al-Harits menangis sesenggukan. Maka Umar berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, andaikata rasa kasihanmu karena engkau pernah mendengar apa yang kukatakan kepada wanita itu dan ucapannya kepadaku, maka semua hamba sahaya yang kumiliki menjadi merdeka, andaikan aku pernah bersinggungan dengan yang haram.”

 

Setelah mendengarnya, Al-Harits berkata, “Segala puji bagi Allah. Engkau telah membuat hatiku menjadi tenang.”

 

Sufyan bin Muhammad menuturkan, bahwa suatu hari Azzah menemui Ummul-Banin, saudari Umar bin Abdul-Aziz, lalu Ummul-Banin bertanya kepada Azzah, “Wahai Azzah, bagaimana dengan perkataan Kutsayyir yang menyangkut dirimu, ‘Setiap orang yang berhutang harus melunasi hutangnya. Tapi Azzah selalu mengulur-ulur pembayaran hutangnya?’ Seberapa banyak hutangmu itu?”

 

Azzah menjawab, “Aku pernah menjanjikan pelukan kepadanya, namun aku jadi takut sendiri untuk melakukannya.”

 

Ummul-Banin berkata, “Apakah aku memperbolehkan pelukan, lalu aku mendapat dosa?”

 

Karena janji yang pernah diucapkan Azzah itu, maka Ummul-Banin harus menebusnya dengan membebaskan empat puluh budak perem. puan. Setiap kali Azzah mengingatnya, tentu dia menangis, sembari berkata, “Andaikan saja aku berhati-hati dan tidak berkata seperti itu.”

 

Tatkala ajal menghampiri Dzur-Rummah, maka dia berkata, “Selama dua puluh tahun aku memendam cinta terhadap Mayyi, dan selama itu tak pernah aku berbuat tak senonoh terhadap dirinya.”

 

Al-Harits bin Khalid bin Hisyam Al-Makhzumy pernah menaruh hati kepada Aisyah binti Thalhah. Luapan cintanya yang dituangkan dalam syair-syairnya ditulis dalam satu buku oleh Al-Marzuban. Tatkala suaminya, Mush’ab bin GUmair meninggal dan meninggalkan Aisyah menjanda, maka ada yang bertanya kepada Al-Harits, “Apa yang menghalangimu sekarang untuk mendapatkan dirinya>?”

 

Dia menjawab, “Demi Allah, aku tidak ingin orang-orang Quraisy mencemoohku untuk sesuatu yang mereka anggap batil.”

 

Ibnu Clatsah berkata, “Aku menemui seorang laki-laki Araby di kemahnya, yang badannya menggigil. Aku bertanya, “Apa yang menimpamu?”

 

“Aku sedang jatuh cinta,” jawabnya.

 

“Dari mana asalmu,” tanyaku.

 

“Dari suatu kaum yang apabila mereka sedang jatuh cinta bisa mati karena mempertahankan kehormatan dirinya,” jawabnya.

 

Aku pun mencela sikapnya itu dan tidak ingin berbuat seperti itu. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu berkata, “Ternyata tidak ada orang yang mau memberikan kebahagiaan, sehingga aku bisa mengadu kepadanya. Hanya orang yang sedih bisa membahagiakan orang sedih lainnya.”

 

Sa’id bin Uqbah pernah bertanya kepada seorang Araby, “Dari mana asalmu?”

 

Araby itu menjawab, “Dari suatu kaum yang bisa mati karena jatuh cinta, dalam keadaan membujang.”

 

“Cntuk apa dia berbuat begitu?” Aku bertanya.

 

“Bagi wanita untuk mempertahankan kecantikannya, dan bagi kaum laki-laki untuk mempertahankan kehormatan dirinya.”

 

Sufyan bin Ziyad menuturkan, aku bertanya kepada seorang wanita dari Udzrah yang kulihat sedang dirundung cinta dan hampir saja kematian menjemput dirinya, “Bagaimana mungkin cinta bisa membunuh kalian wahai penduduk Udzrah, padahal kalian termasuk suku Arab?”

 

Wanita itu menjawab, “Di kalangan kami ada keindahan dan kehormatan diri. Keindahan membawa kami kepada kehormatan, dan kehormatan mendatangkan kehalusan hati. Cinta bisa melenyapkan ajal kami. Kami bisa membaca pancaran mata dan kalian tidak bisa melakukannya.”

 

Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna menuturkan, ada seorang laki-laki dari Bani Fazarah bertanya kepada laki-laki dari Bani Udzrah, “Apakah memang kalian mengira mati karena dirundung cinta merupakan Keistimewaan? Padahal itu menunjukkan kelemahan kKepribadian, kebodohan dan kesempitan dada.”

 

Laki-laki dari Bani Udzrah menjawab, “Tidakkah kalian pernah melihat batu pualam yang berkilau? Ia bisa membuat mata terbelalak terbuka lebar, alis mengernyit dan bibir ternganga, seakan-akan ia merupakan butir-butir mutiara. Andaikan kalian bisa melihatnya, tentu kalian akan menjadikannya sebagai patung Lata dan Uzza dan melemparkan islam ke belakang punggung kalian.”

 

Bisyr bin Abu Al-Walid berkata, “Aku pernah mendengar Abu Yusuf berkata tatkala dia sakit yang disusul dengan kematiannya, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku tidak pernah menyentuh kemaluan yang diharamkan sama sekali, dan aku tahu betul hal ini. Engkau juga tahu bahwa aku tidak pernah mengambil dirham yang haram sama sekali dan aku tahu betul hal ini.”

 

Isma’il bin Ishaq, seorang hakim, berkata, “Aku memasuki tempat tinggal Al-Mu’tadhid, yang saat itu di dekat kepalanya ada seorang pemuda yang sangat tampan. Aku memandangi orang-orang yang ada di tempat itu. Rupanya Al-Mu’tadhid juga mengamati apa yang kuamati. Tatkala aku hendak beranjak pergi, dia memberi isyarat kepadaku agar aku tetap berada di tempat. Maka aku pun diam untuk beberapa saat sehingga orang-orang pergi. Setelah itu Al-Mutadhid berkata, “Wahai tuan hakim, demi Allah, aku tidak pernah menghalalkan celanaku pada hal yang haram sama sekali.”

 

Al-Yazidy berkata, “Muhammad bin Manshur bin Bassam dudukduduk yang dikelilingi beberapa budak, yang wajah mereka tampantampan. Sehingga ada yang harga mereka mencapai seribu dinar atau bahkan lebih. Maka orang-orang memandangi mereka. Muhammad berka ta, “Mereka ini adalah orang-orang merdeka karena Allah jika Allah menetapkan dosa atas diriku terhadap salah seorang di antara mereka. Barangsiapa yang mengetahui kebalikannya pada diri salah seorang dij antara mereka, maka dia boleh pergi dalarn keadaan merdeka dan boleh mengambil hartaku semaunya.”

 

Ibrahim bin Abu Bakar bin Ayyasy berkata, “Aku memandangi bapakku yang berada di ambang kematian, lalu aku pun menangis karenanya. Dia berkata, “Apa yang membuatmu menangis? Toh bapakmu tidak pernah melakukan perbuatan cabul sekalipun.”

 

Umar bin Hafsh bin Ghayyats berkata, “Tatkala ajal menghampiri bapakku, maka dia pun pingsan. Aku menangis di dekat kepalanya. Setelah siuman bapakku bertanya kepadaku, “Apa yang membuatmu menangis?”

 

Aku menjawab, “Karena aku akan berpisah dengan bapak, dan karena aku harus menggantikan bapak dalam tugas pengadilan ini.”

 

‘Jangan menangis, karena aku tidak pernah menghalalkan celanaku pada hal yang haram sama sekali dan tidak pernah duduk di antara dua orang yang beperkara, lalu menetapkan hukum yang berpihak kepada salah seorang di antara keduanya.”

 

Muhammad bin Ishaq berkata, “As-Sary bin Dinar sedang melalui suatu jalan di Mesir, lalu dia berpapasan dengan seorang wanita yang cantik jelita, sehingga tidak sedikit orang yang terpesona oleh kecantikannya itu. Wanita itu melihat kehadiran As-Sary bin Dinar, lalu berkata, “Aku benarbenar akan menggodanya.” Setelah itu dia berdiri di ambang pintu, mempertontonkan keindahan dirinya.

 

“Apa yang kau lakukan ini?” tanya As-sary. .

 

‘Apakah engkau mempunyai tempat tidur, kebutuhan dan Kehidupan yang serba menyenangkan>?” kata wanita itu balik bertanya.

 

As-Sary langsung menghadap ke arah wanita itu dan berkata,

 

Banyak pelaku kedurhakaan yang mereguk kenikmatan

dia harus melepaskan kenikmatan itu karena kematian

kenikmatan kedurhakaan begitu cepat lenyap

akibat kedurhakaan hitam seperti bilik gelap

Allah melihat dan mendengar keburukan hamba

dengan mata-Nya Dia menolak perbuatan durhaka

 

Umar bin Bukair menuturkan, ada seorang Araby berkata, “Aku menjalin cinta dengan seorang wanita. Aku biasa menemuinya dan berbincang-bincang dengannya, dan sekalipun kami tak pernah melakukan hal-hal yang tak senonoh. Hanya saja suatu malam aku sempat melihat telapak tangannya yang putih bersih. Lalu kuletakkan tanganku di atas tangannya. Namun dia berkata, “Cukup! Janganlah engkau merusak hubungan antara diriku dan dirimu. Sesungguhnya cinta yang berlanjut dengan pernikahan itu bisa merusaknya.”

 

Araby itu berkata, “Aku langsung bangkit dengan keringat dingin yang mengucur, karena merasa malu kepadanya. Setelah itu aku tak lagi berani mengulang perbuatan yang sama.”

 

Abul-Faraj dan lain-lainnya menuturkan bahwa ada seorang wanita yang sangat cantik di Makkah. Dia sudah mempunyai suami. Suatu hari dia memandangi wajahnya dicermin, lalu berkata kepada suaminya, “Apakah engkau tahu seseorang yang memandang wajahku ini lalu terpesona?”

 

“Ya, aku tahu,” jawab suaminya.

 

“Siapa dia?” Dia bertanya. “Ubaid bin Umair,” jawab suaminya.

 

“Perkenankan aku untuk menggodanya.”

 

“Boleh, silahkan!”

 

Maka wanita itu menemui Ubaid bin Umair, layaknya seorang wanita yang hendak meminta fatwa kepadanya. Akhirnya mereka berdua menyendiri di pojok Masjidil-Haram. Dia memperlihatkan wajah dengan membuka cadarnya, yang tak ubahnya sinar rembulan.

 

“Wahai hamba Allah, tutupfah kembali wajahmu,” kata Ubaid.

 

“Sesungguhnya aku suka padamu,” akunya.

 

Ubaid berkata, “Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu. Jika engkau mau membenarkannya, maka aku bisa mempertimbangkan pernyataanmu itu.”

 

“Engkau tidak mengajukan pertanyaan kepadaku melainkan aku pasti akan membenarkannya,” Kata wanita itu.

 

“Coba katakan padaku, andaikata malaikat pencabut nyawa untuk mencabut nyawamu, maka apakah engkau suka jika aku memenuhi apa yang engkau inginkan dariku>?”

 

“Tentu saja tidak,” jawabnya. “Engkau benar,” kata Ubaid. Lalu dia bertanya lagi, “Andaikata engkau sudah dimasukkan ke liang kuburmu dan engkau didudukkan untuk ditanya, maka apakah engkau suka jika aku memenuhi apa yang engkau inginkan dariku?” “Tentu saja tidak,” jawabnya.

 

“Engkau benar,” kata Ubaid. Lalu dia melanjutkan, “andaikan manusia sudah diberi buku catatan amainya, dan engkau tidak tahu apakah engkau akan menerimanya dengan tangan kanan atau tangan kiri, maka apakah engkau senang jika aku memenuhi apa yang engkau inginkan dariku?”

 

“Tentu saja tidak,” jawabnya.

 

“Engkau benar,” kata Ubaid. Lalu dia melanjutkan, “andaikan engkau hendak melewati Shirath, padahal engkau tidak tahu apakah engkau bisa selamat atau tidak, maka apakah engkau suka jika aku memenuhi apa yang engkau inginkan dariku?”

 

“Tentu saja tidak,” jawabnya.

 

“Engkau benar,” kata Ubaid. Lalu dia melanjutkan, “andaikan timbangan sudah didatangkan, lalu timbangan itu didatangkan di hadapanmu, padahal engkau tidak tahu apakah timbanganmu berat ataukah ringan, maka apakah engkau suka jika aku memenuhi apa yang engkau inginkan dariku?”

 

“Tentu saja tidak,” jawabnya.

 

“Engkau benar,” kata Ubaid. Lalu dia melanjutkan, “andaikan engkau sudah berada di hadapan Allah untuk tanya jawab, maka sukakah jika aku memenuhi apa yang engkau inginkan dariku?”

 

“Tentu saja tidak,” jawabnya.

 

“Engkau benar,” kata Ubaid. Lalu dia melanjutkan, “Bertakwalah kepada Allah, karena Allah telah memberikan nikmat dan telah berbuat baik kepadamu.”

 

Wanita itu kembali kepada suaminya, lalu sang suami bertanya kepadanya, “Apa saja yang telah engkau lakukan?”

 

“Engkau adalah seorang pahlawan dan kita semua adalah para pahlawan,” kata wanita itu. Lalu dia terus-menerus shalat, puasa dan beribadah.

 

Suaminya berkata, “Ubaid bin Umair telah merusak istriku. Dulu setiap malam dia seperti pengantin baru, lalu kini dia tak ubahnya seorang rahib wanita.”

 

Sa’id bin Abdullah bin Rasyid menuturkan, ada seorang gadis remaja yang jatuh cinta kepada seorang pemuda yang dikenal amat pandai. Dia selalu menyebut-nyebut namanya. Tatkala keadaannya semakin berlarut-larut, maka dia pun jatuh sakit, keadaannya berubah total. Yang terbayang hanya wajah pemuda itu. Dia memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya. Tapi sang pemuda tidak memberikan respon yang memuaskan.

 

Maka penyakitnya semakin bertambah parah, hingga dia hanya bisa tidur di atas tempat tidur, tidak bisa bangun lagi.

 

Ibunya mendatangi pemuda itu dan berkata, “Putriku semakin pertambah parah. Kini kami harus berusaha menyembuhkannya.”

 

“Kembalilah ke putrimu dan katakan kepadanya, ‘Dia bertanya kepadamu, ‘Bagaimana kabarmu sekarang?”

 

Maka sang ibu kembali dan bertanya kepada putrinya, “Bagaimana keadaanmu?”

 

Putrinya menjawab, “Penyakit di hatiku inilah yang menjadi biang keladi keadaanku.”

 

“Pemuda itu menanyakan penyakitmu,” kata ibunya.

 

Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Dia bertanya kepadaku tentang penyakitku, padahal dialah yang menjadi penyebab sakitku. Aku heran terhadap kabar yang sampai kepadaku ini.”

 

Sang ibu kembali menemui pemuda itu dan bertanya, “Sudikah engkau menerima kedatangannya?”

 

“Bisa,” jawab sang pemuda.

 

Ibunya memberitahukan kesediaan sang pemuda kepada putrinya. Sang gadis menangis lalu berkata melantunkan syair,

 

Dia membuatku jauh karena dekat dan bersua dengannya

hatinya baru terketuk tatkala aku tiada lagi berdaya

aku tak sudi mendatangi tempat orang yang membunuhku

biarkan aku mati dengan membawa penderitaan yang pilu

 

Sakitnya semakin bertambah parah dan akhirnya gadis itu meninggal dunia.

 

Seseorang dari penduduk Kufah yang bernama Asy-Sya’tsa’, jatuh cinta kepada seorang gadis yang cantik jelita. Tatkala sang gadis mengetahui cinta Asy-Sya’tsa’ kepadanya, maka dia berkata lewat sebuah syair,

 

Abusy-Sya’tsa’ mempunyai cinta yang abadi

tiada seorang pun yang akan mencurigai

kusuruh hatiku untuk lari menghindar

dari cinta murahan dan cepatlah berpendar

dia mengeluarkan isi hati dengan untaian kata

dia kirim surat-surat yang menawan mempesona

dia seorang pemburu yang melindungi kijang

Seperi kijang yang aman di tanah haram

dirikan shalat jika engkau ingin diberi harapan

dan berpuasalah karena Allah kekasih pujaan

tempat pertemuan yang dijanjikan setelah mati

adalah surga abadi jika Allah menghendaki

di sana engkau akan mendapat gadis belia

sebagai limpahan nikmat yang sempurna

 

Al-Ashma’y menuturkan dari Abu Sufyan bin Al-Ala’, dia berkata, “Ats-Tsurayya melihat Umar bin Abu Rabi’ah sedang thawaf di Ka’bah. Dia ada mau terhadap dirinya. Maka sambil membawa minyak wangi di telapak tangan, dia mendesak Umar sehingga minyak wanginya mengenai baju Umar. Orang-orang bertanya, “Wahai Abul-Khaththab, mengapa ada wewangian yang diharamkan ini?”

 

Dia pun berkata lewat syairnya,

 

Semoga Allah Rabb Musa dan Isa memasukkan ke surga

orang yang mengusapkan minyak wangi ke tubuh saya

dia usapkan telapak tangannya ke saku bajuku

tatkala thawaf di Ka’bah tanpa setahuku

 

Abdullah bin Umar bertanya kepadanya, “Perkataan semacam itu kau ucapkan di tempat yang suci ini?”

 

Umar bin Abu Rabi’ah menjawab, “Wahai Abu Abdurrahman, engkau telah mendengar dariku apa yang memang telah engkau dengarkan. Demi Rabb Ka’bah ini, aku tidak menghalalkan bajuku ini pada hal yang haram sama sekali.”

 

Laila Al-Ukhailiyah pernah ditanya, “Apakah antara dirimu dan taubat ada sesuatu yang dibenci Allah?” Dia menjawab, “Berarti aku berlepas diri dari agamaku jika aku melakukan dosa besar lalu aku mengikutinya dengan kedustaan.”

 

Al-Utby berkata, “Aku keluar ke tempat penambatan onta. Di sana ada seorang Araby setengah baya. Aku menghampirinya dan kusinggung masalah diri wanita. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Wahai keponakanku, sesungguhnya di antara ucapan wanita itu ada yang seperti air yang mampu menghapus rasa dahaga.”

 

“Ceritakan kepadaku tentang keadaan wanita-wanita kalian,” kataku.

 

“Maksudmu wanita-wanita kampung itu?” dia bertanya.

 

“Ya,” jawabku.

 

Maka dia mengucapkan syair,

 

Mereka wanita mulia yang tidak ingin bekorban

untuk pengekor mereka yang ada di debu-debu jalanan

mereka lemah lembut di hadapan suami tatkala berdua

penuh rasa malu tatkala keluar dari tempat tinggalnya

 

Al-Utby menuturkan, lalu aku mengabarkan masalah ini kepada papakku. Dia berkata, “Tahukah kau, darimana Araby itu mensitir syair yang diucapkannya itu?”

 

“Aku tidak tahu,” jawabku.

 

Bapakku berkata, “Dari Al-Quthaby, yang berkata,

 

Para wanita itu mengucapkan perkataan yang bagus

seperti air yang mengalir di tanah yang tandus

 

Kehormatan yang dijaga golongan ini mempunyai beberapa sebab, di antaranya yang paling menonjol ialah karena pengagungan terhadap Allah yang Maha Berkuasa, kemudian ingin mendapatkan bidadari yang perwajah cantik di surga yang abadi. Barangsiapa mengarahkan kesenangannya di dunia ini kepada sesuatu yang diharamkan Allah, maka dia tidak akan memperoleh kenikmatan mendapatkan bidadari yang berwajah cantik di surga. Sebagai gambarannya adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Barangsiapa mengenakan pakaian sutera di dunia, maka dia tidak akan mengenakannya di akhirat, dan barangsiapa meminum khamr di dunia, maka dia tidak akan meminumnya di akhirat.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany, An-Nasa’y, Ibnu Majah, Ahmad dan Ath-Thabrany).”

 

Allah tidak memadukan bagi hamba kesenangan minum khamr, mengenakan pakaian sutera, kesenangan mencumbui wanita dan pemuda tampan yang diharamkan Allah di dunia, dengan kesenangan menikmati semua itu di akhirat. Allah memberi pilihan kepada hamba untuk menentukan dua jenis kenikmatan ini. Allah juga tidak menjadikan orang yang menyia-nyiakan kesenangan hidup di dunia dan kenikmatannya, seperti orang yang berpuasa di dunia pada hari dia boleh tidak berpuasa. Barangsiapa meninggalkan kesenangan itu karena cinta, maka itu lebih baik daripada orang yang meninggalkannya karena takut siksaan.

 

Ada beberapa alasan lain dari golongan ini yang meninggalkan kesenangan dunia, tidak mau bercumbu dengan wanita yang dicintai, dj antaranya:

 

– Takut aib dan cela

– Menjaga kehormatan dan keutuhan cinta serta hubungannya

– Menjaga kehormatan kekasihnya

~ Rasa malu di dalam hati

– Senang mengingat-ingat, membayangkan dan berbincang-bincang

– Menjaga pamor, kedudukan dan nama baiknya di hadapan kekasih dan orang lain

– Memang sejak semula dia sudah memiliki tradisi kemuliaan dan kehormatan

– Sekedar Kesenangan menjaga kehormatan diri, Karena menjaga kehormatan ini jauh lebih menyenangkan daripada kenikmatan bercumbu. Sekalipun harus menderita karena harus menahan diri, namun sesudahnya akan muncul kenikmatan. Berbeda dengan cumbuan.

– Dia mengetahui karena mencicipi kenikmatan yang diharamkan Allah akan mengakibatkan kerusakan dan akibat yang tidak baik di kemudian hari.

 

Masih banyak orang yang merasa bangga karena kKemampuannya menjaga kehormatan diri, dulu maupun sekarang. Ibrahim bin Harmah berkata, “Berapa banyak orang yang mereguk kenikmatan dalam semalam, yang haram dibuang untuk menjaga yang halal.”

 

Nifthawaih berkata,

 

Berapa banyak aku bercengkerama dengan kekasihku

rasa malu dan takut kepada Allah membentengiku

berapa banyak aku bersanding dengan kKekasih idaman

bercanda yang saling memandang memberi kepuasan

aku ingin mendapatkan bidadari yang cantik jelita

tiada lagi yang haram apabila aku mencumbui mereka

cinta jangan disertai dengan kedurhakaan

tiada artinya kenikmatan yang disertai penderitaan

 

Uitbah ditanya setelah kematian laki-laki yang dicintainya, “Sebenarnya tidak ada salahnya jika dulu engkau menciumnya.” Maka dia menjawab, “Aku tidak mau melakukan hal itu karena takut aib, cemoohan tetangga dan takut terhadap Allah. Cinta di hatiku lebih banyak daripada cinta di hatinya. Tetapi sikapnya yang selalu menahan diri membuat cinta kami lebih langgeng, lebih terpuji akibatnya, lebih menunjukkan ketaatan kepada Allah dan lebih ringan dosanya.”

 

Seorang pemuda mencintai gadis dan sang gadis juga mencintainya. Kabar tentang keduanya sudah menyebar. Suatu hari keduanya pertemu dan hanya berduaan. Sang pemuda berkata, “Marilah kita puktikan apa yang dikatakan orang tentang diri kita.” Sang gadis berkata, “Tidak. Demi Allah, tidak.” Lalu dia membaca ayat,

 

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67).

 

Setelah sekian lama seorang laki-laki mencintai seorang wanita, maka ditanya, “Apa yang engkau lakukan jika sedang bersanding dengannya, dan tak seorang pun yang melihat kalian berdua kecuali Allah?” Dia menjawab, “Demi Allah, aku merasa bahwa Allah senantiasa memandangku. Aku tidak berbuat apa-apa terhadap dirinya tatkala sedang berduaan kecuali seperti apa yang Kulakukan tatkala keluarganya menyaksikan kami. Kutinggalkan apa yang dimurkai Allah dan merusak cinta kami.”. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Jika yang disukai orang adalah yang diharamkan

bagianku adalah yang halal saat bersama kekasih idaman

bincang-bincang seperti hujan es pada musimnya

tercela jika ucapan sudah melenceng arahnya

cinta adalah kehormatan dan menghindari keburukan

kasih di hati lincah laksana seekor kijang

aku malu terhadap kekasih karena kesangsian

aku hanya ingin memenuhi seruan kepada keindahan

 

Amir bin Hudzafah berkata, “Aku pernah melihat seorang gadis di Shuhar, seorang gadis yang menempelkan pipinya di sebuah kuburan. Sambil menangis dia berkata,

 

Pipiku ingin melindungimu dari ketakutan di liang

harta yang ada adalah pipi kekasihmu yang tersayang

wahai orang yang berkolong tanah karena kematian

seakan-akan aku tiada lagi dapat melihat jalan

dengarkan kisah yang akan kusampaikan

agar dapat menjadi pengobat kerinduan

 

Lalu aku bertanya, “Siapakah orang yang dikuburkan di situ?” Dia menjawab, “Seorang pemuda yang selalu bersamaku sejak kecil.”

 

Kemudian dia melantunkan syair,

 

Dulu kami seperti pengantin baru di bawah pohon saling membagi kebahagiaan dalam suasana keremajaan namun kemudian waktulah yang memisahkan kami waktu jualah yang memisahkan kekasih hati Saya meneteskan air mata mendengar kelembutan syair yang dibacanya, “Beritahukan kepadaku siapakah dia>” Dia menjawab, “Sinan bin Wabrah, yang digambarkan oleh seorang penyair, Wahai pemandu pencari rumput bagi kaumnya cukuplah Sinan dan hujan yang turun tiba-tiba Kemudian wanita itu berkata, “Demi Allah, andaikan engkau bukan orang asing, aku tak akan menceritakan masalah ini.”

 

“Bagaimana gambaran cintanya kepadamu?” aku bertanya.

 

“Dia tidak menyodorkan bantal tatkala aku hendak tidur melainkan tangannya yang dia sodorkan. Namun selama empat tahun aku menjalin cinta dengannya, aku tidak berbantalan selain tangannya kecuali dalam keadaan yang memang dilarang untuk kami lakukan.”

 

Sa’id bin Yahya Al-Umawy berkata, “Pamanku, Muhammad bin Sa’id memberitahuku, kami diberitahu Abdul-Malik bin Gmair, dia berkata, “Ada dua pria bersaudara dari Tsaqif, tepatnya dari Bani Kunnah, yang saling mencintai, dan hanya Allahlah yang tahu persis bagaimana gambaran cinta mereka berdua. Masing-masing memberikan cintanya secara seimbang kepada yang lain. Suatu hari yang lebih tua melakukan perjalanan jauh dan dia menitipkan kepada adiknya untuk menangani segala keperluan istri dan keluarganya. Tatkala sang adik sedang berada di rumahnya sendiri, istri kakaknya keluar rumah dan berjalan-jalan, melewati rumah demi rumah. Dia adalah seorang wanita yang amat cantik. Sang adik tercengang melihat kecantikan istri kakaknya, dan tatkala istri kakaknya itu melihat adik suaminya, dia segera memaling muka dan secara tak sadar meletakkan kedua tangannya di atas kepala. Setelah itu dia masuk rumah lagi. Tiba-tiba saja membersit rasa cinta di hati sang adik terhadap istri kakaknya. Karena dia selalu dirundung cinta, maka badannya menjadi kurus dan wajahnya pucat.

 

“Apa yang telah terjadi pada dirimu? Mengapa engkau menjadi kurus begini? Apa penyakitmu?” tanya sang kakak setelah tiba dari perjalanannya.

 

“Aku tidak sakit apa-apa,” jawab sang adik.

 

Maka kakaknya memanggil beberapa tabib untuk mengobatinya. Namun tak seorang pun bisa menyembuhkannya, selain dari Al-Harits pin Kaladah. Dia berkata, “Kulihat kedua matanya sehat. Aku tak tahu apa jenis penyakitnya. Tapi kupikir dia sedang jatuh cinta.”

 

Kakaknya berkata kepada Al-Harits, “Subhanallah. Aku bertanya tentang penyakit adikku. Tapi justru engkau mau mengolok-olokku.”

 

“Lalu apa yang bisa kulakukan? Kalau begitu aku akan memberinya minuman. Kalau memang dia sedang jatuh cinta, tentu dia akan mengatakannya secara terus terang karena pengaruh minuman yang kuberikan ini.”

 

Maka sang adik diberi minuman sedikit demi sedikit. Setelah itu padannya menggigil dan berkata, Aku menderita karena wanita yang berjalan-jalan dari rumah ke rumah dari Khaif untuk suatu kunjungan hari ini aku tak melihat kijang yang lebih lincah selain dari kijang yang berasal dari Kunnah pipinya halus dan tubuhnya indah menawan kata-katanya seakan mengandung nyanyian Sang kakak berkata, “Engkau adalah seorang tabib bangsa Arab yang tersohor. Apa yang bisa engkau lakukan?”

 

“Aku akan memberinya minuman lagi, siapa tahu dia akan menyebut wanita yang dicintainya.”

 

Maka sang adik diberi minuman lagi, lalu dia menyebut nama wanita yang dicintainya, yang tiada lain adalah istri kakaknya sendiri. Maka sang kakak menceraikan istrinya, agar adiknya bisa menikah dengannya. Namun sang adik berkata, “Aku harus berbuat begini dan begini jika aku akan menikahinya.” Maka dia melakukan apa yang diucapkannya itu dan membatalkan niatnya untuk menikahi wanita itu.

 

Ali bin Al-Mubarak As-Siraj menuturkan, kami diberitahu Abu Mashar, dari Bakr bin Abdullah, dia berkata, “Suatu hari Al-Hajjaj bin Yusuf menginspeksi penjara. Lalu ada seorang laki-laki yang dihadapkan kepadanya.

 

“Apa kesalahanmu?” tanya Al-Hajjaj.

 

“Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada tuan. Suatu malam saya mendapat giliran jaga malam. Saya akan menceritakan kisah saya ini. Jika kisah ini dianggap dusta, semoga ia bisa menyelamatkan saya, dan jika benar, maka saya lebih layak untuk dibebaskan,” kata laki-laki itu,

 

“Bagaimana kisahmu?” tanya Al-Haijjaj.

 

“Saya adalah saudara Fulan, yang diutus tuan ke Khurasan. Ternyata istrinya yang dia tinggalkan di rumah jatuh cinta kepadaku, sementara aku tidak mengetahuinya. Dia mengirim seorang utusan, yang seakan-akan dia mendapat surat dari suaminya, dan saya disuruh datang ke rumahnya untuk membacakannya. Maka saya datang ke rumahnya, lalu dia mengajak saya ngobrol macam-macam hingga kami mendirikan shalat maghrib. Setelah itu dia menyatakan apa yang ada di dalam hatinya dan mengajakku berbuat yang tidak senonoh. Tentu saja saya tidak mau melayaninya.”

 

“Demi Allah, jika engkau tidak mau, maka saya akan berteriak dan mengatakan bahwa engkau adalah seorang pencuri,” kata istri kakakku.

 

Demi Allah, saya menjadi sangat takut terhadap keselamatan diriku wahai Amir. Saya berkata kepadanya, “Baiklah, kalau begitu kita tunda hingga nanti malam.” Seusai shalat isya’, aku teringat tugasku untuk jaga malam. Maka seketika itu saya lari dari rumahnya. Lebih baik aku matj dibunuh daripada mengkhianati saudaraku sendiri. Akhirnya saya ditangkap para pengawal Amir dan menjebloskan saya ke dalam penjara ini. Untuk kejadian ini saya telah merangkum sebuah syair.”

 

“Bagaimana syairmu itu?” tanya Al-Hajjaj.

 

Laki-laki pesakitan itu melantunkan syairnya,

 

Berapa banyak telur yang lembut menjadi keras

dia mengajakku bercumbu namun aku tak ingin membalas

memang keadaanku tidaklah terhormat selalu

tapi aku adalah saudara suaminya dan aku pun malu

 

Maka Al-Hajjaj memerintahkan agar wanita itu dicerai dan membebaskan pengawalnya yang tadinya menjadi pesakitan.

 

Setiap orang yang berakal jangan sampai meniti suatu jalan sebelum dia mengetahui apakah jalan itu memberinya keselamatan atau bencana, atau bisa menghantarkannya ke tujuan tertentu, tujuan yang membuatnya selamat atau tujuan yang mencelakakan dirinya. Inilah jalan yang membawa kehancuran orang-orang terdahulu maupun sekarang, menghela orang yang menitinya ke tujuan yang buruk dan sumber kerusakan. Oleh karena itu Allah menjadikan zina’sebagai jalan yang paling buruk. FirmanNya,

 

“Dan, janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32).

 

Jika ini gambaran jalan zina, lalu bagaimana dengan jalan homoseks, yang dosa dan hukumannya dua kali lipat dari zina? Masalah ini akan dikupas lebih jauh di bagian mendatang. Yang pasti jalan zina adalah jalan yang paling buruk. Tempat kembali orang yang melakukannya adalah neraka Jahim, tempat yang paling buruk. Tempat tinggal bagi ruh mereka di alam Barzakh adalah tungku api, yang apinya terusmenerus menyala dari bagian bawahnya. Jika apinya dinyalakan, maka dia menggelinjang, lalu kembali lagi seperti semula. Begitu terus keadaannya hingga Kiamat tiba, seperti kejadian yang dilihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam mimpinya. Padahal mimpi para nabi merupakan wahyu yang tidak disangsikan kebenarannya.

 

Al-Bukhary meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari hadits Samurah bin Jundab Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seringkali bertanya kepada para shahabat, “Adakah di antara kalian yang bermimpi?” Lalu mimpi mereka ity diceritakan kepada beliau seperti yang dikehendaki Allah. Suatu sore beliay bersabda kepada kami, “Semalam aku didatangi dua orang yang diutus kepadaku. Keduanya berkata kepadaku, “Lanjutkan!” Maka aku pun pergj bersama keduanya. Kami melewati seorang laki-laki yang tidur miring. Tiba-tiba ada orang lain yang berdiri di dekatnya sambil membawa batu yang besar, lalu menjatuhkan batu itu ke kepalanya, hingga kepalanya pecah dan batu itu juga berhamburan ke sana-sini. Orang kedua itu mengumpulkan lagi pecahan-pecahan batu, dan tidak menghampiri orang yang pertama melainkan kepalanya sudah kembali seperti semula. Kemudian orang kedua menghampirinya lagi dan berbuat seperti yang dia perbuat pertama kali. –

 

Beliau bertanya, “Subhanallah, siapakah dua orang itu?”

 

Keduanya berkata, “Lanjutkan, Lanjutkan!” Maka kami pun pergi lagi. Lalu kami melewati seorang laki-laki yang tidur telentang pada punggungnya, dan ada orang lain yang berdiri di dekatnya sambil membawa sebatang besi yang ujungnya bengkok. Orang kedua ini mendekati sebelah wajah orang yang pertama, mencabik-cabik ujung mulutnya hingga ke tengkuk, hidungnya hingga ke tengkuknya, matanya hingga ke tengkuknya. Kemudian beralih ke belahan wajah satunya lagi dan berbuat seperti yang dia perbuat pertama kali. Belum selesai dengan perbuatannya di satu belahan wajah, maka wajah yang satunya lagi kembali seperti semula. Kemudian dia beralih ke belahan wajah satunya lagi dan berbuat seperti yang dia perbuat pertama kalinya.

 

Beliau bersabda, “Aku berkata, ‘Subhanallah! Siapakah dua orang itu?”

 

Keduanya menjawab, “Lanjutkan! Lanjutkan!”

 

Maka kami pun pergi lagi. Lalu kami melewati sesuatu seperti tungku api, yang ternyata di atas tungku itu terdengar suara gaduh dan jeritan. Kami menengok ke dalamnya. Di sana ada beberapa orang laki-laki dan wanita yang telanjang. Jika ada nyala api dari bagian bawah mereka, maka suara mereka pun gaduh.

 

Beliau bersabda, “Aku bertanya kepada keduanya, ‘Siapakah mereka itu?”

 

Keduanya menjawab, “Lanjutkan! Lanjutkan!”

 

Maka kami pun pergi lagi, lalu kami melewati sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di sungai itu ada seorang laki-laki yang berenang, dan di pinggir sungai ada orang lain yang membawa bebatuan yang banyak. Jika orang yang berenang itu berenang menurut kemampuannya, kemudian mendekati orang yang telah mengumpulkan bebatuan itu sambil membuka kedua bibirnya, maka orang yang kedua memasukkan batu ke mulutnya, lalu dia berenang menjauhinya. Kemudian kembali lagi mendekatinya dan membuka kedua bibirnya dan dia pun memasukkan batu ke mulutnya.

 

Beliau bersabda, Aku bertanya, ‘Siapakah dua orang itu?”

 

Keduanya menjawab, “Lanjutkan! Lanjutkan!”

 

Maka kami pun pergi lagi. Lalu kami melewati seorang laki-laki yang rupanya sangat menjijikkan, seperti rupa orang yang paling menjijikkan yang pernah engkau lihat. Di sampingnya ada api yang dia kobarkan dan dia besarkan.

 

Beliau bersabda, “Aku bertanya, ‘Siapakah orang itu?”

 

Keduanya menjawab, “Lanjutkan! Lanjutkan!”

 

Maka kami pun pergi lagi lalu kami melewati kebun yang terang benderang. Cahaya musim semi menyinari kebun itu. Di kedua sisi kebun itu ada seorang laki-laki yang sangat tinggi badannya. Hampir-hampir aku tak bisa melihat kepalanya, karena tingginya menjulang hingga ke langit. Di sekitarnya banyak sekali anak-anak, yang tidak pernah kulihat jumlahnya sebanyak itu.

 

Beliau bersabda, “Aku bertanya, ‘Siapakah orang itu?”

 

Keduanya menjawab, “Lanjutkan! Lanjutkan!”

 

Maka kami pergi lagi, lalu kami melewati sebuah bangunan yang sangat besar, yang sebelumnya aku tidak pernah melihat bangunan yang besar seperti itu sama sekali. Keduanya berkata kepadaku, “Naiklah ke sana!”

 

Maka kami naik ke sana, hingga kami tiba ke sebuah kota yang bangunannya terbuat dari bata emas dan perak. Kami tiba di pintu gerbang kota. Kami minta untuk dibukakan. Maka pintunya dibukakan untuk kami. Kami memasuki kota itu dan kami melewati beberapa orang yang separoh badannya elok, seelok yang pernah engkau lihat, dan separoh badannya lagi buruk, seburuk yang pernah engkau lihat.

 

Beliau bersabda, “Keduanya berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan menceburlah ke sungai itu!” Di sana ada sebuah sungai yang lebar mengalir, yang airnya sangat jernih. Mereka pun pergi dan mencebur ke dalam Sungai itu. Tatkala mereka sudah kembali menghampiri kami, maka keburukan rupa mereka telah sirna dan rupa mereka menjadi sangat elok.,

 

Beliau bersabda, “Keduanya berkata kepadaku, ‘Inilah surga Adn dan inilah tempat tinggalmu.”

 

Beliau bersabda, “Tatkala pandanganku tertuju ke arah atas, ternyata ada sebuah istana seperti awan putih.

 

Beliau bersabda, “Keduanya berkata kepadaku, ‘Ini adalah tempat tinggalmu’.”

 

Aku berkata, “Semoga Allah memberkahimu. Biarkan aku memasukinya!”

 

“Belum sekarang. Toh nanti pun engkau akan memasukinya,” kata keduanya.

 

Aku bertanya kepada keduanya, “Sejak malam ini aku telah melihat keajaiban. Lalu apa makna yang telah kulihat ini?”

 

Keduanya menjawab, “Sekarang kami akan memberitahukannya kepadamu. Tentang orang pertama yang engkau lewati, yang kepalanya dijatuhi batu besar, adalah orang yang membaca Al-Qur’an dan menolak isinya serta tidur dan ketinggalan mengerjakan shalat wajib. Tentang orang yang engkau lewati, yang ujung mulutnya dicabik-cabik hingga tengkuknya, hidungnya hingga tengkuknya, matanya hingga tengkuknya, adalah orang yang keluar dari rumahnya pada sore hari, lalu membuat kedustaan, yang kedustaannya mencapai angkasa. Tentang para laki-laki dan wanita yang telanjang, yang berada di suatu bangunan seperti tungku api, adalah para laki-laki dan wanita pezina. Tentang orang yang berenang di sungai lalu mulutnya dimasuki batu adalah orang yang mengambil riba. Tentang orang yang rupanya sangat menjijikkan dan yang mengobarkan api serta membesarkannya adalah malaikat penjaga neraka Jahannam. Tentang orang yang sangat tinggi yang berada di taman, maka dia adalah Ibrahim. Tentang anak-anak yang ada di sekitarnya adalah setiap anak kecil yang mati berdasarkan fitrah.”

 

Sebagian orang-orang Muslim bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak orang-orang musyrik?”

 

Beliau menjawab, “Begitu pula anak orang-orang musyrik. Tentang . orang-orang yang separoh badannya elok dan separohnya lagi buruk adalah mereka yang mencampuri amal shalih dengan amal buruk, namun Allah mengampuni dosa mereka.”

 

Abu Muslim Al-Kajjy berkata, “Kami diberitahu Shadagah bin Jabir, dari Sulaim bin Amir, dia berkata, Aku diberitahu Abu Gmamah AIl-Bahily, . dia berkata, Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tatkala aku sedang tidur, aku bermimpi didatangi dua orang.

 

Keduanya memegang ketiakku lalu membawaku pergi. Kami melewati sebuah gunung yang jalannya bergelombang. Keduanya berkata kepadaku, Mendakilah!”

 

Aku menjawab, “Aku tidak bisa.”

 

“Kami akan membuatnya mudah bagimu,” kata keduanya.

 

Maka aku mendakinya. Tatkala tiba di pertengahan gunung, tibatiba aku Mendengar suara jeritan yang nyaring. Aku bertanya, “Apa suara jeritan itu?”

 

“Ini adalah jeritan para penghuni neraka,” jawab keduanya.

 

Kemudian aku melanjutkan lagi. Aku melewati sekelompok orang yang tubuhnya menggelembung sangat besar dan baunya amat busuk serta rupanya amat buruk.

 

“Siapakah mereka itu?” tanyaku.

 

Keduanya menjawab, “Mereka adalah orang-orang kafir yang terbunuh.”

 

Kemudian saya diajak melanjutkan lagi. Ternyata di sana ada sekelompok orang yang tubuhnya menggelembung besar dan baunya amat busuk, seakan-akan bau mereka seperti bau WC.

 

“Siapakah mereka itu?” tanyaku.

 

Keduanya menjawab, “Mereka adalah laki-laki dan perempuan pezina.”

 

Qutaibah bin Sa’id berkata, “Kami diberitahu Nuh bin Qais, dia berkata, ‘aku diberitiahu Abu Harun Al-Abdy, dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Pada malam aku diisra’kan, aku dibawa pergi melewati sekumpulan orang dari hamba Allah yang banyak. Di sana ada para wanita yang bergantungan pada payudaranya, di antara mereka ada pula yang bergantungan pada kakinya dalam keadaan tequngkir. Mereka menjerit dan melolong. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah para wanita pezina dan membunuh anak-anaknya serta menjadikan ahli waris bagi suami-suami mereka dari selain mereka’.”

 

Abu Nu’aim Al-Fadhla bin Dukain berkata, “Kami diberitahu AbdusSalam bin Syaddad, dari Ghazwan bin Jarir, dari bapaknya, bahwa orangorang sedang menyebut-nyebut berbagai macam perbuatan keji di hadapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu. Lalu Ali berkata kepada mereka, “Tahukah kalian, apakah dosa zina yang paling besar itu>”

 

Mereka menjawab, “Wahai Amirul-Mukminin, semua dosa zina adalah besar.”

 

Ali berkata, “Akan kuberitahukan dosa zina yang paling besar di sisi Allah, yaitu seorang laki-laki yang berzina dengan istri orang Muslim, sehingga dengan begitu dia menjadi laki-laki pezina dan merusak istri orang itu.”

 

Setelah itu Ali berkata lagi, “Sesungguhnya pada Hari Kiamat akan dihembuskan bau yang busuk, sehingga setiap orang yang baik maupun buruk merasa terganggu. Tatkala bau ini semakin menyengat dan hampir saja mereka tidak bisa bernapas, tiba-tiba ada penyeru yang berseru dengan suara nyaring, “Tahukah kalian apakah bau yang mengganggu kalian ini?”

 

Mereka menjawab, “Kami tidak tahu, demi Allah. Yang pasti bau ini sangat menyengat.”

 

Lalu dikatakan kepada mereka, “Ini adalah bau kemaluan para pezina yang bersua Allah dengan membawa dosa zinanya dan mereka tidak taubat darinya. Kemudian mereka dikembalikan dan tatkala kembali itu mereka tidak diingatkan tentang surga dan neraka.”

 

Al-Khara’ithy berkata, “Kami diberitahu Ali bin Daud Al-Qanthary, kami diberitahu Sa’‘id bin Ufair, aku diberitahu Muslim bin Ali Al-Khasany, dari Abu Abdurrahman, dari Al-Amasy, dari Syaqiq, dari Hudzaifah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

‘Wahai sekalian orang-orang Muslim, jauhilah zina, karena di dalamnya terdapat enam perkara, tiga di dunia dan tiga di akhirat. Yang di dunia adalah hilangnya keelokan, kemiskinan yang terus-menerus dan umur yang pendek. Sedangkan yang di akhirat adalah kemurkaan Allah, hisab yang buruk dan masuk neraka.”

 

Disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Orang yang senantiasa berzina seperti penyembah berhala.”

 

Sebagian orang ada yang memarfu’kan perkataannya ini. Memang perbuatan zina ini lebih pantas jika diserupakan dengan penyembah berhala daripada diserupakan dengan pemeras khamr. Di dalam Al-Musnad dan lainnya disebutkan secara marfu’, “Pemeras khamr itu seperti penyembah berhala.” Sementara itu, dosa zina lebih besar daripada dosa meminum khamr. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Tidak ada yang lebih besar dosanya setelah membunuh jiwa manusia selain dari dosa zina.”

 

Di dalam Ash-Shahihain, dari hadits Abu Wa’il, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Saya pernah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah dosa yang paling besar di sisi Allah?’

 

Beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu.”

 

“Kemudian apa lagi?”

 

Beliau menjawab, “Engkau membunuh anakmu karena takut dia makan bersamamu.”

 

Saya bertanya, “Kemudian apa lagi?”

 

Beliau menjawab, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.”

 

Lalu Allah menurunkan ayat untuk membenarkan sabda beliau ini,

 

“Dan, orang-orang yang tidak menyembah Ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapatkan (pembalasan) dosa(nya).” (Al-Furqan: 68).

 

Qutaibah bin Sa’id berkata, “Kami diberitahu Ibnu Lahi’ah, dari Ibnu An’um, dari seorang laki-laki, dari Abdullah bin Amru Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Orang yang berzina dengan istri tetangganya, tidak akan dilihat Allah pada Hari Kiamat dan tidak disucikan-Nya, dan Dia berfirman, ‘Masuklah neraka bersama orang-orang yang masuk’.”

 

Sufyan bin Uyainah menyebutkan dari Jami’ bin Syaddad, dari Abu Wa’il, dari Abdullah, dia berkata, Jika timbangan banyak yang dirubah, maka hujan akan ditahan. Jika zina muncul di mana-mana, maka wabah penyakit akan menjalar dan jika banyak kebohongan, maka banyak pula kekacauan.”

 

Di dalam Ash-Shahihain dari hadits Al-Amasy, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Tiga orang yang tidak akan dilihat Allah pada Hari Kiamat, tidak disucikan dan mereka mendapat adzab yang pedih, yaitu laki-laki tua yang berzina, raja (pemimpin) pendusta dan orang miskin yang sombong.”

 

Sufyan Ats-Tsaury menyebutkan dari Manshur, dari Rab’y bin Hirasy, dari Abu Dzarr Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

 

“Sesungguhnya Allah murka kepada tiga orang, yaitu laki-laki tua yang berzina, orang miskin yang sombong dan orang kikir yang selalu menyebut-nyebut pemberiannya.” (Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Hibban).

 

Al-Aimasy menyebutkan dari Khaitsamah, dari Abu Abdurrahman, dari Abdullah bin Amru Radhiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Perumpamaan orang yang duduk di atas tempat tidur wanita yang ditinggal suaminya untuk berperang seperti orang yang digigit ular yang besar pada Hari Kiamat.” (Diriwayatkan Ath-Thabrany dan Al-Khara’ithy).

 

Di dalam riwayat An-Nasa’y dan lain-lainnya dari hadits Burairah, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Kehormatan istri-istri para mujahidin di sisi orang-orang yang tidak berangkat berjihad seperti kehormatan ibu-ibu mereka. Tidaklah di antara orang-orang yang tidak ikut berjihad mengkhianati salah seorang di antara mujahidin terhadap keluarganya, melainkan dia didirikan di hadapannya pada Hari Kiamat, lalu dikatakan, ‘Wahai Fulan, ini adalah Fulan. Maka ambillah dari kebaikan-kebaikannya menurut kehendakmu’. Kernudian Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam menoleh ke arah pada shahabatnya, lalu bersabda, “Apakah kalian berpendapat bahwa orang ttu akan menyisakan kebaikan-kebaikannya sedikit pun?” Dalam lafazh lain disebutkan,

 

“Dan, jika dia menggantikan kedudukannya dalam menjaga keluarganya lalu dia mengkhianatinya, maka dikatakan kepadanya para Hari Kiamat, ‘Ini telah mengkhianatimu terhadap keluargamu. Maka ambillah dari kebaikan-kebaikannya menurut kehendakmu. Lalu apa anggapan kalian>?”

 

Sebagai bukti keburukan zina dan sekaligus menunjukkan kesempurnaan rahmat-Nya, Allah menetapkan zina sebagai perbuatan yang paling hina dan hukumannya adalah kematian yang paling berat. Pelaksanaannya harus disaksikan orang-orang Mukmin. Bahkan Allah menyerupakan pelakunya seperti hewan yang tidak mempunyai akal, sebagaimana yang disebutkan Al-Bukhary di dalam Shahih-nya, dari Amru bin Maimun Al-Audy, dia berkata, “Aku pernah melihat pada zaman Jahiliyah seekor kera yang menzinahi kera betina. Lalu kera-kera lainnya mengerumuni dua ekor kera itu dan merajam mereka berdua hingga mati.”

 

Akibat Zina

 

Zina menghimpun segala jenis keburukan, seperti minimnya agama, hilangnya wara’, kerusakan kepribadian, ketiadaan ghairah. Hampir tak ada seorang pezina yang memiliki wara’, menepati janji, perkataan yang jujur, menjaga teman dan cemburu terhadap keluarga. Pelanggaran janji, kebohongan, pengkhianatan, minimnya rasa malu, tidak menjaga kesucian dan hilangnya kecemburuan dari hati merupakan sifat pezina. Akibatnya adalah kemurkaan Allah, karena dia merusak kehormatan dirinya sendiri dan juga keluarganya. Andaikata seorang pezina dibawa ke hadapan seorang raja, tentu raja itu akan menerima kedatangannya dengan cara yang tidak ramah, wajahnya cemberut dan muram, disertai rona kemurkaan yang langsung bisa dibaca siapa pun yang memandangnya.

 

Akibat yang lain, hatinya menjadi pekat dan cahayanya menjadi sirna. yang berarti cahaya wajahnya juga sirna karena ditutup kegelapan.

 

Akibat yang lain, kemiskinan yang selalu menyertainya. Dalam sebuah atsar Allah berfirman,

 

‘Aku adalah Allah yang menghancurkan para thaghut dan memiskinkan para pezina.”

 

Akibat yang lain, menghilangkan kehormatan pelakunya, membuat dirinya hina di mata Allah dan hamba-hamba-Nya.

 

Akibat yang lain, merampas istilah-istilah yang baik, seperti istilah kehormatan diri, kebajikan dan keadilan. Sebaliknya, dia mendatangkan jstilah-istilah yang buruk, seperti istilah cabul, keji, fasik, pezina dan pengkhianat.

 

Akibat yang lain, merampas kedudukan sebagai orang Mukmin. Di dalam Ash-Shahihain, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Tidaklah seorang pezina berzina, tatkala berzina dia dalam keadaan Mukmin.”

 

Dia merampas istilah iman, sekalipun tidak merampas iman itu secara total. Ja’far bin Muhammad pernah ditanya tentang hadits ini. Maka dia membuat garis petak di atas tanah, dan berkata, “Ini adalah petak iman.” Kemudian dia membuat garis petak yang lain di luar petak pertama, jalu berkata, “Ini adalah petak Islam. Jika seorang hamba berzina, berarti dia keluar dari petak ini dan tidak keluar dari petak yang pertama.” Tidak mesti seseorang layak disebut Mukmin karena dia hanya mempunyai sedikit bagian iman, seperti orang yang hanya memiliki sedikit ilmu dan pengetahuan, tidak mesti layak disebut ilmuwan atau ulama, atau seperti orang yang mempunyai sedikit keberanian dan kesatria, tidak mesti layak disebut pemberani dan kesatria. Begitu pula jika dia mempunyai sedikit ketakwaan, tidak mesti dia layak disebut orang yang bertakwa.

 

Namun yang paling benar adalah memahami hadits ini menurut zhahirnya dan tidak perlu membuat ta’wil yang justru bertentangan dengan zhahirnya.

 

Akibat yang lain, dia menyeret diri sendiri menjadi penghuni tungku api, seperti yang dilihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam mimpinya.

 

Akibat yang lain, melepaskan yang baik seperti sifat yang diberikan Allah kepada orang-orang yang menjaga kehormatan dan kesuciannya, lalu dia mengganti yang baik ini dengan yang buruk, seperti sifat yang diberikan Allah Kepada para pezina. Firman-Nya,

 

 

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang batik untuk Wwanita-wanita yang batk (pula).” (An-Nur: 26).

 

Padahal Allah telah mengharamkan surga atas segala yang keji dan buruk. Surga adalah tempat tinggal orang-orang yang baik, dan tidak ada yang masuk ke sana kecuali yang baik-baik. Allah berfirman,

 

“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka), ‘Salamun alaikum, rmasuklah kalian ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kalian kerjakan’.” (An-Nahl: 32).

 

“Dan, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian. Berbahagialah kalian. Maka masuklah surga ini, sedang kalian kekal di dalamnya’.” (Az-Zumar: 73).

 

Mereka berhak mendapat salam sejahtera dari para malaikat dan masuk surga Karena Kebaikan mereka. Sedangkan para pezina adalah makhluk yang paling buruk. Allah telah menjadikan neraka Jahannam sebagai tempat tinggal orang yang Keji dan buruk. Pada Hari Kiamat nanti yang buruk akan terpisah dari yang buruk. Yang buruk dilemparkan ke neraka Jahannam, dan tak ada orang baik yang masuk ke neraka, dan tidak ada orang buruk yang masuk surga.

 

Akibat yang lain, kKemurungan selalu membayang di dalam hati pezina, seperti kemurungan yang tampak di wajahnya. Sedangkan di wajah orang yang menjaga kesucian dirinya terlihat kKemanisan dan di dalam hatinya terdapat keceriaan. Siapa yang dekat dengannya bisa mengambil keceriaan itu. Sedangkan di wajah pezina selalu tergambar kemurungan dan siapa yang dekat dengannya bisa membaca kemurungan itu.

 

Akibat yang lain, kehormatan dirinya menjadi sirna dan merosot. Keluarga, rekan dan siapa pun melecehkannya. Dia menjadi orang yang paling hina di mata mereka. Berbeda dengan orang yang menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, yang dianugerahi kehormatan.

 

Akibat yang lain, orang lain melihat dirinya sebagai orang yang suka perkhianat dan tak seorang pun yang merasa aman dari tindakannya.

 

Akibat yang lain, bau busuk yang seakan menghembus dari dirinya tercium oleh siapa pun yang memiliki hati yang selamat. Andaikata tidak ada orang lain yang melakukan tindakan serupa, tentu mereka akan mengatakan terus terang bau yang tercium dari dirinya itu.

 

Akibat yang lain, dada terasa sesak dan sumpek. Para pezina akan diperlakukan dengan perlakuan yang berbeda dengan tujuannya. Siapa yang mencari kenikmatan hidup dan kelezatannya dengan sesuatu yang diharamkan Allah, maka Allah akan menghukumnya dengan hukuman yang berbeda dengan tujuannya. Apa yang ada di sisi Allah tidak bisa didapatkan kecuali dengan menaati-Nya. Allah sama sekali tidak menjadikan kedurhakaan kepada-Nya sebagai sebab yang membawa Kepada kebaikan. Andaikata orang yang berlaku keji mengetahui kesenangan, kenikmatan, kelapangan dada dan hidup yang tenteram dalam menjaga kesucian, tentu dia akan mengetahui bahwa kenikmatan yang lepas darinya jauh lebih banyak dari apa yang didapatkannya.

 

Akibat yang lain, pezina membuat dirinya kehilangan kesempatan untuk mereguk kenikmatan bersama bidadari-bidadari yang bermata jeli di surga Adn. Telah dijelaskan di bagian terdahulu, bahwa jika Allah memberi hukuman kepada orang yang memakai pakaian sutera di dunia, maka Dia akan mengharamkan pakaian itu baginya di akhirat. Orang yang meminum khamr di dunia tidak akan bisa meminumnya di akhirat. Begitu pula orang yang menikmati rupa-rupa yang diharamkan di dunia. Bahkan jika seorang hamba mendapatkan keluasan hal-hal yang halal di dunia, maka dia akan mendapatkan kKesempitan di akhirat, sebanding dengan keluasan yang didapatkannya itu. Jika dia melakukan yang haram di dunia, maka dia akan kehilangan hal serupa di akhirat.

 

Akibat yang lain, zina mendorong pelakunya memutuskan tali persaudaraan, durhaka kepada kedua orang tua, melakukan hal-hal yang haram, menzhalimi orang lain, menyia-nyiakan kKeluarga, dan bahkan bisa mendorongnya berani melakukan pembunuhan dengan cara yang haram, atau boleh jadi dia meminta bantuan Kekuatan sihir dan dukun serta berbuat syirik, baik dia dalam keadaan sadar atau tidak sadar. Kedurhakaan ini biasanya tidak berhenti pada satu jenis, tapi juga berkait dengan kedurhakaan sebelumnya dan kedurhakaan lain yang menyertainya, lalu disusul dengan jenis-jenis kedurhakaan lain sesudahnya. Jadi kedurhakaan ini dikepung dengan segelar pasukan kedurhakaan sebelumnya dan sesudahnya. Jadi, ia paling potensial dalam mendatangkan keburukan dj dunia dan akhirat, paling potensial menghilangkan kebaikan di dunia dan akhirat. Jika seseorang mulai terjerumus dan terikat tali kedurhakaan ini, maka hendaklah para pemberi nasihat segera menyelamatkannya dan para dokter memberinya obat penawar. Sebab siapa yang sudah menjadi tawanan zina, tidak ada jaminannya dan siapa yang mati karena zina tidak ada tebusannya. Siapa yang dicoba dengan kedurhakaan ini, berarti dia melepaskan nikmat Allah. Karena ia bisa diibaratkan tamu yang cepat bergeraknya dan segera lenyapnya. Allah berfirman,

 

“Dan, apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Ra’d: 11)

 

“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 53).

 

Hukuman Pelaku Homoseks

 

Inilah sebagian dampak negatif yang ada di jalan kedurhakaan ini. Jalan yang ditempuh umat Luth adalah jalan orang-orang yang rusak. Mereka berjalan ke tempat penyiksaan, dengan bermacam-macam siksaan yang telah dihimpun Allah, yang tidak dihimpun bagi umat yang lain, sebelum maupun sesudah mereka. Kisah tentang diri mereka akan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang bertakwa.

 

Khalid bin Al-Walid pernah menulis surat kepada Abu Bakar AshShiddiq Radhiyallahu Anhuma, bahwa dia mendapatkan di sebuah perkampungan bangsa Arab seorang laki-laki yang dinikahkan dengan lakilaki lain, sebagaimana pernikahan dengan wanita. Maka Abu Bakar mengumpulkan beberapa orang dari kalangan shahabat, yang di antara mereka ada Ali bin Abu Thalib. Abu Bakar meminta pendapat mereka mengenai masalah ini. Maka adalah Ali yang paling keras pendapatnya. Dia berkata, “Yang seperti ini tidak pernah dilakukan umat mana pun kecuali satu umat, lalu Allah berbuat seperti yang telah kalian ketahui terhadap mereka. Maka menurut pendapat saya, orang seperti itu layak untuk dipakar. Maka bakarlah orang itu dengan api.”

 

Sedangkan menurut Umar bin Al-Khaththab, sejumlah shahabat dan tabi’in, orang itu harus dirajam dengan lemparan batu hingga meninggal dunia, baik dalam keadaan sudah menikah atau bujangan. AI-imam Ahmad juga sependapat dengan ini, begitu pula Ishaq, Malik dan Az-Zuhry. Jabir bin Zaid berkata tentang orang yang bersetubuh pada dubur (sodomi), “Dubur itu lebih diharamkan daripada kemaluan. Dia narus dirajam, baik dalam keadaan sudah menikah atau bujangan.” Menurut Asy-Sya’by, dia harus dibunuh, dalam keadaan sudah menikah atau bujangan.

 

Ibnu Abbas pernah ditanya tentang hukuman orang yang melakuKan homoseks. Maka dia menjawab, “Dia harus diikat di sebuah bangunan yang paling tinggi di kota, lalu dirajam dengan lemparan batu. Sedangkan Ali pernah merajam pelaku homoseks lalu memfatwakan untuk membakarnya.” Jadi seakan-akan Ibnu Abbas memperbolehkKan dua jenis hukuman ini.

 

Ibrahim An-Nakha’y berkata, Jika seseorang harus dirajam dua kali, maka orang yang melakukan homoseks juga harus dirajam dua kali.” Ada segolongan ulama yang berpendapat, dia dirajam dengan lemparan batu jika sudah menikah, dan mendapat pukulan atau cambukan jika bujangan. Ini merupakan pendapar Asy-Syafi’’y dan Ahmad dalam suatu riwayat darinya, Sa’id bin Al-Musayyab dalam suatu riwayat darinya dan Atha’ bin Abu Rabbah.

 

Atha’ berkata, “Saya pernah menyaksikan tujuh orang yang dihadapkan kepada Ibnuz-Zubair karena mereka telah melakukan homoseks. Empat orang sudah menikah dan tiga orang masih membujang. Dia memerintahkan empat orang untuk dikeler di depan Al-Masjidil-Haram, jalu mereka dirajam dengan lemparan batu. Lalu dia memerintahkan tiga orang lain untuk dihukum dengan pukulan atau cambukan. Sementara saat itu di dalam masjid ada Ibnu GUmar dan Ibnu Abbas.

 

Para shahabat telah sepakat bahwa orang yang melakukan homoseks harus dihukum mati. Tapi mereka saling berbeda pendapat dalam cara pelaksanaannya. Sebagian orang ada yang menganggap bahwa para shahabat berbeda pendapat dalam hukuman mati. Padahal mereka tidak berbeda pendapat dalam hal ini.

 

Orang-orang saling berbeda pendapat tentang hukuman pelaku homoseks, yang bisa dibagi menjadi tiga macam:

 

– Hukuman bagi pelaku homoseks harus lebih besar daripada pezina, sebagaimana hukumannya di akhirat nanti juga lebih keras.

– Hukumannya seperti hukuman pezina.

– Orang yang dijadikan obyek homoseks dihukum dengan pukulan atay cambukan, karena dia tidak bisa menikmati perbuatan itu seperti yang dirasakan pelakunya.

 

Sebagian fuqaha berpendapat, tidak ada hukuman yang bisa dijatuhkan kepada kedua pelaku. Sebab perbuatan itu hanya sekedar lari dari tabiat dan perbuatan yang dianggap buruk, sehingga hal ini tidak bisa dijadikan alasan bagi pembuat syariat untuk menjatuhkan hukuman kepada keduanya, seperti orang yang memakan bangkai, darah, minum kencing dan lain-lainnya. Menurut mereka, namun jika seseorang melakukan homoseks secara terus-menerus, maka dia bisa dibunuh sekedar sebagai pelajaran bagi yang lain. Pendapat ini juga ditegaskan rekan-rekan Abu Hanifah.

 

Yang benar, hukumannya harus lebih keras daripada hukuman bagi pezina. Karena para shahabat sudah menyepakati pendapat ini. Sebab homoseks lebih banyak kerusakannya dan jauh menyimpang dari kesucian. Di samping itu, Allah tidak pernah menghukum suatu kaum, yang lebih keras daripada hukuman yang dijatuhkan kepada kaum Luth.

 

Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya kalian benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikefjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kalian.” (Al-Ankabut: 28).

 

Ibnu Abi Nujaih berkata dalam menafsiri ayat ini, “Karena laki-laki menyetubuhi laki-laki lain, maka jadilah mereka itu kaum Luth.”

 

Muhammad bin Makhlad berkata, “Aku pernah mendengar Abbas Ad-Dury berkata, ‘Saya mendengar bahwa bumi berguncang jika laki-laki menyetubuhi laki-laki lain.”

 

Ibnu Abid-Dunya menyebutkan dengan isnadnya dari Ka’b, dia berkata, “Ibrahim menghadapi kaum Sodom (nama kaum Luth), dan berkata, ‘Kecelakaan bagi kalian wahai kaum Sodom’. Lalu para malaikat mendatangi Ibrahim dan Ibrahim memberitahukan keadaan kaum Luth. Mereka berkata, “Hai Ibrahim, tinggalkanlah soal jawab ini!”

 

Allah menjelaskan,

 

“Dan, tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata, ‘Int adalah hari yang amat sulit’.” (Hud: 77).

 

Lalu Ibrahim pergi bersama para malaikat ke rumah Luth, dan jstrinya langsung beranjak pergi. Kaumnya bergegas mendatangi Luth. Luth berkata kepada mereka, “Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka jebih suci bagi kalian. Aku akan mengawinkan kKalian dengan mereka. Tidak adakah di antara kalian orang yang berakal?”

 

Luth menempatkan tamu-tamunya di dalam rumahnya dan beliau perdiri di ambang pintu, seraya berkata, “Andaikan saja aku mempunyai kekuatan (untuk menolak kalian) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang Kuat (tentu aku lakukan).”

 

Tatkala para malaikat melihat keadaan Luth karena kedatangan mereka itu, maka mereka berkata, “Wahai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabb-mu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu. Sebab itu pergilah dengan membawa kKeluarga dan pengikut-pengikutmu di akhir malam, dan janganlah ada seorang pun di antara Kalian yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa adzab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah pada waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?”

 

Lali Jibril mendatangi kaum Luth dan memukul wajah mereka dengan sekali pukulan hingga mencongkel mata mereka. Jeritan mereka didengar para penghuni langit, begitu pula lolongan anjing dan suara ayam mereka. Kemudian Allah membalik tanah tempat berpijak mereka dan menjatuhkan hujan lahar yang panas. Tak seorang pun di antara mereka yang bisa selamat dari adzab ini.

 

Menurut Mujahid, Jibril Alathis-Salam turun dan memayungkan sayapnya di atas kota-kota kaum Luth, lalu dipukulkan kepada mereka, hingga para penghuni langit mendengar lolongan anjing mereka dan kokok ayam mereka. Kemudian Jibril membalikkan tanah, yang atas menjadi di bawah, kemudian dihujani dengan batu.

 

Dalam tafsir Abu Shalih disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Luth menutup pintu rumahnya untuk melindungi tamutamunya. Namun mereka mendobrak pintu dan mereka pun masuk ke dalamnya. Lalu Jibril menimpuk mata mereka hingga mereka menjadi buta. Kaumnya berkata, “Wahai Luth, apakah engkau datang sambil membawa pemuda-pemuda yang tampan untuk kami?” Mereka juga menimpalinya dengan ancaman, hingga Luth mulai dibayangi rasa takut,

 

Luth berkata, “Para tamu ini harus segera menyingkir dan kami siap menanggung akibatnya.”

 

Tamu-tamunya berkata, Janganlah engkau takut. Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabb-mu. Sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka pada waktu subuh.”

 

Luth bertanya, “Mengapa tidak sekarang?”

 

Jibril berkata, “Bukankah waktu subuh itu sudah dekat?”

 

Kota mereka digunjang, hingga para penghuni langit bisa mendengar lolongan anjing mereka. Kemudian tanah mereka dibalik dan dihujani dengan batu.

 

Menurut Hudzaifah bin Al-Yaman, tatkala para malaikat diutus kepada kaum Luth untuk menghancurkan mereka, ada yang berkata kepada mereka, Jangan hancurkan mereka sebelum Luth meminta kesaksian atas tindakan para malaikat itu sebanyak tiga kali. Caranya ialah lewat Ibrahim.” Maka para malaikat yang diutus itu mendatangi Ibrahim, dan memberitahukan permasalahannya.” Allah menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,

 

“Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, dia pun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Luth.” (Hud: 74).

 

Soal jawab mereka sebagai berikut. Ibrahim bertanya kepada mereka, Jika di tengah mereka ada lima puluh (dari pengikut Luth), apakah kalian akan menghancurkan kaum Luth?”

 

Para malaikat menjawab, “Tidak.”

 

“Bagaimana jika di tengah mereka masih ada empat puluh orang (dari pengikut Luth), apakah kalian akan menghancurkan mereka?”

 

“Tidak,” jawab para malaikat.

 

“Bagaimana jika tinggal tiga puluh orang?”

 

“Tidak,” jawab para malaikat. Hingga hitungannya berhenti pada angka sepuluh atau lima. Setelah itu mereka mendatang Luth yang sedang bekerja. Luth mengira para malaikat yang datang itu adalah tamu biasa. Luth membawa tamu-tamunya ke rumahnya pada sore hari. Luth menengok ke arah tamu-tamunya seraya bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang mereka lakukan?”

 

“Apa yang mereka lakukan?” tanya tarnu-tamunya.

 

“Tak seorang pun manusia yang lebih buruk dari mereka,” jawab Luth.

 

Akhirnya mereka tiba di rumah Luth. Istrinya yang jahat keluar menghampiri kaumnya dan berkata, “Malam ini Luth kedatangan beberapa orang yang ketampanan wajah dan keharuman bau mereka tidak pernah kulihat seperti mereka.”

 

Maka kaumnya segera bergegas mendatangi rumah Luth dan mendorong-dorong pintu rumahnya, hingga hampir saja mereka menerjang Luth. Lalu ada seorang malaikat yang bangkit sambil mengepakkan sayapnya dan melindungi Luth dari tindakan mereka. Luth segera menutup pintu dan berkata kepada mereka, “Inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagi kalian….” dan seterusnya. Jibril menimpuk mata mereka, hingga mereka semua menjadi buta pada malam itu. Malam itu menjadi malam yang paling menakutkan dan mereka siap menunggu adzab. Luth pergi bersama keluarganya (kecuali istrinya) dan para pengikutnya. Jibril meminta perkenan kepada Luth untuk menghancurkan mereka, dan beliau memperkenankannya. Jibril mengangkat tanah tempat mereka berpijak dan memporakporandakannya, hingga para penghuni langit bisa mendengar lolongan anjing mereka. Di bawah mereka dinyalakan api kemudian membalikkannya. Istri Luth sempat mendengar suara orang yang jatuh, lalu dia menoleh dan adzab pun menimpanya.

 

Di dalam tafsir Al-Aufy disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bahwa Ibrahim bersoal jawab dengan para malaikat tentang kaum Luth, agar mereka dibiarkan saja. Maka Ibrahim berkata, “Bagaimana menurut kalian jika di tengah mereka ada sepuluh rumah dari kalangan orang-orang Muslim, apakah kalian akan membiarkan mereka”

 

Para malaikat menjawab, “Di sana tidak akan ada sepuluh rumah, lima, enam, empat, tiga, tidak pula dua rumah.”

 

Maka Ibrahim merasa sedih atas nasib kaum Luth dan sanak keluarganya. Allah berfirman,

 

“Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya di kota itu ada Luth’. Para malaikat berkata, ‘Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya. Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” (Al-Ankabut: 32). “Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gerbira telah datang kepadanya, dia pun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya Ibrahirn itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.” (Hud: 74).

 

Kemudian para malaikat berkata,

 

“Hai [brahim, tinggalkanlah soal jawab ini, sesungguhnya telah datang ketetapan Rabbmu, dan sesungguhnya mereka itu akan didatangi adzab yang tidak dapat ditolak.” (Hud: 76).

 

Kemudian Allah mengutus Jibril kepada kaum Luth, menelungkupi kota dan segala isinya dengan salah satu sayapnya, menjadikan yang di atas menjadi di bawah dan menghujani mereka dengan batu yang bercampur tanah. Allah menghancurkan kedua belah pihak pelaku homoseks, yang tidak melakukannya namun diam saja dan yang setuju dengan homoseks, yang sudah kawin atau pun yang masih bujangan, dan siapa pun yang tersangkut dengan tindakan ini serta siapa pun yang asyik masuk dengan tindakan ini.

 

Ibnu Abi Daud menyebutkan di dalam tafsirnya dari Wahb bin Munabbih, dia berkata, “Sesungguhnya tatkala para malaikat masuk ke rumah Luth, maka beliau mengira bahwa mereka itu adalah orang-orang yang hendak bertamu. Maka beliau menyambut mereka dengan hormat. Namun istri Luth justru meninggalkannya dan menghampiri orang-orang fasik dari kaumnya. Dia mengabarkan kepada mereka bahwa Luth kedatangan tamu-tamu yang wajahnya tampan-tampan, penampilannya sangat menawan dan baunya sangat harum. Ini merupakan pengkhianatan wanita itu yang disebutkan Allah di dalam Kitab-Nya. Ada riwayat dari lbnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, tentang firman Allah, “Kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya”, dia berkata, “Demi Allah, tidak ada seorang istri nabi pun yang berzina dan berbuat keji.” Ada yang berkata, “Lalu bagaimana dengan pengkhianatan istri Nuh dan Luth?” Dia menjawab, “Istri Nuh mengatakan bahwa suaminya adalah orang gila, sedangkan istri Luth membocorkan kedatangan tamu-tamu suaminya.”

 

Abu Muslim Al-Laitsy berkata di dalam Musnad-nya, “Kami diperitahu Sulaiman bin Daud, kami diberitahu Abdul-Warits, kami diberitahu Al-Qasim bin Abdurrahman, kami diberitahu Abdullah bin Muhammad pin Uiqail, dia berkata, ‘Saya mendengar Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhu berkata, ‘Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya ketakutan yang paling kutakutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Al-Hakim).

 

Hisyam bin Ammar berkata, “Kami diberitahu Abdul-Aziz AdDarawardy, dari Amru bin Abu Amru, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

‘Allah melaknat orang yang menyetubuhi binatang, dan Allah melaknat orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth.” (Diriwayatkan Imam Ahmad).

 

Al-Qa’naby berkata, “Kami diberitahu Abdul-Aziz Ad-Darawardy, dari Amru bin Abu Amru, budak Al-Muthalib bin Abdullah bin Hanthab AlMakhzumy, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

‘Allah melaknat orang yang menguasati selain budaknya, Allah melaknat orang yang merubah batas-batas tanah, Allah melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalannya, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, Allah melaknat orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, Allah melaknat orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, sebanyak tiga kali, Allah melaknat orang yang menyembelih (hewan) untuk selain Allah dan Allah melaknat orang yang menyetubuhi binatang.” (Diriwayatkan Ibnu Hibban dan Al-Baihaqy).

 

Abu Daud Ath-Thayalisy berkata, “Kami diberitahu Bisyr bin AlMufadhdhal, dari Khalid Al-Hadza’, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Musa Al-Asy’ary Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

Jika laki-laki mencampuri laki-laki lain, maka keduanya berbuat zina.” (Diriwayatkan Al-Baihaqy).

 

Di dalam Al-Musnad dan As-Sunan disebutkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Bunuhlah orang yang mengerjakan dan orang yang dikerjai (dalam homoseks).”

 

Dalam lafazh lain disebutkan,

 

“Siapa yang kalian dapatkan berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, maka bunuhlah orang yang mengerjakan dan orang yang dikerai.” (Diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Al-Baihaqy).

 

Suhail bin Abu Shalih meriwayatkan dari bapaknya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi pa Sallam bersabda,

 

“Siapa yang kalian dapatkan berbuat seperti yang diperbuat kaurm Luth, maka rajamlah dia”. Atau beliau bersabda, “Maka bunuhlah orang yang mengerfakan dan orang yang dikerjai.”

 

Empat pemimpin yang pernah membDakar orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Az-Zubair dan Hisyam bin Abdul-Malik.

 

Hammad bin Salamah meriwayatkan dari Qatadah, dari Khilas, dari Ubaidillah bin Ma’mar, dia berkata, “Seseorang yang melakukan homoseks dihukum mati.”

 

Sa’id bin Al-Musayyab berkata, “Menurut pendapat kami, seseorang yang melakukan homoseks harus dihukum rajam, baik dia sudah menikah atau masih bujangan. Ini merupakan sunnah pada masa lampau dan sekaligus menunjukkan sunnah yang terus berlaku serta harus diterapkan.” Asy-Sya’by juga berpendapat seperti ini.

 

Ada sebagian ulama berkata, “Sa’id bin Al-Musayyab berkata, ‘Ini merupakan sunnah pada masa lampau’, yang didasarkan kepada sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Bunuhlah orang yang mengerjakan dan yang dikerjai’. Beliau tidak mengatakan sudah menikah atau masih bujangan.”

 

Abu Bakar Radhiyallahu Anhu membakar orang yang melakukan homoseks setelah meminta pendapat para shahabat yang lain. Ali bin Abu Thalib mengisyaratkan seperti itu. Ali juga pernah membakar orang yang melakukannya, begitu pula Ibnu Az-Zubair seperti yang disebutkan Al-Ajiry dan lain-lainnya dari Muhammad bin Al-Munkadir, bahwa Khalid bin Al-Walid pernah menulis surat kepada Abu Bakar, dia mendapatkan seorang laki-laki di sebuah perkampungan Arab yang menikah sebagaimana dia menikahi seorang wanita. Untuk menghadapi masalah ini Abu Bakar mengumpulkan para shahabat, yang di antara mereka ada Ali bin Abu Thalib. Dia berkata, “Ini merupakan dosa yang tidak dilakukan kecuali satu umat, lalu Allah berbuat kepada mereka seperti yang telah kalian ketahui. Menurut pendapatku, bakarlah mereka dengan api.” Maka mereka sependapat untuk membakar pelakunya dengan api.

 

Ibnu Az-Zubair dan Hisyam bin Abdul-Malik juga membakarnya. Sedangkan menurut pendapat Ibnu Abbas, dia harus dirajam, baik yang sudah menikah maupun yang masih bujangan.

 

Umar bin Al-Khaththab berkata, “Barangsiapa berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, maka bunuhlah dia.” Tidak ada bedanya, apakah yang melakukan itu sudah menikah atau masih bujangan. Sebagian ulama ada yang menegaskan keumuman hukum orang yang sudah menikah dan yang masih bujangan. Maka dari itu Ibnul-Musayyab berkata, “Ini merupakan sunnah yanag berlaku pada masa lampau.”

 

Yang pasti hukuman yang berlaku bagi orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth adalah rajam, baik dia sudah berstatus menikah maupun masih bujangan. Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, maka bunuhlah dia.”

 

Al-Ajiry menyebutkan di dalam buku Tahrimul-liwath, dari hadits Abdullah bin Umar, secara marfu’, “Tujuh orang yang tidak akan dilihat Allah pada Hari Kiamat dan tidak pula disucikan, seraya berfirman, ‘Masuklah neraka bersama-sama dengan orang-orang masuk’, yaitu: Pelaku homoseks dan orang yang dikerjai, yang menikahkan diri sendiri, menyetubuhi binatang, menyetubuhi wanita pada anusnya, menikahi seorang wanita dan putrinya sekaligus, berzina dengan istri tetangganya dan orang yang menyakiti tetangganya, sehingga tetangganya itu melaknatnya.”

 

Disebutkan dari Anas seperti itu pula, secara marfu’, “Masuklah ke neraka yang pertama-tama kali masuk ke sana kecuali jika mereka bertaubat, kecuali jika mereka bertaubat, kecuali jika mereka bertaubat, dan siapa yang meminta ampun, maka Allah akan mengampuninya, yaitu: Orang yang menikahkan dirinya sendiri, pelaku homoseks dan orang yang dikerjai, pemerah khamr, orang yang memukul kedua orang tuanya hingga keduanya meminta pertolongan, orang yang menyakiti tetangga-tetangganya hingga mereka melaknatnya dan orang yang berzina dengan istri tetangganya.”

 

Mujahid berkata, “Andaikata orang yang berbuat seperti kaum Luth itu mandi dengan setiap tetes air yang ada di langit dan di bumi, maka dia masih dalam keadaan najis. Allah menyebutkan hukuman kaum Luth dan bencana yang menimpa mereka di sepuluh surat Al-Qur’an, yaitu surat Al-Araf, Hud, Al-Hijr, Al-Anbiya’, Al-Furqan, Asy-Syu’ara’, An-Naml, Al-Ankabut, Ash-Shaffat dan Al-Qamar. Allah juga menghimpun hukuman kebutaan, kehancuran tempat tinggal, hujan batu dan masuk neraka. Allah juga mMengancam orang yang berbuat seperti perbuatan mereka dengan siksa yang amat pedih,

 

“Sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kalian.” (Hud: 89).

 

Ada di antara ulama berkata, Jika seorang laki-laki menggauli lakijaki lain, maka para malaikat lari menghindar, bumi mengadu kepada Rabb-nya, kemurkaan Allah turun kepadanya, laknat mengepungnya, syetan mengelilinginya, bumi meminta izin kepada Rabb-nya untuk menelannya, para malaikat mengucapkan takbir dan api neraka semakin membara. Jika para utusan Allah datang untuk mencabut ruhnya, maka mereka memindahkan ruh itu kepada rekan mereka dan tempat penyik‘saan, dan ruhnya berada di antara ruh mereka. Itu merupakan tempat yang paling sempit dan tempat siksaan yang paling pedih di tungku penyiksaan bagi para pezina. Itu merupakan kenikmatan yang berkesudahan siksaan yang pedih. Pelakunya digiring untuk bergabung dengan para penghuni neraka Jahannam. Kenikmatan menjadi sirna dan yang menyisa adalah penyesalan. Syahwat lenyap dan yang menyisa adalah penderitaan. Al-lmam Ahmad menyenandungkan syair,

 

Kenikmatan sirna setelah mencicipi yang haram

yang menyisa di kemudian adalah kehinaan dan cela

akibat perbuatan buruk tetap bersemayam

tiada artinya kenikmatan yang disusuil api neraka

 

Menikah dan Berzina dengan Mahram

 

Jika perbuatan keji dilakukan dengan kerabat yang masih terhitung mahram, maka ini merupakan kerusakan dari segala kerusakan. Pelakunya harus dihukum mati apa pun keadaannya menurut pendapat AlImam Ahmad dan lain-lainnya.

 

Pendapat ini didasarkan kepada hadits Ady bin Tsabit, dari Al-Barra’ bin Azib, dia berkata, “Saya bertemu pamanku yang sedang membawa panji.”

 

“Paman hendak ke mana?” Saya bertanya.

 

Dia menjawab, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutusku untuk menemui seorang laki-laki yang menikahi istri bapaknya (ibu tirinya), agar saya memenggal lehernya dan merampas hartanya.”

 

Syu’bah berkata, “Kami diberitahu Ar-Rukain bin Ar-Rabi’, dari Ady bin Tsabit, dari Al-Barra’, dia berkata, “Saya melihat beberapa orang yang sedang pergi. Saya bertanya, ‘Hendak ke mana kalian?”

 

Mereka menjawab, “Kami diutus Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menemui seorang laki-laki yang menyetubuhi istri bapaknya, agar kami membunuhnya.”

 

Abdullah bin Shalih menyebutkan, kami diberitahu Yahya bin Ayyub, dari Ibnu Juraij, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Bunuhlah orang yang melakukan (homoseks) dan orang yang dikerjai, orang yang menyetubuhi binatang dan menyetubuhi siapa pun mahramnya.” (Diriwayatkan Al-Baihaqy).

 

Hisyam bin Ammar berkata, “Kami diberitahu Riqdah bin Qudha‘ah, kami diberitahu Shalih bin Rasyid, dia berkata, “Ada seorang laki-laki yang dihadapkan kepada Al-Hajjaj. Orang itu telah mencuri keperawanan saudari kandungnya sendiri. Al-Hajjaj berkata, “Penjarakan orang itu dan tanyakan permasalahannya kepada shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang ada di sini!” Maka mereka menanyakannya kepada Abdurrahman bin Muthrif. Dia menjawab, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mengangkangi orang yang diharamkan baginya, maka kangkangilah pinggangnya dengan pedang.” Ibnu Abbas memberikan fatwa seperti itu pula. Umar bin Syubbah berkata, “Kami diberitahu Mu’adz bin Hisyam, kami diberitahu bapakku dari Qatadah, dia berkata, “Ada seorang laki-laki yang dibawa ke hadapan

 

Al-Hajjaj, karena orang itu telah berzina dengan saudara perempuannya.

 

Lalu dia menanyakan masalah ini kepada Abdullah. Maka Abdullah berkata,

 

“Dia harus dihukum pancung.” Maka Al-Hajjaj memerintahkan agar orang itu dihukum pancung.

 

Segolongan orang menyebutkan dari Hammad bin Salamah, dari Bakr bin Abdullah Al-Muzanny, bahwa ada seorang laki-laki menikahi bibinya. Lalu masalah ini dilaporkan kepada Abdul-Malik bin Marwan. Maka dia berkata, “Kukira aku boleh menjatuhkan hukuman mati kepadanya.”

 

Dalam buku Al-Masa’il karangan Shalih bin Ahmad disebutkan, dia berkata, “Saya bertanya kepada bapakku tentang seorang laki-laki yang menikahi mahramnya. Maka bapakku menjawab, ‘Jika hal itu dilakukan secara sadar dan sengaja, maka dia harus dijatuhi hukuman mati dan hartanya dirampas. Jika tidak mengetahui hukumnya, maka keduanya harus diceraikan. Istri bisa mengambil dari suaminya apa yang menjadi haknya.”

 

Allah berfirman,

 

“Barangsiapa yang memberikan syafa‘at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan, barangsiapa yang memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya.” (An-Nisa’: 85).

 

Siapa yang memberi pertolongan kepada orang lain dalam suatu urusan, dengan perkataan atau perbuatannya, berarti dia memberi syafa’at kepada orang itu. Syafa’at yang diberikan kepada orang lain yang memang layak diberi syafa‘at, merupakan dasar dari syafa’at itu. Seseorang memberi syafa’at kepada orang lain yang membutuhkan, sehingga dia menjadi pemberi syafa’at bagi kebutuhannya, karena ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan itu. Yang termasuk dalam cakupan ayat ini ialah setiap orang yang saling tolong-menolong dalam kebajikan maupun keburukan, dengan perkataan maupun perbuatan. Ada ayat lain yang serupa dengan ayat di atas,

 

“Dan, tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2).

 

Di dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaithi wa Sallam, bahwa jika beliau didatangi seseorang yang mencari kebutuhan, maka beliau bersabda,

 

“Berilah syafa’at, niscaya kalian diberi pahala, dan Allah memenuhi kebutuhan lewat lisan Rasul-Nya apa yang Dia kehendaki.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany, Abu Daud, At-Tirmidzy dan An-Nasa‘y)

 

Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan, bahwa tatkala Barirah percerai, maka dia memilih hidup sendiri. Sementara itu, suaminya selalu perjalan di belakangnya, sambil meneteskan air mata hingga membasahi jenggotnya. Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda kepada Barirah, “Andaikan saja engkau mau rujuk kembali dengannya. Karena dia adalah papak dari anakmu.”

 

Barirah bertanya, “Apakah engkau memerintahkan saya?”

 

Beliau menjawab, “Tidak. Tapi aku hanya sekedar penolong.”

 

Barirah berkata, “Saya tidak membutuhkan dirinya lagi.”

 

Ini merupakan pertolongan dari pemimpin para pemberi pertolongan bagi orang yang sangat mencintai kekasihnya (suami Barirah terhadap dirinya). Ini merupakan syafa’at yang paling utama dan paling besar pahalanya di sisi Allah, karena menginginkan pertemuan antara dua orang yang saling mencintai seperti yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu sesuatu yang paling disukai Iblis adalah memisahkan antara dua orang yang saling mencintai.

 

Perhatikan firman Allah dalam masalah syafa’at yang baik, “Niscaya ja akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya”. Sedangkan untuk syafa’at yang buruk Allah berfirman, “Niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya.” Lafazh al-kiflu berarti ‘memikul beban yang berat’. Sedangkan lafazh nashib berarti ‘bagian yang didapatkan orang yang mencari apa yang diinginkannya’. Kata ini bisa digunakan untuk kebaikan dan keburukan secara mandiri. Tapi tatkala disertai dengan kebaikan dan keburukan, maka untuk kebaikan tetap menggunakan kata itu, namun untuk keburukan digunakan kata al-kiflu.

 

Di dalam Shahifah Amru bin Syu’aib disebutkan dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa ada seseorang pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang hendak menikahkan putrinya, padahal sebelumnya dia sudah dilamar orang lain. Hal ini didengar beliau, dan beliau tidak suka terhadap tindakan orang itu yang hendak menikahkan putrinya. Beliau menghendaki agar putrinya dinikahkan dengan orang yang telah melamar sebelumnya dan merupakan pilihan putrinya. Maka beliau membatalkan pernikahan yang dikehendaki bapaknya dan menikahkannya dengan laki-laki pilihannya.”

 

Di bagian terdahulu juga sudah disebutkan hadits Amru bin Dinar, dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bahwa ada seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, di rumahku ada seorang gadis yatim yang dilamar laki-laki yang kaya dan laki-laki yang miskin. Kami menyukai laki-laki yang kaya, namun anak itu mencintai yang miskin.”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada yang ingin didapatkan dua orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan.”

 

Makhald bin Al-Husain berkata, “Kami diberitahu Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin, dia berkata, “Suatu malam Umar bin Al-Khaththab meronda. Lalu tiba-tiba mendengar suatu seorang wanita yang bersenandung, “Adakah caraku untuk meminum khamr, ataukah jalan yang menghantarkan diriku kepada Nashr bin Hajjaj?”

 

Umar berkata sendiri, “Tidak akan terjadi selagi Umar masih hidup.”

 

Pagi harinya Umar mengirim utusan untuk memanggil Nashr bin Hajjaj. Ternyata memang dia adalah laki-laki yang amat tampan. Maka Cimar berkata kepadanya, “Pergilah dan janganlah menetap di Madinah.”

 

Maka Nashr pergi hingga tiba di Bashrah. Di sana dia menginap di rumah Mujasyi’ bin Mas’ud, yang memiliki seorang istri yang cantik. Nashr langsung tertarik terhadap istri Mujasyi’, dan istri Mujasyi’ begitu pula. Jika Nashr dan Mujasyi’ berbincang-bincang, maka istrinya juga ikut bersama keduanya. Suatu kali Nashr menulis di atas tanah yang ditujukan kepada istri Mujasyi’, dan istri Mujasyi’ juga menulis, “Begitu pula saya.” Mujasyi’ mengetahui bahwa itu merupakan jawaban dari sebuah pernyataan. Mujasyi’ tidak ikut-ikutan membuat tulisan di tanah, tetapi dia mengundang seorang penulis dan menyuruhnya untuk membacakan, “Sesungguhnya aku masih mencintaimu, yang andaikan cinta itu ada di atasmu, maka dia akan memayungimu, dan jika cinta itu ada di bawahmu, maka ia akan menyanggamu.”

 

Nashr mengetahui apa yang dilakukan Mujasyi’. Maka Nashr merasa sangat malu. Dia meninggalkan rumah Mujasyi’ dan lama-kelamaan badannya menjadi lemah dan kurus seperti anak burung yang kelaparan.

 

Mujasyi’ berkata kepada istrinya, “Pergilah dan rengkuhkan Nashr ke dalam dadamu serta berilah dia makanan dengan tanganmu sendiri.”

 

Namun istrinya menolak. Mujasyi’ tetap meminta istrinya agar melakukan hal itu. Maka dia pun melakukannya. Tatkala sudah sembuh, Nashr pergi meninggalkan Bashrah.

 

Suatu kebaikan apabila engkau mau mengingatkan

sekalipun mereka menyakitimu dan tak mau peduli

jangan mencari kesembuhan dari yang lain

tiada yang menghidupkanmu kecuali yang membuatmu mati

 

Jika ada yang bertanya, “Apakah perbuatan seperti itu diperbolehkan syariat?”

 

Maka bisa dijawab sebagai berikut, jika cara itu menjamin kesembuhan dan bisa menyelamatkan seseorang dari kematian, maka hal ini tak berbeda jauh dengan pengobatan yang dilakukan wanita terhadap laki-laki bukan mahramnya, atau seperti dokter yang melihat badan pasien dan memegangnya karena memang dibutuhkan. Tapi jika penyembuhan itu dilakukan dengan cara bersetubuh, tidak diperbolehkan syariat sama sekali. Penyembuhan dengan pelukan dan rengkuhan diperbolehkan jika menjamin kesembuhan. Hal ini serupa dengan pengobatan menggunakan khamr bagi orang yang memperbolehkannya, bahkan dianggap lebih ringan daripada pengobatan dengan menggunakan khamr. Sebab meminum khamr termasuk dosa besar, sedangkan pelukan itu termasuk dosa kecil. Dengan kata lain, pemberian pertolongan bagi orang yang jatuh cinta, dengan pelukan dan pertemuan, merupakan usaha yang bisa dilakukan.

 

Disebutkan dari beberapa Al-Khulafa’urrasyidun dan orang-orang sesudah mereka, bahwa mereka pernah membDeri pertolongan dengan cara seperti itu, yaitu mempertemukan dua orang yang saling jatuh cinta.

 

Al-Khara’ithy menuturkan, kami diberitahu Ali bin Al-Araby, kami diberitahu Abu Ghassan An-Nahdy, dia berkata, “Tatkala Abu Bakar menjadi khalifah, dia lewat di suatu jalan di Madinah. Tiba-tiba dia mendengar seorang gadis yang menggiling, sambil bersenandung,

 

Aku mencintainya sebelum mantraku terputus

seperti onta yang perawakannya amat bagus

cahaya bulan pernama seakan pancaran wajahnya

berpendar di Bani Hasyim dan membumbung ke sana

 

Abu Bakar langsung mengetuk pintu rumah dan gadis itu keluar rumah. Abu Bakar berkata, “Celaka. Apakah engkau ini wanita merdeka ataukah hamba sahaya?”

 

“Saya hamba sahaya wahai khalifah Rasulullah,” jawab gadis itu.

 

“Siapa yang engkau cintai?” tanya Abu Bakar.

 

Gadis itu menangis, kemudian berkata, “Demi Allah, enyahlah dari sini!”

 

Abu Bakar berkata, “Aku tidak akan beranjak hingga engkau memberitahuku.”

 

Gadis itu berkata, “Aku adalah seorang wanita yang sedang dipermainkan kata hatinya. Aku hanya bisa menangis karena jatuh cinta kepada Muhammad bin Al-Qasim.”

 

Abu Bakar pergi ke masjid dan membeli gadis itu dari tuannya serta memerdekakannya, lalu mengirimnya untuk menemui Muhammad bin Al-Qasim bin Ja’far bin Abu Thalib. Maka Muhammad bin Al-Qasim berkata, “Wanita adalah cobaan bagi kaum laki-laki. Berapa banyak orang terhormat meninggal dunia karena wanita dan berapa banyak orang sehat menjadi sakit karena wanita.”

 

At-Tamimy menyebutkan di dalam bukunya yang berjudul Bi Imtizajin-Nufus, bahwa Mu’awiyah bin Abu Sufyan membeli seorang budak wanita dari Bahrain. Lalu dia jatuh cinta kepada budak wanita itu. Suatu hari dia mendengar budak itu bersenandung,

 

Aku berpisah dengannya seperti dahan di awan

dengan kumis yang mulai tumbuh dia pemuda yang tampan

 

Mu’awiyah menanyakan, siapa pemuda yang dicintainya itu. Maka budak wanita itu menjawab, “Dia adalah anak pamanku.” Setelah itu Mu‘awiyah mengembalikannya lagi, dan cintanya masih tetap melekat kepada gadis itu.

 

Salim bin Abdullah berkata, “Atikah binti Zaid menjadi istri Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu. Istrinya itu telah menguasai pikiran dan hatinya. Karena suatu sebab, Abu Bakar menyuruh anaknya agar menceraikan istrinya dengan sekali talak. Maka Abdullah benar-benar melaksanakannya. Namun kerinduannya kepada Atikah tiada terbendung. Akhirnya dia duduk di jalan yang dilalui bapaknya untuk pergi shalat. Setelah melihat kedatangan Abu Bakar, dia pun menangis dan bersenandung,

 

Aku tak melihat sepertiku yang tega menceraikannya

tidak pula dirinya yang rela dicerai tanpa dosa

dia mempunyai akhlak yang baik dan kelembutan

akhlak yang lurus di dunia dan di hari kemudian

 

Hati Abu Bakar menjadi trenyuh dan luluh mendengar perkataan anaknya. Maka dia memerintahkan agar rujuk kembali dengannya. Setelah Abdullah meninggal dunia dan masa iddahnya sudah habis, maka dia dinikahi Umar bin Al-Khaththab. Bahkan pernikahannya ini diramaikan dengan acara walimah. Ali bin Abu Thalib berkata kepada Umar bin AlKhaththab, “Apakah engkau mengizinkan aku untuk melongokkan kepalaku untuk melihat Atikah dan berbicara dengannya wahai Amirul Mukminin?”

 

“Boleh,” jawab Umar.

 

Maka Ali melongokkan kepala untuk melihat Atikah dan berkata, “Wahai wanita yang menempatkan dirinya di tempat yang tinggi. Aku bersumpah untuk tidak mengalihkan mataku darimu, agar kulitku selalu menguning.”

 

Atikah pun menangis mendengarnya. Umar bertanya, “Wahai AbulHasan, mengapa engkau berkata seperti itu? Setiap wanita tentunya akan berbuat begitu.”

 

Tatkala Umar terbunuh dan masa iddahnya sudah habis, maka dia dinikahi Az-Zubair bin Al-Awwam. Suatu malam Atikah meminta izin kepada Az-Zubair untuk pergi ke masjid. Az-Zubair merasa tidak sreg atas keinginan Atikah ini, namun dia juga tidak ingin mencegahnya, karena sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Janganlah kalian mencegah hambahamba Allah yang perempuan untuk pergi ke masjid-masjid Allah.”

 

Maka mau tak mau Az-Zubair harus memberinya izin. Atikah menutup tubuhnya dan memilih jalan yang gelap selagi berjalan. Tatkala dia lewat, Az-Zubair mencolek tubuhnya. Atikah langsung membalikkan langkah sambil bertasbih. Az-Zubair mendahului pulang ke rumah. Tatkala Atikah tiba di rumah, Az-Zubair bertanya, “Mengapa balik lagi?”

 

Atikah menjawab, “Dulu kami bisa pergi, dan manusia seperti biasanya. Tapi sekarang tidak.” Setelah itu Atikah tidak lagi pergi ke masjid untuk shalat.

 

Tatkala Az-Zubair terbunuh dan masa iddahnya sudah habis, maka dia dinikahi Ali bin Abu Thalib. Atikah berkata, “Kukira aku bisa menyebabkanmu terbunuh.”

 

Al-Khara’ithy menuturkan bahwa Al-Mahdy pergi untuk menunaikan haji. Setibanya di Zubalah dan dia sedang duduk-duduk untuk makan siang, tiba-tiba ada pemuda Badui yang mendatangi kemahnya dan berseru kepadanya, “Wahai Amirul-Mukminin, saya sedang jatuh cinta.” Suara keras dan nyaring.

 

Al-Mahdy berkata kepada pengawalnya, “Celaka kamu, ada apa orang itu?”

 

“Dia mengaku sedang jatuh cinta,” kata pengawal.

 

“Suruh dia masuk!” Maka pemuda Badui itu dibawa masuk ke dalam kemahnya.

 

“Siapa wanita yang engkau cintai itu?” tanya Al-Mahdy.

 

“Putri pamanku.”

 

“Apakah dia masih mempunyai bapak>?” tanya Al-Mahdy.

 

“Ya,” jawab pemuda Badui.

 

“Mengapa dia tidak menikahkan putrinya denganmu?”

 

“Di sinilah letak permasalahannya wahai Amirul-Mukminin.”

 

“Apa masalahnya?” tanya Al-Mahdy.

 

“Karena ibuku seorang budak yang tidak berdarah Arab.”

 

“Lalu apa yang terjadi?” tanya Al-Mahdy.

 

“Hal ini dianggap aib bagi bapaknya.”

 

Al-Mahdy mengirim utusan agar mencari bapak gadis yang dicintai pemuda Badui itu, lalu menyuruhnya menghadap kepadanya.

 

“Apakah pemuda ini anak saudaramu?” tanya Al-Mahdy kepada bapak sang gadis.

 

“Benar.”

 

“Mengapa engkau tidak menikahkannya dengan putrimu?” tanya Al-Mahdy.

 

Bapak sang gadis menjawab seperti apa yang dikatakan pemuda Badui itu. Memang ada beberapa anak Al-Abbas yang seperti pemuda itu. Al-Mahdy berkata, “Mereka adalah anak-anak Al-Abbas dan ibu mereka adalah budak yang tidak berdarah Arab. Tapi apa yang merugikan mereka jika memang keadaannya seperti itu?”

 

Bapak sang gadis menjawab, “Hal ini dianggap aib di kalangan kami.”

 

Al-Mahdy berkata, “Kawinkan pemuda itu dengan putriku, dengan uang dua puluh ribu dirham. Sepuluh ribu untuk menebus aib itu dan sepuluh ribu lagi sebagai maskawinnya.”

 

“Baiklah,” kata bapak sang gadis sambil memuji Allah, lalu menikahkan mereka berdua.

 

Al-Khara’ithy menuturkan dari perkataan Al-Haitsam bin Ady, dari Awanah bin Al-Hakam, bahwa Umar bin Abu Rabi’ah telah berjanji untuk meninggalkan syair, tidak akan menyukainya dan bernadzar kepada dirinya sendiri untuk menyembelih seekor hewan kurban untuk satu bait syair yang dilanggarnya. Dia dalam keadaan seperti hingga beberapa lama. Kemudian suatu malam dia keluar untuk thawaf di sekitar Kabah. Di sana dia melihat seorang wanita yang cantik jelita, juga sedang thawaf. Di belakang wanita itu ada seorang pemuda yang terus menguntitnya. Setiap kali wanita itu mengangkat kaki untuk diayunkan, maka pemuda yang menguntitnya meletakkan kakinya di atas tanah yang akan diinjak wanita itu. Umar bin Abu Rabi’ah terus mengawasi kedua orang itu. Tatkala wanita jtu sudah merampungkan thawafnya, pemuda tersebut juga masih menguntitnya untuk beberapa saat, setelah itu dia beranjak pergi. Pada saat itulah Gmar bin Abu Rabi’ah mendekatinya dan berkata, “Maukah engkau memberitahukan kepadaku mengapa engkau berbuat seperti itu?”

 

Pemuda itu menjawab, “Boleh. Wanita yang engkau lihat tadi adalah putri pamanku. Aku jatuh cinta kepadanya, namun aku tidak mempunyai harta. Aku nekad melamarnya kepada bapaknya, namun dia tidak mau menerima lamaranku. Dia meminta maskawin yang tidak bisa kupenuhi. Yang engkau lihat tadi adalah yang bisa kulakukan terhadap dirinya. Sementara tidak ada yang bisa kuharapkan dari dunia ini selain dari dirinya. Aku hanya bisa menemuinya tatkala dia thawaf, dan bagianku seperti yang engkau lihat tadi.”

 

“Siapa nama pamanmu?” tanya Umar.

 

“Fulan bin Fulan,” jawab pemuda itu.

 

“Bawa aku pergi kepadanya,” kata Umar. Lalu keduanya menemui paman pemuda itu. Setelah tiba, Umar meminta sang paman untuk keluar rumah.

 

Dengan tergopoh-gopoh sang paman keluar rumah dan bertanya, “Ada perlu apa wahai Abul-Khaththab?”

 

“Nikahkan putrimu dengan Fulan anak saudaramu. Dan ini ada maskawin yang engkau minta, bisa engkau ambil dari hartaku,” kata Umar.

 

“Aku sudah melakukannya.”

 

“Aku ingin keduanya menikah sebelum aku beranjak pergi,” kata Umar.

 

“Itu pun akan kulakukan.”

 

Maka sebelum Umar beranjak pergi, kKeduanya sudah dinikahkan. Setelah itu dia pulang dan merebahkan badan di atas tempat tidur, namun dia tidak bisa tidur. Secara spontan kedua bibirnya mendendangkan syair. Putrinya memperingatkan apa yang telah dia lakukan dan janji yang pernah dikatakannya.

 

Suatu hari Khalid bin Abdullah Al-Qasry melakukan inspeksi ke penjaranya, yang di dalamnya ada Yazid bin Fulan Al-Bajly. Khalid bertanya kepadanya, “Apa kesalahanmu sehingga engkau dipenjara wahai Yazid?”

 

“Karena suatu tuduhan,” jawab Yazid.

 

“Apakah engkau akan mengulangi lagi kesalahanmu jika aku membebaskanmu?” tanya Khalid.

 

“Tidak.” jawab Yazid. Tapi dia tidak menyebutkan kisah tentang dirinya, agar tidak menyangkut diri kekasihnya.

 

Khalid berkata, “Kalau begitu kumpulkan semua orang dan kita potong tangannya di hadapan mereka.”

 

Yazid mempunyai seorang saudara, yang kemudian menulis syair yang sengaja ditujukan kepada Khalid,

 

Apakah semua orang dia beri gaji

hingga orang yang jatuh cinta layaknya pencuri?

dia memutuskan hukuman yang tidak dilakukannya

potong tangan lebih baik daripada kekasih terhina

 

Tatkala Khalid mengetahui bait-bait syair ini, maka dia bisa mempercayai kebenaran ucapannya. Maka dia memanggil keluarga sang gadis dan berkata, “Kawinkan putri kalian dengan Yazid!”

 

Mereka berkata, “Sekarang kami tidak mau karena keadaannya seperti itu.”

 

‘Jika kalian tidak mengawinkannya secara suka rela, berarti kalian akan mengawinkannya secara paksa.”

 

Akhirnya mereka mengawinkan keduanya, dan maskawinnya langsung dibayar oleh Khalid.

 

Az-Zamakhsyary menuturkan, bahwa Ahmad bin Abu Utsman jatuh cinta kepada budak milik Zubaidah, yang bernama Ni’ma, hingga dia jatuh sakit karena cintanya itu. Dia merangkum syair berkenaan dengan diri budak wanita itu,

 

Aku rela berdiri di ambang pintunya

sekalipun aku harus dicemooh dan dicela

 

Maka akhirnya Zubaidah menghadiahkan budak wanita itu kepada Ahmad bin Abu Utsman.

 

Al-Khara’ithy menuturkan, di antara khulafa’ ada yang memiliki pembantu laki-laki dan wanita yang saling jatuh cinta. Yang laki-laki merangkum syair yang ditujukan kepada kekasihnya,

 

Kulihat dirimu di dalam mimpi semalam

mengguyurku dengan keringatmu yang dingin

kedua tangan kita berpagutan dan menyatu

di atas tempat tidur kita saling berpadu

kini aku tidur sepanjang hari

untuk melihatmu lagi di dalam mimpi

Sang gadis membalasnya dengan syair pula,

Sungguh indah yang kau lihat di dalam mimpi

engkau akan mengalaminya sekalipun ada yang dengki

kuharap suatu saat engkau benar-benar memelukmu

kurengkuh dirimu di dalam kehangatan dadaku

 

Setelah mendengar keadaan keduanya, maka dia menikahkan mereka dan dia sangat kagum terhadap kecemburuan sang gadis.

 

Al-Khara’ithy menuturkan, ada seorang laki-laki mempunyai budak wanita, dan hanya budak itulah satu-satunya harta yang dia miliki. Pada musim haji dia menawarkannya, dan banyak orang yang menawarnya dengan harga yang tinggi, hingga mencapai harga yang nilainya cukup mencengangkan. Namun dia masih meminta tambahan lagi. Pada saat itulah ada seseorang yang jatuh cinta kepada budak itu, namun dia sangat miskin. Hampir saja dia menjadi gila karena cintanya. Setelah tahu keadaan orang miskin ini, pemilik budak itu menghadiahkan budaknya kepadanya. Tentu saja tindakannya ini dicemooh banyak orang. Dia menjawab, “Saya mendengar Allah berfirman, ‘Dan, barangsiapa memelihara kehidupan seseorang, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya’. Bukankah dengan begitu berarti aku telah memelihara kehidupan semua orang?”

 

Abus-Sa’ib Al-Makhzumy, salah seorang qari’ dan fuqaha’ pernah dilihat orang lain sedang memegangi ujung kain Ka’bah seraya berkata, “Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang jatuh cinta.” Lalu ada orang yang menanyakan tindakan dan ucapannya itu. Maka dia menjawab, “Doa bagi mereka lebih baik daripada umrah sejak dari Ji’ranah.”

 

Ahmad bin Al-Fadhl menuturkan bahwa ada seorang pemuda dan gadis yang sama-sama menuntut ilmu saling jatuh cinta. Suatu hari tatkala sang gadis sedang lengah, sang pemuda menulis di atas papan miliknya,

 

Apa pendapatmu tentang pemuda yang sakit rindu

setelah sekian lama dia bingung mencintaimu?

 

Setelah sang gadis membaca tulisan itu, maka air matanya menetes di pipi, lalu dia membuat balasan,

 

Jika kami melihat orang yang sedang jatuh cinta

tentu saja kami iba dan juga kasihan padanya

 

Al-Haitam bin Ady menuturkan, dari Muhammad bin Ziyad, bahwa Al-Harits bin As-Salil Al-Azdy pergi untuk mengunjungi Alqamah bin Hazm Ath-Tha’y, seorang sahabatnya. Saat berada di rumahnya itulah dia melihat putri Alqamah yang bernama Ar-Rabbab, seorang wanita yang cantik jelita. Al-Harits terpesona dan jatuh cinta kepada putri Alqamah, sehingga dia menjadi enggan untuk pulang. Al-Harits berkata kepada Alqamah, “Sesungguhnya aku datang kepadamu untuk mengajukan lamaran. Sementara itu, siapa yang datang untuk melamar layak untuk dinikahkan, siapa yang meminta harus diberi dan siapa yang menginginkan harus dipenuhi.”

 

Alqamah berkata, “Itu memang sudah selayaknya. Tunggulah barang sejenak, biar kami bisa merembug masalah ini.”

 

Alqamah menemui istrinya dan berkata, “Al-Harits adalah pemimpin kaumnya, terpandang dan terhormat. Jangan sampai dia meninggalkan tempat kita kecuali setelah keperluannya terpenuhi. Mintalah pendapat putri kita, apa yang dia kehendaki.”

 

Istri Alqamah menemui putrinya dan bertanya, “Wahai putriku, seperti apakah laki-laki yang menjadi dambaanmu? Orang berumur yang terpandang, namun jalannya sudah tidak tegap lagi, ataukah seorang pemuda yang tampan dan murah senyuman, namun miidah bosan dan banyak maunya?”

 

“Pemuda yang tampan,” jawab putrinya.

 

Ibunya berkata, “Sesungguhnya pemuda itu biasa memancing kecemburuanmu karena dia ingin menikah lagi, sedangkan orang yang sudah berumutr itu bisa membuatmu hidup tenang. Laki-laki yang sudah berumur dan terpandang serta mengobral hadiah tidak seperti anak muda yang lebih banyak dibuai mimpi.”

 

“Wahai ibu, aku tetap mengharapkan anak muda, seperti gembala yang menyukai lembah yang hijau,” jawab putrinya.

 

“Wahai putriku! Anak muda itu lebih suka menutup-nutupi dirinya tapi justru banyak mencela,” kata ibunya.

 

“Wahai ibu, jika laki-laki yang sudah berumur aku takut dia akan mengotori pakaianku dan membasahi masa mudaku,” kata putrinya.

 

Sang ibu terus membujuk dan akhirnya putrinya tunduk kepadanya. Maka kemudian dia dikawinkan dengan Ali-Harits, dengan maskawin berupa seratus lima puluh ekor onta, seorang pembantu dan seribu dirham. Al-Harits sangat menyayangi istrinya, putri Alqamah, melebihi cintanya dari segala sesuatu, lalu memboyongnya ke keluarganya. Suatu hari AlHarits duduk-duduk di teras rumahnya yang teduh, dan putri Alqamah ada di sampingnya. Tak seberapa lama kemudian ada beberapa anak muda yang saling adu gulat. Istri Al-Harits menarik napas dalam-dalam. Matanya menerawang sambil meneteskan air mata.

 

“Apa yang membuatmu menangis?” tanya Al-Harits.

 

‘Apa yang bisa kuharapkan dari orang yang sudah tua, yang bangkit berdiri pun seperti seekor anak burung?” jawab istrinya.

 

‘Apakah engkau tidak ingat ibumu yang susah payah melahirkanmu? Engkau merengek kelaparan saat hari terik panas, padahal engkau tidak mau meminum susunya.” Setelah itu Al-Harits mengembalikan aunye kepada keluarganya, seraya berkata, “Aku tidak lagi membutuhkan dirimu.”

 

Ini merupakan masalah yang tidak bisa dimasuki kecuali orang-orang yang jiwanya mulia dan berselera tinggi, yang tidak puas hanya dengan menerima apa adanya, tidak menjual yang lebih berharga dengan sesuatu yang lebih murah, seperti yang dilakukan orang yang tidak berdaya dan tertipu. Mereka tidak mendapatkan barang yang tampaknya mahal dan indah, sementara mereka tidak tahu bahwa sebenarnya barang itu cacat, sebagaimana yang dikatakan sebagian Araby tatkala melihat seorang wanita yang berkerudung,

 

Jika Allah memberkahimu dengan pakaian Dia tidak memberkahimu dengan kerudung di mata manusia engkau tampak indah menawan di balik mata ada aib yang terselubung Dikatakan pula dalam syair lain, Jangan kau tertipu karena dia mengenakan cadar bisa saja di balik cadar ada penyakit yang menular Jiwa yang memiliki harga diri tidak ridha terhadap hal-hal yang hina.

 

Allah mencela orang-orang yang mengganti makanan yang baik dengan makanan yang nilainya lebih rendah lagi. Allah mensifati hal ini dalam firman-Nya,

 

“Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al-Baqarah: 61).

 

Ini menunjukkan kehormatan dirinya yang rendah dan nilainya yang tidak seberapa.

 

Al-Ashma’y menuturkan, ada seorang Araby yang duduk berdua dengan seorang wanita. Lalu tiba-tiba saja dia ingin mencumbui wanita itu. Tatkala Kembali mampu menguasai diri dan menghindar darinya, dia berkata, “Bagaimana mungkin ada seseorang yang menjual surga yang luasnya seluas langit dan bumi, dengan sejumput barang yang ada di antara ujung ibu jari dan telunjuk, karena pandangannya yang sempit.”

 

Abu Asma’ menuturkan, ada seorang laki-laki memasuki sebuah taman yang dipenuhi pepohonan yang lebat. Dia berkata, “Andaikan saja aku bisa berduaan dan bercumbu dengan seorang wanita, tentu tak seorang pun yang tahu.”

 

Lalu tiba-tiba dia mendengar sebuah suara yang memenuhi dua tepi kebun itu, yang membacakan ayat,

 

‘Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (Al-Mulk: 14).

 

Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Haitsam atau Ibnu Jariyah, kami diberitahu Isma’il bin lyasy, dari Abdurrahman bin Ady Al-Bahrany, dari Yazid bin Maisarah, dia berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Wahai pemuda yang meninggalkan syahwat karena Aku, yang mengabaikan kenikmatan dunia karena Aku, kamu di sisi-Ku laksana sebagian malaikat-Ku’.”

 

Ibrahim bin Al-Junaid menyebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang merayu wanita. Lalu wanita itu berkata kepadanya, “Engkau sudah mendengar Al-Qur’an dan hadits. Engkau juga lebih mengetahui.”

 

Laki-laki itu berkata, “Kalau begitu tutuplah pintu”

 

Maka wanita itu menutup pintu dan mereka ada di dalam rumah, berduaan. Tatkala laki-laki itu mendekatinya, maka sang wanita berkata, “Masih ada satu pintu lagi yang belum kututup.”

 

“Pintu yang mana?”

 

Wanita itu menjawab, “Pintu yang membatasi antara dirimu dan Allah.” Akhirnya laki-laki itu tidak jadi mendekatinya.

 

Diriwayatkan dari seorang Araby, dia berkata, “Pada suatu malam yang gelap, tiba-tiba saya berpapasan dengan seorang gadis yang tampak seperti sebuah bukit. Saya mulai merayunya. Dia berkata, “Celaka engkau. Mengapa tidak ada nalar yang mencelamu dan agama yang melarangmu?”

 

Saya berkata, “Demi Allah, kami hanya bisa melihat bintang-bintang yang indah.”

 

Wanita itu berkata, “Lalu di mana yang menjalankan bintang-bintang itu?”

 

Ziyad pembantu Ibnu lyasy sedang bercengkerama dengan seorang rekannya, lalu dia berkata kepadanya, “Wahai Abdullah!”

 

“Katakan apa maumu!” kata rekannya.

 

“Apakah di sana hanya ada surga dan neraka?”

 

“Begitulah.”

 

“Apakah di antara keduanya tidak ada tempat tertentu?”

 

“Tidak ada.”

 

“Sesungguhnya jiwaku ini adalah jiwa yang tidak kubawa ke neraka. Kesabaran pada hari ini untuk meninggalkan kedurhakaan kepada Allah lebih baik daripada kesabaran untuk dibelenggu di neraka.”

 

Wahb bin Munabbih berkata, “Istri tuannya berkata kepada Yusuf Alaihis-Salam, “Masuklah ke balik tabir ini bersamaku!”

 

Yusuf menjawab, “Tabir itu tidak mampu menutupi diriku dari pandangan Rabb-ku.”

 

Al-Yazidy berkata, “Saya masuk ke tempat tinggal Harun Ar-Rasyid, yang sedang menekur memandangi lempengan yang ada tulisan terbuat dari eras. Dia tersenyum tatkala melihat kedatanganku.

 

“Kebetulan sekali. Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada Amirul-Mukminin,” kataku.

 

“Begitulah. Aku mendapatkan dua bait syair ini di sebagian perpustakaan Bani Umayyah, dan kuanggap ini sangat bagus sekali, lalu kutambahi lagi dengan bait yang ketiga,

 

Jika ada pintu ditutup di depan mata

karena engkau tidak membutuhkannya

biarkan saja pintu itu seperti apa adanya

biarkan saja orang lain yang membukanya

jika sakit perut karena terlalu banyak mengisinya

maka ada baiknya jika engkau tidak berbuat serupa

jangan korbankan agamamu dan jauhi kedurhakaan

agar engkau terhindar dari siksaan

 

Abul-Abbas An-Nasyi’ berkata,

 

Jika seseorang ingin menjaga diri dari birahi

untuk keselamatan suatu hari yang pasti terjadi mengapa dia tidak menjaga birahi yang terlarang

untuk keselamatan hari-hari dari sisa kehidupan?

 

Ada yang berkata bahwa Ali bin Abu Thalib pernah merangkum ua syair berikut ini, Cegahliah bisikan birahi dengan menahan diri agar ia tidak menuntutmu di luar kemampuanmu engkau akan menanggung sepanjang masa perbuatan yang engkau lakukan sepintas lalu

 

Dikatakan dalam sebuah syair Arab, dan Amru bin Al-Ash seringkali mengucapkannya,

 

Jika seseorang tidak meninggalkan makanan kesukaannya tidak menahan hati dari setiap bisikan yang dikehendakinya dia akan melaksanakan setiap keinginan dan dicela mulut tiada ketinggalan mengucapkan yang serupa

 

Syu’bah menuturkan dari Manshur, dari Ibrahim, ada seorang lakiiaki yang sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita. Cukup lama mereka berdua mengobrol, hingga akhirnya dia meletakkan tangannya di paha wanita itu. Setelah menyadari apa yang lakukannya, dia segera beranjak pergi dan meletakkan tangannya di atas bara api hingga melepuh.

 

Zaid bin Aslam menuturkan dari bapaknya, bahwa ada seorang laki-laki yang pekerjaannya hanya beribadah di dalam biaranya. Suatu hari dia melongok ke luar biaranya. Pandangannya terpaut pada sosok seorang wanita di luar biaranya, dan hatinya langsung tertawan olehnya. Dia mengeluarkan salah satu kakinya untuk menghampiri wanita itu. Tapi secepat itu pula pikirannya bekerja dan akhirnya dia menarik lagi kakinya yang sudah terlanjur dikeluarkan dari pintu biara, seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengayunkan kakiku untuk mendurhakai Allah dan memasukkan wanita ke dalam biaraku ini.” Akhirnya dia membiarkan wanita itu tetap berada di luar biaranya ditimpa hujan salju dan kakinya membeku kedinginan.

 

Abul-Atahiyah berkata, “Saya bertemu Abu Nuwas di masjid jami’, lau saya mencelanya. Kemudian saya berkata, ‘Kini tiba giliranmu untuk mencelaku’.”

 

Maka Abu Nuwas berkata, Tidakkah engkau tahu wahai orang dungu bahwa aku telah meninggalkan senda gurau itu tidakkah engkau tahu tubuhku kupertaruhkan dengan melakukan ibadah bersama orang-orang

 

Tatkala saya terus-menerus mencelanya, maka Abu Nuwas berta, :

 

Jiwa tiada sembuh dari kesesatannya

jika tiada orang lain yang mencelanya

 

Setiap kali ada kesempatan, saya selalu mengucapkan syair Abu Nuwas ini.”

 

Ibnus-Sammak berkata tentang seorang wanita yang hidup di perkampungan Badui, “Seandainya dia mau menengok hati orang-orang Mukmin dengan pikirannya tentang Kebaikan yang tersimpan rapat di akhirat, tentu dia akan tahu bahwa mereka tidak akan terbujuk untuk mencicipi Kenikmatan dunia.”

 

Dhaigham pernah berkata kepada seorang laki-laki, “Kecintaan kepada Allah menyibukkan hati para kekasih-Nya untuk mencintai selainNya. Di dunia ini tidak ada kenikmatan cinta yang menyamai kecintaan mereKa Kepada-Nya. Mereka tidak mengharapkan kemuliaan pahala yang paling besar di akhirat selain dari kenikmatan memandang wajah Kekasih mereka.” Setelah mendengarnya, orang itu jatuh pingsan.

 

Di dalam Musnad Al-Imam Ahmad disebutkan dari hadits Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari bapaknya, dari An-Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu Anhu, dari Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam, beliau bersabda,

 

‘Allah membuat perumpamaan berupa jalan yang lurus. Di dua tepi jalan itu ada dua buah pagar. Di dua pagar itu ada beberapa Pintu yang terbuka. Di pintu-pintu itu ada tabir yang tergerat. Di permulaan jalan itu ada penyeru yang berkala, ‘Wahai para manusia, masuklah jalan itu dan janganlah kalian berhenti . Ada penyeru lain di atas jalan itu. Jika ada seseorang yang hendak membuka sesuatu dari pintu-pintu itu, dia berkata, ‘Celaka engkau, jangan engkau buka pintu itu. Sebab jika engkau sudah membukanya, maka engkau akan memasukinya’. Jalan itu adalah Islam. Sedangkan tabir yang tergerai itu adalah hukumhukum Allah. Sedangkan pintu-pintu yang terbuka itu adalah hal-hal yang diharamkan Allah. Penyeru yang ada di awal jalan adalah Kitab Allah dan penyeru di atas jalan itu adalah penasihat Allah yang ada di hati setiap orang Muslim.”

 

Khalid bin Ma’dan berkata, “Setiap hamba tentu mempunyai dua mata di wajahnya yang bisa digunakan untuk melihat urusan dunia, dan dua mata di dalam hati yang bisa dipergunakan untuk melihat urusan akhirat. Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia membukakan kedua mata yang ada di dalam hatinya, sehingga dia bisa melihat apa yang dijanjikan Allah di balik alam gaib. Jika Allah menghendaki selain itu, maka Dia membiarkan apa yang ada pada dirinya.” Kemudian Khalid membaca ayat,

 

“‘Ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24).

 

Di dalam riwayat At-Tirmidzy, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Orang yang perkasa itu ialah yang mampu menundukkan nafsunya dan berbuat untuk sesuatu setelah kematiannya, sedangkan orang yang lemah itu ialah yang mengikuti nafsu yang membisikinya dan menduga-duga terhadap Allah dengan berbagai dugaan.”

 

Di dalam Al-Musnad disebutkan dari hadits Fudhalah bin Ubaid, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Mujahid ttu talah yang berjihad melatwan nafsunya karena Allah, dan orang yang lemah itu talah yang mengikuti nafsu yang membisikinya dan menduga-duga terhadap Allah.”

 

Al-lmam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Abdurrahman bin Mahdy, kami diberitahu Abdul-Aziz bin Muslim, dari Ar-Rabi’ bin Anas, dari AbulAliyah, dari Ubay bin Ka’b Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Barangsiapa yang memulai harinya dan angan-angannya lebih banyak tertuju kepada selain Allah, maka dia tidak termasuk golongan Allah.”

 

Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Abdurrahman, darj Hisyam bin Sa’d, dari Zaid bin Aslam, dari bapaknya, dari Atha’ bin Yasar, dia berkata, “Musa Alaihis-Salam pernah bersabda, “Wahai Rabb-ku, siapakah orang-orang yang termasuk pengikut-Mu, yang mendapat perlindungan-Mu di bawah perlindungann Arsy-Mu?”

 

Allah berfirman, “Orang-orang yang membersihkan dirinya, mensucikan hatinya, yang saling mencintai karena keagungan-Ku, yang apabila asma-Ku disebut, maka mereka teringat kepada-Ku, dan jika mereka diingatkan kepada-Ku, mereka pun menyebut asma-Ku. Mereka mengambil wudhu’ apabila menghadapi hal-hal yang tidak disukai, dan berlindung dengan menyebut asma-Ku sebagaimana burung yang berlindung di sarangnya. Mereka senang mencintai-Ku sebagaimana anak kecil yang senang jika dicintai orang. Mereka marah jika hal-hal Kuharamkan dihalalkan, sebagaimana macan yang marah jika diganggu.”

 

Ahmad berkata, “Kami diberitahu Ibrahim bin Khalid, kami diberitahu Abdullah bin Yahya, dia berkata, ‘Saya pernah mendengar Wahb bin Munabbih berkata, ‘Musa Alaihis-Salam pernah bersabda, “Wahai Rabbku, siapakah hamba-Mu yang paling Engkau cintai>?”

 

Allah menjawab, “Siapa yang mau diingatkan akan melihat-Ku.”

 

Ahmad berkata, “Kami diberitahu Sayyar, kami diberitahu Hisyam Ad-Dastawany, dia berkata, ‘Saya pernah mendengar bahwa di antara perkataan Isa bin Maryam adalah: Kalian berbuat untuk dunia dan kalian dianugerahi rezki sekalipun tidak banyak berusaha. Kalian tidak berbuat untuk akhirat dan kalian tidak akan dianugerahi kecuali dengan amal. Celakalah kalian wahai ulama-ulama yang buruk. Kalian mengambil balasan dan amal kalian sia-siakan. Begitu cepat kalian keluar dari dunia menuju ke kegelapan kuburan dan kesempitannya. Allah melarang kalian dari kedurhakaan, sebagaimana Dia memerintahkan kalian untuk melaksanakan puasa dan shalat. Apa jadinya ulama yang dunianya mengalahkan akhiratnya, dan itulah yang paling dia kehendaki di dunia? Apa jadinya ulama yang sedang pergi menuju akhirat tapi justru dia menghadapi dunia dan lebih menaruh perhatian terhadap sesuatu yang membahayakannya? Apa jadinya ulama yang mencari ilmu untuk disampaikan di mulut saja dan tidak diamalkan?”

 

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, dari Ma’mar, ada sekumpulan anak-anak bertanya kepada Yahya bin Zakaria, “Marilah kita bermainmain.” Dia menjawab, “Apakah kita diciptakan untuk bermain-main?”

 

Ahmad berkata, “Kami diberitahu Abu Bakar Al-Hanafy, kami diberitahu Abdul-Hamid bin Ja’far, aku diberitahu Al-Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib, bahwa ibunya, Fathimah pernah bercerita kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya seburuk-buruk umatku adalah orang-orang yang dianugerahi nikmat, yang mencari rupa-rupa makanan, rupa-rupa pakaian dan banyak bicara.”

 

Ahmad berkata, “Kami diberitahu Abu Qathan, dari Abu Maslamah, dari Abu Nadhrah, dia berkata, ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata kepada Abu Musa, “Wahai Abu Musa, buatlah kami rindu kepada Rabb kami!” Maka kemudian Abu Musa membaca Al-Qur’an.

 

Orang-orang berkata, “Tiba waktu shalat.”

 

Umar berkata, “Bukankah kita sedang dalam keadaan shalat?” Mewaspadai Bisikan Hawa Nafsu

 

Pertimbangan segala urusan harus tertuju kepada kehendak untuk mendapatkan ridha Allah, taqarrub kepada-Nya dengan berbagai sarana, kerinduan untuk bersua dengan-Nya. Jika hamba tidak mempunyai hasrat seperti itu, maka keinginan untuk masuk surga, kenikmatannya dan apa yang dijanjikan di dalamnya hanya diperuntukkan bagi wali-wali-Nya. Jika seorang hamba tidak mempunyai hasrat yang tinggi untuk berbuat seperti itu, tidak pula takut terhadap apa yang dijanjikan Allah terhadap orangorang yang mendurhakai-Nya, maka hendaklah dia tahu bahwa dia diciptakan untuk menjadi penghuni neraka Jahannam, bukan sebagai penghuni surga. Tidak ada yang bisa dilakukannya setelah ada ketetapan Allah selain dari membangkang bisikan nafsunya.

 

Orang Mukmin mempunyai empat musim: musim semi, gugur panas dan dingin, yang masing-masing merupakan persinggahannya dalam perjalanannya kepada Allah. Dia tidak mempunyai persinggahan yang lain. Allah tidak menjadikan jalan menuju surga kecuali dengan menentang bisikan hawa nafsunya dan tidak menjadikan jalan menuju neraka kecuali dengan mengikuti bisikan hawa nafsunya. Allah berfirman,

 

‘Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (An-Nazi’at: 37-41).

 

“Dan, bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya ada dua surga.” (Ar-Rahman: 46).

 

Ada yang berpendapat, orang yang takut di sini adalah seseorang yang hendak melakukan kedurhakaan, lalu dia ingat kedudukan Allah atas dirinya di dunia dan kedudukan dirinya di hadapan-Nya di akhirat, lalu dia meninggalkan kedurhakaan itu karena Allah.

 

Allah telah memberitahukan bahwa mengikuti hawa nafsu bisa menyesatkan manusia dari jalan-Nya. Allah berfirman,

 

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti halwa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Shad: 26).

 

Kemudian dalam ayat yang sama Allah menjelaskan tujuan dan kesudahan perjalanan mereka,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah, akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

 

Allah juga memberitahukan bahwa dengan mengikuti hawa nafsu, maka Allah menguci hatinya. Allah berfirman,

 

“Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengtkuti hawa nafsu mereka.” (Muhammad: 16).

 

Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam juga memberitahukan, bahwa orang yang lemah itu ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan yang tidak-tidak terhadap Allah. Al-Imam Ahmad menuturkan dari hadits Rasyid bin Sa’d, dari Abu Umamah Al-Bahily Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam persabda,

 

“Tidaklah ada sesembahan Allah di bawah lindungan langit yang lebih besar di sisi Allah selain dart hawa nafsu yang dlikuti.”

 

Al-lmam Ahmad juga menyebutkan dari hadits Ja’far bin Hayyan, dari Abul-Hakam, dari Abu Barzah Al-Aslamy Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Ketakutan yang paling kutakutkan atas diri kalian adalah nafsu godaan di perut kalian, kemaluan kalian dan kesesatan hawa nafsu.”

 

Di dalam naskah Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf Al-Mazny, dari bapaknya, dari kakeknya Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Ketakutan yang paling kutakutkan atas umatku adalah ketetapan hukum orang yang tidak adil, keterpelesetan orang yang berilmu dan hawa nafsu yang diikuti.”

 

Ada sebagian ahli hikmah ditanya, “Apakah pendamping yang paling baik?”

 

Dia menjawab, “Amal shalih.”

 

“Dan apakah sesuatu yang paling berbahaya?”

 

Dia menjawab, “Hawa nafsu dan kesenangan.”

 

Ada ahli hikmah lainnya berkata, Jika engkau menghadapi dua hal yang samar-samar, periksalah mana yang lebih dekat dengan nafsumu, lalu jauhilah.”

 

Ada seorang terpidana karena suatu kesalahan yang sangat besar dibawa ke hadapan raja. Lalu raja itu berkata, “Andaikan saja aku ingin mengampunimu, berarti aku menentang keinginanku untuk membunuhmu. Tapi karena keinginanku untuk membunuhmu, maka kutentang keinginanku itu dan kumaafkan kamu.”

 

Al-Haitsam bin Malik Ath-Tha’y berkata, “Saya mendengar An-Nu’man bin Basyir berpidato di atas mimbar, ‘Sesungguhnya syetan itu mempunyai perangkap dan sekutu. Di antara sekutu dan perangkap syetan adalah menyalahgunakan kenikmatan Allah, membangga-banggakan anugerah Allah, sombong terhadap hamba-hamba Allah dan mengikuti hawa nafsu bukan karena Allah.”

 

Di dalam Al-Musnad dan lain-lainnya dari hadits Qatadah, dari Anas Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Ada tiga perkara yang merusakkan dan ada tiga perkara yang menyelamatkan. Tiga perkara yang merusakkan adalah kekikiran yang diikuti, hawa nafsu yang diikuti dan ketaajuban seseorang terhadap dirinya sendiri. Tiga perkara yang menyelamatkan adalah takwa kepada Allah di saat terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, bersikap adil tatkala marah dan ridha, kesederhanaan di saat miskin dan kaya.”

 

Di dalam Jami’ At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Asma’ binti mais Radhiyallahu Anha, dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang sombong dan semena-mena, serta dia melupakan Yang Mahaperkasa lagi Mahatinggi. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang lalai dan bermain-main, serta dia melupakan kuburan dan siksa. Seburukburuk hamba adalah hamba yang durhaka dan angkuh, serta dia melupakan awal dan kesudahan. (Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang memperdayakan dunia dengan agama). Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang memperdayakan agama dengan syubhat. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang disetir ketamakan. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang disesatkan hawa nafsu. (Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang dihinakan keinginan).””

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersumpah, bahwa tidaklah seorang hamba disebut beriman, kecuali jika keinginannya mengikuti apa yang beliau bawa, sehingga keinginannya itu menjadi pengikut, bukan yang diikuti. Keinginan orang Mukmin menjadi pengikutnya, sedangkan keinginan orang munafik dan durhaka menjadi ikutannya. Allah telah menetapkan orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa ada petunjuk dari-Nya sebagai orang zhalim yang paling zhalim. FirmanNya,

 

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahutlah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan, stapakah yang lebth sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dart Allah sedikit pun? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-Qashash: 50).

 

Di dalam pernyataan ini engkau bisa melihat bahwa Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti hawa nafsunya. Allah menjadikan apa yang diikuti itu hanya dua macam, tidak ada yang ketiga, entah apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam, entah hawa nafsu. Siapa yang mengikuti salah satu, tidak akan mengikuti yang satunya lagi. Syetan pun sudah memberitahukan manusia, dari pintu yang mana dia masuk ke dalam dirinya, yang tiada lain adalah dari pintu hawa nafsu. Oleh Karena itu siapa yang menentang hawa nafsunya, maka syetan menjadi takut kepadanya. Menentang hawa nafsu bisa dilakukan hanya dengan mengharapkan ridha Allah dan pahala-Nya serta takut terhadap adzab-Nya. Kesembuhan dari penyakit terjadi hanya dengan menentang hawa nafsu. Karena mengikuti hawa nafsu merupakan penyakit yang akut, berarti menentang hawa nafsu merupakan kesembuhan yang paling mujarab.

 

Abul-Qasim Al-Junaid pernah ditanya, “Kapan jiwa itu bisa memperoleh harapannya?”

 

Dia menjawab, ‘Uika penyakitnya menjadi obat kesembuhannya.”

 

Dia ditanya lagi, “Lalu kapan penyakitnya menjadi obat kesembuhannya?”

 

Dia menjawab, Jika hawa nafsunya ditentang.”

 

Yang dimaksud penyakit menjadi obat penyembuh dalam perkataannya itu adalah hawa nafsu. Dengan kata lain, jika engkau menentang hawa nafsu, berarti engkau telah terobati dengan penentanganmu itu.

 

Ada yang berkata, “Hawa nafsu disebut dengan kata hawa, karena hawa nafsu itu yahuwi (menjatuhkan) pelakunya ke tingkatan yang paling rendah.”

 

Hawa nafsu merupakan dua pertiga jalan menuju ke neraka, yang berarti menentang hawa nafsu merupakan jalan terbesar menuju Ke surga.

 

Abu Dulaf Al-Ijly berkata di dalam syairnya,

 

Betapa buruk pemuda yang memiliki pekerti

dipaksa mengorbankan adab karena nafsu diri

kehinaan didatangi padahal dia mengetahuinya

kehormatannya terkoyak dan kehinaannya dijaga

kesadarannya bangkit tatkala dia jatuh terjerembab

dia menangis tatkala tak mampu lagi bangkit

 

Ibnul-Murtafiq Al-Hudzaly berkata,

 

Apa yang bisa engkau katakan tentang diriku

selagi seseorang dikuasai keinginan dan nafsu

dia menjadi buta tentang apa yang harus dilihatnya

orang yang melihatnya menganggap dia tiada melihatnya

 

Mengharapkan Apa yang Ada di Sisi Allah

 

Mengharapkan Allah dan berkeinginan melihat Wajah-Nya serta rindu bersua dengan-Nya merupakan modal di tangan seseorang, dasar urusannya, penyangga kehidupannya, fondasi kebahagiaan, kesenangan, keberuntungan dan kenikmatannya. Karena yang demikian itulah dia diciptakan, dia diberi perintah, para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan. Tidak ada kebaikan dan kenikmatan bagi hati kecuali jika kehendaknya tertuju kepada Allah semata, sehingga hanya Allah semata yang dia harapkan dan inginkan. Allah berfirman,

 

“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap.” (Alam Nasyrah: 7-8).

 

Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata, ‘Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah’, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi kami).” (At-Taubah: 59).

 

Orang yang menyukai itu ada tiga macam: menyukai karena Allah, menyukai apa yang ada di sisi Allah, dan orang yang menyukai selain Allah. Orang yang jatuh cinta, menyukai karena Allah, orang yang beramal menyukai apa yang ada di sisi-Nya; dan orang yang ridha terhadap dunia daripada akhirat adalah orang yang menyukai selain Allah. Siapa yang kesukaannya karena Allah, maka Allah memberi kecukupan kepada setiap orang yang mempunyai hasrat, melindunginya dalam segala urusan, menjaganya dari segala hal diluar kemampuannya untuk menjaga dirinya sendiri, mengawasinya scperti pengawasan orang tua terhadap anaknya dan menjaganya dari segala bencana. Siapa yang mementingkan Allah dari hal-hal selain Allah, maka Allah mementingkan dirinya daripada mementingkan selainnya. Siapa yang merasa menjadi milik Allah, maka Allah menjadi miliknya. Siapa yang mengetahui Allah, tidak ada sesuatu yang lebih dia cintai seperti cintanya kepada Allah dan dia tidak mempunyai kesukaan kepada selain Allah, kecuali kesukaan kepada sesuatu yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah dan membantu perjalanannya kepada Allah.

 

Di antara tanda-tanda mengetahui Allah ialah takut kepada-Nya. Selagi pengetahuan seorang hamba tentang Allah semakin bertambah, maka bertambah pula ketakutannya kepada Allah, sebagaimana firmanNya,

 

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu.” (Fathir: 28).

 

Artinya orang-orang yang mengetahui Allah. Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Aku adalah orang yang paling mengetahui Allah di antara kalian dan aku adalah orang yang paling takut kepada-Nya.”

 

Siapa yang mengetahui Allah, maka hidupnya menjadi bersih dan baik, ditakuti segala sesuatu dan ketakutan terhadap makhluk menjadi sirna, lemah lembut di hadapan Allah dan tegas di hadapan manusia, memiliki rasa malu terhadap Allah, mengagungkan-Nya, mencintai, bertawakal, pasrah dan ridha kepada-Nya.

 

Pernah ada yang bertanya kepada Al-Junaid Rahimahullah, “Di sana ada sekelompok orang yang berkata, bahwa mereka bisa sampai kepada kebajikan karena tidak banyak beraktivitas.”

 

Maka Al-Junaid berkata, “Mereka itu berbicara dengan meremehkan amalan. Masalah ini menurutku adalah masalah besar. Sebab orang yang berzina dan mencuri boleh jadi keadaannya lebih baik dari keadaan mereka yang berkata seperti itu. Orang-orang yang mengetahui Allah mengambil amalan dari Allah, dan kepada Allah mereka mengembalikan amalan itu. Andaikan saya masih diberi umur seribu tahun lagi, maka saya tidak akan mengurangi amalan sedikit pun.”

 

Dia juga berkata, “Orang yang berilmu tidak bisa disebut orang yang berilmu, sehingga dia bisa menempatkan dirinya seperti tanah yang siap diinjak orang yang baik dan buruk, atau seperti hujan yang turun kepada orang yang suka atau tidak suka.”

 

Yahya bin Mu’‘adz berkata, “Orang yang berilmu meninggalkan dunia, sedang keinginannya tidak lepas dari dua hal, yaitu menangisi dirinya sendiri dan rindu bersua Rabb-nya.”

 

Sebagian ulama yang lain berkata, “Orang berilmu tidak layak disebut orang berilmu Kecuali andaikan dia dianugerahi kerajaan Sulaiman, maka hal itu tidak mengalihkan pandangannya dari Allah sedikit pun.”

 

Ada pula yang berkata, “Orang yang berilmu itu ialah orang yang lemah lembut di hadapan Allah dan tegar di hadapan selain Allah, membutuhkan Allah dan tidak membutuhkan selain Allah, merendahkan diri di hadapan Allah dan merasa tinggi di hadapan makhluk-Nya.”

 

Abu Sulaiman Ad-Darany berkata, “Tempat tidur ditampakkan kepada orang yang berilmu dan tidak dihadirkan kepadanya, tatkala dia sedang mendirikan shalat.”

 

Dzun-Nun berkata, “Segala sesuatu mempunyai kesudahan, dan kesudahan orang yang berilmu ialah tatkala dia berhenti berdzikir kepada Allah.”

 

Secara umum, kehidupan hati bersama Allah tidak dianggap sebagai sebuah Kehidupan tidak ada gambaran seperti itu. Orang yang dianggap pecinta yang sesungguhnya ialah selagi lidah dan hati telah menyatu untuk menyebut nama-Nya, hati yang menyatu dengan keinginan kekasihnya, menganggap sedikit perkataan dan perbuatannya yang banyak, menganggap banyak kebajikan yang sedikit, selalu taat dan meninggalkan pembangkangan, keluar dari segala sesuatu demi kekasihnya, dan tak ada sesuatu pun yang tertinggal, hatinya dipenuhi pengagungan dan mengharapkan ridha-Nya, rindu bersua dengan-Nya, tidak merasa tenang kecuali dengan menyebut nama-Nya, menjaga hukum-hukum-Nya dan meremehkan selain-Nya. Inilah pecinta yang sesungguhnya.

 

Al-Junaid berkata, “Saya pernah mendengar Al-Harits Al-Muhasiby berkata, ‘Cinta itu adalah kecenderunganmu kepada sesuatu dengan segenap apa pun yang ada pada dirimu, kKemudian engkau lebih mementingkannya daripada kepentingan terhadap diri, ruh dan hartamu, kemudian kesesuaianmu dengannya secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, kKemudian engkau merasa kurang dalam mencurahkan cinta kepadanya.”

 

Ada pula yang mengatakan, “Cinta itu ialah bara di dalam hati, membakar apa pun yang tidak dikehendaki sang kekasih.”

 

Ada pula yang berkata, “Cinta adalah pengorbanan untuk mendapatkan simpati kekasih, yang hanya bisa dilakukan dengan mengeluarkan pandangan cinta itu kepada pandangan sang kekasih.”

 

Dalam sebuah atsar llahy disebutkan, “Wahai hamba-Ku, hakmu atas Diri-Ku ialah mencintai, maka dengan hak-Ku atas dirimu, jadilah orang yang mencintai-Ku.”

 

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Barangsiapa diberi sedikit rasa cinta, dan dia tidak diberi ketakutan yang serupa dengan itu, maka dia adalah orang yang tertipu.”

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Cinta yang hanya seberat biji sawi lebih kucintai daripada beribadah selama tujuh puluh tahun tanpa disertai rasa cinta.”

 

Abu Bakar Al-Kattany berkata, “Suatu kali tatkala musim haji pernah diselenggarakan dialog yang mengupas masalah cinta di Makkah. Maka banyak orang-orang tua yang angkat bicara dalam forum itu. Sementara Al-Junaid adalah orang yang paling muda di antara mereka. Mereka berkata kepadanya, “Sampaikan pendapatmu wahai penduduk Iraq!”

 

Maka dia menundukkan mukanya dan air mata menetes dari kedua matanya, kemudian dia baru berkata, “Orang yang jatuh cinta adalah hamba yang mengabaikan dirinya, selalu menyebut Rabb-nya, melaksanakan hak-hak-Nya, memandang-Nya dengan hati, membakar hati dengan cahaya kehendaknya, minumannya berasal dari bejana cinta-Nya, jika bicara dengan menyertakan Allah, jika berucap dari Allah, jika bergerak menurut perintah Allah, jika diam bersama Allah, dia dengan Allah, milik Allah dan bersama Allah.”

 

Setelah mendengar orang-orang tua pun menangis. Mereka berkata, “Ini keterangan yang tidak membutuhkan tambahan lagi. Semoga Allah memberikan keperkasaan kepadamu wahai pemimpin orang-orang yang berilmu.”

 

Ada yang berkata, “Allah mewahyukan kepada Daud Alaihis-Salam, ‘Wahai Daud, sesungguhnya Aku mengharamkan hati manusia dimasuki cinta kepada-Ku dan cinta kepada selain Aku’.”

 

Maka para ulama sepakat bahwa cinta dianggap tidak benar kecuali dengan adanya kesesuaian antara kedua belah pihak. Sehingga ada di antara mereka yang berkata, “Hakikat cinta adalah kesesuaian dengan kekasih, tatkala dia ridha atau tatkala dia marah.”

 

Mereka juga telah sepakat bahwa cinta dianggap tidak benar kecuali dengan menunggalkan kekasih.

 

Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang mengaku habis-habis dalam mencintai seorang pemuda. Lalu dia berkata kepada pemuda itu, “Bagaimana tidak? Sebab saudaraku ini lebih bagus dan lebih tampan dariku.”

 

Dia menoleh kepada pemuda itu dan sang pemuda menolaknya, “Siapa yang mengaku mencintai sesama jenis ini?” Lalu dia menyebutkan tentang cintanya Dzun-Nun, seraya berkata, “Hentikanlah omongan ini, agar tidak didengarkan hawa nafsu, lalu ia pun ikut mengaku-ngaku.” Setelah itu dia melantunkan syair,

 

Ketakutan itu lebih layak daripada rabaan

jika orang masih beribadah dan merasakan kesedihan

cinta menjadi indah karena takwa

dengan kesucian kerak menjadi sirna

 

Samnun berkata, “Orang-orang yang jatuh cinta karena Allah pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda, “Seseorang itu bersama orang yang dicintainya”. Mereka bersama Allah di dunia dan di akhirat.”

 

Yahya bin Mu’ad berkata, “Bukan orang jujur yang menyatakan cinta, kemudian dia tidak menjaga hukum-hukum-Nya.”

 

Bersama Allah

 

Cinta itu laksana pohon di dalam hati. Akarnya adalah ketundukan kepada kekasih yang dicintai, dahannya adalah mengetahuinya, rantingnya adalah ketakutan kepadanya, daun-daunnya adalah malu kepadanya, buahnya adalah ketaatan kepadanya dan air yang menghidupinya adalah menyebut namanya. Jika di dalam cinta ada satu bagian yang lowong, berarti cinta itu berkurang.

 

Allah telah mensifati Diri-Nya, bahwa Dia mencintai hamba-hambaNya yang Mukmin dan mereka pun juga mencintai-Nya. Allah mengabarkan bahwa mereka lebih mencintai Allah dan Dia mensifati Diri-Nya, bahwa Dia penuh kasih dan Dialah kekasih yang patut dicintai, seperti yang dikatakan Al-Bukhary. Kasih adalah cinta yang tulus. Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang Mukmin dan mereka juga mencintai-Nya.

 

Al-Bukhary meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang apa yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya, Dia berfirman,

 

“Barangsiapa meremehkan penolong-Ku, berarti dia telah menampakkan peperangan dengan-Ku. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku seperti melaksanakan apa yang Kufardhukan kepadanya, dan tidaklah hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan nafilah-nafilah, hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi pandangannya yang dia gunakan untuk memandang, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang, Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk befalan. Dengan-Ku dia mendengar, dengan-Ku dia memandang, dengan-Ku dia memegang dan dengan-Ku dia berjalan. Seandainya dia meminta kepada-Ku, niscaya Aku benarbenar memberikan kepadanya permintaannya, dan seandainya dia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar melindunginya. Aku tidak merasa bimbang terhadap sesuatu yang Aku menjadi pelakunya, seperti kebimbangan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang Mukmin, yang tidak menyukai kematian dan Aku sendiri tidak suka berbuat buruk kepadanya. Namun kematian itu harus terjadi.”

 

Perhatikanlah kesesuaian dalam ketidaksukaan ini, yaitu bagaimana ketidaksukaan Rabb bisa terjadi untuk mencabut nyawa hamba-Nya yang Mukmin. Di dalam hadits ini juga terkandung Kesesuaian dalam masalah kehendak, bagaimana kesesuaian Allah terjadi, dengan memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya yang Mukmin, memenuhi tuntutan-tuntutannya dan melindunginya jika dia meminta perlindungan kepada-Nya, sebagaimana yang dikatakan Aisyah Radhiyallahu Anha kepada Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam, “Aku tidak melihat Rabb-mu melainkan Dia tampak dalam kehendakmu.”

 

Paman beliau, Abu Thalib pernah berkata kepada beliau, “Wahai anak saudaraku, aku tidak melihat Rabb-mu melainkan Dia selalu patuh kepadamu.”

 

Beliau bersabda kepadanya, “Dan engkau wahai pamanku, andaikan patuh kepada-Nya, Dia pun juga akan patuh kepadamu.”

 

Di dalam tafsir Ibnu Abi Nujaih, dari Mujahid tentang firman Allah, “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya”, dia berkata, “Artinya kesayangan yang dekat. Jika Ibrahim meminta kepada-Nya, maka Allah memenuhinya, dan jika Ibrahim berdoa kepada-Nya, maka Allah mengabulkannya.”

 

Allah mewahyukan kepada Musa Alaihis-Salam, “Wahai Musa, jadilah kamu seperti yang apa yang Kukehendaki, niscaya Aku akan menjadi seperti yang kamu kehendaki.”

 

Perhatikanlah huruf ba’ (dengan) dalam firman-Nya, “Bi yasma’u, bi yubshiru, bi yabthisyu, bi yamsyt”. Hal ini menjelaskan makna firmanNya, “Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar’, dan seterusnya. Jika dia mendengar, maka dia mendengar dengan Allah, jika melihat dia melihat dengan Allah, jika memegang dia memegang dengan Allah, jika berjalan dia berjalan dengan Allah. Hal ini menegaskan firman Allah di dalam Al-Qur‘an,

 

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”” (An-Nahl: 128).

 

“Dan, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat batik.” (Al-Ankabut: 69).

 

“Dan, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal: 19).

 

Begitu pula firman Allah, yang diriwayatkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari-Nya,

 

“Aku bersama hamba-Ku selagi dia menyebut-Ku dan kedua bibirnya bergerak bersama-Ku.”

 

Keadaan ini kebalikan dari firman-Nya,

 

‘Atau adakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan yang dapat memelihara mereka dari (adzab) Kami, sesembahansesembahan itu tidak sanggup menolong diri mereka sendiri dan tidak (pula) mereka dilindungi daripada (adzab) Kami itu?” (AI-Anbiya’: 43).

 

Kebersamaan yang dinafikan di dalam ayat ini adalah ditujukan kepada kekasih dan penolong-penolongnya. Perhatikan bagaimana Allah menjadikan cinta-Nya kepada hamba, yang bergantung kepada hamba itu sendiri yang melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya dan upayanya mendekatkan diri dengan mengerjakan ibadah-ibadah nafilah, bukan dengan yang lain. Hal ini merupakan kabar buruk bagi orang yang mengaku bahwa gambaran cinta itu tidak seperti itu, tetapi dengan anganangan yang batil dan pengakuan-pengakuan yang dusta.

 

Di dalam Ash-Shahihain, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Jibril berseru, ‘Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia!’ Maka para penghuni langit mencintainya, kemudian dijadikan orangorang yang menyambutnya di muka bumi.”

 

Dalam lafazh Muslim disebutkan,

 

“Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil Jibril seraya berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mencintai Fulan, maka cintatlah dia!’ Beliau bersabda, ‘Maka Jibril mencintai hamba itu, kemudian berseru di langit, dengan berkata, ‘Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia!’ Lalu para penghuni langit mencintainya. Beliau bersabda, ‘Kemudian dijadikan orang-orang yang menyambutnya di bumi. Dan, jika Dia memurkai seorang hamba, maka Dia memanggil Jibril, seraya berfirman, ‘Sesungguhnya Aku memurkai Fulan. Maka murkailah dia!’ Beliau bersabda, ‘Maka Jibril memurkai hamba itu. Kemudian dia berseru di langit, ‘Sesungguhnya Allah memurkai Fulan, maka murkailah dia!’ Kemudian dijadikan orang-orang yang murka kepadanya di bumi.”

 

Dalam lafazh lain dalam riwayat Muslim, dari Suhail bin Abu Shalih, dia berkata, “Kami sedang berada di Arafah. Lalu Umar bin Abdul-Aziz lewat, yang saat itu merupakan musim haji. Orang-orang bangkit memandang ke arahnya. Saya berkata kepada bapakku, “Wahai bapak, kulihat Allah mencintai Umar bin Abdul-Aziz.”

 

“Mengapa begitu?” tanya bapakku.

 

“Karena di dalam hati manusia ada cinta kepadanya,” jawabku.

 

Bapakku berkata, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kemudian dia menyebutkan hadits di atas. Hadits tersebut juga diriwayatkan At-Tirmidzy, dan di bagian akhir ada tambahan, yaitu berupa firman Allah,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Maryam: 96).

 

Ada di antara orang salaf yang menafsiri ayat ini, bahwa Allah mencintai mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang dicintai hambahamba-Nya.

 

Di dalam Ash-Shahihain, dari hadits Anas Radhiyallahu Anhu, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang Hari Kiamat. Beliau bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”

 

“Tidak ada sama sekali. Hanya saja saya mencintai Allah dan RasulNya,” jawab orang itu.

 

Beliau bersabda, “Engkau beserta orang yang engkau cintai.”

 

Anas Radhiyallahu Anhu berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang membuat kami gembira seperti kegembiraan kami tatkala mendengar sabda Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam,

 

 

“Engkau beserta orang yang engkau cintai.”

 

Anas berkata, “Saya mencintai Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abu Bakar dan Umar. Maka saya berharap agar saya bisa beserta mereka dengan cintaku itu, sekalipun saya tidak bisa beramal seperti amal mereka.”

 

Di dalam riwayat At-Tirmidzy, dari Anas, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Seseorang itu beserta orang yang dicintainya dan dia mendapatkan apa yang diupayakannya.”

 

Dalam Sunan Abu Daud, dari Anas, dia berkata, “Saya melihat para shahabat Nabi merasa gembira terhadap sesuatu, yang tidak pernah kulihat mereka segembira itu.”

 

Seseorang berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, seseorang mencintai orang lain karena amal kebaikannya, sekalipun dia tidak bisa beramal seperti amalnya.”

 

Maka beliau bersabda,

 

“Seseorang itu beserta orang yang dicintainya.”

 

Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

‘Allah berfirman pada Hari Kiamat, ‘Manakah orang-orang yang saling mencintai dengan keagungan-Ku? Pada hari ini Aku melindungi mereka di bawah lindungan-Ku, pada hari yang tiada perlindungan selain perlindungan-Ku’.”

 

Di dalam Jami’ Abu Isa At-Tirmidzy, disebutkan dari hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

‘Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Orang-orang yang saling mencintat dengan keagungan-Ku memiliki mimbar-mimbar dari cahaya, beserta para nabi dan syuhada’.”

 

Di dalam Al-Muwaththa’ dari hadits Abu Isris Al-Khaulany, dia berkata, “Saya memasuki masjid Damaskus. Di sana ada seorang pemuda yang wajahnya berseri-seri. Sementara orang-orang berkerumun di sekeliingnya. Jika mereka memperdebatkan suatu masalah, maka mereka mengembalikan masalah itu kepada pemuda tersebut, lalu mereka mengambil pendapatnya. Saya bertanya, siapa pemuda tersebut. Mereka menjawab, dia adalah Mu’adz bin Jabal. Keesokan hari saya cepat-cepat pergi ke masjid. Ternyata dia lebih cepat dariku dan kudapatkan dia sedang mendirikan shalat. Saya menunggu hingga seusai shalatnya, baru kemudian saya menghampirinya dari arah belakangnya. Saya mengucapkan salam kepadanya, lalu berkata, “Demi Allah, saya mencintaimu karena Allah.”

 

“Apa? Karena Allah?” Dia bertanya.

 

“Allah,” jawabku.

 

“Apa? Karena Allah?” dia bertanya lagi.

 

“Allah,” jawabku.

 

“Apa? Karena Allah?” dia bertanya lagi.

 

“Allah,” jawabku.

 

Dia memegang ujung jubahku, lalu menarikku mendekatinya, seraya berkata, “Terimalah kabar gembira ini. Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Kecintaanku pasti tertuju kepada orang-orang yang saling mencintai karena Aku, orang-orang yang duduk bersama karena Aku, orang-orang yang saling berkunjung karena Aku dan orang-orang yang saling memberi karena Aku’.”

 

Dalam Sunan Abu Daud dari hadits Abu Dzarr Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

‘Amal yang paling utama ialah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”

 

Di dalam Sunan Abu Daud juga disebutkan dari Umar bin AI-Khaththab Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah itu ada orangorang yang mereka itu bukan nabi dan bukan pula para syuhada’, namun mereka bersama para nabi dan para syuhada’ pada Hari Kiamat dalam kedudukan mereka karena anugerah dari Allah”. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, maukah engkau kabarkan kepada kami, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai dengan ruh Allah tanpa ada hubungan kekerabatan di antara mereka dan ikatan harta yang mereka ambil. Demi Allah, wajah mereka benar-benar cahaya dan sesungguhnya mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak takut selagi orang-orang merasa takut dan mereka tidak bersedih hati selagi orang-orang merasa bersedih hati.”

 

Dalam lafazh lain disebutkan, .

 

“Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba, yang mereka itu bukan para nabi dan bukan pula para syuhada’, namun mereka bersama para nabi di kedudukan mereka karena anugerah dari Allah”. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah sifat mereka kepada kami dan jelaskanlah diri mereka kepada kami, siapa tahu kami mencintai mereka”. Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai dengan ruh Allah tanpa ada harta yang mereka pertukarkan dan bukan karena kekerabatan yang mereka sambung. Mereka adalah cahaya dan wajah mereka adalah cahaya serta mereka berada di atas kursi-kursi dari cahaya. Mereka tidak takut selagi orangorang merasa takut, dan mereka tidak bersedih hati selagi orangorang bersedih hati.” Setelah itu beliau membaca ayat, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tiada ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62).

 

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di desa lain. Lalu Allah mengutus seorang malaikat untuk menunggu di jalan yang dilaluinya. Tatkala orang itu sudah mendekat, malaikat bertanya, ‘Hendak ke mana engkau?’ Orang itu menjawab, Aku hendak ke tempat saudaraku di desa ini’, Malaikat bertanya, Apakah engkau mempunyai kenikmatan yang akan engkau ambil darinya?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak. Hanya saja aku mencintainya karena Allah Ta‘ala’. Malaikat berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, (untuk mengabarkan) bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintat saudaramu karena Allah’.”

 

Seseorang berkata kepada Mu’adz bin Jabal, “Sesungguhnya saya mencintaimu karena Allah.”

 

Mu’adz menjawab, “Yang membuatmu mencintaiku juga mencintaimu.”

 

Dalam Sunan Abu Daud disebutkan bahwa seorang laki-laki ada di samping Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kemudian ada lakilaki yang lewat di sana. Orang yang ada di samping beliau berkata, “Wahai Rasulullah, saya benar-benar mencintai orang itu.”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya, “Apakah engkau sudah memberitahukannya?”

 

“Tidak,” jawabnya.

 

“Beritahukanlah cintamu itu padanya,” sabda beliau.

 

Maka orang itu menemui orang yang dimaksud, lalu berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.”

 

Orang yang dicintainya berkata, “Yang membuatmu mencintaiku juga mencintaimu.”

 

Di dalam Sunan Abu Daud juga disebutkan dari Al-Miqdam bin Ma’dy Karib Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

Jika seseorang mencintai saudaranya, maka hendaklah dia memberitahukan cintanya itu kepadanya.”

 

Di dalam riwayat At-Tirmidzy, dari hadits Yazid bin Na’amah AdhDahbby Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

Jika seseorang menjalin tali persaudaraan dengan orang lain, maka hendaklah dia bertanya siapa namanya, nama bapaknya dan dari mana dia berasal, karena hal itu lebih mengeratkan cinta.”

 

Di dalam Shahih Muslim, disebutkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam persabda,

 

“Demi diriku yang ada di Tangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman, dan kalian tidak beriman sehingga kalian saling mencintai. Maukah jika kutunjukkan kepada kalian jika kalian mengerjakannya, maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.”

 

Al-lmam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Hajjaj bin Muhammad At-Tirmidzy, kami diberitahu Syarik, dari Abu Sinan, dari Abdullah bin Abu Al-Hudzaly, dari Ammar bin Yasir, bahwa rekan-rekannya sedang menungguinya. Tatkala Ammar sudah keluar, maka mereka berkata, “Apa yang membuatmu terlambat menemui kami wahai Al-Amir?”

 

Ammar bin Yasir menjawab, “Akan kuberitahukan kepada kalian, bahwa seorang saudara kalian dari orang-orang yang terdahulu, yaitu Musa Alaihis-Salam pernah bersabda, “Wahai Rabb-ku, beritahukanlah kepadaku siapakah orang yang paling Engkau cintai?”

 

Allah bertanya, “Untuk apa?”

 

Musa menjawab, “Agar aku bisa mencintainya seperti cinta-Mu padanya.”

 

Allah berfirman, “Yaitu hamba yang berada di ujung atau di pinggir dunia, lalu ada hamba lain di ujung dunia atau di pinggir dunia lain yang tidak melihatnya namun mendengarnya, jika hamba yang pertama ditimpa musibah, maka seakan-akan musibah itu juga menimpa dirinya dan jika hamba yang pertama tertusuk duri, seakan-akan duri itu juga menusuknya. Dia tidak mencintainya melainkan karena Aku. Itulah makhluk yang paling kucintai.”

 

Musa berkata, “Wahai Rabb-ku, Engkau menciptakan makhluk, namun Engkau memasukkan mereka ke dalam api neraka atau menyiksa mereka.”

 

Lalu Allah mewahyukan kepada Musa semua makhluk-Nya, kemudian berfirman, “Tanamlah tumbuhan!” Maka Musa melakukannya,

 

Allah berfirman, “Siramilah tumbuhan itu!” Maka Musa melakukannya.

 

Kemudian Allah berfirman, “Hampirilah tumbuhan itu!” Maka Musa melakukannya seperti yang dikehendaki Allah. Lalu Musa memetik buahnya dan menyimpannya.

 

“Apa yang kamu lakukan terhadap tanamanmu wahai Musa?” Allah bertanya.

 

“Aku memanennya semua dan menyimpannya,” jawab Musa.

 

“Apakah kamu tidak menyisakan sedikit pun darinya?”

 

“Aku menyisakan yang tidak baik atau yang tidak kuperlukan,” jawab Musa.

 

Allah berfirman, “Begitu pula Aku, yang tidak menyiksa kecuali orang yang tidak ada kebaikannya.”

 

Mengharapkan Cinta Allah, Mengharapkan Kenikmatan Surgawi

 

Karena kecintaan kepada Allah itu bisa menyelamatkan orang yang mencintai-Nya dari adzab-Nya, mestinya seorang hamba tidak mengganti cinta itu dengan sesuatu yang lain sama sekali.

 

Ada sebagian ulama diberi pertanyaan, “Di bagian mana dari AlQur’an, engkau mendapatkan bahwa kekasih tidak menyiksa kekasihnya?”

 

Maka ulama itu menjawab, “Dalam firman Allah, ‘Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya’. Katakanlah, ‘Maka mengapa Allah menyiksa kalian karena dosa-dosa kalian?’” (Al-Maidah: 18).

 

Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Isma’il bin Yunus, dari Al-Hasan Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Demi Allah, Allah tidak akan mengadzab kekasih-Nya, tetapi Dia telah mengujinya di dunia.”

 

Al-lmam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Sayyar, kami diberitahu Ja‘far. kami diberitahu Abu Alib, dia berkata, “Kami mendengar bahwa perkataan berikut ini ada dalam wasiat Isa bin Maryam Alaihis-Salam, “Wahai para Hawariyin, cintailah Allah sekalipun mendapat kebencian para pelaku kedurhakaan dan mendekatlah kepada-Nya sekalipun dengan kemarahan mereka, serta carilah keridhaan-Nya sekalipun dengan mendapat kemurkaan mereka.”

 

Para Hawariyin itu berkata, “Wahai Nabi Allah, lalu dengan siapakah kami bergaul?”

 

Isa menjawab, “Bergaullah dengan orang yang perkataannya bisa menambahi amal kalian, yang pandangannya bisa mengingatkan kalian kepada Allah dan yang ilmunya bisa membuatmu zuhud di dunia.”

 

Sebagai bukti bahwa menghadapkan diri kepada Allah itu saja sudah mengandung balasan yang terlihat di dunia, maka Allah menghadapkan hati hamba-Nya kepada orang yang juga menghadap kepada-Nya,

 

sebagaimana Dia memaling hatinya dari orang yang berpaling dari-Nya. Sebab bukankah hati hamba-hamba itu ada di Tangan Allah, bukan di tangan mereka sendiri?

 

Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Hasan dalam tafsir Syaibahn, dari Qatadah, dia berkata, “Kami diberitahu bahwa Harim bin Hayyan pernah berkata, ‘Tidakiah seorang hamba menghadap kepada Allah dengan hatinya melainkan Allah menghadapkan hati orang-orang Mukmin kepadanya, hingga Dia menganugerahkan cinta dan kasih sayang mereka kepadanya’.”

 

Hal ini diriwayatkan secara marfu’, dengan lafazh,

 

“Tidaklah seorang hamba menghadap kepada Allah dengan hatinya melainkan Allah menghadap kepadanya dengan hati hamba-hamba-Nya dan menjadikan hati mereka menghampirinya dengan membawa kasih dan sayang, dan Allah dengan segala kebaikan yang diberikan kepadanya lebih cepat lagi.”

 

Jika hati diciptakan untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya dan kebajikan yang diberikan kepadanya, lalu bagaimana dengan Allah? Maka Allah berfirman,

 

“Dan, apa pun nikmat yang ada pada kalian, maka itu datangnya dari Allah.” (An-Nahl: 53).

 

Al-Imam Ahmad menuturkan, kami diberitahu Abu Mu’awiyah, dia berkata, “Aku diberitahu Al-Amasy, dari Al-Munhal, dari Abdullah bin AlHarits, dia berkata, “Allah mewahyukan kepada Daud Alaihis-Salam, dengan berfirman, “Wahai Daud, cintailah Aku dan buatlah hamba-hambaKu mencintai-Ku serta buatlah Aku mencintai hamba-hamba-Ku.”

 

Daud berkata, “Wahai Rabb-ku, aku memang mencintai-Mu dan bisa membuat hamba-hamba-Mu mencintai-Mu. Tapi bagaimana mungkin aku membuat-Mu mencintai hamba-hamba-Mu?”

 

Allah berfirman, “Sebutlah asma-Ku di tengah-tengah mereka, karena mereka tidak mengingat dari-Ku kecuali yang baik-baik.”

 

Di antara permohonan kepada Allah untuk mengharap cinta-Nya dan cinta orang-orang yang mencintai-Nya serta cinta amalan yang bisa mendekatkan kepada cinta-Nya, ialah ucapan:

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu serta cinta yang dapat mendekatkan aku kepada cinta-Mu. Ya Allah, apa yang Engkau anugerahkan kepadaku dari apa-apa yang aku cintai, maka jadikanlah ia sebagat kekuatan bagiku tentang apa yang Engkau cintai, dan apa-apa yang Engkau singkirkan dariku dari apaapa yang aku cintat, maka jadikanlah ia kekosongan bagiku tentang apa yang Engkau cintai. Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu sesuatu yang paling kucintai daripada cintaku kepada keluargaku, hartaku dan air dingin saat dahaga. Ya Allah, buatlah aku mencintai-Mu, malaikat-malaikat-Mu, nabi-nabi-Mu, rasul-rasulMu dan hamba-hamba-Mu yang shalih. Ya Allah, hidupkanlah hatiku dengan cinta-Mu dan jadikanlah aku bagi-Mu seperti yang Engkau cintai. Ya Allah, jadikanlah aku mencintai-Mu dengan segenap hatiku dan ridha kepada-Mu dengan segala usahaku. Ya Allah, jadikanlah segenap cintaku bagi-Mu dan seluruh usahaku di dalam keridhaan-Mu.”

 

Doa ini merupakan tongkat penyangga kemah Islam yang dijadikan perangkat untuk menegakkannya. Ini juga merupakan hakikat syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadan rasulullah. Orang-orang yang menegakkan hakikat ini adalah mereka yang menegakkan syahadat. Allah memperkenalkan kepada hamba-hamba-Nya lewat asma-Nya, sifat-sifatNya dan perbuatan-Nya, yang mengharuskan mereka untuk mencintaiNya. Sesungguhnya hati itu difitrahkan untuk mencintai kesempurnaan dan siapa pun yang mempunyai komitmen terhadap kesempurnaan. Sementara itu, Allah mempunyai kesempurnaan yang mutlak dari segala sisi, tanpa ada kekurangan secuil pun. Allah itu indah dan tidak ada sesuatu yang lebih indah dari-Nya. Bahkan andaikata keindahan seluruh makhluk terhimpun pada satu orang di antara mereka, maka keindahan itu tidak akan menyamai keindahan Allah sedikit pun. Bahkan jika keindahan kedua belah pihak diperbandingkan, maka bandingannya seperti pelita yang nyala apinya kecil sekali dan sinar matahari. Dan, Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi.” (An-Nahl: 60).

 

Ada beberapa shahabat yang meriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Sa’id Al-Khudry, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab, Tsabit dan Qais, Abud-Darda’, Abu Hurairah dan Abu Raihanah, sabda beliau,

 

“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintat keindahan.”

 

Di antara asma beliau adalah Al-Jamil (Yang Mahaindah). lalu siapakah yang lebih berhak memiliki keindahan selain dari yang menciptakan Keindahan di setiap benda alam? Allah mempunyai keindahan dzat, keindahan sifat, keindahan perbuatan dan keindahan asma. Semua asma-Nya adalah baik, semua sifat-Nya adalah kesempurnaan, semua perbuatannya adalah indah. Tak seorang manusia pun bisa melihat keagungan dan keindahan-Nya selagi di dunia. Kalau pun mereka bisa memandang Allah di surga Adn, maka itu merupakan kenikmatan yang paling tinggi. Saat itu mereka tidak akan berpaling dari-Nya. Andaikata tidak ada tabir cahaya di Wajah Allah, tentu Wajah-Nya itu akan membakar mata makhluk yang memandang-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahith Al-Bukhary, dari hadits Abu Musa Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam berdiri di tengah-tengah kami, menyampaikan lima kalimat, seraya bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak selayaknya Dia tidur. Menurunkan timbangan dan menaikkannya. Amal pada waktu malam disampaikan kepada-Nya sebelum amal siang hari, dan amal siang hari disampaikan kepada-Nya sebelum amal malam hart. Tabir-Nya adalah cahaya, yang andaikan tabir itu disingkap, tentu cahaya wajah-Nya membakar pandangan makhluk-Nya yang melihat-Nya.”

 

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Di sisi Rabb kalian tidak ada cahaya langit saat malam dan siang seperti cahaya WajahNya. Sesungguhnya ukuran satu hari di sisi Allah dari hari-hari kalian adalah dua belas jam. Amal-amal kalian kemarin ditampakkan kepadaNya pada permulaan siang (pagi hari). Lalu Allah melihatnya selama tiga jam. Allah melihat sebagian yang tidak disukai-Nya, sehingga Dia menjadi murka karenanya. Yang pertama kali melihat kemurkaan-Nya adalah para malaikat yang membawa Arsy-Nya. ‘Arsy itu terasa lebih berat, lalu mereka yang membawa Arsy dan para malaikat yang lain bertasbih kepada-Nya.

 

Jibril meniup di bagian tanduk, sehingga tidak ada yang merasa lebih perat kecuali jin dan manusia. Lalu mereka bertasbih selama tiga jam hingga rahmat melingkupi Rabb Yang Maha Pengasih. Berarti ini jumlahnya ada enam jam. Kemudian isi rahim didatangkan kepada-Nya, lalu Allah melihatnya selama tiga jam. Setelah itu Dia membentuk kalian menurut kehendak-Nya. Sehingga jumlahnya menjadi sembilan jam. Kemudian Dia melihat rezki-rezki semua makhluk selama tiga jam. Rezki itu jatuh kepada siapa pun yang Dia kehendaki dan hanya Dialah yang memutuskannya.” Setelah itu Abdullah bin Mas’ud membaca ayat,

 

“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (Ar-Rahman: 29).

 

Abdullah bin Mas’ud berkata lagi, “Inilah keadaan kalian dan keadaan Rabb kalian.”

 

Usman bin Sa’id Ad-Darimy juga meriwayatkannya, kami diberitahu Musa bin Isma‘il, kami diberitahu Hammad bin Salamah, dari AzZubair bin Abdus-Salam, dari Ayyub bin Abdullah Al-Qahry, dari [bnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu. Al-Hasan bin Idris juga meriwayatkannya, dari Khalid bin Al-Hayyaj, dari bapaknya, dari Abbad bin Katsir, dari Ja’far bin Al-Harits, dari Ma’dan, dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Sesungguhnya Rabb kalian tidak mengenal siang dan malam dan langit itu dipenuhi dengan cahaya dari cahaya Al-Kursy. Satu hari di sisi Rabb kalian ada dua belas jam. Amal-amal makhluk disampaikan kepada-Nya selama tiga jam. Dia melihat sesuatu yang dibenci-Nya, sehingga Dia murka. Yang pertama kali mengetahui kemurkaan-Nya adalah yang membawa Arsy-Nya. Mereka mengetahuinya karena Arsy itu terasa semakin berat. Mereka bertasbih kepada-Nya selama tiga jam dari sebagian waktu siang, sehingga Rabb kami menjadi ridha. Maka jumlahnya menjadi enam jam dari waktu siang. Kemudian Dia memerintahkan urusan rezki makhluk, memberikannya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya selama tiga jam, sehingga jumlahnya kini menjadi sembilan jam. Kemudian disampaikan kepada-Nya isi rahim setiap yang melata, lalu Dia menciptakan apa yang ada di dalam rahim itu menurut kehendak-Nya. Hal ini terjadi selama tiga jam dari waktu siang, sehingga jumlahnya menjadi dua belas jam.” Kemudian Ibnu Mas’ud membacakan ayat, “Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” Ibnu Mas’ud melanjutkan lagi, “Itulah keadaan Rabb kalian.”

 

Inilah doa yang dibaca Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam saat kejadian yang beliau alami di Tha’if,

 

‘Aku berlindung kepada cahaya Wajah-Mu, yang segala kegelapan menjadi berbinar karenanya, urusan dunia dan akhirat pun menjadi baik, agar kemarahan-Mu (tidak) menimpa atas diriku atau kemurkaan-Mu tidak turun kepadaku. Kesudahan adalah bagi-Mu hingga Engkau ridha. Tiada daya dan kekuatan melainkan ada pada-Mu.” (Diriwayatkan Ibnu Ishaq dan Ath-Thabrany).

 

Jika Allah datang pada Hari Kiamat untuk menegakkan pengadilan di antara hamba-hamba-Nya, maka seluruh permukaan bumi menjadi terang benderang karena cahaya Allah, sebagaimana yang difirmankan Allah,

 

“Dan, terang benderanglah bumi (Padang Mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Rabbnya, dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing).” (Az-Zumar: 69).

 

Perkataan Abdullah bin Mas’ud, Cahaya langit dan bumi berasal dari cahaya Wajah Allah”, merupakan penafsiran dari firman Allah, “Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (An-Nur: 35).

 

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Bakar Radhiyallahu Anhu dalam doa iftitah yang dibaca Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tatkala shalat malam,

 

“Ya Allah, kepunyaan-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi dan siapa pun yang ada di dalamnya.”

 

Di dalam Sunan Ibnu Majah dan Harb As-Sakramany, dari hadits Al-Fadhi bin Isa Ar-Raqasyi, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Tatkala para penghuni surga sedang berada dalam kenikmatannya, tiba-tiba ada cahaya memancar ke arah mereka. Mereka menengadahkan kepala, yang ternyata Rabb tampak terlihat oleh mereka dari arah atas, seraya berfirman, ‘Kesejahteraan atas kalian wahai para penghuni surga’. Itulah makna firman Allah, ‘(Kepada mereka dikatakan), ‘Salam’, sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang’. Lalu mereka menengadahkan kepala, memandang kepada-Nya dan Dia memandang kepada mereka. Mereka tidak tidak mengalihkan pandangan kepada sesuatu (yang lain) karena nikmatnya, hingga akhirnya Dia tidak terlihat lagi oleh mereka, namun cahaya dan barakah-Nya tetap menyisa atas diri mereka, tempat tinggal dan manzilah mereka.”

 

Di antara doa yang biasa dibaca Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah,

 

Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang Wajah-Mu dan kerinduan bersua dengan-Mu.” (Disebutkan Al-Imam Ahmad, AnNasa’y dan Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya).

 

Sekarang dengarkan keadaan para wali Allah dan kekasih-kekasihNya tatkala bersua dengan-Nya, kemudian pilihlah untuk dirimu sendiri. Engkaulah sang pembunuh beserta kekasihmu pilihlah siapa yang kau kehendaki untuk dirimu

 

Hisyam bin Hassan menuturkan dari Al-Hasan, dia berkata, Jika para penghuni surga memandang Allah, maka mereka lupa kenikmatan surga.”

 

Hisyam bin Ammar berkata, “Kami diberitahu Muhammad bin Sa’id bin Sabur, kami diberitahu Abdurrahman bin Sulaiman, kami diberitahu Abu Isha Sa’id bin Abdullah Al-Jarsyi Al-Qadhy, bahwa dia mendengar Al-Hamdany menyampaikan hadits dari Al-Harits Al-Awar, dari Ali bin Aby Thalib Radhiyallahu Anhu, dengan memarfu’kannya, dia berkata,

 

“Sesungguhnya jika Allah sudah menempatkan para penghuni surga di dalam surga dan menempatkan para penghuni neraka di dalam neraka, maka Dia mengutus Ar-Ruhul-Amin (Jibril) kepada para penghuni surga, untuk berkata, ‘Wahai para penghuni surga, sesungguhnya Rabb kalian menyampaikan salam kepada kalian dan memerintahkan agar kalian mengunjungi-Nya di halaman surga, yaitu tempat lapang yang berpasir dan berkerikil kecil di surga, debunya berupa minyak kesturi dan kerikilnya berupa butir-butir mutiara dan yaqut, pepohonannya dari emas yang halus dan daunnya adalah permata zamrud. Para penghunt surga keluar dalam keadaan gembira dan suka ria. Di sana mereka, dikumpulkan dan di sana ada kemuliaan Allah serta memandang Wajah-Nya. Itulah janji Allah yang dipenuhi-Nya bagi mereka. Lalu Allah mengizinkan mereka untuk mendengarkan (suara yang merdu), makan dan minum. Mereka dikenakan perhiasan kemuliaan, kemudian ada penyeru yang berseru, ‘Wahai waliwali Allah, adakah sesuatu yang masih menyisa dari janji Allah kepada kalian?’ Mereka menjawab, ‘Tidak ada. Dia telah memenuhi apa yang pernah dijanjikan kepada kami. Tidak ada sesuatu pun yang menuisa selain dari memandang Wajah-Nya’. Maka Rabb menampakkan diri kepada mereka di balik sebuah tabir. Dia berfirman, ‘Wahai Jibril, singkirkan tabir-Ku ini untuk hambahamba-Ku, agar mereka bisa memandang Wajah-Ku’. Dia berkata, ‘Maka Jibril menyingkirkan tabir yang pertama, hingga mereka bisa memandang cahaya dari cahaya Rabb. Seketika itu mereka merunduk kepada-Nya untuk sujud. Rabb berseru kepada mereka, ‘Wahai hamba-hamba-Ku, angkatlah kepala kalian, karena ini bukan tempat tinggal untuk melakukan amalan, tetapi ini adalah tempat tinggal untuk menerima balasan. Lalu Jibril menyingkirkan tabir kedua, hingga mereka bisa memandang suatu urusan yang paling agung dan besar. Seketika ttu mereka merunduk kepada Allah untuk memuji dan bersujud. Rabb berseru kepada mereka, Angkatlah kepala kalian, karena int bukan tempat tinggal untuk melakukan amalan, tetapi ini adalah tempat tinggal untuk menerima balasan dan kenikmatan yang abadi. Lalu Jibril menyingkirkan tabir yang ketiga, hingga pada saat ttulah mereka bisa memandang Wajah Rabbul-alamin. Tatkala memandang Wajah-Nya itulah mereka berkata, ‘Mahasuct Engkau. Kami belum beribadah kepada-Mu dengan sebenarbenamya ibadah’. Allah berfirman, ‘Karena kemuliaan dari-Kulah yang memungkinkan kalian bisa memandang Wajah-Ku dan menempatkan kalian di tempat tinggal-Ku’. Lalu Allah mengizinkan bagi surga untuk berkata, ‘Kebahagiaan bagi orang yang menempatiku dan kebahagiaan bagi orang yang hidup abadi di dalamku dan kebahagiaan bagi orang yang kupersiapkan baginya’. Itulah makna firman Allah, ‘Bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik’, dan firman Allah, ‘Wajah (orangorang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya mereka melihat’.”

 

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Musa Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Ada dua surga yang bejana, perhiasan dan apa pun yang ada di dalam keduanya dari emas, dan ada dua surga yang bejana, perhiasan dan apa pun yang ada di dalam keduanya dari perak. Tidak ada yang membatasi antara orang-orang itu dan antara memandang Rabb mereka selain dari pakaian keagungan pada Wajah-Nya di surga Adn.”

 

Utsman bin Sa’id Ad-Darimy menyebutkan, “Kami diberitahu AburRabi’, kami diberitahu Jarir bin Abdul-Hamid, dari Yazid bin Abu Ziyad, dari Abdullah bin Al-Harits, dari Ka’b, dia berkata, “Tidaklah Allah memandang surga melainkan Dia berfirman, ‘Buatlah para penghuninya bahagia’. Maka mereka semakin bertambah bahagia dari sebelumnya. Jika tiba seperti halnya ‘Id di dunia, maka mereka keluar menuju sebuah taman di surga, lalu Allah menampakkan diri kepada mereka dan mereka pun memandang-Nya. Ada bau harum minyak kesturi berhembus kepada mereka, dan mereka tidak meminta kepada Allah sesuatu pun melainkan Dia mengabulkannya. Lalu mereka kembali kepada keluarganya, dan mereka semakin bertambah tampan dan indah tujuh puluh kali.”

 

Abd bin Humaid berkata, “Saya diberitahu Syababah, dari Bani Israil, kami diberitahu Tsuwair bin Abu Fakhitah, saya mendengar Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya tingkatan penghuni surga yang paling rendah ialah yang memandang para pembantunya, kenikmatannya dan – kegembiraannya selama perjalanan seribu tahun, dan yang paling mulia di antara mereka ialah yang memandang Wajah-Nya pada waktu pagi dan petang hari.”

 

Setelah itu beliau membaca ayat, “Wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya mereka melihat.” (AlQiyamah: 23).

 

Utsman bin Sa‘id Ad-Darimy menyebutkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, dia memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Sesungguhnya jika para penghuni surga mencapai puncak kenikmatan dan mereka mengira tidak ada lagi kenikmatan yang lebih baik darinya, maka Rabb Tabaraka wa Ta’ala tampak bagi mereka, lalu mereka memandang wajah Ar-Rahman. Mereka lupa setiap kenikmatan yang mereka pilth tatkala memandang wajah Ar-Rahman itu.”

 

Tentang firman Allah, “Wajah-wajah orang-orang Mukmin) pada han itu berseri-seri. kepada Rabbnya mereka melihat”, Al-Hasan AlBashry berkata, “Artinya Allah membaguskan wajah mereka dengan melihat Allah, karena memang itu merupakan hak mereka.”

 

Abu Sufyan Ad-Darany berkata, “Andaikata orang-orang yang mencintai Allah cukup hanya dengan ayat ini, tentulah mereka merasa cukup dengannya.”

 

An-Nasa’y menyebutkan dari hadits Az-Zuhry, dari Sa‘id bin AlMusayyab, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kita bisa melihat Rabb kita pada Hari Kiamat?”

 

Beliau menjawab, “Apakah kalian merasa terhalang melihat matahari pada hari yang tiada awan dan melihat bulan pada malam purnama yang tiada awannya>?”

 

Kami menjawab, “Tidak.”

 

Beliau bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian, hingga salah seorang di antara kalian benar-benar bisa berbincangbincang dengan-Nya. Lalu Allah berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, apakah engkau mengenal dosa ini dan itu?’ Hamba itu menjawab, Wahai Rabbku, bukankah engkau telah mengampuni dosaku?”

 

Allah berfirman, “Karena ampunan-Ku itulah kami menjadi seperti ini.”

 

Di dalam Ash-Shahthain disebutkan dari hadits Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada para penghuni surga, ‘Wahai para penghuni surga!’ Lalu mereka menjawab, ‘Kami memenuhi panggilanmu wahai Rabb kami, kebahagiaan dan kebaikan ada dit Tangan-Mu. Allah bertanya, Apakah kalian ridha?’ Mereka menjawab, Apa alasan kami untuk tidak ridha, sementara Engkau telah memberikan kepada kami apa yang tidak pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari makhlukMu?’ Allah bertanya, ‘Bagaimana jika Kuberikan kepada kalian yang lebth batik dari itu?’ Mereka bertanya, ‘Wahai Rabbku, apakah sesuatu yang lebth baik dari itu?’ Allah menjawab, ‘Kutetapkan bagi kalian keridhaan-Ku dan Aku sama sekali tidak murka kepada kalian’.”

 

Di dalam Ash-Shahih dan As-Sunan serta Al-Masanid, disebutkan dari hadits Tsabit Al-Bunany, dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Shuhaib Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alathi wa Sallam, beliau bersabda,

 

Jika para penghuni surga masuk surga, maka ada penyeru yang berseru, ‘Wahai para penghuni surga, sesungguhnya kalian mempunyai apa yang dijanjikan di sisi Allah yang hendak dipenuhi-Nya bagi kalian’. Mereka berkata, Apa itu? Bukankah Dia telah memutihkan wajah kami, memberatkan timbangan kami, memasukkan kami ke dalam surga dan melindungi kami dari neraka?’ Lalu Dia menyibak tabir dan mereka pun memandang-Nya. Demi Allah, Allah tidak memberikan sesuatu yang lebih mereka cintat dari memandang-Nya serta tidak ada yang lebih menyenangkan hati mereka (selain dari itu).”

 

Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan dari hadits Jarir bin Abdullah, dia berkata, “Kami sedang duduk-duduk di samping Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tiba-tiba beliau memandang bulan pada saat bulan purnama, seraya bersabda,

 

“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Kalian tidak dikurangi tatkala memandang-Nya. Jika kalian sanggup tidak dikuasai shalat sebelum terbit matahari dan sebelum tenggelamnya, maka lakukanlah.”

 

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Atha’ bin Yazid Al-Laitsy, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa orang-orang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita bisa melihat Rabb kami pada Hari Kiamat>?”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam balik bertanya, “Apakah kalian terhalang tatkala melihat bulan pada malam purnama?”

 

Mereka menjawab, “Tidak wahai Rasulullah.”

 

Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian terhalang tatkala melihat matahari pada siang yang tiada berawan?”

 

Mereka menjawab, “Tidak wahai Rasulullah.”

 

Beliau bersabda, “Begitu juga tatkala kalian melihat-Nya.”

 

Dalam lafazh lain disebutkan, “Sesungguhnya kalian tidak akan terhalang tatkala melihat Rabb kalian kecuali seperti kalian terhalang tatkala saat melihat keduanya.”

 

At-Tirmidzy berkata, “Kami diberitahu Qutaibah, kami diberitahu Abdul-Aziz bin Muhammad, dari Al-Al-Ala’ bin Abdurrahman, dari bapaknya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah menghimpun manusia pada Hari Kiamat di satu tempat, kemudian Allah Rabbul-alamin mengawasi mereka seraya berfirman, ‘Biarlah setiap orang mengikuti apa yang disembahnya. Maka penyembah salib digambarkan dalam rupa salibnya, penyembah gambar-gambar digambarkan dalam rupa gambar-gambarnya, penyembah api digambarkan dalam rupa apinya, lalu mereka mengikuti apa yang disembah, sedangkan orang-orang Muslim tetap seperti keadaannya’. Lalu Allah Rabbul-alamin mengawasi mereka (orang-orang Muslim), seraya bertanya, ‘Mengapa kalian tidak mengikuti seperti yang dilakukan orangorang?’ Mereka menjawab, ‘Kami berlindung kepada Allah dari siksa-Mu, kami berlindung kepada Allah dari siksa-Mu. Allah adalah Rabb kami, dan ini adalah tempat kami hingga kami dapat melihat Rabb kami’. Dia memerintahkan mereka (tetap seperti itu) dam meneguhkan hati mereka.”

 

Mereka bertanya, “Apakah kami bisa melihat-Nya wahai Rasululjah?”

 

Beliau balik bertanya, “Apakah kalian terhalang tatkala melihat bulan pada malam purnama?”

 

Mereka menjawab, “Tidak wahai Rasulullah.”

 

Beliau bersabda, “Kalian tidak akan terhalang tatkala melihat-Nya saat itu.”

 

Beliau bersabda lagi, “Kemudian Allah sedikit mundur ke belakang, lalu memperkenalkan Diri-Nya dan berfirman, ‘Aku adalah Rabb kalian, maka ikutilah Aku’. Orang-orang Muslim bangkit, lalu diletakkan Ash-Shirath, dan mereka pun melewatinya seperti jalannya kuda dan onta yang bagus. Perkataan mereka kepada-Nya adalah, ‘Sampaikan salam sejahtera, sampaikan salam sejahtera’. Sedangkan para penghuni neraka tetap seperti sedia kala, lalu di antara mereka ada yang dilemparkan ke dalam neraka, lalu ada yang bertanya, “Apakah engkau (neraka) sudah penuh?”

 

Neraka balik bertanya, “Apakah masih ada tambahan lagi?”

 

Kemudian ada segolongan orang yang dilemparkan ke dalamnya, lalu dikatakan lagi, “Apakah engkau sudah penuh?”

 

Neraka balik bertanya, “Apakah masih ada tambahan lagi?”

 

Hingga tatkala semuanya sudah dimasukkan ke dalamnya, ArRahman menginjakkan Kaki-Nya ke atas neraka, hingga sebagian di antara sisi neraka menempel pada sebagian yang lain, seraya berkata, “Cukup, cukup.”

 

Jika Allah sudah memasukkan para penghuni surga Ke surga, dan memasukkan para penghuni neraka Ke neraka, maka kematian datang memenuhi panggilan. Lalu dipancangkan pagar antara para penghuni surga dan neraka, Kemudian dikatakan, “Wahai para penghuni surga!” Mereka memandang dalam kKeadaan takut.”

 

Kemudian dikatakan, “Wahai para penghuni neraka!” Mereka memandang dalam keadaan gembira, mengharapkan syafaat.

 

Lalu dikatakan Kepada para penghuni surga dan neraka, “Apakah kalian tahu ini?”

 

Mereka semua menjawab, “Kami telah mengetahuinya. Itu adalah kematian yang diwakilkan untuk mendatangi kami.”

 

Kematian itu ditelentangkan lalu disembelih dengan sekali sembelihan di atas pagar. Kemudian dikatakan, “Wahai para penghuni surga, kekekalan dan tidak ada kematian (bagi kalian). Wahai para penghunj

 

neraka, kekekalan dan tidak ada kematian bagi kalian.”

 

Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits hasan shahih, yang asalnya ada di dalam Ash-Shahihain. Tetapi susunan hadits yang ini lebih lengkap., Dalam lafazh At-Tirmidzy disebutkan, “Andaikan ada seseorang meninggal dunia dalam keadaan gembira, tentu dia meninggal sebagai penghuni

 

surga. Dan, andaikan seseorang meninggal dalam keadaan bersedih hati, tentu dia menjadi penghuni neraka.” Dalam Musnad Al-Harits Abu Usamah dari hadits Qurrah, dari Malik, dari Ziyad bin Sa’d, kami diberitahu Abuz-Zubair, dia berkata, “Saya mendengar Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Jika tiba Hari Kiamat, maka berbagai umat dihimpun dan setiap manusia dipanggil beserta pemimpin mereka. Kami didatangkan sebagai kelompok terakhir dari semua manusia. Ada seseorang yang bertanya, ‘Siapakah umat ini?” Beliau bersabda, “Manusia mengawasi kami, lalu ada yang menjawab, “Ini adalah umat yang dapat dipercaya. Ini adalah umat Muhammad, dan ini adalah Muhammad di tengah umatnya.”

 

Lalu ada penyeru yang berseru, “Kalian adalah golongan yang terakhir dan yang pertama.”

 

Beliau bersabda, “Kami pun datang dan kami berjalan di belakang manusia, hingga akhirnya kamilah manusia yang paling dekat kedudukannya dengan Allah. Kemudian manusia dipanggil, setiap manusia beserta pemimpin mereka. Orang-orang Yahudi dipanggil dan ada yang bertanya, “Siapakah kalian?”

 

Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Yahudi.” “Siapa nabi kalian?” “Nabi kami adalah Musa,” jawab mereka. “Apakah kitab kalian?” “Kitab kami adalah Taurat.” “Apa yang kalian sembah?” “Kami menyembah Uzair dan kami juga menyembah Allah.” Lalu dikatakan kepada yang ada di sekitar mereka, “Giringlah mereka ke dalam neraka!” Kemudian orang-orang Nashara didatangkan dan penyeru itu berlanya, “Siapakah kalian>?” “Kami adalah orang-orang Nashara,” jawab mereka. “Siapakah nabi kalian?”

 

“Nabi kami adalah Isa.”

 

“Apakah kitab kalian?”

 

“Kitab kami adalah Injil.”

 

“Apa yang kalian sembah?”

 

“Kami menyembah Isa, ibunya dan Allah.”

 

Lalu dikatakan kepada yang ada di sekitar mereka, “Giringlah mereka ke dalam Jahannam.”

 

Lalu Isa dipanggil, dan penyeru itu bertanya, “Wahai Isa, adakah kamu mengatakan kepada manusia, Jadikanlah aku dan ibuku dua sesembahan selain Allah?”

 

Isa menjawab, “Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya, yaitu, ‘Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabb kalian’, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku. Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan, Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba engkau, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana.” .

 

Kemudian setiap manusia dipanggil beserta pemimpin mereka dan beserta apa-apa yang mereka sembah. Kemudian ada penyeru yang berseru, “Wahai manusia, barangsiapa menyembah suatu sesembahan, maka hendaklah dia mengikutinya. Sesembahan yang mendahului, di antaranya adalah pepohonan, bebatuan, matahari, rembulan dan dajjal, hingga yang menyisa tinggal orang-orang Muslim. Penyeru itu berdiri di hadapan mereka dan bertanya, “Siapakah kalian?”

 

Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Muslim.”

 

“Sebuah nama dan sebutan yang paling bagus.” Lalu dia bertanya, “siapakah nabi kalian?”

 

“Muhammad,” jawab mereka.

 

“Apakah kitab kalian?”

 

Mereka menjawab, “Al-Qur’an.”

 

“Apa yang kalian sembah?”

 

“Kami menyembah Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya.”

 

“Yang demikian itu akan bermanfaat bagi kalian jika kalian mengatakan sebenarnya.”

 

Mereka berkata, “Ini adalah hari yang dijanjikan kepada kami.”

 

“Apakah kalian mengenal Allah jika kalian melihat-Nya?”

 

“Ya,” jawab mereka.

 

“Bagaimana Kalian mengenal-Nya, padahal kalian belum pernah melihat-Nya?”

 

Mereka menjawab, “Kami mengetahui karena Dia tidak ada bandingannya.”

 

Beliau bersabda, “Lalu Allah Tabaraka wa Ta’ala menampakkan Diri Kepada mereka, lalu mereka berkata, ‘Engkau adalah Rabb kami, yang asma-Mu penuh barakah’. Lalu mereka merunduk sujud Kepada-Nya, Kemudian cahaya berlalu beserta pemiliknya.”

 

Di dalam Musnad Al-Imam Ahmad disebutkan dari hadits AbuzZubair, dia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Jabir tentang hari kebangkitan. Maka dia memberitahuku bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Kita akan datang pada Hari Kiamat di ternpat yang tinggi, di atas manusia. Lalu berbagat umat dipanggil beserta berhala-berhalanya dan apa yang mereka sembah, dari yang pertama hingga berikutnya. Kernudian Rabb mendatangi kita setelah itu seraya berfirman, Apa yang kalian tunggu?’ Mereka menjatwab, ‘Kari sedang menunggu Rabb kamu’. Dia berfirman, ‘Aku adalah Rabb kalian’. Mereka menjawab, ‘Kami sedang menunggu hingga berhadapan langsung dengan Engkau’. Maka Dia menampakkan Diri kepada mereka sambil tersenyum, lalu mereka pun mengikuti-Nya.”

 

Utsman bin Sa’id Ad-Darimy menyebutkan bahwa Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ary menemui Umar bin Abdul-Aziz, seraya berkata, “Kami diberitahu Abu Musa Al-Asy’ary, bahwa Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

‘Allah menghimpun berbagai umat pada Hari Kiamat di satu tempat yang tinggi. Jika sudah tiba saatnya untuk memperlihatkan makhluk-Nya, maka Dia menggambarkan setiap kaum seperti apa yang mereka sembah, lalu mereka mengikutinya hingga terperosok ke neraka. Kemudian Rabb kami mendatangi kami, sedangkan kami tetap berada di suatu tempat. Dia berfirman, ‘Siapakah kalian?’ Kami menjawab, ‘Kami adalah orangorang Mukmin’. Dia bertanya, Apa yang kalian tunggu?’ Kami menjawab, ‘Kami sedang menunggu Rabb kami’. Dia bertanya, ‘Dari mana kalian tahu kalau Dia itu Rabb kalian?’ Kami menjawab, ‘Para rasul telah memberitahu kami atau karena kitab-kitab telah datang kepada kami’. Dia bertanya, Apakah kalian sudah mengenal-Nya?’ Mereka menjawab, ‘Kamit mengetahui-Nya karena Dia tidak diserupai’. Maka Rabb menampakkan Diri kepada kami sambil tersenyum, kemudian berfirman, ‘Bergembiralah wahai semua orang-orang Muslim, sesungguhnya tak seorang pun di antara kalian melainkan telah Kujadikan tempatnya di neraka, baik dia orang Yahudi atau Nasrani.”

 

Lalu Umar bin Abdul-Aziz bertanya kepada Abu Burdah, “Demi Allah, jadi engkau pernah mendengar Abu Musa menyampaikan hadits ini dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?”

 

Abu Burdah menjawab, “Demi Allah yang tiada ilah selain Dia. Saya pernah mendengar bapakku menyebutkan hadits ini dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak hanya sekali, dua atau pun tiga kali.”

 

Umar bin Abdul-Aziz berkata, “Saya tidak pernah mendengar di dalam Islam sebuah hadits yang lebih kucintai selain dari hadits ini.”

 

Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Al-Auza’y, saya diberitahu Hassan bin Athiyyah, dari Sa’id bin Al-Musayyab, bahwa dia bertemu Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu. Lalu Abu Hurairah berkata, “Saya memohon Kepada Allah agar mempertemukan kita di pasar surga.”

 

“Apakah memang di sana ada pasar?” tanya Sa’id.

 

Abu Hurairah menjawab, “Benar. Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam pernah memberitahuku, bahwa jika para penghuni surga telah masuk surga, maka mereka berada di sana tergantung Kepada keutamaan amal mereka. Seperti halnya hari Jum’at ketika di dunia, mereka diberi perkenan, lalu mereka mengunjungi Allah Tabaraka wa Ta’ala. Kemudian Allah menampakkan ‘Arsy-Nya kepada mereka dan Dia muncul kepada mereka di sebuah taman di surga. Beberapa mimbar dari cahaya, dari mutiara, dari yaqut, dari zamrud, dari emas dan dari perak disiapkan bagi mereka. Yang paling rendah di antara mereka dan yang ada kerendahan pada diri mereka duduk di atas bukit pasir minyak kesturi dan kafur. Mereka tidak melihat bahwa para pemilik Al-Kursy lebih baik dari mereka tempat duduknya.”

 

Abu Hurairah berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kita bisa melihat Rabb kita pada Hari Kiamat?”

 

Beliau menjawab, “Benar. Apakah kalian terhalang tatkala melihat matahari dan rembulan pada saat bulan purnama?”

 

Kami menjawab, “Tidak.”

 

Beliau bersabda, “Begitu pula kalian yang tidak akan terhalang tatkala melihat Rabb kalian. Tidak ada seorang yang berada di tempat itu melainkan diajak bicara oleh Allah Ta’ala dengan suatu pembicaraan, hingga Dia berfirman kepada seseorang di antara mereka, ‘Hai Fulan bin Fulan, apakah kamu ingat suatu hari tatkala kamu berbuat begini dan begitu?’ Lalu Dia mengingatkannya tentang sebagian pelanggaran janjinya tatkala masih di dunia. Fulan itu berkata, “Wahai Rabb-ku, bukankah Engkau telah mengampuni dosaku?’ Dia berfirman, ‘Benar. Dengan kelapangan ampunan-Ku kamu bisa mencapai manzilah-mu ini’. Tatkala mereka dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ada awan yang menutupi dari bagian atas mereka, lalu menurunkan hujan minyak wangi kepada mereka, yang aromanya sama sekali tidak pernah mereka dapatkan yang seperti itu. Kemudian Dia berfirman, ‘Bangkitlah dan hampirilah apa yang telah Kupersiapkan bagi kalian, berupa kemuliaan. Maka ambillah menurut selera kalian’. Maka kami mendatangi sebuah pasar yang telah dikelilingi para malaikat. Di dalamnya terdapat apa-apa yang tidak pernah dilihat mata yang seperti itu, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas di dalam hati. Lalu apa yang cocok menurut selera kami dibawa ke hadapan kami, tanpa dijual dan tanpa membelinya. Di dalam pasar itu sebagian para penghuni surga bertemu dengan sebagian yang lain. Orang yang menempati tingkatan yang lebih tinggi datang dan bisa bertemu dengan orang yang tingkatannya lebih rendah dan yang pada dirinya ada kerendahan, yang pakaiannya membuatnya terpesona. Ucapan terakhir yang keluar darinya adalah sesuatu yang menggambarkan kebaikan dirinya. Sebab tidak seharusnya ada seseorang yang bersedih di dalamnya. Kemudian kami kembali ke manzilah kami dan istri-istri kami menyongsong kedatangan kami. Mereka berkata, ‘Selamat datang dan salam sejahtera atas kedatanganmu. Keelokan dan keharumanmu semakin bertambah sejak kita berpisah tadi’.” Beliau bersabda, “Pada hari ini kita duduk-duduk di sini. Rabb Yang Maha Berkuasa berhak merubah Keadaan kita seperti yang kita kehendaki.”

 

Ya’qub bin Sufyan berkata di dalam Musnad-nya, “Kami diberitahu Ibnul-Mushaffa, kami diberitahu Suwaid bin Abdul-Aziz, kami diberitahu Amru bin Khalid, dari Zaid bin Ali, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Para penghuni surga mengunjungi Rabb Tabaraka wa Ta’ala setiap hari Jum’‘at.’ Lalu Dia menyebutkan apa yang diberikan kepada mereka. Setelah itu Dia berfirman, ‘Sibaklah tabir!’ Maka mereka menyibak sebuah tabir, kemudian satu tabir lagi hingga Wajah-Nya terlihat oleh mereka. Seakan-akan mereka belum pernah melihat suatu Kenikmatan sebelum itu. Inilah makna firman Allah, ‘Dan pada sisi Kami ada tambahannya’.”

 

Utsman bin Sa’id Ad-Darimy menuturkan dari hadits Al-Hasan Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alathit wa Sallam secara mursal, “Rabb kami datang pada hari kiamat, sedangkan kami berada di atas sebuah tempat yang tinggi. Dia menampakkan Diri kepada kami sambil tersenyum.”

 

Citsman bin Sa’id Ad-Darimy menuturkan, kami diberitahu Abu Musa, kami diberitahu Abu Awanah, Kami diberitahu Al-Ajlah, kami diberitahu Adh-Dhahhak bin Muzahim, dia berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada langit pada Hari Kiamat, lalu langit itu pun terbelah bersama isinya dan turun mendekati bumi beserta isinya. Kemudian memerintahkan langit yang kedua, hingga langit ketujuh, sehingga langit yang tujuh lapis itu telah mengepung manusia. Kemudian Allah turun dalam rupa-Nya yang sangat bagus dan Indah, yang disertai para malaikat.”

 

Utsman juga menuturkan, kami diberitahu Hisyam bin Khalid Ad. Dimasay, dia adalah orang yang tsigat, kami diberitahu Muhammad bin Syu’aib bin Syawir, kami diberitahu Umar bin Abdullah, pembantu Ghafrah, dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

Jibril mendatangiku sambil membawa sebuah cermin di atas telapaknya yang ada nuktah hitamnya.

 

‘Apa ini wahai Jibril?” Aku bertanya.

 

Jibril menjawab, “Ini adalah hari Jum’at yang dikirimkan Rabb kepadamu, agar ia menjadi petunjuk bagimu dan bagi umat sesudahmu.”

 

‘Apa yang bisa kami dapatkan darinya?” Aku bertanya.

 

“Di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak bagi kalian. Kalian adalah yang terakhir dan yang terdahulu pada Hari Kiamat. Di dalamnya terdapat waktu, yang jika saat itu seorang hamba Mukmin mendirikan shalat dan memohon kebaikan yang menjadi bagiannya kepada Allah, maka kebaikan itu akan diberikan kepadanya, begitu pula bagian yang bukan menjadi miliknya, lalu disimpan baginya hingga menjadi lebih baik lagi. Dan, dia tidak memohon perlindungan yang memang sudah ditetapkan baginya kepada Allah, melainkan perlindungan itu akan diberikan kepadanya lebih banyak lagi.”

 

‘Apakah nuktah hitam ini?” Aku bertanya.

 

Jibril menjawab, “Ini adalah saat tibanya Hari Kiamat, yang merupakan pemimpin hari-hari dan kami menamakannya Yaumul-Mazid (hart dibertkannya tambahan).” “Mengapa kalian menamakannya begitu wahat Jibril?” Aku bertanya. Jibril menjawab, “Sebab Rabbmu menciptakan sebuah lembah yang luas dan hijau di surga, yang terbuat dari minyak kesturi berwarna putih. Jika tiba hari Jum’at dari hari-hari akhirat, maka Allah Yang Mahaperkasa turun dari Arsy-Nya ke Kursy-Nya, hingga tiba di lembah itu. Kursy itu dikelilingi mimbar-mimbar dari cahaya, yang diduduki para shiddigin dan syuhada’ pada Hari Kiamat. Kemudian para penghuni kamar-kamar surga datang hingga mereka berhimpun di bukit yang berpasir. Kemudian Allah menampakkan Diri kepada mereka, seraya berfirman, Akulah yang membenarkan janji-Ku kepada kamu sekalian, menyempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan memperkenankan tempat tinggal yang dipenuhi kemuliaan-Ku. Maka mohonlah kepada-Ku’.” Mereka menjawab serempak, “Kami memohon kepada-Mu keridhaan atas diri kami.” Maka Allah membuat kesaksian keridhaan bagi mereka, kemudian berfirman lagi kepada mereka, “Mohonlah kepada-Ku!” Maka mereka pun memohon kepada-Nya hingga keperluan setiap hamba di antara mereka sudah terpenuhi semua. Kemudian Allah berfirman lagi, “Mohonlah kepada-Ku!” Mereka berkata, “Cukuplah bagi kami Rabb kami, dan kami sudah ridha.” Maka Allah Yang Mahaperkasa kembali ke ‘Arsy-Nya. Lalu dibukakan kepada mereka, tergantung kepada kemunculan mereka pada hari Jum ‘at itu, apa yang tidak pernah dilihat mata dan tidak pernah didengar telinga serta tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Para penghuni kamar-kamar surga kembali ke kamarnya, yaitu kamar yang terbuat dari manik-manik mutiara putih, yagut berwarna merah dan zamrud berwarna hijau, tidak ada yang retak dan tidak pula cacat, sungainya ‘ mengalir dan buah di dalamnya bergelantungan. Di dalamnya juga ada istri-istrinya, pembantu-pembantu dan tempat tinggalnya. Mereka tidak memasuki suatu hari yang paling mereka harapkan hingga memasuki hari Jum’at, agar mereka mendapatkan tambahan karunia dan keridhaan dari Rabb mereka.”

 

Hadits ini juga diriwayatkan dari Anas oleh segolongan orang, seperti Utsman bin Umair bin Al-Yaqzhan, dari jalannya yang diriwayatkan AsySyafi’y di dalam Musnad-nya, Abdullah bin Al-lmam Ahmad di dalam AsSunnah. Yang juga meriwayatkannya adalah Abu Shalih, Az-Zubair bin Ady, Ali bin Al-Hakam Al-Bunany, Abdul-Malik bin Umair, Yazid Ar-Raqgasyi dan Abdullah bin Buraidah. Mereka semua meriwayatkan dari Anas dan dishahihkan oleh sebagian huffazh. Asy-Syafi’y menambahi di dalam Musnad-nya, pada bagian akhir, “Itulah hari Rabb kalian bersemayam di atas ‘Arsy-Nya.”

 

Utsman bin Abu Syaibah menyebutkannya dari beberapa jalan. Sebagian di antaranya disebutkan, “Kemudian Rabb mereka menampakkan Diri kepada mereka, seraya berfirman, ‘Akulah yang membenarkan janji-Ku bagi kalian dan menyempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan inilah tempat kemuliaan-Ku’, hingga dikatakan, ‘Kemudian Dia naik ke atas Kursy-Nya. Para nabi, shiddigin dan syuhada’ juga naik ke atas. Sedangkan para penghuni kamar-kamar surga kembali ke kamar-kamar mereka’.”

 

Muhammad bin Az-Zabarqan meriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan, dari Abuz-Zubair, dari Jabir Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallarn bersabda,

 

“Sesungguhnya para penghuni surga benar-benar membutuhkan para ulama di surga, sebagaimana mereka membutuhkannya di dunia. Sebab tatkala mereka mengunjungi Rabb mereka pada setiap hari Jum’at, maka Dia berfirman kepada mereka, ‘Berharaplah!’ Mereka menjawab, Apa yang kami harapkan, toh Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan Engkau telah memberikan kepada kami apa yang telah Engkau berikan’. Dia berfirman lagi kepada mereka, ‘Berharaplah!’ Maka mereka pun menoleh ke arah para ulama.”

 

Ibnu Mandah meriwayatkan dari hadits Al-Amasy, dari Abu Wa’il, dari Hudzaifah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam kisah hari Jum’at yang panjang, yang di dalamnya disebutkan,

 

‘Allah berfirman, ‘Mohonlah kepada-Ku!l’ Maka mereka menjawab, ‘Perlihatkanlah kepada kami Wajah Engkau wahai Rabbulalamin, agar kami dapat melihat Engkau’. Maka Allah menuyibakkan tabir-tabir itu dan menampakkan Diri kepada mereka, sehingga mereka bisa memandang-Nya.”

 

Usman Ad-Darimy menuturkan dari Muhammad bin Ka’b AIlQurazhy, bahwa dia mendapat pengabaran hadits kepada Umar bin AbdulAziz, dengan berkata, Jika Allah telah selesai mengurusi para penghuni surga dan neraka, maka Dia datang di dalam lindungan awan dan para malaikat, lalu menyampaikan salam kepada para penghuni surga di tingkatan yang pertama. Maka mereka pun menjawab salam-Nya.” AlQurazhy berkata, “Inilah makna firman Allah di dalam Al-Qur’an, ‘(Kepada mereka dikatakan), ‘Salam’, sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang’. Lalu Allah berfirman, ‘Memohonlah kepada-Ku!’ Dia berbuat seperti itu di setiap tingkatan surga hingga akhirnya Dia kembali bersemayam di atas Arsy-Nya. Kemudian diberikan hadiah dari Allah, yang dibawa para malaikat.” 

 

Abdul-Wahid bin Zaid menuturkan dari Al-Hasan, “Andaikata para ahli ibadah mengetahui bahwa mereka tidak akan bisa melihat Rabb mereka pada Hari Akhirat, tentu jiwa mereka akan mencair selagi masih di dunia.”

 

Hisyam bin Hassan berkata darinya, bahwa jika Allah Tabaraka wa Ta’ala menampakkan Diri kepada para penghuni surga, maka mereka lupa segala kenikmatan surga.

 

Yang pasti, sekarang adalah kesabaran. Dan, kesabaran yang paling menakjubkan adalah kesabaran orang-orang yang jatuh cinta. Seorang penyair berkata,

 

Kesabaran dalam segala hal pasti dipuji

kecuali kesabaran yang menuntut dirimu sendiri

 

” Seseorang berdiri di hadapan Asy-Syibly, seraya bertanya, “Apakah kesabaran yang paling berat di mata orang-orang yang sabar?”

 

Dia menjawab, “Kesabaran karena Allah.”

 

Orang itu berkata, “Bukan.”

 

Asy-Syibly menjawab, “Kesabaran untuk Allah,”

 

“Bukan,” kata orang itu.

 

“Kesabaran beserta Allah,” jawab Asy-Syibly.

 

“Bukan.”

 

“Kalau begitu apa?” tanya Asy-Syibly.

 

Orang itu menjawab, “Kesabaran menunggu bersua Allah.” Seketika itu pula Asy-Syibly menjerit karena kaget.

 

Ketakutan bisa menjauhkan dirimu dari kedurhakaan, berharap bisa mengeluarkanmu kepada ketaatan dan cinta bisa menghelamu kepada kerinduan kepada-Nya. Karena Allah mengetahui bahwa hati orang-orang yang rindu tidak bisa tenang kecuali setelah bersua dengan-Nya, maka Dia menetapkan ajal tertentu untuk bersua, sekedar untuk menenangkan hati mereka. Firman-Nya,

 

“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.” Al-Ankabut: 5).

 

Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Wahai yang mengeluh rindu karena lama tak bertemu

bersabarlah, siapa tahu esok kau bertemu kekasihmu

hampirilah dia dengan membawa api kerinduan

agar memberi petunjuk untuk pertemuan yang menyenangkan

Orang yang sebenarnya jatuh cinta akan semakin bertambah rindu sekalipun sudah bertemu kekasihnya.

Suatu saat kerinduan semakin membara

jika kemahnya berdekatan dengan kemahnya

 

Jika pandangan orang yang jatuh cinta terpaut pada diri kekasihnya, maka pandangan itu pun semakin memarakkan kerinduannya. Jika pandangannya terpaut pada suatu alam, maka pikirannya pasti menerawang, tertuju kepada kekasihnya. Jika pandangannya sudah beralih dari sosok kekasihnya, maka pandangan matanya terasa kosong dan redup.

 

Kerinduan mendorong orang yang jatuh cinta untuk segera mendapatkan keridhaan kekasihnya dan segera menghampirinya, sekalipun harus meninggalkan barang-barangnya yang lain.

 

“Mengapa kamu datang lebth cepat daripada kaummu, hai Musa? Musa menjawab, ‘Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Wahat Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)’.” (Thaha: 83-84).

 

Sebagian ulama berpendapat, yang dimaksudkan Musa adalah kerinduan kepada-Mu, lalu Kerinduan itu disembunyikan dengan Kata keridhaan.

 

Andaikan kau menyuruhku mencebur ke bara api

karena kau ridha dan merekatkan kasih di antara kami

kan kulakukan jika memang itu Kau kehendaki

itu merupakan petunjuk ataukah menyesatkan diri

 

Di antara tanda cinta yang sejati, orang yang mencintai tidak merasakan kegembiraan kecuali bersanding dengan kKekasihnya. Jika berjauhan dengannya, maka hidupnya terasa hampa dan hambar.

 

Memang di sini ada rona kegembiraan

tapi kegembiraan yang sempurna jika bersama kKalian

di sini terasa ada yang kurang wahai kekasih hati

jika engkau jauh dan kami ada di tempat ini

 

Dikatakan dalam syair lain,

 

Bolehlah orang lain gembira pada hariraya – ,

di dalam diriku tiada lagi kKegembiraan itu

kegembiraan baru terasa sempurna

jika kekasih hati ada di sisiku

 

Al-Junaid berkata, “Aku pernah mendengar As-Sary berkata, ‘Kerinduan itu merupakan Keadaan orang arif bijaksana yang paling agung, apalagi jika disertai kerinduan, sehingga dia tidak menyibukkan diri dengan sesuatu kecuali yang memupuk kerinduannya’.”

 

Ada yang berkata, “Allah telah mewahyukan kepada Daud Alaihis Salam, ‘Katakan kepada para pemuda Bani Israil, ‘Mengapa kalian menyibukkan diri kalian dengan sesuatu selain-Ku, padahal Aku merindukan kalian? Apakah perangai yang buruk ini? Andaikata orang-orang mengetahui tentang Diri-Ku, bagaimana Aku menunggu mereka, Kebersamaan-Ku dengan mereka dan cinta-Ku jika mereka meninggalkan kedurhakaan, tentu mereka lebih senang mati Karena kerinduan kepada-Ku dan putus hubungan mereka karena cinta Kepada-Ku. Inilah keinginanku terhadap orang-orang yang memperhatikan Aku. Lalu bagaimanakah keinginanku terhadap orang-orang yang hendak menghadap Aku?”

 

Al-Junaid pernah ditanya, “Karena apa orang yang mencintai meneteskan air mata jika sudah bertemu kekasihnya?” Maka dia menjawab, “Itu terjadi karena perasaan gembira dan kerinduan yang memuncak kepadanya.”

 

Al-Junaid berkata, “Saya mendengar bahwa ada dua orang bersaudara yang saling berangkulan. Salah seorang di antara keduanya berkata, “Aku begitu cinta.” Yang lain berkata, “Aku begitu sayang.”

 

Sebagian orang berkata, “Hati orang-orang yang mabuk rindu bersinar karena cahaya Allah. Jika kerinduan mereka terusik, cahaya itu bersinar di antara langit dan bumi. Lalu Allah membawa mereka ke hadapan para malaikat, seraya berfirman, ‘Mereka adalah orang-orang yang mabuk rindu kepada-Ku. Maka Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku juga rindu kepada mereka’.”

 

Ibnu Abil-Hawary Rahimahullah menuturkan, bahwa Abu Sulaiman Ad-Darany pernah ditanya, yang saat itu aku juga ada di dekatnya, “Apakah sesuatu yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah?” Maka dia menangis, lalu menjawab, “Apakah orang sepertiku layak diberi pertanyaan semacam ini? Sesuatu yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah ialah jika engkau merasa Dia mengetahui apa yang terpendam di dalam hatimu, dan saat itu pun kamu tidak menginginkan dunia dan akhirat kecuali karena Dia.”

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Yang disebut ibadah ialah pertolongan untuk mengetahui rahasia yang tersembunyi dan mengeluarkan hal-hal selain Allah dari hati.”

 

Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sedetik waktu pun yang berlalu melainkan Allah mengetahui apa yang terbetik di dalam hati hamba. Mana pun hati yang melirik kepada selain Allah, maka Dia memberikan kekuasaan kepada Iblis.”

 

Dia juga berkata, “Barangsiapa merasa Allah dekat dengannya, maka hatinya akan terasa jauh dari hal-hal selain Allah, dan barangsiapa mencari keridhaan Allah, maka Allah akan membuatnya ridha, dan barangsiapa menyerahkan hatinya kepada Allah, maka Allah menjaga seluruh anggota tubuhnya.”

 

Dia juga berkata, “Haram bagi hati manusia untuk mencium aroma keyakinan, selagi di dalamnya terdapat kesenangan terhadap sesuatu selain Allah. Haram bagi hati manusia untuk dimasuki cahaya. selagi di dalamnya terdapat sesuatu yang dibenci Allah.”

 

Ada di antara ulama ditanya tentang amal yang paling utama, Maka dia menjawab, “Memusatkan perhatian kepada sesuatu selain Allah.”

 

Muslim bin Maimun Al-Khawash berkata, “Kalian meninggalkan Allah dan sebagian di antara kalian mengandalkan sebagian yang lain.

 

Andaikata kalian menghadap kepada-Nya, tentu kalian akan melihat berbagai macam kKeajaiban.” Kedurhakaan kepada Allah dan Siksaan

 

Jika hasratmu melemah untuk meninggalkan kekejian, sementara masih ada cinta kepada kekasih yang paling tinggi, maka tetap tinggalkan kekejian itu Karena cintamu kepada para bidadari, yang sifat-sifat-Nya telah disebutkan Allah di dalam Kitab-Nya dan yang para utusan-Nya menyeru untuk menjalin Kasih dengan para bidadari itu di surga yang penuh Kenikmatan. Di bagian atas telah disebutkan sifat para bidadari itu dan kenikmatan berhubungan dengan mereka. Jika hasratmu melemah untuk mendapatkan para bidadari itu dan engkau merasa tidak layak meminang mereka serta engkau membiarkan dirimu lebih mementingkan kenikmatan yang ada di dunia daripada para bidadari itu, maka waspadalah terhadap hukuman-Nya di dunia maupun di akhirat. Ketahuilah bahwa hukuman itu bisa bermacam-macam dan berbeda-beda. Terkadang dipercepat selagi masih di dunia, terkadang ditangguhkan dan terkadang Allah memadukan keduanya bagi orang yang durhaka KepadaNya. Hukuman yang paling keras adalah dicabutnya iman. Hukuman lainnya berupa kematian hati, dihilangkannya kenikmatan menyebut asmaNya, berdoa dan bermunajat kepada-Nya. Boleh jadi detak hati berubah seperti detak hati orang yang takut kegelapan, sehingga akhirnya hati itu dipenuhi dengan kegelapan dan menjadi buta. Hukuman yang paling ringan ialah hukuman yang menimpa badan selagi masih di dunia atau cobaan yang berkaitan dengan harta benda.

 

Al-Fudhail berkata, “Allah berfirman, ‘Wahai Bani Adam, jika Aku memberimu nikmat-Ku dan kamu berubah durhaka kepada-Ku, maka waspadalah agar Aku tidak menetapkanmu di dalam kedurhakaan kepadaKu. Wahai Bani Adam, bertakwalah kepada-Ku dan tidurlah sesukamu. Sesungguhnya jika kamu mengingat-Ku, maka Aku pun akan mengingatmu, dan jika kamu melupakan-Ku, maka Aku pun akan melupakanmu. Waktu yang tidak kamu pergunakan untuk mengingat-Ku akan menjadi tanggung jawab di pundakmu dan bukan bagianmu’.”

 

Al-Fudhail juga berkata, “Apa yang membuatmu merasa aman jika engkau berbuat sesuatu yang membuat Allah murka dan Dia pun menutup pintu-pintu maghfirah, sementara engkau hanya tertawa saja?”

 

Alqamah bin Martsad berkata, “Ada seorang laki-laki yang sedang thawaf di Ka’bah. Lalu tiba-tiba dia melihat lengan seorang wanita yang berkilau di dekatnya. Dia meletakkan lengannya di lengan wanita itu dan benar-benar menikmatinya. Lalu ada scorang syaikh yang melihat perbuatan kedua orang itu. Maka dia berkata, “Lakukanlah perbuatan itu, namun sekarang juga berjanjilah kepada Penguasa Ka’bah, bahwa kalian tidak akan mengulanginya lagi.” Setelah itu syaikh tersebut beranjak pergi.

 

Ibnu Abbas dan Anas Radhiyallahu Anhuma pernah berkata, “Kebaikan itu mempunyai cahaya di dalam hati, hiasan di wajah, kekuatan di badan, keluasan dalam rezki dan rasa cinta di dalam hati manusia. Sedangkan keburukan itu mempunyai kegelapan di dalam hati, noda di wajah, kelemahan di badan, kekurangan dalam rezki dan kebencian di dalam hati manusia.”

 

Al-Hasan berkata, “Tidaklah seorang hamba mendurhakai Allah melainkan Allah menghinakannya.”

 

Al-Mu’tamir bin Sulaiman, “Seseorang melakukan dosa secara sembunyi-sembunyi, lalu tiba-tiba saja tampak kehinaan dirinya.”

 

Al-Hasan berkata, “Mereka meremehkan Allah dan mendurhakaiNya. Andaikan mereka memuliakan Allah, niscaya Dia akan menjaga mereka.”

 

Seorang pemuka Araby mengunjungi suatu majlis dan berkata, “Barangsiapa suka mendapatkan afiat yang kekal, maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah.”

 

Abu Sulaiman Ad-Darany berkata, “Barangsiapa mensucikan diri, maka dia akan diberi kesucian itu, dan barangsiapa mengotori diri, maka kotoran itu akan diberikan kepadanya. Barangsiapa melakukan kebaikan pada malam harinya, maka dia diberi perlindungan pada siang harinya, dan barangsiapa melakukan kebaikan pada siang harinya, maka dia diberi perlindungan pada malam harinya. Barangsiapa mengabaikan Allah karena syahwat di dalam hatinya, maka Allah lebih berhak untuk menyiksa hatinya.”

 

Aisyah Ummul-Mukminin menulis surat kepada Mu’awiyah, yang di antaranya isinya, “Barangsiapa durhaka kepada Allah, maka orang yang tadinya memuji akan berubah mencelanya.”

 

Muharib bin Ditsar berkata, “Sesungguhnya jika seseorang melakukan dosa, maka dia akan mendapatkan kehinaan di dalam hatinya.”

 

Al-Husain bin Muthair berkata,

 

Bersihkan dirimu dari segala urusan

agar setelah itu tiada nafsu yang tersimpan

jangan dekati segala urusan yang haram

sirna kenikmatannya dan kepahitannya terpendam

 

Sufyan Ats-Tsaury berpantun lewat dua bait syair,

 

Kenikmatan yang diharamkan begitu cepat sirna

dosa dan cela tetap melekat selama-lamanya

akibat keburukan tetap terlihat nyata

tiada artinya kenikmatan yang disusul neraka

 

Hukuman yang Setimpal

 

Ketahuilah bahwa balasan itu termasuk jenis amal. Sedangkan hati manusia suka tergantung kepada yang haram. Selagi seseorang ingin menjauhinya dan keluar darinya, maka muncul kehendak untuk kembali lagi. Maka dari itu balasannya di alam Barzakh maupun di akhirat seperti itu pula.

 

Dalam sebagian jalan hadits Samurah bin Jundab yang disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhary, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

 

“Semalam aku bermimpi didatangi dua orang, lalu keduanya membawaku keluar, maka aku pun pergi bersama mereka, hingga tiba di sebuah bangunan yang menyerupai tungku api, bagian atas sempit dan bagian bawah luas. Di bawahnya dinyalakan api. Di dalam tungku api itu ada orang-orang laki-laki dan wanita yang telanjang. Jika api dinyalakan, maka mereka naik ke atas hingga hampir mereka keluar. Jika api itu dipadamkan, mereka kembali masuk ke dalam tungku. Aku bertanya, ‘Siapakah mereka itu?’ Keduanya menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berzina’.”

 

Perhatikanlah kesesuaian siksaan ini dengan keadaan hati mereka di dunia. Setiap kali mereka hendak bertaubat dan keluar dari tungku syahwat, maka mereka kembali melakukannya lagi, padahal mereka hampir saja keluar darinya.

 

Setiap kali orang orang kafir yang hidup di dalam penjara kufur dan terali syirik serta kesempitannya ingin keluar ke rengkuhan iman dan keluasannya, maka mereka kembali lagi ke kubangannya. Hukuman bagi mereka juga tak berbeda jauh dengan ini. Allah berfirman,

 

“Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya.” (As-Sajdah: 20).

 

“Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan (lag) ke dalamnya.” (Al-Hajj: 22).

 

Kekufuran, kefasikan, kedurhakaan, semuanya adalah kesengsaraan. Setiap kali seorang hamba hendak keluar darinya, maka nafsu dan syetannya berontak, sehingga dia senantiasa di dalam kesengsaraan hingga akhir hayatnya. Jika dia benar-benar tidak keluar dari kesengsarannya di dunia, maka di alam Barzakh dan di akhirat pun dia akan berada dalam kesengsaraan. Jika dia keluar dari kesengsaraan dan kesempitannya selagi di dunia, maka dia juga akan keluar dari kesengsaraan itu di akhirat. Selagi seorang hamba dikuasai kesengsaraan di dunia karena mengabaikan Allah, maka dia juga akan dikuasai kesengsaraan itu setelah meninggal dunia. Hatinya akan disiksa di sana, sebagaimana hatinya yang juga tersiksa di sini, di dunia. Jadi, orang-orang fasik dan keji sama sekali tidak pernah berada dalam kenikmatan di dunia ini. Sebenarnya mereka itu disiksa di sini, di alam Barzakh dan akhirat. Tetapi mabuk syahwat dan hati yang mati menghalangi mereka untuk merasakan penderitaan itu. Jika apa yang mereka inginkan tidak terpenuhi, maka jiwa mereka akan mengalami penderitaan yang memuncak. Di akhirat nanti dia juga akan berbuat hal yang sama. Penderitaan menggerogoti ruh mereka, sementara ruh itu tidak bisa sirna.

 

Al-lmam Ahmad berkata, “Isma’il bin Abdul-Karim mengabarkan kepada kami, dia berkata, Abdush-Shamad bin Ma’qil memberitahuku, Wahb bin Munabbih memberitahuku, dia berkata, ‘Hazqail sedang berdiri. Tiba-tiba dia didatangi seorang malaikat dan menyebutkan sebuah hadits yang panjang, yang di dalamnya disebutkan, bahwa dia melewati segolongan orang yang sudah mati. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Panggillah mereka!’

 

Maka dia pun memanggil mereka dan Allah menghidupkan mereka. Malaikat itu berkata, “Tanyakan kepada mereka, bagaimanakah keadaan kalian dahulu?”

 

Mereka menjawab, “Tatkala kematian menghampiri kami, maka kami bersua seorang malaikat yang disebut Mikail. Dia berkata, “Bawalah amal kalian dan ambillah balasan kalian. Ini merupakan tugas kami dalam menghadapi kalian, orang-orang sebelum kalian dan yang hidup setelah kalian.”

 

Lalu para malaikat melihat amal kami, dan mereka mendapatkan bahwa kami juga menyembah berhala. Malaikat menyebarkan belatung ke tubuh kami dan ruh kami sangat menderita karenanya. Penderitaan juga ditimpakan ke ruh kami, sehingga tubuh juga menderita. Kami senantiasa seperti itu, kami disiksa, hingga akhirnya kami berdoa. 

 

Topik dan kaidah bab ini adalah: Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Dia akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik lagi.

 

Contohnya, Yusuf Alaihis-Salam meninggalkan istri tuannya karena Allah dan senang memilih penjara dan lari dari kekejian, lalu Allah memberikan ganti, dengan cara memberinya kekuasaan di bumi seperti yang dikehendakinya, lalu beliau didatangi wanita yang justru meminta untuk dinikahi secara halal. Maka beliau menikahi wanita itu. Tatkala sudah berkumpul dengan istrinya, beliau berkata, “Ini lebih baik dari apa yang dulu pernah engkau minta.”

 

Perhatikan bagaimana Allah memberi balasan kepada Yusuf Alaihis Salam setelah mendekam di dalam penjara yang sempit, dengan memberikan kekuasaan dan ketenaran di bumi, bahkan beliau mampu melecehkan tuan dan istrinya. Maka semua wanita merasa senang dengan kebebasan beliau. Ini merupakan sunnah Allah yang berlaku di tengah hamba-hamba-Nya, dahulu, sekarang dan nanti hingga Hari Kiamat.

 

Tatkala Sulaiman bin Daud menyembelih onta yang membuat beliau terlambat mengerjakan shalat Ashar hingga hampir matahari tenggelam, maka Allah menghembuskan angin yang mengelus punggung onta itu seperti yang dikehendaki-Nya.

 

Tatkala Muhajirin meninggalkan rumah dan tempat kelahiran mereka, yang tentunya merupakan sesuatu yang paling dicintai, maka Allah memberi ganti dengan menaklukkan dunia dan memberikan kekuasaan kepada mereka hingga ke ujung timur dan barat dunia. Andaikata seorang pencuri takut kepada Allah dan mau meninggalkan perbuatannya mengambil harta orang lain karena Allah, maka Allah akan memberikan ganti yang halal kepadanya. Firman-Nya,

 

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3).

 

Allah memberitahukan bahwa jika pencuri itu bertakwa kepada-Nya dengan tidak mengambil harta yang tidak halal untuk diambil, maka Dia akan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Begitu pula orang yang hendak berzina. Jika dia meninggalkan perzinaan yang diharamkan baginya, maka Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dan halal.

 

Al-Imam Ahmad menuturkan, kami diberitahu Hasyim, kami diberitahu Abdurrahman bin Ishaq, dari Muharib bin Ditsar, dari Shilah, dari Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Pandangan terhadap wanita itu merupakan salah satu panah dari panah-panah Iblis yang beracun. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah membalasnya dengan keimanan, yang kelezatannya dapat dia dapatkan di dalam hati.”

 

Amr bin Syabbah menuturkan, kami diberitahu Ahmad bin Abdullah bin Yunus, kami diberitahu Anbasah bin Abdurrahman, kami diberitahu Abul-Hasan Al-Madany, dari Ali Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam bersabda,

 

“Pandangan laki-laki terhadap keindahan wanita rerupakan salah satu panah dari panah-panah Iblis yang beracun. Barangsiapa berpaling dari panah itu, maka Allah menggantinya dengan ibadah yang menyenangkannya.”

 

Abul-Faraj bin Al-Jauzy Rahimahullah berkata, “Saya mendengar dari sebagian orang terpandang, bahwa dia pernah melewati kuburan, yang di sampingnya ada seorang gadis yang cantik, mengenakan pakaian berwarna hitam. Laki-laki itu memandangnya, dan hatinya langsung tertambat kepadanya. Maka dia menulis surat yang ditujukan kepada wanita itu,

 

Sedari dulu kukira matahari itu hanya satu

bulan adalah yang paling indah dalam pandanganku

hingga kulihat dirimu dibungkus pakaian hitam

Kulit pelipis di atas pipinya terlihat ranum

ada rasa suka dan hati ini terasa mengeras

hati menghangat dan air mata mengalir deras

aku kan bersyukur jika kau sudi memberi balasan

tali cinta orang yang mencintai tak terelakkan

 

Setelah membaca isi surat itu, sang gadis membalasnya,

 

Andaikan engkau orang yang terpandang dan mulia

maka kemuliaan itu dengan menundukkan pandangan mata

banyak para pezina yang tiada berbudi pekerti

dan Hari Kiamat engkau akan disuruh diadili

pupuslah angan-angan agar Allah tidak memburukkanmu

kekejian sudah lama Kujauhkan dari hatiku

 

Setelah membaca surat balasannya, laki-laki itu mengumpat dirinya sendiri, seraya berkata, “Bukankah wanita itu lebih pemberani dari dirimu?” Setelah itu dia bertaubat. Dengan mengenakan mantel dari bulu dia pergi ke Masjidil-Haram. Suatu hari tatkala dia thawaf, wanita yang dicintainya juga ada di sana dan juga mengenakan mantel dari bulu. Wanita itu berkata, “Alangkah pantasnya engkau disebut orang yang mulia. Apakah engkau mempunyai sesuatu yang mubah?”

 

Laki-laki itu menjawab, “Sebenarnya sejak dulu aku menginginkan yang seperti ini sebelum aku benar-benar mengenal Allah dan mencintaiNya. Sekarang aku telah disibukkan oleh cinta-Nya dan aku melupakan cinta kepada selain-Nya.”

 

“Bagus,” kata wanita, lalu melanjutkan thawafnya.

 

Al-Hasan Al-Bashry menuturkan, ada seorang wanita pelacur yang sangat cantik, tak seorang wanita pun yang mampu menandingi kecantikannya. Siapa yang ingin menjamahnya, maka dia harus membayar seratus dinar. Ceritanya ada seorang pemuda yang sempat memandang wanita pelacur itu dan hatinya langsung tertawan kepadanya. Lalu dia pergi, bekerja dengan giat, menabung hasilnya hingga mencapai seratus dinar. Pemuda itu menemui wanita tersebut dan berkata, “Kau telah membuat hatiku tertawan. Maka aku pergi, bekerja dan menabung hingga saya bisa mengumpulkan uang sebanyak seratus dinar.”

 

“Serahkan saja uang itu kepada managerku!”

 

Setelah urusan uang pembayaran selesai, wanita pelacur berkata kepadanya, “Masuklah!” Wanita itu mempunyai sebuah rumah yang tinggi dan indah, tempat tidurnya terbuat dari emas. “Marilah ke sini!”

 

Tatkala pemuda itu sudah duduk berdampingan dengannya, dengan tingkah layaknya seorang pengkhianat, maka tiba-tiba dia ingat kedudukannya di hadapan Allah. Langsung dia menggigil dan gejolak birahinya menjadi padam.

 

“Biarkan aku keluar dan pergi dari tempat ini, dan uang seratus dinar tetap menjadi milikmu,” kata sang pemuda.

 

“Apa yang terjadi dengan dirimu? Dulu kau katakan bahwa kau melihat diriku dan terpesona kepadaku, lalu kau pergi, bekerja, menabung dan mampu mengumpulkan seratus dinar. Tatkala engkau sudah bisa menjamahku, justru kau berbuat seperti ini.”

 

“Aku berbuat begini karena takut berpisah dengan Allah dan karena aku ingat kedudukanku di hadapan-Nya,” jawab pemuda itu.

 

“Kalau yang engkau katakan itu benar, berarti kaulah yang pantas menjadi suamiku,” kata wanita pelacur.

 

“Biarkan aku keluar dari tempat ini.”

 

“Tidak bisa, kecuali setelah engkau berjanji kepadaku untuk menikahiku,” kata wanita pelacur.

 

“Biarkan aku keluar terlebih dahulu.”

 

“Engkau harus bersumpah kepada Allah, bahwa jika aku menemuimu engkau mau menikahiku.”

 

“Bolehlah kalau begitu,” kata sang pemuda.

 

Wanita pelacur menyerahkan pakaian sang pemuda, lalu pemuda itu keluar dari rumah pelacur itu dan pulang kembali ke negerinya sendiri, meninggalkan wanita pelacur merenungi dunia yang sudah dijalaninya dengan penuh penyesalan. Akhirnya dia mencari pemuda itu ke negerinya. Dia tanyakan siapa namanya, mana rumahnya, hingga dia mendapatkan identitasnya secara lengkap.

 

Ada seseorang yang mengabarkan kepada pemuda itu, “Ada seorang malaikat wanita yang datang dan menanyakan dirimu.”

 

Tatkala sang pemuda melihat kedatangan wanita pelacur di hadapannya, maka dia langsung pingsan dan seketika itu pula dia meninggal dunia, jatuh di pelukan tangannya.

 

“Apakah dia tidak mempunyai seorang Kerabat pun?” tanya wanita pelacur kepada orang-orang di sekitarnya.

 

Ada yang menjawab, “Dia mempunyai seorang saudara laki-laki yang sangat miskin.”

 

Maka wanita pelacur itu mendatangi saudaranya dan berkata, “Aku akan menikah denganmu karena cintaku kepada saudaramu.” Akhirrya mereka menikah dan dikarunia tujuh anak.

 

Yahya bin Amir At-Taimy menuturkan, ada seorang laki-laki yang pergi dari kampungnya untuk menunaikan ibadah haji. Suatu malam dia mencari air, dan tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang rambutnya tergerai. Dia memalingkan mukanya ke arah lain.

 

“Mengapa engkau berpaling dariku? Kemarilah!” kata wanita itu.

 

“Sesungguhnya aku takut kepada Allah Rabbul-alamin,” jawab sang pemuda.

 

Seketika itu pula wanita tersebut mengenakan jilbabnya, kKemudian berkata, “Engkau takut dan memang Allah patut untuk ditakuti. Sesungguhnya yang pantas bersekutu denganmu dalam kKetakutan adalah yang hendak menemanimu dalam kedurhakaan.” Lalu dia beranjak pergi.

 

Laki-laki itu membuntuti langkahnya, hingga wanita tersebut memasuki sebuah kemah milik orang-orang Araby. Lalu dia menuturkan sendiri, “Esok harinya saya menemui seorang laki-laki dari orang-orang Araby itu dan menanyakan siapa wanita yang saya maksudkan, dengan menyebutkan ciri-cirinya.

 

“Demi Allah, dia adalah putriku,” jawab laki-laki itu.

 

“Apakah engkau pernah hendak menikahkannya>”

 

“Kalau memang ada yang layak. Lalu siapa engkau ini?”

 

Saya menjawab, “Seorang laki-laki dari Bani Taim.”

 

“Sangat pantas dan terhormat,” katanya.

 

Akhirnya saya putuskan untuk menikahinya. Lalu saya berkata kepada mereka, “Dandanilah dan bawalah dia ke tempat kedatanganku pertama kali untuk haji.”

 

Setelah itu aku membawanya ke Kufah. Aku bertanya kepadanya, “Mengapa dulu engkau berbuat sesuatu yang membuatku berpaling darimu?”

 

Dia menjawab, “Tidak ada yang Icbih baik bagi wanita selain darj suami. Engkau tidak perlu heran jika ada wanita yang mengatakan, Aku jatuh cinta’. Demi Allah, jika engkau bertemu dengan sebagian penduduk Sudan, lalu engkau menyatakan cintamu, maka engkaulah yang akan dicintainya.”

 

Al-Hasan bin Zaid berkata, “Tuan kami di Mesir sedang marah besar kepada sebagian pekerjanya. Maka dia mengikat dan menahannya. Putri tuan itu melihat pekerja yang diikat bapaknya, lalu dia jatuh cinta kepadanya. MerekKa berdua saling berkirim surat, menyatakan hasrat cintanya masing-masing lewat untaian syair yang menghanyutkan. Tatkala sang tuan mendengar kabar tentang keduanya, maka dia menikahkannya.

 

Dikisahkan ada seorang laki-laki yang mencintai seorang wanita, dan wanita itu pun membalas cintanya. Suatu saat keduanya bercengkerama. Sang wanita merayu dan membujuknya untuk bercumbu. Tapi laki-laki tersebut berkata, “Sesungguhnya ajalku tidak berada di tanganku, dan ajalmu juga tidak berada di tanganmu. Boleh jadi ajal kita sudah dekat, lalu kita bersua Allah dalam keadaan durhaka kepada-Nya.”

 

“Engkau benar,” jawab sang wanita. Lalu keduanya memohon ampun dan akhirnya mereka berdua menikah.

 

Bakar bin Abdullah Al-Muzany menuturkan, bahwa ada seorang tukang jagal yang jatuh cinta kepada seorang gadis tetangganya. Suatu hari keluarga sang gadis menyuruhnya pergi ke desa lain untuk suatu keperluan. Tukang jagal mengikuti di belakangnya, lalu merayunya. Sang gadis berkata, ‘Jangan engkau lakukan itu. Memang bisa saja saya menyatakan cinta kKepadamu. Tetapi saya takut kepada Allah.”

 

“Engkau takut kepada Allah, sementara saya tidak takut kepadaNya?” Kata tukang jagal, dan setelah itu dia pulang untuk bertaubat. Di tengah perjalanan dia diserang rasa haus hingga hampir memutuskan tenggorokannya, dan tak lama kemudian dia berpapasan dengan seorang utusan dari Bani Israil.

 

“Apa yang terjadi dengan dirimu>?” tanya utusan Bani Israil.

 

“Aku kehausan,” jawab tukang jagal.

 

“Kalau begitu marilah kita berdoa kepada Allah, agar ada awan yang memayungi kita, hingga kita tiba di desa.”

 

“Aku tidak mempunyai amal yang layak untuk berdoa kepada-Nya,” Jawab tukang jagal.

 

“Kalau begitu aku saja yang berdoa dan engkau tinggal mengamini.” Maka utusan dari Bani Israil itu berdoa kepada Allah, dan tukang jagal mengamininya. Maka tak lama kemudian ada awan yang memayungi mereka berdua, hingga mereka tiba kembali di desa. Tukang jagal pulang ke rumahnya, dan ternyata awan tetap mengikutinya.

 

Utusan dari Bani Israil mendatanginya dan berkata, “Engkau pernah menyatakan bahwa engkau tidak mempunyai amal untuk dijadikan sarana doa, lalu akulah yang berdoa dan engkau mengamininya. Maka ada awan yang memayungi kita, dan akhirnya awan itu mengikutimu. Maka beritahukanlah kepadaku tentang urusanmu!” Tukang jagal itu pun mengabarkan urusannya. Akhirnya utusan dari Bani Israil berkata, “Sesungguhnya orang yang bertaubat kepada Allah itu berada di suatu tempat yang tak ada orang lain yang bisa menyamai kedudukannya itu.”

 

Yahya bin Ayyub menuturkan, bahwa di Madinah ada seorang pemuda, yang keadaannya menarik perhatian Amirul-Mukminin, Umar bin Al-Khaththab. Suatu malam sepulang dari shalat isya’, dia berpapasan dengan seorang wanita yang menghadang jalannya, dan seketika itu pula hatinya tertambat kepadanya. Dia pun mengikutinya hingga tiba di depan rumah wanita itu. Ketika tahu dirinya dibuntuti, maka wanita itu membaca ayat,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, bila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (Al-Araf: 201).

 

Setelah mendengarnya dia langsung pingsan. Wanita yang dibuntutinya memandang keadaan pemuda yang pingsan itu, layaknya orang yang sudah meninggal. Bersama pembantunya, dia menggotong tubuh Ppemuda dan meletakkannya di depan pintu rumahnya. Tak lama kemudian bapaknya keluar dan mendapatkan anaknya tergeletak di ambang pintu, lalu dia digotong masuk rumah dan dirawat hingga sadar kembaili.

 

“Apa yang menimpamu wahai anakku?” Tanya bapaknya.

 

Sang pemuda tidak mau bicara. Setelah didesak beberapa kali, akhirnya dia mau mengaku dan membaca ayat di atas. Setelah itu dia menghela napas panjang dan langsung meninggal dunia.

 

Kejadian ini didengar Umar, lalu dia berkata, “Mengapa kalian tidak memberitahukan kematiannya kepadaku?” Dia pun pergi ke kuburannya, berdiri di dekatnya dan berkata, “Hai Fulan, dan bagi orang yang takut saat menghadap Rabb-nya, maka ada dua surga baginya.”

 

Lalu terdengar sebuah suara dari dalam kuburnya, “Rabb-ku telah memberikannya kepadaku wahai Umar.”

 

Kisah ini disebutkan Al-Hasan dari Umar Radhiyallahu Anhu dalam versi lain, dia berkata, “Ada seorang pemuda pada zaman Umar bin AI-Khaththab Radhiyallahu Anhu, yang senantiasa datang ke masjid dan melakukan ibadah. Suatu kali hatinya tertambat kepada seorang gadis. Lalu dia menyatakan isi hatinya kepada gadis itu. Namun kemudian dia sadar dan ingat akan dirinya, lalu dia menghela napas yang dalam dan pingsan. Pamannya yang mengetahui keadaannya, membawanya pulang ke rumahnya. Setelah sadar kembaili, dia berkata, “Wahai paman, temuilah Umar dan sampaikan salamku padanya. Juga tanyakan kepadanya, Apakah balasan orang yang takut saat bertemu Rabb-nya?’ Maka Umar menyampaikan jawabannya, dan setelah itu dia meninggal dunia. Umar berkata, “Kamu mendapatkan dua surga.”

 

Di dalam Jami’ At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dzul-Kifli (seseorang yang berasal dari Bani Israil) tidak pernah mampu menahan diri dari dosa yang hendak dilakukannya. Suatu hari dia didatangi seorang wanita, lalu diberinya enam ratus dinar, agar wanita itu mau bersetubuh dengannya. Tatkala Dzul-Kifli sudah siap untuk bersetubuh sebagaimana layaknya laki-laki yang hendak menyetubuhi wanita, wanita itu gemetar dan menangis. Dzul-Kifli bertanya, ‘Mengapa engkau menangis.Adakah sesuatu yang mengganggumu?’ Wanita itu menjawab, ‘Tidak ada. Hanya saja ini adalah suatu perbuatan yang tidak pernah kulakukan sama sekali’. Dzul-Kifli berkata, ‘Saat ini engkau sudah siap melakukannya, dan kau bilang belum pernah melakukannya sama sekali?’ Wanita itu menjawab, Saya terpaksa melakukannya’. Maka Dzul-Kifli meninggalkan wanita itu, seraya berkata, ’Pergilah dan bawalah uang dinar itu’. Kemudian beliau bersabda, “Demi Allah, setelah itu Dzul-Kifli tidak pernah mendurhakai Allah sama sekali, lalu dia pun mati malam itu pula, dan di diambang pintunya tertulis, ‘Semoga Allah mengampuni dosa Dzul-Kifli.” Menurut At-Tirmidzy, hadits ini hasan shahih.”

 

Abu Hurairah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhum berkata, ”Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkhutbah sebelum wafatnya, yang di antaranya beliau bersabda,

 

“Barangsiapa mampu bersetubuh dengan wantta atau gadis secara haram, lalu dia meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah menjaganya pada hari yang penuh ketakutan yang besar (Kiamat), diharamkannya masuk neraka dan memasukkannya ke dalam surga.”

 

Malik bin Dinar berkata, “Surga An-Na’im berada di antara surga Firdaus dan surga-surga Adn. Di dalamnya terdapat bidadari-bidadari yang diciptakan dari bunga-bunga surga. Surga ini ditempati orang-orang yang hendak melakukan kedurhakaan, lalu tatkala mengingat Allah, mereka meninggalkannya karena takut kepada Allah.”

 

Maimun bin Mahran berkata, “Dzikir (menyebut) itu ada dua macam: Menyebut Allah dengan lisan adalah suatu kebaikan. Tapi yang lebih baik lagi adalah menyebut Allah tatkala hendak mendurhakai-Nya.”

 

Qatadah berkata, “Pernah disebutkan kepada Kami, bahwa Nabi Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Tidaklah seseorang sanggup melakukan yang haram, kernudian . dia meninggalkannya karena hanya takut kepada Allah, melainkan Dia akan mengganti yang haram itu di dunia sebelum akhirat dengan sesuatu yang lebih baik darinya.”

 

Ubaid bin Umair berkata, “Tanda kebenaran dan kebaikan iman, jika seorang laki-laki berduaan dengan wanita yang cantik, lalu dia meninggalkannya Karena takut kepada Allah.”

 

Abu Imran Al-Jauny menuturkan, ada seorang laki-laki dari Bani Israil yang tidak pernah bisa menahan diri dari keinginan macam apa pun. Ada sebuah keluarga lain di kalangan Bani Israil yang jatuh miskin. Lalu mereka mengutus seorang anak gadisnya untuk meminta sesuatu kepada orang itu. Namun dia berkata, “Tidak bisa, kecuali jika engkau mau menyerahkan dirimu kepadaku.”

 

Maka gadis itu pun keluar dari rumahnya. Keluarganya semakin bertambah miskin. Lalu dia diutus untuk mendatangi orang itu dan meminta sesuatu kepadanya. Namun orang itu berkata, “Tidak bisa, kecuali jika engkau menyerahkan dirimu kepadaku.”

 

Gadis itu pun keluar lagi dari rumahnya. Keluarganya semakin bertambah miskin dan tak punya apa-apa lagi. Maka dia diutus untuk mendatangi orang itu lagi dan dia mengatakan seperti yang dikatakannya.

 

Akhirnya gadis itu berkata, “Baiklah, aku pasrah kepadamu.”

 

Tatkala gadis itu tinggal berdua dengan orang tersebut, tiba-tiba dia menjadi lemas dan gemetar seperti pelepah korma.

 

“Apa yang terjadi pada dirimu?” Tanya orang itu.

 

“Saya takut kepada Allah Rabbul-alamin. Saya belum pernah berbuat seperti ini sama sekali,” jawab sang gadis.

 

“Engkau takut kepada Allah dan belum pernah melakukannya, padahal aku selalu melakukannya? Aku bersumpah kepada Allah tidak akan mengulangi lagi perbuatanku ini.” Lalu Allah mewahyukan kepada salah seorang nabi mereka, bahwa Fulan telah ditetapkan sebagai penghuni surga.

 

Dikisahkan ada seorang pemuda tampan di kalangan Bani Israil, dan bahkan dia bisa disebut sebagai pemuda paling tampan di antara mereka. Pekerjaannya ialah menjual keranjang. Suatu hari tatkala dia sedang berkeliling menawarkan dagangannya, ada seorang wanita pembantu salah seorang pemimpin Bani Israil. Setelah melihatnya, wanita pembantu itu segera pulang dan berkata kepada putri tuannya, “Sesungguhnya aku melihat seorang pemuda di depan pintu yang sedang menjual keranjang. Saya belum pernah melihat seorang pemuda yang lebih tampan darinya.”

 

”Suruh pemuda itu masuk!” kata sang putri.

 

Maka pembantunya keluar dan menyuruh pemuda penjual keranjang itu masuk. Setelah pemuda itu masuk rumah, pintu rumah langsung ditutup. Sang putri menyambut kedatangannya sambil membuka tutup kepalanya dan mengenakan baju yang memamerkan tonjolan payudara nya bagian atas.

 

“Tutuplah dirimu, semoga Allah memberikan afiat kepadamu,” kata pemuda penjual keranjang.

 

“Aku mengundangmu bukan untuk mendengarmu berbicara seperti itu. Tapi aku mengundangmu untuk bersenang-senang,” kata sang gadis, sambil merayu

 

“Bertakwalah kepada Allah,” kata pemuda penjual keranjang.

 

“Jika engkau tidak mau menuruti kemauanku, maka aku akan melapor kepada bapakku, bahwa engkau telah berbuat lancang merayuku.”

 

“Kalau begitu, lebih baik masukkan aku ke dalam penjara,” kata pemuda penjual keranjang.

 

“Apakah engkau masih berani mencari-cari alasan di depanku? Hai pembantu, masukkan orang ini ke dalam bangunan penjara yang tinggi, agar dia tidak bisa melarikan diri!”

 

Setelah berada di dalam penjara, pemuda itu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku diajak untuk mendurhakaimu. Namun lebih baik bagiku untuk terjun dari bangunan ini agar aku tidak bisa mendurhakaimu.” Dengan mengucapkan basmalah, dia pun terjun dari bangunan penjaranya. Seketika itu Allah menurunkan seorang malaikat dan memegangi ketiaknya, sehingga dia jatuh ke bumi dalam keadaan berdiri tegak di atas kedua kakinya. Setelah selamat, dia berkata, “Ya Allah, jika Engkau menghendaki, maka anugerahkanlah kepada rezki yang melimpah agar aku menjadi kaya raya, sehingga aku tidak perlu lagi berjualan keranjang ini.

 

Allah mengutus sekumpulan belalang yang terbuat dari emas, lalu dia mengambilnya hingga memenuhi seluruh isi kantongnya. Setelah itu dia berkata, “Ya Allah, jika memang ini merupakan rezki yang engkau anugerahkan kepadaku dari keduniaan, maka berkahilah ia bagiku. Namun jika ia menggerogoti bagianku di sisi-Mu di akhirat, maka aku sama sekali tidak membutuhkannya.”

 

Lalu ada suara yang ditujukan kepadanya, “Apa yang Kami berikan ini adalah satu bagian dari dua puluh lima bagian karena kesabaranmu, dengan menerjunkan diri dari bangunan itu.”

 

Lalu pemuda itu berkata, “Ya Allah, kalau begitu aku tidak membutuhkan apa-apa yang bisa mengurangi bagianku di sisi-Mu di akhirat.” Kemudian dia membuang emas-emas itu.

 

Abdul-Malik bin Quraib menuturkan, ada seorang pemuda yang sedang jatuh cinta kepada seorang gadis, dengan cinta yang amat mendalam. Maka dia mengirim utusan untuk melamarnya. Namun wanita itu menolak lamarannya dan justru ingin hanya berhubungan dengannya tanpa ikatan nikah.

 

Pemuda itu berkata, “Aku tidak membutuhkan kecuali yang dihalalkan Allah.” Kemudian pemuda itu benar-benar menyatakan cintanya, agar ada cinta yang juga merasuk ke dalam hati wanita yang dicintainya. Sang wanita siap melayani apa pun yang diinginkan sang pemuda. Namun pemuda itu berkata, “Tidak demi Allah, aku tidak membutuhkan orang yang kuajak kepada ketaatan, sementara dia mengajakku kepada kedurhakaan.”

 

Ini merupakan masalah yang hanya bisa dimasuki dua jenis manusia, yaitu:

 

  1. Orang yang memiliki keimanan yang mantap di dalam hatinya terhadap kehidupan akhirat dan apa yang telah dipersiapkan Allah di sana, berupa pahala dan siksa, sehingga dia lebih mementingkan salah satu yang lebih rendah dari dua hal yang tidak bisa diraihnya dan memilih yang lebih ringan akibatnya.

 

  1. Orang yang hawa nafsunya bisa dikuasai akalnya, sehingga dia bisa mengetahui berbagai bentuk kerusakan di dalam perbuatan keji dan berbagai kemaslahatan di dalam penguasaan diri, lalu dia mementingkan yang lebih tinggi daripada yang rendah.

 

Allah telah menghimpun dua hal bagi Yusuf Alaihis-Salam, lalu beliau memilih hukuman dunia dengan masuk ke dalam bui daripada dia terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan. Istri tuannya berkata, sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Kitab-Nya,

 

“Dan, sesungguhnya jika dia tidak menaati apa yang aku perin tahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina”. Yusuf berkata, “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan, jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 32-33).

 

Beliau lebih suka memilih penjara daripada harus berbuat keji, kemudian pasrah dan memohon kekuatan dari-Nya. Hal ini terjadi berkat pertolongan dan taufik Allah. Maka dari itu beliau berkata, Jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” Seorang hamba tidak selayaknya mengandalkan dirinya sendiri, kesabaran dan kemampuannya. Sebab jika dia berbuat seperti itu, maka perlindungan Allah akan lepas darinya dan dia akan menemui kegagalan. Allah berfirman kepada hamba yang paling dicintai-Nya dan yang paling mulia,

 

“Dan, kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu . hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (Al-Isra’: 74).

 

Maka dari itu di antara dia beliau adalah,

 

“Ya Allah yang membalikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu.”

 

Bagaimana tidak? Sebab Allahlah yang telah menurunkan kepada beliau,

 

“Dan, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya.” (Al-Anfal: 24).

 

Sunnah Allah telah ditetapkan pada makhluk-Nya, bahwa siapa yang lebih mementingkan penderitaan dunia daripada menjalin hubungan yang diharamkan, maka Dia akan memberi balasan kesenangan yang sempurna selagi masih di dunia, dan keberuntungan yang besar jika sudah meninggal! dunia. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan kesabaran manusia karena-Nya.

 

Dalam sebagian atsar Ilahy, Allah berfirman, “Kesabaran orangorang yang bersabar karena Aku, berada dalam pengawasan-Ku.”

 

Siapa pun yang keluar dari sesuatu yang seharusnya menjadi bagiannya karena Allah, maka Allah akan menjaganya atau Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik lagi. Maka dari itu tatkala para syuhada keluar dengan mengabaikan jiwa mereka, maka Allah menjadikan mereka tetap hidup di sisi-Nya dan mendapat karunia-Nya. Allah mengganti badan yang telah mereka korbankan dengan badan burung yang berwarna hijau, ruh mereka berada di dalam badan burung itu, beterbangan di surga menurut kehendaknya, lalu menghampiri pelitapelita yang bergantungan di ‘Arsy. Tatkala mereka meninggalkan tempat tinggalnya, maka tempat tinggal itu diganti dengan tempat yang lebih baik lagi disurga Adn. Itulah keberuntungan yang besar.

 

Wahb bin Munabbih menuturkan, ada seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil yang selalu beribadah di biaranya. Lalu ada laki-laki lain, juga dari kalangan Bani Israil yang memberikan sejumlah uang kepada seorang wanita pelacur, agar dia merayu laki-laki ahli ibadah itu. Pada suatu malam yang gelap dan turun hujan, pelacur itu mendatangi biaranya dan memanggil-manggil namanya. Laki-laki ahli ibadah menemuinya di ambang pintu.

 

“Berilah aku tempat untuk berlindung,” kata wanita pelacur.

 

Namun laki-laki ahli ibadah membiarkannya, kemudian dia masuk lagi untuk melakukan shalat.

 

“Wahai hamba Allah, berilah aku tempat untuk berlindung. Apakah engkau tidak tahu kegelapan malam yang bercampur hujan ini?”

 

Setelah terus mendesak, akhirnya laki-laki ahli ibadah memperkenankannya untuk berlindung. Wanita pelacur tidur telentang, dekat dengan laki-lakai ahli ibadah, sambil memamerkan keelokan tubuhnya dan merayunya.

 

“Tidak demi Allah. Aku akan melihat bagaimana kesabaranmu dalam merayuku jika menghadapi api,” kata laki-laki ahli ibadah sambil mendekati lampu, lalu meletakkan salah satu jarinya di atas apinya hingga terbakar. Setelah itu dia kembali lagi mengerjakan shalat. Wanita pelacur kembali merayunya, lalu laki-laki itu mendekati lampu lagi dan membakar jarinya yang lain. Begitu seterusnya hingga semua jarinya terbakar, dan wanita itu melihat apa yang dilakukannya. Setelah itu wanita pelacur tersebut pingsan dan meninggal seketika.”

 

Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Ibrahim bin Khalid, kami diberitahu Umayyah bin Syibl, dari Abdullah bin Wahb, dia berkata, “Saya tidak mengetahui kisah ini, hanya saja dia menyebutkannya dari bapaknya, bahwa ada seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil, biasa berada di biaranya untuk beribadah. Lalu ada segolongan orang-orang keji yang berkata, “Bagaimana jika kita melecehkan ahli ibadah itu dengan cara tertentuP”

 

Lalu mereka mendatangi seorang wanita pelacur dan berkata kepadanya, “Rayulah laki-laki ahli ibadah itu!”

 

Pada suatu malam yang gelap gulita dan turun hujan, wanita pelacur itu mendatangi biara dan berkata, “Wahai hamba Allah, berilah aku tempat untuk berlindung.”

 

Saat itu laki-laki ahli ibadah sedang shalat dengan diterangi beberapa lampu. Dia sama sekali tidak mau menoleh kepada wanita pelacur.

 

“Wahai hamba Allah, di luar gelap dan turun hujan. Berilah aku tempat untuk berlindung,” kata wanita pelacur, dan dia terus-menerus mendesaknya, hingga dia diperkenankan masuk ke dalam biara. Lakilaki ahli ibadah terus beribadah dan wanita itu tidur telentang sambil memamerkan kemolekan tubuhnya Kepada laki-laki itu, lalu merayunya.

 

“Tidak demi Allah. Aku akan melihat bagaimana kesabaranmu dalam merayuku dengan menghadapi api ini,” kata laki-laki ahli ibadah, seraya mendekati lampu, lalu meletakkan sebuah jarinya di atas api lampu hingga terbakar. Setelah itu dia kembali lagi ke tempat shalat. Wanita pelacur kembali merayunya. Maka laki-laki ahli ibadah membakar jarinya yang lain. Begitu seterusnya hingga semua jari-jarinya terbakar. Sementara wanita pelacur tersebut menungguinya, dan setelah itu dia pingsan dan meninggal seketika itu pula. Esok harinya sekelompok laki-laki keji ingin melihat apa yang bisa dilakukan wanita pelacur itu, yang ternyata sudah terbujur menjadi mayat.

 

Mereka berkata kepada laki-laki ahli ibadah, ’”Wahai musuh Allah, wahai orang yang sombong, engkau telah menyetubuhi wanita ini lalu membDantainya.” Setelah itu mereka mengadukan peristiwa ini kepada raja dan mereka menjadi saksi yang memberatkan bagi laki-laki ahli ibadah. Raja memutuskan hukuman mati baginya.

 

“Beri kesempatan kepadaku untuk melakukan shalat dua rakaat saja!’ Maka dia mendirikan shalat dua rakaat, lalu berkata, “Ya Allah, aku takut Engkau tidak akan menghukumku karena kesalahan yang tidak aku lakukan sama sekali. Tapi aku tetap memohon kKepada-Mu, janganlah aku menjadi aib bagi kampung halamanku sepeninggalku ini.”

 

Lalu Allah menghidupkan kembali wanita pelacur itu, lalu dia berkata, “Periksalah tangannya!” Setelah itu dia meninggal kembali.

 

Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Muhammad bin Ja’far, kami diberitahu Syu’bah, dari Manshur, dari Ibrahim, dia berkata, ”Tatkala ada seorang laki-laki ahli ibadah scdang duduk berdua bersama seorang wanita, lalu tiba-tiba saja dia mcletakkan tangannya di atas paha wanita itu, maka dia segera meletakkan tangannya di atas api hingga terbakar.”

 

Hushain bin Abdurrahman berkata, “Saya mendengar bahwa ada seorang pemuda penduduk Madinah selalu shalat berjama’ah bersama Cmar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Bahkan Umar selalu menanyakannya jika pemuda itu tidak ikut shalat bersamanya. Ada seorang wanita penduduk Madinah yang jatuh cinta kepadanya. Perasaannya ini dia ungkapkan kepada seorang wanita tua, lalu dia berkata kepadanya, ‘Aku ingin engkau menyiasatinya, agar pemuda itu bisa masuk ke tempat tinggalmu.”

 

Wanita tua itu duduk di pinggir jalan, menunggu lewatnya pemuda yang dimaksudkan. Tatkala sudah lewat, wanita tua itu berkata, “Sesungguhnya saya adalah seorang wanita tua. Saya mempunyai seekor domba, namun saya tidak bisa memerah susunya. Andaikan saja engkau sudi masuk ke dalam rumahku dan memerahkan susu untukku.”

 

Penduduk Madinah adalah orang-orang yang paling suka berbuat kebaikan. Maka tanpa menaruh curiga pemuda itu masuk ke dalam rumah yang telah dipilih wanita tua itu, namun dia tidak mendapatkan domba di dalamnya.

 

“Duduklah dulu. Sebentar lagi saya akan mengambil domba itu,” kata wanita tua.

 

Tak lama Kemudian muncul seorang wanita muda yang langsung mendekatinya. Tatkala melihat kemunculan wanita itu, sang pemuda menyingkir ke arah mihrab yang ada di dalam rumah itu dan duduk di sana. Sang wanita terus merayunya, namun dia menolak, dan berkata, “Bertakwalah kepada Allah wahai wanita!”

 

Wanita itu tak mau menghentikan rayuannya dan tidak menggubris perkataan sang pemuda. Tak tatkala sudah jelas keinginannya tidak tercapai, maka wanita itu berteriak keras. Setelah orang-orang datang bergerombol, wanita itu berkata, “Pemuda ini telah memasuki tempatku ini dan merayuku agar aku mau melayaninya.”

 

Mereka pun memukuli pemuda itu lalu mengikatnya. Tatkala shalat subuh, Umar tidak melihat kedatangan pemuda itu. Tatkala dia masih bertanya-tanya, mereka datang sambil menggelendeng tangan pemuda yang terikat. Setelah melihat keadaannya, Umar berkata di dalam hati, “Ya Allah, semoga dugaanku tentang pemuda ini tidak engkau simpangkan.” Lalu Umar bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian lakukan?”

 

Mereka menjawab, “Ada seorang wanita yang berteriak meminta tolong pada malam hari. Maka Kami pun datang dan mendapatkan pemuda ini ada di sisinya. Maka kami pun memukulinya dan mengikat tangannya.”

 

Cmar berkata kepada pemuda itu, “Bicaralah yang jujur kepada ku!” Maka dia mengabarkan kejadian yang sesungguhnya.

 

“Apakah engkau mengenal siapa wanita tua itu?” tanya Umar.

 

“Saya bisa mengenalnya jika saya melihatnya langsung,” jawab pemuda.

 

Cimar mendatangkan seluruh wanita tetangga wanita yang meminta pertolongan, juga wanita-wanita tua yang ada, lalu dikonfrontasikan dengan dengan pemuda itu. Namun tak seorang pun di antara mereka yang cocok dengan wanita tua yang dia maksudkKan, hingga akhirnya ada seorang wanita tua yang lewat di dekat tempat itu.

 

“Nah itu dia wanita tua yang saya maksudkan wahai AmirulMukminin,” kata pemuda itu. Darah Umar terasa naik ke kepala, lalu dia berkata kepada wanita tua itu, “Berkatalah yang jujur kepadaku!” Maka wanita tua itu menceritakan kejadian yang sebenarnya, seperti yang diceritakan pemuda itu. Akhirnya Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan duplikatnya Yusuf di antara kami.” Abuz-Zanad menuturkan, ada seorang rahib yang senantiasa berada di dalam biaranya. Suatu Ketika dia melongok ke luar dan melihat seorang wanita. Hatinya langsung tertambat kepada wanita itu. Lalu dia mulai mengayunkan satu kakinya keluar dari biara. Namun kemudian dia sadar, lalu berkata, “Satu kaki yang keluar dari biara untuk mendurhakai Allah.

 

Dia tidak akan kembali lagi bersamaku ke dalam biara.” Maka dia terusmenerus dalam Keadaan seperti itu, membiarkannya terkena hujan dan hawa dingin, hingga akhirnya menjadi lumpuh. Kemudian dia bersyukur kepada Allah atas keadaannya itu.

 

Mush’ab bin Utsman menuturkan, Sulaiman bin Yassar adalah orang yang wajahnya paling tampan. Tiba-tiba ada seorang wanita yang langsung masuk ke dalam rumahnya, dan merayunya untuk bercumbu dengannya. Namun Sulaiman menolak. Wanita itu berkata, “Kalau begitu saya akan melecehkanmu.” Seketika itu pula Sulaiman lari dan pergi meninggalkan rumahnya begitu saja, dan membiarkan wanita itu tetap berada di dalamnya.

 

Jabir bin Nuh berkata, “Saya berada di Madinah, duduk di depan rumah seseorang karena saya ada keperluan dengannya. Saat itu ada seorang laki-laki tua yang wajahnya tampan dan pakaiannya sangat indah. Rekanku menghampiri laki-laki tua itu, mengucapkan salam dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Muhammad, saya memohon kepada Allah semoga membesarkan pahalamu dan mengisi hatimu dengan kesabaran.”

 

Laki-laki tua itu melantunkan sebuah syair, yang menggambarkan suatu kepedihan di hati karena musibah yang menimpanya.

 

Rekanku berkata kepadanya, “Bergembiralah! Sesungguhnya kesabaran itu merupakan pegangan orang Mukmin. Saya berharap semoga Allah tidak menghalangi turunnya pahala kepadaku karena musibah yang menimpamu.”

 

Saya bertanya, “Siapakah laki-laki tua itu?”

 

“Dia salah seorang di antara kami dari kalangan Anshar,” jawab rekanku.

 

“Bagaimana kisahnya?” saya bertanya.

 

“Dia mendapat cobaan karena anaknya, yang dikenal sangat patuh kepadanya dan selalu memenuhi seluruh kebutuhannya. Yang pasti sifatnya sangat mengagumkan.”

 

“Apa yang terjadi>?”

 

“Anaknya dicintai seorang wanita. Lalu wanita ini mengirim utusan untuk menyatakan isi hatinya dan memintanya agar menemuinya. Padahal dia sudah bersuami. Dengan memaksa wanita itu terus menyampaikan permintaannya. Kemudian anaknya menceritakan permasalahannya kepada seorang teman, seraya berkata kepadanya, ‘Bagaimana jika engkau mengutus sebagian keluargamu agar menemui wanita itu, lalu memberinya nasihat dan teguran, sehingga wanita itu mau menghentikan aksinya?”

 

Wanita itu tetap mengirim seorang utusan, dengan mengatakan, “Engkau yang menemui aku atau aku yang menemuimu?”

 

Namun anaknya tetap menolak. Tatkala wanita itu sudah benarbenar putus asa, dia mendatangi seorang wanita tukang sihir, memberikan hadiah yang melimpah untuk mengganggu anaknya. Wanita tukang sihir menyetujui permintaan itu, maka dia pun mulai bekerja.

 

Suatu malam tatkala laki-laki tua itu bersama anaknya, tiba-tiba hati anaknya teringat kepada wanita itu. Ada pergolakan hebat yang tidak bisa diketahuinya secara pasti. Pergolakan ini semakin menjadi-jadi hingga dia hampir seperti orang gila. Dia segera bangkit, mendirikan shalat dan meminta perlindungan kepada Allah. Namun kondisi anaknya semakin tak terkendali.

 

Anaknya berkata, “Wahai bapak, segera ikat aku!”

 

“Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirimu”

 

Lalu anaknya menceritakan apa yang pernah terjadi. Maka bapaknya segera bangkit dan mengikat anaknya serta memasukkannya ke dalam rumah. Anaknya semakin blingsatan dan menggelinjang, menguak seperti seekor sapi jantan. Setelah itu dia diam tak bergerak, dan ternyata sudah meninggal dunia, dengan darah yang terus mengucur dari lehernya.

 

Mungkin peristiwa seperti ini tidak mengherankan bagi kaum lakilaki. Tapi bagi kaum wanita, tentu hal ini sangat mengherankan. Abu Idris Al-Audy menuturkan, ada dua laki-laki ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang senantiasa beribadah. Di sana ada seorang wanita yang cantik jelita, dan ternyata kedua laki-laki ahli ibadah itu jatuh cinta kepadanya. Masingmasing menyimpan isi hatinya dari yang lain, lalu masing-masing bersembunyi di balik pohon untuk mengintip wanita itu. Namun kemudian masing-masing mengetahui apa yang dilakukannya. Lalu keduanya sepakat untuk merayu wanita itu dan membujuknya. Tatkala wanita itu tak jauh dari keduanya, maka keduanya berkata, “Engkau sudah mengetahui kedudukan kami di kalangan Bani Israil. Jika engkau tidak mau menuruti keinginan kami, maka besok kami akan berkata, bahwa kami telah memergokimu sedang berduaan dengan seorang laki-laki. Kami bisa memegangmu tapi laki-laki pasanganmu lepas dari pegangan kami.”

 

“Tak kan sudi saya menuruti kemauan kalian dengan mendurhakai Allah,” kata wanita itu.

 

Maka kedua laki-laki ahli ibadah itu memegangnya dan menyatakan kepada orang-orang, “Kami telah memergoki wanita ini bersama dengan seorang laki-laki. Tapi laki-laki itu lepas dari pegangan kami.”

 

Seorang nabi mereka datang. Setelah kursi dipersiapkan, dia duduk di atasnya, lalu berkata, “Aku akan mengadili masalah kalian ini.”

 

“Benar. Adililah kami,” kata kedua ahli ibadah.

 

Nabi mereka mengintrogasi masing-masing secara terpisah. Dia bertanya kepada salah seorang di antara keduanya, “Di balik pohon yang mana engkau melihat wanita itu berbuat mesum?”

 

“Di balik pohon ini dan itu,” jawabnya. Sedangkan yang lain menjawab, “Di balik pohon ini dan itu,” berbeda dengan jawaban rekannya. Lalu seketika itu turun api dari langit dan membakar kedua ahli ibadah, sedang wanita itu bisa selamat.

 

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Harun Ar-Rasyid jatuh cinta kepada seorang gadis pembantunya, lalu dia benar-benar ingin memilikinya. Namun gadis itu berkata, “Sesungguhnya bapakmu pun pernah menjamahku. ”

 

Hampir saja Harun Ar-Rasyid tidak mampu menahan perasaannya terhadap gadis itu. Dia berkata tentang dirinya,

 

Kulihat air segar tatkala aku didera dahaga

tetapi aku tak kuasa untuk mendapatkannya

apakah belum cukup engkau menguasai diriku

padahal semua orang layaknya budak di mataku

jika kau ingin memotong tangan dan kakiku

aku kan merelakannya jika memang itu maumu

 

Harun Ar-Rasyid menanyakan masalah ini kepada Abu Yusuf. Maka Abu Yusuf balik bertanya, “Apakah setiap perkataan yang keluar dari seorang gadis pasti engkau percayai?”

 

Ibnul-Mubarak berkata, “Saya tidak tahu siapa orang yang paling kukagumi, apakah Harun Ar-Rasyid yang sangat mencintai gadis itu, ataukah gadis itu yang tidak suka kepada Ar-Rasyid, atau kepada Abu Yusuf yang memberi angin kepada Ar-Rasyid untuk mendapatkan gadis itu.

 

Abu Utsman At-Taimy menuturkan, seorang laki-laki berpapasan dengan rahib wanita yang wajahnya sangat cantik. Laki-laki itu langsung jatuh cinta kepadanya, lalu dia berusaha untuk merayu dan membujuknya. Namun rahib wanita menolaknya, seraya berkata, Janganlah engkau tertipu apa yang engkau lihat dan di belakang hari tidak ada akibat yang bakal menimpamu.”

 

Laki-laki itu tetap berusaha membujuknya, hingga akhirnya dia bisa menyetubuhinya. Saat itu di samping rahib wanita ada bara api. Dia meletakkan tangannya di atas api hingga terbakar.

 

“Mengapa engkau membakar tanganmu?” tanya laki-laki itu setelah puas melampiaskan nafsunya.

 

“Tatkala engkau memperkosaku, maka muncul rasa takut andaikata saya ikut merasakan kenikmatan bersamamu dalam suatu kedurhakaan. Maka saya berbuat seperti yang engkau lihat tadi.”

 

“Demi Allah, saya tidak akan mendurhakai Allah lagi,” kata laki-laki itu dan dia pun bertaubat dari perbuatan yang pernah dia lakukan.

 

Al-Husain bin Muhammad Ad-Damaghany menuturkan, bahwa ada seorang raja yang pergi untuk berburu. Kemudian dia terpencil dari rombongannya, hingga akhirnya dia melewati sebuah desa. Di sana dia melihat seorang wanita dan membujuk agar mau meladeninya.

 

Wanita itu berkata, “Badanku masih kotor. Biarkan aku mandi terlebih dahulu, setelah itu aku akan menemui engkau lagi.”

 

Maka wanita itu masuk ke dalam rumahnya, dan tak lama kemudian dia keluar lagi sambil membawa sebuah buku, seraya berkata, “Lihatlah tulisan di dalam buku ini, nanti saya akan menemui engkau lagi.”

 

Di dalam buku itu raja membaca hukuman yang telah disediakan Allah bagi orang yang berbuat zina. Maka raja meninggalkan wanita itu dan beranjak pergi. Tatkala suaminya sudah tiba, wanita itu menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi kepadanya. Suaminya tidak mau mendekatinya, karena takut raja benar-benar menaruh hati kepada istrinya. Maka akhirnya sang suami meninggalkannya. Keluarga sang istri mendatangi raja dan mereka berkata, “Sesungguhnya kami mempunyai sebidang tanah yang dikuasai seseorang. Dia tidak menggarapnya dan juga tidak mau mengembalikannya kepada kami. Jadi dia membiarkannya terlantar begitu saja.”

 

“Bagaimana kelanjutannya>” tanya raja.

 

Mereka menjawab, “Kami melihat di tengah sebidang tanah itu ada seekor singa, sehingga kami takut untuk memasukinya.”

 

Raja mengerti apa yang mereka maksudkan. Maka dia berkata, “Garaplah kembali tanah itu, karena singa tersebut tidak akan berani lagi masuk ke sana. Sebaik-baik tanah adalah tanah kalian.”

 

Ada seorang wanita ahli ibadah yang dicintai seorang laki-laki kaya, karena memang dia adalah seorang wanita yang elok. Dia pernah dilamar, namun dia menolak. Laki-laki itu mendengar bahwa wanita tersebut hendak pergi haji. Maka dia membeli tiga ratus onta, lalu menyebarkan berita, “Barangsiapa hendak pergi haji, maka hendaklah dia menyewa onta kepada Fulan.”

 

Maka wanita itu pun menyewa onta darinya. Saat di tengah perjalanan, laki-laki itu menghampirinya, dan berkata kepadanya, “Engkau harus menikah denganku ataukah ada pilihan lain.”

 

“Celaka engkau, bertakwalah kepada Allah!” kata wanita itu

 

“Lebih baik engkau mendengar apa yang kukatakan. Demi Allah, memang aku bukan orang yang tampan. Tapi harap engkau ketahui, kepergianku ini hanya karena dirimu.”

 

Tatkala merasa dirinya tidak aman dari jamahan laki-laki itu, maka wanita tersebut berkata, “Periksalah, apakah di antara orang-orang yang ada di sini masih ada yang berjaga?”

 

“Sudah tidak ada. Mata mercka sudah terpejam semua,” jawab lakilaki itu.

 

“Apakah mata Allah juga tidur?”

 

Seketika itu pula laki-laki tersebut menggigil dan pingsan. Tatkala sudah siuman, dia berkata, “Celaka aku, mengapa aku hampir saja bunuh diri dan mengapa nafsuku menjadi padam?”

 

Wahb bin Munabbih menuturkan, di kalangan Bani Israil ada seorang laki-laki ahli ibadah yang sangat tekun dalam ibadahnya. Suatu hari dia melihat seorang wanita, dan hatinya langsung tertambat kepadanya saat pandangan pertama. Dia segera bangkit dan mengejar wanita itu. Setelah dapat menyusulnya, dia berkata, “Berhenti sebentar!”

 

Wanita itu pun berhenti dan mengenal siapa laki-laki itu. Dia bertanya, “Apa keperluanmu?”

 

“Apakah engkau sudah bersuami?” tanyanya. “Begitulah. Lalu apa maumu?” “Andaikan saja engkau belum menikah, maka saya mempunyai suatu pikiran.” ‘Jika memang begitu?” tanya wanita itu. Dia menjawab, “Ada yang terlintas di dalam hatiku tentang dirimu.”

 

“Apa yang menghalangimu untuk melaksanakannya?”

 

‘Jadi engkau juga setuju?”

 

“Begitulah,” jawab wanita itu dengan tenang. Lalu dia segera mencari tempat yang tepat. Tatkala melihat laki-laki itu benar-benar ingin melaksanakan apa yang diminta darinya, maka dia berkata, “Sebentar. Kuharap janganlah engkau merendahkan kedudukanmu di sisi Allah.”

 

Seketika laki-laki itu mundur ke arah pinggir, sambil berkata, “Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala perbuatanmu.” Lalu dia berkata kepada dirinya sendiri, “Kau harus memilih hukuman potong tangan atau menjadi buta, ataukah berkelana di hutan bersama binatang-binatang buas.” Akhirnya dia memilih yang terakhir, hidup bersama binatang-binatang buas di hutan hingga akhir hayatnya. Ada seorang laki-laki mencintai seorang wanita dari kalangan bangsa Arab yang dikenal pandai dan terpelajar. Laki-laki itu selalu mencari kiat untuk mendekati dirinya, hingga dia benar-benar bisa duduk berduaan dengannya di suatu malam yang gelap dan pekat. Setelah mereka berdua saling mengobrol beberapa waktu lamanya, ada bisikan nafsu yang menyusup ke dalam diri laki-laki itu. Dia berkata, “Begitu lama kerinduanku padamu.”

 

“Aku pun begitu pula,” kata sang wanita.

 

“Sebentar lagi malam akan berakhir dan disusul fajar.”

 

“Begitu pula nafsu syahwat akan sirna dan kenikmatannya berakhir.”

 

“Andaikan saja engkau lebih mendekat lagi padaku.”

 

“Tak kan mungkin terjadi, karena aku takut jika berjauhan dengan Allah.”

 

“Kapan aku bisa melihatmu lagi?” tanya laki-laki itu.

 

‘Aku memang tidak bisa melupakanmu. Tapi masalah berkumpul kembali denganmu, itu aku yang tak tahu.” Kemudian wanita tersebut berpaling dan beranjak pergi. Sementara yang laki-laki berkata sendiri, “Aku merasa sangat malu mendengar ucapannya itu.” Kemudian dia melantunkan syair,

 

Dia takut siksaan yang tak tertanggungkan

tak mendatangi sesuatu yang mendatangkan siksaan

dia ucapkan perkataan yang membuatku malu

kuolehkan rasa malu dan kekaguman ke wajahku

kecelakaan bagi cinta yang membuatku buta

mendatangkan siksaan api yang terus membara

kesadaranku kembali begitu pun pikiranku

tiada lagi kebutaan di dalam hatiku

 

Ibnu Khalaf berkata, “Abu Bakar Al-Amiry mengabarkan kepadaku bahwa Atikah Al-Murriyyah jatuh cinta kepada anak pamannya. Namun tatkala diajak bercumbu dengannya, dia menolaknya, lalu berkata,

 

Apa rasa air yang berasal dari awan yang putih

jatuh dari suatu ketinggian yang pecah terbelah

menimpa pinggiran atau pertengahan lembah

dihembus angin musim dingin dari segala arah

air dari awan jatuh di lembah itu

menghembus napas-napas yang terasa kelu

gliran air berhenti di permukaan sana

tiada cela jika ada orang yang meminumnya

dengan penuh rasa dia perhatian yang lainnya

takwa kepada Allah dan malu terhadap akibatnya

 

Di, bagian terdahulu sudah disampaikan ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabawy mengenai celaan terhadap nafsu ini.

 

Nafsu adalah kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan satu bentuk ciptaan yang ada di dalam diri manusia, sebagai urgensi kelangsungan hidupnya. Sebab jika manusia tidak memiliki kecenderungan untuk makan, minum dan menikah, maka dia tidak akan mau makan, minum dan menikah. Nafsu mendorongnya kepada sesuatu yang dikehendakinya, sebagaimana kebencian yang bisa membelanya dari sesuatu yang mengganggunya. Jadi nafsu tidak bisa dicela secara mutlak, sebagaimana kebencian yang tidak bisa dicela dan dipuji secara mutlak pula. Yang layak dicela ialah yang berlebih-lebihan dalam dua sikap ini, yaitu yang melebihi sikap mendatangkan manfaat dan menolak mudharat. Karena orang yang menuruti nafsu, syahwat dan rasa benci, biasanya tidak konsisten pada batasan yang bermanfaat baginya, maka muncul celaan terhadap nafsu, syahwat dan benci, di samping karena keumuman dominasi mudharat. Sebab jarang orang yang bisa bersikap adil jika keadaannya seperti itu, seperti jarang terjadi adanya keseimbangan yang adil jika terjadi pencampuradukan dari segala sisi. Biasanya pasti ada dominasi satu sisi atau satu proses. Upaya seorang penasihat untuk menetralisir kekuatan syahwat dan benci dari segala sisi, biasanya juga dianggap seperti angin lalu, kecuali di mata orang yang memang berilmu.

 

Oleh karena itu Allah tidak pernah menyebutkan nafsu di dalam Kitab-Nya melainkan mencelanya. Begitu pula tidak ada sebutan nafsu di dalam Sunnah melainkan dalam keadaan tercela, kecuali yang memang ada pembatasan, seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Tidaklah seseorang di antara kalian beriman sehingga nafsunya (kehendaknya) mengikuti apa yang kubawa.”

 

Ada pula yang berpendapat, nafsu adalah kekuatan terpendam yang tidak bisa dipercaya.

 

Asy-Sya’by berkata, “Disebut dengan istilah hatwa (nafsu), karena ia bisa menyeret pelakunya. Orang yang membebaskannya akan diajak kepada kenikmatan yang ada, tanpa memikirkan akibatnya di kKemudian hari, menganjurkan kepada syahwat, sekalipun menjadi sebab penderitaan yang lebih berat, baik di dunia maupun di akhirat. Ada akibat yang ditanggungnya di dunia dan ada pula akibat yang ditanggungnya di akhirat kelak. Nafsu membuat pelakunya menjadi buta untuk memeriksanya. Padahal kepribadian, agama dan akal melarang kenikmatan yang mengakibatkan penderitaan dan syahwat yang berakibat penyesalan. Masingmasing dari tiga hal ini akan berkata kepada jiwa tatkala ia hendak menuruti nafsunya, Jangan kau lakukan itu’. Ketaatan akan terwujud pada diri orang yang dapat mengalahkan nafsu. Bukankah engkau melihat anak kecil yang selalu mementingkan apa yang menggugah nafsunya, sekalipun hal itu akan menimbulkan kehancuran, karena pencegah akal pada dirinya tidak berfungsi? Orang yang tidak memiliki agama juga selalu mementingkan apa yang diinginkan nafsunya, sekalipun akan mengotori kepribadiannya dan menyulitkannya. Lalu bagaimana jika hal ini dibandingkan dengan perkataan Asy-Syafi’’y, Andaikan aku tahu bahwa air yang dingin dan segar itu bisa merobek kepribadianku, maka aku tak kan berani meminumnya.

 

Orang yang sudah dewasa akan diuji dengan hawa nafsu. Setiap saat akan muncul kasus, yang menciptakan dua hakim pada dirinya, yaitu hakim akal dan hakim agama. Dia diperintahkan agar senantiasa melaporkan kasus-kasus nafsu kepada dua hakim ini dan patuh kepada keputusan hukumnya. Dia juga harus berusaha melatih diri menyingkirkan hawa nafsu yang tidak baik akibatnya, agar di kemudian hari dia tidak mendapatkan kesengsaraan. Orang yang berakal harus tahu bahwa orang yang mengumbar nafsunya akan mendapatkan keadaan yang sama sekali tidak mengenakkannya. Padahal biasanya dia juga tidak bisa meninggalkan hawa nafsunya, karena nafsu itu merupakan kebutuhan hidupnya. Maka dari itu engkau bisa melihat, orang yang kecanduan khamr dan bersetubuh, tidak bisa menikmatinya sccara total seperti yang dirasakan orang yang jarang-jarang melakukannya. Hanya Karena kKebiasaan yang menuntut, maka dia lebih suka memilih menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kehancuran, sekedar untuk mendapatkan tuntutan kebiasaannya. Andaikata selubung nafsu disingkirkan darinya Karena dia bisa mengukur kebahagiaan, lalu dia muram Karena mengira telah mendapatkan kegembiraan dan menderita Karena menginginkan kenikmatan, maka akhirnya dia seperti burung yang terkecoh oleh biji gandum. Dia tidak bisa mendapatkan biji yang dimaksud dan tidak bisa membebasKan diri apa yang diinginkannya.

 

Jika ada yang bertanya, bagaimanakah cara membebaskan diri dari nafsu, padahal nafsu itu harus terjadi pada dirinya? Jawabannya, dengan pertolongan dan taufik Allah, inilah cara untuk membebaskannya:

 

  1. Harus ada hasrat, sehingga dia merasa cemburu terhadap diri sendiri dan nafsunya.

 

  1. Harus memiliki seteguk kesabaran dalam menghadapi Kepahitan yang dirasakan saat itu.

 

  1. Kekuatan jiwa yang bisa menorongnya untuk meminum seteguk kesabaran itu, sebab semua bentuk keberanian merupakan kesabaran sekalipun hanya sesaat, dan sebaik-baik hidup ialah jika seseorang mengetahui hidup itu dengan kesabarannya.

 

  1. MempertimbangkKan Kelanjutan yang baik dan kesembuhan yang terjadi di kKemudian hari.

 

  1. Mempertimbangkan penderitaan yang semakin menjadi-jadi, sebagai akibat dari menuruti kenikmatan hawa nafsu.

 

  1. Mementingkan kedudukannya di sisi Allah dan di hati hamba-hamba-Nya. Ini jauh lebih baik dan lebih bermanfaat daripada mendapatkan Kenikmatan karena menuruti hawa nafsu.

 

  1. Lebih mementingKan Kehormatan diri dan kelezatannya daripada kenikmatan kedurhakaan.

 

  1. Kebanggaan dapat menundukkan dan menaklukkan musuhnya. Allah suka jika hamba-Nya berani menghadapi musuhnya, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan mereka tidak menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh melainkan dituliskan bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih.” (At-Taubah: 120).

 

“Barangsitapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak.” (An-Nisa’: 100).

 

Di antara tanda cinta yang tulus ialah melibas musuh kekasihnya dan mengalahkannya.

 

  1. Harus berpikir bahwa dia diciptakan bukan untuk kepentingan nafsu, tetapi untuk suatu urusan yang besar, yang tidak bisa dicapai kecuali dengan menentang nafsunya.

 

  1. Tidak boleh memilih bagi dirinya bahwa hewan lebih baik keadaannya daripada dirinya. Dengan tabiatnya hewan saja bisa membedakan mana yang membahayakan dan mana yang bermanfaat bagi dirinya, lalu dia mementingkan mana yang bermanfaat dan meninggalkan mana yang membahayakannya. Manusia diberi akal untuk masalah ini. Jika dia tidak bisa membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya bagi dirinya, atau dia mengetahui tapi justru dia memilih yang berbahaya bagi dirinya, berarti keadaan hewan lebih baik daripada keadaannya. Sebagai bukti, hewan bisa menikmati makan, minum dan bersetubuh, yang tidak bisa dinikmati manusia tanpa ada pikiran dan hasrat, sekalipun dia hidup tenang. Oleh karena itu hewan dijerat di bagian lehernya Ketika akan disembelih, sekalipun syahwatnya sedang menggebu-gebu, karena dia tidak mengetahui kelanjutannya. Manusia tidak bisa mendapatkan seperti yang didapatkan hewan, karena kekuatan akalnya dan kKelemahan alat yang bisa dipergunakan.

 

  1. Melibatkan hati dalam mempertimbangkan akibat nafsu, sehingga dia bisa mengetahui seberapa banyak nafsu itu meloloskan ketaatan dan berapa banyak nafsu itu mendatangkan kehinaan. Berapa banyak satu suapan yang menghalangi beberapa suapan. Berapa banyak sedikit kenikmatan yang menghilangkan beberapa kenikmatan. Berapa banyak sedikit syahwat yang menghancurkan kehormatan, menundukkan kKepala, menciptakan kenangan yang buruk, mengakibatkan celaan dan aib yang tidak bisa dicuci dengan air, sementara mata orang yang menuruti nafsu adalah mata yang buta.

 

  1. Orang yang berakal harus menggambarkan tujuan yang terealisir seperti yang diinginkan nafsunya, kemudian dia harus menggambarkan keadaannya setelah memenuhi kebutuhannya dan apa yang lepas darinya. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Orang paling mulia yang tidak melakukan sebab sehingga di kemudian dia bisa membedakan akibat

 

  1. Dia harus mempertimbangkan hak orang lain dengan sebenarbenarnya, kemudian harus menggambarkan jika kedudukannya seperti Kedudukan orang Jain itu. Sebab hukum sesuatu menurut hukum sepadannya.

 

  1. WHarus memikirkan apa yang dituntut jiwanya, lalu bertanya kepada akal dan agamanya, yang nantinya akan mengabarkan bahwa apa yang dituntut itu tidak ada artinya apa-apa.

 

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, ‘Jika salah seorang di antara Kalian tertarik Kepada seorang wanita, maka hendaklah dia mengingat-ingat kebusukannya.”

 

Perkataannya ini jauh lebih mengena daripada perkataan Ahmad bin Al-Husain, Jika orang yang sedang jatuh cinta memikirkan kesudahannya yang manis, dan dia seakan ditawan oleh kesudahan itu, maka sesungguhnya dia bukanlah orang yang tertawan.” Sebab perkataan Ibnu Mas’ud menggambarkan keadaan yang ada, sedangkKan perkataan Ahmad menggambarkan Keadaan yang masih akan datang.

 

  1. Menghinakan diri sendiri karena dia tunduk kepada nafsu. Sebab tidaklah seseorang menuruti nafsunya melainkan pasti akan mendapatkan Kehinaan pada dirinya. Jangan tertipu kehebatan dan kesombongan orang-orang yang mengikuti nafsunya, padahal dilihat dari batinnya, mereka adalah orang-orang yang paling hina dina. Jadi memang mereka memadukan antara Kesombongan dan kehinaan.

 

  1. MempertimbangkKan keselamatan agama, kehormatan, harta dan kedudukan, dengan Kenikmatan yang didapatkan. Antara keduanya tidak ada perimbangan sama sekali. Perlu diketahui, dia adalah orang yang paling bodoh, Karena menjual yang pertama untuk mendapatkan yang Kedua.

 

  1. Menggambarkan kehinaan dirinya andaikata dia berada di bawah kekuasaan musuhnya. Jika syetan melihat hasrat dan semangat seorang hamba melemah, lalu condong Kepada nafsunya, maka dia tertarik kepadanya dan membelenggunya dengan tali nafsu serta menghelanya ke mana pun yang dia kehendaki. Jika dia memiliki kekuatan, semangat dan kemuliaan jiwa, maka syetan tidak akan tertarik kepadanya dan tidak mampu mengganggunya kecuali dengan cara mencuri-curi.

 

  1. Harus mengetahui bahwa nafsu tidak mencampuri sesuatu melainkan ia merusaknya. Jika nafsu mencampuri ilmu, maka ia mengeluarkannya ke bid’ah dan kesesatan, pelakunya menjadi kelompok orang-orang yang mengikuti nafsu. Jika nafsu mencampuri zuhud,

 

maka ia mengeluarkannya pelakunya kepada riya’ dan menyalahi Sunnah. Jika nafsu mencampuri hukum, maka ia mengeluarkan pelakunya kepada kezhaliman dan menghalangi kebenaran. Jika nafsu mencampuri pembagian, maka ia mengeluarkan pembagian itu kepada ketidakadilan dan kebohongan. Jika nafsu mencampuri ibadah, maka ibadah itu akan keluar dari ketaatan dan tagarrub. Jadi, selagi nafsu mencampuri sesuatu, maka ia akan merusaknya.

 

  1. Harus mengetahui bahwa syetan tidak mempunyai jalan masuk pada diri anak Adam melainkan melalui pintu nafsu. Syetan selalu berputar-putar mengelilinginya, dari arah mana dia akan masuk ke dalam dirinya, untuk merusak hati dan amalnya. Syetan tidak mendapatkan jalan masuk kecuali dari pintu hawa nafsu, lalu dia mengalir di dalam dirinya layaknya aliran racun di dalam tubuh.

 

  1. Allah menjadikan nafsu sebagai penentang apa yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan menjadikan para pengikut nafsu sebagai musuh para pengikut rasul. Karena manusia itu bisa dibagi menjadi dua bagian: pengikut wahyu dan pengikut nafsu. Hal ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an, di antaranya,

 

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al-Qashash: 50).

 

“Dan, jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120).

 

  1. Allah menyerupakan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dengan hewan yang paling buruk, baik rupa maupun pengertiannya. Terkadang Allah menyerupakan mereka dengan anjing, seperti firman-Nya,

 

“Tetapi dia cenderung kepada dunia dan dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, Jika kamu menghalaunya dia mengulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).” (A\-Araf: 176).

 

“Seakan-akan mereka itu kelelawar liar yang lari terkejut, lari daripada singa.” (Al-Muddatstsir: 50-51).

 

Terkadang rupa mereka juga dirubah menjadi kera, dan terkadang menjadi babi.

 

  1. Pengikut nafsu tidak layak ditaati, tidak patut menjadi pemimpin dan ikutan. Sesungguhnya Allah menghindarkannya dari kepemimpinan darinya dan melarang ketaatan kepadanya. Tentang penghindarannya, Allah berfirman kepada kekasih-Nya, Ibrahim,

 

“Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata, “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman, Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 124).

 

Artinya, janji-Ku untuk mendapatkan kepemimpinan tidak berlaku bagi orang-orang yang zhalim. Setiap orang yang mengikuti hawa nafsunya adalah orang yang zhalim, sebagaimana firman-Nya, “Tetapi orang-orang yang zhalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan.” (Ar-Rum: 29).

 

Larangan ketaatan kepadanya seperti firman Allah, “Dan, janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas.” (Al-Kahfi: 28).

 

  1. Allah menempatkan orang yang mengikuti nafsunya sama dengan kedudukan penyembah berhala. Allah berfirman, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya.” (Al-Furgan: 43).

 

Allah menyebutkan seperti ini di dunia tempat dalam Kitab-Nya. Al-Hasan berkata, “Dia adalah orang munafik yang tidak menginginkan sesuatu melainkan pasti melakukannya. Atau dia orang munafik yang menyembah hawa nafsunya, tidak menginginkan sesuatu melainkan pasti melakukannya.”

 

  1. Nafsu adalah dinding pagar yang mengitari Jahannam. Barangsiapa terseret ke dalam nafsu, berarti dia terseret ke dalam neraka, sebagaimana yang disebutkan di dalam Ash-Shahithain, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukat dan neraka itu dikelilingi dengan berbagai syahwat.” Di dalam riwayat At-Tirmidzy, yang menurutnya merupakan hadits hasan shahih, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia memarfu’kannya,

 

“Tatkala Allah menciptakan surga, Dia mengutus Jibril seraya berfirman, ‘Periksalah surga itu dan apa yang telah Kupersiapkan untuk penghuninya di sana!’ Maka Jibril datang dan memeriksanya dan apa yang telah dipersiapkan Allah bagi penghuninya di sana. Lalu dia kembali menemui Allah dan berkata, ‘Demi kemuliaan-Mu, tak seorang pun di antara hamba-hamba-Mu yang mendengarnya melainkan ingin memasukinya’. Lalu Allah memerintahkan hingga surga ttu dikelilingi dengan hal hal yang tidak disukai, lalu berfirman lagi, ‘Kembalilah ke sana dan periksalah!’ Maka Jibril kembali ke surga yang ternyata surga itu telah dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukat. Jibril berkata, ‘Demi kemuliaan-Mu, saya menjadi khawatir tidak akan ada seorang pun yang memasukinya’. Allah berfirman, ‘Pergilah ke neraka, periksalah neraka itu dan apa yang telah kupersiapkan bagi penghuninya di sana!’ Maka Jibril datang dan memeriksanya serta apa yang dipersiapkan Allah bagi penghuninya di sana. Ternyata sebagian neraka itu menunggangi sebagian yang lain. Lalu Jibril berkata, ‘Demi kemuliaan-Mu, seorang pun tidak mendengar neraka itu lalu ingin memasukinya’. Lalu Allah memerintahkan kepada neraka itu hingga ia dikelilingi dengan berbagai nafsu. Maka Jibril kembali menemui Allah dan berkata, ‘Demi kemuliaan-Mu, saya khawatir tak seorang bisa selamat dari neraka itu’.”

 

  1. Orang yang mengikuti nafsu dikhawatirkan akan lepas dari iman, sementara dia tidak menyadarinya. Telah disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

 

“Seseorang di antara kalian tidak beriman sehingga keinginannya mengikuti apa yang kubawa.” Beliau juga bersabda,

 

“Ketakutan yang paling kutakutkan atas kalian adalah godaan dalam perut dan kemaluan kalian serta kesesatan hawa nafsu.”

 

  1. Mengikuti hawa nafsu termasuk tindakan yang merusak. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Ada tiga perkara yang merusakkan dan ada tiga perkara yang menyelamatkan. Tiga perkara yang merusakkan adalah kekikiran yang diikuti, hawa nafsu yang diikuti dan ketaajuban seseorang terhadap dirinya sendirt. Tiga perkara yang menyelamatkan adalah takwa kepada Allah di saat terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, bersikap adil tatkala marah dan ridha, kesederhanaan di saat miskin dan kaya.”

 

  1. Menentang hawa nafsu menghasilkan kekuatan tubuh, hati dan lidah manusia. Di antara orang-orang salaf ada yang berkata, “Orang yang mampu mengalahkan hawa nafsunya lebih kuat daripada orang yang mampu menaklukkan sebuah kota sendirian.” Di dalam sebuah hadits shahih secara marfu’ disebutkan,

 

“Orang yang kuat itu bukan karena dengan bergulat, tetapi orang yang kuat ialah yang dapat menguasai dirinya tatkala sedang marah.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim dan Ahmad). Selagi seseorang membiasakan dirinya untuk menentang hawa nafsunya, berarti dia menambah kekuatan di atas kekuatan yang sudah ada.

 

  1. Orang yang paling kesatria ialah yang paling keras dalam menentang hawa nafsunya. Mu’awiyah pernah berkata, “Sifat kesatria ialah meninggalkan syahwat dan menentang hawa nafsu. Mengikuti hawa nafsu berarti mengurangi sifat kesatria.”

 

  1. Tidak ada satu hari pun yang berlalu melainkan nafsu dan akal saling bergelut pada diri orang yang bersangkutan. Mana yang dapat mengalahkan rivalnya, maka dia akan mengusirnya dan menguasainya. Abud-Darda’ berkata, ‘ika pada diri seseorang berkumpul nafsu dan amal, lalu amalnya mengikuti nafsunya, maka hari yang dilaluinya adalah hari yang buruk. Jika nafsunya mengikuti amalnya, maka hari yang dilaluinya itu adalah hari yang baik.”

 

  1. Sesungguhnya Allah menjadikan kesalahan dan mengikuti nafsu sebagai dua hal yang berdampingan, dan menjadikan kebenaran dan menentang nafsu sebagai dua hal yang berdampingan, sebagaimana yang dikatakan scbagian salaf, ‘Jika ada masalah yang rumit engkau pecahkan, engkau tidak tahu mana yang benar, maka tinggalkanlah yang lebih dekat dengan nafsumu, karena sesuatu yang lebih dekat dengan kesalahan ialah yang mengikuti hawa nafsu.”

 

  1. Nafsu itu merupakan penyakit, dan obat penawarnya adalah menentangnya. Sebagian orang arif bijaksana berkata, Jika engkau mau akan kuberitahukan apa penyakitmu, dan jika engkau mau akan kuberitahukan apa obatnya. Penyakitmu adalah nafsumu dan obat penawarnya adalah meninggalkan nafsu dan menentangnya.” Bisyr Al-Hafy berkata, “Semua bencana terletak pada nafsumu dan obat penawarnya adalah penentanganmu terhadap nafsu.”

 

  1. Memerangi nafsu lebih hebat dan lebih besar daripada memerangi orang-orang kafir. Seseorang bertanya kepada Al-Hasan Al-Bashry, “Wahai Abu Sa’id, apakah jihad yang paling utama?” Dia menjawab, Jihadmu memerangi nafsumu. Saya juga pernah mendengar syaikh kami berkata, Jihad memerangi nafsu adalah dasar jihad memerangi orang-orang kafir dan munafik. Seseorang belum disebut mampu memerangi mereka sehingga dia sendiri memerangi nafsunya terlebih dahulu, baru kemudian pergi memerangi mereka’.”

 

  1. Nafsu itu merupakan keguncangan dan kebingungan, sedangkan memerangi nafsu merupakan pertahanan diri. Orang yang terlalu dicekam kebingungan dan menghindari penjagaan, dikhawatirkan akan dikalahkan penyakit yang mendekam di dalam dirinya sendiri. Abdul-Malik bin Quraib berkata, “Saya melewati seorang Araby yang sedang termenung sendu. Air matanya mengalir di kedua pipinya. Saya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menghapus air matamu?”

 

Dia menjawab, “Tabib melarangku menghapusnya. Tidak baik jika dilarang tidak memperhatikan, jika diperintah tidak menurut.” “Apakah engkau ingin sesuatu?”

 

“Sebenarnya ingin. Tapi saya berusaha menahan diri. Sesungguhnya syahwat para penghuni neraka itu mengalahkan pertahanan dirinya, sehingga mereka menjadi rusak.”

 

  1. Mengikuti nafsu bisa menutup pintu taufik bagi manusia dan membukakan pintu penyesalan. Dia suka jika Allah memberi taufik andaikan dia berbuat begini dan begitu. Padahal Allah telah menutup pintu taufik karena dia mengikuti nafsunya.

 

Al-Fudhail bin lyadh berkata, “Barangsiapa mengikuti nafsu dan menuruti syahwat, maka terputuslah tali taufik darinya.”

 

Sebagian ulama berkata, “Kufur itu ada dalam empat perkara: kemarahan, syahwat, kebencian dan kesenangan. Pernah kulihat dua dari empat perkara itu, yaitu seseorang marah lalu membunuh ibunya, dan orang yang jatuh cinta lalu dia masuk agama Nashara.” Ada seseorang dari kalangan salaf yang thawaf di sekitar Ka’bah, lalu dia melihat seorang wanita yang cantik. Dia berjalan mendekati wanita itu dan berkata,

 

Hasrat agama dan kesenangan membuatku terpesona bagaimana keadaanku dengan kesenangan dan agama? Wanita itu menjawab, “Tinggalkan yang satu, tentu engkau akan mendapatkan yang lain.”

 

  1. Barangsiapa memanjakan nafsunya, maka dia merusak akal dan pikirannya. Sebab dia telah mengkhianati Allah dalam masalah penggunaan akalinya, sehingga Allah merusak akal itu. Begitulah tindakan Allah terhadap siapa pun yang mengkhianati-Nya dalam suatu urusan, lalu Allah merusak urusan yang bersangkutan. Suatu hari Al-Mu’tashim berkata kepada seorang rekannya, “Hai Fulan, jika nafsu dimanja, maka pikiran menjadi sirna.” Seseorang pernah berkata kepada Syaikh Kami, Jika seseorang berkhianat dalam pembayaran uang, maka Allah akan mengambil yang dia lalaikan itu.”

 

Lalu Syaikh kami menimpali, “Begitu pula jika ada orang yang mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dalam masalah ilmu.” Barangsiapa melapangkan dirinya untuk mengikuti hawa nafsu, maka dia akan disempitkan di dalam kuburnya dan saat kKembalinya.

 

  1. Barangsiapa menyempitkan dirinya dengan cara menentang nafsu, maka akan dilapangkan kuburnya dan tempat kembalinya. Hal ini telah diisyaratkan Allah dalam firman-Nya,

 

“Dan, Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (Al-Insan: 12).

 

Karena bersabar itu sama dengan menahan diri dari nafsu, maka Allah memberikan balasan kepada mereka dengan kenikrnatan mengenakan sutera dan kelapangan surga. Sulaiman Ad-Darany berkata tentang ayat ini, “Allah memberikan balasan kepada mereka karena kesabaran menahan diri dari syahwat.”

 

  1. Mengikuti nafsu membuat hamba tidak bisa bangkit untuk mencapai surga bersama-sama dengan orang yang berhasil mendapatkannya, secbagaimana dia yang tclah menundukkan hatinya untuk mengikuti kKeduniaan.

 

Muhammad bin Abul-Warad berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai satu hari, siapa yang tunduk kepada nafsunya tidak akan bisa selamat dari siksaan-Nya. Di antara orang-orang yang jatuh dan tidak bisa bangkit pada Hari Kiamat ialah orang yang tunduk kepada nafsunya.

 

  1. Mengikuti nafsu bisa mengendorkan semangat, dan menentang nafsu bisa menguatkan semangat. Semangat merupakan tunggangan hamba, yang membawanya kepada Allah dan Hari Akhirat. Jika tunggangan lemah dan tidak berdaya, saat itu pula perjalanan menjadi terhenti.

 

Yahya bin Mu’adz pernah ditanya, “Siapakah orang yang semangatnya paling benar>?”

 

Dia menjawab, “Orang yang dapat menundukkan nafsunya.”

 

Khalaf bin Khalifah pernah memasuki tempat Sulaiman bin Habib bin Al-Mahlab, yang di sana ada seorang wanita yang biasa dipanggil Al-Badr, karena wajahnya yang cantik: Sulaiman bertanya kepada Khalaf, “Bagaimana gadis ini menurut pendapatmu?”

 

Khalaf menjawab, “Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada Amir, dia adalah gadis tercantik yang pernah kulihat.”

 

“Peganglah tangannya!”

 

“Saya tidak ingin menggusarkan hati Amir, karena saya bisa melihat

 

Amir terpesona kepadanya.”

 

“Celaka engkau. Peganglah tangannya justru karena aku terpesona kepadanya, agar saya bisa kuketahui nafsuku, bahwa saya bisa menguasainya.”

 

Maka Khalaf memegang tangan gadis itu, dan setelah itu dia keluar, seraya melantunkan syair,

 

Aku disayang diberi anugerah dan kemuliaan

tanpa ada masalah yang berasal dari Sulaiman

aku diberi bulan berupa gadis muda yang cantik jelita

padahal bulan tidak diberikan kepada jin dan manusia

tiada orang yang pernah mendapatkan kemuliaan

hingga aku terbujur dalam kafan tidur di kuburan

 

  1. Orang yang menunggang hawa nafsu seperti orang yang menunggang kuda besi, sulit, keras dan tanpa tali kekang, sehingga terlalu mudah untuk terjerumus atau terseret kepada kerusakan.

 

Seorang arif bijaksana berkata, “Tunggangan yang paling cepat ke surga ialah zuhud di dunia dan tunggangan yang paling cepat ke neraka ialah mencintai syahwat. Siapa yang tetap berada di atas tunggangan hawa nafsunya, maka dia akan dihela kepada kerusakan.”

 

Sebagian yang lain berkata, “Ulama yang paling mulia ialah yang lari dari dunia sambil membawa agamanya dan tidak kesulitan mengekang nafsunya.”

 

Atha’ berkata, “Siapa yang nafsunya dapat mengalahkan akalnya dan mengguncang Kesabarannya, maka dia akan jatuh.”

 

  1. Tauhid dan mengikuti nafsu merupakan dua hal yang saling bertentangan. Nafsu itu ibarat berhala. Setiap hamba mempunyai berhala di dalam hatinya menurut nafsunya. Allah mengutus rasulrasul-Nya untuk menghancurkan berhala dan memerintahkan untuk menyembah-Nya semata, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Maksud menghancurkan berhala bukan berhala yang terlihat mata dan membiarkan berhala di dalam hati. Tapi yang dimaksudkKan Allah adalah menghancurkan berhala di dalam hati terlebih dahulu.

 

Hasan bin Ali Al-Muththawwi’’y berkata, “Berhala setiap manusia adalah nafsunya. Barangsiapa menghancurkan berhala itu dengan cara menentangnya, maka dia layak disebut pemberani. Perhatikan perkataan Ibrahim Alaihis-Salam kepada kaumnya,

 

“Patung-patung apakah tni yang kalian tekun beribadah kepadanya?” (Al-Anbiya’: 52).

 

Hal ini sesuai dengan berhala-berhala yang diinginkan hati dan yang disembah secara tekun selain Allah. Firman-Nya,

 

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelthara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan rnereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqan: 43-44).

 

  1. Menentang nafsu bisa melenyapkan penyakit dari hati dan badan, sedangkan mengikuti nafsu bisa mendatangkan penyakit hati dan badan. Semua penyakit hati berasal dari mengikuti nafsu. Jika engkau menyelidiki berbagai penyakit badan, tentu engkau akan mendapatkan bahwa mayoritasnya berasal dari mementingkan nafsu ketimbang meninggalkannya.

 

  1. Dasar permusuhan, kejahatan dan kedengkian yang muncul di kalangan manusia ialah karena mengikuti nafsu. Siapa yang menentang nafsunya, berarti dia membuat hati dan badannya menjadi tenteram dan sehat.

 

Abu Bakar Al-Warraq berkata, Jika nafsu yang menang, maka hati menjadi gelap. Jika hati menjadi gelap, maka dada terasa sesak. Jika dada menjadi sesak, maka akhlak menjadi buruk. Jika akhlak menjadi buruk, maka dia membenci orang lain dan orang lain pun membencinya. Maka perhatikanlah apa yang diakibatkan nafsu, seperti kebencian, kejahatan, permusuhan, mengabaikan hak orang lain dan lain sebagainya.

 

  1. Allah menciptakan nafsu dan akal di dalam diri manusia. Mana yang menang di antara keduanya, maka yang lain akan menyingkir, sebagaimana yang dikatakan Abu Ali Ats-Tsaqfy, “Barangsiapa nafsunya lebih dominan, maka akalnya akan menyingkir. Lihatlah akibat orang yang akainya dikalahkan rivalnya.”

 

Ali bin Sahl berkata, “Akal dan nafsu saling bermusuhan. Taufik merupakan kesudahan akal dan penyesalan merupakan kesudahan nafsu. Jiwa berada di antara keduanya. Mana yang tampil sebagai pemenang, maka jiwa akan mengikutinya.”

 

  1. Allah menjadikan hati sebagai raja bagi anggota badan, tambang pengetahuan, cinta dan ibadahnya, lalu Dia mengujinya dengan dua kekuasaan, dua pasukan dan dua pendukung. Kebenaran, zuhud dan petunjuk merupakan satu kekuasaan. Pendukungnya para malaikat, pasukannya kejujuran, ikhlas dan menjauhi nafsu. Sedangkan kebatilan merupakan kekuasaan satunya lagi. Para pendukungnya adalah syetan, pasukannya adalah mengikuti hawa nafsu. Sementara jiwa berada di antara dua pasukan ini. Pasukan kebatilan tidak berani maju mendekati hati kecuali melewati jiwa.

 

  1. Musuh terbesar bagi seseorang adalah syetan dan hawa nafsunya. Sedangkan rekan yang paling dipercaya adalah akalnya dan kekuasaan yang memberikan nasihat kepadanya. Jika dia mengikuti nafsunya, maka tangannya diserahkan kepada musuhnya, lalu dia ditawan. Inilah yang disebut bencana, penderitaan, ketetapan yang buruk dan kemenangan musuh.

 

  1. Setiap manusia mempunyai permulaan dan kesudahan. Barangsiapa permulaannya ditandai dengan mengikuti hawa nafsu, maka kesudahannya adalah kehinaan, kemerosotan dan bencana, tergantung seberapa jauh dia mengikuti nafsunya. Bahkan puncak kesudahannya adalah siksaan yang dia rasakan di dalam hatinya. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Siksaan karena penyimpangan di masa muda

disusul dengan siksaan pula di masa tua

 

Andaikata engkau memperhatikan setiap keadaan yang buruk, tentu engkau akan mendapatkan bahwa pemulaannya ialah karena mengikuti hawa nafsu dan mementingkannya daripada mementingkan akalnya. Barangsiapa yang permulaannya menentang nafsu dan menaati petunjuk yang lurus, maka kesudahannya adalah kemuliaan dan kehormatan di sisi Allah serta manusia.

 

Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “Barangsiapa dapat menguasai syahwat pada masa mudanya, niscaya Allah akan memuliakannya pada masa tuanya.”

 

Al-Muhallab bin Abu Shafrah pernah ditanya, “Dengan cara apa engkau bisa mendapatkan apa yang telah engkau dapatkan?”

 

Dia menjawab, “Dengan menuruti hasrat namun menentang nafsu. Ini mencakup permulaan dan kesudahan di dunia. Sedangkan di akhirat, maka Allah menjadikan surga sebagai kesudahan orang yang menentang nafsunya, dan neraka sebagai kesudahan orang yang mengikuti nafsunya.”

 

  1. Nafsu merupakan budak di hati, belenggu di leher dan tali di kaki. Orang yang mengikuti nafsu menjadi tawanan dari penguasa yang buruk, dan siapa yang menentang nafsu bisa bebas dari perbudakan dan menjadi orang merdeka, melepaskan belenggu dari leher dan kaki. Dikatakan dalam sebuah syair,

 

Orang yang mengikuti syahwat adalah hamba sahaya namun jika syahwat ditaklukkan dia kan menjadi raja

 

  1. Menentang nafsu bisa menempatkan hamba pada suatu kedudukan, yang jika dia memohon kepada Allah pasti akan dikabulkan, sehingga Dia memenuhi segala kebutuhannya sekian kali lipat dari nafsu yang ditinggalkannya. Dia itu bisa diibaratkan orang yang tidak menyukai kotoran hewan, lalu diganti dengan mutiara. Orang yang mengikuti nafsunya akan kehilangan sekian banyak kemaslahatan di dunia dan akhirat serta kehidupan yang tenteram, sama sekali tidak scbanding dengan nafsu yang diperolehnya. Perhatikan bagaimana kebebasan tangan, lidah dan jiwa Yusuf Alathis-Salam setelah kKeluar dari penjara, Karena beliau menahan dirinya dari hal yang diharamkan.

 

Abdurrahman bin Mahdy berkata, “Saya bermimpi bertemu Sufyan Ats-Tsaurny, lalu saya bertanya kepadanya, “Apa yang dilakukan Allah terhadap dirimu?”

 

Dia menjawab, “Tidak ada yang Dia perbuat melainkan aku hanya merasa diletakkan di dalam liang kuburku barang sejenak, lalu tibatiba aku sudah berada di hadapan Allah. Dia menghisabku dengan hisab yang mudah, kemudian memerintahkan aku masuk surga. Tatkala aku sedang berkeliling di antara pepohonan dan sungaisungainya, yang saat itu tidak terdengar satu gerakan pun, tiba-tiba aku mendengar perkataan, “Sufyan Ats-Tsaury?”

 

Saya menjawab, “Benar, Sufyan Ats-Tsaury.”

 

“Apakah kamu masih ingat bahwa pada’suatu hari kamu lebih mementingkan Allah daripada mementingkan nafsumu?” “Begitulah,” jawabkKu.

 

Tiba-tiba ada hidangan makanan ringan yang disodorkan Kepadaku dari segala arah.

 

Abdurrazzaq berkata, “Abu Ja’far mengirim utusan tatkala pergi ke Makkah, dengan mengatakan, Jika kalian bisa menangkap Sufyan, – maka saliblah dia.”

 

Maka para utusan Abu Ja’far memancangkan papan untuk menyalib dan mereka pun mencarinya, yang ternyata sedang bersembunyi di rumah Al-Fudhail. Rekan-rekan Abu Ja’far berkata kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah dan janganlah memancing permusuhan dengan Kami.”

 

Sufyan memasang Kain penutup, lalu berkata, “Sekarang aku bebas jika Abu Ja’far benar-benar sudah memasuki Makkah.”

 

Ternyata Abu Ja’far meninggal sebelum tiba di Makkah.

 

  1. Menentang nafsu pasti mendatangkan kemuliaan di dunia dan kemuliaan di akhirat, kKeperkasaan lahir dan batin. Sedangkan mengikuti nafsu akan menghinakan manusia di dunia dan di akhirat, lahir dan batin. Jika Allah sudah mengumpulkan manusia di satu tempat, maka ada penyeru yang berseru, “Pada hari ini agar diketahui orang-orang yang mulia di antara orang kebanyakan. Hendaklah orang-orang yang bertakwa berdiri. Maka mereka berdiri di tempat yang mulia. Sedangkan orang-orang yang mengikuti nafsu hanya bisa tertunduk diam di tempat yang panas dan menyiksa. Orang-orang yang bertakwa itu berada di bawah lindungan Arsy-Nya.

 

  1. Jika engkau memperhatikan tujuh golongan orang-orang yang mendapat perlindungan Arsy Allah pada hari yang tiada perlindungan selain perlindungan-Nya, maka engkau akan mendapatkan bahwa mereka mendapatkan perlindungan itu karena menentang nafsunya. Pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan tidak mungkin bisa berbuat adil kecuali dengan menentang nafsunya. Pemuda yang mementingkan ibadah kepada Allah semasa mudanya tidak akan mampu andaikan dia tidak menentang nafsunya. Orang yang hatinya bergantung di masjid-masjid, bisa seperti itu karena dia menentang nafsu yang hendak menyeretnya kepada berbagai macam kenikmatan. Orang yang mengeluarkan shadagah, dengan menyembunyikan shadagahnya, andaikan dia tidak menentang nafsunya tentu tidak akan mampu berbuat seperti itu. Orang yang diajak wanita yang cantik dan terpandang, lalu dia takut kepada Allah dan menentang nafsunya, dan orang yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian, hingga kedua matanya meneteskan air mata karena takut kepada-Nya, tidak akan mampu berbuat seperti itu kecuali dia menentang nafsunya. Mereka ini tidak mengenal panas, siksaan dan kesulitan pada Hari Kiamat, berbeda dengan orang-orang yang mengikuti nafsunya. Setelah semua itu mereka masih menunggu untuk dimasukkan ke dalam penjara nafsu. Allahlah yang layak dimintai agar melindungi kita dari nafsu yang menyuruh kepada bisikan kejahatan dan menjadikan nafsu (kehendak) kami mengikui apa yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.