Terjemah Salat al-Muqarrabin Hasan al-Bahr

Mukaddimah

 

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menampakkan pada inti wujud rahasia keistimewaan-Nya, yang keindahannya beredar pada alam mulk dan malakut. Dan semoga Allah Swt melimpahkan selawat kepada Nabi Muhammad Swt, kiblat para ruh yang suci dan mulia yang tidak ada bandingannya di hadirat Allah Swt (al-hadhdrah adz-dzatiyyah), ranah manifestasi kebaikan Ilahi Swt, titik tolak segala pujian, pusat cahaya Allah Swt yang menjadi tumpuan semua ciptaan. Semoga selawat juga tercurah kepada keluarga dan para sahabat Nabi Muhammad Saw yang merupakan pantulan cahaya beliau, gemintang di sekeliling purnamanya, dan penyampai perintah dan larang beliau Saw.

 

Wa badu

 

Shalat, merupakan inti dari segala amal ibadah, dan hakikat tingkat hubungan seorang hamba dengan Allah, serta rahasiz terdalam penciptaan sejak zaman azali. Melalui shalat pula tampak cahaya ketuhanan (an-nur ar-rabbaniy) yang tertutup oleh tampilan fisik. Sepatutnya, mereka yang Allah Swt terangi penglihatan batinnya (bashirah), dan yang Ia sucikan relung jiwanya (sarirah) dari segala kotoran, memusatkan perhatian padanya dan menghalau semua yang menghalanginya untuk terus naik ke derajat yang lebih tinggi, agar dapat mereguk (li yakraa) airnya yang jernih dan menyegarkan.

 

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt yang mempersatukan kita semua di dalam pusat segala amal perbuatan. Sesungguhnya amal saleh adalah bentuk implentasi keimanan yang jika keduanya terus beriringan maka ia akan menjadi perahu keselamatan dan tangga untuk terus naik menuju kedekatan kepada Allah Swt, meraih surga-Nya, dan berkumpul bersama para kekasih-Nya.

 

 

Kita berkumpul untuk mempelajari apa-apa yang terkandung dalam kitab yang agung, mulia dan penuh dengan cahaya ini. Kitab yang bersumber dari hati seseorang yang mengenal Allah Swt, yang senantiasa hadir bersama-Nya, yang memiliki kapasitas mumpuni dalam memahami kehendak Allah Swt dan rahasia-rahasia wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad Saw dengan posisinya sebagai pewaris sempurna dari Nabi Muhammad Saw.

 

Maka kita berkumpul untuk mempelajari sekelumit makna yang terkandung dalam kitab ini dengan tujuan meraih rahmat dan mengharap guyuran kebaikan Allah Swt atas kita. Sebab, jika disebut mengenai orang-orang yang dekat dengan Allah Swt dan ucapanucapan mereka yang sarat dengan cahaya makrifat dan kecintaan yang murni kepada-Nya, menjadikan kita dapat ikut mengecap sedikit dari rahasia Allah Swt yang mereka ketahui. Maka mengingat dan mempelajari hakikat ini menjadi ajang bagi kita untuk mengulurkan tangan dengan penuh harap agar mendapatkan kebaikan yang ada di sisi Allah Swt dan semua yang Ia anugerahkan kepada mereka yang benar-benar tulus dalam menyembah-Nya serta orang-orang yang memiliki kekhususan dan diistimewakan dengan anugerah dan kemurahan-Nya.

 

Mari kita renungkan apa yang ditulis oleh al-Imam Hasan bin Saleh al-Bahr rahimahullah pada kitab ini, yang ditulis berdasarkan permintaan al-Imam al-Allamah al-Arif billah Abdurrrahman bin Sulaiman al-Ahdal ketika mereka bertemu di Makkah pada musim haji. Saat al-Imam Abdurahman al-Ahdal melihat pada diri al-Habib Hasan bin Saleh al-Bahr samudera ilmu makrifat dan cita rasa batin (dzauq) yang begitu luas, beliau meminta al-Habib Hasan untuk menulis sebuah risalah mengenai salat hingga jadilah kitab yang penuh berkah ini.

 

Diceritakan oleh al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, bahwa ketika sekali waktu al-Habib Hasan sedang menunaikan ibadah haji ditemani oleh al-Habib Ahmad bin Ali al-Junaid, mereka bertemu dengan al-Imam Ahmad bin Idris al-Maghribi dan duduk bersama beliau. Al-Habib Ahmad al-Junaid berkata: “Aku membaca ar-Rasyafat di hadapan al-Imam Ahmad bin Idris, dan al-Habib Hasan bin Saleh membacakan kitab karangan beliau ini. Saat aku membacakan ar-Rasyafat, al-Imam Ahmad bin Idris menjelaskan tiap baitnya lengkap dengan menyebutkan ayat-ayat Alquran dan Hadis. Dan saat al-Habib Hasan membacakan kitab beliau, al-Imam Ahmad bin Idris sangat menikmati dan kagum dengan apa yang tertulis di dalamnya, hingga beliau berkata: “Kalau saja penulis kitab ini masih hidup saat ini, sudah seharusnya manusia berlomba-lomba mendatanginya: Aku sudah hendak memberitahu bahwa alHabib Hasan lah penulis kitab itu, namun beliau mencegahku dari melakukan hal tersebut.”

 

Kita dapati pada pembukaan kitab ini setelah beliau mengucapkan basmalah – yang akan diterangkan sebagian dari maknanya pada pembahasan mengenai al-Fatihah -, beliau berkata:

 

“Segala puji bagi Allah Swt yang telah menampakkan pada inti wujud rahasia keistimewaan.”

 

Kata “wujud” dalam bahasa Arab bisa bermakna segala sesuatu yang ada di alam atau bisa juga dimaknai sebagai kata dasar (mashdar), yang jika disebut tanpa embel-embel apapun yang mengikutinya maka yang dimaksud adalah Allah Swt saja. Hal itu karena kata dasar wujud pada saat digunakan tanpa ada kata lain yang bersanding dengannya ditujukan kepada wujud yang hakiki, keberadaan yang hakiki, yang tidak didahului oleh ketiadaan, tidak memiliki permulaan dan pendahuluan. Maka maksud dari wujud yang semacam ini tidak lain hanyalah Allah Swt, dan segala sesuatu selain-Nya pada mulanya tiada kemudian mereka wujud dengan kehendak Allah Swt.

 

Hakikat bahwa segala sesuatu selain Allah Swt memiliki sebab dan Ia yang mewujudkannya, menjadi semacam ujian bagi manusia dan jin. Sebab jika wujud-wujud selain Allah Swt ini menyita perhatian dan menjadi fokus mereka, maka mereka akan terputus dari Allah swt. Karena pada saat itulah mereka memposisikan seakan-akan segala yang wujud selain Allah Swt ada dengan sendirinya. Padahal awal mula semua itu adalah ketiadaan dan bisa kembali hilang dar tiada kapan saja. Sehingga bagi orang-orang yang sudah mencapai hakikat saat memandang kepada segala sesuatu dengan kacamata ini, wujud yang ada ini dijadikan sebagai kendaraan yang mereka tumpangi untuk menyampaikan mereka kepada keagungan penciptaan beserta sifat-sifatnya, hingga mereka sampai kepada rahasia sang Pencipta yang terbentang pada ciptaan-Nya. Allah Swt berfirman: “Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelas bagi mereka bahwa (Alquran) itu adalah kebenaran” (QS. Al-Fushilat: 53).

 

Jika kita memahami hal ini, maka kita juga akan memahami ungkapan “Tiada yang wujud kecuali Allah Swt” Ungkapan itu bermakna tidak ada yang wujud dengan wujud hakiki tanpa bantuan siapa pun, tanpa perantara apapun, kecuali Allah. Dan ketika segala sesuatu menjadi wujud dengan kehendak-Nya maka itu semua seakan-akan tidak berarti apa-apa. AL-Imam al-Ghazali berkata: “Tidak ada yang wujud kecuali Allah Swt dan perbuatan-perbuatanNya, sebab segala yang wujud selain Allah Swt ada karena perbuatanNya yang menciptakan itu semua.

 

Meski demikian, berapa banyak orang-orang berakal yang lalai dari Allah Swt seakan-akan Ia tidak wujud, dan segala sesuatu selain-Nya lah yang wujud. Ini termasuk perbuatan zalim dari seseorang terhadap dirinya sendiri dan bentuk pengingkaran kepada Allah Swt. Allah swt berfirman mengenai orang semacam ini: “Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS. Al-‘Adiyat: 6).

 

Dia Swt mengkhususkan siapa yang Ia kehendaki dengan rahmat dan karunia dari-Nya, dan Allah Swt adalah pemilik karunia yang luas. Maka muncullah kelompok-kelompok utama dari kalangan makhluk yang berakal, yaitu manusia, jin, dan malaikat, yang kemudian tampak keistimewaan pada mereka yang Allah pilih, sebagaimana firman-Nya: “Allah memilih utusan-utusan-Nya dari malaikat dan manusia,” (QS. al-Hajj: 75). Sampai kepada puncaknya adalah para Nabi dan Rasul, kemudian kepada Ulul Azmi dari kalangan mereka, hingga kepada yang tertinggi pemimpin para Rasul, Muhammad Saw.

 

“Yang keindahannya beredar pada alam mulk dan malakut”

 

Keindahan pengkhususan dan keistimewaan ini bergerak, mengalir pada alam mulk, yaitu alam yang tampak dan dapat dijangkau oleh panca indera. Sedangkan alam malakut adalah alam yang gaib. Alam mulk adalah alam yang dijadikan oleh Allah Swt dapat dijangkau oleh kelima panca indera manusia. Sedangkan semua yang tidak dapat dijangkau dengan panca indera termasuk ke dalam alam malakut. Karena itu, bentuk fisik langit yang kita Saksikan termasuk dalam alam mulk, tetapi kejadian-kejadian “ahasia yang terjadi di sana dan para malaikat itu sendiri tergolong alam malakut. Sehingga definisi dari alam malakut adalah segala Sesuatu yang menurut sunatullah, sesuai kehendak Allah, tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Allah Swt berfirman mengenai Nabi Ibrahim a.s ketika hendak diperlihatkan kepadanya rahasiarahasia langit dan bumi: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami pada malakut langit dan bumi agar dia termasuk orang yang yakin” (QS. al-AnAm: 75).

 

Hal itu karena Allah Swt hendak menunjukkan kepada Nabi Ibrahim a.s rahasia yang tersimpan di langit dan bumi yang tidak bisa dijangkau oleh indera.

 

Sarana mengalirnya keindahan Ilahi di alam penciptaan ini adalah melalui Nabi Muhammad Saw, sebagaimana sebagian bentuk selawat kepada beliau Saw: “Wahai Allah limpahkan selawat kepada Nabi Muhammad, cahaya-Mu yang mengalir pada semua ciptaan (Nurika as-Sari).” Maka beliaulah pusat segala keindahan dan dari keindahan beliaulah Allah Swt menciptakan segala keindahan yang lain. Disebutkan dalam sebuah ungkapan: “Tidak ada keutamaan di alam kecuali berasal dari ia makhluk yang utama, dan tidak ada keindahan yang terhampar kecuali bersumber darinya yang paling indah. Tidak ada mata air yang memancar dan mengalir kecuali bersumber dari samuderanya” Maka beliaulah pusat segala keistimewaan dan inti dari pilihan-pilihan Ilahi.

 

Dan ungkapan penulis bahwa keindahan ini mengalir dan mencakup seluruh alam mulk (yang tampak) dan malakut (yang gaib) merupakan isyarat bahwa Allah Swt menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Ucapan ini menunjukkan bahwa pada semua yang Allah Swt ciptakan, baik yang bersifat lahiriah atau maknawi, ada keindahan yang tersebar dan terpancar yang disaksikan oleh mereka yang hatinya bercahaya. Al-Imam Abdullah al-Haddad berkata: “Dan saksikanlah keindahan yang cahayanya memancar.” Dimana cahaya yang memancar itu? Beliau seakan berkata: “Jika engkau memiliki pandangan yang mendalam, memiliki mata batin yang bercahaya, maka akan engkau saksikan keindahan itu pada segala sesuatu. Dalam ungkapan lain disebutkan bahwa pada segala sesuatu ada tanda-tanda yang menyatakan bahwa Allah adalah tuhan yang satu.

 

Maka keindahan tersebar dan tampak pada semua makhluk dan ciptaan. “(Dialah Allah) yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya” (QS. as-Sajdah: 7). Ini adalah perkara yang semestinya tidak boleh hilang dari benak orang-orang yang beriman. Kaum mukminin saat ini terkungkung oleh panca indera dan wujud majasi sehingga lupa pada wujud yang hakiki, yaitu Allah Swt. Sehingga jika salah seorang dari mereka diminta mendefinisikan Allah, mereka hanya akan menjawab bahwa Allah adalah nama bagi Dzat yang mesti ada (wujud) dan berhak memiliki semua kesempurnaan.

 

“Semoga Allah Swt melimpahkan selawat kepada Nabi Muhammad Saw, kiblat para ruh yang suci dan mulia.”

 

Kiblat adalah sesuatu yang menjadi arah tempat menghadap dan menjadi tujuan serta menjadi pusat perhatian. Allah Swt menjadikan untuk kita sesuatu yang paling mulia di muka bumi, yaitu Kabah, sebagai kiblat jasmani dan menetapkan dalam syariat Islam kewajiban untuk menghadap ke arahnya bagi siapa saja yang hendak melaksanakan salat dalam firman-Nya: “Maka palingkan wajahmu ke arah Masjid al-Haram dan dimana saja kamu sekalian berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya” (QS. al-Bagarah: 150).

 

Ruh dengan segala rahasia yang terkandung di dalamnya diberikan Allah Swt kepada kita dengan kemurahan-Nya tanpa didahului oleh permintaan apapun. Adapun fase nutfah (mani) yang berkembang menjadi segumpal darah, kemudian segumpal daging, untuk selanjutnya memiliki tulang yang kemudian dibungkus dengan daging, hanyalah perjalanan jasad manusia. Kemudian Allah Swt dengan karunia-Nya memasukkan ruh ke dalamnya. Allah berfirman: “Katakanlah: Ruh adalah urusan Tuhanku” (QS. al-Isra: 85).

 

Diceritakan di dalam Alquran bahwa ketika Allah Swt menciptakan Adam dari tanah yang kering, kemudian Allah Swt berfirman: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah Aku tiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. al-Isra: 29) Kita semua diberi ruh ini oleh Allah Swt, dan segala puji bagi Allah atas nikmat ini.

 

Ruh, menurut perjalanan hidupnya, mendapat pengaruh dari alam wujud ini. Bisa jadi ia terputus hubungannya dengan Allah Swt Yang Maha Wujud sehingga jatuh derajatnya dan tidak pantas dikatakan sebagai ruh yang memiliki sifat langit (sifat-sifat kebaikan), apalagi menjadi ruh yang arsyiyyah (yang tujuannya adalah Allah Swt). Stempel ini disematkan kepada ruh berdasarkan tujuan dan ke mana ia menghadap. Karena pada dasarnya semua ruh berasal dari langit. Sebagaimana dikisahkan pada saat mi’raj Nabi Muhammad Saw melihat Nabi Adam a.s dan di samping kiri dan kanannya ada kelompok-kelompok. Jika ia memandang ke kanan, ia tersenyum, dan jika ia memandang ke kiri ia menangis. Ketika Rasulullah Saw bertanya kepada Jibril mengenai kelompok-kelompok itu, Jibril menjawab: “Itu adalah ruh anak keturunannya,” yaitu ruh yang belum dilahirkan saat itu. Kita semua, yang pada saat itu belum dilahirkan, kita berada pada alam tersebut. Dijelaskan bahwa kelompok di kanan adalah ahli surga dan kelompok di kiri adalah ahli neraka. Sehingga jika beliau melihat anak keturunannya dari ahli surga beliau bergembira, dan saat melihat anak keturunannya yang merupakan ahli neraka beliau menangis.

 

Seluruh ruh hidup di langit sebelum hidup di bumi, akan tetapi ia kemudian dikurung dalam jasad ini. Jika ia dihalangi dari terhubung dengan tempat asalnya dan tingginya kedudukannya karena keterikatan yang kuat dengan dunia dan memandang dunia sebagai sesuatu yang wujud secara hakiki hingga lupa kepada Penciptanya dan yang berkuasa atasnya, maka ruh semacam ini disifati dengan ruh yang rendah dan hina. Ruh semacam ini adalah ruh yang tidak tahu menghadap kepada Allah Swt. Ini adalah ruh yang tidak memiliki kiblat kecuali perkara-perkara dunia yang hina itu.

 

Sedangkan ruh yang bersifat arsyiyyahdan ‘arsy adalah Ciptaan yang paling tinggi posisinya di seluruh jagat raya ini. Ruh ini lebih tinggi dari Sidratul Muntaha yang lebih tinggi dari langit yang tertinggi. Inilah ruh yang setara dengan “arsy dalam menyadari kebesaran sang Pencipta Swt dan dalam menghadap dengan sempurna kepada-Nya. Dan ruh dengan sifat semacam ini berkiblat kepada Muhammad Saw. Jika ruh ini menghadapkan diri kepada Nabi Muhammad Saw, maka ia akan sampai kepada Allah Swt. Sebagaimana seseorang yang salat menghadap kiblat, maka salatnya sah dan diterima. Allah swt berfirman: “Dan jika kamu taat kepadanya (Muhammad), niscaya kamu mendapat petunjuk” (QS. an-Nur: 54). Jika kamu taat menghadap kiblat ini (Nabi Muhammad Saw), kamu akan mendapat petunjuk dan sampai kepada Kami. “Dan tidak lain kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan sejelas-jelasnya” (QS. an-Nur: 54) dan beliau Saw telah menyampaikan dengan sangat jelas. “Yang tidak ada bandingannya di hadirat Allah Swt (al-hadhdrah adz-dzatiyyah)”

 

Dimensi ketuhanan (al-hadhrahal-Ilahiyyah) mencakup perbuatan, nama, sifat, dan Dzat Allah Swt. Dimensi perbuatan (hadhrat al-af al) – yang merupakan dimensi yang lebih mudah untuk difahami, lebih memungkinkan untuk dikaji, dan lebih bisa dimengerti oleh banyak orang, – adalah alam raya dan segala isinya yang kita diperintahkan untuk merenunginya juga apa yang tersimpan di dalamnya. Allah berfirman: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah Swt” (QS. alAraf: 185), Allah juga berfirman: “Katakanlah: Perhatikanlah apa yang ada di langit dan bumi,” (QS. Yunus: 105).

 

Dalam ayat di atas, Allah Swt tidak memerintahkan kepada kita untuk melihat langit dan bumi. Allah Swt memerintahkan kita untuk melihat apa yang ada pada keduanya: menunjukkan kepada apakah langit dan bumi itu, menyimpan isyarat apakah keduanya, bagaimana awal mulanya, dari apa ia tercipta, dan seterusnya. Allah Swt berfirman: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. al-Ghasyiyah: 17-20). Allah Swt tidak memerintahkan untuk melihat-lihat langit dan bumi, tapi memerhatikan dan merenungi keduanya.

 

Inilah dimensi perbuatan (hadhrat al-af al). Dengan benar-benar merenungi dimensi perbuatan ini seseorang akan sampai kepada dimensi nama (hadhrat al-asma’) dan dimensi sifat (hadhrat ashshifat). Karena tidak ada satu bagian pun dari dimensi perbuatan kecuali ia terhubung dengan dimensi nama dan sifat Allah Swt. Maka perbuatan-Nya menciptakan alam raya terhubung dengan nama dan sifatnya sebagai pencipta (al-Khaliq), dan perbuatanperbuatan-Nya yang lain ada yang terhubung dengan nama-Nya al-Kabir, Yang Maha Besar, ada yang terhubung dengan nama-Nya Yang Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkuasa, Maha Perkasa, dan lain sebagainya.

 

Seluruh alam raya ini adalah dimensi perbuatan. Jika tidak ada Dzat yang memiliki sifat Maha Mendengar dan Melihat, maka siapa diantara makhluk yang dapat mendengar dan melihat?! Terdapat perbedaan tingkat pendengaran pada makhluk, ada yang pendengarannya tajam dan kurang tajam, terhubung dengan namaNya Yang Maha Meninggikan dan Merendahkan. Di antaranya juga ada yang tertimpa keburukan atau bersumber darinya keburukan, dan ada pula yang mendapat manfaat atau bersumber darinya manfaat, sehingga mengarahkan kita kepada nama-Nya Yang Maha Memberi Manfaat dan Memberi Keburukan (an-Nafi” wa adh-Dhar).

 

Allah Swt berfirman: “Allah yang menjadikan kami mampu berbicara sebagaimana Ia menjadikan segala sesuatu berbicara.” (QS. Fushilat: 21), maka semua ucapan dengan segala macamnya terwujud dari rahasia nama-Nya Yang Maha Berbicara, dan lain sebagainya. Karena itu, dimensi perbuatan adalah pantulan nama dan sifat-sifat Allah Swt. Dimensi perbuatan ini memiliki sisi hakikat dan sisi lahiriah, yaitu yang mampu ditangkap oleh panca indera. Sisi lahiriah atau tampilan luar ini merupakan cermin dari sisi hakikat, dan sisi hakikat dari dimensi perbuatan adalah cerminan dari dimensi nama dan sifat.

 

Dimensi nama dan sifat adalah dimensi yang menjadi manifestasi nama dan sifat-sifat Allah Swt. Allah Swt berfirman: “Hanya milik Allah al-asma al-husna (nama-nama yang indah) maka bermohonlah kepada-Nya dengan nama-nama itu” (QS. al-Araf, 180). Allah Swt juga berfirman: “Katakanlah: Serulah Allah atay serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu menyeru, Dia mempunyai al-asma al-husna (nama-nama yang indah), (QS, al-Isra: 110). Jika hal paling mulia yang kita baca di dalam Alquran adalah apa yang menyambungkan kita dengan dimensi nama dan sifat, maka ayat paling agung di dalamnya adalah Ayat al-Kursi yang sarat dengan nama dan sifat-sifat Allah Swt. Begitu juga terdapat keutamaan yang besar bagi yang membaca ayat-ayat terakhir surat al-Hasyr dan ganjaran khusus pada pembacaan ayat-ayat awal surat al-Hadid yang diriwayatkan dalam banyak hadis. Bagaimana ayatayat tersebut mendapatkan keutamaan ini? Al-Imam al-Ghazali mengatakan: “Karena maksud utama dari diturunkannya Alquran adalah untuk mengajak seluruh makhluk kepada Allah swt.” Dari sanalah muncul aturan dan ajaran yang menjaga kemaslahatan makhluk, menjelaskan sarana dan sebab kehidupan, dan lain sebagainya. Namun tujuan Alquran yang paling utama adalah untuk menunjukkan kepada makhluk akan nama-Nya serta mengajak mereka kepada-Nya Swt. Inilah dimensi nama dan sifat. Kemudian adalah dimensi Dzat (hadhrat adz-Dzat).

 

Disinilah muncul perbedaan antara wahid dan ahad. Jika kita melihat dimensi nama dan sifat dan keistimewaan yang Allah Swt miliki dan tidak adanya sesuatu dari alam raya ini yang menyerupai-Nya, maka kita katakan Ia adalah al-wahid. Tetapi, jika kita melangkah lebih jauh untuk memahami Dzat, maka cara untuk memahami-Nya adalah dengan menyadari bahwa kita sepenuhnya lemah dan tidak berdaya. Semakin seseorang menyadari ketidakberdayaannya, semakin bertambah pula pemahamannya tentang Allah Swt.

 

Perjalanan dari dimensi perbuatan menuju dimensi nama dan sifat hingga sampai pada dimensi dzat ini tergambar dalam doa Nabi Saw: “Aku berlindung dengan maaf-Mu dari hukumanMu, ini adalah dimensi perbuatan: “dan dengan ridha-Mu dari murka-Mu,” ini adalah dimensi nama dan sifat, hingga beliau naik ke dimensi dzat, “dan aku berlindung dengan-Mu dari-Mu” Karena segala sesuatu dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Nabi Saw melanjutkan: “Maha Suci Engkau, aku tidak mampu menghitung pujian untuk-Mu. Engkau adalah seperti puji-pujian yang Kau berikan pada Dzat-Mu.” Rahasia dan inti makrifat kembali kepada pengakuan akan kelemahan. Hal yang sama juga tergambar pada ucapan Sayyidina Abu Bakar ash-Shidig: “Ketidakberdayaan dalam mencapai pemahaman sempurna tentang Allah Swt adalah inti dari pemahaman itu sendiri.”

 

Akan tetapi, kelemahan dan ketidakberdayaan ini membuka celah kekaguman pada intisari makrifat. Namun ada perbedaan antara kagumnya seorang yang arif (yang telah sampai pada makrifat) dengan kekaguman seorang yang bodoh. Rasa kagum dan takjub yang dirasakan oleh mereka yang sudah sampai pada tahapan ini merupakan puncak dan makrifat yang paling agung. Karena itu Ibn al-Faridh mengatakan: “Tambahkan bagiku luapan cinta kepada-Mu yang membuatku tercengang” Al-Habib Ali al-Habsyi juga mengatakan dalam syairnya: “Dan tidak ada ujung yang akan dicapai oleh pandangan mata dalam menyingkap rahasia makrifat kecuali ketakjuban dalam kekaguman yang dibalut oleh rasa takjub” Inilah tingkatan yang dicapai oleh ahlul kasyf (yang disingkapkan baginya rahasia Allah swt). Kagum dan ketakjuban yang mereka rasakan itu adalah inti dari makrifat yang membawa mereka kepada fana, melebur dalam kekuasaan dan cinta Allah Swt.

 

Jika kita sudah mengerti hal ini, maka kita tahu bahwa Nabi Muhammad Saw adalah satu-satunya yang memahami dimensi Dzat dengan begitu luas. Maksud ucapan beliau dalam kitab ini adalah bahawa tidak ada satu orang pun dari alam raya yang sampai pada pemahaman mengenai Allah Swt seperti Nabi Muhammad Saw, dan tidak ada satu pun dari alam raya ini yang mendapat perhatian dari Dzat Ilahi seperti yang didapatkan oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan makna ini, maka tepatlah jika dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah satu-satunya orang yang mencapai pemahaman yang begitu dalam terhadap dimensi Dzat, dan selain dari beliau berada di bawah tingkatan beliau Saw. Beliau merangkum scluruh derajat kesempurnaan, tidak ada seorangpun yang mampu menyaingi dan menyamai beliau Saw.

 

“Ranah manifestasi kebaikan Ilahi Swt”

 

Allah Swt mengajak bercakap-cakap Nabi Musa as di atas sebuah bukit yang bernama Thur (Tursina). Di tempat itu Nabi Musa diseru oleh Allah Swt: “Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Maka lepaskan kedua sandalmu karena engkau berada dilembah Thuwa yang suci.” (QS. Thaha: 12). Maka dari bukit Tursina dan dari pohon di bukit itulah pertama kali Nabi Musa berbicara dengan Allah Swt. Kemudian saat datang waktu yang dijanjikan bagi beliau untuk bercakap-cakap secara khusus dengan Allah Swt, beliau kembali diperintahkan untuk datang ke bukit Tursina demi mendapat kemuliaan yang agung itu. Maka bukit ini menjadi tempat disingkapkannya rahasia dan makrifat kalam Ilahi Swt, yang bukan berupa huruf atau bahasa atau apapun yang menyerupai perkataan makhluk, kepada Musa a.s.

 

Ini adalah sifat perkataan Allah Swt. Sedangkan perkataan kita dan semua yang ada di alam raya ini masuk dalam dimensi perbuatan Allah Swt. Oleh sebab itu, sifat kalam Ilahi Swt tidak sama dengan perkataan makhluk. Pendengaran-Nya pun tidak seperti pendengaran makhluk, karena pendengaran makhluk bagian dari dimensi perbuatan (hadhra, al-afal). Dan pendengaran-Nya Swt masuk dalam dimensi sifat yang berbeda dengan dimensi perbuatan. Meskipun dimensi perbuatan adalah cermin dari dimensi nama dan sifat, namun dua dimensi itu yaitu nama dan sifat, tidak bisa dicapai hakikatnya.

 

Sebagaimana Allah Swt menjadikan bukit Tursina sebagai ranah manifestasi perkataan-Nya kepada Musa a.s, Ia juga memilih “Tursina” lain sebagai ranah manifestasi kebaikan-kebaikan-Nya kepada siapa yang Ia kehendaki sejak awal penciptaan. Dan tempat perwujudan kebaikan-Nya Swt adalah cahaya yang pertama kali diciptakan oleh Allah Swt, yaitu Muhammad Saw. Disebutkan dalam sebuah ungkapan: “Engkau ciptakan dia (Muhammad Saw) saat belum ada sesuatu apapun yang tercipta” Allah Swt menciptakan Nabi Muhammad Saw dan tidak ada apapun yang tercipta saat itu. Kursi, arsy, surga, neraka, bumi, langit, bintang, manusia, hewan, tumbuhan, semuanya belum terwujud. Yang ada hanya cahaya Muhammad Saw yang Ia ciptakan. Hanya ia satu-satunya. Pencipta yang satu Swt dan kekasih yang satu Saw. Dari cahaya itulah kemudian muncul ciptaan-ciptaan lain sebagaimana yang dikatakan al-Habib Ali al-Habsyi: “Cahaya sang kekasih Saw inilah yang pertama kali muncul di alam raya, dan dari cahaya itu bercabang ciptaan-ciptaan yang terdahulu dan yang datang kemudian.”

 

Disebutkan bahwa ada seseorang melihat tanda-tanda keistimewaan pada pribadi beberapa orang yang ia temui, karena setiap individu berbeda-beda dalam tampilan dan sifat-sifat mereka. Ia lantas berkata: “Tidak ada manusia kecuali dirimu dimana saja engkau berada. Dan tidaklah manusia disebut manusia di tempat yang engkau tidak ada di dalamnya.” Ucapan ini menggambarkan mereka yang membawa rahasia dan nilai kemanusiaan yang khusus. Ia seakan hendak berkata: “Jika engkau tiada, maka mereka tidak lagi dapat disebut sebagai manusia. Namun saat engkau di tengahtengah mereka tampaklah sifat-sifat kemanusiaan.”

 

Dikisahkan ada sekelompok orang yang saling mengobrol sambil menunggu dimulainya majelis siang oleh al-Habib Alwi bin Syihab. Tiba-tiba masuk al-Habib Alwi dari arah tempat wudhu. Melihat beliau masuk semua yang hadir kaget dan diliputi kewibawaan beliau. Semua diam dengan khusyuk. Saat itu asy-Syakh Umar al-Khatib mengutip ungkapan di atas: “Tidak ada manusia kecuali dirimu dan dimana saja engkau berada. Dan tidaklah seseorang disebut manusia di tempat yang engkau tidak ada di dalamnya,” dengan tujuan menggambarkan bagaimana keagungan al-Habib Alwi bin Syihab.

 

Jika ini hanya bagian kecil dari keistimewaan, maka bagaimana dengan Nabi Muhammad Saw yang mengumpulkan seluruh keutamaan? Seorang hamba yang dicintai dengan sangat tulus dan diberi kemuliaan paling agung oleh Allah Swt. Maka semua kebaikan dan seluruh karunia yang Allah Swt berikan kepada hamba-hamba, Nya adalah melalui Nabi Muhammad Saw yang merupakan sebah pusat, dan tempat perwujudan anugerah Ilahi yang terbentang luas, Al-Habib Hasan melanjutkan dengan kembali ke permulaan bahwa Allah Swt memulai seluruh penciptaan dari Muhammad Saw dan berkata: “Titik tolak segala pujian, pusat cahaya Allah Swt Yang Menjadi Tumpuan semua ciptaan.”

 

Allah Swt memilih Nabi Muhammad Saw dan hanya menciptakan beliau Saw pada saat itu, serta bertajali kepada cahaya beliau Saw di saat belum ada selainnya yang tercipta. Kemudian Ia menciptakan segala sesuatu yang lain. Beliau Saw juga menjadi pusat cahaya Allah Swt yang menjadi tempat bergantung dan berharap semua makhluk, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.

 

“Dan kepada keluarga dan para sahabatnya yang merupakan pantulan cahaya Nabi Muhammad Saw, gemintang di sekeliling purnama beliau, dan penyampai perintah dan larang beliau Saw”

 

Para keluarga dan sahabat Nabi Muhammad Saw merupakan penunjuk dan penuntun jalan dengan cahaya yang mereka ambil dari Nabi Muhammad Saw. Mereka juga merupakan gemintang yang memantulkan cahaya purnama beliau Saw sebagaimana cahaya matahari yang tampak pada cahaya bulan. Mereka juga menjadi sarana kita dalam mengetahui perintah dan larangan Rasulullah Saw, mempelajari metode, jalan hidup, sikap, dan syariat beliau Saw. Itu semua akan kita dapatkan pada diri mereka. Tidak mungkin ada seorang pun yang mengatakan mengetahui syariat Nabi Muhammad Saw tanpa melalui keluarga dan sahabat beliau Saw.

 

Ketika Allah Swt mewujudkan alam raya dengan pengaturan yang luar biasa ini, Ia juga menjadikan bagi syariat yang suci ini seseorang untuk mengembannya. Mereka yang ada di sekitar orang tersebut, dari kalang keluarga dan para sahabat, akhirnya ikut mendapatkan pancaran cahayanya. Maka tanpa mereka tidak mungkin seseorang sampai kepada hakikat syariat atau hakikat wahyu atau hakikat dari perintah dan larangan Allah Swt dan Rasul-Nya. Hal ini digambarkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya: “Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” (QS. atTaubah: 100). Mengapa Allah mengatakan “mengikuti mereka”? Karena merekalah penyampai dan yang paling memahami perintah dan larangan Nabi Muhammad Saw.

 

“Wa ba’du”

 

Semua isyarat yang telah discbutkan sebelum ini, serasi dengan rahasia-rahasia salat yang akan beliau jelaskan setelah ini. Metode penyampaian semacam ini dinamakan dengan Baraatul-Istihlal, yaitu menyebutkan di dalam mukadimah hal-hal yang mengarah pada apa yang menjadi maksud dari sebuah pembahasan. Ketika beliau hendak membahas mengenai rahasia salat yang melalui itu tersingkap rahasia alam semesta dan merupakan sarana penghubung antara makhluk dengan penciptanya, maka beliau memulai uraiannya dengan mukadimah yang baru saja dijelaskan. Dan pahamilah bahwa ucapan beliau mengenai Nabi Muhammad Saw, yang merupakan satu-satunya makhluk yang memahami dimensi Dzat dengan pemahaman yang mendalam, adalah isyarat mengenai dimensi Dzat (hadhrat adz-Dzat). Dan ucapan beliau mengenai Nabi Saw sebagai ranah manifestasi kebaikan Allah Swt adalah isyarat kepada dimensi nama dan sifat (hadhrat al-asma’ wa ash-shifat), sedangkan ucapan beliau bahwa Nabi Saw sebagai titik tolak segala pujian dan pusat cahaya merupakan isyarat kepada dimensi perbuatan (hadhrat al-af al).

 

”Dan salat, yang merupakan inti dari segala amal ibadah”

 

Salat merupakan inti dari segala amal ibadah dan sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt. Karena itu Allah Swt memilih ibadah ini sebagai bentuk ibadah para malaikat-Nya. Di antara mereka ada yang rukuk, sujud, berdiri, dari sejak mereka diciptakan sampai hari kiamat. Dan dikatakan bahwa Allah akan kumpulkan pada seorang mukmin yang sejati rahasia-rahasia yang tersebar pada malaikat-malaikat tersebut melalui salat yang hanya beberapa menit saja. Jika salatnya diterima oleh Allah Swt, ia telah bergabung dengan malaikat yang rukuk, malaikat yang sujud dan berdiri. Hanya dengan dua rakaat di hadapan Allah Swt, ia telah mengumpulkan seluruh keutamaan yang tersebar pada para malaikat.

 

Jika sedemikian penting perkara salat ini, maka umat Islam perlu memerhatikan urusan ini dan menunaikan hak-haknya. Sampai dikisahkan dari al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir atau alHabib Ahmadbin Umar bin Sumaith ketika orang-orang mengadukan kepada beliau mengenai kondisi kehidupan yang sangat sulit, beliau berkata: “Yang terjadi tidak lain adalah sebab doa yang dipanjatkan oleh salat. Karena Nabi Saw bersabda bahwa salat jika ditunaikan dengan benar ia akan tampak putih bercahaya dan berkata: Semoga Allah Swt menjagamu seperti engkau menjagaku: Dan jika ia tidak ditunaikan dengan benar, tidak disempurnakan rukuk dan sujudnya, la akan tampak hitam legam dan berkata: Semoga Allah menyia, nyiakanmu seperti engkau menyia-nyiakanku: Yang terjadi padz kalian semua adalah sebab doa dari salat ini. Kalian sia-siakan salat, maka Allah jadikan keadaan kalian seperti ini.”

 

Ini merupakan isyarat bahwa banyak sekali keberhasilan dalam perkara dunia yang tergantung pada salat jika ia dikerjakan dengan baik dan sempurna. Begitu pula perkara akhirat. Karena hal pertama yang kelak akan dihisab dari sekian banyak perintah Allah Swt, setelah iman, adalah salat. Jika salatnya sempurna, diterima salat tersebut sekaligus seluruh amal perbuatannya yang lain. Maka kesuksesan akhirat dan dunia tergantung pada salat. Oleh karena itu di dalam Alquran disebutkan: “Dan perintahkan keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, bahkan Kami yang memberi rezeki kepadamu” (QS. Thaha: 132) Seakan Allah mengatakan: “Tugasmu adalah menunaikan perkara ini, yang jika berhasil kalian kerjakan dengan baik maka tidak perlu khawatir mengenai rezeki. Rezekimu ada pada Kami” Allah Swt juga memuji Nabi Ismail dalam firman-Nya: “Dia (Ismail) menyuruh keluarganya untuk mengerjakan salat dan membayar zakat. Dan dia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya” (QS. Maryam: 55). Beliau menjalankan perannya dan melaksanakan kewajibannya di dalam rumah tangga. “Dan dia (Ismail) diridhai disisi Tuhannya, karena ia menjalankan peran yang ditinggalkan banyak orang saat ini, yaitu untuk mengarahkan dan memerintahkan keluarganya untuk mendirikan salat dan membayar zakat.

 

Kami juga menyaksikan perhatian yang begitu besar yang diberikan para guru dan orang tua terkait masalah salat ini pada anak-anak mereka. Guru-guru mengajari mereka salat, mendengar bacaan mereka, memperbaiki gerakan mereka. Dan di rumah ayah ibu mereka juga melakukan hal yang sama. Diceritakan suatu hari al-Habib Muhammad bin Alwi bin Syihab duduk di masjid Baalawi dalam suatu acara, dan masuk ketika itu al-Habib Husain dan saudara beliau, al-Habib “Atthas al-Habsyi, dan keduanya lantas melaksanakan salat. Saat al-Habib Alwi bin Syihab, ayah dari alHabib Muhammad, melihat bagaimana al-Habib Husain dan alHabib Atthas melaksanakan salat, bagaimana rukuk dan sujudnya, tiap kali ia memanggil al-Habib Muhammad dan berkata: “Lihatlah bagaimana keduanya salat. Jika engkau hendak salat, salatlah seperti salat mereka.” Sungguh beruntung orang yang beriman, mereka yang khusyuk dalam salatnya. Saat ini yang terjadi adalah orang melaksanakan salat sedangkan mereka bergerak kesana kemari, pikirannya larut dalam lamunan dan hatinya lalai lalu berkata “Saya sudah salat” Bukan seperti itu yang dinamakan salat. Salat adalah inti segala amal saleh, ruh segala amal saleh. Rasulullah Saw bersabda: “Dan dijadikan pelipur laraku ada pada salat.”

 

Dikisahkan saat ‘Isabit al-Bunani dimakamkan, ada salah Seorang yang barangnya terjatuh ke dalam kuburnya. Saat ia kembali ke makam sabit al-Bunani mencari barangnya, ia mengangkat papan yang menutupi jasadnya dan ia dapati Tsabit sedang salat di dalam kuburnya. Orang ini terkaget-kaget melihat hal itu. Ia ambil barangnya, ia kembalikan semua seperti semula, dan ia pergi menemui saudara perempuan Tsabit sambil bertanya: “Apa yang dahulu dilakukan Tsabit?-. Saudara perempuan ‘Tsabit berkata: “Kenapa kamu menanyakan hal itu?” ia menjawab: “Saya hanya ingin tahu apa yang dahulu diamalkan Tsabit” Saudara perempuan Tsabit tetap memaksa untuk tahu alasan kenapa ia bertanya dan akhirnya ia pun menceritakan apa yang baru saja ia saksikan. Saudara perempuan Tsabit lantas menjawab: “Kalau itu alasannya maka aku beritahu kepadamu. Dahulu Tsabit sangat mencintai salat dan asyik dengan salat. Dan selama 50 tahun aku mendengar setiap malam dalam salatnya ia berdoa: “Wahai Allah jika Engkau karuniakan kepada seseorang untuk tetap bisa melaksanakan salat di dalam kuburnya, maka karuniakan hal itu kepadaku: Dan Allah tidak akan menolak doa yang terus dipanjatkan selama 50 tahun.

 

Diceritakan bahwa Syekh Nuh Ha Mim di Yordania yang memeluk Islam beberapa tahun silam, menimba ilmu agama kepada seorang arif dan ahli fikih, asy-Syaikh Abdul Wakil ad-Durubi dan juga belajar tasawuf kepada Syaikh Abdurrahman asy-Syaghwuri dari Syam. Aku pernah mendatanginya di salah satu tempat dan ia berkata kepadaku: “Mintakan kepada Allah agar Ia mengizinkan aku untuk dapat terusmenerus beribadah kepada-Nya, selama-lamanya. Hanya ini yang aku inginkan dari Allah.” Ini adalah ungkapan yang menggambarkan kenikmatan beribadah. Karena seseorang yang sudah merasakan nikmatnya salat tidak akan mampu untuk lalai atau bermalas-malasan atau jauh darinya. Inilah makna sabda Rasulullah: “Dan dijadikan pelipur laraku ada pada salat.”

 

“Dan hakikat tingkat hubungan seorang hamba dengan Allah”

 

Diriwayatkan dalam hadis yang semakna dengan ini bahwa salat adalah penghubung seorang hamba dengan Tuhannya. Jika ia tinggalkan salat, terputuslah hubungan itu. Dan diceritakan bahwa ada sekelompok kabilah yang menghadap Rasulullah Saw dan berkata: “Kami siap masuk ke dalam agama Islam, namun izinkan kami untuk tidak melaksanakan salat” Maka Rasulullah Saw menjawab: “Tidak ada kebaikan dalam sebuah agama yang tidak terdapat salat di dalamnya. Tidak mungkin seorang meraih hakikat agama tanpa salat.

 

“Dan rahasia terdalam penciptaan sejak zaman azali”

 

Allah Swt berfirman mengenai makhluk yang Ia ciptakan: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. adz-Dzariyat: 56). Dan intisari ibadah adalah salat. Salat pula yang menggambarkan penghambaan kepada Allah, serta Ia jadikan kesibukan bagi para malaikat-Nya. Maka salat adalah rahasia terdalam dari penciptaan. Sampai-sampai Allah Swt berfirman mengenai Nabi Muhammad Saw: “Dialah yang melihatmu ketika engkau berdiri (untuk salat), dan bergeraknya kamu di antara orang-orang yang bersujud.” (QS. asy-Syu’ara: 218-219).

 

“Dan dengannya pula tampak cahaya ketuhanan (an-nur arrabbaniy) yang tertutup oleh bentuk tampilan fisik”

 

Melalui salat, rahasia di dalamnya, dan hakikat salat itu sendiri, akan terpancar cahaya ketuhanan. Dari mana sumber cahaya ketuhanan (an-nur ar-rabbani) itu? Dari Tuhan segala sesuatu. Maka cahaya Tuhan itu ada dan wujud pada segala sesuatu. Karena segala sesuatu adalah hamba dan ciptaan-Nya. Akan tetapi cahaya ini terhalangi dan tertutup. Dan yang dapat membukanya adalah salat. Perbaiki salatmu, maka akan kau lihat cahaya Allah pada semua makhluk-Nya. Pada dinding, batu, pepohonan, udara, jasad, dan lain sebagainya. Pada segala sesuatu terdapat cahaya, hanya saja ia terhalangi oleh tampilan fisik, bentuk jasad, yang dapat engkau buka dengan salat jika engkau benar-benar sampai pada hakikatnya. Hal ini seperti firman Allah Swt: “Dan tidaklah segala sesuatu melainkan bertasbih dengan memiuji-Nya, hanya saja kalian tidak mengerti tasbih mereka” (QS. al-Isra: 44).

 

Dari sinilah makna salat akan terus langgeng bagimu. Dan engkau akan memahami makna firman Allah: “Yang mereka itu tetap melaksanakan salatnya” (QS. al-Maarij: 23). Salat yang terusmenerus bukan sekedar dengan mendirikan salat pada waktunya, namun jika seseorang sudah menyatu dengan hakikat salat maka ia terus berada dalam keadaan salat meskipun ia sedang berdiam diri dan tidak sedang dalam keadaan salat. Inilah makna sabda Nabi Saw: “Kalian terus berada dalam keadaan salat selama kalian menunggu waktu salat tiba” Mereka yang sudah sampai pada hakikat salat akan senantiasa melihat keagungan sujud, melihat cahaya Ilahi pada segala sesuatu. Orang semacam ini selalu berada dalam kondisi salat. Allah berfirman: “Masing-masing telah mengetahui cara salat dan tasbihnya sendiri” (QS. an-Nur: 41).

 

Diceritakan pada saat berkumpulnya para pembesar ulama, di antaranya al-Imam Izzuddin bin Abdissalam, ikut hadir bersama mereka al-Imam Abu Hasan asy-Syadzili saat ia datang dari Maroko ke Mesir. Para ulama kemudian meminta ia menyampaikan nasehat.

 

la lantas berkata: “Apa yang bisa aku katakan di hadapan kalian para ulama. Mereka tetap memaksa al-Imam Abu Hasan asy-Syadzik untuk bicara. Beliau kemudian bertanya: “Apakah kalian sudah salat? Mereka heran dengan pertanyaan ini, bagaimana mungkin beliay menanyakan hal ini kepada para ulama besar seperti mereka. Beliay melanjutkan: “Aku tidak bertanya mengenai salat yang hanya sekadar gerakan dan bacaan. Aku bertanya mengenai keberlangsungan salat yang terus-menerus. Bukankah kalian membaca firman Allah: “Yang mereka itu tetap melaksanakan salatnya” (QS. al-Maarij: 23)? Karena seorang yang salat jika tersambung dengan hakikat salat, ia terus berada dalam salatnya” Dan beliau mulai menjelaskan makna ucapannya tersebut. Izzudin bin Abdissalam kemudian menyeru orang-orang: “Wahai sekalian manusia, datangilah perkataan yang baru saja didapat dari Tuhan kalian (melalui ilham)

 

“Sepatutnya mereka yang Allah Swt terangi penglihatan batinnya (bashirah), dan Ia sucikan relung jiwanya (sarirah) dari segala kotoran”

 

Bashirah (mata batin) merupakan kebalikan dari bashar (mata biasa), yaitu cahaya batin yang Allah maksudkan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, namun yang buta adalah hati-hati yang ada dalam dada” (QS. al-Hajj: 46). Dan as-Sarirah adalah sisi terdalam dari ruh manusia. Sisi batin dari manusia, dalam ranah pembahasan spiritual, adalah hati. Dan sisi batin dari hati adalah ruh. Dan sisi batin dari ruh adalah as-sarirah atau as-sir. Sir atau as-sarirah ini adalah tempat seseorang menyaksikan keagungan Allah Swt, dan ruh adalah tempat bersemayamnya cinta, sedangkan hati adalah wadah bagi makrifat. Jika seseorang sudah sampai pada makrifat, ia akan mencintai sesuai kadar makrifat dan pengenalannya kepada Allah. Dan jika sudah menetap cinta dalam dirinya, ia akan menyaksikan yang ia cintai. Al-Imam al-‘Aydrus berkata: “Hati dibuka dengan Laa Ilaha Illallah. Jika engkau banyak menyebut kalimat itu dengan hati yang hadir, maka hati akan terbuka untukmu. Sedangkan ruh terbuka dengan lafal Allah. Dan as-sarirah atau sir terbuka dengan lafal Hu (Dialah Allah)”

 

Tidak mungkin engkau sampai pada ruh kecuali setelah engkau sampai pada hati, dan tidak mungkin engkau sampai pada as-sarirah kecuali setelah engkau sampai pada ruh.

 

Hal yang mengotori relung jiwa terdalam manusia (as-sarirah) itu adalah berupa keterikatan dengan selain Allah, berpaling kepada selain-Nya dan menginginkan selain-Nya. Inilah kotoran jiwa. Berkata al-Imam al-‘Adni al-‘Aydrus: “Kenikmatan hidup seluruhnya ada pada mereka yang bercahaya mata batinnya. Dan tidak akan mendapat rahasia Allah Swt kecuali mereka yang suci relungjiwanya.” Al-Imam Abul Hasan asy-Syadzili berkata: “Suatu kali aku bermimpi berjumpa Rasulullah Saw dan beliau berkata kepadaku: Wahai Ali, Sucikan ‘pakaianmu’ dari kotoran, akan kau dapati pertolongan Allah pada setiap hembusan nafas” Kemudian aku bertanya mengenai pakaian yang beliau maksud. Beliau Saw menyebutkan iman, islam rasa cinta, dan makrifat. Saat itu aku memahami makna firman Allah Swt: Dan pakaianmu maka sucikanlah: (QS. al-Muddatsir: 4)” Jika sudah demikian agung kedudukan salat, maka sudah sepatutnya Allah Swt menerangi penglihatan batinnya (bashirah), dan Ia sucikan relung jiwanya (sarirah) dari segala kotoran.

 

“Memusatkan perhatian padanya dan menghalau semua yang menghalanginya untuk terus naik ke derajat yang lebih tinggi, agar dapat mereguk (li yakraa) airnya yang jernih dan menyegarkan”

 

Beliau menggunakan istilah al-Kara’ untuk menggambarkan bahwa mereka meminum langsung dengan mulut mereka dari sumber air yang murni itu. Al-Kara’ juga bermakna air segar yang turun dari langit. Sehingga makna ucapan beliau adalah mereka mendapatkan secara langsung rahasia-rahasia Allah Swt yang diibaratkan seperti air yang jernih dan menyegarkan. Dengan ucapannya ini al-Habib Hasan ingin berpesan agar kita harus memberi perhatian yang besar pada perkara salat ini, sehingga kita mampu melewati semua rintangan dan bertambah kualitas salat kita hingga kita dapat minum dari air yang jernih sebagai buah dari salat kita sebelum kita meninggal dunia. Berapa banyak yang akan kita dapatkan jika kita betul-betul menyadari hakikat minumnya kita dari sumber air rahasia Allah yang menyegarkan ini.

 

Jika Allah membukakan untuk kita pintu menuju keinginan yang kuat untuk terikat dengan Allah dan kemauan yang tulus untuk mewujudkan hakikat apa yang kita pelajari, maka akan terus tertanam sedikit demi sedikit dalam hati kita cahaya yang menuntun kita untuk menghadap kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Sehingga kita dapat melaksanakan salat sebagaimana seharusnya ia ditunaikan. Karena Allah Swt jika melihat hamba-Nya ingin mendekat kepada-Nya, Ia akan bantu hamba tersebut. Berkata Ibn Athaillah: “Jika Allah tidak menyampaikanmu kepada-Nya kecuali setelah engkau suci dan sempurna, maka tidak akan ada yang sampai kepada-Nya. Namun jika engkau bersungguh-sungguh, Ia akan berbelas kasih kepadamu dan “memberikan sifat-Nya kepadamu hingga hilang sifat kemanusiaanmu. Maka Ia menjadikanmu sampai kepada-Nya dengan karunia-Nya kepadamu dan bukan dengan kebaikan yang kau lakukan kepada-Nya.”

 

Penulis kitab ini mengingatkan kepada kita mengenai keagungan salat, dan bahwa ia adalah ajang kita menghadap kepada Allah Swt, dan apa saja yang terjadi di dalamnya, serta bagaimana seseorang memulai salatnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

Takbiratul Ihram dan Doa Iftitah

 

Setelah ia bersuci dari segala kotoran dan melepaskan segala ikatan dengan selain-Nya, ia berdiri dengan penuh kehinaan dan kelemahan di hadapan wibawa Raja Yang Maha Berkuasa serta keagungan Yang Maha Berhendak. Ia tunduk patuh pada kuasa Sang Maha Agung sembari mengamati Keindahan Sang Kekasih. Ia berdoa dengan sungguh-sungguh dan memohon dengan sangat agar diberi kemantapan untuk berdiri dihadapanNya, kemudian berkata:

 

Ia nyatakan dengan sebenarbenarnya bahwa tidak ada yang besar dalam hatinya selain Allah. Ia singkirkan segala sesuatu selain-Nya demi meraih keridhaanNya, karena Dialah tuhan segala sesuatu. Semua bermula dariNya dan berujung pada-Nya. Ia mesti waspada agar jangan sampai perbuatannya sendiri yang mendustakan ucapannya, yaitu dengan masih adanya tujuan atau kekasih selain Allah Swt. Jika ia bersama Yang Maha Besar dan Berkuasa, semestinya ia tidak rela dengan sesuatu yang hina dan remeh. Ia harus mencampakan segala keinginan yang menggelisahkannya dan menyaksikan wujud kuasa-Nya atas segala sesuatu.

 

Doa Iftitah

 

Kemudian ia perkuat apa yang ada dalam hatinya dengan ucapan: Aku hadapkan diriku: aku hadapkan hati dan seluruh harapanku dengan penuh kehinaan kepada-Nya Yang Maha Besar dan Agung, rasa butuh yang mendalam kepadaNya Yang Maha Kaya dan Pemurah, sangat antusias kepada-Nya Yang Maha Santun dan Pengasih, serta berserah total kepada Yang Maha Kuat dan Berkuasa. Kepada Dzat Yang Menciptakan langit dan bumi. Saat itu sirnalah – kegelapan yang menyelubunginya, dan ia saksikan pusat segala kedermawanan dan anugerah. Ketika itu ia tidak lagi memiliki tujuan baik di langit ataupun di bumi, karena ia menyadari bahwa keduanya beserta apa yang ada di dalamnya terwujud karena kemurahan-Nya dan diliputi sifat-sifat-Nya.

 

 Dengan lurus, tanpa berpaling ke kanan dengan berharap pada selain-Nya, dan tidak pula ke kiri dengan rasa takut kepada selain Allah Swt.   Dan menyerahkan diri. Tunduk dan patuh kepada-Nya. Menjadikan keinginannya seperti apa yang diinginkan-Nya tanpa bersandar dan bergantung pada selain, Nya, karena tidak ada yang wujud selain-Nya.   Dan aku tidaklah termasuk orang-orang yang musyrik, dengan mengharap sesuatu bersama-Nya, yang bimbang dalam mencintai. Nya. Bagaimana mungkin seseorang mengutamakan kekasih selain-Nya padahal itu termasuk karunia-Nya kepadanya?! Atau menginginkan sesuatu yang hanya dapat terwujud karena kehendak-Nya?!

 

  Sesungguhnya salatku di hadapan-Nya adalah tali penghubungku dengan rahmat-Nya dengan berpasrah dan merendahkan diri kepada-Nya.   Dan ibadahku (an-Nusuk) adalah bentuk ketaatanku kepada-Nya, kepatuhanku kepada aturan-Nya, kesabaranku dalam menerima segala keputusan-Nya, rasa syukurku kepada-Nya.   Dan seluruh hidupku.   Dan matiku, yaitu hilangnya eksistensiku dengan menyaksikanNya, dan hilangnya penyaksianku dengan kekekalan wujudNya.  Hanya untuk Allah, yakni Dia yang menempatkanku pada posisi ini dan mengistimewakanku dengannya tanpa sedikitpun daya dan upaya dariku.   Tuhan pemelihara alam semesta yang mendekatkan dan menjauhkan, menjadikan seseorang celaka atau bahagia.

 

Semua patuh pada kekuasaan-Nya dan tunduk di hadapan keperkasaan-Nya. Ia menghinakan siapa yang Ia kehendaki dan memuliakan siapa yang Ia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang bisa menolak segala keputusan-Nya, baik itu berupa ketetapan ataupun pembatalan sesuatu, dan tidak ada apapun yang menjadi penolong bagi-Nya dalam menciptakan atau membinasakan.  Tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam sifat ketuhanan. Karena al-alamun yang merupakan makhluk pilihan dari semesta seluruhnya, adalah ciptaan dan hamba-Nya yang Ia kendalikan dengan hukum-Nya dan Ia atur dengan ilmu-Nya.  Dengan itu aku diperintahkan, dan untuk itu pula aku diciptakan. Dan aku merupakan seorang yang berserah diri (al-muslimin) yang mengakui dengan sebenar-benarnya bahwa kekuasaan dan kewenangan atas segala sesuatu adalah milik-Nya, yang bersimpuh di hadapan keperkasaan-Nya, yang bergantungan pada tirai rahmat-Nya: yang terhalang oleh kelemahan untuk mencapai hakikat pemahaman tentang-Nya.

 

Beliau memulai dengan penjelasan mengenai takbir dan dog

 

iftah. Beliau berkata: “Setelah ia bersuci dari segala kotoran dan melepaskan segala ikatan dengan selain-Nya. Ia berdiri dengan penuh kehinaan dan kelemahan di hadapan wibawa Raja Yang Maha Berkuasa, serta keagungan Yang Maha Berhendak. 1, tunduk patuh pada kuasa Sang Maha Agung sembari mengamati Keindahan Sang Kekasih. Ia berdoa dengan sungguh-sungguh dan memohon dengan sangat agar diberi kemantapan untuk berdiri dihadapan-Nya kemudian berkata: s | WI. Ia nyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang besar dalam hatinya selain Allah. Ia singkirkan segala sesuatu selain-Nya demi meraih keridhaan-Nya karena Dialah tuhan segala sesuatu. Semua bermula dari-Nya dan berujung pada-Nya. Ia mesti waspada agar jangan sampai perbuatannya sendiri yang mendustakan ucapannya, yaitu dengan masih adanya tujuan atau kekasih selain Allah Swt. Jika ia bersama Yang Maha Besar dan Berkuasa, semestinya ia tidak rela dengan sesuatu yang hina dan remeh. Ia harus mencampakan segala keinginan yang menggelisahkannya dan menyaksikan wujud kuasanya atas segala sesuatu.”

 

“Kemudian ia perkuat apa yang ada dalam hatinya dengan Ucapan:   Aku hadapkan diriku, yaitu aku hadapkan hati dan seluruh harapanku dengan penuh kehinaan kepada-Nya Yang Maha Besar dan Agung, rasa butuh yang mendalam kepadaNya Yang Maha Kaya dan Pemurah, sangat antusias kepada-Nya Yang Maha Santun dan Pengasih, serta berserah total kepada Yang Maha Kuat dan Berkuasa.   Kepada Dzat Yang Menciptakan langit dan bumi. Saat itu sirnalah kegelapan yang menyelubunginya, dan ia saksikan pusat segala kedermawanan dan anugerah. Ketika itu ia tidak lagi memiliki tujuan baik di langit ataupun di bumi, karena ia menyadari bahwa keduanya beserta apa yang ada di dalamnya terwujud karena kemurahan-Nya dan diliputi sifat-sifat-Nya.” Sehingga tidak tersisa apapun yang kau tuju baik di bumi maupun di langit kecuali Pencipta keduanya. Sama halnya jika engkau berada di hadapan seorang raja, namun kau justru berpaling dan merasa butuh kepada salah seorang pelayannya atau pasukannya dan sang raja melihatmu. Apa yang kau harapkan dari orang-orang itu? Apa kau bodoh?! Raja tepat di hadapanmu, utarakan apa yang kau butuhkan langsung kepadanya. Semua berada di bawah kuasanya.

 

Begitu pula ketika kau menghadap kepada Allah sedangkan engkau berharap pada perusahaan atau kelompok tertentu, apakah kau tidak malu?! Engkau di hadapan sang Raja yang melihat dan memerhatikanmu, bagaimana bisa engkau berpaling pada selain-Nya. Kesadaran ini menghilangkan segala tipu daya yang meliputimu.

 

Dengan lurus, tanpa berpaling ke kanan dengan

 

berharap pada selain-Nya dan tidak pula ke kiri dengan rasa takut kepada selain Allah swt.  Dan menyerahkan diri Tunduk dan patuh kepada-Nya. Menjadikan keinginannya adalah apa yang diinginkan-Nya tanpa bersandar dan bergantung pada selain-Nya, karena tidak ada yang wujud selain-Nya.  Dan aku tidaklah termasuk orang. orang yang musyrik, dengan mengharap sesuatu bersama-Nya, yang bimbang dalam mencintai-Nya. Bagaimana mungkin seseorang mengutamakan kekasih selain-Nya padahal itu termasuk karunia-Nya kepadanya?! Atau menginginkan sesuatu yang hanya wujud dengan kehendak-Nya?!”

 

 Sesungguhnya salatku di hadapan-Nya adalah tali penghubungku dengan rahmat-Nya dengan berpasrah dan merendahkan diri kepada-Nya.  Dan ibadahku (an-Nusuk) adalah bentuk ketaatanku kepada-Nya, kepatuhanku kepada aturan-Nya, kesabaranku dalam menerima segala keputusanNya, rasa syukurku kepada-Nya” baik dalam keadaan senang ataupun susah. Inilah hakikat ibadah (an-Nusuk).

 

 Dan seluruh hidupku” dengan maknanya yang tertinggi dan termulia, yaitu terkaitnya aku dengan sifat-sifat-Nya. Karena pada dasarnya aku tiada dan mati, tetapi jika aku berpegangan pada sifat-Nya Yang Maha Hidup maka aku menjadi hidup. Al-Habib Ali al-Habsyi mengatakan: “Aku hidup, hanya jika disebut-sebut mengenai jalinan hubungan indah dengan Allah Swt.” Hubungan dengan Yang Maha Hidup dan tidak akan binasa itulah kehidupan. Karena jika tidak demikian, maka yang terjadi adalah benda mati yang terhubung dengan benda mati, tidak bernilai. Tapi jika sesuatu yang asalnya tiada dan mati tersambung dengan Yang Maha Hidup, maka ia menjadi hidup. Inilah firman Allah Swt dalam kitab-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, jawablah seruan Allah dan RasulNya apabila ia menyeru kalian kepada hal yang memberi kehidupan pada kalian (QS. al-Anfal: 24),” yaitu kehidupan yang sejati yang akan kalian dapat dengan menyambut seruan Muhammad Saw.

 

Jika seorang hamba terpaut dengan sebenar-benarnya kepada Allah Swt, ia akan terbebas dari belenggu keterikatan dengan alam raya ini dan ia akan memahami hakikat kehidupan. Berkata al-Imam al-Aydrus al-Adni: “Aku mati di dalam-Nya maka aku menjadi hidup. Dan semua yang hidup selainku adalah fana” Semua yang mendakwakan bahwa ia adalah seorang yang hidup namun tidak terpaut dengan Allah Swt dan tidak sampai pada martabat ini, maka dia adalah fana.

 

Allah Swt berfirman, ketika hendak menjelaskan bahwa hakikat hidup bukanlah dilihat dari aktivitas jasad dan kematian bukanlah sekadar keluarnya ruh dari jasad: “Dan janganlah kalian mengatakan bahwa mercka yang terbunuh dijalan Allah itu mati,” karena keluarnya ruh dari jasad mereka, “bahkan mereka itu hidup hanya saja kalian tidak menyadarinya (QS. al-Bagarah: 14)” kalian tidak memahami hakikat hidup dan mati. Dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan janganlah kalian mengira bahwa mereka yang terbunuh di jalan Allah itu mati” (QS. Ali Imran: 169) Mereka yang terbunuh di kelompok musuh-Ku, mati demi selain-Ku itulah yang pada hakikatnya mati. Sedangkan mereka yang wafat di jalan-Ku, jangan katakan ia mati. Mereka yang mati demi Allah Yang Maha Hidup tidak bisa dinamakan seorang yang mati, “bahkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka dalam keadaan berlimpah rezeki dan gembira dengan karunia Allah Swt kepada mereka” (QS. Ali Imran: 169-170). Mereka bukan hanya hidup, tetapi mereka hidup dan bergelimang rezeki dan kebahagiaan. Berbeda dengan yang engkau rasakan dari kehidupan dunia yang baru terasa “hidup” jika ada rezeki dan rasa bahagia, jika tidak demikian maka kau hanya akan diliputi rasa resah dan gelisah.

 

Tidakkah kalian melihat betapa baik dan lembut Ia memperlakukan kita? Ia bukakan pintu-pintu kebaikan bagi kita. Ia seakan berkata: Jika engkau ingin meraih derajat yang tinggi akan Aku angkat engkau ke sana. Jika engkau ingin menjadi pribadi yang lebih baik, akan Aku perbaiki dirimu. Jika engkau ingin menuju kepada-Ku maka Aku juga akan menghampirimu” Sungguh lemah lembut Tuhan kita padahal Ia tidak butuh sedikitpun kepada kita. Meski demikian, Ia tetap bergembira dengan taubat hamba-Nya lebih dari orang yang kehilangan barang dan menemukannya kembali, lebih dari seorang yang mandul dan mendapat keturunan, lebih dari seorang yang kehausan dan mendapatkan air untuk melepas dahaga.

 

 Dan matiku, yaitu hilangnya eksistensiku dengan menyaksikan-Nya” Aku tidak lagi melihat diriku sendiri sebagaimana aku tidak melihat semesta yang kecil yang diriku merupakan bagian darinya. Disebutkan dalam sebuah ungkapan bahwa seseorang itu terhijab dari memahami hakikat dirinya sebab makhluk lain di sekitarnya, dan jika ia berhasil membebaskan diri dari hijab itu maka ia akan sampai pada hakikat dirinya. Pada saat itu, nafsunya menjadi hijab antara dia dengan Allah Swt. Dan jika ia berhasil terbebas dari nafsunya, maka ia akhirnya sampai kepada Allah Swt. Jika engkau korbankan nafsumu karena-Nya, Ia akan menjadi pelipur lara bagimu. Maka awal penghalang dalam perjalanan menuju Allah adalah dunia dan seisinya, kemudian nafsu dalam diri. Nafsu seseorang mulai dari merasa memiliki kemampuan, kedudukan, dan lain sebagainya, akan menghalanginya dari Allah Swt sampai ia berhasil terbebas darinya.

 

“Dan hilangnya penyaksianku,” yaitu dia tidak lagi merasa bahwa ia adalah seorang yang menyaksikan-Nya. Bagaimana itu bisa terjadi? “Dengan kekekalan wujud-Nya.” Yakni ia sampai pada kesimpulan bahwa dirinya sama sekali bukan apa-apa. Dia terbebay dari semesta, dari dirinya, dan dari kebebasan itu sendiri sehingga ia memahami bahwa ia hanyalah manifestasi dari-Nya Yang Mah4 Tinggi. “Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar tapi Allah-lah yang melempar” (QS. al-Anfal: 17). Sungguh mengherankan saat masih ada seseorang yang menganggap ucapan. ucapan seperti ini sebagai sesuatu yang berlebihan sedangkan Alquran sendiri menyatakan hal yang sama justru dengan bahasa yang lebih lugas seperti pada ayat tersebut. Bagaimana mereka menjelaskan “Allah melempar”? Nabi Saw mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke arah musuh sampai masuk ke dalam mata mereka dan Allah berfirman: “Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar tapi Allah-lah yang melempar” (QS. al-Anfal: 17). Berkata al-Habib Abdurrahman Bilfagih: “Bukan engkau yang melempar adalah tharigah, saat engkau melempar adalah syariat, tapi Allah yang melempar adalah hakikat.” Engkau adalah hamba yang diliputi kekuasaan-Nya. Ia yang menggerakkan tanganmu untuk mengambil dan melempar serta menyampaikannya kemana yang Ia kehendaki, maka sama saja Dialah yang melempar, atau dengan makna lain tidak ada yang tersisa dari dirimu dan yang ada hanyalah Dia.

 

Allah juga berfirman mengenai para sahabat saat perang Badar, yang saat itu mereka hanya berjumlah 300-an orang dengan 70 unta, 2 kuda, dan 8 pedang saja tapi berhasil memenangkan peperangan tersebut dan membunuh serta menawan sekian banyak orang dari pasukan musuh: “Maka bukan kalian yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh mereka” (QS. al-Anfal: 17). Allah tidak menisbatkan kemenangan kepada keimanan mereka atau kepada kadar kecintaan mereka, tapi Allah hendak mendidik para sahabat bahwa ini semua dari-Ku. Pada ayat yang pertama, yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw, Allah berfirman: “Ketika engkau melempar” Sedangkan pada ayat yang ditujukan pada sahabat tidak ada kata-kata “saat kalian membunuh” Hal itu menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah wakil Allah Swt yang paling sempurna karena Allah seakan berkata: “Engkau melempar, dengan hakikat lemparan-Ku, karena Aku yang menjadikanmu berada di posisi itu sebagai pelaksana lemparan-Ku.”

 

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda hal yang senada dengan ini kepada sekelompok orang dari suku al-Asyari. Ketika itu mereka melihat rombongan pasukan Rasulullah Saw dan mereka hendak ikut berperang namun mereka tidak memiliki kendaraan. Mereka datang kepada Rasulullah guna meminta kendaraan bagi mereka. Rasulullah Saw berkata: “Aku tidak memiliki apa-apa lagi untuk mengangkut kalian. Demi Allah aku tidak memberi tumpangan untuk kalian” Tidak lama kemudian datang beberapa ekor unta untuk Rasulullah Saw. Beliau lantas menyuruh sahabatnya untuk menyerahkan unta tersebut kepada suku al-Asyari untuk mereka jadikan kendaraan. Mereka pun berangkat dengan senang hati. Di tengah perjalanan mereka teringat bahwa Rasulullah Saw sudah bersumpah untuk tidak memberi tumpangan pada mereka. Akibat rasa tidak enak hati karena menyebabkan Rasulullah Saw melanggar sumpahnya demi memenuhi keinginan mereka, mereka pun kembali menghadap Rasulullah Saw dan mengingatkan mengenai sumpah beliau itu. Rasulullah Saw bersabda: “Bukan aku yang mengangkut kalian ke medan perang dengan unta ini, tapi Allah yang membawa kalian kesana dengannya. Dan tidaklah aku bersumpah mengenai suatu hal dan aku melihat ada hal lain yang lebih baik dari itu kecuali aku batalkan sumpahku dengan membayar denda demi melakukan hal yang lebih baik tersebut”

 

Kita mendengar al-Habib Abu Bakar al-Masyhur ketika menjelaskan mengenai Madrasah Keakuan atau Keegoisan yang merupakan metode cara pandang Iblis yang diabadikan dalam Alquran pada firman-Nya: “Aku lebih baik darinya” (QS. alAraf: 12). Akan tetapi cara pandang orang-orang saleh selalu mengembalikan segala sesuatu kepada Allah Swt seperti dalam firman-Nya saat menceritakan perkataan Adam dan Hawa: “Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan merahmati kami niscaya kami pasti termasuk orang-orang yang merugi” (QS. al-Araf: 23). Mereka yang tergabung dalam madrasah Iblis menjadikan dirinya sebagai pusat segala sesuatu dan merasa ia yang melakukan apa yang ia lakukan. Mereka meyakini bahwa mereka wujud bersama Allah Swt. Berkata asy-Syekh Ba Makhramah: “Aku bukanlah dari kelompok mereka yang mengatakan ‘karena sebabku’ dan ‘itu hakku’. Itu benar-benar bukan jalan yang aku tempuh. Aku hanyalah sesuatu yang tidak punya apa-apa, maka, wahai Allah, berikan anugerah-Mu tanpa perhitungan.” Yakni, Engkau yang memperbaiki keadaanku, memberiku petunjuk dan lain sebagainya, sedangkan Umar Ba Makhramah bukanlah siapa-siapa dan tidak memiliki daya upaya apapun. Asy-Syekh Umar Ba Makhramah melanjutkan: “Aku naik ke pembaringanku, mencari-cari sesuatu yang berharga di antara sampah dan rongsokanku dan tidak aku temukan apapun juga. Wahai Allah, limpahkanlah anugerah-Mu tanpa perhitungan.”

 

“ Hanya untuk Allah, yakni Dia yang menempatkanku pada posisi ini dan mengistimewakanku dengannya tanpa sedikit pun daya dan upaya dariku.” Ini sama halnya jika kita selesai makan maka kita mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang memberiku makanan ini tanpa daya dan upaya dariku” Jangan katakan ini dari pekerjaanku, hasil jerih payahku, atau karena aku pergi berbelanja kebutuhan-kebutuhanku dan lain-lain. Itu semua telah disediakan oleh Allah Swt berdasarkan pengaturan-Nya yang jika tidak demikian maka tidak ada gunanya uang, profesi, dan lain sebagainya. Melalui doa makan itu Nabi Saw ingin mengajarkan kita hakikat ini. Dan jika kita benar-benar memahaminya maka sebagaimana sabda beliau Saw, yang mengucapkan doa tersebut akan diampuni dosanya yang telah lalu. Dalam hadis lain disebutkan: “Sungguh Allah amat menyukai jika hamba-Nya memakan sesuatu dan memuji-Nya untuk itu, atau minum sesuatu dan memuji-Nya karena hal itu.”

 

 Tuhan pemelihara alam semesta yang mendekatkan dan menjauhkan, menjadikan seseorang celaka atau bahagia,” memberi kekuasaan pada siapa yang Ia kehendaki dan mengambilnya dari siapa yang Ia kehendaki. Berapa banyak orang yang bersusah payah dalam meraih kekuasaan, menyiksa dirinya dan orang sekitarnya, padahal yang tetap akan terjadi adalah apa yang Allah Swt inginkan. Jika kalian melihat penguasa, sadarilah bahwa Allah Swt yang memberinya kekuasaan. Begitu pula jika kau lihat dia sudah turun dari kekuasaannya, Allah pula yang mengambil kekuasaannya. Mereka adalah objek pemberian dan pencabutan kekuasaan, sedangkan Allah yang menjadi subjeknya. Dia memuliakan siapa yang Ia kehendaki dan Dia menghinakan siapa yang Ia kehendaki, serta dalam genggaman-Nya segala kebaikan.

 

Dikisahkan ada seorang yang berkhutbah di atas mimbar untuk menanamkan keraguan dalam iman orang-orang pada suatu wilayah. Dia berkata: “Apa makna firman Allah: “Setiap hari Dia dalam keadaan sibuk mengurus berbagai urusan? (QS. ar-Rahman: 29). Salah seorang yang hadir berkata: “Engkau hendak bertanya atau menjawab? Kalau engkau hendak bertanya maka tempatmu adalah di bawah sini dan bukan di atas mimbar” Ia pun turun dan orang yang hadir tadi naik ke atas mimbar. Pertanyaan tersebut ia ulangi. Dan berkata orang yang kini berada di atas mimbar: “Perkara yang Ia sudah tentukan dan tinggal wujudkan di alam raya dan bukan perkara yang baru saja Ia putuskan!” Orang itu bertanya lagi: “Urusan apa yang sekarang Ia lakukan?” Dijawab oleh orang yang berada di atas mimbar: “Ia tengah memuliakanku dengan berdiri di mimbar ini dan menghinakanmu dengan duduk di hadapanku.”

 

“Semua patuh pada kekuasaan-Nya dan tunduk di hadapan keperkasaan-Nya. Ia menghinakan siapa yang Ia kehendaki dan memuliakan siapa yang Ia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang bisa menolak segala keputusan-Nya, baik itu berupa ketetapan ataupun pembatalan sesuatu dan tidak ada apapun yang menjadi penolong bagi-Nya dalam menciptakan atau membinasakan.” Ia melakukan apa yang Ia inginkan.   Tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam sifat ketuhanan. Karena seluruh alam (al-alamun)” yaitu jin, manusia, dan malaikat, “yang merupakan makhluk pilihan dari semesta seluruhnya, merupakan ciptaan dan hamba-Nya yang Ia kendalikan dengan hukum-Nya dan Ia atur dengan ilmu. Nya.   Dengan itu aku diperintahkan dan untuk itu aku diciptakan.   Dan aku merupakan seorang yang berserah diri (al-muslimin) yang mengakui dengan sebenarbenarnya bahwa kekuasaan dan kewenangan atas segala sesuatu adalah milik-Nya, yang bersimpuh di hadapan keperkasaan-Nya, yang bergantungan pada tirai rahmat-Nya, yang terhalang oleh kelemahan untuk mencapai hakikat pemahaman tentang-Nya.”

 

Ada doa iftitah yang lain, yaitu:

 

“Wahai Allah jauhkan antara diriku dengan kesalahan-kesalahanku sebagaimana engkau jauhkan timur dan barat. Sucikan aku dari dosa dan kesalahan sebagaimana dibersihkannya baju yang putih dari noda dan kotoran. Wahai Allah, bersihkan aku dari dosa dan kesalahan dengan air, salju, dan air yang dingin.”

 

Engkau memohon agar semua dosa dan kesalahan yang kau lakukan dijauhkan darimu sejauh-jauhnya sebagaimana timur dan barat sehingga tidak tersisa sedikit pun dari kehinaannya dan dampak buruknya atasmu. Engkau memohon agar Ia menghapus darimu kegelapan dosa dan akibat jeleknya, juga keburukannya serta azab dan hukuman yang timbul darinya kelak. Sampai dosa itu dihapus dari ingatan para malaikat dan catatan-catatan mereka, dihilangkan bekasnya dari bumi tempat dosa itu dilakukan, dihapus dari ingatan anggota tubuhmu sendiri sehingga tidak bersaksi kelak di hari kiamat. Bahkan, jika Ia hendak mengingatkan hamba-Nya mengenai dosa yangia lakukan, dari dosa-dosa yang telah Ia ampuni dengan ampunan semacam ini, Ia ulurkan tirai penghalang antara Ja dan hamba-Nya dari para malaikat, sehingga mereka tidak tahu apa yang Ia sampaikan kepadanya. Dan ketika hamba tadi menyangka bahwa ia akan celaka dan mendapat azab, ia berkata: “Wahai Allah, berkenankah Engkau mengampuniku?” Allah menjawab: “Tentu saja. Aku tutupi dosamu di dunia dan hari ini Aku ampuni dirimu.” Kemudian Ia singkap tirai tadi dan mengumumkan: “Masuklah kau ke dalam surga dengan rahmat-Ku.” Tidak ada yang tahu apa yang sebelumnya Ia bicarakan karena Ia hendak menutupi dosa hamba-Nya.

 

Yang lebih mengagumkan lagi, Ia mengubah dosa yang dilakukan seseorang menjadi pahala, keburukan menjadi kebaikan, bau busuk menjadi semerbak wangi. Ini adalah perlakuan Allah Yang Maha Penyayang kepada siapa yang Ia cintai. Tidak ada selain-Nya yang mampu melakukan ini. Makhluknya yang paling pemurah bisa saja memaafkanmu jika kau berbuat salah kepadanya, tapi bagaimana ia bisa mengubah perbuatan burukmu itu menjadi kebaikan?! Tapi Allah mampu melakukan itu karena semua perkara ada dalam kuasaNya dan semua keputusan ada pada-Nya. Allah berfirman: “Mereka itulah yang Allah ganti keburukan mereka dengan kebaikan” (QS. al-Furqan: 70). Begitu juga Ia akan menjauhkanmu dari dosa yang akan kau lakukan di masa mendatang sehingga tidak akan terlintas dalam pikiranmu. Engkau memohon agar jangan disisakan bekas dosa sedikitpun pada dirimu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Taawudz

 

Kemudian ia memohon perlindungan kepada Allah dari tipuan setan, pemimpin orang-orang yang lalai dan berpaling dari Allah Swt. Ia bersandar pada kekuatan Allah dari tipu daya setan dan keburukannya dengan mengucap:   aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Niatkan pula untuk meminta perlindungan dari segala yang melalaikan, dan juga dari lintasan nafsu serta jeratan syahwat.

 

“Kemudian ia memohon perlindungan kepada Allah dari tipuan setan, pemimpin orang-orang yang lalai dan berpaling dari Allah Swt. Ia bersandar pada kekuatan Allah dari tipu daya setan dan keburukannya dengan mengucap:   aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Niatkan pula untuk meminta perlindungan dari segala yang melalaikan” yaitu segala yang menghalangi dari Allah Swt, “dan lintasan nafsy serta jeratan syahwat.” 

 

Segala puji bagi Allah yang memberi kita kesempatan untuk belajar dan mencari pemahaman semacam ini. Semoga Allah Swt mewujudkan dalam diri kita hakikat kehadiran dan perkumpulan yang diadakan karena-Nya. Kita dapati penulis kitab ini telah mengajak kita untuk menempatkan salat pada posisi yang semestinya pada akidah kita, makrifat kita, kesadaran kita, cita rasa (dzauq) kita, kepekaan kita (ihsas), dan kecintaan kita. Kita harus menempatkan salat sesuai kedudukannya, yaitu suatu keadaan yang mengumpulkanmu dengan Tuhanmu. Maka, apapun yang tergambar dalam benakmu mengenai keagungannya, sungguh salat lebih agung lagi dari itu. Dan sejauh apapun pengetahuanmu mengenai kemuliaannya, maka ia jauh lebih mulia dari itu. Dan sedalam apapun rahasia kemuliaan salat yang berhasil dipahami oleh jiwamu, maka salat jauh lebih sempurna dari itu. Dan seterang apapun cahaya dan keindahan salat yang tampak padamu, maka ia jauh lebih indah dari itu.

 

Karena itu, kita harus menempatkan salat sebagaimana mestinya sesuai dengan keadaan kita dan tingkat pemahaman kita mengenainya. Hal itu karena semua kekuatan dan kemampuan yang diberikan kepada kita, baik berupa rasa cinta, cita rasa, kepekaan, akal, dan perasaan, jika kita pergunakan dengan baik, maka semua itu akan menaikkan derajat kita dan menyucikan keadaan batin kita saat kita naik meniti derajat-derajat kedekatan kepada Allah. Semuanya itu juga akan membantu kita menyucikan dan membersihkan diri, dan berkumpul serta berjumpa dengan-Nya dalam dimensi penyaksian akan-Nya (hadhrat asy-syuhud) dan minum dari uluran karunia-Nya.

 

Semua kemampuan itu ada pada diri semua manusia, yang jika diarahkan kepada Allah Swt, maka semua kemampuan itu menjalankan fungsinya dengan yang baik dan benar. Jika tidak demikian, maka kemampuan tadi hanya akan berputar-putar di dunianya yang terbatas dan hina. Ia hanya akan menyadari dan merasakan hal-hal yang bersifat dangkal seperti mengetahui mana benda-benda yang terbuat dari kayu atau tanah atau besi dan lain sebagainya. Atau hal-hal yang berkaitan dengan udara dan ruang angkasa atau lautan atau mobil atau pesawat dan lain-lain. Maka perhatian dan fokusnya semua terpusat pada hal-hal yang remeh semacam ini dan terkubur hingga tidak bisa sampai pada hakikat kebahagiaan dan anugerah yang kekal abadi. Jika saja ia arahkan perasaan dan akal atau kepekaannya kepada sesuatu yang lebih tinggi, ia akan mulai merasakan rahasia wahyu Allah Swt dan manisnya hubungan dengan-Nya Swt. Ia akan mulai memahamj siapa dirinya, kedudukannya, kemanusiaannya, dan kemurahan sang Pencipta kepadanya dengan bermacam-macam karunia. Perasaan dan kepekaannya akan terus terasah hingga tersingkap baginya tiraj alam fisik menuju alam maknawi, yaitu alam malakut (metafisik) yang tersembunyi.

 

Jika demikian, maka manusia tersebut berhak mendapatkan hakikat kemuliaan dan pengagungan dari Yang Maha Mulia. Ia akan menjadi wadah rahasia kekhususan dan keistimewaan yang merupakan anugerah dari Allah Swt kepada manusia tersebut. Karenanya, siapa saja yang berpaling dari semua kebaikan ini, maka ia telah menzalimi dirinya sendiri dan termasuk kelompok mereka yang zalim. Allah Swt menjelaskan hakikat ini dalam firman-Nya: “Siapa yang tidak bertaubat, mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. al-Hujurat: 11). Siapa saja yang ridha dirinya melakukan maksiat, maka ia seorang yang zalim.

 

Apabila engkau melihat seorang yang menzalimi orang lain, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya ia tengah menzalimi dirinya sendiri. Allah Swt berfirman: “Siapa yang berbuat baik, maka (akibat baiknya) untuk dirinya sendiri. Dan siapa berbuat jelek, maka (akibat buruknya) kepada dirinya sendiri” (QS. Fushilat: 46). Allah juga berfirman: “Jika kalian berbuat baik, maka kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri. Dan jika kalian berbuat buruk, maka kalian berbuat buruk pada diri kalian sendiri” (QS. al-Isra: 7). Bayangkan jika ada seseorang mengambil hak fulan dan hak fulan. Tampaknya ia menzalimi orang lain, padahal apa yang ia lakukan terhadap dirinya sendiri jauh lebih besar dari perlakuannya terhadap orang tersebut. Karena pada hakikatnya ia tengah menzalimi dirinya sendiri. Ia mengambil dari manusia barang yang tidak berarti, namun mengharamkan bagi dirinya hal-hal yang agung dan luar biasa. Di sisi lain, ia justru memberi manfaat kepada mereka yang ia zalimi, utamanya jika orang-orang itu adalah muslim, dengan sesuatu yang begitu berharga dan kenikmatan yang besar dan abadi. Maka jika engkau pikirkan lebih jauh akan engkau dapati bahwa sesungguhnya ia tidak menzalimi siapapun selain dirinya sendiri. Kalau begitu, maka yang harus kita lakukan adalah menggunakan semua anugerah dari Allah Swt ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sedikit pun kita rela hidup bagaikan hewan ternak atau bahkan lebih buruk dari itu. “Mereka bagaikan hewan ternak, bahkan lebih sesat dari itu”? (QS. al-Araf: 179).

 

Apa saja yang umat manusia kerjakan dan apa saja yang mereka kira bahwa di sanalah letak keutamaan dan kemuliaan mereka, itu Semua adalah hal yang remeh di hadapan Allah Swt Yang Memiliki segalanya. Silakan bayangkan segala yang ada dan mungkin ada berupa kemajuan, alat-alat canggih, terobosan yang bermacam. macam, pemikiran, dan cara pemenuhan tujuan-tujuan duniawi, Namun sadarilah bahwa itu semua tidak lebih dari sekadar hal yang kecil. Apa yang dimiliki Firaun adalah hal yang remeh. Apa yang dimiliki kaum Nabi Hud adalah remeh. Apa yang dimiliki Namrud, raja pada zaman Ibrahim a.s, adalah hal yang remeh. Apa yang dimiliki orang-orang kafir sepanjang zaman adalah hal yang remeh. Allah berfirman: “Jangan sekali-kali engkau terperdaya dengan kebebasan orang kafir di negeri ini” (QS. Ali Imran: 196). “Itu hanyalah kesenangan yang tidak berarti,” dan bukan hanya itu, “kemudian tempat kembali mereka adalah neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS. Ali Imran: 197). Mereka menzalimi diri mereka sendiri. Karena itu, penting bagi kita untuk menyelamatkan diri dan memahami kebebasan dengan pemahaman yang benar, yaitu dengan menggunakan kemampuan dan kekuatan yang Allah anugerahkan ini dengan sebaik mungkin.

 

 

 

 

 

 

Surat-Fatihah

 

Dan katakanlah:   Dengan nama Allah, dan resapi dengan sebenar-benarnya bahwa semua terwujud dengan namaNya, diliputi oleh pengetahuan-Nya. Dan saksikanlah hakikat ketuhanan-Nya yang terdapat pada semua yang wujud, yang memiliki hikmah pada setiap apa yang telah ditentukan, dan apa yang didekatkan dan dijauhkan.

 

Dan saat engkau mengucapkan   Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka saksikanlah kasih sayang-Nya yang luas bagi seluruh alam semesta. Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dalam bentuk penciptaan, dan ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) dalam bentuk bantuan dan pertolongan.

 

Maka sampaikan pujianmu pada Yang Maha Terpuji dengan mengucapkan:   Segala puji bagi Allah, dengan seluruh elemen puji-pujian. Hayatilah bahwa saat itu engkau adalah wakil dari seluruh alam dalam menerima kedermawanan ini, Karena Dia menjadikanmu sebagai sebab terciptanya seluruh yang wujud dan terulurnya pertolongan dan karunia Allah kepada siapa yang Ia kehendaki untuk mendapatkannya, Adapun engkau sebagai sebab terciptanya segala yang wujud merupakan implementasi firman-Nya: “Dialah Allah yang telah menciptakan tujuh langit dan demikian pula bumi. Seluruh perkara turun di antara keduanya agar kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Allah telah meliputi semua dengan ilmu-Nya” (QS. at-Thalag: 12). Engkau adalah sebagai sebab terulurnya karunia Allah, sebagai mana dalam firman-Nya: “Dan Dia telah tundukkan bagi kalian segala apa yang ada di langit dan bumi (sebagai karunia) dariNya” (QS. al-Jatsiyah: 13).

 

Dan ketika keberlangsungan semua yang wujud ini adalah dengan pancaran cahaya-Nya Swt, maka bentuk lahiriah jasad tidak akan mampu menanggungnya kecuali setelah menerima cahaya pengkhususan yang disaksikan oleh mereka yang hatinya terang bercahaya. Bentuk lahiriah dari keistimewaan itu berupa guyuran hujan dan sisi batinnya adalah luapan cahaya yang tersembunyi dari mata air rahasia. Kemudian berdirilah di bawah kuasa-Nya yang agung nan mulia, dan teruslah rendahkan dirimu hingga ke titik yang paling hina, kemudian perhatikanlah bahwa “tidak ada satu pun nikmat yang ada pada kalian kecuali dari Allah-lah datangnya (QS. an-Nahl: 53)” dan katakanlah:   Tuhan pemelihara alam semesta.

 

Kemudian perhatikan bagaimana seluruh alam berada di bawah kekuasaan-Nya. Tunduk patuh pada Pemegang segala keputusan. Mereka tidak mampu mendatangkan kebaikan dan tidak pula menolak keburukan. Ketika itu engkau akan dapati nikmatnya perasaan hina dan kerdil, lalu engkau kembali kepada rahmat dari Yang Maha Pemurah dan Pengampun, Yang Maha Santun dan Menutupi Kesalahan. Dengan penuh kesungguhan engkau bersandar dan merasa butuh kepada-Nya dengan ucapanmu:  , Yang Maha Pengasih, yang memantaskanmu untuk berdiri di hadapan-Nya dan mengizinkanmu untuk menyeru dan berbicara dengan-Nya.   Yang Maha Penyayang kepadamu dengan segala kelemahan, kekurangan, kezaliman serta dosamu. Bahkan telah sampai kasih sayang-Nya kepadamu sebelum kau diciptakan dan dibentuk.

 

Kemudian hilangkan segala tipu daya yang meliputimu dan saksikan bagaimana kasih sayang-Nya yang khusus | turun melingkupimu, kain penjagaan-Nya meliputimu, dan ‘ benamkan seluruh kesadaranmu dalam kerajaan-Nya dengan mengucap:   Penguasa hari pembalasan, yaitu saat disingkapkannya keyakinan yang terpampang nyata (ain alyagin) dan kebenaran yang sesungguhnya tampak jelas.

 

Dan jika engkau telah siuman dari dahsyatnya keagungan Allah, maka bangkitlah dengan bertumpu pada kelemahan dan kehinaanmu. Saksikan kuasa-Nya yang indah dalam dirimu dan ucapkan:   Hanya kepada-Mu aku menyembah, sebagai bentuk kemurahan-Mu, kebaikan, kelembutan, dan anugerahMu.   Dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan, dengan penuh rasa tawakal, keyakinan, kemantapan akan keagungan-Mu, dan nyatanya sifat ketuhanan-Mu.

 

Di saat itu, menjadi tenanglah jiwamu dan bertambahlah harapanmu. Maka mintalah kepada-Nya Istikamah yang sempurna dengan mengucapkan:   Tunjukilah kami jalan yang lurus. Niatkan bahwa yang kau maksudkan adalah mata air yang diminum oleh Rasulullah Saw, yaitu mata air kehidupan berupa ruh syariat yang jasadnya adalah sikap Istikamah yang sempurna.

 

 Jalan orang-orang yang kau beri nikmat atas mereka berupa kelezatan berdialog dengan-Mu, indahnya kelembutan dan kedekatan dengan-Mu. Dan mereka itu adalah para nabi dan para shiddig yang telah Engkau pilih untuk taat kepada-Mu dan Engkau khususkan dengan kedekatan kepada-Mu. Kaulimpahi mereka dengan nikmatnya menyaksikanMu, serta Kau masukkan mereka ke dalam surga pada tempat yang sangat dekat dengan-Mu.   Bukan jalan orang-orang yang Kau murkai dengan mengharamkan mereka dari ketaatan kepada-Mu dan melenceng dari jalan-Mu hingga Kau siksa mereka kelak.   Dan bukan pula mereka yang sesat, yang Kau selubungi hijab sehingga tidak mampu merasakan nikmatnya mendengar firman-Mu, dan tidak pula mabuk dengan minuman yang murni. Dan katakan, dalam keadaan engkau tunduk pada-Nya, berdiri di pintu-Nya, dan yakin akan pengabulan-Nya: Amin.

 

Sekarang kita masuk pada pembacaan al-Fatihah yang disabdakan oleh Nabi Saw: “Tidak sah salat seseorang yang tidak membaca al-Fatihah” Engkau memulainya dengan mengucap Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim. Al-Habib Hasan, penulis kitab ini, menjelaskan bahwa ketika engkau mengucapkan Bismillah, dengan menyebut nama Allah, resapi bahwa segala sesuatu terjadi dengan tahasia nama-Nya. Dengan kuasa siapa langit dan bumi dapat tercipta dan bertahan? Dengan kehendak siapa engkau terwujud dan menjadi dirimu sekarang ini? Dengan kuasa siapa kau dapat melihat dan merasa? Siapa yang mengatur seluruh organ dalam tubuhmu? Dengan kuasa siapa atmosfer dapat tetap bertahan? Siapa yang mengatur ombak di lautan yang saling bergulung satu dengan yang lainnya? Dengan kehendak siapa burung dapat terbang? Siapa yang menahannya di antara langit dan bumi? Siapa yang membuat bumi tempat kau berpijak ini tetap stabil? Dengan kuasa Allah. Dengan nama-Nya, bismillah.

 

Segala sesuatu wujud dengan nama-Nya. Banyak orang yang merasa takjub melihat nama Allah yang muncul pada pepohonan atau badan manusia. Mengapa harus takjub padahal segala hal adalah dengan nama-Nya, hanya saja engkau tidak melihatnya. “Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkan padaku apa yang diciptakan oleh sesembahanmu selain-Nya” (QS. Lugman: 11). Allah juga berfirman: “Apakah kalian melihat apa yang kalian sembah selain Allah itu maka tunjukkan padaku apa yang mereka ciptakan dari bumi” (QS. al-Ahgaf: 4). Tunjukkan sejengkal saja bagian dari bumi yang diciptakan oleh mereka yang merasa memiliki kekuasaan?! Kita tidak meminta agar mereka menunjukkan kepada kita benua atau pulau yang mereka wujudkan, tapi tunjukkan satu jengkal saja dari yang mereka ciptakan di bumi. Tidak ada sedikitpun. “Ataukah mereka ikut andil dalam penciptaan langit?” (QS. al-Ahgaf: 4). Adakah tempat di langit yang mereka ikut menciptanya? Adakah tempat di langit yang dimiliki oleh perusahaan fulan atau fulan?!

 

Inilah keadaan makhluk yang sebenarnya. Allah seakan berkata kepada mereka: “Bersenang-senanglah kalian dengan apa yang telah Aku berikan pada kalian” Mereka kemudian mulai tertipu, berbuat seenaknya, berdusta atas nama Allah, dan menyombongkan diri, padahal sedikit pun mereka tidak memiliki apa-apa.

 

“Katakanlah:   Dengan nama Allah, dan resapi dengan sebenar-benarnya bahwa semua wujud dengan nama-Nya.” Beliau tidak mengatakan “dan ketahuilah semua wujud dengan nama-Nya” karena kita semua tahu hal itu, tapi beliau mengajak kita untuk benar-benar meresapi dan menyadari hal tersebut. “Diliputi oleh pengetahuan-Nya.” Allah Swt berfirman: “Dan sungguh Allah telah meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya” (QS. at-Thalag: 12). “Dan saksikanlah hakikat ketuhanan-Nya yang terdapat pada semua yang wujud,” pada segala sesuatu karena Ia adalah Tuhan segala sesuatu dan Pemiliknya. Allah berfirman: “Dan tidaklah segala sesuatu melainkan bertasbih dengan memuji-Nya” (QS. alIsra: 44). Hal ini menandakan bahwa esensi sifat ketuhanan Allah Swt terdapat pada semua ciptaan-Nya. Karena Dia adalah Tuhan segala sesuatu. Dirimu, baju yang kau kenakan, alas dudukmy dan dinding yang melingkupimu, pada semua itu mengalir rahasia ketuhanan. Diceritakan bahwa salah seorang masuk hendak menemui al-Imam Abdurahman Assegaf dan ia dapati beliay sedang berzikir. Orang itu mendengar ucapan zikir dari lisan al. Imam Abdurahman Assegaf dan dari seluruh anggota badan beliau, juga dari baju dan alas yang beliau gunakan. Hal ini jugalah yang diberikan kepada Nabi Daud a.s ketika Allah Swt memerintahkan kepada gunung-gunung untuk ikut mengumandangkan zikir yang diucapkan Daud a.s. Allah berfirman: “Wahai gunung-gunung, ikutlah bertasbih berulang-ulang bersama Daud dan burungburung” (QS. Saba: 10). Allah juga berfirman: “Sesungguhnya Kami tundukkan baginya (Daud) gunung-gunung untuk ikut bertasbih bersamanya setiap petang dan pagi hari” (QS. Shad: 18).

 

Allah Swt memiliki hikmah pada setiap hal yang Ia sembunyikan, yang hanya Ia singkapkan pada siapa yang Ia kehendaki., Seperti yang dialami Nabi Muhammad Saw ketika meletakkan batu di telapak tangan beliau dan terdengar suara tasbih dari batu tersebut. Beliau Saw kemudian memberikan batu itu pada Abu Bakar dan tetap terdengar tasbih darinya. Ketika diletakkan di tangan Umar bin Khatthab pun demikian. Kemudian Rasulullah Saw meletakkan batu itu dan melanjutkan majelis beliau. Ketika selesai, Rasulullah melihat para sahabat masih ada yang saling memegang batu tersebut namun tidak terdengar lagi adanya tasbih dari batu itu. Pada hakikatnya tasbih itu tetap ada dan rahasia-Nya tetap wujud pada segalanya, hanya saja diantaranya terdapat hijab penghalang. Akan tetapi keimanan kita menjadikan kita yakin sepenuhnya dengan kebenaran hal tersebut. Dan selama engkau tetap dalam keyakinan itu dan kabar yang kau terima mengenai tasbih itu bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, maka sama saja kau seperti mendengar tasbih tersebut. Bahkan jika demikian keadaanmu, jika seperti ini cara pandangmu, kau lebih dari sekadar mendengar.

 

Diceritakan suatu hari al-Fagih al-Mugaddam Muhammad bin Ali menyuruh salah seorang putranya, Alwi, untuk memotong beberapa tanaman. Tak berapa lama berselang Alwi kembali dengan tangan kosong. Ketika ditanya apa yang terjadi ia menjawab: “Setiap kali aku hendak memotong tanaman tersebut aku mendengar ia bertasbih kepada Allah sehingga aku tidak jadi memotongnya karena menghormati nama-Nya” Al-Fagih al-Mugaddam menjawab: “Engkau tengah diliputi keadaan spiritual. Biarkan yang lain yang memotongnya.” Pada kesempatan lain al-Fagih al-Mugaddam keluar menuju tempat ibadah beliau di atas gunung Nuair. Diam-diam salah seorang anak beliau mengikuti beliau ke tempat itu. Ketika al-Fagih al-Mugaddam mengucap Laa Ilaha Illallah, maka gunung, bebatuan dan tumbuhan yang ada di gunung itu ikut mengucap kalimat itu bersama beliau. Ketika beliau selesai dan hendak keluar, beliau melihat ada seorang yang tergeletak tidak sadarkan diri yang ternyata adalah anaknya. Ketika siuman dan ditanya mengenai keadaannya ia menjawab: “Aku mengikutimu dan mendengar zikir yang diucapkan gunung, bebatuan dan tumbuhan hingga aku tidak sadarkan diri.” Al-Fagih al-Mugaddam menjawab: “Lain kali jangan mengikutiku kecuali dengan seizinku.” Akhirnya dibangun masjid di tempat pingsannya anak beliau itu dan sampai hari ini masjid itu masih dikenal dengan nama masjid Ahmad Bilfagih.

 

Sudah jelas bagi kita bahwa faktanya memang sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tapi mengapa kita seakan-akan tuli dan bisu sehingga tidak sampai kepada kita kabarkabar dari sumber yang paling terpercaya itu?! Dikisahkan bahwa salah seorang saleh di Basrah yang telah mencapai hakikat Basmalah didatangi seorang wanita yang memintanya menuliskan lafal tersebut pada gelas dari kaca untuk penyembuhan. Ketika ia menuliskannya maka gelas tersebut pun pecah. Si wanita datang membawa gelas kedua dan terjadi hal yang sama. Maka ia pun mengambil yang ketiga dan orang saleh tadi berkata: “Walaupun kau bawakan seluruh gelas di Basrah, tetap akan terjadi hal yang sama. Saat ini hatiku sedang hadir di hadapan Pemilik nama ini. Dimana pun aku tuliskan nama-Nya pasti ia akan hancur karena tidak sanggup menanggungnya. Carilah orang lain yang terhijab dari perasaan yang tengah meliputiku ini dan biarkan dia yang menuliskannya untukmu.”

 

Nabi mengajarkan kita ucapan ini saat masuk dan keluar, saat hendak makan, saat minum, saat mengenakan pakaian, saat masuk ke kamar mandi, dan lain sebagainya. Beliau juga mengajarkan kita untuk mengucapkan ketika hendak tidur: “Dengan nama-Mu, wahai Tuhanku, aku letakkan tubuhku di pembaringan, dan dengan namaMu pula aku mengangkatnya kembali (bangun). Maka ampunilah dosaku” Yakni aku meletakkan badanku dengan kuasa dan kehendakMu dan aku juga mengharap luapan anugerah, rahmat, dan belas kasihan-Mu. Dan begitu pula aku bangun dengan kuasa-Mu, demi karena-Mu. Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkanku setelah mematikanku dan kepada-Nya tempat kembali.

 

Jika kau telah memahami ini, maka kau juga akan mampu memahami hakikat tersebut dan mengetahui apa alasan ditutupinya rahasia ini dari kebanyakan makhluk. Dan berapa banyak hal yang disembunyikan dari satu makhluk namun disingkap untuk yang lain. Hal ini seperti yang terjadi kepada binatang dan hewan ternak yang mampu mendengar apa yang tengah terjadi di dalam kubur. Kejadian di dalam kubur tersembunyi dari makhluk yang lain, namun hewan-hewan dapat merasakannya, mereka mendengar jeritan mayat di dalam kubur ketika sedang disiksa. Disebutkan dalam hadis yang menjelaskan mengenai seorang mayat yang dipukul jika tidak mampu menjawab pertanyaan kedua malaikat: “Orang itu akan menjerit dengan jeritan yang didengar oleh segala beliau melihat ada seorang yang tergeletak tidak sadarkan diri yang ternyata adalah anaknya. Ketika siuman dan ditanya mengenai keadaannya ia menjawab: “Aku mengikutimu dan mendengar zikir yang diucapkan gunung, bebatuan dan tumbuhan hingga aku tidak sadarkan diri” Al-Faqih al-Muqaddam menjawab: “Lain kali jangan mengikutiku kecuali dengan seizinku.” Akhirnya dibangun masjid di tempat pingsannya anak beliau itu dan sampai hari ini masjid itu masih dikenal dengan nama masjid Ahmad Bilfaqih.

 

Sudah jelas bagi kita bahwa faktanya memang sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tapi mengapa kita seakan-akan tuli dan bisu sehingga tidak sampai kepada kita kabarkabar dari sumber yang paling terpercaya itu?! Dikisahkan bahwa salah seorang saleh di Basrah yang telah mencapai hakikat Basmalah didatangi seorang wanita yang memintanya menuliskan lafal tersebut pada gelas dari kaca untuk penyembuhan. Ketika ia menuliskannya maka gelas tersebut pun pecah. Si wanita datang membawa gelas kedua dan terjadi hal yang sama. Maka ia pun mengambil yang ketiga dan orang saleh tadi berkata: “Walaupun kau bawakan seluruh gelas di Basrah, tetap akan terjadi hal yang sama. Saat ini hatiku sedang hadir di hadapan Pemilik nama ini. Dimana pun aku tuliskan nama-Nya pasti ia akan hancur karena tidak sanggup menanggungnya. Carilah orang lain yang terhijab dari perasaan yang tengah meliputiku ini dan biarkan dia yang menuliskannya untukmu”

 

Nabi mengajarkan kita ucapan ini saat masuk dan keluar, saat hendak makan, saat minum, saat mengenakan pakaian, saat masuk ke kamar mandi, dan lain sebagainya. Beliau juga mengajarkan kita untuk mengucapkan ketika hendak tidur: “Dengan nama-Mu, wahai Tuhanku, aku letakkan tubuhku di pembaringan, dan dengan namaMu pula aku mengangkatnya kembali (bangun). Maka ampunilah dosaku,” Yakni aku meletakkan badanku dengan kuasa dan kehendakMu dan aku juga mengharap luapan anugerah, rahmat, dan belas kasihan-Mu. Dan begitu pula aku bangun dengan kuasa-Mu, demi karena-Mu. Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkanku setelah mematikanku dan kepada-Nya tempat kembali.

 

Jika kau telah memahami ini, maka kau juga akan mampu memahami hakikat tersebut dan mengetahui apa alasan ditutupinya rahasia ini dari kebanyakan makhluk. Dan berapa banyak hal yang disembunyikan dari satu makhluk namun disingkap untuk yang lain. Hal ini seperti yang terjadi kepada binatang dan hewan ternak yang mampu mendengar apa yang tengah terjadi di dalam kubur. Kejadian di dalam kubur tersembunyi dari makhluk yang lain, namun hewan-hewan dapat merasakannya, mereka mendengar jeritan mayat di dalam kubur ketika sedang disiksa. Disebutkan dalam hadis yang menjelaskan mengenai seorang mayat yang dipukul jika tidak mampu menjawab pertanyaan kedua malaikat: “Orang itu akan menjerit dengan jeritan yang didengar oleh segala sesuatu kecuali manusia dan jin. Dan jika mereka mendengarnya niscaya mereka akan jatuh tak sadarkan diri?

 

“Yang memiliki hikmah pada setiap apa yang telah ditentukan” Allah Swt berfirman: “Dan hanya pada Kami-lah perbendaharaan segala sesuatu dan tidaklah Kami turunkan kecuali dengan kadar dan perhitungan yang jelas” (QS. al-Hijr: 21). Bermacam-macam warna kulit kita, bentuk fisik kita, kesehatan kita, penyakit kita, gerak dan diamnya kita, elemen penyusun tanah, batu, pepohonan, dan lain sebagainya adalah dengan ukuran yang jelas dan pengaturan yang teliti dari Yang Maha Bijaksana. “Dan pada apa yang didekatkan dan dijauhkan.” Engkau mendekatkan sesuatu dan menjauhkan yang lain, memberi anugerah pada seseorang dan menghinakan seorang yang lain, membantu seseorang dan membiarkan yang lain. Engkau menciptakan hamba-hamba-Mu sesuai kehendak-Mu, dan ilmu-Mu meliputi anak-anak dan orang tua. Apa yang Kau kehendaki pasti terjadi meski tak aku inginkan, namun yang aku inginkan tidak mungkin wujud tanpa kehendak-Mu. 

 

Yang tersisa selanjutnya adalah tingkatan keimanan yang mengantarkan seseorang kepada tingkatan dzauq dan cinta untuk seterusnya naik ke tingkatan ilm al-yagin, hingga menuju kepada — din al-yagin. Adapun mereka yang berada pada derajat hag al-yaqin  adalah para Nabi dan Rasul serta para pewaris mereka yang terpilih.

 

Pada setiap tingkatannya, seseorang akan melakukan semua dengan sangat tepat sambil tetap menjalankan usaha yang mesti dilakukan sesuai dengan porsinya. Maka seorang yang masih berada pada tingkatan paling dasar, jika ia mendengar suara tasbih dari batu atau alas duduknya, ia pasti akan terkejut dan ketakutan, tapi disaat yang sama dia yakin bahwa semua itu bertasbih meski dia tidak mendengarnya. Akan tetapi jika yang mendengar adalah seseorang yang ada pada tingkatan yang lebih tinggi, maka dia tetap tenang karena mengetahui dengan pasti bahwa semua terjadi dengan kehendak dan izin dari Yang Maha Bijaksana Swt.

 

Diceritakan bahwa ada seorang yang saleh sedang berjalan. Di tengah perjalanannya ia ingin meludah dan membuang dahak. Ketika hendak melakukan itu ia mendengar tanah-tanah bertasbih hingga ja malu dan mengurungkan niatnya. Lewat di hadapannya seorang saleh yang lebih tinggi tingkatannya dari dirinya dan menanyakan keadaannya yang tampak bingung. Ia pun menceritakan apa yang terjadi. Si orang saleh yang lebih hebat itu meludah ke tanah dan terdengar tasbih dari tanah dan dari ludah yang ia keluarkan. Ia berkata: “Kau hanya melihat satu bagian dan meninggalkan bagian yang lain. Allah mengizinkanmu meludah di sini dan melarangmu meludah di masjid dan meludahi manusia lain. Lakukan apa yang Ia izinkan karena sesungguhnya rahasia-Nya ada pada segala sesuatu.”

 

Yang Maha Pengasih dan Penyayang? Ia memiliki banyak nama, tapi mengapa Ia memilih nama ini sebagai pembuka salat kita? Apa alasan Ja memilih dua nama yang lembut ini untukmu memulai salat? Ja seakan hendak berkata: “Menghadaplah kepadaku dengan dua nama ini agar Aku menghadap kepadamu dengan makna yang dikandung keduanya” “Maka saksikanlah kasih sayang-Nya yang luas bagi seluruh alam semesta. Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dalam bentuk penciptaan, dan ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) dalam bentuk bantuan dan pertolongan.” Dengan nama-Nya Yang Maha Pengasih dan Penyayang Ia mewujudkan dan memberi pertolongan dan anugerah pada kita. Dan Dialah pencipta segala sesuatu. “Maka sampaikan pujianmu pada Yang Maha Terpuji dengan mengucapkan:  , Segala puji bagi Allah” Yang Maha Mewujudkan dan Memberi Anugerah, “dengan seluruh elemen puji-pujian” Karena hanya Dialah yang berhak mendapat pujian dalam keadaan apapun dan dengan seluruh bentuk dan makna pujian. Tidak ada seorang pun dari makhluk-Nya yang berhak mendapat pujian kecuali yang Ia dijadikan sebagai sarana kebaikan. Dan karenanya, pujian bagi makhluk itu pun hanyalah bersifat kiasan belaka. Rasa terima kasih kita kepada orang yang berbuat baik kepada kita pada hakikatnya kembali kepada-Nya karena kebaikan itu pun atas kehendak-Nya.

 

Kita adalah umat yang banyak bersyukur dan memuji Allah Swt.

 

Itulah ciri khas kita yang disebut dalam kitab umat-umat terdahulu, yaitu al-hammadun. Sehingga kita perlu mendalami dan merasakan betul makna dari pujian kepada Allah Swt, dan bersyukur kepadaNya dalam setiap keadaan. Sebab ucapan Alhamdulillah akan memenuhi timbangan kebaikan kita kelak seperti yang disabdakan Nabi Muhammad Saw. Diceritakan bahwa seorang yang saleh melihat perkumpulan orang di Arafah dan keagungan yang meliputinya seraya mengucapkan dengan penuh penghayatan dan kesungguhan: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas nikmat Islam dan cukuplah itu sebagai nikmat” Pada tahun berikutnya ia kembali menunaikan haji. Ketika ia melihat keagungan Arafah dan hendak mengucapkan syukur dan pujian kepada Allah seperti tahun sebelumnya, Allah menampakkan baginya malaikat yang berkata: “Sejak tahun lalu sampai hari ini kami belum selesai menuliskan kebaikan ucapanmu dahulu dan sekarang kau hendak mengucapkannya lagi?!” Ucapan malaikat itu bukan bertujuan melarangnya untuk mengucap syukur dan pujian, tapi untuk memberitahukan kepadanya kenikmatan yang ia dapatkan dari itu semua dan pemberian Allah Swt yang sangat luas. Ini seperti sabda Nabi Saw: “Siapa yang membaca surat alIkhlas sebelas kali akan Allah bangunkan untuknya istana di surga.” Sayyidina Umar menjawab: “Kalau begitu akan kami perbanyak istana kami” Nabi menjawab: “Allah lebih banyak pemberian-Nya dan lebih baik lagi.”

 

“Hayatilah bahwa saat itu engkau adalah wakil seluruh alam” untuk memuji sang Pencipta alam semesta. Lalu apa yang menjadikanmu mendapatkan posisi agung sebagai wakil alam semesta ini? Itu adalah sebab kekhususan dan keistimewaan yang ada pada manusia, dan engkau adalah manusia. Pelajari, dalami makna menjadi manusia yang tidak akan kau dapatkan dari para ilmuwan. Akan tetapi melalui rahasia wahyu, ilmu, dan pengajaran yang Allah berikan melalui perantara para malaikat dan rasul-Nya yang sampai kepada kita. Kita baca keistimewaan manusia dalam Alquran melalui firman-Nya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi” (QS. al-Bagarah: 30). “Dan jika sudah Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan ruh dari-Ku ke dalamnya maka tunduklah kalian semua kepadanya dengan bersujud” (QS. al-Hijr: 29). Hakikat dan instisari keistimewaan yang dimiliki manusia secara umum ini pada akhirnya kembali kepada orang-orang yang beriman, kemudian naik kepada para ulama, kepada orang-orang yang mengenal Allah Swt, kemudian kepada mereka yang mencapai kedudukan ashshiddiqiyyah al-kubra (posisi yang paling tinggi), kemudian terus naik kepada para nabi, kemudian para rasul, kemudian Ulul Azmi di antara mereka, sampai kepada puncaknya Nabi Muhammad saw. Inilah makna insan yang sesungguhnya, yaitu keseluruhan tingkatan ini. Karena seluruh kemuliaan bermula dari keimanan dan terus naik ke atas.

 

Adapun mereka yang tidak beriman, menggugurkan keistimewaan yang mereka miliki dengan pengingkaran dan kekafiran mereka kepada Allah Swt. AL-Imam Abdullah al-Aydrus berkata: “Orang yang beriman adalah manusia-manusia pilihan. Dan para ulama adalah yang terpilih dari orang-orang mukmin. Dan orang-orang arif (yang telah mencapai makrifat) adalah yang terpilih dari para ulama. Dan yang terpilih dari mereka yang ‘arif adalah ahl ar-ridha, yaitu mereka yang telah mencapai hakikat tauhid pada tingkat ash-shiddigiyyah al-kubra.” Tidak ada seorang pun yang menyamai mereka yang telah mencapai derajat itu. Maka jika kita hendak membicarakan mengenai keistimewaan manusia, kita harus mengkajinya sebagai sebuah gambaran utuh seperti ini.

 

Meskipun pusat segala keutaman ini ada pada posisi tertinggi dari konstruksi manusia semacam ini, namun keistimewaan ini tersebar kepada semua yang beriman kepada-Nya berdasarkan kadar keimanan dan hubungan mereka dengan Allah Swt. Karena itu, Allah Swt dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menetapkan bahwa seluruh alam semesta ini diciptakan untuk manusia dan menjadi kendaraannya untuk menggali dan menemukan potensipotensi yang ada pada dirinya. Ia juga menundukkan alam ini bagi manusia. Ini semua telah disebutkan di dalam Alquran dalam firman-Nya: “Dialah Allah yang telah menciptakan tujuh langit dan demikian pula bumi. Seluruh perkara turun di antara keduanya agar kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuaty dan sesungguhnya Allah telah meliputi semua dengan ilmu-Nya” (QS. at-Thalag: 12). Melalui ayat ini Allah mengangkat derajat ilmu dan kedudukan manusia. Ia ciptakan langit dan bumi agar kita manusia mendapatkan pengetahuan. Ini mengisyaratkan bahwa manusia adalah sebab dari wujudnya langit dan bumi. Tapi ingat, manusia dalam gambarannya yang utuh, dalam sistem yang telah kita sebutkan. Dan keutamaan ini terkumpul dan tampak jelas pada puncak bangunan kemanusiaan itu.

 

Allah Swt juga menundukkan segala yang ada di alam ini bagi manusia seraya berfirman: “Dan Dia telah tundukkan bagi kalian segala apa yang ada di langit dan bumi (sebagai karunia) dari-Nya” (QS. al-Jatsiyah: 13). Namun tidak pernah alam semesta ditundukkan melebihi tunduknya ia pada Muhammad Saw sang manusia paling istimewa. Langit dan bumi tersingkap rahasianya bagi beliau Saw dan bahkan lebih dari itu. Beliau adalah pemimpin seluruh manusia dan kita adalah bagian dari struktur manusia secara utuh. Karenanya kita juga memperoleh bagian-bagian dari rahasia dan penyingkapan yang beliau dapatkan.

 

Penulis kitab ini mengatakan bahwa kita menjadi wakil bagi seluruh alam semesta untuk memuji-Nya, Dzat yang paling berhak mendapat pujian. Mengapa kita yang menjadi wakil dari alam?

 

“Karena Dia menjadikanmu sebagai sebab terciptanya seluruh yang wujud dan terulurnya pertolongan dan karunia Allah kepada siapa yang Ia kehendaki untuk mendapatkannya. Adapun engkau sebagai sebab terciptanya segala yang wujud adalah implementasi firman-Nya: “Dialah Allah yang telah menciptakan tujuh langit dan demikian pula bumi. Seluruh perkara turun di antara keduanya agar kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Allah telah meliputi semua dengan ilmu-Nya.” (QS. ath-Thalaq: 12), dan engkau sebagai sebab terulurnya karunia Allah adalah melalui firmanNya: “Dan Dia telah tundukkan bagi kalian segala apa yang ada di langit dan bumi (sebagai karunia) dari-Nya” (QS. al-Jatsiyah: 13). Maka ketahuilah betapa mulia penciptaanmu dan betapa agung Penciptamu Swt. Karena itu, “ketika keberlangsungan semua yang wujud ini adalah dengan pancaran cahaya-Nya Swt, maka bentuk lahiriah jasad tidak akan mampu menanggungnya kecuali setelah menerima cahaya pengkhususan yang disaksikan oleh mereka yang hatinya terang bercahaya. Bentuk lahiriah dari keistimewaan itu berupa guyuran hujan dan sisi batinnya adalah luapan cahaya yang tersembunyi dari mata air rahasia.”

 

Setelah engkau mengucapkan Alhamdulillah “kemudian berdirilah di bawah kuasa-Nya yang agung dan mulia dan teruslah rendahkan dirimu hingga ke titik yang paling hina” dalam keadaan tunduk patuh “dan perhatikan bahwa “tidak ada satupun nikmat yang ada pada kalian kecuali dari Allah-lah datangnya (QS. an. Nahi: 53)” dan katakanlah:   Tuhan pemelihara alam semesta,” Pencipta mereka, yang mengatur semua urusan mereka dan Pemilik mereka Swt. Dan alAlamin adalah ruh alam semesta, yaitu manusia, jin, dan malaikat yang mendapat keistimewaan tersendiri dibandingkan bagian alam yang lain. Kemudian beliau berkata: “Kemudian perhatikan bagaimana seluruh alam berada di bawah kekuasaan-Nya. Tunduk patuh pada Pemegang segala keputusan. Mereka tidak mampu mendatangkan kebaikan dan tidak pula menolak keburukan.” Karena mereka dan semua sarana yang dapat mereka gunakan berada dalam kehendak dan hukumNya Swt. Meski demikian, siapa yang berbuat baik di antara mereka akan mendapat balasannya berupa anugerah dari Allah. Dan siapa yang berbuat keburukan juga akan mendapatkan balasan dan hukuman dengan keadilan dari-Nya. Akan tetapi, mereka, balasan mereka, dan apa yang mereka perbuat berada dalam pengaturanNya. Tidak ada yang luput dari genggaman-Nya. Karena itu mereka yang ingkar dan tidak beriman kepada Allah Swt dan para rasul dan kitab-kitab pada akhirnya akan kembali kemana? Mereka kembali kepada Tuhan mereka. Allah berfirman: “Dan jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepala mereka di hadapan Tuhan mereka” (QS. as-Sajdah: 12). Mengapa di hadapan Tuhan mereka? Karena tidak ada tempat bersandar dan kembali selain kepada-Nya. Sedangkan orang yang beriman dimuliakan di sisi Tuhannya. Meski demikian tempat kembali mereka tetap satu. Orang-orang yang menyembah selain Allah tidak kembali kepada sesembahan mereka karena sesembahan mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa. Mereka tidak kembali kepada pemerintahan mereka, tidak pula pada partai-partai mereka. Semua kembali kepada Allah karena sifat ketuhanan hanya milik-Nya.

 

“Ketika itu engkau akan dapati nikmatnya perasaan hina dan kerdil,” yang merupakan hakikat dari kemuliaanmu. “Dan engkau kembali kepada rahmat dari Yang Maha Pemurah dan Pengampun, Yang Maha Santun dan Menutupi Kesalahan, dengan penuh kesungguhan engkau bersandar dan merasa butuh kepada-Nya dengan ucapanmu: , Yang Maha Pengasih, yang memantaskanmu untuk berdiri di hadapan-Nya dan mengizinkanmu untuk menyeru dan berbicara dengan-Nya.” Padahal siapa dirimu? Makhluk yang dicipta, gabungan ruh dan jasad yang berasal dari mani, dan Ia mengizinkanmu untuk berbicara dan menyeru-Nya dan berdiri di hadapan-Nya. Itu semua karena Ia Maha Pengasih. Jika tidak, maka siapa dirimu sehingga pantas mendapat semua perlakuan baik ini? “   Yang Maha Penyayang, kepadamu dengan segala kelemahan, kekurangan, kezaliman serta dosamu. Bahkan telah sampai kasih sayang-Nya kepadamu sebelum kau diciptakan dan dibentuk. Kemudian hilangkan Segala tipu daya yang meliputimu dan saksikan bagaimana kasih sayang-Nya yang khusus turun melingkupimu, kain penjagaan, Nya meliputimu, dan benamkan seluruh kesadaranmu dalam kerajaan-Nya dengan mengucap: “   Penguasa hari pembalasan.” Terdapat dua bacaan pada kata Maliki, yaitu dengan memanjangkan “Ma” dan memendekkannya. Sebagian orang-orang ‘Qarif lebih suka membaca panjang pada rakaat pertama dan membaca pendek pada rakaat kedua untuk menggabungkan dua cara baca tadi dan juga karena bacaan salat Rasulullah Saw pada rakaat pertama lebih panjang dari rakaat kedua.

 

“Ketika disingkapkan keyakinan yang terpampang nyata (ain al-yagin),” karena ketika itu semua akan mengetahui hakikat kebenaran dan sampai pada keyakinan. Begitu juga orang yang kafir. Ia kafir dan ingkar ketika di dunia, tapi di akhirat saat semua terbuka di hadapan matanya tidak ada lagi yang bisa ia ingkari. Allah berfirman: “Adapun buih maka ia akan hilang begitu saja dan tiada berarti. Sedangkan apa yang memberi manfaat bagi manusia maka ia tetap di muka bumi. Begitulah Allah Swt membuat perumpamaan: perumpamaan” (QS. ar-Rad: 17). Begitu pula kebenaran dan kebatilan. Tidak ada lagi kekufuran dan pengingkaran dan yang tersisa hanya hakikat kebenaran. Pada hari itu, semua orang beriman karena kebenaran sudah terpampang nyata di hadapan mereka. Akan tetapi keimanan .“ sudah tidak bermanfaat lagi.

 

Dan mereka yang kafir semasa hidup di dunia tetap dihukumi kafir di akhirat meski kini mereka sudah yakin dengan apa yang mereka lihat dari kebenaran yang selama ini mereka ingkari. Allah berfirman: “Maka iman mereka tiada berguna lagi bagi mereka tatkala mereka melihat azab Kami” (QS. al-Mu’min: 85). Hal serupa terjadi ketika Firaun beriman saat nyawanya sudah di kerongkongan saat ia hampir tenggelam, ia berkata: “Aku beriman bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang diimani oleh bani Israil dan aku termasuk mereka yang berserah diri (kepada Allah): Apakah baru sekarang (kamu beriman saat sudah hampir tenggelam)?!” (QS. Yunus: 90-91). “Dan kebenaran yang nyata tampak jelas” Tidak ada lagi dusta, kebohongan, atau kesempatan untuk berkelit dihari itu karena semua perkara jelas dan terang benderang bagi semua makhluk.

 

“Dan jika engkau telah siuman dari dahsyatnya keagungan Allah, maka bangkitlah dengan bertumpu pada kelemahan dan kehinaanmu.” Hal itu karena mereka yang menghinakan diri di hadapan Allah pada kenyataannya sedang meminta hakikat kemuliaan dengan cara meminta yang tepat, yaitu melalui pintu yang Allah bukakan baginya. Sedangkan mereka yang congkak dan sombong, mereka menginginkan kemuliaan tapi dengan melanggar aturan dan bukan dari pintu yang telah Allah buka untuk itu. Mereka pada akhirnya hendak merebut sifat ketuhanan dari-Nya namun justru berakhir dengan terhinakan di dunia dan akhirat. Sedangkan mereka yang mengharap kemuliaan melalui jalur yang benar dan dengan cara meminta yang benar pula, mereka akan menghinakan diri kepada Allah.

 

Karena kadar kemuliaan seorang makhluk dengan segala jenisnya sesuai kadar kerendahan dirinya kepada Penciptanya Mengapa demikian? Sebab seluruh kemuliaan adalah milik Allah Swt dan Dia memuliakan siapa yang Ia kehendaki. Maka siapa yang merendahkan diri kepada-Nya, Ia muliakan dia dan siapa yang merasa memiliki kemuliaan pada dirinya sendiri, Ia hinakan dia. Ini merupakan aturan baku yang sudah Allah tetapkan di alam semesta. Sampai diriwayatkan bahwa jika sebuah gunung menyombongkan diri pada gunung yang lain, maka akan Allah luluh lantakkan gunung yang sombong itu. Karena kemuliaan dari Allah semata dan hanya milik-Nya. Dan barang siapa yang mendakwakan kemuliaan bagi dirinya melalui jalur yang salah, maka silakan ia ambil balasan baginya dan akan ditampakkan semua dusta dan kesalahannya. Disebutkan dalam hadis: “Siapa yang sombong, akan Allah hinakan dia. Dan siapa yang rendah hati (tawadhu’), akan Allah angkat derajatnya.”

 

Dikatakan oleh seorang yang saleh: “Tidaklah seseorang itu memuliakan dirinya lebih dari melakukan perbuatan taat dan menghinakan dirinya melebihi dari berbuat maksiat.” “Saksikan kuasa-Nya yang indah dalam dirimu dan ucapkan:   Hanya kepada-Mu aku menyembah.” Ia dahulukan kata Iyyaka, yang merupakan objek, untuk memberi makna pengkhususan, yaitu hanya kepada-Mu semata. “Sebagai bentuk kemurahan-Mu, kebaikan, kelembutan, dan anugerah-Mu” Rasulullah Saw bersabda: “Jika bukan karena Allah kami tidak akan mendapat petunjuk. Tidak pula kami akan bersedekah dan salat. Maka turunkanlah ketenangan kepada kami dan kuatkan pijakan kami ketika kami bertemu dengan musuh.  Dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan, dengan penuh rasa tawakal, keyakinan, kemantapan akan keagungan-Mu, dan nyatanya sifat ketuhanan-Mu.”

 

“Di saat itu menjadi tenang jiwamu dan bertambah harapanMu” kepada Tuhanmu Yang Maha Pengasih, Penyayang, dan Pemilik hari pembalasan ini, juga yang memberimu taufik untuk beribadah kepada-Nya, “maka mintalah kepada-Nya istikamah yang sempurna.” Permintaan yang paling baik adalah meminta agar kau diberi sifat istikamah. Permintaan paling bagus adalah meminta apa yang Ia perintahkan kepadamu, yaitu istikamah, “dengan mengucapkan:  basil Tunjukilah kami jalan yang lurus. Niatkan bahwa yang kau maksudkan adalah mata air yang diminum oleh Rasulullah Saw, yaitu mata air kehidupan” yang paling agung “berupa ruh syariat yang jasadnya adalah sikap istikamah yang sempurna.” Jika ini adalah jasadnya, maka bagaimana dengan ruhnya?!

 

Jalan orang-orang yang kau beri nikma atas mereka berupa kelezatan berdialog dengan-Mu, indahnya kelembutan dan kedekatan dengan-Mu. Dan mereka itu adalah para Nabi dan para Shiddig yang telah Engkau pilih untuk taat kepada-Mu dan Engkau khususkan dengan kedekatan kepada. Mu. Kau limpahi mereka nikmatnya menyaksikan-Mu serta Kau masukkan mereka ke dalam surga pada tempat yang sangat dekat dengan-Mu.” Jalan yang dimaksud adalah jalan-Nya Allah Swt dan Rasul-Nya. Allah berfirman: “Dan sungguh ini adalah jalanku yang lurus (QS. al-An’am: 153)” yaitu jalan Nabi Muhammad. Dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan sungguh engkau benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu jalan Allah” (QS. asy-Syura: 52-53). Tapi bukan berarti ada banyak jalan: jalan Allah, jalan Rasul, dan jalan orang yang diberi nikmat. Jalan hanya ada satu. Semua jalan itu adalah satu. Jalan itu disebut jalan Allah dari sisi bahwa Dialah yang menciptakan dan mewujudkannya. Jalan Rasul dari sisi bahwa beliaulah pemimpin seluruh manusia dan teladan bagi mereka seluruhnya. Dan jalan orang yang diberi nikmat adalah mereka yang diberi taufik dan petunjuk kepada jalan itu hingga mereka bisa melangkah di atasnya. Ayat ini sekaligus mengajarkan bahwa kesetiaan dan kecondongan kita haruslah kepada mereka yang taat dan kita berlepas diri dari kecenderungan kepada mereka yang dimurkai Allah sebagaimana ayat berikutnya. 

 

Bukan jalan orang-orang yang Kau murkai dengan mengharamkan mereka dari ketaatan kepada-Mu dan melenceng dari jalan-Mu hingga Kau siksa mereka kelak,” termasuk di dalamnya adalah orang-orang Yahudi dan semua yang terhalang dari ketaatan kepada Allah dan tidak menempuh jalan-Nya maka ia termasuk yang mendapat murka.  Dan bukan pula mereka yang sesat” Yang dimaksud bukan hanya orang-orang Nasrani saja tapi juga “mereka yang Kau selubungi hijab sehingga tidak mampu merasakan nikmatnya mendengar firman-Mu, dan tidak pula mabuk dengan minuman yang murni” yang berupa pemahaman mengenai Allah Swt. Merekalah orang yang tersesat. Meskipun tampak ia dalam keadaan beribadah namun selama ia masih terhijab dari itu semua, maka ia tersesat, tidak sampai pada hakikat. Bukan pula jalan mereka yang Ia murkai dan tersesat dari kalangan orang kafir dan ahli maksiat, bukan pula mereka yang menampakkan keimanan dan amal saleh tapi tidak dengan ketulusan dan istikamah sehingga tidak Ia singkap hijab darinya. Maka kita tidak boleh rela menjadikan mereka sebagai teladan bagi kita, anakanak dan istri kita, teladan bagi prilaku kita. Mereka yang mendapat nikmatlah yang merupakan panutan kita.

 

“Dan katakan, dalam keadaan engkau tunduk pada-Nya, berdiri di pintu-Nya, dan yakin akan pengabulan-Nya: Amin,” yakni kabulkanlah, wahai Allah.

 

Ketika kita hendak salat, sebisa mungkin hadirkan semua ini agar ia menjadi perantara kita supaya Allah terus menambahkan kehadiran hati kita dan menganugerahkan kepada kita cahaya dari sisi-Nya, sehingga kita mendapat petunjuk hingga mampu menghadap-Nya dengan penuh adab yang menjadikan-Nya memuliakan kita. Karena Rasulullah Saw menjelaskan dalam hadisnya: “Jika seorang hamba berdiri melaksanakan salat karena Allah, maka Allah menghadap kepadanya,” sampai-sampai para malaikat saling memperebutkan apa yang keluar dari mulutnya berupa bacaan Alquran dan zikir. Karena itu dikatakan bahwa di antara hal yang paling tidak disenangi malaikat adalah sisa-sisa makanan pada gigi seorang yang salat.

 

Karena malaikat tidak makan dan merasa jijik dengan hal tersebut ketika hendak menjemput zikir dan munajatmu kepada Allah. Oleh sebab itu disunahkan untuk bersiwak juga membersihkan mulut dan gigi sebelum kita memulai salat. . Lanjutan hadis tadi, “jika hamba itu berpaling, Allah Swt berkata: “Wahai anak Adam, kau berpaling pada selain-Ku?! Apakah kau berpaling kepada sesuatu yang lebih baik dari-Ku?! Jika ia berpaling yang kedua kali Allah berkata: “Kau berpaling pada sesuatu yang lebih baik dariku?” Dan jika ia berpaling yang ketiga kali, maka Allah berpaling darinya.” Jika sudah demikian maka salat semacam ini hanya berupa gerakan tanpa ruh, tanpa hakikat.

 

Hanya saja, termasuk kemurahan Allah Swt bagi umat ini adalah apabila mereka salat berjamaah maka Allah rahmati mereka sebab berkumpulnya mereka untuk salat. Dan jika Ia melihat kepada imam dan melihat kebaikan, maka Ia terima salat imam tersebut dan seluruh makmum di belakangnya dengan sebab itu. Namun jika tidak Ia dapati kebaikan pada hati imam, Ia melihat kepada makmum mulai dari barisan pertama sampai yang terakhir. Jika salah seorang di barisan terakhir Ia dapati ada kebaikan dalam hatinya, maka pada hakikatnya dialah imam dalam salat itu dan semua diterima sebab orang tersebut. Dan jika Ia tidak menemukannya sama sekali Ia berfirman: “Mereka berkumpul karena-Ku,” maka Allah terima salat mereka semua.

 

Semoga Allah mengikat kita dan rahasia tawajjuh kepadaNya dengan ikatan yang tidak akan terputus, dan mengaruniakan kepada kita peneladanan yang sempurna di dalamnya kepada Nabi pembawa petunjuk Saw yang bersabda: “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat Apa yang diuraikan alHabib Hasan bin Saleh al-Bahr dalam kitab ini bukanlah seluruh apa yang beliau miliki. Beliau menguraikan sebagian dari apa yang Allah berikan kepada beliau dan masih tersisa dalam diri beliau dan dari selainnya banyak hal dan rahasia yang belum terungkap. Jika begini keadaannya, lalu bagaimana menurutmu dengan salat Nabi Saw? Beliau Saw membakar semangatmu untuk terus meningkatkan kualitas salatmu dengan sabda beliau: “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat” Bagaimana engkau membayangkan keadaan beliau saat melaksanakan salat, maka salatlah seperti itu. Tidak ada yang harus kau lakukan kecuali bergabung bersama beliau Saw. Dan Sesuai kadar penghayatanmu pada sabda beliau tersebut, seperti itu juga kadar rahasia makna sabdanya: “Salatlah seperti kalian melihat aku salat” yang akan kalian dapatkan.

 

 

 

 

Memaknai Bacaan Surat Setelah Surat al-Fatihah

 

Kemudian bacalah surat apa saja. Saksikan Allah dalam setiap firman-Nya dan sadari bahwa bacaanmu itu adalah dengan karunia-Nya Swt. Tuntut dirimu dengan apa yang Ia perintahkan dan larang di dalamnya. Perbesar lagi harapanmu terhadap apa yang Ja tawarkan dan janjikan kepadamu. Maka saat itu engkau akan dapati dalam setiap ayat, bahkan dalam setiap kata, bahkan dalam setiap hurufnya, makna yang mengagumkan, rahasia yang begitu tersembunyi, dan keadaan spiritual yang begitu agung.

 

Setelah membaca al-Fatihah, yang diulang pada setiap rakay salat, maka bacalah surat apa saja dari Alquran. Al-Habib Hasar berkata dalam kitab ini: “Kemudian bacalah surat apa saja,” yang ketika kau membacanya, “saksikan Allah dalam setiap firman. Nya” Yakni engkau sadari perkataan siapa yang kau baca dan lewat perantara siapa itu sampai kepadamu. Itu adalah ucapan sang Pencipta Yang Maha Mulia yang sampai kepadamu melalui perantara makhluk-Nya yang paling mulia Saw. Kalau begitu, sungguh besar bagian kemuliaan yang kau dapatkan. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad: “Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran itu dengan lisanmu (Muhammad)” (QS. Maryam: 97). Dengan perantara lisan dan bacaan beliaulah maka Alquran ini menjadi mudah bagi kita padahal ia adalah Kalamullah. “Dan sadari bahwa bacaanmu itu adalah dengan karunia-Nya Swt.” Allah berfirman: “Allah yang menjadikan kami mampu berbicara sebagaimana Ia menjadikan segala sesuatu berbicara” (QS. Fushilat: 21).

 

Ia jadikan kau mampu mengucapkan apa saja, namun khusus pada firman-Nya maka ia jadikan perantara lisan Nabi-Nya agar kau mampu mengucapkannya. Ia pula yang memberimu taufik untuk mengucap kalam-Nya dan di waktu yang paling mulis untuk membaca Alquran, yaitu ketika engkau berdiri di hadapan Nya Swt. Sadari bahwa engkau sedang membacakan kalam-Nya di hadapan-Nya. Engkau berbicara kepada-Nya dengan ucapan-Nya kepadamu. Engkau bermunajat kepada Nya dengan wahyu yang Ia turunkan. Dan sebaik-baik hal yang mengangkat derajatmu di sisi Nya adalah apa yang juga datang dari-Nya. Ia menurunkan Alquran untuk menaikkan kedudukanmu di sisi-Nya. Karena itu Nabi Saw menggambarkan Alquran dalam sabdanya sebagai tali Allah yang satu ujungnya berada dalam genggaman-Nya dan ujung satunya berada di tangan-tangan kita. Dengan demikian tidak ada hal yang dapat menyampaikanmu kepada-Nya tanpa melalui sesuatu yang bersumber dari-Nya. Sampai dikatakan bahwa futuh (penyingkapan Spiritual) terbesar yang dicapai seorang wali adalah mereka yang sebab futuh-nya adalah Alquran.

 

Berkata sebagian orang yang Arif : “Aku telah membaca seratus kitab tafsir namun hatiku masih belum merasa puas, sampai Allah membukakan rahasia-Nya bagiku melalui firman-Nya: Dialah yang menentukan kadar (segala sesuatu) dan memberi petunjuk: (QS. al-Ala: 3) Hatikupun menjadi puas.” Al-Habib Abu Bakar al-‘Atthas berkata: “Jika aku hendak menguraikan makna yang Allah ajarkan kepadaku mengenai firman-Nya: “Dialah yang menentukan kadar (segala sesuatu) dan memberi petunjuk (QS. al-A’la: 3) pasti aku akan menjadikan seluruh penulis di dunia merasa payah.” Berkata pula alImam Umar al-Muhdhar: “Jika aku hendak menguraikan apa yang Allah Swt bukakan kepadaku dari makna firman-Nya: “Dan tidaklah Kami menasakh (Kami tarik kembali hukum atau bacaan suatu) ayat atau Kami jadikan manusia lupa kepadanya terkecuali akan Kami Datangkan yang lebih baik darinya atau semisalnya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. al. Bagarah: 106) maka aku akan menulis berjilid-jilid buku yang akan berat jika dipikul oleh tujuh puluh unta sekalipun” Al-Imam Al bin Abi Thalib juga berkata: “Kalau aku uraikan makna Basmalah maka aku pasti membuat 70 unta tidak mampu membawanya,” dalam riwayat yang lain disebutkan seribu unta. Beliau juga pernah berkata sambil menunjuk dadanya: “Sungguh di dalamnya masih terdapat banyak sekali ilmu dan aku berharap dapat bertemu siapa yang akan mengembannya.” Karena itu al-Imam Abdul Aziz ad: Dabbagh menyebutkan bahwa Sayyidina Ali sangat berharap dapat menyampaikan semua ilmu yang ia dapat dari Nabi Saw kepada al-Hasan dan al-Husein sebelum ia wafat. Dan mereka berdua sejak masa kanak-kanak sampai mencapai usia dewasa ditempa oleh beliau hingga pada akhirnya mampu menanggung amanat ilmu tersebut. Sampai disebutkan bahwa al-Imam Ali bersyukur karena tidak langsung diangkat menjadi khalifah ketika itu karena ia tahu bahwa ia tidak akan menjabat kecuali empat tahun saja sehingga kedua putranya tidak akan sempat menyelesaikan proses pengambilan ilmu darinya.

 

Hal ini senada dengan yang diucapkan al-Imam Ali Zainal Abidin: “Sungguh aku simpan rapat-rapat ilmuku yang paling berharga agar tidak diketahui mereka yang bodoh sehingga terjadi fitnah. Berapa banyak permata ilmu yang jika aku ungkapkan, pasti orang akan menuduhku termasuk penyembah berhala. Dan akan ada orangorang Islam yang menghalalkan darahku dan menganggap tindakan mereka itu sesuatu yang terpuji. Hal serupa dilakukan pula oleh Abul Hasan (al-Imam Ali bin Abi Thalib), begitu juga al-Husein, dan telah diwasiatkan sebelumnya kepada al-Hasan.” Pernah diceritakan pula ketika al-Imam Ali tengah diliputi kondisi spiritual saat menyampaikan ilmu, beliau kemudian menghembuskan nafas ke arah sumur dan tiba-tiba air sumur itu membeludak karena rahasia ilmu beliau. Dan beliau sangat berharap adanya hati yang mampu memahami ilmu-ilmu itu. Dikisahkan oleh al-Habib Abu Bakar al-Masyhur bahwa pada ziarah-ziarah terakhir al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf ke kota Madinah, beliau mendengar alHabib Abdul Qadir berkata kepada Nabi Saw saat sedang berziarah: “Amanah yang engkau berikan kepada kami telah kami serahkan kepada mereka yang berhak dan mampu menanggungnya.Dan sisanya, yang tidak kami temukan seorang pun untuk memikulnya, kami kembalikan kepadamu.” Semoga Allah memantaskan kita untuk mendapat kebaikan agung ini yang manfaatnya akan terus langgeng selamanya. Adapun hal-hal yang fana, maka pasti suatu saat akan musnah dan berakhir.

 

“Tuntut dirimu dengan apa yang Ia perintahkan dan larang di dalamnya,” Apakah engkau tidak tersentuh dengan kalan Tuhanmu dan tidak ingin meningkatkan derajatmu dengannya? “Perbesar lagi harapanmu terhadap apa yang Ia tawarkan dan janjikan kepadamu,” berupa pahala, anugerah, surga dan apa saja yang Ia janjikan bagi mereka yang berbuat baik. Al-Imam Jafar ash. Shadig berkata: “Sesungguhnya Allah bertajalli kepada hamba-Nya dalam setiap kalam-Nya, hanya saja mereka tidak melihat-Nya” Diceritakan bahwa suatu hari beliau mengulang-ulang bacaan satu ayat sampai beliau pingsan tak sadarkan diri. Ketika beliau siuman dan ditanya mengenai hal itu beliau menjawab: “Aku terus-menerus mengulang ayat itu sampai aku mendengarnya langsung dari Yang Mengucapkannya Swt.” Karena itu ada sebagian orang yang memiliki cara tersendiri saat membaca Alquran hingga seakan-akan mereka membacanya di hadapan Nabi Saw, kemudian meningkat sampai seolah mereka mendengarnya dari Nabi Saw, kemudian seakan mereka mendengarnya dari Nabi Saw saat Jibril menyampaikan wahyu kepada beliau Saw, sampai pada akhirnya mereka seakan mendengar langsung dari Allah Swt.

 

Termasuk cara membaca Alquran yang disampaikan oleh asySyekh Mutawalli asy-Syarawi adalah apa yang beliau sebut dengan al-Khatmah al-Ilahiyyah, yaitu tidaklah engkau membaca nama Allah atau sifat-Nya atau kata ganti yang merujuk kepada-Nya kecuali engkau ucapkan dalam hatimu: Subhanallah Wabihamdih, jika yang digunakan adalah kata ganti orang ketiga, atau Subhanaka Wabihamdika, jika kata ganti yang digunakan adalah kata ganti orang pertama atau kedua. Setelah al-Khatmah al-Ilahiyah, lanjutkan dengan al-Khatmah an-Nabawiyah, yaitu tidaklah engkau membaca nama Rasulullah atau sifatnya atau kata ganti yang merujuk kepadanya kecuali engkau ucapkan dalam hatimu: Shallahu Alaihi wa Sallam, jika yang digunakan adalah kata ganti orang ketiga: atau Shallahu Alaika wa Sallam, jika kata ganti yang digunakan adalah kata ganti orang pertama atau kedua. Disebutkan bahwa jika ada kalimat atau perkara yang tidak engkau pahami ketika membaca kitab ilmu, maka letakkan kitab yang tengah kau baca itu, kemudian berwudhulah jika kau dalam keadaan berhadas, dan salatlah dua rakaat. Ketika kau baca kembali setelah itu, dengan izin Allah, kau akan memahaminya.

 

Penulis kitab ini sendiri termasuk sosok yang diberikan banyak ilmu dan rahasia Alquran berkat kesungguhan dan kebulatan tekad beliau. Dikisahkan pada masa-masa awal beliau menuntut ilmu dengan penuh pengorbanan dan perjuangan melawan hawa nafsu, berkata beberapa ulama kota Tarim, tempat beliau menuntut ilmu: “Wahai Hasan bin Saleh, ilmu yang kau cari itu sudah punah sejak lama.” Al-Habib Hasan menjawab: “Perkataan mereka itu justru menambah semangatku untuk mencarinya. Beliau tidak lantas bermalas-malasan dan berpangku tangan. Sampai akhirnya beliau menjadi pemuka lembah Hadramaut ketika itu dan memilik rahasia dan pengetahuan mengenai Alquran. Hingga dimasa mudanya beliau sudah menjawab masalah-masalah mengenai Alquran yang mengganjal bagi pembesar-pembesar agama ketika itu dan menjelaskan rahasia-rahasia Alquran yang mendalam dengan sangat luar biasa. Dan termasuk kebiasaan beliau adalah salat malam dua rakaat dan mengkhatamkan Alquran sekali pada rakaat pertama, dan pada rakaat kedua beliau membaca surat al-Ikhlas sampai sembilan puluh ribu kali. Anak beliau berkata: “Pernah pada suatu hari ayahku menderita demam yang sangat tinggi hingga panas badannya menembus tiga lapis selimut yang beliau pakai. Beliau sakit sedemikian parah sampai tidak bisa berdiri. Ketika waktu ibadah malam beliau tiba, beliau singkirkan selimut-selimut yang menutupi badan beliau dan bangkit berdiri dan memulai salatnya. Beliau membaca berjuz-juz Alquran pada rakaat pertama dan sekian ribu surat al-Ikhlas pada rakaat kedua. Saat beliau selesai dari ibadah malamnya, saat itu pula beliau kembali demam, dan kembali kami selimuti dengan tiga lapis selimut seperti sebelumnya.”

 

Beliau mendapat semua kemuliaan ini setelah perjuangan dan bersusah payah. Disebutkan dalam sebuah ungkapan: “Berjuanglah! Akan kau saksikan rahasia Tuhanmu dan raihlah petunjuk yang Allah janjikan dalam surat al-Ankabut.? Berkata murid beliau, al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Atthas: “Aku melihat pada suatu malam seakanakan surga dengan bidadari dan istana-istana di dalamnya didatangkan kepada beliau dan diletakkan di bawah rumahnya. Lalu al-Habib Hasan bin Saleh beranjak ke depan rumahnya sambil berkata: Keinginanku bukanlah bidadari ataupun istana. Keinginanku adalah tersingkapnya hijab yang menghalangiku dengan Allah Swt” Berkata para ahli makrifat: “Semua kenikmatan yang Allah Swt berikan di akhirat, baik itu berupa bidadari, sungai-sungai, istana, dan lain sebagainya, kekal dengan kehendak-Nya yang menjadikan itu semua kekal. Akan tetapi keridhaan-Nya abadi dengan keabadian Dzat-Nya Swt. Karena itu ketika Allah menceritakan mengenai surga, Ia berfirman: “Allah menjanjikan kepada orang mukmin lelaki dan wanita, surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya dan mendapat tempat-tempat yang baik di surga Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar lagi, dan itu adalah keberuntungan yang agung” (QS. atTaubah: 72). Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orangorang yang meraih kemenangan yang besar itu, dan tidak dikecualikan satupun dari kita dan dari keluarga, anak-anak, anggota keluarga , anak keturunan, murid-murid, dan sahabat-sahabat kita yang disebabkan oleh dosanya, kekurangannya, dan kekurang ajarannya.

 

“Maka saat itu engkau akan dapati dalam setiap ayat, bahkan dalam setiap kata, bahkan dalam setiap hurufnya, makna yang mengagumkan, rahasia yang begitu tersembunyi, dan keadaan Spiritual yang begitu agung.” Hal ini terjadi kepada sosok seperti al-Habib Hasan sendiri. Adapun kita yang hanya membaca uraian beliau ini belum ada apa-apanya. Beliau sudah menuliskan dan merasakan sendiri apa yang beliau tulis, bahkan sudah melampaui itu. Jika tidak, maka beliau tidak akan menuliskan hal ini. Akan tetapi, kita jadikan bacaan kita ini sebagai perantara memohon kasih sayang-Nya. Membaca perkataan mereka yang telah mencapai kedekatan dengan-Nya dan tergeraknya kita untuk mendapatkan hal yang sama seperti yang mereka rasakan, merupakan sarana mengundang kasih sayang dan belas kasih-Nya sehingga Ia merahmati kita dengan sebab para kekasih-Nya. Karena kalau tidak demikian kenyataannya, tidak mungkin kita dapat membaca untaian perkataan mereka seperti saat ini.

 

Al-Habib Ali al-Habsyi berkata dalam salah satu doa beliau: “Wahai Allah, satukan aku dengan setiap hurufnya, kata-katanya, tiap ayat dan suratnya dan jangan jadikan ada perpisahan walau sekejap mata” Sehingga tampak pancaran rahasia firman-Nya pada hati, akal, dan ruh. Allah berfirman: “Katakan: Jika sekiranya Jautan menjadi tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Tuhanku niscaya habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat-Nya meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula” (QS. alKahfi: 109). Kita sangat bersyukur atas nikmat Alquran. Setiap hari kita dapati Alquran masih tetap ada dan belum diangkat oleh-Nya, karena akan datang suatu masa dan tidak tersisa darinya walau hanya satu ayat. Semua diangkat kembali ke sisi-Nya dari lembaran kertas dan dari dada para penghafalnya. Dan sampai saat ini kita masih dapat membacanya, maka kita bersyukur atas kenikmatan ini. Semoga Allah menjadikan kita sebagai ahlu al-Ouran (kerabat Alquran)’. Dekati ia sebagai sahabat baru kemudian engkau akan menjadi kerabat. Rasulullah Saw bersabda: “Bacalah Alquran karena kelak ia akan datang pada hari kiamat untuk memberi syafaat bagi pembacanya (ashabihi)” Ini adalah sahabat Alquran. Kemudian mengenai kerabat Alquran (ahl al-Quran) beliau bersabda: “Mereka yang dekat dengan Alquran atau keluarga Alquran (ahl al-Quran) adalah orang yang sangat dekat dengan Allah (ahlullah) dan orangorang pilihan-Nya.” Sahabat Alquran mendapat syafaat dari Alquran, sedangkan kerabat Alquran memberi syafaat dengan Alquran.

 

 

 

 

 

 

 

Rukuk

 

Kemudian merunduklah untuk rukuk dengan penuh ketundukan dan rasa malu kepada-Nya karena mengizinkanmu memasuki hadirat-Nya. Bertakbirlah, muliakan dahsyatnya keagungan-Nya dan hebatnya keperkasaan-Nya. Resapilah bahwa segala sesuatu tunduk kepada wibawa-Nya, merendah kepada keperkasaan-Nya, patuh pada semua ketetapan-Nya. Lalu katakan:   Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan Bagi-Nya Segala Puji. Jadikan tasbihmu sebagai bentuk penyucian bagi-Nya dengan penuh rasa malu, sebab engkau berbicara kepada-Nya padahal Ia begitu agung dan mulia sedangkan engkau begitu hina dan lemah. Penuhi jiwamu dengan kebahagiaan karena-Nya dan kegembiraan sebab kedekatan kepada-Nya, sebab Ia menyifatimu sebagai hamba-Nya. Ia pantaskan dirimu untuk berdiri di hadapan-Nya. Maka ucapkan pujian kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Ingatlah akan semua kenikmatan, kedekatan, dan pemberian-Nya. 

 

“Kemudian merunduklah untuk rukuk dengan penuh ketundukan dan rasa malu kepada-Nya karena mengizinkanmu memasuki hadirat-Nya. Bertakbirlah, muliakan dahsyatnya keagungan-Nya dan hebatnya keperkasaan-Nya. Resapilah bahwa segala sesuatu tunduk kepada wibawa-Nya, merendah kepada keperkasaanNya, patuh pada semua ketetapan-Nya.” Bergabunglah bersama semesta dengan rukuk dan menundukkan diri secara lahir dan saksikanlah bahwa semua tunduk pada wibawa-Nya. “Dan katakan:  Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan Bagi-Nya Segala Puji,” yakni bersamaan dengan pujianku kepada-Nya, aku juga menyucikan Tuhanku dari segala sesuatu yang menyerupai-Nya dan dari yang memiliki kesamaan dengan-Nya, serta dari semua yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Tuhanku adalah Tuhan Yang Suci dan Agung, yang tidak ada seorang pun yang memahami seluruh sifat-sifat-Nya. Dan aku sungguh sangat beruntung jika memiliki Tuhan seperti ini. Nabi Saw bersabda saat turun ayat: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Maha Agung (QS. al-Wagiah: 96): “Jadikan itu bacaan dalam rukuk kalian.

 

Ulangi bacaan ini sebanyak tiga kali. Dan jika engkau menjadi imam dengan jumlah makmum yang terbatas dan mereka semua rela dengan salat yang panjang atau kau salat sendirian, maka tambahlah menjadi lima, tujuh, sembilan dan sebelas kali. Dan termasuk zikir rukuk:

 

“Wahai Allah, kepada-Mu aku tunduk rukuk, kepada-Mu pula aku beriman, serta kepada-Mu aku berserah diri. Seluruh pendengaran, penglihatan, pikiran, tulang-tulang, urat-uratku, dan semua yang ditopang kedua kakiku patuh hanya kepada-Mu Tuhan semesta alam.”

 

Termasuk zikir rukuk juga:

 

“Maha Suci Dzat Pemilik keperkasaan, kekuasaan, kebesaran dan keagungan.”

 

Masih termasuk zikir rukuk:

 

“Maha Suci dan Maha Kudus Tuhan para malaikat dan ruh (Jibril)” Termasuk doa rukuk pula:

 

“Maha Suci Engkau dan bagi-Mu segala puji Aku bersaksi tidak ada tuhan selain-Mu. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

 

Atau: 

 

“Maha Suci Engkau dan bagi-Mu segala puji. Wahai Allah, ampuni aku,” Rasulullah membaca dua doa yang terakhir itu saat rukuk dan sujud setelah turun ayat: “Maka sucikan Tuhanmu dengan memuji-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh Ia adalah penerima taubat” (QS. an-Nashr: 3).

 

“Jadikan tasbihmu adalah bentuk penyucian bagi-Nya dengan penuh rasa malu, sebab engkau berbicara kepada-Nya padahal Ia begitu agung dan mulia sedangkan engkau begitu hina dan lemah. Jika bukan karena Ia mengabaikan itu semua, maka siapa kita hingga pantas menyebut nama-Nya? Dengan apa kita mengucap nama-Nya? Kata-kata? Itu semua adalah sesuatu yang terbatas. Tapi Ia menerima ucapan tasbih kita yang tidak berarti apa-apa bagi-Nya, bahkan dengan itu Ia juga akan menyebut-nyebut kita di sisi-Nya. Allah berfirman: “Maka ingatlah Aku, niscaya Aku mengingat kalian” (QS. al-Bagarah: 152). Dalam hadis disebutkan bahwa seorang yang bangun tidur hendaknya mengucap: “Segala puji bagi Allah yang menghidupkanku setelah mematikanku dan kepada-Nya aku kembali. Segala puji bagi Allah yang membangunkan aku dalam keadaan sehat dan mengizinkan untuk berzikir menyebut nama-Nya.” Jika tidak dengan izin dari-Nya, maka apa yang bisa kau katakan di hadapan keagungan-Nya? Tapi Ia izinkan kau menyebut yang kau mampu, dan Ia menerima itu darimu, bahkan Ia menyebut dirimu di sisi-Nya.

 

“Penuhi jiwamu dengan kebahagiaan karena-Nya dan kegembiraan sebab kedekatan kepada-Nya” Allah yang menyampaikanmu ke tingkatan ini, padahal jika Ia kehendaki Ia Maha Mampu melemparkanmu kepada fulan dan fulan yang melalaikanmu dari-Nya. Tapi Ia mengundangmu mendekat kepadaNya dan Ia yang mengurus segala urusanmu. Maka engkau dipenuhi rasa bahagia. Inilah yang diemban para Nabi, yaitu kebahagiaan akan Allah Swt. Dan hakikat ibadah terletak pada kegembiraan dan kebahagiaan yang pada tempatnya. Tapi masalahnya, jika orangorang lebih memilih berbahagia dengan hawa nafsu, harta dan kekayaan mereka, serta hal-hal yang fana, maka hasil akhirnya pun tidak akan baik. Akan tetapi Allah menuntun kita untuk bergembira dengan sesuatu yang hakiki dalam firman-Nya: “Katakanlah: Dengan karunia dan rahmat Allah hendaknya dengan itu mereka berbahagia. Itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus: 58). Begitu pula perkara-perkara yang kita diperintahkan untuk bersedih, seperti apa yang terjadi pada kaum muslim saat ini, pada dasarnya fondasi utamanya adalah gembira dan bahagia, karena pada akhirnya itu akan berbuah kebaikan dan menjauhkan keburukan. Pada intinya seluruh ajaran agama ini berasaskan kebahagiaan.

 

Semua hal yang tampaknya berupa kesedihan pada dasarnya adalah sarana menuju kebahagiaan yang hakiki. Semua hal dalam agama yang tampaknya berupa ketakutan itulah satu-satunya yang akan mengantarkanmu kepada rasa aman yang sebenarnya. Engkau takut kepada-Nya maka kau akan mendapat rasa aman. Tapi jika kau takut kepada selain-Nya, apa yang akan memberi rasa aman kepadaMu? Sampai dikatakan oleh orang-orang yang ‘arif: “Maha Suci Engkau! Siapa yang takut pada seseorang, maka ia akan lari darinya. Namun siapa yang takut kepada-Mu, ia justru Jari mencari keamanan pada-Mu.” Maka semua hal dalam syariat yang bungkus lahiriahnya adalah rasa takut itu merupakan magnet yang menarik rasa aman Yang sesungguhnya. Tapi rasa takut di luar lingkup syariat merupakan masalah dan kelelahan yang berkepanjangan. Karena itu Allah Swt mencela mereka yang memaksakan diri” untuk tertawa dan mencari kegembiraan di dunia dengan cara yang keliru. Mereka mendatangkan orang yang membawakan cerita-cerita lucu, mengonsumsi narkoba, demi mencari kebahagiaan dan melupakan penat dan risau mereka. Padahal ini semua tidak akan mendatangkan hakikat kebahagiaan bagi mereka. Mereka hanya ingin lari dari kenyataan hidupnya dengan cara apapun. Allah berfirman mengenai mereka: “Adapun orangorang yang diberikan kitab amalnya melalui belakang punggungnya maka ia akan berteriak: “Celakalah aku!’ dan ia akan masuk ke dalam neraka yang menyala. Dia dahulu berbahagia di antara kaumnya” (QS. al-Insyigag: 10-13). Ia berusaha mencari kebahagiaan di dunia dengan hal-hal duniawi dan terkadang dengan bermaksiat sampai ia lupa dan jauh dari Allah swt. Sudah cukup kebahagiaan semu itu di dunia dan dia tidak mendapat hakikat kebahagiaan kelak di akhirat.

 

Sedangkan terhadap kelompok yang merasakan kebahagiaan hakiki, Allah berfirman: “Dan mereka yang diberikan catatan amalnya dengan tangan kanan mereka, maka mereka akan dihisab dengan hisab yang mudah dan kembali kepada keluarganya (yang sama-sama beriman) dalam keadaan bersuka cita” (QS. al-Insyigag: 7-9). Karena kebahagiaan yang ia cari melalui jalur yang dibenarkan syariat terhubung dengan kebahagiaan yang hakiki itu, dan semua kesedihan yang ia rasakan adalah sebab semakin besar dan abadi kebahagiaan yang akan ia terima di akhirat. Allah berfirman mengenai penghuni surga: “Dan Allah berikan kepada mereka wajah yang bercahaya dan rasa suka cita” (QS. al-Insan: 11). Allah Swt senang jika melihat hamba-Nya menghadap kepada-Nya dalam keadaan senang, gembira, dan penuh harapan sebab mengetahui di hadapan siapa ia berdiri dan kepada siapa ia berdoa. Maka Allah pun akan menghadap kepadanya dalam keadaan seperti itu pula.

 

“Sebab Ia menyifatimu sebagai hamba-Nya.” Ada ucapan yang bersumber dari Sayyidina Ali yang mengatakan: “Hal yang menambah kebanggaan dan kebahagiaanku -hingga seakan aku dapat menginjak bintang kejora dengan kedua kakikuadalah masuknya aku dalam seruan-Mu “Wahai hamba-hamba-Ku’ dan kau jadikan Ahmad Saw sebagai nabiku.” Atau dalam riwayat lain: “Dan Kau jadikan sebaik-baik makhluk sebagai nabiku.” Disebutkan pula dalam doa: “Dan dengan keberkahan Alquran jadikan kebahagiaan dan kegembiraan kami di hari kiamat kelak terus abadi,” di hari yang begitu dahsyat dan mengkhawatirkan. “Ia pantaskan dirimu untuk berdiri di hadapan-Nya, maka ucapkan pujian kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Ingatlah semua kenikmatan, kedekatan, dan pemberian-Nya.”

 

 

 

 

 

 

 

 

I’tidal

 

Kemudian bangkit berdirilah dengan penuh suka cita karena dekatnya engkau pada-Nya dan kebanggaan atas cinta-Nya. Dan katakan:   Allah Maha Mendengar siapa yang memuji-Nya. Mendengar dalam bentuk penerimaan dan jawaban bagi pujian itu, serta ridha dan senang dengannya. Sebab Ia mendengar segala sesuatu. Bahkan ia lebih dekat kepada orang yang memuji-Nya lebih dari pujian yang ia ucapkan. Lebih dari itu, Ia bahkan lebih dekat kepadanya lebih dari dirinya sendiri. Saat itu ucapan terhenti, isyarat menjadi kelu, dan rahasia sang Kekasih terbit. Kemudian katakan   wahai Tuhan kami. Niatkan dengan kata ganti jamak itu seluruh alam semesta secara umum dan al-‘alamin secara khusus.   Bagi-Mu segala puji dengan seluruh elemen pujian yang menyamai segala nikmat-Mu dan segala tambahan yang Kau berikan. Dan saksikan bahwa segala pujian bagi selain-Nya hanyalah kiasan belaka, karena hanya bagi-Nya pujian yang hakiki. Sebab semua pujian pada akhirnya akan bermuara pada-Nya, berasal dari-Nya, dan merupakan karunia-Nya.

 

Katakan dengan penuh penghayatan bahwa “tidak ada yang mampu memuji diri-Mu selain-Mu. Tidak ada yang bisa benarbenar mensyukuri-Mu selain-Mu. Aku memuji-Mu dengan pujian-Mu sendiri bagi Dzat-Mu.” Namun Ia mengizinkanmu memuji-Nya dan menerima itu darimu. Maka hadirkan hatimu sembari mengatakan: “Bagi-Mu segala puji seperti pujian yang Kau berikan bagi Dzat-Mu, yang sesuai dengan mulianya kedudukan-Mu dan agungnya kekuasaan-Mu dari’ segenap hamba-Mu sebanyak jumlah atom di alam semesta yang dikalikan dengan dengan jumlah nafas, masa, diam, keinginan, lintasan hati, kata, kebaikan, keburukan dan huruf yang abadi dengan keabadian-Mu yang tidak berujung dan tidak mungkin binasa dan tanpa batas.”

 

Niatkanlah ucapanmu itu:   memenuhi langit dan bumi dan apa saja yang Kau kehendaki selain keduanya, agar pujianmu benarbenar sebanyak itu. Dan niatkan setelah langit dan bumi, halhal selain keduanya, yaitu arsy, kursi, dan semua makhluk, serta “semesta tauhid yang tidak bertepi.

 

Kemudian katakan:   Wahai pemilik segala pujian, yakni Yang memuji diri-Mu sendiri, sebab segala yang memuji. Mu adalah berkat taufik dan karunia-Mu serta kebaikan dan rahmat-Mu.   dan kemuliaan. Dan tidak ada kemuliaan bagi selain-Mu. Apa saja yang terpuji selain-Mu adalah ciptaan dan hamba-Mu.   Perkataan yang paling pantas dan tepat diucapkan oleh seorang hamba yang sempurna penghambaannya, sirna sifatnya sebagai manusia, lenyap dakwaan dan pandangannya pada dirinya sendiri dengan terbitnya cahaya kekhususan.   Dan kami semua adalah hamba-Mu yang lahir dan batin kami berada dalam kuasa-Mu. Engkau benar-benar menetapkan sifat ketuhanan kepada-Nya dalam setiap gerak dan diammu. Engkau sematkan pada dirimu semua sifat yang tercela sambil menyaksikan semua sifat mulia yang ada pada-Nya.   Tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Kau berikan sebab tiada kekuatan apapun selainMu. Maka tidak ada yang wujud selain Dzat-Mu dan tidak ada penyaksian kecuali dengan cahaya-Mu.   Dan tidak ada yang mampu memberi apa yang tidak Kau kehendaki, karena tidak ada yang mencampuri keputusan-Mu mengenai siapa yang Kau halangi dan jauhkan. Begitu pula hanya Engkau yang memiliki pengetahuan siapa yang akan Kau bahagiakan dan yang celaka.   Tidak ada yang memberi manfaat kepada mereka yang mulia,   dari-Mu segala kemuliaan. Tidak akan sampai manfaat dari satu kepada yang lain kecuali didapat manfaat itu dari-Mu dan dengan kehendak-Mu.  

 

“Kemudian bangkit berdirilah dengan penuh suka cita sebab kedekatanmu pada-Nya dan kebanggaan atas cinta-Nya. Dan katakan:   Allah Maha Mendengar siapa yang memuji-Nya. Mendengar dalam bentuk penerimaan dan jawaban bagi pujian itu serta ridha dan senang dengannya. Sebab Ia mendengar segala sesuatu. Bahkan Ia lebih dekat kepada orang yang memuji-Nya lebih dari pujian yang ia ucapkan. Lebih dari itu, Ia bahkan lebih dekat kepadanya lebih dari dirinya sendiri.” Ia mendengar lintasan hatimu, langkah kaki semut, dan lain sebagainya. Tapi yang kita harapkan adalah Ia mendengar dengan segala penerimaan, jawaban, ridha, dan senang dengan pujian yang kita persembahkan. Ia terima dan ganjar pujian itu dengan pahala.   wahai Tuhan kami,” meski engkau sendirian namun ucapkan Tuhan kami, “dan niatkan dengan kata ganti jamak itu seluruh alam semesta secara umum dan al-alamin secara khusus.” yaitu manusia, jin, dan malaikat.   Bagi-Mu segala puji,” yakni diriku sebagai wakil bagi mereka semua memuji-Mu, “dengan seluruh elemen pujian” yang diliputi oleh ilmu-Mu, “yang menyamai segala nikmat-Mu dan segala tambahan yang Kau berikan. Dan saksikan bahwa segala pujian bagi selain-Nya hanyalah kiasan belaka, sedangkan hanya bagi-Nya pujian yang hakiki. Sebab semua pujian pada akhirnya akan bermuara pada. Nya, berasal dari-Nya, dan merupakan karunia-Nya.” Karena sebagaimana telah kita katakan bahwa perbuatan baik dari seseorang adalah ciptaan-Nya dan dengan taufik dari-Nya. Begitu juga balasan terhadap perbuatan baik tersebut dan kesadaran akannya juga berdasarkan taufik dari-Nya. Dan tidaklah seseorang memuji-Nya kecuali dengan kehendak-Nya. Maka hanya Ia yang berhak atas segala pujian.

 

“Katakan dengan penuh penghayatan bahwa ‘tidak ada yang mampu memuji diri-Mu selain-Mu. Tidak ada yang bisa benarbenar mensyukuri-Mu selain-Mu. Aku memuji-Mu dengan pujian-Mu sendiri bagi Dzat-MuNamun Ia mengizinkanmu untuk memuji-Nya dan menerima itu darimu. Maka hadirkan hatimu sembari mengatakan: “bagi-Mu segala puji seperti pujian yang Kau berikan bagi Dzat-Mu, yang sesuai dengan mulianya kedudukan-Mu, dan agungnya kekuasaan-Mu dari segenap hamba-Mu, sebanyak jumlah atom di alam semesta yang dikalikan dengan dengan jumlah nafas, masa, diam, keinginan, lintasan hati, kata, kebaikan, keburukan dan huruf yang abadi dengan keabadian-Mu yang tidak berujung dan tidak mungkin binasa dan tanpa batas: Niatkanlah ucapanmu itu:  Ia memenuhi langit dan bumi dan apa saja yang Kau kehendaki selain keduanya agar pujianmu benarbenar sebanyak itu. Dan niatkan setelah langit dan bumi, halhal selain keduanya, yaitu arsy, kursi, dan semua makhluk, serta “semesta tauhid yang tidak bertepi.” Dikatakan oleh sebagian orang arif: “Jika ‘arsy diizinkan untuk menanjak naik lebih tinggi, niscaya ja akan terus mendaki semesta tauhid itu tanpa ujung” Dan tidak ada yang lebih agung dan luas melebihi “semesta” tauhid kepada Allah. Sebab Ja adalah Yang Maha Luas.

 

“Kemudian katakan:   Wahai pemilik segala pujian, yakni Yang memuji diri-Nya sendiri, sebab segala yang memujiMu adalah berkat taufik dan karunia-Mu serta kebaikan dan rahmat-Mu.  , dan kemuliaan. Dan tidak ada kemuliaan bagi selain-Mu. Apa saja yang terpuji selain-Mu adalah ciptaan dan hamba-Mu.   Perkataan yang paling pantas dan tepat diucapkan seorang hamba, yang sempurna penghambaannya,sirnasifatnya sebagai manusia, lenyap dakwaan dan pandangannya pada dirinya sendiri dengan terbitnya cahaya kekhususan.   Dan kami semua adalah hamba-Mu yang jasad dan batin kami berada dalam kuasa-Mu. Engkau benar-benar menetapkan sifat ketuhanan kepada-Nya dalam setiap gerak dan diammu. Engkau sematkan pada dirimu semua sifat yang tercela sambil menyaksikan semua sifat mulia yang ada pada-Nya.   Tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Kau berikan sebab tiada kekuatan apapun selain. Mu. Maka tidak ada yang wujud selain Dzat-Mu dan tidak ada penyaksian kecuali dengan cahaya-Mu.   Dan tidak ada yang mampu memberi apa yang tidak Kau kehendaki, karena tidak ada yang mencampuri keputusan-Mu mengenai siapa yang Kau halangi dan jauhkan. Begitu pula hanya Engkau yang memiliki pengetahuan siapa yang akan Kau bahagiakan dan yang celaka.   Tidak ada yang memberi manfaat kepada mereka yang mulia,” yang memiliki harta, kekuatan dan kedudukan. Tidak ada ada yang dapat memberinya manfaat sebab   dari-Mu segala kemuliaan. Tidak akan sampai manfaat dari satu kepada yang lain akan tetapi didapat manfaat itu dari-Mu dan dengan kehendak-Mu.” Meskipun Kau jadikan makhluk-Mu sebagai sarana sampainya manfaat tersebut, namun pemberi manfaat hanyalah Kau semata. Semoga Allah menjadikan kita sebagai sarana manfaat bagi hamba-Nya sehingga kita menjadi sumber manfaat bagi umat dan sumber kebaikan yang banyak bagi umat, dan Ia ridha kepada kita. Semoga Allah mengumpulkan kita dengan para shalihin dan pemimpin mereka, Nabi Muhammad Saw, sebaik-baik pribadi yang memuji Allah Swt dan hamba-Nya yang paling terpuji. Dan kelak, panji beliau di hari kiamat disebut dengan panji pujian (liwa’ al-hamd). Maka, wahai Allah, jadikan kami berada di bawah panji itu kelak dan jadikan kami orang-orang yang senantiasa bersyukur dan memuji-Mu dalam setiap keadaan.

 

Al-Habib Hasan menjelaskan bahwa ketika kau melakukan i’tidal kau menyaksikan kekuasaan-Nya yang ada pada dirimu dan kedekatan-Nya denganmu. Keadaan ini di kalangan orang-orang yang arif dikenal dengan sebutan al-fana, yaitu tidaklah engkau berada pada posisimu saat ini kecuali dengan-Nya, karena Dialah yang memberimu kemampuan untuk itu. Disebutkan dalam sebuah ungkapan bahwa kalangan awam kaum Muslimin memiliki cara pandang bahwa mereka melaksanakan salat bertujuan untuk Allah, dan orang-orang khusus di antara mereka memiliki cara pandang bahwa mereka melaksanakan salat atas kehendak Allah. Sedangkan orang yang kedudukannya lebih tinggi lagi berkata: “Allah menciptakan salat, kemudian Ia memberi aku taufik untuk melaksanakannya, dan setelah itu Ia menilai seakan-akan shalat itu didirikan atas ikhtiarku.” Karena kalau bukan dengan taufik-Nya, siapa yang akan menjadikanmu mampu mendirikan salat?! Kita tidak akan mampu bersyukur dengan sebagaimana mestinya atas kenikmatan izin-Nya untuk kita melaksanakan salat. Ini adalah nikmat yang sangat besar yang Ia karuniakan kepada hamba-Nya.

 

Setelah engkau merunduk rukuk di hadapan kewibawaan-Nya dan kau saksikan bahwa segala sesuatu juga tunduk rukuk kepada. Nya, engkau pun kembali berdiri dengan kuasa dan kehendak, Nya. Inilah yang dinamakan magam al-Fana jika kau benar-benar mengalaminya. Engkau tidak lagi menyaksikan adanya kuasa apapun pada dirimu dan, sebagai gantinya, engkau menyaksikan bahwa dirimu dan semua yang ada padamu berlangsung menurut kehendak-Nya. Karena engkau berada dalam posisimu saat ini adalah dengan kuasa-Nya, kehendak-Nya, nikmat-Nya dan kebaikan dariNya. Jika kau alami hal ini dan kau sudah tidak lagi menyaksikan dirimu dan selainmu, maka Ia akan mengangkatmu ke derajat alBaga melalui sujud.

 

Tingkatan pertama-tama adalah hudhur (kehadiran hati), kemudian asy-syuhud (penyaksian terhadap sifat-sifat Allah Swt), kemudian sampai pada al-fana. Pada kondisi ini hilang seluruh sifat-sifat burukmu, perhatianmu pada selain Allah Swt, dan penyaksianmu terhadap selain-Nya. Setelah itu adalah tingkatan albaga, yaitu menetapnya sifat-sifat terpujimu dan engkau menyadari bahwa engkau dan semua yang kau lakukan dan alami adalah dengan kuasa dan kehendak-Nya. Perbedaan antara al-fana dan al-baga sangat besar. Pada awalnya engkau mengetahui dengan pasti bahwa semua yang ada padamu berjalan menurut kehendak-Nya tapi bukan dengan pengetahuan yang telah mencapai hakikat murni. Setelah itu engkau memasuki kondisi fana. Jika kau telah fana dari diri dan sifatsifatmu dan telah muncul cahaya sifat-sifat-Nya yang menyinarimu, engkau kembali kepada al-baqa, namun tidak seperti sebelumnya. Engkau kembali sebagai wakil Allah (khalifatullah) yang sempurna, dan dengan perhatian-Nya yang besar serta keadaan yang lebih luas lagi dari sebelumnya tanpa tercemar sama sekali. Allah berfirman kepada Nabi-Nya, pemimpin mereka yang telah mencapai derajat alfana dan al-baga: “Bersabarlah (wahai Muhammad). Dan tidaklah kesabaranmu itu kecuali dengan pertolongan Allah” (QS. an-Nahl: 127). Begitu juga firman-Nya yang pernah kita singgung sebelum ini: “Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar tapi Allah-lah yang melempar” (QS. al-Anfal: 17).

 

 

 

 

 

 

 

Sujud

 

Kemudian bersujudlah di hadapan-Nya. I’tidal adalah sebuah penyaksian kekuasaan-Nya yang ada pada dirimu dan kedekatanNya denganmu, sebab dirimu dikuasi oleh sifat-Nya sehingga kau tidak lagi menyaksikan dirimu karena menyaksikan-Nya. Inilah kedudukan al-fana. Kemudian memancarlah kilatan cahaya albaga, yaitu dengan kesadaran akan jauhnya engkau dari-Nya dan dekatnya Ia kepadamu. Kau saksikan ketinggian dan keagunganNya serta kedekatan-Nya padamu dan kasih sayang-Nya, saat itu maka bersujudlah. Sebab makna sujud adalah engkau menempatkan dirimu seperti mayat yang telah dilucuti darimu tanda-tanda kehidupan.

 

Dan jika kau telah kosong dari sifat-sifat ke-aku-anmu serta tampak kepadamu makna kedekatan dalam firman-Nya: “Dan bersujud serta mendekatlah (kepada Tuhan)” (QS. al-‘Alag: 19), maka ucapkan:   Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi dan bagi-Nya segala puji. Engkau, dengan ucapanmu itu, menyucikan-Nya dari sifat kedekatanmu denganNya sambil bergantung sepenuhnya dengan sifat-Nya yang melingkupimu. Pada saat itulah kau akan tenggelam dalam semesta ke-esa-an.

 

Bagi orang dengan keadaan semacam ini ada beberapa keadaan: sebagian mereka ada yang warid-nya berupa makrifat, ada juga yang berupa cinta (mahabbah), dan ada pula yang berupa kewibawaan (haibah). Jika warid yang mereka dapatkan berupa makrifat, maka jiwanya akan berkelana di alam mulk (tampak) dan malakut (gaib) dan disingkap baginya rahasia-rahasia yang tersembunyi dan ahwal (kondisi batin) yang agung. Jika waridnya adalah cinta, maka akan disingkap baginya keakraban dan penyambutan serta kedekatan pada sang Kekasih. Dan jika waridnya adalah kewibawaan (al-haibah), yang akan disingkap baginya al-jabarut dan ia bersujud atas bahamut.

 

Adapun mereka yang dilingkupi oleh sifat-sifat-Nya dan terpancar pada hatinya cahaya Dzat-Nya, maka ia menjadi tana dengan Dzat-Nya dan baga dengan sifat-Nya. Maka begitu ia menyaksikan sifat ar-Rahabut , ia lari menuju sifat-sifat ar-Rahamut. Ia kemudian berkata:   Aku berlindung dengan keridaan-Mu   dari murka-Mu. Dan saat ia menyaksikan sifat-sifat kemurkaan dan keperkasaan, ia menyelamatkan diri menuju sifat maaf dan ampunan dan berkata:   Aku berlindung dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan saat bersinar dalam hatinya cahaya Dzat, ia melampaui semua nama dan sifat, dan naik menuju derajat yang tertinggi dan berkata:   Aku berlindung denganMu dari-Mu. Maka tidak ada lagi pada saat itu segala yang wujud, dan tidak ada lagi yang ia saksikan. Ia hukumi segala yang wujud dengan kefanaan, dan ia ingkari penyaksiannya, sehingga tidak ada yang tersisa kecuali Dzat yang harus ada dan wujud.

 

“Kemudian bersujudlah di hadapan-Nya. I’tidal adalah sebuah penyaksian kekuasaan-Nya yang ada pada dirimu dan kedekatanNya denganmu, sebab dirimu dikuasi oleh sifat-Nya. Sehingga kau tidak lagi menyaksikan dirimu karena menyaksikan-Nya, Inilah kedudukan al-fana.” Berkata al-Imam Abdullah al-Haddad: “Dan aku memiliki harapan yang jauh melampaui ini semua, yaitu aku ingin kembali dan mendekat kepada Kekasihku dan menyaksikanNya dengan begitu sempurna hingga aku hilang dari semesta yang jauh ini bersama-Nya Yang Maha Dekat. Hingga aku naik menuju al-Baga, sungguh aku berbahagia sebab sangat banyaknya bagianku.” Dan pada derajat fana terjadi apa yang disebut dengan al-jamu dan pada derajat baga ada yang disebut dengan al-farqu. Mereka yang telah sampai pada derajat al-baga tidak lagi terhijab dengan makhluk dari Allah Swt dan begitu juga sebaliknya. Ia menempatkan segala sesuatu sesuai dengan kedudukan yang Allah berikan tanpa adanya campur tangan hawa nafsu atau tujuan selain Allah, akan tetapi sebagai seorang hamba yang utuh, yang menempatkan segala sesuatu sesuai kedudukannya yang Allah tetapkan. Orang semacam ini yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya pada sebuah hadis gudsi bahwa ia melihat, mendengar, berbicara, berbuat dengan bantuan dan bimbingan Allah Swt.

 

“Kemudian memancarlah kilatan cahaya al-baga, yaitu dengan kesadaran akan jauhnya engkau dari-Nya dan dekatnya Ia kepadamu.” Dan jauh (al-budu) adalah sifat bagi makhluk. Tidak mungkin menjadi sifat bagi Allah Swt, sebab Allah lebih dekat kepada sesuatu lebih dari pada kedekatan sesuatu itu dengan dirinya sendiri. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah ciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya sendiri” (QS. Qaf: 16). Berapa jarak antara dirimu dengan urat lehermu? Kedekatan-Nya kepada kita adalah kedekatan yang bersifat ketuhanan yang tidak terbatas oleh jarak dan tidak tergambarkan dalam pikiran dan khayalan. Ini adalah kedekatan kekuasaan-Nya, pengetahuan-Nya, dan keagungan-Nya. Ia tidak berkata kedekatan-Nya kepadamu seperti dekatnya urat lehermu karena tidak ada yang menyerupaiNya. Ia mengatakan bahwa Ia lebih dekat dengan makna kedekatan teragung. Maka jauh (al-budu) tidak datang dari-Nya melainkan darimu dalam bentuk kelalaianmu, berpalingnya dirimu dari-Nya, berkubangnya engkau dalam apa yang Ia larang secara terangterangan atau sembunyi-sembunyi, dan bersandarnya engkau pada selain-Nya. Karena itu mendekatlah kepada-Nya sehingga kau mencapai kedekatan dengan Yang Maha Dekat. Dan hamba yang paling dekat dengan-Nya adalah kekasih dan kecintaan-Nya, Muhammad Saw. Tidak ada yang mampu mengetahui betapa agung kedekatan beliau Saw dengan-Nya kecuali Allah Swt.

 

Allah berfirman: “Dan bersujud serta mendekatlah (kepada Tuhan)” (QS. al-Alaq: 19). Pernah seorang guru pendidik (murabbi) melihat muridnya bersujud. Ia berkata: “Wahai anakku, yang kau lakukan hanyalah sekadar sujud di atas tanah. Sujud mestilah dengan hakikat dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Jika engkau sujud dengan hati yang hadir dan menyaksikan keagungan Allah Swt, maka itulah sujud yang akan membawamu pada kedekatan dengan Allah Swt. Adapun jika kau bersujud dengan hati yang lalai, itu hanyalah sekadar sujud dan dimana proses kau mendekat kepada-Nya (aligtirab)?!” Sebab maksud utama sujud adalah mendekat kepada-Nya.

 

Allah Swt berfirman kepada Nabi Saw: “Dialah yang melihatmu ketika engkau berdiri (untuk salat), dan bergeraknya kamu di antara orang-orang yang bersujud” (QS. asy-Syuara: 218-219). Silakan kemudian ditafsirkan dengan orang-orang yang bersujud sebelum beliau, setelah beliau atau yang sezaman dengan beliau Saw. Ayat itu juga bermakna berpindahnya beliau dari sulbi orang-orang yang bersujud sejak zaman Adam a.s sampai orang tua beliau, akan tetapi ini hanya satu dari sekian banyak penafsiran. Sujudnya beliau bersama para sahabatnya termasuk dalam makna ayat ini. Dan semua orang yang bersujud kepada Allah membutuhkan seseorang yang menunjukkan mereka kepada Allah Swt. Dan orang tersebut adalah sebaik-baik orang yang bersujud, yaitu Nabi Muhammad Saw. Maka pada setiap diri orang yang bersujud, ada Nabi Muhammad Saw di dalamnya sesuai kualitas sujudnya. Jika Allah buka bagimu nikmatnya sujud beserta hakikat dan maknanya, pasti kau akan jatuh cinta pada sujud dan banyak melakukannya. Rasulullah Saw bersabda kepada sahabat yang meminta untuk berdampingan dengan beliau di surga: “Bantulah aku untuk mewujudkan itu bagimu dengan memperbanyak sujud.” Disebutkan bahwa al-Imam Ali Zainal Abidin setiap malam salat sebanyak seribu rakaat sambil matanya mengucurkan air hingga ada dua garis hitam di wajahnya pada tempat mengalirnya air mata beliau. Apa yang beliau tangisi? Beliau sekali-kali tidak menangisi harta yang luput darinya atau sebab penyakit. Ia menangis sebab rasa dalam hatinya, kerinduan, kecintaan dan makrifat. Allah berfirman: “Mata-mata mereka mencucurkan air mata sebab apa yang mereka ketahui dari kebenaran” (QS. al-Maidah: 83). Begitu pula dirimu. Jika kau mengetahui apa yang mereka ketahui, niscaya kau akan juga akan menangis seperti mereka. Jika kau memiliki cinta seperti yang mereka miliki, niscaya kau akan menangis seperti mereka. Berkata para ulama: “Termasuk tingkatan tertinggi seorang yang syahid adalah mereka yang begitu besar cinta dan rindunya kepada Allah Swt hingga terputus urat jantungnya dan wafat. Aku tidak tahu mana yang lebih mulia, apakah ia yang mati karena serangan musuh atau karena cinta dan rindu yang membuncah pada Allah Swt.” Karena itu disebutkan: “Syahidul Mahabbah, mereka yang wafat karena luapan cinta pada Allah adalah tingkatan syahid yang tertinggi” Di antara mereka adalah Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddig ra, yang pada saat bersamaan juga mati syahid sebab diracun. Efek racun dan luapan rasa cinta dalam diri beliau yang akhirnya menjadi sebab wafatnya Sayyidina Abu Bakar. Disebutkan oleh para ahli sejarah bahwa salah satu sebab wafatnya Abu Bakar adalah kesedihan yang mendalam karena wafatnya Rasulullah Saw. Begitu pula ketika cinta sudah memuncak dalam hati Fathimah az-Zahra, ia pun wafat enam bulan setelah wafatnya Rasulullah Saw. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Nabi Saw dalam sabdanya saat menjelang wafatnya pada Fathimah:

 

“Engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang menyusulku.” Tidak ada seorang pun dari keluarga Rasulullah Saw yang wafat hingga wafatlah sayyidah Fathimah enam bulan pasca wafatnya Nabi Saw.

 

“Kau saksikan ketinggian dan keagungan-Nya serta kedekatan-Nya padamu dan kasih sayang-Nya, saat itu maka bersujudlah. Sebab makna sujud adalah engkau menempatkan dirimu seperti mayat yang telah dilucuti darimu tanda-tanda kehidupan. Dan jika kau telah kosong dari sifat-sifat ke-akuanmu,” yaitu dengan mengganti pola pikirmu yang merasa bahwa kau adalah sesuatu yang memiliki kekuatan dan lain sebagainya dengan kesadaran bahwa Allah Swt-lah yang mencipta alam semesta dan kau adalah titik kecil pada alam raya itu. Dia menciptamu, ruh dan jasadmu, serta menghendakimu untuk bersujud kepada-Nya. Hilangkan perasaan merasa hebat dalam dirimu. Kau bukan apaapa. Tidak pantas kau bersujud dengan perasaan seperti itu. Ruh dan jasadmu pada awalnya tiada dan Dia yang mewujudkannya, dan sekarang kau merasa memiliki kekuatan?! Ketika kau masih berupa air mani, bagaimana kau menjadikan dirimu berkembang menjadi segumpal darah kemudian segumpal daging?! Dengan kekuatan apa kau melakukan itu?! Engkau bukan siapa-siapa. Saat kau menyadari ini, maka kau telah kosong dari sifat-sifat nafsumu. “Dan tampak kepadamu makna kedekatan dalam firman-Nya: “Dan bersujud serta mendekatlah (kepada Tuhan)” (QS. al-‘Alaq: 19)”

 

Hanya orang-orang yang pasrah sepenuhnya kepada Allah yang dapat mendekati-Nya. Adapun mereka yang nafsunya senantiasa menantang kemuliaan dan kesucian Allah Swt tidak akan mungkin merasakan hakikat kedekatan kepada-Nya.

 

Dikisahkan ada seorang yang mendapat pelajaran dari seorang budak yangia beli di pasar. Ketika tuan dan budaknya bertemu, si tuan bertanya: “Siapa namamu?” Budak tadi menjawab: “Nama apapun yang kau berikan” Tuannya lanjut bertanya: “Apa pekerjaanmu?” si Budak membalas: “Apa saja yang kau perintahkan.” Tuannya kembali bertanya: “Apa yang kau miliki?” Si budak menjawab: “Apa yang dimiliki seorang budak, termasuk dirinya, adalah milik tuannya. Tuan tadi kemudian berpikir: “Dia hamba sahaya, sebagaimana aku juga seorang hamba. Kepasrahannya kepadaku begitu sempurna. Sedangkan aku sibuk dengan apa yang tidak Tuanku swt perintahkan, aku namai diriku bukan dengan nama yang Ia berikan, dan aku mendakwakan diri memiliki sesuatu bagi diriku. Aku hanyalah seorang hamba di hadapan-Nya.” Karena itu al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata: “Seseorang akan mendapat seluruh kesempurnaan, tanpa kecuali, jika ia menempatkan dirinya di hadapan Allah seperti seorang budak di hadapan tuannya.

 

Sekarang ini banyak orang yang berhubungan dengan Allah menggunakan cara yang bahkan tidak diterima oleh pemimpin perusahaan jika itu muncul dari bawahannya. Jika kita tidak banyak protes kepada keputusan atasan kita, mengapa justru mempertanyakan ketetapan Allah Swt?! Wahai orang yang bodoh, kau tidak sedang berhadapan dengan pemimpin perusahaan. Ia adalah Allah, Pencipta segala sesuatu. Ia tidak ditanya mengenai apa yang Ia lakukan. Apa sebenarnya makna Tuhan dalam dirimu?! Betapa kelirunya jika seseorang itu memercayai lamunan kosongnya yang terus membisikkan bahwa kau adalah seorang yang berakal, merdeka, dan mengajak untuk mengkritisi dan mempermasalahkan segalanya. Nafsumu membisikkan padamu untuk mengkritik Tuhanmu, Nabi, ulama, para wali dan lain sebagainya. Akan tetapi ketika dia hendak mengkritik peraturan pemerintahan seketika itu ia dicegah. Ketika ia mempertanyakan undang-undang, ia diperintahkan untuk diam karena itu adalah keputusan mahkamah tertinggi. Sedangkan ketika berkaitan dengan Tuhan, nabi, agama, ja mengagung-agungkan akal dan kebebasan berpikir. Jika benar ia seorang yang berakal, maka ia akan mengetahui bahwa lebih utama baginya untuk mengetahui batasan antara dirinya dengan Tuhannya dibandingkan dengan perkara dunia semacam ini.

 

“Maka ucapkan:   Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi dan bagi.Nya segala puji. Engkau, dengan ucapanmu itu, menyucikan-Nya dari sifat kedekatanmu dengan-Nya sambil bergantung sepenuhnya dengan sifat-Nya yang melingkupimu. Pada saat itulah kau akan tenggelam dalam semesta ke-esa-an,” yaitu engkau benar-benar menyelami hakikat bahwa hanya ada satu pencipta, satu yang mewujudkan segalanya, satu pemberi rezeki, “dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Esa” (QS. Al-Baqarah: 163). Adapun terkait dengan apa yang biasa disebutkan dari sebagian kelompok yang menyimpang seperti masalah wahdatul wujud, al-hulul, al-ittihad dan lain sebagainya, itu semua hanyalah omong kosong. Dan sejauh-jauhnya makhluk dari perkara-perkara semacam itu adalah para kekasih Allah dan mereka yang telah mencapai derajat makrifat. Karenanya tidak mungkin kita mengartikan ucapan-ucapan yang keluar dari mulut mereka dengan makna yang keliru dan rendah ini yang bahkan tidak bisa diterima oleh orang dengan pengetahuan yang sangat terbatas namun akalnya selamat dari dusta seperti ini. Prinsipnya adalah Allah tidak bertempat di dalam sesuatu dan tidak ada sesuatu yang bersemayam di dalamNya, tapi tidak ada sesuatu apapun yang keluar dari kekuasaan-Nya, kehendak-Nya, keputusan-Nya, pengaturan-Nya, pembentukan: Nya, ketetapan-Nya, pandangan-Nya, dan cakupan pengetahuanNya. Maka keliru jika seseorang memahami perkataan para kekasih Allah yang memiliki kedudukan yang begitu tinggi dengan apa yang diucapkan orang-orang yang hina dalam pandangan Allah Swt. Allah berfirman melalui lisan Nabi-Nya ketika berada dalam gua Tsur: “Jangan kau bersedih sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. at-Taubah: 40). Apakah ini berarti bahwa Allah bertempat di dalam gua? Pemahaman itu adalah pemahaman orang-orang yang telah kehilangan akal sehatnya. Allah bersama mereka di dalam gua tanpa perlu menempati sesuatu (al-hulul) atau menyatu dengan sesuatu yang lain (al-ittihad).

 

“Bagi orang dengan keadaan semacam ini,” yang berada dalam semesta ke-esa-an dan tidak melihat selain Allah, “ada beberapa keadaan: sebagian mereka ada yang warid-nya berupa makrifat, ada juga yang berupa cinta (mahabbah), dan ada pula yang berupa kewibawaan (haibah).” Hal itu berdasarkan manifestasi (tajalli) yang paling kuat yang mereka rasakan. “Jika warid yang mereka dapatkan berupa makrifat, jiwanya akan berkelana di alam mulk (tampak) dan malakut (gaib).” Mereka melihat dengan seksama tanda-tanda yang tersebar luas dan tampak jelas pada alam wujud yang menunjukkan kepada Allah Swt, “dan disingkap baginya rahasia-rahasia yang tersembunyi” dalam hikmah Allah Swt yang tersimpan pada semua yang wujud, “dan ahwal (kondisi batin) yang agung” dengan menyaksikan keagungan Allah Swt pada semua ciptaan-Nya. Dialah Pemelihara segala sesuatu, Tuhan segala sesuatu. Itulah Tuhanmu yang kau bersujud kepada-Nya. Begitu agung kedudukanmu dengan sujudmu kepada-Nya. Mereka yang memiliki warid semacam ini akan menyaksikan rahasia ketuhanan pada hamba-Nya dan rahasia sang Pencipta pada ciptaan-Nya. Betapa jauh hal ini dari mereka yang ketika bersujud masih terikat dengan hal-hal yang rendah seperti tontonan, handphone, atay dunia dari sisi buruknya dan bukan dari sisi rahasia agung yang ada di dalamnya. Karena alam ini memiliki dua sisi: sisi berupa kegelapan, dan menjadi hijab serta penghalang dari Allah swt, dan sisi berupa cahaya dan petunjuk. Orang-orang yang lalai dan terputus hubungannya dengan Allah melihat dari sisi kegelapan hingga menjadi hijab antara dirinya dengan Allah. Sedangkan mereka yang senantiasa mengingat Allah melihat dari sisi yang terang bercahaya sehingga segala sesuatu menambah keimanan dan ketundukan mereka kepada-Nya. Bagi mereka alam raya ini bagaikan kaca yang tidak menghalangi apa yang ada dibaliknya. Dan dibalik setiap unsur penciptaan ada kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa, keperkasaanNya Yang Maha Perkasa, kehendak-Nya Yang Maha Bekehendak, dan kekuatan-Nya Yang Maha Kuat. Namun jika engkau berada pada sisi yang gelap, akan kau dapati alam ini menjadi hijab yang menghalangimu dari Penciptanya Swt. Dan seburuk-buruk serta sebodoh-bodohnya akal adalah yang sibuk dengan makhluk hingga menghalanginya dari sang Khalik.

 

Sebagian yang lain dikuasi oleh cinta (mahabbah). Mereka bersujud dalam kondisi lain yang juga luar biasa. “Jika warid-nya adalah cinta, akan disingkap baginya keakraban dan penyambutan serta kedekatan pada sang Kekasih.” Ia akan mendapati tambahan kedekatan dengan Tuhannya dalam keadaan ia bersujud. Ia akan merasakan perasaan yang begitu manis dan indah. Berkata al-Habib Abdullah asy-Syathiri kepada murid-muridnya: “Aku dapati dalam salat dan sujud rasa manis yang jika bukan karena khawatir dengan makmum di belakangku maka aku tidak akan bangun dari sujudku. Dan hati juga memiliki sujud, yang jika ia laksanakan niscaya ia tak akan beranjak dari sujud itu selamanya. Wahai Allah, rahmati hati kami dengan keberkahan pemilik hati-hati yang bersujud.

 

“Dan jika warid-nya adalah kewibawaan (al-haibah), akan disingkap baginya al-jabarut,” yaitu satu dimensi pada alam gaib yang tampak padanya sifat-sifat kekuasaan dan keperkasaan Allah Swt, dan dampak dari sifat tersebut. Al-Jabarut adalah pemahaman mengenai hakikat dari nama-Nya al-Jabbar. Al-Jabarut adalah tunduknya segala sesuatu di hadapan keagungan Allah sang Pencipta. Al-Jabarut adalah hamparan keagungan kehendak dan kekuasaan Allah, serta rahasia ketuhanan dan pengakuan segala sesuatu bahwa mereka tunduk dan patuh kepada-Nya dan tidak memiliki apapun di hadapan-Nya. “Dan bersujud atas bahamut,” yang merupakan isyarat kepada alam yang paling rendah, yaitu binatang ternak dan hewan-hewan yang merupakan jenis makhluk yang paling rendah. Dan yang dimaksud adalah ia bersujud sembari menghinakan diri kepada Allah dengan sehina-hinanya.

 

“Adapun mereka yang dilingkupi oleh sifat-sifat-Nya dan terpancar pada hatinya cahaya Dzat-Nya, maka ia menjadi fana dengan Dzat-Nya dan baga dengan sifat-Nya. Maka begitu ia menyaksikan sifat ar-Rahabut,” yaitu sifat-sifat yang merepresentasikan hukuman, pembalasan, pengusiran, menjauhkan dari rahmat, dan menimpakan azab, “ia lari menuju sifat-sifat ar-Rahamut,” yang berupa kedekatan, pengampunan, rahmat, pemaafan, pemakluman, menutupi aib dan kekurangan, dan lain sebagainya. “Ia kemudian berkata:   Aku berlindung dengan keridaan-Mu” yang merupakan bentuk dari sifat ar-Rahamut  dari murka-Mu” yang merupakan sifat arRahabut. Karena sifat ar-Rahabut, seperti hukuman, azab, dijauhkan dari Allah, dan lain-lain, adalah berada di dalam kemurkaan Allah. Begitu pula neraka. Ia adalah bentuk sifat ar-Rahabut yang masuk dalam cakupan murka-Nya. Sedangkan semua bentuk sifat arRahamut serta bentuknya yang tertinggi bersumber dari ridha. Dan surga, yang merupakan bentuk dari sifat-sifat ar-Rahamut, juga ada dalam lingkup ridha. Sebab jika bukan karena ridha-Nya, tidak akan ada kenikmatan di dalam surga. Kalau kita berandai-andai, tapi ini tidak akan terjadi, bahwa Allah Swt ridha kepada salah seorang penghuni neraka niscaya ia akan merasakan manis dan nikmat di dalam neraka. Kita saksikan para malaikat, misalnya, masuk dan melihat neraka dan penghuninya, namun mereka sama sekali tidak tersakiti oleh neraka. Hal itu karena Penguasa neraka Swt ridha kepada mereka. Kalau kita berandai-andai, tapi ini juga tidak akan terjadi, Allah Swt murka kepada salah seorang penduduk surga, ia pasti akan merasa sakit dan tersiksa, karena semua kenikmatan adalah cabang dan buah dari ridha sebagaimana seluruh siksa adalah cabang dari murka.

 

“Dan saat ia menyaksikan sifat-sifat kemurkaan dan keperkasaan, ia menyelamatkan diri menuju sifat maaf dan ampunan dan berkata:   Aku berlindung dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan saat bersinar dalam hatinya cahaya Dzat,” yang mana murka, ridha, maaf dan hukuman adalah cabang dari Dzat, yaitu Allah Swt, “ia melampaui semua nama dan sifat dan naik menuju derajat yang tertinggi dan berkata:   Aku berlindung dengan-Mu dariMu. Sebab semua yang aku takutkan berasal dari-Mu sebagaimana keselamatan yang aku harapkan juga berasal dari-Mu. Engkau yang aku takutkan, namun Engkau juga yang aku harapkan. Di tanganMu segala kesulitanku sebagaimana dalam genggaman-Mu pula kelapanganku. “Maka tidak ada lagi pada saat itu segala yang wujud, dan tidak ada lagi yang ia saksikan. Ia hukumi segala yang wujud dengan kefanaan, dan ia ingkari penyaksiannya, sehingga tidak ada yang tersisa kecuali Dzat yang harus ada dan wujud,” yaitu Allah Swt yang mengatur semua hal di alam semesta bahkan yang terkecil sekalipun. Udara, tumbuhan, benda mati, hewan, warna-warna, anggota badan, lintasan pemikiran, hati, dan semuanya adalah dengan pengaturan-Nya. Tidaklah tetumbuhan tumbuh, tidak pula ada rasa dahaga dan kepuasan kecuali dengan penataan-Nya. Dan tanpa-Nya, maka semua tidak akan wujud. Tidak ada hal yang luput dari pengawasan dan penataan-Nya. Ia yang mengurus segala sesuatu baik itu besar atau kecil, baik atau buruk, dekat ataupun jauh, semuanya berada dalam pengaturanNya. Dan pengawasan serta penataan ini adalah hal yang hanya dimiliki oleh Allah Swt.

 

Manusia bisa saja membuat sesuatu, namun pada satu kesempatan ada orang yang merusaknya, menghancurkannya tanpa ia ketahui. Hal itu karena ia tidak memiliki pengaturan, penataan, pengawasan seperti yang Allah Swt miliki. Adapun Allah, semua hal yang Ia Ciptakan maka Ia memiliki kontrol dan pengaturan yang menyeluruh atasnya. Sakitnya, sehatnya, hidup dan matinya, nikmat dan sengsara, masuk dan keluar, tinggi dan pendek semua dalam pengaturanNya. Tidak ada yang terjadi kecuali dengan izin-Nya. Tidaklah satu rambut tumbuh kecuali dengan izin-Nya, tidak pula dipotong kecuali dengan izin-Nya. Bahkan gunting yang memangkasnya pun berada dalam pengaturan-Nya. Jauh sebelum itu Ia juga yang menggerakkan orang untuk membuatnya dari besi, Ia pula yang mengatur terbersitnya ide pada seseorang hingga ia menciptakan gunting. Ia pula yang menggerakkan tangan dan jari jemari yang memegang gunting tersebut dan Ia yang mengatur gerakan gunting itu sendiri. Tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah Swt. Tidak ada jari yang bergerak, telinga yang mendengar, mata yang berkedip, burung yang terbang, tumbuhan yang berkembang, dan kupu-kupu yang menggerakkan sayapnya kecuali dengan Allah Swt.

 

Dikisahkan bahwa salah seorang khatib memiliki istri yang senantiasa mengurus keperluannya. Suatu hari istrinya berkata: “Sebenarnya akulah yang berkhutbah, bukannya dirimu.” Suaminya berkata: “Bagaimana bisa begitu? Jangan bicara hal yang tidak masuk akal” Istrinya menjawab: “Kalau kau tidak percaya akan aku buktikan pada saatnya nanti.” Hingga datang hari raya dan istri itu mengurus semuanya seperti biasa. Ketika sang suami hendak keluar untuk memberikan khutbah hari raya, si istri berkata: “Bagaimana bisa kau keluar untuk khutbah sedangkan di rumah tidak ada tepung hari raya untuk kita jadikan makanan.” Padahal di daerahnya tepung adalah hal pokok yang harus ada, mustahil jika di hari raya ia biarkan rumahnya justru tidak memiliki tepung. Dalam keadaan risau ia keluar menuju masjid, mengimami salat id, dan berdiri untuk khutbah. Setiap ia bicara sedikit tiba-tiba pikirannya melayang dan ia bergumam “tepung hari raya”, kemudian ia tersadar dan melanjutkan khutbah, dan begitu seterusnya. Setiap ia bicara kemudian pikirannya memikirkan tepung, ia lantas berkata “tepung hari raya” Akhirnya ia putuskan pulang ke rumah. Istrinya bertanya:

 

“Bagaimana khutbah hari ini?” Suaminya menjawab: “Khutbah macam apa yang kau tanyakan. Hari ini aku tidak bisa berkhutbah” Istrinya berkata: “Sebab akulah yang tadi berkhutbah, bukan dirimu» Suaminya bertanya: “Bagaimana bisa?” Istrinya menjawab: “Selama ini aku urus semua keperluan kita dan tidak pernah menanyakan mengenai tepung dan yang lainnya sedikitpun hingga kau dapat berkhutbah dengan baik. Tapi hari ini, aku sibukkan pikiranmu dengan tepung, padahal ia ada di rumah kita. Suaminya berkata: “Sungguh selama ini engkaulah yang berkhutbah. Ini hanyalah contoh pengaturan dalam ranah sebab-sebab duniawi.

 

Setiap dari kita yang melihat seseorang melakukan sesuatu pasti akan berpikir: “Siapa yang ada di balik perbuatan dan keberhasilannya? Tidak mungkin ini berasal dari dirinya sendiri. Pasti ada seseorang di belakangnya.” Padahal aku, kalian, matahari, bulan, dan alam semesta, siapa yang mengatur kita? Siapa yang ada di balik perbuatan kita? Jangan berhenti hanya pada sebab karena di baliknya masih ada yang lain. Karena jika Tuhanmu tidak berkehendak, orang-orang itu tidak akan mampu melakukan apaapa. Maka dari itu jangan berhenti, lihat sampai ke ujungnya ada apa di balik itu semua. Al-Imam al-Ghazali mengandaikan ada seekor lalat yang diberi akal dan pemahaman dan hinggap pada kertas yang asalnya putih bersih dan tertulis padanya coretan-coretan dengan tinta hitam. Melihat itu, ia menjadi marah dan pergi kepada tinta dan berkata: “Bagaimana bisa kau mengotori kertas putih itu!” Tinta menjawab: “Aku tidak memiliki kuasa apa-apa karena aku hanya mengikuti pena.” Ia lantas terbang menghampiri pena dan memarahinya, namun pena menjawab bahwa ia hanyalah kayu yang tidak dapat bergerak kecuali digerakkan oleh jari-jari yang memegangnya. Ia lantas mendatangi jari dan protes kepadanya yang telah menjadikan pena mengotori kertas putih tadi. Jari menjawab: “Diamlah! Di belakangku ada tangan yang menggerakkanku” Ia kemudian mendatangi tangan dan tangan menjawab: “Di balik ini semua ada otak yang menjadi pusat gerakan seluruh jasad. Aku hanya bergerak menuruti perintahnya” Ia hampiri otak dengan amarahnya dan otak menjawab: “Aku diperintah oleh Allah Swt yang menginginkan aku melakukan hal ini.” Terkadang seseorang merasa sudah mejadi seorang filsuf besar dengan menanyakan apa yang ada di balik segala hal. Apakah ia tidak tau hal itu?! Bahkan perkataanmu yang menanyakan “siapa di balik semua hal ini juga siapa di belakangmu yang membuatmu menanyakan hal itu?! Allah Swt. Siapa yang mengatur perjalanan Nabi Saw ketika hijrah dan berfirman: “Jangan kau bersedih sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. at-Taubah: 40)? Beliau bersabda: “Wahai Abu Bakar, bagaimana pendapatmu mengenai dua orang dan Allah adalah yang ketiganya?” Siapa yang berada di belakang beliau yang berkata bahwa Suragah akan mengenakan pakaian kebesaran kisra dan kaisar dan hal itu benar terjadi sesuai perkataannya Saw?

 

Namun ketika kebanyakan orang mengaitkan segala yang terjadi dengan sebabnya, mereka tidak mampu memahami keadaan orang-orang yang saleh yang telah melepaskan diri dari ketergantungan dengan makhluk hingga yang berada di balik Semua perbuatan mereka adalah sang Khalik Swt. Orang-orang itu tidak lagi memercayai apa yang tampak dari orang-orang saleh itu. Mereka beranggapan tidak mungkin jika segala yang dilakukan para kekasih Allah itu adalah murni karena-Nya. Sebab mereka sendiri masih terikat dengan tujuan-tujuan yang rendah padahal para salihin memiliki tujuan yang sangat tinggi. Dan perbedaan di antara keduanya sangat besar. Allah berfirman: “Mereka lupa kepada Allah, lalu Allah jadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri” (QS. al-Hasyr: 19). Allah-lah yang ada di belakang orang-orang yang saleh dengan pertolongan dan dukungan-Nya. Sebagaimana Ia juga berada di balik orang-orang yang durhaka dengan hukumanNya, keputusan-Nya, nikmat yang Ia berikan dan penundaan-Nya dari menimpakan azab kepada mereka sampai batas waktu tertentu. “Dan jangan sekali-kali kau mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim” (QS. Ibrahim: 42).

 

 

 

 

 

 

 

Duduk di Antara Dua Sujud

 

Saat itu isyarat menjadi kelu, ucapan pun membisu. Ia pun kembali dengan perasaan lemah dan hancur, hina dan amat butuh. Ia hempaskan dirinya pada hamparan kehinaan dan keterdesakan. Pada titik itu ia mengetahui betapa hina sifatsifatnya dan ia bergantung pada sifat-sifat agung Tuannya Swt. Ia lantas duduk dan berkata:  , Wahai Tuhanku, sembari menyaksikan pemeliharaan-Nya atas dirinya, pengaturan dan rahmat-Nya bahkan sebelum ia dibentuk. , ampuni dosa-dosa dan kesalahanku yang Kau ketahui   dan sayangi aku, yang terdesak dan hancur,  , dan tutupi serta sempurnakan aku dari segala kelemahan dan kehinaanku   la, dan angkat aku dari keadaanku yang paling rendah menuju tingginya hadirat rahasia-Mu yang mengalir pada semua yang wujud. dan berilah aku rezeki dalam kesulitan dan kesusahanku.  dan beri aku petunjuk dari kesesatan dan kebingunganku. dan berikan aku ‘afiyah, keselamatan dari pengaturanku atas urusanku sendiri dan pilihan-pilihanku. Dan lakukanlah semua yang sudah disebutkan sebelum ini pada setiap rakaat. 

 

“Saat itu isyarat menjadi kelu, ucapan pun membisu. Ia pun kembali dengan perasaan lemah dan hancur, hina dan amat butuh. Ia hempaskan dirinya pada hamparan kehinaan dan keterdesakan. Pada titik itu, ia mengetahui betapa hina sifatsifatnya dan ia bergantung pada sifat-sifat agung Tuannya Swt.” Ia telah dipenuhi rahasia al-baga dalam sujud. “Ia lantas duduk dan berkata: 55, Wahai Tuhanku, sembari menyaksikan pemeliharaan-Nya atas dirinya, pengaturan dan rahmatNya bahkan sebelum ia dibentuk” yang memperhatikan dan mengurusiku, , ampuni dosa-dosa dan kesalahanku yang Kau ketahui.” Mengapa beliau berkata “yang Kau ketahui”? Karena kita memiliki dosa dan kesalahan yang tidak kita ketahui karena samar dalam pandangan kita sehingga kita tidak menyadarinya. Akan tetapi Dia mengetahui itu semua. Dalam hadis disebutkan: “Wahai Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukanMu dengan sesuatu apapun sedangkan aku mengetahuinya, dan aku mohon ampunan-Mu atas apa yang tidak aku ketahui.” « TN dan sayangi aku, yang terdesak dan hancur.” Ini adalah inti dari rahmat. Jika Ia mengaruniakan kepadamu perasaan sangat butuh kepada-Nya dan perasaan hina dan hancur di hadapan-Nya, maka Ia akan senantiasa bersamamu dan rahmatNya akan mengucur deras kepadamu. Dalam riwayat disebutkan bahwa Nabi Musa bertanya kepada Allah: “Dimana aku akan menemukan-Mu, wahai Allah?” Allah menjawab: “Di antara mereka yang hancur hatinya demi diri-Ku”  , dan tutupi serta sempurnakan aku dari segala kelemahan dan kehinaanku.,   dan angkat aku dari keadaanku yang paling rendah” berupa hawa nafsu kebinatangan, “menuju tingginya hadirat rahasia-Mu yang mengalir pada semua yang wujud” sebagaimana perlakuan-Mu pada hamba-hamba-Mu yang Kau istimewakan. Maka pilihlah aku sebagaimana Kau pilih dan beri perhatian khusus pada mereka. Engkau berfirman kepada Musa a.5: “Dan agar kau dipelihara dengan pengawasan-Ku” (QS. Thaha: 39) dan “Dan Aku telah memilihmu untuk-Ku” (QS. Thaha: 41). Engkau juga berfirman kepada kekasih-Mu yang paling mulia Saw: “Sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami” (QS. athThur: 48). Jika kita kumpulkan para malaikat dan penyair-penyair handal dan kita katakan: “Pujilah Nabi Muhammad Saw dengan sepersepuluh makna firman-Nya: “Sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami (QS. ath-Thur: 48)”, maka pasti mereka tidak akan mampu. Tidak ada seorang pun yang mampu memuji beliau Saw dengan pujian semacam ini.   dan berilah aku rezeki dalam kesulitan dan kesusahanku.  , dan beri aku petunjuk dari kesesatan dan kebingunganku?” Allah berfirman: “Dan kewajiban Kamilah untuk memberi petunjuk” (QS. al-Lail: 12). Dalam hadis gudsi Ia juga berfirman: “Wahai hamba-hambaKu, kalian semua tersesat kecuali yang Aku beri petunjuk. Maka mintalah kepada-Ku niscaya Aku berikan petunjuk pada kalian. Bahkan pada waktu tersebarnya kekacauan yang begitu dahsyat, mintalah petunjuk kepada-Nya maka Ia akan memberi petunjuk dan arahan-Nya. Allah berfirman kepada Rasulullah Saw: “Sungguh Kami mengetahui bahwa hatimu menjadi sempit sebab apa yang mereka ucapkan, jangan bersedih, Kami bersamamu, dan tugasmu adalah “bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau termasuk orang-orang yang bersujud” (QS. al-Hijr: 97-98). Allah juga berfirman kepada Nabi Saw: “Janganlah perkataan mereka menjadikanmu bersedih hati. Sungguh Kami mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan nyatakan” (QS. Yasin: 76).

 

Aku Tuhan mereka semua, jangan kau ambil pusing apa yang mereka lakukan, Aku bersamamu. Dan berapa banyak kejadian yang kita saksikan dewasa ini, bahkan antara yang kuat dan lemah. Terkadang kita saksikan bagaimana kezaliman yang terjadi dan hak yang dirampas dari mereka yang lemah, namun ketika kita perhatikan ujung dari semua kejadian itu, maka akan kita saksikan makna firman-Nya: “Sungguh Kami mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan nyatakan” (QS. Yasin: 76). Tidak ada yang mampu menolak jika Ia hendak menolong dan memenangkan seseorang. Begitulah yang terjadi dalam kehidupan, baik dalam tingkat keluarga, perusahaan, pekerjaan, pemerintahan, negara, dan seterusnya. Meski mungkin untuk terungkapnya pertolongan dari-Nya itu butuh bertahuntahun, tapi pada akhirnya semua akan mengetahui hasil akhirnya sesuai yang Ia kehendaki.  dan berikan Aku ‘afiyah, keselamatan,” dengan segala bentuknya, baik keselamatan badan dan sebagainya yang sudah maklum. Namun yang dimaksud di sini adalah hakikat afiyah, yaitu satu bentuk keselamatan yang paling besar, yakni keselamatan “dari pengaturanku atas urusanku sendiri dan pilihan-pilihanku.” Sebab ketika engkau hanya mengandalkan kemampuan dan pilihan-pilihanmu sendiri, maka hasil yang akan kau dapatkan tidak akan mulus, akibat buruk yang . kau terima tidak akan bisa kau tolak, dan pada akhirnya kau akan tertimpa kesulitan. Karena itu, kita memohon wahai Allah beri aku afiyah dan jadikan pilihan dan urusanku sesuai dengan syariatMu, seperti yang dicintai oleh Nabi-Mu, dan penuh penyerahan kepada-Mu. Jangan biarkan aku sendiri. Sebab jika Kau serahkan aku pada diriku, maka sama dengan Kau serahkan aku pada kelemahan, ketidakberdayaan, dan kekurangan. Hasil apa yang akan didapat oleh seseorang yang dipasrahkan urusannya kepada sifat-sifat semacam itu?! Jadikan pilihanku adalah apa yang Kau inginkan bagiku, dan yang tersisa bagiku hanyalah menjalankan perintah-Mu. Jadilah Engkau yang mengatur segala urusanku dan memilih segalanya bagiku. Seperti doa istikharah yang sudah masyhur: “Wahai Allah, aku memohon agar Kau pilihkan bagiku menurut ilmu-Mu, dan aku memohon kekuatan dengan kekuatanMu, dan aku memohon karunia-Mu yang agung. Sungguh Engkau Maha Kuasa dan aku tiada daya upaya. Engkau pula Maha Tahu dan aku tidak tahu. Dan Engkaulah Yang Maha Mengetahui yang gaib. Jika Engkau ketahui bahwa apa yang aku inginkan ini membawa kebaikan bagiku, maka tetapkan itu bagiku. Dan apabila buruk, maka jauhkan ia dariku” Wahai Allah, Engkaulah tempatku bergantung dan bersandar, serta ridha-Mu yang terus berkesinambungan adalah puncak harapanku. Dan tidak ada yang lebih indah dari ridha-Mu. Ridha-Mu, wahai Allah, dan maaf atas semua yang pernah kami lakukan. Bagaimana keadaan seorang yang tidur di malam hari dan Allah ridha kepadanya? Ia dalam puncak kebahagiaan dan amat sangat beruntung. “Dan lakukan semua yang sudah disebutkan sebelum ini pada setiap rakaat.”

 

 

 

Tasyahud

 

Kemudian, setelah sujud, dia duduk untuk tasyahud awal dengan posisi iftirasy sembari menyadari bahwa dia berada di hadapan Tuannya Swt. Ia hanya duduk sejenak dan singkat sebab kewibawaan Allah Swt. Iftirasy adalah sifat seorang dengan diliputi kewibawaan yang duduk dengan penuh adab serta akan segera bangkit kembali.

 

Resapi bahwa kau duduk di hadapan-Nya dan kedekatan-Nya kepadamu melebihi apapun. Penuhi hatimu dengan pengagungan dan rasa malu kepada-Nya dan katakanlah:  hadirkan dalam benakmu bahwa segala sesuatu memuja-Nya atas semua karunia dan anugerah-Nya, serta memohon dari-Nya rahmat dan keridhaan. Dan saat kau berkata   maka saksikanlah bahwa Dia adalah yang mengagungkan dan yang diagungkan pada saat yang bersamaan. Dan ketika engkau berkata  , ingatlah penghormatan orang-orang yang dekat dengan Allah dan ucapan para pecinta-Nya. Dan katakanlah  , segala kebaikan yang murni, yang tidak tercampur kegelapan nafsu setitikpun, yang berpindah-pindah dalam hadirat yang suci dan dipenuhi cahaya kebahagiaan karena tiada sesuatu yang wujud di sana kecuali Dia Swt,  , hanya untuk Allah S.W.T. Pada saat itu engkau lenyap (fana) dari semua selain-Nya dan tenggelam dalam lautan cahaya-Nya.

 

Hingga ketika mata hatimu telah berhias dengan kilatan cahaya itu, engkau saksikan pusat segala cahaya dan rahasia, yaitu Nabi Muhammad Saw yang terpilih   salam sejahtera atasmu wahai Nabi. Engkau sadari bagaimana Allah menghindarkan beliau dari segala kekurangan dan cela yang tidak didapat oleh siapapun sejak dahulu hingga yang akan datang.   dan juga rahmat serta keberkahan-Nya, yakni rahmat-Nya yang khusus bagimu dan keberkahan-Nya yang melimpah kepadamu hingga meliputi tempat-tempat suci sampai kepada seluruh alam mulk dan malakut. Dan engkau ucapkan  salam sejahtera atas kami dan semua hamba-hamba Allah yang saleh, dalam bentuk maaf dan ampunan, rahmat dan keridhaan, serta kabar gembira dan perasaan aman. Dan hadirkan para nabi dan wali-wali Allah yang merupakan cabang dari hadirat Nabi Muhammad Saw.

 

Kemudian palingkan perhatianmu dari makhluk kepada Raja Yang Maha Berkuasa dan katakanlah   aku bersaksi tiada tuhan selain Allah. Dan di saat itu jangan kau hadirkan siapapun di hadirat-Nya kecuali al-Musthafa Muhammad Saw., dan katakan  , dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

 

Kemudian ingatlah bahwa Nabi Muhammad Saw adalah perantara yang menyampaikanmu pada hadirat agung ini, maka mohonkanlah balasan kebaikan atas beliau dari Allah Yang Maha Pemurah, yang saat ini engkau sedang berada di hadapan-Nya dengan mengucap   wahai Allah limpahkan selawat kepada Muhammad Saw. Kemudian bangunlah untuk berdiri dan kerjakan rakaat berikutnya seperti yang telah dijelaskan.

 

Dan jika kau telah sampai pada tasyahud akhir, hadirkan hatimu dan sadari bahwa kau telah diizinkan untuk duduk. Duduklah dengan penuh kebahagiaan. Mintalah kepadaNya semua keperluan dan keinginanmu yang telah Ia janjikan. Mohon perlindungan-Nya dari semua ketakutanmu yang telah Ia peringatkanmu darinya. Akui kelemahan dan ketidakberdayaanmu dari meraih harapanmu atau menyelamatkan diri kecuali dengan pertolongan-Nya. Saat itulah kau mendapati kelezatan yang tiada tara dari kenikmatan berbicara dengan-Nya dan lembut teQuran-Nya, hingga kau merasa berat untuk keluar dari kenikmatan yang agung ini. Engkau tidak mau keluar darinya dan mengakhirinya kecuali dalam keadaan terpaksa.

 

Wahai Allah, jadikan kami orang-orang pilihan-Mu yang Kau istimewakan dengan kedekatan dengan-Mu dalam keadaan penuh kenikmatan. Jadikan kami mabuk dengan minuman cintaMu yang murni, dan jangan jadikan salat kami ini hanya sekadar jgauan dan gerakan lisan, sungguh Engkau Yang Maha Pemurah lagi banyak pemberian-Nya. Wahai Allah, tutupi aib kami dengan ampunan-Mu, bimbinglah kami dalam setiap urusan dengan kelembutan dan kebaikan-Mu, dan jadikan tempat kembali kami kelak adalah surga yang penuh dengan kemuliaan dan ridha. Wahai Yang Maha Menyayangi mereka yang lemah, yang Maha Memaafkan mereka yang tergelincir, dan Maha Menerima mereka yang bertaubat. Dan semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw juga keluarga dan para sahabatnya. Alhamdulillahi Rabb al-‘Alamin.

 

Telah selesai risalah yang penuh berkah ini, yang diberi judul: Ithaf Khawash al-Mu’minin bi Shalat al-Mugarrabin alMudimah al-Jadzl wa al-Hubur bi Qurbi Rabb al-Alamin dan berjuluk: Munadamah al-Muhibb Maa al-Mahbub bi Maa Huwa al-Magshud wa al-Mathlub.

 

Wa Alhamdulillahi Rabb al-Alamin. Wa Shallallahu Ala Sayyidina Muhammad wa Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

 

Penulis kitab ini menerangkan kepada kita kondisi-kondisi yang dialami seseorang dalam salatnya hingga pada akhirnya kita sampai pada duduk tasyahud. Salat yang empat rakaat memiliki dua tasyahud: awal dan akhir. Posisi duduk pada tasyahud awal dinamakan al-iftirasy, yaitu menegakkan telapak kaki kanan sambil menekuk jari-jarinya dan duduk di atas telapak kaki kiri, sedangkan pada tasyahud akhir dinamakan at-tawaruk, yaitu menegakkan telapak kaki kanannya dan mengeluarkan kaki kiri dari bawah kaki kanan itu dan menempelkan bokongnya ke tanah. Kedua posisi ini adalah yang teriwayatkan dari Nabi Saw di dalam salat. Dan empat imam mazhab dalam menyikapi dua posisi ini memiliki sikap: menguatkan salah satunya atau menggabungkan keduanya. Imam asy-Syaf’i dan Imam Ahmad mengambil sikap menggabungkan dua riwayat dalam masalah ini. Sedangkan al-Imam Malik dan Abu Hanifah lebih mengunggulkan sikap tarjih (menguatkan salah satu dari dua riwayat).

 

Menurut Imam Abu Hanifah, riwayat posisi duduk iftirasy adalah riwayat yang lebih kuat dari yang Jain. Karena itu, beliau berpendapat bahwa duduk di dalam salat semua dengan posisi itu. Berbeda dengan Imam Malik yang menguatkan riwayat at-tawaruk sebagai posisi duduk di dalam salat. Imam asy-Syafi’i, yang menggabungkan kedua riwayat, mengatakan bahwa semua posisi duduk dalam salat adalah al-iftirasy kecuali pada tasyahud akhir sebelum salam. Kaidah beliau adalah semua duduk dalam salat yang masih ada gerakan setelahnya, maka duduknya dengan posisi iftirasy, sedangkan semua duduk yang setelahnya adalah salam maka dengan posisi tawaruk. Adapun Imam Ahmad mengatakan bahwa ada keadaan-keadaan tertentu yang menggunakan posisi tawaruk dan keadaan lain yang menggunakan iftirasy, dan jika tidak ada nash yang jelas pada suatu keadaan maka posisi duduknya adalah al-iftirasy.

 

Penulis kitab ini juga memberikan sudut pandang baru mengena! masalah ini, yaitu duduk iftirasy adalah posisi duduk seorang yang diliputi rasa segan dan akan segera bangkit. Sedangkan tawaruk adalah posisi seorang yang duduk dengan nyaman dan dalam waktu yang lama. Hal itu karena perasaan bahagia dan tenang itu ada pada penghujung salat. Dan pada saat itu juga adalah waktu menyampaikan semua keinginan dan doa. Berbeda dengan tasyahud awal yang berakhir pada selawat kepada Nabi dan keluarganya kemudian bangkit berdiri kembali.

 

“Kemudian, setelah sujud, dia duduk untuk tasyahud awal dengan posisi iftirasy. Sembari menyadari bahwa dia berada di hadapan Tuannya swt. Ia hanya duduk sejenak dan singkat karena kewibawaan Allah swt.” Dan kebanyakan riwayat menyebutkan bahwa Nabi saw mempersingkat duduk tasyahud awal, meskipun ada sedikit riwayat yang menyebutkan sebaliknya. Bahkan para sahabat menggambarkan bagaimana singkatnya tasyahud awal Rasulullah saw seakan-akan beliau duduk di atas bara api. “Karena iftirasy adalah sifat seorang yang diliputi kewibawaan yang duduk dengan penuh adab serta akan segera bangkit kembali.”

 

“Resapi bahwa kau duduk di hadapan-Nya dan kedekatan-Nya kepadamu melebihi apapun.” Bahkan dekatnya urat lehermu tidak ada apa-apanya dibandingkan kedekatan-Nya kepadamu. Begitu juga semua yang dekat kepadamu selain-Nya. Dialah yang paling dekat tanpa diukur dengan jarak dan tanpa dapat dibayangkan dan digambarkan. Itu adalah kedekatan dengan hakikatnya yang paling agung dan tinggi. “Penuhi hatimu dengan pengagungan dan rasa malu kepada-Nya.” Mulailah dengan mengucapkan penghormatan kepada hadirat ketuhanan sebagaimana yang diajarkan Nabi Saw “dan katakanlah:  yakni semua bentuk penghormatan, pengagungan, dan pemuliaan hanyalah untuk-Mu. “Hadirkan dalam benakmu bahwa segala sesuatu memuja-Nya atas semua karunia dan anugerah-Nya, serta memohon dari-Nya rahmat dan keridhaan. Dansaatkauberkata:  yakni yang kebaikannya sangat banyak dan terus bertambah dan abadi. Penghormatan yang kau lakukan ini juga merupakan bentuk kebaikan dan karunia-Nya, “maka saksikanlah bahwa Dia adalah yang mengagungkan dan yang diagungkan pada saat yang bersamaan.” Sebab engkau tidak akan mampu memuliakan-Nya kecuali dengan izin dan taufik-Nya. “Dan ketika engkau berkata: , ingatlah penghormatan orang-orang yang dekat dengan Allah dan ucapan para pecintaNya,” Makna ash-Shalawat adalah bahwa semua bentuk ibadah dan doa hanyalah untuk-Mu dan tidak pantas bagi selain-Mu. “Dan katakanlah:  segala kebaikan yang murni, yang tidak tercampur kegelapan nafsu setitik pun,” yakni semua hal yang baik, bersih, dan suci hanya milik-Mu dan hanya Engkau yang berhak atasnya. Rasul bersabda: “Allah itu baik (thayyib) dan tidak menerima kecuali yang baik pula” Tasyahud ini merupakan bentuk yang dipilih oleh al-Imam asy-Syafi’i karena bersesuaian dengan ayat Alquran: “Penghormatan (tahiyyatan) dari Allah yang penuh keberkahan (mubarakatan) dan kebaikan (thayyibah)” (QS. an-Nur: 61). Riwayat ini saja yang menyebutkan al-Mubarakat, berbeda dengan riwayat-riwayat lain mengenai bacaan tasyahud. “Yang berpindah-pindah dalam hadirat yang suci dan dipenuhi cahaya kebahagiaan karena tiada sesuatu yang wujud di sana kecuali Dia Swt.” Dan semua hal ini  hanya untuk Allah Swt. Pada saat itu engkau lenyap (fana) dari semua selain-Nya dan tenggelam dalam lautan cahaya-Nya.” dengan penghormatan dan pujian kepada-Nya yang terucap dari lisan Nabi Muhammad Saw pada malam Isra dan Miraj. Ini merupakan kenikmatan agung bagi kita dan sarana untuk mendapat pandangan dan rahmat-Nya.

 

“Hingga ketika mata hatimu telah berhias dengan kilatan cahaya itu, engkau saksikan pusat segala cahaya dan rahasia, dan makhluk pertama yang Ia tunjukkan keagungan-Nya padanya “yaitu Nabi Muhammad saw yang terpilih.” Maka kau ucapakan salam kepadanya. Engkau ucapakan salam penghormatan kepada Allah dan kemudian kepada Nabi-Nya. Lebih dari itu, Allah menyariatkan bagi kita untuk memberi salam kepada Nabi Saw dengan menggunakan kata ganti orang kedua, sedangkan siapa saja selain beliau, dari semua makhluk, jika kita katakan sesuatu kepadanya dengan menggunakan kata ganti orang kedua maka salat kita batal. Kecuali orang ini, Muhammad bin Abdullah Saw. Bahkan kita wajib menggunakan kata ganti orang kedua terhadap beliau di dalam salat. Seakan Allah berkata: “Ajak bicara ia di hadapan-Ku dan kalian tidak akan keluar dari hadirat-Ku” “Engkau ucapkan:

 

 salam sejahtera atasmu, wahai Nabi?” Dan ini merupakan salam dari Allah kepada Nabi-Nya Saw. Maka engkau memberikan salam kepadanya sebagaimana salam yang Allah berikan padanya. Dan Allah telah mencela kaum munafik dalam firman-Nya: “Dan jika mereka (orang-orang munafik) itu mendatangimu, mereka mengucapkan salam kepadamu bukan dengan salam yang Allah berikan kepadamu” (QS. al-Mujadilah: 8). Sedangkan orang-orang mukmin, mereka memberi salam kepada Nabi dengan salam yang Allah berikan kepadanya. Kita dapati Allah Swt memuliakan, mengagungkan dan memuji Rasulullah Saw, maka kita pun melakukan hal yang sama. Rasulullah Saw tidak butuh kepada salam kita, tidak butuh kepada penghormatan kita. Terlebih Allah Swt sendiri sudah bersalam dan memuji beliau. Apa arti salam kita dibandingkan dengan salam dari Allah?! Tapi kita lah yang mendapat manfaat dan keuntungan dari penghormatan kita kepada beliau Saw. “Engkau sadari bagaimana Allah menghindarkan beliau dari segala kekurangan dan cela” dalam segala makna dan bentuknya dan dari segala sisi, serta mengkhususkannya dengan penyucian teragung “yang tidak didapat oleh siapapun sejak dahulu hingga yang akan datang.” Maka beliau adalah makhluk Allah yang paling bersih dan suci.

 

Kemudian kita perhatikan bagaimana kita memanggil beliau dengan ucapan “wahai Nabi”, sebagaimana yang Allah gunakan ketika memanggil beliau Saw di dalam Alquran. Padahal jika kita amati, Allah Swt memanggil nabi-nabi yang lain dengan nama mereka seperti “wahai Adam’, “wahai Musa”, “wahai Isa” dan lain sebagainya. Tapi ketika sampai pada Nabi Muhammad Saw, Ia berkata “wahai Nabi” “wahai Rasul”, “wahai yang berselimut”, dan lain-lain. “  dan juga rahmat serta keberkahanNya, yakni rahmat-Nya yang khusus bagimu.” Jika rahmat-rahmat lain yang Allah berikan kepada makhluk-Nya bersumber dari rahmat khusus yang Ia berikan pada Nabi Saw, maka bayangkan betapa agung rahmat khusus itu. “Dan keberkahan-Nya yang melimpah kepadamu hingga meliputi tempat-tempat suci sampai kepada seluruh alam mulk dan malakut,” yaitu alam yang nyata dan gaib.

 

Berapa banyak para kekasih Allah yang mencecap nikmatnya mengucapkan salam kepada Nabi Saw yang bersabda: “Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku hingga hari kiamat terkecuali Allah kembalikan ruhku hingga aku menjawab salamnya. Dan banyak dari mereka yang bertakwa mendengar jawaban Nabi Saw atas salam yang mereka ucapkan. Di antara mereka adalah al-Imam Ali Khali’ Qasam yang jika mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw, di dalam atau di luar salat, ia ulang-ulang hingga mendengar jawaban dari Nabi Saw. Yang lebih hebat lagi, terkadang orang yang berada di sekitar beliau ikut mendengar jawaban dari Nabi Saw, hingga beberapa orang sengaja untuk salat bersama beliau hanya karena ingin mendengar jawaban Nabi Saw itu. Al-Imam alHaddad menceritakan hal ini dalam syairnya: “Ia yang mengucap salam di dalam salat, hingga Rasul menjawab salamnya sembari mengucap “Wahai Syaikh, betapa agung ia yang menghimpun segala kemuliaan?” Yakni Rasul menjawab salam beliau dengan mengatakan: “Salam sejahtera atasmu, wahai Syaikh,” Dan dengan keberkahan ucapan Nabi itu beliau benar-benar menjadi syaikh yang sejati.

 

Diceritakan pula bahwa al-Imam Abu Ishag asy-Syairazi menulis kitab fikih berjudul Al-Muhadzab yang penuh berkah dan tersebar luas manfaatnya. Tidaklah beliau menulis satu pasal kecuali beliau salat dua rakaat di dekat Ka’bah dan berdoa agar apa yang beliau tulis membawa manfaat. Beliau juga termasuk orang yang doanya cepat terkabul. Saat beliau menyelesaikan kitabnya itu, beliau bermimpi berjumpa Nabi Saw dan membawa kitabnya ke hadapan beliau Saw. Nabi mengambil kitab tersebut dan membolak-balik halaman-halamannya. Nabi kemudian mengembalikannya sambil berkata kepada al-Imam asy-Syairazi: “Yang kau tulis adalah syariatku, wahai Syaikh.” Sejak saat itu, al-lmam asy-Syairazi sangat bangga dan gembira dengan sebutan syaikh yang diberikan Nabi Saw kepadanya.

 

Setelahitu “engkau ucapkan:   salam sejahtera atas kami dan semua hamba-hamba Allah yang saleh” Karena mereka adalah orang-orang yang mengikuti dan memiliki hubungan kuat dengan Nabi Saw. Bahkan salam kepada mereka adalah bentuk kasih sayang Nabi Saw kepada umatnya, ketika pada saat Isra dan Mi’raj Allah Swt mengucap salam kepada Nabi, beliau kemudian mengatakan ucapan ini di hadapan Allah Swt, mengharap salam kepada para salihin. Dahulu, para sahabat memahami bahwa mereka hendaknya mengucapkan salam kepada pribadi-pribadi pilihan Allah dan mereka yang dekat dengan-Nya. Mereka lantas berkata di dalam salat: “Salam sejahtera atas Jibril, Mikail, fulan, dan fulan.” Ketika Nabi Saw mendengar hal itu, beliau bersabda: “Katakanlah: Salam sejahtera atas kami dan hambahamba Allah yang saleh. Jika kau ucapkan itu, maka salammu akan sampai kepada semua hamba Allah yang saleh di langit dan bumi.” Akan tetapi, perhatikan, kita tidak memberi salam kepada mereka secara langsung. Kita memberi salam dengan memakai kata ganti orang ketiga. Karena khithab (berbicara dengan menggunakan kata ganti orang kedua) di dalam salat hanya boleh bagi Nabi Saw saja. Dan pada ucapan salam kepada para salihin terdapat pelajaran, bahwa mengingat mereka, menyebut-nyebut mereka adalah hal yang terpuji. Jika di dalam salat saja kita sebut-sebut mereka, apalagi di luar salat. Dan ketika mereka disebut, maka akan turun perasaan damai pada hati-hati yang gelisah. Salam tersebut “dalam bentuk maaf dan ampunan, rahmat dan keridhaan, serta kabar gembira dan perasaan aman. Dan hadirkan para nabi dan wali-wali Allah yang merupakan cabang dari hadirat Nabi Muhammad Saw.”

 

Setelah itu naiklah ke tingkatan syuhud (penyaksian) yang lebih tinggi. “Palingkan perhatianmu dari makhluk kepada Raja Yang Maha Berkuasa dan katakanlah: “  aku bersaksi tiada tuhan selain Allah”, sembari kau perbarui perjanjian iman antara dirimu dengan-Nya. Karena dahulu di alam ruh, Ia telah mengambil sumpah darimu dan pada setiap tasyahud inilah kita memperbarui sumpah tersebut. “Dan di saat itu jangan kau hadirkan siapapun di hadirat-Nya kecuali al-Musthafa Muhammad Saw dan katakan:   dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Ada ucapan lain dalam tasyahud yang teriwayatkan, yaitu Asyahdu An La Ilaha Illallah Wa Asyahdu Anna Muhammad Abduhu Wa Rasuluhu dan dalam riwayat lain Asyahdu An La Ilaha Illallah Wahdahu La Syarika Lahu Wa Asyahdu Anna Muhammad Abduhu Wa Rasuluhu. “Kemudian ingatlah bahwa Nabi Muhammad Saw adalah perantara yang menyampaikanmu pada hadirat agung ini” dengan mengajarkan salat kepadamu. “Maka mohonkanlah balasan kebaikan atas beliau dari Allah Yang Maha Pemurah yang saat ini engkau sedang berada di hadapan-Nya dengan mengucap:   wahai Allah limpahkan selawat kepada Muhammad”   dan juga kepada keluarga Muhammad. Ini adalah tasyahud awal. “Kemudian bangunlah untuk berdiri dan kerjakan rakaat berikutnya seperti yang telah dijelaskan.”

 

Adapun untuk tasyahud akhir, yang kita baca adalah selawat Ibrahimiyyah yang teriwayatkan ada 17 bentuk. Selawat Ibrahimiyyah seperti yang sudah kita ketahui dan sering kita gunakan:

 

“Wahai Allah, limpahkan selawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan selawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sungguh hanya Engkau yang Maha Terpuji dan Mulia di seluruh alam raya.

 

Dan ada versi yang juga shahih dan lebih panjang, yaitu:

 

“Wahai Allah, limpahkan selawat kepada hamba dan Rasul-Mu Muhammad, Nabi yang ummiy dan keluarganya, istri-istrinya, dan keturunannya sebagaimana Engkau limpahkan selawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan berkahi Muhammad, Nabi yang ummiy dan keluarganya, istri-istrinya, dan keturunannya sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sungguh hanya Engkau yang Maha Terpuji dan Mulia di seluruh alam raya. “Dan jika kau telah sampai pada tasyahud akhir, hadirkan hatimu dan sadari bahwa kau telah diizinkan untuk duduk” di hadiratNya dan kau berada di penghujung salatmu. “Duduklah dengan penuh kebahagiaan. Mintalah kepada-Nya semua keperluan dan keinginanmu yang telah Ia janjikan. Mohon perlindungan-Nya dari semua ketakutanmu yang telah Ia peringatkanmu darinya” seperti yang disebutkan dalam hadis:

 

“Wahai Allah aku berlindung kepada-Mu dari azab Jahannam dan azab kubur, juga dari fitnah kehidupan dan kematian dan fitnah Dajjal, serta dari hutang dan perbuatan dosa. Wahai Allah, ampuni apa yang aku perbuat baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan dan semua dosaku yang Kau lebih mengetahuinya dariku. Engkaulah yang Maha Mendahulukan dan Mengakhirkan dan tiada tuhan selain-Mu.” Dan doa-doa yang lain yang juga teriwayatkan bahwa sayyidina Abu Bakar ash-Shiddig meminta Rasulullah agar mengajarkannya doa yang dibaca saat tasyahud akhir, maka Rasulullah bersabda: “Katakan:

 

Wahai Allah, sungguh aku telah menganiaya diriku dengan melampaui batas dan tidak ada yang mampu mengampuni dosa kecuali Engkau.” Lihat didikan Rasulullah kepada sahabatnya dalam doa ini. Abu Bakar, yang termasuk sahabat beliau yang paling utama, beliau ajarkan mengucapkan doa tersebut, mengakui bahwa ia telah banyak berbuat zalim atas dirinya sendiri. Lalu bagaimana dengan kita jika ini yang diucapkan oleh Abu Bakar?! “Dan akui kelemahan dan ketidakberdayaanmu dari meraih harapanmu atau menyelamatkan diri kecuali dengan pertolongan-Nya. Saat itulah kau mendapati kelezatan yang tiada tara dari kenikmatan berbicara dengan-Nya dan lembut teQuran-Nya hingga kau merasa berat untuk keluar dari kenikmatan yang agung ini. Engkau tidak mau keluar darinya dan mengakhirinya kecuali dalam keadaan terpaksa.” Engkau akhiri salatmu karena memenuhi perintah Allah, meskipun jauh di dalam hatimu kau tidak ingin keluar darinya. Semoga Allah menjadikan kita orang yang mampu merasakan hakikat salat.

 

Penulis kitab ini mengakhiri uraiannya dengan berdoa: “Wahai Allah, jadikan kami orang-orang pilihan-Mu yang Kau istimewakan dengan kedekatan dengan-Mu dalam keadaan penuh kenikmatan. Jadikan kami mabuk dengan minuman cinta-Mu yang murni dan jangan jadikan bagian kami dari salat ini hanya sekadar iqauan dan gerakan lisan, sungguh Engkau Yang Maha Pemurah lagi banyak pemberian-Nya. Wahai Allah, tutupi aib kami dengan ampunanMu, bimbinglah kami dalam setiap urusan dengan kelembutan dan kebaikan-Mu, dan jadikan tempat kembali kami kelak adalah surga yang penuh dengan kemuliaan dan ridha. Wahai Yang Maha Menyayangi mereka yang lemah, yang maha memaafkan mereka yang tergelincir, dan maha menerima mereka yang bertaubat. Dan semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw Juga keluarga dan para sahabatnya. Alhamdulillahi Rabb al-Alamin.”