Kitab Sulamul Munajat Dan Terjemah [PDF]

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

 

Segala puji hanya bagi Allah atas ilham yang Dia berikan dan atas taufik-Nya kepada kita untuk berbakti kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah dengan kesaksian yang menjamin suksesnya cita-cita. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, orang terbaik yang diberi nikmat dan orang terbaik yang memberikan kemuliaan kepada umatnya. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan salam kepada junjungan kita itu, pimpinan orang-orang yang berbakti dan kepada keluarganya yang suci serta sahabatnya yang pilihan, dengan shalawat dan salam yang kekal abadi sampai saat kita menghadap kepada Allah.

 

Amma ba’du:

 

Orang yang mengaku sebagai orang yang hina dan salah, Muhammad Nawawi bin Umar yang berasal dari daerah Banten dan bermadzhab Syafi’i semoga Allah memberinya ilmu yang bermanfaat dan etika-berkata: “Ini adalah syarahnya (penjelasannya) risalah yang bernama “Safinah As Shalah” oleh sayid yang saleh, Abdullah bin Umar bin Yahya Al Hahdrami. Semoga Allah mensucikan arwahnya, menyinari kuburnya dan menem-patkannya di surga tertinggi. Aku menggantungkan diri kepada Allah dalam seluruh urusan dan aku meminta kepada-Nya agar syarah ini bermanfaat, mencurahkan anugrah-Nya kepadaku dan tak menghukumku karena kesalahan yang aku lakukan di dalamnya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Aku menamai syarah ini dengan: “Sullam Al Munajah.”

 

Pengarang, Abdullah bin Umar, semoga Allah merahmatinya berkata:

 

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ketahuilah, bahwa asma Allah harus didasari dengan nash Al-Qur’an, hadits atau dengan ijma’ ulama. Asma Allah ada empat macam:

 

Pertama, asma dzat, misalnya Allah dan Al Malik.

 

Kedua, asma sifat, misalnya Al Alim dan Al Qaadir serta asma lainnya yang menunjukkan sifat Allah yang gadim.

 

Ketiga, asma tanzih, misalnya As Salaam, Al Qudduus, Ad Daa-im dan Ash Shaadig.

 

Keempat, asma af’al, misalnya Al Khaalig, Al Mushawwir, Ar Razzag dan lainnya yang menunjukkan perbuatan Allah.

 

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam dan Raja seluruh makhluk, baik jin, manusia, malaikat, hewan maupun lainnya. Masing-masing dari seluruh makhluk tersebut disebut alam.

 

Shalawat dan salam semuga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. Sebagian ulama mengambil jumlah rasul dari kata ” ” dengan hitungan jumal kabir dengan mengalikan dan membentangkan. Dalam kata ” “, terdapat tiga buah mim, sebab huruf yang ditasydid sama dengan dua huruf. Jika engkau membentangkan mim, maka engkau berkata ” ” dan hitungannya adalah sembilan puluh. Dikalikan tiga, hasilnya dua ratus tuju puluh. Kemudian engkau berkata”  ” yang hitungannya lima. Kemudian engkau berkata ”  ” dan hitungannya sepuluh. Dengan demikian, maka jumlah keseluruhannya ada 315. Ulama yang berpendapat bahwa jumlah rasul ada 314, dia membuang hamzah. 314 adalah jumlah pasukan Thalut, yaitu orang-orang yang sabar bersamanya untuk membunuh pasukan Jalut. Ulama yang berpendapat bahwa jumlah rasul adalah 313, dia membuang alif dan hamzah. 313 adalah jumlah pasukan perang Badar dari muslimin.

 

Dari nama ”  “sebagian ulama mengambil jumlah nabi dengan jumlah shaghir tanpa mengalikan maupun membentangkan. Mim pertama adalah empat, mim kedua juga empat, ha’ delapan, dal empat. Jumlah keseluruhannya adalah dua puluh. Dikalikan dua puluh, hasilnya empat ratus. Empat ratus dikalikan jumlah rasul yaitu tiga ratus sepuluh, maka hasilnya seratus dua puluh empat ribu. 124.000 adalah jumlah nabi, jumlah sahabat Nabi Muhammad saw. dan jumlah wali pada setiap masa. Ada pendapat, bahwa jumlah rambut jenggot Nabi Muhammad saw. adalah 124.000 dan jumlah papan kapal Nuh asjuga 124.000. Pada tiap papannya tertulis nama seluruh nabi dan masih lebih empat papan yang bertuliskan empat orang khalifah Nabi Muhammad. 310 adalah bilangan yang sempurna dan menunjukkan makhluk yang paling sempurna, yaitu para nabi. Sedangkan kelebihannya yaitu lima yang disebut satuan, mengisyaratkan orang-orang yang setelah mereka dalam kelebihannya, yaitu Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Hasan bin Ali.

 

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada para keluarga Nabi dan para sahabatnya semuanya. Keluarga Nabi yang dimaksudkan adalah para pengikut beliau, meskipun durhaka. Sedangkan yang dimaksudkan sahabat Nabi adalah orang yang bertemu dengan Nabi setelah beliau menjadi rasul dan beriman, sedangkan keduanya masih hidup di bumi, meskipun sebentar dan orang itu belum tamyiz. Itulah sebabnya, ulama menyatakan bahwa Muhammad bin Abu Bakar ra. termasuk sahabat Nabi, padahal dia lahir tiga bulan beberapa hari sebelum wafatnya Nabi.

 

 

Kewajiban pertama kali bagi setiap muslim yaitu orang yang telah akil baligh agar Islamnya sah adalah meyakini makna dua kalimat syahadat dan menanamkan maknanya dalam hati, sehingga hatinya tidak bimbang maupun lupa. Ulama menyatakan, bahwa mengerti makna kedua kalimat syahadat itu wajib. Jika tidak mengerti, maka orang yang bersangkutan tidak selamat dari kekal di dalam neraka.

 

Makna ”         “adalah aku tahu dengan bukti secara yakin, meyakini dengan hatiku dengan pasti tanpa keraguan dan mengakui dengan lidah sehingga orang lain mendengar pengakuan itu, bahwa tidak ada yang disembah dengan benar di dunia ini, kecuali Allah. Maka hanya Allahlah yang menciptakan dan membuat benda, jejak maupun sifat. Segala sesuatu yang ada adalah ciptaan Allah. Jadi segala sifat hamba dan perbuatannya yang ikhtiar adalah terjadi karena kuasa Allah dan kuasa hamba sama sekali tidak ada pengaruhnya pada semua hal di atas. Hanya Allahlah yang mengatur semua urusan tanpa pembantu maupun rival. Maka tidak ada yang terjadi pada alam atas maupun alam bawah, kecuali dengan pengaturan Allah, kehendak-Nya dan hikmahNya. Allah tahu kesudahan segala perkara tanpa berfikir. Barangsiapa tahu bahwa Allah saja yang menciptakan dan mengatur, maka dia tidak berfikir untuk mengatur dirinya sendiri dan dia menyerahkan diri kepada Penciptanya, sebagaimana difirmankan Allah:

 

“Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki.” (OS. Al Qashash: 68)

 

Kata “. ” memustahilkan segala sekutu dan persamaan yang mustahil bagi Allah, sedangkan kata “.  “adalah menetapkan ketuhanan bagi Allah dan sifat-sifat sempurna bagi-Nya.

 

Dikisahkan, bahwa ada seorang ulama ditawan oleh bangsa Romawi, lalu dia berkata kepada mereka: “Kenapa kalian menyembah Isa?” Mereka berkata “Karena Isa tidak punya ayah.” Ulama itu berkata: “Adam lebih berhak kalian sembah, sebab Adam tidak punya ayah maupun ibu.” Mereka berkata: “Isa menghidupkan orang mati.” Ulama berkata: “Hizgil lebih berhak kalian sembah, sebab Isa menghidupkan empat orang dan Hizqil menghidupkan delapan ribu orang.” Mereka berkata: “Isa menyembuhkan orang buta dan orang lepra.” Ulama berkata: “Jirjis lebih berhak kalian sembah, sebab Jirjis dimasak dan dibakar, kemudian dia keluar dari periuk dalam keadaan selamat.”

 

Penjelasan:

 

Tidak sah mengganti kata dari dua kalimat syahadat dengan kata lain, meskipun searti. Maksudnya orang kafir dianggap sah Islamnya jika mengucapkan kata ”   ” atau terjemahnya dari bahasa non Arab. Sebagian ulama  menyatakan bahwa hal tersebut ijma’. Jika orang kafir mengganti “. ” dengan “. ” (aku tahu), maka dia belum masuk Islam, sebab yang termaktub dalam nash syariat adalah kata “. ” (aku bersaksi). Kata ”   ” tidak cukup, sebab bersaksi lebih khusus lebih daripada tahu, karena bersaksi adalah perbuatan yang timbul dari tahu yang timbul dari menyaksikan dengan mata kepala atau mata hati. Dengan demikian, maka setiap kesaksian adalah pengetahuan dan tidak sebaliknya. Demikian dikatakan As Suhamini.

 

Guru kami, Yusuf As Sanbalawini berkata: “Jika orang kafir menerjemahkan kata ”   ” yaitu aku tahu, maka tidak cukup.” Yakni dia belum masuk Islam. Hal tersebut juga berlaku dalam bersaksi, sebab “bersaksi” sifatnya ta’abudi (tidak berteori). Di samping itu, kesaksian lebih khusus, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits:

 

“Jika engkau tahu bagaikan matahari, maka bersaksilah!”

 

Ketahuilah, bahwa iman hanyalah percaya, sedangkan mengucapkan adalah syarat berlakunya hukum-hukum Islam di dunia ini, di antaranya saling mewaris, pernikahan, dishalati, dituntut mengeluarkan zakat dan hukum lainnya. Ini pendapat mayoritas ulama tahqiq. Sebagian ulama berpendapat, bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat adalah syarat sahnya iman. Dan ada pendapat, bahwa iman adalah percaya dan mengucapkan syahadat. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan beberapa orang pengikut Al Asy’ari, seperti Hakim Abu Bakar Al Baqilani dan pendapat ini dipilih oleh As Sarakhsi. Pendapat lain, iman adalah mengucapkan syahadat, percaya dan menunaikan perintah-perintah Allah. Ini merupakan pendapat ulama hadits, sekte Mu’tazilah dan sekte Khawarij. Sasaran perselisihan pendapat di atas adalah kafir asli (bukan murtad) yang ingin masuk Islam dan mampu mengucapkan syahadat. Adapun anak kaum muslimin, mereka adalah mukmin dengan kesepakatan mereka. Sedangkan orang yang tidak mampu mengucap-kan syahadat, dia tidak diharuskan mengucapkan syahadat. Menurut seluruh pendapat di atas, iman adalah makhluk, sebab merupakan perbuatan hamba.

 

Allah tidak membutuhkan selain Dia, sebab Dia pasti bersifat mendengar, melihat dan berfirman. Seandainya Dia bersifat sebaliknya, maka Dia membutuhkan seseorang yang menyempurnakan-Nya. Dan bahwa selain Allah membutuhkan Allah, sebab Allah pasti bersifat Esa dan alam ini makhluk. Seandainya Allah tidak Esa, maka tuhan lebih dari satu dan makhluk merasa cukup dengan masing-masing dari kedua tuhan. Maka mereka tidak membutuhkan Allah dan hal tersebut adalah salah. Seandainya alam bukan makhluk, maka alam adalah gadim (tidak memiliki permulaan). Seandainya alam gadim, maka alam pasti ada. Seandainya alam pasti ada, maka alam berdiri sendiri dan tidak membutuhkan Allah, sedangkan hal tersebut salah.

 

Ketahuilah, bahwa dua puluh akidah (sifat) mendatang terbagi menjadi tiga macam. Akidah pertama diambil dari istighna’ (Allah tidak membutuhkan makhluk), yaitu sifat Allah yang tidak membutuhkan perbuatan, misalnya sifat sama’ (mendengar), bashar (melihat) dan kalam (berfirman). Akidah kedua diambil dari iftiqar (butuhnya makhluk terhadap Allah), yaitu sifat wahdaniyat (Esa). Akidah ketiga dapat diambil dari istighna’ dan dari iftiqar, yaitu sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah yang diambil dari istighna’ dapat diambil dari iftiqar, kecuali sifat sama’, bashar dan kalam dan sifat-sifat yang terkait dengan ketiganya. Dan sifat-sifat yang diambil dari iftiqar dapat diambil dari istighna’, kecuali wahdaniyat. Namun jika pengambilannya dari istighna’ lebih jelas, maka dikategorikan kepada istighna’.

 

Dan bahwa Allah bersifat dengan seluruh kesempurnaan yang jumlahnya tidak terbatas secara hakekat, baik kesempurnaan itu bersifat ada maupun bersifat tidak ada, sebagaimana dikatakan As Suhaimi. Kita harus mengetahui sifat yang dijelaskan dalilnya oleh Allah kepada kita secara rinci, baik dalil aqli (rasional) maupun naqli (dalil nash), di samping kita meyakini secara gelobal, bahwa Allah memiliki

 

kesempurnaan yang tidak terhingga.

 

Termasuk sifat yang wajib diketahui secara rinci adalah:

  1. Satu sifat nafsiyah, yaitu wujud (ada).

 

  1. Lima sifat salabiyah, yaitu gidam (dahulu), baga’ (kekal), mukhalafah lil hawadits (berbeda dengan makhluk) dan giyam binafsih (berdiri sendiri).

 

  1. Tujuh sifat ma’ani, yaitu qudrah (kuasa), iradah (berkehendak), ilmu (mengetahui), hayat (hidup), sama’ (mendengar), bashar (melihat) dan kalam (berfirman).

 

  1. Tujuh sifat ma’nawiyah, yaitu qadiran (yang kuasa), muridan (yang berkehendak), aliman (yang mengetahui), sami’an (yang mendengar), bashiran (yang melihat), mutakalliman (yang berfirman) dan hayyan (yang hidup).

 

Dan bahwa Allah suci dari segala kekurangan. Kekurangan bagi Allah mustahil, sebab sesuatu yang kurang itu membutuhkan seseorang yang menyempurnakannya dengan menjauhkan kekurangan darinya.

 

Dikisahkan, bahwa Asiyah suatu saat berkata kepada Fir’aun: “Saya ingin bermain denganmu dan siapa yang kalah, dia harus keluar dengan telanjang ke pintu istana.” Fir’aun setuju, kemudian Asiyah mengalah-kan raja kejam itu dan

 

Asiyah berkata: “Penuhilah janjimu dan keluarlah dengan telanjang.” Fir’aun berkata: “Maafkan aku dan kamu aku beri lemari dari mutiara.” Asiyah berkata: “Jika kamu tuhan, penuhilah janjimu, sebab memenuhi janji termasuk syarat tuhan.” Maka Fir’aun melepaskan pakaiannya dan keluar ke pintu istana dengan telanjang. Ketika para pelayan perempuan melihat Fir’aun, mereka kafir kepada raja itu dan beriman kepada Allah. Sebelumnya Asiyah telah berdakwah kepada mereka agar beriman kepada Allah, namun mereka menolak.

 

Dan bahwa Allah suci dari segala hal yang terbersit dalam hati. Apapun yang ada dalam khayalanmu, Allah bukanlah benda itu, baik benda itu terlihat dari alam atas dan alam bawah, baik benda itu pernah kita dengar, misalnya Arasy, surga, sungai surga, pepohonan surga, baik benda itu hanya khayalan saja seperti bendera dari yakut dan laut dari air raksa. Semua benda tersebut baru atau tidak ada, sedangkan Allah tidak demikian. Jika setan berkata kepadamu: “Jika Allah tidak di tempat anu dan di arah anu, lalu di mana Dia? Jika Allah tidak berbentuk demikian dan tidak bersifat demikian, lalu bagaimana Dia?” Jawablah, bahwa yang mengenal Allah hanya Allah sendiri.

 

Hendaknya orang yang normal akalnya tahu, bahwa segala sesuatu yang dibersitkan oleh setan dalam akalnya, itu termasuk alam, sedangkan Allah tidak termasuk alam. Hal itu bukan berarti Allah tidak ada, sebab kita tidak mampu tahu hakekat dzat Allah dan sifat-Nya, sebab sudah ada bukti bahwa Allah itu ada, yaitu tindakan Allah pada makhluk ini sebagaimana Dia kehendaki, yaitu membuat maupun meniadakan, menghidupkan maupun mematikan, melapangkan dan menyempitkan rezeki. Allah tidak membebani kita untuk mengetahui hakekat dzat-Nya dan sifatNya, sebab kita tidak akan mampu. Yang tahu hakekat dzat Allah dan sifat-Nya hanyalah Allah sendiri.

 

Ash Shiddiq berkata: “Tidak mampu tahu adalah tahu.” Maksudnya orang yang ilmunya lengkap mengenai apa yang wajib (pasti) bagi Allah, yang mustahil dan yang mungkin bagi Allah, lalu dia tahu bahwa hakekat dzat Allah terhalang dan bahwa akal pikiran tidak mampu untuk tahu hakekat dzat-Nya, dialah orang yang makrifat. Seorang ulama berkata dengan bahar thawil:

 

Ingat, tahu hakekat Allah adalah mustahil Tahu ketidak mampuan adalah kebenaran Sebagaimana dikatakan Ash Shiddiq pertama Dengan fikiran yang benar dan bersih Yang lain berkata dengan bahar basith:

 

Yang tahu Allah hanya Allah semata Agama ada dua: iman dan syirik Akal ada batas yang tidak bisa dilaluinya Tidak mampu untuk tahu adalah tahu Allah tidak mempunyai istri maupun anak, maka tidak seorangpun berjasa kepada-Nya dan Isa as bukanlah anak Allah.

 

Allah menciptakan Isa as. tanpa ayah. Allah pasti ada dan Dia tidak membutuhkan orang lain dan Dia sempurna dengan dzatNya. Allah tidak menyerupai apapun dalam dzat, sifat maupun perbuatan-Nya. Seorang ulama ditanya tentang Allah, lalu menjawab: “Jika yang kamu tanyakan adalah nama-nama Allah, maka firman Allah:

 

“Dan Allah memiliki asma’ul husna.” (OS. Al A’raf: 180) Jika yang kamu tanyakan sifat-sifat-Nya, maka firman Allah:

 

“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (OS. Al Ikhlas: 1-4)

 

Jika yang kamu tanyakan firman-Nya, maka firman Al| lah:

 

“Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu.” (OS. An Nahl: 40)

 

Jika yang kamu tanyakan sifat-Nya, maka firman Allah:

 

“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin: dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (OS. Al Hadid: 3)

 

Jika yang kamu tanyakan dzat-Nya, maka firman Allah:

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (OS. Asy Syura: 11)

 

Diriwayatkan, bahwa Nabi saw. bersabda:

 

“Berfikirlah kalian mengenai makhluk dan janganlah kalian berfikir mengenai Sang Pencipta.”

 

Makna ”  ” adalah aku tahu dengan pasti, meyakini dengan hati dan menjelaskan kepada orang lain, bahwa junjungan kita Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf yang berasal dari suku Ouraisy adalah hamba Allah dan rasul-Nya kepada seluruh makhluk. Karena hamba, maka Nabi Muhammad tunduk dan taat kepada Allah dan dialah utusan yang tiada tandingannya, sebab dia diutus kepada seluruh makhluk. Kulit Nabi putih bercampur kemerahan. Dengan demikian, Nabi Muhammad diutus secara nyata kepada orang yang hidup pada masanya sampai hari kiamat di dunia. Dan secara hukum beliau diutus kepada orang yang ada sebelumnya sampai beliau lahir. Nabi Muhammad juga diutus secara nyata di akhirat saat seluruh makhluk berada di bawah benderanya. Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul, sebagaimana diisyaratkan oleh ‘mim’ dari kata ” ” yang makhrajnya merupakan makhraj terakhir. .

 

Dan bahwa Nabi Muhammad benar dalam segala hal yang dia beritahukan, meskipun hal yang bisa terjadi, misalnya Nabi bersabda:

 

“Aku telah makan, Fulan datang pada hari anu.”

 

Nabi Muhammad mustahil dusta dalam hal tersebut, sebab beliau pasti ma’shum (dijaga dari dosa). Hal yang diberitakan Nabi saw. harus kita yakini, misalnya tanda-tanda kiamat, pertanyaan di dalam kubur, nikmat kubur, siksa kubur, padang Mahsyar, menimbang amal perbuatan, telaga, syafaat, surga, neraka, pahala dan siksa.

 

Semua orang harus mempercayai Nabi Muhammad saw. dengan hati dalam segala hal yang beliau bawa jika diketahui tanpa berpikir, yakni orang pandai dan orang awam sama-sama mengetahuinya, baik yang ada dalilnya atau tidak. Baik secara rinci, misalnya kitab suci yang ada empat, yaitu: Taurat, Injil, AlOur’an dan Zabur, para nabi yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang berjumlah dua puluh lima dan empat orang malaikat, yaitu, Jibril, Mikail, Israfil dan Izrail, atau gelobal, seperti kitab suci selain empat, nabi selain dua puluh lima dan malaikat selain empat.

 

Mereka juga harus mengikuti Nabi Muhammad saw. dalam perbuatan dan ucapan serta keputusan, selama perbuatan itu bukan merupakan watak, misalnya berdiri, duduk dan berjalan dan bukan merupakan prioritas khusus beliau, misalnya beristri merdeka lebih dari empat orang, berdiam diri di masjid dalam keadaan junub dan boleh menghadap maupun membelakangi kiblat saat buang air. Allah berfirman:

 

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.” (OS. Al A’raf: 158)

 

Yakni ikutilah dia pada apa yang dia perintahkan dan dia larang agar kalian benar dalam mengikutinya. Umi adalah orang yang tidak bisa menulis dan kalimat-kalimat Allah adalah Al-Qur’an atau seluruh kitab suci.

 

Haram bagi mereka mendustakan Nabi Muhammad saw. dan melanggar perintah atau larangannya. Barangsiapa mendustakan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., dia menganiaya dirinya sendiri dan kafir, tidak beriman dan dia menjadi musuh Allah. Adapun mukmin yang tetap bertauhid, dia tidak akan menjadi musuh Allah, meskipun melakukan seluruh dosa. Berdusta kepada Nabi Muhammad saw. hukumnya haram dan tidak membuat kafir. Barangsiapa yang melanggar perintah atau larangan Nabi Muhammad saw., dia durhaka dan tidak taat kepada Allah serta Rasulullah dan merugi. Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk mengikuti Nabi Muhammad saw. secara lahir batin dan membuat kita berpegangan dengan sunnahnya, menjadikan kita termasuk orang yang menghidupkan syariatnya. Semoga di dunia ini kita dapat berziarah kepada beliau dan di akhirat memperoleh syafaat beliau. Semoga Allah mematikan kita di atas agamanya, memasukkan kita ke dalam kelompoknya, demikian juga orang tua kita, anak kita, saudara kita dan orang terkasih kita serta seluruh kaum muslimin, baik yang meninggal dunia maupun yang masih hidup. Amin (Ya Allah kabulkanlah doa kami).

 

 

 

 Setelah mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan

 

Allah dan Rasulullah, setiap muslim yang baligh dan akil wajib untuk mempelajari syarat shalat, rukun shalat dan hal-hal yang membatalkan shalat. Syarat adalah sesuatu yang tidak termasuk hakekat shalat. Rukun atau fardlu adalah sesuatu yang termasuk dalam hakekat sesuatu.

 

Syarat shalat ada dua belas:

 

  1. Pakaian, badan dan tempat harus suci dari najis yang tidak dimaafkan. Termasuk pakaian adalah segala sesuatu yang dibawa oleh orang yang shalat dan hal yang menempel pada benda tadi. Termasuk badan adalah bagian dalam mulut, hidung, mata dan telinga. Najis adalah sesuatu yang menjijikkan dan menghalangi sahnya shalat jika tidak ada keringanan. Termasuk najis adalah sebagai berikut:

 

  1. Arak, meskipun dibuat dari anggur kering, kurma kering atau terbuat dari semacam beras yang dimasak atau roti atau lainnya, lalu dibiarkan selama tiga hari atau lebih atau kurang dengan cara khusus, lalu baunya berubah. Jika memabukkan, maka najis, sebagaimana dikutip Husain Al Mahalli dari Ar Ramli.
  2. Kencing, kecuali kencing nabi. Kencing tetap najis, meskipun berasal dari burung yang halal dimakan, ikan, belalang dan bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir. Kerikil yang keluar bersama atau sesudah kencing, dianggap najis jika orang yang dapat dipercaya mengatakan, bahwa kerikil itu berasal dari benda najis. Jika tidak demikian, maka kerikil itu mutanajis (terkena najis) dan bisa suci dengan dibasuh.
  3. Tinja, baik dari manusia maupun dari hewan, meskipun tinja itu bentuknya seperti makanan.

 

Penjelasan:

 

Lemak yang ada di dalam usus kerbau hukumnya suci jika tidak bercampur dengan tahi, meskipun usus adalah tempat mengalirnya tahi, sebab kami tidak yakin bahwa lemak itu tahi dan kami tidak menganggapnya bercampur dengan tahi saat mengalirnya. Kami menghukumi dengan hal yang jelas, bahwa benda itu bukanlah tahi dan berbentuk lemak.

 

Namun sebagian ulama mengatakan, jika benda itu bisa digunakan untuk menghidupkan lampu, maka suci dan halal karena jelas lemak. Jika tidak demikian, maka najis dan termasuk kotoran, sebagaimana dikatakan Guru kami, Ali Ar Rahbini.

 

  1. Darah, termasuk darah yang tersisa pada daging dan tulang. Namun darah ini ma’fu (dimaafkan) jika tidak bercampur dengan air. Kecuali darah telor yang tidak busuk, darah yang tidak mengalir seperti limpa, jantung, segumpal darah, segumpal daging, misik yang padat. Demikian juga sperma dan susu yang warnanya seperti darah.
  2. Nanah, sebab nanah adalah darah yang berubah.
  3. Muntahan, jika keluar dari perut meskipun belum berubah dan belum lama berada di dalamnya. Karena itu, benda hitam yang keluar dari beberapa hewan laut seperti tinta yang bisa digunakan untuk menulis adalah najis, sebab itu adalah kotoran yang keluar dari perut.

 

Lain halnya jika muntahan itu keluar dari kepala atau dada, seperti liur yang keluar dari mulut orang tidur, selama tidak diyakini bahwa liur itu keluar dari perut.

 

Sarang burung yang dikumpulkannya dari buih air laut adalah suci, sebab keluar dari mulut, bukan dari tembolok.

  1. Anjing, meskipun terlatih.
  2. Babi hutan.
  3. Anak salah satu dari keduanya. Yang dimaksudkan adalah anak anjing dan babi itu sendiri, bukan anak hewan yang disusuinya. Baik anjing kawin dengan babi hutan, babi hutan kawin dengan anjing, atau keduanya kawin dengan hewan lain.
  4. Bangkai, meskipun lalat dan semut hitam, rambutnya, telapak kakinya, kukunya, tanduknya, kulitnya meskipun diambil saat hewan masih hidup dan tulangnya, termasuk tulang lunak.

 

Penjelasan:

 

Benda yang ada di rumah tawon ada beberapa tingkatan. Pertama kali berupa telur tawon, lalu berubah menjadi ulat yang hidup, lalu mati, lalu berubah menjadi tawon yang bisa terbang. Benda pertama halal dan benda selanjutnya haram, sebagaimana ditegaskan sebagian ulama.

 

Ada beberapa bangkai yang suci dan merupakan pengecualian dari najisnya bangkai:

 

  1. Manusia, meskipun kafir.
  2. Ikan, meskipun mengapung.
  3. Belalang.
  4. Hewan yang halal dimakan dan disembelih. Termasuk kategori hewan ini adalah janin hewan yang disembelih, hewan buruan yang mati karena dicekik dan hewan yang akan disembelih berontak lalu mati dipanah, sebab cara menyembelih ketiganya adalah hal-hal tersebut.

 

Bagian yang terpisah dari hewan saat hewan itu masih hidup, hukum suci dan najisnya sama dengan bangkainya. Karena itu, bagian dari manusia, ikan dan belalang adalah suci, sedangkan bagian dari selain ketiganya adalah najis, seperti bekas kulit ular. Lain halnya rumah laba-laba, sebab rumah itu berasal dari liurnya. Demikian juga bulu hewan yang halal dimakan atau tidak diketahui apakah bulu itu dari hewan yang hidup atau dari hewan yang halal dimakan atau tidak, sebagaimana sayapnya. Rumah laba-laba, bulu hewan tersebut dan sayapnya adalah suci. Jika dari hewan yang halal dimakan dagingnya, ada bagian yang berambut terpisah, maka keduanya najis.

 

Apabila najis-najis tersebut bertemu dengan pakaian seseorang atau badannya atau tempat shalatnya atau benda padat lainnya, sedangkan najis tersebut atau benda yang ditemuinya basah, maka ada dua kemungkinan. Pertama, najis itu ainiyah, yakni memiliki rasa yang bisa dirasakan dengan lidah atau memiliki warna yang dilihat dengan mata atau bau yang dirasakan dengan lidah, maka najis itu harus dicuci, sampai hilang. Najis tidak bisa disucikan dengan api atau angin, namun dengan air. Jika harus digunting atau digaruk atau harus menggunakan sabun, maka harus dilakukan. Jika tidak dilakukan, maka tetap najis. Apabila warna najis saja yang sulit hilang, seperti warna darah haid atau baunya saja yang sulit hilang, seperti bau arak lama dan sebagian tinja, maka tidak apa-apa karena darurat dan tempat najis itu suci secara hakekat. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara najis mughallazhah (najis anjing dan sejenisnya) dan najis lainnya. Jika yang masih ada bau dan warna najis atau rasa najis saja, maka bermasalah, sebab masih adanya hal tersebut menunjukkan masih adanya dzatnya najis. Terkecuali jika tidak mungkin dihilangkan selain dengan dipotong, maka dimaafkan. Boleh mencicipi tempatnya najis jika diperkirakan rasanya telah hilang setelah dibasuh, sebagaimana jika belum jelas mana yang najis dan mana yang suci. Maka diperbolehkan mencicipi agar jelas mana yang suci. Jika najisnya nyata, maka haram mencicipinya.

 

Jika yang dicuci najis anjing dan babi hitan, maka setelah hilangnya dzatnya najis, harus ditambah enam kali agar lengkap tujuh basuhan dan salah satunya harus dicampur dengan debu suci yang mengeruhkan air. Dengan perantara air, debu dapat mencapai seluruh bagian benda yang najis. Tidak ada bedanya antara debu yang basah dan debu lainnya. Debu dari pasir boleh digunakan untuk mencampuri air. Tidak sah menggunakan debu yang najis dan debu yang musta’mal (telah digunakan untuk mensucikan najis). Tidak cukup menaburkan debu ke tempat yang terkena najis dan tidak cukup menggaruknya tanpa air. Air harus digunakan, baik air dicampur dengan debu sebelum diletakkan pada tempat yang najis atau sesudahnya.

 

Jika najisnya hukmiyah, yakni tidak memiliki rasa, warna dan bau, misalnya kencing yang kering, maka tetap dicuci tujuh kali apabila mughallazhah. Hal ini taabbudi (tidak masuk akal). Salah satu dari tujuh tersebut harus dicampur dengan debu yang suci, namun ini berlaku untuk selain tanah yang berdebu. Untuk tanah yang berdebu, tidak perlu dicampur dengan debu. Tidak ada bedanya antara yang musta’mal dan yang tidak. Najis hukmiyah yang tidak mughallazhah, cukup dibasuh sekali, baik air mengalir dengan sendirinya pada tempat najis maupun dialirkan. Untuk selain najis mughallazhah, disunatkan menambah basuhan kedua dan ketiga setelah hilangnya sifatsifat najis.

 

Apabila air kurang dari dua kullah digunakan untuk mensucikan najis, maka disyaratkan air itu dituangkan pada beda yang terkena najis dan tidak adanya najis pada air tersebut, meskipun najis ma’fu. Bila najis mendatangi air, maka air itu menjadi mutanajis karena bertemu dengan najis. Bila seseorang membersihkan bejana, maka dia harus menggerakkan air pada tepi bejana itu setelah hilangnya dzatnya najis. Bila dzatnya najis belum hilang, maka air menjadi mutanajis karena air bersama dengan najis di dalam bejana. Sedangkan air yang banyak (lebih dari dua kullah), tidak ada bedanya antara dituangkan pada tempat najis dan didatangi benda yang najis. Bila benda yang terkena najis dimasukkan pada air yang sedikit, maka benda itu tidak suci dan najislah air serta benda yang bertemu dengannya. Air itu tidak bisa mensucikan benda lain karena ia lemah dan berubah. Sebelum pakaian dimasukkan ke dalam bejana, harus diperas dahulu agar kencing yang ada padanya hilang, sampai tidak ada kencing yang bisa menetes. Lain halnya jika air dari kendi misalnya dituangkan pada pakaian tersebut, maka tidak disyaratkan diperas dahulu sebelum air dituangkan, sebagaimana tidak disyaratkan memerasnya setelah dicuci.

 

Seseorang harus istibra’ (membebaskan diri) dari kencing saat selesai kencing agar tidak ada kencing yang kembali keluar, sebab bisa menajiskannya, sampai dia mengira bahwa kencing tidak kembali keluar. Istibra’ adakalanya dengan berjalan paling jauh tuju puluh langkah atau dengan berdehem atau dengan mengusap kemaluan bagian atas atau dengan mengusap perut atau mengusap beberapa otot. Hal itu tergantung kebiasaan orang yang bersangkutan. Wajibnya istibra’ adalah ketika mengira kencing kembali keluar seandainya tidak istibra’. Jika tidak mengira kencing kembali keluar, maka istibra’ tidak wajib. Istibra’ dari berak hukumnya sama. Janganlah terlalu dalam beristibra’, sebab bisa mendatangkan waswas dan membahayakan.

 

Setelah melakukan istibra’, wajib segera cebok bila ingin melakukan shalat misalnya atau karena sempitnya waktu shalat. Saat cebok tinja, diharuskan mengejankan dubur, sehingga kotoran yang ada di sela-selanya terbasuh. Dubur harus digosok, sampai kira-kira rasa, bau dan warna najis hilang. Gunakan jari tengah untuk mem-bersihkan dubur dan gunakan air secukupnya, sampai kira-kira najis telah hilang. Setelah membasuh dubur, basuhlah tangan dan percikilah kemaluan serta celana dengan air setelah cebok untuk menolak was-was.

 

Apabila najis-najis tersebut bertemu dengan air dan air itu murninya ada dua kullah meskipun musta’mal, maka air tidak najis, kecuali jika najis itu merubah salah satu dari ketiga sifatnya: rasanya atau warnanya atau baunya. Maka air itu najis, meskipun berubahnya hanya sedikit atau berubahnya hanya kira-kira, yaitu air kejatuhan najis yang sifatnya sama dengan air, misalnya kencing yang hilang baunya, rasanya dan warnanya. Maka air itu diperkirakan sebagai benda yang sangat berbeda dengan air, misalnya rasanya cukak, hitamnya tinta dan bau misik. Jika najis itu merubah air meskipun sedikit saja, maka air najis. Dua kullah dengan ukuran bejana adalah empat tempayan, dengan timbangan Betawi adalah 322 dan dengan Real Betawi adalah 8062 Real. Semua itu hanya perkiraan untuk memudahkan orang awam. (Untuk ukuran modern, dua kullah adalah air di dalam kullah 60 cm x 60 cm x 60cm)

 

Air yang berubah tersebut menjadi suci jika perubahannya sirna sendiri karena lamanya waktu atau karena air yang ditambahkan meskipun mutanajis atau karena air yang keluar dari mata air atau karena hujan atau karena banjir atau karena berkurang dan sisanya masih ada dua kullah. Lain halnya jika rasanya berubah karena cukak, warnanya berubah karena za’faran dan debu, baunya berubah karena misik misalnya. Maka air tersebut masih najis karena ada kemungkinan bau atau warna atau rasanya najis tertutup oleh cukak atau za’faran atau debu atau misik tadi. Apabila air kurang dari dua kullah, maka air najis karena bertemu dengan najis yang tidak ma’fu, meskipun tidak berubah. Banyak ulama madzhab Syafi’i memilih pendapat Imam Malik, bahwa air tidak najis secara mutlak, kecuali karena berubah. Air tersebut suci karena mencapai dua kullah meskipun ditambah dengan air mutanajis atau air yang berubah atau air musta’mal jika tidak berubah.

 

Penjelasan:

 

Air sedikit yang mendatangi dapat menghilangkan hadas dan najis dan tidak bisa menghilangkan keduanya jika didatangi. Itulah sebabnya ulama berbeda pendapat mengenai air musta’mal yang banyak pada akhirnya, apakah hukum musta’malnya hilang atau tidak? Dan mereka sepakat bahwa air musta’mal yang banyak pada permulaan, hukum musta’malnya hilang.

 

Apabila najis bertemu dengan benda cair selain air, maka benda itu najis, baik benda itu banyak atau sedikit, baik berubah atau tidak berubah, sebab tidak sulit menjaganya. Lain halnya dengan air. Benda cair tersebut tidak akan bisa suci, baik dengan dicuci maupun lainnya.

 

Najis ada empat macam:

 

Pertama, najis yang ma’fu pada air dan tidak ma’fu pada pakaian, misalnya anus burung dan bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir.

 

Kedua, najis yang ma’fu pada pakaian dan tidak ma’fu pada air, misalnya darah sedikit dari hewan yang tidak mughallazhah, tidak bercampur dengan najis lain dan bukan hasil perbuatan seseorang. Contoh lain adalah darah banyak dari seseorang jika tidak berpindah dari tempatnya, tidak merupakan hasil perbuatan orang dan tidak bercampur dengan najis lain. Dan bekas cebok.

 

Ketiga, najis yang ma’fu secara mutlak, yaitu najis yang tidak terlihat oleh mata biasa, misalnya setitik air kencing dan najis yang menempel pada kaki lalat.

 

Keempat, najis yang tidak ma’fu secara mutlak, misalnya kencing, tinja dan sejenisnya.

 

Syarat kedua dari dua belas syarat shalat adalah thaharah, yakni mensucikan empat buah anggota badan serta seluruh badan dari hadas kecil dan hadas besar dengan wudlu dan mandi atau dengan tayamum sebagai pengganti keduanya. Jika seseorang shalat lupa akan hadas, maka dia diberi pahala atas bacaan Al-Qur’an asal dia tidak junub. Dia juga diberi pahala atas dzikir-dzikir secara mutlak dan atas niatnya, bukan atas perbuatannya.

 

Ketahuilah, bahwa thaharah ada dua, yaitu ainiyah dan hukmiyah. Ainiyah adalah thaharah yang tidak melewati hal yang menyebabkannya, misalnya mandi junub. Sedangkan thaharah hukmiyah adalah thaharah yang melewati hal yang menyebabkannya, misalnya wudlu dan mandi junub.

 

Bersuci itu ada empat, yaitu: 1.Wudlu, 2. Mandi, 3. Menghilangkan najis, dan 4. Tayamum.

 

Sedangkan alat bersuci itu ada empat, yaitu: 1. Air, 2. Debu, 3. Tanah untuk cebok, dan 4. Benda untuk menyamak.

 

 

 

Fardlu atau rukun wudlu ada enam, baik bagi orang yang normal maupun orang yang tidak normal.

 

Pertama, niat thaharah untuk shalat atau niat menghilangkan hadas, meskipun tidak ditambah kata ‘kecil’. Atau niat hal sejenis, misalnya niat thaharah dari hadas, ingin sahnya shalat dan niat fardlu wudlu. Niat dilakukan dalam hati, sebab tempat niat adalah hati. Sedangkan ucapan tidak diperhitungkan sama sekali. Niat dilakukan bersamaan dengan bagian dari wajah yang pertama kali dibasuh, sebab waktu niat adalah hal tersebut.

 

Kedua, membasuh bagian luar seluruh wajah, meskipun dilakukan oleh orang lain tanpa seijin orang yang berwudlu atau dia jatuh ke dalam sungai misalnya jika dia ingat niat. Anggota badan lainnya sama dengan wajah. Lain halnya jika basuhan itu terjadi karena perbuatannya, misalnya dia menengadahkan diri ke hujan dan berjalan di air. Maka tidak disyaratkan dia ingat niat.

 

Yang dibasuh adalah mulai bagian atas wajah sampai akhir janggut dan mulai telinga ke telinga. Seluruh bulu wajah, baik bagian luar maupun bagian dalamnya, harus dibasuh. Yang dimaksud bagian dalam bulu wajah adalah kulit dan sela-selanya. Namun bagian dalam jenggot lelaki  dan cambangnya yang tebal, tidak harus dibasuh Yang wajib masih dibasuh hanya bagian luar keduanya.

 

Ketiga, membasuh dua tangan, yaitu telapak tangan, hasta dan siku atau tempat siku jika tidak punya siku menurut kebanyakan orang. Wajib juga membasuh benda yang ada di anggota badan yang harus dibasuh dari tangan, yaitu kulit yang menjuntai, bisul, kuku meskipun panjang, rambut meskipun tebal dan panjang dan jari tambahan meskipun tidak sejajar dengan jari asli.

 

Keempat, mengusap kulit kepala, meskipun tertutup oleh rambut atau kulit itu keluar dari batas kepala jika dipanjangkan. Atau mengusap rambut kepala jika rambut yang diusap tidak keluar dari batas kepala jika dipanjangkan. Rambut ubun-ubun dipanjangkan ke kepala, rambut jambul dipanjangkan ke pundak, rambut bagian belakang kepala dipanjangkan ke tengkuk. Meskipun yang diusap sebagian dari satu rambut, tetap sah. Hal ini terjadi pada orang yang rambutnya dibasahi dengan inai misalnya dan yang tersisa hanya satu buah rambut, lalu dia menjalankan tangannya pada kepalanya yang dibasahi, lalu rambut tersebut terusap.

 

Kelima, membasuh dua kaki sampai dua mata kaki. Jika tidak ada mata kaki, maka diperhitungkan tempatnya dari orang yang normal. Ulama fikih berbeda pendapat mengenai mata kaki yang berada di selain tempat normalnya. Ada pendapat, bahwa tempat tersebut tetap diperhitungkan dan ada pula yang berpendapat, bahwa yang diperhitungkan adalah tempat normalnya. Demikian juga mengenai siku dan ujung dzakar.

 

Keenam, tertib sebagaimana kami sebutkan, yaitu mendahulukan wajah, lalu tangan, lalu kepala, lalu kaki.

 

Dalam pembasuhan wajah, tangan dan kaki, disyaratkan membasuh sesuatu di atas batasnya dari segala penjuru, misalnya sebagian dari leher yang bersambung dengan wajah, yaitu di bawah telinga, sebagian anggota badan yang bersambung dengan wajah dan segala sesuatu yang bersambung dengan anggota badan yang diwudlui.

 

Sebab sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, adalah wajib. Jika yang diikuti gugur, maka yang ikut juga gugur. Air harus mengalir sendiri ke seluruh bagian dari tangan, wajah dan kepala saat dibasuhkan. Tidak sah jika air diusapkan tanpa mengalir, sebab hal itu tidak disebut basuhan.

 

 

Hal-hal yang membatalkan wudlu adalah sebagai berikut:

 

Pertama, segala sesuatu yang keluar dengan yakin dari gubul (kemaluan depan) dan dubur (kemaluan belakang) ke tempat yang harus dibasuh saat cebok, baik berupa benda maupun angin, baik suci maupun najis, baik kering maupun basah, baik yang lazim seperti kencing maupun yang langka seperti darah. Meskipun angin keluar dari gubul, tetap membatalkan wudlu. Terkecuali jika yang keluar adalah sperma orang yang berwudlu yang keluar pertama kali, maka tidak membatalkan wudlu, sebab sperma mewajibkan mandi.

 

Kedua, menyentuh gubul dan dubur dengan bagian dalam telapak tangan atau bagian dalam jari, baik sengaja maupun lupa, baik milik sendiri maupun milik orang lain, meskipun milik anak yang masih kecil, baik dua kemaluan itu masih menempel maupun sudah lepas selama masih disebut kemaluan. Jika kemaluan yang lepas sudah ditumbuk sehingga tidak lagi disebut kemaluan lagi, maka tidak membatalkan wudlu. Termasuk kategori kemaluan adalah kelentit dan kulit dzakar anak yang belum dikhitan saat keduanya masih menempel. Jika keduanya dipotong, maka tidak membatalkan wudlu. Yang dimaksudkan dubur adalah anus yang tampak, di antaranya sesuatu yang tampak saat mengejan yang diperintahkan saat cebok. Bagian anus yang dalam tidak membatalkan wudlu karena tertutup. Yang dimaksudkan gubul wanita adalah kelentit dan tempat keluarnya kencing.

 

Ketiga, bertemunya kulit lelaki dan wanita dengan yakin, baik sengaja atau lupa, meskipun salah seorang dari keduanya dipaksa atau jin atau mati, namun wudlu mayit tidak batal. Dengan syarat kedua orang tersebut telah mencapai usia menarik lawan jenis menurut orang-orang yang normal, meskipun orang pikun misalnya tidak tertarik. Dan dengan syarat tidak ada hubungan muhrim antara keduanya secara yakin, baik nasab, susuan maupun pernikahan. Muhrim ada dua puluh dua orang. Enam orang adalah ibu, yaitu: 1. Ibu sendiri, 2. Ibu susuan, 3. Mertua wanita, 4.Ibu sahaya wanita yang disenggama, 5. Ibu tiri yang telah disenggama oleh ayah, dan 6. Sahaya wanita yang disenggama ayah.

 

Enam orang anak wanita, yaitu: 1. Anak wanita sendiri, 2. Anak wanita susuan, 3. Anak wanita istri bila ibunya telah disenggama, 4. Anak wanita sahaya wanita yang disenggama, 5. Wanita yang disenggama oleh anak lelaki dengan pernikahan, dan 6. Wanita yang disenggama oleh anak lelaki dengan status sahaya.

 

Dua orang saudari, yaitu: 1. Saudari sendiri, dan 2. Saudari susuan.

 

Dua orang saudari ibu, yaitu: 1. Saudari ibu sendiri, dan 2. Saudari ibu susuan.

 

Dua orang saudari ayah, yaitu: 1. Saudari ayah sendiri, dan 2. Saudari ayah susuan.

 

Empat orang anak wanita saudara, yaitu: 1. Anak wanita saudara lelaki sendiri, 2. Anak wanita saudara lelaki susuan, 3. Anak wanita saudari sendiri, dan 4. Anak wanita saudari susuan.

 

Pertemuan kulit yang membatalkan wudlu adalah pertemuan kulit yang tanpa tabir.

 

Kesimpulannya pertemuan kulit tersebut membatalkan wudlu dengan enam syarat:

  1. Dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelaminnya.

 

  1. Terjadi pada kulit, bukan pada rambut, kuku dan gigi.

 

  1. Masing-masing dari kedua pihak mencapai batas menarik lawan jenis. Jika salah satu dari keduanya tidak mencapai batas tersebut, maka tidak batal wudlu keduanya.

 

  1. Secara yakin tidak ada hubungan muhrim antara keduanya,

 

  1. Tidak ada tabir antara keduanya.

 

  1. Bagian badan salah satu dari keduanya tidak terpisah dan tidak ada setengah.

 

Keempat, hilangnya akal, yakni kesadaran dengan cara apapun. Karena itu, batallah wudlunya orang yang dirubah Allah menjadi keledai misalnya, orang yang sakit demam tinggi, orang yang disambar petir, orang yang ketakutan, orang yang disihir dan orang yang sakit akal, sebab kesadaran mereka hilang.

 

Terkecuali orang yang tidur dan menetapkan pantatnya, sebab dengan demikian dia aman dari keluarnya sesuatu dari duburnya. Tidak ada pandangan terhadap mungkinnya keluar angin dari gubulnya, sebab hal itu tidak pasti. Orang yang sangat kurus atau sangat gemuk tidak bisa menetapkan pantatnya, yaitu orang yang antara pantat dan tempat duduknya masih ada rongga. Orang yang tidur terlentang tidak bisa menetapkan pantatnya, meskipun dia menempelkan pantatnya pada tempat di bawahnya.

 

 

 

Mandi wajib dilakukan lelaki dan wanita yang mengeluarkan sperma pertama kali dari kemaluan yang normal, meskipun keluarnya karena penyakit atau setelah mandi. Yakni sperma keluar ke bagian luar dari ujung dzakar dan ke bagian yang tampak dari kemaluan gadis dan ke tempat yang harus dibasuh ketika cebok dari kemaluan janda, yaitu sesuatu yang tampak dari kemaluan janda saat dia duduk. Namun anak kecil dihukumi akil baligh jika spermanya keluar ke batang kemaluannya meskipun tidak keluar ke bagian luarnya, sebagaimana jika dia merasa spermanya akan keluar, lalu dia menahannya. Dia tidak wajib mandi karena hal itu. Dalam menghukumi akil baligh, sperma harus keluar dengan nyata. Karena itu, jika hamil istri anak lelaki kecil yang mencapai usia sembilan tahun namun belum nyata dia keluar sperma, anak yang dilahirkan dianggap anak milik anak lelaki tersebut dan dia tidak dianggap akil baligh, sebab nasab anak bisa , dipertemukan dengan dasar kemungkinan, sedangkan akil baligh harus pasti.

 

Mandi harus dilakukan apabila sperma keluar ke bagian ” luar badan dalam keadaan terjaga dengan onani atau bercumbu rayu atau melihat atau melamun atau lainnya. Atau dalam | keadaan tidur karena bermimpi meskipun duduk, meskipun | yang keluar hanya setetes dan warnanya seperti darah. Mandi  wajib hukumnya apabila ujung dzakar milik lelaki yang jelas kelelakiannya atau kira-kiranya bagi lelaki yang tidak memiliki ( ujung dzakar, masuk ke dalam dubur meski milik jin wanita  atau wanita mati atau waria atau hewan misalnya dubur ikan atau ke dalam gubul meskipun belum dikhitan, meskipun tidak ada sperma yang keluar dan tidak terjadi ereksi pada penis. Sebab Nabi saw. bersabda:

 

“Apabila dua khitan telah bertemu, maka sungguh wajib mandi.”

 

Yakni apabila dua tempat khitan bersejajar, bukan bersentuhan, sebab tempat khitan wanita di atas tempat khitan lelaki. Keduanya hanya sejajar jika ujung dzakar dimasukkan keseluruhan, tidak hanya sebagian saja.

 

Wanita berkewajiban mandi apabila haid atau nifasnya berhenti, sedangkan dia ingin shalat misalnya. Dengan demikian, yang mewajibkan mandi pada hal ini ada dua, yaitu berhentinya darah dan ingin shalat misalnya. Ulama menuturkan bahwa nifas mewajibkan mandi, padahal nifas terjadi setelah bersalin dan bersalin juga mewajibkan mandi, sebab sah menyandarkan niat mandi kepada nifas. Di samping itu, kadang yang wajib hanya mandi bersalin dan mandi nifas tidak wajib, misalnya seorang wanita melahirkan anak yang kering dan dia mandi, lalu dia mengeluarkan darah nifas sebelum lima belas hari berlalu. Maka dia harus mandi karena nifas saja dan mandi dahulu tidak mencukupinya.

 

Atau wanita melahirkan meskipun yang dilahirkan hanya segumpal darah atau segumpal daging, meskipun tidak ada basah-basah, sebab keduanya berasal dari sperma dan pasti ada basah-basah meski samar. Boleh menyenggama istri setelah melahirkan jika tidak ada basah-basah, sebab kelahiran hanyalah sifat junub yang tidak menghalangi senggama. Jika kelahiran disertai basah-basah, maka istri tidak boleh disenggama, kecuali setelah mandi.

 

 

Fardlu atau rukun mandi bagi orang hidup, baik mandi wajib maupun sunat, itu ada dua:

 

Pertama, niat bersuci karena shalat atau menghilangkan hadas besar. Jika hanya berniat menghilangkan hadas saja, maka sudah cukup, namun tidak sah jika hanya berniat mandi. Atau berniat hal seperti kedua hal tadi, misalnya niat mandi untuk shalat dan niat menghilangkan junub meskipun tidak menentukan penyebabnya. Niat mandi, sebagaimana niat wudlu, dilakukan dalam hati dan disertakan dengan bagian dari badan yang pertama kali dibasuh, baik membasuhnya wajib atau sunat, seperti bagian dalam mulut dan hidung. Jika niat disertakan dengan anggota badan yang harus dibasuh, maka sah, meskipun termasuk bagian bawah badan saat cebok, sebab seluruh badan sama dengan satu anggota badan, sehingga tidak ada wajib tertib. Jika ada bagian dari badan yang dibasuh sebelum niat, maka tidak sah dan harus dibasuh lagi setelah niat.

 

Kedua, meratakan air ke seluruh bagian luar badan, termasuk kuku dan yang di bawahnya, rambut luar dan dalam. . Rambut yang tebal harus dibasuh bagian dalamnya, meskipun jenggot yang tebal. Jika masih tersisa satu rambut yang tidak terkena oleh air, maka mandi tidak sah. Terkecuali rambut yang tumbuh di dalam mata dan hidung, maka tidak harus dibasuh, meskipun panjang. Lubang telinga yang tampak oleh orang yang melihat harus dibasuh, baik milik lelaki maupun wanita. Bagian yang tampak dari dubur saat berak dan benda yang tampak dari kemaluan wanita saat duduk berak atau kencing, juga harus dibasuh. Demikian juga kulit dzakar lelaki yang belum dikhitan dan kotoran yang ada dibawahnya. Air harus mengalir dengan sendirinya ke benda-benda tersebut, sebah seluruh badan bersifat junub, di samping tidak sulitnya hal itu karena mandi tidak dilakukan setiap saat.

 

Orang yang mandi dengan air kendi sebaiknya mengerti daqiqah (masalah yang lembut), yaitu jika dia mensucikan tempat tinja dengan air, dia sebaiknya membasuh disertai niat menghilangkan junub. Jika dia lupa niat tersebut setelah cebok, maka mandinya batal. Jika dia tidak lupa, maka dia perlu menyentuh kemaluan, sehingga wudlunya batal atau dia perlu membalut tangannya dengan kain. Di sini ada dagigah yang lain, yaitu jika dia berniat sebagaimana tersebut di atas dan dia menyentuh kemaluan setelah atau bersamaan dengan niat, lalu junub tangannya hilang, maka tangannya hadas kecil. Maka dia harus membasuhnya setelah menghilangnya hadas wajah dengan niat menghilangkan hadas kecil. Itu jika dia tidak berniat tempat najis saja. Jika dia berniat tempat hadas saja, maka dia tidak membutuhkan niat menghilangkan hadas kecil dari tangan. Hal di atas disebut dagigah dan dagigatud dagigah. Dagigah adalah niat saat membasuh tempat cebok, sedangkan dagigatud dagigah adalah masih adanya hadas kecil pada telapak tangan.

 

 

 

Syarat shalat ketiga adalah masuknya waktu secara hakekat. Ketahuilah, bahwa segala ibadah yang tergantung pada niat, tidak sah dilakukan kecuali setelah tahu waktunya tidak masuk, meskipun perkiraan dengan ijtihad. Jika dilakukan begitu saja, maka tidak sah, meskipun sebenarnya waktunya telah masuk. Jika ibadah itu tidak tergantung pada niat, seperti adzan dan khutbah, maka sah dilakukan jika waktunya telah masuk.

 

Waktu bagi shalat Zhuhur adalah tergelincirnya matahari dari tengah langit menurut hal yang tampak bagi kita, bukan pada hakekatnya. Tergelincirnya dapat diketahui dengan bertambahnya bayangan atas bayangan istiwa’ jika ada. Jika tidak ada, maka dengan adanya bayangan. Shalat disebut Zhuhur, sebab shalat itu merupakan shalat yang pertama kali dilakukan oleh malaikat Jibril as. bersama Nabi Muhammad saw. di Makah sebanyak dua kali dalam dua hari di dekat pintu Ka’bah dekat galian, lalu dekat Hijir Ismail. Di samping.itu, karena dilakukan pada saat panas. 2

 

Waktu Ashar adalah bayangan segala sesuatu sama dengan bendanya ditambah bayangan istiwa’ jika ada. Shalat disebut Ashar karena saat itu cahaya matahari berkurang bahkan habis sama sekali. Diserupakan dengan berkurangnya air basuhan dari pakaian karena diperas sampai habis.

 

Waktu Maghrib adalah terbenamnya seluruh bundaran matahari, meskipun cahayanya masih ada. Shalat disebut Maghrib, sebab dilakukan setelah terbenamnya matahari.

 

Waktu Isya’ adalah terbenamnya mega merah. Shalat disebut Isya’, sebab dilakukan pada saat Isya’, yaitu permulaan gelap. Disunatkan mengakhirkan shalat Isya’ sampai terbenamnya mega putih dan mega kuning, sebab ada ulama yang mewajibkannya. Jika di suatu daerah tidak ada mega atau mega tidak terbenam sama sekali, maka waktu Isya’ adalah terbenamnya mega daerah terdekat jika waktu Maghrib kedua daerah sama.

 

Waktu shalat Shubuh adalah terbitnya fajar shadig. Fajar shadig adalah cahaya putih matahari saat mendekati ufuk timur dan cahaya itu membentang dari selatan ke utara.

 

Kelima shalat hanya dimiliki oleh Nabi kita Muhammad saw. Mengenai waktu shalat lima waktu dan jumlah rakaatnya, sebagian ulama yang bijak berkata: “Masing-masing shalat memiliki waktu khusus dan jumlah rakaat khusus, sebab masing-masing shalat dimiliki oleh nabi yang berbeda. Yang pertama kali melakukan shalat Shubuh adalah Nabi Adam as. saat keluar dari surga. Nabi Adam as. melihat kegelapan, lalu takut dengan hebat. Ketika fajar menyingsing, Nabi Adam as. melakukan shalat dua rakaat, satu rakaat karena syukur kepada Allah atas selamatnya dari kegelapan itu dan satu rakaat karena syukur atas kembalinya siang hari. Yang pertama kali melakukan shalat Zhuhur adalah Nabi Ibrahim as. saat Allah menyuruhnya untuk menyembelih Ismail putranya, kemudian Allah menyembelih hewan tebusannya. Hal itu terjadi saat matahari tergelincir. Nabi Ibrahim as. lalu melakukan shalat empat rakaat: satu rakaat untuk mensyukuri hewan tebusan, satu rakaat untuk mensyukuri hilangnya kesedihannya, satu rakaat untuk meminta ridla Allah dan satu rakaat karena nikmat itu, yaitu domba yang diturunkan dari surga, yaitu domba Habil. Yang pertama kali melakukan shalat Ashar adalah Nabi Yunus as. saat Allah mengeluarkannya dari perut ikan dalam keadaan bagaikan anak burung tidak bersayap. Nabi Yunus as. bersama dalam empat kegelapan: gelapnya isi perut ikan, gelapnya air, gelapnya malam dan gelapnya berada di dalam perut ikan. Nabi Yunus as. keluar dalam waktu Ashar, maka dia shalat empat rakaat untuk bersyukur kepada Allah atas keluarnya dia dari keempat kegelapan tersebut. Yang pertama kali melakukan shalat Maghrib adalah Nabi Isa as. saat dia keluar dari kaumnya pada saat matahari terbenam. Maka Isa shalat tiga rakaat. Satu rakaat untuk menghapus ketuhanan dari selain Allah, rakaat kedua untuk menyirnakan tuduhan kaumnya dan satu rakaat untuk menetapkan ketuhanan bagi Allah. Yang pertama kali melakukan shalat Isya’ adalah Nabi Musa as. saat dia sesat dari jalan ketika keluar dari Madyan dan empat kesedihan menimpanya. Yaitu sedih karena istrinya, sedih karena saudaranya Harun, sedih karena anak-anaknya dan sedih karena kekejaman Fir’aun. Akhirnya Allah menyelamatkannya dari seluruh kesedihan tadi dengan janji yang benar. Hal tersebut terjadi pada waktu Isya’, maka dia melakukan shalat empat rakaat untuk bersyukur kepada Allah atas sirnanya keempat kesedihan. Ada pendapat, bahwa Shubuh adalah shalat Nabi Adam as., Zhuhur adalah shalat Nabi Dawud as., Ashar adalah shalat Nabi Sulaiman as., Maghrib shalat Nabi Ya’kub as. dan Isya’ adalah shalat Nabi Yunus as. Hal tersebut dinazhamkan oleh sebagian ulama dengan bahar thawil:

 

“Shubuh shalat Adam, Isya’ shalat Yunus

Zhuhur shalat Dawud, Ashar shalat Sulaiman

Sedangkan Maghrib shalat Ya’kub

 

Seluruhnya dikumpulkan untuk Nabi Muhammad.”

 

Shalat harus dilakukan dalam waktu-waktu tersebut. Jika seseorang melakukan shalat satu rakaat dan dia lakukan dalam waktunya, misalnya dia mengangkat kepalanya dari sujud kedua dalam waktu shalat, sedangkan selebihnya sudah di luar waktu shalat, maka seluruhnya ada’ (tidak gadla). Jika tidak demikian, misalnya dia mengangkat kepala dari sujud kedua bersamaan dengan habisnya waktu shalat, maka shalatnya gadla. Melakukan shalat sebelum waktunya dan mengakhirkannya dari waktunya tanpa alasan, termasuk dosa paling besar dan keburukan paling fatal.

 

Apabila seseorang mulai melakukan shalat dalam waktunya, namun dia melakukannya dengan lama sampai waktunya habis, maka boleh menurut pendapat yang sahih, baik yang panjang adalah bacaan Al-Qur’an atau dzikir atau diam pada saat berdiri atau rukun yan g panjang lainnya (rukun panjang adalah selain i’tidal dan duduk antara dua sujud). Bahkan hal tersebut tidak makruh menurut pendapat yang ashah, namun khilaful aula (bukan yang terbaik). Jika waktu hanya cukup untuk rukun saja, maka yang terbaik adalah melakukan sunat, misalnya doa iftitah, meskipun tidak ada satu rakaat yang dilakukan di dalam waktu.

 

 

 

 

Syarat shalat yang keempat, menutup aurat. Bagi lelaki, auratnya adalah anggota badan di antara lutut dan pusar, meskipun dia budak dan belum tamyiz. Demikian juga bagi sahaya wanita, meskipun muba’adl, mukatab dan ummul walad. Aurat bagi wanita adalah seluruh badannya, meskipun dia belum tamnyiz, kecuali wajah dan dua telapak tangannya, baik luar maupun dalam sampai pergelangan tangan. Demikian juga bagi waria yang merdeka. Menutup aurat tetap wajib, melakukan shalat dilakukan di tempat gelap atau shalat sendirian.

 

Wanita diharuskan menutup bagian dari beberapa sisi wajahnya dan dua telapak tangannya dan lelaki diharuskan menutup sebagian dari pusarnya dan dari beberapa sisi lututnya agar kewajiban menutup aurat sempurna. Menurut pendapat yang ashah, lutut dan pusar tidak termasuk aurat, namun menurut pendapat yang dhaif termasuk aurat.

 

Aurat tidak boleh kelihatan orang lain dari segala penjuru, meskipun ketika ruku’, kecuali dari bawah, sebab sulit menurup aurat dari bawah. Apabila kerah baju luas, lalu dibiarkan terlepas begitu saja sampai aurat terlihat, maka shalat tidak sah, sebab tidak sulit mengusahakan agar aurat tidak terlihat. Apabila seseorang shalat di atas atau sujud misalnya, maka tidak masalah jika auratnya terlihat dari ujung pakaiannya.

 

Penutup aurat harus merupakan benda yang menutupi warna kulit di tempat bercakap-cakap, meskipun masih memperlihatkan bentuk badan. Gelap yang menutupi warna kulit tidak sah, sebab bukan merupakan benda. Penutup aurat juga harus meliputi benda yang ditutupi, meskipun berupa tanah padahal ada pakaian, baik dipakai oleh orang yang shalat atau tidak. Karena itu, tidak sah kegelapan menjadi penutup aurat, sebab tidak merupakan benda dan tidak meliputi orang yang shalat. Demikian juga benda yang sempit, sebab tidak disebut penutup dan tidak dianggap meliputi benda yang ditutupi. Demikian juga baju kurung yang kerahnya dan kancingnya diletakkan pada kepala bagian atas, sebab tidak dianggap penutup, meskipun meliputi benda yang ditutupi. Lain halnya bejana dan galian apabila lubangnya sempit, sehingga tidak terlihat aurat. Kedua benda ini cukup menjadi tutup aurat. Sutera harus digunakan untuk menutup aurat ” hanya itu satu-satunya yang ada. Tidak boleh memakai pa aian yang najis ketika shalat, meskipun tidak ada lainnya, sebab menjauhi najis adalah syarat sahnya shalat dan memakainya membatalkan shalat.

 

Syarat kelima menghadap kiblat secara tepat bagi yang mampu. Hajar Aswad dan Syadzarwan tidak termasuk kiblat. Yang dimaksudkan kiblat bukanlah tembok Ka’bah, namun arah Ka’bah dan udaranya sampai ke tujuh langit dan tujuh bumi. Yang diwajibkan menghadap ke arah Ka’bah secara adat, bukan hakekat. Menghadap kiblat harus dilakukan dengan dada, bukan dengan wajah pada saat berdiri dan dukuk dan dengan dua pundak serta mayoritas badan pada selain keduanya, yaitu ruku’ dan sujud. Jika seseorang menyeleweng dari Ka’bah dengan dadanya, padahal dia mampu, maka shalatnya batal. Menghadap kiblat adalah syarat sah shalat bagi orang yang mampu secara mutlak, baik dekat maupun jauh. Hanya saja jika dekat harus menghadap Ka’bah dengan yakin, sedangkan jika dia jauh hanya dengan perkiraan.

 

Jika dia shalat menghadap Ka’bah dengan duduk dan menghadap selain Ka’bah dengan berdiri, maka dia harus menghadap kiblat sebab lebih penting, sebab menghadap kiblat tetap wajib, kecuali karena ada alasan, misalnya bepergian. Lain halnya berdiri. Ka’bah disebut kiblat sebab orang shalat dan Ka’bah saling berhadapan. Ka’bah disebut Ka’bah sebab berbentuk segi empat. Jauhnya sudut-sudut Ka’bah tidak masalah, sebab tetap dikategorikan persegi empat.

 

Terkecuali jika apabila seseorang dalam keadaan sangat takut, yakni dalam peperangan yang mubah atau lainnya, misalnya lari dari banjir atau kebakaran atau binatang buas atau pengancam. Dia tidak harus menghadap kiblat jika tidak mampu dan dia boleh shalat semampunya, meskipun berjalan. Lain halnya menurut Imam Abu Hanifah. Shalat fardlu dan shalat sunat yang dikhawatirkan gadla sama dalam hal tersebut, kecuali shalat istisga’. Shalat tersebut tidak wajib diulangi sebab ada udzur. Apabila takut terjadi dalam shalat, maka tidak ada bedajika takut terjadi pada awal atau akhir waktu dengan ijma’. Jika takut terjadi sebelum shalat, maka takut masih harus pada akhir waktu, yakni waktu yang ada hanya cukup untuk shalat atau mengira takut itu terus menerus. Pendapat lain, tidak ada beda antara awal dan akhir waktu pada hal ini.

 

Ketahuilah, bahwa penduduk Banten yang shalat harus berpaling dari garis Katulistiwa ke kanan yakni ke utara, sebab Ka’bah berada di sebelah utara orang yang menghadap ke timur kira-kira dua puluh enam derajat. Dengan demikian, orang Banten menghadap kiblat, sebab posisi Banten di garis lintang selatan kira-kira enam derajat dan posisi Makah di garis lintang utara kira-kira dua puluh satu derajat. Sedangkan posisi Makah dari Jazair Al Khalidat adalah tuju puluh tuju derajat bujur barat dan posisi Banten adalah seratus empat puluh satu derajat. Dengan demikian, antara kedua posisi tersebut terpaut enam puluh empat derajat. Maka orang Banten menghadap Rukun Yamani di mana terdapat Hajat Aswad.

 

Ketahuilah, bahwa antara utara dan dabur ada sembilan puluh derajat. Demikian juga antara dabur dan selatan, antara selatan dan shaba, antara shaba dan utara. Ambillah setengah dari antara utara dan dabur, maka hasilnya empat puluh derajat. Dari arah dabur ke arah selamat diambil dua puluh enam derajat. Maka hasilnya adalah kiblat penduduk pulau Jawa.

 

Syarat shalat keenam adalah pelaku shalat muslim. Karena itu, tidak sah shalatnya orang kafir. Shalat wajib bagi orang muslim dan orang murtad, tidak bagi kafir dzimmi asli (bukan murtad). Kafir asli tidak wajib shalat dengan arti tidak dituntut melakukannya di dunia ini, meskipun dia dihukum di akhirat karena tidak shalat. Sedangkan kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam) dia wajib shalat.

 

Peringatan:

 

Bila orang kafir masuk Islam, maka dia diberi pahala atas perbuatan baiknya saat dia kafir yang tidak membutuhkan niat, misalnya sedekah, silaturahim dan memerdekakan budak, sebagaimana dikutip Al Wana-i dari Al Majmu’.

 

Syarat shalat ketujuh adalah pelaku shalat berakal sehat. Karena itu, orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz tidak wajib shalat dan tidak sah shalatnya, sebab keduanya tidak termasuk ahli ibadah. Di samping itu, shalat membutuhkan niat dan syarat niat adalah Islam dan tamyiz. Tanda tamyiz pada anak kecil adalah dia bisa makan sendiri, minum sendiri dan cebok sendiri.

 

Syarat shalat kedelapan berlaku bagi wanita, yaitu dia bersih dari haid dan nifas. Wanita yang haid dan wanita yang nifas tidak sah shalatnya dan keduanya tidak wajib gadla setelah darahnya berhenti, meskipun haid dan nifas terjadi saat dia murtad. Lain halnya bila dia murtad saat gila, di mana dia harus menggadla shalat, sebab tidak wajibnya gadla bagi orang gila termasuk keringanan, sedangkan orang murtad tidak berhak menerima keringanan.

 

Apabila waktu shalat masuk, sedangkan wanita suci dari haid dan nifas serta normal akalnya, lalu dia haid atau nifas atau gila atau pingsan atau mabuk tanpa sengaja dan telah lewat waktu yang cukup untuk melakukan kewajiban shalat tersebut secepatnya, di samping ada waktu untuk melakukan bersuci yang tidak bisa dilakukan sebelum waktu shalat, misalnya tayamum dan bersucinya orang yang beser (kencing terus menerus), maka dia harus menggadla shalat tersebut. Sebagaimana apabila orang kafir masuk Islam pada permulaan Ashar, kemudian dia gila setelah lewat waktu yang cukup melakukan hal di atas. Jika tidak demikian, maka tidak wajib menggadla shalat tersebut sebab tidak bisa melakukannya, sebagaimana apabila nisab zakat rusak sebelum ada kesempatan untuk mengeluarkan zakat. Adapun bersuci yang bisa didahulukan sebelum waktu shalat, tidak diperhitungkan, sebab bisa dilakukan dahulu.

 

Bila penghalang sirna, yakni haid atau nifas berhenti dan darah tidak kembali keluar, seseorang tidak lagi anak-anak, tidak lagi kafir asli, tidak lagi gila, sadar dari pingsan dan sadar dari mabuk, lalu hal itu terjadi pada waktu yang tidak layak untuk menjamak shalat dengan shalat sebelumnya, yakni Shubuh atau Zhuhur atau Maghrib, meskipun masih ada waktu untuk mengucapkan Allahu Akbar, maka harus menggadla Shalat tersebut. Dengan syarat penghalang itu sirna dalam waktu yang cukup untuk melakukan shalat tersebut secepatcepatnya dan cukup untuk syaratnya, yaitu suci dari hadas dan najis, Bila dia mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan satu rakaat pada akhir Ashar misalnya, lalu penghalang kembali setelah waktu yang cukup untuk melakukan shalat Maghrib, maka yang wajib Maghrib saja. Bila dia telah melakukan Ashar, maka menjadi shalat sunat. Dia harus gadla shalat Maghrib menurut Ar Ramli, namun Ibnu Imad dan Syaikhul Islam (Zakariya Al Anshari) dan Ibnu Hajar berbeda pendapat. Ketiganya mengatakan, bahwa shalat Ashar menjadi shalat fardlu dan Maghrib tidak wajib digadla.

 

Apabila hilangnya penghalang terjadi pada waktu yang layak untuk menjamak shalat dengan shalat sebelumnya, yakni penghalang hilang pada waktu Ashar atau Isya’, meskipun masih sisa waktu untuk mengucapkan Allahu Akbar, maka harus menggadla shalat tersebut dan shalat sebelumnya, yaitu shalat Zhuhur atau Maghrib, sebab kedua waktu shalat menjadi satu pada saat ada udzur, apalagi ketika daurat. Juga disyaratkan orang tersebut tidak ada halangan dalam waktu yang cukup melakukan shalat di atas. Jika seseorang baligh, kemudian gila misalnya sebelum lewatnya waktu yang cukup untuk melakukan shalat tersebut, maka shalat tadi tidak wajib, meskipun sifat gila segera hilang karena dia tidak mungkin melakukannya. Yang wajib hanya shalat yang hadir dan shalat sebelumnya tidak wajib, apabila sudah lewat waktu yang cukup untuk melakukan shalat yang hadir sebelum datang penghalang sebagaimana tersebut. Itulah sebabnya, di sini ulama mensyaratkan waktu untuk takbiratul ihram dan dalam masalah sebelumnya mereka mensyaratkan waktu untuk shalat fardlu.

 

Syarat shalat kesembilan adalah meyakini bahwa shalat fardlu yang dilakukannya adalah fardlu yang pelakunya diberi pahala dan yang meninggalkannya disiksa. Bila seseorang meyakini bahwa shalat fardlu adalah sunat atau hatinya tidak meyakini apa-apa atau dia bimbang mengenai kefardluannya, maka shalatnya tidak sah, meskipun dia awam, yaitu orang yang tidak mengkaji ilmu agama, walau berada di antara ulama, sebab syarat ini merupakan syarat sahnya ibadah bagi orang awam dan orang yang tidak awam.

 

Syarat kesepuluh adalah tidak meyakini rukun shalat yang jumlahnya sembilan belas sebagai sunat. Bila seseorang meyakini bahwa rukun shalat adalah fardlu atau hatinya kosong dari fardlu dan sunat atau dia bimbang mengenai kefardluan rukun shalat atau dia meyakini sunat shalat sebagai fardlu, maka shalatnya sah. Lain halnya menurut pendapat Imam Haramain pada masalah terakhir (meyakini sunat shalat sebagai fardlu). Demikian juga sah shalatnya jika dia berkeyakinan, bahwa sebagian perbuatan dalam shalat adalah fardlu dan sebagian yang lain sunat, selama tidak meyakini fardlu khusus sebagai sunat. Lain halnya jika dia meyakini bahwa seluruh perbuatan dalam shalat adalah sunat, maka shalatnya tidak sah secara mutlak dengan ijma’ ulama. Ibnu Hajar berkata: “Apabila seseorang menganggap rukun shalat sebagai syarat shalat atau sebaliknya, maka tidak masalah, meskipun dia bukan orang awam, sebab keduanya sama-sama wajib dilakukan. Di samping itu, niat dalam shalat didasari atas keyakinan dan karena itu orang tersebut paling-paling melakukan sunat dengan meyakininya sebagai fardlu.” Jika dia tahu bahwa shalat merupakan perbuatan dan ucapan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam secara gelobal, maka shalatnya sah. Jika demikian, dalam niat dia harus istihdhar urfi, sebagaimana dikatakan Al Wana-i. (Istihdhar urfi adalah saat niat membayangkan orang yang sedang shalat).

 

Syarat kesebelas adalah menjauhi hal-hal yang membatalkan shalat sebagaimana akan dijelaskan dalam seluruh shalat.

 

Bila seseorang tidak tahu hal-hal yang membatalkan shalat kecuali setelah selesai shalat, maka dia harus mengulanginya. Namun apabila dia mati sebelum tahu hal-hal tersebut, maka kita berharap bahwa Allah tidak menghukumnya di akhirat, sebab Allah telah berjanji menghapus kesalahan dan kealpaan dari umat ini.

 

Syarat keduabelas adalah tahu cara shalat, yakni tahu halhal yang dilakukan di dalam shalat, baik ucapan maupun perbuatan serta urutannya sebagaimana akan disebutkan.

 

 

 Rukun shalat itu ada sembilan belas, bila thumakninah dijadikan rukun sendiri dan dua sujud dianggap dua rukun. Pertama, niat dengan hati. Dan rukun ini merupakan ijma’ ulama. Sunat mengucapkan niat tepat sebelum takbir agar lidah membantu hati, di samping ada ulama yang mewajibkannya.

 

Niat harus mencakup tiga hal:

 

  1. Bermaksud mengerjakan shalat dan ini diredaksikan dengan kata ” ” (aku shalat) atau ” ” (aku menjalankan shalat). Inti ucapan tersebut adalah bermaksud melakukan shalat. Jika hanya mengucapkannya dalam hati, namun hati kosong dari tujuan mengerjakan shalat, maka niat tidak sah.

 

  1. Menyatakan kefardluan shalat apabila shalatnya fardlu. Hal ini diredaksikan dengan kata ” ” (fardla). Hal ini wajib jika shalatnya fardlu, meskipun fardlu kifayah atau mu’adah (shalat yang diulangi) atau nadzar.

 

  1. Menentukan shalat. Yakni shalat itu berwaktu atau bersebab. Tidak sah niat shalat yang wajib saat itu karena mencakup shalat gadla. Hal ini diredaksikan dengan kata Zhuhur atau Ashar atau Maghrib atau Isya’ atau Shubuh atau Qabliyah atau Ba’diyah atau Idul Fitri atau Idul Adha atau gerhana matahari atau gerhana rembulan. Tidak sah berniat sunat shalat Zhuhur sebab Zhuhur memiliki gabliyah dan ba’diyah. Lain halnya shalat Shubuh dan Ashar yang tidak memiliki shalat sunat ba’diyah. Tidak sah juga berniat sunat id atau sunat gerhana sebab tidak menentukan.

 

Apabila ketiga hal tersebut sudah hadir dalam hati, maka ucapkan “‘ ” (Allah Maha Besar) tanpa melupakan ketiganya. Apabila shalatnya jama’ah, maka harus ditambah dengan kata ”   “(makmum) atau ”   ” (jama’ah), sebab dia mengikuti shalat orang lain, maka dia butuh niat. Kata jama’ah juga layak bagi imam, namun tetap sah makmum berniat jama’ah, karena jama’ah imam lain dengan jama’ah makmum. Untuk shalat sunat mutlak, yaitu shalat yang tidak terikat oleh sebab maupun waktu, cukup berniat shalat saja, sebab sunat mutlak adalah shalat yang paling rendah derajatnya.

 

Rukun shalat kedua takbiratul ihram, yaitu mengucapkan ”  ” (Allah Maha Besar). Bila seseorang tidak mampu mengucapkannya dengan bahasa Arab dan dia tidak mungkin belajar saat itu, maka dia harus menerjamahkannya dengan bahasa apapun yang dia bisa. Yang terbaik menerjemahkan takbiratul ihram dengan bahasa Persia, meskipun bukan bahasa orang yang bersangkutan. Tidak boleh beralih ke dzikir yang lain dan dia harus belajar jika mampu, meskipun dengan bepergian.

 

Niat harus disertakan dengan seluruh takbiratul ihram dan ketiga hal yang diharuskan dalam niat harus dihadirkan dalam hati bersama permulaan takbiratul ihram, kemudian tetap menghadirkannya sampai ra’ dari ”  ” Niat gashar (meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat) harus disertakan dengan seluruh bagian takbir, sepertiga niat kefardluan dan lainnya, sebagaimana ditegaskan Al Madabighi. Namun An Nawawi memilih pendapat yang didukung oleh Imam Haramain dan Al Ghazali, bahwa penyertaan di atas cukup penyertaan urfi menurut orang awam, yaitu permulaan takbiratul ihram mendahului penghadiran sempurnanya niat. Boleh juga niat bersamaan dengan hamzah dan seluruh takbir, sebagaimana dijelaskan Umar Al Basri.

 

Rukun shalat ketiga adalah membaca Al Fatihah atau penggantinya ketika berdiri dalam setiap rakaat dan dalam tiap berdiri dari empat berdiri shalat gerhana. Terkecuali makmum masbuq, dia tidak wajib membaca Al Fatihah, sebab meskipun surat tersebut wajib baginya, namun imam menanggungnya untuk dia. Bila seseorang tidak mampu membaca surat Al Fatihah, maka dia wajib membaca tujuh ayat meskipun terpisah-pisah dan tidak menunjukkan arti yang teratur. Kalau tidak bisa, maka dia wajib membaca dzikir tujuh macam. Bila tidak bisa, dia wajib menerjemahkan Al Fatihah. Jika tidak bisa, dia harus berdiri seperti waktu lamanya rata-rata orang membaca Al Fatihah.

 

Rukun shalat keempat adalah berdiri dalam shalat fardlu jika mampu, meskipun harus dengan tali atau pembantu yang dibayar misalnya. Meskipun shalat tersebut nadzar, shalat anak kecil dan shalat muadah.

 

Rukun shalat kelima adalah ruku’ dengan cara membungkuk bagi orang yang berdiri dan mampu meskipun selalu dengan bantuan orang lain sebab waktunya sebentar dan meskipun dia miring ke arah lambungnya dengan syarat tidak keluar dari menghadap kiblat atau dengan berpegangan pada tongkat. Membungkuk ruku’ harus murni, yaitu tanpa mengendorkan lutut, sehingga bagian dalam kedua telapak tangan menempel pada lutut bagi orang yang tingginya sedang jika ingin melakukan hal tersebut yang hukumnya sunat. Orang yang shalat duduk lain hukumnya dan kewajibannya adalah membungkuk sehingga keningnya sejajar dengan sesuatu yang’ada di depan kedua lututnya. Tidak sah jika membusungkan dada dan mengeluarkan dua lutut, sebab memegang kedua lutut tidak terjadi jika membungkuk-nya demikian. Bila seseorang kedua tangannya panjang atau pendek atau sebagian tangannya terpotong, maka cara di atas tidak diharus-kan.

 

Rukun shalat keenam adalah thumakninah pada saat ruku’, yaitu gerakan turunnya dari berdiri terputus dengan gerakan bangunnya dari ruku’ serta seluruh anggota badannya tenang sebelum bangun. Bila seseorang menambahi turunnya dari minimal ruku’ dan dia bangun, sedangkan gerakannya terus menerus, maka tidak dianggap thumakninah.

 

Rukun shalat ketujuh adalah i’tidal meskipun shalat sunat, yaitu berdiri tegak atau kembali duduk tegak sebagaimana sebelum ruku’, sebab Nabi saw. bersabda:

 

“Apabila kamu mengangkat kepalamu dari ruku’, maka tegakkanlah punggungmu, sampai tulang-tulang kembali dari persendiannya.”

 

Rukun shalat kedelapan adalah thumakninah ketika i’tidal sebagaimana kami sebutkan dalam ruku’, sebab Nabi saw. thumakninah dan bersabda:

 

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

 

Apabila seseorang sujud dan bimbang apakah i’tidalnya sempurna atau tidak, maka dia harus i’tidal dan thumakninah, kemudian bersujud.

 

Rukun shalat kesembilan adalah sujud pertama. Cara sujud adalah sebagai berikut:

 

  1. Meletakkan kening pada tempat sujud, meskipun dengan bantuan orang lain dan meskipun bagian kening yang diletakkan hanyalah minimal, dengan syarat bagian tersebut terbuka bila tidak ada udzur.

 

  1. Kening ditekan sedikit, sehingga seandainya sujud dilakukan di atas sebuah kapas atau rumput, maka pengaruh tekanan itu jelas.

 

  1. Sujud dilakukan di atas benda yang tidak bergerak karena gerakan orang yang shalat secara teori menurut Ar Ramli dan secara nyata menurut Ibnu Hajar. Yang dimaksudkan adalah gerakan saat berdiri dan duduk.

 

  1. Mengangkat pantat dan sekitarnya di atas pundak, tangan dan kepala. Hal ini harus dilakukan oleh orang yang mampu.

 

  1. Meletakkan bagian meskipun sedikit dari dua lutut, bagian dalam telapak tangan dan bagian dalam jari-jari telapak kaki di atas tempat shalat. Meletakkan lutut di atas bagian luar telapak tangan tidak cukup.

 

Kelima hal tersebut harus dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu. Karena itu, bila seseorang meletakkan lutut, telapak tangan dan telapak kaki dan dia mengangkatnya sebelum meletakkan kening, kemudian dia meletakkan kening atau sebaliknya, maka sujudnya tidak sah, sebab ketiga anggota badan tersebut statusnya pengikut bagi kening. Bila dia mengangkat sebagian anggota badan sujud setelah sujud sempurna dan melamakannya kira-kira selama satu rukun, maka shalatnya batal. Rukun shalat kesepuluh adalah thumakninah ketika sujud pertama sebagaimana thumakninah dalam ruku’, sebab Nabi saw. bersabda kepada Khallad ra.

 

“Kemudian sujudlah kamu sampai kamu thumakninah ketika sujud.”

 

Rukun shalat kesebelas adalah duduk di antara dua sujud dengan cara duduk dengan tegak, sebab Nabi saw. bersabda:

 

“Tidak cukup shalat lelaki, sampai dia menegakkan punggungnya dari ruku’ dan dan sujud.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)

 

Apabila seseorang mampu berdiri dan tidur berbaring, namun tidak mampu duduk, maka dia harus shalat berdiri, sebab berdiri adalah duduk dan ada tambahan. Duduk antara dua sujud dan i’tidal tidak boleh dilakukan lama. Bila dia melamakan i’tidal lebih lama dari dzikir yang dianjurkan pada i’tidal dalam shalat tersebut menurut bacaan mayoritas orang terhadap Al Fatihah, atau dia melamakan duduk antara dua sujud lebih dari dzikir yang dianjurkan kira-kira seperti bacaan yang wajib dalam tahiyat, maka shalatnya batal. Itu bila dia sengaja dan tahu larangan. Bila tidak demikian, maka shalatnya tidak batal. Terkecuali i’tidal rakaat terakhir dalam shalat fardlu atau shalat sunat, yakni shalat tidak batal bila j’tidal tersebut dilamakan, sebagaimana dikutip oleh Al Wanai dari Ibnu Hajar.

 

Rukun shalat kedua belas adalah thumakninah pada duduk tersebut sebagaimana thumakninah yang kami sebutkan dalam ruku’, sebab Nabi saw. bersabda kepada Khallad ra.:

 

“Kemudian bangunlah, sampai kamu thumakninah dalam keadaan duduk.”

 

Rukun shalat ketiga belas adalah sujud kedua sebagaimana sujud pertama dalam hal-hal tadi, yaitu harus meletakkan tujuh anggota badan secara bersamaan dan lainnya. Sujud diulangi dua kali dan rukun lainnya tidak, sebab sujud lebih sempurna dalam tawadi!u’.

 

Rukun shalat keempat belas adalah thumakninah pada sujud kedua sebagaimana kami tuturkan dalam ruku’. Bila seseorang harus memilih antara menungging dan meletakkan ketujuh anggota badan tersebut, maka yang didahulukan adalah menungging, sebab An Nawawi dan Ar Rafi’i sepakat bahwa menungging wajib. Sedangkan meletakkan ketujuh anggota badan, tidak wajib menurut Ar Rafi’i, kecuali meletakkan kening. Apabila seseorang mengangkat kepalanya saat sujud setelah thumakninah, kemudian dia kembali meletakkan kening, maka shalatnya batal. Lain halnya bila dia meletakkan salah satu dari ketujuh anggota badan selain kepala, kemudian dia segera meletakkannya kembali, maka tidak batal shalatnya.

 

Rukun shalat kelima belas adalah duduk terakhir, yakni duduk dengan tegak yang terjadi pada akhir shalat, baik duduknya tawaruk atau iftirasy atau bersila atau kedua kakinya dibujurkan atau kedua lututnya ditegakkan atau salah satu lututnya ditegakkan.

 

Rukun shalat keenam belas adalah membaca tasyahhud pada duduk tersebut. Lafazh-lafazh itu disebut tasyahhud, sebab mengandung tasyahhud yang merupakan bagian paling mulia.

 

Rukun shalat ketujul belas adalah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. setelah tasyahhud dalam duduk. Minimal shalawat kepada Nabi Muhammad saw. adalah:

 

“Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad.”

 

Disunatkan bershalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahhud akhir ini dan tidak disunatkan pada tasyahhud pertama sebab tasyahhud pertama diperintah singkat. Di samping itu, bershalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahhud awal adalah memindahkan rukun gauli (rukun yang berupa ucapan) pada rukun gauli yang lain dan hal ini membatalkan menurut salah satu pendapat.

 

Rukun shalat kedelapan belas adalah salam sekali setelah shalawat ketika duduk. Salam harus dilakukan setelah mim dari kata ”  ” ketika duduk atau pengganti kata ”  ” sementara dada masih menghadap kiblat. Salam minimal adalah ”  ” atau sebaliknya, yaitu ”  ” namun makruh. Salam yang paling lengkap dan sempurna adalah “. ” sebab salam inilah yang diriwayatkan dari Nabi. Tanpa kata ”  “, kecuali pada shalatjenazah, di mana kata tersebut sunat menurut Ibnu Hajar.

 

Rukun shalat kesembilan belas adalah urut antara rukun-rukun, kecuali yang dikecualikan. Yakni berniat bersamaan dengan takbiratul ihram, lalu membaca Fatihah ketika berdiri, lalu ruku’ dengan thumakninah, lalu i’tidal dengan thumakninah, lalu sujud pertama dengan thumakninah, lalu duduk setelahnya dengan thumakninah, lalu sujud kedua dengan thumakninah. Demikian urutan tiap rakaat, kemudian lakukan sisa rakaat, baik kedua, lalu ketiga dan keempat. Hanya saja pada sisa rakaat ini tidak ada niat dan takbiratul ihram, bahkan jika keduanya dilakukan, maka shalatnya batal. Apabila seluruh rakaat telah selesai, vakni telah menambah satu rakaat untuk shalat Shubuh, rakaat kedua dan ketiga untuk shalat Maghrib dan rakaat kedua, ketiga, keempat untuk shalat Zhuhur, Ashar dan Isva’, maka duduklah dengan duduk terakhir, yaitu duduk yang setelahnya ada salam, meskipun shalatnya hanya mempunyai satu tasyahhud. Kemudian

 

. bacalah tasyahhud pada duduk tersebut, kemudian bacalah shalawat kepada Nabi saw. dengan mengucapkan: ” ” atau mengucapkan ”  ” bila bermaksud doa sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar. Kemudian ucapkan salam dengan mengucapkan ”   “Yang wajib adalah sekali, meskipun tidak disertai menoleh, sebab diriwayatkan bahwa Nabi saw. mengucapkan salam sekali ke depan.

 

Hikmah jumlah rakaat shalat lima waktu adalah bersyukur atas nikmat-nikmat yang ada dalam kelima panca indera dan ditutupinya kesalahan pada kelimanya. Penjelasannya adalah rakaat Shubuh dua, sebab menyentuh dengan kulit dapat mengindera halus dan kasar. Dua rakaat tersebut adalah untuk mensyukuri keduanya dan mensyukuri ditutupinya kesalahan pada keduanya. Jumlah rakaat Zhuhur adalah empat, karena mencium dapat mengindera benda yang dicium dari empat penjuru. Empat rakaat adalah mensyukuri hal itu dan mensyukuri ditutupinya kesalahan pada keempatnya. Jumlah rakaat Ashar empat, karena mendengar dapat mengindera benda yang didengar dari empat penjuru. Empat rakaat adalah mensyukuri hal itu dan mensyukuri ditutupinya kesalahan pada keempatnya. Jumlah rakaat Maghrib adalah tiga, karena benda yang dilihat itu terlihat dari tiga penjuru, yaitu depan, kiri dan kanan dan tidak terlihat dari belakang. Tiga rakaat adalah untuk mensyukuri hal itu dan mensyukuri ditutupinya kesalahan padanya. Jumlah rakaat Isya’ adalah empat, karena lidah mengindera dingin, panas, pahit dan manis. Empat rakaat adalah untuk mensyukuri hal tersebut dan mensyukuri ditutupinya kesalahan padanya.

 

Ketahuilah, bahwa shalat adalah saat munajat hamba kepada Tuhannya, pembersih hati dari dosa dan penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Muhammad bin Ali At Tirmidzi berkata: “Shalat adalah tiang agama dan merupakan hal yang pertama kali diwajibkan Allah kepada hamba-Nya. Saat hamba shalat, Allah menghadap kepada hamba-Nya agar mereka menghadap kepada-Nya sebagai hamba. Berdiri dalam shalat menunjukkan kehinaan hamba, takbiratul ihram menunjukkan dia menyerahkan diri, sanjungan hamba dan bacaan Al-Qur’an menunjukkan dia menghinakan dirinya, ruku’ menunjukkan dia merendahkan diri, sujud menunjukkan dia khusyu’, duduk menunjukkan dia cinta kepada Allah dan tasyahhud menunjukkan dia mencari muka kepada Tuhannya. Hendaknya para hamba menghadap kepada Allah dengan cara yang demikian agar Allah menghadap kepada mereka dengan rahmat dan sayang. Dalam Islam, tidak ada yang lebih besar daripada shalat.”

 

Ketahuilah, bahwa syarat diterimanya ibadah adalah ikhlas. Bila seseorang melakukan amal perbuatan tanpa disertai ikhlas, maka dia tidak memperoleh pahala dari Allah, meskipun perbuatannya sah secara lahir karena syarat dan rukunnya sudah terpenuhi. Riya haram dalam seluruh perbuatan. Sebagian ulama menyerupakan seluruh amal perbuatan dengan pohon yang diinginkan buahnya. Syarat bagaikan akar, rukun bagaikan batang pohon, sunat ab’ad! bagaikan dahan yang besar atau dahan secara mutlak, sunat haiat bagaikan dahan yang kecil dan daun, sedangkan ikhlas bagaikan buahnya. Pohon tidak tegak kecuali dengan adanya batang dan pohon tidak disebut pohon kecuali bila ada dahannya. Bila dahannya banyak, maka pohon menjadi besar. Bila pohon ada buahnya, maka tercapailah cita-cita orang yang menanamnya.

 

Rukun shalat dari segi tempatnya ada tiga macam:

 

Pertama, rukun yang tempatnya dihati. Hati disebut”  ” karena memikirkan banyak urusan. Bila Nabi saw. mengangkat pandangan ke langit, beliau berkata:

 

“Wahai Tuhan yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas taat kepada-Mu.”

 

Atau karena hati adalah inti badan. Rukun yang tempatnya hati adalah niat saja, sedangkan mengucapkannya hanyalah sunat hukumnya untuk membantu hati dan karena ada ulama yang mewajibkannya.

 

Syarat niat ada dua. Pertama, bersamaan dengan takbiratul ihram, tidak boleh mendahuluinya maupun sesudahnya. Kedua, niat dilakukan ketika berdiri dalam shalat fardlu dan menghadap kiblat.

 

Kedua, rukun yang berupa ucapan dengan lidah. Rukun ini ada lima sebagaimana berikut ini:

 

  1. Takbiratul ihram pada permulaan shalat.
  2. Membaca Al Fatihah tiap rakaat ketika berdiri bila berdiri itu wajib bagi imam, makmum dan orang yang shalat sendirian.
  3. Membaca tasyahhud.
  4. Shalawat kepada Nabi saw.
  5. Salam pertama pada akhir shalat. Ketiga rukun terakhir dilakukan dalam duduk terakhir.

 

Syarat kelima rukun tersebut adalah sebagai berikut:

 

  1. Seluruh hurufnya didengar oleh telinga orang yang bersangkutan bila dia tidak tuli dan tidak ada gangguan pendengaran, baik angin maupun gaduh atau hal sejenis, seperti telinga tersumbat. Bila ada gangguan, maka dia harus mengeraskan suaranya, sekira seandainya dia tidak tuli atau gangguan itu sirna, dia bisa mendengar.

 

  1. Tidak mengurangi sedikitpun dari tasydidnya. Tasydid takbiratul ihram satu, tasydid minimal salam satu, tasydid minimal tasyahhud enam belas, tasydid tasyahhud paling sempurna ditambah lima, tasydid minimal shalawat Nabi empat, tasydid Al Fatihah empat belas. Bila seseorang mengurangi satu dari tasydid-tasydid tersebut, maka bacaannya tidak sah, baik dia sengaja atau lupa. Namun bila dia tidak membaca tasydid pada kata “. ” dengan sengaja dan tahu maknanya, maka dia kafir, sebab kata ” artinya kami menyembah cahaya matahari-Mu. Apabila dia lupa atau tidak tahu, maka dia sunat sujud sahwi dan dia harus mengulangi bacaan dengan benar.

 

  1. Tidak mengurangi sedikitpun dari hurufnya. Huruf takbir 8, huruf minimal salam 11, huruf minimal tasyahhud 105, huruf minimal shalawat Nabi 14, huruf Al Fatihah 141.

 

  1. Mengeluarkan huruf dari makhrajnya (tempat keluarnya). Bila seseorang mengganti hamzah kata ” ” dengan wawu, maka membatalkan bila dia orang tahu dan tidak membatalkan bila dia tidak tahu, sebagaimana dijelaskan Al Barmawi. Bila huruf “g “dari ” SeuL diganti dengan ” »” atau huruf ” G”, maka bacaannya batal, terkecuali jika dia tidak mungkin belajar sebelum waktu shalat habis. Hal tersebut berlaku dalam seluruh penggantian huruf dengan lainnya, meskipun merubah makna, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar.

 

  1. Tidak merubah satupun dari harakatnya dengan perubahan yang membatalkan maknanya. Misalnya mengkasrahkan hamzahnya dan ba’nya ” ” sebab “. ‘ maknanya sesuatu yang dihasilkan oleh tawon namun tidak begitu manis. Juga mengkasrahkan sinnya ” ” sebab ” ” maknanya batu. Demikian juga membaca fat-hah hamzahnya ” ” dan membaca dlammah atau kasrah ta’nya

 

  1. Tidak menambahkan huruf pada kelimanya yang membatalkan maknanya. Misalnya memanjangkan hamzahnya kata ” “, menambahkan wawu mati atau hidup setelah kata tersebut, menambahkan huruf wawu sebelum kata tersebut. Namun diperbolehkan menambahkan wawu sebelum “‘ ” sebab ada kata yang mendahuluinya. Lain halnya dengan takbir, maka tidak sah menambahkan huruf wawu sebelumnya. Termasuk yang tidak diperbolehkan adalah membaca Al-Qur’an dalam shalat dengan gira’ah syadzdzah yang merubah makna.

 

Penjelasan:

 

Muhammad Al Khalili berkata dalam Fatawinya: “Aku bertanya kepada Guru kami Muhammad Al Bagari mengenai orang yang membaca Al-Qur’an dan tidak membaca ghunnah (berdengung) dengan benar pada mim dan nun, lalu beliau menjawab: “Aku telah menanyakan hal itu kepada Guru kami Al Yamani (yakni ahli gira’ah Al-Qur’an pada periodenya), lalu beliau menjawab: “Jika seseorang bersumpah bahwa bacaan orang itu tidak disebut Al-Qur’an, dia tidak melanggar sumpahnya.” Dari jawaban tersebut dapat disimpulkan, bahwa orang yang membaca Al-Qur’an namun tidak membacanya dengan baik, dia merubah i’rabnya dan hukumnya, dia lebih tidak disebut Al-Qur’an. Jika orang yang junub membacanya seperti itu, hukumnya tidak haram, sebab itu bukan Al-Qur’an.

 

  1. Membaca lafazh-lafazhnya dengan terus menerus, yaitu tidak memisahkan satupun dari lafazh-lafazh itu dengan lafazh setelahnya lebih dari diam untuk bernafas.

 

  1. Mengurutkan kelima rukun di atas sesuai urutannya yang dikenal, karena urutan dalam surat Al Fatihah adalah letak kemukjidzatan. Jika seseorang mengakhirkan lafazh yang seharusnya tidak diakhirkan, maka bacaannya batal dan dia harus mengulangi bacaan dengan benar selama belum lama berselang. Bila telah lama, maka harus dimulai dari awal.

 

Kitiga, rukun yang berupa perbuatan dengan badan, yaitu tiga belas rukun: berdiri, ruku’ dan thumakninahnya, i’tidal dan thumakninah-nya, sujud pertama dan thumakninahnya, duduk setelahnya dan thumakninahnya, sujud kedua dan thumakninahnya, satu rukun pada rakaat terakhir yaitu duduk terakhir, rukun yang timbul dari melakukan rukun-rukun tersebut pada tempatnya yaitu tertib. Tertib adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya.

 

Jabir dan Muadz ra. berkata: “Saat Nabi saw. naik ke langit, pada langit terdekat beliau melihat banyak malaikat yang selalu berdiri sejak mereka diciptakan oleh Allah sambil berdzikirdan mereka tidak ruku’. Pada Jangit kedua, beliau melihat banyak malaikat yang selalu ruku’ dan tidak mengangkat kepala mereka. Pada langit ketiga, beliau melihat banyak malaikat yang bersujud dan tidak mengangkat kepala mereka, kecuali saat Nabi mengucapkan salam. Saat itulah mereka mengangkat kepala mereka dan karena itulah sujud diulangi dua kali tiap rakaat. Pada langit keempat, beliau melihat banyak malaikat . yang selalu tasyahhud. Pada langit kelima, beliau melihat banyak malaikat yang sujud dan selalu dzikir Allah. Pada langit keenam, beliau melihat banyak malaikat yang selalu bertakbir. Pada langit ketujuh, beliau melihat banyak malaikat yang selalu mengucapkan: “Ya Salam ya Salam” sejak Allah menciptakan mereka. Dalam hati Nabi saw. berharap agar ibadah ketujuh langit diberikan kepada beliau dan umatnya, kemudian Allah tahu hati Nabi, kemudian Allah memberikan seluruh ibadah ketujuh langit dalam dua rakaat untuk Nabi saw. dan umatnya. Karena itu, barangsiapa berdiri dalam shalatnya dengan mengagungkan Allah dan menyempurnakan rukun, ruku’ dan sujudnya, maka dia mendapat pahala para malaikat ketujuh langit.” Syarat rukun fi’liyah (rukun yang merupakan perbuatan) adalah sebagai berikut:

 

  1. Sahnya rukun sebelumnya. Bila seseorang bimbang ketika ruku’ apakah dia telah membaca Al Fatihah atau belum, atau dia bimbang ketika sujud apakah dia telah i’tidal atau belum, maka dia harus segera berdiri. Bila dia bimbang saat sujud apakah dia telah ruku’ atau belum, maka dia juga harus segera berdiri, lalu ruku’. Dalam masalah ini, tidak sah bila dia langsung ruku’. Ingat dalam hal ini sama dengan bimbang. Apabila dia bimbang saat berdiri, apakah dia sudah membaca Al Fatihah atau belum, maka dia harus segera membaca Al Fatihah, sebab dia belum berpindah dari tempat Al Fatihah.

 

  1. Hanya bertujuan melakukan rukun fi’liyah. Bila seseorang mengangkat kepalanya dari ruku’ karena terkejut sesuatu, maka dia harus kembali ruku’, kemudian i’tidal. Lain halnya apabila dia bimbang saat ruku’ apakah dia telah membaca Al Fatihah atau belum, lalu dia berdiri untuk membacanya, kemudian dia ingat bahwa dia telah membacanya, maka berdirinya bisa menjadi i’tidal. Bila dia mengangkat kepalanya dari sujud misalnya karena duri yang menusuknya, maka dia harus mengulangi mengangkat kepala. Jika dia sujud di atas suatu benda kasar yang melukai keningnya misalnya, lalu dia memindahkan keningnya tanpa mengangkatnya, maka tidak apa-apa. Demikian juga bila dia mengangkatnya sedikit, lalu mengembalikannya dan tidak thumakninah. Bila tidak demikian, maka shalatnya batal. Bila dia mengangkat keningnya tanpa alasan, maka shalatnya batal secara mutlak, baik dia thumakninah atau tidak.

 

 

 

 

Adapun hal-hal yang membatalkan shalat itu ada dua belas, yaitu:

 

Pertama, hilangnya salah satu dari dua belas syarat shalat, baik sengaja meskipun dipaksa, lupa atau tidak tahu. Sebab masalah ini termasuk khithab wad!’i, yaitu firman Allah yang berkaitan dengan menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau penghalang atau sah atau tidak sah.

 

Kedua, hilangnya salah satu dari sembilan belas rukun shalat dengan sengaja, sebab bila salah satu rukunnya tidak ada, maka tidak disebut shalat. Bila lupa, maka harus segera dilakukan bila ingat. Bila tidak dilakukan, maka harus memulai shalat dari muka. Sesuatu yang dilakukan setelah rukun yang dilupakan tidak diperhitungkan karena terjadi di selain tempatnya, kecuali setelah rukun yang dilupakan itu. Bila rukun tersebut dia lakukan, maka dia meneruskan shalatnya. Bila dia yakin bahwa dia belum melakukan satu sujud dari rakaat terakhir, pada akhir shalatnya atau setelah salamnya dan sebelum terkena najis yang tidak ma’fu dan belum lama, maka dia harus melakukan sujud itu dan mengulangi tasyahhudnya. Bila sujud yang dilupakan dari selain rakaat terakhir, maka dia harus melakukan satu rakaat.

 

Ketiga, menambahkan rukun fi’liyah, misalnya menambahkan ruku’ atau sujud, meskipun tanpa thumakninah atau menambahkan rakaat. Atau mendatangkan niat atau takbiratul ihram di tengah-tengah shalat atau melakukan salam pada selain tempatnya, padahal dia tahu kalau hal itu dilarang. Hal tersebut membatalkan shalat bagi orang yang sengaja karena dia dianggap bermain-main. Sedangkan orang yang lupa dan orang yang tidak tahu larangan karena baru saja masuk Islam atau dia hidup di hutan yang jauh dari ulama, shalatnya tidak batal. Demikian juga apabila makmum menambah rukun karena mengikuti imamnya. Apabila menambahkan rukun dilakukan karena lupa atau seseorang menambahkan selain rukun tersebut yakni rukun fi’li selain takbiratul ihram baik dengan sengaja atau lupa, maka shalatnya tidak batal menurut pendapat yang ashah. Contohnya mengulangi surat Al Fatihah dan mengulangi tasyahhud tanpa alasan. Namun dia sunat melakukan sujud sahwi jika melakukan sesuatu yang bila disengaja membatalkan shalat.

 

Keempat, melakukan gerakan sekali namun keras. Misalnya satu lompatan keras dan satu pukulan keras. Atau gerakannya tidak keras, namun bertujuan main-main, misalnya lompatan yang tidak keras dan tepuk tangan, meskipun tidak dengan memukulkan dua telapak tangan. Atau melakukan gerakan tiga kali yang berturut-turut meskipun dengan beberapa anggota badan apabila mandiri, baik sengaja, lupa atau karena tidak tahu namun tidak dimaafkan. Hal tersebut membatalkan, sebab memutuskan urutan shalat dan memberi kesan berpaling dari shalat.

 

Kelima, makan sedikit atau minum sedikit dengan sengaja meski dipaksa, baik dengan mengunyah atau tanpa mengunyah, meskipun biasanya benda itu tidak dimakan, misalnya debu. Contohnya minum sedikit adalah cairan gula dan ludah yang bercampur dengan lainnya. Apabila seseorang makan minum karena lupa bahwa dia sedang shalat atau tidak tahu haramnya makan minum dan dia baru saja masuk Islam atau hidup jauh dari ulama dan tidak mungkin sampai kepada ulama, maka shalatnya tidak batal karena makanan minuman yang sedikit menurut adat, dan batal shalatnya bila makanan minuman itu banyak, sebab makanan minuman yang banyak memutuskan urutan shalat, meskipun tidak membatalkan puasa bila lupa. Perbedaan antara shalat dan puasa adalah gaya shalat itu dapat mengingatkan orang yang lupa, sedangkan puasa tidak demikian. Di samping itu, shalat mempunyai beberapa perbuatan yang tertata, sedangkan perbuatan yang banyak memutuskannya. Lain halnya puasa, di mana perbuatan banyak tidak berpengaruh terhadapnya.

 

Keenam, melakukan sesuatu yang membatalkan orang puasa selain makan minum. Yakni ada benda masuk ke dalam rongganya, misalnya dia memasukkan kayu ke dalam lobang telinga.

 

Ketujuh, memutuskan niat, misalnya berniat keluar dari shalat, baik seketika atau setelah satu rakaat misalnya. Lain halnya berniat melakukan hal yang membatalkan shalat, maka shalat tidak batal, kecuali bila dilakukan. Orang puasa bila berniat keluar dari puasanya, puasanya tidak batal menurut pendapat yang ashah. Demikian juga orang yang berwudlu, bila dia berniat keluar dari wudlunya, maka wudlunya tidak batal. Namun sisanya membutuhkan niat. Perbedaannya adalah shalat itu lebih sempit, maka lebih terpengaruh oleh perbedaan niat.

 

Kedelapan, menggantungkan batalnya shalat dengan sesuatu yang terjadi di dalamnya atau mungkin terjadi dan tidak terjadi di dalam shalat. Misalnya berniat bila Zaid datang, maka aku membatalkan shalat atau niat sejenisnya. Maka shalat batal seketika.

 

Kesembilan, bimbang apakah akan membatalkan shalat atau tidak. Misalnya saat shalat tiba-tiba ada keperluan, lalu bimbang apakah akan menghentikan shalat atau meneruskannya. Maka shalat batal seketika. Yang dimaksudkan bimbang adalah ragu-ragu yang berlawanan dengan keyakinan.

 

Kesepuluh, bimbang mengenai hal yang diwajibkan dalam niat, misalnya bimbang apakah yang diniati Zhuhur atau Ashar. Atau bimbang mengenai sebagian hal yang diwajibkan dalam takbiratul ihram, misalnya bimbang apakah dia takbiratul ihram saat menghadap kiblat ataukah setelah berdiri? Bimbang mengenai syarat shalat juga membatalkan shalat, misalnya thaharah. Bimbang di atas membatalkan shalat bila waktunya lama menurut adat, yaitu waktu untuk membaca ”  ” Atau waktunya tidak lama, namun dia melakukan rukun fi’li atau gauli. Dengan demikian dapat diketahui, bila waktunya bimbang tidak lama dan tidak melakukan rukun sama sekali, yakni dia ingat segera, maka bimbang tidak apa-apa. Kaidah lamanya waktu di sini adalah waktu yang cukup untuk melakukan rukun yang pendek dan pendeknya waktu adalah waktu yang tidak cukup untuk hal tersebut, misalnya ada hal yang terbersit dalam hati, lalu sirna seketika.

 

Kesebelas, memutuskan rukun fi’li demi sunat, seperti orang yang berdiri dari sujud kedua karena lupa tahiyat awal, kemudian dia kembali duduk untuk membaca tahiyat awal setelah dia bangkit dan bisa disebut berdiri. Hal tersebut membatalkan jika dia tahu bahwa kembali itu haram dan sengaja. Maka shalatnya batal karena dia menambah duduk tanpa alasan. Lain halnya memutuskan rukun gauli demi sunat, misalnya memutuskan Al Fatihah demi membaca ta’awwudz atau iftitah, maka tidak haram dan hanya makruh. Apabila kembali karena lupa bahwa dia sedang shalat atau lupa haramnya kembali duduk, maka tidak batal shalatnya. Namun dia harus kembali berdiri segera bila ingat dan sunat sujud sahwi karena hal itu membatalkan shalat bila disengaja. Demikian juga shalatnya tidak batal bila dia tidak tahu haramnya hal tersebut menurut pendapat yang ashah meskipun dia berbaur dengan ulama, sebab masalah ini termasuk hal yang samar bagi orang awam. Dia harus segera berdiri ketika telah tahu dan dia sunat melakukan sujud sahwi, sebab dia menambahkan duduk di selain tempatnya. Apabila dia kembali ke tahiyat awal sebelum berdiri tegak, maka tidak batal shalatnya sebab dia belum melakukan fardlu. Dia sunat kembali duduk tahiyat awal dan sujud sahwi bila dia lebih dekat kepada berdiri daripada duduk. Lain halnya apabila dia lebih dekat kepada duduk atau sama ke berdiri dan ke duduk, maka tidak perlu sujud sahwi. Ounut dalam hal tersebut sama dengan tahiyat awal. Bila seseorang lupa gunut, lalu ingat saat sujud, maka batal shalatnya bila dia kembali gunut setelah sujud dan dia tahu. Bila dia kembali gunut sebelum sempurna sujudnya, yaitu belum sempurna meletakkan ke tujuh anggota badan sujud, maka shalatnya tidak batal, sebab dia belum melakukan fardlu. Dia sunat kembali berdiri untuk gunut dan sunat sujud sahwi apabila sudah sampai batas ruku’. Jika belum sampai batas ruku’, maka tidak perlu sujud sahwi.

 

Kedua belas, tetap melakukan rukun bila yakin belum melakukan rukun sebelumnya atau bimbang apakah rukun itu telah dilakukan atau belum. Dengan syarat waktunya lama menurut adat, yaitu minimal thumakninah. Dia harus kembali untuk melakukan rukun yang dia yakini belum dilakukan atau dibimbangkannya, terkecuali bila dia makmum yang tidak berniat mufaragah (keluar dari jama’ah), maka dia harus menambahkan satu rakaat setelah imamnya salam. Dia tidak boleh kembali untuk melakukan rukun tersebut, sebab dia harus mengikuti imamnya. Namun apabila yang belum dilakukan atau dibimbangkan itu satu sujud atau thumakninahnya dari rakaat terakhir, sedangkan dia tasyahhud bersama imamnya, maka dia harus kembali sujud sebagaimana dikutip Ahmad Al Maihid dari Al Madabighi.

 

Semua hukum di atas harus diketahui oleh setiap muslim dan harus dipelajarinya, meskipun dengan bepergian ke negeri yang jauh. Allah swt. berfirman: 

 

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (OS. At Taubah: 122)

 

Arti ayat di atas sebagaimana dikatakan Ar Ramli adalah hendaknya dari kelompok yang banyak ada kelompok yang sedikit dan cukup untuk memperdalami ilmu agama Islam dan mau bersusah payah untuk memperolehnya. Tujuan mereka mempelajari ilmu agama Islam hendaknya adalah memberi peringatan dan nasehat kepada kaum mereka.

 

 

 

Wudlu, shalat dan mandi mempunyai sunat yang sangat banyak. Barangsiapa ingin hatinya hidup dan beruntung disisi Tuhannya, hendaknya dia mempelajarinya dan mengamalkannya. Yang tidak melakukannya hanya orang yang meremehkan agama Islam atau orang yang berpaling dari Islam atau orang yang lupa fadlilah sunat itu. Nabi saw. bersabda:

 

“Tidak sempurna shalat salah satu dari kalian sampai ia menyempurnakan wudlu.”

 

Di antara sunat wudlu dan mandi adalah sebagai berikut:

  1. Membaca Bismillah bersamaan dengan niat.
  2. Melanggengkan niat.
  3. Menggosok.
  4. Mengulangi tiga kali.
  5. Tidak mengibaskan.
  6. Tidak meminta tolong.
  7. Tidak berbicara kecuali karena terpaksa.
  8. Menghadap kiblat.
  9. Berturut-turut.
  10. Dzikirsetelahnya bila tidak ada waktu lama antara wudhu mandi dan dzikir.

 

Contoh dzikir tersebut adalah:

 

“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwasanya Muhammad hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang banyak bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersesuci. Maha Suci Engkau ya Allah, ampunilah untukku dosaku, luaskanlah untukku di rumahku, berkahilah aku dalam rezekiku dan janganlah Engkau memfitnah aku dalam hal yang Engkau jauhkan dariku.”

 

Sunat air untuk wudlu tidak kurang dari satu mud danair mandi tidak kurang dari satu sha’ apabila tinggi badan orang yang bersangkutan mirip dengan tinggi badan Nabi saw. dan halusnya. Bila tidak demikian, maka sunat menambah dan mengurangi air sesuai dengan badannya.

 

 

 

Sunat shalat ada dua macam, yaitu ab’adl dan haiat. Sunat ab’adl shalat adalah sebagaimana berikut:

 

  1. Tasyahhud awal dan hal terakhir.
  2. Ounut dan hal terakhir pada i’tidal rakaat kedua Shubuh dan i’tidal akhir rakaat witir Ramadlan pada setengah bulan kedua.

 

Sedangkan sunat haiat adalah segala hal yang diperintahkan dalam shalat selain rukun, syarat dan ab’adl.

 

 

 

Termasuk hal yang sangat dianjurkan untuk diketahui adalah mengerti dzikir shalat dan mengerti maknanya agar makna itu dihadirkan dalam hati, meskipun secara gelobal agar orang yang bersangkutan memperoleh nikmat-nikmat yang besar. Para ulama besar berkata: “Seseorang tidak diberi pahala atas dzikir, kecuali apabila ia mengerti maknanya dan menghadirkannya, meskipun secara gelobal, kecuali Al-Qur’an dan shalawat Nabi saw., sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Asy Syabawi.”

 

Di sini kami menuturkan dzikir tersebut dengan singkat.

 

Hendaknya orang yang akan shalat setelah berdiri tegak sunat mengucapkan dengan lidahnya:

 

“Aku shalat Zhuhur empat rakaat ada’ menghadap kiblat makmum karena Allah Ta’ala. Allahu Akbar.”

 

Gantilah kata ”  ” dengan shalat lainnya. Jumlah rakaat shalat hendaknya disebutkan agar berbeda dengan shalat lainnya. Namun apabila jumlah rakaat salah dengan sengaja, maka shalat batal sebab yang diniati bukan yang terjadi. Menyebutkan jumlah rakaat dalam hati hukumnya sunat, sebagaimana sunatnya menuturkan ada’ dan gadla, meskipun dalam shalat sunat, agar shalat itu berbeda dengan lainnya. Demikian juga sunat menuturkan ”  ” dan ”   ” untuk menyatakan ikhlas dan karena ada ulama yang mewajibkannya.

 

Bila menjadi imam, gantilah kata ” ” dengan” “. Bila shalat sendirian, janganlah mengucapkan satupun dari keduanya. Setelah takbiratul ihram dan setelah diam sebentar, bacalah dengan pelan, baik shalatnya fardlu maupun sunat:

 

“Saya menghadapkan muka saya kepada Tuhan pencipta langit dan bumi dengan rendah hati dan sejujur-jujurnya sebagai seorang muslim, bukan sebagai seorang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah saya diperintah, dan saya sebagian dari orang Islam.”

 

Setelah diam sebentar, ucapkan dengan pelan:

 

“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.” . Kemudian setelah diam sebentar, ucapkan:

 

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

 

‘ Dengan nama Allah’ yakni dengan dzat Allah atau dengan pertolongan Allah, Raja Agung satu-satunya yang kita sembah, dengan taufik-Nya dan berkah nama-Nya. ‘Yang Maha Pengasih’ yakni yang penciptaan dan pertolongan-Nya merata pada seluruh makhluk. ‘Maha Pemurah’ yakni yang memberikan ridla-Nya hanya kepada mereka yang mencintaiNya dari makhluk.

 

‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam’ yakni Raja seluruh makhluk.

 

‘Maha Pemurah’ yakni memberikan nikmat kepada seluruh hamba. ‘Lagi Maha Penyayang’ yang memberikan surga hanya kepada para wali-Nya.

 

‘Yang menguasai hari pembalasan’ “. ” dengan alif artinya Penguasa seluruh urusan pada hari kiamat. ”   ” tanpa alif artinya yang memberikan perintah dan larangan pada hari kiamat tanpa penghalang maupun sekutu. Penyebab kelima Asma disebutkan adalah seakan-akan Allah berfirman: “Pertama kali Aku menciptakanmu, maka Aku-lah Allah. Kemudian Aku mendidikmu dengan nikmat, maka Allah Tuhan. Kemudian kamu durhaka, lalu Aku menutupi dosamu, maka Aku-lah Maha Pemurah. Kemudian Aku menerima taubatmu, maka Aku-lah Maha Penyayang. Kemudian Aku pasti membalasmu, maka Aku-lah Penguasa hari pembalasan.”

 

‘Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan’ kami hanya menyembah Engkau dengan meyakini keesaan-Mu, menaatiMu dengan anggota badan kami dan kami hanya meminta pertolongan-Mu untuk beribadah dan lainnya.

 

‘Tunjukilah kami jalan yang lurus’ tambahkanlah petunjuk kepada kami menuju agama yang benar dan jadikanlah kami selalu mendapat petunjuk terhadapnya. ‘ Yaitu) jalan orangorayng yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka’ berupa hidayah, yaitu para nabi, shiddig, syahid dan orang saleh. ‘Bukan (jalan) mereka yang dimurkai’ yakni kaum Yahudi, sebab Allah berfirman:

 

“Katakanlah (Muhammad), “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) disisi Allah? Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, diantara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah Tagut.” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (OS Al Maidah: 60)

 

‘Dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat’ yakni kaum Nasrani, sebab Allah berfirman:

 

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orangorang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” (OS Al Maidah: 77)

 

Dan karena Nabi saw. bersabda:

 

“Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai adalah Yahudi dan sesungguhnya orang-orang yang sesat adalah kaum Nasrani.” (HR. Ibnu Hibban)

 

Setelah diam sebentar, ucapkan:

 

Yakni ya Allah kabulkanlah doa kami.

 

Setelah itu, bacalah surat dari Al-Qur’an setelah diam sebentar bila sendirian dan setelah diam yang lama kirakira seperti lamanya membaca Al Fatihah bila imam, agar makmum membaca Al Fatihah dan agar makmum mendengar bacaan imam setelah itu. Sebagian ulama berkata: “Pada saat diam tersebut, imam disunatkan mengucapkan:

 

“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dengan kesalahankesalahanku seperti Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku seperti pakaian yang putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, bersihkan kesalahan-kesalahanku dengan air, es dan embun.”

 

Artinya bersihkanlah aku dari dosa-dosa. Penuturan halhal di atas adalah agar sangat dibersihkan. Doa tersebut disunatkan setelah takbiratul ihram dan termasuk doa iftitah.

 

Setelah diam sebentar, ucapkan ketika akan ruku'”  ‘. Setelah berada dalam posisi ruku’, ucapkan tiga kali, meskipun menjadi imam:

 

“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan dengan memuji-Nya.”

 

Maha Agung artinya yang tidak ada permulaan bagi keagungan-Nya dan kebesaran-Nya tidak ada akhir. Maka Allah-lah yang sempurna dzat dan sifat-Nya. ‘Dengan memujiNya’ artinya aku mensucikan-Nya disertai memuji-Nya. Tiga kali adalah kesempurnaan minimal dan paling sedikit adalah sekali. Yang paling sempurna adalah sebelas kali, di bawahnya sembilan kali, tujuh kali dan lima kali.

 

Ketika akan i’tidal, ucapkan:

 

“Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya.”

 

Yakni semoga Engkau menerima pujian dari orang tersebut. Ketika ingin i’tidal, ucapkan ”  ” lalu ucapkan setelah tegak berdiri:

 

“Ya Tuhan kami, bagi-Mu segala puji yang memenuhi langit, memenuhi bumi dan memenuhi sesuatu yang Engkau kehendaki setelah keduanya.”

 

Yakni puji yang banyak, suci dan diberkahi. Contoh benda setelah bumi dan langit adalah Kursi, Arasy dan lainnya yang seluruhnya hanya diketahui oleh Allah. Ucapan di atas disunatkan meskipun bagi imam, yakni baik makmum rela imam shalat lama ataupun tidak. Lain halnya menurut ulama yang berkata: “Yang disunatkan bagi imam hanyalah ucapan ” “

 

Ketika akan sujud pertama, ucapkan ”  “, lalu ucapkan ketika sujud pertama tiga kali, sebagaimana dalam ruku’:

 

“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi dan dengan memuji-Nya.”

 

Yakni Tuhan yang sangat tinggi derajat-Nya, sampai tidak ada derajat di atasnya. Rahasia penggunaan kata ‘”   ” untuk ruku’ dan kata ”   “untuk sujud adalah kata ”   ” berbentuk af’al tafdlil, sedangkan sujud adalah puncak tawadlu’, sebab kening yang merupakan anggota badan paling mulia diletakkan pada tempat berpijaknya telapak kaki. jtulah sebabnya, sujud lebih utama daripada ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh Ar Ramli.

 

Ucapkan”   ” ketika akan duduk, kemudian ucapkan ketika telah bangkit:

 

“Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, tamballah aku, angkatlah aku, berilah aku rezeki, berilah aku petunjuk, . sehatkanlah aku dan maafkanlah aku.”

 

“Ampunilah aku” yakni tutupilah dosaku. “Rahmatilah aku” dengan rahmat yang luas sehingga aku meraih derajat yang tinggi. “Tamballah aku” yakni cukupilah aku dengan menutupi kemelaratanku. “Angkatlah aku” ke derajat tertinggi. “Berilah aku rezeki” dengan rezeki arwah dan badan, yaitu ilmu, makrifat, makanan pokok, pakaian dan lainnya. “Berilah aku petunjuk” tetapkanlah aku atas hidayah Islam, nikmat paling besar. “Sehatkanlah aku” yakni jauhkanlah segala sesuatu yang tidak aku suka dariku. “Maafkanlah aku” yakni hapuslah dosa dariku. Perbedaan antara “‘ :   “(ampunan) dan ”   (maaf) adalah yang kedua bisa terjadi setelah siksa, sedangkan yang pertama tidak mungkin beserta siksa.

 

Orang yang shalat sendirian dan makmum yang imamnya melamakan shalatnya dianjurkan menambahkan:

 

“Tuhanku, berilah aku hati yang takwa, bersih dan bebas dari syirik, bukan yang kafir maupun yang celaka.”

 

Demikian juga sunat menambahkan doa di bawah ini menurut pendapat sebagian ulama:

 

“Tuhanku, ampunilah, rahmatilah dan maafkanlah apa yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Mulia dan Maha Mulia.”

 

Ketika akan sujud kedua, ucapkan ”  “, kemudian ucapkan ketika sujud tiga kali:

 

 

“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi dan dengan memuji-Nya.”

 

Ketika ingin berdiri rakaat kedua, ucapkan ”  ” Takbir sunat dipanjangkan sampai rukun berikutnya agar tidak ada bagian dari shalat yang kosong dari dzikir, sebab tidak ada diam dalam shalat. Namun pemanjangan itu tidak boleh lebih dari tujuh alif, sebab tidak ada panjang lebih dari itu. Jika panjang lebih dari tujuh alif, maka haram.

 

Apa yang disebutkan mulai pembicaraan tersebut adalah satu rakaat. Pada rakaat selanjutnya, lakukanlah sebagaimana tadi, kecuali niat dan takbiratul ihram. Keduanya hanya ada pada rakaat pertama. Apabila shalatnya lebih dari dua rakaat, maka dianjurkan untuk duduk tasyahhud awal pada rakaat kedua. Pada duduk tersebut, ucapkan:

 

“Penghormatan yang diberkati, shalat dan amal saleh adalah milik Allah. Salam, rahmat dan berkah Allah untukmu wahai Nabi. Salam untuk kami dan untuk hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Ya Allah, bershalawatlah Engkau kepada Muhammad.”

 

Demikianlah riwayat Ibnu Abbas ra. dari Nabi saw. Sedangkan riwayat Ibnu Mas’ud ra. dari Nabi saw. adalah:

 

“Penghormatan, rahmat dan amal saleh adalah milik Allah.”

 

Riwayat Abu Musa Al Asy’ari ra. dari Nabi saw. adalah:

 

“Penghormatan, amal saleh dan rahmat adalah milik Allah “

 

Syahadat kedua menurut riwayat Ibnu Mas’ud ra. adalah

 

“Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

 

Demikian juga menurut riwayat Abu Musa, namun tanpa kata “. ” Demikian penjelasan An Nawawi dalam Al Adzkar.

 

Ketika ingin berdiri rakaat ketiga, ucapkan ”   Kemudian hendaknya berdiri dan melakukan sisa rakaat shalat, baik ketiga maupun keempat dan caranya sama dengan rakaat kedua. Hanya saja tidak perlu membaca surat setelah tasyahhud awal selain bagi makmum masbug (makmum yang jumlah rakaatanya tidak sama dengan imam). Sedangkan bagi makmum masbug, jika dia bisa membaca surat bersama imam, dia sunat membacanya pada rakaat pertama atau keduanya. bila tidak bisa pada rakaat tersebut, maka dia sunat membacanya pada dua rakaat terakhir dari shalatnya agar shalatnya tidak kosong dari surat. Dia sunat membaca surat tersebut dua kali pada rakaat ketiga Maghrib sebagai ganti pembacaan surat pada dua rakaat pertama.

 

Apabila seluruh rakaat telah dilakukan, baik tiga maupun empat, maka duduklah dengan duduk terakhir. Yang terbaik adalah duduk tawaruk, kecuali bila ingin melakukan’sujud sahwi karena melakukan hal yang menyebabkan sujud sahwi, maka yang terbaik iftirasy. Selain duduk terakhir, yang terbaik adalah iftirasy, baik yang shalat lelaki maupun wanita. Pada duduk terakhir tersebut, ucapkan:

 

“Penghormatan yang diberkati, shalat dan amal saleh adalah milik Allah. Salam, rahmat dan berkah Allah untukmu Wahai Nabi. Salam untuk kami dan untuk hamba-hamba Allah yang saleh, Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad uutusan Allah. Ya Allah, bershalawatlah Engkau kepada Muhammad, hamba dan utusan-Mu dan nabi yang umi dan kepada keluarga Muhammad, istrinya dan anak cucunya. Sebagaimana Engkau bershalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Berkahilah Muhammad nabi yang umi dan kepada keluarga Muhammad, istrinya dan anak cucunya. Sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim di alam semesta. Sesungguhnya Engkau Maha Memuji dan Maha Agung. Ya Allah, ampunilah untukku apa yang aku dahulukan, apa yang aku akhirkan, apa yang aku rahasiakan, apa yang aku tampakkan, apa yang aku berlebihan dan apa yang lebih Engkau ketahui daripada aku. Engkau-lah Yang mendahulukan dan Engkau-lah Yang mengakhirkan. Tiada tuhan selain Engkau. Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari siksa neraka, dari fitnah hidup dan mati, dari fitnah Masih Dajjal.”

 

“Penghormatan” adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menghormati orang lain, yaitu salam dan sanjungan sebagai raja dan sanjungan dengan kebesaran. Tujuannya adalah memuji Allah, bahwa Dia pemilik seluruh penghormatan dari makhluk. ‘ Yang diberkati’ artinya yang bertambah. ‘Salam’ adalah keselamatan dari cacat dan sejenisnya. ‘Untuk kami’ yakni para hadirin, yaitu imam, makmum, malaikat, jin dan manusia. ‘Hamba-hamba Allah yang saleh’ adalah orang yang menunaikan kewajibannya kepada Allah dan kepada sesama hamba. ”  yang terbaik adalah ”   untuk menunjukkan kesopanan kepada junjungan kita itu. “Keluarga Ibrahim” adalah Ismail, Ishag dan anak-anak keduanya. “Di semesta alam” yakni ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad dan jadikanlah semesta alam bershalawat kepadanya. Atau maksudnya khususkanlah shalawat bagi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Al Maihi dari Al Jamal. “Sesungguhnya Engkau Maha Memuji” yakni memuji ketaatan hamba dengan memberikan pahala dan memuji Dzat-Nya sendiri. Yakni Engkau agung, pemilik perbuatan yang indah, pemurah dan pemberi anugrah. Maka berilah kami apa yang kami minta dan janganlah Engkau tolak. Shalawat di atas adalah riwayat dari Ka’b bin Ujrah ra. dan lainnya dari Nabi saw., sebagaimana dijelaskan An Nawawi.

 

“Ya Allah, ampunilah untukku apa yang aku dahulukan” dari dosa. “Apa yang aku akhirkan” dari dosa apabila terjadi. “Apa yang aku rahasiakan” yakni aku sembunyikan dari perbuatan maksiat. “Apa yang aku tampakkan” aku lahirkan dari maksiat. “Apa yang aku berlebihan” dengan melakukan hal yang tidak ada gunanya, baik dosa maupun tidak, misalnya bermain-main. Perbuatan tersebut diserupakan dengan israf. “Dan apa yang lebih Engkau ketahui daripada aku. Engkaulah Yang mendahulukan dan Engkau-lah Yang mengakhirkan” Engkau-lah yang pada hakekatnya membuat apa yang terdahulu maupun yang belakangan dari aku.

 

Doa ini mulai dari awal sampai ” ” adalah doa yang terakhir kali diucapkan oleh Nabi saw. antara tasyahhud dan salam menurut riwayat Muslim dari Ali, sebagaimana dijelaskan oleh An Nawawi dalam Al Adzkar.

 

‘Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia’ yaitu ilmu dan ibadah atau rezeki yang halal. ‘Dan kebaikan di akhirat’ yaitu surga atau ampunan dan pahala. ‘Dan Jagalah kami dari siksa neraka’ dengan tidak masuk neraka sama sekali. Ali ra. berkata: “Kebaikan di dunia adalah wanita selaheh dan kebaikan di akhirat adalah surga dan bidadari. Siksa neraka adalah wanita yang buruk.” Sebenarnya doa ini

 

“tidak ditutur-kan oleh ulama dalam fikih maupun hadits menurut sepengetahuanku, namun doa ini baik, sebab disebutkan di dalam Al-Qur’an, di samping merupakan doa terbaik ketika thawaf. An Nawawi berkata dalam Al Adzkar: “Orang yang shalat boleh meminta apa yang dia inginkan dari urusan dunia dan akhirat dan dia boleh berdoa dengan doa-doa resmi maupun doa yang ia susun sendiri. Berdoa dengan doa resmi lebih utama.”

 

Aisyah ra. meriwayatkan, bahwa Nabi saw. berdoa ketika shalat:

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, aku berlindung kepada-Mu dari Masih Dajjal dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.”

 

Doa seperti ini ada dalam sebagian redaksi kitab ini. Makna Masih adalah mengelilingi seluruh dunia, kecuali Makah, Madinah, Masjid Al Aqsha dan gunung Sinai. Dajjal juga disebut Masih (dengan ) karena matanya buta satu. Arti Dajjal adalah pendusta atau pencampur aduk perkara. Ad Damiri berkata: “Doa ini diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dan sebagian ulama mewajibkannya. Thawus bahkan menyuruh orang shalat untuk mengulangi shalatnya jika tidak berdoa dengan doa ini.” Ini termasuk doa resmi yang paling baik. Doa terbaik lainnya adalah doa yang diriwayatkan Abu Bakar ra. dan diajarkan oleh Nabi saw. kepada beliau, yaitu:

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku menganiaya diriku dengan . antaya yang banyak dan besar dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa, kecuali Engkau. Maka berilah aku ampunan dengan ampunan dari sisi-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

 

Juga doa berikut yang diperintahkan di setiap tempat:

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu maaf dan kesehatan. Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu petunjuk, takwa, wirai dan kecukupan.” Sebagaimana dituturkan oleh An Nawawi dalam Al Adzkar.

 

Termasuk doa yang dianjurkan setelah tasyahhud adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ra. dari Nabi saw., yaitu :

 

“Ya Allah, satukanlah hati kami, damaikanlah kelompok kami yang bertengkar, tunjukkanlah kami ke jalan keselamatan, selamatkanlah kami dari kegelapan menuju cahaya, jauhkanlah kami dari hal-hal keji baik yang samar maupun yang tampak, berkahilah kami dalam telinga kami, mata kami, hati kami, istri kami dan anak cucu kami dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkau-lah Maha Penerima taubat dan Maha Pemurah. Jadikanlah kami mensyukuri nikmat-Mu, menyanjung dengannya dan menerimanya dan sempurnakanlah nikmat itu bagi kami.”

 

Doa ini sebaiknya banyak dibaca di luar shalat juga, sebab mampu mempersatukan hati banyak orang, sebagaimana dituturkan oleh sebagian wali.

 

Setelah itu, lakukan salam dengan mengucapkan:

 

“Salam, rahmat dan berkah Allah untuk kalian.” Kata terakhir yaitu ”  ” tidak ada dalam sebagian besar yedaksi kitab ini, sebab ulama fikih tidak menyunatkannya. Namun kata tersebut termaktub di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Wail ra, dia berkata: “Aku shalat bersama dengan Nabi saw., lalu beliau melakukan salam ke kanan: ”  ” dan ke kiri: ”   ” Demikian dituturkan oleh Ibnu Hajar Al Asgalani di dalam Bulugh Al Maram. Ahmad bin Hajar Al Haitami berkata dalam Fath Al Jawad: “Salam ke kanan dan ke kiri sunat disertai dengan kata ”  “tanpa ” ” menurut hal yang termaktub. Namun sunat menambahkan ” ” karena disebutkan dalam banyak riwayat.”

 

Sunat memisahkan antara salam pertama dan salam kedua, sebab yang pertama fardlu dan yang kedua sunat. Yang terbaik bagi makmum adalah mengakhirkan salam sampai imam menyelesaikan dua salam. Jika imam hanya melakukan satu salam, maka makmum tetap sunat dua salam, sebab makmum keluar dari jama’ah dengan salam pertama. Lain halnya tasyahhud awal, jika imam tidak melakukannya, makmum tidak boleh melakukannya, sebab makmum harus mengikuti imam sebelum salam.

 

Semoga Allah bershalawat dan bersalam kepada junjungan kita Muhammad dan kepada keluarga serta sahabatnya. Semoga puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Amin. Kami meminta kepada Allah agar menggabungkan kita dengan kelompok mugarrabin. Semoga Allah menerima syarah ini dan menjadikannya berguna bagi banyak orang dan semoga Allah melindungi aku dan karanganku dengan Asma A’zham-Nya agar aku meraih seluruh kebaikan. Sesungguhnya Dia Maha Derma, Pemberi anugrah dan Mulia. Semoga Allah mencurahkan shalawat, salam dan berkah terbaik kepada junjungan kita Muhammad, keluarganya, sahabatnya, istrinya dan anak cucunya, sebagaimana Dia bershalawat, bersalam dan memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya sebanyak hal yang diketahui-Nya dan sebanyak tinta kaliamt-Nya, selama masih ada yang ingat Allah dan ada yang lupa kepadaNya. Cukuplah Allah bagi kita dan Dia-lah yang terbaik yang diserahi. Tiada daya maupun upaya, kecuali dengan petolongan Allah Yang Tinggi dan Agung.”