Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Dan Terjemah [PDF]

Sebelum memasuki pembahasan inti buku ini, saya ingin mengemukakan kaidah-kaidah penting yang berkaitan dengan namanama dan sifat-sifat Allah.20

Kewajiban terhadap nash-nash al-Qur an dan as-Sunnah ialah menetapkan (memberlakukan) petunjuk (makna)nya menurut zhahirnya (yang tampak secara tekstual) tanpa mengubah. Hal itu karena Allah menurunkan al-Qur an dengan bahasa Arab yang jelas dan Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam berbicara dengan bahasa Arab, maka wajib menetapkan petunjuk (makna) kalam Allah dan sabda RasulNya sesuai arti dalam bahasa itu. Alasan lainnya, mengubah makna dari zhahirnya, berarti berkata atas nama Allah dengan tanpa ilmu, dan ini adalah haram, berdasarkan firmanNya,

“Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatanperbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar haq manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan sesuatu dengan Allah yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan berkata atas nama Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (Al-A’raf: 33).

 

Misalnya, firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (Al-Ma idah: 64).

 

Menurut zhahir ayat, bahwa Allah memiliki dua tangan yang hakiki, maka wajib menetapkan hal itu bagiNya.

 

Jika seseorang berkata, yang dimaksud dengan dua tangan adalah kekuatan.

 

Kami katakan kepadanya: “Ini memalingkan perkataan dari zhahirnya, dan tidak boleh berkata demikian karena ini termasuk berkata atas nama Allah dengan tanpa ilmu.”

Kaidah ini mencakup beberapa cabang:

Artinya, mencapai puncak keindahan, karena nama-nama ini berisikan sifat-sifat sempurna yang tidak ada kekurangan di dalamnya dari satu segi pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 

“Hanya milik Allah nama-nama yang paling indah.” (Al-A’raf: 180).

Misalnya, kata ar-Rahman (Yang Maha Pemurah). Ini adalah salah satu nama Allah, yang menunjukkan sifat yang sangat agung, yaitu rahmat yang luas.

 

Dari sini kita mengetahui bahwa ad-Dahr (masa) bukan termasuk nama Allah, karena ini tidak mengandung makna yang mencapai puncak keindahan.

 

Sedangkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Janganlah kalian mencaci maki masa, karena Allah adalah masa,” 21

 

Maknanya, ialah Pemilik masa yang bertindak padanya. Dalilnya adalah sabda beliau dalam riwayat kedua dari Allah (yang berfirman),

“Di tanganKu-lah segala urusan itu, Aku membolak-balikkan malam dan siang.”22

berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam dalam hadits yang masyhur,

 

“Aku memohon kepadaMu wahai Allah dengan semua nama milikMu, yang dengannya Engkau menamakan diriMu, atau Engkau turunkan dalam kitabMu, atau Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhlukMu, atau Engkau khususkan bagi diriMu dalam ilmu ghaib di sisiMu.”23

 

Apa yang Allah khususkan bagi diriNya dalam ilmu ghaib di sisiNya tidak mungkin bisa dibatasi dan tidak mungkin menjangkau seluruhnya.

Mempertemukan antara hadits ini dengan sabda Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa sallam, yang lain dalam hadits shahih,

 

“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama; barangsiapa yang menghitung-hitungnya, maka dia masuk Surga, “24

 

adalah bahwa makna hadits ini, bahwa di antara nama-nama Allah ada 99 nama yang barangsiapa menghitung-hitungnya (dengan melafazhkannya satu demi satu dalam dzikir), maka dia masuk Surga. Dan yang dimaksud bukanlah membatasi namanamaNya dengan jumlah ini.

 

Semisal dengan ini ialah anda mengatakan, “Aku punya seratus dirham yang aku hitung untuk sedekah.”25 Ini tidak menafikan bahwa anda memiliki dirham-dirham lainnya yang anda hitung untuk selain sedekah.

Maka nama-nama Allah tauqifiyyah; penetapannya hanya berdasarkan keterangan dari syariat, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Sebab, akal itu tidak mungkin mengetahui nama-nama yang menjadi haq Allah, sehingga wajib mendasarkan hal itu pada syariat. Alasan lainnya, karena menamakan Allah dengan nama yang tidak Dia sandangkan pada DiriNya atau mengingkari nama yang Dia sandangkan untuk DiriNya, adalah kejahatan terhadap hakNya. Maka wajib menempuh etika berkenaan dengan hal itu.

Keimanan kepada nama-nama Allah tidak sempurna kecuali dengan menetapkan semua itu.

 

Contoh yang tidak al-muta’addi (intransitif) al-Azhim (Yang Mahaagung). Keimanan kepadanya tidak sempurna hingga kita beriman dengan menetapkannya sebagai salah satu di antara nama-nama Allah yang menunjukkan pada DzatNya dan juga mengimani sifat yang dikandungnya, yaitu al-‘Azhamah (keagungan).

 

Dan contoh yang al-muta’addi (transitif) ar-Rahman (Yang Maha Penyayang). Keimanan kepadanya tidak sempurna hingga kita beriman dengan menetapkannya sebagai salah satu di antara nama-nama Allah yang menunjukkan pada DzatNya dan mengimani sifat yang dikandungnya, yaitu ar-Rahmah (kasih sayang), serta pengaruhnya, yaitu bahwa Dia menyayangi siapa yang dikehendakiNya.

Di dalamnya juga ada beberapa cabang:

 

Seperti: hidup, ilmu, kuasa, mendengar, melihat, bijaksana, belas kasih, tinggi, dan selainnya. Ini berdasarkan firmanNya,

 

“Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi.” (An-Nahl: 60).

 

Dan karena Tuhan itu sempurna, maka sudah pasti sempurna pula sifat-sifatNya.

 

Jika sifat itu kurang, tidak memiliki kesempurnaan, maka sifat ini tertolak bagiNya, seperti kematian, kebodohan, kelemahan, tuli, buta dan semisalnya. Hal itu karena Dia menghukum orangorang yang menyifatinya dengan kekurangan, dan Allah mensucikan DiriNya dari segala kekurangan yang mereka sifatkan kepadaNya. Begitu juga karena Tuhan tidak mungkin memiliki kekurangan, karena kekurangan itu menafikan rububiyyah (predikatnya sebagai Tuhan).

 

Sedangkan jika sifat itu sempurna dari satu aspek dan kurang dari aspek lainnya, maka sifat itu tidak ditetapkan bagi Allah secara mutlak dan tidak tertolak bagiNya secara mutlak, tapi harus ada perincian. Karena itu, sifat itu ditetapkan bagi Allah dalam keadaan ketika sifat itu sempurna, dan tertolak bagi Allah dalam keadaan ketika sifat itu tidak sempurna. Seperti makar, tipu daya dan semisalnya. Sifat-sifat ini sempurna bila berhadapan dengan semisalnya, karena ini menunjukkan bahwa pelakunya tidak lemah menghadapi musuhnya seperti yang dilakukannya. Tapi sifatsifat ini tidak sempurna di selain keadaan ini. Jadi, sifat-sifat itu ditetapkan bagi Allah pada keadaan pertama, bukan pada keadaan kedua.

 

 

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 

“Mereka membuat makar dan Allah membalas makar itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas makar.” (Al-Anfal: 30).

 

“Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat balasan tipu daya itu dengan sebenar-benarnya.” (Ath-Thariq: 15-16).

 

“Sesungguhnya mereka orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.” (An-Nisa : 142).

 

Dan ada ayat-ayat lainnya.

 

Jika ditanyakan, Apakah Allah disifati dengan “makar”, misalnya?

 

Jangan menjawab “ya”, dan jangan pula menjawab “tidak”. Tapi katakan, Dia melakukan makar terhadap siapa yang pantas mendapatkannya. Wallahu a’lam.

Tsubutiyyah, ialah sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi diriNya, seperti hidup, ilmu dan kuasa. Sifat-sifat ini wajib ditetapkan bagi Allah sebagaimana yang layak bagiNya, karena Allah menetapkannya bagi diriNya, dan Dia lebih tahu tentang sifatsifatNya.

 

 

 

 

 

 

Salbiyyah, ialah sifat-sifat yang Allah tiadakan dari diriNya, seperti zhalim. Sifat-sifat ini wajib ditiadakan dari Allah, karena Allah menafikannya dari diriNya. Tapi wajib meyakini ketetapan kebalikannya menurut cara yang paling sempurna; karena penafian itu tidak menjadi sempurna hingga mengandung penetapan.

 

Misalnya, firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang pun.” (Al-Kahfi: 49).

 

Maka, wajib menafikan kezhaliman dari Allah, disertai keyakinan tentang ketetapan sifat adil bagi Allah menurut cara yang paling sempurna.

Dzatiyyah, ialah sifat-sifat yang Dia senantiasa bersifatkan dengannya, seperti Sama’ (mendengar) dan Bashar (melihat).

 

Filiyyah, ialah sifat-sifat yang berkaitan dengan masyi ah (kehendak)Nya. Jika menghendaki, Dia melakukannya, dan jika menghendaki, Dia tidak melakukannya. Seperti Istiwa’ (bersemayam) di atas Arsy dan maji (datang). Adakalanya sifat itu dzatiyyah sekaligus fi’liyyah karena dua pertimbangan, seperti kalam (berbicara). Maka ini dengan mempertimbangkan pokok sifat adalah sifat dzatiyyah; karena Dia senantiasa berbicara. Sedangkan dengan mempertimbangkan satuan-satuan dari berbicara (kalam), maka ini adalah sifat fi’liyyah; karena kalam itu berkaitan dengan masyi ah (kehendak)Nya. Dia berbicara apa saja yang dikehendakiNya, dan kapan saja yang dikehendakiNya.

Pertama: Apakah sifat itu hakiki, dan mengapa?

 

Kedua: Apakah boleh menetapkan bentuk dan caranya, dan mengapa?

 

Ketiga: Apakah sifat itu semisal sifat makhluk, dan mengapa?

 

Jawaban dari pertanyaan pertama: Ya hakiki; karena pada asalnya perkataan itu hakiki, dan tidak boleh disimpangkan darinya kecuali berdasarkan dalil shahih yang menghalanginya.

 

Jawaban kedua: Tidak boleh menetapkan bentuk dan caranya, berdasarkan firmanNya,

 

“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputiNya.” (Thaha: 110).

 

Dan karena akal tidak mungkin mengetahui bentuk dan cara (kaifiyat) sifat-sifat Allah.

 

Jawaban ketiga: Sifat Allah itu tidak semisal dengan sifatsifat makhluk; berdasarkan firmanNya,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura: 11).

 

Alasan lainnya, karena Allah berhak dengan kesempurnaan yang paling sempurna yang tidak ada yang lebih tinggi darinya, sehingga tidak mungkin Dia disamakan dengan makhluk karena makhluk itu kurang.

 

 

Perbedaan antara tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dan takyif (menentukan bentuk dan cara sifat Allah):

 

Tamtsil adalah menyebutkan bentuk dan cara sifat yang terikat dengan misal.

 

Takyif adalah menyebut bentuk dan cara sifat tanpa terikat dengan misal.

 

Contoh tamtsil, ialah seseorang berkata bahwa tangan Allah seperti tangan manusia.

 

Contoh takyif (menentukan bentuk dan cara dari sifat Allah), ialah membayangkan tangan Allah memiliki bentuk tertentu yang tidak ada padanannya pada tangan makhluk. Tidak boleh membayangkan demikian.

Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak sesuatu dari nama-nama Allah atau sifat-sifatNya, dan memalingkan nash-nash dari zhahir (makna tekstual)nya. Mereka ini disebut juga golongan Mu awwilah (orang-orang yang menakwilkan nama dan sifat Allah).

 

Kaidah umum mengenai apa yang kita gunakan untuk membantah mereka ialah kita katakan bahwa; pertama, perkataan mereka menyelisihi zhahir (tekstual) nash-nash, kedua menyelisihi metode as-Salaf, ketiga tidak didasarkan pada dalil yang shahih. Dan adakalanya pada salah satu sifat terdapat alasan yang keempat atau lebih.

 

Berkata Syaikh, Imam, Muwaffaquddin, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan rahmat baginya:

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

 

[1]. Segala puji bagi Allah yang dipuji dengan segala bahasa, yang disembah di semua waktu, yang tiada satu tempat pun yang kosong dari ilmuNya, dan suatu urusan tidak melalaikanNya dari urusan yang lain. Dia Mahasuci dari keserupaan-keserupaan dan tandingan-tandingan, Mahasuci dari memiliki isteri dan anak. KeputusanNya berlaku terhadap semua hamba. Akal tidak bisa menyerupakanNya dengan memikirkan, dan hati tidak bisa memperkirakannya dengan membayangkanNya.

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. “(Asy-Syura: 11).

 

Dia memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang paling indah (luhur).

“Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy. KepunyaanNya-lah semua yang ada langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia yang telah tersembunyi. “(Thaha: 5-7).

 

Dia meliputi segala sesuatu dengan ilmuNya, menguasai semua makhluk dengan keperkasaan dan keputusan, dan meliputi segala sesuatu dengan rahmat dan ilmuNya.

 

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya. “(Thaha: 110).

 

Dia disifati dengan sifat-sifat yang dengannya Dia menyifati diriNya dalam kitabNya yang agung, dan melalui lisan NabiNya yang mulia.

 

Syarah:

 

  • Kata Lum’atul l’tigad

 

Lum’ah () dalam bahasa, digunakan untuk menyebut beberapa makna, di antaranya: 26 (yang mencukupi kebutuhan hidup). Makna ini paling tepat untuk tema buku ini. Jadi,

makna lum’atul i’tiqad di sini, ialah kadar yang cukup dari keyakinan shahih yang selaras dengan madzhab as-Salaf -semoga Allah meridhai mereka -.

 

Al-Itiqad, ialah keyakinan hati yang mantap. Jika ini selaras dengan kenyataan, maka ini keyakinan yang benar. Jika tidak, maka ini keyakinan yang rusak.

 

  • Isi Pendahuluan Buku Ini:

 

Pendahuluan yang disampaikan penulis (Imam Ibnu Qudamah) dalam buku ini mengandung:

 

  1. Memulai dengan basmalah dalam rangka mencontoh kitab Allah yang agung dan mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Makna Bismillahirrohmanirohim : (dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), ialah aku melakukan sesuatu ini dengan memohon pertolongan dan mencari keberkahan dengan semua nama dari nama-nama Allah yang disifati dengan rahmat yang luas.

Makna Allah adalah, yakni, yang disembah dengan kecintaan, pengagungan, penyembahan, dan kerinduan.

Ar-Rahman ialah Yang memiliki rahmat yang luas.

Ar-Rahim ialah Yang menyampaikan rahmatNya kepada siapa yang dikehendakNya dari makhlukNya.

Perbedaan antara ar-Rahman dengan ar-Rahim adalah bahwa yang pertama dengan mempertimbangkan rahmat sebagai sifatNya, dan yang kedua dengan mempertimbangkannya sebagai perbuatan bagiNya, Dia menyampaikannya kepada siapa saja yang dikehendakiNya dari makhlukNya.

 

 

  1. Sanjungan kepada Allah dengan pujian. Dan al-Hamd (pujian), ialah menyebut sifat-sifat sempurna pihak yang dipuji dan perbuatan-perbuatanNya yang terpuji disertai kecintaan dan pengagungan kepadaNya.

 

  1. Allah itu dipuji dengan segala bahasa, dan disembah di segala tempat. Maksudnya, Dia berhak dan boleh dipuji dengan segala bahasa, dan disembah di segala tempat (di muka bumi ini).

 

  1. Keluasan ilmu Allah, karena tiada satu tempat yang luput dari pengetahuanNya, kesempurnaan kekuasaanNya, dan meliputi segala sesuatu, di mana tidak ada suatu urusan pun yang melalaikanNya dari urusan yang lain.

 

  1. KeagunganNya, kebesaranNya, dan keterbebasanNya dari semua keserupaan dan tandingan yang menyerupai kesempurnaan sifat-sifatNya dari semua sisi.

 

  1. Allah tersucikan dari segala isteri dan anak; hal itu karena kesempurnaan ketidakbutuhanNya (kepada makhluk).

 

  1. Kesempurnaan kehendak dan kekuasaanNya, dengan berlakunya keputusanNya terhadap semua hamba, yang tidak bisa dihalangi oleh kekuatan raja atau banyaknya personel dan harta.

 

  1. Keagungan Allah itu melampaui apa yang dibayangkan, di mana akal tidak sanggup menyerupakanNya, dan hati tidak bisa membayangkan rupaNya; karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

 

  1. Allah dikhususkan dengan nama-nama yang maha indah dan sifat-sifat yang luhur.

 

  1. Istiwa(bersemayam)nya Allah di atas ArsyNya adalah tinggi dan Dia bersemayam di atasnya dengan cara yang layak bagiNya.

 

  1. Keumuman kekuasaanNya terhadap langit dan bumi, apa yang ada di antara keduanya, dan apa yang ada di dalam tanah.

 

  1. Keluasan ilmuNya, kekuatan keperkasaan dan hukumNya, serta bahwa makhluk tidak dapat meliputiNya dengan ilmu mereka karena keterbatasan pengetahuan mereka dari apa yang menjadi haq Tuhan Yang Mahaagung berupa sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan.

 

Semua sifat-sifat Allah Yang Maha Rahman yang disebutkan dalam al-Qur’ an atau diriwayatkan secara shahih dari al-Mushthafa Shallallaahu alaihi wa sallam, kita wajib beriman kepadanya, menerimanya secara bulatbulat, dan tidak menghadangnya dengan penolakan, takwil, tasybih atau tamtsil.

Sementara sifat-sifat yang musykil (tidak jelas), maka wajib menerimanya dari segi lafadznya 27, tidak mengusik maknanya. Kita

“Allah Yang Maha Rahman bersemayam di atas Arasy”,

kembalikan ilmu tentangnya kepada pengucapnya dan kita serahkan tanggung jawabnya kepada penukilnya, karena mengikuti ar-Rasikhin fi al-‘lm (orang-orang yang mendalam ilmunya), yaitu orang-orang yang dipuji Allah dalam KitabNya yang terang lewat firmanNya,

 

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. ” (Ali ‘Imran: 7).

 

Allah juga berfirman mencela orang-orang yang mencari-cari takwil ayat-ayat al-Qur’ anNya yang mutasyabih,

 

“Adapun orang-orang yang dalam hati mereka condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (Ali ‘Imran: 7).

 

Di sini Allah menjadikan sikap mencari-cari takwinya sebagai tanda kesesatan dan mengiringkannya dengan mencari fitnah dalam celaan, kemudian Dia menghalangi mereka dari apa yang mereka harapkan, dan memutus keinginan mereka dari apa yang mereka tuju, lewat firmanNya,

 

“Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. ” (Ali ‘Imran: 7).

Syarah:

 

  • Pembagian Nash-nash (Dalil-dalil) Terkait Sifat-sifat Allah dan Metode yang Ditempuh Orang-orang Terkait dengannya

 

Nash-nash al-Qur an dan as-Sunnah yang menyebutkan sifat-sifat Allah terbagi menjadi dua macam:

  1. Wadhih Jaliy (jelas lagi terang).
  2. Musykil Khafiy (tidak jelas lagi samar).

 

Yang wadhih (jelas), ialah yang jelas lafazh (kata) dan maknanya, maka wajib beriman kepadanya secara lafazh dan menetapkan maknanya menurut hakikatnya dengan tanpa penolakan, tanpa takwil, tanpa tasybih atau tanpa tamtsil; karena syara’ menyebut demikian, maka wajib mengimaninya dan menerima secara bulat-bulat.

 

Adapun yang musykil, ialah yang tidak jelas maknanya karena keglobalan petunjuk maknanya, atau keterbatasan pemahaman pembacanya, maka wajib menetapkan lafazhnya, karena syara’ menyebutkan demikian, dan tawaqquf (diam) mengenai maknanya dan tidak mengusiknya; karena ini musykil yang tidak mungkin bisa memutuskannya, maka kita kembalikan ilmu tentangnya kepada Allah dan RasulNya.

  • Metode yang Ditempuh Orang-orang Berkenaan dengan yang Musykil Ini Terbagi Menjadi Dua Jalan:

 

Metode pertama: Metode yang ditempuh ar-Rasikhin fil ‘ilm (orang-orang yang mendalam ilmunya), yaitu orang-orang yang beriman kepada ayat yang muhkam dan mutasyabih serta mereka berkata, “Semuanya dari sisi Tuhan kami.” Mereka tidak mengusik apa yang tidak memungkinkan mereka untuk bisa mengetahuinya dan meliputinya, sebagai sifat mengagungkan Allah dan RasulNya, serta beradab terhadap nash-nash syar’i. Mereka itulah orang-orang yang dipuji Allah dengan firmanNya,

 

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (Ali ‘Imran: 7).

 

Metode kedua: Metode yang ditempuh orang-orang sesat yang mengikuti ayat mutasyabih untuk mencari fitnah dan menghalangi manusia dari agama mereka dan dari metode as-Salaf ash-Shalih. Mereka berusaha mentakwil ayat mutasyabih ini kepada apa yang mereka inginkan, bukan kepada apa yang diinginkan Allah dan RasulNya. Mereka membenturkan nash-nash al-Qur an dan as-Sunnah satu sama lain, dan mereka berusaha mencela indikasinya dengan sanggahan dan kekurangan untuk menimbulkan keraguan pada kaum muslimin mengenai petunjuk maknanya dan membutakan mereka dari petunjuk yang terkandung padanya. Mereka itulah yang dicela Allah lewat firmanNya,

 

“Adapun orang-orang yang dalam hati mereka condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (Ali ‘Imran: 7).

 

Jelas atau tidak jelasnya nash-nash syar’i adalah suatu yang bersifat relatif, yang mana manusia berbeda-beda mengenainya tergantung ilmu dan daya pemahamannya. Adakalanya musykil (tidak jelas) bagi seseorang apa yang jelas bagi orang lain. Kewajiban pada saat mengalami kemusykilan, ialah mengikuti apa yang telah disebutkan, yaitu tidak mengusiknya dan gegabah dalam maknanya.

 

Adapun dari segi kenyataan nash-nash syar’i, maka segala puji bagi Allah tidak ada kemusykilan yang tidak seorang manusia pun yang mengetahui maknanya dalam perkara yang mereka butuhkan berupa urusan Akhirat dan dunia mereka. Sebab Allah menyifati al-Qur an sebagai cahaya yang terang, penjelasan bagi manusia, dan pembeda (antara yang haq dan yang batil). Dia menurunkannya sebagai penjelasan bagi segala sesuatu, petunjuk dan rahmat. Ini menuntut agar dalam nash-nash itu tidak ada suatu yang musykil dalam aspek kenyataannya, di mana tidak mungkin ada seorang pun dari umat ini yang bisa mengetahui maknanya

Radd (), ialah mendustakan dan mengingkari.

 

Misalnya: Seseorang mengatakan, Allah tidak memiliki tangan, baik secara hakiki maupun majazi (kiasan). Ini adalah kebatilan, karena ini merupakan sikap mendustakan Allah dan RasulNya.

 

* Takwil, ialah tafsir. Dan yang dimaksud dengan takwil di sini ialah menafsirkan nash-nash sifat dengan selain yang dikehendaki Allah dan RasulNya, serta menyelisihi penafsiran para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Pertama: Takwil yang muncul dari ijtihad dan niat yang baik, jika kebenaran tampak jelas baginya, maka dia menarik takwilnya. Ini dimaafkan, karena ini adalah ujung (akhir) dari kesanggupannya, sedang Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286).

 

Kedua: Takwil yang muncul dari hawa nafsu dan fanatisme, karena ini memiliki satu aspek dalam bahasa Arab. Ini adalah kefasikan bukan kekafiran, kecuali jika berisikan kekurangan menyangkut hak Allah, maka ini juga menjadi kekafiran.

 

Ketiga: Takwil yang muncul dari hawa nafsu dan fanatisme, dan tidak memiliki satu aspek pun dalam bahasa Arab. Ini adalah kekafiran, karena hakikatnya adalah mendustakan karena tidak memiliki satu aspek pun.

 

*Tasybih (menyerupakan), ialah menetapkan keserupaan bagi Allah berkenaan dengan hak-hak atau sifat-sifat yang menjadi kekhususan bagiNya. Ini adalah kekafiran, karena ini termasuk menyekutukan Allah, dan mengandung penistaan terhadap hak Allah, karena menyerupakanNya dengan makhluk yang tidak sempurna.

 

*Tamtsil (memisalkan), ialah menetapkan misal bagi Allah berkenaan dengan hak-hak atau sifat-sifat yang menjadi kekhususan bagiNya. Ini adalah kekafiran dan pendustaan terhadap firmanNya,

 

 

 

 

 

“Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan Dia.” (Asy-Syura: 11).

 

Ini juga mengandung penistaan terhadap hak Allah, karena menyerupakan (menyamakan)Nya dengan makhluk yang tidak sempurna.

 

Perbedaan antara tamtsil dan tasybih, adalah bahwa tamtsil itu menuntut persamaan dari semua aspek, berbeda dengan tasybih.

]. Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Rohimahullah  berkata mengenai sabda Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa sallam,

 

“Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia”,

juga sabda beliau Shallallaahu alaihi wa sallam,

 

“Sesungguhnya Allah akan dilihat pada Hari kiamat, ” 28 serta yang semisal dengan hadits-hadits ini,

“Kami mengimaninya dan membenarkannya, tanpa menentukan bentuk dan tanpa memaknainya (dengan makna yang bertentangan dengan zhahirnya) dan kami tidak menolak sedikit pun darinya. Kami menyadari bahwa apa yang dibawa Rasul  Shallallaahu alaihi wasallam adalah haq, dan kami tidak akan menyanggah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam. Kami tidak menyifati Allah lebih dari apa yang Dia sifatkan pada DiriNya dengan tanpa batas dan akhir.

 

“Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. “(Asy-Syura: 11).

 

Kami berkata sebagaimana yang telah dikatakanNya, dan menyifatiNya sebagaimana Dia menyifati DiriNya, tidak melampaui hal itu, dan penyifatan orang-orang yang menyifati tidak mencapai (hakikat persis)Nya. Kami beriman kepada al-Qur an sepenuhnya, baik yang muhkam maupun mutasyabihnya. Kami tidak membuang dariNya satu sifat pun dari sifat-sifatNya karena keburukan yang dilakukan orang, dan kami tidak melampaui al-Qur an dan hadits. Sementara kami tidak tahu hakikat (persis)nya kecuali dengan membenarkan Rasul dan menetapkan al-Qur’ an.29

Syarah:

 

  • Faedah-faedah yang Terkandung dalam Pernyataan

Imam Ahmad  Rohimahullah  Mengenai Hadits-hadits Nuzul (Allah Turun) dan Semisalnya

 

Isi pernyataan Imam Ahmad yang dinukil mu allif (penulis matan) sebagai berikut:

 

  1. Wajib beriman dan membenarkan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berupa hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah dengan tanpa menambah dan mengurangi, tanpa batasan dan akhir.

 

  1. Bahwa sifat-sifat itu tanpa menentukan bentuk dan caranya dan tanpa memaknai, yakni tanpa menetapkan bentuk dan cara dari sifat-sifat ini. Karena menentukan bentuk dan caranya tertolak sebagaimana alasan yang telah dikemukakan sebelumnya. Maksudnya bukanlah sifat-sifatNya tidak memiliki bentuk dan cara, karena sifat-sifatNya itu tetap secara hakiki, dan segala sesuatu yang tetap itu sudah pasti memiliki bentuk dan cara, tapi bentuk dan cara sifat-sifat Allah tidak kita ketahui.

 

Kata (tanpa memaknai), yakni kita tidak menetapkan untuknya makna yang menyelisihi zhahirnya sebagaimana yang dilakukan para penganut takwil. Maksudnya bukanlah menafikan makna shahih yang selaras dengan zhahirnya sebagaimanayang dilakukan as-Salaf. Sebab ini ditetapkan, dan ini ditunjukkan oleh pernyataannya, “Dan kami tidak menolak sedikit pun darinya, dan menyifatiNya sebagaimana Dia telah menyifati diriNya. Kami tidak membuang dariNya satu sifat pun dari sifat-sifatNya karena keburukan yang dibuat, dan kita tidak mengetahui hakikat hal itu.” Sebab menafikannya untuk menolak sesuatu darinya, dan menafikannya karena mengetahui hakikatnya, adalah bukti atas penetapan makna yang dimaksud.

 

  1. Wajib beriman kepada al-Qur an secara keseluruhan, baik muhkamnya, yaitu ayat-ayat yang sudah jelas maknanya, maupun mutasyabihnya, yaitu ayat-ayat yang tidak jelas maknanya. Ayatayat yang mutasyabih kita kembalikan kepada yang muhkam agar menjadi jelas maknanya. Jika belum jelas, maka wajib beriman kepadanya dari segi lafazh, dan kita serahkan maknanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

***

 

[4]. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

 

“Saya beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah sebagaimana yang dimaksud Allah, dan saya beriman kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan kepada apa yang datang dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam sebagaimana yang dimaksud Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.” 30

Syarah:

 

  • Faedah-faedah yang Terkandung dalam Pernyataan Imam asy-Syafi i

Pernyataan Imamasy-Syafi’i mengandung hal-hal sebagai berikut:

 

  1. Beriman kepada segala yang datang dari Allah dalam Kitab-Nya yang terang, sesuai apa yang diinginkan (dimaksud) oleh Allah, tanpa menambah, mengurangi, dan menyimpangkan.

 

  1. Beriman kepada segala yang datang dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sesuai apa yang diinginkan (dimaksud) oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tanpa menambah, mengurangi, dan menyimpangkan.

 

Perkataan ini berisikan bantahan terhadap penganut takwil dan penganut tamtsil karena masing-masing dari mereka tidak beriman kepada segala yang datang dari Allah dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sesuai apa yang diinginkan Allah dan RasulNya. Sebab ahli takwil mengurangi, dan ahli tamtsil menambah.

]. Inilah jalan yang ditempuh as-Salaf dan para imam khalaf. Mereka semua bersepakat untuk mengakui, membiarkan dan menetapkan sifat-sifat yang disebutkan dalam Kitab Allah dan Sunnah RasulNya tanpa berusaha mena wilkannya.

Syarah:

 

  • Metode yang Ditempuh as-Salaf Berkenaan dengan Sifat-sifat Allah

 

Jalan yang ditempuh as-Salaf berkenaan dengan sifatsifat Allah adalah mengakui dan menetapkan sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, tanpa berusaha mentakwilnya dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan apa yang dimaksud Allah dan RasulNya.

 

***

Sungguh kita diperintahkan agar mengikuti jejak mereka (as-Salaf ash-Shalih) dan mengambil petunjuk dengan cahaya mereka, serta kita diperingatkan dari ajaran-ajaran baru yang diada-adakan. Kita diberi kabar bahwa itu termasuk kesesatan, lewat sabda Nabi  Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah alKhulafa’ ar-Rasyidin al-Mahdiyyin. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham (peganglah erat-erat). Jauhilah ajaran-ajaran baru yang diada adakan, karena setiap ajaran baru yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan. “31

 

Syarah:

 

Meneladani as-Salaf berkenaan dengan hal itu adalah wajib, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham (peganglah erat-erat), jauhilah ajaranajaran baru yang diada-adakan, karena setiap ajaran baru yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Dan dia berkata, “Hasan shahih.” Hadits ini dinyatakan shahih oleh alAlbani dan sekelompok ahli hadits lain].32

 

  • Sunnah dan Bid’ah serta Hukum Masing-masing dari Keduanya

 

*Sunnah, menurut bahasa ialah cara (metode).

 

Menurut istilah, ialah apa yang dipegang teguh oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat beliau berupa keyakinan atau perbuatan.

 

Mengikuti Sunnah adalah wajib, berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta’ala ,

 

“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat.” (Al-Ahzab: 21).

Dan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham (peganglah erat-erat).”

 

*Bid’ah, menurut bahasa, ialah sesuatu yang baru yang diada-adakan.

 

Menurut istilah, ialah ajaran baru yang diada-adakan dalam agama yang menyelisihi keyakinan atau amalan yang dianut Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan para sahabat beliau.

 

Bid’ah hukumnya haram; berdasarkan firmanNya,

 

 

 

 

“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa : 115).

 

Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Jauhilah ajaran-ajaran baru yang diada-adakan, karena setiap ajaran baru yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”

 

***

 

[7]. Abdullah bin Mas’ud  berkata,

 

“Ikutilah Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, dan jangan berbuat bid’ah; karena sungguh kalian telah dicukupi. “33

[8] Umar bin Abdul Aziz mengatakan suatu pernyataan yang maknanya,

 

“Berhentilah dimana kaum itu berhenti, karena mereka berhenti (pada sesuatu) berdasarkan ilmu, dan mereka menahan diri berdasarkan pandangan yang jauh, padahal mereka lebih kuat untuk menyingkapnya, dan lebih patut mendapat keutamaan seandainya keutamaan itu ada di dalamnya. Jika kalian mengatakan, ada ajaranajaran baru yang diada-adakan sepeninggal mereka, maka yang

 

mengada-adakannya hanyalah orang-orang yang menyelisihi petunjuk mereka dan membenci sunnah mereka. Sungguh mereka telah menerangkan apa yang sudah memadai, dan mereka telah membicarakan apa yang sudah mencukupi. Melebihi mereka adalah melampaui batas, dan kurang dari mereka adalah menyepelekan. Sungguh suatu kaum asal-asalan dalam mengikuti mereka sehingga mereka minim (kebaikan), dan kaum lainnya melampaui mereka sehingga berlebih-lebihan (ekstrim). Sementara mereka, karena berada di antara keduanya, sungguh di atas petunjuk yang lurus. “34

 

[9] Imam Abu Amr al-auza’i Rohimahullah berkata,

 

“Berpegang teguhlah dengan jejak-jejak peninggalan as-Salaf, meskipun manusia menolakmu. Dan hati-hatilah terhadap pendapat para tokoh, meskipun mereka menghiasinya untukmu dengan katakata (manis).”35

 

Syarah:

 

  • Atsar-atsar tentang Anjuran Mengikuti Sunnah dan Peringatan terhadap Bid’ah
  1. Dari perkataan sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu, sahabat mulia yang meninggal pada tahun 32 H. dalam usia 60 an tahun, beliau berkata,

 

“Beritiba’lah,” yakni berkomitmenlah mengikuti atsar-atsar (baca, sunnah-sunnah) Nabi Shallallaahu alaihi wasallam tanpa menambah dan mengurangi.

“Dan jangan melakukan bid’ah,” yakni janganlah mengada-adakan bid’ah dalam agama.

 

“Maka sungguh kalian telah dicukupi,” yakni orangorang yang lebih dulu masuk Islam telah mencukupi kalian dalam tugas agama, di mana Allah telah menyempurnakan agama bagi NabiNya, dan menurunkan firmanNya,

 

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian.” (Al-Ma idah: 3).

 

Maka (setelah itu) agama tidak membutuhkan penyempurna lalagi.

 

  1. 2. Dari perkataan tabi’in:

 

Amirul Mu minin Umar bin Abdul Aziz, lahir pada th. 63 H. dan wafat pada tahun 101 H, mengatakan kata-kata yang isinya sebagai berikut:

 

  1. Wajib berhenti di mana kaum itu berhenti. Yang dimaksud dengan kaum adalah Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan para sahabat beliau dalam perkara agama yang mereka anut, baik keyakinan maupun amalan. Karena mereka berhenti berdasarkan ilmu dan pengetahuan. Seandainya ajaran baru yang diada-adakan sepeninggal mereka itu lebih baik, niscaya mereka lebih patut dengannya.

 

  1. b. Ajaran baru yang diada-adalan sepeninggal mereka tidak lain hanyalah menyelisihi petunjuk mereka dan tidak menginginkan sunnah mereka. Jika tidak demikian, maka sungguh mereka telah menerangkan perkara agama yang sudah memadai, dan mereka telah membicarakan perkara agama yang sudah cukup.

 

 

  1. c. Sebagian orang ada yang asal-asalan dalam mengikuti mereka sehingga ia menjadi orang yang menyepelekan, dan sebagian orang ada yang melampui batas terhadap mereka sehingga dia menjadi orang yang berlebih-lebihan (ekstrim). Sedangkan jalan yang lurus adalah antara berlebih-lebihan dan menyepelekan.

 

  1. 3. Dari perkataan tabi’it tabi’in:

 

Al-Auza’i, Abdurrahman bin Amr (wafat th. 157) berkata: “Berpegang teguhlah dengan jejak-jejak peninggalan as-Salaf,” yakni tetaplah mengikuti jalan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, karena ini terbangun di atas dasar al-Qur an dan as-Sunnah.

 

“Meskipun manusia menolakmu,” yakni, menjauhimu.

 

“Hati-hatilah terhadap pendapat para tokoh,” yakni berhati-hatilah terhadap pendapat para tokoh, yaitu pendapatpendapat yang dikemukakan dengan sekedar pendapat tanpa bersandar pada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya Shallallaahu alaihi wasallam.

 

“Meskipun mereka menghiasinya,” yakni membagusbaguskan perkataan, karena kebatilan tidak akan berubah menjadi kebenaran dengan cara dibagus-baguskan.

 

***

 

[10]. Muhammad bin Abdurrahman al-Adrami berkata kepada seorang laki-laki yang membicarakan bid’ah dan mengajak manusia kepadanya,

 

 

 

“Apakah Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam , Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali mengetahuinya, ataukah mereka tidak mengetahui?” Orang itu menjawab, “Mereka tidak mengetahuinya.” la bertanya, “Sesuatu yang tidak mereka ketahui, apakah engkau mengetahuinya?” Orang itu mengatakan, “Aku katakan, Mereka mengetahuinya.” Dia berkata, “Apakah mereka memiliki keleluasaan untuk tidak membicarakannya dan tidak menyeru manusia kepadanya, ataukah mereka tidak memiliki keleluasaan?” Orang itu menjawab, “Ya, mereka memiliki keleluasaan.” Dia mengatakan, “Sesuatu yang meleluasakan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dan para khalifahnya tidak memberi keleluasaan kepadamu?” Orang itu pun diam, maka khalifah yang saat itu hadir berkata, “Semoga Allah tidak memberi keleluasaan kepada orang yang tidak merasa leluasa dengan apa yang membuat mereka leluasa.”

 

[11]. Demikian pula siapa yang tidak merasa leluasa dengan apa yang membuat leluasa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, para imam sepeninggal mereka, dan orang-orang yang mendalam ilmunya, yaitu membaca ayat-ayat sifat, membaca hadits-hadits tentangnya, dan memperlakukannya sebagaimana kedatangannya, semoga Allah tidak memberi keleluasaan kepadanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Syarah:

 

  • Perdebatan yang Berlangsung di Hadapan Khalifah antara al-Adrami dengan Seorang Pelaku Bid’ah

 

Saya tidak mendapatkan biografi al-Hadrami 36 dan orang yang 

berdebat dengannya, serta tidak mengetahui jenis bid’ah yang disebutkan (dalam debat) tersebut. Namun, yang penting adalah kita mengetahui tahapan perdebatan ini agar kita menjadikannya sebagai jalan mengenai tata cara berdebat dengan lawan. AlAdzarami (sebagaimana koreksi muhaqqiq) membangun perdebatannya ini dalam beberapa tahapan agar ia bisa beralih dari satu tahapan ke tahapan berikutnya hingga lawannya bungkam.

 

Tahapan pertama: Ilmu. Al-Adzarami bertanya kepadanya, Apakah Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan para khalifahnya mengetahui bid’ah ini? Pelaku bid’ah itu menjawab, bahwa mereka tidak mengetahuinya.

 

Pernyataan bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan para khalifah beliau tidak mengetahui, mengandung penistaan terhadap Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan para khalifah pengganti beliau, karena mereka tidak mengetahui apa yang merupakan perkara agama yang paling urgen. Di samping itu, ini adalah bantahan telak terhadap pelaku bid’ah ini, ketika mereka tidak mengetahuinya.

 

Karena itu, al-Adzarami beralih kepada:

 

Tahapan kedua: Jika mereka tidak mengetahuinya, maka bagaimana mungkin engkau mengetahuinya? Apakah mungkin Allah menutup dari RasulNya dan khalifah beliau, al-Khulafa arRasyidun, untuk mengetahui sesuatu dari syariat dan membukanya untukmu?

 

Pelaku bid’ah itu pun menarik kata-katanya seraya berkata, “Aku katakan, mereka mengetahuinya.

Silakan merujuk mukadimah Syaikh Abdul Qadir al-Arna uth dalam ta’liq beliau atas Lum’atul I’tiqad, di mana beliau juga mengingatkan koreksi ini secara singkat.

 

Kemudian dia beralih kepada:

 

Tahapan ketiga: Jika mereka telah mengetahuinya, apakah mereka memiliki keleluasaan, yakni apakah memungkinkan mereka untuk tidak membicarakan hal itu dan tidak menyeru manusia kepadanya, ataukah mereka memiliki keleluasaan? Pelaku bid’ah itu menjawab bahwa mereka memiliki keleluasaan untuk diam dan tidak berbicara. Maka, al-Adzarami berkata kepadanya, “Apakah sesuatu yang membuat leluasa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dan para khalifahnya tidak membuatmu leluasa?” Orang itu pun diam dan tidak bisa menjawab, karena pintu tertutup rapat di hadapannya.

 

Khalifah membenarkan pandangan al-Adzarami, dan ia mendoakan semoga Allah memberi kesempitan terhadap orang yang tidak merasa leluasa dengan apa yang membuat Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dan para khalifah beliau leluasa.

 

Demikianlah setiap pelaku kebatilan berupa bid’ah atau selainnya, sudah pasti kesudahannya adalah tidak bisa menjawab.

 

***

 

 

 

 

 

]. Di antara ayat-ayat sifat, ialah firman Allah,

 

“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. “(Ar-Rahman: 27).

 

Syarah:

 

  • Di antara Sifat-sifat Allah de yang Disebutkan PEnulis Matan

 

Penulis (Imam Ibnu Qudamah) menyebutkan di antara sifatsifat Allah adalah sifat-sifat berikut, dan kami akan membicarakannya sesuai urutan yang disebutkan penulis.

 

Sifat Pertama: Allah Memiliki Wajah

 

Wajah ditetapkan bagi Allah, berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

 

* Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27).

 

* Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda kepada Sa’d bin Abi Waqqash Rodliyallahu Anhu,

 

 

 

 

 

“Sesungguhnya engkau tidaklah menginfakkan suatu nafkah karena berharap bertemu Wajah Allah melainkan engkau diberi pahala karenanya. ” 37 (Muttafaq ‘Alaih)

 

*Dan as-Salaf bersepakat menetapkan wajah bagi Allah.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagiNya dengan tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah wajah hakiki yang patut bagi Allah.

 

Para penganut ta’thil menafsirkannya dengan pahala. Kami membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat (di awal buku ini).

 

***

Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Tetapi kedua Tangan Allah terbuka.” (Al-Ma idah: 64).

 

Syarah:

 

Sifat Kedua: Allah Memiliki Dua Tangan

 

Memiliki dua tangan adalah di antara sifat Allah yang ditetapkan bagiNya berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

 

* Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Tetapi kedua tangan Allah terbuka.” (Al-Ma idah: 64).

*Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Tangan kanan Allah penuh tidak berkurang karena menafkahkan, Dia Pemurah di waktu malam dan siang”, hingga sabdanya, “dan dengan TanganNya yang lain menggenggam; Dia meninggikan dan menurunkan.38 (Diriwayatkan oleh Muslim dan al-Bukhari juga meriwayatkan yang semakna dengannya).

 

* Dan as-Salaf bersepakat menetapkan dua tangan bagi Allah. Karena itu, wajib menetapkan keduanya bagiNya dengan tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

Keduanya adalah tangan hakiki bagi Allah yang layak bagiNya.

 

Sedangkan penganut ta’thil menafsirkan kedua tangan itu dengan nikmat, kekuasaan atau semisalnya.

 

Kita (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) membantah mereka dengan keterangan yang telah disebutkan dalam kaidah keempat, dan dengan aspek keempat bahwa pada kalimat itu terdapat perkara yang menghalangi untuk menafsirkannya dengan hal itu, seperti firmanNya,

 

“Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tanganKu.” (Shad: 75).

 

Dan, sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, “Di TanganNya yang lain menggenggam.”

 

Ada beberapa bentuk penyebutan sifat kedua tangan, bagaimana mengkompromikannya?

 

Pertama: Bentuk kata tunggal, seperti firman Allah gu,

 

“Mahasuci Allah Yang di TanganNya-lah segala kerajaan.” (AlMulk: 1).

 

Kedua: Tatsniyah (kata yang bermakna dua), seperti firman

 

Allah Subhana wa Ta’ala,      

 

“Tetapi kedua tangan Allah terbuka.” (Al-Ma idah: 64).

 

Ketiga: Kata jamak, seperti firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan tangan-tangan Kami sendiri.” (Yasin: 71).

 

 

 

Mempertemukan di antara bentuk-bentuk penyebutan ini, kami katakan:

 

Bentuk pertama adalah kata tunggal yang diidhafahkan (disandarkan) sehingga mencakup semua tangan yang ditetapkan bagi Allah, dan ini tidak menafikan dua tangan. Adapun kata jamak maka ini sebagai bentuk pengagungan, bukan hakikat jumlah yang berarti tiga atau lebih. Jika demikian berarti tidak menafikan dua tangan. Apalagi ada yang mengatakan, minimal jamak adalah dua. Jika jamak dibawakan kepada jumlah yang paling minimal, maka pada dasarnya tidak ada pertentangan antara jamak dan tatsniyah.

 

***

 

Firman Allah Subhana wa Ta’ala, mengabarkan tentang Nabi Isa bahwa beliau berkata,

 

“Engkau telah mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.” (Al-Ma idah: 116).

 

Syarah:

 

Sifat Ketiga: Allah Memiliki Diri

 

Memiliki Diri adalah sifat yang tetap dari bagi Allah berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

 

 

 

 

“Tuhan kalian telah menetapkan atas diriNya kasih sayang.” (Al-An’am: 54).

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Isa alaihissalam bahwa beliau berkata,

 

 

“Engkau telah mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.” (Al-Ma idah: 116).

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Mahasuci Allah dan segala puji bagiNya, sebanyak ciptaanNya, keridhaan diriNya, seberat timbangan ArsyNya, dan tinta kalimat-kalimatNya.”39 (Diriwayatkan oleh Muslim)

 

Dan as-Salaf sepakat atas tetapnya sifat nafs (diri) sebagaimana yang layak bagiNya.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagi Allah tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Dan datanglah Tuhanmu.”(Al-Fajr: 22).

 

 

Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada Hari Kiamat) melainkan datangnya Allah kepada mereka. “(Al-Baqarah: 210).

 

Syarah:

 

Sifat Keempat: (Datang)

 

Kedatangan Allah untuk memutuskan perkara di antara para hambaNya pada Hari Kiamat adalah tetap, berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ Salaf.

 

* Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Dan datanglah Tuhanmu.” (Al-Fajr: 22).

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada Hari Kiamat) melainkan datangnya Allah kepada mereka.” (Al-Baqarah: 210).

 

* Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Hingga ketika tidak tersisa lagi kecuali orang-orang yang menyembah Allah, maka Tuhan semesta alam datang kepada mereka.” (Muttafaq ‘Alaih, dalam hadits yang panjang).40

 

Dan as-Salaf bersepakat menetapkan sifat (datang) bagi Allah Subhana wa Ta’ala.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagi Allah dengan tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah kedatangan hakiki yang layak bagi Allah.

 

Para penganut ta’thil (golongan mu’aththilah) menafsirkannya dengan kedatangan perintahNya, dan kita membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat.

 

***

 

Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha terhadapNya. “(Al-Ma idah: 119).

 

Syarah:

 

Sifat Kelima: (Meridhai)

 

Ridha adalah salah satu di antara sifat-sifat Allah yang tetap bagiNya berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha terhadapNya.” (Al-Ma idah: 119).

 

* Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah benar-benar ridha kepada hamba bila dia makan makanan lalu memujiNya karenanya, atau meminum minuman lalu memujiNya karenanya.” (Diriwayatkan oleh Muslim).41

 

* Dan as-Salaf telah ijma’ menetapkan sifat ridha bagi Allah.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagi Allah dengan tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah keridhaan hakiki yang layak bagi Allah.

 

Para penganut ta’thil (golongan mu’aththilah) menafsirkannya dengan pahala, dan kita membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat.

 

***

 

Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya.” (AlMa idah: 54).

 

Syarah:

 

Sifat Keenam: (Mencintai)

 

Mahabbah (mencintai) adalah salah satu di antara sifat-sifat Allah yang ditetapkan bagiNya berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya.” (AlMa idah: 54).

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda pada saat perang Khaibar,

 

“Aku benar-benar akan memberikan panji ini esok hari kepada seseorang yang mencintai Allah dan RasulNya serta Allah dan RasulNya juga mencintainya.” (Muttafaq ‘Alaih). 42

 

*Dan as-Salaf telah sepakat (ijma’) menetapkan sifat  (mencintai) bagi Allah; Dia mencintai dan juga dicintai.

 

Karena itu, wajib menetapkannya secara hakiki tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah mahabbah (mencintai) hakiki yang layak bagi Allah.

Para penganut ta’thil (Mu’aththilah) menafsirkannya dengan pahala, dan kita membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat.

 

***

 

Firman Allah Subhana wa Ta’ala tentang orang-orang kafir,

 

“Dan Allah marah atas mereka. “(Al-Fath: 6).

 

Syarah:

 

Sifat Ketujuh:  (Marah)

 

 (marah)  merupakan salah satu di antara sifat-sifat Allah yang tetap bagiNya, berdasarkan al-Qur an, asSunnah dan ijma’ as-Salaf.

 

* Allah Subhana wa Ta’ala berfirman mengenai orang yang membunuh orang mukmin dengan sengaja,

 

“Dan Allah marah kepadanya dan melaknatnya.” (An-Nisa : 92).

 

* Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Sesungguhnya Allah menulis suatu ketetapan di sisiNya di atas Arsy: sesungguhnya rahmatKu mengalahkan marahKu.” (Muttafaq ‘alaih). 43

 

* Dan as-Salaf telah sepakat menetapkan sifat marah bagi Allah.

 

Karena itu, wajib menetapkannya secara hakiki dengan tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah kemarahan hakiki yang layak bagi Allah.

 

Sementara para penganut ta’thil (golongan Mu’aththilah) menakwilkannya dengan siksa. Kita membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat, dan dengan sisi keempat, bahwa Allah membedakan antara ghadhab (marah) dengan intiqam (siksa) lewat firmanNya,

 

 “ketika mereka membuat Kami murka,”

Yakni, mereka membuat Kami marah,

 

“kami siksa mereka,” (Az-Zukhruf: 55), di mana Dia menjadikan siksaan sebagai akibat kemurkaan, maka ini menunjukkan bahwa marah berbeda dengan siksa.

 

***

 

Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah.” (Muhammad: 28).

Syarah:

 

Sifat Kedelapan,  (Murka)

 

(murka) adalah salah satu sifat Allah yang tetap berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah.” (Muhammad: 28).

 

*Di antara doa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam adalah,

 

“Ya Allah, aku berlindung kepada ridhaMu dari kemurkaanMu dan pemaafanMu dari hukumanMu.”44 (Diriwayatkan oleh Muslim)

 

* Dan as-Salaf bersepakat menetapkan sifat (murka) bagi Allah.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagiNya tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah kemurkaan hakiki yang patut bagi Allah.

 

Sementara para penganut ta’thil (golongan Mu’aththilah) menafsirkan (menakwilkan)nya dengan siksa, dan kita membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat.

Dan firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka.” (AtTaubah: 46).

 

Syarah:

 

Sifat Kesembilan: (Membenci/Tidak Menyukai)

 

(membenci / tidak menyukai) dari Allah terhadap siapa yang pantas mendapatkannya, adalah salah satu sifat yang tetap bagi Allah berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka.” (AtTaubah: 46).

 

*Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai bagi kalian (perbuatan): banyak berbicara tanpa dasar, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). 45

Dan as-Salaf telah sepakat (ijma’) menetapkan sifat ini bagi Allah.

 

Karena itu, wajib menetapkannya secara hakiki tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah membenci secara hakiki yang patut bagi Allah.

 

Sementara para penganut ta’thil menafsirkan sifat membenci ini dengan menjauhkan.

 

Kita membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat.

 

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dari as-Sunnah, sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Tuhan kita yang Maha banyak kebaikanNya lagi Mahatinggi turun ke langit dunia pada setiap malam.” 46

 

Syarah:

 

Sifat Kesepuluh: (Turun)

 

Turunnya Allah ke langit dunia merupakan salah satu sifatNya yang ditetapkan berdasarkan, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

* Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Tuhan kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepadaKu, niscaya Aku mengabulkan baginya … ” (Muttafaq ‘Alaih)47

 

 

 

*As-Salaf sepakat (ijma’) menetapkan sifat (turun) bagi Allah.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagiNya tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah nuzul hakiki yang layak bagi Allah.

 

Sementara para penganut ta’thil menafsirkannya dengan turun perintahNya, atau rahmatNya, atau salah satu malaikatNya. Kita membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat, dan dengan sisi keempat, bahwa perintah dan sebagainya tidak mungkin berkata,

 

“Siapa yang berdoa kepadaKu, niscaya Aku mengabulkan untuknya.”

 

***

(Di antara hadits tentang Sifat Allah), sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Tuhanmu kagum terhadap pemuda yang tidak memiliki kecenderungan kepada (memperturutkan) hawa nafsu (keburukan). “48

 

Syarah:

 

Sifat Kesebelas: (Takjub/Kagum)

 

(takjub) merupakan salah sifat Allah yang tetap bagiNya berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

 * Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Bahkan kamu menjadi heran (terhadap keingkaran mereka) dan mereka menghinakan kamu.” (Ash-Shaffat: 12); menurut bacaan yang mendhammahkan ta’ (yang bermakna, “Aku heran”).49

 

* Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Tuhanmu kagum terhadap pemuda yang tidak memiliki kecenderungan (memperturutkan) hawa nafsu.” Diriwayatkan oleh Ahmad, dan ini terdapat dalam al-Musnad (4/ 151) dari Uqbah bin Amir secara marfu’, tapi dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah.50

*As-Salaf telah sepakat (ijma’) menetapkan sifat (heran, kagum) bagi Allah.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagiNya, tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah kekaguman hakiki yang layak bagi Allah.

 

Sementara para penganut ta’thil menafsirkannya dengan balasan, dan kita membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat.

 

 (kagum) itu ada dua macam:

 

Pertama, kagum yang terjadi karena sebab-sebabnya tidak diketahui oleh yang kagum, sehingga ia terkesima karenanya, menganggapnya besar, dan mengaguminya. Jenis kekaguman ini mustahil bagi Allah, karena Allah tidak ada suatu pun yang tersembunyi atau samar dariNya.

Kedua, sebabnya adalah keluarnya sesuatu dari padanan-

nya, atau dari apa yang semestinya demikian, disertai pengetahuan pihak yang mengaguminya. Inilah yang ditetapkan bagi Allah.

 

***

 

(Hadits lain tentang Sifat Allah), sabda beliau Shalallahu alaihi wasallam,

 

“Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh yang lainnya kemudian keduanya masuk Surga.”

 

Syarah:

 

Sifat Kedua Belas: Tertawa

 

 (tertawa) merupakan salah satu sifat di antara sifatsifat Allah yang ditetapkan bagiNya berdasarkan as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

 

* Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh yang lainnya, tapi kemudian keduanya masuk Surga.”

 

Kelanjutan hadits,

 

“Yang satunya berperang di jalan Allah lalu terbunuh, kemudian Allah menerima taubat yang membunuh itu (di mana dia kemudian masuk Islam dan berjihad) hingga dia mati sebagai syahid.”

 

 

 

 

 

 

(Muttafaq ‘Alaih). 51

 

As-Salaf telah sepakat (ijma’) menetapkan sifat tertawa bagi Allah.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagiNya tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah tertawa hakiki yang layak bagi Allah.

 

Sementara para penganut ta’thil menafsirkannya (menakwilkannya) dengan pahala, dan kita membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat.

 

***

[14]. Ini semua dan hadits-hadits semisalnya yang shahih sanadnya dan dinilai adil para rawinya, kita mengimaninya, tidak menolaknya, tidak mengingkarinya, tidak mentakwikkannya dengan takwil yang menyelisihi zhahimya, dan tidak menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk dan juga tidak dengan ciri-ciri hal-hal baru.52 Kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyerupaiNya dan tidak ada yang sepadan denganNya.

 

“Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. “(Asy-Syura: 11).

Semua yang dibayangkan di dalam pikiran dan terlintas di benak, maka Allah berbeda dengannya.

 

[15]. Dan di antaranya adalah firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy. “(Thaha: 5).

 

Syarah:

 

Sifat Ketiga Belas: (Bersemayam) di Atas Arsy Bersemayamnya Allah di atas Arsy merupakan salah satu sifat Allah yang tetap berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.”

 

( Thaha : 5).

 

Dan Allah menyebut Istiwa (bersemayam)Nya di atas ArasyNya, di tujuh ayat dalam al-Qur an.53

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah menulis suatu ketetapan di sisiNya di atas ArsyNya: sesungguhnya rahmatKu mendahului murkaku.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). 54

 

Dan Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunannya,

 

“Sesungguhnya jarak antara langit ke langit berikutnya mungkin 71, 72 atau 73 tahun …, ” – hingga beliau bersabda tentang Arsy, – “Jarak antara bagian bawahnya dengan bagian atasnya seperti jarak antara langit ke langit berikutnya, kemudian Allah di atas itu.” 55

Hadits ini juga Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan dalam sanadnya terdapat ‘illat (cacat) yang telah diberikan jawaban oleh Ibnul Qayyim dalam Tahdzib Sunan Abi Dawud (7/ 92-93).

 

*As-Salaf bersepakat menetapkan Istiwa’ (bersemayam)nya Allah di atas ArsyNya.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagiNya tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah bersemayam hakiki, yang maknanya berada tinggi di atas sana dan menetap sebagaimana yang layak bagi Allah.

 

Sementara para penganut ta’thil menafsirkannya dengan istila (menguasai), dan kita membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat. Kita tambah dengan sisi keempat, bahwa ia tidak dikenal dalam bahasa Arab dengan makna demikian.56 Dan, juga dengan sisi kelima, bahwa itu ber-

konsekuensi batil, seperti bahwa Arsy itu semula bukan kepunyaan Allah kemudian Dia menguasainya setelah itu.

 

Arsy, menurut bahasa, ialah singgasana yang dikhususkan bagi raja.

Menurut syariat, ialah Arsy agung yang di atasnya Allah Yang Maha Rahman lagi Maha Mahamulia dan Maha Agung bersemayam. Arsy adalah makhluk yang paling tinggi dan paling besar. Allah menyifatinya, bahwa ia adalah besar, mulia dan terpuji.

 

Sedangkan al-Kursi itu bukan al-Arsy, karena Arsy itu adalah yang Allah Subhana wa Ta’ala bersemayam di atasnya, sementara al-Kursi adalah letak kedua telapak kakiNya. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas,

 

“Al-Kursi adalah letak kedua Telapak Kaki, dan Arsy tidak ada seorang pun yang bisa memperkirakan ukuran (besar)nya.”57 (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadraknya, dan dia mengatakan, “Shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya”).58

 

Juga firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Apakah kalian merasa aman terhadap siapa (Tuhan) yang di langit. “(Al-Mulk: 16).

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam pernah berdoa,

 

“Wahai Tuhan kami, Allah Yang di langit, Mahasuci namaMu.”

Nabi Shalallahu alaihi wasallam juga pernah bertanya kepada seorang budak wanita,

 

“Di manakah Allah?’ Dia menjawab, ‘Di langit.’ Beliau berkata (kepada tuannya), Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia wanita beriman.” (Diriwayatkan oleh Malik bin Anas, Muslim dan para imam lainnya).

 

[16]. Nabi Shalallahu alaihi wasallam juga pernah berkata kepada Hushain,

 

“Berapa sembahan yang engkau sembah?’ Dia menjawab,’Enam di bumi dan satu di langit.’ Beliau bertanya, ‘Siapakah yang lebih engkau harapkan dan engkau takuti?’ la menjawab, ‘Yang di langit.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu tinggalkanlah yang enam dan sembahlah yang di langit, lalu aku akan mengajarkan dua doa kepadamu. “a pun masuk Islam, lalu Nabi mengajarkan kepadanya supaya mengucapkan, ‘Ya Allah, berilah aku ilham untuk kelurusanku, dan peliharalah aku dari keburukan diriku’.”

 

[17]. Di antara tanda-tanda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan para sahabat beliau yang dinukil dalam kitab-kitab terdahulu.

 

“Bahwa mereka bersujud di bumi dan mereka menyangka bahwa Tuhan Sembahan mereka di langit.”

 

 

 

 

 

 

 

[18]. Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Jarak antara langit ke langit berikutnya adalah perjalanan demikian dan demikian,”

dan seterusnya hadits ini hingga sabdanya,

 

“Dan di atasnya adalah Arsy, dan Allah di atas itu.

 

[19]. Ini semua dan semisalnya merupakan perkara yang telah disepakati as-Salaf untuk menukilnya dan menerimanya, dan mereka tidak pemah mencoba untuk menolaknya, mentakwikannya, menyerupakannya dan menyamakannya (dengan sifat makhlukNya).

 

Syarah:

 

Sifat Keempat Belas: (Tinggi)

 

 (tinggi) merupakan salah satu sifat Allah yang tetap bagiNya berdasarkan al-Qur’an , as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar. ” (Al-Baqarah: 255).

 

*Nabi Shalallahu alaihi wasallam berdoa dalam shalatnya saat bersujud,

 

 

 

 

 

 

“Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi. “59 (Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Hudzaifah).

 

*As-Salaf bersepakat menetapkan sifat (tinggi) bagi Allah.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagiNya, tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil,

la adalah tinggi hakiki yang layak bagi Allah.

 

(tinggi) terbagi menjadi dua macam:

 

Uluw (tinggi) sifat, dalam artian bahwa sifat-sifatNya adalah luhur tidak ada kekurangan dalam satu Sisi pun, dan dalilnya adalah apa yang telah disebutkan.

 

Uluw (tinggi) dzat, dalam artian bahwa dzatNya itu di atas semua makhlukNya, dan dalilnya adalah apa yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu:

 

Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Apakah kalian merasa aman terhadap siapa (Tuhan) yang di langit.” (Al-Mulk: 16).

 

Sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Wahai Tuhan kami, Allah Yang di langit, Mahasuci namaMu.

 

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud, dan dalam sanadnya terdapat Ziyadah bin Muhammad, kata al-Bukhari, “Hadits riwayatnya munkar”. 60

 

Sabda beliau kepada seorang budak wanita,

 

“Di manakah Allah?” Dia menjawab, “Di langit. ” Beliau berkata (kepada tuannya), “Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia wanita beriman.” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam kisah Mu’awiyah bin al-Hakam). 61

Begitu juga beliau bersabda kepada Hushain bin Ubaid alKhuza’i, ayah Imran bin Hushain,

 

“Kalau begitu tinggalkanlah yang enam dan sembahlah yang di langit.”

 

Inilah redaksi yang disebutkan mu allif, dan hadits ini disebutkan penulis al-Ishabah dari riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kisah keislamannya dengan redaksi selain ini. Hadits ini berisi pengakuan Nabi Shallallaahu alaihi wasallam terhadap Hushain, ketika dia mengatakan, “Enam di bumi dan satu di langit.” 62

 

* Dan as-Salaf telah sepakat (ijma’) atas ditetapkannya ketinggian dzat bagi Allah dan bahwa Dia di atas langit.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagiNya, tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

Sementara para penganut ta’thil mengingkari bahwa Allah dengan DzatNya di langit dan mereka menafsirkan maknanya, bahwa di langit terdapat kekuasaanNya atau semisalnya.

 

Kita membantah mereka dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat. Ditambah dengan sisi keempat, bahwa kekuasaan Allah di langit dan di bumi pula. Juga dengan sisi kelima, yaitu akal menunjukkan demikian karena ini sifat kesempurnaan. Ditambah dengan aspek keenam, fitrah menunjukkan demikian karena manusia diciptakan dengan fitrah bahwa Allah itu di atas langit.

 

  • Makna “Allah di Langit”

 

Makna yang shahih dari “Allah di langit” adalah bahwa Allah di atas langit. Fi (pada) bermakna ‘ala (di atas), dan ia bukan Li azh-Zharfiyyah (menunjukkan tempat); karena langit tidak meliputi Allah, atau bahwa Dia di ketinggian. Jadi, (langit) bermakna ‘uluw (tinggi), dan yang dimaksud dengannya bukanlah langit yang berbangun.

 

  • Peringatan Penting

 

Penulis matan, Imam Ibnu Qudamah Rodliyallahu Anhu menyebutkan bahwa dinukil dari sebagian kitab-kitab terdahulu bahwa di antara tanda tanda kebenaran kenabian Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam dan kebenaran para sahabat beliau, “Bahwa mereka bersujud di tanah dan menyangka bahwa Tuhan Sembahan mereka di langit.”

Penukilan ini tidak shahih, karena tidak memiliki sanad 63, dan karena keimanan kepada ketinggian Allah dan bersujud kepa-

daNya tidak dikhususkan untuk umat ini. Dan apa yang tidak dikhususkan tidak sah sebagai suatu tanda. Alasan lainnya, ungkapan dengan “menyangka” dalam perkara ini bukanlah pujian, karena kebanyakan menyangka itu terhadap perkara yang diragukan.

 

***

Imam Malik bin Anas pernah ditanya, “Wahai Abu Abdillah! Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy”, (Thaha: 5),

 

Bagaimana Dia bersemayam?

 

Dia menjawab, “Istiwa ‘ (bersemayam) itu bukan suatu yang tidak diketahui, sedangkan kaifiyah (bagaimana cara)nya bukan suatu yang diketahui berdasarkan akal, mengimaninya adalah wajib, dan menanyakan tentang (bagaimana cara)nya adalah bid’ah.” Kemudian dia memerintahkan agar orang tersebut diusir.” 64

 

Syarah:

 

  • Jawaban Imam Malik bin Anas bin Malik

 

Ayahnya bukanlah sahabat Anas bin Malik, tapi selainnya. Kakek Imam Malik adalah salah seorang pemuka tabi’in, dan ayah kakeknya adalah salah seorang sahabat. Imam Malik lahir pada th. 93 H. di Madinah, dan meninggal di sana pada th. 179 H ., dan dia ada di masa tabi’it tabi’in.

 

Imam Malik bin Anas ditanya, “Wahai Abu Abdillah:

 

“Allah Yang Maha Rahman bersemayam di atas ArsyNya”,

(Taha: 5), bagaimana dia bersemayam?”

 

Dia menjawab, “Istiwa’ itu bukan suatu yang tidak diketahui.” Yakni sudah diketahui maknanya, yaitu berada tinggi dan bersemayam.

 

“Sedangkan kaifiyah (cara)nya bukan suatu yang diketahui berdasarkan akal.” Yakni, cara Istiwa tidak diketahui dengan akal, karena Allah terlalu agung dan terlalu besar dari jangkauan akal untuk mengetahui bentuk dan cara sifatNya.

 

“Iman kepadanya,” yakni Istiwa (Allah bersemayam), “adalah wajib.” Karena ini disebutkan di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

“Sedang menanyakan tentang (cara)nya,” yakni menanyakan tentang cara (bersemayamnya Allah) itu, “adalah bid’ah.” Karena menanyakannya tidak pernah terjadi pada masa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan para sahabat beliau.

 

 

 

 

 

Kemudian dia (Imam Malik) memerintahkan agar orang yang bertanya itu diusir dari masjid, karena dikhawatirkan membuat banyak orang terfitnah dalam aqidah mereka. sekaligus sebagai sanksi baginya untuk melarangnya dari mengikuti majelis ilmu.

 

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[21]. Di antara sifat-sifat Allah Subhana wa Ta’ala adalah bahwa Dia berbicara (berkata) dengan kalam qadim, yang bisa didengar siapa saja yang dikehendakiNya dari makhlukNya. Nabi Musa alaihissalam mendengarnya dariNya tanpa perantara, juga malaikat Jibril mendengarnya, dan juga siapa yang diizinkan mendengarnya dari kalangan malaikatNya.

 

[22]. Allah juga akan berbicara kepada orang-orang mukmin di Akhirat, dan mereka akan berbicara kepadaNya, serta Dia mengizinkan kepada mereka untuk berkunjung kepadaNya.

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (An-Nisa’: 164).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Hai Musa! Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara langsung denganKu. “(Al-A’raf: 144).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia). “(Al-Baqarah: 253).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir. ” (Asy-Syura: 51).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil, ‘Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu.”(Thaha: 11-12).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Aku. ” (Thaha: 14).

 

Dan, tidak boleh mengatakan demikian kecuali Allah.

 

 [23]. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata,

 

“Jika Allah berbicara dengan wahyu, maka penduduk langit mendengar suaraNya.”

 

 

 

 

 

 

 

Ini juga diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam.

 

[24]. Abdullah bin Unais meriwayatkan, dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

 

“Allah akan mengumpulkan para makhluk pada Hari Kiamat dalam keadaan telanjang pakaian, telanjang kaki, tidak bersunat, dan berbadan sempurna, lalu Dia memanggil mereka dengan suara yang didengar orang yang jauh sebagaimana didengar orang yang dekat, ‘Akulah Raja, Akulah Pemberi Balasan.’ 65 (Diriwayatkan para imam, dan al-Bukhari menjadikannya sebagai penguat).

 

[25]. Di sebagian atsar disebutkan,

 

“Bahwa Nabi Musa ?En pada suatu malam melihat api yang menakutkannya dan beliau cemas karenanya. Tiba-tiba Tuhan beliau memanggil beliau, “Wahai Musa!” Musa pun menjawab dengan segera karena mendengar suara itu, “Aku penuhi panggilanMu, aku penuhi panggilanMu. Aku mendengar suaraMu dan aku tidak mengetahui tempatMu, di manakah Engkau berada?” Dia menjawab, “Aku di atasMu, di hadapanMu, di sebelah kananMu, dan di sebelah kirimu.” Nabi Musa pun tahu bahwa sifat ini hanya patut bagi Allah. la berkata, “Maka demikianlah Engkau, wahai Tuhan Sembahanku. Apakah kalamMu yang aku dengar ataukah ucapan utusanMu?” Dia menjawab, “Bahkan, ucapanKu, wahai Musa.”

 

65 Diriwayatkan oleh Ahmad (3/ 495), al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (970) dan dalam Khalq Afal al-‘Ibad (hal. 18, 92). Lihat, al-Fath (13/ 465), cet. as-Salafiyyah.

 

 

 

 

 

Syarah:

 

Sifat Kelima Belas:  (Berbicara/Berfirman)

 

Kalam (berbicara) merupakan salah satu sifat Allah yang tetap bagiNya berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (An-Nisa : 164).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia).” (Al-Baqarah: 253).

 

*Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Jika Allah hendak mewahyukan perintahNya, maka Dia berbicara dengan wahyu.” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim.66

 

* As-Salaf telah sepakat (ijma’) menetapkan sifat kalam (berbicara) bagi Allah.

 

Karena itu, wajib menetapkannya bagiNya, tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

 

la adalah kalam (berbicara) hakiki yang patut bagi Allah yang bergantung kepada kehendakNya dengan huruf-huruf dan suara suara yang bisa didengar.

 

Dalil bahwa itu atas kehendaknya, ialah firmanNya,

 

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhannya telah berfirman (langsung kepadanya).” (Al-A’raf: 143).

 

Percakapan berlangsung setelah kedatangan Nabi Musa menunjukkan bahwa itu bertalian dengan kehendakNya.

 

  • Golongan (Sekte) yang Menyelisihi Ahlus Sunnah

Berkenaan dengan Sifat Kalam (Berbicara atau Berfirmannya) Allah 67

 

Ada beberapa golongan yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkenaan dengan sifat Kalam (berbicara atau berfirmannya) Allah. Kami sebutkan dua golongan dari mereka:

 

Golongan pertama: Jahmiyyah

 

Menurut mereka, kalam (berbicara) itu bukan merupakan sifat Allah, tapi itu adalah salah satu ciptaan Allah. Allah menciptakannya di udara atau di tempat yang bisa didengar, dan kalam itu dinisbatkan kepada Allah sebagai ciptaanNya atau untuk memuliakan, seperti: (unta Allah), dan (rumah Allah).

 

Kita bantah mereka dengan bantahan sebagai berikut:

 

  1. Ini menyelisihi ijma’ as-Salaf.

 

  1. Ini menyalahi logika, karena kalam (berbicara) adalah sifat mutakallim (yang berbicara), dan bukan suatu yang berdiri sendiri secara terpisah dari yang berbicara.

 

  1. Nabi Musa mendengar Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Aku.” (Thaha: 14).

 

Mustahil bila ada seorang pun yang mengatakan demikian selain Allah.

 

Golongan Kedua: Asy’ariyyah

 

Menurut mereka, kalam (berbicaranya) Allah adalah makna yang berdiri sendiri tidak bertalian dengan kehendakNya. Hurufhuruf dan suara-suara yang didengar ini diciptakan untuk mengungkapkan makna yang ada pada diri Allah.

 

Kita bantah mereka dengan bantahan sebagai berikut:

 

  1. Ini menyelisihi ijma’ as-Salaf.

 

  1. Ini menyelisihi dalil-dalil, karena ini menunjukkan bahwa kalam Allah itu bisa didengar, sedangkan yang bisa didengar itu hanyalah suara, dan makna yang terdapat dalam diri tidak bisa didengar.

 

  1. Ini menyelisihi kebiasaan, karena ucapan yang lazim ialah apa yang diucapkan pihak yang berbicara, bukan apa yang disimpannya dalam dirinya.

Dalil yang menunjukkan bahwa kalamAllah itu adalah huruf-huruf,

ialah firmanNya,

 

“Hai Musa! Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu.” (Thaha: 1112).

 

Hal itu karena kalimat ini terdiri dari huruf-huruf, dan ia adalah kalam Allah.

 

Dan dalil bahwa kalam Allah dengan suara, ialah firmanNya,

 

“Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).” (Maryam: 52).

 

Abdullah bin Unais Rodliyallahu Anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

 

“Allah akan mengumpulkan para makhluk (pada Hari Kiamat), lalu Dia akan memanggil mereka dengan suara yang didengar oleh orang yang jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat, ‘Akulah Maha Raja, Aku-lah Pemberi Balasan.”

 

Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari secara mu’allaq dengan “shigah (bentuk kata) tamridh (pasif).” Al-Hafizh berkata dalam Fathul Bari, “Hadits ini juga diriwayatkan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, juga Ahmad, dan Abu Ya’la dalam Musnad mereka ber-

 

 

 

 

 

 

 

dua dan menyebutkan dua jalur periwayatan lain baginya.” 68

 

Sifat kalam (berbicara) Allah itu qadim dari segi jenisnya tetapi baru secara satuan. Makna qadim dari segi jenisnya adalah bahwa Allah senantiasa dan selalu menyandang sifat berbicara. Berbicara itu bukan baru dariNya setelah sebelumnya tidak berbicara.

 

Makna baru secara satuan, bahwa bagian-bagian kalamNya, yaitu ucapan tertentu lagi dikhususkan adalah baru, karena ini bertalian dengan kehendakNya. Kapan saja Dia berkehendak, Dia berbicara dengan apa yang dikehendakiNya, bagaimana saja yang dikehendakiNya.

  • Komentar atas Perkataan Imam Ibnu Qudamah saat Menjelaskan tentang Sifat Kalam (Berkata atau Berbicara atau Berfirman)

 

Perkataannya, “Dia berbicara dengan kalam qadim,” yakni, qadim dari segi jenisnya, baru secara satuan. Hanya makna inilah yang patut berdasarkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meskipun yang tampak dari ucapannya bahwa kalam itu qodim dari segi jenisnya dan sekaligus satuan-satuannya.

Perkataannya, “Nabi Musa mendengarnya dariNya dengan tanpa perantara,” berdasarkan firmanNya,

 

“Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).” (Thaha: 13).

 

Perkataannya, “Jibril mendengarnya,” berdasarkan firmanNya,

 

“Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur an itu dari Tuhanmu.” (An-Nahl: 102).

 

Perkataannya, “Dan juga siapa yang diizinkan mendengarnya dari kalangan malaikatNya dan Rasul-rasulNya.” Adapun para malaikat, maka berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Tapi Tuhan kami apabila memutuskan suatu perkara, maka bertasbihlah para pemikul ‘Arsy, kemudian bertasbihlah penduduk langit yang di bawah mereka hingga tasbih itu mencapai penduduk langit dunia. Para malaikat yang berada di bawah para pemikul ‘Arsy bertanya kepada para pemikul Arsy, ‘Apakah yang telah dikatakan Tuhan kalian?’ (Saba’ : 23). Para pemikul ‘Arsy pun mengabarkan kepada mereka.” (Diriwayatkan oleh Muslim).69

Adapun para Rasul, maka diriwayatkan secara shahih bahwa Allah berfirman langsung kepada Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam pada malam Isra dan Mi’raj.70

 

Perkataannya, “Dia akan berbicara kepada orang-orang yang mukmin di Akhirat, dan mereka akan berbicara kepadaNya,” berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Allah berfirman kepada penduduk Surga, ‘Wahai ahli Surga!’ Mereka menjawab, ‘Aku penuhi panggilanMu, wahai Tuhan kami, dan siap membuatMu bergembira.” (Muttafaq ‘Alaih).71

 

Perkataannya, “Dia mengizinkan kepada mereka untuk berkunjung kepadaNya,” berdasarkan hadits Abu Hurairah , bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wasallams bersabda,

 

“Sesungguhnya para penduduk Surga apabila telah masuk ke dalamnya, mereka mendapatkan tempat sesuai dengan keutamaan amal mereka. Kemudian mereka diizinkan seukuran hari Jum’at dari hari-hari dunia untuk berkunjung kepada Tuhan mereka …. ” (Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dan at-Tirmidzi dan dia me-

ngatakan, “Gharib,” dan dinyatakan dhaif oleh al-Albani).72

Perkataannya, “Abdullah bin Mas’ud berkata,

 

“Apabila Allah berbicara dengan wahyu, maka penduduk langit mendengar suaraNya.” Ini diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,”

 

Atsar Ibnu Mas’ud ini tidak saya temukan dengan lafazh demikian. Ibnu Khuzaimah menyebutkan jalur-jalur riwayatnya dalam Kitab at-Tauhid dengan lafazh-lafazh, di antaranya:

 

” … penduduk langit mendengar suara gemerincing dari langit.”

 

Adapun yang diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, maka ia adalah dari hadits an-Nawwas bin Sam’an secara marfu’,

 

“Apabila Allah hendak mewahyukan perintah (keputusan)Nya, maka Dia berbicara dengan wahyu. Jika Dia berbicara, maka langit berguncang karenanya – atau guntur yang sangat keras – karena takut kepada Allah. Jika penduduk langit mendengarnya, maka mereka pingsan …. “ (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Abi Hatim).73

Di antara kalam (perkataan) Allah adalah al-Qur an yang agung, yaitu kitab Allah yang terang, taliNya yang kuat, jalanNya yang lurus, dan yang diturunkan Tuhan semesta alam, yang dibawa turun ar-Ruh al-Amin (Jibril) kepada hati Penghulu para Rasul (Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam), dengan bahasa Arab yang terang, yang diturunkan, dan bukan makhluk, ia berasal dariNya dan kepadaNya ia akan kembali.

 

[27]. la adalah surat-surat yang muhkamat, ayat-ayat yang terang, huruf-huruf dan kata-kata. Barangsiapa membacanya dengan cara baca yang benar (i’rab), maka dia mendapatkan pada tiap-tiap huruf sepuluh kebajikan. la memiliki awalan dan akhiran, juz-juz dan bagian-bagian, dibaca dengan lisan, dihafal dalam dada, didengar di telinga, ditulis di dalam mushaf-mushaf. Di dalamnya terdapat yang muhkam (bermakna jelas) dan yang mutasyabih (bermakna tidak jelas), nasikh (yang menasakh) dan mansukh (yang dinasakh), khash (yang khusus) dan ‘am (yang umum), perintah dan larangan.

 

“Yang tidak datang kepadanya (al-Qur ‘an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42).

 

 

 

 

 

 

 

“Katakanlah, ‘Jika manusia dan jin benar-benar berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”(Al-Isra ‘ : 88).

 

Syarah:

 

  • Pernyataan Mengenai al-Qur’an

 

Al-Qur an merupakan kalam (firman atau perkataan) Allah Subhana wa Ta’ala yang diturunkan, bukan makhluk. la berasal dariNya dan kepadaNya ia akan kembali. Jadi, ia adalah kalam Allah baik huruf maupun maknanya.

 

*Dalil yang menunjukkan bahwa al-Qur an adalah kalam (perkataan) Allah, ialah firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah.” (At-Taubah: 6).

Yakni, al-Qur an.

 

*Dalil yang menunjukkan bahwa al-Qur an diturunkan, ialah firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Mahasuci Allah Yang telah menurunkan al-Furqan (yaitu alQur an) kepada hambaNya.” (Al-Furqan: 1).

 

*Dalil yang menunjukkan bahwa al-Qur an bukan makhluk, ialah firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

 

 

 

“Ingatlah, menciptakan dan menetapkan ketentuan (kauni dan syar’i) hanyalah haq Allah.” (Al-A’raf: 54).

 

Dia menjadikan “menetapkan ketentuan” berbeda dengan “menciptakan”, dan al-Qur an termasuk “menetapkan ketentuan”, berdasarkan firmanNya,

 

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (alQur an) dari ketentuan Kami.” (Asy-Syura: 52).

 

“Itulah ketentuan Allah yang diturunkanNya kepada kalian.” (Ath-Thalaq: 5).

 

Dan juga karena kalam Allah adalah salah satu sifatNya, dan sifat-sifatNya bukanlah makhluk.

 

*Dalil yang menunjukkan bahwa al-Qur an berasal dariNya, adalah bahwa Allah menisbatkannya kepada DiriNya, dan kalam tidak dinisbatkan kecuali kepada siapa yang mengatakannya pertama kalinya.

 

*Dalil yang menunjukkan bahwa al-Qur an akan kembali kepadaNya, adalah bahwa diriwayatkan di sebagian atsar bahwa alQur an akan diangkat dari mushaf dan dari dada manusia di akhir zaman, 74

la adalah kitab berbahasa Arab, yang mana orang-orang kafir berkata tentangnya,

 

“Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada al-Qur’an ini.” (Saba’: 31).

 

Sebagian dari mereka berkata,

 

“Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (Al-Mudatstsir: 25).

 

Maka Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Aku akan memasukkannya ke dalam Saqar.” (Al-Mudatstsir: 26).

 

Sebagian dari mereka berkata, “la adalah syair.” Maka Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.” (Yasin: 69).

 

Ketika Allah menafikan darinya bahwa ia adalah syair dan menetapkannya bahwa ia adalah al-Qur’an, maka tidak ada syubhat (keraguan) lagi bagi orang yang memiliki akal bahwa al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab ini yang berisi huruf-huruf, kata-kata, dan ayat-ayat, karena apa yang tidak demikian tiada seorang pun yang mengatakan bahwa ia adalah syair.

 

[29]. Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur ‘an itu, dan ajaklah penolong penolong kalian selain Allah. “(Al-Baqarah: 23).

 

Tidak mungkin Dia menantang mereka mendatangkan sesuatu yang semisal dengan sesuatu yang tidak diketahui, dan sesuatu yang tidak bisa dipahami.

 

[30]. Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, ‘Datangkanlah al-Qur ‘an yang lain daripada ini atau gantilah dia. ‘ Katakanlah, ‘Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. “”(Yunus: 15).

 

Dia menetapkan bahwa al-Qur’an adalah ayat-ayat yang dibacakan kepada mereka.

 

[31]. Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Sebenarnya, al-Qur ‘an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.” (Al-Ankabut: 49).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Sesungguhnya al-Qur ‘an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh).” (Al-Waqi’ah: 77-78). Setelah Dia bersumpah atas hal itu.

 

[32]. Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman:

 

“Kaaf haa yaa ‘ain shaad. ” (Maryam: 1).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Haamiim. ‘Aiin, siin, qaf” (asy-Syura: 1-2). Dia membuka 29 surat dengan huruf-huruf terputus-putus.

 

[33]. Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Barangsiapa membaca al-Qur’an dengan mengi’rabkan (cara baca yang benar), maka dia mendapatkan dengan tiap-tiap huruf darinya sepuluh kebajikan. Barangsiapa membacanya dan keliru dalam cara membacanya, maka ia mendapatkan dengan tiap-tiap huruf satu kebajikan. “Hadits shahih.75

]. Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Bacalah al-Qur ‘an sebelum datang suatu kaum yang menegakkan huruf-hurufnya bagai tegaknya anak panah tapi tidak melampaui kerongkongan mereka. Karena mereka ingin segera mendapatkan pahalanya dan tidak menundanya. “76

 

[35]. Abu Bakar Rodliyallahu Anhu berkata, “Membaca al-Qur’ an dengan i’rab (dengan bacaan yang benar) lebih kami sukai daripada menghafal

sebagian huruf-hurufnya.”77

 

[36]. Ali Rodliyallahu Anhu berkata, “Barangsiapa mengingkari satu huruf darinya, maka sungguh dia telah kafir kepada seluruhnya.”78

 

[37]. Kaum muslimin bersepakat atas jumlah surat al-Qur an, ayat-ayat, kata-kata, dan huruf-hurufnya.

 

[38]. Tidak ada perselisihan di antara kaum muslimin bahwa siapa yang mengingkari satu surat, satu ayat, satu kata, atau satu huruf dari al-Qur’an, disepakati bahwa ia adalah kafir. Ini berisikan hujjah yang pasti bahwa al-Qur an adalah huruf-huruf.

 

Syarah:

 

  • Al-Qur’an Adalah Huruf-huruf dan Kata-kata

 

Al-Qur an adalah huruf-huruf dan kata-kata. Imam Ibnu Qudamah menyebutkan delapan dalil mengenai hal itu:

 

  1. Bahwasanya orang-orang kafir berkata, ia adalah syair; dan tidak mungkin disifati demikian kecuali yang memiliki hurufhuruf dan kata-kata.79

 

  1. Allah menantang orang-orang yang mendustakannya agar mendatangkan yang sepertinya. Seandainya ia bukan huruf-huruf dan kata-kata, niscaya tantangan itu tidak dapat diterima. Sebab, tantangan itu tidak mungkin kecuali dengan sesuatu tertentu yang diketahui hakikatnya.

 

  1. Allah mengabarkan bahwa al-Qur an itu dibacakan kepada mereka.

 

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, ‘Datangkanlah al-Qur an yang lain daripada ini atau gantilah dia.’ Katakanlah, ‘Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.” (Yunus: 15).

 

Dan, tidak mungkin dibaca kecuali apa yang memiliki hurufhuruf dan kata-kata.

 

  1. Allah mengabarkan bahwa ia dihafal di dalam dada ulama dan tertulis dalam al-Lauh al-Mahfuzh.

 

“Sebenarnya, al-Qur an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (Al-Ankabut: 49).

 

“Sesungguhnya al-Qur an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (Al-Waqi’ah: 77-79).

 

Dan tidak dihafal dan tidak ditulis kecuali apa yang memiliki huruf-huruf dan kata-kata.

 

Sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Barangsiapa membaca al-Qur an dengan mengi’rabkan (cara baca yang benar), maka ia mendapatkan dengan tiap-tiap huruf darinya sepuluh kebajikan. Barangsiapa membacanya dan keliru dalam cara membacanya, maka dia mendapatkan dengan tiap-tiap huruf satu kebajikan.”

 

Hadits ini dishahihkan mu allif (penulis matan, Imam Ibnu Qudamah) dan tidak menisbatkannya, tapi saya tidak mendapati perawi yang meriwayatkannya.80

 

  1. Perkataan Abu Bakar dan Umar, “I’rab al-Qur an (membacanya secara benar) lebih kami sukai daripada menghafal sebagian huruf-hurufnya.”

 

  1. Perkataan Ali, “Barangsiapa mengingkari satu huruf darinya, maka sungguh ia telah kafir kepada seluruhnya.”

 

  1. Ijma’ kaum muslimin – sebagaimana yang dinukil mu allif (Imam Ibnu Qudamah) – bahwa siapa yang mengingkari satu surat, satu ayat, satu kata, atau satu huruf dari al-Qur an, disepakati bahwa ia adalah kafir. 81

 

Jumlah surat ada 114, dan 29 di antaranya diawali dengan huruf-huruf yang terputus-putus.

  • Sifat-sifat al-Qur’an

 

Allah menyifati al-Qur an yang mulia dengan sifat-sifat agung yang banyak, di antaranya, mu allif (Imam Ibnu Qudamah) menyebutkan sebagai berikut:

 

  1. Al-Qur an adalah kitab Allah yang menjelaskan, yakni menjelaskan dengan terang hukum-hukum dan berita-berita yang dikandungnya.

 

  1. la adalah tali Allah yang kuat, yakni janji yang kuat yang Allah jadikan sebagai sebab untuk sampai kepadaNya dan mendapat kemurahanNya.

 

  1. la adalah surat-surat yang muhkamat, yakni surat-surat yang terpisah, tiap-tiap surat terpisah dari yang lainnya, dan muhkamat adalah yang rapi lagi terpelihara dari kerusakan dan kekurangan.

 

  1. la adalah ayat-ayat yang terang, yakni tanda-tanda yang nyata yang menunjukkan keesaan Allah, kesempurnaan sifat-sifatNya, dan bagusnya peletakan syari’atNya.

 

  1. Di dalamnya terdapat bagian muhkam dan ada mutasyabih. Muhkam adalah yang maknanya jelas, dan mutasyabih adalah yang maknanya tersembunyi.

 

Ini tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya pada nomor “3”, karena yang dimaksud “ihkam” di sana bermakna sempurna dan terpelihara dari kerusakan dan kekurangan. Sementara di sini berarti jelas maknanya. Jika kita kembalikan yang mutasyabih di sini kepada muhkam, maka semuanya menjadi muhkam (jelas).

 

  1. la adalah kebenaran yang tidak mungkin didatangi kebatilan dari arah mana pun.

 

“Yang tidak datang kepadanya (al-Qur an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Tuhan) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42).

 

  1. la terbebas dari apa yang disifati orang-orang yang mendustakannya, yaitu perkataan mereka bahwa ia adalah syair,

 

“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.” (Yasin: 69).

 

Dan perkataan sebagian dari mereka,

 

“(Al-Qur an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (Al-Mudatstsir: 24-25).

 

Lalu Allah berfirman memberikan ancaman terhadap orang yang berkata demikian,

 

“Kelak Aku akan memasukkannya ke dalam Saqar.” (AlMudatstsir: 26).

 

  1. Ia adalah mukjizat yang tidak mungkin seorang pun bisa mendatangkan yang sepertinya, meskipun orang lain menolongnya.

 

 

 

 

“Katakanlah, sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. “(Al-isra’: 88)

 

***

 

 

 

 

 

Orang-orang mukmin akan melihat Allah di Akhirat dengan mata mereka, juga berkunjung kepadaNya, di mana Dia berbicara kepada mereka, dan mereka berbicara kepadaNya.

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya-lah mereka melihat. “(Al-Qiyamah: 22-23).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benarbenar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka. ” (Al-Muthaffifin: 15).

 

[40]. Karena mereka dihalangi (dari melihatNya) pada saat murka. Maka hal itu menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman akan melihatNya pada saat ridha. Jika tidak demikian, niscaya tiada perbedaan di antara kedua keadaan itu.

 

[41]. Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

 

 

 

 

 

 

“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan itu, kalian tidak saling berdesak-desakan dalam melihatNya. “(Hadits shahih Muttafaq ‘Alaih). 82

 

[42]. Ini adalah tasybih (penyerupaan) melihat dengan melihat, bukan yang dilihat dengan yang dilihat, karena Allah tidak ada yang menyerupaiNya dan tiada yang sebanding denganNya.

 

Syarah:

 

  • Melihat Allah di Akhirat

 

Melihat Allah di dunia adalah sesuatu yang mustahil, berdasarkan firmanNya kepada Nabi Musa alaihissalam saat memohon untuk melihat Allah,

 

“Kamu sekali-kali takkan sanggup untuk melihatKu.” (Al-A’raf: 143).

 

Melihat Allah di Akhirat ditetapkan berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

* Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

Kepada “Wajah-wajah (orang-orang mereka mukmin) pada hari itu berseri-seri titik kepada Tuhan-Nya lah mereka melihat.” pada (Al-Qiyamah: hari itu 22-23).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (Al-Muthaffifin: 15).

 

Karena kaum pendurhaka dihalangi dari melihatNya, maka hal itu menunjukkan bahwa orang-orang yang berbakti akan melihatNya. Jika tidak demikian, niscaya tiada perbedaan di antara keduanya.

 

* Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan, kalian tidak saling berdesak-desakan dalam melihatNya.” (Hadits shahih Muttafaq ‘Alaih).

 

Ini adalah penyerupaan melihat dengan melihat, bukan yang dilihat dengan yang dilihat, karena Allah tidak ada suatu pun yang menyerupaiNya, tiada yang menyamaiNya, dan tiada yang setara denganNya.

 

*As-Salaf sepakat (ijma’) tentang orang-orang mukmin akan melihat Allah, sedangkan orang-orang kafir tidak melihatNya, berdasarkan ayat kedua. Mereka akan melihat Allah pada Hari Kiamat dan sesudah masuk Surga sebagaimana yang dikehendaki Allah.

 

 

Ini adalah melihat hakiki yang layak bagi Allah.

 

Sementara para penganut ta’thil menafsirkannya bahwa yang dimaksud dengannya ialah melihat pahala Allah, atau yang dimaksud dengannya ialah melihat dengan ilmu dan keyakinan.

 

Kita bantah mereka, dengan mempertimbangkan takwil pertama, dengan keterangan yang disebutkan dalam kaidah keempat, dan dengan mempertimbangkan takwil kedua, dengan hal itu juga. Ditambah dengan sisi keempat, bahwa ilmu dan keyakinan itu sudah diperoleh orang-orang yang berbakti (orang baik) semasa di dunia, dan akan diperoleh orang-orang yang durhaka di Akhirat.83

 

***

Di antara sifat-sifat Allah adalah bahwa Dia benar-benar melakukan apa yang Dia kehendaki. Tiada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendakNya, dan tiada sesuatupun yang keluar dari kehendakNya. Tiada di alam ini suatupun yang keluar dari takdirNya, dan tidak muncul melainkan dari rencanaNya. Tidak bisa seorang pun menghindar dari takdir yang ditentukan, dan tidak melampaui apa yang dicatat dalam Lauhul Mahfuzh yang tertulis. Dia menghendaki segala yang dilakukan makhluk. Seandainya Dia melindungi mereka, niscaya mereka tidak kuasa menyelisihinya. Seandainya Dia menghendaki mereka semua menaatiNya, niscaya mereka menaatiNya. Dia menciptakan makhluk dan perbuatan mereka, menentukan rizki dan ajal mereka. Dia menunjukkan siapa yang dikehendakiNya, dan menyesatkan siapa yang dikehendakiNya dengan kebijaksanaanNya.

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai. “(Al-Anbiya’ : 23).

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. “(Al-Qamar: 49).

 

 

 

 

 

 

 

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

‘Dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapirapinya. “(Al-Furqan: 2).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah “(Al-Hadid: 22).

 

Dan Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Barangsiapa Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit “(Al-An’am: 125).

 

[441. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa malaikat Jibril alaihissalam bertanya kepada Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, “Apakah iman itu?” Beliau menjawab,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Talah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, Hari Akhir, dan beriman kepada qadar yang baik danyang buruk dariNya.” Jibril mengatakan, “Engkau benar. “(Hadits diriwayatkan Muslim).84

 

[45]. Nabi Shalallahu alaihi wasallam juga bersabda,

 

“Aku beriman kepada qadar, yang baik dan buruknya, yang manis dan pahitnya. ” 85

 

46]. Dan di antara doa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, yang beliau ajarkan kepada alHasan bin Ali agar berdoa dengannya dalam qunut witir, ialah,

 

“Dan lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan. “86

 

Syarah:

 

  • Qadar

 

Di antara sifat-sifat Allah adalah bahwa Dia benar-benar melakukan apa yang dikehendakiNya, sebagaimana Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia dikehendaki.” (Hud: 107).

 

Tidak ada suatu pun yang keluar dari kehendak dan kekuasaanNya. Tiada suatu pun datang melainkan dengan takdir dan rencanaNya. Di TanganNya tergenggam kekuasaan seluruh langit dan bumi. Dia menunjukkan siapa yang dikehendakiNya dengan rahmatNya, dan menyesatkan siapa yang dikehendakiNya dengan kebijaksanaanNya. Dia tidak ditanya tentang apa yang dilakukanNya karena kesempurnaan kebijaksanaan dan kekuasaanNya, sedang mereka ditanya karena mereka adalah makhluk yang dikuasai.

 

Beriman kepada qadar hukumnya wajib, dan ini adalah salah satu rukun iman yang enam, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“(Iman ialah) engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, Hari Akhir, dan beriman kepada qadar, yang baik dan buruk darinya.’ Maka malaikat Jibril berkata, ‘Engkau benar.” (Diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya).

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam juga bersabda,

 

“Aku beriman kepada qadar, baik dan buruknya, manis dan pahitnya.”

 

Baik dan buruk itu dengan melihat kepada akibat, sedang manis dan pahit itu dengan melihat kepada waktu ia menimpa.

 

Qadar yang baik adalah apa yang bermanfaat, dan yang buruknya adalah yang merugikan atau tidak mengenakkan.

 

Baik dan buruk itu dengan melihat kepada yang ditakdirkan berikut akibatnya. Di antaranya ada yang baik, seperti ketaatan, kesehatan dan kecukupan. Di antaranya ada yang buruk, seperti kemaksiatan, penyakit dan kefakiran.

 

Adapun dengan melihatnya sebagai perbuatan Allah, maka tidak boleh dikatakan bahwa itu keburukan, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dalam doa qunut yang beliau ajarkan kepada al-Hasan bin Ali Rodliyallahu Anhu,

 

“Dan lindungilah aku dari keburukan apa yang Engkau tetapkan.”

 

Jadi, beliau menisbatkan keburukan kepada apa yang ditetapkanNya, bukan kepada ketetapan (qadha’ )Nya.

 

 

 

 

 

 

  • Iman kepada Qadar TidakSempurna kecuali denganTerpenuhinya Empat Perkara:

 

Pertama: Beriman bahwa Allah mengetahui segala yang akan terjadi, baik secara global maupun secara terperinci, dengan ilmu yang dahulu, berdasarkan firmanNya,

 

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (AlHajj: 70).

 

Kedua: Allah telah menulis di Lauhul Mahfuzh ketentuan segala sesuatu, berdasarkan firmanNya,

 

“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22).

 

Yakni, sebelum Kami menciptakan makhluk.

 

Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

 

 

 

 

 

 

 

“Allah telah menetapkan ketentuan-ketentuan takdir makhluk, 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.” (Diriwayatkan oleh Muslim). 87

 

Ketiga: Tidak ada sesuatu pun di langit dan bumi melainkan terjadi atas kehendak Allah, berporos di antara rahmat dan kebijaksanaan. Dia menunjukkan siapa yang dikehendakiNya dengan rahmatNya, dan menyesatkan siapa yang dikehendakiNya dengan kebijaksanaanNya. Dia tidak ditanya tentang apa yang dilakukanNya karena kesempurnaan kebijaksanaan dan kekuasaanNya, dan me-rekalah yang akan ditanya. Apa yang terjadi dari hal itu, maka ini selaras dengan ilmuNya yang dahulu, dan sejalan dengan apa yang ditulisnya dalam al-Lauh al-Mahfuzh, berdasarkan firmanNya,

 

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut (takdir) ukuran.” (Al-Qamar: 49).

 

“Barangsiapa Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki Allah kesesatannya,

 

 

 

 

 

 

niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Al-An’am:125).

 

Dia menetapkan terjadinya petunjuk dan kesesatan dengan kehendakNya.

 

Keempat: Segala sesuatu di langit dan bumi adalah ciptaan Allah, tiada Pencipta selainNya dan tiada Tuhan selainNya, berdasarkan firmanNya,

 

“Dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Al-Furqan: 2).

 

Dia juga berfirman lewat lisan Nabi Ibrahim alaihissalam,

 

“Dan Allah-lah Yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu.” (Ash-Shaffat: 96).

 

[47]. Kita tidak menjadikan qadha’ Allah dan qadarNya sebagai hujjah (alasan) bagi kita dalam meninggalkan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Bahkan, kita wajib beriman dan mengetahui bahwa Allah memiliki hujjah atas kita dengan menurunkan kitab-kitab dan mengutus Rasul-rasul.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa’ : 165).

 

Syarah:

 

  • Qadar Bukan sebagai Hujjah (Alasan) bagi Pelaku Kemaksiatan untuk Melakukan Kemaksiatan

 

Semua perbuatan hamba, baik berupa ketaatan dan kemaksiatan semuanya adalah ciptaan Allah, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, tapi itu bukan sebagai hujjah (alasan) bagi pelaku kemaksiatan untuk melakukan kemaksiatan.

 

Hal itu berdasarkan banyak dalil, di antaranya:

 

  1. Allah menisbatkan perbuatan hamba kepadanya dan menjadikannya sebagai usaha hamba, lewat firmanNya,

 

“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang dia usahakan.” (Ghafir: 17).

 

Seandainya dia tidak memiliki ikhtiyar (pilihan) untuk berbuat dan kemampuan untuk melakukannya, niscaya itu tidak dinisbatkan kepadanya.

 

 

 

 

 

  1. Allah memerintahkan kepada hamba dan melarangnya, serta tidak membebaninya kecuali menurut kesanggupannya, berdasarkan firmanNya,

 

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286).

 

“Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16).

 

Seandainya dia dipaksa melakukan perbuatan, niscaya dia tidak mampu melakukan perbuatan atau menahan diri darinya, karena orang yang dipaksa itu tidak mampu membebaskan diri.

 

  1. Setiap orang mengetahui perbedaan antara perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran, dan perbuatan yang dipaksakan, dan terhadap yang pertama ia bisa melepaskan diri darinya.

 

  1. Pelaku kemaksiatan, sebelum melakukan kemaksiatan, tidak mengetahui apa yang telah ditakdirkan untuknya, sedang dia mampu melakukannya atau meninggalkannya, maka bagaimana mungkin dia menempuh jalan yang salah dan berdalih dengan takdir yang tidak diketahui? Bukankah yang lebih patut baginya ialah menempuh jalan yang benar dan mengatakan, inilah yang ditentukan bagiku?

 

  1. Allah mengabarkan bahwa Dia telah mengutus Rasul Rasul untuk memutus alasan itu.

 

“Supaya tidak ada (hujjah) alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.” (An-Nisa : 165).

 

 

 

 

 

Seandainya qadar itu menjadi hujjah (alasan) bagi pelaku kemaksiatan, niscaya alasan itu tidak terputus dengan diutusnya para Rasul.

 

[48]. Kita tahu bahwa Allah de tidaklah memerintah dan melarang melainkan kepada orang yang mampu mengerjakan dan meninggalkan, dan bahwa Dia tidak memaksa seorang pun untuk melakukan suatu kemaksiatan, dan tidak pula memaksanya untuk meninggalkan suatu ketaatan. Allah du juga berfirman,

 

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. “(Al-Baqarah: 286).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian. “(At-Taghabun: 16).

 

Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang dia usahakan. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. “(Ghafir: 17).

 

 

 

 

 

 

 

 

[49]. Itu menunjukkan bahwa hamba memiliki perbuatan dan usaha. Ia dibalas dengan pahala atas kebaikannya, dan dibalas dengan siksa atas keburukannya. Dan ini semua terjadi atas qadha’ dan qadar Allah.

 

Syarah:

 

  • Mengkompromikan antara Status Perbuatan Hamba sebagai Ciptaan Allah dengan Statusnya sebagai Usaha Pelaku Perbuatan

 

Dari penjelasan yang telah lalu anda mengetahui bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan Allah dan sekaligus usaha manusia, kebaikannya dibalas dengan yang lebih baik dan keburukannya dibalas dengan yang sepadan. Lalu, bagaimana kita mengkompromikan keduanya?

 

Kompromi di antara keduanya, bahwa aspek status perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, dari dua perkara:

 

Pertama, perbuatan hamba merupakan bagian sifat-sifatnya, sedangkan hamba dan sifat-sifatnya adalah ciptaan Allah.

 

Kedua, perbuatan hamba itu muncul (terwujud) dari kehendak hati dan kemampuan tubuh. Seandainya bukan karena keduanya, niscaya tidak akan ada perbuatan. Sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan ini adalah Allah. Pencipta sebab adalah Pencipta akibat. Penisbatan perbuatan hamba kepada ciptaan Allah, adalah penisbatan akibat kepada sebab, bukan penisbatan secara langsung; karena yang melakukan secara langsung pada hakikatnya adalah hamba itu sendiri. Karena itu, perbuatan dinisbatkan kepada hamba sebagai usaha dan hasil, sedangkan perbuatan dinisbatkan kepada Allah sebagai ciptaan dan takdir. Jadi, masing-masing dari kedua penisbatan itu memiliki pertimbangan, Wallahu a’lam.

 

  • Golongan-golongan yang Menyelisihi KEbenaran Berkenaan dengan Qadha’ danQadar, serta Bantahan terhadap Mercka

Golongan-golongan yang menyelisihi kebenaran berkenaan dengan qadha’ dan qadar ada dua golongan:

 

Golongan Pertama: Jabariyyah

Mereka berpendapat: Hamba itu dipaksa dalam perbuatannya, dan dia tidak mempunyai ikhtiar dalam hal itu.

Kita bantah mereka dengan dua hal:

 

  1. Allah menisbatkan perbuatan manusia kepadanya dan menjadikannya sebagai usahanya yang akan diberi sanksi atau diberi pahala sesuai perbuatannya. Seandainya dia dipaksa untuk melakukan perbuatan, niscaya tidak dibenarkan menisbatkannya kepadanya, dan niscaya pemberian sanksi terhadapnya adalah suatu kezhaliman.

 

  1. Setiap orang mengetahui perbedaan antara perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran, dan perbuatan yang dipaksakan dalam kenyataan dan hukum. Seandainya seseorang menzhalimi orang lain dan berdalih bahwa dia dipaksa melakukan demikian dengan qadha’ dan qadar Allah, niscaya hal itu dianggap sebagai kedunguan lagi menyelisihi perkara yang sudah diketahui secara mendasar (ma’lum bi adh-Dharurah).

 

Golongan Kedua: Qadariyyah

Menurut mereka: Hamba itu merdeka (bebas dan berdiri sendiri) dengan perbuatannya. Allah tidak memiliki kehendak, kuasa dan ciptaan di dalamnya.

 

Kita bantah mereka dengan dua hal:

  1. Ini menyelisihi firmanNya,

 

 

 

“Allah menciptakan segala sesuatu.” (Az-Zumar: 62).

 

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu.” (Ash-Shaffat: 96).

 

  1. Allah adalah Pemilik langit dan bumi. Lalu bagaimana mungkin dalam kekuasaanNya terdapat apa yang tidak bertalian dengan kehendak dan ciptaanNya?

 

  • Pembagian Iradah (Kehendak) dan Perbedaan di antaranya

 

Kehendak Allah itu terbagi menjadi dua macam: Kauniyah dan Syar’iyah:

 

Pertama: Kehendak Kauniyyah, ialah yang bermakna masyi ah (kehendak), sebagaimana firmanNya,

 

“Barangsiapa Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Al-An’am: 125).

 

Kehendak Syar’iyyah, ialah yang bermakna mahabbah (mencintai), sebagaiamana firmanNya,

 

“Dan Allah hendak menerima taubat kalian.” (An-Nisa` : 27).

 

 

 

 

 

 

 

Perbedaan diantara keduanya, bahwa kehendak kauniyah itu sudah pasti apa yang dikehendaki itu terjadi, dan bukan keharusan sebagai sesuatu yang dicintai Allah. Adapun kehendak Syariah, maka sudah pasti apa yang dikehendaki itu dicintai Allah, tetapi tidak harus terjadinya.

 

***

 

 

 

 

 

Iman adalah ucapan dengan lisan, pengamalan dengan anggota tubuh, dan keyakinan dengan hati, yang bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.

 

[51]. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah sebagai orang-orang yang mengikhlaskan agama (ketaatan) kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. “(Al-Bayyinah: 5).

 

Dalam ayat ini, Allah Subhana wa Ta’ala menjadikan ibadah kepadaNya dan keikhlasan hati, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, semuanya termasuk agama.

 

[52]. Rasulullah shalallahu alaihi wassallam bersabda,

 

“Iman itu ada 70 sekian cabang; yang paling tinggi darinya ialah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan yang paling rendah ialah membuang ganguan dari jalan.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[53]. Beliau menjadikan ucapan dan perbuatan termasuk iman. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga juga beriman,

 

“Maka surat ini menambah imannya.” (Attaubah: 124).

 

[54]. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Akan keluar dari neraka siapa saja yang mengucapkan lailahaillallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), dan dalam hatinya ada iman meskipun sebesar biji gandum, biji sawi, atau semut kecil.” Beliau menjadikannya berbeda-beda tingkatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Syarah:

 

  • Iman

 

Iman, menurut bahasa, ialah membenarkan (percaya).

 

Menurut istilah, iman adalah ucapan dengan lisan, pengamalan dengan anggota tubuh, dan keyakinan dengan hati.

 

Contoh ucapan, ialah la ilaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah).

 

Contoh pengamalan, ialah rukuk.

 

Contoh keyakinan, ialah beriman kepada Allah, malaikat malaikatNya, dan perkara-perkara lainnya yang wajib diyakini.

 

Dalil yang menunjukkan bahwa ia adalah iman, ialah firmanNya,

 

“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5).

 

Di sini Allah menjadikan ikhlas, shalat dan zakat termasuk agama.

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

 

 

 

 

 

“Iman itu ada 70 sekian cabang, yang paling tinggi ialah pernyataan lailahaillallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. “

 

Hadis ini diriwayatkan Muslim dengan redaksi,

 

“Cabangnya yang paling utama ialah menyatakan lailahaillallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah)”.

 

Dan asal hadis ini adalah ash-Shahihah. 88

 

Iman itu bertambah karena ketaatan dan kurang karena kemaksiatan, berdasarkan firmannya,

 

” maka surat ini menambah imannya “. (Attaubah: 124).

 

“Supaya keimanan mereka bertambah”. (Alfath : 4)

 

Dan Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Akan keluar dari Neraka siapa saja yang mengucapkan la ilaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), dan dalam hatinya terdapat seberat biji gandum, biji sawi, atau zarrah keimanan.”

 

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 89 dengan redaksi yang semisal dengannya.

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam menjadikan keimanan itu berbeda-beda tingkatannya. Jika bertambahnya keimanan itu ditetapkan, maka berkurangnya juga ditetapkan; karena bertambah itu berkonsekuensi bahwa suatu yang bertambah itu sebelumnya kurang dari yang bertambah.

 

Wajib beriman kepada semua yang telah diberitakan Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan diriwayatkan secara shahih dari beliau, baik dalam perkara yang kita saksikan, maupun yang ghaib bagi kita. Kita tahu bahwa itu adalah haq dan kebenaran. Sama saja dalam hal itu, baik kita memahami atau tidak, atau kita belum mengetahui hakikat maknanya.

 

Seperti peristiwa Isra’ Mi’raj 90, dan itu terjadi dalam keadaan sadar bukan tidur. Sebab kaum Quraisy mengingkarinya dan menganggapnya sebagai kebohongan yang besar, padahal mereka tidak mungkin mengingkari mimpi.

 

[56]. Termasuk di antaranya bahwa Malaikat maut ketika datang kepada Nabi Musa alaihissalam untuk mencabut ruhnya, Nabi Musa menamparnya hingga membuat matanya rusak. Ia lalu kembali kepada Tuhannya dan Tuhannya mengembalikan matanya.

Syarah:

 

  • Tentang as-Samiyyat (yang Diperoleh Melalui Pendengaran)

 

As-Sam’iyyat adalah semua perkara yang ditetapkan berdasarkan pendengaran (sam’i), yakni dengan jalan syari’at dan tidak ada ruang bagi akal di dalamnya. Semua berita yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, maka itu adalah kebenaran yang wajib dipercaya, baik kita menyaksikannya dengan panca indera kita, maupun itu ghaib (di luar jangkauan) dari kita, baik kita mengetahuinya dengan akal kita, maupun kita tidak mengetahuinya, berdasarkan firmanNya,

 

“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (wahai Rasul) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni Neraka.” (Al-Baqarah: 119).

 

Mu allif menyebutkan sejumlah perkara dari hal itu:

 

Pertama: Isra’ Mi’raj

 

Isra`, menurut bahasa, ialah membawa seseorang berjalan pada malam hari. Ada juga yang berkata bahwa, ia bermakna 53 (berjalan malam hari).

 

Menurut syara’, ialah Jibril membawa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam pergi dari Makkah ke Baitul Maqdis, berdasarkan firmanNya,

 

 

 

 

 “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari al-Masjidil  ke Masjidil Aqsha.” (Al-Isra’ : 1). 

 

Mi’raj, menurut bahasa, ialah alat yang digunakan untuk naik, yaitu tangga.

 

Menurut syara’, ialah tangga untuk menaikkan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dari dunia ke langit, berdasarkan firmanNya,

 

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru.” (An-Najm: 1-2), hingga firmanNya,

 

“Sungguh dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kuasa) Tuhannya yang paling besar.” (An-Najm: 18).

 

Isra dan Mi’raj terjadi dalam satu malam, menurut jumhur (mayoritas) ulama.

 

Para ulama berbeda pendapat tentang, kapan terjadinya?

 

Diriwayatkan dengan sanad munqathi’ (terputus) dari Ibnu Abbas dan Jabir, bahwa itu terjadi pada malam Senin 12 Rabi’ul Awwal, dan keduanya tidak menyebutkan tahunnya. Ini diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah.

 

Diriwayatkan dari az-Zuhri dan Urwah, bahwa itu terjadi setahun sebelum hijrah. Ini diriwayatkan al-Baihaqi. Dengan demikian, itu terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, tapi keduanya tidak menentukan tahunnya. Pendapat ini dianut Ibnu Sa’d dan selainnya, serta dikuatkan an-Nawawi.

 

 

Diriwayatkan as-Suddi, bahwa itu terjadi enam belas bulan sebelum hijrah. Ini diriwayatkan al-Hakim. Dengan demikian, itu terjadi pada bulan Dzulqa’dah.

 

Ada yang berkata bahwa ia, terjadi tiga tahun sebelum hijrah.

Ada juga yang mengatakan, lima tahun sebelum hijrah.

Ada juga yang mengatakan, enam tahun sebelum hijrah.

 

Iniadalah peristiwa yang terjadi dalam keadaan terjaga, bukan mimpi; karena kaum Quraisy menganggapnya sebagai kebohongan besar dan mengingkarinya. Seandainya itu mimpi, niscaya mereka tidak mengingkarinya, karena mereka tidak mengingkari mimpi.

 

Kisahnya: Jibril diperintahkan Allah agar memperjalankan Nabi Shallallaahu alaihi wasallam ke Baitul Maqdis dengan mengendarai Buraq, kemudian membawanya naik ke langit yang tinggi, langit demi langit, hingga mencapai tempat di mana beliau mendengar suara goresan pena. Allah memfardhukan atas beliau shalat lima waktu. Juga diperlihatkan Surga dan Neraka kepada beliau. Beliau berkomunikasi dengan para Nabi mulia dan shalat bersama mereka sebagai imam. Kemudian beliau kembali ke Makkah, lalu orang-orang membicarakan apa yang beliau lihat. Maka orang-orang kafir mendustakannya dan orang-orang mukmin mempercayainya, sedangkan golongan lainnya ragu-ragu mengenai hal itu.

 

Kedua: Malaikat Maut Datang kepada Nabi Musa alaihissalam

 

Malaikat maut datang dalam rupa manusia kepada Nabi Allah, Musa alaihissalam untuk mencabut ruhnya. Maka Nabi Musa menamparnya hingga merusak matanya. Malaikat maut pun kembali kepada Allah seraya berkata, “Engkau mengutusku kepada seorang hamba yang tidak ingin mati.’ Allah pun mengembalikan matanya seraya berfirman, ‘Kembalilah kepadanya dan katakan kepadanya agar meletakkan tangannya di atas punggung seekor sapi. Maka dia mendapatkan (penangguhan) seukuran apa yang tertutup oleh

 

tangannya, di mana tiap-tiap bulu sama dengan satu tahun.’ Nabi Musa alaihissalam berkata, ‘Kemudian apa?’ la menjawab, ‘Kematian.’ Nabi Musa berkata, ‘Kalau begitu, sekarang (saya menerima)!’ Kemudian beliau memohon kepada Allah agar mendekatkannya ke tanah yang disucikan (Baitul Maqdis) sejarak lemparan batu. Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Seandainya aku di sana, niscaya aku perlihatkan kuburnya kepada kalian, di samping jalan di sisi bukit pasir merah di sana.”

 

Hadits ini diriwayatkan dalam ash-Shahihain.91 Imam Ibnu Qudamah mencantumkannya dalam akidah, karena sebagian ahli bid’ah mengingkarinya; dengan alasan bahwa tidak mungkin Nabi Musa alaihissalam menampar malaikat.

Kita membantah mereka, dengan hujjah bahwa malaikat tersebut datang kepada Nabi Musa alaihissalam dalam bentuk manusia, yang tidak dikenal oleh Nabi Musa siapa yang meminta jiwanya darinya. Tabiat manusia menuntut untuk mempertahankan apa yang diminta dari dirinya. Seandainya Nabi Musa mengetahui bahwa dia adalah malaikat, niscaya dia tidak menamparnya. Karena itu, Nabi Musa pasrah kepadanya pada kali kedua, ketika malaikat itu datang dengan membawa sesuatu yang menunjukkan bahwa dia dari sisi Allah, yaitu memberikan kepadanya penangguhan beberapa tahun sesuai kadar jumlah bulu sapi yang dapat tertutup oleh tangannya.92

 

Termasuk diantaranya, ialah tanda-tanda kiamat, seperti keluarnya Dajjal. turunnya Nabi Isa putra Maryam untuk membunuhnya. Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj. Keluarnya hewan melata. Matahari terbit dari tempat terbenamnya, dan halal semisalnya yang diriwayatkan secara sahih.

 

Syarah:

 

Ketiga: Tanda-tanda Dekatnya Hari Kiamat

 

 adalah jamak dari, yang menurut bahasa, bermakna tanda.

 

 menurut bahasa, ialah waktu atau waktu sekarang, dan yang dimaksud di sini ialah Kiamat.

 

Tanda-tanda Kiamat menurut syara’, ialah tanda-tanda yang menunjukkan dekatnya Hari Kiamat.

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan Hari Kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya.” (Muhammad: 18).

 

Mu allif (Imam Ibnu Qudamah) menyebutkan tanda-tanda Kiamat sebagai berikut:

 

  1. Keluarnya Dajjal

 

Menurut bahasa: Dajjal () adalah shighah mubalaghah (bentuk kata yang bermakna sangat) dari , yang bermakna bohong dan mengelabuhi.

 

Menurut syara’: ia adalah seorang laki-laki pendusta yang muncul di akhir zaman yang mengaku sebagai tuhan.

 

Kemunculannya ditetapkan berdasarkan as-Sunnah dan ijma’.

 

 

 

  • Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Ucapkanlah, Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari azab Neraka Jahanam, aku berlindung kepadaMu dari azab kubur, aku berlindung kepadaMu dari fitnah al-Masih ad-Dajjal, dan aku berlindung kepadaMu dari fitnah kehidupan dan kematian.” (Diriwayatkan Muslim). 93

 

Dan “Nabi Shallallaahu alaihi wasallam biasa berlindung darinya dalam shalat.” (Muttafaq ‘alaih).94

 

*Dan kaum muslimin bersepakat tentang akan munculnya Dajjal.

 

Kisahnya: bahwa ia akan keluar dari sebuah jalan yang terletak di antara Syam dan Irak, lalu ia menyeru manusia agar menyembah dirinya. Kebanyakan orang yang mengikutinya adalah kaum Yahudi, kaum wanita dan orang-orang badui (pedalaman). la akan diikuti oleh 70.000 orang Yahudi Ashfahan. Kemudian ia ber-jalan menyusuri bumi seluruhnya seperti hujan yang dibawa angin, kecuali Makkah dan Madinah, karena ia dihalangi dari keduanya. Masanya di bumi adalah 40 hari: sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti sepekan, dan hari-hari sisa-

nya seperti biasanya. la buta mata sebelah, tertulis di antara kedua matanya: kaf fa’ ro’ yang bisa dibaca orang mukmin saja. la membawa fitnah yang besar, di antaranya ia memerintahkan langit menurunkan hujan dan bumi menumbuhkan tumbuhan. la membawa Surga dan Neraka; Surganya adalah Neraka, dan Nerakanya adalah Surga. Nabi Shalallahu alaihi wasallam telah memperingatkan darinya lewat sabdanya,

 

“Barangsiapa mendengar (munculnya) Dajjal, maka menjauhlah darinya, dan barangsiapa bertemu dengannya, maka bacalah di hadapannya ayat-ayat awal surat al-Kahfi.195

 

  1. Turunnya Nabi Isa Putera Maryam alaihissalam

 

Turunnya Nabi Isa putera Maryam ditetapkan berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya.” (An-Nisa : 159).

 

Yakni, kematian Nabi Isa alaihissalam, dan ini adalah ketika turunnya (di akhir zaman), sebagaimana Abu Hurairah Radhiyallahu menafsirkannya demikian.

 

*Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Demi Allah, Nabi Isa putra Maryam benar-benar akan turun sebagai hakim dan keadilan.” (Hadits Muttafaq ‘Alaih). 96

 

* Dan kaum muslimin telah bersepakat atas turunnya Nabi Isa alaihissalam.

 

Beliau akan turun di sisi menara putih di timur Damaskus dengan meletakkan kedua telapak tangannya pada sayap dua malaikat. Tidaklah orang kafir mencium aroma nafasnya melainkan mati, dan nafasnya mencapai sejauh pandangan matanya. Kemudian beliau akan mencari Dajjal hingga mendapatinya di pintu Ludd, lalu membunuhnya. Nabi Isa alaihissalam akan menghancurkan salib dan menghapus jizyah. Sujud hanya satu untuk Tuhan semesta alam, dan beliau akan melakukan haji dan umrah. Semua ini tercantum dalam Shahih Muslim, dan sebagiannya di dalam ash-Shahihain.97

Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan, bahwa Nabi Isa alaihissalam akan tinggal setelah terbunuhnya Dajjal selama 40 tahun, kemudian beliau wafat dan dishalati kaum muslimin.98 Al-Bukhari menyebutkan dalam Tarikhnya bahwa beliau akan dikubur bersama Nabi Shallallaahu alaihi wasallam. Wallahu a’lam.99

  1. Ya’juj dan Ma’juj

 

Ini adalah dua nama Ajam, atau Arab yang diambil dari kata , yang bermakna kacau, atau dari (gejolak dan kobaran nyala api).

 

Keduanya adalah umat dari keturunan Nabi Adam “yang memang ada, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman mengenai kisah Dzul Qarnain,

 

“Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata, ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya juj dan Ma juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka’.” (Al-Kahfi: 93-94).

Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Allah berfirman pada Hari Kiamat, ‘Wahai Adam! Berdirilah lalu kirimkanlah delegasi Neraka dari anak keturunanmu … “,

 

Hingga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Bergembiralah, karena dari kalian satu orang dan dari Ya’juj dan Ma juj seribu.” Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dalam ash-Shahihain. 100

 

Keluarnya mereka yang merupakan salah satu tanda-tanda Kiamat belum terjadi, tapi pendahuluannya sudah terjadi pada masa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam.

 

Diriwayatkan dalam ash-Shahihain bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda,

“Telah dibuka pada hari ini dari tembok Ya juj dan Ma juj seperti ini,’seraya melingkarkan kedua jari beliau yang ibu jari dan jari berikutnya (telunjuk).”101

 

Keluarnya mereka ditetapkan berdasarkan al-Qur an dan as-Sunnah.

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Hingga apabila telah dibuka (tembok) Ya juj dan Ma juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar.” (Al-Anbiya : 9697).

 

*Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Kiamat tidak akan terjadi hingga kalian melihat sebelumnya sepuluh tanda.’ Lalu beliau menyebutkan: 1), munculnya asap, 2),

 

 

 

 

 

 

 

munculnya Dajjal, 3), keluarnya binatang melata, 4), matahari terbit dari tempat terbenamnya, 5), turunnya Nabi Isa putera Maryam, 6), keluarnya Ya juj dan Ma juj, 7), terjadinya tiga tanah ambles: tanah ambles di Masyrik, 8), tanah ambles di Maghrib, 9), tanah ambles di Jazirah Arab, 10), dan yang terakhir ialah api yang keluar dari Yaman yang menggiring manusia ke tempat mereka berkumpul.” (Diriwayatkan oleh Muslim). 102

 

Kisah mereka disebutkan dalam hadits an-Nawwas bin Sam’an, bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda mengenai Nabi Isa putera Maryam setelah membunuh Dajjal, “Dalam keadaan seperti itu, Allah mewahyukan kepada Nabi Isa, ‘Sesungguhnya Aku telah mengeluarkan suatu jenis dari para hambaku yang tiada seorang pun yang mampu menghadapi mereka, maka bawalah para hambaku (yang Mukmin) ke tempat perlindungan di bukit Thur.’ Lalu Allah melepaskan Ya juj dan Ma juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.’ Kemudian permulaan mereka melewati danau Thabariyah (Tiberias) dan mereka minum airnya, akan tetapi yang terakhir dari mereka melewatinya seraya berkata, Sungguh di sini dulu ada air.’ Kemudian mereka berjalan hingga ketika mereka sampai di bukit al-Khamr, yaitu bukit Baitul Maqdis (Palestina), mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kita telah membunuh orang-orang yang ada di permukaan bumi, maka sekarang marilah kita membunuh siapa saja yang ada di langit.’ Lalu mereka melemparkan anak panah mereka ke langit, maka Allah mengembalikan anak panah mereka dengan bersimbah darah. Kemudian Nabi Allah, Isa bersama teman-temannya dikepung, hingga kepala seekor kerbau bagi mereka lebih bernilai daripada seratus dinar yang dimiliki salah seorang di antara kalian pada hari ini. Nabi Allah, Isa dan teman-temannya kemudian berdoa kepada Allah maka Allah mengirimkan ulat di leher mereka, lalu pada pagi harinya mereka telah menjadi bangkai seperti kematian satu nyawa. Kemudian Nabi Allah, Isa beserta teman-temannya itu turun ke

 

bumi dan tidak mendapati sejengkal tanah pun melainkan telah dipenuhi oleh bau busuk bangkai mereka. Maka Nabi Isa dan teman-temannya berdoa kepada Allah, maka Allah mengirimkan burung-burung (besar) seperti leher unta untuk membawa dan mencampakkan mereka di tempat yang dikehendaki Allah.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

 

  1. Keluarnya Hewan ()

 

() menurut bahasa, ialah semua yang hidup di bumi. Sedang yang dimaksud di sini, ialah binatang yang dikeluarkan Allah menjelang Hari Kiamat.

 

Keluarnya hewan ini tetap (terbukti benar) berdasarkan alQur’an dan as-Sunnah.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.” (An-Naml: 82).

 

*Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi hingga kalian melihat sebelumnya sepuluh tanda.” Lalu beliau menyebutkan di antaranya ialah, “munculnya binatang dari bumi.” (Diriwayatkan oleh Muslim).103

 

Dalam al-Qur an dan as-Sunnah yang shahih tidak terdapat dalil yang menunjukkan tentang tempat kemunculan binatang melata ini dan sifat (seperti apa persis)nya. Hal itu hanyalah disinyalir

 

dalam hadits-hadits yang keshahihannya perlu ditinjau. Zhahir al-Qur’an menunjukkan bahwa itu adalah binatang yang akan muncul memperingatkan manusia tentang dekatnya azab dan kebinasaan. Wallahu a’lam.

 

  1. Matahari Terbit dari Tempat Terbenamnya

 

Matahari terbit dari tempat terbenamnya yakni dari barat tetap (terbukti benar) berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Pada hari ketika datang sebagian tanda-tanda Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” (Al-An’am: 158).

 

Maksudnya ialah terbitnya matahari dari tempat terbenamnya.

 

*Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Kiamat tidak akan terjadi hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya. Ketika matahari terbit demikian, manusia melihatnya, maka mereka semuanya beriman. Itulah saat di mana ‘tidak bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum ber-

 

 

 

 

 

 

 

 

 

iman sebelum itu, atau dia belum mengusahakan kebaikan dalam masa imannya’.” (Muttafaq ‘Alaih).

 

***

 

[58]. Begitu juga azab kubur dan nikmatnya adalah haq (benar) adanya. Nabi Shalallahu alaihi wasallam berlindung darinya, dan memerintahkan berlindung darinya di setiap shalat.

 

[59]. Fitnah kubur juga adalah haq adanya, begitu juga pertanyaan Munkar dan Nakir adalah haq, Kebangkitan sesudah mati juga haq, dan itu terjadi ketika malaikat Israfil meniup Sangkakala.

 

“Dan ditiuplah Sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.”(Yasin: 51).

 

Syarah:

 

  • Fitnah Kubur

 

Fitnah, menurut bahasa, ialah ujian. Fitnah kubur adalah pertanyaan kepada mayit tentang Tuhannya, agamanya dan Nabinya.

 

Ini ditetapkan berdasarkan al-Qur an dan as-Sunnah.

* Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di Akhirat.” (Ibrahim: 27).

 

 

 

 

 

 

*Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Orang muslim jika ditanya di dalam kubur, dia pasti bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Itulah maksud firmanNya, ‘Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di Akhirat.’ (Ibrahim: 27).” (Muttafaq ‘Alaih).104

 

Yang bertanya adalah dua malaikat, sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Apabila hamba diletakkan dalam kuburnya, dan para sahabatnya telah berlalu pulang hingga ia benar-benar dapat mendengar suara sandal mereka, maka dua malaikat datang kepadanya lalu mendudukkannya.” (Diriwayatkan oleh Muslim).105

 

 

 

 

 

Nama dua malaikat itu adalah Munkar dan Nakir, sebagaimana ia diriwayatkan mengatakan, at-Tirmidzi dari Al-Albani Abu Hurairah secara marfu’, dan ia mengatakan, “Hasan gharib.” Al-Albani berkata, “sanadnya Hasan, dan sesuai syarat muslim”.106

 

Pertanyaan ini berlaku umum untuk semua orang mukallaf, baik orang-orang beriman maupun orang-orang kafir, baik umat ini maupun selain mereka, berdasarkan pendapat yang shahih. Sementara pada selain mukallaf, maka terdapat beda pendapat.

 

Zhahir perkataan Imam Ibnul Qayyim Dalam kitab ar-Ruh adalah menguatkan adanya pertanyaan itu. Dikecualikan darinya, orang yang mati syahid, berdasarkan hadits yang diriwayatkan anNasa’i 107 dan orang yang mati dalam keadaan murabith (bersiap-

siap di daerah perbatasan menghadapi musuh), berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim. 108

  • Azab atau Nikmat Kubur

 

Azab kubur atau nikmat adalah haq adanya, berdasarkan zhahir al-Qur an, as-Sunnah yang jelas, dan ijma’ Ahlus Sunnah.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman dalam surat al-Waqi’ah,

 

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kalian ketika itu melihat.” (Al-Waqi’ah: 83-84),

 

Hingga firmanNya,

 

“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman, rizki serta Surga penuh kenikmatan.” (Al-Waqi’ah: 88-89), hingga akhir surat.

 

*Nabi Shalallahu alaihi wasallam biasa berlindung kepada Allah dari azab kubur, dan memerintahkan hal itu kepada umat beliau. 109

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits al-Bara bin Azib yang masyhur tentang kisah fitnah kubur, beliau bersabda mengenai orang mukmin,

 

“Maka penyeru dari langit berseru, ‘Hambaku itu benar! Maka hamparkanlah untuknya permadani dari Surga, pakaikanlah padanya pakaian dari Surga, dan bukakanlah untuknya sebuah pintu menuju Surga.’ Maka aroma dan keharuman Surga datang kepadanya, dan kuburnya diluaskan sejauh pandangan matanya.”

Beliau Sholallahu alaihi wasallam juga bersabda mengenai orang kafir,

 

“Maka penyeru dari langit berseru, ‘Hambaku itu berdusta! Maka hamparkanlahuntuknya hamparan dari Neraka, dan bukakanlah untuknya sebuah pintu menuju Neraka.’ Maka panas dan asap beracun Neraka datang kepadanya, dan kuburnya disempitkan baginya hingga tulang-tulang rusuknya bersilangan (ringsek).” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud). 110

* As-Salaf dan Ahlus Sunnah telah ijma’ menetapkan azab dan nikmat kubur, sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim dalam kitab ar-Ruh.

 

Kaum ateis mengingkari azab kubur dengan alasan bahwa sekiranya kita membongkar kuburan, niscaya kita mendapati seperti sediakala.

 

Kita bantah mereka dengan dua perkara:

  1. Dalil al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ as-Salaf.
  2. Ihwal Akhirat itu tidak bisa diukur dengan ihwal dunia. Azab atau kenikmatan di dalam kubur itu bukan seperti sesuatu yang bisa dilihat di dunia.

 

  • Apakah Azab atau Nikmat Kubur Itu Menimpa Ruh atau Menimpa Badan?

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Madzhab as-Salaf dari umat ini dan para imamnya, adalah bahwa azab atau nikmat kubur dirasakan ruh orang yang mati dan tubuhnya, dan setelah berpisah dengan badan, ruh tetap dalam kenikmatan atau azab, dan ruh itu terkadang terhubung dengan badan lalu badan mendapatkan nikmat atau azab bersama ruhnya.”111

 

  • Tiupan Sangkakala (;)

 

Kata (meniup) sudah dikenal.

 

Kata () menurut bahasa, ialah terompet. Menurut syara’, ialah terompet besar yang ada pada mulut malaikat Israfil, di mana dia menunggu kapan diperintahkan untuk meniupnya.

 

Malaikat Israfil adalah salah satu malaikat mulia yang memikul Arsy.

 

Tiupan sangkakala itu ada dua kali:

 

Pertama: Tiupan faza’ (ketakutan dan keterkejutan). Sangkalala ditiup, maka manusia ketakutan (terkejut) dan mati kecuali siapa yang dikehendaki Allah.

 

Kedua: Tiupan kebangkitan. la ditiup, maka manusia bangkit dari kubur mereka.

 

Tiupan Sangkakala ini didasarkan pada al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ umat.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Dan ditiuplah Sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup Sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannnya masing-masing).” (Az-Zumar: 68).

 

“Dan ditiuplah Sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.” (Yasin: 51).

 

 

 

 

* Dari Abdullah bin Amr Rodliyallahu Anhu , dia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Kemudian Sangkakala ditiup, maka tidaklah seseorang mendengarnya melainkan dia mengangkat batang lehernya, kemudian tidak tersisa seorang pun melainkan mati. Kemudian Allah menurunkan hujan seakan-akan gerimis atau naungan – yang meriwayatkan ragu – lalu jasad manusia tumbuh darinya, kemudian ditiup tiupan yang lain, maka tiba-tiba mereka berdiri melihat (melongok).” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam suatu hadits yang panjang).

 

* Umat telah sepakat menetapkannya.

 

[60]. Manusia akan dikumpulkan pada Hari Kiamat dalam keadaan telanjang kaki, tanpa busana, tidak berkhitan, tidak membawa apa-apa, lalu mereka berhenti di tempat pemberhentian Kiamat, hingga Nabi kita Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam memberi syafa’at kepada mereka.

 

Allah akan menghisab mereka, timbangan-timbangan dipasang, buku-buku catatan amalan disebarkan, dan buku-buku catatan amal diberikan dengan tangan kanan dan tangan kiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak, ‘Celakalah aku.’ Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka). “(Al-Insyiqaq:7-12).

 

Syarah:

 

  • Kebangkitan () dan Penghimpunan ()

 

Kata () menurut bahasa, ialah melepas dan menyebarkan. Menurut syara’, ialah menghidupkan orang-orang yang sudah mati pada Hari Kiamat.

 

Kata (), menurut bahasa, ialah menghimpun. Menurut syara’, ialah menghimpun para makhluk pada Hari Kiamat untuk dihisab dan diputuskan perkara mereka.

 

Kebangkitan dan penghimpunan itu haq (benar) lagi ditetapkan berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.

 

* Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan.” (At-Taghabun: 7).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang kemudian, benar-benar akan dikumpulkan pada waktu tertentu pada hari yang dikenal.” (Al-Waqi’ah: 49-50).

 

*Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Manusia akan dikumpulkan pada Hari Kiamat di atas tanah yang putih tidak berkilau seperti lempengan roti yang bersih dan tidak ada tanda batas bagi siapa pun.” (Muttafaq ‘Alaih). 112

 

*Kaum muslimin telah ijma’ menetapkan akan dikumpulkannya umat manusia pada Hari Kiamat.

 

Manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang kaki tanpa bersandal, telanjang tubuh tanpa berpakaian, dan tidak bersunat, berdasarkan firmanNya,

 

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya.” (Al-Anbiya : 104).

 

 

 

Dan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan dalam keadaan bertelanjang kaki, tidak berpakaian, tidak bersunat.’ Kemudian beliau membaca, ‘Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya.’ (Al-Anbiya : 104). Dan orang pertama yang diberi pakaian pada Hari Kiamat adalah Nabi Ibrahim.” (Muttafaq ‘Alaih).113

 

Dalam hadits marfu’ dari Abdullah bin Unais yang diriwayatkan Ahmad,

 

“Manusia akan dikumpulkan pada Hari Kiamat dalam keadaan telanjang, tidak bersunat, dan buhm (tidak membawa apa apa).’ Kami bertanya, ‘Apakah buhm itu?’ Beliau menjawab, ‘Mereka tidak membawa apa pun.” Al-Hadits.114

 

 

  • Hisab (Perhitungan Amal)

 

Hisab, menurut bahasa, ialah hitungan (jumlah).

 

Menurut syara’, ialah Allah akan memperlihatkan kepada para hambaNya amal perbuatan mereka.

 

Ini tetap berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (Al-Ghasyiyah: 25-26).

 

*Nabi Shalallahu alaihi wasallam berdoa di sebagian shalat beliau,

 

“Ya Allah, hisablah aku dengan penghisaban yang mudah.’ ‘Aisyah bertanya, ‘Apakah penghisaban yang mudah itu?’ Beliau menjawab, ‘Dia (Allah) melihat dalam buku catatan amal seseorang lalu mengampuninya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad. Al-Albani berkata, “Sanadnya baik (jayyid).”115

 

* Kaum muslimin telah ijma’ menetapkan adanya hisab (perhitungan amal) pada Hari Kiamat.

 

Sifat (cara) hisab (perhitungan amal perbuatan) bagi orang yang beriman, “Bahwa Allah berduaan dengannya, lalu Dia menjadikannya mengakui dosa-dosanya, hingga ketika si hamba itu melihat dirinya telah binasa, maka Allah berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Aku telah menutupi kesalahanmu di dunia, dan Aku mengampuninya untukmu pada hari ini.’ Lalu, ia diberi buku catatan kebaikannya.”

 

“Adapun orang-orang kafir dan munafik, maka mereka diseru di hadapan para makhluk, ‘Mereka itulah orang-orang yang telah mendustakan Tuhan mereka. Ingatlah, semoga laknat Allah menimpa orang-orang yang zhalim’.” (Muttafaq ‘Alaih dari hadits Ibnu Umar). 116

 

Hisab itu berlaku umum untuk semua manusia kecuali siapa yang dikecualikan oleh Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, yaitu 70.000 orang dari umat ini, dan di antara mereka adalah Ukasyah bin Mihshan Rodliyallahu Anhu. Mereka akan masuk Surga dengan tanpa hisab dan azab. (Muttafaq ‘Alaih).117

Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Tsauban secara marfu’,

 

“Bahwa masing-masing orang dari mereka membawa 70.000 orang lainnya.” Ibnu Katsir berkata, “Hadits shahih,” dan dia menyebutkan beberapa hadits penguat. 118

 

Yang pertama dihisab adalah umat ini, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Kita adalah umat terakhir yang paling pertama diputuskan di antara mereka pada Hari Kiamat, sebelum umat-umat lainnya.” (Muttafaq ‘Alaih).119

 

Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas secara marfu’,

 

“Kita adalah umat terakhir tapi umat pertama yang akan dihisab.” Al-Hadits. 120

Amal hamba yang pertama dihisab berkenaan dengan hakhak Allah adalah shalat, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Perkara yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada Hari Kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka baiklah seluruh amalnya. Jika shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalnya.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, dan sanadnya tidak apa-apa (dapat diterima) insya Allah, sebagaimana dikatakan Imam al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib (1/ 246).121

 

Sementara perkara pertama yang diputuskan di antara manusia ialah perkara darah, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Yang pertama kali akan diputuskan (terkait hak) di antara manusia pada Hari Kiamat ialah perkara darah.” (Muttafaq ‘Alaih).122

Timbangan memiliki dua daun timbangan dan memiliki lisan untuk menimbang amal-amal.

 

“Barangsiapa berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barangsiapa ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam Neraka Jahanam.” (Al-Mu minun: 102-103).

 

Syarah:

 

  • Timbangan-timbangan ()

 

Kata () adalah jamak dari ().

 

Menurut bahasa ialah suatu yang digunakan untuk mengukur ringan dan berat sesuatu.

 

Menurut syara’ ialah apa yang diletakkan Allah pada Hari Kiamat untuk menimbang amal-amal para hamba.

 

Hal itu berdasarkan dalil al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ asSalaf.

 

* Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Barangsiapa berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barangsiapa ri-

 

 

 

ngan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam Neraka Jahanam.” (Al-Mu minun: 102-103).

 

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Al-Anbiya : 47).

 

* Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Ada dua kalimat yang dicintai ar-Rahman, ringan diucapkan di lisan, berat dalam timbangan: Subhanallah wabihamdih, subhanallah al-Azhim (Mahasuci Allah dan segala puji bagiNya, Mahasuci Allah Yang Maha Agung).” (Muttafaq ‘Alaih).123

 

* Dan as-Salaf bersepakat menetapkan hal itu.

 

la adalah mizan (timbangan) yang hakiki yang memiliki dua daun timbangan, berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin al-Ash Rodliyallahu Anhu , dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam tentang pemilik bithaqah (kartu). Beliau bersabda,

 

“Lalu diletakkanlah catatan-catatan (amal perbuatan) itu di satu daun timbangan dan kartu itu di timbangan yang lainnya … ” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Al-Albani berkata, “Sanadnya shahih.” 124

Para ulama berbeda pendapat, apakah ia satu timbangan atau bermacam-macam?

 

Sebagian dari mereka berpendapat, bermacam-macam tergantung umat-umat, individu-individu, atau amal-amal, karena timbangan tidak disinyalir dalam al-Qur an kecuali dalam bentuk jamak. Adapun penyebutan secara mufrad dalam hadits, maka itu dengan mempertimbangkan jenis.

Sebagian yang lain berpendapat, ia adalah satu timbangan, karena ia disebutkan dalam hadits dalam bentuk mufrad. Adapun bentuk jamaknya dalam al-Qur an, maka itu dengan mempertimbangkan apa yang ditimbang.

Masing-masing dari kedua perkara itu memungkinkan. Wallahu A’lam

 

Sedang yang ditimbang adalah amal, berdasarkan makna yang tampak dari ayat yang telah lewat dan hadits sesudahnya.

Ada juga yang berkata bahwa yang ditimbang adalah bukubuku catatan amal, berdasarkan hadits pemilik kartu.

 

Ada juga yang berpendapat (bahwa yang ditimbang adalah), pelaku itu sendiri, berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda,

“Sungguh ada orang yang bertubuh besar lagi gemuk datang pada Hari Kiamat, ternyata timbangannya di sisi Allah tidak lebih berat dibanding sayap nyamuk”.

 

Dan beliau lalu bersabda, ‘Bacalah (firman Allah Subhana wa Ta’ala),

 

‘Dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada Hari Kiamat.’ (Al-Kahfi: 105).” (Muttafaq ‘Alaih). 125

 

Sebagian ulama menggabungkan nash-nash ini, bahwa semuanya ditimbang, atau bahwa timbangan itu pada hakikatnya untuk buku catatan amal, dan karena ia menjadi berat atau ringan tergantung amalan yang tertulis, maka timbangan itu seakan-akan untuk perbuatan. Adapun timbangan pemilik amal, maka yang dimaksud dengannya ialah nilainya dan kehormatannya. Ini adalah penggabungan yang bagus, wallahu a’lam.

 

  • Pembagian Buku Catatan Amal ()

 

Kata () menurut bahasa, ialah membuka buku atau menyebarkan sesuatu.

 

Menurut syara’, ialah menunjukkan buku-buku catatan amal pada Hari Kiamat dan membagi-bagikannya.

 

 

Kata () adalah jamak dari (). Menurut bahasa, ialah buku untuk mencatat jumlah prajurit dan sebagainya (semacam buku induk, Ed.T.).

 

Menurut syara’, ialah buku-buku catatan amal yang di dalamnya tercatat amalan pelaku yang ditulis para malaikat.

 

Jadi, () adalah menunjukkan buku catatan amal pada Hari Kiamat, lalu diambil dengan tangan kanan atau tangan kiri.

 

Ini ditetapkan berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah dan ijma’ umat.

 

* Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak, ‘Celakalah aku.’ Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka).” (Al-Insyiqaq: 712).

 

“Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya dari sebelah kirinya, maka dia berkata, ‘Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini)!” (Al-Haqqah: 25).

*Dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, bahwasanya Dia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam,

 

“Apakah kalian ingat keluarga kalian pada Hari Kiamat?” Beliau menjawab, ‘Adapun di tiga tempat, maka seseorang tidak ingat seorang pun: 1), ketika (amal-amal) ditimbang hingga dia mengetahui apakah timbangannya ringan atau berat, 2), ketika buku-buku catatan bertebaran, hingga ia tahu di manakah buku catatannya diberikan; apakah di tangan kanannya, tangan kirinya atau dari belakang punggungnya, dan 3), ketika di Shirath, ketika Shirath diletakkan di antara kedua tebing Neraka Jahanam, hingga ia menyeberanginya.”126 (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-

 

Hakim. la berkata, “Shahih sesuai syarat keduanya al-Bukhari dan Muslim”).

 

* Kaum muslimin telah ijma’ menetapkan hal itu.

 

  • Cara Mengambil Buku Catatan Amal

 

Orang mukmin mengambil buku catatan amalnya dengan tangan kanannya, lalu ia bergembira dan senang seraya berkata,

 

“Ambillah, bacalah buku (amal)ku (ini).” (Al-Haqqah: 19).

 

Sedangkan orang kafir mengambilnya dengan tangan kirinya atau dari belakang punggungnya, lalu ia mengumpat dan memaki seraya berkata,

 

“Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya dari sebelah kirinya, maka dia berkata, ‘Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku buku (catatan amal)ku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku.” (Al-Haqqah: 25-26).

 

[62]. Nabi kita Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam memiliki telaga pada Hari Kiamat, airnya lebih putih daripada susu, lebih manis daripada madu, dan cerek-cereknya sebanyak bintang di langit. Siapa yang telah meminumnya seteguk, maka ia tidak akan haus setelah itu selamalamanya.

 

 

 

 

 

Syarah:

 

  • Telaga (Haudh)

Haudh, menurut bahasa, bermakna kumpul. Dikatakan (dalam bahasa Arab): () (air berkumpul) apabila seseorang menghimpunnya. Dan kata haudh ini digunakan untuk menyebut tempat terkumpulnya air (telaga).

 

Menurut syara’, ialah tempat terkumpulnya air yang turun dari al-Kautsar di pelataran Hari Kiamat milik Nabi Shallallaahu alaihi wasallam.

 

Hal itu berdasarkan as-Sunnah yang mutawatir dan ijma’ Ahlus Sunnah.

 

*Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Sesungguhnya akulah yang mendahului kalian ke telaga itu.” (Muttafaq ‘Alaih). 127

 

* As-Salaf Ahlus Sunnah bersepakat menetapkannya.

 

Sementara golongan Mu’tazilah mengingkari adanya telaga ini. Kita membantah mereka dengan dua perkara:

  1. Hadits-hadits mutawatir dari Rasul Shallallaahu alaihi wasallam.
  2. Ijma’ Ahlus Sunnah mengenai hal itu.

 

  • Sifat (Bentuk dan Ciri) Telaga (Haudh) Milik Nabi Sholallahu alaihi wasallam,

Panjangnya sejauh perjalanan sebulan dan lebarnya sejauh perjalanan sebulan, sisi-sisinya sama (banyak), bejananya laksana bintang-bintang di langit, airnya lebih putih daripada susu, lebih manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada misik. Di dalamnya terdapat dua pipa yang terbentang dari Surga: salah satunya dari emas dan yang kedua dari perak. la akan dimasuki orang-orang mukmin dari umat Muhammad. Barangsiapa meminum darinya, maka ia tidak akan pernah kehausan selamanya. Semua ini diriwayatkan secara shahih dalam ash-Shahihain atau salah satu dari keduanya.128

 

Ini sudah ada sekarang, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Sesungguhnya aku, demi Allah, benar-benar melihat telagaku sekarang.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). 129

 

Airnya berasal dari al-Kautsar, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

“Dan Dia juga memberiku al-Kautsar, yaitu sungai di Surga yang mengalir ke dalam telagaku.” (Diriwayatkan oleh Ahmad). Ibnu Katsir berkata, “Hadits ini hasan sanad dan matannya.”130

Setiap Nabi memiliki telaga, tapi telaga Nabi Shallallaahu alaihi wasallam paling besar, paling luas, dan paling banyak didatangi, berdasarkan sabda Nabi

 

“Tiap-tiap Nabi memiliki telaga, dan mereka bermegahmegahan siapakah di antara mereka yang paling banyak orang yang mendatanginya. Dan aku berharap akulah orang yang paling banyak di antara mereka yang mendatangi.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadits Gharib.” Hadits itu juga diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunya dan Ibnu Majah dari hadits Abu Sa’id al-Khudri Rodliyallahu Anhu. Dalam sanadnya terdapat kelemahan, tapi sebagian dari mereka menyatakan hadits ini shahih karena banyaknya jalan periwayatannya.131

 

 

[63]. Shirath (jembatan di atas Neraka Jahanam) itu adalah haq, yang akan dilalui orang-orang yang berbakti (dengan selamat), dan orang-orang durhaka akan tergelincir darinya.

 

Syarah:

 

  • Shirath (Jembatan di Atas Neraka Jahanam)

Shirath, menurut bahasa ialah jalan.

 

Menurut syara’ ialah jembatan yang terbentang di atas Neraka Jahanam yang akan dilalui manusia menuju ke Surga.

 

Ini tetap berdasarkan al-Qur an, as-Sunnah, dan perkataan as-Salaf.

 

*Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

“Dan tidak ada seorang pun dari kalian melainkan mendatangi Neraka itu.” (Maryam: 71).

 

Abdullah bin Mas’ud, Qatadah, dan Zaid bin Aslam menafsirkannya dengan lewat di atas Shirath. Sementara sekelompok ulama tafsir lain, di antaranya adalah Ibnu Abbas, menafsirkannya dengan masuk ke dalam Neraka tapi selamat darinya.

 

* Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Kemudian jembatan (Shirath) diletakkan di atas Neraka Jahanam dan syafa’at diperkenankan. Mereka mengatakan, ‘Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah.” (Muttafaq ‘Alaih). 132

 

* Ahlus Sunnah telah sepakat menetapkannya.

 

  • Sifat Shirath (Bentuk dan Ciri)

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang Shirath, maka beliau menjawab,

 

“Licin yang menggelincirkan, yang padanya terdapat besibesi runcing dan besi-besi pengait (yang menyambar), sebagaimana

 

 

pohon di Najed yang ada durinya yang biasa disebut as-Sa’dan.” Diriwayatkan al-Bukhari. 133

 

Al-Bukhari juga meriwayatkannya dari hadits Abu Hurairah,

 

“Padanya terdapat besi-besi pengait seperti duri Sa’dan. Hanya saja, tidak ada yang mengetahui ukuran besarnya kecuali Allah. Ia akan menyambar manusia sesuai amal perbuatan mereka.”134

 

Dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Sa’id al-Khudri Rodliyallahu Anhu , dia berkata,

 

“Sampai berita (khabar) kepadaku bahwa ia lebih tipis daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang.”135 Imam Ahmad meriwayatkan yang semisal dengannya dari ‘Aisyah Rodliyallahu anha secara marfu’.

 

 

 

 

  • Melintasi Shirath dan Sifat (Tata Cara)nya

 

Shirath ini tidak akan dapat diseberangi kecuali oleh orangorang yang beriman sesuai kadar amal mereka, berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, yang di dalamnya disebutkan,

 

“Orang-orang mukmin akan melewati (jembatan di atas Neraka Jahanam) itu, ada yang seperti (cepatnya) kedipan mata, seperti kilat, seperti angin, seperti burung terbang, seperti kuda yang paling kencang (gesit) dan seperti pengendara unta; di mana ada yang selamat tanpa cacat, ada yang lecet tapi selamat, dan ada pula yang jatuh ke dalam Neraka Jahanam.” (Muttafaq ‘Alaih).136

 

Dalam Shahih Muslim,

 

“Mereka dilarikan (dijalankan) oleh amal-amal mereka, dan Nabi kalian berdiri di atas Shirath seraya berucap, ‘Wahai Tuhan, selamatkan, selamatkan.’ Hingga amalan para hamba tidak berdaya lagi, hingga datang orang yang tidak mampu berjalan kecuali dengan merangkak.”137

 

 

 

 

 

 

Dalam Shahih al-Bukhari,

 

“Hingga yang terakhir dari mereka melalui(nya) dengan diseret dengan berat.” 138

 

Orang yang pertama kali melewati Shirath dari kalangan para Nabi adalah Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam, sedangkan dari kalangan umat-umat adalah umat beliau, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Aku dan umatku adalah yang pertama melewatinya, dan tiada yang berbicara pada hari itu kecuali para Rasul. Dan doa para Rasul pada hari itu adalah, ‘Ya Allah, selamatkan, selamatkan.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). 139

 

***

 

[64]. Nabi kita Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam akan memberikan syafa’at kepada orangorang yang masuk Neraka dari umat beliau, yaitu para pelaku dosa besar, lalu mereka keluar dengan syafa’at beliau setelah mereka terbakar dan menjadi arang, kemudian mereka masuk Surga dengan syafa’at beliau.

 

[65]. Nabi-nabi lainnya, orang-orang beriman dan malaikat juga akan memberikan syafa’at. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

 

“Dan mereka tidak memberi syafa’at melainkan kepada orangorang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepadaNya. “(Al-Anbiya’ : 28).

 

[66]. Namun, syafa’at para pemberi syafa’at tidak berguna bagi orang kafir.

 

Syarah:

 

  • Syafa at

Syafa’at, menurut bahasa: ialah menjadikan yang ganjil jadi genap.

 

Menurut istilah: ialah menjadikan orang lain sebagai perantara untuk mendapatkan manfaat atau menolak mudarat.

 

  • Syafa’at pada Hari Kiamat Ada Dua Macam: Khusus bagi Nabi, dan Umum bagi Beliau dan Selain Beliau.

Pertama: Syafa’at yang khusus bagi beliau, ialah as-syafa’ah al-uzhma (syafa’at teragung) untuk orang-orang di Padang Mahsyar, di hadapan Allah, agar Dia memutuskan perkara di antara mereka ketika mereka mengalami kesusahan yang tidak mereka sanggupi. Mereka pergi kepada Nabi Adam alaihissala, lalu kepada Nabi Nuh alaihissalam, Nabi Ibrahim alaihissalam, Nabi Musa alaihissalam dan Nabi Isa alaihissalam , tapi mereka semua menolak, kemudian mereka datang kepada Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam lalu Beliau memintakan syafa’at kepada Allah untuk mereka, maka Allah datang untuk memutuskan perkara di antara para hambaNya.

 

Tentang ini disebutkan dalam hadits tentang sangkakala yang masyhur, tapi sanadnya dhaif dan diperbincangkan.140 Saya mem-

buangnya dari hadits-hadits shahih, dan mencukupkan menyebutkan syafa’at untuk para pelaku dosa besar.

 

Imam Ibnu Katsir dan penyarah ath-Thahawiyyah berkata bahwa maksud as-Salaf mencukupkan menyebut syafa’at untuk para pelaku dan dosa besar, adalah sebagai bantahan terhadap golongan Khawarij dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Mu’tazilah.

 

Syafa’at al-uzhma ini yang tidak dipungkiri golongan Mu’tazilah dan golongan Khawarij. Dan syafa’at ini harus memenuhi syarat yaitu mendapat izin dari Allah, berdasarkan firmanNya,

 

“Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya.” (Al-Baqarah: 255).

 

Kedua: Syafa’at yang bersifat umum, ialah syafa’at untuk orang-orang yang masuk Neraka dari kaum mukminin, yaitu para pelaku dosa besar, agar mereka keluar darinya setelah terbakar dan menjadi arang. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wassallam bersabda,

“Adapun penduduk Neraka yang memang penghuninya yang sebenarnya, maka mereka tidak akan mati di dalamnya dan tidak pula hidup. Tetapi ada segolongan orang yang dibakar Neraka karena dosa-dosa mereka – atau karena kesalahan-kesalahan mereka – lalu Allah mematikan mereka hingga ketika mereka telah menjadi arang, maka diizinkan untuk diberikan syafa’at.” (Diriwayatkan oleh Ahmad). 141

 

Imam Ibnu Katsir berkata dalam an-Nihayah, (2/204), “Ini adalah sanad shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya dari jalur ini.”

 

Syafa’at ini berlaku untuk Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan selainnya, yaitu para Nabi, malaikat dan orang-orang yang beriman, berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, yang di dalamnya disebutkan,

 

“Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, ‘Malaikat telah memberikan syafa’at, para Nabi telah memberikan syafa’at, orang-orang mukmin telah memberikan syafa’at, dan tidak ada yang tersisa lagi kecuali Tuhan Yang Paling Penyayang di antara yang penyayang.’ Lalu Dia menggenggam satu genggaman dari Neraka lalu mengeluarkan darinya

 

satu kaum yang tidak pernah melakukan kebaikan pun, dalam keadaan mereka telah menjadi arang.” (Muttafaq ‘Alaih).142

 

Syafa’at ini diingkari oleh golongan Mu’tazilah dan Khawarij berdasarkan madzhab mereka: bahwa pelaku dosa besar di dalam Neraka, sehingga syafa’at tidak bermanfaat baginya.

 

Kita bantah mereka dengan bantahan sebagai berikut:

 

  1. Ini menyelisihi hadits-hadits yang mencapai derajat mutawatir dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam.

 

  1. Ini menyelisihi ijma’ as-Salaf.

 

Disyaratkan pada syafa’at ini dua syarat:

 

Pertama: Allah memberi izin untuk memberi syafa’at, berdasarkan firmanNya,

 

“Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya.” (Al-Baqarah: 255).

 

Kedua: ridha Allah kepada pemberi syafa’at dan orang yang diberi syafa’at, berdasarkan firmanNya,

 

“Dan mereka tidak memberi syafa’at melainkan kepada orang-orang yang diridhai Allah.” (Al-Anbiya : 28).

 

Adapun orang kafir maka tidak ada syafa’at baginya, berdasarkan firmanNya,

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orangorangyangmemberikan syafa’at.” (Al-Mudatstsir: 48). Yakni, andaikata seseorang memberikan syafa’at kepada mereka, maka syafa’at tidak berguna bagi mereka.

 

Adapun syafa’at Nabi Shallallaahu alaihi wasallam untuk paman beliau, Abu Thalib, hingga dia bisa berada di permukaan Neraka, dan dia memakai sepasang sandal akan tetapi membuat otaknya mendidih, padahal dia adalah penduduk Neraka yang paling ringan azabnya. Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Seandainya bukan karena aku, niscaya dia pasti berada di kerak Neraka paling bawah.” (Diriwayatkan oleh Muslim).143

 

Ini syafa’at khusus bagi Nabi Shallallaahu alaihi wasallam untuk paman beliau, Abu Thalib saja. Hal itu – wallahu a’lam – karena apa yang pernah dilakukannya, yaitu menolong dan membela Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, serta ajaran yang beliau bawa (ketika beliau dimusuhi dan disakiti oleh orangorang kafir Quraisy).

 

***

 

[67]. Surga dan Neraka adalah makhluk yang tidak fana. Surga adalah negeri para kekasih Allah, dan Neraka adalah hukuman bagi para musuhNya. Para penduduk Surga akan kekal di dalamnya,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam azab Neraka Jahanam. Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa.”(Az-Zukhruf:74-75).

 

Syarah:

 

  • Surga dan Neraka

 

Surga (), menurut bahasa ialah kebun yang banyak pepohonannya.

 

Menurut syara’ ialah negeri yang disediakan Allah di Akhirat bagi orang-orang yang bertakwa.

 

Neraka (), menurut bahasa sudah dikenal (yaitu api).

 

Menurut syara’ ialah negeri yang disediakan Allah di Akhirat bagi orang-orang yang kafir.

 

Surga dan Neraka sudah diciptakan (sudah ada) sekarang, berdasarkan firmanNya tentang Surga,

 

“Yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 133).

 

 

 

 

 

 

 

 

Dan tentang Neraka ,

 

“Yang disediakan bagi orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah:24).

 

Menyediakan ialah menyiapkan.

 

Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, ketika beliau usai melaksanakan shalat kusuf (gerhana),

 

“Sesungguhnya aku melihat Surga, lalu aku berusaha meraih satu tandan buah darinya. Seandainya aku telah mengambilnya, niscaya kalian makan darinya (tiada habis-habisnya) selama dunia masih ada. Aku juga melihat Neraka, dan aku tidak melihat seperti hari ini suatu pemandangan pun yang lebih mengerikan dari itu.” (Muttafaq ‘Alaih). 144

 

Surga dan Neraka tidak fana, berdasarkan firmanNya,

 

“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah Surga ‘Adn Yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (Al-Bayyinah: 8).

 

 

 

 

 

Ayat-ayat yang menerangkan keabadian di Surga cukup banyak.

 

Adapun tentang keabadian di Neraka, maka ini disebutkan di tiga tempat di surat an-Nisa ,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka, kecuali jalan ke Neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya selamalamanya.” (An-Nisa : 168-169).

 

Di surat al-Ahzab,

 

“Sesungguhnya Allah melaknat orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (Neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (Al-Ahzab: 64-65).

 

Dan di surat al-Jin,

 

“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sesungguhnya baginyalah Neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (Al-Jin: 23).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam azab Neraka Jahanam. Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa.” (Az-Zukhruf: 74-75).

 

  • Tempat Surga dan Neraka

 

Surga di tempat paling tinggi (A’la al-‘Illiyyin), berdasarkan firmanNya,

 

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu benar-benar berada di tempat paling tinggi.” (Al-Muthaffifin: 18).

 

Dan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dalam hadits al-Bara’ bin Azib yang masyhur tentang kisah fitnah kubur,

 

“Lalu Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, ‘Tulislah buku catatan (amal perbuatan) hambaku di ‘Illiyyin, dan kembalikanlah dia ke bumi.”145

 

Sedangkan Neraka di tempat yang paling rendah, berdasarkan firmanNya,

 

“Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin.” (Al-Muthaffifin: 7).

 

 

Dan sabdanya dalam hadits al-Bara’ bin Azib yang lalu,

 

“Lalu Allah berfirman, ‘Tulislah buku catatan (amal) hambaku di Sijjin yaitu di bumi paling bawah.”

 

  • Penghuni Surga dan Penghuni Neraka

 

Penghuni Surga adalah setiap mukmin yang bertakwa, karena mereka adalah loyalis (kekasih) Allah.

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 133).

 

“Yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasulNya.” (Al-Hadid: 21).

 

Sedangkan penghuni Neraka adalah setiap orang kafir yang celaka.

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman tentang Neraka,

 

“Yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 24).

 

“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam Neraka.” (Hud: 106).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[68]. Kematian akan didatangkan dalam rupa domba hitam putih, dan disembelih di antara Surga dan Neraka, kemudian dikatakan, “Wahai penduduk Surga, kekal dan tiada kematian. Wahai penduduk Neraka, kekal dan tiada kematian.”

 

Syarah:

 

  • Disembelihnya Kematian

 

Maut (kematian), ialah hilangnya kehidupan, dan setiap diri akan merasakan kematian.

 

Kematian adalah perkara maknawi yang tidak bisa dijangkau dengan penglihatan, tapi Allah menjadikannya sebagai sesuatu yang bisa dilihat dengan mata, dan disembelih di antara Surga dan Neraka, berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri Rodliyallahu Anhu.

 

“Kematian akan didatangkan pada Hari Kiamat dalam bentuk domba putih campur hitam, lalu penyeru berseru, ‘Wahai ahli Surga!’ Ketika mereka melongokkan kepala mereka dan meman-

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

dang, maka penyeru bertanya, ‘Apakah kalian mengenal ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, itu adalah kematian.’ Mereka semua sungguh melihatnya. Kemudian penyeru berseru, ‘Wahai penghuni Neraka!’ Ketika mereka melongokkan kepala mereka dan memandang, maka penyeru bertanya, ‘Apakah kalian mengenal ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, itu adalah kematian.’ Mereka semua sungguh melihatnya. Lalu kematian disembelih. Kemudian penyeru berkata, ‘Wahai para penghuni Surga, berikutnya hanyalah kekekalan, tidak ada kematian. Wahai para penghuni Neraka, berikutnya hanyalah kekekalan, tidak ada kematian.’ Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam membaca, ‘Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman.’ (Maryam: 39).”

 

Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari berkenaan dengan tafsir ayat ini.146

 

Al-Bukhari juga meriwayatkan yang semisal dengannya dalam Shifah al-Jannah wa an-Nar (Sifat Surga dan Neraka) dari hadits Ibnu Umar secara marfu’.147

 

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Nabi Muhammad adalah Rasul Allah Subhana wa Ta’ala, penutup para Nabi dan penghulu para Rasul. Tidak sah keimanan seorang hamba hingga beriman kepada kerasulan beliau dan mengakui kenabian beliau. Perkara di antara manusia tidak diputuskan pada Hari Kiamat kecuali dengan syafa’at beliau, dan tidak ada satu umat pun yang memasuki Surga kecuali sesudah umat beliau masuk. Beliau adalah pemilik panji pujian, kedudukan terpuji, dan telaga yang dimasuki. Beliau adalah imam para Nabi, khatib mereka, dan pemberi syafa’at untuk mereka.

 

[70]. Umat beliau adalah umat terbaik di antara umat-umat yang lain, dan para sahabat beliau adalah sahabat terbaik di antara sahabat para Nabi Shallallaahu alaihi wasallam

 

Syarah:

 

  • Pasal tentang Hak-hak Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan Para Sahabat beliau

 

* Orang paling mulia di sisi Allah adalah para Rasul, kemudian para Nabi, kemudian orang-orang shiddiq, kemudian orangorang yang mati syahid, kemudian orang-orang shalih.

 

Allah telah menyebutkan tingkatan ini dalam kitabNya dalam

 

 

 

 

 

“Dan Barangsiapa menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para orang-orang shiddiq, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa : 69).

 

* Rasul paling utama adalah Ulul Azmi. Mereka ada lima, yaitu Nabi Nuh alaihissalam, Nabi Ibrahim alaihissalam, Nabi Musa alaihissalam, Nabi Isa alaihissalam dan Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam. Allah telah menyebut mereka di dua tempat dalam kitabNya:

 

  1. – Dalam surat al-Ahzab,

 

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabinabi dan dari kamu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam.” (Al-Ahzab: 7).

 

  1. – Dan dalam surat asy-Syura,

 

“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa.” (Asy-Syura: 13).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

* Rasul yang paling utama (secara mutlak) adalah Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam, berdasarkan sabdanya,

 

“Akulah sayyid (penghulu) manusia pada Hari Kiamat.” (Muttafaq ‘alaih).148

 

Demikian pula, mereka shalat (bermakmum) di belakang beliau pada malam Mi’raj, dan dalil-dalil lainnya.

 

Kemudian disusul Nabi Ibrahim alaihissalam, karena beliau adalah bapak para Nabi dan agamanya adalah pokok segala agama.

 

Kemudian disusul Nabi Musa alaihissalam, karena beliau adalah Nabi paling utama Bani Isra’il dan syariatnya adalah pokok syariat mereka.

 

Kemudian disusul Nabi Nuh alaihissalam dan Nabi Isa alaihissalam, tidak bisa dipastikan siapa yang lebih utama di antara keduanya, karena masing-masing dari keduanya memiliki keistimewaan.

 

  • Beberapa Kekhususan dan Keistimewaan Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam diistimewakan dengan beberapa kekhususan yang akan kami bicarakan sebagaimana yang telah disebutkan penulis (Imam Ibnu Qudamah), di antaranya:

 

  1. Beliau Sholallahu alaihi wasallam adalah penutup para Nabi, berdasarkan firmanNya,

 

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi.” (Al-Ahzab: 40).

 

  1. Beliau adalah penghulu para Rasul, dan telah disebutkan dalilnya.

 

  1. Tidak sempurna keimanan seorang hamba hingga beriman kepada kerasulan beliau, berdasarkan firmanNya,

 

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa’ : 65). Sementara Nabi-nabi selainnya diutus kepada kaum-kaum tertentu, masing-masing diutus kepada kaumnya.

 

  1. Perkara di antara manusia tidak diputuskan pada Hari Kiamat kecuali dengan syafa’at beliau, dan telah disebutkan dalilnya dalam pembahasan tentang syafa’at.

 

  1. Umat beliau Sholallahu alaihi wasallam mendahului umat-umat lainnya dalam memasuki Surga, berdasarkan keumuman sabdanya,

 

“Kita adalah umat terakhir tapi yang paling awal pada Hari Kiamat.” Ini telah disebutkan sebelumnya.149

 

  1. Pemilik panji pujian, yang beliau bawa pada Hari Kiamat dan orang-orang memuji di bawahnya, berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Aku adalah penghulu anak cucu Nabi Adam pada Hari Kiamat, dan ini bukan membangga-banggakan. Tanganku memegang panji pujian, dan ini bukan membangga-banggakan. Tiada seorang Nabi pun pada hari itu, baik Adam maupun selainnya, melainkan di bawah panjiku. Aku adalah orang yang pertama kali tanah (kubur)nya terbuka, dan ini bukan membangga-banggakan.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, sedang bagian awal dan akhir diriwayatkan Muslim).150

 

  1. Beliau Sholallahu alaihi wasallam adalah pemilik kedudukan terpuji (al-Maqam al-Mahmud), yakni perbuatan yang dipuji oleh Allah Yang Maha Pencipta dan makhluk, berdasarkan firmanNya,

 

“Mudah-mudahan TuhanMu mengangkat kamu pada kedudukan yang terpuji.” (Al-Isra : 79).

 

Kedudukan ini adalah sifat-sifat yang diperolehnya pada Hari Kiamat berupa syafa’at dan selainnya.

 

  1. Pemilik telaga yang akan dimasuki. Maksudnya adalah telaga besar lagi banyak orang yang memasukinya. Adapun sekedar telaga, maka telah dikemukakan sebelumnya bahwa setiap Nabi memiliki telaga.

 

9-11. Beliau Sholallahu alaihi wasallam adalah imam para Nabi, penyampai pidato untuk mereka, dan pemberi syafa’at bagi mereka, berdasarkan hadits Ubay bin Ka’ab, bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Ketika Hari Kiamat, aku adalah imam para Nabi, juru bicara mereka, dan pemberi syafa’at mereka,) dan ini (bukan membanggabanggakan.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dia menghasankannya).151

 

  1. Umat beliau Sholallahu alaihi wasallam adalah umat terbaik, berdasarkan firmanNya,

 

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (Ali ‘Imran: 110).

Adapun firmanNya,

 

“Hai Bani Israil, ingatlah nikmatKu yang telah Aku anugerahkan kepada kalian dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kalian atas segala umat.” (Al-Baqarah: 47),

 

Maksudnya, ialah umat-umat pada zaman mereka.

 

***

 

[71]. Orang terbaik di antara umat beliau adalah Abu Bakar ash-Shiddiq Rodliyallahu Anhu, kemudian Umar al-Faruq Rodliyallahu Anhu, kemudian Utsman Dzun Nurain Rodliyallahu Anhu, Kemudian Ali al-Murtadha Rodliyallahu Anhu.

 

Hal ini berdasarkan riwayat Abdullah bin Umar Rodliyallahu anhu dia berkata,

 

“Dulu kami mengatakan, saat Nabi Shallallaahu alaihi wasallam masih hidup, yang paling utama dari umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman kemudian Ali. 152 Ketika hal itu sampai kepada Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, beliau tidak mengingkarinya. “153

 

[72]. Diriwayatkan secara shahih dari Ali Rodliyallahu Anhu bahwa ia berkata,

 

“Orang terbaik dari umat ini sesudah Nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Seandainya aku mau, niscaya aku sebutkan nama orang yang ketiga. 154

 

[73]. Abu ad-Darda’ 4, meriwayatkan dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

 

“Matahari tidak terbit dan tidak terbenam sesudah para Nabi dan Rasul pada orang yang lebih utama daripada Abu Bakar. “155

[74]. Dialah orang yang paling berhak memangku kekhalifahan sesudah Nabi Shallallaahu alaihi wasallam karena keutamaannya, karena kepeloporan dalam masuk Islam, karena Nabi Shallallaahu alaihi wasallam mendahulukannya sebagai imam shalat (ketika beliau berhalangan) dibandingkan semua sahabat lainnya, dan juga karena para sahabat bersepakat mendahulukannya serta membaiatnya; dan Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan.

 

[75]. Kemudian sesudah Abu Bakar Rodliyallahu Anhu adalah Umar Rodliyallahu anhu, karena keutamaannya dan Abu Bakar mengangkatnya sebagai penggantinya.

 

[76]. Kemudian Utsman Rodliyallahu Anhu, karena peserta syura mendahulukannya.

 

[77]. Kemudian Ali Rodliyallahu Anhu, karena keutamaannya dan orang-orang pada zamannya bersepakat memilihnya.

 

[78]. Mereka adalah Khulafa’ Rasyidin (khalifah-khalifah yang lurus) dan para pemimpin yang mendapat petunjuk, orang-orang yang disinyalir Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dalam sabdanya,

 

“Berpeganglah kepada Sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin sepeninggalku; gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham (peganglah eraterat). ” 156

 

[79]. Beliau 15 juga bersabda,

“Kekhalifahan sepeninggalku berlangsung tiga puluh tahun. “157 Dan terbukti benar di mana yang terakhir adalah kekhalifahan Ali Rodliyallahu Anhu.

 

Syarah:

 

  • Keutamaan Para Sahabat

Sahabat ialah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal di atas keimanan itu.

 

Para sahabat Nabi Shallallaahu alaihi wasallam adalah sahabat terbaik di antara sahabat-sahabat para Nabi, berdasarkan sabda Nabi ,

 

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku. “158

(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan selainnya).

Sahabat paling utama adalah kaum Muhajirin, karena mereka menghimpun antara hijrah dan nushrah (memberikan pertolongan), kemudian kaum Anshar.

Orang terbaik dari kalangan kaum Muhajirin adalah empat khalifah Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Rodliyallahu Anhu.

 

Abu Bakar Rodliyallahu Anhu, digelari ash-Shiddiq. Nama aslinya Abdullah bin Utsman bin Amir dari Bani Tamim bin Murrah bin Ka’ab. Dia orang yang pertama kali beriman kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dari kalangan kaum laki-laki dewasa, orang yang menyertai Nabi Sholallahu alaihi wasallam dalam hijrah, wakilnya dalam shalat dan haji, serta khalifahnya di tengah umatnya. Masuk Islam lewat tangannya lima orang dari kalangan sahabat yang dipastikan masuk Surga: Utsman, az-Zubair, Thalhah, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’d bin Abi Waqqash.

Abu Bakar wafat pada bulan Jamadil Akhir tahun 13 H. dalam usia 63 tahun.

Lima orang itu bersama Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah, adalah delapan orang yang pertama-tama masuk Islam. Hal ini sebagaimana dikatakan Ibnu Ishaq. Yakni, dari kalangan laki-laki sesudah kerasulan.

 

Umar Rodliyallahu anhu, ialah Abu Hafsh yang digelari al-Faruq, nama aslinya Umar bin al-Khaththab dari Bani Adi bin Ka’b bin Lu ay.

Umar Masuk Islam pada tahun ke-6 kenabian sesudah 40 orang laki-laki dan satu orang perempuan masuk Islam. Kaum muslimin pun gembira dengan keislamannya, dan Islam mengemuka di Makkah setelah itu.

Umar ditunjuk Abu Bakar sebagai khalifah yang memimpin umat ini. Maka dia melaksanakan tugas kekhalifahan dengan sebaik-baiknya hingga terbunuh sebagai seorang syahid pada bulan Dzulhijjah th. 23 H. dalam usia 63 tahun.

 

Utsman Rodliyallahu Anhu , ialah Abu Abdillah, yang digelari dengan Dzun Nurain, dan nama aslinya Utsman bin Affan dari Bani Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf. Dia masuk Islam sebelum Nabi Shallallaahu alaihi wasallam memasuki Dar al-Arqam.

 

Utsman adalah orang kaya yang dermawan, menjabat sebagai khalifah sesudah Umar bin al-Khaththab dengan kesepakatan anggota syura hingga terbunuh sebagai syahid pada bulan Dzulhijjah th. 35 H. dalam usia 90 tahun menurut salah satu pendapat.

 

Ali, ialah Abu al-Hasan Ali bin Abi Thalib. Nama Abu Thalib adalah Abdu Manaf bin Abdul Muththalib.

 

Ali adalah orang yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam memberikan panji kepadanya pada saat perang Khaibar, lalu memberi kemenangan lewat kedua tangannya. Dia dibaiat sebagai khalifah setelah Utsman terbunuh. Jadi, ia adalah khalifah secara syar’i hingga terbunuh sebagai syahid pada bulan Ramadhan th. 40 H. dalam usia 63 tahun.

 

Orang paling utama dari keempat orang itu adalah Abu Bakar Rodliyallahu Anhu, kemudian Umar Rodliyallahu anhu, kemudian Utsman Rodliyallahu Anhu, kemudian Ali Rodliyallahu anhu, berdasarkan hadits Ibnu Umar Rodliyallahu anhu,

 

“Dulu kami biasa menyatakan yang paling utama di antara manusia pada zaman Nabi Shallallaahu alaihi wasallam lalu kami menyatakan yang paling

 

baik adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin al-Khaththab, kemudian Utsman bin Affan.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). 159

 

Dalam riwayat Abu Dawud,

 

“Dulu kami mengatakan saat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam masih hidup, ‘Sebaik-baik umat Nabi Shallallaahu alaihi wasallam sesudah beliau, adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman.”

 

Dalam riwayat ath-Thabrani terdapat tambahan dalam suatu riwayat,

 

“Ketika hal itu terdengar Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, beliau tidak mengingkarinya.’

 

Demikianlah, dan saya tidak menjumpai lafazh yang disebutkan mu allif dengan menambahkan Ali bin Abi Thalib.160

Orang yang paling berhak sebagai khalifah setelah Nabi Shallallaahu alaihi wasallam wafat, adalah Abu Bakar Rodliyallahu Anhu karena dia adalah orang yang paling utama di antara mereka dan lebih dulu masuk Islam, juga karena Nabi Shallallaahu alaihi wasallam mendahulukannya (sebagai pengganti beliau menjadi imam) dalam shalat, dan karena para sahabat bersepakat mendahulukannya, membai’atnya dan Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan.

 

Kemudian Umar Rodliyallahu anhu, karena dia adalah sahabat paling utama sesudah Abu Bakar Rodliyallahu Anhu, dan karena Abu Bakar menunjuknya sebagai penggantinya.

 

Kemudian Utsman Rodliyallahu Anhu, karena keutamaannya dan peserta syura mendahulukannya. Para peserta syura itu disebutkan dalam bait syair:

 

Ali, Utsman, Sa’ad, Thalhah

 

Az-Zubair, dan putra Auf adalah ahlus syura

 

Keempat orang itu adalah al-Khulafa ar-Rasyidun al-Mahdiyyun (para khalifah yang lurus lagi diberi petunjuk), yang disinyalir Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dalam sabdanya,

 

“Berpegang teguhlahlah kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafa ` Rasyidin sepeninggalku, gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham (peganglah erat-erat). “161

Beliau Sholallahu alaihi wasallam juga bersabda,

 

“Kekhalifahan sepeninggalku berlangsung tiga puluh tahun.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Al-Albani berkata, “Sanadnya hasan.”)

 

Dan ini (terbukti kebenarannya) di mana yang terakhir darinya adalah kekhalifahan Ali Rodliyallahu Anhu.

Kekhalifahan Abu Bakar Rodliyallahu Anhu berlangsung dua tahun, tiga bulan, sembilan malam, dari 13 Rabi’ul Awwal th. 11 H. hingga 22 Jumadal Akhir th. 13 H.

Kekhalifahan Umar  Rodliyallahu anhu berlangsung sepuluh tahun, enam bulan, tiga hari, dari 23 Jumadal Akhir th. 13 H. hingga 26 Dzulhijjah th. 23 H.

Kekhalifahan Utsman Rodliyallahu Anhu berlangsung dua belas tahun kurang 12 hari, dari 1 Muharram th. 24 H. hingga 18 Dzulhijjah th. 35 H.

Kekhalifahan Ali Rodliyallahu Anhu berlangsung empat tahun, sembilan bulan, dari 19 Dzulhijjah th. 35 H. hingga 19 Ramadhan th. 40 H.

 

Jadi, jumlah masa kekhalifahan keempat khalifah tersebut adalah 29 tahun, enam bulan, empat hari.

 

Kemudian al-Hasan bin Ali dibaiat setelah bapaknya, Ali, wafat, dan pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 41 H. Al-Hasan menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada Mu’awiyah. Dengan demikian tampaklah bukti kebenaran) mukjizat Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dalam sabdanya, 

“Kekhalifahan sepeninggalku berlangsung tiga puluh tahun.”

 

Begitu juga sabda beliau Sholallahu alaihi wasallam mengenai al-Hasan,

 

“Sesungguhnya cucuku ini adalah seorang sayyid (pemimpin besar), dan mudah-mudahan Allah mendamaikan dua golongan yang besar dari kaum muslimin dengan perantaraannya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). 162

 

***

 

[80]. Kita bersaksi untuk sepuluh sahabat dengan Surga, sebagaimana Nabi ds bersaksi untuk mereka lewat sabdanya,

 

 “Abu Bakar masuk Surga, Umar masuk Surga, Utsman masuk

 

Surga, Ali masuk Surga, Thalhah masuk Surga, az-Zubair masuk Surga, Abdur Rahman bin Auf masuk Surga, Sa’ad bin Abi Waqqash

 

masuk Surga, Sa’id bin Zaid masuk Surga, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah masuk Surga.”

 

[81]. Dan setiap orang yang diberi kesaksian oleh Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dengan Surga, maka kita memberi kesaksian untuknya dengannya, seperti sabdanya,

 

“Al-Hasan dan al-Husain adalah dua sayyid (penghulu) pemuda Surga. “

 

Dan sabdanya mengenai Tsabit bin Qais,

 

“Sesungguhnya dia termasuk penduduk Surga.”

 

[82]. Kita tidak memastikan seorang pun dari ahli kiblat (orang Islam) dengan Surga atau Neraka, kecuali siapa yang telah dipastikan Rasul Shallallaahu alaihi wasallam. Tapi kita berharap (Surga) untuk orang yang berbuat kebajikan, dan mengkhawatirkan (Neraka) atas orang yang berbuat keburukan.

 

Syarah:

 

  • Kesaksian dengan Surga dan Neraka

 

Kesaksian dengan Surga dan Neraka, akal tidak memiliki ruang (wewenang) di dalamnya. Kesaksian ini didasarkan pada syara’. Siapa yang telah diberi kesaksian oleh peletak syari’at dengan Surga, maka kita bersaksi untuknya, dan siapa yang tidak diberi kesaksian, maka kita tidak bersaksi untuknya. Tapi kita berharap (Surga) untuk orang yang berbuat kebajikan, dan mengkhawatirkan (Neraka) atas orang yang berbuat keburukan.

 

 

 

  • Kesaksian dengan Surga atau Neraka Terbagi Menjadi Dua Macan: Umum dan Khusus

 

Yang umum, adalah yang dikaitkan dengan sifat. Misalnya, kita bersaksi bahwa setiap orang mukmin masuk ke dalam Surga, dan setiap orang kafir masuk ke dalam Neraka, atau sifat-sifat semisalnya yang telah di tetapkan oleh peletak syari’at sebagai sebab masuk Surga atau masuk Neraka.

 

Yang khusus, adalah yang dikaitkan dengan seseorang. Misalnya, kita bersaksi untuk orang tertentu bahwa ia masuk Surga, atau orang tertentu bahwa ia masuk Neraka. Kita tidak boleh menentukan kecuali apa yang ditentukan Allah Subhana wa Ta’ala atau RasulNya Shallallaahu alaihi wasallam.

 

  • Orang-orang yang Ditetapkan Sebagai Penghuni Surga

 

Orang-orang yang ditentukan sebagai penghuni Surga cukup banyak, di antaranya sepuluh orang yang diberi kabar gembira dengan Surga. Mereka dikhususkan dengan sifat ini, karena Nabi Shallallaahu alaihi wasallam menghimpun mereka dalam satu hadits lewat sabdanya,

 

“Abu Bakar masuk Surga, Umar masuk Surga, Utsman masuk Surga, Ali masuk Surga, Thalhah masuk Surga, az-Zubair masuk Surga, Abdur Rahman bin Auf masuk Surga, Sa ad bin Abi Waqqash masuk Surga, Sa id bin Zaid masuk Surga, dan Abu

 

 

 

 

 

 

Ubaidah bin al-Jarrah masuk Surga.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan dinyatakan shahih oleh al-Albani).163

 

Pembicaraan mengenai empat khalifah telah dikemukakan sebelumnya. Adapun sisanya, mereka dihimpun dalam bait ini:

 

Sa’id, Sa’ad, Ibnu Auf, Thalhah

 

Amir Fihr, dan az-Zubair yang dipuji

 

Thalhah ialah putra Ubaidullah, dari Bani Taim bin Murrah. Salah satu dari delapan orang yang paling awal masuk Islam. Dia terbunuh dalam perang Jamal pada bulan Jumadil Akhir th. 36 H. dalam usia 64 tahun.

Az-Zubair adalah putra al-Awwam dari Bani Qushaiy bin Kilab, putera bibi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam , la menarik diri dari memerangi Ali dalam perang Jamal. Dia dibuntuti oleh Ibnu Jurmuz yang kemudian membunuhnya, pada bulan Jumadil Ula th. 36 H. dalam usia 67 tahun.

Abdurrahman bin Auf berasal dari Bani Zuhrah bin Kilab. Dia wafat pada th. 32 H. dalam usia 72 tahun dan dimakamkan di Baqi’.

Sa’ad bin Abi Waqqash adalah putra Malik dari Bani Abdi Manaf bin Zuhrah, orang yang pertama-tama menembakkan anak panah di jalan Allah. Dia wafat di kediamannya, di al-Aqiq

yang berjarak sepuluh mil dari Madinah, dan dikuburkan di Baqi’ pada th. 55 H. dalam usia 82 tahun.

Sa’id bin Zaid adalah putra Zaid bin Amr bin Nufail al Adawi. Termasuk orang-orang yang paling awal masuk Islam. Meninggal di al-Aqiq dan dikuburkan di Baqi’ pada th. 55 H. dalam usia 70 an tahun.

Abu Ubaidah adalah Amir bin Abdillah bin al-Jarrah dari Bani Fihr. Dia adalah salah seorang yang paling awal masuk Islam. Meninggal di Yordania karena wabah Tha’un ‘Amwas pada th. 18 H. dalam usia 58 tahun.

 

Termasuk orang yang diberi kesaksian Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dengan Surga, ialah al-Hasan, al-Husain, dan Tsabit bin Qais.

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Al-Hasan dan al-Husain adalah penghulu pemuda Surga.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan dia mengatakan, “Hasan shahih. “164

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam juga bersabda mengenai Tsabit bin Qais,

“Sesungguhnya engkau bukan termasuk penduduk Neraka, tapi engkau termasuk penduduk Surga.” (Diriwayatkan oleh AlBukhari). 165

 

Al-Hasan Rodliyallahu Anhu, adalah cucu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan wewangian kesayangan beliau. Dia adalah Amirul Mu minin putera Amirul Mu minin Ali bin Abi Thalib rodliyallahu anhu. Lahir pada 15 Ramadhan th. 3 H. dan meninggal di Madinah, serta dimakamkan di al-Baqi’ pada bulan Rabi’ul Awwal th. 50 H.

 

Al-Husain Rodliyallahu Anhu, juga cucu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan wewangian kesayangan beliau. Dia adalah putera Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu. Lahir pada bulan Sya’ban th. 4 H. dan terbunuh di Karbala pada tahun 10 Muharram th. 61 H.

 

Tsabit Rohimahullah, adalah Ibnu Qais bin Syammas al-Anshari al-Khazraji, orator kaum Anshar. Terbunuh sebagai syahid dalam perang Yamamah pada th. 11 H. akhir atau awal th. 12 H.

 

  • Orang-orang yang Ditentukan sebagai Penghuni Neraka dalam al-Qur’an dan as-Sunnah

 

Di antara orang-orang yang ditentukan sebagai penghuni Neraka berdasarkan al-Qur an, ialah Abu Lahab Abdul Uzza bin Abdul Muththalib, paman Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, dan isterinya, Ummu Jamil Arwa binti Harb bin Umayyah, saudara perempuan Abu Sufyan, berdasarkan firmanNya,

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia! Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Neraka). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipinta.” (Al-Masad).

 

Sedangkan orang-orang yang ditentukan sebagai penghuni Neraka berdasarkan as-Sunnah, ialah Abu Thalib yang nama aslinya Abdu Manaf bin Abdul Muththalib, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam

 

“Penghuni Neraka yang paling ringan azabnya adalah Abu Thalib. Kedua telapak kakinya dipakaikan sepasang sandal yang membuat otaknya mendidih karenanya.” (Diriwayatkan oleh AlBukhari). 166

 

Termasuk di antara mereka, ialah Amr bin Amir bin Luhay al-Khuza’i. Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

“Aku melihatnya menyeret usus-ususnya di Neraka.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan selainnya). 167

 

***

 

[83]. Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat (orang Islam) karena suatu dosa, dan tidak pula mengeluarkannya dari Islam karena suatu perbuatan.

 

[84]. Kita memandang haji dan jihad tetap dilakukan bersama setiap pemimpin, baik ia berbakti maupun durhaka, dan shalat Jum’at di belakang mereka adalah boleh.

 

[85]. Anas berkata, Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda,

“Ada tiga pokok keimanan: menahan diri dari orang yang mengucapkan la ilaha illallah, kita tidak mengkafirkannya karena suatu dosa, dan tidak pula mengeluarkannya dari Islam karena suatu perbuatan. Jihad tetap berlangsung sejak Allah mengutusku hingga akhir umatku memerangi Dajjal. Jihad tidak dibatalkan oleh kezhaliman orang yang zhalim, atau keadilan orang yang adil. Dan, beriman kepada segala takdir. “(Diriwayatkan oleh Abu Dawud). 168

 

Syarah:

 

  • Masalah Mengkafirkan Ahli Kiblat karena Kemaksiatan

 

Ahli kiblat, ialah kaum muslimin yang shalat menghadap ke arahnya, tidak boleh dikafirkan karena melakukan dosa-dosa besar, dan mereka tidak dikeluarkan dari Islam karenanya, serta mereka tidak kekal di dalam Neraka.

 

Hal ini berdasarkan firmanNya,

 

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” (Al-Hujurat: 9),

Hingga firmanNya,

 

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (Al-Hujurat: 10).

 

Di sini Allah menetapkan ukhuwwah imaniyyah (persaudaraan atas dasar iman) meskipun terjadi peperangan, sedangkan memerangi orang Islam itu adalah dosa besar. Seandainya itu kekafiran, niscaya ukhuwwah imaniyyah pasti ditiadakan.

 

Dan Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa dalam hatinya terdapat seberat biji sawi keimanan, maka keluarkanlah dia.’ Yakni, dari Neraka. (Muttafaq ‘Alaih). 169

 

Hal ini diselisihi dua golongan:

 

Pertama: Khawarij

 

Menurut mereka, pelaku dosa besar itu kafir lagi kekal di dalam Neraka.

 

Kedua: Mu’tazilah

 

Menurut mereka, pelaku dosa besar itu keluar dari iman. Dia bukan mukmin dan bukan pula kafir. Berada pada kedudukan di antara dua kedudukan dan dia kekal di dalam Neraka.

Kita membantah dua golongan itu dengan bantahan-bantahan sebagai berikut:

 

  1. Mereka menyelisihi nash-nash al-Qur an dan as-Sunnah.

 

  1. Mereka menyelisihi ijma’ as-Salaf.

 

***

 

[86]. Termasuk Sunnah ialah loyal (setia) kepada sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, mencintai mereka, menyebut kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan kerahmatan untuk mereka, memohonkan ampunan untuk mereka, menahan diri dari menyebutkan keburukan mereka dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, meyakini keutamaan mereka, dan mengetahui kepeloporan mereka dalam masuk Islam.

 

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

 

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. “(Al-Hasyr: 10).

 

Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman,

 

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. ” (Al-Fath: 29).

 

 

 

 

Syarah:

 

  • Hak-hak Para Sahabat

 

Para sahabat Rodliyallahu Anhu memiliki keutamaan yang sangat besar atas umat ini. Mereka telah membela agama Allah dan RasulNya, berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka, menjaga agama Allah dengan menjaga kitabNya dan Sunnah RasulNya, dengan ilmu, pengamalan dan pengajaran hingga mereka menyampaikannya kepada umat dengan jernih dan utuh.

 

Allah telah memuji mereka dalam kitabNya dengan pujian paling agung, ketika Dia berfirman dalam surat al-Fath,

 

“Muhammad adalah Rasul Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaanNya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan

 

 

 

 

 

 

 

 

hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29).

 

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melindungi kehormatan mereka, ketika beliau bersabda,

 

“Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Demi Dzat Yang jiwaku berada di TanganNya, seandainya seorang dari kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang disedekahkan) seorang dari mereka, bahkan tidak juga setengahnya.” (Muttafaq ‘Alaih).170

 

Hak-hak mereka atas umat ini merupakan hak-hak yang paling besar. Mereka memiliki hak-hak atas umat ini:

 

  1. Mereka dicintai dengan hati dan dipuji dengan lisan karena kebaikan yang telah mereka berikan.

 

  1. Mereka didoakan dengan rahmat dan dimohonkan ampunan untuk mereka guna merealisasikan firmanNya,

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)

 

  1. Menahan diri dari menyebut keburukan mereka yang jika pun pernah dilakukan salah seorang dari mereka, maka itu sangat sedikit bila dibandingkan kebaikan dan keutamaan yang mereka miliki. Bisa jadi, keburukan itu terjadi dari ijtihad yang dimaafkan dan perbuatan yang mendapat udzur. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku.”

 

[87]. Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Janganlah kalian mencaci maki [seorang pun] dari para sahabatku! Karena seandainya seorang dari kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang disedekahkan) seorang dari mereka, bahkan tidak juga setengahnya. “(Diriwayatkan oleh Muslim). 171

Syarah:

 

  • Hukum Mencaci Maki Para Sahabat Rodliyallahu Anhu.

Mencaci maki sahabat itu ada tiga macam:

 

Pertama: Mencaci mereka dengan sesuatu yang berkonsekuensi mengkafirkan mayoritas mereka atau mereka secara umum telah fasik, maka ini adalah kekafiran; karena ini berarti mendustakan Allah dan RasulNya yang telah memuji mereka dan meridhai mereka. Bahkan, siapa yang ragu-ragu tentang kekafiran semisal ini, maka kekafirannya sudah pasti; karena isi perkataan ini bahwa orang-orang yang meriwayatkan (menukil) al-Qur an dan as-Sunnah adalah orang-orang kafir atau orang-orang fasik.

 

Kedua: Mencaci maki dengan laknat dan menjelek-jelekkan sahabat. Terkait kekafiran orang tersebut ada dua pendapat ulama. Menurut pendapat yang menyatakan bahwa dia tidak kafir, maka dia wajib dicambuk dan dipenjara hingga mati atau menarik pendapatnya.

 

Ketiga: Mencaci mereka dengan perkara yang tidak menista agama mereka, seperti pengecut dan bakhil, maka tidak dikafirkan, tapi diberi hukuman ta’zir yang dapat membuatnya jera dari hal itu.

 

Makna ini dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab ash-Sharim al-Maslul. Dia menukil dari perkataan Imam Ahmad pada halaman 573,

 

“Seseorang tidak boleh menyebut sedikit pun keburukan para sahabat, atau mencaci seorang pun dari mereka dengan aib dan kekurangan. Barangsiapa melakukan hal itu, maka ia diberi hukuman. Jika dia mau bertaubat (maka itulah yang wajib), dan jika tidak mau, maka dicambuk dan dipenjara hingga mati atau menarik perkataannya.”

 

***

[88]. Termasuk Sunnah, ialah mendoakan agar Allah meridhai isteri-isteri Rasulullah , Ummahat al-Mu ‘minin (ibu-ibu kaum beriman) yang disucikan lagi dibebaskan dari segala keburukan.

 

Orang yang paling utama dari mereka adalah Khadijah binti Khuwailid dan ‘Aisyah ash-Shiddiqah putri ash-Shiddiq, yang dibebaskan Allah dalam kitabNya (dari segala tuduhan keji), serta menjadi isteri Nabi Shallallaahu alaihi wasallam di dunia dan Akhirat. Barangsiapa menuduhnya dengan zina, padahal Allah telah menyatakannya bebas darinya, maka sungguh dia telah kafir kepada Allah Yang Mahaagung.

 

Syarah:

 

  • Hak-hak Para Isteri Nabi Shallallaahu alaihi wasallam

Isteri-isteri Nabi Shallallaahu alaihi wasallam adalah isteri-isterinya di dunia dan Akhirat serta Ummahat al-Mu minin (ibunda orang-orang mukmin). Mereka berhak mendapatkan penghormatan dan pemuliaan yang patut bagi mereka selaku isteri-isteri penutup para Nabi Shallallaahu alaihi wasallam. Mereka termasuk Ahlul Bait beliau, yang suci lagi disucikan, yang harum lagi diharumkan, yang bersih lagi dibersihkan dari semua keburukan yangmenodai kehormatan dan ranjang mereka. Sebab, wanita yang baik-baik itu untuk laki-laki yang baik-baik, laki-laki yang baik-baik untuk wanita yang baik-baik. Semoga Allah meridhai mereka dan menjadikan mereka semua ridha kepadaNya. Semoga shalawat dan salam terlimpah atas NabiNya, yang benar lagi terpercaya.

 

Isteri-isteri yang Nabi Shallallaahu alaihi wasallam Tinggalkan saat Wafat:

  1. Khadijah binti Khuwailid Rodliyallahu anha. Dia adalah ibunda dari putra-putri Nabi Shallallaahu alaihi wasallam selain Ibrahim, yang dinikahi Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam sesudah menjanda dari dua suami pertama, ‘Atiq bin ‘Abid dan kedua, Abu Halah at-Tamimi. Nabi Shalallahu alaihi wasallam tidak memadunya hingga wafat pada tahun 10 kenabian sebelum peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

 

  1. Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq Rodliyallahu anha . Dia diperlihatkan kepada beliau dalam mimpi 172 sebanyak dua atau tiga kali, dan dikatakan kepada beliau, “Inilah isterimu.” Kemudian beliau mengadakan akad nikah dengannya saat usianya enam tahun di Mekah, dan menggaulinya di Madinah saat berusia sembilan tahun. Aisyah radhiyallahu anha wafat pada th. 58 H.

 

3.Saudah binti Zam’ah al-‘Amiriyyah Rodliyallahu anha, yang beliau nikahi sesudah menjanda dari suami yang muslim, yaitu asSukran bin Amr, saudara Suhail bin Amr. Dan wafat pada akhir masa kekhalifahan Umar. Ada juga yang berkata, pada th. 54 H.

 

4.Hafshah binti Umar bin al-Khaththab Rodliyallahu anha, yang beliau nikahi sesudah menjanda dari suami yang muslim, yaitu Khunais bin Hudzafah yang terbunuh dalam perang Uhud. Dia wafat pada th. 41 H.

 

5.Zainab binti Khuzaimah al-Hilaliyah, yang digelari Umm al-Masakin (ibunda orang-orang miskin), yang beliau nikahi sesudah suaminya, Abdullah bin Jahsy gugur sebagai syahid dalam perang Uhud. wafat pada th. 4 H. tidak lama sesudah pernikahannya.

 

6.Ummu Salamah Hind binti Abu Umayyah al-Mahzumiyyah , yang beliau nikahi sesudah kematian suaminya, Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad, karena luka yang menimpanya dalam perang Uhud. Dia wafat pada th. 61 H.

 

  1. Zainab binti Jahsy al-Asadiyah Rodliyallahu anha, puteri bibi Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, yang beliau nikahi sesudah dicerai mantan sahaya beliau, Zaid bin Haritsah pada th. 5 H. Dia wafat pada th. 20 H.

 

8.Juwairiyah binti al-Harits al-Khuza’iyyah Rodliyallahu anha, yang beliau nikahi sesudah menjanda dari suaminya, Musafi’ bin Shafwan – ada yang berpendapat, Malik bin Shafwan – pada th. 6 H. Dia wafat pada th. 56 H.

 

9.Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan Rodliyallahu Anha. yang beliau nikahi sesudah memiliki suami yang masuk Islam kemudian masuk agama Nashrani, yaitu Abdullah bin Jahsy. Dia wafat di Madinah pada masa kekhalifahan saudaranya (Mu’awiyah) pada th. 44 H.

 

  1. Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab Rodliyallahu anha. dari Bani an-Nadhir, berasal dari keturunan Nabi Harun bin Imran. Beliau memerdekakannya dan menjadikan pemerdekaannya sebagai maharnya, sesudah menjanda dari dua suami pertama, Salam bin Musykim, dan kedua, Kinanah bin Abi al-Huqaiq, sesudah penaklukan Khaibar pada th. 6 H. Dia wafat pada th. 50 H.

 

11.Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyah Rodliyallahu anha, yang beliau nikahi pada th. 7 H. dalam umrah qadha , sesudah menjanda dari dua suami pertama, Abdu Yalil, dan kedua, Abu Ruhm bin Abdul Uzza. Beliau membina pernikahan dengannya di Sarf. Dia wafat pada th. 51 H.

 

Ini adalah isteri-isteri Nabi yang cerainya dengan wafat. Dua di antaranya meninggal sebelum beliau, yaitu Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah. Sementara sembilan lainnya beliau tinggal wafat dan mereka masih hidup.

Tinggal dua wanita yang belum beliau gauli dan tidak berlaku pada keduanya hukum-hukum dan keutamaan yang berlaku pada isteri-isteri yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu:

  1. Asma binti an-Nu’man al-Kindiyyah, yang dinikahi Nabi Shallallaahu alaihi wasallam kemudian diceraikannya. Terdapat beda pendapat mengenai sebab perceraian. Menurut Ibnu Ishaq, bahwa beliau mendapati belang putih pada tubuhnya lalu beliau menceraikannya, kemudian setelah itu ia dinikahi al-Muhajir bin Abi Umayyah.
  2. Umaimah binti an-Nu’man bin Syarahil al-Jauniyah, yaitu wanita yang berkata (kepada Nabi), “Aku berlindung kepada Allah darimu.”173 Maka beliau menceraikannya, wallahu a’lam.

 

Isteri Nabi Shallallaahu alaihi wasallam yang paling utama adalah Khadijah Rodliyallahu anha dan ‘Aisyah Rodliyallahu anha. Masing-masing dari keduanya memiliki keistimewaan atas yang lainnya. 174 Khadijah memiliki keistimewaan sebagai orang paling pertama masuk Islam yang tidak dimiliki ‘Aisyah berupa lebih dulu masuk Islam, juga mendukung dan menolong Nabi Shallallaahu alaihi wasallam (dalam dakwah, ketika orang-orang mendustakan beliau). Sementara ‘Aisyah memiliki keistimewaan masih hidup setelah Nabi Shallallaahu alaihi wasallam wafat, yang tidak dimiliki Khadijah, yaitu menyebarkan ilmu dan memberi manfaat kepada umat. Sungguh Allah telah membebaskannya dari tuduhan dusta yang disebarkan kaum munafik yang disebutkan dalam surat an-Nur.

  • Masalah Tuduhan Zina tehadap Para Ummul Mu’minin (Istri-istri Nabi Shallallaahu alaihi wasallam)

Menuduh ‘Aisyah dengan zina yang Allah telah membebaskannya dari tuduhan tersebut adalah kekafiran, karena ini berarti mendustakan al-Qur an.

Sementara tentang menuduh zina terhadap selainnya dari Ummahat  al-Mu’minin, Ada dua pendapat. pendapat yang paling shahih adalah bahwa itu juga kekafiran maka karena ini menciderai Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sebab, wanita yang keji itu untuk laki-laki yang keji.

 

***

 

[89]. Mu’awiyah Rodliyallahu Anhu adalah paman orang-orang yang beriman (dari pihak ibu), penulis wahyu Allah, salah satu khalifah kaum muslimin.

 

Syarah:

 

  • Mu’awiyah bin Abi Sufyan

Dia adalah Amirul Mu’minin Mu’awiyah bin Abi Sufyan Shakhr bin Harb. Dilahirkan lima tahun sebelum kenabian, dan masuk Islam pada tahun penaklukan Makkah. Ada yang berkata bahwa dia masuk Islam sesudah Hudaibiyah dan menyembunyikan keislamannya. la diangkat Umar sebagai gubernur Syam dan tetap sebagai gubernur di sana.

 

Dia menyebut dirinya sebagai khalifah sesudah peristiwa tahkim pada tahun 37 H ., dan manusia bersepakat atasnya sesudah al-Hasan bin Ali mundur dari jabatannya sebagai khalifah pada th. 41 H.

 

Dia menulis wahyu untuk Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan termasuk bagian dari penulis wahyu.

 

Dia wafat pada bulan Rajab th. 60 H. dalam usia 78 tahun.

 

Mu’allif (Imam Ibnu Qudamah) menyebutkan dan memujinya hanya sebagai bantahan terhadap kaum Rafidhah (Syi’ah) yang mencaci makinya dan menistanya. Imam Ibnu Qudamah menyebutnya sebagai Khal al-Mu minin (paman orang-orang yang ber-

 

iman dari pihak ibu), karena dia adalah saudara laki-laki Ummu Habibah, salah satu Ummahat Al-mu’minin (istri Nabi shallallahu alaihi wasallam).

 

Syaikhul Islam, dalam Minhaj as-Sunnah (2/ 299), menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah saudara laki-laki Ummahat al-Mu’minin bisa disebut paman orang-orang yang beriman (dari pihak ibu) ataukah tidak?

 

***

 

[90]. Termasuk Sunnah, ialah mendengar dan patuh kepada para pemimpin kaum muslimin dan para amir kaum mukminin, baik yang shalih maupun yang pendosa (zhalim), selama mereka tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. Sebab, tiada ketaatan kepada seorang pun dalam bermaksiat kepada Allah.

 

[91]. Barangsiapa menjabat sebagai khalifah, dan manusia bersepakat atasnya dan ridha kepadanya, atau dia mengalahkan mereka dengan pedangnya hingga menjadi khalifah dan disebut Amirul Mu ‘minin, maka wajib menaatinya dan diharamkan membangkang terhadapnya, memberontak terhadapnya, dan mematahkan tongkat (memecah-belah persatuan) kaum muslimin.

 

Syarah:

 

  • Kekhalifahan

 

Kekhalifahan adalah jabatan besar dan tanggung jawab yang sangat besar, yaitu tugas mengatur urusan kaum muslimin, di mana khalifah menjadi penanggung jawab pertama dalam hal itu. Ini adalah fardhu kifayah, karena urusan manusia tidak bisa tegak kecuali dengannya.

 

 

 

 

menurut al-Mundziri dalam Mukhtashar Abi Dawud, menyerupai mahkul.

 

Tiga perkara yang disebutkan di dalamnya adalah: pertama, menahan diri dari orang yang mengucapkan la ilaha illallah. Kedua, jihad tetap berlangsung … Ketiga, beriman kepada setiap takdir.

 

Memberontak terhadap pemimpin (pemerintah) adalah haram, berdasarkan perkataan Ubadah bin ash-Shamit Rodliyallahu Anhu,

 

Kami membaiat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam untuk senantiasa mendengar dan patuh, baik di kala kami giat maupun terpaksa, baik di kala kami susah maupun mudah, bahkan sekalipun kami dizhalimi, dan agar kami tidak merebut kepemimpinan dari pemangkunya, kecuali bila kalian melihat kekafiran yang nyata yang mana kalian memiliki bukti nyata (keterangan) dari Allah.” (Muttafaq ‘Alaih).178

 

Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

“Kalian akan dipimpin para pemimpin yang kalian kenal dan kalian ingkari. Barangsiapa mengingkari, maka dia terbebas (dari tanggung jawab), dan barangsiapa tidak menyukai, maka dia selamat. Tetapi akan ada orang yang ridha dan mengikuti (itulah yang tidak selamat).’ Mereka bertanya, ‘Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?’ Beliau menjawab, ‘Jangan, selama mereka shalat. Jangan, selama mereka shalat.” (Diriwayatkan oleh Muslim).179

 

Di antara faidah dari kedua hadits ini, adalah bahwa meninggalkan shalat merupakan kekafiran yang jelas (kufrun bawah). Hal itu karena Nabi Shallallaahu alaihi wasallam membolehkan memberontak kepada pemimpin kecuali karena kekafiran yang jelas (kufrun bawah), dan beliau menjadikan penghalang dari memerangi mereka adalah mengerjakan shalat. Maka ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat itu membolehkan memerangi mereka, sementara memerangi mereka tidak dibolehkan kecuali karena kekafiran yang jelas, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits Ubadah Rodliyallahu Anhu.

 

***

 

[92]. Termasuk Sunnah, ialah memboikot ahli bid’ah, menjauhi diri dari mereka, juga tidak berdebat dan berbantah-bantahan dalam urusan agama, tidak menelaah buku-buku ahli bid’ah dan tidak mendengarkan perkataan mereka. Semua yang diada-adakan dalam urusan agama adalah bid’ah.

 

Syarah:

 

  • Meninggalkan (Memboikot) Ahli Bid’ah

 

Kata () (meninggalkan) adalah bentuk mashdar dari kata () menurut bahasa, ialah memboikot.

 

Yang dimaksud dengan meninggalkan (memboikot) ahli bid’ah, ialah menjauhi mereka, tidak mencintai, tidak loyal terhadap mereka, tidak mengucapkan salam, tidak menjenguk mereka, dan sebagainya.

 

Meninggalkan (memboikot) ahli bid’ah hukumnya wajib, berdasarkan firmanNya,

 

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan Hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya,” (Al-Mujadilah: 22).

 

Dasar lainnya, adalah karena Nabi Shallallaahu alaihi wasallam mengucilkan Ka’ab bin Malik dan dua orang temannya, ketika mereka tidak ikut serta dalam perang Tabuk. 180

 

Tapi jika bergaul dengan mereka itu ada kemaslahatannya untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka dan memperingatkan mereka dari bid’ah, maka hal itu tidak apa-apa, dan adakalanya hal itu diperintahkan, berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta’ala,

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (An-Nahl: 125).

 

Ini adakalanya dengan bergaul dan berbincang, dan adakalanya dengan surat menyurat.

 

Termasuk meninggalkan ahli bid’ah, ialah tidak menelaah buku-buku mereka karena dikhawatirkan terfitnah dengannya atau menyebabkan buku-buku tersebar di tengah khalayak. Sebab, menjauhi perkara-perkara yang menyesatkan adalah wajib, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam mengenai Dajjal,

 

“Barangsiapa mendengar Dajjal maka menjauhlah darinya. Demi Allah, sesungguhnya seseorang benar-benar datang kepadanya dalam keadaan menyangka bahwa dia seorang mukmin lalu mengikutinya karena berbagai syubhat yang dibawanya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Al-Albani berkata, “Sanadnya shahih”).181

 

Tapi jika tujuan dari menelaah kitab-kitab mereka adalah untuk mengetahui kebid’ahan mereka untuk membantahnya, maka hal itu tidak apa-apa, bagi siapa yang memiliki akidah shahih yang dapat membentengi dirinya, dan dia mampu membantah mereka.

 

 

Bahkan, bisa jadi itu adalah wajib, karena membantah bid’ah adalah wajib, dan suatu perkara yang kewajiban tidak menjadi sempurna kecuali dengannya, maka menjadi wajib.

 

  • Perdebatan dan Perselisihan dalam Agama Terbagi Menjadi Dua Macam:

 

Perdebatan () adalah mashdar dari asal kata () yang bermakna membantah lawan untuk mengalahkannya.

 

Dalam al-Qamus, kata () bermakna ngotot dalam berselisih dan bertengkar, maka keduanya bermakna sama.

 

Perdebatan dan perselisihan dalam agama ada dua macam:

 

Pertama: Yang bertujuan untuk mengukuhkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan. Ini diperintahkan, bahkan statusnya bisa wajib atau anjuran tergantung keadaan. Ini berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (An-Nahl: 125).

 

Kedua: Yang bertujuan menentang, atau membela diri atau membela kebatilan, maka ini tercela lagi terlarang, berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir.” (Ghafir: 4).

 

 

 

 

Dan firmanNya,

 

“Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu; karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azabKu.” (Ghafir: 5).

 

***

 

[93]. Setiap (orang atau kelompok) yang menyandang sifat (berciri khas) dengan selain Islam dan as-Sunnah, adalah ahli bid’ah, seperti Rafidhah, Jahmiyyah, Khawarij, Qadariyyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah dan sekte-sekte semisal mereka. Ini adalah sekte-sekte sesat dan golongan-golongan ahli bid’ah. Semoga Allah melindungi kita darinya.

 

Syarah:

 

  • Tanda Ahli Bid’ah dan Sebagian dari Sekte-Sekte mereka

 

Ahli bid’ah memiliki beberapa tanda, di antaranya:

 

  1. Mereka bercirikan dengan selain Islam dan as-Sunnah, akan tetapi dengan bid’ah-bid’ah yang mereka ada-adakan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan.

 

  1. Mereka fanatik dengan pendapat-pendapat mereka, dan mereka tidak kembali kepada kebenaran, meskipun kebenaran itu tampak jelas bagi mereka.

 

  1. Mereka membenci para imam (ulama) Islam dan agama ini.

 

 

 

 

  1. Rafidhah (Syi’ah)

Mereka adalah orang-orang yang berlebih-lebihan terhadap Ahlul Bait dan mengkafirkan selain mereka dari kalangan sahabat atau menilai mereka fasik. Mereka ini memiliki banyak sekte, di antara mereka ada yang ghulat (ekstrim) yang mengklaim Ali sebagai Tuhan, dan ada pula yang kurang dari itu.

 

Pertama kali bid’ah mereka mengemuka pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, ketika Abdullah bin Saba berkata kepadanya, “Engkau adalah Tuhan.” Ali pun memerintahkan agar membakar mereka, sedang pemimpin mereka, Abdullah bin Saba’, melarikan diri ke al-Mada’in.

 

Madzhab mereka tentang sifat-sifat Allah berbeda-beda. Di antara mereka ada yang Musyabbih (golongan menyerupakan Allah dengan makhlukNya), ada yang Mu’aththil (golongan yang menafikan sifat-sifat Allah), dan juga ada yang Mu’tadil (bersikap pertengahan).

 

Mereka disebut Rafidhah, karena mereka menolak Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abu Thalib. Yaitu ketika mereka bertanya kepadanya tentang Abu Bakar dan Umar, yang mana dia justru mendoakan kerahmatan untuk keduanya, maka mereka pun menolaknya dan menjauhinya.

 

            Mereka menyebut diri mereka sebagai Syi’ah, karena mereka menyangka bahwa mereka berafiliasi kepada Ahlul Bait, membela mereka, dan menuntut hak-hak mereka dalam Imamah (pemerintahan).

 

  1. Jahmiyyah

Nisbat kepada al-Jahm bin Shafwan yang dibunuh oleh Salim, atau Salm bin Ahwaz, pada th. 121 H.

 

Madzhab mereka berkenaan dengan sifat-sifat Allah adalah ta’thil dan nafy (menafikan sifat-sifatNya). Mengenai qadar, golongan ini berpendapat dengan paham Jabariyah. Mengenai iman berpendapat dengan paham Murji ah, yaitu bahwa iman itu sekedar pengakuan dengan hati, sedangkan ucapan dan amal bukan termasuk iman. Pelaku dosa besar, menurut mereka, adalah mukmin yang sempurna imannya. Jadi, mereka adalah Mu’aththilah, Jabariyyah, Murji’ah. Mereka ini terpecah-belah menjadi sektesekte yang banyak.

 

  1. Khawarij

Mereka adalah orang-orang yang keluar (dari ketaatan kepada khalifah Ali Rodliyallahu Anhu) bahkan memerangi Ali bin Abi Thalib disebabkan peristiwa tahkim yang terjadi kala itu.

 

Madzhab mereka adalah berlepas diri dari Utsman dan Ali, memberontak terhadap pemimpin jika menyelisihi as-Sunnah, mengkafirkan pelaku dosa besar dan menilainya kekal di dalam Neraka. Mereka ini juga terpecah-belah menjadi sekte-sekte yang beragam.

 

  1. Qadariyyah

Mereka adalah orang-orang yang berpendapat dinafikannya qadar dari perbuatan para hamba, dan bahwa hamba memiliki kehendak dan kuasa yang terbebas dari kehendak dan kuasa Allah. Orang yang pertama-tama mengemukakan pendapat ini adalah Ma’bad al-Juhani di akhir-akhir masa sahabat. la mengambil pendapat ini dari seorang Majusi di Bashrah.

 

Mereka ada dua golongan: ekstrim (ghulat) dan tidak ekstrim (ghair ghulat).

 

Qadariyyah yang ekstrim, ialah yang mengingkari ilmu Allah, kehendak, kuasa, dan penciptaanNya terhadap perbuatan hamba. Sekte model ini sudah lenyap atau hampir lenyap.

 

Qadariyah yang tidak ekstrim: ialah yang beriman bahwa Allah itu mengetahui perbuatan hamba, tapi mereka mengingkari perbuatan itu terjadi dengan kehendak Allah, kuasa dan penciptaanNya. Inilah madzhab mereka yang masih tetap bertahan.

 

  1. Murji’ah

 

Mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa perbuatan bukan bagian dari iman, yakni menjauhkan amal dari iman. Menurut mereka, amal itu bukan termasuk iman, dan iman itu sekedar pengakuan dengan hati. Orang fasik, menurut mereka, adalah mukmin yang sempurna imannya, meskipun melakukan kemaksiatan atau meninggalkan ketaatan. Jika kita menghukumi kekafiran orang yang meninggalkan sebagian syariat agama, maka itu karena tidak mengakui dengan hatinya, bukan karena meninggalkan perbuatan ini. Ini adalah madzhab Jahmiyyah. Murji’ah dengan Khawarij berada pada dua kutub yang berlawanan.

 

  1. Mu’tazilah

 

Golongan ini adalah pengikut Washil bin Atha yang memisahkan diri dari majelis al-Hasan al-Bashri, dan menetapkan bahwa orang fasik itu berada pada kedudukan di antara dua kedudukan (manzilah baina manzilatain), bukan mukmin dan bukan pula kafir, dan ia kekal di dalam Neraka. Pendapatnya diikuti Amr bin Ubaid.

 

Madzhab mereka mengenai sifat-sifat Allah adalah ta’thil (menafikannya) seperti Jahmiyyah. Mengenai qadar mereka sama dengan sekte Qadariyyah. Mereka mengingkari keterkaitan qadha’ Allah dan qadarNya dengan perbuatan hamba. Mengenai pelaku dosabesar, ia kekal di dalam Neraka, keluar dari iman, berada pada kedudukan di antara dua kedudukan; iman dan kafir. Mereka adalah kebalikan Jahmiyyah berkenaan dengan dua pokok ajaran ini.

 

  1. Karramiyah

 

Pengikut Muhammad bin Karam (wafat th. 255 H.), cenderung kepada Musyabbihah (sekte yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya) dan mengikuti pendangan Murji’ah. Mereka ini juga terpecah-belah menjadi sekte-sekte yang bermacam-macam.

 

  1. Salimah

 

Golongan ini adalah para pengikut seorang tokoh yang bernama Ibnu Salim, mereka sependapat dengan sekte Musyabbihah.

 

Inilah sekte-sekte yang disebutkan mu allif (Imam Ibnu Qudamah). Kemudian dia mengatakan: “Dan sekte-sekte semisal mereka,” yakni, seperti golongan Asy’ariyyah, pengikut Abu alHasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Pada mulanya dia cenderung kepada paham Mu’tazilah hingga mencapai 40 tahun dari usianya, kemudian dia memaklumatkan taubatnya dari paham itu, dan menjelaskan kebatilan madzhab Mu’tazilah serta berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah. Adapun orang-orang yang berafiliasi kepadanya, mereka tetap mengikuti madzhab khusus yang dikenal dengan madzhab Asy’ariyyah. Mereka tidak menetapkan sifat-sifat kecuali tujuh sifat saja yang mereka sangka bahwa akal menunjukkan hal itu dan mereka mentakwilkan selainnya, yaitu yang disebutkan dalam bait ini:

 

Hayy (hidup), Alim (Maha Mengetahui), Qadir (Mahakuasa), Kalam (berbicara)

Memiliki Iradah (kehendak), juga mendengar dan melihat

 

Golongan ini memiliki bid’ah-bid’ah lainnya tentang makna kalam, qadar dan selainnya.

 

***

 

 

[94]. Adapun berafiliasi kepada seorang imam berkenaan dengan cabang-cabang agama (furu’), seperti empat madzhab, maka ini bukan suatu yang tercela. Sebab, perbedaan pendapat dalam furu’ adalah rahmat, dan orang-orang yang berselisih di dalamnya dipuji karena perselisihan mereka, diberi pahala atas ijtihad mereka. Perselisihan mereka adalah rahmat yang luas, dan kesepakatan mereka adalah hujjah yang pasti.

 

[95]. Kami memohon kepada Allah agar melindungi kita dari segala bid’ah dan fitnah, menghidupkan kita di atas Islam dan as-Sunnah, menjadikan kita termasuk orang yang mengikuti Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam kehidupan ini, dan mengumpulkan kita dalam rombongan beliau setelah kematian dengan rahmat dan karuniaNya. Amin.

 

Inilah akhir dari pembahasan tentang akidah.

 

Segala puji bagi Allah semata. Semoga shalawat dan salam terlimpah atas penghulu kita, Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam, dan keluarga serta para sahabat beliau.

 

Syarah:

 

Perbedaan Pendapat Dalam Furu’ (Cabang-cabang Agama)

 

Furu’ (  ) jamak dari ( ) yang menurut bahasa, ialah apa yang dibangun pada selainnya.

 

Menurut istilah, ialah hal-hal yang tidak bertalian dengan keyakinan, seperti masalah-masalah thaharah (bersuci), shalat dan semacamnya.

 

Perbedaan pendapat mengenai hal itu bukanlah suatu yang tercela, jika itu timbul dari niat yang ikhlas dan ijtihad, bukan dari hawa nafsu dan fanatisme. Karena ini pernah terjadi pada masa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam dan beliau tidak mengingkarinya.

Sebagai contoh, Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda dalam peristiwa perang Bani Quraizhah, “Jangan ada seorang pun melakukan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.”

 

Ketika waktu shalat tiba sebelum mereka sampai di sana, sebagian dari mereka menunda shalat hingga sampai di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian lainnya mengerjakan shalat ketika mereka mengkhawatirkan habisnya waktu shalat, dan Nabi Shallallaahu alaihi wasallam tidak mengingkari seorang pun dari mereka. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). 182

 

Karena perbedaan pendapat mengenai hal itu ada pada masa sahabat, sedangkan mereka adalah generasi terbaik, dan karena ini tidak menimbulkan permusuhan, dendam dan perpecahan, berbeda dengan perselisihan berkenaan dengan pokok pokok agama.

 

Perkataan mu’allif, “Orang-orang yang berbeda pendapat di dalamnya dipuji karena perbedaan pendapat mereka,” ini bukanlah pujian atas perbedaan pendapat, karena sepakat itu lebih baik daripada berbeda pendapat. Tapi maksud mu’allif hanyalah menafikan celaan darinya, dan masing-masing dipuji atas pendapatnya. Karena dia orang yang berijtihad di dalamnya lagi menginginkan kebenaran. Jadi, ia dipuji atas ijtihadnya dan mengikuti kebenaran yang tampak padanya, meskipun terkadang pendapatnya tidak benar.

 

Perkataannya, “perbedaan pendapat dalam furu’ (cabangcabang agama) adalah rahmat, dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas,” yakni masuk dalam rahmat Allah dan ampunanNya, karena Dia tidak membebani mereka lebih dari kemampuan mereka, dan tidak mewajibkan mereka lebih dari apa yang tampak oleh mereka. Jadi, mereka tidak berdosa karena perselisihan ini, bahkan mereka masuk dalam rahmat Allah dan

ampunanNya. Jika ijtihad mereka benar, mereka mendapat dua pahala, dan jika ijtihad mereka salah, mereka mendapatkan satu pahala.

 

  • ljma dan Hukumnya

 

Ijma’, menurut bahasa ialah tekad dan kesepakatan.

 

Menurut istilah, ialah kesepakatan ulama mujtahidin dari umat Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam tentang suatu hukum syar’i sepeninggal Nabi Shallallaahu alaihi wasallam.

 

Ijma’ adalah hujjah, berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta’ala,

 

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur an) dan Rasul (Sunnahnya).” (An-Nisa : 59). Dan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam,

 

“Umatku tidak bersepakat di atas kesesatan.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). 183

  • Taqlid

 

Taglid, menurut bahasa, ialah memasang kalung pada leher. Menurut istilah, ialah mengikuti pendapat orang lain dengan tanpa hujjah (tanpa dasar alasan).

 

Ini boleh bagi siapa yang tidak bisa mencapai ilmu dengan dirinya sendiri, berdasarkan firmanNya,

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43).

 

  • Madzhab-madzhab Furu’ (Cabang-cabang Agama) yang Masyhur Ada Empat:

 

Madzhab Hanafi, dan imamnya adalah Abu Hanifah anNu’man bin Tsabit Rohimahullah , Imam penduduk Irak. Lahir pada th. 80 H. dan wafat pada th. 150 H.

Madzhab Maliki, dan imamnya adalah Abu Abdillah Malik bin Anas Rohimahullah, Imam Darul Hijrah (Madinah). Lahir pada th. 93 H. dan wafat pada th. 179 H.

Madzhab Syafi’i, dan imamnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Lahir pada th. 150 H. dan wafat pada th. 204 H.

Madzhab Hanbali, dan imamnya adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Lahir pada th. 164 H. dan wafat pada th. 241

H.

Masih ada madzhab-madzhab lainnya, seperti madzhab Zhahiriyyah, Zaidiyyah, Sufyaniyyah, dan selainnya. Yang jelas’ setiap orang bisa diambil pendapatnya jika pendapatnya benar, dan bisa ditinggalkan jika pendapatnya salah. Tiada ‘Ishmah (terlindung dari kesalahan) kecuali dengan kitab Allah dan Sunnah RasulNya.

 

Kami memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang berpegang teguh kepada KitabNya dan Sunnah RasulNya, baik zhahir maupun batin. Mewafatkan kita di atas perkara itu, menolong kita di dunia dan Akhirat, tidak menyesatkan hati kita setelah memberi petunjuk kepada kita, dan memberi kita rahmat dariNya. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi.

Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Tuhan kita, dan sebagaimana yang patut bagi kemuliaan WajahNya. Segala puji bagi Allah yang de-

 

 

 

 

ngan nikmatNya sempurnalah segala amal shalih. Semoga shalawat dan salam terlimpah atas Nabi kita, Muhammad, dan keluarga serta para sahabat beliau.

 

Selesai pada Ashar hari Jum’at yang bertepatan dengan tanggal 10/ 1/ 1392 H.