Segala puji bagi Allah yang menyerahkan timbangan keadilan ke tangan orang-orang yang berakal, mengutus para rasul untuk menyampaikan kabar gembira berupa pahala dan peringatan berupa – siksa, menurunkan kitab kepada mereka untuk menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah serta menetapkan syariat-syariat yang sempurna, tak ada kekurangan dan cacat padanya.

 

Aku memujiNya dengan pujian orang yang menyadari bahwa Dia adalah penentu seluruh sebab, aku bersaksi atas keesaanNya dengan kesaksian orang yang ikhlas dalam niatnya tanpa keraguan.

 

Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, Dia mengutusnya sementara kekufuran menyelimuti wajah iman dengan kegelapannya, maka dia menepis kegelapan dan hijab kekufuran dengan cahaya iman, menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, menerangkan titik-titik musykil dari al-Qur an, sehingga dia meninggalkan mereka di atas jalan terang yang putih tanpa lorong dan fatamorgana.

 

Shalawat dan salam yang banyak semoga tercurahkan kepada beliau, seluruh keluarga dan para shahabat beliau, serta semua tabi’in yang mengikuti méreka dengan baik sampai hari kebangkitan dan hisab.

 

Amma ba’du: Sesungguhnya nikmat paling besar bagi manusia adalah akal, karena akal merupakan alat untuk mengenal Allah dan sarana untuk membenarkan para rasul, namun karena akal tidak mampu mengemban segala tugas dari seorang hamba, maka Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab.

 

Maka syariat ibarat matahari, sedangkal akal laksana mata. Bila mata dibuka dan ia sehat maka ia dapat melihat matahari.

 

Manakala akal sudah membuktikan kebenaran ucapan para nabi melalui bukti-bukti mukjizat yang luar biasa, maka akal berserah diri kepada mereka dan bersandar kepada mereka dalam perkara yang samar baginya.

 

Manakala Allah memberikan nikmat akal kepada alam manusia, Allah membuka kehidupan mereka dengan kenabian bapak mereka, Adam yang selanjutnya menyampaikan wahyu Allah kepada mereka hingga mereka berjalan di atas kebenaran sebelum akhirnya Qabil hadir dengan hawa nafsunya lalu membunuh saudaranya, kemudian hawa nafsu berkembang dalam kehidupan manusia, ia menyeret mereka ke dalam belantara kesesatan hingga mereka pun menyembah berhala, berselisih dalam urusan keyakinan dan perbuatan dengan perselisihan yang menyelisihi para rasul dan akal, semua itu karena mengikuti hawa nafsu, cenderung untuk mengikuti adat kebiasaan dan bertaklid kepada para tokoh, hingga dugaan Iblis pun tidak salah, manusia mengikutinya kecuali sebagian golongan dari kalangan orang-orang yang beriman.

 

Hikmah Diutusnya Para Rasul

 

Ketahuilah bahwa para nabi telah hadir membawa penjelasan yang memadahi, mereka mendiagnosa penyakit dengan obat yang manjur, mereka berjalan di atas satu manhaj tanpa berselisih, lalu setan datang, penjelasan yang jelas dicampur dengan syubhat-syubhat, obat yang manjur diaduk dengan racun, rambu jalan yang terang dibelokkan ke tanah tandus yang menyesatkan, setan terus mempermainkan akal manusia hingga dia mampu mencerai-beraikan jahiliyah menjadi sekte-sekte buruk dan bid’ah-bid’ah sesat, maka mereka menyembah berhala di Baitullah al-Haram, mereka mengharamkan saibah, bahirah, washilah dan ham,” mereka mengubur anak perempuan hidup-hidup, yang hidup dari para perempuan tak mereka beri warisan dan masih banyak lagi kesesatan hasil dari tipu daya Iblis.

 

Maka Allah mengutus Muhammad, dia menghapus segala bentuk keburukan, mensyariatkan segala bentuk kemaslahatan, para sahabatnya berjalan bersamanya dan sesudahnya di bawah pancaran cahayanya dalam keadaan selamat dari tipu daya dan makar musuh mereka.

 

Tatkala masa kehidupan mereka telah berlalu, muncullah awan-awan hitam kegelapan, hawa nafsu datang kembali untuk melahirkan bid’ahbid’ah, mempersempit jalan-jalan selama ia masih lapang, kebanyakan manusia mencerai-beraikan agama mereka sendiri sehingga mereka pun tercerai berai, Iblis bangkit dan mulai menghiasi, memisahkan dan menyatukan, Iblis bisa mencuri dan bertindak di malam yang diselimuti dengan kegelapan kebodohan, seandainya cahaya ilmu tetap bersinar, niscaya kedok Iblis terbongkar.

 

Saya ingin memperingatkan kaum muslimin dari tipu daya Iblis dan menunjukkan perangkap-perangkapnya kepada mereka, karena menjelaskan keburukan kepada manusia berarti memperingatkan mereka agar tidak terjerumus ke dalamnya. Dalam ash-Shahihain dari hadits Hudzaifah berkata, “Orang-orang bertanya tentang kebaikan kepada Rasulullah, sedangkan aku bertanya tentang keburukan karena aku khawatir ia menimpaku…”

 

Hakikat Agama Islam

 

Saya menulis buku ini dalam rangka memperingatkan kaum muslimin dari fitnah-fitnah Iblis, menakut-nakuti mereka dari jebakan-jebakannya, membongkar kedok jahatnya dan membuka tipu muslihatnya yang tersamar bagi mereka.

 

Allah dengan kemurahananNya merupakan penolong bagi setiap orang yang jujur untuk mewujudkan tujuannya.

 

Saya membagi buku ini menjadi tiga belas bab, keseluruhannya menguak tipu daya Iblis. Orang berakal yang memahaminya akan mengetahui kebusukannya, barangsiapa memiliki tekad kuat untuk mengamalkannya maka Iblis akan guncang penuh kesedihan.

 

Dan hanya Allah-lah pemberiku taufik kepada apa yang aku harapkan, dan pembimbingku kepada kebenaran yang aku inginkan.

 

Dari Ibnu Umar bahwa Umar bin al-Khaththab berkhutbah di Jabiyah, dia berkata, bahwa Rasulullah berkhutbah kepada kami, beliau bersabda, “Barangsiapa di antara kalian menginginkan tempat terindah dalam surga maka hendaknya berpegang teguh kepada jamaah, sesungguhnya setan bersama satu orang, sedangkan ia dari dua orang lebih jauh. ” Dari Ibnu Mas’ud berkata, bahwa Rasulullah membuat garis dengan tangannya kemudian beliau bersabda, “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Kemudian beliau membuat garis di sebeleh kanan dan kirinya, kemudian beliau bersabda, “Ini adalah jalan-jalan, tak satu pun darinya kecuali di ujungnya ada setan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membaca firman Allah:

 

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),…” (QS. al-An’am: 153).

 

Dari Ibnu Amru, ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda:

 

“Umatku akan mengalami apa yang dialami oleh Bani Israil, setapak demi setapak, seandainya di antara mereka ada yang menggauli ibunya secara terang-terangan, maka di kalangan umatku ada yang melakukannya. Sesungguhnya Bani Israil terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, sedangkan umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu.” Mereka bertanya, “Siapakan dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Yaitu) orang-orang yang berpegang kepada apa yang aku dan para shahabatku pegang.

 

Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya dari hadits Mu’ awiyah bin Abu Sufyan bahwa dia berdiri seraya berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Rasulullah berdiri di depan kami, beliau bersabda:

 

‘Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahli kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua aliran, dan sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran, tujuh puluh dua di neraka dan satu di surga, yaitu jamaah. Akan hadir di kalangan umatku orang-orang yang terseret oleh hawa nafsu sebagaimana kait-kait besi menyeret mangsanya.’ Dari Abdullah berkata, “Seimbang dalam sunnah adalah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.” Dari Ubay bin Kaab berkata, “Berpeganglah kepada jalan yang benar dan sunnah, sesungguhnya tidak ada seorang hamba yang berpegang kepada jalan yang benar dan sunnah, dia mengingat Allah lalu kedua matanya menangis karena takut kepadaNya melainkan dia selamat dari neraka. Sesungguhnya keseimbangan di atas jalan yang benar dan sunnah adalah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam perselisihan.” Dari Ashim dari Abu al-Aliyah berkata, “Berpeganglah kepada perkara pertama yang mereka pegang sebelum mereka berselisih pendapat.” Ashim berkata, maka aku menyampaikannya kepada al-Hasan, lantas dia berkata, “Demi Allah, dia telah menasihati dan berkata benar kepadamu.”

 

Dari Sufyan berkata, “Wahai Yusuf, bila kamu mendengar seorang laki-laki di belahan timur bahwa dia berpegang kepada sunnah, maka kirimkanlah salam kepadanya. Bila kamu mendengar seorang laki-laki di belahan barat bahwa dia berpegang kepada sunnah maka kirimkanlah salam kepadanya. karena Ahlus Sunnah wal Jamaah semakin sedikit.”

 

Dari Ayyub berkata, “Sesungguhnya di antara kebahagiaan anak muda dan orang Ajam adalah bila Allah memberinya taufik untuk belajar kepada ulama dari ahlus sunnah.”

 

Dari Sufyan ats-Tsauri berkata, “Hendaknya kalian saling berwasiat untuk berbuat baik kepada ahlus sunnah, karena mereka adalah orang-orang yang asing.”

 

Dari Yunus bin Abdul Ala berkata bahwa aku mendengar asy-Syafi’i berkata, “Bila aku melihat seorang laki-laki dari para ulama hadits maka seolah-olah aku melihat seorang laki-laki shahabat Nabi.”

 

Dari al-Junaid berkata, “Semua jalan tertutup bagi manusia kecuali siapa yang menelusuri jejak Rasulullah dan mengikuti sunnah beliau serta berpegang kepada jalan beliau, karena sesungguhnya segala jalan kebaikan terbuka atasnya, sebagaimana Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” (QS. al-Ahzab: 21).”

 

Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah bersabda:

 

“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami sesuatu yang tidak terdapat padanya maka ia tertolak.”

 

Dari Anas bin Malik dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Barangsiapa tidak menyukai sunnahku maka dia bukan termasuk golonganku. “

 

Dari Abdurrahman bin Amru as-Sulami dan Hujr bin Hujr berkata, “Kami datang kepada al-irbadh bin Sariyah, sedangkan dia termasuk orang-orang yang Allah menurunkan:

 

“Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, Akutidak memperoleh kendaraan untuk membawamu’,” (QS. at-Taubah: 92) kepada mereka, kami mengucapkan salam kepadanya, kemudian kami berkata, ‘Kami datang kepadamu untuk berziarah dan menjenguk serta mencari ilmu.’ Maka Irbadh berkata, ‘Suatu hari Rasulullah shalat Shubuh bersama kami, kemudian beliau menghadapkan wajahnya kepada kami, beliau menasihati kami dengan nasihat yang mendalam, mata kami menangis karenanya, hati kami menjadi takut karenanya, maka seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasihat perpisahan, maka apa wasiat Anda kepada kami?” Maka beliau bersabda:

 

“Aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati sekalipun pemimpin kalian adalah seorang budak Habasyah, sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang berumur panjang sesudahku maka dia akan melihat banyak sekali perselisihan, maka berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku, berpeganglah kalian kepadanya, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian, jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”

 

Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, Rasulullah bersabda:

 

“Aku adalah orang pertama yang mendatangi telaga, akan ada orang-orang yang terhalangi dariku, maka aku berkata, ‘Ya Rabbi, mereka adalah shahabatku.’ Maka dikatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya kamu tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Dari Sufyan ats-Tsauri, ia berkata, “Bid’ah lebih dicintai Iblis daripada kemaksiatan. Pelaku kemaksiatan bisa bertaubat darinya, sedangkan pelaku bid’ah sulit bertaubat darinya.”

 

Dari al-Fudhail, ia berkata, “Bila kamu melihat pelaku bid’ah berada di suatu jalan maka ambillah jalan lainnya, tidak ada amal bagi pelaku bid’ah yang diangkat kepada Allah. Barangsiapa membantu pelaku bid’ah, maka dia telah membantu merobohkan Islam.”

 

Dan aku mendengar seorang laki-laki berkata kepada al-Fudhail, “Barangsiapa menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki fasik, maka dia memutuskan rahimnya.” Maka al-Fuchail berkata, “Barangsiapa menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki ahli bid’ah, maka dia telah memutuskan rahimnya. Barangsiapa duduk bersama ahli bid’ah, maka dia tidak diberi hikmah. Bila Allah mengetahui seorang laki-laki membenci pelaku bid’ah, maka saya berharap Allah mengampuni kesajahan-kesalahannya.”

 

Penulis mengatakan bahwa sebagian dari perkataan di atas diriwayatkan secara marfu’. Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah bersabda:

 

“Barangsiapa menghormati ahli bid’ah, maka dia telah membantu menghancurkan Islam. ”

 

Celaan Terhadap Bid’ah dan Ahlinya

 

Bila seseorang berkata, “Anda telah menyanjung sunnah dan mencela bid’ah, lalu apa itu sunnah dan apa itu bid’ah, karena kami melihat dalam pandangan kamisetiap ahli bid’ah mengaku dirinya ahlus sunnah?”

 

Kami menjawab, “Bahwa sunnah dalam bahasa berarti jalan. Tidak diragukan bahwa para ulama yang membawa hadits dan atsar, yang mengikuti jejak Rasulullah dan para shahabat adalah ahlus sunnah, karena mereka masih berjalan di atas jalan yang bersih dan jelas, sedangkan perkara-perkara baru dan bid’ah-bid’ah baru ada sesudah Rasulullah dan para shahabat.”

 

Bid’ah adalah perbuatan yang sebelumnya tidak ada lalu diadaadakan. Secara umum perkara-perkara yang diada-adakan bertabrakan dengan syariat dan menyelisihinya, melakukannya sama halnya dengan menambah atau mengurangi syariat. Bila sesuatu yang tidak menyelisihi syariat diada-adakan dan melakukannya bukan merupakan kelancangan terhadap syariat, maka jumhur salaf tetap membencinya, mereka memperingatkan semua ahli bid’ah dalam rangka menjaga dasar syariat yaitu ittiba’.

 

Zaid bin Tsabit berkata kepada Abu Bakar dan Umar saat keduanya berkata kepadanya, “Kumpulkanlah al-Qur’an.” Maka Zaid menjawab, “Bagaimana kalian berdua melakukan sesuatu yang tak dilakukan oleh Rasulullah?”

 

Dari Abu al-Bakhtari berkata, “Ada seorang laki-laki menyampaikan kepada Abdullah bin Mas’ud bahwa beberapa orang duduk di masjid sesudah Maghrib, di antara mereka ada seorang laki-laki yang berkata, ‘Ucapkanlah takbir sekian kali, tasbih sekian kali dan tahmid sekian kali.’ Abdullah berkata, ‘Bila kamu melihat orang-orang itu melakukan hal itu lagi maka datanglah kepadaku dan katakan kepadaku tentang majlis mereka.’ Maka dia mendatangi mereka, lantas dia duduk. Tatkala dia mendengar apa yang mereka ucapkan, dia berdiri dan mendatangj Ibnu Mas’ud, maka Ibnu Mas’ud datang sedangkan dia adalah laki-laki yang tegas, seraya berkata, “Aku adalah Abdullah bin Mas’ud, demi Allah yang tidak ada Ilah yang haq selainNya, sungguh kalian telah melakukan bid’ah secara zhalim, sungguh kalian telah merasa mengungguli sahabatsahabat Muhammad dalam ilmu.” Amru bin Utbah berkata, “Aku memohon ampun kepada Allah.” Ibnu Mas’ud berkata, “Berjalanlah di atas jalan yang benar, peganglah ia, bila kalian menoleh ke kanan dan ke kiri niscaya kalian akan benar-benar tersesat sejauh-jauhnya.”

 

Berpegang Kepada Jalan Ahlus Sunnah

 

Kami telah katakan bahwa salaf shalih sangat berhati-hati terhadap semua bid’ah sekalipun ia tidak mengapa, karena mereka tidak ingin mengadaadakan sesuatu yang tidak ada.

 

Ada beberapa hal baru yang tidak bertentangan dengan syariat, melakukanya bukan merupakan kelancangan terhadapnya, maka mereka: memandang tidak mengapa melakukannya, sebagaimana diriwayatkan bahwa orang-orang shalat di malam bulan Ramadhan secara terpisahpisah, seorang laki-laki shalat dan dia diikuti oleh beberapa orang, maka Umar bin al-Khaththab menyatukan mereka di belakang Ubay bin Kaab, manakala Umar keluar dan melihat mereka, dia berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”

 

Karena shalat berjamaah disyariatkan.

 

Dari apa yang kami katakan di atas bisa diketahui bahwa ahlus sunnah adalah orang-orang yang mengikuti dan bahwa ahli bid’ah adalah orang-orang yang memunculkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada tanpa sandaran, karena itu mereka bersembunyi di balik bid’ah mereka, sedangkan ahlus sunnah tidak menyembunyikan madzhab mereka, kalimat mereka jelas, madzhab mereka masyhur dan akibat yang baik adalah milik mereka. Dari al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata, Rasulullah bersabda:

 

“Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang berpegang

 

kepada kebenaran sampai datang keputusan Allah sementara mereka tetap demikian.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain. Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, Ali bin al-Madini berkata, “Mereka adalah Ashabul Hadits.”

 

Terpecahnya Ahli Bid’ah Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda:

 

“Orang-orang Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu aliran atau tujuh puluh dua, orang-orang Nasrani seperti itu, umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran.” At-Tirmidzi berkata, “Hadits shahih.”

 

Kami telah menyebutkan hadits ini di bab sebelumnya, dalam hadits disebutkan, “Semuanya di neraka kecuali satu golongan.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka?” Nabi menjawab, “Orang-orang yang berpegang kepada apa yang aku sahabatku pegang.”

 

Bila ada yang bertanya, apakah aliran-aliran ini dikenal? Kami menjawab, bahwa kami mengetahui perpecahan dan dasar-dasar perpecahan tersebut, bahwa setiap golongan terpecah lagi menjadi beberapa golongan, sekalipun kita tidak bisa mengetahui nama golongan-golongan tersebut dan madzhab-madzhabnya, namun kami mengetahui dasar-dasar aliran yaitu Haruriyah, Qadariyah, Jahmiyah, Murji’ah, Rafidhah dan Jabariyah.

 

Sebagian ulama mengatakan bahwa induk aliran-aliran yang sesat adalah enam aliran besar ini, setiap aliran darinya terbagi menjadi dua belas sekte, sehingga semuanya menjadi tujuh puluh tiga aliran.

 

Haruriyah terbagi menjadi dua belas sekte, mereka adalah:

 

‘ Yang pertama adalah Azarqiyah, mereka mengatakan, “Kami tidak mengetahui seseorang beriman.” Mereka mengkafirkan ahli kiblat kecuali siapa yang mengikuti ajaran mereka.

 

‘ Ibadhiyah, mereka berkata, “Barangsiapa mengambil pendapat kami maka dia mukmin, barangsiapa berpaling darinya maka dia munafik,”

 

‘ Tsa’labiyah, mereka berkata, “Allah tidak menetapkan dan tidak mentakdirkan.”

 

‘Hazimiyah, mereka berkata, “Kami tidak tahu apa itu iman, semua makhluk dimaklumi.”

 

‘ Khalafiyah, mereka berkata, “Barangsiapa laki-laki maupun perempuan meninggalkan jihad maka dia kafir.”

 

‘ Mukarramiyah, mereka berkata, “Seseorang tidak patut menyentuh orang lain, karena dia tidak tahu apakah yang disentuhnya suci atau najis, dan tidak pula makan bersamanya sehingga dia bertaubat dan mandi.”

 

‘ Kanziyah, mereka berkata, “Seseorang tidak patut memberikan hartanya kepada orang lain,-karena bisa jadi orang yang diberi tidak berhak untuk diberi, sebaliknya dia harus menimbun hartanya di dalam tanah sampai ahlul haq menang dan berkuasa.”

 

‘ Samrakhiyah, mereka berkata, “Tidak mengapa menyentuh wanita asing, karena mereka adalah aroma yang wangi.”

 

‘ Akhnasiyah, mereka berkata, “Mayit tidak mendapatkan kebaikan dan tidak tertimpa keburukan sesudah kematiannya.”

 

‘ Muhakkimiyah, mereka berkata, “Barangsiapa berhakim kepada makhluk maka dia kafir.”

 

‘ Mu’tazilah dari Haruriyah, mereka berkata, “Urusan di antara Alli dan Mu’awiyah samar bagi kami, maka kami berlepas diri dari kedua kubu.”

 

‘ Maemuniyah, mereka berkata, “Tidak ada pemimpin kecuali bila direstui oleh orang-orang yang kami cintai.”

 

Sedangkan Qadariyah terbagi menjadi dua belas sekte, mereka adalah:

 

‘ Ahmariyah, sekte ini berpendapat bahwa syarat keadilan dari Allah adalah hendaknya Dia menyerahkan segala urusan hamba kepada para hamba, menghalangi mereka agar tidak berbuat kemaksiatan.

 

‘ Tsanawiyah, mereka berpendapat bahwa kebaikan dari Allah sedangkan keburukan dari Iblis.

 

‘ Mu’tazilah, mereka adalah orang-orang yang berkata al-Qur’an makhluk, mereka mengingkari ru‘yat (melihat Allah pada Hari Kiamat),

 

‘ Kaisaniyah, mereka adalah orang-orang yang mengatakan, “Kami tidak tahu, apakah perbuatan-perbuatan ini dari Allah atau manusia? Kami juga tak tahu apakah manusia diberi pahala atau siksa sesudah mereka mati?”

 

‘ Syaithaniyah, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan setan.”

 

‘ Syarikiyah, mereka mengatakan, “Sesungguhnya keburukankeburukan ditakdirkan kecuali kekufuran.”

 

‘ Wahmiyah, mereka mengatakan, “Perbuatan-perbuatan makhluk dan ucapan mereka tidak memiliki dzat, kebaikan dan keburukan juga tidak memiliki dzat.”

 

‘ Rawandiyah, mereka berkata, “Mengamalkan semua kitab yang diturunkan dari Allah adalah hagq, baik ia nasikh maupun mansukh.”

 

‘ Batriyah, mereka mengatakan, “Barangsiapa bermaksiat kemudian bertaubat maka taubatnya tidak diterima.”

 

‘ Nakitsiyah, mereka berkata, “Barangsiapa membatalkan perjanjian baiat dengan Rasulullah maka dia tak berdosa.”

 

‘ Qasithiyah, mereka mementingkan mencari dunia daripada zuhud padanya.

 

‘ Nizhamiyah, mereka mengikuti Ibrahim an-Nazhzham yang berkata, “Barangsiapa berkata Allah sesuatu maka dia kafir.”

 

Jahmiyah terbagi menjadi dua belas sekte, mereka adalah:

 

‘ Mu’aththilah, mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang dibayangkan oleh benak seseorang maka ia adalah makhluk, barangsiapa berkata Allah dapat dilihat maka dia kafir.

 

‘ Marisiyyah, mereka mengatakan, “Kebanyakan sifat-sifat Allah adalah makhluk.”

 

‘ Multazimah, mereka meyakini bahwa Allah ada di semua tempat.

 

‘ Waridiyah, mereka mengatakan, “Barangsiapa mengetahul Tuhan. nya maka dia tidak masuk neraka, barangsiapa masuk neraka maka dia tidak akan keluar darinya selama-lamanya.”

 

‘ Zanadiqah, mereka mengatakan, “Bukan hak seseorang untuk menetapkan Tuhan bagi dirinya, karena menetapkan hanya dilakukan setelah pengetahuan inderawi, sesuatu yang diketahui bukanlah Tuhan, sesuatu yang tak diketahui tak bisa ditetapkan.”

 

‘ Harqiyah, mereka berpendapat bahwa api membakar orang kafir sekali saja, kemudian dia terus terbakar selamanya namun tidak merasakan panasnya api.

 

‘ Makhluqiyah, mereka berpendapat bahwa al-’Qur’an makhluk.

 

‘ Faniyah, mereka berpendapat bahwa surga dan neraka fana.™ Di antara mereka ada yang mengatakan, bahwa surga dan neraka belum diciptakan.

 

‘ Musghiriyah, mereka mengingkari para rasul, mereka berkata, “Para . rasul hanya para penguasa.”

 

‘ Waaifiyah, mereka berkata, “Kami tidak berkata al-Qur’an makhluk dan al-Qur’an bukan makhluk.”

 

‘ Qabriyah, mereka mengingkari adanya adzab kubur dan syafaat.6 .

 

‘ Lafzhiyah yang berkata, “Lafazh kami dengan al-Qur’an makhluk.”

 

Murji’ah terbagi menjadi dua belas sekte, mereka adalah:

 

‘ Tarikiyah, mereka berkata, “Allah tidak mewajibkan apa pun atas hamba-hambaNya kecuali beriman kepadaNya, barangsiapa beriman kepada Allah dan mengetahuinya maka silakan melakukan apa pun yang diinginkannya.”

 

‘ Saibiyah, mereka berkata, “Allah membiarkan makhlukNya sehingga mereka bisa melakukan apa yang mereka kehendaki.”

 

‘ Rajiyah, mereka berkata bahwa orang yang taat tidak kami sebut sebagai orang taat, begitu pula pelaku maksiat tidak kami sebut sebagai pelaku maksiat, karena kita tidak mengetahui nasibnya di depan Allah.

 

‘ Syakiyah, mereka berkata, “Ketaatan-ketaatan bukan termasuk iman.”

 

‘ Baehasiyah, mereka berkata, “Iman adalah mengetahui, barangsiapa tidak mengetahui mana yang haq dan mana yang batil, mana yang halal dan mana yang haram, berarti ia orang kafir.”

 

‘ Manqushiyah, mereka mengatakan, “Iman tak bertambah dan tak berkurang.”

 

‘ Mustatsniyah, mereka menafikan istitsna’ (ucapan insya Allah) dalam iman.

 

‘ Musyabbihah, mereka berkata, “Allah mempunyai penglihatan seperti penglihatanku, tangan seperti tanganku.” .

 

‘ Hasyawiyah, mereka menetapkan hukum hadits-hadits adalah satu, menurut mereka orang yang meninggalkan ibadah sunnah sama dengan orang yang meninggalkan ibadah wajib.

 

‘ Zhahiriyah, mereka adalah orang-orang yang menafikan qiyas.

 

‘ Bid’iyah, mereka adalah orang-orang pertama yang membuat halhal baru dari umat ini.

 

Rafidhah terpecah menjadi dua belas sekte, mereka adalah:

 

‘ Alawiyah, mereka mengatakan, “Kerasulan adalah milik Ali, dan Jibril salah memberikannya.”

 

‘ Amriyah, mereka mengatakan, “Ali adalah sekutu Muhammad dalam perkara kenabian.”

 

‘ Syi’ah, mereka mengatakan, “Ali adalah penerima wasiat Rasulullah, penerus beliau sesudahnya, umat menjadi kafir karena membaiat selain Ali.”

 

‘ Ishaqiyah, mereka mengatakan, “Kenabian tak pernah terputus sampai Hari Kiamat, barangsiapa mengetahui ilmu ahli bait maka dia adalah nabi.”

 

‘ Nawusiyah, mereka berkata, “Umat yang terbaik adalah Ali, barangsiapa mengunggulkan selain Ali atasnya maka dia kafir.”

 

‘ Imamiyah, mereka berkata, “Dunia tidak mungkin kosong dari imam dari kalangan anak keturunan al-Husain, karena-Jibril mengenal imam tersebut, bila dia mati maka dia menggantinya dengan orang lain.”

 

‘ Yazidiyah, mereka berkata, “Semua anak al-Husain adalah para imam dalam shalat, bila seseorang dari mereka ada maka tak boleh shalat di belakang selainnya, baik dia orang baik atau orang fajir.”

 

‘ Abbasiyah, mereka mengatakan, “Abbas lebih patut menjadi khalifah daripada selainnya.”

 

‘ Mutanasikhah, mereka mengatakan, bahwa arwah mengalami , reinkarnasi, bila pemiliknya adalah orang baik, maka ruhnya keluar dan masuk kepada seseorang yang membuatnya berbahagia, dan bila orang jahat, maka ruh masuk kepada seseorang yang yang membuatnya hidup sengsara.

 

‘ Raj’iyah, mereka berpendapat bahwa Ali dan rekan-rekannya akan kembali ke dunia dan membalas musuh-musuh mereka.

 

‘ La’iniyah, mereka adalah’ orang-orang yang melaknat Utsman, Thalhah, az-Zubair, Mu’awiyah, Abu Muda, Aisyah dan lainnya.

 

‘ Mutarabbishah, mereka berpakaian ala ahli ibadah, mereka menunjuk di setiap zaman seseorang, kepadanya mereka menyerahkan urusan, mereka memandangnya Mahdi umat ini, bila dia mati, maka mereka menunjuk penggantinya.

 

Jabariyah terpecah menjadi dua belas sekte, di antara mereka adalah:

 

‘ Mudhtharibah, mereka mengatakan, “Manusia tak mempunyai perbuatan, sebaliknya Allah-lah yang melakukan semuanya.”

 

‘ Afvaliyah, mereka mengatakan, “Kita mempunyai perbuatan-perbuatan, namun kita tidak memiliki kemampuan padanya, kita hanya seperti hewan ternak yang dituntun dengan tali.”

 

‘ Mafruqhiyah, mereka Mengatakan, “Segala sesuatu telah diciptakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang diciptakan.”

 

‘ Najjariyah, mereka mengklaim bahwa Allah menyikasa manusia atas perbuatanNya bukan perbuatan mereka.

 

‘ Mananiyah, mereka mengatakan, “Peganglah apa yang terlintas di dalam hatimu, lakukan apa yang kamu pandang baik.”

 

‘ Kasbiyah, mereka mengatakan, bahwa hamba tidak mendapatkan pahala dan tidak pula hukuman.

 

‘ Sabiqiyah, mereka mengatakan, “Barangsiapa ingin beramal maka silakan, dan barangsiapa tak ingin maka silakan, karena orang yang bahagia tak terpengaruh oleh dosanya, dan orang yang sengsara tak mengambil manfaat dari kebaikannya.”

 

‘ Muhabbiyah, mereka berkata, “Barangsiapa minum gelas cinta kepada Allah maka gugurlah kewajiban-kewajiban agama darinya.”

 

‘ Khaufiyah, mereka mengatakan, “Barangsiapa mencintai Allah maka dia tidak takut kepadaNya, karena orang yang mencintai tidak takut kepada orang yang dicintainya.”

 

‘ Khassiyah, mereka mengatakan, bahwa dunia di antara manusia adalah sama, tidak ada perbedaan dalam apa yang diwariskan oleh bapak mereka Adam.

 

‘ Ma’iyah, mereka berkata, “Dari kami perbuatan dan dari kami kemampuan.”

 

Metahuilah bahwa manusia dititipi hawa nafsu dan syahwat sebagai alat untuk mendatangkan apa yang bermanfaat baginya, ia dititipi amarah untuk menepis apa yang menyakitinya, ia diberi akal sebagai pendidik, mengajaknya berbuat adil dalam apa yang dilakukan dan ditinggalkan.

 

Setan diciptakan sebagai penghasung bagi manusia untuk berlebihlebihan dalam melakukan dan meninggalkan, maka sudah sewajibnya bagi orang yang berakal bersikap waspada terhadap musuh yang telah mengumumkan permusuhannya sejak zaman Adam 32%, dan dia telah mengorbankan umur dan nafasnya demi merusak kehidupan anak manusia.

 

Allah telah memerintahkan kita agar mewaspadainya.

 

Dia berfirman:

 

“Dan janganiah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 168-169).

 

Dia berfirman:

 

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir).” (QS. al-Baqarah: 268).

 

Dia berfirman:

 

“Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. an-Nisa’: 60).

 

Dia berfirman:

 

“Sesungguhnya setan itu. bermaksud hendak menimbulkan . permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. al-Maidah: 91).

 

Dia berfirman:

 

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata .(permusuhannya).” (QS. al-Qashash: 15).

 

Dia berfirman:

 

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyalanyala.” (QS. Fathir: 6).

 

Dia berfirman:

 

“Dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah.” (QS. Luqman: 33).

 

Dia berfirman:

 

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Yasin: 60).

 

Dan ayat-ayat yang senada dalam al-Qur’an berjumlah banyak. Mewaspadai Fitnah dan Tipu Daya Iblis Anda harus tahu bahwa Iblis yang sibuk dengan upaya mengacaukan urusan manusia adalah korban pertama dari upayanya sendiri, dia berpaling dari nash yang jelas-jelas memerintahkannya untuk sujud, dan dia memilih membandingkan asal-usul, dia berkata:

 

“Karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Shad: 76).

 

Kemudian dia menyusulkannya dengan sanggahan terhadap Allah, Maharaja yang Mahabijak, dia berkata:

 

“Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku?” (QS. al-Isra’: 62).

 

Maksudnya, “Katakan kepadaku mengapa Engkau memuliakannya atasku?” Dia menyanggah Allah karena dalam pandangannya apa yang dilakukan Allah lepas dari hikmah, kemudian dia menyusulkannya dengan kesombongan, dia berkata:

 

 

“Aku lebih baik daripadanya,” (QS. Shad: 76).

 

Kemudian dia menolak untuk sujud, maka dia menghinakan dirinya, padahal sebenarnya dia ingin mengagungkannya, melalui laknat dan hukuman.

 

Bila Iblis menggoda seseorang, maka orang tersebut harus mewas( padainya dengan kewaspadaan yang tinggi, hendaknya dia berkata kepada Iblis saat dia mengajaknya berbuat buruk, “Kamu ingin menasihatiku dengan memerintahkanku agar aku menggapai syahwatku, bagaimana sebuah nasihat seseorang untuk orang lain bisa dipercaya bila yang bersangkutan tidak menasihati dirinya sendiri? Di samping itu, bagaimana aku bisa menerima nasihat seorang musuh? Pergilah! tidak ada jalan bagi kata-katamu pada diriku!”

 

Selanjutnya tidak tersisa bagi Iblis kecuali meminta bantuan jiwa, karena dia mendorong kepada hawa nafsunya, maka hendaknya orang yang diserang olehnya menghadirkan akal ke rumah pertimbangan guna memikirkan akibat-akibat buruk dosa, dengan harapan benteng taufik berkenan mengirimkan bala tentara kekuatannya sehingga bisa mengalahkan bala tentara hawa nafsu.

 

Dari Iyadh bin Himar, ia berkata, Rasulullah bersabda:

 

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah memerintahkanku agar mengajarkan kepada kalian apa yang kalian tidak ketahui dari apa yang Dia ajarkan kepadaku pada hariku ini, ‘Sesungguhnya semua harta yang Aku berikan kepada hambaKu adalah halal baginya, sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan lurus bersih seluruhnya lalu setan datang kepada mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka, Aku memerintahkan mereka agar tidak menyekutukanKu dengan sesuatu yang Aku tidak menurunkan bukti atasnya.’ Sesungguhnya Allah melihat kepada penduduk bumi lalu Dia memurkai mereka, baik yang Arab maupun yang Ajam kecuali sisa-sisa dari ahli kitab.”

 

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah bersabda:

 

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian dia mengirim bala tentaranya. Bala tentara yang paling dekat kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling besar fitnahnya, salah seorang dari mereka datang seraya berkata, Aku melakukan ini dan ini.’ Iblis berkata, ‘Kamu tidak melakukan apa pun.’ Salah seorang dari mereka datang seraya berkata, ‘Aku terus bersama fulan, tidak meninggalkannya sehingga aku bisa memisahkannya dengan istrinya.’ Maka Iblis mendekatkannya kepada dirinya atau dia berkata, merangkulnya dan berkata, ‘Ya kamu.”

 

Dari Jabir bahwa Nabi bersabda:

 

“Sesungguhnya Iblis telah berputus asa untuk disembah orang-orang yang shalat, akan tetapi usahanya adalah merusak hubungan di antara mereka, ”

 

Fitnah-fitnah dan tipu daya setan berjumlah banyak, sebagian darinya tersurat dalam buku ini di tempat yang sesuai dengan keadaannya insya Allah.

 

Karena banyaknya fitnah setan dan keterkaitannya yang sangat erat dengan hati maka selamat darinya relatif sulit, karena siapa yang diajak kepada sesuatu yang sejalan dengan tabiat jiwanya maka dia akan meresponnya dengan sangat antusias, laksana bahtera yang meluncur di air terjun, betapa cepatnya ia turun ke bawah.

 

Pemberitahuan Bahwa Setiap Manusia Bersama Setan Dari Aisyah istri Nabi bahwa Rasulullah keluar dari sisinya di malam hari, Aisyah berkata, “Aku cemburu dan beliau mengetahui perbuatanku, maka beliau bersabda, Ada apa denganmu wahai Aisyah? Kamu cemburu?’ Aku menjawab, ‘Apakah orang sepertiku tidak pantas cemburu terhadap orang sepertimu?’ Nabi bertanya, Apakah setanmu telah mendatangimu?’ Aisyah balik bertanya, “Ya Rasulullah, apakah bersamaku ada setan?’ Nabi menjawab, ‘Ya.’ Aisyah bertanya, ‘Bersama setiap manusia juga?’ Nabi menjawab, ‘Ya.’ Aisyah bertanya, ‘Termasuk engkau wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Ya, akan tetapi Rabbku menolongku atasnya sehingga dia masuk Islam.’”

 

Al-Khaththabi berkata, “Kebanyakan rawi berkata, ‘Asiama’ dengan kata kerja bentuk lampau kecuali Sufyan bin Uyainah, dia berkata, ‘Fa aslamu’, yakni aku selamat dari keburukannya, dan dia (Sufyan) mengatakan bahwa setan tidak masuk Islam.”

 

Syaikh berkata, Ucapan Ibnu Uyainah bagus, ia memperlihatkan buah mujahadah dalam rangka menyelisihi setan, hanya saja hadits Ibnu Mas’ud menolak ucapan Ibnu Uyainah, yaitu dari Ibnu Mas’ud, dia memarfu’kannya, “Tidak seorang pun dari kalian kecuali telah diserahi satu qarin dari jin dan qarin dari malaikat.” Mereka bertanya, “Termasuk Anda wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Ya, termasuk aku, akan tetapi Allah membantuku atasnya sehingga dia tidak memerintahkanku kecuali dengan kebenaran.” Dalam sebuah riwayat, “Dia tidak memerintahkanku kecuali dengan kebaikan.”

 

Syaikh berkata, diriwayatkan oleh Muslim secara tersendiri,”? zhahirnya menunjukkan bahwa setan masuk Islam, walaupun ia mengandung pendapat lainnya.

 

Setan Mengalir Pada Diri Manusia Seperti Aliran Darah Dari Shafiyyah binti Huyay istri Nabi, ia berkata, “Rasulullah sedang beri’tikaf, dan aku menjenguknya di malam hari, aku berbincang-bincang dengan beliau, kemudian aku berdiri hendak pulang, maka beliau berdiri hendak mengantarkanku —Rumah Shafiyyah di komplek perumahan Usamah bin Zaidlalu dua laki-laki Anshar lewat, manakala keduanya melihat Rasulullah, keduanya mempercepat langkah mereka, maka Nabi bersabda, ‘Berhentilah kalian berdua, sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyyah binti Huyay.’ Keduanya berkata, “Ya Rasulullah, Mahasuci Allah.’ Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya setan mengalir pada diri Bani Adam seperti aliran darah, sesungguhnya aku khawatir setan akan menanamkan keburukan dalam hati kalian berdua.’”

 

Al-Khaththabi berkata, “Hadits ini mengandung informasi dianjurkannya seseorang berhati-hati terhadap sesuatu yang buruk yang mungkin memicu dugaan buruk dan terlintas dalam benak pikiran, hendaknya seseorang berusaha mencari keselamatan dari dugaan manusia dengan memperlihatkan kebersihan dari hal-hal yang meragukan.”

 

Dalam hal ini diriwayatkan dari asy-Syafi’i bahwa dia berkata, “Nabi khawatir terjadi sesuatu yang tidak baik dalam hati mereka berdua sehingga mereka berdua bisa menjadi kafir karenanya, Nabi mengucapkan demikian karena beliau mengkhawatirkan keduanya bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri.”

 

Berlindung dari Setan yang Terkutuk Allah memerintahkan kita agar memohon perlindungan kepadaNya dari setan yang terkutuk saat hendak membaca al-Qur’an. Dia berfirman:

 

“Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. an-Nahl: 98).

 

Dan saat terjadi sihir, Dia berfirman:

 

“Katakanlah, Aku berlindung kepada Rabb Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhlukNya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki’.” (QS. al-Falaq: 1-5).

 

Bila Allah memerintahkan kita agar mewaspadai kejahatan setan di dua keadaaan ini, lalu bagaimana dengan selain keduanya?

 

Dari Abu at-Tayyah berkata, “Aku berkata kepada Abdurrahman bin Khanbasy, ‘Kamu bertemu Nabi’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya, ‘Apa yang dilakukan oleh Rasulullah di suatu malam saat setan hendak mencelakakan beliau?’ Maka dia menjawab, ‘Sesungguhnya para setan turun di malam itu dari lembah dan bukit kepada Rasulullah, di antara mereka ada satu setan yang memegang bongkahan api, dia hendak membakar wajah Rasulullah dengannya, maka Jibril turun dan berkata, ‘Wahai Muhammad, ucapkanlah.’ Nabi bertanya, Apa yang aku ucapkan?’ Jibril berkata, ‘Ucapkanlah! ‘Aku berlindung dengan kalimatkalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa yang Dia ciptakan dan Dia buat, dari kejahatan apa pun yang turun dari langit, dari keburukan apa pun yang naik ke langit, dari keburukan fitnah-fitnah malam dan siang, dari keburukan siapa yang datang di malam hari kecuali siapa yang datang di malam hari dengan membawa kebaikan, wahai Rahman.’ Dia berkata, “Maka api mereka padam dan Allah membinasakan mereka.”

 

Dari Aisyah bahwa Nabi bersabda, “Sesungguhnya setan datang kepada salah seorang di antara kalian, dia bertanya, ‘Siapa yang menciptakanmu?’ Maka dia menjawab, Allah.’ Dia bertanya, ‘Lalu siapa yang menciptakan Allah?’ Bila salah seorang di antara kalian merasakan hal itu maka hendaknya berkata, Aku beriman kepada Allah dan RasulNya.’

 

Maka hal itu akan lenyap darinya ”

 

Dari Ibnu Abbas , ia berkata, bahwa Rasulullah melindungi al Hasan dan al Husain, beliau bersabda, “Aku memohon perlindungan untuk kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari semua setan dan jiwa buruk, serta dari sernua tatapan mata jahat.” Kemudian beliau bersabda, “Demikian bapakku [brahim melindungi kedua putranya Ismail dan Ishaq.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain,

 

Abu Bakar al-Anbari berkata, “Al-hammah adalah kata tunggal darj al-hawam, yaitu semua jiwa yang berkeinginan buruk. Al-lammah adalah al-mulimmah, Nabi mengatakan Jammah agar senada dengan hammah sehingga hal itu lebih ringan untuk diucapkan oleh lisan.”

 

Mutharrif berkata, “Aku melihat, ternyata manusia tergeletak di hadapan Allah dan Iblis, maka barangsiapa Allah berkehendak untuk menjaganya, maka Dia menjaganya, dan bila Allah membiarkannya maka Iblis membawanya pergi.” .

 

Dikisahkan dari sebagian salaf bahwa dia berkata kepada muridnya, “Apa yang kamu lakukan terhadap setan manakala dia merayumu berbuat dosa?” Dia menjawab, “Aku melawannya.” Dia bertanya, “Bagaimana bila setan itu kembali?” Dia menjawab, “Aku melawannya.” Dia bertanya, “Bagaimana bila setan itu kembali?” Dia menjawab, “Aku melawannya.” Dia berkata, “Ini lama. Bagaimana bila kamu melewati sekawanan domba lalu anjing penjaganya menggonggongimu atau menghalangimu untuk berlalu, apa yang kamu lakukan?” Dia menjawab, “Aku melawannya sebisaku.” Dia berkata, “Ini lama bagimu, semestinya mintalah bantuan kepada pemilik domba tersebut, niscaya dia akan mencegahnya untuk menyerangmu.”

 

Ketahuilah bahwa Iblis dengan orang yang bertakwa dan orang yang mencampur kebaikan dan keburukan adalah seperti seorang laki-laki yang duduk di depan makanan laiu seekor anjing datang, maka orang itu berkata kepada anjing, “Hus, pergilah.” Maka anjing itu pergi. Anjing itu datang kepada seorang laki-laki yang duduk menghadapi makanan dan daging, dia mengusirnya namun anjing tak beranjak. Orang pertama adalah seperti orang yang bertakwa, setan datang kepadanya, dia cukup mengusirnya dengan dzikir, sedangkan orang kedua adalah orang yang mencampuradukkan kebaikan dengan keburukan, sehingga setan tidak meninggalkannya karena perbuatannya yang mencampuradukkan kebaikan dan keburukan itu. Kami berlindung kepada Allah dari setan.

 

Talbis adalah memperlihatkan kebatilan dalam potret kebenaran, sedangkan ghurur adalah sebuah bentuk kebodohan yang membuat pemiliknya meyakini apa yang rusak benar dan apa yang buruk bagus, disebabkan karena adanya syubhat yang mengharuskannya demikian.

 

Iblis masuk kepada manusia sebatas kemampuannya, kekuasaan Iblis atas manusia menguat dan melemah sesuai dengan kadar kewaspadaan manusia dan kelalaian mereka, kebodohan dan ilmu mereka.

 

Ketahuilah bahwa hati itu ibarat benteng, benteng itu dikelilingi oleh pagar, pagar itu memiliki pintu-pintu dan pada pagar itu terdapat celahcelah, penghuninya adalah akal, sedangkan para malaikat datang dan pergi dari benteng, di sampingnya ada tempat untuk hawa nafsu, setan datang secara bergilir ke tempat hawa nafsu ini tanpa penghalang, perang terjadi antara penghuni benteng dengan setan yang berada di sampingnya, setan-setan terus berkeliling di sekitar benteng menantikan kelengahan para penjaga sehingga dia bisa menyusup melalui celah-celah yang ada di pagar, penjaga harus mengenal semua pintu-pintu benteng di mana dia bertugas menjaganya, mengetahui semua celah yang darinya musuh bisa menyusup, hendaknya penjaga tidak lengah sesaat pun karena musuh selalu mengintai.

 

Seorang laki-laki bertanya kepada al-Hasan al Bashry, “Apakah Iblis tidur?” Dia menjawab, “Seandainya dia tidur niscaya kita bisa beristirahat.”

 

Benteng itu bercahaya dengan dzikir, bersinar dengan iman, di sana ada kaca cermin yang bening, siapa yang melewatinya maka akan terlihat padanya. Perkara pertama yang dilakukan oleh setan dari markasnya adalah memperbanyak asap sehingga dinding benteng menghitam dan kaca cermin menjadi kotor, asap itu bisa diusir dengan kesempurnaan berpikir, cermin itu bisa bening kembali dengan dzikir terus-menerus. Musuh senantiasa menyerang, terkadang dia menyerang dan masuk ke dalam benteng, maka penjaga mengusirnya dan dia keluar darinya, terkadang musuh bisa masuk benteng lalu membuat kerusakan, dan terkadang sampai tinggal di sana karena penjaganya tidak tahu, terkadang angin yang semestinya mengusir asap tidak berhembus, hingga dinding benteng menjadi hitam dan kaca cermin menjadi keruh, setan pun lewat tanpa tertangkap oleh cermin, terkadang penjaganya terluka karena dia dalam keadaan tidak siap, ditawan dan diperalat, mencari-cari cara dalam memperturut hawa nafsunya dan membantunya, dan terkadang ia seperti ahli fikih dalam keburukan.

 

Sebagian salaf berkata, “Aku bertemu setan, dia berkata kepadaku, ‘Dulu aku bertemu manusia dan aku mengajari mereka, tetapi sekarang, aku bertemu mereka dan belajar dari mereka.”

 

Terkadang setan menyerang orang cerdik lagi pandai, dia membawa pengantin hawa nafsu dan memperlihatkannya di depannya, maka orang cerdik tersebut sibuk menatap dan melihatnya hingga setan berhasil menawannya.

 

Tambang paling Rokoh untuk mengikat tawanan adalah kebodohan, sedang kekuatannya adalah hawa nafsu, dan yang paling lemah adalah kelengahan. Selama seorang mukmin memakai baju besi iman, maka anak panah musuh tidak akan menembus bagian uital tubuhnya.

 

Al-Hasan bin Shalih berkata, “Sesungguhnya setan membuka sembilan puluh sembilan pintu kebaikan dengan maksud ingin memasukkan hamba ke dalam satu pintu keburukan.”

 

Dari al-A’masy berkata, “Ada seorang laki-laki yang bisa berbicara dengan jin menyampaikan kepada kami, mereka berkata, ‘Tidak ada orang yang lebih berat bagi kami daripada orang yang mengikuti sunnah, adapun pengikut hawa nafsu, maka kami benar-benar mempermainkannya.’”

 

Talbis Iblis atas Sufistha ‘iyah

 

Syaikh mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada seorang laki-laki bernama Sufistha. Mereka mengklaim bahwa segala perkara tidak memiliki hakikat, bahwa apa yang menurut kita tidak mungkin bisa jadi merupakan apa yang kita saksikan, dan bisa jadi ia tidak sebagaimana yang kita saksikan.

 

Para ulama telah menyodorkan pertanyaan kepada mereka, yakni apakah pendapat kalian ini memiliki hakikat atau tidak? Bila kalian berkata tidak memiliki hakikat, dan kalian membolehkan kebatilan padanya, maka bagaimana kalian boleh mengajak kepada sesuatu yang tidak memiliki hakikat? Dengan pendapat kalian itu sendiri, kalian telah mengakui tidak boleh menerima pendapat kalian. Bila kalian berkata ia memiliki hakikat maka kalian meninggalkan pendapat kalian sendiri.

 

Pendapat mereka ini disebutkan oleh Abu Muhammad al-Hasan bin Musa an-Nubakhti dalam kitab al-Ara’ wa ad-Diyanat, dia berkata, “Aku melihat banyak ahli kalam telah melakukan kesalahan yang nyata terhadap perkara mereka, karena ahli kalam telah mendebat dan membantah mereka, menghadirkan argumentasi-argumentasi dengan maksud membantah mereka, padahal mereka tidak menetapkan sebuah hakikat, dan tidak mengakui hal kongkrit. Bagaimana bisa engkau berbicara dengan orang yang mengatakan, ‘Aku tidak tahu, apakah dia berbicara kepadaku atau tidak?’ Bagaimana bisa engkau berdialog atau mengajak berdiskusi orang yang mengaku bahwa dia tidak tahu apakah dia ada atau tidak ada? Dan bagaimana bisa engkau mengajak bicara orang yang mengakui bahwa berbicara tidak ada bedanya dengan diam dalam penjelasan dan bahwa yang benar sama dengan yang rusak? Kemudian orang yang diajak berdiskusi hanyalah orang yang mengakui hal mendasar atau mengakui suatu perkara, sehingga apa yang diakuinya bisa dijadikan sebagai sarana untuk menetapkan apa yang diingkarinya, adapun orang yang tidak mengakui hal itu maka berdialog dengannya tidak ada qunanya.”

 

Syaikh mengatakan bahwa kata-kata ini telah disanqgah oleh Abu alWafa bin Aqil, maka beliau berkata, “Ada orang-orang yang berkata, ““Bagaimana orang-orang itu bisa diajak berbicara? Upaya yang mungkin dilakukan oleh pendialog adalah mendekatkan perkara yang logis ke yang kongkrit, menjadikan sesuatu yang riil sebagai bukti dan menjadikannya sebagai petunjuk atas sesuatu yang ghaib, sementara orang-orang itu tidak mengakui hal-hal kongkrit, lalu dengan apa mereka bisa diajak berbicara?’”

 

Ibnu Adil berkata, bahwa ini adalah kata-kata orang yang sempit dada, dan tidak patut berputus ada dalam menghadapi orang-orang seperti mereka, karena apa yang menimpa mereka tidak lebih dari sekedar was-was, maka dada kita tidak patut berubah sempit karenanya, sebab mereka adalah orang-orang yang mengalami penyimpangan tabiat yang bersifat insidentil, perumpamaan kita dengan mereka tidak lain seperti seorang laki-laki yang mempunyai seorang anak yang juling, dia melihat rembulan bukan satu tetapi dua, hingga dia tidak pernah ragu bahwa di langit ada dua rembulan, maka bapaknya berkata kepadanya, “Rem. bulan hanya satu, yang salah adalah kedua matamu. Tutuplah mata julingmu dan lihatlah.” Manakala dia melakukan, dia berkata, “Aku melihat satu rembulan, hal itu karena aku menutupi salah satu mataku, akibatnya rembulan yang kedua tidak terlihat.” Anak ini menghadirkan syubhat kedua dari apa yang dilakukannya atas perintah bapaknya, maka bapaknya berkata kepadanya, “Bila perkaranya seperti yang kamu ucapkan, maka tutuplah matamu yang sehat.” Maka dia melakukannya, dia pun melihat dua rembulan, saat itu lah dia mengetahui kebenaran kata-kata bapaknya.

 

Talbis Iblis atas Sekte-sekte Filsafat An-Nubakhti berkata, “Ada sekelompok dari kalangan orang-orang yang bodoh beranggapan bahwa segala sesuatu tidak memiliki satu hakikat yang sebenarnya, akan tetapi hakikatnya menurut setiap orang adalah menurut keyakinan masing-masing, orang yang menderita penyakit kuning merasakan madu itu pahit, sedangkan selainnya merasakannya manis.”

 

Mereka berkata, “Begitu juga alam semesta, ia qadim (sesuatu yang lama) menurut pihak yang berangapan qadim, namun ia hadits (sesuatu yang baru) menurut pihak yang meyakininya demikian, dan warna adalah badan bagi siapa yang meyakininya demikian, sementara ia adalah sifat bagi siapa yang meyakininya sifat.”

 

Mereka berkata, “Seandainya kita membayangkan tidak adanya dua keyakinan, niscaya perkaranya bergantung kepada keberadaan siapa yang meyakini!”

 

Mereka ini adalah setali tiga uang dengan kaum Sufistha’ iyah. Kepada mereka dikatakan, “Apakah pendapat kalian benar?” Maka mereka akan menjawab, “Benar menurut kami, salah menurut lawan kami.” Kami katakan, klaim kalian bahwa pendapat kalian shahih tertolak, pengakuan kalian bahwa pendapat kalian salah menurut lawan kalian adalah bukti atas keburukan kalian. Barangsiapa mengakui kebatilan pendapatnya dari satu sisi, maka dia telah mencukupkan lawannya sehingga lawannya tidak perlu menjelaskan kerusakan pendapatnya.

 

Di antara yang patut dikatakan kepada mereka, apakah kalian menetapkan hakikat bagi sesuatu yang kongkrit? Bila mereka berkata tidak, maka mereka sama dengan orang-orang pertama, dan bila mereka berkata bahwa hakikatnya menurut keyakinan, berarti mereka telah menafikan hakikat darinya pada dirinya, sedangkan pembicaraan bersama mereka sama dengan pembicaraan dengan orang-orang pertama.

 

An-Nubakhti berkata, bahwa di antara mereka ada yang berkata, “Alam selalu dalam keadaan mencair dan mengalir.” Mereka berkata, ~ bahwa manusia tidak bisa memikirkan satu perkara dua kali, karena segala sesuatu senantiasa berubah.

 

Maka kepada mereka dikatakan, “Bagaimana hal ini bisa diketahui sementara kalian telah mengingkari keberadaan sesuatu yang menetapkan ilmu, bisa jadi salah seorang di antara kalian yang menjawab sekarang bukanlah orang yang diajak berbicara?”

 

Talbis Iblis atas Dahriyin

 

Penulis berkata, bahwa Iblis telah menanamkan di benak banyak orang bahwa tidak ada Ilah, tidak ada pencipta, dan bahwa segala sesuatu terjadi tanpa ada yang menjadikan. Tatkala mereka tidak mengetahui pencipta melalui indera, mereka juga tidak menggunakan akal untuk meneq tapkanNya, maka mereka pun mengingkarinya.

 

Adakah orang yang berakal mengingkari pencipta?! Seandainya manusia melewati sebuah lembah tanpa bangunan, kemudian dia melewatinya untuk kedua kalinya dan kali ini dia melihat dinding yang ter bangun, maka dia yakin pasti ada pihak yang membangunnya. Bumi yang terhampar, langit yang terjunjung, bangunan-banguan alam raya yang begitu menakjubkan, kaidah-kaidah yang berjalan dengan penuh hikmah, apakah ia tidak menunjukkan sang pencipta?!

 

Betapa bagus apa yang diucapkan oleh sebagian Arab, “Sesungguhnya kotoran unta menunjukkan unta, bentuk alam atas dengan penuh kecanggihannya, bentuk alam bawah dengan penuh ketangguhannya, apakah keduanya tidak menunjukkan adanya Dzat yang Mahalembut lagi Mahatahu?”

 

Seandainya seseorang merenungkan dirinya sendiri niscaya dirinya sudah cukup menjadi bukti dan menyembuhkan orang yang sakit, karena dalam jasad ini terkandung hikmah-hikmah yang tidak memadahi untuk disuratkan dalam sebuah buku. Barangsiapa memperhatikan tajamnya gigi agar ia bisa memotong, tumpulnya geraham untuk mengunyah, lidah yang tak bertulang untuk membolak-balik makanan yang dikunyah, kekuasaan hati terhadap makanan sehingga ia mematangkannya, kemudian mengirimkannya kepada semua bagian tubuh sesuai dengan kadar yang dibutuhkan, lalu jari-jemari yang beruas-ruas sehingga ia bisa mengepal dan membuka serta bisa digunakan untuk bekerja, sedangkan ia tidak dijadikan berongga karena fungsinya yang sangat banyak, karena seandainya ia dijadikan berongga lalu dia berhadapan dengan sesuatu yang keras maka ia akan patah, dan sebagian dari jari dijadikan lebih Panjang dari yang lain sehingga ia bisa sama-rata manakala digenggam, dan disembunyikan sesuatu dalam tubuh apa yang menjadi kehidupannya, yaitu ruh yang bila ia hilang, maka akal yang menunjukkan kepada kebaikan akan rusak, dan segala sesuatu dari hal ini semua akan berteriak, “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah?” (QS. Ibrahim: 10).

 

Pengingkar membabi-buta dalam hal ini karena dia mencarinya dari sisi inderawi saja, di antara manusia ada yang mengingkarinya, karena manakala dia menetapkan wujudnya secara global dan tidak mengetahuinya secara terperinci, maka dia mengingkari asal wujud. Seandainya orang ini menggunakan pikirannya, niscaya dia mengetahui bahwa kita memiliki banyak hal yang tidak diketahui kecuali secara global saja seperti jiwa dan akal, tetapi tak seorang pun memungkiri keberadaan keduanya.

 

Bukankah tujuan utama hanyalah menetapkan penciptaan secara global, dan bagaimana dikatakan, bagaimana dia? Atau siapa dia?

 

Sedangakn tidak ada bagaimana dan tidak ada jatidiri!

 

Di antara dalil-dalil pasti atas wujud Khalik adalah bahwa alam semesta ini adalah hadits, buktinya alam tidak steril dari hal-hal yang diadakan, segala sesuatu yang tidak terpisahkan dari hal-hal yang diadakan adalah hadits, keberadaan sesuatu yang hadits ini pasti memerlukan pihak yang mengadakannya, dia adalah Allah sang Khalik.

 

Orang-orang atheis memiliki sanggahan terhadap ucapan kami, “Sesuatu yang diciptakan pasti memiliki pencipta.” Mereka berkata, dalam masalah ini kalian bergantung kepada sesuatu yang kongkrit, kepadanyalah kami mengajak kalian untuk berhakim. Kami katakan, sebagaimana sesuatu yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta, maka demikian halnya dengan bentuk yang terjadi dari pencipta, ia memerlukan bahan di mana bentuk terjadi padanya seperti kayu untuk bentuk pintu dan besi untuk bentuk kapak.

 

Mereka.berkata, dalil kalian yang dengannya kalian menetapkan pencipta berkonsekuensi bahwa alam ini adalah qadim.

 

Kami menjawab, “Kita tak memerlukan bahan, sebaliknya kami katakan, pencipta membuat segala sesuatu tanpa contoh sebelumnya, kami mengetahui bahwa bentuk dan potret yang berubah-rubah pada jasad seperti bentuk lemari, tidak memiliki bahan, namun pembentuknya bisa membentuknya dan memang harus ada pihak yang membentuknya, kami telah memperlihatkan bentuk kepada kalian, ia adalah sesuatu yang datang bukan dari sesuatu, sementara kalian tidak mungkin menghadirkan kepada kami sebuah ciptaan tanpa pencipta.

 

Talbis Iblis atas Pemuja Tabiat

 

Penulis berkata, “Tatkala Iblis melihat bahwa pengikutnya dalam pengingkaran terhadap Khalik tidak banyak, karena akal membuktikan bahwa sesuatu yang diciptakan mengharuskan adanya pencipta yang mampu, maka dia berkata, ‘Tidak ada sesuatu yang diciptakan kecuali ia diciptakan dari hasil pengumpulan empat tabiat padanya, ini menujukkan bahwa keempat unsur tersebutlah yang berbuat.’”

 

Untuk menjawabnya, kami katakan bahwa berkumpulnya empat unsur tabiat menunjukkan keberadaannya bukan menunjukkan perbuatannya, kemudian sudah terbukti bahwa tabiat-tabiat tidak berbuat kecuali pada saat ia berkumpul dan bercampur dan hal itu menyelisihi tablatnya, in! membuktikan bahwa ia dikuasai bukan menguasai,

 

Mereka telah menerima bahwa ia tidak hidup, tidak mengetahui, tidak berkuasa. sudah dimaklumi bahwa perbuatan yang teratur dan tertata hanya bisa dilakukan oleh pihak yang mengetahui lagi bijaksana, maka bagaimana mungkin yang tidak berkuasa dan tidak mengetahui bisa berbuat?

 

Talbis Iblis atas Pengingkar Kebangkitan

 

Penulis berkata, Iblis telah meracuni banyak orang sehingga mereka mengingkari kebangkitan, mereka menganggap kebangkitan sesudah kehancuran adalah sesuatu yang sangat jauh. Iblis menegakkan dua syubhat bagi mereka:

 

– Pertama: Dia memperlihatkan kelemahan bahan penciptaan kepada mereka.

 

– Kedua: Bersatunya bagian-bagian anggota tubuh yang telah ber- serakan di dasar bumi. ‘ Mereka mengatakan, “Hewan terkadang memangsa hewan, bagaimana mungkin bisa dihidupkan kembali?

 

Al-Qur’an telah menyebutkan syubhat mereka, Allah berfirrnan untuk perkara yang pertama:

 

“Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)? Jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan kepada kamu itu,” (QS. al-Mukminun: 35).

 

Allah berfirman, untuk perkara yang kedua:

 

‘Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru.” (QS. as-Sajdah: 10).

 

Ini adalah madzhab mayorits orang-orang jahiliyah. Salah seorang dari mereka berkata:

 

Rasul mengabarkan kepada kami bahwa kami akan hidup kembali

Bagaimana mungkin bagtan-bagian tubuh yang telah usang dan rusak bisa hidup?

 

Dan yang lain berkata, yaitu Abu al-Ala~ al-Ma’arri:

 

Hidup kemudian mati kemudian kebangkitan

Hanyalah kata-kata khurafat wahai Ummu Amru.

 

Jawaban atas syubhat mereka yang pertama: Lemahnya bahan pada yang kedua yaitu tanah tertolak dengan kenyataan bahwa awal manusia adalah dari setetes air, lalu sequmpal darah lalu seonggok daging.

 

Kemudian asal-usul manusia yaitu Adam adalah tanah. Perlu diketahui bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu yang bagus kecuali dari bahan yang rendah. Dia menghidupkan manusia dari setetes air hina, membuat cendrawasih dari telur yang rusak dan pohon yang hijau dari biji yang berbau. Semestinya pandangan diarahkan kepada kekuatan dan kodrat pelaku bukan kepada lemahnya bahan.

 

Dengan melihat kepada kodratNya maka jawaban terhadap syubhat kedua didapatkan.

 

Kemudian kita menyaksikan sebuah contoh bagaimana terkumpulnya bahan-bahan yang tercerai berai, butiran-butiran emas yang terserak berantakan di tanah yang banyak, bila sedikit air raksa dituangkan kepadanya, maka serpihan-serpihan emas itu akan menyatu, lalu bagaimana dengan kodrat llahi yang di antara bukti pengaruhnya adalah menciptakan segala sesuatu bukan dari sesuatu?!

 

Dengan asumsi kita mampu merubah tanah menjadi sesuatu yakg jasad akan berubah menjadi sesuatu itu, niscaya ia tidak terwujud dengan sendirinya, karena manusia dengan jiwanya bukan badannya, sebab badannya berubah-ubah, bisa menjadi kurus, bisa menjadi gemuk, dari kecil kemudian membesar sementara dia tetaplah dia.

 

Di antara bukti yang paling menakjubkan atas adanya kebangkitan adalah apa yang Allah perlihatkan melalui para nabiNya, yang mana ia lebih agung dari pada kebangkitan, bagaimana sebatang tongkat berubah menjadi ular yang hidup, bagaimana Allah mengeluarkan seekor unta dari batu pejal, sebagaimana Allah telah memperlihatkan hakikat kebangkitan melalui Isa dengan memberinya kemampuan untuk menghidupkan orang yang telah mati, dan menyembuhkan orang buta serta orang berpenyakit putih dengan izin Allah.

 

Awal Mula Penyembahan Berhala

 

Iblis telah mengacaukan sebagian orang yang telah menyaksikan kodrat Khalik, kemudian mereka dihadang oleh dua syubhat yang telah kami sebutkan di atas, maka mereka pun mengalami kebimbangan dalam urusan kebangkitan. Salah seorang dari mereka berkata:

 

“Dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu.” (QS. al-Kahfi: 36).

 

Al-Ash bin Wa‘ il berkata:

 

“Pasti aku akan diberi harta dan anak.” (QS. Maryam: 77).”?

 

Mereka berkata demikian karena kebimbangan yang ada pada mereka. Iblis telah mengacaukan mereka dalam hal ini, maka mereka berkata, “Bila memang ada kebangkitan, maka kami tetap di atas kebaikan, karena Allah yang telah memberikan harta kepada kami di dunia tidak akan menghalanginya dari kami di akhirat.”

 

Penulis berkata, bahwa ini adalah kesalahan dari mereka, karena mengapa sebuah pemberian di dunia tidak boleh bersifat istidraj atau menjadi sebuah hukuman? Sedangkan manusia terkadang menjaga anaknya, namun melepaskan budaknya dalam syahwat.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang yang Meyakini Reinkarnasi

 

Penulis berkata, “Iblis telah mengacaukan sebagian orang sehingga mereka meyakini akidah reinkarnasi, bila arwah orang-orang baik keluar, maka ia akan masuk ke jasad-jasad yang baik lalu ia beristirahat padanya dengan tenang, bila arwah orang-orang jahat keluar, maka ia akan masuk ke jasad-jasad yang jahat sehingga ia harus memikul kesengsaraan. ”

 

Madzhab ini telah lahir pada zaman Fir’aun Musa.

 

Abu al-Qasim al-Balkhi menyebutkan bahwa tatkala orang-orang yang meyakini akidah reinkarnasi melihat penderitaan anak-anak, binatang buas dan hewan-hewan lainnya, maka mereka memandang mustahil bila penderitaan mereka menimpa orang lain atau tergantikan atau bukan karena sebuah makna yang lebih dari sekedar bahwa ia dimiliki, itu berarti menurut mereka bahwa hal itu karena dosa-dosa masa lalu yang mereka lakukan sebelumnya.

 

Saya katakan, “Lihatlah kepada pengacauan yang disusun oleh Iblis terhadap mangsanya, tanpa bersandar kepada sesuatu apa pun.”

 

Dari Abu al-Hasan Ali bin Nazhif al-Mutakallim berkata, “Seorang syaikh dari sekte Imamiyah ikut hadir bersama kami di Baghdad, syaikh tersebut dikenal dengan nama Abu Bakar al-Fallas, dia berkisah kepada kami bahwa dia datang kepada seseorang yang dia kenal beraliran Syi’ah, kemudian dia meyakini akidah reinkarnasi. Syaikh itu berkata, ‘Aku melihat Jaki-laki itu duduk di depan seekor kucing hitam, dia mengelus-elusnya, dia menggaruk-garuk di antara kedua matanya, aku melihat kucing itu meneteskan air mata sebagaimana kucing-kucing pada umumnya, sementara laki-laki itu menangis dengan kerasnya. Aku bertanya kepadanya, ‘Mengapa kamu menangis?’? Dia menjawab, ‘Celaka dirimu, apakah kamu tidak melihat kucing ini, setiap kali aku mengelusnya, ia pasti menangis. Kucing ini adalah reinkarnasi dari ibuku tanpa ragu lagi, ia menangis karena ia melihatku dalam keadaan bersedih.’”

 

Dia berkata, “Lalu laki-laki itu mulai berbicara kepada kucing seolaholah kucing ita memahami perkataannya, padahal kucing itu hanya berteriak, ‘Meong, meong.’ Maka aku berkata kepadanya, ‘Apakah kucing ini mengerti apa yang kamu katakan kepadanya?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Maka aku berkata kepadanya, ‘Apakah kamu memahami teriakan kucing ini?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Maka aku berkata kepadanya, ‘Kucing ini adalah manusia, sedangkan arwah ibumu reinkarnasi pada dirimu!!’”

 

Talbis Iblis atas Umat ini dalam Akidah dan Agama

 

Penulis berkata, Iblis menyusup ke dalam akidah umat ini melalui dua jalan.

 

– Pertama: Taklid kepada leluhur dan nenek moyang.

 

– Kedua: Masuk ke dalam perkara yang kedalamannya tidak bisa diukur, siapa yang terjun ke dalamnya tidak berhasil mengetahui kedalamannya. Maka Iblis menjerumuskan orang-orang seperti int ke berbagai bentuk kerancuan.

 

Untuk yang pertama, Iblis menggoda para mudqallidin dengan menyatakan kepada mereka bahwa dalil-dalil mungkin tidak jelas, kebenaran bisa jadi samar, sementara taklid adalah jalan yang selamat, tidak sedikit manusia yang tersesat di jalan ini, ia menjadi sebab celakanya kebanyakan orang, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani bertaklid kepada nenek moyang dan para ulama mereka maka mereka pun tersesat, demikian halnya dengan orang-orang jahiliyah.

 

Ketahuilah bahwa alasan yang karenanya mereka menyanjung taklid justru membuat taklid dicela karenanya, karena bila dalil-dalil mungkin tidak jelas dan kebenaran bisa jadi samar, maka seharusnya taklid dibuang agar tidak menjerumuskan ke dalam kesesatan.

 

Allah telah mencela orang-orang selalu bertaklid kepada leluhur dan nenek moyang. Dia berfirman:

 

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata, Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?’” (QS. az-Zukhruf: 23-24). Maknanya, apakah kamu akan tetap mengikuti mereka?

 

Allah berfirman:

 

“Karena sesungguhnya mereka mendapati bapak-bapak mereka dalam keadaan sesat. Lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jejak orang-orang tua mereka itu.” (QS. ash-Shaffat: 69-70).

 

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa orang yang bertaklid tidak meyakini kebenaran apa yang ditaklidnya. Taklid menyia-nyiakan fungsi akal, karena akal diciptakan untuk merenung dan tadabbur, dan sangat buruk bagi seseorang yang diberi obor agar dia bisa melihat sekelilingnya namun dia jusmi memadamkannya dan berjalan dalam kegelapan!!

 

Ketahuilah bahwa para pengikut madzhab-madzhab secara umum mengagungkan seseorang, mereka mengikuti perkataannya tanpa merenungkannya, padahal ini adalah inti dari kesesatan itu sendiri, karena pertimbangan sepatutnya diarahkan kepada perkataan bukan kepada siapa yang berkata. Harits bin Hauth berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Apakah engkau mengira bahwa kami menyangka bahwa Thalhah dan az-Zubair di atas kebatilan?” Ali menjawab, “Wahai Harits, perkaranya menjadi kacau bagimu, sesunqquhnya kebenaran itu tidak diketahui melalui orang, akan tetapi kenalilah kebenaran niscaya kamu akan mengetahui ahlinya.”

 

Ahmad bin Hanbai berkata, “Di antara tanda sempitnya ilmu seseorang adalah bahwa dia bertaklid kepada orang lain dalam keyakinannya.”

 

Bila ada yang berkata, “Orang-orang awam tidak mengetahui dalil, maka bagaimana mereka tidak bertaklid?”

 

Kami menjawab, bahwa dalil akidah jelas sebagaimana telah kami isyaratkan saat kami menyinggung orang-orang Dahriyin, hal seperti itu tidaklah samar bagi orang berakal. Adapun perkara furu’ maka karena kejadian-kejadiannya berjumlah banyak, tidak mudah bagi orang awam untuk mengetahuinya, resiko kekeliruan padanya cukup terbuka lebar, maka yang lebih baik untuk dilakukan oleh orang awam adalah bertaklid kepada orang yang telah mencermati dan mengkaji, ijtihad orang awam adalah dalam memilih siapa yang akan dia ikuti.

 

Penulis berkata, adapun jalan kedua, maka tatkala Iblis berhasil menguasai orang-orang bodoh, dan menjerumuskan mereka ke dalam kubangan taklid, serta menggiring mereka seperti hewan ternak, dia melihat orang-orang yang memiliki kepandaian dan kecerdasan, maka dia mulai menggoda mereka sebatas dominasinya atas mereka. Di antara mereka ada yang digoda oleh Iblis agar memandang sikap stagnan di atas taklid adalah sikap yang buruk, maka Iblis mengajaknya merenung dan berpikir. Selanjutnya Iblis menyesatkan masing-masing dari mereka dengan caranya sendiri.

 

Di antara mereka ada yang diperlihatkan oleh Iblis bahwa menerima zhahir syariat adalah kelemahan, maka Iblis menyeret mereka ke dalam madzhab ahli filsafat, Iblis terus membujuk mereka hingga dia berhasil mengeluarkan mereka dari Islam.

 

Di antaia mereka ada yang dibujulk oleh Iblis agar tidak meyakini kecuali apa yang dapat diketahui oleh Inderanya saja.

 

Maka kepada mereka dikatakan, “Apakah dengan inder kalian mengetahui keshahihan ucapan kalian?” Bila mereka menjawab, ‘Ya’, maka mereka telah menyombongkan diri, sebab indera kami tidak – mengetahui apa yang mereka ucapkan, karena apa yang diketahui oleh indera tidak akan diperselisihkan, bila mereka menjawab, ‘Bukan dengan indera’. maka mereka menghancurkan ucapan mereka sendiri.

 

Di antara mereka ada yang dijauhkan oleh Iblis dari taklid, namun Iblis berhasil membuatnya memandang baik berbicara dalam ilmu kalam, dan mengkaji kehidupan para ahli filsafat, dengan anggapan bisa keluar dari lingkaran orang-orang awam.

 

Hasil Akhir Ahli Kalam Adalah Kebimbangan dan Kegoncangan Keadaan ahli kalam bermacam-macam, ilmu kalam telah membawa kebanyakan dari mereka kepada keragu-raguan, bahkan sebagian dari mereka menjadi atheis, sedangkan para fuqaha’ terdahulu dari umat ini tidak berbicara di bidang ilmu kalam bukan karena mereka tidak tahu, sebaliknya mereka tahu bahwa ia tidak mengangkat kehausan orang yang haus, sebaliknya ia membuat orang sehat sakit, maka mereka menahan diri darinya dan melarang terjun masuk ke dalamnya, hingga asy-Syafi’i berkata, “Seandainya seorang hamba diuji dengan segala dosa yang dilarang oleh Allah kecuali syirik, masih lebih baik baginya daripada dia belajar ilmu kalam.” Asy-Syafi’i juga berkata, “Bila kamu mendengar seseorang berkata, ‘Nama adalah pemilik nama atau bukan pemilik nama.’ Maka saksikanlah bahwa dia termasuk ahli kalam, dan tidak ada agama baginya.” Asy-Syafi’i juga berkata, “Ketetapanku atas ulama ahli kalam adalah hendaknya mereka dicambuk dengan pelepah, dibawa berkeliling di kampung dan kabilah seraya diumumkan, ‘Ini adalah balasan bagi siapa yang meninggalkan al-Qur’an dan sunnah dan menyibukkan diri dengan ilmu kalam.”

 

Ahmad bin Hanbal berkata, “Ahli kalam tidak akan pernah beruntung selamanya, ulama ilmu kalam adalah orang-orang zindiq.”

 

Saya berkata, “Bagaimana ilmu kalam tidak tercela sementara ia telah membawa Mu’tazilah untuk menyatakan, ‘Sesungguhnya Allah mengetahui segala perkara secara global dan tidak mengetahui perinciannya.”

 

dahm bin Shafwan berkata, “IImu Allah dan kodratNya serta hidupNya adalah muhdats.”

 

Abu Muhammad an-Nubakhti menukil dari Jahm bahwa dia berkata, “Sesungguhnya Allah bukanlah sesuatu.”

 

Abu Ali al-Jubba’i, Abu Hasyim dan orang-orang yang mengikuti keduanya dari kalangan orang-orang Bashrah berkata, “Sesuatu yang tidak ada adalah sesuatu, dzat, jiwa, jauhar, putih, kuning dan merah. Sesungguhnya Allah tidak kuasa menjadikan sebuah dzat sebagai dzat, sifat sebagai sifat, jauhar sebagai jauhar, akan tetapi Dia hanya mampu mengeluarkan dzat dari tidak ada menjadi ada.”

 

Qadhi Abu Ya’la menyebutkan dalam Kitab al-Muqtabas, beliau berkata, bahwa al-Allaf al-Mu’tazili berkata kepadaku, “Sungguh kenikmatan penghuni surga dan adzab penghuni neraka adalah suatu perkara yang tidak disifatkan oleh Allah mampu menolaknya, dalam kondisi tersebut tidak sah berharap atau takut kepadanya, karena dalam keadaan itu Allah tidak berkuasa atas kebaikan dan keburukan, tidak kuasa atas manfaat dan mudharat.”

 

Dia berkata, “Penghuni surga akhirnya menjadi diam dan beku, mereka tidak mengucapkan satu kata pun, tidak bergerak, mereka dan Rabb mereka sama sekali tidak kuasa melakukan sedikit pun dari hal itu, karena semua kejadian pasti mempunyai batas akhir yang sesudahnya tidak ada sesuatu apapun.”

 

Mahatinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan setinggi-tingginya.

 

Saya berkata, “Abu al-Qasim Abdullah bin Ahmad bin Muhammad al-Balkhi menyebutkan dalam Kitab al-Maqalat bahwa Abu al-Hudazail yang bernama Muhammad bin al-Hudzail al-Allaf mempunyai pendapat tersendiri, dia berkata, “Gerakan penghuni surga akan berakhir, kemudian mereka menjadi diam selamanya.”

 

Dia berkata, “Sesungguhnya ilmu Allah adalah Allah, sesungguhnya kodrat Allah adalah Allah.”

 

Abu Hasyim berkata, “Barangsiapa bertaubat dari segala dosa namun dia pernah meneguk seteguk khamr maka dia diadzab dengan adzab orang kafir selamanya.”

 

An-Nazhzham berkata, “Sesungguhnya Allah tidak berkuasa atas sedikit pun dari keburukan, sementara Iblis berkuasa atas kebaikan dan keburukan.”

 

Hisvam al-Fauthi berkata, “Sesunaquhnya Allah tidak disifati bahwa dia Maha Mengetahui dan senantiasa demikian ”

 

Sebagian Mu’tazilah berkata, “Boleh-boleh saja Allah berdusta, sekalipun Dia tidak akan berdusta.”

 

Aliran Mujbirah berkata, “Manusia tidak mempunyai daya dan kekuatan sama sekali. Sebaliknya, ia sama halnya benda mati, tidak mempunyai pilihan dan wewenang untuk berbuat.”

 

Murji’ah berkata, “Barangsiapa mengikrarkan dua kalimat syahadat lalu dia melakukan segala kemaksiatan, maka dia tidak masuk neraka sama sekali.” .

 

Mereka menyelisihi hadits-hadits shahih yang menetapkan bahwa ahli tauhid yang bermaksiat akan masuk neraka kemudian dikeluarkan darinya.

 

Ibnu Aqil berkata, “Tidak aneh bila peletak akidah Murji‘ah adalah seorang laki-laki zindiq, karena kebaikan alam semesta Ini adalah dengan menetapkan ancaman siksa dan meyakini adanya balasan terhadap amal perbuatan. Manakala Murji’ah tidak bisa memungkiri adanya sang pencipta, sebab hal itu akan menuai tudingan miring dari masyarakat sekaligus bersebrangan dengan akal sehat, maka mereka menggugurkan faidah penetapan, yaitu rasa takut dan sikap muraqgabah, dan mereka merobohkan kaidah syariat, maka mereka adalah aliran terburuk atas Islam.”

 

Saya katakan, bahwa Abu. Abdullah bin Karram telah-datang dan dia memilih madzhab paling buruk, memilih hadits paling dhaif, dia cenderung kepada akidah tasybih, membolehkan keberadaan makhluk pada Dzat ar-Rabb. Dia berkata, “Sesungguhnya Allah tidak kuasa untuk mengembalikan jasad dan jauhar, Dia hanya mampu menciptakannya dari awal.”

 

Salimiyah berkata, “Sesungquhnya Allah menampakkan diriNya di hari Kiamat untuk segala sesuatu dalam wujudnya, manusia melihatNya dalam wujud manusia, dan jin melihatNya dalam wujud jin.”

 

Mereka berkata, “Allah memihki rahasia, seandainya Dia membatalkannya niscaya pengaturan akan batal.”

 

Saya berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari pertimbangan-pertimbangan dan ilmu-ilmu yang menyeret kepada madzhab-madzhab yang buruk ini.”

 

Ahli kalam berpendapat bahwa iman seseorang tidak sempurna kecuali dengan mengetahui apa yang mereka susun. Mereka keliru karena Rasulullah memerintahkan manusia agar beriman dan tidak memerintahkan mereka agar melakukan kajian seperti yang dilakukan oleh ahli kalam, para sahabat di mana peletak syariat mengakui mereka sebagai manusia terbaik berjalan di atas jalan Rasulullah.

 

Ilmu kalam telah dicela oleh para ulama sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.

 

Taubat para ulama ahli kalam dari apa yang mereka pegqang selama ini telah dinukil kepada kami, karena mereka telah melihat akibat buruk dari ilmu kalam.

 

Ahmad bin Sinan berkata, “Al-Walid bin Aban al-Karabisi yang merupakan pamanku, tatkala ajal hendak menjemputnya, dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apakah kalian mengetahui seseorang yang lebih mengetahui ilmu kalam dari diriku?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Dia bertanya, ‘Kalian mempercayaiku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Sesungquhnya aku hendak berpesan kepada kalian, maukah kalian menerimanya?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berpeganglah kalian kepada apa yang dipegang oleh ahli hadits, sesungguhnya aku melihat kebenaran bersama mereka.’”

 

Abu al-Ma’ali al-Juwaini berkata, “Aku telah bergaul dengan ulamaulama Islam dan mendalami ilmu-ilmu mereka, aku menyelami laut paling besar, aku masuk ke dalam apa yang mereka larang, semua itu demi mencari kebenaran dan menghindari taklid, namun sekarang, aku meninggalkan semua itu kepada kalimatul haq, kalian harus berpegang kepada agama orang-orang lemah, bila Allah yang Mahahagq tidak melimpahkan kebaikanNya kepadaku sehingga aku bisa mati di atas agama orang-orang lemah dan menutup akhir kehidupanku dari dunia ini dengan kalimat ikhlas, maka celakalah Ibnul Juwaini.”

 

Dia berkata kepada rekan-rekannya, “Wahai kawan-kawan, janganlah kalian menyibukkan diri dengan ilmu kalam, seandainya dulu aku Mengetahui bahwa ilmu kalam membawaku kepada apa yang aku alami, saat ini niscaya aku tidak menyibukkan diri dengannya.”

 

Abu al-Wafa’ Ibnu Adil berkata kepada sebagian rekannya, “Aku yakin bahwa para sahabat mati sementara mereka tidak mengetahui jauhar dan, ‘radh, bila kamu rela seperti mereka maka silakan, bila kamu melihat, bahwa jalan hidup ahli kalam lebih patut daripada jalan Abu Bakar dan Umar maka pendapatmu itu adalah seburuk-buruk pendapat.”

 

Dia berkata, “Ilmu kalam telah menyeret pemiliknya kepada kebim, bangan, tidak sedikit dari mereka yang terjerumus ke dalam ilhag (atheisme), bau ilhad bisa terendus dari lontaran kata-kata ahli kalam bangkal perkara mereka adalah karena mereka tidak menerima apa yang ditetapkan oleh syariat, maka mereka berusaha mencari hakikat, padahal akal tidak memiliki kekuatan untuk menguak hikmah yang ada di sisi Allah yang Dia sembunyikan dari makhlukNya, di samping Allah tidal, mengeluarkan semua ilmuNya yang Dia ketahuinya kepada makhluk, Nya.”

 

Dia berkata, “Aku dulu selalu melakukan kajian mendalam sepanjang umurku, namun akhirnya aku kembali ke belakang kepada madzhah kitab-kitab.”

 

Mereka berkata bahwa madzhab orang-orang lemah lebih selamat, karena saat mereka sampai di puncak kajian mendalam, mereka tidak menyaksikan penalaran-penalaran dan takwil-takwil yang dinafikan oleh akal, maka mereka kembali ke riil syariat, dan meninggalkan usaha mencari hikmah di balik segala peristiwa, dan akal mereka pun akhirnya tunduk dan mengakui bahwa di atasnya ada hikmah Ilahiyah, maka ia pun berserah diri.

 

Talbis Iblis atas Umat dalam Perkara Akidah ; Ada orang-orang yang terpaku pada hal-hal yang nampak saja, mereka membawanya kepada tuntutan indera, sebagian dari mereka mengatakan, bahwa Allah berjasad. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan.

 

Ini adalah madzhab Hisyam bin al-Hakam, Ali bin Manshur,

 

Muhammad bin al-Khalil dan Yunus bin Abdurrahman. Kemudian mereka berbeda pendapat, sebagian dari mereka berkata, ) ‘Jasad seperti jasad-jasad lainnya.” Di antara mereka ada yang berkata, “Bukan seperti jasad-jasad lainnya.”

 

Kemudian mereka berbeda pendapat, di antara mereka ada yang perkata. “Nur (cahaya).” Di antara mereka ada yang berkata, “Dia dalam pentuk kristal putih.”

 

Demikian yang diucapkan oleh Hisyam bin al-Hakam.

 

Dia berkata. “Sesungguhnya Rabb itu adalah tujuh jengkal dengan jengkalnya sendiri.”

 

Mahatinggi Allah dari apa yang dia ucapkan setinggi-tingginya.

 

Penulis berkata, pendapatnya tersebut berkonsekuensi bahwa Allah memiliki bagaimana, dan hal itu menghancurkan akidah tauhid, sudah dimaklumi bahwa bagaimana hanya dipunyai oleh sesuatu yang memiliki jenis dan padanan selanjutnya ia dipisahkan dan dibedakan dari padanannya, padahal Allah yang Mahahaq tidak mempunyai padanan dan sekutu.

 

Tidakkah Anda melihat bagaimana orang-orang itu menetapkan sifat gidam bagi Allah bukan bagi manusia, lalu mengapa menurut mereka Allah tidak boleh sakit atau rusak sedangkan hal itu boleh bagi manusia?

 

Kemudian dikatakan kepadamu, “Siapa yang berpendapat bahwa Allah berjasad, dengan dalil apa dia menetapkan bahwa jasad itu hadits? Maka dengan itu dia menunjukkanmu bahwa Ilah adalah apa yang kamu yakini sebagai jasad yang hadits bukan qadim.

 

Di antara ucapan Mujassimah, “Sesungguhnya Allah bisa disentuh dan diraba.” Maka dikatakan kepada mereka, jadi menurut pendapat kalian, Dia bisa disentuh, diraba dan dirangkul.

 

Sebagian dari mereka mengatakan, bahwa Allah adalah jasad, Dia adalah ruang hampa di mana semua jasad ada padanya.

 

Bayan bin Sam’an berpendapat bahwa sesembahannya adalah cahaya seluruhnya, bahwa dia berwujud manusia, bahwa dia membinasakan semua bagian tubuhnya kecuali wajahnya. Kemudian Khalid bin Abdullah memancungnya.

 

Al-Mughirah bin Sa’ad al-Ijliy berkeyakinan bahwa sesembahannya adalah seorang laki-laki dari cahaya, bermahkota cahaya, dia memiliki anggota-anggota tubuh dan hati yang memancarkan hikmah, dan anggota-anggotanya dalam bentuk huruf hijaiyah.

 

Zurarah bin Ayan berkata, “Dia bukanlah Dzat yang Mahakuasa, Mahahidup dan Maha Mengetahui di zaman azali sehingga Dia mencip, takan sifat sifat tersebut baqi diriNya.”

 

Mahatinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan.

 

Di antara pendapat Zhahirivah yang paling mengherankan adalah ucapan Salimiyah, “Sesungguhnya mayit di dalam kubur makan, minum dan menikah.” Mereka berkata demikian karena mereka mendengar bahwa mavit di dalam kubur mendapatkan kenikmatan dan mereka tidak mengetahui kenikmatan kecuali itu. Seandainya mereka menerima apa yang terdapat dalam hadits-hadits yang menyatakan bahwa arwah orang. orang beriman ditempatkan di dalam perut burung yang makan darj pohon-pohon surga niscaya mereka akan selamat, akan tetapi mereka menisbatkan hal itu kepada jasad.

 

Ibnu Aqil berkata, “Madzhab ini mengandung penyakit yang setara dengan keyakinan jahiliyah, yaitu perasaan terhadap kehadiran mayit qj antara mereka dan apa yang mereka ucapkan terkait dengan jasad mayit sesudah kematiannya. Berbicara dengan mereka patut dilakukan dengan lemah lembut untuk membatalkan keyakinan mereka, bukan dalam konteks berdebat, karena konfrontasi yang tegas justru bisa merusak mereka. Iblis mengacaukan mereka karena mereka tidak berusaha mencari takwil yang sesuai dengan dalil-dalil syara’ dan akal, bila syariat menetapkan kenikmatan dan adzab bagi mayit, maka patut diketahuj bahwa penisbatan nikmat dan adzab diarahkan kepada jasad dan kubur, karena itulah yang dipahami dan diketahui, seolah-olah syariat berkata, bahwa penghuni kubur ini dan ruh yang ada pada jasad ini diberi nikmat dengan nikmat surga atau disiksa dengan siksa neraka.

 

Jalan Keselamatan Darinya

 

Penulis berkata, “Bila ada yang berkata, ‘Anda telah mencela metode ahli taklid dalam perkara ushul dan metode ahli kalam, lantas manakah metode yang selamat dari talbis Iblis?’

 

Kami menjawab, bahwa jalan yang selamat ada pada jalan yang dilalui oleh Rasulullah dan para sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dan mereka adalah salaf shalih, yang mana mereka menetapkan Khalik, menetapkan sifat-sifatNya sebagaimana yang ditetapkan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits tanpa tafsir, tanpa mencaricari apa yang berada di luar kesangqupan manusia, bahwa al-’Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, bahwa kami tidak melampaui batas kandungan ayat-ayat, kami tidak berbicara dalam masalah ini dengan akal kami. Ahmad bin Hanbal melarang seseorang berkata, “Lafazhku dengan al-Qur’an adalah makhluk atau bukan makhluk.” agar yang bersangkutan tidak keluar dari jalan ittiba’ salaf kepada bid’ah.

 

Dari Ja’far bin Barqan bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata kepada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya tentang hawa nafsu, “PegangJah agama anak-anak di halaqah kuttab dan orang Arab pedalaman, dan tinggallah selain keduanya.”

 

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Bila kamu melihat orang-orang yang berbisik-bisik dalam urusan agama mereka dan tidak mau memperlihatkannya kepada kaum muslimin maka ketahuilah bahwa mereka sedang membangun kesesatan.””

 

Umar menulis kepada sebagian pegawainya, “Aku berwasiat kepadamu agar bertakwa kepada Allah, mengikuti sunnah Rasulullah, meninggalkan perkara yang diada-adakan oleh para pengada-ada sesudahnya padahal tanggung jawabnya sudah dicukupkan dari mereka. Ketahuilah bahwa barangsiapa meletakkan sunnah-sunnah telah mengetahui apa yang tersembunyi di belakangnya berupa kekeliruan, kesalahan dan sikap berlebih-lebihan, sesungguhnya orang-orang terdahulu yang sudah berlalu berhenti di atas ilmu dan menahan diri mereka dengan pandangan yang tajam.”

 

Dalam riwayat lainnya dari Umar, “Sesungguhnya mereka lebih kuat dalam menguak segala perkara, tidak ada yang mengada-adakan sesudah mereka kecuali orang-orang yang mengambil jalan selain jalan mereka dan membenci jalan mereka. Sebagian orang meremehkan mereka sehingga tidak mengikuti mereka, dan sebagian lain merasa lebih pandai dari mereka sehingga melampaui jalan mereka.”

 

Talbis Iblis atas Khawarij

 

Penulis berkata, “Orang Khawarij pertama dan yang paling buruk adalah Dzul Khuwaishirah.”

 

Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, bahwa Ali mengirimkan beberapa keping emas dari Yaman kepada Rasulullah dalam selembar kulit yang disamak yang belum dibersihkan dari debunya, maka Rasulullah membagi-bagikannya di antara empat orang: Zaid al-Khail, al-Aqra’ bin habis, Uyainah bin Hishn dan Alqamah bin Ulatsah atau Amir bin ath. Thufail, -Umarah ragu-, maka sebagian shahabat Rasulullah, orang-orang Anshar dan lainnya tidak menerima pembagian ini, maka Rasulullah bersabda, “Mengapa kalian tidak percaya kepadaku padahal aku adalah orang kepercayaan Allah yang di langit, berita langit datang kepadaky pagi dan sore hari?”

 

Kemudian Nabi didatangi oleh seorang laki-laki yang kedua matanya cekung, kedua pipinya menonjol, dahinya menonjol, berjanggut lebat, menyingsingkan kain sarung dan mencukur habis kepalanya, dia berkata, “Ya Rasulullah, bertakwalah kepada Allah.” Maka Nabi mengangkat kepalanya kepadanya, beliau bersabda, “Bukanlah orang yang Paling berhak untuk bertakwa kepada Allah adalah aku?” Kemudian laki-laki ity pergi, Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal lehernya!” Rasulullah menjawab, “Mungkin dia masih shalat.” Khalid berkata, “Ter. kadang ada orang yang shalat mengucapkan dengan lisannya apa yang tidak ada dalam hatinya.” Maka Rasulullah #8 bersabda, “Sesungguhnyq aku tidak diperintahkan untuk membongkar hati manusia dan membelah perut mereka.” Kemudian Nabi memandangnya saat dia berpaling, “Akan keluar dari asal-usul orang ini suatu kaum yang membaca al Quran, namun tidak melewati kerongkongan mereka, mereka melesat dari agama layaknya anak panah melesat dari sasararmya.”

 

Penulis berkata bahwa laki-laki tersebut bernama Dzul Khuwaishirah at-Tamimi, dia adalah orang Khawarij pertama yang muncul dalam Islam, penyakit orang ini adalah bahwa dia mengagumi pendapat dirinya, seandainya dia mau berhenti niscaya dia akan tahu bahwa tidak ada pendapat di hadapan keputusan Rasulullah, sedangkan para pengikut orang ini adalah orang-orang yang memerangi Ali bin Abi Thalib.

 

Mereka memiliki cerita yang panjang, madzhab yang aneh bin ajaib, saya tidak memandang perlu menyebutkannya, karena maksud buku ini adalah mengkaji tipu muslihat Iblis dan talbisnya atas orang-orang dungu tersebut, orang-orang yang mengamalkan realita mereka, meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib salah, dan orang-orang Muhajirin dan Anshar yang persama Ali juga salah, sedangkan yang benar adalah mereka, mereka pun menghalalkan darah anak-anak, di saat yang sama mereka tidak menghalalkan buah tanpa harganya, mereka melelahkan diri mereka dalam ibadah, tidak tidur malam, namun di siang hari menghunus senjata di depan kaum muslimin.

 

Tidak mengherankan bila mereka meyakini kebenaran ilmu dan akidah mereka, karena mereka memandang diri mereka lebih mengetahui dari Ali bin Abi Thalib. Dzul Khuwaishirah pernah berkata kepada Rasulullah “Berlaku adillah karena engkau tidak berbuat adil!”

 

Padahal Iblis sendiri tidak mengetahui cara penghinaan seperti yang diketahui orang ini. Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan ini.

 

Dari Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda:

 

“Akan keluar suatu kaum di antara kalian, kalian memandang remeh shalat kalian bila dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian bila dibandingkan dengan puasa mereka, amal perbuatan kalian bila dibandingkan dengan amal perbuatan mereka, mereka membaca al-Qur’an namun tidak melampaui kerongkongan mereka, mereka terlepas dari agama layaknya anak panah meleset dari sasarannya.”

 

Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Dari Abdullah bin Abu Aufa berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Khawarij adalah anjing-anjing penghuni neraka.’”

 

Akidah Khawarij

 

Penulis mengatakan, bahwa di antara keyakinan Khawarij ialah bahwa imamah (kepemimpinan) tidak khusus bagi seseorang kecuali bila yang bersangkutan menyatukan ilmu dan zuhud, dan bila keduanya berkumpul pada diri seseorang maka dia adalah pemimpin sekalipun dia adalah orang rendahan.

 

Bertolak dari pendapat Khawarij ini, Mu’tazilah menetapkan kaidah baik dan buruk berdasarkan akal semata dan bahwa keadilan adalah apa yang menjadi konsekuensi akal.

 

Kemudian lahir Qadariyah di zaman para shahabat, hadir Ma’bad al. Juhani, Ghailan ad-Dimasyqi dan al-Ja’ad bin Dirham menyeru kepada akidah qadar, lalu jalan Ma’bad al-Juhani diikuti oleh Washil bin Atha yang kemudian disusul oleh Amru bin Ubaid.

 

Di zaman tersebut lahir akidah Murji’ah saat mereka berkata, “Kemak. siatan tidak berdampak buruk terhadap iman, sebagaimana ketaatan tidak berguna bersama kekufuran.”

 

Kemudian Mu’tazilah seperti Abu al-Hudzail al-Allaf, an-Nazhzham, Ma’mar dan al-Jahizh mulai menelaah buku-buku filsafat di zaman al. Ma’mun, dan mereka mengeluarkan dari buku-buku tersebut pemikiran-pemikiran yang mereka campur dengan ajaran-ajaran syariat seperti kata jauhar, aradh, zaman, tempat dan keberadaan.

 

Masalah pertama yang mereka perlihatkan adalah akidah bahwa al. Qur’an makhluk.

 

Sesudah masalah al-Qur’an makhluk, muncullah masalah-masalah sifat seperti ilmu, kodrat, hayat, pendengaran dan penglihatan.

 

Sebagian orang berkata, bahwa ia adalah makna-maka lebih darj dzat. Sementara Mu’tazilah menafikannya, mereka berkata, “Allah ‘Alim (mengetahui) karena dzatNya, Qadir (berkuasa) karena dzatNya.”

 

Abu al-Hasan al-Asy’ari sempat semadzhab dengan al-Jubba’i, kemudian dia memisahkan diri darinya dan bergabung dengan orang-orang yang menetapkan sifat. Kemudian sebagian orang-orang yang menetapkan sifat mulai meyakini akidah tasybih dan menetapkan perpindahan dalam masalah nuzul.

 

Allah membimbing kepada apa yang Dia kehendaki.

 

Talbis Iblis atas Rafidhah

 

Penulis berkata. “Sebagaimana Iblis telah mengacaukan pemikiran orang-orang Khawarij sehingga mereka berani memerangi Ali bin Abi Thalib. Iblis juga berhasil menyeret sebagian orang untuk mencintai Ali secara berlebih-lebihan dan melampaui batas, di antara mereka ada yang berkeyakinan bahwa Ali adalah Tuhan. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Ali lebih mulia daripada para nabi. Di antara mereka ada yang dengan alasan mencintai Ali, mencaci maki Abu Bakar dan Umar dan masih banyak lagi keyakinan-keyakinan buruk yang bila disebutkan akan membuang-buang waktu saja, maka kami hanya menyinggung sebagian darinya.”

 

Al-Khathib berkata, “Saya menerima sebuah buku milik Abu Muhammad al-Hasan bin Yahya al-Nubakhti yang dia tulis dalam rangka membantah kelompok-kelompok ekstrim keras, an-Nubakhti ini termasuk ahli kalam dari kalangan Syi’ah Imamiyah, dia menyebutkan berbagai macam pendapat kelompok ekstrim keras, hingga dia berkata, ‘Di antara orang yang terseret oleh sikap gila berlebih-lebihan di zaman ini adalah Ishaq bin Muhammad yang dikenal dengan al-Ahmar, laki-laki ini beranggapan bahwa Ali adalah Allah, bahwa dia muncul setiap waktu, di satu waktu dia adalah al-Hasan, di lain waktu dia adalah al-Husain, dialah yang mengutus Muhammad.’”

 

Saya berkata, sebagian kalangan Rafidhah berkeyakinan bahwa Abu Bakar dan Umar adalah dua orang kafir.

 

Sebagian dari mereka ada yang berkata, bahwa Abu Bakar dan Umar murtad sepeninggal Rasulullah.

 

Di antara mereka ada yang berlepas diri dari selain Alli.

 

Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Syi’ah meminta Zaid bin Ali agar berlepas diri dari siapa yang menyelisihi Ali dalam imamahnya, namun Zaid menolaknya, maka mereka, menolak sikapnya, maka mereka disebut dengan Rafidhah.

 

Di antara mereka ada orang-orang yang berkata. bahwa imamah adalah hak Musa bin Ja‘far kemudian putranya Ali kemudian Muhammad bin Ali kemudian Ali bin Muhammad kemudian al-Hasan bin Muhammad al-Askari kemudian anaknya, dialah imam kedua belas, imam yang dinanti-nantikan. mereka meyakininya belum mati, dia akan kembali qj akhir zaman lalu memenuhi bumi dengan keadilan.

 

Abu Manshur al-ljli mengaku waktu menunggu Muhammad bin Ay al-Baqir, dia meyakini Muhammad sebagai khalifah, bahwa dia diangkat ke langit lalu Allah mengusapkan tanganNya ke kepalanya. Dia juga beranggapan bahwa ia adalah pertolongan awan yang jatuh dari langit.

 

Di antara sekte Rafidhah adalah yang bernama al-Janahiyah, mereka adalah murid-murid Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’fay Dzil Janahain, mereka berkata, “Sesungguhnya ruh Tuhan berkeliling dj tulang sulbi para nabi dan para wali hingga ia sampai pada Abdullah, dan dia belum mati, dialah pemimpin yang dinantikan.

 

Di antara mereka ada sekte yang bernama al-Ghurabiyah, mereka berkeyakinan bahwa Ali memiliki bagian dari kenabian.

 

Di antara mereka ada sekte yang bernama al-Mufawwidhah, mereka berkata, “Allah menciptakan Muhammad kemudian fawwadha, menye. rahkan penciptaan alam kepadanya.”

 

Di antara mereka ada sekte yang bernama adz-Dzamamiyah, mereka mencela Jibril, mereka berkata, ‘“Jibril diperintahkan untuk memberikan wahyu kepada Ali, tetapi dia malah memberikannya kepada Muhammad.”

 

Ibnu Adil berkata, “Yang nampak adalah bahwa siapa yang meletak. kan madzhab Rafidhah dengan bertujuan untuk menggugat dasar agama dan kenabian, hal itu karena perkara yang dibawa oleh Rasulullah adalah perkara ghaib bagi kita, dalam hal ini kita hanya percaya kepada nukilan salaf dan kebaikan pandangan orang-orang yang mengkaji dari mereka dalam hal ini.”

 

Penulis berkata, “Cinta Rafidhah kepada Ali yang berlebih-lebihan membuat mereka membikin hadits-hadits dalam jumlah besar yang menetapkan keutamaan-keutamaannya, padahal kebanyakan darihya justru menghina dan mencela Ali. Saya telah menyebutkan sebagian darinya dalam kitab al-Maudhu’’at.’

 

Di antara hadits-hadits palsu tersebut adalah hadits yang menyatakan bahwa matahari telah terbenam padahal Ali belum shalat Ashar, maka matahari dikembalikan lagi hingga Ali shalat Ashar.

 

Dari sisi naql, hadits ini maudhu’ ‘tidak diriwayatkan oleh rawi tsiqah. dari sisi makna, waktu shalat sudah berlalu, kembalinya matahari berarti ja terbit kembali, sehingga tidak mengembalikan waktu.

 

Mereka juga memuat hadits yang berkata bahwa Fatimah mandi kemudian mati, dan dia berwasiat bahwa mandinya itu sudah mencukupi.

 

Dari sisi naql, ini merupakan kedustaan, dari sisi makna tidak ada pemahaman, karena mandi jenazah dengan sebab kematian, lantas bagaimana mungkin mandi sebelumnya bisa mencukupinya?!

 

Kemudian mereka memiliki keyakinan-keyakinan khurafat tanpa berpijak kepada dasar apa pun, mereka juga memiliki madzhab-madzhab dalam fikih dan khurafat-khurafat yang menyelisihi ijma’.

 

Saya menukil sebagian darinya dari tulisan Ibnu Aqil, beliau berkata,

 

“Saya menukilnya dari Kitab Murtadha ‘Fi ma Infaradat bihil Imamiyah’, di antaranya: .

 

Tidak boleh sujud di atas sesuatu yang bukan tanah, tidak pula ter-masuk tanaman bumi. Adapun wol, kulit dan bulu maka tidak.

 

Istijmar dari kencing tidak sah, ia hanya khusus dari berak.

 

Tidak sah mengusap kepala kecuali,dengan sisa air yang ada di tangan, bila orang yang berwudhu mengambil air baru lalu mengusap kepalanya dengannya maka ia tidak sah, seandainya dia mengeringkan tangannya, maka dia harus mengulang wudhunya dari awal.

 

Bila ada seorang wanita bersuami yang berzina dengan seorang laki-laki, maka laki-laki tersebut tidak’ boleh menikahinya selamanya sekali pun suami wanita itu sudah mentalaknya, wanita itu tidak halal selamanya untuk laki-laki yang pernah menzinahinya walaupun dengan pernikahan.

 

HALAMAN 70

 

aku melewati beberapa orang dan rekan-rekanmu, mereka membicarakan Abu Bakar dan Umar dengan sesuatu yang tidak patut bagi keduanya, seandainya mereka melihat bahwa dirimu menyembunyikan untuk keduanya seperti apa yang mereka nampakkan niscaya mereka tidak berani melakukan hal itu.’”

 

Ali berkata, “Aku berlindung kepada Allah, aku berlindung kepada Allah, aku tidak menyembunyikan dari keduanya kecuali apa yang diamanatkan oleh Nabi kepadaku. Allah melaknat siapa yang menyempunyikan keburukan terhadap keduanya. Keduanya adalah saudara Rasulullah dan shahabat beliau serta pendukung beliau, semoga Allah merahmati keduanya.”

 

Kemudian Ali bangkit, dia menangis hingga kedua matanya meneteskan air mata seraya memegang tanganku, lalu dia masuk masjid dan naik mimbar. Dia duduk di atasnya dengan mantap sembari memegang jenggotnya yang putih. Dia memandang ke jenggotnya, hingga orang-orang berkumpul, kemudian dia berdiri seraya mengucapkan syahadat, lalu menyampaikan khutbah yang singkat namun mendalam, kemudian dia berkata, “Mengapa ada orang-orang yang menyebut dua pemuka Quraisy dan dua bapak kaum muslimin dengan sesuatu yang aku bersih darinya dan aku juga berlepas diri dari apa yang mereka ucapkan. Demi Allah yang telah memecah bijin-bijian dan menciptakan manusia, tidaklah mencintai keduanya selain mukmin yang bertakwa, dan tidak membenci keduanya kecuali fajir yang sengsara. Keduanya menjadi shahabat Rasulullah dengan penuh kejujuran dan kesetiaan, keduanya memeriniahkan, melarang, marah dan menghukum, dalam semua itu mereka sama sekali tidak melampaui apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasulullah juga tidak berpendapat dengan pendapat selain pendapat keduanya, beliau tidak mencintai seseorang seperti beliau mencintai keduanya. Rasulullah wafat sementara beliau ridha kepada mereka berdua, keduanya wafat sementara orang-orang beriman ridha kepada mereka berdua.

 

Rasulullah memerintahkannya (Abu Bakar) agar menjadi imam bagi orang-orang beriman dalam shalat, maka dia shalat menjadi imam mereka selama sembilan hari saat beliau masih hidup. Manakala Allah memanggil nabiNya, memilih apa yang ada di sisiNya baginya, orang-orang beriman menyerahkan kepemimpinan umat kepadanya, menyerahkan urusan zakat kepadanya, kemudian mereka membaiatnya dengan penuh ketaatan tanpa keterpaksaan, aku adalah orang yang memulainya dari kalangan Bani Abdul Mutthalib, sementara dia sendiri tidak menyukai hal itu, dia berharap ada orang lain dari kami yang mencukupkannya Demi Allah, dia adalah orang terbaik dari yang tersisa, paling belas kasih, paling lembut, paling besar sikap bersih hatinya, paling besar umur dar, Islamnya, berjalan di atas jalan Rasulullah sehingga dia wafat di atag itu. Semoga Allah merahmatinya.

 

Kemudian kepemimpinan umat dipegang oleh Umar aku termasuk orang-orang yang ridha kepada kepemimpinannya, dia menegakkan agama di atas manhaj Rasulullah dan sahabatnya, dia mengikuti jejak mereka berdua seperti anak unta mengikuti jejak kaki induknya. Dia demi Allah adalah orang yang lembut dan penuh kasih kepada orang, orang lemah, penolong orang-orang teraniaya atas orang-orang yang menganiaya, di jalan Allah dia tidak takut celaan orang-orang yang mencela. Allah menetapkan kebenaran melalui lisannya, dia menetap, kan kejujuran sebagai dasar hidupnya, sampai kami menyangka bahwa malaikat berbicara melalui lisannya, Allah memuliakan Islam dengan keislamannya, menjadikan hijrahnya pilar penopang agama, mMenanam. kan ketakutan di hati orang-orang munafik karenanya, sebaliknya di hati orang-orang beriman adalah kasih sayang, dan dia adalah orang yang keras lagi tegas terhadap musuh.

 

Kalian tidak memiliki lagi orang seperti keduanya, semoga Allah merahmati mereka berdua dan membimbing kita untuk mengikuti jalan mereka berdua. Barangsiapa mencintaiku maka hendaknya dia mencintaj keduanya. Barangsiapa tidak mencintai keduanya maka dia telah mem. benciku dan aku berlepas diri darinya. Seandainya aku menghukum kalian terkait dengan kata-kata kalian terhadap keduanya niscaya aku menetapkan hukuman paling keras dalam hal ini. ketahuilah, barangsiapa dibawa kepadaku sesudah hari ini, dan dia mengucapkan hal yang tidak patut terkait dengan keduanya maka hukumannya adalah hukuman pendusta.

 

Ketahuilah bahwa orang terbaik dalam umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakar dan Umar, kemudian Allah lebih mengetahui di mana kebaikan itu berada.

 

Aku mengucapkan kata-kataku ini dan memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian.

 

Ali -semoga Allah memuliakan wajahnyaberkata, “Akan muncul di akhir zaman orang-orang yang gemar mencela bernama Rafidhah. mereka mengaku termasuk golongan kami padahal mereka bukanlah termasuk golongan kami, ciri-ciri mereka adalah bahwa mereka mencaci maki Abu Bakar dan Umar. Di mana pun kalian menemui mereka maka bunuhlah mereka dengan pembunuhan yang sangat keras, karena mereka adalah orang-orang musyrik.”

 

Talbis Iblis atas Bathiniyah

 

Penulis mengatakan bahwa Bathiniyah adalah orang-orang yang berkedok Islam namun sejatinya mereka adalah pendukung Rafidhah, akidah-akidah dan amal-amal mereka sangat berlawanan dengan Islam, jnti akidah mereka adalah mengingkari pencipta, membatalkan kenabian dan ibadah, serta mengingkari kebangkitan.

 

Mereka tidak menampakkan akidah-akidah tersebut dari awal, sebaliknya mereka berpura-pura meyakini bahwa Allah adalah haq, bahwa Muhammad adalah utusan Allah, bahwa Islam adalah agama yang benar, namun mereka menambahkan bahwa di balik itu ada rahasia yang tak nampak.

 

Iblis telah mempermainkan mereka dengan dahsyatnya, Iblis membuat mereka meyakini kebaikan pendapat-pendapat yang buruk. Mereka mempunyai delapan nama.

 

Nama pertama adalah Bathiniyah.

 

Mereka dinamakan demikian karena mereka mengklaim bahwa zhahir al-Qur’an dan hadits mempunyai sisi-sisi batin, di mana ia dibandingkan dengan yang zhahir adalah seperti intisari di balik kulit, bentuknya bagi orang-orang bodoh terasa jelas, namun bagi orang-orang berakal ia hanyalah rumus-rumus dan isyarat-isyarat kepada hakikat-hakikat yang -samar, bahwa barangsiapa mengosongkan akalnya dengan tidak menggunakannya untuk menyelami hal-hal yang samar, rahasia-rahasia, perkara-perkara bathin dan hikmah-hikmah yang mendalam, dan dia rela kepada hal-hal zhahir, maka dia di bawah kungkungan beban-beban syariat, barangsiapa naik ke derajat ilmu batin, maka ia terbebas dari beban taklif dan bisa beristirahat dari himpitannya.

 

Mereka berkata, bahwa mereka adalah orang-orang yang dimaksud oleh firman Allah:

 

“Dan membuang dari mereka beban-bebon dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (QS. al-A’raf: 157)

 

Maksud mereka adalah mencongkel akidah yang meryadi tuntutan zhahir sehingga mereka mampu dengan Kaim sisi batin berkuasa untuk membatalkan syariat.

 

Nama Kedua Adalah ismailiyah.

 

Mereka dinasabkan kepada pemimpin mereka yang bernama Muhammad bm Ismail bin Ja‘far. Mereka meyakini bahwa giliran khilafah sampai di tangannya, karena dia adalah orang ketujuh, mereka berdali) bahwa langit adalah tujuh, bumi adalah tujuh, hari-hari adalah tujuh, dan hal ini menunjukkan giliran pemimpin ada pada orang ketujuh.

 

Abu Ja ‘far ath-Thabari berkata dalam Tarikhnya, Ali bin Muhammad berkata dari bapaknya, “Seorang laki-laki dari Rawandiyah bernama alAbiaq. dia berpenyakit sopak, lalu dia menangis di ketinggian, dia mengundang Rawandiyah kepadanya, dia beranggapan bahwa ruh yang ada pada Isa putra Maryam berpindah kepada Ali bin Abu Thalib, kemudian pada para imam satu demi satu sampai kepada Ibrahim bin Muhammad.”

 

Mereka adalah orang-orang yang menghalalkan hal-hal yang haram, seorang laki-laki dari mereka mengundang beberapa orang laki-laki ke rumahnya, memberi mereka makan, minum dan mempersilakan mereka untuk menggauli istrinya. Hal ini sampai kepada Asad bin Abdullah, maka dia menangkap mereka, menyalib dan mernbunuh mereka, semua akidah mereka masih bersama mereka sampai hari ini.

 

Mereka naik ke atas pohon lalu mereka menjatuhkan dirl mereka dari sana seolah-olah mereka terbang, maka tidaklah mereka sampai dij tanah, mereka sampai mampus. Sebagian dari mereka keluar dengan menghunuskan senjata kepada kaurn muslimin, mereka berteriak, “Wahai Abu Ja’far! Engkau! Engkau.”?

 

Nama Ketiga Adalah Sab’ iyah.

 

Mereka disebut demikian karena dua perkara:

 

Pertama: Giliran imamah adalah tujuh tujuh sebagaimana telah kami jelaskan. Bila imamah sampai ke orang yang ke tujuh, maka Itu adalah akhir giliran, itulah yang dimaksud dengan Kiamat, bahwa pergantian giliran ini tidak memiliki akhir.

 

Kedua: Karena mereka berkata, bahwa pengaturan alam bawah ada di tangan tujuh bintang, yaitu Zuhal kemudian Musytari kemudian Mirrikh kemudian Zuhrah kemudian matahari kemudian Atharid kemudian rembulan.

 

Nama Keempat Adalah Babakiyah.

 

Penulis berkata, “Ini adalah nama sekte dari mereka, mereka mengikuti seorang laki-laki yang bernama Baba al-Khurrami, dia termasuk Bathiniyah, asal-usulnya adalah bahwa dia anak zina, dia muncul di sebuah pegunungan di daerah Azerbaijan tahun 201 H, dan diikuti oleh banyak orang, urusan mereka membesar, mereka menghalalkan hal-hal yang dilarang agama, bila dia mengetahui ada seseorang yang mempunyai anak perempuan atau saudara perempuan yang cantik, maka dia memintanya, bila walinya mengirimkannya kepadanya, bila tidak, maka dia akan membunuh walinya dan merampasnya dengan paksa, dia berbuat demikian selama dua puluh tahun, dan dia membunuh sebanyak delapan puluh ribu orang. Ada yang berkata lima puluh ribu lima ratus orang.

 

Pemimpin memeranginya, namun dia berhasil mengalahkan pasukan negara, hingga al-Mu’tashim mengirimkan Ifsyin untuk memeranginya, laki-laki berhasil menangkap Babak dan saudaranya pada tahun 223 H. Manakala keduanya dibawa kepada al-Mu’tashim, saudara Babak berkata kepada Babak, “Babak, kamu telah melakukan apa yang tidak dilakukan oleh siapa pun, maka bersabarlah sekarang dengan kesabaran yang tidak diperlihatkan oleh siapa pun.” Dia menjawab, “Kamu akan melihat kesabaranku.”

 

Kemudian al-Mu’tashim memerintahkan agar kedua tangan dan kedua kakinya dipotong, tatkala semua itu dipotong, dia mengusapkan darah ke wajahnya, maka al-Mu’tashim berkata, “Kamu adalah orang pemberani, lalu mengapa kamu mengusap wajahmu dengan darah? Apakah kamu takut mati?” Dia menjawab, “Tidak, tetapi saat kedua tangan dan kedua kakiku dipotong, darah mengucur dengan derasnya, maka aku takut ada yang berkata tentangku bahwa wajahmu pucat karena takut mati hingga Orang-orang pun menyangka demikian, maka aku menutupi wajahku dengan darah agar hal itu tak terlihat di wajahku.”

 

Kemudian lehernya dipancung, lalu dibakar, dan saudaranya juga dihukum dengan hukuman yang sama, keduanya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan, keluhan dan rintihan, Allah melaknat kedunya. Di antara mereka masih ada sisa-sisa. Ada yang mengatakan, bahwa mereka mempunyai satu malam dalam setahun, kaum laki-laki dan wanita mereka berkumpul di sebuah tempat, mereka memadamkan lampu kemudian kaum laki-laki berburu kaum wanita, setiap laki-laki menangkap seorang wanita, siapa yang mendapatkan seorang wanita maka dia halal baginya karena ia adalah buruannya dan berburu adalah mubah.

 

Nama Kelima Adalah Muhammirah.

 

Penulis berkata, bahwa mereka dinamakan demikian karena mencelup baju mereka dengan warna ahmar (merah) di zaman Babak dan mereka memakainya.

 

Nama Keenam Adalah Qaramitah.

 

Penulis berkata, bahwa sebab mereka dinamakan demikian menurut ahli sejarah terdapat dua pendapat:

 

> Pertama: Bahwa ada seorang laki-laki dari daerah Khuzistan datang ke Kufah, dia menampakkan zuhud, dia menyeru untuk membaiat seorang imam dari keluarga Rasulullah, dia tinggal pada seorang laki-laki yang bernama Kurmitah, dijuluki demikian karena kedua matanya merah, dengan bahasa Nabathiyah ia bermakna orang yang tajam kedua matanya. Gubernur daerah itu menangkapnya dan memenjarakannya, lalu dia meninggalkan kunci penjara di bawah kepalanya dan dia tidur, seorang pelayan perempuan pun merasa kasihan kepadanya, maka dia mengambil kunci dan membuka penjara dan mengeluarkannya darinya lalu mengembalikan kunci ke tempatnya semula, manakala dia dicari, dia tidak ditermukan, maka orang-orang terfitnah olehnya, dia keluar ke Syam maka dia dinamakan dengan Karmitah, nama orang di mana dia pernah tinggal padanya, kemudian diringankan, maka dikatakan Qurmuth, kemudian kedudukannya diwarisi oleh keluarganya dan anak-anaknya.

 

> Kedua: Mereka dinamakan demikian karena dinisbatkan kepada Hamdan Qurmuth, dia salah seorang da’i mereka di awal gerakan, beberapa orang merespon ajakannya, maka mereka dinamakan dengan Qaramithah dan Qurmuthiyah.

 

Laki-laki ini dari Kufah, dia cenderung kepada zuhud, dia bertemu dengan salah seorang da’i Bathiniyah yang sedang pergi ke sebuah desa sementara dia menggiring beberapa ekor sapi. Hamdan berkata kepada da’i tersebut sementara dia tidak mengetahuinya, “Hendak ke mana Anda?” Laki-laki itu menyebutkan tujuannya, yvaitu desa Hamdan. Hamdan berkata kepadanya, “Kendarailah seekor sapi ini agar engkau tidak lelah.”, Dia menjawab, “Aku tidak diperintahkan untukitu.” Hamdan berkata, “Sepertinyva Anda tidak melakukan kecuali dengan perintah?” Dia menjawab, “Ya.” Hamdan bertanya, “Dengan perintah siapa Anda beramal?” Dia menjawab, “Dengan perintah pemilik diriku, dirimu serta pemilik dunia dan akhirat.” Hamdan berkata, “Kalau begitu, Dia adalah Rabbul alamin.” Dia menjawab, “Tidak salah.” Hamdan bertanya kepadanya, “Lalu apa tujuanmu datang ke desa yang hendak kamu datangi?” Dia menjawab, “Aku diperintahkan untuk mengajak penduduknya dari kebodohan kepada ilmu, dan dari kesesatan kepada petunjuk, serta dari kesengsaraan kepada kebahagiaan, aku hendak mengentaskan mereka dari belenggu kehinaan dan kemiskinan dan membuat mereka berkecukupan sehingga mereka tak perlu lagi bekerja dengan susah payah.” Maka Hamdan berkata, “Entaskanlah aku semoga Allah mengentaskanmu. Berikanlah ilmu kepadaku yang bisa menghidupkanku, karena aku sangat memerlukan apa yvang engkau ucapkan.” Dia menjawab, “Aku tidak diperintahkan mengeluarkan rahasia yang tersimpan kepada siapa pun kecuali sesudah ada kepercayaan dan perjanjian.” Hamdan berkata, “Katakanlah perjanjianmu, aku sanggup memegangnya.”’ Maka dia berkata, “Berikanlah janji dan sumpah dengan nama Allah untukku dan untuk imam agar kamu tidak mengeluarkan rahasia imam yang aku sampaikan kepadamu dan tidak pula rahasiaku.”

 

Maka Hamdan menyanggupi, kemudian da’i tersebut mulai mengajarkan berbagai disiplin kebodohan kepada Hamdan, hingga dia berhasil membujuknya dan merespon ajakannya, kemudian Hamdan mulai menyebarkan kebodohannya hingga dia menjadi pondasi utama dari bid’ah ini, maka orang-orang yang mengikutinya disebut dengan Qaramithah dan Qurmuthiyah.

 

Kedudukan Hamdan diwarisi oleh anak-anaknya, yanq paling bengis dari mereka adalah Abu Sa’id, dia muncul di tahun 286 H, dia mempunyai kekuatan, membunuh kaum muslimin dalam jumlah yang tak terhingga, menghancurkan masjid-masjid, membakar mushaf-mushaf, merampok jamaah haji, dia membuat ajaran-ajaran untuk keluarga dan orang-orangnya, mengabarkan kepada mereka hal-hal yang mustahil, bila dia berperang, dia berkata, “Aku dijanjikan  kemenangan saat ini.” Saat laki-Iaki ini mati, di atas kuburnya dibangun sebuah kubah, di bagian kepalanya dibuat patung burung, mereka berkata, “Bila burung ini terbang maka Abu Sa’id akan bangun dari kuburnya.” Mereka meletakkan di atas kuburnya seekor kuda, setumpuk pakaian dan senjata.

 

Iblis telah membisiki jamaah ini dengan keyakinan, bahwa barangsiapa mati sementara di atas kuburnya diletakkan seekor kuda, maka dia akan dibangkitkan dengan berkendara, bila dia tak punya kuda maka dia dibangkitkan dengan berjalan kaki.

 

Bila mereka menyebut nama Abu Sa’id, mereka bershalawa atasnya, sedangkan mereka tidak mau bershalawat atas Rasulullah. Bila mereka mendengar orang-orang bershalawat kepada Rasulullah, mereka berkata, “Kalian makan rizki Abu Sa’id, namun kalian ber, shalawat kepada Abu al-Qasim!”

 

Abu Sa’id digantikan oleh anaknya Thahir sesudahnya, dia mela, kukan apa yang dilakukan oleh bapaknya, dia menyerang Ka’bah, merampas kekayaan yang ada di sana, mencongkel Hajar Aswad dan membawanya pulang ke negerinya, dia mengelabuhi manusia bahwa . dirinya adalah Allah.

 

Nama Ketujuh Adalah Khurramiyah.

 

Kata Khurram adalah kata Ajam yang mengisyaratkan sesuatu yang nikmat dan lezat yang disukai oleh manusia.

 

Maksud dari nama ini adalah mengajak manusia untuk mengikut kelezatan, memenuhi hasrat syahwat bagaimana caranya, melipat tikar taklif, dan menggugurkan beban syariat dari manusia. Nama inj adalah gelar bagi Mazdakiyah, mereka adalah orang-orang permisif darj Majusi yang muncul di masa kekuasaan Qubadz, mereka menghalalkan wanita mahram, menghalalkan segala hal yang dilarang, maka mereka dinamakan dengan nama ini karena mereka menyerupai mereka di akhir keyakinan walaupun berbeda di awalnya.

 

Nama Kedelapan Adalah Ta’limiyah.

 

Mereka dinamakan demikian karena dasar madzhab mereka adalah membatalkan akal, merusak peranan akal, dan mengajak orang-orang belajar kepada imam ma’shum, dan bahwa ilmu tidak diketahui kecuali dengan ta’lim.

 

Sebab Bathiniyah Terjerumus ke Dalam Kesesatan

 

Ketahuilah bahwa mereka ingin berlepas diri dari agama, maka mereka meminta pendapat beberapa kalangan Majusi, Mazdakiyah, Tsanawiyah dan para filosof mulhid dalam upaya mencari cara yang bisa meringankan mereka dari cengkeraman cakar orang-orang yang beragama atas mereka, hingga mereka mampu membisukan mereka dengan apa yang mereka yakini berupa pengingkaran terhadap pencipta, pendustaan terhadap . para rasul, dan pengingkaran terhadap kebangkitan. Mereka berkeyakinan bahwa para nabi adalah orang-orang yang mendustakan kebenaran yang berpura-pura mienerimanya. Mereka melihat agama Muhammad telah menyebar di penjuru bumi, dan mereka merasa tak sanggup menghadapinya, sehingga mereka mengatakan, bahwa yang bisa kita Jakukan adalah mencabut akidah satu kelompok yang ada dalam tubuh mereka, yang paling cerdas akalnya, paling tajam pendapatnya, dan yang paling bisa mempercayai dengan hal-hal mustahil dan membenarkan kebohongan-kebohongan, dan mereka adalah orang-orang Rafidhah. Maka kita bisa bersembunyi di balik baju mereka, mencari muka kepada mereka dengan menampakkan kesedihan atas kehinaan dan kezhaliman yang menimpa keluarga Muhammad, dengan itu kita bisa mencaci maki orang-orang terdahulu yang membawa syariat kepada mereka. Bila nama para pembawa syariat itu telah jatuh di mata mereka, maka mereka tidak lagi memandang apa yang mereka bawa, dengan begitu kita bisa menyeret mereka sedikit demi sedikit untuk berlepas diri dari agama. Bila di antara mereka masih ada yang berpegang kepada hal-hal yang zhahir dari al-Qur’an dan hadits, maka kita akan mengelabuhinya bahwa halhal yang zhahir tersebut memiliki rahasia-rahasia dan batin-batin. Maka barangsiapa yang tertipu oleh hal yang zhahir, berarti dia adalah orang bodoh, karena kecerdikan adalah dengan meyakini hal yang batinnya. Kemudian kita menyebarkan akidah kita kepada mereka, dan kita katakan kepada mereka bahwa ia adalah yang dimaksud oleh hal-hal yang zhahir menutut kalian, bila kita sudah kuat dengan dukungan mereka, maka akan mudah bagi kita menyeret aliran lainnya.

 

Kemudian mereka berkata, “Jalan kami adalah memilih seorang laki-laki yang mau: mendukung madzhab kami dan mengaku dari kalangan ahli bait Kasulullah, dan semua manusia wajib mengikutinya, serta mematuhinya, karena dia adalah khalifah Rasulullah yang terjaga dari kesalahan dan kekeliruan dari sisi Allah. Kemudian hendaknya dakwah ini tidak terlihat dekat dengan yang di sekitar khalifah, yang kami anggap ma’shum, karena ketetanggaan bisa membuka rahasia. Adapun bila jarak dan letak antara dakwah dan imam berjauhan, maka siapa yang merespon dakwah ini tidak akan bisa membuka kedok imam tersebut atau mengetahui jatidirinya yang sebenarnya.

 

Tujuan mereka di balik semua ini adalah kekuasaan, menguasaj harta manusia dan membalas dendam terhadap mereka, karena mereka beranggapan bahwa sebelum ini manusia telah menumpahkan darah mereka dan merampas harta mereka. Ini lah tujuan utama mereka dan dasar ajaran mereka.

 

Tipu Daya Bathiniyah

 

Penulis berkata, “Mereka mempunyai tipu musli hat dalam mengajak manusia. Mereka membedakan antara orang yang bisa diseret ke dalam lingkaran madzhab mereka dengan orang yang sulit. Bila mereka melihat peluang pada seseorang, maka mereka melihat tabiatnya.

 

Bila dia cenderung kepada zuhud, maka mereka mengajaknya kepada amanat, kejujuran dan meninggalkan syahwat.

 

Bila dia cenderung kepada kehidupan permisif, maka mereka akan mendakwahinya bahwa ibadah merupakan kedunquan, dan kebersihan hati merupakan kebodohan, sebaliknya kecerdikan terletak pada mengikuti hawa nafsu di dunia yang fana ini.

 

Mereka menetapkan pada setiap madzhab apa yang layak untuk madzhab tersebut, kemudian menanamkan keragu-raguan pada apa yang mereka yakini. Sedangkan yang merespon dakwah mereka adalah orang yang dungu atau seseorang dari kalangan kerajaan serta anak-anak penguasa Majusi yang mana kekuasaan nenek moyangnya runtuh oleh munculnya negara Islam, atau seorang laki-laki yang bernafsu kepada kekuasaan namun zaman tidak mendukungnya, maka mereka menjanjikan terwujudnya impian baginya atau seorang laki-laki yang berhasrat meraih derajat lebih tinggi dari kalangan orang-orang awam, dan dia ingin mencari serta membuka hakikat perkara atau laki-laki berakidah Rafidhah yang agamanya adalah mencaci maki para shahabat, atau juga laki-laki atheis dari kalangan ahli filsafat dan Tsanawiyah yang bingung tentang agama, atau laki-laki yang dikungkung oleh cinta hawa nafsu dan merasa terbebani atas adanya taklif.

 

Berapa banyak orang zindiq yang dalam hatinya bercokol kebencian kepada Islam, dia muncul lalu memiliki kekuatan, dia menghiasi slogan-slogan batil yang dia cekokkan kepada orang-orang yang mempercayainya, sementara akidah yang tersembunyi dalam hatinya adalah melepaskan diri dari beban agama, dan berusaha mewujudkan nafsu syahwat serta membolehkan hal-hal yang diharamkan.

 

Di antara mereka ada yang tidak mau meninggalkan kekeliruannya, maka dia kehilangan dunia dan akhirat seperti Ibnu ar-Rawandi.

 

Ali bin al-Muhassin at-Tanukhi berkata, “Ibnu ar-Rawandi adalah rekan ’ karib orang-orang Rafidhah dan orang-orang mulhid, bila dia dikritik, dia menjawab, ‘Aku hanya ingin mengenal madzhab-madzhab mereka.’ Kemudian dia membuka kedok kejelekannya dan membantah!!

 

Penulis berkata, “Barangsiapa mencermati keadaan ar-Rawandi ini, maka dia akan melihatnya tergolong tokoh orang-orang atheis, dia menulis buku yang diberi nama ad-Damigh, dia menyatakan bahwa dengan bukunya ini dia membela syariat, Mahasuci Allah yang membinasakannya, Dia mencabut nyawanya saat dia di puncak kepemudaan. Laki-laki ini menyanggah al-Qur’an, mengklaim adanya kontradiksi dalam alQuran, tidak fasih, padahal dia mengetahui bahwa orang-orang fasih Arab tercengang saat mendengarnya, lalu bagaimana dengan orang yang tidak fasih?

 

Zaman tak pernah sepi dari orang-orang yang meneruskan akidah ‘ mereka, hanya saja api kekuatan mereka mulai redup, segala puji bagi Allah, hingga tidak tersisa kecuali orang Bathini dan ahli filsafat yang bersembunyi, padahal dia adalah orang yang paling bodoh, paling rendah kedudukannya dan paling busuk kehidupannya.

 

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa Iblis masuk kepada manusia P untuk mengacaukan mereka melalui berbagai jalan. Di antaranya adalah jalan yang perkaranya jelas, namun manusia dikuasai untuk lebih mementingkan hawa nafsunya, sehingga dia menutup mata dari ilmu yang memudahkannya. Di antaranya juga adalah jalan yang samar, dan ini yang tidak diketahui oleh banyak ulama!

 

Kami akan menjelaskan berbagai bentuk talbis Iblis, yang mana hal tersebut bisa dijadikan petunjuk atas yang tak tersebut, karena memaparkan semua jalan talbis Iblis memerlukan waktu yang panjang. Dan Allah adalah penjaga.

 

Talbis Iblis atas Para Qari

 

Di antaranya adalah menyibukkan sebagian dari mereka dengan giraat yang syadz hingga dia mempelajarinya, menghabiskan kebanyakan hidupnya untuk mengumpulkannya, menyusunnya dan mengajarkannya, hingga hal itu menyibukkannya dari ilmu tentang kewajiban-kewajiban agama. Bisa jadi Anda melihat seorang imam masjid mengajarkan gira‘ at namun dia sama sekali tidak mengetahui apa yang membatalkan shalat, dan terkadang keinginannya untuk terkenal agar tidak terlihat bodoh di mata manusia mendorongnya untuk duduk di depan para ulama dan mengambil ilmu dari mereka.

 

Seandainya mereka mau berpikir, niscaya mereka akan menyadari bahwa yang dimaksud adalah menghafal al-Qur’an, meluruskan lafazh-lafazhnya, kemudian memahaminya lalu mengamalkannya, dan memperhatikan hal-hal yang memperbaiki jiwa,. serta membersihkan akhlaknya kemudian menyibukkan diri dengan perkara yang penting dari ilmu-ilmu syariat. Termasuk kerugian yang sangat besar menyia-nyiakan umur dalam perkara yang tak penting.

 

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, lalu orang-orang menjadikan tilawahnya sebagai amal.” Maksudnya, mereka hanya membacanya dan tidak mengamalkannya.

 

Di antaranya adalah bahwa salah seorang dari mereka membaca dengan bacaan yang syadz di mihrabnya dan meninggalkan bacaan yang mutawatir lagi masyhur.

 

Padahal yang shahih di kalangan para ulama adalah bahwa shalat tidak sah dengan bacaan yang syadz, namun orang ini bermaksud memperlihatkan sesuatu yang asing dengan tujuan untuk mendapat sanjungan dari manusia dan menqumpulkan mereka di sekelilingnya karena dia terlihat menyibukkan diri dengan al-Qur’an.

 

Di antara mereka ada yang menggabungkan berbagai qira’at, dia membaca, “Malik, Maalik, Mallak… Ini tidak boleh, karena ia mengeluarkan al-Qur’an dari susunannya.

 

Di antara mereka ada yang mengumpulkan ayat-ayat sajadah, bacaanbacaan tahlil dan takbir, padahal semua itu adalah makruh.

 

Mereka menyalakan api dalam jumlah banyak saat mengkhatamkan al-Qur’an, mereka menyatukan antara menyia-nyiakan harta dan menyerupai perbuatan orang-orang Majusi, mengundang ikhtilatnya kaum laki-laki dengan wanita di malam hari yang mengundang kerusakan, sedangkan Iblis memperlihatkan kepada mereka bahwa perbuatan mereka untuk memuliakan Islam.

 

Ini adalah talbis Iblis yang besar, karena memulaikan syariat hanya dengan mengamalkan syariat.

 

Di antaranya adalah bahwa di antara mereka ada yang membolehkan mengklaim qira’at atas nama seseorang, padahal dia sama sekali tidak belajar darinya, dan terkadang dia memiliki ijazah darinya, namun dia berani berkata, “Dia mengabarkan kepadaku,” untuk mengelabuhi. Dia beranggapan bahwa perkaranya dalam masalah ini hampir sama, karena dia meriwayatkan beberapa qira’at, dan menganggap sebagai perbuatan yang baik, sedangkan dia lipa bahwa hal itu adalah dusta dan dia memikul dosa para pendusta.

 

Di antaranya adalah bahwa seorang syaikh qira’ at yang menquasai dua atau tiga muridnya, namun di saat yang sama dia berbincangbincang dengan siapa pun yang datang kepadanya, padahal hati manusia tak akan sanggup melakukan semua ini dalam waktu yang bersamaan, kemudian dia menorehkan tulisannya bahwa dia telah membaca kepada fulan dengan qira’ at fulan.

 

Sebagian ulama ahli tahgqiq berkata, “Tidak mengapa bila dua atau tiga orang murid berkumpul padanya, namun dia hanya menyimak satu orang saja.”

 

Di antaranya adalah bahwa sebagian qari’ berbangga-bangga dalam memperbanyak bacaan. Aku pernah melihat seorang syaikh dari mereka mengumpulkan orang-orang, dan dia menyuruh seorang qari’ untuk membaca di siang hari dalam waktu yang lama, sampai khatam tiga kali. Bila ia tidak bisa menyempurnakannya maka orang-orang akan mencelanya, dan bila dia bisa menyempurnakannya maka orang-orang memujinya, sedangkan orang-orang awam berkumpul menyaksikannya dan menyanjungnya. Iblis telah remperlihatkan kepada mereka bahwa banyaknya bacaan mengandung banyak pahala, padahal ini termasuk talbis Iblis, sebab membaca al-Qur’an haruslah karena Allah bukan untuk mencari pujian, di samping membacanya juga harus pelan-pelan.

 

Allah berfirman:

 

“Agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia.” (QS. al-Isra’: 106).

 

Allah berfirman:

 

“Dan bacalah al-Qur’an itu. dengan perlahan-lahan.” (QS. al-Muzzamil: 4).

 

Di antaranya adalah bahwa sebagian qari’ membuat-buat qira at dengan lagu, dan hingga ia hampir melampaui batas, karena itu Ahmad bin Hanbal dan lainnya membencinya.

 

Asy-Syafi’i berkata, “Tidak mengapa mendengar penuntut unta yang berdendang dan orang Arab pedalaman bernasyid, dan tidak mengapa juga membaca dengan lagu dan membaguskan suara.”

 

Saya berkata, “Asy-Syafi’i berkata demikian seraya mengisyaratkan apa yang terjadi di zamannya. Mereka melagukan namun hanya sedikit. Berbeda dengan hari ini, mereka telah menyeret bacaan kepada nada-nada laqu. Semakin dekat ia dengan nyanyian, semakin meningkat sisi makruhnya, bila al-Qur’an dikeluarkan dari riil bakunya maka hal itu menjadi haram.

 

Di antaranya adalah bahwa sebagian qari’ membolehkan beberapa kesalahan seperti ghibah terhadap rekan, terkadang mereka melakukan dosa yang lebih besar, mereka meyakini bahwa menghafal al-Qur’an menjaga mereka dari siksa, dengan berdalil kepada sabda Nabi:

 

“Barangsiapa menjadikan al-Qur’an dalam sebuah kulit maka ia tak terbakar, “

 

Hal itu termasuk talbis Iblis atas mereka, karena adzab orang yang mengetahui lebih banyak daripada orang yang tidak mengetahui, karena ilmu menguatkan hujjah, dan seorang qari~ yang tidak menghargai apa yang dihafalnya adalah dosa lain.

 

Allah berfirman: 

 

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta?” (QS. ar-Ra’ad: 19).

 

Allah berfirman:

 

“Siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat.” (QS. al-Ahzab: 30).

 

Talbis Iblis atas Ashabul Hadits

 

Di antaranya adalah bahwa sebagian dari mereka menghabiskan umur mereka dalam rangka menyimak hadits, melakukan perjalanan untuk itu, mengumpulkan jalan-jalan periwayatan yang banyak mencari sanad-sanad yang tinggi dan matan-matan yang aneh. Mereka terbagi menjadi . dua:

 

Bagian pertama: Sekelompok orang dari mereka yang bermaksud – menjaga syariat dengan mengetahui hadits yang shahih dari hadits yang ‘ dhaif, dan usaha mereka patut diberi ucapan terima kasih, sayangnya Iblis mengacaukan mereka dengan membuat mereka sibuk dengannya hingga melupakan perkara yang harus dan wajib mereka diketahui, serta bersungguh-sungguh dalam menunaikan apa yang harus ditunaikan dan bertafaqquh dalam agama.

 

Bila ada yang berkata, “Hal ini dilakukan oleh kebanyakan orang dari kalangan salaf seperti Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madini, al-Bukhari dan “Muslim.”

 

Kami menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mengumpulkan antara pengetahuan tentang apa yang penting dari perkara-perkara agama dan pemahaman padanya dengan hadits yang mereka cari. Sedangkan pendeknya sanad dan sedikitnya hadits membantu mereka untuk melakukan hal yang demikian, maka hidup mereka cukup untuk keduanya.”

 

Adapun di zaman ini, maka jalan-jalan periwayatan hadits sudah panjang, tulisan-tulisan padanya luas, maka hanya sedikit orang yang sanggup menyatukan di antara kedua perkara. Anda melihat seorang muhaddits menulis dan mendengar selama lima puluh tahun, mengumpulkan kitab-kitab namun dia tidak mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, padahal seandainya dia mengalami sesuatu dalam shalat niscaya dia membutuhkan jawaban dari sebagian ahli fikih junior yang sama sekali tidak pernah datang kepadanya untuk mendengar hadits darinya.

 

Melalui mereka, orang-orang yang mencela ahli hadits menemukan celah, maka mereka mengatakan, “Orang-orang yang selalu bepergian namun tidak mengetahui apa yang mereka bawa.”

 

Bila salah seorang dari mereka beruntung, dan merenungkan haditsnya, maka terkadang dia mengamalkan hadits yang sudah mansukh, dan terkadang dia memahami hadits seperti apa yang dipahami oleh orang awam yang jahil, lalu dia mengamalkannya, padahal bukan itu yang dimaksud oleh hadits tersebut.

 

Al-Khatthabi berkata, “Sebagian syaikh kami meriwayatkan hadits bahwa Nabi melarang halagah sebelum shalat Jum’at,!!” dengan lam yang disukun, yaitu maknanya adalah mencukur. Dia mengabarkan kepadaku bahwa selama empat puluh tahun dia tidak mencukur rambutnya sebelum shalat Jum’at, maka aku berkata kepadanya, “Yang dimaksud oleh Hadits adalah hilaq jamak dari halaqah. Hadits tersebut memakruhkan berkumpul sebelum shalat untuk ilmu dan mudzakarah, karena ia memerintahkan agar waktu tersebut dipakai untuk shalat dan bersiap-siap menyimak khutbah.” Maka dia berkata, “Engkau telah memudahkan kesulitanku.” Dia termasuk orang-orang shalih.

 

Kami melihat di zaman ini sebagian orang mengumpulkan kitab-kitab, dan banyak mendengar namun tak memahami apa pun.

 

Di antara mereka ada yang tidak menghafal al-Qur’an, dan tidak mengetahui rukun-rukun shalat, mereka menyibukkan diri -menurut pengakuan merekadengan hal-hal yang bersifat fardhu kifayah dan meninggalkan hal-hal yang bersifat fardhu ain, padahal mementingkan apa yang tidak penting.dari apa yang penting termasuk talbis Iblis.

 

Bagian kedua: Orang-orang yang banyak mendengar hadits, namun tujuan mereka tidak shahih, mereka juga tidak bermaksud mengetahui yang shahih dari yang bukan shahih dengari mengumpulkan jalan-jalan periwayatannya, akan tetapi maksud mereka hanya sebatas sanadsanad yang tinggi dan perkara-perkara asing. Mereka berkeliling ke penjuru negeri, hingga salah seorang dari mereka bisa berbangga, “Saya bertemu fulan, saya memiliki sanad-sanad yang tidak dimiliki oleh siapa pun, dan saya memiliki hadits-hadits yang tak dimiliki oleh orang lain.”

 

Sebagian pencari hadits pernah datang kepada kami di Baghdad, mereka membawa seorang syaikh, kemudian mendudukkannya di arRaqqah, -sebuah kebun di pinggir sungai Dajlah-, mereka membaca kepada syaikh tersebut, lalu mereka berkata dalam meriwayatkan hadits yang mereka kumpulkan, “Fulan dan fulan menyampaikan kepadaku di ar-Raqqah.” Mereka mengelabuhi orang-orang seolah-olah tempat tersebut adalah sebuah negeri di pinggir Syam,”9 agar orang-orang menyangka bahwa mereka telah bersusah payah melakukan perjalanan untuk mencari hadits.

 

Mereka mendudukkan seorang syaikh di antara sungai Isa dan Eufrat, lalu mereka berkata, “Fulan menyampaikan kepadaku dari belakang sungai,” agar mengelabuhi orang-orang bahwa mereka telah menyeberangi sungai ke Khurasan dalam rangka mencari hadits.

 

Mereka berkata, “Fulan menyampaikan kepadaku dalam perjalananku yang kedua dan ketiga,” agar orang-orang menyangka kadar kelelahannya dalam mencari hadits, akibatnya usahanya tak diberkahi, dan dia mati dalam masa mencari hadits.

 

Penulis berkata, “Semua ini sangat jauh dari keikhlasan, karena tujuan mereka adalah kedudukan dan berbangga-bangga, oleh karena itu mereka mengikuti hadits syadz dan gharib. Terkadang salah seorang dari mereka menemukan sebuah juz dari pendengaran saudaranya yang muslim lalu dia menyembunyikannya agar dia bisa memonopoli riwayat, bisa jadi dia mati sebelum meriwayatkannya, maka riwayat tersebut lenyap dari keduanya.

 

Terkadang salah seorang dari mereka melakukan perjalanan kepada seorang syaikh yang awal namanya adalah kaf atau qaf, tusuannya hanya sebatas menulis nama syaikh tersebut dalam deretan syaikh-syaikhnya. Mencela dan Mengghibah

 

Di antara talbis Iblis atas ashabul hadits adalah bahwa sebagian dari mereka mencela yang lain hanya untuk balas dendam?”!, dan mereka mengeluarkannya ke riil jarh wat ta’dil yang oleh para pendahulu umat ini dimanfaatkan untuk membela syariat. Allah lebih mengetahui niat seseorang.

 

Bukti buruknya tujuan mereka adalah diamnya mereka terhadap syaikh-syaikh yang mengambil hadits dari mereka, padahal ulama pendahulu tidak bersikap demikian. Ali bin al-Madini menyampaikan hadits dari bapaknya yang dhaif, kemudian dia berkata, “Hadits syaikh ini mengandung sesuatu.”

 

Yusuf bin al-Husain berkata, “Aku bertanya kepada al-Muhasibi tentang ghibah, maka dia menjawab, ‘Waspadailah ia, karena ia adalah seburuk. buruk perbuatan, bagaimana dugaanmu dengan dosa yang melebur ke. baikan-kebaikanmu dan membuat ridha lawan-lawanmu? Siapa yang kamu benci di dunia, bagaimana mungkin kamu rela menjadikannya sebagai lawanmu di Hari Kiamat yang akan mengambil kebaikan-kebaikanmu atau kamu mengambil keburukan-keburukannya?! Padahal saat itu tidak ada lagi dirham atau dinar, waspadailah ia, kenalilah sumbernya, karena sesungguhnya sumber ghibah orang-orang rendah dan bodoh adalah menumpahkan kekesalan, fanatisme, hasad, su‘ uzhan, semua itu terbuka tidak tertutup.'”

 

Adapun ghibah terhadap para ulama maka sumbernya adalah tertipunya jiwa di balik kedok menasihati dan takwil hadits yang tidak shahih, seandainya ia shahih maka ia tetap tidak membantu membolehkan ghibah, yaitu, “Apakah kalian segan menyebutnya? Sebutlah apa yang ada padanya agar orang-orang waspada terhadapnya.”

 

Seandainya hadits di atas shahih lagi mahfuzh, ia tetap tidak mengandung pembolehan menampakkan permusuhan terhadap saudaramu yang muslim tanpa bertanya terlebih dulu tentangnya, akan tetapi bila seorang peminta nasihat datang kepadamu, dan dia berkata, “Saya hendak menikahkan putriku dengan si fulan.” Lalu kamu mengetahui adanya bid’ ah pada diri fulan tersebut atau dia tidak bisa percaya menjaga kehormatan kaum muslimin, maka kamu patut menjauhkannya darinya dengan cara paling baik. Atau ada laki-laki lain datang kepadamu, dan dia berkata, “Saya hendak menitipkan hartaku pada si fulan.” Padahal si fulan ini bukanlah orang yang bisa dipercaya, maka kamu menjauhkannya darinya dengan sebaik mungkin. Atau laki-laki lainnya berkata, “Saya hendak shalat di belakangsi fulan atau aku hendak menjadikannyaimamku dalam ilmu.” Maka kamu menjauhkannya darinya dengan cara yang terbaik, dan jangan menuntaskan amarahmu dengan mengghibahnya.

 

Adapun sumber ghibah dari para qari’ dan ahli ibadah, maka dari jalan ujub dengan memperlihatkan aib saudaranya, kemudian berpurapura mendoakannya di belakangnya, dengan itu dia bisa menyantap daging saudaranya yang muslim, kemudian dia bersembunyi di balik kedok doa.

 

Adapun sumber ghibah pada para pemimpin dan ustadz, maka melalui jalan menampakkan kasih sayang dan kelembutan, hingga dia berkata, “Kasihan si fulan, dia diuji dengan ini, dicoba dengan itu, semoga Allah tidak membiarkan kita.” Dia berpura-pura menampakkan kelembutan dan kasih sayang kepada saudaranya, kemudian berpura-pura berdoa di hadapan saudara-saudaranya, dia berkata, “Aku berkata demikian kepada kalian agar kalian banyak-banyak mendoakannya.”

 

Kami berlindung kepada Allah dari ghibah, langsung atau sindiran. Jauhilah ghibah, karena Allah membencinya.!”

 

Allah berfirman:

 

“Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. al-Hujurat: 12).

 

Hadits-hadits shahih dalam masalah ini dari Nabi berjumlah banyak.

 

Di antara talbis Iblis atas para ulama ahli hadits adalah meriwayatkan hadits maudhw’ tanpa menjelaskan bahwa ia maudhu’. Ini adalah kejahatan dari mereka terhadap agama, tujuan mereka adalah melariskan hadits dan meninggkatkan riwayat mereka, padahal Nabi telah bersabda:

 

“Barangsiapa meriwayatkan hadits dariku, dia mengiranya dusta maka dia salah satu dari dua pendusta. ”

 

Termasuk ke dalam bab ini adalah tadlis mereka dalam perkara riwayat, salah seorang dari mereka terkadang berkata, “Fulan dari fulan.” Atau berkata, “Fulan berkata dari fulan.” Seolah-olah dia mendengar sanad yang terputus padahal tidak, ini jahat, karena ia menjadikan sanad yang terputus bersambung.

 

Di antara mereka ada yang meriwayatkan dari rawi dhaif atau pendusta, lalu dia membuang namanya dan menggantinya dengan nama lain, terkadang dia menyebutkan kunyahnya, dan terkadang dia menasabkannya kepada kakeknya agar tidak diketahui. Ini merupakan kejahatan terhadap agama, karena ia menetapkan hukum yang bukan dari agama.

 

Adapun bila rawi seorang muhaddits yang meriwayatkan darinya adalah rawi tsiqah, lalu muhaddits tersebut menasabkannya kepada kakeknya atau hanya menyebutkan kunyahnya, agar tidak dikira bahwa dia banyak meriwayatkan darinya atau seorang syaikh setaraf dengan muridnya lalu muridnya malu menyebutkannya, maka hal ini makruh, dan hampir tetap jauh dari kebenaran, dengan syarat bahwa syaikh tersebut adalah tsigah. Semoga Allah membimbing ke jalan yang benar.

 

Talbis Iblis atas Para Fuqaha

 

Penulis berkata, “Para fuqaha’ pada zaman dahulu adalah ahli al-Qur’an sekaligus ahli hadits, kemudian perkaranya mulai menyusut, hingga kalangan muta’akhkhirin berkata, ‘Cukup bagi kami mengetahui ayatayat hukum dalam al-Qur’an dan berpijak kepada buku hadits yang masyhur seperti Sunan Abu Dawud dan lainnya.’”

 

Kemudian mereka mulai meremehkan perkara ini, salah seorang dari mereka berhujjah kepada sebuah ayat padahal dia tidak memahami maknanya, dan berdalil dengan hadits yang tidak dia ketahui, apakah ia shahih atau tidak?

 

Terkadang dia berpijak kepada qiyas yang bertentangan dengan hadits shahih sementara dia tidak menyadarinya karena minimnya ilmunya terhadap ilmu riwayat, padahal fikih adalah pengambilan hukum dari al-Qur’an dan sunnah, lantas bagaimana seseorang bisa mengambil dari sesuatu yang tak dia ketahui? Padahal termasuk perbuatan buruk adalah menggantungkan hukum kepada sebuah hadits yang belum jelas keshahihannya.

 

Mengetahui hal ini sulit, seseorang harus berani melakukan perjalanan panjang, bersusah payah dalam waktu yang lama hingga dia bisa mengetahui hal ini, maka kitab-kitab disusun, sunnah-sunnah ditetapkan dan yang shahih dipilah dari yang dhaif, namun kalangan muta ‘akhkhirin telah dikuasai oleh kemalasan hingga mereka enggan menelaah ilmu hadits, hingga aku pernah membaca ucapan seorang fuqaha’ besar tentang sebuah lafazh hadits dalam ash-Shahih, “Tidak mungkin bersabda seperti ini.” Aku melihatnya berhujjah dalam sebuah masalah, dia berkata, “Dail kami adalah apa yang diriwayatkan oleh sebagian dari mereka bahwa Rasulullah bersabda begini. Lalu dia menjawab hadits shahih yang dijadikan dalil oleh lawan dialognya dengan berkata, “Hadits ini tidak diketahui.” Semua ini adalah kejahatan terhadap agama.’

 

Di antara talbis Iblis terhadap para fugaha’ adalah bahwa tujuan besar mereka hanyalah meraih ilmu perdebatan, mereka menyatakan mencari tashih dalil di atas hukum, dan menggali masalah-masalah samar dan illat-illat madzhab. Seandainya pernyataan mereka ini shahih, niscaya mereka menyibukkan diri dengan semua masalah, padahal kenyataannya mereka hanya menyibukkan diri dengan masalah-masalah besar agar perbincangan padanya bisa melebar, lalu orang yang berpendapat maju di depan manusia mengadu kekuatan argumentasinya. Salah seorang dari mereka ingin menyusun perdebatan dan membebar kontradiksi lawannya, padahal tujuan sebenarnya adalah membanggakan diri dan kesombongan, sedangkan di saat yang sama dia tidak mengetahui hukum sebuah masalah kecil yang sering terjadi.

 

Talbis Iblis atas Para Fuqaha’ dengan Menjerumuskan Mereka ke dalam Perdebatan Ahli Filsafat Hingga Mereka pun Bersandar kepadanya

 

Di antaranya adalah bahwa mereka lebih mendahulukan qiyas atas hadits yang dijadikan sebagai dalil dalam sebuah masalah, yang tujuannya adalah melebarkan lahan berpikir. Bila salah seorang dari mereka berdalil kepada hadits maka dia dicela habis, padahal termasuk adab adalah berdalil dengan hadits.!

 

Di antaranya adalah bahwa mereka menjadikan berpikir sebagai pokok kesibukan mereka, namun mereka tidak meramunya dengan sesuatu yang melunakkan hati berupa membaca al-Qur’an, menyimak hadits dan sirah Rasulullah serta para shahabat.

 

Padahal sudah diketahui bahwa hati tidak akan khusyu’ dengan pengulangan masalah najis, dan air yang berubah, namun ia memerlukan nasihat dan peringatan agar ia bangkit memburu akhirat.

 

Sedangkan masalah khilaf, walaupun ia termasuk ilmu syariat, namun ia tidak mampu mewujudkan semua tujuan. Barangsiapa tidak mengetahui rahasia sirah salaf dan keadaan apa yang mereka pagang, maka dia tidak mungkin meniti jalan mereka.

 

Patut diketahui bahwa tabiat adalah pencuti, bila ia dibiarkan bersama orang-orang zaman ini, maka ia akan mencuri tabiat mereka hingga ia akan menjadi seperti mereka, dan bila dia melihat sirah para ulama terdahulu dan bergaul dengan mereka maka dia akan terpengaruh oleh akhlak mereka.

 

Sebagian salaf berkata, “Satu hadits yang melunakkan hatiku lebih aku sukai daripada seratus masalah dari masalah-masalah Syuraih.” Dia berkata demikian karena kelembutan hati merupakan tujuan utama dan ia memiliki sebab-sebab.

 

Di antaranya adalah bahwa mereka hanya membatasi diri pada perdebatan, tidak menghafal madzhab dan berpaling dari bagian syariat lainnya, maka Anda melihat seorang fakih sekaligus mufti ditanya tentang sebuah ayat atau hadits, sedangkan dia tak tahu. Ini merupakan kerugian, lantas di manakah kemuliaan dari adanya kelalaian?

 

Di antara yang demikian itu, bahwa perdebatan hanya diletakkan untuk mengetahui mana yang benar, padahal tujuan salaf adalah saling menasihati dengan memperlihatkan kebenaran, mereka berpindahpindah dari satu dalil ke dalil yang lainnya, bila seseorang dari mereka tidak mengetahui sesuatu maka yang lain memberitahu, karena tujuan mereka adalah menunjukkan kebenaran. Bila seorang fakih membuat sebuah qiyas dengan dasar sebuah illat yang diduganya, lalu dia ditanya, “Apa dalil yang menunjukkan bahwa hukum pada asal berillat seperti yang Anda duga?” Maka dia menjawab, “Inilah yang nampak bagiku, bila kalian mempunyai sesuatu yang lebih patut maka silakan sampaikan, karena penyanggah tidak mengharuskanku menyebutkan hal itu.”

 

Dia benar bahwa penyanggah tidak mengharuskannya, akan tetapi pada perdebatan yang diada-adakan, bahkan di bidang nasihat dan menampakkan kebenaran adalah yang mengharuskannya.

 

Di antaranya adalah bahwa salah seorang dari mereka mengetahui kebenaran bersama lawan dialognya, lalu dia menolak meninggalkan pendapatnya, dan dadanya sempit, bagaimana bisa kebenaran nampak melalui lawan dialognya, maka dia berusaha keras menolaknya padahal dia mengetahui bahwa ia adalah kebenaran. Ini termasuk keburukan yang paling buruk, karena perdebatan hanya dilakukan untuk menjelaskan kebenaran.

 

Asy-Syafi’i a berkata, “Saya tidak berdialog dengan seseorang, lantas dia mengingkari hujjah tersebut kecuali dia tidak berharga di mataku, tetapi bila dia menerimanya maka aku menghormatinya. Dan aku tidak berdialog dengan seseorang, lalu aku merenungi hujjah tersebut berpihak kepada orang yang bila ia berpihak kepadanya maka aku akan menerimanya.”

 

Di antaranya adalah bahwa kedudukan yang mereka cari lewat perdebatan membuka apa yang tersembunyi dalam hati, yaitu kecintaan kepada kedudukan. Bila salah seorang dari mereka melihat sisi lemah dalam pendapatnya yang membuka peluang kemenangan bagi lawannya, maka dia beralih kepada riil kesombongan. Bila lawannya telah menguasainya melalui sebuah kata, maka fanatisme kesombongan membangkitkannya, maka dia membalasnya dengan cacian, hingga perdebatan berubah menjadi saling memaki.

 

Di antaranya pembolehan mereka terhadap ghibah dengan alasan menyampaikan perdebatan, maka salah seorang dari mereka berkata, “Saya berbicara dengan fulan, maka dia tak berkata apa pun.” Dia berbicara dalam keadaan berapi-api dengan menyebutkan tujuan lawannya di balik hujjahnya.

 

Di antaranya adalah bahwa Iblis mengacaukan pemahaman mereka hingga mereka beranggapan bahwa ilmu syariat hanyalah fikih saja, tidak ada yang lainnya. Bila seorang muhaddits disebutkan kepada mereka, maka mereka berkata, “Dia tak memahami apa pun.” Mereka lupa bahwa hadits adalah dasar.

 

Bila disebutkan kepada mereka kata-kata yang melunakkan hati, mereka berkata, “Ini adalah ucapan para penasihat.”

 

Di antaranya adalah keberanian mereka dalam berfatwa padaha| mereka belum mencapai kursinya, hingga mereka terjerumus ke dalam fatwa yang menyelisihi dali-dalilt. Padahal seandainya mereka menahan diri pada apa yang mereka belum mampu niscaya hal itu lebih mulia.

 

Dari Abdurrahman bin Abu Laila berkata, “Saya bertemu seratus dua puluh shahabat Rasulullah, salah seorang dari mereka ditanya tentang satu masalah, lalu dia mengalihkannya kepada yang lain, dan yang lain mengalihkannya kepada yang lain hingga masalah tersebut kembali lagj kepada yang pertama.”

 

Dalam sebuah lafazh darinya, “Saya berternu dengan orang-orang Anshar para shahabat Rasulullah di masjid ini sebanyak seratus dua puluh orang, dan tidak seorang dari mereka menyampaikan sebuah hadits kecuali dia berharap bahwa saudaranya yang menyampaikannya, dan tidaklah dia diminta fatwa kecuali dia berharap bahwa saudaranyalah yang memberikan fatwa.”

 

Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Ibrahim an-Nakha’i ditanya oleh seseorang tentang sebuah masalah, maka dia menjawab, “Tidakkah ada orang lain yang bisa kamu tanya?”

 

Dari Malik bin Anas berkata, “Aku tidak memberi fatwa sebelum bertanya kepada tujuh puluh orang syaikh, “Apakah kalian memandangku pantas berfatwa?” Mereka menjawab, “Ya.” Malik ditanya, “Adakah mereka mencegahmu?” Dia menjawab, “Seandainya mereka mencegahku niscaya aku akan berhenti.”

 

Penulis berkata, “Ini adalah sifat salaf, karena mereka sangat takut kepada Allah. Barangsiapa melihat sirah mereka maka dia akan tahu diri.” Mendekatkan Diri Kepada Pemimpin dan Sultan Di antara talbis Iblis atas para fuqaha’ adalah mendorong mereka untuk bergaul dekat dengan para pemimpin dan sultan serta mencari muka mereka, hingga para fuqaha’ itu tidak mengingkari kesalahan mereka padahal para fuqaha’ tersebut mampu. Terkadang para fuqaha’ itu memberikan keringanan kepada mereka padahal ia bukan keringanan bagi mereka, sedangkan tujuannya adalah agar para fuqaha’ itu mendapatkan bagian dari dunia mereka, akibatnya kerusakan terjadi dari tiga sisi:

 

> Pertama: Pemimpin, dia akan berkata, “Kalau aku bukan di atas kebenaran, niscaya fulan yvang fakih mengingkariku, bagaimana aku tidak benar sementara dia makan hartaku?!”

 

> Kedua: Orang awam, dia akan berkata, “Pemimpin ini, harta dan perbuatan-perbuatannya tidak mengapa, karena si fulan yang fakih selalu bersamanya.”

 

> Ketiga: Fakih, agamanya rusak karena itu.

 

Iblis telah mengacaukan mereka dengan mendorong mereka untuk masuk kepada para sultan, mereka berkata, “Kami masuk karena kami hendak membantu muslim.”

 

Talbis ini terbuka kedoknya saat orang lain yang datang dan berusaha membantu, niscaya tidak menyukainya, malah terkadang dia mencelanya sebab dia ingin memonopoli wewenang.

 

Di antara talbis Iblis atasnya untuk mengambil harta mereka adalah dengan berkata, “Kamu mernpunyai hak padanya.”

 

Padahal sudah diketahui bahwa bila ia dari hasil haram, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya sedikit pun, dan bila dari syubhat, maka tidak mengambilnya adalah lebih baik, sedangkan bila dari mubah, maka dia boleh mengambil dalam kadar yang sesuai dengan agamanya, bukan sebagai infaknya dalam menegakkan kebodohan.

 

Bisa jadi orang-orang awam meniru perbuatan lahirnya, lalu mereka membolehkan apa yang semestinya tidak boleh.

 

Iblis telah mengacaukan sebagian ulama, mereka menjauh dari sultan dan berkonsentrasi kepada ibadah dan agama, lalu Iblis mendorong mereka untuk mengghibah para ulama yang masuk kepada sultan, maka Iblis menggabungkan dua penyakit bagi mereka, yaitu mengghibah orang lain dan membanggakan. .

 

Secara umum, masuk kepada sultan merupakan bahaya besar, karena pertama masuk, mungkin niat masih baik, kemudian ia berubah seiring dengan pemuliaan dan penghormatan sultan kepadanya atau dia sendiri yang berharap apa yang ada di tangan sultan, dia tak kuasa menahan diri untuk tidak mencari muka dan melupakan pengingkaran terhadap kesalahan mereka.

 

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku tidak takut akan penghinaan sultan terhadapku, namun sebaliknya aku hanya takut terhadap pemuliaannya kepadaku, sehingga hatiku melunak kepada mereka.”

 

Para ulama salaf menjaga jarak dari para pemimpin, karena kezhaliman mereka terlihat, maka para pemimpin tetap mencari mereka karena para pemimpin itu tetap membutuhkan fatwa dan bantuan mereka dalam mengurus negara, lalu muncullah orang-orang yang kecenderungan mereka kepada dunia sangat kuat, mereka mempelajari ilmu-ilmu yang sesuai dengan para pemimpin, lalu membawanya kepada mereka demi mendapatkan dunia mereka.

 

Bukti di depan matamu menunjukkan bahwa tujuan mereka belajar ilmu untuk mendapatkan apa yang ada di tangan para pemimpin adalah bahwa dulu para pemimpin cenderung mendengar hujjah-hujjah dalam ushul, maka orang-orang tersebut menampakkan ilmu kalam, kemudian sebagian pemimpin cenderung kepada perdebatan di bidang fikih, maka orang-orang cenderung kepada perdebatan, kemudian sebagian pemimpin cenderung kepada nasihat, maka banyak orang yang mempelajarinya, tatkala kebanyakan orang-orang awam cenderung kepada kisah, maka tukang kisah muncul dalam jumlah besar dan fuqaha’ menyusut.

 

Di antara talbis Iblis atas para fuqaha’ bahwa salah seorang dari mereka makan dari harta wakaf madrasah yang dibangun atas nama orang-orang yang menyibukkan diri dengan ilmu, maka bertahun-tahun dijalaninya tanpa bekerja, dia menerima kadar ilmu yang didapatkan atau diketahuinya, maka dia tidak lagi memiliki bagian dari wakaf, karena wakaf hanya diberikan kepada siapa yang belajar, kecuali bila orang tersebut adalah tenaga pengajar atau pengurus, maka kesibukannya terus menerus.

 

Di antaranya adalah apa yang dikisahkan dari sebagian ahli fikih junior bahwa mereka terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan tanpa merasa bersalah, sebagian dari mereka memakai kain sutera, berhias diri dengan emas dan kemaksiatan-kemaksiatan lainnya.

 

Sedangkan sebab dari apa yang mereka lakukan berbeda-beda.

 

Di antara mereka ada yang berakidah rusak pada dasar agama. Dia belajar fikih untuk menutupi kedoknya atau makan harta wakaf atau agar bisa memimpin atau berdebat.

 

Di antara mereka ada yang akidahnya shahih, namun hawa nafsu dan cinta syahwat menguasainya, dan dia tidak memiliki kendali yang kuat,  karena perdebatan dan dialog menggerakkan kepada kesombongan dan ujub, padahal seseorang akan menjadi lurus melalui latihan, menelaah sirah salaf, sementara orang-orang itu sangat jauh darinya, karena mereka tidak mempunyai apa pun selain apa yang membantu tabiat mereka untuk mewujudkan ambisi mereka, maka dalam kondisi seperti ini hawa nafsu terlepas tanpa bekal.

 

Di antara mereka ada yang dikacaukan oleh Iblis bahwa dirimu adalah ulama mufti, sedangkan ilmu membela pemiliknya.

 

Tidaklah mungkin, karena ilmu lebih patut untuk menjadi hujjah atasnya dan melipatkangandakan adzabnya.

 

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Sesungguhnya (yang disebut dengan ) orang yang fakih hanyalah orang yang takut kepada Allah.”

 

lbnu Adil berkata, “Aku bertemu dengan seorang fakih dari Khurasan, dia memakai kain sutera dan cincin-cincin emas, maka aku berkata kepadanya, ‘Apa ini?’ Dia menjawab, ‘Kekayaan sultan dan kemarahan musuh.” Aku berkata kepadanya, ‘Sebaliknya ia membahagiakan musuh bila kamu adalah seorang muslim, karena Iblis adalah musuhmu, bila kamu sudah sampai begini, maka dia memberimu pakaian yang membuat syariat marah, kamu telah membuatnya berbangga dengan dirimu. Apakah kekayaan sultan menjadi boleh bila dilarang oleh ar-Rahman?’”

 

Kasihan sekali orang ini! Sultan memberimu harta, maka kamu terpelanting dari riil iman, sepatutnya sultan mencopot darimu baju kefasikan dan menggantinya dengan baju ketakwaan.

 

Semoga Allah menimpakan kehinaan kepada kalian, karena kalian telah meremehkan laranganNya sedemikian rupa, seandainya kamu berkata, “Iniadalah kebodohan tabiat.” Sekarang ujianmu telah sempurna, karena pelanggaran yang kamu lakukan adalah bukti rusaknya batinmu.

 

Di antara talbis Iblis atas mereka adalah membuat mereka membaguskan penghinaan terhadap para pemberi nasihat, menolak kehadiran para pemberi nasihat tersebut di majlis mereka, dan mereka berkata, “Siapa mereka? Mereka hanyalah tukang cerita!”

 

Sedangkan maksud setan adalah agar mereka tidak datang ke sebuah majlis yang bisa membuat hati mereka lunak dan khusyu’, Sementara tukang cerita tidak tercela dari sisi dia sebagai tukang cerita, karena Allah berfirman:

 

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik.” (QS. Yusuf: 3).

 

Allah berfirman: 

 

“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu.” (QS. al-A’raf: 176).

 

Para tukang cerita dicela karena biasanya mereka melebarkan kisah tanpa menyinggung ilmu yang bermanfaat, kemudian kebanyakan dari mereka mencampuradukkan apa yang mereka ceritakan, dan terkadang mereka berpijak kepada hal-hak yang kebanyakannya mustahil.

 

Bila kisah tersebut adalah kisah yang benar dan mengandung nasihat, maka ia terpuji.

 

Ahmad bin Hanbal berkata, “Betapa butuhnya manusia kepada tukang cerita yang jujur.”

 

Talbis Iblis atas Para Pemberi Nasihat dan Tukang Kisah Penulis berkata, “Dahulu para pemberi nasihat adalah para ulama sekaligus fugaha’. Ibnu Umar pun pernah hadir ke majlis Ubaid bin Umair dan Umar bin Abdul Aziz pun menghadiri majlis tukang kisah.”

 

Kemudian lahan ini memburuk, sehingga orang-orang bodoh menerjuninya, maka orang-orang yang mulia mulai menyingkir dari majlis mereka, berganti dengan para wanita dan orang-orang awam, mereka tidak membekali diri dengan ilmu, mereka masuk ke medan kisah yang menakjubkan orang-orang bodoh, sehingga bermacam-macam bid’ah muncul di bidang ini.

 

Kami telah menyebutkan penyakit-penyakit mereka dalam kitab alQushshash wal Mudzakkarin, dan di sini kami akan menyebutkan sebagian darinya:

 

Di antaranya adalah sebagian orang dari mereka meletakkan hadits targhib wat tarhib, Iblis menghiasi perbuatan mereka dengan alasan bahwa tujuan kami adalah mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah mereka dari keburukan. Ini adalah kejahatan mereka terhadap syariat, karena perbuatan mereka mengisyaratkan bahwa syariat masih kurang, dan memerlukan penyempurnaan, kemudian mereka lupa terhadap sabda nabi :

 

“Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka silakan memilih tempat duduknya di neraka.”

 

Di antaranya adalah bahwa mereka mencari-cari sesuatu yang membangunkan jiwa dan menggugah hati, maka mereka menghadirkan berbagai seni berbicara. Anda melihat mereka mendendangkan syair-syair ghazal dalam cinta. Iblis mengacaukan mereka dalam alasannya bahwa maksud kami adalah menunjukkan cinta kepada Allah.

 

Padahal sudah diketahui bahwa kebanyakan hadirin di majlis mereka adalah orang-orang awam dan hati mereka sarat dengan hawa cinta, maka si tukang cerita itu tersesat dan menyesatkan.

 

Di antara mereka ada yang menampakkan emosi dan kekhusyu’an melebihi apa yang ada dalam hatinya, banyaknya hadirin menuntut kepura-kepuraan lebih, maka jiwa mempersilakan tangisan dan ke-husyu’an lebih.

 

Barangsiapa berdusta dari mereka, maka dia merugi dunia akhirat. Dan barangsiapa jujur maka kejujurannya tidak lepas dari riya’ yang menodainya.

 

Di antara mereka ada yang mielakukan gerakan-gerakan sesuai dengan nada bacaan lagu, nada-nada yang mereka perlihatkan di hari ini menyerupai nyanyian, sehingga ia lebih patut untuk dinyatakan haram daripada makruh. Seorang qari’ bernyanyi sedangkan tukang cerita mendendangkan kisah asmara dengan bertepuk kedua tangan, kedua kakinya menghentak-hentak mirip dengan orang mabuk, sehingga hal itu mendorong tabiat untuk bergejolak, jiwa untuk bangkit, kaum laki-laki dan wanita berteriak histeris, pakaian-pakaian dirobek, hal itu terjadi karena dalam jiwa mereka terdapat hawa nafsu yang samar, kemudian mereka mengeluarkannya dan berkata, “Majlis ini adalah majlis yang bagus.” Maksud mereka dengan bagus adalah apa yang haram.

 

Di antara mereka ada yang melakukan apa yang telah kami sebutkan di atas, namun dia mendendangkan syair-syair ratapan atas orang-orang yang telah mati, menjelaskan ujian yang mereka alami, menyinggung keterasingan dan orang-orang yang mati dalam keadaan terasing, mereka membuat kaum wanita menangis dan majlis berubah menjadi majlis ratapan kematian.

 

Padahal semestinya dia mengingat kesabaran atas kematian orang-orang tercinta tersebut, bukan dengan sesuatu yang membawa kepada ratapan.

 

Di antara mereka ada yang berani berbicara tentang masalah-masalah zuhud yang cermat, kecintaan kepada al-Haq, maka Iblis membisikkan kepadanya, “Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang memiliki sifat demikian, karena kamu tidak kuasa menyifati sehingga kamu mengetahui apa yang kamu sifati, dan kamu meniti jalan yang benar.”

 

Membuka kedok talbis ini adalah bahwa sifat merupakan ilmu sedangkan suluk bukanlah ilmu.

 

Di antara mereka ada yang berbicara tentang pelanggaran-pelanggaran besar dan kesalahan-kesalahan yang keluar dari jalan syariat, dan menghadirkan syair-syair asmara, yang tujuannya adalah memperbanyak teriakan di majlisnya sekalipun atas ucapan batil.

 

Berapa banyak orang dari mereka menghiasi ucapan yang tak bermakna sama sekali, kebanyakan ucapan mereka hanya pada Musa dan gunung, Yusuf dan Zulaikha, dan mereka hampir tidak pernah menyinggung hal-hal fardhu dan tidak melarang dosa.

 

Lantas kapan pelaku zina, pemakan riba bisa taubat?! Dan kapan seorang wanita mengetahui hak suaminya dan menjaga shalatnya?! Sungguh mustahil!

 

Mereka meninggalkan syariat di belakang punggung mereka, sehingga barang dagangan mereka laku, karena kebenaran memang berat sedangkan kebatilan itu ringan.

 

Di antara mereka ada yang mendorong kepada zuhud dan giyamul lail, namun tidak menjelaskan untuk orang awam akan tujuannya. Maka terkadang seorang laki-laki dari kalangan mereka bertaubat dan menyendiri di sebuah sudut atau pergi ke gunung meninggalkan keluarganya tanpa nafkah.!

 

Di antara mereka ada yang berbicara tentang harapan dan ketamakan, tanpa meramunya dengan sesuatu yang menghadirkan rasa takut dan waspada, akibatnya manusia semakin berani melakukan kemaksiatan, kemudian dia menguatkan apa yang dikatakannya dengan kecenderungan kepada dunia berupa kendaraan-kendaraan mewah dan pakaian-pakaian mahal, maka dia merusak hati dengan kata-kata dan perbuatannya.

Kritik Terhadap Jalan Para Pemberi Nasihat dan Tukang Kisah

 

Bisa jadi seorang pemberi nasihat jujur dan bermaksud menasihati, hanya saja di antara mereka ada yang hatinya tersusupi oleh kecintaan kepada kedudukan seiring berjalannya waktu, maka dia ingin diagungkan. Tandanya adalah bila ada pemberi nasihat lain yang menggantikannya atau membantunya atas manusia, maka dia tidak menyukainya, padahal seandainya maksudnya benar niscaya dia tidak benci (berkenan) untuk membantunya menasihati manusia.

 

Di antara para tukang cerita ada yang mencampur antara kaum laki-laki dengan wanita dalam satu majlis. Anda melihat kaum wanita berteriak dan berteriak karena terbawa emosi menurut mereka, namun si tukang kisah sama sekali tidak menegur mereka demi mencari kecintaan mereka.

 

Telah ada di zaman kita ini para tukang kisah yang urusannya tidak lagi samar, karena perkaranya memang nyata bahwa mereka menjadikan kisah sebagai mata pencaharian untuk mengundang pemberian para pemimpin dan mengambil uang dari para tukang pungli dan mencari kehidupan di negeri-negeri. Di antara mereka ada yang datang ke kuburkubur, dan mengingatkan kematian serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintainya, sehingga dia berhasil membuat kaum wanita menangis dan tidak mengajak mereka untuk sabar.

 

Kemudian Iblis mengacaukan pemberi nasihat yang mahir, dia berkata kepadanya, “Orang sepertimu tidak layak atau pantas menasihati, dan yang layak menasihati hanyalah orang yang terjaga.” Maka Iblis membuatnya diam dan meninggalkan nasihat.

 

Hal itu termasuk bujuk rayu Iblis, karena dia menghalangi perbuatan baik, dia berkata, “Sesungguhnya kamu merasa nikmat dengan apa yang kamu katakan dan kamu mendapatkan ketenangan. Namun terkadang riya’ telah menyusup ke dalam kata-katamu, sedangkan jalan menyendiri itu lebih selamat.” Padahal tujuan Iblis yang demikian itu adalah menutup pintu kebaikan.

 

Talbis Iblis atas Ahli Bahasa dan Adab Penulis berkata, “Iblis telah mengacaukan kebanyakan dari kalangan mereka, maka dia menyibukkan mereka dengan ilmu bahasa dan nahwu, sehingga ia melalaikan hal-hal wajib yang merupakan fardhu ‘ain seperti mengetahui ibadah yang harus diketahui, apa yang lebih utama dari mereka berupa adab-adab hati dan perbaikan jiwa, dan apa yang lebih utama bagi mereka berupa ilmu tafsir, hadits dan fikih. Mereka menghabiskan umur untuk ilmu-ilmu yang bukan merupakan tujuan, sebaliknya ia hanya sarana. Karena bila seseorang memahami sebuah kata, dia patut naik ke derajat pengamalan, karena maksud kata tersebut adalah untuk selainnya. Anda melihat seseorang dari mereka hampir tidak mengetahui adab syariat kecuali sedikit, tidak mengenal fikih dan tidak memperhatikan kebersihan hati dan kebaikan jiwanya.

 

Di samping itu, pada mereka terdapat kesombongan besar. Iblis telah mengelabuhi mereka dengan berkata kepada mereka, “Kalian termasuk ulama Islam, karena nahwu dan bahasa termasuk ilmu Islam, yang dengannya makna al-Qur’an yang mulia diketahui.”

 

Saya bersumpah bahwa sesungguhnya hal itu tidak diingkari, akan tetapi mengetahui ilmu nahwu yang dibutuhkan untuk meluruskan lisan dan bahasa yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-Qur’an dan memahami hadits merupakan perkara yang dekat, bahkan ia adalah perkara yang harus, sedangkan selainnya merupakan kelebihan yang tak diperlukan. Menggunakan waktu untuk meraih kadar lebih ini padahal ia tidak penting dengan meninggalkan yang penting adalah kekeliruan. Mementingkannya di atas apa yang lebih bermanfaat dan lebih tinggi derajatnya seperti fikih dan hadits adalah kerugian.

 

Seandainya umur cukup untuk mengetahui semuanya, niscaya hal itu bagus, sayangnya umur tidak panjang, maka patut mementingkan apa yang lebih peting dan lebih utama.

 

Karena mayoritas kesibukan mereka adalah syair-syair jahiliyah, dan tabiat tidak mendapatkan penghalang dari apa yang ditetapkan atasnya, yakni menelaah hadits-hadits dan mengetahui sirah salaf shalih, maka tabiat menyeret mereka kepada jurang hawa nafsu, selanjutnya syariat pengangguran muncul dengan kesia-siaan, maka sedikit orang dari kalangan mereka yang menyibukkan diri dengan ketakwaan atau berdiskusi seputar makanan, karena biasanya nahwu dicari oleh para sultan, maka para ahlinya makan dari mereka yang haram, sebagaimana Abu Ali al-Farisi hidup dalam naungan Adhud ad-Daulah dan lainnya.

 

Terkadang mereka menyangka sesuatu itu boleh, padahal ia tidak boleh, karena minimnya fikih mereka, sebagaimana yang terjadi pada Zajjaj Abu Ishaq Ibrahim bin as-Sari, dia berkata, “Aku mendidik al-Qasim bin Abdullah, lalu aku berkata kepadanya, ‘Bila kamu berhasil menduduki posisi bapakmu, dan kamu diangkat sebagai perdana menteri, maka apa yang kamu lakukan kepadaku?’ Dia menjawab, ‘Apa yang engkau harapkan.’ Maka aku berkata kepadanya, ‘Kamu memberiku dua puluh ribu dinar.’ Ini memang harapanku tertinggi.”

 

Beberapa tahun kemudian, al-Qasim menjabat perdana menteri, sedangkan aku masih terus bersamanya, dan menjadi orang dekatnya. Aku berniat mengingatkannya terhadap janjinya namun aku merasa segan. Pada hari ketiga sejak dia menjabat sebagai perdana menteri, dia berkata kepadaku, “Wahai Abu Ishaq, aku tidak melihatmu mengingatkanku terhadap nadzarku!” Aku menjawab, “Saya menggantungkannya kepada perhatian tuan perdana menteri, semoga Allah mendukungnya, tidak perlu bagi saya mengingatkan nadzar perdana menteri terkait dengan pelayan yang haknya wajib.” Dia berkata kepadaku, “Ada al-Mutadhid, kalau bukan karenanya niscaya tidak berat bagiku membayar jumlah itu sekaligus di satu tempat, aku khawatir akan menjadi bahan perbincangan, karena itu izinkan aku membayarnya kepadamu secara cicil.” Aku menjawab, “Baik,” Dia berkata kepadaku, “Urusilah perkara orang-orang, catatlah hajat-hajat besar mereka, bergegaslah, jangan menolak berkonsultasi dengannya tentang sesuatu yang kamu butuhkan, entah mungkin atau tidak mungkin hingga harta nadzar dapat kamu peroleh.” Maka aku melakukannya, setiap hari aku menyetorkan catatan kepadanya, lalu dia menandatanganinya, terkadang dia berkata kepadaku, “Berapa yang dijaminkan untukku atas ini?” Aku menjawab, “Sekian, sekian.” Dia berkata, “Kamu ditipu, ini setara sekian dan sekian, mintalah tambahan.” Maka aku melakukan apa yang dikatakannya kepadaku, aku terus memungli mereka dan mereka tetap memberiku lebih hingga aku berhasil mencapai batasan setoran yang dia tetapkan.

 

Lalu aku menyodorkan sesuatu yang besar kepadanya, maka aku mendapatkan dua puluh ribu dinar bahkan lebih darinya dalam rentang waktu yang lumayan panjang, beberapa bulan kemudian dia berkata kepadaku, “Wahai Abu Ishaq, apakah harta nadzar sudah kamu peroleh?” Aku menjawab, “Belum.” Dia hanya diam, aku terus menyodorkan, kemudian dia bertanya kepadaku setiap bulannya atau kurang lebih, “Apakah harta nadzar sudah kamu peroleh?” Aku menjawab, “Belum.” Aku menjawab demikian karena aku tidak ingin pendapatanku terhenti, hingga aku berhasil mengumpulkan dua kali lipatnya, maka pada suatu hari dia bertanya kepadaku, sedangkan aku malu berdusta terus menerus, maka aku menjawab, “Sudah aku dapatkan, semoga perdana menteri berbahagia.” Dia berkata, “Demi Allah, engkau telah mengangkat kesulitanku. Hatiku sangat sibuk dengan hal ini hingga kamu mendapatkannya.”

 

Kemudian dia menulis surat kepada bendaharanya yang isinya memberiku tiga ribu dinar sebagai bentuk kebaikannya kepadaku, aku pun menerimanya dan sesudahnya aku tidak lagi menyodorkan apa pun kepadanya, dan aku tak tahu bagaimana aku menghadap kepadanya. Besoknya aku datang kepadanya, aku duduk di tempatku, dan dia memberiku isyarat, “Mana catatanku?” Dia meminta catatan seperti biasanya untuk ditandatanganinya, maka aku menjawab, “Hari ini aku tidak mengambil catatan apa pun dari seorang pun, karena uang nadzar sudah, aku peroleh, aku sendiri tidak tahu bagaimana menghadap perdana menteri.” Dia berkata, “Subhanallah, apakah kamu mengiraku memutuskan sesuatu darimu sementara ia sudah menjadi kebiasaanmu dan orang-orang pun mengetahuinya, dengannya kamu mendapatkan kedudukan dan kehormatan di antara mereka, mereka berdatangan ke pintumu pagi dan petang, lalu sebab terputusnya tidak diketahui, maka hal itu akan dikira karena lemahnya posisimu di depanku atau menurunnya kedudukanmu. Berikanlah catatanmu kepadaku dan ambillah tanpa perhitungan!” Maka aku mencium tangannya dan besoknya aku datang pagi-pagi menyetorkan catatan, setiap hari aku selalu setor sampai dia mati sementara aku mendapatkan harta yang banyak darinya.

 

Penulis berkata, “Lihatlah apa yang dilakukan oleh orang yang minim pemahamannya. Laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi karena ilmunya di bidang nahwu dan bahasa, seandainya dia tahu bahwa apa yang dilakukan tidak boleh secara syar’i, niscaya dia tidak menceritakannya dengan kebanggaan, sedangkan menyampaikan pengaduan kezhaliman kepada pimpinan adalah wajib, tidak boleh ada biaya padanya dan tidak pula dalam urusan negara yang mana perdana menteri didudukkan untuk mengurusinya, dengan ini derajat fikih terllhat berbeda dengan selainnya.

 

Talbis Iblis atas Para Penyair

 

Penulis berkata, Iblis telah mengacaukan mereka, dia memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka adalah ahli sastra, bahwa mereka telah diberi secara khusus kecerdasan yang tidak diberikan kepada orang lain. Siapa yang mengkhususkan kalian dengan kecerdasan ini mungkin memaafkan kesalahan kalian. Anda melihat mereka luntang-luntung di setiap lembah dengan kedustaan, tuduhan, hinaan, membeber kehormatan, pengakuan telah berbuat dosa buruk, kondisi minimal seorang penyair adalah memuji seseorang, maka orang tersebut takut akan dihina, sehingga dia memberinya karena takut keburukannya, atau memujinya di depan orang-orang, maka yang dipuji memberi karena bila tidak maka dia malu kepada hadirin.

 

Semua itu tergolong mencari nama.

 

Anda melihat tidak sedikit para penyair dan ahli sastra tidak segansegan memakai sutera, berdusta dalam menyanjung melebihi batas, perkumpulan mereka adalah di atas kefasikan, minum khamr dan lainnya. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku dan beberapa sastrawan berkumpul lalu kami melakukan ini dan itu.”

 

Mana mungkin, mana mungkin, adab tidak lain kecuali bersama Allah dengan menggunakan ketakwaan kepadaNya, dan tidak ada kemuliaan bagi orang yang cerdik, dan kata-kata tidak menjadi indah di sisi Allah bila pemiliknya tidak bertakwa kepadaNya.

 

Jumhur sastrawan dan penyair, apabila rizki mereka sempit maka mereka marah-marah, lantas mereka kufur (nikmat), dan mereka mulai mencela takdir, seperti ucapan sebagian dari mereka,

 

Bila semangatku dalam keutamaan naik meninggi

 

Maka bagianku tetap menempel di perut bumi

 

Betapa sering masa melakukan apa yang menyedihkan terhadapku

 

Betapa sering zaman yang zhalim lagi marah berbuat buruk

 

Mereka lupa bahwa dosa-dosa merekalah yang menyempitkan rizki mereka. Mereka melihat diri mereka berhak atas kenikmatan-kenikmatan dan memperoleh keselamatan dari ujian. Mereka sama sekali tidak memandang apa yang harus mereka lakukan, yaitu menjalankan perintah-perintah syariat. Maka sungguh kecerdikan mereka lenyap dalam kelalaian ini.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sempurna dari Para Ulama

 

Penulis berkata, “Ada orang-orang yang mempunyai semangat tinggi, mereka meraih ilmu-ilmu syariat, mencakup al-Qur’an, hadits, fikih dan sastra. Kemudian iblis mendatangi mereka dengan tipu muslihat yang samar, Iblis memperlihatkan diri mereka kepada diri mereka sendiri dengan mata besar karena mereka telah mendapatkan dan memberi manfaat kepada orang lain. Di antara mereka ada yang dibuat berbangga oleh Iblis atas kelelahannya yang panjang dalam menuntut ilmu, maka Iblis membaguskan kehidupan nikmat, dia berkata kepadanya, “Sampai kapan kamu bersusah payah? Istirahatkanlah tubuhmu dari beban-beban taklif, berikanlah waktu untuk dirimu apa yang dia senangi, bila kamu terjatuh ke dalam kesalahan, maka ilmu menepis hukuman darimu.” Iblis menyodorkan kepadanya keutamaan ulama. Bila hamba ini tidak ditolong oleh Allah, dan dia menerima tipu daya Iblis maka dia celaka. Bila dia diberi taufik, maka sepatutnya dia berkata kepadanya, jawaban untukmu dari tiga sisi:

 

> Pertama: Para ulama mempunyai keutamaan hanya dengan ilmu, sedangkan kalau ilmu tak disertai amal, maka ia tak bermakna. Bila aku tidak mengamalkan, maka aku seperti orang yang tidak memahami maksud, diriku menjadi seperti seorang laki-laki yang mengumpulkan makanan, dia memberi makan orang-orang yang lapar, namun dia sendiri tidak makan, sehingga makanan melimpah tak menghilangkan rasa laparnya.

 

> Kedua: Menentangnya dengan menyebutkan celaan terhadap orang yang tidak beramal dengan ilmu, seperti kisah nabi tentang seorang laki-laki yang dicampakkan ke dalam api neraka, lalu usus-ususnya terurai, lalu dia berkata, “Aku mengajak kepada kebaikan namun aku tidak melakukannya, dan aku melarang kemungkaran namun aku melakukannya.”

 

Ucapan Abu ad-Darda’, “Celakalah orang yang tidak tahu, dan celaka bagi orang yang mengetahui namun tidak mengamalkan, tujuh kali.”

 

> Ketiga: Menyebutkan orang-orang yang celaka karena tidak beramal dengan ilmu seperti Iblis dan lainnya. Cukuplah dalam mencela ulama yang tak beramal firman Allah:

 

“Seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (QS. al-Jumu’ah: 5).

 

Kritik Terhadap Jalan Orang-orang Sempurna dari Para Ulama

 

Iblis mengacaukan orang-orang dari kalangan ulama yang mumpuni di bidang ilmu dan amal dari sisi lain, Iblis menggoda mereka untuk menyombongkan diri dengan ilmu, hasad kepada lawan, dan riya’ dalam mencari kKedudukan. Terkadang Iblis menunjukkan kepada mereka bahwa ia seperti hak yang wajib bagi mereka. Terkadang menquatkan hal itu dalam jiwa mereka hingga mereka tidak meninggalkannya padahal mereka tahu bahwa ia salah.

 

Obat hal ini bagi orang yang diberi taufik adalah hendaknya senantiasa melihat kepada dosa kesombongan, hasad dan riya’. Memberitahu jiwa bahwa ilmu tidak menolak keburukan perbuatan-perbuatan ini, sebaliknya adzabnya bisa dilipatgandakan karena hujjahnya yang juga dilipatgandakan. Barangsiapa melihat kepada sirah para ulama yang beramal dari kalangan salaf, maka dia akan memandang dirinya tidak ada apaapanya dan dia tidak akan menyombongkan diri. Barangsiapa mengetahui Allah, maka dia akan meninggalkan riya’. Barangsiapa memperhatikan berlakunya takdir Allah sesuai dengan kehendaknya, maka dia tidak hasad.

 

Terkadang Iblis masuk ke dalam barisan mereka dengan syubhat yang unik, dia berkata, “Kalian mencari ketinggian yang bukan termasuk kesombongan, karena kalian adalah pengawal-pengawal svyariat, kalian berusaha memuliakan agama, melawan ahli bid’ah, kalian melepaskan kata-kata terhadap orang-orang yang hasad adalah pembelaan terhadap agama, karena orang-orang yang hasad mencela siapa yang melakukannya. Apa yang kalian sangka riya~ maka itu bukanlah riya’, karena siapa di antara kalian yang berpura-pura khusyu’ dan menangis maka orang-orang akan meneladaninya, sebagaimana pasien yang mengikuti langkah kongkrit seorang dokter lebih besar daripada dia mengikuti kata-katanya tatkala dia menjelaskan.

 

Bantahan terhadap talbis ini, seandainya seseorang menyombongkan diri atas selain mereka dari kalangan mereka, dan meraih posisi di atas mereka atau seseorang yang hasad berkata sesuatu tentangnya, maka ulama itu tidak marah kepadanya seperti dia marah kepada dirinya sendiri. Bila memang yang bersangkutan termasuk pengawal-pengawal syariat, maka dia tidak akan marah terhadap dirinya, sebaliknya untuk ilmu.

 

Adapun riya’, maka tidak ada alasan padanya bagi siapa pun, tidak boleh menjadikannya sebagai sarana untuk mendorong orang-orang, Adalah Ayyub as-Sikhtiyani apabila menyampaikann sebuah hadits, maka hatinya melunak, dan mengusap wajahnya, lalu dia berkata, “Betapa berat flu ini!”

 

Sesudah ini, amal-amal adalah dengan niat-niat. Orang yang kritis melihat, berapa banyak orang yang tidak mengghibah kaum muslimin, namun bila seseorang mengghibah mereka di depannya, dia bahagia, maka dia ikut memikul dosa dari tiga sisi:

 

> Pertama: Dia berbahagia, ia terjadi karena perbuatan pengghibah yang merupakan dosa.

 

> Kedua: Dia berbahagia tatkala kaum muslimin dicela.

 

> Ketiga: Dia tidak mengingkarinya.

 

Iblis telah mengacaukan orang-orang yang memiliki ilmu sempurna. Mereka bangun malam, bekerja siang dalam menyusun kitab-kitab, maka Iblis memperlihatkan kepada mereka bahwa tujuan mereka adalah menyebarkan agama, namun tujuan tersebut dicampur oleh Ibis dengan tujuan terselubung yaitu kemasyhuran nama, ketinggian sanjungan, dan kepemimpinan sehingga orang-orang akan melakukan perjalanan kepada mereka untuk mendapatkan ilmu mereka.

 

Talbis ini dibongkar dengan mengatakan bahwa sekiranya orang-orang mengambil manfaat dari karya-karya ilmiah mereka tanpa harus datang keluar masuk kepada mereka atau karya-karya tersebut dibacakan kepada rekananya dalam ilmu, niscaya dia berbahagia karena itu bila tujuannya adalah menyebarkan ilmu. Sebagian salaf berkata, “Tidak ada suatu ilmu yang aku ketahui kecuali aku ingin mengambil manfaatnya tanpa menisbatkannya kepadaku.”

 

Di antara mereka ada yang berbahagia memiliki jumlah pengikut yang besar, maka Iblis mengacaukannya dengan kebahagiaan ini hanya karena meningkatnya jumlah penuntut ilmu, padahal maksud sebenarnya adalah banyaknya pendukung dan nama yang tersohor.

 

Di antaranya adalah bangga terhadap ilmu dan ucapan mereka. Talbis ini dibongkar dengan mengatakan, bahwa seandainya salah seorang dari muridnya meninggalkannya dan beralih kepada orang yang lebih berilmu, niscaya hal itu memberatkannya.

 

Ini bukanlah sifat orang yang ikhlas dalam mengajarkan ilmu, karena perumpamaan orang yang ikhlas adalah seperti para tabib, mereka mengobati orang sakit karena Allah, bila sebagian pasien sembuh di tangan seorang tabib, maka tabib yang lain ikut bahagia.

 

Talbis Iblis yang Samar

 

Penulis berkata, “Terkadang ulama yang sempurna mampu berlepas diri dari talbis-talbis Iblis yang lahir, maka Iblis mendatangi mereka dengan membawa talbis yang samar, dia berkata kepadanya, “Aku belum pernah bertemu orang sepertimu, betapa tahunya kamu tentang jalan masuk dan jalan keluarku.” Bila yang bersangkutan menerima hal ini, maka dia akan binasa dengan ujub, sedangkan bila dia menolak berdamai dengan Iblis maka dia selamat.

 

As-Sari as-Siqthi berkata, “Seandainya seorang laki-laki masuk ke sebuah kebun, di sana terdapat berbagai macam pohon yang Allah ciptakan, dan di sana juga terdapat berbagai jenis burung yang Allah ciptakan, lalu setiap burung berbicara kepadanya dengan bahasanya, ‘Atasmu wahai wali Allah!’ Maka jiwanya merasa tenang olehnya, maka dia adalah tawanan di tangannya.” Allah adalah pemberi petunjuk tidak ada lah yang haq selainNya.

 

Penulis berkata, “Iblis telah mengacaukan mereka dari banyak sisi, dan kami akan menyebutkan induknya.”

 

> Pertama: Iblis memperlihatkan kepada mereka bahwa Allah mencintai mereka, karena bila tidak maka Allah tidak menjadikan mereka sebagai sultan, dan tidak menjadikan mereka sebagai penggantiNya pada hamba-hambaNya.

 

Talbis ini dibongkar dengan mengatakan, “Bila memang para sultan adalah para pengganti Allah pada hamba-hambaNya, maka hendaknya mereka menjadikan syariat Allah sebagai hakim, dan hendaknya mereka mengikuti keridhaanNya, maka saat itu Allah mencintai mereka karena mereka menaatiNya.”

 

Adapun kerajaan dan kesultanan, maka Allah memberikannya kepada orang-orang yang Dia murkai. Allah melapangkan dunia bagi orang-orang yang Dia tidak melihat kepada mereka. Allah menguasakan beberapa orang dari mereka atas wali-waliNya dan orang-orang shalih, maka orang-orang itu membunuh mereka dan mengalahkan mereka, maka apa yang Allah berikan kepada mereka adalah atas keburukan mereka bukan untuk kebaikan mereka. Hal itu termasuk dalam firman Allah:

 

“Sesungguhnya Kami memberi ‘tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka;” (QS. Ali Imran: 178).

 

> Kedua: Iblis berkata kepada mereka, “Kekuasaan memerlukan wibawa.” Maka mereka menyombongkan diri menolak mencari ilmu, bergaul dengan para ulama, hingga mereka mengamalkan pendapat mereka dan akhirnya merusak agama

 

Sudah diketahui bahwa tabiat mencuri sifat orang-orang yang bergaul satu sama lain, bila para sultan itu bergaul dengan orang-orang bodoh yang hanya mementingkan dunia, maka tabiat mereka .akan mencuri sifat-sifat mereka di samping dia sendiri sudah memiliki sebagian darinya, dan dia tidak mendapatkan apa yang melawan dan menghardiknya, dan itulah sebab kebinasaan.

 

> Ketiga: Iblis menakut-nakuti mereka terhadap musuh, dan memerintahkan mereka untuk memperketat penjagaan, hingga orang-orang yang teraniaya tidak bisa menemui mereka.

 

Abu Maryam al-Asadi mereka dari nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Barangsiapa Allah serahi sebagian urusan kaum muslimin, lalu dia menutup diri dari mereka dengan tidak menunaikan hajat, kebutuhan dan kemiskinan mereka, maka Allah akan menutup diriNya dari hajat, kebutuhan dan kemiskinannya. ”

 

> Keempat: Mereka mengangkat orang-orang yang tidak kapabel, tidak berilmu dan tidak bertakwa, sehingga orang-orang mendoakan keburukan atas mereka bukan dengan kebaikan karena mereka berbuat aniaya terhadap mereka, dia memberi makan mereka dari hasil haram melalui jual beli yang rusak, menetapkan hukuman had atas orang yang tak berhak untuk dihukum, dan mereka mengira diri mereka telah berbuat apa yang menjadi kewajiban pemimpin yang Allah tetapkan di pundak mereka.

 

Mana mungkin, bila seorang amil zakat menyerahkan pembagiannya kepada orang-orang fasik lalu mereka berkhianat maka amil tersebut harus bertanggung jawab.

 

> Kelima: Iblis membaguskan bagi mereka amal atas dasar akal mereka, maka mereka memotong apa yang tidak boleh dipotong, membunuh .siapa yang tidak halal dibunuh, Iblis mengelabuhi mereka bahwa ini adalah kebijakan, padahal ia mengandung arti bahwa syariat kurang, ia masih memerlukan penambahan, dan kami menyempurnakannya dengan akal kami.

 

Ini termasuk penipuan paling buruk, karena syariat merupakan kebijakan Hahiyah, mustahil terjadi padanya kekeliruan yang memerlukan pelurusan dari manusia. Allah berfirman:

 

“Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab.” (QS. al-An’am: 38).

 

Dan Allah berfirman:

 

“Tidak ada yang dapat menolak ketetapanNya;.” (QS. ar-Ra’ad: 41).

 

Orang yang mengklaim hal itu sama dengan mengklaim adanya kekeliruan dalam syariat, dan ini merupakan saudara kekufuran.

 

Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Adhud ad-Daulah menyukai seorang gadis yang mengusik hatinya, maka dia memerintahkan agar gadis tersebut ditenggelamkan, agar hatinya bisa tenang mengatur kerajaan.

 

Ini merupakan kegilaan total, karena membunuh seorang muslim tanpa dosa adalah haram, dan meyakini bahwa hal ini boleh adalah kekufuran. Bila dia meyakini bahwa ia tidak boleh namun dia melihatnya sebagai kemaslahatan maka tidak ada kemaslahatan pada sesuatu yang menyimpang dari syariat.

 

> Keenam: Iblis membuat mereka memandang baik dalam menggunakan harta secara boros, karena mereka menyangka bahwa ia dalam kekuasaan mereka. Ini adalah talbis Iblis, kedok talbis ini dibongkar dengan kewajiban hajr atas orang yang tak mampu membelanjakan hartanya dengan baik, lalu bagaimana dengan orang yang disewa untuk menjaga harta orang lain?! Dia hanya mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya, sehingga tidak ada alasan membelanjakannya secara boros.

 

Ibnu Aqil berkata, “Diriwayatkan dari Hammad seorang perawi syair bahwa dia mengucapkan beberapa bait di hadapan al-Walid bin Yazid, maka al-Walid memberinya lima puluh ribu dan dua orang hamba sahaya wanita.”

 

Ibmu Aqil berkata, “Ini di antara apa yang diriwayatkan dalam bentuk pujian kepada mereka. Padahal ia adalah celaan terhadap mereka, karena yang bersangkutan menghambur-hamburkan harta kaum muslimin.”

 

Iblis menghiasi untuk sebagian sultan sehingga dia tidak memberi orang yang berhak untuk diberi, dan ini merupakan saudara tabdzir.

 

> Ketujuh: Iblis membuat indah bagi mereka sikap meremehkan kemaksiatan, Iblis membisikkan kepada mereka, “Kalian telah menjaga jalan, mengamankan negara, yang semua itu akan menolak adzab dari kalian.”

 

Jawabannya adalah dengan mengatakan, “Kalian diangkat menjadi pemimpin agar kalian menjaga negara dan mengamankan jalan, dan ini merupakan kewajiban mereka, sedangkan sikap meremehkan kemasiatan dilarang, ini tidak menepis adzab dari mereka dengan itu.

 

> Kedelapan: Iblis mengacaukan kebanyakan dari mereka bahwa dia telah menunaikan kewajiban, dari sisi bahwa keadaan hidup masyarakat terlihat baik. Seandainya yang bersangkutan melihat lebih dalam niscaya dia mengetahui perbedaan yang banyak.

 

> Kesembilan: Iblis memperindah bagi mereka menarik harta dan mendapatkannya melalui cambukan yang keras, menyita semua harta yang dipunyai oleh koruptor dan menuntutnya bersumpah, padahal jalan yang benar adalah menegakkan bukti atasnya.

 

Telah diriwayatkan kepada kami dari Umar bin Abdul Aziz bahwa seorang pegawainya menulis kepadanya, isinya, “Ada orang-orang yang mengkorup harta Allah, dan saya tidak kuasa menarik apa yang ada di tangan mereka kecuali bila aku_menimpakan hukuman atas mereka.” Maka Umar menjawab, “Aku lebih suka bila mereka bertemu Allah dengan membawa penghianatan mereka daripada aku bertemu Allah dengan membawa darah mereka.”

 

> Kesepuluh: Iblis membaguskan bagi mereka sedekah sesudah ghasab, dia memperlihatkan kepada mereka bahwa sedekah bisa menghapusnya, dan dia berkata, “Satu dirham sedekah menghapus sepuluh dosa karena ghasab.”

 

Ini mustahil, karena dosa ghasab tetap ada, sedangkan bila dirham sedekah itu dari hasil ghasab, maka ia tidak akan diterima. Bila ia dari hasil halal, maka ia tetap tidak menghapus dosa ghasab, karena memberi orang miskin tidak menggugurkan tanggung jawab terhadap orang lain.

 

> Kesebelas: Iblis membaguskan kepada mereka, di samping terus menerus berbuat dosa, ziarah kepada orang-orang shalih, meminta doa mereka, Iblis memperlihatkan kepada mereka bahwa hal itu meringankan dosa, padahal kebaikan ini tidak menepis keburukan itu.

 

> Kedua belas: Di antara pemimpin ada yang menjadi bawahan pemimpin lainnya, lalu atasannya memerintahkannya berbuat zhalim maka dia melakukannya, maka Iblis datang mengacaukannya dengan berkata, “Dosanya dipikul oleh atasanmu.”

 

Ini batil, karena dia telah membantu berbuat zhalim, setiap pembantu perbuatan maksiat adalah pelaku maksiat, karena Rasulullah melaknat sepuluh orang yang terkait dengan khamr. Beliau melaknat pemakan riba, pemberi makan, penulisnya dan dua saksinya.

 

Termasuk dalam hal ini adalah seorang bawahan menarik uang untuk atasannya, dia mengetahui bahwa atasannya menghamburhamburkannya dan melakukan pengkhianatan padanya, maka orang ini adalah pembantu dalam berbuat zhalim.

 

Malik bin Dinar berkata, “Cukuplah seseorang itu dianggap pengkhianat bila dia menjadi orang kepercayaan para pengkhianat.” Allah-lah Pembimbing ke jalan yang benar.

 

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa gerbang masuk Iblis kepada P manusia adalah kebodohan, dari sana dia masuk kepada orang-orang bodoh dengan aman. Adapun ulama, maka Iblis tidak masuk kepadanya kecuali dengan mengendap-endap. Iblis telah mengacaukan banyak ahli ibadah melalui kebodohan mereka, karena kebanyakan dari mereka hanya sibuk beribadah tanpa menguasai ilmu.”

 

Talbis Iblis pertama adalah membuat mereka mementingkan ibadah atas ilmu, padahal ilmu lebih utama daripada ibadah sunnah. Iblis memperlihatkan kepada mereka bahwa tujuan ilmu adalah amal, sayangnya mereka tidak memahami amal kecuali amal anggota tubuh, mereka tidak paham bahwa amal juga mencakup amal hati yang lebih afdhal daripada amal tubuh.

 

Mutharrif bin Abdullah berkata, “Keutamaan ilmu lebih tinggi daripada keutamaan ibadah.”

 

Yusuf bin Asbath berkata, “Satu bab ilmu yang kamu pelajari adalah lebih utama daripada tujuh puluh peperangan.”

 

Al-Mu’afa bin Imran berkata, “Menulis satu hadits lebih aku sukai daripada ibadah satu malam.”

 

Penulis berkata, “Manakala Iblis berhasil mengacaukan mereka, maka mereka pun mulai mementingkan ibadah dengan anggota tubuh di atas ilmu, hingga Iblis mampu mengacaukan mereka dalam berbagai bentuk ibadah.”

 

Talbis Iblis atas Mereka dalam Istinja’ dan Hadats

 

Di antaranya Iblis memerintahkan mereka untuk berlama-lama di dalam WC, padahal itu mengganggu hati, bahkan sepatutnya di dalam WC adalah secukupnya.

 

Di antara mereka ada yang berdiri lalu berjalan, berdehem, mengangkat satu kaki dan menurunkan yang lain, dia melakukan itu agar bersih, karena dengan gerakan tersebut, air kencing akan turun.

 

Penjelasannya bahwa air turun ke kandung kemih dan berkumpul dij sana, bila seseorang bersiap-siap untuk kencing, maka keluarlah apa yang tertampung, bila dia berjalan, berdehem dan berdiri, maka akan turun air kencing baru, dan turunnya air kencing ini tidak berhenti, padahal cukup baginya mengurut sisa yang ada di batang penis dengan dua jarinya kemudian membasuhnya dengan air.

 

Di antara mereka ada yang diajak Iblis untuk menghabiskan air dalam jumlah yang banyak, padahal menurut madzhab yang paling berat, cukup baginya tujuh kali basuhan sesudah najas hilang. Bila dia menggunakan batu untuk buang hajat yang tidak melebihi jalan keluar, maka cukup dengan tiga batu bila memang sudah bersih dengannya. Maka barangsiapa merasa kurang dengan jumlah yang ditetapkan oleh syariat maka dia telah membuat syariat bukan mengikuti syariat. Dan Allah-lah Maha Pembimbing.

 

Talbis Iblis atas Mereka dalam Urusan Wudhu

 

Di antara mereka ada yang dikacaukan oleh Iblis dalam niat, Anda melihatnya mengucapkan, “Saya niat menghilangkan hadats.” Kemudian dia berkata, “Saya niat melakukan shalat dengan bersuci ini.” Kemudian dia mengulanginya lagi, “Saya niat menghilangkan hadats.”

 

Sebab talbis ini adalah kebodohan terhadap syariat, karena niat berkait dengan hati bukan lafazh. Memaksakan diri mengucapkannya dengan lafazh merupakan sesuatu yang tidak diperlukan, kemudian tidak ada makna di balik pengulangan lafazh.

 

Di antara mereka ada yang dikacaukan oleh Iblis dengan memandang air wudhu, Iblis berkata kepadanya, “Dari mana kamu tahu bahwa air ini suci dan mensucikan?” Lalu Iblis meletakkan kemungkinan-kemungkinan yang jauh, padahal keputusan syariat sudah cukup baginya bahwa hukum asal air adalah suci dan mensucikan, sehingga hukum asal ini tidak patut ditinggalkan hanya karena kemungkinan.

 

Di antara mereka ada yang dikacaukan oleh Iblis dengan memperbanyak penggunaan air, padahal perbuatannya tersebut menyatukan empat perkara yang dibenci:

 

Pertama: Boros air.

 

Kedua: Membuang-buang umur yang berharga untuk sesuatu yang bukan wajib dan bukan pula dianjurkan.

 

Ketiga: Terjerumus ke dalam perkara yang dilarang oleh Nabi, yaitu membasuh lebih dari tiga kali.

 

Keempat: Bisa jadi dia wudhu lama sekali, hingga ketinggalan shalat atau ketinggalan awalnya, padahal ia adalah keutamaan, atau ketinggalan jamaah.

 

Talbis Iblis dalam hal iniadalah dengan membisikkan kepadamu bahwa kamu sedang melakukan ibadah, bila ia tidak sah maka shalat juga tidak sah. Seandainya yang bersangkutan merenungkan keadaannya, niscaya dia menyadari bahwa dia menyelisihi atau melalaikan. Kami melihat orang-orang yang mengikuti bisikan was-was ini, di saat yang sama dia tidak memperhatikan makanan dan minumannya, tidak menjaga lisannya dari ghibah, seandainya saja dia membalikkan urusan. Dalam hadits dari Abdullah bin Amru bin al-Ash bahwa nabi melewati Sa’ad yang sedang berwudhu, Nabi bersabda, “Wahai Sa’ad, apa-apaan pemborosan ini?” Dia bertanya, “Apakah dalam wudhu ada pemborosan?” Nabi menjawab, “Ya, sekalipun kamu berwudhu di sungai yang mengalir.”

 

Dari Abu Na’amah bahwa Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon surga Firdaus kepadaMu. Aku memohon istana putih di samping kanan surga bila aku memasukinya.” Maka Abdullah berkata, “Mohonlah surga kepada Allah dan berlindunglah kepadaNya dari neraka, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda, Akan muncul di kalangan umat ini orang-orang yang berlebih-lebihan dalam doa dan bersuci.”

 

Dari Syaudzab berkata, “Al-Hasan menyindir sebagian dari mereka, dia berkata, “Salah seorang dari mereka berwudhu menghabiskan air satu qirbah, mandi dengan satu gentong, membasuh dengan basuhan yang sebenar-benarnya dan mengusap dengan usapan yang sebenar-benarnya, mereka menyiksa diri mereka sendiri, karena menyelisihi sunnah Nabi mereka.”

 

Abu al-Wafa’ bin Aqil berkata, “Waktu adalah sesuatu yang paling berharga bagi orang-orang berakal. Alat ibadah paling minim adalah air.” Tidak diketahui dari akhlak Rasulullah bahwa beliau beribadah dengan banyaknya air.

 

Talbis Iblis atas Mereka dalam Adzan

 

Di antaranya adalah melagu-lagukan adzan. Malik bin Anas dan ulama lainnya sangat membencinya, karena ia mengeluarkannya dari dasar pengagungan kepada mirip nyanyian.

 

Di antaranya adalah bahwa mereka mencampur adzan Shubuh dengan peringatan, tasbih dan nasihat-nasihat, adzan ditempatkan di tengah hingga ia bercampur. Para ulama memakruhkan segala apa yang ditambahkan pada adzan.

 

Kami melihat orang-orang naik ke menara di malam hari, dia menasihati dan mengingatkan. Di antara mereka ada yang membaca alQur’an dengan suara tinggi, akibatnya mengganggu tidur masyarakat, mengacaukan bacaan orang-orang yang sedang shalat tahajud, itu semua merupakan kemungkaran iblis Iblis atas Mereka dalam Thaharah Di antaranya talbis Iblis adalah terkait dengan pakaian yang digunakan untuk menutupi. Anda melihat salah seorang dari mereka mencuci . bajunya yang suci berkali-kali, terkadang seorang muslim memegang bajunya lalu dia mencucinya.

 

Di antara mereka ada yang mencuci bajunya di sungai Dajlah, karena beranggapan bahwa mencuci baju di rumah tidak sah. Dan di antara mereka ada yang menjulurkannya ke dalam sumur seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi.

 

Para sahabat tidak melakukan semua itu, bahkan saat mereka menaklukkan Persia, mereka menggunakan pakaian mereka untuk shalat, mereka menggunakan permadani dan baju mereka.

 

Di antara orang-orang yang ditimpa penyakit was-was ada yang bajunya tertetesi oleh setetes air, namun dia mencucinya seluruhnya, hingga dia terlambat dari shalat berjamaah.

 

Di antara mereka ada yang tidak shalat berjamaah hanya karena hujan gerimis, takut bajunya basah oleh hujan.

 

Jangan ada yang salah sangka terhadapku dengan menuduhku menolak kebersihan badan dan kebersihan hati, akan tetapi berlebihlebihan sampai batas keluar dari syariat yang membuang-buang waktu adalah sesuatu yang kami larang.

 

Di antaranya adalah talbis Iblis atas mereka dalam niat shalat, di antara mereka ada yang mengucapkan, “Saya shalat ini.” Kemudian dia mengulanginya lagi karena dia beranggapan telah membatalkannya, padahal niat tidak batal sekalipun lafazhnya tak diterima.

 

Di antara mereka ada yang bertakbir kemudian membatalkannya kemudian bertakbir kemudian membatalkannya. Saat imam ruku’, barulah orang yang ditimpa was-was ini bertakbir lalu ruku’ bersamanya.

 

Maka saya uangkapkan, “Siapakah gerangan yang menghadirkan niat saat itu? Hal itu tidak lain kecuali Iblis hendak melenyapkan keutamaan darinya.”

 

Di antara orang-orang yang ditimpa was-was ada yang bersumpah dengan nama Allah, “Demi Allah, aku hanya akan bertakbir sekali.” Di antara mereka ada yang bersumpah dengan nama Allah dengan melepaskan hartanya atau mentalak istrinya. Semua ini merupakan talbis Iblis.

 

Syariat itu mudah, toleran dan bersih dari penyakit-penyakit ini, Dan hal itu sedikitpun hal itu tidak ada pada zaman Rasulullah dan para shahabat beliau.”

 

Telah sampai kepada kami dari Abi Hazim, bahwa dia masuk masjid lantas iblis membisikkan kepadanya, “Sesungguhnya kamu shalat tanpa wudhu!” Maka dia menjawab, “Nasihatmu tidak sampai kepada kami!”

 

Membongkar talbis ini adalah dengan mengatakan kepada orang yang was-was, bila kamu ingin menghadirkan niat, maka niat sudah hadir (ada), karena kamu berdiri untuk melakukan shalat fardhu, ini merupakan niat, Tempat niat ada di hati, bukan di lisan. Bila kamu ingin membetulkan lafazh, maka lafazh tak wajib, kemudian kamu sudah mengucapkannya dengan benar, lalu dengan alasan apa harus méngulang?

 

Penulis berkata, “Sebagian syaikh menceritakan kepadaku dari Ibnu Adil sebuah hikayat yang ajaib, bahwa ada seorang laki-laki menemuinya, dia berkata, ‘Aku sudah membasuh anggota tubuhku, tetapi aku masih berkata dalam hati aku belum membasuh. Aku bertakbir namun hatiku berkata belum bertakbir.” Maka Ibnu Aqil menjawab, ‘Tinggalkan shalat, karena ia tidak wajib atasmu.” Maka orang-orang bertanya kepada Ibnu Agil, ‘Bagaimana bisa begitu?’ Ibnu Aqil menjawab, ‘Karena Rasulullah bersabda, ‘Pena diangkat dari orang gila hingga dia sembuh.” Siapa yang bertakbir lalu berkata bélum bertakbir adalah orang tak berakal, sedangkan orang gila tidak wajib shalat.’”

 

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa sebab was-was dalam niat shalat adalah kerusakan pada akal, kebodohan terhadap syariat. Sudah diketahui bahwa barangsiapa kedatangan seorang ulama, lalu dia berdiri untuknya,’ dia berkata, ‘Saya niat berdiri untuk menghormati kedatangan ulama ini karena ilmunya, menyambutnya dengan wajahku.’ Orang ini dibodohkan akalnya, karena kata-katanya tersebut sudah tercatat dalam benaknya sejak dia melihat ulama tersebut.” ‘

 

Berdirinya seseorang untuk shalat dalam rangka menunaikan kewajiban merupakan sesuatu yang telah terbayangkan dalam jiwa saat itu juga, dan masanya tidak lama, sedangkan yang lama adalah waktu untuk menyusun kata-kata itu padahal ia tidak harus, maka was-was adalah kebodohan murni.

 

Orang yang terkena was-was memaksakan diri untuk menghadirkan dalam hatinya shalat Zhuhur, shalat fardhu tepat waktu dan shalat fardhu sekaligus dalam satu keadaan yang terperinci dengan kata-kata, dia menelaahnya, ini mustahil, seandainya dia memaksakan dirinya untuk melakukannya saat berdiri menyambut seorang ulama niscaya dia tak kuasa.

 

Barangsiapa mengetahui ini maka dia mengetahui niat.

 

Kemudian niat boleh didahulukan sesaat sebelum takbir asalkan belum difasakh, lalu apa alasan berlelah-lelah mengharuskannya beriringan dengan takbir, padahal bila dia sudah mewujudkannya dan tidak membatalkannya, maka ia beriringan dengan takbir.

 

Dari Mis’ar berkata, bahwa Maan bin Abdurrahman mengeluarkan selembar kertas, dan dia bersumpah bahwa tulisan dalam kertas itu adalah tulisan tangan bapaknya, di sana tertulis, Abdullah berkata, “Demi Allah, yang tidak Ilah yang haq selainNya, aku tidak melihat seseorang yang paling keras sikapnya terhadap orang-orang yang mempersulit diri daripada

 

Rasulullah, aku tidak melihat seseorang yang paling mengkhawatirkan mereka sesudah beliau daripada Abu Bakar, sesungguhnya aku mengira bahwa Umar adalah orang di bumi ini yang paling takut atas mereka.” Talbis Iblis atas Mereka dalam Shalat Di antara orang-orang yang diganggu oleh iblis yaitu, orang yang niatnya benar lalu bertakbir, namun sesudahnya dia lupa terhadap shalatnya, seolah-olah tujuan shalat hanyalah takbir saja.

 

Ini adalah talbis, ia dibongkar dengan mengatakan bahwa maksud takbir adalah masuk ke dalam shalat, bagaimana ibadah sesudahnya dilalaikan padahal ia seperti rumah, lalu pemiliknya menyibukkan diri menjaga pintunya saja.

 

Di antara orang-orang yang was-was ada yang mendapatkan takbir di belakang imam, padahal rakaat tinggal sedikit, lalu dia membaca doa istiftah, berta’awwudz, akibatnya imam pun ruku’. Ini adalah talbis Iblis, karena apa yang dilakukannya, yakni membaca istiftah dan ta’awwudz adalah sunnah, sedangkan apa yang ditinggalkannya yaitu membaca al-Fatihah menurut sebagian ulama adalah wajib atas makmum, dan semestinya dia tidak mendahulukan sunnah atasnya.

 

Penulis berkata, “Aku menjadi makmum di belakang syaikh kami Abu ad-Dinawari al-Fakih saat aku masih anak-anak, suatu kali beliau melihatku melakukan hal ini, maka ia berkata, ‘Anakku, sesungguhnya para fugaha~ berbeda pendapat tentang wajibnya membaca al-Fatihah di belakang imam, namun mereka tidak berbeda pendapat bahwa istiftah adalah sunnah, maka sibukkanlah dirimu dengan yang wajib dan tinggalkanlah yang sunnah.’”  Meninggalkan Sunnah Iblis mengacaukan sebagian orang hingga mereka meninggalkan banyak sunnah karena peristiwa-peristiwa yang terjadi pada mereka.

 

Di antara mereka ada yang menolak shaf pertama, dia berkata, “Yang penting adalah kedekatan hati.”

 

Di antara mereka ada yang tidak menurunkan tangan di atas tangan, dia berkata, “Saya tidak ingin memperlihatkan kekhusyu’an yang tak ada dalam hatiku.”

 

Telah diriwayatkan kepada kami bahwa dua perbuatan ini dilakukan oleh sebagian pemuka orang-orang shalih.

 

Perkara ini adalah akibat dari minimnya ilmu. Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah dari nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Seandainyaorang-orang mengetahuiapayangmerekadapatkan dalam adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mendapatkannya kecuali dengan mengundi niscaya mereka akan mengundii. ”

 

Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang akhir. ”

 

Adapun meletakkan tangan di atas tangan maka ia sunnah, Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya bahwa Ibnu az-Zubair berkata, “Meletakkan tangan di atas tangan adalah sunnah.” 

 

Tonu Mas’ud shalat, dia meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya, Nabi melihatnya, maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.

 

Penulis berkata, “Jangan heran terhadap pengingkaran kami terhadap siapa yang berkata, ‘Maksudnya adalah kedekatan hati, aku tidak meletakkan tangan di atas tangan.’ Sekalipun yang melakukan dan mengucapkan termasuk ulama besar, karena bukan kami yang mengingkari akan tetapi syariat.”

 

Seseorang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Ibnul Mubarak berkata ini dan ini.” Maka Ibnu Hanbal menjawab, “Ibnul Mubarak tidak turun dari langit.” Seseorang berkata kepada Imam Ahmad, “Ibrahim bin Adham berkata ini dan ini.” Maka dia menjawab, “Kalian mendatangkan kepadaku cabang-cabang jalan. Peganglah jalan utama!”

 

Syariat tidak boleh ditinggalkan hanya karena ucapan seorang lakiJaki yang diagungkan oleh jiwa, karena syariat lebih agung, sedangkan kekeliruan bertakwil pada manusia sangat terbuka, dan bisa juga mereka belum mengetahui hadits.!

 

Iblis mengacaukan sebagian mushallin (orang yang shalat) tentang makhraj huruf. Anda melihatnya membaca al-hamdu, al-hamdu, pengulangan kata mengeluarkannya dari kaidah adab dalam shalat.

 

Terkadang Iblis mengacaukannya dalam perkara mewujudkan tasydid. Terkadang dalam mengeluarkan dhah al-maghdhub. Sungguh aku melihat orang yang membaca al-maghdhubi, dia sampai menyemprotkan ludahnya bersama dengan dhad karena kuatnya tasydidnya, padahal yang dituntut hanya membaca huruf dengan sebaik-baiknya.

 

Iblis mengeluarkan mereka dengan menambah dari aturan membaca dengan baik, menyibukkan mereka dengan perhatian yang berlebihlebihan terhadap makhraj huruf sehingga tidak memahami maknanya. Semua ini merupakan was-was Iblis.

 

Dalam Shahih Muslim dari hadits Utsman bin al-Ash berkata, aku berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya setan mengganggu shalat dan bacaanku, ia mengacaukannya atasku.” Maka Rasulullah menjawab, “Itu setan bernama Khinzab, bila kamu merasakan kehadirannya maka berlindunglah kepada Allah darinya tiga kali dan meludahlah ke kirimu.” Aku pun melakukannya, maka Allah mengusirnya dariku.

 

Iblis telah mengacaukan banyak orang dari para ahli ibadah yang bodoh, mereka memandang bahwa ibadah hanya bediri dan duduk saja, mereka melakukannya demikian, di saat yang sama mereka melalaikan sebagian kewajiban mereka tanpa mengetahuinya.

 

Saya memperhatikan beberapa orang, mereka salam saat imam salam, padahal masih tersisa atas mereka sedikit tasyahud, padahal sisi ini tidak dipikul oleh imam untuk mereka.

 

Iblis mengacaukan sebagian lain dari mereka, maka mereka memanjangkan shalat, memperlama bacaan, namun mereka meninggalkan apa yang sunnah dalam shalat dan melakukan apa yang makruh.

 

Saya melihat sebagian ahli ibadah sedang shalat sunnah di siang hari, dia mengeraskan bacaan, maka aku berkata kepadanya, “Mengeraskan bacaan di shalat siang makruh.” Dia menjawab, “Aku melakukannya untuk mengusir kantuk.” Aku berkata kepadanya, “Sunnah tidak ditinggalkan hanya karena kamu kurang tidur. Bila kamu mengantuk maka tidurlah karena dirimu memiliki hak atasmu.”

 

Memperbanyak Shalat Malam

 

Iblis mengacaukan sebagian ahli ibadah, maka mereka memperbanyak shalat malam, di antara mereka ada yang menghidupkan seluruh malam, berbangga bisa shalat malam dan shalat dhuha dengan kebanggaan melebih pelaksaannya terhadap shalat fardhu, kemudian sesaat sebelum Shubuh dia tertidur, maka shalat Shubuh berjamaah tertinggalkan, atau dia bangun, bersiap-siap shalat namun dia tetap tidak mendapatkannya atau dia mendapatkan pagi dalam keadaan lelah, hingga ia tidak mampu bekerja untuk keluarganya.

 

Saya melihat seorang syaikh ahli ibadah bernama Husain al-Qazwini, dia mondar-mandir di siang hari di masjid al-Manshur, maka aku bertanya tentang sebabnya, seseorang menjawabku, “Agar tidak tidur.” Maka aku berkata, ini merupakan kebodohan berdasarkan tuntutan syariat dan akal. Adapaun untuk yang menurut syariat, karena Nabi bersabda:

 

“Sesungguhnya untuk dirimu atas dirimu hak, bangun dan tidurlah. ”!

 

Nabi bersabda:

 

“Peganglah oleh kalian petunjuk yang seimbang, karena siapa memberatkan agama maka agama mengalahkannya.”?Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah masuk masjid, beliau melihat tambang yang terbentang di antara dua tiang, beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Punya Zainab, dia shalat, bila dia lelah atau malas maka dia berpegangan kepadanya.” Nabi bersabda, “Lepaskanlah ia.” Kemudian Nabi bersabda, “Hendaknya salah seorang di antara kalian shalat saat giat, bila malas atau lelah maka hendaknya duduk. ”

 

Dari Aisyah berkata, Rasulullah bersabda:

 

“Bila salah seorang di antara kalian mengantuk maka hendaknya dia tidur sampai kantuknya hilang, karena bila dia shalat dalam keadaan mengantuk, bisa jadi dia ingin beristighfar, malah dia mencaci maki dirinya. ”!

 

Adapun menurut akal, karena tidur dapat mengembalikan kebugaran yang telah melemah karena tidak tidur, manakala seseorang menolaknya padahal dia membutuhkannya, maka ia akan berdampak buruk terhadap badan dan akalnya. Kami berlindung kepada Allah dari kebodohan ini. Bila seseorang berkata, “Anda telah meriwayatkan kepada kami bahwa beberapa orang salaf menghidupkam malam seluruhnya.” Kami menjawab, “Mereka melakukan itu tahap demi tahap sehingga mereka mampu, di saat yang sama mereka percaya bisa tetap melakukan shalat Shubuh berjamaah, mereka mendukung usaha mereka dengan tidur di tengah siang, di tambah dengan makanan yang disedikitkan, maka mereka mampu melakukannya. Kemudian kami tidak mendengar bahwa Rasulullah menghidupkan seluruh malamnya, maka sunnah beliau adalah yang wajib diikuti.”

 

Iblis telah mengacaukan beberapa orang ahli qiyamul lail, mereka membicarakannya di siang hari, terkadang salah seorang dari mereka berkata, “Fulan muadzin mengumandangkan adzan pada waktunya.” Agar orang-orang mengetahui bahwa saat itu dia terjaga.

 

Perbuatan ini paling tidak bila pelakunya selamat dari riya’ Mmemindahkan perbuatan dari catatan amal rahasia kepada catatan amal terangterangan, sehingga mengurangi pahalanya.

 

Talbis Iblis atas Mereka Pada al-Qur an Iblis mengacaukan ahli ibadah yang lain, mereka menyendiri di masjid untuk shalat dan beribadah, mereka dikenal demikian, maka orang-orang datang dan berkumpul kepada mereka, orang-orang mengikuti shalat mereka, keadaan mereka menyebar di masyarakat, padahal ia termasuk talbis Iblis, dengan itu jiwa sernakin bersemangat untuk beribadah, karena jiwa mengetahui bahwa hal itu menyebar dan menghadirkan pujian. ” Dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi bersabda:

 

“Sesungguhnya shalat seseorang yang paling utara adalah di rumahnya kecuali shalat fardhu. ”

 

Amir bin Abdi Qais tidak suka bila orang-orang melihatnya shalat, dia tidak shalat sunnah di masjid.

 

Ibnu Abu Laila, saat dia shalat lalu seseorang masuk kepadanya, maka dia berbaring.

 

Iblis mengacaukan atas sebagian orang ahli ibadah, mereka menangais dikelilingi oleh orang-orang, hal ini bisa terjadi padanya dan tidak mungkin ditolak. Maka barangsiapa mampu menutupinya namun dia malah menampakkannya, berarti dia sengaja riya”.

 

Dari Ashim berkata, “Bila Abu Wail shalat di ramahnya, dia menangis, seandainya dia diberi dunia dengan catatan dia melakukannya saat ada yang melihatnya niscaya dia menolak.”

 

Ayyub as-Sikhtiyani, bila dia kalah oleh tangisnya maka dia berdiri.

 

Iblis mengacaukan sebagian ahli ibadah. Anda melihat mereka shalat siang malam, namun mereka tidak berupaya memperbaiki penyakit batin, tidak memperbaiki makanan mereka, padahal usaha memperbaiki yang akhir ini lebih penting dari banyaknya ibadah sunnah.

 

Talbis Iblis atas Mereka dalam Membaca al-Qur an

 

Iblis mengacaukan sebagian orang dengan banyaknya bacaan al-Qur’an, mereka membacanya dengan cepat tanpa tartil dan tanpa memastikan kebenarannya, dan ini merupakan perbuatan yang tak terpuji.

 

Penulis berkata, “Iblis mengacaukan sebagian orang dari kalangan para qurra’, mereka membaca al-Qur’an di menara masjid pada malam hari dengan satu suara yang tinggi sebanyak satu atau dua juz, mereka menggabungkan dua perkara buruk, mengganggu orang-orang yang sedang tidur dan resiko riya’.”

 

Di antara mereka ada yang membaca di masjidnya saat adzan, karena saat itu orang-orang sedang berkumpul di masjid.

 

Penulis berkata, bahwa di antara perkara ajaib yang pernah aku saksikan di antara mereka adalah seorang laki-laki yang shalat Shubuh di hari Jum’at, dia menoleh lalu membaca mu’awwidzatain dan mengucapkan doa khatam al-Qur’an, agar orang-orang mengetahui, saya telah mengkhatamkan al-Qur’an.

 

Ini bukanlah jalan hidup salaf, karena para salaf menyembunyikan ibadah mereka. Amal perbuatan ar-Rabi’ bin Khutsaim adalah rahasia, terkadang dia sudah membuka mushaf lalu seseorang masuk kepadanya, maka dia menutupinya dengan pakaiannya.

 

Ahmad bin Hanbal banyak membaca al-Qur’an tanpa diketahui berapa banyak telah mengkhatamkannya.

 

Talbis Iblis atas Mereka Pada Cara Puasa

 

Penulis berkata, “Iblis mengacaukan sebagian orang, dia membaguskan bagi mereka puasa terus menerus, hal ini memang boleh bila seseorang berbuka di hari-hari yang dilarang berpuasa padanya, hanya saja ia tetap mengandung masalah dari dua sisi:

 

> Pertama: Puasa seperti ini bisa melemahkan kekuatan, akibatnya seseorang tidak kuasa bekerja untuk keluarganya, tidak mampu menafkahi istrinya secara batin. Dalam ash-Shahihain dari Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya istrimu memiliki hak atasmu. ” Berapa banyak yang wajib tersia-siakan akibat amalan sunnah ini.

 

> Kedua: Dia kehilangan yang utama, karena Nabi  telah bersabda secara shahih, “Sebaik-baik puasa adalah puasa Dawud, dia berpuasa satu hari dan berbuka satu hari.” Dari Abdullah bin Amru bahwa dia berkata, Rasulullah bertemu denganku, beliau bertanya kepadaku, “Aku dengar kamu melakukan shalat semalam suntuk? Bahwa kamu adalah yang berkata, Aku akan shalat malam dan berpuasa di siang hari?” Aku menjawab, “Benar, wahai Rasulullah. Aku memang berkata demikian.” Nabi bersabda, “Bangun dan tidurlah, berpuasa dan berbukalah, berpuasalah tiga hari perbulannya, karena ia setara dengan puasa setahun.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku mampu lebih dari itu.” Nabi bersabda, “Puasalah satu hari dan berbukalah satu hari, ini adalah puasa paling baik, ia adalah puasa Dawud.”

 

Aku berkata, “Ya Rasulullah, aku mampu lebih.” Rasulullah menjawab, “Tidak ada yang lebih utama darinya.” Diriwayatkan dalam ashShahihain.

 

Talbis Iblis Atas Mereka Pada Niat Puasa

 

Terkadang seorang ahli ibadah sudah dikenal berpuasa selamanya, dia mengetahui bahwa perbuatannya sudah diketahui masyarakat, maka dia sama sekali tidak berbuka, bila dia berbuka, maka dia menyembunyikannya agar kedudukannya tidak jatuh. Ini termasuk riya’ yang samar, seandainya dia bermaksud ikhlas dan menutupi keadaan niscaya dia berbuka di depan orang-orang yang mengetahuinya berpuasa, kemudian kembali berpuasa tanpa diketahui.

 

Di antara mereka ada yang memberitahukan puasa yang telah dia lakukan, dia berkata, “Sudah dua puluh tahun ini aku tak pernah berbuka.” Iblis mengacaukannya dengan alasan bahwa kamu memberitahukannya agar diikuti. Allah lebih mengetahui maksud seseorang.

 

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Sesungguhnya seorang hamba melakukan suatu amal secara rahasia, lalu setan menggodanya hingga dia menceritakannya, amalnya pun berpindah dari catatan amal rahasia kepada amalan terang-terangan.” –

 

Di antara mereka ada yang terbiasa puasa Senin dan Kamis, seandainya dia diundang kepada hidangan makan, dia berkata, “Hari ini Kamis.” Seandainya dia berkata, “Aku berpuasa.” Niscaya ia adalah ujian, akan tetapi ucapannya, “Hari ini Kamis.” Maksudnya bermakna bahwa saya berpuasa setiap hari Kamis.

 

Di antara mereka ada yang merendahkan manusia karena dia berpuasa sedangkan mereka tidak. Di antara mereka ada yang selalu berpuasa tetapi tak pernah berpikir dengan apa dia berbuka, tidak menjauhi ghibah saat berpuasa, tidak menghindari pandangan, tidak menjauhi kata-kata yang tak berguna, Iblis berbisik kepadanya, “Puasamu menepis hukuman dari dirimu.” Semua ini adalah talbis Iblis.

 

Talbis Iblis atas Mereka Dalam Urusan Haji

 

Penulis berkata, “Terkadang seseorang sudah menggugurkan kewajiban dengan melaksanakan ibadah haji sekali kemudian dia mengulanginya tanpa ridha bapak ibu, ini salah.

 

Jerkadang seseorang berangkat haji padahal dia masih memikul hutang atau kezhaliman, terkadang berangkat hanya untuk tamasya, dan terkadang berhaji dengan biaya uang syubhat. – Di antara mereka ada yang ingin dipanggil haji bila bertemu seseorang.!” Kebanyakan dari mereka menyia-nyiakan kewajiban. di jalan, menyiakan-nyiakan thaharah dan shalat, berkumpul di Ka’bah dengan hati berdosa dan batin yang kotor.

 

Iblis memperlihatkan kepada mereka bentuk haji, maka dia menipu mereka, bahwa maksud haji adalah mendekatkan hati bukan badan semata, hal itu terwujud bila ketakwaan dilakukan.

 

Berapa banyak orang yang berangkat menuju Makkah, tujuannya hanyalah jumlah haji; hingga dia bisa berkata, “Saya sudah wukuf dua puluh kali.” .

 

Berapa banyak orang yang bertetangga dengan Ka’bah dalam waktu yang lama namun dia sama sekali tidak membersihkan hatinya, terkadang tujuan salah seorang dari mereka adalah futuhat yang sampai kepadanya.!

 

Terkadang dia berkata, “Sampai hari ini, aku sudah tinggal di Ka’bah selama dua puluh tahun.”

 

Berapa banyak orang yang aku lihat di jalan Makkah bermaksud menunaikan haji, mereka memukul rekan-rekannya karena berebut air dan mempersempit jalan mereka.

 

Iblis telah mengacaukan sebagian orang yang berangkat ke Makkah, mereka menyia-nyiakan shalat, mengurangi timbangan dan takaran saat mereka menjual, mereka menyangka bahwa haji menolak adzab dari mereka.

 

Iblis mengacaukan sebagian orang dari mereka, mereka mengadaadakan manasik yang bukan termasuk darinya. Aku melihat sekelompok orang berdandan saat ihram, membuka satu pundak, menjemurnya di bawah matahari berhari-hari, maka kulit mereka berubah gelap dan kepala mereka kusut, mereka menjadikannya sebagai perhiasaan di depan orang-orang.

 

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi melihat seorang laki-laki thawaf di Ka’bah dengan tambang atau lainnya, maka nabi memotongnya.

 

Penulis berkata, “Hadits ini melarang perbuatan bid’ah dalam agama sekalipun maksudnya adalah ibadah.”

 

Talbis Iblis atas mereka dalam Tawakal

 

Iblis mengacaukan sebagian orang yang mengaku bertawakal, maka mereka berangkat haji tanpa bekal, mereka beranggapan bahwa itulah tawakal, padahal mereka benar-benar keliru.

 

Seorang laki-laki berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Saya ingin berangkat ke Makkah dengan tawakal tanpa bekal.” Maka Ahmad menjawab, “Berangkatlah tanpa rombongan.” Dia berkata, “Tidak, tetapi bersama rombongan.” Maka Imam Ahmad berkata, “Kamu bertawakal kepada kantong makanan orang.” Kami memohon kepada Allah agar membimbing kami.

 

Talbis Iblis atas Para Pejuang Perang Penulis berkata, “Iblis telah mengacaukan banyak orang, mereka berangkat berjihad sementara niat mereka adalah membanggakan diri dan riya’, agar dikatakan, ‘Fulan berperang.’ Bisa jadi tujuannya adalah agar dikatakan, ‘Fulan pemberani,’ atau mencari harta rampasan perang. Sesungguhnya amalan-amalan itu hanya dengan niat-niat.”

 

Dari Abu Musa berkata, “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi , dia berkata, “Ya Rasulullah, apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang berperang demi keberanian, berperang karena fanatisme dan berperang karena riya’, siapakah dari mereka yang berperang di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah maka dia di jalan Allah.” Diriwayatkan dalam ashShahihain.

 

Dari Ibnu Mas’ud berkata, “Jangan berkata, ‘Fulan syahid.’ Atau, ‘Fulan gugur sebagai syahid.’ Karena terkadang seseorang berperang agar mendapatkan harta rampasan perang, berperang mencari nama dan berperang agar kedudukannya diketahui.”!””

 

Dari Abu Hurairah berkata, “Manusia pertama yang diputuskan di Hari Kiamat ada tiga: Seorang laki-laki gugur di medan perang, dia dihadirkan, dikenalkan kepada nikmat-nikmatnya maka dia mengenalnya. Allah bertanya, Apa yang kamu lakukan padanya?’ Dia menjawab, ‘Aku berperang di jalanMu hingga aku terbunuh.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, karena kamu berperang agar dikatakan bahwa kamu pemberani dan itu sudah dikatakan.’ Kemudian Allah memerintahkannya agar diseret di atas wajahnya hingga dicampakkan ke dalam api neraka.

 

Seorang laki-laki belajar ilmu, mengajarkannya dan membaca alQuran, dia dihadapkan kepada Allah, Dia mengenalkan nikmat-nikmatNya maka dia mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, Apa yang kamu lakukan padanya?’ Dia menjawab, ‘Aku belajar ilmu karenaMu, mengajarkannya dan aku membaca al-Qur’an.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, sebaliknya kamu belajar agar dikatakan bahwa kamu alim dan itu sudah dikatakan. Kamu membaca al-Qur ‘an agar dikatakan bahwa kamu qari’ dan itu sudah dikatakan.’ Kemudian Allah memerintahkannya agar diseret di atas wajahnya hingga dicampakkan ke dalam api neraka.

 

Seorang laki-laki yang dilapangkan hidupnya, memberinya berbagai macam harta, dia dihadapkan, maka Allah mengenalkan nikmat-nikmatNya dan dia mengenalinya. Allah bertanya, Apa yang kamu lakukan padanya?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak membiarkan satu jalan di mana Engkau menganjurkan berinfak padanya kecuali aku berinfak padanya karenaMu.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, akan tetapi kamu berinfak agar dikatakan bahwa kamu dermawan dan itu sudah dikatakan.’ Kemudian Allah memerintahkannya agar diseret di atas wajahnya hingga dicampakkan ke dalam api neraka.” Diriwayatkan sendiri oleh Muslim.”

 

Talbis Iblis atas mereka Dalam Urusan Harta Rampasan

 

Iblis mengacaukan seorang mujahid tatkala harta rampasan perang diraih, terkadang dia mengambil harta rampasan perang padahal dia tidak boleh mengambilnya. Ada kemungkinan dia berilmu minim, sehingga dia melihat bahwa harta orang-orang kafir mubah bagi siapa yang mengambilnya dan dia tidak tahu bahwa menggelapkan harta rampasan perang adalah dosa.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah, ia berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah menuju Khaibar, dan Allah memberikan kemenangan kepada kami dan kami tidak mendapatkan harta rampasan perang berupa emas maupun perak, akan tetapi peralatan, makanan dan pakaian. Kemudian kami pergi ke lembah, sedangkan Rasulullah bersama seorang budaknya. Tatkala kami singgah, budak Rasulullah ini bangkit seraya membuka, namun sebuah anak panah mengenainya dan mematikannya. Kami berkata, ‘Selamat baginya, syahadah wahai Rasulullah.” Maka Nabi menjawab, ‘Tidak demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, sesungguhnya syal (yang digelapkannya) membakarnya, dia mengambilnya di perang Khaibar dan belum dibagi.’ Maka orang-orang ketakutan, seorang laki-laki datang membawa satu buah tali sandal atau dua, dia berkata, ‘Saya mengambilnya di perang Khaibar.’ Rasulullah bersabda, “Satu buah tali sandal dari neraka atau dua buah tali sandal dari neraka.””

 

Terkadang seorang prajurit mengetahui larangan, hanya saja dia melihat harta melimpah sehingga tak kuasa menahan diri darinya, bisa jadi dia menyangka bahwa jihadnya melindunginya dari apa yang dilakukannya. Di sinilah diketahui dampak iman dan ilmu.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang yang Beramar Ma’ruf dan Nahi Mungkar

 

Mereka terbagi menjadi dua kelompok yaitu orang yang tahu dan orang yang tidak tahu. Adapun masuknya iblis kepada orang yang tahu melalui dua jalan:

 

>Jalan pertama: Menghiasi diri dengan itu, mencari nama baik dan membanggakan perbuatannya.

 

Telah diriwayatkan kepada kami dari Ahmad bin Abu al-Hawari berkata, bahwa aku mendengar Abu Salman berkata, “Aku mendengar Abu Bakar Ja’far al-Manshur menangis dalam khutbah Jum’atnya, aku marah, aku berniat untuk berdiri dan menasihatinya sesuai dengan apa yang aku ketahui bila dia turun. Maka aku tidak ingin berdiri kepada seorang khalifah lalu menasihatinya sementara orang-orang duduk menyaksikan, lalu menyusup keinginan menghiasi diri dengannya, maka dia memerintahkanku agar dibunuh, sehingga aku mati bukan di atas niat yang shahih, maka aku pun duduk dan diam.

 

> Jalan kedua: Marah terhadap diri sendiri, bisa jadi ia di permulaan, bisa jadi terjadi secara tiba-tiba saat mengajak kepada kebaikan, karena orang-orang yang mengingkari menyambutnya dengan penghinaan, hingga dia menjadi orang yang membela diri, sebagaimana yang diucapkan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada seorang laki-laki, “Kalau aku tidak dalam keadaan marah, niscaya aku menghukummu. Kamu ingin memancing amarahku, aku khawatir hukumanku bercampur antara marah karena Allah dan marah karena diri sendiri.”

 

Bila pelaku amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah orang bodoh, maka setan mempermainkannya, dia lebih banyak merusak daripada memperbaiki, karena tidak tertutup kemungkinan dia melarang sesuatu yang boleh dengan kesepakatan ijma’, bisa jadi dia mengingkari takwil rekannya dan mengikuti sebagian madzhab,’” bisa jadi dia mendobrak pintu, memanjat pagar, memukul pelaku kemungkaran dan menuduhnya, bila pelaku kemungkaran mengucapkan kata-kata yang membuatnya marah, maka dia marah karena dirinya.

 

Di antara talbis Iblis atas pengingkar kemungkaran bahwa bila dia mengaingkari, dia duduk di perkumpulan, dia menjelaskan apa yang dilakukannya dan membanggakannya, mencaci maki pelaku kemungkaran dengan cacian penuh kebencian, melaknat mereka, padahal bisa jadi orang-orang itu sudah bertaubat, bisa jadi mereka lebih baik darinya karena penyesalan mereka dan kesombongannya, pembicaraan melebar hingga dia membuka aurat kaum muslimin, karena dia memberitahu siapa orang tidak tahu, padahal menutupi aib seorang muslim adalah wajib sebisa mungkin.

 

Aku mendengar sebagian orang bodoh yang mengingkari kemungkaran bahwa dia menyerang suatu kaum tanpa memastikan apa yang sedang mereka lakukan, dia memukul mereka dengan pukulan menyakitkan, memecahkan bejana-bejana, padahal semua itu hanyalah ajakan kebodohan.

 

Adapun orang yang mengetahui, bila dia mengingkari maka kamu aman darinya.

 

Shilah bin Usyaim melihat seorang laki-laki berbicara kepada seorang wanita, dia berkata, “Sesungguhnya Allah melihat kalian berdua, semoga Allah menutupi kalian sebagaimana Dia menutupi kami.”

 

Dia melewati orang-orang yang sedang bermain-main, dia berkata kepada mereka, “Saudara-saudara, apa pendapat kalian tentang seseorang yang hendak melakukan perjalanan, namun dia malah tidur sepanjang malam dan main-main di siang hari, kapan dia akan menyelesaikan safarnya?” Seorang laki-laki dari mereka paham, dia berkata kepada teman-temannya, “Orang ini mengajari kita.” Maka dia dan temantemannya bertaubat.

 

Orang yang paling patut diingkari dengan kelembutan adalah para sultan, kepada mereka bisa dikatakan, “Allah sudah memuliakan kalian, maka kenalilah nikmatNya, karena nikmat Allah dijaga dengan mensyukurinya, dan tidak baik bagi kalian membalas nikmat dengan maksiat.”

 

Iblis telah mengacaukan sebagian ahli ibadah, dia melihat kemungkaran namun tidak mengingkarinya, dia berkata, “Yang memerintah dan melarang hanyalah orang yang pantas, aku belum pantas, bagaimana saya memerintah orang lain?”

 

Ini keliru, karena semestinya dia mau memerintah dan melarang sekalipun kemaksiatan itu ada padanya, hanya saja bila dia mengingkari kemungkaran dalam keadaan bersih darinya, maka pengingkarannya berdampak baik. Bila dia tidak bersih darinya maka pengingkarannya hampir tak berpengaruh, maka patut bagi orang yang mengingkari kemungkaran agar membersihkan dirinya agar usahanya dapat memberi pengaruh yang baik.

 

Ibnu Adil berkata, “Kami melihat di zaman kami Abu Bakar al-Aafali pada zaman al-Qaim, bila dia bangkit untuk mengingkari kemungkaran, dia diikuti oleh para syaikh yang tidak makan kecuali dari usaha tangan mereka seperti Abu Bakar al-Khabbaz dan beberapa orang yang tak satu pun dari mereka makan sedekah, tidak ternoda dengan menerima pemberian, mereka ahli puasa di siang hari dan ahli shalat di malam hari serta sering menangis. Bila ada orang yang mencampur kebaikan dengan keburukan, maka dia menolaknya, dia berkata, ‘Bila kita bertemu musuh dengan pasukan yang masih mencampuraduk kebaikan dengan keburukan maka kita bakal kalah!”

 

Orang awam mungkin mendengar celaan terhadap dunia di dalam al-Qur’an dan sunnah, maka dia melihat bahwa keselamatan adalah dengan meninggalkannya, dan dia tidak tahu dunia apa yang tercela, maka_Iblis mengacaukannya bahwa kamu tidak akan selamat di akhiyat kecuali dengan meninggalkan dunia, maka dia keluar menyingkir ke gunung-gunung, menjauh dari shalat Jum’at, shalat jamaah dan ilmu, dia menjadi seperti hewan liar, Iblis mengelabuhinya bahwa inilah zuhud hakiki, bagaimana tidak sementara dia telah mendengar tentang fulan bahwa dia luntang-lantung dan fulan lainnya bahwa dia beribadah di gunung, bisa jadi dia masih mempunyai keluarga, mereka terlantar, atau ibu yang menangisi kepergiannya, bisa jadi dia tidak mengetahui rukun-rukun shalat sebagaimana mestinya, dan bisa jadi dia masih memikul tanggungan yang belum ditunaikannya.

 

Iblis berhasil menguasai orang ini karena minimnya ilmu, di antara bukti kebodohannya adalah bahwa dia rela terhadap dirinya untuk tidak berilmu, padahal seandainya dia diberi taufik untuk berguru kepada fakih yang memahami hakikat perkara, niscaya si fakih tersebut akan menunjukkan kepadanya bahwa dunia tidak tercela dari sisi dirinya, bagaimana nikmat Allah dicela, padahal ia merupakan nikmat nikmat yang menjadi hajat pokok bagi kelangsungan hidup manusia, menjadi sebab yang bisa membantunya mendapatkan ilmu dan ibadah berupa makanan, minuman, pakaian dan masjid untuk shalat. Sebaliknya yang tercela darinya adalah mengambil sesuatu bukan dari sumber yang halal atau memakannya secara boros bukan sekedar hajat kebutuhan atau jiwa bertindak padanya sejalan dengan kebodohannya tidak sejalan dengan syariat. Bahwa keluar pergi ke gunung menyendiri dilarang, karena nabi melarang seseorang bermalam sendirian, resiko meninggalkan shalat Jum’at dan jamaah adalah kerugian tanpa keuntungan, menjauh dari ilmy dan ulama menguatkan kekuasaan kebodohan, berpisah dari bapak dan ibu dalam keadaan ini adalah kedurhakaan dan ia termasuk dosa besar.

 

Adapun orang-orang yang dia dengar bahwa dia menyendiri ke gunung-gunung maka ada kemungkinan mereka tidak memiliki keluarga, bapak dan ibu, maka mereka keluar ke sebuah tempat untuk beribadah di sama secara bersama. Barangsiapa yang perbuatannya tidak mengandung sisi yang shahih maka dia di atas kesalahan, siapa pun dia.

 

Sebagian salaf berkata, “Kami keluar ke gunung untuk beribadah, maka Sufyan ats-Tsauri datang kepada kami dan menyuruh kami pulang.” Talbis Iblis atas Ahli Zuhud Di antara talbis Iblis atas para ahli zuhud adalah bahwa mereka berpaling dari ilmu dengan alasan sibuk zuhud, mereka telah menukar apa yang lebih baik dengan apa yang lebih rendah. Penjelasannya begini, manfaat orang zuhud tidak melampaui teras rumahnya, sementara manfaat orang yang berilmu menyebar, berapa banyak ahli ibadah yang dipulangkan kepada kebenaran oleh seorang yang berilmu.

 

Di antara talbis Iblis atas mereka adalah dia mengelabuhi mereka bahwa zuhud adalah meninggalkan hal-hal mubah. Di antara mereka tidak makan kecuali roti gandum. Di antara mereka ada yang tidak makan buah-buahan. Di antara mereka ada yang makan sedikit hingga badannya kering dan menyiksa dirinya dengan memakai wol serta menolak minum air dingin.

 

Semua ini bukan jalan hidup Rasulullah, tidak pula para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka. Mereka memang lapar, namun itu karena mereka memang tidak punya makanan, bila makanan ada maka mereka makan.

 

Rasulullah makan daging dan menyukainya, makan ayam, menyukai manisan dan menikmati air yang dingin.

 

Seseorang berkata, “Aku tidak makan kue puding, aku takut tidak bisa mensyukurinya.” Maka al-Hasan al-Bashri berkata, “Dasar bodoh. Apakah dia bisa mensyukuri air yang dingin?!”

 

Bila Sufyan ats-Tsauri safar, dia membawa bekal dalam kantongnya berupa daging panggang dan puding. .

 

Seseorang sepantasnya mengetahui bahwa badannya adalah kendaraannya, dia harus memperlakukannya dengan kelembutan agar bisa menyampaikannya ke tujuan, mengambil apa yang menguatkannya dan membuang apa yang membahayakannya berupa kenyang berlebihan dalam menunaikan hajat jiwa karena hal itu bisa membahayakan badan dan agama.

 

Manusia memiliki tabiat yang berbeda-beda, bila orang-orang pedalaman memakai bahan wol dan hanya minum susu maka kita tidak mencela mereka, karena tubuh mereka sanggup memikul hal itu. Bila penduduk desa memakai bahan wol, dan makan kawamikh (makanan semacam acar), maka kita tidak mencela mereka. Kita tidak berkata, “Di antara mereka ada orang yang terlalu memaksakan diri.” Karena memang demikian adat mereka.

 

Tetapi bila badan makmur, tumbuh di atas kenikmatan, maka kami melarang pemiliknya membebankan sesuatu yang membahayakan atas dirinya. Bila dia berzuhud dan meninggalkan kesenangan, maka bisa jadi karena yang halal tidak mengandung pemborosan atau karena makanan yang enak mengundang selera untuk makan banyak, akibatnya adalah mengantuk dan malas. Dalam kondisi ini yang diperlukan adalah mengetahui apa yang bila ditinggalkan membahayakan atau tidak membahayakan, maka dia bisa mengambil kadar cukup tanpa membahayakan diri.

 

Tidak perlu menengok ucapan al-Harits al-Muhasibi dan Abu Thalib al-Makki di mana keduanya mengajak menyedikitkan makanan, melawan jiwa dengan tidak memenuhi hajatnya yang mubah, karena mengikuti Rasulullah dan para shahabatnya adalah lebih utama.

 

Ibnu Aqil berkata, “Betapa ajaibnya urusan kalian dalam beragama! Hawa nafsu yang diperturut atau kerahiban yang diada-adakan, antara menyeret ekor suka cita di zaman muda dan permainan dengan menyianyiakan hak, menelantarkan keluarga, menyepi di pojok-pojok masjid, mengapa mereka tidak beribadah secara syar’i dan logis?!”

 

Di antara talbis Iblis atas mereka adalah, dia mengelabuhi mereka bahwa zuhud hanya dengan gana’ah terhadap makanan dan pakaian rendah, maka mereka pun gana’ah dengan itu tetapi hati mereka berambisi memimpin dan mencari kedudukan. Anda melihat mereka menunggu saat-saat berkunjungnya para penguasa kepada mereka, memulaikan Orang-orang kaya dan meninggalkan orang-orang fakir, menampakkan kekhusyu’an saat bertemu orang, seolah-olah mereka baru keluar darj kuburan, terkadang salah seorang dari mereka menolak harta agar tidak dikatakan, “Fulan sempat berzuhud.” Padahal mereka dalam urusan datang perginya orang-orang kepada mereka mencium tangan mereka untuk membuka gerbang kedudukan dunia lebar-lebar, karena tujuan dunia adalah kedudukan.

 

Talbis Iblis atas Para Ahli Ibadah

 

Perkara utama yang dengannya Iblis mengacaukan para ahli ibadah dan ahli zuhud adalah riya~ yang samar. Adapun riya~ yang nampak maka ia tidak masuk ke dalam talbis, seperti menampakkan badan yang kurus, wajah yang pucat, kepala yang kusut agar dijadikan sebagai bukti zuhud, demikian juga merendahkan suara agar dikira khusyu’, demikian juga riya~ dalam shalat dan sedekah, hal-hal seperti ini adalah nyata yang tidak samatr.

 

Kami hanya membicarakan riya~ yang samar, karena Nabi bersabda:

 

“Sesungguhnya amal-amal itu adalah dengan niat-niat. “

 

Bila pelaku amal tidak berharap wajah Allah, maka tidak diterima. Malik bin Dinar berkata, “Katakanlah kepada orang yang tak jujur, ‘Tak usah berlelah-lelah!”

 

Ketahuilah bahwa seorang mukmin tidak mencari dengan amalnya kecuali wajah Allah, yang menyusup kepadanya adalah riva~ yang samar dan urusannya dikacaukan, maka keselamatannya darinya tidaklah mudah.

 

Dari Yasar berkata, bahwa Yusuf bin Asbath berkata kepadaku, “Belajarlah untuk membedakan antara amal yang benar dan yang tidak, sesunagguhnya aku mempelajarinya selama dua puluh dua tahun.”

 

Orang-orang shalih menyembunyikan amal mereka karena mereka takut terjatuh ke dalamnya, mereka memperlihatkan sebaliknya. Ibnu Sirin tertawa di siang hari dan menangis di malam hari. Adalah apabila Ibnu Adham sakit, maka di sisinya ada makanan yang biasa disantap oleh orang-orang yang sehat.

 

Bakkar bin Abdullah mendengar Wahab bin Munabbih berkata, “Ada seorang laki-laki yang termasuk orang-orang terbaik di zamannya, orang-orang datang mengunjunginya, dia menasihati mereka. Suatu hari orang-orang berkumpul kepadanya, dia berkata, “Sesungguhnya kita telah keluar dari dunia, berpisah dengan keluarga dan harta karena takut melampaui batas, saya takut dalam keadaan ini disusupi oleh sikap melampaui batas dalam kadar yang lebih besar daripada apa yang menyusup kepada orang-orang kaya pada harta mereka, lalu salah seorang di antara kita ingin hajatnya ditunaikan, bila bertemu dihormati dan dimuliakan karena kedudukan agamanya.”

 

Ucapannya ini menyebar hingga terdengar oleh raja, dia kagum kepadanya, maka raja datang untuk mengucapkan salam kepadanya dan mengenali keadaannya. Tatkala raja datang, seseorang berkata kepada laki-laki tersebut, “Ini paduka raja, dia datang kepadamu untuk mengucapkan salam kepadamu.” Dia bertanya, “Dalam rangka apa?” Dia menjawab, “Karena ucapan yang pernah kamu ucapkan.” Maka laki-laki itu bertanya kepada pelayannya, “Ada makanan?” Dia menjawab, “Sedikit buah yang biasa engkau makan saat berbuka.” Maka dia menghidangkannya di atas sebuah kain dari bulu dan meletakkannya di depannya, maka laki-laki tersebut memakannya, padahal sebelumnya dia selalu berpuasa di siang hari tanpa berbuka, maka raja berdiri di depannya dan mengucapkan salam kepadanya. Laki-laki itu pun menjawab dengan jawaban yang samar lalu melanjutkan makannya. Raja berkata, “Mana laki-laki itu?” Seseorang menjawab, “Ini dia.” Raja bertanya, “Yang sedang makan ini?” Mereka menjawab, “Benar.” Raja berkata, “Kebaikan apa yang dipunyai oleh laki-laki ini?” Lalu raja pergi. Laki-laki itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang memalingkanmu dengannya.”

 

Dalam sebuah riwayat dari Wahab, bahwa tatkala raja tiba, laki-laki itu. menghidangkan makanannya, dia mulai makan biji-bijian dengan suapan yang besar, mencelupnya dalam minyak, makan dengan sangat lahap, maka raja berkata Kepadanya, “Bagaimana kamu wahai fulan?” Dia menjawab, “Seperti orang-orang.” Maka raja menarik tali kekang kudanya sambil berkata, “Tak ada kebaikan pada orang ini.” Laki-laki itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membuatnya pergi dariku dalam kKeadaan tidak menerima keadaanku.”

 

Di antara ahli zuhud ada yang berzuhud Iahir batin, akan tetapi dia mengetahui bahwa zuhudnya akan dibicarakan oleh rekan-rekannya dan istrinya, maka kesabaran meringankannya. Seandainya dia ingin selamat dalam zuhudnya, niscaya dia akan makan bersama keluarganya sekedar untuk menurunkan ambisi jiwa dan memutuskan pembicaraan tentananya.

 

Dawud bin Abu Hind berpuasa selama dua puluh tahun, sedangkan keluarganya tidak mengetahuinya. Dia mengambil makanannya dan membawanya ke pasar, di jalan dia mensedekahkannya, maka orang-orang pasar menyangkanya sudah makan di rumah dan keluarganya menduganya makan di pasar. Demikian orang-orang dulu. Kritik Terhadap Jalan Ahli Zuhud Di antara ahli zuhud ada yang bersemangat untuk menyendiri di masjid atau pos penjagaan perbatasan atau gunung, kenikmatannya ada pada pengetahuan orang-orang terhadap kesendiriannya, terkadang dia beralasan atas sikapnya yang menyendiri dengan berkata, “Saya khawatir melihat kemungkaran-kemungkaran di jalanku saat keluar.”

 

Padahal dia menyimpan ambisi terselubung, di antaranya kesombongan dan meremehkan manusia. Di antaranya pula dia khawatir orang-orang tak melayaninya dengan baik, mempertahankan kedudukan dan posisinya, karena bergaul dengan manusia melenyapkan semua itu, sementara dia ingin menjaga nama baik dan sanjungan terhadap dirinya, dan terkadang tujuannya adalah menutupi aib, kekurangan dan kebodohannya, dia melihat hal ini, namun dia juga ingin dikunjungi dan mengunjungi, berbahagia bila penquasa datang mengunjunginya, orang-orang awam berkumpul di pintunya, dan mencium tangannya. Pada saat yang sama, dia tidak menjenguk orang sakit dan tidak menghadiri jenazah. Rekan-rekannya berkata, “Maafkan syaikh kami. Ini adalah kebiasaannya.” Bukanlah adat yang baik bila ia menyelisihi ajaran syariat.

 

Seandainya orang ini memerlukan bahan makanan, tetapi di sisinya tidak ada orang yang membelikannya untuknya, maka dia akan menahan diri dengan rasa laparnya, agar tidak terlihat keluar membeli makan untuk dirinya, akibatnya kedudukannya akan turun karena dia berjalan di tengah-tengah orang awam, seandainya dia pergi membeli makanan niscaya dia tak lagi terkenal, tetapi batinnya melaknat usaha menjaga kedudukan.

 

Rasulullah keluar ke pasar untuk membeli hajatnya dan memikulnya sendiri. Abu Bakar membawa kain di atas pundaknya, menjual dan membeili.

 

Dari Abdullah bin Hanzhalah berkata, “Abdullah bin Salam lewat sedangkan di kepalanya ada seikat kayu bakar, maka orang-orang berkata, Apa yang membuatmu melakukan ini sementara Allah sudah mencukupimu?’ Dia menjawab, ‘Aku ingin membuang kesombongan dengannya, hal itu karena aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tidak masuk surga seorang hamba yang dalam hatinya tersisa kesombongan walaupun seberat biji sawi.’”

 

Penulis berkata, “Apa yang aku sebutkan ini, yakni keluar untuk membeli kebutuhan hidup dan merendahkan diri yang sepertinya adalah kebiasaan salaf terdahulu, kebiasaan tersebut telah berubah sebagaimana keadaan dan pakaian juga telah berubah, maka saya berpendapat hendaknya di hari ini seorang ulama tidak keluar sendiri untuk membeli kebutuhannya, karena hal itu membuka cahaya ilmu di kalangan orang-orang bodoh padahal mengangungkannya menurut mereka adalah sesuatu yang disyariatkan, sementara memperhatikan hati mereka dalam keadaan ini mengeluarkan kepada riya’, menggunakan apa yang mewariskan wibawa dalam hati tak dilarang.”

 

Tidak semua yang terjadi di zaman salaf, yang tidak merubah hati manusia di saat itu patut dilakukan di hari ini. Al-Auza’i berkata, “Kami .tertawa dan bersenda gurau, bila kami akan diikuti dalam hal itu, maka saya berpendapat bahwa hal itu tidak patut.”

 

Telah diriwayatkan kepada kami dari Ibrahim bin Adham bahwa di suatu hari rekan-rekannya sedang bergurau, seorang laki-laki mengetuk pintu, maka Ibrahim meminta mereka untuk diam dan tenang, mereka berkata, “Anda mengajarkan riya~ kepada kami?” Dia menjawab, “Aku tak ingin Allah didurhakai karena kalian.”

 

Penulis berkata, “Dia khawatir terhadap kata-kata orang bodoh, ‘Lihatlah mereka para ahli zuhud, apa yang mereka lakukan?’ Hal itu karena orang-orang awam sulit menerima hal seperti ini bagi orang-orang ahli ibadah.”

 

Talbis Iblis atas mereka Dalam Mengharuskan Apa yang Tidak harus

 

Di antara mereka ada orang-orang yang bila salah seorang dari mereka diminta memakai pakaian yang berbahan lembut niscaya dia tak mau, agar kedudukannya dalam zuhud tak jatuh, seandainya ruhnya keluar dari badannya, dia tetap tak akan makan sementara orang-orang melihat kepadanya, menjaga diri agar tidak tersenyum apalagi tertawa. Iblis mengelabuhinya bahwa hal itu adalah dalam rangka memperbaiki manusia, padahal ia hanyalah riya~ yang dengannya dia berusaha menjaga kaidah ibadah, Anda melihatnya menundukkan kepala, terlihat bekas-bekas kesedihan, namun bila dia sedang sendiri maka dia adalah singa lapar.

 

Sedangkan salaf berusaha menepis segala hal yang bisa membuat mereka ditunjuk, dan mereka berlari dari tempat yang mereka ditunjuk di sana. Yusuf bin Asbath berkata, “Saya meninggalkan Sabaj dengan berjalan kaki, saya tiba di al-Mishshishah, kantongku di atas pundakku, seorang laki-laki keluar dari kedainya mengucapkan salam kepadaku, laki-laki itu mengucapkan salam kepadaku, maka aku meletakkan kantongku, aku masuk masjid shalat dua rakaat, orang-orang mengelilingiku, seorang laki-laki menghadapkan wajahnya di wajahku. Aku berkata kepada diriku, ‘Seberapa lama hatiku bisa tetap di atas hal ini?’ Maka aku mengambil kantongku, dengan keringat dan kelelahan aku kembali lagi ke Sabaj, sesudah itu aku tidak bertanya kepada hatiku selama dua tahun.”

 

Di antara ahli zuhud ada yang memakai pakaian yang robek dan tidak menjahitnya, membiarkan surbannya yang rusak, tidak menyisir janggutnya, agar terlihat bahwa dia tidak mempunyai sedikit pun dari kesenangan dunia.

 

Ini termasuk pintu-pintu riya~. Bila dia memang benar tidak memperhatikan kepentingan dirinya, sebagaimana yang dikatakan kepada Dawud ath-Tha’i, “Mengapa Anda tidak menyisir jenggot Anda?” Dia menjawab, “Saya sibuk hingga tak sempat melakukannya.” Maka hendaknya dia menyadari bahwa dia telah berjalan di jalan yang salah, karena ini bukanlah sunnah Rasulullah dan para sahabatnya, Rasulullah menyisir rambutnya, meminyakinya dan memakai wewangian, padahal beliau adalah orang yang paling sibuk terhadap akhirat.

 

Abu Bakar dan Umar, dua shahabat paling takut kepada Allah dan paling zuhud, melaburi kepala mereka dengan henna dan katam.

 

Barangsiapa mengklaim derajat di atas sunnah dan perbuatan para shahabat besar, maka dia tak patut ditengok.

 

Di antara ahli zuhud adalah yang terus-menerus diam, tidak bergaul dengan keluarganya, menyakiti mereka dengan akhlaknya yang buruk dan wajahnya yang masam, dia lupa terhadap sabda Nabi, “Sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atasmu.”

 

Rasulullah bergurau, bermain dengan anak-anak, berbincang dengan istri-istrinya, berlomba lari dengan Aisyah, dan masih banyak lagi akhlak lembut beliau.

 

Laki-laki zuhud ini menjadikan istrinya seperti janda, anaknya seperti anak yatim, karena menyibukkan diri dari mereka, akhlaknya buruk kepada mereka, karena dia melihat bahwa semua itu menyibukkannya dari akhirat, dia tidak tahu karena memang ilmunya minim bahwa bercengkerama dengan suka cita bersama keluarga membantu meraih akhirat.

 

Dalam ash-Shahihain bahwa Nabi bersabda kepada Jabir, “Mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu mencumbunya dan dia mencumbumu?”

 

Terkadang si ahli zuhud ini berubah menjadi orang yang garing hingga dia tidak lagi menyentuh istrinya, dan menyia-nyiakan hal yang wajib karena sibuk dengan perbuatan sunnah yang tak terpuji.

 

Di antara ahli zuhud ada yang melihat amalnya, dia takjub kepadanya, seandainya dikatakan kepadanya, “Kamu termasuk patok bumi.”!” Niscaya dia membenarkannya.

 

Di antara mereka ada yang menanti-natikan munculnya karomah pada dirinya, dia berkhayal seandainya dia dibawa ke air niscaya dia bisa berjalan di atasnya, bila sesuatu terjadi padanya lalu dia berdoa namun tak dikabulkan, maka dia marah dalam hatinya, seolah-olah dia adalah pekerja yang menuntut hak upah, seandainya dia diberi pemahaman, niscaya tidak tahu bahwa dia adalah hamba sahaya, sedangkan hamba sahaya tidak merasa berjasa dengan perbuatannya. Seandainya dia melihat kepada taufik Allah kepadanya sehingga dia bisa beramal, niscaya dia melihat kewajiban syukur, sehingga dia khawatir tidak menunaikannya dengan sebaik-baiknya, semestinya rasa takutnya terhadap ketidakmampuannya melaksanakan amal dengan sebaik-baiknya membuatnya menyibukkan diri untuk memperbaikinya bukan malah membanggakannya, sebagaimana sebagian dari mereka berkata, “Aku memohon ampun kepada Allah dari minimnya kejujuranku dalam kata-kataku.” Seseorang berkata kepadanya, “Apakah kamu melakukan suatu amal yang kamu melihatnya diterima?” Dia menjawab, “Bila demikian maka rasa takutku adalah terhadap ditolaknya amal itu atasku.”

 

Di antara talbis Iblis atas sebagian orang dari para ahli zuhud, yaitu Iblis masuk kepada mereka melalui pintu kebodohan bahwa mereka beramal berdasarkan realita mereka tanpa menoleh kepada pendapat ahli fikih.

 

Ibnu Adil berkata, “Abu Ishaq al-Khazzaz adalah laki-laki shalih, dia adalah orang pertama yang mengajariku al-Qur’an, di antara kebiasaannya adalah tidak berbicara di bulan Ramadhan, dia menjawab dengan ayat-ayat al-Qur’an terhadap peristiwa yang terjadi padanya, bila dia memberi izin maka dia mengucapkan:

 

“Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu,” (QS. al-Maidah: 23), dia berkata kepada anaknya tentang makan malam puasa:

 

“Yaitu: sayur-mayur, ketimun,” (QS. al-Baqarah: 61), dia memerintahkannya agar membeli sayur.

 

Maka aku berkata kepadanya, ‘Apa yang kamu yakini ibadah ini sebenarnya adalah maksiat.’ Hal ini terasa berat atasnya. Aku berkata lagi, ‘Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk menjelaskan hukumhukum syar’i, ia tidak patut digunakan untuk kepentingan-kepentingan dunia. Apa yang kamu lakukan ini adalah seperti kamu menggunakan kertas mushaf untuk membungkus daun bidara dan asynan atau kamu menggunakannya untuk alas.’ Maka dia marah dan mendiamkanku, dia tak mendengar hujjah.”

 

Salaf melarang ahli zuhud sekalipun mereka mengetahui banyak ilmu untuk berfatwa, karena ahli zuhud tidak mengabungkan sayart-syarat fatwa. Bagaimana bila salaf melihat kekacauan para ahli zuhud di zaman ini dengan memberi fatwa hanya berdasar kepada realita saja?

 

Dari Ismail bin Syabbah berkata, “Aku datang kepada Ahmad bin Hanbal -saat itu Ahmad bin Harb telah tiba dari Makkah-, maka Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku, ‘Siapa laki-laki Khurasan yang baru datang?’ Aku menjawab, ‘Seorang ahli zuhud, di antara zuhudnya adalah begini begini, di antara kebersihan hatinya adalah begini begini.” Maka Ahmad berkata, ‘Tidak patut bagi siapa yang mengklaim apa yang diklaimnya untuk masuk ke dunia fatwa.’”

 

Antara Ahli Zuhud Dengan Fuqaha

 

Di antara talbis Iblis atas para ahli zuahud adalah bahwa mereka meremehkan para ulama dan mencela mereka. Para ahli zuhud berkata, “Tujuan syariat adalah amal.” Mereka tidak memahami bahwa ilmu adalah cahaya hati, seandainya mereka mengetahui derajat ulama dalam menjaga syariat, bahwa derajatnya adalah derajat para nabi, niscaya mereka akan memandang diri mereka seperti orang bisu di tengah-tengah orang fasih, dan orang buta di tengah-tengah orang melihat. Para ulama adalah para penunjuk jalan, dan manusia di belakang mereka, sedangkan yang selamat dari mereka berjalan sendiri.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Sahl bin Sa’ad bahwa Nabi bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Demi Allah, Allah memberi petunjuk kepada satu orang melalui dirimu adalah lebih baik bagimu daripada unta merah. ”

 

Di antara celaan ahli zuhud terhadap ulama adalah kelonggaran para ulama dalam sebagian perkara mubah yang dengannya mereka menguatkan diri dalam rangka mencari ilmu, ahli zuhud juga mencela pengumpul harta.

 

Padahal seandainya ahli zuhud itu memahami makna mubah niscaya mereka mengetahui bahwa pelaku mubah tidak tercela, dan paling bante; adalah selainnya mungkin lebih baik. Lantas Apakah baik bagi orang yang shalat malam mencela orang yang menunaikan shalat wajib (Shubuh) dan ia tidur (tidak shalat malam)?

 

Celakanya, ulama dari kalangan ahli zuhud yang bodoh dan merasa puas dengan ilmu sendiri, dia melihat amalan utama sebagai sebuah kewajiban. Maka, wajib atas ahli zuhud belajar kepada para ulama, bila tidak maka hendaknya diam.

 

Dari Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya setan mempermainkan para qari’ seperti anak-anak mempermainkan bola.” Yang dia maksud dengan para qari~ adalah ahli zuhud, ini adalah nama lama yang sudah dikenal. Allah pemberi taufik kepada kebenaran, hanya kepadaNya tempat kembali dan berpulang.

 

Penulis berkata, “Orang-orang sufi termasuk kelompok ahli zuhud,!” telah menyebutkan talbis Iblis atas para ahli zuhud, hanya saja orang-orang sufi berbeda dengan ahli zuhud dengan beberapa sifat dan keadaan, mereka memiliki ciri-ciri khas, maka kami memandang perlu membahasnya secara khusus.”

 

Tasawuf adalah jalan, yang awalnya adalah zuhud total, kemudian orang-orang yang menisbatkan dirinya kepadanya mulai membolehkan mendengar nyanyian dan berjoget, maka orang-orang awam yang mencari akhirat bergabung dengan mereka, karena melihat kezuhudan yang mereka perlihatkan, dan orang-orang yang mencari dunia pun juga cenderung kepada mereka, karena mereka memiliki kenikmatan dan permainan.

 

Kita harus membuka kedok Iblis dalam mengacaukan orang-orang seperti mereka, kedok mereka tidak terbuka kecuali dengan membeber dasar tarekat ini dan cabang-cabangnya serta menjelaskan keadaankeadaannya. Allah-lah pembimbing ke jalan yang benar.

 

Penulis berkata, “Penisbatan di zaman Rasulullah adalah kepada iman dan Islam, maka dikatakan muslim dan mukmin, kemudian muncul nama zahid dan abid, kemudian muncul orang-orang yang berkait dengan zuhud dan ibadah, mereka meninggalkan dunia, berkonsentrasi kepada ibadah, mereka membuat dalam hal itu sebuah cara yang menyendiri, akhlak yang mereka pakai, mereka melihat bahwa orang pertama yang secara khusus berkonsentrasi berkhidmat kepada Allah di Baitullah alHaram adalah seorang laki-laki bernama Shufah, nama aslinya adalah al-Ghauts bin Murr, maka mereka menisbatkan diri mereka kepadanya,

 

karena mereka merasa mempunyai kesamaan dengannya dalam hal berkonsentrasi kepada Allah, maka mereka disebut dengan Shufiyah.”

 

Abu Muhammad Abdul Ghani bin Sa’id al-Hafizh berkata, “Aku bertanya kepada al-Walid bin al-Qasim, ‘Kepada siapa sufi menisbatkan diri?’ Dia menjawab, ‘Ada suatu kaum di masa jahiliyah yang dikenal dengan Shufah, mereka berkonsentrasi kepada Allah, mereka tinggal di Ka’bah, barangsiapa menyerupai mereka maka mereka adalah Shufiyah.’”

 

Penjelasan dan Perbedaan Mereka Tentang Penisbatan Mereka

 

Penulis berkata, “Sebagian orang berpendapat bahwa tasawuf adalah nisbat kepada ahli shuffah, mereka berpendapat demikian karena mereka melihat ahli shuffah sebagaimana yang kami sebutkan dalam sifat Shufah, yakni berkonsentrasi kepada Allah, memilih kefakiran, karena ahli shuffah adalah orang-orang fakir, mereka datang kepada Rasulullah, mereka tidak memiliki keluarga dan harta, maka dibangun sebuah shuffah, teras di masjid nabi, hingga dikatakan untuk mereka ahli shuffah.”

 

Dari al-Hasan berkata, “Shuffah dibangun untuk kaum muslimin yang lemah, maka kaum muslimin mengirimkan kebaikan kepada mereka sebisa mereka.” .

 

Penulis berkata, “Orang-orang itu tinggal di masjid karena terpaksa, mereka makan sedekah karena terpaksa. Tatkala Allah memberikan kemenangan bagi kaum muslimin, mereka mulai bisa hidup berkecukupan, maka mereka meninggalkannya.”

 

Nisbat Shufi kepada ahli shuffah keliru, karena bila demikian maka dikatakan Shuffi.

 

Sebagian orang berpendapat bahwa ia dari Shufanah, yaitu sejenis sayur yang tak bagus lagi pendek, mereka dinisbatkan kepadanya karena mereka merasa cukup hidup dengan tumbuhan gurun pasir. Ini juga salah, karena bila mereka dinisbatkan kepadanya maka dikatakan Shufani.

 

Ada yang mengatakan, bahwa mereka dinisbatkan kepada shufah tengkuk, yaitu rambut-rambut yang tumbuh di bagian akhir tengkuk, seolaholah ia yang membawanya kepada kebenaran dan memalingkannya dari orang-orang. Ada pula yang berkata, bahwa ia dinisbatkan kepada suf,  yaitu wol, dan ini mungkin! Sedangkan yang shahih adalah yang pertama.

 

Nama ini muncul untuk mereka sebelum tahun 200 H, tatkala angkatan pertama mereka menampakkannya, mereka berbicara tentananya, mengungkapkan sifatnya dengan ungakapan-ungkapan yang banyak, intinya adalah bahwa tasawuf menurut mereka adalah melatih jiwa dan melawan tabiat dengan menahannya dari akhlak-akhlak tercela serta membawanya kepada akhlak-akhlak yang baik yang melahirkan pujian di dunia dan pahala di akhirat.

 

Penulis berkata, “Inilah yang dipegang oleh angkatan pertama mereka, lalu Iblis mengacaukan mereka dalam beberapa perkara, kemudian Iblis mengacaukan orang-orang yang mengikuti mereka sesudah mereka. Setiap kali satu abad berlalu, hasrat Iblis meningkat terhadap abad berikutnya, maka talbis Iblis meningkat hingga dia berhasil menquasai kalangan muta” akhkhirin dari mereka dengan leluasa.

 

Dasar talbis Iblis atas mereka adalah dengan menghalang-halangi mereka dari ilmu, Iblis memperlihatkan kepada mereka bahwa maksud syariat adalah amal, maka tatkala Iblis berhasil memadamkan cahaya ilmu di antara mereka, mereka gelagapan dalam kegelapan. Di antara mereka ada yang diperlihatkan oleh Iblis bahwa maksud utamanya adalah meninggalkan dunia secara total, maka mereka menolak apa yang sebenarnya baik untuk badan mereka, mereka menyamakan harta dengan kalajengking, mereka lupa bahwa kalajengking diciptakan juga untuk kemaslahatan, dan mereka berlebih-lebihan dalam membebani jiwa, hingga di antara mereka ada yang tak pernah berbaring.

 

Tujuan-tujuan mereka memang baik, sayangnya mereka salah memilih jalan, di antara mereka ada yang karena minimnya ilmu, dan mengamalkan apa yang sampai ke tangannya berupa hadits-hadits palsu sementara dia tak menyadarinya.

 

Kemudian suatu kaum datang, mereka berbicara untuk orang-orang sufi itu dalam urusan lapar, kemiskinan, was-was dan apa yang terlintas dalam pikiran, mereka menulis dalam hal ini seperti al-Harits al-Muhasibi, lalu datang orang-orang lain, mereka menata madzhab tasawuf, meletakkan sifat-sifat khusus yang dengannya mereka membedakan diri berupa memakai pakaian compang-camping, mendengar, perasaan, berjoget, bertepuk tangan, mereka membedakan diri dengan berlebihlebihan dalam urusan bersuci dan berbersih.

 

Kemudian urusan mereka semakin berkembang, para syaikh mereka mulai meletakkan kaidah-kaidah, berbicara tentang realita mereka, sepakat menjauh dari para ulama, tidak sampai di situ, bahkan dalam penglihatan mereka terhadap keadaan mereka atau terhadap iimu-ilmu, hingga mereka menamakannya ilmu batin dan menjadikan ilmu syariat sebagai ilmu lahir.

 

Di antara mereka ada yang diseret oleh rasa lapar kepada khayalankhayalan yang rusak, maka dia mengklaim merindukan al-Haq dan berduaan denganNya, seolah-olah mereka mengkhayalkan seseorang yang berwajah tampan, lalu mereka berdua-duaan dengannya, mereka di antara kufur dan bid’ah.

 

Kemudian orang-orang itu membuka jalan-jalan mereka, akidah mereka rusak, di antara mereka ada yang menetapkan akidah hulul, dan di antara mereka ada yang menetapkan akidah ittihad.

 

Iblis terus mengacaukan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah sampai mereka menjadikan sunnah-sunnah bagi diri mereka.

 

Abu Abdurrahman as-Sulami telah datang, dia menulis kitab asSunan bagi mereka, dan mengumpulkan bagi mereka Haqa ‘iq at-Tafsir, dia menyebutkan di dalamnya dari mereka keajaiban dalam tafsir mereka terhadap al-Qur’an terkait dengan apa yang terjadi pada mereka tanpa berdasar kepada salah satu dasar ilmu, karena mereka membawanya hanya kepada madzhab mereka.

 

Yang aneh, mereka sangat menjaga diri dalam urusan makanan, namun mereka bersikap seenaknya terhadap al-’Qur’an. , Di Antara Buku-buku Mereka yang Menyimpang dan Sesat Penulis berkata, “An-Nashr as-Sarraj menulis untuk mereka sebuah kitab yang berjudul Luma’ ash-Shifiyah, dia menyebutkan di dalamnya akidah yang buruk, ucapan yang rendah, sebagian darinya akan kami sebutkan insya Allah.

 

Abu Thalib al-Makki menulis untuk mereka Qutul Qulub, dia menyebutkan di dalamnya hadits-hadits batil, hal-hal yang tak berdasar berupa shalat siang dan malam hari dan perkara palsu lainnya, dia juga menyebutkan akidah rusak di dalamnya, mengulang-ulang ucapan, “Sebagian pemilik kasyaf berkata,” dan ini omong kosong. Dia menyebutkan di dalamnya dari sebagian Sufi bahwa Allah menampakkan diri di dunia kepada wali-walinya.

 

Abu Thahir Muhammad bin al-Allaf berkata, “Abu Thalib al-Makki datang ke Bashrah sesudah wafatnya Abu al-Husain bin Salim, maka dia menisbatkan diri kepada pendapatnya, dia datang ke Baghdad, maka orang-orang berkumpul kepadanya di majlis nasihat, dia mencampuraduk antara yang haq dengan yang batil, di antara yang terekam dari ucapannya adalah, “Tidak ada sesuatu yang paling merugikan makhluk daripada Khalik.” Maka orang-orang membid’ahkannya dan meninggalkannya, sesudah itu dia menolak berbicara di hadapan orang-orang.

 

Al-Khathib berkata, “Abu Thalib al-Makki menulis sebuah buku yang dia beri judul Qutul Qulub dengan bahasa lisan orang-orang Sufi, dia menyebutkan di dalamnya hal-hal yang mungkar lagi buruk dalam sifat.”

 

Penulis berkata, “Telah datang Abu Nuaim al-Ashbahani, dia menulis buku al-Hilyah, dia menyebutkan dalam batas-batas tasawuf hal-hal yang buruk lagi mungkar, dia tidak malu memasukkan ke dalam rombongan sufiyah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan para shahabat yang mulia, lalu dia menyebutkan hal-hal aneh bin ajaib dari mereka, dia menyebutkan dalam rombongan sufi Syuraih al-Qadhi, al-Hasan alBashri, Sufyan ats-Tsauri dan Ahmad bin Hambal.”

 

As-Sulami dalam Thabagat ash-Shufiyah menyebutkan al-Fudhail, Ibrahim bin Adham, Ma’ruf al-Karkhi, dia memasukkan mereka ke dalam rombongan orang-orang sufi dengan mengatakan bahwa mereka termasuk ahli zuhud.

 

Tasawuf adalah madzhab yang dikenal, lebih dari zuhud. Yang menunjukkan perbedaan di antara keduanya adalah bahwa tak seorang pun mencela zuhud, sementara mereka mencela tasawuf sebagaimana yang akan kami sebutkan.

 

Abdul Karim bin Huwazan al-Qusyairi menyusun bagi mereka kitab arRisalah,2″ dia menyebutkan di dalamnya kata-kata yang ajaib, berbicara ’ tentang fana dan baqa’, qabdh dan basht, waktu dan keadaan, perasaan dan wujud, mengumpulkan dan memisahkan, terjaga dan mabuk, rasa dan minum, menetapkan dan menghapus, tajalli dan muhadharah, mukasyafah dan lawaih, thawali’ dan lawami’, takwin dan tamkin, syariat dan hakikat. Dan masih banyak lagi kata-kata yang mencampur antara yang haq dengan batil yang tak berharga, tafsirnya lebih ajaib darinya.

 

Datang Muhammad bin Thahir al-Maqdisi, dia menulis untuk mereka Shafwah at-Tashawwuf. Dia menyebutkan hal-hal yang mana orang berakal malu menyebutkannya. Tetapi kami akan menyebutkan sebagian darinya di tempatnya insya Allah.

 

Syaikh kami yang mulia Abu al-Fadhl bin Nashir al-Hafizh berkata, Ibnu Thahir bermadzhab ala aliran permisif.

 

Beliau berkata, “Yang bersangkutan menulis buku tentang dibolehkannya melihat kepada anak-anak yang belum bercambang, dia menyebutkan di dalamnya sebuah hikayat dari Yahya bin Ma’in, dia berkata, ‘Aku melihat seorang gadis di Mesir, sangat cantik, Allah bershalawat kepadanya.’ Dia ditanya, ‘Kamu bershalawat kepadanya?’ Dia menjawab, ‘Allah bershalawat kepadanya dan kepada semua yang cantik.”

 

Syaikh kami Ibnu Nashir berkata, “Ibnu Thahir bukan termasuk ulama yang kata-katanya bisa dijadikan hujjah.”

 

Datang Abu Hamid al-Ghazali, dia menulis kitab untuk mereka Ihya’ Ulumuddin mengikuti madzhab mereka, mengisinya dengan haditshadits batil dan dia tak mengetahuinya batil, dia berbicara tentang ilmu mukasyafah, dia telah keluar dari kaidah fikih, dan dia berkata, “Yang dimaksud dengan bintang, matahari dan rembulan yang dilihat oleh Ibrahim adalah cahaya-cahaya yang merupakan hijab Allah, bukan bintang, matahari dan rembulan dalam arti yang sebenarnya.” Ini sejenis dengan kata-kata bathiniyah.

 

Dia berkata dalam bukunya al-Mufshih bil Ahwal, “Sesungguhnya orang-orang Sufi menyaksikan malaikat dan arwah para nabi dalam keadaan terjaga, mereka mendengar suara mereka, mengambil faidahfaidah dari mereka, kemudian keadaan mereka naik dari menyaksikan potret, bentuk ke derajat-derajat yang tak bisa diungkapkan oleh katakata.”

 

Penulis berkata, “Sebab mereka menulis buku-buku seperti ini adalah sedikitnya ilmu mereka tentang sunnah, Islam dan atsar. Mereka memilih berkonsentrasi kepada jalan hidup mereka yang mereka anggap baik, mereka memandangnya baik karena sanjungan kepada zuhud telah tertanam dalarn jiwa, mereka tidak melihat sebuah keadaan yang lebih baik daripada keadaan mereka dari sisi lahir, mereka tidak mendengar katakata yang lebih lembut daripada kata-kata mereka, sementara sirah salaf mengandung semacam kekerasan hidup, kemudian kecenderungan orang-orang kepada mereka sangat kuat, karena apa yang kami sebutkan, bahwa lahir jalan hidup mereka adalah kebersihan dan ibadah, di dalamnya ada istirahat dan mendengar, maka tabiat cenderung kepadanya.”

 

Orang-orang sufi angkatan pertama menjauh dari para sultan dan pemimpin, sebaliknya mereka sekarang adalah teman-teman para pemimpin.

 

Kebanyakan buku-buku ini ditulis tanpa dasar, namun hanya kejadiankejadian yang dinukil oleh sebagian dari mereka dari sebagian yang lain, menyusunnya dan mereka menyebutnya dengan ilmu batin.

 

Ishaq bin Hayyah berkata, “Aku mendengar Ahmad bin Hanbal ditanya tentang was-was dan hal-hal yang terlintas dalam benak, maka beliau menjawab, ‘Para shahabat dan tabi’in tak pernah membicarakannya.’”

 

Penulis berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami dari Ahmad bin Hanbal bahwa dia mendengar ucapan al-Harits al-Muhasibi, maka beliau berkata kepada seorang temannya, Jangan bergaul dengannya.’”

 

Dari Sa’id bin Amru al-Bardza’i berkata, aku melihat Abu Zur’ah ditanya tentang al-Harits al-Muhasibi dan buku-bukunya, dia menjawab, ‘Jauhilah buku-buku itu, buku-buku bid’ah dan sesat, peganglah atsar, karena ia sudah mencukupkanmu hingga kamu tak perlu melongok buku-buku itu.” Penanya berkata, “Di dalamnya ada pelajaran.” Maka dia berkata, “Barangsiapa yang tidak mengambil pelajaran dari kitab Allah, maka dia tidak mengambilnya dari buku-buku ini. Apakah kalian mendengar bahwa Malik bin Anas, Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i dan para imam terdahulu menulis buku-buku seperti ini yang membicarakan waswas dan hal-hal yang terbetik dalam pikiran serta hal-hal ini?! Mereka itu adalah orang-orang yang menyelisihi para ulama, sesekali mereka mendatangkan al-Harits al-Muhasibi, lain kali Abdurrahim ad-Daibuli, lain kali Hatim al-Asham, dan lain kali Syaqiq.”

 

Kemudian dia berkata, “Betapa cepatnya orang-orang menuju bid’ahbid’ah.”

 

Penulis berkata, bahwa Abu Bakar al-Khallal menyebutkan dalam kitab as-Sunnah dari Ahmad bin Hanbal bahwa beliau berkata, “Waspadailah al-Harits dengan seksama, dia adalah sumber malapetaka —maksudnya dalam melahirkan ucapan Jahmdia bergaul dengan fulan dan fulan, mengeluarkan mereka kepada pendapat Jahm, dia adalah tempat berlindung bagi ahli kalam, dia seperti singa yang diikat. Waspadalah, dia akan menyerang manusia kapan pun!”

 

Orang-orang Sufi Angkatan Pertama Menetapkan Bahwa Dasar Agama Adalah al-’Qur’an dan Sunnah

 

Orang-orang Sufi angkatan pertarma mengakui bahwa sandaran agama adalah al-Qur~an dan sunnah, lalu Iblis mengacaukan mereka karena mereka tak banyak berilmu.

 

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Terkadang sebagian kata-kata mereka menyusup ke dalam hatiku beberapa hari, namun aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi yang adil, yaitu al-Qur’an dan sunnah.”

 

Dari Abdul Hamid al-Hubuli berkata, aku mendengar Sari berkata, “Barangsiapa mengklaim ilmu batin menyelisihi zhahir hukum, maka dia salah besar.”

 

Dari al-Junaid bahwa dia berkata, “Madzhab kami ini terikat dengan ushul, yakni al-Qur~an dan sunnah.” Dia juga berkata, “Ilmu kami bergantung kepada al-’Qur’an dan sunnah. Barangsiapa tidak menghafal al-Qur~ an, tidak menulis hadits dan tidak bertafaqquh, maka dia tak patut diikuti.”

 

Dia juga berkata, “Kami tidak mengambil tasawuf dari kata si ini dan kata si anu, akan tetapi dari lapar, meninggalkan dunia, memutus kebiasaan dan kenikmatan, karena tasawuf dari bersihnya muamalat dengan Allah, sedangkan dasarnya adalah dengan menjauhi dunia.”

 

Abu al-Husain an-Nuri berkata kepada sebagian rekannya, “Barangsiapa kamu melihatnya mengklaim sebuah keadaan bersama Allah yang mengeluarkannya dari batasan ilmu syar’i, maka jangan mendekat kepadanya. Barangsiapa kamu melihatnya mengklaim sebuah keadaan yang tak ditunjang oleh dalil, dan tidak diakui oleh hafalan lahir maka tuduhlah rusak atas agamanya.”

 

Dari Abu Ja’far berkata, “Barangsiapa tidak menimbang kata-kata, perbuatan dan keadaannya dengan al-Qur’an dan sunnah, dan dia tidak menyangsikan apa yang terlintas dalam benaknya, maka jangan memasukkan ke dalam golongan ulama.”

 

Penulis berkata, “Sesudah semua ini terbukti dari ucapan syaikh-syaikh mereka yang diriwayatkan secara shahih, terjadilah kekeliruan-kekeliruan dari sebagian syaikh mereka karena jauhnya mereka dari ilmu. Bila hal itu memang shahih dari mereka, maka ia berarti membantah madzhab mereka sendiri, tidak ada mencari muka dalam kebenaran,” bila tidak shahih dari mereka, maka kami memperingatkan dari kata-kata seperti itu dan madzhab tersebut dari siapa pun ia terucap.”

 

Adapun orang-orang yang meniru-niru mereka dan bukan termasuk mereka, maka kekeliruan-kekeliruan mereka berjumlah banyak. Kami menyebutkan sebagian dari kekeliruan mereka yang sampai kepada kami, Allah mengetahui bahwa kami tidak bermaksud dengan menjelaskan kekeliruan pihak yang keliru kecuali membersihkan syariat, membelanya agar tidak disusupi sesuatu yang bukan darinya, kami tidak berurusan dengan siapa yang berkata dan siapa yang berbuat, kami hanya menunaikan amanat ilmu. Sedangkan para ulama, setiap seorang dari mereka senantiasa menjelaskan kekeliruan rekannya demi menjelaskan kebenaran bukan untuk membuka aib orang yang keliru.

 

Tidak ada pertimbangan sedikit bagi kata-kata orang bodoh, “Bagaimana dia berani membantah ucapan ahli zuhud fulan yang banyak berkahnya.” Karena ketundukan hanya untuk apa yang ditetapkan oleh syariat bukan kepada orang, bisa saja seorang laki-laki termasuk wali dan termasuk penduduk surga namun dia memiliki kekeliruan-kekeliruan, maka kedudukannya tidak menghalangi kita untuk menjelaskan kekeliruannya,

 

Ketahuilah bahwa barangsiapa melihat kedudukan seseorang tanpa melihat apa yang berasal darinya dengan kaca mata dalil,?°° maka dia seperti orang yang melihat hal-hal luar biasa melalui al-Masih dan tidak melihat kepada al-Masih, maka dia menganggapnya Tuhan, seandainya dia melihat kepada al-Masih, bahwa dia tidak bisa berdiri kecuali bila makan, maka dia tidak akan memberinya kecuali apa yang pantas baginya.

 

Dari Yahya bin Sa’id berkata, “Aku bertanya kepada Syu’bah, Sufyan bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah dan Malik bin Anas tentang seorang laki-laki yang tidak menghafal, apakah dia dituduh dalam hadits? Mereka menjawab, ‘Perkaranya dijelaskan.’”

 

Imam Ahmad bin Hanbal memuji seseorang secara mendalam kemudian menyebutkan kekeliruannya satu persatu, beliau berkata, “Sebaikbaik laki-laki adalah fulan, seandainya padanya tidak ada ini.” Beliau berkata tentang Sari as-Saqthi, “Syaikh, terkenal dengan makanannya yang nikmat.” Diceritakan kepada Imam Ahmad bahwa Sari pernah berkata, “Tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, huruf ba’ sujud.” Maka Imam Ahmad berkata, “Peringatkan orang-orang darinya!”

 

Talbis Iblis dalam Akidah

 

Dari Abu Abdurrahman ar-Ramli berkata, bahwa Abu Hamzah?” berbicara di masjid jami’ Thurtus maka mereka membunuhnya. Suatu hari dia berbicara, tiba-tiba seekor burung gagak berteriak dari atap masjid, maka Abu Hamzah ikut berteriak dan berkata, “Aku penuhi panggilanmu. Aku penuhi panggilanmu.” Maka orang-orang menuduhnya zindik, mereka berkata, “Akidahnya hulul, dia zindiq.”Kudanya dijual dengan lelang di pintu masjid, “Ini kuda orang zindiq.”

 

Dari Abu Bakar al-Farghani bahwa dia berkata, “Abu Hamzah, bila dia mendengar sesuatu, dia berkata, ‘Labbaika, labbaika.” Maka orang-orang menyebutnya hululi.

 

As-Sarraj berkata, “Saya mendengar bahwa beberapa orang-orang Hululiyin mengklaim bahwa Aliah al-Haq memiliki jasad-jasad lalu Dia singgah padanya dengan makna-makna rububiyah, Dia menghilanqkan makna-makna kemanusiaan darinya. Di antara mereka ada yang mengajak melihat kepada pemandangan-pemadangan yang indah, di antara mereka ada yang berkata, Allah tinggal pada hal-hal yang indah.”

 

As-Sarraj juga mengatakan, “Aku mendengar berita tentang sekelompok orang dari penduduk Syam, mereka mengaku melihat (Allah) dengan mata hati mereka di dunia sebagairmana mereka melihatNya dengan mata kepala di akhirat.

 

As-Sarraj berkata, “Saya mendengar bahwa Abu al-Husain an-Nuri, budak ai-Khalil bersaksi atasnya bahwa dia mendengarnya berkata, ‘Aku sangat merindukan Allah dan Dia juga demikian kepadaku.’ An-Nuri berkata, ‘Aku mendengar Allah berfirman:

 

“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya.” (QS. al- Maidah: 54), sedangkan merindu tidak lebih dari mencintai.”

 

Qadhi Abu Ya’la berkata, “Hululiyah berkeyakinan bahwa Allah dirindukan.”

 

Penulis berkata, ini merupakan kebodohan dari tiga sisi:

 

>Pertama: Dari sisi nama, karena kata al-isyq menurut ahli bahasa hanya untuk yang dinikahi.

 

> Kedua: Sifat-sifat Allah hanya berpijak kepada dalil naqli, maka Dia ‘ mencintai dan tidak dikatakan merindu.

 

>Ketiga: Dari mana dia tahu Allah mencintainya, klaim tanpa bukti.

 

Dari Abu Abdurrahman as-Sulami berkata, Diceritakan dari Amru alMakki bahwa dia berkata, “Aku berjalan bersama al-Husain bin Manshur, di sebagian jalan Makkah, aku membaca al-Qur’an, dia mendengar bacaanku, maka dia berkata, ‘Aku bisa membuat seperti apa yang kamu baca.’ Maka aku meninggalkannya.

 

Dengan sanad dari Abu al-Qasim ar-Razi berkata, Abu Bakar bin Mamsyadz berkata, “Seorang laki-laki hadir di antara kami di Dinawar, dia membawa sebuah kotak, dia tak berpisah darinya siang dan malam.

 

Mereka pun memeriksa isinya, dan mereka menemukan buku tulisan alHallaj, judulnya dari ar-Rahman ar-Rahim kepada fulan bin fulan. Laki-laki itu dibawa ke Baghdad, buku disodorkan kepadanya, dia berkata, ‘Ini tulisanku,dan aku yang telah menulisnya.’ Mereka berkata, ‘Dulu kamu mengaku nabi, sekarang kamu mengaku Tuhan.’ Dia berkata, ‘Saya tidak mengaku Tuhan, akan tetapi ini adalah penggabungan menurut kami, bukankah penulis tidak lain kecuali Allah dan tangan hanyalah alat?’ Dia ditanya, ‘Siapa yang bersamamu?’ Dia menjawab, ‘Ibnu Atha’, Abu Muhammad al-Jurairi, Abu Bakar asy-Syibli, dua yang akhir menutupi diri mereka, bila ya maka Ibnu Atha’.”

 

Maka al-Jurairi dihadirkan dan ditanya, dia berkata, “Orang yang mengatakan ini kafir, siapa yang mengatakannya dibunuh.” Lalu asy-Syibli ditanya, dia menjawab, “Siapa yang berkata demikian dilarang.”

 

Ibnu Atha’ ditanya tentang ucapan al-Hallaj, dia menyetujui ucapannya maka ia menjadi sebab kematiannya.

 

Abu Abdullah bin Khafif ditanya tentang makna bait-bait ini,

 

Mahasuci Allah yang memperlihatkan kemanusiaanNya

Sebagai rahasia sinar ketuhananNya yang cemerlang

Kemudian Dia nampak pada makhlukNya secara nyata

Dalam bentuk orang makan dan orang minum

Hingga makhlukNya menyaksikanNya dengan mata kepala mereka

Seperti perhatian kelopak mata dengan kelopak mata.

Maka Syaikh menjawab, “Laknat Allah atas orang yang mengucapkannya.”

Isa bin Furak berkata, “Ini adalah syair al-Husain bin Manshur.”

 

Dia berkata, “Bila itu adalah keyakinannya maka dia kafir, hanya saja ada kemungkinan ia dinisbatkan kepadanya secara dusta.”

 

Penulis berkata, “Para ulama di zamannya sepakat menghalalkan darah al-Hallaj, orang pertama yang berkata bahwa darahnya halal adalah Abu Amru al-Qadhi, dan ucapannya disetujui oleh para ulama, sedangkan yang diam hanyalah Abu al-Abbas bin Suraij, dia berkata, ‘Aku tak tahu apa yang dia katakan.’”

 

Ijma’ adalah Dalil yang Ma’shum dari Salah

 

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menjaga kalian sehingga kalian seluruhnya tidak bersepakat di atas kesesatan, ”

 

Dari Abu Bakar Muhammad bin Dawud al-Faqih al-Ashbahani berkata, “Bila apa yang Allah turunkan kepada nabiNya haq (benar), maka apa yang diucapkan oleh al-Hallaj adalah batil (salah).” Dia bersikap keras atasnya.

 

Penulis berkata, “Beberapa kalangan sufi sangat fanatik kepada alHallaj, karena mereka bodoh, tanpa memperhatikan ijma’ para fuqaha’.”

 

Dari Ibrahim bin Muhammad an-Nashrabadzi berkata, “Bila sesudah para nabi dan shiddiqin ada muwahhid maka orang itu adalah al-Hallaj.”

 

Saya berkata, “Inilah yang dipegang oleh kebanyakan tukang kisah di zaman ini dan orang-orang sufi di waktu kita, karena mereka semuanya bodoh terhadap syariat, jauh dari pengetahuan dalil naqli.”

 

Saya telah menyusun buku tentang berita-berita al-Hallaj, saya menjelaskan tipu dayanya padanya, keadaan-keadaannya yang mengherankan dan apa yang diucapkan oleh para ulama tentangnya.

 

Semoga Allah membantu membinasakan orang-orang bodoh.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Thaharah

 

Penulis berkata, “Kami telah menyebutkan talbis Iblis atas para ahli ibadah dalam thaharah, hanya saja Iblis telah melampaui batas atas orang-orang sufi, maka dia menguatkan was-was mereka dalam menggunakan air yang banyak, hingga aku mendengar Ibnu Aqil masuk ke sebuah pos penjagaan, beliau berwudhu, maka mereka menertawakannya karena sedikitnya air yang digunakannya, padahal mereka tidak tahu bahwa barangsiapa menyempurnakan wudhu dengan satu liter air, maka sudah mencukupinya.”

 

Kami mendengar dari Abu Hamid asy-Svyirazi bahwa dia berkata kepada seorang fakir, “Kamu wudhu di mana?” Dia menjawab, “Dari sungai, aku memiliki was-was dalam thaharah.” Dia berkata, “Setahuku dulu orang-orang sufi menghina setan, namun sekarang setanlah yang menghina mereka.”

 

Talbis Iblis atas Mereka Dalam Shalat

 

Penulis berkata, “Kami telah menyebutkan talbisnya atas para ahli ibadah dalam shalat, dengan itu Iblis mengacaukan orang-orang Sufi bahkan lebih.” ,

 

Muhammad bin Thahir al-Maqdisi menyebutkan bahwa di antara sunnah mereka yang menjadi ciri khas mereka dan mereka menisbatkan diri kepadanya adalah shalat dua rakaat sesudah mereka memakai kain compang-camping dan bertaubat, mereka berhujjah atasnya kepada hadits Tsumamah bin Utsal bahwa nabi memerintahkannya untuk mandi saat masuk Islam.

 

Penulis berkata, “Betapa buruknya orang bodch bila dia mengurusi sesuatu yang tak dikuasainya, Tsumamah adalah orang kafir lalu masuk Islam, bila orang kafir masuk Islam, maka dia wajib mandi menurut madzhab beberapa fuqaha’, di antara mereka Ahmad bin Hanbal.”

 

Adapun shalat dua rakaat, maka tak seorang ulama pun yang menganjurkannya bagi siapa yang masuk Islam, dan hadits Tsumamah tidak menyinggung shalat hingga ia bisa diqiyaskan kepadanya. Bukankah ini sebenarnya adalah perbuatan bid’ah yang mereka sebut sunnah?!

 

Kemudian di antara hal-hal paling buruk mereka adalah ucapan mereka, “Orang-orang Sufi memiliki sunnah-sunnah sendiri, karena bila ia dinisbatkan kepada syariat maka kaum muslimin adalah sama padanya, – sedangkan para fuqaha ~ lebih mengetahui tentangnya, lalu dari sisi apa bisa diklaim bahwa ia adalah sunnah-sunnah khusyu~ untuk mereka. Bila ia dengan akal mereka, maka mereka memilikinya secara khusus karena ia adalah hasil kreasi mereka sendiri.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Tempat Tinggal Penulis berkata, “Adapun membangun pos-pos, maka beberapa orang ahli ibadah yang telah berlalu menjadikannya untuk menyendiri beribadah, bila maksud mereka shahih, maka mereka tetap salah dari enam sisi:

 

> Pertama: Mereka membuat-buat bangunan, padahal bangunan orang-orang Islam adalah masjid.

 

> Kedua: Mereka membuat tandingan bagi masjid, yang bisa menqurangi jamaahnya.

 

> Ketiga: Mereka melenyapkan mereka dari pahala melangkahkan kaki ke masjid.

 

> Keempat: Mereka meniru orang-orang Nasrani dengan menyendiri di biara-biara.

 

> Kelima: Mereka membujang padahal mereka masih muda, sedangkan kebanyakan mereka masih memerlukan menikah.

 

> Keenam: Mereka menjadikan bagi diri mereka sebuah ilmu yang berbicara bahwa mereka adalah ahli zuhud. Sehingga itu mengundang orang-orang untuk menziarahi mereka dan mengharap berkah dari mereka.

 

Bila maksud mereka tidak shahih, maka mereka telah membangun kios-kios untuk bermain-main dan tempat bagi para pengangguran serta alamat untuk memperlihatkan kezuhudan.

 

Kami melihat kebanyakan orang-orang muta ‘akhkhirin dari kalangan mereka beristirahat di pos-pos tersebut dari lelahnya hidup, mereka sibuk makan, minum, bernyanyi dan berjoget, mencari dunia dari setiap orang zhalim, tidak menolak pemberian tukang pungli.

 

Kebanyakan pos-pos mereka dibangun oleh orang-orang zhalim, dan mereka mewakafkan harta buruk kepadanya.

 

Iblis mengacaukan mereka bahwa apa yang sampai kepada kalian adalah rizki kalian, maka mereka mencampakkan beban usaha membersihkan hati, yang penting bagi mereka adalah mengepulnya dapur, tersedianya makanan dan air dingin. Lalu di mana lapar Bisyr, wara’ Sari dan usaha keras al-Junaid?!

 

Kebanyakan waktu orang-orang itu habis dalam perbincangan yang sia-sia atau mengunjungi anak-anak dunia. Bila salah seorang dari mereka beruntung, maka dia memasukkan kepalanya ke dalam jubah wol, lalu penyakit sauda’ menyerang akalnya hingga dia berkata, “Hatiku menyampaikan kepadaku dari Tuhanku.”

 

Saya mendengar bahwa seorang laki-laki membaca al-Qur’an di pos, dan mereka melarangnya. Dan ada juga orang-orang yang membaca hadits di pos, maka mereka berkata kepada mereka, “Ini bukan tem. patnya.” Allah-lah pembimbing ke jalan yang benar.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Meninggalkan Harta dan Melepaskan Diri Darinya

 

Iblis mengacaukan orang-orang Sufi angkatan pertama karena kebenaran mereka dalam zuhud, Iblis memperlihatkan kepada mereka aib harta, dia menakut-nakuti mereka dari keburukannya, maka mereka meninggalkan harta, duduk di atas tikar kemiskinan, tujuan mereka baik walaupun perbuatan mereka salah karena tidak ada ilmu. .

 

Adapun sekarang, maka Iblis tidak perlu repot-repot menunaikan tugas ini, karena bila salah seorang dari mereka mempunyai harta maka dia membelanjakannya secara boros dan sia-sia.

 

Saya tidak mencela pelaku perbuatan ini bila ‘dia masih menyimpan kadar cukup untuk dirinya atau dia memiliki keahlian yang membuatnya mandiri dari manusia atau karena hartanya syubhat lalu dia berlepas dirj darinya. Tetapi bila dia mengeluarkan semua hartanya yang halal lalu dia membutuhkan harta orang lain, dan memiskinkan keluarganya, maka tidak tertutup kemungkinan dia bergantung kepada pemberian saudarasaudara atau sedekah mereka atau dia akan mengambil dari orang-orang zhalim dan syubhat, dan inilah perbuatan tercela yang dilarang.

 

Saya tidak heran terhadap ahli zuhud yang melakukan hal ini karena minimnya ilmu, akan tetapi ketakjuban terhadap orang-orang yang memiliki ilmu dan akal, bagaimana bisa mereka mendorong kepada perbuatan ini, memerintahkannya padahal ia bertentangan dengan akal dan syariat?!

 

Al-Harits al-Muhasibi menyebutkan perkataan yang panjang dalam hal ini yang dikung dan diamini oleh Abu Hamid al-Ghazali.

 

Menurutku al-Harist lebih bisa dimaklumi daripada Abu Hamid, karena yang akhir ini lebih fakih, hanya saja terjunnya dia ke dalam tasawuf membuatnya mendukung apa yang dia masuki.

 

Kritik Terhadap Jalan-jalan Orang Sufi dalam Masalah Berlepas Diri dari Harta Bantahan terhadap pendapat mereka dari beberapa sisi.

 

Adapun tentang kemuliaan harta, maka Allah telah mengagungkan kadarnya, dan memerintahkan agar dijaga, sebab Allah menjadikannya pilar utama bagi manusia mulia, maka ia juga mulia. Allah berfirman:

 

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS. an-Nisa’: 5).

 

Allah melarang menyerahkan harta kepada orang yang tidak berakal lurus, Allah berfirman:

 

“Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. an-Nisa’: 6).

 

Diriwayatkan secara shahih dari nabi bahwa beliau melarang menyianyiakan harta. Beliau bersabda kepada Sa’ad, “Kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga mereka meminta-minta kepada orang-orang. ”

 

Nabi bersabda, “Tidak ada harta yang berguna bagiku seperti harta Abu Bakar.”

 

Dari Amru bin al-Ash berkata, bahwa Rasulullah mengutus kepadanya dengan pesan, “Siapkan pakaian dan senjatamu kemudian datanglah kepadaku.” Maka aku datang, beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hendak mengutusmu memimpin pasukan, semoga Allah memberimu keselamatan dan harta rampasan perang, aku berharap kamu mendapatkan harta yang baik.” Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku masuk Islam bukan karena harta, akan tetapi karena aku berminat kepada Islam.” Rasulullah bersabda, “Wahai Amru, sebaik-baik harta yang baik adalah milik orang yang shalih. ”

 

Penulis berkata, “Hadits-hadits ini diriwayatkan dalam ash-Shihah, ia menyelisihi apa yang diyakini oleh orang-orang sufi bahwa banyaknya harta sebagai hijab dan hukuman, bahwa menahan harta bertentangan dengan tawakal.”

 

Tidak dipungkiri bahwa pemiliknya dikhawatirkan terfitnah oleh harta, bahwa banyak orang yang menghindarinya karena khawatir demikian, bahwa mengumpulkannya dari jalan halal sulit, keselamatan hati agar tidak terfitnah olehnya jauh, kesibukan hati mengingat akhirat bersama keberadaanya jarang, karena itu dikhawatirkan fitnahnya.

 

Adapun mencari harta, maka barangsiapa mencari kadar cukup darj jalan halal, maka ini adalah sesuatu yang harus, adapun siapa yang sengaja mengumpulkannya dan memperbanyaknya dari jalan halal, maka kami melihat kepada maksudnya. Bila maksudnya adalah membanggakan dan menyombongkan diri, maka ini adalah maksud yang buruk. Bila tujuan. nya adalah mencukupi diri dan keluarga, menyiapkannya untuk peristiwa zamannya dan zaman mereka, dan bermaksud membantu saudarasaudara, orang-orang fakir, dan melakukan hal-hal yang baik, maka dia diberi pahala atas maksudnya, dia mengumpulkan harta dengan niat ini adalah lebih utama dari banyak ketaatan.

 

Niat para sahabat dalam jumlah besar dalam mengumpulkan harta adalah niat yang baik, karena tujuan mereka dalam mengumpulkannya memang baik, maka mereka menjaganya dan memohon agar ditambah.

 

Penulis berkata, “Lebih mendalam dari hal ini adalah bahwa Ya’qub, tatkala anak-anaknya berkata kepadanya:

 

“Dan kami akan mendapat tambahan sukatan (gandum) seberat beban seekor unta.” (QS. Yusuf: 65), maka dia menyetujuinya, sehingga dia mau mengirimkan Bunyamin? bersama mereka. Bahwa Syuaib berharap penambahan dalam apa yang didapatkannya, dia berkata:

 

“Maka jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu.” (QS. al-Qashash: 27).

 

Bahwa Ayyub, saat dia sudah sembuh, belalang emas turun kepadanya, maka dia menqumpulkannya dalam kainnya dan sebanyak-banyaknya, maka dikatakan kepadanya, “Tidakkah Anda kenyang?” Maka dia menjawab, “Ya Rabb, siapa yang kenyang dengan karuniaMu.”

 

Perkara ini tertanam dalam tabiat, bila tujuannya adalah baik maka ja baik murni.

 

Adapun ucapan al-Muhasibi maka ia keliru, menunjukkan kebodohan bukan ilmu. Ucapannya, “Sesungguhnya Allah melarang hambahambaNya mengumpulkan harta, sesungguhnya Rasulullah juga melarang umatnya mengumpulkan harta.” Mustahil, karena larangan hanya berlaku untuk tujuan yang buruk dalam mengumpulkan atau mengumpulkan bukan dari jalan yang halal.

 

Ucapannya, “Meninggalkan harta halal adalah lebih utama daripada mengumpulkannya.” Tidak demikian, akan tetapi bila maksudnya benar, maka mengumpulkannya lebih utama tanpa ada perbedaan di antara para ulama.

 

Ini adalah madzhab para fuqaha, saya heran kepada diamnya Abu Hamid, bahkan dia malah mendukungnya, bagaimana bisa dia berkata, “Sesungguhnya hilangnya harta adalah lebih utama daripada adanya hartanya sekalipun ia dibelanjakan dalam kebaikan.”

 

Seandainya dia mengklaim ijma’ atas kebalikan dari apa yang diucapkannya niscaya klaimnya shahih, namun tasawufnya bukanlah fatwanya.

 

Ucapannya, “Murid harus melepaskan hartanya.” Kami telah menjelaskan bahwa ia demikian bila ia haram atau syubhat atau dua merasa cukup dengan yang sedikit atau tercukupi oleh usaha, maka dia boleh melepaskan diri darinya, bila tidak maka tidak ada alasan.

 

Adapun para nabi, Ibrahim memiliki kebun dan harta, Syu’aib juga dan lainnya.

 

Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Tidak ada kebaikan bagi siapa yang tidak mencari harta, dengannya dia membayar hutangnya, dengannya dia menjaga kehormatannya, dengannya dia menyambung rahimnya. Sedangkan bila dia mati, maka dia meninggalkannya sebagai warisan bagi keluarganya.” Sedangkan Sa’id bin al-Musayyib ini mati meningalkan 400 dinar.

 

Kami telah menyebutkan apa yang ditinggalkan oleh para sahabat.

 

Sufyan ats-Tsauri meninggalkan dua ratus, dia berkata, “Harta di zaman ini adalah senjata.”

 

Salaf terus memuji harta, dan mereka mengumpulkannya untuk menghadapi hal-hal insidentil, membantu orang-orang miskin, beberapa orang menjauhinya karena lebih mementingkan menyibukkan diri dengan ibadah, menyatukan pikiran, rela dengan yang sedikit, seandainya orang ini berkata, “Sesungguhnya menyedikitkan harta adalah lebih baik.” Niscaya kebenarannya dekat, akan tetapi dia merapat ke derajat dosa dengannya.

 

Sabar di Atas Kefakiran dan Sakit

 

Ketahuilah bahwa kefakiran adalah penyakit. Barangsiapa diuji dengannya lalu dia sabar maka dia mehdapatkan pahala sabarnya, karena ity orang-orang fakir masuk surga lima ratus tahun sebelum orang-orang kaya, karena kesabaran mereka di atas ujian.

 

Harta adalah nikmat, nikmat harus disyukuri, sekalipun orang kaya itu lelah dan beresiko namun dia seperti mufti dan mujahid, sedangkan orang miskin adalah seperti orang yang menepi di sebuah sudut.

 

Abu Abdurrahman as-Sulami menyebutkan dalam Kitab Sunan ash-Shufiyah, bab Makruh bila orang fakir meninggalkan sesuatu. Lalu dia menyebutkan hadits ahli shuffah yang mati dan meninggalkan dua dinar, maka Rasulullah bersabda, “Dua keping api neraka.”

 

Penulis berkata, “Ini adalah pengambilan dalil oleh orang yang tak memahami keadaan, karena orang miskin tersebut berebut dengan orang-orang fakir lainnya dalam menerima sedekah dan dia menahan apa yang dipunyainya, oleh karena itu Nabi bersabda, “Dua keping api neraka.” Seandainya yang makruh adalah meninggalkan harta itu sendiri, maka Rasulullah tidak bersabda kepada Sa’ad, “Kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga mereka meminta-minta kepada manusia.”

 

Umar bin al-Khaththab berkata, bahwa Rasulullah mendorong bersedekah, maka aku datang membawa setengah hartaku, Rasulullah bertanya, “Apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” Aku menjawab, “Sepertinya.” Maka Rasulullah tidak mengingkarinya.

 

Ibnu Jarir berkata, “Hadits ini merupakan dalil yang membatalkan anggapan orang-orang sufi bodoh bahwa seseorang tidak boleh menyimpan sesuatu di harinya untuk esoknya, dan siapa yang melakukannya maka dia telah berburuk sangka terhadap Rabbnya, dan tidak bertawakal kepadaNya dengan tawakal yang sebenarnya.” Ibnu Jarir melanjutkan, “Demikian halnya sabda nabi, “Peliharalah kambing karena ia adalah berkah.” Mengandung petunjuk rusaknya anggapan orang-orang sufi bahwa tawakal seorang hamba kepada Rabbnya tidak sah sehingga dia mendapatkan pagi tanpa memiliki apa pun, baik uang atau barang, dan mendapatkan sore dalam keadaan yang sama. Tidakkah Anda tahu bahwa Rasulullah menyimpan makanan pokok untuk persediaan keluarganya selama setahun?”

 

Kritik Terhadap Pemahaman Mereka dalam Tawakal

 

Ada orang-orang yang melepaskan diri dari harta mereka yang baik, kemudian mereka mencari dan memburunya lewat jalan yang tidak mulia, hal itu karena hajat manusia tak pernah putus, orang yang berakal menyiapkan untuk masa depan, mereka seperti dalam melepaskan diri dari harta di awal langkah zuhud merekaorang yang tidak merasa haus di jalan Makkah lalu dia menumpahkan air yang di tangannya.

 

Penulis berkata, “Aku menukil dari tulisan Abu al-Wafa’ Ibnu Aqil, beliau berkata, bahwa Ibnu Syadzan berkata, ‘Beberapa orang sufi datang kepada asy-Syibli, maka asy-Syibli mengutus seseorang kepada sebagian orang kaya meminta uang untuk menafkahi mereka, maka orang kaya itu menolak utusannya dan berpesan, “Abu Bakar, Anda mengetahui al-Haq, mengapa Anda tidak meminta kepadaNya?”Maka asy-Syibli berkata kepada utusannya, “Katakan kepadanya, ‘Dunia adalah rendah maka aku mencarinya dari orang rendah sepertimu, sedangkan aku mencari haq kepada al-Haq.” Maka laki-laki kaya itu mengirimkan seratus dinar.

 

Ibnu Aqil berkata, “Bila laki-laki kaya itu mengirimkan seratus dinar karena mempercayai ucapan yang buruk ini dan yang sepertinya, maka asy-Syibli telah makan rizki haram dan memberi makan tamu-tamunya darinya.”

 

Sebagian dari mereka memiliki barang, lalu dia memberikannya kepada orang lain dan berkata, “Aku tidak ingin percaya kecuali kepada Allah!”

 

Ini menunjukkan minimnya pemahaman, karena mereka menyangka bahwa tawakal adalah memutuskan sebab-sebab, mengeluarkan harta, seandainya mereka memahami makna tawakal, bahwa ia adalah kepercayaan hati kepada Allah bukan membuang harta niscaya mereka tidak mengucapkan kalimat tersebut, namun itulah pemahaman mereka yang minim.

 

Para sahabat besar dan tabi’in berniaga dan mengumpulkan harta, dan tak seorang pun dari mereka mengucapkan kata-kata seperti itu.

 

Telah diriwayatkan kepada kami dari Abu Bakar ash-Shiddiq, saat dia diminta meninggalkan usaha dagangnya agar bisa berkonsentrasi kepada khilafah, dia bertanya, “Lalu dari mana aku menghidupi keluargaku?” Ucapan Abu Bakar ini adalah ucapan yang mungkar di kalangan orang-orang sufi, mereka mengeluarkan orang yang mengucapkannya dari riil tawakal. Mereka juga mengingkari orang yang mengatakan, “Makanan ini membahayakanku.”

 

Zuhud Orang-orang Sufi dalam Harta

 

Penulis berkata, “Kami telah menjelaskan bahwa orang-orang sufi angkatan pertama mengeluarkan harta mereka karena zuhud terhadapnya, dan kami menyebutkan bahwa tujuan mereka adalah kebaikan. Hanya saja mereka keliru dalam perbuatan mereka ini, dan kami telah menyebutkan bahwa ia bertentangan dengan syariat dan akal.”

 

Adapun kalangan muta‘akhkhirin Sufi, maka mereka malah cenderung kepada dunia dan mengumpulkan harta dari arah mana pun, karena mereka ingin hidup enak dan menyukai hawa nafsu.

 

Di antara mereka ada yang masih mampu berusaha tetapi dia tidak bekerja, duduk di pos-pos atau masjid, mengandalkan sedekah dari orang dan hatinya sangat ingin mengetuk pintu untuk meminta.

 

Padahal sudah diketahui bahwa sedekah tidak halal bagi orang kaya dan orang kuat yang sehat, mereka juga tidak peduli siapa yang mengirimkan uang kepada mereka, bisa jadi orang zhalim tukang pungli, sedangkan mereka tetap menerimanya. Mereka meletakkan slogan-slogan di antara mereka dengan pernyataan-pernyataan: Di antaranya, mereka menyebut hal ini fituh.” Di antaranya, rizki kami pasti akan sampai kepada kami. Di antaranya, bahwa ia dari Allah, maka ia tidak ditolak dan kami tidak bersyukur kecuali kepadaNya.

 

Semua ini menyelisihi syariat dan kebodohan terhadapnya serta bertabrakan dengan kehidupan salaf, karena nabi bersabda:

 

 

“Yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, di antara keduanya . adalah hal-hal yang samar yang tidak diketahui oleh banyak orang, barangsiapa menjaga diri dari syubhat maka dia telah membebaskan agama dan kehormatannya. ”

 

Abu Bakar memuntahkan makanan hasil syubhat. Orang-orang shalih tidak menerima pemberian oleh zhalim dan orang yang hartanya syubhat. Banyak dari kalangan salaf yang tidak menerima hadiah saudara karena demi menjaga kemuliaan diri dan kebersihan hati.

 

Dari Abu Bakar al-Marwazi berkata, “Saya menyebut seorang laki-laki kepada Abu Abdullah,” dia dari kalangan ahli hadits, maka beliau berkata, ‘Laki-laki baik seandainya tidak ada satu sifat padanya.’ Kemudian beliau diam, kemudian melanjutkan, ‘Tidak semua orang bisa menyempurnakan semua sifat mulia.” Maka aku berkata kepada beliau, ‘Bukankah dia orang sunni?’ Beliau menjawab, ‘Demi Allah, aku pun menulis hadits darinya, sayangnya satu sifat; dia tidak memperdulikan dari mana dia menerima uang.’”

 

Penulis berkata, “Kami mendengar bahwa sebagian orang sufi datang kepada sebagian pemimpin zhalim, dia menasihatinya lalu pemimpin ity memberinya sesuatu dan dia menerimanya, maka pemimpin berkata, ‘Kita semuanya adalah pemburu, bedanya hanyalah jaringnya.’”

 

Mereka sama sekali tidak menolak ambisi kepada dunia, padahal Nabi bersabda, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. “

 

Tangan di atas adalah tangan yang memberi, demikian tafsir para ulama. Inilah hakikat, namun sebagian dari mereka menakwilkannya dengan tangan yang menerima. Ibnu Qutaibah berkata, “Saya tidak melihat takwil ini kecuali dari orang-orang yang hobi meminta-minta.”

 

Penulis berkata, “Orang-orang sufi angkatan pertama memperhatikan dari mana mereka mendapatkan harta, dan mereka memeriksa makananmakanan mereka.”

 

Ahmad bin Hanbal ditanya sebagaimana sudah disebutkan tentang as-Sari as-Saqthi, maka beliau berkata, “Syaikh yang dikenal dengan makanannya yang baik.”

 

As-Sari berkata, “Aku mengikuti beberapa orang dalam sebuah peperangan, maka kami menyewa rumah dan aku membuat tungku, namun mereka menolak makan dari roti yang dimasak di tungku tersebut.”

 

Namun siapa yang melihat perubahan hidup orang-orang sufi di zaman kita ini, yang mana mereka sama sekali tidak peduli dari mana mereka menerima, maka dia akan takjub.

 

Aku pernah datang ke sebagian pos mereka, dan aku bertanya tentang syaikhnya, maka seseorang menjawabku, “Beliau sedang pergi kepada gubernur untuk mengucapkan selamat atas bonus yang diterimanya.” Padahal gubernur tersebut termasuk orang zhalim besar, maka aku berkata, “Celaka kalian, tidakkah kalian merasa cukup dengan membuka kios hingga kalian harus berkeliling menawarkan dagangan kepada orang-orang? Salah seorang di antara kalian berpangku tangan, dan tidak mau berusaha, padahal dia mampu dan hanya mengandalkan sedekah dan pemberian orang, kemudian dia tetap merasa belum cukup hingga dia mengambil dari siapa pun, kemudian dia merasa belum cukup lagi hingga dia harus berkeliling kepada orang-orang zhalim dan meminta kepada mereka, serta memberikan ucapan selamat atas pakaian yang tidak halal, serta kepemimpinan yang tidak ada keadilan padanya. Demi Allah! Kalian sangat membahayakan Islam dari siapa pun yang membahayakan.” Penulis berkata, “Beberapa orang dari syaikh mereka mengumpulkan harta dari jalan syubhat. Kemudian mereka terbagi menjadi:

 

> Di antara mereka ada yang mengklaim zuhud sekalipun hartanya melimpah dan berambisi mengumpulkan, klaim yang tidak sejalan dengan realita.

 

> Di antara mereka ada yang memperlihatkan kemiskinan padahal dia sudah mengumpulkan harta. Kebanyakan dari mereka menyaingi orang-orang miskin dengan menerima zakat padahal ia tidak halal bagi mereka.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Dalam Berpakaian

 

Penulis berkata, “Tatkala orang-orang Sufi generasi awal mendengar bahwa nabi menambal bajunya, dan bahwa Umar bin al-Khaththab melakukan hal yang sama, serta Uwais al-Qarni memunguti tambalan kain di tempat sampah lalu mencucinya di sungai Eufrat kemudian menjahitnya dan memakainya, maka mereka pun memilih baju tambalan.”

 

Mereka telah menjauhi giyas, karena Rasulullah dan para sahabatnya memilih zuhud dan berpaling dari dunia karena zuhud, dan kebanyakan dari mereka melakukan ini karena mereka memang miskin, sebagaimana telah diriwayatkan kepada kami dari Maslamah bin Abdul Malik bahwa dia datang kepada Umar bin Abdul Aziz sementara Umar memakai pakaian kotor, maka Maslamah berkata kepada istri Umar Fatimah, “Cucilah baju Amirul Mukminin.” Fatimah menjawab, “Dia tidak punya baju lain.” Bila hal ini bukan karena kemiskinan dan bukan pula karena zuhud maka tak bermakna.

 

Zuhud dalam Berpakaian

 

Penulis berkata, “Orang-orang Sufi di zaman ini, mereka mengambil dua helai atau tiga helai kain dengan warna yang berbeda, lalu mereka menjadikannya gombal dan menyatukannya. Pakaian tersebut mengumpulkan dua sifat tercela, popularitas, ketenaran dan syahwat. Karena memakai pakaian seperti ini lebih terkenal di kalangan orang-orang

daripada siapa yang memakai sutera, sehingga pemakainya terkenal di kalangan orang-orang bahwa dia ahli zuhud, Anda melihat mereka memakai pakaian tambal-tambal seperti salaf, demikian mereka beranggapan, bahwa Iblis telah mengacaukan mereka, dia berkata, ‘Kalian adalah orang-orang Sufi. Orang-orang Sufi adalah orang-orang yang memakai pakaian tambal-tambal, kalian juga demikian.’ Mereka sama sekali tidak tahu bahwa tasawuf adalah makna bukan bentuk lahir.”

 

Sementara mereka sama sekali tidak mirip dari sisi bentuk lahir dan dari sisi makna.

 

Adapun dari segi lahir, orang-orang terdahulu menambal karena terpaksa, dan mereka tidak bermaksud mengangkat penampilan dengan itu, mereka juga tidak mengambil kain-kain baru yang berwarna-warni lalu memotong-motongnya lalu menyambungnya hingga terlihat tambalan yang bagus lalu menjahitnya dan menamakannya tambalan.

 

Umar bin al-Khatthab, saat dia datang ke Baitul Maqdis, para rahib dan pendeta bertanya tentang siapa pemimpin kaum muslimin, maka mereka menyodorkan para panglima perang seperti Abu Ubaidah, Khalid bin al-Walid dan lainnya. Maka para rahib dan pendeta berkata, “Gambarannya tidak seperti itu di kalangan kami. Kalian punyva pemimpin atau tidak?” Maka kaum muslimin menjawab, “Punya, selain mereka.” Mereka bertanya, “Dia pemimpin mereka?” Kaum muslimin menjawab, “Ya. Dia adalah Umar bin al-Khaththab.” Mereka berkata, “Kirimkanlah pesan kepadanya bahwa kami ingin bertemu, bila dia adalah dia maka kami menyerah tanpa perang, dan bila tidak maka tidak sekalipun kalian mengepung kami, dan kalian tidak akan menang atas kami.” Maka kaum muslimin mengirim pesan kepada Umar dan memberitahunya dengan itu, maka Umar datang dengan baju tertambal sebanyak tujuh belas tambalan, di antaranya ada yang tambalan dengan kulit. Tatkala para rahib dan pendeta melihatnya dalam keadaan seperti itu, mereka menyerahkan Baitul Maqdis kepadanya tanpa perang. Lantas di manakah ini dari apa yang dilakukan oleh orang-orang sufi bodoh di zaman ini?

 

Kami memohon maaf dan keselamatan kepada Allah.

 

Adapun dari sisi makna, maka mereka adalah orang-orang yang melatih diri mereka lagi zuhud.

 

Penulis berkata, “Di antara orang-orang tercela itu ada yang memakai kain wol di balik bajunya, tetapi dia memanjangkan lengannya hingga pakaiannya terlihat, dan orang ini adalah maling malam hari.”

 

Di antara mereka ada yang memakai baju yang lembut di badannya kemudian memakai wol di atasnya, ini adalah maling siang hari yang kentara.

 

Ada lagi orang-orang, mereka hendak meniru orang-orang sufi namun mereka tak sanggup hidup seperti mereka, karena mereka menyukai hidup enak, tetapi mereka tak mau keluar dari potret sufi agar kran harta tidak terputus, maka mereka memakai kain sarung, atasan dan memakai surban Romawi yang mahal, hanya saja tanpa model. Baju dan surban yang dipakai oleh salah seorang dari mereka berharga lima kali lipat baju sutera.

 

Iblis telah mengacaukan mereka, “Kalian adalah orang-orang sufi dengan jiwa yang tinggi.” Sebenarnya mereka hanya ingin menggabungkan antara potret tasawuf dengan kenikmatan dunia.

 

Di antara tanda mereka adalah berteman dengan para pemimpin, dan menolak bergabung orang-orang miskin karena takabur dan sombong.

 

Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil, mengapa kalian datang kepadaku dengan pakaian rahib sementara hati kalian adalah hati serigala ganas. Pakailah pakaian raja dan lunakkanlah hati kalian dengan rasa takut.”

 

Dari Malik bin Dinarberkata, “Di antara orang-orang ada orang yang bila bertemu para qurra’, maka mereka mengambil bagian dari mereka. Bila mereka bertemu dengan para pemimpin dan anak-anak dunia, mereka juga mengambil bagian dari mereka. Jadilah kalian qurra’ ar-Rahman semoga Allah memberkahi kalian.”

 

Darinya berkata, “Zaman kalian adalah zaman penuh debu, dan tidaklah melihatnya dengan baik kecuali orang yang berpandangan tajam. Zaman kalian adalah zaman yang banyak diisi oleh kata-kata kotor, lisan-lisan mereka menggelembung dalam mulut-mulut mereka, mereka mencari dunia dengan amal akhirat, waspadailah mereka atas diri kalian, dan jangan sampai mereka menjerumuskan kalian ke dalam jaring mereka.”

 

Dari Muhammad bin Khafif berkata, bahwa aku berkata kepada Ruwaim,?” “Beri aku wasiat.” Dia menjawab, “Mengorbankan jiwa. Jika tidak, maka jangan menyibukkan diri dengan bualan orang-orang sufi.”

 

Seorang laki-laki berkata kepada asy-Syibli yang sedang berada di masjid, “Telah datang beberapa orang kawanmu.” Maka dia bangkit, dan dia melihat mereka memakai pakaian tambal-tambal dan kain sarung, maka dia berkata:

 

Adapun tenda maka ia seperti tenda mereka

 

Dan aku melihat wanita kampung bukan wanitanya.

 

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa kepalsuan dalam tasyabuh mereka dengan orang-orang itu tidaklah samar kecuali bagi setiap orang yang sangat dungu. Adapun orang cerdik maka dia mengetahui bahwa ia adalah tipu daya garing.”

 

Memakai Kain Sarung dan Pakaian Tambalan

 

Penulis berkata, “Saya tidak menyukai kain sarung dan pakaian tambalan karena empat alasan.

 

> Pertama: Bukan termasuk pakaian salaf, sebab mereka menambal karena terpaksa.

 

> Kedua: Ia mengandung klaim bahwa dirinya miskin, padahal seseorang diperintahkan agar memperlihatkan nikmat Allah kepadanya.

 

> Ketiga: Ia memperlihatkan zuhud padahal kita diperintahkan untuk menutupinya.

 

> Keempat: Ia tasyabuh dengan orang-orang yang menjauhkan diri mereka dari syariat, siapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk mereka.

 

Dari Ibnu Umar berkata, bahwa Rasulullah #8 bersabda:

 

“Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk mereka. “

 

Dari Muhammad bin Thahir berkata, “Aku datang ke Baghdad dalam perjalananku yang kedua, dan aku datang kepada Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad as-Sukkari untuk membaca hadits kepadanya, sedangkan dia termasuk orang-orang yang mengingkari orang-orang sufi, maka aku mulai membaca, lalu dia berkata, “Wahai Syaikh, seandainya Anda termasuk orang-orang sufi yang bodoh itu, niscaya aku memaklumimu, Anda termasuk ahli ilmu, sibuk dengan hadits Rasulullah dan berusaha mencarinya.” Maka aku menjawab, “Wahai Syaikh, apa yang Anda ingkari atas diriku, biarlah aku melihat, bila ia memiliki dasar dalam syariat maka aku memegangnya, dan bila tidak maka aku meninggalkannya.” Dia berkata, “Apa syawazik yang ada pada tambalan bajumu?” Maka aku menjawab, “Wahai Syaikh, Asma’ binti Abu Bakar mengabarkan bahwa Rasulullah mempunyai sebuah jubah yang kantong, dua lengan dan dua belahannya terhias dengan sutera. Pengingkaran terjadi karena syawazik ini bukan sejenis baju, sutera bukan sejenis baju dan sutera bukan sejenis jubah, maka kami menggunakannya sebagai dalil bahwa ini memiliki dasar dalam syariat, maka sepertinya boleh.”

 

Penulis berkata, “As-Sukkari benar dalam pengingkarannya, sementara pemahaman Ibnu Thahir minim dalam menjawabnya, karena jubah yang kantong dan kedua lengannya terhias oleh sutera sudah umum dipakai di zaman itu, maka tidak ada unsur ketenaran dalam memakainya. Adapun syawazik, maka ia menggabungkan ketenaran bentuk dan ketenaran klaim zuhud.”

 

Dan telah aku katakan kepadamu bahwa mereka memotong-motong kain yang bagus untuk menjadikannya syawazik bukan dengan alasan darurat, tetapi bertujuan ketenaran dengan memakainya dan ketenaran dengan zuhud, karena itulah ia dibenci, dan beberapa syaikh mereka sendiri membencinya sebagaimana telah kami katakan.

 

Dari Ja’far al-Hadzdza’ berkata, “Orang-orang itu kehilangan faidahfaidah dari hati, maka mereka menyibukkan diri dengan bentuk lahir dan menghiasinya.” Maksudnya adalah orang-orang yang memakai pakaian yang dicelup dan kain sarung.

 

Dari Abu al-Hasan al-Hanzhali berkata, bahwa Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Kattani melihat kepada orang-orang yang memakai baju tambal-tambal, dia berkata, “Saudara-saudaraku, bila pakaian kalian sesuai dengan apa yang ada dalam hati kalian maka kalian telah ingin agar orang-orang mengetahuinya, dan bila berbeda maka kalian celaka demi Rabb Ka’bah.”

 

Dari Nashr bin Abi Nashr berkata, bahwa Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Khaliq ad-Dinawari berkata kepada sebagian rekannya, “Jangan membuatmu takjub apa yang kamu lihat, dari pakaian yang mereka kenakan, tidaklah mereka menghiasi lahir kecuali sesudah mereka merusak batin.”

 

Banyaknya Tambalan Baju

 

Di antara orang-orang sufi ada yang menambal bajunya hingga ia menjadi tebal melebihi batas. Mereka menetapkan baju tambal-tambal inj tidak dipakai kecuali di tangan syaikh, mereka menetapkan sanad yang bersambung, yang semuanya adalah dusta dan mustahil.

 

Muhammad bin Thahir menyebutkan dalam kitabnya, dia berkata, “Bab sunnah dalam memakai baju tambalan di tangan syaikh.”

 

Dia menjadikannya termasuk sunnah, dan berhujjah kepada hadits Ummu Khalid bahwa nabi diberi kain-kain yang diantaranya ada kain berwarna hitam, Nabi bertanya, “Menurut kalian siapa yang pantas untuk menerimanya?” Mereka tidak menjawab, maka Rasulullah bersabda, “Bawalah ke mari Ummu Khalid.” Maka dia datang dan beliau memakaikannya dengan tangannya, beliau bersabda, “Pakaian sampai usang. ”

 

Penulis berkata, “Rasulullah memakaikannya karena dia masih anak-anak, bapaknya adalah Khalid bin Sa’id bin al-Ash, ibunya adalah Humainah binti Khalaf, mereka telah berhijrah ke bumi Habsyah, Sedangkan Ummu Khalid ini lahir di sana, kemudian mereka pulang, maka Nabi memuliakannya karena dia masih anak-anak sebagaimana yang sudah disepakati, sehingga hal ini tidak menjadi sunnah. Bukan kebiasaan Nabi memakaikan pakaian kepada orang-orang dan tak seorang pun sahabat dan tabi’in yang melakukannya.”

 

Kemudian bukan termasuk sunnah menurut orang-orang sufi memakaikan pakaian untuk anak-anak bukan orang dewasa, bukan pula kain mesti hitam, akan tetapi harus tambahan atau sarung.

 

Mengapa mereka tidak memasukkan memakai tambahan dan hitam ke dalam sunnah sebagaimana yang ada dalam hadits Ummu Khalid

 

Muhammad bin Thahir menyebutkan dalam kitabnya, dia berkata, “Bab sunnah syaikh mensyaratkan murid memakai baju tambal-tambal.” Lalu dia berhujjah kepada hadits Ubadah, “Kami membaiat Rasulullah  untuk mendengar dan menaati dalam keadaan sulit dan mudah.”

 

Penulis berkata, “Lihatlah kepada fikih yang ngawur ini. Di mana persyaratan syaikh atas murid dari persyaratan Rasulullah agar memegang ketaatan Islami yang wajib dan mengikat?!”

 

Adapun mereka memakai kain-kain yang dicelup, bila warnanya biru maka mereka kehilangan keutamaan memakai warna putih, bila kain sarung maka ia adalah pakaian ketenaran, ketenarannnya lebih besar daripada biru, bila tambal-tambal maka ia lebih tenar.

 

Syariat menganjurkan pakaian putih dan melarang pakaian ketenaran. Tentang perintah warna putih maka dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah bersabda:

 

“Pakailah warna putih, karena ia termasuk pakaian terbaik kalian dan kafanilah mayit kain dengannya. ”?

 

Muhammad bin Thahir menyebutkan dalam kitabnya, dia berkata, “Bab Sunnah dalam memakai pakaian yang dicelup.” Dia berdalil kepada hadits bahwa nabi memakai pakaian merah, dan beliau masuk Makkah di tahun Fathu Makkah dengan surban hitam.

 

Penulis berkata, “Tidak dipungkiri bahwa Rasulullah memakai ini, bukan berarti memakainya tidak boleh, diriwayatkan dari beliau bahwa beliau menyukai hibarah (jubah warna hitam), yang disunnahkan adalah yang beliau perintahkan dan beliau selalu lakukan. Mereka memakai warna hitam dan merah. Adapun kain sarung dan tambalan maka ia termasuk baju ketenaran.

 

Larangan dan Dibencinya Memakai Baju Ketenaran

 

Adapun larangan dan dibencinya memakai pakaian ketenaran maka darj Abu Daar dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Barangsiapa memakai pakaian ketenaran, maka Allah berpaling darinya hingga dia melepaskannya. “

 

Dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah bersabda:

 

“Barangsiapa memakai pakaian ketenaran, maka Allah memakaikannya pakaian kehinaan di hari Kiamat.”

 

Penulis berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Ibnu Umar melihat anaknya memakai pakaian yang buruk, maka dia berkata, Jangan memakai ini, karena ia adalah baju ketenaran.’”

 

Memakai Suf, Wol

 

Penulis berkata, “Di antara orang-orang Sufi ada yang memakai bahan wol, mereka berdalil bahwa nabi memakainya dan berdalil kepada apa yang menetapkan keutamaan memakai wol.”

 

Adapun Rasulullah memakai wol? maka beliau memakainya kadang-kadang dan ia bukan termasuk pakaian ketenaran di kalangan orang-orang Arab.

 

Adapun apa yang diriwayatkan tentang keutamaan memakainya maka ia termasuk hadits maudhu’ yang tak satu pun darinya shahih.

 

Orang yang memakai bahan tidak luput dari salah satu dua perkara:

 

> Pertama: Apabila dia memang terbiasa memakainya dan memakai bahan-bahan sejenisnya yang kasar, hal ini tidak masalah, karena ia bukan termasuk baju ketenaran.

 

> Kedua: Bila dia orang yang hidup mewah dan tidak terbiasa memakainya maka dia tak patut memakainya karena dua hal:

 

> Pertama: Dia membebani diri sesuatu yang belum tentu dia mampu memikulnya, dan hal ini tidak boleh.

 

> Kedua: Dia menggabungkan unsur ketenaran dan menampakkan zuhud.

 

Dari Khalid bin Syaudzab berkata, “Aku melihat al-Hasan yang didatangi oleh Farqad, maka dia mengambil kainnya dan mengulurkannya kepadanya seraya berkata, “Furaiqid, Ibnu Ummi Furaiqid, sesungguhnya kebaikan bukan pada kainnya akan tetapi kebaikan adalah apa yang tertanam di dada dan dibuktikan oleh amal perbuatan.”

 

Dari al-Hasan bahwa ada seorang laki-laki yang termasuk rombongan orang-orang yang memakai wol datang kepadanya, sedangkan laki-laki itu memakai jubah wol, surban wol, kain selempang wol, maka dia duduk, dan dia memandang ke bawah, sedangkan dia tidak mengangkat kepalanya, dan sepertinya al-Hasan merasa ujub pada laki-laki itu, maka al-Hasan berkata, “Sesungguhnya sebagian kaum menjadikan kesombongan mereka dalam dada mereka, demi Allah mereka telah memburukkan agama mereka dengan wol ini.”

 

Ibnu Aqil berkata, “Ini adalah kata-kata seorang laki-laki yang sudah mengenali manusia dan tidak terkecoh oleh pakaian. Saya melihat salah seorang di antara mereka memakai jubah wol, bila seseorang berkata kepadanya, ‘Abu fulan.’ Maka terlihat dari bahasa tubuhnya pengingkaran, maka diketahui bahwa wol sudah berdampak terhadap mereka padahal sutera tidak berdampak terhadap orang-orang rendahan.”

 

Dari Ahmad bin Umar bin Yunus berkata, bahwa ats-Tsauri melihat seorang laki-laki sufi, maka dia berkata kepadanya, “Pakaianmu ini bid’ah.”

 

Dari al-Hasan bin ar-Rabi’ berkata, “Aku mendengar Abdullah bin alMubarak berkata kepada seorang laki-laki yang dia lihat memakai baju wol, ‘Saya membencinya, saya membencinya.’”

 

Dari Yazid as-Saqqa teman dekat Muhammad bin Idris al-Anbari berkata, “Aku melihat anak muda memakai kain bulu, maka aku berkata kepadanya? “Siapa di antara ulama yang memakai baju ini? Siapa dj antara ulama yang melakukan ini?” Dia menjawab, “Bisyr bin al-Harits meihatku namun dia tidak mengingkariku.” Maka aku pergi menemuj Bisyr, lalu aku berkata kepadanya, “Abu Nashr, aku melihat fulan memakai jubah bulu, dan aku mengingkarinya, namun dia menjawab, ‘Abu Nashr melihatku dan dia tidak mengingkarinya.’ Maka Bisyr menjawab, “Wahai Abu Khalid, kamu tidak bertanya dulu kepadaku, seandainya aku mengingkarinya, maka dia tetap akan berkata, ‘Fulan memakai, fulan memakai.”

 

Dari Abu Sulaiman ad-Darani bahwa dia berkata kepada seorang laki-laki yang memakai wol, “Sesungguhnya kamu telah memperlihatkan alat ahli zuhud, lalu apa yang diwariskan oleh wol ini kepadamu?” Dia diam, maka Abu Sulaiman berkata, “Lahirmu katun sedangkan batinmu wol.”

 

Dari an-Nadhr bin Syumail berkata, “Aku berkata kepada sebagian orang sufi, ‘Kamu menjual jubah wolmu ini?’ Dia menjawab, ‘Bila nelayan menjual jaringnya, dengan apa dia melaut?’”

 

Abu Ja’far ath-Thabari berkata, “Dianggap telah bersalah orang yang mementingkan bahan bulu dan wol daripada bahan katun dan katan padahal jalan kepadanya ada dari yang halal, dan orang yang makan biji ~ dan kadang adas serta mendahulukannya daripada roti gandum, serta orang yang menolak makan daging dengan alasan takut nafsunya kepada wanita bangkit.”

 

Penulis berkata, bahwa para salaf memakai pakaian tengah-tengah, tidak tinggi dan tidak rendah. Mereka memilih paling bagus untuk shalat Jum’at, dua shalat ied dan bertemu saudara, dan bukanlah yang tidak terbaik menurut mereka itu buruk.

 

Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Umar bin al-Khatthab bahwa dia melihat jubah Siyara dijual di gerbang masjid, maka dia berkata kepada Rasulullah, “Seandainya engkau membelinya untuk hari Jum’at dan para delegasi bila mereka datang kepadamu?” Maka Nabi menjawab, “Yang memakai ini hanyalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat.” Nabi tidak memungkiri usulan Umar untuk berpenampilah bagus, akan tetapi beliau mengingkarinya karena kain tersebut adalah sutera.

 

Penulis berkata, “Dari Abu al-Aliyah bahwa dia berkata, ‘Kaum muslimin berpenampilan bagus tatkala mereka saling mengunjungi.’”

 

Dari Ibnu Aun bin Muhammad berkata, “Orang-orang Muhajirin dan Anshar memakai pakaian yang berharga.”

 

Tamim ad-Dari membeli hullah dengan harga seribu, dan dia menggunakanya untuk shalat. Saya berkata, “Ibnu Mas’ud termasuk orang yang bajunya bagus, aromanya wangi.” Adalah al-Hasan al-Bashri memakai baju yang bagus. Malik bin Anas pun memakai baju Adaniyah yang bagus. Pakaian Ahmad bin Hambal seharga satu dinar.

 

Mereka dalam batas tertentu memilih kesederhanaan, terkadang mereka memakai baju yang sudah lama di rumah, namun saat mereka keluar, mereka berpenampilan bagus, mereka tidak memakai baju rendah yang tenar dan tidak pula yang termahal.

 

Dari Isa bin Hazim berkata, “Baju Ibrahim bin Adham adalah bahan katan katun kulit, sedangkan aku tidak melihatnya memakai wol dan pakaian ketenaran.”

 

Dari ar-Rabi’ bin Yunus berkata, bahwa Abu Ja’ far al-Manshur berkata, “Telanjang bulat lebih baik daripada pakaian yang membuka aib.” Pakaian yang Memperlihatkan Zuhud Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa pakaian yang membuat pemakainya direndahkan yang memperlihatkan kezuhudan dan kemiskinan, dan seolah-olah ia adalah bahasa pengaduhan kepada Allah dan membuat orang yang memakainya direndahkan. Sedangkan semua ini dibenci dan dilarang.”

 

Dari Malik bin Nadhlah berkata, “Aku datang kepada Rasulullah dengan penampilan yang kasar, maka beliau bertanya, Apakah kamu punya harta?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau bertanya, ‘Harta apa?’ Aku menjawab, ‘Dari semua jenis harta telah Allah berikan kepadaku, unta, kuda, hamba sahaya dan domba.’ Nabi bersabda, ‘Bila Allah memberimu harta, maka hendaknya ia terlihat (nampak) pada dirimu.’”

 

Membaguskan Pakaian

 

Bila ada yang berkata, “Membaguskan pakaian adalah ambisi jiwa, sementara kita diperintahkan untuk melawannya, dan berpenampilan baik kepada manusia, padahal kita diperintahkan hendaknya perbuatan-perbuatan kita untuk Allah bukan manusia?!”

 

Kami menjawab, “Tidak semua yang diinginkan oleh jiwa itu tercela, dan tidak semua penampilan bagus kepada manusia dibenci. Sedangkan yang dilarang darinya adalah apa yang dilarang oleh syariat atau dalam rangka riya~ di bidang agama, karena seseorang suka bila terlihat berpenampilan bagus, sedangkan hal itu merupakan bagian jiwa dan tidak dicela karenanya. Oleh karena itu dia menyisir rambutnya, mengaca di cermin, membetulkan surbannya, memakai pakaian dalam yang kasar “sementara pakaian luarnya terlihat bagus. Semua yang kami sebutkan di atas tak satu pun darinya yang dibenci.”

 

Penulis berkata, “Bila ada yang berkata, ‘Bagaimana kalian memahami apa yang diriwayatkan dari as-Sari as-Saqthi bahwa dia berkata, ‘Seandainya aku merasakan kedatangan seseorang kepadaku, maka aku melakukan ini terhadap jenggotku, dia mengelus jenggotriya seolah-olah hendak meluruskannya karena kehadiran seseorang kepadanya, niscaya aku khawatir Allah menyiksaku karena itu dengan api neraka.’”

 

Kami menjawab, “Ada kemungkinan bahwa maksudnya adalah riya’ di bidang agama berupa menampakkan kekhusyu’an dan lainnya. Adapun bila maksudnya adalah .memperbaiki penampilannya agar tidak terlihat darinya apa yang tidak bagus, maka ia tidak tercela, siapa yang meyakininya tercela maka dia tak tahu riya~ dan tidak paham apa yang tercela.”

 

Dari Ibnu Mas’ud dari Nabi bersabda, “Tidak masuk surga siapa yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi.” Seorang. laki-laki berkata, “Salah seorang dari kami suka bila bajunya bagus dan sandalinya bagus.” Maka nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah itu bagus menyukai keindahan. Sedangkan sombong itu menolak kebenaran dan , merendahkan orang.” Diriwayatkan secara khusus oleh Muslim.

 

Penulis berkata, “Di antara orang-orang Sufi ada yang memakai baju mahal. Abu Abdullah Ahmad bin Atha’ berkata, bahwa Abu al-Abbas bin Atha’ memakai baju yang mahal dan menggunakan tasbih mutiara serta memiliki baju yang panjang.”

 

Saya berkata, “Ini dalam hal ketenaran sama dengan baju tambalan, sepatutnya baju orang-orang baik adalah baju tengah-tengah. Perhatikan bagaimana setan memainkan mereka di kedua ujung yang bertentangan.”

 

Penulis berkata, “Di antara orang-orang sufi ada yang bila memakai pakaian, dia merobek sebagian darinya, terkadang merusak baju yang mahal.”

 

Dari Isa bin Ali al-Wazir berkata, “Suatu hari Ibnu Mujahid sedang bersama bapakku lalu pintu diketuk, dan seseorang berkata, ‘Asy-Syibli.” Maka bapakku berkata, ‘Silakan dia masuk.’ Ibnu Mujahid berkata, ‘Aku akan membuatnya terdiam saat ini juga di depanmu.’ Di antara kebiasaan asy-Sibli adalah merobek bajunya pada bagian tertentu, manakala dia duduk, Ibnu Mujahid berkata kepadanya, ‘Abu Bakar, ilmu apa yang membolehkan merusak apa yang bermanfaat?’ Asy-Syibli menjawab, ‘IImu apa, ‘Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.’ (QS. Shad: 33) Maka Ibnu Mujahid diam. Maka bapakku berkata kepada Ibnu Mujahid, ‘Kamu hendak membuatnya terdiam, malah dia yang membuatmu terdiam.’ Kemudian dia berkata kepadanya, ‘Orang-orang sepakat bahwa kamu adalah muqri di zaman ini, mana ayat dalam al-Qur’an bahwa orang yang mencintai tidak menyiksa kekasihnya?’ Ibnu Mujahid diam. Maka bapakku berkata kepadanya, ‘Katakanlah wahai Abu Bakar.’ Dia menjawab, ‘Firman Allah, ‘Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihNya’. Katakanlah, ‘Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?’ (QS. al-Maidah: 18).”’ Ibnu Mujahid berkata, ‘Seolah-olah aku tidak pernah mendengarnya.””

 

Saya berkata, bahwa saya meragukan keshahihan hikayat ini, karena salah seorang rawinya, al-Hasan bin Ghalib tidak tsiqah. Abu Bakar alKhathib berkata, “Al-Hasan bin Ghalib mengklaim banyak hal yang terbukti kedustaan dan rekayasanya.”

 

Bila kisah ini shahih, maka ia membuktikan minimnya pemahaman asy-Syibli saat dia berhujjah kepada ayat, dan minimnya pemahaman Ibnu Mujahid saat tak mampu menjawabnya, yakni pada pengambilan dalil kepada ayat: “Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.” (QS. Shad: 33, karena tidak boleh dikatakan bahwa seorang Nabi yang ma’shum melakukan kerusakan.

 

Ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat, di antara mereka ada yang berkata, “Dia mengusap kaki dan lehernya sambil berkata, ‘Kamu di jalan Allah.’” Ini adalah perbaikan. Di antara mereka ada yang berkata, “Dia menyembelihnya.” Menyembelih kuda dan memakan dagingnya boleh, dan dia tidak melakukan dosa apa pun.

 

Adapun merusak kain bagus yang bukan untuk tujuan yang shahih, maka ia tidak boleh, ada kemungkinan bahwa apa yang dilakukan oleh Sulaiman dibolehkan dalam syariatnya dan tidak dalam syariat kita.

 

Abu Abdullah Ahmad bin Atha’ berkata, “Madzhab Abu Ali ar-Rubadzi adalah membakar lengan bajunya dan merobek pakaiannya.”

 

Dia berkata, “Dia merobek baju yang mahal, memakai setengahnya sebagian kain selempang dan setengahnya lagi untuk kain sarung. Suatu hari dia masuk pemandian umum dengan mengenakan selembar kain, sementara rekan-rekannya tidak memakai kain sarung, maka dia merobeknya sesuai dengan jumlah mereka dan mereka menggunakannya sebagai kain sarung, lalu dia berpesan kepada mereka agar memberikan kain-kain itu kepada pemilik pemandian tersebut tatkala mereka keluar darinya.”

 

Tbnu Atha’ berkata, Abu Sa’id al-Kazaruni berkata kepadaku, “Di hari itu aku bersamanya, sedangkan kain yang dia potong-potong seharga tiga puluh dinar.”

 

Dari Abu al-Hasan al-Busyanji berkata, “Saya mempunyai seekor burung puyuh yang ditawar dengan seratus dirham, maka suatu malam ada dua orang tamu datang kepadaku, lalu aku berkata kepada ibuku, ‘apakah engkau punya sesuatu untuk dua tamuku?’ Dia menjawab, ‘Hanya roti. Maka aku menyembelih burung dan menyuguhkannya kepada dua tamu itu.”

 

Penulis berkata, “Sesungguhnya dia bisa berhutang kemudian menjualnya dan membayar hutangnya, sungguh ia telah lalai.”

 

Ahmad al-Ghazali di Baghdad lalu dia keluar ke al-Muhawwil, dia berdiri di depan sebuah penggilingan yang mengeluarkan suara lemah, lalu dia melempar jubahnya ke atasnya, maka penggilingan itu berputar dan jubah itu koyak.”

 

Penulis a berkata, “Lihatlah kepada kebodohan dan kelalaian ini, betapa jauhnya dia dari ilmu, karena telah diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta.? Seandainya seorang laki-laki memotong-motong satu dinar yang sah dan menginfakkannya, maka menurut fuqaha’ dia keliru, lalu bagaimana dengan tabdzir yang diharamkan?”

 

Tidak berbeda dengan hal ini perobekan mereka terhadap pakaianpakaian yang tergeletak saat mereka sedang larut dalam emosi sebagaimana yang akan kami sebutkan insya Allah, kemudian mereka mengatakan bahwa itu adalah keadaan mulia. Padahal tidak ada keadaan mulia bila ia menyimpang dari syariat.

 

Lantas apakah Anda sebagai hamba-hamba diri mereka_ataukah mereka diperintahkan untuk beramal berdasarkan akal mereka?’ Bila mereka mengetahui bahwa perbuatan mereka ini menyelisihi syariat kemudian mereka tetap melakukannya maka ini adalah kebengalan, sedangkan bila mereka tidak mengetahui, maka demi Allah ini adalah kebodohan yang berat.

 

Berlebih-lebihan Dalam Memendekkan Pakaian Penulis berkata, “Di kalangan orang-orang Sufi ada yang berlebih-lebihan dalam memendekkan pakaian, dan hal itu termasuk ketenaran.”

 

Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa maka dia ditanya tentang kain sarung, dia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda:

 

“Kain sarung seorang muslim sampai setengah betisnya, tidak mengapa, tidak dosa atasnya antara betis dengan mata kaki, apa yang di bawah itu adalah di neraka.”

 

Dari Ma’mar berkata, bahwa baju Ayyub sedikit panjang, maka dia ditanya, dan dia menjawab, “Ketenaran hari ini pada memendekkannya berlebihan.”

 

Ishaq bin Ibrahim bin Hani’ meriwayatkan, dia berkata, “Suatu hari aku datang kepada Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, sementara aku memakai pakaian di bawah lutut di atas betis, maka beliau bertanya, ‘Apa ini?’ Beliau mengingkarinya. Beliau berkata, ‘Hal ini tak patut sekalipun.’”

 

Di antara Orang-orang Sufi Ada yang Meletakkan Kain dj atas Kepalanya Sebagai Ganti Surban

 

Penulis berkata, “Di antara orang-orang Sufi ada yang meletakkan kain di atas kepalanya sebagai ganti surban, ini termasuk ketenaran, karena ia menyelisihi pakaian penduduk setempat,?” sedangkan apa pun yang mengandung ketenaran maka ia dibenci.”

 

Bisyr bin al-Harits berkata, “Di hari Jum’at, Ibnul Mubarak masuk masjid dengan memakai peci, dan dia melihat orang-orang tak ada yang berpeci, maka dia melepasnya dan memasukkannya ke dalam sakunya.” Kain Selembar Penulis berkata, “Di antara mereka ada yang tidak memiliki kecuali selembar kain, zuhud terhadap dunia, dan ini bagus. Hanya saja bila dia mempunyai baju untuk Jum’at dan Id maka hal itu lebih baik dan lebih bagus.

 

Dari Abdullah bin Salam berkata, bahwa Rasulullah berkhutbah kepada kami di hari Jum’at, beliau bersabda, “Apa sulitnya bila salah seorang di antara kalian membeli dua pakaian untuk hari Jum’at selain baju kerjanya.”

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi pada Makanan dan Minuman Mereka

 

Penulis berkata, “Iblis mengacaukan secara mendalam orang-orang Sufi terdahulu, dan dia memerintahkan mereka untuk menyedikitkan makanan, memilih makanan yang keras, menghalangi mereka minum air dingin. Tatkala orang-orang muta ‘akhkhiri dari mereka datang, mereka tidak mau berlelah-lelah, maka mereka makan dengan rakus dan hidup dengan penuh kemewahan.”

 

Sebagian dari Apa yang Dilakukan Oleh Orang-orang Sufi Terdahulu

 

Penulis berkata, “Di antara mereka ada orang-orang yang tidak makan berhari-hari sampai kekuatannya melemah, di antara mereka ada yang makan sedikit perharinya yang tidak menegakkan badan.”

 

Diriwayatkan kepada kami dari Sahl bin Abdullah bahwa dia di awal tasawufnya membeli perasan kurma dengan harta satu dirham, minyak samin dengan harga dua dirham dan tepung beras dengan harga satu dirham, lalu dia mengaduknya, membuat bola-bola sebanyak 360 buah, dia berbuka dengan makan satu bola perharinya.

 

Abu Hamid ath-Thusi menyebutkan darinya, dia berkata, bahwa Sahl sempat makan daun bidara beberapa waktu, dia makan dedak selama tiga tahun, dan dia hanya menginfakkan tiga dirham dalam tiga tahun.

 

Dari Abu Ja’far al-Haddad berkata, “Suatu hari Abu Turab melihatku saat aku di pinggir kolam air, sedangkan saat itu aku tidak makan selama enam belas hari dan tidak pula minum. Dia bertanya, “Mengapa kamu duduk di sini?” Aku menjawab, “Aku di antara ilmu dan yakin, aku melihat siapa yang menang hingga aku bersamanya.” Dia berkata, “Kamu akan memperoleh sesuatu.”

 

Dari Abu Abdullah bin Zaid berkata, “Selama empat puluh tahun aku tidak makan kecuali dalam keadaan yang mana Allah menghalalkan bangkai.”

 

Dari Isa bin Adam berkata, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Abu Yazid, dia berkata, “Aku ingin duduk di masjid yang mana kamu berada di sana.” Dia menjawab, “Kamu tak kuat.” Dia berkata, “Bila Anda berkenan melapangkan untukku.” Maka Abu Yazid mengizinkan, dia duduk satu hari tanpa makan, dia sabar, dan di hari kedua, dia berkata,

 

“Ustadz, harus apa yang memang harus.” Dia menjawab, “Bocah, harus dari Allah.” Dia berkata, “Ustadz, aku ingin makan.” Dia menjawab, “Rocah, makanan bagi kami adalah ketaatan kepada Allah.” Dia berkata, “Ustadz, aku ingin sesuatu yang menegakkan tubuhku dalam ketaatan kepada Allah.” Dia menjawab, “‘Jasad tidak tegak kecuali dengan Allah.” Dari Ibrahim al-Khawwash berkata, “Saudaraku yang pernah menyertai Abu Turab menyampaikan kepadaku bahwa Abu Turab melihat seorang sufi menjulurkan tangannya ke kulit semangka, sedangkan dia belum makan selama tiga hari, maka Abu Turab berkata kepadanya, ‘Kamu hendak mengambil kulit semangka itu? Kamu tidak layak menjadi orang sufi, pergilah ke pasar!’”

 

Dari Abu Ali ar-Ruwadzbari berkata, “Bila laki-laki sufi berkata setelah lima hari, ‘Aku lapar,’ maka mereka mengusirnya ke pasar dan meme. rintahkannya bekerja.”

 

Dari Abu Ahmad ash-Shaghir berkata, “Abu Abdullah bin Khafif memerintahkanku agar menyuguhkan makanan berbukanya setiap sore berupa sepuluh biji kismis, suatu malam aku merasa kasihan kepadanya, maka aku menambahnya menjadi lima belas, dia memandangku dan bertanya, “Siapa yang memerintahkanmu?” Dia makan sepuluh biji dan meninggalkan sisanya.

 

Menolak Makan Daging

 

Penulis berkata, “Di antara mereka ada orang-orang yang tidak makan daging, hingga sebagian dari mereka berkata, ‘Makan daging seharga satu dirham membuat hati keras selama empat puluh hari.’”

 

Di antara mereka ada yang menolak makan semua yang baik, dia berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Haramkanlah makanan yang baik atas diri kalian, karena setan menjadi kuat gerakannya dalam aliran darah karenanya.”

 

Di antara mereka ada yang menolak minum air bersih.

 

Di antara mereka ada yang menolak minum air dingin, dan dia minum air panas.

 

Di antara mereka ada yang meletakkan air dalam drum besar terpendam di bawah tanah agar menjadi panas.

 

Di antara mereka ada yang menghukum dirinya dengan tidak minum air beberapa waktu.

 

Abu Hamid menceritakan dari Abu Yazid bahwa dia berkata, “Aku mengajak diriku kepada Allah namun ia menolak, maka aku menghukumnya dengan tidak minum air selama satu tahun dan tidak tidur selama satu tahun, maka jiwaku mau!”

 

Penulis berkata, “Abu Thalib al-Makki telah menyusun menu bagi mereka, dia berkata, ‘Dianjurkan bagi murid untuk makan tidak lebih dari dua potong roti sehari semalam.’ Dia berkata, ‘Di antara orang-orang ada yang mengukur makanannya, dia menguranginya, sebagian dari mereka menimbang makanannya dengan pangkal pelepah kurma yang setiap hatinya mengering sedikit demi sedikit, lalu dia mengurangi makanannya sesuai dengan itu.”

 

Dia berkata, “Di antara mereka ada yang mengatur makanannya, dia makan setiap hari kemudian menguranginya setiap dua hari kemudian setiap tiga hari.”

 

Dia berkata, “Lapar mengurangi darah dalam hati, ia memutihkannya, putihnya hati adalah cahayanya, mencairkan lemak hati dan carinya lemak hati adalah kelembutannya, dan pada kelembutannya ada mukasyafah.”

 

Penulis berkata, Abu Abdullah Muhammad bin Ali at-Tirmidzi menulis untuk mereka sebuah buku yang dia beri judul Riyadhatun Nufus, di sana dia berkata, “Pemula di bidang ini harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai taubat kepada Allah, kemudian berbuka namun hanya makan sedikit, makan satu potong roti satu potong roti, memutuskan diri dari lauk, buah, kenikmatan, hubungan dengan teman, melihat buku, karena semua itu adalah kebahagiaan jiwa, dia harus menghalangi jiwa dari kenikmatan hingga ia penuh dengan kesedihan.”

 

Penulis berkata, bahwa sebagian muta‘ akhkhirin mengeluatkan untuk mereka al-Arba’iniyah, “Salah seorang dari mereka hidup selama empat puluh hari tidak makan roti, akan tetapi dia minum minyak-minyakan dan makan buah-buahan yang lezat dan banyak.”

 

Ini adalah sebagian dari apa yang mereka lakukan dalam urusan makanan, yang tersebut menunjukkan apa yang dilalaikan.

 

Talbis Iblis atas Mereka Dalam Perbuatan-perbuatan inj dan Penjelasan Tentang Kesalahannya

 

Penulis berkata, “Adapun apa yang dinukil dari Sahl, maka itu perbuatan yang dilarang, karena ia membebanijiwa dengan sesuatu yang tak sanggup dipikulnya, kemudian Allah memuliakan manusia dengan makan gandum dan menjadikan kulitnya untuk binatang, maka tidak patut merebut jatah makan binatang, sejak kapan manusia layak makan dedak? Perbuatan seperti ini lebih buruk untuk disanggah.”

 

Abu Hamid menceritakan dari Sahl bahwa dia berpendapat bahwa shalat orang lapar dengan duduk yang tak kuat berdiri karena lapar adalah lebih baik daripada shalatnya dalam keadaan berdiri bila dia kuat karena makan.

 

Penulis berkata, “Saya berkata, bahwa ini salah, karena bila tujuan makannya adalah agar kuat shalat berdiri maka makannya adalah ibadah, karena ia membantu ibadah. Sedangkan bila dia melaparkan diri hingga hanya kuat shalat dengan duduk maka dia sendiri yang menjadi sebab meninggalkan yang fardhu, ini tidak boleh.

 

Meskipun yang dimakan adalah bangkai, maka hal itu tidak boleh, bagaimana mungkin ia bisa halal?

 

Lantas di manakah nilai ibadah di balik lapar yang meniadakan sarana-sarana ibadah?

 

Adapun ucapan al-Hadad, “Aku melihat siapa yang menang, ilmu atau yakin.” Ini adalah kebodohan murni, karena di antara ilmu dan yakin. tidak terdapat pertentangan, karena yakin adalah derajat ilmu tertinggi. Lantas manakah ilmu dan yakin yang mengajak meninggalkan apa yang dibutuhkan oleh jiwa berupa makanan dan minuman?

 

Hanya saja yang dimaksud dengan ilmu adalah perintah syariat dan yang dimaksudkan yakin adalah kekuatan sabar. Ini merupakan salah kaprah yang buruk.

 

Begitu juga ucapan yang berkata, “Aku tidak makan sampai waktu yang mana boleh bagiku untuk makan bangkai.” Ini merupakan perbuatan atas dasar akainya yang rendah, dan membebani jiwa padahal yang halal ada.

 

Ucapan Abu Yazid, “Makanan bagi kami adalah ketaatan -kepada Allah.” Ini kata-kata lemah, karena badan diciptakan memerlukan makan, hingga penduduk neraka di dalam neraka memerlukan makanan.

 

Penulis berkata, “Adapun menyedikitkan makan yang dilakukan oleh Ibnu-Khafif, maka ini merupakan perbuatan buruk lagi tidak bagus. Tidak ada yang menurunkan berita-berita seperti ini dari mereka seraya menganggapnya bagus kecuali dia adalah orang yang bodoh terhadap dasar-dasar syariat. Adapun seorang ulama yang mumpuni, maka dia tak akan terpengaruh oleh kata-kata orang yang diagungkan, apalagi perbuatan orang bodoh yang berpenyakit TBC.

 

Adapun tentang mereka tidak makan daging, ini merupakan perilaku orang-orang Brahmanah. yang tidak mau menyembelih hewan, padahal Allah lebih mengetahui kemaslahatan badan manusia, maka Dia menghalalkan daging untuk menguatkannya, makan daging menguatkan kekuatan, meninggalkannya melemahkannya serta memburukkan akhlak.

 

Sedangkan Rasulullah 2 makan daging, dan menyukai sampil domba.?

 

Sementara al-Hasan al-Bashri membeli daging setiap harinya.

 

Inilah yang dilakukan oleh salaf, kecuali bila mereka miskin, maka dia tidak makan daging karena kemiskinannya.

 

Tentang menolak kesenangan untuk diri sendiri, maka perkara ini tidak baik secara mutlak, karena Allah menciptakan manusia di atas panas dan dingin, lembab dan kering. Dia menjadikan kesehatannya bergantung kepada keseimbangan beberapa unsur dalam tubuhnya, darah, ludah, cairan kuning dan cairan hitam, terkadang sebagian unsur menguat hingga tabiat badan cenderung kepada apa yang kurang, misalnya cairan kuning bertambah maka tabiat badan cenderung kepada asam-asaman, atau cairan ludah sedikit maka tabiat cenderung kepada bahan-bahan yang basah.

 

Tabiat telah dititipi kecenderungan kepada apa yang sesuai dan sejalan dengan jiwa, bila jiwa cenderung kepada sesuatu yang baik baginya lalu dihalang-halangi, maka hikmah Allah telah dibalik dengan apa yang menolaknya, kemudian hal itu berdampak buruk pada tubuh, maka perbuatan ini menyelisihi syariat dan akal.

 

Sudah diketahui bahwa badan adalah kendaraan manusia, bila kendaraan tidak diperlakukan dengan lembut maka ia tidak bisa mencapai tujuan, ilmu orang-orang ilmu sedikit, maka mereka berbicara dengan akal mereka yang rusak, dan apabila mereka mengambil pijakan, maka pijakan tersebut adalah hadits dhaif atau palsu atau shahih namun mereka memahaminya secara salah.

 

Sungguh aku heran terhadap Abu Hamid al-Ghazali, bagaimana dia meninggalkan derajat fikih lalu rela turun ke derajat mereka hingga dia berkata, “Seorang murid, bila dia ingin berhubungan suami istri, dia tidak boleh makan dan melakukannya, karena dengan itu dia telah mengabulkan dua syahwat bagi dirinya, maka jiwanya menjadi kuat.”

 

Ini sangat buruk, karena lauk adalah kesenangan lain selain makanan, ini berarti tak patut makan lauk, tak patut minum air karena ia adalah syahwat lainnya.

 

Bukankah dalam ash-Shahih disebutkan bahwa Rasulullah melakukan hubungan dengan para istrinya dengan sekali mandi? Mengapa beliau tidak melakukannya hanya satu saja?!

 

Bukankah dalam ash-Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah makan ketimun dengan kurma muda? Dua syahwat sekaligus.

 

Bukankah Nabi makan di rumah Abu al-Haitsam bin at-Tayyihan roti, daging panggang, kurma muda dan minum air dingin?

 

Bukanlah ats-Tsauri makan daging, anggur, faludah kemudian shalat?!

 

Bukankah kuda diberi makan jewawut, dedak, biji qat, dan unta diberi makan dedaunan dan rerumputan? Bukankah badan hanya seekor unta?!

 

Orang-orang terdahulu tidak membolehkan makan dengan dua lauk sekaligus agar hal itu tidak menjadi kebiasaan, karena hal itu membutuhkan biaya tambahan, berlebihan dalam hal syahwat juga dihindari agar tidak mengundang banyak makan, banyak tidur hingga jiwa terbiasa demikian, akibatnya jiwa tak tahan uji, maka seseorang memerlukan waktu lebih untuk mencarinya, bisa jadi mengambilnya bukan dari jalannya.

 

Inilah jalan hidup salaf dalam meninggalkan syahwat yang berlebihan.

 

Hadits yang mereka jadikan dalil, “Cegahlah diri kalian dari makanan yang bagus…” adalah hadits palsu, dibuat oleh Buzai’ salah seorang rawinya.

 

Bila seseorang membatasi diri dengan hanya makan roti jewawut, dan garam yang kasar, maka tabiat badannya akan menyimpang, karena roti jewawut kering kerontang, sedangkan garam juga kering mengkerut, yang bisa membahayakan otak dan penglihatan.

 

Sedangkan menyedikitkan makan menyebabkan usus mengering dan menyempit.

 

Ketahuilah bahwa makan yang tercela hanyalah makan yang melampaui batas kekenyangan.

 

Sedangkan sebaik-baik adab makan adalah adab Rasulullah

 

Dari al-Miqdam bin Ma’dikarib berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda:

 

“Manusia tidak mengisi wadah yang lebih buruk daripada perutnya, cukuplah bagi manusia beberapa suapan yang menegakkan tulang sulbinya. Bila memang harus lebih maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk nafas. ”

 

Saya berkata, “Rasulullah memerintahkan apa yang bisa menegakkan badan dan menjaganya, serta berusaha mewujudkan apa yang menjadi kemaslahatannya. Seandainya Abu Qarath mendengar sabda Nabi, “Sepertiga, sepertiga…” Niscaya dia akan kagum dan tercengang dari hikmah ini, karena makanan dan minuman mengembang dalam usus serta memenuhinya, tinggal nafas, jatahnya adalah sepertiga, ini adalah keseimbangan paling seimbang, bila kurang sedikit maka tidak mengapa, bila kekurangan ini bertambah maka ia melemahkan kekuatan dan mempersempit jalur makanan.

 

Orang-orang Sufi dan Lapar Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa orang-orang sufi hanya memerintahkan menyedikitkan makan bagi anak-anak muda dan orang-orang yang baru memulai langkah, padahal salah satu perkara yang paling membahayakan anak-anak muda adalah lapar, karena orang-orang tua bisa kuat menahan diri, demikian juga orang paruhbaya, lain halnya dengan anak-anak muda, mereka tidak mempunyai kesabaran di atas kelaparan.”

 

Hal itu karena suhu panas anak muda sangat tinggi, pencernaannya kuat, proses makanan dalam tubuhnya cepat, dan hal ini membuatnya memerlukan banyak makan, sebagaimana lampu baru memerlukan minyak lebih, bila anak muda harus memikul rasa lapar di awal per tumbuhannya, dia menghalangi pertumbuhan dirinya, dia seperti orang yang merongrong pondasi bangunan, kemudian karena tidak ada makanan, usus menjarah simpanan-simpanan makanan dalam tubuh, maka ia mengadukkannya dengan beberapa unsur, akibatnya otak dan jasad melemah.

 

Ini adalah dasar besar yang perlu direnungkan.

 

Penulis berkata, “Para ulama menyebutkan upaya mengurangi makan yang melemahkan tubuh.”

 

Dari Ahmad bin Hanbal bahwa Uqbah bin Mukrim berkata kepadanya, “Ada orang-orang yang makan sedikit, dan menyedikitkan makanan mereka.” Ahmad menjawab, “Saya tidak menyukainya, aku mendengar Abdullah bin Mahdi berkata, ‘Sebagian orang melakukannya, akibatnya mereka tidak kuat melakukan kewajiban.’”

 

Dari Dawud bin Shubaih berkata, “Aku berkata kepada Abdurrahman bin Mahdi, ‘Wahai Abu Sa’ id, di kota kami ada orang-orang dari kalangan sufi.” Dia menjawab, Jangan mendekat kepada mereka, sungguh kami melihat orang-orang dari mereka yang terseret ke dalam kegilaan, dan sebagian terjerumus ke dalam kezindikan.’”

 

Dari al-Marwazi berkata, “Aku mendengar Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal ditanya oleh seorang laki-laki, ‘Sudah lima belas tahun ini, aku merasa Iblis menyukaiku, terkadang aku merasakan was-was, aku berpikir kepada Dzat Allah.’ Ahmad menjawab, ‘Mungkin kamu tergila-gila pada puasa, berbukalah, makanlah lemak dan duduklah kepada tukang cerita.’”

 

Penulis berkata, “Di antara orang-orang sufi ada yang memilih makanan yang buruk, menolak lemak, maka perutnya mengumpulkan unsur-unsur yang tak bagus, badan diberi makan olehnya dalam masa tertentu, karena usus memerlukan sesuatu untuk dicernanya. Bila ia mencerna makanan yang ada padanya Ialu ia tidak menemukan apa pun untuk dicerna, maka ia akan mengambil cadangan dan mencernanya serta menjadikannya makanan bagi tubuh, makanan yang buruk mengeluarkan kepada was-was, kegilaan dan akhlak buruk. Orang-orang yang menyedikitkan makan itu di samping makanan mereka sudah sedikit, mereka juga makan makanan yang buruk, akibatnya unsur tidak baik pada tubuhnya meningkat, maka usus sibuk mencernanya, ditambah kebiasaan makan yang hanya sedikit, maka usus menyempit, sehingga hal ini memungkinkan mereka sabar untuk tidak makan sampai berharihari, mereka terbantu oleh kekuatan usia muda, maka mereka meyakini bahwa tidak makan adalah kemuliaan! Padahal sebabnya adalah apa yang aku jelaskan.”

 

Penulis berkata, “Apabila ada yang berkata, ‘Bagaimana kalian melarang menyedikitkan makan, sementara kalian meriwayatkan bahwa Umar makan sebelas suapan seharinya, dan bahwa Ibnu az-Zubair tidak makan selama seminaggau, serta Ibrahim at-Taimi tidak makan dua bulan?!”

 

Kami menjawab, “Seseorang mungkin mengalami hal-hal seperti ini di sebagian keadaan, hanya saja ia tidak seterusnya seperti itu, dan dia tidak bermaksud menjadikannya sarana peningkatan diri.”

 

Di antara salaf ada yang lapar karena memang tidak ada yang dimakan. Di antara mereka ada yang sudah terbiasa sabar tidak makan dan itu tidak merugikan dirinya. Di antara orang-orang Arab ada yang tidak lebih dari minum susu selama beberapa hari.

 

Kami tidak mengajak kepada kekenyangan, akan tetapi kami melarang kelaparan yang melemahkan kekuatan dan menyakiti tubuh. Apabila tubuh melemah, maka ibadah menyusut, badan mungkin kuat saat masih muda, tetapi saat uban bermunculan, pengendara harus berhenti.

 

Dari Anas berkata, “Umar bin al-Khatthab diberi satu sha’ kurma, dia menyantapnya sampai kurma yang jelek.”

 

Telah diriwayatkan kepada kami dari Ibrahim bin Adham bahwa dia membeli yoghurt, madu dan roti, dia ditanya, “Kamu makan semuanya?” Dia menjawab, “Bila memang ada, maka kami makan layaknya laki-laki, bila tidak ada maka kami sabar layaknya laki-laki.”

 

Air Minum Penulis berkata, “Rasulullah memilih minum air yang jernih. Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah datang kepada orang-orang Anshar menjenguk orang sakit, beliau minta minum, sedangkan di dekat beliau ada saluran air, maka beliau bersabda, “Bila kalian mempunyai air yang sudah melewati di dalam kantong kulit, bila tidak maka kami akan menciduk.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

 

Dari Aisyah bahwa seseorang mengambil air tawar dari sumur asSuaya untuk Rasulullah

 

Penulis berkata, “Patut diketahui bahwa air kotor meninggalkan kerikil dalam ginjal dan penyumbatan dalam limpa.”

 

Adapun air dingin, bila dinginnya seimbang, maka ia menquatkan usus, menguatkan syahwat, membaguskan kulit, mencegah pembusukan darah, naiknya asap ke otak dan menjaga kesehatan.

 

Bila air panas, maka ia merusak pencernaan, membuat kulit kering, membuat badan garing, menyebabkan kehausan dan tekanan, bila dipanaskan di bawah matahari maka bisa menyebabkan sopak.

 

Sebagian ahli zuhud berkata, “Bila kamu makan yang enak, minum air dingin, kapan kamu menyukai mati?” Demikian yang diucapkan oleh Abu Hamid, “Bila seseorang makan apa yang enak, maka hatinya menjadi keras, membenci mati. Sebaliknya, bila seseorang menghalangi syahwatnya, melarangnya dari kenikmatannya, maka jiwanya merindukan lepas dari dunia dengan mati.”

 

Penulis berkata, “Sangat mengherankan, bagaimana bisa kata-kata seperti ini keluar dari mulut seseorang yang fakih? Apakah bila jiwa berguling-guling di berbagai bentuk penyiksaan, ia tidak menyukai kematian? Kemudian bagaimana boleh menyiksanya, sementara Allah telah berfirman:

 

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. an-Nisa’: 29).

 

Allah mengizinkan berbuka puasa dalam perjalanan karena hendak memberi kermudahan bagi kita:

 

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185). Bukankah diri kita adalah kendaraan kita yang dengannya kita bisa sampai? Bagaimana kita tidak mengistirahatkannya sementara dialah Yang dengannya kita melewati tanah landai dan tanah sulit.

 

Adapun tentang perbuatan Abu Yazid yang menghukum dirinya dengan tidak minum selama setahun, ini merupakan perbuatan tercela, yang memandangnya baik hanya orang-orang bodoh.

 

Mengapa dicela? Karena jiwa memiliki hak, menahan hak dari jiwa adalah kezhaliman, seseorang tidak boleh menyakiti dirinya, seseorang tidak boleh duduk di bawah terik matahari di musim panas hingga membahayakan dirinya, dan tidak pula di salju saat musim dingin.

 

Air menjaga kelembaban yang diperlukan oleh tubuh, membantu peredaran makanan, sementara badan bisa tegak dengan makanan. Apabila seseorang tidak memberi dirinya makanan manusia, dan tidak memberinya minum, maka dia telah membantu membunuh dirinya, dan ini merupakan kesalahatan fatal.

 

Demikian juga menolak tidur. Ibnu Aqil berkata, “Manusia tidak berhak menegakkan hukuman, dan tidak pula melakukannya terhadap diri sendiri. Ini artinya, bila seseorang menegakkan hukuman had atas dirinya maka ia tidak sah dan bila dia melakukannya maka pemimpin mengulangnya.”

 

Diri ini adalah titipan dari Allah, hingga tindakan terhadap harta tidak diberikan secara mutlak kepada pemiliknya kecuali dalam batas-batas tertentu.”

 

Adapun tentang apa yang disusun oleh Abu Thalib al-Makki, maka ia membebani jiwa sesuatu yang melemahkannya, karena lapar hanya terpuji bila dengan takaran, sedangkan mukasyafah yang dia sebutkan adalah omong kosong.

 

Apa yang ditulis oleh at-Tirmidzi ini, maka ia adalah peletakan syariat dengan dasar akalnya yang rusak. Maka apa dasar puasa selama dua bulan berturut-turut saat taubat?! Apa faidah tidak makan buah-buahan yang mubah? Bila seseorang tidak melihat kita-kitab, lalu apa yang akan diteladaninya?!

 

Adapun al-Arba’iniyah maka omong kosong, mereka menyusunnya berdasarkan hadits yang tak berdasar, “Barangsiapa ikhlas kepada Allah selama 40 pagi, dia tidak memutuskan ikhlas selamanya.”

 

Atas dasar apa penetapan empat puluh hari?!

 

Kemudian seandainya kita menetapkan demikian, maka keikhlasan adalah perbuatan hati, apa urusannya dengan makan? Kemudian apa yang membuat bagus menolak makan buah-buahan dan roti? Bukankah semua ini hanyalah kebodohan?!

 

Dari Abdul Karim al-Qusyairi berkata, “Hujjah-hujjah orang sufi lebih jelas daripada hujjah siapa pun, kaidah-kaidah madzhab mereka lebih kuat dari kaidah-kaidah madzhab siapa pun, karena manusia terbagi menjadi dua: Para ahli naqli dan atsar dan ahli akal dan pikir, sementara para syaikh kelompok ini naik lebih tinggi dari mereka, dan apa yang tak nampak bagi manusia, nampak jelas bagi mereka. Pemahaman orang-orang yang tersambung, sedangkan orang-orang hanya berdalil, maka murid hendaknya memutuskan berbagai hubungan. Pertama kali meninggalkan harta kemudian meninggalkan kedudukan, dan tidak tidur kecuali bila terkalahkan oleh kantuk, serta menyedikitkan makan secara bertahap.”

 

Saya berkata, “Siapa yang memilih pemahaman paling rendah, dia akan mengetahui bahwa perkataan ini ngawur, karena siapa yang keluar dari nagli dan aqli, maka dia bukan termasuk manusia. Tak seorang pun manusia kecuali dia adalah pengambil dalil, apa yang dia sebutkan tentang terhubungnya jalur mereka adalah omong kosong belaka. Kami memohon kepada Allah agar menjaga kita dari kekacauan murid dan syaikh.” Semoga Allah memberi taufik Kontradiksi Mereka Penulis berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami dalam hadits lain dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Sesungguhnya Allah menyukai terlihatnya tanda-tanda kenikmatanNya pada hambaNya. ”

 

Bakr bin Abdullah berkata, “Barangsiapa diberi kebaikan lalu ia terlihat padanya maka dia disebut habibullah, membicarakan nikmat Allah. Barangsiapa diberi kebaikan lalu tak terlihat padanya, maka dia disebut baghidhullah, memusuhi nikmat Allah.”

 

Apa yang kita dilarang darinya berupa menyedikitkan makan melebihi batas telah terlihat sebaliknya pada orang-orang sufi di zaman ini, maka semangat mereka sekarang pada makanan, sebagaimana semangat orang-orang terdahulu mereka pada lapar.

 

Mereka memiliki makan pagi, makan malam dan manisan, semua itu atau kebanyakan darinya, didapatkan dari harta kotor.

 

Mereka meninggalkan usaha mencari harta, berpaling dari ibadah, menggelar tikar pengangguran, tidak ada semangat bagi kebanyakan dari . mereka kecuali makan dan bermain-main.

 

Bila salah seorang dari mereka ada yang berbuat baik, mereka berkata, “Membuang karena bersyukur.” Bila ada yang berbuat buruk, mereka berkata, “Memohon ampun.” Mereka menamakan apa yang mereka tetapkan atasnya sebagai kewajiban, sedangkan menamakan wajib apa yang tidak ditetapkan oleh peletak syariat sebagai kewajiban adalah kelancangan atasnya.

 

Saya melihat sebagian dari mereka, bila mereka menghadiri undangan, makan sangat banyak, kemudian memilih makanan, terkadang dia mengisi kantong-kantong bajunya tanpa izin tuan rumah, sedangkan hal itu tentu haram menurut kesepakatan ulama.

 

Saya melihat seorang syaikh dari mereka telah mengambil makanan untuk dia bawah pulang, namun pemilik rumah menahannya dan mengambilnya kembali darinya.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Urusan Sama’, Raqsh dan Wajd

 

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa mendengar nyanyian menghimpun dua perkara:

 

> Pertama: Melalaikan hati dari berpikir pada keagungan Allah dan berkhidmat kepadaNya.

 

> Kedua: Membuatnya cenderung kepada kenikmatan sesaat yang mendorong pemenuhannya dari segala bentuk syahwat riil dan kebanyakan darinya adalah hubungan suami istri, padahal kesempurnaan kenikmatannya adalah dengan gonta-ganti pasangan dan tidak ada jalan untuk gonta-ganti pasangan melalui jalan halal, karena itu ia membuka pintu zina.

 

Antara nyanyian dan zina terkadang korelasi dari sisi bahwa nyanyian adalah kenikmatan rohani, sementara kenikmatan jiwa paling besar adalah zina. Hal ini karena menikmati sesuatu mendorong untuk menikmati yang lainnya khususnya apa yang sesuai dengannya.

 

Tatkala Iblis sudah tidak berharap mengqgoda para ahli ibadah untuk mendengar nyanyvian yang haram dengan alat musik, lalu dia melihat kepada makna yang tersimpan di balik alat musik, maka dia menyusupkannya ke dalam nyanyian tanpa alat musik dan membaguskannya bagi mereka. Padahal maksudnya adalah menyeretnya dari sesuatu kepada sesuatu sedikit demi sedikit. Orang yang paham sepatutnya melihatsebab-sebab dan akibat-akibat, serta merenungkan tujuan-tujuan.?”

 

Melihat kepada anak-anak yang belum berkumis mubah bila tidak membangkitkan birahi, bila membangkitkan maka haram.

 

Mencium anak perempuan umur tiga tahun boleh, karena secara umum hal itu tidak memicu syahwat, namun bila memicunya maka ja haram. Demikian juga khalwat dengan mahram, bila dikhawatirkan terjadi yang tak patut maka haram. Renungkanlah kaidah ini.

 

Pendapat Orang-orang Sufi dalam Nyanyian

 

Penulis berkata, “Orang-orang telah berbicara dalam masalah ini panjang lebar, di antara mereka ada yang mengharamkannya, ada yang membolehkannya tanpa makruh dan ada pula yang membolehkannya sekalipun makruh. Sedangkan penjelasan pembicaraan tersebut adalah dengan mengatakan, kita patut melihat kepada hakikat sesuatu kemudian memutuskan haram atau makruh atau selain itu sesudahnya.

 

Nyanyian adalah nama yang digunakan untuk beberapa perkara, di antaranya adalah nyanyian jamaah haji di jalan-jalan, karena beberapa orang Ajam datang untuk menunaikan ibadah haji, lalu mereka bernasyid di jalan-jalan, mereka menyifati Ka’bah, Zamzam dan Maqam, mendengar syair-syair ini mubah, bernasyid dengannya tidak mengajak bergoyang dan tidak mengeluarkan dari keseimbangan. Semakna dengan mereka adalah para prajurit, mereka mendengdangkan syair-syair yang mendorong semangat perang. .

 

Termasuk ke dalam makna ini, syair yang diucapkan oleh orang-orang yang berduel satu lawan satu dalam rangka berbangga saat terjun ke medan perang.

 

Semakna dengan ini adalah syair-syair para penuntun unta di jalanjalan Makkah, seperti ucapan salah seorang dari mereka,

 

Penunjuk jalannya mengabarkan berita gembira kepadanya, dia berkata,

 

Besok kamu melihat pohon pisang dan gunung-gunung.

 

Ini menggerakkan unta dan manusia, hanya saja penggerakan itu tidak mengajak bergoyang yang mengeluarkan dari batas keseimbangan.

 

Penulis berkata, bahwa Rasulullah mempunyai penuntun unta bernama Anjasyah, dia mendendangkan bait syair dan berjalan cepat dengan unta, maka Rasulullah bersabda, “Wahai Anjasyah, pelanlah! Giringlah unta itu dengan lemah lembut.”

 

Dalam hadits Salamah bin al-Akwa’ berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah ke Khaibar, kami berjalan di malam hari, seorang laki-laki berkata kepada Amir bin al-Akwa’, ‘Tidakkah Anda berkenan memperdengarkan sebagian syairmu?’ Amir adalah laki-laki penyair, maka dia turun dan mengucapkan syairnya, dia berkata,

 

Ya Allah, kalau bukan karenaMu

 

Niscaya kami tidak mendapatkan petunjuk

 

Tidak bersedekah dan tidak shalat.

 

Limpahkanlah ketenangan kepada kami Teguhkanlah kaki-kaki kami bila bertemu musuh.

 

Maka Rasulullah bertanya, “Siapa yang mengucapkan syair itu?” Mereka menjawab, “Amir bin al-Akwa’.” Rasulullah bersabda, “Allah merahmatinya. ”

 

Telah diriwayatkan dari asy-Syafi’i bahwa dia berkata, “Mendengar dendangan penuntut unta dan syair orang-orang Arab pedalaman maka tidak mengapa.”

 

Termasuk dalam jenis ini adalah syair-syair yang mereka ucapkan di Madinah, terkadang mereka memukul rebana saat mengucapkannya.

 

Termasuk ke dalam hal ini apa yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Abu Bakar menemuinya sementara di sisinya ada dua gadis di hari-hari Mina sedang memukul rebana, sementara Rasulullah berbaring dengan selimutnya, maka Abu Bakar menghardik keduanya, maka Rasulullah membuka selimutnya dari wajahnya, beliau bersabda, “Biarkan mereka wahai Abu Bakar, karena ini adalah hari raya. ”

 

Penulis berkata, “Yang nampak dari dua gadis ini adalah anak-anak, karena usia Aisyah adalah anak-anak, Rasulullah mengutus anak-anak kepada Aisyah untuk bermain-main dengannya.”

 

Penulis berkata, “Jelaslah dari apa yang kami sebutkan apa yang mereka nyanyikan, tak ada yang mendorong bergoyang dan rebana mereka seperti rebana yang dikenal di hari ini.”

 

Termasuk dalam hal ini syair-syair yang diucapkan oleh ahli zuhud, mendekatkan hati untuk mengingat akhirat dan mereka namakan dengan az-Zuhdiyat, seperti ucapan sebagian dari mereka,

 

Wahai orang yang terbenam dalam kelalaian

 

Sampai kapan kamu membaguskan hal-hal buruk

 

Sampai kapan, sampai kapan kamu tidak takut berdiri Di depan Allah di mana Dia membuat anggota badan bicara Kamu sungguh aneh, kamu orang yang bisa melihat Bagaimana kamu menjauh dari jalan yang terang.

 

Maka hal ini mubah, juga Kepada seperti ini Ahmad bin Hanbal mengisyaratkan kebolehannya sebagaimana yang dikatakan oleh Abdus, “Aku mendengar Abu Hamid alKhulqani berkata kepada Ahmad bin Hanbal, ‘Wahai Abu Abdullah, syairsyair yang lunak tentang surga dan neraka, apa pendapatmu tentangnya?’ Beliau menjawab, ‘Seperti apa?’ Dia berkata, ‘Seperti mereka berkata,

 

Saat Tuhanku berfirman kepadaku

 

Apakah kamu tidak malu mendurhakaiKu

 

Kamu menyembunyikan dosa dari makhlukKu Lalu kamu datang kepadaKu dengan kemaksiatan.

 

Maka Imam Ahmad berkata, “Ulangilah kepadaku.” Maka aku mengulanginya, beliau berdiri, lalu masuk rumah dan menutup pintu, sedangkan aku mendengar suara tangisannya dari dalam rumah sambil berkata,

 

Saat Rabbku berfirman kepadaku

 

Apakah kamu tidak malu mendurhakaiKu

 

Kamu menyembunyikan dosa dari makhlukKu Lalu kamu datang kepadaKu dengan kemaksiatan.

 

Di antara syair ada yang diucapkan oleh para tukang ratap, mereka memicu kesedihan dan tangisan, maka ia dilarang karena kandungannya.

 

Adapun syair yang diucapkan oleh para biduan dan penyanyi, mereka menyifati wanita-wanita cantik, knamar dan lainnya yang menggerakkan tabiat, mengeluarkannya dari keseimbangan, mengobarkan semangat dalam jiwa untuk bermain-main, yaitu nyanyian yang dikenal di zaman ini, seperti ucapan seorang penyair,

 

Berwarna keemasan kamu menduga

 

Kedua pipinya api yang menyala

 

Mereka menakut-nakuti dari terbuka dosa Seandainya dia merespon hingga dosaku terbuka.

 

Mereka mengeluarkan nyanyian di atas dengan berbagai bentuk lagu, semua mengeluarkan pendengarnya dari lingkaran keseimbangan, mengobarkan cinta hawa nafsu,

 

Mereka mempunyai sesuatu yang mereka namakan al-basith, ia menggerakkan hati secara perlahan, kemudian mereka menghadirkan nasyid sesudahnya, maka hati bergoyang.

 

Mereka menambahkan di samping itu memukul gendang dengan nada-nada sesuai dengan nasyid yang didendangkan, rebana dengan gelang kaki, jari-jari yang bergantian pada lubang seruling, inilah nyanyian yang dikenal hari ini.

 

Penulis berkata, “Sebelum kita berbicara tentang boleh atau haram atau makruhnya, maka kami katakan, bahwa orang yang berakal patut menasihati diri dan saudaranya, mewaspadai talbis Iblis dalam memasukkan nyanyian ini ke dalam bagian-bagian yang telah disebutkan di atas yang dinamakan dengan nyanyian, hingga tidak membawa semuanya kepada satu titik, lalu dia berkata, dan fulan membolehkannya, fulan memakruhkannya.”

 

Kami memulai pembicaraan untuk menasihati diri dan saudarasaudara.

 

Sudah diketahui bahwa tabiat manusia mempunyai_ kemiripan, hampir tidak berbeda-beda, bila seorang pemuda yang badannya sehat, tabiatnya sehat bahwa wanita yang cantik tidak menggerakkannya, tidak berdampak padanya dan tidak merugikan agamanya maka kami tidak mempercayainya, karena kami tahu tabiatnya masih normal.

 

Bila dia benar, maka kami mengetahui bahwa dia sakit yang membuatnya keluar dari lingkaran kenormalan.

 

Bila dia beralasan, dan dia berkata, “Aku melihat kepada wanita-wanita cantik untuk mengambil pelajaran, aku mengagumi bagusnya penciptaan pada matanya yang lebar dan bulat, hidungnya yang tipis dan keputihan wajahnya.” Maka kami berkata kepadanya, “Hal-hal mubah lainnya sudah cukup memberimu pelajaran, kecenderungan tabiatmu di sini menyibukkanmu dari berpikir, syahwatmu yang menuntut pemenuhan tidak akan menyisakan peluang untuk berpikir, karena kecenderungan tabiat menyibukkan dari hal itu.”

 

Demikian juga orang yang mengatakan, “Nyanyian yang menggoyang yang menggerakkan tabiat, mengajaknya kepada cinta dan gandrung dunia tidak berdampak terhadapku, hatiku tidak terpancing kepada dunia yang terkandung di dalamnya.” .

 

Kami tidak mempercayainya karena adanya kesamaan tabiat manusia, bila hatinya jauh dari hawa nafsu karena takut kepada Allah niscaya Allah yang terdengar ini akan menghadirkan tabiat, sekalipun kepergiannya dalam safar khauf sudah lama. Keburukan paling buruk adalah menghiasi bangkai.

 

Lantas bagaimana mungkin bangkai yang dihias ini terlewatkan oleh Allah Yang mengetahui rahasia dan yang lebih samar darinya?!

 

Kemudian bila perkaranya sebagaimana yang diklaim oleh orang sufi ini, maka sepatutnya kita tidak membolehkannya kecuali bagi orang yang kriterianya demikian, padahal mereka membolehkan secara mutlak bagi anak muda pemula, anak-anak yang tidak tahu-menahu, hingga Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Membicarakan kecantikan wanita dengan mensifati pipinya, pelipisnya, bagusnya bentuk tubuh dan perwakannya dan sifat-sifat wanita lainnya, maka pendapat yang shahih adalah, tidak haram.”

 

Penulis katakan, bahwa siapa yang berkata, “Aku tidak mendengar nyanyian demi dunia, akan tetapi aku hanya mengambil isyarat-isyarat.”

 

Dia salah dari dua sisi.

 

> Pertama: Tabiat mendahului maksudnya sebelum dia mengambil isyarat-isyarat, seperti orang yang berkata, “Saya melihat wanita cantik ini untuk merenungkan penciptaan Allah.”

 

> Kedua: Sangat jarang ada nyanyian yang mengandung isyarat kepada Khalik, Mahaagung Khalik untuk mengucapkan terkait dengan hakNya bahwa Dia digandrungi dan seseorang tergila-gila kepadaNya, karena bagian kita dari mengetahuiNya adalah sikap mengagungkan dan memuliakanNya saja.

 

Karena nasihatnya sudah cukup, maka kami menyebutkan pendapat dalam perkara nyanyian.

 

Madzhab Ahmad

 

Nyanyian di zaman beliau adalah mengucapkan syair-syair zuhud, hanya saja mereka melagukannya. Riwayat dari Ahmad berbeda-beda. Putranya Abdullah meriwayatkan darinya bahwa dia berkata, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati, dan aku membencinya.”

 

Ismail bin Ishaq ats-Tsaqafi meriwayatkan darinya bahwa dia ditanya tentang mendengar kasidah syair, maka dia menjawab, “Aku membencinya, bid’ah, jangan bergaui dengan mereka.”

 

Abu al-Harits meriwayatkan darinya bahwa dia berkata, “Taghbir bid’ah.” Seseorang berkata kepadanya, “Ia melembutkan hati.” Dia menjawab, “Bid’ah.”

 

Ya’qub al-Hasyimi meriwayatkan darinya, “Taghbir bid’ah diadaadakan.”

 

Ya’qub bin Bukhtan meriwayatkan darinya, “Saya tidak menyukai taghbir.” Dia melarang mendengarnya.

 

Penulis berkata, “Riwayat-riwayat dari Ahmad ini, semuanya menunjukkan dibencinya nyanyian.”

 

Abu Bakar al-Khallal berkata, “Ahmad membenci kasidah-kasidah tatkala dikatakan kepadanya bahwa mereka seperti orang-orang gila.”

 

Kemudian diriwayatkan dari Imam Ahmad apa yang menunjukkan bahwa ia tidak mengapa. Al-Marwazi berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdullah tentang kasidah-kasidah syair, maka ia menjawab, ‘Bid’ah.’ Aku berkata, ‘Mereka dikucilkan?’ Beliau menjawab, ‘Tidak sampai demikian.’”

 

Penulis berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Ahmad mendengar seorang penyair di sisi anaknya Shalih, dan dia tidak mengingkarinya, maka Shalih berkata kepadanya, “Wahai bapak, engkau mengingkari ini?” Dia menjawab, “Karena mereka pernah berkata kepadaku bahwa orang-orang itu menggunakan yang mungkar, maka aku membencinya. Adapun ini, maka aku tidak membencinya.”

 

Saya berkata, “Rekan-rekan kami menyebutkan dari Abu al-Khallal dan rekannya Abdul Aziz bahwa dia membolehkan nyanyian, padahal sebenarnya keduanya hanya mengisyaratkan kepada kasidah-kasidah guhud yang ada pada zaman keduanya. Berdasarkan ini, maka apa yang tidak dibenci oleh Ahmad dibawa kepada makna ini.

 

Apa yang saya katakan menunjukkan bahwa Ahmad bin Hanbal ditanya tentang seorang laki-laki mati yang meninggalkan anak laki-laki dan seorang budak perempuan penyanyi, maka anak tersebut membutuhkan fingga dia harus menjual budak itu, maka Ahmad menjawab, ‘Jangan dijual sebagai penyanyi.” Seseorang berkata kepada Ahmad, “Harganya mencapai tiga puluh ribu dirham, bila dijual apa adanya bukan sebagai penyanyi maka harganya hanya dua puluh dinar saja.” Ahmad merjawab, “Dijual apa adanya bukan sebagai penyanyi.”

 

Penulis berkata, bahwa Ahmad berkata demikian karena budak perempuan penyanyi tersebut tidak melagukan syair-syair zuhud, akan tetapi syair-syair yang membuat orang bergoyang yang mengajak jiwa kepada cinta. Ini menunjukkan bahwa nyanyian dilarang, kalau tidak dilarang, niscaya Ahmad tidak membolehkan menghilangkan harta atas anak yatim.

 

Al-Marwazi meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal bahwa dia berkata, “Hasil usaha banci itu buruk, dia mendapatkannya dengan nyanyian.”

 

Hal ini karena banci tidak mendendangkan syair-syair zuhud, akan tetapi dengan syair tentang wanita dan ratapan, maka diketahui dari keterangan ini bahwa dua riwayat dari Ahmad, satunya membencinya dan satunya tidak berkaitan dengan syair-syair zuhud yang dilagukan, adapun nyanyian yang dikenal di hari ini maka ia dilarang menurut Ahmad.

 

Lalu bagaimana seandainya dia mengetahui tambahan-tambahan yang dibuat-buat orang orang-orang?

 

Madzhab Malik bin Anas

 

Dari Ishaq bin Isa ath-Thabba’ berkata, aku bertanya kepada Malik bin Anas tentang nyanyian yang dibolehkan oleh orang-orang Madinah, beliau menjawab, “Yang melakukannya hanya orang-orang fasik.”

 

Dari Abu ath-Thayyib ath-Thabari berkata, bahwa Malik bin Anas melarang nyanyian dan mendengarnya, dia berkata, “Bila seseorang membeli seorang budak perempuan, lalu dia mendapatinya bernyanyi, maka dia berhak mengembalikannya karena ia cacat.” Ini adalah madzhab ulama Madinah yang lain kecuali Ibrahim bin Sa’ad seorang, dan Zakariyah as-Saji menceritakan darinya bahwa dia membolehkannya. Madzhab Abu Hanifah

 

Dari Abu ath-Thayyib ath-Thabari berkata, “Abu Hanifah membenci nyanyian walaupun dia membolehkan minum perasan anggur, dan beliay menetapkan bahwa mendengar nyanyian termasuk dosa.”

 

Dia berkata, “Ini adalah madzhab ulama Kufah lainnya_ seperti Ibrahim, asy-Sya’bi, Hammad, Sufyan ats-Tsauri dan lainnya, dan tidak ada perbedaan di antara mereka.”

 

Dia berkata, “Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan Orang-orang Bashrah bahwa ia dibenci dan dilarang kecuali apa yang diriwayatkan dari Ubaidillah bin al-Hasan al-Anbari, dia berpendapat tidak mengapa.”

 

Madzhab asy-Syafi’i

 

Dari al-Hasan bin Abdul Aziz al-Jarawi berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Idris asy-Syafi’i berkata, ‘Aku meninggalkan sesuatu di Irak yang dibuat-buat oleh orang-orang zindik, mereka menyebutnya taghbir, yang dengannya mereka menyibukkan manusia dari al-Qur’an.’”

 

Abu Bakar Manshur al-Azhari menyebutkan bahwa Mughabbirah adalah orang-orang yang mentaghbir dalam berdzikir kepada Allah dengan doa dan permohonan, mereka menamakan syair yang membuat mereka bergoyang dalam berdzikir kepada Allah dengan taghbir, seolah-olah bila mereka menyaksikannya dengan lagu, maka mereka akan bergoyang, berjoget, maka mereka disebut Mughabbirah karena makna ini Az-Zajjaj berkata, “Mereka dinamakan Mughabbirin wena mereka membuat orang-orang berzuhud terhadap dunia dan mendorong mereka kepada akhirat.” .

 

Asy-Syafi’i berkata, “Nyanyian adalah permairian yang makruh dan mirip dengan kebatilan. Barangsiapa memperbanyak darinya maka dia dungu dan kesaksiannya tidak diterima.”

 

Ath-Thabari berkata, “Ulama kota-kota besar sepakat bahwa nyanyian dibenci dan dilarang, dan yang menyelisihinya Hanya beberapa orang, di antaranya adalah Ibrahim bin Sa’ad dan Ubaidullah al-Anbari.

 

Saya berkata, “Para tokoh murid-muridasy-Syafi’i mengingkari sama’, adapun orang-orang terdahulu maka tidak diketahui dari mereka adanya khilaf, adapun para tokoh muta’akhkhirin maka mereka juga mengingkari, di antara mereka adalah Abu ath-Thayyib ath-Thabari, dia menulis sebuah kitab tentang celaan dan larangan nyanyian. .

 

Dia berkata, “Nyanyian tidak boleh, mendengarnya juga, demikian juga memukul gendang.” Dia menambahkan, “Siapa yang menyandarkan kepada asy-Syafi’i bahwa dia membolehkannya maka dia dusta atasnya.”

 

Asy-Syafi’i telah menyatakan dalam Kitab Adabul Qadha~ bahwa seorang laki-laki yang selalu mendengar nyanyian maka ditolak kesaksian dan kejujurannya batal.

 

Saya berkata, “Ini adalah pendapat ulama madzhab asy-Syafi’i yang berpegang tequh kepada agama dari mereka, sedangkan yang memberikan keringanan hanyalah kalangan muta‘ akhkhirin dari mereka yang ilmu mereka minim dan kalah oleh hawa nafsunya.

 

Para fugaha’ dari rekan-rekan kami berkata, “Kesaksian penyanyi dan tukang joget tertolak.” ’ Dalil-dalil yang Menetapkan Dibencinya dan Dilarangnya Nyanyian serta Ratapan Penulis berkata, “Rekan-rekan kami berdalil atas dilarangnya nyanyian dengan al-Qur’an, sunnah dan makna.”

 

Dari al-Qur’an ada tiga ayat.

 

> Ayat pertama: Firman Allah: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna…” (QS. Luqman: 6).

 

Dari Abu ash-Shahba~ berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang firman Allah, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna…” (QS. Luqman: 6), dia berkata, ‘Demi Allah, ia adalah nyanyian.’”

 

Dari Ibnu Abbas tentang ayat ini, “la adalah nyanyian dan yang sepertinya.”

 

Dari Sa’id bin Yasar berkata, “Aku bertanya kepada Ikrimah tentang maksud hadits tersebut, dia menjawab, ‘Nyanyian.’” : Demikian juga yang diucapkan oleh al-Hasan, Sa’id bin Jubair, Qatadah dan Ibrahim an-Nakha’i.

 

> Ayat kedua: Firman Allah: 

 

“Sedang kamu melengahkan(nya)?” (QS. an-Najm: 61).

 

Dari Ibnu Abbas tentang ayat ini berkata, “Ia adalah nyanyian dengan bahasa Himyar. Samada lana, yakni bernyanyi untuk kami.

 

Mujahid berkata, “Ia adalah nyanyian. Orang-orang Yaman -berkata, ‘Samada fulan, yakni fulan bernyanyi.”

 

> Ayat ketiga: . Firman Allah :

 

“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda…” (QS. al-Isra’: 64).

 

Dari Mujahid tentang ayat tersebut, dia berkata, “Ia adalah nyanyian dan seruling.”

 

Adapun berdasarkan Sunnah:,

 

Dari Ibnu Umar bahwa dia mendengar seruling gembala,. dia pun meletakkan dua jarinya di kedua telinganya dan membelokkan untanya dari jalan, kemudian dia berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu mendengar?” Maka aku menjawab, “Ya.” Lalu dia berjalan, hingga aku berkata, “Aku sudah tidak mendengar.” Lalu dia meletakkan kedua tangannya dan mengembalikan untanya ke jalan, dan dia berkata, ‘Aku melihat Rasulullah mendengar seruling gembala, lantas beliau melakukan apa yang aku lakukan.’”

 

Penulis berkata, “Bila ini adalah perbuatan mereka terhadap suara yang tidak keluar dari lingkaran keseimbangan, lalu bagaimana dengan nyanyian orang-orang zaman ini dan seruling mereka?!

 

Abdurrahman bin Auf meriwayatkan dari nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Sesungguhnya aku melarang dua suara yang bodoh lagi fajir, suara seruling saat suka dan suara ratapan saat duka, ”

 

Dari Ibnu Umar berkata, “Aku bertamu kepada Rasulullah, sedangkan anak laki-laki beliau Ibrahim sedang sekarat, maka Rasulullah memangkunya, sementara kedua mata beliau meneteskan air mata, maka aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, Anda menangis padahal Anda melarang kami?!’ Beliau bersabda, Aku tidak melarang menangis, akan tetapi aku melarang dua suara bodoh yang fajir; Suara saat suka, mainmain, hura-hura dan seruling setan serta suara saat musibah, memukuli wajah, merobek baju dan rintihan setan.’”

 

Atsar-atsar

 

Ibnu Mas’ud berkata, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan sayuran.”

 

Dia berkata, “Bila seorang laki-laki mengendarai unta, dan tidak mengucapkan basmalah, maka setan memboncengnya, dia berkata, ‘Bernyanvyilah.’ Bila dia tidak bisa, maka dia berkata, ‘Berharaplah untuk bisa.”

 

Ibnu Umar <melewati suatu kaum yang sedang ihram, dan di antara mereka ada seorang laki-laki yang bernyanyi, maka Ibnu Umar berkata, “Ketahuilah, Semoga Allah tidak memperdengarkan kebaikan untuk kalian.” Dan Ibnu Umar juga melewati seorang anak perempuan bernyanyi, maka dia berkata, “Seandainya setan meninggalkan seseorang niscaya dia meninggalkan anak ini.”

 

Seorang laki-laki bertanya kepada al-Qasim bin Muhammad tentang nyanyian, maka al-Qasim berkata, “Aku melarangmu darinya dan membencinya untukmu.” Laki-laki itu bertanya, “Apakah ia haram?” Al-Qasim menjawab, “Perhatikanlah wahai keponakanku, bila Allah membedakan yang haq dengan yang batil, maka di manakah di antara keduanya Dia meletakkan nyanyian?!”

 

Dari asy-Sya’bi berkata, “Penyanyi dan pendengarnya dilaknat.”

 

Umar bin Abdul Aziz menulis kepada guru anaknya, “Hendaknya per. kara pertama yang anak-anakku yakini dari adabmu adalah kebencian kepada permainan-permainan yang awalnya adalah dari setan dan akibatnya adalah murka ar-Rahman, karena telah sampai kepadaky dari para pembawa ilmu yang tsiqat bahwa menghadiri alat-alat musik, mendengar nyanyian dan mendendangkannya menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan rumput. Sungguh aku bersumpah, untuk menjauhi hal ini dengan tidak menghadiri tempattempat tersebut adalah lebih mudah bagi orang berakal daripada membebaskan hatinya dari kemunafikan.”

 

Fudhail bin Iyadh berkata, “Nyanyian adalah ruqyah zina.”

 

Adh-Dhahhak berkata, “Nyanyian merusak hati dan mengundang murka ar-Rabb.”

 

Yazid bin al-Walid berkata, “Wahai Bani Umayyah! Jauhilah nyanyian, karena ia memicu syahwat, menghancurkan kehormatan, menggantikan posisi khamr dan melakukan apa yang dilakukan karena mabuk. Maka bila kalian memang harus melakukan, maka jauhkanlah ia dari kaum wanita, karena nyanyian mengajak pada penyeru zina.”

 

Saya berkata, “Berapa banyak suara nyanyian memfitnah ahli ibadah yang zuhud, dan kami telah menyebutkan sekumpulan berita mereka dalam kitab kami Dzammul Hawa.

 

Penulis berkata, “Adapun dari sisi makna, maka kami telah menjelaskan bahwa nyanyian mengeluarkan manusia dari keseimbangan dan merubah akal.”

 

Penjelasannya, bila seseorang bergoyang maka dia melakukan apa yang dia akui keburukannya saat dia sadar dari selainnya, dari mengerakkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentakkan kedua kakinya ke tanah dan lainnya yang hanya dilakukan oleh pemilik akal yang rendah. Nyanyian mengundang semua itu, bahkan dampaknya mendekati dampak khamr dalam menutup akal, maka sudah sepatutnya bila dilarang.

 

Dari Abu Sa’id al-Kharraz berkata, ahli kasidah disebut di depan Muhammad bin Manshur, maka dia berkata, “Mereka adalah orang-orang yang berlari dari Allah, seandainya mereka menasihati Allah dan rasulNya serta membenarkannya niscaya dalam hati mereka akan muncul sesuatu yang menyibukkan mereka dari banyaknya perjumpaan.”

 

Abu Abdullah bin Baththah al-Ukbari berkata, “Ada seorang penanya yang bertanya kepadaku tentang mendengar nyanyian, maka aku melarangnya darinya, dan aku memberitahunya bahwa ia termasuk perkara yang diingkari oleh para ulama dan dianggap baik oleh orang-orang bodoh. Yang hanya dilakukan oleh sekelompok orang yang bernama orang-orang sufi dan para ulama ahli tahqiq menyebut mereka Jabriyah, yaitu pemilik tujuan-tujuan rendah dan syariat-syariat yang bid’ah. Mereka memperlihatkan zuhud, padahal semua sebab-sebab mereka adalah kegelapan. Mereka mengklaim kerinduan, cinta, menggugurkan ketakutan dan harapan, mendengarnya dari anak-anak muda dan kaum wanita, mereka bergoyang, pingsan, tidak sadarkan diri seperti mati. Mereka juga mengklaim bahwa semua itu karena cinta mereka yang besar kepada Tuhan mereka. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan setinggi-tingginya.”

 

Syubhat yang Dipegang oleh Pihak yang Membolehkan Nyanyian

 

Di antaranya hadits Aisyah bahwa dua orang anak perempuan memukul dua rebana di sisinya. Dalam sebagian lafazh hadits menyebutkan bahwa Aisyah berkata, “Abu Bakar bertamu kepadaku sementara di sisiku ada dua anak perempuan dari kalangan anak-anak Anshar bersyair mengucapkan apa yang diucapkan oleh orang-orang Anshar di hari Buats, maka Abu Bakar berkata, ‘Apakah seruling setan di rumah Rasulullah?’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya dan ini adalah hari raya kita.’ Hadits ini telah disebutkan sebelumnya.?!

 

Di antaranya hadits Fadhalah bin Ubaid dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Sungguh Allah benar-benar lebih mendengar kepada seorang laki-laki yang bersuara bagus membaca al-Qur’an daripada pendengar penyanyi kepada nyanyiannya. ”

 

Ibnu Thahir berkata, “Sisi pengambilan hujjah dari hadits ini adalah bahwa nabi menetapkan bolehnya mendengar nyanyian, karena tidak boleh mengkiyaskan kepada yang haram.”

 

Di antaranya hadits Abu Hurairah dari Nabi bahwa dia berkata:

 

‘Allah tidak mendengar sesuatu seperti Dia mendengar seorang nabi yang melantunkan al-Qur an.”

 

Di antaranya hadits Muhammad bin Hathib dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Pemisah antara yang halal dan yang haram adalah memukul rebana. “

 

Kami menjawab, bahwa hadits Aisyah, telah kami bicarakan, dan kami jelaskan bahwa mereka mengucapkan bait-bait syair, dan hal itu dinamakan nyanyian, karena dalam mengucapkannya mengandung penekanan dan sedikit dilagukan, seperti ini tidak mengeluarkan tabiat dari keseimbangan.

 

Bagaimana mereka berdalil kepada sebuah realita di zaman yang bersih di kalangan orang-orang yang berhati bersih untuk membolehkan nyanyian-nyanyian yang mengundang joget yang terjadi di zaman yang kotor di kalangan para pemilik jiwa yang telah dikuasai oleh hawa nafsu? Hal ini hanyalah sebuah pemahaman yang sangat keliru.

 

Bukankah telah diriwayatkan secara shahih dari Aisyah bahwa dia berkata, “Sekiranya Rasulullah melihat apa yang dilakukan oleh kaum wanita niscaya beliau melarang mereka dari masjid.”

 

Seorang mufti harus mempertimbangkan setiap keadaan sebagaimana seorang tabib sepantasnya mempertimbangkan zaman, usia dan negeri, kemudian membuat resep setelah mempertimbangkan semua itu menurut takarannya.

 

Di manakah nyanyian yang diucapkan oleh orang-orang Anshar di hari Buats dari nyanyian seorang anak muda yang belum berkumis lagi berwajah tampan dengan alat-alat musik yang mengajak bergoyang yang dibuat-buat dan menarik hati dan nyanyian tentang wanita yang hanya menyebut asmara dan bentuk tubuh serta perawakan seorang wanita?!

 

Adakah tabiat yang bisa tahan di depan nyanyian seperti ini?! Mustahil, sebaliknya ia akan membuncah lagi merindukan kelezatan!

 

Tidak ada yang berani berkata bahwa dia tidak demikian kecuali pendusta atau dia memang telah keluar dari riil kemanusiaan.

 

Barangsiapa mengklaim bahwa dia mengambil isyarat kepada Khalik dari nyanyian seperti ini maka dia telah menggunakan sesuatu yang tidak pantas untukNya. di samping tabiatnya akan menemukan hawa nafsunya terlebih dulu.

 

Abu ath-Thayyib ath-Thabari menjawab dari pengambilan dalil kepada hadits ini dengan jawaban yang berbeda, dia berkata, “Hadits ini adalah hujjah kami, karena Abu Bakar menyebut hal itu sebagai seruling setan dan Nabi tidak mengingkari penyebutan Abu Bakar ini, sedangkan nabi hanya melarang Abu Bakar bersikap keras dalam mengingkari karena kandungannya yang baik, lebih-lebih di hari raya. Aisyah saat itu masih kecil dan sesudah dia dewasa tidak dinukil darinya kecuali bahwa dia mencela nyanyian. Keponakan Aisyah yaitu al-Qasim bin Muhammad juga mencela, melarang mendengarnya dan dia mengambil ilmu dari Aisyah.”

 

Penulis berkata, “Adapun permainan yang disebutkan dalam hadits lainnya, maka ia tidak secara spesifik menunjukkan bahwa ia adalah nyanyian, ada kemungkinan ia adalah mengucapkan syair atau lainnya.”

 

Adapun penyerupaan dengan mendengar seorang penyanyi, maka tidak dipermasalahkan bila yang disamakan adalah sesuatu yang haram. Karena bila seseorang berkata, “Saya merasakan adanya kelezatan pada

 

madu lebih nikmat daripada kelezatan pada khamr.” Maka tidak ada yang salah dalam ucapannya, dan penyerupaan hanya untuk mendengar pada kedua kondisi, yang satu halal dan yang Iainnya haram tidak menghalangi penyerupaan, Nabi 3 bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat rembulan.

 

Nabi menyerupakan melihat dengan jelasnya melihat sekalipun di antara yang dilihat terdapat perbedaan karena rembulan dilihat qj sebuah arah yang mana penglihatan orang yang melihatnya meliputinya, sementara Allah disucikan darinya.

 

Para fuqaha’ berkata tentang air wudhu, “Anggota wudhu tidak dikeringkan darinya, karena air ini adalah bekas dari ibadah, maka tidak disunnahkan mengeringkannya, seperti darah syahid, mereka menya. tukan keduanya dari sisi bahwa keduanya merupakan bekas dari ibadah, sekalipun keduanya berbeda, yang satu suci dan yang lain najis.”

 

Ucapan Ibnu Thahir bahwa qiyas hanya dilakukan atas sesuatu yang mubah maka ini adalah fikih sufi, bukan ilmu para ulama.

 

Ucapannya, “Yataghanna bil Qur’an,” Sufyan bin Uyainah menaf. sirkannya dengan, “Merasa cukup dengan al-Qur’an.” Asy-Syafi’i menaf. sirkannya, “Maknanya adalah membacanya dengan khusyu’ dan bagus.” Selain Sufyan dan asy-Syafi’i berkata, “Menjadikannya sebagai ganti senandung rombongan musafir bila mereka berjalan.”

 

Adapun memukul rebana, maka beberapa orang tabi’in menghan. curkannya. Bila ini adalah sikap mereka terhadap rebana di zaman itu, lalu bagaimana dengan rebana di zaman ini?!

 

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Rebana bukan termasuk sunnah para rasul dari sisi apa pun.”

 

Sabda Nabi, “Pemisah antara yang halal dengan yang haram…” Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam berkata, “Apa yang diucapkan oleh sebagian kalangan sufi tentang hadits ini merupakan kesalahan takwil atas Rasulullah, karena maknanya menurut kami adalah mengumumkan pernikahan, suara kebahagiaan dan menyebutkan pada orang lain.”

 

Saya berkata, “Seandainya hadits ini diberlakukan pada pengertian rebana dalam arti sebenarnya, niscaya ia tetap benar dan boleh. Ahmad bin Hanbal berkata, “Saya berharap rebana pada pernikahan dan sepertinya boleh, tetapi saya membenci gendang.”

 

Dari Amir bin Sa’ad al-Bajali berkata, “Aku mencari Tsabit bin Sa’ad, dia adalah laki-laki yang ikut dalam perang Badar, dan aku mendapatinya dalam sebuah pernikahannya ada anak-anak perempuan yang bernyanyi dan memukul rebana, maka aku berkata, “Mengapa kamu tidak melarangnya?” Dia menjawab, “Tidak, karena Rasulullah memberi keringanan kepada kami dalam hal ini.”

 

Penulis berkata, “Semua dalil yang mereka jadikan sebagai dalil tidak boleh dijadikan sebagai dalil untuk membolehkan nyanyian yang berdampak buruk terhadap jiwa.”

 

Sebagian orang yang terfitnah oleh tasawuf berusaha membela mereka dengan menghadirkan dalil yang tidak benar, di antara mereka adalah Abu Nuaim al-Ashfahani, dia berkata, “Al-Barra’ bin Azib senang mendengarkannya dan merasakan kenikmatan suara merdu.”

 

Penulis berkata, “Abu Nuaim menyebutkan hal ini dari al-Barra’, karena dia meriwayatkan”’ darinya bahwa dia suatu hari berbaring dan bersenandung.”

 

Lihatlah pengambilan dalil yang kering ini, karena seseorang tidak lepas dari seperti ini. Maka di manakah perbedaan bersenandung dengan mendengar nyanyian yang menggucang jiwa?!

 

Muhammad bin Thahir berdalil untuk mereka kepada beberapa dalil. Kalau bukan karena khawatir orang bodoh akan mengetahui yang sepertinya, niscaya ia tak patut untuk disebutkan, karena ia tidak berarti apa-apa.

 

Di antaranya dia berkata dalam kitabnya, “Bab meminta seseorang mengucapkan syair dan sunnah padanya.” Dia menetapkan bahwa meminta seseorang mengucapkan syair termasuk sunnah, dia berdalil kepada apa yang diriwayatkan oleh Amru bin asy-Syarid dari bapaknya, dia berkata, “Rasulullah memintaku untuk menyampaikan kepadanya syair Umayyah, maka beliau bersabda, “Teruskan, teruskan’, hingga aku mengucapkan seratus bait.”

 

Penulis berkata, “Lihailah kepada pengambilan dalil Ibnu Thahir, sungguh ia sangat aneh! Bagaimana bisa dia berdalil dibolehkannya nyanyian dengan mengucapkan syair?! Perumpamaan orang sepertinya adalah seperti orang yang berkata, “Boleh memukul dengan telapak tangan di atas gitar, maka boleh memetik senarnya.” Atau berkata, “Boleh memeras anggur dan meminumnya hari itu serta boleh juga meminum. nya beberapa hari sesudahnya.” Dia lupa bahwa mengucapkan syair tidak membuat bergoyang seperti nyanyian.

 

Saya menyebutkan hal ini agar kadar fikih dan pengambilan dalil orang ini diketahui, karena bila tidak, maka waktu lebih berharga untuk digunakan hal yang sia-sia dalam membahas kekacauan ini.

 

Dari Abu ath-Thayyib ath-Thabari berkata, “Adapun mendengar nyanyian dari wanita yang bukan mahram, maka rekan-rekan asy-Syafi’j berkata, ‘Tidak boleh, baik wanita merdeka atau pun budak.”

 

Dia berkata, bahwa asy-Syafi’i berkata, “Pemilik budak wanita penyanyi yang mengumpulkan orang untuk mendengarnya adalah orang bodoh dan kesaksiannya ditolak.”

 

Kemudian asy-Syafi’i berkata keras dalam masalah ini, “Dia dayyuts,”

 

Asy-Syafi’i memvonis pelakunya bodoh dan fasik, karena dia mengajak orang-orang kepada kebatilan. Barangsiapa mengajak kepada kebatilan, maka dia bodoh dan fasik.

 

Penulis berkata, “Dari Abu Abdurrahman as-Sulami berkata, ‘Sa’aq bin Abdullah ad-Dimasyqi membeli seorang budak perempuan yang mengucapkan syair-syair.untuk orang-orang sufi dan mendendangkan syair bagi mereka.’”

 

Penulis berkata, “Abu Thalib al-Makki menyebutkan dalam kitabnya Qutul Qulub, dia berkata, ‘Kami bertemu Marwan al-Qadhi, dia mempunyai budak-budak perempuan yang bernyanyi dengan lagu, dan dia menyiapkannya untuk orang-orang sufi.’” ;

 

Dia berkata, “Atha~ memiliki dua orang budak perempuan yang bernyanyi, dan saudara-saudaranya mendengar lagu dari keduanya.”

 

Penulis berkata, “Sa’ad ad-Dimasygqi, dia adalah laki-laki jahil, sedangkan riwayat dari Atha~ adalah mustahil dan dusta. Bila hikayat dari Marwan shahih, maka dia fasik, dan dalil atas apa yang kami ucapkan adalah apa yang kami sebutkan dari asy-Syafi?i bahwa dia berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang tidak berilmu, maka mereka cenderung kepada hawa nafsu.’”

 

Bila ada yang berkata, “Apa yang Anda katakan tentang apa yang diriwayatkan dari Mughirah yang berkata, ‘Aun bin Abdullah berkisah, bahwa bila dia longgar, dia memerintahkan seorang budak perempuan untuk berkisah dan bernyanyi.’ Al-Mughirah berkata, ‘Maka aku mengirim pesan -atau hendak mengirim pesan kepadanya-, ‘Sesungguhnya engkau dari keluarga baik, sesungguhnya Allah tidak mengutus nabiNya dengan membawa kedunguan, sedangkan apa yang kamu lakukan adalah perbuatan orang dungu.””

 

Kami menjawab, “Kami tidak percaya bila Aun memerintahkan budak perempuannya untuk berkisah di depan kaum laki-laki, akan tetapi dia ingin mendengarnya sendiri dan budak itu miliknya. Maka Mughirah alFaqih mengucapkan kalimatnya ini, dia tidak ingin bila budak perempuannya ini bernyanyi untuknya, lalu bagaimana dugaanmu dengan kaum wanita yang bernyanyi di depan kaum laki-laki dan membuat mereka bergoyang dan berjoget.”

 

Abu Thalib al-Makki berdalil untuk mereka atas dibolehkannya mendengar nyanyian kepada mimpi-mimpi, dan dia membagi mendengar nyanyian kepada beberapa bagian, padahal itu adalah pembagian sufi yang tidak ada dasarnya.

 

Kami telah menyebutkan bahwa barangsiapa mendengar nyanyian dan mengaku bahwa jiwanya tidak terpengaruh kepada hawa nafsu maka dia dusta.

 

Dari Abu ath-Thayyib ath-Thabari berkata, bahwa sebagian dari mereka berkata, “Sesungguhnya kami tidak mendengar nyanyian dengan tabiat yang dimiliki oleh orang-orang umum dan khusus.”

 

Dia berkata, bahwa ini nerupakan kebodohan darinya dari dua sisi:

 

> Pertama: Konsekuensinya adalah dia membolehkan seruling, gendang dan alat-alat musik lainnya, karena dia mendengar dengan tabiat yang tak dimiliki oleh siapa pun. Bila dia tidak membolehkannya, maka pendapatnya bertentangan, sedangkan bila dia membolehkan maka dia fasik.

 

> Kedua: Orang yang mengaku demikian mengaku tabiat dirinya berbeda dengan tabiat manusia, dan dia telah masuk dalam kelompok malaikat!

 

Bila dia berkata demikian, maka dia telah menuduh tabiatnya sendiri, dan dia tahu bahwa setiap orang yang berakal mendustakannya bila dia kembali kepada jiwanya, ini berarti pula bahwa dia tidak berjuang melawan dirinya, tidak menentang hawa nafsunya, tidak mendapatkan pahala bila dia meninggalkan hawa nafsu dan kesenangan yang haram, tak seorang pun yang berakal mengatakan yang demikian.

 

Bila dia berkata, “Aku juga memiliki tabiat manusia yang tercetak dj atas hawa nafsu dan syahwat.” Maka kami menjawab, “Bagaimana Anda mendengar nyanyian yang membuat bergoyang bukan dengan tabiatmy atau kamu bergoyang saat mendengar karena sesuatu yang tak tertanam dalam jiwamu?”

 

Abu Ali ar-Ruwadzbari ditanya tentang orang yang mendengar alatalat musik, maka dia berkata, “la bagiku halal, karena aku sudah mencapai derajat yang tak lagi terpengaruh oleh perbedaan keadaan.”

 

Penulis berkata, “Benar, demi Allah dia sudah sampai, akan tetapi ke jurang neraka Saqar.”

 

Penulis berkata, “Kami berkata bahwa tidak diingkari seseorang mendengar satu bait syair atau hikmah, lalu dia memetik pelajaran darinya, kemudian maknanya menggugahnya bukan karena suaranya yang menggoyang, sebagaimana sebagian murid mendengar suara wanita penyanyi yang berkata,

 

Setiap hari kamu berhias

 

Dan selain ini lebih cantik bagimu

 

Maka dia berteriak dan mati.

 

Laki-laki ini tidak bermaksud mendengar wanita itu, dan tidak me.noleh kepada nyanyiannya. Dia hanya mati karena maknanya.

 

Kemudian mendengar satu kalimat atau satu bait tanpa sengaja mendengarnya tidaklah sama dengan mendengar bait-bait yang banyak yang membuat bergoyang yang disengaja bahkan dengan persiapan, ditambah dengan adanya pukulan pada alat musik, tepuk tangan dan lainnya.

 

Kemudian orang yang mendengar itu tidak sengaja mendengar, kalau . dia bertanya kepada kita, “Bolehkah aku sengaja mendengarnya?” Maka kami melarangnya.

 

Penulis berkata, “Abu Hamid ath-Thusi berdalil untuk mereka kepada hal-hal yang membuatnya turun dari derajat pemahaman, intinya dia berkata, ‘Tidak ada nash dan qiyas yang menetapkan larangan mendengar nyanyian.’”

 

Jawaban terhadap pendapatnya ini adalah dalil-dalil yang telah kami sebutkan. 

 

Dia berkata, “Tidak ada alasan mengharamkan mendengar suara yang indah, bila ia berwazan maka ia tidak haram, bila satu-satu tidak haram, maka kumpulannya juga tidak haram, dan bila hal-hal mubah disatukan maka ia tetap mubah.”

 

Dia berkata, “Apa yang dipahami darinya patut ditinjau. Bila ia mengandung sesuatu yang dilarang, maka membuat dan menyusunnya juga haram, sehingga haram pula menyuarakannya.”

 

Saya katakan, “Sungguh aku heran terhadap perkataan seperti ini, senar gitar saja atau gitar saja tanpa senar, seandainya ia dipukul maka ia tidak haram, tidak membuat bergoyang, bila keduanya disatukan lalu dipetik dengan cara tertentu maka ia haram dan membangkitkan.”

 

Begitu pula perasan anggur boleh diminum, namun bila ia sudah berbusa atau berbuih maka ia haram.

 

Begitu juga kumpulan ini semua mengajak pendengarnya bergoyang yang mengeluarkannya dari keseimbangan, maka ia patut dilarang karena itu.

 

Ibnu Aqil berkata, “Suara terbagi menjadi tiga: Haram, makruh dan mubah.

 

Yang Haram adalah seruling, sirine, gitar, gendang, biola, rebab dan yang sepertinya. Imam Ahmad bin Hanbal telah menyatakan pengharamannya, dan sekop disamakan dengannya, karena ini mengundang orang bergoyang, mengeluarkan dari batas keseimbangan, berdampak terhadap tabiat manusia secara umum seperti dampak yang timbul dari minuman yang memabukkan, baik digunakan dalam keadaan sedih yang bisa membangkitkannya atau pun dalam keadaan bahagia, karena nabi telah melarang dua suara yang dungu, yaitu suara saat suka dan suara saat musibah.

 

Yang Makruh yaitu pedang karena ia dari sisi dirinya tidak membuat bergoyang, akan tetapi yang membuat bergoyang adalah apa yang mengikutinya, jadi ia mengikuti ucapan sedangkan ucapan makruh. Di antara rekan-rekan kami ada yang mengharamkan alat tersebut sebagaimana diharamkannya alat-alat musik, jadi ada dua pendapat di kalangan rekan-rekan kami seperti ucapan itu sendiri.

 

Yang Mubah yaitu rebana, kami telah menyebutkan dari Ahmad bahwa dia berkata, “Gaya berharap rebana di pernikahan dan yang sepertinya tidak mengapa, dan aku membenci gendang.”

 

Abu Hamid berkata, “Barangsiapa mencintai Allah maka dia menggandrungiNya dan merindukan pertemuan denganNya, karena kegan. drungannya kepada Allah, maka mendengar nyanyian untuknya ditekankan.”

 

Penulis berkata, “Ini buruk, dikatakan untuk Allah, yu’syaqu, digandrungi, sedangkan kami telah menjelaskan kekeliruan kata-kata ini.”

 

Kemudian penegasan apa untuk kegandrungannya terdapat dalam ucapan seorang penyanyi,

 

Berwarna keemasan, karnu menyangka

 

Kedua pipinya adalah api yang menyala

 

Ibnu Aqil mendengar sebagian orang-orang sufi berkata, “Bila tabiat para syaikh kelompok ini berhenti, maka seseorang menuntunnya kepada Allah dengan nyanyian.”

 

Ibnu Aqil berkata, “Tidak ada kemuliaan bagi orang yang berkata demikian, karena hati hanya dituntun kepada Allah melalui janji Allah dan ancamanNya dalam al-Qur’an serta sunnah Rasulullah, karena Allah berfirman:

 

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka…” (QS. al-Anfal: 2). Dia tidak berfirman, ‘Bila nyanyian didendangkan maka hati mereka bergoyang.”

 

Barangsiapa yang jiwanya tergoda untuk memunguti pelajaran dari ketampanan atau kecantikan manusia serta merdunya suara, maka dia adalah orang yang terkena fitnah, sebaliknya yang patut adalah melihat kepada hal-hal halal yang mana Allah mengalihkan kita kepadanya seperti unta, kuda, angin dan lainnya. Ini adalah pemandangan yang tidak diharamkan karena ia tidak membangkitkan gejolak jiwa, bahkan menghadirkan sikap pengagungan kepada pencipta.

 

Setan telah menipu kalian, hingga kalian menjadi budak bagi hawa nafsu kalian, dan kalian belum kunjung sadar hingga kalian berkata, “Ini adalah hakikat.” Padahal kalian adalah orang-orang zindik dalam pakaian ahli ibadah, dan orang-orang busuk dalam pakaian ahli zuhud. Kalian adalah musyabbihah yang meyakini bahWa seseorang menggandrungi Allah, merindukanNya, larut padaNya dan tergila-gila kepadaNya!

 

Ini adalah dugaan yang sangat buruk, karena Allah menciptakan dzat-dzat, makhluk dengan kemiripan, karena asal unsurnya mirip, maka ia merasa tenang dan sedih dengan, asal unsurnya dan susunannya yang sepadan dalam bentuk penciptaannya.

 

Dari sini muncullah sikap saling menyalahkan, kecenderungan dan sebagian menggandrungi sebagian yang lain, dan kekuatan ketenangan ini tergantung pada kadar kedekatan bentuknya.

 

Salah seorang dari kita merasa senang kepada air, karena pada dirinya ada air, namun dia lebih senang kepada tumbuhan, karena kemiripannya dengannya dari sisi hewaniyah dalam kekuatan pertumbuhan dan dia lebih dekat lagi kepada hewan karena dia dan ia sama-sama memiliki satu sifat yang lebih khusus dengannya atau lebih senang kepadanya. Lalu di mana titik kesamaan antara Khalik dengan makhluk hingga terjadi kecenderungan, kegandrungan dan kerinduan dari makhluk kepadaNya? Di mana letak korelasi antara air plus tanah dengan pencipta langit?!

 

Orang-orang itu hanya membayangkan sebuah bentuk tertentu bagi Allah dalam hati Allah, padahal Allah tidak demikian, akan tetapi itu adalah berhala yang dibentuk oleh tabiat mereka dan setan. Allah tidak mempunyai sifat yang membuat tabiat cenderung kepadanya, dan jiwa merindukannya. Perbedaan Illahiyah dengan makhluk melahirkan pengagungan dan penghormatan dari jiwa kepadaNya. Apa yang diklaim oleh para perindu sufi pada Allah bahwa mereka merindukanNya hanya khayalan semata.

 

Kami berlindung kepada Allah dari bisikan hati yang busuk dan godaan jiwa yang buruk yang mana hukum syariat memerintahkan agar hal itu dihapus dari dalam hati sebagaimana berhala yang harus diruntuhkan. Kritik Cara-cara Orang Sufi dalam Sama’

 

Penulis berkata, “Beberapa orang dari kalangan sufi angkatan pertama melarang pemula untuk mendengar nyanyian, karena mereka mengetahui apa yang membanaitkan jiwanya.”

 

Dari Abdullah bin Shalih berkata, al-Junaid berkata kepadaku, “Bila kamu melihat murid mendengar nyanyian, maka ketahuilah bahwa dia belum bisa terlepas dari main-main.” .

 

Dari Ahmad bin Muhammad al-Barda’i berkata, “Aku mendengar Abu al-Husain an-Nuri berkata kepada sebagian rekannya, ‘Bila kamu melihat murid masih mendengar nyanyian dan cenderung kepada kemewahan maka jangan berharap kebaikannya.’”

 

Saya berkata, “Ini adalah ucapan syaikh-syaikh mereka, Ialu kalangan muta’ akhkhirin membolehkan menggandrungi permainan, maka keburukan mereka menular dari dua sisi:

 

> Pertama: Dugaan buruk orang-orang awam terhadap orang-orang angkatan pertama mereka, karena mereka menyangka bahwa mereka semuanya demikian.

 

> Kedua: Mereka menyeret orang-orang awam untuk bermain-main, maka orang awam tidak mempunyai hujjah saat dia bermain-main selain berkata, “Syaikh fulan melakukan ini dan ini.”

 

Penulis berkata, “Mendengar nyanyian telah berakar kuat di hati beberapa orang dari kalangan mereka, hingga mereka lebih mementingkannya daripada membaca al-’Qur’an. Hati mereka melunak saat mendengarnya sedangkan ia sama sekali tak melunak saat membaca al-’Qur’an. Hal ity tidak lain kecuali karena kuatnya hawa nafsu dan dominasi tabiat dalam hati mereka, sementara mereka menyangka selain itu!

 

Dari Abu Abdurrahman as-Sulami berkata, “ disuruh keluar ke Marwu semasa hidup Ustadz Abu Sahl ash-Shu, sebelum aku keluar di pagi hari-hari Jum’at -ada majlis al-Qur’an dan khataman-. Saat aku keluar, aku melihat majlis itu telah ditiadakan dan di waktu yang sama diadakan untuk Ibnu al-Faraghani majlis untuk penyanyi, hal itu memprihatinkanku, maka aku berkata, “Dia telah mengganti majlis khataman dengan majlis nyanyian!” Suatu hari dia berkata kepadaku, “Apa yang dikatakan oleh orang-orang?” Maka aku menjawab, “Mereka berkata, ‘Dia meniadakan majlis al-’Qur’an dan menggantikannya dengan majlis penyanyi.” Dia berkata, “Barangsiapa berkata, ‘Mengapa,’ kepada ustadznya maka dia tidak beruntung.”

 

Saya berkata, “Ini adalah para propagandis sufi yang berkata, ‘Apapun keadaan syaikh harus diterima.’ Padahal tidak seorang pun yang seluruh keadaannya bisa diterima, karena keinginan-keinginan manusia dipagari oleh syariat dan akal, sementara hewan dengan cambuk!!!

 

Hukum Nyanyian di Kalangan Orang-orang Sufi Beberapa orang dari kalangan sufi meyakini bahwa nyanyian yang telah kamisebutkan pengharamannya dari sebagian ulama dan pemakruhannya dari sebagian yang lain justru dianjurkan menurut sebagian orang.

 

Dari Abu Ali ad-Daqqaq berkata, ““Mendengar nyanyian bagi orang awam haram karena jiwa mereka masih seperti sediakala, namun ia mubah bagi orang-orang zuhud, karena mujahadah mereka sudah terwujud, dan dianjurkan bagi rekan-rekan kami karena hati mereka sudah hidup.”

 

Penulis katakan, bahwa ini salah dari lima sisi:

 

> Pertama: Kami telah menyebutkan dari Abu Hamid al-Ghazali bahwa ia mubah bagi siapa pun dan Abu Hamid lebih mengetahui daripada orang ini.

 

> Kedua: Tabiat-tabiat jiwa tidak berubah, akan tetapi mujahadah menghentikan aktifitasnya. Barangsiapa mengklaim perubahan tabiat maka dia mengklaim sesuatu yang mustahil. Bila apa yang menggerakkan tabiat muncul, maka keluarlah apa yang selama ini tertahan dan kebiasaan pun kembali biasa.

 

> Ketiga: Para ulama berbeda pendapat tentang pengharaman dan pembolehannya. Di antara mereka tak ada yang melihat kepada pendengar, karena mereka mengetahui bahwa tabiat-tabiat adalah sama. Barangsiapa mengklaim tabiatnya keluar dari tabiat manusia maka dia mengklaim sesuatu yang mustahil.

 

> Keempat: Ijma’ sudah membuktikan bahwa ia tidak dianjurkan, dan paling banter dibolehkan,maka mengklaim bahwa ia dianjurkan adalah penyimpangan dari ijma’.

 

> Kelima: Kata-kata tersebut berkonsekuensi bahwa mendengar alat musik adalah boleh atau dianjurkan bagi siapa yang tabiatnya tidak berubah, sebab ia dihardamkan karena berdampak negatif atau buruk bagi tabiat, mengajaknya kepada hawa nafsu dan bila hal itu dijamin aman maka sepatutnya dibolehkan.

 

Penulis berkata, “Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa mendengar nyanyian adalah ibadah yang mendekatkan kepada Allah.”

 

Abu Thalib al-Makki berkata, “Sebagian syaikh kami menyampaikan kepadaku. dari al-Junaid bahwa dia berkata, ‘Rahmat turun kepada kelompok ini di tiga keadaan: Saat makan, karena mereka tidak makan kecuali dalam keadaan lapar berat, saat mudzakarah, karena mereka melewati maqam para shiddiqin dan keadaan para nabi serta saat mendengar, karena mereka mendengar dengan perasaan larut dan menyaksikan al-Haq.” .

 

Saya berkata, “Bila ucapan ini benar dari al-Junaid dan kita berbaik sangka kepadanya, maka ia patut dibawa kepada apa yang mereka dengarkan berupa syair-syair zuhud, karena ia menyebabkan kelembutan hati dan membuat pendengarnya menangis. Adapun klaim bahwa rahmat turun saat membicarakan Su’da dan Laila dan hal itu dibawa kepada sifat-sifat sang Pencipta, maka tidak boleh meyakininya. Dan bila mengambil isyarat darinya benar, maka isyarat tersebut hilang di sisi dominasi hawa nafsu.”

 

Apa yang kami katakan di atas ditunjukkan oleh kenyataan yang ada bahwa apa yang diucapkan di zaman al-Junaid tidak seperti apa yang diucapkan di zaman ini, namun sebagian muta’akhkhirin membawa ucapan al-Junaid kepada setiap apa yang dikatakan.

 

Dari Abdul Wahhab bin al-Mubarak al-Hafizh berkata, “Abu al-Wafa~ al-Fairuzbadi syaikh Ribath az-Zauzani adalah kawanku, dia berkata, ‘Demi Allah, aku berdoa untukmu dan menyebutmu saat bantal diletakkan dan nyanyian didendangkan.” Maka Syaikh Abdul Wahhab terkejut, lalu dia berkata, “Menurut kalian orang ini meyakini bahwa waktu tersebut adalah waktu mustajab?! Sesungguhnya ini adalah perkara yang besar.”

 

Ibnu Adil berkata, “Kami mendengar dari mereka bahwa doa saat nyanyian didendangkan dan saat kehadiran bantal mustajab, hal itu karena mereka meyakini bahwa ia adalah ibadah yang bisa mendekatkan mereka kepada Allah.”

 

Dia berkata, bahwa ini kufur. Karena barangsiapa meyakini sesuatu yang haram atau makruh sebagai ibadah, maka dia kafir dengan keyakinannya ini.”

 

Dia berkata, “Padahal orang-orang mengharamkannya atau minimal memakruhkannya.”

 

Shalih al-Murri berkata, “Korban yang paling lambat bangunnya adalah korban hawa nafsu yang menyakininya sebagai ibadah yang mendekatkan kepada Allah. Sedangkan orang yang paling teguh kakinya di Hari Kiamat adalah yang paling kuat berpegang kepada kitab Allah dan sunnah nabiNya Muhammad.”

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Perkara Wajd

 

Penulis berkata, “Bila kelompok ini mendengar nyanyian, maka mereka larut penuh emosi, bertepuk tangan, berteriak dan merobek baju. Sungguh iblis benar-benar telah mengacaukan mereka secara mendalam.

 

Mereka berdalil kepada apa yang diriwayatkan bahwa tatkala turun:

 

“Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut setan) semuanya.” (QS. al-Hijr: 43). Salman al-Farisi berteriak dengan sebuah teriakan lalu dia jatuh tersungkur kemudian dia kabur selama tiga hari.

 

Mereka juga berdalil kepada apa yang diriwayatkan oleh Abu Wail, dia berkata, “Kami keluar bersama Abdullah dan bersama kami arRabi’ bin Khutsaim, kami melewati seorang pandai besi, maka Abdullah berhenti, dia melihat kepada besi di atas api, maka ar-Rabi’ ikut melihat dan dia terhuyung-huyung hendak jatuh. Kemudian Abdullah pergi hingga kami mendatangi sebuah tungku besar di pinggir sungai Eufrat. Tatkala Abdullah melihatnya dan melihat api menyala-nyala di dalamnya, dia membaca ayat ini:

 

‘“Apabila neraka itu melihat mereka dari ternmpat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke ternpat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan. (Akan dikatakan kepada mereka), Jangan kamu sekalian mengharapkan satu kebinasaan, rmelainkan harapkanlah kebinasaan yang banyak.’” (QS. al-Furqan: 14).

 

Maka ar-Rabi’ pingsan, lalu kami membawanya kepada keluarganya, dan Abdullah mendampinginya hingga shalat Zhuhur, sedangkan ar-Rabi’ bellum siuman, kemudian Abdullah mendampinginya sampai Ashar, namun Abdullah belum kunjung siuman, hingga Abdullah mendampinginya sampai Maghrib, baru dia siuman, maka Abdullah pulang ke rumah.”

 

Mereka berkata, “Telah masyhur menurut kebanyakan orang dari kalangan ahli ibadah bahwa bila mereka mendengar al-’Qur’an, di antara mereka ada yang mati seketika, dan ada yang pingsan tak sadarkan diri, serta ada yang berteriak.”

 

Hal seperti ini banyak tersebut dalam kitab-kitab zuhud.

 

Kami menjawab, “Adapun yang mereka sebutkan dari Salman, maka ia dusta dan mustahil, kemudian ia tak bersanad. Ayat ini turun dij Makkah sedangkan Salman masuk Islam di Madinah, dan hal seperti inj tidak dinukil dari seorang sahabat pun.”

 

Adapun tentang hikayat ar-Rabi’ bin Khutsaim, para rawinya bukan rawi-rawi akurat. Ahmad bin Hanbal berkata, “Isa bin Sulaim dari Aby Wa ‘il, aku tak mengetahuinya.”

 

Dari Hamzah az-Zayyat bahwa dia berkata kepada Sufyan, “Mereka meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Khutsaim bahwa dia pingsan.” Sufyan balik bertanya, “Siapa yang meriwayatkannya? Yang meriwayatkannya hanyalah tukang kisah -maksudnya adalah Isa bin Sulaimaku bertemy dengannya, maka aku berkata kepadanya, ‘Dari siapa kamu meriwayatkan ini?!’ Aku mengingkarinya!”

 

Penulis berkata, “Sufyan ats-Tsauri mengingkari terjadinya peristiwa seperti ini pada ar-Rabi’ bin Khutsaim, karena laki-laki ini berpegang kepada manhaj pertama, dan tak satu pun shahabat serta tabi’in yang terjadi padanya hal seperti ini.”

 

Kemudian kami berkata dengan asumsi bahwa ia shahih, bahwa seseorang bisa saja pingsan karena ketakutan, kemudian rasa takut menenangkannya dan menghentikannya sehingga dia seperti orang mati. Tanda orang yang benar dalam masalah ini adalah seandainya dia di atas tembok niscaya dia akan tetap jatuh, karena dia tidak sadar, adapun orang yang mengklaim wajd dan berusaha menjaga agar kakinya tidak terpeleset kemudian melebar hingga dia merobek bajunya serta melakukan kemungkaran-kemungkaran dalam syariat, maka kami memastikan bahwa dia dipermainkan oleh setan.

 

Penulis berkata, “Ketahuilah -semoga Allah membimbingmubahwa hati para shahabat adalah hati yang paling bersih, mereka tidak lebih saat suka cita selain menangis dan khusyu’.

 

Hadits al-Irbadh bin Sariyah yang berkata, “Rasulullah menasihati kami dengan sebuah nasihat yang karenanya mata kami menangis dan hati kami takut.”

 

Abu Bakar al-Ajurri berkata, “Dia tidak berkata, ‘Kami berteriak! Dan kami tidak memukul dada-dada kami, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang-orang bodoh yang dipermainkan oleh setan.’”

 

Dari Hushain bin Abdurrahman berkata, “Aku berkata kepada Asma’ binti Abu Bakar, ‘Bagaimana keadaan para shahabat Rasulullah 4 dan keluarganya saat membaca al-Qur’an?” Dia menjawab, “Mereka sebagaimana yang Allah sebutkan atau sebagaimana yang Allah jelaskan. Mata mereka menangis, dan kulit mereka merinding.” Maka aku berkata kepadanya, “Di sini ada orang-orang yang bila al-Qur’an dibacakan kepada salah seorang dari mereka dia pingsan.” Asma menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

 

Dari Ikrimah berkata, “Aku bertanya kepada Asma” binti Abu Bakar, ‘Adakah seseorang dari salaf yang pingsan karena takut?’ Dia menjawab, ‘Tidak, mereka hanya menangis.’”

 

Dari Abu Hazim berkata, “Ibnu Umar melewati seorang laki-laki yang jatuh pingsan dari Irak. Maka dia bertanya, ‘Ada apa dengannya?”’ Orang-orang menjawab, ‘Bila al-Qur’an dibacakan kepadanya maka dia demikian.’ Ibnu Umar berkata, ‘Kami takut kepada Allah namun kami tidak demikian!!”

 

Dari Qatadah berkata, bahwa Anas bin Malik ditanya, “Ada orang-orang yang apabila al-’Qur’an dibacakan mereka maka mereka pingsan.” Anas menjawab, “Itu perbuatan orang-orang Khawarij.”

 

Dari Ahmad bin Sa’id ad-Dimasyqi berkata, “Abdullah bin az-Zubair mendengar bahwa anaknya Amir berkawan dengan orang-orang yang pingsan saat membaca al-Qur’an, maka dia berkata kepadanya, ‘Wahai Amir, bila aku tahu kamu berkawan dengan orang-orang yang pingsan saat membaca al-’Qur’an maka benar-benar aku akan menderamu.”

 

Dari Amir bin Abdullah bin az-Zubair berkata, “Aku datang kepada bapakku, maka beliau berkata kepadaku, ‘Dari mana kamu?’ Aku menjawab, ‘Aku bertemu dengan orang-orang, dan aku tidak melihat ada yang lebih baik dari mereka, mereka berdzikir kepada Allah lalu salah seorang dari mereka gemetar hingga pingsan karena takut kepada Allah, maka aku duduk bersama mereka.’ Bapakku berkata, Jangan datang

 

lagi kepada mereka sesudah ini!’ Kemudian bapakku melihat diriku tidak memperhatikan kata-katanya, maka beliau berkata, ‘Aku melihat Rasulullah membaca al-’Qur’an, aku pun melihat Abu Bakar dan Umar juga membaca al-’Qur’an, sedangkan hal itu tidak terjadi pada mereka. Apakah menurutmu mereka lebih khusyu’ daripada Abu Bakar dan Umar seperti itu?’” Amir berkata, “Maka aku melihat bahwa perkaranya memang demikian, aku pun meninggalkan mereka.”

 

Dari Amru bin Malik berkata, “Saat kami bersama Abu al-Jauza’ | dia berbincang kepada kami, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang jatuh pingsan, maka Abu al-Jauza~ bangkit menuju kepadanya, lalu ada seseorang berkata kepadanya, “Wahai Abu al-Jauza~, dia laki-laki yang mempunyai sakit ayan.” Kemudian dia berkata, “Aku menyangkanya termasuk orang-orang yang melompat-lompat, seandainya dia termasuk mereka niscaya aku memerintahkan agar ia dibawa keluar masjid,” karena Allah hanya menyifati mereka dengan:

 

“Kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata…” (QS. al. Maidah: 83) atau, 

 

“Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit mereka…” (QS. az-Zumar: 23).

 

Dari Jarir bin Hazim bahwa dia menyaksikan Muhammad bin Sirin, seseorang berkata kepadanya, “Di sini ada orang-orang, yang bila alQuran dibacakan kepada salah seorang dari mereka, maka dia pingsan.” Maka Ibnu Sirin berkata, “Silakan salah seorang dari mereka duduk dj atas tembok, kemudian al-’Qur’an dibacakan kepadanya dari awal hingga akhir, bila dia jatuh maka dia benar.”

 

Muhammad bin Sirin menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah dibuat-buat dan tidak benar-benar dari hati mereka.

 

Dari al-Hasan bahwa suatu hari dia menasihati, lalu ada seorang laki-laki yang bernafas panjang di majlisnya, maka al-Hasan berkata, “Bila karena Allah, maka kamu telah mempopulerkan dirimu, dan bila tidak maka kamu celaka.”

 

Dari Abdul Karim bin Rusyaid berkata, “Aku berada di halaqah alHasan, lantas ada seorang laki-laki menangis dan suaranya tinggi, maka al-Hasan berkata, ‘Sesungguhnya setan yang membuatnya menangis sekarang.’”

 

Dari Abu Shafwan berkata, bahwa al-Fudhail bin lyadh berkata kepada anaknya yang pingsan, “Wahai Anakku, bila kamu benar maka kamu membuka aib dirimu, dan bila kamu dusta maka kamu mencelakakan Dirimu.”

 

Dari Muhammad bin Ahmad an-Najjar al-Murta’isy berkata, “Aku melihat Abu Ustman Sa’id bin Ustman al-Wa’izh, sementara ada seorang laki-laki yang pingsan di depannya, maka dia berkata kepadanya, ‘Wahai anakku, bila kamu benar maka kamu telah menampakkan semua yang ada padamu, dan bila kamu dusta maka kamu telah menyekutukan Allah.”

 

Kritik Terhadap Cara-cara Sufi dalam Wajd

 

Penulis berkata, “Bila ada yang berkata, bahwa pembicaraan tersebut diasumsikan pada orang-orang yang benar bukan ahli riya’. Lalu apa yang Anda katakan tentang orang yang terbawa wajd dan tidak kuasa menolaknya?”

 

Kami menjawab, “Awal mula wajd adalah pergolakan dalam batin. Bila seseorang menahan dirinya sehingga keadaannya tidak diketahui, maka setan tidak berharap darinya maka ia menjauh darinya, sebagaimana Ayyub as-Sakhtiyani, bila dia berbicara, lalu hatinya tersentuh, maka dia mengusap hidungnya dan berkata, ‘Flu berat.’”

 

Bila seseorang membiarkan dirinya, dan dia tidak peduli terhadap nampaknya wajd dari dirinya atau dia ingin orang-orang mengetahui apa yang ada dalam hatinya, maka setan meniup sehingga ia bersuka cita sesuai dengan tiupannya.

 

Menolak Wajd .

 

Bila ada yang berkata, “Kita asumsikan bahwa pembicaraan pada orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh menolak wajd, tetapi dia tak kuasa, dan perkaranya mengalahkannya, lalu dari mana setan masuk?”

 

Kami menjawab, “Kami tidak memungkiri kelemahan sebagian tabiat dalam usaha menolak, hanya saja alamat orang yang benar bahwa dia tidak kuasa menolak, dan tidak menyadari apa yang terjadi padanya, maka ia termasuk ke dalam firman Allah:

 

“Dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. al-A’raf: 143).

 

Dari Khalid bin Khidasy berkata, “Kitab Ahwal al-Qiyamah dibacakan kepada Abdullah bin Wahab, lantas dia pingsan, dan ia tidak mengucapkan sepatah kata pun sesudah itu hingga dia mati beberapa hari kemudian.”

 

Penulis berkata, “Banyak orang mati karena mendengar nasihat dan pingsan. Adapun apa yang mereka klaim berupa larut dalam emosi hingga mereka bergoyang-goyang, berteriak keras, berdiri sempoyongan, maka semua itu dibuat-buat dan dia dibantu oleh setan. ”

 

Bila ada yang berkata, “Apakah keadaan insidentil ini merupakan bentuk kekurangan bagi orang yang ikhlas? Kami menjawab, ‘Ya,’ dari dua sisi:

 

> Pertama: Kalau ilmunya kuat niscaya dia menahan diri.

 

> Kedua: Jalan para sahabat dan tabi’in telah diselisihi, dan cukuplah hal ini sebagai kekurangan.”

 

Dari Khalaf bin Hausyab berkata, bahwa Khawwat gemetar saat berdzikir, maka Ibrahim berkata kepadanya, “Bila kamu menquasainya, maka aku tidak peduli dan tidak menyalahkanmu, namun bila kamu tidak menquasainya maka kamu telah menyelisihi orang-orang sebelummu.”

 

Dalam sebuah riwayat, “Kamu menyelisihi orang-orang yang lebih baik darimu.”

 

Saya berkata, “Ibrahim di sini adalah an-Nakha’i al-Faqih (ahli fikih), orang yang berpegang teguh kepada sunnah dan sangat kuat mengikuti atsar.”

 

Khawwat sendiri terrnasuk orang-orang shalih yang tidak mungkin berpura-pura, dan ini merupakan ungkapan Ibrahim kepadanya, lalu bagaimana dengan orang yang kepura-puraannya tak samar?!

 

Bila Orang-orang Sufi Bergoyang maka Mereka Bertepuk Tangan

 

Bila orang-orang Sufi mulai bergoyang karena mendengar nyanyian maka mereka bertepuk tangan.

 

Dari Abu Ali al-Katib berkata, bahwa Ibnu Banan berpura-pura terkena wajd, lalu Abu Sa’id al-Khazzaz bertepuk tangan untuknya.

 

Penulis berkata, “Bertepuk tangan adalah mungkar, mengajak bergoyang, dan mengeluarkan dari rel keseimbangan. Orang-orang yang berakal menjauhkan diri mereka dari hal yang seperti itu, dan pelakunya mirip dengan orang-orang musyrikin pada apa yang mereka lakukan di Ka’bah yang dicela oleh Allah dalam firmanNya:

 

“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS. al-Anfal: 35).

 

Di samping perbuatan ini meniru kaum wanita, orang yang berakal pun menolak bila dia keluar dari kewibawaan dan terjatuh ke dalam perbuatan orang-orang kafir dan kaum wanita.

 

Bila Goyangan Menguat Maka Mereka Berjoget Sebagian dari mereka berdalil dengan firman Allah kepada Ayyub:

 

“Hantamkanlah kakimu;” (QS. Shad: 42).

 

Saya berkata, “Ini adalah pengambilan dalil yang lemah, sebab bila Allah memerintahkan Ayyub menjejakkan kakinya karena suka cita, maka mereka memiliki kesamaan (alasan) dengannya. Akan tetapi Allah memerintahkan Ayyub menjejakkan kakinya agar air memancar.”

 

Tonu Agil berkata, “Di mana dalil pada orang sakit yang diperintahkan saat ujiannya hendak berakhir agar menjejakkan kakinya ke tanah -agar air memancar darinyasebagai mukjizat dari berjoget?!”

 

Bila menggerakkan kaki yang kurus karena terbekap oleh sakit mengandung petunjuk atas dibolehkannya berjoget dalam Islam, maka bolehlah menjadikan firman Allah kepada Musa:

 

“Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” (QS. al-Baqarah: 60), sebagai petunjuk atas dibolehkannya memukul benda mati dengan tongkat.

 

Kami berlindung dari sikap mempermainkan syariat.

 

Sebagian pendukung mereka berdalil kepada sebuah hadits bahwa Rasulullah berkata kepada Ali, “Kamu adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu.” Maka Ali berjingkrak-jingkrak kegirangan. Nabi bersabda kepada Ja’far, “Kamu mirip penciptaanku dan akhlakku.” Maka Ja’far berjingkrak-jingkrak Kegirangan. Nabi bersabda kepada Zaid, “Kamu adalah saudara kami dan mantan hamba sahaya kami.” Maka Zaid berjingkrak-jingkrak kegirangan.

 

Di antara mereka ada yang berhujjah bahwa oleh-orang Habasyah berjoget dan nabi melihat kepada mereka.

 

Kami menjawab, bahwa berjingkrak adalah sebuah cara berjalan, ia dilakukan saat bahagia, dan ini tidak termasuk berjoget. Demikian juga dengan berjogetnya orang-orang Habasyah, ini bukan berjoget tetapi sebuah cara berjalan dengan tegap yang dilakukan saat bertemu musuh dalam perang.

 

Abu Abdurrahman as-Sulami berdalil atas dibolehkannya berjoget kepada apa yang diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa dia lewat di sebuah jalan di Makkah, dia mendengar al-Akhdhar al-Hadzdza’ bernyanyi di rumah al-Ash bin Wa‘ il dengan berkata,

 

Lembah Na’man menebarkan bau wangi miski karena

 

Zainab melewatinya bersama para wanita yang harum

 

Tatkala Zainab melihat rombongan an-Numairi, dia berpaling Kaum wanita itu berhati-hati agar tidak bertemu dengannya.

 

Dia berkata, “Maka Sa’id bin al-Musayyib menghentakkan kakinya beberapa waktu yang lama dan dia berkata, ‘Ini termasuk yang nikmat untuk didengarkan.’ Dan mereka meriwayatkan syair kepada Sa’id bin al-Musayyib.”

 

Penulis berkata, “Sanad kisah di atas terputus lagi gelap,“ tidak shahih dari Sa’id bin al-Musayyib, ini juga bukan syairnya, sedangkan Sa’id bin al-Musayyib lebih mulia untuk sekedar mendengarnya. Bait-bait ini dikenal milik Muhammad bin Abdullah bin Numair an-Numairi asySya’ir (seorang penyair).

 

Kemudian bila kita menerima bahwa Ibnu Majah menghentakkan kakinya ke tanah, maka ia tetap tidak mengandung dalil dibolehkannya berjoget, karena seseorang mungkin menjejakkan kakinya ke tanah atau memukulkan tangannya ke sesuatu yang bisa dia dengar dan itu tidak disebut berjoget.

 

Betapa buruknya keterkaitan mereka dengannya. Lantas di manakah hubungan antara menjejakkan kaki ke tanah sekali atau dua kali dengan joget mereka yang membuat mereka keluar dari sifat orang-orang berakal?!

 

Kita tinggalkan dalil-dalil tersebut, sekarang kita berhakim kepada akal, adakah makna yang terkandung di balik berjoget selain main-main dan yang hanya patut bagi anak-anak? Adakah berjoget mengandung ajakan kepada hati menuju akhirat?! Demi Allah, ini adalah penentangan yang kering terhadap kebenaran. .

 

Sebagian syaikh menyampaikan kepadaku dari al-Ghazali bahwa dia berkata, “Joget adalah kedunguan di antara kedua pundak yang tak lenyap kecuali dengan kelelahan.”

 

Abu al-Wafa’ Ibnu Aqil berkata, “Nash al-Qur’an melarang berjoget, Allah berfirman:

 

“Dan janganlah kamu berjalan di muka‘bumi dengan angkuh.” (QS. Luqman: 18).

 

Allah mencela orang yang berjalan dengan sombong:

 

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18).

 

Sementara berjoget adalah keangkuhan dan kesombongan yang sangat berat.”

 

Bukankah kita yang mengqiyaskan nabidz (perasan anggur) dengan khamr karena keduanya sama-sama memabukkan? Lalu mengapa kita tidak mengqiyaskan menyanyikan syair yang diikuti dengan ketukan pada kayu atau bambu kepada biola, seruling dan gendang karena keduanya sama-sama membuat orang bergoyang?! .

 

Adakah sesuatu yang merendahkan akal dan kewibawaan, dan mengeluarkan dari sifat santun serta adab yang lebih buruk daripada orang berjenggot yang berjoget?! Lalu bagaimana bila orang beruban berjoget dan bertepuk tangan mengikuti nada lagu dan alat musik, lebihlebih penyanyinya adalah kaum wanita dan anak-anak muda yang belum berkumis?!

 

Apakah bagus! Pantas baqi seseorang yang di depannya ada kematian, pertanyaan, pengumpulan dan melewati shirat, kemudian dia dihadapkan kepada dua tempat (surga dan neraka-Pent.) lari dengan tarian atau jogetan seperti binatang ternak dan bertepuk tangan sepertj tepukan para wanita?!

 

Demi Allah, aku melihat syaikh-syaikh di zamanku, gigi mereka tak terlihat saat senyum apalagi tertawa padahal aku bergaul dengan mereka sangat erat seperti Syaikh Abu al-Qasim bin Zaidan, Abdul Malik bin Bisyran, Abu Thahir bin al-Allaf, al-Junaid dan ad-Dinawari. Keadaan-keadaan Bergoyang yang Berat di Kalangan Orang-orang Sufi Bila mereka sudah bergoyang saat berjoget, salah seorang dari mereka menarik salah seorang hadirin yang duduk untuk berdiri bersamanya, menurut madzhab mereka orang yang ditarik ini tidak boleh menolak, bila dia berdiri maka yang lain berdiri mengikutinya, bila salah seorang dari mereka membuka kepalanya maka yang lain membuka kepalanya mengikuti mereka.

 

Jelaslah bagi orang yang berakal bahwa membuka kepala tidak baik, menjatuhkan muru ‘ah (kehormatan) dan menghilangkan etika, sedangkan ia hanya dilakukan saat ihram sebagai ibadah dan merendahkan diri kepada Allah.

 

Bila goyangan mereka semakin kuat, mereka melemparkan baju mereka ke penyanyi, dan ada yang melemparkannya tanpa merobeknya, dan ada yang merobeknya lalu melemparkannya.

 

Sebagian orang bodoh berdalil kepada mereka, dia berkata, “Orang-orang itu dalam keadaan tidak sadar, maka mereka tidak boleh disalahkan, karena saat Musa sangat bersedih karena kaumnya yang menyembah anak sapi, dia melemparkan lempengan kayu hingga ia pecah, dan dia tidak sadar terhadap apa yang dilakukannya.

 

Kami menjawab, “Siapa yang berkata bahwa Musa melemparkannya untuk memecahkannya? Yang tersebut dalam al-Qur’an hanya melemparkannya saja, dari mana ia mendapat informasi bahwa ia pecah?!”

 

Kemudian seandainya dikatakan ia pecah, di mana petunjuk bahwa Musa sengaja memecahkannya?

 

Kemudian seandainya kita menerima bahwa Musa melakukannya dengan sengaja, kita berkata, “Musa sedang dalam keadaan tidak sadar.” Seandainya di depannya ada lautan api niscaya dia akan memasukinya, lalu siapa yang membenarkan ketidaksadaran mereka sementara mereka mengetahui makna dari selainnya dan menjauhi sumur bila dia berada di dekatnya!

 

Kemudian bagaimana bisa keadaan para nabi diqiyaskan kepada keadaan orang-orang bodoh itu?!

 

Saya melihat seorang anak muda sufi berjalan di pasar, dia berteriak sementara anak-anak mengikutinya di belakangnya. Dia pun meracau dan pergi untuk shalat Jum’at. Tatkala shalat dia berteriak beberapa kali. Aku ditanya tentang shalatnya, maka aku katakan, “Bila saat berteriak dia tak sadarkan diri maka batal wudhunya,”’ dan bila kesadarannya ada maka dia mengada-ada.”

 

Laki-laki ini kuat, namun ia tidak bekerja, bahkan setiap hari dia berkeliling membawa keranjang untuk mengumpulkan apa yang dia makan bersama rekan-rekannya. Ini adalah kehidupan orang-orang yang makan dari orang lain bukan orang-orang yang bertawakal!

 

Kemudian seandainya kita mengasumsikan bahwa mereka berteriak dalam keadaan tidak sadar, maka masuknya mereka ke dalam sesuatu yang menutupi fungsi akal berupa mendengar nyanyian yang mengajak bergoyang yang dilarang adalah seperti menjerumuskan diri ke dalam sesuatu yang sudah tentu bisa mencelakakannya.

 

Ibnu Aqil ditanya tentang wajd mereka dan perlakuan mereka yang merobek baju, seseorang berkata kepadanya,”Mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan.”

 

Tbnu Aqil menjawab; “Mereka menghadiri tempat-tempat ini padahal mereka tahu akan terseret, lalu akal mereka tertutup maka mereka berdosa, karena hal itu menghilangkan fungsi akal mereka dan melakukan hal-hal yang merusak, namun kewajiban syariat tidak gugur dari mereka, karena mereka telah diperintahkan sebelum menghadiri untuk menjauhi tempat-tempat seperti ini yang menyeret mereka demikian, sebagaimana mereka dilarang untuk meminum minuman yang memabukkan, bila mereka mabuk maka mereka bisa merusak harta, kewajiban syariat tidak gugur dari mereka karena mereka mabuk.”

 

Demikian juga bergoyang yang disebut oleh orang-orang sufi dengan wajd. Bila mereka memang benar padanya maka ini adalah mabuk tabiat, bila mereka dusta maka mabuk minuman keras, dan bila dalam keadaan sadar maka tetap tidak ada keselamatan baginya dalam dua keadaan tersebut, dan menjauhi tempat-tempat yang meragukan wajib.

 

Ibnu Thahir berdalil untuk mereka dalam merobek pakaian kepada hadits Aisyah yang berkata, “Aku memasang kelambu yang bergambar, lalu Rasulullah menjulurkan tangannya kepadanya dan merobeknya.”

 

Penulis berkata, “Lihatlah kepada fikih laki-laki yang patut dikasihani, bagaimana dia mengqiyaskan keadaan orang yang merusak bajunya dengan merobeknya, padahal nabi telah melarang menyia-nyiakan harta kepada perbuatan nabi yang menjulurkan tangannya ke kelambu untuk menurunkannya lalu ia robek tanpa sengaja atau dengan sengaja untuk merobek gambar yang ada padanya.”

 

Perbuatan nabi ini termasuk sikap keras terhadap hal-hal yang dilarang, sebagaimana beliau memerintahkan agar bejana-bejana khamar dipecahkan.

 

Bila orang yang merobek bajunya mengklaim bahwa dia dalam keadaan tidak sadar, maka kami menjawab, “Setan telah membuatmu tidak sadar, karena bila kamu bersama kebenaran niscaya kebenaran menjagamu karena ia tidak rusak.”

 

Kritik Terhadap Perbuatan Orang-orang Sufi yang Merobek-robek Baju Mereka

 

Syaikh-syaikh sufi telah berbicara tentang potongan-potongan kain yang dilemparkan.

 

Maka Muhammad bin Thahir berkata, “Dalil yang menunjukkan bahwa bila kain-kain itu dilemparkan maka ia menjadi milik orang yang mana kain-kain itu dilemparkan kepadanya adalah hadits Jarir bahwa beberapa orang datang dengan berpakian wol, maka Rasulullah mengajak orang-orang tersebut untuk bersedekah, kemudian datanglah seorang laki-laki Anshar membawa sebuah kantong, maka orang-orang berdatangan memberikan sedekah mereka hingga aku melihat dua gundukan pakaian dan makanan.”

 

Dia berkata, “Dalil yang menunjukkan bahwa bila beberapa orang datang saat terjadinya perobekan baju maka mereka juga diberi saham adalah hadits Abu Musa, bahwa harta rampasan perang dan salab diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau memberikan bagian kepada kami.”

 

Penulis berkata, “Laki-laki ini telah mempermainkan syariat, dia menggali dengan pemahamannya yang rusak sesuatu yang dia kira sejalan dengan madzhab kalangan sufi muta ‘akhkhirin, karena kami tidak melihat perbuatan seperti ini di kalangan angkatan pertama mereka.”

 

Penjelasan mengenai rusaknya pemahaman orang ini, bahwa orang yang merobek pakaiannya, melemparkannya, bila dia sadar maka dia tidak boleh melakukannya, dan bila dia tidak sadar maka dia tidak memiliki hak bertindak yang syar’i, tidak dengan (memberikan) hibah dan tidak pula dengan mengalihkan kepemilikan.

 

Mereka menyatakan bahtiwd bajunya adalah seperti sesuatu yang jatuh dari seseorang dan dia‘ tidak menyadarinya, sehingga tidak seorang pun boleh memilikinya, dan bila dia melemparkannya dalam keadaan sadar bukan kepada seseorang, maka tidak ada alasan untuk memilikinya.

 

Seandainya dia melemparkannya kepada penyanyi, dia pun tidak berhak memilikinya, karena kepemilikan hanya ditetapkan dengan akad syar’i, sedangkan melemparkan bukan sebuah akad.

 

Kemudian dengan asumsi bahwa ia milik penyanyi, lalu apa alasan tindakan orang lain padanya?! Kemudian bila mereka bertindak padanya, mereka merobek-robeknya, maka hal itu tidak boleh karena dua alasan:

 

Pertama: Tindakan terhadap apa yang tidak mereka miliki.

 

Kedua: Menyia-nyiakan harta.

 

Kemudian apa alasan memberi bagian orang yang tidak menghadirinya?

 

Adapun hadits Abu Musa, maka para ulama berkata tentangnya dan di antara mereka adalah al-Khutthabi, “Ada kemungkinan nabi memberinya atas persetujuan orang-orang yang ikut dalam peperangan atau nabi memberinya dari khumus, seperlima yang merupakan hak beliau.”

 

Namun menurut madzhab orang-orang sufi, kain ini diberikan kepada siapa yang datang, sedangkan madzhab ini menyimpang dari kesepakatan kaum muslimin.

 

Saya tidak menyamakan apa yang mereka tetapkan dengan akal rusak mereka kecuali dengan apa yang ditetapkan oleh orang-orang jahiliyah berupa Bahirah, Washilah dan Ham.

 

Ibnu Thahir yang merupakan salah satu tokoh mereka berkata, “Syaikh-syaikh kami sepakat bahwa kain yang dirobek dan kain yang tidak dirobek yang mengikutinya, bahwa hukum semua itu ada ditangan hadirin, mereka melakukan terhadapnya sesuai dengan pendapat para syaikh. Mereka berdalil kepada ucapan Umar, “Harta rampasan perang bagi siapa yang mengikuti perang.” Namun Syaikh kami Abu Ismail al-Anshari menyelisihi mereka. Dia membagi kain menjadi dua. Kain yang robek, ini dibagi di antara yang hadir dan kain yang tidak robek diserahkan kepada penyanyi. Dia berdalil kepada hadits Salamah, “Siapa yang membunuh orang ini?” Mereka menjawab, “Salamah bin al-Akwa’.” Nabi bersabda, “Baginya salabnya semuanya.” Pembunuhan terjadi dari penyanyi maka salab adalah miliknya.

 

Penulis berkata, “Saudara-saudaraku, semoga Allah menjaga kita darj talbis Iblis, kepada orang-orang bodoh yang mempermainkan syariat itu. Lihatlah kepada ijma’ syaikh-syaikh mereka, ijma’ yang tidak sepadan dengan kotoran unta, padahal para syaikh fuqaha’ sudah sepakat bahwa barang yang dihibahkan adalah milik orang yang barang itu dihibahkan kepadanya, robek atau tidak robek sama saja, sedangkan orang lain tidak boleh memilikinya.”

 

Kemudian salab orang yang terbunuh adalah semua harta yang ada padanya, lalu bagaimana bisa mereka menjadikannya apa yang dilemparkan?!

 

Kemudian sepatutnya perkaranya kebalikan dari apa yang diucapkan oleh al-Anshari, karena pakaian yang robek adalah yang disebabkan oleh wajd, maka semestinya yang robek ini milik penyanyi bukan yang tidak robek.

 

Semua pendapat-pendapat ini adalah mustahil dan ucapan ngawur.

 

Abu Abdullah at-Takriti ash-Shufi menceritakan kepadaku dari Abu al-Futuh al-Isfirayini -aku pernah melihatnya saat aku masih anak-anakbahwa dia hadir bersama orang-orang dalam jumlah banyak di sebuah pos mereka, di sana ada bantal-bantal, alat musik, rebana dengan hentakan gelang kaki, lalu dia berdiri berjoget, karena begitu antusiasnya sampai surbannya jatuh, dan dia terus berjoget dengan kapala terbuka!

 

At-Takriti berkata, “Suatu hari dia berjoget dengan memakai khuf, kemudian dia ingat bahwa berjoget dengan menggunakan khuf adalah salah menurut sebagian orang, maka dia menepi dan melepaskannya, kemudian dia melepaskan jubah yang dipakainya, dia meletakkannya di depan mereka sebagai kaffarat atas kesalahannya, maka mereka merobekrobeknya dan membagi-baginya di antara mereka.”

 

Tentang merobek-robek baju yang dilemparkan dan membagi-bagikannya, kami telah menjelaskan bahwa bila pemiliknya melemparkannya kepada penyanyi maka penyanyi tidak serta merta memilikinya dengan pelemparan ini hingga pemiliknya memberikannya kepadanya. Bila pemiliknya memberikannya kepada penyanyi, maka dengan alasan apa orang lain bisa bertindak atasnya?

 

Aku menyaksikan sebagian fuqaha’ mereka merobek-robek baju dan membagi-bagikannya, dia berkata, “Kain ini bisa dimanfaatkan, dan ini bukan termasuk menyai-nyiakan harta.”

 

Saya katakan, “Bukan menyia-nyiakan bagaimana?! Justri inilah menyia-nyiakan.”

 

Aku melihat seorang syaikh lain dari mereka berkata, “Aku merobek beberapa kain di negeriku, lalu ada seorang laki-laki mendapatkan sepotong darinya, dia membuat tas darinya dan menjualnya dengan harga lima dinar.” Maka aku berkata kepadanya, “Syariat tidak membolehkan kedunguan untuk keanehan seperti ini.”

 

Abu Hamid ath-Thusi lebih aneh dari dua laki-laki ini, dia berkata, “Boleh bagi mereka merobek baju bila ia dirobek segi empat yang bisa dipakai untuk menambal baju dan sajadah, karena kain yang dirobek dan bisa dijadikan baju bukan termasuk menyia-nyiakan.”

 

Sungguh aku merasa heran terhadap Jaki-laki ini, bagaimana bisa cintanya kepada madzhab tasawuf memalingkannya dari ushul fikih dan madzhab asy-Syafi’i, lalu dia melihat kepada pemanfaatan yang khusus.

 

Kemudian apa makna ucapannya segi empat, karena segi panjang pun bisa dimanfaatkan juga. ,

 

Seandainya kain dirobek menjadi pintalan-pintalan, niscaya ia bisa dimanfaatkan, seandainya pedang dipatahkan menjadi dua, niscaya setengahnya tetap bisa dimanfaatkan, hanya saja syariat melihat kepada faidah-faidah umum dan menamakan manfaat yang berkurang sebagaj bentuk perusakan, sehingga syariat melarang memecahkan dirham yang utuh, karena ia mengurangi harganya di samping apa yang pecah, dan tidak aneh dari talbis Iblis ini terjadi pada orang-orang bodoh darj kalangan mereka, bahkan fugaha’ yang memilih bid’ah-bid’ah sufi di atas hukum Imam yang empat, Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad, semoga Allah meridhai mereka.

 

Mereka melakukan bid’ah-bid’ah yang aneh bin ajaib, dan orang yang cenderung kepada mereka berusaha menghadirkan pembenaran-pembenaran untuk mereka.

 

Di antara madzhab mereka adalah membuka kepala saat istighfar, sedangkan ini merupakan sebuah bid’ah yang menghilangkan kehormatan, dan bertentangan dengan kewibawaan. Kalau syariat tidak menetapkannya saat ihram niscaya ia sama sekali tidak beralasan.

 

Talbis Iblis atas Banyak Orang-orang Sufi Dalam Berkawan Dengan Anak-anak Muda

 

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa kebanyakan orang-orang sufi atau orang-orang yang berlagak sufi telah menutup pintu melihat kepada wanita-wanita asing atas diri mereka, karena jauhnya mereka dari bersinggungan dengan kaum wanita, penolakan mereka untuk bergaul dengan mereka, dan mereka menyibukan diri dengan ibadah hingga mereka meninggalkan pernikahan.”

 

Akhirnya mereka bergaul dengan anak-anak muda atas dasar keinginan dan tujuan berzuhud, maka Iblis membuat mereka cenderung kepada mereka.

 

Ketahuilah bahwa orang-orang sufi terbagi menjadi tujuh bagian dalam perkara bergaul dengan anak-anak muda.

 

> Pertama: Orang-orang yang paling buruk, mereka adalah orang-orang yang menyerupai orang-orang sufi dan berakidah hulul.

 

Dari Abu Nashr Abdullah bin Ali as-Sarraj berkata, “Saya mendengar bahwa beberapa orang dari hululiyah menyatakan bahwa Allah memilih jasad-jasad yang mana Dia menjelma padanya dengan makna-makna rububiyah.”

 

Di antara mereka ada yang berkata bahwa Allah menjelma pada wajah-wajah yang cantik dan tampan.

 

Abu Abdullah bin Hamid: dari kalangan rekan-rekan kami menyebutkan bahwa di antara orang-orang sufi ada yang mengklaim bahwa mereka melihat Allah di dunia, mereka berkata bahwa hal itu bisa dalam bentuk manusia, mereka menetapkan bahwa Allah menjelma dalam wajah-wajah yang cantik atau tampan, hingga mereka menyatakan bahwa mereka melihatNya pada seorang anak yang berkulit legam.”

 

> Kedua: Orang-orang yang meniru orang-orang sufi dalam pakaian, namun tujuan mereka adalah kefasikan.

 

> Ketiga: Orang-orang yang membolehkan melihat wajah-wajah indah.

 

Abu Abdurrahman as-Sulami menulis sebuah kitab yang bernama Sunan ash-Shufiyah, pada bagian akhir kitab, dia berkata, “Bab Jawami’ tentang rukhshah-rukhshah mereka.” Lalu dia menyebutkan berjoget, bernyanyi dan melihat ke wajah indah. Dia menyebutkan dari Nabi bahwa beliau bersabda, “Carilah kebaikan pada orang-orang yang berwajah indah.”

 

Dia berkata, “Tiga perkara yang membeningkan penglihatan: Melihat ke pemandangan hijau, melihat ke air dan melihat ke wajah yang indah.”

 

Penulis berkata, bahwa dua hadits di atas tidak memiliki dasar dari Rasulullah. Hadits pertama, al-Uqaili berkata, “Tidak ada yang shahih dari nabi dalam bab ini.”

 

Hadits yang kedua adalah hadits maudhu’, para ulama tidak berbeda pendapat bahwa Abu al-Bakhtari adalah tukang dusta besar dan tukang memalsukan hadits, dan Ahmad bin Umar bin Ubaid salah satu rawi majhul,

 

Kemudian sepatutnya bagi Abu Abdurrahman as-Sulami saat dia menyebutkan melihat kepada wajah yang indah untuk membatasi masalah tersebut dengan melihat kepada istri atau hamba sahaya, karena kalau masalah ini dimutlakkan maka ia menimbulkan persangkaan yang buruk. Syaikh kami Muhammad bin Nashir al-Hafizh berkata, “Ibnu Thahir al-Maqdisi menulis buku tentang dibolehkannya melihat kepada anak-anak muda yang belum bercambang.

 

Penulis berkata, “Para fuqaha’ berkata, ‘Barangsiapa yang syahwatnya terpancing karena melihat kepada anak-anak muda yang belum bercambang, maka haram atas mereka melihat kepadanya. Bila seseorang mengklaim bahwa syahwatnya tidak bangkit saat melihat kepada anak muda yang belum bercambang maka dia dusta. Hal inj dibolehkan secara mutlak agar tidak menimbulkan kesulitan bila dilarang, dan bila memandangnya terus menerus, maka perbuatan inj menunjukkan bangkitnya syahwat.’”

 

Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Bila kamu melihat seorang laki-laki yang melihat anak muda yang belum bercambang berkali-kalj maka curigailah dia.”

 

> Keempat: Orang-orang yang berkata, “Kami tidak melihat dengan syahwat, akan tetapi kami melihat dengan penglihatan untuk mengambil pelajaran, maka melihat tidak berdampak buruk terhadap kami.”

 

Hal ini mustahil, karena tabiat manusia itu sama. Barangsiapa mengklaim sebuah tabiat yang berbeda dengan tabiat manusia pada umumnya, maka dia telah mengklaim sesuatu yang mustahil.

 

Kami telah menjelaskan masalah ini di awal pembicaraan kami tentang mendengar nyanyian.

 

Dari Khair an-Nassaj berkata, “Aku bersama Muharib bin Hassan ash-Shufi di masjid al-Khif dalam keadaan ihram. Maka seorang anak muda dari Maghrib datang dan duduk bersama kami, aku melihat Muharib memandangnya dengan pandangan yang membuatku mengingkarinya, setelah anak muda itu berdiri, aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya kamu sedang ihram, di bulan Haram, di negeri Haram dan di Masy’ar Haram, aku melihatmu memandang anak muda itu dengan pandangan yang tidak melakukannya melainkan orang-orang yang tergoda.’ Maka dia menjawabku, ’Kamu berkata ini kepadaku wahai orang yang bersyahwat hati dan penglihatah. Apakah kamu tidak tahu bahwa ada tiga perkara yang menghalangiku terjerumus ke dalam jalan Iblis.” Aku bertanya, ‘Apa itu?’ Dia menjawab, ‘Rahasia iman, kebersihan Islam dan yang paling besar adalah malu kepada Allah bila Dia melihatku melakukan kemungkaran yang Dia larang.’ Kemudian dia pingsan hingga orang-orang mengerubuti kami.”

 

Penulis berkata, “Lihatlah kepada kebodohan laki-laki dungu ini, yang menyangka bahwa kemaksiatan hanyalah perbuatan keji saja, dia tidak tahu bahwa melihat dengan hawa nafsu haram, dia menghapus dari dirinya dampak tabiat dengan klaimnya yang didustakan oleh syahwat karena melihat.”

 

Sebagian ulama menyampaikan kepadaku bahwa seorang anak muda yang belum berkumis menceritakan kepadanya, anak itu berkata, bahwa fulan ash-Shufi yang mencintaiku berkata kepadaku, “Wahai anakku, Allah mempunyai pandangan dan penolehan padamu yang mana Dia menjadikan hajatku padamu.”

 

Dikisahkan bahwa beberapa orang sufi datang kepada Ahmad al-Ghaazali yang sedang berdua-duaan dengan seorang anak muda yang belum berkumis, di antara keduanya ada kembang, terkadang Ahmad melihat kepada kembang dan terkadang kepada anak muda itu. Tatkala mereka duduk, sebagian dari mereka berkata, “Mungkin merusak suasana.” Dia menjawab, “Ya demi Allah.” Maka orang-orang berteriak seolah-olah mereka mendapati wajd.

 

Penulis berkata, “Sungguh aku benar-benar heran terhadap perbuatan laki-laki ini, bagaimana dia membuang jubah rasa malu dari wajahnya. Aku juga heran terhadap binatang-binatang yang hadir, bagaimana mereka tidak mengingkarinya?! Memang syariat terasa kering di hati banyak orang.”

 

Dari Abu ath-Thayyib ath-Thabari berkata, “Saya mendengar tentang kelompok ini yang mendengar nyanyian, mereka menambah hal itu dengan melihat ke wajah anak-anak muda’yang belum berjenggot, terkadang mereka menghiasi anak tersebut dengan perhiasan dan pakaian berwarna-warni, mereka mengklaim bahwa hal itu menambah iman, perenungan dan pelajaran dan pengambilan dalil kepada penciptaan atas Pencipta. Padahal ini adalah puncak memperturutkan hawa nafsu, menipu akal dan menyelisihi ilmu. Allah berfirman:

 

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (QS. adz-Dzariyat: 21).

 

Allah berfirman:

 

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,” (QS. al-Ghasyiyah: 17).

 

Dan Allah berfirman:

 

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi…” (QS. al-A’raf: 185).

 

Mereka meninggalkan cara mengambil pelajaran yang Allah perintahkan dan mengambil cara yang Dia larang.

 

Kelompok ini melakukan apa yang kami sebutkan di atas sesudah mereka makan berbagai macam makanan yang enak dan mengundang selera, maka bila jiwa mereka sudah kenyang darinya, jiwa-jiwa tersebut menuntut mereka untuk mengikutkan mendengar nyanyian dan berjoget kepadanya, selanjutnya jiwa mereka menuntut mereka untuk mengikutkan melihat kepada wajah anak-anak muda yang belum berkumis kepadanya, padahal seandainya mereka menyedikitkan makanan niscaya mereka tidak rindu untuk mendengar dan memandang.

 

Abu ath-Thayyib berkata, “Sebagian dari mereka telah mengabarkan dalam syairnya tentang keadaan orang-orang yang mendengar nyanyian dan apa yang mereka dapatkan saat mendengar, dia berkata:

 

Apa kamu masih ingat saat kita berkumpul

 

Menikmati nyanyian yang merdu sampai pagi

 

Gelas-gelas nyanyian berkeliling di sekitar kita

 

Maka ia membuat jiwa mabuk kepayang tanpa khamr Kamu tidak melthat di antara mereka kecuali orang yang rnabuk Karena bahagia dan kebahagiaan di sana adalah kesadaran

 

Bila pemuja kenikmatan menjawab seruan penyeru

 

Kepada permainan yang menyeru, “Mari bersenang-senang”

 

Dan kita tidak memiliki apa pun selain dorongan jiwa Kita menumpahkannya untuk memperhatikan wajah yang indah

 

Dia berkata, “Bila dampak mendengar nyanyian adalah seperti yang disebutkan oleh penyair ini, lalu di mana manfaat dan faidahnya?!”

 

Ibnu Aqil berkata, “Barangsiapa berkata, ‘Aku tidak takut terfitnah karena melihat wajah-wajah yang indah.’ Ucapannya ini tidaklah benar, karena syariat diberlakukan untuk semua manusia, tidak membedakan orang-orang tertentu dan ayat-ayat al-Qur’an mengingkari klaim ini.

 

Allah berfirman:

 

“Katakanlah kepada orang laki-laki vang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluanya;’” (QS. an-Nur: 30).

 

Allah berfirman:

 

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gununggunung bagaimana ia ditegakkan?” (QS. al-Ghasyiyah: 17-18).

 

Allah tidak menghalalkan melihat kecuali kepada wajah-wajah yang mana jiwa tidak cenderung kepadanya, tidak memiliki ambisi kepadanya, karena tujuannya adalah mengambil pelajaran yang tidak dicampuri oleh syahwat dan tidak dikotori oleh nafsu.

 

Adapun potret-potret yang mengundang syahwat, maka ia mengungkapkan pelajaran dengan syahwat, dan sebuah potret yang bukan mengandung pelajaran maka tidak tidak patut untuk dilihat, karena ia akan menjadi sebab fitnah, karena itu Allah tidak mengangkat wanita sebagai rasul, dan tidak menjadikannya hakim, imam, muadzin, karena semua itu menghadirkan fitnah dan hawa nafsu.

 

Siapa pun yang berkata, “Saya menemukan pelajaran pada wajah-wajah indah.” Maka kami tak mempercayainya, siapa pun membedakan dirinya dengan sebuah tabiat yang mengeluarkannya dari tabiat kita maka kami mengingkarinya, dan tiada lain ini adalah tipuan setan bagi orang-orang yang mengaku demikian.

 

> Kelima: Orang-orang yang berkawan dengan anak-anak muda yang belum berkumis, mereka mencegah diri mereka dari perbuatan keji, -mereka menyatakan bahwa hal itu adalah mujahadah, sedangkan mereka tidak menyadari bahwa berkawan dan melihat kepada mereka dengan syahwat adalah suatu kemaksiatan. Ini termasuk sifat orang-orang sufi yang tercela.

 

Orang-orang sufi terdahulu tidak seperti ini, dan ada yang berkata, mereka juga demikian, buktinya adalah apa yang diucapkan oleh Abu Ali ar-Rudzabari:

 

Aku membersihkan kelopak mataku di kebun wajah-wajah indah

 

Dan aku mencegah diriku agar tidak melakukan yang haram

 

Aku memikul beban berat hawa nafsu Seandainya ia dipikul oleh gunung batu padas dan pejal maka ia hancur

 

Penulis berkata, akan hadir kisah Yusuf bin al-Husain dan ucapannya, “Aku berjanji kepada Tuhanku untuk tidak berkawan dengan anak-anak muda yang belum bercambang, maka Allah membatalkan sumpahku dengan perawakan yang jangkung dan mata yang memikat.”

 

Mereka adalah orang-orang yang beranggapan bahwa Iblis tidak mengajak mereka melakukan perbuatan-perbuatan keji, maka Iblis membuat indah sarananya di depan mata mereka, sehingga mereka terbenam dalam kenikmatan melihat, berkawan dan bercengkrama, lalu mereka bertekad menahan diri melawan jiwa agar tidak terjatuh ke dalam perbuatan keji. Bila mereka memang benar dan mereka berhasil melakukannya, maka hati mereka telah sibuk dengan sesuatu yang semestinya digunakan untuk menyibukkan diri dengan Allah bukan selainNya, dan menghabiskan waktu yang semestinya digunakan oleh hati untuk menyibukkan diri dengan urusan akhirat dalam rangka melawan tabiat dan menahannya dari perbuatan keji.

 

Semua ini adalah kebodohan dan penyimpangan dari adab syariat, karena Allah memerintahkan orang-orang beriman agar menundukkan pandangan, sebab ia adalah pintu ke hati agar hati bersih untuk Allah semata dari sesuatu yang menodainya yang membuatnya terancam siksa dariNya.

 

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang mendatangi binatang buas di sebuah hutan, lalu binatang tersebut diam dan tidak melihatnya, namun dia menganggunya, melawannya dan membuatnya marah, apakah mungkin dia tidak terluka, malah bisa-bisa mati!!

 

Mujahdah Nafs

 

Di antara mereka ada yang kuat mujahadahnya terhadap nafsunya kemudian melemah, maka jiwanya mengajaknya kepada perbuatan keji, dalam kondisi tersebut dia memutuskan untuk tidak berkawan dengan anak-anak muda yang belum berkumis.

 

Dari Abu Hamzah berkata, “Aku berkata kepada Muhammad bin al-Ala’ ad-Dimsyqi, dia adalah tokoh orang-orang sufi, aku pernah melihatnya berkawan dengan seorang anak yang tampan kemudian dia meninggalkannya, maka aku berkata kepadanya, ‘Mengapa Anda meninggalkan anak muda yang pernah aku melihatmu bersamanya padahal sebelum ini kamu berkawan dan cenderung kepadanya?’ Dia menjawab, Aku meninggalkannya bukan karena marah dan bukan pula karena bosa.’ Aku bertanya, ‘Lalu Karena apa?’ Dia menjawab, ‘Aku melihat hatiku mengajakku kepada sesuatu saat aku berdua dengannya dan dia mendekat kepadaku, bila aku melakukannya maka aku tak berharga di mata Allah, maka aku meninggalkannya Karena itu, aku tidak ingin menodai Allah dan diriku dari noda-noda fitnah.’”

 

Taubat dan Tangisan Panjang Di antara mereka ada yang bertaubat dan menangis panjang karena telah melepaskan pandangannya.

 

Dari Khair an-Nassaj berkata, “Aku bersama Umayyah bin ashShamit ash-Shufi, dia melihat kepada seorang anak muda, kemudian dia membaca:

 

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid: 4).

 

Kemudian dia berkata, “Ke mana berlari dari penjara Allah sedangkan Dia telah membentenginya dengan para malaikat yang kasar lagi keras. Dialah Yang Maha Penuh Barakah, alangkah besarnya apa yang Dia ujikan terhadapku karena aku telah memandang anak muda ini. Penglihatanku ini tiada lain seperti api yang jatuh pada bambu kering di hari vang berangin kencang, ia tidak membakar dan tidak menyisakan.” Kemudian dia berkata, “Aku memohon ampun kepada Allah dari ujian yang dilakukan oleh kedua mataku atas hatiku, aku khawatir tidak selamat dari akibat buruknya dan membebaskan diri dari dosanya sekalipun aku mendapatkan Kiamat dengan membawa amal 70 orang yang jujur.”

 

Kemudian dia menangis hingga dia hampir mati, aku mendengarnya dalam tangisannya berkata, “Wahai mata, aku akan menyibukkanmu dengan menangis hingga kamu tidak melihat kepada ujian.”’

 

Sakit Karena Beratnya Cinta Di antara mereka ada yang dibuat sakit oleh beratnya asmara.

 

Dari Abu Hamzah ash-Shufi berkata, “Abdullah bin Musa adalah salah satu tokoh dan pembesar sufi, dia melihat kepada anak muda yang tampan di sebuah pasar, hingga dia mencintainya, sampai dia kehilangan akalnya karena kecintaan dan kegandrungannya kepada anak muda tersebut, dia berdiri di jalan anak muda itu hingga bisa melihatnya datang dan pergi, hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, akibatnya dia kurus dan jatuh sakit, tidak kuasa berjalan walaupun hanya satu langkah, maka aku menjenquknya, dan aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Muhammad, ada apa denganmu? Mengapa kamu sampai bisa begini?’ Dia menjawab, ‘Karena perkara-perkara yang Allah menqujiku dengannya, namun aku tidak sabar memikulnya, dan aku tidak sanggup mengembannya, berapa banyak dosa yang diremehkan oleh manusia padahail ia lebih besar di sisi Allah daripada dosa besar, maka sepantasnya bila orang yang memandang kepada sesuatu yang haram didera sakit yang berkepanjangan.’ Kemudian dia menangis. Maka aku bertanya, ‘Mengapa kamu menangis?’ Dia menjawab, ‘Aku takut kesengsaraanku di dalam neraka akan berlangsung lama.’ Maka aku meninggalkannya dengan merasa iba terhadapnya karena aku melihat keadaannya yang benar-benar memprihatinkan.’” .

 

Abu Hamzah berkata, “Muhammad bin Abdullah bin al-Asy’ats ad-Dimasyqi dia termasuk hamba Allah yang terbaikmelihat kepada seorang anak yang tampan, dia pingsan dan dibawa ke rumahnya, akhirnya dia sakit hingga kedua kakinya lumpuh, dan dia tak kuasa berdiri di atasnya dalam waktu yang lama. Kami pun menjenguknya, dan kami bertanya kepadanya tentang keadaan dan perkaranya, tetapi dia enggan menceritakan perkaranya dan penyebab sakitnya, sementara orang-orang membicarakan apa yang menimpanya, hingga hal itu sampai kepada anak muda tersebut, maka dia datang menjenguknya. Begitu anak muda ini tiba, wajahnya langsung berbinar, dia bergerak, tertawa di depannya – dan berbahagia bisa melihatnya, selanjutnya anak muda terus menerus menjenguknya hingga dia bisa berdiri di atas kedua kakinya dan sembuh seperti sedia kala. Suatu hari anak muda ini mengajaknya berjalan-jalan ke rumahnya, namun dia menolak, maka aku bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak memenuhi ajakannya?” Dia menjawab, “Aku bukan orang yang terjaga dari dosa, aku tidak terjamin dari fitnah, aku takut setan berhasil menjerumuskanku ke dalam fitnah, hingga terjadi kemaksiatan antara diriku dengan dirinya akibatnya aku termasuk orang-orang yang merugi!”

 

Bunuh Diri Karena Takut Jatuh Kepada Perbuatan Keji Di antara mereka ada yang diajak oleh jiwanya untuk berbuat keji lalu dia bunuh diri.

 

Dari al-Hasan bin Muhammad ad-Damighani berkata, “Di Persia ada seorang sufi besar, dia diuji dengan seorang anak muda, maka jiwanya mengajaknya untuk berbuat dosa, namun dia merasa diawasi oleh Allah, kemudian dia menyesal atas ajakan jiwanya. Sedangkan rumahnya berada di tempat yang tinggi, dan di belakangnya adalah laut. Tatkala dia menyesal, dia naik ke atap, kemudian menjeburkan dirinya ke laut sambil membaca firman Allah:

 

“Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu…” (QS. al-Baqarah: 54). Maka dia mati tenggelam.”

 

Penulis berkata, “Lihatlah kepada Iblis, bagaimana dia bisa menyeret laki-laki yang patut dikasihani ini dari memandang kepada anak muda yang belum berkumis kepada memandangnya secara terus menerus, hingga Iblis berhasil menancapkan asmara dalam hatinya, hingga dia mengajaknya ke perbuatan keji, tatkala dia melihat jalannya yang buntu, Iblis membaguskan karena kebodohannya untuk membunuh dirinya, dia pun bunuh diri, padahal ada kemungkinan perbuatan keji itu baru terlintas dalam benaknya dan dia belum berazam melakukannya, padahal sekedar terlintasnya sesuatu dalam hati itu dimaafkan, berdasarkan sabda Nabi, ‘Umatku dimaafkan dari apa yang dibisikkan oleh hatinya.’ Kemudian dia sudah menyesali keinginannya dan penyesalan adalah taubat.”

 

Iblis memperlihatkan kepadanya bahwa taubat yang sempurna adalah dengan membunuh diri sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Israil, padahal Bani Israil memang diperintahkan untuk itu dalam firmanNya,

 

“Dan bunuhlah dirimu…,” sementara kita dilarang melakukannya berdasarkan firmanNya:

 

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. an-Nisa’: 29).

 

Sungguh laki-laki ini telah melakukan dosa besar yang besar akibatnya.

 

Dalam ash-Shahihain dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Barangsiapa menjatuhkan dirinya dari puncak gunung, maka dia akan terjatuh ke dalam api neraka Jahanam, kekal dan dikekalkan selamanya di dalamnya.”

 

Di antara mereka ada yang dipisahkan dari kekasinnya maka dia membunuhnya kekasihnya.

 

Saya mendengar tentang sebagian orang-orang sufi, dia berada di sebuah pos di Baghdad, dia bersama seorang anak di rumah tempat dia tinggal, orang-orang pun mencelanya dan memisahkannya dari anak tersebut, maka laki-laki sufi itu mendatangi anak itu dengan membawa pisau, kemudian dia membunuhnya, lalu dia duduk di sisinya sambil menangis, maka orang-orang yang ada di pos itu datang dan melihatnya, mereka bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi, dia mengaku telah membunuh anak itu, maka dia diserahkan kepada pihak yang berwajib, dia mengaku telah membunuh, maka bapak anak itu datang dengan menangis, laki-laki sufi itu pun duduk menangis, dia berkata kepadanya, “Demi Allah, kamu harus menghukumku dengan hukum gishash.” Tetapi ayah anak itu menjawab, “Tidak, sebaliknya aku memaafkanmu.” Lalu laki-laki sufi itu mendatangi kubur anak itu, di sana dia menanais, kemudian dia menunaikan haji untuk anak itu dan menghadiakan pahala.

 

Mendekati Fitnah dan Akhirnya Terjatuh ke Dalamnya

 

Di antara mereka ada yang mendekati fitnah lalu dia terjerumus ke dalamnya, sedangkan klaim sabar dan mujahadah tak berguna apa pun.

 

Dari Idris bin Idris berkata, “Aku pernah hadir di kalangan orang-orang sufi di Mesir, mereka mempunyai seorang anak muda yang belum tumbuh cambangnya yang menyanyi untuk mereka.” Salah seorang dari mereka tergila-gila kepadanya hingga dia tidak menyadari apa yang dilakukan, dia berkata kepada anak itu, “Wahai anakku, ucapkanlah la ilaha illallah.” Maka anak itu mengucapkannya, maka laki-laki itu berkata, “Aku akan mencium mulut yang mengucapkan la ilaha illallah.”

 

> Keenam: Orang-orang yang tidak sengaja bergaul dengan anak-anak muda, lalu seorang anak muda bertaubat dan berzuhud, dan ikut bersama jamaah mereka karena keinginannya, lalu Iblis merayu mereka dan berkata, “Jangan menghalanginya dari kebaikan.” Kemudian mereka melihat kepadanya tanpa sengaja tetapi berulang-ulang, hingga fitnah bergejolak dalam hati, sampai setan berhasil mendapatkan bagiannya dari mereka sesuai dengan kemampuannya. Bisa jadi mereka percaya kepada agama mereka, lalu setan menyeret mereka dan melemparkannya ke jurang kemaksiatan.

 

Penulis berkata, “Kesalahan mereka adalah pada sikap mereka yang mendekati fitnah, dan bergaul dengan orang yang tidak menjamin mereka dari fitnah.

 

Hal seperti ini sering terjadi di setiap zaman pada orang-orang sufi dan lainnya!!

 

> Ketujuh: Orang-orang yang mengetahui bahwa bergaul dengan anak-anak muda yang belum bercambang dan melihat kepada mereka tidak boleh namun mereka tidak kuat menahan diri darinya.

 

Dari ar-Razi berkata, bahwa Yusuf bin al-Husain berkata, “Lakukanlah apa yang kalian melihatku melakukannya kecuali bergaul dengan anak-anak muda, karena ia adalah fitnah paling berat. Sungguh aku telah berjanji kepada Tuhanku untuk tidak bergaul dengan anak-anak muda lebih dari seratus kali, namun Dia menghapuskannya dengan pipi yang bagus, perawakan yang semampai dan mata yang indah dan Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban atasku tentang kemaksiatan bersama mereka.”

 

Shari’ al-Ghawani mengucapkan syair dalam hal ini:

 

Pipi yang merah, bola mata hitam lagi

Lebar, gigi-gigi putth yang ada di mulut

Lesung pipit yang terlihat di permukaan Pipi dan buah delima yang ada di dada

Membuatku mabuk kepayang di antara penyanyi

Karena itu aku disebut dengan Shari’ al-Ghawani

 

Penulis berkata, “Laki-laki ini telah membuka aibnya sendiri padahal Allah telah menutupinya, dia menyatakan bahwa setiap kali melihat fitnah, dia membatalkan taubatnya. Lalu di mana tekad tasawuf dalam melatih jiwa untuk memikul hal-hal berat?!

 

Kemudian dengan sebab kebodohannya dia menyangka bahwa perbuatan maksiat itu hanya kekejian saja, seandainya dia berilmu, sungguh dia tahu bahwa pergaulan mereka bersama anak-anak muda dan melihat mereka itu merupaka perbuatan maksiat.

 

Lihatlah kepada kebodohan ini, bagaimana ia memainkan para pemiliknya?

 

Faidah Ilmu dan Bahaya Melihat Barangsiapa tidak berilmu, maka dia berjalan dalam kegelapan, bila dia berilmu namun tidak beramal maka dia berjalan dalam kegelapan yang lebih gelap, dan barangsiapa menggunakan adab syariat dalam firman Allah:

 

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya,’” (QS. an-Nur: 30), maka dia selamat di awal perkara dari sesuatu yang akibatnya sulit di akhirnya.

 

Syariat hadir melarang bergaul dengan anak-anak muda yang belum bercambang, dan para ulama pun berwasiat demikian.

 

Umar bin al-Khatthab berkata, “Seorang ulama tidak didatangi seekor binatang buas pemangsa yang lebih berbahaya daripada anak muda yang belum tumbuh kumisnya.”

 

Dari al-Hasan bin Dzakwan bahwa dia berkata, “Jangan bergaul denaan anak orang-orang kaya, karena wajah mereka seperti perempuan, dan fitnah mereka lebih berat daripada fitnah para gadis perawan.”

 

Dari Abu as-Saib berkata, “Aku lebih mengkhawatirkan seorang anak muda terhadap seorang ulama daripada tujuh puluh gadis.”

 

Dari Abu Ali ar-Ruwadzbari berkata, bahwa aku mendengar al-Junaid berkata, “Ada seorang laki-laki datang bersama seorang anak muda yang berwajah tampan kepada Ahmad bin Hanbal, lantas Ahmad bertanya kepadanya, “Siapa ini?” Dia menjawab, “Putraku.” Ahmad berkata, “Lain kali kamu jangan mengajaknya datang.” Tatkala dia berdiri, seseorang berkata kepada Ahmad, “Semoga Allah membantu syaikh tersebut. Laki-laki itu tak dikenal, sedangkan anaknya lebih afdhal darinya.” Maka Ahmad berkata, “Maksud kami dalam masalah ini, tidak karena terhalangi oleh keadaan keduanya yang tak dikenal, namun berdasarkan inilah kami berpendapat sebagaimana pendapat syaikh-syaikh kami, inilah yang mereka kabarkan kepada kami dari salaf mereka.”

 

Dari Bisyr bin al-Harits berkata, “Waspadailah anak-anak muda itu.”

 

Dari Abu Manshur Abdul Qadir bin Thahir berkata, “Barangsiapa bergaul dengan anak-anak muda maka dia akan jatuh ke dalam bencana.”

 

Dari Abdullah Abdurrahman as-Sulami berkata, bahwa Muzhaffar al-Qarmisini berkata, “Barangsiapa bergaul dengan anak-anak muda dengan berjanji bisa selamat dan bertujuan menasihati, maka ia akan terseret kepada ujian, lantas bagaimana dengan orang yang bergaul dengan mereka bukan dengan niat selamat?!” Berpaling dari Anak-anak Muda yang Belum Bercambang Salaf sangat menjauhi anak-anak muda yang belum tumbuh cabangnya. Dari Atha~ bin Muslim berkata, “Sufyan tidak pernah mau bergaul dengan anak-anak muda.”

 

Dari Yahya bin Ma’in berkata, “Tidak ada anak muda yang mau bergaul denganku.”

 

Dari Abdullah bin al-Mubarak berkata, bahwa Sufyan ats-Tsauri masuk ke pemandian umum, lalu seorang anak muda yang berwajah cerah masuk, maka Sufyvan berkata, “Usirlah dia, usirlah dia! Sesungguhnya aku melihat secrang setan bersama seorang wanita dan belasan setan’ bersama anak muda yang belum tumbuh kumisnya!”

 

Dari Abu Aly ar-Ruwadzbari mengatakan bahwa Abu al-Abbas Ahmad al-Muaddib berkata kepadaku, “Wahai abu Ali, dari mana orang-orang sufi di zaman ini mengambil sandaran dalam bergaul dengan anak-anak muda?” Aku menjawab, “Wahai tuanku, engkau lebih mengetahui tentang mereka. Terkadang mereka disertai keselamatan pada banyak urusan.” Maka dia berkata, “Jtu mustahil, sungquh kami telah melihat orang yang lebih kuat imannya daripada mereka, saat dia melihat anak muda datang, dia berlari seperti berlari dari medan perang, hal itu menurut waktu yang mana keadaan mendominasi orangnya, lalu ia terpengaruh oleh gejolak tabiat, sungguh betapa besar bahayanya, dan betapa banyak kesalahannya.”

 

Bergaul dengan Anak-anak Muda

 

Bergaul dengan anak-anak muda merupakan perangkap Iblis yang paling kuat, dengannya Iblis menghalang-halangi orang-orang sufi.

 

Dari Abu Bakar ar-Razi berkata, bahwa Yusuf bin al-Husain berkata, “Aku melihat aib-aib manusia, maka aku tahu dari mana ia menimpa mereka? Dan aku melihat aib orang-orang sufi pada pergaulan mereka dengan anak-anak muda, berkawan dengan para musuh dan berhubungan dengan para wanita.”

 

Hukuman Melihat Kepada Anak-anak Muda yang Belum Tumbuh Cambangnya

 

Dari Abu Abdullah bin al-Jala’ berkata, “Aku melihat seorang anak muda Nasrani, lalu Abu Abdullah al-Balakhi lewat di depanku, kemudian dia bertanya, ‘Mengapa kamu berdiri seperti itu?’ Aku menjawab, ‘Wahai paman, tidakkah Anda melihat wajah ini, bagaimana ia disiksa dengan neraka.’” Lalu dia menepuk pundakku dan berkata, ‘Kamu akan merasakan akibatnya suatu saat nanti.’” Dia melanjutkan, “Maka aku merasakan akibatnya sesudah empat puluh tahun, bahwa aku lupa al-Qur’an yang telah aku hafal.”

 

Saya berkata, “Saya berbicara panjang lebar dalam bab ini, karena hal ini banyak terjadi pada banyak orang, maka barangsiapa ingin mendapat tambahan dalam masalah ini dan masalah yang berkaitan dengan melepaskan pandangan serta segala sebab hawa nafsu, maka silakan membuka buku kami yang berjudul Dzammul Hawa, karena di sana ada apa yang Anda cari dalam bab ini.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Terkait dengan Klaim Tawakal, Meninggalkan Sebab-sebab dan Tidak berhatihati Dalam Perkara Harta

 

Dari Dzi an-Nun al-Mishri berkata, “Aku melakukan perjalanan bertahuntahun, aku tak pernah bertawakal dengan benar kecuali hanya sekali. Aku naik perahu, lalu perahu itu pecah, dan aku terombang-ambing pada sebatang kayu darinya, maka aku berkata dalam hati, ‘Bila Allah menetapkanku tenggelam, lalu apa gunanya kayu ini?’ Maka aku pun membuangnya, dan aku mengapung di atas air dan akhirnya terdampar di pantai.”

 

Dari Muhammad berkata, “Aku bertanya kepada Abu Ya’qub az-Zayyat tentang suatu masalah dalam tawakal. Maka dia mengeluarkan satu koin dirham miliknya, kemudian dia menjawabku -dia memberikan hak tawakal yang sebenarnya-, kemudian dia berkata, ‘Aku malu menjawab sementara aku mempunyai uang ini.’”

 

Penulis berkata, “Ilmu yang minim menyeret kepada kerancuan ini. Seandainya mereka mengetahui tawakal yang sebenarnya, niscaya mereka akan mengetahui bahwa antara tawakal dengan mengikuti sebab tidak bertentangan. Hal itu karena tawakal adalah bersandarnya hati kepada Dzat Yang Maha Mewakili semata dan ini tidak bertentangan dengan aktifitas tubuh dalam mengikuti sebab dan tidak pula bertentangan dengan menyimpan harta. Allah Ta’ala berfirman:

 

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (rnereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS. an-Nisa~: 5).

 

Maksudnya, sebagai penegak (pokok kehidupan) untuk badan kalian.

 

Nabi bersabda:

 

“Sebaik-baik harta yang baik adalah harta di tangan orang shalih. ”

 

Nabi juga bersabda:

 

“Sesungguhnya lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga mereka meminta-minta kepada manusia. ”

 

Ketahuilah bahwa Allah yang memerintahkan bertawakal juga memerintahkan agar berhati-hati, Allah berfirman:

 

“Bersiap siagalah kamu…” (QS. an-Nisa’: 71).

 

Allah berfirman:

 

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS. al-Anfal: 60).

 

Allah berfirman:

 

“Maka berjalaniah kamu dengan membawa hamba-hambakKu pada malam hari…” (QS. ad-Dukhan: 23).

 

Dari Anas bin Malik berkata, bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi dan dia meninggalkan untanya di pintu masjid, maka Rasulullah bertanya kepadanya tentang perbuatannya, dia menjawab, “Aku melepaskannya dan bertawakal kepada Allah.” Nabi bersabda, “Ikatlah kemudian bertawakallah. “

 

Sufyan bin Uyainah berkata, “Tawakal adalah kerelaan kepada apa yang dilakukan terhadapnya.”

 

Ibnu Aqil berkata, “Sebagian orang menyangka bahwa kehati-hatian dan kewaspadaan bertentangan dengan tawakal, dan bahwa tawakal bisa meniadakan berbagai akibat, padahal ini menurut ulama adalah kelemahan dan kelalaian yang oleh orang-orang berakal dipandang buruk dan bodoh.”

 

Allah tidak memerintahkan tawakal kecuali setelah berhati-hati dan mengerahkan segala upaya untuk berhati-hati, maka Allah berfirman:

 

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (Ali Imran: 159).

 

Seandainya kehati-hatian merusak tawakal, niscaya Allah tidak mengkhususkan nabiNya dengannya saat Dia berfirman:

 

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159).

 

Padahal bukankah musyawarah adalah mengambil pendapat yang dijadikan sebagai landasan mewaspadai dan memperhatikan musuh?

 

Allah pun tidak cukup menyerahkannya kepada pendapat dan ijtihad mereka dalam perkara kehati-hatian saja, hingga Dia memandang perlu untuk menjelaskannya, dan menjadikannya sebagai sebuah amal perbuatan dalam shalat, serta ibadah yang paling khusus, maka Allah berfirman:

 

“Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata…” (QS. an-Nisa’: 102). Allah menjelaskan alasannya dengan berfirman:

 

“Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.” (QS. an-Nisa’: 102).

 

Barangsiapa mengetahui bahwa kehati-hatian adalah demikian, maka tidak dikatakan bahwa tawakal kepadaNya adalah meninggalkan apa yang diketahui, akan tetapi tawakal adalah meny rahkan perkara yang di luar daya dan kekuatan. Nabi bersabde “I atlah kemudian bertawakallah.”

 

Seandainya tawakal adalah ketidakwaspadaan, niscaya ia diberikan secara khusus kepada manusia terbaik dalam keadaan yang terbaik yaitu waktu shalat.

 

Asy-Syafi’i berpendapat bahwa membawa senjata dalam kondisi tersebut adalah wajib berdasarkan firman Allah:

 

“Dan hendaklah mereka menyandang senjata…” (QS. an-Nisa’: 102).

 

Tawakal tidak menghalangi sikap hati-hati dan waspada, karena Musa meninggalkan negerinya tatkala seseorang berkata kepadanya:

 

“Sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu,” (QS. al-Qashash: 20).

 

Nabi pun meninggalkan Makkah karena beliau khawatir terhadap dirinya dari makar orang-orang Quraisy, maka Abu Bakar menjaga beliau dengan menutupi lubang-lubang yang ada di dalam gua.

 

Orang-orang itu benar-benar berhati-hati kemudian mereka bertawakal.

 

Allah berfirman dalam hal kehati-hatian:

 

‘Janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu,” (QS. Yusuf: 5).

 

Allah berfirman:

 

Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang…” (QS. Yusuf: 67).

 

Allah berfirman:

 

“Maka berjalanlah di segala penjurunya…” (QS. al-Mulk: 15).

 

Hal ini disebabkan oleh gerakan untuk membela diri berarti memanfaatkan nikmat Allah, sebagaimana Allah ingin hambaNya memperlihatkan nikmatNya yang lahir, dan Dia juga ingin agar hambaNya menampakkan nikmatNya yang batin, maka tidak ada alasan meniadakan apa yang diberikan oleh Allah secara batin atas apa yang Dia berikan secara lahir, maka kamu harus memanfaatkan apa yang ada padamu, dan carilah apa yang ada di sisiNya.

 

Allah memberikan alat dan perlengkapan anggota tubuh kepada burung dan hewan untuk mempertahankan diri seperti cakar, kuku dan taring, Allah menciptakan akal bagi manusia yang bisa membimbingnya untuk menenteng senjata dan mengajaknya untuk membentengi diri dengan baju besi dan bangunan-bangunan.

 

Barangsiapa meniadakan nikmat Allah dengan tidak berhati-hati, maka dia telah membuang hikmahNya, layaknya orang yang menolak makan dan obat, kemudian ia mati karena lapar atau sakit.

 

Tidak ada orang dungu yang mengaku berakal dan berilmu, sedangkan ia menyerah pada ujian, melainkan karena sepantasnya adalah hendaknya anggota tubuh orang yang bertawakal berusaha sedangkan hatinya tenang berserah diri kepada Allah, diberi atau tidak, karena dia tidak melihat kecuali al-Haq, Dia tidak bertindak kecuali dengan hikmah dan maslahat, dan bila Dia tidak memberi, maka itu berarti Dia memberi dari sisi makna.

 

Berapa banyak Iblis menjadikan kelemahan sebagai sesuatu yang indah di mata orang-orang yang malas, lalu jiwa mereka berbisik kepada mereka bahwa kemalasan adalah tawakal, dan mereka tertipu. Dalam hal ini, mereka seperti orang yang menyangka bahwa tindakan bodoh adalah keberanian dan kepicikan sebagai ketegasan.

 

Penulis berkata, “Bila ada yang berkata, ‘Bagaimana aku bisa menghindar dari apa yang ditakdirkan? Kami menjawab, bagaimana kamu tidak berusaha menghindar dari apa yang ditakdirkan bersama perintahperintah? Yang mentakdirkan adalah yang memerintahkan, Allah berfirman:

 

“Dan siap-siagalah kamu.” (QS. an-Nisa’: 102).

 

Tawakal Tidak Meniadakan Usaha Sejenis dengan apa yang telah kami sebutkan di atas, yang mana Iblis mengacaukan mereka dengan menolak mengikuti sebab akibat, Iblis juga mengacaukan banyak orang dari mereka dengan keyakinan bahwa tawakal bertentangan dengan usaha.

 

Dari Sahl bin Abdullah at-Tustari, “Barangsiapa menggugat tawakal maka dia menggugat iman, barangsiapa menggugat usaha maka dia mengguagat sunnah.”

 

Dari Muhammad bin Abdul Aziz berkata, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Abu Abdillah bin Salim dan aku mendengar, “Apakah kita ini diperintah untuk beribadah dengan usaha atau tawakal?” Dia menjawab, “Tawakal adalah keadaan Rasulullah sedangkan usaha adalah sunnah Rasulullah, disunnahkan usaha bagi siapa yang tawakalnyva lemah dan ia tidak mencapai derajat kesempurnaan yang merupakan keadaan beliau. Barangsiapa mampu tawakal maka usaha tidak boleh baginya dalam keadaan apa pun kecuali usaha hanya untuk sekedar membantu bukan bersandar kepadanya. Dan barangsiapa tidak mencapai keadaan tawakal yang merupakan keadaan Rasulullah, maka dia dibolehkan mencapai penghidupan melalui usaha agar tidak jatuh dari derajat sunnah beliau saat dia terjatuh dari derajat keadaan beliau.’”

 

Dari Yusuf bin al-Husain berkata, “Bila kamu melihat murid menyibukkan diri dengan rukhshah dan usaha, maka tidak ada apa pun yang datang darinya.”

 

Penulis berkata, “Ini adalah ucapan orang-orang yang tak memahami makna tawakal. Mereka menyangka bahwa ia berarti tidak berusaha dan meniadakan anggota badan dari bekerja. Sedangkan kami telah menjelaskan bahwa tawakal adalah perbuatan hati, dan ia tidak bertentangan dengan aktifitas anggota badan.”

 

Seandainya seseorang yang bekerja bukanlah orang yang bertawakal, niscaya para nabi bukanlah orang-orang yang bertawakal.

 

Abu Bakar, Utsman, Abdurrahman bin Auf dan Thalhah adalah saudagar kain. Muhammad bin Sirin dan Maimun bin Mihran juga saudagar kain.

 

Az-Zubair bin al-Awwam dan Amru bin al-Ash serta Amir bin Kuraiz adalah pembuat kain, demikian juga dengan Abu Hanifah.

 

Sa’ad bin Abi Waqaash pun adalah pembuat anak panah, dan Ustman bin Thalihah adalah tukang jahit.

 

Dari Amru bin maimun dari bapaknya berkata, “Tatkala Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, orang-orang menggajinya dua ribu, maka Abu Bakar berkata, ‘Tambahkan untukku, karena aku mempunyai keluarga, sedangkan kalian telah menyibukkanku dari niaga.’ Maka mereka menambah lima ratus.”

 

Penulis berkata, “Kalau seseorang berkata kepada orang-orang sufi, ‘Dari mana aku memberi makan keluargaku?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Kamu musyrik.’”

 

Seandainya mereka ditanya tentang orang-orang yang berdagang, mereka akan menjawab, “Bukan orang yang yakin, bukan orang yang bertawakal.”

 

Semua ini adalah karena kebodohan mereka terhadap makna yakin dan tawakal. Seandainya seseorang menutup pintu tersebut atasnya dan ia bertawakal niscaya klaim mereka menjadi dekat baginya, akan tetapi orang-orang itu di antara dua perkara.

 

Kebanyakan orang dari kalangan mereka, di antara mereka ada yang berusaha mendapatkan dunia dalam rangka mengambil manfaat, dan di antara mereka ada yang mengirimkan budaknya untuk berkeliling membawa keranjang dan mengumpulkan hasilnya untuk tuannya, atau duduk di pos-pos mereka dengan berpakaian layaknya orang-orang miskin, padahal dia tahu bahwa tempat tersebut tidak bersih untuk didatangi oleh orang-orang yang hendak bersedekah, sebagaimana kios dibangun dengan tujuan untuk jualbeli.

 

Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Barangsiapa berdiam diri di masjid dan tidak bekerja serta menerima apa yang diberikan kepadanya maka dia telah meminta-minta penuh harap.”

 

Perintah Salaf Untuk Berusaha

 

Penulis berkata, “Salaf melarang melakukan semua ini, sebaliknya mereka memerintahkan usaha.”

 

Umar bin al-Khatthab berkata, “Wahai orang-orang fakir! Angkatlah kepala kalian, jalan sudah terang, berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan, dan jangan menjadi beban bagi kaum muslimin.”

 

Bila Umar bin al-Khaththab melihat anak muda yang menakjubkannya, lalu dia bertanya tentangnya, “Dia bekerja?” Bila dijawab, “Tidak.” Maka Umar berkata, “Dia tidak ada artinya di mataku.”

 

Dari Abu al-Qasim bin al-Khuttaly, aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, maka aku berkata, “Apa pendapat Anda tentang seorang laki-lakj yang duduk di rumah atau masjid, dan dia berkata, ‘Aku tidak bekerja apa pun, sampai rizkiku akan datang dengan sendirinya?’” Alhmad menjawab, “Ini adalah orang yang bodoh, tidakkah kamu mendengar Rasulullah  bersabda, ‘Dan rizkiku dijadikan di bawah naungan tombakku.’”

 

Ada hadits lain yang mana nabi menyebutkan seekor burung yang berangkat pagi dalam keadaan perut kosong, kemudian beliau menyebutkan bahwa ia berangkat pagi untuk mencari makan.?

 

Allah berfirman:

 

“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;” (QS. al-Muzzammil: 20).

 

Allah berfirman:

 

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (QS. al-Baqarah: 198).

 

Para shahabat Rasulullah pun berdagang di darat dan laut, mereka bekerja mengurusi kebun kurma mereka, dan mereka adalah teladan bagi kita.

 

Dari Ahmad bahwa ada seorang laki-laki berkata kepadanya, “Aku ingin menunaikan ibadah haji dengan tawakal.” Ahmad bertanya, “Pergilah tanpa ikut rombongan.” Dia berkata, “Tidak.” Ahmad berkata, “Kamu bertawakal dengan makanan orang lain!”

 

Dari Abu Bakar al-Marwazi berkata, bahwa aku berkata kepada Abu Abdullah, “Orang-orang yang mengaku bertawakal itu berkata, ‘Kami duduk dan Allah yang menjamin rizki kami.” Beliau menjawab, “Ucapan yang sangat buruk, bukankah Allah telah berfirman:

 

‘Apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. al-Jumu’ah: 9).”

 

Kemudian Ahmad berkata, “Bila seseorang berkata, ‘Aku tidak bekerja’, lalu dia diberi sesuatu dari hasil bekerja dan berusaha, maka kenapa dia menerimanya dari orang lain?”

 

Shalih bin Ahmad berkata, “Bapakku ditanya sementara aku menyaksikan tentang orang-orang yang tak bekerja dan mereka berkata, ‘Kami bertawakal.’ Maka bapakku menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mengada-ada.”

 

Ibnu Adil berkata, “Mengikuti sebab akibat tidak bertentangan dengan tawakal, karena menaiki sebuah anak tangga melebihi derajat para nabi merupakan bentuk kekurangan dalam agama.”

 

Tatkala seseorang berkata kepada Musa:

 

“Sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu,” (QS. al-Qashash: 20), Musa pun keluar, dan tatkala lapar dan dia membutuhkan makan, maka dia bekerja selama delapan tahun.

 

Allah berfirman:

 

“Maka berjalanlah di segala penjurunya…” (QS. al-Mulk: 15).

 

Hal ini karena aktifitas sama dengan memanfaatkan nikmat Allah, yaitu kekuatan, maka manfaatkan (potensi) yang ada padamu kemudian é carilah apa yang ada di sisiNya.

 

Terkadang seseorang meminta kepada Rabbnya dan dia melupakan potensi-potensi yang Allah berikan kepadanya. Maka bila jawaban dari permintaannya ditunda, dia marah. Anda melihat salah seorang dari mereka mempunyai tanah dan perabotan, bila makanan menjadi sulit baginya, dan hutangnya menumpuk, lalu ada seseorang berkata kepadanya, “Seandainya kamu menjual tanahmu.” Maka dia akan menjawab, “Bagaimana aku menjualnya, dan aku menjatuhkan harga diriku di depan orang-orang.”

 

Sebagian orang berpangku tangan dan tidak bekerja karena malas, maka mereka terjebak dalam dua keburukan. Menyia-nyiakan keluarga, sehingga mereka meninggalkan kewajiban atau mereka menghiasi diri atas nama tawakal, lalu orang-orang yang bekerja karena merasa kasihan kepada mereka yang telah menyusahkan keluarga mereka, kemudian orang-orang yang bekerja bersedekah kepada mereka.

 

Ini adalah kehinaan yang hanya menimpa orang yang berjiwa hina, karena jika tidak maka seorang laki-laki sejati tidak akan menyia-nyiakan permata yang Allah titipkan kepadanya hanya untuk mendahulukan kemalasan atau karena sebuah nama yang dipakai hiasan oleh orang-orang bodoh, karena terkadang Allah tidak memberi harta kepada seseorang namun Dia memberinya permata, yang dengannya dia bisa meraih dunia dengan penerimaan orang lain terhadap dirinya.

 

Di Antara Dalil-dalil Mereka Dalam Tidak Berusaha Orang-orang yang berpangku tangan dan tidak bekerja bergantung dengan berbagai alasan yang buruk, di antaranya mereka berkata, “Rizki kita pasti akan sampai kepada kita.”

 

Ini adalah puncak keburukan, karena bila seseorang tidak berbuat ketaatan, dia berkata, “Aku tidak mampu dengan ketaatanku untuk merubah apa yang ditetapkan oleh Allah atasku. Bila aku termasuk penghuni surga maka aku akan menjadi penghuni surga. Bila aku termasuk penduduk neraka, maka aku akan termasuk penduduk neraka.” Kami katakan kepadanya, bahwa keyakinan ini membatalkan semua perintah agama, seandainya ia benar untuk seseorang, niscaya Adam tidak dikeluarkan dari surga, karena dia bisa berkata, “Aku hanya melakukan apa yang ditetapkan atasku.” Sudah diketahui bahwa yang dituntut dari kita adalah menjalankan perintah bukan mengurusi takdir.

 

Di antara mereka berkata, “Di mana yang halal agar kami bisa mencarinya?”

 

Ini adalah ucapan orang bodoh, karena yang halal tak pernah terputus selamanya, Nabi bersabda, “Yang halal jelas dan yang haram juga jelas. “

 

Sudah diketahui bahwa yang halal adalah apa yang diizinkan oleh syariat untuk dimakan, sedangkan ucapan mereka tiada lain sebagai pembenaran terhadap kemalasan.

 

Di antaranya mereka berkata, “Bila kami bekerja, maka kami membantu)orang-orang zhalim dan para pendosa, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibrahim al-Khawash bahwa dia berkata, “Aku mencari halal pada segala sesuatu, hingga aku mencarinya dengan memancing ikan. Aku mengambil walesan bambu, memasang senar dan duduk di pinggir sungai. Aku lemparkan pancing, lalu seekor ikan menyantapnya dan aku pun menariknya, seekor ikan pun menggelepar di tanah. Kemudian aku melemparnya lagi, ikan kedua pun keluar. Ketika aku melemparkannya untuk yang ketiga kalinya, tiba-tiba aku ditempeleng dari belakang. Aku tidak tahu tangan siapa itu, karena aku tidak melihat siapa pun. Kemudian aku mendengar seseorang berkata, ‘Kamu tidak mendapatkan rizki pada sesuatu kecuali kamu bersandar kepada orang yang mengingat kami lantas kamu membunuhnya.”

 

Dia melanjutkan, “Maka aku memotong senar dan mematahkan walesan, lantas aku pun bergegas pulang.”

 

Penulis berkata, “Jika kisah ini benar, maka dalam sanadnya ada rawi yang tertuduh, maka yang menempelengnya adalah Iblis, dialah yang berkata kepadanya, karena Allah membolehkan berburu ikan, maka Dia tidak akan menghukum atas sesuatu yang Dia bolehkan. Bagaimana bisa dikatakan, “Kamu bersandar kepada, orang mengingat kami, lantas kamu membunuhnya.” Sedangkan Dialah yang membolehkan kita membunuh ikan?!

 

Mencari yang halal itu terpuji. Seandainya kita menolak berburu dan menolak menyembelih hewan dengan alasan karena ia mengingat Allah, niscaya kita tidak mempunyai sesuatu untuk menegakkan badan ini, karena yang menegakkannya adalah daging.

 

Menolak menangkap ikan dan menyembelih hewan adalah keyakinan orang-orang Brahmana. Lihatlah kepada kebodohan tersebut, apa yang ia lakukan. Lihatlah Iblis, bagaimana dia berbuat?

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Dengan Menolak Berobat

 

Penulis berkata, “Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa berobat hukumnya mubah, hanya saja sebagian dari mereka berpendapat bahwa azimah adalah dengan meninggalkannya.”

 

Yang ingin kami katakan di sini, bahwa bila sudah terbukti bahwa berobat adalah mubah menurut kesepakatan ulama, dan dianjurkan menurut sebagian mereka, maka kita tidak perlu menengok kepada ucapan sebagian orang yang berkeyakinan bahwa berobat mengeluarkan dari tawakal, karena ijma’ sudah menetapkan bahwa ia tidak keluar darj riil tawakal.

 

Diriwayatkan secara shahih dari Nabi bahwa beliau berobat dan memerintahkannya, dan hal itu tidak mengeluarkan beliau dari tawakal, beliau juga tidak mengeluarkan orang yang menjalankan perintahnya untuk berobat dari lingkaran tawakal.

 

Dalam ash-Shahih dari hadits Utsman bin Affan bahwa Nabi  memberikan keringanan bagi orang yang berihram saat matanya sakit untuk membalutnya dengan buah Shabr.

 

Tbnu Jarir ath-Thabari berkata, “Hadits ini merupakan dalil atas rusaknya apa yang diucapkan oleh orang-orang bodoh dari Kalangan ahli tasawuf dan ibadah bahwa tawakal tidaklah benar bagi seseorang yang mengobati sakit pada tubuhnya dengan obat, karena menurut mereka hal itu sama dengan mencari kesembuhan dari selain Allah sebagai pemegang kesembuhan, manfaat dan madharat.”

 

Pembolehan Nabi kepada muhrim agar mengobati kedua matanya dengan pohon Shabr untuk menghilangkan sakitnya merupakan dailil yang paling jelas yang menetapkan bahwa makna tawakal bukan sebagaimana yang diucapkan oleh orang-orang itu, bahwa berobat tidak mengeluarkan pelakunya dari ridha dengan ketetapan Allah, sebagaimana bila seseorang yang diserang rasa lapar, kepergiannya untuk makan tidak mengeluarkannya dari tawakal dan ridha kepada ketetapan Allah, karena Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan obatnya selain mati.

 

Allah menetapkan sebab-sebab untuk menolak penyakit, sebagaimana Allah menetapkan makan untuk menghilangkan rasa lapar, padahal Dia mampu menghidupkan makhlukNya tanpa makan, akan tetapi Dia menciptakan mereka sebagai orang-orang yang bergantung, maka rasa lapar tidak akan tertepis kecuali dengan apa yang Allah tetapkan sebagai sebab untuk menghilangkannya, demikian halnya dengan sakit yang bersifat insidentil. Allah lah Dzat yang membimbing.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Meninggalkan Shalat Berjamaah dan Jum’at Dengan Menyendiri dan Uzlah

 

Penulis berkata, “Orang-orang salaf terpilih mementingkan kesendirian dan uzlah dari manusia demi menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, namun uzlah mereka tidak memutuskan mereka dari Jum/at, shalat jamaah, menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah dan menunaikan hak, karena uzlah mereka adalah uzlah dari keburukan dan orang-orang buruk serta uz/ah dari pergaulan dengan orang-orang pemalas.

 

Iblis mengacaukan sebagian orang dari kalangan ahli tasawuf, di antara mereka ada yang mengucilkan diri di gunung seperti rahib di rumah sendiri pagi dan malam, akibatnya dia tidak shalat Jum’at, tidak shalat berjamaah dan tidak menghadiri majlis ilmu.

 

Kebanyakan dari mereka mengucilkan diri di pos-pos mereka, akibatnya mereka tidak mendapatkan pahala datang ke masjid, mereka duduk di atas kasur empuk dan berpangku tangan tidak bekerja.

 

Abu Hamid al-Ghazali berkata dalam al-Ihya’ mengatakan, “Tujuan latihan adalah mengosongkan hati dan hal itu hanya bisa terwujud di tempat yang gelap. Bila tidak di tempat yang gelap, maka hendaknya menutup kepalanya dengan kain atau berselimut dengan kain sarung, sehingga dalam kondisi ini dia akan mendengar panggilan al-Haq dan menyaksikan keagunaan hadirat rububiyah!!”

 

Penulis berkata, “Lihatlah kepada langkah-langkah yang dia tetapkan ini. Sedangkan yang sangat anehnya, bagaimana mungkin hal seperti ini diucapkan oleh seorang fakih ulama!”

 

Dari mana yang bersangkutan mengetahui bahwa apa yang didengarnya adalah panggilan al-Haq, bahwa yang dia saksikan adalah keagungan hadirat rububiyah?!

 

Sangat besar kemungkinan apa yang dirasakannya termasuk khayalan dan was-was yang rusak, hal inilah yang terlihat pada orang yang mengurangi makanan, sehingga dia akan mengalami halusinasi.

 

Mungkin seseorang selamat dalam kondisi ini dari was-was, hanya saja bila dia menutup wajahnya dengan kain, menunduk dan menutup kedua matanya, maka pikirannya mengembara di alam khayalan, lalu dia melihat khayalan-khayalan dan dugaan-dugaan, sehingga dia menyangkanya sebagai keagungan hadirat rububiyah dan yang sejenisnya.

 

Kami berlindung kepada Allah dari was-was dan khayalan buruk seperti ini.

 

Diriwayatkan dari Abu Ubaid at-Tustari bahwa di awal hari bulan Ramadhan, dia masuk ke rumah, dan berkata kepada istrinya, “Tutuplah pintu rapat-rapat atasku dan berikan sepotong roti kepadaku melalui celah tersebut.” Maka jika hari raya tiba istrinya masuk, dan dia melihat ada tiga puluh potong roti di sudut. Dan dia tidak makan, tidak minum, tidak bersiap untuk shalat dan tetap berada atas satu wudhu sampai akhir bulan.

 

Penulis berkata, bahwa hikayat ini menurutku jauh dari kebenaran dari dua sisi:

 

> Pertama: Adanya manusia selama satu bulan tidak tidur, kencing, berak dan kentut.

 

> Kedua: Seorang muslim meninggalkan shalat jamaah dan Jum’at padahal keduanya wajib, dan tidak boleh ditinggalkan.

 

Bila hikayat ini benar, maka Iblis tidak menyisakan apa pun dalam mengacaukannya. Dari Abu al-Hasan al-Busyanji ash-Shufi bahwa dia disalahkan beberapa kali karena tidak shalat Jum’at dan shalat berjamaah, maka dia menjawab, “Bila keberkahan ada pada shalat jamaah, maka keselamatan pun ada pada meninggalkannya!”

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Sikap Berpurapura Khusyu’, Menundukkan Kepala dan Menjalankan Ritual

 

Penulis berkata, “Bila rasa takut telah menenangkan hati, maka ia melahirkan khusyu’ lahir, dan pemiliknya tidak kuasa menepisnya, maka Anda melihatnya menunduk, beradab dan merendahkan diri, sedangkan para salaf berusaha menutupi apa yang nampak pada mereka dari hal itu.”

 

Muhammad bin Sirin tertawa di siang hari dan menangis di malam hari.

 

Kami tidak memerintahkan seorang ulama untuk bersikap longgar di antara orang-orang awam, karena hal itu menyakiti mereka. Diriwayatkan dari Ali bahwa dia berkata, “Bila kalian berbicara tentang iimu maka tutupilah, dan jangan mencampurnya dengan tawa, sehingga akibatnya hati akan memuntahkannya (menolak secara mentah-mentah).”

 

Hal seperti ini bukan termasuk riya~, karena hati orang awam tidak kuat memikul takwil untuk seorang ulama tatkala dia bersikap longgar dalam perkara mubah, maka seorang ulama patut menghadapi mereka dengan diam dan sopan.

 

Yang tercela adalah memaksakan diri untuk memperlihatkan kekhusyu’an, air mata buaya, menundukkan kepala agar terlihat dengan mata zuhud, lalu orang-orang datang menjabat tangan dan menciumnya, bahkan bisa jadi dikatakan kepadanya, “Mohon doanya wahai syaikh.” Kemudian ia bersiap-siap untuk berdoa, seolah-olah dia bisa menurunkan jawaban dari langit!

 

Disebutkan dari Ibrahim an-Nakha’i bahwa seseorang berkata kepadanya, “Berdoalah untuk kami.” Maka Ibrahim membencinya dan menolaknya dengan keras.

 

Di antara orang-orang yang takut ada yang terbawa oleh rasa takut kepada kerendahan hati dan rasa malu, hingga dia tidak mendongak ke langit, sedangkan ini bukan termasuk amalan yang utama, karena tidak ada kekhusyu’an yang melebihi khusyu’nya Rasulullah

 

Dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Musa berkata, “Rasulullah sering mengangkat kepalanya ke langit.” Hadits ini menunjukkan anjuran melihat ke langit untuk mengambil pelajaran dari ayat-ayatnya.

 

Allah berfirman:

 

“Maka -apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagairnana Kami meninggikannya dan menghiasinya…” (QS. Qaf: 6).

 

Allah berfirman:

 

“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.’” (QS. Yunus: 101).

 

Orang-orang itu telah menambahkan isyarat kepada tasybih dalam bid’ah mereka. Seandainya mereka mengetahui bahwa menundukkan kepala yang mereka lakukan adalah seperti mendongakkannya dalam hal malu kepada Allah, niscaya mereka tidak melakukan hal itu, namun Iblis hanya sibuk mempermainkan orang-orang yang bodoh.

 

Adapun para ulama, maka Iblis menghindari mereka, sangat takut kepada mereka, karena mereka mengetahui seluruh perkaranya dan menjauhi segala bentuk tipu dayanya.

 

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, “Para shahabat Rasulullah bukanlah orang-orang yang menyimpang dan memperlihatkan kelermahan. Mereka mengucapkan syair di majlis-majlis mereka, membicarakan perkara jahiliyah, tetapi bila salah seorang dari mereka diusik dalam sebagian urusan agamanya maka kedua bola matanya berputar seperti orang gila.”

 

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khatthab bahwa dia melihat seorang anak muda yang menundukkan kepalanya, maka Umar berkata kepadanya, “Wahai anak muda, angkatlah kepalamu, sesungguhnya _ khusyu’ tidak melampaui apa yang ada dalam hati. Karena barangsiapa menampakkan kekhusyu’annya melebihi apa yang ada dalam hatinya, maka dia menampakkan kemunafikan di atas kemunafikan.” .

 

“Dari Ashim bin Kulaib al-Jarmi berkata, “Bapakku bertemu Abdurrahman bin al-Aswad yang sedang berjalan, dan bila dia berjalan, dia berjalan di sisi tembok dengan menampakkan kekhusyu’an begini, Abu Bakar memiringkan kepalanya sedikit, maka Abu Malik berkata,

 

“Bila kamu berjalan, kamu berjalan di sisi tembok. Ketahuilah demi Allah bahwa bila Umar berjalan maka pijakan telapak kakinya sangat keras ke tanah, dan suaranya lantang.”

 

Penulis berkata, “Sungguh salaf menutupi keadaan mereka yang sebenarnya, dan mereka berusaha membuang kepura-puraan.”

 

Kami telah menyebutkan dari Ayyub as-Sakhtiyani bahwa pakaiannya sedikit panjang untuk menutupi keadaannya.

 

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku tidak menganggap benar amalku yang terlihat.”

 

Dia berkata kepada seorang rekannya yang sedang shalat, “Betapa beraninya kamu shalat sementara orang-orang melihatmu.”

 

Dari Muhammad bin Ziyad berkata, bahwa Abu Umamah melewati seorang laki-laki yang sedang sujud, maka dia berkata, “Sujud yang mulia seandainya kamu melakukannya di rumahmu.”

 

Asy-Syafi’i berkata:

 

Tinggalkanlah orang-orang yang bila datang kepadamu menundukkan kepala

 

Dan bila mereka menyendiri maka mereka adalah serigala yang sangat ganas.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Meninggalkan Pernikahan

 

Penulis berkata, menikah dalam keadaan khawatir terjatuh ke dalam dosa adalah wajib, tanpa khawatir sunnah muakkad menurut jumhur ulama.

 

Ahmad Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal berkata menikah dalam kondisi ini adalah lebih utama daripada ibadah-ibadah sunnah, karena menikah adalah sebab lahirnya anak.

 

Nabi bersabda:

 

“Nikahilah wanita yang mencintai dan banyak anak, karena sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di depan umat-umat, “

 

Dari Sa’ad bin Abu Waqqash berkata, “Rasulullah  menolak keinginan Utsman bin Mazh’un untuk meninggalkan pernikahan, seandainya beliau membolehkan untuknya maka kami akan mengebiri diri kami.”

 

Dari Anas bin Malik bahwa beberapa shahabat Rasulullah  bertanya kepada para istri nabi tentang amal beliau di rumah, maka para istri Nabi menyampaikan kepada mereka, kemudian sebagian dari mereka berkata, “Aku tidak makan daging.” Yang lain berkata, “Aku tidak menikah.” Yang lain berkata, “Aku tidak tidur di kasur.” Yang lain berkata, “Aku berpuasa tanpa berbuka.”

 

Maka Nabi memuji Allah dan menyanjungNya, kemudian beliau bersabda:

 

“Mengapa ada orang-orang yang berkata begini dan begini, akan tetapi aku shalat dan tidur, aku berpuasa dan berbuka, aku menikah dengan beberapa wanita, barangsiapa membenci sunnahku maka dia bukan termasuk golonganku. ”

 

Ahmad bin Hanbal berkata, “Hidup membujang sama sekali bukan termasuk ajaran Islam. Nabi menikahi 14 orang wanita dan beliau meninggal saat sembilan dari mereka masih hidup.”

 

Ahmad berkata, “Bila orang-orang tidak menikah maka mereka berperang, tidak menunaikan ibadah haji dan tidak begini dan begitu. Nabi mendapati pagi sementara mereka tidak mempunyai apa-apa, namun demikian beliau memilih menikah, dan menganjurkannya serta melarang hidup membujang. Barangsiapa membenci perbuatan Nabi. maka dia tidak berada di atas kebenaran.”

 

Ya’qub dalam kesedihannya menikah dan memiliki anak darinya.

 

Nabi bersabda:

 

“Aku dibuat mencintai wanita. ”

 

Kritik Terhadap Sikap Orang-orang Sufi yang Tidak Menikah

 

Iblis telah mengacaukan banyak orang-orang sufi, dan Iblis menghalanghalangi mereka untuk menikah. Orang-orang sufi terdahulu tidak menikah karena mereka menyibukkan diri dengan ibadah, mereka melihat bahwa menikah menyibukkan seseorang dari ketaatan kepada Allah.

 

Sementara orang-orang itu, bila mereka masih memiliki kebutuhan

 

kepada pernikahan atau mereka masih memiliki semacam kerinduan kepadanya, maka mereka telah melakukan sesuatu yang membahayakan badan dan dunia mereka, sedangkan bila mereka sudah tidak berhajat lagi maka mereka kehilangan keutamaan menikah.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah dari Rasulullah bahwa beliau bersabda, “Hubungan suami istri yang dilakukan oleh salah seorang di antara kalian adalah sedekah.” Mereka berkata, “Salah seorang dari kami menunaikan hasratnya kepada istrinya dan dia mendapatkan pahala?” Nabi menjawab, “Bagaimana menurut kalian bila dia meletakkannya di jalan yang haram, apakah dia berdosa?” Mereka menjawab, “Ya.” Nabi bersabda, “Demikian juga bila dia meletakkannya di jalan yang halal, dia mendapatkan pahala.” Kemudian Nabi menambahkan, “Apakah kalian memperhitungkan keburukan dan tidak memperhitungkan kebaikan?”

 

Di antara mereka ada yang berkata, “Menikah menuntut nafkah sedangkan bekerja itu sulit.” Ini adalah alasan untuk membebaskan diri dari lelahnya berusaha.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Satu dinar yang kamu belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang kamu belanjakan untuk budak, satu dinar yang kamu belanjakan untuk sedekah dan satu dinar yang kamu belanjakan untuk keluargamu, yang paling utama adalah satu dinar yang kamu belanjakan untuk keluargamu.”

 

Di antara mereka ada yang berkata, “Menikah membuat orang cenderung kepada dunia.”

 

Diriwayatkan kepada kami dari Abu Sulaiman ad-Darani bahwa dia berkata, “Bila seseorang mencari hadits atau melakukan perjalanan untuk mencari rizki atau menikah maka dia cenderung kepada dunia.”

 

Penulis berkata, bahwa semua ini menyelisihi syariat. Bagaimana seseorang tidak mencari hadits sementara para malaikat menaungkan sayap-sayap mereka kepada pencari ilmu

 

Bagaimana seseorang tidak bekerja mencari rizki sementara Umar bin al-Khatthab berkata, “Aku mati di atas kedua kakinya sementara aku mencari rizki yang bisa menjaga kehormatanku adalah lebih aku cintai daripada aku mati sebagai pejuang di jalan Allah.”

 

Saya tidak melihat keadaan-keadaan ini kecuali ia menyimpang dari syariat.

 

Sebagian orang dari kalangan orang-orang sufi muta‘akhkhirin, mereka tidak menikah agar dikatakan zahid (ahli zuhud), dan orang awam akan menghormati orang sufi yang tidak memiliki istri, mereka berkata, “Dia tidak mengenal seorang pun wanita.”

 

Inilah kehidupan rahib yang menyimpang dari syariat Islam.

 

Abu Hamid berkata, “Hendaknya murid tidak menyibukkan dirinya dengan menikah, karena ia menyibukkannya dari meniti jalan, dan cenderung kepada istri. Barangsiapa cenderung kepada selain Allah maka dia akan disibukkan dari Allah.”

 

Penulis berkata, “Sungquh saya sangat heran terhadap kata-kata orang ini! Apakah dia tidak tahu bahwa barangsiapa menikah dengan tujuan menjaga dirinya, mendapatkan anak atau menjaga diri istrinya, maka dia tidak menyimpang dari jalan yang benar.”

 

Atau dia melihat, bahwa kecenderungan yang wajar kepada istri bertentangan dengan kecenderungan hati dari ketaatan kepada Allah, sementara Allah telah melimpahkan kenikmatan kepada manusia dalam firmanNya:

 

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanINva di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. ar-Rum: 21).

 

Dalam hadits hasan shahih dari Jabir dari Nabi bahwa beliau bersabda kepadanya, “Mengapa kamu tidak menikahi gadis, kamu mencumbunya dan dia mencumbumu?”

 

Nabi tidak menunjukkan Jabir kepada apa yang memutuskan kecenderungannya dengan Allah.

 

Apakah Anda melihat tatkala Rasulullah bercengkerama dengan para istrinya, berlomba lari dengan Aisyah, apakah hal itu mengeluarkan beliau dari kecintaannya kepada Allah? Semua itu adalah kebodohan.

 

Dampak Buruk Tidak Menikah

 

Ketahuilah bila anak-anak muda sufi meninggalkan pernikahan secara terus menerus, maka mereka akan terjatuh kepada tiga perkara:

 

> Pertama: Sakit karena tertahannya air mani, karena bila air ini tertahan, ia bisa membahayakan seseorang.

 

Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi berkata, “Aku mengenal orang-orang yang mempunyai hasrat kuat, tatkala mereka menjauhi hubungan suami istri karena terpengaruh oleh semacam filsafat, badan mereka kering, gerakan mereka kaku, mereka ditimpa kesedihan tanpa sebab, mengalami halusinasi dan selera maupun nafsu makan mereka menyusut.”

 

Dia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki meninggalkan jima’, maka dia kehilangan nafsu makan, bila dia makan walaupun sedikit, perutnya tidak mau menerima dan memuntahkannya dan tatkala dia kembali melakukan jima’, lenyaplah hal-hal ini dengan cepat.”

 

> Kedua: Berlari kepada apa yang ditinggalkan, di antara mereka ada orang-orang dalam jumlah yang tidak sedikit menahan diri dengan tidak melakukan hubungan suami istri, akibatnya air mani mereka tertahan, mereka gelisah dan akhirnya mereka tidak kuat hingga mereka pun jatuh ke dalam pelukan wanita dan mereguk dunia berkali-kali lipat dari apa yang mereka hindari sebelumnya. Mereka seperti orang yang tidak makan berhari-hari, kemudian dia makan dengan rakusnya sebagai balas dendam.

 

> Ketiga: Menyimpang dengan bergaul dengan anak-anak muda, sebagian orang dari mereka memutuskan diri untuk meninggalkan jima’, maka mereka gelisah karenanya, lalu mereka mendapatkan ketenangan dengan bergaul bersama anak-anak.

 

Iblis mengacaukan sebagian orang dari mereka, mereka menikah namun mereka berkata, “Kami menikah bukan karena hasrat.”

 

Bila maksud mereka adalah bahwa menikah secara umum adalah demi sunnah, maka hal ini tidak masalah, namun bila mereka berkata bahwa mereka tidak berhasrat kepada pernikahan maka hal itu benarbenar mustahil.

 

Kebodohan telah mémbawa beberapa orang, maka mereka mengebiri diri mereka, mereka beralasan bahwa mereka melakukannya karena malu kepada Allah.

 

Kebodohan yang sangat mendalam, karena Allah memuliakan laki-laki atas wanita dengan alat ini, Allah menciptakannya sebagai alat untuk menjaga keturunan, orang yang mengebiri dirinya berkata dengan lisan keadaanya, “Yang benar adalah sebaliknya.”

 

Kemudian mengebiri tidak memutus syahwat kepada pernikahan dari jiwa, apa yang mereka maksud tidak terwujud.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi yang Menolak Anak

 

Dari Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Orang yang menginginkan anak adalah orang dungu, tidak untuk dunia dan tidak pula untuk akhirat. Bila dia ingin makan atau tidur atau berhubungan suami istri, maka anak mengganggunya, bila dia ingin beribadah maka anak menyibukkannya.”

 

Penulis berkata, “Ini merupakan kesalahan besar, sedangkan penjelasannya begini, maksud Allah dengan menciptakan dunia adalah kelangsungannya sampai batas yang telah Dia tetapkan, manusia sebagai penghuninya tidak hidup kecuali dalam rentang masa yang pendek, maka Allah menciptakan generasi sebagai penerus bagi generasi sebelumnya, Allah mendorong kepada sebab terciptanya generasi penerus sesuai dengan tabiat manusia dengan menyalakan api syahwat pada dirinya, di samping dari sisi syariat dengan firmanNya:

 

“Dan kawinkanlah orang-orang vang sendirian di antara karnu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari harmba-hamba sahayamu yang lelaki…” (QS. an-Nur: 32).

 

Para nabi  memohon anak kepada Allah. Allah berfirman menceritakan perihal mereka:

 

“Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38).

 

“Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat,” (QS. Ibrahim: 40).

 

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

 

Orang-orang shalih berusaha mendapatkan anak, terkadang sebuah hubungan suami istri yang melahirkan seorang anak seperti asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, hingga hubungan tersebut lebih baik daripada ibadah seribu tahun.

 

Hadits-hadits hadir menetapkan pahala hubungan suami istri, memberi nafkah anak-anak dan keluarga, siapa yang ditinggal mati anaknya, siapa yang meninggalkan anak sesudahnya. Barangsiapa tidak berminat mempunyai anak dan menikah, maka dia menyimpang dari sunnah dan keutamaan, gagal meraih pahala besar. Dan barangsiapa memilih hidup cara ini maka sebenarnya dia hanya ingin bermalas-malasan.

 

Al-Junaid berkata, “Anak-anak adalah hukuman syahwat halal, lalu apa dugaanmu dengan hukuman yang haram?!”

 

Penulis berkata, “Ini keliru, karena menamakan sesuatu yang mubah dengan hukuman tidak bagus, karena ia berarti bahwa sesuatu tidak dibolehkan lalu ia menimbulkan sesuatu yang lain dan ia merupakan hukuman, padahal sesuatu tersebut tidaklah dianjurkan melainkan membuahkan berupa pahala.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Mengembara dan Melakukan Safar

 

Iblis telah mengacaukan banyak orang dari mereka. Dia mengeluarkan mereka kepada pengembaraan tanpa tujuan dan juga bukan untuk mencari ilmu. Kebanyakan dari mereka pergi sendiri, tidak membawa bekal dan dia berkata bahwa perbuatannya adalah tawakal. Berapa banyak dia kehilangan keutamaan dan kewajiban sementara dia melihat perbuatannya sebagai ketaatan, bahwa ia mendekatkan mereka untuk menjadi wali Allah, padahal sebenarnya dia termasuk pendosa penyelisih sunnah Rasulullah.

 

Mengembara dan pergi tanpa tujuan, Rasulullah telah melarang melakukan perjalanan di muka bumi tanpa hajat dan keperluan. Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya?” dari hadits Abu Umamah bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, izinkan aku mengembara.” Nabi menjawab, “Sesungguhnya pengembaraan umatku adalah jihad di jalan Allah.”

 

Penulis berkata, bahwa Ishaq bin Ibrahim bin Hani’ meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal bahwa dia ditanya tentang seorang laki-laki yang berkelana, beribadah atau menetap di suatu tempat, mana yang lebih engkau sukai? Ahmad menjawab, “Berkelana bukan termasuk dari Islam, . bukan pula perbuatan para nabi dan orang-orang shalih.

 

Kritik Terhadap Berkelana Orang-orang Sufi

 

Adapun keluar berkelana sendiri, maka Rasulullah telah melarang seseorang melakukan perjalanan sendiri. Dari Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi bersabda, “Seorang pengendara adalah setan, dua orang adalah dua setan dan tiga adalah rombongan pengendara, “

 

Berjalan di Malam Hari

 

Mereka berjalan sendiri di malam hari. Padahal Nabi telah melarang perbuatan ini. Dari Ibnu Umar berkata, bahwa Nabi bersabda:

 

“Seandainya manusia mengetahui apa yang ada di balik kesendirian niscaya seseorang tidak berjalan di malam hari sendiri.”

 

Dari Jabir bin Abdillah berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Hentikan bepergian bila kaki-kaki telah tenang (lelah), karena Allah menyebarkan pada makhlukNya apa yang Dia kehendaki. “

 

Penulis berkata, “Di antara mereka ada yang menjadikan safar sebagai pekerjaan, padahal safar bukan merupakan tujuan, Nabi bersabda: “Safar adalah pecahan dari adzab, bila salah seorang dari kalian telah menunaikan hajatnya dalam safarnya maka hendaknya pulang dengan segera ke rumahnya. “

 

Barangsiapa menjadikan safar sebagai kebiasaan, maka dia telah menyatukan dua perkara, menyia-nyiakan umur dan menyiksa dirinya, sedangkan keduanya adalah tujuan yang rusak.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi yang Masuk Padang pasir Tanpa Bekal

 

Penulis berkata, “Iblis mengacaukan banyak orang dari kalangan mereka, dia membisikkan kepada mereka keyakinan bahwa tawakal adalah meninggalkan bekal, dan kami telah menjelaskan bahwa keyakinan ini rusak.”

 

Namun perkara ini sudah terlanjur menyebar di kalangan orang-orang bodoh dari mereka, lalu para tukang kisah dunqu bercerita tentang mereka sebagai ungkapan kekaguman kepada mereka, padahal hal itu sama dengan mengajak orang-orang untuk melakukan seperti apa yang mereka lakukan.

 

Karena perbuatan orang-orang sufi bodoh itu, di tambah kisah dari para tukang cerita yang mengada-ada, maka keadaan menjadi rusak dan jalan kebenaran menjadi samar bagi orang-orang awam.

 

Kisah-kisah tentang mereka berjumlah banyak, saya menyebutkan sebagian darinya.

 

Dari Fath al-Mushili berkata, “Aku berangkat haji, di tengah-tengah padang pasir, aku melihat seorang anak, dan aku berkata dalam diriku, “Aneh, padang pasir dan tanah kering, ada seorang anak?” Maka aku segera mendekat kepadanya, dan aku mengucapkan salam kepadanya, kemudian aku berkata, “Wahai anakku, kamu masih kecil, hukum-hukum belum berlaku atasmu.” Dia menjawab, “Wahai paman, ada anak yang lebih kecil dariku yang telah mati.” Aku berkata, “Lebarkanlah langkahmu, jalan masih jauh hingga kamu bisa tiba di tujuan.” Dia berkata, “Wahai paman, tugasku hanyalah berjalan, dan Allah yang akan menyampaikan. Apakah engkau tidak membaca firmanNya:

 

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-Ankabut: 69)?”

 

Aku berkata, “Aku melihatmu tidak membawa bekal dan kendaraan.” Dia menjawab, “Wahai paman, bekalku adalah keyakinanku, kendaraanku adalah harapanku.” Aku berkata, “Roti dan air?” Dia menjawab, “Paman, katakan kepadaku sekiranya ada seorang saudaramu atau seorang temanmu yang mengundangmu ke rumahnya, apakah engkau memandang baik bila engkau berangkat ke rumahnya dengan membawa makanan?” Aku berkata, “Maukah aku beri bekal?” Dia menjawab, “Menjauhlah dariku wahai pemalas, Dialah yang akan memberiku makan dan minum.”

 

Fath berkata, “Aku tidak melihat anak-anak yang paling kuat tawakalnya selainnya, dan aku tidak melihat orang dewasa yang lebih kuat zuhudnya selainnya.”

 

Penulis berkata, “Dengan kisah seperti ini, kehidupan menjadi rusak, dikira bahwa inilah yang benar, lalu orang dewasa berkata, ‘Bila hal ini dilakukan oleh anak-anak, maka aku lebih patut untuk mengamalkannya.’”

 

Tidak aneh dari anak tersebut, justru yang aneh adalah orang yang bertemu dengannya, bagaimana bisa dia tidak memberitahunya bahwa perbuatannya adalah mungkar, dan bahwa Allah yang menyerumu adalah yang memerintahkanmu untuk berbekal?!

 

Akan tetapi orang-orang dewasa mereka melakukan ini, maka tidak heran bila hal itu diikuti oleh anak-anak mereka.

 

Dari Ahmad bin Ali berkata, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abu Abdullah bin al-Jala, “Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang masuk padang pasir tanpa bekal?” Dia menjawab, “Perbuatan itu termasuk perbuatan orang-orang Allah.” Penanya berkata, “Bila mati bagaimana?” Dia menjawab, “Diyatnya dipikul oleh yang membunuhnya.”

 

Penulis berkata, “Fatwa orang bodoh terhadap hukum syariat, karena tidak ada perbedaan di antara para fuqaha” Islam bahwa seseorang tidak boleh masuk ke padang pasir tanpa bekal. Barangsiapa melakukannya lalu dia mati karena kelaparan, maka dia adalah pendurhaka kepada Allah, dan berhak masuk neraka.”

 

Demikian juga bila seseorang memasukkan dirinya ke dalam sesuatu yang akibatnya celaka, karena Allah menetapkan bahwa jiwa ini adalah titipanNya di tangan kita:

 

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. an-Nisa’: 29).

 

Seandainya musafir yang berangkat tanpa bekal, tidaklah ia melakukan melainkan ia menyelisihi perintah Allah dalam firmanNya: 

 

“Berbekallah.” (QS. al-Baqarah: 197), niscaya hal itu sudah cukup untuk dilarang.

 

Dari Abu Abdullah bin Khafif berkata, “Aku keluar meninggalkan Syiraz dalam perjalanan ketigaku, aku tersesat di padang pasir sendiri, aku lapar dan haus yang membuat delapan gigiku tanggal dan rambut rontok seluruhnya.”

 

Penulis berkata, “Orang ini menceritakan kejadian yang menimpa dirinya yang secara zhahir dia berharap dipuji karenanya, maka yang pantas baginya adalah celaan bukan sanjungan!”

 

Dari Abu Hamzah ash-Shufi berkata, “Sesungguhnya aku malu kepada Allah bila aku masuk padang pasir dalam keadaan kenyang padahal aku sudah meyakini tawakal, dan aku tidak ingin kekenyanganku adalah bekal yang aku bawa.”

 

Saya berkata, “Masalah ini telah dibahas sebelumnya. mereka adalah orang-orang yang menyangka bahwa tawakal adalah meninggalkan sebab. Seandainya tawakal adalah demikian, niscaya Kasulullah 2 sudah keluar dari lingkaran tawakal saat beliau keluar dari Makkah ke gua, demikian juga Musa saat dia pergi mencari al-Khadir, dia membawa bekal ikan. Demikian para pemuda Ashabul Kahfi, saat mereka pergi, mereka membawa uang dan menyembunyikan apa yang mereka bawa.”

 

Orang-orang itu tidak memahami makna tawakal karena mereka adalah orang-orang bodoh.

 

Abu Hamid mencoba mencari-cari alasan untuk mereka, dia berkata, “Tidak boleh masuk ke padang pasir tanpa bekal kecuali dengan dua syarat: .

 

Pertama: Seseorang sudah melatih dirinya, dan dia mampu tidak makan selama seminggu atau kurang lebih.

 

Kedua: Dia bisa makan rumput, karena tidak tertutup kemungkinan seseorang bertemu dengan orang di padang pasir dalam seminggu atau dia menemukan bungkusan atau rerumputan yang bisa dia makan.”

 

Penulis berkata, “Yang paling buruk di balik kata-kata ini adalah bahwa ia diucapkan oleh ahli fikih, karena orang tersebut bisa jadi tak bertemu siapa pun, dan bisa saja tersesat atau sakit, hingga rerumputan tak bermanfaat baginya, atau bisa jadi dia bertemu dengan orang yang tak mau berbagi makanan atau bertemu dengan orang yang menolak menerimanya sebagai tamu, yang jelas dia kehilangan keutamaan berjamaah, dan bisa jadi dia mati dan tak seorang pun peduli kepadanya. Dan Kami sudah menyebutkan hadits yang melarang seseorang melakukan perjalanan sendiri.

 

Lantas di mana jalan keluar dari ujian ini, bila dia bersandar kepada kebiasaan atau berharap bertemu seseorang dan merasa cukup dengan makan rerumputan?!

 

Keutamaan apa di balik keadaan yang mana dia telah membahayakan dirinva padanya?! Di mana perintah kepada seseorang untuk makan rerumputan?! Siapakah dari kalangan salaf yang melakukannya?! Sepertinya orang-orang itu yakin bahwa Allah akan memberi mereka makan di padang pasir.

 

Barangsiapa mencari makanan di padang pasir yang tandus, maka dia telah mencari sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan, tidakkah Anda tahu bahwa tatkala kaum Musa meminta sayur-sayuran, ketimun, kacangkacangan dan adas serta bawang merah, maka Allah mewahyukan kepada Musa:

 

“Pergilah kamu ke suatu kota,” (QS. al-Baqarah: 61), karena apa yang mereka cari ada di kota.

 

Sementara orang-orang itu sangat keliru karena telah menyelisihi syariat dan akal, mereka hanya berbuat yang sejalan dengan hawa nafsu.

 

Dari Muhammad bin Musa al-Jurjani berkata, “Aku bertanya kepada Muhammad bin Katsir ash-Shan’ani tentang ahli zuhud yang pergi tanpa berbekal, tanpa bersandal dan tanpa berkhuf, dia menjawab, ‘Kamu bertanya kepadaku tentang anak-anak setan dan bukan ahli zuhud.’ Aku berkata kepadanya, ‘Lalu zuhud itu apa?’ Dia menjawab, ‘Berpegang kepada sunnah dan meneladani para shahabat Nabi.’”

 

Dari Ahmad bin al-Husain bin Hassan bahwa Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal ditanya tentang seorang laki-laki yang hendak melakukan _perjalanan di padang pasir tanpa bekal, maka beliau mengingkarinya dengan keras, beliau berkata, “Tidak, tidak, jangan, jangan! Beliau meninggikan suaranyakecuali dengan bekal dan kafilah yang menyertainya.”

 

Abu Bakar al-Marwazi berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Abu Abdullah, dia berkata, “Seorang laki-laki hendak safar, apa yang lebih engkau sukai, membawa bekal atau bertawakal?” Abu Abdullah menjawab, “Membawa bekal dan bertawakal agar tidak meminta-minta kepada kepada orang-orang.”

 

Dari Ahmad bin Nashr bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Abu Abdullah, “Apakah seorang laki-laki pergi ke Makkah dengan tawakal tanpa membawa bekal?” Beliau menjawab, “Tidak patut, dari mana dia makan?” Dia menjawab, “Bertawakal lalu orang-orang memberinya.” Ahmad berkata, “Bila tak ada yang memberi, bukankah dia akan meminta agar mereka memberi? Aku tidak menyukai hal ini, dan tak seorang pun sahabat maupun tabi’in yang melakukannya sampai kepadaku.”

 

Dari al-Husain ar-Razi berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal, seorang laki-laki Khurasan datang kepadanya, dia berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku mempunyai satu dirham, aku menunaikan haji dengan satu dirham ini.” Ahmad menjawab, “Pergilah ke gerbang al-Karkh, belilah tambang dengan satu dirham itu, bawalah ia di atas kepalamu

 

hingga ia menjadi tiga ratus dirham, setelah itu berangkatlah haji.” Dia berkata, “Wahai Abu Abdullah, tidakkah Anda melihat hasil usaha orang-orang?” Ahmad berkata, ‘Jangan melihat kepada hal itu, karena siapa yang berhasrat kepadanya hanya akan merusak kehidupan masyarakat.” Dia berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku bertawakal.” Ahmad berkata, “Kamu masuk ke padang pasir sendiri atau bersama orang-orang?” Dia menjawab, “Bersama orang-orang.” Ahmad berkata, “Kamu dusta kalau begitu, kamu bukan orang yang bertawakal. Masuklah ke padang pasir sendiri, bila bersama orang-orang maka sama saja kamu bergantung kepada makanan mereka!”

 

Sebagian dari Perbuatan-perbuatan Kaum Sufi yang Menyelisihi Syariat yang Terjadi Pada Mereka dalam Perjalanan dan Pengembaraan Mereka

 

Abu Hamzah al-Khurasani berkata, “Di salah satu tahun aku menunaikan ibadah haji, saat aku berjalan di sebuah jalan, aku terjatuh ke dalam sumur, dan diriku mengajakku untuk meminta tolong, namun aku berkata dalam diriku, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan meminta tolong.” Apa yang terlintas dalam benakku belum selesai, tiba-tiba ada dua orang yang melewati mulut sumur, dan salah seorang dari keduanya berkata kepada rekannya, “Kita tutup mulut sumur di jalan ini.” Mereka datang membawa bambu dan sepotong kain, maka aku bergumam, lalu berkata, “Kepada siapa yang lebih dekat kepadaMu dari keduanya!” Aku pun diam dan mereka menutup mulut sumur, tiba-tiba ada sesuatu yang datang, ia membuka mulut sumur dan menjulurkan kedua kakinya, dia berkata dengan bergumam, “Peganglah ini.” Maka aku memegangnya, dan dia pun mengeluarkanku, aku melihat ternyata ia adalah binatang buas, tiba-tiba sebuah suara terdengar olehku, dia berkata, “Wahai Abu Hamzah, bukankah ini baik? Kami menyelamatkanmu dari kematian dengan kematian.”

 

Manakala dia keluar dari sumur, dia berkata:

 

Maluku kepadaMu melarangku membuka keinginan maka Engkau mencukupkanku dengan kedekatan kepadaMu hingga aku tak perlu rmembuka Engkau mengawasiku di belakangku hingga seolah-olah . Engkau memberiku kabar gembira di belakangku bahwa Engkau di telapak tangan Aku melihatMu dalam keadaan cernas karena ketakutanku kepadaMu ; . Dan Engkau menenangkanku dengan kasih sayang dan kelernbutanMu. Engkau menghidupkan orang yang mencintat, cinta adalah kematiannya ; Engkau mencukupkanku dengan kedekatan kepadaMu hingga aku tak perlu membuka.

 

Penulis berkata, para ulama berbeda pendapat tentang siapa Abu Hamzah yang jatuh ke dalam sumutr ini. Abu Abdurrahman as-Sulami berkata, “Dia adalah al-Khurasani, salah seorang rekan al-Junaid.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa dia ad-Dimasyqi.

 

Abu Nuaim al-Hafizh berkata, “Dia adalah al-Baghdadi, namanya adalah Muhammad bin Ibrahim.”

 

Al-Khathib menyebutkannya dalam Tarikhnya dan dia menyebutkan hikayat ini untuknya.

 

Siapa pun dia, dia telah keliru dalam perbuatannya, menyelisihi syariat karena dia diam, membantu mencelakakan dirinya sendiri dengan diam. Semestinya dia berteriak dan menolak penutupan sumur, sebagaimana dia harus membela diri dari orang yang hendak membunuhnya.

 

Ucapannya, “Aku tidak minta tolong”, adalah seperti ucapan orang, “Aku tidak makan, dan tidak minum.” Kebodohan pelakunya, menyelisihi hikmah ditetapkannya dunia. Karena sesungguhnya Allah menetapkan segala sesuatu atas dasar hikmah, Allah memberi manusia tangan untuk membela diri, lidah untuk berbicara, akal yang membimbingnya untuk menolak hal-hal berbahaya darinya dan menghadirkan hal-hal yang bermanfaat baginya, dan menjadikan makanan dan obat-obatan untuk kebaikan manusia. Barangsiapa tidak mau menggunakan apa yang diciptakan untuknya dan dibimbing kepadanya, maka dia menolak ketetapan syariat dan membuang hikmah Pencipta.

 

Bila orang bodoh berkata, “Bagaimana saya menghindari sesuatu yang sudah ditakdirkan?” Kami menjawab, bagaimana tidak demikian sementara Allah berfirman:

 

“Bersiap siagalah kamu,” (QS. an-Nisa~: 71).

 

Nabi sendiri bersembunyi di gua, beliau tidak berkata, “Aku berangkat dengan bertawakal.” Nabi melakukan sebab-sebab dengan badannya sementara hatinya bergantung kepada Yang menentukannya. Kami telah menjelaskan dasar ini sebelumnya dengan sebaik-baiknya pada pembahasan yang telah lewat.

 

Ucapan Abu Hamzah, “Aku dipanggil melalui batinku.” Ini adalah bisikan jiwa bodoh yang menetap pada jiwanya karena kebodohan bahwa tawakal adalah meninggalkan sebab-sebab, karena syariat tidak meminta dari seseorang apa yang ia melarangnya darinya.

 

Bukankah dia telah menentang panggilan batinnya tatkala dia menjulurkan tangannya, dan berkait serta berpegang kepada apa yang terjulur kepadanya. Hal ini membatalkan apa yang diklaimnya, yaitu meninggalkan sebab yang dia sebut tawakal, karena apa bedanya antara ucapannya, “Aku di dalam sumur.” Dengan berpegangnya dia kepada apa yang diulurkan kepadanya?! Tidak demikian, bahkan yang kedua ini lebih ditekankan, karena perbuatan lebih kuat daripada kata-kata. Mengapa dia tidak diam sama hingga dientas dari sumur tanpa sebab?!

 

Bila dia berkata, “Ini adalah apa yang dikirim oleh Allah kepadaku.” Kami menjawab, bahwa dua orang yang melewati sumur juga dikirim oleh Allah juga. Lidah yang berteriak meminta tolong adalah makhluk Allah. Seandainya dia meminta tolong maka dia menggunakan sebab-sebab yang Allah ciptakan, supaya dia mengambil manfaat darinya, dan menolak bahaya dengannya. Lalu mengapa dia tak menggunakannya?! Diamnya erang ini sama dengan membuang sebab-sebab vang Allah ciptakan baginyva dan menolak hikmah, maka dia patut disalahkan karena tidak mengaikuti sebab.

 

Dari Mu’ammil al-Mughabi berkata, aku menemani Muhammad bin as-Samin, aku safar bersamanya antara Tikrit dengan al-Maushil, saat kami di sebuah padang pasir sedang berjalan, kami mendengar auman binatang buas di dekat kami, aku takut dan pucat, hal itu terlihat pada wajahku, aku bertekad untuk mengambil langkah seribu, namun dia menahanku dan berkata, “Mu’ammil, tawakal ada di sini bukan di masjid jami’.”

 

Penulis berkata, “Saya tidak ragu bahwa dampak tawakal terlihat pada pemiliknya dalam kondisi yang sulit, akan tetapi bukan termasuk syarat tawakal berserah diri kepada hewan buas, karena hal itu tidak boleh.”

 

Dari sebagian syaikh bahwa ada seseorang berkata kepada Ali arRazi, “Mengapa kami tak melihatmu bersama Abu Thalib al-Jurjani?” Dia menjawab, “Kami berkelana, kemudian kami tidur di sebuah tempat yang ada hewan buasnya. Tatkala dia melihatku tidak bisa tidur, dia pun mengusirku sambil berkata, “Jangan mengikutiku sesudah ini.”

 

Saya berkata, “Abu Thalib ini telah melakukan pelanggaran, dia ingin rekannya merubah tabiat yang Allah menciptakannya atasnya, padahal hal itu bukan dalam batas kesanggupannya dan kemampuarinya, dan syariat juga tidak menuntut hal seperti ini. Musa sendiri tak kuasa mengatasi hal seperti ini saat dia berlari dari ular.” .

 

Maka semua ini bermula dari kebodohan.

 

Dari Ahmad bin Ali al-Wajdi berkata, “Ad-Dinawari menunaikan ibadah haji sebanyak dua belas kali berjalan kaki tanpa sandal dan tanpa menutup kepalanya, bila kakinya tertusuk duri, maka dia menggosokgosok kakinya ke tanah, dan berjalan menunduk karena tawakalnya yang besar.”

 

Penulis berkata, “Lihatlah apa yang dilakukan kebodohan terhadap pemiliknya, padahal bukan termasuk ibadah kepada Allah berjalan di padang pasir tanpa alas kaki dan tanpa menutup kepala, karena ia sama dengan menyakiti diri sendiri.”

 

Ibadah apa yang terwujud dengan perbuatan ini? Kalau bukan karena diwajibkannya membuka kepala saat ihram, niscaya membukanya tak berarti apa-apa.

 

Siapa yang memerintahkannya untuk membiarkan duri tertancap pada kakinya?! Ibadah apa yang terwujud dengannya?!

 

Seandainya kakinya membengkak karena duri yang tertancap di dalam kakinya dan ia mati karenanya maka dia telah membunuh dirinya sendiri. Bukankah menggosok kaki ke tanah hanya menolak sebagian dampak buruk duri, lalu mengapa dia tidak membuang sisanya dengan mencabutnya?!

 

Di mana letak tawakal pada perbuatan-perbuatan yang menyelisihi syariat dan akal yang keduanya memerintahkan manusia agar berusaha meraih apa yang bermanfaat bagi jiwa dan menolak apa yang membahayakannya?

 

Oleh karena itu syariat membolehkan orang yang terkena dampak buruk ihram untuk melanggar kehormatan ihram, memakai pakaian berjahit, menutup kepalanya dan membayar fidyah.

 

Aku mendengar Abu Ubaid berkata, “Aku mengetahui seseorang berakal tatkala aku melihatnya berjalan di bawah bayangan dan meninggalkan terik matahari.”

 

Dari Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa lapar dan dia tidak meminta hingga ia mati, maka dia masuk neraka.”

 

Penulis berkata, “Lihatlah betapa bagusnya ungkapan para fuqaha’. Penjelasannya adalah bahwa Allah memberi orang lapar kemampuan untuk mencari sebab. Bila sebab-sebab lahir sudah tidak ada maka dia masih memiliki kesanggupan meminta yang merupakan usaha orang sepertinya dalam kondisi itu, tapi bila dia tidak melakukannya maka dia telah melalaikan hak dirinya yang merupakan titipan Allah padanya, sehingga dia pun berhak dihukum.”

 

Dari Abu al-Daqqaq berkata, “Aku datang kepada sebuah kabilah Arab sebagai tamu, kemudian aku melihat seorang anak gadis yang cantik, dan aku memandang kepadanya, maka aku mencongkel kedua mataku yang telah melihat kepadanya, aku berkata, ‘Orang sepertimu siapa yang melihat karena Allah!”

 

Saya berkata, “Lihatlah kebodohan laki-laki yang patut dikasihani ini terhadap syariat dan jauhnya dia darinya, bila dia melihat tanpa sengaja maka tidak ada dosa atasnya, dan bila dengan sengaja, maka dia melakukan dosa kecil yang cukup ditutup dengan penyesalan, namun dia malah menambahnya dengan dosa besar, yaitu mencongkel kedua matanya dan tidak bertaubat darinya, karena dia meyakini bahwa mencongkel mata adalah ibadah yang mendekatkannya kepada Allah. Barangsiapa meyakini apa yang dilarang sebagai ibadah, maka kesalahannya mencapai puncaknya.”

 

Mungkin dia mendengar sebuah hikayat tentang seseorang dari kalangan Bani Israil bahwa dia melihat kepada seorang wanita, lalu dia mencongkel matanya, kebenaran kisah ini tidak dipertanggungjawabkan, di samping ada kemungkinan ia boleh dalam syariat mereka, adapun syariat kita maka hal itu diharamkan.

 

Seolah-olah mereka membuat-buat sebuah syariat baru yang mereka. sebut dengan tasawuf dan meninggalkan syariat Nabi mereka Muhammad. Kami berlindung kepada Allah dari talbis Iblis.

 

Dari Abu al-Husain Ali bin Ahmad al-Bashri, budak Sya’wanah, dia berkata, “Sya’wanah mengabarkan kepadaku bahwa di kalangan tetangganya ada seorang wanita shalihah, suatu hari dia pergi ke pasar, sebagian orang melihatnya dan tergila-gila kepadanya, dia membuntutinya sampai di depan pintu rumahnya. Wanita itu bertanya kepada laki-laki yang mengikutinya, ‘Apa yang kamu ingin dariku?’ Laki-laki itu menjawab; ‘Aku tergila-gila kepadamu.’ Wanita itu bertanya, ‘Apa yang kamu kagumi dariku?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Kedua matamu.’ Lalu wanita itu masuk rumah, mencongkel kedua matanya lalu dia mendekat ke pintu dan melemparkan mata yang dicongkel kepada laki-laki itu sambil berkata, ‘Ambillah, Allah tidak memberkahimu.’”

 

Penulis berkata, “Wahai saudara-saudaraku, lihatlah bagaimana Iblis mempermainkan orang-orang bodoh, laki-laki itu melakukan dosa kecil karena melihat, sementara wanita itu melakukan dosa besar, kemudian dia menyangka apa yang dilakukannya adalah ketaatan, padahal sepatutnya wanita itu tidak berbicara dengan laki-laki asing.”

 

Di antara mereka ada yang berperilaku sebaliknya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Dzin Nun al-Mishri dan lainnya bahwa dia berkata, “Aku bertemu dengan seorang wanita di padang pasir, aku berkata kepadanya dan dia menjawab kata-kataku.” Padahal ini haram baginya!

 

Ada seorang wanita yang berilmu yang mengingkari perbuatan ini, sebagaimana yang diucapkan oleh Muhammad bin Ya’qub al-Urji berkata, aku mendengar Dzin Nun berkata, “Aku melihat seorang wanita di sekitar bumi al-Bajjah maka aku memanggilnya.” Dia menjawab, “Kaum laki-laki tidak pantas mengajak berbicara wanita, kalau akalrmu penuh niscaya aku sudah melemparmu dengan batu.”

 

Dari Abu Sa’ id al-Kharraz berkata, “Aku pernah masuk ke padang pasir tanpa bekal, maka aku ditimpa kesulitan, dan aku melihat perkampungan dari kejauhan. Aku bahagia telah sampai di perkampungan, namun tiba-tiba aku berpikir bahwa aku telah mengeluh kepada selain Allah dan bertawakal kepadanya, maka aku bersumpah untuk tidak masuk kampung kecuali bila aku diajak ke sana, maka aku membuat galian dan ‘aku mengubur diriku sampai ke dada, di tengah malam aku mendengar suara yang berbisik, “Wahai penduduk kampung, sesungguhnya seorang wali Allah telah menahan dirinya di padang pasir, pergilah ke sana.” Maka beberapa orang datang, dan mengeluarkanku lalu membawaku ke kampung tersebut.”

 

Penulis berkata, “Laki-laki ini telah menyulitkan dirinya di atas tabiatnya, dia ingin darinya sesuatu yang tidak dibebankan atasnya, karena tabiat manusia adalah berhasrat kepada apa yang yang diinginkannya, tidak ada yang salah pada orang haus bila dia berharap air, dan tidak ada yang salah bagi orang lapar bila dia ingin makan, demikian juga setiap orang yang ingin meraih apa yang diinginkannya.

 

Kami berlindung kepada Allah agar kami tidak melakukan sebuah perbuatan tanpa tuntutan syariat dan akal sehat.

 

Kemudian dia menahan dirinya dengan menguburkannya hingga tidak shalat, ini benar-benar buruk. Di mana nilai ibadahnya di sisi Allah?!

 

Hal itu tiada lain kebodohan belaka.

 

Lihatlah semoga Allah merahmati kalian kepada kebodohan tersebut, bagaimana ia berbuat terhadap laki-laki ini yang sebenarnya ia termasuk orang baik, sekiranya dia memiliki ilmu niscaya dia mengetahui bahwa perbuatannya itu adalah haram. Iblis tidak memiliki bantuan yang paling ampuh untuk mengacaukan para ahli ibadah dan ahli zuhud melebihi kebodohan.

 

Dari Ahmad bin Ali bin al-Muhsin dari Abu Ishaq ath-Thabari berkata, bahwa Ja’far al-Khuldi berkata kepadaku, “Aku wukuf di Arafah sebanyak lima puluh enam kali, di antaranya dua puluh satu kali di atas madzhab.” Maka aku bertanya kepada Abu Ishaq, “Apa maksud ucapannya di atas madzhab?” Dia menjawab, “Dia naik ke jembatan an-Nasyiriyah, mengibaskan kedua lengan bajunya agar diketahui bahwa dia tidak membawa bekal dan air, lalu dia bertalbiyah dan berjalan.”

 

Penulis berkata, “Perbuatannya ini menyelisihi syariat, karena Allah berfirman, “Berbekallah.” (QS. al-Baqarah: 197) dan Rasulullah juga berbekal, dan tidak lah mungkin dikatakan bahwa laki-laki ini tidak membutuhkan apa pun dalam waktu beberapa bulan, bila dia membutuhkan dan tidak membawa bekal lalu dia sakit maka dia berdosa, bila dia meminta-minta atau memposisikan dirinya agar diberi, maka dia tidak konsekuen dengan dasar tawakalnya, sedangkan bila dia berkata dimuliakan dan diberi rizki tanpa sebab, maka pandangannya bahwa dia berhak atas itu adalah ujian.

 

Seandainya dia mengikuti perintah syariat dengan membawa bekal, niscaya hal itu lebih baik baginya dalam kondisi apa pun.

 

Dari Muhammad bin Thahir bahwa beberapa orang sufi dari Makkah datang kepadanya, maka dia bertanya kepada mereka, “Bersama siapa kalian?” Mereka menjawab, “Bersama orang yang haji dari Yaman.” Dia berkata, “Aduh, tasawuf telah sampai ke derajat orang ini?” Ataukah tawakal yang telah hilang. Kalian tidak datang di atas jalan itu dan tasawuf, sebaliknya kalian datang dari meja makan Yaman ke meja makan alHaram.”

 

Kemudian dia berkata, “Demi hak rekan-rekan dan anak-anak muda,” kami berernpat bersama-sama berjalan di jalan ini, kami berangkat ziarah kubur Nabi tanpa tendensi dunia, kami berjanji tidak menoleh kepada makhluk dan tidak bersandar kepada orang yang dikenal, kami datang ke kubur nabi, dan kami tinggal selama tiga hari, tak ada sesuatu pun yang dibukakan kepada kami, maka kami keluar menuju Juhfah, kami berhenti, sementara di depan kami ada beberapa orang Arab pedalaman, mereka memberi kami sawiq, dan sebagian dari kami memandang yang lain, dan berkata, ‘Kalau kita termasuk ahli urusan ini niscaya tidak akan dibukakan sesuatu untuk kami hingga kami masuk ke al-Haram, maka kami meminumnya dengan air, dan itulah makanan kami hingga kami tiba di Makkah.”

 

Saya berkata, “Dengarkanlah wahai saudara-saudaraku pada tawakal orang-orang itu, bagaimana tawakal mereka menghalang-halangi mereka untuk membawa bekal, sehingga mereka harus menerima sedekah.”

 

Kemudian dugaan mereka bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah tingkatan tasawuf, ini adalah kebodohan tentang tingkatan-tingkatan kemuliaan!

 

Di antara yang aku dengar tentang berita mereka dalam perjalananperjalanan mereka adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami, dia berkata, “Saya mendengar bahwa Abu Syuaib al-Muqqaffa’ telah menunaikan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali dengan berjalan kaki, berihram haji dan umrah dari batu besar di Baitul Maqdis, dan dia masuk pedalaman Tabuk dengan bertawakal. Pada hajinya yang terakhir, dia bertemu seekor anjing di padang pasir yang menjilat tanah karena haus, maka dia berkata, ‘Siapa yang menukar seteguk air dengan hajiku?’ Lalu seseorang memberinya seteguk air, kemudian dia memberikannya kepada anjing, lalu dia berkata, ‘Ini lebih baik bagiku daripada hajiku karena Nabi bersabda, ‘Pada setiap pemilik hati yang basah terdapat pahala.’”

 

Saya katakan, “Aku menceritakan kisah seperti ini agar orang yang berakal menjauhi ilmu mereka dan pemahaman mereka terhadap tawakal dan lainnya, agar dia melihat bahwa mereka telah menyelisihi perintahperintah syariat.”

 

Duhai gerangan diriku, apa yang bisa dilakukan oleh orang yang melakukan perjalanan tanpa membawa apa pun, bagaimana dia bisa berwudhu dan shalat?! Bila bajunya robek dan dia tidak membawa jarum, apa yang dilakukannya?

 

Sebagian syaikh mereka memerintahkan murid-muridnya agar berbekal sebelum safar.

 

Dari al-Farghani berkata, “Ibrahim al-Khawwash adalah orang yang bertawakal tinggi, dia teliti dalam hal ini, namun dia selalu membawa jarum, benang, bejana dan gunting.” Dia ditanya, “Wahai Abu Ishaq, mengapa engkau mengambil semua ini sedangkan engkau dilindungi dari segala sesuatu?” Dia menjawab, “Hal seperti ini tidak merusak tawakal, karena Allah mempunyai kewajiban-kewajiban atas kita, orang miskin hanya punya satu pasang baju, terkadang bajunya robek, bila dia tidak mempunyai jarum dan benang, maka auratnya terlihat, sehingga shalatnya tidak sah, dan bila dia tidak membawa bejana maka wudhunya rusak. Bila kamu melihat orang miskin tanpa bejana, jarum dan benang, maka ragukanlah shalatnya.”

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Bila Mereka Datang dari Safar

 

Di antara madzhab mereka, bila musafir datang, dia masuk ke pos yang di sana ada beberapa orang, dia tidak mengucapkan salam kepada mereka hingga dia masuk ke tempat wudhu lalu berwudhu, kemudian shalat dua rakaat, lalu memberi salam kepada syaikh kemudian salam kepada hadirin.

 

Hal ini termasuk rekayasa kalangan muta’akhkhirin ‘mereka yang menyimpang dari syariat, karena para fuqaha~ Islam telah bersepakat bahwa siapa yang datang kepada suatu kaum, disunnahkan baginya untuk mengucapkan salam kepada mereka, baik dia dalam keadaan suci atau tidak, kecuali bila mereka mengambil ajaran ini dari anak-anak, karena bila seorang anak ditegur, “Mengapa kamu tidak mengucapkan salam kepada kami?” Maka dia menjawab, “Aku belum membasuh wajahku.” Atau justru anak-anak yang belajar dari para ahli bid’ah tersebut.

 

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Hendaknya anak-anak mengucapkan salam kepada orang dewasa, orang berjalan kepada orang yang duduk dan yang sedikit kepada yang banyak.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain. Mereka memiliki bid’ah-bid’ah dan perkara-perkara yang mengadaada lainnya dalam pengembaraan mereka.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Tatkala Salah Seorang dari Mereka Mati

 

Dalam masalah ini mereka memiliki dua kerancuan:

 

Pertama: Mereka berkata, “Jangan menangisi orang mati. Barangsiapa yang menangisinya, maka dia keluar dari deretan ahli ma’rifat.” Ibnu Adil berkata, “Klaim ini melewati batas syariat, khurafat, keluar dari kebiasaan dan tabiat, penyimpangan dari tabiat yang seimbang. Maka hendaknya yang bersangkutan diobati untuk menyeimbangkan tabiatnya, karena Allah telah mengabarkan tentang seorang nabi yang mulia, Dia berfirman:

 

“Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).” (QS. Yusuf: 84).

 

Dan Dia berfirman:

 

“Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,” (QS. Yusuf: 84).

 

Nabi menangis saat putranya wafat, beliau bersabda, “Sesungguhnya mata boleh menangis.”

 

Fatimah berkata, “Duhai betapa berat beban bapakku,” sedangkan nabi tidak mengingkarinya.

 

Semua orang yang ditimpa musibah pasti akan terguncang, siapa yang tidak tergerak oleh peristiwa yang menimpanya, dan tidak terpengaruh oleh hal-hal yang mengundang perasaannya, serta tidak terganggu oleh hal-hal yang menyedihkannya maka dia sangat mirip dengan benda mati.

 

Nabi telah menjelaskan aib keluar dari sifat alamiah, beliau bersabda kepada seorang laki-laki yang berkata, “Aku mempunyai sepuluh orang anak, dan tak satu pun dari mereka yang aku cium.” Maka Nabi bersabda, ‘Aku tidak bisa berbuat apa pun untukmu bilamana Allah mencabut kasih sayang dari hatimu. ”

 

Orang yang menuntut sesuatu yang keluar dari syariat dan menyimpang dari tabiat adalah orang-orang bodoh, menuntut kebodohan. Sedangkan syariat sudah menerima bila kita tidak menampar pipi, dan tidak merobek baju. Adapun air mata yang menetes dan hati yang bersedih maka tidak ada aib atasnya.

 

Kedua: Mereka membuat jamuan saat kematian seseorang, dan mereka menyebutnya dengan ‘Urs, di sana mereka bernyanyi, berjoget dan bermain-main, mereka berkata, “Kami bahagia untuk mayit yang telah sampai kepada Tuhannya.”

 

Talbis atas mereka dalam masalah ini dari tiga sisi:

 

> Pertama: Yang disunnahkan adalah membuatkan makanan bagi keluarga mayit karena mereka disibukkan oleh musibah hingga tidak sempat membuat makanan bagi diri mereka, dan bukan termasuk sunnah bila keluarga mayit yang membuatnya serta memberikannya kepada orang lain.

 

Dasar membuatkan makanan bagi keluarga mayit adalah hadits shahih dari Abdullah bin Ja’far bahwa dia berkata, tatkala berita gugurnya Ja’far tiba, Nabi bersabda, “Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa apa yang menyibukkan mereka. “

 

> Kedua: Bahwa mereka berbahagia untuk mayit, mereka berkata, “Telah sampai kepada Tuhannya.” Padahal tidak ada alasan untuk berbahagia, karena tidak memastikannya diampuni, dan bagaimana kita bisa percaya bila dia termasuk orang-orang yang disiksa. Umar bin Dzar berkata saat anaknya mati, “Sedih untukmu menyibukkanku dari sedih atasmu.”

 

Dari Ummu al-Ala’ berkata, bahwa tatkala Utsman bin Mazh’un wafat, Rasulullah datang kepada kami, maka aku berkata; “Semoga Allah merahmatimu wahai Abu as-Saib. Aku bersaksi bahwa Allah telah memuliakanmu.” Maka Nabi bersabda, “Dari mana kamu tahu Allah memuliakannya? “

 

> Ketiga: Mereka berjoget dan bermain-main dalam jamuan tersebut, sedangkan perbuatan mereka ini mengeluarkan mereka dari tabiat yang lurus yang mana kematian berdampak terhadapnya.

 

Kemudian seandainya mayit mereka memang diampuni, maka berjoget:dan bermain-main bukanlah ungkapan syukur, dan bila sebaliknya dia diadzab, maka di mana bekas kesedihan tersebut?

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi yang Tidak Mau Mencari limu

 

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa talbis Iblis pertama atas manusia adalah menghalang-halangi mereka dari ilmu, karena ilmu adalah cahaya. Maka apabila lampu-lampu mereka padam, Iblis mempermainkan mereka dalam kegelapan sesukanya. Iblis masuk kepada orang-orang sufi di bidang ini melalui beberapa pintu:

 

> Pertama: Dia menghalang-halangi jumhur mereka dari_ ilmu secara mendasar, Iblis memperlihatkan kepada mereka bahwa ilmu memerlukan usaha Keras dan kelelahan, maka Iblis menghiasi sikap santai bagi mereka, sehingga mereka memakai pakaian yang tambal-tambal dan duduk di atas tikar kemalasan.

 

Dari asy-Syafi’i bahwa beliau berkata, “Tasawuf didirikan di atas kemalasan.”

 

Penjelasan ucapan asy-Syafi’i adalah bahwa apa yang dicari oleh jiwa merupakan wilayah dan mendatangkan dunia, sedangkan untuk yang kedua ini memerlukan waktu yang panjang, dan melelahkan badan, padahal tidak ada jaminan bisa mewujudkannya.

 

Orang-orang sufi memburu wilayah, -kKkarena mereka dilihat dengan kaca mata zuhuddan mengejar dunia karena ia datang kepada mereka dengan cepat.

 

Dari Abu Hafsh bin Syahin berkata, “Di antara orang-orang sufi ada yang mencela para ulama, dan memandang bahwa mencari ilmu adalah pengangguran, mereka berkata, ‘Ihmu-ilmu kami tanpa perantara.’ Sebenarnya mereka melihat jalan ilmu yang panjang, maka mereka malas, selanjutnya mereka memendekkan baju, menambal jubah, membawa tempat air dan menampakkan zuhud.”

 

> Kedua: Iblis membuat sebagian dari mereka merasa puas dengan – ilmu yang sedikit, hingga mereka tidak meraih keutamaan ilmu yang banyak, mereka merasa cukup dengan penggalan-penggalan hadits. . Iblis membisikkan kepada mereka bahwa sanad yang tinggi dan duduk untuk menyimak hadits hanyalah ambisi dunia dan jiwa mempunyai bagian kenikmatan padanya.

 

 Talbis ini dibongkar dengan mengatakan bahwa tidak ada kedudukan tinggi kecuali ia memiliki keutamaan sekaligus resiko, kepemimpinan, peradilan dan fatwa mengandung resiko, jiwa mendapatkan kenikmatan padanya, akan tetapi di saat yang sama ia memiliki keutamaan yang besar ibarat mawar berduri, dalam kondisi ini yang patut adalah mengambil mawarnya tanpa tertusuk durinya.

 

Adapun keinginan untuk meraih kedudukan mulia yang tertanam dalam jiwa, maka ia tidak ditetapkan kecuali untuk mendapatkan keutamaan ini, sebagaimana kecenderungan kepada _ pernikahan ditetapkan demi kelahiran anak, dan tujuan seorang ulama akan menjadi lurus dengan ilmu sebagaimana yang diucapkan oleh Yazid bin Harun, “Kami mencari ilmu karena selain Allah, namun ilmu menolak kecuali karena Allah.”

 

Maksudnya adalah bahwa ilmu membimbing kami untuk ikhlas. Barangsiapa menuntut jiwanya memutuskan apa yang tertanam dalam jiwanya maka dia tidak mampu.

 

> Ketiga: Iblis berbisik kepada sebagian dari mereka bahwa yang dituntut dari manusia adalah beramal, mereka tidak paham bahwa menyibukkan diri dengan ilmu termasuk amalan yang mulia, sekalipun langkah seorang ulama di bidang amal sedikit tertinggal, narnun dia berjalan di jalan yang benar, sementara ahli ibadah yang tanpa ilmu berjalan di jalan yang salah.

 

> Keempat: Iblis memperlihatkan kepada banyak orang dari mereka bahwa seorang ulama tidak mendapatkan ilmu dari batin, hingga salah seorang dari mereka mengkhayalkan sebuah was-was, dia berkata, “Hatiku menyampaikan kepadaku dari Tuhanku.”

 

Asy-Syibli berkata:

 

Bila mereka menuntutku dengan ilmu kertas

Maka aku tampil kepada mereka dengan ilmu gombal

 

Mereka menamakan ilmu syariat ilmu dengan lahir, dan mereka menamakan bisikan jiwa dengan ilmu batin, mereka berdalil kepada apa yang diucapkan oleh Ali bin Abu Thalib, karramallahu wajhah dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Ilmu batin adalah rahasia dari rahasia-rahasia Allah, hukum dari hukum-hukumNya, Allah memberikannya kepada hati siapa yang Dia kehendaki dari para waliNya.”

 

Penulis berkata, “Hadits ini tidak berasal dari Nabi, dan dalam sanadnya ada rawi-rawi yang majhul yang tak dikenal.”

 

Dari Abu Musa berkata, “Di daerah Abu Yazid ada seorang laki-laki yang fakih, dia adalah orang alim di daerah tersebut, dia menemui Abu Yazid, dan berkata kepada Abu Yazid, ‘Telah diceritakan kepadaku halhal yang aneh darimu.’ Abu Yazid menjawab, ‘Keanehan-Keanehanku yang belum kamu dengar lebih banyak.’ Dia bertanya, ‘Ilmumu ini dari siapa dan dari mana, apa sumbernya?’ Abu Yazid menjawab, ‘Ilmuku pemberian Allah, karena Nabi bersabda, ‘Barangsiapa beramal dengan iimunya maka Allah memberinya ilmu yang belum diketahuinya. Karena Nabi bersabda, ‘IImu ada dua: Ilmu Iahir, ia adalah hujjah Allah atas makhlukNya dan ilmu batin, ia adalah ilmu yang bermanfaat. IImumu wahai syaikh dinukil dari pengajaran lisan ke lisan, sedangkan ilmuku adalah ilham dari Allah.’ Maka syaikh tersebut berkata kepadanya, ‘Iimuku dari para rawi tsiqat dari Rasulullah dari Jibril dari Rabbnya.’ Abu Yazid berkata, ‘Ya Syaikh, Nabi mempunyai ilmu dari Allah yang tidak diketahui oleh Jibril dan Mikail.’ Syaikh berkata, “Ya, tetapi aku ingin kamu membuktikan bahwa ilmu yang kamu katakan adalah dari sisi Allah.’ Abu Yazid menjawab, ‘Baik, aku akan menjelaskannya kepadamu sesuai dengan kadar ilmu dalam hatimu.’”

 

Kemudian Abu Yazid menjelaskan, “Wahai Syaikh, Anda tahu bahwa Allah berbicara kepada Musa, berbicara kepada Muhammad dan Muhammad melihatnya dengan berhadap-hadapan dan bahwa mimpi para nabi adalah wahyu?” Syaikh berkata, “Ya.” Abu Yazid berkata, “Apakah Anda tidak tahu bahwa perkataan para shiddiqin dan para wali adalah ilham dariNya, faidah-faidahNya dalam hati mereka hingga Allah membuat mereka berkata hikmah dan membuat mereka bermanfaat bagi umat, di antara apa yang mendukung apa yang aku ucapkan adalah apa yang Allah ilhamkan kepada Ummu Musa agar memasukkan Musa ke dalam peti, maka ibu Musa melakukannya, Allah mengilhamkan kepada al-Khadir terkait dengan perahu, anak kecil dan tembok dan ucapannya kepada Musa:

 

“Dan tidaklah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” (QS. al-Kahfi: 82).”

 

Diriwayatkan dari sebagian mereka bahwa dia hadir di majlis Abu Yazid sementara hadirin berkata, “Fulan bertemu fulan dan mengambil ilmunya, menulis banyak darinya, fulan bertemu fulan.” Maka Abu Yazid berkata, “Orang-orang yang patut dikasihani, mereka mengambil ilmu mereka dari orang mati dari orang mati, sedangkan kami mengambil ilmu kami dari yang Mahahidup tidak mati.”

 

Saya berkata, pemahaman dalam hikayat pertama berasal dari kebodohan, karena bila dia berilmu, niscaya dia tahu bahwa ilham kepada sesuatu tidak bertentangan dengan ilmu, namun ia tidak diperlebar hingga meninggalkan ilmu, tidak dipungkiri bahwa Allah mengilhamkan sesuatu kepada manusia, sebagaimana Nabi bersabda, “Sesungguhnya di kalangan umat-umat ada orang-orang yang diberi ilham, bila di kalangan umatku ada yang demikian maka dia adalah Umar.” Yang dimaksud dengan ilham di sini adalah ilham kepada kebaikan, bila tidak maka seandainya seseorang diberi ilham kepada sesuatu yang menyelisihi ilmu yang shahih maka dia tidak boleh mengamalkannya, karena ilhamnya dalam kondisi ini adalah ilham setan bukan ilham Rahman.

 

Pendapat yang rajih terkait dengan al-Khadir adalah bahwa dia seorang nabi, dan pengetahuan tentang akibat perkara oleh para nabi melalui wahyu adalah sesuatu yang tidak patut diingkari.

 

Ilham bukan ilmu, akan tetapi ia buah dari ilmu dan takwa, sedangkan pemilik ilmu dan takwa dibimbing kepada kebaikan dan diilhami jalan yang turus.

 

Bila seseorang meninggalkan ilmu dan mengklaim dirinya berpijak kepada ilham dan apa yang terbetik dalam jiwa, maka ini tidak benar, karena kalau bukan karena ilmu naqil, niscaya kita tidak mengetahui apa yang terjadi pada jiwa, apakah ia termasuk ilham kepada kebaikan atau was-was setan?

 

Ketahuilah bahwa ilmu ilham yang dibisikkan ke dalam hati tidak cukup, dan ia memerlukan ilmu naqli, sebagaimana ilmu logika tidak , bisa menggantikan ilmu syar’i, yang pertama seperti makanan pokok dan yang kedua seperti obat, dan yang pertama tidak bisa menggantikan yang kedua.

 

Adapun ucapannya, “Mereka mengambil ilmu mereka yang mati dari mayit”, paling patut untuk diucapkan terkait dengan orang yang mengucapkan kata-kata ini adalah bahwa dia tidak memahami kandungannya, karena bila dia memahami maka hal itu sama dengan merobohkan syariat.

 

Abu Hafsh bin Syahin berkata, “Di kalangan orang-orang sufi ada yang memandang bahwa menyibukkan diri dengan ilmu adalah kemalasan, mereka berkata, ‘Ilmu kami tanpa perantara’.”

 

Dia berkata, “Padahal orang-orang sufi angkatan pertama adalah para ulama di bidang al-’Qur’an, fikih, hadits dan tafsir, sebenarnya merekalah yang ingin menganggur.”

 

Abu Hamid ath-Thusi berkata, “Ketahuilah bahwa kecenderungan orang-orang tasawuf adalah kepada ilahiyah bukan pengajaran, karena itu mereka tidak belajar, tidak bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu dan mengambil manfaat dari apa yang ditulis oleh para ulama, mereka berkata, Jalan yang benar adalah mendahulukan mujahadah dengan membuang sifat-sifat tercela, memutuskan segala keterkaitan dan menghadap kepada Allah dengan semangat sejati, hal itu dengan cara seseorang harus memutuskan hubungan pikirannya dengan harta, anak dan keluarga, menyendiri di sebuah sudut, hanya melakukan shalat-shalat fardhu dan rawatib, tidak menyandingkan pikirannya dengan membaca al-’Qur’an, tidak dengan merenung pada diri sendiri, tidak menulis hadits dan lainnya, dia terus mengucapkan Allah, Allah, Allah, sampai pada sebuah keadaan di mana lidahnya berhenti kemudian menghapus bentuk lafazh dari dalam hati.”

 

Penulis berkata, “Yang menyedihkanku adalah bahwa kata-kata inj diucapkan oleh seorang fakih, karena keburukannya tidak samar, dan sejatinya ia melipat tikar syariat yang menghasung untuk membaca alQur’an dan mencari ilmu.

 

Di atas jalan inilah aku melihat para ulama yang mulia di kotakota besar berjalan, mereka tidak meniti jalan ini, akan tetapi mereka menyibukkan diri dengan ilmu terlebih dahulu.

 

Namun menurut apa yang ditetapkan oleh Abu Hamid, jiwa menyendiri dengan was-was dan bisikannya, padahal jiwa belum memiliki ilmu yang bisa mengusirnya, akibatnya Iblis mempermainkannya dengan sesukanya, dan dia memperlihatkan was-was sebagai bisikan dan munajat.

 

Kami tidak memungkiri bahwa bila hati telah suci, maka cahaya-cahaya hidayah akan tertuang kepadanya, sehingga ia melihat dengan cahaya Allah, hanya saja menyucikan hati harus dengan ilmu yang benar bukan dengan sesuatu yang bertentangan dengannya, karena lapar yang berat, tidak tidur dan menyia-nyiakan umur dalam khayalan adalah perkaraperkara yang dilarang oleh syariat, dan tidak ada sesuatu yang diambil dari penentu syariat yang dinisbatkan kepada apa yang dia larang.

 

Kemudian tidak ada pertentangan antara ilmu dengan riyadhah, karena ilmu mengajarkan tata cara latihan dan membantu mengoreksinya,

 

Setan mempermainkan orang-orang yang menjauhkan diri mereka dari ilmu, lalu menyibukkan diri dengan latihan-latihan yang dilarang oleh ilmu, dan ilmu jauh dari mereka, sehingga terkadang mereka melakukan perbuatan yang dilarang dan terkadang mementingkan sesuatu yang semestinya selainnya lebih penting.

 

Hanya ilmu yang memberikan jawaban benar terhadap peristiwaperistiwa ini, sayangnya mereka sudah menghindarinya jauh-jauh.

 

Kami berlindung kepada Allah dari kehinaan ini.

 

Dari Abu Ali al-Banna berkata, “Di kalangan kami di pasar senjata ada seorang laki-laki yang berkata, ‘al-Qur’an adalah hijab, Rasulullah adalah hijab, tidak ada selain Rabb dan hamba.’ Maka beberapa orang terfitnah dan mereka meninggalkan ibadah, laki-laki itu kemudian bersembunyi karena takut dipancung!”

 

Dari Dhirar bin Amru berkata, “Ada orang-orang yang meninggalkan IImu dan menolak bergaul dengan ahlinya, mereka membuat mihrabmihrab, shalat dan puasa hingga kulit mereka lengket dengan tulang mereka, mereka menyelisihi sunnah, maka mereka binasa. Demi Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selainNya, tidak ada seorang pun yang beramal dengan pijakan kebodohan kecuali dia lebih banyak merusak daripada memperbaiki.”

 

Hakikat dan Syariat

 

Banyak orang-orang sufi yang membedakan antara hakikat dan syariat, ini adalah kebodohan dari orang yang mengatakannya, karena syariat seluruhnya adalah hakikat. Bila maksud mereka adalah rukhshah dan azimah maka keduanya adalah syariat.

 

Beberapa pendahulu mereka telah mengingkari sikap mereka yang berpaling dari zhahir syariat:

 

Dari Abu al-Hasan bin Salim berkata, bahwa seorang laki-laki datang kepada Sahl bin Abdullah dengan membawa kertas dan tinta, dia berkata kepada Sahl, “Aku datang untuk menulis sesuatu semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagiku.” Sahl menjawab, “Silakan menulis, bila kamu bisa mati dalam keadaan memegang buku dan tinta maka silakan.” Laki-laki itu berkata, “Wahai Abu Muhammad, berilah aku faidah.” Sahl menjawab, “Dunia seluruhnya adalah kebodohan kecuali sesuatu yang merupakan ilmu, ilmu seluruhnya adalah hujjah kecuali bila diamalkan, amal seluruhnya bergantung kecuali amal yang berpijak kepada al-Qur’an dan sunnah, dan sunnah tegak di atas takwa.”

 

Dari Sahl bin Abdullah bahwa dia berkata, “Jagalah hitam di atas putih. Maka tidaklah seorang meninggalkan zhahir kecuali dia menjadi zindik.”

 

Dari Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada jalan kepada Allah yang lebih utama daripada ilmu, bila kamu menyimpang dari jalan ilmu selangkah saja, maka kamu akan tersesat dalam kegelapan selama empat puluh hari.”

 

Dari Abu ad-Daqaqaq berkata, aku mendengar Abu Sa’id al-Kharraz berkata, “Semua batin yang menyelisihi lahir adalah batil.”

 

Penulis berkata, “Makna ini telah diingatkan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali saat dia berkata dalam kitabnya al-Ihya~ , ‘Barangsiapa berkata bahwa hakikat menyelisihi syariat atau batin menyelisihi lahir, maka dia lebih dekat kepada kekufuran daripada keimanan.’”

 

Ibnu Aqil berkata, “Orang-orang sufi menjadikan syariat sebuah nama, mereka mengatakan bahwa maksudnya adalah hakikat.”

 

Ibnu Aqil berkata, “Ini buruk, karena Allah menetapkan syariat untuk kebaikan-kebaikan makhluk dan ibadah-ibadah mereka, maka hakikat sesudah ini hanya sesuatu yang terjadi dalam jiwa dari bisikan para setan.”

 

Barangsiapa mencari hakikat bukan pada syariat, maka dia terkecoh dan tertipu.

 

Talbis Iblis atas Beberapa Orang Sufi Hingga Mereka Mensubur Buku-buku I[mu dan Membuangnya Ke Laut Penulis berkata, “Sebagian dari mereka sempat menyibukkan diri dengan ilmu, kemudian Iblis mengacaukan mereka, maka Iblis berkata, “Yang dituntut dari kalian adalah beramal.’ Maka mereka mengubur buku-buku mereka.”

 

Diriwayatkan bahwa Ahmad bin Abu al-Hawari membuang bukubukunya ke laut, dan dia berkata, “Kamu adalah sebaik-baik petunjuk, tetapi menyibukkan diri dengan petunjuk sesudah sampai di tujuan sangatlah mustahil.”

 

Ahmad bin Abu al-Hawari ini mencari hadits selama tiga puluh tahun, tatkala dia merasa sudah sampai puncaknya, dia membawa buku-bukunya ke laut dan meneggelamkannya, kemudian berkata, “Wahai imu, aku tidak melakukan hal ini terhadapmu karena meremehkanmu dan merendahkan hakmu, akan tetapi aku mencarimu untuk menjadi penuntunku kepada Tuhanku, maka tatkala aku sudah sampai, aku tak lagi memerlukanmu.”

 

Dari Abu Nashrath-Thusi berkata, “Aku mendengar beberapa orang dari syaikh-syaikh ar-Ray berkata, ‘Abu Abdullah al-Muqri mewarisi bapaknya sebanyak lima puluh ribu dinar bukan termasuk tanah dan rumah, dan dia melepaskan dirinya dari semuanya dengan memberikannya kepada orang-orang fakir.’”

 

Dia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdullah tentang hal itu, beliau menjawab, ‘Aku dan seorang anak telah berihram, dan aku pergi ke Makkah sendirian saat tidak lagi tersisa padaku apa pun yang bisa aku andalkan, sedangkan usahaku adalah tidak menoleh kepada kitab-kitab, dan ilmu serta hadits yang aku kumpulkan lebih berat atasku daripada keluar ke Makkah, dan kesulitan dalam perjalanan serta meninggalkan apa yang aku miliki.’”

 

Saya katakan bahwa telah dijelaskan bahwa ilmu adalah cahaya, dan Iblis menggoda manusia untuk memadamkan cahaya hingga dia bisa memangsanya dalam kegelapan, dan tidak ada kegelapan seperti kegelapan kebodohan.

 

Tatkala Iblis khawatir orang-orang itu akan kembali menelaah kitabkitab, bisa jadi mereka akan berdalil dengannya atas tipu muslihatnya, maka Iblis menggoda mereka untuk menguburkannya dan merusaknya. Ini merupakan perbuatan yang buruk dan dilarang, serta bentuk kebodohan terhadap manfaat kitab.

 

Penjelasannya, bahwa dasar segala ilmu adalah al-Qur’an dan sunnah. Tatkala diketahui melalui syariat bahwa menghafal keduanya sulit, maka syariat memerintahkan menulis mushaf dan menulis hadits.

 

Untuk al-Qur’an, bila suatu ayat turun kepada Rasulullah, beliau memanggil penulis wahyu untuk menulisnya, mereka menulisnya pada pelepah kurma, batu dan tulang sampil, kemudian Abu Bakar mengumpulkannya sesudahnya demi menjaganya, kemudian Utsman bin Affan menasakhnya yang diikuti oleh para shahabat, semua itu dilakukan demi menjaga al-’Qur’an, agar tidak ada yang hilang darinya.

 

Adapun sunnahnya, di awal Islam Nabi membatasi kaum muslimin hanya pada al-Qur’an, beliau bersabda, “Jangan menulis dariku kecuali al-Qur an. Tatkala hadits-hadits mulai meningkat jumlahnya, beliau melihat kesulitan mereka dalam menghafalnya, maka beliau mengizinkan mereka untuk menulis, dari Abu Hurairahbahwa dia mengadukan hafalannya kepada Nabi, maka nabi bersabda kepadanya, “Hamparkanlah kainmu.” Maka Abu Hurairah menghamparkan kainnya dan nabi menyampaikan hadits kepadanya, lalu beliau bersabda kepadanya, “Lipatlah ia kepadamu.” Abu Hurairah berkata, “Sesudah ity aku tidak melupakan apa pun yang Rasulullah sampaikan kepadaku.”

 

Abdullah bin Amru meriwayatkan dari Nabi 3 bahwa beliau berkata, “Ikatlah ilmu.” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana mengikatnya?” Beliau menjawab, “Menulisnya.”

 

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa shahabat merekam kata-kata dan tingkah laku serta perbuatan-perbuatan Rasulullah, hingga syariat terkumpul dari riwayat ini dan riwayat itu.”

 

Rasulullah bersabda, “Sampaikanlah dariku.”

 

Rasulullah bersabda:

 

“Allah memuliakan seseorang yang mendengar kata-kataku lalu dia memahaminya lalu menunaikannya seperti yang didengarnya. ”

 

Menunaikan hadits seperti yang didengar hampir tidak terwujud kecuali dari tulisan, karena hafalan tak terjamin.

 

Ahmad bin Hambal menyampaikan hadits, lalu ada seseorang berkata kepadanya, “Diktekanlah kepada kami.” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi dari kitab.”

 

Ali bin al-Madini berkata, “Tuanku Ahmad bin Hambal memerintahkanku agar tidak menyampaikan hadits kecuali dari kitab.”

 

Bila para sahabat telah meriwayatkan sunnah, lalu para tabi’in menerimanya dari mereka, para ulama hadits melakukan perjalanan ‘demi mencari hadits, mereka merambah bagian timur dan barat bumi untuk mendapatkan kalimat dari sini dan kalimat dari sana, mereka menshahihkan apa yang shahih, melemahkan apa yang tidak shahih, mereka menjarh dan menta’dil para rawi, menyusun dan menata sunnah, kemudian ada orang yang menghapusnya dengan seenaknya, menyianyiakan usaha mereka dan tidak mengetahui hukum Allah pada sebuah xasus, maka syariat tidak layak ditentang dengan hal yang seperti ini, apakah ada syariat sebelum syariat kita memiliki sanad kepada Nabi mereka?! Padahal tiada lain sanad merupakan kekhususan umat ini saja.

 

Telah diriwayatkan kepada kami dari Imam Ahmad bin Hambal, padahal beliau sudah berkeliling timur dan barat dalam mencari hadits, beliau berkata kepada anaknya, “Apa yang kamu tulis dari fulan?” Maka anaknya menyebutkan hadits Nabi 38 bahwa beliau berangkat shalat led dari satu jalan dan pulang dari jalan yang lain. Maka Imam Ahmad berkata, “Innalillah, sunnah dari sunnah-sunnah Rasulullah belum sampai kepadaku?”

 

Ini adalah ucapan Imam, padahal beliau banyak mengumpulkan hadits, lalu bagaimiana dengan orang yang tidak menulis?! Bila dia menulis maka dia menghapusnya. Bila kitab-kitab dihapus atau dikubur, lalu apa pijakan fatwa terhadap peristiwa?! Kepada fulan si ahli zuhud atau fulan si sufi atau kepada bisikan yang belum terjadi?! Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan setelah petunjuk.

 

Kritik Terhadap Orang-orang Sufi yang Mengubur kitab-kitab

 

Penulis berkata, “Kitab-kitab yang mereka kubur tidak terlepas dari kitabkitab yang berisi kebenaran atau berisi kebatilan atau bercampur antara keduanya. Bila isinya adalah kebatilan maka tidak ada dosa bagi orang yang menguburnya. Bila isinya campuran antara yang haq dengan yang batil dan tidak bisa dipilah di antara keduanya maka penguburannya bisa dibenarkan, karena ada beberapa orang yang menulis dari para rawi tsiqat dan pendusta, dan perkaranya menjadi rancu bagi mereka, maka mereka menguburkan kitab-kitab mereka. Kepada makna inilah apa yang diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri bahwa dia mengubur kitab-kitabnya. Namun bila isi kitab-kitab itu adalah kebenaran dan syariat, maka tidak diperbolehkan untuk memusnahkannya dengan cara apa pun, karena kitab-kitab ini menjaga ilmu dan harta.

 

Orang yang hendak memusnahkannya patut ditanya tentang maksudnya. Bila dia berkata, bahwa ia melalaikanku dari ibadah, maka kami menjawabnya dari tiga sisi.

 

> Pertama: Seandainya kamu memahami, niscaya kamu mengetahui bahwa menyibukkan diri dengan ilmu adalah ibadah yang utama.

 

> Kedua: Ingatanmu tidak berlangsung selamanya, seperti aku melihatmu telah menyesali apa yang telah kamu lakukan namun sayangnya penyesalan sudah tak berguna.

 

Ketahuilah bahwa hati tidak selalu di atas kejernihannya, hati bisa berkarat, ia memerlukan pembersih, dan pembersih itu adalah menelaah kitab-kitab para ulama.

 

Yusuf bin Asbath mengubur kitab-kitabnya, lalu dia tidak bisa menahan diri untuk menyampaikan hadits, maka dia menyampaikan dari hafalannya, akibatnya dia mencampur.

 

> Ketiga: Kita perkirakan kesempurnaan ingatanmu dan kelangsungannya hingga kamu tidak memerlukan kitab, lalu mengapa kamu tidak memberikannya kepada pencari ilmu pemula yang belum mencapai derajatmu atau kamu mewakafkannya kepada orang-orang yang mengambil manfaat darinya atau kamu menjualnya dan mensedekahkannya. Adapun memusnahkannya maka ia tidak dibolehkan dengan alasan apa pun.

 

Al-Marwazi meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa dia ditanya tentang seorang laki-laki yang berwasiat agar kitab-kitabnya dikubur, maka Ahmad menjawab, “Saya tidak suka mengubur ilmu.” Darinya berkata, aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata, “Saya tidak mengetahui makna di balik mengubur kitab.”

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi yang Mengingkari Orang-orang yang Menyibukkan diri dengan Iimu

 

Penulis berkata, “Tatkala orang-orang itu terbagi menjadi dua kelompok, para pemalas yang tidak mau menuntut ilmu dan para penduga bahwa ilmu adalah apa yang terjadi dalam hati sebagai buah dari ibadah, lalu mereka menamakan ilmu ini dengan ilmu batin, maka mereka melarang orang-orang untuk menyibukkan diri dengan ilmu.”

 

Dari Ja’far al-Khuldi berkata, “Seandainya orang-orang sufi membiarkanku, niscaya aku menghadirkan sanad dunia kepada kalian. Aku pergi kepada Abbas ad-Duri saat aku masih remaja, lalu aku menulis darinya di satu majlis, lantas aku meninggalkannya. Kemudian aku bertemu dengan sebagian orang yang pernah menjadi rekannya di kelompok sufi, dia bertanya kepadaku, ‘Apa yang kamu bawa?’ Aku memperlihatkannya kepadanya, lantas dia berkata, ‘Celaka kamu, kamu meninggalkan ilmu khiraq dan mengambil ilmu waraq!’ Kemudian dia merobek-robek kertas tersebut, dan kata-katanya masuk ke dalam hatiku maka aku tidak kembali lagi kepada Abbas.”

 

Saya berkata, “Saya mendengar dari Abu Sa’id al-Kindi bahwa dia berkata, ‘Aku ikut tinggal di sebuah pos orang-orang sufi, aku mencari hadits di belakang mereka supaya mereka tidak mengetahuinya, mka kotak tinta itu jatuh dari sakuku, lalu sebagian dari mereka berkata, ‘Tutupilah auratmul’”

 

Dari al-Husain bin Ahmad ash-Shaffar berkata, “Aku punya kotak tinta, maka asy-Syibli berkata kepadaku, Jauhkan hitammu itu dariku, hitarn hatiku cukuplah bagiku.’”

 

Penulis berkata, “Termasuk sikap menentang Allah yang paling besar adalah menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, sedangkan jalan Allah yang paling jelas adalah ilmu, karena ilmu adalah petunjuk kepada Allah, menjelaskan hukum-hukum dan syariat Allah, menjelaskan apa yang dicintai dan dibenci oleh Allah, menghalangi ilmu sama dengan menentang Allah dan syariat Allah, sayangnya orang-orang yang menghalangi tidak menyadari apa yang mereka lakukan.

 

Dari Abu Abdullah bin Khifif berkata, “Sibukkanlah diri kalian dengan mencari ilmu, jangan tertipu dengan perkataan orang-orang sufi. Aku menyembunyikan kotak tintaku di saku baju tambal-tambalku dan kertas di balik celanaku, kemudian aku mendatangi para ulama secara sembunyi-sembunyi. Bila mereka mengetahui perbuatanku, maka mereka mencelaku dengan keras,“ dan mereka berkata, ‘Kamu tidak beruntung.’ Namun sesudah itu mereka membutuhkanku.”

 

Imam Ahmad melihat tinta-tinta di tangan para pencari ilmu, maka beliau berkata, “Ini adalah lampu-lampu Islam.”

 

Beliau tetap membawa kotak tinta sekalipun sudah lanjut usia, maka seorang laki-laki berkata kepada beliau, “Sampai kapan Anda seperti ini terus wahai Abu Abdullah?” Imam menjawab, “Sampai alam kubur.”

 

Imam Ahmad berkata tentang sabda Nabi, “Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang mendapatkan pertolongan dari Allah, mereka tidak tergoyahkan oleh orang-orang yang memusuhi mereka hingga Kiamat tiba.“’ Ahmad berkata, “Bila mereka bukan ashabul hadits maka aku tidak tahu siapa mereka.”

 

Seseorang berkata kepada Imam Ahmad, “Ada seorang laki-laki berkata tentang ashabul hadits bahwa mereka adalah orang-orang buruk.” Imam Ahmad menjawab, “Orang itu zindik.”

 

Imam asy-Syafi’i berkata, “Bila aku melihat seorang laki-laki darj kalangan ashabul hadits, seolah-olah aku melihat seseorang dari kalangan shahabat Rasulullah.”

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Terkait dengan Ucapan Mereka Terhadap Ilmu

 

Penulis berkata, “Ketahuilah tatkala orang-orang sufi meninggalkan ilmu, menyendiri dengan mempraktikkan latihan-latihan sesuatu dengan tuntutan akal mereka, maka mereka tidak mampu menahan diri untuk tidak berbicara tentang ilmu, lalu mereka berbicara dengan realita-realita mereka, akibatnya kekeliruan-kekeliruan yang buruk terjadi pada mereka, terkadang mereka berbicara tentang tafsir al-Qur’an, terkadang tentang hadits, terkadang tentang fikih dan lainnya, mereka menggiring ilmu-ilmu kepada lajur ilmu yang mereka kuasai secara khusus.”

 

Allah tidak akan mengosongkan suatu zaman dari orang-orang yang menegakkan syariatNya, mereka menyanggah orang-orang yang membuat-buat kebodohan dan menjelaskan kekeliruan orang-orang yang keliru. Ucapan

 

Orang-orang sufi Tentang al-Qur an Dari Ja’far bin Muhammad al-Khuldi berkata, “Aku hadir di depan syaikh kami al-Junaid, dan Kaisan bertanya kepadanya tentang firman Allah:

 

“Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, ” (QS. al-A’la: 6).

 

Maka al-Junaid menjawab, ‘Janganlah kamu tidak melupakan pengamalannya.” Dia bertanya kepadanya tentang firman Allah:

 

“Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?” (QS. al-A raf: 169).

 

Maka al-Junaid berkata, “Meninggalkannya dengan tidak mengamalkannya.” Lalu dia berkata, ‘Jangan sampai Allah merobek mulutmu!” Saya katakan, “Tafsir kamu janganlah melupakan pengamalannya adalah tafsir yang tidak berdasar, dan kekeliruannya nyata, karena dia menafsirkannya sebagai larangan, padahal tidak demikian. Avyat ini adalah khabar, berita bukan larangan, asumsinya kamu tidak lupa, karena bila ia larangan niscaya kata kerjanya majzum, dan tafsirnyva menyelisihi ijma’ para ulama.

 

Demikian juga firman Allah:

 

“Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya.” (QS. al-A’raf: 169), melainkan ia dari ad-darsu yang berarti tilawah, dari firman Allah:

 

“Dan disebabkan kamu tetap mempelajarinva.” (QS. Ali Imran: 79) bukan darie   yang berarti melenyapkan sesuatu.”

 

Dari Ahmad bin Muhammad bin Miqsam berkata, “Aku menghadiri majlis Abu Bakar asy-Syibli, dan dia ditanya tentang firman Allah:

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati…” (QS. Qaf: 37).

 

Maka dia menjawab, ‘Bagi siapa yang Allah adalah hatinya.”

 

Abu Abdurrahman as-Sulami mengumpulkan ucapan-ucapan mereka yang kebanyakan darinya hanyalah kekacauan dalam dua jilid kitab yang dia beri judul Haqaiq at-Tafsir, dia berkata dalam mukadimahnya tentang mereka, “Mereka berkata, ‘Al-Fatihah disebut Fatihatul Kitab karena ia adalah permulaan-permulaan dari apa yang pembicaraan Kami yang kamu buka untuk kalian. Bila kamu beradab dengan itu, dan bila tidak maka kamu tidak mendapatkan faidah-faidah sesudahnya.”

 

Penulis berkata, “Buruk, karena para ahli tafsir tidak berbeda pendapat bahwa al-Fatihah bukan termasuk surat yang pertama turun.”

 

Dia berkata tentang ucapan, ‘Amin,’ “Yaitu berjalan menuju kepadaMu.”

 

Saya berkata, “Ini buruk, karena ia bukan dari, dengan mim bertasydid, karena bila maknanya demikian maka seharusnya mimnya bertasydid.”?

 

Dia berkata tentang firman Allah:

 

“Tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawarian…” (QS. al-Baqarah: 85), “Abu Utsman berkata, ‘Tenggelam dalam dosa-dosa.’ AlWasithi berkata, ‘Tenggelam dalam melihat perbuatan-perbuatan mereka.’ Al-Junaid berkata, ‘Tertawan oleh sebab-sebab dunia.”

 

Saya katakan, “Padahal ayat ini dalam konteks pengingkaran, dan maknanya, apabila kalian menawan mereka maka kalian meminta tebusannya, dan bila kalian memerangi mereka, maka kalian menerima mereka. Sementara orang-orang itu menafsirkan ayat dengan konteks sanjungan.

 

Dia berkata tentang firman Allah:

 

“Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;” (QS. Ali Imran: 97), “Yakni aman dari godaan jiwanya dan was-was setan.”

 

Ini benar-benar buruk, karena lafazh ayat tersebut adalah sebagai berita dan maknanya perintah. Asumsi maknanya adalah barangsiapa masuk ke al-Haram, maka berilah keamanan. Sementara mereka menafsirkannya sebagai berita, di samping makna ayat tidak menunjang tafsir mereka, karena berapa banyak orang yang masuk ke al-Haram namun mereka tidak aman dari godaan jiwa dan was-was setan.

 

Dia berkata tentang firman Allah:

 

“Jetapi semua tipu daya itu adalah dalam kekuasaan Allah.” (QS. ar-Ra’ad: 42), al-Husain berkata, “Tidak ada makar yang lebih jelas daripada makar al-Haq terhadap hamba-hambaNya, vang mana Dia membuat mereka menyangka bahwa mereka memiliki jalan kepadaNya dalam segala keadaan.”

 

Barangsiapa memperhatikan maknanya, maka dia mengetahui bahwa ia adalah kufur murni, karena ia mengisyaratkan bahwa ia seperti iseng dan main-main, sedangkan al-Husain ini adalah al-Hallaj, dan katakatanya setali tiga uang dengan orangnya.

 

Saya katakan, “Seluruh kitab itu sejenis dengan apa yang kami sebutkan, saya berniat menurunkan contoh-contoh dalam jumlah yang banyak darinya di sini, namun saya berpikir bahwa bila saya melakukannya maka waktu akan habis sia-sia di antara kekufuran, kesalahan dan omongan ngawur.

 

Ucapan mereka setali tiga uang dengan ucapan kelompok Batiniyah yang telah kami sebutkan. Barangsiapa ingin mengetahui apa isi kitab tersebut, maka inilah contoh-contoh darinya.

 

Abu Nashr as-Sarraj menyebutkan dalam kitab al-Luma’, dia berkata, “Orang-orang sufi mempunyai istinbath, di antaranya terhadap firman Allah:

 

‘Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,” (QS. Yusuf: 108). Al-Wasithi berkata, ‘Maknanya aku tidak melihat diriku.’”

 

Asy-Syibli berkata, “Kalau kamu melihat semuanya selain kami, niscaya kamu akan berpaling melarikan diri dari mereka kepada kami.”

 

Saya berkata, “Ini tidak halal, karena maksud Allah adalah ashabul kahfi.”

 

As-Sarraj menamakan ucapan-ucapan ini dalam kitabnya dengan mustahabat.

 

Abu Hamid ath-Thusi menyebutkan dalam kitab Dzammul Mal tentang firman Allah:

 

“Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35), dia berkata, “Yang dimaksud oleh ayat ini adalah emas dan perak, karena derajat kenabian lebih tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan menyembah patung dan berhala, dan yang dimaksud dengan menyembah berhala adalah mencintainya dan tertipu olehnya.” .

 

Saya katakan, “Ucapan ini tak diucapkan oleh seorang ahli tafsir pun.

 

Syuaib berkata, “Dan tidaklah patut ‘kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Rabb kami menghendaki(nya).” (QS. al-A’raf: 89), sudah diketahui bahwa kecenderungan para nabi kepada kesyirikan adalah tidak mungkin karena mereka adalah orang-orang yang terjaga, bukan karena ia mustahil, kemudian dia menyebutkan bersama dirinya orang-orang yang dimungkinkan melakukan syirik dan kufur, maka sah bila dia memasukkan dirinya bersama mereka, maka dia berkata,   “Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku…” (QS. Ibrahim: 35) dan sudah diketahui bahwa orang-orang Arab adalah anak-anaknya, dan kebanyakan dari mereka menyembah berhala.

 

Dari Abu Hafsh bin Syahin berkata, “Sekelompok orang-orang sufi berbicara tentang al-Qur’an dengan ucapan-ucapan yang tidak boleh, mereka berkata tentang firman Allah:

 

“Sesungqguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran: 190), lantas dia mengatakan, “Mereka adalah tanda-tanda untukKu.” Mereka menisbatkan kepada Allah apa yang Dia jadikan untuk ulil albab (orang-orang yang berakal), ini merupakan perubahan terhadap al-’Qur’an.

 

Mereka berkata tentang firman Allah:

 

“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman,” (QS. Saba’: 12),

 

“UntuKu Sulaiman.”

 

Saya katakan, “Sungguh aku heran terhadap orang-orang itu, mereka berhati-hati dalam urusan makan dan berucap, namun bagaimana bisa mereka begitu bebasnya menafsirkan al-Qur~ an sampai pada batas ini.”

 

Dari Ruwaim berkata, “Sesungguhnya Allah menyembunyikan beberapa perkara pada beberapa perkara lain, Diamenyembunyikan makarNya pada ilmuNya, tipuanNya pada kelembutanNya dan hukumanNya pada pintu karamahNya.”

 

Ini merupakan kata-kata kacau dan kelancangan, sama seperti yang sebelumnya.

 

Kami berlindung kepada Allah dari pengacauan, kelancangan terhadap ilmu dan pemberitahuan tentang perkara-perkara ghaib yang tidak diketahui -bila ia memang benarkecuali oleh nabi, lalu dari mana dia mengetahuinya?!

 

Namun jauhnya mereka dari ilmu, kepuasan mereka terhadap realita hidup yang rusak membuat mereka terjerumus ke dalam pengacauan ini.

 

Hendaknya diketahui bahwa bisikan-bisikan dan kejadian-kejadian hanyalah buah dari ilmu. Barangsiapa berilmu maka bisikannya benar, karena ia adalah buah ilmunya, dan barangsiapa bodoh, maka buah kebodohan adalah bagiannya.

 

Aku membaca tulisan Ibnu Aqil, bahwa Abu Yazid melewati kuburan orang-orang Yahudi, kemudian dia berkata, “Sebelum Engkau menyiksa mereka, mereka hanyalah segenggam tulang yang mana ketetapan berlaku atas mereka, maafkanlah mereka.”

 

Penulis berkata, “Ini adalah ucapan yang menunjukkan kebodohan. Ucapannya ‘Segenggam tulang’ adalah penghinaan terhadap manusia, karena bila seorang mukmin mati maka ia hanya segenggam tulang.”

 

Ucapannya, ‘Ketetapan berlaku atas mereka’ begitu juga yang berlaku atas Fir’aun.

 

Ucapannya, ‘Maafkanlah mereka’ adalah kebodohan terhadap syariat, karena Allah telah mengabarkan bahwa Dia tidak mengampuni orang yang mempersekutukanNya,dan mati dalam keadaan itu, seandainya doanya untuk si kafir diterima, maka permohonan Ibrahim pada bapaknya dan Muhammad pada ibunya lebih patut diterima.

 

Kami berlindung kepada Allah dari kebodohan.

 

Ucapan Orang-orang Sufi Terhadap Hadits dan Ahlinya

 

Dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, bahwa Abu Turab alNakhsyabi datang kepada bapakku, maka bapakku mulai berkata, “Fulan dhaif, fulan tsiqah.” Maka Abu Turab menyela, “Wahai Syaikh, jangan menagghibah para ulama.” Maka bapak berkata kepadanya, “Celaka kamu, ini adalah nasihat bukan ghibah.”

 

Dari Muhammad bin al-Fadhl al-Abbasi berkata, “Kami sedang duduk di majlis Abdurrahman bin Abu Hatim, dan dia membacakan kepada kami kitab al-Jarh wat Ta’dil. Dia berkata, ‘Aku menyampaikan keadaan ahli ilmu, siapa yang tsiqah dari mereka atau yang bukan tsiqah.” Maka Yusuf bin al-Husain berkata kepadanya, “Wahai Abu Muhammad, aku malu kepadamu, berapa banyak dari orang-orang itu yang telah masuk surga sejak satu atau dua abad, sementara kamu menyebut mereka dan mengghibah mereka dari muka bumi.” Maka Abdullah menangis dan berkata, “Wahai Abu Ya’qub, seandainya aku mendengar kata-katamu ini sebelum aku menyusun buku ini niscaya aku tidak menyusunnya.”

 

Saya berkata, “Allah memaafkan Ibnu Abu Hatim, seandainya dia adalah orang yang fakih niscaya dia menjawab seperti jawaban Imam Ahmad kepada Abu Turab, bahwa kalau bukan karena al-Jarh wat Ta’dil, niscaya tidak bisa dibedakan mana yang shahih dengan mana yang batil.

 

Kemudian, sekalipun orang-orang itu sudah di surga tidak menghalangi kita untuk menyebutkan apa yang ada pada mereka. Menamakan hal ini ghibah adalah ucapan buruk. Kemudian bagaimana seseorang bisa memastikan kebenaran ucapannya bila dia tidak mengetahui a/-Jarh wat Ta’dil?!”

 

Abu al-Abbas bin Atha~ berkata, “Barangsiapa mengetahui Allah maka dia tidak mengadukan hajatnya kepadaNya, karena dia mengetahui Allah mengetahui keadaannya.”

 

Saya berkata, “Orang ini menutup pintu doa dan permohonan kepada Allah, sebuah kebodohan.”

 

Dari Abu ash-Shufi berkata, “Aku mendengar asy-Syibli berkata saat ditanya oleh seorang anak muda, ‘Wahai Abu Bakar, mengapa Anda mengucapkan, ‘Allah’ dan tidak ‘la ilaha illallah’?’ Dia menjawab, ‘Aku malu mengucapkan penetapan sesudah penafian.’ Anak muda itu berkata, ‘Aku ingin alasan yang lebih kuat darinya.’ Dia menjawab, ‘Aku khawatir dimatikan pada kalimat wujud sebelum aku sampai ke kalimat pengakuan.’”

 

Penulis berkata, “Lihatlah kepada ilmu orang ini yang aneh bin ajaib, padahal Rasulullah memerintahkan dan mengajak kepada la ilaha illallah.”

 

Dalam ash-Shahihain dari beliau bahwa beliau mengucapkan sesudah shalat, “Tidak ada Ilah yang haq selain Allah semata tidak ada sekutu bagiNya.”

 

Beliau mengucapkan saat berdiri shalat malam, “Tidak ada Ilah yang haq selainMu.”

 

Rasulullah menyebutkan pahala besar bagi siapa yang mengucapkan, ‘la ilaha illallah’.

 

Lihatlah kepada kelancangan orang ini terhadap syariat, dia beranj memilih apa yang tidak dipilih oleh Rasulullah.

 

Dari Abu al-Qasim Abdurrahim bin Ja’far as-Sirafi al-Faqih berkata, “Aku menghadiri majlis Qadhi Syiraj Abu Sa’id’ Bisyr bin al-Hasan adDawudi, saat itu ada sepasang suami istri yang sama-sama sufi berperkara di depannya —madzhab sufi di sana berkembang pesat, hingga ada yang berkata jumlah mereka ribuan orang.-. Istri sufi mengadukan suaminya kepada hakim, dia berkata kepada hakim, “Wahai bapak hakim, orang ini suamiku, dia hendak mentalakku, padahal dia tidak semestinya demikian, mohon Anda mencegahnya.” Qadhi Abu Sa’id heran, dia mulai jengkel terhadap madzhab sufi, kemudian dia bertanya kepada wanita itu, “Bagaimana bisa demikian? Kamu juga tidak sepatutnya demikian.” Wanita itu menjawab, “Dia menikahiku sementara maknanya ada padaku, tetapi sekarang dia bilang bahwa maknanya sudah lenyap dariku, sementara maknaku tetap ada padanya belum lenyap, maka dia harus berusaha hingga maknaku padanya hilang sebagaimana maknanya padaku juga hilang.”

 

Abu Sa’id berkata, “Bagaimana menurutmu fikih seperti ini?” Kemudian dia mendamaikan keduanya dan keduanya pulang tanpa talak.

 

Abu Hamid ath-Thusi. menyebutkan dalam kitab al-Ihya bahwa sebagian dari mereka berkata, “Rububiyah mempunyai rahasia, bila ia diperlihatkan, dan niscaya kenabian akan batal, kenabian mempunyai rahasia, bila ia dibuka niscaya ilmu akan batal, para ulama memiliki rahasia, bila mereka menampakkannya niscaya hukum-hukum akan batal.”

 

Saya berkata, “Lihatlah saudara-saudaraku kepada pengacauan buruk ini, klaim terhadap syariat bahwa lahirnya bertentangan dengan batinnya.”

 

Abu Hamid berkata, “Sebagian orang sufi kehilangan anaknya yang masih kecil, maka ada seseorang berkata kepadanya, ‘Memohonlah kepada Allah agar Dia mengembalikannya kepadamu.’ Maka dia menjawab, ‘Penentanganku terhadapNya dalam apa yang Dia putuskan atasku lebih berat daripada hilangqnya anakku.’”

 

Saya berkata, “Keherananku terhadap Abu Hamid ini tiada kenal henti, bagaimana dia menceritakan kisah-kisah seperti ini dalam konteks menyanjung dan memandangnya bagus, padahal dia tahu bahwa doa dan memohon kepada Allah bukanlah sanggahan terhadapNya.”

 

Ini sekelumit tentang ucapan mereka dan pemahaman mereka, saya menjelaskan kesalahan ilmu mereka dan keburukan pemahaman mereka serta banyaknya kekeliruan mereka.

 

Talbis Iblis atas Mereka Hingga Mereka Mengucapkan Kata-kata dan Klaim Gila

 

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa ilmu mewariskan rasa takut, kerendah. an jiwa, dan diam panjang. Bila kamu memperhatikan ulama salaf, maka kamu melihat rasa takut mendominasi mereka, dan mereka sama sekali tidak mengucapkan klaim-klaim gila. Umar bin al-Khatthab berkata saat ajalnya tiba, ‘Celaka bagi Umar bila Rabbnya tidak mengampuninya.’”

 

Tonu Mas’ud berkata, “Seandainya bila aku mati tidak dibangkitkan.”

 

Aisyah berkata, “Seandainya aku adalah sesuatu yang dilupakan.”

 

Sufyan ats-Tsauri berkata kepada Hammad bin Salarmah saat menjelang ajal, “Kamu berharap orang sepertiku diampuni?”

 

Penulis berkata, “Kata-kata seperti ini terucap dari orang-orang yang mulia, karena kuatnya ilmu mereka tentang Allah, sedangkan kekuatan ilmu kepada Allah mewariskan rasa takut, Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNva, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)

 

Nabi  bersabda:

 

“Aku adalah orang yang paling mengetahui Allah di antara kalian dan paling besar rasa takutnya kepadaNya. “

 

Tatkala orang-orang sufi menjauh dari ilmu, mereka memperhatikan amal mereka, lalu sebagian dari mereka kebetulan diberi sesuatu yang mirip karomah, maka mereka melebarkan diri untuk mengucapkan klaimklaim menggelikan.

 

Dari Abu Yazid al-Busthami berkata, “Saya ingin Kiamat datang hingga aku bisa mendirikan tendaku di neraka Jahanam.” Seorang laki-laki bertanya, “Mengapa wahai Abu Yazid?” Dia menjawab, “Sesungguhnya aku yakin bila Jahanam melihatku maka ia akan padam, dengan itu aku menjadi rahmat bagi penduduknya.”

 

Penulis berkata, “Ini adalah kata-kata paling buruk, mengandung penghinaan terhadap api neraka yang urusannya besar bagi Allah, padahal Allah menyifatinya secara mendalam, Dia berfirman:

 

“Maka peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.” (QS. al-Baqarah: 24).

 

Allah berfirman :

 

“Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya.” (QS. al-Furqan: 12) dan ayat-ayat senada.

 

Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya api kalian ini, api yang dinyalakan oleh manusia adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panasnya Jahanam.” Maka para shahabat berkata, “Demi Allah, itu sudah cukup wahai Rasulullah.” Nabi bersabda, ‘Api neraka Jahanam dilebihkan dengan enam puluh sembilan bagian, semuanya seperti panasnya.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.’?

 

Dalam Shahih Muslim dari hadits Ibnu Mas’ud dari Nabi, sesungguhnya beliau bersabda, “Dihadirkan pada di hari itu dengan Jahanam, ia memiliki tujuh puluh ribu tali kekang, setiap tali kekang diseret oleh tujuh puluh ribu malaikat.”

 

Dari Umar bin al-Khatthab berkata, “Wahai Ka’ab, buatlah kami takut.” Ka’ab menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, beramallah dengan amal seorang laki-laki, seandainya engkau datang di Hari Kiamat dengan membawa amal tujuh puluh orang nabi niscaya kamu merasa amalmu masih remeh karena apa yang engkau lihat.” Umar tertunduk sesaat kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata, “Tambahlah wahai Ka’ab.” Maka Ka’ab berkata, ‘“Wahai Amirul Mukminin, seandainya sebuah lubang dari Jahanam sebesar lubang hidung sapi jantan di buka di timur, lalu seorang laki-laki berada di barat, niscaya otaknya mendidih hingga ia meleleh karena panasnya.” Umar tertunduk sesaat kemudian mengangkat kepalanya, dia berkata, “Tambahlah wahai Ka’ab.” Ka’ab berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya neraka Jahanam akan bergemuruh di Hari Kiamat, tidak ada seorang malaikat yang dekat dan nabi yang terpilih kecuali dia berlutut karena takut, dan ia berkata, ‘Rabbi, diriku, diriku, aku tidak meminta kepadaMu selain keselamatan diriku.”

 

Suatu hari Abdullah bin Rawahah menangis, maka istrinya bertanya kepadanya, “Kenapa engqkau menangis?” Dia menjawab, “Aku diberitahu bahwa aku mendatangi, tetapi aku tidak diberitahu kalau aku keluar.”

 

Penulis berkata, “Bila keadaan orang-orang terbaik umat ini adalah demikian, yang mana mereka sedemikian takut, lalu bagaimana keadaan orang yang asal-asalan mengklaim ini?”

 

Kemudian dia berani lancang memastikan sesuatu untuk dirinya yang dia sendiri tidak mengetahuinya, apakah dia termasuk wali dan akan selamat? Bukankah kepastian selamat hanya diraih oleh orang-orang tertentu dari kalangan para shahabat?!

 

Ibnu Aqil berkata, “Dikisahkan dari Abu Yazid bahwa dia berkata, ‘Barangsiapa berkata ini terjadi pada siapa pun dia, maka dia zindik, harus dibunuh, karena meremehkan sesuatu adalah buah dari pengingkaran, karena siapa yang percaya adanya jin maka dia akan takut kegelapan, dan siapa yang tidak maka tidak takut terkadang dia berkata, ‘Wahai ‘jin, bawalah aku.’ Orang yang berkata seperti ini patut disodori obor di wajahnya, dan bila dia merasa panas, maka dikatakan kepadanya, ‘Ini adalah sebongkah api.’”

 

Dari Thayfur ash-Shaghir berkata, “Aku mendengar pamanku yang bekerja sebagai.pelayan Abu Yazid berkata, ‘Aku mendengar Abu Yazid berkata, ‘Mahasuci aku, Mahasuci aku, betapa agung kedudukanku.’

 

Kemudian dia berkata, ‘Cukup bagiku dari diriku, cukup, cukup.’” Saya berkata, “Bila ucapan ini benar darinya, maka ada kemungkinan rawi tersebut tidak paham, karena ada kemungkinan yang bersangkutan menyebutkan sanjungan al-Haq kepada diriNya, maka dia berkata, ‘Subhani (Mahasuci aku). Dia menyampaikan dari Allah bukan dari dirinya.”

 

Al-Junaid menakwilkannya dengan sesuatu, bila ia tidak kembali kepada apa yang aku ucapkan maka ia tidak benar.

 

Dari Ja’far al-Khuldi berkata, bahwa al-Junaid ditanya, “Sesungguhnya Abu Yazid berkata, ‘Mahasuci aku, Mahasuci aku, aku adalah Tuhanku yang Mahatinggi.’

 

Maka al-Junaid berkata, “Sesungguhnya orang itu larut dalam menyaksikan keagungan, maka dia mengucapkan apa yang membuaitnya larut, al-Haq mencengangkannya sampai dia tidak melihatNya, akhirnya dia tidak menyaksikan kecuali al-Haq maka dia menyifatiNya dengan sifat yang demikian.” Saya katakan, “Ini adalah khurafat.”

 

Dari Abdullah bin Ali as-Sarraj berkata, “Suatu hari aku mendengar Ahmad bin Salim al-Bashri berkata di majlisnya di Bashrah, ‘Fir’ aun tidak mengatakan apa yang diucapkan oleh Abu Yazid, karena Fir’aun berkata, Akulah tuhanmu yang paling tinggi.’ (QS. an-Nazi’at: 24), makhluk dinamakan ar-rab, dikatakan rabbud dar (tuan rumah), sedangkan Abu Yazid berkata, ‘Mahasuci aku, Mahasuci aku.’ Ini tidak boleh kecuali bagi Allah.’ Maka aku berkata kepadanya, ‘Apakah Menurutmu ucapan ini benar dari Abu Yazid?’ Dia menjawab, ‘Dia telah mengucapkan hal itu.’ Aku berkata, ‘Ada kemungkinan ucapan ini mempunyai mukadimahmukadimah, lalu dia menyampaikan bahwa Allah berfirman, ‘Subhani.’ Karena bila kita mendengar seseorang berkata, “Tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku…’ (QS. Thaha: 14) maka kita tahu bahwa dia membaca.’” Aku bertanya kepada beberapa orang dari penduduk Bustham tentang bait Abu Yazid ini, mereka menjawab, “Kami tidak mengetahui ini.”

 

Dari Abu Yazid berkata, “Aku thawaf di Ka’bah, tatkala aku sampai kepadanya, aku melihat Ka’bah thawaf di sekelilingku.”

 

Dari Thayfur ash-Shaghir berkata, “Aku mendengar Abu Yazid berkata, ‘Saat aku menunaikan haji yang pertama kali, aku melihat Ka’bah. saat aku haji yang kedua kali, aku melihat Pemilik Ka’bah dan aku tidak melihat Ka’bah. Dan saat aku haji yang ketiga kalinya, aku tidak melihat Ka’bah dan tidak melihat Pemilik Ka’bah.”

 

Dari Abu Yazid, dia ditanya tentang Lauhul Mahfuzh, dia menjawab, “Akulah Lauhul Mahfuzh.”

 

Dari Abu Musa ad-Du‘aili berkata, aku berkata kepada Abu Yazid, “Aku mendengar bahwa hati tiga orang pada hati Jibril.” Maka Abu Yazid menjawab, “Akulah tiga itu.” Aku bertanya, “Bagaimana?” Dia menjawab, “Hatiku satu, semangatku satu dan ruhku satu.” Aku berkata, “Aku mendengar bahwa hati seseorang pada hati Israfil.” Abu Yazid menjawab, “Akulah orang itu, aku seperti samudera yang sangat luas, tidak mempunyai awalan dan akhiran.”

 

As-Sahlaki berkata, “Seorang laki-laki membaca di depan Abu Yazid, ‘Sesungguhnya adzab Rabbmu benar-benar keras.’ (QS. al-Buruj: 12). Maka Abu Yazid berkata, ‘Demi kehidupanku, siksaku lebih keras daripada siksaNya.’”

 

Abu Yazid ditanya, “Aku mendengar bahwa kamu termasuk tujuh.” Dia berkata, “Akulah semua yang tujuh itu.”

 

Abu Yazid ditanya, “Sesungguhnya semua makhluk di bawah panji Sayyidina Muhammad.” Maka Abu Yazid berkata, “Demi Allah, sesungguhnya panjiku lebih besar daripada panji Muhammad, para jin, manusia dan para nabi, mereka semuanya ada di bawah panjiku.”

 

Abu Yazid berkata, “Mahasuci aku, Mahasuci aku, betapa agung kekuasaanku, tidak ada yang semisal denganku di langit, dan tidak ada sepertiku di bumi yang dikenal, aku adalah Dia, Dia adalah aku, Dia adalah Dia.”

 

Abu Yazid ditanya, “Sesungguhnya engkau termasuk abdal yang tujuh di mana mereka adalah patok-patok bumi.” Dia menjawab, “Semua yang tujuh itu adalah aku.”

 

Dari al-Hasan bin Ali bin Salam berkata, bahwa Abu Yazid masuk sebuah kota, dan orang-orang dalam jumlah yang banyak mengikutinya, dia menoleh kepada mereka dan berkata, “Sesungguhnya akulah Allah yang tidak ada Tuhan yang hagq selainku, maka sembahlah aku.” Mereka berkata, “Abu Yazid telah gila, kemudian mereka meninggalkannya.”

 

Abu Yazid berkata, “Suatu kali aku diangkat hingga aku berdiri di hadapanNya, Dia berfirman kepadaku, “Wahai Abu Yazid, sesungguhnya makhlukKu ingin melihatmu.’ Aku menjawab, ‘Yang mulia, aku juga ingin mereka melihatku.’ Dia berfirman, ‘Wahai Abu Yazid, aku ingin memperlihatkanmu kepada mereka.’ Aku menjawab, ‘Yang mulai, bila mereka ingin melihatku dan Engkau menginginkannya, maka aku tidak kuasa menyelisihiMu, dekatkanlah aku dengan keesaanMu, beri aku jubah rububiyahMu, angkatlah aku kepada ketunggalanMu, hingga saat makhlukMu melihatku, mereka berkata, ‘Kami melihatMu, jadi yang mereka lihat adalah Engkau dan aku tidak disana.’ Maka Dia melakukan hal itu terhadapku, Dia memberdirikan aku, menghiasiku dan mengangkatku, kemudian Dia berfirman, ‘Keluarlah kepada makhlukKu.’ Maka aku keluar melangkah satu langkah dari sisiNya kepada makhluk, tetapi di langkah kedua, aku pingsan, Dia memanggil, ‘Kembalikanlah kekasihku, sesungguhnya dia tidak bisa berpisah dariKu sesaat pun.”

 

Dikisahkan dari Abu Yazid bahwa dia berkata, “Musa ingin melihat Allah, sedangkan aku tidak ingin, Dialah yang ingin melihatku.”

 

Dari al-Junaid bin Muhammad berkata, “Kemarin ada seorang laki-laki dari penduduk Bustham datang kepadaku, lalu dia menyebutkan bahwa dia mendengar Abu Yazid al-Busthami berkata, “Ya Allah, bila dalam kitabMu yang mendahului sudah tertulis bahwa Engkau menyiksa seseorang dari makhlukMu dengan api neraka, maka besarkanlah penciptaanku hingga neraka tidak cukup kecuali untukku saja.’”

 

Penulis berkata, “Klaim-klaim ini sangat buruk, dan keburukannya tidak samar karena benar-benar buruk.”

 

Adapun ucapan yang terakhir ini adalah salah dari tiga sisi:

 

> Pertama: Dia berkata, “Bila dalam kitabMu yang mendahului.” Padahal kita sudah tahu secara pasti bahwa disiksanya sebagian orang dengan api neraka adalah kepastian, dan Allah telah menyebut sebagian dari mereka seperti Fir’aun dan Abu Lahab, lalu bagaimana bisa dikatakan sesudah kepastian ini, “Bila.”

 

> Kedua: Ucapannya, “Besarkanlah penciptaanku.” Seandainya dia berkata, “Aku ingin membela orang-orang mukmin,” tetapi dia berkata, “Hingga neraka tidak cukup kecuali untukku saja.” Berarti dia mengasihi orang-orang kafir, dan ini merupakan kelancangan terhadap rahmat Allah.

 

> Ketiga: Dia tidak tahu kadar neraka atau dia yakin sanggup memikulnya, dan kedua kemungkinan ini sama-sama mustahil.

 

Saya katakan bahwa dia berkata, “Demi Allah, kemarin aku berbicara dengan al-Khadhir tentang masalah ini, dan para malaikat mengakui kebaikan pendapatku. Allah mendengar ucapanku, dan Dia tidak mencelanya, seandainya Dia mencelanya, niscaya Dia membuatku bisu.”

 

Sava katakan, “Seandainya laki-laki ini tidak dituduh gila, niscaya kata-katanya patut dibantah. Di mana al-Khadhir?’ Dari mana dia tahu para malaikat mengakui kebaikan pendapatnya? Berapa banyak orang yang mengucap kata-kata buruk yang belum disiksa oleh Allah?!

 

Saya mendengar dari Maimun budaknya bahwa dia berkata, “Saya mendengar dari Samnun al-Muhib bahwa dia menyebut dirinya alKadzdzab disebabkan bait-bait yang diucapkannya, di antaranya,

 

Aku tidak mempunyai bagian pada selainMu

 

Silakan mengujiku sebagaimana Engkau kehendaki.

 

Maka dia diuji dengan kencingnya yang tertahan, sehingga dia tidak tenang, sesudah itu dia berkeliling ke halaqah anak-anak dengan membawa botol untuk menampung kencingnya sambil berkata kepada anak-anak, “Doakan paman kalian al-Kadzdzab.”

 

Penulis berkata, “Kulitku merinding dari hal ini. Anda bisa menduga, apa yang membuatnya kuat?”

 

Ini hanya buah dari kebodohan tentang Allah, seandainya dia mengetahuiNya niscaya dia tidak memohon kecuali keselamatan.

 

Dari Abu al-Abbas bin Atha’ berkata, “Aku tidak mempercayai karomah-karomah ini, hingga seorang tsiqah menyampaikan kepadaku dari Abu al-Husain an-Nuri dan aku bertanya kepadanya, dia berkata, “Demikian yang terjadi.” Dia berkata, kami sedang berada di sebuah perahu di Dijlah, dan orang-orang berkata kepada Abu al-Husain, “Keluarkanlah untuk kami dari sungai Dijlah seekor ikan beratnya tiga kati dan tiga uqiyah.” Maka dia menggerakkan kedua bibirnya, tiba-tiba seekor ikan yang beratnya tiga kati dan tiga uqiyah muncul di air dan naik ke perahu. Abu al-Husain ditanya, ‘Kami memintamu dengan menyebut nama Allah, katakan kepada kami doa apa yang engkau ucapkan?’

 

Dia menjawab, ‘Aku mengucapkan, ‘Ya Allah, demi kemuliaanMu, bila Engkau tidak mengeluarkan seekor ikan yang beratnya tiga kati dan tiga ugiyah maka aku akan menenggelamkan diriku di sungai ini.” Dari al-Junaid berkata, “Aku mendengar an-Nuri berkata, ‘Aku di ar-Riqqah, kemudian para murid yang ada di sana datang kepadaku, dan mereka berkata, ‘Kami hendak menjaring ikan.’ Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Abu al-Husain, berikanlah kepada kami dengan ibadahmu dan kesungguhanmu padanya, engkau adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadah, seekor ikan dengan berat tiga kati, tidak kurang dan tidak lebih.” Maka aku berkata kepada Tuhanku, ‘Bila Engkau tidak mengeluarkan seekor ikan sekarang padanya seperti apa yang mereka sebutkan, maka aku melemparkan diriku di sungai Eufrat.’ Aku mengeluarkan seekor ikan, aku menimbangkan ternyata tiga kati, tidak kurang, tidak lebih.’”

 

Al-Junaid berkata, “Aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu al-Husain, bila ikan tidak muncul, kamu benar-benar melemparkan dirimu?’ Dia menjawab, ‘Ya.’”

 

Dari Abu Ya’qub al-Kharrath berkata, “Abu al-Husain an-Nuri berkata kepadaku, ‘Dalam hatiku masih ada kebimbangan terhadap karomahkaromah ini, maka aku mengambil sebilah bambu dari seorang anak perempuan, kemudian aku berdiri di antara dua perahu seraya berkata, ‘Demi kemuliaanMu, bila Engkau tidak mengeluarkan seekor ikan dengan berat tiga kati, tidak kurang dan tidak lebih, maka aku tidak makan apa pun.”

 

Hal ini sampai kepada al-Junaid, maka dia berkata, “Hukum Allah adalah keluarnya seekor ular yang mematoknya.”

 

Dari Abu Sa’id al-Kharraz berkata, “Dosaku yang paling besar adalah ma’rifatku kepadaNya.”

 

Penulis berkata, “Ini bilamaksudnya adalah bahwa aku mengetahuiNya namun aku tidak beramal sesuai dengan pengetahuanku, maka dosaku besar, sebagaimana dosa orang yang mengetahui dan mendurhakai adalah besar, bila tidak maka ia buruk.

 

Dari asy-Syibli berkata, “Orang-orang mencintaiMu karena nikmatnikmatMu, sedangkan aku mencintaiMu karena ujianMu.”

 

Dari Abdullah Ahmad bin Muhammad al-Hamdani berkata, “Aku datang kepada asy-Syibli, tatkala aku bangkit hendak keluar, dia berkata kepadaku dan kepada orang-orang yang bersamaku saat kami hendak keluar dari pintu, ‘Silakan berjalan, aku bersama kalian di mana pun kalian, dan kalian dalam perlindungan dan penjagaanku.’”

 

Dari Manshur bin Abdullah berkata, “Beberapa orang datang kepada asy-Syibli saat dia sakit dan akhirnya mati, mereka berkata, “Wahai Abu Bakar, bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab: Sesungguhnya kekuasaan cintanya

Berkata aku tak menerima suap

Mereka meminta kepadanya, maka aku menebusnya Kematianku bukan lagi keraguan.

 

Ibnu Aqil berkata, dikisahkan dari asy-Syibli bahwa dia berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman, “Dan kelak Rabbmu pasti memberikan karuniaNya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (QS. adhDhuha: 5). Demi Allah, Muhammad tidak akan pernah ridha selama ada umatnya di neraka.” Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya Muhammad memberi syafaat kepada umatnya, sedangkan aku memberi syafaat sesudahnya kepada penghuni neraka hingga tak tersisa seorang pun di sana.”

 

Ibnu Aqil berkata, “Klaim pertama atas Nabi adalah dusta, karena Nabi menerima bila Allah menyiksa orang-orang fajir, bagaimana tidak sementara beliau telah melaknat sepuluh orang terkait dengan khamr?! Klaim bahwa beliau tidak menerima bila Allah menyiksa orang-orang fajir adalah dusta, dia berkata atas nama syariat yang hanya berpijak kepada kebodohan.

 

Klaimnya bahwa dia memberi syafaat untuk penghuni neraka, bahwa dia melebihi Nabi Muhammad adalah kekufuran, karena bila seseorang berani memastikan bahwa dia termasuk penduduk surga maka dia termasuk penghuni neraka, lalu bagaimana dengan orang ini yang bersaksi untuk dirinya bahwa dia berada dalam derajat yang mengungguli derajat kenabian, bahkan di atas al-Maqam al-mahmud, yaitu syafaat yang paling agung?

 

Ibnu Agil berkata, “Yang bisa aku lakukan terhadap ahli bid’ah adalah lisan dan hatiku. Seandainya aku memegang pedang, niscaya aku akan menghilangkan dahaga bumi ini dengan darah mereka.”

 

Dari Abu al-Abbas bin Atha berkata, “Aku membaca al-Qur’an, aku tidak melihat Allah menyebutkan seorang hamba lalu Dia memujinya kecuali Dia mengujinya, maka aku memohon kepada Allah agar mengujiku, siang dan malam berganti hingga keluar dari ruamahku sebanyak dua puluh orang mayit lebih tak seorang pun yang kembali.” Abu al-Abbas ini kehilangan harta, akal, anak dan istrinya, maka dia pikun selama tujuh tahun atau kurang lebih, ucapan pertama yang diucapkan saat dia sembuh dari pikunnya adalah:

 

Aku berkata benar, sungguh Engkau telah membebaniku dengan kezhaliman

 

Aku memikul keinginanMu dan_

kesabaranku, sungguh itu mengagumkan

 

Saya katakan, “Kebodohan laki-laki ini membuahkan ujian yang menimpanya, dan menganggap permohonan ditimpakannya ujian mengandung makna penguatan termasuk keburukan yang paling buruk.”

 

Sedangkan kezhaliman tidak boleh dinisbatkan kepada Allah.

 

Kemungkinan yang terbaik dari keadaan lelaki ini adalah bahwa dia mengucapkannya saat pikun.

 

Dari Muhammad bin al-Husain as-Sulami berkata, aku mendengar Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Hushri berkata, “Bie kan diriku dan ujian yang menimpaku, bukankah kalian adalah Ahlus Sunnah-anak Adam yang Allah ciptakan dengan tanganNya menampakkan padanya dari ruhnya, memerintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya dan Dia memerintahkannya dengan perintahnya lalu dia menyelisihiNya? Bila bagian atas gentong minyak keruh lalu bagaimana dengan bagian bawahnya?!”

 

Al-Hushri berkata, “Bertahun-tahun bila aku membaca al-Qur’an aku tidak meminta perlindungan dari setan, aku tidak berkata, ‘Dari setan’, hingga firman al-Haq hadir.”

 

Penulis berkata, “Perbuatannya ini menyelisihi perintah Allah dalam firmanNya:

 

“Maka apabila engkau membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah.” (QS. an-Nahl: 99).

 

Dari Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad ad-Dinawari berkata, “Mereka menghancurkan sendi-sendi tasawuf, merusak jalannya, merubah makna-maknanya dengan nama-nama yang mereka buatbuat,”? mereka menyebut tabiat sebagai tambahan, adab buruk sebagai keikhlasan, menyimpang dari kebenaran sebagai kekeliruan, menikmati sesuatu yang tercela sebagai sesuatu yang baik, menghiasi akhlak jelek sebagai keberanian, bakhil sebagai keteguhan, mengikuti hawa nasfu sebagai ujian, kembali kepada dunia sebagai sampai ke tujuan, memintaminta amal dan lisan yang kotor sebagai kritikan.”

 

Inilah jalan mereka yang melenceng.

 

Ibnu Aqil berkata, “Orang-orang sufi mengungkapkan yang haram dengan kata-kata yang merubah nama namun maknanya tetap. Maka mereka menyebut berkumpul untuk bernyanyi dan bermain-main dengan waktu, mereka menyebut anak-anak muda yang belum bercambang dengan syab, wanita yang digandrungi dengan ukht (saudara perempuan), wanita yang mencintai dengan muridah (murid perempuan), berdendang dan berjoget dengan wajd, pos kemalasan dan permainan dengan ribath. Padahal merubah nama-nama ini tidak boleh.”

 

Beberapa Perbuatan Mungkar yang Diriwayatkan dari Orang-orang Sufi

 

Saya berkata, “Telah disebutkan perbuatan-perbuatan mereka dalam jumlah yang banyak yang semuanya mungkar, dan di sini kami menyebutkan perbuatan yang termasuk induk perbuatan dan keanehannya.

 

Dari Abu Ja’far al-Kuraiti berkata, “Suatu malam aku junub, maka aku harus mandi, tetapi malam itu sangat dingin, maka jiwaku cenderung malas dan ingin menunda, dan jiwaku berkata kepadaku, ‘Sekiranya kamu menunda mandi hingga pagi, saat itu kamu menjerang air atau masuk ke pemandian, bila tidak bebanilah dirimu dengan beban yang berat!?’ Maka aku berkata dalam diriku, ‘Sangat mengherankan, aku bergaul dengan Allah sepanjang hidupku, wajib atasku untukNya sebuah hak, aku tidak segera menunaikannya, sebaliknya aku malah berlamalama dan berlambat-lambat, aku bersumpah tidak akan mandi kecuali di sungai, dan aku bersumpah akan mengeringkannya di bawah terik matahari.” Atau seperti yang dia ucapkan.

 

Saya berkata, “Laki-laki ini menyebutkan perbuatannya ini kepada orang-orang untuk menjelaskan bahwa perbuatannya adalah baik dan bagus, lalu orang-orang menceritakannya darinya supaya menjelaskan keutamaannya, padahal itu adalah kebodohan murni, karena laki-laki ini mendurhakai Allah dengan perbuatannya. Perbuatan ini hanya mengundang takjub orang-orang awam yang dungu bukan para ulama.

 

Seseorang tidak boleh menghukum dirinya, namun laki-laki yang patut dikasihani ini malah mengumpulkan berbagai bentuk penyiksaan atas dirinya, masuk ke dalam air dingin, dengan baju tambal-tambal yang membuatnya tak leluasa bergerak, dan tentu ada bagian-bagian tertentu dari badannya yang tak terjangkau air karena tebalnya baju tambal-tambalnya, lalu dia tetap memakainya selama sebulan dalam keadaan basah, sehingga yang demikian membuatnya tak dapat tidur nyenyak.

 

Semua perbuatan ini dosa dan salah, bahkan bisa jadi ia menyebabkannya sakit atau mati.

 

Dari Hamd bin Ahmad bin Abdullah al-Ashbahani berkata, “Istri Ahmad bin Hadhrawaih telah membebaskan suaminya dari kewajiban mahar dengan syarat dia membawanya berkunjung kepada Abu Yazid al-Bisthami, maka suaminya membawanya kepadanya, dia pun masuk kepadanya, lalu duduk di depannya dengan membuka wajahnya, maka Ahmad berkata kepada istrinya, ‘Aku melihat sesuatu yang aneh pada dirimu, kamu membuka wajahmu di depan Abu Yazid!’ Istrinya menjawab, ‘Tatkala aku melihat kepadanya, aku kehilangan bagian diriku, namun setiap aku melihat kepadamu, aku kembali menemukan bagian diriku.’ Tatkala Ahmad hendak keluar dari sisi Abu Yazid, dia berkata kepada Abu Yazid, ‘Beri aku wasiat.’ Abu Yazid berkata, ‘Belajarlah kejantanan dari istrimu!!”

 

Penyimpangan Mereka Terhadap Tubuh dan Harta

 

Dari Yusuf bin al-Husain berkata, bahwa antara Ahmad bin Abu alHawari dengan Abu Sulaiman ada sebuah kesepakatan tidak menentang perintahnya, apa pun ia.’’? Suatu hari Ahmad datang saat Abu Sulaiman berbicara di majelisnya, lalu dia berkata, “Kompor sudah kami nyalakan, selanjutnya apa perintahmu?” Abu Sulaiman tak menjawab, hingga Ahmad mengulanginya dua atau tiga kali, maka Abu Sulaiman menjawab, “Pergilah dan duduklah di atasnya.” Maka Ahmad melakukan. Abu Sulaiman berkata kepada orang-orang, “Susullah dia, karena antara diriku dengan dirinya ada kesepakatan agar ia tidak menentang perintahku apa pun itu.” Maka Abu Sulaiman bangkit dan mereka mengaikutinya, mereka menghampiri kompor, mereka melihat Ahmad duduk di tengahnya, maka Abu Sulaiman menarik tangannya dan memberdirikannya, sementara Ahmad tak terluka sedikit pun.

 

Penulis berkata, “Hikayat yang jauh dari kebenaran. Seandainya ia benar maka masuknya dia di dalam kompor adalah dosa.”

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Ali berkata, bahwa Rasulullah mengirim sebuah pasukan, beliau mengangkat seorang laki-laki Anshar sebagai panglimanya. Tatkala mereka keluar, sang panglima marah kepada anak buahnya karena suatu perkara, dia berkata kepada mereka, “Bukankah Rasulullah telah memerintahkan kalian agar menaatiku?” Mereka menjawab, “Benar.” Dia berkata, “Kumpulkanlah kayu bakar.” Kemudian mereka mengumpulkannya, lalu dia menyalakan api kemudian dia berkata, “Aku memerintahkan kalian agar masuk ke dalamnya.” Beberapa orang hendak masuk, maka seorang anak muda berkata, “Kalian berlari kepada Rasulullah dari api, jangan terburuburu sebelum kalian bertemu beliau, bila beliau memerintahkan kalian masuk maka masuklah.” Maka mereka kembali kepada Nabi dan mengabarkannya kepada beliau, maka Rasulullah bersabda kepada mereka, “Kalau kalian memasukinya niscaya kalian tidak akan keluar darinya selamanya. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan.”

 

Dari Abdullah bin Ibrahim al-Jazari berkata, bahwa Abu al-Khair ad-Du’Ali berkata, “Aku sedang duduk di sisi Khair an-Nassaj, kemudian seorang wanita datang, dia berkata kepadanya, ‘Berikanlah sapu tangan .yang aku berikan kepadamu.’ Dia menjawab, ‘Baik.? Dia menyerahkannya kepadanya. Wanita itu bertanya, ‘Berapa upahnya?’ Dia menjawab, ‘Dua dirham.’ Wanita itu berkata, ‘Saat itu aku tidak punya uang, aku sudah bolak-balik datang kepadamu namun aku tidak melihatmu, aku akan datang lagi besok insya Allah.” Maka Khair berkata kepadanya, ‘Bila kamu datang kepadaku dan tidak menemukanku maka lemparkanlah dua dirham itu ke sungai Dijlah, bila aku datang aku akan mengambilnya.’ Wanita itu bertanya, ‘Bagaimana engkau mengambilnya dari Dijlah?’ Khair menjawab, ‘Pertanyaan ini bukan urusanmu, lakukan saja apa yang aku perintahkan kepadamu.’ Wanita itu menjawab, ‘Insya Allah.’ Lalu dia pergi.”

 

Abu al-Husain berkata, “Esok hari aku datang, saat itu Khair tidak di tempat, wanita tersebut datang dengan membawa kantong berisi dua dirham, namun dia tidak menemukan Khair, maka dia melemparkan kantong ke sungai Dijlah. Tiba-tiba seekor kepiting menangkapnya dan membawanya ke dasar air. Sesaat setelahnya Khair datang lantas membuka kiosnya, lalu dia duduk di pinggir sungai untuk berwudhu, tiba-tiba seekor kepiting keluar dari air berjalan ke arahnya sementara kantong itu di punggungnya. Khair pun mengambilnya, lantas aku bertanya kepadanya, ‘Aku melihatmu demikian, demikian.’ Dia berkata, ‘Aku ingin kamu tidak menceritakannya selama aku hidup.’ Aku pun menyanggupinya.”

 

Penulis berkata, “Cerita ini jauh dari kebenaran. Seandainya ia benar, maka perbuatan ini tetap menyelisihi syariat, karena syariat memerintahkan menjaga harta, sedangkan perbuatan dalam kisah ini adalah menyia-nyiakan harta.”

 

Dalam ash-Shahih disebutkan bahwa Nabi melarang menyianyiakan harta.

 

Jangan mendengar ucapan orang yang mengklaim bahwa perbuatan ini sebagai karomah, karena Allah tidak memuliakan penyelisih syariat.

 

Dari Ali bin Abdurrahim berkata, “Suatu hari aku datang kepada anNuri, dan aku melihat kedua kakinya bengkak, maka aku bertanya tentang sebabnya, dia menjawab, Jiwaku mengajakku makan kurma, namun aku menolaknya, tetapi jiwaku tetap ingin, maka aku membelinya. Tatkala aku memakannya, aku berkata kepadanya, ‘Berdirilah dan shalatlah.’ Namun ia menolak, maka aku berkata, ‘Untuk Allah atasku, aku tak akan duduk selama empat puluh hari kecuali saat tasyahud.’ Maka aku tak duduk.’”

 

Saya katakan, “Orang bodoh yang mendengar kisah ini akan berkata, ‘Betapa bagusnya mujahadah ini.’ Padahal dia tidak tahu bahwa perbuatan ini dilarang, karena ia membawa jiwa pada apa yang tidak boleh dan menghalang-halanginya dari istirahat yang merupakan haknya.”

 

Abu Hamid al-Ghazali menceritakan dalam kitab al-Ihya~, dia berkata, “Sebagian syaikh di awal perjalanannya malas untuk shalat malam, maka dia memaksa dirinya berdiri di atas kepalanya sepanjang malam, agar jiwanya mau shalat secara suka rela. Sebagian dari mereka mengatasi cinta harta dengan menjual semua hartanya dan membuangnya ke laut, karena bila dia membagi-bagikannya kepada orang-orang, dia takut keburukan sikap berderma dan riva~ memberi. Sebagian dari mereka menyewa orang untuk mencaci makinya di depan orgng-orang untuk melatih kesantunan diri. Ada juga yang menyeberang lautan di musim dingin saat ombaknya besar untuk melatih keberanian.”

 

Penulis berkata, “Yang paling aneh dari mereka semuanya adalah Abu Hamid sendiri, bagaimana dia menceritakan kisah-kisah ini tanpa mengingkarinya?! Memang dia tak akan mengingkarinya karena dia menghadirkannya dalam konteks pengajaran.”

 

Dia berkata sebelum menurunkan hikayat-hikayat ini, “Syaikh harus melihat kepada keadaan murid pemula, bila dia melihat murid memiliki harta melebihi kebutuhannya maka dia mengambilnya dan memberikannya kepada kebaikan dan mengosongkan hatinya darinya hingga hatinya tidak rnenoleh kepadanya. Bila dia melihat kesombongan menquasainya, maka dia menyuruhnya bekerja di pasar, dan memaksanya mengemis secara terus-menerus. Bila dia melihat kemalasan mendominasinya, maka dia mempekerjakannya di WC untuk membersihkannya, menyapu tempat-tempat kotor, di dapur dan bergelut dengan asap. Bila dia melihat nafsu makan padanya, maka dia memaksanya berpuasa. Bila dia melihat anak muda yang nafsunya tidak mengendur dengan puasa, maka dia memerintahkannya agar berbuka dengan minum air tanpa roti, lalu di hari berikutnya berbuka dengan roti tanpa air, dan ia tidak memberinya daging sama sekali.”

 

Saya katakan, “Saya sungguh heran kepada Abu Hamid, bagaimana dia memerintahkan semua perkara yang menentang syariat ini?! Bagaimana dia membolehkan berdiri di atas kepalanya sepanjang malam, lalu darah turun ke wajahnya, sedangkan hal ini bisa menyebabkan penyakit berbahaya?! Bagaimana dia membolehkan membuang harta ke laut, sementara Rasulullah melarang menyia-nyiakan harta?! Apakah mencaci maki seorang muslim tanpa sebab halal?! Apakah seorang muslim boleh memberi upah orang lain untuk ini?! Bagaimana boleh menyeberangi lautan yang sedang bergejolak, padahal saat itu adalah waktu yang mana kewajiban haji gugur?! Bagaimana mengemis itu dibolehkan bagi siapa yang kuat berusaha?!

 

Betapa murahnya Abu Hamid al-Ghazali menjual fikih dengan tasawuf!

 

Penyimpangan Mereka di Bidang Tarbiyah dan Pengarahan

 

Dari al-Hasan bin Ali ad-Damaghani, ia berkata, “Ada seorang laki-laki penduduk Bistham selalu hadir di majlis Abu Yazid dan tidak pernah meninggalkannya. Suatu hari laki-laki ini berkata kepada Abu Yazid, ‘Wahai Ustadz, aku sudah berpuasa tanpa berbuka dan shalat malam selama tiga puluh tahun dan aku meninggalkan syahwat, namun dalam hatiku sama sekali tidak ada apapun sebagaimana yang engkau katakan.’ Maka Abu Yazid menjawab, ‘Seandainya kamu berpuasa dan shalat malam tiga ratus tahun sedangkan kamu seperti yang aku lihat maka kamu tidak akan mendapatkan ilmu ini walaupun hanya seberat seekor semut.’ Dia bertanya, ‘Mengapa ustadz?’ Abu Yazid menjawab, ‘Karena kamu terhalangi oleh dirimu.’ Dia bertanya, ‘Apakah hal ini ada obatnya hingga hijab ini terangkat?’ Abu Yazid menjawab, ‘Ya, sayangnya kamu tidak akan menerimanya.’ Dia berkata, ‘Tidak, aku siap menerimanya dan mengamalkan apa yang engkau ucapkan.’ Abu Yazid berkata, ‘Pergilah sekarang ke tukang bekam, cukurlah rambut dan jenggotmu, lepaskanlah bajumu ini, gantilah dengan jubah, gantungkanlah keranjang di lehermu dan isilah dengan kelapa, lalu undanglah anak-anak dan berteriaklah sekuatmu, ‘Wahai anak-anak, siapa yang menamparku sekali, maka aku memberinya sebutir kelapa.’ Lalu pergilah ke pasarmu di mana kamu dihormati di sana.’ Laki-laki itu berkata, ‘Wahai Abu Yazid, subhanallah, engkau berkata seperti itu kepadaku, apakah baik aku melakukannya?’ Abu Yazid berkata, ‘Ucapanmu, subhanallah adalah syirik.” Dia bertanya, ‘Bagaimana demikian?’ Abu Yazid menjawab, ‘Karena kamu mengagungkan dirimu lalu kamu menyucikannya.’ Dia berkata, ‘Wahai Abu Yazid, aku tak kuasa melakukan apa yang engkau katakan dan aku tidak akan melakukannya, tetapi tunjukkan cara lain hingga aku melakukannya.’ Maka Abu Yazid menjawab, ‘Lakukanlah ini segera sebelum yang lainnya agar kamu bisa menjatuhkan kedudukanmu dan menghinakan dirimu, setelah itu aku baru akan memberitahumu apa yang baik bagimu.’ Dia berkata, ‘Aku tak mampu.’ Abu Yazid berkata, ‘Kamu tidak menerima.’”

 

Penulis berkata, “Alhamdulillah tak satu pun dari apa yang diucapkan oleh Abu Yazid ada dalam syariat kita, sebaliknya ia dilarang dan tidak dibolehkan, Nabi kita bersabda, ‘Seorang mukmin tidak patut menghinakan dirinya.”’

 

Suatu kali Hudzaifah tertinggal darishalatJum’at, dandiamelihat orang-orang telah pulang, maka dia bersembunyi agar tak dipandang rendah karena ketertinggalannya. Apakah syariat menuntut seseorang untuk membuang bekas dari jiwa?! Sebaliknya syariat berusaha membiarkan kedudukan jiwa, kalau ada orang bahlul yang memerintahkan anak-anak agar menamparinya maka perbuatannya adalah buruk.

 

Kami berlindung kepada Allah dari akal-akal rendah yang meminta murid pemula melakukan sesuatu yang tidak diridhai oleh syariat hingga ia lari menjauh.

 

Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan dalam kitab al-Ihya’ dari Yahya bin Muadz bahwa dia berkata, aku berkata kepada Abu Yazid, “Apakah kamu memohon ma’rifat kepada Allah?” Dia menjawab, “Berat bagiNya mengenalkannya selainNya.”

 

Saya katakan, “Ini adalah pengakuan-pengakuan terhadap kebodohan. Bila dia mengisyaratkan kepada ma’rifatullah secara umum, dan bahwa Allah ada dan disifati dengan sifat-sifat, maka hal ini tak seorang pun muslimin yang tak mengetahuinya. Tetapi bila dia mengkhayalkan untukNya bahwa ma’rifatNya adalah mengetahui hakikat dzatNya dan jati diriNya, maka ini adalah kebodohan terhadapNya.”

 

Abu Hamid menyebutkan bahwa Abu Turab an-Nakhsyabandi berkata kepada seorang muridnya, “Seandainya kamu melihat Abu Yazid sekali saja, niscaya ia lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah tujuh puluh kali!”

 

Saya katakan, “Ini merupakan ucapan yang melampaui kegilaan yang bertingkat-tingkat.

 

Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan dari Ibnu Kurainy bahwa dia berkata, “Aku datang ke suatu tempat, di sana aku dikenal shalih, maka kebanggaan tumbuh dalam hati. Aku masuk ke pemandian umum, dan aku melihat-lihat baju yang bagus, aku pun mencurinya lantas memakainya dan merangkapinya dengan baju tambal-iambalku. Aku pun keluar dengan berjalan perlahan-lahan, namun mereka menyusulku dan menangkapku lantas melepaskan baju tambal-tambalku. lalu mengambil baju bagus dari tubuhku, kemudian mereka menampariku, sesudah itu aku dikenal dengan sebutan maling kamar mandi, maka tenanglah jiwaku.”

 

Abu Hamid berkata, “Demikian mereka melatih diri mereka hingga Allah mengentaskan mereka dari melihat kepada makhluk kemudian melihat kepada jiwa. Terkadang orang-orang yang mengalami kondisi tersebut (arbabul ahwal) mengobati diri mereka dengan sesuatu yang tidak difatwakan oleh orang yang fakih selama mereka melihat bahwa itulah kebaikan hati mereka, kemudian mereka memperbaiki kekeliruan yang terjadi dari mereka, seperti yang dilakukan oleh orang ini di pemandian!”

 

Saya katakan, “Mahasuci Allah yang mengeluarkan Abu Hamid dari lingkaran fikih dengan penyusunannya buku al-Ihya’, andaikan saja ia tidak tidak menceritakan kisah yang tidak diperbolehkan ini.

 

Sedangkan yang aneh, dia mengisahkannya dan menyatakannya bagus, dan pelakunya dia sebut dengan arbabul ahwal. Padahal adakah keadaan yang paling buruk dan paling jelek dari keadaan orang yang menyelisihi syariat dan memandang bahwa kemaslahatan ada di balik apa yang dilarangnya?! Bagaimana boleh berusaha memperbaiki hati dengan melakukan kemaksiatan?!

 

Apakah dalam syariat sudah tidak ada lagi ajaran yang bisa memperbaiki hatinya hingga dibutuhkan cara yang tidak diperbolehkan di dalam syariat?! Inisetali tiga uang dengan apa yang dilakukan oleh para pemimpin bodoh yang memotong tangan orang yang tidak pantas dipotong, dan membunuh orang yang tidak pantas dibunuh, lalu mereka menyebutnya dengan kebijaksanaan, padahal kandungannya adalah tudahan bahwa syariat tidak bijaksana.

 

Bagaimana seorang muslim boleh melakukan sesuatu hingga ia disebut, “Maling?!” Bolehkah seorang muslim merendahkan agamanya dan menghapuskan hal itu di depan para saksi Allah di muka bumi?!

 

Seandainya seorang laki-laki berdiri bersama istrinya di jalanan, dan dia berbicara dengan istrinya serta meraba-rabanya agar orang-orang yang melihatnya berkata tentangnya fasik, niscaya suami ini adalah pelaku dosa.

 

Kemudian bagaimana boleh mengambil harta orang lain tanpa izinnya?! Kemudian dalam madzhab Ahmad dan asy-Syafi’i disebutkan, “Siapa yang mencuri baju di pemandian yang ada penjaganya, maka tangannya dipotong. Kemudian siapa arbabul ahwal hingga mereka ? beramal sesuai dengan kenyataan mereka?! Tidak, demi Allah! Sesungguhnya kita mempunya syariat yang seandainya Abu Bakar ashShiddiq hendak keluar darinya untuk mengamalkan akalnya niscaya hal itu tetap tidak diterima darinya.”

 

Aku lebih heran terhadap laki-laki fakih yang fikinnya dicabut darinya karena tasawuf daripada terhadap laki-laki yang ditelanjangi karena mencuri baju itu.

 

Menghina Diri Mereka

 

Dari Muhammad bin Ahmad an-Najjar berkata, bahwa Ali bin Babawaih adalah penganut sufi. Suatu hari dia membeli sepotong daging, dan hendak membawanya pulang, namun dia malu kepada orang-orang pasar, maka dia menggantungkan daging di lehernya dan pulang.

 

Saya katakan, “Sungguh benar-benar aneh orang-orang yang menuntut diri mereka membuang dampak tabiat, padahal itu sebuah perkara yang mustahil dan tidak pula dituntut oleh syariat, bahkan ia telah tertanam dalam tabiat bahwa seseorang tidak suka dilihat kecuali dalam pakaian yang bagus, dia malu bila telanjang dan membuka kepalanya dan syariat pun tidak memungkirinya.”

 

Penghinaan terhadap diri di depan orang-orang yang dilakukan oleh orang ini adalah perbuatan buruk dari sisi syariat dan akal, serta menjatuhkan kehormatan bukan latihan, ibarat orang yang membawa alas kakinya di kepalanya.

 

Allah telah memuliakan manusia, dan memberi mereka orang yang bisa melayaninya, maka bukanlah terrmasuk ajaran agama ini seseorang yang menghinakan dirinya di depan manusia.

 

Ada kelompok sufi yang bernarna al-Malamatiyvah, mereka melakukan dosa-dosa dan berkata, “Tujuan kami agar kedudukan kami jatuh di depan orang-orang, hingga kami selamat dari dampak buruk kedudukan dan selamat dari lingkaran orang-orang riya~.”

 

Mereka ibarat orang yang berzina dengan seorang wanita dan wanita tersebut hamil, lalu orang tersebut ditanya, “Mengapa kamu tidak melakukan az/ saat berzina?” Dia menjawab, “Aku mendengar bahwa azl makruh.”‘ Lalu dikatakan kepadanya, “Dan tidakkah kamu tahu bahwa zina itu haram?!”

 

Orang-orang bodoh itu telah menjatuhkan kehormatan mereka di depan Allah, mereka lupa bahwa kaum muslimin adalah para saksi Allah di muka bumi.”

 

Dari Abu Amru bin Ulwan berkata, bahwa Abu al-Husain an-Nurj membawa tiga ratus dinar hasil penjualan rumahnya, dan dia duduk dj sebuah jembatan, lalu dia melemparnya satu demi satu ke sungai sambil berkata, “Kamu datang kepadaku hendak menipuku dengan seperti ini!!” As-Sarraj berkata, “Maka sebagian orang berkata, ‘Seandainya ia membelanjakannya di jalan Allah niscaya ia lebih baik baginya.’”

 

Saya katakan, “Bila dinar-dinar itu menyibukkannya dari Allah sekejap saja, maka wajib atasnya membuangnya ke dalam air sekaligus, hingga dia bisa cepat bebas dari fitnahnya, sebagaimana Allah berfirman:

 

“Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.” (QS. Shad: 33).

 

Saya katakan, “Orang-orang itu telah membuka kedok mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh dalam syariat, tidak berakal, sedangkan kami telah menjelaskannya sebelumnya bahwa syariat memerintahkan menjaga harta, bahwa harta tidak diserahkan kecuali kepada orang yang kapabel, dan syariat menjadikannya sebagai tulang punggung hidup manusia, akal pun mengakuinya bahwa harta diciptakan untuk berbagai kebaikan. Bila seseorang melemparkannya ke dalam sungai, maka dia merusak sesuatu yang merupakan sebab maslahatnya, dan ia bodoh terhadap hikmah peletaknya.

 

Pemakluman as-Sarraj terhadapnya adalah lebih buruk daripada perbuatannya, karena bila dia takut firnahnya, maka sepatutnya dia melemparkannya kepada orang miskin dan bebas. Penyimpangan-penyimpangan Mereka dalam Tafsir AlQuran Di antara kebodohan mereka adalah bahwa mereka membawa al-Qur’an kepada akal mereka yang rusak, berhujjah kepada perbuatan Sulaiman yang mengusap kaki dan leher kuda-kudanya dan menyangka bahwa hal itu menunjukkan dibolehkannya merusak, padahal merusak tak pernah dibolehkan dalam satu syariat pun, sementara Sulaiman hanya mengusapkan tangannya dan berkata, “Kamu di jalan Allah.”

 

Abu Nashr as-Sarraj berkata dalam kitab al-Luma’, bahwa Abu Ja far ad-Darraj berkata, “Suatu hari ustadzku berwudhu, maka aku membawa ember, lalu aku menelitinya, dan aku menemukan sesuatu dari perak yang harganya empat dirham. Malam itu, dia bermalam tanpa makan apa pun. Tatkala dia kembali, aku berkata kepadanya, ‘Kami lapar, sedangkan di embermu adadirham sekian, sekian.’ Dia bertanya, ‘Kamu mengambilnya? Kembalikanlah.’ Setelah itu dia berkata kepadaku, ‘Ambillah dan belilah sesuatu dengannya.’ Aku bertanya, ‘Demi hak Rabbmu, bagaimana kisah perak ini.’ Dia menjawab, ‘Allah tidak memberiku rizki dari dunia selainnya, aku hendak berwasiat bila aku mati pendamlah ia bersamaku, bila Kiamat tiba, aku akan mengembalikannya kepada Allah, aku akan berkata kepadaNya, ‘Inilah yang Engkau berikan kepadaku di dunia.’”

 

Dari Abu Abdullah al-Hushri berkata, “Abu Ja’ far al-Haddad menjalani hidup selama dua puluh tahun bekerja dengan upah satu dinar perhari, dia memberikannya kepada orang-orang fakir dan dia sendiri berpuasa, sementara di antara waktu Maghrib dan Isya’ dia berkeliling dari pintu ke pintu meminta makan untuk berbuka puasa.”

 

Penulis berkata, “Seandainya orang ini tahu bahwa mengemis bagi orang yang masih mampu berusaha tidak boleh, niscaya dia tak melakukannya. Bila kita asumsikan boleh, lalu di mana kemuliaan jiwa dari kehinaan mengemis?!”

 

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Salah seorang di antara kalian terus-menerus meminta hingga dia bertemu Allah sementara di wajahnya tak ada secuil pun daging. 

 

Dari az-Zubair bin al-Awwam, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Seorang laki-laki mengambil tambang dan mencari kayu bakar, kemudian kembali dan meletakkannya di pasar lantas menjualnya, kemudian mencukupi diri dengan menginfakkannya kepada dirinya adalah lebih baik daripada dia meminta kepada manusia, mereka memberinya atau tidak. ” Dalam hadits Abdullah bin Amru dari Nabi bahwa beliau bersabda, “Sedekah tidak halal bagi orang kaya dan bagi orang kuat yang sehat.”

 

Kata  bermakna kuat, asalnya dari kuatnya ikatan tambang, dikatakan  yang berarti aku memilihnya dengan kuat, Maknanya dalam hadits adalah kekuatan manusia, kesehatan jasmani yang dengannya seseorang kuat memikul beban dan lelah.

 

Asy-Syafi’i berkata, “Sedekah tidak halal bagi orang yang mempu

 

nyai kemampuan untuk berusaha.” Bentuk-bentuk Penyimpangan Mereka Dari Abu al-Hasan Yunus bin Abu Bakar asy-Syibli berkata, “Suatu malam bapakku berdiri, dan dia meninggalkan satu kaki di atas atap dan kaki lainnya di atas rumah, lalu aku mendengarnya berkata, ‘Bila kamu gemetar, maka aku akan melemparmu ke rumah.’ Dia terus demikian sampai pagi. Saat pagi tiba aku mendengarnya berkata, ‘Wahai anakku, malam ini aku tidak mendengar seorang pun yang berdizkir kepada Allah kecuali seekor ayam jago yang harganya hanya dua daniq.’”

 

Penulis berkata bahwa laki-laki ini menggabungkan dua perkara yang tidak boleh.

 

> Pertama: Membahayakan diri, seandainya dia kalah oleh kantuknya lalu jatuh, maka dia telah mencelakakan dirinya, tanpa ragu seandainya dia melemparkan dirinya, maka dia melakukan kemaksiatan besar, maka memposisikan dirinya dalam resiko bahaya adalah juga maksiat.

 

> Kedua: Dia tidak memberikan hak tidur kepada kedua matanya, padahal Nabi bersabda:

 

“Sesungguhnya jasadmu mempunyai hak atasmu, sesungguhnya istrimu mempunyai hak atasmu, sesungguhnya matamu mempunyai hak atasmu.” Nabi bersabda:

 

“Bila salah seorang dari kalian mengantuk maka hendaklah ia tidur, “

 

Nabi melewati tambang yang dipasang oleh Zainab, apabila dia lelah, dia berpegangan kepadanya, maka Nabi memerintahkan agar ja diturunkan, beliau bersabda:

 

“Hendaknya salah seorang dari kalian shalat saat giat, bila malas atau lelah maka silakan tidur. ”

 

Dari al-Husain bin Ahmad bin Abdurrahman ash-Shaffar berkata, “Asy-Syibli keluar pada hari raya, dan dia telah mencukur alis serta bulu matanya, dia memakai surban dan berkata, Manusia mempunyai saat berbuka dan hari raya

 

Sedangkan aku adalah orang khusus tersendiri

 

Dari Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Abu Shabir ad-Dallal berkata, “Aku melihat asy-Syibli di kubah para penyair di masjid Jami’ alManshur, orang-orang berkumpul di sekitarnya, lalu di halaqah tersebut berdiri seorang anak muda yang rupawan, sedangkan di Baghdad tidak ada anak muda yang lebih rupawan darinya, dia dikenal dengan nama Ibnu Muslim, maka asy-Syibli berkata kepadanya, ‘Menyingkirlah.’ Anak muda itu tidak bergeming. Kemudian asy-Syibli berkata yang kedua kalinya, ‘Dasar setan! Menyingkirlah kamu dari kami.’ Namun anak muda itu tetap di tempat. Maka asy-Syibli berkata untuk yang ketiga kalinya, ‘Menyingkirlah atau aku akan mencabik-cabik apa yang ada padamu.’ Anak muda ini berpakaian sangat bagus yang harganya sangat mahal, maka anak muda itu menyingkir, lalu asy-Syibli berkata:

 

Mereka melemparkan daging kepada rajawali

Di atas dua puncak Adan

Kemudian mereka menyalahkan rajawali saat Mereka melepaskan tali kekang dari mereka

Kalau mereka menginginkan kebaikan kami

Mereka menutup wajahmu yang tampan.

 

Ibnu Aqil berkata, “Barangsiapa berkata demikian, maka dia telah keliru dari jalan syariat, karena dia berkata bahwa Allah tidak menciptakan wajah tampan kecuali untuk memicu fitnah, padahal tidak demikian, Allah menciptakannya untuk dijadikan sebagai pelajaran dan ujian, karena matahari diciptakan untuk menyinari bukan disembah.”

 

Dari Ahmad bin Muhammad an-Nuhawandi berkata bahwa anak asySvibli bernama Ali mati, lalu ibunya memotong rambutnya untuknya, maka asy-Syibli vang berjenggot lebat mencukur seluruh jenggotnya. Dia ditanya, “Wahai Ustadz, mengapa engkau melakukannya?” Dia menjawab, “Istrinya memotong rambutnya untuk anak yang mati, apakah aku tidak mencukur jenggotku untuk yang ada?!”

 

Dari Abdullah bin Ali as-Sarraj berkata, “Terkadang asy-Syibli memakai baju mahal kemudian dia melepasnya dan meletakkannya di atas api.”

 

Dia berkata, “Ada yang berkata bahwa asy-Syibli mengambil sepotong kayu gaharu, dan membakarnya, sedangkan asapnya dia gunakan untuk mengaromai ekor keledai.”

 

As-Sarraj berkata, “Dikisahkan dari asy-Syibli bahwa dia menjual rumahnya, lalu dia membagi-bagikan hasilnya, padahal dia memiliki keluarga, namun dia tak memberi mereka sepeser pun, dia mendengar seseorang membaca, “Tinggallah dengan hina di dalarnnya,” (QS. alMukminun 108), maka dia berkata, “Seandainya aku salah satu dari mereka.”

 

Saya berkata, “Laki-laki ini menyangka bahwa yang berbicara kepada mereka adalah Allah, padahal Allah tidak berbicara kepada mereka. Kemudian seandainya Allah berbicara kepada mereka sebagai penghinaan, lalu apa artinya ini hingga ia diminta?!”

 

As-Saraj berkata, “Suatu kali asy-Syibli berkata dalam majlisnya, “Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba, bila mereka meludahi Jahanam niscaya ia padam.”

 

Saya katakan, “Ini sejenis dengan ucapan Abu Yazid, dan keduanya dari sumber yang sama.” .

 

Dari Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Aku mendengar bahwa asy-Syibli bercelak dengan garam sekian-sekian agar bisa terjaga dan tidak tidur.”

 

Penulis berkaia, “Ini adalah perbuatan buruk, seorang muslim tidak halal menyiksa dirinya, karena ia menyebabkan buta, dan tidak boleh berjaga terus-menerus, karena ia mengabaikan hak jiwa, dan sepertinya yang membuatnya keluar ke keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan seperti ini adalah rasa lapar dan menolak tidur!!”

 

Saya katakan, “Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan bahwa asy-Syibli mengambil lima puluh dinar, dan dia membuangnya di sungai Dijlah, lalu dia berkata, “Tak seorang pun memuliakanmu kecuali Allah menghinakannya.”

 

Aku lebih heran kepada Abu Hamid melebihi keherananku kepada asy-Syibli, karena Abu Hamid menyebutkannya sebagai sebuah sanjungan dan ia sama sekali tidak mengingkarinya, lalu di manakah dampak fikih?!

 

Kebodohan-kebodohan Fikih Mereka

 

Dari Husain bin Abdullah al-Qazwaini berkata, bahwa orang yang hadir di majlis Bannan menyampaikan kepadaku bahwa dia berkata, “Suatu hari aku tidak mendapatkan makanan, sampai aku mencapai batas darurat. Aku melihat sepotong emas tergolek di tanah, lalu aku hendak mengambilnya, maka aku berkata, ‘Luqathah.’” Aku meninggalkannya kemudian aku teringat hadits yang berkata, ‘Seandainya dunia adalah darah segar, niscaya makanan seorang muslim darinya halal.’ Aku pun mengambilnya dan memasukkannya ke mulutku. Tatkala aku berjalan belum jauh, aku melihat sekumpulan anak-anak, salah seorang dari mereka berbicara kepada teman-temannya, salah seorang dari mereka bertanya, ‘Kapan seorang hamba merasakan hakikat kejujuran?’ Anak itu menjawab, ‘Bila dia memuntahkan potongan dari rahangnya.’ Maka aku mengeluarkannya dari mulutku dan melemparkannya.”

 

Penulis berkata, “Para fuqaha tidak berbeda pendapat bahwa dia tidak boleh membuangnya.”

 

Yang aneh dia melemparnya hanya karena ucapan seorang anak kecil yang tidak mengerti apa yang diucapkan.

 

Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan bahwa Syaqiq al-Balkhi datang kepada Abu al-Qasim az-Zahid, sementara di ujung kainnya ada sebuah buntalan, maka Abu al-Qasim bertanya kepadanya, “Kamu membawa apa?” Dia menjawab, “Beberapa potong kue pemberian saudaraku, dia berkata kepadaku, ‘Aku ingin engkau berbuka puasa dengannya.’ Maka Abu al-Qasim berkata, ‘Wahai Syaqiq, kamu berharap masih hidup hingga malam ini. Demi Allah, aku tak akan berbicara kepadamu selamanya.’ Lalu dia menutup pintunya di wajah Syaqiq dan masuk. Saya katakan, “Lihatlah kepada fikih yang aneh ini, bagaimana dia menghajr (mendiamkan) seorang muslim atas perbuatan yang boleh, bahkan dianjurkan, karena seseorang diperintahkan untuk menyiapkan makanan berbukanya, dan menyiapkan sesuatu sebelum kedatangannya adalah ketegqasan, karena hal itu Allah berfirman:

 

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS. al-Anfal: 60).

 

Rasulullaah pun menyimpan untuk keluarganya makanan pokok selama setahun. Umar datang kepada Rasulullah dengan membawa separuh hartanya dan menyimpan sisanya sementara Nabi tidak memungkirinya. Kebodohanlah yang telah merusak para ahli zuhud.

 

Dari Ahmad bin Ishaq al-Umani berkata, “Aku melihat seorang syaikh di India, dikenal dengan ash-Shabir (orang yang sabar), selama seratus tahun dia memejamkan salah satu matanya, lalu aku berkata kepadanya, “Wahai Shabir, sejauh mana sabarmu?” Dia menjawab, “Aku ingin melihat kepada perhiasan dunia, namun aku tidak ingin memuaskan diri darinya, maka aku memejamkan mataku selama delapan puluh tahun, dan aku tidak membukanya.”

 

Saya berkata, “Maksudnya adalah melihat dunia dengan satu mata. Kami memohon kesehatan akal kepada Allah.”

 

Yusuf bin Ayyub al-Hamdani menceritakan dari syaikhnya Abdullah al-Jauni bahwa dia berkata, “Kedudukan ini tidak aku raih dari mihrab, sebaliknya dari WC. Aku menjadi tukang bersih-bersih WC, suatu hari saat aku menyapu dan membersihkannya, jiwaku berkata kepadaku, ‘Kamu menghabiskan umurmu untuk ini.” Maka aku menjawab untuk jiwaku, ‘Kamu menolak berkhidmat kepada hamba-hamba Allah?’ Maka aku melongok mulut sumur pembuangan, dan aku menceburkan diriku, lalu aku memasukkan sesuatu yang najis ke mulutku, maka orang-orang datang dan mengeluarkanku serta membersihkanku.”

 

Saya katakan, “Lihatlah kepada orang yang patut dikasihani ini, bagaimana dia meyakini bahwa mengumpulkan para pengikutnya di belakangnya adalah kedudukan. Dia meyakini bahwa kedudukan ini terwujud baginya karena dia menceburkan diri ke sumur pembuangan dan memasukkan najas ke mulutnya, lalu dengan itu dia meraih sebuah keutamaan besar yang dibalas dengan banyaknya pengikut, padahal perbuatannya ini adalah kemaksiatan, dan pelakunya harus bertaubat darinya.”

 

Secara umum, karena mereka adalah orang orang bodoh, maka kecerobohan mereka pun banyak.

 

Davi Muhammad bin Ali al-Kattani berkata, bahwa al Husain bin Manshur masuk Makkah di awal pencariannya, maka kami kelaparan, sampai kami mengambil bajunya yang tambal-tambal, dan kami memunguti kutu darinya, kemudian kami menimbang hasil, dan setengah daniq karena banyaknya dia latihan dan kerasnya dia bermujahadah.

 

Saya katakan, “Lihatlah orang yang tak tahu kebersihan yang dianjurkan oleh syariat, padahal syariat membolehkan mencukur rambut saat ihram karena gangguan kutu atau lainnya, dan menggantinya dengan fidyah. Lebih bodoh dari ini adalah orang yang meyakini hal ini sebagai latihan.”

 

Mereka Menjatuhkan Harga Diri Mereka

 

Di antara orang-orang sufi ada orang-orang yang berkata, “Kami melakukan dosa-dosa dan tujuan kami adalah agar kami jatuh di mata manusia, dengan itu kami selamat dari kedudukan.” Padahal mereka telah menjatuhkan harga diri mereka di sisi Allah karena menyelisihi syariatNya.

 

Anda melihat mereka menampakkan dari diri mereka apa yang paling buruk yang ada pada diri mereka dan menyembunyikan apa yang terbaik. Perbuatan mereka ini termasuk perbuatan yang sangat buruk, Rasulullah bersabda mengenai perbuatan Ma’iz, “Wahai orang ini, mengapa kamu tidak menutupinya dengan bajumu?”

 

Sebagian shahabat melewati Rasulullah saat beliau berbincang dengan Shafiyah istrinya, maka beliau bersabda, “Ini Shafiyah.

 

Orang-orang sudah paham sepatutnya menjauhi hal-hal yang mengundang persangkaan yang buruk, karena orang-orang mukmin adalah para saksi Allah di muka bumi.

 

Seorang laki-laki berkata kepada sebagian shahabat, “Sesungguhnya aku melakukan dosa ini dan ini.” Maka dia menjawab, “Allah telah menutupinya atasmu, seandainya kamu juga menutupinya atas dirimu.”

 

Orang-orang itu menyelisihi syariat, dan mereka ingin memutus apa yang jiwa-jiwa itu diciptakan di atasnya.

 

Pengikut Paham Permisif yang Menyusup di Kalangan Orang-orang Sufi

 

Para pengikut paham permisif menyusup di barisan orang-orang sufi, mereka menyerupai orang-orang sufi mereka demi menjaga darah mereka. Maka mereka terbagi menjadi tiga kelompok:

 

> Pertama: Orang-orang kafir, di antara mereka ada orang-orang yang tidak mengakui Allah, dan di antara mereka ada yang mengakuiNya, tetapi tidak mengakui kenabian, mereka berkeyakinan bahwa apa yang dibawa oleh para nabi adalah mustahil.

 

Saat mereka ingin mengumbar hawa nafsu, mereka tidak menemukan tameng sebagai alat bersembunyi dan berlindung yang bisa mewujudkan ambisi jiwa mereka seperti madzhab tasawuf, maka mereka masuk ke dalamnya secara lahir, padahal secara batin mereka adalah orang-orang kafir. Untuk orang-orang seperti ini hanya ada satu, yaitu pedang (dibunuh), Semoga Allah melaknat mereka.

 

> Kedua: Orang-orang yang mengakui Islam, hanya saja dalam berbuat, mereka bertaklid kepada syaikh-syaikh mereka tanpa berpijak kepada dalil atau yang semisalnya. Mereka melakukan apa pun yang diperintahkan oleh syaikh-syaikh mereka dan apa yang mereka lihat dari syaikh-syaikh mereka.

 

> Ketiga: Orang-orang yang terhadang oleh syubhat, lalu mereka mengamalkannya.?”

 

Dasar yang darinya syubhat mereka tumbuh adalah bahwa tatkala mereka hendak melihat madzhab orang-orang tersebut, Iblis datang dan mengacaukan mereka, maka dia menunjukkan kepada mereka bahwa syubhat bertentangan dengan hujah, dan memisahkannya sulit, bahwa apa yang dimaksud lebih tinggi untuk sekedar diraih dengan ilmu, keberhasilan hanyalah keberuntungan yang digiring kepada seorang hamba bukan dengan usaha mencari, maka Iblis menutup pintu keselamatan yakni menuntut ilmu, selanjutnya mereka alergi terhadap sesuatu yang bernama ilmu, layaknya orang Syi’ah alergi terhadap nama Abu Bakar dan Umar, mereka berkata, “IImu adalah hijab, dan para ulama adalah orang-orang yang terhalang dari tujuannya karena ilmu.”

 

Bila seorang ulama mengingkari mereka, maka mereka berkata kepada orang-orang yang mengikuti mereka, “Orang ini sama seperti kita secara batin, dia menampakkan apa yang berlawanan dengan kita untuk orang-orang awam yang lemah akalnya.”

 

Bila ulama itu menyelisihi mereka dengan kuat, maka mereka berkata, “Orang ini lemah akalnya, dia terkungkung oleh syariat, terhalangi dari maksud.”

 

Kemudian mereka beramal atas dasar syubhat-syubhat yang terjadi atas mereka. Seandainya mereka sadar, niscaya mereka tahu bahwa amal mereka yang hanya berpijak kepada syubhat-syubhat mereka adalah ilmu, berarti pengingkaran mereka terhadap ilmu batal.

 

Saya akan menyebutkan syubhat-syubhat mereka dan membongkarnya insya Allah Ta’ala.

 

Qadha~ dan Qadar

 

Syubhat Pertama: Mereka berkata, “Bila segala urusan telah ditakdirkan sebelumnya, ada beberapa orang yang ditetapkan mendapatkan kebahagiaan, sedangkan yang lain mendapatkan kesengsaraan, yang berbahagia tidak sengsara dan yang sengsara tidak berbahagia, dan amal perbuatan bukan merupakan tujuan utama, akan tetapi hanya sarana untuk mendapatkan kebahagiaan dan menolak kesengsaraan, sedangkan keberadaan amal telah mendahului kita, maka tidak ada alasan untuk melelahkan diri dalam beramal dan mencegahnya dari kelezatan, karena apa yang telah ditulis dalam takdir pasti akan terjadi tidak bisa tidak.

 

Jawaban terhadap syubhat ini, adalah dengan dikatakan kepada mereka bahwa ucapan di atas membatalkan semua syariat, dan menolak semua hukum kitab-kitab, serta mendustakan apa yang dibawa oleh para nabi, karena bila al-’Qur’an berkata, “Dirikanlah shalat…” (QS. al-An’am: 72), maka seseorang akan berkata, “Untuk apa shalat? Bila aku adalah orang yang bahagia maka aku akan berjalan menuju kebahagiaan, dan bila aku sengsara maka aku akan berjalan menuju kesengsaraan, lalu apa manfaat mendirikan shalat bagiku?”

 

Demikian halnya bila al-Qur’an menyatakan, “Dan janganlah kamu mendekati zina;” (QS. al-Isra~: 32), seseorang akan berkata, “Mengapa aku harus menahan diri dari kenikmatannya, sementara kebahagiaan dan kesengsaraan sudah ditetapkan dan sudah selesai?”

 

Firaun bisa mengucapkan ucapan senada kepada Musa saat dia berkata kepadanya, “‘Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan).” (QS. an-Nazi’at: 18). Kemudian dia akan berbicara kepada Khalik, “Apa gunanya Engkau mengutus para rasul sementara takdirmu akan tetap berlaku?”

 

Sesuatu yang menyeret kepada penolakan terhadap kitab-kitab dan membodohkan para rasul adalah mustahil lagi batil, oleh karena itu Rasulullah menjawab para shahabat saat mereka berkata, “Mengapa kita tidak bersandar saja?” Beliau menjawab, “Beramallah, karena masing-masing orang dimudahkan kepada apa yang mana dia diciptakan untuknya.

 

Sadarilah bahwa manusia mempunyai usaha yang merupakan pilihannya, atas dasar inilah pahala dan hukuman berlaku. Apabila seseorang telah menyelisihi, maka kita mengetahui bahwa Allah telah memutuskan dalam ilmuNya yang mendahului bahwa dia menyelisihi, maka Allah menghukumnya atas penyelisihannya bukan atas ketetapannya, oleh karena itu pembunuh dibunuh dan tidak diberi alasan dengan takdir.

 

Rasulullah mengembalikan para shahabat dari memikirkan takdir kepada amal perbuatan, karena perintah dan larangan adalah keadaan yang lahir, sedangkan yang ditakdirkan darinya adalah perkara yang tersembunyi, sedangkan kita tidak boleh meninggalkan beban taklif yang kita ketahui dan mengambil ketetapan Allah yang tidak kita ketahui.

 

Sabda Nabi, “Masing-masing dirnudahkan kepada apa yang dia diciptakan untuknya,” yaitu sebagai isyarat kepada sebab-sebab takdir, bahwa barangsiapa ditetapkan baginya untuk mengetahui ilmu, maka dia ~ akan dimudahkan untuk mencarinya, mencintainya dan memahaminya. Sebaliknya, barangsiapa ditetapkan baginya untuk tidak mengetahui, maka cinta kepada ilmu dicabut dari hatinya, demikian halnya dengan ditetapkan anak baginyva maka akan dimudahkan kepada pernikahan, Sebaliknya siapa yang tidak ditetapkan anak baginya maka tidak dimudahkan kepada pernikahan. ,

 

Kebodohan Mereka Terhadap Allah Syubhat Kedua: Mereka berkata, “Allah tidak memerlukan amal kita, dan tidak terpengaruh oleh amal kita, baik ketaatan ataupun kemaksiatan, karena itu kita tidak perlu melelahkan diri untuk sesuatu yang tak bermanfaat.”

 

Kami menjawab syubhat ini dengan jawaban pertama, kami katakan bahwa ini adalah penolakan terhadap perintah-perintah syariat, seolaholah kita berkata kepada Rasulullah $8 padahal Allah yang mengutusnya, “Tidak ada manfaat pada apa yang engkau perintahkan kepada kami.”

 

Kemudian kami katakan bahwa barangsiapa menyangka bahwa Allah mengambil manfaat dari ketaatan atau merugi karena kemaksiatan atau meraih maksud tertentu darinya, maka dia tidak mengetahui Allah, karena Allah tersucikan dari hal-hal insidentil dan tendensi-tendensi, dan mengambil manfaat atau tertimpa mudharat, akan tetapi manfaat amal

 

perbuatan kembali kepada kita, sebagaimana Allah berfirman:

 

“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.” (QS. al-Ankabut:

 

“Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya_ ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri.” (QS. Fathir: 18).

 

Seorang dokter meminta pasien untuk menjaga makanannya demi kepentingan si pasien, bukan demi kepentingan si dokter, sebagaimana badan mendapatkan manfaat dan madharat dari makanan, maka demikian juga jiwa, ia mendapatkan manfaat dan madharat dari ilmu dan kebodohan, keyakinan dan amal. Maka peletak syariat seperti dokter, Dia lebih mengetahui kemaslahatan di balik perintahNya!

 

Luasnya Rahmat Allah

 

Syubhat Ketiga: Mereka berkata, “Luasnya rahmat Allah sudah terbukti, dan ia tidak sempit bagi kita, maka tidak ada alasan untuk mencegah jiwa kita meraih kesenangannya.”

 

Jawabannya seperti jawaban pertama, bahwa ucapan di atas mencampakkan ancaman siksa yang disampaikan oleh pera rasul, meremehkan peringatan mereka dalam hal ini dan ancama siksanya yang mereka sampaikan.

 

Di antara yang membuka talbis iniadalahseb   Allah menyifati dirinya dengan rahmat, Dia juga menvifati diriNya dengan Syadidul ‘Igab (keras hukumanNya). Kami melihat para nabi dan para wali diuji dengan sakit dan lapar, dan diingatkan bila salah bagaimana tidak demikian sementara orang yang dipastikan selamat tetap takut kepadanya. AlKhalil berkata di Hari Kiamat, “Diriku, diriku,” dan Musa al-Kalim pun juga berkata demikian.

 

Umar bin al-Khatthab berkata, “Celaka bagi Umar bila Rabbnya tidak mengampuninya.”

 

Sadarilah bahwa barangsiapa berharap rahmat, maka dia berusaha mendapatkan sebab-sebabnya, dan di antara sebab-sebabnya adalah taubat dari dosa, sebagaimana orang yang berharap memanen maka dia akan menanam, Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu. mengharapkan rahmat Allah,” (QS. al-Baqarah: 218).

 

Yakni mereka patut berharap, berbeda dengan orang-orang yang melakukan dosa secara terus menerus, mereka berharap rahmat Allah, maka harapan mereka sangat jauh.“”

 

Ma’ruf al-Karkhi berkata, “Harapanmu kepada rahmat dari Allah yang tidak kamu taati adalah tipu daya dan kebodohan.”

 

Kebodohan Mereka Terhadap Tujuan Syariat

 

Syubhat Keempat: Beberapa orang di antara mereka memahami bahwa yang dimaksud adalah melatih jiwa untuk membersihkannya dari kotorankotorannya yang buruk, tatkala mereka telah melatih jiwa beberapa waktu, dan mereka melihat sulitnya mencapai tingkat kejernihan, mereka pun menyerah dan berkata, “Mengapa kita melelahkan diri untuk sesuatu yang tidak terwujud bagi manusia?” Mereka pun meninggalkan amal.

 

Membuka talbis ini adalah dengan mengatakan bahwa orang-orang itu menyangka bahwa yang dimaksud adalah membuang sifat-sifat kemanusiaan dari jiwa, seperti membuang syahwat, amarah dan yang sepertinya, padahal ini bukan yang dimaksud oleh syariat, dan tidak mungkin melenyapkan apa yang tertanam dalam tabiat melalui latihan, karena syahwat diciptakan untuk suatu faidah, karena kalau tidak ada syahwat makan, maka manusia akan mati, kalau tidak ada dorongan menikah maka keturunan akan terputus, kalau tidak ada amarah, maka orang tak akan menolak apa yang menyakitinya, demikian halnya dengan cinta harta, ia tertanam dalam tabiat, karena ia menyampaikan kepada syahwat.

 

Yang dimaksud dengan latihan adalah menahan diri dari sesuatu yang membahayakan dari semua itu dan mengembalikannya ke titik keseimbangan.

 

Allah menyanjung orang yang menahan jiwanya dari hawa nafsu. Kamu tiada lain menghentikan apa yang diminta jiwa, seandainya jiwa sudah tidak meminta apa pun, maka manusia tidak perlu lagi menahan diri.

 

Allah berfirman:  “Dan orang-orang yang menahan amarahnya” (QS. Ali Imran: 134).

 

Dan Allah tidak berfirman dan orang-orang yang kehilangan amarah mereka, dan  adalah menahan amarah, dikatakan  bila unta menolak apa yang diperutnya dengan mengembalikannya lagi ke tenggorokannya untuk dikunyah lagi.

 

Allah menyanjung orang yang menahan diri sehingga tidak menuruti apa yang dituntut oleh rasa marahnya.

 

Barangsiapa mengklaim bahwa latihan bisa merubah tabiat, maka dia mengklaim sesuatu yang mustahil, karena yang dimaksud dengan latihan adalah menumpulkan tajamnya syahwat hawa nafsu dan marah bukan melenyapkannya.

 

Orang yang melatih dirinya seperti seorang tabib saat dihidangkan padanya makanan, lalu dia menyantap apa yang baik bagi dirinya dan menahan diri dari apa yang merugikannya. Sedangkan orang yang tidak latihan adalah seperti anak kecil yang bodoh, makan apa saja yang dia inginkan tanpa mempedulikan akibatnya.

 

Kesesatan Mereka dalam Perkara Wushul

 

Syubhat Kelima: Beberapa orang dari kalangan mereka berlebihlebihan dalam melatih diri, lalu mereka melihat sesuatu yang mirip karomah atau mimpi yang baik, atau dibuka bagi mereka kalimat-kalimat yang bijak sebagai buah pemikiran dan khalwat, saat itu mereka meyakini telah sampai ke tujuan, maka mereka pun berkata, “Kita sudah sampai ke tujuan, maka tak ada sesuatu pun yang bisa membahayakan kita. Siapa yang sudah sampai ke Ka’bah, maka dia tak perlu lelah berjalan.” Maka mereka meninggalkan amal, hanya saja mereka menghiasi lahir mereka dengan baju tambal-tambal, sajadah, joget dan wajd, dan mereka mengucapkan kata-kata sufi di bidang ma’rifat, wajd dan syauq.

 

Ibnu Aqil berkata, “Ketahuilah bahwa orang-orang berlari menjauh dari Allah, dan mereka menjauh dari aturan syariat kepada keadaankeadaan mereka yang mereka rekayasa sendiri. Di antara mereka ada yang menyembah selainNya, mengagungkan selainNya dan meninggalkan ibadah serta menjadikan hal itu sebagai wasilah, demikian mereka mengklaim.

 

Di antara mereka ada yang bertauhid, namun ia meniadakan semua ibadah, dan dia berkata, “Ibadah-ibadah ini ditetapkan untuk orang-orang awam karena mereka tidak meraih ma’rifat.”

 

Ini adalah bentuk syirik, karena tatkala Allah mengetahui bahwa ma‘ rifatNya memiliki dasar yang dalam dan derajat yang tinggi dan orang yang tidak mengetahuinya, sulit diharapkan bisa takut kepada api neraka, karena manusia sudah merasakan sengatan panasnya, Allah berfirman:

 

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,” (QS. al-Haj: 37).

 

Maka diketahui bahwa pijakannya adalah tujuan, dan tidak cukup sekedar mengetahui tanpa pengamalan sebagaimana yang diandalkan oleh orang-orang Batiniyah yang mulhid dan orang-orang sufi yang melenceng.

 

Abu Ali ar-Ruwadzbari ditanya -sebagaimana yang telah disebutkantentang orang yang berkata, “Aku sudah sampai ke sebuah derajat yang membuatku tak terpengaruh oleh perubahan keadaan.” Maka Abu Ali menjawab, “Benar, dia sudah sampai, akan tetapi ke dasar neraka Saqar!”

 

Kritik Terhadap Takwil-takwil Sufi

 

Karena ilmu orang-orang sufi di bidang syariat minim, maka mereka mengucapkan dan melakukan hal-hal yang tidak halal, kemudian orang-orang yang bukan dari kalangan mereka meniru mereka, mengambil nama mereka, melakukan dan mengucapkan seperti yang telah kami sebutkan, sedangkan orang yang benar dari kalangan mereka jarang, dan para ulama pun mencela dan mengkritik mereka tak terkecuali para syaikh mereka sendiri.

 

Dari Abdil Malik bin Ziyad an-Nashibi berkata, “Kami sedang duduk di depan Malik, lalu aku menyebutkan orang-orang sufi di negeri kami, dan aku berkata kepadanya, ‘Mereka memakai baju-baju Yaman yang mahal dan melakukan ini dan ini.’ Malik menjawab, ‘Celaka dirimu, apakah mereka orang-orang Islam?’ Dia berkata, ‘Lalu Malik tertawa hingga dia terlentang.’ Maka sebagian rekan-rekannya berkata kepadaku, ‘Wahai orang ini, kami tidak melihat orang yang lebih besar fitnahnya terhadap syaikh dari dirimu, kami tidak pernah melihatnya tertawa sekali pun.’”

 

Dari Yunus bin Abdul A’la berkata, aku mendengar asy-Syafi’i berkata, “Seandainya seorang laki-laki bertasawuf di pagi hari, Zhuhur belum tiba kecuali dia sudah gila.”

 

Dari asy-Syafi’i juga bahwa dia berkata, “Seseorang tidak berpegang kepada ajaran sufi selama empat puluh hari kecuali akalnya tak pernah kembali kepadanya selamanya.”

 

Asy-Syafi’i bersyair:

 

Biarkan orang-orang yang bila datang kepadamu menampakkan ibadah

 

Namun bila mereka menyendiri mereka adalah serigala-serigala ganas

 

Dari Sufyan berkata, aku mendengar Ashim berkata, “Kami mengenal sufi dengan kedungunan, hanya saja mereka bersembunyi di balik hadits.”

 

Dari Yahya bin Yahya berkata, “Khawarij lebih aku sukai daripada orang-orang sufi.”

 

Dari Yahya bin Muadz berkata, ‘Jangan berkawan dengan tiga macam orang: Para ulama yang lalai, orang-orang miskin yang mencari muka dan orang-orang sufi yang bodoh.”

 

Kami telah menyebutkan di awal bantahan kami terhadap orang-orang Sufi dalam buku ini bahwa para fuqaha di Mesir mengingkari Dzun Nun terhadap apa yang diucapkannya, mereka juga mengingkari Abu Yazid di Bistham, mereka mengusir Abu Sulaiman ad-Darani, Ahmad bin al-Hawari dan Sahl at-Tustari yang berlari dari shaf mereka, hal itu karena salaf menghindari bid’ah serendah apa pun dan menghajr pelakunya dalam rangka berpegang kepada sunnah.’

 

Abu al-Fath bin as-Samariyi menyampaikan kepadaku bahwa dia berkata, “Para fuqaha duduk di sebagian pos orang-orang sufi untuk berta’ziyah atas wafatnya seorang rekan mereka, lalu Syaikh Abu alKhatthab al-Kaluwadzani al-Faqih datang dengan bersandar kepada kedua tangannya, dia berdiri di pintu dan berkata, ‘Berat bagiku sekiranya sebagian rekan dan syaikh kami terdahulu melihatku yang masuk ke tempat seperti ini.”

 

Saya berkata, “Inilah yang dipegang oleh syaikh-syaikh kami, tetapi di zaman ini, serigala dan domba sudah berdamai.”

 

Alasan Mencela Sufi Jbnu Adil berkata, “Saya mencela sufi karena beberapa alasan yang mana syariat mewajibkan mencela pelakunya, di antaranya:

 

Mereka membuat pos kemalasan yang dikenal dengan nama ribath, mereka menetap di sana dan meninggalkan shalat jamaah di masjid, tempat itu bukan masjid, bukan rumah dan bukan pula kedai, mereka menetap di sana karena malas mencari mata pencaharian.

 

Mereka menggemukkan diri layaknya hewan ternak karena mereka hanya makan, minum, bernyanyi dan berjoget.

 

Mereka memakai baju tambal-tambal yang tujuannya adalah memperindah dengan warna-warna tertentu, yang menarik minat orang-orang awam dan kaum wanita.

 

Mereka mengundang kaum wanita dan anak-anak muda dengan membuat gambar dan pakaian tertentu, mereka tidak masuk ke sebuah rumah yang ada wanitanya lalu mereka keluar darinya kecuali hati para wanita itu sudah rusak terhadap suaminya.

 

Mereka menerima makanan dan uang dari orang-orang zhalim, orang-orang fajir, para pengghasab harta seperti tukang-tukang pungli.

 

Mereka mengundang anak-anak muda saat sama’, dan mendatangkan mereka di perkumpulan-perkumpulan di bawah cahaya lilin.

 

Berikhtilath dengan wanita-wanita asing, dengan berdalil bahwa hal itu dalam rangka memakaikan baju tambal-tambal ke kaum wanita tersebut.

 

Mereka menamakan bergoyang karena nyanyian wajd, dakwah waktu dan berbagi pakaian orang-orang hukum.

 

Mereka tidak keluar dari rumah yang mereka diundang ke sana kecuali bila ada undangan lain, mereka berkata, “Ia wajib,”

 

Mereka meyakini hal ini adalah kekufuran dan melakukannya adalah kefasikan. Mereka meyakini bahwa bernyanyi dengan alat musik adalah ibadah.

 

Kami mendengar dari mereka bahwa doa saat penyanyi bernyanyj dan saat menghadiri pertemuan adalah mustajab, dan mereka meyakini bahwa ia adalah ibadah.

 

Ini adalah kekufuran juga, karena siapa yang meyakini yang haram dan yang makruh sebagai ibadah, maka dia kafir dengan keyakinannya ini, sementara para ulama di antara mengharamkan dan memakruhkan

 

Mereka menyerahkan diri mereka kepada syaikh-syaikh mereka dan para tokoh tarekat mereka, jika syaikh mereka mencium anak muda, maka mereka berkata, “Pemberian berkah.” Bila syaikh mereka berkhalwat dengan wanita asing, mereka berkata, “Dia anak perempuannya, karena ia telah memakai baju tambal-tambal.” Bila membagi kain kepada orang lain di luar kelompoknya tanpa kerelaan pemiliknya, raereka berkata, “Hukum baju tambal-tambal.”

 

Kami tidak memiliki seorang syaikh yang kami terima segala keadaannya, karena di kalangan kami tidak ada syaikh yang keluar dari beban taklif.

 

Seandainya di kalangan kami ada seorang syaikh yang kami terima segala keadaannya, niscaya syaikh tersebut adalah Abu Bakar ashShiddiq.

 

Saya katakan, “Bukankah Abu Bakar telah berkata, ‘Bila aku menyimpang, maka luruskanlah aku.’ Dia tidak berkata, ‘Serahkanlah diri kalian kepadaku.’”

 

Kemudian lihatlah kepada Rasulullah, bagaimana para shahabat berdiskusi dengan beliau, ada yang berkata, “Engkau melarang kami berpuasa wishal namun engkau melakukannya?!”

 

Kemudian para malaikat juga berkata kepada Allah:

 

“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu…” (QS. al-Baqarah: 30).

 

Musa berkata:

 

“Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami?” (QS. al-A’raf: 155).

 

Kalimat ini ditetapkan oleh orang-orang sufi untuk memegang hati para pemula dan kekuasaan yang mereka terapkan atas para murid para pengikut, sebagaimana Allah berfirman:

 

“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya.” (QS. az-Zukhruf: 54).

 

Kalimat yang mereka ucapkan bahwa bila seorang hamba sudah mengetahui, maka apa pun yang dilakukannya tidak berdampak buruk terhadapnya, kalimat ini adalah puncak kezindikan, karena para fuqaha’ sepakat bahwa tidak ada keadaan yang mana orang yang mengetahui berhenti padanya kecuali beban taklifnya dipersempit atasnya seperti keadaan para nabi yang dipersempit dalam dosa-dosa kecil.

 

Takutlah Anda kepada Allah. Takutlah Anda kepada Allah. Jangan sampai mendengarkan orang-orang yang meniadakan penetapan, sebaliknya mereka hanya orang-orang zindik, menggabungkan antara jubah orang-orang yang beramal: Wol dan tambal-tambal dengan perbuatan mulhid yang menanggalkan syariat: Makan, minum, berjoget, mendengar nyanyian dan membuang hukum-hukum syariat.

 

Orang-orang zindik tidak berani menolak syariat hingga datang orang-orang sufi, maka mereka datang membawa aturan orang-orang permisif.

 

Perkara pertama yang mereka tetapkan adalah nama, dan mereka berkata hakikat serta syariat.

 

Ini buruk, karena syariat adalah apa yang Allah tetapkan untuk kemaslahatan makhluk, maka hakikat selainnya tidak lain hanyalah sesuatu yang terjadi pada jiwa dari bisikan setan, dan barangsiapa mencari hakikat di selain syariat maka dia terkecoh dan tertipu.

 

Bila mereka mendengar seseorang meriwayatkan hadits, mereka berkata, “Orang-orang yang patut cikasihani, mereka mengambil ilmu yang mati dari mayit, sedangkan kami menqambil dari yang Mahahidup yang tidak mati.” Barangsiapa berkata, “Bapakku menyampaikan kepadaku dari kakeknya.” Maka mereka berkata, ‘“Hatiku menyampaikan kepadaku dari Tuhanku.”

 

Dengan khurafat ini mereka binasa dan membinasakan hati orang-orang awam, dan harta-harta dibelanjakan untuk itu oleh mereka, karena para fuqaha adalah seperti para dokter dan membelanjakan harta untuk membeli obat terasa berat.

 

Kebencian mereka terhadap para fuqaha’ adalah kezindikan yang paling besar, karena para fuqaha’ telah mengeluarkan fatwa-fatwa yang membongkar kesesatan dan kefasikan mereka.

 

Kebenaran itu berat sebagaimana zakat juga berat, tetapi betapa ringannya memberi tips kepada para penyanyi atas nyanyian mereka dan para penyair atas sanjungan mereka.

 

Semoga Allah menjaga syariat dari kelompok ini, kelompok yang menggabungkKan antara pakaian mahal, kenikmatan hidup dan penipuan dengan kata-kata manis laksana madu, padahal tidak ada apapun di balik itu kecuali mencampakkan beban taklif syariat dan membuang syariat, karena itu mereka diremehkan oleh hati manusia, tidak ada bukti yang lebih jelas yang menunjukkan bahwa mereka adalah para pengikut kebatilan daripada kecintaan mereka terhadap tabiat dunia seperti kecintaan mereka kepada orang-orang yang gemar bermain-main dan para penyanyi.

 

Tidak ada sesuatu yang lebih merugikan syariat daripada ahli kalam dan orang-orang sufi. Kelompok pertama merusak akidah manusia melalui tipu daya syubhat-syubhat yang seolah-olah logis, dan kelompok kedua merusak amal perbuatan manusia, menghancurkan pilar-pilar agama, menggemari kemalasan dan mendengarkan nyanyian.

 

Padahal salaf tidak demikian, prinsip mereka di bidang akidah adalah berserah diri dan di bidang amal adalah kesungguhan.

 

Nasihatku kepada saudara-saudaraku, jangan membuka pintu hati untuk pendapat-pendapat ahli kalam, jangan memasang pendengaran untuk menyimak khurafat orang-orang sufi, karena menyibukkan diri dengan mencari kehidupan adalah lebih baik daripada kemalasan orang-orang sufi, dan berhenti pada zhahir adalah lebih baik daripada Penyelaman para pemalsu. Saya telah berpengalaman terhadap kedua kelompok ini, maka ahli kalam berakhir dengan keraguan, sementara orang-orang sufi berujung kepada kegilaan.

 

Ibnu Aqil berkata, “Menurutku ahli kalam masih lebih baik daripada orang-orang sufi, karena ahli kalam mungkin menepis keraquan, sedangkan oOrang-orang sufi justru menanamkan kekacauan, dan kebanyakan ucapan mereka mengisyaratkan kepada pengingkaran terhadap kenabian.”

 

Bila mereka berkata tentang ahli hadits, “Mereka mengambil ilmu yang mati dari mayit.” Maka mereka mengqugat kenabian dan berpijak kepada realita, padahal bila jalannya dinodai maka ia tidak akan dilalui.

 

Barangsiapa berkata, “Hatiku menyampaikan kepadaku dari Tuhanku.” Maka dia secara terbuka berterus terang tidak memerlukan seorang rasul, dan barangsiapa berkata dengan secara terbuka maka dia kafir.

 

Ini adalah kalimat yang disusupkan ke dalam syariat yang di baliknya adalah kezindikan. Barangsiapa kami melihatnya mencela naql, maka kami mengetahui bahwa dia meniadakan perintah syariat, padahal orang yang berkata, “Hatiku menyampaikan kepadaku dari Tuhanku,” tidak bisa jadi jaminan, bahkan bisa jadi ia adalah bisikan setan, karena Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya…” (QS. al-An’am: 121).

 

Inilah yang nampak, karena yang bersangkutan meninggalkan dalil yang dijamin kebenarannya dan bersandar kepada bisikan-bisikan yang terkirim ke dalam hatinya yang tak terbukti kebenarannya.

 

Ibnu Aqil berkata, “Orang-orang yang keluar dari syariat berjumlah banyak, hanya saja Allah menjaga syariat dengan para rawi hafizh yang membela syariat dalam rangka menjaga dasarnya dan Allah menjaga syariat juga dengan para fuqaha~ yang menjaga makna-maknanya, mereka adalah sultan-sultan ulama, mereka tidak membiarkan para pendusta mengangkat kepala mereka.”

 

Ibnu Aqil berkata, “Orang-orang berkata, ‘Bila Allah menghendaki rusaknya rumah seorang saudagar maka saudara itu akan bergaul dengan orang-orang sufi.’ Saya berkata, ‘Dan kerusakan agamanya,’ karena orang-orang sufi itu membolehkan kaum wanita memakai pakaian tambal-tambal melalui kaum laki-laki asing. Bila mereka semuanya menghadiri majlis sama’ dan nyanyian, maka tidak .tertutup kemungkinan terjadi kasak-kusuk antara sebagian laki-laki dengan sebagian wanita atau khalwat antara sebagian laki-laki dengan sebagian wanita, maka pertemuan mereka menjadi pertemuan pernikahan bagi keduanya, hingga pertemuan belum selesai kecuali hati seseorang telah bergantung kepada seseorang, tabiat seseorang sudah cenderung kepada tabiat yang lain, istri berubah terhadap suaminya, padahal bila suaminya menerima maka dia disebut dayyuts, sementara bila suami menahannya maka dia meminta talak untuk bisa menikah dengan laki-laki yang memakaikannya baju tambal-tambal tersebut dan bercampur dengan orang-orang yang tidak mengikatnya dan tidak menahan tabiat.

 

Ada yang berkata, “Fulanah telah bertaubat dan syaikh memakaikannya baju tambal-tambal dan ia menjadi salah seorang anak perempuannya.’ Mereka tidak cukup berkata, ‘Ini main-main dan salah,’ hingga mereka berkata, ‘Ini adalah kemuliaan laki-laki.’

 

Hal ini berlangsung bertahun-tahun hingga hukum al-Qur’an dan sunnah terasa kering dalam hati mereka.

 

Saya katakan, “Semua ini adalah ucapan Ibnu Aqil, beliau adalah seorang kritikus yang mendalam dan ahli fikih yang mumpuni.”

 

Sebagian Syair yang Diucapkan Tentang Mereka

 

Abu Bakar al-Anbari berkata untuk dirinya tentang orang-orang sufi,

Aku merenung sambil menguji orang-orang yang mengaku

Antara para tuan dengan para hamba sahaya

Aku mendapatkan kebanyakan mereka seperti fatamorgana

Pemandangannya berkilau kepadamu dari kejauhan

Lalu aku berseru, wahai orang-orang, siapa yang kalian sembah

Masing-masing mengisyaratkan sesuai dengan kadar wujud

Sebagian dari mereka menunjuk kepada dirinya

Dan bersumpah, tidak ada yang lebih dari dirinya

Sebagian dari mereka menunjuk kepada gombal yang ditambal

Sebagian dari mereka menunjuk kepada bejana dari kulit

Ada yang lain, mereka menyembah hawa nafsu mereka

Orang yang menyembah hawwa nafsunya bukan orang lurus

Wajah memerah larut mendengar nyanytan

Antara bahr basith dengan nasyid

Merintih bila alat musik mulai dipetik

Dan mengaum laksana singa mengaum Merobek-robek baju usangnya dengan sengaja

Agar bisa menggantinya dengan baju yang baru Melemparkan kerangkanya ke dalam api

Untuk mengunyah tsarid dan menelan ashid

Wahai para lelaki, tidakkah kalian takjub

Kepada setan saudara-saudara kita pemilik tambahan

Setan mempermainkan mereka dengan berbagai kegilaan

Dan orang-orang gila hanya patut mendapatkan tambang

Saya bersumpah mereka tidak mengetahui Allah pemilik keagungan

Dan mereka tidak mengetahuiNya tanpa pengingkaran

Kalau bukan karena kesetiaan kepada orang-orang yang setia

Niscaya aku melontarkan kata-kata tajam terhadap mereka

Mengapa aku dituntut untuk menyambung

Orang yang tidak mengetahui mengapa aku berpaling dari mereka

Aku tidak memberikan kasih sayangku, sedangkan dia memberikannya

Karena aku hanya memberikannya kepada orang-orang menyayangi

Akan tetapi bila aku tidak menemukan seorang sahabat

Yang membahagiakan rekanku dan menyedihkan pendengki

Maka aku memberikan kasth sayangku kepadanya

Hingga kesialanku hilang dan kebahagiaan kembali

Mengapa kaumku tetap di atas kebodohan mereka

Terhadap kemuliaan Maha Tunggal dan kasih sayang Maha Esa

Bila mereka melihatku, maka mereka menangis karena kasihan

Padahal api dengki dalam hati mereka menyala-nyala

Karena aku menjauhi orang-orang yang hanya mengaku

Seandainya mereka benar niscaya aku tidak menjauh.

Ash-Shuri berkata, bahwa sebagian syaikh kami mengucapkan kepadaku

Ahli tasawuf telah berlalu

Tasawuf menjadi baju gombal

Tasawuf menjadi teriakan

Larut dan tenggelam dalam emosi

Jiwamu mendustakanmu, ini bukanlah

Rambu-rambu jalan yang benar

Hingga kamu berada di depan mata Allah Yang mana semua mata terbelalak dariNya

Ketetapan-ketetapanNya akan berlaku atasmu

Sementara kesedihan hatimu tertunduk.

Abu Ishaq asy-Syirazi al-Fagih mengucapkan untuk sebagian dari mereka,

Aku melihat generasi tasawuf adalah seburuk-buruk generasi

Maka katakanlah kepada mereka, betapa hinanya keyakinan hulul

Apakah Allah berfirman saat kalian menggandrungiNya

Makanlah seperti hewan ternak dan berjogetlah untukKu

 

Kami telah menjelaskan sebelumnya bahwa Iblis berhasil menguasai seseorang sesuai dengan minimnya ilmu yang dimilikinya, semakin sedikit ilmu seseorang, semakin kuat pengaruh Ibllis terhadapnya, semakin banyak ilmu seseorang, sebaliknya sedikit kekuasaan Iblis atasnya.

 

Di antara ahli ibadah ada yang melihat cahaya atau sinar di langit, bila ia di bulan Ramadhan, maka dia berkata, “Aku melihat lailatul qadar.” Bila di selainnya, dia berkata, “Pintu langit dibuka untukku.”

 

Terkadang secara kebetulan dia mendapatkan apa yang dia cari, maka dia menyangkanya sebagai karomah, padahal bisa jadi hanya kebetulan, atau bisa jadi hanya ujian bahkan bisa jadi tipuan Iblis, padahal orang yang berakal tidak merasa mantap dengan sesuatu seperti ini sekalipun ia adalah karomah.

 

Dari Malik bin Dinar dan Habib al-Ajami bahwa keduanya berkata, “Sesungguhnya setan mempermainkan para qari’ sebagaimana anak-anak mempermainkan bola.”

 

Di antara Kisah Karomah Mereka yang Ajaib

 

Iblis menyesatkan sebagian ahli zuhud yang lemah dengan memperlihatkannya sesuatu yang mirip karomah, hingga dia berani mengaku sebagai nabi.

 

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Hassan berkata, bahwa al-Harits al-Kadzdzab adalah orang Damaskus, dia adalah budak Abu al-Jullas dan dia memiliki bapak di hutan. Iblis senantiasa mengganggunya, sementara dia adalah seorang ahli ibadah yang zuhud. Seandainya dia memakai jubah emas, niscaya kamu tetap melihat kezuhudan padanya, bila dia q mulai bertahmid, maka orang-orang yang mendengar tidak menyimak, ucapan yang lebih bagus darinya.

 

Dia menulis pesan kepada bapaknya, “Wahai Bapakku, segerakanlah kepadaku, sesungguhnya aku melihat berbagai hal, aku khawatir ia dari para setan.” Maka bapaknya membuatnya semakin tersesat jauh, bapaknya menjawab, “Wahai anakku, lakukanlah apa yang aku perintahkan kepadamu, sesungguhnya Allah berfirman:

 

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa,” (QS. asy-Syua’ara~>: 222), dan kamu bukan pembual dan bukan pendosa, lakukanlah apa yang aku perintahkan.”

 

Dia pun datang kepada orang-orang di masjid satu demi satu, dia menceritakan urusannya, mengambil perjanjian serta sumpah setia bila dia melihat apa yang diridhai maka dia akan menerima, dan bila tidak maka dia menyembunyikan atasnya.

 

Dia memperlihatkan kepada mereka keajaiban-keajaiban: Dia mendatangi batu marmer di masjid, lalu dia mengetuknya dengan tangannya maka ia bertasbih. Dia memberi makan mereka dengan buah-buahan pada musim panas di musim dingin, dia berkata kepada mereka, ‘Ikutlah denganku, aku tunjukkan malaikat kepada kalian.’ Lalu dia membawa mereka ke biara al-Murran dan memperlihatkan mereka kaum laki-laki di atas kuda.

 

Dia diikuti orang orang-orang dalam jumlah banyak, perkaranya pun menyebar dan pengikutnya bertambah, hingga kabarnya sampai kepada al-Qasim bin Mukhaimirah, maka al-Harits berkata kepada al-Qasim, “Aku nabi.” Maka al-Qasim menjawab, “Kamu dusta wahai musuh Allah.” Maka Abu Idris berkata kepada al-Qasim, “Tindakanmu buruk, mengapa kamu tidak bersikap lunak sedikit hingga bisa menangkapnya, sekarang dia kabur.”

 

Al-Qasim bangkit untuk menemui Abdul Malik, dia menyampaikan kabar al-Harits, maka Abdul Malik mengirim orang-orang untuk mencarinya, namun mereka tak menemukannya dan Abdul Malik sendiri keluar hingga dia tiba di Unaibirah, dan dia mencurigai para pasukannya sudah terpengaruh oleh al-Harits.

 

Al-Harits sendiri pergi ke Baitul Maqdis, di sana dia menyembunyikan diri, namun para pengikutnya keluar untuk mencari anggota baru dan dibawa menghadap al-Harits.

 

Seorang laki-laki Bashrah datang ke Baitul Maqdis, dia dibawa kepada al-Harits, maka al-Harits mulai bertahmid, menyampaikan perkaranya bahwa dirinya adalah seorang nabi dan rasul yang diutus. Laki-laki dari Bashrah tersebut berkata, “Ucapanmu bagus, tetapi dalam masalah ini aku harus menimbang terlebih dulu.” Al-Harits menjawab, “Silakan.”

 

Lalu laki-laki dari Bashrah ini keluar kemudian kembali kepadanya, lalu dia menjawab ucapan al-Harits, dan berkata, “Ucapanmu bagus, ia menyentuh hatiku, aku beriman kepadamu, inilah agama yang lurus.” Lalu laki-laki dari Bashrah ini meminta kepada al-Harits agar dia tidak dihalang-halangi bila datang, maka laki-laki Bashrah ini bisa keluar masuk kepada al-Harits secara leluasa hingga dia mengetahui rahasiarahasia al-Harits dan segala ihwalnya, ke mana dia kabur, hingga laki-laki Bashrah ini akhirnya menjadi orang yang paling mengetahui al-Harits. Laki-laki Bashrah tersebut berkata kepada al-Harits, “Beri aku izin.” Al-Harits bertanya, “Ke mana?” Dia menjawab, “Bashrah, aku akan menjadi da’imu yang pertama di sana.”

 

Al-Harits pun mengizinkannya, maka laki-laki ini pulang ke Bashrah dengan segera, dan dia menemui Abdul Malik di Unaibirah. Tatkala dia mendengar ke markas Abdul Malik, dia berteriak, “Aku membawa nasihat. Aku membawa nasihat.” Maka pasukannya bertanya, “Nasihatmu apa?” Dia menjawab, “Nasihat untuk Amirul Mukminin.” Maka Abdul Malik memerintahkan agar dia dibawa masuk kepadanya, maka dia masuk sementara Abdul Malik dikelilingi oleh penasihat-penasihatnya.

 

Laki-laki itu berkata, “Nasihat.” Abdul Malik berkata, “Apa nasihatmu?” Dia menjawab, “Empat mata di antara kita, jangan ada orang ketiga.” Maka Abdul Malik meminta semua hadirin di majlisnya untuk keluar, laki-laki Bashrah berkata, “Boleh aku mendekat.” Abdul Malik menjawab, “Mendekatlah.” Dia mendekat sementara Abdul Malik duduk di kursinya. Abdul Malik bertanya, “Apa yang kamu bawa?” Dia menjawab, “AlHarits….

 

Tatkala laki-laki ini menyebut nama al-Harits, Abdul Malik langsung bangkit dari kursinya dan duduk di tanah, kemudian dia bertanya, “Di mana dia?” Laki-laki Bashrah tersebut menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, dia di Baitul Maqdis. Aku telah mengetahui tempat dan waktu masuk maupun keluarnya.”

 

Lalu laki-laki ini menceritakan kisahnya dan apa yang dia lakukan. Maka Abdul Malik berkata kepadanya, “Kamulah orangnya, kamu Amir Baitul Maqdis dan Amir kita di sini, katakan apa yang kamu inginkan.” Dia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, beri aku orang-orang yang tidak mengerti ucapan.” Maka Abdul Malik memberinya empat puluh orang dari Farghanah. Abdul Malik berkata kepada mereka, “Pergilah kalian bersama orang ini, apa pun perintahnya, lakukanlah.” Lalu Abdul Malik menulis kepada gubernur Baitul Maqdis, “Sesungguhnya fulan adalah Amirmu hingga dia keluar, taatilah perintahnya kepadamu.”

 

Tatkala laki-laki ini tiba di Baitul Maqdis, dia menyerahkan surat Amirul Mukminin kepada gubernurnya. Sang gubernur berkata, “Silakan Anda memerintahkanku.” Maka laki-laki Bashrah itu berkata, “Kumpulkan semua obor yang kamu mampu di Baitul Maqdis, serahkan satu obor kepada satu orang, tatalah mereka di setiap lorong jalan dan sudutnya, bila aku berteriak, ‘Nyalakan.’ Maka nyalakanlah.

 

Maka sang gubernur melakukan apa yang diperintahkan oleh laki-laki Bashrah ini, lalu dia sendiri pergi ke rumah al-Harits, dia mengetuk pintu, dan berkata kepada penjaga, “Mintakan izin untukku kepada nabi Allah.” Penjaga menjawab, “Di waktu seperti ini tak seorang pun diizinkan hingga Shubuh.” Maka laki-laki Bashrah itu berkata, “Katakanlah kepadanya bahwa aku kembali karena rindu kepadanya sebelum aku sampai.” Maka penjaga masuk dan menyampaikan ucapan laki-laki Bashrah ini dan alHarits pun memerintahkan agar dia diizinkan masuk.

 

Kemudian laki-laki Bashrah ini berteriak, “Nyalakan.” Maka oborobor menyala, hingga malam terang benderang seperti siang, kemudian laki-laki Bashrah ini memberikan instruksi, “Siapa yang lewat, tangkap dia, siapa pun dia.” Maka laki-laki Bashrah ini masuk ke persembunyian al-Haris, namun dia tidak menemukannya, maka rekan-rekan al-Harits berkata, “Mana mungkin, kalian hendak membunuh nabi Allah, dia sudah diangkat ke langit.”

 

Lalu laki-laki Bashrah ini mencarinya di sebuah sudut, di sana ada sebuah lorong di dalam tanah, laki-laki Bashrah ini memasukkan tangannya ke dalam lorong tersebut, ternyata al-Harits ada di sana menutupi dirinya dengan jubahnya, maka laki-laki Bashrah ini menariknya keluar kemudian berkata kepada orang-orang Farghani, “Ikat dia.” Dia pun mengikatnya lalu membawanya ke Abdul Malik. Saat satu barid mereka berjalan, alHarits berkata, “Apakah kalian hendak membunuh seorang laki-laki yang berkata Tuhanku Allah?” Maka seorang laki-laki Farghani yang tak paham bahasa Arab karena mereka adalah orang-orang Ajam menjawab, “Ini adalah karomah kami, maka tunjukkanlah karomahmu.”

 

Mereka menyerahkan al-Harits kepada Abdul Malik, sesudah mendengar ucapan al-Harits, Abdul Malik menyalibnya, lalu dia memerintahkan seorang laki-laki untuk menusuknya dengan sebatang tombak. Tatkala tombak menyentuh salah satu tulang rusuknya, ia meleset maka orang-orang berteriak dan berkata, “Para nabi tak mempan senjata.”

 

Tatkala hal itu dilihat oleh seorang laki-laki dari kaum muslimin, maka ia maju ke depan dengan membawa tombak. Dia berjalan kepada al-Harits sembari meneliti sebentar hingga dia menemukan celah di antara dua tulang rusuk, lantas dia menusuknya sampai tombak tersebut menembus dan membunuhnya.

 

Al-Walid berkata, “Saya mendengar bahwa Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah datang kepada Abdul Malik bin Marwan dan berkata, ‘Kalau saat itu aku hadir di sisimu, maka aku tidak memerintahkanmu untuk membunuhnya.’ Abdul Malik bertanya, ‘Mengapa?’ Dia menjawab, ‘Dia hanya memegang keyakinannya, seandainya engkau membuatnya lapar niscaya keyakinannya lenyap darinya.’”

 

Talbis Iblis dengan Sesuatu yang Mirip Karomah

 

Berapa banyak orang yang tertipu dengan sesuatu yang menyerupai karomah. Telah diriwayatkan kepada kami dari Abu Imran berkata, bahwa Farqad berkata kepadaku, “Wahai Abu Imran, hari ini aku sedih karena tunggakan pajakku sebesar enam dirham, sementara hilal telah muncul dan aku tak punya apa pun. Aku hanya bisa berdoa, saat aku berjalan di tepi sungai Eufrat, aku melihat enam dirham, aku mengambilnya dan menimbangnya, ternyata ia enam tak lebih dan tak kurang.” Dia berkata, “Sedekahkanlah, karena dia bukan milikmu.”

 

Saya katakan, “Abu Imran adalah Ibrahim an-Nakha’i, fakih orang-orang Kufah.”

 

Lihatlah kepada ucapan para fuqaha~, mereka sama sekali tidak tertipu oleh kejadian seperti ini. Bagaimana Abu Imran mengabarkan kepadanya bahwa ia Juqathah, dia tidak menengok sisi yang menyerupai karomah, namun dia tidak memerintahkannya untuk mengqumumkannya karena madzhab orang-orang Kufah mengatakan bahwa luqathah yang kurang dari satu dinar tidak wajib diumumkan, dan Abu Imran memerintahkannya agar menyedekahkannya agar yang bersangkutan tidak menyangka bahwa ia sebagai karomah yang patut diambil dan dibelanjakan.

 

Dari Ibrahim al-Khurasani bahwa dia berkata, “Suatu hari aku hendak berwudhu, tiba-tiba aku melihat sebuah wajah dari mutiara dan siwak dari perak, ujungnya lebih lembut daripada wol, maka aku memakai siwak tersebut dan berwudhu lalu meninggalkan keduanya dan pergi.”

 

Saya berkata, “Di antara perawi hikayat ini ada rawi yang riwayatnya tidak bisa dipercaya. Jika asumsinya benar, maka hal itu menunjukkan minimnya ilmu orang ini, karena kalau dia mengerti fikih, niscaya dia tahu bahwa bersiwak dengan perak tidak boleh, akan tetapi karena sedikit ilmunya maka dia memakainya. Bila dia menyangkanya sebagai karomah, maka Allah tidak memberi karomah dengan sesuatu yang dilarang untuk digunakan secara syar’i, kecuali bila Dia menampakkan hal tersebut baginya dalam konteks ujian.

 

Berhati-hati Terhadap Sesuatu yang Zhahirnya

 

Karomah Tatkala orang-orang berakal menyadari kerasnya talbis Iblis, mereka memperingatkan hal-hal yang nampaknya seperti karomah, dan mereka khawatir ia termasuk talbis Iblis.

 

Telah diriwayatkan kepada kami dari Abu ath-Thayyib bahwa dia berkata, “Aku mendengar Zahrun berkata, ‘Burung berbicara kepadaku, ceritanya saat aku di pedalaman, aku tersesat, lantas aku melihat seekor burung putih, burung itu berkata kepadaku, ‘Wahai Zahrun, kamu tersesat?’? Aku menjawab, ‘Wahai setan! Silakan kamu menipu orang lain.’ Dia berkata kepadaku, ‘Zahrun, kamu tersesat?’ Aku menjawab, ‘Setan, silakan kamu menipu orang lain.’ Di kali ketiga, dia turun dan hinggap di pundakku dan berkata, ‘Aku bukan setan, sementara kamu tersesat dan aku diutus kepadamu.’ Kemudian dia terbang menghilang.’”

 

Dari Zulfa berkata, saya berkata kepada Rabi’ah al-Adawiyah, “Wahai Bibi, mengapa engkau tidak mengizinkan orang-orang untuk datang kepadamu?” Dia menjawab, “Apa yang aku harapkan dari mereka, bila mereka datang kepadaku, mereka menceritakan dariku apa yang tidak aku lakukan, saya mendengar bahwa mereka berkata bahwa aku menemukan dirham-dirham di bawah sajadah shalatku dan bejana dimasak untukku tanpa api, padahal seandainya hal ini benar-benar terjadi padaku niscaya aku ketakutan.” Zulfa berkata, maka aku berkata kepadanya, “Orang-orang banyak membicarakanmu, mereka berkata, ‘Rabi’ah mendapatkan makanan dan minuman di rumahnya.’ Apakah memang benar demikian?” Dia menjawab, “Wahai Keponakanku, seandainya aku mendapatkan sesuatu di rumahku maka aku tidak menyentuhnya dan tidak akan mengambilnya.”

 

Dari Zulfa dari Rabi’ah bahwa ia berpuasa pada hari yang dingin, dia berkata, “Jiwaku berharap makanan yang hangat untuk berbuka, dan aku mempunyai gajih, maka aku berkata dalam diriku, ‘Seandainya ada bawang merah atau bombay maka aku memasaknya.’ Tiba-tiba seekor burung kecil datang, lalu ia menjatuhkan bawang putih dari paruhnya melalui sebuah lubang, tatkala aku melihatnya, aku mengurungkan keinginanku karena aku takut dari setan.”

 

Dari Muhammad bin Yazid berkata, “Orang-orang melihat Wuhaib termasuk penghuni surga, bila hal itu disampaikan kepadanya, maka dia menangis dengan keras dan berkata, ‘Aku takut hal itu dari setan.” Kritik Terhadap Kisah-kisah Ajaib dan Klaim-klaim Aneh ala Sufi Iblis mengacaukan orang-orang dari kalangan muta‘akhkhirin, mereka meletakkan hikayat-hikayat karomah para wali untuk mendukung madzhab sufi, padahal kebenaran tidak memerlukan dukungan kebatilan, maka Allah membuka kedok mereka melalui para ulama riwayat.

 

Dari Sahl bin Abdullah berkata, “Aku menyertai seorang laki-laki yang termasuk wali di sebuah jalan di Makkah, dia merasa kelaparan selama tiga hari. Dia mendatangi sebuah masjid di kaki gunung, di sana ada sebuah sumur yang di atasnya terdapat kerekan timba dan alat bersuci. Di sisi sumur tersebut ada sebuah pohon delima yang tak berbuah. Dia tinggal di masjid tersebut hingga Maghrib. Tatkala waktu Maghrib tiba, muncullah empat puluh orang dengan jubah bulu dan sandal pelepah kurma, mereka masuk masjid dan mengucapkan salam. Salah seorang dari mereka mengumandangkan adzan lalu iqamat. Dia maju dan mengimami rekan-rekannya. Usai shalat dia menuju ke pohon delima tersebut, ternyata di sana ada empat puluh biji delima matang dan segar, lalu masing-masing dari mereka memetik satu biji dan memakannya lantas pergi.”

 

Wali itu berkata, “Aku melalui malam dalam keadaan lapar, di waktu yang mana mereka mengambil delima, mereka datang lagi, ketika mereka selesai shalat, mereka mengambil delima, maka aku berkata, ‘Wahai kaumku, aku saudara kalian dalam Islam, semenatar aku sangat kelaparan, mengapa kalian tidak berbicara kepadaku dan membantuku?!’ Maka ketua mereka menjawab, ‘Kami tidak berbicara dengan orang yang tertutup oleh apa yang ada padanya. Pergilah dan lemparkanlah apa yang ada padamu di balik bukit itu ke lembah, lalu kembalilah kepada kami hingga kamu mendepatkan apa yang kami dapatkan.’”

 

Maka aku naik ke gunung, sementara jiwaku menolakku untuk melem. par apa yang ada padaku, maka aku menguburkannya dan kembaili, Ketuanya bertanya kepadaku, “Sudahkah kamu melemparnya?” Aky menjawab, “Ya.” Dia bertanya, “Kamu melihat sesuatu?” Aku menjawab, “Tidak.” Dia berkata, “Kalau begitu kamu belum melemparkannya, Kembalilah dan lemparkanlah ke dasar lembah.”

 

Aku pun kembali dan melemparkan apa yang ada padaku. Tiba-tiba aku diliputi oleh nur wilayah seperti rerumputan segar, maka aku kembali, ternyata di pohon ada sebuah delima lain, aku memakannya hingga rasa lapar dan hausku terasa ringan. Kemudian aku kembali ke Makkah, ternyata aku melihat empat puluh orang itu di antara Zam-zam dan Maqam Ibrahim, mereka semuanya datang kepadaku dan bertanya kepadaku tentang keadaanku serta memberi salam kepadaku, aku berkata, “Allah mencukupkanku oleh kalian akan kata-kata kalian yang terakhir, sebagaimana Allah mencukupkan kalian’ dengan kata-kataku yang pertama, maka pada diriku tidak ada lagi tempat untuk selain Allah.”

 

Penulis berkata, “Dalam sanad hikayat ini ada Amru bin Washil, Ibnu Abu Hatim mendhaifkannya, ada al-Adami dan bapaknya yang keduanya sama-sama majhul.”

 

Di antara yang menunjukkan bahwa kisah ini rekayasa adalah ucapan, “Lemparkanlah apa yang ada padamu.” Karena wali yang benar tidak menvelisihi syariat dan syariat melarang menyia-nyiakan harta.

 

Ucapannya, “Aku diliputi oleh nur wilayah.” Ini adalah kisah yang dibuat-buat dan omong kosong. Siapa yang mencium aroma ilmu tak akan tertipu oleh kisah seperti ini, karena yang tertipu olehnya hanya orang-orang yang bodoh terhadap agama yang tidak mempunyai bashirah.

 

Dari Abdul Aziz al-Baghdadi berkata, “Aku menelaah kisah-kisah sufi, suatu hari aku naik ke atap, lalu aku mendengar seseorang berkata, ‘Dan Dia melindungi orang-orang yang shalih’ (QS. al-A’raf: 196), maka aku menoleh dan tidak melihat seorang pun, lalu aku melemparkan diriku dari atap, tiba-tiba aku terhenti di udara.”

 

Saya katakan, “Ini dusta, juga tak masuk akal. Orang yang berakal tak menyangsikan kebohongannya, dengan asumsi ia benar, karena tetap saja melemparkan diri dari atap adalah haram, dan dugaannya bahwa Allah menolong orang yang melakukan apa yang Dia larang adalah batil, karena Allah berfirman:

 

“Dan janganiah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,” (QS. al-Baqarah: 195)

 

Bagaimana dia disebut orang yang shalih sementara dia sudah menyelisihi Rabbnya?! Dengan asumsi demikian, lantas siapa yang mengabarkan kepadanya bahwa dia termasuk mereka?!

 

Ada banyak orang yang menyusup ke dalam barisan orang-orang sufi dan meniru mereka, lalu mereka merekayasa dan mengklaim berbagai karomah, serta menunjukkan kebohongan-kebohongan kepada orang-orang awam dalam rangka menghalang-halangi mereka dari kebenaran.

 

Telah diriwayatkan kepada kami dari al-Hallaj bahwa dia mengubur roti, daging panggang dan manisan di sebuah tempat di padang pasir, dan dia menunjukkan hal ini kepada sebagian pengikutnya. Saat pagi tiba, dia berkata kepada mereka, “Kita keluar untuk mengembara.” Maka dia bangkit, dan diikuti oleh orang-orang. Dia mendatangi tempat di mana dia mengubur apa yang dia kubur. Tatkala mereka telah sampai di tempat tersebut, maka murid yang sebelumnya sudah diberitahu oleh al-Hallaj berkata, “Kami ingin makan ini dan ini.” Maka al-Hallaj meninggalkan mereka, dan mendatangi tempat di mana dia mengubur apa yang dia kubur. Di sana dia shalat dua rakaat lalu membawa makanan yang dia kubur sebelumnya kepada mereka.

 

Laki-laki ini menengadahkan tangannya ke udara, melemparkan emas di tangan orang-orang dan melakukan hal-hal yang aneh.

 

Suatu hari sebagian hadirin berkata kepadanya, “Dirham-dirham ini sudah dikenal, aku akan percaya kepadamu bila kamu memberiku dirham yang tertulis namamu dan nama bapakmu di sana.”

 

Dia terus membual sampai akhirnya disalib.

 

Dari Abu Amru bin Haiwah berkata, “Tatkala Husain al-Hallaj dibawa keluar hendak dihukum mati, aku ikut hadir, aku menerobos kerumunan orang hingga aku melihatnya, dia berkata kepada rekan-rekannya, Jangan bersedih karena ini, karena aku akan kembali kepada kalian sesudah tiga puluh hari.”

 

Keyakinan al-Hallaj adalah keyakinan yang buruk, dan kami telah menjelaskan di awal buku sebagian dari keyakinannya dan pengacuannya, dan kami juga telah menjelaskan bahwa dia dihukum mati dengan fatwa para fuqaha~ di zamannya.

 

Di antara orang-orang muta‘akhkhirin ada yang melaburi dirinya dengan lotion anti api, lalu dia duduk di atas api untuk memperlihatkan bahwa itu adalah karomah.

 

Saya mencantumkan kisah seperti ini agar diketahui bahwa orang-orang itu telah beranilancang mempermainkan agama. Lantas keberadaan apa bagi syariat di depan keadaan mereka yang seperti ini?

 

Kami telah menjelaskan bahwa talbis Iblis menguat sesuai dengan kebodohan, Iblis memiliki banyak cara dalam menjerumuskan orang-orang awam. Saking banyaknya cara Iblis dalam mengacaukan dan memfitnah mereka, maka membatasinya pun lumayan sulit, oleh karena itu kami hanya akan menyebutkan cara-cara dasar yang bisa dijadikan seb. tai petunjuk atas lainnya. Semoga Allah memberi taufik.

 

Di antaranya Iblis datang kepada orang awam, dia mengajaknya merenungkan dzat Allah dan sifat-sifatNya, lalu dia membuatnya ragu-ragu. Rasulullah telah mengabarkan hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa beliau bersabda:

 

“Sesungguhnya setan datang kepada salah seorang di antara kalian, lalu dia berkata, ‘Siapa yang menciptakanmu?’ Dia menjawab, Allah.’ Lalu setan berkata, ‘Siapa yang menciptakan langit dan bumi?’ Dia menjawab, “Allah.’ Setan berkata, ‘Siapa yang menciptakan Allah?’ Bila salah seorang di antara kalian mendapatkan hal itu maka hendaknya berkata, Aku beriman kepada Allah dan RasulNya.

 

Saya katakan, “Malapetaka ini terjadi karena dominasi perasaan, sebab tatkala dia tidak melihat sesuatu kecuali diciptakan, maka Iblis berkata kepada orang awam ini, ‘Bukankah kamu tahu bahwa Allah menciptakan zaman bukan di zaman, tempat bukan di tempat, bila bumi dengan isinya bukan di tempat, dan tidak ada sesuatu apa pun di bawahnya, sementara perasaanmu menolak hal ini, karena sesuatu tidak diketahui kecuali di sebuah tempat, maka siapa yang tak diketahui dengan perasaan tidak dicari dengan perasaan, mintalah pendapat kepada akalmu, karena pendapatnya bersih.’”

 

Terkadang Iblis mengacaukan orang-orang awam saat mendengar sifat-sifat Allah, lalu mereka memahaminya sesuai dengan tuntutan perasaan, hingga mereka meyakini tasybih.

 

Terkadang Iblis mengacaukan orang-orang awam melalui sikap fanatik kepada madzhab. Anda melihat orang awam bermusuhan dan berkelahi karena suatu urusan yang dia sendiri tidak mengetahui hakikatnya, di antara mereka ada yang mengajak kepada sikap fanatik kepada Abu Bakar, di antara mereka ada yang mengajak kepada Ali bin Abi Thalib dan berapa banyak pertikaian terjadi karena hal ini. Hal seperti ini terjadi antara orang-orang Karkh dengan orang-orang Bashrah bertahun-tahun lamanya berupa pembunuhan dan pembakaran, yang panjang bila disebutkan di sini.

 

Anda melihat tidak sedikit dari kalangan mereka yang terlibat dalam masalah seperti ini masih memakai sutera, minum khamr dan membunuh, padahal Abu Bakar dan Ali berlepas diri dari mereka.

 

Terkadang orang awam merasa memiliki suatu pemahaman pada dirinya, lalu Iblis membujuknya untuk menentang Rabbnya, di antara mereka ada yang berkata kepada Rabbnya, “Bagaimana Allah menetapkan qadha’ lalu Dia menghukum?” Di antara mereka ada yang berkata, “Mengapa Allah menyempitkan rizki orang yang bertakwa dan melapangkan rizki pendosa?”

 

Di antara mereka ada yang bersyukur atas nikmat-nikmat, namun saat ditimpa ujian, dia menentang dan kufur.

 

Di antara mereka ada yang gagal meraih tujuannya atau ia ditimpa ujian lalu kufur, maka dia berkata, “Aku tak mau shalat lagi.”

 

Terkadang laki-laki Nasrani lagi fajir mengalahkan seorang mukmin, dia membunuhnya atau memukulinya, maka orang-orang awam berkata, “Salib telah menang, lalu untuk apa kita shalat bila urusannya demikian?!”

 

Iblis mampu menanamkan semua penyakit ini pada mereka karena jauhnya mereka dari ilmu dan para ulama. Seandainya mereka bertanya kepada para ulama, niscaya para ulama mengabarkan kepada mereka bahwa Allah Maha Bijaksana lagi Mahakuasa, sehingga tak satu pun sanggahan yang akan tetap tegak.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Awam Dalam Fatwa

 

Di antara orang-orang awam ada yang senang dengan pendapatnya sendiri, dia tak peduli bila menyelisihi para ulama. Saat fatwa para ulama bertentangan dengan tujuannya, dia membantah dan mengqugat mereka. Ibnu Aqil berkata, “Aku hidup selama bertahun-tahun, seandainya aku memasukkan tanganku ke dalam hasil pekerjaan seorang pengrajin, maka dia berkata, ‘Kamu hanya merusak.’ Seandainya aku berkata, ‘Aku seorang Ulama.’ Maka dia akan berkata, ‘Allah memberkahi ilmumu, ini bukan lahanmu.’ Padahal lahannya adalah lahan yang nyata dan tak butuh lama untuk memahaminya, sedangkan apa yang aku miliki adalah urusan akal, bila aku memberinya fatwa maka dia pun menolaknya!!”

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Awam yang Mendahulukan Ahli Zuhud atas Para Ulama

 

Di antara talbis Iblis atas orang-orang awam adalah bahwa mereka mendahulukan para ahli zuhud atas para ulama. Seandainya mereka melihat jubah wol di badan orang yang paling bodoh, maka mereka akan mengagungkannya, khususnya bila yang bersangkutan selalu menundukkan kepalanya dan memperlihatkan sikap khusyu’ kepada mereka, maka mereka berkata, “Orang ini tak ada bandingannya dengan ulama fulan. Ulama fulan hanya mencari dunia, sedangkan laki-laki zuhud ini tidak makan anggur, kurma muda dan tidak menikah sama sekali.” Hal ini mereka ucapkan karena mereka sama sekali tidak tahu kKeutamaan para ulama atas ahli zuhud, dan karena lebih mementingkan para ahli zuhud di atas syariat Muhammad bin Abdullah.

 

Di antara nikmat Allah atas mereka adalah bahwa mereka tidak bertemu dengan Rasulullah, karena bila mereka melihat beliau menikah dengan banyak istri, makan daging ayam, menyukai manisan dan madu, niscaya mereka sama sekali tak menghormati beliau!

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Awam Dalam Menggugat Ulama

 

Di antara talbis Iblis atas orang-orang awam adalah gugatan mereka terhadap para ulama yang melakukan hal-hal yang mubah, padahal itu termasuk kebodohan yang paling buruk.

 

Mereka lebih cenderung kepada orang-orang asing, maka mereka lebih mementingkan orang asing daripada penduduk kotanya yang telah mereka ketahui kehidupannya dan mereka kenal akidahnya, mereka cenderung kepada orang asing, padahal bisa jadi dia adalah orang bathiniyah.

 

Padahal sepantasnya jiwa-jiwa tersebut diserahkan kepada pihak yang mengenalinya dengan baik.

 

Allah berfirman:

 

“Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka.” (QS. an-Nisa’: 6).

 

Allah melimpahkan nikmatNya kepada manusia dengan mengutus Muhammad kepada mereka semuanya bahwa mereka mengetahui keadaannya.

 

Allah berfirman:

 

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri,” (QS. Ali Imran: 164).

 

Dan Allah berfirman:

 

“mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.” (QS. al-An’am: 20).

 

Mengagungkan Para Ahli Zuhud Iblis mengajak orang-orang awam untuk menerima klaim-klaim ahli zuhud sekalipun ia menodai syariat dan menyimpang dari aturan-aturannya, Anda melihat seorang dukun berkata kepada seorang awam, “Kamu melakukan ini dan ini kemarin dan akan terjadi ini dan ini padamu.” Lalu si awam mempercayainya dan berkata, “Orang ini berbicara atas dasar pemikiran.” Dia tidak tahu bahwa mengklaim hal yang ghaib adalah kekufuran.

 

Kemudian orang-orang awam melihat para dukun itu melakukan hal-hal yang diharamkan atau tidak diperbolehkan, seperti berhubungan akrab dengan kaum wanita, berkhalwat dengan mereka, sedangkan orang-orang tersebut sama sekali tidak mengingkari, sebaliknya mereka pasrah menerima.

 

Melepaskan Hawa Nafsu dalam Kemaksiatan

 

Di antara talbis Iblis atas orang-orang awam adalah melepaskan tali kekang jiwa mereka untuk mengembara di lapangan kemaksiatan. Bila mereka dinasihati maka mereka menirukan ucapan orang zindik. Di antara mereka ada yang berkata, “Saya tidak meninggalkan yang kontan untuk sesuatu yang tertunda.”

 

Seandainya mereka memahami, niscaya mereka mengetahui bahwa ini bukan kontan, karena ia diharamkan, dan yang dibolehkan untuk dipilih hanyalah yang kontan atau tertunda dalam perkara mubah, mereka seperti orang yang demam lagi bodoh makan madu, bila dia ditegur maka dia menjawab, “Syahwat adalah sesuatu yang kontan dan kesembuhan adalah sesuatu yang tertunda.”

 

Kemudian bila mereka mengetahui hakikat iman, niscaya mereka mengetahui bahwa apa yang tertunda adalah janji benar yang tidak akan diselisihi. Seandainya mereka mengetahui perbuatan para saudagar yang berani mempertaruhkan banyak harta dengan harapan meraih laba yang tidak banyak, niscaya mereka mengetahui bahwa apa yang mereka tinggalkan adalah sedikit dan apa yang mereka harapkan adalah banyak. Seandainya mereka membedakan antara yang mereka pentingkan dengan apa yang mereka hilangkan dari diri mereka, niscaya mereka melihat bahwa penyegeraan mereka terhadap apa yang mereka segerakan namun membuat mereka kehilangan laba terus menerus dan menjerumuskan mereka ke dalam adzab merupakan kerugian nyata yang tak akan pernah tertambal.

 

Di antara mereka ada yang berkata, “Tuhan Mahabaik, ampunanNya luas dan berharap adalah ajaran agama.” Mereka menyebut angan-angan dan tipu daya yang menimpa mereka dengan harapan, inilah pendapat yang membinasakan kebanyakan pelaku dosa.

 

Abu Amru bin al-Ala’ berkata, “Aku mendengar bahwa al-Farazdaq duduk bersama orang-orang yang membicarakan rahmat Allah, dia adalah orang yang paling luas dadanya dalam urusan harapan. Mereka berkata kepadanya, ‘Mengapa kamu menuduh para wanita yang baik-baik?’ Dia menjawab, ‘Katakan kepadaku, seandainya aku melakukan dosa terhadap bapak ibuku yang tidak aku lakukan kepada Tuhanku, apakah jiwa keduanya akan tenang untuk melemparkanku ke dalam tungku yang penuh dengan bara api?” Mereka menjawab, “Tidak, karena keduanya menyayangimu.” Dia berkata, “Sesungguhnya aku yakin dengan rahmat Tuhanku kepadaku daripada keduanya.”

 

Saya katakan, “Inilah kedunguan seratus persen, karena rahmat Allah bukan kelembutan tabiat. Seandainya demikian niscaya burung tidak disembelih, anak tidak dimatikan dan tak seorang pun dimasukkan ke dalam neraka Jahanam.”

 

Dari Abbad berkata, bahwa al-Ashma’i berkata, “Aku bersama Abu Nuwas di Makkah, lalu aku melihat seorang anak muda yang cambangnya belum tumbuh mengusap Hajar Aswad, maka Abu Nuwas berkata kepadaku, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan tempat sehingga aku menciumnya di Hajar Aswad.” Aku berkata, “Celaka kamu! Bertakwalah kepada Allah, kamu ada di negeri Haram dan Baitul Haram.” Lalu dia menjawab, “Harus.” Kemudian Abu Nuwas mendekati Hajar Aswad tersebut. Sementara anak muda itu mengusap Hajar Aswad, maka Abu Nuwas cepat-cepat, dia meletakkan pipinya ke pipi anak muda itu, dia menciumnya dan aku melihat.” Aku berkata kepadanya, “Celaka kamu, beraninya kamu melakukan ini di haram Allah.” Dia menjawab, ‘Jangan berkata demikian, karena Tuhanku Maha Penyayang.” Kemudian dia berkata,

 

Dua orang yang saling menyinta,

 

Pipi keduanya bertemu saat mengusap Hajar Aswad Keduanya puas tanpa memikul dosa Seolah-olah keduanya sudah berjanji

 

Saya katakan, “Lihatlah kepada kelancangan orang ini yang hanya melihat kepada rahmat Allah dan melupakan kerasnya hukuman karena melanggar aturan-aturan agama.”

 

Di antara orang-orang awam ada yang berkata, “Para ulama itu menjaga aturan-aturan, ada fulan yang melakukan ini, dan fulan yang jain melakukan ini, maka perkaraku mirip.”

 

Membuka talbis ini adalah dengan mengatakan bahwa orang yang berilmu dan orang yang bodoh dalam urusan taklif adalah sama, maka hawa nafsu yang mendominasi ulama tidak menjadi alasan bagi orang yang bodoh.

 

Di antara mereka ada yang berkata, “Berapa besar dosaku hingga aku diadzab?! Siapa aku hingga aku disiksa?! Dosaku tak merugikanku, ketaatanku tidak bermanfaat bagi Allah, maafNya lebih besar daripada dosaku.” Sebagaimana salah seorang dari mereka berkata,

 

Siapa aku di sisi Allah hingga bila

Aku berbuat dosa, Dia tak mengampuniku

 

Ini adalah kedunguan besar, seolah-olah mereka meyakini bahwa Allah tidak menyiksa kecuali karena menyekutukan atau membandingkan. Kemudian mereka tidak mengetahui bahwa dengan menyelisihi mereka telah menduduki kursi penentang.

 

Ibnu Aqil mendengar seorang laki-laki berkata, “Siapa aku hingga Allah menghukumku?!” Maka Ibnu Aqil menjawab, “Kamu adalah orang yang seandainya Allah mematikan semua manusia dan tinggal kamu seorang, niscaya firman Allah, ‘Wahai manusia’ mencakup dirimu.”

 

Di antara mereka ada yang berkata, “Aku akan bertaubat dan memperbaiki.” Berapa banyak orang bahlul merasa tenang dengan anganangannya, dan tiba-tiba kematian menjemputnya, padahal bukan termasuk ketegasan menyegerakan kesalahan dan menunggu kebenaran, karena bisa jadi tidak ada taubat, seandainya ia ada, bisa jadi ia tidak sah dan bisa jadi tidak diterima. Kemudian bila diterima, maka rasa malu karena dosa akan tersisa selamanya, dan dia memikul beban berat ajakan dosa hingga ia lebih mudah hilang daripada memikul beban taubat hingga ia diterima.

 

Di antara mereka ada yang bertaubat kemudian membatalkannya, | maka Iblis menyusup kepadanya dengan tipu muslihatnya, karena Iblis tahu tekadnya yang lemah.

 

Dari al-Hasan bahwa dia berkata, “Bila setan melihat kepadamu, dan dia melihatmu tidak berada dalam ketaatan kepada Allah, maka dia mengumumkan kematianmu. Sebaliknya bila dia melihatmu istiqamah di atas ketaatan kepada Allah maka dia jenuh dan menolakmu, sedangkan bila dia melihatmu, sesekali maksiat dan sesekali taat, maka dia berharap terhadapmu.”

 

Talbis Iblis atas Mereka Hingga Tertipu Oleh Kemuliaan Nasab

 

Di antara talbis Iblis atas mereka, bila salah seorang dari mereka memiliki nasab yang dikenal, maka Iblis menipunya dengan nasabnya. Dia berkata kepadanya, “Aku keturunan Abu Bakar.” Ini berkata, “Aku keturunan Ali.” Ini berkata, “Aku orang mulia, keturunan al-Hasan atau al-Husain.” Atau dia berkata, “Nasabku tak jauh dengan si fulan sang ulama atau si fulan ahli zuhud.”

 

Orang-orang itu memijakkan kehidupan mereka di atas dua perkara:

 

> Pertama: Mereka berkata, “Barangsiapa mencintai seseorang, maka dia mencintai keluarga dan anak-anaknya.”

 

> Kedua: Mereka mempunyai syafaat dan orang yang paling berhak meraih syafaat mereka adalah keluarga dan anak-anak mereka.

 

Dua perkara ini sama-sama salah. Adapun untuk perkara cinta, maka cinta Allah tidak seperti cinta manusia, karena Allah hanya mencintai orang yang menaatiNya, karena ahli kitab adalah-anak keturunan Ya’qub, namun bapak mereka tidak bisa memberi manfaat bagi mereka. Sedangkan untuk syafaat, Allah berfirman:

 

“Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah,” (QS. al-Anbliya’: 28).

 

Tatkala Nuh ingin mengajak anaknya untuk naik perahu, dikatakan kepadanya:

 

“Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu…” (QS. Hud: 46).

 

Ibrahim pun tidak bisa memberi manfaat kepada ayahnya. Begitu juga nabi kita tidak bisa memberi manfaat kepada ibundanya.

 

Nabi bersabda kepada putrinya Fatimah , “Aku tak bisa memberimu manfaat di sisi Allah.”

 

Barangsiapa menyangka selamat dengan keselamatan bapaknya maka dia menyangka kenyang dengan makanan bapaknya. Bersandar Kepada Sifat Baik dan Tidak Peduli Dengan Apa yang Sesudahnya Di antara talbis Iblis atas orang-orang awam adalah membuat salah seorang dari mereka mengandalkan sebuah sifat baik dan tak peduli dengan apa yang sesudahnya. Di antara mereka ada yang berkata, “Aku termasuk Ahlus Sunnah sementara Ahlus Sunnah di atas kebaikan,” kemudian dia tidak menghindari dosa-dosa.

 

Membuka talbis ini adalah dengan mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya keyakinan dalam kewajiban, dan menahan diri dari kemaksiatan adalah kewajiban lain yang berbeda, maka salah satunya tidak menutupi yang lainnya.”

 

Orang-orang Rafidhah berkata, “Wala kepada ahli bait menolak adzab dari kami.” Mereka dusta, karena hanya takwa yang bisa menolak adzab.

 

Talbis Iblis atas Para Preman dalam Memalak Orang-orang

 

Termasuk dalam bab ini adalah talbis Iblis atas para preman pengangguran dalam memalak harta orang-orang, mereka dikenal dengan nama anak-anak muda, dan mereka berkata, “Anak muda tidak berzina, tidak berdusta dan tidak membuka kain wanita.” Di saat yang sama mereka tidak menolak untuk memalak harta manusia dan melupakan betapa beratnya hati melepaskan harta.

 

Mereka menyebut jalan mereka dengan futuwah, dan terkadang salah seorang dari mereka bersumpah demi hak futuwah, hingga dia tidak makan maupun minum.

 

Mereka menetapkan pemakaian celana sebagai syarat bagi siapa yang masuk ke dalam madzhab mereka layaknya orang-orang sufi yang mensyaratkan memakai baju tambal-tambal.

 

Terkadang salah seorang dari mereka mendengar tentang anak perempuannnya atau saudara perempuannya satu kalimat dosa yang tidak benar. Kalimat itu dari si tukang fitnah, maka dia membunuhnya dan mereka menyangka bahwa hal ini adalah futuwah.

 

Mengandalkan Amal Sunnah dan Menyia-nyiakan Amal Fardhu

 

Di antara orang-orang awam ada yang bersungguh-sungguh dalam mengamalkan amalan-amalan sunnah dan menyia-nyiakan amalan fardhu, misalnya dia datang ke masjid sebelum adzan, dia shalat sunnah, tetapi dalam shalat berjamaah dia mendahului imam.

 

Di antara mereka ada yang tidak menghadiri shalat berjamaah namun rela berdesak-desakan untuk shalat Raghaib.

 

Di antara mereka ada yang beribadah, menangis dalam ibadahnya tetapi terus menerus di atas perbuatan keji dan tidak meninggalkannya, bila dia ditegur, dia menjawab, “Keburukan dan kebaikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Di antara mereka ada yang beribadah dengan akalnya, mereka lebih banyak merusak daripada memperbaiki.

 

Aku melihat seorang laki-laki sudah hafal al-Qur’an dan zuhud, mengebiri dirinya, padahal ini termasuk perbuatan keji yang paling buruk. Menghadiri Majlis-majlis Dzikir Iblis mengacaukan banyak orang awam, mereka menghadiri majlis-majlis dzikir, menangis dan merasa cukup dengan itu. Mereka menyangka bahwa yang dituntut adalah hadir dan menangis, karena mereka mendengar keutamaan menghadiri majlis-majlis dzikir. Seandainya mereka mengetahui bahwa yang dimaksud adalah amal, dan bila apa yang didengar tidak diamalkan, maka ia hanya menambah hujjah (bantahan) atasnya.

 

Aku mengetahui banyak orang menghadiri majlis dzikir beberapa tahun, mereka menangis, memperlihatkan kekhusyu’an, namun dalam kehidupan mereka sama sekali tidak berubah. Mereka masih bermuamalah dengan riba, berbuat curang dalam jual beli, tidak tahu rukun-rukun shalat, mengghibah kaum muslimin dan mendurhakai orang tua.

 

Iblis telah mengacaukan mereka, dengan cara Iblis memperlihatkan kepada mereka bahwa menghadiri majlis dzikir dan menangis menolak hukuman akibat dosa yang mereka kerjakan.

 

Iblis memperlihatkan kepada sebagian dari mereka bahwa bergaul dengan para ulama bisa menolak adzab dari mereka. Iblis menyibukkan yang lain dengan menunda-nunda taubat, hingga mereka terus menundanundanya. Iblis membangkitkan orang-orang yang hanya menikmati apa yang mereka dengar dan melalaikan pengamalannya.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Berharta

 

Iblis mengacaukan orang-orang yang berharta dari empat jalan:

 

> Pertama: Dari jalan mendapatkannya. Mereka tidak peduli bagaimana harta itu didapatkan, riba mewabah di kebanyakan muamalah mereka hingga mereka telah menganggapnya biasa, sampai-sampai kebanyakan muamalah mereka menyimpang dari ijma’ ulama.

 

> Kedaua: Dari jalan bakhil terhadap harta. Di antara mereka ada yang sama sekali tidak mengeluarkan zakat karena mengandalkan ampunan Allah.

 

Di antara mereka ada yang mengeluarkan sebagian zakat, kemudian kalah oleh sikap bakhilnya, lalu dia mengangqgap bahwa apa yang sudah dikeluarkan bisa menolak adzab darinya. Di antara mereka ada yang mencari berbagai alasan untuk menggugurkan zakat, misalnya dia menghibahkan harta sebelum haul kemudian memintanya kembali. Di antara mereka ada bertaktik dengan memberi orang miskin sehelai baju yang dia hargai sepuluh dinar, padahal ia hanya dua dinar saja, dan orang bodoh ini menyangka dia sudah bebas. Di antara mereka ada yang membayar harta yang buruk sebagai ganti harta yang bagus. Di antara mereka ada yang memberikan zakat kepada orang yang dia pekerjakan sepanjang tahun, padahal sebenarnya zakat tersebut adalah upahnya. Di antara mereka ada yang membayar zakat sebagaimana mestinya, namun Iblis berkata kepadanya, “Tidak ada sesuatu pun yang tersisa untukmu? Tak ada.” Lalu Iblis menghalanghalanginya untuk bersedekah karena cinta harta, akibatnya Iblis berhasil melenyvapkan pahala orang yang bersedekah darinya padahal harta adalah rizki orang lain.

 

> Ketiga: Dari jalan memperbanyak harta, karena orang kaya melihat dirinya lebih baik daripada orang miskin, padahal ini adalah suatu kebodohan, karena keutamaan hanya dengan keutamaan-keutamaan jiwa yang menyertainya, bukan dengan mengumpulkan batu di luarnyva, sebagaimana seorang penyair berkata:

 

Kaya jiwa bagi-orang berakal adalah Lebih baik daripada kaya harta

 

Keutamaan jiwa ada pada jiwa Bukanlah keutarnaan itu pada keadaan ekonomi

 

> Keempat: Dari jalan pembelaanjaannya. Di antara mereka ada yang membelanjakannya secara boros dan hura-hura.

 

Terkadang untuk membangun rumah yang melebihi kubutuhan, menghiasi dinding, memperindah rumah dan membuat rupakarupaka. Terkadang di bidang pakaian yang menyeret pemakainya kepada kesombongan dan keangkuhan. Terkadang dalam hal makanan yang keluar sampai batas berlebihan.

 

Pelaku perbuatan-perbuatan seperti ini tidak selamat dari perbuatan yang haram atau makruh, dan dia akan diminta tanggung jawab terkait dengan semua ini.

 

Dari Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Wahai Bani Adam, kedua kakimu tidak bergeser di hari Kiamat di depan Allah hingga kamu ditanya tentang empat perkara: Umurmu, untuk apa kamu menghabiskannya? Jasadmu, untuk apa kamu menggunakannya? Hartamu, dari mana kamu mendapatkannya dan ke mana kamu membelanjakannya? Dan ilmumu, apa yang kamu amalkan dengannya?”

 

Di antara mereka ada yang berinfak untuk membangun masjid-masjid dan jembatan-jembatan, hanya saja niatnya adalah riya, sum’ah dan sanjungan manusia serta namanya ditulis pada apa yang dia bangun. Seandainya amalnya karena Allah, niscaya dia merasa cukup bahwa Allah mengetahuinya. Seandainya dia diminta untuk membangun sebuah tembok tanpa menulis namanya, niscaya dia enggan.

 

Setali tiga uang dengan ini mereka memberikan minyak di bulan Ramadhan untuk lampu penerang karena mencari nama baik, padahal masjid-masjid mereka gelap gulita sepanjang tahun, karena memberikan sedikit minyak setiap malam tidak mendatangkan sanjungan, berbeda dengan mengeluarkannya di bulan Ramadhan, padahal memberikan harga minyak kepada orang-orang miskin lebih utama.

 

Di antara mereka ada yang bersedekah, dan memberikannya kepada orang miskin sementara orang-orang melihatnya, maka dia menyatukan dua perkara, bermaksud mencari pujian dan merendahkan si miskin.

 

Di antara mereka ada yang membuat dinar-dinar yang ringan, satu dinar dicampur dengan dua qirath atau yang sepertinya, terkadang ia buruk, lalu dia bersedekah di depan khalayak manusia agar dikatakan, “Fulan telah memberikan dinar.”

 

Kebalikan dari ini, sebagian orang-orang shalih terdahulu memasukkan dinar berat ke dalam amplop kecil, timbangannya lebih dari satu dinar setengah, dan mereka memberikannya kepada orang miskin secara rahasia. Bila si miskin melihat amplop kecil, dia menyangkanya hanya sepotong kertas, namun saat dia merabahnya, ternyata ada dinarnya, sehingga dia bersuka cita, kemudian bila dia membukanya maka dia menyangka timbangannya ringan, dan bila dia mengetahuinya berat maka dia menyangka mencapai satu dinar. Bila dia mengetahuinya melebihi satu dinar, maka dia lebih bersuka cita, maka pahala berlipat ganda bagi pemberi setiap kali penerima bersuka cita.

 

Di antara mereka ada yang bersedekah kepada orang-orang jauh dan meninggalkan para kerabat padahal mereka lebih berhak.

 

Dari Sulaiman bin Amir berkata bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda:

 

“Sedekah kepada miskin adalah sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat adalah dua, sedekah dan silaturrahim. ”

 

Di antara mereka ada yang mengetahui sedekah kepada para kerabat, hanya saja antara dia dengan mereka ada permusuhan dunia, maka dia menolak membantunya padahal dia tahu kerabatnya itu miskin. Padahal seandainya dia membantunya, niscaya dia mendapatkan pahala sedekah, silaturrahim dan melawan hawa nafsu.

 

Di antara mereka ada yang membelanjakan hartanya untuk haji, lalu Iblis mengacaukannya dengan mengatakan kepadanya bahwa haji adalah ibadah, padahal maksudnya adalah riya’ , suka cita dan sanjungan manusia.

 

Seorang laki-laki berkata kepada Bisyr al-Hafi, “Aku menabung beberapa dirham untuk menunaikan ibadah haji.” Bisyr bertanya, “Apakah kamu sudah haji?” Dia menjawab, “Ya.” Bisyr menjawab, “Bayarlah hutang orang yang berhutang.” Dia berkata, “Hatiku tidak cenderung kecuali kepada haji.” Bisyr berkata, “Maksudmu adalah kamu ingin berangkat dan pulang, lalu dikatakan fulan haji.”

 

Di antara mereka ada yang membelanjakan hartanya untuk nyanyian dan berjoget. Iblis mengacaukannya dengan mengatakan kepadanya bahwa kamu mengumpulkan orang-orang miskin dan memberi mereka makan. Kami telah menjelaskan bahwa hal itu termasuk perkara yang merusak hati.

 

Di antara mereka ada yang bila menyiapkan putrinya untuk menikah, dia membuat untuknya sebuah nampan perak, dan menganggap hal itu sebagai ibadah. Terkadang dia membuat majlis khataman, lalu pembakar kayu gaharu dari perak disiapkan, perjamuan ini dihadiri oleh beberapa orang ulama, sementara yang bersangkutan tidak merasa perbuatannya sebagai dosa dan para ulama juga tidak mengingkari karena sudah terbiasa mengikuti adat.

 

Di antara mereka ada yang berbuat zhalim dalam wasiatnya, dan menghalang-halanginya dari pewarisnya, serta melihat bahwa harta tersebut adalah hartanya, dia berhak bertindak padanya sesuka hatinya. Dia lupa bahwa bila dia sakit, maka hak-hak para pewaris sudah terikat dengan hartanya.

 

Talbis Iblis atas Orang-orang Miskin

 

Iblis mengacaukan orang-orang miskin. Di antara mereka ada yang memperlihatkan kemiskinan padahal dia kaya, bila hal ini ditambah dengan meminta-minta dan menerima pemberian orang-orang maka dia hanya memperbanyak api Jahannam.

 

Dari Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Barangsiapa meminta harta kepada manusia untuk memperbanyak hartanya, maka dia hanya meminta bara api, silakan menyedikitkannya atau memperbanyak. ”

 

Bila dia tidak menerima apa pun dari orang-orang, maka tujuannya dengan menampakkan kemiskinan adalah agar dikatakan fulan ahli zuhud, maka sungguh dia telah berbuat riya’.

 

Bila dia menyembunyikan nikmat Allah pada dirinya agar ia terlihat miskin dengan tujuan agar tidak dituntut berinfak, maka kebakhilannya mengandung keluh kesah kepada Allah.

 

Seandainya jika dia memang seorang yang fakir yang berhak menerima sedekah, maka dianjurkan baginya untuk menyembunyikan kemiskinannya dan memperlihatkan kebaikan. Di antara salaf ada yang membawa kunci agar dikira mempunyai rumah padahal rumahnya hanyalah masjid-masjid.

 

Di antara talbis Iblis atas orang-orang miskin adalah bahwa dia melihat dirinya lebih baik daripada orang kaya karena dia berzuhud pada apa yang dikumpulkan oleh orang kaya tersebut.

 

Ini salah, karena kebaikan bukan dengan kekayaan dan kemiskinan, akan tetapi dengan sesuatu di balik semua itu.

 

Talbis Iblis atas Jumhur Orang-orang Awam

 

Iblis telah menyeret kebanyakan orang-orang awam untuk mengikuti berbagai adat, padahal ini termasuk sebab kebinasaan mereka yang paling besar.

 

Di antaranya adalah bahwa mereka bertaklid kepada leluhur dan nenek moyang dalam keyakinan mereka sesuatu dengan apa yang mana mereka dibesarkan atasnya. Maka Anda melihat seorang laki-laki hidup selama lima puluh tahun bertaklid kepada apa yang dipegang oleh bapaknya tanpa melihat apakah benar atau salah.

 

Termasuk dalam hal ini bertaklid kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani serta jahiliyah leluhur mereka, demikian juga kaum muslimin yang berjalan bersama adat dalam urusan shalat dan ibadah-ibadah mereka, hingga Anda melihat seseorang hidup selama enam puluh tahun, dia shalat berdasarkan apa yang dia lihat dari orang-orang, terkadang dia tidak membaca al-Fatihah dan tidak mengetahui apa saja yang diwajibkan. Tidak mudah baginya untuk mengetahui hal itu, karena dia telah meremehkan agama, padahal seandainya dia hendak melakukan perdagangan, niscaya dia akan bertanya sebelum berangkat tentang biaya yang harus dikeluarkan di negeri tujuan.

 

Kemudian Anda melihat salah seorang dari mereka ruku’ dan sujud sebelum imam. Aku melihat beberapa orang yang salam seiring dengan salam imam, padahal mereka masih belum menyelesaikan tasyahud, dan terkadang salah seorang dari mereka meninggalkan kewajiban dan berlebihan dalam nafilah. Terkadang mereka meremehkan membasuh sebagian anggota wudhu seperti tumit. Terkadang di tangannya ada cincin yang menghalangi air untuk menyentuh seluruh jari, namun dia tidak memutarnya saat berwudhu dan tidak menyampaikan air ke bagian bawahnya, akibatnya wudhunya tidak sah.

 

Untuk urusan jual beli, kebanyakan akad-akad mereka adalah akadakad yang rusak, dan mereka tidak berusaha mengenal hukum syariat padanya. Salah seorang dari mereka tidak merasa berat untuk bertaklid kepada rukshah seorang fakih karena merasa mampu mandiri hingga tidak perlu masuk ke dalam hukum syariat.

 

Mereka tidak menjual sesuatu kecuali kebanyakan darinya mengandung kecurangan dan menutupi kecacatan barang tersebut.

 

Di antara bentuk berjalannya orang-orang awam bersama adat adalah bahwa salah seorang dari mereka bermalas-malasan dalam melaksanakan shalat fardhu di bulan Ramadhan, dan berbuka puasa dengan menyantap makanan haram serta mengghibah orang orang.

 

Di antara mereka ada yang mengqadaikan rumahnya atas sesuatu dan membayar, dia berkata, “Dharurat.” Padahal mungkin dia memiliki rumah yang lain dan di rumahnya terdapat peralatan-peralatan yang seandainya dia mau menjualnya niscaya dia tidak harus menggadaikan dan menyewa, akan tetapi dia takut kedudukannya jatuh bila dikatakan fulan menjual rumahnya.

 

Di antara bentuk berjalannya orang-orang awam bersama adat adalah kepercayaan mereka kepada tukang ramal, ahli nujum dan dukun. Hal ini menyebar di antara orang-orang, kebiasaan beberapa tokoh yang berjalan di atasnya. Anda sering melihat bila salah seorang dari mereka hendak melakukan perjalanan atau menggunting baju atau berbekam, dia bertanya terlebih dulu kepada ahli nujum dan mengamalkan ucapannya, dan rumah-rumah mereka tidak bersih dari kalender yang dibuat oleh para ahli nujum, padahal berapa banyak rumah mereka yang tidak ada al-Qur’an di dalamnya.

 

Dalam ash-Shahih bahwa Nabi ditanya tentang para dukun, maka beliau menjawab, “Mereka bukan sesuatu apa pun.” Mereka berkata, “Ya Rasulullah, terkadang mereka menyampaikan sesuatu yang benar.” Rasul menjawab, “Kata yang benar itu hasil penyadapan seorang jin lalu dia membisikkannya ke telinga walinya seperti ayam mematok makanannya, maka mereka mencampurnya dengan seratus kebohongan lebih.”

 

Dalam Shahih Muslim dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu dia bertanya kepadanya tentang sesuatu maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.”

 

Abu Dawud dari hadits Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Barangsiapa mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang diucapkannya maka dia berlepas diri dari apa yang diturunkan kepada Muhammad. ”

 

Di antara bentuk berjalannya orang-orang awam bersama adat adalah banyaknya sumpah yang dilanggar yang mana kebanyakan darinya adalah zhihar mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui, maka kebanyakan ucapan mereka dalam bersumpah adalah, “Haram atasku ini bila aku menjual.”

 

Di antara kebiasaan mereka adalah memakai sutera dan cincin emas. Terkadang salah seorang dari mereka menolak memakai sutera, namun di sebagian waktu tergoda untuk memakainya seperti khatib di hari Jum’at.

 

Di antara adat mereka adalah meniadakan nahi mungkar, hingga seorang laki-laki melihat saudaranya atau kerabatnya minum khamr, memakai sutera sedangkan dia mendiamkannya tanpa mengingkarinya, dan tidak menampakkan perubahan, sebaliknya mempergaulinya seperti rekan akrab.

 

Di antara adat mereka adalah seseorang membangun pancuran talang di depan pintu rumahnya yang akan menyempitkan jalan orang yang lalu lalang, terkadang air hujan menggenang di depan rumahnya dan banyak, dan dia wajib menghilangkannya namun ia tidak melakukannya, padahal dia telah berdosa karena menjadi sebab terganggunya kaum muslimin.

 

Di antara kebiasaan mereka adalah masuk pemandian umum tanpa celana, di antara mereka ada yang masuk memakai celana namun dia menariknya tinggi-tinggi hingga sisi pantatnya terlihat, datang ke tukang pijat dan memperlihatkan sebagian auratnya sedangkan tukang pijat memegangnya, karena aurat antara pusar sampai lutut, kemudian mereka melihat kepada aurat orang-orang tersebut dan hampir tidak menundukkan pandangannya dan tidak mengingkarinya.

 

Di antara kebiasaan mereka adalah menelantarkan hak-hak istri, terkadang mereka memaksa istri untuk menggugurkan maharnya, lalu suami menyangka telah bebas karena istrinya telah menggugurkannya karena paksaannya.

 

Terkadang seorang suami berpoligami dan cenderung kepada salah seorang istrinya, maka dia berbagi secara zhalim, dia meremehkannya karena menyangka bahwa perkaranya ringan.

 

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

“Barangsiapa beristri dua lalu dia cenderung kepada salah satunya atas yang lainnya, maka dia datang di Hari Kiamat menyeret salah satu sisi tubuhnya yang miring atau terjatuh,

 

Di antara kebiasaan mereka adalah kemauan untuk divonis pailit oleh hakim, dia menyangka bahwa siapa yang telah divonis pailit oleh hakim maka kewajiban-kewajiban yang dipikulnya gugur, padahal bisa jadi dia mampu namun enggan untuk menunaikan hak.

 

Di antara perkara yang mana mereka berjalan di atas adat adalah bahwa seorang pekerja disewa untuk bekerja seharian, namun dia membuang-buang banyak waktu, terkadang dengan berangkat terlambat atau dengan bermalas-malasan atau sibuk memperbaiki peralatan kerja, misalnya tukang kayu menajamkan kapak atau menajamkan gergaji, padahal ini adalah pengkhianatan, kecuali bila hanya sebentar yang mana kebiasaan berlaku untuk yang sepertinya.

 

Terkadang kebanyakan dari mereka melalaikan shalat, dia berkata, “Aku sedang bekerja untuk si fulan.” Dia tidak paham bahwa waktu shalat tidak termasuk dalam akad pekerjaan. Jarangnya saling menasihati antara mereka dalam bekerja lebih banyak.

 

Di antara perkara yang berjalan sesuai dengan adat adalah menguburkan mayit dalam kotak peti, padahal ini perbuatan yang makruh. Adapun untuk kafan, maka tidak patut dijadikan sebagai kebanggaan dengan bermahal-mahal, yang patut adalah pertengahan.

 

Mereka menguburkan beberapa pakaian bersama mayit, ini haram karena termasuk membuang-buang harta.

 

Mereka membuat majlis meratapi mayit, dalam Shahih Muslim bahwa Nabi bersabda:

 

“Sesungguhnya wanita yang meratapi mayit, bila dia tidak bertaubat sebelum meninggal dunia, maka di Hari Kiamat akan dibangkitkan dengan memakai selimut dari tima panas dan jubah yang membuatnya gatal.”

 

Di antara kebiasaan mereka adalah menampar pipi dan merobek baju khususnya untuk kaum wanita. Dalam ash-Shahihain bahwa Nabi bersabda:

 

“Bukan termasuk golongan kami siapa yang merobek pakaian, menampar pipi dan mengucapkan seruan jahiliyah.”

 

Terkadang mereka melihat orang yang tertimpa musibah telah merobek pakaiannya, tetapi mereka tidak mengingkarinya, bahkan terkadang mereka mengingkari siapa yang tidak merobek pakaiannya, mereka berkata tentangnya, “Dia tidak terpengaruh oleh musibah.”

 

Di antara kebiasaan orang-orang awam adalah ziarah kubur di malam nishfu Sya’ban, menyalakan api di sana, dan mengambil tanah kuburan orang yang diagungkan.

 

Ibnu Aqil berkata, “Tatkala beban-beban taklif terasa sulit bagi orang-orang bodoh dan orang-orang malas, maka mereka meninggalkan ajaranajaran syariat dan menggantinya dengan ritual-ritual bikinan mereka hingga ia terasa mudah bagi mereka, karena dengan itu mereka tidak berada di bawah perintah orang lain. Menurutku mereka adalah orang-orang kafir dengan meletakkan ritual-ritual ini, seperti mengagungkan kuburan dan memuliakannya dengan cara yang dilarang oleh syariat berupa menyalakan api di kuburan, mencium kuburan dan berbicara kepada orang-orang yang sudah mati dengan menggunakan papan kayu serta kertas yang tertulis padanya, “Wahai tuanku, lakukanlah ini dan ini untukku.” Mereka mengambil tanah kubur karena meyakini keberkahannya, menyemprotkan minyak wangi ke kubur, melakukan perjalanan ke kubur, melemparkan kain-kain ke pohon yang di kubur karena meniru para penyembah Lata dan Uzza. Kamu tidak menemukan di antara mereka yang menguasai satu masalah dalam zakat, kemudian ia ditanya tentang hukum yang wajib atasnya dan dia tak tahu. Menurut mereka celaka bagi siapa yang tidak mencium altar Ashabul Kahfi, dan siapa yang tidak mengusap batu bata masjid Ma’muniyah di hari Rabu.”

 

Talbis Iblis atas Kaum Wanita

 

Untuk talbis Iblis atas kaum wanita, maka jumlahnya banyak sekali, saya telah menulis sebuah kitab khusus untuk kaum wanita, dalam buku tersebut saya menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan kaum wanita, mencakup ibadah dan lainnya. Di sini saya menyebutkan beberapa kalimat dari talbis Iblis atas mereka.

 

Di antaranya seorang wanita suci haid sesudah masuk waktu Zhuhur, lalu dia mandi sesudah Ashar, dan dia shalat Ashar saja, padahal shalat Zhuhur wajib atasnya tanpa dia sadari.

 

Di antara mereka ada yang menunda mandi haid sampai dua hari dan beralasan mencuci bajunya.

 

Terkadang seorang wanita menunda mandi junub di malam hari sampai matahari terbit, bila dia masuk pemandian umum, dia tidak menutup auratnya sebagaimana mestinya, dia beralasan, “Hanya ada saudara perempuanku, ibuku dan budakku, sedangkan mereka adalah kaum wanita sepertiku, maka dari siapa aku harus menutup diriku?” Semua itu haram.

 

Haram bagi seorang wanita melihat wanita lainnya antara pusar sampai kedua lututnya, sekalipun dia adalah anak gadisnya atau ibunya, kecuali bila seorang anak perempuan yang masih kecil, bila sudah mencapai tujuh tahun maka dia menutupi dirinya dan ditutupi darinya.

 

Terkadang seorang wanita shalat dengan duduk padahal dia mampu berdiri, maka dalam kondisi ini shalatnya tidak sah. Terkadang seorang wanita beralasan karena bajunya najis dengan sebab dikencingi oleh anaknya, padahal dia mampu mencucinya. Padahal seandainya dia ingin keluar ke jalan niscaya dia menyiapkan diri dan meminjam baju, sedangkan dia tidak melakukan hal ini untuk shalat karena urusan shalat baginya remeh.

 

Dia tidak mengetahui sedikit pun tentang kewajiban-kewajiban shalat dan tidak berusaha bertanya. Terkadang aurat wanita merdeka terbuka saat shalat yang membuat shalatnya batal sedangkan dia tidak mempedulikannya.

 

Terkadang seorang wanita meremehkan masalah menggugurkan kandungan, dia tidak memahami bahwa bila dia menggugurkan janin yang sudah bernyawa maka dia telah membunuh seorang muslim.

 

Terkadang seorang istri bertingkah buruk terhadap suaminya, terkadang berbicara kepada suaminya dengan ucapan yang tidak enak didengar, dia berkata, “Kamu adalah bapak anak-anakku, inilah antara kita.” Lalu dia keluar rumah tanpa izin suami dan dia berkata, “Aku tidak keluar untuk bermaksiat.”

 

Dia tak sadar bahwa keluarnya dia dari rumah tanpa izin suaminya sudah merupakan kemaksiatan. Di samping keluarnya itu sendiri tidak menjamin aman dari fitnah. Di antara mereka ada yang mendiami kuburan, berduka cita bukan untuk suaminya, padahal Rasulullah telah bersabda:

 

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan RasulNya untuk berihdad atas mayit kecuali atas suami empat bulan lebih sepuluh hari. ”

 

Di antara para istri ada yang menolak bila diajak suaminya ke ranjang, dia menyangka bahwa penolakannya ini bukan kemaksiatan, padahal dia dilarang berbuat demikian, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda:

 

“Bila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur lalu dia menolak, lalu dia bermalam dalam keadaan suami marah kepadanya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Terkadang seorang istri melalaikan harta suaminya, padahal tidak halal bagi seorang istri untuk mengeluarkan sesuatu pun dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya atau dia memastikan suaminya rela.

 

Terkadang seorang wanita membayar ahli nujum yang bekerja untuknya, menyihir untuknya, membuatkan jimat pengasihan dan mantera azimat, dan semua ini haram.

 

Terkadang seorang ibu mengizinkan anak laki-lakinya ditindik padahal ia haram.

 

Bila seorang wanita beruntung dan menghadiri majlis ta’lim, maka terkadang dia berkenan memakai baju tambal-tambal di tangan seorang syaikh sufi, dan berjabatan tangan dengannya, hingga dia menjadi anak perempuan mimbar dan keluar kepada keajaiban-keajaiban.

 

Saatnya menghentikan gerakan pena karena sudah cukup dengan keterangan ringkas yang disebutkan, karena masalah ini panjang. Seandainya kami menyebutkan semua keterangan dalam buku ini atau kami menyusun masalah bantahan kami terhadap pihak yang kami bantah dengan hadits-hadits dan atsar-atsar niscaya akan terkumpul berjilid-jilid.

 

Kami menyebutkan yang sedikit sebagai petunjuk kepada yang banyak.

 

Kami merasa cukup hanya dengan menyebutkan keburukan yang paling buruk dari perbuatan orang-orang yang menyimpang dengan mencantumkannya semata tanpa membantahnya, karena keburukannya nyata tanpa sanggahan.

 

Semoga Allah menjaga kita dari kekeliruan, dan membimbing kita kepada ucapan dan perbuatan yang shalih dengan karunia dan kemurahanNya.

 

Penulis berkata, “Betapa sering terbersit dalam dada orang Yahudi atau Nasrani kecintaan kepada Islam, namun Iblis menghalanghalanginya dan berkata kepadanya, Jangan terburu-buru, pikirkan dulu dengan seksama.’ Iblis menggodanya untuk menunda hingga dia mati di atas kekufurannya.”

 

Iblis mengajak orang yang berbuat maksiat untuk menunda-nunda taubat, maka dia meletakkan tujuan baginya di balik hawa nafsu dan mengiming-iminginya dengan taubat, sebagaimana seorang penyair berkata:

 

Jangan segera berbuat dosa karena nafsu

Dan engkau berharap bertaubat besok hari

 

Berapa banyak orang yang bertekad menjadi baik yang telah digoda olehnya hingga dia menundanya. Berapa banyak orang yang berusaha melakukan kemuliaan yang dia halangi.

 

Terkadang seorang fakih berniat mengulang kajiannya, maka Iblis berkata kepadanya, “Istirahatlah sesaat.” Atau seorang ahli ibadah bangun di malam hari hendak shalat, maka Iblis berkata kepadanya, “Tidurlah lagi, waktu masih panjang.”

 

Iblis menanamkan kemalasan, mengajak menunda amal dan menyandarkan urusan kepada panjang angan. Maka orang yang tegas harus beramal berdasarkan ketegasan, ketegasan adalah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, membuang sikap menunda-nunda dan berpaling dari angan-angan, karena yang dikhawatirkan tidak dijamin dan yang sudah berlalu tak bisa dikembalikan.

 

Sebab segala kelalaian dalam kebaikan atau kecenderungan kepada keburukan adalah panjang angan, manusia selalu mengajak dirinya untuk menjauhi keburukan dan mendatangi kebaikan, hanya saja dia hanya memberikan janji kepada jiwa dengan itu.

 

Tidak diragukan bahwa siapa yang berangan-angan bisa berjalan di siang hari, maka dia akan berjalan dengan lunglai dan barangsiapa yang berangan-angan bisa mendapatkan pagi maka dia akan beramal di malam hari ala kadarnya, tetapi barangsiapa membayangkan kematian segera datang, maka dia akan berjalan dengan segera dan bersungguh-sungguh.

 

Rasulullah bersabda, “Shalatlah dengan shalat orang yang akan berpisah, ”

 

Sebagian salaf berkata, “Aku memperingatkan kalian dari ‘Akan’ karena ia adalah bala tentara Iblis paling besar.”

 

Perumpamaan orang yang beramal dengan keteo’ san dan orang yang diam berpangku tangan karena bersandar’ ada panjang angan adalah seperti orang-orang dalam sebuah perjalanan, mereka masuk ke sebuah desa, orang yang tegas masuk dan membeli apa yang dibutuhkannya untuk melanjutkan perjalanannya, dia duduk bersiap-siap untuk meneruskan langkahnya, sedangkan orang yang lalai berkata, “Aku akan bersiap-siap, mungkin kita akan tinggal satu bulan.” Namun tiba-tiba terompet keberangkatan ditiup, maka orang yang sudah siap tinggal berangkat, sementara orang yang lalai hanya bisa menggigit jarinya.

 

Ini adalah perumpamaan manusia di dunia, di antara mereka ada yang bersiap-siap yang berjaga-jaga, maka bila malaikat maut datang, dia tidak menyesal, dan di antara mereka ada yang tertipu yang selalu menunda-nunda, maka saat malaikat maut datang, dia hanya bisa meneguk pahitnya penyesalan. Bila sikap menunda-nunda sudah menyatu dengan tabiat, maka sulit untuk melawannya, hanya saja siapa yang menyadari untuk dirinya, maka dia mengetahui bahwa dia berada di shaf peperangan, bahwa musuhnya tiada kenal berhenti darinya, bila secara lahir dia berhenti, maka secara batin dia menyiapkan tipu daya dan menyembunyikan bala tentara cadangan.

 

Kami memohon kepada Allah keselamatan dari tipu daya musuh, fitnah setan dan keburukan jiwa dan dunia, sesungguhnya Dia Mahadekat lagi Maha Menjawab doa.

 

Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang beriman.

 

Selesai dan segala puji bagi Allah pertama dan terakhir.