Kitab Tarikh al-Tasyri’ Al-islami Dan Terjemah [PDF]

PERIODE PERTAMA PEMBINAAN HUKUM PADA MASA RASULULLAH S.A.W

Al Kitab atau Al Qur,an adalah suatu kitab yang sudah dikenal, diturunkan kepada Muhammad s.a.w. dengan berkelompok-kelompok sejak dari malam tanggal 17 Ramadhan tahun 41 kelahiran beliau. Beliau diberi wahyu ketika beliau sedang bertahannuts di gua Hira’. Ayat pertama yang diturunkan yaitu :

 

Artinya : Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

 

sampai tanggal 9 Dzul Hijjah pada hari Raya Akbar tahun 10 Hijriyah dan tahun ke 63 dari kelahiran beliau dengan wahyu (ayat) yang diturunkan :

 

Artinya : Pada hari ini telah Ku -sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku -cukupkan ke- padamu ni’matKu dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.

 

Masa antara mulai diturunkannya Al Qur’an dan yang terakhir (penutupnya) adalah 22 tahun 2 bulan dan 22 hari.

 

Malam mulai diturunkannya Al Qur’an adalah malam Qadar (Lailatul Qadar), sehubungan dengan itu Allah berfirman :

 

Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu ? Malam kemuliaan itu lebih baik dari pada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dibril dgn izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan . Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar.

 

Dan Allah berfirman lagi:

 

Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Yaitu) urusan besar dari sisi Kami : sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul.

 

Dan tidaklah bertentangan bahwa malam itu adalah pada ‘ bulan Ramadhan. Allah ta’ala berfirman :

 

Artinya : Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

 

Itulah bulan yang mana Muhammad s.a.w. selalu beri’tikaf dan berpuasa di gua Hira’. Ibnu Ishak menceriterakan dari Wahab bin Kisan dari Abid bin Umar bin Qatadah Al Laitsi berkata :

 

Artinya : Rasulullah s.a.w. selalu menetap di dalam gua Hira” selama satu bulan pada tiap-tiap tahun. Hal itu peribadahan yang dilakukan oleh orangorang Quraisy pada masa Jahiliyah. Peribadahan itu adalah berbuat kebaikan. Kemudian ia berkata : Sehingga bulan dari tahun yang dikehendaki oleh Allah untuk memuliakan beliau dengan pengutusan olehNya s.w.t. beliau keluar ke Hira” sebagaimana beliau selalu keluar untuk menetap di sana bersama keluarga beliau…… .. Sampai akhir hadits.

 

Adapun malam mulai ditururikannya’ wahyu maka terdapat banyak perselisihan. ibnu Ishak cenderung bahwa malam itu tanggal 17 bulan Rumadhan, dan Al Qur,an telah menunjukkannya dalam firman Allah ta’ala :

Artinya : Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, di hari bertemunya dua pasukan.

 

Yang dimaksudkan dengan hari bertemunya dua pasukan adalah hari bertemunya kaum muslimin dengan orang-orang musyrik di Badar yaitu hari Jum’ah tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Hari Furgan (pembeda) adalah hari mulai diturunkannya Al Qur’an . Keduanya bersatu dalam sifat dan keduanya bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan, meskipun keduanya tidak berada dalam satu tahun. Ath Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan dengan sanadnya dari Hasan bin Ali berkata : “Malam Furgan (pembeda antara yang benar dan bathil) adalah hari bertemunya dua pasukan pada tanggal 19 Ramadhan. ”Al Qasthalani dalam mensyarahi hadits Bukhari telah meriwayatkan perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan malam itu. Sebagian dari padanya pendapat yang dicenderungi oleh Ibnu Ishak dan dikatakannya bahwa pendapat itu diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Thabrani dari hadits Zaid bin Arqam. Dan saya cenderung kepada pendapat ini karena malam itu malam yang besar derajatnya dan tinggi keadaannya maka jauhlah (tak mungkinlah ) Al Qur’an lupa menentukannya meskipun dengan isyarat. Dan Al Qur’an telah mengisyaratkan dalam peristiwa yang terbaik yaitu ketika membicarakan tentang rampasan perang Badar, itulah hari yang mana Allah memuliakan kaum muslimin dan menampakkan kepada mereka keajaiban. keajaiban pertolonganNya yakni sesuatu yang mengandung kemuliaan agama dan meninggikan derajat mereka. Hari peristiwa itu adalah hari yang mana Allah memuliakan Muhammad s.a.w. dengan kerisalahan beliau. Dengan indah sekali Al Qur’an mengisyaratkannya dengan firman Allah :

 

Artinya : Dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furgan, di hari bertemunya dua pasukan.

 

Adapun hari terakhir turunnya Al Qur’an , Ath Thabari berkata dalam mena’wilkan firman Allah ta’ala ‘

 

Artinya : Pada hari ini telah Ku-sempurnakan kepadamu agamamu.

 

Mereka mengatakan bahwa hari itu adalah hari Arafah, tahun hajji wada”. Setelah ayat ini,sedikitpun tidak turun kepada Nabi tentang fardhu-fardhu, dan tidak pula menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Dan beliau s.a.w. setelah turunnya ayat ini hanya hidup selama delapan puluh satu hari. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, As Sudi, dan Ibnu Juraij. An Naisaburi dalam tafsirnya meriwayat:

 

kan dari Ibnu Abbas bahwa beliau membaca ayat ini dan di sisi beliau ada seorang Yahudi, maka Yahudi itu berkata. “Seandainya ia (ayat itu) diturunkan kepada kami pada suatu hari niscaya hari itu saya ambil sebagai hari Raya? ”Ibnu Abbas berkata : “Sesungguhnya ayat itu diturunkan pada dua hari Raya yang bertepatan dalam satu hari, yaitu hari Jum’at yang jatuh pada hari Arafah”.

 

Turunnya Al Qur’an berkelompok-kelompok adalah orang-orang musyrik. Al Qur’an telah menyebutkan hal itu dan menjawabnya. Dalam surat Al Furqan Allah berfirman :

 

Artinya : Berkatalah orang-orang kafir : ”Mengapakah Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja ?” “Demikianlah , supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkannya dan) membacakannya sekelompok demi kelompok.

 

Dalam surat Al Isra” Allah berfirman :

 

Artinya : Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.

 

Masa turunnya Al Qur’an terbagi menjadi dua bagian yang berbeda-beda, yaitu :

 

  1. Masa beliau s.a.w. diam di Mekkah yakni selama 12 tahun 15 bulan dan 3 hari yaitu dari 18 Ramadhan tahun 41 sampai dengan awal bulan Rabi’ul Awwal tahun 54 dari kelahiran beliau. Ayat-ayat Al Qur’an yang turun pada masa itu disebut Makkiyah.

 

  1. Masa sesudah hijrah beliau yakni selama 9 tahun 9 bulan dan 9 hari yaitu dari awal bulan Rabi’ul Awwal tahun 54 sampai dengan 9 Dzul Hijjah tahun 63 dari kelahiran beliau, atau tahun 10 Hijriyyah. Ayat-ayat Al Qur’an yang turun pada masa itu disebut Madaniyyah. Ayat-ayat Al Qur’an Makkiyah sekitar 19/30 Al Qur’an, dan yang Madaniyyah sekitar 11/30 Al Qur’an.

 

 

 

Surat-surat Madaniyyah adalah :

  1. Al Bagarah.
  2. Ali Imran.
  3. An Nisa”.
  4. Al Maidah.
  5. Al Anfal.
  6. At Taubah.
  7. Al Hajj.
  8. An Nur,

9, Al Ahzab.

  1. Al Qital.
  2. Al Fath.

12: Al Hujurat.

  1. Al Hadid.
  2. Al Mujadalah.
  3. Al Hasyr.
  4. Al Mumtahanah.
  5. Ash Shat.
  6. Al Jum’ah.
  7. Al Munafiqun.
  8. At Taghabun.
  9. Ath. Thalaq.
  10. At Tahrim.
  11. An Nashr (Idzaa jaa-a nashrullahi wal fath).

 

Selain surat-surat Al Qur’an adalah 114 surat, surat yang pertama adalah Al Fatihah dan surat yang terakhir adalah An Nas.

 

Surat adalah suatu tingkat dari tingkat-tingkat An Nabighah berkata :

 

Artinya : Tidakkah engkau lihat bahwa Allah telah memberimu suatu tingkatan (derajat), engkau lihat setiap raja mondar-mandir di bawahnya.

 

Ia maksudkan bahwa Allah telah memberi engkau suatu tingkatan ( derajat) kemuliaan yang: tidak terjangkau oleh raja-raja lain. . »

 

Sebagian dari mereka telah menghamzahkan surat AlQur’an (.  ) dan pengertiannya menurut bahasa ialah potongan dari Al Qur’an yang merupakan kelebihan dari yang lain, sehingga pengertian su’rah dari sesuatu adalah sesuatu yang dikeluarkan dan merupakan sisa yang diambil. Oleh karena itu kelebihan minum yang diminum oleh seseorang yang dikeluarkan dan ditampung dalam suatu tempat disebut su’rah. Dari pengertian ini perkataan A’sya Tsalabah dalam mensifati perempuan yang diceraikan, maka ia mengeluarkan sisa perasaan hatinya :

 

Artinya : Ia telah cerai dan meninggalkan remuk redam yang berserakan dalam hati atas jauhnya itu.

 

Dan Tsa’labah berkata seperti itu pula :

 

Artinya : Ia telah cerai dan meninggalkan kebutuhan terhadapnya dalam jiwa setelah bermesraan, dan sebaik-baik cinta adalah sesuatu yang berguna.

 

Masing-masing surat ini mempunyai nama yang khusus. Sebagiannya ada yang namanya diambil dari permulaannya dan inilah nama yang terbanyak pada surat-surat Al Qur’an seperti surat Al Anfal (Rampasan perang) yang permulaannya : :

 

Artinya : Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian)harta rampasan perang.

 

Surat Al Isra” (Memperjalankan di malam hari) yang Permulaannya :

 

Artinya : Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam.

 

Surat Thaha yang permulaannya :

 

Artinya : Thaha, Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar kamu mendapat kesusahan.

 

Surat Al Mu’minun (Orang-orang yang beriman) yang permulaannya :

 

Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.

 

Surat Al Furqan (Pembeda) yang permulaannya :

 

Artinya : Maha Suci (Allah) yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kepada hambaNya.

 

Surat Ar Rum (Bangsa Rumawi) yang permulaannya :

 

Artinya : Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa, Rumawi. Di negeri yang terdekat : dan Mereka sesudah dikalahkan akan menang.

 

Surat Fathir (Pencipta) yang permulaannya :

 

Artinya : Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi. dan lain sebagainya.

 

Di dalam Al Qur’an terdapat 35 surat yang dinamakan dengan sesuatu yang tidak disebutkan pada awal suratnya, misalnya surat Al Bagarah (Sapi betina) di mana kisah sapi betina baru disebutkan dalam surat itu setelah ayat ke 65. Kisah keluarga Imran disebutkan dalam surat itu (Ali Imran = keluarga Imran) setelah ayatnya yang ke 32. Dalam surat An Nisa” (Wanita) baru disebutkan tentang wanita setelah beberapa ayat dari permulaannya. Dan ceritera tentang maidah (hidangan) disebutkan dalam surat Al Maidah (Hidangan) setelah ayatnya yang ke 120 yakni mendekati akhir surat. Dan lain sebagainya.

 

Pembahasan tentang sebab pemilihan bagi nama-nama surat ini berulang kali, namun yang diunggulkan adalah permulaan surat baik bacaan atau turunnya berdasarkan penglihatan kepada kebanyakan surat-syrat. Demikian itu karena turunnya Al Qur’an tidak urut baik surat-surat maupun ayat-ayatnya, sebagimana pembahasan yang akan datang.

 

Al Qur’an turun kepada Nabi s.a.w. per Iima ayat, sepuluh ayat dan kadang-kadang lebih banyak atau lebih sedikit dari pada itu. Memang benar (shahih) ayat-ayat kisah dusta turun sepuluh ayat sekaligus,.demikian juga permulaan surat Al Mu’minum turun sepuluh ayat sekaligus. Benar pula turunnya :

 

Artinya : Yang tidak mempunyai udzur.

dari firman Allah :

 

Artinya : Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya.

 

Demikian juga firman Allah ta’alah :

 

Artinya : Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karenaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana.

 

setelah firman Allah ta’ala :

 

Artinya : Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, sebab itu janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini.

 

Keadaan Nabi s.a.w. itu ummi, tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis. Yang demikian ini ditunjuk oleh firman Allah dalam surat Al “Ankabut :

 

Artinya : Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Qur’an) dan menulis sesuatu kitabpun dan kamu tidak pernah suatu kitab dengan tangan kananmu. Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), tentulah akan ragu-ragu orang-orang yang mengingkari (mu).

 

Beliau menerima Al Qur’an dari malaikat dengan hafalan, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala dalam surat Al Qiyamah :

 

Artinya : Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca ) Al Qur’an karena hendak cepatcepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian atas tanggungan Kami penjelasannya.

 

Allah berfirman dalam surat Thaha :

 

Artinya : Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu. Dan katakanlah : “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”.

 

Allah berfirman dalam surat Al A’la :

 

Artinya : Kami akan membacakan (Al Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan tersembunyi.

 

Dan Allah berfirman dalam surat Al Hijr. :

 

Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami (pulalah) yang memeliharanya.

 

Apabila beliau telah memahami dan telah menghafal. nya maka ayat-ayat itu disampaikan kepada manusia dan beliau menyuruh salah seorang dari para penulis wahyu (kuttabul wahyi) untuk menuliskan di hadapan beliau pada pelepah kurma, adakalanya pada batu tipis atau pada kertas. Beliau mempunyai para penulis yang telah terkenal di mana mereka menulis untuk beliau. Sebagian ahli sejarah menyebutkan baiiwa jumlah mereka ada dua puluh enam orang. Al Halabi menukil sejarah karangan Al Iraqi bahwa mereka (para penulis wanyu) ada empat puluh orang. Sebagian dari mereka ada yang selalu bersama beliau dalam seluruh periode perabinaan hukum , dan sebagian dari mereka ada yang sewaktu-waktu saja menuliskan beliau baik sedikit maupun banyak. Para penulis yang terkenal adalah khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Amir bin Fuhairah yang menuliskan surat-surat untuk para raja dan yang lain, Ubaiy bin Ka’ab orang pertama yang menjadi penulis beliau dari kalangan Anshar di Madinah dan biasanya ia selalu menuliskan wahyu dan dialah salah seorang fuqaha’ yang selalu menulis di masa Nabi s.a.w., Tsabit bin Syammas, Zaid bin Tsabit , Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan saudaranya Yazid, Mu’awiyah dan Zaid bin Tsabit adalah orang yang selalu menuliskan wahyu dan yang lain di hadapan Rasulullan s.a.w. dan memang itulah pekerjaan dua orang itu, Mughirah bin Syu’bah, Zubair bin Awwan, Khalid bin Walid, Ala” bin Al Hadhrami, Amr bin Asii, Abdullah bin Al Hadnrami, Muhammad bin Maslamal dan Abdullah bin Ubaiy bin Salul,

 

Tulisan Al Qur’an itu selalu di kediaman Nabi s.a.w. di samping para penulis wahyu itu juga menulis untuk dirinya sendiri. Dalam penulisan itu Nabi selalu menunjukkan tempat setiap ayat pada suatu surat. Sehingga hafalan orang-orang ummi (orang yang tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis ) , lembaran-lembaran (catatan-catatan) para penulis wahyu, dan tulisan-tulisan Al Qur’an yang ada di kediaman Nabi s.a.w. seluruhnya itu saling tolong – menolong (bantu-membantu) dalam -pemeliharaan wahyu yang diturunkan oleh Allah. Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama’ tentang urutan ayat pada suatu surat yang mana hal itu tauqifi, dengan perintah Nabi s.a.w. |

 

Masa ini telah lewat (berlalu) namun Al Qur’an belum terkumpul dalam satu mush-haf. Sebagian para Qurra’ (ahli baca Al Qur’an) ada orang yang hafal seluruh Al Qur’ an di luar kepala, seperti Abdullah bin Mas’ud yang termasuk As Sabigunal awwalun (orang yang pertama-tama masuk Islam) dan menemani Nabi dalam seluruh masa kenabian, Salim bin Ma’gil maula Abu Hudzaifalr yang seperti Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) dalam masuk Islamnya dan dalam menemani Nabi , Mu’adz bin Jabal, Ubaiy bin Ka’ab bin Tsabit, Abu Zaid di mana empat orang itu adalah dari Ansnar, Abu Darda” dan lain-lainnya lagi. Dan sebagian besar shahabat itu hafal sebagian dari Al Qur’an.

Ayat-ayat pembinaan hukum adalah ayat-ayat hukum yang turun atas Rasulullah s.a.w. Ayat-ayat itu pada umum. nya merupakan jawaban peristiwa-peristiwa dalam masya. rakat Islam. Peristiwa-peristiwa itu diketahui dengan Asba. bun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Al Qur’an) . Sejumlah ahli tafsir telah bersungguh-sungguh membahasnya dengan menyusun buku-buku yang mengupas tentang hal itu dan dijadikannya Asbabun Nuzul itu sebagai dasar untuk memahami Al Qur’an, dan kami akan mengemukakan dengan terperinci pada periode-periode yang akan datang.

 

Kadang-kadang ayat-ayat itu turun sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh sebagian orang mu’min. Dan sedikit saja ayat-ayat hukum yang turun sebagai pemula. Sebagaimana contoh yang kami kemukakan bagi masing-masingnya :

 

  1. Rasulullah s.a.w. mengutus Martsad Al Ghanawi untuk mengeluarkan kaum muslimin yang lemah: dari Mekkah. Ketika ia tiba di Mekkah ada seorang wanita musyrik yang kaya dan cantik menawarkan diri kepadanya namun ia (Martsad) berpaling dari padanya karena takut kepada Allah. Kemudian wanita itu bermusyawarah dengannya di mana ia ingin dikawininya, yang dijawabnya bahwa hal itu tergantung atas izin Rasulullah s.a.w. Ketika ia (Martsad) tiba di Medinah maka dikemukakannya hal itu kepada Rasulullah dan ia mohon kepada beliau agar diperkenankan untuk menikahnya. Maka turunlah firman Allah ta’ala dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min ) sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mu’min lebin baik dari orang musyrik walaupun dia menarik natimu. Merka mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

 

  1. Dalam Al Quran banyak datang hukum-hukum sesudah adanya persoalan-persoalan yang timbul dari orang-orang mu’min dan orang-orang selain mereka. Sebagian dari padanya adalah firman Allah ta’ala dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah : “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. ”Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah : “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (Berfikir) tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim, katakanlah : “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudara mu, dan Allan mengetanui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan,

 

Dan jikalau Allah menghendaki niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungughnya Aliah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman: sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita musyrik) sebelum mereka beriman: sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka sedang Aliah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran . Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, Katakanlah :’Haidh itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh: janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Bila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang menyucikan diri?

 

Allah berfirman :

 

Artinya :

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah : Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosa nya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) dari pada membunuh.

 

Dalam surat An Nisa: . 

 

Artinya : “ Mereka minta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah :” Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah” ‘dan ayat-ayat lain lagi. Adapun hukum-hukum yang turun tanpa adanya peristiwa atau pertanyaan hanyalah sedikit saja. darang kita menjumpai hukum yang oleh para ahli tafsir tidak disebutkan peristiwa yang menye babkan turunnya hukum itu. ,

Telah kami kemukakan bahwa masa turunnya Al Qur’an itu ada dua yaitu masa sebelum hijrah dan masa sesudah hijrah. Bagi masing-masing Makki dan Madani mempunyai perbedaan-perbedaan, yang apabila seorang pelajar mengetahuinya maka memungkinkan baginya untuk membedakan antara keduanya. Sebagian perbedaan-perbedaan jituialah :

 

  1. Secara global, ayat-ayat Makkiyah pendek-pendek, tidak seperti ayat-ayat Madaniyah. Hal itu terbukti bahwa surat-surat Madaniyah yang lebih dari 11/30 Al Qur’an, jumlah ayat-ayatnya hanyalah 1456, yang mana ayat-ayat itu merupakan seperempat lebih sedikit dari seluruh ayat-ayat Al Qur’an. Sebagian contoh yang menunjukkan hal itu adalah juz Qad Sami’a, seluruhnya Madani dengan jumlah ayat-ayatnya 137. Juz Tabarak itu Makki dengan jumlah ayat-ayatnya 631, juz ‘Amma itu Makki dengan jumlah ayat-ayatnya 57. Surat Al Anfal dan Asy Syu’ara yang masingmasingnya itu separoh juz, di mana surat yang pertama “Madaniyah dengan jumlah ayat-ayatnya 75, sedang surat yang kedua Makkiyah dengan jumlah ayat-ayatnya 227.

 

Perbedaan ini adalah menurut umumnya, di mana kadang-kadang terdapat ayat yang panjang dalam sebagian ayat-ayat Makkiyah dan kebanyakan pada suratSurat yang panjang.

 

  1. Khithab (pembicaraan) kepada orang banyak dalam ayat-ayat Madaniyah biasanya dengan firman Allah Ta’ala :

 

    Wahai orang yang beriman) dan sedikit firmanNya. (Wahai manusia). Adapun khithab dalam ayat-ayat Makkiyah adalah sebaliknya. Kami tidak melihat dalam surat Makkiyah, sedang dalam surat-surat Madaniyah terdapat    tujuh kali yaitu :

  1. Artinya : Hai Manusia, sembahlah Tuhanmu.

 

  1. Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi. Keduanya dalam surat Al Baqarah.

 

  1. Artinya : Hai , manusia, bertagwalah kepada Tuhanmu.

 

  1. Artinya : Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia.

 

  1. Artinya : Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan membawa hak dari Tuhanmu.

 

  1. Artinya : Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu (Muhammad dengan mu’jizatnya).

 

  1. Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan.

 

  1. Dalam ayat-ayat Makki sedikitpun tidak ada pembinaan hukum yang terperinci. Namun sebagian besar yang datang pada ayat-ayat itu kembali kepada tujuan . pertama dalam agama yaitu meng Esakan Allah s.w.t.

 

menegakkan bukti-bukti adanya Allah, menakut-nakuti dengan siksaanNya, mensifati hari pembalasan, keseng. saraan dan keni’matanNya dan mendorong atas akhlak yang mulia yang mana Rasulullah s.a.w. diutus untuk menyempurnakannya, kemudian dikemukakan contoh-contoh yang telah menimpa bangsa-bangsa yang lampau ketika mereka menyelisihi apa (agama) yang diserukan oleh para nabi mereka.

 

Adapun pembinaan hukum yang terperinci maka sebagian besarnya datang pada ayat-ayat Madaniyah. Al Qur’anul karim mengatur tiga urusan :

 

  1. Sesuatu yang berhubungan dengan iman kepada Allah, malaikatNya , Kitab-kitabNya, utusanutusanNya dan hari akhir. Ini adalah pembahasan ilmu kalam atau ushuluddin.

 

  1. Sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hati dan kemampuan yaitu dorongan atas akhlak yang mulia. Ini adalah pembahasan ilmu akhlak.

 

  1. Sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan anggauta badan yakni perintah-perintah, larangan-larangan dan suruhan untuk memilih. Ini adalah pembahasan fuqaha’.

Al Qur’an mempermaklumkan bahwa Al Qur’an itu diturunkan hanyalah untuk memperbaiki hal ihwal manusia. Oleh karena itu maka datanglah suruhan-suruhan dan larangan-larangan :

 

Artinya :

Nabi itu menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka yang buruk-buruk.

 

Dalam pembinaan hukum Islam telah dipelihara tiga dasar (asas) :

 

  1. Tidak menyulitkan.
  2. Menyedikitkan bebanan.
  3. Berangsur-angsur dalam membina hukum.

 

TIDAK MENYEMPITKAN Haraj menurut bahasa Arab adalah sempit. Dalil-dalil bahwa syari’at ini didasarkan atas dihilangkan kesempitan adalah banyak. Seperti firman Allah Ta’ala yang menyifati Rasul s.a.w. -:

 

 Artinya :

Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka.

 

Firman Allah dalam mengajar kita untuk berdo’a dengan :

 

Artinya :

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan pada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan pada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. 

 

Dalam Al Hadits.

 

Artinya : Allah Ta’ala berfirman : Saya sungguh sudah mengerjakan.

 

Firman Allah Ta’ala :

 

Artinya :

Aliah tidak membebani seseorang melainkan sesuai de- ngan kesanggupannya.

 

Firman Allah : 

 

Artinya :

Allah menghendaki kelonggaran padamu dan tidak menghendaki kesempitan bagimu.

 

Firman Allah :

 

Artinya :

Dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.

 

Firman Allah :

 

“Artinya : Allah hendak memberikan keringanan padamu, karena manusia dijadikan bersifat lemah.

 

Dan firman Allah :

 

Artinya : Allah tidak hendak menyulitkan kamu.

 

Dalam

 

Artinya : Saya diutus dengan agama yang ringan.

 

Dan sifat-sifat beliau a.s. : : “Beliau tidak disuruh memilih antara dua hal kecuali beliau memilih yang paling mudah dari keduanya selagi tidak berdosa”.

 

Demikian juga ayat-ayat serta hadits-hadits lain, para fuqaha telah menghitungnya sebagai salah satu pokok-pokok yang dihitung oleh syara” dan dengannya mereka mengistimbatkan hukum-hukum yang banyak dan dia termasuk pokok yang dapat dipastikan.

 

Untuknya maka disyari’atkan rukhshah seperti berbuka puasa bagi musafir, diperbolehkannya sesuatu yang diharamkan ketika terpaksa dan adanya ta yamum.

Menyedikitkan beban itu merupakan hasil yang mesti (akibat logis) bagi tidak adanya menyulitkan, karena didalam banyaknya bebanan berakibat menyempitkan.

 

Orang yang menyibukkan diri terhadap Al Qur’an untuk melihat perintah-perintah dan larangan-larangan yang ada didalamnya niscaya dapat menerima terhadap kebenaran pokok ini, karena dengan melihatnya sedikit memungkinkan untuk mengetahuinya dalam waktu sekilas dan mudah mengamalkannya, tidaklah banyak perincian-perinciannya sehingga banyaknya itu tidak menimbulkan kesulitan terhadap orang-orang yang mau berpegang dengan kitab Allah yang kuat. Sebagian dari ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala dalam surat Al Maidah :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan diwaktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema’afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

 

Sesungguhnya telah uda seyolongan manusia sebelum karmnu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir karenanya,

 

Masalah-masalah yang dilarang ini adalah sesuatu yang telah dimaafkan oleh Allah yakni didiamkan peng. haramannya, Seandainya mereka tidak menanyakannya niscaya hal itu diampuni dalam meninggalkannya. Mereka boleh memilih dalam melakukannya atau meninggalkannya, Sebagian dari padanya adalah sabda beliau s.a.w. dikala ditanya tentang hajji : Apakah setiap tahun ? Maka beliau bersabda :

 

Artinya : Seandainya saya berkata ya, niscaya haji itu wajib. Biarkanlah saya tentang sesuatu yang saya tinggalkan darimu. Maka sesungguhnya rusaknya orang-orang yang sebelummu adalah karena banyaknya pertanyaan dan penyelisihan mereka kepada nabi-nabi mereka.

 

Sabda beliau a.s. menunjukkan atas ta’wil ini :

 

Artinya :

Sebesar-besar dosa orang muslim terhadap muslim lain adalah orang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan atas mereka, maka sesuatu itu diharamkan karena pertanyaannya.

 

Dan sabda beliau a.s. :

 

Artinya :

Sesungguhnya Allah memfardlukan beberapa fardlu maka janganlah kamu menyia-nyiakannya. Dia membatasi batas-batas maka janganlah kamu melampauinya. Dia mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu. melanggarnya, dan mendiamkan sesuatu sebagi rahmat bagimu bukan karena lupa maka janganlah kamu mencari-carinya.

 

Dan akan datang uraian yang menambah jelasnya pengertian ini dalam pasal As Sunnah dan hubungannya dengan Al Qur’an.

 

Dan akan datang uraian yang menambah jelasnya pengertian ini dalam pasal As Sunnah dan hubungannya dengan Al Qur’an.

Ketika Nabi s.a.w. datang, pada bangsa Arab telah kokoh adat istiadat mereka yang sebagian dari padanya baik (pantas) untuk dikekalkan dan tidak membahayakan pada pembentukan bangsa. Sebapian dari padanya ada yang mem. bahayakan dimana syari” (pencipta syari’at) berkemauan untuk menjauhkan mereka dari padanya. Kebijaksanaan syari” dalam menghadapi hal ini dengan berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dalam menjelaskan hukumNya dan un. tuk menyempurnakan agamaNya. Orang yang mau mere. nungkan,tidaklah melihat pada akhir sesuatu itu membatal. kan permulaannya. Hal itu akan menjadi jelas dari contoh sebagai berikut .

 

Rasulullah ditanya tentang khamer dan judi, sedang kedua-duanya termasuk adat-istiadat yang kokoh dikalangan mereka. Maka beliau menjawab mereka dengan ayat Al Qur’an dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa’atnya.

 

Dan ayat itu tidak menjelaskan tuntutan untuk meninggal kannya, meskipun dari ayat ini seseorang yang jiwanya dalam lagi mengetahui rahasia tasyri’ akan memahaminya, karena sesuatu yang banyak dosanya, sesuatu itu haram dilakukannya karena perbuatan-perbuatan itu hanya mengandung keburukan-keburukan semata-mata, sedang tempat berputarnya pengharaman dan penghalalan adalah memenangkan kebaikan atas keburukan. Kemudian Al Qur’an menjelaskan kepada mereka tentang shalat seraya mabuk sehingga mereka tidak mengetahui apa yang mereka katakan. Allah berfirman dalam surat An Nisa’ :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.

 

Larangan ini tidaklah membatalkan kepada yang pertama bahkan dia menguatkannya.

Kemudian Al Qur’an menjelaskan larangan sebagai keputusan secara tegas kepada suatu hukum, dengan firman Aliah dalam surat Al Maidah :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum khamar, berjudi , (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (sukses).

 

Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingati Allah dan sembahyang. Maka maukah kamu berhenti (dari mengerjakan pekerjaan itu) ?

 

Atas dasar berangsur-angsur dalam membina hukum maka didapati pokok lain yaitu global kemudian detail. Ini akan terlihat jelas mana kala membandingkan antara pembinaan hukum menurut Makki dan Madani. Pembinaan hukum menurut Makki adalah global (garis besarnya) hanya sedikit saja Al Qur’an mengemukakan hukum-hukum secara detail (terperinci). Adapun pembinaan hukum menurut Madani, maka Al Qur’an telah mengemukakan didalamnya banyak perincian-perincian hukum dibandingkan dengan Makki lebih-lebih yang berhubungan dengan kebendaan. Oleh karena itu kita melihat bahwa sebagian besar ayat-ayat yang dari padanya diistimbatkan hukum-hukum adalah Madaniyah sedang ayat-ayat Makkiyah hanya (menerangkan) hukum-hukum yang memelihara akidah seperti haramnya sembelihan-sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya.

Al Qur’an adalah dasar (asas) agama, dialah tali Allah yang kuat yang diperintahkan untuk dipegangi.

 

Artinya : Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.

 

Pengertian ini hampir termasuk suatu kemestian (dharuriyah) agama yang tidak dibutuhkan untuk menegakkan keterangan atasnya hanya saja disini adalah masalah yang wajib diperhatikan dan teliti dalam penulisan sehingga keterangannya itu sampai pada titik akhirnya yaitu : apakah dari ayat-ayat Al Qur’an ada yang membatalkan bebanan karena ditempat itu ditempati oleh bebanan yang lain ? Atau dengan kata lain, apakah dari ayat-ayat Al Qur’an ada yang dinasakh (dihapus hukumnya) sehingga tidak Wajib mengamalkannya ?

 

Sesungguhnya ini adalah suatu masalah besar: dan wajib atas orang yang membicarakannya untuk mengemukakan hujah yang pasti. Sesudah tetap bahwa Al Qur’an itu hujah yang pasti maka pembicaraan itu wajib berpegang mengamalkan nash-nashnya, saya disini ingin menambahkan jelasnya persoalan ini, semogalah saya memperoleh pertolongan dari Allah.

 

Pengertian nasakh.

 

Menurut istilah fuqaha, masalah itu dimutlakkan atas dua ma’na :

 

  1. Membatalakan hukum yang diperoleh dari nash yang terdahulu dengan nash yang datang kemudian. Contohnya ialah apa yang datang dalam hadits :

 

Artinya : Saya dahulu melarang kamu dari menengok (ziarah) kubur, ketahuilah maka tengoklah kubur itu. Nash pertama menuntut untuk mencegah ziarah kubur sedang nash yang kedua menghilangkan larangan itu dan menduduki kedudukannya yaitu membolehkan (ibahah) atau menuntut (thalab).

 

  1. Menghilangkan umum nash yang terdahulu – atau membatasi kemutlakkannya, misalnya firman Allah Ta’ala dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali guru”.

 

Kemudian Allah berfirman dalam surat Al Ahzab :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, bila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.

 

Sesungguhnya nash yang pertama ‘am (umum), mengatur wanita yang telah disetubuhinya dan lainnya, sedang nash kedua memberikan hukum khusus kepada wanita yang belum disetubuhi. Demikian juga firman Allah Ta’ala dalam surat An Nur :

 

Artinya :

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak membawa empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.

 

Kemudian Allah berfirman mengiringi ayat itu :

 

Artinya : Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu jalah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.

 

Sesungguhnya nash yang pertama ‘am (umum) mengatur seluruh orang yang menukar baik isteri ataupun bukan isteri, sedang nash yang kedua membuat hukum khusus bafi para suami dimana ia mengangkat sumpah lima kali adalah menduduki kedudukan empat orang saksi, dan menjadikan bagi para saksi itu hak terlepas dari had zina dengan sumpahnya lima kali. Contoh pembatasan mutlak adalah firman Allah Ta’ala dalam surat Al Maidah :

 

Artinya :

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah.

 

Dan Allah berfirman dalam ayat lain, dalam surat Al An’am :

 

Artinya :

Katakanlah : Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir ,

 

Nash pertama mutlak bagi darah yang diharamkan dan nash kedua membatasinya dengan darah yang tumpah.

 

Macam yang kedua ini terdapat dalam Al Qur’an tanpa adanya pertentangan baik kita mengetahui dari sejarah turun ayat bahwa ‘am dan mutlak itu lebih dahulu didalam penurunan ayat dari pada khas dan mugayyad atau keduanya itu akhir turunnya, baik kita berjalan bersama sebagian fuqaha yang memutlakkan atas yang berselang dari khas dan muqayyad bahwa ia menasakh kepada “am dan mutlak ataupun kita “berjalan bersama orang yang menyebutnya takhsis dan taqyid, karena nama-2 itu tidak penting bagi kita sesudah adanya kesepakatan adanya sesuatu yang kita beri nama dan cukuplah kita katakan bahwa “am dan mutlak tidak terjamah oleh pembatalan, karena sesungguhnya yang ‘am itu senantiasa menjadi dalil dalam hal selain yang : ditunjukkan oleh khas atas keluarnya dari jangkauan hukum yang terdahulu, dan hal itu kembali kepada pokok yang telah kamtistetapkan dalam pembinaan hukum Islam yaitu berangsur-angsur dalam membina hukum dan penurunan ayat,yang mana agama telah sempurna dimana apabila agama telah sempurna, maka ambillah yang “am dan yang khas seolah-olah satu nash yang “am seperti mustatsna minhu (sesuatu yang dikecualikan dari pdnya) dan khasnya seperti mustatsna (sesuatu yang dikecualikan). Oleh karena itu termasuk hal yang tidak disungguhkan oleh Al Qur’an untuk menunjukkan yang lebih dahulu dan yang kemudian dari dua nash itu, dan termasuk tidak disungguhkan oleh para shahabat untuk mengetahuinya karena seluruh kitab (Al Qur’an) sebagai kami kemukakan adalah barang satu.

 

Adapun macam pertama yakni adanya nash dalam Al Qur’an yang membatalkan hukumnya atau menurut kata yang baik,jangkauan hukumnya berakhir dan yang di. anggap kekal hanyalah sifat bahwasanya itu peringatan yang dibaca dan menduduki sebagai pemikiran.

 

Sesungguhnya pembatalan nash yang terkemudian terhadap nash yang terdahulu adalah terhenti (tergantung) atas dua hal :

 

  1. Bahwasanya nash yang terkemudian (menyusul) itu menashkan bahwa ia menghapus yang terdahulu.

 

  1. Diantara dua nash itu terdapat perlawanan yang tidak mungkin untuk mengumpulkan antara keduanya. Apakah didalam nash-nash Al Qur’an terdapat sesuatu dari hal ini ? Adapun macam yang pertama maka didalam Al Qur’an sedikitpun tidak ada yang sedemikian Ini, kecuali tiga tempat dimana sebelum ayat-ayat itu dibahas, memungkinkan ayat-ayat itu menguatkan pendapat jumhur yang mengatakan bahwa dalam Al Qur’an terdapat mansukh.

 

Allah berfirman dalam surat Al Anfal :

 

Artinya :

Hai Nabi : Kobarkan semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu mereka dapat mengalahkan seribu dari. pada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.

 

Kemudian Allah berfirman dalam ayat berikutnya :

 

Artinya :

Sekarang Allah telah meringankan padamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan, maka jika ada padamu seratus orang yang sabar niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang orang yang sabar.

 

Nash dalam dua ayat itu adalah pilihan, sedang tujuannya adalah mengadakan. Dalam surat ini Allah berfirman :

 

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu meme. rangi (pasukan) musuh, maka berteguhlah hatimu.

 

Allah berkehendak untuk meletakkan sesuatu batas bagi perkara yang mutlak ini. Sesungguhnya Allah mewajib. kan keteguhan dalam seluruh peri keadaan seberapapun jumlah kaum muslimin dan bilangan orang yang memerangi mereka. Ayat pertama membatasi kewajiban untuk teguh (manakala) dihadapannya ada sepuluh lipat, dalam pada itu tidak datang dengan perintah yang jelas sebagaimana datang sebelumnya yaitu :  .(teguhkah kamu), Namun perintah itu datang dalam bentuk berita, karena tujuannya menimbulkan semangat dalam diri mereka dan menyalakan ghairah dalam dada mereka.

 

Kemudian datanglah ayat yang kedua dinyatakan dengan tanda meringankan, karena Allah mengetahui kelemahan dalam diri mereka. Yang dimaksud dengan mengetahui disini adalah menampakkan , yakni bahwasanya telah tampak kelemahan dikalangan mereka yang kelemahan itu dulu belum ada karena seandainya kelemahan itu telah ada waktu dulu niscaya Allah tidak menjadikan tempat membina hukum yang telah lalu. Kelemahan baru itulah yang menghendaki keringanan. Apabila kita katakan bahwa merisbatkan nash yang kedua kepada yang pertama dengan nisbat nash yang diringankan karena keadaan baru serta tetapnya hukum nash pertama ketika hilangnya keadaan baru. Apabila dalam suatu kelompok tidak ada kelemahan yang telah disebutkan oleh Allah sebagaimana sebab keringanan maka Wajib atasnya untuk teguh (menghadapi) sepuluh lipat.

 

Dan menguatkan terhadap pendapat ini adalah bahwa dua puluh orang yang disebutkan pada nash yang pertama disifati dengan sabar, demikian juga yang seratus orang dengan keadaan sabar. Manakala sifat sabar itu terdapat maka tetaplah hukum yang pertama karena sabar adalah salah satu kemestian kelompok pertama yang sabar itu mengandung kekuatan materiil dan spirituil. Apabila kami katakan bahwa nash yang pertama itu “am dalam seluruh keadaan, maka nash yang pertama itu mansukh hukumnya dan ini adalah jauh. Hampir sama dengan dua ayat ini adalah firman Allah Ta’ala dalam surat Al Muzammil :

 

Artinya :

Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) dimalam hari, kecuali sedikit ( dari padanya). (Yaitu)seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan bacaan yang perlahan lahan. Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu perkataan yang berat (Al Qur’an). Sesunggunya bangun diwaktu malam adalah lebih tepat (untuk khusu’) dan bacaan diwaktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).

 

Kemudian Allah berfirman dalam akhir surat itu :

 

Artinya :

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa akan ada diantara kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itulah bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an, Dia mengetahui bahwa akan ada diantara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah: dan orang-orang yang lain lagi yang berperang dijalan Allah. Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikan zakat.

 

Ayat yang pertama adalah nash yang jelas dalam menuntut bangun pada sebagian malam yang mendekati setengah malam dan ayat itu menerangkan sebab kewajiban ini, sedang pembicaraan pada ayat itu dihadapkan kepada Nabi saw. Nash yang kedua menunjukkan bahwa Rasul selalu melaksanakan beban ini, demikian juga kelompok yang bersama beliau. Kemudian Allah mengetahui bahwa ada. tiga kelompok dikalangan mereka yang telah disebutkan. Oleh karena itu maka pembebanan itu terbatas untuk membaca Al Qur’an yang mudah.

 

Apabila nash yang pertama itu khusus atas Nabi s.a.w dan para shahabat yang mana mereka jaga diwaktu malam karena mengikuti beliau s.a.w., sedang keringanan itu khusus atas mereka karena sebab-sebab tersebut. Nash yang pertama tidaklah mansukh namun hukumnya kekal dengan dinisbatkan kepada Rasulullah s.a.w. Inilah pendapat Ibnu Abbas. Jika kami katakan bahwa yang pertama ‘am maka nash yang pertama itu mansukh, dan itu adalah jauh.

 

Yang ketiga adalah firman Allah Ta’ala dalam surat Al Mujadalah :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih 5 jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Kemudian Allah berfirman dalam surat itu sendiri :

 

Artinya :

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraanmu dengan Rasul ? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah sembahyang, tunaikan zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasulnya.

 

Ayat yang pertama memastikan untuk memberikan sedekah sebelum pembicaraan dan yang kedua menghilangkan kepastian itu tanpa menjelaskan penghapusan, yang memungkinkan penerapannya atas yang pertama yaitu memberitahukan nash yang datang kemudian dengan membatalkan nash yang terdahulu. Telah engkau ketahui bahwa tiga nash itu tidak menentukan adanya masalah.

 

Adapun jalan yang kedua yaitu berlindung kepada nasakh karena adanya dua nash yang berlawanan dan tidak ada lapangan untuk menta’wilkan salah satunya. Maka termasuk sulit bahwa kita melihat hal yang seperti itu dalam kitab Allah. Dan kami telah membeberkan pendapat dalam menayangkan ayat-ayat yang dikatakan bahwa ia mansukh dan sebagai jawaban terhadap apa yang dilontarkan oleh para ulama dalam kitab kami yang berjudul : “Ushul fiqh”. Periksalah ia jika kamu mau.

 

Sebagian ulama yang mencegah adanya mansukh dalam Al Qur’an adalah Abu Muslim Al Ashfahani seorang ahli tafsir besar. Dan kami telah meninjau pendapat-pendapatnya yang ada pada tafsir Ar Razi, Dari celah-celah perkataan Ar Razi tampaklah bahwa ia cenderung kepada pendapat Abu Muslim dalam masalah itu.

Al Qur’an tidak tetap dengan satu gaya bahasa dalam menuntut dan menyuruh untuk memilih. Kami berpendapat ada gunanya bahwa kami kemukakan dihadapan anda gaya-gaya bahasa yang berbeda-beda setelah kami mengadakan penelitian.

 

Suruhan.

 

AlQur’an dalam menuntut perbuatan-perbuatan (amal) mempunyai sejumlah gaya bahasa, yaitu :

 

  1. Perintah yang jelas, seperti firman Allah Ta’ala dalam surat An Nahl :

 

Artinya :

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlik, adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kan kerabat.

 

Dalam surat An Nisa’ :

 

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum kepada manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.

 

  1. Pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas orang yang diajak bicara, seperti firman Allah Ta’ala dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Diwajibkan atas kamu gishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.

 

Artinya :

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat.

 

Artinya :

Diwajibkan atas kamu berpuasa.

 

Artinya :

Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah. Kami tidak mewajibkannya kepada mereka.

 

Artinya :

Allah telah menetapkan hukum itu sebagai ketetapannya atas kamu.

 

Artinya :

Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya.

 

  1. Pemberitahuan bahwa pekerjaan itu wajib atas manusia pada umumnya atau atas sekelompok khusus, seperti :

 

Artinya :

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah : yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan.

 

Artinya :

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.

 

Artinya :

Dan warispun berkewajiban demikian.

 

Artinya :

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikah oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf , sebagai kewajiban bagi orang-orang yang takwa.

 

4, Membebankan perbuatan yang dituntut atas orang yang dituntut daripadanya, seperti firman Allah Ta’ala :

 

Artinya :

Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali guru”.

 

Artinya :

Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan ister-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.

 

Gaya bahasa ini sekali waktu mengikuti sesuatu yang menguatkan tuntutan dan sekali waktu dengan sesuatu yang menunjukkan tidak adanya kepastian, seperti :

 

Artinya :

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya – selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.

 

  1. Menuntut dengan bentuk tuntutan, yaitu fi’il amr atau mudlari’ yang disertai dengan lam, seperti :

 

Artinya :

Peliharalah segala shalatmu dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusu’.

 

Artinya :

Kemudian (sesudah menyembelih) , hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua (Baitullah).

 

  1. Mengurgkapkan dengan fardlu, seperti :

 

Artinya :

Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki.

 

  1. Menyebutkan perbuatan sebagai balasan (jawab) bagi ‘ syarath, dan ini tidak ‘am seperti :

 

Artinya : Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat.

 

Artinya :

Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan dikepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban.

 

Artinya :

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.

 

  1. Menyebutkan perbuatan disertai lafadz kebaikan, seperti :

 

Artinya :

Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim, katakanlah : Mengurus urusan mereka cara patut adalah baik.

 

9, Menyebutkan perbuatan disertai Dengan janji , seperti :

 

Artinya :

Siapakah yang memberikan pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafsirkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.

 

  1. Mensifati perbuatan bahwa perbuatan itu baik atau dihubungkan dengan kebaikan, seperti :

 

Artinya : Akan tetapi kebaikan ialah beriman kepada Allah.

 

Artinya :

Akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa.

 

Artinya :

Kamu sekali-kali belum sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.

 

‘Demikian juga dalam mencegah perbuatan, Al Qur’an mempunyai beberapa gaya bahasa, yaitu :

  1. Larangan yang jelas, seperti :

 

Artinya :

Dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.

 

Artinya :

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.

 

  1. Mengharamkan seperti :

 

Artinya :

Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.

 

 

Artinya :

 Katakanlah : Marilah kubacakan apa yang dihayamkan atas kamu oleh Tuhanmu.

 

Artinya :

Yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang yang mu’min.

 

  1. Tidak halal, seperti :

 

Artinya : Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa.

 

Artinya :

Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

 

Artinya :

Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya.

 

  1. Bentuk larangan, yaitu fi’il mudlari’ yang didahului dengan la nahi, atau fi’il amar yang menunjukkan atas tuntutan mencegah, demikian itu seperti :

 

Artinya :

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa’at.

 

Artinya :

Dan tinggalkan dosa yang nampak dan tersembunyi.

 

Artinya :

Janganlah kamu hiraukan gangguan mereka.

 

  1. Meniadakan kebaikan dari suatu perbuatan, seperti :

 

Artinya :

Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu suatu kebaikan.

 

Artinya :

Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya.

 

  1. Meniadakan suatu perbuatan, seperti :

 

Artinya :

Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang aniaya.

 

Artinya :

Maka barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan didalam masa mengerjakan haji.

 

Artinya:

Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan kayena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.

 

  1. Menyebutkan perbuatan disertai dengan mendapat dosa, seperti :

 

Artinya :

Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu,

 

telah ia mendengarnya, maka dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.

 

  1. Menyebutkan perbuatan disertai dengan ancaman, seperti :

 

Artinya :

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak ‘menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukaiflah kepada mereka, (bahwa mereka) akan mendapat siksa yang pedih.

 

Artinya :

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.

 

  1. Mensifati suatu perbuatan bahwa perbuatan itu buruk, seperti :

 

Artinya :

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Tetapi kebakhilan itu buruk bagi mereka.

 

Dalam hal seseorang mukalaf boleh melakukan atau meninggalkannya, Al Qur’an mempunyai beberapa gaya bahasa, yaitu :

 

  1. Lafazh halal yang disandarkan atau dihubungkan kepada suatu perbuatan, seperti :

 

Artinya :

Dihalaikan bagimu binatang ternak. –

 

Artinya :

Mereka menanyakan kepadamu: ”’ Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: ”Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu.

 

Artinya :

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.

 

  1. Meniadakan dosa, seperti :

 

Artinya :

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. ,

 

Artinya :

qMaka barangsiapa yang tergesa-gesa berangkat (dari Mina) pada dua hari maka tiada.dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menta’khirkan (keberangkatan dari Mina), maka tidak ada dosa baginya bagi orang yang bertakwa.

 

Artinya :

 (Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya.

 

  1. Meniadakan kesalahan (tidak menyalahkan), seperti :

 

Artinya :

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan solih karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan ‘ amalan-amalan solih, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan.

 

Artinya :

Tidak ada dosa bagimu dan tidak pula pada mereka selain dari (tiga waktu) itu.

 

Artinya : Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian syi’aresyi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. .

 

Al Qurtan memuat atas bermacam-macam perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf :

 

  1. Pergaulan antara Allah dan hamba, yaitu ibadah yang tidak sah kecuali dengan niat. Sebagiannya ibadah semata-mata yaitu shalat dan puasa, sebagiannya ibadah harta dan sosial yaitu zakat, dan sebagiannya ibadah badan serta sosial yaitu haji. Empat ibadah ini sesudah iman dianggap sebagai asas (dasar) agama Islam.

 

  1. Pergaulan antara sesama manusia dan hal itu adatah beberapa bagian yaitu :

 

  1. Pekerjaan untuk mengamankan da’wah yaitu jihad.
  2. Pekerjaan untuk membina rumah tangga, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan perjodohan, eperceraian, keturunan dan warisan.
  3. Pekerjaan untuk pergaulan antara manusia,baik jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya. Itulah yang diKenal dengan mu’amalat. ‘

d. Pekerjaan untuk menerangkan siksaan atas tindak pidana, yaitu gishash dan had. Dan nanti akan datang perinciannya.

Kami maksudkan dengan sunnah Rasulullah s.a.w. ada, lah kumpulan perkataan, perbuatan atau ketetapan yang ke. luar dari beliau, dan tidak ragu bahwa Rasulullah s.a.w. ada, lah penyampai dari Allah :

 

Artinya :

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.

 

Dan penjelas dari Allah tentang sesuatu yang dikehendaki Nya :

 

Artinya :

Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah dituru kan mereka dan supaya mereka memikirkan.

 

Rasulullah s.a.w: selalu menjelaskan apa yang dikehendaki oleh Al Qur’an , kadang-kadang dengan perkataan saja, kadang-kadang dengan perbuatan saja dan kadang-kadang dengan keduanya bersama-sama, sebagaimana beliau shalat dan bersabda :

 

Artinya :

Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu sekalian melihat saya shalat.

 

Beliau hajji dan bersabda :

Artinya :

Ambillah olehmu amalan-amalan hajjimu daripadaku

 

Jika demikian maka sunnah itu adalah penjelas Al Qur’an, menjelaskan globalnya, membatasi kemutlakannya, dan menta’wili kesamarannya. Didalam as sunnah tidak ada se. suatu kecuali Al Qur’an telah menunjukkan pengertiannya dengan penunjukan (dilalah) global (ijmaliyah) atau terperinci (tafsiliyah). Penunjukan itu dari beberapa segi, sebagiannya penunjukkan yang sangat umum yaitu kewajiban mengikuti Rasul s.a.w. yang datang dalam Al Qur’an , seperti firman Allah Ta’ala :

 

Artinya :

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia 5 dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.

 

firman-nya :

 

Artinya:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

 

dan firmanNya :

 

Artinya :

Katakanlah : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah : Ta’atilah Allah dan RasulNya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.

 

Sebagian daripadanya adalah segi yang masyhur dikalangan ulama seperti hadits-hadits dalam menerangkan hukum-hukum yang disebutkan secara global, adakalanya menunjukkan syarat-syaratnya, atau penghalang-penghalangnya atau susulan-susulannya atau. yang menyerupainya seperti keterangan hadits-hadits tentang shalat, zakat dan sebagainya dari apa yang terdapat dalam as sunnah sebagai keterangan terhadap Al Qur’an . Sebagiannya,pemikiran lapangan ijtihad dalam sesuatu. yang ada diantara dua ujung yang jelas dan lapangan qiyas yang beredar diantara pokok dan cabang.

 

Termasuk yang pertama ialah :

 

  1. Allah menghalalkan barang-barang yang baik dan mengharamkan barang-barang yang buruk. Diantara keduanya terdapat hal-hal yang samar (musytabihat). Beliau s.a.w. menerangkan haramnya setiap binatang buas yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai kuku dan beliau melarang dari memakan daging himar yang jinak. Ini adalah kembali kepada pengertian penyamaan dengan barang yang buruk.

 

  1. Allah menghalalkan minuman yang tidak memabukkan, dan Allah mengharamkan minuman yang memabukkan dan diantara keduanya itu terdapat sesuatu yang hakikatnya tidak memabukkan tetapi hampir memabukkan yaitu nabidz (nira) yang dibuat pada labu kering, gentong, bejana yang diolesi tir, dan lainlainnya, Itu disamakan dengan minuman yang hakikatnya memabukkan untuk menutup jalan. Kemudian kembali untuk mantahgigkan suatu perkara yang menurut asalnya boleh seperti air dan madu.

 

Maka beliau a.s. bersabda :

 

Artinya : Saya dahulu melarang kamu sekalian dari minum nira maka minumlah nira dan setiap yang memabukkan adalah haram.

 

  1. Allah membolehkan binatang buruan yang ditangkap oleh binatang buas yang diajar. Dari yang demikian diketahui bahwa binatang buas yang tidak diajar maka hasil buruannya adalah haram. Apabila binatang buas itu menangkap hanya untuk dirinya maka berkisar antara dua pokok itu. Binatang buas yang diajar akan tetapi makan dari hasil buruannya sedang ajarannya itu menghendaki bahwa binatang buas itu menangkap hanya untuk yang melepaskannya sedang memakan hasil buruan menerapkan bahwa binatang itu berburu untuk dirinya bukan untuk orang yang melepaskannya, sehingga dua pokok itu bertentangan maka datanglah as sunnah menerangkannya :

 

Beliau s.a.w bersabda :

 

Artinya :

Apabila binatang yangdiajar itu makan (buruan) maka janganlah kamu memakannya, karena saya khawatir dia menangkap hanyalah untuk dirinya.

 

  1. Dilarangnya orang yang ihram untuk membunuh bu yuan secara mutlak dan mewajibkan ganti atas orang yang membunuhnya secara sengaja, dan diperbolehkannya membunuh buruan bagi orang yang halal (tidak ihram – pent) secara mutlak . Pembunuhan buruan oleh orang yang ihram dengan keliru tetap menjadi tempat untuk dipikirkan. Maka as sunnah datang dengan menyamakan antara sengaja dan keliru, dalam wajibnya mengganti. Contoh-contoh: tentang hal itu banyak, dan banyak daripadanya yang akan kami kemukakan.

 

Adapun lapangan qiyas, maka sesungguhnya didalam Al Qur’anul karim terdapat dasar-dasar (pokok-pokok) yang menunjuk kearahnya :

 

  1. Allah mengharamkan riba dan riba Jahiliyah adalah menghapus hutang dengan hutang. Si penagih berkata, adakalanya riba itu ditunaikan dan adakalanya dikembangkan. Maka beliau a.s. bersabda :

 

Artinya :

Riba Jahiliyah itu diletakkan (ditinggalkan). Jika demikian halnya, larangan tiba itu hanyalah karena hutang itu bertambah tanpa adanya ganti maka as sunnah menyamakan dengan riba setiap tambahan yang searti dengan itu.

 

Beliau s.a.w. bersabda .

 

Artinya :

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, korma dengan korma dan garam dengan garam, serupa dengan serupa, sama dengan sama, kontan dengan kontan. Barang siapa yang menambah atau melebihkan maka ia telah meribakan. Apabila macam-macam ini berbeda-beda maka juallah sebagaimana kamu kehendaki, apabila kontan. 

 

Tambah lagi jual belinya wanita apabila berbeda macam-macamnya dan hal itu dimasukkan dalam riba, karena wanita itu dalam salah satu penggantinya menghendaki tambahan. Dan jual beli itu termasuk dalam hukum pengertian yang terdahulu yang menarik kemanfa’atan. Demikian itu karena jual beli jenis ini dengan sama jenisnya adalah termasuk menggantikan sesuatu Itu sendiri karena berdekatannya kemanfa’ atan-kemanfa’atan yang dikehendaki daripadanya, maka melebihkan atas yang demikian itu termasuk memberikan ganti tanpa adanya sesuatu imbalan dan hal itu dilarang. Tempo dalam penukaran barang biasanya tidak ada, kecuali ketika diberi imbalan dengan tambahan harga, karena penyerahan barang yang ada dengan ganti barang yang belum ada hanyalah mencari harga yang lebih mahal atau dengan kata lain mencari tambahan. Dan pemikiran yang timbul kenapakah hal yang seperti ini diperbolehkan dalam selain emas, perak dan makanan dan tidak diperbolehkan dalam keduanya. Ini adalah termasuk sesuatu yang masih samar-samar atas para mujtahid. Oleh karena itu as sunnah menerangkannya, karena seandainya sunnah itu tidak menjelaskan niscaya urusan itu biasanya diserahkan kepada para mujtahid, sebagaimana diserahkannya kepada mereka pemikiran dalam masalah-masalah ijtihad.

 

  1. Allah mengharamkan untuk mengumpulkan antara ibu dan anaknya dan antara dua wanita bersaudara. Al Qur’an menjelaskan :

 

Dan dihalalkan bagi kamu sekalian selain yang demikian itu.

 

Datanglah larangan beliau a.s. dari mengumpulkan antara seorang wanita dan bibinya (dari pihak ayah), dan bibinya (dari pihak ibu) berdasarkan qiyas karena mengandung pengertian yang dikehendakinya yaitu mencela dalam mengumpulkan antara wanita-wanita itu. Telah diriwayatkan hadits,dalam hal ini :

 

Artinya :

Karena sesungguhnya apabila kamu melakukan hal itu maka kamu memutuskan kerabatmu.

 

Alasan (illat) itu mengisyaratkan adanya qiyas.

 

  1. Allah menyebutkan diyat jiwa dan tidak menyebutkan diyat ujung-ujung badan dan itu termasuk sesuatu yang sulit atas akal untuk mengkiyaskannya. Maka Al Hadits menjelaskan diyat-diyatnya merupakan penje. lasan tentang hal itu, seolah-olah ia berjalan pada ki. yas di mana urusan itu sulit, dan lain sebagainya yang pembahasannya akan datang.

 

Sebagiannya, pemikiran terhadap dalil-dalil Al Qur’an yang bertebaran namun dalam pengertian yang terkumpul, karena sesungguhnya kadang-kadang dalil itu dalam penger:tian yang berbeda akan tetapi terkandung suatu pengertian yang serupa dengan maslahah mursalah dan istihsan. As Sunnah datang untuk menerapkan suatu pengertian itu, maka diketahui atau diduga bahwa pengertian itu diambil dari kumpulan satuan-satuan itu berdasar atas benarnya dalil yang menunjukkan bahwa As Sunnah itu datang untuk menjelaskan Al Kitab (Al Qur’an).

 

Dengan ini memungkinkan untuk memahami kedudukan As Sunnah dalam hubungannya dengan Al Kitab (Al Qur’an) dimana As Sunnah itu diterima oleh para shahabat di waktu mereka berkumpul ataw di waktu mereka terpencar. Sebagian As Sunnah ada yang diterima oleh sekelompok orang banyak ,demikian itu umumnya pada sunnah “amaliyah, yang menerangkan shalat, zakat dan haji. Sebagian dari padanya, as sunnah yang diterima oleh seorang, dua orang. Sebagian besar dari mereka menghafalkan apa yang didengar dari Rasul dan tidak dituliskannya karena tidak dapat membaca dan menulis (ummi) itu umum dikalangan mereka. Sedikit dari mereka yang menulis sabda-sabda yang diriwayatkannya itu seperti Abdullah bin Amr bin Ash, Ahmad dalam musnadnya meriwayatkan dari Abdullah bin Amr berkata : ”Saya selalu menulis segala sesuatu yang saya dengar dari Rasulullah s.a.w. yang saya hendaki untuk ‘menghafalkannya. Maka orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata : Sesungguhnya kamu menulis segala sesuatu yang kita dengar dari Rasulullah s.a.w. sedang Rasu’ lullah s.a.w. adalah manusia yang berkata-kata dalam marah

 

dan ridha. Maka saya mengekang (berhenti) dari menulis itu dan saya menyebutkan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. ma, ka beliau bersabda :

 

Artinya :

Tulislah demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaanNya, tidak keluar daripadaku , melainkan kebenaran.

  1. Al Qur’anul karim yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. kepada manusia, dimana mereka menghafalkan dan menuliskannya. Jumlah ayat-ayat ahkam hampir tidak lebih dari 200 ayat, dimana sebagian besarnya : akan engkau jumpai.

 

  1. Keterangan yang diberikan oleh Rasulullah s.a.w. itulah yang dikenal dengan As Sunnah. Shahabat-shahabat beliau menerimanya secara langsung dan pada periode itu penulisannya tidak tersebar seperti penulisan Al Qur’an.

 

Dan akan kami sajikan dengan global tentang hukum-hukum Al Qur’an disertai dengan keterangan As Sunnah yang periwayatan’ dan pengamalannya telah disepakati oleh Jumhur umat Islam.

 

Disini akan kami terangkan hukum-hukum yang datang dalam Al Qur’an karena Al Qur’an itu merupakan asas (dasar).

Kata shalat ini bukan berasal dari Islam, karena katakata tersebut telah digunakan oleh bangsa Arab sebelum is. lam datang dengan arti do’a dan minta ampun. Al A’sya berkata dalam mensifati khamer :

 

Artinya :

Ia mengelilingi si kuning kemerah-merahan yang memabukkan, dikeluarkannya dan padanya terdapat tutup. Bau dalam tongnya membandinginya, ia berdo’a dan tidak melangkah dari tongnya.

 

Pengertian shalat itu adalah do’a untuk khamer agar tidak masam dan tidak rusak. Al A’sya berkata :

 

Artinya :

Semoga atasmu seperti apa yang saya do’akan maka tidurlah, karena bagi setiap lambung seseorang mempunyai pembaringan.

 

Maksudnya , ia menyuruh wanita berdo’a untuk dirinya seperti do’anya untuk wanita itu, yakni agar wanita itu mengulang-ulangi do’a untuknya. Dan diriwayatkan ,

 

Artinya :

Semoga atasmu seperti apa yang saya do’akan , maksudnya ia (laki-laki itu) mendo’akan kepadanya (seorang wanita).

 

Dasar pengambilan kata shalat ini ada dua macam yaitu :

 

  1. Dari kata shalat dengan arti tetap. Dikatakan :

 

Artinya :

Ia shalat dan melakukan shalat apabila i ia tetap (pada sesuatu).

 

Dan pengertian ini ada (kalimat )

 

Artinya :

Orang yang dicampakkan dalam neraka yaitu apabila ia tetap (dalam neraka).

 

Inilah yang disetujui oleh Al Azhari , karena shalat itu menetapi apa yang difardlukan oleh Allah Ta’ala dan shalat adalah sebesar-besarnya fardlu yang diperintahkan untuk tetap dijalankan.

 

  1. Dari Shalawain yaitu dua alat yang melingkari ekor onta dan Jainnya. Dan pada manusia ialah permulaan pertemuan dua pupunya yang seolah-olah kedua alat itu mengapit tulang sunggingnya,

 

  1. Pendapat ketiga menyatakan bahwa asal kata shalat adalah mu’arrab (bahasa asing yang di Arabkan) dari shaluta yang menurut bahasa Ibrani berarti tempat shalat. Dan Al Qur’an telah menggunakan pengertian ini. Allah Ta’ala berfirman :

 

Artinya :

Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumahrumah ibadat orang-orang Yahudi dan masjid-mas jid yang didalamnya banyak disebut nama Allah.

 

Dan dibacanya shalawat seolah-olah jama’ shalat. Dan bangsa Arab telah mengambil kata-kata ini dan dipergunakan dalam pengertian do’a dan minta ampun, termasuk bab menggunakan nama tempat dan keadaan, dan hal ini boleh dikenal dan masyhur dikalangan mereka.

 

Kata-kata ini telah dipergunakan dalam Al Qur’an dengan pengertian menurut bangsa Arab. Allah Ta’ala berfirman :

 

Artinya : Dan mendo’alah untuk mereka : karena do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.

 

Dan Allah berfirman :

 

Artinya :

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi : hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkan salam dengan penghormatan kepadanya.

 

Bangsa Arab hanya mengenal shalat dengan sesuatu yang selalu mereka baca untuk berdo’a dalam talbiyah haji, dan apa yang diberitakan oleh Al Qur’an dalam firmanNya :

 

Artinya :

Sembahyang mereka disekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepuk tangan.

 

       : siulan.       : tepuk tangan. Ibnu Abbas berkata : Dahulu orang-orang Quraisy selalu thawaf di Baitullah dengan telanjang, bersiul dan bertepuk tangan. Mujahid berkata : Mereka menentang dan menertawakan thawaf Nabi, mereka bersiul serta mencampuri thawaf dan shalat beliau. Al Qatil berkata, apabila Rasul Shalat dimasjid maka mereka berdiri disamping kanan dan kiri beliau dengan bersiul dan bertepuk tangan untuk mencampuri shalat beliau. Menurut pendapat Ibnu Abbas siulan dan tepuk tangan adalah semacam ibadah mereka, dan me. nurut pendapat Mujahid dan Mugatil hal itu adalah untuk “menyakitkan Nabi s.a.w. Dan pendapat pertama adalah lebih dekat dengan firman Allah Ta’ala :

 

Para ahli tafsir meriwayatkan bahwa ayat ini turun dalam mendidik kaum muslimin dengan selain apa yang ada pada orang-orang musrik Arab.

 

Artinya :

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid. Mereka (ahli tafsir) berkata bahwa musyrikin Arab itu selafu thawaf di Baitullah dengan telanjang karena mereka tidak menghendaki munajat kepada Allah dengan pakaian mereka yang mana mereka melakukan dosa dalam pakaian itu. Dan pendapat ini menguatkan pendapat Ibnu Abbas.

 

Shalat disyari’atkan pada mulanya, menurut mereka “adalah hanya terbatas dua raka’at pagihari dua rakaat pada waktu sore.

 

Artinya : Dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu diwaktu petang dan pagi hari. Dan ibadah malam hanya terbatas mentartilkan Al Qur’an – sebagaimana dalam awal surat Al Muzammil. Baru sedikit sebelum hijrah, shalat lima waktu itu difardlukan.

 

Tidak ada perintah-perintah yang disungguhkan oleh Al Qur’an seperti menyumgguhkan shalat,dimana Al Qur’an telah menerangkan fardlunya shalat dengan beberapa gaya bahasa yang bermacam-macam. Suatu kali dengan perintah yang jelas, suatu kali dengan memuji orang yang mengerjakannya dan mencela orang-orang yang meninggalkannya sehingga orang yang mengikuti tempat-tempat ini menjadi faham bahwa shalat itu tiang Islam, dan Al Qur’an mengecam orang-orang yang meninggalkan atau lupa atau munafik terhadap shalat.

 

Al Qur’an tidak menerangkan secara jelas bilangan shalat dan bilangan raka’at-raka’atnya, Al Qur’an hanya menyebutkan waktu-waktunya secara global.

 

Artinya :

Maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada pada petang hari dan waktu kamu berada diwaktu subuh. Dan bagiNya-lah segala puji dilangit dan dibumi dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu kamu berada diwaktu dzuhur.

 

Artinya:

 shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.

 

Artinya :

Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan dari malam.

 

Artinya :

Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wustha.

 

Al Qur’an mengisyaratkan cara shalat dan berkata :

 

Artinya :

Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusu’.

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu dan bersujudlah kamu.

 

As Sunnah menjelaskan cara “shalat itu dengan praktek. Rasulullah s.a.w. selalu shalat Jima waktu dengan kaum muslimin dan kaum muslimin dibelakang beliau dengan berjama’ah dan beliau bersabda kepada mereka :

 

Artinya :

Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat.

 

Al Qur’an menyungguhkan tentang shalat Jum’ah :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at , maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkan jual beli.

 

Dan As Sunnah telah menjelaskan shalat Jum’at dengan aktek.

 

Al Qur’anul karim menerangkan shalat kaum muslimin tika takut terhadap musuh :

 

Artinya :

Dan apabila kamu bepergian dimuka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menggasharkan sembahyang (mu) jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendrikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at) maka hendaklah mereka pergi kebelakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang go| longan kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah bersamamu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata.

 

Kemudian Al Qur’an menjelaskan :

 

Artinya :

Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

 

Al Qur’an mewajibkan suci untuk masuk dalam shalat dan Al Qur’an mengatakan :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah dan jika sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih) dan sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi (lebih dahulu) Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci) : sapulah mukamu dan tanganmu.

 

Dan Al Qur’an menyatakan :

 

Artinya :

Dan pakaianmu hendaklah kamu bersihkan. Dan As Sunnah telah menerangkan bersuci dengan kedua macamnya secara praktek dan sabda.

Al Qur’an mewajibkan berhias karena mau shalat :

 

Artinya :

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid.

 

Dan As Sunnah menerangkan ukuran yang wajib dari berhias ini.

 

Al Qur’an mewajibkan atas setiap orang yang shalat untuk mengarahkan mukanya kearah Masjid Al Haram ketika ia bershalat. Nabi s.a.w’ pada mulanya menghadap ke Baitul Maqdis, kemudian Al Qur’an menyuruh untuk menghadap ke Masjidil Haram yang merupakan rumah yang pertama yang diletakkan (dibuat) oleh manusia, itulah rumah Ibrahim dan puteranya Isma’il yang menjadi nenek moyang bangsa Arab.

 

Artinya :

Maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram Dan dimana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya.

 

As Sunnah menerangkan secara praktek terhadap shalat-shalat yang tidak dikemukakan oleh Al Qur’an dan shalat-shalat itu dipandang sunat. Sebagiannya shalat yang bersamaan dengan shalat-shalat fardlu baik sebelum dan sesudahnya. Sebagiannya shalat yg tidak bersamaan dengan shalat fardlu, dan termasuk macam ini adalah shalat dengan berjama’ah pada dua hari Raya : Fithrah dan Adh-ha.

Arti puasa menurut bahasa Arab adalah mengekang dan meninggalkan sesuatu. Dari inilah timbulnya pengertian yang dikenal yaitu mengekang dua syahwat (yaitu syahwat perut dan syahwat sex pent).

 

Puasa itu sudah dikenal dikalangan bangsa Arab sebelum Islam. Al Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Aisyah r.a. bahwa orang-orang Quraisy pada masa Jahiliyah selalu berpuasa pada hari Asyura”. Kemudian Rasulullah s.a.w. memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu, sampai difardlukannya Ramadlan dan Rasulullah s.a.w. bersabda :

 

Artinya :

 Barangsiapa yang mau berpuasa pada hari ‘Asyura’ berpuasalah dan barangsiapa yang mau berbuka, berbukalah.

 

Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam hadits tentang permulaan wahyu :

 

Artinya :

Beliau selalu menghampiri (tinggal) di goa Hira selama satu bulan pada tiap-tiap tahun. Demikian itu sebagian peribadatan orang Quraisy pada masa Jahiliyah. Per. ibadatan adalah berbuat baik. Beliau selalu menghampiri bulan itu setiap tahun dengan memberi makan orang-orang miskin yang datang pada beliau. ……,, akhir hadits.

 

Bulan itu adalah bulan Ramadhan yang didalamnya diturunkan Al Qur’an, Dari yang demikian itu difahamkan bahwa puasa itu adalah termasuk peribadatan orang-orang Ouraisy pada masa Jahiliyah.

 

Allah Yang Maha Suci telah memilih bulan itu yang mana beliau s.a.w. selalu menghampirinya pada setiap tahun, dan dalam bulan itu beliau dimuliakan oleh Allah dengan pengutusan (risalah), Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang . yang sebelum kamu agar. kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Maka barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan . maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batal). Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya) dibulan itu, “ maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kelonggaran bagimu, dan tidak menp. hendaki kesempitan bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu meng. agungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kpd. mu, supaya kamu bersyukur.

 

Dan As Sunnah menurut dugaan kami telah melarang mereka untuk mendekati wanita pada malam-malam puasa, maka Al Qur’an meringankan hal yang berat itu dari mereka, dan Al Qur’an berkata :

 

Artinya :

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu : mereka itu pakaian bagimu, dan kamupun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi .keringanan kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu, : dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.

 

Dan Rasulullah telah menentukan ‘jumlah hari-hari puasa sunat diluar bulan Ramadlan dan difardlukannya puasa itu pada tahun kedua dari hijrah.

Seluruh bangsa-bangsa yang berkebudayaan mempu. nyai tempat tertentu untuk berkumpul serta ibadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya. Allah berfirman :

 

Artinya :

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami Syari’atkan penyembelihan (korban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan kepada mereka.

Allah berfirman :

 

Artinya :

Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan. Demikianlah bangsa Arab itu mempunyai tempat beribadah yaitu Baitul Haram yang dibina oleh nenek moyang mereka bersama ayahnya Ibrahim untuk mereka.

Allah berfirman :

 

Artinya :

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Isma’il (seraya berdo’a) : Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Ya, Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempattempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang .

Allah berfirman :

 

Artinya :

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia ialah Baitullah di .Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (diantaranya) magam Ibrahim : barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia.

Allah berfirman:

 

Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim ditempat Baitullah (dengan mengatakan) : Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orangorang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka mempersaksikan beberapa manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian dari padanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Kemudian (sesudah menyembelih) hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).

 

Atas yang demikian itulah perjalanan bangsa Arab sejak Ibrahim dan Isma’il sampai Allah mengutus Muhammad s.a.w. Tetapi mereka telah banyak merobah terhadap apa yang dijalankan oleh Ibrahim dan Isma’il , mereka mensekutukan patung-patung dan berhala-berhala kepada Allah, dan mereka letakkan berhala-berhala didalam Baitullah, disamping-sampingnya, Shafa dan Marwah. Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan berhala-berhala merobah tempat-tempat melakukan ibadah haji, menyebut nama selain Allah atas binatang ternak yang dikaruniakan kepada mereka.

 

Ketika terutusnya Muhammad itu menjadi pembaharu bagi syari’at Ibrahim yang benar dan berserah diri (kepada Allah) dan orang-orang yang musyrik tidaklah menjadikan Baitul Haram tempat peribadatan umat manusia, maka Allah menyuruh untuk melakukan haji dan “umrah.

 

Artinya :

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah : yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya: Barangsiapa yang kafir (terha. dap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

 

Allah berfirman :

 

Artinya :

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan “umrah karena Allah.

 

Allah menyuruh untuk mengikhlaskan tauhid dan mening: galkan sesuatu yang terdapat pada orang-orang Jahiliah

 

Artinya :

Maka jauhilah kenajisan berhala-berhala dan jauhilah olehmu perkataan-perkataan dusta. Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ketempat yang jauh.

 

Allah menerangkan waktu dan kesopanan haji, dengan firmannya :

 

Artinya :

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi : maka barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik, berbantahan dalam masa mengerjakan haji.

 

Dan Allah menjelaskan perkara-perkara mengerjakan hajji dan tempat-tempat ibadah hajji, dengan firmannya :

 

Artinya :

Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian syi arsyiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber “umrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan (dengan kerelaan hati sendiri), maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.

 

Allah berfirman :

 

Artinya :

Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafah, berzikirlah pada Allah di Masy’arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkanNya kepadamu : dan sesungguhnya kamu sebelum Itu termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohon ampunlah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,

 

Allah berfirman :

 

Artinya :

Dan berzikirlah (takbir) lah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Maka barangsiapa yang tergesa-gesa : berangkat (dari Mina) pada dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menta’khirkan (keberangkatannya dari Mina) pada dua hari, maka tidak ada dosa baginya , bagi orang-orang yang bertakwa

 

Allah berfirman :

 

Artinya :

Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa yang menghormati syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfa’at, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib menyembelihnya ialah disekitar rumah tua (Baitullah).

 

Allah berfirman :

 

Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai (salah satu) dari pada syi’ar Allah. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu ‘menyembelihnya dalam keadaam berdiri (dan telah terikat ). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah daripadanya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta) dan orang yang meminta.

 

Allah berfirman :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar -syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram , jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya dan binatang-binatang galid dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang sedang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya.

 

Allah berfirman :

 

Artinya :

Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, hadya galaid.

 

Allah berfirman dalam mengatur hajji yang terkepung musuh dan haji tamatu’ : ” .

 

Artinya :

jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan kamu janganlah mencukur kepalamu, sebelum korban sampai ditempat penyembelihannya. dika ada diantara kamu yang sakit atau gangguan dikepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Maka apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan “umrah sebelum haji (didalam bulan haji), maka (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajiblah berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi bila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (disekitar) Masjidilharam (orangorang yang bukan penduduk Mekah).

 

Allah telah menjadikan Makkah itu mulia dan aman :

 

Artinya :

Dan apakah tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok merampok.

 

Artinya :

Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram yang aman, yang didatangkan ketempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rizki (bagimu) dari sisi Kami ?

 

Allah mengharamkan berburu atas orang yang sedang ihram dan untuk itu Allah menentukan gantinya :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan,ketika kamu sedang ihram  Barang siapa diantara kamu  yang membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu.

 

Difardlukannya haji itu pada tahun keenam hijrah, dan pada tahun itu beliau telah keluar untuk “umrah namun terhalang dari Baitullah dan “umrah itu digadha pada tahun ketujuh, Pada tahun kesembilan Abu Bakar r.a, dan pada tahun kesepuluh Nabi haji bersama sebagian besar kaum muslimin yakni haji wada?, dan dalam hajji itu beliau menjelaskan cara hajji dan beliau bersabda kepada mereka :

 

Artinya :

Ambillah olehmu pekerjaan ibadah hajji daripadaku.

 

Aturan haji itu mempunyai kaidah-kaidah yang banyak bagi kaum muslimin yaitu :

  1. Faidah yang kembali kepada penduduk Makkah dari para jama’ah haji dan “unirah., karena Makkah bukan lembah yang bertanaman. Itu adalah terkabulnya do’a Ibrahim a.s. kekasih Allah :

 

Artinya :

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku dilembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman didekat rumah Engkau (baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

 

  1. Faidah yang kembali kepada bangsa “Arab dimana mereka mendapat kemanfa’atan dan dapat tukar menukar dagangan dan keperluan-keperluan hidup karena orangorang yang berhajji pada musim itu membawa harta benda mereka sehingga orang yang memerlukan dapat membelinya . Masing-masing dari mereka aman atas diri dan hartanya karena ada dalam bulan yang mulia dan negeri yang mulia.

 

Allah berfirman

 

 Artinya :

Supaya mereka mempersaksikan berbagai-bagai manfa’at bagi mereka.

 

  1. Faidah yang kembali kepada seluruh kaum muslimin karena mereka dapat berkumpul , saling kenal-mengenal, serta satunya ibadah dan kiblat mereka. Dengan demikian Mekah itu menjadi tempat berkumpulnya penghuni Timur dan Barat, mereka menerobos kesana dari setiap jalan di celah-celah bukit yang dalam, dan setiap manusia dapat mengambil kebutuhan ilmu, agama dan dunia.

 

Dan tidak heran bahwa hari hajji besar adalah hari raya bagi seluruh kaum muslimin karena hari itu mengingatkan persatuan itu. Sebagaimana Hari Raya Fithrah menjadi peringatan bagi turunnya Al Qur’an, demikian juga hari raya hajji besar itu menjadi penutup turunnya Al Qur’an. Dalam bulan Ramadhan mulai diturunkannya Al Qur’an dan hajji besar ditutupnya penurunan Al Qur’an.

Pengertian zakat menurut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan pujian. Seluruhnya itu telah dipergunakan dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Dalam zakat itu telah dipergunakan juga bagi ukuran harta yang disedekahkan oleh orang kaya karena hal itu menzakati hartanya yaitu mensucikan dan menumbuhkannya. Sebagaimana Al Qur’an menggunakan pengertian ini, ia menggunakan pengertiannya dengan sedekah. Al Qur’an memperhatikan terhadap zakat sebagaimana memperhatikan shalat. Sering kali keduanya disebut bersama-sama. Kadang-kadang zakat itu disebut sendirian dengan lafazh zakat atau shadaqah.

 

Artinya :

Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukanNya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat.

 

Artinya :

Ambillah shadaqah dari sebagian harta mereka dengan shadaqah itu kamu membersihkan dan mensucikan.

 

Artinya .

Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dihari memetiknya.

 

Artinya :

Dan sesuatu riba (tambahan ) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridlaan Allah, maka orang-orang (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

 

Al Qur’an tidak menerangkan secara detail harta yang wajib dizakati, tidak pula ukuran yang wajib dikeluarkannya. As Sunnah telah menerangkan hal itu dalam surat yang dibuat Rasulullah s.a.w. kepada orang yang diserahi urusan zakat dan Al Qur’anul karim menerangkan orang yang . menerima zakat dengan firman Allah :

 

Arqtinya :

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, untuk (memerdekaakn) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

 

Aturan zakat termasuk aturan-aturan yang agung yang menolak orang-orang yang kaya dari buruknya kedengkiankedengkian orang -orang fakir, menghilangkan mala petaka dengan mencukupi orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan kekuatan, dan zakat itu menolong pintu kebaikan dalam memperbaiki himpunan bangsa-bangsa agar terdapat orang yang melaksanakannya lebih-lebih apa yang diungkapkan oleh Al Qur’an dengan sabilillah. Dan bangsa Arab telah mempunyai aturan dalam hasil tatanam dan ternak mereka, sebagiannya inereka berikan kepada Allah dan sebagiannya mereka berikan kepada berhala. mereka. Hal itu akan kami kemukakan pada keterangan tentang sesuatu yang dihalalkan dan diharamkan oleh bangsa Arab.

 

Sesuatu yang dipersamakan dengan ibadat yang diterangkan oleh Al Qur’an ialah :

 

  1. Aturan sumpah, Allah berfirman dalam surat Al Baqarah:

 

Artinya :

Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat baikdi antara manusia. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

 

Allah ta’ala berfirman dalam surat Al Maidah :

 

Artinya :

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Maka siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian maka kaffaratnya puasa selama tiga hari, yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu melanggar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukumNya agar kamu bersyukur (kepadaNya),

 

Allah berfirman dalam surat At Tahrim :

 

Artinya :

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri-dirimu dari sumpah-sumpahmu.

 

  1. Keterangan makanan yang halal dan yang haram, dan Al Qur’an telah benar-benar memerincinya : Allah Ta’ala berfirman dalam mensifati Nabi S.a.W. pada surat Al A’taf :

 

Artinya :

Dan menghalalkan bagi mereka yang baik dan mengharamkan bagi mereka yang buruk-buruk.

 

Allah berfirman dalam surat An Nahl :

 

Artinya :

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang , telah diberikan Allah kepadamu, dan syukurilah ni’mat Allah, jika memang kamu hanya kepadaNya saja menyembah.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain – Allah, tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Allah berfirman dalam surat Al Maidah :

 

Artinya :

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih atas nama berhala.

 

Allah berfirman dalam surat Al Maidah pula :

 

Artinya :

Mereka menanyakan kepadamu : Apa yang dihalaikan bagi mereka ? Katakanlah : Dihalaikan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kumu ajar dengan melatihnya untuk berburu : kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.

 

Allah berfirman :

 

Artinya:

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagaimana makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.

 

Allah berfirman dalam surat Al An’am :

 

Artinya :

Karena itu makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatNya. Mengapa kamu tidak mau memakan binatangbinatang yang halal yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya?

 

Allah berfirman :

 

Artinya :

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang halai yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.

 

Dan Allah mengharamkan khamer dari jenis minuman. Allah mencela orang-orang musyrik dalam mengharamkan macam-macam makanan, mereka perbuat untuk Tuhan-tuhan mereka.

 

Allah berfirman dalam surat Al An’an:

 

Artinya :

Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu ba. hagian dari tanaman dan ternak yang telah dicip: takan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka : “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”, Maka sajian-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai pada Allah dan sajiab-sajian yang diperuntukkan bagi Allah sajian itu sampai kepada berhalaberhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.

 

Allah berfirman :

 

Artinya :

Dan mereka mengatakan , bahwa inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang, tidak boleh memakannya kecuali orang yang Kami kehendaki menurut anggapan mereka, dan (ini) binatang-binatang ternak yang diharamkan menunggangi nya dan (ada pula) binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Aliah diwaktu menyembelihnya, semata-mata membuat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang mereka ada-adakan.

 

Dan mereka mengatakan bahwa apa yang dalam perut binatang ternak ini, adalah khusus untuk para pria kami dan diharamkan atas para wanita kami, tetapi jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Sesungguknya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rizkikan kepada mereka semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.

 

Kemudian Allah berfirman :

 

Artinya :

Dan diantara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih, makanlah rizki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan, karena sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu. (yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang dari domba dan sepasang dari kambing. Katakanlah :” Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya ?. Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar.

 

Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah :’Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya ?”.

 

Allah berfirman dalam surat Al Maidah :

 

Artinya :

Allah sekali-kali tidak pernah mensyari’atkan adanya bahirah, saibah, washilah dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah , dan kebanyakan dari mereka tidak mengerti.

 

Menurut zhahirnya, bahwasanya orang-orang musyrik Arab sebelum Islam mempunyai aturan terhadap hasil tanaman dan peternakan yang sebagian mereka berikan kepada Allah dengan diberikan kepada orang-orang fakir dan miskin dan sebagian lagi untuk berhala-berhala yang mereka berikan kepada penjaga berhala dan orang-orang yang melaksanakan urusannya. Dan kesungguhan mereka dalam memelihara pemberian bagi berhala-berhala adalah lebih kuat, dan perhatiannya lebih sempurna namun sesuatu itu hanya sampai kepada yang diperuntukkan baginya. Adapun bagian yang untuk Aliah maka bagian itu tidak sampai kepadaNya bahkan barangkali sesuatu itu sampai kepada penjaga berhala. Dan Al Qur’an telah menjelaskan dalam ayat yang kedua bahwa binatang ternak dan tanaman yang untuk selain

 

Allah secara golbal ada tiga macam

 

  1. Kuda betina yang tidak diberi makan kecuali oleh orang-orang yang mau.
  2. Binatang ternak yang diharamkan punggungnya.
  3. Binatang ternak yang tidak disebutkan nama Allah atasnya.

 

Tiga macam inilah yang disebutkan dalam surat Al Maidah, yaitu (bahirah, saibah dan ham: unta betina yang telah beranak lima kali dan anak yang kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya, saibah, unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja lantaran sesuatu nazar, seperti jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalan yang berat, maka ia biasa bernazar akan menjadikan untanya saibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dan selamat: washilah : seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina, maka yang jantan ini disebut washilah, tidakdisembelih dan diserahkan kepada berhala: haam : unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali

 

Kemudian dalam ayat yang ketiga Allah menerangkan apa yang mereka tetapkan terhadap binatang-binatang ternak ini, yaitu kandungan yang ada diperutnya. Mereka khususkan untuk orang-orang laki-laki untuk minum dan mengambil manfa’at dari susunya, dan diharamkan atas isteri-isteri mereka dan mereka tidak mempunyai hak atasnya. Apabila binatang itu mati, maka mereka makan bersama-sama. Allah Yang Maha Suci menegur mereka atas pembelokan pembelokan yang mereka buat-buat dari mereka sendiri dan mereka membangsakan dusta kepada Allah : .

 

Artinya :

Atau apakah kamu menyaksikan diwaktu Allah menetapkan ini bagimu ? 

 

Bentuk yang diceritakan oleh Allah Yang Maha Suci ini menerangkan bahwa bangsa Arab itu telah mempunyai aturan dalam sedekah yang mereka keluarkan bagi orangorang yang membutuhkan, hanya saja aturan ini mengandung segi keburukan yaitu menyekutukan Allah dan menganggap sebagian binatang ternak haram dan sebagian lagi halal.

Al Qur’an membatalkan hal itu seluruhnya dan meletakkan aturan zakat yang asasnya diletakkan dengan firman Allah dalam surat Al An’am :

 

Artinya :

Dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya.

 

Dan menghalalkan binatang ternak selain yang dinash dengan firmanNya :

 

Artinya :

Katakanlah : Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah, tetapi siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan tidak melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang .

 

Alat yang penghabisannya adalah firman Allah Ta’ala dalam surat Al Maidah :

 

Artinya :

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa dan beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

 

As Sunnah telah melarang sebagai penerapan atas firman Allah Ta’ala :

 

Artinya :

Dan mengharamkan bagi mereka yang buruk-buruk. Sebagaimana As Sunnah melarang setiap binatang buas yang bertaring, setiap burung yang berkuku dan daging himar yang jinak.

Sekitar tiga belas tahun berlalu atas Nabi saw. di Mekah dan beliau melaksanakan da’wah kepada agama beliau. Beliau telah menjumpai bermacam-macam hal yang menyakitkan dan bermacam-macam fitnah. Yang sedemikian itu ada yang beliau alami sendiri dan ada pula yang dialami oleh para shahabat beliau. Mereka (orang-orang musyrik) menghalangi manusia dari mendengarkan Al Qur’an dan menerima ajakan beliau dengan kedustaankedustaan yg’mereka perbuat, sebagai disebutkan dan ditolak oleh Al Qur’an. Surat-surat Makkiyah menghimpun keterangan itu, dan orang-orang Mekah (yang masuk Islam) terpaksa meninggalkan Mekah menuju Habsyi dengan melarikan diri demi agama, karena mereka tidak mempunyai kekuatan untuk mempertahankan diri dari permusuhan yang tidak ada sebab yang dapat dibenarkan.

 

Allah menghendaki Arab Yatsrib dari suku Aus dan Khazraj untuk menerima ajakan masuk Islam dan beliau sa.w. telah membai’at mereka untuk membela beliau seperti membela terhadap diri dan anak-anak mereka. Maka beliau pindah kepada mereka setelah penduduk Mekah bersepakat untuk membunuh beliau secara bersembunyi-sembunyi. Dalam permulaan kedatangan beliau ke Madinah itulah disyari’atkannya perang. Dalam beberapa tempat Al Kitab (Al Qur’an) menerangkan sebab yang karenanya orang-orang mu ‘min diidzinkan berperang.

 

  1. Mempertahankan diri ketika diserang.
  2. Mempertahankan da’wah karena difitnahnya orang yang beriman, yakni ujiannya dengan bermacam-macam siksaan, sehingga orang itu meninggalkan akidah yang telah dipilih bagi dirinya atau mencegah orang yang hendak masuk Islam, atau mencegah seorang da’i dari menyampaikan da’wahnya.

 

Inilah tempat-tempat yang mana Al Qur’an menerangkannya yaitu :

 

1.Dalam surat Al Hajj itulah ayat pertama yang diturunkan dalam masalah perang, Allah berfirman :

 

Artinya :

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Kuasa menolong mereka, (yaitu) orangorang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata : ”Tuhan kami hanyalah Allah”, Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah iba. dat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang dj dalamnya disebut nama Allah. Dan sesungguh. nya Allah pasti menolong (agamaNya), bahwa. sanya Allah sungguh Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat baik dan mencegah dari perbuatan mungkar: dan kepada Allahlah kembali segala urusan.

 

Inilah menduduki tafsir bagi ayat Syura yang termasuk Makkiyah.

 

Artinya :

Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidaklah ada suatu dosapun atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.

 

  1. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al Baqarah yang termasuk Madaniyah :

 

Artinya :

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai. Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah), dan fitnah itu lebih berbahaya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi kecuali terhadap orang-orang yang aniaya. Bulan haram dengan bulan haram, dan sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum gishash. Oleh karena itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, yang seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah Allah berserta orangorang yang bertakwa.

 

Allah berfirman dalam surat Al Anfal yang termasuk

 

Artinya :

Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Dan jika mereka berpaling, ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.

 

  1. Allah berfirman dalam surat An Nisa’ yang termasuk Madaniyah :

 

Artinya : .Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemahlemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a : “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau !”

 

4, Allah berfirman dalam surat ini (an Nisa”) tentang kaum musyrik yang tidak suka untuk memerangi kaum mereka dan tidak memerangi kaum muslimin, maka jauhilah fitnah dari satu segi :

 

Artinya : Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.

 

Dengan syarat mereka cinta perdamaian secara hakiki dengan tidak mondar-mandir (ragu-ragu) sedikitpun. Jika demikian maka Allah menjelaskan keadaan mereka dengan firmanNya :

 

Artinya :

Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman daripada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun ke . dalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya mereka, dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menahan dan membunuh) mereka.

 

  1. Allah berfirman tentang keadaan damai dalam surat Al Anfal :

 

Artinya :

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, hendaklah kamu (juga) condong kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui. Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah .yang memperkuatmu dengan pertolonganNya dan dengan para mu’min.

Dan yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman).

 

  1. Allah berfirman dalam surat At Taubah :

 

Artinya :

Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya . mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya agar supaya mereka berhenti. Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi kamu ? Takutkah kamu kepada mereka padahal Allahlah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman.

 

Seluruh nash-nash ini menyampaikan kepada pengertian yang telah kami kemukakan, yaitu perang hanyalah untuk menolak musuh dan mengamankan fitnah terhadap agama.

 

Orang-orang Yahudi Madinah telah cenderung kepada orang-orang Quraisy dan munafik daripada kepada kaum muslimin dalam perang Al Ahzab sehingga hal tersebut amat menggoncangkan kaum muslimin, sesudah ada janji yang tertulis antara orang Yahudi dan Nabi s.a.w. namun mereka rusak janji itu, maka Allah menyuruh orangorang Islam untuk memerangi mereka sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah :

 

Artinya : Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah). Yaitu orang-orang (Yahudi dan Nashrani) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk.

 

Perintah perang itu dahulunya terbatas terhadap orang-orang Quraisy dan orang yang cenderung kepada mereka yakni Yahudi Madinah. Ketika kabilah-kabilah di Jazirah (semenanjung) Arab bersatu padu bersama mereka, maka Allah berfirman dalam kitabNya pada surat At Taubah :

 

Artinya : Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana fherekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

 

Sebagian ayat dalam Al Qur’an yang menguatkan dan menerangkan tentang ruh (jiwa) perdamaian adalah ayat dalam surat Al Mumtahanah -:

 

Artinya :

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. ‘

Termasuk hal yang sangat diperhatikan oleh Al Qur’an jalah urusan perjanjian dan dibencinya pencatatan janji. Atas yang demikian ini Al Qur’an menashkan dengan beberapa nash yang menguatkannya, Sebagian nash itu ada yang bersifat ‘am (umum), dan sebagiannya ada yang bersifat khas (khusus). Termasuk yang ‘am ialah firman Allah Ta’ala pada awal surat Al Maidah :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah agad-agad itu.

 

Dan Allah berfirman dalam surat An Nahl :

 

Artinya :

Dan tepatilah perjanjian dengan Allah, apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).’ Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali, dengan menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.

 

Dan firman Allah Ta’ala dalam surat Al Isra”

 

Artinya :

Dan penuhilah janji, karena janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.

 

Termasuk yang khas ialah firman Allah Ta’ala dalam surat Bara’ah :

 

Artinya :

Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.

 

Sesudah itu Allah berfirman dalam surat itu juga :

 

Artinya :

Kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil haram ? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.

 

Ini menunjukkan bahwa berlepas itu hanyalah terhadap orang-orang musyrik yang mencecatkan janji dan nampak bukti-bukkhiyanat karena awal suratnya berbunyi :

 

Artinya : (Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan daripada Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).

 

Kemudian Allah mengecualikan dari orang-orang yang disebutnya, dan inilah pelaksanaan terhadap ayat yang terdapat dalam surat Al Anfal :

 

Artinya :

Dan jika kamu mengetahui pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.

 

Dan takut itu tidak terujud kecuali sesudah tampaknya perbuatan-perbuatan permusuhan yang menunjukkannya, karena orang yang tidak merusakkan janjinya, tidak menampakkan permusuhan dan menetapi janjinya maka tidak ada jalan (untuk memerangi: pent) atas mereka dengan dasar nash.

 

Sebagiannya ialah ketika dalam surat An Nisa’ Allah mendorong mereka untuk menjauhkan orang-orang munafik yang batinnya selalu melawan mereka, maka Allah berfirman :

 

Artinya :

Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai).

 

Ini adalah nash yang menunjukkan atas wajibnya memuliakan bumi orang-orang yang mempunyai perjanjian, dan ayat itu menjaga yang menetapi perjanjian itu.

 

Sebagiannya dalam surat An Nisa’ Allah menjadikan pembunuhan secara keliru terhadap laki-laki dari kaum yang mempunyai perjanjian dengan mewajibkan apa yang diwajibkan bagi pembunuhan secara keliru terhadap muslim. Allah berfirman :

 

Artinya : Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah sipembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarga (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.

 

Sebagiannya dalam surat Al Anfal Allah berfirman tentang orang-orang mu’min yang tinggal di daerah musuh dan mereka tidak berpindah daripadanya :

 

Artinya :

(Akan tetapi) jika mereka minta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka.

 

Allah menjadikan hak perjanjian itu di atas setiap hak.

 

Allah tidak menjadikan jangka waktu bagi perdamaian, bahkan Allah menyebutkan secara mutlak dalam firman

 

Allah Ta’ala dalam surat Al Anfal :

 

Artinya :

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, hendaklah kamu (juga) condong kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.

 

Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Al Qur’an menerangkan hukum tawanan perang secara jelas dalam firman Allah pada surat Muhammad

 

Artinya :

Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai.

 

Para pemegang pemerintahan diperkenankan untuk memilih anugerah yaitu mema’afkan dan melepaskan tanpa sesuatu (imbalan), tebusan yaitu mengambil ganti tetapi hal itu disyaratkan melumpuhkan musuh di muka bumi, pengertiannya adalah keterlaluan dalam memerangi musuh tidak kuat di muka bumi. Oleh karena itu Allah mencela kaum muslimin dalam mengambil tebusan sebelum musuh itu berhasil dilumpuhkan, Allah Ta’ala berfirman :

 

Artinya :

Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ja dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

 

Dan Rasulullah telah memerintahkan untuk membunuh sebagian tawanan karena sebab-sebab khusus, sebagaimana beliau memerintahkan untuk membunuh ‘Ugbah bin Abi Mi’yath di Badar dan membunuh Abu ‘Izzah Al Jamhi di Uhud, yang mana ia telah berjanji kepada beliau pada perang Badar untuk tidak membantu atas (musuh) beliau namun ia tidak menetapinya, dan sebagaimana dibunuhnya delapan penduduk Mekah setelah penaklukan Mekah karena tindak-tindak pidana yang mereka lakukan.

 

Pembahasan tentang hamba dan penghambaan.

 

Ketika Islam datang, di kalangan bangsa Arab telah ada hamba maka Islam mengakui terhadap apa yang telah ada di kalangan mereka. Allah berfirman dalam surat Al Mu’minun yang termasuk Makkiyah :

 

Artinya :

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki: maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

 

Allah berfirman seperti itu dalam surat Al Ma’arij yang Makkiyah juga, yakni sebelum adanya peperangan apapun bagi kaum muslimin. Dan Allah berfirman dalam surat An Nisa” yang Madaniyah :

 

Artinya :

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang sahaya, atau budak-budak yang kamu miliki.

 

Kemudian Allah sangat menggemarkan mereka untuk memerdekakan hamba dan menghilangkan kehambaan dengan beberapa jalan (cara) :

 

  1. Bahwasanya dalam surat Makkiyah Allah menjadikan kewajiban pertama bagi manusia apabila mau bersyukur kepada Allah atas ni’mat-ni’matNya, Allah berfirman setelah melimpahkan karunia atasnya :

 

Artinya :

Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu ? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungannya kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.

 

Allah menjadikan pelepasan budak di bagian depan dari perilaku-perilaku yang dilaksanakan oleh manusia dalam bersyukur kepadaNya.

 

  1. Bahwasanya Allah menjadikan memerdekakan budak (hamba) pada bagian depan dari beberapa kaffarat dari pidana yang dilakukan. Allah berfirman tentang kafarat pembunuhan secara keliru dalam surat An Nisa”

 

Artinya :

Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.

 

Allah berfirman tentang kafarat zhihar dalam surat Al Mujadalah :

 

Artinya :

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.

 

Allah berfirman tentang kafarat sumpah dalam surat Al Maidah :

 

Artinya :

Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian pada mereka atau memerdekakan seorang budak.

 

  1. Bahwasanya ketika Allah menerangkan tempat-tempat penyerahan zakat, maka Allah menjadikan seperdelapan bagian untuk hamba yakni imam yang mengambil (mengumpulkan) zakat dari kaum muslimin agar menyampaikan seperdelapan harga zakat untuk memerdekakan hamba.

 

  1. Memerintah untuk mengabulkan orang yang menuntut janji kemerdekaan hamba dengan mengembalikan uang pengembaliannya (harganya) dan diperintah untuk menolong mereka dalam menunaikan apa yang dituntut itu. Allah berfirman dalam surat An Nur :

 

Artinya :

Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan.

 

Seluruhnya itu, disamping dorongan yang banyak dari Nabi s.a.w. untuk memerdekakan budak, dan pesan yang berulang kali untuk mengasihi hamba yang ada pada mereka. Dan dalam Al Qur’anulkarim hanya ada satu nash tentang memperhamba yaitu membuat hamba terhadap tawanan perang.

Bangsa Arab itu mengambil rampasan perang dan membagikannya atas orang-orang yang berperang, dan memberikan bagian yang besar untuk pemimpinnya (perang). Salah seorang penyair mereka menunjukkan dengan berkata :

 

Artinya : Untukmu seperempat rampasan, pilihan apa yang diperoleh sebelum perang, kelebihan dalam pembagian dan keputusanmu (yang dipergunakanz pent.).

 

    : Seperempat rampasan perang.

 

     : Sesuatu yang dipilih oleh seorang pemimpin perang bagi dirinya dari hal-hal yang dipandang buik.

 

      : Sesuatu yang diperoleh sebelum perang.

      : Sesuatu yang terlebih setelah dibagi (sisa).

 

Ketika Islam datang, rampasan pertama adalah rampasan yang diperoleh kaum muslimin dalam perang Badar, : dan mereka ingin mengetahui cara pembagiannya. Allah s.w.t. berfirman dalam surat Al Anfal :

 

Artinya :

 Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah : Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul.

 

Kemudian Allah menjelaskan pembagiannya dengan firmanNya :

 

Artinya :

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesung. guhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil.

 

Maka Rasulullah mengambil seperlima rampasan kemudian beliau membaginya atas orang-orang yang disebutkan Allah sebagaimana beliau s.a.w. bersabda :

 

Artinya :

Bagiku hanya seperlima dari rampasan perangmu, dan yang seperlima dikembalikan atasmu.

 

Karena beliau menjadikan sebagian besarnya untuk kemaslatan umum (yakni yang tiga perlimanya – pent).

 

Allah berfirman tentang fai’ (harta yang diperoleh dari orang kafir tanpa dengan perang) dalam surat Hasyr, yaitu harta yang diperoleh kaum muslimin tanpa dengan jerih payah dengan kuda dan kendaraan :

 

Artinya :

Harta rampasan (fa—i) yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orangorang kaya di antara kamu.

 

Kemudian Allah berfirman :

 

Artinya :

(Yaitu) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halamannya dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridlaanNya: dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka inilah orang-orang yang benar. Dan juga orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan (juga) bagi orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar). Mereka berdo’a : “Ya Tuhan kami, berilah ampun kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman: Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.

 

As Sunnah menjelaskan dengan mempraktekkan hukum-hukum Al Qur’an dalam perang-perang yang dilaksanakan oleh Rasulullah s.a.w., sebagian dari perang-perang itu ada yang kisahnya disebutkan oleh Allah, sebagiannya ada pula yang tidak diceritakan oleh Allah. Dan Nabi s.a.w. melepaskan beberapa tawanan sesuai dengan hukum-hukum Al Qur’an.

 

Adapun peperangan yang kisahnya diceriterakan adalah sebagai berikut :

 

  1. Perang Badar yang terjadi pada tahun kedua Hijrah, yang tercantum dalam surat Al Anfal dengan firman Allah Ta’ala :

 

Artinya :

Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran (pula), padahal sesungguhnya sebagian orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.

 

Dan disebutkan juga pada surat Ali ‘imran dengan firman Allah Ta’ala :

 

Artinya :

Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah.

 

  1. Perang Uhud yang terjadi tahun ketiga hijrah, yang tercantum dalam surat Ali ‘Imran dari awal firman Allah Ta’ala :

 

Artinya : Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah Orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman.

 

  1. Perang Hamra ul Asad dalam tahun itu juga (ke III H). Penuturannya terdapat dalam surat Al ‘Imran juga dengan firman Allah Ta’ala :

 

Artinya :

(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan RasulNya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud).

 

4, Perang Badar yang lain yang terjadi pada tahun keempat hijrah. Al Qur’an menunjukkannya dalam surat Ali ‘Imran dengan firman Allah Ta’ala :

 

Artinya :

(Yaitu) orang-orang (yang menta’ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang yang mengatakan : “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”. (Mereka tidak gentar) bahkan perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab : “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan ni’mat dan karunia yang-besar.

 

  1. Perang Bani Nadhir yang terjadi pada tahun keempat H, dimana Al Qur’an telah menuturkannya dalam surat Al Hasyr :

 

Artinya: Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama.

 

  1. Perang Al Ahzab yang terjadi pada tahun kelima, dimana Allah telah menuturkannya dalam surat yang namanya disebut dengan nama ini dari firman Allah Ta’ala:

 

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang Kami kurniakan) kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang kamu tidak dapat melihatnya.

 

  1. Perang Bani Quraizhah yang terjadi pada tahun itu juga (ke IV H), dimana perang itu telah disebutkan dalam surat Al Fath dengan firman Allah Ta’ala :

 

Artinya :

Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraidzah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka. Dan Dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebagian mereka kamu bunuh dan sebagian yang lain kamu tawan Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah: tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap sesuatu,

 

  1. Perang Hudaibiyah yang terjadi pada tahun keenam H, dan telah disebutkan dalam surat Al Fath dengan firman Allah Ta’ala :

 

Artinya :

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, Tangan Allah di atas tangan mereka.

 

  1. Perang Khaibar yang terjadi pada tahun ketujuh H, dan Allah menunjuknya dalam firmanNya :

 

Artinya : Sesungguhnya. Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan kepada mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat: (waktunya), serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allan Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

 

  1. Penaklukan Mekah yang terjadi pada tahun kedelapan H, dan Allah telah menunjuknya dengan firmanNya :

 

Artinya :

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah), mereka lebih tinggi derajatnya dari pada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itus Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.

Dan firmanNya :

 

Artinya : Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.

 

  1. Perang Hunain yang terjadi pada tahun itu juga (ke VIII H) dan Allah menunjukkan dengan firmanNya

 

Artinya :

Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mu’minin) di medan peperangan yang banyak. Tetapi di peperangan Hunain di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa’at kepadamu sedikitpun. Dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman dan Allah menurunkan bala tentara yang tiada kamu melihatnya dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir. Demikianlah pembalasan kepada orang-orang kafir.

 

  1. Perang Tabuk, yaitu perang yang sulit yang terjadi pada tahun kesembilan H dan telah diperinci panjang lebar dari pada apa yang disebutkan dalam surat At Taubah. Dialah sepanjang-panjang peperangan yang dikisahkan oleh Al Qur’anul karim dari peperangan yang manapun.

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepadamu : ”Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah”, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu ? Apakah kamu sudah puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat, pada hal keni’matan hidup di dunia ini hanyalah sedikit kalau dibandingkan dengan kehidupan di akhirat ?

 

Peperangan-peperangan itu seluruhnya telah berlalu sebagai penerapan atas kaidah-kaidah Al Qur’anul karim yang telah kami sebutkan, yaitu mempertahankan diri dari musuh, mengamankan dakwah, dan cenderung untuk menyelamatkan orang yang mau damai. Kehidupan Nabi : s.a.w. berakhir setelah seluruh jazirah (semenanjung) Arab berkumpul atas Islam.

Sebagian dari hal yang diperinci oleh Al Qur’an adalah aturan rumah tangga, dan ambillah apa yang telah disyari’atkannya :

Al Qur’an mesyari’atkan perkawinan, dan akadnya disebut janji yang berat. Allah berfirman dalam surat An Nisa’

 

Artinya : Dan mereka (steri-isterimu) telah mengambil dari kamu janji yang kuat.

 

Dan Allah memberikan anugerah kepada manusia dengan menjadikan cinta dan kasih sayang di antara suami isteri. Allah berfirman dalam surat Ar Rum :

 

Artinya :

Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadaNya: dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi | orang yang mengetahui. Dan Allah menjadikan masing-masing suami isteri sebagai pakaian bagi yang lain.

Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Mereka itu pakaian bagimu, dan kamupun pakaian dari mereka. Pengertiannya adalah tenang hatimu bersamanya dan te“ nang hati mereka bersamamu, sebagaimana Allah berfirman :

 

Artinya :

Menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian. Yakni kamu tenang hati pada waktu malam.

Dan As Sunnah benar-benar menggemarkan untuk kawin dan pemikiran untuk memperbanyak umat perlu diperhatikan, karena dalam Al Hadits :

 

Artinya :

Nikahlah kamu, maka kamu berketurunan, karena sesungguhnya saya bermegah-megah denganmu kepada umat-umat (yang lain) pada hari kiyamat.

 

Dan Al Qur’an mendorong untuk kawin dengan firman Allah dalam surat An Nur :

 

Artinya :

Dan kawinlah kamu orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. Dan Allah Maha luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui.

 

Di kalangan bangsa Arab tidak ada batas yang tertentu dalam bilangan isteri, barangkali salah seorang di antara mereka beristeri sepuluh orang. Maka Al Qur’an memberikan batas pertengahan. Al Qur’an memperkenankan berbilangnya isteri bagi orang yang tidak khawatir untuk berbuat aniaya dalam mempergauli isteri-isterinya. i Allah Ta’ala berfirman :

 

Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

 

Diperbolehkannya isteri lebih dari seorang karena di dalamnya terdapat 2 pemeliharaan :

 

  1. Kebutuhan naluri manusia yang mana pengalaman telah membuktikan bahwa kadang-kadang seorang suami tidak cukup dengan seorang wanita.
  2. Banyak keturunan, namun hal itu disyaratkan dengan tidak adanya kekhawatiran terhadap aniaya yang merupakan kerusakan yang berkembang atas dua kemaslahatan menurut pandangan syara’.

 

Berbilangnya isteri itu bukanlah termasuk dasar yang wajib menurut pandangan syari’at Islam, namun hal itu termasuk kebolehan-kebolehan yang mana urusannya kembali kepada mukallaf, boleh mengerjakannya atau meninggalkannya, selagi tidak melampaui batas-batas Allah.

 

Al Qur’an telah mengharamkan hubungan dengan tali perkawinan antara seorang muslim dengan isteriisteri anak-anaknya dan wanita yang mempunyai hubungan kerabat (saudara dekat), susuan atau persemandaan.

 

Allah berfirman dalam surat An Nisa’ :

 

Artinya :

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu: anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan: saudara-saudara ibumu yang perempuan: anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan: ibu-ibumu yang menyusui kamu: saudara perempuan yang sesusuan: ibu-ibu isterimu (mertua): anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya: (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu): dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau : sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu.

 

As Sunnah melarang untuk mengumpulkan antara seorang wanita dengan bibinya (dari pihak bapak), seorang wanita dan bibinya (dari pihak ibu), dan As Sunnah mengharamkan wanita yang sesusuan seperti haramnya wanita karena nasab.

 

Al Qur’an melarang seorang muslim memperisteri wanita musyrik atau seorang musyrik memperisterikan seorang wanita muslim.

Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman: sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman: sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izinnya.

 

Al Qur’an menghalalkan wanita-wanita ahli kitab dengan firman Allah dalam surat Al Maidah :

 

Artinya :

(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

 

Dan Al Qur’an mengharamkan untuk memperisterikan wanita mukhshanah dengan laki-laki pezina atau laki-laki mukhshan dengan wanita pezina. Allah berfirman | dalam surat An Nur :

 

Artinya : Laki-laki yang berzina tidak akan mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik: dan perempuan yang berzina tidak akan mengawininya melainkan laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mu min.

 

Dan Al Qur’an memperkenankan kepada orang yang tidak mampu mengawini wanita merdeka untuk mengawini budak wanita, Allah berfirman dalam surat An Nisa’

 

Artinya :

Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka, suci lagi beriman, ia boleh mengawini wanita beriman dari budak-budak yang kamu miliki: Allah mengetahui keimananmu, sebahagian kamu adalah sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya, dan berilah mas kawinnya menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai gendaknya.

 

As Sunnah telah meletakkan sebagian qayid-qayid (syarat-syarat) bagi akad nikah. Al Qur’an telah mefardhukan atas seorang laki-laki untuk memberikan mahar bagi seorang wanita, Allah berfirman dalam surat An Nisa’

 

Artinya :

Dan. dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteriisteri yang telah kamu ni’mati (campuri) di antara mereka, berikanlah di antara mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban: dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

 

Al Qur’an menerangkan kedudukan seorang laki-laki terhadap isterinya. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah:

 

Artinya : Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya.

Allah berfirman dalam surat An Nisa” :

 

Artinya :

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Dan Allah berfirman :

 

Artinya :

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu pada tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihata dirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Dalam keadaan Al Qur’an meletakkan asas-asas persamaan hak antara laki-laki dan wanita, maka Al Qur’an memberikan kepemimpinan rumah tangga di tangan suami, dan dia pula sebanyak-banyak orang yang diperintah untuk berbuat baik dalam pergaulan sebagaimana As Sunnah pun memperbanyak perintah dalam pergaulan tersebut.

Allah mensyari’atkan aturan perceraian, sebagaimana mensyari’atkan aturan bermasyarakat, Allah tidak menjadikan thalak itu sebagai sesuatu yang tidak beraturan, bahkan perceraian itu menjahit akad perkawinan dengan memeliharanya dari tindakan yang terjadi sewaktu-waktu, dan ambillah keterangan itu dari hal-hal sebagai berikut :

 

  1. Allah meragukan terhadap perasaan seseorang/ketika menjumpai sesuatu yang dibencinya. Allah berfirman dalam surat An Nisa’

 

Artinya :

Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Inilah pengertian hadits :

 

Artinya :

Janganlah seorang mu’min laki-laki menggosok (menceraikan – pen) terhadap wanita mu’min jika laki-laki itu membenci kepada suatu pekertinya (wanita mu’min) dan senang kepada pekertinya yang lain. Demikian juga Allah menggemarkan terhadap wanita untuk mencari perdamaian, Allah berfirman dalam surat An Nisa’ :

 

Artinya :

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).

 

  1. Allah menyuruh untuk mengangkat hakam ketika dikhawatirkannya persengketaan (syigag). Allah berfirman dengan mengkhithab (menujukan pembicaraan) kepada kaum muslimin dalam surat An Nisa” :

 

Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkan hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

 

Firman ini ditujukan kepada seluruh orang yang beriman, di mana pengganti (naib) mereka yaitu ulul amri (pemerintah) melaksanakannya.

 

  1. Setelah dilaksanakannya perintah . tersebut, jika perceraian tidak dapat dihindarkan maka agar percerai“an itu dijatuhkan pada permulaan ‘iddah yaitu suci yang tidak dipergaulinya. Allah Yang Maha Besar berfirman dalam surat Ath Thalaq :

 

Artinya :

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteriisterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka agar (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kamu kepada Allah Tuhanmu.

 

Rasulullah s,a.w, mencela Ibnu Umar ketika melakukan perceraian yang bertentangan dengan hal tersebut, dan beliau menyuruhnya untuk ruju’ dan agar mencerainya apabila ia berkehendak, sesuai dengan perintah Al Qur’an,

 

4, Dalam surat Ath Thalaq Allah menyuruh kepada isteri agar ia tetap tinggal di rumah suaminya selama masa iddah, selagi padanya tidak terdapat hal-hal yang mewajibkannya keluar dari pada rumah itu :

 

Artinya : Janganlah kamu mengeluarkan mereka dari rumah mereka dan jariganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukumhukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu yang baru.

 

Kalimat yg akhir ini menerangkan sebab. yang karenanya isteri itu diperintah untuk menetap di rumahnya.

 

  1. Apabila wanita itu telah sampai pada masa yang diperintahkan untuk menanti, maka suami agar memilih untuk ruju’ (kembali) atau menceraikannya dan agar masing-masing (ruju” atau cerai) disaksikan oleh saksi. Allah berfirman dalam surat Ath Thalag :

 

Artinya :

Apabila mereka telah sampai akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. –

 

Dan Allah menjadikan suami itu lebih berhak terhadap wanita itu selama iddahnya belum habis. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.

 

  1. Allah memerintahkan adanya iddah, dan iddah itu berbeda-beda. Wanita yang berhaidh iddahnya tiga kali – suci, Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali suci.

 

Bagi wanita yang sudah lepas haidh dan yang tidak haidh,iddahnya adalah tiga bulan. Allah berfirman dalam surat Ath Thalaq :

 

Artinya : Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haidh di antara perempuan-perempuanmu | jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan: dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh. Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu jalah sampai ia melahirkan kandungannya.

 

Allah mema’afkan wanita yang tidak dicampuri oleh suaminya dalam masa iddah, maka Allah berfirman dalam surat Al Ahzab :

 

Artinya : Bila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.

 

Dan Allah menyuruh laki-laki untuk bertindak halus kepada isteri yang dalam masa iddah. Allah berfirman dalam surat Ath Thalaq :

 

Artinya : Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka: dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah dithalaq) itu perempuan-perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik, tetapi jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Orang yang mampu hendaknya memberi nafkah menurut kemampuannya: dan orang yang disempitkan rizkinya hendaknya memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya: Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.

 

  1. Allah menyuruh untuk memberi kesenangan kepada wanita apabila dicerai dengan sesuatu yang menghiburnya, Dan hal itu dijadikan sebagai hak yang wajib bagi wanita yang dicerai sebelum digauli, dan pemberian itu tidak disebut maskawin. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah : :

 

Artinya :

Tidak ada sesuatupun (mahar atau dosa) , atas kamu, jika kamu menceraikan isteriisterimu sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan Mut’ah (pemberian) kepada mereka, orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang . miskin menurut kemampuannya (pula) yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang yang berbuat kebajikan.

 

Kemudian Allah menyebutkannya dengan lafazh ‘am dengan firmanNya :

 

Artinya : Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.

 

Allah berfirman tentang wanita yang ditalak sebelum digauli, dalam surat Al Ahzab :

 

Artinya :

Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaikbaiknya.

 

Allah menjadikan separoh maskawin bagi wanita yang dicerai sebelum digauli dan telah ditentukan maskawinnya. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebe. lum kamu bercampur dengan mereka padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah separoh dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.

 

  1. Allah melarang orang laki-laki untuk mengambil sesuatu yang telah diberikannya, Allah berfirman dalam surat An Nisa :

 

Artinya :

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?

 

Allah memberikan kemurahan dalam pengambilan itu apabila keduanya khawatir bahwa masing-masing tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah, dengan firman-nya dalam surat Al Baqarah:

 

Artinya :

 Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khayatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.

 

  1. Allah membuat percobaan cerai dua kali, Allah ber. firman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

 

Apabila suami telah menceraikannya ketiga kali, maka wanita itu haram atasnya sampai akhir, dan wajib atas masing-masingnya untuk mencari kawin lain.

 

Artinya : Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua kali), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, sampai dia kawin dengan suami yang lain.

 

Sesudah wanita itu mencoba suami lain dan mencerainya maka boleh suami pertama untuk memperisterikan untuk yang kedua kalinya,

 

Artinya :

Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diterangkanNya – kepada kaum yang mau mengetahui.

 

Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a., bahwa thalak tiga kali adalah satu (satu perceraian) pada masa Rasulullah s.a.w. Demikian itu Allah lebih mengetahuinya karena dimurahkannya (ditolerirnya) suami mengharamkan isteri atas dirinya selamanya dalam satu kali cerai, akan menyia-nyiakan keistimewaan-keistimewaan yang dipahami dari nash-nash Al Qur’an dalam menjadikan perceraian yang di dalamnya ada ruju’ dua kali dan mengharamkan pada yang ketiga kalinya. Al Qur’anul karim menyebutkan macam-macam perceraian yang dianggap cerai pada masa Jahiliyah, dan Al Qur’an telah menyatakan aturannya :

 

  1. Ila’ yaitu suami bersumpah untuk tidak mendekati isterinya, Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Kepada orang-orang yang men-ila” isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Tahu.

 

Zhahir dari susunan ayat itu adalah syari” memberikan pada suami, suatu masa yang lama yang memungkinkan untuk memelihara sumpahnya selagi masa itu belum habis. Apabila ia kembali pada masa itu maka Allah mengampuni sumpahnya, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat yang telah lampau :

 

Artinya :

Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

 

  1. Zhihar, dan ia merupakan satu macam pengharaman (terhadap isteri = pent) di kalangan bangsa Arab, yaitu laki-laki mengharamkan isterinya dengan menyatakan kepadanya : “Kamu atasku seperti punggung ibuku”. Dan Allah telah menurunkan hal tersebut pada awal surat Al Mujadalah :

 

Artinya : Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (perbuatan mereka itu tidak benar, karena) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enampuluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan RasulNya. Dan itulah hukum-hukum Allah.

 

Dengan demikian nyatalah bahwa aturan yang dibuat untuk perceraian adalah aturan yang baik, seandainya peraturan itu diikuti niscaya seluruhnya baik, karena perceraian itu tidak mengharuskan atas suami untuk tetap bersama isterinya jika di antara keduanya terdapat sesuatu yang sangat dibenci seperti perbedaan akhlak. Dan Allah tidak menjadikan masalah perceraian itu mudah tanpa jaminan.

 

Dan syara” mewajibkan atas isteri apabila suaminya meninggal untuk meninggalkan berhias diri, Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklan para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiadalah berdosa bagimu (para. wali) membiarkan mereka berbuat pada diri mereka menurut apa yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

 

Dan syara” menjadikan hak bagi wanita itu untuk tinggal di rumah perkawinan itu selama satu tahun dengan diberi nafkah dari tinggalan suaminya, jika ia mau,

 

Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya : Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma’ruf pada diri mereka. Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

 

Renungkanlah dua ayat itu sebentar nyatalah bahwasanya kamu tidak meniadakan di antara keduanya karena ayat yang pertama memberitakan tentang kewajiban atas isteri dan ayat yang kedua memberitakan tentang hak isteri.

 

Allah melarang berterus terang meminang wanita yang dalam ‘iddah karena kematian suami, dan diperkenankan dengan sindiran, Allah berfirman dalam surat Al Bagarah :

 

Artinya :

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanitawanita itu dengan sindiran yang baik atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu, mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beragad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu: maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

 

Al Qur’an menuntut terhadap ibu yang diceraikan untuk menyusui anaknya, Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajib. an ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak di. bebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh -orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

 

Sebagian dari hal-hal yang disebutkan oleh Al Qur’an yang senada dengan aturan rumah tangga ialah :

 

  1. Hal-hal yang diwasiatkan atas para penegak (pengurus) anak yatim. Allah Yang Maha Besar berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak “yatim, katakanlah: : Mengurus urusan mereka secara Patut adalah lebih baik, dan jika kamu mengyauli mereka, maka mereka adalah saudaramu”, “

 

Allah berfirman dalam surat An Nisa” :

 

Artinya :

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta-harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka (dengan jalan mencampur adukannya) kepada hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar.

 

Allah berfirman dalam surat itu juga :

 

Artinya : Dan ujilah anak yatim Itu sampal mereka cukup umur untuk kawin, Kemudian Jika ma. nurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkaulah kepada mereka harta-hartanya, Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batan kepatutan dan (janganlah kamu) teryesu-yesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewam, Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mam. pu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut sepatutnya. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta’ kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

 

Kemudian Allah berfirman :

 

Artinya :

Dan hendaklah takut kepada Allah orang orang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

 

Dan Allah Yang Maha Suci berfirman dalam hal-hal yang diperintahkan sehubungan dengannya :

 

Artinya : Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil.

 

  1. Wasiyat. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,

(Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah ‘Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

As Sunnah menguatkan pengertian ini dan beliau s.a.w. bersabda :

 

Artinya :

Hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang diwasiatkan dalam keadaan ia tinggal bermalam satu malam hanyalah menuliskan wasiatnya di sisinya.

 

3, Kesopanan minta idzin.

Allah Yang Maha Besar berfirman dalam surat An Nur :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu, sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk, sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu : Kembalilah”, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.

 

Allah berfirman dalam surat itu juga :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta idzin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari, yaitu) : sebelum sembahyang Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya ! (Itulah) tiga macam aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bila anak-anakmu sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta idzin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta idzin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

 

Allah berfirman :

 

Artinya :

Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, sebenar benar salam dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.

 

Dan Allah berfirman secara khusus tentang rumah Nabi s.a.w. dalam surat Al Ahzab :

 

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diidzinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya): tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan: karena yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar). Tetapi Allah tidak malu (menerangkan) yang benar,

 

  1. Kesopanan tabir.

Tabir itu ada dua macam yaitu :

 

  1. Yang berhubungan dengan wanita dalam pakaian, perhiasan dan pandangannya kepada laki-laki dan pandangan laki-laki kepadanya,
  2. Yang berhubungan dengan wanita waktu keluar dari rumahnya, dan pergaulannya dengan laki-laki dalam pekerjaan.

 

Tentang yang pertama Allah berfirman dalam surat An Nur :

 

Artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya: yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.

 

Katakanlah kepada wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-pute. ra saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

 

Allah berfirman dalam surat Al Ahzab :

 

Artinya :

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang-orang mu’min : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Allah berfirman dalam surat An Nur :

 

Artinya : Dan perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin berkawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

 

Tentang yang kedua, maka Allah berfirman dengan mengkhithab (menujukan pembicaraan) kepada isteriisteri Nabi s.a.w. dalam surat Al Ahzab :

 

Artinya :

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan  janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.

 

Dan Allah berfirman tentang mereka :

Mempusakai (menerima warisan) itu telah dikenal di kalangan bangsa Arab, dan pedomannya adalah perwalian. Orang yang mempusakai terhadap orang yang meninggal adalah orang yang paling dekat perwaliannya yaitu anaknya yang menolongnya. Oleh karena itu pewarisan itu terbatas pada anak laki-laki karena dialah yang akan membela dan mempertahankannya: selain anak laki-laki tidak mendapat bagian. Orang yang paling dekat perwaliannya sesudah anak laki-laki adalah ayah, saudara laki-laki, paman (dari pihak ayah) dan seterusnya menduduki kedudukan anak laki-laki.

 

Ketika Islam datang, maka Islam mengekalkan.kaidah perwalian itu: hanya saja Islam membuat asas perwaliannya adalah Islam dan hijrah karena Islam bertujuan membentuk ummat yang anggauta-anggautanya terikat dengan suatu ikatan yang kuat. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al Anfal :

 

Artinya :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan terhadap orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka, Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan, Adapun orang-orang yang kafir, sebahagian mereka menjadi pelindung bagi sebahagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, (begitu pula) orang-orang yang memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki (n”mat) yang mulia. Adapun orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga).

 

Dengan undang-undang ini maka terputuslah ikatan perwalian antara orang mu’min yang hijrah dengan orang lain yang tidak iman, atau orang yang iman tetapi tidak hijrah.

 

Islam menjadikan perwalian itu untuk orang yang terdekat, kemudian orang yang terdekat sesudahnya (di bawahnya). Allah berfirman :

 

Artinya :

Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. :

 

Allah berfirman dalam surat Al Ahzab :

 

Artinya : Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah dari pada orang-orang mu’min dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).

 

Allah Ta’ala berfirman dalam surat An Nisa’ :

 

Artinya :

Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu .telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

 

Perwalian akad itulah yang dikenal dengan perwalian muwalah yaitu sesuatu yang ditinggal oleh orang yang meninggal dunia untuk saudara-saudaranya setelah anak-anak dari kedua orang tua (ibu bapa), kerabat-kerabat dan orangorang yang terikat dengan sumpah. Pada masa Jahiliyah, seseorang itu mengikat perwalian antara dia dan laki-laki lain untuk saling tolong-menolong dan waris-mewarisi, dan Islam tidak membatalkan perwalian ini.

 

Islam meruntuhkan kaidah Jahiliyah yang membatasi pemilikan tinggalan (tirkah) atas orang laki-laki. Allah berfirman dalam surat An Nisa’

 

Artinya :

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.

 

Seluruhnya ini adalah kaidah-kaidah umum, yang di dalamnya tidak dijelaskan bagian masing-masing pewaris. Itu seluruhnya berdasarkan kaidah yang berangsur-angsur dalam pembinaan hukum yang penuturannya telah kami kemukakan kepadamu.

 

Allah s.w.t. memerintahkan kepada pemilik harta untuk menerangkan harta yang mau diberikan kepada dua orang tua dan kerabat-kerabatnya. Maka Allah menurunkan ayat wasiyat yang telah kami kemukakan, kemudian agar dia menerangkan apa yang wajib diambil oleh setiap waris dari anak-anak dan selain mereka. Dalam pada itu ia me. melihara kaidah melebihkan laki-laki atas perempuan apabila derajat kekerabatan mereka kepada mayat itu sama, kecuali dalam saudara seibu karena zhahir Al Qur’an memberi pengertian untuk menyamakan antara mereka, meskipun dalam maslahah itu tidak ada nash. Allah Yang Maha Besar PenuturanNya berfirman tentang warisan anak-anak dalam surat An Nisa’ : ,

 

Artinya :

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu : Bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. Jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua orang anak perempuan maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan: jika anak perempuan itu hanya seOrang saja, maka ia memperoleh separo harta.

 

Allah berfirman tentang warisan bagi kedua orang tua :

 

Artinya :

Dan untuk dua orang ibu bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapanya (saja) maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai saudara maka ibunya mendapat seperenam.

 

Allah berfirman tentang warisan suami isteri :

 

Artinya :

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri mendapat seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyal anak, Jika kamu mempunyai anak, maka para Isteri mendapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan,

 

Allah berfirman tentang warisan anak-anak ibu :

 

Artinya :

Jika seseorang mati, baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.

 

Allah berfirman tentang warisan saudara-saudara sebagai ‘ashabah :

 

Artinya :

Mereka minta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : jika seorang meninggal dunia, dan ja tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak: tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu tordiri dari) saudara laki-laki dan saudara perem-. puan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.

 

Allah menjadikan agar warisan itu diakhirkan dari wasiat dan hutang (wasiat dan hutang dibayar dahulu – pent). Rasulullah s.a.w. bersabda :

 

Artinya : Berikanlah bagian-bagian itu kepada ahlinya dan sisanya untuk laki-laki yang terutama (terdekat). Dengan ini diketahuilah warisan orang yang tidak disebutkan oleh Al Qur’an yakni paman-paman (dari pihak ayah) dan anak-anak paman (dari pihak ayah).

Yang dimaksud dengan mu’amalah adalah seluruh akad yang dengannya manusia saling tukar-menukar kebutuhan. Al Qur’an telah mengemukakannya dengan global kaidah-kaidah umum, seraya menyerahkan perinciannya kepada para mujtahid dari umat ini (Islam). Sebagian dari kaidah-kaidah umum (kaidah kulliyah) adalah sebagai berikut :

 

  1. Allah menyuruh secara ‘am (umum) untuk memenuhi janji. Allah berfirman dalam surat Al Maidah :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. . Ayat ini adalah kata-kata yang mencakup seluruh kemestian-kemestian yang wajib (ditunaikan – pent), oleh manusia kepada manusia.

 

  1. Allah melarang memakan harta manusia secara batal dan memberikannya kepada para hakim. Allah bertfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batal dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim-hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada hartabenda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

 

Allah memperkenankan laba dari berdagang, dengan firmanNya dalam surat An Nisa” :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antaramu.

 

Ketika nash ini menjadi tempat dugaan dari terlarangnya manusia memakan harta apapun milik orang lain, meskipun kerabatnya, maka Allah Yang Maha Besar penuturanNya berfirman dalam surat An Nur :

 

Artinya :

Tidak ada larangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang yang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan di rumah kamu sendiri (sedang mereka makan bersama kamu, begitu juga) di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada larangan bagi kamu makan bersama-sama atau sendirian.

 

  1. Al Qur’an mengemukakan dengan sifat khusus bagi jual-beli yang merupakan sepenting-penting pertukaran, Allah menyebut halalnya jual beli dan haramnya riba. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

 

Kemudian Alah berfirman :

 

Artinya :

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafirannya dan selalu berbuat dosa.

 

Allah berfirman :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah dia tangguh sampai dia berkelapangan. Dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengerti.

 

Allah berfirman dalam surat Al ‘Imran :

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda.

 

Al Qur’an tidak menjelaskan apa hakikat jual beli dan apa riba itu ? Mencukupkan dengan apa yang sudah dikenal oleh para pendengar, karena mereka selalu berjual beli dan berhutang sampai suatu masa. Apabila masanya telah sampai maka orang yang menghutangi berkata kepada orang yang hutang : ”Bayarlah atau ribakanlah”. Jika ia tidak menunaikannya maka hutangnya dilipatkan. Jika hutang itu berupa onta yang berumur setahun, maka dikembalikannya dengan onta yang berumur tahun berikutnya (dua tahun). Jika hutang itu secibuk bahan makanan maka dikembalikannya dua cibuk bahan makanan.

 

Al Qur’an telah menerangkan bahwa riba itu betlawanan dengan prinsip toleransi yang dikuatkan oleh syari’at Islam. Allah berfirman dalam surat Ar Rum :

 

Artinya :

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai ridha Allah, maka orang-orang yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipat-gandakan (pahalanya).

 

Yang dipahami dari adat istiadat Arab dan sebagian hadits bahwa riba adalah tambahan sebagai imbalan dari penundaan hutang bagi orang yang tidak mampu memenuhinya.

 

Sebagian dari kaidah-kaidah yang penting yang di. bawa Al Qur’an adalah aturan tentang pencatatan hutang yang, berjangka yang untuk itu telah turun ayat yang terpanjang dalam Al Qur’an dan ayat itu termasuk ayat yang terakhir turunnya, Allah Ta’ala berfirman ‘

 

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah, tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Maka jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan, dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika yang seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi menyulitkan dan dipersulit. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan ia takwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksiannya. Dan barangsapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnva ia orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

 

Setelah itu, As Sunnah menerangkan banyak dari mu’amalah tentang keputusan-keputusan Nabi, dan seluruhnya itu adalah penerapan atas perintah-perintah Al Qur’an yang ‘am, atau perincian bagi mujmalnya, atau gavid bagi kemutlakannya. Dan akan kami sebutkan sedikit ketika menerangkan ijtihad kaum muslimin dalam menastimbatkan hukum.

 

Kebanyakan hukuman yang diancamkan kepada orang, Orang yang berbuat dosa adalah siksaan-siksaan akhirat, Al Qur’an banyak menyebutkan dari tindakan-tindakan pidana kemudian diterangkannya.

 

Adapun hukuman-hukuman duniawi maka Allah telah menentukan dalam kitabNva ada lima macam yaitu :

 

  1. Qishash.

Sudah diketahui bahwa bangsa Arab telah mempunyai aturan-aturan yang didapati oleh adat dan kebiasaan, Seluruh kabilah telan bertanggung jawab terhadap tindak pidana anggautanya, kecuali apabila kabilah itu mengumumkan tebusan dalam masyarakat umum. Oleh karena itu, jarang wali dari orang yang kena pidana cukup menerima gishash dari orang yang melakukan tindak pidana, lebih-lebih apabila orang yang kena tindak pidana orang yang mulia atau tuan di kaumnya, bahkan mereka meluaskan tuntutan mereka dengan suatu perluasan yang kadang-kadang sampai menjadikan perang antara dua suku. Dan kebanyakan suku dari pelaku pidana melindunginya, maka yang demikian ini menyebabkan keburukan-keburukan dan perang-perang yang kadang-kadang penyelesaiannya berkepanjangan (berlarut-larut), Maka Al Qur’an datang membatasi orang yang bertanggung jawab dalam gishash dimana Al Qur’an hanya membatasi atas pelaku pidana sendiri.

 

Allah berfirman dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu gishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh: orang yang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.

 

Al Qur’an menjelaskannya bahwa orang yang melakukan pidana itu sendiri yang dituntut dengan tindak pidananya.

 

Kemudian Al Qur’an menjelaskan tentang pentingnya aturan qishash dalam hidup ini dengan ungkapan yang petah, ringkas dan halus. Allah berfirman :

 

Artinya :

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.

 

Pengertian ini dipahami secara global dari firman Allah Ta’ala dalam surat Al Isra ! Makkiyah :

 

Artinya : Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh, karena sesungguhnya ia adalah orang yang men. dapat pertolongan.

 

Ini adalah aturan Arab yang dikekalkan oleh Al Qur’an yaitu memberikan kekuasaan dalam tuntutan qishash bagi wali orang yang terbunuh.

 

 Dan aturan diyat (tebusan) itu dilaksanakan di kalangan bangsa Arab maka Al Qur’an mengekalkannya dan menunjukkannya dengan firman Allah dalam surat Al Baqarah :

 

Artinya :

Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang pedih.

 

Allah berfirman dalam surat An Nisa’:

 

Artinya :

Dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (tidak sengaja) hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (siterbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Maka barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat daripada Allah. Dan adalah Allah Maha Menge. tahui lagi Maha Bijaksana.

 

As Sunnah telah menjelaskan aturan diat dan mengem. balikan sebagian diyat kepada orang yang kena diyat yaitu sisa dari kemampuan pertanggungan jawab. Al Qur’an memberitakan tentang aturan kitab Taurat tentang qishash dari ujung-ujung anggauta badan. Allah berfirman dalam surat Al Maidah :

 

Artinya :

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. ‘Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.

 

2, Had pezina. Dalam Al Qur’an Allah telah menentukan had pezina yaitu seratus kali dera tanpa terpisah. Allah berfirman dalam surat An Nur :

 

Artinya :

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.

 

Dari Al Qur’an menjadikan had bagi amat (budak wanita) yang berzina separoh daripadanya.

 

Allah berfirman dalam surat An Nisa’

 

Artinya :

Maka bila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merde. ka yang bersuami.

 

Dan As Sunnah telah datang dengan merajam pe, zina yang muhshan. Dalam shahih Muslim tercantum bahwa Abu Ishag Asy Syaibani bertanya kepada Abdul. lah bin Abi Aufa : ”Apakah Rasulullah s.a.w. merajam ?” Ia menjawab : ”Ya”. Ia bertanya : “Sesudah turun surat An Nur ataukah sebelumnya ?” Ia menjawab : “Saya tidak tahu”,

 

  1. Had penukas (menuduh berzina). Dalam Al Qur’an Allah menentukan had atas orang yang menukas wanita yang muhshan, delapan puluh jilidan. Allah berfirman dalam surat An Nur :

 

Artinya :

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak membawa empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang taubat sesudah itu, dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Allah menjadikan aturan khusus bagi suami, apabila menukas isterinya.

Allah berfirman dalam surat itu juga (An Nur) –

 

Artinya :

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi kecuali diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali sumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya ia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan kelima bahwa la’nat Allah atasnya jika ia termasuk orang-orang yang dusta.

 

Ketika sumpahnya dengan nama Allah menduduki kedudukan empat orang saksi, maka Al Qur’an memberikan jalan bagi isteri untuk membersihkan dirinya. Setelah itu Allah berfirman :

 

Artinya :

Isterinya itu dapat dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah bahwa suaminya itu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang dusta. Dan sumpah kelima bahwa la’nat Allah (akan ditimpakan) atasnya jika suaminya itu termasuk orang: orang yang benar.

 

Merenungkan sekilas tentang dua ayat yang mulia itu tampaklah bahwa pokok persoalannya adalah menetapkan pidana zina itu dari suaminya, dan menolaknya dari isteri, dan hal itu tidak termasuk persoalan yang berhubungan dengan perkawinan dan anak.

 

4, Had pencuri.

Allah menentukan pemotongan tangan pencuri. Allah berfirman dalam surat Al Maidah :

 

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka telah kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

Maka barangsiapa taubat (di antara pencuripencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

  1. Had penyamun.

Allah Ta’ala menentukan balasan para penyamun. Allah berfirman dalam surat Al Maidah :

 

Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediam. annya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka peroleh siksaan yang besar, Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasn (menangkap) mereka: maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Di dalam Al Qur’an tidak terdapat balasan (hukuman) selain apa yang telah kami sebutkan itu.

 

Dan As Sunnah telah menerangkan had yang keenam yaitu had bagi peminum khamer, dimana Rasulullah s.a.w. telah menghadnya.

 

Pokok-pokok yang dipegangi oleh Al Qur’an dalam had adalah :

 

  1. Kebaikan umat, Allah telah berfirman tentang qishash :

 

Artinya :

Dan dalam gishash itu ada (jaminan kelang sungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.

 

2, Mengekang pelaku didana sehingga tidak mengulangi lagi tindak pidananya itu. Allah berfirman tentang balasan pencuri laki-laki dan pencuri wanita :

 

Artinya :

(Sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka telah kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dash Allah berfirman tentang labasan penyamun :

 

Artinya :

Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia.

 

As Sunnah telah memerintahkan untuk berhati-hati dalang menjatuhkan hukuman-hukuman ini sehingga penegahan itu teguh dengan adanya had itu, dan meringankan dengan berhati-hati dalam menetapkannya. Telah terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh ummul mu’minin Aisyah dan dikeluarkan (ditakhrij) oleh At Turmudzi :

 

Artinya :

Tangkislah had-had itu dari kaum muslimin menurut kemampuanmu. Jika dia mempunyai “jalan keluar (way out) maka tempuhlah jalan itu. Karena sesungguhnya imam itu, jika keliru dalam memberi ma’af adalah lebih baik daripada ia keliru dalam menghukum.

 

Inilah yang diwahyukan oleh Allah kepada Muhan. mad s.a.w., dan beliau diperintah untuk Menyampaikan dan menerangkannya kepada manusia. Maka beliau me, nyampaikan kerisalahan itu sebagaimana diperintahkay kepada beliau dan beliau menerangkan dengan sunnah amaliyyah (praktek) dan gauliyyah (sabda-sabda) kepada manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka,

PERIODE KEDUA PEMBINAAN HUKUM PADA MASA SHAHABAT—SHAHABAT BESAR 11 S/D 40 Hijriyah.

Rasulullah s.a.w. wafat dan Abu Bakar r.a. menjabat sebagai khalifah. Pada masa itu ia menjumpai sebagian besar bangsa Arab berpaling dari Islam. Cita-cita yang mantap dari Abu Bakar dan kekuatan iman dalam hati orang Muhajirin dan Anshar adalah obat yang paling berguna untuk mengokohkan tiang-tiang Islam. Maka ia menyiapkan beberapa balatentara yang menegakkan daerah dan mengembalikan persatuan Arab. Sesudah hal itu sempurna maka oleh Abu Bakar bala tentara itu dikirim ke Irak dan Syam, untuk menyiarkan da’wah Islam pada kerajaan Persi dan Rumawi, dan Abu Bakar meninggal sebelum hal itu terealisir dan belum diketahui siapa yang akan melanjutkannya.

 

Kemudian datanglah Umar, maka di atas tangannya sempurnalah penaklukan-penaklukan, dan kaum muslimin memerintah dari timur atas sebagian besar Persi hingga sampai sungai Jihon (Amudariya), dari utara atas Suriyah dan negeri Armenia. Dari barat atas Mesir. Pada zamannya dibangun kota-kota besar Islam seperti Fusthath, Kufah dan Bashrah. Dan sebagian besar kaum muslimin tinggal di sana, di antara mereka banyak terdapat shahabat. Banyak orang-orang yang bukan bangsa Arab memasuki Islam..

 

Pada masa Usman penaklukan-penaklukan itu meluas ke timur dan barat, hanya saja bangunan yang tinggi itu hampir tidak sempurna, karena tertimpa dengan pertarungan hebat, yaitu kehebohan melawan amirul mu’minin Utsman» bin Affan r.a. yang dimulai dengan permufakatan orang-orang yang membencinya dan berakhir dengan tindakan kumpulan tiga negara besar ke Madinah dimana mereka menghabisi hidupnya (Utsman). Hal itu menjadi sebah perpecahan pendapat kaum muslimin, yaitu satu golongan yang dendam atas Utsman dan mereka adalah orang-orang yang membai’at Ali bin Abu Thalib r.a., dan satu golongan yang dendam atas terbunuhnya Utsman dan mereka adalah orang-orang yang mengikuti Mu’awiyah bin Abu Sofyan r.a, Tempat tinggal golongan pertama adalah Kufah ibukota negeri Iraq dan tempat tinggal golongan yang kedua adalah Damaskus ibukota negeri Syam. Dua golongan itu saling membenci dan yang satu mengutuk yang lain dan akhirnya masalah itu, menimbulkan perang besar antara dua golongan itu di padang Shifin. Orang-orang yang berperang dari dua kelompok itu adalah orang-orang pilihan kaum muslimin di dunia Islam, dan peperangan itu tidak berakhir dengan kemenangan yang memutuskan bagi salah satu dua golongan itu, karena penduduk Syam minta berunding dengan: kitabullah dan sebagian besar penduduk Irak mengabulkannya. Perundingan ini mengandung kekuatan bagi golongan pertama yaitu kelompok Mu’awiyah, dan kelemahan bagi kelompok kedua yaitu kelompok Ali karena pada tentaranya ada orang-orang yang mencela perundingan itu dan mengutuk orang-orang yang menyetujuinya sehingga Ali sibuk melawan mereka yang semakin bertambah kuat. Dan hal itu berakhir dengan terbunuhnya Ali dengan pembunuhan curi oleh salah seorang Khawarij. Dengan terbunuhnya Ali sebagian besar (kaum muslimin) berkumpul di bawah Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

 

Masa itu berakhir dan kaum muslimin telah terpecah-belah politiknya menjadi tiga golongan :

  1. Jumhur (sebagian besar) kaum muslimin, merekalah yang ridha terhadap Mu’awiyah dan pemerintahannya.
  2. Syi’ah yaitu orang-orang yang tetap mencintai Ali dan keluarganya.
  3. Khawarij yaitu orang-orang yang dendam atas Utsman,

 

Ali dan Mu’awiyah seluruhnya. Masing-masing tiga golongan ini membawa pengaruh khusus dalam pembinaan hukum Islam, dan akan nyata dalam periode berikutnya.

Telah kami terangkan di atas bahwa Al Qur’an itu turun dengan berkelompok-kelompok. Setiap kali ayat. ayat Al Qur’an turun maka Rasulullah menyampaikan. nya kepada sebagian besar kaum muslimin dan beliau me. nyuruh para penulis wahyu untuk menuliskannya. Di antara mereka ada yang mencukupkan diri dengan menghafal apa yang diperolehnya dan ada juga yang menulisnya. Rasul menentukan ayat-ayat dan surat-suratnya. Beliau wafat dan Al Qur’an belum terkumpul dalam satu mushhaf, namun Al Qur’an telah terpelihara di dada para penghafal Al Qur’an (huffazh), di lembaran-lembaran para penulis wahyu dan lembaran-lembaran lain yang ada di tangan para penulisnya. Jumlah orang yang hafal Al Qur’an pada masa Nabi adalah banyak dan sebagian dari mereka ada yang hafal Al Qur’an seluruhnya.

 

Pada awal masa Abu Bakar r.a. terjadilah peristiwa yang memberi perhatian terhadap wajibnya mengumpulkan seluruh Al Qur’an dalam satu mushhaf, demikian itu pada peperangan Yamamah ada sejumlah besar penghafal Al Qur’an yang gugur syahid, sehingga dengan demikian Abu Bakar mengkhawatirkan terhadap Al Qur’an.

 

Al Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Zaid bin Tsabit berkata : Abu Bakar memanpgil saya pada perang Yamamah, tiba-tiba Umar bin Khathab di sisinya, maka Abu Bakar berkata : “Sesungguhnya Umar datang kepada: ku dan ia berkata, bahwa pada peperangan Yamamah banyak para pembaca (Qurra”) Al Qur’an yang terbunuh dan saya khawatir bahwa peperangan di negara-negara lain membawa korban para qurra’ sehingga banyak dari Al Qur’an itu hilang dan sesungguhnya saya berpendapat agar engkau memerintahkan untuk mengumpulkan Al Qur’an”. Saya berkata kepada Umar : “Kami memperbuat apa yang tidak diperbuat oleh Rasulullah s.a.w.”. Ia berkata : “Demi Allah,itu baik”, Umar senantiasa pulang balik kepadaku sehingga Allah membuka dadaku untuk itu, dan dalam hal ini saya berpendapat seperti pendapat Umar”. Zaid berkata : Abu Bakar berkata kepadaku : “Sesungguhnya kamu pemuda yang berakal, saya amat gemar padamu dan kamu dulu selalu menulis wahyu bagi Rasulullah s.a.w. dan periksalah Al Qur’an maka kumpulkan Al Qur’an itu”. Maka demi Allah seandainya mereka membebani saya untuk memindahkan suatu gunung, niscaya hal itu tidak seberat mengumpulkan Al Qur’an yang dibebankan kepadaku”. Saya berkata : “Bagaimana engkau memperbuat sesuatu “yang tidak diperbuat oleh Rasulullah s.a.w. ?” Ia berkata : “itu adalah baik”, dan Abu Bakar senantiasa pulang balik kepadaku sehingga Allah membuka dadaku kepada sesuatu dibukakan ke dada Abu Bakar Umar r.a. Maka saya memeriksa Al Qur’an.dan mengumpulkannya dari pelepah korma atau batu tipis dan hafalan-hafalan orang-orang sehingga saya mendapatkan akhir surat At Taubat pada Abu Khuzaiman Al Anshari dimana saya tidak mendapatkan ayat itu pada seorangpun selain dia

 

hingga akhir surat Bara’ah. Lembaran-lembaran itu di temt Abu Bakar sehingga Allah mewatatkannya, kemudian di tempat Umar di masa hidupnya, kemudian di tempat afshah binti Umar.

 

Dalam Al Itqan, As Suyuthi meriwayatkan, ia berkata : Harits Al Muhasibi berkata dalam kitabnya Fahmus Sunan : “Penulisan Al Qur’an bukanlah hal baru, karena beliau s.a.w. selalu memerintah untuk menuliskannya, tetapi tulisan itu terpisah-pisah dalam kertas tulis, tulang-tulang belikat dan pelepah kurma. Ash Shiddiq hanyalah memerintah untuk menyalinnya dari satu tempat ke tempat yang lain menjadi terkumpul. Dan hal itu menduduki kertas-kertas yang ter, dapat dalam rumah Rasulullah s.a.w., yang di dalamnya terdapat Al Qur’an yang berserakan maka seorang mengum pulkan dan mengikatnya dengan benang sehingga sedikit. pun tidak hilang.

 

Zaid bin Tsabit termasuk penghafal Al Qur’an dan penulis wahyu. Dalam pada itu ia tidak mencukupkan dengan hafalannya dan tulisannya, namun ia minta tolong terhadap hatalan para huffazh, lembaran para penulis dan tulisan yang terdapat di rumah Rasulullah s.a.w. Ia me. nyempurnakan pengumpulan di hadapan orang banyak dari Muhajirin dan Anshar dan dengan kerja Abu Bakar dan Umar r.a., maka Allah s.w.t. menyempurnakan apa yang terkandung dalam firmannya.

 

Artinya :

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami (pulalah) yang memeliharanya.

 

Lembaran-lembaran ini sebagaimana keterangan yang lampau berada di tempat Abu Bakar, kemudian Umar dan Hafshah binti Umar ibu orang-orang mu’min. Pada masa khalifah ketiga yaitu Utsman bin Affan r.a. ia merasa wajib untuk menyiarkan mushhaf ini ke dalam negara-negara besar Islam.

 

Yang menjadikan ia merasa demikian adalah para penghafal telah terpencar dalam negara-negara besar dengan membacakan Al Qur’an namun di antara mereka terdapat sedikit perbedaan dalam sebagian huruf-huruf Al Qur’an karena mengikuti bahasa mereka. Hal itu mengajak kepada sebagian pembaca (Al Qur’an) melebihkan bacaannya atas yang lain. Hal ini sampai pada Utsman, kemudian ia berpendapat bahwa hal itu merupakan sumber bagi bahaya yang hebat dan wajib dihindarkan. Al Bukhari meriwayatkan dari Aus bahwa Hudzaifah bin Yaman datang kepada Utsman, dan ia memerangi penduduk Syam dalam penakjukan Armenia dan Adzarbijan bersama penduduk Irak. Hudzaifah terkejut terhadap perbedaan mereka dalam bacaan (Al Qur’an – pent), dan ia berkata kepada Utsman : ”Berilah pengertian pada umat, sebelum mereka berselisih seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani”. Maka Utsman mengirim utusan kepada Hafshah : ”Kirimkanlah lembaran-lembaran kepada kami (Utsman),akan kami salin ke dalam mushhaf-mushhaf kemudian kami kembalikan kepadamu”. Maka Hafshah mengirimkannya kepada Utsman dan ia (Utsman) menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam, kemudian mereka menyalinnya dalam beberapa mushhatf. Utsman berkata kepada kelompok orang-orang Quraisy yang tiga : “Apabila kamu dan Zaid bin Tsabit berselisih tentang sesuatu dari Al Qur’an, maka tulislah dengan lidah Quraisy karena sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan dengan lidah mereka”. Kemudian mereka mengerjakannya, setelah mereka selesai menyalin lembaran-lembaran itu dalam beberapa mushhaf, maka Utsman mengembalikannya kepada Hafshah. Kesetiap penjuru ia kirimkan sebuah mushhaf yang telah mereka salin itu dan menyuruh untuk membakar Al Qur’an yang ada dalam tiap-tiap lembaran mushhaf selainnya. Peristiwa itu pada tahun 25 H. Mushhaf yang telah disalin daripadanya (Mushhaf yang di tempat Hafshah) dikirim ke Kufah, Bashrah, Damamskus, Mekah dan Madinah. Dan mushhaf untuk pegangan dirinya terkenal dengan mushhaf Al Imam. Mushhaf itu diletakkan di negara-negara besar yang menjadi pedoman Qurra” dan para huffazh. Dengan amal (karya) Utsman r.a. ini sempurnalah keamanan atas kitabullah dari perbedaan huruf-hurufnya.

 

Adapun sunnah qauliyah (sabda-sabda Nabi – pent) maka tidak memperoleh perhatian seperti ini dalam ‘ mengumpulkannya, bahkan barangkali terdapat pekerjaan negatif untuk mengurangi periwayatannya, sebagai tertera pada contoh berikut :

 

  1. Al Hafizh Adz Dzahabi meriwayatkan dalam Tadzkiratul Hutfazh ia berkata : Dari Marasil bin Abu Mulaikah bahwa Ash Shiddiq mengumpulkan manusia sesudah wafat Nabi mereka dan ia berkata : Sesungguhnya kamu menceriterakan dari Rasulullah s.a.w. hadits-hadits yang mana kamu berbeda-beda di dalamnya dan manusia sesudahmu akan lebih berbeda-beda lagi. Maka janganlah kamu menceritakan sedikitpun dari Rasulullah s.a.w. dan katakanlah : ” Antara kami dan kamu ada kitabullah dan halalkanlah apa yang dihalalkannya dan haramkanlah apa yang diharamkannya”.

 

  1. Al Hafizh berkata, Syu’bah dan lainnya meriwayatkan dari Bayan dari Qirzhah bin Ka’ab, ia berkata : ” Apakah kamu sekalian tahu kenapa saya mengiringkan kamu ?”’ Mereka berkata : ””Ya, sebagai kehormatan kami”. Ia berkata : Dalam pada itu, karena sesungguhnya kamu mendatangi penduduk desa, mereka mendengungkan Al Qur’an seperti berdengungnya lebah. Maka janganlah kamu gaduhkan dengan hadits-hadits yang menjadikan mereka sibuk. Bersihkanlah Al Qur’an dan se: dikitkan riwayat dari Rasulullah dan saya sekutumu”. Ketika ia sampai di Qurzhah mereka berkata : ”Berhaditslah”. Ia berkata : “Umar melarang kami”.

 

  1. Diriwayatkan dari Darawardi dari Muhammad bin Amr bin Abu Salman dari Abu Hurairah saya berkata kepada nya : “Apakah kamu meriwayatkan hadits pada zaman Umar demikian ?” Maka ia berkata : “Seandainya saya meriwayatkan hadits pada masa Umar seperti apa yang saya ceritakan kepadamu, niscaya Umar memukulku dengan alat pemukul.

 

  1. Diriwayatkan dari Ma’nin bin Isa berkata : Malik menceritakan kepadaku dari Abdullah bin Idris dari Syu’bah dari Sa’id bin Ibrahim dari ayahnya bahwa Umar menahan tiga orang yaitu Ibnu Mas’ud, Abu Darda’ dan Abu Mas’ud Al Anshari, maka Umar berkata : ” Sungguh kamu sekalian telah memperbanyak hadits dari Rasulullah s.a.w.”

 

  1. Diriwayatkan dari Ibnu Aliyah dari Raja’ bin Abu Salmah berkata, sampai kepadaku bahwa Mu’awiyah berkata : ”Atasmu dalam berhadits hendaklah seperti apa yang ada pada masa Umar, karena Umar telah menakutpakuti manusia dalam berhadits dari Rasulullah s.a.w.”

 

  1. As Sayuthi berkata dalam ‘Tanwirul Hawalik syarah Muwatha’ Imam Malik, Al Harawi mengeluarkan tentang pembicaraan dari jalan Az Zuhri berkata : ”Urwah bin Zubair menceritakan kepadaku bahwa Umar bin Khathab berkehendak untuk menulis sunnah-sunnah. Dalam hal itu ia bermusyawarah dengan para shahabat Rasulullah maka pada umumnya mereka menyetujui penulisan itu. ta diam selama satu bulan seraya istikharah kepada Allah tentang hal itu karena ia ragu-ragu. Kemudian pada pagi suatu hari dan Allah telah menetapkan hatinya maka ia berkata : “Sesungguhnya saya selalu ingat kepadamu untuk menulis sunnah-sunnah seperti apa yang telah kamu sekalian ketahui. Kemudian saya ingat ketika orang-orang ahli kitab yang sebelummu telah menuliskan kitabullah bersama tulisan-tulisan lain maka mereka tertumpu atasnya dan meninggalkan kitabullah. Dan sesungguhnya saya, demi Allah saya tidak mencampurkan kitabullah dengan sesuatupun”. Maka ia meninggalkan penulisan sunnah-sunnah itu.

 

Ibnu Sa’ad berkata dalam Ath Thabagat, Qubaishah bin ‘Uqbah menceritakan kepada kami, Sufyan menCeritakan kepada kami dari Ma’mar dari Az Zuhri berkata : Umar berkehendak untuk menulis sunnah-sunnah, kemudian ia istikharah kepada Allah selama satu bulan kemudian masuk shubuh dan Allah telah memantapkan hatinya, maka ia berkata : ”Saya ingat kaum yang me. nulis tulisan-tulisan maka mereka menerimanya dan me. reka tinggalkan kitabullah”. Selesai dari komentar yang mulia terhadap Muwatha’ Imam Muhammad.

 

  1. Al Bukhari meriwayatkan dari Al A’masy dari Ibrahim At Taimi dari ayahnya dari Ali berkata : Kami tidak mempunyai tulisan yang dibaca kecuali kitabullah dan sesuatu yang ada pada lembaran ini. Maka ia menyebar. kannya, tiba-tiba padanya terdapat umur onta dan di Madinah beliau mengharamkan orang yang mencela demikian. Maka barangsiapa yang mengandalkan hal baru di dalamnya (lembaran) maka atasnya kutukan Allah, malaikat dan manusia seluruhnya. Allah tidak menerima keikhlasan dan keadilan daripadanya. Dan padanya terdapat keamanan kaum muslimin yang satu yang diusahakan oleh orang yang paling dekat dari mereka. Barangsiapa yang meninggalkan janji pada muslim lain maka atasnya kutukan Allah, malaikat dan manusia seluruhnya. Allah tidak menerima keikhlasan dan keadilan dari padanya. Dan padanya orang yang mengerjakan suatu kaum tanpa izin tuannya, maka atasnya kutukan Allah, malaikat dan manusia seluruhnya. Allah tidak menerima keikhlasan dan keadilan daripadanya.

 

  1. Tersebutlah dalam riwayat hidup Abdullah bin Mas’ud bahwasanya ia menyedikitkan periwayatan hadits dan ia menjaga diri dari dosa dim kata2 (kemudian ini dari atsar Umar). Dan diriwayatkan dari Abu Umar Asy Syaibani berkata : Saya duduk pada Ibnu Mas’ud selama satu tahun, ia tidak mengatakan : Rasulullah s.a.w. bersabda demikian : Apabila ia-mengatakan Rasulullab s.a.w. bersabda maka ia terganggu oleh gemetar. Dan ia berkata : ”’Demikianlah atau seperti ini atau mendekati ini atau seperti ini atau atau”. Pandangan sekilas dalam riwayat ini yang diriwayat kan dari mereka dan mereka adalah imam-imam ahli fatwa dan pemimpin kaum muslimin barangkali meninggalkan bekasan dalam otak akan ketidak sungguhan mereka dalam memegang dan menganggap As Sunnah dalam menyempurnakan pembinaan hukum menurut Al Qur’an. Apabila kami pikirkan apa yang diriwayatkan dari mereka maka kami ketahui hakikat yang mereka tuju dalam tuntutan mereka terhadap shahabat adalah menyedikitkan riwayat dari Rasulullah s.a.w. Sebagai contoh, dapat sedikit kami kemukakan sebagai berikut :

 

  1. Al Hafizh Adz Dzahabi meriwayatkan dalam Tadzkiratul Huffazh ia berkata, Ibnu Syihab berkata dari Qubaishah bin Dzuaib bahwa neneknya datang kepada Abu Bakar menuntut untuk diberi warisan, maka ia (Abu Bakar – pent) menjawab : ”Dalam kitabullah saya tidak mendapatkan (bagian pent) untukmu, dan saya tidak mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. memberikan kepadamu sedikitpun”. Kemudian ia tanya kepada manusia maka Al Mughirah berdiri dan berkata : Saya mendengar Rasulullah s.a.w. memberikan seperenam”. Maka ia berkata : “Apakah ada seorang bersamamu ?” Dan Muhammad bin Maslamah bersaksi seperti itu. Maka Abu Bakar menyampaikan seperenam itu kepadanya.

 

2.Ia berkata, AlJariri meriwayatkan dari Abu Nadhrah dari Sa’id bahwa Abu Musa memberi salam atas Umar darf belakang pintu tiga kali, Ia tidak diidzinkan, maka ia pulang. Dan Umar menyusulnya dan bertanya : ”Kenapa kamu kembali ?” Ia menjawab : Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda :

 

Artinya: Apabila salah seorang di antaramu memberi salam tiga kali dan tidak dijawab maka kembalilah.

 

Ia (Umar) berkata : Sungguh kamu datangkan saksi, atasnya atau sungguh saya menindak kamu. Maka Abu Musa datang kepada kami dengan berobah rupanva dan kami sedang duduk-duduk maka kami berkata : “Apakah keperluanmu ?” Maka ia memberitakan kepada kami dan ia berkata : “Apakah salah seorang dari kamu men. dengarnya ?” Kami berkata : ”Ya, masing-masing dari kami mendengarnya”. Maka mereka mengirimkan seorang laki-laki dari mereka bersama Abu Musa, sehingga ia sampai kepada Umar, maka menceritakannya.

 

  1. Ia berkata, Hisyam menceritakan dari ayahnva Al Mughirah bin Syu’bah bahwa Umar bermusyawarah tentang menggugurkan wanita yakni menyebabkan kandungannya gugur, maka Al Mughirah berkata : Rasulullah s.a.w. memutuskannya dengan hamba. Maka Umar berkata kepadanya : Jika kamu benar maka datangkan seseorang yang mengetahui hal itu. Ia berkata : “Maka Muhammad bin Maslamah bersaksi bahwa Rasulullah memutuskan dengannya”.

 

4.Ia menyebutkan bahwa Umar berkata kepada ayahku dan ia telah meriwayatkan sebuah hadits kepadanya : ?”Sungguh kamu datangkan saksi atas apa yang kamu katakan”. Maka ia keluar, tiba-tiba ada orang Anshar maka ia menuturkan kepada mereka. Mereka berkata : ”Saya telah mendengar ini dari Rasulullah s.a.w.” Maka Umar berkata : “Adapun saya tidaklah menuduhmu, tetapi saya senang untuk tidak tergesa-gesa”.

 

5, Diriwayatkan dari Utsman bin Mughirah Ats Tsaqafi dari Ali bin Rabi’ah dari Asma” bin Hakam Al Firari bahwa ia mendengar Ali berkata : Keadaanku apabila mendengar hadits dari Rasulullah s.a.w. maka Allah mem berikan manfa’at bagiku dengan sesuatu yang dikehen dakiNya untuk bermanfa’at bagiku. Apabila selain beliau menceritakan (hadits) kepadaku maka saya minta sum pahnya. Apabila ia bersumpah maka saya membenarkan nya. Ayahku Bakar “menceritakan kepadaku dan Abu Bakar membenarkannya. Ia berkata : Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda :

 

Artinya :

Tidak seorang muslimpun yang , berdosa dengan suatu dosa kemudian wudlu dan shalat dua raka’at serta mohon ampun kepada Allah, kecuali Allah mengampuninya.

 

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa para imam dan pemimpin-pemimpin kaum muslimin pada periode itu selalu berusaha menyedikitkan riwayat karena takut tersiarnya kedustaan dan kekeliruan atas Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu mereka mentahkikkan apa yang diriwayatkan kepada mereka. Abu Bakar dan Umar hanyalah menerima hadits-hadits yang disaksikan oleh dua orang yang mendengarnya dari Rasulullah s.a.w. sehingga Abu Bakar minta orang yang menguatkan terhadap Al Mughirah bin Syu’bah dalam periwayatannya, dan Umar minta orang yang menguatkan Al Mughirah, Abu Musa dan Ubay. Mereka tidak bimbang kepercayaannya terhadap mereka karena tingginya kedudukan dan derajat mereka. Dan Ali menyumpah atas orang yang meriwayatkan. Apabila mereka mengamalkan ketetapan apa yang diriwayatkan kepada mereka dari Rasulullah s.a.w. dan mereka tidak menyelisihinya,

 

Pekerjaan mereka ini mengajak untuk menyedikitkan periwayatan As Sunnah pada periode ini, dan cermat atas hadits-hadits yang tetap (shahih) riwayatnya dengan persaksian la orang saksi ketika ada peristiwa yang mengajak Untuk menyebutkan Al Hadits.

Ijtihad adalah mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syari sebagai dalil yaitu kitabullah dan sunnah NabiNya, ini ada dua macam yakni :

 

  1. Mengambil hukum dari zhahir-zhahir nash apabila hukum itu diperoleh dari nash-nash itu.
  2. Mengambil hukum dari ma’qul nash karena nash itu mengandung ‘illat yang menerangkannya, atau ‘illat itu dapat diketahui dan tempat kejadian yang di dalamnya. mengandung “illat, sedang nash itu tidak memuat hukum itu. Inilah yang dikenal dengan kiyas.

 

Pengeluaran hukum (istimbat) pada masa itu terbatas pada fatwa-fatwa yang ditafwakan oleh orang yang ditanya tentang suatu peristiwa. Mereka tidak meluaskan dalam menetapkan masalah-masalah dan menjawabnya, bahkan (mereka tidak menyenangi hal itu dan mereka tidak menampakkan pendapat tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Jika sesuatu itu terjadi maka mereka ijtihad untuk mengistimbatkan hukumnya. Oleh karena itu fatwa-fatwa yang dinukil dari shahabat-shahabat besar adalah sedikit. Dalam berfatwa mereka selalu berpegang atas :

 

  1. Al Qur’an, karena dialah asas dan tiang agama. Mereka selalu memahaminya dengan jelas dan terang karena Al Qur’an diturunkan dengan lidah (bahasa) mereka serta keistimewaan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya dan ketika itu belum seorangpun selain Arab telah masuk di kalangan mereka.

 

2, Sunnah Rasulullah s.a.w., dan mereka telah sepakat untuk mengikutinya kapan saja mereka mendapatkannya dan percaya kepada orang yang benar periwayatannya. Abu Bakar,apabila sampai kepadanya suatu peristiwa maka ia melihat kitabullah. Jika ia mendapatkan hukumnya, maka memutuskan dengannya. Jika ia tidak mendapatkan dalam kitabullah maka ia melihat dalam aunnah Rasulullah s.a.w. Jika di dalamnya ia mendapatkan apa yang untuk memutuskannya, maka ia memutus dengannya. Jika ia penat maka ia tanya kepada manusia : “Apakah kamu tahu bahwa Rasulullah s.a.w. memutuskan tentang hal itu dengan suatu keputusan ?”, Maka kerapkali kaum itu berdiri kepadanya dan berkata : “Beliau memutuskan hal itu dengan begini dan begini ,

 

Umar selalu berbuat demikian jika ia tak kuasa untuk mendapatkan sesuatu dalam Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah maka ia bertanya : “Apakah Abu Bakar memutuskan hal itu dengan suatu keputusan ?” Jika Abu Bakar telah mempunyai keputusan, maka ia memutuskan dengannya jika nyata tidak ada perbedaannya. Demikian juga Ustman dan Ali r.a. seluruhnya disertai ikhtiyath (berhatihati) dalam menerimanya sebagaimana telah kami kemu“ kakan.

 

Dan telah sampai pada shahabat keputusan-keputusan yang mereka tidak melihat nash dari Al Qur’an atau As Sunnah. Ketika itu mereka berlindung kepada qiyas dan mereka menganggapnya suatu pendapat. Demikianlah yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. jika ia tidak mendapatkan nash dalam Al Qur’an dan (tidak mendapatkan ” pent) sunnah di kalangan manusia. Sesungguhnya Abu Bakar itu mengumpulkan manusia dan bermusyawarah dengan mereka. Apabila pendapat mereka sepakat atas sesuatu maka ia memutuskan dengannya. Demikianlah yang dilakukan oleh Umar. Ketika ia mengangkat Syuraih sebagai gadli Kufah ia berkata kepadanya : “Lihatlah apa yang jelas bagimu dalam kitabullah dan janganlah kamu tanyakan kepada seseorang, Apa yang tidak jelas bagimu, maka dalam hal itu ikutilah sunnah Rasulullah s.a.w. Apa yang tidak jelas bagimu dalam As Sunnah maka berijtihadlah dengan pendapatmu”. Ia menulis surat kepada Abu Musa Al Asy’ari . “Keputusan itu ketentuan yang telah ditetapkan atay sunnah yang diikuti”. Kemudian ia berkata “Pemahaman, pemahaman dalam hal yang ragu dalam dadamu tentang hal-hal yang tidak ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Ketahuilah hal-hal yang serupa dan sepadan. Ketika itu ki. askanlah hal-hal itu? Abdullah bin Mas’ud ditanya tentang mufawadhah. Maka ia berkata : “Dalam hal itu saya jawab dengan pendapatku. Jika benar maka itu dari Allah, jika keliru maka dari padaku dan dari syaithan, Allah dan Rasulnya terlepas daripadanya (kekeliruan itu)”. Abdullah bin Abbas bertanya kepada Zaid bin Tsabit : “Apakah di dalam kitab Allah ada sepertiga dari sesuatu yang dihadapi ?” Maka ia menjawab : “Saya mengatakan dengan pendapatku dan kamu mengatakan dengan pendapatmu”. Dan dari Umar bahwasanya ia bertemu dengan seorang laki-laki, maka Umar berkata : “Apakah yang kamu perbuat ?” Ia menjawab : “Ali memutuskan dengan demikian, dan Zaid memutuskan dengan demikian”. Umar berkata : ”Seandainya saya (dimintai fatwa) niscaya saya putuskan dengan demikian”. Laki-laki itu berkata : “Apakah yang menghalangimu sedang urusan itu padamu ?” Umar menjawab : “Seandainya saya mendapatkannya pada kitabullah atau sunnah NabiNya s.a.w. niscaya saya perbuat. Tetapi saya menjawabmu dengan pendapatku, sedang pendapat itu musytarak (bersekutu), maka apa yang telah dikatakan Ali dan Zaid tidaklah rusak”.

 

Dalam keadaan mereka menerima ra’yu (pendapat) namun mereka tidak menyukai untuk berpegang kepadanya agar manusia tidak berani mengatakan tentang agama tanpa ilmu dan tidak memasukkan ke dalam agama sesuatu yang bukan agama. Oleh karena itu kebanyakan dari mereka mencela kepada ra’yu (pendapat). Yang jelas bahwa ra’yu (pendapat) yang mereka cela adalah bukan apa yang telah mereka lakukan, namun yang dicela mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa tanpa bersandar kepada pokok agama sebagai tempat pengembalian. Yang terpuji adalah apa yang diterangkan oleh Umar dengan perkataannya kepada hakimnya: “Ketahuilah keserupanan-keserupanan dan kesepadanan-kesepadanan kemudian kiaskanlah urut-urutan itu”. Sesungguhnya memperlakukan ra’yu (pendapat) sekfranya demikian itu adalah mengamalkan ma’gul nash. Dalam setiap keadaan, sesungguhnya fatwa mereka yang bersandar kepada ra’yu (pendapat) adalah sedikit sekali.

 

Dua syaikh (Abu Bakar — Umar) apabila bermusyawarah dengan suatu jama’ah tentang sesuatu hukum, dan mereka menyarankan dengan suatu pendapat (ra’yu) yang dikemukakan oleh manusia dan bagi seorangpun tidak baik untuk menyelisihinya. Mengeluarkan pendapat dengan ini namanya ijma’. Jumlah mujtahid dari kalangan shahabat pada waktu itu terbatas yang memungkinkan untuk mengadakan permusyawaratan dan peninjauan terhadap hasil pendapat mereka sehingga mudah terujudnya ijma’.

 

Dengan demikian, masa itu ada empat sumber hukum yaitu :

  1. Al Qur’an sebagai pegangan (landasan).

2, As Sunnah.

3.” Qiyas atau ra’yu (pendapat) sebagai cabang Al Qur’an dan As Sunnah. –

  1. ljma’, dan ijma’ mereka pasti bersandar kepada Al Qur’an atau As Sunnah atau Qiyas. |

 

Hasil politik dua syaikh itu adalah sedikitnya perselisihan dalam hukum, karena hukum-hukum itu, adakalanya dikeluarkan setelah permusyawaratan dengan tidak adanya perselisihan, dan adakalanya hukum-hukum itu dikeluarkan dari Al Qur’an yang muhkam (ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahamkan dengan mudah) atau Sunnah yang diikuti yang sudah dikenal, maka sebab perselisihan pendapat hanyalah munculnya fatwa berdasar pendapat. Dan kita tahu bahwa pegangan mereka kepada ra’yu (pendapat) adalah sedikit dan kewibawaan Umar di atas seluruh kepala mereka, maka fatwa di sisi mereka tidaklah dipandang mudah, bahkan sebagian mereka menyerahkan kepada sebagian yang lain

 

Dhahirnya mereka berpendapat bahwa ra’yu yang muncul di kalangan mereka dinisbatkan kepada mereka, tidak kepada syari’at maka mengamalkannya tidaklah ter. pelihara. Buktinya ialah apabila Abu Bakar berijtihad dengan pendapatnya selalu berkata : ”Ini adalah pendapatku, jika benar maka dari Allah. Jika salah maka dari saya dan saya mohon ampun kepada Allah”. Seorang penulis menulis kepada Umar : “Ini adalah suatu pandangan Allah dan pendapat Umar”. Maka Umar berkata kepadanya : ”Seburuk-buruknya perkataan adalah yang kamu katakan”. Katakanlah : ”Ini adalah pendapat Umar. Jika pendapat itu benar adalah dari Allah. Jika pendapat itu salah maka dari Umar”. Umar berkata : ”As Sunnah ialah apa yang digariskan oleh Allah dan RasulNya, janganlah kamu menjadikan kesalahan pendapat itu sebagai sunnah bagi umat”.

 

Diriwayatkan Muhammad bin Hasan berkata, Abu Hanifah memberitakan kepada kami dari Hammad dari Ibrahim An Nakha’i bahwa seorang laki-laki memperisterikan seorang wanita dan tidak menentukan mas kawinnya, kemudian ia meninggal sebelum mensetubuhinya, maka Abdullah bin Mas’ud berkata : ”Baginya maskawin yang sepadan dengan wanita yang lain, tidak mengurangi dan tidak melampaui batas”. Ketika ia memutuskan, maka ja berkata : “Jika putusan itu benar, maka dari Allah dan jika putusan itu salah, maka dari saya dan syaithan, Allah dan RasulNya terlepas dari padanya”. Maka seorang lakilaki diantara orang-orang yang duduk itu berkata : “Telah sampai kepada kami bahwasanya Ma’ail bin Sinan Al Asyja! dan ja termasuk shahabat Rasulullah s.a.w. : “Engkau memutuskan-demi Dzat yang untuk bersumpah dengan putusan Rasulullah terhadap Baru’ binti Wasyig Al Asyja’i yah” Ia berkata : “Maka Abdullah bergembira dengan kegembiraan yang tidak terjadi sebelumnya karena pendapatnya sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w. Dan Ali r.a. menyelisihi dalam keputusan ini, ia berkata : “Wanita mendapat warisan, ia beridah dan tidak mendapat maskawin”. la berkata : “Perkataan orang dusun dari Asyja’ tidak diterima (untuk dimenangkan – pent) atas kitabullah”. Demikian itu karena seandainya isteri itu dicerai maka ia tidak mendapatkan maskawin sedikitpun.

 

Allah Ta’ala berfirman :

 

Artinya :

Tidak ada sesuatupun (mahar atau dosa) atas kamu – jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.

 

Dan Ali berpendapat bahwa kematian itu seperti perceraian dan ia tidak mengambil hadits itu karena pendapatnya dalam hal itu telah kokoh, sedang Ibnu Mas’ud tidak memandang kematian itu seperti perceraian dan dikuatkan dengan riwayat Mugaffal. Di sini kami ingin mengemukakan sedikit masalahnasalah pada masa itu yang terjadi perbedaan pendapat i kalangan mufti besar, untuk menampakkan sebab-sebab rbedaan pendapat mereka :

 

  1. Pada masa Umar seorang isteri yang dicerai dalam masa ‘iddah dinikahkan (hal ini dilarang dengan nash Al Qur’an). Maka Umar memukul si suami dengan alat pemukul beberapa kali dan ia menceraikan kedua suami isteri itu seraya berkata : ” Perempuan manapun yang dinikahkan pada masa ‘iddahnya, jika suami yang memperisterikannya belum bersetubuh dengannya maka keduanya diceraikannya dan perempuan itu ber. iddah dengan sisa iddahnya dari suami yang pertama kemudian laki-laki itu melamar seperti pelamar. pelamar lain. Jika suami itu telah bersetubuh dengannya maka keduanya diceraikan kemudian perempuan itu beriddah dengan sisa iddahnya dari suami yang pertama, kemudian ber-iddah dengan iddah suami yang kedua, kemudian laki-laki itu tidak boleh mengawininya selama-lamanya”. Ali berkata : ”Jika isteri telah habis iddahnya dari suami yang pertama, maka orang lain jika mau maka boleh memperisterikannya.

 

Keduanya berbeda pendapat dalam mengekalkan haramnya nikah atas suami yang kedua setelah ia bersetubuh dengan perempuan yang sedang ber-iddah. Tidak ada nash-nash Al Qur’an yang menguatkan salah satu dari keduanya. Dalam hal ini, Umar mengambil kaidah penegahan dan pengajaran sedang Ali mengambil pokok-pokok umum.

 

  1. Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit berfatwa bahwa wanita merdeka yang menjadi isteri hamba maka wanita itu haram selamanya dengan dua thalak. Ali menyelisihinya seraya berkata : Wanita itu hanya haram dengan tiga thalak. Adapun amat (hamba perempuan) yang menjadi isteri laki-laki merdeka maka “amat itu haram dengan dua thalak. Para mutti itu sepakat atas separoh hak-hak hamba namun mereka berbeda pendapat apakah perceraian itu dipandang dari suami atau dari isteri. Utsman dan Zaid berpendapat bahwa perceraian itu dipandang dari suami, karena suamilah yang menjatuhkan thalak. Ali berpendapat bahwa perceraian itu dipandang dari isteri karena is terilah yang kena thalak.

 

  1. Abdur Rahman bin Auf mencerai isterinya di mana ia sedang sakit, maka Utsman memberi warisan kepada wanita itu dari Abdur Rahman bin Auf setelah habis jddahnya. Diriwayatkan bahwa Syuraih menulis kepada Umar bin Khathab tentang seorang laki-laki yang menceraikan isterinya tiga kali sedang laki-laki itu dalam keadaan sakit, maka Umar menjawab bahwa wanita itu mewarisinya selagi masih dalam iddahnya. Jika wanita itu habis iddahnya maka ia tidak menGapat warisan. Keduanya sepakat bahwa perceraian dari orang sakit tidak menghilangkan perkawinan dengan. sifatnya sebagai sebab yang mewajibkan pewarisan. Terhadap hal ini Umar membuat batas yaitu iddah dan Utsman tidak membuat batas. Dalam masalah ini tidak ada nash untuk tempat kembali.

 

  1. Umar bin Khathab berkata bahwa orang hamil yang ditinggal mati maka iddahnya adalah melahirkan kandungannya. Ali berkata bahwa iddahnya itu dengan sejauh-jauh dua masa itu, yaitu sejauh-jauh kandungan, dan melewati empat bulan sepuluh hari. Sebab perbedaan pendapat itu karena Allah menjadikan iddah wanita hamil yang diceraikan, adalah melahirkan kandungan, dan Allah menjadikan wanita yang ditinggal mati adalah empat bulan sepuluh hari tanpa perincian. Ali dalam fatwanya tentang wanita yang ditinggal mati beriandasan dua ayat itu seluruhnya, sedang Umar menjadikan ayat thalak itu sebagai hukum ayat wafat yakni secara khusus. Dalam hal itu mereka melihat. suatu hadits bahwasanya Sabi’an binti Harits Al Aslamiyah suaminya meninggal, kemudian ia melahirkan kandungannya sesudah dua bulan lima hari dari hari kematian suaminya, maka Nabi s.a.w. memberikan fatwa dengan habisnya iddah. Dan kami telah mengetahui terhadap pendapat Ali yang mengekalkan dalam menerima periwayatan.

 

  1. Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Ibu Abbas berkata : “Keadaan thalak pada masa Rasulullah s.a.w., Abu Bakar dan dua tahun dari kekhilafan Umar, thalak tiga itu adalah satu.Umar berkata : Sesungguhnya manusia telah tergesa-gesa dalam perkara yang di dalamnya terdapat keperlahanan.Seandainya hal itu kami biarkan berjalan atas mereka niscaya hal itu akan berjalan terus. Dan shahabat tidak sepakat atas yang demikian itu bahkan diriwayatkan perselisihannya dari Ali dan Abu Musa. Umar melakukannya seolaholeh siksaan, dan orang yang menyelisihinya berpegang kepada zhahir-zhahir nash.

 

  1. Ibnu Mas’ud dan yang lain memberikan fatwa bahwa suami apabila ila’ terhadap isterinya dan telah lewat empat bulan dan tidak kembali maka isteri itu telah terthalak dgn thalak bain dan suaminya termasuk salah seorang peminang. Dan orang lain berfatwa bahwa apabila masa empat bulan itu telah lewat maka suami itu diberi tangguh, adakalanya akan kembali dan adakalanya akan menceraikan. Berlakunya empat bulan itu tidak menjadikan thalak. Susunan ayat mengandung dua hal tersebut :

 

Artinya : Kepada orang yang mengila’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya). maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

  1. Ibnu Mas’ud berfatwa dan Umar bin Khathab menyetujuinya bahwa wanita yang dicerai, tidak keluar dari iddahnya kecuali apabila ia telah mandi dari haidhnya yang ketiga. Zaid bin Tsabit berfatwa, bahwa wanita itu keluar dari iddahnya kapan saja ia masuk dalam haidh yang ketiga. ”empat timbulnya perbedaan adalah perbedaan mereka dalam guru’, apakah guru” itu berarti suci sebagaimana dipahamkan oleh Zaid bin Tsabit dan orang lain apakah guru’ itu haidh, sebagaimana dipahamkan oleh Ibnu Mas’ud.

 

  1. Umar bin Khathab berfatwa, bahwa apabila wanita itu masih berhaidh (namun tidak sedang haidh – pent) dicerai dan haidhnya hilang maka wanita itu menanti sembilan bulan. Jika ia ternyata mengandung maka itulah iddahnya. Jika tidak, maka ia beriddah tiga bulan sesudah sembilan bulan itu. Orang lain berfatwa bahwa wanita itu menanti hingga tidak berhaidh lagi maka wanita itu bersiddah dengan beberapa bulan. Fatwa Umar itu meminjam kepada ma’na (pengertian) iddah yaitu benar-benar bersih dari hamil, dan setelah lewatnya masa yang umum hingga tidak ada keraguan lagi, maka wanita itu ber-iddah dengan beberapa bulan.

 

  1. Umar bin Khathab berfatwa bahwa wanita yang dicerai putus (thalak bain) itu, mendapat nafkah dan tempat tinggal. Ketika sampai kepadanya hadits Fathimah binti Qais bahwasanya Rasulullah s.a.w. tidak memberikan nafkah dan tidak pula tempat tinggal baginya setelah perceraian yang ketiga, maka ia berkata : Kita tidak meninggalkan kitab Tuhan dan Sunnah Nabi kita karena perkataan seorang perempuan yang barang kali ia hafal atau lupa. Kitabullah adalah firmanNya Ta’ala :

 

Artinya :

Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.

 

Dan orang lain berfatwa bahwa wanita itu tidak mendapat nafkah dan tempat tinggal karena berhujjah dengan hadits Fathimah binti Qais dan karena penutup ayat iddah adalah firmanNya Ta’ala :

 

Artinya :

Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu yang baru. Ini adalah wanita yang berthalak tiga, apakah yang akan dijadikan oieh Allah kepadanya sedang wanita itu diharamkan atas orang yang mencerainya ? Orang lain berfatwa bahwa wanita itu tidak mendapat nafkah dan mendapatkan tempat tinggal. Mereka meniadakan wajibnya nafkah dengan mafhum firman Allah Ta’ala :

 

Artinya : Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu perempuan-perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah nafkahnya sampai mereka bersalin.

 

Dan mereka raengatakan bahwa selain wanita yang hamil tidak mendapat nafkah.

 

  1. Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada saudarasaudara bersama kakek, Adapun Umar memberikan bagian mereka (saudara-saudara) bersamanya (kakek). Abu Bakar menjadikan kakek sebagai ayah dan saudara tidak mewaris bersama ayah, berdasarkan nash dan Umar tidak menjadikannya demikian, dan Zaid bin Tsabit sependapat dengan ini. |

 

  1. Malik meriwayatkan dalam Muwatha’, berkata seorang nenek datang kepada Abu Bakar minta bagian warisnya. Abu Bakar berkata : “Kamu menurut kitabullah tidak mendapat bagian sedikitpun, dan begitu juga dalam sunnah Rasulullah s.a.w., maka pulanglah kamu sehingga saya tanya kepada manusia”. la berkata : ? Abu Bakar tanya kepada manusia, maka Al Mughirah bin Syu’bah berkata : Seorang wanita datang kepada Rasulullah maka beliau .memberinya seperenam”. . Abu Bakar berkata : “Apakah ada orang lain bersamamu ?”. Maka Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata : “Seperti itulah”. Maka Abu Bakar melaksanakannya (meneruskannya) kepadanya (nenek tersebut). Kemudian nenek yang lain datang kepada Umar bin Khathab dengan minta kepadanya perihal bagian warisnya. Maka Umar berkata : “Menurut kitabullah kamu tidak mendapat sedikitpun”. Putusan yang memutuskan hanyalah untuk orang selainmu, dan saya tidak menambah sedikitpun terhadap yang ditentukan, tetapi dia itu seperenam. Jika keduanya berkumpul di dalamnya, maka dia itu (seperenam = pent) adalah diantaramu berdua, dan diapakah di antaramu yang sendirian maka bagian (seperenam) untuknya.

 

  1. Malik meriwayatkan dalam Muwatha’ bahwa Dhahak bin Khalifah membuat saluran air hingga sampai sungai kecil, ia berkehendak untuk melewati tanah Muhammad bin Maslamah, namun Muhammad bin Maslamah enggan. Kenapakah kamu mencegahku sedangkan hal itu bermanfaat bagimu, kamu meminum daripadanya, baik pada permulaan dan akhirnya serta tidak membahayakanmu ? Ia tetap enggan, maka Adh Dhahak membicarakan kepada Umar bin Khathab, lalu Umar bin Khathab memanggil Muhammad bin Maslamah, lantas menyuruhnya untuk melepaskan maksudnya, tetapi ia tetap enggan. Umar berkata : “Kenapa kamu menolak saudaramu terhadap sesuatu yang bermanfaat baginya dan berguna bagimu, kamu minum dengannya pada awal dan akhir, lagi pula tidak membahayakan kamu ?” Muhammad bin Maslamah berkata : “Tidak, demi Allah”. Umar berkata : Demi Allah agar ia lewat walaupun (lewat – pent) atas perutmu”. Maka Umar menyuruh Dhahak untuk melakukan perahunya.

 

  1. Malik meriwayatkan dari Ibnu Sy Syihab bahwa ontaonta yang tersesat pada zaman Umar r.a. dilepaskan dengan berkembang biak dan tidak disentuh oleh seorangpun hingga ketika masa Utsman bin Affan ia memerintahkan untuk mengetahuinya, memberitakannya, kemudian onta itu dijual. Apabila pemiliknya datang maka ia diberi harganya.

 

  1. Termasuk masalah yang terpenting setelah Allah membukakan (menaklukan) Irak dan Syam pada mereka (kaum muslimin). Bagaimana mereka memperlakukan tanah yang ditaklukkan dengan kekerasan ? Seandainya mereka mengambil zhahir-zhahir nash niscaya mereka menganggapnya sebagai suatu rampasan peyang. Yang empat perlima mereka berikan untuk orang-orang yang berperang, dan yang seperlima untuk kemaslahatan umum sebagaimana tersebut dalam kitabullah. Tetapi ketika Umar melihat mereka menuntut yang sedemikian itu maka ia berkata : Bagaimana orang-orang mu’min yang akan datang, mereka akan mendapatkan tanah dan orang kafirnya telah dibagidibagi dan diwaris dari ayah-ayah mereka ? Ini bukanlah suatu pendapat (yang benar – pent). Abdur Rahman bin Auf berkata kepadanya : Pendapat (yang benar) itu bagaimana ? Bukankah tanah dan orangorang kafir hanyalah sesuatu yang dikaruniakan Allah atas mereka ? Umar berkata : Pendapat itu hanyalah seperti apa yang kamu katakan, dan saya tidaklah berpendapat demikian. Demi Allah tidaklah tertaklukkan sesuatu negeri sesudahku, sehingga mem. peroleh kaum besar, bahkan mungkin akan menjadi kelemahan atas kaum muslimin. Apabila saya membagi tanah Iraq dengan orang-orang kafirnya dan tanah Syam dengan orang-orang kafirnya maka apakah yang untuk mempertahankan serangan musuh, apakah yang ditinggalkan untuk keturunan, janda-janda dan lainlainnya dari penduduk Syam dan Iraq ? Mereka memperbanyak (perdebatan) atas Umar dan berkata : Eng: : kau menahan sesuatu yang Allah karuniakan atas. kami dengan pedang-pedang kami untuk suatu kaum yang tidak menghadiri dan tidak menyaksikan (perang), untuk anak-anak suatu kaum dan anak cucu mereka yang tidak hadir. Umar tidaklah menambah atas perkataannya : ”Ini adalah pendapatku” Mereka berkata : ”Musyawaratkanlah !” Maka beliau bermusyawarah dengan orang-orang Muhajir yang pertama dan mereka berbeda pendapat. Abdur Rahman bin Auf berpendapat untuk membaginya sebagai hak-hak mereka. Utsman, Ali, Thalhah dan Ibnu Umar ber: pendapat seperti pendapat Umar. Maka Umar minta didatangkan sepuluh orang Anshar yang terdiri lima orang pembesar dan terkemuka dari Aus dan lima orang dari Khazraj. Ketika mereka telah berkumpul maka Umar berkata : “Sesungguhnya saya mengejutkan kamu hanyalah untuk bersama-sama denganku dalam ummat yang dibebankan kepadaku, karena saya hanyalah seperti salah seorang diantaramu. Kamu sekalianlah pada hari ini yang menetapkan dengan benar. Silahkan untuk menyelesihi saya dan silahkan pula untuk menyetujui saya. Saya tidak ingin kamu mengikuti sesuatu yang menjadi keinginanku. Bersamamu sekalian ada kitab dari Allah yang berbicara dengan benar. Demi Allah, jika saya membicarakan sesuatu yang saya kehendaki, saya hanya menghendaki kebenaran. Mereka berkata : ”Katakanlah, maka kami mendengarkannya wahai Amirul mu’minin”. Ia berkata : “Kamu telah mendengar perkataan orangorang yang menduga bahwa saya menganiaya hak mereka, dan sesungguhnya saya berlindung kepada Allah dari melakukan dosa. Jika saya menganiaya hak-hak mereka sedikit saja dan saya memberikannya kepada orang lain niscaya saya celaka. Tetapi saya berpendapat bahwasanya tidak ada lagi penaklukan sesudah tanah Kisra dan Allah telah menganugerahkan harta kepada kita, tanah dan orang-orang kafir, maka saya bagikan harta-harta mereka yang telah diambil sebagai ghanimah, dan saya keluarkan yang seperlima dan saya salurkan menurut seginya, dan saya mengarahkannya. Saya telah berpendapat untuk mengekang tanah dan orang-orang kafirnya, dan saya bebankan uang upeti dan pajak kepala yang mereka tunaikan hingga menjadi harta fai’ bagi kaum mus jimin yang berperang, keturunannya, dan orang-orang yang datang sesudah mereka. Bagaimanakah pendapatmu terhadap serangan musuh, pastilah ada orang-orang yang tetap bertugas, bagaimana pula pendapatmu tentang kota-kota besar seperti Syam, Jazirah, Kufah, Bashrah dan Mesir pastilah diisi dengan tentara dan memerlukan pembiayaan yang terus mengalir, maka dari manakah biaya itu apabila tanah-tanah dan orang-orang kafirnya telah dibagikan ?” Maka seluruhnya berkata : “Pendapat (yang benar – pent) adalah pendapatmu. Sebaik-baiknya adalah perkataan dan pendapatmu. Jika ada serangan musuh dan kota2 ini tidak engkau isi dengan orang-orang dan engkau lakukan sesuatu yang ditakuti musuh maka orangorang kafir itu akan kembali menguasai kota-kota itu”. Maka ia berkata : ”Nyatalah urusan itu bagiku” Dan ia menetapkan dibiarkannya upeti atasnya. Pendapat beliau r.a. benar dan orang-orang yang menyelisihinya terdiam karena mengikuti pendapat umum.

 

  1. Abu Bakar membagi -harta diantara manusia sama rata yang seorang tidak berlebih atas seorang yang lain maka dikatakan kepadanya : “Wahai khalifah Rasulullah sesungguhnya engkau membagi harta ini dengan menyamaratakan antara manusia, sebagian dari manusia ada orang-orang yang memiliki keutamaan, Orang-orang yang terdahulu, dan orang-orang lama.

 

Seandainya engkau melebihkan kepada orang-orang yang terdahulu ,orang-orang lama dan orang yang utama”. Ia berkata : “Adapun orang-orang yang terdahulu, orang-orang lama dan orang-orang yang utama, maka apakah yang memberitahukan kepadaku tentang yang demikian itu ? Hal itu hanyalah sesuatu yang pahalanya atas Allah sedang ini adalah kehidupan, dan mempersamakan di dalam kehidupan ini adalah lebih baik daripada mengutamakan pada seorang yang lain”. Ketika masa Umar dan penaklukan-penaklukan itu datang maka ia melebihkan seraya berkata : “Saya . tidak menjadikan orang yang memerangi kepada Rasulullah seperti orang yang berperang bersama beliau”, Atas dasar inilah ia membina administrasi ketentaraan.

 

Bukanlah tujuan kami untuk meringkaskan fatwafatwa para mufti pada periode ini dan saya tidak menye. butkan seluruh apa yang mereka perselisihkan. Kami hanya lah mengemukakan contoh-contoh yang menjelaskan cara istimbat mereka dan sebab-sebab perselisihan mereka pada masa yang dekat dengan Rasulullah s.a.w. Dari apa yang telah kami sebutkan, jelas bahwa sebab-sebab perbedaan itu ada tiga :

 

  1. Berbedanya fatwa karena perbedaan dalam memahami Al Qur’an. Demikian ini karena beberapa segi :

 

  1. Terdapatnya lafazh yang mengandung dua pengertian seperti perselisihan mereka dalam memahami kata guru’ dalam firmanNya Ta’ala :

 

Artinya:

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.

 

Umar dan Ibnu Mas’ud memahamkan bahwa quru’ itu haidh, dan Zaid bin Tsabit memahamkan bahwa quru? itu suci. Masing-masing mempunyai hujjah yang menguatkan.

 

Sebagaimana dalam ayat ila” maka sesungguhnya Allah memberikan batas waktu kepada suami yang meng-ila’ untuk menantinya yaitu ‘ selama empat bulan, kemudian Allah mengakhirinya dengan firmanNya :

 

Artinya :

Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya): maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

 

Nash itu mengandung pengertian bahwa yang dituntut adalah kembali atau perceraian, setelah masa yang ditentukan itu berlalu: dan mengandung pengertian bahwa kembali itu hanya dalam masa yang ditentukan, yang mana apabila masa itu telah habis maka suami tidak dapat kembali dan perceraian jatuh karena lewatnya masa tersebut.

 

  1. Terdapatnya dua hukum yang berbeda dalam dua persoalan yang diduga salah satunya mencakup sebagian yang terkandung oleh bagian itu terdapat perlawanan. Contohnya adalah ayat tentang wanita yang ber-iddah wafat. Ayat itu mewajibkan untuk menanti selama empat bulan sepuluh hari, dan diduga ini mencakup orang yang hamil. Dan ayat thalak menjadikan iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan kandungannya, maka iddah wanita yang ditinggal mati dan hamil adalah ragu-ragu antara yang terkandung oleh ayat pertama sehingga atas wanita itu wajib menanti empat bulan sepuluh hari mes kipun ia melahirkan kandungan sebelum itu (empat bulan sepuluh hari) pengamalan terhadap ayat cerai. Ia berkata, masing-masing dari pendapat itu di dukung oleb sebagian shahabat besar.

 

  1. Berbedanya fatwa karena berbedanya sunnah.

Telah kami terangkan pada uraian yang lalu bahwa sunnah Rasulullah s.a.w. tidak nyata dan terbuka dengan dilakukan atau disabdakan di hadapan shahabat yang sangat banyak shalat, cara dan bilangan raka’atnya, seperti haji dan peribadatan-peribadatannya. Sebagian sunnah ada yang dikerjakan atau disabdakan di hadapan satu atau dua orang maka yang membawanya terbatas oleh orang yang menghadirinya. Inilah kebanyakan sunnah gauliyah (sabda-sabda Rasul – pent), dan dia merupakan tempat timbulnya perbedaan pendapat. Pada periode ini periwayatan sunnah dari Rasulullah s.a.w. tidaklah terkenal, dan sunnah pun tidak dibukukan dalam satu buku untuk tempat kembali, hingga apabila para mufti dihadapkan pada peristiwa dan mereka tidak mendapatkan nash dalam kitabullah maka mereka bertanya pada orang yang bersama mereka, apakah mereka mendengar putusan Nabi s.a.w. dalam hal itu ? Seringkali dihadapan mereka terdapat orang yang meriwayatkan hadits bagi mereka, dan mereka berfatwa dengannya apabila membenarkan riwayat itu, Umar selalu minta dari perawi akan orang yang menemaninya dalam men- dengar hadits, dan Ali bin Abu Thalib selalu menyumpah perawi. Barangkali diriwayatkan hadits bagi mereka namun mereka tidak mengamalkannya apabila ia tidak menerima kebenaran riwayatnya, sebagaimana yang dikatakan Umar : “Kita tidak meninggalkan kitabullah dan sunnah Nabi kita karena perkataan seorang wanita, kita tidak tahu apakah dia benar ataukah salah, ia hafal atau lupa”. Tidak tersiarnya periwayatan dan cermatnya mereka dalam menerima sunnah yang diriwayatkan menyebabkan kadang-kadang mereka berfatwa dengan apa yang dipahami dari umum nash-nash Al Qur’an, yang barangkali di sini ada sunnah yang mentakhsis keumuman dari ayat itu, dan kadang-kadang mereka berfatwa dengan ‘ pendapat dan ijtihad apabila di sana tidak ada nash.

 

  1. Berbedanya fatwa karena pendapat.

Telah kami terangkan bahwa mereka sengaja memberikan fatwa dengan pendapat jika di sisi mereka tidak ada nash dari Al Qur’an dan As Sunnah dalam suatu peristiwa. Pendapat di sisi mereka hanyalah mengamalkan apa yang dipandang maslahat dan lebih dekat kepada ruh pembinaan hukum Islam tanpa meninjau bahwa di sana ada pokok yang menerangkan peristiwa atau tidak ada. Tidaklah engkau. lihat bahwa Umar mewajibkan Muhammad bin Maslamah untuk melewatkan saluran air tetangganya di tanahnya karena hal itu memberi manfa’at bagi kedua pihak dan sedikitpun tidak membahayakan kepada Muhammad. Umar berfatwa dengan jatuhnya thalak tiga pada satu cerai karena manusia telah tergesa-gesa pada suatu urusan yang di dalamnya terdapat keperlahan-lahanan. Ia mengharamkan atas laki-laki yang memperisterikan seorang wanita dalam iddahnya sesudah keduanya diceraikan untuk memperisterinya pada kali yang lain, sebagai tegahan kepadanya, sedang tinjauan terhadap ‘ kemaslahatan-kemaslahatan berbeda-beda karena perbedaan orang yang meninjau. Oleh karena itu kami dapati sebagian para mufti pada masa Umar berbeda pendapat terhadap pendapatnya (Umar). Dan di sana ada beberapa masalah yang mana Umar menyelisihi Abu Bakar,dan Umar memutuskan dengan selain apa yang diputuskan olehnya (Abu Bakar), sebagaimana kami sebutkan dalam warisan kakek bersama saudara: saudara, begitu pula dalam melebihkan pemberian. Demikian juga di sana terdapat masalah-masalah yang mana Ali berfatwa dengan selain apa yang difatwakan oleh saudara-saudaranya yang lain. Ia selalu mengeluarkan zakat dari harta anak yatim yang dalam asuhannya, dan orang lain mengatakan harta benda anak yatim tidak dizakati.

 

Telah kami terangkan bahwa perbedaan-perbedaan pendapat pada masa ini tidak banyak, karena keputusan mereka adalah sekedar peristiwa-peristiwa yang terjadi dan putusan masa itu tidak dibukukan. Periode ini telah berakhir, dan pengertian Fiqh pada masa ini adalah nash-nash Al Qur’anul karim, sunnah yang zhahir dan diikuti, dan sesuatu yang diridlai oleh shahabat-shahabat besar dari apa yang diriwayatkan oleh shahabat kepada mereka atau apa yang diperdengarkan kepada mereka. Dan sedikit fatwa fatwa itu yang berasal dari pendapat-pendapat mereka se telah mereka berijtihad dan membahasnya.

 

Orang-orang yang terkenal mengeluarkan fatwa pada masa ini adalah para khalifah empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali – pent), Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ari, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Diantara mereka yang banyak (berfatwa – pent) adalah Umar bin Khathab, Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Zaid bin Tsabit yang khusus dalam faraidh.

 

Di sini kami tidak menuturkan riwayat hidup dus imam yakni Umar dan Ali, namun kami akan menuturkan riwayat hidup dari orang-orang selain keduanya.

 

Abdullah bin Mas’ud

Dia adalah Abdullah bin Mas’ud Al Hadzali kawan sumpah setia Bani Zuhrah, ia masuk islam dahulu dan ia berkata : “Kamu telah melihatku sebagai orang muslim yang keenam di atas permukaan bumi”. Dialah orang yang pertama mengeraskan bacaan Al Qur’an di Mekah. Ketika ia masuk Islam maka Rasulullah s.a.w. mengambilnya sebagai pelayan beliau, dan beliau bersabda : “Saya idzinkan kepadamu untuk mendengar rahasiaku”, ia mengangkat penutup, ia bersungguh-sungguh dan mensegerakan perintah beliau, memakaikan sepasang sandal beliau, berjalan bersama beliau, dan di depan beliau. Ia menutupi beliau apabila beliau mandi, membangunkan beliau apa bila beliau tidur. Ia hijrah dua kali yakni ke Habsyi dan Madinah. Ia shalat dengan menghadap kedua kiblat (pernah menghadap ke Baitul Magdis dan juga Ka’bah – pent), ia menyaksikan (hadir pada) perang Badar, Uhud, Khandag, Bai’atur Ridhwan dan seluruh peperangan bersama Rasulullah s.a.w. dan menyaksikan peperangan Yarmuk sesudah wafat Nabi s.a.w. Sejumlah shahabat dan tabi’in meriwayatkan hadits dari padanya. Dikatakan kepada Hudzaifah : ”Ia menceritakan kepada kami sebagai manusia yang terdekat bimbingan dan petunjuk dari Rasulullah s.a.w., maka kami belajar dan mengikutinya. Manusia yang paling dekat bimbingan, petunjuk dan perilakunya terhadap Rasulullah s.a.w. adalah Ibnu Mas’ud. Orang-orang yang terpelihara dari Shahabat-shahabat Muhammad mengetahui bahwa Ibnu Ummi Abidin adalah orang yang benar-benar paling dekat “kepada Allah”. Dan diriwayatkan dari Ali r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda : “Seandainya saya menjadikan Seseorang untuk memegang pemerintahan tanpa permusya-Waratan niscaya saya menjadikan orang yang memegang pemerintahan itu Ibnu Ummi Abidin”.

 

Umar bin Khathab mengutusnya ke Kufah dan ia menyurati penduduknya : ”Sesungguhnya saya mengutus Amar bin Yasir sebagai amir (gubernur) dan Abdullah bin Mas’ud sebagai guru dan menteri, keduanya termasuk orang yang pintar dari shahabat Rasulullah s.a.w. dan .ahli Badar, maka ikutilah dua orang itu, ta’atilah dan dengarkanlah perkataannya, dan sungguh saya mengutamakan Abdullah atas diriku bagimu sekalian. Ia tinggal di Kufah di mana penduduknya mengambil hadits Rasulullah s.a.w. dari padanya, dia adalah sebagai guru dan hakim mereka. Ia sebagaimana dikatakan oleh Ali r.a. yaitu ia membaca Al Qur’an, menghalalkan apa yang dihalalkan dan mengharamkan apa yang diharamkan, dia mendalam dalam agama dan pandai As Sunnah. Antara dia dan Utsman terdapat kericuhan pada akhir-akhir hidupnya maka ia dipanggil ke Madinah, menetap di sana sampai meninggal dunia. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam Ath Thabagat bahwa orang yang memohonkan rahmat kepada Allah adalah Utsman,dan masingmasing dari dua orang itu memohonkan ampunan bagi temannya sebelum meninggal dunia pada tahun 32 H.

 

Zaid bin Tsabit

Dia adalah Zaid bin Tsabit Adh Dhahak An Najjari Al Anshari. Ketika Rasulullah tiba di Madinah ia berumur sebelas tahun. Perang pertama yang diikutinya adalah peyang Khandak. Dalam perang Tabuk bendera Bani Malik bin Najjar dipegang Imarah bin Hazm, maka diambil oleb Rasulullah dan diberikan kepada Zaid bin Tsabit, Imarab berkata : ”Wahai Rasulullah, sampaikah sesuatu kepada engkau tentang diriku ?” Beliau bersabda : “Tidak, tetapi Al Qur’an didahulukan, sedang Zaid bin Tsabit adalah lebih banyak mengambil Al Qur’an dari padamu”. Zaid selalu menuliskan wahyu dan yang lainnya untuk Rasulullah, Pernah buku-buku dengan bahasa Suryani diberikan kepada Rasulullah s.a.w., maka beliau menyuruh Zaid dan Zaid mempelajarinya, kemudian ia menuliskannya untuk Abu Bakar dan Umar. Umar menjadikannya sebagai pejabat Khalifah tiga kali,dan Utsman menjadikannya sebagai pejabat khalifah juga apabila ia (Utsman) berhajji. Ia adalah shahabat yang paling pandai dan meresap ilmunya. Ia termasuk orang yang paling jenaka apabila bersunyi-sunyi dengan isterinya, dan orang yang paling lama tinggal apabila dalam kaum. Zaid adalah orang yang paling condong kepada Utsman dan sedikitpun tidak berperang bersama Ali dalam perang-perangnya. Ia selalu menonjolkan keutamaan Ali dan menghormatinya. Banyak shahabat dan Tabi’in yang meriwayatkan hadits daripadanya. Dialah orang yang menangani pengumpulan Al Qur’an pada masa Abu Bakar dan Utsman bersama orang-orang lain yang telah ditentukan Utsman untuk itu. Ia wafat tahun 45 H. –

PERIODE KETIGA PEMBINAAN HUKUM PADA MASA SHAHABAT KECIL DAN TABI'IN YANG MENJUMPAI MEREKA (Periode ini dimulai dari pemerintahan Mu'awiyah bir Abu Sufyan tahun 41 H. sampai timbulnya segi-segi kele. mahan pada kerajaan Arab yakni pada awal abad ke II H.)

Periode ini dimulai dengan bersatunya pendapat Jumhur Islam pada Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Oleh karena itu tahun empat puluh satu disebut ‘amul jama’ah (tahun persatuan Islam – pent) hanya saja benih perselisihan politik tidak padam, masih tetap ada orang yang menyembunyikan perselisihan dan tipu daya terhadap Mu’awiyah dan keluarganya. Mereka itu ada dua golongan :

 

  1. Golongan Khawarij yang sebagian politik mereka adalah mengancam untuk membunuh raja yang zhalim dan keluarganya. Mereka berpendapat bahwa pemerintahan Islam tidak terbatas dalam keluarga dan orang-orang tertentu, dan pemerintahan itu harus bersandar atas kemauan sebagian besar umat, dan mereka memilih orang yang dipandangnya baik untuk memimpin mereka dan melaksanakan urusan mereka. Mereka melepaskandiri dari Utsman, Ali dan Mu’awiyah. Karena Utsman menyelisihi terhadap dua syaikh menyeleweng demi keluarganya, mengangkat derajat mereka dan mengutamakan dirinya terhadap hak-hak rakyat. Terhadap Ali karena ia menyetujui perundingan antara dia dan orang-orang yang menyelisihinya (Mu’awiyah “ pent). Terhadap Mu’awiyah karena ia memegang pemerintahan dengan kekuatan.

 

  1. Golongan Syi’ah yang berpendapat pemerintahan itu adalah hak Ali dan keluarganya. Setiap orang yang merampas hak mereka adalah orang yang benar-benar zhalim yang pemerintahannya tidak sah.

 

Politik Mu’awiyah adalah mendiamkan huru-hars kejiwaan yang menentang dari golongan kedua (Syi’ah) dan meringankan terhadap golongan pertama (Khawarij). Oleh karena itu hidupnya sampai akhir hidupnya banyak terjadi huru-hara yang memerangi persatuan kalimah Islam. Penduduk Madinah membuat huru-hara menuntut pemecat an Yazid. Husain bin Ali bermaksud ke Irak dengan dugaan bahwa ia akan mendapat pertolongan dari pendukung ayahnya untuk mengembalikan hak yang dirampasnya. Ia (Ya rid) menentang Abdullah bin Zubair yang memegang Mekah. Dan penduduk -Madinah digentarkan dalam huruhara itu dan mereka amat sangat sebagaimana digentarkannya Husain waktu keluarnya dimana dia terbunuh. Dikatakan bahwa dia dan beberapa keluarganya memasuki perbatasan Irak (pembunuhan itu dilakukan) oleh penduduk Irak sendiri. Hampir saja Ibnu Zubair mengalami nasib seperti itu seandainya Yazid tidak meninggal.

 

Sesudah matinya Yazid,fitnah terus menerus berkobar hingga datangnya orang yang mempunyai kemantapan bati yang benar dan cita-cita yang tinggi, yaitu Abdul Malik bin Marwan, maka bara fitnah itu dapat dipadamkan dengan dibunuhnya Ibnu Zubair di Mekkah, dan dimintanya seluruh negeri yang menjadi pusat huru-hara untuk kembali dan pendapat Islam kumpul kembali. Ajakan Syi’ah dan kekerasan Khawarij tersembunyi tetapi keadaannya berbeda antara himpunan sekarang ini dengan himpunan yang ada pada Mu’awiyah, karena Mu’awiyah mempergaulinya de ngan pergaulan yang halus dan perbuatan-perhuatan yang buk sedang Abdul Malik meredakan kekuatan karena ia dalan memadamkan fitnah berpegang pada Hajaj bin Yusuf seorang tokoh tangan besi yang berusaha menyatukan pendapat orang dengan jalan merendahkan dan paksaan. Ini adalah sesuatu yang sebentar bekasnya, maka bangkitlah huru-hara besar yang melawannya dengan pimpinan Abdur Rahman bin Muhammad bin Asy’ats Al Kindi, dan huru-hara itu hampir sampai pada sultan Bani Umayah seandainya tidak karena bantuan Syam yang terus menerus yang dilakukan sesudah sangat letih dalam menghadapi huru-hara yang sangat berkobar seandainya tidak karena cita-cita tinggi Malhab bin Abi Shufrah dan terpecah belahnya Khawarij, niscaya keadaan mereka lebih parah lagi. Kesulitan-kesulitan itu berakhir dan datanglah masa Al Walid bin Abdul Malik, masa itu adalah semanis-manis dan seindah-indah masa Bani Umayah. Fitnah-fitnah telah padam dan banyak penaklukan besar ketimur dan kebarat. Ketenangan itu terbatas dengan waktu, seperti tenang sesudah angin ribut. Sesudah Walid, datanglah saudaranya Sulaiman yang buruk dalam mempergauli para pembesar yakni para panglima negara yang mempunyai keutamaan besar didalam melebarkan kerajaannya ditimur dan barat yakni Qutaibah bin Muslim, Muhammad bin Qasim bin Muhammad dan Musa bin Nusair, karena mereka yang terdahulu (rajaraja) mempunyai hubungan dengan Hajaj bin Yusuf yang sangat dibenci oleh Sulaiman, dan karena kemauan yang lemah dengan dinisbatkannya kepada Musa bin Nusair. Dan tidak samar bahwa hal itu menimbulkan kerusakan hati keluarganya dan orang-orang yang membangsakan kepada mereka. Sesudahnya pemerintahan itu diserahkan kepada laki-laki shalih Umar bin Abdul Aziz yang ingin menyebarkan keadilan dan persamaan diantara manusia, dan ia mencela terhadap orang-orang yang terdahulu (raja-raja) karena mengambil apa yang ada didepan mereka yakni apa yang disebut kedzaliman-kedzaliman yang sampai ke Bat: tul mal. Dalam pemerintahan, ia mempunyai pendapat yang menyerupai Khawarij, karena itu ia mengeluarkan kaumnya dan disediakannya untuk orang yang lebih baik ilmu dan agamanya, tetapi hal itu tidak sempurna baginya, karena cita-cita itu dilakukan dengan tergesa-gesa dan sebagian pengaruh lemah lembut dan tidak mencampuri urusan manusia dan pada masanya berdiri ajakan rahasia kepada Bani Abbas pada awal abad kedua. Yazid bin Abdul Malik menggantikannya kemudian saudaranya Hisyam. Pada masanya terdapat fitnah keluarga Ali yang menyerupai Zaid bin Ali bin Husain yang menuntut pemerintahan (kekhaliffahan) hanya saja ia tidak mempersiapkan persiapan-persiapan maka ia dibunuh karena tuntutannya , kemudian anaknya Yahya bin Zaid ikut dibunuh juga. Pada masanya suburlah ajakan-ajakan rahasia Abbasiyah yang titik persoalannya ingin menggulingkan daulat Umawiyah.

 

 

  1. Perpecahan kaum muslimin dalam politik sebagaimana kami terangkan dalam gambaran politik, maka masingmasing golongan yang telah kami sebutkan yaitu Khawarij dan Syi’ah mempunyai kesenangan-kesenangan khusus. Pendukung Ali mempunyai kecenderungan kepada Ali dan keluarganya dan setiap orang yang ada pada partainya. Ia selalu menghindari perpecahan atas musuh-musuh dan orang-orang yang memeranginya, dan barangkali mereka lampaui hal itu kepada pemikiran dan melepaskan diri secara pasti. Perkataan dan pendapat mereka tidaklah berharga dalam pandangan mereka (musuh-musuhnya – pent). Khawarij selalu cenderung kepada Abu Bakar, Umar dan orang yang mengikutinya, dan mereka melepaskan diri dari Utsman, Ali dan Mu’awiyah serta orang yang mengikut: mereka. Oleh karena itu mereka tidak berdalil dengan pendapat seseorang dari orang-orang yang mereka telah melepaskan diri dari padanya. Pendukung Mu’ awiyah atau Jumhur Islam lari dari dua golongan itu dan tidak menempatkan timbangan untuk mereka.

 

Penggolongan ini mempunyai pengaruh yang besar dalam istimbath.

 

  1. Terpisah-pisahnya ulama muslimin dalam negara-negara besar Islam, karena para shahabat pindah dari Madinah ke tempat-tempat tinggal baru pada negara-negara besar. Sebagian mereka ada yang menjadi guru, dan yang menjadi gari” sehingga negeri-negeri baru itu dianggap sebagai tanah air mereka, dan dikalangan mereka lahirlah sekumpulan tabi’in besar yang bersekutu dengan mereka dalam berfatwa dan para shahabat mengakui mereka dalam hak persekutuan pada kedudukan ini. Tinggilah derajat yang mereka peroleh karena kesibukan dan ijtihad mereka, karena adanya Mekah, Madinah dan penghormatan kepadanya dikalangan umat Islam pada umumnya, dan keadaan Mekah sebagai rumah tempat berhaji yang mana kaum muslimin mengulang-ulanginya dengan perbedaan jalan agama dan kecenderungan mereka. Seandainya tidak karena itu niscaya lenyaplah hubungan ilmiyah diantara ulama-ulama negara-negara besar yang berpencaran.

 

  1. Tersiarnya riwayat hadits.

Penghalang periwayatan hadits telah hilang. Shahabatshahabat yang masih ada setelah khulafaur Rasyidin, menjadi tempat pemberhentian dalam bepergian dari negara-negara besar untuk minta fatwa dan belajar. Manusia mempunyai kebutuhan baru yang mana mereka terpaksa untuk membahas hukum-hukum karena luasnya kota, dan tempat perlindungan mereka hanyalah shahabat dan tabi’in-tabi’in besar yang dipenfihi mereka untuk berfatwa. Mereka berfatwa dengan hadits-hadits yang mereka hafal. Sebagiannya haditshadits yang mereka dengar dari Rasulullah s.a.w. dengan langsung dan sebagiannya hadits yang mereka dengar dari shahabat-shahabat besar.

 

Para pemberi fatwa pada masa ini mempunyai hadits-hadits dalam jumlah yang besar yang diriwayatkan dari mereka. Pada sebagian mereka ada yang lebih dari beberapa ribu (hadits – pent). Musnad Abu Hurairah misalnya tertulis dalam 313 halaman dari Musnad Ahmad bin Hambal, Musnad Abdullah bin Umar dalam 156 halaman. Dan lain-lainnya dari shahabat kecil yang hidup pada periode ini yang mendekati hal itu. Dalam pada itu Musnad Abu Bakar tertulis pada 84 halaman, Musnad Umar yang menjadi pemukapemuka orang-orang yang berfatwa pada periode I tertulis dalam 41 halaman. Musnad Ali yang mana ia saudara kembarnya Umar dalam berfatwa tertulis dalam 85 halaman. Hadits-hadits ini tidak terkumpul dalam satu negeri bahkan tidak dalam satu buku karena shahabat yang berfatwa telah terpisah-pisah pada negara-negara besar, sebagaimana kami kemukakan. Penliuduk setiap negara besar meriwayatkan dari shahabat yang tinggal disitu, maka pada setiap negara besar mempunyai hadits yang tidak ada pada negeri lain. Di Madinah Abdullah bin Umar, Aisyah ummul mu’minin dan Abu Hurairah. Di MekkahAbdullah bin Abbas. Di Fusthath Abdullah bin Amr bin Ash. Di Bashrah Anas bin Malik. Di Kufah Abu Musa Al Asy’ari dan murid-murid Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Mas’ud. Masing-masing dari mereka berfatwa kepada manusia dengan hadits Rasulullah s.a.w, yang ada disisi mereka. Disini nyatalah keistimewaan Baitul ‘atiq (Baitullah) lebih jelas daripada peranannya dalam sebab yang lalu. Tiga keistimewaan ini yaitu perpecahan politik, perpecahan penganjur dan banyaknya riwayat hadits dengan kekhususan tiap-tiap daerah mempunyai muhaddits menjadikan banyak perbedaan dalam fatwa. Masing-masing mempunyai unsur yang kuat dalam mengadakan perbedaan itu. Syi’ah memberikan fatwa-fatwa , Khawarij mempunyai fatwa-fatwa dan seluruh umat mempunyai fatwa-fatwa. Fatwarfatwa ini sebagiannya berbeda dengan yang lain,

 

  1. Munculnya dusta dalam hadits Rasulullah s.a.w, Itulah yang ditakutkan oleh Abu Bakar dan Umar r.a. Muslim dalam Muqaddimah shahihnya meriwayatkan dengan sanadnya dari Thawus berkata : Datanglah orang ini pada Ibnu Abbas yakni Basyir bin Ka’ab ia mulai menceriterakannya, maka Ibnu Abbas berkata kepadanya : Ulangilah hadits demikian dan demikjan: maka ia mengulanginya. Kemudian ia ber kata: Saya tidak tahu, apakah engkau mengerti seluruh haditsku dan engkau mengingkarinya, atau mengingkari haditsku seluruhnya dan engkau mengetahui hal ini. Ibnu Abbas berkata kepadanya : Sesungguhnya kami menceriterakan dari Rasulullah s.a.w. karena tidak ada orang yang berdusta atasnya. Ketika manusia menjalankan hal-hal yang menyulitkan dan berbuat kehinaan maka kami meninggalkan berhadits dari beliau.

 

Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata : Basyir Al ‘Adawi datang kepada Ibnu Abbas, ia mulai menceriterakan hadits seraya berkata : “Rasulullah s.a.w bersabda . ….. Rasulullah s.a.w. bersabda …..” Ia berkata : “Maka Ibnu Abbas tidak mengizinkan haditsnya dan memperhatikannya”. Maka ia berkata : “Wahai Ibnu Abbas ! Apakah yang ada padaku, karena saya lihat engkau tidak mendengarkannya?”. Ibnu Abbas berkata “: ”Sesungguhnya dalam waktu yang agak lama’ apabila kami mendengar seorang laki-laki berkata bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, maka pandangan kami bersegera kearahnya, kami dengarkan perkataannya. Ketika manusia menjalankag hal-hal yang menyulitkan dan berbuat kehinaan, maka kami hanya mengambil dari manusia sesuatu yang kami ketahui”.

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah berkata : ” Saya menulis kepada Ibnu Abbas, saya minta kepadanya agar menuliskan buku untukku dan ia menyembunyikan dari padaku”. Ia berkata-kata: “Seorang anak laki-laki yang memberi nasihat, saya memilihkan beberapa urusan untuknya dan saya menyembunyikannya Ia berkata : “Disampaikan keputusan Ali maka ja menuliskan beberapa keputusan itu dan melewati sebagiannya seraya berkata « “Demi Allah manakala Ali memutuskan dengan keputusan ini pastilah dia sesat”.

 

Diriwayatkan dari Thawus berkata : ”’Disampaikan kepada Ibnu Abbas sebuah catatan yang didalamnya ada putusan Ali maka ia menghapusnya kecuali sekedar,dan Sufyan bin “Uyainah mengisyaratkan dengan hastanya”.

 

Diriwayatkan dari Ibnu Ishak berkata : “Ketika mereka menceriterakan beberapa hal sesudah Ali r.a. maka seorang laki-laki dari teman-teman Ali berkata : ‘Semoga Allah mengutuk mereka terhadap ilmu apapun yang mereka rusakkan”.

 

Diriwayatkan dari Abu Bakar bin Iyasy berkata: ”Saya mendengar Mughirah berkata : “Seseorang tidak benar dalam hadits-hadits yang disandarkan kepada Ali kecuali dari teman-teman Abdullah bin Mas’ud”,

 

Diriwayatkan dari Ibnu Sirin berkata : ”Mereka tidaklah menanyakan tentang penyandaran hadits, ketika terjadi fitnah ia berkata:”Sebutlah kepadamu orang-orangmu”. Maka ia perhatikan kepada ahli sunnah hadits mereka diambil, dan ia memperhatikan kepada akhli bid’ah dan hadits mereka tidak diambil”,

 

Diriwayatkan dari Abu Zunad dan Abdullah bin Dzakwan berkata : ”Di Madinah saya menjumpai seratus orang yang terpercaya, dimana tidak diambil hadits dari mereka” Dikatakan bahwa bukan ahlinya.

 

Diriwayatkan dari Asy Sya’bi bahwasanya ia berkata : “Harits Al A’war menceriterakan kepadaku dan dia adalah pendusta”,

 

Diriwayatkan dari Jarir bahwasanya ia berkata : “Saya bertemu Jabir bin Yazid Al Ja’fi maka saya tidak menghitungnya karena ia percaya kepada raj’ah” Diriwayatkan dari Jarir bahwasanya ia berkata : “Saya bertemu Jabir bin Yazid Al Ja’fi maka saya tidak menghitungnya karena ia percaya kepada rajah”, Diriwayatkan dari Zuhair berkata : saya mendengar Jabir berkata :“Sesungguhnya saya memiliki 50.000 hadits namun saya tidak menceritakannya sedikitpun. Kemudian pada suatu hari ia menceritakan suatu hadits dan berkata : Ini adalah sebagian dari 50.000 hadits”. Diriwayatkan dari Sufyan berkata : ”Saya mendengar Jabir menceritakan sekitar 3.000 hadits, dimana tidak halal untuk saya menyebutkan sedikitpun dari padanya, meskipun ada padaku demikian dan demikian”,

 

Diriwayatkan dari Hamam berkata, Abu Dawud Al A’ma datang kepada kami dan ia mulai berkata Bara” menceritakan kepada kami dan Zaid bin Argam menceritakan kepada kami, kemudian kami sebutkan hadits itu kepada Qatadah maka ia berkata : “Ia dusta, ia tidak mendengar dari mereka, karena ketika itu ia hanya minta-minta kepada manusia pada masa wabah tha’un yang melenyapkan (penduduk suatu tempat ” pent).

 

Diriwayatkan bahwa Abu Ja’far Al Hasyimi Al Madani selalu membuat hadits-2 dari perkataan yang benar, dan hal itu bukan hadits-hadits Nabi s.a.w., dan banyak hadits yang serupa itu’ .

 

Sebagiannya, tampak sebab-sebab yang menarik para pendusta untuk mengatakan sesuatu atas Rasulullah yang beliau sendiri tidak menyabdakan. An Nawawi dalam syarah shahih Muslim berkata dengan menukil Qadhi ‘Iyadh r.a. Para pendusta itu ada dua macam :

 

Salah satunya : Mereka mengetahui adanya kebohongan dalam hadits Rasulullah s.a.w. mereka bermacam-macam, sebagiannya ada orang yang membuat-buat atas beliau dengan sesuatu yang sama sekali beliau tidak mensabdakannya seperti oleh orang-orang Zindik dan yang menyerupainya dari orang-orang yang tidak mengharapkan kehormatan agama. Adakalanya menurut sangkaan mereka, dan demi agama seperti bodohnya orang-orang yang beribadah yang membuat hadits-hadits tentang keutamaan-keutamaan dan hal-hal yang menggemarkan beribadah. Adakalanya untuk mendatangkan sesuatu yang pelik dan sum’ah misalnya ahliahli hadits yang fasik. Adakalanya fanatisme dan membuat hujah seperti para penganjur bid’ah dan orang-orang yang fanatik madzhab, dan ada kalanya mengikuti hawa (kesenangan) ahli dunia dalam apa yang mereka kehendaki dan mengemukakan alasan-alasan terhadap apa yang mereka bawa. Kumpulan masing-masing macam ini telah nyata, menurut orang yang ahli dalam pekerjaan ini dan ahli ilmu njal (rijalul hadits).

 

Sebagian mereka orang yang tidak membuat matan suatu hadits tetapi barangkali membuat pensanadan (sandaran hadits) yang shahih dan. masyhur bagi matan yang dha’if.

 

Sebagian mereka orang yang menukar-nukar sanad-sanad atau menambahnya, dan hal itu berpangkal adakalanya untuk menerangkan terhadap orang lain dan adakalanya untuk menghilangkan kebodohan mereka.

 

Sebagian mereka orang yang dusta di mana ia mengaku mendengar apa yang tidak didengar dan mengaku bertemu dengan orang yang tidak bertemu, dan ia menceritakan de. ngan hadits-hadits shahih dari mereka.

 

Sebagian dari mereka yang terdapat pada periode ini, dan dugaan itu tidaklah seperti yang dikatakan Jabir Al Ja’fi yang menduga bahwa ia mempunyai 50.000 hadits, dan dalam sebagian riwayat 70.000 hadits, di mana ia berkata bahwa ia meriwayatkannya dari Muhammad Al Bagir bin Husain bin Ali. Dan merangkaikan keadaan dengan Ibnu Abbas, sedangkan Islam senantiasa tertutup untuk mem. persoalkan apa yang telah dikupas, seperti apa yang telah kami kemukakan,

 

Sesungguhnya perbedaan politik dan fanatik golongan menjadikan banyak orang-orang yang terbelenggu dalam madzhab-madzhab itu,mereka membolehkan bagi diri mereka untuk menguatkan apa yang ada di sisi mereka dengan hadits-hadits yang mereka riwayatkan secara dusta dari Rasulullah s.a.w. Di sana terdapat Syi’ah, Khawarij dan Jumhur. Pada masing-masing golongan itu terdapat keburukan, meskipun Khawarij adalah sedikit-sedikitnya golongan dalam berbohong karena sebagian prinsip-prinsip mereka adalah mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar, sedang dosa atas Rasulullah adalah sebesar-besar dosa besar. Maka termasuk sulit kamu melihat dari mereka orang yang membuat hadits dusta.

 

Kesulitan ini menyebabkan cita-cita ahli hadits pada periode berikutnya jernih sekali, dan akan kamu lihat bagaimana mereka Jakukan kemauan mereka dalam membersihkan As Sunnah dari sesuatu yang mencampurinya dan seberapa jauh kesuksesan mereka dalam hal itu.

 

  1. Munculnya sejumlah besar dari para maula (budak yang sudah merdeka) yang belajar. Banyak putera-putera Persi, Rumawi dan Mesir telah masuk Islam, dan mereka dikenal sebagai maula (budak yang sudah merdeka) karena orang yang menyerahkan diri pada seseorang maka dia adalah maula. Sebagian dari mereka ada yang dilakukan sebagai hamba dan sebagian dari mereka ada orang yang masuk Islam dan tidak menjadi hamba. Kaum muslimin mengambil banyak dari anakanak itu sebagai tawa nan dan di bawah naungan kaum muslimin, mereka dididik, diberi pelajaran Al Qur’an dan As Sunnah kemudian mereka menghafalkan, memahami dan mereka dibantu oleh kemampuan menulis yang ada pada mereka serta kecerdikan secara baik. Jumhur Islam Arab disertai dengan kefanatikan suku yang amat sangat pada waktu itu terpaksa memuliakan mereka, mengakui fatwa-fatwa mereka dan meriwayatkan hadits dari mereka. Mereka terdapat di seluruh negara-negara besar Islam dan bersama shahabat dan tabi’in-tab’in besar dari bangsa Arab, dalam ilmu dan pengajaran, sehingga Abdullah bin Abbas sering kali disebutkan bersama maulanya Ikrimah, Abdullah bin Umar bersama maulanya Nafi’, Anas bin Malik bersama maulanya Muhammad bin Sirin. Dan banyak kali riwayat Abu Hurairah disebutkan bersama Abdur Rahman bin Hurmuz Al A’raj. Empat orang itu adalah shahabat yang paling banyak haditsnya dan fatwanya, dan maula empat orang itu mempunyai kelebihan besar. Termasuk salah, pemahaman bahwa bagian bangsa Arab dalam Fiqh dan riwayat hadits adalah lebih rendah, sebenarnyg hanya persekutuan saja. Di Mesir masing-masing dua golongan itu banyak jumlahnya, hanya saja di sebagian negara-negara besar keistimewaan itu terletak pada para maula misalnya Bashrah di bawah pimpinan Hasan bin Abu Hasan AJ Bashri namun pada beberapa negara, keistimewaan itu terletak pada fuqaha Arab misalnya Kufah.

 

  1. Mulainya pertentangan antara pendapat dan hadits serta munculnya para penolong bagi masing-masing. nya. Telah kami kemukakan bahwa para shahabat besar pada masa pertama selalu menyandarkan fatwa kepada Al Qur’an kemudian kepada As Sunnah. Jika tidak dapat demikian maka mereka berfatwa dengan rayu (pendapat) yaitu Qiyas dengan pengertian. pengertiannya yang paling luas, namun mereka tidak senang meluaskan dalam mengambil pendapat, oleh karena itu ada atsar dari mereka tentang celaan ter. hadap ra’yu (pendapat). Dan pada uraian yang telah lalu telah kami terangkan tentang pendapat yang terpuji dan pendapat yang tercela. Ketika datang perselisihan ini maka sebagian mereka dalam berfatwa membatasi diri pada hadits dan tidak melampauinya, dalam setiap masalah ia berfatwa dengan hadits yang ditemuinya dan disana tidak ada ikatan-ikatan yang menghubungkan masalah-masalah itu yakni sebagiannya dengan sebagian yang lain. Dan terdapat golongan lain yang berpendapat bahwa pengertian syari’at itu masuk akal dan mempunyai pokok-pokok untuk tempat kembali, namun mereka tidak menyelisihi orangorang yang terdahulu dalam mengamalkan Al Qur’an dan As Sunnah selagi mereka mendapatkan jalan kepadanya. Tetapi karena mereka menerima bahwa syari’at itu masuk akal dan dibina atas pokok-pokok yang rapi yang dipahami dari Al Qur’an dan As Sunnah maka mereka tidak mencegah fatwa dengan pendapat mereka dalam sesuatu yang mereka tidak mendapatkan nash di dalamnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang pertama itu, Di samping itu mereka suka untuk mengetahui ‘illat-‘illat dan tujuan-tujuan yang menyebabkan hukum-hukum itu disyari’atkan, dan barangkali mereka menolak sebagian hadits-hadits karena bertentangan dengan pokok-pokok syari’at, lebih-lebih apabila hadits tersebut bertentangan dengan hadits lain. Timbulnya prinsip ini kebanyakan pada penduduk Iraq. Rabi’ah bin Farukh bertanya kepada Sa’id bin Musayyab syaikh fuqaha Medinah dari tabi’in tentang diat jarijemari perempuan : “Apakah diat satu jari ?” berkata : “Sepuluh onta”. Ia berkata : ”Dua jari ?” Ia menjawab : Dua puluh onta”. Ia berkata : ”Tiga (jari) ?” Ia menjawab : “Tiga puluh (onta)”. Ia berkata : “Empat (jari) ?” Ia menjawab : “Dua puluh (onta). Ia berkata : ”Ketika lukanya besar maka diatnya berkurang”. Maka Sa’id berkata kepadanya : “Apakah kamu orang Irak ? Dia adalah As Sunnah !”. Demikian itu karena Sa’id mengatakan bahwa seorang wanita itu menyamai diyat laki-laki sampai sepertiga diyat. Apabila lebih dari sepertiga maka diyat wanita adalah separoh dari diyat lakilaki. Pengertian penyamaan diyat laki-laki, di mana ia memperlakukan hal itu menurut zhahirnya walaupun menyampaikan kepada natijah (hasil) yang tidak masuk akal, karena dalam pembinaan hukum tidak ada turut campurnya akal. Diyat tiga jari adalah « lebih sedikit dari sepertiga diyat. Oleh karena itu diyat tiga jari-jarinya adalah tiga puluh ekor. Ini adalah natijah (hasil) yang segi-seginya tidak dipahami oleh Rabi’ah, maka Rabi’ah minta penjelasannya tetapi Sa’id tidak terkejut terhadap pertanyaan ini. Dari padanya ia (Sa’id) mengambil (kesimpulan – pent) bahwa Rabi’ah itu termasuk orang yang memberi lapangan bagi akal dalam membina hukum dalam keadaan ada nash, sebagaimana tersiar dikalangan penduduk Irak.Oleh karena jitu ia berkata kepadanya : ” Apakah kamu orang Irak ?”. Orang-orang Irak berpendapat bahwa diyat wanita adalah separoh dari diyat laki-laki, dalam ujung-ujung badan sebagaimana dalam jiwa, dan mereka enggan menerima natijah (kesimpulan) ini yang tidak dapat diterima oleh akal, dan mereka mengata: kan As Sunnah dalam perkataan Sa’id, bahwa sunnah itu adalah sunnah Zaid biri Tsabit karena ia berfatwa demikian itu.

 

Ahli hadits dan ahli ra’yu bersungguh-sungguh dalam menghayati hal itu. Yang pertama berdiri pada zhahir-zhahir nash tanpa membahas illat-illatnya, dan jarang berfatwa dengan ra’yu, dan yang kedua membahas tentang illat-illat hukum dan mengkaitkan sebagian masalah dengan bagian yang lain dan mereka tidak mencegah adanya ra’yu apabila tidak ada atsar di sisi mereka. Kebanyakan penduduk Hijaz adalah ahli hadits dan kebanyakan penduduk Irak ahli ra’yu. Oleh karena itu Sa’id bin Musayab berkata kepada Rabi’ah ketika tanya kepadanya tentang illat hukum : ? Apakah kamu orang Irak ?”.

 

Sebagian orang yang terkenal dalam ra’yu dan qiyas dari fuqaha Irak ialah Yazid An Nakha’i Al, Kufi, seorang fakih Irak. Ibrahim telah mengambil Fiqh dari pamannya ‘Algamah bin Qais An Nakha’i Al Kufi. Ia termasuk fuqaha tabi’in yang masyhur dari thabagat (tingkatan) pertama. Ia adalah sebaikbaik teman Ibnu Mas’ud. Ibrahim itu semasa dengan Amir bin Syarahil Asy Sya’bi seorang ahli hadits dan orang alimnya Kufah. Persoalan antara keduanya adalah jauh karena Asy Sya’bi adalah pemilik (alhi-pent) hadits dan atsar. Apabila di hadapkan fatwa kepadanya, dan ja tidak mendapatkan nash dalam masalah itu maka ia tidak memberi fatwa, dan ia tidak menyukai ra’yu.

 

Murrah berkata : ”’Bagaimana pendapatmu seandainya seorang dewasa dibunuh dan bersamanya dibunuh pula anak kecil. Apakah diatnya sama, ataukah orang dewasa itu dilebihkan, karena akal dan kedewasaannya ? Mereka menyatakan sama. Ia berkata : “Sedikitpun tidak ada qiyas”. Perbedaan antara dua orang itu menurut Asy Sya’bi dan orang-orang ahli hadits dan atsar yang sejalan dengannya teyak pada As Sunnah, mereka tidak melampauinya dan mereka enggan untuk mengeluarkan pendapat-pendapat mereka dalam sesuatu,baik telah ada sunnah yang menjelaskan atau belum. Dalam hal itu akal tidak menghukuminya dan di sana tidak ada kemaslahatan-kemaslahatan sebagai pedoman yang dipandang oleh syari’ dalam mentasyri’kan di mana mereka kembali kepadanya. Ketika berfatwa seolah-olah di antara hukumhukum syara’ itu tidak ada kaitan. Dan Sa’id bin Musayab syaikh fuqaha ahli hadits merasa disakitkan hatinya oleh Rabi’ah ketika ia bertanya kepada Sa’id tentang diat jari. Penduduk Madinah menyebut Rabi’ah ini dengan Rabi’ah Ar Ra’yu karena ia membahas tentang illat-illat syari’at sehingga Abdullah bin Sarar berkata : ”Saya tidak mengetahui orang yang lebih pandai dalam ra’yu dari pada Rabi’ah”. Dan dikatakan baginya : “Tidak Hasan dan tidak pula Ibnu Sirin”.

 

Adapun Ibrahim An Nakha’i dan orang-orang yang sejalan dari fuqaha Irak dan sebagian fuqaha Madinah dalam berfatwa,mereka bersandar juga kepada Al Qur’an dan As Sunnah hanya saja mereka memahami bahwa syari’at ini wajib ada kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud untuk dicapai oleh karenanya hukum-hukum itu disyari’atkan. Dalam pada itu mereka memperhitungkan terhadap kemaslahatankemaslahatan ini adalah benar dan hal itu dijadikannya sebagai asas untuk istimbat dalam sesuatu yang diterangkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam hal itu mereka mengikuti ulama salaf yang shalih karena para shahabat mengkiaskan terhadap masalah-masalah yang dihadapkan kepada mereka dan tidak ada nash Al Qur ‘an dan As Sunnah yang meherangkannya , maka pendupat mereka hanyalah natijah (hasil) dari perhitungan kemaslahatan-kemaslahatan itu,

 

Ahli hadits selalu mencela ahli ra’yu karena mereka meninggalkan sebagian hadits-hadits menuju qiyas. Ini adalah termasuk kekeliruan atas mereka, karena kami tidak melihat di kalangan mereka orang yang mendahulukan qiyas atas sunnah yang tetap (shahih), hanya saja diantara mereka ada orang yang tidak mengindahkannya pada hal mereka mempunyai atsar dalam masalah itu atau diriwayatkan kepadanya namun ia tidak percaya dengan sanadnya maka ia berfatwa dengan ra’yu. Barangkali apa yang difatwakan itu bertentangan dengan sunnah yang telah diketahui tetapi ia tidak percaya terhadap riwayatnya atau pencegahannya lebih kuat menurut pemikirannya, sebagaimana diriwayatkan Sufyan bin ‘Uyainah berkata : Abu Hanifah dan Auza’i berkumpul di komplek pertokoan di Mekah. Auza’j berkata kepada Abu Hanifah : Bagaimana keadaanmu karena tidak mengangkat tangan ketika ruku’ dan bangun dari ruku ?” Abu Hanifah berkata : “Karena hal itu sedikitpun tidak shahih dari Rasulullah s.a.w.” Ia berkata : ”Bagaimana,sedangkan Az Zuhri telah menceritakan kepadaku dari Salim dari ayahnya dari Rasulullah s.a.w. bahwasanya beliau selalu mengangkat kedua tangan apabila beliau memulai shalat, ketika ruku’ dan bangun dari ruku’??” Abu Hanifah berkata kepadaku : ”Hammad menceritakan kepadaku dari Ibrahim dari ‘Algamah dan Aswad dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah tidak mengangkat tangan kecuali ketika memulai shalat dan beliau tidak mengulanginya sedikitpun”. Al Auza’i berkata : “Saya ceritakan kepadamu dari Zuhri dari Salim dari ayahnya dan kamu mengatakan Hammad menceritakan kepadaku dari Ibrahim ?” Maka Abu Hanifah berkata kepadanya : ”Hammad itu lebih pandai daripada Az Zuhri,dan Ibrahim adalah lebih pandai daripada Salim sedang ‘Al gamah tidaklah dibawah Ibnu Umar, meskipun Ibnu Umar shahabat atau dia mempunyai keutamaan yang banyak, dan Abdullah adalah Abdullah, Maka Al Auza’i berdiam.

 

Percakapan itu tanpa memperbincangkan pendapat-pendapatnya adalah menunjukkan adanya pertentangan antara keloinpok yang satu dengan kelompok yang lain dan menunjukkan bahwa seluruhnya berhenti pada batas As Sunnah manakala mereka mempercayainya dari segi periwayatannya.

 

Dari yang demikian ini bahwasanya ahli ra’yu selalu berfatwa tentang jaminan hewan perahan bahwa orang yang membeli agar mengembalikannya beserta harga susu yang telah diperolehnya. Dan ahli hadits berfatwa untuk mengembalikannya beserta satu sha” korma, karena Abu Hurairah meriwayatkan tentang hal itu. Hewan perahan adalah kambing yang susunya menyimpan puan dalam tambatannya sehingga orang yang melihat menduga bahwa kambing itu kambing perahan. Ahli ra’yu berkata bahwa undang-undang jaminan barang-barang yang rusak menurut syari’at hanyalah mengembalikan persamaannya jika sesuatu itu mempunyai persamaan, atau harganya jika sesuatu itu mempunyai harga. Warta ini menjadikan orang yang merusakkan perkiraan terhadap sesuatu yang tidak ada persamaan dan tidak ada harganya. Dan ini terdapat keraguan dalam kebenaran warta, itupun jika warta sampai kepada mereka. Menurut zhahirnya, hadits itu tidak sampai kepada mereka karena kami melihat, bahwa banyak hadits-hadits yang bertentangan dengan undang-undang umum sampai kepada mereka, dan mereka mengamalkannya dan mereka sebut istihsan.

 

Secara global, masa ini memperoleh keistimewaan dengan terbaginya para pemberi fatwa, yaitu golongan jumhur, ahli hadits dan ahli ra’yu, hanya saja di sana tidak ada kaidah (asas-asas) yang diketahui dengan jelas bagi mujtahidin karena Fiqh sampai waktuitu belum memperoleh tempat yang banyak dalam bidang pembukuan dan susunannya.

Adapun Al Qur’an, maka Allah Yang Maha Suci telah menyempurnakan pemeliharaannya dengan apa yang dijalankanNya terhadap khulafaur Rasyidin seperti uraian yang telah kami kemukakan. Al Qur’an itu dibaca menuyut apa yang tertulis dalam mushhaf Utsman, dan dari mushhaf ini disalinkan mushhaf-mushhaf lain. Banyak shahabat dan tabi’in telah masyhur dengan menghafalnya dan membacakannya. Dari mereka inilah orang-orang yang tidak terbatas banyaknya di seluruh negara-negara besar menerima Al Qur’an. Sebagian Qurra’ yang dikenal pada akhir-akhir periode ini hanyalah sebagian kecil dari para penghafal (huffazh) dan guru Al Qur’an.

 

Adapun As Sunnah karena banyak periwayatannya pada periode ini dan terputusnya segolongan ulama tabi’in karena riwayatnya tidak memperoleh perhatian untuk dibukukan, namun tidak dapat diterima oleh akal kalau keadaan ini berlangsung lama, karena jumhur beranggapan bahwa As Sunnah itu menyempurnakan pembinaan hukum yang berfungsi untuk menerangkan Al Qur’an. Dan di kalangan jumhur tidak ada orang yang menentang pendapat ini. Orang yang pertama kali memperhatikan kekurangan ini adalah Imam Umar bin Abdul Aziz pada awal abad ke II H. Ia menulis kepada pekerjanya di Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm :

 

Lihatlah hadits-hadits Rasulullah s.a.w. atau sunnah beliau yang ada, kemudian tulislah karena sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya “ pent) ulama, (Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha” dari riwayat Muhammad bin Hasan).

 

Abu Nu’aim mentakhrijkan dalam tarikh Ashbihan dari Umar bin Abdul Aziz bahwasanya ia menulis kepada penduduk dari beberapa daerah :

 

Lihatlah kepada hadits Rasulullah s.a.w. dan kumpulkanlah.

 

Dari Muhammad bin Muslim bin Syihab Az Zuhri memperoleh keistimewaan terhadap orang-orang lain dengan menmuls As Sunnah dan mendiktekannya, dan dia termasuk penghafal-penghafal besar tentang As Sunnah. Dari hadits Ibnu Abbas yang lalu nyatalah bahwasanya pada pendukung Ali terdapat kitab yang di dalamnya memuat keputusan Ali, yang mana Ibnu Abbas tidak percaya akan kebenarannya, dan ia berkata : Demi Allah,Ali tidak memutuskan dengan ini kecuali ia sesat”. Kemudian ja menghapus banyak daripadanya dan hanya sedikit saja yang dibiarkan.

Dari penduduk Madinah :

 

  1. Ummul mu’minin Aisyah Ash Shiddiqah :

Dia adalah Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq dan isteri Rasulullah s.a.w. yang dinikah dua tahun sebelum hijrah, yang menurut riwayat umurnya baru tujuh tahun dan beliau mengumpulinya di Madinah pada umur sembilan tahun. Ia adalah isteri beliau yang paling tercinta. Atha’ bin Abu Rabah mengatakan : ? Aisyah adalah termasuk orang yang paling pandai dan paling baik pendapatnya tentang umum”. Urwah berkata : ”Saya tidak melihat seseorang yang lebih pandai tentang fiqih & syiir dari pada Aisyah”. Ia banyak meriwayatkan hadits dari Nabi s.a.w. Yang “disanadkannya dalam Musnad Ahmad dari halaman 29 sampai halaman 282 yaitu dalam 253 halaman, dan atas riwayat-riwayatnya yang dipegangi

 

dalam mengetahui apa yang selalu dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. di rumah beliau. Dalam pada itu ia mempunyai hadits-hadits dalam segi-segi persoalan fiqh. Para fuqaha shahabat kembali kepadanya. Banyak dari shahabat dan tabi’in menceritakan hadits daripadanya. Orang yang paling banyak riwayatnya dari Aisyah adalah keluarganya yaitu ‘Urwah bin Zubair yaitu anak saudaranya perempuan dan Qasim bin Muhammad yaitu anak saudaranya laki-laki. Aisyah wafat tahun 57 H.

 

  1. Abdullah bin Umar.

Dia adalah Abdullah bin Umar bin Khathab Al ‘Adawi Al Quraisyi, masuk Islam bersama ayahnya, sedang ia masih kecil,belum dewasa, Pada perang Badar ia masih kecil oleh karena itu ia tidak ikut berperang. Perang yang pertama adalah perang Khandak, ia mendatangi perang Muktah bersama Ja’far bin Abu Thalib, datang pula pada perang Yarmuk, ia menaklukkan Mesir, dan daerah lain di Afrika. Ia banyak mengikuti jejakjejak Rasulullah s.a.w. sampai-sampai ia menempati tempat yang pernah ditempati Rasulullah, dan ia shalat di setiap tempat yang beliau shalat dalam tempat tersebut, sampai-sampai Nabi s.a.w. singgah di bawah pohon maka Ibnu Umar terus menyiraminya dengan air agar pohon itu tidak kering. Ibnu Umar termasuk imam-imam kaum muslimin dan salah satu dari bendera-bendera (tokoh-tokoh – pent) fatwa. Dalam berfatwa ia sangat berhati-hati dan menjaga agamanya, demikian pula dalam setiap langkah yang dilakukannya, sehingga ia meninggalkan perselisihan dalam kekhalifahan, pada hal banyak kecenderungan dan kecintaan penduduk Syam kepadanya, dan sedikitpun ia tidak berperang karena masalah-masalah fitnah. Sedikitpun ia tidak mendatangi peperangan-peperangan Ali ketika perang-perang itu menyulitkannya, setelah itu ja menyesal karena tidak ikut perang bersama Ali. Jabir bin Abdullah berkata : ”tidak ada di antara kami kecuali disenangi oleh dunia dan senang kepadanya (dunia) kecuali Umar dan puteranya Abdullah”. Ia meriwayatkan hadits dari Rasulullah s.a.w. dan meriwayatkan dari padanya. Tabi’in yang paling banyak riwayatnya adalah Salim dan maulanya Nafi’. Asy Sya’bi berkata : “Ibnu Umar itu bagus dalam hadits dani tidak ahli dalam Fiqh”. Ia hidup 60 tahun lagi sesudah Rasulullah s.a.w. dengan memberi fatwa kepada manusia baik pada musim haji atau lainnya. Ia wafat tahun 73 H.

 

  1. Abu Hurairah.

Dia adalah Abu Hurairah Abdur Rahman bin Shakhr Ad Dausi, ia menghadap Nabi s.a.w. dengan pindah yang mengiringi perang Khaibar tahun 4 H. dan ia tetap bersama beliau sehingga menjumpai Tuhannya (meninggal). Banyak hadits diriwayatkan daripadanya. Ia meriwayatkan dari shahabat-shahabat besar, dan dari padanya banyak tabi’in meriwayatkan hadits dan diantara mereka yang terbanyak ialah Sa’id bin Musayab menantunya dan maulanya A’raj, dan masih banyak lagi orang-orang lain. Abu Hurairah merupakan tempat ilmu dan imam-imam besar dalam bidang fatwa disertai dengan kebesaran, peribadatan dan tawadhu”. Ia termasuk shahabat yang paling penghafal. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya ia berkata : ”Wahai Abu Hurairah, jika kamu bersedia maka tetapkan kami kepada Rasulullah dan ajarkan kepada kami dengan hadits-hadits beliau. Ia meninggal tahun 59 H.

 

Tiga orang itu adalah shahabat dari penduduk Madinah yang paling banyak haditsnya dan fatwanya pada periode ini. Pada merekalah beredar ilmu penduduk Madinah, dan dari mereka para tabi’in Madinah belajar dan kami ingat bahwa dialah orang yang paling terkenal di antara mereka.

 

  1. Sa’id Al Musayab Al Makhzumi.

Ia dilahirkan dua tahun sesudah kekhalifahan Umar, ia mendengar (hadits – pent) dari shahabat besar. Ia luas ilmunya, sempurna kehormatannya, kuat agamanya, mengatakan kebenaran dan mendalam jiwanya. Ibnu Umar berkata : ”Sa’id bin Musayab adalah salah satu ahli-ahli fatwa”, Qatadah berkata : ”’Saya tidak melihat seseorang yang lebih pandaf.dari pada Sa’id – bin Musayab”, Ali Al Madini berkata : “Saya tidak mengetahui di kalangan tabi’irf orang yang lebih luas ilmunya daripada Sa’id, dia di tempatku pada masa tabi’in, ia tidak mau menerima hadiah raja-raja. Sebagian besar riwayatnya adalah Al Musnad dari Abu Hurairah, Hasan Bashri apabila mengalami kesulitan maka ia menulis kepada Sa’id bin Musayab untuk menanyakannya. Menurut salah satu pendapat ia wafat pada tahun 94 H.

 

  1. Urwah bin Zubair bin Awam Al Asadi.

Ia dilahirkan pada masa khalifah Utsman. Ia meriwayatkan hadits dari beberapa shahabat dan menjadi pandai Fiqh pada bibinya Aisyah. Ia pandai tarikh, seorang penghafal dan teguh pendirian. Anak lakilakinya Hisyam dan seluruh anak-anaknya menceritakan hadits daripadanya. Az Zuhri, Abu Zunad dan ulama-ulama Madinah yang lain meriwayatkan hadits daripadanya pula. Az Zuhri berkata : “Saya melihatnya sebagai lautan yang tidak kering”. Ia meninggal tahun 94 H.

 

  1. Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam Al Mahzumi.

Ia dilahirkan pada masa khalifah Umar. Ia meriwayatkan hadits dari ayahnya dan shahabat-shahabat yang lain. Az Zuhri dan tabi’in kecil meriwayatkan daripadanya. Ia adalah orang yang terpercaya, ahli hujah, ahli Fiqh, imam yang banyak riwayatnya dan dermawan, Ia adalah seorang shalih, ahli ibadah dan banyak ingat pada Tuhan. Ia disebut sebagai rahib (pendeta) Quraisy dan wafat di Madinah tahun 94 H.

 

  1. Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib Al Hasyimi.

Ia adalah imam yang keempat dari imam-imam Syi’ah Imamiyah dan dikenal Zainul Abidin, Ia meriwayatkan darf ayahnya, pamannya (yaitu) Hasan, Aisyah, Ibnu Abbas dan yang lain-lain, Az Zuhri berkata :

 

”Saya tidak melihat seseorang yang lebih pandai daripada Ali bin Husain, tetapi ia sedikit haditsnya. Anaknya berkata : “Saya tidak melihat seorang Hasyim yang lebih utama dari padanya”. Dari Ibnu Musayab : “Saya tidak melihat seorang yang lebih wara” dari padanya. Ta meninggal tahun 98 H.

 

  1. Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud.

Ia mengambil (hadits) dan belajar pada Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Di samping ia seorang yang terkemuka dalam Fiqh dan hadits juga seorang penyair yang baik. Ia menjadi pengasuh Umar bin Abdul Aziz. Az Zuhri berkata: ”Ubaidullah ada – lah termasuk lautan ilmu”. Ia meninggal pada tahun 98 H,

 

  1. Salim bin Abdullah bin Umar.

Ia mendengar (hadits – pent) dari ayahnya, Aisyah, Abu Hurairah, Sa’id bin Musayab dan lain-lainnya. Ayahnya heran kepadanya dan berkata kepadanya :

 

Artinya : Mereka mencela saya tentang Salim, namun saya mencela mereka. Salim adalah sebagian kulit antara mata dan hidung (selalu terpandang olehnya — pent).

 

Malik berkata bahwa ,pada zamannya tidak ada seseorang yang lebih mencontoh orang-orang shalih pada masa lampau dalam guhud dan keutamaan daripada Salim, Ia pada jalan ayahnya dan tidak bermewahmewah. Ia meninggal tahun 106 H.

 

10 Sulaiman bin Yasar maula ummil mu’minin Maimunah.

Ia meriwayatkan (hadits) dari Ummul mu’minin Maimunah, Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit dan lain-lainnya, Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah berkata : “‘Dia adalah orang yang paling mengerti di kalangan kami dari pada Sa’id bin Musayab. Dikatakan: ada seorang yang minta fatwa datang kepada Sa’id bin Musayab maka ia berkata :”Atasmu Sulaiman bin Yasar”, Malik berkata : ”Ja termasuk salah seorang ulama”, Ia meninggal pada tahun 107 H.

 

  1. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.

Ia mendengar (hadits) dari bibinya Aisyah, Ibnu Abas, Ibnu Umar dan yang lain. Ia dididik oleh bibinya,Yahya bin Sa’id berkata : “Kami tidak mendapatkan seseorang di Madinah yang kami utamakan atas Qasim”. Abu Zunad berkata : “Saya tidak melihat seorang ahli Fiqh yang lebih pandai As Sunnah dari padanya”, Ibnu ‘Uyainah berkata : “Qasim adalah sepandai-pandai penduduk pada masanya”. Ibnu Sa’id “berkata » “Ia adalah imam yang ahli Fiqh, terpercaya tinggi (derajat. – pent)s wara” dan banyak haditsnya”. Umar bin Abdul Azis berkata : “Seandainya saya mempunyai suatu urusan, niscaya saya jadikan orang yang menanganinya A’yamisy bani Taim yakni Qasim. Ia meninggal tahun 106 H.

 

  1. Nafi’ maula Abdullah bin Umar.

la meriwayatkan dari bekas tuannya, dari Aisyah, Abu Hurairah dan lain-lain. Umar bin Abdul: Azis mengutus ke Mesir untuk mengajarkan As Sunnah kepada penduduknya. Semasa hidupnya ia tidak berfatwa. Ia melayani Abdullah bin Umar 30 tahun, ia berasal dari Dailami dan meninggal tahun 117 H.

 

  1. Muhammad bin Muslim yang terkenal dengan Ibnu Syihab Az Zuhri.

Ia dilahirkan tahun 50 H, dan menerima hadits dari Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Sa’id bin Musayab dan orang-orang lain lagi. Laits bin Sa’id berkata : “Saya tidak pernah melihat seorang alim yang lebih lengkap daripada Az Zuhri”, sebagaimana diceritakan dalam At Targhib. Maka kamu katakan bahwa selain dia tidak baik. Hanya dialah orang yang lebih baik dalam menceritakan tentang bangsa Arab dan keturunan-keturunan. Demikian juga jika menceritakan tentang Al Qur’an dan As Sunnah. Umar bin Abdul Azis berkata bahwa tidak ada seorangpun yang lebih pandai tentang sunnah yang lampau dari pada Az Zuhri. Malik berkata : “Selama Ibnusy Syihab masih hidup di dunia tidak ada tandingannya”. Al Laits mengatakan bahwa Az Zuhri itu termasuk orang yang paling dermawan, ia mendidik putera Hisyam bin Avdul Malik dan duduk-duduk dengannya, serta Hisyam telah meminta kepadanya untuk mendiktekan suatu vak kepada sebagian puteranya, kemudian ia mendiktekan 400 hadits untuknya. Setelah kurang lebih sebulan ia bertemu dengan Az Zuhri, maka ia berkata kepadanya bahwa kitab itu (catatan itu) telah hilang, maka ja minta untuk mengambil sebuah buku tulis kemudian mendiktekannya. Kemudian buku itu dibandingkannya dengan buku pertama maka ternyata Az Zuhri tidak ketinggalan sehurufpun. Malik mengatakan bahwa Ibnusy Syihab datang ke Madinah dan ia memegang tangan Rabi’ah lantas keduanya masuk ke rumah buku-buku besar ketika keduanya keluar pada waktu Ashar dan Ibnusy Syihab berkata : “Saya tidak menduga bahwa di Madinah ada orang yang seperti Rabi’ah”, Dan Rabi’an ketika keluar berkata » “Saya menduga bahwa tidak ada seorangpun yang mencapai ilmu seperti apa yang dicapai -oleh Jbnusy Syihab”. Ibnusy Syihab berkata bahwa Qasim bin Muhammad berkata kepadaku : ”Saya melihatmu gemar pada ilmu, apakah mau saya tunjukkan tempatnya ?” Saya menjawab : ”Ya”. Ia berkata : ‘”Tetaplah kamu pada puteri Abdur Rahman karena ia dulu ada di dalam kamar Aisyah”. Maka saya datang kepadanya dan ternyata saya dapati ia sebagai lautan yang tidak kering”. Ia (Az Zuhri) wafat tahun 124 H.

 

  1. Abu Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain yang terkenal dengan Al Baqir.

Ia adalah imam kelima dari imam-imam Syi’ah Imamiyah. Ia meriwayatkan (hadits – pent) dari ayahnya, Jabir, Ibnu Umar dan lain-lainnya. Pada masanya, ja adalah tuan Bani Hasyim. Ia meninggal pada tahun 114 H.

 

  1. Abu Zunad Abdullah bin Dzakwan: ahli fiqih Madinah.

Ia mendengar (hadits) dari Anas bin Malik dan banyak tabi’in. Al Laits bin Sa’ad berkata : ”’Saya melihat di belakangnya ada 300 orang tabi’in yang belajar fiqh,  belajar syi’ir dan bermacam-macam (ilmu – pent). Ia berkata : Kemudian segeralah ia tinggal seorang diri dan mereka menghadap Rabi’ah Ar Ra’yu. Abu Hanifah berkata : ”Saya lihat Rabi’ah dan Abu Zunad, sedang Abu Zunad lebih pandai di antara orang itu”. Sufyan menyebut Abu Zunad dengan amirul mu’ minin dalam hadits. Ia meninggal tahun 131 H.

 

  1. Yahya bin Sa’id Al Bushiri,

Ia menceritakan hadits dari Anas bin Malik dan beberapa tabi’in. Yahya Al Qathan berkata : ”Ia didahulukan atas Az Zuhri, ia menyelisihi terhadap Az Zuhri sedang Az Zuhri tidak menyelisihinya”. Ahmad bin Hambal berkata : “Yahya bin Sa’id adalah manusia yang paling teguh. Wahib berkata : Saya datang ke Madinah maka saya tidak bertemu seorangpun kecuali kamu boleh mengakui dan memungkirinya selain Yahya bin Sa’id dan Malik” Ia meninggal tahun 146 H,

 

  1. Rabi’ah bin Abdur Rahman Faruh. Ia menceritakan hadits dari Anas bin Malik dan bebeyapa tabi’in. Ia adalah sebagai imam yang hafizh (banyak/kuat hafalannya), seorang fagih, mujtahid, memperhatikan ra’yu. Oleh karena itu ja disebut Rabi’ah Ar Ra’yu. Yahya bin Sa’id berkata : Saya tidak melihat seseorang yang lebih cerdik dari Rabi’ah. Siwar bin Abdullah yang menjadi penghulu berkata : ”Saya tidak melihat orang yang lebih pandai daripada Rabi’ah dalam berpendapat”. Saya berkata” : ”Bukankah Hasan dan Ibnu Sirin ?” Ia berkata : Bukan Hasan bukan pula Ibnu Sirin”. Ia termasuk orang yang dermawan. Dialah tempat belajarnya Fiqh Imam Malik bin Anas. Ia meninggal tahun 136 H.

 

Dari penduduk Mekah :

 

  1. Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Ia dilahirkan dua tahun sebelum hijrah. Rasulullah s.a.w. mendo’akan agar Allah memberikan kepandaian dalam agama, dan Allah mengajarkan ta’wil kepadanya. Ibnu Mas’ud berkata : “Sebaik-baik penterjemah Al Qur’an adalah Ibnu Abbas. Seandainya umur kami mendapatkannya niscaya tidak seorangpun dari kami yang mempersepuluhinya”. Muammar berkata : ”Keumuman ilmu Ibnu Abbas adalah sejajar dengan tiga orang yaitu Umar, Ali dan Ubay bin Ka’ab” Dan diriwayatkan dari padanya bahwa ia berkata : ”Saya mendengar tentang seorang laki-laki yang mempunyai hadits maka saya mendatanginya dan saya duduk hingga ia keluar” Kemudian saya bertanya kepadanya, seandainya saya akan mentakhrijkannya niscaya saya lakukan . Pada Ibnu Abbas-lah beredarnya ilmu penduduk Mekah dalam tafsir dan fiqh. Ia meninggal tahun 68 H.

 

  1. Mujahid bin Jabr maula Bani Mahzum.

Ia mendengar (hadits) dari Sa’ad, Aisyah, Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Ia menetap pada Ibnu Abbas beberapa saat dan Ibnu Abbas membacakan (mengajarkan) Al Qur’an kepadanya. Ia salah seorang tempat ilmu. Mujahid berkata : “Saya memperlihatkan Al Qur’an kepada Ibnu Abbas tiga kali, yang saya berhenti (wayaf) pada setiap ayat untuk menanyakan kepadanya dalam apa ia diturunkan dan bagaimana keadaan ayat itu”. Qatadah berkata : ‘Sepandai-pandai orang yang masih hidup dalam hal tafsir adalah Mujahid: Ia berkata : Barangkali Ibnu Umar mengambilkan tempat berpijak kaki di pelana kuda untuknya” Ia meninggal tahun 103 H.

 

  1. Ikrimah maula Ibnu Abbas.

Ia meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Hurairah dan yang lain-lain. Ia mendalami fiqh pada Ibnu Abbas. Dikatakan kepada Sa’id ibnu Jabir : ” Apakah kamu mengetahui seseorang yang lebih pandai dari padamu ”Ia berkata : ”Ya, Ikrimah”. Dan dari Asy Sya’bi berkata : Tidak ada seseorang yang lebih pandai tentang kitabullah (Al Qur’an) daripada Ikrimah”, Dan dikatakan bahwa ia berpendapat seperti pendapatnya Khawarij. Oleh karena itu Imam Malik dan Muslim bin Hajaj tidak mentakhrijkan haditshaditsnya. Ia meninggal tahun 107 H.

 

4, Atha’ bin Abu Rabah maula Quraisy.

Ia dilahirkan pada masa khalifah Umar. Ig mendengar (hadits) dari Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan orang-orang lain. Dia seorang yang hitam, keriting, fasih, banyak ilmu dari markas tentara. Abu Hanifah berkata : “Saya tidak melihat orang yang lebih utama dari pada Atha”, Al Auza’i berkata : “Atha’ meninggal yang pada hari meninggalnya ia adalah seorang yang paling diridhai oleh manusia”. Isma’il bin Umayah berkata : ”’Atha’ selalu memperbanyak diam. Apabila berbicara terbayang oleh kami dalam menguatkan pembicaraannya” Ibnu Abbas berkata : ”Hai penduduk Mekah, kamu sekalian berkumpul atasku, sedang di sisimu ada Atha ?” ia meninggal tahun 114 H.

 

  1. Abu Zubair Muhammad bin Muslim bin Tadarus maula Hakim bin Hazm.

Ia menceritakan hadits dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Sa’id bin Jubair dan selain mereka. Ya’la bin Atha” berkata : Abu Zubair menceritakan kepada kami dan ja adalah manusia yang lebih sempurna akalnya dan paling penghafal”. Atha’ berkata : “Kami ada di tempat Jabir, maka ia menceritakan hadits kepada kami. Apabila kami keluar maka kami mengingatingat dan Abu Zubair adalah orang yang paling hafal hadits di antara kami”. Ia meninggal tahun 137 H.

 

Dari penduduk Kufah :

 

  1. Algamah bin Qais An Nakha’i seorang ahli fiqh Irak.

Ia dilahirkan pada masa hidup Rasulullah s.a.w. dan mendengar (hadits “ pent) dari Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud dan Ali. Ia menjadi ahli Fiqh pada Ibnu Mas’ud dan dialah sebaik-baik temannya. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwasanya dia berkata : ”’Saya tidak membaca atau mengetahui sesuatu kecuali Algamah membacakan atau mengajarkannya”. Qabus bin Zhibyan berkata kepada ayahku : ”Karena apakah engkau tinggalkan shahabat dan datang kepada Algamah ?” Ia berkata : “Saya jumpai orang-orang dari shahabatshahabat Rasulullah s.a.w. bertanya dan minta fatwa kepadanya. Adz Dzahabi berkata : “Dia adalah seorang fakih, imam yang sangat mahir, suaranya merdu dengan Al Qur’an, teguh dalam apa yang dinukilkannya, seorang yang banyak berbuat baik dan wara”. Ia serupa dengan Ibnu Mas’ud dalam memberikan tuntunan, petunjuk, sifat dan keutamaannya. Ia meninggal tahun 62 H.

 

  1. Masrug bin Ajda’ Al Hamdani, seorang ahli faqih dan salah seorang cendekiawan.

Dia adalah anak perempuan Amr bin Ma’dikariba. Ia belajar dari Umar, Ali dan Ibnu Mas’ud. Asy Sya’bi berkata : “Saya tidak mengetahui seseorang yang lebih banyak menuntut ilmu daripadanya”. Ia lebih pandai berfatwa daripada Svuraih dan Syuraih minta musyawarahnya sedang Masrug tidak inembutulikan Syuraih. Ia wafat tahun 63 H.

 

  1. Ubaidah bin Amr As Silmani Al Muradi.

Ia masuk Islam pada waktu penaklukan Yaman dan belajar dari Ali dan Ibnu Mas’ud. Asy Sya’bi berkata : ”Ia menentang Syuraih dalam memberi keputusan”. Al ‘Ajali berkata : ”Ubaidah adalah salah satu teman Abdullah bin Mas’ud yang membacakan dan berfatwa kepada manusia. Ia meninggal tahun 92 H.

 

  1. Al Aswad bin Yazid an Nakha’i seorang alimnya Kufah.

Putera saudara (adik) Alqamah bin Qais. Ia belajar dari Mu’adz, Ibnu Mas’ud dan lain-lain. Ia wafat tahun 95 H.

 

  1. Syuraih bin Harits Al Kindi.

Umar menjadikannya sebagai hakim di Kufah, dan sesudah itu dijadikan hakim oleh Ali. Ia terus menjadi hakim hingga masa Al Hajaj bin Yusuf. Ia mengundurkan diri setahun sebelum meninggalnya. Dan kami tidak mengetahui ada hakim yang aktif memberi keputusan di kalangan manusia selama enam puluh tahun selain Syuraih. Ia meriwayatkan (hadits) dari Umar, Ali dan Ibnu Mas’ud. Ia meninggal tahun 78 H.

 

  1. Ibrahim bin Yazid An Nakha’i seorang ahli Fiqh Irak.

Ia meriwayatkan hadits dari Alqamah, Masruq, Aswad dan lain-lainnya. Dia adalah guru Hamad bin Abu Salamah seorang ahli Fiqh dan termasuk ulama yang ikhlas. Ia takut akan ketenaran dan ia tidak duduk satu kaki (jegang – Jawa). Abdul Maiik bin Abu Sulaiman berkata, saya mendengar Sa’id bin Jubair berkata : ”Kamu minta fatwa kepadaku, sedang padamu ada Ibrahim An Nakha’i? dan ia hanya bicara bila ditanya. Ia meninggal tahun 95 H.

 

  1. Sa’id bin Jubair maula Walibah.

Ia mendengar (hadits) dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan selainnya. Apabila penduduk Kufah haji dan bertanya kepada Ibnu Abbas maka ia berkata : ”Bukankah di sisimu ada Sa’id bin Jubair” dan ia tidak meninggalkan seseorang yang sedang mengulangulangi di sisinya. Maimun bin Mahran berkata : ”Sa’id bin Jubair meninggal dalam keadaan tidak ada seorangpun penduduk di permukaan bumi kecuali membutuhkan ilmunya”. Ia dibunuh oleh Al Hajaj dalam fitnah Ibnu Asy’ats pada tahun 95 H.

 

  1. Amir bin Syarahil Asy Sya’bi.

Ia adalah orang pandainya tabi’in, ia dilahirkan pada masa khalifah Umar tahun 19 H. Ia adalah seorang imam, ahli Fiqh dan ahli seni. Ia meriwayatkan hadits dari Ali, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, dan lainlainnya. Ta adalah sebesar-besar syaikh Abu Hanifah yang memegang pengadilan di Kufah. Mak-hul berkata: ”Saya tidak melihat orang yang lebih pandai daripada Asy Sya’bi”, Abu Husain berkata : “Saya belum pernan melihat seseorang yang lebih pandai daripada As Sya”bi”, Ibnu Sirin berkata kepada Abu Bakar Al Hadzali : “Tetaplah pada Asy Sya’bi karena saya telah melihatnya sedang dimintai fatwa sedang shahabat orang-orangnya masih banyak. Ibnu Abu Laila berkata : Asy Sya’bi adalah orang yang memiliki atsar dan Ibrahim adalah pemilik qiyas”. Ibnu Umar melewati Asy Sya’bi yang sedang menceritakan tentang peperangan-peperangan dimana ia berkata : “Engkau menyaksikan kaum itu, karena itulah engkau menghafalnya dan lebih tahu dari padaku tentang peperangan-peperangan itu”, Diriwayatkan daripadanya bahwa ia berkata : “Orang-orang shalih itu enggan untuk memperbanyak (meriwayatkan – pent) hadits. Seandainya saya menghadapi urusanku maka saya tidak menarik kembali apa yang telah saya ceritakan kecuali dengan sesuatu yang telah disepakati oleh ahli hadits”, Ibnu ‘Aun berkata : “Apabila sesuatu datang pada Asy Sya’bi maka ia takut kepadanya”, Ibrahim berkata : ”’Asy Sya’bi adalah terbuka dan Ibrahim adalah tertutup, namun apabila sesuatu fatwa terhenti, maka As Sya’bi menarik diri dan Ibrahim melapangkannya”, Dan diriwayatkan dari Asy Sya’bi bahwasanya ia berkata : “Sesungguhnya kami bukanlah ahli Fiqih, tetapi kami mendengar hadits maka kami meriwayatkannya. Seorang ahli Fiqih (faqih) adalah orang yang apabila mengetahuinya maka mengamalkan. Asy Sya’bi itu tidak menyukai qiyas”. Ia meninggal tahun 104 H.

 

Dari penduduk Bashrah :

 

  1. Anas bin Malik Al Anshari pelayan Rasulullah s.a.w.

Ia seorang sahabat yang panjang (usia “ pent) dan mempunyai hadits banyak. Ia tetap bersama Nabi s.a.w. sejak beliau hijrah sampai beliau wafat. Kemudian ia menukil (hadits – pent) dari Abu Bakar, Umar, Utsman dan pada Umar selama satu tahun. Al Bukhari mentakhrijkan 80 hadits, Muslim mentakhrijkan 70 hadits dari Anas. Keduanya mentakhrijkan bersamasama sebanyak 128 hadits. Ia meninggal tahun 93 H.

 

  1. Abu ‘Aliyah Rafi? bin Mahran Ar Rayani maula Rauyah puak kecil dari Bani Tamim.

Ia mendengar (hadits – pent) dari Umar, Ibnu Mas’ud, Ali dan Aisyah. Diriwayatkan dari padanya bahwasanya ia berkata : “Ibnu Abbas selalu mengangkatku (meninggikanku) sedang suku Quraisy adalah lebih rendah daripadanya”. Dan ia berkata : “Demikianlah ilmu, seorang yang mulia akan bertambah kemuliaannya dan raja-raja duduk di atas para tawanan”. Ia meninggal tahun 90 H.

 

  1. Hasan bin Hasan Yasar maula Zaid bin Tsabit.

Ia dibesarkan di Madinah dan hafazh Al Qur’an pada masa khalifah Utsman. Kemudian setelah besar ia terus berjuang (berperang), mempelajari ilmu dan mengamalkannya. Ia salah seorang alim yang tinggi derajat, terpercaya, ahli hujah, ahli ibadah, tinggi ilmunya, fasih, tampan dan nyata dalam kebaikan. Ia salah seorang yang berkata terus terang dan dalam melaksanakan perintah Allah tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela, Ia meninggal tahun 110 H.

 

  1. Abu Sya’tsa bin Zaid teman Ibnu Abbas.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya ia berkata :

”Seandainya penduduk Bashrah itu mencukupkan pada pendapat Jabir bin Zaid niscaya mereka paling luas ilmunya tentang apa yang ada di dalam kitabullah”. Diriwayatkan kepadanya bahwa ia berkata : ”Saya tidak melihat seseorang yang lebih pandai dalam berfatwa daripada Jabir bin Zaid”. Diriwayatkan bahwasanya Ibnu Umar bertemu dengannya ketika thawaf, maka Ibnu Umar berkata kepadanya : “Hai Jabir, sesungguhnya kamu termasuk fuqaha Bashrah, dan kamu dimintai fatwa, maka jangan sekali-kali kamu berfatwa kecuali dengan Al Qur’an yang bertutur atau Sunnah yang lampau. dika kamu tidak mengerjakannya niscaya kamu binasa dan membinasakan” Ia meninggal tahun 93 H.

 

  1. Muhammad bin Sirin maula Anas bin Malik.

Ia dilahirkan dua tahun pada akhir khalifah Utsman. Ia meriwayatkan (hadits – pent) dari maulanya Anas, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan lain-lainnya. Ia seorang ahli Fiqih, imam yang ilmunya jarang tandingannya, terpercaya, kokoh, pandai dalam menta’wilkan mimpi,dan pimpinan orang-orang wara’. Murag Al ‘Ajali berkata : “Saya tidak melihat seseorang yang lebih mendalam dalam wara” dan lebih wara’ dalam Fiqh daripada Ibnu Sirin?” Ia meninggal tahun 110 H,100 hari sesudah Hasan.

 

  1. Qatadah bin Di’amah Ad Dausi.

Ia menceritakan (hadits – pent) dari Anas, Sa’id bin ‘ Musayab dan lain-lainnya. Ia seorang buta dan kuat hafalannya. Ibnu Sirin berkata : ”Qatadah adalah manusia yang paling penghafal”. Qatadah berkata : ”Tidak ada satu ayatpun dalam Al Qur’an kecuali saya telah mendengar tentang sesuatunya”. Ahmad bin Hambal berkata : ”Qatadah adalah lebih pandai tentang tafsir dan perselisihan ulama”. Ia mensifatinya dengan hafal, mendalam dan manis dalam menuturkannya. Dan ia berkata : Bahwa engkau akan menjumpai orang yang mendahuluinya”. Qatadah berkata : “Saya tidak berfatwa dengan ra’yu sejak dua puluh tahun”. Karena hafalannya maka ia menjadi tokoh dalam bahasa Arab, ilmu bahasa, peperangan-peperangan Arab dan keturunan. Ia meninggal tahun 118 H.

 

Dari penduduk Syam :

 

  1. Abdur Rahman bin Ghunmin Al-Asy’ari.

Ia meriwayatkandari Umar, Muadz dan orang-orang lain. Umar bin Khathab mengutusnya ke Syam untuk memandaikan manusia. Dialah orang yang menjadi tempat belajar Fiqih para tabi’in di Syam. Ia tinggi derajatnya, jujur dan utama. Ia meninggal tahun 18 H.

 

  1. Abu Iaris Al Khulani ‘Aidzullah bin Abdullah.

Ia salah seorang pengumpul ilmu dan amal, mengambil (belajar) dari Muadz bin Jabal dan beberapa shahabat. Ia menjadi juru nasihat penduduk Syam, tukang kisah dan hakim mereka. Az Zuhri berkata : Abu Idris adalah : termasuk fugha Syam” Ia meninggal tahun 80 H.

 

  1. Qabishah bin Dzuaib.

Ia ada pada akhir khalifah Abdul Malik. Ia menceritakan hadits dari Abu Bakar, Umar dan orang-orang lain. Az Zuhri berkata : ”Qubaishah adalah termasuk ulama umat ini”. Mak-hul berkata : “Saya tidak melihat orang yang lebih pandai dari padanya”. Dan dari Asy Sya’bi berkata : ”Qubaishah adalah orang yang paling mengetahui tentang keputusan Zaid bin Tsabit”. Ia meninggal 86 H.

 

  1. Mak-hul bin Abu Muslim maula seorang wanita dari Hudzail, asalnya dari Kabil.

Ia meriwayatkan hadits dari shahabat-shahabat kecil dan ia mentadliskan pada shahabat-shahabat besar yaitu meriwayatkan dari mereka tanpa menerangkan perantaraan antara ia dan mereka. Ia banyak berkelana untuk mencari ilmu hingga ia mendapatkan bagian yang sempurna dalam ilmu. Az Zuhri berkata : ”Ulama itu ada tiga orang dan ia menyebutkan sebagian dari mereka adalah Mak-hul”. Hatim berkata : “Saya tidak mengetahui di Syam ada orang yang lebih pandai daripada Mak-hul”. Ia meninggal pada tahun 113 H.

 

  1. Raja’ bin Hayah Al Kindi.

Syaikh penduduk Syam dan pembesar pemerintahan. Ia meriwayatkan dari Mu’awiyah, Abdullah bin Umar, Jabir dan orang selain mereka. Mathar Al Waraq berkata : ”Saya tidak melihat orang Syam lebih pandai daripadanya (Raja’ bin Hayah)”. Makhul berkata : ”Raja” adalah penghulu (tuan) penduduk Syam tentang diri mereka”. Ibnu Sa’ad berkata : ”Raja’ adalah orang yang utama, terpercaya dan banyak ilmunya.” Ia meninggal tahun 113 H.

 

  1. Umar bin Abdul Aziz bin Marwan.

Ia adalah khalifah Bani Umayah yang ke VIII. Ia dilahirkan di Madinah dan dibesarkan di Mesir. Ia menceritakan (hadits – pent) dari Anas bin Malik dan beberapa tabi’in. Ia seorang imam yang fagih, mujtahid, pandai tentang As Sunnah, besar urusannya, kokoh hujahnya, hafidz, tunduk kepada Allah, banyak mengaduh dan kembali kepadaNya. Ia membandingi Umar bin Khathab dalam keadilannya, dengan Hasan Bashri dalam zuhudnya dan dengan Az Zuhri dalam ilmunya. Mujahid berkata : ”Kami datang kepadanya untuk mengajar, namun kami tidak meninggalkannya sehingga kami belajar dari padanya”. Ia meninggal pada tahun 101 H.

 

Dari penduduk Mesir :

 

  1. Abdullah bin Amr bin Ash.

Pada hari-hari (masa) Nabi s.a.w. ja adalah tukang puasa, jaga di malam hari, pembaca kitabullah dan penuntut ilmu. Ia menulis ilmu yang banyak yang diperoleh dari Nabi s.a.w. Ia dikenal Abu Hurairah dengan banyaknya ilmu. Dan Abu Hurairah berkata : “Ia dapat menulis sedang saya tidak dapat menulis”. Ia seorang yang baik, konsentrasi dalam menghadapi -urusannya, mencela ayahnya karena tindakannya dalam fitnah, ia taubat dari dosa, dudukduduk (tidak ikut) berperang, karena takut dudukduduk itu maka ia datang ke Shiffin namun tidak menghunus pedang. Ia membetulkan sejumlah kitabkitab ahli kitab, mengkali (mengkaji) pemikiran mereka dan id melihat keajaiban-keajaiban. Orang-orang Mesir mengangkat ilmu yang banyak dari padanya. Ia meninggal di Mesir pada tahun 90 H.

 

  1. Abul Khair Martsad bin Abdullah Al Yazini, mufti penduduk Mesir.

Ia meriwayatkan dari Abu Ayub Al Anshari, Abu Bashrah Al Ghaffari dan Uqbah bin Amir Al Juhani. Ia menjadi alim Fiqh pada Uqbah dan Abdullah bin Amr. Ibnu Yunus berkata : ”Ia adalah mufti penduduk Mesir”. Ia meninggal pada tahun 90 H.

 

  1. Yazid bin Abu Habib maula Al Azdi.

Ia meriwayatkan dari sebagian shahabat, dan sebagian besar riwayatnya adalah dari tabi’in. Abu Sa’id bin Yunus berkata : “Ia adalah mufti penduduk Mesir, ia penyantun dan cerdik. Ia adalah orang pertama yang memunculkan ilmu, beberapa masalah lain, halal dan haram. Sebelum itu mereka selalu memperbincangkan tentang hal-hal yang menggemarkan peperangan-peperangan dan fitnah-fitnah. Al Laits bin Sa’ad berkata : ”’Bertambahlah orang pandai kita dan penghulu kita”. Dan dikatakan Yazid itu salah seorang dari tiga orang yang dijadikan oleh Umar bin Abdul Aziz untuk tempat dimintai fatwa di Mesir. Ia berasal dari bangsa Barbar. Ayahnya dari penduduk Dangalah. Ia dibesarkan di Mesir.

 

Apabila terdapat pembai’atan untuk Khalifah maka orang pertama yang membai’at adalah Ubaidillah bin Ali bin Abu Ja’far dan Yazid bin Habib. Ibnu Luhai’ah berkata : ”Yazid sakit, maka Hauratsah bin Suhail amir Mesir menjenguknya seraya berkata : ”Hai Abu Raja’, apakah pendapatmu tentang shalat yang pada pakaiannya ada darah kutu ?” Abu Raja memalingkan mukanya dan tidak membicarakannya. Ibnu Lujai’ah berkata : ”’Yazid melihat kepadanya seraya berkata : “Kamu setiap hari membunuh makhluk dan kamu menanyakan kepadaku tentang darah kutu ?” Sa’id bin Ufair berkata : Umar bin Abdul Aziz mengirimkan langganannya kepada Yazid ”Datangkan kepadaku karena saya akan bertanya kepadamu tentang ilmu”. Maka Yazid mengirimkan utusan kepada Umar bin Abdul Aziz : ”Bahkan engkau, maka datanglah kepadaku, karena kedatanganmu kepadaku adalah hiasan bagimu, dan kedatanganku kepadamu adalah celaan bagiku” Ia meninggal pada tahun 128 H.

 

Dari penduduk Yaman :

 

  1. Thawus bin Kaisan Al Jundi dari Abna’

Ia mendengar hadits dari Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abu Hurairah dan lain-lainnya. Ia sebagai pimpinan dalam ilmu dan amal. Amir bin Dinar berkata : ”Saya tidak melihat seorang seperti Thawus”. Qais bin Sa’id berkata : “Keadaan Thawus di kalangan kami seperti Ibnu Sirin di kalangan penduduk Bashrah”. Adz Dzahabi berkata : ”Thawus adalah syaikh penduduk Yaman, kolam dan ahli Fiqih mereka, ia mempunyai kemuliaan besar dan banyak hujahnya. Meninggalnya bertepatan di Mekah tahun 106 H.

 

  1. Wahab bin Munabbih Ash Shan’ani, orang alimnya penduduk Yaman.

Ia meriwayatkan-hadits dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Jabir dam lain-lainnya. Ia banyak mempunyai ilmu dari ahli kitab, karena ja memusatkan perhatian kepadanya dan mendalaminya. Al ‘Ajali berkata : “Ia seorang yang terpercaya, tabi’in dan menangani pengadilan”. Ia meninggal tahun 114 H.

 

  1. Yahya bin Abu Katsir maula Thayi’.

Ia meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik dan dari banyak tabi’in. Syu’bah berkata : “Ia lebih baik haditsnya daripada Az Zuhri”. Ahmad berkata : ”Apabila Az Zuhri menyelisihinya maka perkataan (yang diterima – pent) adalah perkataan Yahya”. Ia meninggal padatahun 129 H.

 

Itulah orang-orang yang kami sebutkan karena mereka adalah orang-orang yang selalu memberikan fatwa pada periode ini dan meriwayatkan hadits dari Rasulullah s.a.w. Pembangsaan kepada ahli Fiqih tertentu dengan mengamalkan riwayat atau pendapat yang dikemukakannya tidaklah dikenal manusia. Namun orang-orang yang berfatwa pada negara-negara besar yang berbeda-beda adalah mengenal Fiqih dan riwayat hadits, dan orang yang minta fatwa dapat pergi kepada siapa yang dikehendaki dari mereka, untuk menanyakan tentang apa yang dialaminya kemudian ia diberi fatwa olehnya, dan pada kali yang lain barangkali pergi kepada mufti yang lain, Di negaranegara besar para hakim memberi keputusan kepada manusia dengan apa yang dipahaminya dari kitabullah atau sunnah RasulNya atau ra’yu jika diperlukan bagi mereka, Barangkali mereka minta fatwa kepada salah seorang dari fuqaha yang dikenal di negara mereka, dan barangkali mereka mengirimkan kepada khalifah untuk menanyakannya, sebagaimana banyak terjadi pada masa Umar bin Abdul Aziz,

 

Pada periode ini muncul suatu golongan yang oleh para ahli tarikh disebut Khawarij. Kumannya adalah suatu kelompok yang keluar dari Utsman bin Affan sebagai balasan terhadap tindakan-tindakan yang diadakannya. Dengan demikian, mereka menghalalkan keluar daripadanya kemudian ja membunuhnya. Ketika mereka membai’at Ali, maka mereka menjadi sebab besar dalam mengobarkan urusan antara Ali dan Mu’awiyah sehingga timbullah perang besar di padang Shiffin antara dua golongan yang merupakan pilihan dunia Islam. Ketika Mu’awiyah mengajak untuk bertahkim, pada permulaannya mereka meridhlai (menyetujui)nya, namun sesudah itu mereka mencelanya dan mengatakan bahwa tahkim itu kafir karena :

 

 Artinya :

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.

 

Kalimat ini diambil sebagai syi’ar mereka sehingga dikatakan bagi orang yang berpendapat dengan pendapat Khawarij bahwa ia telah berhukum. Antara mereka dan Ali terjadi langkah-langkah yang sulit dimana keduanya saling memerangi. Dengan demikian berlipatlah lapangan yang dihadapi Ali yang keadaan musuhnya itu tentara yang paling patuh. Kesudahan urusan itu adalah terbunuhnya Ali r.a. secara sembunyi-sembunyi oleh salah seorang dari mereka yaitu Abdur Rahman bin Muljam. Pada waktu itu terdapat kelompok (golongan) khusus yang mempunyai persoonpersoon yang istimewa yang dikenal dengan pengorbanpengorban. Nama ini mereka ambil dari firman Allah Ta’ala :

 

Artinya :

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah.

 

Prinsip mereka yang umum adalah menyerahkan pemerintahan kepada dua orang syaikh yaitu Abu Bakar dan Umar serta melepaskan diri dari Utsman-karena adanya sesuatu yang mereka cela pada Utsman, dan berlepas diri dari Ali karena ia rela kepada tahkim (perdamaian), dan dari Mu’ awiyah karena ia mengalahkan kaum muslimin tanpa keridhaan mereka. Prinsip mereka tentang kekhalifahan diketahui yaitu khilafah adalah urusan yang diserahkan kepada umat untuk memilih siapa yang dikehendakinya dari keluarga manapun, mereka meninggalkan kekhususan suku Quraisy dengan kekhilafahan. Dan tidak wajib mentaati khalifah kecuali dalam daerah batas-batas yang telah diterangkan oleh Allah Yang Maha Suci dalam kitabNya atau sunnah RasulNya yang diikuti. Jika khalifah-khalifah itu menyelisihinya maka mereka berlepas diri dari padanya dan wajib mendurhakainya, dan mereka tidak membedakan antara kafir dan fasik bahkan orang yang melampaui batas-batas Allah maka dia fasik, sedang orang yang fasik adalah kafir. Mereka mempunyai dalil dari zhahir-zhahir Al Qur’an yang menguatkan mereka. Oleh karena itu mereka menganggap setiap orang yang menolong Mu’awiyah dan tidak berlepas diri dari Ali dan Utsman sebagai orang yang keluar dari agama. Jumhur ulama dan orang-orang Syi’ah menghalalkan untuk memerangi dan membunuh Khawarij. Dalam pada itu di kalangan golongan Syi’ah terdapat pemimpin besar yang memimpin mereka untuk memerangi khalifah Jumhur. Seluruhnya itu menyebabkan adanya pendapat yang keras dalam agama, mereka selalu mengambil zhahir-zhahir Al Qur’an dan tidak menerima As Sunnah kecuali hadits yang diriwayatkan oleh orangorang yang mereka ikuti. Pegangan mereka dalam hal itu adalah hadits-hadits yang dikenal pada masa Abu Bakar dan Umar. Di antara mereka terdapat ulama-ulama besar dan mufti-mufti untuk tempat bertanya, hanya saja kerasnya mereka terhadap Jumhur dan akidah mereka dalam hadits menjadikan Jumhur itu lari dari mereka dan dari setiap orang yang dituduh bahwa ia berpendapat dengan pendapat mereka, maka Jumhur tidak meriwayatkan dari mereka (Khawarij) jika ia muhadits, dan tidak dimintai fatwa jika ia mufti, dalam pada itu mereka mungkin sejauhjauh golongan dari dusta karena dusta itu mereka anggap menjadikan kafir. Sehubungan dengan lari mereka maka sebagian imam-imam hadits menggugurkan riwayat Ikrimah dari Ibnu Abbas dimana Malik bin Anas dan Muslim bin Hajaj tidak mentakhrijkannya, karena Ikrimah dituduh berpendapat dengan pendapat Khawarij. Sebagian ahli hadits melemahkan riwayat Imran bin Hithan seorang ahli Fiqih dan penyair dari Khawarij. Bersatunya golongan Khawarij tidak dalam waktu yang lama, namun menjalarlah perpecahan di kalangan mereka karena perbedaan pendapat dalam menghadapi sesuatu yang berhubungan dengan pergaulan Jumhur, serta kekerasan mereka pada masa Bani Umayah dan permulaan daulat Bani Abbasiyah.

 

Dan terjadi juga pada golongan Syi’ah, yaitu mereka yang menetapkan atas pemerintahan Ali bin Abu Thalib dan keluarganya. Prinsip mereka yang merata di kalangan mereka adalah bahwa khalifah itu adalah hak Ali, yang hak itu diperoleh dengan wasiat Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu mereka mengkhususkan wasiat atasnya dan kekhilafahan sesudah Ali adalah putera-puteranya, dan hanya orang dhalim dan ghashablah yang menggeser kekhilafahan itu dari Ali dan keturunannya. Hal itu menarik kepada sebagian mereka untuk merebut kedudukan Abu Bakar dan Umar karena dua orang itu ghashab terhadap Ali. Sesudah Ali mereka memberikan imamah kepada puteranya Hasan kemudian puteranya Husain dengan tidak ada perbedaan pendapat. Setelah Husain terbunuh mereka terpecan belah menjadi dua golongan. Sebagiannya memberikan imamah kepada Muhammad bin Hanafiyah karena ia anak Ali yang tertua sesudah Husain, dan golongan ini diberi julukan Kisaniyah. Dan nama Muhammad dipergunakan pembrontakan yang dilakukan Mukhtar bin Abu ‘Abid Ats Tsagafi melawan Bani Umayah dan Abdullah bin Zubair serta mereka mengkhususkan Muhammad bin Hanafiyah sebagai Al Mahdi Jiwa pembrontakan ini bukanlah bersifat keagamaan sebagaimana jiwa Khawarij, namun pembrontakan itu bersifat keduniaan. Oleh karena itu ia menghalalkan dusta untuk menyampaikan tujuan-tujuannya.

 

Sebagian dari Syi’ah ada yang memberikan kekhilafahan kepada putera-putera Fathimah, dimana setelah Husain kekhalifahan itu diberikan kepada puteranya Ali Zainul Abidin salah seorang fuqaha pada periode ini. Ketika ia meninggal, meninggalkan dua orang putera yaitu Muhammad bin Ali yang terkenal dengan Bagir dan Zaid bin Ali. Mereka memberikan imamah kepada Bagir dan setelah” ja wafat mereka pecah menjadi dua golongan. Sebagian mereka ada yang mengangkat Zaid bin Ali, merekalah yang terkenal dengan Zaidiyah dan sebagian mereka ada yang menetapkan pada keturunan Bagir, sehingga mereka memindahkan imamah kepada puteranya Ja’far Shadiq. Zaidiyah mempunyai pendapat khusus dalam kepemimpinan yaitu mereka tidak berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar karena dua orang itu sebagai wali dan ternyata keduanya adil. Dan mereka mengatakan bahwa imamah itu pada puteraputera (keturunan) Ali dan Fathimah. Tetapi imam itu tertentu dengan suatu sifat dan mereka mengingkari bahwa imam itu ditentukan oleh wasiat dengan nama, sebagaimana dikatakan oleh Ja’fariyah sehingga mereka berpendapat bahwa setiap orang yang mengaku dirinya keturunan Ali dan ia sempurna dalam sifat-sifat imamah maka wajib diikuti dan dibantu. Oleh karena itu mereka memberontak bersama Zaid bin Ali pada masa Hisyam bin Abdul Malik. Ketika ia terbunuh,mereka bergerak bersama puteranya Yahya, kemudian bersama Muhammad Al Mahdi yang terkenal dengan Nafsuz Zakiyah bin Abduilah bin Hasan bin Ali yang memberontak kepada Manshur Al Abbasi pada permulaan daulat Bani Abbasiyah.

 

Pada periode ini terdapat tiga golongan Syi’ah yaitu Kisaniyah, Imamiyah Zaidiyah dan Imamiyah Ja’fariyah. Masing-masing golongan menerima ilmu dan agama dari imam-imam yang membangsakan kepada Ali dan juga orangorang yang mendukungnya. Mereka mempunyai kepercayaan bahwa imam-imam itu berbeda dalam lurus dan melampaui batas. Sebagian mereka menguatkan Ali dan keluarganya sehingga menarik mereka untuk meriwayatkan banyak hadits yang mana para imam Jumhur tidak meragukan lagi bahwa hadits-hadits itu berbohong terhadap Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu mereka tidak mau menerima riwayat dari setiap pengikut-pengikut Syi’ah yang keterlaluan atau penganjur Syi’ah sebagaimana mereka terhenti untuk menerima riwayat orang-orang yang keterlaluan dari kalangan Khawarij.

PERIODE KE EMPAT PEMBINAAN HUKUM PADA MASA AWAL ABAD KEDUA SAMPAI PERTENGAHAN ABAD KE EMPAT HIJRIYAH (Periode pembukuan As Sunnah, Fiqh, dan munculnya Imam-imam besar yang dikenal oleh Jumhur dengan tokoh-tokoh madz-hab).

Pada permulaan periode ini sukseslah perkumpulan rahasia yang dibentuk untuk memindahkan kekhilafahan dari Bani Umayyah kepada keluarga Muhammad s.a.w. Akhirnya kekhilafahan itu beralih ke Bani Abbas bin Abdul Muththalib di mana yang menjadi khalifah (pertama) adalah Abu Abbas yang dijuluki As Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Orang-orang Abbasiyah ini sangat keras tindakannya terhadap Bani Umayyah dengan suatu kekerasan yang tidak pernah dilakukan oleh tokoh sejarah (pemegang kekuasaan yang menjadi obyek sejarah – pen). Mereka melakukan tindakan-tindakan keras dan liar yang tidak disenangi oleh hati para pendukung dan penolongnya dari bangsa Persia. Seorang laki-laki dari Bani Umayyah yang terbesar kemauannya berhasil memencilkan dirinya untuk memasuki negeri Andalusia. Di sana ia mendirikan kerajaan besar yang bebas dari Bani Abbasiyah. Itulah permulaan terbaginya daerah Islam. Perpindahan ke lain tempat ini tidak menyenangkan dalam pandangan keturunan paman mereka yakni keturunan Ali bin Abu Thalib yang berpendapat bahwa diri merekalah yang berhak dengan kekhilafahan dari pada keluarga lain yang manapun. Maka mereka menetapkan dalam hati untuk mengambiialih kekhilafahan atau mengeruhkan suasana bagi musuh-musuh mereka. Itulah pemberontakan pertama dari keluarga Ali (Alawiyyin). Kemudian oleh putera-putera Hasan Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Ali, dan hampir saja ia dapat mencapai tujuannya seandainya tidak karena kekeliruan-kekeliruan dan buruknya benturan di Madinah atas dirinya dan saudaranya Ibrahim di antara Bashrah dan Kufah.

 

Kemudian terjadi pemberontakan lain di bawah pimpinan cucunya yaitu Musa Al—Hadi bin Muhammad Al Mahdi bin Abu Ja’far Al—-Manshur di daerah-daerah Mekah, namun ia terbunuh. Dan Idris bin Abdullah saudara Muhammad Nafsuz Zakiyyah melarikan diri dari peperangan. Ia pergi jauh ke barat dan di sana di kalangan bangsa Barbar ja mendirikan suatu khilafah Islamiyah yang merupakan negara kedua yang memutuskan diri dari khilafah Abbasiyah yaitu khilafah Idrisiyyah.

 

Demikian juga saudaranya Yahya bin Abdullah lari ke daerah utara di negeri Dailam dengan diikuti oleh orang banyak. Dalam mengalahkannya, Ar—Rasyid menggunakan tipu daya (tipu muslihat) dengan perantaraan Fadhal bin Yahya bin Khalid bin Barmak yang meminta kepada Yahya bin Abdullah untuk pulang dari perlindungannya dan kepadanya diberikan surat jaminan keamanan, namun Ar Rasyid tidak menepati janji yang telah diberikannya.

 

Ar—Rasyid berpendapat bahwa dirinya sangat membutuhkan kepada suatu pemerintahan yang kuat yang merupakan pelindung terhadap serangan orang yang ingin mengalahkan. Di sebelah barat ia membuat asas daulat Ghalibiah di Afrika. Kemudian Al-Ma’mun membuat asas pemerintahan Ath—Thahiriyah di Khurasan, dan pemerintahan Zaidiyah di Yaman. Seluruhnya itu untuk menggagalkan terhadap kesuksesan Syi’ah di berbagai daerah.

 

Adapun Syi’ah Imamiyah telah sepakat untuk mengangkat Ja’far bin Muhammad yang terkenal dengan Ash Shadik yaitu imam yang keenam dari imam-imam Syi’ah Gan ia mempunyai pengikut yang banyak hanya saja ia tidak menuntut khilafah untuk dirinya. Ketika ia meninggal, pengikutnya terbagi menjadi dua golongan yaitu :

 

  1. Segolongan mengangkat puteranya yang bernama Musa yang terkenal dengan Al Kazhim. Golongan ini terkenal dengan Musawiyah. Sesudah Musa mereka memberikan imamah kepada anak cucunya sampai dengan imam yang kedua belas. Imam yang kedua belas itu adalah Abul Qasim Muhammad Al ‘Askari bin Hasan Al ‘Askari bin Ali Al-Hadi bin Muhammad Al Jawad bin Ali Ridha bin Musa Al-Kazhim bin Ja’far Shadik bin Muhammad Bakir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abu Thalib. Syi’ah imamiyah ini menduga bahwa setelah ayahnya wafat pada tahun 260 H. imam itu tidak muncul dan baru muncul lagi di akhir zaman dengan meratakan keadilan ke seluruh permukaan bumi sebagaimana merajalelanya kezaliman. Mereka menantinya sampai sekarang.

 

  1. Golongan kedua mengangkat Isma’il bin Ja’far Shadik dan golongan ini terkenal dengan Isma’iliyah. Mereka berusaha untuk memperoleh khilafah, sesuatu yang tidak dilakukan oleh golongan pertama. Mereka memulainya dengan ajakan rahasia dan membuat ajaranajaran yang menarik hati yang lari. Setelah sempurna apa yang mereka kehendaki maka muncullah imam mereka Ubaidillah Al—-Mahdi di negeri Afrika dan dialah tokoh daulat Fathimiyah. Ia memperoleh sukses besar dalam memerintah seluruh Maghribi. Ketika periode ini hampir berakhir muncullah suatu daulat yang kokoh sensi-sendinya dan kuat pengaruhnya di Kairo Mesir yaitu Al Ma’ziyah.

 

Daulat Abbasiyah itu berpijak atas dua fanatik yaitu fanatik Arab di kalangan orang-orang Arab yang memegang tampuk pemerintahan, dan fanatik Persia di kalangan para penganjur daulat Abbasiyah. Keadaan khalifah-khalifah dari keturunan Abbas apabila menjumpai sesuatu yang meragukan maka mereka minta tolong pada yang lain sehingga Al-Ma’mun yang terdidik Persi semata-mata dan selalu di tengah-tengah mereka minta bantuan kepada saudaranya Muhammad Al-Amin untuk menghapuskan fanatik Arab dan memberikan tulang punggung kerajaan kepada golongan lain. Ketika saudaranya Ishak Al-Mu’tashim memerintah ia memperbaharui dirinya dengan fanatik lain dari kerajaan Turki yang mengembangkan sayapnya. Demikian itulah takdir yang tidak dapat dielakkan bagi raja daulat Bani Abbasiyah. Mutawakkil Al Mu’tashim bermaksud untuk melepaskan diri dari mereka namun dihancurkan sebelum ia sempat menghancurkannya. Demikian itu dengan permufakatan bersama puteranya Al—Muntashir. Dengan demikian para khalifah itu benar-benar tunduk kepada Sulthan yang meletakkan cengkeramannya kepada Al-Mu’tashim, maka mereka mempunyai perkataan yang dilaksanakan oleh orang yang dekat dan jauh terhadap khilafah. Kelemahan itu mendorong kepada berdirinya beberapa pemerintahan di daerah timur seperti daulat Samaniyah di sebalik sungai dan daulat Shafariyah di Persi. Periode ini berakhir dengan berdirinya daulat Buwaihi yang mendirikan kerajaan untuk keluarganya, dan akhirnya mereka menguasai Baghdad itu sendiri sebagai ibu negeri khilafah Abbasiyah. Bani Abbasiyah hanya tinggal memiliki nama saja, dan yang memiliki kekuasaan yang dijalankan adalah Banu Buwaihi dari Dailam.

 

Inilah keadaan daulat yang memerintah sejak  tahun 132 H. yang mewarisi secara besar-besaran dari Bani Umayyah,dan pada tahun 330 H. daulat itu tinggal nama belaka. Berpindahlah sulthan itu dari bangsa Arab ke bangsa-bangsa Jain yakni bangsa-bangsa Persi, Dailam, Turki dan Barbar. Sejak masa Al—Mu’tashim tidak ada seorangpun yang berbangsa Arab ikut dalam pasukan militer.

 

Ketika Abu Bakar Al-Manshur menjabat sebagai khalifah membangun kota Baghdad untuk menjadi ibukota negara-negara Islam, dan dalam membangunnya itu dipercantik melebihi seluruh kota-kota di dunia pada masa itu. Setelah kota itu selesai dibangun, berkumpullah para ulama dari seluruh penjuru dunia ke sana. Demikian juga para pedagang, dan para tukang yang masing-masingnya mempunyai kesenangan dan perasaan yang berbeda-beda. Hampir pada seluruh masanya kota Baghdad itu menjadi kota yang paling indah dan paling menonjol di seluruh daerah. Jumlah penduduknya lebih dari beberapa juta orang. Kota itu memanjang hingga tebing sungai Dajlah, yang mana di tebing barat kota Al—Manshur dan di sebelah timur kotanya Al-Mahdi. Dalam membangun kota itu telah dipadukan antara pemikiran-pemikiran Arab, Persi dan Rumawi masingmasing pemikiran itu diambil kemampuan mencipta yang tersembunyi pada masing-masingnya.

 

Apabila anda telusuri kerajaan Islam di sebelah barat yaitu di semenanjung Andalusia, maka anda jumpai kota Kordoba yang terhitung sejajar dengan kota Baghdad di bawah duli Amir Agung Abdur Rahman bin Mu’awiyah pembina daulat Umawiyah di Andalusia. Di Afrika anda jumpai kota Kirawan yang mewarisi kemegahan kota-kota Afrika model Rumawi yang kecantikannya pindah kepadanya. Sesudah itu anda jumpai kota Fusthath ibu kota Mesir, di mana masjidnya yang besar memuat halagah-halagah bagi para ulama yang meninggalkan pengaruh yang terbesar dalam ijtihad dan istimbath. Merekalah yang memunculkan Fiqh dari imam-imam mujtahid yang berbeda-beda madzhabnya kepada seluruh manusia. Sebagian dari mereka ada teman-teman Malik seperti Ibnul Qasim, sebagian mereka adalah teman-teman Asy-Syafi’i seperti Rabi“ dan Muzni, dan masjid Fusthath itulah yang menyebarkan ilmu Asy Syafi’i. Dan sebagian dars mereka adalah teman Abu Hanifah yaitu Abu Ja’far Ath Thahawi. Seluruhnya itu adalah salah satu dari peninggalan-peninggalan Fusthath. Orang yang menela’ah terhadap tulisan para seja rahwan negeri ini akan melihat bahwa Fusthath itu sudah berbudaya, dalam ilmu, perdagangan dan pertukangan yang tidak kalah dengan kota Baghdad. Kemudian anda jumpai kota Damaskus meskipun telah kehilangan kebesaran khilafah namun masih terawat baik. Kota Kufah dan Bashrah yang menjadi kediaman para ulama dan hukama’ (orang-orang yang bijak) serta dekatnya kota Baghdad dari kedua kota itu maka Baghdad tidak dapat menutup diri dari sinar kota-kota itu dikarenakan kota Baghdad itu merupakan jalur besar bagi perdagangan dari India sedang Kufah menjadi tempat tinggal bangsa Arab. Apabila anda mengarahkan pandangan ke sebelah timur maka anda lihat kota-kota Maru, Naisabur dan kota-kota besar lainnya, yang mana kebudayaan telah meluas ke daerah-daerah perdagangan, pertanian dan pertukangan. Seluruhnya itu telah mencapai puncaknya sehingga kebudayaan telah melebihi seluruh kebudayaan yang telah lampau karena kebudayaan Islam merupakan sari dari ber: bagai kebudayaan yang berbeda-beda. Dan para amir mempunyai pengaruh yang besar dalam bidang fiqh karena diselenggarakannya orang yang menangani berbagai masalah yang berbeda-beda untuk diistimbathkan jawabannya.

Gerakan ilmiyah telah dimulai pada akhir periode yang lampau. Pada periode ini gerakan itu telah berkembang sangat pesat karena sampainya peradaban kuno kepada para pemikir dari kalangan bangsa Arab. Hal ini mempunyai dua unsur :

 

  1. Unsur pertama maula.

Sejumlah besar dari Persi, Rumawi dan Mesir telah masuk agama Islam. Sebagian dari mereka ada yang menjadi tawanan perang di kala masih kecil, kemudian dididik di bawah naungan tuantuan mereka yaitu kaum muslimin, sehingga para maula itu mewarisi ilmu-ilmu agama Islam dari tuan-tuan mereka di mana ilmu itu berasaskan Al – Qur’an dan As Sunnah. Sebagian dari mereka ada yang menjadi gari’-gari’ besar, ahli-ahli hadits yang besar disamping ulama-ulama yang berbangsa Arab. Dan sebagian dari maula itu ada yang masuk Islam di kala sudah tua atau besar, sehingga menurut wataknya mereka ini mengawinkan pemikiran dan menyempurnakan akal. Periode ini dimulai dan para maula itu mempunyai peranan yang besar dalam politik kenegaraan, karena sesungguhnya daulat Abbasiyah itu berdiri di atas kepala para maulanya dari penduduk Khurasan dan Irak. Dengan demikian mereka sekutu dalam daulat itu, dan sempurna pula persekutuan mereka dalam bidang ilmu dan politik.

 

  1. kitab2 Persia dan Rumawi :

Pada akhir periode yang lampau sudah dimulai adanya penterjemahan kitab-kitab Persi dan Rumawi ke dalam bahasa Arab. Pada periode ini sejak masa Abu Ja’far Al – Manshur khalifah Abbasiyah yang kedua perhatian terhadap penterjemahan ini bertambah-tambah, dan hal itu selalu berkembang terus sampai masa Al -Ma’mun bin ArRasyid pada awal abad ketiga Hijriyah. Sangat berhutang budi terhadap kesusasteraan Yunani dan perdapatpendapat Aristoteles khususnya, dan buku-buku itu tersebar dengan sangat pesatnya. Apa yang termuat di dalamnya mempunyai peranan dalam membentuk pengetahuanpengetahuan ahli kalam yang banyak mengalami pasang naik pada masa Ai-Ma’mun, yang karena tingginya kemuliaan mereka hampir saja mereka menumbangkan ahli hadits. Demikian ini karena Al-Ma’mun menyokong mereka dan sebagian pengaruh sokongan ini adalah timbulnya kemusykilan tentang kemakhlukan Al -Qur’an dan tindakan Al -Ma’mun agar ahli hadits itu merobah akidah mereka dalam hal itu. Orang yang melihat suratnya yang dikirimkan kepada Gubernur Baghdad tentang urusan tokoh ahli hadits akan melihat bagaimana pemikiran ahli kalam terhadap ahli hadits di mana ia sebutkan nama mereka satu persatu dan dicelanya pemikiran dan budi pekerti (akhlak) mereka. Menurut kami sedikitpun tidak ragu untuk menyalahkan Al-Ma’ mun karena sifatnya sebagai khalifah kaum muslimin. Namun ia turut campur tangan dalam suatu akidah yang diperselisihkan oleh Jumhur, dan ia menyerang segolongan ahli ilmu yang mengemukakan pendapatnya. Dalam hal ini berarti ia mengekang terhadap kebebasan berfikir serta tidak menghargainya. Para ahli hadits telah sepakat untuk melawan gerakan kalamiah ini, dan Jumhur bersama mereka (ahli hadits), maka apa yang mereka maksudkan dapat tercapai. Nah, kami lihat hubungan antara kami dan ahli kalam itu terputus kecuali apa yang dinukilkan oleh ahli hadits. Adapun apa yang ditulis oleh mereka maka sedikitpun kami hampir tidak melihatnya. Dalam pada itu mereka mempunyai andil dalam pembinaan hukum Islam praktis pada periode ini. Akan kami kemukakan sedikit diskusi mereka tentang As Sunnah dan Qiyas. Sebagian tokoh (pimpinan) mutakallimin yang terkenal adalah Amr bin Ubaid yang meninggal pada tahun 144 H. Abdul Hudzail Al-Ilaf yang meninggal pada tahun 235 H, dan Amr bin Bahr Al -Jahizh yang meninggal pada tahun 255 H.

Pada periode ini para penghafal Al – Qur’an bertambah banyak dan tersebar di seluruh daerah-daerah Islam sebagaimana tersiarnya Kitab itu, dan pada setiap daerah kaum muslimin mengenal para qari’ yang terkenal namanya. Para gari’ itu adalah :

 

  1. Di Madinah yaitu :

Nafi” bin Abu Nu’aim maula Ja’unah. Ia belajar pada murid-murid Ibnu Abbas dan meninggal pada tahun 167 H.

 

Urang yang termasyhur meriwayatkan giraah dari Nafi” adalah Isa bin Mina yang dijuluki Qalun yang meninggal pada tahun 205 H, dan Abu Sa’id Utsman bin Sa’id Mishri yang dijuluki Warasy yang meninggal pada tahun 197 H. Kepadanyalah kebanyakan penduduk Maghribi mempelajari Al Qur’an.

 

  1. Di Mekkah yaitu :

Abdullah bin Katsir maula Amr bin Alaamah berasal dari Persi. Ia belajar pada murid-murid Ibnu Abbas dan meninggal pada tahun 120 H.

 

Orang yang terkenal meriwayatkan gira-ah dari padanya adalah Abul Hasan Ahmad bin Abdullah Ai Bazi yang meninggal pada tahun 205 H dan Abu Umar Muhammad yang dijuluki Qambal dan meninggal pada tahun 291 H. Dua orang ini meriwayatkan dari murid-murid Ibnu Katsir

 

  1. Di Bashrah yaitu :

Abu Amr bin Ali Al – Mazini, berasal dari Kaziruni. Ia belajar pada murid-murid Ibnu Abbas, dan meninggal di Kufah pada tahun 154 H. Orang-orang yang terkenal meriwayatkan gira-ah dari padanya adalah Yahya bin Mubarak Al – Yazidi, dan dari Yahya diriwayatkan oleh Abu – Hafsh bin Umar Ad Dauri yang meninggal pada tahun 264 H, dan Abu Syu’aib Shalih bin Zayad As Susi yang meninggal pada tahun 261 H. Kebanyakan penduduk Sudan adalah belajar pada Abu Amr.

 

  1. Di Damaskus yaitu :

Abduliah bin Amir yang belajar pada muridmurid Utsman dan Abu Darda’. Ia meninggal pada tahun 118 H.

 

Orang yang terkenal meriwayatkan gira-ah dari padanya adalah Abul Walid Hisyam bin Amr Ad damasyki yang meninggal pada tahun 245 H, dan Abu Amr Abdillah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan yang meninggal pada tahun 242. Dua orang ini meriwayatkan gira-ah dari Ibnu Amir di Wasithah.

 

  1. Di Kufah yaitu :

1). Abu Bakar Ashim bin Abu Najud. Ia belajar pada murid-murid Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubaiy dan Zaid bin Tsabit. Ia meninggal di Kufah pada tahun 128 H.

 

Orang yang terkenal meriwayatkan gira-ah dari padanya adalah Syu’bah bin Iyasy Al Kufi yang meninggal pada tahun 193 H, dan Hafsh bin Sulaiman yang meninggal pada tahun 180 H. Orang-orang Mesir membaca Al Qur’an dengan riwayatnya, demikian juga kebanyakan negara-negara Islam.

 

2). Hamzah bin Habib Az-Zayat. Ia belajar dari jalan Ali, Ibnu Abbas dan Utsman. Ia meninggal pada tahun 145 H.

 

Orang yang paling terkenal meriwayatkan gira-ahnya adalah Khalaf bin Hisyam AlBazar yang meninggal pada tahun 229 H, dan Isa bin Khalid yang dijuluki Khalad yang meninggal pada tahun 220 H. Ia belajar pada murid-murid Hamzah.

 

3). Abut Hasan Ali bin Hamzah Al-Kisa-i maula Bani Asad dari keturunan Persi. Ia belajar pada Hamzah bin Habib dan meninggal pada tahun 179 H.

 

Orang yang terkenal meriwayatkan gira-ah dari padanya adalah Abul Harits Al Laits bin Khalid yang meninggal pada tahun 420 H. Ad-Dauri adalah seorang yang mempercakapkan hadits atau syi’ir Abu Amr bin Ala

 

Mereka itulah orang-orang yang terkenal dengan Qari’ yang tujuh (Alqurra’as Sab’ah) yang rapi dan dhabith(kuat hafalannya) melebihi orang-orang lain. Di bawah mereka masih ada tiga orang lagi yaitu :

 

  1. Abu Ja’far Yazid bin Qa’ga” Al-Madani yang meninggal pada tahun 130 H. Dua orang rawinya adalah Isa bi n Wardan dan Sulaiman bin Jamaz ..
  2. Ya’kub bin Ishak Al – Hadhrami yang meninggal pada tahun 205 H. Dua orang rawinya adalah Ruwais dan Rauh.
  3. Khalaf bin Hisyam seorang yang mempercakapkan hadits atau syi’ir Hamzah bin Habib. Dua orang rawinya adalah Ishak Al -Waraq dan Idris Ai-Haddad.

 

Sepuluh orang tersebut disebut Qari yang sepuluh (Al qurraf al “asyarah). Di samping qari’ yang sepuluh itu masih ada empat gari’ yang masyhur yaitu :

 

  1. Muhammad bin Abdur Rahman Al -Makki yang terkenal dengan Ibnu Muhaishin. Dua orang rawinya adalah Al -Bazi dengan riwayat Ibnu Katsir ydan Abul Hasan bin Syambudz.
  2. Yahya bin Mubarak Al Yazidi dengan riwayat Abu Amr bin Ala’ . Dua orang rawinya adalah Sulaiman bin Hakam dan Ahmad bin Farah.
  3. Al Hasan bin Abul Hasan Al -Bashri seorang ahli Fiqh. Dua orang rawinya adalah Abu Nashr Al -Balkhi dan Ad Dauri dengan riwayat Abu Amr bin Ala’ Al -Kisa-i.
  4. AlA’masy Sulaiman bin Mahran. Dua orang rawinya adalah Hasan bin Sa’id Al -Mithwa’i dan Abul Faraj Asy – Syambudzi Asy -Syathawi.

 

Qira-ah empat qari’ itu dianggap tidak memperoleh tingkat mutawatir. Oleh karenanya dianggap syadz.

 

Qira-ah — qira-ah ini hanya ada perbedaan sedikit saja dari apa yang termuat dalam rasam (tulisan) mush-haf yang ditulis pada masa Utsman r.a.

 

Ketika periode ini hampir berakhir, gira-ah itu sudah menjadi salah satu ilmu agama, dan para ulamanya telah mulai menyusun buku-buku yang berhubungan dengan penunaian dan periwayatannya.

Periode ini adlah masa yang mulia bagi As-Sunnah. Para perawi As-Sunnah memperhatikan atas wajibnya penyusunan dan pembukuan As Sunnah. Yang dimaksud dengan menyusun As Sunnah adalah mengumpulkan As Sunnah yang sejenis dalam satu judul, sebagiannya dikumpulkan dengan sebagian yang lain seperti hadits-hadits tentang shalat, puasa dan lain sebagainya. Pemikiran ini timbul pada seluruh negaranegara Islam dalam waktu yang berdekatan sehingga tidak diketahui orang yang memperoleh keutamaan dikarenakan lebih dahulu dalam penyusunan itu.

 

Termasuk orang yang membukukan pada tahap pertama dalam periode ini adalah Imam Malik bin Anas di Madinah, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Mekah, Sufyan bin Tsauri di Kufah, Hamad bin Salmah dan Sa’id bin Arubah di Bashrah, Hasyim bin Basyir di Wasith, Abdur Rahman Al Auza’i di Syam, Ma’mar bin Rasyid di Yaman, Abdullah bin Mubarak di Khurasan, dan Jarir bin Abdul Hamid di Ray. Hal ini terjadi pada tahun 140 H lebih sedikit.Pada kitabkitab itu hadits masih bercampur dengan kata-kata shahabat dan tabi’in sebagaimana kita lihat dalam kitab Al Muwatha’ susunan Imam Malik rahimahullah.

 

Pada tahap kedua hadits Rasulullah mulai dipisahkan dari kata-kata orang lain yaitu pada permulaan tahun 200 .H. Mereka mengarang kitab yang dikenal dengan musnad, seperti Musnad Abduliah bin Musa Al -Kufi, Musnad Musaddad bin Masrahad Al Bashri, Musnad Asad bin Musa Al Mishri, Musnad Na’im bin Hamad Al -Khaza’i, Musnad Ishak bin Rahawaih, Musnad Utsman bin Abi Saibah dan Musnad Ahmad bin Hambal. Mereka meletakkan hadits pada musnadmusnad perawinya. Mereka sebut Musnad Abu Bakar, suatu buku yang di dalamnya berisikan setiap hadits yang diriwayatkan dari padanya. Sesudah itu mereka sebutkan shahabat satu, persatu menurut cara ini. Dari musnad-musnad ini yang sampai kepada kami adalah Musnad Imam Ahmad bin Hambal.

 

Sesudah tahap ini datang tahap lain yang dihadapannya terlihat perbendaharaan besar maka di mukanya terbuka pintu pemilihan hadits.

 

Tahap ini,dua imam besar tokoh As-Sunnah yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al -Bukhari Al -Ja’fi yang meninggal pada tahun 256 H, dan Muslim bin Hajjaj AnNaisaburi yang meninggal pada tahun 261 H. menyusun dua kitab shahihnya, setelah cermat dalam meriwayatkan dan memilihnya. Dua kitab shahih itulah puncakpembukuan hadits. Jalan dua tokoh itu ditempuh pula Abu Dawud Sulaiman bin Al – A’yasy As Sijistani yang meninggal tahun 279 H, Abu Isa Muhammad bin Isa Al – Salmi At Turmudzi yang meninggal pada tahun 279H, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al Qazwini yang terkenal dengan Ibnu Majah yang meninggai pada tahun 273 H, dan Abu Abdur Rahman Ahmad bin Syu’aib An Nasa’i yang meninggal pada tahun 303 H. Kitab-kitab mereka menurut lesan ahli Hadits terkenal dengan kutubus sittah (kitab hadits yang enam). Di kalangan kaum muslimin kitab itu memperoleh derajat yang tinggi karena para perawinya sangat terpercaya lebih-lebih Bukhari dan Muslim. Bukan hanya mereka saja orangorang yang menyusun As Sunnah, namun banyak orang-orang lain di samping mereka, hanya saja enam orang itulah yang memperoleh kemasyhuran yang tidak diperoleh oleh selain mereka.

 

Di antara tokoh-tokoh pada periode ini ada yang bercita-cita untuk membahas tentang keadaan perawi hadits dari tabi’in dan orang-orang yang sesudah mereka. Masing-masing perawi disifati dengan sifat yang ada pada diri mereka yakni kuat ingatan, kerapian dan keadilannya, atau sifat-sifat kebalikannya. Para pembahas itu dikenal sebagai tokoh-tokoh al – jarh wat ta’dil (mencacatkan dan mengadilkan perawi). Siapa yang dianggap cacat maka haditsnya ditinggalkan. Dalam hal ini mereka berbeda-beda. Kita jumpai di antara para perawi itu ada yang disepakati keadilannya, kuat ingatannya dan kerapiannya, itulah derajat yang paling rendah. Dan di antara dua derajat itu terdapat derajat-derajat lain yang sebagiannya lebih rendah dari yang lain. Tentang sanad, ada yang seperti matahari dalam memancarkan sinarnya sehingga pendengarnya hampir memastikan kebenaran perawi-perawinya, dan ada pula yang di bawah itu.

 

Persoalan As Sunnah berakhir pada pertengahan periode ini dan As Sunnah telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan tokoh-tokoh khusus yang membahasnya, meskipun mereka tidak meneruskannya ke dalam Fiqh dan tidak memiliki kekuatan untuk beristimbath.

Pada periode ini terdapat pertentangan keras oleh para ahli syari’at tentang pokok-pokok yang dari padanya diistimbathkan hukum. Akan kami ceriterakan berita pertentangan yang sampai kepada kami yaitu :

 

  1. Pertentangan tentang As Sunnah.

Pada periode yang lampau As Sunnah merupakan asas dalam pembinaan hukum, di mana para mufti kembali kepadanya, jika mereka tidak mendapatkan nash di dalam Al Qur’an. Namun karena lamanya waktu dan banyaknya orang yang meriwayatkan As Sunnah serta tersiarnya hadits-hadits dusta maka hal itu menimbulkan banyak perselisihan sehingga orang yang ingin menistimbathkan hukum menjumpai kesulitan yang bertumpuk dalam mentahkik-kan hadits yang shahih – sebelum mereka sibuk memahami nash-nash itu dan mengistimbathkan hukum dari padanya. Hal itu membuka pintu pertentangan dalam dua punt yakni :

 

1). Apakah As Sunnah itu merupakan salah satu pokok (dasar) pembinaan hukum Islam yang menyempurnakan Al Qur’anul karim ?

2). Apabila kita katakan bahwa As Sunnah itu merupakan suatu pokok (dasar) , maka apakah jalan untuk memeganginya ?

 

Tentang punt pertama, sesungguhnya suatu kaum menolak seluruh As Sunnah dan mereka khusus berpedoman pada Al Qur’an saja. Asy Syafii rahimahullah telah memperbincangkan suatu bab dalam jus ketujuh dari kitabnya yang bertitel Al -Um pada :

 

(Bab menceriterakan pendapat-pendapat golongan yang menolak seluruh Al hadits). Dalam bab itu

 

Asy Syafi’i.menceriterakan pendapat dan hujjah-hujjah-hujjah mereka yang salah seorang diantaranya mengatakan : “Anda seorang yang berbangsa Arab dan Al Qur’an turun dengan bahasa yang anda salah seorang dari mereka dan anda lebih tahu dalam memeliharanya. Di dalamnya terdapat fardhu-fardhu yang diturunkan oleh Allah. Sean – dainya ada seorang yang meragukannya bahwa di dalam Al Qur’an ada campuran sehurufpun (dari selain Allah – pent.), maka supaya orang tersebut bertaubat.

 

Jika ia tidak mau bertaubat maka supaya dibunuh saja, Allah ‘azza wa jalla (Yang Maha Mulia dan Maha Besar) berfirman :

 

Artinya :

”Untuk menjelaskan segala sesuatu”.

 

Maka bagaimana mungkin menurut dirimu atau oleh seseorang tentang sesuatu yang difardhukan oleh Allah untuk mengatakan bahwa fardhu yang ada di dalamnya itu ‘am, sekali waktu fardhu didalamnya khash, suatu waktu perintah (amr) di dalamnya merupakah fardhu, suatu kali perintah (amr) itu dilalah dan ibahah (membolehkan). Dan banyak lagi yang anda bedakan dari pada ini. Anda mempunyai hadits yang diriwayatkan dari. seorang laki-laki dari orang lain dari orang lain, atau dua hadits atau tiga hadits sehingga dengannya kamu sampai kepada Rasulullah s.a.w. Saya menjumpai anda dan orang yang berpendapat dengan pendapat anda di mana kami tidak berlepas diri dari orang yang anda jumpai dan anda kemu. kakan kejujuran dan hafalannya. Dan saya tidak menjumpai seorangpun dari orang-orang yang anda sekalian jumpai itu bersalah, lupa dan keliru dalam haditsnya , namun saya dapatkan anda mengatakan bukan hanya seorang saja dari mereka bahwa Fulan keliru dalam hadits demikian. Dan saya dapati anda sekalian mengatakan : Seandainya seseorang mengatakan, maka anda sekalian menghalalkan dan mengharamkan dengannya dari ilmu yang khusus dimana ia tidak mengatakan: ini Rasulullah s.a.w. maka sesungguhnya.-anda sekalian keliru atau orang yang menceriterakan kepada anda, anda sekalian berdusta atau orang yang menceriterakan kepada anda, anda tidak menyuruhnya bertaubat dan tidak lebih anda untuk mengatakan kepadanya : ”Seburuk-buruknya adalah apa yang kamu katakan”. Apakah boleh untuk memerinci Al Qur’an yangzhahirnya satu bagi orang yang mendengarnya, dengan hadits yang sifatnya seperti apa yang anda sebutkan dan anda tempatkan hadits-hadits mereka di tempat kitabullah, dan anda memberikan serta melarang dengan hadits-hadits itu ? Kemudian ia (salah seorang yang menolak seluruh As Sunnah) berkata : Apabila anda sekalian bersedia menerima haditshadits mereka dan di kalangan mereka terdapat persoalan yang telah anda sebutkan dalam menerima hadits-hadits mereka, maka apakah hujjah anda sekalian atas orang yang menolaknya ? Kemudian ja berkata : Saya sedikitpun tidak menerima hadits-hadits itu apabila di dalamnya terdapat waham (keraguan) dan saya tidak menerima kecuali sesuatu yang telah disaksikan atas Allah sebagaimana mempersaksikan dengan Kitab-Nya yang tidak memberi kesempatan bagi seseorang untuk meragukan terhadap satu hurufnya, atau boleh untuk menempatkan sesuatu di tempat yang tercakup, dan bukan dengannya”.

 

Dari hikayat pendapat ini dan orang-orang yang berhujjah untuknya, tampaklah bahwa orang yang mempunyai pendapat itu hanyalah menolak hadits-hadits yang tidak memberi faedah ilmu karena memungkinkan adanya salah (keliru) dan lupa atas para perawi-perawinya, dan tidak menolak As Sunnah jika ia benar-benar sunnah sehingga seandainya As-Sunnah itu sah dengan jalan yang memberi faedah ilmu seperti As Sunnah yang mutawatir niscaya As-Sunnah itu diambilnya. Tetapi telah jelas di tengah-tengah penolakannya atas pendapat ini, sesuatu yang memberi faedah bahwa di sana ada kaum yang menolak As-Sunnah meskipun dia itu benar-benar AsSunnah. Dan ada kaum lain yang menolak As Sunnah selama As Sunnah itu tidak menerangkan nash Al Qur’an di mana ia berkata :

”Dalam hal ini manusia mempunyai dua pendapat yaitu : ..

 

  1. Salah satu golongan itu tidak menerima hadits selama di dalam Al Qur’an tidak ada keterangannya (yang bersangkutan dengan hadits itu – pent—) . Saya katakan : Apakah yang menetapkannya? Ia berkata : Hal itu akan menyampaikan kepada urusan besar. Ia berkata : Barang siapa yang mendatangi pada apa yang dinamakan shalat, dan sedikitnya apa yang dinamakan zakat maka ia telah menunaikan kewajiban atas dirinya. Dalam hal itu tidak ada waktunya, meskipun ia shalat dua reka’at dalam setiap hari atau dalam seluruh hari-harinya. Dan ia berkata : Sesuatu yang tidak terdapat dalam kitabullah maka tidak menjadi fardhu atas seseorangpun.

 

  1. Golongan lainnya berkata : Sesuatu yang terdapat dalam Al Qur’an maka dalam hal itu hadits dapat diterima. Ia mengatakan dengan mendekati perkataan golongan pertama tentang sesuatu yang tidak terdapat di dalam Al Qur’an, maka sesuatu itu masuk atas apa yang termasuk pada yang pertama atau mendekatinya. Ia termasuk orang yang mau menerima hadits sesudah menolaknya. Ia tidak mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khash dan ia keliru. Ia berkata : Tersesatnya dua madzhab itu adalah jelas. Asy-Syafi’i tidak menerangkan kepada kami pribadi orang yang berpendapat ini, dan sejarah pun tidak menerangkan kepada kami, hanya saja Asy Syafi’i dalam diskusinya pada ash-habur ra’yu yang akan datang (kupasannya – pen) telah menjelaskan bahwa pemilik madzhab ini dibangsakan ke Bashrah, dan Bashrah itu menjadi pusat gerakan ilmu kalam, dan dari Bashrah pula lahirnya aliran Mu’tazilah. Di sanalah timbul tokoh-tokoh dan penulispenulisnya dan mereka terkenal dengan penentangan mereka terhadap ahli hadits. Kemungkinan pemilik pendapat ini adalah dari golongan mereka.

 

Dugaan ini telah menjadi kuat di sisiku, karena apa yang saya lihat dalam kitab yang berjudul ”B: Ta” willi mukhtalifil hadits” oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Gutaibah yang meninggal pada tahun 276 H, dalam permulaannya ia berkata : “Semoga Allah membahagiakan anda dengan menta’atiNya, memelihara anda dengan naunganNya, menolong anda dengan rahmatNya kepada kebenaran, dan menjadikan anda termasuk ahlinya (kebenaran). Sesungguhnya anda menulis kepadaku, anda beritahukan kepadaku sesuatu yang saya ketahui yaitu celaan, pandangan yang tidak enak dan ocehan ahli kalam terhadap ahli hadits dalam buku-buku mereka di mana mereka dicela dan dituduh membawa kebohongan dan periwayatan hadits yang berlawanan sehingga terjadilah perselisihan, banyak jalanjalan agama (aliran-aliran agama), pegangan-pegangan terputus, kaum muslimin bermusuhan dan sebagian mereka mengkafirkan kepada sebagian yang lain.

 

Masing-masing golongan bergantung kepada madzhabnya dengan hadits yang sejenis – kemudian sebagian golongan membetulkan hadits yang dipegangi oleh sebagian golongan lain yang menyelisihinya sesudah itu mendatangkan cercaan yang pedas untuk menentang ahli hadits dengan ungkapanungkapan yang menyerupai Nizham dan Jahizh dari golongan sasterawan mutakallimin. Kemudian dalam bab kedua ia menyebut cercaannya terhadap mutakalimin dan nrereka dicela karena mereka yang paling banyak perselisihannya terhadap apa yang disebut pengetahuan kiyas dan persiap“an alat-alat untuk memikirkan. Abul Hudzail Al ‘Alaf berbeda pendapat dengan Nizham, An Najar menentang keduanya dan Hisyam bin Hakam menentang mereka, demikian juga Tsumamah bin Asyrasy dan seterusnya. Tidak ada seorangpun diantara mereka melainkan mempunyai aliran dalam agama yang dengan pendapatnya ia beragama dimana masing-masing mempunyai pengikut. Kemudian ja mensifati Nizham dan sejumlah teman-temannya dengan perkataan yang buruk terhadap pendapat itu. Ia menyebutkan masalah-masalah Fiqh yang bertentangan dengan ijma” seperti pendapatnya bahwa lafazh-lafazh kinayah tidak menjatuhkan perceraian meskipun ia berminat,dan tidur dalam keadaan bagaimanapun tidak membatalkan wudhu. Orangorang besar dari shahabat menyebutkan sesuatu yang mencela terhadap Nizham. Kemudian ja menyebutkan Abul Hudzail dan disifati secara buruk. Demikian juga Ubaidillah bin Hasan hakim Basrah yang mengatakan bahwa setiap mujahid itu benar sampaipun dalam masalah-masalah ushul.

 

Sesudah itu ia menyebutkan para pemilik ra’yu dan dicelanya mulai dari Imam Abu Hanifah rahimahullah, dan ia menyebutkan beberapa masalah yang bertentangan dengan nash-nash.

 

Kemudian ia membicarakan perihal Jahizh dan disebut kedudukannya menurut ahli sunnah dan ditertawakannya beberapa hal yang mereka riwayatkan. Kemudian ia menyebutkan para pemilik hadits dan disifati dengan sebaik-baik yang disifatkan bagi kaum muslimin. Kemudian ja berkata : ‘Kadang-kadang pencela-pencela itu mencela mereka karena mereka membawa hadits dha’if dan mencari yang gharib sedang pada yang gharib itu terdapat penyakit : dan mereka tidaklah membawa yang dha’if dan gharib karena mereka melihat keduanya itu hak bahkan mereka kumpulkan yang kurus, yang gemuk, yang sehat dan yang sakit agar. mereka membedakan antara keduanya, merekamenunjukkannya dan te lah melakukannya.

 

Setelah itu ja menyebutkan apa yang telah tercantum dalam bukunya yaitu jawaban tentang hadits-hadits yang diduga oleh mutakalimin bahwa hadits-hadits itu saling berlawanan atau berlawanan dengan Al Qur’anul karim. Dari yang demikian dipahami bahwa pada masa itu perang syaraf merajalela yang mana pada masa itu Asy Syafi’i menulis Risalahnya atau sebelum itu karena serangan golongan mutakalimin terhadap ahli sunnah. Sebagian besar golongan mutakalimin ada di Basrah dan sebagian yang menguatkan yang berdiskusi dengan Asy Syafi’i dari kalangan mereka.

 

Pendapat ini tersembunyi karena kekuatan para pemilik hadits yang beradu dengannya, dan menanglah madzhab yang berpegang as sunnah dengan sifatnya sebagai salah satu dasar-2 pembinaan hukum Islam setelah Al Qur’an. Tetapi madzhab ini berbeda pendapat pada jalan tentang dipeganginya as sunnah. Sebagiannya ada yang menolak hadits khash yaitu hadits yang diungkapkan oleh para fuqaha secara perseorangan yang tidak memberi faidah ilmu.

 

Asy Syafi’i menjawab terhadap orang yang menolak pendapat ini.

 

Tidak boleh hakim dan mufti untuk memberikan fatwa atau keputusan kecuali berhati-hati, sedang berhatihati ialah setiap sesuatu yang diketahui bahwa dia benar (hak) menuntut zhahir dan bathin, dimana ia mempersaksikannya atas Allah yaitu Al Qur’an, as sunnah yang disepakati oleh manusia dimana mereka tidak berpecah belah dalam hal ita. Seluruh hukum adalah satu yang wajib bagi kami untuk tidak menerima dari mereka kecuali apa yang kami katakan, misalnya zhuhur itu empat raka’at, karena itulah yang tidak ada pertentangan didalamnya, tidak ada kaum muslimin yang menolaknya dan tidak memungkinkan lagi seseorang untuk ragu-ragu.

 

Kemudian ia menjelaskan tujuannya dengan membagi ilmu – yang wajib diikuti dengan beberapa bagian :

 

  1. Hadits yang dinukil oleh orang banyak dari orang banyak yang hadits itu disaksikan atas Allah dan RasulNya, seperti jumlah-jumlah fardhu.
  2. Kitab yang memuat ta’wil, didalamnya terdapat perselisihan. Apabila ada perselisihan maka yang dipergunakan adalah zhahir dan ‘amnya, dan tidak dipalingkan kepada bathin selama-lamanya, meskipun mengandungnya kecuali dengan ijma’ manusia atasnya. Apabila berbeda-beda pendapat maka zhahirnya yang dipergunakan.

 

  1. Sesuatu yang disepakati oleh kaum muslimin dan mereka menceritakan persepakatan dari orang-orang yang sebelum mereka, meskipun mereka tidak mengatakan dengan Al Qur’an atau Al Hadits. Menurut saya hal itu telah menempati kedudukan As Sunnah yang disepakati. Dan persepakatan mereka bukan merupakan pendapat, karena didalam pendapat itu mengandung perbedaan-perbedaan.

 

  1. Hadits yang khusus (khashshah) dan hadits ini tidak menjadi landasan hujjah meskipun penukilannya dari segi yang aman dari kekeliruan. Hasil pendapat ini adalah dinisbatkan kepada As Sunnah bahwasanya dia menjadi hujjah apabila mutawatir dengan dinukilkan oleh orang banyak dari orang banyak sehingga aman dari kekeliruan. Pendapat ini telah dibuang juga oleh Jumhur Islam seperti dulu. Sebagian manusia ada yang berkata : “Hadits hadits dari Rasulullah s.a.w. hanya diterima apabila hadits orang banyak (“ammah) dari orang banyak (“ammah), atau para fuqaha negara-negara besar besar bersepakat untuk mengamalkannya, dan ia menambah atas orang yang mendahuluinya dengan segi yang ketiga dengan perkataannya : Apabila seorang shahabat meriwayatkan hukum dari Rasulullah s.a.w yang beliau memberi hukum dengannya, dan orang lain tidak menyelisihinya, maka kami mengambil dalil atas dua hal yaitu :

 

  1. Hal itu terjadi dalam kelompok mereka.
  2. Bahwa mereka tidak menolaknya dengan hadits yang berlawanan, hanyalah karena pengetahuan mereka bahwa adanya itu sebagaimana diceritakan kepada mereka, maka hadits itu merupakan khabar dari orang banyak (‘ammah).

 

Jalan inilah yang menjadi kecenderungan fuqaha Irak yaitu Abu Hanifah dan teman-temannya. Pengertian ini telah dijelaskan imam besar Abu Yusuf pada bab 

 

(bagian pengendara kuda dan pejalan kaki) dari kitabnya yang disusunnya dalam mengritik perjalanan Al Auza’i. Asy Syafi’i meriwayatkan dalam Al Um dengan berkata : Hati2lah pada hadits yang diketahui oleh orang banyak (ammah) dan takutlah kamu terhadap hadits yang syadz (menyimpang) daripadanya, karena sesungguhnya Ibnu Abi Karimah menceritakan kepada kami dari Abu Ja’far dari Rasulullah s.a.w. bahwasanya beliau memanggil orang-orang Yahudi dan mereka menceritakan (berhadits) kepada beliau sehingga mereka berdusta atas Isa. Maka Nabi s.a.w. naik mimbar dan berpidato kepada manusia dan bersabda :

 

Artinya :

Sesungguhnya hadits itu akan tersiar dari padaku, maka hadits yang sampai kepadamu serta sesuai dengan Al Qur’an maka dia dari padaku, dan hadits yang sampai kepadamu serta bertentangan dengan Al Qur’an maka dia bukan daripadaku.

 

Mas’ar bin Kidam dan Hasan bin Imarah menceritakan kepada kami dari Amr bin Murah dari Bukhturi dari Ali bin Abu Thalib r.a. bahwasanya ia berkata : ”Apabila hadits sampai kepadamu dari Rasulullah s.a.w. maka mereka menduga bahwa dialah yang paling memberi petunjuk, dialah yang menjadikan takwa dan dialah yang paling hidup”. Asy’ats bin Siwar dan Isma’ilbin Abu Khalid dari Tsa’bi dari Gurzhah bin Ka’ab Al Anshari bahwasanya ia berkata : Saya ‘ bersama suatu kelompok kaum Anshar ke Kufah, maka Umar bin Khatab r.a. mengiringkan kami dimana ia berjalan sehingga kami tiba ditempat yang telah disebutnya. Kemudian ia berkata : “Apakah kalian tahu, kenapa saya berjalan bersamamu wahai kelompok orang-orang Anshar ?” Mereka berkata : “Ya , kami disusul”. Ia berkata : ”Sesungguhnya kamu mempunyai hak, tetapi kamu datang pada suatu kaum yang mendengungkan Al Qur’an seperti dengungnya lebah, maka sedikitkan periwayatan dari Rasulullah sa.a.w , sedang saya adalah sekutumu”

 

Qurzhah berkata : “Saya tidak menceritakan dari Rasulullah s.a.w. selama-lamanya“. Keadaan Umar itu, menurut berita yang sampai kepada kami, bahwa ia tidak menerima hadits Rasulullah s.a.w. kecuali dengan dua saksi. Seandainya tidak karena panjangnya tulisan niscaya saya mensanadkanhadits untukmu”.

 

Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadits dari Rasulullah saw. Dan periwayatan (hadits) bertambah banyak dan daripadanya keluarlah hadits yang tidak mengenal dan dikenal oleh ahli Fiqih serta tidak sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah,, maka hendaklah kamu takut terhadap hadits yang syadz (menyimpang), dan pegangilah olehmu hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah dan hadits yang dikenal oleh para fuqaha, dan kiyaskanlah sesuatu kepadanya dan apapun yang berlawanan dengan Al Qur’an maka dia bukan dari Rasulullah s.a.w. meskipun ada riwayat yang datang.

 

Orang yang terpercaya menceritakan kepada kami dari Rasulullah s.a.w. bahwasanya beliau bersabda dalam sakit yang padanya beliau wafat :

 

Artinya :

Sesungguhnya saya mengharamkan apa yang diharamkan oleh Al Qur’an.

 

Demi Allah mereka tidak memegangi atasnya dengan sesuatu maka jadikanlah Al Qur’an dan As Sunnah yang terkenal sebagai imam dan penuntun bagimu, ikutilah hal itu dan kiaskanlah sesuatu yang sampai kepadamu dari sesuatu yang tidak jelas bagimu dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Asy Syafi’i rahimahullah membicarakan pendapat ini dan menolaknya, sedangkan jumhur ahli hadits menyelisihinya. Disana ada pendapat ketiga yang ditempuh oleh Malik dan teman-temannya dimana mereka berkata : “As Sunnah itu teguh dari dua segi yaitu: pertama,kami mendapatkan imam-imam (tokoh-tokoh) shahabat-shahabat Nabi s.a.w. mengatakan dengan apa yang sesuai dengan As Sunnah (inilah yang dikatakan oleh Malik yaitu sesuatu yang disepakati dikalangan kami) dan kami menolaknya jika tidak mendapatkan pendapat imam-imam dalam hal itu, dan kita jumpai manusia berbeda pendapat didalamnya”, Pentahkikan hadits disisinya ialah sesuatu yang dijalankan oleh penduduk Madinah dan mereka sepakat atasnya. Malik rahimahullah telah memberikan amal penduduk Madinah dan kesepakatan fuqahanya perhatian besar yang melebihi penganggapannya sebagai salah satu perantaraan mempercayai hadits,

Asy Syafi’i secara panjang lebar mengeritik madzhab. ini baik tentang pokok dan penerapannya. Disini saya ingin mencantumkan suatu surat yang ditulis oleh fuqaha-fuqaha masanya-bahkan penghulu fuqaha negara-negara besar baik ilmu maupun kebaikannya yaitu Al Laits bin Sa’id seorang fagih Mesir kepada saudaranya Malik bin Anas menerang:kan kepadanya sesuatu yang diambil dalam madzhabnya dari segi pegangannya kepada amal penduduk Madinah. Surat itu adalah balasan dari surat yang ditulis oleh Malik kepadanya hanya saja kami tidak mengetahui surat itu dan kami mengetahui surat itu dalam A’lamul muwaqqi’in karangan Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar yang terkenal dengan Ibnul Qayim Al Jauziyah yang dinukil dari kitab At Tarikh wal Ma’rifah karangan Abu Yusuf Ya’gub bin Sufyan Al Fasawi. Al Laits rahimahullah berkata:

 

Keselamatan semoga tetap atas anda. Sesungguhnya saya memuji kepada Allah yang tidak ada Tuhan selainNya. Selanjutnya, semoga Allah memberi ampun kepada kami dan kamu dan memperbaiki kesudahan kita didunia dan akhirat. Surat anda telah sampai kepadaku dimana anda sebutkan tentang baiknya keadaan anda yang menggembirakan saya. Semoga Allah mengekalkan hal itu kepada anda dan menyempurnakannya dengan mendapat pertolongan untuk mensyukurinya dan menambah kebaikannya. Saya ingatkan pandangan dan pendirian anda dalam surat yang yang dikirimkan kepada saya, dan anda stempel dengan cincin anda dan seluruhnya itu telah sampai kepada kami. Semogalah Allah membalas anda terhadap apa yang anda kemukakan dengan suatu kebaikan. Sesungguhnya suratsurat jtu adalah surat yang sampai kepada kami dari anda maka saya senang untuk sampai kepada hakikatnya dengan pandangan anda dalam masalah itu. Dan saya sebutkan bahwa apa yang saya tulis kepada anda menjadikan anda cekatan dalam melaksanakan apa yang sampai kepadaku dari anda sampai saya memulai dengan nasihat. Saya berharap bahwa hal itu mempunyai tempat disisiku. Dari yang demikian tidaklah menjatuhkan anda, pendapat anda itu baik disisi kami hanya saja saya tidak ingat mengingatkan anda seperti ini. Sesungguhnya sampal kepada anda bahwa saya memberi fatga kepada manusia dengan sesuatu yang bertentangan dengan sesuatu yang dipegangi oleh sekelompok orang disisi anda. Dan sesungguhnya saya berhak takut atas diriku untuk memegangi orang yang sebelumku tentang yang saya fatwakan. Dan sesungguhnya manusia mengikuti kepada penduduk Madinah yang menjadi tempat hijrah dan disana pula diturunkan Al Qur’an.

 

Sesungguhnya saya telah benar dalam apa yang saya tulis dari hal-hal tersebut insya Allah Ta’ala dan menempati tempat yang kamu senangi. saya tidakmendapatkan seorangpun yang berkecimpung dalam bidang ilmu itu lebih benci kepada fatwa-fatwa yang syadz dan lebih mengutamakan kepada ulama Madinah yang telah lewat. Dan saya tidak mengambil fatwa mereka dalam sesuatuyang mereka sepakati dari pendapatku. Segala puji bagi Allah Tuhan alam semesta yang tidak ada sekutu bagiNya. Adapun apa yang kamu sebutkan tentang menetapnya Rasulullah s.a.w. di Madinah, turunnya Al Qur’an kepada beliau disana dihadapan para shahabat dan apa yang diajarkan oleh Allah kepada mereka sebagaimana anda sebutkan. Adapun yang anda sebutkan dari firman Allah:

 

Artinya:

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang besar.

 

Banyak dari assabigunal awwalun yang keluar untuk jihad dijalan Allah karena mencari keridhaan Allah. Mereka menghimpun bala tentara dan manusia berkumpul kepada mereka. Mereka paparkan kitabullah dan sunnah NabiNya ditengah-tengah mereka dan sedikitpun mereka tidak o sunnah yang mereka ketahui. Pada setiap pasukan ada segolongan orang yang mengetahui kitabullah dan sunnah NabiNya dan mereka berijtihad dengan ra’yu dalam sesuatu yang tidak diterangkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah. Orang-orang yang terkemuka dikalangan mereka adalah Abu Bakar, Umar dan Usman yang telah dipilih oleh kaum muslimin. Mereka bertiga tidaklah menyia-nyiakan dan tidak melalaikan tentara kaum muslimin,bahkan mereka menuliskan sesuatu urusan yang mudah untuk menegakkan agama dan menjaga dari adanya perbedaan pendapat dalam kitabullah dan sunnah NabiNya. Mereka ajarkan kepada sesama mereka sesuatu urusan yang diterangkan oleh Al Qur’an atau diamalkan oleh Nabi s.a.w dan mereka memusyawarahkannya. Apabila ada sesuatu urusan yang diamalkan oleh para shahabat Rasulullah s.a.w di Mesir, Syam dan Irak pada masa Abu Bakar, Umar dan Usman dan mereka senantiasa melakukannya sampai meninggal mereka tidak menyuruh kepada orang lain, maka kita tidak melihatnya, Bagi tentara kaum muslimin dewasa ini boleh membicarakan urusan yang tidak diamalkan oleh orang-orang salaf yakni para shahabat Rasulullah saw. dan para tabi’in, dalam pada itu sesudah beliau (wafat) para shahabat berbeda pendapat dalam berfatwa tentang beberapa masalah. Seandainya tidak karena saya sudah tahu bahwa anda telah mengetahuinya niscaya saya tidak menulisnya kepada anda. Kemudian tabi’in sesudah shahabatshahabat Rasulullah saw. yaitu Sa’id bin Musayab dan orang-orang yang sepertinya | sangat berbeda pendapat dalam beberapa hal. Kemudian orang-orang yang sesudah mereka berbeda pendapat pula. Adanya mereka di Madinah dan yang lain sedang pemimpin mereka dewasa itu adalah Ibnu Syihab dan Rabi’ah pada sebagian yang lampau seperti apa yang telah saya ketahui, saya hadiri dan saya mendengar perkataan anda dalam hal itu, dan pendapat orang yang menggunakan ra’yu dari penduduk Madinah yaitu Yahya bin Sa’id, Ubaidullah bin Umar, Katsir bin Farqad dan orang-orang selain mereka banyak dari orangorang yang lebih tua daripadanya sehingga memaksa anda dengan sesuatu yang anda benci sampai meninggalkan majlisnya. Dan saya ingatkan kepada anda dan Abdul Aziz bin Abdullah tentang sebagian apa yang anda sampaikan kepada Rabi’ah, maka anda berdua adalah termasuk orangorang yang setuju dalam sesuatu yang saya ingkari, anda berdua membenci kepada apa yang saya benci. Dalam pada itu dengan memuji kepada Allah, pada Rabi’ah ada kebaikan yang banyak, akal yang baik, lidah yang fasih, keutamaan yang jelas, jalan yang baik dalam Islam dan cinta kepada kebenaran. Semoga rahmat Allah untuk saudarasaudaranya umumnya dan kami khususnya. Semoga Allah mengampuninya dan membalasnya dengan sebaik-baiknya. Dan dari Abu Syihab banyak perbedaan pendapat ketika kami bertemu dengannya dan apabila sebagian kami menulis kepadanya barangkali ia menulis kepadanya tentang satu masalah atas keutamaan pendapat dan ilmunya dengan tiga macam yang sebagiannya merusak sebagian yang lain, dan ia tidak mengetahui pendapat orang yang lampau dalam hal itu. Inilah yang mengajakku untuk meninggalkan apa yang saya ingkarinya. Saya telah tahu juga aib pengingkaran. ku terhadapnya yaitu salah seorang dari bala tentara kaum muslimin menjama’ antara dua shalat pada malam yang hujan, sedang hujan di Syam adalah lebih banyak dari pada hujan di Madinah yang banyaknya hanya diketahui oleh Allah. Tidak pernah seorangpun dari mereka menjama’ pada malam yang hujan, sedang dikalangan mereka ada Abu Ubaidah Al Jarah, Khalid bin Walid, Yazid bin Abu Suf. yan, Amr bin Ash dan Muadz bin Jabal dan telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah saw bersabda:

 

Artinya:

Orang yang terpandai dari kamu sekalian tentang halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Pada hari giyamat Muadz bin Jabal datang selangkah dihadapan para ulama, demikian juga Surahbil bin Hasanah, Abu Darda’ dan Bilal bin Rabah,

 

Di Mesir Abu Dzar, Zubair bin Awam dan Sa’ad bin Abu Waqash. Di Hamash tujuh puluh orang dari orang ahli Badar dan bala tentara kaum muslimin seluruhnya. Di Irak Ibnu Mas’ud, Hudzaizfah bin Yaman dan Imran bin Hushain dan ia ditempatkan oleh Amirul mu’minin Ali bin Abu Thalib k.w beberapa tahun, dan bersama beliau dari shahabat-shahabat Rasulullah s.a.w. maka mereka tidak menjama’ antara Maghrib dan Isya”. Sebagian dari pada itu adalah memutuskan dengan saksi seorang dan sumpah dengan nama Allah. Dan saya telah tahu bahwasanya beliau selalu memberi putusan di Madinah dengannya, dan shahabat shahabat Rasulullah saw di Syam, Hamash , di Mesir dan Irak tidak memutuskan dengannya, dan Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali tidak mewajibkannya. Kemudian Umar bin Abdul Aziz memerintah sebagaimana yang saya ketahui ia menghidupkan sunnah-sunnah Rasul, bersungguh-sungguh dalam menegakkan agama dan membenarkan terhadap ra’yu dan ilmu pada urusan yang dialami manusia. Razig bin Hakam menulis kepadanya bahwa kamu di Madinah selalu memutuskan dengan persaksian seorang saksi dan sumpahnya dengan nama Allah, maka ia menulis kepadanya bahwasanya kami di Madinah selalu memutuskan dengan demikian itu. Dan kami mendapatkan penduduk Syam tidak demikian, maka janganlah kamu memutuskan kecuali dengan persaksian dua orang laki-laki yang adil atau seorang laki-laki dan dua orang wanita. Dan ia tidak pernah menjama’ antara Maghrib dan Isya” pada malam yang hujan sedang hujan tercurah dalam rumahnya di Khunashirah dimana ia tinggal. Sebagian dari itus bahwasanya penduduk Madinah memutuskan tentang mas kawin wanita bahwasanya kapan saja wanita itu maumembicarakan untuk mengakhirkan mas kawinnya dan ia membicarakannya maka laki-laki itu memberikani mas kawin kepadanya. Penduduk Irak telah menyetujui penduduk Madinah atas yang demikian itu, demikian juga penduduk Syam dan Mesir, dan tidak memutuskan dari shahabat Rasulullah saw, dan orang yang sesudah mereka kepada wanita tentang maskawinnya yang diakhirkan, kecuali keduanya dipisahkan oleh kematian atau perceraian maka wanita itu tetap pada haknya. Sebagian dari padanya adalah perkataan mereka tentang ila’ itu tidak merupakan thalak atasnya sehingga ja menanti meskipun lewat empat bulan. Telah menceritakan kepadaku Nafi’ dari Abdullah bin Umar dialah yang meriwayatkan penantian setelah beberapa bulan bahwa ila’ yang disebutkan oleh Allah dalam kitabNya, bahwa tidak halal bagi orang yang ber ila” apabila telah sampai batas waktunya kecuali ia kembali sebagaimana diperintahkan oleh Allah atau ia bermaksud untuk mencerainya. Dan kamu sekalian mengatakan sesungguhnya diam setelah beberapa bulan yang telah digariskan oleh Allah dalam kitabNya dan ia tidak menentukan sikap maka tidak merupakan thalak atasnya. Telah sampai kepada kami bahwa Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, Qabishah bin Dzuaib dan Abu Salmah bin Abdur Rahman bin Auf mengatakan tentang ila” apabila lewat empat bulan maka isteri itu terthalak bain. Sa’id bin Musayab, Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam dan Ibnu Syihab berkata: ”Apabila lewat lewat empat maka isteri itu terthalak dan laki-laki itu boleh ruju’ dalam iddahnya”,

 

Sebagian daripadanya adalah bahwasanya Zaid bin Tsabit berkata: ”’ Apabila seorang laki-laki memilikkan isterinya dan isteri itu memilih suaminya maka isteri itu telah terthalak, jika wanita itu menthalak dirinya tiga kali maka wanita itu terthalak”. Abdul Malik bin Marwan dan Rabi’ah bin Abdur Rahman memutus dengan demikian itu seraya berkata: Manusia hampir sepakat bahwasanya jika wanita itu memilih suaminya maka thalak suaminya tidak jatuh. Jika wanita itu memilih dirinya sekali atau dua kali maka wanita itu boleh diruju’ olehnya (suami). Jika wanita itu menthalak dirinya tiga kali maka wanita itu terthalak bain dari suaminya dan wanita itu tidak halal baginya sehingga menikah dengan laki-laki lain dan telah digaulinya kemudian laki-laki itu meninggal atau menceyaikannya kecuali laki-laki itu mencabut atasnya (wanita itu) dalam majlisnya, dan laki-laki itu berkata: Saya hanya memilikkan kamu sekali maka laki-laki itu disumpah dan dilepaskan antara laki-laki itu dan isterinya.

Sebagian daripada itu bahwasanya Abdullah bin Mas’ud berkata: ”Orang laki-laki manapun yang memperisterikan amat”( hamba perempuan) kemudian dibelinya, maka pembeliannya terhadap amat itu adalah thalak tiga dan Rabi’ah juga mpngatakan demikian, Jika wanita merdeka bersuamikan hamba sahaya kemudian hamba itu dibelinya (oleh wanita itu) maka seperti itu juga. Telah sampai kepada kami , sedikit fatwa dari anda yang tidak disenangi dan saya telah menulis kepada anda sebagiannya, dan anda tidak membalas suratku, maka saya khawatir anda keberatan atas hal itu, maka saya tidak jadi menulis surat kepada anda tentang sesuatu yang saya ingkari dan sesuatu yang anda sampaikan menurut pendapat anda. Demikian itu karena sampai kepadaku bahwa kamu menyuruh Zufar bin ‘Ashim Al Hilali ketika ia mau shalat istisga” untuk mendahulukan shalat sebelum khutbah maka saya keberatan atas yang demikian itu karena khutbah dalam shalat istisga” seperti khutbah hari Jum’at hanya saja apabila imam hampir selesai dari khutbahnya maka ia berdo’a, mengalihkan selendangnya kemudian turun (dari mimbar) dan shalat. Umar bin Abdul Aziz, Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm dan orang-orang lainnya telah shalat istisga’ dengan mendahulukan khutbah dan do’a sebelum shalat. Maka semua orang heboh atas perbuatan Zufar bin ‘Ashim yang demikian itu, dan mereka mengingkarinya. Sebagian daripadanya ialah telah sampai kepadaku bahwa anda berkata tentang dua orang yang bersekutu dalam harta itu tidak wajib zakat atas keduanya sehingga masing-masing dari dua orang itu mempunyai harta yang wajib dizakati, sedang dalam surat Umar bin Khathab bahwasanya wajib zakat atas dua orang tersebut, dan keduanya dituntut sama. Hal itu telah dijalankan dalang wilayah Umar bin Abdul Aziz sebelum anda dan juga oleh orang lain. Orang yang menceritakan kepada kami adalah Yahya bin Sa’id dan ia tidak lebih rendah dari ulama-ulama yang utama pada masanya, semoga Allah melimpahkan rahmat, mengampuninya dan menjadikan surga tempat kembalinya. Sebagian daripadanya bahwa. sanya telah telah sampai kepadaku bahwa anda mengatakan: “Apabila seorang jatuh pailit dan seorang laki-laki lain telah menjual sebagian daripadanya yaitu ia mengambil harta dagangannya yang ada sedang orang-orang (berpendapat) bahwa apabila penjual dakwa mendakwa tentang sedikit harganya atau pembeli menghabiskan sedikit dari padanya maka bukan dagangan itu sendiri.

 

Sebagian daripadanya maka anda menyebutkan bahwa Nabi saw. hanya memberi kepada Zubair bin Awam seekor kuda, sedang seluruh manusia menceriterakan bahwa beliau memberinya empat bagian untuk dua kuda dan beliau melarangnya pada kuda yang ketiga.

 

Seluruh umat pada hadits ini yaitu penduduk Syam, Mesir, Irak dan penduduk Afrika tidak ada dua orangpun yang berbeda-beda, maka tidak seyogya bagi anda meskipun anda mendengarnya dari seorang laki-laki yang diridhai untuk menyelisihi seluruh umat. Saya telah meninggalkan banyak hal-hal yang serupa ini, dan saya senang semoga anda mendapat pertolongan dari Allah dan memanjangkan umur anda karena sesuatu yang saya harapkan untuk manusia dalam kemanfa’atan itu, dan saya khawatir akan kesiasian apabila orang yang seperti anda tiada,serta saya puas terhadap kedudukan anda. Meskipun rumah anda jauh namun kedudukan anda dekat disisiku, dan pandanganku tertuju terhadap anda, maka yakinlah hal itu. Janganlah anda lupa menulis surat kepadaku tentang kebaikan anda, keadaan anda, anak-anak dan keluarga anda, dan kebutuhan yang ada pada anda atau seorang yang sampai kepada anda karena dengan demikian saya akan senang.

 

Dikala saya menulis surat kepada anda dalam keadaan baik baik, sehat-sehat dan segala puji bagi Allah. Kami pohonkan kepada Allah semoga Allah memberi rizki kepada kami dan anda dan kita mensyukuri apa yang dianugerahkan kepada kita dan kesempurnaan apa yang dini’matkan kepada kita. Semoga keselamatan dan rahmat Allah tetap atas anda.

 

Sungguh kami ingin memanjang lebarkan surat ini dihadapanmu sebagai contoh yang utama terhadap kritik sastera, karena kami tidak melihat seseorang yang melengkapkan perbedaan pendapat yang lebih tinggi sastera dan kebaikannya daripada ini, barangkali pada nenek moyang kita terdapat contoh yang baik bagi kita.

 

Adapun Syi’ah, mereka percaya terhadap hadits manakala riwayatnya datang dari jalan imam mereka atau orang yang sealiran dengan mereka, dan mereka tinggalkan apa yang diluar itu karenaorang yang tidak mengangkat Ali sebagai khalifah dianggap bukan orang yang terpercaya.

 

Golongan Khawarij menyempitkan hadits atas shahabat-shahabat yang mereka angkat sebagai pemimpin mereka. Hadits-hadits dikalangan mereka adalah hadits yang keluar (tersiar) pada manusia sebelum fitnah. Adapun sesudahnya, mereka membuang seluruh jumhur dan menentangnya karena jumhur itu mengikuti imam-imam yang zhalim menurut sangkaan mereka. Adapun pendapat yang dipegangi oleh jumhur ahli hadits yang pemukanya imam Asy Syafi’i rahimahullah yaitu bahwa terpercayanya hadits dapat dicapai dengan periwayatan orang adil dari orang serupa (adilnya-pen) sehingga hadits itu sampai pada Rasulullah saw. meskipun perawinya seorang saja, dan mereka tidak membuat syarat-syarat selain itu. Dari sini maka dalam menentukan nilai hadits yang diriwayatkan terdapat perselisihan (perbedaan pendapat) yang besar. Kadang-kadang kami dapati Hanafi mengamalkan karena hadits itu masyhur, dan Asy Syafi’i menolaknya karena lemah sanadnya. Kamu dapati Maliki menolak hadits karena dalam pengamalan berbeda dengannya dan Asy Syafi’i mengamalkannya karena kuat sanadnya. Ketika datang tahap para pensyarah hadits, penolong madzhab dan pengeritiknya mereka tidak menyelami pokok-pokok ini yang diambil oleh imam-imam mereka, dan mereka mulai menentang musuh-musuh mereka dengan menyelisihi hadits apapun yang sah sanadnya meskipun tidak memenuhi syarat-syarat yang disyaratkan oleh para pengeritiknya. Demikian juga kami dapati mereka berusaha keras untuk melemahkan setiap hadits yang tidak diambil oleh imam-imam mereka dengan mencela sanadnya atau tempat pengambilan lain, pada hal termasuk mudah untuk dikatakan bahwa imam-imam mereka tidak mengambil hadits ini karena hadits itu tidak memenuhi syarat yang dijadikan oleh imam itu sebagai pokok untuk mengamalkan hadits. Dan akan datang dihadapanmu banyak hal-hal dari padanya.

 

  1. Pertentangan tentang qiyas, ra’yu dan istihsan.

 

Shahabat dan tabi’in apabila tidak mendapatkan nash dalam kitab Allah dan tidak pula dalam sunnah NabiNya maka mereka berlindung kepada apa yang mereka sebut ra”yu yaitu fatwa mereka pada hukum dengan berlandaskan atas kaidah-kaidah umum bagi agama seperti sabda beliau S.a.w:

 

Artinya:

Tidak memadharatkan dan tidak dimadharatkan.

 

Artinya:

Tinggalkan apa yang meragukan padamu kepada apa yang tidak meragukan kepadamu. Dan mereka tidak mengindahkan terhadap pokok tertentu yang ditempat itu mereka menyamakan terhadap peristiwa dimana mereka memberikan fatwa, sebagaimana Umar memutuskan atas Muhammad bin Salmah untuk meneruskan saluran air tetangga ditanahnya karena bermanfa’at bagi tetangganya dan tidak membahayakan Muhammad, maka ia mengilatkan fatwa itu dengan pokok umum yaitu memperbolehkan sesuatu yang bermanfa’at dan melarang sesuatu yang membahayakan, dan ia tidak mengatakannya sebagai kiyas atas pokok tertentu. Pendapat ini apabila meluas kembali menjadi madharat karena kadang-kadang menyampaikan kepada meninggalkan banyak sunnahsunnah, lebih-lebih apabila orang yang berpendapat itu tidak banyak menyelidiki sunnah-sunnah Rasul. Dan tidak mudah bagi seorang fagih yang diam disuatu negara-negara besar untuk mengetahui hadits-hadits yang ada pada para ulama yang tersebar pada seluruh negara-negara Islam. Apabila ada sebagian orang yang meluaskan fatwa dengan ra’yu maka ia tidak aman dari berfatwa dengan sesuatu yang bertentangan dengan hadits yang tidak dihafalnya sedang orang lain menghafalnya. Para fuqaha merasakan terhadap bahaya ini maka mereka berpendapat untuk menyempitkan lingkungan ra’yu dan mereka mensyaratkan sesuatu yang diistimbatkan dengan ra’yu ada pokok yang tertentu yang menjadi tempat kembali dalam fatwanya. Pokok itu ada kalanya kitab atau as sunnah. Inilah kiyas yang dianggap oleh para fuqaha sebagai salah satu pokok-pokok (dasar) pembinaan hukum sesudah Al Qur’an dan As Sunnah. Fuqaha Irak mempunyai kelebihan, hanya saja kebanyakan mereka meninggalkan kiyas menuju kepada sesuatu yang disebut dengan istihsan. Muhammad bin Hasan dalam Al Mabsuth banyak mengatakan: ?”’Saya beristihsan dan meninggalkan kiyas”. Kadang-kadang istihsannya kembali kepada atsar yang bertentangan dengan dengan ketetapan kiyas atau kembali kepada pokok yang ‘am. Inilah yang dahulu itu disebut ra’yu. Dan kami ingin mengemukakan dihadapan pembaca suatu uraian untuk membedakan kedudukan ahli hadits dan kedudukan ahli ra’yu yaitu: Ahli hadits menerima As Sunnah sebagai penyempurna terhadap Al Qur’an, dan dianggap sebagai nash-nash dimana orang yang beragama Islam bertugas untuk beriba. dah tanpa melihat illat-illat yang dipelihara dalam men. syari’atkan juga tidak kepada pokok-pokok yang ‘am yang menjadi tempat kembali para mujtahid, dan juga tidak kepada pokok-pokok khash dengan bab-bab yang berbeda-beda. Mereka adalah para pergolah hukum yang leterliyk. Oleh karena itu kami lihat, apa bila mereka tidak mendapatkan nash dalam sesuatu masalah maka mereka diam dan tidak bertaqwa.

 

Adapun ahli ra’yu dan kiyas memandang syari’at itu pengertian yang masuk akal dan dipandangnya sebagai asal yang ‘am yang diucapkan oleh Al Qur’anul karim dan dikuatkan oleh As Sunnah dan dipandangnya sedemikian itu pada setiap bab dari bab-bab Fiqh. Mereka mengambil pokok-pokok dari Al Qur’an dan As Sunnah dan kepadanya mereka mengembalikan seluruh masalah-masalah yang dihadapi dalam bab ini. Seandainya tidak ada nashnya. mereka menisbatkan kepada As Sunnah seperti orang-orang yang terdahulu (awalin) kapan saja mereka percaya terhadap kebenarannya hanya saja mereka tidak memperbanyak periwayatannya karena percaya kepada pokok-pokok yang ada disisi mereka dan karena pendapat mereka tentang As Sunnah seperti yang diatas. Mereka melihat As Sunnah yang bertentangan dengan pokok-pokok (ushul-ushul) itu, namun shahih menurut mereka, maka mereka tidak ketinggalan dari mengamalkannya. Hal itu mereka namakan istihsan. Dan sekali waktu mereka tinggalkan kiyas atas pokok yang tertentu tentang suatu bab ke pokok yang ‘am dan mereka sebut juga istihsan. Orang yang menela’ah masalah-masalah yang diistimbatkan oleh para fuqaha yang mengatakan ten tang kiyas, mereka adalah jumhur terbesar yang berpenda pat bahwa Abu Hanifah dan teman-temannya meskipur mereka menyebutnya dengan”kami beristihsar? ia telah mensekutui seluruh fuqaha dalam arti istihsan. Malik rahimahullah telah melakukan maslahah mursalah tidak lain hanyalah semacam dari istihsan. Dan beberapa masalah akan lewat padamu dalam madzhab-madzhab yang berbeda-beda yang asasnya adalah istihsan ini.

 

Bagi orang-orang yang menggunakan kiyas dan istihsan telah ada ulama salaf yang shalih dari kalangan shahabat seperti Umar pada periode pertama, Ibnu Abbas pada periode kedua dan Rabi’ah An Nakha’i dari kalangan tabi’in.

 

Pada periode ini terdapat pertentangan keras antara ahli ra’yu yang mencakup kiyas dan istihsan dari satu segi, dan antara ahli kiyas dan dan ahli istihsan dari segi yang lain. Merajalelalah perang saraf antara ahli ra’yu dengan ahli hadits, dan mutakalimin dalam pertentangannya terhadap dua kelompok itu. Telah kami kemukakan pemikiran ahli hadits . dalam: pembinaan hukum. Mutakalimin berpendapat bahwa syari’at itu sebagai peribadatan (ta’abbud) semata-mata tidak ada tempat berpikir dan juga tidak ada kiyas. Setiap sesuatu yang sah dari pencipta syari’at yang tidak ada keraguan padanya maka wajib mengamalkannya. Mereka sepakat dengan ahli hadits dalam pemikiran peribadatan semata-mata dan mereka berbeda pendapat terhadap ahli hadits dalam menganggap As Sunnah sebagai salah satu pokok-pokok (dasar) pembinaan hukum Islam.

 

Setiap golongan menampilkan hujjahnya dan kami melihat banyak kata-kata pentertawaan terhadap ahli ra’yu yang keluar dari ahli hadits dan mutakalimin akan tetapi ruh (jiwa) yang mengisi dua golongan ini berlainan. Ahli hadits berpendapat bahwa syari’at itu lebih mulia dan lebih tinggi dari menjadi lapangan pendapat-pendapat ahli ra’yu dari hamba-hamba Tuhan karena syari’at itu dari Allah baik Al Qur’an maupun As Sunnah, yang terhindar dari kesalahan dan perbedaan pendapat. Sedang ra’yu itu dari manusia yang dapat salah dan benar dan terdapat perbedaan pendapat serta perpecahan. Dan kita dilarang dari dua hal itu.

 

Golongan mutakalimin mengatakan bahwa syari’at itu me. ngumpulkan antara perbedaan-perbedaan pendapat dan disusunlah hukum-hukumnya dan membedakan antara yang samar-samar (mutasyabihat) maka berselisihanlah hukum-hukumnya, dan mereka mendatangkan hukum dan mengatakan pendapat yang sedemikian itu yakni syari’at itu bukan merupakan lapangan pemikiran akal.

 

Sebaik-baik uraian yang kami sampaikan dalam mempertahankan kiyas, dan dianggapnya sebagai hujah syara’ adalah uraian Imam Muhammad bin Idris yang kami baca dalam Risalah ushul dan Al Um. Dan sebaik-baik uraian yang kami lihat dalam menolak kiyas adalah uraian yang ditulis oleh Dawud bin Ali imam ahli zhahiri yang hidup pada pertengahan abad ke III H, dan mendirikan madzhabnya berdasarkan pengambilan zhahir-zhahir Al Qur’an dan As Sunnah dan ja menolak kiyas dengan benar-benar menolak. Kebanyakan fuqaha yang masyhur pada masa itu berpendapat bahwa kiyas adalah merupakan salah satu pokok dalam pembinaan hukum meskipun pendapat yang paling dulu dikemukakan oleh Abu Hanifah dan kawankawannya. Oleh karena itu mereka menjadi masyhur sebagai pemilik ra’yu. Adapun istihsan maka Muhammad bin Idris Asy Syafi’i telah menyerangnya dalam Ar Risalah. Dalam kitab Al Um jilid ke VII ia berkata yang kesimpulannya: “Tidak boleh bagi orang menjabat hakim atau mufti untuk menghukumi dan berfatwa kecuali berdasarkan berita yang mesti (shahih) yaitu Al Qur’an kemudian As Sunnah atau pendapat ahli ilmu dimana mereka tidak perselisihan paham atasnya, atau mengkiyaskan kepada sebagian ini. Dan tidak boleh baginya untuk menghukumi dan berfatwa dengan istihsan, karena istihsan itu tidak wajib dan tidak termasuk salah satu dari pengertian-pengertian ini. Allah Ta’ala berfirman:

 

Artinya:

Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungan jawab)?

 

Ahli ilmu tidak berbeda pendapat tentang Al Qur’an dalam hal yang saya ketahui bahwa dibiarkan yaitu sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang, dan barangsiapa yang berfatwa atau menghukumi dengan sesuatu yang tidak diperintahkan maka ia telah memperbolehkan dirinya untuk berada dalam pengertian dibiarkan, dan Allah telah memberi tahukannya bahwa Ia tidak membiarkan begitu saja. Dan ia berpendapat jika iaberkata: Saya katakan apa yang saya kehendaki dan ia menuduh apa yang diturunkan oleh Al Qur’an berbeda dengan pendapat itu dan dalam sunnah-sunnah maka ia menyelisihi jalan orang yang meriwayatkannya dari orang-orang yang pandai. Kemudian ia berkata: Barangsiapa yang mengatakan: “Saya beristihsan tidak dari perintah Allah dan tidak pula perintah RasulNya s.a.w” Maka apa yang dikatakan itu tidak diterima oleh Allah dan tidak pula oleh Rasulullah, dan didalam berpendapat ia tidak mencari hukum Allah dan RasulNya. Kesalahan itu jelas pada orang yang mengatakan pendapat ini karena ia telah mengatakan: “Saya berkata dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarangnya dan tanpa contoh atas sesuatu yang diperintah dan dilarang sedang Allah telah menetapkan dengan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia katakan. Ia hanya membiarkan seseorang untuk menjadi orang yang beribadah”. Kemudian ia berkata: Barang siapa yang membolehkan untuk memutuskan hukum atau berfatwa tanpa berita yang pasti dan tidak tanpa kiyas maka ia dikalahkan hujjahnya dengan pengertian perkataannya. Saya lakukan apa yang saya ingini meskipun saya tidak diperintahkannya karena hal itu bertentangan dengan pengertian Al Qur’an dan As Sunnah. Maka hujjahnya pada lesannya dikalahkan dan pengertian sesuatu yang tidak saya ketahui adalah bertentangan. Jika dikatakan: ”Apakah itu?” Dikatakan: “Saya tidak mengetahui seseorang dari ahli ilmu memberikan keringanan kepada seorang dari kalangan ahli akal dan sastera untuk memberi fatwa dan memutuskan hukum dengan pendapatnya sendiri, apabila ja tidak pandai tentang sesuatu yang berkisar dalam masalah-masalah kiyas dari Al Qur’an, As Sunnah, ijma?’ dan akal, untuk memerinci sesuatu yang serupa (musytabih)”. Apabila mereka menduga hal ini maka dikatakan kepada mereka: “Kenapa bagi ahli akal yang kebanyakan melebihi akal ahli ilmu tentang Al Qur’an, sunnah dan fatwa tidak diperbolehkan untuk berpendapat dalam sesuatu yang telah diturunkan tentang sesuatu yang diamalkan mereka bersama-sama pada hal tidak ada nash Al Qur’an, As Sunnah. dan ijma” sedang mereka lebih sempurna akalnya dan lebih baik keterangannya terhadap apa yang mereka katakan dari pada orang-orang umum diantaramu?” Jika dikatakan: ”Mereka tidak mengetahui tentang pokok-pokok”. Dikatakan kepadamu sekalian: “Apakah hujjahmu bahwa kamu mengetahui pokok-pokok,apabila kamu mengatakan tanpa pokok dan tanpa mengkiyaskan terhadap pokok?” Apakah kamu takut terhadap ahli akal yang tidak mengetahui pokok-pokok lebih banyak daripada mereka tidak mengetahui pokok-pokok, maka mereka tidak baik untuk mengkiyaskan dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui?” Apakah pengetahuan tentang pokok-pokok dapat untuk mengkiyaskan padanya atau membolehkan kamu meninggalkannya?” Apabila boleh meninggalkannya bagimu maka bagi mereka boleh untuk berpendapat bersamamu karena sebagian besar yang dikhawatirkan atas mereka adalah meninggal kan kiyas atasnya atau kekeliruan, dari yang saya ketahui diantara mereka Ahmad lah yang paling benar. Jika mereka mengatakan tanpa adanya contoh dari kamu, seandainya seseorang memuji perkataan yang tanpa contoh karena mereka tidak mengetahui contoh maka meninggalkannya, dan saya membuat alasan terhadap kekeliruanmu sedang mereka keliru dalam hal yang tidak mereka ketahui, dan saya tahu bahwa kamu sekalian lebih besar dosanya daripada mereka karena kamu mengetahui kiyas menurut pokok-pokok yang kamu ketahui. Apabila kamu katakan: ”Kami meninggalkan kiyas atas dasar mengetahui pokokpokok”. Maka dikatakan: ”Jika kiyas itu benar maka kamu sekalian mengetahui kebenaran dengan sadar. Dalam hal itu terdapat dosa yang mana jika kamu tidak mengetahuinya maka kamu tidak menjadi ahli untuk memperbincangkan tentang ilmu. Jika kamu menduga ada kelapangan bagimu untuk meninggalkan kiyas dan perkataan yang terlintas dalam dugaanmu, hadir dalam hatimu dan pendengaranmu memandang baik, maka kamu berhujjah dengan Al Qur’an dan As Sunnah yang telah kami sifatkan dan sesuatu yang ditunjukkan oleh ijma’ bahwa tidak ada seorangpun untuk mengatakan kecuali dengan ilmu. Kemudian ia berkata: “Apabila hakim dan mufti mengatakan tentang peristiwa yang tidak ada nash hadits . dan kiyas” dan ia berkata: Saya akan beristihsan, maka pasti diduga bahwa boleh bagi orang lain untuk beristihsan yang berbeda dengannya, maka setiap hakim dan mufti pada setiap negeri mengatakan apa yang diistihsankannya sehingga suatu hal dapat mempunyai bermacam-macam hukum dan fatwa. Jika hal ini boleh menurut mereka maka mereka sungguh-sungguh melalaikan diri mereka sehingga memberi hukum sekehendak mereka, meskipun hal itu sempit maka tidak boleh mereka memasukinya. Jika orang yang memandang adanya kiyas dari kalangan mereka berkata: ”Bahkan wajib bagi manusia untuk mengikuti apa yang saya katakan”. Maka dikatakan kepadanya: “Siapakah yang menyuruh untuk mentaatimu sehingga wajib bagi manusia untuk mengikuti kamu atau kamu berpendapat jika orang lain menuduhmu, apakah ini kamu ta’ati , ataukah kamu berkata: Saya hanya mentaati kepada orang yang diperin’tahkan mentaatinya, demikian juga tidak ada tha’at kepada seseorang, dan ketaatan itu hanyalah kepada orang yang diperintahkan oleh Allah atau RasulNya untuk mentaati nya, Allah dan RasulNya menunjukkan atasnya dengan nash atau istimbath dengan dalil-dalil (bukti-bukti)”, ,

 

Asy Syafi’i rahimahullah dalam pembicaraannya seo. lah-olah ia memikirkan apa yang dikatakan oleh Muham. mad bin Hasan: “Saya beristihsan dan meninggalkan kiyas” Abu Hanifah beristihsan dan meninggalkan kiyas dan meletakkan mereka ditempat orang yang mengatakan tanpa contoh semata-mata hal itu terlintas karena dugaan dan goresan hati.Tetapi orang-orang menafsirkan pendapatpendapat Muhammad bin Hasan dan apa yang dipahami dari tengah-tengah perkataannya adalah menunjukkan bahwa istihsan menurut mereka hanyalah meninggalkan kiyas atas pokok yang tertentu karena adanya atsar yang datang atau kembali kepada pokok yang tertentu. Dan Asy Syafi’i sendiri telah mengatakan, dalam menerangkan perbedaan pendapat orang-orang yang menggunakan kiyas bahwasanya kadang-kadang terjadi suatu peristiwa yang memungkinkan untuk dikiyaskan, namun mengandung dua keserupaan terhadap dua pokok. Sebagian berpendapat kepada satu pokok dan orang lain berpendapat kepada pokok yang lain sehingga keduanya berbeda pendapat. Pendapat penduduk Irak tentang istihsan hanyalah menerapkan suatu persoalan atas pokok yang lain yang khas atau ‘am dan pendapat itu bukan sematz mata karena hawa nafsu, maka yang ada hanyalah satu perkataan semata-mata dan urusan itu adalah mudah.

 

Asy Syafi’i dalam suratnya yang ditujukan sebagai jawaban atas Muhammad bin Hasan menerangkan bahws pokok yang dipegangi oleh Muhammad bin Hasan dalam Fiqih, bahwasanya tidak diperkatakan sedikitpun dalam fiqih kecuali dengan berita yang sah atau kiyas.

 

Kesimpulannya bahwa prinsip pengambilan kiyas sebagai dasar dalam pembinaan hukum telah mendapat kemenangan besar pada periode ini meskipun para fuqaha tidak sederajat dalam menggunakannya untuk beristimbath., Yang paling jauh pengaruhnya dan paling meresap langkah nya dalam kiyas adalah Hanafiyah, yang paling sedang Syafi’iyah diantara dua golongan itu. Sebagian ahli hadits dan Syi’ah menjauhi kiyas dan Zhahiriyah keterlaluan dalam menolaknya.

 

  1. Pertentangan tentang ijma’.

Sebagian yang beredar dikalangan para fuqaha adalah istidlal mereka atas sebagian masalah-masalah yang mereka pergunakan sebagai hujjah bahwasanya hal itu adalah telah disepakati maka mereka jadikan ijma’ ini sebagai salah satu dari pokok-pokok agama. Hal itu sah seperti sahnya Al Qur’an dan As Sunnah yang memberi faidah haramnya keluar darijama’ah. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud bukan demikian yaitu hanya menghalalkan dan mengharamkan. Atas yang demikian Asy Syafi’i menggunakan dalil dengan firman Allah Ta’ala:

 

Artinya:

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan kedalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.

 

la berkata bahwa mengikuti selain jalan orangorang mu’min adalah menyelisihi ijma”. Tetapi ketika ia mempertahankan pendapatnya dilapangan pertukaran fikiran dengan orang-orang yang menyelisihinya dengan mengingkari apa yang disebut ijma?’, dan mengingkari adanya ijma’ kecuali dengan fardhu yang wajib diketahui oleh setiap orang seperti shalat, zakat dan mengharamkan barang haram. Adapun ilmu khusus yang tidak mengetahuinya itu tidak memadharatkan orang-orang umum maka dalam masalah itu kami katakan salah satu dari dua pendapat: Kami katakan bahwa kami tidak mengetahui bahwa mereka berbeda pendapat dalam sesuatu yang tidak kami ketahui. Dan kami katakan tentang sesuatu yang mereka berbeda pendapat dimana mereka berbeda pendapat dan berijtihad. Maka kami ambil perkataan-perkataan mereka yang paling menyerupai (mendekati) Al Qur’an atau As Sunnah, meskipun tidak terdapat dalil dari salah satunya, dan hal itu jarang kecuali dalil itu ada atau pendapat yang terbaik menurut ahli ilmu dalam mulai bertindak dan menyelesaikannya. Apabila mereka berbeda pendapat sebagaimana kami sifati maka benarlah untuk kita katakan bahwa perkataan (pendapat) ini diriwayatkan dari sekelompok orang yang mana mereka berbeda pendapat, maka kami mengambil perkataan tiga orang bukan dua orang,atau empat orang bukan tiga orang, dan tidak kami katakan: ”Ini adalah ijma’ ”, karena ijma? itu keputusan atas orang yang tidak berkata dari orang yang kita tidak tahu apa yang ia katakan seandainya ia berkata, dan mengaku riwayat ijma’ kadang: kadang ditemui ‘orang yang menentang terhadap pendapat yang dikatakan ijma’.

 

Dan ia menanyakan suatu pertanyaan yang berhubungan dengan kepribadian para mujtahid kepada seorang yang berdiskusi, kemudia ia berkata kepadanya: ”’Siapakah ahli ilmu yang apabila mereka sepakat maka tegaklah hujah karena kesepakatan mereka?”. Ia berkata kepada mereka: ”’Mereka itu adalah orang yang diakui sebagai ahli Fiqh oleh penduduk negerinya, mereka puas akan perkataannya dan menerima hukumnya” Maka ia mendiskusikan hal itu dengan panjang lebar. Kemudian ia berkata: ”Telah saya katakan bahwa saya menjumpai ahli kalam itu bertebaran dalam banyak negeri, dan saya dapati setiap golongan dari mereka yang menegakkan diskusi yang berakhir kepada perkataannya, dan diletakkannya ditempat yang telah saya sifati, apakah mereka termasuk golongan fuqaha yang mana fuqaha itu belum lengkap sehingga mereka berkumpul bersama-sama atau mereka diluar fuqaha?”

 

Kemudian ia ditanya dengan pertanyaan lain tentang penukilan ijma”. Ia berkata: ”Bagaimana pendapat anda bahwa tegaknya hujjah itu hanyalah apa yang disepakati oleh fuqaha diseluruh negeri, apakah anda dapatkan jalan untuk mengumpulkan mereka semua, dan hujah itu tidak ada pada seseorang sehingga ia bertemu dengan seluruh fuqaha, -atau dinukil oleh orang banyak dari masing-masing mereka?” Ia berkata: ”’Hal ini tidak terdapat”. Saya berkata: “Jika anda menerima dari mereka dengan penukilan khusus maka anda telah menerima sesuatu yang anda cela. Jika anda tidak menerima masing-masing perseorangannya “kecuali dengan penukilan khusus maka anda jumpai dalam bokok perkataan anda yaitu sesuatu yang disepakati oleh negara-negara lain. Apabila kita tidak menerima penukilan khusus karena tidak ada jalan kepadanya sebagai permulaan karena mereka tidak berkumpul kepada anda pada suatu tempat dan anda tidak mendapatkan berita dari mereka dengan penukilan dari orang banyak”,

 

Zhahirnya bahwa Asy Syafi’i rahimahullah memungkiri adanya ijma” pada pengertiannya yang sempurna. Karena hal itu tergantung atas diketahuinya pribadi para mujtahid pada suatu masa dan seluruh orang mengenal mereka terhadap hal itu, dan dinukil dari masing-masing mereka pendapat tentang masalah yang ada fatwanya dan perkataan itu dinukil dari mereka oleh segolongan orang yang aman dari bohong atau keliru, Dan ini hanyalah te. rujud dalam apa yang disebut ilmunya orang banyak (il. mul ‘ammah), seperti mengetahui shalat yang diwajibkan adalah lima waktu, shalat Shubuh itu dua raka’at dan yang serupa dengan itu. Adapun apa yang disebut dengan ilmu khusus maka sedikit saja anda dapati suatu masalah yang mudah untuk dikatakan bahwa para mujtahid sepakat dalam menjawabnya. Oleh karena itu diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah: Barangsiapa yang mengaku ada ijma’ maka dia adalah bohong”. Dalam keadaan Asy Syafi’i mengingkari hakikat ijma?’ namun ia berpendapat bahwa ijma’ itu termasuk hujjah dalam agama yaitu menukil hukum dari ulama salaf dan ia tidak tahu bahwa mereka berbeda pendapat didalamnya, seolah-olah perselisihan tu dalam mengungkapkan hujjah bukan dalam hujjah itu sendiri.

 

Hanafiyah, kebanyakan menyebutkan ijma’ sukuti yaitu seseorang menjawab dan orang lain diam, tetapi mereka berpendapat demikian itu menurut pengamatan kami adalah untuk menguatkan hadits sebagaimana uraian yang lampau dalam menerangkan As Sunnah yang seolaholah dengan meninggalkan pertentangan adalah setuju terhadap sahnya hadits, maka hadits itu menjadi hadits dari orang banyak karena seandainya mereka mempunyai ha dits yang bertentangan niscaya mereka tidak tinggal diam untuk menolaknya.

 

Dan Malik rahimahullah kebanyakan menyebutkan: ”Ijma’ adalah sesuatu yang disepakati dikalangan kami”. Ia berpendapat demikian itu sebagai jalan untuk menguatkan hadits sebagaimana terdahulu. Kesimpulannya ialah apabila dalam suatu peristiwa tidak ada Al Qur’an dan As Sunnah, dan dalam hal itu ada fatwa salaf dan tidak diketahui adanya perselisihan pendapat dari salah seorang diantara mereka, maka jumhur fuqaha melihatnya sebagai hujjah dalam agama. Demikian itu karena persepakatan mereka bukanlah pendapat, karena pendapat itu apa bila masih terpisah-pisah. Pada hakikatnya hal itu kembali kepada pengamalan As Sunnah dan menganggap apa yang telah ada yaitu tidak adanya pertentangan sebagai dalil atas adanya sunnah yang menjadi tempat kembalinya fatwa itu. Hal ini sedikit sekali adanya dalam sesuatu yang diijma’kan oleh ulama.

 

  1. Pertentangan ‘ dalam persoalan besar yang berkisar sekitar pembebanan (taklif).

Seluruh pembebanan (taklif) didasarkan atas dua kata yaitu: ”’Kerjakanlah, dan jangan kamu kerjakan”. Yang pertama disebut dengan perintah dan yang kedua disebut larangan. Dalam Al Qur’an terdapat perintah dan larangan, dan dalam As Sunnah terdapat perntah dan larangan. Sesuatu yang menunjukkan perintah dan larangan itu , apakah atas kepastian sehingga apa yang diprintahkan itu menjadi fardhu dan apa yang dilarang menjadi haram, apakah perintah dan larangan itu mengandung selain itu sehingga ada dalil lain yang menunjukkan atas kepastian? Jika dikatakan bahwa perintah dan larangan itu pasti, seandainya yang diperintahkan itu bertalian dengan urusan lain seperti ibadah atau mu’amalah maka meninggalkannya itu apakah mencacatkan sesuatu yang bertalian dengannya dan seberapakah kadar pencecatan itu? Demikian juga apabila yang dilarang itu bertalian dengan sesuatu yang lain, apakah melakukannya itu berpengaruh pada sesuatu itu, dan seberakah kadar pengaruh ini?” Kami hendak membuat contohcontoh yang’ menjelaskan maksud dari masalah ini. Allah Ta’ala berfirman:

 

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-bu. dak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepadamu tiga kali.

 

Perintah minta izin ini tidak bertalian dengan yang lain. Allah berfirman:

 

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu. Perintah wudhu ini bertalian dengan ibadah shalat.

 

Allah berfirman.

 

Artinya:

– Hari orang-orang yang beriman, apabila kamu ber mu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

 

Perintah menulis ini menjadi perantara suatu tujuan yaitu hutang agar terpelihara. Allah berfirman:

 

Artinya:

Hari Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isteri mu maka hendaklah kamu ceraikan mereka agar (menghadapi) iddahnya ( yang wajar).

 

Perintah untuk memelihara permulaan iddah dalam cerai ini adalah perantara suatu tujuan yaitu perceraian sehingga perceraian itu tidak menyebabkan kemadharatan bagi wanita yang dicerai.

 

Apakah dapat dikatakan bahwa setiap apa yang di perintahkan oleh Allah itu pasti dan apabila bertalian dengan sesuatu yang lain maka menjadi pasti juga, yaitu apabila ditinggalkan maka membawa pengaruh dalam sesuatu yang berhubungan dengannya, dimana shalat itu batal tanpa adanya wudhu, hutang itu batal yang tuduh an atasnya tidak diterima tanpa adanya pencatatan hutang itu, dan perceraian itu batal apabila wanita itu sedang haidh?

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

Artinya:

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharam kan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Pembunuhan yang dilarang itu tidaklah bertalian dengan sesuatu yang lain.

Allah berfirman:

 

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.

 

Mendekatnya orang yang mabuk kepada shalat adalah bertalian dengan shalat sehingga shalat itu menempati kedudukannya dalam munajat kepada Allah.

Allah berfirman:

 

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.

 

Jual beli yang dilarang hanya karena untuk memelihara shalat.

 

Allah berfirman:

 

Artinya:

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseo-ang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.

 

Mengambil sesuatu yang dilarang adalah bertalian dengan perceraian. Dan apakah dikatakan bahwa setiap yang dilarang itu bersifat kepastian. Dan Apabila hal itu bertalian dengan sesuatu yang lain maka sesuatu itu diharamkan, dan sesuatu yang berhubungan dengannya terpengaruh dan seberapakah kadar pengaruh ini? Suatu kali membatalkannya itu menguranginya saja? Maka dikatakan bahwa jual beli sesudah terdengar adzan, mengambil harta dari ‘wanita yang dicerai adalah haram. Seberapakah kadar pengaruh shalat apabila ia shalat dalam keadaan mabuk?, “jual beli apabila sudah waktu adzan dan melalaikan shalat? dan perceraian apabila dapat mengambil harta?

 

Demikian juga pada jalan ini perintah-perintah — dan larangan-larangan As Sunnah. Apakah seluruh yang diperin. tahkan dan dilarang merupakan kepastian, dan seberapakah kadar pengaruh menyelisihi terhadap sesuatu yang berhu. bungan dengannya?

 

Persoalan ini adalah penting karena sebagaimana kami katakan sebagai asas pembinaan hukum yang tidak diperoleh kesepakatan dari fuqaha periode ini bahkan mereka berbeda pendapat yang banyak jumlah dan perinciannya.

 

Asy Syafi’i rahimahullah dalam kitab Al Um jilid ke V berkata: “Perintah (amar) dalam Al Qur’an, As Sunnah dan perkataan manusia mengandung beberapa pengertian:

 

(Salah satunya), Allah azza wa jalla mengharamkan sesuatu kemudian membolehkannya. Maka perintahNya itu adalah menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan, seperti firman Allah azza wa jalla:

 

Artinya:

Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. dan seperti

 

Artinya:

Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah ‘kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah.

 

Demikian juga bahwasanya Allah menyharamkan buruan atas orang yang ihram dan melarang jual beli ketika telah terdengar adzan Jum’at. kemudian Allah membolehkannya dalam waktu yang telah diharamkanNya, seperti firman Allah Ta’ala:

 

Artinya:

Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib, Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya,

dan firman Nya:

 

Artinya:

Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makan lah daripadanya.

 

Hal-hal yang serupa ini banyak dalam kitabullah azza wajalla dan Sunnah NabiNya saw. Bukanlah suatu kewajiban untuk berburu apabila halal (tidak ihram-pen), tidak wajib untuk bertebaran mencari dagangan apabila mereka telah melaksanakan shalat, tidak wajib memakan sebagian mag. kawin isterinya apabila isteri itu berbaik hati kepada suami. nya dan tidak wajib memakan sebagian dari ontanya apabila ia telah menyembelihnya.

 

Terkandunglah pengertian untuk menunjukkan nikah bagi orang yang yang sudah cerdik dalam firmanNya:

 

Artinya:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki.

karena firmanNya azza wa jalla: ,

 

Artinya:

Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya.

 

Firman ini menunjukkan bahwa didalam nikah itu ada se bab untuk kaya dan menjaga diri, seperti sabda Nabi saw:

 

Artinya: Bepergianlah kamu, maka kamu menjadi sehat dan mendapat rizki.

 

Dan perintah nikah itu mengandung perintah wajib dan dalam setiap kewajiban dari Allah ada petunjuk maka berkumpullah kewajiban dan petunjuk.

 

Sebagian ahli ilmu mengatakan seluruh amar (perintah) itu untuk membolehkan dan sebagai petunjuk sehingga terdapat dilalah dari Al Qur’an atau As Sunnah atau ijma’ bahwa yang dimaksud perintah itu merupakan fardhu yang tidak halal untuk ditinggalkan, seperti firman Allah azza wa jalla:

 

Artinya:

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat! Perintah itu menunjukkan bahwa shalat dan puasa itu wajib, seperti firmanNya:

 

Artinya:

Ambillah shadaqah dari sebagian harta mereka.

firmanNya:

 

Artinya:

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.

dan firmanNya:

 

Artinya:

Biarkan saya tentang apa yang saya tinggalkan (tidak saya katakan) kepadamu, sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu itu binasa karena banyaknya pertanyaan dan perselisihan mereka atas nabi-nabi mereka. Sesuatu urusan yang saya perintahkan kepadamu datangilah semampumu dan sesuatu yang saya ‘ larang maka hentikanlah.

 

Dan kadang-kadang perintah itu mengandung pengertian larangan (nahi) dan keduanya itu pasti, kecuali dengan dilalah bahwa keduanya tidak pasti.

 

Sabda Nabi s.a.w:

 

Artinya:

Datangilah ia menurut kemampuanmu.

 

Adalah wajib atasmu sekalian melaksanakan perintah menurut kemampuanmu karena manusia dibebani menurut kemampuannya dan dalam perbuatan itu tergantung keMmampuan sesuatu karena dia sesuatu yang dibebankan. Adapun larangan (nahi) adalah meninggalkan setiap sesuatu yang dikehendaki untuk ditinggalkan yang dalam kemampuannya, karena ja tidak dituntut untuk memperbuat sesuatu yang baru, hanya dia itu merupakan sesuatu yang dicegah.

 

Asy Syafi’i rahimahullah berkata: ”Wajib atas ahli ilmu ketika membaca Al Qur’an dan mengetahui As Sunnah untuk mencari dilalalahnya, agar mereka mengetahui perbedaan antara wajib, mubah dan irsyad yang tidak menjadi kemestian dalam suruhan dan larangan”.

 

Dalam Ar Risalah Asy Syafi’i berkata: “Sesungguhnya larangan itu kadang-kadang atas sesuatu pengertian bukan pengertian yang lain, dan hal itu diketahui olehmu dengan semacam istidlal”.

 

Untuk itu dibuat contoh-contoh dah kami kemukakan sebagiannya untuk menunjukkan atas seluruhnya.

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dan Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:

 

Artinya:

Salah seorang diantaramu janganlah meminang-pinangan saudaranya.

 

Kemudian ia berkata: “Seandainya tidak datang dari Rasulullah s.a.w dilalah bahwa larangan beliau terhadap seseorang untuk meminang pinangan saudaranya pada suatu pengertian bukan pengertian yang lain maka menurut zhahirnya haram seseorang meminang pinangan orang lain dari waktu mulai pinangan sampai ia meninggalkannya” Dan sabda Nabi s.a.w: “Janganlah salah seorang diantaramu meminang pinangan saudaranya”. Itu mengandung jawaban dari beliau, dimaksudkannya suatu pengertian tentang hadits, dan dari peristiwanya tidak terdengar sebab yang karenanya Rasulullah mensabdakan ini, maka sebagiannya menunaikan,tidak sebagian yang Jain, atau ia ragu pada sebagiannya dan diam pada yang ragu itu. Nabi s.a.w ditanya tentang seorang laki-laki yang meminang seorang wanita dan wanita itu mengidzinkan untuk dinikahinya, dan Arjah meminangnya maka wanita itu menarik diri dari laki-laki yang pertama yang dulunya  ja telah mengizinkannya untuk menikahinya. Maka beliau melarang untuk meminang wanita yang sedang dalam keadaan ini, dan kadang-kadang wanita itu menarik diri dari orang yang telah diizinkan untuk menikahinya, maka orang yang wanita itu menarik diri dari padanya tidak menikahinya. Maka hal ini fasad atas wanita itu dan pemiinangnya. yang mana wanita itu telah mengizinkan laki-laki itu untuk menikahinya.

 

Kemudian diriwayatkan hadits Fathimah binti Qais bahwasanya ja menyebutkan kepada Nabi s.aw bahwa Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jaham telah meminangnya maka Rasulullah s.a.w bersabda kepadanya (Fathimah binti Qais): ” Adapun Abu Jaham tidak meletakkan tongkatnya dari belikatnya (suka memukul). Adapun Mu’ awiyah laki-laki fakir tidak berharta, maka nikahilah Usamah bin Zaid”. | Kemudian ia berkata bahwa hadits ini menunjukkan atas dua hal yaitu salah satunya Nabi s.a.w mengetahui bahwa kedua orang itu meminangnya dan pinangan salah satu dari dua orang itu sesudah pinangan yang lain. Ketika beliau tidak mencegah dua orang tersebut dan tidak menyabdakan kepada salah seorang dari dua orang itu untuk meminang sesudah ditinggalkan oleh pinangan orang lain. Dan beliau meminangnya atas Usamah bin Zaid sesudah pinangan dua orang itu, karena wanita itu tidak senang. Seandainya ia senang pada salah seorang dari dua orang itu maka beliau menyuruhnya untuk menikahi orang yang disenanginya. Pemberitaan wanita itu kepada beliau tentang pinangan orang yang meminangnya adalah suatu pemberitaan tentang sesuatu yang tidak diizinkan oleh dirinya (wanita) itu, dan barangkali ia mohon permusyawaratan kepada beliau dan wanita itu tidaklah memusyawarahkan kepada beliau manakala ia telah mengizinkan kepada salah satu dari dua orang itu. Ketika beliau meminangkannya atas Usamah maka kita mengambil dalil bahwa keadaan yang beliau meminangkannya adalah bukan keadaan yang beliau melarang pinangan terhadap wanita, Dan keadaan itu berbeda dimana beliau menghalalkan pinangan dan dimana beliau mengharamkannya yaitu wanita itu mengizinkan kepada wali untuk menikahkannya, dan jika wali itu menikahkan. nya maka pernikahan itu tetap bagi dirinya (wanita), dan suaminya itu wajib menetapinya dan wanita itu bersunyi sunyi dengannya. Adapun sebelum itu keadaan wanita itu satu, walinya tidaklah menikahkannya sehingga ia memberi izin, maka kecenderungannya dan tidak kecenderungannya adalah sama.

 

Kesimpulan yang diistidlalkan atasnya adalah yang dilarang dalam hadits adalah pinangan sesudah diizinkan oleh walinya untuk menikahkan sehingga wali itu hukumnya boleh (untuk menikahkan). Adapun selama wali itu belum memperbolehkan maka awal keadaannya dan akhirnya adalah sama.

 

Sebagian fuqaha berkata bahwa larangan dalam hadits : itu artinya apabila wanita yang dipinang itu telah cenderung (senang) kepada peminangnya. Mereka membuat gayyid ini dengan penunjukkan dari pendapat Asy Svafi’i bahwa pengertian larangan itu apabila wali telah mengizinkan untuk menikahkannya. Ini pula pendapat Malik bin Anas dan Abu Hanifah rahimahullah. Malik berkata dalam Al Muwatha” sesudah meriwayatkan hadits: ”’Tafsir sabda Rasulullah s.a.w menurut pendapat kami — dan Allah lebih tahu. Salah seorang diantara kamu tidak meminang pinangan saudaranya, adalah seorang laki-laki meminang seorang wanita maka wanita itu cenderung (senang) kepadanya dan keduanya setuju pada suatu mas kawin yang tertentu dan keduanya telah rela, dan wanita itu mensyaratkan atas laki-laki itu dirinya. Itulah pinangan yang mana seorang laki-laki dilarang untuk meminang saudaranya. Dan tidak laki-laki itu untyk dirinya. Itulah pinangan yang mana se orang laki-laki dilarang untuk meminang pinangan saudaranya..Dan tidak berarti demikian apabila seorang laki-laki meminang wanita namun urusan jitu tidak ada kesepakatan dan wanita tidak cenderung (senang) kepadanya agar ada seorang yang meminangnya”,

 

Dua imam itu sepakat untuk menggayidkan atas kemutlakan hadits, meskipun jalannya berbeda-beda. Qayid Malik karena kemutlakan hadits termasuk bab kerusakan yang menimpa manusia-dan gayid, Asy Syafi’i karena mengambil dalil dengan hadits Fathimah binti Qais.

 

Sebagian fuqaha menjadikan larangan itu secara mutlak dimana mereka mengatakan tidak halal bagi seseorang untuk meminang seorang seorang wanita yang telah dipinang oleh orang lain sehingga peminang itu telah meninggalkannya.

 

Sesudah itu mereka berbeda pendapat apabila pernikahan itu terjadi dengan adanya perselisihan. Abu Hanifah dan Asy Syafi’i berkata: Akad ttu diteruskan, karena larangan itu bukan mengharamkan namun untuk memakruhkan”. Sebagian fuqaha berkata: “Akad itu diteruskan”. “Dua pendapat ini diriwayatkan dari Malik. Dan pendapat ketiga bahwasanya akad itu dirusakkan sebelum terjadi persetubuhan. –

 

Sumber perbedaan pendapat ini adalah berbedanya .pendapat larangan sebagaimana telah kami kemukakan.

 

Contoh lain bagi sesuatu perintah tidak diartikan wajib.

 

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:

 

Artinya:

Mandi pada hari Jum’at itu wajib atas setiap orang dewasa.

 

Dan hadits Ibnu Umar bahwasanya beliau a.s bersabda:

 

Artinya:

Barangsiapa dari kamu sekalian mendatangi Jum’at maka hendaklah ia mandi.

 

“Ia berkata: “Sabda Rasulullah s.a.w. tentang mandi hari Jum’at itu wajib. Perintah beliau untuk mandi me. ngandung dua pengertian:

 

  1. Menurut zhahirnya, mandi itu wajib, maka tidak cukup bersuci untuk shalat Jum’at kecuali dengan mandi, sebagaimana orang junub tidak cukup bersucinya selain dengan mandi.
  2. Mandi itu wajib dalam ikhtiyar, kemuliaan akhlak dan kebersihan?”

 

Kemudian diriwayatkan dari Abdullah bin Umar berkata:

 

”Utsman bin Affan memasuki masjid pada hari Jum’ah, dan Umar bin Khathab sedang berkhotbah, Umar berkata: “Jam berapa ini?”. Ia berkata: ”Wahai Amirul mukminin saya baru pulang dari pasar dan saya mendengar adzan, bagi saya tidak lebih dari wudhu” Umar berkata:”Wudhu juga. Dan engkau tahu bahwa Nabi s.a.w selalu menyuruh untuk mandi?”. Asy Syafi’i rahimallah berkata: ”’ Ketika Umar mengingatkan bahwasanya Rasulullah s.a.w menyuruh mandi pada hari Jum’ah dan ia tahu bahwa Utsman telah mengetahui tentang perintah Rasulullah s.a.w untuk mandi kemudian Umar mengingatkan Utsman tentang perintah Nabi s.a.w untuk mandi, kemudian Umar menuturkan kepada Utsman tentang perintah Nabi s.a.w untuk mandi dan Utsman mengetahui hal itu. Seandainya ia berpendapat bahwa Utsman lupa maka Umar telah mengingatkan kelupaannya sebelum shalat. Ketika Utsman tidak meninggalkar shalat karena tidak mandi danUmar tidak memerintahka? keluar untuk mandi, hal itu menunjukkan bahwa keduanya telah mengetahui perintah Rasulullah s.a.w untuk mandi dalam waktu ikhtiyar, bukan tidak cukup pada waktu yang lain karena Umar tidak pernah meninggalkan perintah beliau untuk mandi, demikian juga Utsman, karena kita tahu bahwa Utsman dalam meninggalkan mandi itu sadar sedang Nabi a.s telah memerintahkan untuk mandi, hanya saja mandi sebagaimana kami sebutkan dalam waktu ikhtiyar.

 

Kesimpulannya bahwasanya disana ada perbedaan pendapat antara para fuqaha tentang jalan mengistimbatkan hukum dari perintah-perintah dan larangan-larangan pembuat syari’at, suatu kali sebagian menetapkannya sebagai memfardhukan dan mengharamkan, suatu kali kepada irsyad semata-mata dengan semacam garinah, istidlal atau rayu. Perhatikanlah sebagian contoh-contoh yang menjelaskan perbedaan para fuqaha dalam beristimbath.

 

Syari” ‘meletakkan akad sebagai sebab bagi akibat -akibatnya sebagaimana meletakkan jual beli itu sebagai sebab berpindahnya milik dari orang yang menjual, dan berpindahnya harga dari pembeli. Dan meletakkan gadai sebagai sebab tetapnya hak orang yang menerima gadaian atas benda yang digadaikan, sehingga benda itu menjadi jaminan pada seluruh hutang, dan akad-akad lain yang dihalaikannya dan dibuatnya sebagai sebab-sebab. Suatu kali datang dari syara” larangan terhadap akad-akad ini dengan membatalkan sebab-sebab akad terhadap akibat-akibatnya, sehingga sebab itu batal tidak memindahkan dan tidak menetapkan hak. Demikianlah pendapat sebagian fuqaha, tetapi Abu Hanifah dan teman-temannya berpendapat seCara teliti. Mereka berkata bahwa akad jual beli misalnya, dibuat oleh syara? untuk sebab memindahkan milik, dan larangan karena sifat yang dibenci memberi faidah haramnya dan tidak meniadakan antara dua sebab itu, maka hendaklah ada pengaruh bagi masing-masing dari keduanya. Dengan pemikiran ini keluarlah jual beli yang memindahkan hak milik dan haram dalam satu waktu hanya saja mereka mensyaratkan kepada kegunaan milik dengan dapat diterima, dan jual beli bentuk ini mereka namakan fasid. Dan mereka berkata bahwasanya wajib bagi orang yang jual beli untuk menghilangkan bekas larangan. Apabila keduanya tidak menjalankan dan pembeli mentasharufkan beliannya maka ia mentasharufkan miliknya yang didapat dari pembeli, dan mereka berkata bahwa kami dalam hal ini tidak menempuh dengan menerapkan ra’yu yang mumi bahkan kami dapatkan syara” yang dibuat untuk melepaskan akad perkawinan. Ia telah memerintahkan agar per. ceraian ada sebelum iddah yakni dalam suci yang belum disetubuhi. Mencerai orang yang sedang haidh adalah dilarang. Dalam pada itu ketika Ibnu Umar memperbuatnya Nabi menyuruh untuk merujuk isterinya dan beriddah dengan perceraian yang dihasilkan sedang isteri dalam keadaan haidh. Ini adalah suatu dalil bahwa larangan terhadap tindakan syar’i karena bersamanya dengan sifat yang dibenci dan mereka tidak menyatakan dengan menghitung jual beli yang dilarang karena dalam kenyataannya keduanya itu sama dari segi pemikiran, tetapi tidak diharapkan pada perlawanan ahli zhahir yang menolak pendapat tentang : seluruh tindakan syara” apabila syara” itu melarangnya, dan mereka mencela hadits yang disahkan oleh orang yang dahulu bahwa Rasul a.s menyuruh untuk beriddah dengan perceraian yang telah dilaksanakan oleh Ibnu Umar. Dari yang demikian bahwasanya Allah menyuruh untuk menu“Jiskan hutang yang berjangka waktu dan Allah benar-benar menguatkan hal itu yang dapat diketahui dengan menela’ah terhadap ayat hutang. Tetapi kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa pencatatan hutang itu tidak wajib dan perintah itu merupakan irsyad saja, barangsiapa yang melakukan nya maka ia telah berhati-hati bagi dirinya, dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya maka ia tidak berdosa hanya saja ia meninggalkan kehati-hatian bagi dirinya. Mereka mengambil hal tsb. dari firman Allah Ta’ala pada akhir ayat:

 

Artinya:

Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).

 

Pendapat ini ditentang oleh ahli zhahir yang mengatakan bahwa pencatatan hutang itu wajib seperti kewajiban lain ‘yang diperntahkanNya. Barangsiapa yang tidak mencatatnya maka ia berdosa. Barangkali mereka menggayidkan hal itu apabila penghutang tidak merasa aman terhadap peminjam. Akhir ayat itu tidak menunjukkan hal ini.

 

Pembahasan dalam masalah amr dan nahi dan perbedaan pendapat yang berkaitan dengannya dalam istimbath adalah panjang ekornya yang tidak mungkin dimuat semuanya. Apa yang telah kami sebutkan itu cukup untuk mengetahuinya dengan sifatnya sebagai lapangan pertengkaran dan salah satu sebab perbedaan pendapat. Dan hal itu menimbulkan golongan-golongan antara orang yang memandang kepada ruh pembinaan hukum dan orang yang memandang kepada leterliyk nash.

Pertentangan-pertentangan dalam materi Fiqh merupakan sebab kesibukan ulama untuk menyusun ilmu yang mereka namakan ”ushul Fiqh” yaitu kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap mujtahid dalam istimbath. Dan diriwayatkan dalam tarikh Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan bahwa dua orang itu menulis tentang ushul Fiqh, namun merupakan hal yang menyedihkan karena kitabnya sedikitpun tidak ada yang sampai kepada kita.

 

Adapun yang sampai kepada kita dan dianggap sebagai asas yang shahih bagi ilmu ini dan kekayaan besar bagi para pembahas ushul Fiqh adalah kitab Ar Risalah yang didiktekan oleh Muhammad Idris Asy Syafi’i seorang imam Mekah kemudian imam Mesir.

 

Dalam Ar Risalah ia membicarakan tentang:

 

  1. Al Qur’an dan keterangannya.
  2. As Sunnah dan kedudukannya dalam rangkaiannya de. ngan Al Qur’an.
  3. Nasikh dan mansukh. .
  4. Hadits riwayat perseorangn (khabar wahid).
  5. Ijma”.
  6. Qiyas.
  7. Ijtihad.
  8. Istihsan.
  9. Perbedaan pendapat (ikhtilaf).

 

Dalam pasal pertama ia menyebutkan bagaimana keterangan Al Qur’an yang dijadikannya beberapa macam:

 

1). Sesuatu yang dijelaskan bagi makhlukNya secara nash, seperti jumlah-jumlah fardhu.

2). Sesuatu yang dihukumi fardhu dengan kitabNya dan diterangkan cara pelaksanaannya oleh lidah nabiNya seperti bilangan shalat.

3). Sesuatu yang digariskan oleh Rasulullah s.a.w yang tidak ada nash hukumnya dalam kitab Allah atas hambanya.

4). Sesuatu yang difardhukan oleh Allah atas hambaNya untuk berijtihad mencarinya. Allah menguji ketaatan mereka dengan berijtihad sebagaimana Allah menguji ketaatan mereka dalam sesuatu yang difardhukan atas mereka selain ijtihad. Setiap macam-macamnya telah dibuatkan contoh-contoh yang cukup untuk dipahami. Kemudian Asy Syafi’i menyebutkan bahwa Al Qur’an

 

berbahasa Arab dan disitu tidak ada sesuatupun kecuali dengan bahasa Arab. Orang yang melihatnya ada yang men dakwakan bahwa dalam Al Qur’an ada bahasa Arab dar Ajam.

 

Dari keadaan Al Qur’an sedemikian itu, timbullan bahwa Al Qur’an itu dipahami sebagaimana orang Arab mema hami pengertian-pengertian perkataannya, padahal orang Arab bercakap-cakap dengan kalimat yang yang zhahirnya umum, sedang yang dimaksudkan khusus.

 

Contohnya. dari Al Qur’an adalah firman Allah Ta’ala:

 

Artinya:

Pencipta segala sesuatu sebab itu sembahlah Dia dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.

 

Kadang-kadang zhahirnya umum namun yang dimaksudkan khusus. Contohnya firman Allah Ta’ala:

 

Artinya:

Orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada yang mengatakan: Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu,

 

Seluruh manusia tidaklah mengatakan dan seluruh manusia tidak puia berkumpul.

 

Kadang-kadang zhahirnya menunjukkan suatu pengertian dan tujuan percakapan itu (siyagul kalam) menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan zhahirnya, seperti firman Allah Ta’ala:

 

Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu dan kafilah yang kami datang bersamanya. Tujuan percakapan menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah penduduk suatu desa dan orang-orang yang membawa onta.

 

Dan kadang-kadang zhahir Al Qur’an menunjukkan khususnya sebagaimana dalam ayat mawarits, dimana ayat itu umum menurut zhahirnya dan As Sunnah menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah sebagian orang tua, anak dan suami tidak pada sebagian yang lain, yakni bila orang tua, anak dan isteri itu seagama,dan orang yang mewarisi dari keduanya bukan orang yang membunuhnya dan bukan budak.

 

Dari yang demikian beralih untuk menerangkan bahwa As Sunnah wajib diikuti dengan perintah Allah s.w.t. dan As Sunnah adalah hikmah yang disebutkan dalam fir: man Allah Ta’ala:

 

Artinya:

Mengajarkan kepadamu Al Kitab dan hikmah . dan firmanNya:

 

Artinya:

Dan ingatlah apa yang dibacakan dirumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu).

 

Berpanjang lebarlah pembicaraan tentang menegakkan keterangan atas. kehujjahan As Sunnah. Kemudian Asy Syafii berkata: “Sunnah-sunnah Rasulullah s.a.w serta kitabullah azza wa jalla ada dua segi:

 

  1. Nash kitabullah, kemudian diikuti oleh Rasulullah s.a.w. sebagaimana sesuatu yang diturunkan oleh Allah.
  2. Yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w dari Allah S.W.T tentang pengertian yang dikehendaki oleh jumlah itu, dan Rasulullah menjelaskan bagaimana kefardhuannya apakah ‘am atau khas, dan bagaimana cara menunaikannya.

 

Keduanya itu, Rasulullah s.a.w. mengikuti kalamullah Ta’ala”

 

Kemudian Asy Syafi’i berkata, disana ada segi ketiga yaitu sesuatu yang dijalankan oleh Rasulullah s.a.w yang tidak ada nash dari kitabullah. Hal ini diperselisihkan, dimana sebagian ulama memperbolehkannya, sebagian dari mereka mengatakan bahwa tidak dijalankan sunnah kecuali sunnah itu mempunyai pangkal dalam Al Kitab (Al Qur’an). Sesuatu yang dihalalkan dan diharamkan hanyalah menerangkan dari Allah Ta’ala, sebagaimana menerangkan shalat. Dan sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa sesuatu yang dijalankan oleh beliau itu dimasukkan kedalam isi Al Qur’ an. Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa apapun keadaannya, sesungguhnya Allah Ta’ala telah menerangkan bahwasanya Allah mewajibkan kita untuk menta’ati RasulNya. Kemudian Asy Syafi’i membicarakan tentang Nasikh dan Mansukh dimana ia menjelaskan kadang-kadang Al Qur’an itu dinasakh sebagai tambahan ni’mat yang telah mulai diberikan kepada mereka, dan ia. menjelaskan bahwa Al Qur’an itu hanya dinasakh dengan Al Quran dan As Sunnah tidak menasakh Al Qur’an, As Sunnah itu hanyalah mengikuti Al Qur’an seperti menduduki sebagai nash dan penafsir terhadap apa yang diturunkan oleh Allah Ta’ala secara global. Demikian juga sunnah Rasulullah s.a.w hanya dinaskah oleh sunnah beliau. Zhahir keterangan itu lalah menghendaki bahwa As Sunnah -tidak dinaskh oleh pendapat-pendapat manusia yang dibawahnya. Jika As Sunnah dinaskh dengan Al Qur’an, maka itu wajib ada Ag Sunnah yang menerangkan bahwa As Sunnah (yang dahulu) dinasakh. Sesuatu yang memaksa demikian itu adalah menja. ga manusia dari mengambil keumuman Al Qur’an dan mening, galkan As Sunnah yang mengkhususkan,dengan dalih bahwa keumuman Al Quran itu menghapuskan kekhususan As Sunnah sebagaimana telah dijelaskan.

 

Kemudian Asy Syafi’i menjelaskan bahwa kadang: kadang diambil dalil atas dinasakhnya salah satu nash lain sebagaimana dalam dua ayat wasiyat dan warisan. Berdasarkan dalil dengan hadits masyhur:

 

Artinya:

 

Tidak ada wasiyat bagi ahli waris.

 

Karena pewarisan itu menasakhkan wasiyat, maka wasiyat itu tidak wajib kepada dua orang tua dan kaum kerabat hanya saja Thawus dan sedikit orang bersamanya mengakan wasiyat kepada dua orang tua itu dihapus dan wasiyat untuk kerabat selain para pewaris masih tetap.

 

Kemudian Asy Syafi’i menjelaskan dengan menyebut contoh-contoh bagidn-bagian tertentu (faraidh) yang dituyunkan oleh Allah secara nash dan bagian-bagian yang tertentu yang dinasakhkan dan telah dijalankan oleh Rasulullah s.a.w bersamanya. Bagian tertentu yang dinashkan dan ditunjukkan oleh As Sunnah bahwa yang dimaksudkannya adalah khash. Kemudian Asy Syafi’i menjelaskan bahwa merupakan kesepatan fuqaha dimana mereka tidak memberikan warisan kepada orang yang membunuh dari orang yang dibunuhnya padahal keumuman Al Qur’an merupakan hujjah yang memastikan mereka tidak berbeda pendapat dalam. sunnah-sunnah Rasulullah s.a.w karena apabila As Sunnah -As Sunnah itu menduduki tempat ini dalam sesuatu yang ditentukan secara nash oleh Allah Ta’ala, maka sunnah itu menunjukkan bahwa sesuatu itu diberikan pada sebagian orang yang telah ditentukan itu tidak pada sebagian yang lain. Demikianlah contoh yang diambil dari Al Qur’ an. Demikian juga sesuatu yang telah dijalankan Rasulullah sa.w dan tidak ada hukum yang dinashkan oleh Allah. Dan Lebih utamanya agar seorang alim tidak ragu-ragu tentang tetapnya dan agar mengetahui bahwa hukum-hukum Allah azza wa jalla dan hukum-hukum Rasulullah s.a.w itu tidak bertentangan dan hukum-hukum itu berjalan serupa. Kemudian Asy Syafi’i beralih dengan menerangkan illat-illat hadits. Ia mulai dengan menyanggah orang yang berpendapat yang tidak disebut namanya. Asy Syafi’i berkata: Kami jumpai hadits-hadits dari Rasulullah s.a.w Hadits-hadits itu ada nash Al Qur’an yang menyerupainya. Dan yang lain ada hadits-hadits yang dalam Al Qur’an ada disebutkan, dan sebagian hadits-hadits ada yang lebih banyak daripada Al Qur’an yang dalam Al Qur’an sedikitpun tidakada — yang lain sesuai dan yang lain bertentangan yang tidak ada dilalah atas nasakh dan mansukhnya. Dalam hadits-hadits yang lain Rasulullah s.a.w melarang maka para fuqaha berpendapat sesuatu yang dilarang beliau itu haram dan dalam hadits-hadits yang lain beliau melarang maka para fuqaha mengatakan larangan dan suruhan beliau itu untuk ikhtiyar (memilihkan kepada yang baik) bukan untuk mengharamkan. Kami jumpai anda sekalian memegangi kepada sebagian hadits-hadits yang bertentangan tidak kepada sebagiannya, kami jumpai anda sekalian mengkiyaskan pada sebagian hadits kemudian kiyas anda sekalian berbeda, anda tinggalkan sebagian dan tidak mengkiyaskannya, maka apakah huijjah anda sekalian dalam mengkiyaskan dan meninggalkan kiyas, sesudah itu anda sekalian berbeda-beda, sebagian dari anda ada yang meninggalkan sesuatu hadits beliau lalu mengambil hadits serupa yang ditinggalkannya atau sanadnya lebih lemah daripadanya”.

 

Asy Syafi’i rahimahullah panjang lebar menerangkan illatillat hadits dengan uraian yang terbaik sejak dari segi peneri-. maannya dari Rasulullah s.a.w kemudian membicarakan As Sunnah yang nasikh dan mansukh, untuk itu ia membuat contoh-contoh yang banyak, dan ia bawakan beberapa hadits yang zhahirnya bertentangan kemudian menjelaskan segi pertentangannya dan bagaimanakah tugas mujtahid dalam mengumpulkan atau mengunggulkan (mentarjih) diantara hadits-hadits itu?

 

Sesudah itu Asy Syafi’i membicarakan tentang mensahkan hadits ahad dan ia memanjang lebarkan keterangan dalam kedudukannya sebagai hujjah dan hal itu adalah uraian yang terpanjang ia tulis.

 

Kemudian ia membicarakan tentang ijma” dan ia mengambil dalil ijma” itu dengan dorongan dari Rasulullah s.a.w untuk menetapi jama’ah kaum muslimin. Ia mengatakan bahwa pengertiannya tiada lain kecuali menetapi apa yang ada pada jama’ah mereka baik penghalalan, pengharaman dan menta ‘ati keduanya.

 

Kemudian ja membicarakan tentang kiyas dan ijtihad dan ia mengatakan bahwa kiyas dan ijtihad itu dua nama untuk satu pengertian. Ia menyebutkan dua segi kiyas yaitu:

 

  1. Sesuatu itu searti dengan pokok (asal), dan kiyas tidak menyelisihi pokok itu.
  2. Sesuatu itu mempunyai keserupaan-keserupaan yang ada dalam pokok (asal).

 

Demikian itu dihubungkan dengan yang pertama dan paling banyak menyerupainya. Orang-orang yang melakukan kiyas itu itu berbeda-beda dalam hal ini, dan kiyas itu disebut sebagai hujjah dan ia termasuk agama dan meluaslah kedaJam perbedaan pendapat yang timbul dari ijtihad.

 

Hadits Amr bin Ash bahwasanya Rasulullah s.a.w bersabda:

 

Artinya:

Apabila seorang hakim memutuskan dan berijtihad namun ia salah maka ia mendapat satu pahala.

 

Kemudian Asy Syafi’i membicarakan istihsan dan menjawab atas orang-orang yang membicarakannya. Istihsan adalah membicarakan tanpa hadits dan tanpa kiyas. Dan ia menerangkan orang yang berhak untuk mengkiyaskan, dan kiyas itu mempunyai beberapa segi, yang terkuat adalah Allah mengharamkan sedikitnya sesuatu dalam kitabNya atau RasulNya s.a.w maka diketahui apabila sedikitnya haram maka banyaknya seperti sedikitnya dalam haramnya atau lebih haram karena banyak itu melebihi sedikit. Demikian juga apabila sedikitnya ketaatan itu terpuji maka ketaatan yang lebih banyak adalah lebih utama untuk dipuji. Demikian pula apabila banyaknya sesuatu itu diperbolehkan maka yang sedikit lebih utama bolehnya. : Dan kadang-kadang sebagian ahli ilmu enggan untuk menyebut hal ini sebagai kiyas dan berkata: “Inilah pengertian sesuatu yang dihalalkan oleh Allah, diharamkan, dipuji dan dicelaNya karena hal ini termasuk dalam golongannya, sebenarnya tidak ada kiyas atasnya. Dan ia mengatakan seperti perkataan ini dalam selain ini yaitu sesuatu yang termasuk dalam pengertian halal maka dihalalkan dan yang termasuk dalam haram maka diharamkan dan ia enggan untuk menyebut kiyas kecuali sesuatu yang mengandung keserupaan terhadap kedua pengertian yang berlainan maka ia memalingkan untuk mengkiyas pada salah satunya, tidak pada yang lain”. Sebagian ahli ilmu selain mereka berkata: ”Selain-nash dari Al Qur’an dan As Sunnah dan ia dalam pengertian nash itu maka ia adalah kiyas”.

 

Kemudian Asy Syafi’i membicarakan tentang perbendaan pendapat. Ia menerangkan sesuatu yang tidak diperkenankan adanya perbedaan pendapat yaitu sesuatu yang diberikan hujjah oleh Allah dalam kitabNya atau lidah NabiNya s.a.w dengan nash yang jelas dan tidak boleh ber. beda pendapat bagi orang yang mengetahuinya, dan sesuatu yang diperkenankan adanya perbedaan pendapat yaitu sesuatu dari KitabNya atau As Sunnah yang mengandung ta’wil atau dipahami sebagai kiyas. Ia menyertakan contoh. contoh yang banyak yang hukumnya diistimbatkan dengan kiyas. Untuk itu banyak orang yang berbeda dalam kiyas mereka. Maka ia mendiskusikannya dengan mereka, suatu diskusi yang menampakkan kekuatan dalam mengungkap. kan dan banyaknya menela’ah.

 

Sebagian uraian yang terbaik yang saya lihat dalam tulisan Asy Syafi’i rahimahullah adalah ia menceritakan pendapat orang-orang yang berdiskusi dengan hujjah yang sempurna, jelas keterangannya dan diperinzi setiap kekuatan yang mungkin ada pada mereka kemudian ia membalikkan dalil-dalil mereka. Dalam hal itu, tidaklah ada yang lebih sopan terhadap lawan bicaranya dalam mempertahankan kehujjahan As Sunnah daripada apa yang ditulisnya, dalam pada itu saya melihat tulisan sebagian mutaakhirin ketika mempertahankan kehujjahan As Sunnah tidak lebih atas perkataan: ”Dia (As Sunnah) itu suatu kemestian agama”. Alangkah besar perbedaan antara dua guru itu.

 

Sesungguhnya kitab Ar Risalah itu sebagaimana telah kami katakan adalah pusaka yang mulia dari masa kuno yang menceritakan kepada kita tentang banyak celah-celah kaum pada masa itu, baik dari segi baiknya penulisan dan baiknya sastera sampai memuliakan orang-orang yang menentang dalam soal jawab untuk menghadhirkan Al Qur’an dan As Sunnah dalam diri mereka ketika berdiskusi.

Al Qur’an menuntut tuntutan yang dikehendaki de ngan gaya bahasa yang telah kami terangkan pada periode pertama. Gaya bahasanya tidak mempunyai kelebihan atas yang lain dalam kekuatan menuntutnya, seluruhnya sama. Demikian juga As Sunnah dalam menuntut tuntutan yang dikehendakinya. Ketika tuntutan -tuntutan itu berbeda-beda dihadapan pandangan para fuqaha maka mereka membutuhkan untuk memilih nama-nama yang menunjukkannya yaitu: Fardhu, wajib, sunnah mandub dan mustahab.

 

Fardhu dan wajib adalah dua buah nama bagi sesuatu yang dituntut dengan tuntutan pasti. Hanya saja menurut golongan Hanafiyah sesuatu yang tuntutannya itu tetap dengan dalil yang ghath’i, baik sampainya maupun dilalahnya seperti ayat-ayat Al Qur’an dan As Sunnah yang gath’i shahihnya karena mutawatir atau tersohor apabila dia itu nash, dan wajib adalah sesuatu yang tuntutannya itu tetap dengan dalil yang zhanni baik sampainya maupun dilalahnya atau kedua-duanya bersama-sama. Contoh fardhu menurut mereka adalah membaca bacaan yang mudah dari Al Quran dalam dua raka’at pada shalat apapun. Contoh wajib adalah bacaan yang dibaca dalam dua raka’at itu Al Fatihah. Meninggalkan fardhu mengakibatkan batalnya shalat, meninggalkan wajib karena lupa mengakibatkan sujud sahwi, dan meninggalkannya secara sengaja mengakibatkan wajibnya mengulangi shalat selama masih dalam waktu shalat, jika telah keluar waktu maka ia telah berbuat buruk. Adapun menurut selain mereka maka tidak ada perbedaan antara tardhu dan wajib bahkan seluruh hal yang dituntut dengan pasti adalah fardhu dan wajib, baik itu dituntut dengan dalil pasti (qath’i) maupun zhanni (sangkaan). Tetapi  mereka membedakan antara fardhu dan wajib dalam hajji, dimana mereka mengatakan bahwa sesuatu yang dituntut oleh syara” dan tidak ada penggantinya maka dia fardhu seperti wuquf di Arafah dan thawaf ifadhah. Sesuatu yang dituntut dan meninggalkannya diganti dengan dam, itu hamanya wajib seperti ihram, dan dikalangan mereka fardhu itu dikenal dengan fardhu kifayah yaitu setiap pekerjaan yang dituntut oleh syara” tanpa menunjuk kepada pelakunya, manakala seorang mukalaf telah mengerjakannya maka dosanya gugur dari seluruh orang, dan manakala mereka meninggalkannya semua, maka mereka berdosa.

 

Sesuatu yang diperintahkan dan perbuatan lainnya tergantung atasnya, mereka namakan syarath apabila keluar dari hakikat perbuatan itu seperti menghadap kiblat untuk shalat, dam dinamakan rukun apabila sesuatu itu bagian daripadanya seperti ruku’ dalam shalat.

 

Sunnah menurut istilah Hanafiyah adalah sesuatu yang terus dijalankan oleh Rasulullah s.a.w namun kadang-kadang beliau meninggalkannya tanpa udzur. Mandub dan mustahab adalah sesuatu yang beliau tidak terus menerus mengerjakannya meskipun beliau tidak mengerjakannya sesudah menggemarkannya pada orang lain. Dalam istilah lain, sunnah, mandub dan mustahab adalah satu pengertian yaitu sesuatu yang dituntut dengan tuntutan yang tidak pasti, hanya saja mereka katakan sunnah muakkadah bagi sesuatu yang. .oleh Hanafiyah disebut sunnah, dan sunnah ghairu muakkadah bagi sesuatu yang mereka namakan mandub dan mustahab.

 

Mereka istilahkan atas sesuatu yang dituntut oleh syara” untuk mencegahnya dengan haram dan makruh. Haram menurut Hanafiyah adalah kebalikan fardhu, makruh tahrim adalah kebalikan wajib, dan makruh tanzih adalah kebalikan sunnah. Menurut selain mereka (Hanafiyah) haram itu kebalikan fardhu dan wajib, karena fardhu dan wajib adalah dua persamaan kata (sinonim). Makruh tahrim atau makruh syadidah adalah sesuatu yang berlawanan dengan sunnah ghairu muakkadah.

 

Sesuatu yang tidak dituntut oleh syari” untuk mengerjakannya dan tidak pula dilarangnya mereka, sebut mubah.

 

Termasuk istilah-istilah Fiqh adalah perkataan mereka: fasid dan batal, yaitu dua nama bagi satu macam, menurut sebagian fuqaha yaitu sesuatu yang pelakunya tidak diberi balasan (pahala) dan tidak membawa akibat (siksa). Hanafiyah membedakan antara keduanya, mereka namakan batil adalah sesuatu yang bekasnya tidak membawa akibat (siksa) dan fasid adalah sesuatu yang membawa pengaruh serta keburukan. Dan masih ada istilah-istilah Fiqh yang dikenal dengan menela’ah buku-buku Fiqh. Disini kami hanya hendak mengemukakan bahwa kebanyakan dari istilah-istilah ini adalah baru.

Disebutnya salah seorang fuqaha periode-periode yang lampau hanyalah karena sekedar dinukilnya pendapatpendapat mereka di tengah kitab-kitab perbedaan pendapat yang banyak jumlahnya dan besar urusannya. Disana terdapat fuqaha sahabat dan tabi’in yang memiliki peninggalan-peninggalan besar dalam membina hukum Islam karena mereka adalah orang salaf yang shalih, mereka adalah pelita bagi orang yang hidup sesudah mereka. Dalam pada itu “sesungguhnya nama-nama mereka terlipat dan salah seorang dari mereka tidak terhitung sebagai ikutan, sedikit jumhur atas pengaruhnya dan diikuti dalam kumpulan pendapat-pendapatnya. Dalam periode ini muncullah para mujtahid yang oleh jumhur dianggap sebagai imam-imam yang mengatur langkah-langkah mereka dan beramal dengan menerapkan pendapat-pendapat mereka sehingga dijadikannya menduduki nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah yang tidak boleh dilampauinya. Sebab sebab yang memberikan keistimewaan-keistimewaan ini adalah sebagai berikut:

 

  1. Kumpulan pendapat-pendapat mereka dibukukan, dan pembukuan ini tidak terdapat pada salah seorang salaf.

2, Ada murid-murid yang bertindak untuk menyebarkan pendapat-pendapat mereka, mempertahankan dan menolongnya, dan mereka dalam organisasi sosial mempunyai kedudukan yang menjadikan pendapat itu berharga.

  1. Kecenderungan jumhur agar keputusan yang diberikan oleh hakim berasal dari madzhab sehingga dalam ber. pendapat tidak diduga untuk mengikuti hawa nafsu dalam mengadili. Hal itu hanya dapat terjadi bila tidak ada madzhab yang dibukukan.

 

Nah kami sebutkan riwayat fuqaha-fuqaha yang madzhabnya dibukukan dan mereka mempunyai pengikutdiberbagai negara-negara besar disertai keterangan-keistimewaan masing-masingnya.

 

  1. Imam Pertama Abu Hanifah.

Dia adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauthi, dilahirkan tahun 80 H di Kufah. Dikala muda ia mempelajari Fiqh dari Hmmad bin Abu Sulaiman. Hal itu pada permulaan abad ke II, dan ia banyak belajar pada ulama-ulama tabi’in seperti Atha” bin Abu Rabah dan Nafi’ maula Ibnu Umar. Abu Hanifah mengalami perpindahan kekuasaan Bani Umayah ke Bani Abbas dan dalam peralihan ini Kufah merupakan pusat pergerakan yang besar itu. Dan disana sempurnanya bai’at Abul Abbas As Saffah dan kami hanya mendengar suatu ingatan dalam pergerakan itu dikatakan bahwa Yazid bin Hubairah wali Irak dari pihak Marwan bin Muhammad menawarkan kepadanya untuk menjabat hakim namun ia enggan, oleh karena itu ia dipukul. Apabila kami pahami secara mudah, kami hampir tidak memahami kengganan seseorang untuk menjabat pengadilan kemudian dipukul! karena memukul dengan cemeti adalah terlalu merendah kan dan tidak dilakukan oleh orang yang tidak berakal untuk dibebankan pada seseorang yang memangku jabatan yang termulia sesudah pemerintahan yakni jabatan hakim, apabila disana hanya karena enggan. Kami tidak menduga bahwasanya dalam hati amirul mu’minin terdapat dendam yang membawanya untuk melaksanakan hukuman itu.

 

Lebih-lebih di Kufah banyak fuqaha maka tidak sulit bagi Putera Hubairah untuk memilih orang yang melaksanakan . tujuan ini.

 

Sesungguhnya saya menduga bahwa penawaran seperti ini tujuannya untuk menguji orang yang ditawari sehingga diketahui kadar kesetiaannya terhadap negara karena ulama itu menurut ‘zhahirnyai enggan untuk memangku tugas pemerintahan yang tidak disenangi agar tidak memperkuatnya.

 

Pada masa ini di Kufah telah terjadi dua pemberontakan

 

yaitu:

 

  1. Zaid bin Ali bin Husain yang timbul pada tahun 122 H pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik dan gubernur Yusuf bin Umar Ats Tsaqafi atas Irak dan ia terbunuh,

 

  1. Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far pada masa goyangnya hubungan pada tahun 127 H. Dari Abu Hanifah terdapat kata-kata yang menunjukkan pujian atas Zaid, sebagaimana hal itu dinukil oleh orang-orang yang menulis riwayat hidupnya. Dan mungkin ia telah kembali daripadanya pada masa Abdullah bin Mu’awiyah. Maka Putera Hubairah ingin menguji kesetiaannya pada Bani Umayyah sehingga ia menawarkan hakim atasnya, namun ia menolaknya maka dipukul karena dirasa ia berpaling dari Bani Umayyah bukan karena ia enggan menjadi hakim. Abu Hanifah rahimahullah adalah pedagang kain di Kufah yang berjualan kain sutera. Ia terkenal jujur dalam bermu’ amalah dan menghindari tawar menawar. Ia manis wajahnya, baik pergaulannya dengan saudara-saudaranya. Ia adalah orang yang sedang, sebaik-baik manusia dalam percakapan dan paling manis dalam berlagu. Ja’far bin Rabi” berkata: ”Saya tinggal pada Abu Hanifah selama 50 tahun dan saya tidak melihat orang yang lebih lama diamnya daripadanya. Apabila ja ditanya tentang Fiqh maka ia terbuka dan mengalir seperti lembah. Dan saya mendengar pembicaraannya bergema dan keras. Ia seorang imam (tokoh) dalam kiyas”.

 

Abdullah bin Mubarak berkata, saya berkata kepada Sufyan Ats Tsauri: ”Wahai Abdullah, alangkah jauhnya Abu Hanifah dari menggunjing, saya tidak pernah mendengar ia menggunjing lawannya”. Maka Sufyan menja. wab: ”Ia lebih berakal, dari pada menguasakan sesuatu yang menghilangkan kebaikan-kebaikannya”. Banyak para pelajar (mahasiswa) berhubungan dengannya,mereka belajar kepadanya dan menolongnya dalam r membuati masalah-masalah dan jawabannya. Methodenya dalam istimbath adalah apa yang dikatakannya sendiri yaitu: ”’Sesungguhnya saya mengambil kitabullah apabila saya dapatkan. Apabila didalamnya tidak saya dapatkan maka saya mengambil sunnah Rasulullah s.a.w dan atsar-atsar yang shahih dan tersiar dikalangan orang-orang yang terpercaya. Apabila saya tidak mendapatkan dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah s.a.w maka saya mengambil pendapat para shahabat beliau yang saya kehendaki atau meninggalkan pendapat mereka yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka kepada selain pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim, Asy Sya”bi, Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’id bin Musayyab (beberapa orang yang telah berijtihad » maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.

 

Sahal bin Muzahim berkata: “Perkataan Abu Hanifah diambil dengan terpercaya dan terhindar dari keburukan, ja meninjau mu’amalah manusia, apa yang tegak pada mereka dan baik bagi urusan mereka. Ia melakukan urusan-urusan atas kiyas, apabila kiyas itu buruk maka dilakukannya istihsan selagi hal itu berlaku atasnya. Apabila hal itu tidak berlaku maka ia kembali kepada apa yang dijalankan oleh kaum muslimin. Ia selalu menghubungkan hadits yang terkenal dan telah disepakatinya, kemudian ia mengkiyaskannya selama kiyas itu boleh kemudian ia kembali kepada istihsan, selama saja diantara keduanya yang lebih terpercaya maka ia kembali kepadanya”.

 

Muhammad bin Hasan berkata: ” Abu Hanifah telah mendiskusikan kepada teman-temannya tentang hasil-hasil kiyasnya. Kemudian mereka minta dibenarkan dan menentangnya sehingga apabila ia beristihsan maka tidak seorangpun dari mereka yang menyamainya karena banyaknya masalah-masalah yang yang didatangkan dalam istihsan, maka mereka seluruhnya menyeru dan menerimanya. Abu Hanifah adalah salah seorang yang arif (mengetahui) tentang hadits dan Fiqh penduduk Kufah, dan ia sangat mengikuti kepada-sesuatu yang dijalankan oleh manusia dinegerinya. Pada masanya di Kufah ada tiga ulama besar yaitu:

 

1) Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri termasuk imam ahli hadits. Manusia mengakui atas agamanya, wara’nya, zuhudnya dan terpercayanya. Dia adalah salah seorang imam mujtahid yang mempunyai pengikut. Sufyan bin ‘Uyainah berkata: ”Saya tidak melihat seseorang yang lebih mengetahui halal dan haram daripada Ats Tsauri. Ia dilahirkan pada tahun 97 H dan wafat pada tahun 161 H.

  1. Syarik bin Abdullah An Nakha’i.

Ia dilahirkan di Bukhara tahun 95 H, seorang yang alim, fagih, lekas memahami, cerdik dan cerdas. Pada masa Al Mahdi ia menjabat hakim di Kufah kemudian ia dipecat oleh Musa Al Hadi. Ia seorang yang adil dalam memberikan keputusan, banyak benarnya dan siap jawaban. Ia meninggal pada tahun 197 H di Kufah.

  1. Muhammad bin Abdur Rahman bin Abi Laila. Ia dilahirkan pada tahun 74 H, termasuk orang yang memegangi ra’yu, menjabat hakim di Kufah selama 33 tahun. Ia menjabat pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah dan ia seorang fagih dan mufti. Atas Tsauri berkata: ”Fagih kita adalah Ibnu Abi Laila dan Ibnu Syibrimah”. Ja meninggal pada tahun 148 H. Diantara tiga orang fagih itu dan Abu Hanifah terdapat. Adapun orang pertama karena buruknya pengertian antara ahli hadits dan ahli ra’vu, Adapun Ibnu Abi Laila adalah seorang hakim negara, dan Abu Hanifah kadangkadang dimintai fatwa dengan fatwa yang bertentangan dengannya. Ibnu Abi Laila mengetahui hal itu sehingga suatu kali mereka membawa (persoalan itu :pen) kepada gubernur agar melarang Abu Hanifah untuk berfatwa. Antara ia dan Syarik terdapat sesuatu yang tidak menyenangkan sebabnya adalah persaingan antara kawan.

 

Ketika Abu Ja’far Al Mansur mendirikan kota Baghdad ia mendatangkan banyak ulama dari berbagai kota dan Abu Hanifah termasuk orang yang didatangkan. Mereka menceritakan hikayat ditawarkannya jabatan hakim atasnya berulangkali dan oleh karenanya ia dihukum.Wafatnyasemoga diberi rahmat oleh Allahpada tahun 150 H.

 

Adapun murid-muridnya yang membangsakan diri kepadanya sebagai murid terhadap guru sedang mereka mempunyai kemampuan dalam mempercabang cabangcabang (agama) dan mempersiapkan jawabannya, yang termasyhur adalah:

 

1). Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al Anshari.

Dilahirkan pada tahun 113 H. Diwaktu kecil ia sibuk mencari periwayatan hadits, kemudian meriwayatkan hadits dari Hisyam bin Urwah, Abu Ishag Asy Syaibani, Atha” bin Saib dan orang-orang yang sejajar dengan mereka. Kemudian belajar Fiqh pada Ibnu Abi Laila dalam suatu waktu, kemudian pindah kepada Abu Hanifah rahimahullah. Ia sebesar-besar muridnya (Abu Hanifah) dan penolongnya yang paling utama. Dia (Abu Yusuf) adalah orang yang pertama-tama menyusun buku-buku menurut madzhabnya (Abu Hanifah), mendiktekan masalah-masalah dan menyiarkannya. Tersiarlah ilmu Abu Hanifah kepenjuru bumi.

 

Banyak ahli hadits memuji Abu Yusuf pada hal jarang mereka menyampaikan kata-kata pujian kepada salah seorang pendukung ra’yu. Yahya bin Mu’in tidak lebih banyak dan lebih shahih haditsnya daripada Abu Yusuf, dan ia berkata: “Abu Yusuf adalah pemilik hadits dan sunnah”. Abu Yusuf rahimahullah meninggal pada tahun 183 H.

 

2). Zutar bin Hudzail bin Qais Al Kufi.

Dilahirkan pada tahun 110 H, ia termasuk ahli hadits kemudian ia dikalahkan oleh ra’yu. Ia adalah orang yang paling menggunakan kiyas diantara teman-teman Abu Hanifah. Mereka mengatakan bahwa Abu Yusuf adalah orang yang paling banyak mengikuti hadits, Muhammad adalah orang yang paling banyak membuat cabang-cabang dan Zufar adalah orang yang paling banyak mengkiyaskan. Ia tidak mengindahkan kemewahan dunia, namun hidupnya selalu disibukkan dengan ilmu dan mengajar sampai meninggalnya tahun 157 H.

 

3). Muhammad bin Hasan bin Fargad Asy Syaibani.

Ayah Hasan berasal dari desa Haristi dari daerah Damaskus, kemudian datang ke Irak. Ia mempunyai anak Muhammad di Wasit tahun 132 H, ia menjadi besar di Kufah kemudian menetap di Bagdad dalam naungan orang-orang Abbasiyah. Diwaktu anak-anak ia menuntut ilmu, ia meriwayatkan hadits dan belajar dari Abu Hanifah tentang jalan penduduk Irak, dan ia duduk (belajar – pen) tidak lama pada Abu Hanifah karena Abu Hanifah meninggal, sedangkan Muhammad masih muda. Maka ia menyempurnakan pelajaran pada Abu Yusuf. Ia mempunyai akal yang cerdas sehingga ia berkembang sangat pesat dan pada masa hidup Abu Yusuf ia menjadi tempat kembali ahli ra’yu, dan antara dua orang itu terdapat keretakan yang berlangsung beberapa waktu sampai wafatnya Abu Yusuf.

 

Dari Muhammad diambilnya madzhab Abu Hanifah karena dihadapan golongan Uanifayah hanya ada kitab. kitabnya sebagaimana anda lihat pada pasal pombukuan, Asy Syati’l rahimahullah di Bagdad telah membandinginya, ia tolah mombaca kitab-kitabnya dan mendiskusikannya dalam banyak masalah-masalah, Keduanya terdapat diskusi yang dibukukan, menyenangkan, yang sebapian besarnya kami baca dari riwayat Asy Syafi’i sendiri atau riwayat teman-temannya, Muhammad bin Hasan meninggal tahun 179 H di Ray, dan ja teman dari Ar Rasyid.

 

4). Husan bin Zayadi Al Lu’lui Al Kufi maula Anshar. la termasuk murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan sesudahnya Muhammad, Ia menulis buku-buku tentang madzhab Abu Hanifah. Tetapi buku-buku dan pendapat-pendapatnya tidak dapat dianggap seperti bukubuku dan pendapat-pendapat Muhammad. Menurut ahli hadits, derajatnya rendah. Ia meninggal pada tahun 204.

 

Empat orang itulah yang menyebarkan madzhab orangorang Irak dan orang-orang menerimanya dari mereka. Abu Yusuf dan Muhamamd mempunyai kekhususan disisi Bani Abbas yang menjadikan pendapat mereka mempunyai keistimewaan dan kemenangan atas pendapat orang-orang selain mereka dari ahli hadits. Merekalah orang-orang yang mempunyai keutamaan besar dalam menyusun masalahmasalah Fiqh dan menjawabnya. Hubungan mereka kepada . Abu Hanifah bukanlah hubungan seorang yang taklid kepada orang yang ditaklidi namun hubungan murid kepada guru disertai dengan kemerdekaan dalam apa yang mereka fatwakan. Mereka tidak berhenti pada apa yang difatwakan oleh guru mereka, bahkan mereka menyelisihinya apabila nyata bagi mereka sesuatu yang mewajibkan adanya perbedaan pendapat. Oleh karena itu anda jumpai kitab-kitab golongan Hanafiyah mencantumkan pendapat imam-imam dengan dalil-dalilnya. Kadang-kadang dalam satu masalah ada empat pendapat yaitu pendapat-pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar berdasar atsar atau pengngertian yang nampak bagi mereka. Dan sebagian golongan Hanafiyah berusaha menjadikan pendapat mereka yang berbeda-beda sebagai pendapat yang menjadi tempat kembali. Tetapi ini adalah sulit diperoleh dari sejarah imamimam itu bahkan dari apa yang disebutkan dalam bukubuku mereka, Sesungguhnya Abu Yusuf menceritakan dalam kitab pajak tentang pendapat Abu Hanifah kemudian ia menyebutkan pendapatnya dengan menjelaskan bahwa dirinya menyelisihi Abu Hanifah dengan menjelaskan sebab menyelisihinya. Demikianlah yang dilakukannya dalam kitab perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila. Kadang-kadang ia mengatakan antara pendapat Abu Laila setelah menyebutkan dua pendapat. Muhammad rahimahullah dalam kitabnya menyebutkan pendapat-pendapat Abu Yusuf. Dan pendapat-pendapatnya dijelaskan perbedaannya, karena seandainya pendapat itu sebagaimana apa yang mereka katakan maka tidak ada pendapat-pendapat madzhabnya untuk kembali. Termasuk shahih, bahwa Abu Yusuf dan Muhammad banyak berbeda pendapatpendapat dg Alimam, ketika melihat hadits yang ada penduduk Hijaz. Orang yang meneliti berdasarkan sejarah, imam-imam golongan Hanafiyah yang telah kami sebutkan sesudah Abu Hanifah rahimahullah tidaklah taklid kepada Abu Hanifah karena taklid belum timbul dikalangan kaum muslimin pada masa itu, namun para mufti berdiri sendiri dalam berfatwa berdasarkan dalil-dalil yang tampak bagi mereka,sama saja bagi mereka apakah mereka menyelishinya guru-guru mereka atau sesuai dengan mereka. Hubungan Abu Yusuf dan Muhammad kepada Abu Hanifah hanyalah seperti hubungan Asy Syafi’i kepada Malik.

 

Sebagian murid-murid dari teman-teman Abu Hanifah yang telah menukil kitab-kitab mereka adalah:

 

a). Ibrahim bin Rustan Al Marwi, belajar Fiqh pada Muhammad bin Hasan dan ia mendengar (hadits) dari Malik dan lainnya. Ia mempunyai pendapat-pen. dapat yang pelik yang ditulis oleh Muhammad. Ia meninggal tahun 210 H.

b). Ahmad bin Hafsh yang dikenal dengan Abu Hafsh Al Kabir bin Hasan dan tulisannya diriwayatkan dari padanya. Kupasan Muhammad yang saya lihat adalah dari tulisannya.

c). Bisyr bin Ghiyats Al Marisi, belajar Fiqh pada Abu Yusuf. Ia adalah termasuk teman-teman khususnya, seorang yang wara’ dan zuhud, hanya saja ia dibenci oleh manusia karena ia terkenal dengan ilmu filsafat. Abu Yusuf mencelanya dan berpaling daripadanya. Ia meninggal tahun 228 H. Ia mempunyai banyak karangan dan riwayat dari Abu Yusuf. Dalam madzhab itu ia mempunyai pendapat-pendapat yang pelik antara lain adalah bolehnya makan daging himar (keledai). Antara ia dan Asy Syafi’i pernah mengadakan diskusi-diskusi, dan kepadanya dihubungkan golongan Murji’ah yang disebutnya Al Marisiyah.

d). Bisyr bin Walid Al Kindi, belajar Fiqh pada Abu Yusuf. Daripadanya diriwayatkan kitab-kitabnya dan amali.

Ia menjabat hakim di Baghdad pada masa Al Mu’tashim. Meninggal pada tahun 237 H. Ia menang gung Muhammad bin Hasan, dan Hasan bin Malik melarangnnya dan berkata: ” Muhammad telah mengamalkan kitab-kitab ini maka kerjakanlah olehmu satu ma salah”. Ia luas Fiqhnya dan ahli ibadah.

e). Isa bin Aban bin Shadagah seorang hakim, belajar fiab pada Muhammad dan Hasan bin Ziyad. Ia termasuk rijalul hadits, meninggal di Bashrah tahun 221 H.

f). Muhammad bin Sima’ah At Tamimi. Ia mendengar hadits dari Al Laits bin Sa’id, Abu Yusud dan Muham mad dan belajar Fiqh dari keduanya dan juga dari Hasan bin Ziyad. Ia menulis hal-hal yang pelik dari Abu Yusuf dan Muhammad. Ia dilahirkan pada tahun 130 H dan meninggal pada tahun 223 H. Ia menjabat hakim untuk Ma’mun di Baghdad tahun 192 H. Ketika meninggal, Yahya bin Mu’in berkata: ” Bunga harumnya fuqaha dari ahli ra’yu meninggal dunia”.

g). Muhammad bin Syuja’ Ats Tsalji, belajar Fiqh pada Hasan bin Ziyad. Ia menonjol dalam ilmu, seorang fagih Irak pada masanya dan orang yang terkemuka dalam Fiqh dan hadits disertai dengan wara” dan ibadah. Ia meninggal pada tahun 276 H. Ia mempunyai kitab-kitab yang membenarkan atsar dan kitab-kitab pelik, mudharabah dan sebagainya.

Ia condong pada madzhab Mu’tazilah. Menurut ahli hadits ia lemah riwayatnya dan mereka mencecatkan nya karena banyaknya bicara.

h). Sulaiman Musa bin Sulaiman Al Zauzajani, belajar Fiqh dari Muhammad. Ia menulis masalah-masalah ushul dan amali. Ia meninggal sesudah tahun 200 H.

i). Hilal bin Yahya bin Muslim Ar Ra’yu Al Bishri. Ia terkenal dengan Hilal Ar Ra’yu karena keluasan ilmunya dan banyak kefahamannya sebagaimana dikatakan Rabi’ah Ar Ra’yu. Ia belajar Fiqh pada Abu Yusuf dan Zufar. Ia mempunyai susunan tentang syarat dan hukum wakaf. Ia meninggal 245 H.

j). Abu Ja’far Ahmad bin Imran, hakim daerah-daerah Mesir. Ia belajar Fiqh pada Muhammad bin Sima’ah. Ia adalah guru Abu Ja’far Ath Thahawi, meninggal tahun 380 H. Ia menysun buku yang berjudul Al Hujaj (hujjah-hujjah).

k). Ahmad bin Umar bin Muhair yang terkenal dengan Al Khishaf. Ia belajar dari ayahnya dari Hasan bin Ziyad. Ia seorang ahli faraidh, ahli hisab dan mengetahui madzhab Abu Hanifah. Ia menyusun kitab pajak untuk Al Muhtadi billah. Ia mempunyai kitab tentang kekuasaan, kitab wasiyat, kitab syarath, kitab waqaf dsb. meninggal pada tahun 261 H,

|). Bakar bin Qutaibah bin Asad hakim Mesir. Ia dilahir. kan pada thaun 182 II, belajar Fiqh pada Hilal Aj Ra’yu. Ia orang yang terpandai diantara penduduk masanya tentang madzhab. Ia menyusun kitab syarath, kitab bendahara dan hukum kitab perjanjian, dan kitab besar yang membatalkan jawaban Asy Syafii pada Abu Hanifah. Ia meninggal pada tahun 209 H.

m). Abu Khazim Abdul Hamid bin Abdul Aziz, seorang hakim. Ia belajar Fiqh dari Isa bin Aban dan Hilal. Ia mempunyai kitab-kitab kesopanan hakim dan kitab faraidh. Ia meninggal pada tahun 292 H.

n). Abu Sa’id Ahmad bin Husain Al Barda’i. Ia belajar Fiqh dari Isma’il bin Hammad bin Abu Hanifah dari ayahnya dari kakeknya dan dari Abu Ali Ad Daggad dari Musa bin Nushair dari Muhammad. Ia terbunuh pada perang Qaramithah beserta Al Hajjaj pada tahun 317 H. Ia pernah berdiskusi dengan Dawud bin Ali, imam ahli zhahir.

o). Imam mutaakhirin dari tokoh-tokoh periode ini adalah Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah Al Azdi Ath Thahawi seorang imam besar. Ia dilahirkan pada tahun 230 H. Ia mula-mula belajar pada Al Muzni murid Asy Syafi’i seorang pamannya (dari pihak ibu). Kemudian ja pindah kepada Abu Ja’far Ahmad bir Abu Imran seorang hakim, dan belajar Fiqh padanya. Kemudian ia bertemu Abu Khazim seorang hakim agung di Syam maka ia belajar padanya. Ia seorang yang terkemuka dalam hadits dan dengan karangan karangannya ia melebihi orang-orang yang semasany? dan karangan-karangannya akan disebutkan nanti.

 

  1. Imam kedua Malik.

Dia adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir: Nasabnya berakhir sampai Dzu Ashbah dari Yaman. Salah seorang kakeknya datuny ke Madinah dan menetap disana, Neneknya Abu Amir termasuk shahabat Rasulullah s.a.w yang Ikut berperang bersama beliau pada seluruh perang kecuali perang Badar, Ia (Imam Malik) dilahirkan di Madinah tahun 93 H.

 

Ia menuntut ilmu pada ulama Madinah, Orang pertama yang menjadi tempat belajar adalah Abdur Rahman bin Hurmuz. Ia tinggal bersama Abdur Rahman dalam waktu yang lama dan tidak bergaul denyan orang-orang lain. Ia belajar pada Nafi” maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri, Adapun gurunya dalam fiyh adalah Rabi’ah bin Abdur Rahman yang terkenal dengan Rabi’ah Ar Ra’yu, Ketika gurunya telah mengakui kepadanya dalam hadits dan Fiqh ia duduk untuk meriwayatkan hadits dan berfatwa, Malik berkata: Saya tidak duduk (untuk berfatwa” pen) sehingga tujuh puluh orang guru dari ahli ilmu telah mengakui bahwa saya telah berhak menempati kedudukan itu”,

 

Orang-orang sepakat bahwa dia adalah imamdalam hadits dan terpercaya kebenaran riwayatnya, Guru-guru, teman-temannya dan orang-orang yang sesudahnya sepakat atas yang demikian itu sehingga sebagian dari mereka berkata “Hadits yang paling shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, kemudian Malik dari Abu Zinad dari A’raj dari Abu Hurairah”.

 

Al Waqidi dan selainnya berkata: ”Majlis Malik adalah majlis yang terhormat dan santun. Ia seorang yang berwibawa dan bangsawan, dalam majlisnya tidak ada pura-pura dan gaduh sedikitpun, juga tidak ada suarakeras. Apabila la ditanya tentang sesuatu maka dijawabnya orang bertanya Itu dan tidak dikatakan kepadanya darimana anda berpendapat demikian ini?”, Ia mempunyai penulis yang menyalin buku-bukunya, Dikatakan bahwa Habib membacakan kepada jama’ah. Tidak seorangpun yang hadir mendekatinya dan tidak melihat bukunya dan tidak minta penjelasan karena takut dan menghormat. Apabila Habib keliru maka Malik menerangkannya dan ia tidak pernah memba. cakan kitab-kitabnya atas seseorang. Ini adat kebiasaannya kecuali Yahya bin Bakir menyebutkan bahwa ia mendengar Muwatha’ dari Malik 14 kali, dan ia menduga bahwa seba. gian besarnya dibacakan oleh Malik dan sebagiannya dibaca. kan (orang lain) atasnya.

 

Banyak dari muhaditsin besar yang mempelajari hadits daripadanya dan hal itu diikuti oleh para ahli fiah. Malik mempunyai dua sifat yaitu:

 

  1. Ia seorang ahli hadits.
  2. Ia seorang mufti dan ahli istimbath.

 

Dari segi pertama, orang-orang besar dari guru-gurunya meriwayatkan daripadanya, seperti Rabi’ah, Yahya bin Sa’id, Musa bin Ugbah dan lain-lainnya. Teman-teman nya meriwayatkan daripadanya seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Laits bin Sa’id, Al Auza’i, Sufyan bin Uyainah dan Abu Yusuf teman Abu Hanifah. Dan murid-muridnya meriwayatkan daripadanya seperti Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, Abdullah bin Mubarak, Muhammad bin Hasan Asy Syaibani dan lain-lainnya.

 

Dari segi yang kedua ulama-ulama besar dari imam-imam madzhabnya mengambil masalah-masalah dari padanya, dan penuturan mereka akan datang kemudian.

 

Dalam fatwanya, Malik rahimahullah berpegang kepada:

 

  1. Kitabullah.
  2. Sunnah Rasulullah s.a.w yang dianggap shahih. Dalam hal ini pegangan-nya adalah muhadits-muhadits besar dari ulama Hijaz, dan ia memberikan perhatian yang besar atas sesuatu yang telah berlaku untuk diamalkan di Madinah, lebih-lebih amalan para imam dan kadang-kadang ia menolak hadits karena tidak adanya pengamalan hadits itu. Dalam hal itu kebanyakan fuqaha negara-negara besar telah menyelisihinya. Dan telah kami kemukakan kepada anda surat Al Laits bin Sa’id kepadanya. Dan Asy Syafi’i banyak meragukan masalah ini dalamAl Um. Demikian juga Abu Yusuf teman Abu Hanifah rahimahullah.

 

  1. Kemudian ia berpegang kepada kiyas, apabila tidak ada kitab atau sunnah. Terhadap hal ini ia telah membangsakan kepada Maslahah mursalah sebagaimana dinisbatkannya istihsan kepada Hanafiyah. Kemaslahatan-kemaslahatan ini disebut dengan istishlah. Pengertian mas lahah mursalah ialah kemaslahatan-kemaslahatan (kebaikan-kebaikan) yang dari syara” tidak disaksikan kebatalannya dan juga tidak disebutkan oleh nash yang jelas. Tempat perselisihan dalam mengamalkan maslahah mursalah adalah terbentur oleh dalil lain dari nash atau kiyas. Contohnya adalah memukul orang agar mau mengakui tuduhan mencuri. Malik mengatakan boleh, dan orang lain menyelisinya, karena kemaslahatan ini berlawanan dengan kemaslahatan lain yaitu kemaslahatan orang yang dipukul karena mungkin ja orang yang terlepas (tidak mencuri). Tidak memukul orang yang berdosa adalah lebih ringan daripada memukul orang yang terlepas. Jika dalam hal itu ja membuka pintu dan sulit mengambil harta benda maka pukulan itu karena membuka pintu, sampai menyiksa orang yang terlepas. Sebagian daripada masalah mursalah adalah wanita yang kehilangan suaminya apabila tiada berita mati dan hidupnya, sedang wanita itu telah menantinya bertahun-tahun dan menjadikan kemadharatan karena sendirian, dan wanita-wanita yang tidak haidh bertahun-tahun dan iddahnya dalam nikah lambat hingga ia tercegah dari nikah. Dalam dua hal itu Malik mengambil pendapat Umar. Ia berkata: ”Wanita yang suaminya hilang setelah empat tahun tidak ada berita, dan wanita yang luas sucinya, beriddah tiga bulan setelah lewat atasnya masa mengandung yaitu sembilan bulan hingga jumlahnya satu tahun. Pada nomor satu mereka memelihara kemaslahatan suami yang tidak ada (ghaib) pada nomor dua mereka memelihara kemaslahatan isteri padahal bertentangan dengan nash yang jelas yaitu firman Allah Ta’ala:

 

Artinya:

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga quru’.

 

Ia tidak sampai setelah tahun putus haidh sehingga ia beriddah beberapa bulan

 

Kesimpulannya: Masalah mursalah itu suatu kemaslahatan yang kembali kepada memelihara tujuan syara”, yang keadaan tujuan itu diketahui dengan Al Qur’an, As Sunnah atau jjma’ hanya saja kemaslahatan itu tidak dapat disaksikan oleh pokok yang tertentu untuk diambil i’tibar. Keadaan tujuan itu diketahui tidak dengan satu dalil namun dengan sekumpulan dalil-dalil, qarinah-qarinah dari beberapa keadaan dan tanda-tanda yang berbeda-beda. Oleh karena itu disebut maslahah mursalah. Tidak ada perbedaan pendapat dalam mengikutinya kecuali ketika kemaslahatan itu berlawanan dengan kemaslahatan yang lain. Ketika itu adanya perbedaan pendapat dalam mengunggulkan (mentarjih) salah satu dua kemaslahatan, sebagaimana hal itu kami sebutkan dalam istihsan.

 

Akan kami kemukakan kepadamu sejumlah masalahmasalah Malik ketika kami membicarakan tentang kitabkitab madzhabnya.

 

Malik menetap di Madinah tidak pergi dari sana kenegeri lain. Inilah yang menjadikan sebagian besar hadits nya berkisar pada apa yang diriwayatkan oleh orang-orang

 

Hijaz. Manusia datang kepadanya untuk menerima hadits dan masalah-masalah daripadanya sampai ia wafat pada : tahun 179 H.

 

Sebagian besar orang yang datang kepadanya adalah orang-orang Mesir dan Maghribi dari Afrika dan Andalusia. Merekalah orang-orang yang menangani penyebaran madzhabnya di seluruh Afrika Utara dan Andalusia. Kemudian madzhab itu muncul di Basrah, Baghdad dan Khurasan, dengan perantaraan ulama yang akan kami sebutkan.

 

Adapun orang-orang yang datang kepadanya dari orang-orang Mesir dan merekalah tiang madzhabnya yaitu:

 

1). Abu Abdillah bin Wahab bin Muslim Al Qurasyi maula mereka, Ia meriwayatkan dari Malik, Al Laits bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah, Sufyan Ats Tsauri dan orang-orang lain dari periode Malik. Ia belajar Fiqh pada Malik dan AJ Laits. Ia datang kepada Malik pada tahun 148 H, dan terus menyertainya sampai Malik wafat. Malik menulis surat kepada Abdullah bin Wahab fagih Mesir dan kepada Abu Muhammad seorang mufti. Dan Malik tidak melakukan hal ini kepada orang selainnya. Dalam surat itu Malik mengatakan bahwa Abu Wahab itu adalah seorang alim. Ibnu Abdul Hakam berkata: ”Dia adalah setetap-tetap manusia dalam madzhab Malik, ia lebih pandai daripada Ibnu Qasim hanya saja ia dicegah oleh wara’nya untuk berfatwa”. Ashbagh berkata: ”’Ibnu Wahab adalah sepandai-pandai teman-teman Malik tentang sunnah-sunnah dan atsar-atsar hanya saja ia meriwayatkan dari orang-orang lemah. Ia disebut kumpulan ilmu. Setiap orang ditegah oleh Malik kecuali Ibnu Wahab, dimana Malik menghormat dan mencintainya”. Ibnu Wahab berkata: “Seandainya Allah tidak menyelamatkan saya lantaran Malik dan Laits niscaya saya tersesat”, Maka dikatakan kepadanya: “Bagaimana begitu?” la menjawab: “Saya banyak mendapat hadits sehingga hadits itu membingungkan saya, maka saya kemukakan hal itu kepada Malik dan Al Laits, lantas keduanya berkata kepadaku: Ambillah ini dan tinggalkan ini”. Ia dilahirkan pada tahun 125 H dan meninggal pada tahun 197 H.

 

2). Abu Abdillah Abdur Rahman bin Qasim Al Itqi maula mereka. Ia meriwayatkan (hadits-pen) dari Malik, Al Laits, Ibnu Majisvun, Muslim bin Khalid dan orang-orang lain. Setelah belajar pada Ibnu Wahab ia pergi ketempat Malik beberapa tahun lamanya, dan ia tidak mencampur ilmu Malik dengan orang lain sehingga ia menjadi yang paling mantap padanya. Malik dan Ibnu Wahab ditanya tentang dia, maka ia berkata: “Ibnu Wahab seorang alim dan Ibnu Qasim seorang fagih”. Ibnu Wahab berkata kepada Abu Tsabit: “Jika saya menghendaki urusan Fiqh Malik maka tetaplah pada Ibnu Qasim karena ia tidak ada tokoh bandingannya dan kami sibuk dengan lainnya”. Yahya bin Yahya berkata: “Ibnu Qasim adalah orang yang paling pandai diantara mereka tentang ilmu Malik dan orang yang paling terpercaya diantara mereka”. Ia meninggal pada tahun 191 H.

 

3). Asyhab bin Abdul Aziz Al Qaisi Al Amiri Al Jadi. Ia meriwayatkan dari Malik, Al Laits dan orang-orang lain. Belajar Fiqh pada Malik, orang-orang Madinah dan Mesir. Asy Syafi’i berkata: Saya tidak melihat orang yang lebih pandai daripada Asyhab. Setelah Ibnu Qasim kepemimpinan di Mesir diberikan kepadanya. Sahnun ditanya tentang Ibnu Qasim dan Asyhab mana diantara keduanya yang paling pandai. Maka ia berkata: ”Keduanya seperti dua kuda pacuan, barangkali ini ketinggalan dan ini unggul”. Asyhab dilahirkan pada tahun 140 H dan meninggal pada tahun 204 H.

 

4). Abu Abdullah bin Hakam bin A’yun bin Laits. Ja mendengar. dari Malik, Al Laits bin Sa’id, Ibnu Uyainah, Ibnu Luhai’ah dan orang-orang lain. Ia seorang laki-laki shalih, terpercaya, mentahkikkan madzhab Malik, seorang fagih, sangat pembenar, berakal dan santun. Sesudah Asyhab kepadanyalah diserahkan kepemimpinan Mesir. Keturunan Abdul Hakam mencapai derajat dan kemajuan yang tidak dicapai oleh orang lain. Ia teman Asy Syafi’i dan kepadanya ja singgah apabila datang dan Muhammad memuliakan kedudukannya, benar-benar berbuat baik kepadanya, dan disisinya ia meninggal dunia. Ia meriwayatkan dari Asy Syafi’i. Ia menulis buku-bukunya untuk dirinya sendiri dan anaknya, ia mengumpulkan anaknya yaitu Muhammad kepadanya. Ibnu Qasim, Ibnu Wahab dan Asyhab berwasiyat kepada Ibnu Abdi. Hakam. Ia dilahirkan pada tahun 155 H dan meninggal pada tahun 214 H.

 

5). Ashbagh bin Faraj Al Umawi maula mereka. Ia pergi ke Madinah untuk mendengarkan dari Malik dan ia memasuki Madinah pada hari Malik meninggal dunia. Ia belajar pada Ibnu Qasim, Ibnu Wahab dan Ashbagh Ia mendengar (hadits-pen) dari mereka, dan ia belajar Fiqh pada mereka. Ia adalah teman Ibnu Wahab yang paling besar, ja sebagai penulisnya dan orang yang paling khusus disisinya. Asyhab ditanya: ”Siapakah untuk kami (ikuti s pen) sesudahmu?” Maka ia menjawab: ”’Ashbagh.bin Faraj”. Libad berkata: Terbukanya jalan Fiqh bagiku hanyalah dari pokok-pokok Ashbagh, I bersama Ashbagh dan orangorang lain dari guru-gurunya diminta untuk berfatwa”. Ibnu Mu’in berkata: “Ashbagh adalah termasuk orang yang terpandai tentang pendapat Malik, ia mengetahui masalah demi masalah”.

 

6). Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam. Ia mendengar (haditspen) dari ayahnya, Ibnu Wahab, Asyhab, Ibnul Qasim dan lain-lainnya dari teman Malik. Ia berteman dengan Asy Syafi’i, belajar kepadanya dan menyuruhnya untuk membacakan atasnya dan Asyhab. Muhammad adalah manusia yang paling banyak duduk dari keduanya. Ibnu Harits berkata: ”Ia (Muhammad bin Abdullah) sebagian ulama yang nyata-nyata termasuk ahli berfikir, berdiskusi dan berhujjah dalam sesuatu yang dibicarakan dan ia mentaklidinya terhadap madzhabnya. Kepadanya orangorang dari Maghribi dan Andalusia datang untuk menuntut ilmu dan Fiqh. Dan kepadanya diserahkan kepemimpinan di Mesir. Ia dilahirkan pada tahun 182 H dan wafat tahun 268 H.

 

7). Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad Al Iskandari yang terkenal dengan Ibnul .Mawaz. Belajar Fiqh pada Ibnu Majisun dan Ibnul Hakam. Ia berpegang pada Asybagh, dan yang membetulkan pendapatnya di Mesir. Ia mendalam dalam Fiqh dan fatwa-fatwa dan pandai dalam hal itu. Ia dilahirkan pada tahun 170 H dan meninggal di Damaskus tahun 199 H.

 

Sebagian teman-teman Malik dari penduduk Afrika dan Andalusia adalah:

1). Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman Al Qurthubi “yang dijuluki Syabthun. Ia mendengar Muwatha’ dari Malik. Ia mempunyai sebuah kitab tentang fatwa yang didengar dari Ziyad. Ia meriwayatkan dari kumpulan antaranya adalah Al Laits bin Sa’id dan Ibnu Uyainah. Ziyad adalah orang yang pertama kali memasukkan Muwatha’ Malik ke Andalusia, ia belajar Fiqih dengan mendengarkannya, kemudian dibacakan oleh Yahya bin Yahya. Penduduk Madinah menyebutnya Ziyad fagih Andalusia. Ia pernah pergi kepada Malik dua kali. Ia meninggal padatahun 193 H.

 

2). Isa bin Dinar Al Andalusi. Ia mengembara dan mendengar dari Ibnu Qasim dan meratapinya. Ia pergi ke Andalusia, dan fatwa-fatwa berkisar atasnya, tidak seorangpun di Kordoba mendahuluinya. Disana ia diserahi kepemimpinan setelah kembali dari negeri Masyrik. Ibnu Qasim mengagungkan, menghormat dan mensifatinya dengan Fiqh dan wara”. Di Andalusia tidak ada orang yang terhitung lebih pandai daripadanya dalam pandangan-pandangannya. Ibnu Aiman berkata: ”’Dialah yang mengajarkan masalah-masalah kepada penduduk masa kita. Ia lebih pandai dari pada Yahya bin Yahya padahal Yahya itu mulia dan tinggi derajatnya. Ibnu Qasim mengiringkannya sampai tiga pos ketika ia pulang daripadanya maka ia dicerca kemudian ia berkata: “Kalian mencela saya karena saya mengiringkan seseorang yang sesudahnya tidak digantikan orang yang lebih pandai dan lebih wara’ daripadanya?” Ia meninggal di Thalithalah pada tahun 212 H.

 

3). Yahya bin Yahya bin Katsir Al Laits maula mereka, Pada masa perkembangannya ia mendengar Muwatha’ dari Ziyad bin Abdur Rahman kemudian pada usia 28 tahun ia mengembara, maka ia mendengar Muwatha’ dari Malik selain beberapa bab pada kitabul i’tikaf dimana ia ragu padanya, maka ia menceritakannya dari Ziyad. Ia bertemu dengan Malik tahun 189 H yaitu tahun wafatnya Malik. Ia pergi ketempat lain yang mengkhususkan diri kepada Ibnu Qasim. Ia belajar Fiqh, kemudian datang ke Andalusia dengan ilmu yang banyak, maka sesudah Isa bin Dinar fatwa fatwa di Andalusia kembali kepada pendapatnya. Dengan Yahya dan Isa tersiarlah madzhab Malik di Andalusia. Yahya selalu mengutamakan amal atas ilmu. Ibnu Lubabah berkata: ”Fagih Andalusia adalah Isa bin Dinar, orang alimnya adalah Ibnu Habib, dan orang yang berakalnya adalah Yahya dan kepadanyalah diserahkan kepemimpinan dalam bidang ilmu pengetahuan di Andalusia. Ia meninggal pada tahun 234 H.

 

4). Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As Salmi. Ia berasal dari Thalithalah. Kakeknya Sulaiman pindah ke Cordoba dan ayahnya pada masa fitnah Rabadh pindah ke Birah. Ia belajar di Andalusia dan mengembara tahun 208 H, maka ia mendengar dari Ibnul Majisun, Mutharrif, Abdullah bin Abdul Hakam, Asad bin Musa dan lain-lainnya, Ia pergi ke Andalusia pada tahun 216 H, dimana ia telah mengumpulkan ilmu yang sangat banyak. Ia singgah di Birah dan namanya dalam bidang ilmu dan riwayat tersiar, Gubernur AbdurRahman bin Hakam memindahkannya ke Cordoba dan ditempatkan didalam kelompok mufti-mufti disana, dan ia tinggal bersama Yahya bin Yahya sebagai pimpinan kelompok itu dalam musyawarah dan diskusi. Antara dua orang itulah terdapat sesuatu yang hebat sekali. Yahya meninggal dunia sebelumnya, maka sesudahnya ia menjadi pimpinan tunggal. Abdul Malik seorang yang hafal Fiqh madzhab Malik dan mengetahuinya secara baik, hanya saja ia tidak memi. liki ilmu hadits dan tidak mengetahui shahihnya hadits daripada cecatnya.

 

Ia telah disepakati terkemukanya dalam Fiqh, mengetahui kesusasteraan, dan Ibnu Mawaz memuji. nya dalam ilmu dan Fiqh. Ia adalah pengarang kitab Al. Wadhihah fis sunan wal Fiqh. Selain itu ia memiliki beberapa macam karangan. Ia meninggal pada tahun 238 H.

 

5). Abul Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi. Mendengar (hadits-pen) dari Malik, Ats Tsauri, Al Laits bin Sa’ad dan selain mereka, dan di Afrika pada masanya tidak ada orang yang serupa dengan ia, mendengar (hadits: pen) darinya antara lain Asad ibnul Furat, Sahnun dan lain-lainnya. Ia meriwayatkan Muwaththa’ dan beberapa kitab dari Malik. Ia adalah guru Sahnun dalam Fiqh. Sahnun tidak mendatangi seorangpun dari penduduk Afrika. Ia adalah ahli ilmu di Qairawan, apabila mereka berbeda pendapat dalam suatu masalah maka mereka menulisnya kepada Ali bin Ziyad agar ja memberitahukan dengan yang benar kepada mereka. Sahnun berkata: ” Seandainya Ali bin Ziyad mempunyai murid maka tidak seorangpun dari orang-orang Mesir yang melepaskannya, dan tidak ada seseorang yang mempergaulinya. Ia meninggal pada tahun 183 H.

 

6). Asad bin Furat.

Pertamanya dari Naisabur, ia dilahirkan di Hiran pada desa Bakr, besarnya di Tunisia dan belajar Fiqh pada Ali bin Ziyad. Kemudian ia merantau ke Masyrik dan mendengar Muwathatha’ dari Malik dan lainlainnya. Kemudian pergi ke Irak dan bertemu dengan Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Asad bin Umar dan teman-teman Abu Hanifah dan iapun belajar Fiqh pula kepada mereka. Abu Yusuf belajar Muwaththa’ Malik darinya (Asad bin Furat). Ja mengarang Al Mudawwanah yang akan kami sebutkan nanti. Ia meninggal dalam kepungan Sargusah pada tahun 213 H. Ia menjabat sebagai Panglima militer dan Hakim militer.

 

7). Abdus Salam bin Sa’id At Tanukhiyang dijuluki Sahnun. Aslinya berbangsa Syam dari Hamsh dan ayahnya menjadi anggauta militer di Hamsh. Ia belajar ilmu di Qairawan dari para gurunya, terutama Ali bin Ziyad. di mana ia pergi kepadanya di Tunisia. Kemudian pergi ke Mesir dan belajar pada Ibnul Qasim, Ibnu Wahab dan lain-2 ulama Mesir. Ia menjadi penghubung antara Malik dan para pelajar dari negeri Maghribi. Kemudian ia pergi ke Madinah dan bertemu dengan ulama-ulamanya setelah Malik wafat dan pada tahun 191 H. pergi ke Afrika.

 

Abul Arab berkata: ”Sahnun itu terpercaya, penghafal ilmu, seorang ahli Fiqh, padanya terkumpul tabiat-tabiat yang jarang pada orang-orang lain, yaitu seorang ahli Fiqh yang ulung, seorang wara’i yang jujur, gigih dalam kebenaran, zuhud terhadap dunia, sederhana dalam makanan dan pakaian, dan toleran”, Ia tidak menerima sesuatupun dari Raja. Boleh jadi ia memberi teman-temannya dengan 30 dinar atau yang lain. Ibnul Qasim berkata: Tidak ada orang Afrika yang datang kepada kami seperti Sahnun”, Ketika la tiba di Afrika orang-orang cenderung dan cinta kepadanya, Masanya itu seolah-olah menjadi permulaan di mana masa yang sebelumnya itu terhapus. Teman-temannya adalah pelita penduduk Qairawan, Dia-lah penyusun kitab Al Mudawwanah yang menjadi pegangan penduduk Qairawan. Pada tahun 234 Hi, ia menjabat sebagai hakim di Afri. ka yang pada waktu itu ia berusia 74 tahun, dan ia tetap menjabat sebagai hakim sampai wafatnya. Dalam seluruh pengadilannya ia tidak memungut upah untuk dirinya, dan tidak juga pemberian dari Raja. Untuk para pembantu. nya, para penulis dan hakim-hakimnya ia mengambil dari pajak ahli kitab. Ia memukul orang-orang yang bertengkar apabila sebagian dari mereka menyakitkan kepada sebagian yang lain dengan perkataan atau mereka tidak mau memberikan kesaksian dan apabila mereka tidak mau memberikan kesaksian maka ia berkata: ‘”’Bagaimana mereka menyaksikannya?”. Dan ia mengajar orang yang bertengkar apabila orang itu mencerca saksi dengan cacat atau menjelekkan, atau ia berkata: ‘”Tanyalah kepadaku tentang saksi itu, karena mereka demikian ?” sehingga ia bertanya kepadanya tentang pencecatannya. Dan ia berkata kepada orang yang bertengkar: “Saya bermaksud demikian dari padamu dan dia atasku di bawahmu.” Ia mengajar manusia akan sumpah-sumpah yang tidak diperbolehkan dalam talak dan memerdekakan, sehingga mereka bersumpah hanya dengan nama Allah ‘azza wa jalla. Orang-orang selalu menuliskan nama-nama mereka pada kertas di hadapannya dan orang-orang itu dipanggil satu persatu kecuali apabila datang orang yang sangat terpaksa atau sedih. Ia rahimahullah meninggal pada tahun 240 H.

 

Mereka itulah tokoh-tokoh yang menyiarkan madzhab Malik di negeri-negeri Maghribi. Adapun di negeri Masyrik tidak ada orang yang melihat dan belajar Fiqh pada Malik, tetapi di sana ada orang-orang yang tidak melihat dan tidak belajar kepada Malik namun pandai tentang madzhab Maliki yaitu:

 

1). Ahmad bin Mu’dzil bin Ghailan Al Abdi, seorang ahli Fiqh, seorang mutakallim dari teman-teman Abdul Malik bin Majisyun dan Muhammad bin Maslamah. Ja termasuk ulama, sasterawan yang fasih, banyak pandangannya, ahli Fiqh madzhab Maliki. Seorang yang utama, wara’i, beragama dan beribadah. Dalam madzhab Malik di Irak tidak ada orang yang lebih tinggi dari padanya, dan di Masyrik tidak ada orang yang lebih tinggi derajatnya dan lebih mengetahui tentang madzhab Malik dari padanya.

 

2). Abu Ishak Isma’il bin Isma’il bin Hammad bin Zaid, seorang hakim. Besarnya di Bashrah dan menetap di Baghdad. Di sanalah ia mendengar hadits dan belajar Fiqh pada Ibnu Mu’dzil. Ia berkata: “Saya bangga atas manusia dengan dua orang di Bashrah yaitu Ibnu Mu’ dzil yang mengajarkan Fiqh kepadaku”. Padanyalah penduduk Irak mempelajari tentang Fiqh madzhab Maliki. Abu Bakr bin Khaththab berkata: “Ismail itu seorang yang utama, alim, seniman, ahli Fiqh madzhab Malik, menjelaskan, menerangkan dan membela madzhab Malik dengan hujjah-hujjah. Ia menyusun Al Musnad dan beberapa buku ilmu-ilmu Al Qur’an. Ia mengumpulkan hadits Malik, Yahya bin Sa’id Al Anshari, dan Ayyub As Sakhtabani”. Abul Walid Al Baji berkata: ”Siapakah orang yang mencapai derajat ijtihad dan mengumpulkan ilmu?” maka ia berkata: ”’Setelah Malik, derajat itu hanya dicapai oleh Isma’il seorang hakim”. Ia menjabat hakim Baghdad, ia mengumpulkan beberapa ilmu pada suatu waktu yang sebelumnya tidak seorangpun yang mengumpulkan beberapa ilmu itu. Kepadanyalah diserahkan pengadilan di Madain dan Nahrawanat, dan akhirnya ia menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung. Abu Amr Ad Dani berkata: ”Isma’il menjabat hakim selama 32 tahun”, dan orang lain mengatakan: ”Lima puluh tahun lebih”. Ia mempunyai karangan-karangan yang di antaranya akan disebutkan nanti. Ia dilahirkan pada tahun 200 H dan meninggal pada tahun 282 H.

Sebagian teman Malik yang terbesar dari penduduk Ma. dinah ialah:

 

Abu Marwan Abdul Malik bin Aziz bin Abdullah bin Abu Salmah Al Majisyun maula Bani Tayim dari Quraisy, Majisyun adalah kata-kata Persia yang artinya tempat ma. war. Ia dipanggil demikian karena di wajahnya (mukanya) ada merah-merahnya. Abdul Malik seorang ahli Fiqh yang fasih, dan pada hari-harinya ia sibuk dengan memberikan fatwa-fatwa sampai wafatnya. Sebelum itu yang menjabat mufti adalah ayahnya. Ia menjadi mufti penduduk pada zamannya. Ia belajar Fiqh pada ayahnya, pada Malik dan orang-orang lainnya. Jika As Syafi’i menyebutkannya maka orang-orang tidak mengenal banyak tentang apa yang dikatakan oleh dua orang itu, karena Asy Syafi’i belajar sastera pada Hudzail di pedusunan sedang Abdul Malik belajar sastera pada pamannya di Kilb di pedusunan. Yahya bin Aktsam seorang hakim berkata: “Abdul Malik adalah lautan yang tidak keruh oleh timba-timba”. Sahnun memuji dan menghormatnya dan ia berkata: “Saya bercita-cita untuk pergi kepadanya, dan saya kemukakan kepadanya kitab-kitab ini. Mana yang diperbolehkannya maka saya perbolehkan dan mana yang ditolaknya maka saya tolak”. Abu Habib banyak memujinya dan pemahamannya melebihi (mengungguli) terhadap sebagian besar teman-teman Malik. Banyak orang yang belajar Fiqh kepadanya, demikian pula imam-imam besar seperti Ahmad bin Mu’dzil, Ibnu Habib dan Sahnun. Ia meninggal pada tahun 212 H.

 

Itulah tokoh-tokoh teman-teman Malik dan orang-orang yang mengajarkan madzhabnya . Hubungan mereka kepada Malik adalah hubungan murid kepada gurunya, dan hubungan perawi dengan orang yang beristimbath, Mereka hampir tidak pernah menyelisihnya kecuali sedikit sekali. Apabila di kalangan mereka terdapat perbedaan pendapat hanya disebabkan berbedanya riwayat dari Malik atau perbedaan pendapat dalam memahami nash-nash yang diriwayatkan dari padanya. Kadang-kadang Ibnu Wahab dan Ibnul Qasim menyelisihinya, namun sebagaimana kami katakan hanya sedikit sekali.

 

  1. Imam ketiga Asy Syafi’i.

Dia adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ Asy Syafi’i Al Muththalibi, dari Abdul Muththalib yaitu ayah yang ke IV bagi Rasulullah s.a.w, dan ayah yang ke IX bagi Asy Syafi’i. Ibunya berbangsa Yaman dari Al Azdi, dan ibunya termasuk wanita yang bernaluri paling cerdas.

 

Asy Syafi’i dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H suatu daerah di Asgalan. Ghuzzah itu bukan tanah air nenek moyangnya , namun ayahnya yang bernama Idris datang ke sana karena suatu keperluan dan meninggal disana, Dalam pada itu ia mempunyai anak Muhammad. Setelah Asy Syafi’i berumur dua tahun, ia dibawa oleh ibunya pulang ke tanah air nenek moyangnnya yaitu Makkah. Di sanalah ia besar sebagai anak yatim dalam asuhan ibunya. Ia hafal Al Qur’an di kala masih kanak-kanak. Kemudian ia pergi ke Hudzail yang mana mereka adalah sefasih-fasih bangsa Arab. Ia banyak menghafal, syair-syair mereka dan iapun kembali setelah memperoleh kefasihan dan kesusasteraan. Selanjutnya ia belajar pada Muslim bin Khalid Az Zanji seorang syaikh dan mufti tanah haram dan ia lulus padanya, sehingga ia diizinkan untuk berfatwa. Kemudian Asy Syafi’i minta kepadanya untuk membuat surat pengantar kepada Malik bin Anas imam tanah Hijrah (Madinah), maka ia dibuatkan surat itu untuk Malik yang ahli hadits. Maka berangkatlah Imam Syafi’i menuju Madinah sehingga ia sampai pada Malik sedangkan ia (Asy Syafii) telah hafal kitab Muwaththa lalu Asy Syafi’i membacanya di hadapan Malik dan bacaan itu mengagumkan Malik

 

Asy Syafi’i pada kesempatan itu mendalami Fiqh pada Muslim bin Khalid dan hadits pada dua orang besar yang menjadi puncak hadits penduduk Hijaz, yaitu Sufyan bin ‘Uyainah seorang muhadits Mekkah dan Malik bin Anas Muhadits Madinah. Dua orang itulah gurunya yang paling besar dan Asy Syafi’i juga meriwayatkan (hadits-hadits) dari selain keduanya.

 

Asy Syafi’i bukan orang kaya, maka ia membutuh. kan pekerjaan untuk mencari rezki dan Mash’ab bin Abdi Uah Al Qurasyi seorang hakim Yaman menolongnya untuk menjabat suatu pekerjaan di Yaman, maka ia pun menjabat dan jabatan itu dilaksanakannya baik-baik. Pada waktu itu yang menjabat khalifah adalah Harun Ar Rasyid, di mana antara keluarga Abbas dan keluarga Ali terdapat saingan yang dahsyat dan Ar Rasyid sangat takut dan siap siaga dan ia khawatir terhadap pergerakan keluarga Ali dan orang: orang yang mendukungnya. Atas kehawatirannya ia melontarkan dugaaan dan tuduhan terhadap diri Asy Syafi’i, beliau dituduh sebagai pengikut Syi’ah dan negeri Yaman adalah menjadi tempat bagi kebanyakan orang-orang Syi’ah yang membuat tipu daya terhadap Ibnu Abbas dan mereka siarkan ajakan Syi’ah di kalangan anggauta-anggauta Syi’ah, hal itu dilaporkan kepada Ar Rasyid dan Asy Syafi’i termasuk beserta mereka. Maka Ar Rasyid memerintahkan agar mereka diajukan kehadapannya, mereka diajukan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 184 H.

 

Dikatakan bahwa orang yang memasukkan Asy Syafi’i dalam tuduhan itu adalah Mutharif bin Mazin seorang hakim Shon’a dan orang yang membawa mereka ke Irak adalah Hamad Al Barbari seorang wali Yaman. Ia adalah pemuka mereka pada Ar Rasyid dan ia berada di kota Riqah.

 

Dihadapkannya “Asy Syafi’i atas tuduhan membawa bahaya yang amat gawat seandainya Allah tidak meruntuhkan penjaga pintu Ar Rasyid kepadanya, Fadlal bin Rabi’ mem belanya sehingga Asy Syafi’ benar-benar bebas. Sebagiar kata-kata Asy Syafi’i kepada Ar Rasyid sebagai pembelaan terhadap dirinya dari tuduhan mengikuti Syi’ah, adalah: ”Apakah saya tinggalkan orang yang berkata: ”Sesungguhnya saya anak pamannya (Ar Rasyid) dan saya kembali kepada orang yang berkata: “Sesungguhnya saya adalah hambanya (imam Syi’ah)” Kata-kata ini mempunyai pengaruh besar dalam jiwa Ar Rasyid, sehingga ia menyuruh melepaskan As Syafi’i dan menghubunginya. Dalam kesempatan itu Asy Syafi’i bergaul dengan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani teman Abu Hanifah dan beliau menelaah beberapa kitab Fuqaha Irak dan hal itu disandarkan kepada jalan ahli hadits yang ada di sisinya. Ia pernah mengadakan diskusi-diskusi dengan Muhammad bin Hasan yang diskusi-diskusi itu menyenangkannya. Kitab-kitab Asy-Syafi’i penuh dengan diskusi-diskusi itu. Asy Syafii kembali dari Irak ke Hijaz dan menetap di Mekah dengan memperoleh faidah dan memberikan faedah (take and give) sementara waktu. Mekah adalah tempat datangnya ulama dari seluruh penjuru. Asy Syafi’i bergaul dan berdiskusi dengan mereka, beliau belajar kepada mereka dan mereka pun belajar kepadanya, sampai nyata baginya untuk datang ke Irak yang kedua kalinya pada tahun 195 H. setelah Ar Rasyid meninggal dan Abdullah Al Amin berkuasa, maka beliau pergi ke sana. Pada kedatangannya ini sekumpulan ulama Irak berkumpul belajar kepadanya. Di sanalah ia mendiktekan kitab-kitabnya yang ditulisnya dalam madzhab Irak atau madzhab gadim. Dalam kedatangan ini ia singgah pada Muhammad bin Abu Hisan Az Zayadi. Ia tinggal selama dua tahun dan pada waktu itu Muhammad bin Hasan telah meninggal. Teman Abu Hanifah yang terbesar dari orang-orang Irak ialah Hasan bin Ziyad Al Lu’lu’i, namun Asy Syafi’i tidak memperhatikan diskusi-diskusinya sebagaimana halnya dengan Muhammad bin Hasan. Kemudian beliau kembali ke Hijaz, dalam pada itu di Baghdad telah tersiar penuturan Asy Syafi’i dan methodenya ditempuh oleh banyak ulama Baghdad. Pada tahun 198 H. ia datang ke Irak yang ketiga kalinya dan dj sana menetap beberapa bulan. Dari Irak pergi ke Mesir dan ia singgah di Fusthath sebagai tamu kehormatan pada Ab. dullah bin Abdul Hakam. Methode Malik telah tersebar di kalangan orang-orang Mesir dan kebanyakan ulama Mesir itu mengikutinya. Di antara teman-teman Malik yang men. dengar perkataannya dan meriwayatkan dari padanya adalah Abdullah bin Abdul Hakam dan Asyhab.

 

Di Mesir tampaklah kelebihan-kelebihan Asy Syafi’i demikian juga derajat (nilai) perkataan-perkataannya (pendapat-pendapatnya) maka ia mendiktekan kitabnya yang baru kepada murid-muridnya di Mesir. Itulah madzhab Mesir-nya tau madzhab Jadid-nya. Ia terus menetap di sana sampai wafatnya pada tahun 204 H. dan dimakamkan di pekuburan Bani Abdul Hakam. Orang-orang Mesir memuliakannya baik di kala hidupnya maupun sesudah wafatnya. Ia dianggap orang yang berkebangsaan Mesir di mana dulunya berkebangsaan Hijaz. Asy Syafi’i adalah seorang imam yang menyiarkan madzhabnyasendiri dengan melakukan perjalanan-2 dan diadalah orang yang menulis sendiri kitabkitabnya serta mendiktekan kepada murid-muridnya. Hal ini tidak dikenal pada imam-imam besar lain.

 

Asas madzhab Asy Syafi’i tertulis dalam Risalah us hul-nya yakni ia berhujjah dengan zhahir-zhahir Al Qur an sehingga ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkannya bukan zhahir-shahirnya. Setelah itu berasaskan As Sunnah, dan ia telah mempertahankan dengan sekuatkuatnya untuk mengamalkan hadits ahad selama perawinya itu bersambung sampai kepada Rasulullah s.a.w . Ia tidak mensyaratkan peng-amalan sebagai penguat hadits sebagai mana Malik mensyaratkannya, dan ia tidak mensyaratkan kemasyhuran hadits sebagaimana penduduk Irak mensya ratkannya. Pembelaan itu memperoleh bagian yang besar di kalangan ahli hadits sehingga penduduk Baghdad menjulukinya sebagai penolong As Sunnah. Ia memandang As Sunnah yang shahih sebagaimana memandang kepada Al Qur’an, di mana anda lihat masing-masing dari keduanya wajib diikutinya. Kemudian ia mengamalkan ijma”. Pengertian ijma” menurut Asy Syafi’i ialah tidak diketahui adanya perbedaan pendapat, karena mengetahui dengan sepakat menurut pandangannya tidaklah mungkin, sebagaimana kami kemukakan. Apabila di sana tidak ada dalil yang dinash-kan maka ia menuju kepada Kiyas dan mengamalkannya dengan syarat hal itu mempunyai pokok yang tertentu. Dengan kerasnya ia menolak apa yang oleh orang-orang disebut dengan istihsan, dan apa yang oleh orang-orang Maliki disebut dengan istishlah, tetapi ia mengamalkan sesuatu yang mendekatinya yaitu istid-lal. Dengan menghimpun Fiqh orang-orang Hiiaz. fiah orang-orang Irak, dan kefasihanorang2 Badui maka Asy Syafi’i punya jalinan yang tersendiri dalam berdiskusi dan kebaikan tulisannya yang tingkatan tulisannya tidak kalah dengan tulisan penulis yang paling petah pada waktu itu seperti Al Jahizh dan orang-orang yang semisalnya.

 

Teman-teman Asy Syafi’i dan para perawi madzhabnya. Asy Syafi’i mempunyai teman-teman di Irak dan Mesir. Adapun teman-temannya yang terdiri dari orang-orang Irak antara lain:

  1. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin Yaman Al Kilbi Al Baghdadi. Ia mempelajari Fiqh dengan ra’yu dan mengambil pendapat penduduk Irak sehingga Asy Syafi’i sampai di Baghdad dimana ia berbeda pendapat dengannya dan belajar kepadanya (Asy Syafi’i) . Ia terhitung sebagai fuqaha Syafi’iyah meskipun ia tidak taklid kepada Asy Syafi’i bahkan menyelishinya apabila nyata ada dalil lain baginya. Ia telah memilih pendapat-pendapat untuk dirinya dan kemudian menjadi suatu madzhab tertentu. Ia mempunyai pengikutpengikut, namun tidak dalam waktu yang lama. Abu Amr bin Abdul Bar berkata: ”Ia adalah orang yang baik dalam berfikir, terpercaya dalam apa yang diriwayatkan, hanya saja ia mempunyai pendapat-pendapat yang sydaz yang berbeda dengan jumhur dan mere. ka menghitungnya sebagai salah seorang imam-imam fuqaha. Sebagian masalah yang berbeda dengan Jum: hur atau Asy Syafi’iyah ialah:

 

1). Menurut seluruh fuqaha kecuali Abu ‘Tsaur, hutang itu didahulukan atas wasiyat sedang menurut Abu Tsaur wasiyat itu didahulukan (daripada hutang, pen), karena berdasar zhahir firman Allah

 

Artinya:

”Pembagian-pembagian itu) sesudah dipenuhi wasiyat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”x)

 

2). Khiyar mengembalikan karena cacad, keridlaannya hanya dengan perkataan, atau melakukan perbuatan yang masuk akal yang bila diucapkan dengan bahasa menunjukkan bahwasanya ia ridla. Menurut madzhab Asy Syafi’i mengembalikan karena cacad adalah dengan segera.

 

3). Apabila dua orang berijtihad tentang kiblat, dan salah satunya menghasilkan ijtihad yang berbeda dengan kiblat yang dihasilkan oleh yang lain maka boleh masing-masing dari keduanya shalat dengan arahnya sendiri-sendiri. Jelas, pendapat ini berbeda dengan pendapat orang-orang lain. Abu Tsaur meninggal pada tahun 240 H, yang menurut Ibnu Khilikan ia meninggal pada tahun 246 H.

 

  1. Ahmad bin Hanbal. Penuturannya akan datang dalam suatu riwayat hidup yang khusus.

 

  1. Hasan bin Muhammad bin Shabah Az Za’farani Al Baghdadi. Ia adalah perawi madzhab gadim yang paling shahih, dan Kitab Iraqi dinisbatkan kepadanya. Dialah yang melakukan pembacaan dalam majlis Asy Syafi’i. Bacaannya itu didengar oleh Ahmad, Abu Tsaur dan Al Karabisi. Ia dibangsakan ke desa Sawad yang bernama Za’faraniyah. Kemudian menetap di Baghdad pada sebagian jalan-jalannya maka jalan itu dibangsakan kepadanya.

 

Zafarani mendengar (hadits-pent) dari Sufyan bin ‘Uyainah, Asy Syafi’i dan lain-lainnya. Al Bukha ri dan imam-imam hadits lain selain Muslim meriwayatkan dari padanya . Asy Syafi’i kagum akan kefasihannya sehingga ia menyatakan tentang dia: “Saya di Baghdad melihat seorang Nabthi yang mengemukakan kepadaku sehingga seolah-olah dia itu seorang Arab sedang ia seorang Nabthi. Ia meninggal pada tahun 260 H. :

 

  1. Abu Ali Al Husain bil Ali Al-Karabisi. Pada mulanya belajar Fiqh madzhab Irak, kemudian belajar Fiqh pada Asy Syafi’i. Dari Asy Syafi’i ia mendengar hadits dan juga dari orang-orang lain. Asy Syafi’i telah mengijazahkan kepadanya kitab-kitab Za’farani. Manusia menjauhkan periwayatkan hadits daripadanya, karena Ahmad bin Hambal mencercanya dengan sebab masalah lafazah, yaitu lafadz-lafadz Al Qur’an dikatakan makhlug. Ini adalah mengherankan. Muhammad bin Abdullah Ash Shairafi Asy Syafi’i berkata kepada murid-kuridnya: ” Ambillah pelajaran terhadap dua orang ini yaitu Husain Al Karabisi dan Abu ‘Tsaur, Husain dalam ilmu dan hafalannya dan Abu Tsaur tidak dapat . dicapai sepersepuluh ilmunya”. Ahmad mengatakan karena masalah lafazh itu ia jatuh, dan ia memuji Abu Tsaur dan menanyaklah ta.

 

  1. Ahmad bin Yahya bin Abdul Aziz Al Baghdadi seorang ahli Ilmu Kalam, Ia termasuk teman-teman Asy Sya fi’l yang besar yang terus menyertainya di Baghdad, kemudian ia menjadi teman Ahmad bin Abu Dawud dan ja mengikuti pendapatnya. Abu Ashim berkata: “Ia adalah salah seorang penghafal hadits, ahli ibadah dan ahli fatwa”, Ia (Abu Ashim) berkata: “Asy Syafi’i melarangnya untuk membaca kitab-kitabnya (Ahmad bin Yahya) karena menurut pandangannya dia (Ahmad bin Yahya) itu buruk” Ia mengikuti pendapat-pendapat Mu’tazilah yang mana hal itu menjatuhkan derajatnya.

 

Ibnu Subki berkata: “Ia mengatakan juga masalah-masalah yang mungkar. Ia berpendapat bahwa perceraian itu tidak jatuh dengan sifat-sifat, dengan hujjah bahwa nikah mut’ah itu tidak diperbolehkan karena akadnya digantungkan dengan suatu sifat. Demikian juga perceraian dengan sifat adalah akad yang digantungkan”, Ia (Ibnu Subki) berkata: “Ini adalah pendapat yang batal karena merusakkan ijma”, dan pendapat ini seperti pendapat madzhab Zhahiriyah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Hanya saja orang yang berkata: ” Apabila awal bulan ini datang maka kamu tertalak”, atau menyebutkan waktu apa saja maka wanita itu tidak tertalak, tidak sekarang dan juga apabila datang awal bulan. Barangkali ini termasuk pendapat Zhahiriyah yang menyemdiri.

 

Sebagian orang yang belajar Fiqh kepada teman-teman Asy Syafi’i dari orang-orang Irak ialah:

1). Dawud bin Ali, imam ahli zhahir dan akan kami khususkan riwayat hidupnya.

2). Abu Utsman bin Sa’id Al Anmathi. Ia belajar dari Al Muzni dan Rabi”, Dialah orang yang menyebab kan terkenalnya buku-buku Asy Syafi’i di Baghdad dan kepadanya Ibnu Suraij belajar Fiqh. Ia meninggal pada tahun 288 H.

3). Abdul Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij. Ia mendengar (hadits – pent) dari Hasan Az Za’farani dan orang-orang lain. Ia belajar Fiqh pada Abu Qasim Al Anmathi. Ia melebihi terhadap seluruh teman-temanAsy Syafi’i sampai pun Al Muzni. Syaikh Abu Hamid Al Asfarani berkata: ”Kami bersama Abul Abbas menempuh zhahir-zhahir Fiqh bukan detail-detailnya”. Ia orang pertama yang membuka bab pemikiran dan mengajarkan kepada manusia methode perdebatan. Ia mempunyai banyak karangan, dikatakan bahwa karangan-karangan itu mencapai 400 buku. Antara Abul Abbas Ahmad dan Dawud bin Ali Azh Zhahiri serta anaknya Muhammad terdapat diskusi-diskusi yang terkenal. Ia meninggal pada tahun 306 H.

4). Abul Abbas Ahmad bin Abu Ahmad Ath Thabrani yang terkenal dengan Ibnul Qashi. Ia belajar Fiqh pada Ibnu Suraij. Ia mempunyai karangan-karangan yang terkenal yakni At Talkhish, Al Miftah, Adabul Qadli dan lain-lainnya. Ia mempunyai karangan tentang Ushul Fiqh dan ia seorang imam yang adil. Ia meninggal pada tahun 335 H.

5). Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari, dan riwayatnya akan kami kemukakan secara khusus.

 

Adapun teman-teman Asy Syafi’i dari orang-orang Mesir adalah:

 

1). Yusuf bin Yahya Al Buwaithi Al Misri. Ia sebesar besar teman Asy Syafi’i dari orang-orang Mesir. Ia belajar Fiqh pada Asy Syafi’i. Ia meriwayatkan hadits dari Asy Syafi’i, Abdullah bin Wahab dan lain-lainnya. Ia mempunyai mukhtashar yang terkenal yang diringkaskan dari kata-kata Asy Svafi’i, Asy Syafi’i dalam berfatwa berpegang kepadanya dan mengembalikan kepadanya apabila datang masalah. Ia dijadikan pemim. pin atas teman-temannya sesudah Asy Syafi’i wafat. Para imam yang tersebar di beberapa negara belajar padanya, dan mereka menyiarkan ilmu Asy Syafi’i keseluruh penjuru dunia. Ia meninggal pada tahun: 231 H dalam penjara di Baghdad karena masalah kemakhluqan . Al Qur’an.

 

2). Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al Muzni Al Misri. Ia dilahirkan pada tahun 175 H. Ketika menginjak dewasa ia belajar ilmu dan meriwayatkan hadits, sehingga ketika Asy Syafi’i datang di Mesir pada tahun 199 H. ia belajar Fiqh kepadanya. Abu Ishag Asy Syairazi berkata: ”Ia seorang yang zuhud, alim, mujtahid, ahli fikir, ahli hujjah dan menyelami pengertian-pengertian secara mendetail”. Asy Syafi’i berkata tentang haknya: “Al Muzni adalah penolong madzhabku”. Diaiah orang yang menyusun kitab-kitab yang menjadi sumber madzhab Asy. Syafi’i. Banyak ulama Khurasan, Irak dan Syam belajar kepadanya. Ia meninggal pada tahun 264 H.

 

Kadang-kadang Al Muzni menyelesihi madzhab gurunya dan ia memilih pendapatnya sendiri. Orang orang Syafi’iyah tidak menghitung pilihan-pilihannya itu sebagai pendapat madzhab Asv Syafi’i, namun hal jitu tidak banyak.

 

3). Rabi’ bin Abdul Jabbar Al Muradi maula mereka, seorang muadzdzin di masjid kuno. Ia dilahirkan pada tahun 174 H. Ia berhubungan dengan melayani Asy Syafi’i. Ia banyak meriwayatkan kitab-kitabnya, seorang yang terpercaya dan kokoh dalam apa yang diriwayatkannya sehingga seandainya dalam suatu riwayat ada perlawanan antara dia dan Al Muzni maka teman-temannya mendahulukan riwayatnya (Rabi”) padahal Al Muz-ni seorang yang tinggi derajat jlmunya, agamanya, kemuliaannya dan sesuainya sesuatu yang diriwayatkan dengan kaidah-kaidah. Dari seluruh penjuru berdatangan kepada Ra-bi’ untuk mempelajari kitab-kitab Asy Syafi’i. Ia meninggal pada tahun 270 H.

 

4). Harmalah bin Yahya bin Abdullah At Tajibi. Ia dilahirkan pada tahun 166 H. Ia seorang imam besar dan tinggi martabatnya. Kebanyakan haditsnya dari Ibnu Wahab. Ia belajar Fiqh pada Asy Syafi’i dan menyusun kitab-kitab dalam madzhabnya. Asyhab berkata tentang dia: ”Orang ini adalah sebaik-baik ahli masjid”. Ia meninggal pada tahun 243 H.

 

5). Yunus bin Abdul A’la Ash Shadafi Al Misri, dilahirkan pada tahun 170 H, mendengar hadits dari Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Wahab dan lain-lainnya. Ia belajarFiqh pada Asy Syafi’i dan dialah puncak kepemimpinan iIlmu di Mesir. Diriwayatkan dari Asy Syafi’i bahwa ia berkata: ”’Saya lihat di Mesir tidak ada orang yang lebih cerdik daripada Yunus bin Abdul A’la”. Ia meninggal pada tahun: 264 H.

 

6). Abu Bakar Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan Ibnu Haddad dilahirkan pada hari wafatnya Al Muzni. Ia mempunyai jalinan yang tersendiri dalam menghafalkan Al Qur’an, seorang imam Fiqh pada masanya dan lautan yang luas dalam bahasa. Adapun penyelamannya terhadap pengertian-pengertian yang detail dan baiknya mencari jalan keluar bagi cabang-cabang yang timbul maka orang-orang telah sepakat bahwa dialah orang yangtiada duanya dalam hal itu, dan tidak seorangpun yang menyusulnya. Ia mempunyai kitab yang cemerlang dalam ilmu Fiqh, kitab kesopanan dalam pengadilan dan lain-lainnya. Ia termasuk orang2 baik Mesir yang cerdik tentang ilmu hukum (pengadilan). la wafat pada tahun 345 H.

 

Orang-orang yang kami sebutkan itu adalah teman-teman Asy Syafi’i yang terkenal dar menjadi sumber dari orang-orang yang mempelajari ilmunya, karena mereka menyusun dan mengarang. Di samping itu mereka mempu, nyai banyak keistimewaan lain. Hubungan mereka dengan Asy Syafi’i adalah seperti hubungan teman-teman Malik dan iarang mereka menyelisihinya.

 

  1. Imam yang keempat Ahmad bin Hambal.

Dia adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal Adz Dzahili. Asy Syaibani Al Maruzi Al Baghdadi, dilahirkan pada th 164 H. Ia mendengar pembesar-pembesar hadits dari Hasyim, Sufyan bin Uyainah dan orang-orang lain yang se. tingkat, Al Bukhari, Muslim dan orang yang setingkat, meriwayatkan (hadits-pen) daripadanya. Ia memperbanyak pencarian hadits dan menghafalkannya sehingga menjadi imam ahli hadits pada masanya. Asy Syafi’i berkata: ”Saya keluar dari Bagdad dan disana saya tidak meninggalkan orang yang lebih utama, lebih pandai dan ‘lebih ahli Fiqih dari pada Ahmad bin Hambal. Ia belajar Fiqh pada Asy Syafi’i ketika ia datang di Baghdad, dan dia adalah muridnya yang tersohor dari orang-orang Baghdad, kemudian ja Ijtihad untuk dirinya sendiri. Ia termasuk mujtahid ahli hadits yang mengamalkan hadits ahad tanpa syarat selama sanadnya shahih seperti jalan Asy Syafi’i dan ia mendahulukan pendapat-pendapat shahabat dari pada kiyas. Memasukkan Ahmad dalam rijalul hadits adalah lebih kuat dari pada memasukkannya dalam fuqaha . Ia menyusun Musnad yang memuat 40.000 hadits lebih. Anaknya yang bernama Abdullah meriwayatkan dari padanya. Dalam bidang ushul ia mempunyai kitab Tha’atur Rasul, kitab Nasikh dan Mansukh, dan kitab Ilal.

 

Sebagian orang yang terkenal meriwayatkan madzhabnya ialah Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani’ yang terkenal dengan Atsram yang mengarang kitab As Sunnan fil Fiqh ‘ala madzhabi Ahmad (Sunnah-sunnah tentang Fiqih menurut madzhab Ahmad) dan ia mempu nyai kesaksian dari hadits, Ahmad bin Muhammad bin Hajaj Al Marwazi mengarang kitab As Sunan bi syawahidil hadits (Sunnah-sunnah dengan saksi hadits). Dan Ishak bin Ibrahim yang terkenal dengan .Ibnu Rahawaih Al Marwazi dan termasuk teman-teman besar bagi Ahmad mengarang juga kitab As Sunan fil Fiqh (Sunnah-sunnah tentang Fiqh).

 

Ahmad bin Hambal adalah orang yang tertimpa ujian yang terkenal yaitu perihal kemakhlukan Al Qur’an. Banyak dari ahli hadits yang mengabulkan ajakan Al Ma’mun un tuk mengatakan Al Qur’an itu makhluk. Adapun dia (Ahmad) berdiri dengan teguh, kokoh dan tidak goyah sedikitpun sejak dari th 218 H yaitu tahun permulaan ajakan Al Ma’mun sampai th 233 H yaitu tahun pembatalan Al Mutawakil terhadap ajakan itu, yang membiarkan manusia untuk merdeka dalam hal yang dipilih dan dipercayainya, Keteguhan ini tanpa dibicarakan benar atau salahnya menjadikan Ah nad bin Hambal itu mulia serta berada dalam derajat yang tinggi dihadapan para ulama karena ia menanggung hal-hal yang menyakitkan demi menjaga kepercayaannya yang mana hal itu adalah seindah-indah hiasan dari kemuliaan yang dikenakan manusia, Ia rahimahullah wafat pada th 241 H.

 

Empat orang ‘am situlah imam-imam jumbur Islamyang madzhab mereka masyhur, dibukukan dan masih ada hingga sekarang.

 

Imam—imam Syi’ah.

 

Pada periode ini terkenallah dua madzhab Syi’ah yaitu madzhab Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah. Syi’ah Zaidiyah itu membangsakan diri kepada Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib yang menerkam Hisyam bin Abdul Maluk di Kufah, dan dari kalangan mereka orangorang yang menuntut kekhilafahan atas Bani Umayah dan. Bani Abbas, dan mereka agak memperoleh kemenangan dinegara-negara Thabaristan dan Yaman. Sebagian dari dasar-dasar madzhab ‘ini adalah mensyaratkan jijtihad bagi imam-imam mereka. Oleh karena itu dari kalangan mereka banyak imam-imam mujtahid yang mempunyai pendapat dalam Fiqh. Sebesar-besarnya orang yang ahli da’wah pada periode ini adalah imam yang menolong kebenaran yaitu Hasan bin Ali bin Hasan bin Zaid bin Umar bin Ali bin Husain bin Ali. Ia menyusun kitab-kitab menurut madz. hab Zaidiyah dalam masalah Fiqh seperti kitab Thaharah, kitab Adzan dll.

 

Sebagian dari mereka adalah imam yang mengajak ke. pada kebenaran yaitu Hasan bin Zaid bin Muhammad bin Isma’il bin Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali. Hasan ini termasuk ulama yang dermawan dan memberontak di negeri Thabaristan serta menguasainya pada th 250 H. Ia menjabat raja sampai wafatnya pada th 270 H. Ia menyusun kitab yang lengkap tentang Fiqh, kitab Al Bayan dan lainlainnya.

 

Sebagian dari mereka adalah Qasim bin Ibrahim Al Alawi Al Barisi seorang yang menguasai Sha’dah dari negeri Yaman, th 246 – 280 H Zaidiyah Al Qasimiyah membangsakan diri kepadanya. Ia mempunyai beberapa kitab antara lain kitab minuman, kitab sumpah dan nadzar dil.

 

Sebagian dari mereka adalah Yahya bin Hasan bin Qasim bin Ibrahim imam Sha’dah 280-196 H. Kepadanya lah Zaidiyah Al Hadawiyah membangsakan diri. Ia mempunyai kitab yang lengkap tentang Fiqh. Pada periode ini banyak dari ulama dan muhaditsin dalam masalah imamah, berpendapat seperti pendapat madzahab Zaidiyah.

 

Sebagian besar negeri Yaman adalah Syi’ah Zaidiyah. Aliran ini adalah sedekat-dekat aliran terhadap madzhab Jumhur karena Zaidiyah tidak mengingkari terhadap dua Syaikh (Abu Bakar dan Umar), meskipun mereka berpendapat bahwa Ali lebih utama dari pada keduanya.

 

Adapun Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah imam mereka yang terbesar pada periode ini adalah Imam Abu Abdullah Ja’far Ash Shadig. Ia termasuk pemimpin ahlil bait (keluarga Nabi-pen) dan dijuluki dengan Ash Shadig karena jujur dalam perbuatan-perbuatannya. Ia dilahirkan pada th 80 H. Malik bin Anas, Abu Hanifah dan banyak ulama Madinah meriwayatkan (hadits) dari padanya hanya saja Al Bukhari tidak mentakhrijkan haditsnya. Pada dirinya dan ayahnya Abu Ja’far Al Bagir yang telah disebutkan dimuka, Fiqh Syi’ah Imamiyah tersusun. Pengarang mereka yang tertulis pada periode ini adalah Abu Nadhar Muhammad bin Mas’ud Al ‘Iyasyi dan Abu Ali Muhammad bin Ahmad bin Junaid. Sebagian orang yang terkenal dikalangan mereka adalah Zurarah bin A’yun, dialah orang Syi’ah yang terbesar dalam masalah Fiqh dan. hadits dan mengetahui ilmu kalam dan perihal Syi’ah. Ia termasuk teman-teman dari Abu Ja’far Al Bagir. Sebagian anaknya adalah Husain Ibnu Zurarah dan Hasan bin Zurarah yang termasuk teman Abdillah Ja’far Ash Shadig.

 

Aliran ini berasaskan pendapat bahwa imam-imam itu ma’shum (terpelihara dari dosa) dan Ali r.a adalah orang yang menerima wasiyat Rasulullah s.a.w. Hal itu dapat diketahui dengan zhahir dan rahasia syari’ah, dan Ali menyampaikannya kepada orang yang akan menggantikannya dalam jabatan imam. Oleh karena itu pendapat imam disisi mereka seperti nash-nash dari syara’ dan hukum-hukum itu tidak diperoleh dengan jijtihad dan ra’yu, namun hukum-hukum itu diperoleh dari imam yang ma’shum itu. Oleh karena itu menurut mereka ijma’ dan kiyas tidak termasuk ushul Fiqh, karena dalam ijma’ itu, pendapat-pendapat selain dari imam-imam mereka tidak dianggap. Sedang kiyas adalah ra’yu, padahal orang (selain imam) tidak boleh mengambil ra’yu. Menurut mereka, mereka boleh berpendapat dengan tagiyyah, yaitu cetusan manusia dengan apa yang tidak dii’tiqadkan karena takut keburukan yang menimpa terhadap orang yang menyelisinya. Oleh karena itu anda lihat kitab-kitab mereka apabila riwayat-riwayat itu berbeda-beda dari imam-imam mereka, maka mereka mengambil riwayat yang sesuai dengan jumhur. Hal itu hanya dikatakan atas jalan tagiyyah. Itulah yang diambil oleh mereka.

 

Sebagian hal yang menunjukkan pengaruh poiitik dalam mengistimbatkan hukum, adalah kesepakatan Syi’ah Imamiyah dalam haf warisan bahwa anak paman sekandung didahulukan atas paman seayah, padahal mereka seluruh. nya berpendapat bahwa pembagian warisan itu berdasar kekerabatan, sehingga setiap kali seseorang lebih dekat kepada mayit maka ia lebih berhak mewarisinya dari pada orang yang lebih jauh. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa anak paman sekandung dalam menerima warisan dikemudiankan dari pada paman dari ibu, namun mereka mendahulukan dari pada paman. Kenapa demikian? Karena mereka menghendaki agar Ali bin Abu Thalib itu didahulukan dalam mewarisi Rasulullah s.a.w dari pada Abbas. Sebagian pendapat mereka yang bertentangan dengan jumhur adalah sebagai berikut:

 

1). Anak perempuan dari saudara perempuan tidak dinikahkan oleh paman dari pihak ibunya kecuali dengan izinnya. Dan bibi dari pihak ibu menikahkan anak perempuan dari saudara perempuan tanpa izinnya. Demikian juga keadaan itu pada bibi dari pihak ayah dan anak perempuan dari saudara laki-laki.

2). Mereka mengharamkan menikah wanita Nashrani dan Yahudi dan mereka memandang nash tentang halal nya itu dinasakh dengan firman Allah Ta’ala:

 

Artinya:

Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir 1).

3). Orang sakit itu tidak dapat menceraikan, dalam pada itu ja dapat (menikah). Jika ia kawin dan bersetubuh dengan isterinya maka hal itu diperbolehkan. Jika dalam sakitnya ia tidak bersetubuh dengannya sampai ja meninggal maka pernikahannya itu batal,bagi perempuan itu tidak mendapat maskawin dan tidak mendapat warisan.

 

4). Tidak haram dari susuan kecuali susuan sehari semalam atau lima belas hisapan berturut-turut dari seorang wanita yang tidak dipisahkan oleh susuan perempuan lainnya.

 

5). Sesungguhnya perceraian yang diperintahkan oleh Allah dalam kitabNya dan SunnahNya s.a.w adalah apabila seorang wanita berhaid dan telah suci dari haidnya, suaminya mempersaksikan kepada dua orang saksi yang adil sebelum ia mensetubuhinya, kemudian dia berhak untuk merujuknya selagi ia belum haid tiga kali. Jika ia merujuknya, maka wanita itu di sisi suaminya dengan dua talak lagi. Jika wanita itu telah lewat tiga suci sebelum dirujuk suaminya, maka wanita itu diberi kuasa atas dirinya. Jika ia (bekas suami) menghendaki maka harus meminang lagi bersama orang orang yang meminang. Jika ia memperisterikannya maka wanita itu disisinya dengan dua talak. Talak yang tidak demikian bukanlah talak.

 

6). Barangsiapa yang berkata kepada isterinya: “Kamu haram atasku” atau ia menceraikan istrinya dengan bain atau selamanya, melepaskan atau mengosongkan, seluruhnya itu sedikitpun bukan talak. Talak itu hanyalah ia berkata kepada istrinya sebelum iddah sesudah suci dari haidnya sebelum mensetubuhinya: ”Kamu wanita yang diceraikan, atau ”beriddahlah” dengan demikian ia bermaksud menceraikan, dan hal itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.

 

7). Talak tiga dalam satu majlis adalah dihitung satu. Dan pendapat-pendapat lain yang disandarkan kepada pendapat pendapat imam imam mereka.

 

MADZHAB-MADZHAB YANG TELAH MUSNAH.

 

Sebagian dari madzhab-madzhab para fuqaha’ itu ada yang mendapat pengikut-pengikut yang menjalankan. nya namun pada suatu waktu dikalahkan oleh madzhab. madzhab lain yang datang kemudian, sehingga pengikut. pengikutnya menjadi surut. Imam yang terkenal dari madzhab ini adalah:

 

  1. Abu Amr Abdur Rahman bin Muhammad Al Auzai Auza” adalah puak dari Dzul Kala” di Yaman, atau desa di Damaskus pada jalan pintu Faradis, di mana Abu Anr singgah di tengah-tengah mereka maka ia membangsakan diri kepada mereka. Keluarganya berasal dari tawanan Ainut ‘Tamar. Ia dilahirkan di Ba’labaka pada th 88 H. Ketika mudanya belajar Al Hadits, maka ia menceritakan dari Atha” bin Abu Rabah, Az Zuhri dan orang-orang yang sederajat, dan dari padanya para pembesar hadits meriwayatkan (hadits). Al Auza’i itu seorang penulis yang lembut, ja mempunyai surat surat yang berpengaruh dan ia beradab tinggi. Walid ‘bin Martsad berkata: ”Tidak diperdengarkan kata kata seorang yang utama kecuali pendengarnya butuh untuk ditetapkan olehnya dan saya tidak melihatnya tertawa terkekeh-kekeh”. Sebagian perkataannya ialah: ” Apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum maka Allah membukakan perdebatan di kalangan mereka namun mereka tidak mau mengamalkannya. ”Sebagian perkataannya: ” Celakalah orang yang belajar Fiqh bukan untuk beribadah dan celakalah orang yang menghalalkan barang-barang haram dengan syubhat? Sebagian dari persetujuannya yang disaksikan adalah pembiCaraannya dengan Abdullah bin Ali ketika tiba di Syam untuk memerangi Bani Umayyah. Abdullah bin Ali memanggilnya sedangkan ia berada di tengah-tengah tentaranya dengan pedang yang terhunus, seraya berkata: ”Bagaimana pendapatmu tentang darah Bani Umayyah?” Ia berkata: “Telah ada perjanjian antara kamu dan mereka, dan seyogyanya kamu memenuhinya”, Ia berkata: “Sayang kamu, anggaplah antara saya dan mereka tidak ada perjanjian!” Ia berkata:”Jiwaku malas dan benci untuk berperang dan saya ingat kedudukanku di hadapan Allah”, dan saya katakan: ” Darah mereka haram atasmu”. Maka ia marah, mata dan urat lehernya bersitegang, kemudian ia berkata: ”Sayang kamu, dan kenapa? ”’Saya berkata: Rasulullah s.a.w bersabda:

 

Artinya:

”Darah seorang muslim tidak halal kecuali dengan salah satu dari tiga yaitu: janda (orang yang pernah nikah) yang berzina, jiwa dengan jiwa (gishash) dan Orang yang yang meninggalkan agamanya”.

Ia berkata: ”Sayang kamu, apakah urusan itu bukan urusan agama bagi kita? “Saya berkata: ” bagaimana itu?” Ia berkata: ”Bukankah Rasulullah s.a.w berwasiat kepada Ali? “Saya berkata: ”’Seandainya beliau berwasiat kepadanya, maka apakah hukum dua pemerintahan itu (pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar » pen)?” Lantas ia diam dan marah, dan saya tundukan kepalaku, ia merebahkan diri di hadapanku dan berkata-kata dengan tangannya demikian, ia memberi isyarat untuk keluar, lantas saya keluar, Al Auza’i termasuk tokoh hadits yang tidak menyukai kias, Orang-orang Syam melaksanakan madzhabnya dan hakim Syam juga pengikutnya. Ke. mudian madzhab Al Auza’i pindah ke Andalusia ber. sama orang-orang yang memasukinya dari pengikut Bani Umayyah, kemudian madzhab itu surut di hadapan madzhab Asy Syafi’i di Syam, dan di hadapan madzhab Malik di Andalusia itu pada pertengahan abad ke tiga H. Al Auzadi wafat padath 157 H.

 

  1. Abu Sulaiman Dawud bin Ali bin Khalaf Al Ashbihani yang terkenal dengan Azh Zhahiri, dilahirkan di Kufah pada th 202 H. Ia mempelajari ilmu dari Ishak bin Rahawaih, Abu Tsaur dan lain lainnya. Ia adalah orang yang paling banyak fanatiknya kepada Asy Syafi’i dan menyusun buku perihal keutamaan-keutamaannya dan memujinya pada dua buku. Padanyalah puncak kepimpinan ilmu di Baghdad. Kemudian ja membuat aliran (madzhab) khusus bagi dirinya sendiri yang asasnya adalah mengamalkan zhahir Al Qur’an dan As Sunnah selagi tidak ada dalil yang menunjukkan dari keduanya atau dari ijma’ bahwa yang di maksudkannya bukan zhahirnya. Jika tidak: terdapat nash maka diamalkan berdasar ijma’, sedang kiyas benar benar ditolak selamanya, dan ia berkata: ”Bahwa ke umuman nash Al Qu’an dan As Sunnah terdapat sesuatu yang dapat menjawab dengan sempurna”

 

Dawud mengarang banyak kitab, diantaranya kitab tentang bab-bab Fiqh, tentang ushul, kitab pembatalan taklid, kitab pembatalan kiyas, kitab tentang hadits ahad, kitab hadits yang wajib diketahui, kitab hujjah, kitab khusus dan umum, kitab mufassar dan mujmal dan sebagainya. Dian tara orang yang belajar dan menempuh madzhabnya adalab putranya Muhammad, seorang yang utama, sastrawan, pe nyair, ahli sejarah, salah seorang yang cerdik, ia menyusun banyak kitab . Di antara pengikut dan pengarang tentang madzhabnya adalah Abul Hasan Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Mughlis, dialah puncak kepemimpinan pengikut Dawud pada masanya dan sesudah itu tidak muncul orang yang menyamainya. Ia seorang yang utama, bangsawan, jujur terpercaya dan didahulukan atas seluruh manusia. Ia meninggal pada th 324 H. Madzhab Dawud itu terus diikuti sampai pertengahan abad ke lima, kemudian surut. Ia mempunyai pendapat pendapat yang bertentangan dengan jumhur karena pendapat itu dihasilkan dengan tidak menggunakan kiyas, ra’yu dan mengamalkan zhahir Al Qur’an dan As Sunnah.

 

Saya telah menelaah kitab Al Muhalla karya Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm Al Andalusi yang meninggal pada th 456 H. Didalamnya banyak saya melihat masalah masalah itu. Nah, inilah sebagiannya saya ceritakan kepada anda sekalian:

 

  1. Talak itu tidak jatuh kecuali dengan salah satu dari tiga perkataan yaitu: talak (menceraikan), tasrih (melepaskan), fIraq (memisahkan) dan lafazh lafazh yang keluar (musytag) dari padanya, apabila ia niat untuk menceraikan. Jika ia mengatakan hal itu: “Saya tidak niat menceraikan” maka benar dalam fatwa dan tidak benar dalam talak, dan hal-hal yang sejalan dengan itu dalam pengadilan, dan seluruhnya itu benar juga dalam pengadilan. Selain kata kata ini maka perceraian tidak jatuh samasekali, baik ia niat menceraikan atau tidak niat, tidak didalam berfatwa dan tidak pula dalam pengadilan seperti pengosongan atau pelepasan dan kamu wanita yang terlepas, saya telah melepaskan kamu, talimu pada orang lain/asing, dan saya berikan kamu kepada keluargamu atau orang yang disebutkan selain keluarga. Mengharamkan dan memilihkan adalah memilikkan”
  2. Tidak boleh mewakilkan dalam talak.
  3. Barang siapa yang menceraikan istrinya dan ia tidak hadir (ghaib) maka hal itu bukan talak, wanita itu tetap sebagai istrinya. Jika salah satunya meninggal maka saling waris mewarisi. Hak-hak suami-istri bagi keduanya tetap sama, baik ia mensetubuhinya atau tidak mensetubuhinya, tiga kali atau kurang sehingga suami sampai kepadanya. Apabila suami itu sampai kepadanya dengan berita orang yang membenarkan atau saksi yang dapat diterima dalam pengadilan, maka ketika itu wajib cerai jika wanita itu sedang mengandung atau suci yang belum digauli.

4, Barang siapa yang menceraikan dengan tidak sengaja menceraikan tetapi lidahnya keliru, jika ada saksinya maka diputuskan adanya perceraian. Jika tidak ada saksinya dan ia minta fatwa maka talak itu tidak jatuh.

5, Sumpah menceraikan adalah tidak mewajibkan untuk menghilangkan kebaikan atau melanggarnya, karena dengannya suatu talak tidak jatuh kecuali talak atau sumpah yang telah diperintahkan oleh Allah lewat lisan Rasul Nya s.a.w.

  1. Talak dengan sifat adalah seperti talak dengan sumpah. Seluruhnya itu tidak menjadi talak kecuali sebagaimana diperintahkan dan diajarkan oleh Allah ta’ala yaitu sengaja menceraikan. Adapun yang selain itu adalah batal dan melampaui batas-batas Allah.
  2. Barang siapa yang berkata: Apabila awal bulan datang maka kamu (istri) adalah tertalak” atau ia menyebutkan waktu apa saja. Maka hal itu tidak menjatuhkan talak baik sekarang maupun ketika datang awal bulan.
  3. .Barang siapa yang menguasakan istrinya untuk menceyaikan dirinya (istri) maka hal itu tidak wajib baginya (suami), dan tidak menjadikan cerai baik wanita itu menceraikan dirinya atau tidak menceraikan dirinya.
  4. Apabila wanita itu benci terhadap suaminya dan ia khawatir tidak memenuhi hak suami atau khawatir suaminya akan membencinya sehingga suami itu tidak memenuhi hak-haknya maka wanita itu hendaklah membayar tebusan kepada suami dan agar suami itu menceraikannya, jika ia ridha. Jika tidak, maka suami itu tidak dapat dipaksa dan wanita itupun tidak dapat memaksa. Hal itu diperbolehkan dengan kerelaan keduanya, dan tidak halal memulainya kecuali karena salah satu dari dua hal itu atau berkumpulnya dua hal itu. Jika terjadi pada selain keduanya maka batal dan suami mengembalikan apa-apa yang telah diambil dari padanya. Dan isterinya sebagaimana dulunya dan orang yang menganiayanya dicegah saja. Dan wanita hendaklah menebus dengan segala miliknya dan hal itu merupakan talak raj’i kecuali manakala suami mentalak tiga atau akhir dari tiga kali talak, atau wanita itu belum disetubuhi. Jika suami itu meruju’nya dalam ‘iddah itu maka hal tersebut diperbolehkan baik wanita itu senang atau membencinya dan suaminya me. ngembalikan sesuatu yang telah diambil dari istrinya..
  5. Talak dan ruju’ itu tidak sah tanpa adanya persaksian dua orang saksi yang adil.

 

Nyatalah bahwa kemerdekaan berpendapat dan beristimbath di Baghdad diistimewakan bagi para. ulama dimana mereka bersenang senang secara sempurna, dan mereka tidak tertimpa olah hal hal yang menyakitkan karena menyelisihi fuqoha lain. Adapun di Andalusia kemerdekaan seperti itu tidak ada, dan Ibnu Hazm menjadi sasaran kebencian para fuqoha negerinya karena pendapat-pendapatnya menyelisihi madzhab mereka. Para amir menekan, mengingatkan dan menakut-nakuti tetapi ia tidak takut dan tidak menbatasi pendapatnya. Dan ia seorang laki-laki yang besar jiwanya, dan setiap orang yang besar akan menanggung hal-hal yang menyakitkan dalam menjalankai kepercayaannya. Kami kemukakan disini bukanlah untuk memebenarkan atau menyalahkan suatu pendapat. Kami hanya menguraikan suatu gambaran masa-masa lampau.

 

Saya telah melihat satu fasal dalam Thabagat Asy Syafi’iyah oleh Ibnu Subki yang menyangkut pendapat-pen. dapat Zhahiri, apakah ia berpegang dengan ketentuan me. reka dalam cabang-cabang atau tidak. Dalam hal itu diceritakan ada tiga pendapat yaitu:

 

  1. Dihitung secara mutlak, itulah yang shaheh.
  2. Tidak dihitung secara mutlak dan ustadz Abu Ishak menasabkannya kepada jumhur.
  3. Dihitung, kecuali dalam suatu yang menyelisihi Qiyas jali, Ibnu Subki menceritakan dari ayahnya bahwa Dawud tidak mengingkari kiyas jali, dia hanyalah mengingkari kiyas khafi saja. Ibnu Subki menukil suatr. ungkapan dari risalah Dawud yang bertitel Al Usnul dimana tentang itu ia berkata yang teksnya: ”Menghukumi berdasar kiyas adalah tidak wajib dan berpendapat dengan istihsan tidak boleh.” Kemudian ia berka ta: Nabi s.a w tidak boleh mengharamkan sehingga selain sesuatu vang telah diharamkan menjadi haram, karena hal itu syubhat kecuali manakala beliau menunjukkan ilat yang menyebabkan pengharamannya seperti beliau bersabda: ?”’Sayaharamkan gandum dengan ganddum karena gandum itu di takar, saya mencuci pakaian ini karena ada darahnya, atau saya membunuh ini, karena dia adalah ular besar.” Dengan ini difahami bahwa yang mewajibkan hukum adalah sebabnya dan yang tidak demikian maka ta’abbud. Dan sesuatu yang melampaui hal itu maka didiamkan, termasuk dalam bab sesuatu yang dimaafkan. Seolah-olah dia tidak menamakan Qiyas sesuatu yang illatnya telah terkandung dalam nash.

 

  1. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid Ath Thaba ri. Ia dilahirkan pada th 224 H. di Amil, Thabaristan. Ia menuntut ilmu dan mengelilingi beberapa negara sehingga ia mengumpulkan ilmu yang seorangpun pada masanya tidak menyamainya. Ia hafal kitabullah (Algur’an), mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh shahabat dan tabi’in, mengetahui tentang peperangan dan sejarah. Ia mempunyai tarikh yang terkenal yang dalam tarikh tarikh Arab tidak ada yang lebih terpecaya dari padanya. Ia mempunyai kitab tafsir yang belum pernah dikarang oleh orang lain. Ia mempunyai kitab Tahdzibul Atsar yang tidak disem purnakannya, dan dia mempunyai kitab tentang perbedaan pendapat para fuqoha, dimana saya melihat satu gith’ah yang terpelihara di perpustakaan Mesir yang menunjukan bahwa dia luas ilmunya dan fikiran yang besar. Pada mulanya, ia belajar Fiqh madzhab Asy Syafi’i rahimahullah, yang ia terima dari Rabi’ bin Sulaiman di Mesir. Ia belajar Fiqh Malik dari Yunus bin Abdullah A’la dan Bani Abdul Hakam. Ia belajar Fiqh ahli Irak dari Abu Mugatil di Raja, kemudian ilmunya meluas dan ijtihadnya menyampaikannya kependapat yang dipilihnya dalam kitab kitab Fiqhnya antara lain Latiful-gaul yakni sesuatu yang dipilih untuk adanyadan kitab Al Khafif yang disusun berdasarkan permintaan Wazir Al Muktafi kemudian ia mulai dengan kitab Al Basith dimana ia membentangkan didalamnya bab bersuci., dan kupasan shalat sebanyak banyaknya, bab pemerintahan, pengetahuan dan hukum.

 

Sebagian sahabat sahabatnya yang ahli Fiqh madzhabnya adalah Ali bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ad Daulabi. Ia mempunyai beberapa kitab antara lain kitab Ar Radd’ala Ibni Mughlis (Tangkisan atas Ibnu Mughlis) sebagian teman Dawud yang telah disebutkan di muka, dan kitab Af ‘alun Nabi s.a.w (perbuatan perbuatan Nabi s.a.w). Sebagian mereka adalah Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Abu ‘Tsalj Al Katib. Sebagian dari mereka Abu Hasan Ahmad bin Yahva, seorang astronom dan ahli ilmu kalam . Ia mempunyai kitab Pengantar madz. hab Ath Thabari dan menolong madzhabnya, kitab Ijma’ dalam Fiqh menurut madzhab Ath Thabari dan kitab tangkisan atas orang orang yang menyelisihi. Sebagian dari mereka adalah Abul Faraj Al Mu’afi bin Zakariyya An Nahrawi yang pada masanya tiada duanya dalam madzhab Abu Ja’far dan ia menghafal kitabnya. Dalam pada itu ia seorang yang menguasai banyak ilmu, tokoh dan tempat bermusyawarah yang sangat cerdik, baik hafalannya, cepat goresan hatinya dalam menjawab, ia banyak menyusun kitabkitab Fiqh menurut madzhab Ath Thabari.

 

Madzhab ini terus hidup, dikenal dan diamalkan sampai pertengahan abad ke lima. Inilah madzhab madzhab yang terkenal diamalkan beberapa waktu, kemudian para pengenalnya surut dan selanjutnya hanya tinggal dilempitan buku-buku. Di sana ada imam-imam lain yang tidak terhitung jumlahnya, mereka berijtihad untuk diri sendiri, dan yang menyiarkan madzhabnya tidak pula mudah untuk memperoleh pengikut, seperti Al Laits bin Sa’ad imam ahli Irak dan juga sebagai teman Malik yang menurut Asy Syafi’i ia lebih pandai dari pada Malik hanya saja para temantemannya tidak meneruskannya. Dan yang lain masih banyak, namun kertas ini terasa sempit untuk menghabiskan sejarah-sejarah mereka.

 

Kesimpulannya, ini adalah periode ijtihad yang mulia dan taklid tidak berpengaruh, lebih lebih ketika periode pertama dari murid-murid para imam. Adapun periode selanjutnya bau taklid telah muncul, namun segera lenyap manakala ada seseorang dari kalangan mereka yang merasa mampu untuk berijtihad dan beristimbath. Kemerdekaan bervendapat itu luas. Dan saya akan sebutkan berikut ini suatu fasal tentang sebab tersiarnya madzhab yang empat dan mengapa jumhur Islam mencukupkan diri atasnya.

Keadaan Fiqih sebelum periode ini pada derajat yang mudah karena Fiqh pada saat itu terbatas untuk melahirkan hukum tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan mereka tidak meluaskan sehingga melahirkan hukum tentang suatu masalah yang mereka bayangkan.

 

Pada periode ini, para fuqoha telah meluaskan dalam membuat masalah masalah dan mengistimbatkan hukum-hukumnya.

 

Kebanyakan mereka berpegang kepada kekuatan menghayal, maka hal itu menjadikan mereka mengeluarkan beribu-ribu masalah kepada manusia, yang sebagian dari padanya mungkin terujud, dan sebagian nya sesuatu yang tidak terlintas oleh orang – orang banyak dan manusia tidak merasakan adanya. Sebagian besar fuqoha negara-negara besar yang berpendapat bahwa kiyas itu sebagian dari materi Fiqh, dalam hal ini melebihi Irak.

 

Sebagian dari sesuatu yang diputuskan secara mengherankan adalah mereka menjadikan tiga pokok persoalan sebagai dasar untuk beratus-ratus masalah yang sulit untuk dikemukan jawabnya, yaitu:

 

  1. hamba sahaya dan pemerlakuannya.
  2. isteri dan perceraiannya.
  3. sumpah dan pelanggarannya.

 

Adapun hamba sahaya jelas menjadi persoalan karena dihadapan mereka banyak hamba sahaya maka mereka memusatkan fikiran untuk memperhatikan hukum-hukumnya, sehingga anda tidak melihat suatu bab dari bab-bab mu’amalat kecuali kebanyakan masalahnya didasarkan atas hamba baik laki-laki dan perempuan. Anda lihat hal itu dalam jual-beli, sewa menyewa, perserikatan, gadai, wasiyat, memerdekakan dan lain sebagainya.

 

Adapun wanita dan perceraian, maka memakan banyak pemikiran-pemikiran, mudah mudahan saya sampai kepada sesuatu yang dikemukakan oleh pemikiran-pemikiran mereka dalam masalah-masalah yang mereka buat perihal perceraian, namun saya tidak mendapat pertolongan walaupun masalah-masalah yang terbayang terjadinya, meskipun dalam hal ini dapat kami katakan bahwa mereka telah menyiapkan jawaban-jawaban bagi peristiwa-peristiwa, sehingga seorang mufti atau gadhi tidak terhenti (buntu) apabila menjumpai hal tersebut. Adapun masalah-masalah yang sulit terbayang terjadinya maka kami bertambah heran dan sangat sedih atas waktu yang telah dicurahkan untuk nya. Saya membaca dalam kitab Al—Jami’ul Kabir oleh Imam Muhammad bin Hasan sebagai berikut: Apabila seorang laki-laki mempunyai tiga orang isteri, seorang bernama Zainab, yang lain Umarah dan yang lain lagi Hamadah kemudian ia berkata kepada Zainab: “Jika saya menceraikan kamu, maka Umarah adalah wanita yang tertalak (diceraikan)”, Kemudian ia berkata kepada Umarah: ”Jika saya mencerai kamu maka Hamadah adalah wanita yang tertalak” — kemudian ia berkata kepada Hamadah: “Jika saya menceraikan kamu maka Zainab adalah wanita yang tertalak”. Kemudian ia menceraikan Zainab talak satu, maka Zainab tertalak dengan talak yang dijatuhkan kepadanya, dan Umarah tertalak dengan talak langgaran dan talak tidak jatuh atas selain dua orang itu. Jika ia tidak menceraikan Zainab, tetapi menceraikan Umarah maka Umarah tertalak dengan thalak yang dijatuhkan, dan Hamadah terthalak karena terlanggar, dan Zainab sedikitpun tidak terthalak. Jika ia tidak menceraikan Umarah, tetapi menceyaikan Hamadah maka Hamadah terthalak dengan thalak yang dijatuhkannya, dan Zainab terthalak dengan satu perceraian (thalak) karena terlanggar, dan Umarah terthalak dengan thalak yang lain karena terlanggar karena ia (lakilaki) itu melanggar terhadap Zainab, maka terthalaklah Umarah karena langgarannya terhadap Zainabjika laki laki itu sedikitpun tidak menceraikan isterinya dari mereka itu tetapi ia berkata: “Salah seorang diantaramu adalah diceyaikan” kemudian ia meninggal sebelum menjelaskan siapakah diantara mereka yang diceraikannya, maka Umarah memperoleh separoh maskawin dan tidak mendapat warisan, dan Zainab dan Hamadah memperoleh satu seperempat maskawin dengan dibagi dua, dan keduanya memperoleh setengah warisan dengan dibagi sama (separoh) dan yang setengah warisan dikembalikan kepada ahli waris, karena Umarah terthalak pada setiap keadaan, sedang Zainab dan Hamadah dalam satu ketika terthalak semuanya, dan dalam satu ketika salah seorang dari keduanya terthalak. Keduanya pada suatu ketika berhak satu maskawin, dan keduanya berhak mewaris, dan pada suatu ketika keduanya tidak mewaris, dan keduanya berhak satu setengah warisan dengan dibagi sama rata antara keduanya.

 

Kemudian dibuat ketentuan dalam masalah lain yaitu selain isteri-isteri ini yang laki-laki itu tidak mempergauli salah satu dari mereka sebanyak empat orang, maka banyaklah perhitungan pecah-pecahan. Saya membaca dalam kitab Al—um oleh Imam Muhammad Idris Asy Syafi’i tentang:

 

Thalak dengan hitungan.

 

Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Seandainya seorang berkata: ”Kamu terthalak satu, sebelumnya satu”, atau ”satu sesudahnya satu” maka hal itu menjadi dua thalak. Jika ia berkata: “Sayamaksudkan satu dan saya tidak menghendaki apa yang sebelumnya atau sesudahnya” maka ia tidak berhutang dalam hukum dan hutang antara dia dan Allah ta’ala. Seandainya ia menceraikannya satu kali lantas diruju’nya kemudian ia berkata: Kamu adalah wanita yang diceraikan satu sebelumnya satu”, kemudian ia berkata: ”Saya kehendaki bahwasanya saya telah menceraikannya satu sebelumnya, dimana ia bersumpah dan hutang menurut hukum. Seandainya ia berkata: ” Kamu seorang wanita yang terthalak satu sesudahnya” kemudian ia diam, selanjutnya ia berkata: “Saya kehendaki sesudahnya satu yang saya jatuhkan kepadamu sesudah sesuatu waktu, atau tidak saya jatuhkan kepadamu kecuali sesudahnya” maka hal itu tidaklah hutang menurut hukum dan hutang menurut apa yang . antaranya dan antara Allah ta’ala.

 

Apabila seorang laki-laki berkata kepada isterinya: ”Tubuhmu atau kepalamu atau kakimu atau tanganmu atau ia menyebutkan anggauta badannya atau jari-jarinya atau ujung yang ada padanya maka isterinya itu terthalak. Seandainya ia berkata: “Sebagianmu atau bagian dari kamu adalah terthalak” atau ia menyebutkan suatu bagian dari seribu bagiannya maka isterinya terthalak, karena thalak itu tidak terbagi-bagi. Seandainya ia berkata kepadanya: ”Kamu adalah terthalak dua separoh thalak” maka wanita itu terthalak satu kecuali apabila ia menghendaki dua thalak. Atau ia berkata: Saya menghendaki untuk jatuh separoh hukum yang ada dan yang separoh dikecualikan hukumnya” maka wanita itu terthalak dua. Demikian juga seandainya ia berkata: ” Kamu terthalak tiga pertiga thalak atau empat perempat thalak maka masing-masing dari itu, satu thalak, karena setiap thalak mengumpulkan dua paroh, tiga pertiga atau empat perempat kecuali dengan kata-kata itu ia niat lebih banyak maka jatuhlah dengan niyat bersama lafazh itu. Seandainya seorang laki-laki melihat kepada isterinya dan bersama isterinya ada wanita lain yang mana wanita itu bukan hak laki-laki itu, kemudian ja berkata: “Salah seorang diantaramu dithalak” maka perkataan (yang dipegangi) adalah perkataannya. Jika ia maksudkan isterinya maka isterinya terthalak, namun jika ia maskudkan wanita lain itu (ajnabiyah) maka isterinya tidak terthalak. Jika ia berkata: “Saya kehendaki wanita lain (ajnabiyyah) sambil bersumpah, padahal wanita itu isterinya maka thalak tidak jatuh terhadap dirinya. Seandainya ia berkata: ”Kamu wanita yang terthalak satu dalam dua ”maka hal itu adalah thalak satu, dan laki-laki itu ditanya tentang dalam dua jika ia berkata: ”Saya tidak niyatkan sesuatu” maka hal itu hanyalah satu thalak dan seterusnya. Ini adalah contoh contoh khayal yang asing , pada hal sebagian besar kitab Al Um jauh dari masalah-masalah khayal.

 

Kitab Al Mudawwanah yang dinukil dari Malik tidak kurang dari yang demikian itu dalam banyak masalah-masalah tentang perceraian karena pangkalnya adalah kitabkitab Muhammad bin Hasan.

 

Adapun sumpah dan nadzar maka merupakan lautan yang tidak berpantai, anda lihat pembagian yang mengherankan, seolah-olah mereka mengemukakan sumpah-sumpah yang terbayang oleh khayal kemudian mereka sebutkan jawabannya, dan hal itu banyak sekali dan istilahnya berpeda dengan bedanya negeri. Gerangan apakah yang membuat seseorang memperpanjang masalah-masalah sumpah, memerdekakan hamba dan perceraian?” Apakah sumpah-sumpah bai’at yang terjadi pada akhir abad pertama tidak boleh mempengaruhinya?. Terdapat dalam salah satu perjanjian yang diambil pada abad kedua: ”Jika kamu mengganti halitu sedikit, atau merobah atau melanggar atau menyelisihi sesuatu yang diperintahkan oleh Amirul mu’minin kepadamu padahal ia mensyaratkan atasmu dalam kitabnya ini, maka saya terlepas diri dari padamu akan tanggungan Allah, tanggungan RasulNya Muhammad s.a.w dan tanggungan tanggungan kaum mu’minin dan muslimin. Setiap harta yang pada hari ini milik setiap orang dari padamu atau dipergunakannya sampai lima puluh tahun maka hal itu adalah sedekah atas orang-orang miskin. Dan wajib atas seorang dari padamu berjalan ke Baitullah Al Haram di Mekah limapuluh haji karena nadzar dan wajib, dan Allah hanya mau menerima manakala hal itu dipenuhinya. Setiap budak milik salah seorang dari padamu atau dimilikinya pada masa mendatang sampai lima puluh tahun adalah merdeka. Setiap isterinya dicerai tiga selamanya, thalak selamanya, tidak ada kembali di dalamnya. Terjadi pada masa yang lain: “Jika kamu merobah dan seterusnya maka saya berlepas diri dari Allah Azza wa jalla, dari kekuasaan dan agamaNya dan dari Muhammad s.a.w dan dihari Kiyamat kamu menjumpai Allah dengan kafir dan musyrik”. Dan setiap wanita yang pada hari ini bagiku, atau saya menikahinya selama tiga puluh tahun adalah terthalak tiga selamanya, thalak haraj dan seterusnya. Bukankah memasukkan isteri, hamba sahaya, harta benda dan nadzar dalam sumpah bai’at termasuk memperbanyak pembagian masalahmasalah dalam bab ini? Sesungguhnya orang-orang yang bersumpah tidak mendapat sokongan dari seluruh imamimam atas tujuan mereka. Malik bin Anas dan penduduk Hijaz telah memusuhi mereka dengan perkataan bahwa bagi orang yang dipaksa tidak ada sumpah , meskipun hal itu telah terdengar pada masa Abu Ja’far Al Manshur dan inilah sebab yang menguatkan. Asy Syafi’i memusuhi mereka dengan perkataannya bahwa sumpah untuk menceraikan wanita yang tidak dinikahnya adalah tidak berpengaruh. Dan kami tidak mengetahui dengan sebab itu ia terpaksa, karena pada masanya tidak ada orang yang memaksa seperti Abu Ja’far. Dawud memasuki mereka dengan perkataannya bahwa sumpah dengan nama selain Allah adalah tidak berarti dan tidak berpengaruh.: “Sesungguhnya mengecualikan dalam sumpah diperbolehkan walaupun sudah beberapa hari”. Pengertiannya itu ialah seseorang sesudah bersumpah mengatakan insya Allah (jika Allah menghendaki) maka sumpah itu tidak berarti. Suatu waktu terjadi, dikatakan pada Al Manshur: ” Abu Hanifah menyelisihi pamanmu Ibnu Abbas dalam membolehkan pengecualian sumpah” Maka Abu Ja’far bertanya kepadanya tentang hal itu. Kemudian ia menjawab: “Sesungguhnya orang yang membolehkan hal itu berkata bahwasanya pada tengkuk pemimpin-pemimpinmu tidak ada bai’at karena mereka bersumpah untukmu kemudian mereka menyempitkan diri dan mengecualikan maka mereka tidak wajib melaksanakan sumpah”. Hal itu menggembirakan Abu Ja’far dari Abu Hanifah. Lihatlah kepada bai’at Rasulullah s.a.w pada para sahabat beliau, dan beliau menyertainya dengan perkataan seperti ini yang mereka sebut sebagai bai’at (mubaya’ ah) yang menimbulkan perbedaan yang menyolok pada ruh umat dalam dua masa. Pada masa pertama kata-kata: ”saya berbai’at kepadamu: menjangkau atas segala sesuatu sehingga orang yang berbai’at tidak mendapat kesempatan untuk merusak atau menyelisihi karena dia itu mulia dan ia telah mempertaruhkan kemuliaannya untuk memenuhi (janji), sedang para pembai’at dari suku Hijajiah dan Manshuriyah adalah kaum yang tidak dipercaya dalam berjanji dan berakad kecuali apabila mereka diminta pertolongan tentang lenyapnya harta benda, terlepasnya wanita dan memerdekakan hamba sahaya, ikatan seluruhnya itu karena ikatan agama. Dalam pada itu termasuk hal yang pelik manakala sebagian besar akad-akad bai’at yang didalamnya masalah-masalah ini dipergunakan namun orang-orang yang memolikinya tidak memenuhinya. Mereka memiliki berbagai helah dan mengeluarkan mereka dari kesempitan yang menyakitkan mereka.

 

Seperti pembagian-pembagian ini meluaslah ke bab-bab ibadah maka kami jumpai banyak sekali contoh-contoh yang diingkari oleh akal: dan tidak benar adanya, hanya saja mereka-semoga dikasihani Allah-berpendapat untuk meringankan fikiran orang yang sesudah mereka. Oleh karenanya mereka membuat masalah-masalah dan menulis jawabannya.

 

Kitab Al Mabsuth karya Muhammad rahimahullah adalah suatu kitab yang besar sekali dan tertulis dalam enam jilid besar, setiap jilid kira-kira lima ratus lembar dalam ukuran sempurna. Seluruhnya itu berisi masalah masalah yang berkaitan, maka betapa banyak jumlah masalah-masalahnya, apabila Mukhtashar Al Qaduri tentang buku itu ada dua belas ribu masalah sebagaimana dikatakan oleh mereka, maka gerangan seperti apakah Al Mabsuth, sedang Mukhtashar Al Qaduri tidak sampai sepersepuluhnya?. Ini benar-benar sesuatu yang besar dan menunjukkan kadar kesungguhan yang dicurahkan oleh tokoh-tokoh itu.

 

Saya bentangkan dimuka (hadapan) ku satu jilid AlMabsuth karya Muhammad dan satu jilid Al Um karya Asy Syafi’i dalam satu judul, dan berulang kali saya lihat kitab itu silih berganti, maka kesimpulannya adalah sebagai yarg akan saya kisahkan kepada anda: Asy Syafi’i menulis dan menginginkan orang yang membaca untuk mempelajari dan mengajarkan ushul Fiqh yang dari padanya ia mengis-, timbatkan hukum, dan ia menerangkan jalan mempertahankan terhadap sesuatu yang telah dicapai oleh seorang mujtahid dengan ijtihadnya. Oleh karena itu anda lihat, ia mengharapkan pembaca untuk banyak menelaahnya, karena tujuannya bukan sekedar mengetahui jawaban, dan buku itu telah mencukupi.

 

Muhammad rahimahullah menulis kepada murid dimana ia mendiktekan jawaban tentang masalah-masalah maka ja bagaikan lautan dalam mengetahui cabang-cabang. Manakala tergores dalam hatinya suatu cabang nistaya ia menuliskannya dan menulis jawabannya. Oleh karena itu masa yang diperlukan pembaca tidak lama, karena hanya sekedar menjawab masalahnya.

 

Saya tidak ingin untuk memberi hukum dengan benar atau salah dalam memperbanyak cabang-cabang Fiqh. Saya hanya ingin memberi pengertian pada anda bahwa pencabangan masalah-masalah adalah salah satu kekhususan dari periode ini, dan hal itu bukan tindakan para sahabat dan tabi’in, sebab mereka memandang termasuk kemungkaran untuk menjawab sesuatu yang tidak terjadi. Anda segera. melihat kesimpulan itu pada dua periode yang akan kami kemukakan.

 

MASALAH ‘MASALAH HELAH.

 

Sebagian peliknya suatu yang dikisahkan oleh sejarah adalah seorang ahli hukum agama membuat ketentuan masalah-masalah dengan mengajar manusia bagaimana cara menghindarkan diri dari hukum-hukum syara”. Barangkali hal itu dapat difahami dari seorang adfokat yang mengikuti undang-undang buatan manusia dimana ia kadang-kadang menghelah untuk membebaskan manusia yang berdosa dengan membawa undang-undang yang terlena, hal itu dianggap kekuasaannya dan luasnya helah. Apabila ia luas dalam hal itu dan mudah bagi manusia untuk membatalkan hak-hak orang lain dengan helah undang-undang, maka hal itu terhitung dari beberapa bukti atas lemahnya tanggungjawab. Ia tidak membuat helah untuk membatalkan sesuatu yang dipandangnya agama. Maka bagaimana kita terpengaruh apabila kita jumpai seorang beragama yang melakukan hal tersebut pada hukum-hukum agama? Memang, telah kita jumpai hal itu dalam periode ini. Kita jumpai orang yang membuatkan buku untuk manusia yang berjudul Kitab Al-Hiyal (buku tentang helah). Buku itu sampai ke tangan ahli hadits namun diingkarinya sampai-sampai mereka menyebut penyusunnya sebagai syaithan, dan mereka mencapnya dengan cap ma’shiyat, hanya saja penyusunnya tidak dikenal, dan sebagian dari ahli ra’yu dari penduduk Irak sependapat tetapi mereka tidak memperhatikan siapakah orangnya. Sebagian masalahnya menunjukkan atas kelemahan agama orang yang membuatnya, berdasar sangkaan terhadap orang yang memudahkan seorang muslim untuk meninggalkan fardhunya zakat, di mana ja berkata kepadanya: ‘ ” Apabila hampir genap satu tahun maka berikanlah hartamu kepada anakmu atau isterimu sebentar, kemudian diminta lagi, sehingga tahun itu berkurang (tidak genap satu tahun) dan zakatpun tidak wajib”, Contoh ini termasuk masalah helah yang paling sedikit dosanya. Didalamnya terdapat banyak masalah-masalah untuk menggugurkan syuf’ah dari orang yang melepaskan diri dari padanya lebih banyak lagi. Demi umurku, sesungguhnya hutang yang diwarisi oleh wanita yang dicerai suaminya , apabila ia (suaminya) mencerainya pada hal ia sakit adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan tujuannya, yaitu menghindarkan, sungguh lebih jauh dari pada penghelahan dan penipuan. Tetapi kami katakan bahwa memperbanyak masalah-masalah dan membuat aneka ragamnya, itulah yang berlaku sampai orang-orang yang lemah agamanya sempat bertindak di mana mereka membuat helah-helah yang dipanjang lebarkan dari perkataan para imam yang tidak bertahan lama untuk diamalkan masalah-masalah mereka karena ini dan yang semacamnya. Hampir-hampir kami keluar dari apa yang menjadi tujuan kami yaitu sejarah, karena hal tersebut termasuk sebagian dari apa yang diriwayatkan dengan mengherankan, ma ka tidak wajar saya lampaui begitu saja. Dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah telah mengupas panjang lebar tentang masalah ini dalam kitabnya yang terkenal yaitu ”I’lamul Muwaqqi’ in ‘an Rabbil alamin, maka periksalah buku itu, jika anda mau.

Seluruh imam-imam yang kami riwayatkan mempunyai kitab-kitab yang dibukukan dimana kitab-kitab itu menerangkan hukum-hukum yang mereka istimbatkan. Keba nyakan orang yang membukukannya adalah murid-murid mereka atau orang yang menerima dari murid-murid mereka. Sebagiannya. dibukukan dan didiktekan oleh imamimam itu sendiri. Dan disini akan kami terangkan kitabkitab yang dipandang sebagai asas bagi madzhab-madzhab ini.

 

KITAB ‘ KITAB DALAM MADZHAB ABU HANIFAH

 

Orang pertama dari murid-murid Abu Hanifah yang menyusun buku adalah murinya yang besar yaitu Abu Yusuf. Ibnu Nadim menyebutkan dalam Al Fihrasat: “Ia memiliki beberapa kitab tentang ushul dan amali, yaitu kitab shalat, kitab zakat sampai akhir kitab-kitab Fiqh. Ia mempunyai kitab hasil dikte yang berisi tigapuluh enam kitab menurut pembagian Abu Yusuf yang diriwayatkan oleh Bisyr bin Walid seorang hakim, kitab Ikhtilaful Amshar (Perbedaan NegaraNegara Besar), kitab Ar Radd’ala Malik bin Anas (Sanggahan terhadap Malik bin Anas), risalah tentang pajak yang dikirim untuk Ar Rasyid, dan kitab Al Jami’ yang disusun untuk Yahya bin Khalid yang berisi empat puluh kitab dimana di dalamnya disebutkan perbedaan manusia dan pendapat yang diambil olehnya.

 

Dari kitab-kitabnya itu, yang sampai kepada kita hanyalah risalahnya tentang pajak yang ditulis untuk ArRasyid, kitab itu dicetak di Mesir. Pada permulaannya ia berkata: “Sesungguhnya Amirul mu’minin-semoga diberi kekuatan oleh Allah-minta kepadaku untuk menyusun suatu buku yang mencakup tentang pungutan hasil zakat, pajak, dan sebagainya yang mana hal itu wajib difikirkan dan dilaksanakannya. Dengan demikian Ar Rasyid menghilangkan kezaliman terhadap rakyatnya dan memperbaiki urusan mereka. Semoga Allah ta’ala memberi pertolongan kepada Amirul mu’minin, memberikan kebenaran dan bantuan atas kehendaknya itu, semoga Allah menyelamatkannya dari apa yang dikhawatirkan dan ditakutinya. Ia minta kepadaku untuk menerangkan sesuatu yang ditanyakan kepadaku untuk diamalkannya. Dan saya telah mengupas dan menerangkan hal itu”. Kitab tersebut adalah termasuk setinggi-tinggi dan sebaik-baik hasil tulisan dan kitab tersebut termasuk salah satu peninggalan dari masa itu. Dari kitab-kitabnya yang sampai kepada kami adalah kitab Ikhtilafu Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila (Perbedaan Pendapat antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila). Didalam nya disebutkan banyak masalah-masalah yang diperselsihkan oleh dua imam itu. Kadang-kadang menyetujui Abu Hanifah dan kadang-kadang ia mengambil pendapat Ibnu Abi Laila. Dan Asy Syafi’i telah mengambil kitab itu dan setelah ia meriwayatkan pendapat-pendapat imam-imam yang tiga (Abu Hanifah, Ibnu Abi Laila dan Abu Yusuf), ia menyebutkan pendapat yang diunggulkannya. Boleh jadi ia memilih pendapat lain untuk dirinya selain apa yang mereka riwayatkan, dan inilah masalah-masalah dari kitab ini, sehingga jelaslah cara istimbat yang berasaskan ra’yu:

 

JAMINAN DARI TUKANG.

 

  1. Apabila seseorang menyerahkan kain kevada penjahit dan kain itu dibuat baju luar, lantas pemilik kain itu berkata: “Saya menyuruhmu untuk kemeja”, dan penjahit itu berkata: Kamu menyuruhku untuk baju luar”, maka Abu Hanifah berkata: “Perkataan (yang diterima ) adalah perkataan pemilik kain dan penjahit itu menanggung harga kain”, dan pendapat itu diambil oleh Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Perkataan (yang diterima) adalah perkataan si penjahit”. Seandainya kain itu hilang di tempat penjahit, maka menurut Abu Hanifah tidak ada tanggungan atasnya (penjahit -pen), atau tukang penatu atau tukang celup dan tukang-tukang lain yang serupa, kecuali pada sesuatu yang dirusakkan mereka. Ibnu Abi Laila berkata: “Mereka menanggung karena barang itu rusak di tempat mereka, meskipun mereka tidak sengaja merusakkannya”. Abu Yusuf berkata: “Mereka menanggung kecuali datang hal-hal yang diluar kemampuannya”. Asy Syafi’i berkata: ”Barang siapa yang berpendapat buruh-buruh itu wajib menanggung, maka ia mengkiaskan hal itu atas orang yang meminjam adalah menanggung” dan ia berkata: “Pinjaman itu ditanggung karena adanva manfa’at bagi orang yang meminjam, ia menanggungnya sampai menunaikannya dengan selamat”. Dan Syuraih berpendapat adanya penanggungan binatu maka seorang tukang binatu yang terbakar rumahnya menanggung, dan berkata: ” Kamu minta ganti kepadaku padahal rumahku terbakar?”, Syuraih berkata: “Bagaimana pendapatmu seandainya rumahnva terbakar, engkau biarkan ongkosmu?” Barang siapa yang berpendapat mereka tidak menanggung, maka ia mengkiaskannya pada titipan, karena telah tetap dari Atha’ bahwasanya belian berkata: “Tidak ada tanggungan (iaminan) atas pekerja dan juga tidak atas buruh”. Adapun tindakan-tindakan yang merugikan yang dilakukan oleh buruh dan tukang maka tidak ada masalah di dalamnya, mereka menanggungnya sebagaimana orang yang menerima titipan manakala ia berbuat sesuatu yang merugikan titipannya, karena jinayah (tindak pidana) itu tidak gugur dari seseorang. Demikian juga seandainya mereka sengaja maka mereka menanggung. Ar Rabi’ berkata, Asy Syafi’i berpenda pat menurut yang saya lihat bahwa para pekerja itu tidak menanggung kecuali kesalahan yang dilakukan oleh mereka dan demikian ini tidaklah masyhur karena khawatir terhadap para tukang.

 

RUSAKNYA BARANG DAGANGAN DI TEMPAT PEMBELI PADA MASA KHIYAR’

 

  1. Apabila seseorang membeli barang dagangan kepada seorang penjual dengan khiyar sehari, dan barang itu diambil oleh pembeli lalu barang tersebut rusak itu diambil oleh pembeli lalu barang tersebut rusak ditempat pembeli, maka Abu Hanifah berpendapat: ”Pembeli itu menanggung harganya karena ia mengambilnya atas dasar jual beli”. Demikian juga pendapat Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Ia aman dalam hal itu”. Seandainya khiyar itu ada pada orang yang membeli dan barang itu rusak ditempatnya maka wajib atas pembeli untuk membayar harga yang telah disetujui keduanya. ” Asy Syafi’i berkata: ” Ia menanggung harganya,” Sesungguhnya kami mencegah untuk menanggung harganya karena jual beli itu belum sempurna dan kami mencegah melemparkan tanggungan dari padanya karena ia mengambilnya atas dasar jual beli, dan ia mengambil ganti dari pembeli maka kami tidak menjadikan jual beli kecuali tanggungan, dan tidak ada jalan ia aman (tidak menanggung) di dalamnya, orang itu hanyalah aman (tidak menanggung) dalam sesuatu yang tidak dimilikinya dan tidak mengambil kemanfaatan baik yang segera maupun lambat-laun. Ia menahannya karena kemanfaatan pemiliknya bukan karena kemanfaatan dirinya, dalam hal itu sama saja, ia selamat (tidak menanggung) didalamnya karena seseorang itu hanyalah selamat dari sesuatu yang tidak dimilikinya dan kemanfa’atan khiyar itu tidak diperoleh oleh penjual atau pembeli, karena jual beli itu tidak sempurna sampai rusak.

 

JUAL BELI PAKSAAN.

 

  1. Apabila seseorang dikekang karena hutangnya dan hakim menetapkannya sebagai failit lantas didalam penjara ia menjual, membeli, memerdekakan, bersedekah atau berhibah maka Abu Hanifah berkata: ”Seluruhnya ini boleh, dan sedikitpun dari hartanya yang dalam hutang tidak dijual, dan sesudah dinyatakan muflis (pailit) tidak mengapa. Tidakkah engkau lihat kadang-kadang pada suatu hari seseorang itu pailit dan besoknya ia memperoleh harta?”. Ibnu Abi Laila berkata: ”Sesudah dinyatakan pailit ia tidak diperkenankan jual-belinya, memerdekakannya, pemberiannya dan tidak juga sedekahnya, namun ia menjual hartanya dan membayar pada orang-orang yang berpiutang”, Dan Abu Yusuf berkata seperti perkataan Ibnu Abi Laila kecuali memerdekakan (hamba sahaya). Asy Syafi’i berkata: ” Apabila ia berusaha meninggalkan orang yang menghutangi dan telah tetap (sah) atasnya atau ia mengakui sedikit dari padanya maka seyogya bagi hakim untuk menahan di tempatnya, dan ia berkata: ”’Sesungguhnya saya telah menahannya sehingga ia menunaikan hutangnya, dan saya telah menyatakan pailit”. Kemudian ia menjumlah hartanya dan menyuruhnya untuk menawarkannya kemudian hakim melaksanakan penjualannya dengan harga tertinggi sehingga ia menunaikan hutangnya. Apabila ia tidak memiliki sesuatu maka ia tetap dalam tahanan.

 

TENTANG SYUF’AH.

 

  1. Apabila seseorang membeli sebidang tanah yang ada satu bangunannya, kemudian orang yang berhak syuf’ah (syafi”) menuntutnya dengan syuf’ah maka Abu Hanifah berkata: ”Syafi’ itu mengambil sebidang tanah, dan pemilik bangunan merusak ba, ngunan itu”. Ini adalah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila memberikan tanah dan bangunan itu untuk syafi’ dan wajib atasnya untuk membayar harga bangunan dan harga tanah yang telah dibelinya jika tidak demikian, maka tidak ada syufi’ah baginya”. Asy Syafi’i berkata: “Apabila seseorang membeli sebagian dari satu bidang tanah lalu dibaginya dan dibangun, kemudian syafi’ menuntutnya dengan syuf’an, maka dikatakan — kepadanya: “Jika kamu mau bayarlah harga yang untuk membelinya, demikian juga harga bangunan itu pada hari ini. Jika kamu mau maka tinggalkanlah syuf’ah”. Hanya inilah, karena ia membangun tidak melampaui batas maka tidak berhak atas orang yang meminjamkan tanah untuk merobohkan bangunan itu.

 

SYUF’AH TETANGGA.

 

  1. Abu Hanifah berkata: “Syuf’ah itu bagi persekutuan yang tidak dapat dibagi, dan sesudah itu bagi persekutuan yang dapat dibagi dan hanya mempunyai satu jalan setelah itu bagi tetangga yang berdampingan. Apabila dua tetangga berkumpul dan pendampingannya sama, maka mereka sekutu dalam syuf’ah. Ibnu Abi Laila sependapat dengan Abu Hanifah sehingga Amirul mu’minin Abul Abbas menulis kepadanya menyuruh untuk memberi keputusan tentang syuf’ah hanya kepada persekutuan yang tidak dapat dibagi. Maka ia mengambil pendapat itu dan memberi keputusan syuf’ah hanya kepada persekutuan yang tiaak dapat dibagi. Ini adalah pendapat penduduk Hijaz dan pendapat Asy Syafi’i. “

 

MENDAMAIKAN SUATU PENGINGKARAN.

 

  1. Abu Hanifah berkata:”Mendamaikan itu boleh apabila siterdakwa mengingkari” . Demikian itu pula pendapat Abu Yusuf, dan Ibnu Abi Laila tidak memperbolehkannya. Abu Hanifah berkata: “Bagaimana hal ini tidak boleh?. Saya memperbolehkan perdamaian atas suatu pengingkaran, Jika terjadi pengakuan, maka tidak ada perdamaian”. Asy Syafi’i berkata: ”Qiyas terhadap perdamaian ini batal dari beberapa segi, kami hanya memperkenankan perdamaian dalam harga halal yang dikenal dan diperbolehkan oleh jual-beli. Apabila terjadi demikian, maka demikian itulah menurut kami. Menurut orang yang memperbolehkan perdamaian, maka perdamaian itu merupakan pengganti dan pengganti itu hanya dari sesuatu yang sesuai antara pengganti dan yang diganti hanya dalam hal ini terdapat atsar yang pasti, padahal atsar itu lebih utama dari pada qiyas. Dan saya tidak lebih mengetahui terhadap atsar yang pasti sepertinya.

 

TENTANG TANGGUNGAN DAN PEMINDAHAN (HIWALAH).

 

  1. Abu Hanifah mengatakan tentang tanggungan bagi peminjam karena hutangnya, mana yang dikehendaki oleh penanggung atau pemilik modal. Dalam hiwalah tidak boleh mengambil sesuatu yang telah dipindahkan karena ia telah melepaskannya, itulah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Tidak berhak baginya untuk mengambil harta pokok pada keduanya, dimana sekiranya penanggung itu menerimanya, maka ia telah melepaskan diri dari harta, kecuali harta itu telah berada di pihak penanggung atas harta pokok. Jika masing-masing dari keduanya itu menanggung terhadap temannya, maka baginya untuk mengambil mana yang dikehendaki dari perkataan keduanya. Asy Syafi’i berkata: ”Bagi orang yang hutang untuk mengambil mana yang dikehendaki dari keduanya dalam tanggungan yang mutlak. Jika memakai syarat maka bagi peminjam agar mengambil penanggung atas apa yang disyaratkan baginya bukan sesuatu yang tidak disyaratkan baginya. Dalam pemindahan (hiwalah) adalah masuk akal bahwasanya hiwalah itu memindahkan hak seseorang atas orang lain. Apabila hiwalah itu telah berpindah dari seseorang, maka tidak boleh untuk kembali atasnya, kecuali dengan memperbaharuji pengembalian hak itu atasnya.

 

TENTANG HUTANG

 

  1. Apabila seseorang dalam sakit wafatnya mengakui hutang dan ia mempunyai hutang dengan beberapa saksi yang membenarkannya, namun ia tidak dapat memenuhinya, maka Abu Hanifah berkata: Dimulai dengan hutang yang sudah diketahui kebenarannya. Jika hartanya lebih , maka untuk hutang yang telah diakuinya dalam sakit secara singkat. Tidakkah anda lihat bahwa ketika ia sakit ia tidak memiliki hartanya sedikitpun dan ia tidak boleh berwasiat, karena hutang yang ada padanya, demikian juga pengakuannya terhadap hutang. Ini adalah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Hutang itu sesuai dengan apa yang diakuinya, sesuatu yang diakuinya ketika sehat dan sakit adalah sama”. Itu adalah pendapat Asy Syafi’i. Ia berkata: “Tidak boleh kecuali ini, atau membatalkan ikrar seperti ikrar orang yang dikekang. Ada kalanya ia menduga bahwa ikrarnya wajib baginya kemudian orang-orang yang memberinya hutang tidak dapat dibayar, ini adalah suatu penyelewengan hukum (hukum yang dibuat-buat). Oleh karena itu hendaknya dimulai dengan membayar hutang di kala sehat dan ikrar (pengakuan) di kala sehat. Jika ia mempunyai hutang di kala sakit dengan adanya saksi maka hutang jtu supaya dibayar, jika tidak ada saksi maka tidak di bayar. Jika seseorang itu mempunyai hutang di kala sehat dan sakitnya maka ia tidak boleh berwasiyat dan tidak diwaris sebelum orang-orang yang mempunyai hak (orang-orang yang memberi hutang) dibayar haknya. Sekali waktu berupa hutang yang dikembalikan oleh ahli warisnya dan sekali waktu oleh orang orang yang diberi wasiyat, sedang yang diluar hutang maka tidak dibayarnya.

 

  1. Apabila seorang ahli waris mengakui hutang dan bagiannya cukup untuk memenuhi hutangnya itu, maka Abu Hanifah berkata: ”Orang yang berhutang itu minta dipenuhi dari waris yang mengakui bahwa seluruh hartanya dari bagiannya, karena sesungguhnya tidak ada warisan baginya sehingga hutang itu ditunaikan”, Itu adalah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berpendapat: ”Hutang yang wajib dibayar olehnya adalah menurut kadar warisan yang menjadi bagiannya. Seorang saksi dari kalangan mereka adalah menduduki orang yang mengakui, jika mereka itu dua orang, maka persaksiannya dapat diterima dalam seluruh wariszn menurut perkataan keduanya, apabila keduanya adil. Jika keduanya tidak adil, maka hal itu pada bagian keduannya, menurut pendapat yang diterangkan oleh Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila. Asy Syafi’i menceriterakan dua pendapat dari teman-temannya, sedang ia tidak menyebutkan pendapatnya sendiri.

 

SUMPAH.

 

  1. Apabila seseorang mendakwa dengan dakwaan terhadap seseorang dan membawa saksi, maka hakim tidak menyumpah terhadap pendakwa. Ibnu Abi Laila berkata: ”Sumpah itu atas pendakwa serta saksi-saksi, jika tidak ada saksi, maka ia tidak disumpah dan sumpah itu dikenakan pada si terdakwa. Jika ia berkata: “Saya mengembalikan sumpah itu pada pendakwa, maka sumpah itu tidak dikembalikan atasnya kecuali ia menuduhnya, maka dikembalikan atasnya”. Asy Syafi’i berkata: ”’Pendakwa serta dua orang saksinya tidak disumpah, jika ia tidak mempunyai saksi, maka si terdakwa kami sumpah. Jika ia bersumpah maka ia terlepas (dari tuduhannya itu). Jika ia enggan, maka kami katakan kepada pendakwa: “Kami tidaklah memberikan sesuatu kepadamu karena keengganannya, kecuali dalam keengganannya itu kamu bersumpah, Jika kamu bersumpah maka kami beri, jika kamu enggan maka kami tidak akan memberikan kepadamu”.

 

TENTANG WARISAN.

 

  1. Apabila seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan saudara seayah-seibu dan kakek, maka Abu Hanifah berkata: “Seluruh hartanya untuk kakek, karena ia menduduki kedudukan ayah dalam seluruh warisan”. Ibnu Abi Laila berkata: ”Separoh untuk saudaranya dan separoh untuk kakek”. Itu pendapat Asy Syafi’i. Ia berkata: Dua pendapat itu bukanlah qiyas, hanya saja melemparkan saudara lakilaki karena terdapat kakek, adalah lebih jauh menurut qiyas dari pada menetapkan saudara bersama kakek. Sebagian orang yang sependapat dengan pendapat ini berkata: ”’ Kami lemparkan saudara laki-laki dengan adanya kakek dikarenakan tiga hal (yaitu):

 

  1. Dengan kakek kamu menghijab (menghalangi sehing ga tidak mendapatkan warisan – pen) terhadap anak anak ibu.
  2. Kedudukan ayah, di mana kamu tidak mengurangi dari 1/6.

c, Kedudukan ayah di mana kamu panggil kakek itu ayah.

 

Asy Syafi’i berkata sebagai jawaban terhadap pendapat tersebut: ”Kami menghijab anak-anak ibu karena ada hadits, bukan karena mengqiyaskan kakek kepada ayah. Kami menghijab anak-anak ibu karena anak perempuan dari anak laki-laki ke bawah. Meskipun kedudukan ini sesuai dengan kedudukan ayah, namun kami tidak memutuskan kepadanya, karena kami dan engkau tidaklah menempatkan kedudukan ayah di tempat lain. Adapun kami tidak menguranginya dari 1/6 , sesungguhnya kami tidak menguranginya karena adanya hadits dan kami tidak mengurangi kakek dari 1/6. Bagaimana pendapatmu tentang kami dan kamu, untuk menempatkan kakek di tempat ayah jika penempatan itu sesuai pada suatu keadaan?

 

Adapun panggilan ayah, kita telah menetapkan bahwa antara kita dan nabi Adam dapat memanggil ayah. Jika hal itu demikian dan di kalangan mereka tidak ada ayah yang lebih dekat, maka ia tidaklah mewarisi. Demikian juga seandainya dia kafir sedang orang yang menerima warisan seorang muslim, atau orang yang membunuh dan orang yang diwarisi itu orang yang dibunuh atau orang yang mewarisi itu seorang merdeka dan ayahnya adalah hamba. Kami mewarisi mereka hanya karena ada hadits, bukan karena nama. Kemudian jelaslah pendapat bahwa terhalangnya saudara adalah lebih jauh menurut qiyas. Ia berkata: ””’ Bagaimana pendapatmu apabila kakek dan saudara laki-laki menuntut warisan mayit? Dua orang itu dekat dengan satu kerabat, Kakek berkata: ”Saya adalah ayah dari ayah si mayit” dan saudaranya berkata: “Saya adalah anak laki-laki ayah si mayit”, Jika ayah si mayit diperkirakan mayit, maka yang lebih utama untuk menerima warisan adalah anaknya lelaki, bukan ayahnya karena anak laki-laki itu berhak 5/6 harta tinggalan dan ayah berhak 1/6 nya. Maka bagaimana saudara terhalang oleh kakek? Dan saudara laki-laki apabila meninggal adalah lebih utama dengan banyaknya warisan dari pada kakek. Oleh karena itu seyogyanya apabila dikehendaki hijab maka saudara laki-laki menghijab kakek, meskipun menurut qiyas terdapat suatu pengertian bahwa saudara laki-laki itu mendapat 5/6 dan kakek mendapat 1/6. Kemudian ia berkata: “Saudara-saudara laki-laki itu mendapat bagian yang pasti (furudh) dalam kitabullah dan sunnah nabi-Nya, dan tidak demikian halnya kakek. Jadi menghijab saudara laki-laki dengan kakek adalah melemparkan yang lebih berat dengan yang lebih lemah dari segala segi.

 

PERSELISIHAN TENTANG BARANG—BARANG RUMAH TANGGA

 

  1. Apabila seseorang meninggal dunia meninggalkan isteri dan barang-barang di rumahnya, maka Abu Hanibah berkata: ”’Barang-barang orang laki-laki untuk orang-orang laki-laki dan barang-barang orang perempuan untuk isterinya. Barang-barang yang untuk orang laki-laki dan perempuan, maka itulah sisa dari keduanya. Demikian juga apabila bercerai, maka sisanya untuk suami, itu adalah pendapat Abu Yusuf. Kemudian sesudah itu ia berkata: ”’Bagi isteri hanyalah sesuatu yang dipersiapkannya. Dalam seluruh hal itu sepertiitu,, karena ada seorang pedagang laki-laki yang memiliki harta benda orang perempuan pada dagangannya, atau tukang atau tukang gadai pada orang lain, Ibnu Abi Laila berkata: ” Apabila seorang laki-laki meninggal atau menceraikan, maka seluruh barangbarang rumah tangga adalah milik laki-laki, kecuali baju rantai, kerudung dan lain-lain, melainkan ada saksi atas tuduhan bahwa sesuatu itu adalah milik salahsatunya. Seandainya ia menceraikan di rumahnya, maka urusan itu demikian juga menurut pendapat mereka seluruhnya. Asy Syafi’i berkata: ” Dalam seluyuh perbedaan pendapat jika ada saksinya, maka sesuatu itu baginya. Jika ada saksi, maka qiyas yang tidak dapat ditolak oleh seseorang secara ijma’ bahwa seseorang yang membuat bangunan dan ia tidak diharta benda ini di tangan keduanya bersama-sama dua perdua sebagaimana dua orang berselisih tentang harta benda di tangan keduanya seluruhnya, maka di antara keduanya mendapat separoh sesudah sumpah.

 

PINJAMAN

 

  1. Apabila seorang laki-laki meminjamkan tanah kepada beri batas waktu, kemudian terlintas bagi orang tersebut untuk mengeluarkannya sesudah ia membuat bangunan itu, maka Abu Hanifah berkata: ”’ Dikatakan kepada orang yang membangun: ”Rusaklah bangunanmu”. Itu adalah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Orang yang meminjamkan tanah itu mengganti harga bangunan dan bangunan itu untuk orang yang memberi pinjaman. Jika ia telah memberi batas waktu kemudian ia mengeluarkan sebelum batas waktunya maka ia mengganti harga bangunan”. Ini menurut pendapat mereka seluruhnya, demikian juga Asy Syafi’i.

 

KEPUTUSAN

 

  1. Apabila seorang hakim di kantornya menetapkan suatu pengakuan dan persaksian para saksi, kemudian hal itu dihapuskan dan tidak menyebutkannya, maka Abu Hanifah berkata: “Tidak seyogya baginya untuk memperkenankannya”. Ibnu Abi Laila memperkenankannya dan itulah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila tidak memperkenankannya sehingga ia menetapkan disisinya, meskipun ia menyebutkannya. Asy Syafi’i berkata: ”Apabila seorang hakim di kantornya mendapatkan tulisan yang tidak dIraqukan lagi bahwa tulisan itu tulisannya atau tulisan sekretarisnya dengan pengakuan seorang kepada orang lain atau tetapnya hak dengan suatu segi yang tidak ada hak baginya untuk memutuskannya sehingga ia menyebutkannya atau ia menyaksikan di sisinya, sebagaimana tidak boleh apabila ia mengetahui tulisannya dan tidak menyebutkan saksi untuk menyaksikannya.

 

TENTANG NIKAH

 

  1. Abu Hanifah berkata: “Mas kawin seorang wanita adalah sebesar mas-kawin saudara-saudaranya perempuan dan anak-anak perempuan pamannya”. Ini adalah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Orang orang perempuan itu adalah ibu dan bibinya”. Asy Syafi’i berkata: Orang-orang perempuan itu adalah orang-orang perempuan ‘ashabahnya, yaitu saudara perempuannya, anak-anak perempuan pamannya dan bukan ibu serta bibi-bibinya apabila tidak ada anakanak perempuan ‘ashabahnya dari laki-laki”

 

  1. Apabila seorang laki-laki menjodohkan anak perempuannya yang masih kecil dengan anak laki-laki saudaranya yang masih kecil pula yang dalam asuhannya, maka Abu Hanifah berkata: Perkawinan itu ja-iz ( diperbolehkan) dan anak tsb. boleh memilih apabila telah dewasa”. Itu adalah pendapat Abu Yusuf, kemudian ia mencabut pendapat memilih itu. Ibnu Abi Laila berkata: ”Hal itu tidak boleh sehingga ia dewasa” Asy syafi’i berkata: ” Yang menikahkan anak-anak kecil hanyalah bapak atau kakek jika tidak ada ayah. Apabila salah seorang selain mereka (ayah dan kakek) menikahkan mereka, maka nikah itu di-fasakh dan keduanya tidak ada hak waris mewarisi”.

 

Sebagian karya Abu Yusuf yang juga sampai kepada kami ialah kitab Sair Al Auza’i, suatu kitab yang di dalam nya terdapat masalah-masalah tentang jihad di mana dua imam yaitu Abu Hanifah dan Al Auza’i berbeda pendapat. Kebanyakan ia membela Abu Hanifah rahimahullah. Asy Syafi’i telah meriwayatkan kitab itu dalam Al Um dan pada setiap akhir masalah ia mengiringi dengan pendapatnya. Biasanya ia membantu Al Auza’i dan jawabannya kebanyakkan berpedoman kepada As Sunnah. Inilah di antara beberapa masalahnya agar anda mengetahui bagaimana cara mereka mengeritik dalil-dalil As Sunnah.

 

  1. Abu Hanifah ra. berkata: ” Pengendara kuda diberi dua bagian, yaitu sebagian untuknya dan sebagian untuk kudanya dan pejalan kaki diberi satu bagian”. Al Auza’i berkata: “Rasulullah saw. memberi bagian kepada pengendara kuda dua bagian dan bagi pemiliknya satu bagian. Orang-orang muslim sesudah Rasulullah saw. tidak berbeda pendapat dalam hal itu. Abu Hanifah berkata: “Kuda perang dan kuda angkutan adalah sama”. Al Auza’i berkata: ”lmam-imam kaum muslimin pada masa dahulu sampai meraja-klanya fitnah adalah tidak memberi bagian pada kuda angkutan”, Abu Yusuf berkata: “Abu Yusuf berkata: ” Abu Hanifah tidak suka untuk mengutamakan binatang atas seorang muslim dan dalam pembagian itu ia tidak suka menjadikan bagian binatang lebih banyak dari pada bagian seorang muslim. Adapun kuda angkutan, maka saya kira tidak seorangpun yang tidak memahaminya dan tidak dapat membedakan antara kuda peyang dan kuda angkutan. Termasuk bahasa Arab yang terkenal dan bangsa Arab tidak berbeda pendapat untuk menamakannya “al khail=kuda” Barangkali seluruh kuda angkutan atau sebagian besarnya, dan padanya ada kuda campuran juga. Dan termasuk yang kita ketahui bahwa dalam peperangan, kuda angkutan adalah lebih tepat dari pada kebanyakan kuda perang dalam lembutnya belas kasihan, terpimpin dan kebaikannya dari hal-hal yang dapat menunjang tujuan.

 

Atas pendapat inilah Al Auza’i berpendapat dan para imam muslimin yang terdahulupun berpendapat demikian ini, sebagaimana disifatkan dari penduduk Hijaz (mereka memutuskan dengan keputusan, maka mereka ditanya: “Dari siapa?” mereka menjawab: ”Dengan inilah sunnah telah berjalan). Barang kali hal itu adalah keputusan yang dibuat oleh pekerja pasar atau pekerja lain atau pendapat sebagian syaikhsyaikh Syam yang tidak merasakan wudhu”, tasyahud dan ushul Fiqh, maka Al Auza’i berkata: ” Dengan inilah sunnah berjalan”. Abu Yusuf berkata: “Telah sampai kepadaku dari Rasulullah saw. lewat salah seorang sahabat beliau bahwasanya beliau memberi bagian kepada pengendara kuda tiga bagian dan bagi pejalan kaki satu bagian”. Pendapat inilah yang diambil oleh Abu Yusuf. Asy Syafi’i rahimahullah berpendapat dan pendapat itu adalah apa yang dikatakan oleh Al Auza’i tentang penunggang kuda, bahwa penunggang kuda adalah tiga bagian dan dalam hal ini ia meriwayatkan hadits Ibnu Umar. Adapun pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari Abu Hanifah bahwasanya ia berkata: Saya tidak mengutamakan binatang dari pada seorang muslim, seandainya dalam hal ini tidak ada hadits dari Nabi saw. niscaya dikalahkan hujjahnya sehingga dapat diselisihi karena kata-katanya: “saya tidak mengutamakan binatang atas seorang muslim” terdapat kekeliruan dalam dua segi, yaitu: Bahwasanya apabila beliau memberikan dua bagian karena kudanya, maka hal itu mengutamakan atas seorang muslim, karena seorang muslim hanya diberi satu bagian. Seyogya baginya untuk tidak menyamakan binatang dengan seorang muslim. Pengertiannya jalah pengendara kuda itu diberi satu bagian dan dua bagian karena kudanya, sebab Allah ‘azza wa jalla ( Yang Maha Mulia dan Maha Besar) memesankan untuk mempergunakan kuda, sebagaimana firman-Nya:

 

Artinya:

”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang…..

 

Apabila Rasulullah memberi mereka dengan apa yang telah kami sebutkan, maka dua bagian kuda itu juga untuk penunggangnya, bukan untuk kudanya, karena kuda itu tidak dapat memiliki sesuatu bahkan penung:gangnyalah yang memilikinya dengan nyata serta pembiaannya dalam peperangan dan sesuatu yang karenanya Rasullah saw. memberikan bagian tersebut. Adapun Al Auza’i mengutamakan kuda atas unta sebenarnya kata-kata Al’khail adalah mengumpulkan keduanya. Sesungguhnya Abu Sufyan bin ‘Uyainah menceriterakan kepada kami dari Al Aswad bin Qais dari Ali bin Agmar berkata: ”Kuda di Syam kuat lari dan pada hari itu saya jumpai kuda dan pada suatu pagi saya jumpai unta, Ibnu Mundzir bin Abu Hamshah Al Hamdani mengutamakan (melebihkan bagian) kuda atas unta dan ia berkata: ”Saya tidak menjadi kan apa yang saya jumpai sebagai sesuatu yang belum dijumpai dan hal itu sampai kepada Umar kemudian ia berkata: “Ibunya mencarikan nafkah pada orangOrang yang ditinggalkan, sungguh saya telah memperingatkannya dan lewatkan apa yang dikatakan”. Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Tentunya hal ini mereka meriwayatkan beberapa hadits, seluruhnya atau sebagiannya lebih shahih dari pada sesuatu yang dipergunakan hujjah oleh Abu Yusuf. Jika sesuatu yang dibuat hujjah itu hujjah, maka hujjah itu di atasnya, tetapi masalah ini terhenti. Pendapat yang memandang adanya persamaan. antara kuda Arab, kuda angkutan dan kuda campuran seandainya kami menetapkan seperti ini niscaya kami tidak menyelisihinya.

 

  1. Abu Hanifah berkata: “Apabila seorang laki-laki pada waktu di kantor berjalan kaki dan masuk ke daerah musuh untuk berperang dengan berjalan kaki, kemudian ia membeli kuda untuk berperang, dan waktu dibaginya rampasan perang ia sebagai pengendara kuda, maka ia hanya mendapat bagian orang yang berjalan kaki”. Al Auza’i berkata: Pada masa Rasulullah saw. kaun muslimintidak mempunyai kantor dan Rasulullah saw. memberi bagian kepada kuda dan berturut-turut para imam kaum muslimin demi’kian juga.” Abu Yusuf berkata: ”Pada pendapat yang disebutkan oleh Al Auza’i tidak ada hujjah dan kami juga memberi bagian kepada pengendara kuda sebagaimana ia sebutkan. Apakah ada atsar yang disandarkan kepada orang-orang yang terpercaya bahwa Rasulullah saw. memberi bagian kepada seorang laki-laki yang berperang bersama beliau dengan berjalan kaki seperti bagian pengendara kuda kemudian ia meminjam atau membeli seekor kuda lantas berperang pada sesuatu peperangan, demikianlah ia menafsirinya. Banyak lagi hal-hal yang sedemikian itu. Bagaimana pendapatmu seandainya ja berperang dengan seekor kuda pada sebagian hari kemudian ia menjualnya kepada orang lain lantas ia berperang sesaat, apakah masing-masing dari mereka diberi bagian seperti bagian penunggang kuda, karena kudanya itu hanyalah seekor saja? Ini tidak lurus. Perkara itu didasarkan atas kepayahan dikala dia memasukinya. Barang siapa yang masuk ke daerah musuh dengan menunggang kuda, maka dia sebagai penunggang dan barang siapa yang masuk dengan berjalan kaki, maka dia sebagai pejalan. Menurut catatan di kantor-kantor semenjak Umar bin Khathab ra. sampai saat ini. Asy Syafi’i rahimahullah berpendapat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al Auza’i. Abu Yusuf menduga bahwa sunnah berjalan menurut apa yang ia katakan, ia mencela Al Auza’i karena menyatakan As sunnah telah berjalan tanpa riwayat dan khabar yang shahih, kemudian ia berkata: “Urusan itu adalah sebagaimana yang telah dijalankan oleh kantor sejak masa Umar, ia tidak menyelisihi bahwa kantor itu baru diadakan pada masa Umar. Pada masa Rasulullah saw. tidak ada kantor demikian pula pada masa Abu Bakar dan permulaan Khalifah Umar dan sesungguhnya Umar baru membuat kantor ketika banyak harta benda.

 

As sunnah itu hanyalah bagi Rasulullah saw, bahwasanya beliau memberi bagian kepada pengendara kuaa tiga bagian dan bagi pejalan kaki satu bagian.

 

Dalil ini adalah menurut pendapat yang dikatakanoleh Al Auza’i, karena menurutnya yang diberi bagian hanyalah orang yang datang dalam perang. Maka apabila ia tidak datang ke peperangan dengan berkuda, maka bagaimana kudanya diberi bagian padahal dirinya sendiri saja tidak diberi. Adapun pendapatnya, apabila orang ini berperang satu hari dan oranglain satu hari, apakah masing-masing dari mereka diberi bagian dengan bagian orang yang berkuda?, Maka ia tidak diberi karena kudanya pada dua tempat sebagaimana ia diberi seandainya berperang pada dua tempat, kecuali ada rampasan dimana sedikitpun ja tidak diberi pada dua tempat, karena bagian itu untuk pengendara kuda yang memilikinya, bukan untuk orang yang meminjam kuda sehari dua hari. ” Apabila pemilik itu mendatangi peperangan dengan berkendara kuda, seandainya kami membagi di antara mereka dengan bagian orang yang berkuda, maka kami tidak menambahnya atas bagian kuda sebagaimana seandainya kami memberi bagian bagi orang yang berjalan dan meninggal maka ahli warisnya tidak ditambah dari satu bagian. Demikian juga seandainya bagiannya dikeluarkan dibagi-bagi untuk unta. Sebagian orang yang berpendapat dengan madzhabnya berkata: ”Sesungguhnya saya memberi bagian kepada pengendara kuda apabila ia memasuki daerah musuh dengan berkuda, karena perongkosan yang dipikulnya di negeri Islam”. Kami berkata: Bagaimana pendapat-: mu jika ia membeli kuda sesaat sebelum kantor menugaskan ke negeri musuh yang terdekat, ia berkata: ”ja menjadi penunggang kuda, apabila ia telah ditetapkan di kantor”. Kami berkata: Bagaimana pendapatmu seandainya seorang bangsa Khurasan atau Yaman menuntun seekor kuda dari negerinya, sehingga ia sampai ke negeri musuh lantas kudanya mati sebelum da’wah itu berakhir?” Ia berkata: ”Ia tidak diberi bagian orang yang berkuda”. Maka kami katakan : ”Perongkosan dua orang ini dalam kuda telah dihapuskan, padahal dua orang itu lebih banyak biayanya dari pada orang yang membeli kuda sesaat sebelum kantor menetapkan.

 

  1. Abu Hanifah berpendapat tentang seseorang yang mem bawa dua ekor kuda, ia hanya diberi salah satunya. Al Auza’i berkata: “Dua ekor kuda itu diberi bagian dan kuda yang lebih banyak dari dua ekor kuda tidak diberi bagian”. Itu pendapat ahli ilmu dan itulah pula yang dilaksanakan oleh imam-imam. Abu Yusuf berkata: “Tidak sampai kepada kami dari Rasulullah saw dan tidak pula dari salah seorang sahabat bahwa beliau memberi bagian kepada dua ekor kuda, kecuali satu hadits. Sedang satu hadits menurut kami adalah syadz dan tidak kami ambil. Adapun perkataannya: “Dengan itulah para imam melaksanakan, dan atasnya pula pendapat ahli ilmu”. Ini adalah seperti pendapat penduduk Hijaz dan demikianlah jalannya Assunah. Ini tidak diterima dan juga tidak dimengerti. Sebagian imam yang mengamalkan ini dan seorang alim yang mengambil pendapat ini sehingga kami lihat, apakah dia ahli untuk dinilai bahwa ja dapat dipercaya ilmunya atau tidak. Bagaimana ia memberi bagian untuk dua ekor kuda dan tidak memberi bagian kepada tiga ekor kuda, dari segi apa? Bagaimana ia memberi bagian kepada kuda yang diikat di rumahnya pada hal ia tidak ikut berperang, yang berperang hanyalah orang lain, maka anda mengetahui apa yang kami sebutkan dan apa yang dikatakan dan dipikirkan oleh Al Auza’” Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Saya menjaga terhadap orang yang saya jumpai dari teman-teman kami yang kamu mendengar sendiri dari padanya, bahwa mereka tidak memberi bagian kecuali untuk seekor kuda dan inilah yang saya ambil. Sufyan menceriterakan kepada kami dari Hisyam bin Ibnu Urwah dari Yahya bin Ubbad bahwa Abdullah bin Zubair bin Awwam ra. diberi rampasan dengan empat bagian, sebagian untuk dirinya, dua bagian untuk kudanya dan satu bagian untuk orang yang mempunyai hubungan kerabat, yaitu bagian ibunya Shafiyah, pada perang Khaibar.

 

Mak-hul meriwayatkan bahwa Zuhair datang dalam perang Khaibar, lantas Rasulullah saw. memberi kepadanya lima bagian, sebagian untuk dirinya dan yang empat bagian untuk dua ekor kudanya. Maka Al Auza’i berpendapat untuk menerima hadits ini dari Mal:-hul secara mungathi’. Hisyam bin Urwah merasa loba seandainya beliau memberi bagian kepada Ibnu Zubair dan kepada dua kudanya untuk mengatakan dengan pendapat itu. Maka samar!ah apabila Mak-hul menyelisihinya bahwa hadits itu lebih shahih dari pada hadits ayahnya dengan kelobaannya atas penambahan itu meskipun haditsnya magthu’ dan tidak dapat menegakkan suatu hujjah, maka hadits itu seperti hadits Mak-hul. Tetapi kami pergi kepada ahli peperangan dan kami katakan: “sesungguhnya mereka tidak melihat Nabi saw. memberi bagian kepada dua ekor kudanya dan mereka tidak berbeda pendapat bahwa Nabi saw. mendatangi perang

 

Khaibar dengan tiga ekor kuda pribadi untuk menghimpun, menjemput dan dinaiki pengobar semangat padahal beliau hanya mengambil untuk seekor kuda saja.

 

Seluruh kitab itu atas jalan yang baik ini, dan menampakkan kepada kita suatu gambaran yang jelas tentang jalan yang ditempuh oleh imam-imam dalam beristimbath dan mengeritik. Adapun seseorang laki-laki yang kitabnya terpelihara oleh kami, yaitu kitab-kitab tentang madzhab Abu Hanifah dan murid-muridnya yang sependapat dengannya, yaitu imam Muhammad bin Hasan dan memperoleh keistimewaan atas orang lain dalam meriwayatkan madzhab-madzhab itu

Kitab-kitabnya ada dua macam, yaitu:

 

  1. Beberapa kitab yang diriwayatkan dan terkenal sehingga jiwa dapat tenang (memuaskan hati) dan kitabkitab tersebut dikenal dengan kitab-kitab yang zhahir riwayatnya.
  2. Kitab-kitab lain yang tidak memperoleh kepercayaan seperti itu dan akan kami kupas kedua-duanya.

 

KITAB—KITAB YANG ZHAHIR RIWAYATNYA.

 

  1. Kitab-kitab Al Jami’ush Shaghir.

Yaitu kitab yang di dalamnya di-kumpulkan masalahmasalah yang diriwayatkan dari Muhammad bin Hasan, oleh muridnya Isa bin Aban dan Muhammad bin Sima’ah. Masalah-masalah ini dalam 40 (empat puluh) buah kitab Fiqh yang permulaannya kitab Shalat dan tiap-tiap kitabnya tidak dibuat bab-bab. Hakim Abu Thahir Muhammad bin Muhammad Ad Dabbas mengambilnya, membuat bab-bab dan mengurutkannya untuk memudahkan para pelajar dalam menghapal dan mempelajarinya. Muhammad meriwayatkan masalah-masalah kitab ini dari Abu Yusuf dari Abu Hanifah dan di dalamnya tidak tercantum cara pengambilan dalil (istidal).

 

  1. Al Jerni’ul Kabir.

Kitab ini seperti yang tertera di atas hanya saja lebih panjang (luas) lagi.

 

  1. Kitab Al MaLsuth.

Kitab ini dikenal sebagai kitab induk dan inilah kitab terpanjang yang ditulis oleh Muhammad rahimahullah. Di dalamnya ia mengumpulkan beribu-ribu masalah yang jawabannya diistimbathkan oleh Abu Hanifah, sebagiannya adalah masalah yang diselisihi oleh Abu Yusuf dan Muhammad. Sebagian dari kebiasaannya dalam kitab ini adalah ia memulai dengan atsar-atsar yang tersiar dalam kalangan mereka kemudian baru disebutkan masalahnya. Dan sering juga ia menutupnya dengan masalah-masalah yang diselisihi oleh Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila. Orang yang meriwa“Yatkan dari padanya adalah Ahmad bin Hafsh salah seorang muridnya dan dia tidak mengupas ta’lil (alasan) hukum.

 

  1. Kitab As Sairus Shaghir.

Yaitu kitab yang berisikan masalah-masalah jihad.

 

  1. Kitab As Sairul Kabir.

Yaitu karangannya yang terakhir dalam Fiqh. Oleh karena itu Abu Hafsh Ahmad bin Hafsh tidak meriwayatkan nya seperti meriwayatkan kitab-kitabnya, karena kitab itu ditulis sesudah Abu Hafsh pindah dari Iraq. Oleh karena itu ia tidak menyebut nama Abu Yusuf rahimahullah sedikit. pun, karena dia mengarangnya sesudah terselipnya kebenci:. an antara keduanya . Setiap kali ia membutuhkan kepada riwayat hadits dari padanya ia katakan: Orang yang ter. percaya menceriterakan kepadaku”, itulah maksudnya manakala ia menyebutkan kata-kata tersebut. Orang yang meriwayatkan buku ini dari Muhammad, adalah Abu Sulaiman Al Jauzajani dan Isma’il bin Tsawabah.

 

Pada permulaan abad ke empat Abu Fadhl Muhammad bin Ahmad Al Marwazi yang terkenal dengan Hakim Asy Syahid telah jaya dan mengarang kitab yang berjudul ”?Al Kafi” di dalamnya ia menyebutkan pengertian-pengertian kitab-kitab Muhammad bin Hasan yang diuraikan dengan secara panjang lebar dan dihilangkan masalah-masalah yang berulang. Kitab itu adalah kitab yang baik dan tercatat dalam perpustakaan di Mesir.

 

Sebagian kitab-kitab Muhammad yang sampai kepada kami adalah kitabnya “Al Rad’ala Ahli Madinah (Sanggahan terhadap penduduk Madinah). Imam Asy Syafii telah meriwayatkan kitab ini dalam Al Um-dan setiap masalahnya dikomentari baik menolong penduduk Madinah atau menyetujui pendapat Abu Hanifah. Kitab itu mengungkapkan tentang penyelisihan Abu Hanifah terhadap penduduk Madinah. Inilah salah satu masalahnya.

 

 

BAB SESEORANG YANG MENAHAN ORANG KARENA ORANG LAIN SEHINGGA ORANG LAIN TERSEBUT MEMBUNUHNYA.

 

Abu Hanifah ra. berkata : “Seseorang yang menahan/ menangkap orang karena orang lain, lantas orang tersebut dihantamnya dengan senjata sampai meninggal di tempatnya, maka tidak ada gishash bagi orang yang menahan, namun gishash itu atas orang yang membunuhnya. Tetapi orang yang menahan itu disiksa dengan siksaan dan dima – sukkan ke dalam penjara. Penduduk Madinah berpendapat, jika seseorang menahan orang lain dan mengetahui ada orang yang mau membunuhnya, maka keduanya dibunuh semua.

 

Muhammad bin Hasan berkata: ”Bagaimana orang yang menahan itu dibunuh, padahal ia tidak membunuh?”, Apabila ia menahannya dan ia berpendapat bahwa orang lain tidak bermaksud membunuhnya, lantas kamu membunuh orang yang menahan? Jika mereka mengatakan: ”Tidak, kami membunuhnya hanya apabila ia telah menduga bahwa ada orang yang mau membunuhnya”. Dikatakan kepada mereka: Kami tidak melihat adanya gishash menurut pendapatmu. Wajib atas orang yang menahan kecuali dengan dugaannya, pada hal dugaan itu salah dan benar. Bagaimana pendapatmu akan seseorang yang menunjukkan orang lain, kemudian orang tersebut membunuhnya, Orang yang menunjukkan dan berpendapat bahwa la akan membunuhnya, jika ia mampu atasnya, apakah kamu buruh orang yang menunjukkan sebagaimana kamu membunuh orang yang menahan? Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang menyuruh orang lain untuk membunuh lalu ia membunuhnya, apakah pembunuh dan orang yang memerintahkan pembanuhan itu dibunuh”, Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang menahan seorang wanita karena laki-laki lain sehingga ia menzinainya, apakah keduanya terkena had atau orang yang melakukan perbuatan itu, jika keduanya muhshan, apakah dirajam semuanya? Bagi orang yang berpendapat bahwa orang yang menahan itu dibunuh, seyogyanya ia berkata: ”dua orang itu dikenakan had semuanya”. Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang memberi minum khamr kepada laki-laki lain, apakah keduanya dikenakan had khamr seluruhnya ataukah khusus orang yang minum saja? Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menyuruh orang Jain untuk membuat kabar dusta pada orang orang lain, kemudian ia membuat kabar dusta, apakah keduanya dikenakan had, atau khusus bagi penu kas? Seyogyanya kamu berpendapat keduanya dikenakan had. Isma’il bin Iyasy Al Hamsha menceriterakan kepada kami, ia berkata: “Abdul Malik bin Juraij menceriterakan kepada kami dari Atha bin Abu Rabah dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwasannya ia berkata tentang seseorang yang membunuh seseorang dengan sengaja dan orang lain menahannya, maka ja berkata: “Orang yang membunuh itu dibunuh dan orang lain itu dipenjara sampai meninggal”.

 

Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Allah memberi had kepada manusia atas perbuatan itu sendiri dan Allah menjadikan gishash padanya, Allah berfirman:

 

Artinya:

Diwajibkan atas kamu gishash berkenan dengan orang-orang yang dibunuh”.

 

Allah berfirman:

 

Artinya :

……Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya …..

 

Bagi orang yang diberi khithab dengan ayat ini akan mengetahui bahwa kekuasaan wali dari orang yang terbunuh adalah atas pembunuh itu sendiri ”’ Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwasanya beliau bersabda:

 

Artinya:

”Barang siapa yang ikut membunuh seorang muslim maka dia terkenagishash (karena perbuatan) tangan nya”,

 

Allah tabaraka wa ta’ala berfirman:

 

Artinya:

”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…”

 

dan Allah berfirman:

 

Artinya: ”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak membawa empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduk itu) delapan puluh kali dera, ….

 

Saya tidak pernah menjumpai seorangpun dari hamba Allah ta’ala kena had karena menanggung perbuatan orang lain atau perkataan orang lain. Seandainya orang yang menahan orang karena orang lain, kemudian orang itu membunuhnya, maka pembunuh itu dibunuh dan orang yang menahan itu disiksa. Dan tidak boleh menurut hukum Allah ta’ala, apabila pembunuh itu dibunuh karena pembunuhannya, kemudian engkau bunuh orang yang menahan karena penahannnya itu, sebab penahanan itu bukanlah membunuh, barang siapa yang membunuh orang yang menahan ini, maka ia telah menyelewengkan hukum Allah ‘azza wajalla, karena Ailah ta’ala berfirman:

 

Artinya:

”Diwajibkan atas ‘kamu gishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh”.

 

Qishash adalah memperlakukan terhadap seseorang seperti apa yang diperbuatnya, manakala ia membunuh maka dibunuh, manakala ia menahan dan penahanan itu ma’shiyat yang tidak ada gishashnya, maka ia dita’zir baik penahanannya itu untuk dibunuh atau tidak.

 

Seandainya penahanan itu menempati tempat pembunuhan, yaitu apabila orang yang menahan itu berniat untuk terbunuhnya (orang yang ditahan) maka seyogyabaginya-meskipun ia tidak membunuh – untuk dibunuh, karena ia melakukan perbuatan yang menempati kedudukan membunuh karena niatnya. Tetapi hal itu pada garis besar: nya menyelisihi pendapat teman kami Malik bin Anas dan Muhammad bin Hasan. Pada umumnya apa yang dimasukkan oleh Muhammad bin Hasan atas teman kami adalah sudah termasuk dan lebih banyak dari padanya.

 

Namun Muhammad tidak menerima untuk diperlakukan di tempat lain lantas hal itu termasuk dalam kebanyakan celaannya pada teman kami, maka seluruh apa yang dihujjahkannya pada teman kami di tempat ini adalah hujjah atasnya.

 

Jika seorang berkata: ” Apakah itu?”, maka dikatakan: ”ja menduga bahwa seandainya suatu kaum menyamun, maka dibunuh dan kaum penolongnya sekiranya mereka mendengar suara meskipun mereka tidak melihat tindakan pembunuhan itu, maka orang-orang yang membunuh itu dibunuh karena pembunuhan mereka, dan pertolongan itu karena mereka membunuh dengan kekuatan mereka”. Asy Syafi’i rahimahullah berkata: Saya katakan kepada Muhammad bin Hasan atau saya riwayatkan sedikit tentang ini, namun ia tidak menyebutkan suatu riwayat, saya katakan kepadanya: ” Bagaimana penadapatmu tentang seorang laki-laki kuat yang mau dibunuh oleh seorang laki-laki lemah lalu ja katakan kepada laki-laki lain yang kuat: ”Seandainya bukan karena kelemahanku niscaya Fulan saya bunuh”, Kemudian laki-laki tersebut berkata: “Saya ikatkan ia untukmu”. Lalu ia mengikatnya dan duduk di dadanya dan diangkat jenggotnya sehingga tampaklah tempat sembelihannya, dan memberikan pisau kepada orang yang lemah, lalu ia menyembelihnya. Kemudian kamu menduga bahwa kamu membunuh orang yang menyembelih karena dialah pembunuhnya dan kamu tidak .melihat. kepada pertolongan ini yang menjadi sebab pembunuhan itu dengan alasan sebab itu bukan perbuatan, Allah hanyalah menuntut kepada manusia atas suatu perbuatan. Apakah itu berupa pertolongan atas pembunuhan, atau pertolongan atas membunuh orang yang lewat di jalan, kemudian kamu berkata tentang pertolongan, seandainya mareka tidak mendengar suara, meskipun mereka melihat, dan menguatkan terhadap kaum itu, maka bagi kaum itu hanyalah ta’zir. Barang siapa yang memberi had bagimu sekiranya mereka mendengar suara, maka ia berkata: “Temanmu bersamaku”, Ia berkata: ”Seperti inilah mereka membunuh terhadap penolong” Saya berkata: “Dengan ini tegaklah hujjah atas orang lain”. Jika perkataanmu tidak menjadi hujjah, apakah perkataan teman kami yang kamu jumpai seperti ini hujjah? ”, Ia berkata: ”Kamu mengatakannya”, saya berkata: “Tidak, saya tidak menjumpai seorang pun yang memikirkan perkataannya. Barang siapa yang mengatakannya ia keluar dari hukum Al Quran dan Qiyas yang diterima akal dan banyak dari apa yang saya hujjahkan itu menetapinya maka seandainya saya berhujjah tentang sesuatu atau mencelanya maka saya selamat dari padanya.

 

Asy Syafi’i rahimahullah herkata dan meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwasanya ia berkata : “Orang yang membunuh itu dibunuh, dan orang yang menahan dipenjara sampai mati dan ia tidak memenjarakannya sehingga tidak mati”. Ia menyelisihi terhadap apa yang dihujjahkannya.

 

Seluruh kitab itu menurut jalan ini serta kuatnya hujjah-hujjah pada dua pendapat. Kitab itu layak untuk dibaca oleh ahli syari’at. Dan Muhammad mempunyai kitab yang berjudul ”Kitabul Atsar” yang dipergunakan untuk berhujjah oleh imam-imam Hanafiyah.

 

Ia mempunyai beberapa kitab di antaranya kitab yang dikenal dengan An Nawadir, yaitu kitab yang tidak diriwayatkan dari jalan yang memberikan ketenteraman, yaitu Amali Muhammad fil Fiqh yang dikenal dengan Kaisaniyat, kitab Az Ziyadat, kitab Ziayaduz Ziadat, kitab An Nawadir riwayat Ibnu Rustam. Muhammad rahimahullah, adalah salah seorang yang meriwayatkan Muwatha’ Malik bin Anas di mana ia mengakhiri hadits-haditsnya dan pengamalannya menurut Abu Hanifah, baik menyetujui maupun menyelisihinya dan ia menerangkan sebab-sebab adanya perbedaan itu.

 

Sebagian penulis-penulis dari murid Abu Hanifah rahimahullah adalah Hasan bin Ziyad Al Lu’lui yang menyusun kitab Al Mujarrad li Abi Hanifah. Riwayatnya, adalah kitab Adabul Qadhi, Kitabul Khishal, Kitab Nafagat, Kitabul Kharaj, Kitabul Faraidh dan Kitab Washaya.

 

Riwayat-riwayat Al Hasan bin Ziyad kurang dipegangi dari pada riwayat-riwayat Muhammad bin Hasan karena orang yang kedua ini dipercaya penuh.

 

Sebagian dari mereka adalah Isa bin Aban Murid Muhammad bin Hasan yang menyusun Kitab Hajji, Kitab Khabarul Wahid, Kitab Al Jami”, Kitab Itsbatul Qiyas dan Kitab Ijtihadur Ra’yi,

 

Sebagian dari mereka adalah Hilal bin Yahya yang terkenal dengan Hilal Ar Ra’yu dan Abu Abdullah Muhammad bin Sama’ah, yaitu salah seorang yang meriwayatkan kitab-kitab Muhammad bin Hasan.

 

Sebagian dari mereka adalah Ahmad bin Umar bin Muhair yang terkenal dengan Al Khishaf dan ia telah mengarang banyak buku dan sebagian karangannya yang terbaik adalah kitabnya tentang Waqaf yang masyhur dan selalu terpakai.

 

Periode ini ditutup oleh seorang imam besar dan pemgarang besar yaitu Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah Al Azdi Ath Thahawi Al Misri. Ia mengarang kitab Ikhtilaaful Fuqaha, sebuah kitab yang besar yang tidak selesai yang sudah memuat sekitar 80 kitab menurut urutan kitab perbedaan pendapat tentang perwalian, kitab Syarah Musykili Ahaditsi Rasulillah saw. sekitar 1000 lembar dan kitab syarah Ma’anil atsar. Kami telah menelaah kitab itu dan kami dapati kitab itu merupakan kitab yang disusun oleh seorang yang penuh dengan ilmu dan mampu menghafal sunnah Rasulullah saw. disertai dengan sempurnanya penelaahan atas pendapat-pendapat fuqaha, dan sandaran pendapat mereka. Ia mempunyai kitab-kitab lain yang secara sempur. na disebutkan oleh Ibnu Nadim dalam Al Fihrasat.

 

‘Kitab-kitab tersebut ditulis pada periode ini dan sebagai permulaannya adalah kitab-kitab Muhammad rahimahullah. Kitab-kitab itulah asas madzhab Abu Hanifah dan teman-temannya dan kitab-kitab yang menyibukkan ulama Hanafiyah pada periode berikutnya dengan memberi syarah dan keterangan, menyambut dan memelihara nya.

 

KITAB—KITAB MADZHAB MALIK BIN ANAS IMAM MADINAH

 

Malik bin Anas rahimahullah menulis kitabnya yang berjudul Al Mugatha’ dan banyak orang yang menerimanya lalu meriwayatkannya, hanya saja dalam riwayat mereka terdapat perbedaan dengan berlebih dan berkurang. Riwayat Muwatha yang termasyhur adalah riwayat Yahya bin Yahya Al Laitsi. Itulah naskah yang dibaca dan dicetak di Mesir. Di sana ada Muwatha yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hasan dan kitab itu dicetak di India.

 

Sebagian dari kebiasaan Malik dalam kitab itu adalah pada pendahuluannya (maudhu’) menyebutkan hadits hadits yang ada di dalam maudhu’ itu, kemudian atsaratsar shahabat dan tabi’in dan sedikit dari selain penduduk Madinah dan kadang-kadang menyebutkan pengamalannya atau sesuatu yang disepakati di Madinah. Inilah contoh dari kitabnya:

 

TALAKNYA ORANG SAKIT

 

Malik dari Ibnu Syihab dari Thalhah bin Abdullah bin ‘Auf berkata dan ia orang yang terpandai tentang hal itu, dan dari Abu Salamah bin Abdur Rahman bin-‘Auf bahwa Abdur Rahman bin ‘Auf menceraikan isterinya untuk sela manya, padahal ia dalam keadaan sakit, lalu Utsman bin Affan memberikan warisan kepadanya setelah habis ‘iddahnya.

 

Malik dari Abdullah bin Al Fadhl dari A’raj bahwa Utsman bin Affan memberikan warisan kepada isteri-isteri dari anak laki-laki Mukmil padahal ia telah menceraikan isteri-isterinya itu di kala sakitnya.

 

Bahwasanya Malik mendengar Rabi’ah bin Abu Abdur Rahman berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa isteri Abdur Rahman bin ‘Auf minta cerai kepadanya (Abdur Rahman), lalu ia berkata: ”Jika kamu haidh dan suci maka mintalah izin kepadaku dan ia tidak haidh sehingga Abdur Rahman bir ‘Auf sakit. Ketika ia telah suci maka saya mengizinkannya, lalu ja menceraikan isterinya untuk selamanya atau talak yang tidak ada sisa lagi baginya dan ketika itu Abdur Rahman sedang sakit. Maka Utsman bin Affan memberi warisan kepadanya setelah habis ‘iddahnya”

 

Malik dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Yahya bin Hibban berkata : ”’Kakekku Hibban mempunyai dua orang wanita (isteri) dari suku Hasyim dan suku Anshar. Ia menceraikan wanita Anshar itu dalam keadaan menyusui dan setelah satu tahun kakekku meninggal dan wanita itu tidak haidh. Maka ia berkata : ”Saya mewarisinya karena saya tidak haidh”, Lantas keduanya minta putusan kepada Utsman bin Affan, lalu ia memutuskan kepadanya dengan mewarisi , Lalu wanita Hasyim itu mencela Utsman bin Affan dan Utsman berkata : Ini adalah perbuatan anak pamanmu, ia menunjukkan kami dengan ini, ia maksudkan Ali bin Abi Thalib .

 

Bahwasanya Malik mendengar Ibnu Syihab berkata : “Ketika ia mentalak tiga terhadap isterinya dalam keadaan dirinya sakit, maka isterinya itu mewarisinya. Malik berkata : “Jika ia menceraikan dalam keadaan dirinya sakit sebelum menggaulinya, maka wanita itu mendapat setengah mas kawin dan mendapat warisan serta tidak ber’iddah, Jika ia telah menggaulinya kemudian menceraikan, maka wanita itu mendapat seluruh mas kawin dan warisan, dalam hal ini menurut kami sama saja antara gadis dan janda.

 

Isi Muwatha’ ‘ yaitu kumpulan-kumpulan hadits yang shahih menurut Malik rahimahullah adalah sekitar 500 hadits.

 

Adapun masalah-masalah yang dijawabnya, maka te. lah dibukukan oleh murid-muridnya. Orang yang pertama kali menulis hal tersebut adalah Asad bin Furat yang membukukan soal-soal yang diambilnya dari Muhammad bin Hasan seorang Fagih Iraq. Sebagaimana .disebutkan oleh Asyaikh, ‘Ilyasi dalam masyarahi matan Khalil. Kemudian ditanyakan kepada Abdur Rahman bin Qasim dan dijawabnya menurut pendapat Malik. Ia membawa tulisan itu ke Qairawan lalu Sahnun menulisnya. Dan disebut Asadiyah, kemudian Sahnun membawanya kepada Ibnul Qasim tahun 188 H. dan diajukan kepadanya, lalu masalah2nya diperbaiki dan dibawa pulang ke Qairawan tahun 191 H. Pada mulanya karangan itu menurut apa yang dikumpulkan oleh Asad bin Furat dan dibuat bab-bab menurut urutan pengarangnya dan masalah-masalahnya tidak diurutkan dan tidak diberi kata pembukaan. Kemudian Sahnun menyusun sebagian besarnya dan membuat hujjah bagi seba gian masalah-masalahnya dengan atsar yang diriwayatkan dari Muwatha’ Ibnu Wahab dan lain-lainnya. Dan masih bersisa karena Sahnun belum sempurna dalam pekerjaan ini (dari Qadhi Iyadh). Inilah contoh dari karangannya :

 

SEMBAHYANG (SHALAT) DENGAN MA’MUM AH!l KEBAIKAN DAN AHLI BID’AH

 

(Ia berkata) . “Malik berkata: ”Kaum itu mendahulu kan orang yang paling pandai di kalangan mereka apabila keadaannya baik”. Ia berkata : “Sesungguhnya usia itu mempunyai hak”, maka saya katakan kepadanya : ”Bacakanlah kepada mereka”. Ma ia berkata : Kadang-kadang yang membaca adalah orang yang tidak …… — ia maksudkan dengan perkataannya : “Orang yang tidak …..” adalah orang tidak disukai keadaannya — Malik berkata : ”Lebih utama untuk mendahului naik kendaraan adalah pemilik kendaraan itu, dan lebih utama untuk mengimami (shalat) adalah pemilik rumah apabila mereka shalat di rumahnya kecuali mereka mengizinkan dan saya melihat ia berpendapat seperti itu dan dipandangnya baik”. Saya berkata kepada Ibnul Qasim : Bagaimanakan pendapat Malik tentang orang shalat yang baik dalam membaca al Qur’an di belakang ( ma’mum) kepada orang yang tidak baik dalam membaca Al Qur’an”. Ia berkata : “Malik berkata : ”Apabila imam shalat bersama-sama dengan suatu kaum dan .imam itu meninggalkan bacaan, maka shalatnya batal, demikian juga orang yang dibelakangnya (ma’mum) dan mereka mengulangi meskipun waktunya habis”. Ia berkata : ”Orang yang tidak baik (bacaannya -pen.) menurut saya adalah lebih buruk dari pada itu, karena itu tidak seyogyai bagi seseorang untuk ma’mum kepada orang yang tidak baik bacaan Al Qur’annya.”Ta berkata : ” Saya bertanya kepada Malik tentang shalat dengan ma’mum imam yang berfaham gadariyah”. Ia berkata : ”Jika anda yakin akan hal itu, maka janganlah shalat di belakangnya”. Saya berkata : ”Tidak pula Jum’ah?” Ia berkata : “Tidak pula Jum’ah, Jika kamu yakin”. Ia berkata : “Menurut pendapatku, jika anda takut dan khawatir kepadanya atas dirimu, maka shalatiah bersamanya dan kamu ulangi dengan shalat Zhuhur“, Malik berkata : ”Ahli hawa nafsu adalah seperti ahli qadaiyah”, Ia berkata : Saya melihat apabila dikatakan kepada Malik tentang orang yang ma’mum kepada ahli bid’ah agar ja mengulangi shalatnya, maka ia diam dan tidak menjawabnya”. Ibnul Qasim berkata : “Dalam hal itu saya berpendapat untuk mengulanginya seketika”. Ia berkata : ”Malik ditanya tentang seorang laki-laki yang ma’mum laki-laki lain yang membaca dengan qiraah Ibnu Mas’ud, Malik berkata : ”Ia keluar , meninggalkan dan tidak ma’mum kepadanya”. Ia berkata : “Malik menyatakan bahwa ahli bid’ah itu tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikah, tidak diberi salam, tidak dima’mumi dan tidak ‘disaksikan jenazahnya”. Ia berkata, Malik mengatakan : “Barang siapa yang shalat di belakang seorang laki-laki yang membaca dengan qiraah Ibnu Mas’ud, maka hendaklah ia keluar dan meninggalkannya”. Saya berkata : Apakah wajib atasnya . untuk mengulangi apabila ia shalat di belakangnya?” menurut pendapat Malik : Ibnul Qasim berkata : ” Apabila ia berkata kepadaku ia keluar, maka saya berpendapat untuk mengulangi dalam waktu itu dan sesudahnya”. Masalahmasalah yang dibukukannya mencapai 23.000 masalah”.

 

Pembukuan ini adalah asas ilmu di kalangan pengikut Malik.

 

Sebagian orang yang menulis dari kalangan pengikutpengikut Malik adalah Abdullah bin Abdul Hakam Al Mishri yang mengarang Al Mukhtasharul Kabir yang dengannya ia bertujuan mengikhtisarkan kitab-kitab Asyhab, Mukhtashar Ausath dan Mukhtashar Shaghir. Yang kecil (Mukhtashar shaghir – pen.) adalah ringkasan -.atas kitab Al Muwatha”. Dan yang pertengahan (Al Mukhtasharul Ausath Pen.) ada dua macam, yaitu yang diriwayatkan Al Qarathisi dengan mendapat tambahan atsar, berbeda dengan yang dari riwayat puteranya Muhammad dan Sa’id bin Hisan. Dikatakan bahwa masalah-masalah Al Mukhtasharul Kabir ada 18.000 masalah, dalam Al Ausath ada 4.000 masalah dan dalam Ash Shaghir ada 1200 masalah.

 

Sebagian dari mereka adalah Ashbagh bin Al Faraj yang menyusun kitab Ushul dan kitab yang didengar dari Ibnul Qasim sebanyak dua puluh dua kitab.

 

Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam mengarang kitab Ahkamul Qur’an, kitab Al Watsa’ig wasy syuruth, kitab Adabul Qudhah dan kitab Ad Da’wa wal Bayyinat.

 

Muhammad bin Abdul Hakam Al Utbi al Qurthubi mengarang Al Mustakharajah. Di dalamnya kebanyakan berisi riwayat-riwayat yang tertolak dan masalah-masalah yang syadz (menyimpang) dan ia selalu mendatangkan masalah-masalah yang asing, apabila masalah itu mengherankan maka ia berkata : “Masukanlah dalam Al Mustatakhrajah”. Ibnu Wadhdhah berkata : ”Dalam Al Mustakhrajah terdapat banyak kesalahan”. Muhammad bin Abdul Hakam berkata : “Saya lihat sebagian besarnya adalah dusta dan masalah-masalah yang tidak berpangkal”, Abu Muhammad bin Hasan Azh Zhahiri menyebutkan bahwa Al Mustakhrajah di kalangan ahli ilmu di Afrika mendapat derajat yang tinggi dan membubung.

 

Yahya bin Umar telah mengikhtisharkannya dalam kitabnya yang disebut Al Muntakhaba

 

Muhammad bin Sahnun mengarang kitabnya yang terkenal dengan Al Jami’ dimana ia mengumpulkan berbagai fak ilmu dan Fiqh. Di dalamnya berisi beberapa kitab sekitar 60 buah kitab.

 

Muhammad bin Ibrahim bin Abdus mengarang sebuah kitab yang disebut Al Majmu’ah ala madzahibi Malik wa ashhabihi yang tergesa-gesa meninggal sebelum sempurna (selesai).

 

Termasuk pengarang yang terbesar pada periode ini ada dua orang., yaitu :

 

– Yang pertama di Masyrik, yaitu Al Qadhi Isma’il bin Ishak yang menyusun kitabnya Al Mabsuth fil Fiqh, dan menyusun kitab tentang tangkisan terhadap Muhammad bin Hasan, Abu Hanifah dan Asy Syafi’i.

 

– Yang kedua di Mesir, yaitu Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad Al Iskandari yang terkenal dengan Ibnul Mawaz. Kitabnya dalam Fiqh adalah sebesar-besar kitab yang dikarang oleh orang-orang Madzhab Malik, masalah2 yang paling shahih dan pembahasan yang luas. dan menyeluruh. Al Qabisi telah mendahulukan. nya atas seluruh kitab-kitab induk.

 

KITAB — KITAB DALAM MADZHAB MUHAMMAD BIN IDRIS ASY SYAFI’I

 

Asyafi’i rahimahullah adalah imam yang dikenal bahwa dirinyalah yang mengarang kitab-kitab yang menjadi pegangan pengikut-pengikut madzhabnya. Dialah yang mendiktekan kitab-kitabnya kepada murid-muridnya di Iraq dan Mesir. Kitab-kitabnya di Iraq adalah madzhab gadim (lama) dan kitab-kitabnya di Mesir adalah madzhabnya yang lurus dan baru (madzhab jadid – Pen.). Kitabkitab itu adalah :

 

  1. Risalah fi Adillatil Ahkam, suatu risalah ‘Ushul yang telah kami sebutkan di muka.

 

  1. Kitab Al Um, yaitu kitab yang menyendiri, yang pada masanya tidak ada kitab yang membanjiri, gaya bahasanya yang sangat rendah, teliti dalam mengungkapkapkan dan kuat dalam diskusi. Kitab itu bukanlah mengungkapkan masalah-masalah yang berturut-turut seperti halnya dalam kitab-kitab Muhammad, namun . kitab tersebut menyebutkan masalah dan dalilnya, serta banyak pula menyebut orang-orang yang menyelisihinya dan menegakkan hujjah atasnya. Demikianlah , kitab itu disebut kitabnya yang gadim. Inilah contoh dari kitabnya.

 

PEMBAHASAN TENTANG SHALAT

 

Pada permulaannya ia meriwayatkan tiga buah hadits dengan sanad-sanadnya :

 

  1. Dari Abdullah bin Mas’ud berkata : ”Kami sebelum datang ke tanah Habsyi mengucapkan salam atas Rasulullah saw. padahal beliau sedang shalat, lalu beliau menjawab ( salam – pen.) di kala shalat itu. Ketika kami pulang dari tanah Habsyi saya menghadap kepada Rasulullah untuk memberi salam. Saya mendapatkan beliau sedang shalat, lalu saya ucapkan salam atas beliau, namun beliau tidak menjawab lantas saya mengambil tempat yang tidak dekat dan tidak pula jauh. Saya duduk sehingga setelah beliau selesai shalat, saya mendatangi beliau lalu beliau bersabda : ”Sesungguhnya Allah membuat pembaharuan dalam urusan-Nya dengan sesuatu yang dikehendaki-Nya. Dan sebagian dari sesuatu yang diperbaharui oleh Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar adalah agar kamu tidak bercakap-cakap dalam shalat“.

 

  1. Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. berpaling dari dua (rakaat – pen.). Dzul Yadain berkata kepada beliau : “Apakah engkau menggashar shalat atau lupa wahai Rasulullah ?. Rasulullah saw. bersabda: “Apakah Dzul Yadain benar ?: Orang-orang berkata : ”ya”, Maka Rasulullah saw. berdiri dan shalat, dua rakaat yang akhir kemudian beliau mengucapkan salam, lalu beliau bertakbir dan sujud seperti sujudnya atau lebih panjang kemudian bangun. Dan disebutkan dalam riwayat lain oleh Abu Hurairah bahwa shalat itu adalah shalat Ashar.

 

  1. Dari Imran bin Hushain berkata : Nabi saw membaca salam sesudah tiga rakaat dari shalat Ashar kemudian beliau bangun dan masuk kamar, lalu Khirbaq seorang laki-laki yang dermawan berdiri dan memanggil : ”Wahai Rasulullah, apakah engkau menggashar shalat?” Lalu beliau keluar dengan marah seraya menyandang selendang lalu bertanya lantas diberi tahu, maka beliau shalat satu rakaat yang ketinggalan, lalu beliau membaca salam. Asy Syafi’i berkata : ”Terhadap semua ini kami mengambilnya”. Lalu kami katakan : Jika hal itu suatu kemestian bahwa seseorang tidak boleh bercakap-cakap dalam shalat, dimana ia ingat bahwa dirinyasedang shalat : Jika ia mengerjakan (bercakap-cakap – pen.) maka shalatnya batal dan wajib atasnya untuk memulai shalat yang lain karena hadits Ibnu Mas’ud. Kemudian saya mengetahui orang yang menyelisihi dari orang yang saya jumpai di kalangan ahli ilmu. Barang siapa yang berbicara dalam shalat sedang ia berpendapat bahwa dirinya telah menyempurnakan ‘shalatnya atau lupa bahwa ia sedang shalat lalu ia bercakap-cakap, maka shalatnya sah dan sujud sahwi, karena adanya hadits Dzul Yadain. Sesungguhnya orang yang berbicara dalam keadaan ini, berbicara dan berpendapat bahwa dirinya tidak sedang shalat, padahal berkata di luar shalat itu mubah (diperbolehkan). Hadits Ibnu Mas’ud tidaklah bertentangan dengan Dzul Yadain. Hadits Mas’ud itu membicarakan (tentang shalat – pen.) secara global dan haditz Dzul Yadain menunjukkan bahwa Rasulullah saw. membedakan antara perkataan orang yang sengaja dan perkataan orang yang lupa bahwa ia sedang shalat, atas dia berpendapat bahwa dirinya telah menyempurnakan shalat.

 

As Syafi’i berkata : Sebagian manusia menyelisihi kami tentang berbicara dalam shalat dan ia mengumpulkan hujjah-hujjah seperti apa yang dikumpulkan atas kami dalam masalah lain kecuali sumpah serta saksi dan dua masalah lain. Saya mendengar ia berkata : “Hadits Dzul Yadain adalah hadits yang shahih dari Rasulullah saw. dan tidak ada hadits lain yang datang lebih masyhur dari padanya dan dari hadits binatang itu sia-sia, dan ia lebih shahih dari pada hadits binatang itu sia-sia, tetapi hadits Dzul Yadain itu mansukh (dihapus hukumnya – pen.). Lalu saya tanyakan : ”Apakah yang menasakhnya?”. Ia menjawab : “Hadits Ibnu Mas’ud“, Saya berkata kepadanya : ”Yang menaskh adalah apabila dua buah hadits bertentangan satu dengan yang lain“, Ia berkata : ”Ya”. Saya berkata kepadanya : ”Ataukah anda tidak hafal tentang hadits Ibnu Mas’ud ini, yaitu bahwasanya Ibnu Mas’ud lewat atas Nabi saw. di Mekkah. Ia berkata : ”Saya menjumpai beliau di halaman Ka’bah dan Ibnu Mas’ud pindah ke tanah Habsyi lalu kembali ke “Mekkah kemudian hijrah ke Madinah serta menyaksikan (ikut) perang Badar“. Ia berkata ‘ Ya”. Lalu saya berkata kepadanya : ” Apabila kedatangan Ibnu Mas’ud pada Nabi saw. sebelim hijrah kemudian Imron bin Hushain meriwayatkan bahwa Nabi saw. membawa anak onta di belakang masjidnya. Tidaklah anda tahu bahwa Nabi saw. shalat dalam masjid beliau kecuali sesudah beliau hijrah dari Mekkah?” Ia berkata : Ya”. Saya berkata : Hadits Imron bin Hushain menunjukkan kepadamu bahwa hadits Ibnu Mas’ud tidaklah menasakh (menghapus) hadits Dzul Yadain dan Abu Hurairah berkata : “Rasulullah saw. shalat bersama kami“. Ia berkata : ‘ “Saya tidak tahu apakah pertemanan Abu Hurairah itu“. Maka saya berkata : “Kami telah memulai dengan mencukupkan hadits Imron yang tidak sulit bagimu. Abu Hurairah hanya menemani Rasulullah saw. di Khaibar padahal Abu Hurairah berkata : ”Saya menemani Nabi saw. di Madinah tiga atau empat tahun (Ar Rabi’ meragukan). Nabi saw. menetap di Madinah selama sepuluh tahun selain yang beliau tinggal di Mekkah setelah datangnya Ibnu Mas’ud dan sebelum Abu Hurairah menemui beliau. Apakah jaiz (diperkenankan) hadits Ibnu Mas’ud itu menghapus terhadap apa yang sesudahnya. Ia berkata : ”Tidak”. Asy Syafi’i berkata dan saya berkata kepadanya : ”Seandainya hadits-hadits Ibnu Mas’ud itu bertentangan dengan hadits Abu Hurairah dan Imron bin Hushain sebagai. mana anda katakan, dan percakapan yang disengaja padahal anda mengetahui bahwa anda sedang shalat, apakah hal itu seperti apabila anda bercakap-cakap sedang anda berpendapat bahwa anda telah menyempurnakan shalat atau lupa. Hadits Ibnu Mas’ud itu dinasakh (mansukh). Berbicara di dalam shalat itu mubah tetapi tidak menghapus (nasikh) dan tidak dihapus (mansukh), tetapi seginya adalah apa yang telah saya sebutkan yaitu tidak boleh bercakap-cakap dalam shalat dimana ia ingat bahwa orang yang berbicara itu di dalam shalat. Jika demikian maka shalatnya rusak. Apabila lupa lalu berbicara dan ia berpendapat bahwa pembicaraan itu diperbolehkan (mubah) karena ia berpendapat bahwa dirinya telah selesai shalat atau lupa bahwa dirinya sedang shalat maka shalatnya tidak rusak. Lalu ia berkata : ”Engkau sekalian berpendapat bahwa Dzul Yadain terbunuh di Badar, lalu saya katakan : ”Jadikanlah ini sekehendakmu. Bukankah shalat Nabi saw. di Madinah menurut hadits Imran bin Hushain sedang Madinah itu adalah sesudah hadits Ibnu Masud di Mekkah?”. Ia berkata : ”’Ya”. Saya berkata : ”Hal itu tidak untukmu, apabila hujjah itu ada yang anda kehendaki terhadap apa yang anda sifati, padahal Badar itu terjadi 6 bulan 10 hari sesudah datangnya Nabi saw, di Madinah. Ia berkata : ” Apakah Dzul Yadain yang kamu ambil riwayatnya terbunuh di Badar?”. Saya berkata : Tidak” . Imron menyebutnya Khirbag, dan Qashirul Yadain atau Madidul Yadain berkata : ” Orang yang terbunuh di Badar adalah Dzusy Syimalain meskipun keduanya itu Dzul Yadain, nama itu adalah nama yang menyamai nama sebagaimana nama-nama itu bersamaan sebagian orang yang bermadzhab dengan madzhabnya berkata: ” Kami mempunyai hujjah yang lain”. Kami berkata : “Apakah itu ?” Ia berkata : “Sesungguhnya Mu’awiyah bin Abdul Hakam menceriterakan bahwa ia berbicara daJam shalat, maka Nabi saw. bersabda :

 

Artinya :

“Sesungguhnya shalat itu, tidak pantas di dalamnya terdapat sedikit saja dari perkataan Anak Adam (manusia)”,

 

Lalu saya katakan kepadanya : “Ini membahayakan anda dan tidak bermanfaat bagi anda”. Dia hanya meriwayatkan sama seperti perkataan Ibnu Mas’ud dan wajahnya seperti apa yang telah saya sebutkan.

 

Ia berkata : “Jika saya katakan : “Dia menyelisihinya” Maka saya katakan : ”Hal itu tidak untukmu, dan saya katakan kepadamu : “Jika urusan Mu’awiyah sebelum urusan Dzul Yadain, maka dia terhapus (mansukh) dan wajib bagimu untuk memperbaiki terhadap yang lain. Jika ia bersamaan atau sesudahnya maka ia telah membicarakan apa yang saya ceritakan, dan ia tidak tahu bahwa berbicara dalam shalat itu tidak diharamkan dan ia tidak menceritakan bahwa Nabi saw. menyuruhnya untuk mengulangi shalat, maka hal itu seperti hadits Dzul Yadain atau lebih banyak karena ia berbicara dengan sengaja dalam perkataannya, hanya saja ia menceriterakan bahwa ia berbicara dengan tidak tahu bahwa berbicara dalam shalat itu tidak diharamkan. Di-sini ia mengatakan dalam haditsnya sebagaimana saya sebutkan. Saya katakan : ”Saya berkata bahwa hal itu seperti hadits Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits Dzul Yadain”. la berkata : ”Anda menyelisihi ketika anda mencabangkan hadits Dzul Yadain”. Saya katakan : “Kami menyelisihi pada pangkalnya”. Ia berkata : “Tidak , akan tetapi pada cabangnya (furu’)” . Saya katakan : “Anda menyelisihi — dalam nashnya dan barang: siapa yang menyelisihi nash menurut anda keadaannya lebih buruk dari pada orang yang pandangannya lemah, Ialu keliru dalam mencabangkan”. Ia berkata : ”Ya , dan masing-masingnya tanpa alasan”, Lalu saya katakan kepadanya : “Sesungguhnya anda menyelisihi cabangnya bahkan tidak sehurufpun dari pangkalnya, maka atasmulah apa yang menimpamu dalam menyelisihinya dan dalam apa yang anda katakan bahwa kami menyelisihi sesuatu yang kami tidak menyelisihinya. Maka saya tanyakan kepadamu sehingga saya mengatakan, apakah saya menyelisihinya atau tidak?” Saya katakan : “Tanyakanlah”. Ia berkata : “Apakah pendapatmu tentang imam yang berpaling dari dua rakaat, lalu sebagian orang yang shalat bersamanya berkata : ” Anda telah berpaling dari dua rakaat”. Kemudian dia bertanya kepada orang-orang lain dan mereka menjawab : ”Benar”. Saya katakan : ”Ma’mum yang memberi tahukan dan orang:orang yang menyaksikan kebenarannya, padahal mereka ingat bahwa imam itu tidak menyempurnakan shalatnya, maka shalat mereka adalah rusak (fasid)”. Ia berkata : ”Anda meriwayatkan bahwa Nabi saw. melaksanakannya dan anda katakan : “Orang-orang yang hadir bersama beliau telah melaksanakannya, meskipun anda tidak menyebutnya dalam hadits?”. Saya katakan : ”Ya”. Ia berkata : “Anda telah menyelisihi beliau”. Saya katakan : ”Tidak”. Tetapi keadaan imam kita berbeda dengan keadaan Rasulullah saw”. Ia berkata : Dimana perbedaan dua keadaan, yaitu tentang shalat dan imam?”. Saya katakan kepadanya : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menurunkan fardhufardhunya kepada Kasulullah saw, fardhu demi fardhu. Dia memfardhukan atas beliau akan sesuatu yang belum difardhukan-Nya dan Dia meringankan sebagian fardhu-Nya”. Ia berkata – ”Ya” . Saya katakan : “Kita tidak ragu-ragu, anda dan setiap muslim bahwa Rasulullah saw. hanya keluar (dari shalat – pen.) manakala beliau berpendapat bahwa beliau telah menyempurnakan shalat”. Ia berkata :”Ya”, Ketika beliau mengerjakannya, Dzul Yadain tidak mengetahui, apakah shalat itu digashar karena perintah Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar, apakah Rasulullah saw. lupa dan ia menjelaskan masalahnya ketika ia bertanya : ”Apakah engkau menggashar shalat atau lupa?”, la berkata : ”Ya”, Saya katakan : ”Nabi saw. tidak menerima (mencukupkan) dari Dzul Yadain, karena beliau bertanya kepada orang lain”. la berkata : ”Ya”’. Ia berkata : “Ketika beliau bertanya kepada orang lain mengandung pengertian bahwa beliau bertanya kepada orang lain yang tidak mendengar perkataannya, lalu ia sepertiorang itu dan mengandung pengertian bahwa beliau bertanya kepada orang yang mendengar perkataannya, namun tidak mendengar Nabi saw. menjawabnya. Ketika ia tidak mendengar Nabi saw. maka beliau kembali lagi adalah searti dengan Dzul Yadain bahwasanya tidak diambil dalil bagi Nabi saw. dengan suatu perkataan dan dia tidak tahu apakah shalat itu digashar atau Nabi saw. lupa, lalu ia menjawabnya. Pengertiannya adalah pengertian Dzul Yadain bahwa fardhu atas mereka untuk menjawabnya. Tidaklah anda lihat ketika mereka memberitahukan kepada Nabi saw. maka beliau menerima perkataan mereka, beliau dan mereka tidak bercakap-cakap sehingga shalat mereka sempurna. Ketika Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Besar mewafatkan Rasul-Nya saw. fardhu-fardhuNya telah berakhir, tidak bertambah dan tidak berkurang dari yang sudah ada untuk selama-lamanya. Ia berkata : “Ya”, . Saya katakan “Inilah perbedaan antara kita dan beliau. lalu ia berkata : “Siapa yang menghadirinya, ini adalah perbedaan yang jelas dan tidak dapat ditolak oleh orang alim karena jelas dan terangnya”. Ia berkata : “Sebagian dari teman-temanmu ada yang mengatakan sesuatu yang dibicarakan oleh seseorang tentang urusan shalat tidaklah membatalkan shalatnya”. Lantas saya katakan : ”Hujjah di sisi kami adalah sesuatu yang kami katakan, bukan sesuatu yang dikatakan oleh orang selain kami”. la berkata : “Telah saya katakan kepada tidak hanya kepada seorang teman-temanmu, namun ia tidak berhujjah dengan ini dan ia mengatakan : “Pengalamannya adalah demikian ini”. Lalu saya katakan kepadanya : ‘Welah saya beritahukan ke. pada anda bahwa pengalaman tidak mempunyai arti dan hujjah bagi anda terhadap kami dengan pembicaraan orang selain kami”. Ia berkata : ”Ya”, maka saya katakan : “Tinggalkan sesuatu yang tidak ada hujjahnya menurut anda. Dan saya katakan kepadanya : “Sesungguhnya anda telah bersalah dan menyelisihi hadits Dzul Yadain dengan keshahihannya, dan anda menganiaya diri anda karena anda menduga saya dan orang yang mengatakan dengan halainya bercakap-cakap, bersetubuh dan bernyanyi dalam shalat padahal kami sedikitpun tidak pernah menghalalkan ini dan tidak juga mereka . Dan anda telah menduga bahwa orang yang shalat apabila telah salam sebelum sempurna shalatnya padahal ia ingat bahwa dirinya tidak menyempurnakan shalat, maka shalatnya rusak (fasid) sebagaimana anda duga salam yang tidak pada tempatnya adalah merupakan suatu pembicaraan. Namun jika ia mengucapkan salam dengan berpendapat bahwa dirinya telah menyempurnakan (shalat – pen.), maka shalat itu sah. Seandainya anda hanya mempunyai hujjah ini, cukuplah hujjah bagi anda dan kami memuji Allah atas ketercelaan anda karena menyelisihi hadits itu dan banyaknya menyelisihi terhadap beliau.

 

Mengarang dengan bentuk ini memberikan gambaran yang jelas terhadap jiwa tentang jalan pembinaan hukum (tasyri”), kritik pada masa kini. Dan kami tidak menjumpai tulisan pada masa itu yang lebih banyak menarik kami untuk menelaahnya serta menimbulkan keheranan dalam jiwa kami terhadap orang-orang dahulu dari pada kitab ini.

 

Dan telah kami susulkan pada kitab ini sejumlah kitab yang sebagiannya kitab-kitab yang diselisihi oleh Abu Hanifah, Ibnu Abi Laila dan pokoknya oleh Abu Yusuf sebagaimana telah kami sebutkan.

 

Sebagiannya adalah kitab yang menyelisihi Ali dan Ibnu Mas’ud yaitu suatu kitab yang mana Asy Syafi’i mengumpulkan masalah-masalah yang diselisihi oleh Abu Hanifah dan teman-temannya terhadap imam penduduk Irak dari shahabat, yaitu Ali dan Ibnu Mas’ud ra.

 

Dalam Al Um ia telah menyebutkan salahnya menyelisihi Ali dan Ibnu Mas’ud dan Ibnun Nadim menyebutnya dalam At Fihrasat dengan judul “Maa khaalafa fihi al ‘Iraqiyyun ‘Aliyyan wa Abdallah” ( sesuatu yang diselisihi oleh orang-orang Iraq terhadap Ali dan Abdullah) — Inilah yang benar.

 

Sebagiannya adalah kitab Ikhtilafu Malik wa Asy Syafii (perselisihan Malik dan Asy Syafi’i) suatu kitab yang kembali kepada pengalaman As Sunnah dan diskusi teman-teman Malik rahimahullah dalam persyaratan pengamalan para imam untuk menguatkan hadits dan menolong pendapat Asy Syafi’i, bahwasanya manakala orang yang terpercaya menceriterakan dari orang yang terpercaya sampai kepada Rasulullah saw. maka hadits itu sah dari Rasulullah saw dan kami selamanya tidak meninggaikan hadits Rasulullah saw. kecuali suatu hadits yang diselisihi oleh hadits Rasulullah saw. Apabila hadits Rasulullah Saw.tidak ada yang menyelisihinya dan ada hadits yang sesuai dan diriwayatkan oleh orang di bawahnya serta hadits tersebut tidak menambah kekuatan hadits Nabi saw., maka hadits itu cukup dengan sendirinya. Jika ada hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dibawahnya serta bertentangan dengannya, maka saya tidak mengindahkan kepada hadits yang menentang itu, karena hadits Rasulullah saw. adalah lebih utama untuk diambil (dipergunakan) meskipun ia mengetahui ada orang yang meriwayatkan sunnah yang bertentangan dengan Sunnah. Rasulullah saw yang diikutinya — insya — Allah. Kemudian ia mengupas pendapat yang diambil atas dasar Malik rahimahullah yang bertentangan dengan pokok itu dan ia mendebatnya.

 

Sebagian daripadanya adalah kitab Jama’ul ilmi (kum, pulan Ilmu), yaitu suatu kitab yang menolong As Sunnah dan Pengamalannya.

 

Sebagian dari padanya adalah kitab Ibthalul Istihsan (pembatalan istihsan), dimana ia menolak fuqaha Irak yang memegangi istihsan.

 

Sebagian dari padanya kitab Ar Radd”’ ala Muhammad bin Hasan ( Tangkisan terhadap Muhammad bin Hasan) dan asalnya adalah kitab penolakan Muhammad bin Hasan terhadap Ahli Madinah, lalu Asy Syafi’i mempertahankan mereka. Sebagian dari sesuatu yang diambil oleh Asy Syafii terhadap Muhammad bin Hasan dalam diskusi-diskusi yang terjadi antara keduanya, mereka tuliskan dalam buku ini dimana ia selalu berkata : “Ahli Madinah berpendapat dan pendapat itu bukan pendapat seluruh penduduk Madinah tetapi pendapat itu adalah pendapat Malik bin Anas yang dalam hal ini kebanyakan penduduk Madinah menentangnya.

 

Sebagian dari padanya adalah kitab Sairul Auza’i (kitab Perjalanan hidup Al Auza’i) dan asalnya Abu Yusuf menolak terhadap Al Auza’i, lantas Asy Syafi’i mempertahankan Al Auza’i dan telah kami sebutkan dalam buku ini”. Sebagian kitab Asy Syafi’i yang terbesar adalah kitabnya yang bertitel : Ikhtilaful hadits Asy Syafi’i menyusunnya untuk menyokong As Sunnah secara umum dan hadits ahad secara khusus. Didalamnya ia membicarakan tentang ikhtilaful hadits ( perbedaan pendapat mengenai Al Hadits), dan itulah yang menjadi pusat perhatian orang-orang yang menolak As Sunnah secara mutlak atau mensyaratkan pengamalan hadits dengan persyaratan selain keadaan perawi terpercaya pada mulanya ia berbicara tentang perbedaan pendapat yang sebabnya adalah membolehkan setiap para perawi, sebagaimana diriwayatkan bahwasannya beliau saw berwudhu sekali-sekali: dan diriwayatkan bahwa sannya beliau wudhu dua kali dua kali, dan diriwayatkan bahwa beliau berwudhu tiga kali tiga kali. Hal ini banyak sekali dalam hadits-hadits. Kemudian ia menyebutkan hadits-hadits yang sebagiannya menghapus (menasakh) terhadap sebagiannya dan hadits hadits yang sebagiannya menafsirkan kepada sebagian yang lain, dan lain-lain hal yang memberi banyak faedah bagi ahli syari’at tentang masalah As Sunnah. Kitab ini memuat juga beberapa diskusi dengan orang-orang yang menyelisihinya yang berharga lebih-lebih dengan Muhammad bin Hasan rahimahullah.

 

la juga mempunyai Kitab Al Musnad yaitu hadits-hadits yang ditakhrijkan dari kitab Al Um. Dan Harmalah bin Yahya mempunyai Kitab tentang Fiqh yang diambil oleh Asy Syafi’i secara dikte.

 

Al Buwaithi mempunyai kitab Al Mukhtasharulkabir, Al Mukhtasharush Shaghir dan Kitab Al Faraidh. Al Muzni juga mempunyai dua kitab mukhtashar yaitu Al Mukhtasharul kabir namun dia matruk, Al Mukhtasharush shaghir, dan kitab yang mengungguli teman-teman Asy Syafi’i, dan itulah yang selalu mereka baca, dan mereka syarahkan dan ia mempunyai riwayat-riwayat yang berbeda.

 

la juga mempunyai dua kitab yang mengumpulkan (Al Jami”) yaitu Al Jami’ul kabir, Al Jami’ul shaghir dan kitab-kitab lain.

 

Sebagian pengikut-pengikut murid-murid Asy Syafi’i yang menulis adalah Abu Ishag Ibrahim bin Ahmad Al Marwazi teman Al Muzni. Ia menyarahi — Mukhtashar Al Muzni dengan dua syarah. Ia mempunyai kitab Al Fushul fi Ma’rifatil Ushul, Kitab Asy Syuruth wal watsa-ig, Kitab. Ai Washayawa Hisabud Daur, Kitab Al Khusus wal umum.

 

Ibnu Syuraih mempunyai beberapa kitab dalam menolak Muhammad bin Hasan dan menolak atas Isa bin Aban. Dan ja mempunyai kitab At Tagrib bainal Muzni wa Asy Syafi’i, dan Mukhtashar fil Fiqh.

 

Abu Badar Muhammad bin Abdullah Ash Shairafi yang meninggal tahun 330 H. mempunyai kitab Al Bayan fi dalailil a’laam fi ushulit ahkam, syarah Risalah Asy Safi’i dan kitab Faraidh.

 

Orang-orang Syafi’i yang menulis pada periode ini banyak sekali, tetapi sedikitpun tidak melihat terhadap apa yang mereka tulis. ‘

 

Dan telah saya sebutkan kitab-kitab yang ditulis pada madzhab-madzhab lain ketika menyebutkan imam-imam dan tokoh-tokohnya karena sedikitpun kami tidak melihatnya.

PERIODE KELIMA PERIODE MENDIRIKAN DAN MENGUATKAN MADZHAB, TERSIARNYA DISKUSI DAN PERDEBATAN (Mulai dari permulaan Abad ke IV s/d runtuhnya Daulat Abbasiyyah)

Pada periode ini ikatan-ikatan politik antara daerah-daerah Islam terputus. Jika anda mutai dari Barat, anda dapati Bani Umayah di Andalusia yang dipimpin oleh Abdur Rahman An Nashir yang disebutkan dengan Amirul Mu’minin ketika ia merasakan lemahnya Daulat Abbasiyah. Di Afrika Utara anda jumpai Syi’ah Isma’iliyah telah mendirikan suatu pemerintahan dengan nama daulat Fathimiyah dibawah pimpinan Ubaidullah Al Mahdi Al Fathimi yang disebut dengan Amirul Mu’minin. Sebagai tempat kediamannya dibuat kota Al Mahdiyah yang dibina dekat Tunis. Di Mesir anda dapati Muhammad Al Ikhsyid yang mengaku keturunan Abbas. Anda dapatkan Bani Hamdan di Mosul dan Halb mereka juga mengaku keturunan Abbas. Di Yaman anda dapatkan Syivah Zaidiyah yang telah berakar kuat. Anda dapatkan Daulat Ad Dailami yang terkenal dengan Daulat Bani Buwaihi pemegang kekuasaan praktis di Bagdad sedang Bani Abbas tinggal-nama belaka. Anda dapatkan Daulat Samaniyyah suatu daulat yang kokoh tiang-tiangnya di Khara sebalik sungai di Masyrik. Demikianlah, dunia Islam hubungannya terputus , daerahnya terpencar dan tidak ada kesatuan politik.

 

Masing-masing golongan dari para penguasa itu memuSuhi dan membuat tipu daya kepada yang lain. Tipu daya yang terbesar adalah yang terjadi antara Bani Abbas di Bagh. dad yang kekuasaannya surut dan Bani Fathimiyah yang pusatnya kuat karena menguasai Mesir dan Syam. Mereka mengirimkan para juru da’wah dengan tangkas ke-daerah: daerah Islam untuk menyiarkan da’wah mereka. Bani Abbasiyah menyelenggarakan rapat-rapat untuk memutus: kan hubungan dengan Bani Fathimiyah dan mereka menjauhkan diri dari keturunan Az Zahro (Fatimah Pen) dan mereka mewajibkan adanya ceramah-ceramah yang dihadiri oleh orang-orang yang terhormat dan ulama secara tunduk maupun terpaksa. Bani Buwaihi yang memegang kekuasaan itu mengikuti Syi’ah, hanya saja mereka mempertahankan Bani Abbas agar kekuasaan mereka terus menerus selamat, karena seandainya mereka mengalihkan kekhilafan kepada keturunan Ali (Alawiyin) niscaya kekuasaan mereka lenyap, karena menurut hukum akidah mereka terpaksa tunduk pada keturunan Ali. Demikianlah hukum politik mengalahkan hukum akidah, namun hal itu hanya sebentar berlakunya sehingga keluarga Saljuk bergerak dari timur dengan mengumumkan berpindahnya pemerintahan kepada unsur Turki, lalu orang Saljuk menyapu bersih orang-orang yang dikalahkan dihadapan mereka, lantas mereka menguasai seluruh Masyrik dan menghalau Bani Buwaihi dari Baghdad dan menduduki kedudukan mereka. Mereka membiarkan keluarga Abbas, karena keluarga Saljuk tidak mendapat tempat di Syi’ah. Kemudian kerajaan mereka melebar ke. sebelah Barat Baghdad, lalu mereka menguasai semenanjung dan Asia Tengah. Kemudian mereka melawan orang-orang Fathimiyah penguasa Syam. Dan mereka mempunyai nama yang dijunjung tinggi diseluruh daerah Islam selain Mesir dan negara-negara Maghrib yang dibelakangnya. Ketika per selisihan itu menjalar maka sebagian mereka membunuh kepada sebagian yang lain dan perselisihan adalah penyakit yang paling kuno pada tubuh kerajaan. Kelemahan dan per tentangan dengan orang-orang Mesir dinegeri Syam merupakan sebab bertiupnya angin perang ! Salib yang dilakukan pada akhir abad itu, dan mereka menguasai Baitul Mugadas dan tidak berhenti disitu saja sebagaimana diketahui dalam sejarah perang ini.

 

Keluarga Saljuk tidak tinggal diam untuk menceraiberaikan mereka dan pada bekasnya itu berdirilah negaranegara ‘Turki yang lain yang dikenal dengan negara Atabikiyah yaitu keluarga yang membangsakan diri kepada Saljuk. Dan kepalanya termasuk panglima Saljuk dan pendidik anak-anak mereka adalah salah seorang dari mereka yang dikenal dengan Atabik. Negara-negara Atabikiyah tersiar di Masyrik dan Maghrib. Ditangan salah seorang raja mereka yaitu Mahmud Nuruddin jatuhlah Daulat Fathimiyah di Mesir dan ajakan Abbasiyah kembali ke Mesir, dan atas pengaruh itu berdirilah daulat Shalahuddin Yusuf bin Ayyub salah seorang panglima Mahmud Nuruddin.

 

Adapun di Timur jauh telah berdiri Daulat Khawarizin Syah dan kerajaan itu besar sehingga hampir sampai ke Baghdad. Itu pada akhir abad ke-enam.

 

Benteng yang besar itu tidak tenang sampai terbuka tempat kuncinya, dan bangsa Mongol menyerbu bangsabangsa Turki seperti banjir datang, tidak dapat dicegah kemauannya sedikitpun dibawah pimpinan Jengis Khan pembina Persatuan Tartar. Mereka menyingkirkan orang-orang didepan mereka yang menentang atau menghalangi jalan mereka. Demikian itu pada permulaan abad ke-tujuh Hiiriah Jengis Khan meninggal setelah membagi jajahannya kepada empat bagian untuk anak-anaknya empat orang. la meluaskan angan-angannya terbayang padanya bahwa seluruh dunia harus tunduk kepada anak-anak dan cucu, cucunya. Anaknya Syajthai diberi bagian Barat sampai ke laut (Laut Tengah Pen.) , menguasai bagian timur sampai ke Cina untuk seorang anaknya. Sebelah Utara diberikan anaknya Jaji, dan kerajaan aselinya diberikan kepada anaks nya Auw Ja Thai.

 

Demikianlah laki-laki ini memberi bagian kepada anak. anaknya untuk memiliki dunia dari pantai Cina di Timur, Jauh sampai kepantai Lautan Rumawi di Barat-Jauh.

 

Hal itu tidak berjalan lama sampai Holako Khan cucu Jengis Khan sebagai pimpinan tentaranya di Baghdad Ibu. kota negara Islam dan yang lain membunuh khalifah dari keluarga Abbas yaitu orang yang .disebut-sebut namanya pada kebanyakan mimbar-mimbar Islam. Sesudah direbut kan dan diporak-porandakan dengan sempurna, Baghdad menjadi ibukota pemerintahan yang tidak beragama samawi. Disitu berlakulah undang-undang buatan manusia yang dibuat oleh kakeknya Jengis Khan dan dikenal dikalangan mereka dengan nama Al Kasah. Peristiwa-peristiwa bersejarah ini dianggap sebagai pemisah antara sejarah Islam kuno dan sejarah Islam Pertengahan.

 

.Pada masa itu daulat Ayubiyah di Mesir telah runtuh dan kedudukannya diduduki hamba sahaya mereka dari bangsa Turki yang telah menyebar, sebagian dari padanya Shalih Najmuddin. Raja yang ke-empat yaitu Malikuzh Zhahir Biberis Al Bundagdari segera membaiat (melantik) ‘seorang keturunan Abbasiyah yang datang ke Mesir pada masanya dan ia dianggap sebagai khalifah Islam. Khalifah itu diberi kekuasaan atas Mesir dan seluruh apa yang ada padanya. Pada masa itu Cairo (Qahirah) menduduki kedudukan Baghdad. Disitulah tempat Khalifah Abbasiyah yang mempunyai nama dan kekuasaan secara langsung memegang pemerintahan sebagaimana keadaan Baghdad pada masa Bani Buwaihi dan keluarga Saljuk.

 

Inilah gambaran kecil tentang keadaan politik Islam pada periode ini. Adapun keadaan ilmu tidak ikut kacau-balau seperti keadaan politik namun tetap berkembang lebih-lebih pada masa Saljuk di timur dan masa Daulat Fathimiyah di Mesir. Padanya muncullah ulama-ulama besar tokoh-tokoh pemikir. Dalam pembinaan hukum Islam (tasyri’ Islami) mereka mempunyai peranan seperti apa yang akan kami perinci pada keistimewaan-keistimewaan berikut ini, hanya saja yang wajib diketahui bahwasanya ruh kemerdekaan (kebebasan) dalam pembinaan hukum telah lemah karena mengikuti lemahnya kemerdekaan politik. Ruh tinggi yang mendiktekan pada Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Dawud bin Ali, Muhammad bin Jarir Al Thabari dan orang yang sepadan mereka tinggal mempunyai pengayuh yang lemah. Ruh itulah yang mendiktekan pada Abu Hanifah untuk mengucapkan

 

Artinya : Mereka laki-laki dan kamipun laki-laki.

 

Mendiktekan pada Malik dalam perkataannya :

 

Artinya : ”Tidak seorangpun kecuali diambil pendapatnya”

 

Namun ia meninggalkan kecuali Rasulullah saw. Dan mendiktekan kepada selain dua orang tersebut dengan kata-kata yang menyerupai perkataan tersebut yang kemudian – tempat ruh itu ditempati oleh sesuatu yang kami namakan dengan “ruh taklid”.

 

  1. RUH TAKLID

 

Kami maksudkan dengan taklid adalah menerima hukum-hukum dari imam tertentu dan menganggap pendapat-pendapatnya seolah-olah nash dari Syari’ yang wajib diikuti oleh orang yang bertaklid.

 

Tidak ragu bahwasanya pada setiap periode dari pe, riode-periode yang lalu terdapat para mujtahid (orang-orang yang berij’tihad) dan para mugallid (orang-orang yang me. ngikut dengan membabi buta). Para mujtahid adalah para fuqaha” yang mempelajari Al Kitab dan As Sunnah dan me. reka mempunyai kemampuan untuk mengistimbathkan hukum-hukum dari zhahir nash atau dari apa yang tersirat padanya. Para mugallid adalah orang-orang umum yang tidak menyibukkan diri untuk mempelajari Al Kitab dan As Sunnah hingga menjadikan mereka ahli untuk beristimbath: apabila mereka mendapatkan suatu peristiwa mereka bersegera kepada seorang fakih di negeri mereka untuk minta fatwa. Adapun pada periode ini ruh taklid berjalan secara umum, dan dalam hal itu para ulama dan selainnya dari jumhur bersekutu. Setelah orang yang menghendaki fikih pada mulanya sibuk mempelajari Al Qur’an dan riwayat As Sunnah yang keduanya adalah asas istimbath lalu dia mempelajari kitab-kitab imam tertentu dan mempelajari jalannya yang dengan jalan itu imam tersebut membukukan hukum-hukum. Apabila ia telah menyempurnakan hal itu maka ia termasuk ulama yang ahli fikih (fuqaha’).

 

Sebagian dari mereka ada yang bercita-cita tinggi lalu dia menyelisihi suatu kitab tentang hukum-hukum imamnya, adakalanya mengikhtisarkan terhadap karangan yang terdahulu atau mensyarahkan atau mengumpulkan terhadap sesuatu yang terpisah pada kitab yang berlain-lainan, dan salah seorang dari mereka tidak memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu masalah dengan pendapat yang bertentangan dengan apa yang difatwakan oleh imamnya, seolaholah kebenaran itu turun pada lidah dan hati imamnya sehingga peninjau fuqaha Hanafiah pada periode ini, dan imam mereka dengan tidak menentang yaitu Abul Hasan Ubaidullah Al Karchi berkata : “Setiap ayat yang diselidiki oleh teman-teman kami maka dia dita’wilkan atau mansukh dan demikian juga setiap hadits dita’wili atau mansukh”. Dengan seperti inilah mereka memberi hukum kepada orang

 

Jain dan terbukalah pintu memilih pendapat. Kami tidak ragu bahwa diantara fuqahaperiode ini terdapat imam-imam besar, dan penuturan sebagian dari mereka segera datang dan kami tidak menduga bahwa mereka kurang mengetahui pokok-pokok tasyri” dan jalan istimbath dari pada orang-orang yang mendahului mereka, namun mereka tidak mempunyai kemerdekaan yang disenangi oleh orangorang yang terdahulu. Asy Syafi’i rahimahullah mempunyai kemerdekaan dalam beristimbath sehingga enak baginya untuk pada suatu hari berpendapat dengan sesuatu yang tampak baginya dan tidak ada penghalang yang menghalanginya untuk merobahnya manakala besok harinya tampak dalil yang menghendaki perobahan. Demikian juga imam-imam yang lain. Kemerdekaan itu juga dimiliki oleh para sahabat dan tab’in. Umar bin Khathab r.a. memutuskan dengan terhalangnya saudara-saudara kandung yang bersamaan dengan saudara-saudara se-ibu, ibu dan suami : pada tahun berikutnya ia menggabungkan (menjadikan berserikat) diantara seluruh saudara-saudara itu dalam sepertiga harta seraya berkata : “Itu adalah sesuatu yang pernah kami putuskan dan ini adalah sesuatu yang sekarang saya putuskan”,

 

Adapun ulama periode ini, masing-masing dari mereka menetapi (tetap memegangi pen) madzhab tertentu dan tidak dilampauinya serta mengerahkan kemampuan yang dikaruniakan Tuhan untuk menolong madzhab itu baik secara global maupun terperinci, padahal tidaklah tergores dalam hati tokoh-tokoh itu akan sahnya ‘ishmah (terpelihara dari dosa) bagi imam manapun dalam ijtihadnya. Para imam itu sendiri mengakui kemungkinan salah (keliru) pada diri mereka, dan kemungkinan disana ada sunnah lain yang tidak mereka lihat sehingga tidak hanya seorang dari mereka menyampaikan kalimat ini :

 

Artinya :

“Apabila hadits: itu shahih maka dialah madzhabku, dan jadikanlah perkataanku sebagai luasnya pagar”.

 

Dalam pada itu Al Karkhi berkata : ”Setiap hadits yang bertentangan dengan sesuatu yang ada pada temanteman kami maka sesuatu itu ditakwili atau dimansukh”. Saya melihat dalam Terjemah (riwayat hidup – pen) Ibnu Subki karya Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al Juwaini ayah Imamul Haromain bahwasanya ia memulai dalam suatu kitab yang disebutnya Al Muhith, disitu ia bermaksud meniadakan keterikatan dengan madzhab dan ia berhenti dan tidak melampaui terhadap apa yang dibawa oleh Al Hadits serta menghindari segi-segi fanatik kepada madzhab, Al Hafizh Abu Bakar Al Baihagi membuat tiga juz (jilid). Didalamnya ia mengeritik waham-waham (sangkaan-sangkaan) baru dan ia menerangkan kepadanya bahwa orang yang mengambil hadits yang manguf padanya adalah Asy Syafi’i r.a. dan sesungguhnya kebenciannya terhadap Al Hadits yang dibawa oleh Asy Syaikh Abu Muhammad karena didalamnya terdapat illat -illat yang diketahui oleh orang yang meneliti dalam pekerjaan hadits.

 

Ketika risalah itu sampai kepada Syaikh Abu Muhammad ia berkata : ” Ini adalah berkah ilmu dan ia mendoakan untuk Al Baihagi dan meninggalkan penyempurnaan karangan. Kemudian Ibnu Subki membenarkan kesalahan-kesalahan Risalah Al Baihagi walaupun Asy Syafi’i! rahimahullah memperdengarkan tegoran ini sebagai suatu ijtihad untuk dirinya. Dalam membenarkan hadits-hadits ia berpegang atas tokoh-tokoh hadits yang terpercaya yang membedakan antara hadits shahih dan perpenyakit. Dan tidaklah patut apa yang disebutkan oleh Al Baihagi karena Al Juwaini mening – palkan sesuatu yang disjari’atkan selama ia mempunyai kemampuan untuk beristimbath dan jiwanya mantap untuk merdeka (bebas),

 

Jika demikian, pastilah ada sebab-sebab hilangnya ruh ini. Nah kami akan menerangkannya menurut kemampuan yang kami jangkau, yaitu :

 

  1. Murid-murid yang mulia.

Kami tidak menjumpai sebab menjalarnya ruh seorang ulama dalam jiwa jumhur lebih lancar dari pada manakala ia mempunyai murid-murid yang memiliki kekuatan serta mengikuti jalannya, dan mereka mempunyai kedudukan dikalangan jumhur. Terpengaruhnya murid-murid itu oleh jalan seorang imam mengajak mereka untuk mengaguminya, membukukan dan mempertahankannya. Kedudukan mereka dikalangan jumhur mengajak jumhur untuk belajar kepada mereka dan mengamalkan fatwanya. Dia sangat membutuhkan agar ada imam-imam yang meletakkan kepercayaannya dan menapis hukum-hukum syari’at. Kebetulan Imamimam yang masyhur yang madzhab-madzhab mereka masih ada, mereka mempunyai murid-murid yang tinggi derajatnya, jelas hujjahnya dan mempunyai kemuliaan yang tinggi dalam pandangan bangsa dan raja mereka.

 

Mereka membukukan hukum-hukum yang mereka terima dari imam mereka, dan sejumlah besar murid-murid mereka mempelajarinya lalu mereka menyiarkan diantara orang-orang yang mengikutinya karena percaya kepada orang yang memberi fatwa kepada mereka. Kepercayaan para raja terhadap murid-murid para imam menjadikan mereka menyerahkan pengadilan kepada orang yang diajak musyawarah dan mereka hanya bermusyawarah dengan orang yang dipercayai, dan sebesar-besar orang yang anda percayai adalah orang yang terpengaruh dengan anda dan pendapatnya sesuai dengan pendapat anda. Maka hal itu menjadi unsur yang besar dalam menguatkan asas (dasar) bagi madzhab orang yang memiliki murid-murid seperti itu. Ketika kepercayaan terhadap imam-imam itu berakar kuat dalam hati jumhur maka sesudah itu sulitlah bagi seseorang untuk mendirikan madzhab baru dengan mengajak manusia untuk mengikutinya, karena mereka dianggap keluar dari jama’ah, dan kami tidak lupa akan sesuatu yang ditipu-dayakan oleh teman-teman diskusi apabila diketahui oleh orang yang berbuat kedengkian. Termasuk hal yang menyedihkan bahwa dengki itu adalah unsur yang apinya tidak mati pada suatu masa. Terlihatlah seorang fakih yang jiwanya tinggi mampu untuk berijtihad tidak mengenakan pakaian ini namun agar mencukupkan diri pada akhirnya sebagai mujtahid madzhab.

 

Pengertiannya ialah ia hanya berfatwa tentang masalahmasalah yang terjadi, apabila tidak ada suatu nash dari imamnya atau seseorang menilik salah satu dua pendapat imamnya tentang suatu masalah-masalah. Pada periode ini jumlah mereka itu banyak.

 

  1. Pengadilan.

Pada masa yang lampau para khalifah memilih para hakim dari orang-orang laki-laki yang memiliki pengetahuan tentang kitabullah ( Al Qur’an Pen ), Sunnah Rasulnya, dan mampu untuk mengistimbathkan hukum-hukum dari keduanya. Para khalifah membebani mereka untuk memutuskan apa yang nyata bagi mereka sesudah mereka dituntut untuk mengamalkan nash-nash dalam suatu yang ada nashnya, atau pendapat yang lebih mendekati kepada nash-nash itu sebagai mana Umar menulis kepada seorang hakimnya Abu Masa Al Asy’ari

 

Artinya :

“Keputusan adalah kewajiban yang tidak terhapus atau sunnah yang diikuti”.

Kemudian ia berkata :

 

Artinya :

“Faham,faham dalam suatu yang tergagap dalam dadamu tentang sesuatu yang tidak ada dalam Kitab ( Al Qur’an) dan As Sunnah. Ketahuilah hal-hal yang serupa dan ketika itu kiaskanlah usuran-urusan itu dan bermaksudlah kepada yang paling dekat kepada Allah dan paling menyerupai kebenaran”.

 

Para hakim itu, apabila tidak nyata bagi mereka segi kebenaran suatu peristiwa maka mereka bermusyawarah dengan para mufti dinegeri mereka, dan barangkali mereka mengirimkan wakil-wakil lalu mereka mengambil pendapat para mufti dalam sebagian masalah. Kepercayaan jumhur kepada para hakim itu besar, tetapi keadaan masyarakat berobah karena bertambah lamanya waktu lalu sebagian para hakim itu ada yang tidak memelihara kepercayaan ini, atau dinegerinya ada ulama yang dapat melemahkan kepercayaan itu dengan menampakkan kesalahan para hakim terhadap orang-orang yang minta fatwa sebagaimana terjadi pada Ibnu Abi Laila hakim Kufah oleh fuqaha senegerinya. Apabila kepercayaan jumhur kepada hakim itu berkurang maka tampaklah kecenderungan mereka agar hakim dalam memutuskan terikat dengan hukum-hukum tertentu sehingga hakim tidak mudah untuk menyimpang yang sekali waktu memutuskan dengan pendapat mufti apabila sesuai dengan maksudnya, dan sekali waktu menyelisihi terhadap pendapat mufti. Bertepatan dengan itu, para pengikut mujtahidin membukukan hukum-hukum yang mereka terima dari imam-imam mereka.

 

Dan tersiarlah disetiap negara-negara Islam sesuatu yang menghendaki ketangkasan murid-murid untuk menyiarkannya. Lalu orang-orang cenderung agar para hakim itu bermadzhab dengan madzhab yang dikenal serta diikutinya dalam pengadilan dan ia tidak melampauinya, dan agar madzhab itu adalah madzhab yang sudah dibukukan dan dikenal. Dengan demikian musnahlah madzhab-madzhab yang pengikut-pengikutnya tidak tangkas dalam membukukan dan mengajarkannya sehingga mudah diperolehnya. Apabila seorang raja atau sultan menyediakan diri untuk mengikuti suatu madzhab dan membatasi pengangkatan para hakim dan pengikutnya maka hal itu merupakan sebab besar dalam penyiarannya dan penambahan ulama yang melakukan serta menyiarkannya, sebagaimana pertolongan Mahmud Sabaktakin dan Nizhamul Multi terhadap madzhab Asy Syafi’i dinegara-negara Timur dan Shalahuddin Yusuf bin Ayyub di Mesir, Sebagaimana pertolongan Mansur Turki yang seluruhnya mengikuti madzhab Hanafi terhadap madzhab Hanafi. Apabila ada hartawan atau penguasa membuat (membuka) sekolahan dan membatasi pelajarannya dengan suatu madzhab atau beberapa madzhab tertentu maka hal itu menjadi penolong baru. Syah Waliyullah Ad Dahlawi mengatakan dalam risalahnya yang berjudul Al Inshaf fi bayanil ikhtilaf (dengan menceriterakan dari Abu Zur’ah murid Al Bulqini) suatu kali saya berkata kepada guru kami Imam Al Bulgini : ”Apakah Syaikh Taqiyuddin As Subki melalaikan ijtihad pada hal ia telah dipandang sempurna alat-alatnya, dan bagaimana ia bertaklid ?” Ia berkata : ”Ia tidak menyebutkanny2” yakni Al Bulqini gurunya karena malu kepadanya, ketika saya mau menyusun hal itu. Lantas ia diam, dan saya berkata : “Menurut saya, penghalangnya hanyalah fungsi-fungsi yang ditentukan bagi fuqaha madzhab empat. Barang siapa yang keluar dari padanya dan ia berijtihad maka ia tidak memperoleh hal itu sedikitpun, haram wilayah pengadilannya, manusia terhalang untuk minta fatwa kepadanya dan ia dicap bid’ah. Lalu ia tersenyum dan menyetujui kepadaku atas yang demikian itu“. Bersama dengan persetujuan Al Bulgini terhadap apa yang dikemukakan oleh Abu Zur’ah, sesungguhnya pengarang Al Inshaf tidak menyetujuinya karena ia memandang jauh akan sesuatu yang disebutkan oleh Abu Zur’ah dengan membawa ulama besar untuk meninggalkan ijtihad. Dan ia menukil suatu ungkapan dari As Sayuthi dalam Syarhul Muhadzdzab yang memberi faedah (pengertian) bahwa ijtihad mutlak itu apabila ia seorang mujtahid yang membangsakan diri, pembangsaannya kepada imam yang dibangsakan itu tidak hilang sebagaimana Abu Ishaq Asy Syairazi, Ibnu Shabagh, Imamul Haramain , dan Al Ghozali. Pengertian pembangsaan kepada imam adalah dia menempuh jalannya dalam berijtihad: menyelidiki dalil-dalil, mengurutkan sebagian atas sebagian yang lain dan menyetujui ijtihadnya. Bila kadang-kadang ia berbeda pendapat maka ia tidak mengindahkan adanya perbedaan itu dan ia tidak keluar dari jalannya kecuali dalam beberapa masalah. Hal itu tidak mencecatkan menurut madzhab Asy Syafi’i. Inilah yang dinukil oleh Waliyullah, tidak meniadakan kebenaran apa yang disebutkan oleh Abu Zur’ah, meskipun kami tidak memperbolehkan untuk mengambilnya secara umum, dengan mentakwilkan bahwa itulah yang membawa seluruh fuqaha kepada taklid.

 

  1. Pembukuan madzhab yang telah kami sebutkan, setiap madzhab kebetulan mempunyai orang-orang yang membukukannya serta terpercaya keberhasilannya dan jumhur itu mengambilnya. Tidakkah anda lihat pendapat Asy Syafi’i rahimahullah : “Al Laits itu lebih pandai dari pada Malik hanya saja teman-temannya tidak melaksanakan itu ialah mereka tidak mau membukukan pendapat-pendapatnya dan menyiarkannya kekalangan jumhur sebagaimana mereka membukukan pendapat-pendapat Malik. Al Laits bin Sa’ad tidak memperoleh kehormatan yang tinggi dalam Fiqh ketika murid-muridnya tidak membukukan pendapat-pendapatnya, dan ia sebagai mufti yang mujtahid namanya terlupakan meskipun kebesarannya masih tetap dikalangan para ahli hadits (muhadditsin) karena ia juga sebagai perawi yang terpercaya kejujurannya.

 

Orang yang seperti Al Laits itu banyak dari kalangan para imam-imam shahabat dan tabi’in yang pendapat dan istimbath mereka merupakan pelita bagi orang yang datang sesudah mereka. Dan kami telah menye butkan nama-nama mereka pada uraian yang telah lam pau.

 

Pada periode ini pembangsaan ulama kepada imam-imam itu tidak menjadikan mereka berhenti pada batas taklid semata, bahkan mereka mempunyai fungsi-fungsi yang mengangkat derajat dan meninggikan kehormatan mereka, karena :

 

  1. Tindakan mereka dengan menampakkan illat-illat hukum yang telah diistimbathkan oleh imam-imam mereka. Mereka itulah yang disebut ulama takhrij. Pengertian takhrijul manath ialah membahas tentang illat hukum. Kebanyakan ulama yang menyibukkan diri dalam masalah itu adalah ulama Hanafiyah. Banyak hukumhukum yang diriwayatkan dari imam-imam mereka tanpa diberi illat, lalu mereka berijtihad untuk menerangkan pokok-pokok yang ditempuh oleh para imam dalam istimbath mereka. Kadang-kadang ulama-ulama itu berbeda pendapat dalam mentakhrijkan illat-illat. Menerangkan illat itu membuka pintu fatwa dihadapan mereka dalam masalah yang tidak ada nash dari imam, manakala illat dari masalah yang dinashkan itu diketahui. Ketika itu mereka membuat apa yang disebut Ushul Fiqh sebagai ijtihad mereka bahwa inilah pokokpokok imam mereka dalam beristimbath. Pengertian ini telah saya terangkan dalam kitabku yang bertitel : ”Ushul al Fiqh” berdasarkan penyelidikan yang telah saya capai. Kemudian saya dapatkan pada Syah Waliyullah Ad Dahlawi sesuatu yang menguatkan hal tersebut dalam risalahnya yang telah terdahulu penuturannya.

 

Ia rahimahullah berkata : “Ketahuilah bahwasanya saya dapati kebanyakan mereka menduga bahwa daSar perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Asy Syafi’i ( dan disandarkan kepada perbedaan itu antara Abu Hanifah dan teman-temannya) atas dasar pokokpokok ini yang tersebut dalam kitab Al Bazdawi dan sebagainya, yang benar (hak) bahwa kebanyakannya adalah pokok-pokok yang dikeluarkan atas pendapatpendapat mereka. Menurut saya masalah yang mengatakan, bahwa khash itu jelas dan tidak diiringi oleh keterangan dan tambahan itu terhapus, dan “am itu go’th’i (pasti) seperti khash dan agar jangan mengunggulkan karena banyaknya perawi dan tidak wajib mengamalkan hadits selain ahli Fiqih apabila pintu ra’yu tertutup. Mafhum syarat dan sifat sama sekali tidak dianggap, dan yang mewajibkan sesuatu adalah wajib (wujub) semata. Hal-hal yang serupa itu adalah ushul (pokok-pokok) yang dikeluarkan dari perkataan para imam. Dengannya tidaklah sah riwayat dari Abu Hanifah dan dua temannya dan yang dipelihara bukanlah itu. Membuat beban untuk menjawab pekerjaan orang-orang yang terdahulu dalam beristimbath sebagaimana dilakukan oleh Al Bazdawi dan lainnya adalah lebih hak dari pada memelihara atas menyelisihinya dan menjawab atas apa yang datang atasnya. Kemudian ia rahimahullah membuat contoh bagi setiap kaidah dari kaidah-kaidah ini dan apa yang datang pada Hanafiyah dan jawaban yang mereka bebankan dari teguranteguran ini. Orang-orang Syafi’iyyah lebih sedikit perhatiannya terhadap usaha ini karena pokok-pokok (ushul) imam mereka telah dibukukan oleh Imam Syafii sendiri dan didektikan kepada teman-temannya sebagaimana mereka lebih terhindar dari medan-2 diskusi dan perdebatan yang pembicaraannya akan datang.

 

  1. Mentarjih (mengunggulkan) pendapat-pendapat yang berbeda-beda dalam suatu madzhab. Pertarjihan ini dari dua macam :

 

1). Pentarjihan dari segi riwayat.

2), Pentarjihan dari segi dirayah (pengetahuan).

 

Adapun dari segi riwayat , sesungguhnya penukilannya telah berbeda-beda pada sebagian masalah dari imamjimam mereka. Madzhab para imam itu dinukil oleh tidak hanya seorang sebagaimana anda lihat pendapatpendapat Abu Hanifah dinukil oleh Muhammad bin Hasan dan dari padanya diambil oleh orang lain dan sebagiannya ada yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dan dari Abu Yusuf dinukil tidak hanya oleh Muhammad yakni sahabat-sahabatnya seperti Hasan bin Ziyad, Isa bin Aban dan lain-lain.

 

Demikian juga kitab-kitab Muhammad diriwayatkan oleh tidak hanya seorang. Sungguh anda dapatkan mereka berbeda-beda dalam penukilan itu. Timbulnya yang demikian itu adakalanya karena kesalahan sebagian penukilan mereka, dan adakalanya dari keraguan imam itu sendiri dalam berpendapat dimana ia mengatakan suatu pendapat kemudian esoknya ia mengganti lalu masing-masing orang meriwayatkan lain dari apa yang diriwayatkan oleh yang lain. Demikian juga kami lihat pendapat Asy Syafi’i yang diriwayatkan oleh Rabi’ bin Sulaiman, Al Muzni, Harmalah, Al Buwaithi dan lain-lainnya, mereka berbeda-beda dalam menukil karena dua sebab yang terdahulu itu. Demikian juga pendapat Malik yang diriwayatkan oleh Ibnu Qasim, Ibnu Wahab, Ibnul Majisyun, Asad bin Furat dan lain-lain. Sebagian dari pekerjaan ulama setelah tetapnya madzhab-madzhab adalah menampakkan pendapat mereka, riwayat manakah yang lebih unggul, lalu mereka mengunggulkan riwayat yang dimantapi oleh jiwa mereka karena tambahnya kepercayaan kepadanya sebagaimana orang-orang Hanafiyah mengunggulkan riwayat-riwayat Muhammad atas orang lain dari seluruh teman-temannya. Dan mereka mengunggulkan hadits yang ditulis oleh Muhammad yaitu kitab-kitabnya yang diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya seperti Abu Hafsh Al Kabir dan Al Jauzaja – nisan mereka sebut sebagai zhahir riwayat.

 

Demikian juga orang-orang Syafi’iyah mengunggulkan apa yang diriwayatkan oleh Rabi’ bin Sulaiman sehingga seandainya Rabi” dan Al Muzni meriwayatkan suatu riwayat maka mereka mendahulukan riwayat Rabi” , dalam pada itu mereka mengetahui tingginya derajat Al Muzni dalam Fiqh yang dalam Fiqh ini mereka lebih mengunggulkannya atas Rabi” dan mereka melemahkan apa yang diriwayatkan oleh Harmalah apabila keduanya saling berlawanan. Demikian juga Malikiyah mengunggulkan beberapa riwayat Ibnu Qasim sendiri, dimana mereka mengunggulkan karena bertambahnya kepercayaan pada para perawi.

 

Adapun pentarjihan macam kedua adalah pentarjihan antara riwayat-riwayat yang sah dari imam mereka manakala riwayat-riwayat itu berbeda-beda atau antara apa yang dikatakan oleh teman-temannya yang membangsakan diri kepadanya. Pentarjihan ini hanya dilakukan oleh para fuqaha’ yang mengetahui tentang : pokok-pokok imam mereka dan jalan mereka dalam beristimbath lalu mereka mentarjihkan (mengunggulkan) pendapat-pendapat yang sesuai dengan pokokpokok itu atau yang lebih mendekati kepada dalil-dalil Fiqh yang pokok yaitu Al Kitab, As Sunnah dan Kiyas. Dan sudah menjadi naluri adanya perbedaan pendapat diantara para pentarjih dalam pentarjihan itu. Sedang pengakuan pandainya seorang ahli tarjih dalam madzhab adalah mengikuti kepada derajat penelaahan dan : tindakan yang dikenal baginya.

 

  1. Tindakan setiap golongan membantu madzhabnya baik secara global maupun terperinci. Yang secara global ialah golongan itu menyiarkan apa yang ada pada imam madzhab yaitu ilmu yang luas, wara’ dan jujur , baik dalam beristimbath dan mengikuti dengan sempurna kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya s.a.w. Setiap kelompok menulis hal tersebut sebanyak-banyaknya, sedikit sekali anda jumpai ulama suatu madZhab yang tidak mensifati imam mereka bahwa dia seorang imam dari para imam tanpa dibela, dan mereka sebutkan sifat-sifat yang menjadikannya ia termasuk orang yang besar dalam lapangan Fiqh dan istimbath. Barangkali sebagian mereka ada yang melampaui batas maka ada orang-orang yang menyelisihi para imam itu dan mereka tidak banyak . Yang secara detail ialah dengan mentarjihkan (mengunggulkan) madzhab pada setiap masalah khilafiyah dan untuk itu mereka membuat kitabul khilaf (kitab tentang perbedaan pendapat) dimana mereka menyebutkan masalah-masalah yang bertentangan dan dalam setiap keadaan mereka mengunggulkan madzhab yang diikutinya, dan dalam banyak keadaan tidak terlepas dari memaksa-maksakan secara terang-terangan, dan dari segi lain mereka sengaja untuk mendiskusikan secara lesan. Dan akan saya kemukakan kehadapan anda tentang diskusi-diskusi ini karena hal itu menjadi masalah penting pada periode ini.

 

  1. TERSIARNYA DISKUSI—DISKUSI DAN PERDEBATAN-PERDEBATAN

 

Pada periode yang lalu terdapat diskusi-diskusi . Banyak kali Asy Syafi’i menceriterakan sebagian diskusi-diskusi antara dia dan Muhammad bin Hasan seorang fagih Irak hanya saja hal itu tidak tersiar dikalangan para ulama. Menurut zhahirnya, tujuan diskusi hanyalah menyampaikan kepada pengistimbatan (mendapatkan) yang benar. Disana tidak ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk merubah pendapat-pendapat mereka apabila tampak kebenaran bagi mereka karena mereka merdeka dalam berpendapat dan salah seorang dari mereka tidak terikat dengan suatu madzhab dan tidak pula dengan suatu pendapat. Namun pada periode ini keadaan itu telah berobah dari permulaan tersiarnya diskusi-diskusi itu, pendorongnya dan hasilnya.

 

Menurut perkiraan, majelis-majelis diskusi itu sangat tersiar sehingga setiap kota besar hampir ada ikatan majelis itu dikalangan ulama-ulama besarnya, lebih-lebih di Irak dan Khurasan.

 

Majelis itu diselenggarakan dihadapan para menteri dan pembesar serta dihadiri oleh banyak ahli ilmu dan di majelis ta’ziyah (Periksalah Thobagot Asy Syafi’iyah fitarjamati Asy Syaikh Abu Ishag Asy Syairazi). Abul Walid Al Baji berkata : ”Adat kebiasaan di Baghdad adalah orang yang kena musibah dengan meninggalnya salah seorang yang dimuliakan maka ia duduk beberapa hari di masjid jama’ahnya, tetangga-tetangga dan saudara-saudaranya duduk-duduk disitu. Apabila lewat beberapa hari mereka melawat dengan maksud menghibur kemudian kembali kepada kebiasaan pekerjaannya, Pada hari-hari melawat bersama saudara-saudara dan tetangga-tetangga biasanya mereka habiskan waktunya dengan membaca Al Qur’an atau diskusi-diskusi dengan fuqaha dalam berbagai masalah.

 

Dikaranglah buku-buku tentang pedoman diskusi dan khususnya Iimu Kesopanan membahas (Adabul Bahtsi). Pada mulanya majelis diskusi itu mengupas tentang Ilmu Kalam sampai hal itu menjadikan fanatik buruk dan dendam kesumat yang tersiar dan melebihi batas hingga mengalirkan darah dan merobohkan negara. Sebagian person-person amir itu cenderung untuk mendiskusikan Fiqh dan menerangkan mana yang lebih sempurna antara madzhab Syafi’i dan Abu Hanifah khususnya.

 

Lantas manusia meninggalkan ilmu kalam dan vak-vak ilmu, mereka keluarkan masalah-masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) antara Asy Syafi’i dan Abu Hanifah khususnya, dan mereka anggap ringan menyelisihi Malik, Sufyan, Ahmad dan lain-lain.

 

Adapun yang mendorong mereka berbuat demikian adalah karena menyenangkan para amir, meskipun mereka menipu diri mereka dengan dalih bertujuan mengistimbathkan detail-detail syari’at, menetapkan illat-illat madzhabmadzhab dan -sebagai pendahuluan pokok-pokok fatwa. Hal itu telah ditetapkan oleh imam mereka Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali dia hujjah tentang hal itu, dia termasuk kepala mereka, salah seorang pembicara mereka dan orang yang paling teliti diantara mereka, kemudian dia menyingkap tutup itu, lalu ia meninggalkan percakapan manis diluar ketenaran palsu untuk kembali kepada Allah. Dan kami tidak menjumpai orang yang menjelaskan cacat-cacat suatu keadaan lebih banyak dari pada seseorang yang telah menyelaminya kemudian meninggalkannya. Al Ghazali berkata : “Sesungguhnya kaum-kaum itu membingungkan diri mereka denyan mengatakan bahwa tolong-menolong dalam mencari kebenaran adalah termasuk agama. Sesungguhnya hal itu mempunyai delapan syarat yaitu :

 

  1. Jangan menyibukkan diri terhadap fardhu kifayah bagi orang yang belum menyelesaikan fardhu-fardhu “ain. Barang siapa yang mempunyai kewajiban fardhu’ain lalu menyibukkan diri dengan fardhu kifayah dengan menduga bahwa tujuannya itu benar maka sebenarnya dia berdusta . Contohnya orang yang meninggalkan sholat dan bertelanjang untuk menghasilkan dan menenun pakaian serta berkata : ‘”Tujuan saya adalah menutup aurat orang yang sholat dengan telanjang dan tidak mempunyai pakaian”. Sesungguhnya hal itu sesuai dan terjadinya mungkin, karena dugaan seorang fakih bahwa terjadinya hal-hal yang jarang dan menjadi pembahasan adalah suatu kemungkinan. Orang-orang yang sibuk dengan diskusi , mereka melalaikan urusan-urusan fardhu “ain dengan persetujuan. Barang siapa yany menghadapkan diri kepadanya, maka ia menolak amanat seketika lalu berdiri dan takbir untuk sholat yang merupakan sedikit-dikit pendekatan diri kepada Allah ta’ala namun ia durhaka dengannya, karena tidak cukup seseorang itu tunduk (taat) dengan melakukan sejenis ketundukan (keta’atan) selama tidak dijaga waktu, syarat dan tertib didalamnya.

 

  1. Tidakkah ia berpendapat bahwa fardhu kifayah itu lebih penting dari pada diskusi ? Jika ia melihat sesuatu yang lebih penting namun ia melakukan lainnya maka ia durhaka karena perbuatan itu. Contohnya adalah orang yang melihat sekumpulan orang kehausan yang hampir binasa dan orang-orang melalaikan mereka, sedang dia mampu untuk menghidupi mereka dengan memberi air minum, namun ia menyibukkan diri dengan belajar membekam dengan dugaan bahwa bekam itu termasuk fardhu kifayah seandainya suatu negeri tidak ada orang yang dapat membekam, maka binasalah manusia. Apabila dikatakan kepadanya bahwa dinegeri itu ada sekelompok tukang bekam dan disisi mereka ada orang-orang kaya, maka ia berkata : ”Keadaan ini tidak mengeluarkan perbuatan ini dari keadaannya sebagai fardhu kifayah”. Keadaan orang belajar bekam dan melalaikan peristiwa yang diderita oleh segolongan kaum muslimin yang kehausan adalah seperti orang yang menyibukkan diri dengan diskusi sedang dinegeri itu banyak fardhu-fardhu kifayah yang dilalaikan dan tidak ada yang menunaikannya, dan ditetapkan oleh kedokteran, demikian juga perintah dengan kebaikan dan melarang kemungkaran.

 

  1. Orang yang berdiskusi itu hendaklah seorang mujtahid yang berfatwa dengan pendapatnya, tidak dengan madzhab Asy Syafi’i, Abu Hanifah dan lain-lainnya sehingga apabila tampak kebenaran pada madzhab Abu Hanifah maka ia meninggalkan sesuatu yang sesuai dengan pendapat Asy Syafi’i dan ia memberikan fatwa dengan suatu yang nyata baginya. Adapun orang yang tidak mempunyai tingkatan ijtihad yaitu memberi hukum kepada setiap orang pada setiap masa, apakah faedah diskusi baginya, sedang madzhabnya telah diketahui dan baginya tidak ada fatwa dengan yang lain?

 

  1. Hendaknya jangan mendiskusikan kecuali masalahmasalah yang terjadi atau biasanya hampir terjadi. Mereka tidak mementingkan untuk menjernihkan masalah-masalah bahaya yang merata namun mereka mencari genderang biar didengar lalu meluas ke medan perdebatan itu. Bagaimana hal itu, barangkali mereka mengatakan : ”’Ini adalah masalah berita atau dari sudut-sudut dan bukan dari genderang”

 

  1. Diskusi di tempat yang sepi adalah lebih disukai dan lebih penting dari pada di perayaan-perayaan dan di depan para pembesar dan raja-raja, karena sungguh tempat yang sunyi itu lebih mengumpulkan kepahaman dan lebih layak untuk menjernihkan hati dan fikiran serta mendapatkan kebenaran. Dengan hadirnya orang banyak ada sesuatu yang menggerakkan daya tarik untuk riya? dan mengharuskan loba bagi masingmasing orang untuk memenangkan dirinya baik dia benar maupun salah, Anda mengetahui bahwa kelobaan mereka terhadap perkumpulan-perkumpulan dan perayaan-perayaan itu bukan karena Allah, dan salah Seorang dari mereka menyembunyikan diri dari kawannya beberapa waktu lamanyaserta tidak berkata-kata kepadanya, dan barangkali ja mengusulkan namun tidak dijawabnya. Apabila tampak kemajuan atau beraturnya suatu kumpulan maka ia tidak meninggalkan daya upaya, sehingga ia menjadi orang yang khusus berbicara.

 

  1. Dalam mencari kebenaran itu agar seperti orang mencari barang yang hilang,: tidak membedakan antara barang yang hilang itu ditemukan oleh tangannya atau tangan orang yang menolongnya, dan ia memandangnya sebagai teman yang menolong bukan lawan bertengkar dan ia berterima kasih kepadanya apabila ia menunjukkan kesalahannya dan menampakkan kebenaran kepadanya. Orang-orang yang berdiskusi pada masa kita apabila kebenaran itu nyata pada lidah lawannya maka muka salah seorang dari mereka menjadi merah padam dan malu serta berusaha untuk menentangnya dengan sejauh kemampuannya dan mencela orang yang menyalahkan sepanjang hidupnya.

 

  1. Janganlah seseorang itu menghalangi penolongnya dalam berdiskusi untuk pindah dari suatu dalil ke dalil lain, dari suatu kesulitan ke kesulitan lain. Dari perkataannya keluarlah seluruh detailnya perdebatan yang diada-adakan dengan sesuatu yang berguna baginya dan memandharatkan kpd. orang yang lain seperti perkataan: “Ini tidak perlu bagiku untuk menyebutkannya”, dan ”Ini bertentangan dengan perkataanmu yang pertama”, maka tidak dapat diterima karena kembali kepada kebenaran itu adalah melawan kebatalan dan wa jib diterimanya, dan anda lihat seluruh perayaan-perayaan itu membawa kepada pemertahanan diri dan perdebatan-perdebatan.

 

  1. Hendaklah mendiskusikan kepada orang yang dapat di ambil faedahnya yaitu orang yang sibuk dengan ilmu. Biasanya mereka menghindarkan diskusi dengan tokoh-tokoh dan ulama-ulama besar, karena takut tampaknya kebenaran pada lesan mereka. Mereka menyenangi orang yang dibawah mereka karena ingin memperlakukan kebatalan atas mereka.

 

Kemudian Al Ghazali menambahkan sebuah fasal yang meherangkan bahaya-bahaya diskusi dan dihitungnya :

 

  1. Dengki
  2. Sombong dan meninggi atas manusia, sehingga mereka bertengkar di majelis-majelis, berlomba-lomba dalam meninggikan dan merendahkan, mendekatkan terhadap sandaran dan menjauhinya, dan dulu-duluan masuk ketika jalan itu sempit. Barangkali orang yang bodoh, membuat tipu daya dengan alasan bahwa dia berusaha menjaga kemuliaan ilmu sedang orang mu’min itu dilarang merendahkan dirinya. Lalu mereka pandang merendahkan diri (tawadhu?) sebagai kehinaan, dan takabbur sebagai kemuliaan agama dengan merobah nama dan menyesatkan makhluk.
  3. Dendam,orang yang berdiskusi hampir tidak terhindar dari padanya.
  4. Mengumpat. Sesungguhnya hampir tidak terlepas dari menceriterakan perkataan musuhnya, dan mencelanya. Tujuan hafalannya untuk membenarkan apa yang diceriterakannya dan ia tidak berdusta dalam ceriteranya. Ceriteranya pastilah sesuatu yang menunjukkan atas keterlaluan perkataan, kelemahan, dan kurangnya keutamaan orang lain, itulah mengumpat.
  5. Mengintai-intai dan mengikuti aurat manusia. Orang yang berdiskusi tidak terlepas dari mencari ketergelinciran teman-temannya dan mengikuti aurat-aurat lawan bertengkarnya sehingga ia men. ceriterakan datangnya orang yang berdiskusi ke. negerinya. Orang yang memberitakan itu mencari yahasia-rahasia keadaannya dan menanyakan soal akibat-akibatnya sehingga hal itu dihitung sebagai simpanan bagi dirinya dalam mencela dan membuat malu Apabila ada kebutuhan yang menyentuhnya sehingga ia ingin membuka keadaan-keadaan kanak-kanak dan cacad badannya. Mungkin ia tergelincir pada kesalahan atau cacatnya semisal botak atau yang lain. Kemudian apabila ia merasa kalah dari segi itu ia menggantinya dengan yang lain. Dan hal itu dipandang baik dan dipandang dari sebabsebab yang lembut dan tidak terhalang untuk menjelaskannya apabila ia menyombong dengan kebodohan dan menertawakan sebagaimana ia menceriterakan tentang suatu kaum yaitu pembesar-pembesar dari orang yang berdiskusi dan terhitung tokoh-tokohnya.

 

  1. Senang kepada keburukan-keburukan manusia dan gundah terhadap kesenangan mereka. Setiap orang . yang mencari kemewahan dengan menampakkan keutamaan, pastilah senang kepada sesuatu yang menjelekkan teman-temannya dan segala bentukbentuk keutamaan yang mereka saling tinggi-meninggi . Kebencian diantara mereka seperti isteriisteri yang dimadu sebagaimana salah satu madu itu melihat madunya dari jauh maka ia terkejut dan pucat rupanya. Demikianlah anda lihat orang yang berdiskusi apabila ia melihat teman diskusinya maka berobahlah yupanya dan goncang pikirannya seolah-olah ia menyaksikan syaithan yang datang atau serigala yang membahayakan.
  2. Nifak.

Mereka membutuhkannya, karena mereka mendapatkan lawan-lawan debat mereka, simpatisan-simpatisan dan pendukung-pendukung mereka, dan mereka tidak dapat menghindarkan kasih sayang dan menampakkan kerinduan dengan lesan dan menghargai kedudukan dan keadaan mereka. Orang yang berbicara, yang diajak bicara dan setiap orang yang mendengarnya mengetahui bahwa hal itu bohong, dusta, nifag dan keji karena mereka berkasihsayang dimulut saja, namun benci-membenci dalam hati.

 

  1. Menyombongkan diri dan benci terhadap kebnaran serta loba kepada perbantahan hingga sesuatu yang paling dibenci oleh orang yang berdiskusi adalah munculnya kebenaran pada lesan Iawan bicaranya. Kapan saja kebenaran itu muncul, ia siap siaga untuk menentang dan mengingkarinya dengan jerih payah yang semaksimal mungkin dan mengarahkan puncak kemampuannya dalam tipumenipu, daya upaya dan helah untuk menolaknya sehingga perdebatan itu menjadi adat kebiasaan yang naluri , dimana apabila ia mendengar perkataan maka tergeraklah dorongan untuk menentangnya secara naluri sehingga hal itu mengalahkan didalam hatinya terhadap dalil-dalil Al Qur’an dan lafazhlafazh syara’, lalu sebagiannya memukul kepada sebagian yang lain.

 

  1. Riya’ dan memperhatikan makhluk dan sungguhsungguh dalam menarik simpati hati mereka dan memalingkan wajah-wajah mereka, padahal riya’ itu penyakit yang tak dapat disembuhkan dan mengajak kepada sebesar-besar dos besar. Dan orang yang berdiskusi itu hanya bermaksud untuk menang disisimahklukdan mendapat pujian dari mereka.

 

Ini adalah hasil-hasil yang besar sekali, menu. runkan sekelompok fuqaha’ dari tempat yang ting. gi yang seharusnya mereka tempati karena mereka adalah pemelihara syari’at dan penjaga agama maka wajib bagi mereka berbudi pekerti yang sempurna.

 

Tetapi diskusi-diskusi yang tidak karena dzat Allah telah menjadikan kebanyakan dari mereka tergoda dengan sesuatu yang telah diuraikan oleh seseorang yang tergoda dengan cobaan seperti ini lalu ia diselamatkan oleh Allah.

 

Ibnus Subki berkata dalam Ath Thabagat: Abu Hay yan At Tauhidi berkata: ”Saya mendengar Syaikh Abu Hamid berkata kepada Thahir Al Ubadani: “Janganlah anda banyak memberi komentar terhadap apa yang ada dengar dari padaku dalam majelis perdebatan karena disana perkataan itu ,keluari untuk menipu lawan bertengkar, menyalahkan menolak dan mengalahkannya. Perkataan kami tidaklah ikhlas karena Allah. Seandainya kami menghendaki demikian (ikhlas karena Allah – Pent) niscaya langkah kami untuk diam adalah lebih cepat dari pada memperpanjang perkataan. Jika kami memperbanyak hal ini niscaya kami kembali dengan kemurkaan Allah ta’ala. Dalam pada itu kami loba kepada kelapangan rahmat allah.

 

MADZHAB ISMAIILI.

 

Periode ini memperoleh keistimewaan dengan munculnya madzhab Isma’ili di Mesir dan beberapa negeri yang mengikutinya . Madzhab Isma’ili adalah salah satu madzhab Syi’ah yang mengangkat Isma’il bin ja’far bin ash Shadig dan mereka tinggalkan saudaranya Musa bin Ja’far yang ter kenal dengan Al Kazhim. dengan demikian dalam dunia Islam ada tiga madzhab yaitu Zaidiyah, Imamiyah dua belas dan Isma’iliyah.

 

Sebagian madzhab ini bertentangan dengan sebagian gang lain hanya saja mereka seluruhnya terhimpunu oleh keturunan. Ketika Al Mu’iz lidinillah datang ke Kairo yang telah dibangun sebelum kedatangannya dan kota itu dinisbathkan kepada namanya, ia bersama seorang alim besar dan ahli fakih Isma’iliyah. Dalam kesempatan itu ia menentukan Hakim Agung (gadhil gudhah) di Mesir. Hal ini baru pertama kali dikenal di Mesir. Sebelum itu yang ada Hakim Agungdi Baghdad istana Khilafah Agung. Hakim ini memutuskan diantara manusia dengan madzhab Isma’ili dalam hal warisan dan masalah-masalah lain. Tentang warisan keluarga ada perbedaan dengan jumhur dalam berbagai masalah, yang penting menurut mereka tidak ada ashabah dan ‘aul. Dan mereka menggantikan kerabat ditempat ashabah. Kerabat yang terdekat demi yang terdekat mewarisi kepada mayit-mayit baik laki-laki maupun perempuan. Menurut mereka tingkat pertama adalah kedua orang tua dan anakanak. Tingkat kedua kakak dan saudara-saudara laki-laki dan saudara perempuan. Demikianlah orang yang lebih jauh tidak mewarisi orang yang terdekat. Apabila seorang mayit meninggalkan seorang anak wanita tanpa adanya kedua orang tua maka wanita itu memperoleh separoh harta dengan bagian pasti (fardhu) dan separohnya di radd (di-: kembalikan kepada waris tersebut). Oleh karena itu salah seorangpun tidak ada yang menyekuti Fathimah puteri Rasulullah s.a.w. dalam warisan dari ayahnya.

 

Seorangpun tidak mewarisi bersama ibunya dari saudarasaudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan. Disamping pendapat tentang keluarga dalam kaidah warisan yaitu kekerabatan, mereka mendahulukan anak paman kandung atas paman seayah pada hal paman itu lebih dekat dari pada anak paman. Mereka mengambil hujjah atas hal itu dengan ijma’ sekelompok ulama yang mentahkikkan. Mes reka mempunyai masalah-masalah yang banyak atas dasar pokok ini yang menyelisihi pendapat jumhur yang diambil dari sabda Rasulullah s.a.w.

 

Artinya:

“Sampaikanlah bagian-bagian yang pasti kepada ahlinya dan sisanya untuk laki-laki yang lebih utama”,

 

Mereka melepaskan ‘aul dengan memasukkan kekurangan atas sebagian ash-habul furudh (orang yang pasti mempunyai bagian).

 

Dengan adanya aturan pengadilan di Mesir atas madzhab ini maka para ulama mengajarkannya di Universitas Al Azhar yang dijadikan asas mereka. Oleh karena itu dikaranglah kitab-kitab itu dan mereka memberikan gajian bulanan kepada para ulama dan pelajar. Hal ini dijadikannya salah satu pintu da’wah dan kepadanya disandarkan pekerjaan para da’i dan para penolongnya, karena mereka sungguhsungguh menarik jumhur untuk mengajak kepada madzhab Isma’ili. Tetapi hal itu tidak membawa hasil yang dimaksud karena madzhab Maliki dan madzhab Syafi’i telah mendapat tempat yang mulia dihati jumhur, maka tidak mungkin untuk melakukan pekerjaan yang memusnahkan dalam membatalkan atau melemahkannya. Dan ulama dua madzhab itu terus mempunyai ruang pengajaran di mas jid kuno di Mesir.

 

Abu Ahmad bin Al Afdhal menteri Al Muntashir akhirnya terpaksa mempermudah urusan itu dan menentukan empat hakim yang masing-masing memutuskan dan menentukan warisan dengan madzhabnya yaitu hakim Isma’ii, hakim Imami, hakim Maliki, dan hakim Syafi’i. Adanya ber macam-macam hakim itu baru pertama kali di mesir. Itu pada tahun 525 H. Ketika pemerintahan semakin lemah maka Abdul Ma’ali Mujli bin Jami’ Asy Syafi’i, pengarang Adz—Dzkha-ir dilantik sebagai Hakim Agung (Qudhatul qudhah) pada tahun 547 h.

 

Ketika Shalahuddin menjabat menteri Sosial, ia menghilangkan hal-hal yang menonjol dari Daulat Isma’iliyah dan mengusir hakimnya Jalaluddin Hibahullah bin Kamil Ash Shuri, dan Shadruddin Abdul Malik bin darbas Al Kurdi Asy Syafi’i menjabat gadhil Qudhah (Hakim Agung) di Kairo tahun 566 H. Shalahuddin memerangi Madzhab Isma’ili di Mesir hingga madzhab itu tidak berpengaruh dan putuslah hubungan antara kita dan kaum itu sehingga kami hampir tidak melihat kitab mereka sedikitpun baik kitab Fiqh maupun yang lain. Pengadilan berjalan dengan madzhab Syafi’i sampai datangnya Azh zhahir Biberes dimana ia mengulangi adanya pengadilan yang bermacam-macam hanya saja terbatas pada madzhab jumhur saja yaitu: Syafi’i Maliki, Hanafi dan Hambali.

 

Tidak mungkin bagi kita untuk memperkirakan kadar kesuksesan tersiarnya madzhab Isma’ili di Mesir dan memperkirakan orang-orang yang mengikutinya dari orang orang khusus bangsa itu, hanya saja kami ketahui bahwa pengaruhnya dikalangan umum sedikit sekali karena diriwayatkan mereka lari dari aturan-aturan luar serta akidah-aki dah Isma’iliyah dan kalangan fuqaha ternyata tidak menerimanya bahkan mareka menandainya dengan tanda kekafiran dan anti Tuhan (ilhad) . Maka jumhur lari dari padanya lebih-lebih pasukan perang yang diserunya, dan hal itu menambah kuatnya i’tigad mereka bahwa madzhab itu keluar dari agama yang telah mereka warisi dari para imam dan ulama mereka.

 

  1. MULAI KEFANATIKAN MADZHAB

 

Patut diperhatikan tentang toleransi yang berembus Sepoi-sepoi basa yang ruhnya: menguasai terhadap periode yang lalu, dimana perbedaan pendapat tidak berpengaruh Untuk membenci teman-teman madzhab yang berbeda-beda antara sebagian dan bagian yang lain. Kadang-kadang da. : lam satu negeri terdapat dua mujtahid atau lebih masing-masingnya membolehkan temannya untuk berijtihad dan tidak mencelanya. Kebanyakan yang dikenal, adalah salah seorang dari mereka mengatakan kesalahan orang lain dalam suatu masalah dan kadang-kadang mengeritik baik dengan tulisan atau lesan dalam pada itu masing-masing dari mereka menghormat kepada yang lain, bahkan mencintai dan memujinya. Sebelum ini, telah kami tuliskan surat Al Laits bin Sa’d kepada Malik bin Anas, serta kritikan yang dikeluarkan oleh Asy Svafi’i terhadap masalah-masalah Abu Hanifah. Namun ia mengatakan: ” Dalam fikih, orang-orang membutuhkan Abu Hanifah, dan ia memuji kepada Muhammad bin Hasan, teman diskusinya yang besar. Kepada Ahmad bin Hambal, muridnya dalam Fiqh ia berkata: ? Apabila hadits itu shahih menurut kamu maka beritahukanlah hadits itu kepadaku.”

 

Apabila disebutkan sebuah hadits maka ia berkata: ” Apa yang ada padamu adalah bintang yang menembus” dan sebagainya dari kata-kata yang menunjukkan tingginya jiwa toleransi dan cinta diantara fuqaha dan para imam yang suci-suci. Dalam hal itu mereka mengikuti orang-orang yang terdahulu yakni para shahabat dan tabi’in.

 

Adapun pada periode ini dimana ruh taklid telah menjalar dan menyeret mereka untuk mempertahankan masalah-masalah dari imam-imam mereka sebagaimana telah kami katakan, dan para gubernur meminta mereka untuk menjelaskan dihadapan mereka dalam lapangan diskusi yang akibatnya membawa mereka kepada sesuatu yang dibenci oleh Imam Al Ghazali dan fanatik golongan karena mempertahankan diri dan perdebatan serta menganggap orang lain sebagai musuh sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Ghazali tentang hal itu.

 

Segolongan dari mereka terjerumus kedalam permusuhan yang kemudian diikuti oleh orang umum bahkan hampir membawa mereka untuk memerintahkan-haramnya ma’ mum sholat kepada orang yang berbeda madzhab dengan berpedoman atas kaidah: ” Kami tidak mengetahui kapan kaidah itu ditemukan, “itu suatu ungkapan untuk mengikuti madzhab orang yang ma’mum bukan madzhab imam. Sudah diketahui bahwa banyak dari sholatnya orang Syafi’ iyah tidak sah menurut pandangan orang Hanafiyah karena orang yang bermakdzhab Syafi’i tidak wudhu dengan kejuarnya darah dari badannya karena hal itu tidak membatalkan wudhu menurut imamnya. Demikian juga seorang yang bermakzhab Hanafi tidak wudhu karena menyentuh wanit ajrabiyah (bukan mahrom) karena hal ini tidak – membatalkan wudhu menurut Imam Hanafi, dan ia juga tidak mengucapkan.

 

salah satu ayat dari surat Al Fatihah yang menurut pandangan Asy Syafi’i sholat tanpa ayat itu (Bismillahir Rohmanir Rohim) tidak sah. Hal-hal yang semacam itu menimbulkan adanya keraguan dalam hati ma’mun apabila mau ma’mum kepada orang yang berbeda madzhabnya. Kami tidak mengetahui bagaimana mereka sampai mengatakan hal itu padahal para imam madzhab-madzhab itu bertoleransi dalam ijtihad dan perbedaan pendapat serta memandang ijtihad yang dicapai oleh orang yang berijtihad itu wajib diamalkan olehnya dan ia tidak boleh melampaui, hya menuju yang lain. Sesuai dengan pandangan itu saya menganggap sholatnya setiap mujtahid itu benar

 

Suatu anggapan tentang ma’mum itu dengan madzhah Imam bukan dengan madzhab ma’mum keluar dari ketentuan tersebut namun hal itu merupakan kefanatikan-kefanatikan madzhab yang menghendaki adanya pemisah antara jama’ah-jama’ah itu. Sebagian fuqaha menambahkan dalam Urusan itu, sebagian dari mereka melampaui pada yang lain bahwa imam mereka saling berselisih terhadap jelas (sharih) nya Al Qur’an dan As Sunnah dalam sebagian masalah masalah. Berdasarkan hal itu seandainya seorang hakim memberi keputusan terhadap masalah-masalah itu bukan tempat berijtihad.

 

Secara garis besar kami tidak ingin untuk memperpanjang pokok persoalan ini, dan menuturkannya hanyalah karena hal tersebut suatu peninggalan taklid, Jika seseorang berkata: “Bagaimana engkau menuduh bahwa hal ini sebagian peninggalan-peninggalan taklid. Inilah, Ibnu Hazm Al Andalusi yang hidup pada abad ke lima telah melemparkan taklid dan ia memilih pendapatnya sendiri serta mengaku berijtihad mutlak. Dalam pada itu kami tidak melihat seorang fakih yang lebih tajam lidahnya dan lebih keras perkataannya terhadap orang-orang yang menyelisihinya. Pandangan itu berdasar atas penelaahan dua kitabnya Al Ihkam iushulil ahkam dan Al Muhalla fil Fiqh. Kami katakan bahwa seorang dengan pengakuannya berijtihad, sesungguhnya ia tidak lepas dari hakekat taklid karena ia melakukan da’wah madzhab Dawud bin Ali, menguatkan madzhabnya dan menambah sempitnya dada terhadap apa yang dilakukan oleh ulama senegerinya karena perlawanan dan permusuhannya lalu penanya dikatakan sebagai perlawanan dan serbuan yang berkelompok-kelompok yang mana ia menduga bahwa dengan demikian ia menang atas mereka. Kenyataannya ia memberi hukum atas diri dan pendapat-pendapatnya, sehingga ia tidak dapat menegakkannya dengan benar-benar tegak baik dikala hidupnya maupun sesudah meninggalnya. Dalam pada itu ia tidak diingkari luasnya penelaahan dan kuatnya pemikiran.

Sesungguhnya fuqoha periode ini dipandang menyempurnakan madzhab-madzhab imam mereka dengan tindakan mereka dalam mentarjihkan riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari mereka, mengeluarkan illat-illatnya dan berfatwa dalam hal yang tidak ada nash dari imam-imam itu dengan mengkiyaskan illat-illatnya. Oleh karena itu termasuk kewajiban untuk meriwayatkan orang-orang gang masyhur. Sebagian dari mereka terdapat orang-orang yang membukukan kitab-kitab. Apa yang mereka tulis itu merupakan asas bagi orang yang datang sesudah mereka pada periode selanjutnya.

 

Kami mulai dengan ulama Hanafiyah dan kami telah memilih 20 orang fagih dari kalangan mereka yaitu:

 

  1. Abul Hasan Ubaidullah Al Hasan Al Karkhi, pemimpin Hanafiyah di Irak dan guru dari orang-orang besar mereka. Ia mengarang Al Mukhtashar, syarah Al Jami’ ush Shaghir dan Al Jami’ul Kabir karya Muhammad bin Hasan. Ia lahir tahun 260 H. dan meninggal tahun 340 H. Ia pembesar fuqaha pada periode ini dan mereka menganggapnya sebagai mujtahid dalam berbagai masalah.

 

  1. Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar Razi Al Jashshash murid Al Karkhi dan pemimpin Hanafiyah sesudahnya. Ia mensyarahi Mukhtashar karya Al Karkhi, Mukhtashar Ath Thahawi, Syarah Al Jami’ karya Muhammad. Ia mengarang kitab Ushul Fiqh dan Adabul Qudhah. Ia meninggal tahun 370 H.

 

3, Abu Ja’far Muhammad bin Abdillah Al Balkhi Al Handawani, ia dijuluki sebagai Abu Hanifah Kecil, salah seorang imam Balakh. Meninggal di Bukhara tahun 362 H.

 

  1. Abul Laits Nash bin Muhammad As Samargandi yang terkenal dengan Imam Al Huda, murid Al Handawani, Ia mengarang An Nawazil, Al’Uyun, Al Fatwa, Khazanatul ‘Fiqh dan Syarah Al Jami’ush Shaghir. Meninggal pada tahun 373 H.

 

  1. Abu Abdullah Yusuf bin Muhammad Al Jurjani murid Al Karkhi, Ia mengarang Al Khazanatul Akmal tentang As Sunnah beberapa jilid, Syarah Az Ziyadat dan Sya. rah Jami’ul Kabir, Syarah Mukhtashar Al Karkhi dan Khazanatul Akmal yang meliputi kitab-kitab besar karya teman-temannya yang dimulai dengan Kafi karya Al Hakim kemudian Al Jami’ul Kabir dan Al Jami’ush Shaghir, Az Ziyadat, Al Mujarrad, Al Muntaga, Mukhtashar Al Karkhi, Syarah Ath Thahawi dan ‘Uyunul Masa’il. Meninggal pada tahun 398 H.

 

  1. Abul Hasan Ahmad bin Al Qadari Al Baghdadi. Dialah yang menyusun Syarah Mukhtashar Al Karkhi. Ia mengarang At Tajrid yang memuat perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Asy Syati’i dengan dihilangkan dalil-dalilnya. Dalam diskusi, ia baik susunan kalimatnya. Ia berdiskusi dengan Syaikh Abu Hamid Al Isfarani Asy Syafi’i. Meninggal pada tahun 427 H.

 

  1. Abu Zaid Abdullah bin Umar Ad Dabusi As Samargandi. Dialah orang yang pertama kali membuat Ilmu perbedaan pendapat. Karangannya yang terbesar adalah Al Asrar, ia memiliki pemikiran tentang Al Fatawa dan kitab Tagwimul Adillah. Ia dibuat teladan dalam memberikan pandangan dan mengeluarkan hujjah-hujjah. Di Samargandi dan Bukhara ia banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh terkemuka. Ia meninggal pada tahun 400 H.

 

  1. Abu Abdillah Al Husain bin Ali Ash Shaimiri, salah seorang tokoh Hanafiyah. Ia bagus dalam mengungkapkan kalimat dan baik pandangannya. Ia meninggal pada tahun 436 H.

 

9, Abu Bakar Khawahir Zadah Muhammad bin Husain Al Bukhari. Ia termasuk salah seorang pembesar (tokoh) daerah dibalik sungai. Ia menyusun Al Mukhta shar, Al ‘Tajnis dan Al Mabsuth. Ia meninggal pada tahun 433. Arti Khawahir Zadah adalah anak saudar3 perempuan seorang alim, karena ia adalah anak saudaya perempuan Qadhi Abu Tsabit Muhammad bin Ahmad Al Bukhari.

 

  1. Syamsul a—immah Abdul Aziz bin Ahmad Al Hilwani Al Bukhari pengarang Al Mabsuth. Dia adalah imam penduduk Bukhara pada masanya. Ia meninggal pada tahun 418 H.

 

  1. Syamsul a—immah Muhammad bin Ahmad As Sarkhisi murid Al Hilwani. Ia termasuk mujtahid tentang masalah-masalah. Ia seorang imam yang sangat pandai, ahli hujjah, seorang ahli ilmu kalam, seorang ahli diskusi, ahli ushul, dan seorang mujthaid. Ia mendektikan Al Mabsuth sekitar 15 jilid. Ia dipenjara di Auzajand dlm sumur karena kata-kata yang menyinggung Khaqan (raja pent) Ia mendektekan sebuah kitab diluar kepala tanpa muthala’ah dari dalam sumur dan teman-temannya diatasnya. Ia mengarang kitab Ushul Fiqh, syarah As Sairul Kabir dan Syarah Mukhtashar Ath ‘Thahawi. Mabsuth-nya adalah suatu ungkapan dari Syarah Al Kafil Hakim wasy Syahid dan telah dicetak di Mesir. Ia meninggal pada akhir abad ke V H.

 

  1. Abu Abdillah Muhammad bin Ali Ad Damighani. Dialah puncak pemimpin Hanafiyah di Irak. Ia murid Ash Shaimiri dan Al Qaduri. Ia menjabat sebagai hakim di Baghdad. Ia dilahirkan di Damighani. Ia lebih pandai dari pada kebanyakan teman-teman kami tentang madzhab Asy Syafi’i. Ia berdiskusi dengan Asy Syaikh Abu Ishag Asy Syairozi Asy Syafi’i.

 

  1. Ali bin Muhammad Al Bazdawi. Ia mengarang Al Mabzuth, 11 jilid, Syarah Al Jami’ul Kabir dan Al Jamiush Shaghr. Dia pengarang Kitab Ushul yang terkenal dengan Al Bazdawi. Ia mempunyai kitab yang bagus tentang Fiqh untuk fuqoha”. Ia dilahirkan di Hudud pada tahun 400 H dan meninggal pada tahun 483 H

 

  1. Syamsul a—immah Bakar Muhammad Az Zaranjari, seorang imam yang rapi. Ia dibuat teladan dalam meng hafal madzhab. Ia dilahirkan pada tahun 427 H. dan belajar pada Al Hilwani. Ia meninggal pada tahun 512 H.

 

  1. Abu Ishaq Ibrahim bin Ash Shafar. Ia seorang guru Qadhikhan. Seluruh nenek moyangnya adalah fuqoha-fuqoha besar. Ia meninggal di Bukhara pada tahun 574 H.

 

  1. Thahir bin Ahmad bin Abdur Rasyid Al Bukhari. Ia penyusun Khulashah Al Fatawa, seorang syaikh Hanafiyah didaerah balik sungai. Ia termasuk orang-orang yang pandai serta mujtahid dalam beberapa masalah. Sebagian karangannya adalah Khazanatul wagi’at. Ia meninggal pada tahun 542 H.

 

  1. Zhahiruddin Abdur Rasyid bin Abu Hanifah bin Abdur Razzag Al Walwalaji. Ia mempunyai beberapa fatwa yang terkenal dengan Al Walwalajiah. Ia meninggal sesudah tahun 540 H.

 

  1. Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad Al Kasaniyang dijuluki Raja Ulama. Ia mengarang kitab Al Badai’ suatu kitab yg baik urutannya,dan (Syara| kitab Tuhfatul fuqaha karya gurunya ?’ Ala-uddin Muhammad bin Ahmad As Samargandi. Ia meninggal pada tahun 587 H.

 

  1. Fakhruddin Hasan bin Manshur Al Auzjandi yang terkenal dengan Qadhikhan, seorang imam besar yang mengarang Al Fatawa (yg terkenal dan digunakan dengan berturut-turut, Al Waqi’at, Al — Amali, Al Muhadhir, Syarah Az Ziyadat, Syarah Al Jamiush Shaghir, Syarah Adabul Qudhah karya Al Khishaf dan lain-lain. Ia meninggal pada tahun 592 H. Ia terhitung kedalam kelompok para mujtahid dalam masalah-masalah. Qasim bin Qathlubagha berkata dalam Tash-hihul Qaduri yang ditashhihkan oleh Qadhikhan sebagai pendahuluan atas pentash-hihannya kepada orang lain karena dialah seorang yang jiwanya pandai.

 

  1. Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil Al Farghani Al Marghinani, pengarang Al — Hidayah , seorang imam yang ahli Fiqh dan hafizh. Sebagian dari karangannya adalah Al Muntaga, Nasyrul madzhab wat tajnis, Manasik hajji, Mukhtaratul Nawazi! dan Kitabul Faraidh. Ia Meninggal pada tahun 593 H.

 

 

  1. Muhammad bin Yahya bin kubbah Al Andalusi. Bahwasanya ia termasuk orang yang paling hafal terhadap madzhab, mengetahui akad syarat-syarat, waspada terhadap illat-illatnya, ia mempunyai pilihan-pilihan dalam fatwa dan Fiqh yang keluar dari madzhab. Ia mempunyai karangan-karangan tentang Fiqh diantarariya Al Muntakhabah, Kitab fil watsa-ig. Ibnu Hazim Al Farisi berkatas ”Teman-teman kami tidak ada yang mempunyai kitab yang menyamai kitabnya Al Muntakhabat, dimana kitab itu bertujuan untuk menerang kan masalah-masalah yang dibukukan”, Ia meninggal pada tahun 326 H.
  2. Bakar bin ‘Ala Al Qusyairi asli dari Bashrah kemudian pindah ke Mesir. Ia belajr Fiqh pada murid-murid Qadhi Ismail. Ja menyusun kitab-kitab besar diantaranya Kitabul Ahkam yang diringkaskan dari kitab Ismail bin Ishag dan tambahan atasnya, kitab Ar Radd alal Muzni, kitab Ushul Fiqh, kitabul Qiyas dan lain-lain. Ia meninggal pada tahun 314 H.
  3. Abu Ishaq Muhammad bin Qasim bin Syu’ban Al ‘Ansi Pada masanya ja menjadi pemimpin fuqaha Maliki d Mesir. Diantara mereka, dialah yang paling hafal tentang Madzhab Malik. Didalam kitab-kitabnya ter. dapat hal-hal yang asing dari perkataan Malik dan katakata yang syadz (menyimpang) dari suatu kaum yang tidak dikenal pergaulannya serta tidak diriwayat. kan oleh teman-temannya yang terpercaya dan shahih menurut madzhabnya. Ia meninggal pada tahun 355 H.
  4. Muhammad bin Harits bin Asad Al Khasyani. Ia belajar Fiqh di Qairawan kemudian datang ke Andalusi lalu belajar dari para ulamanya dan ia menetap di Kordoba. Ia seorang penghafal Fiqh, maju dalam ilmu itu, pandai berfatwa, baik dalam mengqiyaskan masalah-masalah. Ia menyusun kitab tentang perbedaan dan persamaan pendapat dalam madzhab Maliki, kitab pendapat Malik yang diselidiki oleh teman-temannya, kitab fatwa dan lain-lain lagi. Ia meninggal pada tahun 361 H.
  5. Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Al Mu’ithi Al Andalusi. Ia penghafal Fiqh, pandai tentang madzhab Malik dan teman-temannya. Dialah yang menyempurmakan .kitab Al Isti’ab bersama Abu Umar Al Isybili untuk Hakam Amirul Mu’minin dan kitab ini sampai kepada Hakam. Sebagian teman-teman Qadhi Isma’i: telah memulainya, dibuat bab-bab dan dibuat didalam satu buku lengkap, untuk perkataan Malik khusus, dan tidak dicampur dengan teman-temannya seorangpun yang ada perbedaan riwayat-riwayat, dari padanya. Pengarangnya itu menulis lima juz, namun terburuburu meninggal sebelum menyempurnakannya. Ketika ia melihat maka ia heran terhadapnya dan ingin untuk menyempurnakannya, Oleh karena itu Al Mu’ithi dan Abu Amr dimintai tolong lalu keduanya menyempurnakannya dalam seratus jilid. Al Mu’ithi meninggal pada tahun 367 H.
  6. Yusuf bin Umar bin Abdul Bar syaikh ulama Andalusia dan pada masanya ia menjadi pembesar ahli hadits, Ia menyusun kitab Al Istidzkar tentang madzhabmadzhab ulama di negara-negara besar yang terkandung dalam Al Muwaththa’ menurut seginya, dan mengatur bab-babnya. Ia mengarang kitab Al Kafi tentang Fiqh dan lain-lainnya dari kitab-kitab yang menunjukkan kelebihannya. Ia meninggal pada tahun 380 H.
  7. Abu Muhammad Abdullah bin Abu Zaid Abdur Rahman An Nafari Al Qairawani. Pada masanya ia menjadi imam dan ikutan Malikiyah. Pengumpul madzhab Malik dan Pensyarah pendapat-pendapatnya. Ia menjadi tujuan pengelanaan dari daerah-daerah, ia memuji teman-temannya dan banyak orang yang mengambil dari padanya. Dialah orang yang membersihkan madzhab itu dan ia dikenal dengan Malik Kecil. Ia mempunyai banyak karangan diantaranya An Nawadir, Az Ziyadat Alal Mudawanah, Tahdzibul Adibah, Kitab Ar Risalah yang terkenal dan lainlainnya. Ia meninggal pada tahun 386 H.
  8. Abu Sa’id Khalaf bin Abu Qasim Al Azdi yang terkenal dengan Al Barada’i termasuk tokoh sahabat-sahabat Abu Muhammad bin Abu Zaid dan Al Qaisi, ia termasuk penghafal madzhab yang dalam hal itu mempunyai beberapa karangan diantaranya adalah Kitab At Tahdzib fi Ikhtisharil Mudawwanah, dalam hal itu ia mengikuti jalannya Ikhtishar Abu Muhammad dan Ziyadatnya. Ia mempunyai kitab Ikhtisharul Wadhihah.
  9. Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Al Abhari. Ia mempunyai karangan-karangan dalam menerangkan madzhab Malik, Al Ihtijaj dan menangkis kepada orang yang menyelisihinya, Pada masanya ia menjadi pemuka di kalangan teman-temannya. Ia seorang yang terpercaya (tsigat), teguh dan terkenal. Ia bela. jar Fiqh di Baghdad, mensyarahi Mukhtasharul Kabir dan Mukhtasharush Shaghir karya Ibnu Abdil Hakam, Dari padanya ia menyiarkan madzhab Malik di ne. gerinya. la menegakkan pendapat Malik di Irak pada masanya. Ia menetap di masjid (jami”) Al Manshur se. lama 60 tahun dengan mengajar dan memerikan fatwa. Pada masanya di Irak tidak seorangpun dari teman. teman Malik setelah Qadhi Ismail terpuji seperti terpujinya Al Abhari sebagaimana keduanya tidak ada yang menandingi di daerah-daerah manapun kecuali Sahnun yang sederajat dengan keduanya bahkan ia lebih banyak teman-temannya, pengikut-pengikutnya lebih mulia dan pelajar-pelajarnya lebih terpuji. Selain kitab tersebut. Al Abhari mempunyai karangan-karangan Ushul, kitab ijma’ penduduk Madinah dan lain-lain nya, Madzhab Maliki di Irak menjadi lemah setelah ia meninggal, Ia meninggal pada tahun 395 H di Baghdad.
  10. Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah yang terkenal dengan Ibnu Abi Zamnin Al Biri. Ia termasuk fuqoha dan muhadditsin besar. Ia mengarang Al Maghrib fil Mudawwanah, menerangkan kesulitan-kesulitannya, belajar Fiqh dari padanya dengan mendetail dengan menelusuri lafazh-lafazhnya serta memberi pedoman pada riwayat-riwayatnya tidak ada yang seperti itu, kitab Al Muntakhab fil ahkam, kitab Al Muhadzdzab dan bukan ringkasan. Ia meninggal tahun 399 H,
  11. Abdul Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf Al Mu’ afiri yang terkenal dengan Ibnul Qabisi. Ia luas riwayat: nya, pandai tentang hadits, illat-illatnya dan rijal-rijalnya, seorang fakih dan seorang ahlj ushul. Ia menga yang buku-2 yang berfaedah diantaranya Al Mumahhad fil Fiqh, Ahkamud Diyanah dan kitab Mulakhkhashul Muwaththa’. Ia mepinggal tahun 403 H.
  12. Al Qadhi Abdul Wahhab bin Nashir Al Baghdadi Al Maliki. Ia baik pandangannya, baik susunan kata-katanya, befajar Fiqh pada teman besar Al Abhari. Kemudian H menjadi besar di Baghdad lalu pergi ke Mesir dan Redatangannya itu dimuliakan. Ia menyusun banyak kitab diantaranya jalah Kitabun Nashr li madzhab Imam Darul Hijrah dan Al Ma’unah li madzhab “alimil Madinah, Kitabul Adillah fi Masa-ilil Khilaf, Syarah Risalah Ibnu Abi Zaid, Syarah Al Mudawwanah dan lainlain. Ia meninggal pada tahun 422 H.
  13. Abul Qasim Abdur Rahman bin Muhammad Al Hadhrami yang terkenal dengan Al Labidi termasuk ulama Afrika yang terkenal. Ia belajar Fiqh pada Ibnu Abi. Zaid dan Abul Hasan Al Qabisi. Ia mengarang kitab besar dalam madzhab itu lebih dari 200 juz besar tentang masalah Al Mudawwanah, memanjang lebarkan, membuat cabang-cabangnya, Ziyadatul Ummahat dan Nawadirur Riwayat. Ia mengarang kitab, meringkaskan Al Mudawwah yang diberi judul Al Mulakhkhash. Ia meninggal pada tahun 440. H.
  14. Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Yunus Ashshiqli, seorang fagih, seorang imam yang ahli fara-idh. Ia tetap berjihad dan bersifat pemberani. Ia mengarang kitab faraidh dan kitab yang mencakup bagi Al Mudawwanah dengan menyandarkan induk-induk yang lain kepadanya. Ia meninggap pada tahun 461 H.
  15. Abul Walid Sulaiman bin Khalaf Al Baji. Ia belajar iImu di Andalusia kemudian pergi ke Masyrik lalu mendapat ilmu yang banyak kemudian kembali kenegerinya. Ia semasa dengan Ibnu Hazem dan ia banyak berdiskusi dengannya. Ibnu Hazem berkata tentang. nya : “Pada madzhab Maliki sesudah Qadhi Abdul Wahhab tidak ada yang menandingi Abul Walid Aj Baji”. Ia mempunyai karangan-karangan yang banyak, sebagian dari padanya adalah Kitabul istifa’fi syarhi Muwaththa’, dan kitab Al Muntaga’ untuk menerang. kan Al Muwaththa’ juga yaitu Mukhtasharul Istifa”, Ki. tabus Siraj fi Ilmul Hijaj, Kitab Masa-ilil Khilaf , Kitab Al Muhadzdzab fi Ikhtisharil Mudawwanah, Kitab Syarah Al Mudawwanah, Kitab Ahkamul fushul fi ahkamil ushul dan lain-lainnya. Ia meninggal pada tahun 494.H.
  16. Abul Hasan Ali bin Ar Rab’i yang terkenal dengan Al Lakhmi Qairawani tinggal di Shofagis. Ia seorang fakih yang utama . Ia mempunyai komentar yang besar terhadap Al Mudawwanah yang diberi judul At Tabshirah, kitab tersebut berguna dengan baik, tetapi barangkali ia memilikinya dan mentakhrijkannya lalu pilihan-pilihannya itu keluar dari madzhabnya. Ia meninggal pada tahun 489. H.
  17. Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusy Al Qurthubi, pemimpin fuqoha’ pada masanya di Andalusia dan Maghrib serta pemuka mereka yang terkenal dengan pemikiran yang sehat, penyusun kitab yang baik dan mengetahui detail-detail Fiqh. Baginya pengetahuan itu lebih dimenangkan dari pada riwayat. Ia mengarang kitab Al Bayan wat Tahshi karena dalam Al Mustakhrajah ada pengarahan dan penunjukan illat-illat, kitab Al Muqaddamat li awa ilil Mudawwanah, Ikhtishar kitab-kitab yang luas dari karangan Yahya bin Ishaq, dan membersihkan kitab Ath Thahawi fi Musykililatsar. Ia meninggal pada tahun 525 H.

18, Abu Abdillah Muhammad bin Umar At Tanimi Al Masuri Ash Shigli, seorang imam penduduk Afrika dan daerah Maghrib. Dia adalah orang yang terakhir dari syaikh-syaikh Afrika yang menyibukkan diri dalam mentahkikkan fikh yang mencapai tingkatan ijtihad dan teliti pandangannya. Ia mengarang tentang Fiqh dan ushul, syarah kitab Muslim, kitab Talgin karya Qadhi Abdul Wahhab dan pada Malikiyah tidak ada kitab yang menyamainya dan syarah Al Burhan karya Imam Haramain dan disebutnya Al Mahshul min Burhanil Ushul. Ia meninggal pada tahun 536 H.

  1. Abu Bakar Muhammad bin Abdillah yang terkenal dengan Ibnul Arabi Al Mu’afiri Al Asybili. Ia mendapat pendidikan di negaranya kemudian lama pergi ke negara masyrik dan ia menemui banyak ulama diantaranya Al Ghazali lantas ia mendapat faedah yang banyak serta merapikan masalah-masalah khilafiyah, ushul dan ilmu kalam, kemudian ia pergi ke Andalusia, ia belajar banyak dan mengarang banyak. Diantara karangannya adalah Kitab Ahkamal Qur’an dan kitab Al Masalik fi syarhil Muwaththa’ karya Imam Malik. Ia juga mempunyai kitab Al Mahshul fi Ushulil Fiqh. Ia meninggal pada tahun 534 H.
  2. Al Qadhi Abul Fadhl Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh Al Yahshibi As Satbi, Ia tokoh hadits dan tafsir pada masanya, seorang fakih, seorang ahli ushul, cermat terhadap hukum-hukum, mengokohkan syarath-syarath, menghafal madzhab Malik. Sebagian gurunya adalah Ibnu Rusyd. Ia mempunyai karangan-karangan yang berguna Sebagiannya adalah Ikhmalu| Mu’allim fi syarhi Shahih Muslim, Asy Syifa lita’rifi Gharibil Muwaththa’, Bukhari wa Muslim, kitab Tartibul Madarik, Taqribul Masalik li ma’rifaati a’lami madzhabi Malik dan lain-lainnya, Ia meninggal pada tahun 541 H.
  3. Isma’i bin Makki Al Aufa putera Abdur Rahman bin “Auf. Rumahnya dilorong Iskandiriyah adalah suatu rumah besar yang terkenal tempat ilmu. Dia adalah pengarang syarah Tahdzib yang terkenal dengan Al ‘Aufiyah, dan jumlah jilidnya ada 26 buah. Pengarang Ad Dibaj mengetahui jilid yang telah dinasakh, katanya ada 56 jilid dalam ukuran besar, yaitu 5 buku tulis, per halaman 27 baris. Ia meninggal pada tahun 581 H.
  4. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Rusyd yang terkenal dengan Al Hafid. Baginya pengetahuan lebih dimenangkan dari pada riwayat. Di Andalusia tidak ada orang yang seperti dia dalam kesempurnaan, ilmu dan keutamaannya. Diantara karangannya yang terbaik adalah Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Mugtashid tentang Fiqh, didalam kitab itu ja menyebutkan sebab-sebab perbedaan pendapat dan illat-illatnya maka kitab itu berfaedah dan menyenangkan. Pada masanya tidak diketahui kitab yang lebih berguna dari padanya dan tidak ada yang lebih maju. Dan Ibnu Rasyd meringkaskan Al Mustashfa tentang ushul. Ia meninggal pada tahun 595 H.
  5. Abu Muhammad bin Abdullah bin Abdullah bin Najm bin Syah Al Jadzami As Sa’di. Dalam madzhab Malik ia mengarang sebuah buku yang baik yang bertitel Al Jawahiruts Tsamaniyah fi madzhabi ‘alimiMadinah yang dikarangnya atas dasar urutan yang ringkas menurut Al Ghazali, Orang-orang Maliki di Mesir menekuninya karena baiknya dan banyak faedahnya. Ia meninggal pada tahun 610 H.

 

Dibawah ini adalah orang-orang yang cerdik dari kalangan Syafi’iyah yang pada periode ini mendapat keistimewaan dengan membuat karangan dalam madzhab Asy Syafi’i, menyelenggarakan penyiarannya dan memperbaiki kitab-kitabnya. Kebanyakan mereka dari penduduk Irak, Khurasan dan daerah dibalik sungai.

 

  1. Abu Ishak Ibrahim bin Ahmad Al Marwazi seorang imam pada masanya dalam berfatwa dan mengajar. Ia belajar Fiqh pada Ibnu Suraij dan ia cemerlang dalam hal itu. Sesudah Ibnu Suraij dia adalah puncak pemimpin di Irak. Ia mengarang banyak kitab dan syarah Al Muzni. Ja lama menetap di Baghdad dengan mengajar dan memberi fatwa. Ia mendapat pujian dari teman-temannya pada akhir umurnya, lalu meninggal disana tahun 340 H. dan dimakamkan dekat dengan makam Asy Syafi’i.
  2. Abu Ahmad Muhammad bin Sa’id bin Abul Qadhi Al Khawarizimi dari suatu keluarga ilmu. Ia belajar Fiqh pada Abu Bakar Ash Shurafi, Abu Ishag dan orang-orang yang sederajat. Dialah pemilik kitab Al Hawi dan ‘Umdatui gadimin tentang Fiqh Syafi’iyah, Almarudi dan Al Faurani mengambil dua nama kitab itu. Ia mempunyai kitab ushul titelnya Al Hidayah. Ia meninggal pada tahun tiga ratus empat puluh lebih Hijriah.
  3. Abu Bakar Ahmad bin Ishag Adh Dhab’i wan Naisaburi, Dalam Fiqh ia mencapai derajat yang tinggi dan mengarang kitab Al Ahkam. Ia meninggal tahun 432 H.
  4. Abu Ali Al Husain bin Husin yang terkenal dengan Ibnu Abi Hurairah, salah seorang syaikh dan Imam Syafi’iyah . Ia belajar Fiqh pada Ibnu Suraij. Ia mensyarahi Al Mukhatashar dan meninggal tahun 345 H.
  5. Abu Saib “Utbah bin Ubaidillah bin Musa Al Qadhi, salah seorang ulama yang menjadi imam dan orang yang pertama kali menjabat Hakim Agung di Bagdad dari Syafi’iyah. Ia meninggal pada tahun 350 H.
  6. Qadhi Abu Hamid Ahmad bin Bisyr Al Marwazi dari teman Abu Ishag. Ia mengarang kitab Al Jami’ yang meliputi ushul dan furu’ (ushul Fiqh dan Fiqh) dengan diberi nash-nash dan segi-seginya, yang menjadi pegangan dikalangan teman-teman Asy Syafi’i. Ia membuat sejarah Mukhtasharr Al Muzni. Ia meninggal pada tahun 362 H. ‘
  7. Muhammad bin Isma’il yang terkenal dengan Al Qaf. fal Al Kabir Asy Syasyi, seorang fuqoha Syafi’iyah yang terbesar dibalik sungai. Ia mempunyai kitab tentang Ushul Fiqh dan Syarah Ar Risalah. Dari padanya tersiar Fiqh Asy Syari’i didaerah sebalik sungai. Ia meninggal pada tahun 365 H.
  8. Abu Sahl Muhammad bin Sulaiman Ash Sha’luki. Ia belajar Fiqh pada Abu Ishak Al Marwazi kemudian ia kembali ke Naisabur lalu ia menetap disana dengan mengajar dan memberikan fatwa. Ia meninggal pada tahun 361 H.
  9. Abul Qasim Abdul Aziz bin Abdullah Ad Daroki. Ia belajar di Naisabur dan belajar Fiqh pada Abu Ishag Al Marwazi. Kepadanyalah pada umumnya syaikhsyaikh di Baghdad belajar. Ia meninggal pada tahun 375 H.
  10. Abul Qasim .Abdul Wahid bin Husain Ash Shaimiri. Ia hafal pada madzhabnya dan baik karangannya. Ia memunculkan sejumlah ulama diantaranya Al Mawardi. Diantara karangan-karangannya adalah Al Ifshahfil madzhab, Kitabul Kifayah, Kitab fil Qiyas wal’ilal, Kitab Shaghir fi Adabil Mufti wal Mustatti, kitab Fisy Syuruth. Ia meninggal pada tahun 386 H.
  11. Abu Ali Al Husain bin Syw’aib As Sanji, orang alimnya Khurasan. Orang yang pertama kali mengumpulkan antara dua methode Irak dan Khurasan adalah Qadhi Husain, sebagai murid Al Qaffal yang paling terpuji. Ia mengarang Syarah Al Mukhtashar dan dialah yang disebut oleh Imam Haramain dengan Madzhab Besar, ja mensyarahi Talkhish karya Ibnul Qash dan Al Furu’karya Ibnul Haddad. Ia meninggal pada tahun 403 H
  12. Abu Hamid bin Muhammad Al Asfarayini Syaikh Irak, penghafal dan Imam madzhab. Ia belajar Fiqh pada Ad Darobi sehingga ia menjadi salah seorang imam dan menjadi puncak pemimpin keagamaan dan keduniaan di Baghdad, dan ia memberi komentar pada syarah Al Muzni. Ia semasa dengan Abu Abdullah Ash Shoimiri seorang imam teman-teman Abu Hanifah pada masanya. Menurut Al Qaduri tentang haknya: ”Dia lebih pandai dan lebih cermat dari pada Asy Syafi’i”. Ia meninggal pada tahun 408 H.
  13. Abul Hasan Ahmad bin Muhammad Adh Dhabi yang terkenal dengan Ibnul Muhamili, termasuk pembesar teman-teman Syaikh Abu Hamid. Ia mengarang Al Majmu’, Al Mugni’, Al Lubab dan lain-lainnya. Ia mempunyai komentar yang dinisbatkan kepadanya terhadap Syaikh Abu Hamid. Ia meninggal pada tahun 415 H.
  14. Abdullah bin Ahmad yang terkenal dengan Al Qaffal Ash Shaghir termasuk pembesar fuqoha” Khurasan, yang terdidik dalam madzhab Asy Syafi’i yang methodenya dibawa oleh teman-temannya adalah sekuat-kuat methode dan paling jelas kebersihannya dan paling banyak penyelidikannya. Dia di Khurasan adalah menyamai Abu Hamid Al Isfarayini di Irak. Ia meninggal pada tahun 417 H.
  15. Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al Asfarayini seorang imam besar dari imam-imam Syafi’iyah. Ia membuat karangan dalam mengomentari Ushul Fiqh. Ia meninggal di Naisabur pada tahun 418 H.
  16. ‘Abu Thayyib Thahir bin Abdullah Ath Thabari , seorang Imam yang terhormat. Ia menjadi puncak pemimpin ilmu di Baghdad. Kepadanya orang-orang Irak belajar ilmu, ia mensyarahi Al Muzni, mengarang banyak kitab tentang khilaf, madzhab dan perdebatan yang tidak seorangpun menyamainya. Ia menjabat hakim di Rabi? Al Karkh setelah Qadhi Ash Shaimiri, Ia banyak berdiskusi bersama Abul Hasun Ath Thaligani Al Hanafi dan juga bersama Al Qaduri. Ia meninggal 450 H.
  17. Abul Hasan Ali bin Muhammad Al Mawardi penyusun Al Hawi dan Al Iana’fil Fiqh, Ahkamus Sultaniyah dan lain-lain. Ia belajar Fiqh di Bashrah pada Ash Shaimiri kemudian pergi kepada Syaikh Abu Hamid Al Asfarayini dan belajar di dua kota (Mekah Medinah? « Pen). Ia meninggal pada tahun 485 H.
  18. Abu Ashim Muhammad bin Ahmad Al Harowi Al Ubbadi, pengarang Az Ziyadat, Al Mabsuth, Al Hadi dan Adabul Qudhah. Ia terkenal dengan ungkapannya yang tidak terang dan perkataannya sukar difaham. Dalam hal itu ia meniru gurunya yaitu Abu Ishag. Ia meninggal pada tahun 458 H.
  19. Abul Qasim Abdur Rahman bin Muhammad Al Faurani Al Marwazi, pengarang Al Ibanah, Al Umdah dan lain-lain karangan. Dia termasuk murid yang besar dari Abu Bakar Al Qaffal. Ia syaikh penduduk Maru, dan meninggal pada tahun 46 H.
  20. Abu Abdillah Al Qadhi Husain Al Maruruzi. Belajar Fiqh pada Al Qaffal. Dia adalah guru Al Haramain. Ia meninggal tahun 462 H.
  21. Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Fairuzabadi, pengarang At Tambih, Al Muhadzdzab tentang Fiqh, An Nukat dalam perbedaan pendapat, Al Luma’ dan syarahnya, Al Tabshirah tentang ushul Fiqh, Al Mulakhkhash wal Ma’unah tentang perdebatan, dan ia dibuat teladan dalam kefasihan dan diskusi. Mereka mengatakan bahwa dia berjalan seperti Ibnu Suraij dalam mengokohkan Fiqh dan memperkenalkannya dan menceriterakannya dalam menyiarkan para pelajar, Ia berdiskusi dengan Abu Abdillah Ad Damighani Al Hanafi. Ia meninggal pada tahun 476 H.
  22. Abu Nashr Abdus Sayid bin Muhammad yang terkenal dengan Ibnu Shabagh, pengarang Asy Syamil, Al Kamil, Iddatul ‘alim, Ath Tharigus Salim, Kifayatus Sail dan Al Fatawa. Dialah puncak pemimpin Syafi’iyah di. Baghdad. Ia menyerupai Abu Ishag Asy Syairazi, Ja adalah orang pertama yang mengajar di Nizhamiyah di Baghdad. Ia meninggal pada tahun 477 H.
  23. Abu Sa’id Abdur Rahman bin Ma’mun Al Mutawalli, pengarang At Titimmah yang dikarang untuk menjelaskan pada gurunya Al Faurani. Dalam kitab itu ia mengupas sampai masalah had. Ia mengarang Mukhta shar fil faraidh dan sebuah kitab tentang khilaf (perbedaan pendapat). Ia mengajar di Nizhamiyah sesudah syaikh Abu Ishag. Ia meninggal pada tahun 488 H.
  24. Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al Juwaini yang terkenal dengan Imamul Haramain. Ia belajar Fiqh pada ayahnya . Ia menjadi imam Naisabur bahkan imam Masyik | dalam Fiqh, Ushul dan kalam. Ia tinggal di Mekkah selama 4 tahun, dari sinilah ia mendapat julukan Imamul Haramain. Ketika kembali ke Naisabur Nizhamul Mulk menempatkannya di madrasah Nizhamiyah. Diantara karangannya adalah An Nihayah fil Fiqh yang dalam madzhab Syafi’i tidak ada kitab yang menyamainya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Subki, Al Burhan fi Ushulil Fiqh dan Mughitsul khalgi dalam mengunggulkan madzhab Syafi’i. Orang yang semasanya yaitu Abu Ishag Asy Syairazi banyak memuji terhadapnya. Ia meninggal pada tahun 487 H.
  25. Abul Mahasin Abdul Wahid bin Ismail Ar Rauyani, Pengarang Al Bahr, salah seorang imam madzhab. Ia disebut teladan dalam hafalan dan Nizhamul Mulk menghormatinya. Ia menjabat hakim di Thabaristan dan Rayan didaerahnya. Ia terbunuh pada tahun 502 H. Al Bahr—nya merupakan ungkapan dari kandungan Al Mawardi serta furu’ (cabang-cabang) yang diterima dari ayah dan kakeknya.
  26. Hujjatul Islam yaitu Ahu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, dilahirkan di Thus pada tahun 450 H. Ia belajar Fiqh pada Imam Harabain. Ia bersungguh-sungguh sampai mahir dalam madzhab, khilaf (perbedaan pendapat), perdebatan, dua pokok (Qur’an # Hadits » Pen), mantig, membacakan hikmah dan falsafah. Imam Haramian mensifatinya sebagai lautan yang luas. Setelah Imam Haramian wafat, ia pergi ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Ia mengarang tentang madzhab kitab Al Basith, Al Wasith, Al Wajiz dan Al Khulashah. Dalam ushul Fiqh kitab Al Mustashfa, kitab Al Mankhul, Bidayatul Hidayah, Al Ma—akhidz fil khilafiyat, Syifa—ul ‘ali fi bayani masa-ilit ta’lil dan buku-buku lain dalam berbagai vak. Ia meninggal di Thus tahun 505 H. Sesudah Al Ghazali tidak ada orang yang menyamainya.
  27. Abu Ishaq Ibrahim bin Manshur bin Muslim Al Iraqi Al fagih Al Mishri. Pembuat Syarah Al Muhadzdzab, Imam dan Khathib Masjid kuno di Mesir. Ia pergi ke Irak untuk mencari ilmu kemudian pergi ke Mesir dan dari sanalah ia terkenal dengan Al Iraqi. Ia terhormat di Kairo dan fuqaha’nya belajar kepadanya. Ia meninggal pada tahun 596 H.
  28. Abu Sa’d Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah yang terkenal dengan Ibnu Abi, ‘Ashrun At Tamimi Al Maushuli, tinggal di Damaskus dan Hakim Agung (Qadhil Qudhah) disana. Ia belajar Fiqh di Maushul dan Baghdad kemudian mengajar di Maushul dan akhirnya pindah ke Damaskus dan menjabat hakim tahun 573 H. Ja mengarang banyak kitab diantara karangannya adalah Shafwatul Madzhab ‘ala Nahayatil Mathalib dalam tujub jilid, kitab Al Intishar, Al Mursyid, Adz Dzari’ah fi Ma’rifatisy Syari’ah, At ‘Taisir fil Khilaf, kitab Al Irsyad dalam mendukung madzhab (Asy Syafi’i) yang tidak selesai dan lain-lain.
  29. Abul Qasim Abdul karim bin Muhammad Al Qazwini Ar Rafi’i, pengarang syarah besar atas Al Qajiz yang berjudul Al’Aziz bi syarhi Qajiz, dan sebagian dari mereka menyebutnya Fathul Aziz, pengarang Al Muharrar, pembuat syarah Al Musnad karya Asy Syafi’i dan lain-lainnya. Kitabnya Fathul ‘Aziz cukup terhormat karena kitab itu termasuk kitab yang tidak ada bandingannya. Ar Rafi’i rahimahullah termasuk orang tunggal pada masanya. Dalam Fiqh ia tokoh ahli tahkik (penyelidikan) lagi pula mencapai derajat ijtihad. Wafatnya adalah pada tahun 623 H.
  30. Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf bin Muri An Nawawi, dilahirkan pada tahun 631 H. di Nawa. Dia adalah orang terakhir dari kalangan ahli tahkik dan orang yang memiliki tingkat mentarjih dari temanteman Asy Syafi’i rahimahullah. Ia mengarang kitab Syarhul kabir karya Ar Rafi’i dan ia membuat ikhtisarnya yang bernama Al Minhaj.

 

PERIODE KE ENAM (Sejak dari runtuhnya Baghdad ditangan Holako sampai sekarang. Yakni periode taklid semata)

Unsur Turki atau Thurani adalah suatu unsur yang be. sar sekali yang terdiri dari beberapa kabilah yang berbedabeda, setelah menyiapkan sarana-sarana berkelanaia jelajahi negeri-negeri Islam untuk menguasainya sebagai tambahan atas negeri asalnya. Pada jalan itu ia tidak terbentur dengan suatu kekuatan manapun yang dapat merintangi jalannya sehingga mereka sampai ke negeri Syam. Orang-orang Mesir menerima mereka di mata air Jalut dipimpin oleh Al Muzhaffar, raja yang merajai kerajaan-kerajaan Bahriyah, mereka dipatahkan dgn buruk. Mesir dan Syam aman dari perkosaan mereka, dalam pada itu mereka mendapat kemenangan yang sempurna dan menguasairsebagian besar negara-negara Islam. Kekuatan Islam mengalahkan mereka dan merekapun lemah karenanya, baik mereka yang ada di jalur lintas yaitu sungai Atal, mereka yang ada disebelah utara. Dan mereka yang ada di Baghdad dan Persi bagian barat, hanya saja dua yang pertama itu lebih dahulu masuk Islam kira-kira satu abad. Unsur yang menguasai Mesir dan Syam dari Turki juga, dan mereka terkenal dengan Mamalik. Dengan demikian seluruh negara Islam di bawah Turki selain negeri-negeri Maghrib yang dikuasai oleh Barbar Barat.

 

Pada permulaan abad ke delapan di Turki Asia muncul seorang yang besar cita-citanya dan suka menyerang yaitu Utsman Kajuk kepala suku di Turki. Ia membina kerajaan kaumnya dari puing-puing tinggalan keluarga Saljuk yang masih ada di Asia Tengah, Ia dan anak-anaknya terus menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang berdampingan sehingga menjadi kerajaan besar. Kemudian mereka mengeyahkan dirinya ke Eropah dan mereka kuasai daerah besarnya. Pada pertengahan abad ke sembilan kota Konstantiniah (Konstantinopel) yang sudah pernah menjadi ibukota kerajaan mereka, pindah dibawah kerajaan-kerajaan besar Islam dan yang terbesar adalah kerajaan Mesir yang menjadi pusat pemerintahan khilafah Islam Abbasiyah. Mereka menguasainya dan melenyapkan Khalifah Abbasiyah yang terakhir. Dengan demikian khilafah pindah dari Kairo ke Konstantiniah (Konstantinopel) dan Mesir menjadi daerah Utsmaniah dan dengan mendadak Mesir menurun dari kedudukannya yang tinggi baik di bidang politik maupun ilmiyah.

 

Adapun Daulat Utsmaniyah berjalan dan kekuatan nya bertambah terus sehingga sebagian besar daerah Islam dibawah kekuasaannya. Pada sebagian besar waktu kebesarannya, pacamlah pelita Islam di negara Andalusia setelah menyinarinya dengan ilmu dan kebudayaan selama sekitar delapan abad, Pada permulaan abad ke tiga belas dengan suatu takdir Mesir mempersiapkan seorang laki-laki yang tertinggi derajatnya dan paling benar pendapatnya yaitu Muhammad Ali. Mesir memilih dirinya untuk menjadi pemimpin dan nakhoda kapalnya. Sejak waktu itu Mesir mulai memulihkan kekuatannya dan mengembalikan kedudukannya. Pada waktu itu Eropah mulai memerangi kerajaan Islam dan ilmu pengetahuan memberi kemungkinan untuk memperoleh apa yang dihendakinya, dan pertentangan itu terus berkecamuk dan kami tidak tahu siapakah yang berasik,

Untuk menulis tentang sesuatu pada periode ini tidak jelas karena angin ijtihad sudah teduh, dan pada periode ini tidak ada keistimewaan-keistimewaan yang mendiktekan pada penulis dan pembicara. Lapangan berpendapat telah meluas pada periode pertama dimana Allah mewahyukan syari’atNya dihati Rasullah s.a.w yaitu sesuatu yang diturunkan oleh Allah lalu beliau terangkan kepada manusia. Pada periode kedua dan ketiga para shahabat dan tabi’ in menerangkan jalan-jalan (methode-methode) istimbath dari Kitabullah, sunnah RasulNya dan ra’yu (pendapat) yang benar. Pada periode keempat, para imam-imam besar dan fuqaha-fuqaha yang cerdik berusaha keras lalu mereka memetik buahnya dan membukukan hukum-hukum syari at secara terperinci. Pada periode kelima mereka membuat urut-urutan, membersihkan, memilih dan mengunggulkan (mentarjih). Maka apakah yang akan dikemukakan oleh seorang pembicara tentang periode yang terakhir ini yang tidak mempunyai keistimewaan? Tetapi ketika kami melihat persambungan periode ini dengan kita serta kebutuhan kita antuk bangkit dan mengikuti orang-orang kita dahulu maka kami ingin menjelaskan cacat-cacat yang ada padanya karena manakala tampak cacat cacatnya maka memung kinkan bagi orang-orang yang mempunyai pikiran dan kemampuan untuk melakukan penyembuhannya.

 

Sebesar-besar keistimewaan periode ini adalah menetapnya ruh taklid semata-mata padajiwapara ulama, dan ha nya sedikit saja dari kalangan mereka yang sampai ke derajat ijtihad, Demikian itu pada separoh pertama dari periode ini yaitu dimasa Kairo menempati kedudukan Baghdad dan menjadi pusat kerajaan Islam dan khilafah Abbasiyah. Pada masa ini muncullah dari waktu ke waktu orang yang sampai ke tingkat ini (ijtihad #« pen). Namun mereka berhenti dengan membangsakan diri kepada para imam yang terkenal,

 

Adapun pada separoh yang kedua yaitu dari abad kesepuluh sampai sekarang keadaannya telah berganti dan tanda-tanda telah berobah dan diumumkan bahwasanya tidak boleh bagi seorang fakih untuk memilih dan mentarjih karena zamannya telah lalu serta terhalang antara orangorang dan kitab-kitab orang-orang yang terdahulu. Dan mereka mencukupkan diri pada kitab-kitab yang ada dihadapan mereka, dan kitab-kitab itulah yang akan kami terangkan kepada anda berikut ini:

 

Kita kembali kepada situasi Mesir sebelum kerajaannya jatuh dan .khilafah. pindah dari padanya. Kita jumpai nama-nama Al’Izz bin Abdus Salam, Ibnul Hajib, Ibnu Dagigil ‘Id, Ibnu Rif’ah, Ibnu Taimiyah, As Subki dan puteranya, Ibnul Qayyim, Al Bulgini, Al Asnawi, Kamal bin Hammam dan Jalalluddin As Sayuthi. Mereka itu orangorang pandai dari madzhab empat. Kemudian kita kembali menengok kepada .masa. sesudah itu maka kita tidak mendengar nama seorang alim atau fagih besar, atau pengarang yang baik namun kita jumpai suatu kaum yang tinggal menerima saja dalam fegih. Sedikit kita jumpai orang yang menyibukkan diri dengan madzhab lainnya. Apabila ia telah menyibukkan diri dalam madzhabnya maka ia mencukupkan pada kitab-kitab itu yang sangat banyak diikhtisarkan sehingga seolah-olah kitab-kitab itu dikarang bukan untuk difahami. Seolah-olah jatuhnya bidang politik adalah kemunduran ilmu lebih -lebih ilmu agama yang mundur sedemikian jauh. Ketika Mesir menuntut kembalinya kemuliaan maka terbentur beberapa penghalang yang akan kami kisahkan kepada anda yaitu:

 

  1. Terputusnya hubungan antara ulama-ulama negara-ne gara besar Islam.

Tidaklah sempurna bagi para fagih (fuqaha”) periode yang lampau julukan fagih dan tidak memperoleh penghormatan yang sempurna kecuali dengan bepergian dan menemui ulama negara-negara besar, disamping ulama senegerinya. Sedikit saja dari mereka yang dikenal cerdik dan mempunyai keistimewaan manakala ia tetap tinggal di negerinya (tidak pergi ke negara-negara lain – Pen). Lihatlah sejarah imam imam besar dan para muhadditsin, anda dapatkan mereka seluruhnya melawat ke ufuk-ufuk, satu negeri hampir tidak dapat mencukupi mereka sampai mereka pergi ke negara-negara lain untuk menerima hadits dan Fiqh. Dan Mekah mengumpulkan mereka pada musim (baji – pen) lalu masing-masingnya mengambil faedah kepada yang lain dalam bidang ilmu, hadits dan pikiran. Oleh karena itu sempurnalah perkenalan diantara para ulama pada masa itu. Inilah satu hal yang menambah pengetahuan mereka dan menguatkan jalinan kasih-sayang diantara mereka, dalam keadaan sulitnya perjalanan dan repotnya buku-buku.

 

Adapun dalam periode ini lebih-lebih pada bagian akhirnya, hubungan-hubungan antara ulama negaranegara besar telah terputus. Ulama Mesir hampir tidak mendengar nama orang alim India, dan yang ini (India 2 Pen) tidak mengenal ulama Maghrib dan demikianlah, kecuali kitab-kitab salah seorang dari mereka yang diambil, maka disana ia didengar dan barang kali kitabnya beredar. Diantara urusan yang sangat terlalu, anda dapatkan pada musim hajji sebagian ulama yang berbeda-beda negerinya dan salah seorang dari mereka tidak mementingkan untuk mengenal pada yang lain atau meriwayatkan sesuatu dari padanya. Kelemahan telah memasuki ilmu-ilmu Islam dalam bidang syara’ dan yang lain dari ilmu-ilmu orang-orang yang terdahulu yang penunjangnya adalah riwayat dan pertemuan. Tidaklah cukup untuk mengambil pengertian dari pendapat seorang alim dari kitabnya saja karena kitab itu bisu dan beku. Adapun pertemuan maka dapat mengasah dan meluaskan pikiran karena soal jawab dan percakapan yang diadakannya. Sekarang kita mengetahui gerakan ilmu sekitar sepuluh abad yang lalu, sesuatu yang tidak kita ketahui lebih dari itu, misalnya di India.

 

  1. Terputusnya hubungan antara kita dan kitab-kitab para imam.

Sesungguhnya kitab-kitab besar yang telah saya abadikan dari buah pena orang-orang yang terdahulu menjadi suatu peninggalan yang “seorangpun tidak memperhatikannya dan tidak mempelajarinya seperti pada zaman dahulu. Itulah kitab-kitab Muhammad bin Hasan Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, Malik bin Anas dan imam-imam lain, kitab-kitab murid mereka bahkan kitab imam-imam dari periode ke lima. Kitabkitab itulah yang memberi makanan ruh, membangkitkan cita-cita dan menelorkan seorang fakih yang sempurna. Sedikit anda jumpai orang pandai yang sungguhsungguh mempelajari dan menela’ahnya bahkan kami dapati ulama-ulama besar tidak terdengar namanya. Apabila mereka membanggakan sebuah kitab dari padanya dihadapan anda maka sedikit sekali yang memperhatikan untuk membacanya, namun mereka mencukupkan pada kitab-kitab yang ditulis pada masa kemunduran: Dengan demikian terputuslah hubungan – antara kita dan kitab-kitab itu dari segi riwayat yang benar dan berfaedah, kecuali orang yang bangkit semangatnya lalu ia bersungguh-sungguh menela’ah kitab-kitab itu di perpustakaan umum atau khusus . Oleh karena itu apabila anda membandingkan antara kitab-kitab jitu dan kitab-kitab yang dipergunakan maka anda lihat perbedaan yang jauh baik dalam bagusnya tulisan, rangkaian gaya bahasa dan mudahnya difahami hanya saja kosongnya cita-cita dan lemahnya kemauan menempati kita dan hampir menghancurkan kita Syaikh Muhammad bin Mahmud bin Talamid At Tar, kizi Asy Syankithi bertanya kepadaku: “Dari siapa an. da meneima kebudayaan Arab?” Maka saya menjawab: ”Dari kitab wahai tuan”, Ia berkata: “Sesungguhnya kitab-kitab itu tidak baik untuk menjadi guru”. Maka saya katakan kepadanya: “Apakah yang dapat saya lakukan wahai tuan?”

 

Padahal hubungan antara kita dan orang-orang yang terdahulu telah terputus padahal tidak ada guru dan ti. dak ada saudara, dan ketika saya melihat tuan maka cukuplah bagiku”. Maka cerahlah wajah Syaikh terhadap jawabanku, dan ia berkata: ”Insya Allah, insya Allah”, Seandainya syaikh rahimahullah itu sedikit mengangan-angan maka alasan itu merupakan tipu daya bagi kami, karena masa kegelapan telah menghalangi antara kami dan ilmu orang-orang kami yang terdahulu, kecuali endapan yang tidak menyegarkan orang yang haus dan tidak dapat menyembuhkan penyakit. Maka alangkah butuh kita kepada cita-citayang membangkitkan buku-buku ini dari tidurnya, dan pandangan dihadapkan kepadanya (memusatkan perhatian – pen) sehingga meningkatlah derajat kita dalam ilmu-ilmu keislaman. Dikala itu memungkinkan bagi kami untuk mengatakan fuqaha di kalangan kita.

Mengikhtisarkan bukanlah suatu hal yang baru adapada periode ini namun sudah ada pada periode ke empat, karena murid-murid para imam telah mengikhtisarkan per kataan mereka dan yang serupa dalam suatu ikhtishar, misalnya membuang masalah-masalah yang tidak banyak dibutuhkan dan membuat urutan terhadap apa yang didiktekan oleh para imam yang dulunya belum berurutan, Dalam hal itu ja menempuh jejak mereka lalu kaburlah para ulama. Adapun pada akhir periode ini, pengikhtisaran itu mengarah kepada segi yang asing yaitu ijtihad untuk mengumpulkan banyak masalah dalam kata-kata yang sedikit. Ketika naluri Arab itu lemah disisi mereka maka pembicaraan itu beralih menjadi serupa jalan yang rumit. Se-olah-olah pengarang itu menulis bukan untuk difahami namun untuk mengumpulkan. Untuk memberikan gambaran kepada anda tentang ikhtishar ini saya nukilkan satu fasal dari tiga kitab dalam satu maudhu (pokok masalah). Tiga kitab ini adalah kitab yang termasyur menjadi pegangan para pelajar Fiqh dalam tiga madzhab. Maudhu’ tersebut adalah air yang diperbolehkan untuk bersuci dan yang tidak bolehkan. Khalil dalam Mukhtasharnya berkata:

 

 

Artinya:

Hadats dan sesuatu yang dihukum najis dihilangkan dengan air – mutlak yaitu sesuatu yang benar disebut “air tanpa kayid”, Jika air itu terkunipul dari air hujan atau barang cair setelah beku, atau sisa binatang ternak atav orang yang haidh atau orang yang junub atau kelebihan bersud dari keduanya ( orang yang haidh dan junub “ Pen) atau air banyak yang bercampur dengan najis namun tidak berobah, atau ragu terhadap sesuatu yang menjadikan berobah itu apakah membahayakan atau berobah karena berdampingan dengan minyak yang melekat atau berdampingan dengan minyak yang melekat atau bau tetesan bejana orang yang bepergian (musafir) atau sesuatu yang timbul dari air itu, atau karena diam (tergenang) atau kejatuhan meskipun disengaja dafi debu atau garam. Dan yang lebih unggul tidak diikutkannya garam yang tidak merobah pada warna, rasa atau bau dengan sesuatu yang berlainanpada umumnya baik dari barang yang suci atau najis seperti minyak yang bercampur atau asap yang tetap, hukumnya seperti berobah. Dan membahayakanlah perobahan karena tali kedua tebingnya seperti kolam yang ada kotoran binatang ternak atau sumur karena daun pohon atau jerami, dan yang jelas adalah bolehnya kedua hal itu pada sumur di padang. Menjadikan pencampur yang sesuai dengan pencampur yang berlainan ada pemikiran tersendiri. Membersihkan dengan air yang sudah dimasukkan kedalam mulut ada dua pendapat dan makruh pada air yang telah digunakan (musta’mal) untuk menghilangkan hadits dan yang lain ada sedikit keraguan seperti bejana wudhu, mencuci najis yang tidak berobah atau jilatan anjing dan air keruh yang untuk mandi, sisa peminum khomer dan tangan yang dimasukkan dalam air dan air yang tidak terpelihara dari najis, bukan jika sulit memeliharanya atau seperti air yang kena panas matahari, meskipun anda lihat pada mulutnya waktu dipergunakannya maka dapat dipergunakan. Jika hewan darat yang mempunyai darah mengalir mati pada air yang menggenang dan tidak berobah maka sunnat menjauhkan dengan sekadar. nya bukan jika ia jatuh dalam keadaan telah menjadi bangkai, meskipun hilang maka air itu berobah menjadi najis bukan pada air banyak yang mutlak maka dipandang baik untuk bersuci dengannya, dan tidak bersuci dengannya adalah lebih utama. Sebelum adanya hadits ahad jika seginya jelas atau bersesuaian jalannya. Jika tidak maka iaberkata: “Dipandang baik meninggalkannya, dan datangnya air pada najis adalah seperti kebalikannya”. Zakariya Al Anshari berkata dalam Minhajnya:

 

Artinya:

“Bersuci itu hanya dengan cairan air mutlak yaitu sesuatu yang disebut air tanpa kaid”, Air yang berobah serta bercampur karena barang suci sehingga terhalang untuk disebut air mutlak, maka tidak diperkenankan, tidak termasuk debu dan air garam meskipun dimasukkan didalamnya. Dan dibenci (makruh) karena terlalu panas dan dingin dan air panas karena sinar matahari dengan syarat-syaratnya. Air yang dipergunakan dalam fardhu adalah tidak mensucikan, jika sedikit. Dua kolam air tidak menjadi najis yaitu kira-kira 500 kati Baghdad, karena terkena najis. Jika air itu berobah maka najis. Jika perobahannya itu hilang dengan sendirinya atau dengan air suci dibawah dua kolam maka air itu najis seperti barang basah lain yang mengenainya bukan terkena bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir dan tidak dilemparkan dan terkena najis yang tidak terlihat oleh mata dan sebagainya. jika hal itu mengenai air dan air itu tidak berobah maka air Itu suci. Perobahan yang membawa pengaruh adalah perobahan rasa atau warna, atau bau meskipun menyerupai barang yang suci atau suci karena lainnya, maka hendaklah bersungguh-sungguh untuk menjaga dan mengerjakan apa yang dalam sangkaannya mensucikan atau suci, bukan air serta air kencing dan bukan air beserta air mawar. Ketika ia menduga salah satunya itu suci maka disunatkan mengalirkan yang lain. Jika ia meninggalkannya dan sangkaannya berobah maka ia tidak melakukan yang kedua namun ia tayammum dan tidak mengulanginya meskipun ia diberi tahu oleh orang yang adil tentang najisnya air itu dengan riwayat yang menyelesaikan sebabnya, atau oleh seorang fakih yang sesuai dan dipeganginya.” An Nasafi dalam Kanzi-nya berkata :

 

Artinya:

Dipergunakan untuk wudhu air hujan, air mata-air dan air laut, Jika air yang suci itu berobah salah satu sifat-sifatnya atau busuk karena diam, bukan sir yang berobah karena banyaknya daun atau dimasak atau perasan pohon atau korma atau yang lain yang mengalahkannya dan dengan air yang diam yang ada najisnya jika tidak sampai seperseratusnya, maka ia sepert air yang mengalir yaitu sesuatu yang hilang dari kendi ialu dipakai untuk wudhu jika ‘ia tidak melihat bekasnya yaitu rasa atau warna atau bau. Bangkai binatang yang tidak ada darahnya, ikan laut, katak dan rajungan (kepiting) adalah tidak menajiskan. Air yang dipergunakan untuk tagarrub atau menghilangkan hadats apabila menetap ditempatnya adalah suci namun tidak mensucikan. Sumur itu diambil airnya dan karena kejatuhan najis bukan karena kotoran onta dan kambing, air kencing burung dara dan burung kecil. Air kencing binatang yang halal dimakan adalah najis, tidak boleh untuk menghilangkan hadats dan sama sekali tidak boleh diminum. Dua puluh ember sedang karena matinya semisal tikus, empat puluh ember dengan seumpama burung dara, seluruhnya itu dengan seumpama kambing, hembusan atau kejatuhan hewan dan dua ratus ( ember) seandainya tidak mungkin untuk dihabiskannya. Najisnya mulai tiga ekor yang terjatuh dan tidak diketahui waktu terjatuhnya, jika tidak sejak sehari semalam. Keringat itu seperti sisa. Sisa manusia, kuda dan binatang yang halal dimakan dagingnya adalah suci. Sisa anjing, babi hutan dan binatang-binatang buas adalah najis. Sisa kucing, ayam dalam piaraan, burungburung buas dan binatang-binatang penghuni rumah adalah makruh. Sisa keledai dan bagal adalah dIraqukan untuk dipakai wudhu dan boleh tayamum jika tidak ada air. Mana yang dahulu adalah sah tidak seperti tuak korma.

 

Tiga kitab inilah yang menyaring seorang pencari ilmu untuk menjadi seorang yang pandai dalam salah satu madzhab yang tersiar pada masa kita. Dari segi susunan kalimat, anda lihat hampir tidak dapat difahami. Oleh karena itu kitab-kitab itu membutuhkan syarah dan syarah itu membutuhkan kepada hasyiah (kitab yang menerangkan syarah). Dan tidak tergores dalam hati anda bahwa maudhu’ ini dapat dibaca dalam dua minggu. Sebagian besar waktu habis untuk memahami apa yang dikehendaki oleh pengarang. Sesudah itu anda lihat mereka tidak mencantumkan dalil. Dengan demikian disana tidak ada perbedaan antara orang yang tidak belajar dan orang yang belajar, hanya saja orang yang belajar mengetahui masalah-masalah yang tidak diketahui oleh orang yang tidak belajar. Adapun bagaimana imamnya mengambil hukum dari dalil-dalilnya maka tidak diketahuinya. Pada hal hanya dengan inilah Fiqh itu sempurna. Dan dengan pasti anda disana tidak mendapatkan bekas perbedaan pendapat dari imam-imam. Ini menutup pintu pemahaman yang baik bagi orang yang menuntut ilmu. Sesuatu, yang menjadikan orang yang belajar Fiqh dikalangan kita menurun tingkatnya dan mereka lebih mendekati kepada orang awam. Barangkali kitab-kitab Hanafiyah yang dipergunakan mempunyai sedikit keistimewaan karena mencantumkan dalil seperti kitab Al Bidayah dan syarahnya Al Hidayah.

 

Adapun Syafr’iyah dan Malikiyah tidak demikian halnya. Barangkali seseorang mengatakan, selama kita telah mendapat kebenaran dengan bertaklid maka tidak dibolehkan ustuk melampauinya. Dan tidak diperbolehkan seorang yang belajar Fiqh bagaimanapun mencapai derajat yang tinggi untuk menyelisihi imamnya, dan tidak boleh mentarjih salah satu dari dua pendapat dalam satu madzhab karena masa pentarjihan telah berlalu. Apakah gunanya menyibukkan diri dengan dalil-dalil atau menelaah pendapat imamImam yang terakhir?

 

Kami menjawab terhadap yang demikian itu bahwa hal ini baik jika yang mencari ilmu itu orang awam yang menginginkan untuk mengetahui salah satu hukum. Adapun bagi orang-orang yang ingin menjadi fuqaha’ maka sedikitdikit derajat mereka adalah mengetahui dari mana imam Inereka mengambil hukum, dan mereka akan bertambah ilmunya apabila mengetahui pendapat orang yang menyelisihinya dan bagaimana ja beristimbath. Apabila pengetahuan mereka tinggi maka apakah yang menjadikan mereka lebih rendah dari pada orang-orang yang mendahului mereka, yang mana mereka memilih pendapat-pendapat untuk diri mereka sendiri yang dikatakan oleh tokoh-tokoh madzhab yang diikutinya. Terhentinya derajat Fiqih pada kedudukan ini yang disenangi oleh jumhur ulama dengan pasti mendorong kepada lemahnya undang-undang syara karena orang-orang yang pandai tidak memikirkannya dan juga tidak berpendapat, yang setiap hari realisasi pengaruhpengaruh itu dapat disaksikan. Bukankah suatu hal yang asing pada suatu kali tersembunyilah seluruh kitab-kitab yang ditulis pada periode kejayaan Islam, yaitu buku-buku yang ditulis pada periode keempat dan kelima. Yang masih ada ditangan para pencari ilmu hanyalah kitab yang ditulis pada masa kemunduran dan lemahnya lidah Arab? Wajib ada perbaikan bagi para pencari ilmu apabila mereka dengan bersih mengingat sebelum yang lain-lain akan mengambil faedah dari peninggalan-peninggalan orang-orang dahulu. Alhamdulillah buku-buku itu banyak sekali dan kebanyakan dari padanya ditulis dengan bahasa yang tinggi yang dapat menolong pencari ilmu untuk memperbaiki dialeknya dan meninggikan pemikirannya . Sesungguhnya pena akan berhenti dengan bingung jika dimaksudkan untuk menguraikan peninggalan-peninggalan yang buruk kepada orang yang mempelajari kitab-kitab Fiqih yang dipergunakannya sekarang.

 

Menurut kami ada dua pencegah yang menghalangi antara kita dan pembentukan seorang fakih, yaitu:

  1. Kitab-kitab yang dihadapan kita, yang telah kami terangkan dengan cukup luas,

2, Methode pengajaran.

 

Kemauan seorang fakih pada masa-masa pertama adalah bercita-cita besar untuk mengetahui apa yang ada dalam Kitab Allah Yang Maha Suci dan Sunnah NabiNya yang dari padanya diistimbathkan hukum-hukum, kemudian ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengetahui apa yang difatwakan oleh imamnya. Apabila ia maju dalam pefajaran maka ia menelaah pendapat-pendapat imam-imam madzhabnya yang imam-imam mereka berselisih didalamnya, dan ia kupas perbedaan pendapat itu. Apabila pembahasan tentang pendapat-pendapat imam-imam yang terakhir itu sempurna niscaya ia dapat membandingkan antara pendapat-pendapat itu dan pendapat yang diistimbathkan oleh imamnya. Ketika itu ia menjadi seorang fakih yang mempunyai tangan lapang dan pemikiran yang unggul manakala ja menyempurnakan tingkat yang ketiga ini.

 

Adapun menurut kami, sesungguhnya tidak ada per’bedaan antara orang yang baru belajar dan orang yang telah lanjut kecuali banyak dan sedikitnya masalah. Inilah keistimewaan yang dicapai oleh jalan Abu Syuja’ dalam madzhab Syafi’i misalnya, bukan banyaknya masalah dari hal-hal yang membangkitkan ruh Fiqh kedalam jiwa. Pencari ilmu tingkat akhir yang telah kami terangkan itu hanya sibuk dalam Fiqh dan tidak dicampur dengan ilmu-ilmu lain. Pengajaran dalam sistim sekolah kami telah sama antara tingkat yang pertama dan tingkat yang lanjut sebagaimana “tingkat yang pertama itu sibuk dengan dasar-dasar ilmu-ilmu yang banyak, maka tingkat yang kedua sibuk pula. Apabila diperkirakan ja mendapat kemenangan dalam arena ujian, maka ia bukan seorang fagih, seorang sasterawan dan bukan pula filosof namun ia adalah seseorang yang telah mengambil dasar-dasar ilmu, yang ilmunya dalam Fiqih tidak lebih banyak dari pada nahwu dan hitung. Demikianlah halnya Seluruh pondok-pondok yang sibuk menyelenggarakan pengajaran agama. Dan janganlah anda mengira bahwa salah georang diantara mereka sesudah memperoleh ijazah lalu jiwanya akan meningkat dengan menambah apa yang tedicarinya dan menelaah terhadap apa yang belum sempat ditelaah serta bersungguh-sunyguh ingin mengetahui perbedaan para fuqaha’ namun ia tetap pada keadaan dihari ujian. Pada hal ini suatu cacat besar. Seandainya boleh bagi. ku sebagai seorang sejarahwan yang menggambarkan kenyataan-kenyataan sebayaimana adanya untuk mengusulkan niscaya saya usulkan dalam pengajaran agama apa yang saya sebutkan dibawa ini:

 

  1. Pengajaran dasar itu hendaklah terbatas pada pengajaran-pengajaran hukum-hukum yang ditetapkan oleh Imam madzhab dari kitab yang mudah dan dipilih untuk itu.
  2. Dalam tingkat yang kedua agar disampaikan kitabkitab yang menguraikan pendapat-pendapat imamimam madzhab yang menyelisihi imam-imam mereka, atau mengunggulkan, atau memilih dengan disertai dalil-dalil bagi masing-masing golongan. Untuk itu dipilih suatu kitab perbedaan madzhab, dan pada tiap-tiap madzhab kitab itu banyak, dengan disertai pelajaran Tafsir dan Hadits.
  3. Pengajaran terakhir hendaklah terbatas pada Fiqih, ushul Fiqh, serta Al Qur’an dan Hadits yang berhubungan dengan hukum-hukum, hendaklah ia mempelajari perbedaan pendapat para imam dan jalan istidlal mereka. Dan janganlah diberikan (derajat ”fagih” kecuali kepada orang yang menulis dua atau tiga masalah yang menerangkan perbedaan para fuqaha”, sebab-sebab perbedaan pendapat mereka dan kaidah-kaidah pokok yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat oleh orang yang berpendapat itu.

 

Hal itu tidaklah sempurna, kecuali dengan perhatian ulama memilih buku-buku pelajaran dari kitab-kitab yang ditulis oleh Ulama-ulama Besar pada periode keempat dan kelima.

 

Dengan demikian timbullah ruh Fiqh didalam jiwa dar meluaskannya, dan kami telah menempuh jalan orang-orang dahulu ( salaf) dan kami memperoleh kemampuan untuk mendalami agama, dan pada masa yang akan datang akan ada diantara kita fuqaha’ yang dapat dipegangi dan dipercaya pendapat-pendapat mereka. Apabila pada setiap tahun kami mendapat pertolongan adanya jumlah sedikit dari sulaman ini memungkinkan bagi kami untuk berbangga pada masa-masa yang lampau dengan ulama dan fuqaha’ kita.

 

Sesungguhnya diantara orang yang saya ketahui dari ulama besar kita, ada yang apabila mereka lepaskan untuk naik sampai kepada ketinggian ini dan tidak menjadi kebutuhan kami untuk menyebut nama-nama mereka.

 

Kami bermohon kepada Allah untuk memberi pertolongan kepada kita seluruhnya untuk melayani agamaNya dan syari’atNya sehingga kami memperoleh bagian kehidupan yang tinggi. Tidak ada artinya kita melihat segala sesuatu dalam ketinggian yang tetap, padahal kita berhenti, mereka tidak berguna bagi kita kecuali omongan saja. Yang wajib hendaklah kita lebih baik dari pada apa yang ada pada kita sekarang, dan agar kita kembali kepada masa lampau kita untuk menyemangatkan jiwa kita dengan merindukan kepada perbaikan masa depan kita.

Saya tulis buku ini untuk anda, dan saya hanya menginginkan untuk memberi gambaran kepada anda, tentang orang-orang shaleh yang terdahulu, dan untuk membawa anda agar menempuh jalan mereka, Dan insya -Allah kami susuli dengan buku lain yang didalamnya saya sebutkan masalah-masalah yang terperinci dan sejarah perbedaan pendapatnya, Masalah-masalah yang saya sebutkan dalam buku ini hanya sekedar contoh.

 

Saya berdo’a kepada Allah untuk memberi taufiq (pertolongan) kepada diri saya dan anda kepada kebaikan, karena sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Memperkenankan,