(Kitab al-Khulu‘)

(بَابُ الْوَجْهِ الَّذِي تَحِلُّ بِهِ الفدية من الجامع من الكتاب والسنة، وغير ذلك)

(Bab Penjelasan Cara yang Membolehkan Pengambilan Fidyah dari Kompilasi Al-Qur’an, Sunnah, dan Lainnya)

(مسألة)

(Masalah)

: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَالَ اللَّهُ: {وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شيئا} الآية وَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إلى صلاة الصبح فوجد حبيبة بنت سهل عند بابه فقال من هذه؟ فقالت أنا حبيبة بنت سهل لَا أَنَا وَلَا ثَابِتٌ لِزَوْجِهَا فَلَمَّا جَاءَ ثابت قال له – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هذه حبيبة تَذْكُرُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَذْكُرَ فَقَالَتْ حَبِيبَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كُلُّ مَا أَعْطَانِي عندي فقال عليه الصلاة والسلام (خُذْ مِنْهَا) فَأَخَذَ مِنْهَا وَجَلَسَتْ فِي أَهْلِهَا.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: Allah berfirman: {Dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu pun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka} (ayat). Rasulullah ﷺ keluar untuk salat subuh, lalu mendapati Habibah binti Sahl di depan pintunya. Beliau bertanya, “Siapa ini?” Ia menjawab, “Aku Habibah binti Sahl. Aku dan Tsabit (suaminya) sudah tidak bisa bersama.” Ketika Tsabit datang, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “Ini Habibah, ia menyampaikan apa yang Allah kehendaki untuk ia sampaikan.” Habibah berkata, “Wahai Rasulullah, semua yang telah diberikan suamiku masih ada padaku.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ambillah darinya.” Lalu Tsabit mengambilnya dan Habibah kembali kepada keluarganya.

الْقَوْلُ فِي حَدِّ الْخُلْعِ

Penjelasan tentang Batasan Khulu‘

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْخُلْعُ فِي اللُّغَةِ: فَهُوَ الِانْتِزَاعُ عَلَى مُهْلَةٍ وَمِنْهُ خَلَعَ الثَّوْبَ نَزَعَهُ وَالْخُلْعُ فِي الشَّرْعِ: هُوَ افْتِرَاقُ الزَّوْجَيْنِ عَلَى عِوَضٍ.

Al-Mawardi berkata: Adapun khulu‘ dalam bahasa adalah pencabutan secara perlahan, seperti ungkapan “mencabut pakaian” artinya melepaskannya. Sedangkan khulu‘ dalam syariat adalah perpisahan antara suami istri dengan adanya kompensasi (‘iwadh).

وَإِنَّمَا سُمِّيَ خُلْعًا؛ لِأَنَّهَا قَدْ كَانَتْ بِالزَّوْجِيَّةِ لِبَاسًا لَهُ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ} [البقرة: 187] فَإِذَا افْتَرَقَا بَعِوَضٍ، فَقَدْ خَلَعَ لِبَاسَهَا، وَخَلَعَتْ لِبَاسَهُ فَسُمِّيَ خُلْعًا.

Dinamakan khulu‘ karena istri sebelumnya adalah “pakaian” bagi suaminya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka} [al-Baqarah: 187]. Maka ketika keduanya berpisah dengan adanya kompensasi, berarti masing-masing telah melepaskan “pakaiannya”, sehingga disebut khulu‘.

وَقِيلَ: فِدْيَةٌ؛ لِأَنَّ الْمَرْأَةَ قَدْ فَدَتْ نَفْسَهَا مِنْهُ بِمَالِهَا، كَفِدْيَةِ الْأَسِيرِ بِالْمَالِ.

Ada pula yang mengatakan: Khulu‘ disebut fidyah karena perempuan menebus dirinya dari suaminya dengan hartanya, seperti tebusan tawanan dengan harta.

الدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ الْخُلْعِ

Dalil tentang Bolehnya Khulu‘

وَالْأَصْلُ فِي إِبَاحَةِ الْخُلْعِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا} [البقرة: 229] وَهَذَا خِطَابٌ لِلْأَزْوَاجِ حَذَّرَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ أَنْ يَأْخُذُوا مِنْ أَزْوَاجِهِمْ مَا آتَوْهُمْ مِنَ الصَّدَاقِ بِغَيْرِ طِيبِ أَنْفُسِهِمْ، ثُمَّ قَالَ: إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ. والخوف ها هنا بِمَعْنَى الظَّنِّ، وَتَقْدِيرُهُ إِلَّا أَنْ يَظُنَّا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:

Dasar kebolehan khulu‘ adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu pun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka} [al-Baqarah: 229]. Ini adalah seruan kepada para suami, Allah Ta‘ala memperingatkan mereka agar tidak mengambil kembali dari istri-istri mereka apa yang telah diberikan sebagai mahar tanpa kerelaan hati mereka. Kemudian Allah berfirman: “kecuali jika keduanya khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah.” Kata “khawatir” di sini bermakna “mengira”, sehingga maknanya: kecuali jika keduanya mengira tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Sebagaimana syair:

(أَتَانِي عَنْ نُصَيْبٍ كَلَامٌ يَقُولُ … وَمَا خِفْتُ يَا سَلَامُ أَنَّكَ عَاتِبُ)

(Telah sampai kepadaku dari Nushayb sebuah ucapan yang berkata … Dan aku tidak khawatir, wahai Salam, bahwa engkau akan menegurku)

وَفِيمَا يَخَافَا أَنْ لَا يُقِيمَاهُ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ تَأْوِيلَانِ:

Terkait hal yang dikhawatirkan keduanya tidak dapat ditegakkan dari hukum-hukum Allah, terdapat dua tafsiran:

أَحَدُهُمَا: هُوَ كَرَاهَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ وَهَذَا قَوْلُ ابن المسيب.

Pertama: Yaitu kebencian masing-masing terhadap pasangannya, dan ini adalah pendapat Ibn al-Musayyib.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مِنَ الزَّوْجَةِ أَنْ لَا تُطِيعَ لَهُ أَمْرًا، وَمِنَ الزَّوْجِ أَلَّا يُؤَدِّيَ لَهَا حقاً.

Kedua: Dari pihak istri, yaitu tidak menaati perintah suami; dan dari pihak suami, yaitu tidak menunaikan hak istri.

ثم قال: فإن خفتم أن لا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افتدت به، فِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Kemudian Allah berfirman: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya mengenai apa yang diberikan istri sebagai tebusan.” Dalam hal ini terdapat dua tafsiran:

أَحَدُهُمَا: فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ نَفْسَهَا مِنَ الصَّدَاقِ الَّذِي أَعْطَاهَا لَا غَيْرَ، وَهُوَ قَوْلُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ. وَالثَّانِي: مِنْ جَمِيعِ مَالِهَا وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.

Pertama: Yang dimaksud adalah tebusan dari mahar yang telah diberikan suami, tidak selainnya, dan ini adalah pendapat ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam. Kedua: Dari seluruh harta istri, dan ini adalah pendapat ‘Umar bin al-Khattab dan Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

وَقَالَ تَعَالَى: {فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نفساً} يعني من الصداق {فكلوه هنيئاً مريئاً} فَإِذَا أَبَاحَ أَنْ يَأْخُذَ مَا طَابَتْ بِهِ نَفْسًا مِنْ غَيْرِ طَلَاقٍ كَانَ بِالطَّلَاقِ أَوْلَى.

Allah Ta‘ala berfirman: {Jika mereka rela memberikan kepadamu sebagian dari mahar itu, maka makanlah dengan senang dan baik}—artinya dari mahar. Maka jika Allah membolehkan suami mengambil sesuatu yang diberikan istri dengan kerelaan hati tanpa perceraian, maka dengan perceraian tentu lebih utama.

وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عن مالك عنه يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَوَجَدَهَا عِنْدَ بَابِهِ بِالْغَلَسِ، فَقَالَ: مَنْ هَذِهِ؟ فَقُلْتُ: أَنَا حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ. قَالَ: مَا شَأْنُكِ؟ . قُلْتُ: لَا أَنَا وَلَا ثَابِتٌ لِزَوْجِهَا، فَلَمَّا جَاءَ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هَذِهِ حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ، تَذْكُرُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَذْكُرَ، فَقَالَتْ حَبِيبَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كُلُّ مَا أَعْطَانِي عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خذ مِنْهَا، وَجَلَسَتْ فِي أَهْلِهَا. يَعْنِي خُذْ مِنْهَا وَطَلِّقْهَا.

Dan dalil dari sunnah tentang hal ini adalah riwayat yang dibawakan oleh asy-Syafi‘i dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari ‘Amrah, bahwa Habibah binti Sahl memberitahunya bahwa ia pernah menjadi istri Tsabit bin Qais bin Syammas. Suatu ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- keluar untuk shalat subuh dan mendapati Habibah di depan pintunya saat masih gelap. Beliau bertanya, “Siapa ini?” Aku menjawab, “Aku, Habibah binti Sahl.” Beliau bertanya, “Ada apa denganmu?” Aku menjawab, “Aku dan Tsabit tidak lagi bisa menjadi suami istri.” Ketika Tsabit bin Qais datang, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata kepadanya, “Ini Habibah binti Sahl, ia menyampaikan apa yang Allah kehendaki untuk ia sampaikan.” Habibah berkata, “Wahai Rasulullah, semua yang telah ia berikan kepadaku masih ada padaku.” Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Ambillah darinya,” dan Habibah kembali ke keluarganya. Maksudnya: ambillah darinya dan ceraikanlah dia.

فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى أَحْكَامٍ مِنْهَا: جَوَازُ اسْتِمَاعِ الدَّعْوَى عَلَى غَائِبٍ.

Hadis ini menunjukkan beberapa hukum, di antaranya: bolehnya mendengarkan gugatan terhadap orang yang tidak hadir.

وَمِنْهَا: أَنَّ الْمُدَّعِيَ إِذَا عَرَّفَ الدَّعْوَى لَمْ يَحْتَجِ الْحَاكِمُ أَنْ يُعِيدَهَا عَلَيْهِ.

Dan di antaranya: jika penggugat telah menjelaskan gugatannya, hakim tidak wajib mengulanginya kepadanya.

وَمِنْهَا: جَوَازُ الْخُلْعِ وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ قَدْ ضَرَبَهَا، وَإِذَا لَمْ يَكُنِ الضَّرْبُ لِأَجْلِ الْخُلْعِ. وَمِنْهَا: جَوَازُ الْخُلْعِ فِي الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْ عَنْ حَالِهَا.

Dan di antaranya: bolehnya khulu‘ meskipun suami telah memukul istrinya, selama pemukulan itu bukan karena permintaan khulu‘. Dan di antaranya: bolehnya khulu‘ saat haid maupun suci, karena Rasulullah tidak menanyakan keadaan (haid atau suci) Habibah.

وَمِنْهَا: أَنَّهُ لَا رَجْعَةَ عَلَى الْمُخْتَلِعَةِ لِأَمْرِهِ لها بالجلوس في أهلها.

Dan di antaranya: tidak ada rujuk bagi wanita yang melakukan khulu‘, karena Rasulullah memerintahkannya untuk kembali ke keluarganya.

فدل على مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْآيَةِ وَالْخَبَرِ عَلَى جَوَازِ الْخُلْعِ وَهُوَ قَوْلُ الْجَمَاعَةِ وَحُكِيَ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيِّ أَنَّ الْخُلْعَ مَنْسُوخٌ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شيئاً، أتأخذونه بهتاناً وإثما مبيناً} فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى تَحْرِيمِ الْخُلْعِ وَنَسْخِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ إِبَاحَتِهِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ مَنَعَتْ مِنْ أَخْذِ مَا لَمْ تَطِبْ بِهِ نَفْسًا وَلَمْ تَمْنَعْ مِمَّا بَذَلَتْهُ بِطِيبِ نَفْسٍ وَاخْتِيَارٍ كَمَا قَالَ: {فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مريئاً} وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ أَنَّ الرُّبَيِّعَ بِنْتَ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ حَدَّثَتْهُ قَالَتْ: كَانَ لِي زَوْجٌ يُقِلُّ عَلَيَّ الْخَيْرَ إِذَا حَضَرَ، وَيَحْرِمُنِي إِذَا غَابَ، قَالَتْ: وَكَانَتْ مِنِّي زَلَّةٌ يَوْمًا، فَقُلْتُ: أَخْلَعُ مِنْكَ بِكُلِّ شَيْءٍ أَمْلِكُهُ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَتْ: فَفَعَلْتُ فَخَاصَمَ عَنِّي مُعَاذُ بْنُ عَفْرَاءَ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَأَجَازَ الْخُلْعَ وَأَمَرَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَا دُونَ عِقَاصِ الرَّأْسِ.

Maka hal ini menunjukkan, sebagaimana yang telah kami sebutkan dari ayat dan hadis, tentang bolehnya khulu‘, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Diriwayatkan dari Bakr bin ‘Abdillah al-Muzani bahwa khulu‘ telah di-nasakh dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu ingin mengganti istri (dengan istri yang lain) dan kamu telah memberikan kepada salah seorang dari mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya dengan jalan tuduhan yang dusta dan dosa yang nyata?} Ayat ini menunjukkan keharaman khulu‘ dan penghapusan hukum kebolehannya yang terdahulu. Namun ini adalah kekeliruan, karena ayat tersebut melarang mengambil sesuatu yang tidak diberikan dengan kerelaan hati, dan tidak melarang mengambil sesuatu yang diberikan dengan kerelaan dan pilihan, sebagaimana firman-Nya: {Jika mereka rela menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar itu, maka makanlah dengan senang dan baik.} Telah diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil bahwa ar-Rubayyi‘ binti Mu‘awwidz bin ‘Afra’ menceritakan kepadanya: “Aku pernah memiliki suami yang sedikit berbuat baik ketika hadir, dan tidak memberiku apa-apa ketika tidak ada. Suatu hari aku pernah melakukan kesalahan, lalu aku berkata: ‘Aku akan berkhulu‘ darimu dengan seluruh yang aku miliki.’ Ia menjawab: ‘Ya.’ Maka aku melakukannya, lalu Mu‘adz bin ‘Afra’ menggugatku kepada ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, lalu ia membolehkan khulu‘ dan memerintahkan suamiku untuk mengambil sesuatu yang kurang dari nilai ikatan rambut.”

وَرَوَى أَيُّوبُ عَنْ كَثِيرٍ مَوْلَى سَمُرَةَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِامْرَأَةٍ نَاشِزٍ فَأَمَرَ بِهَا إِلَى بَيْتٍ كَثِيرِ الزَّبَلِ فَحَبَسَهَا فِيهِ ثَلَاثًا ثُمَّ دَعَاهَا، فَقَالَ كَيْفَ وَجَدْتِ مَكَانكِ؟ قَالَتْ: مَا وَجَدْتُ رَاحَةً مُذْ كُنْتُ عِنْدَهُ إِلَّا هَذِهِ اللَّيَالِي الَّتِي حَبَسْتَنِي، فَقَالَ لِزَوْجِهَا: اخْتَلِعْهَا وَلَوْ مِنْ قُرْطِهَا.

Dan telah meriwayatkan Ayyub dari Katsir, maula Samurah, bahwa ‘Umar bin al-Khaththab pernah didatangkan seorang wanita yang nusyuz, lalu ia memerintahkan agar wanita itu dimasukkan ke rumah yang banyak kotorannya, lalu mengurungnya di sana selama tiga hari. Setelah itu ia memanggil wanita itu dan bertanya, “Bagaimana engkau merasakan tempatmu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah merasakan kenyamanan sejak bersamanya kecuali malam-malam ketika engkau mengurungku.” Maka ‘Umar berkata kepada suaminya, “Lakukanlah khulu‘ dengannya, meskipun hanya dengan anting-antingnya.”

وَهَذِهِ قَضِيَّةُ إِمَامَيْنِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْخُلْعِ لَمْ يُخَالِفْها فِيه مِنَ الصَّحَابَةِ أَحَدٌ، فَدَلَّ عَلَى إِجْمَاعِهِمْ عَلَى ثُبُوتِ حُكْمِهِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَمْلِكَ الزَّوْجُ الْبُضْعَ بِعِوَضٍ، جَازَ أَنْ يُزِيلَ مِلْكَهُ عَنْهُ بِعِوَضٍ كَالشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ، فَيَكُونُ عَقْدُ النِّكَاحِ كَالشِّرَاءِ وَالْخُلْعُ كالبيع.

Ini adalah keputusan dua imam setelah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam perkara khulu‘, dan tidak ada seorang pun sahabat yang menentang keputusan tersebut. Maka ini menunjukkan adanya ijmā‘ mereka atas tetapnya hukum khulu‘. Dan karena ketika diperbolehkan suami memiliki hubungan badan dengan mahar, maka diperbolehkan pula ia melepaskan kepemilikannya dengan imbalan, sebagaimana dalam jual beli. Maka akad nikah itu seperti pembelian, dan khulu‘ seperti penjualan.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ الْمَانِعَةُ مَا يَجِبُ عَلَيْهَا لَهُ الْمُفْتَدِيَةُ تَخْرُجُ مِنْ أَن لا تُؤَدِّيَ حَقَّهُ أَوْ كَرَاهِيَةً لَهُ فَتَحِلُّ الْفِدْيَةُ لِلزَّوْجِ وَهَذِهِ مُخَالَفَةٌ لِلْحَالِ الَّتِي تَشْتَبِهُ فِيهَا حَالُ الزَّوْجَيْنِ خَوْفَ الشِّقَاقِ) .

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Kesimpulannya adalah bahwa seorang wanita yang menolak menunaikan kewajiban yang harus ia penuhi kepada suaminya, lalu ia menebus dirinya (dengan khulu‘), maka ia keluar dari keadaan tidak menunaikan hak suaminya, baik karena tidak mau atau karena tidak suka kepadanya. Maka, tebusan (khulu‘) itu halal bagi suami. Ini berbeda dengan keadaan di mana kondisi kedua suami istri serupa karena dikhawatirkan terjadi perselisihan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ الْخُلْعِ أَنَّهُ عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَنْ سَبَبٍ يَدْعُو إِلَيْهِ.

Al-Mawardi berkata: Khulu‘ secara umum terbagi menjadi dua jenis: Pertama, khulu‘ yang didasari oleh suatu sebab yang mendorong terjadinya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَنْ غَيْرِ سَبَبٍ.

Kedua, khulu‘ yang terjadi tanpa sebab.

فَإِنْ كَانَ عَنْ سَبَبٍ يَدْعُو إِلَيْهِ فَهُوَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ مُبَاحٍ وَمَكْرُوهٍ وَفَاسِدٍ وَمُخْتَلَفٍ فِيهِ.

Jika khulu‘ itu didasari oleh suatu sebab yang mendorong terjadinya, maka khulu‘ tersebut terbagi menjadi empat bagian: mubah (boleh), makruh, fasid (rusak/tidak sah), dan yang diperselisihkan.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ الْمُبَاحُ فَيَكُونُ مِنْ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ: إِمَّا لِكَرَاهَةٍ وَإِمَّا لِعَجْزٍ.

Adapun bagian pertama, yaitu yang mubah, maka bisa berasal dari salah satu pihak suami istri: baik karena kebencian ataupun karena ketidakmampuan.

فَأَمَّا الْكَرَاهَةُ فَهُوَ أَنْ تَكْرَهَ مِنْهُ إِمَّا سُوءَ خُلُقِهِ، وَإِمَّا سُوءَ فِعْلِهِ وَإِمَّا قِلَّةَ دِينِهِ وَإِمَّا قُبْحَ مَنْظَرِهِ وَهُوَ مُقِيمٌ بِحَقِّهَا، فَتَرَى لِكَرَاهَتِهَا لَهُ بِأَحَدِ هَذِهِ الْوُجُوهِ أَنْ تَفْتَدِيَ مِنْهُ نَفْسَهَا فَتُخَالِعُهُ فَيَكُونُ ذَلِكَ مُبَاحًا. وَأَمَّا الْعَجْزُ فَيَكُونُ تَارَةً لِعَجْزِهِ عَنِ الِاسْتِمْتَاعِ أَوِ الْمَالِ، وَأَمَّا الْعَجْزُ عَنْ كَثْرَةِ الِاسْتِمْتَاعِ فَتُخَالِعُهُ لِأَجْلِ الْعَجْزِ فَيَكُونُ الْخُلْعُ مُبَاحًا.

Adapun kebencian, yaitu ketika istri membenci suaminya, baik karena buruk akhlaknya, buruk perbuatannya, kurang agamanya, atau buruk rupanya, sementara suami tetap menunaikan hak-haknya. Maka, karena kebenciannya kepada suami dengan salah satu alasan tersebut, ia ingin menebus dirinya dari suaminya, lalu melakukan khulu‘, maka hal itu dibolehkan. Adapun ketidakmampuan, kadang terjadi karena suami tidak mampu memberikan nafkah batin atau nafkah harta. Jika ketidakmampuan itu karena tidak mampu memberikan nafkah batin yang banyak, lalu istri melakukan khulu‘ karena alasan ketidakmampuan tersebut, maka khulu‘ itu dibolehkan.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ الْمَكْرُوهُ فَيَكُونُ مِنْ أَحَدِ وَجْهَيْنِ: تَارَةً مِنْ جِهَتِهَا وَتَارَةً مِنْ جِهَتِهِ، فَأَمَّا الَّذِي مِنْ جِهَتِهَا فَهُوَ أَنْ تَمِيلَ إِلَى غَيْرِهِ وَتَرْغَبَ فِي نِكَاحِهِ فَتُخَالِعَ هَذَا لِتَنْكِحَ مَنْ مَالَتْ إِلَيْهِ وَرَغِبَتْ فِيهِ فَهَذَا خُلْعٌ مَكْرُوهٌ لِمَا رَوَاهُ ثَابِتُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ:

Adapun bagian kedua, yaitu yang makruh, maka bisa terjadi dari dua sisi: kadang dari pihak istri, kadang dari pihak suami. Adapun yang berasal dari pihak istri adalah ketika ia condong kepada laki-laki lain dan ingin menikah dengannya, lalu ia melakukan khulu‘ dari suaminya agar bisa menikahi laki-laki yang ia sukai dan inginkan. Ini adalah khulu‘ yang makruh, sebagaimana riwayat dari Tsabit bin Yazid dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (الْمُخْتَلِعَاتُ الْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ) يَعْنِي الَّتِي تُخَالِعُ الزَّوْجَ لِمَيْلِهَا إِلَى غَيْرِهِ، إِلَّا أَنَّ الْخُلْعَ جَائِزٌ؛ لِأَنَّ هَذَا يُفْضِي إِلَى التَّبَاغُضِ وَالْكَرَاهَةِ، فَيَكُونُ الْخُلْعُ جَائِزًا وَهُوَ مَكْرُوهٌ مِنْ جِهَتِهَا لَا مِنْ جِهَتِهِ.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Wanita-wanita yang meminta khulu‘ dan memaksa cerai adalah wanita-wanita munafik,” maksudnya adalah wanita yang melakukan khulu‘ dari suaminya karena condong kepada laki-laki lain. Namun, khulu‘ tetap dibolehkan, karena kondisi ini dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan. Maka, khulu‘ tetap boleh, namun makruh dari pihak istri, bukan dari pihak suami.

وَأَمَّا الَّذِي مِنْ جِهَتِهِ فَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ ذَاتَ مَالٍ فَيُضَيِّقُ الزَّوْجُ عَلَيْهَا مَعَ قِيَامِهِ بِالْوَاجِبِ لَهَا طَمَعًا فِي مَالِهَا أَنْ تُخَالِعَهُ عَلَى شَيْءٍ مِنْهُ فَهَذَا مَكْرُوهٌ مِنْ جِهَتِهِ لَا مِنْ جِهَتِهَا وَهُوَ جَائِزٌ لِأَنَّ لَهُ سَبَبًا يُفْضِي إِلَى التَّبَاغُضِ وَالْكَرَاهَةِ.

Adapun yang berasal dari pihak suami adalah ketika istri memiliki harta, lalu suami mempersempit kehidupan istri padahal ia telah menunaikan kewajibannya, dengan harapan istri akan melakukan khulu‘ dan memberikan sebagian hartanya kepada suami. Ini adalah khulu‘ yang makruh dari pihak suami, bukan dari pihak istri, namun tetap dibolehkan karena ada sebab yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الْفَاسِدُ فَيَكُونُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun bagian ketiga, yaitu yang fasid (rusak/tidak sah), maka terjadi dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَنَالَهَا بِالضَّرْبِ وَالْأَذَى حَتَّى تُخَالِعَهُ فَيَكُونُ الْخُلْعُ بَاطِلًا لِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ عَنْ إِكْرَاهٍ فَكَانَ كَسَائِرِ عُقُودِ الْمَكْرُوهِ.

Pertama, suami menyakiti istri dengan memukul atau menyakitinya hingga istri melakukan khulu‘. Maka khulu‘ tersebut batal, karena merupakan akad mu‘awadhah (pertukaran) yang terjadi karena paksaan, sehingga sama seperti akad-akad lain yang dilakukan dalam keadaan terpaksa.

وَالثَّانِي: أَنْ يَمْنَعَهَا مَا تَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهِ مِنَ النَّفَقَةِ وَالسُّكْنَى وَالْقَسْمِ لِتُخَالِعَهُ فَيَكُونُ الْخُلْعُ مع ذلك باطلاً لأنه يمنع الْحَقِّ قَدْ صَارَ مُكْرهًا.

Kedua, suami menahan hak-hak istri seperti nafkah, tempat tinggal, dan pembagian giliran, agar istri melakukan khulu‘. Maka khulu‘ dalam keadaan ini juga batal, karena suami menahan hak istri sehingga menjadi paksaan.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وهو المختلف فيه فهو أن تزني يالزوجة فَيَعْضُلَهَا، لِتَفْتَدِيَ نَفْسَهَا مِنْهُ فَالْعَضْلُ عَلَى ثَلَاثَةِ أقسام:

Adapun bagian keempat, yaitu yang diperselisihkan, yaitu ketika istri berzina, lalu suami menahan istri agar ia menebus dirinya dari suami. Penahanan (al-‘adhl) ini terbagi menjadi tiga bagian:

أحدهما: أَنْ يَمْنَعَهَا النَّفَقَةَ وَالْكُسْوَةَ الْوَاجِبَةَ لَهَا فَهَذَا الْعَضْلُ مَحْظُورٌ وَالْخُلْعُ مَعَهُ بَاطِلٌ.

Pertama, suami menahan nafkah dan pakaian wajib untuk istri. Penahanan seperti ini terlarang dan khulu‘ yang terjadi bersamanya batal.

وَالثَّانِي: أَنْ يَقُومَ بِجَمِيعِ حُقُوقِهَا وَيَعْضُلَهَا بِالتَّضْيِيقِ عَلَيْهَا حِذَارًا مِنَ الزِّنَا فَهَذَا مُبَاحٌ، وَالْخُلْعُ مَعَهُ جَائِزٌ.

Kedua, suami menunaikan seluruh hak-hak istri, namun menahan istri dengan mempersempit kehidupannya karena khawatir terjerumus dalam zina. Ini dibolehkan, dan khulu‘ yang terjadi bersamanya juga sah.

والثالث: أن يقم بنفقتها ويعضلها فِي الْقَسْمِ لَهَا فَلَا يَقْسِمُ لَهَا لِتَفْتَدِيَ مِنْهُ نَفْسَهَا فَفِي جَوَازِ الْخُلْعِ قَوْلَانِ:

Ketiga, suami menunaikan nafkah namun menahan hak istri dalam pembagian giliran, sehingga ia tidak membagi giliran kepada istri agar istri menebus dirinya dari suami. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat mengenai kebolehan khulu‘.

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ} [النساء: 19] يَعْنِي الزِّنَا فَمَنَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْعَضْلِ لِأَجْلِ الْفِدْيَةِ إِلَّا مَعَ الزِّنَا فَكَانَ الظَّاهِرُ يَقْتَضِي جَوَازَهُ بِالْعَضْلِ مَعَ وُجُودِ الزِّنَا وَلِأَنَّهُ يَمْنَعُهَا مِنَ الْقَسْمِ مَعَ وُجُودِ الزِّنَا مِنْهَا لِيَحْفَظَ فِرَاشَهُ عَنْ مَاءِ غَيْرِهِ.

Salah satu pendapat: Diperbolehkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata} [an-Nisā’: 19], yaitu zina. Maka Allah Ta‘ala melarang menahan mereka demi mendapatkan tebusan kecuali jika mereka berzina. Maka, makna lahiriah ayat menunjukkan bolehnya menahan istri dengan adanya zina, dan karena ia (suami) boleh mencegah istri dari mendapatkan giliran (qasm) jika ia berzina, agar menjaga tempat tidurnya dari air (keturunan) orang lain.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ هَذَا الْعَضْلَ حَرَامٌ، وَهِيَ عَلَى حَقِّهَا مِنَ الْقَسْمِ وَامْتِنَاعُهُ مِنَ الْقَسْمِ لَهَا لَا يَمْنَعُ مِنْ لُحُوقِ وَلَدِهَا بِهِ، لوجوده على فراشه، وأنه قد يَقْدِرُ بِالطَّلَاقِ عَلَى الْفِرَاقِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ بِهَذَا الْمَعْنَى أَنْ يُسْقِطَ حَقَّهَا مِنَ الْقَسْمِ حَتَّى تُخَالِعَهُ لَجَازَ لِأَجْلِهِ إِسْقَاطُ حَقِّهَا مِنَ النَّفَقَةِ لِتُخَالِعَهُ.

Pendapat kedua: Bahwa penahanan (al-‘adl) ini haram, dan istri tetap berhak atas giliran (qasm), dan penolakan suami untuk memberikan giliran tidak menghalangi nasab anaknya tetap dinisbatkan kepadanya, karena anak itu lahir di atas tempat tidurnya (suami), dan karena suami bisa berpisah dengan talak. Dan jika dibolehkan dengan alasan ini untuk menggugurkan hak istri atas giliran hingga ia melakukan khulu‘, maka boleh pula menggugurkan haknya atas nafkah agar ia melakukan khulu‘.

فَأَمَّا الْآيَةُ فَفِيهَا جَوَابَانِ:

Adapun mengenai ayat tersebut, terdapat dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مَنْسُوخَةٌ حِينَ نُسِخَ حَبْسُ الزَّانِيَةِ فِي قَوْله تَعَالَى: {فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا} [النساء: 15] .

Salah satunya: Ayat itu telah mansukh (dihapus hukumnya) ketika hukuman penahanan bagi pezina perempuan dihapuskan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Tahanlah mereka di dalam rumah sampai maut menjemput mereka atau Allah memberikan jalan keluar bagi mereka} [an-Nisā’: 15].

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَمَا أَشْبَهَ مَا قِيلَ بِمَا قِيلَ.

Asy-Syāfi‘ī berkata: Apa yang dikatakan di sini serupa dengan apa yang telah dikatakan sebelumnya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْفَاحِشَةَ الْمُبَيِّنَةَ هِيَ النُّشُوزُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَيَجُوزُ لَهُ مَعَ النُّشُوزِ أَنْ يَعْضُلَهَا وَيُخَالِعَهَا.

Yang kedua: Bahwa “perbuatan keji yang nyata” dalam konteks ini adalah nusyūz (pembangkangan) istri, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbās dan ‘Ā’isyah ra. Maka, suami boleh menahan istri dan melakukan khulu‘ dengannya jika terjadi nusyūz.

فَصْلٌ:

Fashal:

وَأَمَّا الْخُلْعُ بِغَيْرِ سَبَبٍ وَهُوَ أَن لا يَكُونَ مِنْ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ تَقْصِيرٌ فِي حَقِّ صَاحِبِهِ وَلَا كَرَاهَةٌ لَهُ فَيَجُوزُ خُلْعُهُمَا وَلَا يُكْرَهُ لَهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ.

Adapun khulu‘ tanpa sebab, yaitu jika tidak ada kekurangan dari salah satu pihak suami atau istri dalam menunaikan hak pasangannya, dan tidak ada rasa benci di antara keduanya, maka khulu‘ keduanya dibolehkan dan tidak dimakruhkan bagi mereka. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

وَحُكِيَ عَنِ الزُّهْرِيِّ وَعَطَاءٍ وَالنَّخَعِيِّ أَنَّ الْخُلْعَ فَاسِدٌ وَبِهِ قَالَ دَاوُدُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افتدت به} فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى فَسَادِ هَذَا الْخُلْعِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Diriwayatkan dari az-Zuhrī, ‘Aṭā’, dan an-Nakha‘ī bahwa khulu‘ seperti ini tidak sah, dan pendapat ini juga dipegang oleh Dāwud, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali bila keduanya khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang apa yang diberikan oleh istri sebagai tebusan} (al-Baqarah: 229). Ayat ini menunjukkan rusaknya khulu‘ seperti ini dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: تَحْرِيمُ الْخُلْعِ إِلَّا مَعَ الْخَوْفِ، وَالثَّانِي لُحُوقُ الْجُنَاحِ مَعَ ارْتِفَاعِ الْخَوْفِ.

Pertama: Diharamkannya khulu‘ kecuali jika ada rasa takut (tidak dapat menegakkan hukum Allah). Kedua: Adanya dosa jika rasa takut itu tidak ada.

وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِهِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا} [النساء: 4] فَإِذَا حَلَّ لَهُ أَنْ يَمْتَلِكَ مَا طَابَ بِهِ نَفْسُهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُمَلِّكَهَا بِهِ بُضْعَهَا فَأَوْلَى أَنْ يَحِلَّ لَهُ إِذَا مَلكَهَا بِهِ بُضْعَهَا، وَلِأَنَّ كُلَّ عَقْدٍ صَحَّ مَعَ الْكَرَاهَةِ فَأَوْلَى أَنْ يَصِحَّ مع الرضى، وَكَسَائِرِ الْعُقُودِ مِنَ الْبُيُوعِ وَغَيْرِهَا.

Adapun dalil yang membolehkan khulu‘ tanpa sebab adalah firman Allah Ta‘ala: {Jika mereka rela menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) dengan nikmat lagi baik} [an-Nisā’: 4]. Jika dibolehkan bagi suami untuk memiliki apa yang diberikan istri dengan kerelaan hatinya tanpa menjadikan istri halal baginya, maka lebih utama lagi dibolehkan jika dengan itu ia menjadi halal baginya. Dan karena setiap akad yang sah dengan adanya kebencian, maka lebih utama lagi sah dengan kerelaan, sebagaimana seluruh akad jual beli dan lainnya.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْآيَةِ فَقَدْ قَرَأَ حَمْزَةُ: (إِلَّا أَنْ يُخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ) .

Adapun istidlāl (argumentasi) mereka dengan ayat tersebut, Hamzah membaca: (kecuali jika khawatir keduanya tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah).

بِضَمِّ الْيَاءِ، وَيَكُونُ معناه إلا أن يخاف الحاكم إن لا يُقِيمَا الزَّوْجَانِ حُدُودَ اللَّهِ تَعَالَى هَذِهِ الْقِرَاءَةُ تُسْقِطُ أَنْ يَكُونَ خَوْفُ الزَّوْجَيْنِ شَرْطًا فِي جَوَازِ الْخُلْعِ وَقَرَأَ جَمَاعَةُ الْقُرَّاءِ إِلَّا أَنْ يَخَافَا بِفَتْحِ الْيَاءِ إِشَارَةً إِلَى الزَّوْجَيْنِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ ذَلِكَ مَعْدُولًا بِهِ عَنِ الشَّرْطِ الظَّاهِرِ إِلَى أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا لِوُرُودِهَا عَلَى سَبَبٍ مِنَ الْخَوْفِ، وَإِنْ كَانَ حُكْمُهَا عَامًّا، وَإِمَّا عَلَى الْأَغْلَبِ مِنَ الْخُلْعِ فَإِنَّهُ لَا يَكُونُ إِلَّا عَنْ خَوْفٍ، وَإِنْ جَازَ فِي حَالٍ نَادِرَةٍ لَيْسَ مَعَهَا خَوْفٌ، وَإِنْ كَانَتْ هذه النادرة لا بد أَنْ يَقْتَرِنَ بِهَا خَوْفٌ، وَإِنْ قَلَّ، لِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا تَبْذُلُ مَالَهَا لِافْتِدَاءِ نَفْسِهَا وَهِيَ راغبة، والله أعلم.

Dengan dhammah pada huruf yā’, sehingga maknanya: kecuali jika hakim khawatir kedua suami istri tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah Ta‘ala. Bacaan ini menggugurkan syarat bahwa rasa takut harus berasal dari kedua suami istri untuk membolehkan khulu‘. Sedangkan mayoritas qurrā’ membaca dengan fathah pada huruf yā’, yang merujuk kepada kedua suami istri. Maka, menurut bacaan ini, hal itu dialihkan dari syarat lahiriah kepada salah satu dari dua hal: bisa jadi karena ayat itu turun dalam konteks adanya rasa takut, meskipun hukumnya bersifat umum; atau karena kebanyakan kasus khulu‘ memang terjadi karena adanya rasa takut, meskipun boleh saja terjadi dalam keadaan langka tanpa rasa takut, dan meskipun dalam keadaan langka itu pasti ada rasa takut, meskipun sedikit, karena seorang wanita tidak akan mengorbankan hartanya untuk menebus dirinya jika ia masih menginginkan suaminya. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ خَرَجَ فِي بَعْضِ مَا تَمْنَعُهُ مِنَ الْحَقِّ إِلَى أَدَبِهَا بِالضَّرْبِ أَجَزْتُ ذَلِكَ لَهُ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ أَذِنَ لِثَابِتٍ بِأَخْذِ الْفِدْيَةِ مِنْ حَبِيبَةَ وَقَدْ نَالَهَا بِضَرْبٍ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami melakukan sebagian dari apa yang dibolehkan untuk mencegah hak istri, berupa mendidiknya dengan pukulan, maka aku membolehkannya, karena Nabi ﷺ telah mengizinkan Tsabit untuk mengambil fidyah dari Habibah, padahal ia telah memukulnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّهُ إِذَا ضَرَبَهَا عَلَى نُشُوزٍ أَوْ تَأْدِيبٍ فَخَالَعَتْهُ بَعْدَ الضَّرْبِ إِمَّا لِأَجْلِ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الضَّرْبِ أَوْ لِغَيْرِهِ مِنَ الْأَسْبَابِ فَالْخُلْعُ جَائِزٌ لِأَنَّهُ وَقَعَ عَنْ رِضًا وَخَلَا مِنْ إِكْرَاهٍ فَأَمَّا إِنْ كَانَ الضَّرْبُ لِأَجْلِ الْخُلْعِ فَهُوَ بَاطِلٌ لِأَنَّهُ مَعْقُودٌ عَلَى إِكْرَاهٍ فَافْتَرَقَا وَلِذَلِكَ أَجَازَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خُلْعَ 7 ثَابِتٍ لِزَوْجَتِهِ حَبِيبَةَ مَعَ ضَرْبِهِ لَهَا لِأَنَّ الضَّرْبَ لَمْ يَكُنْ عَلَى الْخُلْعِ. وَاللَّهُ أعلم.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena jika suami memukul istri karena nusyūz atau untuk mendidik, lalu setelah dipukul istri melakukan khulu‘, baik karena sebab pukulan yang telah terjadi atau sebab lainnya, maka khulu‘ itu sah karena terjadi atas dasar kerelaan dan tanpa paksaan. Adapun jika pukulan itu dilakukan dengan tujuan agar istri mau melakukan khulu‘, maka itu tidak sah karena mengandung unsur paksaan, sehingga keduanya harus dipisahkan. Oleh karena itu, Nabi ﷺ membolehkan khulu‘ antara Tsabit dan istrinya Habibah meskipun Tsabit telah memukulnya, karena pukulan itu bukan untuk memaksa khulu‘. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَمْ يَقُلْ لَا يَأْخُذُ مِنْهَا إِلَّا فِي قبل عِدَّتِهَا كَمَا أَمَرَ الْمُطَلِّق غَيْرَهُ) . قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، الْمُخْتَلِعَةُ لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهَا وَلَا بِدْعَةَ بِخِلَافِ الْمُطَلَّقَةِ بِغَيْرِ خُلْعٍ، حَيْثُ كَانَ فِي طَلَاقِهَا سُنَّةٌ وَبِدْعَةٌ، فَيَجُوزُ أَنْ يُخَالِعَهَا فِي الطُّهْرِ وَالْحَيْضِ جَمِيعًا، وَهُمَا سَوَاءٌ فِي وُقُوعِ الْخُلْعِ فِيهِمَا، وَلَوْ كَانَتْ غَيْرَ مُخْتَلِعَةٍ لَكَانَ طَلَاقُهَا فِي الطُّهْرِ سُنَّةً وفي الحيض بدعة، وإنما كان كذلك ظاهر وَمَعْنًى، أَمَّا الظَّاهِرُ فَهُوَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حين خالع حبيبة وزوجها ثابت، لَمْ يَسْأَلْهَا عَنْ حَالِ طُهْرِهَا وَحَيْضِهَا وَأَنْكَرَ عَلَى ابْنِ عُمَرَ الطَّلَاقَ فِي الْحَيْضِ، وَلَوْ كَانَ الْخُلْعُ فِيهِ مُنْكَرًا لَأَبَانَهُ وَمَنَعَ مِنْهُ وَأَمَّا الْمَعْنَى فَهُوَ أَنَّ الْأَغْلَبَ مِنْ خُلْعِ الزَّوْجَيْنِ أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَوْ مُنِعَا مِنْهُ إِلَى وَقْتِ الطُّهْرِ لَوَقَعَا فِيهِ، وَأَثِمَا بِهِ، وَخَالَفَ ذَلِكَ حَالَ الْمُطَلِّقِ بِغَيْرِ خَوْفٍ، وَلِأَنَّ الْمُطْلَّقَةَ مُنِعَ زَوْجُهَا مِنْ طَلَاقِهَا فِي الْحَيْضِ لِئَلَّا تَطُولَ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ، وَالْمُخْتَلِعَةَ وَقَعَ طَلَاقُهَا بِاخْتِيَارِهَا، فَصَارَتْ مُخْتَارَةً لِطُولِ الْعِدَّةِ، فَلَمْ يُمْنَعِ الزَّوْجُ مِنْ خَلْعِهَا فَافْتَرَقَا.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan tidak dikatakan bahwa suami tidak boleh mengambil (fidyah) darinya kecuali sebelum masa ‘iddahnya, sebagaimana yang diperintahkan kepada orang yang menalak istrinya tanpa khulu‘.” Al-Mawardi berkata: Ini benar, wanita yang melakukan khulu‘ tidak ada sunnah atau bid‘ah dalam talaknya, berbeda dengan wanita yang ditalak tanpa khulu‘, di mana dalam talaknya ada sunnah dan ada bid‘ah. Maka boleh melakukan khulu‘ baik dalam keadaan suci maupun haid, keduanya sama saja dalam sahnya khulu‘. Seandainya bukan khulu‘, maka talak dalam keadaan suci adalah sunnah dan dalam haid adalah bid‘ah. Hal ini demikian baik secara lahir maupun makna. Secara lahir, Nabi ﷺ ketika memutuskan khulu‘ antara Habibah dan suaminya Tsabit, beliau tidak menanyakan keadaan suci atau haidnya, sedangkan beliau mengingkari Ibnu Umar yang menalak istrinya saat haid. Jika khulu‘ dalam haid itu terlarang, tentu beliau akan menjelaskannya dan melarangnya. Adapun secara makna, kebanyakan khulu‘ terjadi karena suami istri khawatir tidak dapat menegakkan hudūd Allah. Jika mereka dilarang melakukan khulu‘ hingga masa suci, maka mereka akan terjerumus dalam pelanggaran dan berdosa karenanya, berbeda dengan orang yang menalak tanpa rasa takut. Selain itu, wanita yang ditalak tanpa khulu‘, suaminya dilarang menalaknya saat haid agar masa ‘iddahnya tidak terlalu panjang, sedangkan wanita yang melakukan khulu‘, talaknya terjadi atas pilihannya sendiri, sehingga ia memilih sendiri untuk memperpanjang masa ‘iddahnya. Maka suami tidak dilarang melakukan khulu‘ terhadapnya, sehingga keduanya berbeda.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ الْخُلْعَ لَيْسَ بِطَلَاقٍ وَعَنْ عُثْمَانَ قَالَ هِيَ تَطْلِيقَةٌ إِلَّا أن تكون سميت شيئاً (قال المزني) رحمه الله وقطع في باب الكلام الذي يقع به الطلاق أن الخلع سميت فلا يقع إلا بما يقع به الطلاق أو ما يشبهه من إرادة الطلاق فإن سمي عددا أو نوى عدداً فهو ما نوى) .

Imam Syafi‘i berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa khulu‘ bukanlah talak, dan dari ‘Utsman bahwa khulu‘ adalah satu kali talak kecuali jika disebutkan sesuatu (seperti jumlah talak).” Al-Muzani rahimahullah berkata dan menegaskan dalam bab ucapan yang menyebabkan talak, bahwa khulu‘ itu disebutkan secara eksplisit, maka tidak terjadi kecuali dengan lafaz yang menyebabkan talak atau yang serupa dengannya berupa keinginan untuk menalak. Jika disebutkan jumlah tertentu atau diniatkan jumlah tertentu, maka berlaku sesuai dengan niatnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا تَخَالَعَ الزَّوْجَانِ لَمْ يَخْلُ عَقْدُ الْخُلْعِ بَيْنَهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Jika suami istri melakukan khulu‘, maka akad khulu‘ di antara mereka tidak lepas dari tiga bentuk:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْقِدَاهُ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ كَقَوْلِهِ: قَدْ طَلَّقْتُكِ بِأَلْفٍ، أَوْ فَارَقْتُكِ بِأَلْفٍ أَوْ سَرَّحْتُكِ بِأَلْفٍ، فَهَذَا صَرِيحٌ بِغَيْرِ عِوَضٍ، فَكَانَ صَرِيحًا فِي الطَّلَاقِ مَعَ الْعِوَضِ وَلَا يَكُونُ فَسْخًا.

Pertama: Akad dilakukan dengan lafaz talak yang jelas, seperti ucapan suami: “Aku menalakmu dengan seribu (dirham),” atau “Aku menceraikanmu dengan seribu,” atau “Aku melepaskanmu dengan seribu.” Ini adalah lafaz yang jelas tanpa imbalan, maka menjadi jelas pula dalam talak dengan imbalan dan tidak dianggap sebagai fasakh.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَعْقِدَاهُ بِكِنَايَاتِ الطَّلَاقِ، كَقَوْلِهِ: أَنْتِ بَائِنٌ بِأَلْفٍ، أَوْ أَنْتِ خَلِيَّةٌ، أَوْ بَرِيَّةٌ بِأَلْفٍ فَهَذَا كِنَايَةٌ بِغَيْرِ عِوَضٍ، وَكِنَايَةٌ مَعَ الْعِوَضِ فِي الطَّلَاقِ دُونَ الْفَسْخِ، فَإِنْ أَرَادَ بِهِ الطَّلَاقَ وَقَعَ وَاسْتَحَقَّ بِهِ الْعِوَضَ، وَإِنْ لَمْ يُرِدِ الطَّلَاقَ لَمْ يَقَعْ وَلَا يَسْتَحِقُّ بِهِ الْعِوَضَ.

Bentuk kedua: Akad dilakukan dengan kinayah (lafaz sindiran) talak, seperti ucapan suami: “Engkau bā’in dengan seribu,” atau “Engkau bebas,” atau “Engkau lepas dengan seribu.” Ini adalah kinayah tanpa imbalan, dan kinayah dengan imbalan dalam talak, bukan dalam fasakh. Jika suami bermaksud talak, maka jatuh talak dan ia berhak atas imbalan tersebut. Jika tidak bermaksud talak, maka tidak jatuh talak dan tidak berhak atas imbalan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَعْقِدَاهُ بِلَفْظِ الْخُلْعِ وَالْمُفَادَاةِ كَقَوْلِهِ قَدْ خَالَعْتُكِ بِأَلْفٍ، أَوْ فَادَيْتُكِ بِأَلْفٍ، فَهَاتَانِ اللَّفْظَتَانِ كِنَايَةٌ فِي الطَّلَاقِ إِذَا تَجَرَّدَتْ عَنْ عِوَضٍ فَتَجْرِي مَجْرَى سَائِرِ كِنَايَاتِ الطَّلَاقِ فَأَمَّا مَعَ الْعِوَضِ فَفِيهِمَا قَوْلَانِ:

Bagian ketiga: yaitu apabila keduanya mengadakan akad dengan lafaz khulu‘ dan mufāda‘ah, seperti ucapan suami, “Aku telah melepaskanmu (khala‘tu) dengan seribu (dirham),” atau “Aku telah menebusmu (fādaytuki) dengan seribu (dirham).” Maka dua lafaz ini merupakan kināyah (lafaz sindiran) dalam talak apabila tidak disertai ‘iwad (tebusan), sehingga hukumnya seperti kināyah talak yang lain. Adapun jika disertai ‘iwad, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ إِنَّهُ كِنَايَةٌ فِي الطَّلَاقِ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ كِنَايَةً فِيهِ بِغَيْرِ عِوَضٍ كَانَ كِنَايَةً فِيهِ مَعَ الْعِوَضِ كَسَائِرِ كِنَايَاتِهِ.

Salah satunya: sebagaimana dinyatakan dalam kitab al-Umm, bahwa itu adalah kināyah dalam talak. Karena ketika ia merupakan kināyah dalam talak tanpa ‘iwad, maka ia juga merupakan kināyah dalam talak dengan ‘iwad, sebagaimana kināyah-kināyah talak yang lain.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ وَالْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي سَائِرِ كُتُبِهِ إنَّهُ صَرِيحٌ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: dan ini adalah pendapat yang lebih sahih di antara dua pendapat serta yang dinyatakan dalam seluruh kitab beliau, bahwa itu adalah sharih (lafaz tegas) karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ كِتَابَ اللَّهِ تَعَالَى قَدْ جَاءَ بِهِ كَمَا جَاءَ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ بِالنَّصِّ صَرِيحًا يَخْرُجُ عَنْ حُكْمِ الْكِنَايَاتِ.

Pertama: bahwa Kitab Allah Ta‘ala telah menyebutkannya sebagaimana menyebutkan lafaz talak yang sharih, sehingga dengan nash tersebut ia menjadi sharih dan keluar dari hukum kināyah.

وَالثَّانِي: أَنَّ اقْتِرَانَ الْعِوَضِ بِهِ قَدْ نَفَى عَنْهُ احْتِمَالَ الْكِنَايَاتِ، فَصَارَ بِانْتِفَاءِ الِاحْتِمَالِ عَنْهُ صَرِيحًا، فَعَلَى هَذَا إِذَا كَانَ صَرِيحًا فَهَلْ يَكُونُ طَلَاقًا أَوْ فَسْخًا؟ فِيهِ قَوْلَانِ:

Kedua: bahwa adanya ‘iwad yang menyertainya telah meniadakan kemungkinan makna kināyah, sehingga dengan hilangnya kemungkinan tersebut, ia menjadi sharih. Berdasarkan hal ini, jika ia adalah sharih, maka apakah ia termasuk talak atau fasakh? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي (الْأُمِّ) و (الإملاء) (وأحكام الْقُرْآنِ) أَنَّهُ صَرِيحٌ فِي الطَّلَاقِ.

Salah satunya: sebagaimana disebutkan dalam (al-Umm), (al-Imla’), dan (Ahkam al-Qur’an), bahwa itu adalah sharih dalam talak.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: الْأَوْزَاعِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَمَالِكٌ وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ.

Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: ‘Utsman, ‘Ali, dan Ibnu Mas‘ud; dan dari kalangan fuqaha: al-Awza‘i, ats-Tsauri, Abu Hanifah, Malik, dan ini adalah pilihan al-Muzani.

وَدَلِيلُهُ قَوْله تَعَالَى: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ} [البقرة: 229] إِلَى قَوْلِهِ: {فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ} [البقرة: 229] ثُمَّ قَالَ بَعْدَهُ: {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حتى تنكح زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] .

Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Talak itu dua kali} [al-Baqarah: 229] hingga firman-Nya: {Maka tidak ada dosa atas keduanya dalam hal yang diberikan oleh istri sebagai tebusan} [al-Baqarah: 229], kemudian Allah berfirman setelahnya: {Jika suami mentalaknya (yang ketiga), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia menikah dengan suami yang lain} [al-Baqarah: 230].

فَلَمَّا ذَكَرَ الْخُلْعَ بَيْنَ طَلَاقَيْنِ عُلِمَ أَنَّهُ مُلْحَقٌ بِهِمَا، وَلِأَنَّهُ لَفْظٌ لَا يَمْلِكُهُ غَيْرُ الزَّوْجِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ طَلَاقًا كَالطَّلَاقِ، وَلِأَنَّ الْفَسْخَ مَا كَانَ عَنْ سَبَبٍ مُتَقَدِّمٍ كَالْعُيُوبِ وَالْخُلْعُ يَكُونُ مُبْتَدَأً مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ فَكَانَ طَلَاقًا لِأَنَّهُ يَكُونُ مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ أَوْلَى مِنْ أَنْ يَكُونَ فَسْخًا لَا يَكُونُ إِلَّا عَنْ سَبَبٍ، وَلِأَنَّ الْفَسْخَ يُوجِبُ اسْتِرْجَاعَ الْبَدَلِ كَالْفَسْخِ فِي الْبَيْعِ، فَلَوْ كَانَ الْخُلْعُ فَسْخًا لَمَا جَازَ إِلَّا بِالصَّدَاقِ، وَفِي جَوَازِهِ بِالصَّدَاقِ وَغَيْرِهِ دَلِيلُ خُرُوجِهِ عَنِ الْفَسْخِ وَدُخُولِهِ فِي الطَّلَاقِ.

Ketika Allah menyebutkan khulu‘ di antara dua talak, maka diketahui bahwa khulu‘ disamakan dengan keduanya. Karena lafaz ini tidak dimiliki kecuali oleh suami, maka wajib hukumnya dianggap sebagai talak seperti talak yang lain. Dan karena fasakh itu terjadi karena sebab yang telah ada sebelumnya seperti cacat, sedangkan khulu‘ terjadi tanpa sebab sebelumnya, maka lebih layak dianggap sebagai talak karena terjadi tanpa sebab, daripada dianggap sebagai fasakh yang hanya terjadi karena sebab. Dan karena fasakh mengharuskan pengembalian pengganti (iwad) seperti fasakh dalam jual beli, maka jika khulu‘ adalah fasakh, tidak boleh dilakukan kecuali dengan mahar. Padahal bolehnya khulu‘ dengan mahar atau selainnya menunjukkan bahwa ia keluar dari hukum fasakh dan masuk ke dalam hukum talak.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ إنَّهُ صَرِيحٌ فِي الْفَسْخِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ.

Pendapat kedua: sebagaimana disebutkan dalam pendapat lama, bahwa itu adalah sharih dalam fasakh. Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat Abdullah bin ‘Abbas dan Abdullah bin ‘Umar.

وَمِنَ التَّابِعِينَ عِكْرِمَةُ وَطَاوُسٌ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ.

Dan dari kalangan tabi‘in: ‘Ikrimah dan Thawus; serta dari kalangan fuqaha: Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.

وَدَلِيلُهُ قَوْله تَعَالَى: {الطَّلاقُ مرتان} إِلَى قَوْلِهِ: {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ} [البقرة 229] ثُمَّ قَالَ: {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] .

Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Talak itu dua kali} hingga firman-Nya: {Maka tidak ada dosa atas keduanya dalam hal yang diberikan oleh istri sebagai tebusan} [al-Baqarah: 229], kemudian Allah berfirman: {Jika suami mentalaknya (yang ketiga), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia menikah dengan suami yang lain} [al-Baqarah: 230].

وَوَجْهُ الدَّلِيلِ مِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ الْخُلْعُ طَلَاقًا لَصَارَ مَعَ الطَّلْقَتَيْنِ الْمُتَقَدِّمَتَيْنِ ثَلَاثًا، وَحَرُمَتْ عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ، وَلَمَّا قَالَ بَعْدَهُ: فَإِنْ طَلَّقَهَا يَعْنِي الثَّالِثَةَ فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ لِأَنَّهُ قَدْ طَلَّقَهَا الثَّالِثَةَ، وَصَارَ التَّحْرِيمُ مُتَعَلِّقًا بِأَرْبَعٍ لَا بِثَلَاثٍ.

Adapun sisi pendalilannya adalah, jika khulu‘ itu talak, maka bersama dua talak sebelumnya menjadi tiga, sehingga istri menjadi haram baginya hingga menikah dengan suami lain. Namun ketika Allah berfirman setelah itu: “Jika suami mentalaknya,” maksudnya talak yang ketiga, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga menikah dengan suami lain, karena ia telah mentalaknya yang ketiga. Maka pengharaman itu terkait dengan empat kali (talak), bukan tiga.

وَلِأَنَّ الْفُرْقَةَ فِي النِّكَاحِ تَكُونُ بِطَلَاقٍ وَفَسْخٍ، فَلَمَّا كَانَتِ الْفُرْقَةُ بِالطَّلَاقِ تَتَنَوَّعُ نَوْعَيْنِ بِعِوَضٍ وَغَيْرِ عِوَضٍ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْفُرْقَةُ بِالْفَسْخِ تَتَنَوَّعُ نَوْعَيْنِ بِعِوَضٍ وَغَيْرِ عِوَضٍ، وَلِأَنَّ النِّكَاحَ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ، فَإِذَا لَحِقَهُ الْفَسْخُ إِجْبَارًا جَازَ أَنْ يَلْحَقَهُ الْفَسْخُ اخْتِيَارًا كَالْبَيْعِ.

Karena perpisahan dalam pernikahan dapat terjadi melalui talak dan fasakh, maka ketika perpisahan dengan talak terbagi menjadi dua jenis, yaitu dengan imbalan dan tanpa imbalan, wajib pula agar perpisahan dengan fasakh terbagi menjadi dua jenis, yaitu dengan imbalan dan tanpa imbalan. Dan karena nikah adalah akad mu‘āwaḍah (pertukaran/kompensasi), maka jika fasakh dapat terjadi secara paksa, boleh juga fasakh terjadi secara sukarela, seperti halnya dalam jual beli.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْفَسْخِ وَالطَّلَاقِ، أَنَّهُ لَوْ نَكَحَهَا بَعْدَ الْفَسْخِ كَانَتْ مَعَهُ عَلَى ثَلَاثة وَلَوْ نَكَحَهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ كانت معه على اثنين، وَلَوْ كَانَ قَدْ طَلَّقَهَا طَلْقَتَيْنِ ثُمَّ فَسَخَ حَلَّتْ لَهُ قَبْلَ زَوْجٍ وَلَوْ طَلَّقَ لَمْ تَحِلَّ لَهُ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ، وَلَوْ فَسَخَ نِكَاحَهَا فِي ثَلَاثَةِ عُقُودٍ حَلَّتْ بِهِ قَبْلَ زَوْجٍ وَلَوْ طَلَّقَهَا فِي ثَلَاثَةِ عُقُودٍ لَمْ تَحِلَّ لَهُ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ فَهَذَا أَصَحُّ مَا عِنْدَنَا مِنْ تَرْتِيبِ الْمَذْهَبِ فِي حُكْمِ الْخُلْعِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ رَتَّبَهُ غَيْرَ هَذَا التَّرْتِيبِ فَجَعَلَ فِي لَفْظِ الْخُلْعِ قَوْلَيْنِ:

Perbedaan antara fasakh dan talak adalah: jika seorang suami menikahi istrinya kembali setelah fasakh, maka ia bersamanya masih memiliki tiga kali kesempatan talak. Namun jika menikahi kembali setelah talak, maka ia hanya memiliki dua kali kesempatan talak. Jika ia telah menalaknya dua kali kemudian melakukan fasakh, maka ia halal baginya sebelum menikah dengan suami lain. Namun jika ia menalaknya, maka ia tidak halal baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain. Jika ia melakukan fasakh dalam tiga akad pernikahan, maka ia halal baginya sebelum menikah dengan suami lain. Namun jika ia menalaknya dalam tiga akad pernikahan, maka ia tidak halal baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain. Inilah pendapat yang paling sahih menurut kami dalam penataan mazhab mengenai hukum khulu‘. Di antara ulama kami ada yang menata dengan urutan berbeda, sehingga dalam lafaz khulu‘ terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فَسْخٌ وَالثَّانِي أَنَّهُ طَلَاقٌ، وَهَلْ يَكُونُ طَلَاقًا صَرِيحًا أَوْ كِنَايَةً؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَهُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:

Salah satunya: bahwa khulu‘ adalah fasakh, dan yang kedua bahwa khulu‘ adalah talak. Apakah ia merupakan talak sharih (eksplisit) atau kināyah (implisit)? Ada dua pendapat. Di antara ulama kami ada yang mengeluarkan tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ فَسْخٌ وَالثَّانِي طَلَاقٌ صَرِيحٌ وَالثَّالِثُ كِنَايَةٌ في الطلاق.

Pertama: bahwa khulu‘ adalah fasakh, kedua: talak sharih (eksplisit), dan ketiga: kināyah (implisit) dalam talak.

(مسألة:)

(Masalah:)

(قال المزني) رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَإِذَا كَانَ الْفِرَاقُ عَنْ تَرَاضٍ وَلَا يَكُونُ إِلَّا بِالزَّوْجِ وَالْعَقْدُ صَحِيحٌ لَيْسَ فِي أَصْلِهِ عِلَّةٌ فَالْقِيَاسُ عِنْدِي أَنَّهُ طَلَاقٌ وَمِمَّا يُؤَكِّدُ ذَلِكَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ) .

(Imam al-Muzani) rahimahullah berkata: (Jika perpisahan terjadi atas dasar kerelaan dan tidak terjadi kecuali oleh suami, serta akadnya sah dan pada dasarnya tidak ada cacat, maka menurut qiyās saya, itu adalah talak. Dan yang menguatkan hal itu adalah perkataan Imam asy-Syafi‘i rahimahullah).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الْفَصْلُ أَوْرَدَهُ الْمُزَنِيُّ مُرِيدًا بِهِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan bagian ini disebutkan oleh al-Muzani dengan maksud dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْخُلْعَ طَلَاقٌ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِ.

Pertama: bahwa khulu‘ adalah talak, dan hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْخُلْعَ يَصِحُّ عِنْدَ سُلْطَانٍ وَغَيْرِ سُلْطَانٍ إِذَا تَرَاضَيَا بِهِ الزَّوْجَانِ. وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى ذَلِكَ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَلَيْسَ حُضُورُ السُّلْطَانِ وَلَا إِذْنُهُ شَرْطًا فِيه وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ. وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَمُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ أَنَّ الْخُلْعَ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِسُلْطَانٍ احْتِجَاجًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ} [البقرة: 229] . وَأَوَّلُ الْكَلَامِ خِطَابٌ لِلْحُكَّامِ وَهُوَ قَوْلُهُ: {فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ الله} وَآخِرُهُ خِطَابٌ لِلْأَزْوَاجِ، وَهُوَ قَوْلُهُ: {فَلا جُنَاحَ عليهما فيما افتدت به} فَدَلَّ عَلَى أَنَّ حُضُورَ الْحَاكِمِ شَرْطٌ فِيهِ كَمَا أَنَّ حُضُورَ الْأَزْوَاجِ شَرْطٌ فِيهِ، وَلِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَوَلَّى الْخُلْعَ بَيْنَ حَبِيبَةَ وَثَابِتٍ وَلَوْ جَازَ لَهُمَا التَّفَرُّدُ بِذَلِكَ لَوَكَلَهُ إِلَيْهِمَا وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نفسا فكلوه هنيئاً مريئاً} فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شِهَابٍ أَنَّ امْرَأَةً خَالَعَتْ زَوْجَهَا بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فَرُفِعَ ذَلِكَ إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فأجازه، وخالعت الربيع بنت معوذا بْنِ عَفْرَاءَ زَوْجَهَا بِجَمِيعِ مِلْكِهَا فَأَجَازَهُ عُثْمَانُ وَأَمَرَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَا دُونَ عِقَاصِ الرَّأْسِ وَلِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى حُكْمِ حَاكِمٍ كَالْبَيْعِ وَالنِّكَاحِ، وَلِأَنَّهُ تَمَلَّكَ الْبُضْعَ بِالنِّكَاحِ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى حُكْمِ حَاكِمٍ، فَكَذَلِكَ تَمْلِيكُهُ بالخلع أولى أن لا يَفْتَقِرَ إِلَى حُكْمِ حَاكِمٍ لِأَنَّ شُرُوطَ النِّكَاحِ أَغْلَظُ مِنْ شُرُوطِ الْخُلْعِ.

Kedua: bahwa khulu‘ sah baik di hadapan penguasa maupun tanpa penguasa jika kedua suami istri saling merelakannya. Dan Imam asy-Syafi‘i telah menegaskan hal itu dalam kitab al-Umm, dan kehadiran penguasa atau izinnya bukanlah syarat dalam hal ini, dan ini adalah pendapat jumhur fuqahā’. Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin bahwa khulu‘ tidak sah kecuali di hadapan penguasa, dengan dalil firman Allah Ta‘ala: {Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa bagi keduanya atas apa yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya} [al-Baqarah: 229]. Awal ayat ini adalah seruan kepada para hakim, yaitu firman-Nya: {Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah}, dan akhirnya adalah seruan kepada para suami, yaitu firman-Nya: {maka tidak ada dosa bagi keduanya atas apa yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya}. Maka ini menunjukkan bahwa kehadiran hakim adalah syarat sebagaimana kehadiran suami juga syarat, dan karena Nabi ﷺ sendiri yang menangani kasus khulu‘ antara Habibah dan Tsabit, dan jika keduanya boleh melakukannya sendiri, tentu beliau akan menyerahkan urusan itu kepada mereka. Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Jika mereka rela menyerahkan sebagian dari mahar itu kepadamu, maka makanlah dengan senang dan baik} sehingga tetap pada keumumannya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Syihab bahwa seorang wanita melakukan khulu‘ dari suaminya dengan seribu dirham, lalu perkara itu diajukan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu dan beliau membolehkannya. Dan Rabi‘ binti Mu‘awwidz binti ‘Afra’ melakukan khulu‘ dari suaminya dengan seluruh hartanya, lalu Utsman membolehkannya dan memerintahkannya agar mengambil kurang dari nilai rambut kepala. Karena khulu‘ adalah akad mu‘āwaḍah, maka tidak membutuhkan keputusan hakim, seperti halnya jual beli dan nikah. Karena kepemilikan terhadap kemaluan (hubungan suami istri) melalui nikah tidak membutuhkan keputusan hakim, maka demikian pula kepemilikan melalui khulu‘ lebih utama untuk tidak membutuhkan keputusan hakim, karena syarat-syarat nikah lebih berat daripada syarat-syarat khulu‘.

فَأَمَّا قَوْلُهُ {فَإِنْ خفتم ألا يقيما حدود الله} فَهُوَ خِطَابٌ لِلْأَزْوَاجِ لِأَنَّهُ مَعْطُوفٌ بِهِ عَلَى قَوْلِهِ: {وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شيئاً} وَهَذَا خِطَابٌ لِلْأَزْوَاجِ، وَكَذَلِكَ الْمَعْطُوفُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَكُنْ فِي الْآيَةِ دَلِيلٌ. وَأَمَّا خُلْعُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ حَبِيبَةَ وَزَوْجِهَا فَلِأَنَّهُمَا تَخَاصَمَا إِلَيْهِ قَبْلَ الْخُلْعِ، فَصَارَ الْخُلْعُ تَبَعًا لِلتَّخَاصُمِ، وَلِأَنَّ بَيَانَ حُكْمِ الْخُلْعِ شَرْعًا مَأْخُوذٌ عَنْهُ، فَجَازَ أَنْ يَتَوَلَّاهُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ غَيْرُهُ مِنْ حُكَّامِ أُمَّتِهِ.

Adapun firman Allah {Maka jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menegakkan hudūd Allah}, ini adalah khithāb (seruan) kepada para suami, karena ayat ini dihubungkan dengan firman-Nya: {Dan tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu pun dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka}, dan ini adalah khithāb kepada para suami, demikian pula ayat yang dihubungkan dengannya. Maka tidak terdapat dalil dalam ayat ini. Adapun peristiwa khul‘ yang dilakukan Nabi ﷺ antara Habibah dan suaminya, itu karena keduanya berselisih di hadapan beliau sebelum terjadinya khul‘, sehingga khul‘ itu menjadi konsekuensi dari perselisihan tersebut. Selain itu, penjelasan hukum khul‘ secara syar‘i diambil dari beliau, maka boleh saja beliau yang melakukannya, sedangkan selain beliau dari para hakim umatnya tidak demikian.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا كَانَ طَلَاقًا فَاجْعَلْ لَهُ الرَّجْعَةَ قِيلَ لَهُ لَمَّا أَخَذَ مِنَ الْمُطَلَّقَةِ عِوَضًا وَكَانَ مَنْ مَلَكَ عِوَضَ شَيْءٍ خَرَجَ مِنْ مِلْكِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ رَجْعَةٌ فِيمَا مَلَكَ عَلَيْهِ فَكَذَلِكَ الْمُخْتَلِعَةُ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika ada yang berkata: “Jika itu adalah talak, maka berikanlah hak rujuk padanya.” Maka dijawab: Ketika suami mengambil ‘iwadh (tebusan) dari istri yang ditalak, dan siapa pun yang telah menerima ‘iwadh atas sesuatu yang telah keluar dari kepemilikannya, maka ia tidak memiliki hak rujuk atas apa yang telah ia lepaskan kepemilikannya. Maka demikian pula halnya dengan wanita yang melakukan khul‘.)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ فُرْقَةُ الْخُلْعِ لَا يَمْلِكُ فِيهَا الرَّجْعَةَ وَإِنْ كَانَتِ الْمُخْتَلِعَةُ فِي الْعِدَّةِ سَوَاءٌ خَالَعَهَا بِلَفْظِ الْخُلْعِ أَوْ لَفْظِ الطَّلَاقِ، وَسَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ الْخُلْعَ فَسْخٌ أَوْ طَلَاقٌ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ، وَحُكِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَالزُّهْرِيِّ أَنَّ الْخُلْعَ يَقْطَعُ الرَّجْعَةَ غَيْرَ أَنَّ الزَّوْجَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَتَمَسَّكَ بِالْمَالِ فَتَسْقُطَ الرَّجْعَةُ وَبَيْنَ أَنْ يَرُدَّ الْمَالَ فَتَثْبُتَ لَهُ الرَّجْعَةُ، وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: إِنْ خَالَعَهَا بِلَفْظِ الطَّلَاقِ فَلَهُ الرَّجْعَةُ، وَإِنْ خَالَعَهَا بِلَفْظِ الْخُلْعِ فَلَيْسَ لَهُ الرَّجْعَةُ لِأَنَّ الْخُلْعَ عِنْدَهُ فَسْخٌ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْعِتْقَ يُوجِبُ الْوَلَاءَ، كَمَا أَنَّ الطلاق يُوجِبُ الرَّجْعَةَ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ دُخُولَ الْعِوَضِ فِي الْعِتْقِ لَا يَمْنَعُ مِنْ ثُبُوتِ الْوَلَاءِ كَذَلِكَ ثُبُوتُ الْعِوَضِ فِي الطَّلَاقِ لَا يَمْنَعُ مِنْ ثُبُوتِ الرَّجْعَةِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, perpisahan karena khul‘ tidak memberikan hak rujuk, meskipun wanita yang melakukan khul‘ masih dalam masa ‘iddah, baik suami mengucapkan lafaz khul‘ atau lafaz talak, dan baik dikatakan bahwa khul‘ itu fasakh atau talak, ini adalah pendapat jumhur fuqahā’. Diriwayatkan dari Sa‘id bin al-Musayyab dan az-Zuhri bahwa khul‘ memutus hak rujuk, hanya saja suami diberi pilihan antara tetap mengambil harta (tebusan) sehingga gugur hak rujuk, atau mengembalikan harta tersebut sehingga hak rujuk tetap ada baginya. Abu Tsaur berkata: Jika suami melakukan khul‘ dengan lafaz talak, maka ia berhak rujuk; dan jika dengan lafaz khul‘, maka ia tidak berhak rujuk, karena menurutnya khul‘ adalah fasakh, dengan dalil bahwa pembebasan budak (al-‘itq) menyebabkan adanya wala’, sebagaimana talak menyebabkan adanya hak rujuk. Kemudian telah tetap bahwa masuknya ‘iwadh dalam pembebasan budak tidak menghalangi adanya wala’, demikian pula adanya ‘iwadh dalam talak tidak menghalangi adanya hak rujuk.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جناح عليهما فيما افتدت به} وَالِافْتِدَاءُ هُوَ الْخَلَاصُ وَالِاسْتِنْقَاذُ، مَأْخُوذٌ مِنِ افْتِدَاءِ الأسير وهو خلاصه واستنقاذه، فلو ثبت الرَّجْعَةُ فِيهِ لَمَا حَصَلَ بِهِ الْخَلَاصُ وَالِاسْتِنْقَاذُ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الِافْتِدَاءَ يَمْنَعُ مِنْ ثُبُوتِ الرَّجْعَةِ، وَلِأَنَّ الزَّوْجَةَ مَلَكَتْ بُضْعَهَا بِالْخُلْعِ كَمَا مَلَكَ الزَّوْجُ بُضْعَهَا بِالنِّكَاحِ، فَلَمَّا كَانَ الزَّوْجُ قَدْ مَلَكَ بِالنِّكَاحِ بُضْعَهَا مِلْكًا تَامًّا لَا سُلْطَانَ فِيهِ لِلزَّوْجَةِ وَجَبَ أَنْ تَمْلِكَ الزَّوْجَةُ بُضْعَهَا بِالْخُلْعِ مِلْكًا تَامًّا لَا سُلْطَانَ فِيهِ لِلزَّوْجِ وَلِأَنَّ الزَّوْجَ قَدْ مَلَكَ عِوَضَ الْخُلْعِ فِي مُقَابَلَةِ مِلْكِ الزَّوْجَةِ لِلْبُضْعِ فَلَمَّا اسْتَقَرَّ مِلْكُ الزَّوْجِ لِلْعِوَضِ حَتَّى لَمْ يَبْقَ لِلزَّوْجَةِ فِيهِ حَقٌّ وَجَبَ أَنْ يَسْتَقِرَّ مِلْكُ الزَّوْجَةِ للبضع وأن لا يَبْقَى لِلزَّوْجِ فِيهِ حَقٌّ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menegakkan hudūd Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya dalam hal yang diberikan istri sebagai tebusan}. Al-iftidā’ (penebusan) adalah pembebasan dan penyelamatan, diambil dari penebusan tawanan, yaitu membebaskannya dan menyelamatkannya. Maka jika hak rujuk tetap ada dalam khul‘, niscaya tidak terjadi pembebasan dan penyelamatan. Ini menunjukkan bahwa al-iftidā’ mencegah adanya hak rujuk. Dan karena istri telah memiliki dirinya sendiri melalui khul‘ sebagaimana suami memiliki dirinya melalui akad nikah, maka ketika suami telah memiliki dirinya melalui nikah secara penuh tanpa ada kekuasaan istri atasnya, wajib pula istri memiliki dirinya melalui khul‘ secara penuh tanpa ada kekuasaan suami atasnya. Dan karena suami telah memiliki ‘iwadh khul‘ sebagai imbalan atas kepemilikan istri atas dirinya, maka ketika kepemilikan suami atas ‘iwadh telah tetap sehingga istri tidak lagi memiliki hak atasnya, wajib pula kepemilikan istri atas dirinya sendiri menjadi tetap sehingga suami tidak lagi memiliki hak atasnya.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ بِالْعِتْقِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas istidlāl (argumentasi) dengan al-‘itq (pembebasan budak) adalah dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعِتْقَ لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثُبُوتِ الْوَلَاءِ فَلِذَلِكَ اسْتَوَى حَالُهُ مَعَ وُجُودِ الْعِوَضِ وَعَدَمِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ لِأَنَّهُ قَدْ يَنْفَكُّ مِنْ ثُبُوتِ الرَّجْعَةِ.

Pertama: Bahwa al-‘itq tidak pernah terlepas dari adanya wala’, oleh karena itu keadaannya sama baik dengan adanya ‘iwadh maupun tanpa ‘iwadh, dan tidak demikian halnya dengan talak, karena talak bisa saja terlepas dari adanya hak rujuk.

فَلِذَلِكَ اخْتَلَفَ حَالُهُ فِي وُجُودِ الْعِوَضِ وَعَدَمِهِ.

Oleh karena itu, keadaannya berbeda dalam hal adanya ‘iwadh dan ketiadaannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ فِي ثُبُوتِ الْوَلَاءِ مَا يَمْنَعُ مِنْ مَقْصُودِ الْعِتْقِ فِي زَوَالِ الرِّقِّ وَجَوَازِ التَّصَرُّفِ، فَثَبَتَ الْوَلَاءُ مَعَ الْعِوَضِ، كَمَا يَثْبُتُ مَعَ عَدَمِهِ، وَثُبُوتُ الرَّجْعَةِ تَمْنَعُ مِنْ مَقْصُودِ الْخُلْعِ فِي إِسْقَاطِ حَقِّ الزَّوْجَةِ وَإِزَالَةِ ضَرَرِهِ فَلِذَلِكَ لَمْ تَثْبُتِ الرَّجْعَةُ فِيهِ.

Kedua: Bahwa tidak ada dalam adanya wala’ sesuatu yang menghalangi maksud dari al-‘itq, yaitu hilangnya status budak dan bolehnya bertindak (atas dirinya sendiri), maka wala’ tetap ada baik dengan ‘iwadh maupun tanpa ‘iwadh. Sedangkan keberadaan hak rujuk menghalangi maksud dari khul‘, yaitu menggugurkan hak suami dan menghilangkan mudaratnya, oleh karena itu hak rujuk tidak tetap dalam khul‘.

وَجَوَابٌ ثالث وهو أن ثبوت الولاء لا تقتضي عَوْدَ الْعَبْدِ إِلَى مِلْكِ السَّيِّدِ، وَالرَّجْعَةَ تَقْتَضِي عَوْدَ الزَّوْجَةِ إِلَى نِكَاحِ الزَّوْجِ فَافْتَرَقَا.

Jawaban ketiga adalah bahwa keberadaan wala’ tidak mengharuskan kembalinya budak kepada kepemilikan tuan, sedangkan rujuk mengharuskan kembalinya istri kepada pernikahan dengan suami, maka keduanya berbeda.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَإِذَا حَلَّ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ مَا طَابَتْ بِهِ نَفْسًا عَلَى غَيْرِ فِرَاقٍ حَلَّ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ مَا طَابَتْ بِهِ نَفْسًا وَيَأْخُذَ مَا الْفِرَاقُ بِهِ) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan apabila telah halal baginya untuk memakan apa yang disenangi jiwanya tanpa adanya perpisahan, maka halal pula baginya untuk memakan apa yang disenangi jiwanya dan mengambil apa yang dengannya terjadi perpisahan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْخُلْعُ يَجُوزُ بِمَا اتَّفَقَ الزَّوْجَانِ عَلَيْهِ مِنَ الْعِوَضِ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا سَوَاءٌ كَانَ بِمِثْلِ الْمَهْرِ أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ وَسَوَاءٌ كَانَ مِنْ جِنْسِهِ أَوْ غَيْرِ جِنْسِهِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَمِنَ التَّابِعِينَ مُجَاهِدٌ وَعِكْرِمَةُ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَقَالَ قَوْمٌ: لَا يَجُوزُ الْخُلْعُ إِلَّا بِالْمَهْرِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَيْهِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ وَابْنُ الْمُسَيَّبِ وَالشَّعْبِيُّ وَعَطَاءٌ وَالزُّهْرِيُّ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa khulu‘ boleh dilakukan dengan kompensasi apa pun yang disepakati oleh suami istri, baik sedikit maupun banyak, baik setara mahar, kurang, atau lebih, baik dari jenis yang sama maupun berbeda. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, dari kalangan tabi‘in seperti Mujahid dan ‘Ikrimah, dan dari kalangan fuqaha seperti Malik dan Abu Hanifah. Ada pula sekelompok ulama yang berpendapat: Khulu‘ tidak boleh kecuali dengan mahar tanpa ada tambahan atasnya. Pendapat ini dipegang oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, dan dari kalangan tabi‘in seperti al-Hasan, Ibnu al-Musayyab, asy-Sya‘bi, ‘Atha’, dan az-Zuhri.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ، وَاسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ} [البقرة: 229] فَكَانَ ذَلِكَ عَائِدًا إِلَى مَا أعطي مِنَ الْمَهْرِ دُونَ غَيْرِهِ، وَبِمَا رَوَاهُ عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ خَوْلَةَ بِنْتَ سَلُولَ أَتَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَا أَعِيبُ عَلَى ثَابِتٍ خلقًا وَلَا دِينًا وَلَكِنِّي لَا أَسْتَطِيقُهُ وَأَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، فَقَالَ لِثَابِتٍ: خُذْهَا وَلَا تَزْدَدْ فَمَنَعَهُ مِنَ الزِّيَادَةِ فَدَلَّ عَلَى حَظْرِهَا.

Dan dari kalangan fuqaha adalah Ahmad dan Ishaq, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Dan tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu pun dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika keduanya khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah} [al-Baqarah: 229]. Maka hal itu kembali kepada apa yang diberikan berupa mahar, bukan selainnya. Juga berdasarkan riwayat ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas bahwa Khaulah binti Salul datang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam akhlak maupun agama, tetapi aku tidak mampu hidup bersamanya dan aku tidak suka kekufuran dalam Islam.” Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Apakah engkau akan mengembalikan kebunnya kepadanya?” Ia menjawab: “Ya.” Maka Nabi berkata kepada Tsabit: “Ambillah kebunmu dan jangan lebih dari itu.” Nabi melarang adanya tambahan, maka ini menunjukkan larangan atas tambahan tersebut.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ} [البقرة: 229] فَاقْتَضَى رَفْعَ الْجُنَاحِ عَنْ جَمِيعِ مَا افْتَدَتْ بِهِ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ، وَلِأَنَّ الرُّبَيِّعَ بِنْتَ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ خَالَعَتْ زَوْجَهَا بِجَمِيعِ مِلْكِهَا فَأَمْضَاهُ عُثْمَانُ وَجَعَلَ لَهُ مَا دُونَ عِقَاصِ الرَّأْسِ، وَلِأَنَّ مَا اسْتُعِيدَ مِنَ الْإِبْدَالِ بِعُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ لَمْ تَتَقَدَّرْ كَالْأَثْمَانِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَقَدَّرْ مَا يَمْتَلِكُهُ مِنْ مَالِهَا هِبَةً فَأَوْلَى أَن لا يَتَقَدَّرَ مَا يَمْتَلِكُهُ مِنْ مَالِهَا خُلْعًا.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Maka tidak ada dosa bagi keduanya tentang apa yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya} [al-Baqarah: 229]. Ayat ini menunjukkan diangkatnya dosa dari semua yang dijadikan tebusan, baik sedikit maupun banyak. Juga karena Rubayyi‘ binti Mu‘awwidz bin ‘Afra’ melakukan khulu‘ terhadap suaminya dengan seluruh hartanya, dan hal itu disahkan oleh ‘Utsman, bahkan ia memberikan kepada suaminya apa yang kurang dari ikatan rambut kepala. Dan karena apa yang diambil kembali sebagai pengganti dalam akad-akad mu‘awadhat (pertukaran) tidak ada batasannya seperti harga-harga barang, dan karena ketika tidak ada batasan dalam harta yang dimiliki suami dari istrinya melalui hibah, maka lebih utama lagi tidak ada batasan dalam harta yang dimiliki suami dari istrinya melalui khulu‘.

فَأَمَّا الْآيَةُ فَأَوَّلهَا تَتَضَمَّنُ النَّهْيَ عَنْ أَخْذِ مَا أَعْطَى، وَآخِرُهَا يَتَضَمَّنُ إِبَاحَةَ أَخْذِ الْفِدَاءِ، فَلَمْ يُخَصَّ خُصُوصُ أَوَّلِهَا فِي النَّهْيِ بِعُمُومِ آخِرِهَا فِي الْإِبَاحَةِ لِأَنَّ النَّهْيَ ضِدُّ الْإِبَاحَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُخَصَّ أَحَدهُمَا بِالْآخَرِ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ خُلْعِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ خَوْلَةَ وَزَوْجِهَا بِالْمَهْرِ الَّذِي أَعْطَاهَا فَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِهِ بِالْمَهْرِ وَلَا يَمْنَعُ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ كَمَا لَا يَمْنَعُ مِنَ النُّقْصَانِ مِنْهُ، لِأَنَّ الزَّوْجَ لَمْ يَطْلُبْ زِيَادَةً كَمَا لم تطلب الزوجة نقصاناً.

Adapun ayat tersebut, bagian awalnya mengandung larangan mengambil apa yang telah diberikan, dan bagian akhirnya mengandung kebolehan mengambil tebusan. Maka, larangan pada awal ayat tidak dikhususkan oleh keumuman kebolehan pada akhir ayat, karena larangan bertentangan dengan kebolehan, sehingga tidak boleh salah satunya dikhususkan dengan yang lain. Adapun jawaban mengenai khulu‘ yang dilakukan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– antara Khaulah dan suaminya dengan mahar yang telah diberikan kepadanya, maka itu adalah dalil atas bolehnya khulu‘ dengan mahar, dan tidak melarang adanya tambahan atasnya sebagaimana tidak melarang adanya pengurangan darinya, karena suami tidak meminta tambahan sebagaimana istri tidak meminta pengurangan.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي فِي كِتَابِ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ: وَلَوْ خَلَعَهَا تَطْلِيقَةً بِدِينَارٍ عَلَى أَنَّ لَهُ الرَّجْعَةَ فَالطَّلَاقُ لَازِمٌ لَهُ وَلَهُ الرَّجْعَةُ وَالدِّينَارُ مَرْدُودٌ وَلَا يَمْلِكُهُ وَالرَّجْعَةُ مَعًا وَلَا أُجِيزُ عَلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ إِلَّا مَا أَوْقَعَهُ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رحمه الله ليس هذا قياس أصله لأنه يجعل النكاح والخلع بالبدل المجهول والشرط الفاسد سواء ويجعل لها في النكاح مهر مثلها وله عليها في الخلع مهر مثلها ومن قوله لو خلعها بمائة على أنها متى طلبتها فهي لها وله الرجعة عليها أن الخلع ثابت والشرط والمال باطل وعليها مهر مثلها (قال المزني) رحمه الله ومن قوله لو خلع محجوراً عليها بمال إن المال يبطل وله الرجعة وإن أراد يكون بائناً كما لو طلقها تطليقة بائنا لم تكن بائنا وكان له الرجعة (قال المزني) رحمه الله تعالى وكذلك إذا طلقها بدينار على أن له الرجعة لا يبطله الشرط) .

Imam Syafi‘i berkata dalam Kitab al-Imla’ ‘ala Masa’il Malik: “Jika seorang suami menjatuhkan talak satu dengan khulu‘ (cerai tebus) atas istrinya dengan imbalan satu dinar, dengan syarat bahwa ia masih berhak rujuk, maka talak itu tetap berlaku baginya, ia berhak rujuk, dan dinar itu dikembalikan, ia tidak berhak atas dinar dan rujuk sekaligus. Aku tidak membolehkan dari talak kecuali apa yang benar-benar dijatuhkan.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: “Ini bukan qiyās menurut asalnya, karena ia menyamakan antara nikah dan khulu‘ dengan imbalan yang tidak jelas serta syarat yang rusak, dan ia menetapkan bagi istri dalam nikah mahar mitsilnya, dan bagi suami dalam khulu‘ mahar mitsilnya. Dan menurut pendapatnya, jika suami melakukan khulu‘ dengan seratus dinar dengan syarat kapan saja istri memintanya maka itu menjadi miliknya dan suami berhak rujuk, maka khulu‘ tetap sah, namun syarat dan harta batal, dan istri wajib membayar mahar mitsil. (Al-Muzani berkata) rahimahullah: “Dan menurut pendapatnya, jika suami melakukan khulu‘ terhadap istri yang sedang dalam status mahjur (terbatas haknya) dengan harta, maka harta itu batal dan suami berhak rujuk. Jika ia menghendaki agar menjadi talak bain seperti jika ia menjatuhkan talak satu bain, maka tidak menjadi bain dan suami tetap berhak rujuk.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: “Demikian pula jika ia menjatuhkan talak dengan satu dinar dengan syarat ia berhak rujuk, maka syarat itu tidak membatalkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَمُقَدِّمَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ الْخُلْعَ مَا اسْتُحِقَّ فِيهِ الْعِوَضُ، وَسَقَطَتْ فِيهِ الرَّجْعَةُ وَأَنَّ الْخُلْعَ يَتِمُّ بِالْعِوَضِ الصَّحِيحِ وَالْفَاسِدِ وَالْمَعْلُومِ وَالْمَجْهُولِ لَكِنْ إِنْ كَانَ الْعِوَضُ صَحِيحًا كَانَ الْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ هُوَ الْمُسْتَحَقَّ وَإِنْ كَانَ فَاسِدًا فَالْمُسْتَحَقُّ فِيهِ مَهْرُ الْمِثْلِ فَامْتَنَعَ بِمَا ذَكَرْنَا أَنْ يَجْتَمِعَ فِي الْفُرْقَةِ بِالْخُلْعِ اسْتِحْقَاقُ الْعِوَضِ وَثُبُوتُ الرَّجْعَةِ، فَإِنِ اسْتُحِقَّ الْعِوَضُ سَقَطَتِ الرَّجْعَةُ وَإِنِ اسْتُحِقَّتِ الرَّجْعَةُ سَقَطَ الْعِوَضُ.

Al-Mawardi berkata: “Pendahuluan masalah ini adalah bahwa khulu‘ adalah perceraian yang di dalamnya ada hak imbalan, dan hak rujuk gugur di dalamnya. Khulu‘ sah dengan imbalan yang sah maupun yang rusak, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Namun, jika imbalan itu sah, maka yang menjadi hak adalah yang disebutkan dalam akad. Jika imbalan itu rusak, maka yang menjadi hak adalah mahar mitsil. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan ini, tidak mungkin dalam perpisahan dengan khulu‘ terkumpul antara hak imbalan dan tetapnya hak rujuk. Jika hak imbalan diperoleh, maka hak rujuk gugur. Jika hak rujuk diperoleh, maka hak imbalan gugur.”

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ خَالَعَ امْرَأَتَهُ عَلَى طَلْقَةٍ بِدِينَارٍ عَلَى أَنَّ لَهُ الرَّجْعَةَ فَشَرَطَ لِنَفْسِهِ الدِّينَارَ وَالرَّجْعَةَ وَاجْتِمَاعُهُمَا متنافيات وَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَلَا بُدَّ مِنْ إِثْبَاتِ أَحَدِهِمَا وَإِسْقَاطِ الْأُخْرَى فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ ثُبُوتُ الرَّجْعَةِ وَسُقُوطُ الدِّينَارِ فَيَقَعُ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا وَلَا شَيْءَ لَهُ.

Jika demikian, maka gambaran masalah ini adalah seorang laki-laki melakukan khulu‘ terhadap istrinya dengan talak satu dan imbalan satu dinar, dengan syarat ia berhak rujuk. Maka ia mensyaratkan untuk dirinya dinar dan hak rujuk, padahal keduanya saling bertentangan. Jika demikian, maka harus ditetapkan salah satunya dan menggugurkan yang lain. Pendapat yang ditegaskan oleh Imam Syafi‘i adalah tetapnya hak rujuk dan gugurnya hak atas dinar, sehingga talak jatuh sebagai talak raj‘i dan suami tidak berhak atas apa pun.

وَقَالَ الْمُزَنِيُّ يَقَعُ الطَّلَاقُ بَائِنًا لَا رَجْعَةَ فِيهِ، وَيَكُونُ لِلزَّوْجِ مَهْرُ الْمِثْلِ، فَاخْتَارَ ذَلِكَ مَذْهَبًا لِنَفْسِهِ، وَذَكَرَ أَنَّهُ قِيَاسُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ. وَنَقَلَ الرَّبِيعُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ وَنَقَلَ جَوَابَهَا، كَمَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ رَجْعِيًّا وَلَا شَيْءَ لِلزَّوْجِ، ثُمَّ قَالَ: وَفِيهِ قَوْلٌ آخَرُ إنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بَائِنًا وَيَكُونُ لِلزَّوْجِ مَهْرُ الْمِثْلِ فَحَكَى قَوْلًا ثَانِيًا كَالَّذِي اخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ.

Al-Muzani berkata: “Talak jatuh sebagai talak bain, tidak ada hak rujuk di dalamnya, dan suami berhak mendapatkan mahar mitsil.” Ia memilih pendapat ini sebagai mazhabnya sendiri, dan menyebutkan bahwa itu adalah qiyās dari pendapat Imam Syafi‘i. Al-Rabi‘ meriwayatkan masalah ini dan jawaban atasnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Muzani, bahwa talak jatuh sebagai talak raj‘i dan suami tidak berhak atas apa pun. Kemudian ia berkata: “Ada pendapat lain bahwa talak jatuh sebagai talak bain dan suami berhak atas mahar mitsil.” Maka ia meriwayatkan pendapat kedua sebagaimana yang dipilih oleh al-Muzani.

فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَخْرِيجِهِ قَوْلًا لِلشَّافِعِيِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ قَوْلٌ ثَانٍ لِلشَّافِعِيِّ لِأَنَّ الرَّبِيعَ ثِقَةٌ فِيمَا يَرْوِيهِ، وَقَالَ الْأَكْثَرُونَ: لَيْسَ بِقَوْلٍ لِلشَّافِعِيِّ وَإِنَّمَا خَرَّجَهُ الرَّبِيعُ احتمالاً، ولم يحكيه نَقْلًا، فَلَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ إِلَّا الْقَوْلُ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ عَنْهُ، وَوَافَقَهُ الرَّبِيعُ عَلَيْهِ إنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ رَجْعِيًّا وَلَا شَيْءَ لِلزَّوْجِ، وَالدِّينَارُ مَرْدُودٌ عَلَى الزَّوْجَةِ.

Para ulama kami berbeda pendapat dalam menisbatkan pendapat ini kepada Imam Syafi‘i. Sebagian mereka berkata: “Ini adalah pendapat kedua dari Imam Syafi‘i, karena al-Rabi‘ adalah orang yang terpercaya dalam riwayatnya.” Namun mayoritas berkata: “Ini bukan pendapat Imam Syafi‘i, melainkan al-Rabi‘ hanya mengeluarkannya sebagai kemungkinan, bukan sebagai riwayat. Maka Imam Syafi‘i hanya memiliki pendapat yang diriwayatkan oleh al-Muzani darinya, dan al-Rabi‘ pun menyetujuinya, yaitu bahwa talak jatuh sebagai talak raj‘i dan suami tidak berhak atas apa pun, dan dinar dikembalikan kepada istri.”

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اسْتَدَلَّ لِصِحَّةِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ بَائِنًا وَاسْتِحْقَاقِ مَهْرِ الْمِثْلِ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ:

Adapun al-Muzani, ia berdalil atas kebenaran pendapatnya bahwa talak jatuh sebagai talak bain dan berhak atas mahar mitsil dengan empat hal:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْخُلْعَ فِي مُقَابَلَةِ النِّكَاحِ، لِأَنَّ النِّكَاحَ عَقْدٌ وَالْخُلْعَ حَلٌّ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الشَّرْطَ الْفَاسِدَ فِي النِّكَاحِ يُوجِبُ ثُبُوتَ النِّكَاحِ وَسُقُوطَ الشَّرْطِ وَوُجُوبَ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الشَّرْطُ الْفَاسِدُ فِي الْخُلْعِ مُوجِبًا لِثُبُوتِ الْخُلْعِ وَسُقُوطِ الشَّرْطِ وَاسْتِحْقَاقِ مَهْرِ الْمِثْلِ.

Pertama: Bahwa khulu‘ adalah sebagai lawan dari nikah, karena nikah adalah akad dan khulu‘ adalah pembatalan. Telah tetap bahwa syarat yang rusak dalam nikah menyebabkan nikah tetap sah dan syaratnya gugur, serta wajib mahar mitsil. Maka seharusnya syarat yang rusak dalam khulu‘ juga menyebabkan khulu‘ tetap sah, syaratnya gugur, dan berhak atas mahar mitsil.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَا أَثْبَتَ الرَّجْعَةَ مِنَ الطَّلَاقِ لَوْ شُرِطَ سُقُوطُهَا فِيهِ لَمْ يَسْقُطْ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَا انْتَفَتْ عَنْهُ الرَّجْعَةُ مِنَ الطَّلَاقِ إِذَا شُرِطَ ثُبُوتُهَا فِيهَا لَمْ تَثْبُتْ.

Kedua: Bahwa talak yang menetapkan adanya rujuk, jika disyaratkan gugurnya hak rujuk dalam talak tersebut, maka hak rujuk itu tidak gugur; maka wajib pula bahwa talak yang tidak ada hak rujuk di dalamnya, jika disyaratkan adanya hak rujuk, maka hak rujuk itu tidak tetap.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ قَالَ نَصًّا فِي الْإِمْلَاءِ، لَوْ خَالَعَهَا عَلَى طَلْقَةٍ بِمِائَةٍ عَلَى أَنَّهَا مَتَى شَاءَتْ أَخَذَتِ الْمِائَةَ وَرَاجَعَهَا وَقَعَ الطَّلَاقُ بَائِنًا لَا رَجْعَةَ فِيهِ، وَكَانَ لَهُ مَهْرُ الْمِثْلِ كَذَلِكَ فِي مَسْأَلَتِنَا لِاتِّفَاقِهِمَا فِي الشَّرْطِ.

Ketiga: Bahwa asy-Syafi‘i telah berkata secara tegas dalam kitab al-Imla’, “Jika seorang suami melakukan khulu‘ terhadap istrinya dengan satu talak dengan imbalan seratus (dirham/mata uang) dengan syarat bahwa kapan saja istrinya menghendaki, ia dapat mengambil seratus tersebut dan suaminya dapat merujukinya, maka talak itu jatuh sebagai talak bain yang tidak ada hak rujuk di dalamnya, dan suami hanya berhak atas mahar mitsil (mahar sepadan). Demikian pula dalam masalah kita ini karena kesepakatan keduanya dalam syarat tersebut.”

وَالرَّابِعُ: أنْ قَالَ الِاعْتِبَارُ فِي الْخُلْعِ بِالرُّشْدِ لِأَنَّ الْمَحْجُورَ عَلَيْهَا لَا يَصِحُّ خُلْعُهَا فِي الْأَحْوَالِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ خُلْعُ مَنْ لَا حَجْرَ عَلَيْهَا صَحِيحًا فِي الْأَحْوَالِ.

Keempat: Bahwa yang menjadi pertimbangan dalam khulu‘ adalah kedewasaan, karena wanita yang berada dalam perwalian (mahjur ‘alaiha) tidak sah khulu‘-nya dalam segala keadaan, maka hal itu mengharuskan bahwa khulu‘ bagi wanita yang tidak berada dalam perwalian adalah sah dalam segala keadaan.

وَالدَّلِيلُ عَلَى ثُبُوتِ الرَّجْعَةِ وَسُقُوطِ الْعِوَضِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ:

Dan dalil atas tetapnya hak rujuk dan gugurnya imbalan (iwadh) ada empat hal:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَمَّا تَنَافَى ثُبُوتُ الرَّجْعَةِ وَاسْتِحْقَاقُ الْعِوَضِ وَلَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنْ ثُبُوتِ أَحَدِهِمَا وَإِسْقَاطِ الْآخَرِ كَانَ ثُبُوتُ الرَّجْعَةِ وَسُقُوطُ الْعِوَضِ أَوْلَى مِنْ ثُبُوتِ الْعِوَضِ وَسُقُوطِ الرَّجْعَةِ لِأَنَّ الرَّجْعَةَ تَثْبُتُ بِغَيْرِ شَرْطٍ وَالْعِوَضَ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِشَرْطٍ وَمَا ثَبَتَ بِغَيْرِ شَرْطٍ أَقْوَى مِمَّا لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِشَرْطٍ.

Pertama: Ketika tetapnya hak rujuk dan berhaknya atas imbalan (iwadh) saling bertentangan, dan tidak mungkin keduanya tetap bersamaan, maka harus dipilih salah satunya dan menggugurkan yang lain. Maka, tetapnya hak rujuk dan gugurnya imbalan lebih utama daripada tetapnya imbalan dan gugurnya hak rujuk, karena hak rujuk tetap tanpa syarat, sedangkan imbalan tidak tetap kecuali dengan syarat. Sesuatu yang tetap tanpa syarat lebih kuat daripada yang hanya tetap dengan syarat.

وَالثَّانِي: أَنَّ فِي إِثْبَاتِ الرَّجْعَةِ وَإِسْقَاطِ الْعِوَضِ تَصْحِيحًا لِأَحَدِ الشَّرْطَيْنِ وإبطالاً للآخر وفيما قال المزني إبطالاً لِلشَّرْطَيْنِ مِنَ الرَّجْعَةِ وَالْعِوَضِ الْمُسَمَّى وَإِثْبَاتٌ لِثَالِثٍ لَمْ يَتَضَمَّنْهُ الشَّرْطُ وَهُوَ مَهْرُ الْمِثْلِ فَكَانَ ما أثبت أحد الشرطين أولى ما تفاهما وَأَثْبَتَ غَيْرَهُمَا.

Kedua: Bahwa dalam menetapkan hak rujuk dan menggugurkan imbalan terdapat pengesahan terhadap salah satu dari dua syarat dan pembatalan terhadap yang lain. Sedangkan menurut pendapat al-Muzani, kedua syarat, yaitu hak rujuk dan imbalan yang disebutkan, sama-sama dibatalkan, dan menetapkan yang ketiga yang tidak termasuk dalam syarat, yaitu mahar mitsil. Maka, menetapkan salah satu dari dua syarat lebih utama dari pada membatalkan keduanya dan menetapkan selain keduanya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَمَّا تَعَارَضَ الشَّرْطَانِ وتنافا اجْتِمَاعُهُمَا وَلَمْ يَكُنْ إِثْبَاتُ أَحَدِهِمَا أَوْلَى مِنَ الْآخَرِ وَجَبَ إِسْقَاطُهُمَا وَاعْتِبَارُ طَلَاقٍ لَا شَرْطَ فِيهِ وَذَلِكَ مُوجِبُ الرَّجْعَةِ فَلِذَلِكَ ثَبَتَتِ الرَّجْعَةُ.

Ketiga: Ketika dua syarat itu saling bertentangan dan tidak mungkin keduanya berkumpul, dan tidak ada alasan untuk menetapkan salah satunya lebih utama dari yang lain, maka wajib menggugurkan keduanya dan menganggap talak itu tanpa syarat. Hal itu menyebabkan adanya hak rujuk, maka karena itu hak rujuk tetap berlaku.

وَالرَّابِعُ: أَنَّ الِاعْتِيَاضَ عَلَى زَوَالِ الْمِلْكِ يَكُونُ مَقْصُورًا عَلَى مَا قَصَدَ زَوَالَهُ مِنَ الْمِلْكِ اعْتِبَارًا بِالْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ لَا يَدْخُلُ فِيهِمَا إِلَّا الْمُسَمَّى وَالزَّوْجُ لَمْ يَزُلْ مِلْكُهُ عَنِ الْبُضْعِ إِلَّا مَعَ اسْتِيفَاءِ الرَّجْعَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَزُولَ مِلْكُهُ عَنِ الرَّجْعَةِ فَأَمَّا اسْتِدْلَالُ الْمُزَنِيِّ الْأَوَّلُ بِالنِّكَاحِ فَهُوَ دَلِيلُنَا، لِأَنَّ فَسَادَ الشَّرْطِ فِي النِّكَاحِ إِذَا عَادَ إِلَى الْعِوَضِ لَمْ يَفْسُدِ النِّكَاحُ، كَذَلِكَ الْخُلْعُ إِذَا عَادَ فَسَادُ الشَّرْطِ إِلَى الْعِوَضِ لَمْ يَفْسُدِ الْخُلْعُ، وَفَسَادُ الشَّرْطِ فِي النِّكَاحِ إِذَا عَادَ إِلَى الْبُضْعِ كالشعار وَالْخِيَارِ أَوْجَبَ فَسَادَ النِّكَاحِ، كَذَلِكَ فِي الْخُلْعِ إِذَا عَادَ فَسَادُ الشَّرْطِ فِيهِ إِلَى الْبُضْعِ أَوْجَبَ فَسَادَ الْخُلْعِ.

Keempat: Bahwa penggantian (iwadh) atas hilangnya kepemilikan (milik) hanya terbatas pada apa yang memang dimaksudkan untuk dihilangkan dari kepemilikan, sebagaimana dalam jual beli dan ijarah, di mana hanya yang disebutkan saja yang masuk di dalamnya. Suami tidak kehilangan kepemilikannya atas hubungan badan (al-bud‘) kecuali setelah habis masa rujuk, maka tidak boleh kepemilikannya atas hak rujuk hilang. Adapun dalil pertama al-Muzani dengan perumpamaan nikah, itu justru menjadi dalil bagi kami, karena rusaknya syarat dalam nikah jika kembali kepada imbalan tidak merusak akad nikah, demikian pula dalam khulu‘, jika rusaknya syarat kembali kepada imbalan, maka tidak merusak khulu‘. Namun, rusaknya syarat dalam nikah jika kembali kepada hubungan badan, seperti syarat syi‘ar dan khiyar, menyebabkan rusaknya akad nikah, demikian pula dalam khulu‘, jika rusaknya syarat kembali kepada hubungan badan, maka menyebabkan rusaknya khulu‘.

وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ الثَّانِي بِأَنَّ مَا ثَبَتَ فِيهِ الرَّجْعَةُ لَمْ يَسْقُطْ بِالشَّرْطِ كَذَلِكَ، فَأُسْقِطَتْ فِيهِ الرَّجْعَةُ لَمْ تَثْبُتْ بِالشَّرْطِ فَهُوَ إِلْزَامُ الْعَكْسِ، وَهَذَا لَا يَلْزَمُ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْمَوْضِعَيْنِ بَقَاءُ الرَّجْعَةِ بَعْدَ النِّكَاحِ.

Adapun dalil kedua, yaitu bahwa sesuatu yang tetap di dalamnya hak rujuk tidak gugur karena syarat, maka demikian pula, jika hak rujuk digugurkan di dalamnya, tidak akan tetap karena syarat, maka ini adalah penerapan hukum kebalikan (ilzam al-‘aks), dan ini tidak mesti demikian. Kemudian, makna dalam kedua tempat itu adalah tetapnya hak rujuk setelah akad nikah.

وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ الثَّالِثُ بِمَسْأَلَةِ الْإِمْلَاءِ، فَقَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَنْقُلُ جَوَابَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى، وَيُخْرِجُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ، وَفَرَّقَ سَائِرُهُمْ بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ بِأَنَّهُ فِي مَسْأَلَةِ الْكِتَابِ لَمْ يُمَلِّكْهَا نَفْسَهَا لِاشْتِرَاطِ الرَّجْعَةِ فِي الْحَالِ، فَلِذَلِكَ ثَبَتَ حُكْمُهَا، وَبَطَلَ الْعِوَضُ.

Adapun dalil ketiga dengan masalah al-Imla’, sebagian sahabat kami ada yang memindahkan jawaban dari masing-masing masalah ke masalah yang lain, dan mengeluarkannya dalam dua pendapat. Namun, mayoritas mereka membedakan antara kedua masalah tersebut, yaitu bahwa dalam masalah kitab, suami tidak menyerahkan kepemilikan dirinya kepada istri karena mensyaratkan adanya hak rujuk secara langsung, maka karena itu hukumnya tetap dan imbalannya batal.

وَفِي مَسْأَلَةِ الْإِمْلَاءِ قَدْ مَلَّكَهَا نَفْسَهَا بِسُقُوطِ الرَّجْعَةِ، وَإِنَّمَا شَرَطَ حُدُوثَ خِيَارٍ لَهَا فِي ثُبُوتِ الرَّجْعَةِ فَلِذَلِكَ ثَبَتَ حُكْمُ الْعِوَضِ وَبَطَلَتِ الرَّجْعَةُ.

Sedangkan dalam masalah al-Imla’, suami telah menyerahkan kepemilikan dirinya kepada istri dengan gugurnya hak rujuk, dan ia hanya mensyaratkan adanya pilihan bagi istri dalam menetapkan hak rujuk. Oleh karena itu, hukum imbalan tetap dan hak rujuk batal.

وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ الرَّابِعُ بِالْمَحْجُورِ عَلَيْهَا فَهُوَ أو هي اسْتِدْلَالٍ ذَكَرَهُ وَلَيْسَ إِذَا فَسَدَ عَقْدُ الْمَحْجُورِ عليه في الأحوال ما أوجب أن لا يَصِحَّ عَقْدُ غَيْرِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ فِي الْأَحْوَالِ كَالْبُيُوعِ وَسَائِرِ الْعُقُودِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun dalil keempat dengan menggunakan kasus orang yang dikenai pembatasan (mahjūr ‘alayhā), maka ini adalah dalil yang disebutkan, dan tidaklah jika akad orang yang dikenai pembatasan itu rusak dalam beberapa keadaan, hal itu mengharuskan bahwa akad orang yang tidak dikenai pembatasan juga tidak sah dalam keadaan-keadaan seperti jual beli dan seluruh akad lainnya. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَلَا يَلْحَقُ الْمُخْتَلِعَةَ طَلَاقٌ وَإِنْ كَانَتْ فِي الْعِدَّةِ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عباس وابن الزبير وقال بعض الناس يلحقها الطلاق في العدة واحتج ببعض التابعين واحتج الشافعي عليه من القرآن والإجماع بما يدل على أن الطلاق لا يلحقها بما ذكر الله بين الزوجين من اللعان والظهار والإيلاء والميراث والعدة بوفاة الزوج فدلت خمس آيات من كتاب الله تعالى على أنها ليست بزوجة وإنما جعل الله الطلاق يقع على الزوجة فخالف القرآن والأثر والقياس ثم قوله في ذلك متناقض فزعم إن قال لها أنت خلية أو برية أو بتة ينوي الطلاق أنه لا يلحقها طلاق فإن قال كل امرأة لي طالق لا ينويها ولا غيرها طلق نساؤه دونها ولو قال لها أنت طالق طلقت فكيف يطلق غير امرأته) .

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Talak tidak berlaku bagi wanita yang melakukan khulu‘, meskipun ia masih dalam masa ‘iddah. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu az-Zubair. Sebagian orang berpendapat bahwa talak tetap berlaku baginya selama masa ‘iddah, dan mereka berdalil dengan sebagian tabi‘in. Asy-Syafi‘i berdalil dari al-Qur’an dan ijmā‘ yang menunjukkan bahwa talak tidak berlaku baginya, berdasarkan apa yang Allah sebutkan tentang lian, zihar, ila’, warisan, dan masa ‘iddah karena wafatnya suami di antara pasangan suami istri. Maka, lima ayat dari Kitab Allah menunjukkan bahwa ia bukan lagi istri, dan Allah menjadikan talak hanya berlaku bagi istri. Maka, pendapat tersebut bertentangan dengan al-Qur’an, atsar, dan qiyās. Kemudian, ucapannya dalam hal ini juga kontradiktif, sebab ia mengklaim bahwa jika suami berkata kepada istrinya, ‘Engkau bebas’ atau ‘Engkau terlepas’ atau ‘Engkau bercerai’ dengan niat talak, maka talak tidak berlaku baginya. Namun jika ia berkata, ‘Setiap istriku tertalak’ tanpa meniatkan untuknya atau selainnya, maka seluruh istrinya tertalak kecuali dia. Dan jika ia berkata kepadanya, ‘Engkau tertalak’, maka ia tertalak. Maka, bagaimana mungkin ia menalak selain istrinya?”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا خَالَعَ زَوْجَتَهُ عَلَى طَلْقَةٍ أَوْ طَلْقَتَيْنِ وَبَقِيَتْ عَلَى وَاحِدَةٍ أَوِ اثْنَتَيْنِ ثُمَّ طَلَّقَهَا فِي الْعِدَّةِ لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ سَوَاءً طَلَّقَهَا بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ أَوْ بِكِنَايَتِهِ وَسَوَاءً عَجَّلَ ذَلِكَ فِي الْعِدَّةِ أَوْ بَعْدَ الْعِدَّةِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika seorang suami melakukan khulu‘ terhadap istrinya dengan satu atau dua talak, lalu masih tersisa satu atau dua talak, kemudian ia menalaknya dalam masa ‘iddah, maka talaknya tidak jatuh, baik ia menalaknya dengan lafaz talak yang jelas maupun dengan kinayah, baik ia mempercepat talak itu dalam masa ‘iddah maupun setelah masa ‘iddah.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: ابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ الزُّبَيْرِ.

Dan pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat: Ibnu ‘Abbas dan Ibnu az-Zubair.

وَمِنَ التَّابِعَيْنِ: عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ.

Dan dari kalangan tabi‘in: ‘Urwah bin az-Zubair.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.

Dan dari kalangan fuqahā’: Ahmad dan Ishaq.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ طَلَّقَهَا فِي الْعِدَّةِ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ وَقَعَ طَلَاقُهُ وَإِنْ طَلَّقَهَا بِكِنَايَةِ الطَّلَاقِ كَقَوْلِهِ: أَنْتِ بَائِنٌ أَوْ حَرَامٌ أَوْ عَلَى صِفَةٍ كَقَوْلِهِ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَدَخَلَتْهَا، أَوْ قَالَ: كُلُّ نِسَائِي طَوَالِق، لَمْ تُطَلَّقْ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الثَّلَاثِ.

Abu Hanifah berkata: Jika suami menalaknya dalam masa ‘iddah dengan lafaz talak yang jelas, maka talaknya jatuh. Namun jika ia menalaknya dengan kinayah talak, seperti ucapannya: “Engkau terpisah” atau “Engkau haram” atau dengan syarat, seperti ucapannya: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak”, lalu ia masuk ke rumah itu, atau ia berkata: “Semua istriku tertalak”, maka dalam tiga keadaan ini talak tidak jatuh.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ طَلَّقَهَا عَقِيبَ خُلْعِهِ حَتَّى اتَّصَلَ طَلَاقُهُ بِخُلْعِهِ طُلِّقَتْ وَإِنِ انْفَصَلَ عَنْ خُلْعِهِ لَمْ تُطَلَّقْ.

Malik berkata: Jika suami menalaknya segera setelah khulu‘ sehingga talaknya bersambung dengan khulu‘, maka talaknya jatuh. Namun jika talaknya terpisah dari khulu‘, maka talaknya tidak jatuh.

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنْ طَلَّقَهَا فِي مَجْلِسِ خُلْعِهِ طُلِّقَتْ وَإِنْ طَلَّقَهَا فِي غَيْرِهِ لَمْ تُطَلَّقْ وَاسْتَدَلَّ مِنْ نَصِّ قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ} إلى قوله: {فإن طلقها فلا جناح عليهما فيما افتدت به} يُرِيدُ الْخُلْعَ ثُمَّ قَالَ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الطَّلَاقَ بَعْدَ الْخُلْعِ وَاقِعٌ.

Al-Hasan al-Bashri berkata: Jika suami menalaknya dalam majelis khulu‘, maka talaknya jatuh. Namun jika ia menalaknya di luar majelis itu, maka talaknya tidak jatuh. Ia berdalil dari nash ucapan Abu Hanifah dengan firman Allah Ta‘ala: {Talak itu dua kali, kemudian tahanlah dengan cara yang baik} hingga firman-Nya: {Jika ia menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya dalam hal yang ia tebuskan dengannya} yang dimaksud adalah khulu‘. Kemudian Allah berfirman: {Jika ia menceraikannya (lagi), maka tidak halal baginya setelah itu hingga ia menikah dengan suami yang lain}, maka ini menunjukkan bahwa talak setelah khulu‘ tetap jatuh.

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنْ طَلَّقَهَا فِي مَجْلِسِ خُلْعِهِ طُلِّقَتْ، وَإِنْ طَلَّقَهَا فِي غَيْرِهِ لَمْ تُطَلَّقْ. وَاسْتَدَلَّ مِنْ نَصِّ قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ} [البقرة: 229] إلى قوله: {فإن طلقها فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ} [البقرة: 229] يُرِيدُ الْخُلْعَ، ثُمَّ قَالَ: {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الطَّلَاقَ بَعْدَ الْخُلْعِ وَاقِعٌ.

Al-Hasan al-Bashri berkata: Jika suami menalaknya dalam majelis khulu‘, maka talaknya jatuh. Namun jika ia menalaknya di luar majelis itu, maka talaknya tidak jatuh. Ia berdalil dari nash ucapan Abu Hanifah dengan firman Allah Ta‘ala: {Talak itu dua kali, kemudian tahanlah dengan cara yang baik} [al-Baqarah: 229] hingga firman-Nya: {Jika ia menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya dalam hal yang ia tebuskan dengannya} [al-Baqarah: 229], yang dimaksud adalah khulu‘. Kemudian Allah berfirman: {Jika ia menceraikannya (lagi), maka tidak halal baginya setelah itu hingga ia menikah dengan suami yang lain} [al-Baqarah: 230], maka ini menunjukkan bahwa talak setelah khulu‘ tetap jatuh.

وَرَوَى أَبُو يُوسُفَ فِي أَمَالِيهِ عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: الْمُخْتَلِعَةُ يَلْحَقُهَا الطَّلَاقُ مَا دَامَتْ فِي الْعِدَّةِ، وَلِأَنَّهَا مُعْتَدَّةٌ مِنْ طَلَاقٍ فَوَجَبَ أَنْ يَلْحَقَهَا مَا بَقِيَ مِنْ عَدَدِ الطَّلَاقِ كالرجعية، ولأن الطلاق كالعتق لسراينهما، وَجَوَازِ أَخْذِ الْعِوَضِ عَلَيْهِمَا، وَالْخُلْعَ كَالْكِتَابَةِ لِثُبُوتِ الْعِوَضِ فِيهِمَا، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْمُكَاتَبَ إِذَا أُعْتِقَ صَحَّ عِتْقُهُ لِبَقَايَا أَحْكَامِ الْمِلْكِ، وَجَبَ إِذَا طُلِّقَتِ الْمُخْتَلِعَةُ أَنْ يَصِحَّ طَلَاقُهَا لِبَقَايَا أَحْكَامِ النِّكَاحِ.

Abu Yusuf meriwayatkan dalam kitab Amalīhnya dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Wanita yang melakukan khulu‘ tetap dapat dijatuhi talak selama ia masih dalam masa ‘iddah.” Karena ia adalah wanita yang menjalani masa ‘iddah akibat talak, maka wajib baginya untuk tetap terkena sisa jumlah talak seperti wanita yang dalam masa rujuk. Karena talak itu seperti pembebasan budak (‘itq) karena keduanya sama-sama berlaku, dan boleh mengambil kompensasi pada keduanya, sedangkan khulu‘ seperti kitabah karena adanya kompensasi pada keduanya. Kemudian telah tetap bahwa budak mukatab jika dimerdekakan maka sah kemerdekaannya karena masih adanya sisa hukum kepemilikan, maka wajib jika wanita yang melakukan khulu‘ ditalak, sah talaknya karena masih adanya sisa hukum pernikahan.

وَلِأَنَّ الْمُخْتَلِعَةَ كَالْمُتَظَاهَرِ مِنْهَا لِتَحْرِيمِهَا، وَبَقَايَا أَحْكَامِ نِكَاحِهَا، فَلَمَّا صَحَّ طَلَاقُ الْمُتَظَاهَرِ مِنْهَا وَجَبَ أَنْ يَصِحَّ طَلَاقُ الْمُخْتَلِعَةِ، وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 229] فَجَعَلَ التَّسْرِيحَ لِمَنْ لَهُ الْإِمْسَاكُ، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لِزَوْجِ الْمُخْتَلِعَةِ إِمْسَاكُهَا، لَمْ يَكُنْ بِهِ تَسْرِيحُهَا وَطَلَاقُهَا وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ لِأَنَّهُ مَرْوِيٌّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، وَلَيْسَ لَهُمَا مُخَالِفٌ، وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ إِذَا لَمْ يَرْفَعْ نِكَاحًا وَلَمْ يُسْقِطْ رَجْعَةً كَانَ مُطَّرِحًا كَالْمُطَلَّقَةِ بعدة الْعِدَّةِ، وَلِأَنَّهَا امْرَأَةٌ لَا تَحِلُّ لَهُ إِلَّا بِنِكَاحٍ جَدِيدٍ فَلَمْ يَلْحَقْهَا طَلَاقُهُ كَالْأَجْنَبِيَّةِ.

Karena wanita yang melakukan khulu‘ (mukhtali‘ah) itu seperti wanita yang dizhihar (mutazāhar minhā) dalam hal keharamannya dan sisa-sisa hukum pernikahannya. Maka, sebagaimana talak terhadap wanita yang dizhihar sah, demikian pula talak terhadap wanita yang melakukan khulu‘ harus sah. Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Talak itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang baik atau melepaskan dengan cara yang baik} [al-Baqarah: 229]. Allah menjadikan pelepasan (tasrih) bagi orang yang masih memiliki hak menahan (imsak). Maka, ketika suami dari wanita yang melakukan khulu‘ tidak lagi memiliki hak menahannya, maka ia juga tidak memiliki hak untuk melepaskannya atau mentalaknya. Dan ini juga merupakan ijmā‘ para sahabat, karena diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas dan ‘Abdullah bin az-Zubair, dan tidak ada yang menyelisihi mereka berdua. Selain itu, talak apabila tidak membatalkan pernikahan dan tidak menghapus hak rujuk, maka talak itu menjadi gugur, sebagaimana talak terhadap wanita yang telah habis masa ‘iddahnya. Dan karena wanita yang melakukan khulu‘ adalah wanita yang tidak halal lagi baginya kecuali dengan akad nikah yang baru, maka talaknya tidak berpengaruh kepadanya, sebagaimana terhadap wanita asing (ajnabiyyah).

فَإِنْ قِيلَ: الْأَجْنَبِيَّةُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ النِّكَاحِ، فَلَمْ يَلْحَقْهَا الطَّلَاقُ، وَالْمُخْتَلِعَةُ يَجْرِي عَلَيْهَا مِنْ أَحْكَامِ النِّكَاحِ وُجُوبُ الْعِدَّةِ وَاسْتِحْقَاقُ السُّكْنَى وَلُحُوقُ النَّسَبِ فَجَازَ أَنْ يَلْحَقَهَا الطَّلَاقُ.

Jika dikatakan: Wanita asing (ajnabiyyah) tidak ada satu pun hukum pernikahan yang berlaku antara dia dan laki-laki itu, sehingga talak tidak berlaku padanya. Sedangkan wanita yang melakukan khulu‘ masih berlaku atasnya beberapa hukum pernikahan, seperti wajibnya ‘iddah, berhak atas tempat tinggal, dan nasab anak tetap dinisbatkan kepadanya, maka boleh jadi talak berlaku padanya.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنَّ وُجُوبَ الْعِدَّةِ وَلُحُوقَ النَّسَبِ مِنْ أَحْكَامِ الْوَطْءِ دُونَ النِّكَاحِ.

Maka jawabannya: Sesungguhnya kewajiban ‘iddah dan penetapan nasab adalah bagian dari hukum-hukum persetubuhan (wath‘) bukan hukum-hukum pernikahan.

أَلَا تَرَى لَوْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ لَمْ تَعْتَدَّ، وَلَوْ طَلَّقَهَا عَقِبَ نِكَاحِهِ، فَقَالَ: قَدْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا هِيَ طَالِقٌ لَمْ يُلْحَقْ بِهِ الْوَلَدُ، وَلَوْ وَطِئَهَا بِشُبْهَةٍ مِنْ غَيْرِ نِكَاحٍ وَجَبَتْ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلُحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ العدة ولحوق النسب من أحكام الوطء دون النِّكَاحِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ مِنْ أَحْكَامِ النكاح دون الوطء.

Tidakkah engkau melihat, jika ia ditalak sebelum terjadi hubungan suami istri, maka ia tidak wajib menjalani ‘iddah. Dan jika ia ditalak segera setelah akad nikah, lalu suami berkata: “Aku telah menerima nikahnya, dia aku talak,” maka anak yang lahir tidak dinisbatkan kepadanya. Namun jika ia digauli karena syubhat tanpa akad nikah, maka ia wajib menjalani ‘iddah dan anak yang lahir dinisbatkan kepadanya. Maka ini menunjukkan bahwa ‘iddah dan penetapan nasab adalah bagian dari hukum-hukum persetubuhan, bukan hukum-hukum pernikahan. Adapun talak, itu adalah bagian dari hukum-hukum pernikahan, bukan hukum-hukum persetubuhan.

وأما السكنى فسكنى الْمُعْتَدَّةِ مُسْتَحَقٌّ بِالطَّلَاقِ دُونَ النِّكَاحِ، لِأَنَّ سُكْنَى النكاح مخالف لسكنى الطَّلَاقِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun tempat tinggal, maka tempat tinggal bagi wanita yang menjalani ‘iddah adalah hak yang diperoleh karena talak, bukan karena pernikahan. Karena tempat tinggal dalam pernikahan berbeda dengan tempat tinggal karena talak dalam dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ سُكْنَى النِّكَاحِ يَسْقُطُ بِاتِّفَاقِهِمَا عَلَى تَرْكِهِ، وَسُكْنَى الطَّلَاقِ لَا يسقط وإن اتفق عَلَى تَرْكِهِ.

Pertama: Tempat tinggal dalam pernikahan gugur jika keduanya sepakat untuk meninggalkannya, sedangkan tempat tinggal karena talak tidak gugur meskipun keduanya sepakat untuk meninggalkannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ سُكْنَى النِّكَاحِ يَكُونُ حَيْثُ شَاءَ الزَّوْجُ، وَسَكَنَ الطَّلَاقِ مُسْتَحَقٌّ فِي الْمَنْزِلِ الَّذِي طُلِّقَتْ فِيهِ فَافْتَرَقَا.

Kedua: Tempat tinggal dalam pernikahan berada di mana saja suami menghendaki, sedangkan tempat tinggal karena talak adalah hak yang harus diberikan di rumah tempat ia ditalak. Maka keduanya berbeda.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ ثَبَتَ أَنَّ الْمُخْتَلِعَةَ لَمْ يَبْقَ عَلَيْهَا مِنْ أَحْكَامِ النِّكَاحِ شَيْءٌ وَكَذَلِكَ الطَّلَاقُ، وَلَوْ كَانَ وُجُوبُ الْعِدَّةِ مُوجِبًا لِبَقَاءِ النِّكَاحِ وَوُقُوعِ الطَّلَاقِ، لَوَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا إِذَا اعْتَدَّتْ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ أَوْ مِنَ الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ، وَلَكَ أَنْ تُحَرِّرَ هَذَا الِانْفِصَالَ قِيَاسًا ثَانِيًا فَتَقُولُ: كُلُّ تَصَرُّفٍ اسْتَفَادَ بِعَقْدِ النِّكَاحِ يَجِبُ أَنْ يَزُولَ بِزَوَالِ النِّكَاحِ كَالْإِيلَاءِ وَالظِّهَارِ وَاللِّعَانِ.

Jika demikian, maka telah tetap bahwa wanita yang melakukan khulu‘ tidak lagi memiliki satu pun hukum pernikahan, demikian pula talak. Seandainya kewajiban ‘iddah menjadi sebab tetapnya pernikahan dan terjadinya talak, niscaya talak akan jatuh padanya jika ia menjalani ‘iddah karena persetubuhan syubhat atau karena talak tiga. Dan engkau boleh merumuskan perbedaan ini sebagai qiyās kedua, yaitu: Setiap konsekuensi hukum yang diperoleh melalui akad nikah harus hilang dengan hilangnya pernikahan, seperti ila’, zihar, dan li‘an.

فَإِنْ قِيلَ: فَالْإِيلَاءُ يَصِحُّ مِنْهَا وَتَضْرِبُ لَهُ الْمُدَّةَ إِذَا تَزَوَّجَهَا، قِيلَ فَكَذَلِكَ الْأَجْنَبِيَّةُ عِنْدَكُمْ، وَيَكُونُ يَمِينًا يَصِيرُ بِالنِّكَاحِ الْمُسْتَجَدِّ إِيلَاءً وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ إِيلَاءَ زَوْجَتِهِ لَضَرَبَتْ لَهُ الْمُدَّةَ وَطُولِبَ بَعْدَ الْأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ بِالْبَيِّنَةِ أَوِ الطَّلَاقِ كَمَا يُطَالَبُ بِهِ فِي الزَّوْجِيَّةِ فَبَطَلَ مَا قَالُوهُ مِنْ صِحَّةِ الْإِيلَاءِ مِنْهَا، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَا يَمْلِكُ عَلَيْهَا الطَّلَاقَ بِبَدَلٍ لَا يَمْلِكُ عَلَيْهَا الطَّلَاقَ بِغَيْرِ بَدَلٍ كَالْأَجْنَبِيَّاتِ طَرْدًا وَالزَّوْجَاتِ عَكْسًا.

Jika dikatakan: Ila’ (sumpah tidak menggauli istri) tetap sah darinya dan ia menetapkan masa tunggu jika ia menikahinya kembali. Maka dijawab: Demikian pula wanita asing (ajnabiyyah) menurut kalian, dan sumpah itu menjadi ila’ dengan adanya akad nikah yang baru. Seandainya itu adalah ila’ terhadap istrinya, maka ia akan menetapkan masa tunggu dan diminta setelah empat bulan untuk memberikan bukti atau talak, sebagaimana hal itu berlaku pada istri. Maka batal apa yang mereka katakan tentang sahnya ila’ darinya. Dan setiap orang yang tidak memiliki hak untuk mentalaknya dengan imbalan (badal), maka ia juga tidak memiliki hak untuk mentalaknya tanpa imbalan, sebagaimana wanita-wanita asing secara qiyas, dan sebaliknya pada para istri.

فَإِنْ نُوقِضَ بِالْمَجْنُونَةِ يَصِحُّ طَلَاقُهَا بِغَيْرِ بدل، ولا يصح ببدل لم يصح النقص، لِأَنَّ الْمَجْنُونَةَ لَا يَصِحُّ طَلَاقُ الْخُلْعِ مَعَهَا، وَيَصِحُّ مَعَ وَلِيِّهَا، وَمَعَ أَجْنَبِيٍّ مِنْهَا فَصَارَ طَلَاقُهَا بِالْبَدَلِ صَحِيحًا، وَلِأَنَّ مَنْ لَا يَلْحَقُهَا مَكْنِيُّ الطَّلَاقِ لَمْ يَلْحَقْهَا صَرِيحُهُ، كَالْأَجْنَبِيَّةِ طَرْدًا، وَالزَّوْجَةِ عَكْسًا.

Jika ada yang membantah dengan (kasus) perempuan gila, bahwa talaknya sah tanpa pengganti, dan tidak sah dengan pengganti, maka pengurangan itu tidak sah. Sebab, talak khulu‘ tidak sah pada perempuan gila, namun sah melalui walinya, atau melalui orang lain yang bukan walinya, sehingga talaknya dengan pengganti menjadi sah. Dan karena siapa pun yang tidak terkena kinayah talak, maka tidak terkena pula talak sharih, seperti perempuan asing secara qiyas, dan istri sebaliknya.

فَإِنْ قِيلَ: فَالْكِنَايَةُ أَضْعَفُ مِنَ الصَّرِيحِ فَلَمْ يَلْحَقْهَا كِنَايَةُ طَلَاقٍ لِضَعْفِهِ وَلَحِقَهَا صَرِيحُهُ لِقُوَّتِهِ. قِيلَ: الْكِنَايَةُ مَعَ النِّيَّةِ كَالصَّرِيحِ بِغَيْرِ نِيَّةٍ. فَاسْتَوَيَا فِي الْقُوَّةِ، وَلِأَنَّ مَا أَفَادَ الْفُرْقَةَ فِي الزَّوْجَةِ لَمْ يُفْسِدْهُ فِي الْمُخْتَلِعَةِ كَالْكِنَايَةِ.

Jika dikatakan: Kinayah lebih lemah daripada sharih, maka tidak terkena kinayah talak karena kelemahannya, dan terkena sharih karena kekuatannya. Dijawab: Kinayah dengan niat sama dengan sharih tanpa niat. Maka keduanya setara dalam kekuatan. Dan karena apa yang menyebabkan perpisahan pada istri tidak merusaknya pada wanita yang melakukan khulu‘, seperti kinayah.

فَإِنْ قِيلَ: نِكَاحُ الْمُخْتَلِعَةِ أَضْعَفُ من نكاح الزوجة، فإذا دخل عليها ضعف الْكِنَايَة لَمْ يَعْمَلْ فِيهَا، وَإِنْ عَمِلَ فِي الزَّوْجَةِ، قِيلَ: عَكْسُ هَذَا أَلْزَمُ لِأَنَّهُ إِذَا عَمِلَ أَضْعَفَ، وَأَضْعَفُ الطَّلَاقَيْنِ فِي أَقْوَى النِّكَاحَيْنِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَعْمَلَ فِي أَضْعَفِهِمَا.

Jika dikatakan: Nikah wanita yang melakukan khulu‘ lebih lemah daripada nikah istri, maka jika masuk padanya kelemahan kinayah, tidak berpengaruh padanya, meskipun berpengaruh pada istri. Dijawab: Kebalikannya lebih tepat, karena jika yang lemah saja berpengaruh, maka talak yang lebih lemah pada nikah yang lebih kuat tentu lebih layak berpengaruh pada nikah yang lebih lemah.

فَأَمَّا الِاحْتِجَاجُ بِالْآيَةِ فَلَا دَلِيلَ لَهُمْ فِيهَا، لِأَنَّهُ قال: (الطلاق مرتان) فَجَوَّزَ بَعْدَ الثَّانِيَةِ الْخُلْعَ أَوِ الطَّلَاقَ، وَلَمْ يُجَوِّزْ بَعْدَ الْخُلْعِ، فَلَمْ يَكُنْ فِيهَا دَلِيلٌ. وَأَمَّا الْخَبَرُ فَضَعِيفٌ لِأَنَّهُ لَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، وَإِنَّمَا رَوَاهُ أَبُو يُوسُفَ فِي أَمَالِيهِ مِنْ غَيْرِ إِسْنَادٍ رَفَعَهُ فِيهِ وَمِثْلُ ذَلِكَ لَا يُحْتَجُّ بِهِ، وَقَدْ كَانَ الشَّافِعِيُّ إِذَا ذُكِرَ لَهُ حَدِيثٌ لَا يَعْرِفُهُ قَالَ: ثَبِّتْهُ لِي حَتَّى أَصِيرَ إِلَيْهِ.

Adapun dalil mereka dengan ayat, maka tidak ada dalil bagi mereka di dalamnya, karena Allah berfirman: (Talak itu dua kali), maka setelah talak kedua dibolehkan khulu‘ atau talak, dan tidak dibolehkan setelah khulu‘, sehingga tidak ada dalil di dalamnya. Adapun hadisnya, maka lemah, karena tidak ada seorang pun dari ahli hadis yang meriwayatkannya, hanya Abu Yusuf yang meriwayatkannya dalam Amali-nya tanpa sanad dan ia mengangkatnya, dan yang seperti itu tidak bisa dijadikan hujah. Imam asy-Syafi‘i, jika disebutkan kepadanya hadis yang tidak ia kenal, ia berkata: “Buktikan kepadaku hingga aku bisa mengambilnya.”

عَلَى أَنَّنَا نَتَنَاوَلُ قَوْلَهُ الْمُخْتَلِعَةُ يَلْحَقُهَا الطَّلَاقُ بِأَحَدِ تَأْوِيلَيْنِ: إِمَّا أَنْ يُحْمَلَ عَلَى أَنَّ الْخُلْعَ طَلَاقٌ وَلَيْسَ بِفَسْخٍ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَحَدُ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ، أَوْ يُحْمَلُ عَلَى أَنَّ لَفْظَ الْخُلْعِ بِغَيْرِ بَدَلٍ إِذَا اقْتَرَنَ بِهِ النِّيَّةُ كَانَ طَلَاقًا.

Selain itu, kami memahami perkataannya bahwa wanita yang melakukan khulu‘ terkena talak dengan dua penafsiran: Pertama, bahwa khulu‘ adalah talak dan bukan fasakh, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat asy-Syafi‘i; atau kedua, bahwa lafaz khulu‘ tanpa pengganti jika disertai niat, maka itu menjadi talak.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرَّجْعِيَّةِ فَتِلْكَ زَوْجَةٌ لِأَنَّهُمَا يَتَوَارَثَانِ، وَتَحِلُّ لَهُ بِغَيْرِ نِكَاحٍ، وَيَلْحَقُهَا ظِهَارُهُ وإيلاءه وَلِعَانُهُ وَيَصِحُّ طَلَاقُهَا بِالْكِنَايَةِ وَعَلَى بَدَلٍ، فَجَازَ أَنْ يَلْحَقَهَا صَرِيحُ الطَّلَاقِ بِغَيْرِ بَدَلٍ، وَالْمُخْتَلِعَةُ كَالْأَجْنَبِيَّةِ فِي إِنْفَاءِ هَذِهِ الْأَحْكَامِ عَنْهَا كَذَلِكَ فِي إِنْفَاءِ الطَّلَاقِ.

Adapun qiyās mereka dengan wanita raj‘iyyah, maka ia masih istri, karena keduanya saling mewarisi, ia halal baginya tanpa akad nikah baru, terkena zihar, ila’, dan li‘an darinya, dan talaknya sah dengan kinayah dan dengan pengganti. Maka boleh saja ia terkena talak sharih tanpa pengganti. Adapun wanita yang melakukan khulu‘, ia seperti perempuan asing dalam hilangnya hukum-hukum tersebut darinya, demikian pula dalam hilangnya talak.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْمُكَاتَبِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun istidlal mereka dengan budak mukatab, maka jawabannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عِتْقَ الْمُكَاتَبِ إِبْرَاءٌ وَتَحْرِيرُ الْعِتْقِ يَكُونُ بِالْعَقْدِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُخْتَلِعَةُ.

Pertama: Bahwa pembebasan budak mukatab adalah pembebasan dan pemerdekaan yang terjadi dengan akad, dan tidak demikian halnya dengan wanita yang melakukan khulu‘.

وَالثَّانِي: أَنَّ بَقَاءَ الْمَالِ عَلَى الْمُكَاتَبِ كبقاء الرجعة على المطلقة. لأن يُعْتَقُ بِالصَّرِيحِ وَالْكِنَايَةِ، وَلَوْ قَالَ كُلُّ عَبِيدِي أَحْرَارٌ دَخَلَ فِي جُمْلَتِهِمْ، فَكَذَلِكَ جَازَ أَنْ يَلْحَقَ الْمُكَاتَبَ الْعِتْقُ كَمَا يَلْحَقُ الرَّجْعِيَّةَ الطَّلَاقُ بِالصَّرِيحِ وَالْكِنَايَةِ وَتَدْخُلُ فِي جُمْلَةِ نِسَائِهِ إِنْ طَلَّقَهُنَّ. وَلَا يَلْحَقُ الْمُخْتَلِعَةَ الطَّلَاقُ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا وَلَا يَلْحَقُهَا كِنَايَةُ الطَّلَاقِ وَلَا تُطَلَّقُ لَوْ قَالَ كُلُّ نِسَائِي طَوَالِقُ، فَكَانَ إِلْحَاقُ الْمُكَاتَبِ بِالرَّجْعِيَّةِ فِي الْوُجُوهِ الَّتِي ذَكَرْنَا، أَوْلَى مِنْ إِلْحَاقِهِ بِالْمُخْتَلِعَةِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Bahwa keberadaan harta pada budak mukatab seperti keberadaan masa iddah pada wanita yang ditalak raj‘iyyah. Karena ia bisa dimerdekakan dengan lafaz sharih maupun kinayah, dan jika seseorang berkata, “Semua budakku merdeka,” maka budak mukatab termasuk di dalamnya. Demikian pula, budak mukatab bisa terkena hukum pembebasan sebagaimana wanita raj‘iyyah bisa terkena talak dengan lafaz sharih maupun kinayah, dan ia termasuk dalam kelompok istri-istrinya jika ia menalak mereka. Adapun wanita yang melakukan khulu‘, tidak terkena talak, karena suami tidak memiliki hak rujuk padanya, tidak terkena kinayah talak, dan tidak tertalak jika suami berkata, “Semua istriku tertalak.” Maka, menyamakan budak mukatab dengan wanita raj‘iyyah dalam hal-hal yang telah kami sebutkan lebih utama daripada menyamakannya dengan wanita yang melakukan khulu‘. Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

إِذَا قَالَتِ الْمَرْأَةُ لِزَوْجِهَا: طَلِّقْنِي وَاحِدَةً بِأَلْفٍ، فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً وَطَالِقٌ ثَانِيَةً وَطَالِقٌ ثَالِثَةً. فَإِنْ أَرَادَ بِالْعِوَضِ الطَّلْقَةَ الْأُولَى لَمْ تَقَعِ الثَّانِيَةُ وَالثَّالِثَةُ لِأَنَّهَا مُخْتَلِعَةٌ بِالْأُولَى فَبَانَتْ بِهَا، وَإِنْ أَرَادَ بِالْعِوَضِ الثَّانِيَةَ طُلِّقَتِ الْأَوْلَى وَالثَّانِيَةَ وَلَمْ تَقَعِ الثَّالِثَةُ، وَإِنْ أَرَادَ بِالْعِوَضِ الثَّالِثَةَ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا لِأَنَّ الْخُلْعَ كَانَ بِالثَّالِثَةِ فَوَقَعَ مَا تَقَدَّمَهَا مِنَ الطَّلْقَتَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika seorang wanita berkata kepada suaminya: “Ceraikan aku satu kali dengan imbalan seribu,” lalu suaminya berkata: “Engkau aku ceraikan satu kali, aku ceraikan kedua kali, dan aku ceraikan ketiga kali.” Jika ia bermaksud imbalan itu untuk talak yang pertama, maka talak kedua dan ketiga tidak terjadi, karena talak pertama adalah khulu‘ (cerai tebus) sehingga ia berpisah dengannya, dan jika ia bermaksud imbalan itu untuk talak kedua, maka jatuh talak pertama dan kedua, dan talak ketiga tidak terjadi. Jika ia bermaksud imbalan itu untuk talak ketiga, maka jatuh tiga talak, karena khulu‘ terjadi pada talak ketiga sehingga dua talak sebelumnya juga jatuh bersamanya. Dan Allah lebih mengetahui.

(بَابُ مَا يَقَعُ وَمَا لَا يَقَعُ عَلَى امْرَأَتِهِ مِنَ الطَّلَاقِ وَمِنْ إِبَاحَةِ الطَّلَاقِ وَمِمَّا سمعت منه لفظاً)

(Bab tentang talak yang jatuh dan yang tidak jatuh atas istrinya, tentang kebolehan talak, dan tentang apa yang ia dengar langsung ucapannya)

قال الشافعي رحمه الله: (ولو قال لها أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا فِي كُلِّ سَنَةٍ وَاحِدَةً فَوَقَعَتْ عَلَيْهَا تَطْلِيَقَةٌ ثَمَّ نَكَحَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَجَاءَتْ سَنَةٌ وَهِيَ تَحْتَهُ لَمْ يَقَعْ بِهَا طَلَاقٌ لِأَنَّهَا قَدْ خَلَتْ مِنْهُ وَصَارَتْ فِي حَالٍ لَوْ أَوْقَعَ عَلَيَهَا الطَّلَاقَ لَمْ يَقَعْ وَإِنَمَا صَارَتْ عِنْدَهُ بِنِكَاحٍ جَدِيدٍ فَلَا يَقَعُ فِيهِ طَلَاقُ نِكَاحٍ غَيْرِهِ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ هَذَا أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ مِنْ قَوْلِهِ تُطَلَّقُ كُلَّمَا جَاءَتْ سَنَةٌ وَهِيَ تَحْتَهُ طُلِّقَتْ حتى ينقضي طلاق ذلك الملك (قال المزني) رحمه الله ولا يخلو قوله أنت طالق في كل سنة من أحد ثلاثة معان إما أن يريد في هذا النكاح الذي عقدت فيه الطلاق فقد بطل وحدث غيره فكيف يلزمه وإما أن يريد في غير ملكي فهذا لا يذهب إليه أحد يعقل وليس بشيء وإما أن يريد في نكاح يحدث فقوله لا طلاق قبل النكاح فهذا طلاق قبل النكاح. فتفهم يرحمك الله) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: (Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau aku ceraikan tiga kali, setiap tahun satu kali,” lalu jatuh satu talak atasnya, kemudian ia menikahinya kembali setelah selesai masa ‘iddah, lalu datang satu tahun sementara ia masih menjadi istrinya, maka tidak jatuh talak atasnya, karena ia telah terpisah darinya dan berada dalam keadaan yang jika dijatuhkan talak atasnya tidak akan jatuh, dan ia menjadi istrinya dengan akad nikah yang baru, sehingga tidak berlaku talak dari pernikahan sebelumnya. (Al-Muzani) rahimahullah berkata: Ini lebih sesuai dengan pendapat dasarnya daripada ucapannya bahwa ia dicerai setiap kali datang satu tahun sementara ia masih menjadi istrinya, hingga habis talak dari kepemilikan itu. (Al-Muzani) rahimahullah berkata: Ucapannya “Engkau aku ceraikan setiap tahun” tidak lepas dari tiga makna: Pertama, ia bermaksud dalam pernikahan yang sedang berlangsung, maka jika pernikahan itu batal dan terjadi pernikahan baru, bagaimana bisa talak itu tetap berlaku? Kedua, ia bermaksud dalam kepemilikan selain dirinya, maka tidak ada seorang pun yang berakal yang berpendapat demikian, dan itu tidak berarti apa-apa. Ketiga, ia bermaksud dalam pernikahan yang akan terjadi, maka ucapannya itu adalah talak sebelum akad nikah, dan tidak berlaku talak sebelum akad nikah. Maka pahamilah, semoga Allah merahmatimu).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ مُعَجَّلًا وَمُؤَجَّلًا وَعَلَى صِفَةٍ فَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا فِي كُلِّ سَنَةٍ وَاحِدَةً، فَقَدْ قَرَنَ مَا مَلَكَهُ مِنَ الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ جَعَلَهَا أَجَلًا لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ فِيهَا فَيَكُونُ ابْتِدَاءُ الْأَجَلِ مِنْ وَقْتِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ تُخَالِفُ مُطْلَقَ لَفْظِهِ، لأن الآجال إذا أطلقت تعيين ابْتِدَاؤُهَا مِنْ وَقْتِ إِطْلَاقِهَا كَآجَالِ الْأَثْمَانِ وَالْأَيْمَانِ. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَأَوَّلُ السَّنَةِ الْأُولَى مِنْ وَقْتِ عَقْدِهِ لِلطَّلَاقِ فَإِذَا مَضَى مِنْهَا بَعْدَ عَقْدِهِ جُزْءٌ وَإِنْ قَلَّ طُلِّقَتْ وَاحِدَةً لِوُجُودِ الصِّفَةِ بِدُخُولِ السَّنَةِ، كَقَوْلِهِ: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِذَا دَخَلَتْ أَوَّلَ جُزْءِ الدَّارِ طُلِّقَتْ، وَلَا يَقَعُ عَلَيْهَا فِي السَّنَةِ الْأُولَى إِلَّا طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa talak dapat terjadi secara langsung, tertunda, atau dengan sifat tertentu. Jika seorang laki-laki berkata kepada istrinya: “Engkau aku ceraikan tiga kali, setiap tahun satu kali,” maka ia telah mengaitkan tiga talak yang dimilikinya dalam tiga tahun, menjadikannya sebagai waktu jatuhnya talak. Maka awal waktu itu dimulai sejak ucapannya, jika ia tidak memiliki niat yang berbeda dari makna lafaznya, karena waktu-waktu yang disebutkan secara mutlak, awalnya ditentukan dari saat diucapkan, sebagaimana waktu pembayaran harga dan sumpah. Jika demikian, maka awal tahun pertama dihitung sejak ia mengucapkan talak, dan jika telah berlalu sebagian dari tahun itu, meskipun sedikit, maka jatuh satu talak karena sifatnya telah terpenuhi dengan masuknya tahun, seperti ucapannya: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau aku ceraikan,” maka jika ia masuk ke bagian pertama rumah, ia telah dicerai. Dan tidak jatuh atasnya dalam tahun pertama kecuali satu talak saja.

وَقَالَ مَالِكٌ: تُطَلَّقُ ثَلَاثًا فِي وَقْتِهِ، لِأَنَّ عِنْدَهُ أَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ فِي وَقْتِهِ مُعَجَّلًا وَلَا يَتَأَجَّلُ وَالْكَلَامُ مَعَهُ يَأْتِي.

Imam Malik berkata: Ia dicerai tiga kali sekaligus, karena menurutnya talak jatuh saat diucapkan secara langsung dan tidak bisa ditunda, dan pembahasan dengannya akan dijelaskan.

وَعِنْدَنَا أَنَّهَا لَا تُطَلَّقُ فِي الْمُؤَجَّلِ قَبْلَ حُلُولِ الْأَجَلِ وَتُطَلَّقُ بَعْدَ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنَ السَّنَةِ الْأُولَى طَلْقَةً وَاحِدَةً، وَبَعْدَ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنَ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ طَلْقَةً ثَانِيَةً لِدُخُولِ الْأَجَلِ الثَّانِي الَّذِي قَدْ صَارَ صِفَةً لِلطَّلْقَةِ الثَّانِيَةِ، وَيُطَلَّقُ بَعْدَ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنَ السَّنَةِ الثَّالِثَةِ طَلْقَةً ثَالِثَةً لِدُخُولِ الْأَجَلِ الثَّالِثِ الَّذِي قَدْ صَارَ صِفَةً لِلطَّلْقَةِ الثَّالِثَةِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا بَعْدَ وُقُوعِ الطَّلْقَةِ الْأُولَى عَلَيْهَا بَعْدَ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنَ السَّنَةِ الْأُولَى عِنْه دُخُول السَّنَةِ الثَّانِيَةِ وَالسَّنَةِ الثَّالِثَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Menurut kami, talak tidak jatuh pada waktu yang ditunda sebelum tiba waktunya, dan jatuh satu talak setelah masuk bagian pertama dari tahun pertama, dan setelah masuk bagian pertama dari tahun kedua jatuh talak kedua karena masuknya waktu kedua yang menjadi sifat talak kedua, dan jatuh setelah masuk bagian pertama dari tahun ketiga talak ketiga karena masuknya waktu ketiga yang menjadi sifat talak ketiga. Jika demikian, maka setelah jatuh talak pertama atasnya setelah masuk bagian pertama dari tahun pertama, keadaannya saat masuk tahun kedua dan ketiga tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ زَوْجَةً بِعَقْدِ نِكَاحِهِ هَذَا.

Pertama: Ia masih menjadi istri dengan akad nikah yang sama.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ بَائِنًا مِنْهُ.

Kedua: Ia telah menjadi perempuan yang terpisah (bain) darinya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ بِعَقْدِ نِكَاحٍ جَدِيدٍ.

Ketiga: Ia menjadi istri dengan akad nikah yang baru.

فَإِنْ دَخَلَتِ السَّنَةُ الثَّانِيَةُ وَالسَّنَةُ الثَّالِثَةُ وَهِيَ زَوْجَةٌ بِعَقْدِ نِكَاحِهِ هَذَا، وَذَلِكَ قَدْ يَكُونُ مِنْ أَحَدِ وَجْهَيْنِ: إِمَّا أَنْ يُرَاجِعَهَا بَعْدَ الطَّلْقَةِ الْأُولَى فَتُطَلَّقُ بَعْدَ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنَ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ طَلْقَةً ثَانِيَةً ثُمَّ يُرَاجِعُهَا فَتُطَلَّقُ بَعْدَ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنَ السَّنَةِ الثَّالِثَةِ طَلْقَةً ثَالِثَةً فَيَقَعُ عَلَيْهَا الطَّلَاقُ الثَّلَاثُ فِي السِّنِينَ الثَّلَاثِ، لِأَنَّ الرَّجْعَةَ تَرْفَعُ حَالَ الْعَقْدِ وَتَرْفَعُ تَحْرِيمَ الطَّلَاقِ فَيَصِيرُ عَقْدُ الطَّلَاقِ وَوُجُودُ الصِّفَةِ فِي نِكَاحٍ وَاحِدٍ فلذلك وقع فهذا وجه.

Jika tahun kedua dan tahun ketiga telah masuk sementara ia masih menjadi istri dengan akad nikah yang sama, maka hal itu dapat terjadi dengan dua cara: Pertama, ia merujuk istrinya setelah talak pertama, lalu setelah bagian pertama dari tahun kedua ia mentalaknya lagi untuk kedua kalinya, kemudian ia merujuknya kembali, lalu setelah bagian pertama dari tahun ketiga ia mentalaknya untuk ketiga kalinya. Maka jatuhlah tiga talak atasnya dalam tiga tahun, karena rujuk mengembalikan status akad dan mengangkat larangan talak, sehingga akad talak dan keberadaan sifat (syarat) terjadi dalam satu pernikahan. Oleh karena itu, talak tersebut sah, dan inilah satu sisi (pendapat).

والوجه الثاني: أن لا يُرَاجِعَهَا بَعْدَ الطَّلْقَةِ الْأُولَى، وَلَكِنْ تَطُولُ بِهَا الْعِدَّةُ حَتَّى تَدْخُلَ السَّنَةُ الثَّانِيَةُ فَتُطَلَّقُ بِأَوَّلِ جُزْءٍ مِنْهَا الطَّلْقَةَ الثَّانِيَةَ، لِأَنَّ الْمُعْتَدَّةَ مِنَ الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ زَوْجَةٌ يَلْحَقُهَا الطَّلَاقُ وَالظِّهَارُ وَالْإِيلَاءُ لأنهما يتوارثان فيهما بالزوجية وإن حرم استمتاعه بِهَا كَمَا يَحْرُمُ فِي الْإِحْرَامِ وَبِالظِّهَارِ.

Sisi kedua: Ia tidak merujuk istrinya setelah talak pertama, namun masa iddahnya berlangsung lama hingga memasuki tahun kedua, lalu pada bagian pertama tahun itu ia dijatuhi talak kedua. Sebab, wanita yang menjalani iddah dari talak raj‘i masih berstatus istri yang dapat dijatuhi talak, zihar, dan ila’, karena keduanya masih saling mewarisi sebagai suami istri, meskipun suami diharamkan untuk menikmati istrinya sebagaimana diharamkan dalam ihram dan zihar.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تَدْخُلَ السَّنَةُ الثَّانِيَةُ وَالسَّنَةُ الثَّالِثَةُ وَهِيَ بَائِنٌ مِنْهُ وَذَلِكَ قَدْ يَكُونُ مِنْ أَحَدِ وَجْهَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ طَلَّقَهَا فِي السَّنَةِ الْأُولَى بَعْدَ الطَّلْقَةِ الْأُولَى طَلْقَتَيْنِ فَاسْتَكْمَلَ طَلَاقَهَا ثَلَاثًا فَلَا تُطَلَّقُ بِدُخُولِ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ وَإِنْ كَانَتْ فِي عِدَّتِهَا لِاسْتِيفَاءِ مَا مَلَكَهُ مِنْ طَلَاقِهَا.

Adapun bagian kedua: yaitu jika tahun kedua dan tahun ketiga telah masuk sementara ia telah menjadi bain (berpisah secara mutlak) darinya. Hal ini dapat terjadi dengan dua cara: Pertama, ia telah mentalaknya dua kali setelah talak pertama pada tahun pertama, sehingga sempurnalah tiga talak atas istrinya. Maka ia tidak lagi dijatuhi talak dengan masuknya tahun kedua dan ketiga, meskipun ia masih dalam masa iddah, karena suami telah menggunakan seluruh hak talaknya.

وَإِمَّا بِأَنْ تَقْضِيَ عِدَّتَهَا مِنَ الطَّلْقَةِ الْأُولَى فِي السَّنَةِ الْأُولَى فَتَدْخُلُ السَّنَةُ الثَّانِيَةُ وَالسَّنَةُ الثَّالِثَةُ وَهِيَ غَيْرُ زَوْجَةٍ فَلَا تُطَلَّقُ بِدُخُولِهَا، لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ أَجْنَبِيَّةً وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ لَا أَعْرِفُ فِيهِ خِلَافًا إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ بَكْرِ بْنِ الْأَشَجِّ أَنَّهَا تُطَلَّقُ بِدُخُولِ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ.

Atau, ia telah menyelesaikan masa iddahnya dari talak pertama pada tahun pertama, lalu memasuki tahun kedua dan ketiga dalam keadaan bukan lagi sebagai istri, maka ia tidak dijatuhi talak dengan masuknya tahun-tahun itu, karena dengan berakhirnya iddah ia telah menjadi perempuan asing (ajnabiyyah). Ini adalah pendapat jumhur fuqaha, dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat kecuali riwayat dari Bakr bin al-Asyajj yang mengatakan bahwa ia tetap dijatuhi talak dengan masuknya tahun kedua dan ketiga.

وَإِنْ كَانَتْ بَائِنًا مِنْهُ، لِأَنَّ عَقْدَ طَلَاقِهَا كَانَ وَهِيَ زَوْجَةٌ وَيَكُونُ تَأْثِيرُهُ أَن لا تَحِلَّ لَهُ إِلَّا بِزَوْجٍ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّهَا فِي حَالٍ لَوْ بَاشَرَهَا بِالطَّلَاقِ الْمُعَجَّلِ لَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا، فَإِذَا صَادَفَهَا طَلَاقٌ مُؤَجَّلٌ فَأَوْلَى أَن لا يَقَعَ عَلَيْهَا وَلِأَنَّ الصِّفَةَ بِدُخُولِ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ قَدْ تَأْتِي وَهِيَ زَوْجَةٌ لِغَيْرِهِ فَتُطَلَّقُ تَحْتَ زَوْجٍ مِنْ غَيْرِهِ وَرُبَّمَا طَلَّقَهَا زَوْجُهَا فَتَصِيرُ طَالِقًا مِنْ زَوْجَيْنِ، وَهَذَا مُسْتَحِيلٌ.

Jika ia telah menjadi bain darinya, karena akad talaknya terjadi saat ia masih menjadi istri dan pengaruhnya adalah ia tidak halal lagi baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain, maka ini adalah kekeliruan. Sebab, dalam keadaan tersebut, jika suami menjatuhkan talak mu‘ajjal (langsung) kepadanya, talak itu tidak jatuh atasnya. Maka jika sifat (syarat) talak mu‘allaq (talak yang digantungkan pada syarat) terjadi pada saat ia bukan lagi istri, lebih utama lagi talak itu tidak jatuh atasnya. Selain itu, sifat berupa masuknya tahun kedua dan ketiga bisa saja terjadi saat ia menjadi istri orang lain, sehingga ia bisa dijatuhi talak oleh suami lain, dan mungkin saja suaminya yang baru juga mentalaknya, sehingga ia menjadi talak dari dua suami, dan ini adalah hal yang mustahil.

وَلِأَنَّهُ لَوْ عَلَّقَ عِتْقَ عَبْدِهِ بِصِفَةٍ ثُمَّ بَاعَهُ ثُمَّ وُجِدَتِ الصِّفَةُ لَمْ يُعْتَقْ وَإِنْ عَقَدَهَا فِي مِلْكِهِ فَكَذَلِكَ الزَّوْجَةُ.

Selain itu, jika seseorang menggantungkan pembebasan budaknya pada suatu sifat (syarat), lalu ia menjual budak itu, kemudian sifat tersebut terjadi, maka budak itu tidak menjadi merdeka, meskipun syarat itu diikrarkan saat budak masih dalam kepemilikannya. Demikian pula halnya dengan istri.

وَفِيهِ رَدٌّ عَمَّا تَعَلَّقَ بِهِ.

Dan dalam hal ini terdapat bantahan terhadap apa yang dijadikan sandaran oleh pihak yang berpendapat demikian.

وَإِذَا لَمْ يَلْحَقْهَا الطَّلَاقُ فَلَوْ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ السَّنَةِ الثَّالِثَةِ لَمْ يطلق بِدُخُولِ مَا بَعْدَهَا مِنَ السِّنِينَ لِأَنَّ مَا بَعْدَ الثَّالِثَةِ لَمْ يُجْعَلْ أَجَلًا لِطَلَاقِهَا وَلَا صِفَةً فِيهِ وَلِذَلِكَ تَوَصَّلْنَا بِالْخُلْعِ إِلَى رَفْعِ مَا عَلَّقَ بِهِ مِنَ الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ مِنَ الشُّرُوطِ وَالصِّفَاتِ مِثْلَ أَنْ يَقُولَ لَهَا: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ وَإِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا، فَلَا تَجِدُ بُدًّا مِنْ دُخُولِ الدَّارِ، ومن كلام زيد، فيخالفها عَلَى طَلْقَةٍ ثُمَّ تَدْخُلُ الدَّارَ وَتُكَلِّمُ زَيْدًا وَهِيَ فِي الْعِدَّةِ فَلَا تُطَلَّقُ، لِأَنَّهَا مُخْتَلِعَةٌ بَائِنٌ، وَالْمُخْتَلِعَةُ لَا يَلْحَقُهَا طَلَاقٌ، ثُمَّ يَسْتَأْنِفُ الْعَقْدَ عَلَيْهَا مِنْ وَقْتِهِ إِنْ شَاءَ وَهِيَ فِي الْعِدَّةِ فَإِذَا دَخَلَتْ بَعْدَ أَنْ تَزَوَّجَهَا الدَّارَ وَكَلَّمَتْ زَيْدًا لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ الصِّفَةَ إِذَا لَمْ يَقَعْ بِهَا الطَّلَاقُ عِنْدَ وُجُودِهَا سَقَطَتْ فَلَمْ يَكُنْ لَهَا بَعْدَ ذَلِكَ حُكْمٌ.

Dan apabila talak tidak lagi terkait dengannya, maka jika ia menikahinya kembali setelah tahun ketiga, talak tidak jatuh dengan masuknya tahun-tahun berikutnya, karena tahun-tahun setelah yang ketiga tidak dijadikan sebagai batas waktu untuk talaknya, juga tidak sebagai sifat dalam hal itu. Oleh karena itu, kami menggunakan khulu‘ untuk menghilangkan syarat dan sifat yang digantungkan padanya berupa talak tiga, seperti jika ia berkata kepadanya: “Jika engkau masuk ke rumah, dan jika engkau berbicara dengan Zaid, maka engkau tertalak tiga.” Maka ia tidak dapat menghindari masuk ke rumah dan berbicara dengan Zaid. Lalu ia melakukan khulu‘ dengan satu talak, kemudian ia masuk ke rumah dan berbicara dengan Zaid saat masih dalam masa ‘iddah, maka talak tidak jatuh, karena ia adalah wanita yang dikhulu‘ secara bain, dan wanita yang dikhulu‘ tidak terkena talak. Kemudian, jika ia mau, ia dapat memperbarui akad nikah dengannya sejak saat itu, meskipun masih dalam masa ‘iddah. Maka jika setelah menikahinya kembali ia masuk ke rumah dan berbicara dengan Zaid, talak tidak jatuh, karena sifat (syarat) tersebut, apabila talak tidak jatuh ketika sifat itu terjadi, maka sifat itu gugur dan tidak lagi memiliki hukum setelah itu.

وَهَذَا مِمَّا وَافَقَنَا عَلَيْهِ أَبُو حَنِيفَةَ.

Dan hal ini disetujui oleh Abu Hanifah.

وَقَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَأَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا: إِنَّ وُجُودَ الصِّفَةِ بَعْدَ الْخُلْعِ لَا يُسْقِطُهَا، وَأنَّ الْخُلْعَ لَا تَأْثِيرَ لَهُ فِي رَفْعِ الصِّفَاتِ وإِذَا وُجِدَتْ فِي النِّكَاحِ. قَالُوا لِأَنَّ قَوْلَهُ: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَوُجُودُ الزَّوْجَةِ مُضْمَرٌ فِي الصِّفَةِ وَتَقْدِيرُ كَلَامِهِ: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ وَأَنْتِ زَوْجَةٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَصَارَتِ الصِّفَةُ مُفِيدَةً بِشَرْطٍ فَإِذَا وُجِدَتْ مَعَ عَدَمِ الشَّرْطِ لَمْ يَسْقُطْ عِنْدَ وُجُودِ الشَّرْطِ كَمَا لَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ صَائِمَةً فَأَنْتِ طَالِقٌ فَدَخَلَتْهَا مُفْطِرَةً لَمْ تَسْقُطِ الصِّفَةُ، وَطُلِّقَتْ إِذَا دَخَلَتْهَا مِنْ بَعْدُ وَهِيَ صَائِمَةٌ.

Sedangkan Malik, Ahmad bin Hanbal, dan Abu Sa‘id al-Istakhri dari kalangan ulama kami berpendapat: keberadaan sifat (syarat) setelah khulu‘ tidak menggugurkannya, dan khulu‘ tidak berpengaruh dalam menghapus sifat-sifat tersebut. Jika sifat itu ditemukan dalam pernikahan, mereka berkata: Karena ucapannya, “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” maka keberadaan istri tersirat dalam sifat tersebut, dan maksud ucapannya adalah: “Jika engkau masuk ke rumah dan engkau adalah istri, maka engkau tertalak.” Maka sifat itu menjadi bermakna dengan syarat, sehingga jika sifat itu terjadi tanpa adanya syarat, sifat itu tidak gugur ketika syaratnya ada. Sebagaimana jika ia berkata kepadanya: “Jika engkau masuk ke rumah dalam keadaan berpuasa, maka engkau tertalak,” lalu ia masuk ke rumah dalam keadaan tidak berpuasa, maka sifat itu tidak gugur, dan ia tertalak jika kemudian ia masuk ke rumah dalam keadaan berpuasa.

وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ إِضْمَارَ الصِّفَاتِ لَا يُعْتَمَدُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، وَلَا أَنْ يُعْتَدَّ الْمَشْرُوط بِالْعُرْفِ وَالْعَادَةِ. أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَدَخَلَتْهَا زَحْفًا أَوْ حَبْوًا طُلِّقَتْ، وَإِنْ كَانَ دُخُولًا يُخَالِفُ الْعَادَةَ، وَلَمْ يَجْعَلِ الْعَادَةَ بِدُخُولِهَا مَشْيًا شَرْطًا فِي الصِّفَةِ الَّتِي يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ كَذَلِكَ فِي مَسْأَلَتِنَا.

Dan ini adalah kekeliruan, karena penyisipan sifat-sifat tidak dapat dijadikan sandaran dalam hukum lahiriah, dan tidak pula sesuatu yang disyaratkan berdasarkan adat dan kebiasaan dapat dianggap sah. Tidakkah engkau melihat, jika ia berkata kepadanya: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” lalu ia masuk ke rumah dengan merangkak atau merayap, maka talak tetap jatuh, meskipun cara masuknya tidak sesuai kebiasaan, dan ia tidak menjadikan kebiasaan masuk dengan berjalan kaki sebagai syarat dalam sifat yang menyebabkan jatuhnya talak. Demikian pula dalam permasalahan kita ini.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ تَدْخُلَ السَّنَةُ الثَّانِيَةُ وَالثَّالِثَةُ وَهِيَ زَوْجَةٌ بِنِكَاحٍ جَدِيدٍ إِمَّا أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا مِنَ الطَّلْقَةِ الْأُولَى فَيَسْتَأْنِفَ نِكَاحَهَا قَبْلَ الثَّانِيَةِ. وَإِمَّا بِأَنْ يُكْمِلَ طَلَاقَهَا ثَلَاثًا وَتَسْتَحِلَّ بِزَوْجٍ ثُمَّ يَعُودُ فَيَتَزَوَّجُهَا قَبْلَ الثَّانِيَةِ فَهَلْ يَقَعُ الطَّلَاقُ بِوُجُودِ الصِّفَةِ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي أَمْ لَا؟ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ النِّكَاحِ الْأَوَّلِ، فَإِنْ زَالَ بِطَلَاقٍ دُونَ الثَّلَاثِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ وَأَحَدِ قَوْلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ إن الطَّلَاقَ يَقَعُ بِوُجُودِ الصِّفَةِ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي فَتُطَلَّقُ بِأَوَّلِ جُزْءٍ مِنَ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ طَلْقَةً ثَانِيَةً بِأَوَّلِ جُزْءٍ وَمِنَ السَّنَةِ الثَّالِثَةِ طَلْقَةً ثَالِثَةً.

Adapun bagian ketiga: yaitu jika ia memasuki tahun kedua dan ketiga dalam keadaan masih menjadi istri dengan akad nikah yang baru, baik karena masa ‘iddahnya dari talak pertama telah selesai lalu ia menikahinya kembali sebelum tahun kedua, atau karena talaknya telah sempurna tiga kali lalu ia menjadi halal dengan menikah dengan suami lain, kemudian ia kembali dan menikahinya sebelum tahun kedua. Maka, apakah talak jatuh dengan terjadinya sifat (syarat) dalam pernikahan kedua atau tidak? Hal ini dikaitkan dengan keadaan pernikahan pertama. Jika pernikahan pertama berakhir dengan talak kurang dari tiga, maka menurut mazhab Syafi‘i dalam pendapat lama dan salah satu dari dua pendapat dalam pendapat baru, talak jatuh dengan terjadinya sifat dalam pernikahan kedua, sehingga pada awal tahun kedua jatuh talak kedua, dan pada awal tahun ketiga jatuh talak ketiga.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: فِي الْجَدِيدِ إنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ بِوُجُودِ الصِّفَةِ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي لِأَنَّهَا لَا تُطَلَّقُ بِدُخُولِ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ وإن زال النكاح الأول بالطلاق الثلاث فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ إنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ.

Pendapat kedua, dalam pendapat baru, bahwa talak tidak jatuh dengan terjadinya sifat dalam pernikahan kedua, karena ia tidak tertalak dengan masuknya tahun kedua dan ketiga. Dan jika pernikahan pertama berakhir dengan talak tiga, maka menurut mazhab Syafi‘i dalam pendapat baru dan salah satu dari dua pendapat dalam pendapat lama, talak tidak jatuh.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: فِي الْقَدِيمِ إنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ فَكَانَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ فِي الْقَدِيمِ أَقْوَى مِنْهُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ وَوُقُوعُهُ مَعَ زَوَالِ النِّكَاحِ الْأَوَّلِ بِدُونِ الثَّلَاثِ أَقْوَى مِنْ وُقُوعِهِ إِنْ زَالَ بِالثَّلَاثِ.

Pendapat kedua: Dalam pendapat lama, talak dianggap jatuh, sehingga jatuhnya talak menurut dua pendapat dalam pendapat lama lebih kuat dibandingkan dengan pendapatnya dalam pendapat baru. Dan jatuhnya talak bersamaan dengan hilangnya pernikahan pertama tanpa tiga (talak) lebih kuat daripada jatuhnya jika hilang dengan tiga (talak).

وَقَدْ يَخْرُجُ وُقُوعُ الطَّلَاقِ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:

Jatuhnya talak dalam pernikahan kedua dapat keluar pada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا يَقَعُ سَوَاءٌ كَانَ الطَّلَاقُ الْأَوَّلُ ثَلَاثًا أَوْ دُونَهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ.

Salah satunya: Bahwa talak tidak jatuh, baik talak pertama itu tiga atau kurang dari tiga, dan ini adalah mazhab al-Muzani.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَقَعُ سَوَاءٌ كَانَ الْأَوَّلُ ثَلَاثًا أَوْ دُونَهَا وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ.

Pendapat kedua: Bahwa talak jatuh, baik yang pertama itu tiga atau kurang dari tiga, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَقَعُ إِنْ كَانَ الْأَوَّلُ أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ وَلَا يَقَعُ إِنْ كَانَ ثَلَاثًا.

Pendapat ketiga: Bahwa talak jatuh jika yang pertama kurang dari tiga, dan tidak jatuh jika yang pertama tiga.

فَإِذَا قِيلَ بِالْأَوَّلِ إِنَّهُ لَا يَقَعُ فَوَجْهُهُ قول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (لا طلاق قبل النكاح) وَهَذَا طَلَاقٌ قَبْلَ نِكَاحٍ. وَلِأَنَّ مَقْصُودَ عَقْدِ الطَّلَاقِ قَبْلَ النِّكَاحِ يَمْنَعُ مِنْ وُقُوعِهِ فِي النِّكَاحِ كَمَا لَوْ عَقَدَهُ فِي أَجْنَبِيَّةٍ، وَلِأَنَّ زَوَالَ النِّكَاحِ الْأَوَّلِ يَجِبُ ارْتِفَاعُ أَحْكَامِهِ وَعَقْدُ الطَّلَاقِ مِنْ أَحْكَامِهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَبْقَى بَعْدَ ارْتِفَاعِهِ وَلِمَا ذَكَرَهُ الْمُزَنِيُّ. وَإِنْ قِيلَ بِالثَّانِي إنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ فَوَجْهُهُ أَنَّ عَقْدَ الطَّلَاقِ وَوُجُودَ صِفَتِهِ كَانَا مَعًا فِي مِلْكِهِ وَنِكَاحِهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَقَعَ كَمَا لَوْ كَانَا فِي نِكَاحٍ وَاحِدٍ، وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ مُعْتَبَرٌ بِحَالَيْنِ عَقْدِهِ وَوُقُوعِهِ وَلَا اعْتِبَارَ بِمَا تَخَلَّلَهُمَا مِنْ أَحْوَالِ الْمَنْعِ كَالْعَاقِدِ لِلطَّلَاقِ فِي صِحَّتِهِ إِذَا وُجِدَتْ صِفَتُهُ بَعْدَ جُنُونِهِ لَمْ يَمْنَعْ وُقُوعُهُ كَذَلِكَ هَذَا.

Jika dikatakan dengan pendapat pertama bahwa talak tidak jatuh, maka alasannya adalah sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Tidak ada talak sebelum nikah,” dan ini adalah talak sebelum nikah. Karena maksud dari akad talak sebelum nikah mencegah jatuhnya talak dalam pernikahan, sebagaimana jika ia mengakadkan talak pada wanita asing (bukan istrinya). Dan karena hilangnya pernikahan pertama mengharuskan hilangnya hukum-hukumnya, sedangkan akad talak termasuk hukum-hukumnya, maka tidak boleh tetap setelah hilangnya (pernikahan), dan juga sebagaimana yang disebutkan oleh al-Muzani. Dan jika dikatakan dengan pendapat kedua bahwa talak jatuh, maka alasannya adalah bahwa akad talak dan adanya sifatnya terjadi bersamaan dalam kepemilikannya dan pernikahannya, sehingga mengharuskan jatuhnya talak sebagaimana jika keduanya terjadi dalam satu pernikahan. Dan karena talak itu dipertimbangkan pada dua keadaan: akad dan jatuhnya, dan tidak dipertimbangkan keadaan-keadaan penghalang yang terjadi di antara keduanya, seperti orang yang mengakadkan talak dalam keadaan sehat, lalu sifatnya (syaratnya) terjadi setelah ia gila, maka tidak menghalangi jatuhnya talak, demikian pula dalam hal ini.

وَإِذَا قِيلَ بِالثَّالِثِ إنَّهُ يَعُودُ إِنِ ارْتَفَعَ بِدُونِ الثَّلَاثِ وَلَا يَعُودُ إِنِ ارْتَفَعَ بِالثَّلَاثِ فَوَجْهُهُ أَنَّ ارْتِفَاعَهُ بِدُونِ الثَّلَاثِ مُوجِبٌ لِبَقَايَا أَحْكَامِهِ مِنْ عَدَمِ الطَّلَاقِ فَأَوْجَبَ بَقَاءَ عَقْدِهِ بِالطَّلَاقِ وَإِذَا ارْتَفَعَ بِالثَّلَاثِ لَمْ يَبْقَ لَهُ حُكْمٌ مِنْ عَدَدِ الطَّلَاقِ فَلَمْ يَبْقَ لَهُ حُكْمٌ فِي الطَّلَاقِ.

Dan jika dikatakan dengan pendapat ketiga bahwa talak kembali jika pernikahan pertama hilang tanpa tiga (talak), dan tidak kembali jika hilang dengan tiga (talak), maka alasannya adalah bahwa hilangnya pernikahan dengan kurang dari tiga menyebabkan sisa hukum-hukumnya tetap, yaitu tidak jatuhnya talak, sehingga menyebabkan tetapnya akad talak. Dan jika hilang dengan tiga, maka tidak tersisa lagi hukumnya dari jumlah talak, sehingga tidak tersisa lagi hukumnya dalam talak.

وَعَلَى هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ الثَّلَاثَةِ فِي الطَّلَاقِ يَكُونُ حُكْمُ الظِّهَارِ وَالْإِيلَاءِ إِذَا عَقَدَهُ بِشَرْطٍ فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ فَوُجِدَ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي فَإِنْ قُلْنَا بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ فِيهِ ثَبَتَ فِيهِ الظِّهَارُ وَالْإِيلَاءُ وَإِنْ قُلْنَا: لَا يَقَعُ فِيهِ الطَّلَاقُ لَمْ يَثْبُتْ فِيهِ الظِّهَارُ وَالْإِيلَاءُ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي خَصَائِصِ النِّكَاحِ فَأَمَّا الْمُعْتِقُ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ لِعَبْدِهِ: إِذَا دَخَلْتَ الدَّارَ فَأَنْتَ حُرٌّ ثُمَّ يَبِيعُهُ وَيَشْتَرِيهِ وَيَدْخُلُ الدَّارَ بَعْدَ الشِّرَاءِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي بَيْعِهِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ أَمْ مَجْرَى الثَّلَاثِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Berdasarkan tiga pendapat ini dalam masalah talak, maka hukum zhihār dan ila’ juga berlaku jika ia mengakadkannya dengan syarat dalam pernikahan pertama, lalu syarat itu terjadi dalam pernikahan kedua. Jika kita mengatakan talak jatuh dalam hal itu, maka zhihār dan ila’ juga tetap berlaku. Dan jika kita mengatakan talak tidak jatuh dalam hal itu, maka zhihār dan ila’ juga tidak tetap berlaku, karena ketiganya sama-sama merupakan kekhususan dalam pernikahan. Adapun masalah memerdekakan budak, yaitu jika seseorang berkata kepada budaknya: “Jika kamu masuk ke rumah, maka kamu merdeka,” lalu ia menjual budak itu, kemudian membelinya kembali, lalu budak itu masuk ke rumah setelah pembelian, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam masalah penjualannya, apakah hukumnya seperti talak raj‘i atau seperti talak tiga, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الرَّجْعِيِّ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُ شِرَاءَهُ بِغَيْرِ شَرْطٍ، فَأَشْبَهَ نِكَاحَ الرَّجْعِيَّةِ فَعَلَى هَذَا يُعْتَقُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ وَفِي الْجَدِيدِ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Salah satunya: Bahwa hukumnya seperti talak raj‘i, karena ia masih memiliki hak untuk membeli tanpa syarat, sehingga menyerupai pernikahan raj‘i. Berdasarkan hal ini, budak itu menjadi merdeka menurut pendapatnya dalam pendapat lama, dan dalam pendapat baru ada dua pendapat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الثَّلَاثِ لِأَنَّهُ لَمْ يَبْقَ لِلْمِلْكِ الْأَوَّلِ حُكْمٌ فَعَلَى هَذَا لَا يُعْتَقُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ وَالْقَدِيمِ عَلَى قَوْلَيْنِ والله أعلم.

Pendapat kedua: Bahwa hukumnya seperti talak tiga, karena tidak ada lagi hukum bagi kepemilikan yang pertama. Berdasarkan hal ini, budak itu tidak menjadi merdeka menurut pendapatnya dalam pendapat baru, dan dalam pendapat lama ada dua pendapat. Allah Maha Mengetahui.

(باب الطلاق قبل النكاح من الإملاء على مسائل ابن القاسم ومن مسائل شتى سمعتها لفظاً)

(Bab Talak Sebelum Nikah, dari imlā’ (dikte) atas masalah-masalah Ibn al-Qāsim dan dari berbagai masalah lain yang aku dengar secara langsung)

قال الشافعي رحمه الله: (ولو قال كل امْرَأَةٍ أَتَزَوَّجُهَا طَالِقٌ أَوِ امْرَأَةٌ بِعَيْنِهَا أَوْ لِعَبْدٍ إِنْ مَلَكْتُكَ حُرٌّ فَتَزَوَّجَ أَوْ مَلَكَ لَمْ يَلْزَمْهُ شَيْءٌ لِأَنَّ الْكَلَامَ الَّذِي لَهُ الحكم كان وهو غير مالك فبطل (قال المزني) رحمه الله ولو قال لامرأة لا يملكها أنت طالق الساعة لم تطلق فهي بعد مدة أبعد فإذا لم يعمل القوي فالضعيف أولى أن لا يعمل (قال المزني) رحمه الله وأجمعوا أنه لا سبيل إلى طلاق من لم يملك للسنة المجمع عليها فهي من أن تطلق ببدعة أو على صفة أبعد) .

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Setiap wanita yang aku nikahi, maka dia tertalak,’ atau menunjuk seorang wanita tertentu, atau berkata kepada seorang budak, ‘Jika aku memilikinya, maka engkau merdeka,’ lalu ia menikah atau memiliki budak tersebut, maka tidak ada sesuatu pun yang wajib baginya. Sebab, ucapan yang memiliki konsekuensi hukum itu diucapkan saat ia belum menjadi pemilik, sehingga batal (tidak berlaku).” Al-Muzani rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata kepada seorang wanita yang bukan miliknya, ‘Engkau tertalak saat ini,’ maka wanita itu tidak tertalak, apalagi setelah beberapa waktu berlalu. Jika yang kuat saja tidak berlaku, maka yang lemah lebih utama untuk tidak berlaku.” Al-Muzani rahimahullah berkata: “Para ulama sepakat bahwa tidak ada jalan untuk menalak wanita yang belum dimiliki, berdasarkan sunnah yang telah disepakati. Maka, menalak dengan cara bid‘ah atau dengan sifat tertentu lebih jauh lagi dari keabsahan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي عَقْدِ الطَّلَاقِ قَبْلَ النِّكَاحِ هَلْ يَصِحُّ أَمْ لَا عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Al-Mawardi berkata: Para fuqaha berbeda pendapat mengenai akad talak sebelum pernikahan, apakah sah atau tidak, menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ عَقْدُ الطَّلَاقِ قَبْلَ النِّكَاحِ لَا فِي الْعُمُومِ وَلَا فِي الْخُصُوصِ وَلَا فِي الْأَعْيَانِ.

Pertama, yaitu mazhab asy-Syafi‘i, bahwa tidak sah akad talak sebelum pernikahan, baik secara umum, khusus, maupun pada individu tertentu.

فَالْعُمُومُ أَنْ يَقُولَ: كُلُّ امْرَأَةٍ أَتَزَوَّجُهَا فَهِيَ طَالِقٌ.

Adapun yang dimaksud umum adalah jika seseorang berkata: “Setiap wanita yang aku nikahi, maka dia tertalak.”

وَالْخُصُوصُ أَنْ يَقُولَ: كُلُّ امْرَأَةٍ أتزوجها من بني تميم مِنْ أَهْلِ الْبَصْرَةِ فَهِيَ طَالِقٌ.

Sedangkan khusus adalah jika seseorang berkata: “Setiap wanita dari Bani Tamim yang aku nikahi dari penduduk Bashrah, maka dia tertalak.”

وَالْأَعْيَانُ أَنْ يَقُولَ لِامْرَأَةٍ بِعَيْنِهَا: إِنْ تَزَوَّجْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ.

Adapun pada individu tertentu adalah jika seseorang berkata kepada seorang wanita tertentu: “Jika aku menikahimu, maka engkau tertalak.”

فَلَا يَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ إِذَا تَزَوَّجَ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ، وَهَكَذَا الْعِتْقُ قَبْلَ الْمِلْكِ فِي الْعُمُومِ وَالْخُصُوصِ وَالْأَعْيَانِ لَا يَقَعُ بِحَالٍ، وَبِهَذَا قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَعَطَاءٌ، وَفِي الْفُقَهَاءِ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.

Maka, talak tidak menjadi wajib baginya jika ia menikah dalam keadaan-keadaan ini. Demikian pula halnya dengan pembebasan budak sebelum kepemilikan, baik secara umum, khusus, maupun pada individu tertentu, tidak berlaku dalam keadaan apa pun. Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat seperti ‘Ali bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin ‘Abbas, serta dari kalangan tabi‘in seperti Sa‘id bin al-Musayyab, Sa‘id bin Jubair, dan ‘Atha’, serta dari kalangan fuqaha seperti Ahmad dan Ishaq.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّ الطَّلَاقَ يَنْعَقِدُ قَبْلَ النِّكَاحِ فِي الْعُمُومِ وَالْخُصُوصِ وَالْأَعْيَانِ وَبِهِ قَالَ الشَّعْبِيُّ وَالنَّخَعِيُّ والثوري.

Mazhab kedua, yaitu pendapat Abu Hanifah, bahwa talak dapat diakadkan sebelum pernikahan, baik secara umum, khusus, maupun pada individu tertentu. Pendapat ini juga dikatakan oleh asy-Sya‘bi, an-Nakha‘i, dan ats-Tsauri.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ إنَّ الطَّلَاقَ يَنْعَقِدُ قَبْلَ النِّكَاحِ فِي الْخُصُوصِ وَالْأَعْيَانِ وَلَا يَنْعَقِدُ فِي الْعُمُومِ إِذَا قَالَ: كُلُّ امْرَأَةٍ أَتَزَوَّجُهَا فَهِيَ طَالِقٌ، لِأَنَّهُ يَصِيرُ بِذَلِكَ مُحَرِّمًا لِمَا أَحَلَّهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ النِّكَاحِ، وَلَا يَصِيرُ الْخُصُوصُ وَالْأَعْيَانُ مُحَرِّمًا لِلنِّكَاحِ، لِأَنَّهُ قَدْ يستبح نِكَاحَ مَنْ لَمْ يُحَصِّنْهَا وَيَعْنِيهَا وَبِهِ قَالَ رَبِيعَةُ وَالْأَوْزَاعِيُّ.

Mazhab ketiga, yaitu pendapat Malik, bahwa talak dapat diakadkan sebelum pernikahan dalam hal khusus dan individu tertentu, namun tidak sah secara umum, seperti jika seseorang berkata: “Setiap wanita yang aku nikahi, maka dia tertalak.” Sebab, dengan demikian ia telah mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah Ta‘ala berupa pernikahan. Adapun khusus dan individu tertentu tidak mengharamkan pernikahan, karena bisa jadi ia menikahi wanita yang belum ia tentukan atau maksudkan. Pendapat ini juga dikatakan oleh Rabi‘ah dan al-Auza‘i.

قَالَ الرَّبِيعُ: وَذَكَرَ الشَّافِعِيُّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ فِي الْأَمَالِي وَحَكَى خِلَافَ النَّاسِ فِيهَا فَقُلْتُ فَمَا تَقُولُ أَنْتَ فِيهَا فَقَالَ أَنَا مُتَوَقِّفٌ.

Ar-Rabi‘ berkata: Asy-Syafi‘i menyebutkan masalah ini dalam kitab al-Amali dan meriwayatkan adanya perbedaan pendapat di antara manusia tentangnya. Maka aku bertanya, “Apa pendapatmu dalam masalah ini?” Beliau menjawab, “Aku berhenti (tidak berpendapat).”

وَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَوْلٍ آخَرَ لِأَنَّهُ قَدْ صَرَّحَ بِأَنَّهُ لَا يَقَعُ.

Dan itu bukanlah pendapat lain, karena beliau telah menegaskan bahwa talak tersebut tidak jatuh (tidak berlaku).

وَاسْتَدَلُّوا عَلَى عَقْدِهِ قَبْلَ النِّكَاحِ، وَوُقُوعِهِ بَعْدَ النِّكَاحِ بِأَنَّ الطَّلَاقَ يَصِحُّ بِالْغَرَرِ وَالْجَهَالَةِ فَصَحَّ عَقْدُهُ فِي غَيْرِ مِلْكٍ وَإِذَا أُضِيفَ إِلَى الْمِلْكِ كَالْوَصِيَّةِ وَالنَّذْرِ.

Mereka berdalil atas sahnya akad talak sebelum pernikahan dan jatuhnya setelah pernikahan, bahwa talak sah dilakukan dalam keadaan gharar (ketidakjelasan) dan jahalah (ketidaktahuan), sehingga sah pula akadnya dalam keadaan belum memiliki (belum menjadi suami), dan jika dikaitkan dengan kepemilikan, seperti wasiat dan nadzar.

وَبَيَانُهُ أَنَّ الْغَرَرَ فِي الطَّلَاقِ أَنْ يَقُولَ: إِنْ قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ، لِأَنَّهُ قَدْ يَقْدُمُ وَقَدْ لَا يَقْدُمُ، وَالْجَهَالَةُ فِيهِ أَنْ يَقُولَ إِحْدَى نِسَائِي طَالِقٌ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالطَّلَاقِ مجهولة.

Penjelasannya, gharar dalam talak adalah jika seseorang berkata: “Jika Zaid datang, maka engkau tertalak,” karena bisa jadi Zaid datang dan bisa jadi tidak. Sedangkan jahalah dalam talak adalah jika seseorang berkata: “Salah satu istriku tertalak,” karena yang dimaksud dalam talak itu tidak diketahui.

والغررفي الْوَصِيَّةِ أَنْ يُوصِيَ بِحَمْلٍ أَوْ نَاقَةٍ أَوْ ثَمَرَةٍ أَوْ شَجَرَةٍ وَالْجَهَالَةُ فِيهَا أَنْ يُوصِيَ بِأَحَدِ عَبِيدِهِ ثُمَّ يَثْبُتُ أَنَّ الْوَصِيَّةَ تَنْعَقِدُ فِي غَيْرِ مِلْكٍ وَهُوَ أَنْ يُوصِيَ بِثُلُثِ مَالِهِ وَلَا مَالَ لَهُ فَيَصِيرُ ذَا مَالٍ أَوْ يُوصِيَ بِعَبْدٍ وَلَيْسَ لَهُ عَبْدٌ، ثُمَّ يَمْلِكُ عَبْدًا وَكَذَلِكَ فِي النَّذْرِ وَكَذَلِكَ فِي الطَّلَاقِ.

Adapun gharar dalam wasiat adalah jika seseorang berwasiat dengan janin, unta, buah, atau pohon. Sedangkan jahalah dalam wasiat adalah jika seseorang berwasiat kepada salah satu budaknya, kemudian terbukti bahwa wasiat itu sah meskipun bukan pada miliknya, yaitu jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya padahal ia tidak punya harta, lalu ia menjadi punya harta, atau berwasiat kepada seorang budak padahal ia tidak punya budak, lalu kemudian ia memiliki budak. Demikian pula dalam nadzar, dan demikian pula dalam talak.

قَالُوا: وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ مَبْنِيٌّ عَلَى السِّرَايَةِ فَصَحَّ عَقْدُهُ قَبْلَ الْمِلْكِ كَالْعِتْقِ إِذَا قَالَ لِأَمَتِهِ: إِذَا وَلَدْتِ وَلَدًا فَهُوَ حُرٌّ عَتَقَ عَلَيْهَا وَلَدَهَا إِذَا وَلَدَتْهُ بِمَا عَقَدَهُ قَبْلَ الْمِلْكِ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ.

Mereka berkata: Karena talak dibangun atas dasar penularan (sarayah), maka sah akadnya sebelum kepemilikan, sebagaimana pembebasan budak. Jika seseorang berkata kepada budaknya: “Jika engkau melahirkan anak, maka anak itu merdeka,” maka anaknya menjadi merdeka ketika dilahirkan, berdasarkan akad yang dilakukan sebelum kepemilikan. Demikian pula halnya dengan talak.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثم طلقتموهن} فَشَرَطَ أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ بَعْدَ النِّكَاحِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ النِّكَاحِ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan mukminah lalu kalian menceraikan mereka…} Maka Allah mensyaratkan bahwa talak itu terjadi setelah akad nikah, sehingga tidak boleh talak dilakukan sebelum akad nikah.

مِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ جَابِرٌ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَعَائِشَةُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: (لَا طَلَاقَ قَبْلَ نِكَاحٍ) .

Dari sunnah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir, Ibnu ‘Abbas, Mu‘adz bin Jabal, dan ‘Aisyah bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak ada talak sebelum nikah.”

وَرَوَى جُوَيْبِرٌ عَنِ الضَّحَّاكِ عَنِ النَّزَّالِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: (لَا رضَاعَ بَعْدَ فِصَالٍ وَلَا وِصَالَ فِي صِيَامٍ وَلَا يُتْمَ بَعْدَ حُلُمٍ وَلَا صمْتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا طَلَاقَ قَبْلَ نِكَاحٍ) .

Diriwayatkan oleh Juwaibir dari adh-Dhahhak dari an-Nazzal dari ‘Ali bin Abi Thalib dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Tidak ada penyusuan setelah masa penyapihan, tidak ada wisal (menyambung puasa) dalam puasa, tidak ada yatim setelah baligh, tidak ada puasa sehari penuh hingga malam, dan tidak ada talak sebelum nikah.”

وَرَوَى مَطَرٌ الْوَرَّاقُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: (لَيْسَ عَلَى الرَّجُلِ طَلَاقٌ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا بَيْعٌ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقٌ فِيمَا لَا يَمْلِكُ) .

Diriwayatkan oleh Mathar al-Warraq dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak ada talak bagi seseorang atas apa yang bukan miliknya, tidak ada jual beli atas apa yang bukan miliknya, dan tidak ada pembebasan budak atas apa yang bukan miliknya.”

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عمر بْنِ شُعَيْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: (مَنْ طَلَّقَ مَا لَا يَمْلِكُ فَلَا طَلَاقَ لَهُ، وَمَنْ أَعْتَقَ مَنْ لَا يَمْلِكُ فَلَا عِتْقَ لَهُ، وَمَنْ نَذَرَ مَا لَا يَمْلِكُ فَلَا نَذْرَ لَهُ) .

Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin al-Harits dari ‘Amr bin Syu‘aib bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barang siapa menceraikan sesuatu yang bukan miliknya, maka tidak ada talak baginya; barang siapa membebaskan budak yang bukan miliknya, maka tidak ada pembebasan baginya; dan barang siapa bernazar atas sesuatu yang bukan miliknya, maka tidak ada nazar baginya.”

وَرَوَى عُرْوَةُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ فَكَانَ فِيمَا عَهِدَ إليه أن لا يطلق الرجل ما لم يتزوج ولا يعيق مَا لَا يَمْلِكُ.

Diriwayatkan dari ‘Urwah dari ‘Aisyah bahwa ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengutus Abu Sufyan bin Harb, lalu di antara pesan beliau kepadanya adalah agar seorang laki-laki tidak menceraikan wanita yang belum dinikahinya dan tidak membebaskan budak yang bukan miliknya.

وَهَذِهِ كُلُّهَا نُصُوصٌ تَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا قُلْنَا.

Semua riwayat ini adalah nash yang menunjukkan kebenaran apa yang kami katakan.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَوْلُهُ (لَا طَلَاقَ قَبْلَ نِكَاحٍ) مَحْمُولٌ عَلَى وُقُوعِ الطَّلَاقِ دُونَ عَقْدٍ، لِأَنَّ اسْمَ الطَّلَاقِ يَتَنَاوَلُ وُقُوعَ الطَّلَاقِ دُونَ عَقْدِهِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: إِنْ طَلَّقْتُكِ فَعَبْدِي حُرٌّ، ثُمَّ قَالَ لَهَا: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ لَمْ يُعْتَقْ عَبْدُهُ، حَتَّى تَدْخُلَ الدَّارَ، وَلَوْ كَانَ عَقَدَ الطَّلَاقَ طَلَاقًا لَعَتَقَ فَكَذَلِكَ قَوْلُهُ (لَا طَلَاقَ قَبْلَ نِكَاحٍ) أَيْ لَا طَلَاقَ يَقَعُ قَبْلَ نِكَاحٍ.

Jika dikatakan: Sabda beliau “tidak ada talak sebelum nikah” itu dimaksudkan pada terjadinya talak tanpa akad, karena istilah talak mencakup terjadinya talak tanpa akad. Bukankah engkau melihat, jika seseorang berkata kepada istrinya: “Jika aku menceraikanmu, maka budakku merdeka,” lalu ia berkata lagi: “Jika engkau masuk ke dalam rumah, maka engkau tertalak,” maka budaknya tidak menjadi merdeka sampai istrinya masuk ke dalam rumah. Jika akad talak itu dianggap sebagai talak, tentu budaknya menjadi merdeka. Maka demikian pula sabda beliau “tidak ada talak sebelum nikah”, maksudnya adalah tidak ada talak yang terjadi sebelum nikah.

قَالُوا: وَنَحْنُ نُوقِعُهُ بَعْدَ النِّكَاحِ وَإِنْ عَقَدَهُ قَبْلَ النِّكَاحِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Mereka berkata: Kami menjatuhkan talak itu setelah akad nikah, meskipun akadnya dilakukan sebelum nikah. Jawaban atas hal ini ada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّ الطَّلَاقَ إِذَا كَانَ رَفْعًا لِلنِّكَاحِ فَمَعْلُومٌ مِنْ حَالِ الْأَجْنَبِيَّةِ الَّتِي لَا نِكَاحَ عَلَيْهَا أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ عَلَيْهَا فَلَا يَحْتَاجُ فِيمَا هُوَ مَعْقُولٌ إِلَى بَيَانٍ مُسْتَفَادٍ مِنَ الرَّسُولِ.

Pertama: Jika talak itu merupakan pengakhiran dari akad nikah, maka sudah diketahui dari keadaan perempuan asing yang tidak ada akad nikah atasnya bahwa talak tidak berlaku atasnya, sehingga dalam hal yang sudah jelas secara akal tidak membutuhkan penjelasan yang bersumber dari Rasul.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يُحْمَلُ قَوْلُهُ (لَا طَلَاقَ قَبْلَ النِّكَاحِ) عَلَى عُمُومِ الْأَمْرَيْنِ فَلَا طَلَاقَ وَاقِعٌ وَلَا مَعْقُودٌ، لِأَنَّ اللَّفْظَ يَحْتَمِلُهَا.

Kedua: Sabda beliau “tidak ada talak sebelum nikah” mencakup kedua hal tersebut secara umum, yaitu tidak ada talak yang terjadi maupun talak yang diakadkan, karena lafazhnya mencakup keduanya.

أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ: (لَا طَلَاقَ قَبْلَ النِّكَاحِ) وَاقِعًا وَلَا مَعْقُودًا، لَصَحَّ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِطْلَاقُ اللَّفْظِ مَحْمُولًا عَلَى مُحْتَمَلَيْهِ مَعًا دُونَ أَحَدِهِمَا.

Bukankah engkau melihat, jika dikatakan: “tidak ada talak sebelum nikah”, baik yang terjadi maupun yang diakadkan, maka itu sah. Maka wajiblah lafazhnya dibawa pada kedua makna yang mungkin tersebut secara bersamaan, bukan hanya salah satunya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ قَدْ نُقِلَ مَا يَدْفَعُ هَذَا التَّأْوِيلَ وَيَمْنَعُ مِنْ حَمْلِهِ إِلَّا عَلَى مَا ذَكَرْنَا وَهُوَ مَا رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ فِي سُنَنِهِ بِإِسْنَادِهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ فقَالَ: يَوْمَ أَتَزَوَّجُ فُلَانَةَ هِيَ طَالِقٌ، فَقَالَ: طَلَّقَ مَا لَا يَمْلِكُ وَرَوَى زَيْدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ بِإِسْنَادِهِ أَنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّ ابْنِي خَطَبَ امْرَأَةً، وَإِنَّ ابْنِي قَالَ: هِيَ طَالِقٌ إِنْ تَزَوَّجْتُهَا فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُرِيهِ فَلْيَتَزَوَّجْهَا فَإِنَّهُ لَا طَلَاقَ قَبْلَ نِكَاحٍ.

Ketiga: Telah dinukil riwayat yang menolak penafsiran (ta’wil) ini dan mencegah untuk memahaminya kecuali seperti yang telah kami sebutkan, yaitu apa yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dalam Sunan-nya dengan sanadnya dari Abdullah bin Umar, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata: “Pada hari aku menikahi Fulanah, maka ia tertalak.” Maka beliau bersabda: “Ia telah menjatuhkan talak atas sesuatu yang bukan miliknya.” Dan Zaid bin Ali bin Husain meriwayatkan dengan sanadnya bahwa seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah ﷺ, sesungguhnya anakku telah melamar seorang wanita, dan anakku berkata: ‘Ia tertalak jika aku menikahinya.’” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Perintahkan dia untuk menikahinya, karena tidak ada talak sebelum akad nikah.”

فَأَمَّا اسْتِشْهَادُهُ بِالْحَالِفِ عَلَى أَنَّ لَفْظَ الطَّلَاقِ يَتَنَاوَلُ الْوُقُوعَ دُونَ الْعَقْدِ، فَلِأَنَّ الْأَيْمَانَ مَحْمُولَةٌ عَلَى الْحَقِيقَةِ دُونَ الْعُرْفِ، ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ طَلَاقٌ مُعَلَّقٌ بِالصِّفَةِ قَبْلَ النِّكَاحِ فَلَمْ يَصِحَّ وُقُوعُهُ فِي النِّكَاحِ.

Adapun argumentasinya dengan sumpah bahwa lafaz talak hanya mencakup terjadinya (talak) tanpa akad, maka karena sumpah-sumpah itu dibawa kepada makna hakiki, bukan makna ‘urf (kebiasaan). Kemudian, yang menunjukkan hal itu dari qiyās adalah bahwa itu merupakan talak yang digantungkan pada suatu sifat sebelum akad nikah, sehingga tidak sah terjadinya dalam pernikahan.

أَصْلُهُ إِذَا قَالَ لِأَجْنَبِيَّةٍ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ دَخَلَتِ الدَّارَ بَعْدَ أَنْ تَزَوَّجَهَا أَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا جَاءَ رَأْسُ الشَّهْرِ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ جَاءَ رَأْسُ الشَّهْرِ بَعْدَ أَنْ تَزَوَّجَهَا لَمْ تُطَلَّقْ مُوَافِقَةً لَنَا فَكَذَلِكَ فِيمَا خَالَفَنَا.

Dasarnya adalah jika seseorang berkata kepada wanita asing: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” kemudian wanita itu masuk ke rumah setelah ia menikahinya, atau ia berkata: “Jika awal bulan tiba, maka engkau tertalak,” lalu awal bulan itu datang setelah ia menikahinya, maka wanita itu tidak tertalak—ini sesuai dengan pendapat kami. Maka demikian pula dalam hal yang berbeda dengan kami.

فَإِنْ قِيلَ: الْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ فِيهِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُضَافٍ إِلَى مِلْكِهِ وَوَقَعَ فِي الْفَرْعِ لِأَنَّهُ مُضَافٌ إِلَى مِلْكِهِ، وَلَوْ كَانَ قَالَ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ وَأَنْتِ زَوْجَتِي فَأَنْتِ طَالِقٌ فَتَزَوَّجَهَا ثُمَّ دَخَلَتِ الدار طلقت، لأنه أَضَافَ الطَّلَاقَ إِلَى مِلْكِهِ يُوَضِّحُ هَذَا الْفَرْقُ فِي الطَّلَاقِ بَيْنَ إِضَافَتِهِ إِلَى مِلْكِهِ فَيَقَعُ وَبَيْنَ أَن لا يُضَافَ إِلَى مِلْكِهِ فَلَا يَقَعُ اتِّفَاقًا عَلَى مِثْلِهِ فِي النَّذْرِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: إِنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضِي فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتِقَ عَبْدَ زَيْدٍ فَشَفَى اللَّهُ مَرِيضَهُ، وَمَلَكَ عَبْدَ زَيْدٍ لَمْ يَلْزَمْهُ عِتْقُهُ، وَلَوْ قَالَ: إِنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضِي وَمَلَكْتُ عَبْدَ زَيْدٍ فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتِقَهُ فَإِنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضَهُ وَمَلَكَ عَبْدَ زَيْدٍ لَزِمَهُ عِتْقُهُ.

Jika dikatakan: Makna dalam asalnya adalah bahwa talak tidak terjadi di situ, karena tidak dinisbatkan kepada kepemilikannya, dan terjadi dalam cabangnya karena dinisbatkan kepada kepemilikannya. Seandainya ia berkata: “Jika engkau masuk ke rumah dan engkau adalah istriku, maka engkau tertalak,” lalu ia menikahinya dan wanita itu masuk ke rumah, maka wanita itu tertalak, karena ia telah menisbatkan talak kepada kepemilikannya. Hal ini menjelaskan perbedaan dalam talak antara menisbatkannya kepada kepemilikannya sehingga talak terjadi, dan antara tidak menisbatkannya kepada kepemilikannya sehingga talak tidak terjadi. Hal ini serupa dengan kasus nadzar, yaitu jika seseorang berkata: “Jika Allah menyembuhkan orang sakitku, maka wajib bagiku karena Allah untuk memerdekakan budak Zaid,” lalu Allah menyembuhkan orang sakitnya dan ia memiliki budak Zaid, maka tidak wajib baginya memerdekakannya. Namun jika ia berkata: “Jika Allah menyembuhkan orang sakitku dan aku memiliki budak Zaid, maka wajib bagiku karena Allah untuk memerdekakannya,” lalu Allah menyembuhkan orang sakitnya dan ia memiliki budak Zaid, maka wajib baginya memerdekakannya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّهُ فِي الْأَصْلِ مَا أَضَافَ الْعَبْدَ إِلَى مِلْكِهِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ عِتْقُهُ وَفِي الثَّانِي أَضَافَهُ إِلَى مِلْكِهِ فَلَزِمَهُ عِتْقُهُ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ.

Perbedaannya antara keduanya adalah: Pada kasus pertama, ia tidak menisbatkan budak itu kepada kepemilikannya, maka tidak wajib baginya memerdekakannya. Sedangkan pada kasus kedua, ia menisbatkannya kepada kepemilikannya, maka wajib baginya memerdekakannya. Demikian pula dalam masalah talak.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ لَوْ كَانَ عَقْدُ الطَّلَاقَ بِالصِّفَةِ قَبْلَ النِّكَاحِ صَحِيحًا كَعَقْدِهِ بَعْدَ النِّكَاحِ لَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ قَبْلَ النِّكَاحِ وَبَيْنَ إِضَافَتِهِ إِلَى مِلْكِهِ وَبَيْنَ إِطْلَاقِهِ كَمَا لَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ بَعْدَ النِّكَاحِ بَيْنَ إِضَافَتِهِ وَإِطْلَاقِهِ.

Maka jawabannya adalah: Seandainya akad talak yang digantungkan pada sifat sebelum akad nikah itu sah seperti halnya akad talak setelah akad nikah, niscaya tidak ada perbedaan antara sebelum akad nikah dan antara menisbatkannya kepada kepemilikan atau tidak menisbatkannya, sebagaimana tidak ada perbedaan setelah akad nikah antara menisbatkannya atau tidak menisbatkannya.

فَإِنْ قِيلَ: فَهُوَ بَعْدَ النِّكَاحِ مَالِكٌ فأغنى وجود الملك عن إِضَافَتِهِ إِلَى الْمِلْكِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ قَبْلَ النِّكَاحِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَالِكٍ فَافْتَقَرَ مَعَ عَدَمِ الْمِلْكِ إِلَى إِضَافَتِهِ إِلَى الْمِلْكِ.

Jika dikatakan: Setelah akad nikah, ia telah menjadi pemilik, sehingga keberadaan kepemilikan telah mencukupi tanpa perlu menisbatkannya kepada kepemilikan. Tidak demikian halnya sebelum akad nikah, karena ia bukan pemilik, maka ketika tidak ada kepemilikan, dibutuhkan penisbatan kepada kepemilikan.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ وُجُودَ الْمِلْكِ فِي الزَّوْجَةِ لَا يُغْنِي عَنِ اشْتِرَاطِ الْمِلْكِ وَيَفْتَرِقُ الْحُكْمُ بَيْنَ اشْتِرَاطِهِ وَعَدَمِهِ وهو أن يقول لزوجته: إذا دخلت الدارفأنت طَالِقٌ، ثُمَّ خَالَعَهَا فَدَخَلَتِ الدَّارَ بَعْدَ خُلْعِهِ سَقَطَتِ الْيَمِينُ فَلَوْ تَزَوَّجَهَا ثُمَّ دَخَلَتِ الدَّارَ لَمْ تُطَلَّقْ وَلَوْ كَانَ قَالَ لَهَا إِذَا دَخَلْتِ وَأَنْتِ زَوْجَتِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ خَالَعَهَا، فَدَخَلَتِ الدَّارَ بَعْدَ خُلْعِهِ لَمْ تَسْقُطِ الْيَمِينُ، وَلَوْ تَزَوَّجَهَا ثُمَّ دَخَلَتِ الدَّارَ طُلِّقَتْ فَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ وُجُودَ الْمِلْكِ فِي الزَّوْجَةِ لَا يَقُومُ مَقَامَ اشْتِرَاطِ الْمِلْكِ فِيهَا فَبَطَلَ مَا قَالُوهُ مِنَ الِاسْتِغْنَاءِ بِوُجُودِ الْمِلْكِ عَنِ اشْتِرَاطِ الْمِلْكِ.

Maka jawabannya adalah bahwa keberadaan kepemilikan (milkiyyah) pada istri tidak menggantikan syarat kepemilikan, dan hukum berbeda antara mensyaratkan kepemilikan dan tidak mensyaratkannya. Yaitu, jika seseorang berkata kepada istrinya: “Jika kamu masuk ke rumah, maka kamu tertalak,” lalu ia melakukan khulu‘ (cerai tebus) dengannya, kemudian istrinya masuk ke rumah setelah khulu‘, maka sumpah talak itu gugur. Jika ia menikahinya kembali lalu istrinya masuk ke rumah, maka ia tidak tertalak. Namun jika ia berkata: “Jika kamu masuk ke rumah sementara kamu masih istriku, maka kamu tertalak,” lalu ia melakukan khulu‘ dengannya, kemudian istrinya masuk ke rumah setelah khulu‘, maka sumpah talak itu tidak gugur. Jika ia menikahinya kembali lalu istrinya masuk ke rumah, maka ia tertalak. Maka telah jelas bagimu bahwa keberadaan kepemilikan pada istri tidak dapat menggantikan syarat kepemilikan pada dirinya, sehingga batal apa yang mereka katakan tentang cukupnya keberadaan kepemilikan tanpa mensyaratkan kepemilikan.

وَأَمَّا النَّذْرُ فَإِنَّمَا لَمْ يَلْزَمْهُ إِذَا قَالَ: إِنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضِي فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتِقَ عَبْدَ زَيْدٍ، لِأَنَّ نَذْرَهُ لِعِتْقِ عَبْدِ غَيْرِهِ مَعْصِيَةٌ وَقَدْ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ، وَلَزِمَ إِذَا قَالَ إن شفى الله مريضي وملكت عبد زيد فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتِقَهُ لِأَنَّهُ نَذَرَ عِتْقَ مِلْكِهِ وَقَدْ عَلَّقَ الْعِتْقَ بِذِمَّتِهِ فَلَزِمَهُ، لِأَنَّهُ قَدْ يَتَعَلَّقُ بِذِمَّتِهِ مَا يَمْلِكُهُ وَمِثَالُهُ مِنَ الطَّلَاقِ أَنْ يَقُولَ: إِنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضِي وَمَلَكْتُ عَبْدَ زَيْدٍ فَهُوَ حُرٌّ فَشَفَى اللَّهُ مَرِيضَهُ وَمَلَكَ عَبْدَ زَيْدٍ لَمْ يُعْتَقْ عَلَيْهِ.

Adapun nazar, maka tidak wajib baginya jika ia berkata: “Jika Allah menyembuhkan orang sakitku, maka demi Allah atas diriku untuk memerdekakan budak milik Zaid,” karena nazarnya untuk memerdekakan budak milik orang lain adalah maksiat, dan Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada nazar dalam maksiat.” Namun menjadi wajib jika ia berkata: “Jika Allah menyembuhkan orang sakitku dan aku memiliki budak Zaid, maka demi Allah atas diriku untuk memerdekakannya,” karena ia bernazar untuk memerdekakan sesuatu yang ia miliki, dan ia menggantungkan pembebasan itu pada tanggungannya, maka menjadi wajib baginya, karena terkadang sesuatu yang dimiliki dapat terkait dengan tanggungan seseorang. Contohnya dalam talak adalah jika ia berkata: “Jika Allah menyembuhkan orang sakitku dan aku memiliki budak Zaid, maka ia merdeka,” lalu Allah menyembuhkan orang sakitnya dan ia memiliki budak Zaid, maka budak itu tidak menjadi merdeka baginya.

وَقِيَاسٌ ثَانٍ وَهُوَ أَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ إِيقَاعُ الطَّلَاقِ الْمُعَجَّلِ لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ عَقْدُ الطَّلَاقِ الْمُؤَجَّلِ كَالصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ. فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا لَمْ يَصِحَّ مِنَ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ لِعَدَمِ التَّكْلِيفِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُكَلَّفُ.

Qiyās kedua, yaitu bahwa setiap perkara yang tidak sah darinya pelaksanaan talak secara langsung, maka tidak sah pula akad talak yang ditangguhkan darinya, seperti anak kecil dan orang gila. Jika dikatakan: “Tidak sah dari anak kecil dan orang gila karena tidak adanya taklif (beban hukum), dan hal itu tidak berlaku bagi orang yang mukallaf (sudah dibebani hukum).”

قِيلَ افْتِرَاقُهُمَا لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ تَسَاوِيهِمَا فِي الطَّلَاقِ الْمُعَجَّلِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ تَسَاوِيهِمَا فِي الطَّلَاقِ الْمُؤَجَّلِ.

Dijawab: Perbedaan antara keduanya, selama tidak menghalangi kesamaan mereka dalam talak langsung, maka tidak pula menghalangi kesamaan mereka dalam talak yang ditangguhkan.

وَقِيَاسٌ ثَالِثٌ: وَهُوَ أَنَّ كُلَّ قَوْلٍ وُضِعَ لِرَدِّ الْمِلْكِ لَمْ يَصِحَّ وقوعها تَقَدُّمُهُ عَلَى الْمِلْكِ كَالْإِقَالَةِ. وَقِيَاسٌ رَابِعٌ: وَهُوَ أن الفرقة في النكاح لا يصح بِلَفْظٍ مُتَقَدِّمٍ كَالْفَسْخِ.

Qiyās ketiga: Setiap ucapan yang ditetapkan untuk mengembalikan kepemilikan, tidak sah pelaksanaannya jika mendahului kepemilikan, seperti iqālah (pembatalan akad). Qiyās keempat: Bahwa perpisahan dalam pernikahan tidak sah dengan lafaz yang mendahului, seperti fasakh (pembatalan nikah).

وَقِيَاسٌ خَامِسٌ: وَهُوَ أَنَّهُ طَلَاقٌ يُنَافِيهِ الْجُنُونُ وَالصِّغَرُ فَوَجَبَ أَنْ يُنَافِيَهُ عَدَمُ الْمِلْكِ كَالطَّلَاقِ الْمُعَجَّلِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْوَصِيَّةِ وَالنَّذْرِ فَهُوَ أَنَّ عَقْدَ الْوَصِيَّةِ إِيجَابٌ وَقَبُولٌ وَعَقْدُ الْإِيجَابِ وَالْقَبُولِ يَصِحُّ فِي غَيْرِ مِلْكٍ كَالسَّلَمِ، وَعَقْدُ الطَّلَاقِ تَنْفِيرٌ وَعَقْدُ التَّنْفِيرِ لَا يَصِحُّ إِلَّا فِي مِلْكٍ كَبَيْعِ مَالِ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ عِتْقِ وَلَدِ أَمَتِهِ قَبْلَ وِلَادَتِهِ فَهُوَ أَنَّ لِأَصْحَابِنَا فِيهِ وَجْهَيْنِ:

Qiyās kelima: Talak adalah sesuatu yang tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil, maka seharusnya tidak sah pula dilakukan oleh orang yang tidak memiliki (istri), sebagaimana talak langsung. Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan wasiat dan nazar adalah bahwa akad wasiat adalah ijab dan qabul, dan akad ijab dan qabul sah dilakukan meskipun belum memiliki, seperti akad salam. Sedangkan akad talak adalah akad pemutusan, dan akad pemutusan tidak sah kecuali pada sesuatu yang dimiliki, seperti menjual harta milik orang lain tanpa izinnya. Adapun jawaban tentang memerdekakan anak dari budak perempuannya sebelum dilahirkan, maka menurut mazhab kami ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يُعْتَقُ لِأَنَّهُ عِتْقٌ قَبْلَ الْمِلْكِ.

Pertama: Tidak menjadi merdeka, karena itu adalah pembebasan sebelum kepemilikan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُعْتَقُ فَعَلَى هَذَا إِنَّمَا عُتِقَ الْوَلَدُ لِأَنَّهُ تَبَعٌ لِأُمِّهِ وَالْأُمُّ فِي مِلْكِهِ، فَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْمِلْكِ، لِأَنَّهُ تَبَعٌ لِلْمِلْكِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْأَجْنَبِيَّةُ، لِأَنَّهَا لَيْسَتْ فِي مِلْكِهِ وَلَا تَبَعًا لِمِلْكِهِ فَاخْتَلَفَا.

Pendapat kedua: Menjadi merdeka. Maka menurut pendapat ini, anak tersebut menjadi merdeka karena ia mengikuti ibunya, dan sang ibu berada dalam kepemilikannya, sehingga berlaku hukum kepemilikan atasnya, karena ia mengikuti kepemilikan. Tidak demikian halnya dengan perempuan asing, karena ia tidak berada dalam kepemilikannya dan tidak pula sebagai pengikut kepemilikannya, maka keduanya berbeda.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَهَكَذَا الظِّهَارُ وَالْإِيلَاءُ قَبْلَ النِّكَاحِ لَا يَصِحُّ فَإِذَا قَالَ لِأَجْنَبِيَّةٍ: إِنْ تَزَوَّجْتُكِ فَأَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي، فَتَزَوَّجَهَا لَمْ يَصِرْ مُظَاهِرًا مِنْهَا، لِأَنَّ الظِّهَارَ تَبَعٌ فِي الطَّلَاقِ فِي الثُّبُوتِ وَالنَّفْيِ.

Demikian pula zhihār dan ila’ sebelum akad nikah tidak sah. Jika seseorang berkata kepada perempuan asing: “Jika aku menikahimu, maka engkau bagiku seperti punggung ibuku,” lalu ia menikahinya, maka ia tidak menjadi mushāhir (orang yang melakukan zhihār) darinya, karena zhihār mengikuti talak dalam hal penetapan dan penafian.

وَلَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا تَزَوَّجْتُكِ فَوَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ أَبَدًا لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، لِأَنَّ الْإِيلَاءَ لَا يَصِحُّ إِلَّا مِنْ زَوْجَةٍ كَالطَّلَاقِ، وَلَكِنْ يَكُونُ حَالِفًا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، وَمَتَى وَطِئَهَا حَنِثَ وَكَفَّرَ، وَإِنْ لَمْ يُؤَجِّلْ لَهَا أَجَلَ الْإِيلَاءِ لِأَنَّ الْيَمِينَ يَصِحُّ مِنَ الْأَجْنَبِيَّةِ وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ مِنْهَا الْإِيلَاءُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan jika ia berkata kepadanya: “Jika aku menikahimu, demi Allah aku tidak akan menggaulimu selamanya,” maka ia tidak dianggap sebagai mu‘li (orang yang melakukan ila’), karena ila’ tidak sah kecuali dari seorang istri, sebagaimana talak. Namun, ia tetap dianggap sebagai orang yang bersumpah, meskipun bukan mu‘li. Dan kapan saja ia menggaulinya, ia dianggap melanggar sumpah dan wajib membayar kafarat, meskipun ia tidak menentukan waktu ila’ baginya. Sebab, sumpah itu sah dari wanita ajnabiyyah (bukan istri), meskipun ila’ tidak sah darinya. Dan Allah Maha Mengetahui.

(بَابُ مُخَاطَبَةِ الْمَرْأَةِ بِمَا يَلْزَمُهَا مِنَ الْخُلْعِ وما لا يلزمها من النكاح والطلاق إملاء على مسائل مالك وابن القاسم)

(Bab: Membicarakan kepada perempuan tentang apa yang menjadi kewajibannya dalam khulu‘ dan apa yang tidak menjadi kewajibannya dalam nikah dan talak. Diktat atas masalah-masalah Malik dan Ibnu Qasim)

قال الشافعي رحمه الله: (ولو قالت له امْرَأَتُهُ إِنْ طَلَّقْتَنِي ثَلَاثًا فَلَكَ عَلَيَّ مِائَةُ دِرْهَمٍ فَهُوَ كَقَوْلِ الرَّجُلِ بِعْنِي ثَوْبَكَ هَذَا بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَإِنْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَلَهُ الْمِائَةُ) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: (Jika seorang istri berkata kepada suaminya, “Jika engkau menceraikanku tiga kali, maka bagimu atasku seratus dirham,” maka itu seperti ucapan seseorang, “Jual kepadaku pakaianmu ini seharga seratus dirham.” Jika suaminya menceraikannya tiga kali, maka ia berhak mendapatkan seratus dirham tersebut).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْخُلْعَ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ يَجْرِي مَجْرَى الْمَبِيعِ، لِأَنَّ الزَّوْجَ يَمْلِكُ بِهِ الْبَدَلَ وَتَمْلِكُ الزَّوْجَةُ بِهِ الْبُضْعَ، فَيَحُلُّ الزَّوْجُ فِيهِ مَحَلَّ الْبَائِعِ، وَتَحُلُّ الزَّوْجَةُ فِيهِ مَحَلَّ الْمُشْتَرِي، فَرُبَّمَا اجْتَمَعَ الْخُلْعُ وَالْبَيْعُ فِي صِفَةِ الْعَقْدِ وَرُبَّمَا اخْتَلَفَا كَمَا يَخْتَلِفَانِ فِي أَحْكَامِ الْعَقْدِ فَيَدْخُلُ فِي الْبَيْعِ خِيَارُ الْعَقْدِ وَالشَّرْطِ، وَلَا يَدْخُلُ بِوَاحِدٍ مِنَ الْخِيَارَيْنِ فِي الْخُلْعِ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa khulu‘ adalah akad mu‘awadhah (pertukaran) yang berjalan sebagaimana jual beli, karena suami dengan itu memiliki hak atas pengganti (harta), dan istri dengan itu memiliki hak atas dirinya (bebas dari ikatan suami). Maka, suami dalam hal ini menempati posisi penjual, dan istri menempati posisi pembeli. Maka terkadang khulu‘ dan jual beli serupa dalam sifat akadnya, dan terkadang berbeda sebagaimana keduanya berbeda dalam hukum-hukum akad. Dalam jual beli terdapat hak khiyar (pilihan) dalam akad dan syarat, sedangkan dalam khulu‘ tidak masuk salah satu dari dua khiyar tersebut.

فَإِذَا قَالَتِ الْمَرْأَةُ لِزَوْجِهَا طَلِّقْنِي ثَلَاثًا بِأَلْفٍ فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ وَلَهُ الْأَلْفُ، لِأَنَّهَا طَلَبَتْ مِنْهُ أَنْ تَمْلِكَ بُضْعَهَا بِالْأَلْفِ فَأَجَابَهَا إِلَى أَنْ مَلَّكَهَا بُضْعَ نَفْسِهَا بِالْأَلْفِ فَتَمَّ ذَاكَ بِطَلَبِهَا وَإِيجَابِ الزَّوْجِ إِذَا كَانَ عَقِيبَ الطَّلَبِ وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى الْبَيْعِ وَعَلَى صِفَتِهِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: بِعْنِي عَبْدَكَ هَذَا بِأَلْفٍ، فَيَقُولُ الْمَالِكُ: قَدْ بِعْتُكَ عَبْدِي هَذَا بِأَلْفٍ، فَيَتِمُّ الْبَيْعُ وَلَا يَحْتَاجُ الْمُشْتَرِي أَنْ يَقُولَ قَدْ قَبِلْتُ لِأَنَّ مَا تَقَدَّمَ من المشتري طلب ومال حَازَ بِهِ الْمَالِكُ إِيجَابٌ فَتَمَّ الْبَيْعُ بِالطَّلَبِ وَالْإِيجَابِ كَمَا يَتِمُّ الْبَدَلُ وَالْقَبُولُ.

Jika seorang istri berkata kepada suaminya, “Ceraikan aku tiga kali dengan seribu (dirham),” lalu suami berkata, “Engkau aku ceraikan tiga kali,” maka talak jatuh dan suami berhak atas seribu tersebut. Karena ia meminta kepada suaminya agar ia memiliki hak atas dirinya dengan seribu, lalu suami mengabulkan permintaannya dengan memberikan hak atas dirinya dengan seribu, sehingga hal itu sempurna dengan permintaan istri dan ijab dari suami jika terjadi setelah permintaan, dan hal itu berjalan sebagaimana jual beli dan dengan sifatnya. Yaitu seperti seseorang berkata, “Jual kepadaku budakmu ini dengan seribu,” lalu pemilik berkata, “Aku telah menjual budakku ini kepadamu dengan seribu,” maka jual beli sah dan pembeli tidak perlu mengatakan, “Aku terima,” karena permintaan dari pembeli sebelumnya sudah cukup, dan pemilik telah melakukan ijab, sehingga jual beli sah dengan permintaan dan ijab, sebagaimana sah pula pertukaran dan penerimaan.

وَلَوْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ حِينَ قَالَتْ: طَلِّقْنِي ثَلَاثًا بِأَلْفٍ قَالَ لَهَا الزَّوْجُ: قَدْ طَلَّقْتُكِ ثَلَاثًا وَلَمْ يَقُلْ بِأَلْفٍ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَلَهُ الْأَلْفُ لِأَنَّهُ إِيجَابٌ مِنْهُ فِي مُقَابَلَةِ طَلَبِهَا فَتَنَاوَلَ الْإِيجَابُ مَا تَضَمَّنَهُ الطَّلَبُ.

Jika istri, ketika berkata, “Ceraikan aku tiga kali dengan seribu,” lalu suami berkata kepadanya, “Aku telah menceraikanmu tiga kali,” tanpa menyebutkan seribu, maka ia telah dicerai tiga kali dan suami tetap berhak atas seribu, karena itu merupakan ijab dari suami sebagai jawaban atas permintaan istri, sehingga ijab tersebut mencakup apa yang terkandung dalam permintaan.

وَمِثْلُهُ فِي الْبَيْعِ جَائِزٌ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: بِعْنِي عَبْدَكَ هَذَا بِأَلْفٍ فَيَقُولُ قَدْ بِعْتُكَ وَلَا يَقُولُ بِأَلْفٍ فَيَكُونُ بَائِعًا لَهُ بِالْأَلْفِ، لِأَنَّهُ إِيجَابٌ فِي مُقَابَلَةِ طَلَبٍ تَضَمَّنَ الْأَلْفَ، فَاسْتَغْنَى عَنْ أَنْ يُصَرِّحَ فِي إِيجَابِهِ بِالْأَلْفِ.

Hal yang serupa dalam jual beli juga diperbolehkan, yaitu seseorang berkata, “Jual kepadaku budakmu ini dengan seribu,” lalu pemilik berkata, “Aku telah menjualnya kepadamu,” tanpa menyebutkan seribu, maka ia telah menjualnya kepadanya dengan seribu, karena itu merupakan ijab sebagai jawaban atas permintaan yang mengandung seribu, sehingga tidak perlu menegaskan seribu dalam ijabnya.

وَلَوْ قَالَ الْوَلِيُّ فِي النِّكَاحِ: قَدْ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ، فَقَالَ الزَّوْجُ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا، وَلَمْ يَقُلْ بِالْأَلْفِ صَحَّ النِّكَاحُ وَلَمْ يَلْزَمْهُ الْأَلْفُ فِي أَظْهَرِ الْوَجْهَيْنِ.

Jika wali dalam akad nikah berkata, “Aku menikahkanmu dengan putriku dengan mahar seribu,” lalu suami berkata, “Aku terima nikahnya,” tanpa menyebutkan seribu, maka nikahnya sah dan ia tidak wajib membayar seribu menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ الْبَيْعِ أَنَّ الْبَيْعَ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالثَّمَنِ فَإِذَا أَطْلَقَ الْإِيجَابَ بِالْبَيْعِ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ الثَّمَنَ عَادَ إِلَى البيع والثمن لأنهما لا يفترقا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ النِّكَاحُ، لِأَنَّهُ يَصِحُّ بِغَيْرِ صَدَاقٍ، فَإِذَا صَرَّحَ بِقَبُولِ النِّكَاحِ وَلَمْ يُصَرِّحْ بِقَبُولِ الصَّدَاقِ، لَزِمَهُ النِّكَاحُ دُونَ الصَّدَاقِ لِأَنَّهُمَا قَدْ يَفْتَرِقَانِ، فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا التَّعْلِيلُ فِي الْفَرْقِ يَقْتَضِي أَن لا يَجِبَ لَهُ فِي الْخُلْعِ الْأَلْفُ حَتَّى يَقُولَ قَدْ طَلَّقْتُكِ ثَلَاثًا بِأَلْفٍ، لِأَنَّهُ يَصِحُّ الطَّلَاقُ بِغَيْرِ الْأَلْفِ.

Perbedaan antara ini dan jual beli adalah bahwa jual beli tidak sah kecuali dengan adanya harga. Jika ijab dalam jual beli diucapkan tanpa menyebutkan harga, maka kembali kepada jual beli dan harga karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Tidak demikian halnya dengan nikah, karena nikah sah tanpa mahar. Jika suami menyatakan menerima nikah tanpa menyatakan menerima mahar, maka nikahnya tetap sah tanpa mahar, karena keduanya bisa terpisah. Jika dikatakan: Penjelasan ini dalam perbedaan menuntut bahwa suami tidak berhak atas seribu dalam khulu‘ kecuali ia mengatakan, “Aku ceraikan engkau tiga kali dengan seribu,” karena talak sah tanpa seribu.

قِيلَ: مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ تَعْلِيلِ الْفَرْقِ لَا يَقْتَضِي هَذَا فِي الْخُلْعِ وَإِنِ اقْتَضَاهُ فِي النِّكَاحِ.

Dikatakan: Penjelasan yang telah kami sampaikan tentang alasan perbedaan tidak mengharuskan hal itu dalam kasus khulu‘, meskipun mengharuskannya dalam nikah.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْقَبُولَ فِي النِّكَاحِ فِي مُقَابَلَةِ الْتِزَامِهِ الْعَقْدَ وَالصَّدَاقَ فَإِنْ صَرَّحَ بِهِمَا، وَإِلَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَقْصُودِ مِنْهُمَا، وَهُوَ النِّكَاحُ وَلَيْسَ فِي الْخُلْعِ إِلَّا الْتِزَامٌ وَاحِدٌ وَهُوَ الْعِوَضُ فَتَوَجَّهَ إِطْلَاقُ الْإِجَابَةِ إِلَيْهِ.

Perbedaan antara keduanya adalah: bahwa penerimaan dalam akad nikah merupakan bentuk komitmen terhadap akad dan mahar; jika keduanya disebutkan secara tegas, maka berlaku demikian, jika tidak, maka kembali kepada maksud dari keduanya, yaitu pernikahan. Sedangkan dalam khulu‘ hanya ada satu komitmen, yaitu kompensasi (al-‘iwadh), sehingga pernyataan ijab secara mutlak diarahkan kepadanya.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَلَوْ قَالَتِ الزَّوْجَةُ: إِنْ طَلَّقْتَنِي ثَلَاثًا فَلَكَ عَلَيَّ أَلْفٌ، أَوْ قَالَتْ فَلَكَ أَلْفٌ.

Jika istri berkata: “Jika engkau menceraikanku tiga kali, maka bagimu dariku seribu (dirham),” atau ia berkata, “Bagimu seribu (dirham).”

فَقَالَ الزَّوْجُ: قَدْ طَلَّقْتُكِ ثَلَاثًا بِأَلْفٍ أَوْ قَالَ قَدْ طَلَّقْتُكِ ثَلَاثًا، وَلَمْ يَقُلْ بِأَلْفٍ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَلَهُ الْأَلْفُ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الشَّافِعِيِّ.

Lalu suami berkata: “Aku telah menceraikanmu tiga kali dengan seribu (dirham),” atau ia berkata, “Aku telah menceraikanmu tiga kali,” dan tidak menyebutkan “dengan seribu (dirham),” maka ia telah dicerai tiga kali, dan suami berhak atas seribu (dirham), dan ini adalah masalah menurut pendapat asy-Syafi‘i.

وَمِثْلُ ذَلِكَ فِي الْبَيْعِ لَا يَصِحُّ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: إِنْ بِعْتَنِي عَبْدَكَ هَذَا فَلَكَ عَلَيَّ أَلْفٌ فَيَقُولُ الْمَالِكُ: قَدْ بِعْتُكَ هَذَا الْعَبْدَ بِأَلْفٍ، فَلَا يَتِمُّ الْبَيْعُ حَتَّى يَقْبَلَ الْمُشْتَرِي بَعْدَ بَذْلِ الْبَائِعِ فَيَقُولُ: قَدْ قَبِلْتُ ابْتِيَاعَهُ بِالْأَلْفِ.

Hal yang serupa dalam jual beli tidak sah, yaitu jika seseorang berkata: “Jika engkau menjual budakmu ini kepadaku, maka bagimu dariku seribu (dirham),” lalu pemilik berkata: “Aku telah menjual budak ini kepadamu dengan seribu (dirham),” maka jual beli tidak sah hingga pembeli menerima setelah penawaran dari penjual, dengan mengatakan: “Aku menerima pembelian budak ini dengan seribu (dirham).”

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْخُلْعِ وَالْبَيْعِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ حَرْفَ الشَّرْطِ فِي قَوْلِهَا: إِنْ طَلَّقْتَنِي فَلَكَ أَلْفٌ إِذَا لَمْ يَتَضَمَّنْ طَلَبًا بِأَجْرٍ تَضَمَّنَ الْتِزَامًا فَصَحَّ الطَّلَاقُ بِالزَّوْجِ وَحْدَهُ وَقَدْ وُجِدَ الِالْتِزَامُ مِنْهَا لَهُ فَصَحَّ الْخُلْعُ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْبَيْعُ لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ بِمُجَرَّدِ الِالْتِزَامِ حَتَّى يَقْتَرِنَ بِهِ الطَّلَبُ، وَلَيْسَ فِي لَفْظِ الشَّرْطِ طَلَبٌ فَصَارَ الْتِزَامُ الْمُشْتَرِي سَوْمًا فَلَمْ يَتِمَّ الْبَيْعُ بَعْدَ بَذْلِ الْبَائِعِ إِلَّا بِقَبُولِ الْمُشْتَرِي.

Perbedaan antara khulu‘ dan jual beli dalam masalah ini adalah bahwa kata syarat dalam ucapannya: “Jika engkau menceraikanku, maka bagimu seribu (dirham),” apabila tidak mengandung permintaan imbalan, maka mengandung komitmen, sehingga talak sah dengan ucapan suami saja, dan telah ada komitmen darinya (istri) kepada suami, maka khulu‘ pun sah. Tidak demikian halnya dengan jual beli, karena tidak sah hanya dengan komitmen semata hingga disertai permintaan, dan dalam lafaz syarat tidak terdapat permintaan, sehingga komitmen pembeli menjadi penawaran, maka jual beli tidak sah setelah penawaran penjual kecuali dengan penerimaan dari pembeli.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ شَبَّهَ الشَّافِعِيُّ فِي هَذِهِ المسألة بالبيع قبل موضع التشبيه بينهما في استحقال الْعِوَضِ لَا فِي صِفَةِ الْعَقْدِ.

Jika dikatakan: Asy-Syafi‘i telah menyamakan dalam masalah ini dengan jual beli sebelum tempat kesamaan antara keduanya, yaitu dalam hal hak atas kompensasi, bukan dalam sifat akadnya.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَتْ: طَلِّقْنِي ثَلَاثًا عَلَى أَنْ أَدْفَعَ إِلَيْكَ أَلْفًا، فَطَلَّقَهَا ثَلَاثًا اسْتَحَقَّ عَلَيْهَا أَلْفًا لِالْتِزَامِهَا عَلَى الطَّلَاقِ أَلْفًا فَصَارَ الطَّلَاقُ شَرْطًا، وَالْأَلْفُ جَزَاءً وَمِثْلُ هَذَا فِي الْبَيْعِ لَا يَصِحُّ لما ذكرنا والله أعلم.

Demikian pula jika istri berkata: “Ceraikan aku tiga kali dengan syarat aku membayar kepadamu seribu (dirham),” lalu suami menceraikannya tiga kali, maka suami berhak atas seribu (dirham) karena komitmennya (istri) untuk membayar seribu (dirham) atas talak, sehingga talak menjadi syarat dan seribu (dirham) menjadi imbalan. Hal seperti ini dalam jual beli tidak sah sebagaimana telah kami sebutkan, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَتْ لَهُ اخْلَعْنِي أَوْ بِتَّنِي أَوْ أَبِنِّي أَوِ ابْرَأْ مِنِّي أَوْ بَارِئْنِي وَلَكَ عَلَيَّ أَلْفُ دِرْهَمٍ وَهِيَ تُرِيدُ الطَّلَاقَ وَطَلَّقَهَا فَلَهُ مَا سَمَّتْ لَهُ) .

Asy-Syafi‘i berkata: (Jika istri berkata kepadanya: “Ceraikan aku (khulu‘),” atau “Talakkan aku dengan talak bain,” atau “Pisahkan aku,” atau “Bebaskan aku darimu,” atau “Lepaskan aku darimu, dan bagimu dariku seribu dirham,” sementara ia bermaksud talak, lalu suami menceraikannya, maka suami berhak atas apa yang ia sebutkan kepadanya.)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ اللَّفْظَ الَّذِي يَتَخَالَعُ بِهِ الزَّوْجَانِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa lafaz yang digunakan suami istri dalam khulu‘ terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ صَرِيحًا فِي الطَّلَاقِ وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَلْفَاظٍ الطَّلَاقُ وَالْفِرَاقُ وَالسَّرَاحُ فَهَذِهِ الْأَلْفَاظُ الثَّلَاثَةُ صَرِيحَةٌ فِي الطَّلَاقِ سَوَاءٌ كَانَ مَعَهَا عِوَضٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ.

Pertama: Lafaz yang secara tegas menunjukkan talak, yaitu tiga kata: talak, perpisahan (al-firaq), dan pelepasan (as-sarah). Ketiga lafaz ini secara tegas menunjukkan talak, baik disertai kompensasi maupun tidak.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا كَانَ كِنَايَةً فِي الطَّلَاقِ وَهُوَ قَوْلُهَا بِتَّنِي أَوْ أَبِنِّي أَوِ ابْرَأْ مِنِّي أَوْ بَارِئْنِي أَوْ خَلِّينِي أَوْ أَبْعِدْنِي أَوْ حَرِّمْنِي فَهَذَا وَمَا شَاكَلَهُ مِنَ الْأَلْفَاظِ كِنَايَةٌ سَوَاءٌ كَانَ مَعَهُ عِوَضٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ.

Bagian kedua: Lafaz yang merupakan kinayah (sindiran) dalam talak, yaitu ucapannya: “Talakkan aku dengan talak bain,” atau “Pisahkan aku,” atau “Bebaskan aku darimu,” atau “Lepaskan aku darimu,” atau “Tinggalkan aku,” atau “Jauhkan aku,” atau “Haramkan aku (atasmu),” maka lafaz-lafaz ini dan yang semisalnya adalah kinayah, baik disertai kompensasi maupun tidak.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا كَانَ مُخْتَلَفًا فِيهِ وَهُوَ لَفْظَانِ الْخُلْعُ وَالْمُفَادَاةُ، فَإِنْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِمَا عِوَضٌ كَانَ مَعَهُ عِوَضٌ فَهُمَا كِنَايَةٌ فِي الطَّلَاقِ، وَإِنِ اقْتَرَنَ بِهِمَا عِوَضٌ فَفِيهِمَا ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ: أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْإِمْلَاءِ إِنَّهُ صَرِيحٌ كَالطَّلَاقِ فَيَكُونُ كَالْقِسْمِ الْأَوَّلِ.

Bagian ketiga: Lafaz yang diperselisihkan, yaitu dua kata: khulu‘ dan mufada‘ah. Jika tidak disertai kompensasi, maka keduanya adalah kinayah dalam talak; jika disertai kompensasi, maka ada tiga pendapat: Pertama, sebagaimana disebutkan dalam al-Imla’, bahwa itu adalah tegas seperti talak, sehingga sama dengan bagian pertama.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ، وَنَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ إِلَى مُخْتَصَرِهِ هَذَا، إنَّهُ كِنَايَةٌ فِي الطَّلَاقِ فَيَكُونُ كَالْقِسْمِ الثَّانِي.

Pendapat kedua: Sebagaimana dinyatakan dalam al-Umm, dan dinukil oleh al-Muzani dalam Mukhtasharnya, bahwa itu adalah kinayah dalam talak, sehingga sama dengan bagian kedua.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَكُونُ فَسْخًا صَرِيحًا فَيَكُونُ حُكْمُهُ حِينَئِذٍ مُخَالِفًا لِحُكْمِ الْقِسْمَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ.

Pendapat ketiga: bahwa hal itu merupakan fasakh (pembatalan) yang jelas, sehingga hukumnya pada saat itu berbeda dengan hukum dua bagian yang telah disebutkan sebelumnya.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا فِي عَقْدِ الْخُلْعِ مِنْ أَحَدِ قِسْمَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَتَّفِقَا فِي لَفْظِ الْخُلْعِ وَإِمَّا أَنْ يَخْتَلِفَا.

Jika telah dipahami apa yang telah kami jelaskan, maka keadaan keduanya dalam akad khul‘ tidak lepas dari salah satu dari dua bagian: yaitu apakah keduanya sepakat dalam lafaz khul‘ ataukah berbeda.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَتَّفِقَا فِي لَفْظِ الْخُلْعِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun bagian pertama, yaitu keduanya sepakat dalam lafaz khul‘, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَسْأَلَهُ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ فَيُجِيبَهَا بِمِثْلِهِ مِثْلَ أَنْ تَقُولَ لَهُ: طَلِّقْنِي ثَلَاثًا بِأَلْفٍ، فَيَقُولُ لَهَا: قَدْ فَارَقْتُكِ.

Salah satunya: istri meminta dengan lafaz talak yang jelas, lalu suami menjawabnya dengan lafaz yang sama, seperti istri berkata kepadanya: “Ceraikan aku tiga kali dengan seribu (dirham)”, lalu suami berkata kepadanya: “Aku telah menceraikanmu.”

أَوْ تَقُولُ لَهُ: سَرِّحْنِي بِأَلْفٍ، فَيَقُولُ لَهَا: قَدْ سَرَّحْتُكِ فَقَدْ تَمَّ الْخُلْعُ بِطَلَبِهَا وَإِيجَابِهِ، وَلَا يُسْأَلُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَنْ مُرَادِهِ.

Atau istri berkata kepadanya: “Lepaskan aku dengan seribu (dirham)”, lalu suami berkata kepadanya: “Aku telah melepaskanmu.” Maka khul‘ telah sempurna dengan permintaan istri dan jawaban suami, dan tidak perlu ditanyakan maksud dari keduanya.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَتْ لَهُ: طَلِّقْنِي، فَقَالَ لَهَا: قَدْ فَارَقْتُكِ، أَوْ قَالَتْ لَهُ سَرِّحْنِي، فَقَالَ لَهَا: قَدْ طَلَّقْتُكِ، لِأَنَّ جَمِيعَ هَذِهِ الْأَلْفَاظِ صَرِيحَةٌ يَقُومُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهما مَقَامَ الْآخَرِ فَكَانَ مُمَاثِلًا فِي حُكْمِهِ وَإِنْ خَالَفَهُ فِي لَفْظِهِ.

Demikian pula jika istri berkata kepadanya: “Ceraikan aku”, lalu suami berkata: “Aku telah menceraikanmu”, atau istri berkata: “Lepaskan aku”, lalu suami berkata: “Aku telah menceraikanmu”, karena semua lafaz ini adalah lafaz yang jelas, masing-masing dapat menggantikan yang lain, sehingga hukumnya sama meskipun berbeda dalam lafaznya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَسْأَلَهُ بِكِنَايَةِ الطَّلَاقِ فَيُجِيبَهَا بِمِثْلِهِ مِثْلَ أَنْ تَقُولَ لَهُ أَبِنِّي بِأَلْفٍ أَوْ أَبِنِّي أَوِ ابْرَأْ مِنِّي أَوْ حَرِّمْنِي أَوْ أَبْعِدْنِي فَيَقُولُ لَهَا: قَدْ أَبَنْتُكِ أَوْ بِنْتُكِ أَوْ بَارَأْتُكِ أَوْ حَرَّمْتُكِ أَوْ أبعدتك.

Bagian kedua: istri meminta dengan kinayah talak, lalu suami menjawabnya dengan lafaz yang sama, seperti istri berkata: “Pisahkan aku dengan seribu (dirham)”, atau “Pisahkan aku”, atau “Bebaskan aku darimu”, atau “Haramkan aku atasmu”, atau “Jauhkan aku”, lalu suami berkata: “Aku telah memisahkanmu”, atau “Engkau telah terpisah”, atau “Aku telah membebaskanmu”, atau “Aku telah mengharamkanmu”, atau “Aku telah menjauhkanmu”.

وَبِأَيِّ هَذِهِ الْأَلْفَاظِ أَجَابَهَا عَنْ أَيِّ لَفْظَةٍ مِنْهَا سَأَلَتْ بِهَا كَانَ مُجِيبًا بِمِثْلِهَا فِي الْحُكْمِ، وَإِنْ خَالَفَهَا فِي اللَّفْظِ، لِأَنَّ جَمِيعَ أَلْفَاظِ الْكِنَايَةِ مُمَاثِلَةٌ فِي الْحُكْمِ، وَإِنْ كَانَتْ مُخْتَلِفَةً فِي اللَّفْظِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَأَلْفَاظُ الْكِنَايَةِ لَا يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ إِلَّا مَعَ النِّيَّةِ فَإِنْ تَجَرَّدَتْ عَنِ النِّيَّةِ لَمْ يَقَعْ بها طلاق ولم يكن لها حكم، فسئل الزَّوْجَانِ عَنْ نِيَّتِهِمَا فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُهُمَا فيه من أربعة أحوال:

Dengan lafaz apa pun dari lafaz-lafaz ini suami menjawab permintaan istri, maka hukumnya sama, meskipun berbeda dalam lafaz, karena semua lafaz kinayah itu serupa dalam hukum, walaupun berbeda dalam lafaz. Jika demikian, maka lafaz kinayah tidak menjatuhkan talak kecuali dengan niat. Jika tidak disertai niat, maka tidak jatuh talak dan tidak ada hukumnya. Maka suami istri ditanya tentang niat mereka, dan keadaan mereka dalam hal ini tidak lepas dari empat keadaan:

أحدها: أن تريد الزَّوْجَةُ بِسُؤَالِهَا وَيُرِيدَ الزَّوْجُ بِإِجَابَتِهِ الطَّلَاقَ فَيَقَعُ الطَّلَاقُ، وَيَتِمُّ الْخُلْعُ، وَتَقُومُ الْكِنَايَةُ مَعَ البينةِ مَقَامَ الصَّرِيحِ فِي الطَّلَبِ وَالْإِيجَابِ.

Pertama: istri bermaksud meminta talak dan suami juga bermaksud menjatuhkan talak, maka jatuhlah talak dan khul‘ pun sempurna, dan lafaz kinayah dengan bukti dapat menggantikan lafaz yang jelas dalam permintaan dan jawaban.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَن لا يُرِيدَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الطَّلَاقَ فَلَا طلاق ولا خلع لا حُكْمَ لِلَّفْظِ الْجَارِي بَيْنَهُمَا فِي فُرْقَةٍ وَلَا عِوَضٍ.

Kedua: tidak ada satu pun dari keduanya yang bermaksud talak, maka tidak terjadi talak dan tidak terjadi khul‘, tidak ada hukum bagi lafaz yang diucapkan di antara mereka dalam hal perpisahan maupun kompensasi.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تُرِيدَ الزَّوْجَةُ الطَّلَاقَ وَلَا يُرِيدَهُ الزَّوْجُ فَلَا طَلَاقَ وَقَدْ سَأَلَتْهُ مَا لَمْ يُجِبْهَا إِلَيْهِ، وَلَا يَلْزَمُهَا مَا بَذَلَتْ مِنَ الْعِوَضِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَحْصُلْ لَهَا مَا سَأَلَتْ مِنَ الطَّلَاقِ، فَإِنْ أَكْذَبَتْهُ وَادَّعَتْ إِرَادَةَ الطَّلَاقِ أَحْلَفَتْهُ، وَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا.

Ketiga: istri bermaksud talak, tetapi suami tidak bermaksud demikian, maka tidak terjadi talak, dan istri telah meminta sesuatu yang tidak dijawab oleh suaminya, serta tidak wajib bagi istri memberikan kompensasi, karena ia tidak mendapatkan apa yang ia minta berupa talak. Jika istri mendustakan suami dan mengaku bermaksud talak, maka suami diminta bersumpah, dan tidak ada talak atasnya dan tidak ada kewajiban apa pun atas istri.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُرِيدَ الزَّوْجُ الطَّلَاقَ وَلَا تُرِيدَهُ الزَّوْجَةُ فَيُقَالُ لِلزَّوْجِ: هَلْ علمت حين أرادت الطَّلَاقَ أَنَّ الزَّوْجَةَ لَمْ تُرِدِ الطَّلَاقَ، فَإِنْ قَالَ: نَعَمْ وَقَعَ طَلَاقُهُ رَجْعِيًّا وَلَا عِوَضَ لَهُ عَلَيْهَا، وَكَأَنَّهُ طَلَّقَهَا مِنْ غَيْرِ طَلَبِهَا، وَإِنْ قَالَ: ظَنَنْتُ أَنَّهَا أَرَادَتِ الطَّلَاقَ وَلَمْ أَعْلَمْ أَنَّهَا لَمْ تُرِدْهُ.

Keempat: suami bermaksud talak, tetapi istri tidak bermaksud demikian, maka dikatakan kepada suami: “Apakah engkau tahu saat istri meminta talak bahwa istri tidak bermaksud talak?” Jika ia berkata: “Ya”, maka jatuhlah talak raj‘i dan tidak ada kompensasi baginya atas istri, seakan-akan ia menceraikannya tanpa permintaan istri. Jika ia berkata: “Saya mengira istri bermaksud talak dan saya tidak tahu bahwa ia tidak menginginkannya.”

قِيلَ لَهُ: أَفَتُصَدِّقُهَا عَلَى أَنَّهَا لَمْ تُرِدِ الطَّلَاقَ فَإِنْ صَدَّقَهَا لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ، لِأَنَّهُ طَلَّقَ عَلَى شَرْطِ عِوَضٍ لَمْ يَحْصُلْ فَإِذَا لَمْ يُؤْخَذِ الشَّرْطُ لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ، وَإِنْ أَكْذَبَهَا وَقَالَ: بَلْ أَرَدْتِ الطَّلَاقَ وَقَعَ طَلَاقُهُ بَائِنًا لِاعْتِرَافِهِ بِوُقُوعِهِ، وَلَهُ إِحْلَافُهَا أَنَّهَا لَمْ تُرِدِ الطَّلَاقَ، فَإِذَا حَلَفَتْ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا، فَإِنْ نَكَلَتْ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَيْهِ، فَإِذَا حَلَفَ كَانَ لَهُ عَلَيْهَا الْأَلْفُ الَّتِي صَرَّحَتْ بِذِكْرِهَا، وَحَلِفَ الزَّوْجُ عَلَيْهَا.

Dikatakan kepadanya: Apakah ia membenarkannya bahwa ia tidak menginginkan talak? Jika ia membenarkannya, maka talaknya tidak jatuh, karena ia menceraikan dengan syarat adanya kompensasi yang belum terjadi. Maka jika syarat itu tidak terpenuhi, talak tidak jatuh. Namun jika ia mendustakannya dan berkata: “Bahkan engkau memang menginginkan talak,” maka talaknya jatuh secara bain (talak yang tidak bisa dirujuk), karena ia telah mengakui terjadinya talak. Ia juga berhak meminta sumpah darinya bahwa ia tidak menginginkan talak. Jika ia bersumpah, maka tidak ada apa-apa atasnya. Namun jika ia enggan bersumpah, maka sumpah itu dikembalikan kepadanya (suami). Jika suami bersumpah, maka ia berhak atas seribu (uang) yang telah disebutkan secara jelas, dan suami bersumpah atasnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَسْأَلَهُ بِلَفْظِ الْخُلْعِ فَيُجِيبَهَا بِمِثْلِهِ مِثْلَ أَنْ تَقُولَ: اخْلَعْنِي بِأَلْفٍ، فَقَالَ: قَدْ خَالَعْتُكِ أَوْ تَقُولَ لَهُ: فَادِنِي بِأَلْفٍ فَيَقُولَ لَهَا: قَدْ فَادَيْتُكِ أَوْ تَقُولَ لَهُ: اخلعني فيقول: قد خالعتك فَكُلُّ ذَلِكَ سَوَاءٌ، لِأَنَّ لَفْظَ الْخُلْعِ وَالْمُفَادَاةِ صَرِيحَانِ مُتَسَاوِيَانِ فِي الْحُكْمِ، أَمَّا الْمُفَادَاةُ فَلِوُرُودِ الْقُرْآنِ بِهَا وَأَمَّا الْخُلْعُ فَلِمَعْهُودِ اللُّغَةِ فِيهِ.

Bagian ketiga: Yaitu ketika istri memintanya dengan lafaz khul‘, lalu suami menjawabnya dengan lafaz yang sama. Misalnya, istri berkata: “Ceraikan aku dengan seribu (uang),” lalu suami berkata: “Aku telah menceraikanmu (dengan khul‘),” atau istri berkata: “Tebuslah aku dengan seribu,” lalu suami berkata: “Aku telah menebusmu,” atau istri berkata: “Ceraikan aku (dengan khul‘),” lalu suami berkata: “Aku telah menceraikanmu (dengan khul‘).” Semua itu sama saja, karena lafaz khul‘ dan mufāda‘ah (penebusan) keduanya adalah lafaz yang jelas dan setara dalam hukum. Adapun mufāda‘ah, karena disebutkan dalam Al-Qur’an, dan adapun khul‘, karena sudah dikenal dalam bahasa (Arab).

وَهَذَا الْقِسْمُ إِنَّمَا يَتَمَيَّزُ عَنِ الْقِسْمَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ إِذَا قِيلَ إِنَّ لَفْظَ الْخُلْعِ وَالْمُفَادَاةِ فَسْخٌ، وَلَوْ قِيلَ: إِنَّهُ طَلَاقٌ أَوْ كِنَايَةٌ لَدَخَلَ فِيهِمَا وَلَمْ يَتَمَيَّزْ عَنْهُمَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ تَمَّ الْخُلْعُ بَيْنَهُمَا بِلَفْظِ الْخُلْعِ، وَوَقَعَ بِهِ فَسْخُ النِّكَاحِ من غير أن تنقض بِهِ عَدَدُ الطَّلَاقِ وَاسْتَحَقَّ عَلَيْهَا الْأَلْفَ الَّتِي بَذَلَهَا فَلَوْ كَانَ حِينَ سَأَلَتْهُ الْخُلْعَ أَجَابَهَا بِالْفَسْخِ مِثْلَ أَنْ تَقُولَ لَهُ: اخْلَعْنِي بِأَلْفٍ، فَقَالَ لَهَا: قَدْ فَسَخْتُ نِكَاحَكِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Bagian ini hanya berbeda dari dua bagian pertama jika dikatakan bahwa lafaz khul‘ dan mufāda‘ah adalah fasakh (pembatalan nikah). Namun jika dikatakan bahwa itu adalah talak atau kinayah (lafaz sindiran), maka ia masuk dalam dua bagian sebelumnya dan tidak berbeda darinya. Jika demikian, maka khul‘ telah sempurna di antara keduanya dengan lafaz khul‘, dan dengan itu terjadi fasakh nikah tanpa mengurangi jumlah talak, dan suami berhak atas seribu (uang) yang telah diberikan oleh istri. Jika ketika istri meminta khul‘, suami menjawabnya dengan lafaz fasakh, seperti istri berkata: “Ceraikan aku (dengan khul‘) dengan seribu,” lalu suami berkata: “Aku telah membatalkan nikahmu,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَصِحُّ، لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَفْسَخَ نِكَاحَهَا إِلَّا بِعَيْبٍ.

Salah satunya: Tidak sah, karena suami tidak berhak membatalkan nikahnya kecuali karena cacat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَصِحُّ ذَلِكَ مِنْهُمَا، وَيَكُونُ فَسْخًا يَقُومُ مَقَامَ الْخُلْعِ، لِأَنَّهُ لَمَّا صَحَّ مِنْهُ الْخُلْعُ وَكَانَ فَسْخًا أَوْلَى أَنْ يَصِحَّ مِنْهُ بِصَرِيحِ الْفَسْخِ، وَيَكُونَ خُلْعًا، وَهَكَذَا لَوْ قَالَتْ: افْسَخْ نِكَاحِي بِأَلْفٍ، فَقَالَ: قَدْ فَسَخْتُهُ كَانَ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ.

Pendapat kedua: Itu sah dari keduanya, dan dianggap sebagai fasakh yang menempati posisi khul‘, karena ketika khul‘ sah dari suami dan dianggap sebagai fasakh, maka lebih utama lagi sah jika dengan lafaz fasakh yang jelas, dan itu dianggap sebagai khul‘. Demikian juga jika istri berkata: “Batalkan nikahku dengan seribu,” lalu suami berkata: “Aku telah membatalkannya,” maka berlaku dua pendapat ini.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: فِي الْأَصْلِ وَهُوَ أَنْ يَخْتَلِفَ لَفْظُهُمَا فِي عَقْدِ النِّكَاحِ فَهَذَا عَلَى سِتَّةِ أَقْسَامٍ:

Adapun bagian kedua secara asal, yaitu ketika lafaz keduanya berbeda dalam akad nikah, maka ini terbagi menjadi enam bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَسْأَلَهُ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ فَيُجِيبُهَا بِكِنَايَةٍ، مِثْلَ أَنْ تَقُولَ لَهُ: طَلِّقْنِي بِأَلْفٍ، فَيَقُولَ لَهَا: قَدْ أَبَنْتُكِ أَوْ حَرَّمْتُكِ، فَإِنْ لَمْ يُرِدْ بِهِ الطَّلَاقَ، فَلَا خُلْعَ، وَإِنْ أَرَادَ بِهِ الطَّلَاقَ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Pertama: Istri meminta dengan lafaz talak yang jelas, lalu suami menjawabnya dengan lafaz kinayah (sindiran), seperti istri berkata: “Ceraikan aku dengan seribu,” lalu suami berkata: “Aku telah melepaskanmu” atau “Aku telah mengharamkanmu.” Jika suami tidak bermaksud talak dengan lafaz itu, maka tidak terjadi khul‘. Namun jika ia bermaksud talak, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ: لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهَا سَأَلَتْهُ صَرِيحَ الطَّلَاقِ فَعَدَلَ عَنْهُ إِلَى كِنَايَتِهِ فَلَمْ يَصِرْ مُجِيبًا إِلَى مَا سَأَلَتْ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Khairan: Talak tidak jatuh, karena istri memintanya dengan lafaz talak yang jelas, namun suami beralih kepada lafaz kinayah, sehingga ia tidak dianggap menjawab sesuai permintaan istri.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ الطَّلَاقَ وَاقِعٌ، وَلَهُ الْأَلْفُ لِأَنَّ كِنَايَةَ الطَّلَاقِ مَعَ النِّيَّةِ يَقُومُ مَقَامَ صَرِيحِ الطَّلَاقِ بِغَيْرِ نِيَّةٍ.

Pendapat kedua, dan ini yang benar, bahwa talak jatuh, dan suami berhak atas seribu (uang), karena lafaz kinayah talak dengan niat menempati posisi lafaz talak yang jelas tanpa niat.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَسْأَلَهُ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ فَيُجِيبَهَا بِالْخُلْعِ، كَأَنَّهَا قَالَتْ لَهُ: طَلِّقْنِي بِأَلْفٍ فَقَالَ: قَدْ خَالَعْتُكِ بِأَلْفٍ.

Bagian kedua: Istri meminta dengan lafaz talak yang jelas, lalu suami menjawabnya dengan lafaz khul‘, seperti istri berkata: “Ceraikan aku dengan seribu,” lalu suami berkata: “Aku telah menceraikanmu (dengan khul‘) dengan seribu.”

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ لَفْظَ الْخُلْعِ صَرِيحٌ فِي الطَّلَاقِ فَقَدْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ وَاسْتَحَقَّ الْبَدَلَ وَصَارَ كَمَا لَوْ أَجَابَهَا بِصَرِيحٍ عَنْ صَرِيحٍ.

Jika dikatakan bahwa lafaz khul‘ adalah lafaz yang jelas untuk talak, maka perpisahan telah terjadi dan suami berhak atas kompensasi, dan itu sama seperti jika suami menjawab dengan lafaz yang jelas atas permintaan yang jelas.

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْخُلْعَ كِنَايَةٌ، فَهُوَ عَلَى مَا مَضَى مِنْ إِجَابَتِهِ عَنِ الصَّرِيحِ بِالْكِنَايَةِ. وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْخُلْعَ فَسْخٌ، وَعَلَيْهِ التَّفْرِيعُ فِيمَا نَذْكُرُهُ مِنَ الْأَقْسَامِ كُلِّهَا لِيَصِحَّ أَنْ يَكُونَ مُمَيَّزًا بِحُكْمٍ مَخْصُوصٍ فَعَلَى هَذَا فِي وُقُوعِ الْفُرْقَةِ بِهِ وَجْهَانِ:

Jika dikatakan: Sesungguhnya khulu‘ adalah kinayah, maka hukumnya mengikuti penjelasan sebelumnya tentang jawaban dengan kinayah terhadap permintaan yang sharih. Dan jika dikatakan: Sesungguhnya khulu‘ adalah fasakh, maka pembahasan cabang-cabang pada semua bagian yang akan disebutkan berikut ini didasarkan pada hal tersebut, agar dapat dibedakan dengan hukum khusus. Berdasarkan hal ini, dalam hal terjadinya perpisahan dengan khulu‘ terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْفُرْقَةَ قَدْ وَقَعَتْ، لِأَنَّ كِلَا اللَّفْظَيْنِ صَرِيحٌ فِي الْفُرْقَةِ.

Salah satunya: Bahwa perpisahan telah terjadi, karena kedua lafaz tersebut (khulu‘ dan talak) adalah sharih dalam makna perpisahan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَقَعُ بِهِ الْفُرْقَةُ، وَلَا يَكُونُ جَوَابًا إِلَى مَا سَأَلَتْ، لِأَنَّهَا سَأَلَتْهُ طَلَاقًا يَنْقَضِي بِهِ مَا مَلَكَهُ عَلَيْهَا مِنْ عَدَدِ الطَّلَاقِ فَأَجَابَهَا إِلَى فَسْخٍ لَا يَنْقَضِي بِهِ عَدَدُ الطَّلَاقِ، فَصَارَ مُجِيبًا إِلَى غَيْرِ مَا سَأَلَتْ، فَلَمْ تَقَعْ بِهِ الْفُرْقَةُ، وَلَمْ يَسْتَحِقَّ به البدل.

Pendapat kedua: Tidak terjadi perpisahan dengannya, dan tidak dianggap sebagai jawaban atas permintaan istri, karena ia meminta talak yang dengannya habis jumlah talak yang dimiliki suami atasnya, sedangkan suami menjawab dengan fasakh yang tidak menghabiskan jumlah talak. Maka, suami dianggap menjawab dengan sesuatu yang berbeda dari apa yang diminta, sehingga perpisahan tidak terjadi dan suami tidak berhak atas pengganti (iwad).

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَسْأَلَهُ بِكِنَايَةِ الطَّلَاقِ فَيُجِيبَهَا بِصَرِيحِهِ، كَأَنَّهَا قَالَتْ لَهُ: أَبِنِّي بِأَلْفٍ، فَقَالَ: قَدْ طَلَّقْتُكِ بِهَا، فَإِنَّهَا تُسْأَلُ عَنْ إِرَادَتِهَا دُونَهُ فَإِنْ أَرَادَتِ الطَّلَاقَ وَقَعَ الطَّلَاقُ وَلَهُ الْأَلْفُ، لِأَنَّ الصَّرِيحَ أَقْوَى مِنَ الْكِنَايَةِ، وَإِنْ لَمْ تُرِدِ الزَّوْجَةُ بِالْكِنَايَةِ الطَّلَاقَ لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ لِعَدَمِ الشَّرْطِ وَلَمْ يَسْتَحِقَّ الْبَدَلَ.

Bagian ketiga: Istri meminta dengan kinayah talak, lalu suami menjawab dengan lafaz sharih, misalnya istri berkata: “Pisahkan aku dengan seribu (dirham),” lalu suami berkata: “Aku telah menceraikanmu dengan itu.” Maka, yang ditanya adalah maksud istri, bukan maksud suami. Jika istri memang menghendaki talak, maka talak jatuh dan suami berhak atas seribu tersebut, karena lafaz sharih lebih kuat daripada kinayah. Namun, jika istri tidak bermaksud talak dengan kinayah tersebut, maka talak tidak jatuh karena syaratnya tidak terpenuhi, dan suami tidak berhak atas pengganti.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: تَسْأَلُهُ بِكِنَايَةِ الطَّلَاقِ فَيُجِيبُهَا بِالْخُلْعِ كَأَنَّهَا قالت: أبني بألف، فقال لها: قد خالعتك بِهَا فَإِنَّهَا تُسْأَلُ عَنْ إِرَادَتِهَا بِالْكِنَايَةِ فَإِنْ لَمْ تُرِدِ الطَّلَاقَ، فَلَا خُلْعَ، وَإِنْ أَرَادَتِ الطَّلَاقَ فَفِي وُقُوعِ الْفُرْقَةِ بِلَفْظِ الْخُلْعِ وَجْهَانِ إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْخُلْعَ فَسْخٌ كَمَا لَوْ سَأَلَتْهُ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ فَأَجَابَهَا بِالْخُلْعِ.

Bagian keempat: Istri meminta dengan kinayah talak, lalu suami menjawab dengan lafaz khulu‘, misalnya istri berkata: “Pisahkan aku dengan seribu (dirham),” lalu suami berkata: “Aku telah mengkhulumu dengan itu.” Maka, yang ditanya adalah maksud istri dengan kinayah tersebut. Jika ia tidak bermaksud talak, maka tidak terjadi khulu‘. Namun jika ia bermaksud talak, maka dalam hal terjadinya perpisahan dengan lafaz khulu‘ terdapat dua pendapat, jika dikatakan bahwa khulu‘ adalah fasakh, sebagaimana jika istri meminta dengan lafaz sharih talak lalu suami menjawab dengan khulu‘.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ تَسْأَلَهُ بِالْخُلْعِ فَيُجِيبَهَا بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ، كَأَنَّهَا قَالَتْ لَهُ: اخْلَعْنِي بِأَلْفٍ، فَقَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ بِأَلْفٍ، فَالطَّلَاقُ هَا هُنَا وَاقِعٌ، وَالْأَلْفُ مُسْتَحَقَّةٌ، لِأَنَّهَا سَأَلَتْهُ بِالْخُلْعِ فُرْقَةً لَا يَنْقُصُ بِهَا عَدَدُ الطَّلَاقِ، فَأَجَابَهَا بِالطَّلَاقِ الَّذِي تَقَعُ بِهِ الْفُرْقَةُ وَيَنْقُصُ بِهَا عَدَدُ الطَّلَاقِ فَصَارَ مَا أَجَابَهَا إِلَيْهِ أَكْثَرَ مِمَّا سَأَلَتْهُ مِنْهُ، وَخَالَفَ سُؤَالَهَا لِلطَّلَاقِ فَيُجِيبُهَا بِالْخُلْعِ، لِأَنَّ الْخُلْعَ انْقَضَى فَلَمْ يَصِرْ مُجِيبًا إِلَى مَا سَأَلَتْ.

Bagian kelima: Istri meminta dengan lafaz khulu‘, lalu suami menjawab dengan lafaz sharih talak, misalnya istri berkata: “Khulu‘lah aku dengan seribu (dirham),” lalu suami berkata: “Engkau aku talak dengan seribu itu.” Maka talak di sini jatuh, dan seribu tersebut menjadi hak suami, karena istri meminta khulu‘, yaitu perpisahan yang tidak mengurangi jumlah talak, namun suami menjawab dengan talak yang menyebabkan perpisahan dan mengurangi jumlah talak. Maka, jawaban suami lebih dari apa yang diminta istri, berbeda dengan kasus istri meminta talak lalu suami menjawab dengan khulu‘, karena khulu‘ telah selesai sehingga tidak dianggap menjawab permintaan istri.

وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: أَنْ تَسْأَلَهُ بِالْخُلْعِ فَيُجِيبَهَا بِكِنَايَةِ الطَّلَاقِ كَأَنَّهَا قَالَتْ لَهُ: اخْلَعْنِي بِأَلْفٍ، فَقَالَ لَهَا: قَدْ أَبَنْتُكِ بِهَا، فَيُسْأَلُ عَنْ إِرَادَتِهِ فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ: أَحَدُهَا: أن لا يُرِيدَ بِهِ الطَّلَاقَ فَيَصِيرَ بِالنِّيَّةِ طَلَاقًا، فَيَقَعُ الطَّلَاقُ وَتُسْتَحَقُّ الْأَلْفُ، وَيَصِيرُ كَأَنَّهَا سَأَلَتْهُ الْخُلْعَ، فَأَجَابَهَا بِالطَّلَاقِ فَيَقَعُ، لِأَنَّهُ أَغْلَظُ.

Bagian keenam: Istri meminta dengan lafaz khulu‘, lalu suami menjawab dengan kinayah talak, misalnya istri berkata: “Khulu‘lah aku dengan seribu (dirham),” lalu suami berkata: “Aku telah memisahkanmu dengan itu.” Maka yang ditanya adalah maksud suami. Dalam hal ini, ada tiga kemungkinan: Pertama, jika ia tidak bermaksud talak, maka dengan niat itu menjadi talak, sehingga talak jatuh dan seribu menjadi hak suami, dan seolah-olah istri meminta khulu‘ lalu suami menjawab dengan talak, maka talak jatuh karena lebih berat.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُرِيدَ بِهِ فَسْخَ الْخُلْعِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كِنَايَاتِ الطَّلَاقِ هَلْ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ كِنَايَةً فِي فَسْخِ الْخُلْعِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kemungkinan kedua: Suami bermaksud dengan lafaz tersebut untuk memfasakh khulu‘, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang kinayah talak, apakah sah menjadi kinayah dalam fasakh khulu‘ atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَصِحُّ، لِأَنَّ الْفَسْخَ لا يتعلق بالصفة، فيم يَصِحَّ بِالْكِنَايَةِ، فَعَلَى هَذَا لَا فُرْقَةَ وَلَا بَذْلَ.

Salah satunya: Tidak sah, karena fasakh tidak terkait dengan sifat, sehingga tidak sah dengan kinayah. Berdasarkan ini, tidak terjadi perpisahan dan tidak ada pengganti.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَصِحُّ، وَيَكُونُ كِنَايَةً فِي الْفَسْخِ، كَمَا كَانَ كِنَايَةً فِي الطَّلَاقِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ سَأَلَتْهُ بِصَرِيحِ الْفَسْخِ فَأَجَابَهَا بِكِنَايَةٍ فَيَكُونُ وُقُوعُ الْفُرْقَةِ بِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ، كَمَا لَوْ سَأَلَتْهُ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ فَأَجَابَهَا بِكِنَايَةٍ.

Pendapat kedua: Sah, dan dianggap sebagai kinayah dalam fasakh, sebagaimana ia menjadi kinayah dalam talak. Berdasarkan ini, jika istri meminta dengan lafaz sharih fasakh lalu suami menjawab dengan kinayah, maka terjadinya perpisahan dengannya juga ada dua pendapat, sebagaimana jika istri meminta dengan lafaz sharih talak lalu suami menjawab dengan kinayah.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَن لا يُرِيدَ بِهِ طَلَاقًا وَلَا فَسْخًا فَلَا تَقَعُ بِهِ الْفُرْقَةُ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Keadaan ketiga: Jika ia tidak bermaksud dengan ucapan itu untuk talak maupun fasakh, maka tidak terjadi perpisahan karenanya dan tidak ada hukum yang terkait dengannya. Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَلَوْ قَالَتِ اخْلَعْنِي عَلَى أَلْفٍ كَانَتْ لَهُ أَلْفٌ مَا لَمْ يَتَنَاكَرَا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika istri berkata, ‘Ceraikan aku dengan tebusan seribu,’ maka suami berhak atas seribu itu selama keduanya tidak saling mengingkari.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْخُلْعَ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ كَالْبَيْعِ يَنْزِلُ الزَّوْجُ فِيهِ مَنْزِلَةَ الْبَائِعِ، وَالزَّوْجَةُ مَنْزِلَةَ الْمُشْتَرِي، وَيَكُونُ الْعِوَضُ فِيهِ كَالثَّمَنِ، فَلَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنْ أَنْ يَكُونَ الْعِوَضُ مَعْلُومَ الْقَدْرِ وَالْجِنْسِ وَالصِّفَةِ، لِيَنْتَفِيَ عَنْهَا الْجَهَالَةُ كَالْأَثْمَانِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَصُورَةُ مَسْأَلَتِنَا: فِي امْرَأَةٍ خَالَعَتْ زَوْجَهَا عَلَى أَلْفٍ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: له الألف، ما لم يتناكرا. فتقول: إِنَّ هَذِهِ الْأَلْفَ قَدِ اسْتُفِيدَ بِهَا مَعْرِفَةُ الْقَدْرِ، وَبَقِيَ الْجِنْسُ وَالصِّفَةُ، فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa khulu‘ adalah akad mu‘awadhah (pertukaran) seperti jual beli, di mana suami menempati posisi penjual dan istri menempati posisi pembeli, dan ‘iwadh (tebusan) di dalamnya seperti harga. Maka haruslah ‘iwadh itu diketahui kadar, jenis, dan sifatnya, agar tidak ada unsur jahalah (ketidakjelasan) sebagaimana dalam harga jual beli. Jika demikian, maka bentuk masalah kita adalah: Seorang wanita melakukan khulu‘ dengan suaminya atas tebusan seribu. Imam Syafi‘i berkata: Suami berhak atas seribu itu selama keduanya tidak saling mengingkari. Maka dikatakan: Dengan penyebutan seribu ini telah diketahui kadarnya, namun jenis dan sifatnya masih tersisa. Maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُذْكَرَ الْجِنْسُ والصفة فَيَقُولَا أَلْفُ دِرْهَمٍ رَاضِيَّةٍ فَيُسْتَفَادُ بِذِكْرِ الدَّرَاهِمِ الْجِنْسُ وَيُسْتَفَادُ بِذِكْرِ الرَّضِيَّةِ الصِّفَةُ فَيَصِيرُ هَذَا الْعِوَضُ مَعْلُومَ الْقَدْرِ وَالْجِنْسِ وَالصِّفَةِ.

Pertama: Disebutkan jenis dan sifatnya, misalnya keduanya berkata, “Seribu dirham radhiyyah (berkualitas baik).” Dengan penyebutan “dirham” diketahui jenisnya, dan dengan penyebutan “radhiyyah” diketahui sifatnya. Maka ‘iwadh ini menjadi diketahui kadar, jenis, dan sifatnya.

فَعَلَى هَذَا إِنْ تَنَاكَرَا الصِّفَةَ مَعَ اتِّفَاقِهِمَا فِي الْقَدْرِ وَالْجِنْسِ، فَقَالَ الزَّوْجُ: هِيَ رَاضِيَّةٌ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: هِيَ سَلَامِيَّةٌ.

Berdasarkan hal ini, jika keduanya berselisih tentang sifatnya padahal sepakat pada kadar dan jenisnya, misalnya suami berkata, “Itu radhiyyah,” dan istri berkata, “Itu salamiyyah.”

وَإِنِ اخْتَلَفَا وَلَا بَيِّنَةَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا تَحَالَفَا كَمَا يَتَحَالَفُ الْمُتَبَايِعَانِ إِذَا اخْتَلَفَا فَلَوْ كَانَتْ قِيمَةُ الرَّاضِيَّةِ كَقِيمَةِ السَّلَامِيَّةِ تَحَالَفَا، وَلَمْ يَمْنَعْ تَسَاوِي قِيمَتِهَا مِنْ تَحَالُفِهِمَا، لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ فِي أَحَدِ النَّوْعَيْنِ غَرَضٌ، وَإِنْ لَمْ يَخْتَصَّ بِزِيَادَةِ قِيمَةٍ.

Jika keduanya berselisih dan tidak ada bukti bagi salah satu pihak, maka keduanya saling bersumpah sebagaimana dua orang yang berjual beli jika berselisih. Jika nilai radhiyyah sama dengan nilai salamiyyah, maka keduanya tetap saling bersumpah, dan kesamaan nilai tidak mencegah keduanya untuk bersumpah, karena bisa jadi pada salah satu jenis itu ada maksud tertentu, meskipun tidak khusus pada kelebihan nilai.

وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الْجِنْسِ فَقَالَ الزَّوْجُ: أَلْفُ دِينَارٍ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: أَلْفُ دِرْهَمٍ، تَحَالَفَا أَيْضًا، وَحُكِمَ لِلزَّوْجِ مَعَ تحالفهما بهر الْمِثْلِ، لِأَنَّ الْبُضْعَ قَدْ صَارَ مُسْتَهْلَكًا بِالطَّلَاقِ الْمَطْلُوبِ، فَاسْتَحَقَّ الزَّوْجُ قِيمَتَهُ وَقِيمَةَ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَجَرَى مَجْرَى تَحَالُفِهِمَا فِي الْبَيْعِ بَعْدَ اسْتِهْلَاكِ الْمُشْتَرِي لِلسِّلْعَةِ، فَيَلْزَمُهُ قِيمَتُهَا. وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الْقَدْرِ فَقَالَ الزَّوْجُ: عَلَى أَلْفٍ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: عَلَى مِائَةٍ، تَحَالَفَا وَرَجَعَ الزَّوْجُ عَلَيْهَا بَعْدَ التَّحَالُفِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا، فَهَذَا قِسْمٌ. وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُذْكَرَ الْجِنْسُ وَيُغْفِلَا ذِكْرَ الصِّفَةِ فَيَقُولَا عَلَي أَلْف دِرْهَمٍ، فينتظر فَإِنْ كَانَ لِلْبَلَدِ نَقْدٌ غَالِبٌ فِي الدَّرَاهِمِ انْصَرَفَ إِطْلَاقُ الْجِنْسِ إِلَى الْأَغْلَبِ مِنْ دَرَاهِمِ الْبَلَدِ، لِأَنَّهُ عُرْفٌ يُحْمَلُ الْمُطْلَقُ عَلَيْهِ، كَمَا تَقُولُ فِيمَنْ بَاعَ عَبْدًا بِأَلْفِ دِرْهَمٍ لَمْ يَصِفْهَا أَنَّهَا تَكُونُ مِنْ غَالِبِ دَرَاهِمِ الْبَلَدِ، فَلَوْ كَانَ لِلْبَلَدِ أَنْوَاعٌ مِنَ الدَّرَاهِمِ، وَلَيْسَ أَحَدُهما بِأَغْلَبَ مِنْ غَيْرِهِ بَطَلَ الْبَيْعُ، وَفَسَدَ الْخُلْعُ، لِأَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ عُرْفٌ يُحْمَلُ الْمُطْلَقُ عَلَيْهِ، وَإِذَا حُمِلَ إِطْلَاقُ الدَّرَاهِمِ عَلَى الْأَغْلَبِ من دَرَاهِمِ الْبَلَدِ فَاخْتَلَفَا فِي الْجِنْسِ وَالْقَدْرِ تَحَالَفَا.

Jika keduanya berselisih tentang jenis, misalnya suami berkata, “Seribu dinar,” dan istri berkata, “Seribu dirham,” maka keduanya juga saling bersumpah, dan diputuskan untuk suami dengan mahar mitsil (mahar sepadan) setelah keduanya bersumpah, karena hubungan suami istri telah menjadi batal dengan talak yang diminta, sehingga suami berhak atas nilainya dan nilai mahar mitsil. Ini seperti kasus dua orang yang bersumpah dalam jual beli setelah pembeli telah menggunakan barang, maka ia wajib membayar nilainya. Jika keduanya berselisih tentang kadar, misalnya suami berkata, “Atas seribu,” dan istri berkata, “Atas seratus,” maka keduanya saling bersumpah dan setelah itu suami berhak menuntut istri dengan mahar mitsil, baik sedikit maupun banyak. Ini satu bagian. Bagian kedua: Disebutkan jenisnya dan tidak disebutkan sifatnya, misalnya keduanya berkata, “Atas seribu dirham,” maka ditunggu. Jika di negeri itu ada satu jenis mata uang dirham yang dominan, maka penyebutan jenis secara mutlak diarahkan kepada yang paling dominan dari dirham negeri itu, karena itu adalah ‘urf (kebiasaan) yang berlaku pada lafaz mutlak, sebagaimana jika seseorang menjual budak dengan seribu dirham tanpa menyebutkan sifatnya, maka dianggap dari dirham yang paling dominan di negeri itu. Jika di negeri itu ada beberapa jenis dirham dan tidak ada satu pun yang lebih dominan dari yang lain, maka jual beli batal dan khulu‘ rusak, karena tidak ada ‘urf yang bisa dijadikan acuan pada lafaz mutlak. Jika penyebutan dirham diarahkan kepada yang paling dominan dari dirham negeri itu, lalu keduanya berselisih tentang jenis dan kadar, maka keduanya saling bersumpah.

كَذَلِكَ لَوِ اخْتَلَفَا فِي الْإِطْلَاقِ فَادَّعَاهُ أَحَدُهُمَا لِيَسْتَحِقَّ بِهِ الْأَغْلَبَ مِنْ دَرَاهِمِ الْبَلَدِ فَاخْتَلَفَا فِي الْجِنْسِ أَوِ الْقَدْرِ تَحَالَفَا وَادَّعَى غَيْرُهُ تَعْيِينَهُ بِصِفَةٍ مِنْ دَرَاهِمَ غَيْرِهَا تَحَالَفَا وَحُكِمَ لَهُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ مِنْ غَالِبِ نُقُودِ الْمَهْرِ.

Demikian pula jika keduanya berselisih dalam penyebutan secara mutlak, lalu salah satu dari mereka mengklaimnya agar berhak atas yang paling dominan dari dirham negeri itu, kemudian keduanya berselisih tentang jenis atau kadar, maka keduanya saling bersumpah. Dan jika yang lain mengklaim penetapan dengan sifat tertentu dari dirham yang lain, maka keduanya saling bersumpah dan diputuskan untuknya dengan mahar mitsil dari mata uang mahar yang paling dominan.

والقسم الثالث: أن لا يَذْكُرَ بَعْدَ الْقَدْرِ جِنْسًا وَلَا صِفَةً فَيَقُولَانِ عَلَي أَلْف وَلَا يَقُولَا مِنْ أَيِّ شَيْءٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketiga: yaitu apabila setelah menyebutkan jumlah (nilai), tidak disebutkan jenis maupun sifatnya, sehingga keduanya berkata: “Atas tanggunganku seribu,” namun tidak menyebutkan dari jenis apa. Maka ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَا قَدْ أَشَارَا إِلَى جِنْسٍ وَصِفَةٍ قَدْ تَقَرَّرَا بَيْنَهُمَا قَبْلَ الْعَقْدِ، فَيُحْمَلَانِ عَلَى ذَلِكَ، لِأَنَّهُ مَعْلُومٌ عِنْدَهُمَا وَإِنْ كَانَ مَجْهُولًا عِنْدَ غَيْرِهِمَا فَإِنِ اخْتَلَفَا فِي ذَلِكَ تَحَالَفَا عَلَى مَا مَضَى.

Salah satunya: jika keduanya telah menunjuk kepada suatu jenis dan sifat yang telah disepakati di antara mereka sebelum akad, maka keduanya dikembalikan kepada hal tersebut, karena itu sudah diketahui di antara mereka berdua, meskipun tidak diketahui oleh selain mereka. Jika kemudian mereka berselisih tentang hal itu, maka keduanya saling bersumpah atas apa yang telah lalu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يُشِيرَا بِذَلِكَ إِلَى شَيْءٍ مِنَ الْأَجْنَاسِ فَهَذَا خلع فاسد يَقَعُ فِيهِ الطَّلَاقُ بَائِنًا وَيَسْتَحِقُّ فِيهِ الزَّوْجُ مَهْرَ الْمِثْلِ، لِأَنَّ إِطْلَاقَ الْقَدْرِ يَتَنَاوَلُ كُلَّ جِنْسٍ مِنْ دَرَاهِمَ وَدَنَانِيرَ وَثِيَابٍ وَعَبِيدٍ فَصَارَ الْعِوَضُ مَجْهُولًا فَبَطَلَ وَلَمْ يَبْطُلِ الْخُلْعُ، لِاسْتِهْلَاكِ الْبُضْعِ فِيهِ بِالطَّلَاقِ، فَأَوْجَبَ مَهْرَ الْمِثْلِ، لِأَنَّهُ عَنْ بَدَلٍ فَاسِدٍ.

Keadaan kedua: jika keduanya tidak menunjuk dengan itu kepada salah satu jenis, maka khulu‘ ini fasid (rusak), di mana talak jatuh secara bain (tidak bisa rujuk), dan suami berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar sepadan), karena penyebutan jumlah secara mutlak mencakup semua jenis, baik dirham, dinar, pakaian, maupun budak. Maka kompensasi (iwad) menjadi majhul (tidak jelas), sehingga batal, namun khulu‘ tidak batal, karena telah terjadi pemutusan hubungan suami istri melalui talak, sehingga wajib mahar mitsil, karena kompensasi yang diberikan itu fasid.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا حَمَلْتُمْ إطلاق الألف على الأغلب مما يتعامل به أهل البلد وهو الدراهم كما حملتم إطلاق الدراهم عَلَى الْأَغْلَبِ مِنْ دَرَاهِمِ الْبَلَدِ.

Jika dikatakan: Mengapa kalian tidak menafsirkan penyebutan seribu secara mutlak kepada sesuatu yang paling umum digunakan oleh penduduk negeri, yaitu dirham, sebagaimana kalian menafsirkan penyebutan dirham secara mutlak kepada jenis dirham yang paling umum di negeri tersebut?

قِيلَ: لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يُذْكَرِ الْجِنْسُ كَثُرَتْ فِيهِ الْجَهَالَةُ فَبَطَلَ، وَإِذَا ذُكِرَ الْجِنْسُ قَلَّتْ فِيهِ الْجَهَالَةُ فَصَحَّ فَعَلَى هَذَا إِنِ اخْتَلَفَا فِي هَذَا الْقِسْمِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Dijawab: Karena jika jenisnya tidak disebutkan, maka ketidakjelasan menjadi banyak sehingga batal, sedangkan jika jenisnya disebutkan, maka ketidakjelasan menjadi sedikit sehingga sah. Berdasarkan hal ini, jika keduanya berselisih dalam bagian ini, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَدَّعِيَ أَحَدُهُمَا إِطْلَاقَ الْأَلْفِ وَيَدَّعِيَ الْآخَرُ تَعْيِينَهَا بِذِكْرِ الْجِنْسِ فَإِنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ، لِأَنَّ مُدَّعِي إِطْلَاقِ الْأَلْفِ يَدَّعِي مَهْرَ الْمِثْلِ، وَمُدَّعِي ذِكْرِ الْجِنْسِ يَدَّعِيهَا من ذلك الجنس فيتخالفان وَمُدَّعِي مِثْلِ هَذَا فِي الْبَيْعِ لَا يُوجِبُ التخالف، لِأَنَّ أَحَدَ الْمُتَبَايِعَيْنِ لَوْ قَالَ: تَبَايَعْنَا هَذَا الْعَبْدَ بِأَلْفٍ لَمْ نُسَمِّهَا وَقَالَ الْآخَرُ بَلْ بِأَلْفٍ سَمَّيْنَاهَا وَذَكَرَ جِنْسَهَا فَلَا تَحَالُفَ بَيْنَهُمَا وَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ مَنْ أَنْكَرَ ذِكْرَ الْجِنْسِ لأنه يذكر فساد العقد والآخر يدعي صحته، وإذا اختلفا فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ وَفَسَادِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَنِ ادَّعَى فَسَادَهُ دُونَ صِحَّتِهِ، لِأَنَّهُ مُنْكِرٌ لِلْعَقْدِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْخُلْعُ لِأَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ فِي صحيحه وفاسده فتخالفا عَلَى صَحِيحِهِ وَفَاسِدِهِ.

Salah satunya: salah satu dari keduanya mengklaim bahwa penyebutan seribu itu mutlak, sedangkan yang lain mengklaim bahwa telah ditentukan dengan menyebutkan jenisnya. Maka keduanya saling bersumpah, karena yang mengklaim mutlaknya seribu berarti menuntut mahar mitsil, sedangkan yang mengklaim penyebutan jenis menuntut dari jenis tersebut, sehingga keduanya berbeda. Adapun orang yang mengklaim seperti ini dalam jual beli tidak menyebabkan adanya perbedaan, karena jika salah satu dari dua pihak yang berjual beli berkata: “Kami berjual beli budak ini dengan seribu, namun tidak kami sebutkan jenisnya,” lalu yang lain berkata: “Bahkan dengan seribu yang telah kami sebutkan dan disebutkan jenisnya,” maka tidak ada sumpah di antara keduanya, dan yang dipegang adalah ucapan orang yang mengingkari penyebutan jenis, karena ia menyatakan rusaknya akad, sedangkan yang lain menyatakan sahnya. Jika terjadi perselisihan tentang sah atau rusaknya jual beli, maka yang dipegang adalah ucapan orang yang menyatakan rusaknya, bukan sahnya, karena ia mengingkari akad. Namun tidak demikian dalam khulu‘, karena talak jatuh baik pada khulu‘ yang sah maupun yang rusak, sehingga keduanya berbeda pada sah dan rusaknya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَن لا يَدَّعِيَ أَحَدُهُمَا ذِكْرَ الْجِنْسِ وَلَكِنْ يَقُولُ أَحَدُهُمَا: أَرَدْنَاهُ بِقُلُوبِنَا وَيَقُولُ الَآخَرُ: لَمْ نُرِدْهُ، أَوْ يقول أحدهما: أردنا الدراهم، ويقول الآخر: أدرنا الدَّنَانِيرَ فَفِي جَوَازِ تَحَالُفِهِمَا فِيهِ وَجْهَانِ:

Keadaan kedua: tidak ada salah satu dari keduanya yang mengklaim telah menyebutkan jenis, namun salah satu berkata: “Kami menginginkannya dalam hati kami,” sedangkan yang lain berkata: “Kami tidak menginginkannya,” atau salah satu berkata: “Kami menginginkan dirham,” dan yang lain berkata: “Kami menginginkan dinar.” Maka dalam hal boleh tidaknya keduanya saling bersumpah, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ ضَمَائِرَ الْقُلُوبِ لَا تُعْلَمُ إِلَّا بِالْقَوْلِ.

Salah satunya: tidak boleh, karena isi hati tidak dapat diketahui kecuali dengan ucapan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يَتَحَالَفَا لأنه قد يكون بينهما من أمارات الأحوال مَا تَدُلُّ عَلَى ضَمَائِرِ الْقُلُوبِ كَالْأَحْوَالِ وَاللَّهُ أعلم.

Pendapat kedua: boleh keduanya saling bersumpah, karena bisa jadi di antara mereka terdapat tanda-tanda keadaan yang menunjukkan isi hati, seperti kebiasaan, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فَإِنْ قَالَتْ عَلَيَّ أَلْفٌ ضَمِنَهَا لَكَ غَيْرِي أَوْ عَلَى أَلْف فَلْسٍ وَأَنْكَرَ تَحَالَفَا وَكَانَ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika istri berkata, “Atas tanggunganku seribu yang dijamin orang lain untukmu,” atau “Atas tanggunganku seribu fulus,” dan suami mengingkarinya, maka keduanya saling bersumpah dan suami berhak atas mahar mitsil dari istri.)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: جَمَعَ الشَّافِعِيُّ هَا هُنَا بَيْنَ مَسْأَلَتَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Imam Syafi‘i di sini menggabungkan dua permasalahan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ تَقُولَ الزَّوْجَةُ خَالَعْتُكَ عَلَى أَلْفِ فَلْسٍ، وَيَقُولَ الزَّوْجُ: بَلْ خَالَعْتُكِ عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ، فَقَدِ اتَّفَقَا عَلَى الْخُلْعِ، وَاخْتَلَفَا فِي الْعِوَضِ، فَيَتَحَالَفَانِ وَيَقَعُ طَلَاقُهُ بَائِنًا، وَيُحْكَمُ لَهُ عَلَيْهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ، عَلَى مَا مَضَى.

Salah satunya: jika istri berkata, “Aku melakukan khulu‘ denganmu atas seribu fulus,” dan suami berkata, “Bahkan aku melakukan khulu‘ denganmu atas seribu dirham,” maka keduanya telah sepakat atas terjadinya khulu‘, namun berselisih pada kompensasinya. Maka keduanya saling bersumpah, talak jatuh secara bain, dan diputuskan suami berhak atas mahar mitsil dari istri, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَمَا أَجَابَ بِهِ الشَّافِعِيُّ مِنْ تَحَالُفِهِمَا فِيهَا صَحِيحٌ.

Dan jawaban Imam Syafi‘i tentang keduanya saling bersumpah dalam masalah ini adalah benar.

وَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: فَهُوَ أَنْ يَقُولَ الزَّوْجُ: خَالَعْتُكِ عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ عَلَيْكِ، فَتَقُولُ: خَالَعْتَنِي عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ ضَمِنَهَا لَكَ غَيْرِي فَهَذَا ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ:

Adapun permasalahan kedua: yaitu jika suami berkata, “Aku melakukan khulu‘ denganmu atas seribu dirham yang menjadi tanggunganmu,” lalu istri berkata, “Engkau melakukan khulu‘ denganku atas seribu dirham yang dijamin orang lain untukmu,” maka ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَقُولَ الزَّوْجَةُ قَدْ خَالَعْتُكَ عَلَيْهَا لَكِنْ ضَمِنَهَا لَكِ فُلَانٌ عَنِّي فَلَا تَحَالُفَ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّ الضَّمَانَ زِيَادَةُ وَثِيقَةٍ لَا تَبْرَأُ بِهِ الْمَضْمُونَ عَنْهُ، وَلَهُ مُطَالَبَتُهَا بِالْأَلْفِ لِأَنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مُطَالَبَةَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ وَلَا يَكُونُ الضَّمَانُ مَانِعًا مِنْ مُطَالَبَتِهِ فهذا القسم مما لا تخالف فِيهِ عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ وَلَا يَتَنَاوَلُهُ مُرَادُ الشَّافِعِيِّ.

Salah satunya: Istri berkata, “Aku telah melakukan khulu‘ terhadapmu dengan tebusan itu, tetapi si Fulan telah menjaminnya untukmu dariku.” Maka tidak ada sumpah di antara keduanya, karena penjaminan itu hanyalah tambahan jaminan, yang tidak membebaskan pihak yang dijamin darinya, dan suami berhak menuntut istri atas seribu tersebut, karena pemilik hak berhak menuntut pihak yang dijamin maupun yang menjamin, dan penjaminan tidak menjadi penghalang untuk menuntutnya. Maka bagian ini termasuk yang tidak ada perselisihan di dalamnya sebagaimana telah kami jelaskan, dan tidak termasuk maksud Imam asy-Syafi‘i.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَقُولَ: خَالَعْتَنِي عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ لِي فِي ذِمَّةِ غَيْرِي، وَيَقُولُ الزَّوْجُ: بَلْ خَالَعْتُكِ عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ فِي ذِمَّتِكِ فَقَدِ اتَّفَقَا فِي هَذَا الْقِسْمِ عَلَى الْخُلْعِ وَاخْتَلَفَا فِي الْأَلْفِ، فَالزَّوْجُ يَدَّعِي أَنَّهَا ألف في ذمتها والزوجة تتدعي أَنَّهَا أَلْفٌ فِي ذِمَّةِ غَيْرِهَا، وَمَا فِي ذِمَّتِهَا غَيْرُ مَا فِي ذِمَّةِ غَيْرِهَا، وَإِنْ كَانَ جَمِيعًا فِي مِلْكِهَا فَصَارَ ذَلِكَ كَاخْتِلَافِهِمَا فِي الْعِوَضِ فَيَقُولُ الزَّوْجُ: خَالَعْتُكِ عَلَى هَذَا الْعَبْدِ، فَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: بَلْ خَالَعْتَنِي عَلَى هَذَا العبد الآخر فيتحالفان كذلك ها هنا، لِأَنَّ اخْتِلَافَ الذِّمَّتَيْنِ كَاخْتِلَافِ الْعَبْدَيْنِ وَيَكُونُ لَهُ مَهْرُ الْمِثْلِ فِي ذِمَّتِهَا، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْقِسْمُ هُوَ الَّذِي أَرَادَهُ الشَّافِعِيُّ.

Bagian kedua: Istri berkata, “Engkau telah melakukan khulu‘ terhadapku dengan tebusan seribu dirham yang menjadi tanggungan orang lain,” dan suami berkata, “Bahkan aku telah melakukan khulu‘ terhadapmu dengan seribu dirham yang menjadi tanggunganmu.” Maka keduanya sepakat dalam bagian ini tentang terjadinya khulu‘, namun berselisih dalam hal seribu dirham tersebut. Suami mengklaim bahwa itu adalah seribu yang menjadi tanggungan istrinya, sedangkan istri mengklaim bahwa itu adalah seribu yang menjadi tanggungan orang lain. Apa yang menjadi tanggungan istri berbeda dengan apa yang menjadi tanggungan orang lain. Jika semuanya adalah milik istri, maka hal itu seperti perselisihan mereka dalam hal ‘iwadh (tebusan), misalnya suami berkata, “Aku telah melakukan khulu‘ terhadapmu dengan budak ini,” lalu istri berkata, “Bahkan engkau telah melakukan khulu‘ terhadapku dengan budak yang lain ini.” Maka keduanya saling bersumpah, demikian pula dalam hal ini, karena perbedaan tanggungan seperti perbedaan dua budak, dan suami berhak mendapatkan mahar mitsil dari istrinya. Mungkin saja bagian inilah yang dimaksud oleh Imam asy-Syafi‘i.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَقُولَ الزَّوْجُ خَالَعْتُكِ عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ فَتَقُولَ الزَّوْجَةُ بَلْ خَالَعَكَ فُلَانٌ عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ عَلَيْهِ دُونِي، فَهَذِهِ مِثْلُ أَنْ تَكُونَ قَدْ خَالَعَتْهُ بِشَيْءٍ وَمُقِرَّةً بِغَيْرِهَا بِأَنَّهُ خَالَعَ الزَّوْجَ عَنْهَا فَلَا تَحَالُفَ بَيْنَهُمَا لِأَنَّهَا مُنْكِرَةٌ لِلْعَقْدِ، وَالتَّحَالُفُ إِنَّمَا يَكُونُ مَعَ الِاعْتِرَافِ بِالْعَقْدِ وَالِاخْتِلَافِ فِي صِفَةٍ، فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَهَا مَعَ يَمِينِهَا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا، وَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهَا عَلَى الْغَيْرِ بِأَنَّهُ خَالَعَ الزَّوْجَ عَنْهَا، ويقع طلاق الزوج بائنا لأنه مقراً بِأَنَّهَا بَانَتْ مِنْهُ بِأَلْفٍ قَدِ اسْتَحَقَّهَا. فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا لَمْ يَحْصُلْ لَهُ الْأَلْفُ بِالْجُحُودِ فينبغي أن لا يَلْزَمَهُ الطَّلَاقُ بِالْإِقْرَارِ، كَمَا لَوِ ادَّعَى أَنَّهُ بَاعَ عَبْدَهُ عَلَى زَيْدٍ بِأَلْفٍ وَأَنْكَرَهُ زَيْدٌ لَمْ يَزُلْ مِلْكُهُ عَنِ الْعَبْدِ وَإِنِ اعْتَرَفَ بِبَيْعِهِ عَلَى زَيْدٍ، لِأَنَّ الثَّمَنَ لَمْ يَحْصُلْ بِهِ بِجُحُودِ زِيدٍ. قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْبَيْعَ لَا يَنْفَكُّ عَنِ الثَّمَنِ، فَإِذَا لَمْ يَحْصُلْ لَهُ الثَّمَنُ لَمْ يَلْزَمْهُ الْبَيْعُ، وَالطَّلَاقُ قَدْ يَنْفَكُّ عَنِ الْعِوَضِ، فَجَازَ أَنْ يَلْزَمَهُ الطَّلَاقُ، وَإِنْ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ الْعِوَضُ فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ يَخْتَلِفُ أَحْكَامُهَا فِي التَّحَالُفِ وَالْعِوَضِ.

Bagian ketiga: Suami berkata, “Aku telah melakukan khulu‘ terhadapmu dengan seribu dirham,” lalu istri berkata, “Bahkan yang melakukan khulu‘ terhadapmu adalah si Fulan dengan seribu dirham yang menjadi tanggungannya, bukan aku.” Ini seperti halnya jika istri telah melakukan khulu‘ dengan sesuatu dan mengakui adanya pihak lain yang melakukan khulu‘ terhadap suami atas namanya. Maka tidak ada sumpah di antara keduanya, karena istri mengingkari akad, dan sumpah hanya terjadi jika ada pengakuan terhadap akad dan perselisihan dalam sifatnya. Maka ucapan istri diterima dengan sumpahnya, dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Namun, ucapan istri tidak diterima atas pihak lain bahwa ia telah melakukan khulu‘ terhadap suami atas namanya. Talak suami jatuh secara bain (talak tiga) karena suami mengakui bahwa istrinya telah tercerai darinya dengan seribu yang telah menjadi haknya. Jika dikatakan: “Jika suami tidak mendapatkan seribu itu karena pengingkaran, maka seharusnya talak tidak wajib baginya karena pengakuan, sebagaimana jika seseorang mengaku telah menjual budaknya kepada Zaid dengan seribu, lalu Zaid mengingkarinya, maka kepemilikan budak tidak hilang darinya meskipun ia mengakui telah menjualnya kepada Zaid, karena harga tidak didapatkan akibat pengingkaran Zaid.” Maka dijawab: Perbedaannya adalah bahwa jual beli tidak terpisahkan dari harga, sehingga jika harga tidak didapatkan maka jual beli tidak wajib, sedangkan talak bisa terpisah dari ‘iwadh (tebusan), sehingga talak tetap sah meskipun ‘iwadh tidak didapatkan. Inilah tiga bagian yang berbeda hukumnya dalam hal sumpah dan ‘iwadh.

فَالْقِسْمُ الْأَوَّلُ لَا تَحَالُفَ فِيهِ، وَيُسْتَحَقُّ فِيهِ الْعِوَضُ فَلَا يَدْخُلُ فِيمَا ذكره الشافعي من التحالف.

Maka bagian pertama tidak ada sumpah di dalamnya, dan ‘iwadh berhak didapatkan, sehingga tidak termasuk dalam apa yang disebutkan oleh asy-Syafi‘i tentang sumpah.

والقسم الثاني:

Dan bagian kedua:

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: لَا يَتَحَالَفَانِ فِيهِ وَلَا يُسْتَحَقُّ فِيهِ الْعِوَضُ وَلَا يَدْخُلُ فِيمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ من التحالف والله أعلم.

Dan bagian ketiga: Tidak ada sumpah di dalamnya dan tidak ada ‘iwadh yang berhak didapatkan, serta tidak termasuk dalam apa yang disebutkan oleh asy-Syafi‘i tentang sumpah. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَتْ لَهُ طَلِّقْنِي وَلَكَ عَلَيَّ أَلْفُ دِرْهَمٍ فَقَالَ أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى الْأَلْفِ إِنْ شِئْتِ فَلَهَا الْمَشِيئَةُ وَقْتَ الْخِيَارِ) .

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika istri berkata kepada suami, ‘Ceraikan aku dan engkau berhak atas seribu dirham dariku,’ lalu suami berkata, ‘Engkau tertalak atas seribu itu jika engkau menghendaki,’ maka istri memiliki hak memilih pada waktu pilihan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَشْتَمِلُ عَلَى سُؤَالَيْنِ وَجَوَابَيْنِ فَالسُّؤَالَانِ: أَحَدُهُمَا: قَوْلُ الْمَرْأَةِ: طَلِّقْنِي عَلَى أَلْفٍ. وَالثَّانِي: قَوْلُ الرَّجُلِ إِنْ شِئْتِ.

Al-Mawardi berkata: Masalah ini mencakup dua pertanyaan dan dua jawaban. Dua pertanyaannya: Pertama, ucapan wanita: “Ceraikan aku dengan tebusan seribu.” Kedua, ucapan laki-laki: “Jika engkau menghendaki.”

وَأَمَّا الْجَوَابَانِ فَأَحَدُهُمَا قَوْلُ الرَّجُلِ: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى أَلْفٍ.

Adapun dua jawabannya, salah satunya adalah ucapan laki-laki: “Engkau tertalak dengan tebusan seribu.”

وَالثَّانِي: قَوْلُ الْمَرْأَةِ: إِنْ شِئْتُ، فَإِذَا بَدَأَتِ الْمَرْأَةُ بِالطَّلَبِ فَقَالَتْ: طَلِّقْنِي عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ، فَإِنْ عَجَّلَ جَوَابَهَا فِي الْحَالِ فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى أَلْفٍ، تَمَّ الْخُلْعُ بِسُؤَالٍ وَاحِدٍ وَجَوَابٍ وَاحِدٍ،. وَصَارَ سُؤَالُهَا طَلَبًا وَجَوَابُهُ إِيجَابًا، فَتَمَّ الْخُلْعُ، وَلَمْ تَحْتَجِ الْمَرْأَةُ إِلَى الْقَبُولِ بَعْدَ الْإِيجَابِ، وَإِنْ لَمْ يَتَعَجَّلْ طَلَاقُ الرَّجُلِ لَهَا حَتَّى تَرَاخَى خَرَجَ طَلَاقُهُ عَنْ حُكْمِ الْإِيجَابِ وَصَارَ بَدَلًا وَكَأَنَّهُ ابْتَدَأَهَا مِنْ غَيْرِ طَلَبٍ مِنْهَا فَقَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى أَلْفٍ فَلَا يَتِمُّ الْخُلْعُ بَعْدَ بَذْلِهِ حَتَّى تَقُولَ الزَّوْجَةُ فِي الْحَالِ: قَدْ قَبِلْتُ، فَيَتِمُّ الْخُلْعُ بِالْبَذْلِ وَالْقَبُولِ، لِأَنَّ تَرَاخِيَ جَوَابِ الزَّوْجِ عَنْ طَلَبِ الزَّوْجَةِ يُخْرِجُهُ مِنْ حُكْمِ الْإِيجَابِ الْمُسْتَحَقِّ عَلَى الْفَوْرِ بَعْدَ الطَّلَبِ، وَيَجْعَلُهُ حُكْمَ الْبَذْلِ الْمُسْتَبْدَأِ. فَأَمَّا إِنْ قَيَّدَ الزَّوْجُ جَوَابَهُ بِشَرْطٍ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَقَالَ عَقِيبَ قَوْلِهَا: طَلِّقْنِي عَلَى أَلْفٍ: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى أَلْفٍ إِنْ شِئْتِ، فَتَمَامُ الْخُلْعِ أَنْ يُوجَدَ مِنْهَا شَرْطُ الطَّلَاقِ، فَتَقُولُ: قَدْ شِئْتُ، وَلَا يَمْنَعُ وُقُوعَ الْخُلْعِ بِهَذَا الشَّرْطِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الطَّلَاقِ الْمُعَلَّقِ بِالصِّفَاتِ وَبِالشُّرُوطِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَمَشِيئَتُهَا وَإِنْ كَانَتْ بِالْقَلْبِ فَلَا تُعْلَمُ إِلَّا بِقَوْلِهَا: قَدْ شِئْتُ، فَإِذَا قَالَتْ: قَدْ شِئْتُ، صَارَ الْقَوْلُ مَشِيئَةً مِنْهَا، وَإِنْ كَانَ اخْتِيَارًا عَنْهَا، وَمِنْ شُرُوطِ الْمَشِيئَةِ أَنْ تَكُونَ عَلَى الْفَوْرِ، فَإِنَّهَا لَا تَصِيرُ قبولاً لِبَذْلٍ، وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ (فَلَهَا الْمَشِيئَةُ فِي وَقْتِ الْخِيَارِ) فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ وَقْتَ الْخِيَارِ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ إِنَّهُ أَرَادَ خِيَارَ الْقَبُولِ بَعْدَ الْبَذْلِ، فَعَلَى هَذَا مِنْ صِحَّةِ مَشِيئَتِهَا أَنْ تَكُونَ عَلَى الْفَوْرِ، مِنْ غَيْرِ مُهْلَةٍ، كَمَا يَكُونُ قَبُولُ الْبَذْلِ عَلَى الْفَوْرِ مِنْ غَيْرِ مُهْلَةٍ.

Yang kedua: Ucapan perempuan: “Jika aku menghendaki.” Jika perempuan memulai permintaan lalu berkata: “Ceraikan aku dengan seribu dirham,” kemudian suami segera menjawabnya saat itu juga dengan berkata: “Engkau aku ceraikan dengan seribu,” maka terjadilah khulu‘ dengan satu permintaan dan satu jawaban. Permintaan perempuan menjadi permohonan, dan jawaban suami menjadi ijab, sehingga khulu‘ pun sah, dan perempuan tidak perlu lagi mengucapkan kabul setelah ijab. Namun, jika suami tidak segera menceraikannya hingga ada jeda waktu, maka talak suami keluar dari hukum ijab dan menjadi sebagai pengganti, seolah-olah suami memulai (perceraian) tanpa permintaan dari istri, lalu berkata kepadanya: “Engkau aku ceraikan dengan seribu.” Maka khulu‘ tidak sah setelah adanya penyerahan (harta) hingga istri berkata saat itu juga: “Aku terima,” sehingga khulu‘ sah dengan penyerahan dan kabul. Sebab, keterlambatan jawaban suami dari permintaan istri mengeluarkannya dari hukum ijab yang harus segera setelah permintaan, dan menjadikannya sebagai hukum penyerahan yang baru dimulai. Adapun jika suami mengaitkan jawabannya dengan syarat, yaitu masalah yang disebut dalam kitab, lalu berkata setelah ucapan istrinya: “Ceraikan aku dengan seribu,” ia berkata: “Engkau aku ceraikan dengan seribu jika engkau menghendaki,” maka sempurnanya khulu‘ adalah dengan adanya syarat talak dari istri, yaitu ia berkata: “Aku menghendaki.” Hal ini tidak menghalangi terjadinya khulu‘ dengan syarat ini, meskipun termasuk akad mu‘awadhah (pertukaran), karena lebih menguatkan hukum talak yang digantungkan pada sifat dan syarat. Jika demikian, maka keinginan istri, meskipun hanya di dalam hati, tidak diketahui kecuali dengan ucapannya: “Aku menghendaki.” Jika ia berkata: “Aku menghendaki,” maka ucapan itu menjadi keinginan darinya, meskipun itu adalah pilihannya. Di antara syarat keinginan adalah harus segera, karena itu tidak menjadi kabul atas penyerahan. Imam asy-Syafi‘i berkata: “Maka ia berhak memilih pada waktu pilihan.” Para sahabat kami berbeda pendapat tentang makna ucapannya “waktu pilihan” menjadi dua pendapat: Pertama, menurut pendapat ulama Bashrah, maksudnya adalah pilihan kabul setelah penyerahan. Maka, agar keinginannya sah, harus segera tanpa ada jeda, sebagaimana kabul penyerahan juga harus segera tanpa jeda.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ إنَّهُ أَرَادَ خِيَارَ الْجَوَابِ بَعْدَ السُّؤَالِ وَهُوَ أَنْ تَشَاءَ فِي الْمَجْلِسِ قَبْلَ تَطَاوُلِ الزَّمَانِ وَبَعْدَهُ، وَقَبْلَ أَخْذِهَا فِي غَيْرِهِ وَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا مُهْلَةٌ يَسِيرَةٌ، كَمَا يَكُونُ فِي الْعَرب جَوَابًا لِلسُّؤَالِ، وَعَلَى كِلَا الْوَجْهَيْنِ إِنْ تَرَاخَى زَمَانُ مَشِيئَتِهَا لَمْ يَصِحَّ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat ulama Baghdad, bahwa yang dimaksud adalah pilihan jawaban setelah permintaan, yaitu istri boleh memilih di majelis itu sebelum berlalu waktu lama dan sesudahnya, serta sebelum ia sibuk dengan hal lain, meskipun di antara keduanya ada jeda waktu yang singkat, sebagaimana dalam kebiasaan Arab jawaban atas permintaan. Namun, menurut kedua pendapat tersebut, jika waktu keinginannya terlalu lama, maka tidak sah.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: خِيَارُهَا فِي الْمَشِيئَةِ مُمْتَدٌّ عَلَى التَّرَاخِي.

Abu Hanifah berkata: Pilihan istri dalam menghendaki (khulu‘) tetap berlaku meskipun dengan penundaan.

وَأَصْلُهُ اخْتِلَافُنَا وَإِيَّاهُ إِذَا قَالَ لَهَا: اخْتَارِي نَفْسَكِ، فَعِنْدَهُ إنَّ خِيَارَهَا مُمْتَدٌّ، وَعِنْدَنَا إنَّ خِيَارَهَا عَلَى الْفَوْرِ وَالْكَلَامُ مَعَهُ يَأْتِي.

Dasarnya adalah perbedaan pendapat kami dengan beliau dalam kasus jika suami berkata kepada istri: “Pilihlah dirimu sendiri.” Menurut beliau, pilihan istri tetap berlaku (meskipun dengan penundaan), sedangkan menurut kami, pilihan istri harus segera, dan pembahasan tentang hal ini akan dijelaskan.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَلَوْ قَالَتْ لَهُ: طَلِّقْنِي بِأَلْفٍ، فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى أَلْفٍ إِنْ كُنْتِ حَائِلًا، فَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا وَقَعَ الطَّلَاقُ بَائِنًا، وَكَانَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْأَلْفِ لِأَنَّ الْخُلْعَ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ لَا يَصِحُّ تَعْلِيقُهُ بِصِفَةٍ، فَلِذَلِكَ بَطَلَ الْمُسَمَّى فِيهِ لِبُطْلَانِهِ وَوَجَبَ مَهْرُ الْمِثْلِ، وَلَا يُحْكَمُ لَهُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ إِلَّا بَعْدَ وَضْعِهَا لِيُعْلَمَ بِهِ يَقِينُ حَمْلِهَا، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ غَلَطًا، وَفِي تَحْرِيمِ وَطْئِهَا عَلَيْهِ فِي حَالِ الْحَمْلِ وَقَبْلَ الوضع وجهان.

Jika istri berkata kepada suaminya: “Ceraikan aku dengan seribu,” lalu suami berkata: “Engkau aku ceraikan dengan seribu jika engkau tidak hamil,” maka jika ternyata istri sedang hamil, tidak terjadi talak atasnya. Namun, jika ia tidak hamil, maka jatuhlah talak bain (talak yang tidak bisa dirujuk), dan ia berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar sepadan) bukan seribu, karena khulu‘ adalah akad mu‘awadhah yang tidak sah digantungkan pada sifat, sehingga batal penamaan (mahar) di dalamnya karena batalnya akad, dan wajib mahar mitsil. Namun, mahar mitsil tidak diputuskan kecuali setelah ia melahirkan, agar dapat dipastikan kehamilannya, karena bisa jadi terjadi kekeliruan. Dalam hal keharaman suami menggaulinya saat hamil dan sebelum melahirkan, terdapat dua pendapat.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَإِنْ أَعْطَتْهُ إِيَّاهَا فِي وَقْتِ الْخِيَارِ لَزِمَهُ الطَّلَاقُ وَسَوَاءٌ هَرَبَ الزَّوْجُ أَوْ غَابَ حَتَّى مَضَى وَقْتُ الْخِيَارِ أَوْ أَبْطَأَتْ هِيَ بِالْأَلْفِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia (istri) memberikannya (uang seribu) kepadanya (suami) pada waktu masa pilihan, maka talak menjadi wajib baginya. Sama saja apakah suami melarikan diri atau pergi hingga masa pilihan berlalu, atau ia (istri) terlambat menyerahkan seribu tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الْكَلَامُ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ ها هنا عَنِ الشَّافِعِيِّ مَبْتُورٌ لَا يَسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ.

Al-Mawardi berkata: “Ucapan yang dinukil oleh al-Muzani di sini dari Imam Syafi‘i adalah terpotong dan tidak berdiri sendiri, dan para sahabat kami berbeda pendapat mengenainya.”

فَقَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ عَطْفٌ عَلَى الْمَسْأَلَةِ الَّتِي قَبْلَهَا إِذَا قَالَتْ لَهُ طَلِّقْنِي عَلَى أَلْفٍ، فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى أَلْفٍ إِنْ شِئْتِ، فَإِنْ شَاءَتْ فِي وَقْتِ الْخِيَارِ عَلَى الْفَوْرِ لَزِمَهُ، سَوَاءً أَعْطَتْهُ الْأَلْفَ فِي وَقْتِ الْخِيَارِ، أَوْ أَخَّرَتْهَا لِهَرَبِ الزَّوْجِ، أَوْ لِإِبْطَائِهَا لِأَنَّ الْعَطِيَّةَ تَصِيرُ شَرْطًا فِي الْقَبُولِ فَيُرَاعَى فِيهَا الْفَوْرُ.

Sebagian dari mereka berkata: “Ini merupakan sambungan dari masalah sebelumnya, yaitu jika istri berkata kepada suaminya: ‘Ceraikan aku dengan tebusan seribu,’ lalu suami berkata: ‘Engkau tertalak dengan tebusan seribu jika engkau menghendaki.’ Maka jika istri menghendaki pada waktu masa pilihan secara langsung, maka talak menjadi wajib, baik ia menyerahkan seribu itu pada waktu masa pilihan, atau menundanya karena suami melarikan diri, atau karena ia sendiri yang terlambat, karena pemberian itu menjadi syarat dalam penerimaan sehingga harus diperhatikan unsur langsung (segera) di dalamnya.”

وَقَالَ الْأَكْثَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا بَلْ هِيَ مَسْأَلَةٌ مُبْتَدَأَةٌ أَغْفَلَ الْمُزَنِيُّ ذِكْرَهَا، وَنَقْلَ جَوَابِهَا، وَقَدْ نَقَلَهَا الرَّبِيعُ فِي كِتَابِ الْأُمِّ، وَذَكَرَ فِيهَا هَذَا الْجَوَابَ، وَصُورَتُهَا: أَنْ يَقُولَ الزَّوْجُ لِامْرَأَتِهِ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا فأنت طالق، فإذا أَعْطَتْهُ فِي وَقْتِ الْخِيَارِ عَاجِلًا وَقَعَ الطَّلَاقُ، وَإِنْ أَخَّرَتْ دَفْعَ الْأَلْفِ إِمَّا لِسَبَبٍ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ بِأَنْ غَابَ أَوْ هَرَبَ، وَإِمَّا لِسَبَبٍ مِنْ جِهَتِهَا بِأَنْ أَبْطَأَتْ لِعُذْرٍ أَوْ غَيْرِ عُذْرٍ لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ، لِأَنَّ دَفْعَ الْأَلْفِ قَدْ صَارَ شَرْطًا فِي الْخُلْعِ فَرُوعِيَ فِيهِ الْفَوْرُ كَالْقَبُولِ لَكِنَّ الْفَوْرَ فِيهِ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْجَوَابِ، يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُمَا مُهْلَةٌ يَسِيرَةٌ وَجْهًا وَاحِدًا، بِخِلَافِ الْمَشِيئَةِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، لِأَنَّ هَذَا فِعْلٌ وَالْمَشِيئَةَ قَوْلٌ وزمان الفعل أوسع ومن زَمَانِ الْقَوْلِ.

Mayoritas sahabat kami berkata: “Bahkan ini adalah masalah baru yang tidak disebutkan oleh al-Muzani dan tidak dinukil jawabannya, namun telah dinukil oleh ar-Rabi‘ dalam kitab al-Umm dan disebutkan jawabannya di sana. Bentuk masalahnya adalah: Suami berkata kepada istrinya: ‘Jika engkau memberiku seribu, maka engkau tertalak.’ Jika istri memberikannya pada waktu masa pilihan secara langsung, maka jatuhlah talak. Namun jika ia menunda penyerahan seribu itu, baik karena sebab dari pihak suami seperti suami pergi atau melarikan diri, atau sebab dari pihak istri seperti ia terlambat karena uzur atau tanpa uzur, maka talak tidak jatuh. Karena penyerahan seribu itu telah menjadi syarat dalam khulu‘, maka harus diperhatikan unsur langsung (segera) sebagaimana dalam penerimaan, tetapi unsur langsung di sini diukur berdasarkan keadaan jawaban, boleh ada tenggang waktu yang singkat di antara keduanya menurut satu pendapat, berbeda dengan masalah kehendak (mashi’ah) menurut salah satu dari dua pendapat, karena ini adalah perbuatan, sedangkan mashi’ah adalah ucapan, dan waktu perbuatan lebih luas daripada waktu ucapan.”

ثُمَّ نَقَلَ الرَّبِيعُ فِي الْأُمِّ مَعَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَالَّتِي قَبْلَهَا مَسْأَلَةً ثَالِثَةً أغفلها المزني ها هنا، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ لَهَا الزَّوْجُ: إِنْ ضَمِنْتِ لِي أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِنْ ضَمِنَتْهَا عَلَى الْفَوْرِ فِي الْحَالِ طُلِّقَتْ سَوَاءً دَفَعَتْهَا فِي الْحَالِ، أَوْ أَخَّرَتْهَا، وَإِنْ لَمْ تَضْمَنْهَا عَلَى الْفَوْرِ حَتَّى تَرَاخَى الْوَقْتُ لَمْ تُطَلَّقْ سَوَاءً دَفَعَتْهَا فِي الْحَالِ، أَوْ أَخَّرَتْهَا، لِأَنَّ شَرْطَ الْخُلْعِ هُوَ الضَّمَانُ دُونَ الدَّفْعِ فَلِذَلِكَ رُوعِيَ تعجيل الضمان، ولم يراعى تعجيل الدفع والفور ها هنا مُعْتَبَرٌ بِفَوْرِ الْقَبُولِ بَعْدَ الْبَذْلِ وَجْهًا وَاحِدًا بِخِلَافِ الْمَشِيئَةِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، لِأَنَّهُمَا، وَإِنْ كَانَا مَعًا بِالْقَوْلِ فَالضَّمَانُ قَبُولٌ مَحْضٌ فَسَاوَاهُ، وَالْمَشِيئَةُ جَارِيَةٌ مَجْرَاهُ فَصَارَ تَحْرِيرُ هَذِهِ الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ أَنَّهُ مَتَى عُلِّقَ الْخُلْعُ بِدَفْعِ الْأَلْفِ رُوعِيَ فِيهِ خِيَارُ الْجَوَابِ فَجَازَ بَعْدَ مُهْلَةٍ يَسِيرَةٍ، وَإِنْ عُلِّقَ بِضَمَانِ الْأَلْفِ رُوعِيَ فِيهِ خِيَارُ الْقَبُولِ، فَلَمْ يَجُزْ بَعْدَ مُهْلَةٍ يَسِيرَةٍ وَإِنْ عُلِّقَ بِالْمَشِيئَةِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Kemudian ar-Rabi‘ menukil dalam al-Umm, bersama masalah ini dan yang sebelumnya, satu masalah ketiga yang tidak disebutkan oleh al-Muzani di sini, yaitu: Suami berkata kepada istrinya: ‘Jika engkau menjamin seribu untukku, maka engkau tertalak.’ Jika istri menjaminnya secara langsung pada saat itu juga, maka ia tertalak, baik ia menyerahkan seribu itu saat itu juga atau menundanya. Namun jika ia tidak menjaminnya secara langsung hingga waktu berlalu, maka ia tidak tertalak, baik ia menyerahkannya saat itu juga atau menundanya. Karena syarat khulu‘ di sini adalah jaminan, bukan penyerahan, maka yang diperhatikan adalah percepatan jaminan, bukan percepatan penyerahan. Dan unsur langsung di sini diukur dengan langsungnya penerimaan setelah penawaran menurut satu pendapat, berbeda dengan masalah kehendak (mashi’ah) menurut salah satu dari dua pendapat, karena meskipun keduanya sama-sama berupa ucapan, jaminan adalah penerimaan murni sehingga disamakan dengannya, sedangkan mashi’ah berjalan menurut jalurnya sendiri. Maka, penjelasan tiga masalah ini adalah: Jika khulu‘ digantungkan pada penyerahan seribu, maka yang diperhatikan adalah pilihan jawaban, sehingga boleh setelah tenggang waktu yang singkat. Jika digantungkan pada jaminan seribu, maka yang diperhatikan adalah pilihan penerimaan, sehingga tidak boleh setelah tenggang waktu yang singkat. Dan jika digantungkan pada kehendak (mashi’ah), maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُرَاعَى فِيهِ خِيَارُ الْجَوَابِ كَالدَّفْعِ.

Pertama: Yang diperhatikan adalah pilihan jawaban seperti pada penyerahan.

وَالثَّانِي: يُرَاعَى فِيهِ خِيَارُ الْقَبُولِ كَالضَّمَانِ.

Kedua: Yang diperhatikan adalah pilihan penerimaan seperti pada jaminan.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

فَأَمَّا إِنِ اخْتَلَفَ حرف الشرط بأن وإذا، فَهُمَا مَعًا حَرْفَا شَرْطٍ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Adapun jika huruf syarat berbeda antara “in” dan “idza”, keduanya adalah huruf syarat, maka hal ini terbagi menjadi tiga macam:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ فِي خُلْعٍ يُسْتَحَقُّ فِيهِ الْعِوَضُ فَيَقُولُ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى أَلْفٍ إِنْ شِئْتِ، أَوْ يَقُولُ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى أَلْفٍ إِذَا شِئْتِ، فَهُمَا سَوَاءٌ وَيُعْتَبَرُ وُجُودُ الْمَشِيئَةِ مِنْهُمَا عَلَى الْفَوْرِ: وَ (إِذَا) ، لِأَنَّ دُخُولَ الْعِوَضِ فِيهِ يَجْعَلُهُ تَمْلِيكًا يُرَاعَى فِيهِ حُكْمُ الْقَبُولِ فَاسْتَوَى حُكْمُ إذا وإن فِي اعْتِبَارِ الْفَوْرِ فِيهِمَا فَإِنْ تَرَاخَى الْوَقْتُ فِي أَحَدِهِمَا بَطَلَ.

Salah satunya: Jika hal itu terjadi dalam khulu‘ yang mensyaratkan adanya ‘iwadh (tebusan), lalu suami berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak dengan tebusan seribu (dirham) jika engkau menghendaki,” atau ia berkata: “Engkau tertalak dengan tebusan seribu (dirham) apabila engkau menghendaki,” maka keduanya sama saja dan yang diperhitungkan adalah adanya kehendak (persetujuan) dari keduanya secara langsung. Kata “apabila” (idha) di sini, karena masuknya ‘iwadh menjadikannya sebagai bentuk tamlik (pemilikan) yang harus memperhatikan hukum kabul (penerimaan), sehingga hukum antara “jika” (in) dan “apabila” (idha) sama dalam hal harus langsung (tidak boleh ada jeda waktu). Jika terjadi penundaan waktu pada salah satunya, maka batal.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي غَيْرِ خُلْعٍ وَبِغَيْرِ عِوَضٍ، فَإِنْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شِئْتِ، رُوعِيَ مَشِيئَتُهَا عَلَى الْفَوْرِ فَإِنْ تَرَاخَتْ بَطَلَتْ، وَلَمْ تُطَلَّقْ وَإِنْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا شِئْتِ صَحَّتْ مَشِيئَتُهَا عَلَى التَّرَاخِي، فَمَتَى شَاءَتْ طُلِّقَتْ، لِأَنَّهُمَا وإن كانا حرفي شرط (فإن) شَرْطٌ فِي الْفِعْلِ، وَ (إِذَا) شَرْطٌ فِي الْوَقْتِ، لِأَنَّهُ يَحْسُنُ أَنْ يُقَالَ: إِنْ تَأْتِنِي آتِكَ، وَلَا يَحْسُنُ أَنْ يُقَالَ: إِذَا تَأْتِينِي آتِكَ، فَلَمَّا كَانَتْ إِنْ شَرْطًا فِي الْفِعْلِ، وهو مَقْصُودٌ رَوْعِيَ تَقْدِيمُهُ فَصَارَ عَلَى الْفَوْرِ، وَلَمَّا كَانَ (إِذَا) شَرْطًا فِي الْوَقْتِ، وَكَانَ جَمِيعُهُ مُتَسَاوِيًا صَارَ عَلَى التَّرَاخِي. وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَدْخُلَ مَعَهُمَا حَرْفُ النَّفْيِ فَيَكُونُ حُكْمُهُمَا بِضِدِّ مَا تَقَدَّمَ مِثَالُهُ أَنْ يَقُولَ: إِنْ لَمْ تَشَائِي فَأَنْتِ طَالِقٌ فَيَكُونُ عَلَى التَّرَاخِي، فَمَتَى شَاءَتْ لَمْ تُطَلَّقْ، وَلَوْ قَالَ: إِذَا لَمْ تَشَائِي فَأَنْتِ طَالِقٌ فَيَكُونُ ذَلِكَ عَلَى الْفَوْرِ، فَإِنْ شَاءَتْ فِي الْحَالِ لَمْ تُطَلَّقْ وَإِنْ لم تشاء حتى تراخي الزمان طلقت، كمن لم تشاء لأنهما وإن كان حرفي شرط فإن مَوْضُوعَةٌ لِلشَّكِّ وَالتَّوَهُّمِ فَصَارَتْ بِالنَّفْيِ عَلَى التَّرَاخِي لتفيد بفوات الفعل يقيناً فذلك جُعِلَتْ عَلَى التَّرَاخِي، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا لِأَنَّهَا مَوْضُوعَةٌ لِلْيَقِينِ، فَإِذَا تَأَخَّرَ الْفِعْلُ عَنْ وَقْتِ إِمْكَانِهِ فَقَدْ خَالَفَ مَوْضُوعَهُ فَلِذَلِكَ صَارَ عَلَى الفور.

Jenis kedua: Jika terjadi bukan dalam khulu‘ dan tanpa ‘iwadh (tebusan), maka jika suami berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau menghendaki,” maka kehendaknya harus segera, jika ia menunda maka batal dan ia tidak tertalak. Namun jika suami berkata: “Engkau tertalak apabila engkau menghendaki,” maka kehendaknya sah meskipun ditunda, sehingga kapan pun ia menghendaki maka ia tertalak. Karena meskipun keduanya adalah huruf syarat, “in” adalah syarat pada perbuatan, sedangkan “idha” adalah syarat pada waktu. Karena baik dikatakan: “Jika engkau datang kepadaku, aku akan mendatangimu,” dan tidak baik dikatakan: “Apabila engkau datang kepadaku, aku akan mendatangimu.” Maka ketika “in” adalah syarat pada perbuatan, dan itu yang dimaksudkan, maka diperhatikan untuk didahulukan sehingga menjadi harus segera. Sedangkan “idha” adalah syarat pada waktu, dan seluruhnya setara, maka menjadi boleh ditunda. Jenis ketiga: Jika disertai dengan huruf nafi (penafian), maka hukumnya berlawanan dengan yang telah dijelaskan. Contohnya, jika suami berkata: “Jika engkau tidak menghendaki maka engkau tertalak,” maka itu boleh ditunda, sehingga kapan pun ia menghendaki maka ia tidak tertalak. Namun jika suami berkata: “Apabila engkau tidak menghendaki maka engkau tertalak,” maka itu harus segera, sehingga jika ia menghendaki pada saat itu juga maka ia tidak tertalak, dan jika ia tidak menghendaki hingga waktu berlalu maka ia tertalak, seperti orang yang tidak menghendaki. Karena meskipun keduanya adalah huruf syarat, “in” digunakan untuk keraguan dan dugaan, maka dengan penafian menjadi boleh ditunda agar menunjukkan bahwa perbuatan itu pasti tidak terjadi, maka dijadikan boleh ditunda. Tidak demikian halnya dengan “idha”, karena ia digunakan untuk kepastian, sehingga jika perbuatan itu tertunda dari waktu kemungkinannya maka telah menyelisihi maksudnya, oleh karena itu harus segera.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ أَعْطَيْتِنِي أَلْفَ دِرْهَمٍ فَأَعْطَتْهُ إِيَّاهَا زَائِدَةً فَعَلَيْهِ طَلْقَةٌ لِأَنَّهَا أَعْطَتْهُ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَزِيَادَةً) .

Imam asy-Syafi‘i berkata: “Jika suami berkata: Engkau tertalak jika engkau memberiku seribu dirham, lalu istri memberinya lebih dari itu, maka jatuh satu talak atasnya, karena ia telah memberinya seribu dirham dan tambahan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَالَ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي أَلْفَ دِرْهَمٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَقَدْ ذَكَرْنَا إِنْ أَعْطَتْهُ الْأَلْفَ يَكُونُ عَلَى الْفَوْرِ فِي وَقْتِ الْخِيَارِ، وَهُوَ خِيَارُ الْجَوَابِ، لَا خِيَار الْقَبُولِ، فَإِذَا أَعْطَتْهُ الْأَلْفَ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar jika suami berkata: Jika engkau memberiku seribu dirham maka engkau tertalak. Telah kami sebutkan bahwa jika ia memberinya seribu dirham, maka harus segera pada waktu pilihan, yaitu pilihan untuk menjawab, bukan pilihan untuk menerima. Jika ia memberinya seribu dirham, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تُعْطِيَهُ أَلْفًا كَامِلَةً مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانٍ، فَقَدْ طُلِّقَتْ وَاحِدَةً إِنْ لَمْ يُرِدِ الزَّوْجُ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ أَكْثَرَ مِنْهَا، وَسَوَاءٌ دَفَعَتِ الْأَلْفَ إِلَيْهِ فِي دَفْعَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ فِي دَفَعَاتٍ إِذَا كَانَ دَفْعُ جَمِيعِهَا فِي وَقْتِ الْخِيَارِ، لِأَنَّ دَفْعَ الْأَلْفِ قَدْ وُجِدَ مَعَ الِافْتِرَاقِ.

Pertama: Ia memberinya seribu dirham secara utuh tanpa tambahan dan tanpa kekurangan, maka ia tertalak satu kali jika suami tidak bermaksud dengan ucapannya “engkau tertalak” lebih dari satu talak. Sama saja apakah ia menyerahkan seribu dirham itu sekaligus atau bertahap, selama seluruhnya diserahkan pada waktu pilihan, karena penyerahan seribu dirham telah terjadi bersamaan dengan perpisahan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَدْفَعَ إِلَيْهِ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفٍ، كَأَنَّهَا دَفَعَتْ إِلَيْهِ أَلْفَيْنِ، فَإِنْ دَفَعَتِ الزِّيَادَةَ مُفْرَدَةً طُلِّقَتْ إِجْمَاعًا، وَإِنْ دَفَعَتِ الزِّيَادَةَ مَعَ الْأَلْفِ فَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِرَاقِ إِلَى أَنَّهَا لَا تُطَلَّقُ، وَتَكُونُ الزِّيَادَةُ مُعْتَبَرَةً بِصِفَةِ الشَّرْطِ كَالنُّقْصَانِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ قَالَ: قَدْ بِعْتُكَ دَارِي بِأَلْفٍ فَقَالَ قَدِ اشْتَرَيْتُهَا بِأَلْفَيْنِ لَمْ يَصِحَّ، وَإِنْ كَانَتِ الْأَلْفُ دَاخِلَةً فِيهَا فَكَذَلِكَ فِي الطَّلَاقِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ وُجُودَ الصِّفَةِ مَعَ الزِّيَادَةِ لَا تَمْنَعُ مِنْ ثُبُوتِ حُكْمِهَا مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ، كَمَا لَوْ أَعْطَتْهُ أَلْفًا وَعَبْدًا طُلِّقَتْ، وَلَا يَمْنَعُ زِيَادَةَ الْعَبْدِ مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ لِوُجُودِ الْأَلْفِ، كَذَلِكَ لَا تَمْنَعُ الزِّيَادَةُ عَلَى الْأَلْفِ مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ، لِوُجُودِ الْأَلْفِ فَأَمَّا النُّقْصَانُ فَلَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ، لِعَدَمِ الْأَلْفِ.

Bagian kedua: Yaitu jika ia memberikan kepadanya lebih dari seribu, misalnya ia memberikan dua ribu kepadanya. Jika ia memberikan kelebihan itu secara terpisah, maka talak jatuh secara ijmā‘. Namun, jika ia memberikan kelebihan itu bersamaan dengan seribu, sebagian ahli Irak berpendapat bahwa talak tidak jatuh, dan kelebihan itu dianggap sebagai syarat seperti halnya kekurangan. Karena jika seseorang berkata: “Aku telah menjual rumahku kepadamu seharga seribu,” lalu yang lain berkata: “Aku membelinya dengan dua ribu,” maka tidak sah, meskipun seribu itu termasuk di dalamnya. Demikian pula dalam masalah talak. Namun, pendapat ini keliru, karena keberadaan sifat (syarat) bersama kelebihan tidak menghalangi terjadinya hukum talak tanpa kelebihan, sebagaimana jika ia memberikan seribu dan seorang budak, maka talak jatuh, dan kelebihan budak tidak menghalangi terjadinya talak karena adanya seribu. Demikian pula, kelebihan atas seribu tidak menghalangi terjadinya talak karena adanya seribu. Adapun kekurangan, maka talak tidak jatuh karenanya, karena tidak adanya seribu.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْبَيْعِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الطَّلَاقَ مُعَلَّقٌ بِصِفَةٍ فَلَمْ تَمْنَعِ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا مِنْ ثُبُوتِ حُكْمِهَا، وَالْبَيْعُ مُعَاوَضَةٌ تَتمّ بِالْقَبُولِ الْمُوَافِقِ لِلْبَدَلِ فَافْتَرَقَا فَإِذَا تَقَرَّرَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ مَعَ دَفْعِ الزِّيَادَةِ، فَلَهَا اسْتِرْجَاعُ الزِّيَادَةِ، وَلَا يَمْلِكُهَا الزَّوْجُ بِالْأَخْذِ وَإِنْ مَلَكَ الْأَلْفَ إِلَّا أَنْ يَقْبِضَهَا بِالْهِبَةِ فَيَمْلِكَهَا بِالْهِبَةِ وَيَمْلِكَ الْأَلْفَ بالخلع.

Adapun jawaban mengenai perbandingan dengan jual beli adalah perbedaan antara keduanya: talak digantungkan pada suatu sifat (syarat), sehingga kelebihan atas syarat itu tidak menghalangi terjadinya hukum talak. Sedangkan jual beli adalah akad pertukaran yang sah dengan adanya penerimaan yang sesuai dengan harga, sehingga keduanya berbeda. Maka, jika telah dipastikan bahwa talak jatuh dengan pemberian kelebihan, maka istri berhak mengambil kembali kelebihan itu, dan suami tidak memilikinya hanya dengan mengambilnya, meskipun ia memiliki seribu, kecuali jika ia menerimanya sebagai hibah, maka ia memilikinya sebagai hibah dan memiliki seribu karena khulu‘.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَدْفَعَ إِلَيْهِ أَقَلَّ مِنْ أَلْفِ دِرْهَمٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketiga: Yaitu jika ia memberikan kepadanya kurang dari seribu dirham, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ نُقْصَانُهَا فِي الْعَدَدِ دُونَ الْوَزْنِ كَأَنَّهَا دَفَعَتْ إِلَيْهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَازِنَةً عَدَدُهَا أَقَلُّ مِنْ أَلْفٍ، فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ لِأَنَّ الطَّلَاقَ بِإِطْلَاقِ الدَّرَاهِمِ يَتَنَاوَلُ الْوَازِنَةَ دُونَ الْمَعْدُودَةِ شَرْعًا كَالزَّكَاةِ، وَعُرْفًا كَالْبَيْعِ، فَصَارَتِ الصِّفَةُ مَوْجُودَةً بِكَمَالِ الْوَزْنِ مَعَ نُقْصَانِ الْعَدَدِ فَلِذَلِكَ وَقَعَ الطَّلَاقُ.

Pertama: Kekurangannya pada jumlah, bukan pada berat, misalnya ia memberikan seribu dirham yang beratnya sempurna tetapi jumlahnya kurang dari seribu. Maka talak jatuh, karena talak dengan penyebutan dirham secara mutlak mencakup yang berbobot, bukan yang dihitung secara jumlah menurut syariat, seperti pada zakat, dan menurut kebiasaan, seperti pada jual beli. Maka sifat (syarat) itu dianggap ada dengan sempurnanya berat meskipun jumlahnya kurang, oleh karena itu talak jatuh.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ نَاقِصَةَ الْوَزْنِ كَامِلَةَ الْعَدَدِ، فَلَا طَلَاقَ، لِأَنَّ الصِّفَةَ لَمْ تَكْمُلْ شَرْعًا وَلَا عُرْفًا، إِلَّا أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ فِي بَلَدٍ جَرَتْ عَادَةُ أَهْلِهِ أَنْ يَتَعَامَلُوا فِيهِ بِالدَّرَاهِمِ عَدَدًا لَا وَزْنًا، فَيَقَعُ الطَّلَاقُ بِكَمَالِ العدد مع نقصان الوزن تغلبياً لِلْعُرْفِ دُونَ الشَّرْعِ، وَلَا تُطَلَّقُ مَعَ هَذَا الْعُرْفِ بِنُقْصَانِ الْعَدَدِ مَعَ كَمَالِ الْوَزْنِ.

Kedua: Kekurangan pada berat namun jumlahnya sempurna, maka talak tidak jatuh, karena sifat (syarat) itu tidak sempurna baik secara syariat maupun kebiasaan, kecuali jika di suatu negeri masyarakatnya terbiasa bertransaksi dengan dirham berdasarkan jumlah, bukan berat. Maka talak jatuh dengan sempurnanya jumlah meskipun beratnya kurang, karena mengutamakan kebiasaan atas syariat. Namun, dengan kebiasaan ini, talak tidak jatuh jika jumlahnya kurang meskipun beratnya sempurna.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ أَعْطَتْهُ إِيَّاهَا رَدِيئَةً فَإِنْ كَانَتْ فِضَّةً يَقَعُ عَلَيْهَا اسْمُ دَرَاهِمَ طُلِّقَتْ وَكَانَ عَلَيْهَا بَدَلُهَا فَإِنْ لَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا اسْمُ دَرَاهِمَ لَمْ تُطَلَّقْ) . قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَالَ لَهَا: إِنْ أَعْطَيْتِنِي أَلْفَ دِرْهَمٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia memberikannya dalam keadaan buruk, maka jika itu masih berupa perak yang masih disebut dirham, talak jatuh dan ia wajib menggantinya. Namun jika tidak lagi disebut dirham, maka talak tidak jatuh.” Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika ia berkata kepadanya: “Jika engkau memberiku seribu dirham, maka engkau tertalak.” Maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُعَيِّنَ تِلْكَ الْأَلْفَ فَيَقُولُ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي هَذِهِ الْأَلْفَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ إِلَّا بِدَفْعِهَا، فَإِنْ أَعْطَتْهُ غَيْرَهَا لَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَهَا أَوْ أَجْوَدَ مِنْهَا لِعَدَمِ الشَّرْطِ فِي دفع غيرها.

Pertama: Ia menentukan seribu dirham itu secara spesifik, lalu berkata: “Jika engkau memberiku seribu dirham ini, maka engkau tertalak.” Maka talak tidak jatuh kecuali dengan memberikan seribu dirham tersebut. Jika ia memberikan selain itu, maka talak tidak jatuh, meskipun yang diberikan sejenis atau lebih baik, karena syaratnya tidak terpenuhi dalam pemberian selain itu.

والضرب الثاني: أن لا يُعَيِّنَ الْأَلْفَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Ia tidak menentukan seribu dirham itu secara spesifik, maka ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا أَنْ يصف الألف.

Pertama, ia menyifati seribu dirham itu.

والثاني: أن لا يَصِفَهَا.

Kedua, ia tidak menyifatinya.

فَإِنْ وَصَفَهَا كَانَ دَفْعُهَا عَلَى تِلْكَ الصِّفَةِ شَرْطًا فِي وُقُوعِ طَلَاقِهَا، وَإِنْ دَفَعَتْهَا عَلَى غَيْرِ تِلْكَ الصِّفَةِ سَوَاءٌ كَانَ مَا دَفَعَتْهُ مِنْ غَالِبِ دَرَاهِمِ الْبَلَدِ، أَوْ مِنْ غَيْرِهَا إِذَا لَمْ تُوجَدْ تِلْكَ الصِّفَةُ فِيهَا ثُمَّ إِذَا دَفَعَتْهَا عَلَى تِلْكَ الصِّفَةِ مَلَكَهَا.

Jika ia menyifatinya, maka pemberian sesuai dengan sifat tersebut menjadi syarat jatuhnya talak. Jika ia memberikannya tidak sesuai dengan sifat tersebut, baik yang diberikan itu dari mayoritas dirham yang berlaku di negeri itu atau bukan, selama sifat tersebut tidak ada padanya, maka talak tidak jatuh. Kemudian, jika ia memberikannya sesuai dengan sifat yang disebutkan, maka suami berhak memilikinya.

والضرب الثاني: أن لا يَصِفَ الْأَلْفَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: yaitu tidak menyifati seribu (dirham), maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لِلْبَلَدِ نَقْدٌ غَالِبٌ مِنَ الدَّرَاهِمِ فَهَلْ يَصِيرُ نَقْدُ الْبَلَدِ كَالصِّفَةِ الْمَشْرُوطَةِ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهَا أَوْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Salah satunya: jika di negeri tersebut terdapat mata uang yang dominan berupa dirham, apakah mata uang negeri itu menjadi seperti sifat yang disyaratkan dalam terjadinya talak dengannya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَصِيرُ كَالصِّفَةِ الْمَشْرُوطَةِ فَإِنْ دَفَعَتْ إِلَيْهِ مِنْ غَيْرِ نَقْدِ الْبَلَدِ لَمْ تُطَلَّقْ وَإِنْ كَانَ اسْمُ الدَّرَاهِمِ عَلَيْهَا مُنْطَلِقًا، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ نَقْدُ الْبَلَدِ كَالصِّفَةِ الْمَشْرُوطَةِ فِي الْعُقُودِ كَانَ كَذَلِكَ فِي الطَّلَاقِ فَعَلَى هَذَا إِنْ دَفَعَتْ إِلَيْهِ مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ طُلِّقَتْ وَمَلَكَهَا، وَإِنْ دَفَعَتْ إِلَيْهِ مِنْ غَيْرِ نَقْدِ الْبَلَدِ لَمْ تُطَلَّقْ وَلَمْ يَمْلِكْهَا.

Salah satunya: bahwa itu menjadi seperti sifat yang disyaratkan, maka jika ia (istri) menyerahkan kepadanya selain mata uang negeri tersebut, talak tidak jatuh, meskipun nama dirham berlaku atasnya. Karena ketika mata uang negeri itu seperti sifat yang disyaratkan dalam akad, maka demikian pula dalam talak. Berdasarkan ini, jika ia menyerahkan kepadanya dari mata uang negeri itu, maka talak jatuh dan ia (suami) memilikinya. Namun jika ia menyerahkan selain dari mata uang negeri itu, maka talak tidak jatuh dan ia (suami) tidak memilikinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: دُونَ الْعُرْفِ فَإِنْ دَفَعَتْ إِلَيْهِ مِنْ غَالِبِ دَرَاهِمِ الْبَلَدِ، طُلِّقَتْ، وَمَلَكَ تِلْكَ الدَّرَاهِمَ، وَإِنْ دَفَعَتْ مِنْ غَيْرِ دَرَاهِمِ الْبَلَدِ طُلِّقَتْ وَإِنْ لَمْ يَمْلِكْ تِلْكَ الدَّرَاهِمَ لِأَنَّهُ يَمْلِكُهَا بِعَقْدٍ فَاعْتُبِرَ فِيهَا الْعُرْفُ مِنْ غَالِبِ دَرَاهِمِ الْبَلَدِ وَاعْتُبِرَ فِي الطَّلَاقِ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الطَّلَاقِ، وَكَانَ لَهُ عَلَيْهَا أَلْفٌ مِنْ غَالِبِ دَرَاهِمِ الْبَلَدِ، لِأَنَّهَا تُمْلَكُ عَنْ مُعَاوَضَةٍ تُعْتَبَرُ فِيهَا غَالِبُ الدَّرَاهِمِ.

Pendapat kedua: tanpa memperhatikan ‘urf (kebiasaan), maka jika ia menyerahkan kepadanya dari mayoritas dirham negeri itu, talak jatuh dan ia (suami) memiliki dirham tersebut. Namun jika ia menyerahkan selain dari dirham negeri itu, talak tetap jatuh meskipun ia (suami) tidak memilikinya, karena ia (suami) memilikinya dengan akad, sehingga dalam hal ini dipertimbangkan ‘urf dari mayoritas dirham negeri itu, dan dalam talak dipertimbangkan apa yang dinamai talak. Maka ia (suami) berhak atas seribu dari mayoritas dirham negeri itu, karena ia dimiliki melalui mu‘āwadah (pertukaran) yang di dalamnya dipertimbangkan mayoritas dirham.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لِلْبَلَدِ نُقُودٌ مُخْتَلِفَةٌ وَلَيْسَ وَاحِدٌ مِنْهَا بِأَغْلَبَ مِنْ غَيْرِهِ فَأَيُّ دَرَاهِمَ دَفَعَتْهَا إِلَيْهِ مِمَّا يَنْطَبِقُ اسْمُ الدَّرَاهِمِ عَلَيْهَا طُلِّقَتْ بِهَا، وَلَمْ يَمْلِكْهَا الزَّوْجُ، وَكَانَ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ لَيْسَ الْعِوَضُ مُعَيَّنًا وَلَا مَوْصُوفًا وَلَا فِيهِ نَقْدٌ مُسْتَحَقٌّ مِثْلُهُ.

Jenis kedua: jika di negeri itu terdapat berbagai macam mata uang dan tidak ada satu pun yang lebih dominan dari yang lain, maka dirham mana pun yang ia (istri) serahkan kepadanya, selama masih dinamai dirham, maka talak jatuh dengannya, namun suami tidak memilikinya, dan ia (suami) berhak atas mahar mitsil (mahar sepadan) darinya menurut satu pendapat, karena kompensasinya tidak ditentukan, tidak disifati, dan tidak ada mata uang tertentu yang menjadi haknya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ هَذَا التَّفْصِيلِ، وَطَلَّقَهَا عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ دَفَعَتْهَا إِلَيْهِ فَطُلِّقَتْ بِهَا، وَمَلَكَهَا فِي الظَّاهِرِ عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ، ثُمَّ بَانَ لَهُ أَنَّ الدَّرَاهِمَ رَدِيئَةٌ مَعِيبَةٌ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika telah jelas apa yang kami uraikan dari rincian ini, lalu ia (suami) mentalaknya dengan syarat seribu dirham yang ia (istri) serahkan kepadanya, maka talak jatuh dengannya dan ia (suami) memilikinya secara zhahir sebagaimana telah kami jelaskan. Kemudian ternyata dirham tersebut buruk dan cacat, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْأَلْفُ مَعِيبًا فَلَا يَخْلُو عَيْبُهَا مِنْ أَنْ يُخْرِجَهَا مِنْ جِنْسِ الصِّفَةِ أَوْ لَا يُخْرِجُهَا فَإِنْ أَخْرَجَهَا مِنْ جِنْسِ الصِّفَةِ فَكَانَتْ نُحَاسًا أَوْ رَصَاصًا لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ قَدْ تَضَمَّنَ وُقُوعَ الطَّلَاقِ بِدَفْعِهَا أَنْ تَكُونَ مِنْ دَرَاهِمِ الْفِضَّةِ، فَإِذَا لَمْ تُوجَدْ هَذِهِ الصِّفَةُ فِيهَا لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ لِعَدَمِ الصِّفَةِ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ جِنْسِ الْفِضَّةِ وَقَعَ الطَّلَاقُ لِوُجُودِ الصِّفَةِ، وَهُوَ لِأَجْلِ الْعَيْبِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْمُقَامِ أَوِ الرَّدِّ، فَإِنْ أَقَامَ لَمْ يَرْجِعْ بِأَرْشِهَا وَإِنْ رَدَّ فَمَاذَا يَرْجِعُ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Salah satunya: jika seribu itu cacat, maka cacatnya tidak lepas dari dua kemungkinan: mengeluarkannya dari jenis sifat atau tidak mengeluarkannya. Jika cacatnya mengeluarkan dari jenis sifat, seperti ternyata berupa tembaga atau timah, maka talak tidak jatuh, karena terjadinya talak dengan penyerahan itu mensyaratkan harus dari dirham perak. Jika sifat ini tidak ada padanya, maka talak tidak jatuh karena tidak terpenuhi sifatnya. Namun jika masih dari jenis perak, maka talak jatuh karena sifatnya ada, dan karena cacat, maka ia (suami) berhak memilih antara menerima atau mengembalikan. Jika ia menerima, maka ia tidak berhak menuntut ganti rugi (arsh)-nya. Jika ia mengembalikan, lalu apa yang ia dapatkan? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بِمِثْلِهَا غَيْرِ مَعِيبَةٍ.

Salah satunya: dengan yang semisal dengannya yang tidak cacat.

وَالثَّانِي: بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Dan yang kedua: dengan mahar mitsil (mahar sepadan).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْأَلْفُ غَيْرَ مَعِيبَةٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ.

Jenis kedua: jika seribu itu tidak cacat, maka terbagi menjadi dua.

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ عَيْبُهَا لَا يُخْرِجُهَا مِنْ جِنْسِ الصِّفَةِ، وَإِنَّمَا هِيَ مِنْ رَدِيءِ الْفِضَّةِ وَخَشَنِهَا لِرَدَاءَةِ مَعْدِنِهَا، فَالطَّلَاقُ هَا هُنَا قَدْ وَقَعَ، وَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَسْمَحَ بِعَيْبِهَا كَمَا يَسْمَحُ بِعَيْبِ الْمَعِيبِ وَبَيْنَ أَنْ يَرُدَّهَا وَيَرْجِعَ بِمِثْلِهَا مِنْ جَيِّدِ الْفِضَّةِ غَيْرِ مَعِيبٍ وَلَا يَرْجِعُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ حَقَّهُ فِي أَلْفِ دِرْهَمٍ غَيْرِ مَعِينةٍ.

Salah satunya: jika cacatnya tidak mengeluarkannya dari jenis sifat, hanya saja ia dari perak yang buruk dan kasar karena kualitas logamnya yang rendah, maka talak di sini tetap jatuh, dan ia (suami) berhak memilih antara menerima cacatnya sebagaimana menerima cacat pada barang cacat, atau mengembalikannya dan mengambil yang semisal dari perak yang baik dan tidak cacat, dan tidak berhak atas mahar mitsil menurut satu pendapat, karena haknya adalah pada seribu dirham yang tidak ditentukan secara spesifik.

وَالضَّرْبُ الثاني: أن يكون عيبها وردائتها قَدْ أَخْرَجَهَا مِنْ جِنْسِ الْفِضَّةِ لِمَا فِيهَا مِنْ رصَاصٍ أَوْ مَاسٍ فَالطَّلَاقُ هَا هُنَا غَيْرُ وَاقِعٍ، لِأَنَّهُ جَعَلَ طَلَاقَهَا مَشْرُوطًا بِدَفْعِ أَلْفِ دِرْهَمٍ، وَهَذِهِ لِمَا فِيهَا مِنَ الْغِشِّ أَقَلُّ مِنْ أَلْفِ دِرْهَمٍ، فَلَمْ تُطَلَّقْ لِنُقْصَانِ الفضة، ولكن لَوْ دَفَعَتْ إِلَيْهِ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفِ دِرْهَمٍ فِيهَا مِنَ الْفِضَّةِ أَلْفُ دِرْهَمٍ طُلِّقَتْ لِوُجُودِ الْفِضَّةِ وَزِيَادَةِ الْغِشِّ، وَلَهُ بَدَلُهَا إِنْ شَاءَ.

Jenis kedua: yaitu apabila cacat dan buruknya dirham itu telah mengeluarkannya dari jenis perak karena adanya timah atau berlian di dalamnya, maka talak dalam hal ini tidak terjadi. Sebab, ia menjadikan talaknya bersyarat dengan penyerahan seribu dirham, sedangkan dirham yang bercampur unsur penipuan ini kandungan peraknya kurang dari seribu dirham. Maka, talak tidak terjadi karena kekurangan peraknya. Namun, jika ia menyerahkan kepadanya lebih dari seribu dirham yang di dalamnya terdapat seribu dirham perak, maka talak terjadi karena adanya kandungan perak dan tambahan unsur penipuan, dan ia (suami) berhak menukarnya jika ia menghendaki.

فَإِنْ قِيلَ: فَعَلَى هَذَا إِنْ دَفَعَتْ إِلَيْهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ نَقْرَةً فِضَّةً يَنْبَغِي عَلَى هَذَا التَّعْلِيلِ أَنْ تُطَلَّقَ.

Jika dikatakan: Berdasarkan penjelasan ini, jika ia menyerahkan kepadanya seribu dirham berupa bongkahan perak, maka seharusnya menurut alasan ini talak terjadi.

قِيلَ: لَا تُطَلَّقُ بِالْفِضَّةِ النَّقْرَةِ وَإِنْ طُلِّقَتْ بِالْفِضَّةِ فِي الدَّرَاهِمِ الْمَغْشُوشَةِ، لِأَنَّ النَّقْرَةَ لَا يَنْطَلِقُ اسَمُ الدَّرَاهِمِ عَلَيْهَا، وَإِنْ كَانَتْ فِضَّةً، وَالدَّرَاهِمَ الْمَغْشُوشَةَ يَنْطَلِقُ اسْمُ الدَّرَاهِمِ عَلَيْهَا إِذَا كَانَ فِيهَا فِضَّةٌ فَافْتَرَقَا في الحكم لافتراقهما في الاسم.

Dijawab: Talak tidak terjadi dengan perak bongkahan, meskipun talak terjadi dengan perak yang ada pada dirham yang bercampur unsur penipuan. Sebab, bongkahan perak tidak dinamakan dirham, meskipun ia adalah perak. Sedangkan dirham yang bercampur unsur penipuan tetap dinamakan dirham selama masih mengandung perak. Maka, keduanya berbeda hukum karena perbedaan nama.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ مَتَى أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَذَلِكَ لَهَا وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ أَخْذِهَا وَلَا لَهَا إِذَا أَعْطَتْهُ أَنْ تَرْجِعَ فِيهَا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia berkata, ‘Kapan pun engkau memberiku seribu (dirham), maka engkau tertalak,’ maka itu menjadi hak istri, dan suami tidak boleh menolak untuk menerimanya, dan istri pun tidak boleh menarik kembali setelah memberikannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا قَالَ لَهَا مَتَى أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ مَتَى مَا أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَهُمَا سَوَاءٌ، لِأَنَّ مَا حَرْفُ صِلَةٍ تَدْخُلُ فِي الْكَلَامِ لِلتَّأْكِيدِ لَا يُفِيدُ نَفْيًا وَلَا إِثْبَاتًا كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ} [آل عمران: 159] . أَيْ فَبِرَحْمَةٍ مِنَ الله، وإذا كان كذلك فأي وقت أعطيته الْأَلْفَ طُلِّقَتْ عَلَى الْفَوْرِ أَوْ عَلَى التَّرَاخِي، لِأَنَّ مَتَى حَرْفٌ وُضِعَ لِلتَّرَاخِي فِي الْأَوْقَاتِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَيُّ وَقْتٍ أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا، أَوْ فِي أَيِّ زَمَانٍ أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَهُوَ عَلَى التَّرَاخِي مَتَى أَعْطَتْهُ الْأَلْفَ طُلِّقَتْ، لَا يَخْتَصُّ بِوَقْتٍ دُونَ وَقْتٍ، وَلَا بِالْفَوْرِ دُونَ التَّرَاخِي، لِأَنَّ كُلَّ هَذِهِ الْحُرُوفِ يَخْتَصُّ بِالزَّمَانِ فَعَمَّتْ جَمِيعَ الْأَزْمَانِ. فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ لَوْ قَالَ إِنْ أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا أَوْ قَالَ: إِذَا أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا أَنْتِ طَالِقٌ أَنَّهُ يَكُونُ عَلَى الْفَوْرِ، وَإِنِ اخْتَلَفَ حُكْمُ إِنْ وإذا فِي الشَّرْطِ، لِأَنَّ اقْتِرَانَ الْعِوَضِ بِهِمَا سَوَّى بَيْنَ حُكْمَيْهِمَا فِي الْفَوْرِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْعِوَضِ الْمُسْتَحَقِّ قَبُولُهُ عَلَى الْفَوْرِ فَهَلَّا كَانَ قَوْلُهُ مَتَى أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا يَجِبُ حَمْلُهُ عَلَى الْفَوْرِ، وَإِنْ كَانَ مَوْضُوعًا لِلتَّرَاخِي تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْعِوَضِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika ia berkata kepada istrinya, “Kapan pun engkau memberiku seribu (dirham), maka engkau tertalak,” atau “Kapan saja engkau memberiku seribu (dirham), maka engkau tertalak,” maka keduanya sama saja. Karena kata “mā” adalah huruf penghubung yang masuk dalam kalimat untuk penegasan, tidak memberikan makna penafian maupun penetapan, seperti firman Allah Ta‘ala: {فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ} (Ali ‘Imran: 159), artinya: “Maka dengan rahmat dari Allah engkau berlaku lemah lembut kepada mereka.” Jika demikian, maka kapan saja ia memberinya seribu (dirham), maka talak jatuh seketika atau setelah jeda, karena kata “matā” adalah huruf yang digunakan untuk menunjukkan kelonggaran waktu. Demikian pula jika ia berkata, “Pada waktu kapan pun engkau memberiku seribu (dirham),” atau “Pada zaman kapan pun engkau memberiku seribu (dirham), maka engkau tertalak,” maka itu berlaku setelah jeda; kapan saja ia memberinya seribu (dirham), maka talak jatuh, tidak terbatas pada waktu tertentu, dan tidak harus segera, karena semua kata-kata ini berkaitan dengan waktu sehingga mencakup seluruh waktu. Jika dikatakan: Bukankah jika ia berkata, “Jika engkau memberiku seribu (dirham),” atau “Apabila engkau memberiku seribu (dirham), maka engkau tertalak,” maka itu berlaku seketika, meskipun hukum “in” dan “idha” berbeda dalam syarat, karena keterkaitan kompensasi dengan keduanya menyamakan hukum keduanya dalam keharusan segera, mengedepankan hukum kompensasi yang wajib diterima segera. Maka, mengapa ucapan “kapan pun engkau memberiku seribu (dirham)” tidak harus dimaknai segera, meskipun secara asal bermakna kelonggaran waktu, karena mengedepankan hukum kompensasi?

قيل: الفرق بينهما أن إذا وإن مِنْ حُرُوفِ الشَّرْطِ الَّتِي لَا تَخْتَصُّ بِالزَّمَانِ، وَ (مَتَى) مِنْ حُرُوفِ الزَّمَانِ الَّتِي تَعُمُّ جَمِيعَهَا حَقِيقَةً وَالْعِوَضُ مُخْتَصٌّ بِالْفَوْرِ مِنْ طَرِيقِ الِاسْتِدْلَالِ، لَا مِنْ طَرِيقِ الْحَقِيقَةِ فَإِذَا اقْتَرَنَ بِحَرْفِ الشَّرْطِ حُمِلَ عَلَى مُقْتَضَاهُ مِنَ الْفَوْرِ، وَإِنْ كَانَ بِالِاسْتِدْلَالِ، لِأَنَّهُ لَمْ تُعَارِضْهُ مَا يُنَافِيهِ، وَإِذَا اقْتَرَنَ بِحَرْفِ الزَّمَانِ الْمُوجِبِ لِلتَّرَاخِي حُمِلَ عَلَى التَّرَاخِي، لِأَنَّ مَا أَوْجَبَ التَّرَاخِيَ مِنْ طَرِيقِ الْحَقِيقَةِ غَيْرُ مُحْتَمَلٍ، وَمَا أَوْجَبَ الْفَوْرَ مِنْ طَرِيقِ الِاسْتِدْلَالِ مُحْتَمَلٌ، كَمَا تَقُولُ فِي الْقِيَاسِ إِنَّهُ يُخَصُّ بِالْعُمُومِ، لِأَنَّهُ مُحْتَمَلٌ وَلَا يَخُصُّ النَّصَّ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُحْتَمَلٍ، فَإِذَا دَخَلَ عَلَى (مَتَى) حَرْفُ النَّفْيِ فَقَالَ لَهَا: مَتَى لَمْ تُعْطِنِي أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَاقْتَضَى ذَلِكَ الْفَوْرَ عَلَى التَّرَاخِي، فَمَتَى جَاءَ زَمَانٌ يُمْكِنُهَا دَفْعُ الْأَلْفِ فِيهِ فَلَمْ تَدْفَعْهَا طُلِّقَتْ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا هُوَ أَنَّ مَتَى يَخْتَصُّ بِالزَّمَانِ، فَإِذَا اقْتَرَنَ بِهِ الْإِثْبَاتُ صَارَ تَقْدِيرُهُ مَتَى جَاءَ زَمَانٌ أَعْطَيْتِنِي فيه ألفاً فأنت طالق، فإذا أعطته بعد تراخي الزمان فقد جَاءَ زَمَانٌ دَفَعَتْ فِيهِ الْأَلْفَ فَطُلِّقَتْ.

Dikatakan: Perbedaan antara keduanya adalah bahwa “idza” dan “in” termasuk huruf syarat yang tidak khusus untuk waktu, sedangkan “matā” termasuk huruf waktu yang mencakup seluruh waktu secara hakiki, dan penggantiannya khusus untuk segera (al-faur) berdasarkan istidlāl (penalaran), bukan secara hakiki. Maka jika digandengkan dengan huruf syarat, ia dibawa kepada makna segera (al-faur) meskipun dengan istidlāl, karena tidak ada yang menentangnya. Namun jika digandengkan dengan huruf waktu yang mengharuskan penundaan (at-tarākhi), maka dibawa kepada makna penundaan, karena yang mewajibkan penundaan secara hakiki tidak mungkin ditinggalkan, sedangkan yang mewajibkan segera berdasarkan istidlāl masih mungkin. Sebagaimana dalam qiyās, ia bisa dikhususkan oleh keumuman karena ia masih mungkin, dan tidak bisa mengkhususkan nash karena nash tidak mungkin (ditinggalkan). Maka jika pada “matā” masuk huruf nafi (penafian), lalu dikatakan kepadanya: “Matā lam tu‘ṭinī alfa(n) fa anti ṭāliq,” maka itu menuntut segera atas penundaan. Maka kapan saja datang waktu di mana ia mampu memberikan seribu namun tidak memberikannya, maka ia tertalak. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa “matā” khusus untuk waktu. Jika digandengkan dengan kalimat positif, maka maknanya menjadi: “Kapan saja datang waktu engkau memberiku seribu maka engkau tertalak.” Maka jika ia memberikannya setelah penundaan waktu, berarti telah datang waktu ia memberikan seribu, maka ia tertalak.

فَأَمَّا إِذَا اقْتَرَنَ بِهِ حَرْفُ النَّفْيِ صَارَ تَقْدِيرُهُ مَتَى جَاءَ زَمَانٌ لَمْ تَدْفَعِي فِيهِ أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِذَا مَضَى زَمَانُ الْمُكْنَةِ فَقَدْ جَاءَ زَمَانٌ يُمْكِنُهَا دَفْعُ الْأَلْفِ فِيهِ فَطُلِّقَتْ.

Adapun jika digandengkan dengan huruf nafi, maka maknanya menjadi: “Kapan saja datang waktu engkau tidak memberikan seribu maka engkau tertalak.” Maka jika telah berlalu waktu kemampuan, yakni telah datang waktu di mana ia mampu memberikan seribu namun tidak memberikannya, maka ia tertalak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَلَيْسَ لِلزَّوْجِ بَعْدَ انْعِقَادِ الطَّلَاقِ عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ أَنْ يُبْطِلَهَا وَلَا أَنْ يَرْجِعَ فِيهَا، وَإِنْ كَانَ فِيهِ مُعَاوَضَةٌ لَمْ يُقْبَلْ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الطَّلَاقِ بِالصِّفَةِ دُونَ الْمُعَاوَضَةِ، كَمَا لَوْ قَالَ لَهَا إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، لَمْ يَكُنْ لَهُ إِبْطَالُ مَا عَلَّقَهُ مِنَ الطَّلَاقِ بِدُخُولِ الدَّارِ، وَإِنَّمَا غُلِّبَ حُكْمُ الطَّلَاقِ بِالصِّفَةِ عَلَى حُكْمِ الْمُعَاوَضَةِ لِأَنَّهُ لَوْ جُنَّ أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ لَمْ يَبْطُلْ، وَلَوْ كَانَ حُكْمُ الْمُعَاوَضَةِ أَغْلَبَ كَمَا يَبْطُلُ بِهِ بَذْلُ الْبَيْعِ قَبْلَ الْقَبُولِ.

Setelah apa yang kami jelaskan itu menjadi jelas, maka suami tidak memiliki hak, setelah terjadinya talak dengan sifat (syarat) seperti ini, untuk membatalkannya atau menarik kembali, meskipun di dalamnya terdapat mu‘āwaḍah (pertukaran/harta), tidak diterima (pembatalan) karena menguatkan hukum talak bersyarat atas mu‘āwaḍah. Sebagaimana jika ia berkata kepada istrinya: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” maka ia tidak berhak membatalkan talak yang digantungkan pada masuknya ke rumah. Hukum talak bersyarat diunggulkan atas hukum mu‘āwaḍah karena jika suami menjadi gila atau pingsan, talak tidak batal. Seandainya hukum mu‘āwaḍah lebih kuat, tentu batal sebagaimana batalnya akad jual beli sebelum diterima.

فَأَمَّا الزَّوْجَةُ فَلَيْسَ عَلَيْهَا دَفَعُ الْأَلْفِ وَهِيَ فِي دَفْعِهَا بِالْخِيَارِ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun istri, maka ia tidak wajib memberikan seribu tersebut, dan ia bebas dalam memberikannya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُوقِعٌ لِطَلَاقِهَا، وَلَيْسَ عَلَيْهَا فِعْلُ مَا أَوْقَعَ طَلَاقَهَا كَمَا لَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ لَمْ يَلْزَمْهَا دُخُولُ الدَّارِ لِتُطَلَّقَ.

Pertama: Karena itu menyebabkan terjadinya talak atas dirinya, dan ia tidak wajib melakukan sesuatu yang menyebabkan talaknya, sebagaimana jika suami berkata: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” maka ia tidak wajib masuk ke rumah agar tertalak.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَبُولُ مُعَاوَضَةٍ فَلَمْ يَجُزْ عَلَيْهَا كَقَبُولِ الْبَيْعِ.

Kedua: Karena itu merupakan penerimaan mu‘āwaḍah, maka tidak wajib atasnya sebagaimana menerima jual beli.

وَإِذَا كَانَتْ بِالْخِيَارِ فَمَتَى أَعْطَتْهُ الْأَلْفَ فَأَخَذَهَا طُلِّقَتْ، وَإِنْ أَعْطَتْهُ فَلَمْ يَأْخُذْهَا فَإِنْ كَانَ لِتَعَذُّرِ أَخْذِهَا عَلَيْهِ إِمَّا لِغَيْبَةٍ أَوْ حَبْسٍ أَوْ جُنُونٍ لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ الْإِعْطَاءَ لَمْ يَكْمُلْ، وَإِنْ كَانَ مَعَ تَمَكُّنِهِ مِنْ أَخْذِهَا طُلِّقَتْ، لِأَنَّ الْإِعْطَاءَ قَدْ وُجِدَ، وَهُوَ التَّمْكِينُ مِنَ الْأَخْذِ بِفِعْلِ الْمُعْطِي، وَإِنْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ الْأَخْذُ، أَلَا تَرَاهُمْ يَقُولُونَ: قَدْ أَعْطَانِي فَلَمْ آخُذْ مِنْهُ، ثُمَّ إِذَا طُلِّقَتْ بِإِعْطَاءِ الْأَلْفِ قَبْلَ أَخْذِهَا فَقَدِ اسْتَحَقَّ الْأَلْفَ وَإِنْ لَمْ يَأْخُذْهَا، لِأَنَّهَا فِي مُقَابَلَةِ مَا لَزِمَهُ مِنَ الطَّلَاقِ، فَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَمْنَعَهُ مِنْهَا بَعْدَ وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا، وَهَلْ يَتَعَيَّنُ اسْتِحْقَاقُهُ لِتِلْكَ الْأَلْفِ أَمْ لَا فِيهِ وَجْهَانِ:

Dan jika ia dalam keadaan bebas memilih, maka kapan saja ia memberikan seribu itu dan suami menerimanya, maka ia tertalak. Jika ia memberikannya namun suami tidak menerimanya, maka jika karena suami tidak bisa mengambilnya, baik karena bepergian, dipenjara, atau gila, maka ia tidak tertalak karena pemberian itu belum sempurna. Namun jika suami mampu mengambilnya, maka ia tertalak karena pemberian itu telah terjadi, yaitu dengan adanya kesempatan untuk mengambil dari pihak pemberi, meskipun tidak disertai dengan pengambilan secara langsung. Bukankah engkau melihat mereka berkata: “Ia telah memberiku, tetapi aku belum mengambil darinya.” Kemudian, jika ia tertalak dengan pemberian seribu sebelum diambil, maka suami berhak atas seribu itu meskipun belum diambil, karena seribu itu sebagai imbalan atas talak yang telah menjadi kewajibannya. Maka istri tidak boleh menahan seribu itu dari suami setelah talak jatuh atas dirinya. Apakah hak suami atas seribu itu menjadi pasti atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ تَعَيَّنَ اسْتِحْقَاقُهُ لِتَعَيُّنِ الطَّلَاقِ بِهَا، فَإِنْ أَرَادَتْ دَفْعَ غَيْرِهَا لَمْ يَجُزْ.

Pertama: Hak suami atas seribu itu menjadi pasti karena talak telah pasti dengan seribu itu. Maka jika istri ingin memberikan selain seribu itu, tidak diperbolehkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَمْ يَتَعَيَّنِ اسْتِحْقَاقُهُ لَهَا وَإِنْ طُلِّقَتْ بِهَا لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْعَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ لِتَعَيُّنِهَا بِالْعَقْدِ أَوْ بِالْقَبْضِ، وَلَمْ يُوجَدْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا فِي هَذِهِ الْأَلْفِ فَكَانَتْ بِالْخِيَارِ فِي دَفْعِهَا أَوْ دَفْعِ أَلْفٍ مثلها.

Penjelasan kedua: Bahwa belum tentu ia berhak atasnya, meskipun ia dicerai dengan sebab itu, karena hak atas barang (‘ayn) itu bisa terjadi karena penentuan barang tersebut melalui akad atau melalui penerimaan (qabdh), dan tidak terdapat salah satu dari keduanya pada seribu ini, maka ia tetap memiliki pilihan untuk menyerahkan barang itu atau menyerahkan seribu yang sepadan dengannya.

(فصل:)

(Pasal:)

ولو قال: أنت طالق إذا أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا، طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ، لِأَنَّهُ مُقِرٌّ أنها أعطته ألفاً على طلاقها، لأن (إذا) تَخْتَصُّ بِمَاضِي الزَّمَانِ دُونَ مُسْتَقْبَلِهِ، وَ (إِذَا) تَخْتَصُّ بِمُسْتَقْبَلِ الزَّمَانِ دُونَ مَاضِيهِ، فَإِنْ أَنْكَرَتْهُ ذَلِكَ وَطَالَبَتْهُ بِالْأَلْفِ لَزِمَهُ رَدُّهَا، لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِقَبْضِهَا وَمُدَّعٍ اسْتِحْقَاقَهَا فَلَزِمَهُ إِقْرَارُهُ وَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ دَعْوَاهُ وَيَقَعُ طَلَاقُهُ بَائِنًا، وَإِن رَدَّ الْأَلْفِ لِاعْتِرَافِهِ بِهِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَنْ أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا بِفَتْحِ الْأَلِفِ، وَلِأَنَّ أن المفتوحة لماضي الزمان دون مستقبله (وإن) بِالْكَسْرِ لِمُسْتَقْبَلِ الزَّمَانِ دُونَ مَاضِيهِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا كالفرق بين إذ، وإذا، فَإِنْ طَالَبَتْهُ بِالْأَلْفِ عِنْدَ إِنْكَارِهَا لِلْخُلْعِ لَزِمَهُ رَدُّهَا لِاعْتِرَافِهِ بِأَخْذِهَا، وَلَهُ إِحْلَافُهَا عَلَى إِنْكَارِهَا وبالله التوفيق.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak jika engkau memberiku seribu,” maka ia tertalak saat itu juga, karena ia mengakui bahwa istrinya telah memberinya seribu sebagai imbalan atas talaknya, sebab kata “idza” (jika) khusus untuk masa lalu, bukan masa depan, sedangkan “in” (jika) khusus untuk masa depan, bukan masa lalu. Jika istrinya mengingkari hal itu dan menuntut seribu darinya, maka ia wajib mengembalikannya, karena ia telah mengakui telah menerima uang itu dan mengklaim berhak atasnya, sehingga pengakuannya harus diterima dan klaimnya tidak diterima. Talaknya jatuh secara bain (tidak bisa rujuk), dan jika ia mengembalikan seribu itu karena pengakuannya, demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak jika aku memberimu seribu” dengan menggunakan “an” yang difathah (dibaca a), karena “an” yang difathah untuk masa lalu, bukan masa depan, sedangkan “in” yang dikasrah (dibaca i) untuk masa depan, bukan masa lalu, dan perbedaan antara keduanya seperti perbedaan antara “idz” dan “idza”. Jika istrinya menuntut seribu itu ketika ia mengingkari terjadinya khulu‘, maka ia wajib mengembalikannya karena ia mengakui telah mengambilnya, dan ia berhak meminta sumpah istrinya atas pengingkarannya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَتْ لَهُ طَلِّقْنِي ثَلَاثًا وَلَكَ أَلْفُ دِرْهَمٍ فَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً فَلَهُ ثُلُثُ الْأَلْفِ وَإِنْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَلَهُ الْأَلْفُ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang istri berkata kepada suaminya: ‘Ceraikan aku tiga kali dan engkau akan mendapatkan seribu dirham,’ lalu suaminya menceraikannya satu kali, maka suami berhak atas sepertiga dari seribu itu. Jika ia menceraikannya tiga kali, maka ia berhak atas seluruh seribu tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا قَالَتْ لَهُ طَلِّقْنِي ثَلَاثًا بِأَلْفٍ، فَإِنْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَهُ جَمِيعُ الْأَلْفِ، وَإِنْ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً كَانَ لَهُ ثُلُثُ الْأَلْفِ، لِأَنَّ الْأَلْفَ جُعِلَتْ عِوَضًا عَلَى مُقَابَلَةِ ثَلَاثَةِ أَعْدَادٍ مُتَسَاوِيَةٍ فَقُسِّطَتْ عَلَيْهَا، وَكَانَ قِسْطُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثُلُثَ الْأَلْفِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَسْتَحِقَّ بِكُلِّ طَلْقَةٍ مِنْهَا، ثُلُثَ الْأَلْفِ، كَمَا لَوْ أَبَقَ منه ثلاثة أعبد فقال من جائني بِهِمْ فَلَهُ دِينَارٌ فَجِيءَ بِوَاحِدٍ مِنْهُمْ لَزِمَهُ ثُلُثُ الدِّينَارِ، لِأَنَّ الدِّينَارَ قَابَلَ ثَلَاثَةَ أَعْدَادٍ مُتَسَاوِيَةً فَتُقسطَ عَلَيْهِمْ أَثْلَاثًا مُتَسَاوِيَةً.

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Jika seorang istri berkata kepada suaminya: “Ceraikan aku tiga kali dengan imbalan seribu,” lalu suaminya menceraikannya tiga kali, maka ia berhak atas seluruh seribu itu. Jika ia menceraikannya satu kali, maka ia berhak atas sepertiga dari seribu itu, karena seribu tersebut dijadikan sebagai imbalan atas tiga perbuatan yang sama besar, sehingga dibagi rata atas ketiganya, dan bagian masing-masing adalah sepertiga dari seribu. Maka, ia berhak atas sepertiga seribu untuk setiap satu talak, sebagaimana jika seseorang memiliki tiga budak yang melarikan diri, lalu ia berkata: “Siapa yang membawakan mereka kepadaku, maka ia mendapat satu dinar.” Jika seseorang membawakan satu dari mereka, maka ia berhak atas sepertiga dinar, karena dinar itu sebagai imbalan atas tiga perbuatan yang sama besar, sehingga dibagi rata menjadi tiga bagian yang sama.

فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ لَوْ قَالَ لَهَا إِنْ أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا، فَأَعْطَتْهُ ثُلُثَ الْأَلْفِ لَمْ تُطَلَّقْ بِهَا وَاحِدَةً، وَإِنْ قَابَلَتْ ثُلُثَ الْأَلْفِ فَهَلَّا كَانَ فِي مَسْأَلَتِنَا إِذَا طَلَّقَهَا وَاحِدَةً لم تستحق ثُلُثَ الْأَلْفِ.

Jika ada yang bertanya: Bukankah jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau memberiku seribu, maka engkau tertalak tiga kali,” lalu istrinya hanya memberikan sepertiga dari seribu itu, maka ia tidak tertalak satu kali pun? Padahal sepertiga seribu itu telah diberikan. Mengapa dalam masalah kita, jika suami menceraikan satu kali, ia berhak atas sepertiga seribu?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمُغَلَّبَ فِي الْخُلْعِ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ حُكْمُ الْمُعَاوَضَةِ، فَجَازَ أَنْ يُقَسَّطَ الْعِوَضُ عَلَى أَعْدَادِ الْمُعَوَّضِ، وَالْمُغَلَّبُ فِيهِ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ حُكْمُ الطَّلَاقِ بِالصِّفَةِ، وَالصِّفَةُ إِذَا تَبَعَّضَتْ لَمْ يَتَبَعَّضْ مَا عُلِّقَ بِهَا مِنَ الطَّلَاقِ، وَلَا يَقَعُ إِلَّا بِكَمَالِهَا، كَمَا لَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ ثَلَاثًا فَأَنْتَ طَالِقٌ ثَلَاثًا، فَدَخَلَتْهَا مَرَّةً لَمْ تُطَلَّقْ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ دُخُولَهَا ثَلَاثًا، فَتُطَلَّقَ ثَلَاثًا، فَصَحَّ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَاسْتَحَقَّ بِالطَّلْقَةِ الْوَاحِدَةِ ثُلُثَ الْأَلْفِ، لِأَنَّهُ قَدْ مَلَّكَهَا ثُلُثَ مَا سَأَلَتْ، فَاسْتَحَقَّ عَلَيْهَا ثُلُثَ مَا بَذَلَتْ، وَهَكَذَا لَوْ طَلَّقَهَا طَلْقَتَيْنِ اسْتَحَقَّ بِهِمَا ثُلُثَيِ الْأَلْفِ، لِأَنَّهُ قَدْ مَلَّكَهَا ثُلُثَيْ مَا سَأَلَتْ، فَاسْتَحَقَّ عَلَيْهَا ثُلُثَيْ مَا بَذَلَتْ، فَلَوْ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً ونصف طُلِّقَتْ ثِنْتَيْنِ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَتَبَعَّضُ، وَفِي قَدْرِ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الْأَلْفِ وَجْهَانِ:

Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa dalam khulu‘ yang lebih dominan dari sisi istri adalah hukum mu‘awadhah (pertukaran/imbal-balik), sehingga boleh membagi imbalan atas jumlah perbuatan yang diimbalkan. Sedangkan yang lebih dominan dari sisi suami adalah hukum talak yang digantungkan pada sifat tertentu, dan jika sifat itu terpecah, maka talak yang digantungkan padanya tidak terpecah, dan tidak jatuh kecuali jika sifat itu sempurna, sebagaimana jika suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau masuk ke rumah itu tiga kali, maka engkau tertalak tiga kali,” lalu istrinya masuk sekali, maka tidak jatuh talak sampai ia menyempurnakan tiga kali masuk, dan saat itu jatuh talak tiga kali. Maka, jelaslah perbedaan antara keduanya, dan suami berhak atas sepertiga seribu dengan satu talak, karena ia telah memberikan sepertiga dari apa yang diminta istrinya, sehingga ia berhak atas sepertiga dari apa yang diberikan istrinya. Demikian pula jika ia menceraikan dua kali, ia berhak atas dua pertiga seribu, karena ia telah memberikan dua pertiga dari apa yang diminta istrinya, sehingga ia berhak atas dua pertiga dari apa yang diberikan istrinya. Jika ia menceraikan satu setengah kali (yakni dua talak), maka jatuh dua talak, karena talak tidak bisa dipecah-pecah. Dalam hal berapa banyak yang berhak ia terima dari seribu itu, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: ثلثي الْأَلْفِ، لِأَنَّهَا قَدْ طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ مِنْ ثَلَاثِ طلقات.

Salah satunya: dua pertiga dari seribu, karena ia telah ditalak dua kali dari tiga kali talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَسْتَحِقُّ نِصْفَ الْأَلْفِ لِأَنَّهُ قَدْ أَوْقَعَ عَلَيْهَا نِصْفَ اَلثَّلَاثِ وَأَنَّ مَا يَكْمُلُ بِالشَّرْعِ لَا يَفْعَلُهُ.

Pendapat kedua: bahwa ia berhak atas setengah dari seribu, karena ia telah menjatuhkan atasnya setengah dari tiga talak, dan bahwa apa yang sempurna menurut syariat tidak ia lakukan.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَلَوْ قَالَتْ: طَلِّقْنِي ثَلَاثًا بِأَلْفٍ، فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ ثُمَّ طَالِقٌ، وَقَالَ: نَوَيْتُ أَنْ تَكُونَ اَلْأَلْفُ فِي مُقَابَلَةِ اَلثَّلَاثِ، طُلِّقَتِ اَلْأُولَى وَحْدَهَا، وَكَانَ لَهُ ثُلُثُ اَلْأَلْفِ، وَلَمْ تَقَعِ اَلثَّانِيَةُ وَالثَّالِثَةُ، لِأَنَّهُ إِذَا جَعَلَ لِلْأُولَى فَظَاهِرُ الْأَلْفِ صَارَتْ مُخْتَلِعَةً لَا يَلْحَقُهَا طَلَاقٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan jika ia berkata: “Ceraikan aku tiga kali dengan seribu,” lalu ia berkata: “Engkau aku talak, dan aku talak, kemudian aku talak,” dan ia berkata: “Aku berniat agar seribu itu sebagai imbalan untuk tiga talak,” maka yang jatuh hanya talak pertama saja, dan ia berhak atas sepertiga dari seribu, dan talak kedua dan ketiga tidak jatuh, karena jika ia menjadikan seribu itu untuk talak pertama, maka secara lahiriah ia menjadi mukhtali‘ah (perempuan yang bercerai dengan khulu‘) sehingga tidak bisa dijatuhi talak lagi. Wallāhu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ لَمْ يَكُنْ بَقِيَ عَلَيْهَا إِلَّا طَلْقَةٌ فَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً كَانَتْ لَهُ الْأَلْفُ لِأَنَّهَا قَامَتْ مَقَامَ الثَّلَاثِ فِي أَنَّهَا تُحَرِّمُهَا حَتَّى تَنْكِحَ زوجاً غيره (قال المزني) رحمه الله وقياس قوله ما حرمها إلا الأوليان مع الثلاثة كَمَا لَمْ يُسْكِرْهُ فِي قَوْلِهِ إِلَّا الْقَدَحَانِ مَعَ الثَّالِثِ وَكَمَا لَمْ يَعُمَّ الْأَعْوَرَ الْمَفْقُوءَةَ عَيْنُهُ الْبَاقِيَةُ إِلَّا الْفَقْءُ الْأَوَّلُ مَعَ الْفَقْءِ الآخر وأنه ليس على الفاقئ الأخير عنده إلا نصف الدية فكذلك يَلْزَمُهُ أَنْ يَقُولَ لَمْ يُحَرِّمْهَا عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ إِلَّا الْأُولَيَانِ مَعَ الثَّالِثَةِ فليس عليها إلا ثلث الألف بالطلقة الثالثة في معنى قوله) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika yang tersisa padanya hanya satu talak, lalu ia mentalaknya satu kali, maka ia berhak atas seribu itu, karena talak itu menempati posisi tiga talak dalam hal mengharamkannya hingga ia menikah dengan suami lain. (Al-Muzani berkata) rahimahullāh, dan qiyās dari perkataannya adalah bahwa yang mengharamkannya hanyalah dua talak pertama bersama talak ketiga, sebagaimana dalam ucapannya, “tidak memabukkannya kecuali dua gelas bersama yang ketiga”, dan sebagaimana tidak membuat buta orang bermata satu yang matanya pecah kecuali pecahan pertama bersama pecahan kedua, dan bahwa menurutnya, pelaku pecahan terakhir hanya wajib membayar setengah diyat, maka demikian pula ia harus mengatakan bahwa tidak mengharamkannya hingga ia menikah dengan suami lain kecuali dua talak pertama bersama talak ketiga, sehingga ia hanya berhak atas sepertiga dari seribu untuk talak ketiga menurut makna perkataannya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ طَلْقَتَيْنِ، وَبَقِيَتْ مَعَهُ عَلَى وَاحِدَةٍ، فَقَالَتْ لَهُ: طَلِّقْنِي ثَلَاثًا بِأَلْفٍ، فَقَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، أَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ الثَّالِثَةَ، أَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا بِأَلْفٍ، فَكُلُّ ذَلِكَ سَوَاءٌ، وَلَا تُطَلَّقُ مِنْهُ إِلَّا وَاحِدَةً، لِأَنَّ الْبَاقِيَ لَهُ عَلَيْهَا طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seorang laki-laki yang telah mentalak istrinya dua kali, dan masih tersisa satu talak, lalu istrinya berkata kepadanya: “Ceraikan aku tiga kali dengan seribu,” maka ia berkata kepadanya: “Engkau aku talak satu kali,” atau ia berkata: “Engkau aku talak yang ketiga,” atau ia berkata: “Engkau aku talak tiga kali dengan seribu,” maka semua itu sama saja, dan tidak jatuh darinya kecuali satu talak, karena yang tersisa baginya atas istrinya hanyalah satu talak.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: كانت له هذه الطَّلْقَةِ الْوَاحِدَةِ جَمِيعُ الْأَلْفِ ثُمَّ عَلَّلَ الشَّافِعِيُّ فِي اسْتِحْقَاقِهَا لِجَمِيعِ الْأَلْفِ بِأَنَّ هَذِهِ الطَّلْقَةَ الْوَاحِدَةَ قَدْ قَامَتْ مَقَامَ الثَّلَاثِ فِي أَنَّهَا تَحْرُمُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ، فَصَارَ لَهَا بِهَذِهِ الطَّلْقَةِ الْوَاحِدَةِ مَقْصُودُهَا بِالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ وَهُوَ التحريم التي لَا تَحِلُّ مَعَهُ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ فَاسْتَحَقَّ بِهَا مَا يَسْتَحِقُّ بِالثَّلَاثِ، وَهُوَ جَمِيعُ الْأَلْفِ.

Imam Syafi‘i berkata: Untuk satu talak ini, ia berhak atas seluruh seribu. Kemudian Syafi‘i memberikan alasan atas haknya untuk mendapatkan seluruh seribu itu dengan penjelasan bahwa satu talak ini menempati posisi tiga talak dalam hal mengharamkannya hingga ia menikah dengan suami lain, sehingga dengan satu talak ini ia telah mendapatkan maksudnya dari tiga talak, yaitu pengharaman yang tidak halal baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain, maka ia berhak atas apa yang berhak didapatkan dengan tiga talak, yaitu seluruh seribu.

فاعترض المزني على الشافعي فقال: (ينبغي أن لا يَسْتَحِقَّ إِلَّا ثُلُثَ الْأَلْفِ، لِأَنَّ قِيَاسَ قَوْلِهِ (مَا حَرَّمَهَا إِلَّا الْأُولَيَانِ مَعَ الثَّالِثَةِ كَمَا لَمْ يُسْكِرْهُ فِي قَوْلِهِ إِلَّا الْقَدَحَانِ مَعَ الثَّالِثِ وَكَمَا لَمْ يَعُمَّ الْأَعْوَرَ الْمَفْقُوءَةَ عَيْنُهُ الْبَاقِيَةُ إِلَّا الْفَقْءُ الْأَوَّلُ مَعَ الْفَقْءِ الْآخِرِ، وَأَنَّهُ لَيْسَ عَلَى الْفَاقِئِ الْأَخِيرِ إِلَّا نِصْفُ الدِّيَةِ، كَذَلِكَ يَلْزَمُهُ أَنْ يَقُولَ: لَمْ يُحَرِّمْهَا عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ إِلَّا الْأُولَيَانِ مَعَ الثَّالِثَةِ فَلَيْسَ أَنْ يَقُولَ عَلَيْهَا إِلَّا ثُلُثَ الْأَلْفِ بِالطَّلْقَةِ الثَّالِثَةِ.

Lalu Al-Muzani membantah Syafi‘i dengan berkata: “Seyogianya ia tidak berhak kecuali atas sepertiga dari seribu, karena qiyās dari perkataannya (yang mengharamkannya hanyalah dua talak pertama bersama talak ketiga, sebagaimana dalam ucapannya, ‘tidak memabukkannya kecuali dua gelas bersama yang ketiga’, dan sebagaimana tidak membuat buta orang bermata satu yang matanya pecah kecuali pecahan pertama bersama pecahan kedua, dan bahwa menurutnya, pelaku pecahan terakhir hanya wajib membayar setengah diyat), maka demikian pula ia harus mengatakan: tidak mengharamkannya hingga ia menikah dengan suami lain kecuali dua talak pertama bersama talak ketiga, sehingga ia tidak berhak kecuali atas sepertiga dari seribu untuk talak ketiga.”

فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِهَذَا الِاعْتِرَاضِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Maka para sahabat kami berbeda pendapat atas bantahan ini menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْحُكْمَ عَلَى مَا قَالَهُ الْمُزَنِيُّ من أنه لا يستحق بالثالثة إلى ثُلُثَ الْأَلْفِ سَوَاءً عَلِمَتْ أَنَّ الْبَاقِيَ عَلَيْهَا طَلْقَةٌ أَوْ لَمْ تَعْلَمْ، تَعْلِيلًا بِمَا اسْتَشْهَدَ بِهِ الْمُزَنِيُّ مِنْ حَالِ السُّكْرِ بِالْقَدَحِ الثَّالِثِ أَنَّهُ يَكُونُ بِهِ وبالأوليين وَيُفْقِئُ عَيْنَ الْأَعْوَرِ أَنَّهُ يَكُونُ ذَهَابُ الْبَصَرِ بِالْفَقْءِ الثَّانِي مَعَ الْأَوَّلِ.

Salah satunya: bahwa hukum sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Al-Muzani, yaitu bahwa ia tidak berhak atas talak ketiga kecuali sepertiga dari seribu, baik ia mengetahui bahwa yang tersisa baginya hanya satu talak maupun tidak, dengan alasan sebagaimana yang dijadikan dalil oleh Al-Muzani dari keadaan mabuk dengan gelas ketiga, bahwa mabuk itu terjadi dengan gelas ketiga bersama dua gelas sebelumnya, dan membutakan mata orang bermata satu terjadi dengan pecahan kedua bersama pecahan pertama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ جَوَابَ الشَّافِعِيِّ صَحِيحٌ عَلَى ظَاهِرِهِ، وَأَنَّ لَهُ جَمِيعَ الْأَلْفِ بِالطَّلْقَةِ الثَّالِثَةِ تَعْلِيلًا بِمَا ذَكَرَهُ مِنْ حُصُولِ التَّحْرِيمِ بِهَا كَحُصُولِهِ بِالثَّلَاثِ، سَوَاءً عَلِمَتْ أَنَّ الْبَاقِيَ عَلَيْهَا طَلْقَةٌ أَوْ لَمْ تَعْلَمْ، وَانْفَصَلُوا عَنِ اسْتِشْهَادِ الْمُزَنِيِّ بِالسُّكْرِ وَالْفَقْءِ بِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَقْدَاحِ الثَّلَاثَةِ تَأْثِيرٌ فِي مَبَادِئِ السُّكْرِ بِالْأَوَّلِ وَبِوَسَطِهِ وبِالثَّانِي وَكَمَالِهِ بِالثَّالِثِ، وَكَذَلِكَ الْفَقْءُ الْأَوَّلُ قَدْ أَثَّرَ فِي ضَعْفِ النَّظَرِ، وَقِلَّةِ الْبَصَرِ ثُمَّ ذَهَبَ بِالثَّانِي، وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَالُ الطلقتين الأولتين، لِأَنَّهُ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِمَا شَيْءٌ مِنْ تَحْرِيمِ الثَّلَاثِ وَكَانَتْ تَحِلُّ بِالرَّجْعَةِ بَعْدَهُمَا، كَمَا تَحِلُّ قَبْلَهُمَا، ثُمَّ وَقَعَتِ الثَّالِثَةُ فَتَعَلَّقَ بِهَا جَمِيعُ التَّحْرِيمِ فَصَارَ مَا اسْتَشْهَدَ بِهِ مُفَارِقًا لِلطَّلَاقِ.

Pendapat kedua: Jawaban asy-Syafi‘i adalah benar secara lahiriah, yaitu bahwa ia berhak atas seluruh seribu (dirham) dengan jatuhnya talak ketiga, dengan alasan sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu terjadinya pengharaman (tahrīm) dengan talak tersebut sebagaimana terjadinya dengan tiga talak sekaligus, baik istri mengetahui bahwa yang tersisa baginya hanya satu talak atau tidak mengetahuinya. Mereka juga membantah analogi al-Muzani dengan mabuk dan rabun dengan mengatakan bahwa masing-masing dari tiga gelas minuman berpengaruh pada permulaan mabuk dengan gelas pertama, pertengahannya dengan gelas kedua, dan kesempurnaannya dengan gelas ketiga. Demikian pula rabun, rabun pertama berpengaruh pada lemahnya penglihatan dan berkurangnya daya lihat, lalu hilang sama sekali dengan yang kedua. Tidak demikian halnya dengan dua talak pertama, karena keduanya tidak menyebabkan pengharaman sebagaimana tiga talak, dan istri masih halal dengan rujuk setelah keduanya, sebagaimana ia halal sebelumnya. Kemudian jatuhlah talak ketiga, maka seluruh pengharaman terkait dengannya. Maka analogi yang digunakan (al-Muzani) berbeda dengan kasus talak.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إنَّ جَوَابَ الشَّافِعِيِّ مَفْرُوضٌ عَلَى أَنَّ الزَّوْجَةَ عَلِمَتْ أَنَّ الْبَاقِيَ لَهُ عَلَيْهَا طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ، فَصَارَ قَوْلُهَا طَلِّقْنِي ثَلَاثًا بِأَلْفٍ وَهُوَ لَا يَمْلِكُ ثَلَاثًا مَحْمُولًا عَلَى أَنَّهَا أَرَادَتِ الثَّالِثَةَ، فَلِذَلِكَ كَانَ لَهُ جَمِيعُ الْأَلْفِ وَلَوْ لَمْ تَعْلَمْ أَنَّ الْبَاقِيَ لَهُ طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ وَظَنَّتْ أَنَّهُ يَمْلِكُ مَعَهَا ثَلَاثَ طَلْقَاتٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِلَّا ثُلُثُ الْأَلْفِ، لِأَنَّهَا لَمْ تَبْذُلِ الْأَلْفَ إِلَّا فِي مُقَابَلَةِ الثَّلَاثِ، فَعَلَى هَذَا لَوِ اخْتَلَفَ الزَّوْجَانِ فَقَالَ الزَّوْجُ: قَدْ عَلِمْتِ أَيَّتُهَا الزَّوْجَةُ أَنَّ الْبَاقِيَ لِي عَلَيْكِ طَلْقَةٌ فَلِي جَمِيعُ الْأَلْفِ.

Pendapat ketiga: Ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj dan Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa jawaban asy-Syafi‘i didasarkan pada asumsi bahwa istri mengetahui bahwa yang tersisa baginya hanyalah satu talak. Maka ucapan istri, “Ceraikan aku tiga kali dengan seribu (dirham),” padahal suami tidak memiliki tiga talak, ditafsirkan bahwa ia menginginkan talak ketiga. Oleh karena itu, suami berhak atas seluruh seribu (dirham). Namun, jika istri tidak mengetahui bahwa yang tersisa baginya hanya satu talak, dan ia mengira suaminya masih memiliki tiga talak, maka suami hanya berhak atas sepertiga dari seribu, karena istri hanya menawarkan seribu sebagai imbalan untuk tiga talak. Berdasarkan hal ini, jika suami istri berselisih, lalu suami berkata, “Wahai istriku, engkau telah mengetahui bahwa yang tersisa bagiku atasmu hanyalah satu talak, maka aku berhak atas seluruh seribu.”

وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: بَلْ ظَنَنْتُ أَنَّكَ تَمْلِكُ الثَّلَاثَ وَلَمْ أَعْلَمْ أَنَّ الْبَاقِيَ لَكَ تَطْلِيقَةٌ فَلَيْسَ لَكَ إِلَّا ثُلُثُ الْأَلْفِ فَإِنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ وَيُحْكَمُ لَهُ بَعْدَ التَّحَالُفِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، لِأَنَّ هَذَا اخْتِلَافٌ مِنْهُمَا فِي قَدْرِ الْعِوَضِ فَهِيَ تَقُولُ: خَالَعْتُكَ عَلَى هَذِهِ الْوَاحِدَةِ بِثُلُثِ الْأَلْفِ، وَهُوَ يَقُولُ: بِجَمِيعِ الْأَلْفِ، فَلِذَلِكَ وَجَبَ التَّحَالُفُ وَالرُّجُوعُ إِلَى مَهْرِ الْمِثْلِ، وَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ قَدْ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً وَبَقِيَتْ مَعَهُ عَلَى اثْنَتَيْنِ فَقَالَتْ: طَلِّقْنِي ثَلَاثًا بِأَلْفٍ، فَطَلَّقَهَا طَلْقَتَيْنِ اسْتَحَقَّ إِنْ عَلِمَتْ جَمِيعَ الْأَلْفِ، وَإِنْ جَهِلَتْ ثُلُثَيِ الْأَلْفِ، وَلَوْ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً اسْتَحَقَّ إِنْ عَلِمَتْ نصف الألف، وإن جهلت ثلث الألف.

Dan istri berkata, “Justru aku mengira engkau masih memiliki tiga talak dan aku tidak tahu bahwa yang tersisa bagimu hanya satu talak, maka engkau hanya berhak atas sepertiga dari seribu.” Maka keduanya saling bersumpah, dan setelah sumpah diputuskan baginya (suami) mahar mitsil (mahar yang sepadan), karena ini adalah perselisihan antara keduanya mengenai besaran imbalan. Istri berkata, “Aku melakukan khulu‘ atas satu talak ini dengan sepertiga dari seribu,” dan suami berkata, “Dengan seluruh seribu.” Oleh karena itu, wajib dilakukan sumpah dan kembali kepada mahar mitsil. Berdasarkan hal ini, jika suami telah menceraikannya satu kali dan masih tersisa dua talak, lalu istri berkata, “Ceraikan aku tiga kali dengan seribu,” lalu suami menceraikannya dua kali, maka jika istri mengetahui (keadaannya), suami berhak atas seluruh seribu; jika istri tidak tahu, maka suami berhak atas dua pertiga dari seribu. Jika suami menceraikannya satu kali, maka jika istri mengetahui (keadaannya), suami berhak atas setengah dari seribu; jika istri tidak tahu, maka suami berhak atas sepertiga dari seribu.

قال الشافعي رحمه الله: (ولو قالت له طَلِّقْنِي وَاحِدَةً بِأَلْفٍ فَطَلَّقَهَا ثَلَاثًا كَانَ لَهُ الْأَلْفُ وَكَانَ مُتَطَوِّعًا بِالِاثْنَتَيْنِ) .

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika istri berkata kepadanya, ‘Ceraikan aku satu kali dengan seribu,’ lalu suami menceraikannya tiga kali, maka suami berhak atas seribu dan dua talak sisanya adalah kelebihan (yang diberikan suami secara sukarela).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، لِأَنَّ الطَّلْقَةَ الَّتِي سَأَلَتْهَا دَاخِلَةٌ فِي الثَّلَاثِ الَّتِي أَوْقَعَهَا فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ عَلَيْهَا الْأَلْفَ الَّتِي بَذَلَتْهَا، وَإِنْ تَطَوَّعَ بِالزِّيَادَةِ عَلَيْهَا كَمَا لَوْ قَالَ لَهُ إِنْ جِئْتَنِي بِعَبْدِي الْآبِقِ فَلَكَ دِينَارٌ، فَجَاءَ بِعَبْدَيْنِ اسْتَحَقَّ الدِّينَارَ، وَإِنْ تَطَوَّعَ بِمَجِيئِهِ بِالْعَبْدِ الْآخَرِ.

Al-Mawardi berkata: “Ini sebagaimana yang dikatakan, karena talak yang diminta istri termasuk dalam tiga talak yang dijatuhkan suami, sehingga wajib bagi istri untuk memberikan seribu yang telah ia tawarkan, meskipun suami menambahkannya secara sukarela. Sebagaimana jika seseorang berkata kepadanya, ‘Jika engkau membawa budakku yang kabur, maka engkau mendapat satu dinar,’ lalu ia membawa dua budak, maka ia berhak atas satu dinar, meskipun ia menambahkannya dengan membawa budak yang lain.”

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَتْ لَهُ طَلِّقْنِي عَشْرًا بِأَلْفٍ فَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً فَفِيمَا يَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهَا وَجْهَانِ:

Jika istri berkata kepadanya, “Ceraikan aku sepuluh kali dengan seribu,” lalu suami menceraikannya satu kali, maka dalam hal berapa yang berhak ia terima dari istri terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ عُشْرُ الْأَلْفِ وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الطَّلَاقُ عَشْرًا، لِأَنَّهَا جَعَلَتْ لَهُ عَلَى كُلِّ طَلْقَةٍ عُشْرَ الْأَلْفِ.

Salah satunya: Ia berhak atas sepersepuluh dari seribu, meskipun talak yang dijatuhkan bukan sepuluh, karena istri telah menetapkan untuknya pada setiap talak sepersepuluh dari seribu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ ثُلُثُ الْأَلْفِ لِأَنَّ مَا زَادَ عَلَى الثَّلَاثِ مِنَ الطَّلَاقِ لَغْوٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ، وَلَوْ طَلَّقَهَا طَلْقَتَيْنِ كَانَ لَهُ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ مِنَ الْأَلْفِ عُشْرَاهَا، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي ثُلُثَاهَا، وَلَوْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، كَانَ لَهُ عَلَى الزَّوْجَةِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ ثَلَاثَةُ أَعْشَارِ الْأَلْفِ، وَعَلَى الوجه الثاني جميع الألف.

Pendapat kedua: Ia berhak atas sepertiga dari seribu, karena talak yang melebihi tiga adalah sia-sia dan tidak memiliki konsekuensi hukum. Jika ia mentalaknya dua kali, maka menurut pendapat pertama ia berhak atas sepersepuluh dari seribu, dan menurut pendapat kedua dua pertiganya. Jika ia mentalaknya tiga kali, maka terhadap istri, menurut pendapat pertama, ia berhak atas tiga persepuluh dari seribu, dan menurut pendapat kedua seluruh seribu.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ بَقِيَتْ لَهُ عَلَيْهَا طَلْقَةٌ فَقَالَتْ طَلِّقْنِي بِأَلْفٍ وَاحِدَةً أَحْرُمُ بِهَا عَلَيْكَ وَاثْنَتَيْنِ إِنْ نَكَحْتَنِي بَعْدَ زَوْجٍ فَلَهُ مَهْرُ مِثْلِهَا إِذَا طَلَّقَهَا كَمَا قَالَتْ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika masih tersisa satu talak baginya, lalu sang istri berkata, “Ceraikan aku dengan seribu untuk satu talak yang membuatku haram bagimu, dan dua talak jika engkau menikahiku lagi setelah menikah dengan suami lain,” maka ia berhak atas mahar mitsil jika ia mentalaknya sebagaimana yang diminta sang istri).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ طَلْقَتَيْنِ، وَبَقِيَتْ لَهُ عَلَيْهَا وَاحِدَةٌ، فَقَالَتْ لَهُ طَلِّقْنِي ثَلَاثًا بِأَلْفٍ وَاحِدَةً أَحْرُمُ بِهَا عَلَيْكَ فِي هَذَا النِّكَاحِ، وَاثْنَتَانِ أحرم بها عليك إذا أنكحتني نِكَاحًا ثَانِيًا، فَالْخُلْعُ فِي الطَّلَاقِ الْمُسْتَقْبَلِ بَاطِلٌ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang laki-laki telah mentalak istrinya dua kali, sehingga masih tersisa satu talak baginya. Lalu sang istri berkata, “Ceraikan aku tiga kali dengan seribu: satu talak yang membuatku haram bagimu dalam pernikahan ini, dan dua talak yang membuatku haram bagimu jika engkau menikahiku lagi dalam pernikahan kedua.” Maka khulu‘ untuk talak yang akan datang (belum terjadi) adalah batal karena tiga alasan:

أَحَدُهَا: أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَثْبُتُ فِي الذِّمَمِ.

Pertama: Talak tidak dapat ditetapkan atas tanggungan (sesuatu yang belum terjadi).

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَصِحُّ فِيهِ السَّلَمُ.

Kedua: Tidak sah akad salam (jual beli pesanan) dalam hal ini.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يَقَعُ قَبْلَ النِّكَاحِ.

Ketiga: Talak tidak dapat terjadi sebelum adanya pernikahan.

فَأَمَّا الْخُلْعُ فِي الطَّلْقَةِ الْوَاحِدَةِ فِي هَذَا النِّكَاحِ فَفِيهِ قَوْلَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الصَّفْقَةِ الْوَاحِدَةِ إِذَا اجْتَمَعَتْ صَحِيحًا وَفَاسِدًا، فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّهُ بَاطِلٌ فِي الصَّحِيحِ لِبُطْلَانِهِ فِي الْفَاسِدِ مَنْعًا لِتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ، فَعَلَى هَذَا الطَّلْقَةُ قَدْ وَقَعَتْ، وَإِنْ فَسَدَ الْخُلْعُ فِيهَا، لِأَنَّ الطلاق استهلاك لا يمكن استداركه بَعْدَ وُقُوعِهِ وَقَدْ وَقَعَ عَلَى بَدَلٍ فَاسِدٍ فَوَجَبَ فِيهِ مَهْرُ الْمِثْلِ وَجَرَى عَلَى هَذَا الْقَوْلِ مَجْرَى مَنْ بَاعَ عَبْدَيْنِ مَغْصُوبًا وَمَمْلُوكًا بِأَلْفٍ فَبَطَلَ الْبَيْعُ بَيْنَهُمَا، وَاسْتَهْلَكَ الْمُشْتَرِي الْمَمْلُوكَ مِنْهُمَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ قِيمَتُهُ كَذَلِكَ هَا هُنَا.

Adapun khulu‘ untuk satu talak dalam pernikahan ini, terdapat dua pendapat yang bersumber dari perbedaan pendapat beliau dalam satu transaksi apabila terkumpul yang sah dan yang batal. Salah satu pendapat menyatakan batal pada yang sah karena batal pada yang rusak, untuk mencegah pemisahan transaksi. Berdasarkan pendapat ini, talak telah terjadi, meskipun khulu‘nya rusak, karena talak adalah penghabisan yang tidak dapat ditarik kembali setelah terjadi, dan telah terjadi atas pengganti yang rusak, sehingga wajib mahar mitsil. Pendapat ini seperti orang yang menjual dua budak, satu milik sendiri dan satu hasil rampasan, dengan harga seribu, lalu jual beli antara keduanya batal, dan pembeli telah menghabiskan budak yang dimilikinya, maka ia wajib membayar nilainya. Demikian pula dalam kasus ini.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْخُلْعَ فِي الطَّلْقَةِ جَائِزٌ إِذَا قِيلَ: إِنَّ تَفْرِيقَ الصَّفْقَةِ جَائِزٌ وَإِنَّ من بَاعَ عَبْدَيْنِ مَمْلُوكًا وَمَغْصُوبًا لَمْ يَبْطُلِ الْبَيْعُ فِي الْمَمْلُوكِ لِبُطْلَانِهِ فِي الْمَغْصُوبِ فَعَلَى هَذَا فِيمَا يَسْتَحِقُّهُ الزَّوْجُ بِالطَّلْقَةِ الْوَاحِدَةِ قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: Khulu‘ dalam satu talak itu sah jika dikatakan bahwa pemisahan transaksi itu boleh, dan bahwa siapa yang menjual dua budak, satu milik sendiri dan satu hasil rampasan, maka jual beli pada yang milik sendiri tidak batal karena batal pada yang hasil rampasan. Berdasarkan ini, mengenai apa yang berhak didapat suami dari satu talak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: ثُلُثُ الْأَلْفِ إِذَا قِيلَ: يَأْخُذُ مَا صَحَّ مِنَ الْمَبِيعِ فِي تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ بِحِصَّتِهِ مِنَ الثَّمَنِ.

Salah satunya: Sepertiga dari seribu, jika dikatakan bahwa ia mengambil bagian yang sah dari barang yang dijual dalam pemisahan transaksi sesuai bagiannya dari harga.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهُ جَمِيعُ الْأَلْفِ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَأْخُذُ مَا صَحَّ مِنَ الْمَبِيعِ فِي تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ، وَهَلْ لِلزَّوْجَةِ فِي ذَلِكَ خِيَارٌ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Ia berhak atas seluruh seribu, jika dikatakan bahwa ia mengambil bagian yang sah dari barang yang dijual dalam pemisahan transaksi dengan seluruh harga. Apakah istri memiliki hak khiyar (memilih) dalam hal ini atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لَهَا، لِأَنَّ الْخِيَارَ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى رَفْعِ الْعَقْدِ.

Salah satunya: Ia tidak memiliki hak khiyar, karena hak khiyar ada ketika masih mampu membatalkan akad.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهَا الْخِيَارُ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْخُلْعِ فِي الطَّلْقَةِ بِجَمِيعِ الْأَلْفِ وَبَيْنَ الْفَسْخِ فِي الْأَلْفِ وَدَفْعِ مَهْرِ المثل.

Pendapat kedua: Ia memiliki hak khiyar antara melanjutkan khulu‘ untuk satu talak dengan seluruh seribu, atau membatalkan khulu‘ dalam seribu dan membayar mahar mitsil.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ خَلَعَهَا عَلَى أَنْ تَكْفُلَ وَلَدَهُ عَشْرَ سِنِينَ فَجَائِزاِنِ اشْتَرَاطا إِذَا مَضَى الْحَوْلَانِ نَفَقَتهُ بَعْدَهُمَا فِي كُلِّ شَهْرٍ كَذَا قَمْحًا وَكَذَا زَيْتًا فَإِنْ كَفَى وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِمَا يَكْفِيهِ وَإِنْ مَاتَ رَجَعَ عَلَيْهَا بِمَا بَقِيَ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika ia melakukan khulu‘ dengan syarat istri menanggung nafkah anaknya selama sepuluh tahun, maka kedua syarat itu sah. Jika telah berlalu dua tahun, nafkah setelahnya setiap bulan berupa sekian gandum dan sekian minyak. Jika cukup, maka selesai; jika tidak, istri boleh menuntut suami atas kekurangannya. Jika anak meninggal, suami boleh menuntut istri atas sisa yang belum terpenuhi).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ خَالَعَ زَوْجَتَهُ عَلَى أَنْ تَكْفُلَ وَلَدَهُ عَشْرَ سِنِينَ تُرْضِعُهُ مِنْهَا حَوْلَيْنِ وَتُنْفِقُ عَلَيْهِ بَعْدَهُمَا تَمَامَ الْعَشْرِ، فلا بد بَعْدَ ذِكْرِ الرَّضَاعِ مِنْ ذِكْرِ جِنْسِ النَّفَقَةِ وَنَوْعِهَا وَصِفَتِهَا وَقَدْرِهَا وَأَجَلِهَا، فَيَقُولُ: عَلَى أَنْ تُطْعِمِيهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ مِنَ الْحِنْطَةِ الْعِرَاقِيَّةِ الصَّافِيَةِ كَذَا، وَمِنَ الزَّيْتِ الشَّامِيِّ كَذَا، وَمِنَ السُّكَّرِ الْفَارِدِ كَذَا، وَمِنَ الْعَسَلِ الْأَبْيَضِ كَذَا، وَإِنْ شَرَطَ عَلَيْهَا مَعَ النَّفَقَةِ كِسْوَتَهُ قَالَ: عَلَى أَنْ تَكْسُوَهُ فِي أَوَّلِ كُلِّ سَنَةٍ كُسْوَةَ الصَّيْفِ مِنَ الْكَتَّانِ التَّوْزِيِّ الْمُرْتَفِعِ ثَوْبًا طُولُهُ كَذَا ذِرَاعًا فِي عَرْضِ كَذَا شِبْرًا يَقْطَعُ لَهُ مِنْهُ قَمِيصَيْنِ وَخَمْسَ أَذْرُعٍ مِنْ مُنِيرِ الْبَغْدَادِيِّ الْمُرْتَفِعِ فِي عَرْضِ كَذَا شِبْرًا يَقْطَعُ لَهُ مِنْهُ سَرَاوِيلَ وَمِنْدِيلَ مِنْ قَصَبِ مِصْرَ طُولُهُ كَذَا ذِرَاعًا، فِي عَرْضِ كَذَا شِبْرًا صِفَتُهُ كَذَا، وَفِي أَوَّلِ النِّصْفِ الثَّانِي مِنَ السَّنَةِ كُسْوَةُ الشِّتَاءِ مِنَ الْخَزِّ ثَوْبًا مُرْتَفِعًا مِنْ خَزِّ الْكُوفَةِ أَوِ السُّنْدُسِ طُولُهُ كَذَا ذِرَاعًا فِي عَرْضِ كَذَا شِبْرًا يَقْطَعُهُ جُبَّةً، وَمِنَ الْحَرِيرِ الْفُلَانِيِّ كَذَا ذِرَاعًا فِي عَرْضِ كَذَا شِبْرًا، يَقْطَعُهُ قَمِيصًا، فَإِذَا اسْتَوْفَى صِفَةَ كُلِّ مَا أَوْجَبَهُ عَلَيْهَا وَنَفَقَتَهُ وَكُسْوَتَهُ جِنْسًا وَنَوْعًا وَصِفَةً وَقَدْرًا وَصَارَ مَعْلُومًا يَنْتَفِي عَنْهُ الْجَهَالَةُ وَمَعْلُومَ الْأَجَلِ غَيْرَ مَجْهُولِ الْمُدَّةِ كَالْمَوْصُوفِ فِي السَّلَمِ لِيَصِحَّ بِهِ الْخُلْعُ فَهَذِهِ المسألة مبينة على ثلاث أُصُولٍ فِي كُلِّ أَصْلٍ مِنْهَا قَوْلَانِ: أَحَدُ الْأُصُولِ: أَنَّ الْعَقْدَ الْوَاحِدَ إِذَا جَمَعَ شَيْئَيْنِ مُخْتَلِفَيِ الْحُكْمِ كَبَيْعٍ وَإِجَارَةٍ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنْ كَانَ الْعَقْدُ قَدْ جَمَعَ إِجَارَةً وَرَضَاعًا وَسَلَمًا فِي طَعَامٍ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ عَلَى قولين.

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: Seorang laki-laki melakukan khulu‘ terhadap istrinya dengan syarat istrinya menanggung anaknya selama sepuluh tahun, menyusuinya selama dua tahun, dan menafkahinya setelah itu hingga genap sepuluh tahun. Maka, setelah menyebutkan penyusuan, harus disebutkan jenis, macam, sifat, kadar, dan batas waktu nafkahnya. Misalnya, ia berkata: “Dengan syarat engkau memberinya makan setiap hari dari gandum Irak murni sebanyak sekian, dari minyak Syam sebanyak sekian, dari gula murni sebanyak sekian, dan dari madu putih sebanyak sekian.” Jika ia juga mensyaratkan pakaian untuk anak itu selain nafkah, maka ia berkata: “Dengan syarat engkau memberinya pakaian di awal setiap tahun, pakaian musim panas dari kain linen Tuwazi yang berkualitas, satu baju dengan panjang sekian hasta dan lebar sekian jengkal, dibuatkan untuknya dua kemeja, dan lima hasta kain Munir Baghdadi yang berkualitas dengan lebar sekian jengkal, dibuatkan untuknya celana dan sapu tangan dari kain qasab Mesir dengan panjang sekian hasta dan lebar sekian jengkal, dengan sifat sekian. Dan di awal paruh kedua tahun, pakaian musim dingin dari kain khazz, satu baju berkualitas dari khazz Kufah atau sundus dengan panjang sekian hasta dan lebar sekian jengkal, dibuatkan jubah, dan dari sutra tertentu sekian hasta dengan lebar sekian jengkal, dibuatkan kemeja.” Jika telah dijelaskan sifat semua yang diwajibkan atasnya, baik nafkah maupun pakaian, dari segi jenis, macam, sifat, dan kadar, serta menjadi jelas sehingga tidak ada lagi unsur ketidakjelasan, dan batas waktunya pun diketahui, tidak samar seperti barang yang dijelaskan dalam akad salam, maka khulu‘ itu sah. Masalah ini dibangun di atas tiga prinsip, dan pada masing-masing prinsip terdapat dua pendapat: Salah satu prinsipnya adalah bahwa satu akad jika menggabungkan dua hal yang berbeda hukum, seperti jual beli dan ijarah, maka ada dua pendapat. Jika akad itu menggabungkan ijarah, penyusuan, dan salam dalam makanan, maka juga ada dua pendapat.

وَالْأَصْلُ الثَّانِي: أَنَّ عَقْدَ السَّلَمِ فِي جِنْسَيْنِ بِثَمَنٍ وَاحِدٍ يَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَهَذَا سَلَمٌ فِي أَجْنَاسٍ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Prinsip kedua: Akad salam atas dua jenis barang dengan satu harga terdapat dua pendapat, dan ini adalah salam atas beberapa jenis barang, maka juga ada dua pendapat.

وَالْأَصْلُ الثَّالِثُ: أَنَّ عَقْدَ السَّلَمِ إِلَى أَجَلَيْنِ يَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَهَذَا أَسْلَم إِلَى آجَالٍ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَابِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ لِاخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ فِي هَذِهِ الْأُصُولِ الثَّلَاثَةِ فَكَانَ بَعْضُهُمْ يُخْرِجُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْأُصُولِ الثَّلَاثَةِ: أَحَدُهَا: أَنَّ الْخُلْعَ بَاطِلٌ.

Prinsip ketiga: Akad salam dengan dua tenggat waktu terdapat dua pendapat, dan ini adalah salam dengan beberapa tenggat waktu, maka juga ada dua pendapat. Para ulama kami berbeda pendapat dalam menjawab masalah ini karena perbedaan dua pendapat dalam tiga prinsip tersebut. Sebagian mereka mengeluarkan masalah ini atas dua pendapat sebagaimana tiga prinsip itu: salah satunya, bahwa khulu‘ tersebut batal.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ جَائِزٌ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ وَكَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِنَا إنَّ هَذَا الْخُلْعَ يَصِحُّ قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ كَانَ مَبْنِيًّا عَلَى أُصُولٍ هِيَ عَلَى قَوْلَيْنِ لِاخْتِصَاصِ الْخُلْعِ بِثَلَاثَةِ مَعَانٍ يُفَارِقُ بِهَا أُصُولَهُ:

Pendapat kedua: Bahwa khulu‘ tersebut sah, dan ini adalah pendapat yang ditegaskan dalam masalah ini. Abu Ishaq al-Marwazi, Abu Hamid al-Marwazi, dan banyak ulama kami mengatakan bahwa khulu‘ ini sah menurut satu pendapat, meskipun dibangun di atas prinsip-prinsip yang terdapat dua pendapat, karena kekhususan khulu‘ dengan tiga makna yang membedakannya dari prinsip-prinsipnya:

أَحَدُهَا: أَنَّ النَّفَقَةَ هَا هُنَا تَبَعٌ لِلرَّضَاعِ، وَقَدْ يُخَفَّفُ حُكْمُ التَّبَعِ عَنْ حُكْمِ الِانْفِرَادِ كَمَا يَجُوزُ بَيْعُ مَا لَمْ يُؤَبَّرْ مِنَ الثَّمَرَةِ تَبَعًا لِنَخْلِهَا، وَلَا يَجُوزُ بَيْعُهَا بِانْفِرَادِهَا، وَكَمَا يَجُوزُ بَيْعُ الْحَمْلِ تَبَعًا لِلْأَمَةِ، وَلَا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُفْرَدًا عَنْهَا.

Pertama: Bahwa nafkah di sini mengikuti penyusuan, dan terkadang hukum sesuatu yang mengikuti lebih ringan daripada hukum jika berdiri sendiri, seperti bolehnya menjual buah yang belum matang jika mengikuti pohonnya, namun tidak boleh menjualnya secara terpisah; dan seperti bolehnya menjual janin jika mengikuti induknya (budak perempuan), namun tidak boleh menjualnya secara terpisah.

وَالثَّانِي: أَنَّ الضَّرُورَةَ دَعَتْ إِلَى الْجَمْعِ بَيْنَ هَذِهِ الْأَجْنَاسِ بِعَقْدٍ وَاحِدٍ، لِأَنَّ عَقْدَ الْخُلْعِ إِذَا أُفْرِدَ بِأَحَدِهِمَا لَمْ تَصِحَّ بَعْدَهُ عَقْدُ خُلْعٍ آخَرَ فَدَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى جَمْعِهِ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ غَيْرُهُ مِنَ الْعُقُودِ.

Kedua: Bahwa adanya kebutuhan mendesak untuk menggabungkan berbagai jenis ini dalam satu akad, karena jika akad khulu‘ hanya dilakukan untuk salah satunya, maka tidak sah setelahnya akad khulu‘ lain. Maka kebutuhan mendesak menuntut untuk menggabungkannya dalam satu akad, dan hal ini tidak berlaku pada akad-akad lain.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ عَقْدَ الْخُلْعِ مفاداة قصد بهما اسْتِنْقَاذُهُمَا مِنْ مَعْصِيَةٍ فَكَانَ حُكْمُهُ أَوْسَعَ مِنْ سَائِرِ الْعُقُودِ كَمَا وَسَّعَ فِي جَوَازِهِ عَقْدُهُ عَلَى الصِّفَاتِ الَّتِي لَا يَجُوزُ مِثْلُهَا فِي عُقُودِ الْبِيَاعَاتِ.

Ketiga: Bahwa akad khul‘ adalah suatu bentuk mufāwadah (tukar-menukar) yang dimaksudkan untuk menyelamatkan kedua belah pihak dari kemaksiatan, sehingga hukumnya lebih luas daripada akad-akad lainnya, sebagaimana dalam kebolehan akad khul‘ diperluas pada sifat-sifat yang tidak diperbolehkan dalam akad jual beli.

(فَصْلٌ:)

(Fashal:)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْخُلْعِ عَلَى مَا وَصَفْنَا أَخَذَتِ الزَّوْجَةُ بِرَضَاعِهِ وَبِنَفَقَتِهِ، وَكَانَ الزَّوْجُ فِي النَّفَقَةِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يستنبيها فِيهَا لِتَتَوَلَّى النَّفَقَةَ عَلَيْهِ بِنَفْسِهَا، وَبَيْنَ أَنْ يَسْتَوْفِيَ ذَلِكَ مِنْهَا بِنَفْسِهِ أَوْ بِوَكِيلِهِ، لِيَكُونَ هُوَ الْمُتَوَلِّيَ لِلنَّفَقَةِ عَلَيْهَا، وَالزَّوْجُ أَيْضًا بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ تِلْكَ النَّفَقَةَ وَيُطْعِمَهُ ذَلِكَ الطَّعَامَ وَبَيْنَ أَنْ يَتَمَلَّكَهُ وَيُطْعِمَهُ مِنْ غَيْرِهِ، وَلَا يَخْلُو الْمُقَدَّرُ عَلَيْهَا مِنَ النَّفَقَةِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Apabila telah tetap kebolehan khul‘ sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka istri mengambil alih penyusuan dan nafkah anak, dan suami dalam hal nafkah memiliki pilihan antara menunjuk istri untuk mengurus nafkah anak secara langsung, atau mengambilnya sendiri dari istri atau melalui wakilnya, sehingga suami yang mengelola nafkah anak tersebut. Suami juga memiliki pilihan antara memberikan nafkah itu kepada anak dan memberinya makan dari nafkah tersebut, atau memilikinya dan memberi makan anak dari selain nafkah itu. Adapun nafkah yang ditetapkan atas istri terbagi menjadi empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بِقَدْرِ كِفَايَتِهِ لَا يَزِيدُ عَلَيْهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْهَا، فَلَيْسَ عَلَيْهِ لِوَلَدِهِ أَكْثَرُ مِنْهَا.

Pertama: Nafkah itu sesuai dengan kebutuhan anak, tidak lebih dan tidak kurang, maka suami tidak wajib memberikan kepada anaknya lebih dari itu.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ أَكْثَرَ مِنْ كِفَايَتِهِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ الْفَاضِلَ، لِأَنَّ نَفَقَةَ الْوَلَدِ مُقَدَّرَةٌ بِالْكِفَايَةِ. وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ أَقَلَّ مِنْ كِفَايَتِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُتِمَّ لَهُ مِنْ مَالِهِ قَدْرَ كفايته.

Bagian kedua: Jika nafkah itu lebih dari kebutuhan anak, maka suami boleh mengambil kelebihannya, karena nafkah anak ditetapkan sesuai kebutuhannya. Bagian ketiga: Jika nafkah itu kurang dari kebutuhan anak, maka suami wajib menambahkannya dari hartanya sendiri hingga mencukupi kebutuhan anak.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَزِيدَ عَلَى كِفَايَتِهِ فِي الصِّغَرِ، وَتَنْقُصَ عَنْ كِفَايَتِهِ فِي الْكِبَرِ، فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ الزِّيَادَةَ فِي صِغَرِهِ، وَيُتِمَّ النُّقْصَانَ فِي كِبَرِهِ، وَتُجْرِي أَمْرَ الرَّضَاعِ وَالنَّفَقَةِ مَا لَمْ يَحْدُثْ مَوْتٌ عَلَى مَا ذَكَرْنَا حَتَّى تُوَفِّيَ مَا عَلَيْهَا.

Bagian keempat: Jika nafkah itu melebihi kebutuhan anak saat kecil, dan kurang dari kebutuhannya saat besar, maka suami boleh mengambil kelebihan saat anak kecil, dan menutupi kekurangan saat anak besar. Urusan penyusuan dan nafkah ini tetap berjalan sebagaimana telah disebutkan, selama tidak terjadi kematian, hingga istri menunaikan kewajibannya.

(فَصْلٌ:)

(Fashal:)

فَإِنْ حَدَثَ مَوْتٌ فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika terjadi kematian, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَمُوتَ الْوَلَدُ.

Pertama: Anak meninggal dunia.

وَالثَّانِي: أَنْ تَمُوتَ الزَّوْجَةُ.

Kedua: Istri meninggal dunia.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَمُوتَ الزَّوْجُ.

Ketiga: Suami meninggal dunia.

فَإِنْ مَاتَ الْوَلَدُ فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika anak meninggal dunia, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَمُوتَ فِي الْحَالِ قَبْلَ الرَّضَاعِ.

Pertama: Anak meninggal seketika sebelum disusui.

وَالثَّانِي: أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ الرَّضَاعِ، وَقَبْلَ اسْتِيفَاءِ الطَّعَامِ.

Kedua: Anak meninggal setelah disusui, namun sebelum menerima makanan.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ أَنْ مَضَى بَعْضُ الرَّضَاعِ، وَبَقِيَ بَعْضُهُ وَجَمِيعُ الطَّعَامِ.

Ketiga: Anak meninggal setelah sebagian masa penyusuan berlalu, dan sebagian lagi serta seluruh makanan masih tersisa.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ فِي الْحَالِ قَبْلَ الرَّضَاعِ وَالطَّعَامِ فَهَلْ لِلْأَبِ أَنْ يَأْتِيَ بِوَلَدٍ تُرْضِعُهُ بَدَلًا مِنْهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ نَذْكُرُ تَوْجِيهَهُمَا مِنْ بَعْدُ:

Adapun bagian pertama, yaitu anak meninggal seketika sebelum disusui dan diberi makan, maka apakah ayah boleh mengganti anak tersebut dengan anak lain untuk disusui sebagai pengganti, atau tidak? Ada dua pendapat yang akan kami sebutkan penjelasannya setelah ini:

أَحَدُهُمَا: يَأْتِي بِبَدَلِهِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْخُلْعُ بِحَالِهِ لَا يَبْطُلُ بِمَوْتِ الْوَلَدِ لِأَنَّ غَيْرَهُ قَدْ قَامَ مَقَامَهُ فِي الرَّضَاعِ وَالنَّفَقَةِ.

Salah satunya: Boleh mengganti dengan anak lain, sehingga khul‘ tetap berlaku dan tidak batal karena kematian anak, sebab anak lain telah menggantikan posisinya dalam hal penyusuan dan nafkah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْتِيَ بِبَدَلِهِ، فَعَلَى هَذَا قَدْ بَطَلَ الْخُلْعُ فِي الرَّضَاعِ فَتَفَرَّقَتْ بِهِ الصَّفْقَةُ بِمَعْنًى طَرَأَ بَعْدَ الْعَقْدِ.

Pendapat kedua: Tidak boleh mengganti dengan anak lain, sehingga khul‘ dalam hal penyusuan menjadi batal, dan akad pun terpisah karena adanya sebab yang muncul setelah akad.

وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ بَعْدَ العقد هل يكون لتفريقها حَالَ الْعَقْدِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Para ulama kami berbeda pendapat tentang pemisahan akad setelah akad, apakah pemisahan itu berlaku saat akad atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أنهما في تفريق الصفة سَوَاءٌ، فَعَلَى هَذَا هَلْ يَبْطُلُ الْخُلْعُ فِي الطَّعَامِ لِبُطْلَانِهِ فِي الرَّضَاعِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Salah satunya: Keduanya sama dalam hal pemisahan sifat, sehingga apakah khul‘ dalam hal makanan juga batal karena batalnya dalam hal penyusuan atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَ إِذَا لَمْ يُجَوَّزْ تَفْرِيقُ الصَّفْقَةِ، فَعَلَى هَذَا قَدْ وَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَى خُلْعٍ فَاسِدٍ، فَوَقَعَ بَائِنًا، وَبِمَاذَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Salah satunya: Khul‘ batal jika tidak dibolehkan pemisahan akad, sehingga talak jatuh pada khul‘ yang fasid (rusak), dan jatuh sebagai talak bain, dan bagaimana suami dapat menuntut istri, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِأُجْرَةِ رَضَاعِ الْحَوْلَيْنِ وَقِيمَةِ الطَّعَامِ.

Salah satunya, yaitu pendapat dalam qaul qadim, suami menuntut istri dengan upah penyusuan selama dua tahun dan nilai makanan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إنَّهُ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا كَمَا قُلْنَا فِي بُطْلَانِ الصَّدَاقِ أَنَّ فِيمَا تَرْجِعُ بِهِ الزوجة قولين.

Pendapat kedua, yaitu pendapat dalam qaul jadid, suami menuntut istri dengan mahar mitsil (mahar sepadan), sebagaimana kami katakan dalam batalnya mahar, bahwa dalam hal apa yang dapat dituntut istri terdapat dua pendapat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: فِي الْأَصْلِ أَنَّ الْخُلْعَ فِي الطَّعَامِ لَا يَبْطُلُ، وَإِنْ بَطَلَ فِي الرَّضَاعِ إِذَا جَوَّزْنَا تَفْرِيقَ الصَّفْقَةِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الزَّوْجُ لِتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ عَلَيْهِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْخُلْعِ فِي الطَّعَامِ وَبَيْنَ فَسْخِهِ، فَإِنْ فَسَخَ فَفِيمَا يَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: Pada dasarnya, khulu‘ dalam makanan tidak batal, meskipun batal dalam penyusuan jika kita membolehkan pemisahan akad. Berdasarkan hal ini, suami karena adanya pemisahan akad memiliki pilihan antara melanjutkan khulu‘ dalam makanan atau membatalkannya. Jika ia membatalkan, maka terkait apa yang dapat ia ambil kembali dari istrinya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بِأُجْرَةِ الرَّضَاعِ وَقِيمَةِ الطَّعَامِ.

Salah satunya: dengan upah penyusuan dan nilai makanan.

وَالثَّانِي: بِمَهْرِ الْمِثْلِ، وَإِنْ أَقَامَ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Dan yang kedua: dengan mahar mitsil (mahar sepadan), dan jika ia melanjutkan maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُقِيمَ عَلَى الطَّعَامِ بِجَمِيعِ الْخُلْعِ وَإِلَّا فَسَخَ.

Salah satunya: ia melanjutkan pada makanan dengan seluruh nilai khulu‘, jika tidak maka ia membatalkannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يُقِيمُ عَلَيْهِ بِحِسَابِهِ وَقِسْطِهِ، وَيَرْجِعُ بِحِسَابِ الرَّضَاعِ وَقِسْطِهِ، وَبِمَاذَا يَكُونُ رُجُوعُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Dan yang kedua: ia melanjutkan sesuai bagiannya dan porsinya, dan ia mengambil kembali sesuai bagian penyusuan dan porsinya, dan dengan apa ia mengambil kembali terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْقَدِيمُ بِأُجْرَةِ رَضَاعِ الْحَوْلَيْنِ.

Salah satunya, yaitu pendapat lama, dengan upah penyusuan selama dua tahun.

وَالثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ بِقِسْطِهِ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ.

Dan yang kedua, yaitu pendapat baru, dengan bagian dari mahar mitsil.

مِثَالُهُ: أَنْ يَنْظُرَ أُجْرَةَ الرَّضَاعِ وَقِيمَةَ الطَّعَامِ، فَإِذَا كَانَتْ أُجْرَةُ الرَّضَاعِ مِائَةً، وَقِيمَةُ الطَّعَامِ مِائَتَيْنِ كَانَ الرَّضَاعُ ثُلُثَ الْخُلْعِ فَيَرْجِعُ بِثُلُثِ مَهْرِ الْمِثْلِ، فَهَذَا الْكَلَامُ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا أَنَّ تَفْرِيقَ الصَّفْقَةِ بَعْدَ الْعَقْدِ لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ الْعَقْدِ فِيمَا يَفِي بِخِلَافِهِمَا حَالَ الْعَقْدِ.

Contohnya: seseorang memperhatikan upah penyusuan dan nilai makanan. Jika upah penyusuan seratus dan nilai makanan dua ratus, maka penyusuan adalah sepertiga dari khulu‘, sehingga ia mengambil kembali sepertiga dari mahar mitsil. Inilah penjelasan menurut salah satu pendapat ulama kami bahwa pemisahan akad setelah akad tidak menghalangi keabsahan akad pada bagian yang terpenuhi, berbeda dengan keadaan saat akad.

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْخُلْعُ جَائِزًا فِي الطَّعَامِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ بَطَلَ فِي الرَّضَاعِ وَيَكُونُ فِيهِ بِالْخِيَارِ عَلَى مَا مَضَى، فَإِنْ أَقَامَ عَلَى الطَّعَامِ فَهَلْ يَكُونُ إِلَى آجَالِهِ أَوْ يَتَعَجَّلُ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ:

Berdasarkan hal ini, khulu‘ dalam makanan boleh menurut satu pendapat, meskipun batal dalam penyusuan, dan dalam hal ini suami memiliki pilihan seperti yang telah dijelaskan. Jika ia melanjutkan pada makanan, apakah itu sampai waktu jatuh temponya atau dipercepat? Ada dua pendapat yang dinukil oleh Abu Ishaq al-Marwazi:

أَحَدُهُمَا: قَدْ حَلَّ، لِأَنَّهُ كَانَ مُؤَجَّلًا بِتَأْجِيلِ الرَّضَاعِ، فَإِذَا بَطَلَ الرَّضَاعُ ارْتَفَعَ الْأَجَلُ فَحَلَّ الطَّعَامُ.

Salah satunya: telah jatuh tempo, karena sebelumnya ditangguhkan dengan penangguhan penyusuan, maka ketika penyusuan batal, penangguhan pun hilang sehingga makanan menjadi jatuh tempo.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّ الطَّعَامَ إِلَى أَجَلِهِ لَا يَتَعَجَّلُ، لِأَنَّ الْمُؤَجَّلَ لَا يَتَعَجَّلُ إِلَّا بِمَوْتِ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ دُونَ مُسْتَوْفِيهِ، وَالطَّعَامَ أَحَدُ الْمَقْصُودِينَ، وَلَيْسَ بِبَيْعٍ مَحْضٍ وَيَكُونُ فِيهِ بِالْخِيَارِ، فَإِنْ فَسَخَ الْجَوَابُ فِيمَا يَرْجِعُ بِهِ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ أَقَامَ عَلَيْهِ أَخَذَهُ بِقِسْطِهِ قَوْلًا وَاحِدًا وَرَجَعَ بِبَاقِيهِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, bahwa makanan tetap sampai waktu jatuh temponya, tidak dipercepat, karena sesuatu yang ditangguhkan tidak dipercepat kecuali dengan kematian pihak yang memiliki kewajiban, bukan pihak yang menerima. Makanan adalah salah satu tujuan utama, dan bukan jual beli murni, dan dalam hal ini suami tetap memiliki pilihan. Jika ia membatalkan, maka jawabannya terkait apa yang dapat ia ambil kembali seperti yang telah dijelaskan. Jika ia melanjutkan, maka ia mengambilnya sesuai bagiannya menurut satu pendapat, dan mengambil kembali sisanya sebagaimana dua pendapat yang telah disebutkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ الْوَلَدُ بَعْدَ رَضَاعِ الْحَوْلَيْنِ، وَقَبْلَ الطَّعَامِ، فَالْخُلْعُ بِحَالِهِ عَلَى صِحَّتِهِ، لِأَنَّ مَا يُؤَثِّرُ فِيهِ الْمَوْتُ مِنَ الرَّضَاعِ قَدِ اسْتُوفِيَ وَالطَّعَامَ لَا يُؤَثِّرُ فِيهِ الْمَوْتُ، فَكَانَ عَلَى صِحَّتِهِ لَكِنْ هَلْ يَحِلُّ أَوْ يَكُونُ إِلَى أَجَلِهِ؟ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ.

Adapun bagian kedua: yaitu jika anak meninggal setelah selesai masa penyusuan dua tahun dan sebelum makanan, maka khulu‘ tetap sah sebagaimana adanya, karena bagian yang terpengaruh oleh kematian dari penyusuan telah terpenuhi, dan makanan tidak terpengaruh oleh kematian, sehingga tetap sah. Namun, apakah menjadi jatuh tempo atau tetap sampai waktu jatuh temponya? Hal ini kembali pada dua pendapat yang telah lalu.

(فَصْلٌ:)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ الْوَلَدُ بَعْدَ أَنْ مَضَى بَعْضُ الرضاع وبقي بَعْضُهُ وَجَمِيعُ الطَّعَامِ كَأَنَّهُ مَاتَ بَعْدَ أَنْ مَضَى أَحَدُ الْحَوْلَيْنِ وَبَقِيَ الثَّانِي فَهَلْ يَأْتِي بِوَلَدٍ آخَرَ تُرْضِعُهُ مَكَانَ ذَلِكَ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun bagian ketiga: yaitu jika anak meninggal setelah sebagian masa penyusuan berlalu dan sebagian lagi serta seluruh makanan masih tersisa, misalnya anak meninggal setelah satu tahun berlalu dan tahun kedua masih tersisa, maka apakah boleh mendatangkan anak lain untuk disusui sebagai pengganti atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَأْتِي بِوَلَدٍ آخَرَ، فَعَلَى هَذَا الْخُلْعُ بِحَالِهِ، وَيَسْتَوْفِي رَضَاعَ الْحَوْلِ الثَّانِي بِوَلَدٍ آخَرَ وَيَسْتَوْفِي الطَّعَامَ فِي نُجُومِهِ.

Salah satunya: boleh mendatangkan anak lain, sehingga khulu‘ tetap berlaku, dan penyusuan tahun kedua dipenuhi dengan anak lain, dan makanan dipenuhi sesuai waktu-waktunya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَأْتِي بِغَيْرِ ذَلِكَ الْوَلَدِ، فَعَلَى هَذَا قَدْ بَطَلَ الْخُلْعُ فِي رَضَاعِ الْحَوْلِ الثاني، وهو يَبْطُلُ فِي رَضَاعِ الْحَوْلِ الْأَوَّلِ وَالطَّعَامِ الْبَاقِي أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ تَتَخَرَّجُ عَلَى التَّرْتِيبِ الْمَاضِي مِنِ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا مِنَ الْفَسَادِ الطَّارِئِ بَعْدَ الْعَقْدِ هَلْ يَكُونُ كَالْفَسَادِ الْمُقَارِنِ لِلْعَقْدِ ثُمَّ عَلَى تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ أَحَدُ الْمَذَاهِبِ الثَّلَاثَةِ أَنَّ الْخُلْعَ بَاطِلٌ فِي الْجَمِيعِ فَيَبْطُلُ فِي الْحَوْلِ الْمَاضِي، وَفِي الطَّعَامِ لِبُطْلَانِهِ فِي الْحَوْلِ الْبَاقِي، وَهَذَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَجْعَلُ الْفَسَادَ الطَّارِئَ بَعْدَ الْعَقْدِ كَالْفَسَادِ الْمُقَارِنِ لِلْعَقْدِ، وَيَمْنَعُ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَلَى الزَّوْجِ أُجْرَةُ رَضَاعِ الْحَوْلِ الْمَاضِي، وَبِمَاذَا يَرْجِعُ عَلَى الزَّوْجَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا:

Pendapat kedua: Tidak datang dengan anak selain itu. Berdasarkan hal ini, khul‘ menjadi batal pada masa penyusuan tahun kedua, dan juga batal pada masa penyusuan tahun pertama serta makanan yang tersisa atau tidak? Dalam hal ini terdapat tiga mazhab yang keluar berdasarkan urutan perbedaan pendapat para sahabat kami mengenai kerusakan yang terjadi setelah akad, apakah dianggap sama dengan kerusakan yang terjadi bersamaan dengan akad. Kemudian, menurut perincian akad, salah satu dari tiga mazhab adalah bahwa khul‘ batal seluruhnya, sehingga batal pada masa tahun yang telah lalu dan pada makanan karena batalnya pada tahun yang tersisa. Ini menurut pendapat yang menyamakan kerusakan yang terjadi setelah akad dengan kerusakan yang terjadi bersamaan dengan akad, dan melarang perincian akad. Berdasarkan hal ini, suami wajib membayar upah penyusuan tahun yang telah lalu, dan dengan apa ia dapat menuntut kembali dari istri? Ada dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْقَدِيمُ بِأُجْرَةِ رَضَاعِ الْحَوْلَيْنِ وَبِقِيمَةِ الطَّعَامِ إلا أن يكون فيه ذو مثل فَيَرْجِعُ بِمِثْلِ ذِي الْمِثْلِ وَقِيمَةِ غَيْرِ ذِي الْمِثْلِ.

Salah satunya, yaitu pendapat lama, adalah dengan menuntut upah penyusuan dua tahun dan nilai makanan, kecuali jika di dalamnya terdapat barang yang memiliki padanan, maka ia menuntut dengan padanan barang tersebut dan nilai barang yang tidak memiliki padanan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ أَنَّهُ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat baru, bahwa ia menuntut dari istri mahar mitsil.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي مِنَ الْمَذَاهِبِ الثَّلَاثَةِ: أَنَّ الْخُلْعَ جَائِزٌ فِي الْحَوْلِ الْمَاضِي، وَفِي الطَّعَامِ الْبَاقِي، وَهَذَا عَلَى قَوْلِ مَنْ لَا يَجْعَلُ حُدُوثَ الْفَسَادِ بَعْدَ الْعَقْدِ كَوُجُودِهِ مع العقد، فعلى هذا هل يكون للزوجة بِتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ خِيَارُ الْفَسْخِ أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Mazhab kedua dari tiga mazhab: Bahwa khul‘ sah pada tahun yang telah lalu dan pada makanan yang tersisa. Ini menurut pendapat yang tidak menyamakan terjadinya kerusakan setelah akad dengan terjadinya kerusakan bersamaan dengan akad. Berdasarkan hal ini, apakah istri memiliki hak khiyar fasakh karena perincian akad atau tidak? Dalam hal ini terdapat tiga wajah:

أَحَدُهَا: لَا خِيَارَ لَهُ بِحَالٍ فَعَلَى هَذَا التَّقْسِيمِ عَلَى رَضَاعِ الْحَوْلِ الْمَاضِي وَجَمِيعِ الطَّعَامِ بِحِسَابِهِ وَقِسْطِهِ وَيَرْجِعُ بِحِسَابِ الْحَوْلِ الْبَاقِي وَقِسْطِهِ وَمِنْ مَاذَا يَرْجِعُ بِهِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Salah satunya: Tidak ada hak khiyar sama sekali. Berdasarkan pembagian ini, pada penyusuan tahun yang telah lalu dan seluruh makanan dihitung sesuai porsinya, dan ia menuntut sesuai dengan perhitungan tahun yang tersisa dan porsinya. Dari apa ia menuntut? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مِنْ عِوَضِ الْخُلْعِ فَعَلَى هَذَا يَرْجِعُ بِأُجْرَةِ رَضَاعِ الْحَوْلِ الْبَاقِي.

Salah satunya: Dari pengganti khul‘. Berdasarkan ini, ia menuntut upah penyusuan tahun yang tersisa.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ فَعَلَى هَذَا يَنْظُرُ أُجْرَةَ رَضَاعِ الْحَوْلَيْنِ وَقِيمَةَ الطَّعَامِ فَإِذَا قِيلَ؛ أُجْرَةُ رضاع الحولين مائتا درهم، وقيمة الطعام ثلاث مائة دِرْهَمٍ فَقَدْ بَقِيَ لَهُ بِأُجْرَةِ رَضَاعِ الْحَوْلِ الْبَاقِي مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَهِيَ الْخُمُسُ فَيَرْجِعُ عَلَيْهَا بِخُمُسِ مَهْرِ الْمِثْلِ.

Pendapat kedua: Dari mahar mitsil. Berdasarkan ini, dilihat upah penyusuan dua tahun dan nilai makanan. Jika dikatakan: upah penyusuan dua tahun dua ratus dirham, dan nilai makanan tiga ratus dirham, maka yang tersisa untuknya dari upah penyusuan tahun yang tersisa adalah seratus dirham, yaitu seperlima. Maka ia menuntut dari istri seperlima mahar mitsil.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ لَهُ الْخِيَارَ فِي فَسْخِ الْحَوْلِ الْمَاضِي، وَالطَّعَامِ الْبَاقِي أَوِ الْمُقَامِ عَلَيْهِمَا فَإِنْ فَسَخَ كَانَتْ عَلَيْهِ أُجْرَةُ الْحَوْلِ الْمَاضِي، وَبِمَاذَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا عَلَى قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Wajah kedua: Bahwa ia memiliki hak khiyar untuk membatalkan pada tahun yang telah lalu dan makanan yang tersisa, atau tetap atas keduanya. Jika ia membatalkan, maka wajib atasnya upah tahun yang telah lalu. Dengan apa ia menuntut dari istri? Ada dua pendapat: salah satunya dengan mahar mitsil.

وَالثَّانِي: بِأُجْرَةِ رَضَاعِ الحولين وبقيمة ما ليس له من الطعام مثل وبمثل ماله منه مِثْلٌ، وَيَكُونُ ذَلِكَ حَالًّا وَجْهًا وَاحِدًا، لِأَنَّ فَسْخَ الْعَقْدِ قَدْ مَنَعَ مِنْ ثُبُوتِ نُجُومِهِ، وَإِنْ أَقَامَ عَلَى الْحَوْلِ الْمَاضِي، وَعَلَى الطَّعَامِ، فَهَلْ يُقِيمُ عَلَيْهِ بِجَمِيعِ الْخُلْعِ أَوْ حِسَابِهِ وَقِسْطِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا مَضَى وَهَلْ يَحِلُّ الطَّعَامُ أَوْ يَكُونُ عَلَى نُجُومِهِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ.

Yang kedua: Dengan upah penyusuan dua tahun dan nilai makanan yang tidak memiliki padanan, dan dengan padanan untuk yang memiliki padanan. Dan itu berlaku secara langsung dalam satu wajah, karena pembatalan akad telah mencegah terjadinya kewajiban pembayaran secara bertahap. Jika ia tetap pada tahun yang telah lalu dan pada makanan, apakah ia tetap atas seluruh khul‘ atau sesuai perhitungannya dan porsinya? Ada dua pendapat sebagaimana telah lalu. Apakah makanan menjadi halal atau tetap atas kewajiban pembayaran secara bertahap? Berdasarkan dua wajah yang telah lalu.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْخُلْعَ لَازِمٌ لَهُ فِي الْحَوْلِ الْمَاضِي، وَلَا خِيَارَ لَهُ فِيهِ لِاسْتِيفَائِهِ وَلَهُ الْفَسْخُ فِي الطَّعَامِ أَوِ الْمُقَامُ فَيَصِيرُ الْخُلْعُ إِذَا كَانَ أُجْرَةُ الرَّضَاعِ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ، وَقِيمَةُ الطَّعَامِ ثَلَاثَ مِائَةِ دِرْهَمٍ بَاطِلًا فِي خُمُسِهِ، وَهُوَ الْحَوْلُ الْبَاقِي، ولازماً في خمسة وهو الحول الماضي، وجائز فِي ثَلَاثَةِ أَخْمَاسِهِ وَهُوَ الطَّعَامُ فَإِنْ فَسَخَ أَوْ أَقَامَ فَعَلَى مَا مَضَى، فَهَذَا حُكْمُ الْمَذْهَبِ الثَّانِي مِنَ الْمَذَاهِبِ الثَّلَاثَةِ.

Wajah ketiga: Bahwa khul‘ menjadi wajib baginya pada tahun yang telah lalu, dan tidak ada hak khiyar baginya karena telah terpenuhi, dan ia memiliki hak membatalkan pada makanan atau tetap atasnya. Maka khul‘, jika upah penyusuan dua ratus dirham dan nilai makanan tiga ratus dirham, menjadi batal pada seperlimanya, yaitu tahun yang tersisa, dan menjadi wajib pada lima bagian, yaitu tahun yang telah lalu, dan sah pada tiga perlimanya, yaitu makanan. Jika ia membatalkan atau tetap, maka berlaku sebagaimana yang telah lalu. Inilah hukum mazhab kedua dari tiga mazhab.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ مِنَ الْمَذَاهِبِ: أَنَّ الْخُلْعَ صَحِيحٌ فِي الْحَوْلِ الْمَاضِي لِاسْتِيفَائِهِ، وَبَاطِلٌ فِي الطَّعَامِ لِبُطْلَانِهِ فِي الْحَوْلِ الْبَاقِي، فَعَلَى هَذَا هَلْ يَسْتَحِقُّ خِيَارَ الْفَسْخِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Madzhab ketiga dari madzhab-madzhab adalah bahwa khulu‘ sah untuk tahun yang telah lalu karena telah terpenuhi, dan batal untuk makanan karena batal pada tahun yang tersisa. Berdasarkan hal ini, apakah berhak mendapatkan hak khiyar untuk membatalkan atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ له، فعل هَذَا يُقِيمُ عَلَى الْحَوْلِ الْمَاضِي بِحِسَابِهِ وَقِسْطِهِ وَهُوَ الْخُمُسُ؛ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ مِائَةٍ مِنْ خَمْسِمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَيَرْجِعُ بِحِسَابِ مَا بَقِيَ وَقِسْطِهِ، وَمِنْ مَاذَا يَكُونُ رُجُوعُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Salah satunya: Tidak ada hak khiyar baginya, maka dalam hal ini ia tetap pada tahun yang telah lalu dengan perhitungan dan bagiannya, yaitu seperlima; karena itu sebagai imbalan dari seratus dari lima ratus dirham, dan ia kembali dengan perhitungan sisa dan bagiannya. Dan dari mana ia kembali, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ مَهْرِ الْمِثْلِ.

Salah satunya: Dari empat per lima mahar mitsil.

وَالثَّانِي: مِنْ أُجْرَةِ رَضَاعِ الْحَوْلِ الْبَاقِي، وَمِثْلِ ذِي الْمِثْلِ، وَقِيمَةِ غَيْرِ ذِي الْمِثْلِ، وَيَكُونُ ذَلِكَ حَالًّا لِفَسْخِ الْعَقْدِ.

Dan yang kedua: Dari upah menyusui tahun yang tersisa, dan semisalnya jika ada yang sepadan, serta nilai jika tidak ada yang sepadan, dan itu menjadi tunai karena pembatalan akad.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ الْخِيَارُ بَيْنَ الْفَسْخِ وَالْمُقَامِ، فَإِنْ فَسَخَ رَدَّ أُجْرَةَ الْحَوْلِ الْمَاضِي وَبِمَاذَا يَرْجِعُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ القولين.

Pendapat kedua: Ia memiliki hak khiyar antara membatalkan atau tetap, jika ia membatalkan maka ia mengembalikan upah tahun yang telah lalu, dan dengan apa ia kembali mengikuti dua pendapat yang telah lalu.

وإن أقام فهل يقم عَلَى الْحَوْلِ الْمَاضِي وَالطَّعَامِ بِجَمِيعِ الْخُلْعِ أَوْ بِحِسَابِهِ وَقِسْطِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ ثُمَّ عَلَى مَا مَضَى فَهَذَا الْكَلَامُ فِي مَوْتِ الْوَلَدِ.

Dan jika ia tetap, apakah ia tetap atas tahun yang telah lalu dan makanan dengan seluruh khulu‘ atau dengan perhitungan dan bagiannya menurut dua pendapat, kemudian berdasarkan apa yang telah lalu, maka ini adalah pembahasan tentang kematian anak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تَمُوتَ الزَّوْجَةُ فَالْحُكْمُ فِي مَوْتِهَا كَالْحُكْمِ فِي مَوْتِ الْوَلَدِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْأَقْسَامِ وَالْأَحْكَامِ إِلَّا فِي شَيْئَيْنِ:

Adapun bagian kedua, yaitu jika istri meninggal, maka hukum kematiannya sama dengan hukum kematian anak sebagaimana yang telah kami sebutkan dari bagian-bagian dan hukum-hukumnya, kecuali dalam dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْخُلْعَ يَبْطُلُ فِي الرَّضَاعِ إِذَا مَاتَتْ قَبْلَهُ، وَلَا يُقَامُ غَيْرُهَا مَقَامَهَا فِي الرَّضَاعِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، كَمَا أُقِيمَ مَقَامَ الْوَلَدِ غَيْرُهُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.

Salah satunya: Bahwa khulu‘ batal dalam hal penyusuan jika ia meninggal sebelum itu, dan tidak ada yang menggantikannya dalam penyusuan menurut salah satu dari dua pendapat, sebagaimana ada yang menggantikan posisi anak dalam salah satu dari dua pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الرَّضَاعَ مُسْتَوْف مِنَ الْأُمِّ فَتَعَيَّنَتْ بِالْعَقْدِ، وَالْوَلَدَ مُسْتَوْفٍ فَلَمْ يَتَعَيَّنْ بِالْعَقْدِ كَالْأَجِيرِ وَالْمُسْتَأْجِرِ لَمَّا كَانَ الْأَجِيرُ مُسْتَوْفًا مِنْهُ تَعَيَّنَ بِالْعَقْدِ، فَبَطَلَ بِمَوْتِهِ، وَلَمَّا كَانَ الْمُسْتَأْجِرُ مُسْتَوْفِيًا لَمْ يَتَعَيَّنْ بِالْعَقْدِ فَلَمْ يَبْطُلْ بِمَوْتِهِ.

Perbedaannya adalah bahwa penyusuan diambil dari ibu sehingga ia ditentukan dalam akad, sedangkan anak adalah pihak yang menerima sehingga tidak ditentukan dalam akad. Seperti antara pekerja dan yang menyewa: ketika pekerja adalah pihak yang memberikan, maka ia ditentukan dalam akad sehingga batal dengan kematiannya; sedangkan ketika yang menyewa adalah pihak yang menerima, maka ia tidak ditentukan dalam akad sehingga tidak batal dengan kematiannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الطَّعَامَ الْمُنَجَّمَ يَحِلُّ بِمَوْتِهَا وَجْهًا وَاحِدًا، وَإِنْ لَمْ يَحِلَّ بِمَوْتِ الْوَلَدِ فِي أَصَحِّ الْوَجْهَيْنِ.

Yang kedua: Bahwa makanan yang dibayarkan secara bertahap menjadi jatuh tempo dengan kematiannya menurut satu pendapat, meskipun tidak menjadi jatuh tempo dengan kematian anak menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْحَقَّ عَلَى الزَّوْجَةِ فَحَلَّ بِمَوْتِهَا، وَأَنَّ الدُّيُونَ الْمُؤَجَّلَةَ تَحِلُّ بِمَوْتِ مَنْ هِيَ عَلَيْهِ، وَلَا تَحِلُّ بِمَوْتِ مُسْتَوْفِيهَا، أَوْ مَنْ هِيَ لَهُ.

Perbedaannya adalah bahwa hak itu atas istri sehingga menjadi jatuh tempo dengan kematiannya, dan bahwa utang yang ditangguhkan menjadi jatuh tempo dengan kematian orang yang menanggungnya, dan tidak menjadi jatuh tempo dengan kematian pihak yang menerima atau yang berhak atasnya.

ثُمَّ الْجَوَابُ فِيمَا سِوَى هَذَيْنِ عَلَى مَا مَضَى.

Kemudian jawaban untuk selain dua hal ini mengikuti apa yang telah lalu.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ الزَّوْجُ فَلَا يُؤَثِّرُ مَوْتُهُ فِي فَسَادِ الْخُلْعِ، لَا فِي رَضَاعِهِ وَلَا فِي طَعَامِهِ، لَكِنْ يَكُونُ الطَّعَامُ مَوْرُوثًا لَا يَخْتَصُّ بِهِ الْوَلَدُ؛ لِأَنَّ نَفَقَتَهُ تَسْقُطُ عَنِ الْأَبِ بِمَوْتِهِ.

Adapun bagian ketiga, yaitu jika suami meninggal, maka kematiannya tidak berpengaruh pada rusaknya khulu‘, baik dalam hal penyusuan maupun makanan. Namun makanan menjadi harta warisan, tidak khusus untuk anak, karena nafkahnya gugur dari ayah dengan kematiannya.

فَأَمَّا الرَّضَاعُ فَهَلْ يَكُونُ مَوْرُوثًا أَوْ يَكُونُ الْوَلَدُ أَحَقَّ بِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي مَوْتِ الْوَلَدِ هَلْ يَقُومُ غَيْرُهُ فِيهِ مَقَامَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun penyusuan, apakah menjadi harta warisan atau anak lebih berhak atasnya, ada dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat tentang kematian anak: apakah orang lain dapat menggantikannya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَقُومُ غَيْرُهُ مَقَامَهُ، فَعَلَى هَذَا لَا يَكُونُ الرَّضَاعُ مَوْرُوثًا وَيَكُونُ الْوَلَدُ أَحَقَّ بِهِ، وَعَلَى هَذَا يَكُونُ الطَّعَامُ إِلَى نُجُومِهِ.

Salah satunya: Tidak ada yang dapat menggantikannya, maka dalam hal ini penyusuan tidak menjadi harta warisan dan anak lebih berhak atasnya, dan dalam hal ini makanan tetap sampai waktu-waktu pembayarannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ غَيْرَ الْوَلَدِ يَقُومُ مَقَامَ الْوَلَدِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الرَّضَاعُ مَوْرُوثًا لَا يَخْتَصُّ بِهِ الْوَلَدُ، وَهَلْ يَحِلُّ الطَّعَامُ أَوْ يَكُونُ إِلَى نُجُومِهِ، عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Bahwa selain anak dapat menggantikan posisi anak, maka dalam hal ini penyusuan menjadi harta warisan dan tidak khusus untuk anak, dan apakah makanan menjadi jatuh tempo atau tetap sampai waktu-waktu pembayarannya, ada dua pendapat yang telah lalu. Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

إِذَا خَالَعَ زَوْجَتَهُ عَلَى نَفَقَةِ عِدَّتِهَا وَأُجْرَةِ سُكْنَاهَا لِيَبْرَأَ مِنْهُ بِالْخُلْعِ لَمْ يَجُزْ وَكَانَ الْخُلْعُ فَاسِدًا يَقَعُ الطَّلَاقُ فِيهِ بَائِنًا، وَيَرْجِعُ عليهما بمر المثل، ولا يبرئ مِنَ السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ.

Jika seorang suami melakukan khulu‘ terhadap istrinya dengan imbalan nafkah masa ‘iddah dan upah tempat tinggalnya agar ia terbebas darinya melalui khulu‘, maka itu tidak boleh dan khulu‘ tersebut rusak, talak yang terjadi adalah bain, dan ia kembali kepada keduanya dengan mahar mitsil, dan tidak terbebas dari kewajiban tempat tinggal dan nafkah.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَصِحُّ الْخُلْعُ عَلَى ذَلِكَ وَيَبْرَأُ مِنَ السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النِّكَاحَ سَبَبٌ لِوُجُوبِ النَّفَقَةِ وَالسُّكْنَى وَوُجُودُ السَّبَبِ كَوُجُودِ الْمُسَبَّبِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ سَبَبُ وُجُوبِهَا كَوُجُوبِهَا فِي جَوَازِ الْخُلْعِ بِهَا وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Khul‘ sah atas hal itu dan suami terbebas dari kewajiban tempat tinggal dan nafkah, dengan alasan bahwa pernikahan adalah sebab wajibnya nafkah dan tempat tinggal, dan keberadaan sebab sama dengan keberadaan akibat. Maka, hal itu menuntut agar sebab kewajiban tersebut diperlakukan seperti kewajibannya dalam kebolehan khul‘ dengan keduanya. Namun, pendapat ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا خَالَعَتْهُ عَلَى مَا لَمْ يَسْتَقِرَّ عَلَيْهِ مِلْكُهَا، وَإِنْ كَانَ السَّبَبُ مَوْجُودًا فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا كَمَا لَوْ خَالَعَهَا عَلَى قِيمَةِ عَبْدِهَا إِنْ قَتَلَهُ.

Pertama: Ia melakukan khul‘ atas sesuatu yang kepemilikannya belum tetap pada dirinya, meskipun sebabnya sudah ada. Maka, hal itu menuntut agar khul‘ tersebut batal, sebagaimana jika ia melakukan khul‘ atas nilai budaknya jika budak itu dibunuh.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أُبْرِئَ مِنَ النَّفَقَةِ وَالسُّكْنَى قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهَا وَهِيَ لَوْ أَبْرَأَتْهُ بِغَيْرِ خُلْعٍ لَمْ يَصِحَّ فَكَذَلِكَ بِالْخُلْعِ. فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ وُجُودَ السَّبَبِ كَوُجُودِ الْمُسَبَّبِ فَغَلَطٌ، لِأَنَّ النِّكَاحَ سبب لنفقة الزوجية، وليس سبب لِنَفَقَةِ الْحَمْلِ فِي الْعِدَّةِ، وَإِنَّمَا سَبَبُ هَذِهِ النَّفَقَةِ الطَّلَاقُ وَالْحَمْلُ فَلَمْ يُوجَدِ السَّبَبُ فَيَجُوزُ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ الْمُسَبَّبِ.

Kedua: Suami dibebaskan dari kewajiban nafkah dan tempat tinggal sebelum keduanya menjadi hak istri, padahal jika ia membebaskan suami dari keduanya tanpa khul‘, maka tidak sah. Maka demikian pula dengan khul‘. Adapun dalilnya bahwa keberadaan sebab sama dengan keberadaan akibat adalah keliru, karena pernikahan adalah sebab nafkah suami-istri, bukan sebab nafkah kehamilan dalam masa ‘iddah. Sebab nafkah ini adalah talak dan kehamilan. Maka, sebabnya belum ada sehingga tidak boleh dikaitkan padanya hukum akibat.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَمْرُكِ بِيَدِكِ فَطَلِّقِي نَفْسَكِ إِنْ ضَمِنْتِ لِي أَلْفَ دِرْهَمٍ فَضَمِنَتْهَا فِي وَقْتِ الْخِيَارِ لَزِمَهَا وَلَا يَلْزَمُهَا فِي غَيْرِ وَقْتِ الْخِيَارِ كَمَا لَوْ جَعَلَ أَمْرَهَا إِلَيْهَا لَمْ يَجُزْ إِلَّا فِي وَقْتِ الْخِيَارِ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika suami berkata, “Urusanmu di tanganmu, maka ceraikanlah dirimu sendiri jika kamu menjamin seribu dirham untukku,” lalu ia menjaminnya pada waktu pilihan, maka jaminan itu menjadi wajib baginya, dan tidak wajib baginya di luar waktu pilihan, sebagaimana jika suami menyerahkan urusannya kepada istri, maka tidak sah kecuali pada waktu pilihan).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا طَلَاقٌ مُعَلَّقٌ بِشَرْطَيْنِ نُبَيِّنُ حُكْمَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثُمَّ نَجْمَعُ بَيْنَهُمَا، أَمَّا إِذَا قَالَ لَهَا: طَلِّقِي نَفْسَكِ، أَوْ قَدْ جَعَلْتُ إِلَيْكِ طَلَاقَ نَفْسِكِ أَوِ اخْتَارِي طَلَاقَ نَفْسِكِ، فَكُلُّ ذَلِكَ سَوَاءٌ، وَقَدْ مَلَّكَهَا الطَّلَاقَ فَإِنْ عَجَّلَتْ طَلَاقَ نَفْسِهَا فِي الْمَجْلِسِ عَلَى الْفَوْرِ فِي وَقْتِ الْجَوَابِ طُلِّقَتْ، وَإِنْ أَخَّرَتْهُ حَتَّى تَرَاخَى الزَّمَانُ لَمْ تُطَلَّقْ.

Al-Mawardi berkata: Ini adalah talak yang digantungkan pada dua syarat. Kami akan menjelaskan hukum masing-masing syarat, kemudian menggabungkannya. Adapun jika suami berkata kepada istrinya: “Ceraikanlah dirimu sendiri,” atau “Aku telah menyerahkan talakmu kepadamu,” atau “Pilihlah talak untuk dirimu sendiri,” maka semuanya sama saja; ia telah memberikan hak talak kepada istrinya. Jika istri segera menjatuhkan talak atas dirinya sendiri dalam majelis itu juga, pada saat menjawab, maka ia tertalak. Namun jika ia menundanya hingga waktu berlalu, maka ia tidak tertalak.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: مَتَى طَلَّقَتْ نَفْسَهَا عَلَى الْفَوْرِ أَوِ التَّرَاخِي طُلِّقَتِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ رَدَّ إِلَيْهَا طَلَاقَ نَفْسِهَا كَمَا يَرُدُّ إِلَى وَكِيلِهِ طَلَاقَهَا، وَلَوْ رَدَّهُ إِلَى الْوَكِيلِ جَازَ أَنْ يُطَلِّقَهَا عَلَى التَّرَاخِي كَذَلِكَ إِذَا رَدَّهُ إِلَيْهَا.

Abu Hanifah berkata: Kapan pun istri menjatuhkan talak atas dirinya sendiri, baik segera maupun ditunda, maka ia tertalak. Dalilnya adalah bahwa suami telah mengembalikan hak talak kepada istrinya, sebagaimana ia mengembalikan hak talak kepada wakilnya. Jika ia mengembalikan hak talak kepada wakil, maka boleh bagi wakil untuk menjatuhkan talak secara ditunda, demikian pula jika dikembalikan kepada istri.

وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ رَدَّ الطَّلَاقِ إِلَيْهَا تَمْلِيكٌ وَرَدُّهُ إِلَى الْوَكِيلِ اسْتِنَابَةٌ فَلَزِمَ فِي التَّمْلِيكِ تَعْجِيلُ الْقَبُولِ كَالْهِبَةِ، وَلَمْ يَلْزَمْ فِي الِاسْتِنَابَةِ تَعْجِيلُ النِّيَابَةِ كَالْبَيْعِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ لِرَجُلٍ: بِعْ عَبْدِي هَذَا، جَازَ أَنْ يَبِيعَهُ عَلَى التَّرَاخِي، لِأَنَّهَا وَكَالَةٌ.

Ini adalah kesalahan, karena mengembalikan hak talak kepada istri adalah pemberian hak milik, sedangkan mengembalikannya kepada wakil adalah penunjukan perwakilan. Maka, dalam pemberian hak milik disyaratkan segera menerima, seperti dalam hibah, sedangkan dalam perwakilan tidak disyaratkan segera bertindak, seperti dalam jual beli. Bukankah kamu lihat, jika seseorang berkata kepada orang lain: “Juallah budakku ini,” maka boleh baginya menjualnya secara ditunda, karena itu adalah perwakilan.

وَلَوْ قَالَ لَهُ: قَدْ بِعْتُكَ عَبْدِي هَذَا لَزِمَهُ قَبُولُهُ عَلَى الْفَوْرِ؛ لِأَنَّهُ تَمْلِيكٌ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ يَجِبُ أَنْ يَقَعَ الْفَرْقُ فِيهِ بَيْنَ التَّمْلِيكِ وَالتَّوْكِيلِ.

Namun jika ia berkata: “Aku telah menjual budakku ini kepadamu,” maka wajib baginya untuk segera menerima, karena itu adalah pemberian hak milik. Demikian pula dalam talak, harus ada perbedaan antara pemberian hak milik dan perwakilan.

وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يُعَلِّقَ طَلَاقَهَا بِشَرْطِ الضَّمَانِ كَقَوْلِهِ: إِنْ ضَمِنْتِ لِي أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَشَرْطُ وُقُوعِ هَذَا الطَّلَاقِ تَعْجِيلُ الضَّمَانِ فِي الْمَجْلِسِ عَلَى الْفَوْرِ فِي وَقْتِ الْقَبُولِ، وَهُوَ أَضْيَقُ مِنْ وَقْتِ الْجَوَابِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ بَيَانُهُ.

Adapun syarat kedua, yaitu suami menggantungkan talak istri dengan syarat jaminan, seperti ucapannya: “Jika kamu menjamin seribu untukku, maka kamu tertalak.” Maka syarat jatuhnya talak ini adalah segera menjamin dalam majelis itu juga, pada saat penerimaan, dan ini lebih sempit dari waktu menjawab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

فَإِذَا تَقَرَّرَ حُكْمُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الشَّرْطَيْنِ عَلَى انْفِرَادِهِ فَمَسْأَلَةُ الْكِتَابِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فَيَقُولُ: قَدْ جَعَلْتُ إِلَيْكِ طَلَاقَ نَفْسِكِ إِنْ ضَمِنْتِ إِلَيَّ أَلْفًا فَيُعَلِّقُ طَلَاقَهَا بِشَرْطَيْنِ:

Jika hukum masing-masing syarat telah dijelaskan secara terpisah, maka permasalahan dalam kitab ini adalah menggabungkan keduanya, yaitu suami berkata: “Aku telah menyerahkan talakmu kepadamu jika kamu menjamin seribu untukku,” sehingga ia menggantungkan talak istri dengan dua syarat:

أَحَدُهُمَا: ضَمَانُ أَلْفٍ.

Pertama: Menjamin seribu.

وَالثَّانِي: أَنْ تُطَلِّقَ نَفْسَهَا وَكِلَا الشَّرْطَيْنِ مُسْتَحَقٌّ عَلَى الْفَوْرِ لَكِنْ مِنْ صِحَّتِهَا تَقَدُّمُ الضَّمَانِ عَلَى الطَّلَاقِ، فَإِنْ عَجَّلَتِ الطَّلَاقَ قَبْلَ الضَّمَانِ لَمْ تُطَلَّقْ حَتَّى تُقَدِّمَ الضَّمَانَ عَلَى الطَّلَاقِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ جَعَلَ الضَّمَانَ شَرْطًا فِي الطَّلَاقِ فَيَلْزَمُ تَقْدِيمُهُ عَلَيْهِ لِأَنَّ الشَّرْطَ مُقَدَّمٌ عَلَى الْمَشْرُوطِ فِيهِ، وَإِذَا لَزِمَ تَقْدِيمُ الضَّمَانِ وَتَعْقِيبُهُ بِالطَّلَاقِ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا إِذَا ضَمِنَتِ الْأَلْفَ وَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:

Kedua: Bahwa ia (istri) menceraikan dirinya sendiri. Kedua syarat ini harus dipenuhi secara langsung, namun agar sah, penjaminan harus didahulukan sebelum talak. Jika ia mempercepat talak sebelum penjaminan, maka talak tidak terjadi sampai penjaminan didahulukan atas talak, karena penjaminan telah dijadikan sebagai syarat dalam talak, sehingga harus didahulukan atasnya, sebab syarat itu didahulukan atas sesuatu yang disyaratkan padanya. Apabila penjaminan harus didahulukan dan segera diikuti dengan talak, maka jika ia telah menjamin seribu (dirham) dan menceraikan dirinya sendiri, keadaannya tidak lepas dari empat kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَفْعَلَهُمَا عَلَى الْفَوْرِ فَيَصِحَّانِ، وَقَدْ طُلِّقَتْ وَلَزِمَهَا ضَمَانُ الْأَلْفِ.

Pertama: Ia melakukan keduanya secara langsung, maka keduanya sah, dan ia telah tertalak serta wajib baginya menanggung seribu (dirham).

وَالثَّانِي: أَنْ تَفْعَلَهُمَا عَلَى التَّرَاخِي فَيَبْطُلَانِ وَلَا طَلَاقَ وَلَا ضَمَانَ.

Kedua: Ia melakukan keduanya secara tertunda, maka keduanya batal, tidak terjadi talak dan tidak ada penjaminan.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَضْمَنَ عَلَى الْفَوْرِ، وَتُطَلِّقَ نَفْسَهَا عَلَى التَّرَاخِي، فَلَا طَلَاقَ لِتَرَاخِي إِيقَاعِهِ وَيَسْقُطُ الضَّمَانُ بَعْدَ صِحَّتِهِ؛ لِأَنَّهُ بَدَلٌ عَنْ طَلَاقٍ لَمْ يَقَعْ.

Ketiga: Ia menanggung (seribu) secara langsung, namun menceraikan dirinya sendiri secara tertunda, maka tidak terjadi talak karena keterlambatan pelaksanaannya, dan penjaminan gugur setelah sebelumnya sah, karena penjaminan itu sebagai pengganti talak yang tidak terjadi.

وَالرَّابِعُ: أَنْ تُطَلِّقَ نَفْسَهَا عَلَى الْفَوْرِ، وَتَضْمَنَ عَلَى التَّرَاخِي فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ لِفَسَادِ الضَّمَانِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Keempat: Ia menceraikan dirinya sendiri secara langsung, namun menanggung (seribu) secara tertunda, maka talak tidak terjadi karena rusaknya penjaminan dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: تَرَاخِي زَمَانِهِ.

Pertama: Karena penundaan waktunya.

وَالثَّانِي: تَأْخِيرُهُ عَنِ الطَّلَاقِ، وَفَسَادُ الَّذِي هُوَ شَرْطٌ فِي الطَّلَاقِ يَمْنَعُ مِنْ وُقُوعِهِ.

Kedua: Karena penjaminan dilakukan setelah talak, dan rusaknya syarat dalam talak menghalangi terjadinya talak itu.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فأما الشافعي فإنه ذكر ها هُنَا أَنَّهَا إِذَا ضَمِنَتِ الْأَلْفَ فِي وَقْتِ الْخِيَارِ لَزِمَهَا الطَّلَاقُ، وَلَمْ يَذْكُرْ تَطْلِيقَ نَفْسِهَا وَإِنْ كَانَ شَرْطًا فِي وُقُوعِهِ وَلِأَصْحَابِنَا فِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Adapun asy-Syafi‘i, beliau menyebutkan di sini bahwa jika istri menanggung seribu (dirham) pada waktu pilihan, maka talak menjadi wajib baginya, dan beliau tidak menyebutkan penceraian dirinya sendiri, meskipun itu merupakan syarat terjadinya talak. Para ulama kami memiliki dua penafsiran dalam hal ini:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ سَقَطَ عَنِ الْكَاتِبِ فِي نَقْلِهِ، وَقَدْ ذَكَرَهُ الرَّبِيعُ فِي كِتَابِ الْأُمِّ.

Pertama: Bahwa hal itu terlewatkan oleh penulis dalam penukilannya, dan telah disebutkan oleh ar-Rabi‘ dalam kitab al-Umm.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَصَدَ بَيَانَ حُكْمِ الضَّمَانِ أَنْ يُتَعَجَّلَ عَلَى الْفَوْرِ وَأَغْفَلَ ذِكْرَ الطَّلَاقِ إِمَّا اكْتِفَاءً بِمَا قَدَّمَهُ مِنْ شَرْطِهِ، وَإِمَّا اسْتِغْنَاءً بما قدمه من بيانه.

Kedua: Bahwa beliau (asy-Syafi‘i) bermaksud menjelaskan hukum penjaminan agar dilakukan secara langsung, dan tidak menyebutkan talak, baik karena cukup dengan apa yang telah beliau sebutkan sebelumnya sebagai syaratnya, maupun karena sudah cukup jelas dari penjelasan sebelumnya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ إِنْ أَعْطَيْتِنِي عَبْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَأَعْطَتْهُ أَيَّ عَبْدٍ مَا كَانَ فَهِيَ طَالِقٌ وَلَا يَمْلِكُ الْعَبْدَ وَإِنَّمَا يَقَعُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ بِمَا يَقَعُ بِهِ الْحِنْثُ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رحمه الله ليس هذا قياس قوله لأن هذا في معنى العوض وقد قال في هذا الباب متى أو متى أعطيتني ألف درهم فَأَنْتِ طَالِقٌ فَذَلِكَ لَهَا وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يمتنع من أخذها ولا لها أن ترجع إن أعطته فيها والعبد والدرهم عندي سواء غير أن العبد مجهول فيكون له عليها مثلها) .

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: Jika engkau memberiku seorang budak maka engkau tertalak, lalu ia memberinya budak apa saja, maka ia tertalak dan ia (suami) tidak memiliki budak tersebut. Yang terjadi dalam masalah ini adalah sebagaimana yang menyebabkan terjadinya pelanggaran sumpah. (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Ini bukan qiyās menurut pendapatnya, karena ini bermakna sebagai pengganti. Dan beliau berkata dalam bab ini: Jika ia berkata, ‘Kapan saja engkau memberiku seribu dirham maka engkau tertalak,’ maka itu hak istri, dan suami tidak boleh menolak untuk menerimanya, dan istri tidak boleh menarik kembali jika telah memberikannya. Menurutku, budak dan dirham itu sama, hanya saja budak itu tidak diketahui (jenisnya), maka ia wajib memberikan yang sepadan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ قَالَ لِزَوْجَتِهِ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي عَبْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang laki-laki berkata kepada istrinya: “Jika engkau memberiku seorang budak maka engkau tertalak.” Maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُعَيِّنَ الْعَبْدَ فَيَقُولَ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي عَبْدَكِ هَذَا، فَإِنْ أَعْطَتْهُ غَيْرَ ذَلِكَ الْعَبْدِ، لَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ أَعْطَتْهُ ذَلِكَ الْعَبْدَ طُلِّقَتْ بِهِ، وَمَلَكَهُ الزَّوْجُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالتَّعْيِينِ مَعْلُومًا فَصَحَّ أَنْ يَكُونَ عِوَضًا، فَإِنْ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا كَانَ لِأَجْلِهِ بِالْخِيَارِ فَإِنْ رَدَّهُ لَمْ يَرْتَفِعِ الطَّلَاقُ لِوُقُوعِهِ بِوُجُودِ صِفَتِهِ، وَبِمَاذَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا فِيهِ قَوْلَانِ:

Pertama: Ia menentukan budaknya, lalu berkata: “Jika engkau memberiku budakmu yang ini,” maka jika ia memberinya budak selain yang dimaksud, maka tidak terjadi talak. Namun jika ia memberinya budak yang dimaksud, maka ia tertalak dan suami memiliki budak tersebut, karena dengan penentuan itu menjadi jelas dan sah sebagai pengganti. Jika ternyata budak itu cacat, maka suami berhak memilih (antara menerima atau menolak). Jika ia mengembalikannya, talak tidak gugur karena telah terjadi dengan adanya sifat yang ditentukan. Dalam hal ini, ada dua pendapat mengenai apa yang harus dikembalikan kepada istri:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْقَدِيمُ بِقِيمَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَ سَلِيمًا.

Pertama, yaitu pendapat lama: dengan nilai budak seandainya ia sehat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat baru: dengan mahar mitsil (mahar yang sepadan).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أن لا يُعَيِّنَ الْعَبْدَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: Tidak menentukan budaknya, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَصِفَهُ فَتَكُونَ صِفَاتُهُ شَرْطًا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهِ فَإِنْ أَعْطَتْهُ عَبْدًا عَلَى غَيْرِ تِلْكَ الصِّفَاتِ لَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ أَعْطَتْهُ عَبْدًا عَلَى تِلْكَ الصِّفَاتِ طُلِّقَتْ بِهِ.

Pertama: Ia menyebutkan sifat-sifatnya, sehingga sifat-sifat itu menjadi syarat terjadinya talak. Jika ia memberinya budak yang tidak sesuai dengan sifat-sifat tersebut, maka tidak terjadi talak. Namun jika ia memberinya budak yang sesuai dengan sifat-sifat itu, maka ia tertalak karenanya.

ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ تِلْكَ الصِّفَاتِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَنْفِيَ عَنْهُ الْجَهَالَةَ أولا يَنْفِيهَا عَنْهُ، فَإِنِ انْتَفَتْ عَنْهُ الْجَهَالَةُ بِتِلْكَ الصِّفَاتِ وَهُوَ أَنْ يَصِفَهُ بِالصِّفَاتِ الْمُسْتَحَقَّةِ فِي السَّلَمِ الَّتِي يَصِحُّ بِهَا ثُبُوتُهُ فِي الذِّمَّةِ بِأَنْ يَذْكُرَ جِنْسَهُ وَسِنَّهُ وَقَدهُ وَحِلْيَتَهُ، فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْ هَذِهِ الصِّفَاتِ طُلِّقَتْ بِهِ، وَمَلَكَهُ الزَّوْجُ؛ وَإِنِ الْجَهَالَةَ قَدِ انْتَفَتْ عَنْهُ فَصَارَ مَعْلُومًا بِهَا فَصَحَّ أَنْ يَكُونَ عِوَضًا، فَإِنْ وَجَدَهُ مَعِيبًا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُبَدِّلَهُ بِمِثْلِهِ سَلِيمًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ مَعَ انْتِفَاءِ الْجَهَالَةِ عَنْهُ مُتَعَيَّنًا بِالدَّفْعِ، فَصَارَ كَالْمُعَيَّنِ بِالْعَقْدِ، وَلَوْ تَعَيَّنَ بِالْعَقْدِ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِبْدَالُهُ، كَذَلِكَ إِذَا تَعَيَّنَ بِالدَّفْعِ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ بَدَلُهُ فَبِمَاذَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا فِيهِ قَوْلَانِ:

Kemudian, keadaan sifat-sifat tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah sifat-sifat itu meniadakan ketidaktahuan (jahalah) darinya atau tidak meniadakannya. Jika ketidaktahuan telah hilang darinya dengan sifat-sifat tersebut, yaitu dengan menyifatinya dengan sifat-sifat yang layak dalam akad salam yang sah dengannya penetapan hak dalam tanggungan, seperti menyebutkan jenisnya, usianya, ukurannya, dan perhiasannya, maka apabila sifat-sifat ini telah lengkap, talak jatuh dengannya dan suami memilikinya; dan jika ketidaktahuan telah hilang darinya sehingga menjadi diketahui dengan sifat-sifat itu, maka sah untuk menjadi pengganti (iwadh). Jika ia mendapatkannya dalam keadaan cacat, maka ia tidak berhak menukarnya dengan yang sejenis yang sehat, karena dengan terjadinya talak dan hilangnya ketidaktahuan darinya, ia telah menjadi tertentu dengan penyerahan, sehingga kedudukannya seperti barang tertentu dalam akad. Jika telah menjadi tertentu dalam akad, maka ia tidak berhak menukarnya, demikian pula jika telah menjadi tertentu dengan penyerahan. Jika ia tidak memiliki penggantinya, maka dengan apa ia dapat menuntut kembali darinya? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ فِي الْقَدِيمِ بِقِيمَتِهِ لَوْ كَانَ سَلِيمًا.

Salah satunya, yaitu dalam pendapat lama (al-qadīm): dengan nilai (harga) barang itu seandainya ia dalam keadaan sehat.

وَالثَّانِي: وَهُوَ فِي الْجَدِيدِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، وَلَوْ كَانَ قَدْ طَلَّقَهَا عَلَى غَيْرِ مَوْصُوفٍ فِي ذِمَّتِهَا فَسَلَّمَتْ إِلَيْهِ الْعَبْدَ عَلَى تِلْكَ الصِّفَةِ فَوَجَدَهُ مَعِيبًا كَانَ لَهُ إِبْدَالُهُ بِسَلِيمٍ لَا عَيْبَ فِيهِ.

Dan yang kedua, yaitu dalam pendapat baru (al-jadīd): dengan mahar yang sepadan (mahr al-mithl). Jika ia telah mentalaknya dengan sesuatu yang tidak disebutkan sifatnya dalam tanggungannya, lalu ia menyerahkan kepadanya seorang budak dengan sifat tersebut, kemudian ia mendapatkannya cacat, maka ia berhak menukarnya dengan yang sehat yang tidak ada cacatnya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ إِذَا كَانَ مَوْصُوفًا فِي الذِّمَّةِ فَقَدْ تَقَدَّمَهُ وُقُوعُ الطَّلَاقِ فَلَمْ يَتَعَيَّنْ بِالْعَقْدِ وَلَا صَارَ بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهِ مُعَيَّنًا بِالدَّفْعِ، فَجَرَى مَجْرَى الْمَالِ الْمَوْصُوفِ فِي الذِّمَّةِ إِذَا وَجَدَهُ مَعِيبًا أَبْدَلَهُ بِسَلِيمٍ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِيمَا ذَكَرْنَاهُ؛ لِأَنَّهُ عَلَّقَ وُقُوعَ الطَّلَاقِ بِهِ فَصَارَ مُعَيَّنًا بِالدَّفْعِ، فَجَرَى مَجْرَى الْمُعَيَّنِ بِالْعَقْدِ، وَإِنْ وَصَفَ الْعَبْدَ بِمَا لَا يَنْفِي عَنْهُ الْجَهَالَةَ، وَلَا يَجْرِي فِي السَّلَمِ، فَإِذَا وُجِدَتْ فِيهِ هَذِهِ الصِّفَاتُ طُلِّقَتْ بِدَفْعِهِ وَلَا يَمْلِكُهُ الزَّوْجُ بِجَهَالَتِهِ، وَيَرْجِعُ عَلَيْهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا.

Perbedaan antara keduanya adalah: jika barang itu disebutkan sifatnya dalam tanggungan, maka terjadinya talak telah mendahuluinya, sehingga tidak menjadi tertentu dengan akad dan tidak pula menjadi tertentu dengan penyerahan karena terjadinya talak, sehingga kedudukannya seperti harta yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan; jika ia mendapatkannya cacat, ia boleh menukarnya dengan yang sehat. Tidak demikian halnya dengan apa yang telah kami sebutkan, karena ia menggantungkan terjadinya talak padanya, sehingga menjadi tertentu dengan penyerahan, dan kedudukannya seperti barang tertentu dalam akad. Jika ia menyifati budak dengan sifat yang tidak meniadakan ketidaktahuan darinya dan tidak berlaku dalam akad salam, maka apabila sifat-sifat ini ada padanya, talak jatuh dengan penyerahan, namun suami tidak memilikinya karena masih jahalah, dan ia kembali kepada istrinya dengan mahar yang sepadan menurut satu pendapat.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُطْلِقَ ذِكْرَ الْعَبْدِ وَلَا يَصِفَهُ، وَيَقْتَصِرَ عَلَى قَوْلِهِ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي عَبْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَأَيُّ عَبْدٍ أَعْطَتْهُ طُلِّقَتْ بِهِ، وَإِنْ كَانَ مَجْهُولًا، لِأَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِالشُّرُوطِ الْمَجْهُولَةِ، وَلَا يَمْلِكُهُ الزَّوْجُ لِجَهَالَتِهِ، وَأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَمْلِكَ بِالْعُقُودِ أَعْوَاضًا مَجْهُولَةً وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ تُعْطِيَهُ عَبْدًا صَغِيرًا، أَوْ كَبِيرًا صَحِيحًا أَوْ ذِمِّيًّا فِي وُقُوعِ طَلَاقِهَا بِهِ، وَلَا تُطَلَّقُ لَوْ أَعْطَتْهُ أَمَةً، لِأَنَّ اسْمَ الْعَبْدِ لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهَا، وَلَا لَوْ أَعْطَتْهُ خُنْثَى لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ أَمَةً،، وَلَوْ أَعْطَتْهُ عَبْدًا مُدَبَّرًا أَوْ مُعْتَقًا بِصِفَةٍ، طُلِّقَتْ بِهِ لِانْطِلَاقِ اسْمِ الْعَبْدِ عَلَيْهِ، وَلَوْ أَعْطَتْهُ مُكَاتَبًا لَمْ تُطَلَّقْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ قَدْ أَخْرَجَتْهُ مِنْ حُكْمِ الْعَبِيدِ فَزَالَ عَنْهُ اسْمُ الْعَبْدِ.

Jenis kedua: yaitu menyebutkan budak secara mutlak tanpa menyifatinya, dan hanya mengatakan: “Jika kamu memberiku seorang budak, maka kamu tertalak.” Maka budak mana pun yang ia berikan, talak jatuh dengannya, meskipun budak itu tidak diketahui, karena talak dapat terjadi dengan syarat-syarat yang tidak diketahui. Namun, suami tidak memilikinya karena ketidaktahuan tentangnya, dan tidak sah bagi seseorang untuk memiliki pengganti yang tidak diketahui melalui akad. Tidak ada perbedaan apakah ia memberinya budak kecil atau besar, sehat atau dzimmi, dalam jatuhnya talak dengan budak tersebut. Ia tidak tertalak jika ia memberinya seorang budak perempuan, karena istilah “budak” (ʿabd) tidak berlaku untuknya, begitu pula jika ia memberinya seorang khuntsa (interseks), karena mungkin saja ia adalah seorang budak perempuan. Jika ia memberinya seorang budak mudabbar atau budak yang telah dimerdekakan dengan suatu sifat, maka talak jatuh dengannya karena istilah “budak” masih berlaku padanya. Namun, jika ia memberinya seorang budak mukatab, maka talak tidak jatuh, karena status mukatab telah mengeluarkannya dari hukum perbudakan, sehingga istilah “budak” tidak lagi berlaku padanya.

وَلَوْ أَعْطَتْهُ عَبْدًا لَهَا مَغْصُوبًا قَالَ أَبُو حامد الإسفراييني: لَا تُطَلَّقُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يُمْلَكَ بِالْعَقْدِ فَأَجْرَاهُ مَجْرَى الْمُكَاتَبِ.

Jika ia memberinya seorang budak miliknya yang sedang digasak (dirampas), Abu Hamid al-Isfarayini berkata: talak tidak jatuh, karena tidak sah untuk dimiliki melalui akad, sehingga kedudukannya seperti budak mukatab.

وَالَّذِي أَرَاهُ أَنَّهَا تُطَلَّقُ بِدَفْعِهِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الصِّفَةِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ عَنْ حُكْمِ الْعَبِيدِ فَلَمْ يَزُلْ عَنْهُ اسم العبد، وَقَدْ يَجُوزُ الْمُعَاوَضَةُ عَلَيْهِ مِنْ غَاصِبِهِ وَعَلَى أَنَّ الْمَغْصُوبَ يَخْرُجُ بِالدَّفْعِ أَنْ يَكُونَ مَغْصُوبًا، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا تُطَلَّقُ مَعَ جَهَالَةِ الْعَبْدِ بِأَيِّ عَبْدٍ دَفَعَتْهُ وَلَا تَمْلِكُهُ فَلَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، وَلَمْ يَكُنْ إِغْفَالُ الشَّافِعِيِّ لِذِكْرِهِ إِسْقَاطًا مِنْهُ لِإِيجَابِهِ كَمَا تَوَهَّمَهُ الْمُزَنِيُّ فَاحْتَجَّ بِمَا ذَكَرَهُ مِنَ الشَّوَاهِدِ الصَّحِيحَةِ وَإِنَّمَا أَغْفَلَهُ اكْتِفَاءً بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ بَيَانِهِ.

Pendapat yang saya anggap benar adalah bahwa ia (perempuan) menjadi tertalak dengan penyerahan (budak) tersebut, dengan menguatkan hukum sifatnya; karena ia (budak itu) tidak keluar dari hukum budak, sehingga nama budak masih melekat padanya. Dan boleh melakukan transaksi atasnya dari orang yang merampasnya, serta barang yang dirampas itu dengan penyerahan keluar dari status sebagai barang rampasan. Maka jika telah tetap bahwa ia tertalak meskipun tidak diketahui budak mana yang diserahkan dan ia tidak memilikinya, maka suaminya berhak atas mahar mitsil darinya. Tidak disebutkannya hal ini oleh asy-Syafi‘i bukan berarti beliau menggugurkan kewajiban tersebut sebagaimana yang disangka oleh al-Muzani, sehingga ia berdalil dengan apa yang ia sebutkan dari dalil-dalil yang sahih. Sebenarnya, asy-Syafi‘i tidak menyebutkannya karena sudah cukup dengan penjelasan sebelumnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِذَا أَطْلَقَ ذِكْرَ الْعَبْدِ فِي خُلْعِهِ تَنَاوَلَ عَبْدًا وَسَطًا سِنْدِيًّا بَيْنَ الأبيض والأسود، فجعل ذلك شرط في وقوع الطَّلَاقِ. وَتَمَلَّكَ الْعَبْدَ بِهِ، وَبَنَاهُ عَلَى مَذْهَبِهِ فِي الصَّدَاقِ إِذَا أَصْدَقَهَا عَبْدًا مُطْلَقًا صَحَّ، وَتَنَاوَلَ عَبْدًا وَسَطًا سِنْدِيًّا بَيْنَ الْأَسْوَدِ وَالْأَبْيَضِ، وَنَحْنُ نُخَالِفُهُ فِي الْأَصْلَيْنِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ معه والله أعلم.

Abu Hanifah berkata: Jika disebutkan budak secara mutlak dalam khulu‘, maka yang dimaksud adalah budak Sindhi yang pertengahan antara yang berkulit putih dan hitam. Ia menjadikan hal itu sebagai syarat terjadinya talak, dan dengan itu ia memiliki budak tersebut. Ia membangun pendapat ini di atas mazhabnya dalam masalah mahar, yaitu jika ia menjadikan mahar seorang budak secara mutlak, maka sah, dan yang dimaksud adalah budak Sindhi yang pertengahan antara yang hitam dan putih. Kami berbeda pendapat dengannya dalam dua pokok tersebut, dan pembahasan dengannya telah disebutkan sebelumnya. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ خَلَعَهَا بِعَبْدٍ بِعَيْنِهِ ثَمَّ أَصَابَ بِهِ عَيْبًا رَدَّهُ وَكَانَ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا) .

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia melakukan khulu‘ dengan budak tertentu, lalu ternyata terdapat cacat pada budak itu, maka ia boleh mengembalikannya dan suaminya berhak atas mahar mitsil.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا خَالَعَهَا عَلَى عَبْدٍ بِعَيْنِهِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يُعَجِّلَ طَلَاقَهَا بِهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, jika ia melakukan khulu‘ dengan budak tertentu, maka ada dua keadaan: Pertama, ia mempercepat talaknya dengan budak itu.

وَالثَّانِي: أَنْ يَجْعَلَهُ مُعَلَّقًا بِدَفْعِهِ.

Kedua, ia menjadikannya tergantung pada penyerahan budak itu.

فَإِنْ عَجَّلَ طَلَاقَهَا بِهِ كَأَنَّهُ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ بِهَذَا الْعَبْدِ، فَقَدْ طُلِّقَتْ، لِأَنَّهُ جَعَلَ الْعَبْدَ عِوَضًا، وَلَمْ يَجْعَلْهُ شَرْطًا، فَإِنْ صَحَّ أَنْ يَكُونَ عِوَضًا لِكَوْنِهِ مِلْكًا لَهَا وَجَارِيًا فِي تَصَرُّفِهَا صَحَّ أَنْ يَكُونَ عِوَضًا، وَمَلَكَ الْعَبْدَ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهُ بِالتَّعْيِينِ مَعْلُومٌ، فَإِنْ وُجِدَ بِهِ عَيْبٌ فسخ بِهِ فَلَا رَدَّ، وَإِنْ لَمْ يَسْمَحْ بِهِ وَأَرَادَ رَدَّهُ فَلَهُ ذَلِكَ لِأَنَّ مَا مُلِكَ بِالْأَعْوَاضِ رُدَّ بِالْعُيُوبِ كَالْبَيْعِ ثُمَّ بِمَاذَا يَرْجِعُ بَعْدَ رَدِّهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika ia mempercepat talaknya dengan budak itu, seakan-akan ia berkata kepadanya: “Engkau tertalak dengan budak ini,” maka ia telah tertalak, karena ia menjadikan budak itu sebagai kompensasi, bukan sebagai syarat. Jika sah budak itu menjadi kompensasi karena ia milik istri dan berada dalam kekuasaannya, maka sah pula menjadi kompensasi, dan suami menjadi pemilik budak itu darinya, karena dengan penentuan itu menjadi jelas. Jika ternyata ada cacat pada budak itu, maka akadnya dibatalkan dan tidak ada pengembalian. Namun jika suami tidak rela dan ingin mengembalikannya, maka ia berhak melakukannya, karena apa yang dimiliki melalui kompensasi boleh dikembalikan karena cacat, seperti dalam jual beli. Lalu, dengan apa suami berhak kembali setelah mengembalikannya? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بِقِيمَتِهِ لَوْ كَانَ سَلِيمًا.

Pertama: Dengan nilai budak itu seandainya ia sehat.

وَالثَّانِي: بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Kedua: Dengan mahar mitsil.

وَإِنْ كَانَتْ لَا تَمْلِكُ هَذَا الْعَبْدَ أَوْ كَانَتْ تَمْلِكُهُ وَلَكِنْ لَا ينفذ تصرفها فيه، وإما لِكَوْنِهِ مَوْهُوبًا أَوْ لِكَوْنِهِ مَغْصُوبًا، بَطَلَ أَنْ يَكُونَ عِوَضًا فِي الْخُلْعِ، كَمَا بَطَلَ أَنْ يَكُونَ مَبِيعًا، وَفِيمَا يَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا قَوْلَانِ:

Jika istri tidak memiliki budak itu, atau ia memilikinya tetapi tidak sah baginya untuk bertindak atasnya, baik karena budak itu hibah atau budak rampasan, maka batal budak itu menjadi kompensasi dalam khulu‘, sebagaimana batal menjadi barang jualan. Dalam hal apa suami berhak kembali darinya, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بِقِيمَتِهِ.

Pertama: Dengan nilainya.

وَالثَّانِي: بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Kedua: Dengan mahar mitsil.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنْ جَعَلَ طَلَاقَهَا مُعَلَّقًا بِدَفْعِهِ كَأَنَّهُ قَالَ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي هَذَا الْعَبْدَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَبْدِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika ia menjadikan talaknya tergantung pada penyerahan budak itu, seakan-akan ia berkata: “Jika engkau memberiku budak ini, maka engkau tertalak,” maka keadaan budak itu tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ فِي مِلْكِهَا وَتَصَرُّفِهَا فَمَتَى أَعْطَتْهُ الْعَبْدَ طُلِّقَتْ بِدَفْعِهِ وَمَلَكَهُ الزَّوْجُ؛ لِأَنَّهُ بِالتَّعْيِينِ مَعْلُومٌ، فَإِنْ ظَهَرَ بِهِ عَيْبٌ، فَلَهُ رَدُّهُ وَفِيمَا يَرْجِعُ بِهِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى) .

Pertama: Budak itu berada dalam kepemilikan dan kekuasaan istri. Maka kapan saja ia menyerahkan budak itu, ia tertalak dengan penyerahannya dan suami menjadi pemilik budak itu, karena dengan penentuan itu menjadi jelas. Jika ternyata ada cacat pada budak itu, maka suami berhak mengembalikannya, dan dalam hal apa ia berhak kembali ada dua pendapat sebagaimana telah disebutkan.

أَحَدُهُمَا: بِقِيمَتِهِ.

Pertama: Dengan nilainya.

وَالثَّانِي: بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Kedua: Dengan mahar mitsil.

فَلَوْ أَرَادَ أَنْ يَتَمَسَّكَ بِهِ مَعِيبًا وَيَرْجِعَ بِأَرْشِهِ فَإِنْ قِيلَ؛ لَوْ رَدَّهُ رَجَعَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ دُونَ قِيمَتِهِ فَلَيْسَ لَهُ ذَاكَ، وَإِنْ قِيلَ: يَرْجِعُ بِقِيمَتِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika suami ingin tetap memegang budak itu meskipun cacat dan menuntut kompensasi atas cacatnya, maka jika dikatakan: Jika ia mengembalikannya, ia berhak atas mahar mitsil, bukan nilainya, maka ia tidak berhak atas itu. Namun jika dikatakan: Ia berhak atas nilainya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَيْسَ له ذاك؛ لأن القدرة على الردة بِالْعَيْبِ تَمْنَعُ مِنَ الرُّجُوعِ بِالْأَرْشِ.

Pertama: Ia tidak berhak atas itu, karena kemampuan untuk mengembalikannya karena cacat mencegahnya untuk menuntut kompensasi atas cacat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ ذَاكَ؛ لِأَنَّ أَخْذَهُ مَعَ أَرْشِ عَيْنِهِ أَقْرَبُ مِنَ الرُّجُوعِ بِقِيمَتِهِ جَمِيعِهِ، وَخَالَفَ الْبَيْعَ الَّذِي لَا يُوجِبُ رَدُّهُ بِالْعَيْبِ اسْتِرْجَاعَ قِيمَتِهِ.

Pendapat kedua: Ia berhak atas itu, karena mengambilnya beserta kompensasi cacatnya lebih dekat daripada kembali dengan seluruh nilainya, dan ini berbeda dengan jual beli yang pengembalian karena cacat tidak menyebabkan pengembalian seluruh nilainya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي غَيْرِ مِلْكِهَا، لِأَنَّهُ عَبْدٌ لِغَيْرِهَا فَلَا تُطَلَّقُ بِدَفْعِهِ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ مَشْرُوطًا فِي مُعَاوَضَةٍ صَارَ حُكْمُ الْمُعَاوَضَةِ شَرْطًا فِيهِ، وَمِنْ حُكْمِ الْمُعَاوَضَةِ أَنْ يَكُونَ فِي مِلْكِهَا فَصَارَ كَأَنَّهُ قَالَ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي هَذَا الْعَبْدَ الَّذِي تَمْلِكِينَهُ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِذَا دَفَعَتِ الْعَبْدَ، وَلَمْ تَكُنْ مَالِكَةً لَهُ فُقِدَ أَحَدُ الشَّرْطَيْنِ فَلَمْ يَقَعْ بِهِ الطَّلَاقُ.

Bagian kedua: Jika (budak) itu bukan miliknya, karena ia adalah budak milik orang lain, maka talak tidak terjadi dengan penyerahannya. Hal ini karena, ketika syarat itu terkait dengan suatu mu‘āwaḍah (pertukaran), maka hukum mu‘āwaḍah menjadi syarat di dalamnya. Salah satu hukum mu‘āwaḍah adalah bahwa barang tersebut harus dimiliki olehnya. Maka seakan-akan ia berkata: “Jika engkau memberiku budak ini yang engkau miliki, maka engkau tertalak.” Jika ia menyerahkan budak itu, namun ia bukan pemiliknya, maka salah satu dari dua syarat tidak terpenuhi, sehingga talak tidak terjadi karenanya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ فِي مِلْكِهَا لَكِنَّهَا لَا تَقْدِرُ عَلَى التَّصَرُّفِ فِيهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketiga: Jika (budak) itu berada dalam kepemilikannya, namun ia tidak mampu melakukan tasharruf (mengelola atau mempergunakan) terhadapnya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِنْهُ بِحَقِّ الرَّهْنِ فَلَا يَصِحُّ بِهِ الْخُلْعُ، وَلَا يَقَعُ بِدَفْعِهِ الطَّلَاقُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْمُعَاوَضَةِ، وَأَنَّ الْمَرْهُونَ لَا يُمْلَكُ قَبْلَ فِكَاكِهِ بِالْمُعَاوَضَةِ فَصَارَ كَغَيْرِ الْمَمْلُوكِ.

Pertama: Jika hal itu karena hak rahn (gadai), maka khul‘ tidak sah dengannya, dan talak tidak terjadi dengan penyerahannya, karena hukum mu‘āwaḍah lebih diutamakan, dan karena barang yang digadaikan tidak dapat dimiliki sebelum ditebus melalui mu‘āwaḍah, sehingga statusnya seperti bukan miliknya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مَمْنُوعَةً مِنْهُ بِغَيْرِ حَقٍّ كَالْغَصْبِ وَالْإِبَاقِ فَفِي صِحَّةِ الْخُلْعِ بِهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Jika ia terhalang darinya tanpa hak, seperti karena digasb (dirampas) atau karena budak itu melarikan diri, maka dalam keabsahan khul‘ dengannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إنَّ الْخُلْعَ عَلَيْهِ لَا يَصِحُّ لِأَنَّ بَيْعَهُ لَا يَصِحُّ فَجَرَى مَجْرَى الْمَرْهُونِ، فَعَلَى هَذَا، إِنْ أَعْطَتْهُ إِيَّاهُ لَمْ تُطَلَّقْ؛ لِأَنَّ تَمَلُّكَهُ بِالْعَطِيَّةِ كَالْمَشْرُوطِ فِي الْعِتْقِ بِالصِّفَةِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa khul‘ atasnya tidak sah karena penjualannya pun tidak sah, sehingga statusnya seperti barang yang digadaikan. Maka menurut pendapat ini, jika ia memberikannya, ia tidak tertalak, karena kepemilikan dengan pemberian itu seperti syarat dalam pembebasan budak dengan sifat tertentu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْخُلْعَ عَلَيْهِ جَائِزٌ، لِأَنَّ الْيَدَ الْغَاصِبَةَ يُسْتَحَقُّ رَفْعُهَا، فَقَصُرَتْ عَنْ حُكْمِ الْيَدِ الْمُرْتَهِنَةِ الَّتِي لَا يُسْتَحَقُّ رَفْعُهَا، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَعْطَتْهُ إِيَّاهُ طُلِّقَتْ؛ لِأَنَّهُ قَدِ ارْتَفَعَتْ بِهِ يَدُ الْغَصْبِ.

Pendapat kedua: Bahwa khul‘ atasnya diperbolehkan, karena tangan pihak yang merampas (ghāṣib) berhak untuk diangkat, sehingga tidak sama dengan tangan pihak yang menggadaikan (murtahin) yang tidak berhak diangkat. Maka menurut pendapat ini, jika ia memberikannya, ia tertalak, karena dengan itu tangan perampas telah terangkat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَقُولَ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي عَبْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَتُطَلَّقُ بِالْعَبْدِ الْمَغْصُوبِ وَبَيْنَ إِنْ أَعْطَيْتِنِي هَذَا الْعَبْدَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَيَكُونُ مَغْصُوبًا فَلَا تُطَلَّقُ، هُوَ أَنَّهُ إِذَا كَانَ مُطْلَقًا لَمْ يُمْلَكْ بِالدَّفْعِ فَغَلَبَ فِيهِ حُكْمُ الْعِتْقِ بِالصِّفَةِ، وَإِذَا كَانَ مُعَيَّنًا مُلِكَ بِالدَّفْعِ فَغَلَبَ فِيهِ حُكْمُ الْمُعَاوَضَةِ.

Perbedaan antara ucapan: “Jika engkau memberiku seorang budak maka engkau tertalak,” sehingga ia tertalak dengan budak yang digasb, dan antara ucapan: “Jika engkau memberiku budak ini maka engkau tertalak,” lalu budak itu dalam keadaan digasb sehingga ia tidak tertalak, adalah: Jika syaratnya bersifat umum, maka tidak dimiliki dengan penyerahan, sehingga hukum ‘itq (pembebasan budak) dengan sifat lebih diutamakan. Namun jika syaratnya tertentu, maka dimiliki dengan penyerahan, sehingga hukum mu‘āwaḍah lebih diutamakan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا إِذَا خَالَعَهَا عَلَى حَمْلِ جَارِيَتِهَا أَوْ عَلَى مَا فِي جَوْفِهَا، فَالْخُلْعُ بَاطِلٌ، وَسَوَاءٌ وَضَعَتْ وَلَدًا أَوْ لَمْ تَضَعْ، وَالطَّلَاقُ يَقَعُ بَائِنًا، وَلَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ الْمِثْلِ.

Adapun jika ia melakukan khul‘ dengan istrinya atas janin yang dikandung budaknya atau atas apa yang ada dalam rahimnya, maka khul‘ tersebut batal, baik ia melahirkan anak maupun tidak, dan talak jatuh secara bain (talak yang memutuskan hubungan), serta ia berhak atas mahar mitsil (mahar sepadan).

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: الْخُلْعُ صَحِيحٌ فَإِنْ وَضَعَتْ وَلَدًا كَانَ لِلزَّوْجِ، وَإِنْ لَمْ تَضَعْ شَيْئًا فَلَا شَيْءَ لِلزَّوْجِ اعْتِبَارًا بِالْوَصِيَّةِ أَنَّهَا تَصِحُّ بِالْحَمْلِ فَكَذَلِكَ الْخُلْعُ.

Abu Hanifah berkata: Khul‘ tersebut sah, maka jika ia melahirkan anak, anak itu menjadi milik suami, dan jika tidak melahirkan apa pun, maka suami tidak mendapatkan apa-apa, berdasarkan pertimbangan wasiat, bahwa wasiat sah atas janin, demikian pula khul‘.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا فِي النِّكَاحِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ عِوَضًا فِي الْخُلْعِ كَالْمُحَرَّمَاتِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ عَلَى حَمْلٍ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فاسداً كالنكاح والبيع.

Dalil kami adalah bahwa segala sesuatu yang tidak sah menjadi mahar dalam nikah, tidak sah pula menjadi ‘iwadh (pengganti) dalam khul‘ seperti hal-hal yang diharamkan, dan karena ini adalah akad mu‘āwaḍah atas janin, maka harus dihukumi fasid (rusak/batal) seperti dalam nikah dan jual beli.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال المزني: (وَقَدْ قَالَ لَوْ قَالَ لَهَا إِنْ أَعْطَيْتِنِي شَاةً مَيِّتَةً أَوْ خِنْزِيرًا أَوْ زِقَّ خَمْرٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَفَعَلَتْ طُلِّقَتْ وَيَرْجِعُ عَلَيْهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا) .

Al-Muzani berkata: (Dan ia berkata: Jika ia berkata kepada istrinya, “Jika engkau memberiku seekor kambing mati, atau seekor babi, atau satu kantong khamar, maka engkau tertalak,” lalu ia melakukannya, maka ia tertalak dan ia (suami) berhak kembali kepadanya dengan mahar sepadan barang tersebut).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَالَ لَهَا: إِنْ أَعْطَيْتِنِي خَمْرًا أَوْ خِنْزِيرًا أَوْ شَاةً مَيِّتَةً فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَأَعْطَتْهُ ذَلِكَ، طُلِّقَتْ، وَإِنْ لَمْ تَمْلِكِ الْخَمْرَ وَالْخِنْزِيرَ لِوُجُودِ الصِّفَةِ بِدَفْعِهِ، فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ لَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ أَعْطَيْتِنِي هَذَا الْعَبْدَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ، وَهُوَ مَغْصُوبٌ لَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ كَانَتِ الصِّفَةُ مَوْجُودَةً، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَمْلِكَهُ عَنْهَا فَهَلَّا كَانَ فِي الْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ لَا تُطَلَّقُ بِدَفْعِهِ، وَإِنْ كَانَتِ الصِّفَةُ مَوْجُودَةً، لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ عَنْهَا.

Al-Mawardi berkata: Ini benar apabila ia berkata kepada istrinya: “Jika kamu memberiku khamar, atau daging babi, atau kambing mati, maka kamu tertalak,” lalu istrinya memberikannya, maka ia tertalak. Meskipun ia tidak memiliki khamar dan babi, karena sifat (syarat) itu telah terpenuhi dengan penyerahan barang tersebut. Jika dikatakan: Bukankah jika ia berkata kepada istrinya, “Jika kamu memberiku budak ini, maka kamu tertalak,” lalu istrinya memberikannya, padahal budak itu hasil rampasan, maka ia tidak tertalak, meskipun sifat (syarat) itu ada, karena tidak sah baginya untuk memiliki budak itu dari istrinya. Mengapa dalam kasus khamar dan babi, ia tertalak dengan penyerahan barang tersebut, meskipun sifat (syarat) itu ada, padahal ia juga tidak memilikinya dari istrinya?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْعَبْدَ مَالٌ يَجُوزُ أَنْ يُمْلَكَ فَصَارَ التَّمْلِيكُ فِيهِ مَقْصُودًا، فَجَازَ أَنْ يَصِيرَ فِي الْحُكْمِ مَشْرُوطًا، وَإِنْ مَنَعَ الشَّرْعُ مِنْ تَمَلُّكِهِ بِالْجَهَالَةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْخَمْرُ وَالْخِنْزِيرُ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمَالٍ فَلَمْ يَصِرِ التَّمَلُّكُ فِيهِ مَقْصُودًا، فَقَوِيَ فِيهِ حُكْمُ الطَّلَاقِ بِالصِّفَةِ، فَإِذَا ثَبَتَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ بِدَفْعِهِ وَقَعَ بَائِنًا، وَلَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا.

Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa budak adalah harta yang boleh dimiliki, sehingga kepemilikan di dalamnya menjadi tujuan, maka boleh dijadikan syarat dalam hukum, meskipun syariat melarang kepemilikan karena ketidaktahuan (status barang). Tidak demikian halnya dengan khamar dan babi, karena keduanya bukanlah harta, sehingga kepemilikan di dalamnya bukan tujuan, maka hukum talak dengan sifat (syarat) menjadi kuat dalam hal ini. Maka apabila telah tetap jatuhnya talak dengan penyerahan barang tersebut, talak itu menjadi bain (tidak bisa rujuk), dan suami berhak atas mahar mitsil (mahar sepadan) dari istrinya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَقَعُ رَجْعِيًّا، وَلَا شَيْءَ لَهُ عَلَيْهَا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْخَمْرَ لَيْسَ بِعِوَضٍ فَصَارَ مُطَلِّقًا لَهَا بِغَيْرِ عِوَضٍ، وَالطَّلَاقُ بِغَيْرِ عِوَضٍ يَكُونُ رَجْعِيًّا، فَكَذَلِكَ بِمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عِوَضًا.

Abu Hanifah berkata: Talaknya jatuh sebagai talak raj‘i (masih bisa rujuk), dan suami tidak berhak apa pun dari istrinya, dengan alasan bahwa khamar bukanlah sebagai pengganti (iwadh), sehingga ia menjadi menalak istrinya tanpa pengganti, dan talak tanpa pengganti adalah raj‘i, demikian pula dengan sesuatu yang tidak boleh dijadikan pengganti.

وَلِأَنَّ خُرُوجَ الْبُضْعِ مِنْ مِلْكِ الزَّوْجِ غَيْرُ مُقَوَّمٍ وَلَا يَكُونُ اسْتِهْلَاكًا لِمَالٍ يَسْتَحِقُّ قِيمَتَهُ لِثَلَاثَةِ أُمُورٍ:

Karena keluarnya hak suami atas hubungan suami-istri (al-bud‘) bukanlah sesuatu yang dapat dinilai (bukan harta), dan tidak dianggap sebagai konsumsi harta yang mewajibkan pembayaran nilai, karena tiga hal:

أَحَدُهَا: جَوَازُ طَلَاقِهِ فِي الْمَرَضِ الَّذِي يُمْنَعُ فِيهِ مِنَ اسْتِهْلَاكِ مَالِهِ، وَلَا تَكُونُ قِيمَةُ الْبُضْعِ مُعْتَبَرَةً مِنْ ثَلَاثَةٍ كَالْعَطَايَا، وَالْهِبَاتِ.

Pertama: Bolehnya talak dalam keadaan sakit yang di dalamnya suami dilarang menghabiskan hartanya, dan nilai al-bud‘ tidak dianggap sebagai salah satu dari tiga hal seperti pemberian, hibah.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا لَوْ قَتَلَتْ نَفْسًا فَاسْتَهْلَكَتْ عَلَى الزَّوْجِ بُضْعَهَا لَمْ يَسْتَحِقَّ الزَّوْجُ عَلَيْهَا قِيمَتَهُ، وَلَوْ كَانَ مَالًا لَوَجَبَ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ الْمِثْلِ.

Kedua: Jika istri membunuh seseorang sehingga al-bud‘-nya menjadi tidak halal bagi suaminya, maka suami tidak berhak menuntut nilai al-bud‘ darinya. Jika al-bud‘ itu harta, tentu suami berhak atas mahar mitsil darinya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِأَبِ الصَّغِيرَةِ أَنْ يُخَالِعَ عَنْهَا بِمَالِهَا، وَلَوْ كَانَ الْبُضْعُ مَالًا لَجَازَ أَنْ يَتَمَلَّكَهُ لَهَا بِمَالِهَا كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِيَ لَهَا عَقَارًا.

Ketiga: Tidak boleh bagi ayah dari anak perempuan yang masih kecil untuk melakukan khulu‘ atas nama anaknya dengan hartanya sendiri. Jika al-bud‘ itu harta, tentu boleh ia memilikinya untuk anaknya dengan hartanya, sebagaimana boleh membelikan anaknya properti.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ خُلْعٌ عَلَى عِوَضٍ فَاسِدٍ فَاقْتَضَى وُقُوعُ الطَّلَاقِ فِيهِ أَنْ يُوجِبَ الرُّجُوعَ بِبَدَلِ الْبُضْعِ.

Dalil kami adalah bahwa ini adalah khulu‘ dengan pengganti yang rusak (fasid), sehingga jatuhnya talak di dalamnya mewajibkan kembali kepada pengganti al-bud‘.

أَصْلُهُ إِذَا خَالَعَهَا عَلَى عَصِيرٍ فَوَجَدَهُ خَمْرًا.

Dasarnya adalah jika ia melakukan khulu‘ dengan istrinya atas dasar jus anggur, lalu ternyata jus itu adalah khamar.

قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِالْمَهْرِ الَّذِي دَفَعَهُ إِلَيْهَا فِي النِّكَاحِ.

Abu Hanifah berkata: Suami berhak menuntut mahar yang telah ia berikan kepada istrinya dalam akad nikah.

فَإِنْ قِيلَ: فَالْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ أَنَّ الزَّوْجَ لَمْ يَرْضَ بِخُرُوجِ الْبُضْعِ مِنْ مِلْكِهِ بِغَيْرِ بَدَلٍ، لِأَنَّهُ ظَنَّهُ عَصِيرًا، فَجَازَ أَنْ يَسْتَحِقَّ فِيهِ الْبَدَلَ وَفِي الْفَرْعِ قَدْ عَلِمَهُ خَمْرًا فَرْضِيَ بِخُرُوجِ الْبُضْعِ بِغَيْرِ بَدَلٍ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ فِيهِ الْبَدَلَ.

Jika dikatakan: Makna dalam kasus asal adalah bahwa suami tidak rela kehilangan al-bud‘ dari kepemilikannya tanpa pengganti, karena ia mengira itu jus anggur, maka ia berhak atas pengganti. Sedangkan dalam kasus cabang, ia sudah tahu itu khamar, maka ia rela kehilangan al-bud‘ tanpa pengganti, sehingga ia tidak berhak atas pengganti.

فَالْجَوَابُ: أَنَّهُ مُنْتَقَضٌ بِالنِّكَاحِ فَإِنَّهَا إِذَا تَزَوَّجَتْ بِرَجُلٍ عَلَى خَمْرٍ كَانَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، وَإِنْ عَلِمَتْ أَنَّهُ خَمْرٌ كَمَا لَوْ تَزَوَّجَتْهُ عَلَى عَصِيرٍ فَكَانَ خَمْرًا لَا فَرْقَ بَيْنَهُمَا فَكَذَلِكَ فِي الْخُلْعِ.

Jawabannya: Ini terbantahkan dengan kasus nikah, karena jika seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki dengan mahar berupa khamar, maka ia berhak atas mahar mitsil, meskipun ia tahu itu khamar, sebagaimana jika ia menikah dengan mahar jus anggur lalu ternyata itu khamar, tidak ada perbedaan antara keduanya. Demikian pula dalam kasus khulu‘.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا فَنَقُولُ: لِأَنَّهُ بُضْعٌ مُلِكَ بِخَمْرٍ لَا يُمْلَكُ فَوَجَبَ الرُّجُوعُ إِلَى مَهْرِ الْمِثْلِ كَالنِّكَاحِ.

Penjelasannya secara qiyās adalah: Karena al-bud‘ dimiliki dengan khamar yang tidak boleh dimiliki, maka wajib kembali kepada mahar mitsil sebagaimana dalam nikah.

فَإِنْ قِيلَ الْبُضْعُ مُقَوَّمٌ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ وَغَيْرُ مُقَوَّمٍ فِي حَقِّ الزَّوْجِ لِأَنَّهَا لَوْ وُطِئَتْ بِشُبْهَةٍ لَكَانَ مَهْرُ الْمِثْلِ لَهَا دُونَ الزَّوْجِ.

Jika dikatakan: Al-bud‘ dinilai (memiliki nilai) bagi istri, tetapi tidak dinilai bagi suami, karena jika istri digauli dengan syubhat, maka mahar mitsil menjadi hak istri, bukan hak suami.

قِيلَ لِأَنَّ هَذَا الوطئ مَا حَرَّمَهَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَصِرِ الْبُضْعُ مُسْتَهْلَكًا عَلَيْهِ فَلِذَلِكَ لَمْ يُضْمَنْ فِي حَقِّهِ وَلَوْ حَرَّمَهَا عَلَيْهِ وَطَئِهَا أَبُوهُ أَوِ ابْنُهُ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، لِأَنَّهُ صَارَ مُسْتَهْلَكًا عَلَيْهِ وَلَكَ تَحْرِيرُ هَذَا قِيَاسًا ثَالِثًا فَتَقُولُ: مَا تَقَوَّمَ فِي انْتِقَالِهِ إِلَيْهِ بِبَدَلٍ تَقَوَّمَ فِي انْتِقَالِهِ عَنْهُ بِذَلِكَ الْبَدَلِ كَالْمُثَمَّنَاتِ يَسْتَوِي فِي اسْتِحْقَاقِهِ الْمُسَمَّى فِي الْجِهَتَيْنِ إِذَا صَحَّ وَفِي الْقِيمَةِ إِذَا فَسَدَ.

Dikatakan: Karena persetubuhan ini tidak mengharamkannya atasnya, maka farji (kemaluan) tidak menjadi “terkonsumsi” baginya, oleh karena itu tidak wajib ganti rugi atasnya. Namun, jika persetubuhan itu mengharamkannya atasnya, seperti jika ayah atau anaknya menyetubuhinya, maka ia berhak kembali menuntut mahar mitsil, karena farji telah menjadi “terkonsumsi” baginya. Anda juga dapat merumuskan hal ini sebagai qiyās (analogi) ketiga, yaitu: Sesuatu yang dinilai (memiliki nilai) ketika berpindah kepadanya dengan imbalan, maka dinilai pula ketika berpindah darinya dengan imbalan tersebut, sebagaimana barang-barang yang diperjualbelikan; hak atas imbalan yang telah disebutkan berlaku sama pada kedua sisi jika akadnya sah, dan berlaku nilai (qimah) jika akadnya rusak.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِأَنَّ خُلْعَهَا بِالْخَمْرِ الَّذِي لَا يَكُونُ عِوَضًا رَضِيَ مِنْهُ بِخُلْعِهَا عَلَى غَيْرِ عِوَضٍ، فَهُوَ أَنَّهُ قَدْ يَمْلِكُ الْعِوَضَ الْفَاسِدَ كَمَا لا يَمْلِكُ الْخَمْرَ فَلَمَّا وَجَبَ لَهُ فِي الْعِوَضِ الْفَاسِدِ مَهْرُ الْمِثْلِ مَعَ عِلْمِهِ وَجَهْلِهِ وَجَبَ لَهُ فِي الْخَمْرِ مَهْرُ الْمِثْلِ مَعَ عِلْمِهِ وجهله.

Adapun jawaban atas argumentasinya bahwa khulu‘ dengan khamr yang tidak sah sebagai imbalan berarti ia rela dengan khulu‘ tanpa imbalan, maka jawabannya adalah: Seseorang kadang dapat memiliki imbalan yang fasid (rusak/tidak sah), sebagaimana ia tidak dapat memiliki khamr. Maka, ketika wajib baginya mahar mitsil atas imbalan yang fasid, baik ia mengetahui maupun tidak, demikian pula wajib baginya mahar mitsil atas khamr, baik ia mengetahui maupun tidak.

وأما استدلاله بأنها الْبُضْعَ لَا يُقَوَّمُ فِي حَقِّ الزَّوْجِ لِإِمْضَاءِ طَلَاقِهِ فِي الْمَرَضِ فَفَاسِدٌ بِتَقْوِيمِهِ فِي حَقِّهِ إِذَا خَالَعَ عَلَى عِوَضٍ فَاسِدٍ، وَإِنَّ مَا لَمْ يُقَوَّمْ فِي حُقُوقِ الْوَرَثَةِ إِذَا طَلَّقَ فِي الْمَرَضِ وَإِنْ قُوِّمَ عِتْقُهُ وَهِبَاتُهُ لِأَنَّهُمْ لَا يَرِثُونَ الزَّوْجَةَ لَوْ لَمْ يُطَلِّقْهَا وَيَرِثُونَ الأعيان التي وهبها وأعتقها. وأما استدلاله بأنها لو قتلت نفسها لَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا. فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْأَطْرَافَ تَدْخُلُ فِي حُكْمِ النَّفْسِ، لِأَنَّ مَنْ قَطَعَ يَدَ رَجُلٍ ثُمَّ قَتَلَهُ دَخَلَتْ دِيَةُ يَدِهِ فِي دِيَةِ نَفْسِهِ، وَالْبُضْعُ كَالطَّرَفِ فَإِذَا اقْتَرَنَ بِهِ تَلَفُ النَّفْسِ دَخَلَ فِي حُكْمِهِ، وَهُوَ لَاحِقٌ بِهِ فِي دِيَةِ النَّفْسِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَقٌّ فِي قِيمَةِ الْبُضْعِ، وَلِأَنَّ الْمَنَافِعَ مُقَوَّمَةٌ فِي حَقِّ الْمُسْتَأْجِرِ، وَلَوِ اسْتَأْجَرَ عَبْدًا فَقُتِلَ ضَمِنَ الْقَاتِلُ قِيمَتَهُ لِسَيِّدِهِ، وَلَمْ يَضْمَنْ مَنْفَعَتَهُ لِمُسْتَأْجِرِهِ، وَإِنْ كَانَتِ الْمَنَافِعُ مُقَوَّمَةً فِي حَقِّهِ كَذَلِكَ فِي قِيمَةِ الْبُضْعِ.

Adapun argumentasinya bahwa farji tidak dinilai dalam hak suami karena talaknya tetap sah saat sakit, maka itu batil, karena farji dinilai dalam haknya jika khulu‘ dilakukan dengan imbalan yang fasid. Adapun sesuatu yang tidak dinilai dalam hak para ahli waris ketika suami mentalak saat sakit, meskipun pembebasan budak dan hibahnya dinilai, sebab mereka tidak akan mewarisi istri jika suami tidak mentalaknya, sedangkan mereka mewarisi harta yang dihibahkan atau budak yang dimerdekakan. Adapun argumentasinya bahwa jika istri membunuh dirinya sendiri, suami tidak dapat menuntut mahar mitsil darinya, maka jawabannya adalah bahwa anggota tubuh termasuk dalam hukum jiwa, karena siapa yang memotong tangan seseorang lalu membunuhnya, maka diyat (denda) tangan masuk dalam diyat jiwa. Farji seperti anggota tubuh lainnya; jika kematian jiwa terjadi bersamaan dengannya, maka ia masuk dalam hukumnya, dan ia mengikuti dalam diyat jiwa. Oleh karena itu, suami tidak berhak atas nilai farji. Karena manfaat (manfaat penggunaan) dinilai dalam hak penyewa; jika seseorang menyewa budak lalu budak itu dibunuh, maka pembunuh wajib mengganti nilainya kepada tuannya, namun tidak wajib mengganti manfaatnya kepada penyewa, meskipun manfaat itu dinilai dalam haknya. Demikian pula dalam nilai farji.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ الْأَبَ لَا يُخَالِعُ عَنْ بِنْتِهِ الصَّغِيرَةِ فَلِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يَقْدِرُ أَنْ يَتَمَلَّكَ لَهَا بِالْمَالِ مِنَ الْعَقَارِ مَا هُوَ أَنْفَعُ لَهَا، وَلِأَنَّهُ بِالْخُلْعِ وَإِنْ مَلَّكَهَا بَعْضَهَا فَقَدْ أَسْقَطَ بِهِ نَفَقَتَهَا فَلِذَلِكَ يُمْنَعُ.

Adapun argumentasinya bahwa ayah tidak boleh melakukan khulu‘ atas nama putrinya yang masih kecil, maka sebabnya adalah karena ia dapat memberikan kepemilikan harta yang lebih bermanfaat baginya dari harta tak bergerak, dan karena dengan khulu‘, meskipun ia memberikan sebagian hak kepada anaknya, ia telah menggugurkan nafkahnya. Oleh karena itu, hal itu dilarang.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْخُلْعِ بِالْخَمْرِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُعَيَّنًا أَوْ غَيْرَ مُعَيَّنٍ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُعَيَّنٍ فَهُوَ مَا مَضَى، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي خَمْرًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فإذا أعطته الخمر طلقت ووجب لها عَلَيْهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، وَإِنْ كَانَ الْخَمْرُ عَيْنًا فَضَرْبَانِ:

Jika telah jelas apa yang kami sebutkan, maka keadaan khulu‘ dengan khamr tidak lepas dari dua kemungkinan: tertentu atau tidak tertentu. Jika tidak tertentu, maka seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu jika ia berkata: “Jika kamu memberiku khamr, maka kamu tertalak.” Jika ia memberinya khamr, maka ia tertalak dan wajib atasnya mahar mitsil. Jika khamr itu berupa barang tertentu, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُعَجِّلَ بِهِ الطَّلَاقَ وَكَأَنَّهُ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى أَنْ تُعْطِيَنِي هَذَا الْخَمْرَ فَقَدْ طُلِّقَتْ وَلَا يَسْتَحِقُّ عَلَيْهَا ذَلِكَ الْخَمْرَ، وَهَلْ يَسْتَحِقُّ عَلَيْهَا مَهْرَ مِثْلِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pertama: Talak dijatuhkan segera, seolah-olah ia berkata kepadanya: “Kamu tertalak dengan syarat kamu memberiku khamr ini.” Maka ia tertalak dan tidak berhak atas khamr tersebut. Apakah ia berhak atas mahar mitsil atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَسْتَحِقُّهُ كَمَا كَانَ الْخَمْرُ غَيْرَ مُعَيَّنٍ فَعَلَى هَذَا يَقَعُ الطَّلَاقُ بَائِنًا.

Pertama: Ia berhak atasnya, sebagaimana jika khamr itu tidak tertentu. Dalam hal ini, talak jatuh secara bain (talak yang tidak bisa dirujuk).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي:؟ أَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ مَعَ تَعْيِينِ الْخَمْرِ مَهْرَ الْمِثْلِ، لِأَنَّهُ لَمَّا عين تملك ذلك الخمر فقد عين أن لا يَتَمَلَّكَ مَا سِوَى الْخَمْرِ فَلِذَلِكَ سَقَطَ حَقُّهُ مِنْ بَدَلِهِ، وَلَمْ يَسْقُطْ مَعَ تَرْكِ التَّعْيِينِ حَقُّهُ مِنَ الْبَدَلِ، فَعَلَى هَذَا يَقَعُ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا، لِأَنَّهُ لَمْ يَمْلِكْ بَدَلًا.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak atas mahar mitsil jika khamr telah ditentukan, karena ketika ia menentukan untuk memiliki khamr itu, berarti ia telah menentukan untuk tidak memiliki selain khamr. Oleh karena itu, gugurlah haknya atas imbalan lain, dan haknya atas imbalan tidak gugur jika tidak ada penentuan. Dalam hal ini, talak jatuh secara raj‘i (talak yang bisa dirujuk), karena ia tidak memiliki imbalan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَجْعَلَ الطَّلَاقَ مُعَلَّقًا بِدَفْعِهِ.

Bentuk kedua: Talak digantungkan pada penyerahan khamr tersebut.

مِثَالُهُ أَنْ يَقُولَ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي هَذَا الْخَمْرَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَإِذَا أَعْطَتْهُ ذَلِكَ فَفِي وُقُوعِ طَلَاقِهِ بِهِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Contohnya adalah jika seseorang berkata: “Jika kamu memberiku khamar ini, maka kamu tertalak.” Jika istrinya kemudian memberikannya, maka dalam hal jatuhnya talak karena hal itu terdapat dua pendapat, berdasarkan dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: تُطَلَّقُ بِهِ إِذَا قِيلَ: إِنَّهُ لَوْ عَجَّلَ طَلَاقَهَا بِهِ رَجَعَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ كَذَلِكَ ها هنا تُطَلَّقُ بِدَفْعِهِ وَتَرْجِعُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Salah satunya: Talak jatuh karenanya, jika dikatakan bahwa seandainya ia menyegerakan talak dengan sebab itu, maka ia berhak kembali dengan mahar mitsil. Maka demikian pula di sini, talak jatuh dengan pemberian itu dan ia berhak kembali dengan mahar mitsil.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تُطَلَّقُ بِدَفْعِهِ إِذَا قِيلَ: إِنَّهُ لَوْ عَجَّلَ طَلَاقَهَا بِهِ لَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهَا بِشَيْءٍ، والفرق بين أن لا يُعَيِّنَ الْخَمْرَ فَتُطَلَّقَ وَبَيْنَ أَنْ يُعَيِّنَ الْخَمْرَ فَلَا تُطَلَّقَ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالتَّعْيِينِ التَّمْلِيكُ وَبِالْإِطْلَاقِ الصفة والله أعلم.

Pendapat kedua: Talak tidak jatuh dengan pemberian itu, jika dikatakan bahwa seandainya ia menyegerakan talak dengan sebab itu, maka ia tidak berhak kembali atas istrinya dengan sesuatu pun. Perbedaan antara tidak menentukan khamar sehingga talak jatuh, dan menentukan khamar sehingga talak tidak jatuh, adalah bahwa maksud dari penentuan adalah kepemilikan, sedangkan maksud dari keumuman adalah sifat. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ وَعَلَيْكِ أَلْفُ دِرْهَمٍ فَهِيَ طَالِقٌ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا وَهَذَا مِثْلُ قَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ وَعَلَيْكِ حِجَّةٌ وَلَوْ تَصَادَقَا أَنَّهَا سَأَلَتْهُ الطَّلَاقَ فَطَلَّقَهَا عَلَى ذَلِكَ كَانَ الطَّلَاقُ بَائِنًا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Kamu tertalak dan atasmu seribu dirham,’ maka ia tertalak dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Ini seperti ucapannya: ‘Kamu tertalak dan atasmu haji.’ Namun, jika keduanya sepakat bahwa ia (istri) meminta talak dan ia mentalaknya atas dasar itu, maka talaknya menjadi bā’in.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ قَالَ لِزَوْجَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ وَعَلَيْكِ أَلْفٌ فَهَذَا على ضربين:

Al-Māwardī berkata: Bentuk kasusnya adalah seorang laki-laki berkata kepada istrinya: “Kamu tertalak dan atasmu seribu.” Maka ini ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَنْ طَلَبٍ مِنْهَا كَأَنَّهَا سَأَلَتْهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا عَلَى أَلْفٍ فَقَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَعَلَيْكِ أَلْفٌ، فَقَدْ طُلِّقَتْ، وَلَزِمَهَا الْأَلْفُ، لِأَنَّهُ جَوَابٌ عَنْ طَلَبٍ.

Salah satunya: Jika terjadi atas permintaan dari istri, misalnya ia meminta suaminya untuk mentalaknya dengan imbalan seribu, lalu suaminya berkata: “Kamu tertalak dan atasmu seribu.” Maka ia tertalak dan wajib atasnya membayar seribu, karena itu merupakan jawaban atas permintaan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَبْتَدِئَهُ مِنْ غَيْرِ طَلَبٍ فَهِيَ طَالِقٌ، وَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا، لِأَنَّهُ أَرْسَلَ الطَّلَاقَ وَلَمْ يُقَيِّدْهُ بِشَرْطٍ فَوَقَعَ نَاجِزًا ثُمَّ ابْتَدَأَ بَعْدَ وُقُوعِهِ فَقَالَ (وَعَلَيْكِ أَلْفٌ) فَلَمْ تَلْزَمْهَا الْأَلْفُ بِقَوْلِهِ مِنْ غَيْرِ بَدَلٍ، وَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ: وَعَلَيْكِ حَجٌّ، فَلَا يَلْزَمُهَا الْحَجُّ، وَإِذَا كَانَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ وَلَا أَلْفَ عَلَيْهَا، فَلَهُ الرَّجْعَةُ، لِأَنَّ الرَّجْعَةَ تَسْقُطُ مَعَ اسْتِحْقَاقِ الْبَدَلِ، وَتَثْبُتُ مَعَ سُقُوطِ الْبَدَلِ، فَلَوْ أَعْطَتْهُ الْأَلْفَ لَمْ تَسْقُطِ الرَّجْعَةُ، لِأَنَّهَا ابْتِدَاءُ هِبَةٍ مِنْهَا، يُرَاعَى فِيهَا حُكْمُ الْهِبَاتِ مِنَ الْبَدَلِ وَالْقَبُولِ وَالْقَبْضِ، فَعَلَى هَذَا لَوِ اخْتَلَفَا فَقَالَ: طَلَّقْتُكِ عَنْ طَلَبٍ، فَلِي عَلَيْكِ الْأَلْفُ، وَقَالَتْ: بَلْ طَلَّقْتَنِي ابْتِدَاءً، مِنْ غَيْرِ طَلَبٍ، فَلَا شَيْءَ لَكَ عَلَيَّ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّهَا مُنْكِرَةٌ وَقَدْ لَزِمَهُ الطَّلَاقُ بَائِنًا لِإِقْرَارِهِ بِهِ.

Bentuk kedua: Jika suami memulai tanpa ada permintaan dari istri, maka ia tertalak dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya, karena suami menjatuhkan talak tanpa mengaitkannya dengan syarat, sehingga talak jatuh secara langsung, kemudian setelah jatuh ia berkata: “Dan atasmu seribu,” maka tidak wajib atasnya seribu karena ucapannya itu tanpa adanya pengganti. Ini seperti ucapannya: “Dan atasmu haji,” maka tidak wajib atasnya haji. Jika kejadiannya seperti yang telah kami sebutkan, yaitu talak jatuh dan tidak ada seribu atasnya, maka suami berhak rujuk, karena hak rujuk gugur jika ada kewajiban pengganti, dan tetap ada jika tidak ada pengganti. Jika istri memberikan seribu kepadanya, maka hak rujuk tidak gugur, karena itu merupakan pemberian baru dari istri, yang berlaku hukum hibah terkait pengganti, penerimaan, dan penyerahan. Berdasarkan hal ini, jika keduanya berselisih, suami berkata: “Aku mentalakmu atas permintaan, maka aku berhak atas seribu darimu,” dan istri berkata: “Bahkan, engkau mentalakku tanpa permintaan, maka tidak ada kewajiban apa pun atasku,” maka yang dipegang adalah ucapan istri dengan sumpahnya, karena ia mengingkari dan talak bā’in telah wajib atas suami karena pengakuannya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طالق على أن عليك ألف، لم تطلق إلا أن يضمن لَهُ أَلْفًا عَلَى الْفَوْرِ فِي وَقْتِ الْقَبُولِ، لأن على حُرُوفِ الشَّرْطِ، فَصَارَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ مُعَلَّقًا بِهِ، وَلَا يُرَاعَى فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ دَفْعُ الْأَلْفِ، كَمَا وَهِمَ فِيهِ بَعْضُ أَصْحَابِنَا، وَإِنَّمَا يُرَاعَى فِيهِ ضَمَانُ الْأَلْفِ، لِأَنَّهُ بِالضَّمَانِ قَدْ صَارَ عَلَيْهَا أَلْفٌ، وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى أَلْفٍ، كَانَ وُقُوعُ طَلَاقِهَا مُعَلَّقًا بِضَمَانِ الْأَلْفِ.

Jika suami berkata: “Kamu tertalak dengan syarat atasmu seribu,” maka talak tidak jatuh kecuali ia menjamin seribu itu secara langsung pada saat penerimaan, karena “‘alā” adalah huruf syarat, sehingga jatuhnya talak menjadi tergantung padanya. Tidak diperhatikan dalam jatuhnya talak adalah penyerahan seribu, sebagaimana yang disangka sebagian sahabat kami, melainkan yang diperhatikan adalah jaminan seribu, karena dengan jaminan itu seribu menjadi kewajiban atasnya. Demikian pula jika ia berkata: “Kamu tertalak atas seribu,” maka jatuhnya talak tergantung pada jaminan seribu.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: (وَالْخُلْعُ فِيمَا وَصَفْتُ كَالْبَيْعِ الْمُسْتَهْلَكِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Khulu‘ dalam hal yang aku sebutkan seperti jual beli barang yang telah habis.”

يُرِيدُ بِهِ أَنَّ الرُّجُوعَ عِنْدَ فَسَادِ الْعِوَضِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ كَمَا يَرْجِعُ فِي الْمَبِيعِ الْمُسْتَهْلَكِ بِقِيمَةِ الْمَبِيعِ وَهَذَا أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ.

Maksudnya adalah bahwa pengembalian (mahar) ketika pengganti rusak adalah dengan mahar mitsil, sebagaimana pengembalian dalam barang yang telah habis dengan nilai barang tersebut. Ini adalah pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَرْجِعُ بِقِيمَةِ الْبَدَلِ.

Pendapat kedua: Pengembalian dengan nilai pengganti.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَلَوْ خَلَعَهَا عَلَى ثَوْبٍ عَلَى أَنَّهُ هَرَوِيٌ فَرَدَّهُ كَانَ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَالْخُلْعُ فِيمَا وَصَفْتُ كَالْبَيْعِ الْمُسْتَهْلَكِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia melakukan khulu‘ dengan imbalan sehelai kain dengan syarat kain itu dari Herat, lalu kain itu dikembalikan, maka ia berhak atas mahar mitsil, dan khulu‘ dalam hal yang aku sebutkan seperti jual beli barang yang telah habis.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا خَالَعَهَا عَلَى ثَوْبٍ مَرَوِيٍّ، فَإِذَا هُوَ هَرَوِيٌّ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الثَّوْبُ مُعَيَّنًا.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan, jika seorang suami melakukan khulu‘ dengan istrinya dengan imbalan sehelai kain Marwi, lalu ternyata kain itu adalah kain Harawi, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan: Pertama, kain tersebut adalah kain yang tertentu.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُعَيَّنٍ، فَإِنْ كَانَ الثَّوْبُ مُعَيَّنًا كَأَنَّهُ قَالَ: خَالَعْتُكِ عَلَى هَذَا الثَّوْبِ بِعَيْنِهِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَشْرُطَ أَنَّهُ مَرْوِيٌّ أَوْ لَا يَشْتَرِطُ، فَإِنْ لَمْ يَشْرُطْ أَنَّهُ مَرْوِيٌّ وَلَكِنْ ظَنَّهُ مَرَوِيًّا، فَكَانَ هَرَوِيًّا، فَلَا رَدَّ لَهُ، وَكَذَلِكَ لَوِ اشْتَرَاهُ بِظَنِّهِ مَرَوِيًّا فَكَانَ هَرَوِيًّا، لأن هذه جَهَالَةٌ مِنْهُ بِصِفَتِهِ، وَلَيْسَ بِعَيْبٍ يَخْتَصُّ بِذَاتِهِ، وَإِنْ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا غَيْرَ ذَلِكَ رَدَّهُ بِهِ، وَبِمَاذَا يَرْجِعُ عَلَيْه فِيهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: بمهر المثل.

Kedua, kain tersebut tidak tertentu. Jika kain itu tertentu, misalnya ia berkata: “Aku menceraikanmu dengan khulu‘ dengan imbalan kain ini secara spesifik,” maka ada dua kemungkinan: apakah ia mensyaratkan bahwa kain itu adalah kain Marwi atau tidak mensyaratkan. Jika ia tidak mensyaratkan bahwa kain itu Marwi, namun ia mengira kain itu Marwi, lalu ternyata kain itu adalah Harawi, maka tidak ada hak baginya untuk menolaknya. Demikian pula jika ia membelinya dengan dugaan bahwa itu Marwi, lalu ternyata Harawi, karena ini adalah ketidaktahuan dari pihaknya tentang sifat kain tersebut, dan bukan cacat yang melekat pada zat kain itu sendiri. Namun, jika ia menemukan cacat lain pada kain itu, ia boleh mengembalikannya karena cacat tersebut. Dalam hal apa ia boleh menuntut kembali? Ada dua pendapat: Pertama, dengan mahar mitsil (mahar sepadan).

والثاني: بقيمته مرويا سليما من هَذَا الْعَيْبِ، وَلَا يَرْجِعُ بِقِيمَتِهِ لَوْ كَانَ مَرَوِيًّا وَإِنْ شَرَطَ فِي الْخُلْعِ أَنَّهُ مَرَوِيٌّ، فقال: (قد خَالَعْتُكِ عَلَى هَذَا الثَّوْبِ عَلَى أَنَّهُ مَرَوِيٌّ) فَإِذَا بِهِ هَرَوِيٌّ، فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ، وَلَا يَكُونُ خِلَافُ الصِّفَةِ الْمَشْرُوطَةِ مَانِعًا مِنْ وُقُوعِهِ، لِأَنَّ الْإِشَارَةَ إِلَى عَيْنِهِ أَقْوَى مِنْ ذِكْرِ صِفَتِهِ، فَصَارَ اعْتِبَارُ الْعَيْنِ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ أَغْلَبَ مِنِ اعْتِبَارِ الصِّفَةِ، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا نُظِرَ، فَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ هَرَوِيًّا كَقِيمَتِهِ مَرَوِيًّا فَلَا خِيَارَ لَهُ، لِأَنَّهُ لَا نَقْصَ فِيهِ، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ مَرَوِيًّا أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ هَرَوِيًّا فَهُوَ عَيْبٌ وَلَهُ الْخِيَارُ فَيَرُدُّهُ، وَفِيمَا يَرْجِعُ بِهِ بَعْدَ رَدِّهِ قَوْلَانِ:

Kedua: dengan nilai kain tersebut seandainya kain itu benar-benar Marwi dan bebas dari cacat ini. Ia tidak boleh menuntut kembali dengan nilai kain itu jika memang kain itu Marwi. Jika dalam akad khulu‘ disyaratkan bahwa kain itu Marwi, misalnya ia berkata: “Aku menceraikanmu dengan khulu‘ dengan imbalan kain ini dengan syarat kain ini Marwi,” lalu ternyata kain itu Harawi, maka talak tetap jatuh, dan perbedaan sifat yang disyaratkan tidak menghalangi jatuhnya talak, karena penunjukan secara spesifik terhadap barang lebih kuat daripada penyebutan sifatnya. Maka, pertimbangan terhadap barang tertentu dalam jatuhnya talak lebih diutamakan daripada pertimbangan sifatnya. Jika demikian, maka dilihat lagi: jika nilai kain itu sebagai Harawi sama dengan nilainya sebagai Marwi, maka ia tidak memiliki hak untuk memilih (tidak ada opsi), karena tidak ada kekurangan pada kain itu. Namun, jika nilai kain itu sebagai Marwi lebih tinggi daripada sebagai Harawi, maka itu dianggap cacat dan ia memiliki hak untuk memilih, sehingga ia boleh mengembalikannya. Dalam hal apa ia boleh menuntut kembali setelah mengembalikannya? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Pertama: dengan mahar mitsil (mahar sepadan).

وَالثَّانِي: بِقِيمَتِهِ لَوْ كَانَ مَرَوِيًّا.

Kedua: dengan nilai kain itu seandainya kain itu benar-benar Marwi.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنْ كَانَ الثَّوْبُ غَيْرَ مُعَيَّنٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika kain itu tidak tertentu, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَصِفَهُ.

Pertama: ia menyebutkan sifat kain tersebut.

وَالثَّانِي: أَن لا يَصِفَهُ.

Kedua: ia tidak menyebutkan sifat kain tersebut.

فَإِنْ لَمْ يَصِفْهُ وَقَالَ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي ثَوْبًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَهُوَ كَقَوْلِهِ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي عَبْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَأَيُّ ثَوْبٍ أَعْطَتْهُ طُلِّقَتْ بِهِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الطَّلَاقِ بِلَا صِفَةٍ، وَلَا يَمْلِكُهُ بالجهالة تغليباً لحكم المعاوضة ويرجع عليا بِمَهْرِ الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا.

Jika ia tidak menyebutkan sifatnya dan berkata: “Jika kamu memberiku sehelai kain, maka kamu tertalak,” maka hukumnya seperti ucapannya: “Jika kamu memberiku seorang budak, maka kamu tertalak.” Maka kain apa pun yang diberikan oleh istri, talak jatuh karenanya, karena hukum talak tanpa menyebutkan sifat lebih diutamakan. Namun, suami tidak berhak memiliki kain itu karena adanya ketidakjelasan (jahalah), dengan pertimbangan hukum mu‘awadhah (pertukaran), dan ia hanya berhak menuntut mahar mitsil menurut satu pendapat.

وَإِنْ وَصَفَهُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika ia menyebutkan sifat kain tersebut, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُعَلِّقَ وُقُوعَ الطَّلَاقِ بِدَفْعِهِ كَأَنَّهُ قَالَ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي ثَوْبًا مَرَوِيًّا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَأَعْطَتْهُ ثَوْبًا فَكَانَ هَرَوِيًّا لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ صِفَتَهُ بِأَنَّهُ مَرَوِيٌّ صَارَتْ شَرْطًا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ، فَإِذَا عُدِمَتْ لَمْ يَكْمُلْ شَرْطُ الطَّلَاقِ فَلَمْ يَقَعْ، وَلَيْسَ كَالْمُعَيَّنِ الَّذِي يُغَلِّبُ حُكْمَ الْعَيْنِ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَى حُكْمِ الصِّفَةِ، فَإِذَا دَفَعَتْ إِلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ ثَوْبًا مَرَوِيًّا طُلِّقَتْ بِهِ، ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ قَدْ وَصَفَهُ مَعَ كَوْنِهِ مَرَوِيًّا فَجَمِيعُ صِفَاتِهِ الْمُسْتَحَقَّةِ فِي السَّلَمِ مِلْكُهُ، فَإِنْ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا رَدَّهُ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ اسْتِرْجَاعُ مِثْلِهِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ ثَابِتٍ فِي الذِّمَّةِ، وَقَدْ صَارَ مُعَيَّنًا بِالدَّفْعِ لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ فَصَارَ كَالْمُعَيَّنِ بِالْعَقْدِ فَإِذَا رَدَّهُ فَفِيمَا يَرْجِعُ بِهِ قَوْلَانِ:

Pertama: ia menggantungkan jatuhnya talak pada penyerahan kain tersebut, misalnya ia berkata: “Jika kamu memberiku kain Marwi, maka kamu tertalak.” Lalu istri memberikan kain, namun ternyata kain itu Harawi, maka talak tidak jatuh, karena sifat kain sebagai Marwi telah menjadi syarat dalam jatuhnya talak. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka syarat talak tidak sempurna sehingga talak tidak jatuh. Ini berbeda dengan kasus kain tertentu, di mana hukum barang tertentu lebih diutamakan dalam jatuhnya talak daripada sifatnya. Jika setelah itu istri memberikan kain Marwi, maka talak jatuh karenanya. Kemudian dilihat lagi: jika ia telah menyebutkan sifat kain itu sebagai Marwi, maka seluruh sifat yang menjadi haknya dalam akad salam menjadi miliknya. Jika ia menemukan cacat pada kain itu, ia boleh mengembalikannya, namun ia tidak berhak meminta kain pengganti yang serupa, karena tidak ada kewajiban dalam tanggungan (dzimmah). Kain itu telah menjadi tertentu dengan penyerahan untuk jatuhnya talak, sehingga statusnya seperti barang tertentu dalam akad. Jika ia mengembalikannya, maka dalam hal apa ia boleh menuntut kembali? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بمهر المثل.

Pertama: dengan mahar mitsil (mahar sepadan).

والثاني: بقيمته مرويا سليما من الْعَيْبِ، وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ جَمِيعَ صِفَاتِهِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي السَّلَمِ بَلْ قَالَ: إِنْ أَعْطَيْتِنِي ثَوْبًا مَرَوِيًّا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَأَيُّ ثَوْبٍ أَعْطَتْهُ إِنْ كَانَ مَرَوِيًّا طُلِّقَتْ بِدَفْعِهِ لِوُجُودِ الصِّفَةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي الطَّلَاقِ، وَلَا يَمْلِكُهُ لِجَهَالَتِهِ، وَيَرْجِعُ عَلَيْهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُعَيَّنٍ بِالْعَقْدِ وَلَا مَعْلُومٍ بِالصِّفَةِ.

Yang kedua: dengan nilainya berupa kain Marwī yang bebas dari cacat, meskipun tidak menyebutkan seluruh sifat yang dianggap dalam akad salam, bahkan jika ia berkata: “Jika engkau memberiku kain Marwī, maka engkau tertalak.” Maka kain apa pun yang ia berikan, jika itu adalah kain Marwī, maka ia tertalak dengan penyerahannya karena adanya sifat yang dianggap dalam talak, namun ia tidak memilikinya karena ketidaktahuan (tentang barangnya), dan ia berhak kembali kepada istrinya dengan mahar mitsil menurut satu pendapat, karena barang tersebut tidak ditentukan dalam akad dan tidak diketahui sifatnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُعَجِّلَ وُقُوعَ الطَّلَاقِ عَلَى ثَوْبٍ مَرَوِيٍّ مَوْصُوفٍ فِي الذِّمَّةِ، كَأَنَّهُ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى ثَوْبٍ مَرَوِيٍّ، فَالطَّلَاقُ قَدْ وَقَعَ سَوَاءً اسْتَوْفَى جَمِيعَ صِفَاتِهِ أَمْ لَا؟ لَكِنْ إِنْ لَمْ يَسْتَوْفِ جَمِيعَ صِفَاتِهِ فَسَدَ فِيهِ الْخُلْعُ، وَإِنْ وَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ وَكَانَ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِتَرْكِ صِفَاتِهِ مَجْهُولًا، وَإِنِ اسْتَوْفَى جَمِيعَ صِفَاتِهِ صَحَّ فِيهِ الْخُلْعُ، وَكَانَ لَهُ عَلَيْهَا ثَوْبٌ مَرَوِيٌّ عَلَى تِلْكَ الصِّفَاتِ، فَإِنْ دَفَعَتْ إِلَيْهِ ثَوْبًا بِتِلْكَ الصِّفَاتِ فَكَانَ مَعِيبًا، فَلَهُ رَدُّهُ وَإِبْدَالُهُ بِثَوْبٍ عَلَى تِلْكَ الصِّفَاتِ سَلِيمًا مِنْ عَيْبٍ لِثُبُوتِهِ فِي الذِّمَّةِ كَالسَّلَمِ إِذَا وَجَدَهُ بَعْدَ الْقَبْضِ مَعِيبًا رَجَعَ بِمِثْلِهِ سَلِيمًا.

Jenis kedua: yaitu mempercepat terjadinya talak atas kain Marwī yang bersifat deskriptif dalam tanggungan, seperti ia berkata: “Engkau tertalak atas kain Marwī.” Maka talak telah terjadi, baik ia telah menyebutkan seluruh sifatnya atau tidak. Namun, jika tidak menyebutkan seluruh sifatnya, maka khulu‘ di dalamnya rusak, meskipun talak telah terjadi, dan ia berhak atas mahar mitsil menurut satu pendapat, karena dengan tidak disebutkannya sifat-sifatnya, barang tersebut menjadi majhul (tidak diketahui). Jika ia menyebutkan seluruh sifatnya, maka khulu‘ sah di dalamnya, dan ia berhak atas kain Marwī dengan sifat-sifat tersebut. Jika istri menyerahkan kepadanya kain dengan sifat-sifat tersebut namun ternyata cacat, maka ia berhak mengembalikannya dan menukarnya dengan kain lain yang sesuai sifat tersebut dan bebas dari cacat, karena barang tersebut menjadi tanggungan seperti dalam akad salam; jika setelah menerima ternyata cacat, maka ia berhak mendapatkan barang pengganti yang bebas dari cacat.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا خَالَعَهَا عَلَى ثَوْبٍ بِعَيْنِهِ عَلَى أَنَّهُ قُطْنٌ، فَإِذَا هُوَ كَتَّانٌ فَفِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ وَجْهَانِ:

Jika ia melakukan khulu‘ atas kain tertentu dengan syarat kain itu adalah katun, lalu ternyata kain itu adalah linen, maka dalam terjadinya talak terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ وَقَعَ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْعَيْنِ، وَلَا يَكُونُ بخِلَاف الْجِنْسِ مَانِعًا مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ، كَمَا لَا يَكُونُ خِلَافُ الصِّفَةِ مَانِعًا مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ، فَعَلَى هَذَا يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ كَتَّانًا كَقِيمَتِهِ قُطْنًا، فَلَا رَدَّ لَهُ، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ أَقَلَّ فَلَهُ رَدُّهُ وَفِيمَا يَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا قَوْلَانِ:

Salah satunya: talak tetap terjadi dengan mengedepankan hukum atas barang tertentu, dan perbedaan jenis tidak menjadi penghalang terjadinya talak, sebagaimana perbedaan sifat juga tidak menjadi penghalang terjadinya talak. Berdasarkan pendapat ini, jika nilainya sebagai linen sama dengan nilainya sebagai katun, maka ia tidak berhak mengembalikannya. Namun, jika nilainya lebih rendah, maka ia berhak mengembalikannya, dan dalam hal apa yang dapat ia tuntut dari istrinya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Salah satunya: dengan mahar mitsil.

وَالثَّانِي: بِقِيمَتِهِ لَوْ كَانَ قُطْنًا.

Yang kedua: dengan nilainya seandainya kain itu katun.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ بِهِ، لِأَنَّ خِلَافَ الْجِنْسِ يَجْرِي فِي الْمُعَاوَضَةِ مَجْرَى خِلَافِ الْعَيْنِ، لِأَنَّهُ لَوِ ابتاعه على أن قُطْنٌ، فَإِذَا هُوَ كَتَّانٌ، فَالْبَيْعُ فِيهِ بَاطِلٌ، ولو ابتاعه على أن مَرَوِيٌّ فَكَانَ هَرَوِيًّا فَالْبَيْعُ فِيهِ جَائِزٌ، كَذَلِكَ الْخُلْعُ إِذَا خَالَعَهَا عَلَى ثَوْبٍ عَلَى أَنَّهُ مَرَوِيٌّ فَكَانَ هَرَوِيًّا، وَقَعَ الطَّلَاقُ، وَلَوْ كَانَ كَتَّانًا لَمْ يَقَعْ.

Pendapat kedua: bahwa talak tidak terjadi dengannya, karena perbedaan jenis dalam mu‘awadhah (pertukaran) diperlakukan seperti perbedaan barang, sebab jika seseorang membeli dengan syarat kain itu katun, lalu ternyata linen, maka jual belinya batal. Namun jika ia membeli dengan syarat kain itu Marwī, lalu ternyata kain itu Harawī, maka jual belinya sah. Demikian pula dalam khulu‘, jika ia melakukan khulu‘ atas kain dengan syarat Marwī, lalu ternyata Harawī, maka talak terjadi. Namun jika kain itu linen, maka talak tidak terjadi.

قَالَ صَاحِبُ الْوَجْهِ الْأَوَّلِ مِنْ أَصْحَابِنَا أَقُولُ فِي الْبَيْعِ مِثْلَ قَوْلِي فِي الْخُلْعِ إنَّ الْبَيْعَ لَا يَبْطُلُ كَمَا أَقُولُ إِنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْعَيْنِ عَلَى الْجِنْسِ كَمَا غَلَّبْنَا حُكْمَ الْعَيْنِ عَلَى الصِّفَةِ، وَلِقَوْلِهِ إِذَا سَوَّى بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَجْهٌ وَإِنْ خَالَفَ الْجُمْهُورَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pemilik pendapat pertama dari kalangan ulama kami berkata: “Aku berpendapat dalam jual beli sebagaimana pendapatku dalam khulu‘, yaitu bahwa jual beli tidak batal sebagaimana aku berpendapat bahwa talak tetap terjadi dengan mengedepankan hukum atas barang tertentu daripada jenisnya, sebagaimana kita mengedepankan hukum atas barang tertentu daripada sifatnya.” Dan menurutnya, jika ia menyamakan antara dua perkara tersebut, maka itu adalah satu pendapat, meskipun berbeda dengan mayoritas ulama. Wallāhu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَلَوْ خَلَعَهَا عَلَى أَنْ تُرْضِعَ وَلَدَهُ وَقْتًا مَعْلُومًا فَمَاتَ الْمَوْلُودُ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ بِمَهْرِ مِثْلِهَا لِأَنَّ الْمَرْأَةَ تُدِرُّ عَلَى الْمَوْلُودِ وَلَا تُدِرُّ عَلَى غَيْرِهِ وَيَقْبَلُ ثَدْيَهَا وَلَا يَقْبَلُ غَيْرَهُ وَيَتَرَأَّمُهَا فَتَسْتَمْرِيهِ وَلَا يَسْتَمْرِي غَيْرَهَا وَلَا يَتَرَأَّمُهُ وَلَا تَطِيبُ نَفْسًا لَهُ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang melakukan khulu‘ dengan syarat istrinya menyusui anaknya dalam waktu tertentu, lalu anak tersebut meninggal, maka ia berhak kembali kepada istrinya dengan mahar mitsil, karena seorang wanita dapat mengalirkan air susu untuk bayinya dan tidak untuk selainnya, dan bayi tersebut menerima payudaranya sedangkan yang lain tidak, dan bayi itu merasa nyaman dengannya sehingga ia dapat menyusu, sedangkan yang lain tidak demikian, dan bayi itu tidak merasa nyaman dengannya, dan wanita itu tidak rela menyusui selain anaknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي جَوَازِ الْخُلْعِ عَلَى الرَّضَاعِ وَالْكَفَالَةِ، لِأَنَّ مَا جَازَتِ الْمُعَاوَضَةُ عَلَيْهِ فِي غَيْرِ الْخُلْعِ جَازَ أَنْ يَكُونَ عِوَضًا فِي الْخُلْعِ وَالرَّضَاعُ تَصِحُّ الْإِجَارَةُ عَلَيْهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} [الطلاق: 6] . فَإِنْ قِيلَ كَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يَسْتَأْجِرَهَا عَلَى رَضَاعِ وَلَدِهَا وَيُخَالِعَهَا عَلَيْهِ، وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (مَثَلُ الَّذِي يُقَاتِلُ عَنْ غَيْرِهِ وَيَأْخُذُ عَلَيْهِ أجراً كمثل أم موسى ترضع ولدها تأخذ عَلَيْهِ أَجْرًا) ، فَضَرَبَ لَكَ مَثَلًا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَاتِلَ عَنْ غَيْرِهِ بِأَجْرٍ كَمَا لَا يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُرْضِعَ وَلَدَهَا بِأَجْرٍ.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang kebolehan khulu‘ dengan imbalan berupa menyusui dan kafalah, karena sesuatu yang boleh dijadikan objek tukar-menukar selain dalam khulu‘, boleh pula dijadikan imbalan dalam khulu‘. Menyusui itu sah dijadikan objek ijarah berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya} (QS. At-Talaq: 6). Jika ada yang bertanya: Bagaimana mungkin boleh menyewa istri untuk menyusui anaknya sendiri dan melakukan khulu‘ dengan imbalan itu, padahal Rasulullah ﷺ bersabda: “Perumpamaan orang yang berperang untuk orang lain dan mengambil upah atasnya seperti ibu Musa yang menyusui anaknya dan mengambil upah atasnya.” Maka beliau membuat perumpamaan bahwa tidak boleh seseorang berperang untuk orang lain dengan upah, sebagaimana tidak boleh seorang wanita menyusui anaknya sendiri dengan upah.

قِيلَ: رَضَاعُ الْوَلَدِ مُسْتَحَقٌّ عَلَى الْأَبِ إِذَا كَانَ بَاقِيًا دُونَ الْأُمِّ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [البقرة: 233] . فَكَذَلِكَ الرَّضَاعُ، لِأَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فَإِنْ عُدِمَ الْأَبُ وَجَبَ الرَّضَاعُ عَلَى الْأُمِّ كَمَا يَجِبُ نَفَقَتُهُ عَلَيْهَا إِذَا مَاتَ الْأَبُ، فَلَيْسَ لَهَا بَعْدَ مَوْتِ الْأَبِ أَنْ تَأْخُذَ عَلَى رَضَاعِهِ أَجْرًا لِوُجُوبِهِ عَلَيْهَا، فَأَمَّا مَعَ بَقَاءِ الْأَبِ وَوُجُوبِ رَضَاعِهِ عَلَيْهِ، فَإِنْ كَانَا عَلَى الزَّوْجِيَّةِ لَمْ يَكُنْ لَهَا أَنْ تُرْضِعَهُ بِأَجْرٍ، لِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَ بِالِاسْتِمْتَاعِ بِهَا مَا اسْتَحَقَّ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ إِجَارَةِ نَفْسِهَا لِلرَّضَاعِ فَلَمْ يَكُنْ لَهَا مُعَاوَضَةٌ عَلَى الرَّضَاعِ.

Dijawab: Menyusui anak adalah kewajiban ayah jika ia masih ada, bukan kewajiban ibu, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut} (QS. Al-Baqarah: 233). Demikian pula menyusui, karena menyusui menempati posisi makanan dan minuman. Jika ayah tidak ada, maka kewajiban menyusui berpindah kepada ibu, sebagaimana kewajiban nafkah anak menjadi tanggung jawab ibu jika ayah telah meninggal. Maka setelah ayah meninggal, ibu tidak berhak mengambil upah atas penyusuan anaknya karena itu sudah menjadi kewajibannya. Adapun jika ayah masih ada dan kewajiban menyusui ada pada ayah, jika keduanya masih dalam ikatan pernikahan, maka ibu tidak berhak menyusui anaknya dengan upah, karena suami telah memiliki hak untuk menikmati istrinya yang menyebabkan ia berhak melarang istrinya menyewakan dirinya untuk menyusui, sehingga tidak ada tukar-menukar (mu‘awadhah) atas penyusuan.

فَأَمَّا إِذَا ارْتَفَعَتِ الزَّوْجِيَّةُ فَقَدْ زَالَ مَا اسْتَحَقَّهُ مِنْ مَنْعِهَا، وَجَازَ أَنْ تُرْضِعَ غَيْرَ وَلَدِهَا بِأَجْرٍ، فَجَازَ أَنْ تُرْضِعَ وَلَدَهَا بِأَجْرٍ، لِأَنَّ رَضَاعَ وَلَدِهَا مَعَ بَقَاءِ الْأَبِ وَاجِبٌ عَلَيْهِ دُونَهَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ صَحَّ الْخُلْعُ عَلَى الرَّضَاعِ، لِأَنَّهَا تُرْضِعُهُ بَعْدَ الْفِرَاقِ، وَإِذَا صَحَّ فَلَا بُدَّ مِنْ تَقْدِيرِهِ بِالْمُدَّةِ لِيَصِيرَ مَعْلُومًا يَنْتَفِي عَنْهُ الْجَهَالَةُ، فَإِذَا شَرَطَ عَلَيْهَا فِي الْخُلْعِ رَضَاعَ وَلَدِهِ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لَمْ تَخْلُ حَالُهُمَا مِنْ حَضَانَةِ الْوَلَدِ وَكَفَالَتِهِ وَالْقِيَامِ بِتَرْبِيَتِهِ وَغَسْلِ خِرَقِهِ وَحَمْلِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Adapun jika status pernikahan telah berakhir, maka hilanglah hak suami untuk melarangnya, dan boleh bagi wanita itu menyusui anak orang lain dengan upah, maka boleh pula ia menyusui anaknya sendiri dengan upah, karena menyusui anaknya sendiri selama ayah masih ada adalah kewajiban ayah, bukan kewajiban ibu. Jika demikian, maka sah khulu‘ dengan imbalan menyusui, karena ia menyusui anak itu setelah berpisah. Jika sah, maka harus ditentukan jangka waktunya agar menjadi jelas dan tidak ada unsur ketidakjelasan (jahalah). Jika dalam khulu‘ disyaratkan agar ia menyusui anaknya selama dua tahun penuh, maka kondisi mereka terkait pengasuhan anak, penjaminan, pengasuhan, mencuci kainnya, dan menggendongnya tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِطَ دُخُولَهَا فِي الْخُلْعِ، أَوْ فِي الْإِجَارَةِ فَيَدْخُلَ فِيهِ وَتُؤْخَذَ الْأُمُّ الْمُسْتَأْجَرَةُ بِهِ.

Pertama: Disyaratkan masuknya tugas-tugas tersebut dalam akad khulu‘ atau akad ijarah, maka tugas-tugas itu termasuk di dalamnya dan ibu yang disewa wajib melaksanakannya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِطَا خُرُوجَهَا مِنَ الْخُلْعِ، أَوْ مِنَ الْإِجَارَةِ فَتَخْرُجَ مِنْهُ، وَلَا يَلْزَمُ الْأُمَّ أَنْ تُؤْخَذَ بِهِ، وَعَلَى الْأَبِ أَنْ يُقِيمَ لَهُ مَنْ يَخْدُمُهُ، وَيَقُومُ بِحَمْلِهِ وَتَنْظِيفِهِ.

Kedua: Keduanya mensyaratkan pengecualian tugas-tugas tersebut dari akad khulu‘ atau akad ijarah, maka tugas-tugas itu tidak termasuk di dalamnya, dan ibu tidak wajib melaksanakannya. Ayah wajib menyediakan orang yang melayani, menggendong, dan membersihkan anak itu.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُطْلَقَ عَقْدُ الْخُلْعِ، أَوِ الْإِجَارَةِ فِي الرَّضَاعِ فَلَا يُشْتَرَطُ دُخُولُ الْقِيَامِ بِخِدْمَتِهِ فِيهِ، وَلَا خُرُوجُهُ مِنْهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا فِي الْمَقْصُودِ بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ.

Ketiga: Akad khulu‘ atau akad ijarah untuk menyusui dibuat secara umum, tanpa disyaratkan masuk atau keluarnya tugas-tugas tersebut, maka dalam hal ini ada dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan pendapat ulama kami tentang maksud dari akad ijarah.

فأحذ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّ الْمَقْصُودَ الرَّضَاعُ وَالْقِيَامُ بِالْخِدْمَةِ تَبَعٌ فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهَا الْقِيَامُ بِخِدْمَتِهِ تَبَعًا، لِمَا اسْتَحَقَّ عَلَيْهَا مِنْ رَضَاعِهِ.

Salah satu dari dua pendapat tersebut: Bahwa yang dimaksud adalah penyusuan, sedangkan tugas-tugas pelayanan adalah pengikutnya. Maka dalam hal ini, ibu wajib melakukan tugas-tugas pelayanan sebagai konsekuensi dari kewajiban menyusui yang telah disepakati.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْإِجَارَةِ الْخِدْمَةُ، لِأَنَّ لَبَنَ الرَّضَاعِ غَيْرُ مَجْهُولَةٍ لَا تَصِحُّ الْإِجَارَةُ عَلَيْهَا مِنَ الْقِيَامِ بِالْخِدْمَةِ فَصَارَ الرَّضَاعُ تَبَعًا لِمَا تَصِحُّ الْإِجَارَةُ عَلَيْهِ مِنَ الْقِيَامِ بِالْخِدْمَةِ فَعَلَى هَذَا لَا يَلْزَمُهَا فِي اسْتِحْقَاقِ الرَّضَاعِ عَلَيْهَا الْقِيَامُ بِخِدْمَتِهِ إِلَّا بِشَرْطٍ، وَهَذَا التَّعْلِيلُ مَعْلُولٌ، لِأَنَّهُ لَوْ صَارَ لِهَذَا الْمَعْنَى الرَّضَاعُ تَبَعًا لِلْقِيَامِ بِالْخِدْمَةِ لَمَا جَازَ إِفْرَادُهُ بِالْعَقْدِ إِذَا شَرَطَ فِيهِ إِسْقَاطَ الْقِيَامِ بِالْخِدْمَةِ وَمَا أَحْسَبُ أَحَدًا يَمْنَعُ مِنْهُ.

Pendapat kedua: Bahwa yang dimaksud dengan ijārah adalah jasa (khidmah), karena susu yang dihasilkan dari proses menyusui (radā‘) bukanlah sesuatu yang tidak diketahui sehingga ijārah tidak sah atasnya dari sisi pelaksanaan jasa. Maka, menyusui menjadi bagian dari sesuatu yang sah untuk diakadkan ijārah, yaitu pelaksanaan jasa. Berdasarkan hal ini, ia (perempuan) tidak wajib melaksanakan jasa selain menyusui kecuali dengan syarat. Namun, alasan ini bermasalah, karena jika menyusui dijadikan sebagai bagian dari pelaksanaan jasa, maka tidak boleh mengadakan akad tersendiri untuknya jika di dalam akad tersebut disyaratkan tidak melakukan jasa lain. Dan saya tidak mengira ada seorang pun yang melarang hal tersebut.

(فَصْلٌ:)

(Fashl:)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ جَوَازِ الْخُلْعِ عَلَى رَضَاعِ وَلَدِهِ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ فَمَاتَ الْوَلَدُ فَفِي بُطْلَانِ الْخُلْعِ بِمَوْتِهِ قَوْلَانِ:

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan tentang bolehnya khul‘ dengan imbalan menyusui anaknya selama dua tahun penuh, lalu anak itu meninggal dunia, maka dalam batal atau tidaknya khul‘ karena kematian anak tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: رَوَاهُ الْمُزَنِيُّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ أَنَّ الْخُلْعَ لَا يَبْطُلُ وَلِلْأَبِ أَنْ يَأْتِيَهَا بِغَيْرِهِ لِتُرْضِعَهُ حَوْلَيْنِ، وَوَجْهُهُ أَنَّ الْوَلَدَ فِي الرَّضَاعِ مُسْتَوْفٍ لِمَا تَضَمَّنَهُ الْعَقْدُ وَمَوْتُ الْمُسْتَوْفِي لِمَا تَضَمَّنَهُ الْعَقْدُ لَا يُوجِبُ فَسَادَ الْعَقْدِ، كَمَنِ اسْتَأْجَرَ دَابَّةً لِيَرْكَبَهَا فَمَاتَ لَمْ تَبْطُلِ الْإِجَارَةُ بِمَوْتِهِ وَقَامَ غَيْرُهُ فِي الرُّكُوبِ مَقَامَهُ.

Salah satunya: Diriwayatkan oleh al-Muzani dalam al-Jāmi‘ al-Kabīr bahwa khul‘ tidak batal, dan ayah boleh membawa anak lain kepadanya untuk disusui selama dua tahun. Alasannya adalah bahwa anak dalam hal menyusui telah menerima apa yang menjadi isi akad, dan kematian penerima manfaat dari akad tidak menyebabkan batalnya akad, sebagaimana orang yang menyewa hewan untuk dinaiki, lalu ia meninggal, maka ijārah tidak batal karena kematiannya, dan orang lain dapat menggantikannya untuk menaiki hewan tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُهُمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ وَالْإِمْلَاءِ وَنَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ هَا هُنَا أَنَّ الْخُلْعَ قَدْ بَطَلَ بِمَوْتِهِ لِعِلَّتَيْنِ:

Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat, dinyatakan dalam al-Umm dan al-Imlā’, serta dinukil oleh al-Muzani di sini, bahwa khul‘ batal karena kematian anak tersebut, dengan dua alasan:

إِحْدَاهُمَا: أَنَّهَا لَا تَدُرُّ عَلَى غَيْرِ وَلَدِهَا وَلَا يَسْتَمْرِي غَيْرُ وَلَدِهَا لَبَنَهَا كَمَا يَسْتَمْرِيهِ وَلَدُهَا وَلَا يَتَرَأَّمُهُ غَيْرُ وَلَدِهَا كَمَا يَتَرَأَّمُهُ وَلَدُهَا هَكَذَا قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَمَعْنَى: يَتَرَأَّمُهَا أَيْ: يستلذه.

Pertama: Ia (perempuan) tidak mengeluarkan susu untuk selain anaknya, dan anak lain tidak dapat menikmati susunya sebagaimana anaknya sendiri, dan anak lain tidak merasakan kenikmatan susunya sebagaimana anaknya sendiri. Demikianlah pendapat al-Syāfi‘ī. Makna “yataramahu” adalah: menikmatinya.

والعلة الثانية: أن ما يرتوي كُلَّ طِفْلٍ مِنَ اللَّبَنِ مُخْتَلِفٌ فَبَعْضُهُمْ يَرْتَوِي بِالْقَلِيلِ، وَبَعْضُهُمْ لَا يَرْتَوِي إِلَّا بِالْكَثِيرِ، وَبَعْضُهُمْ يَرْتَوِي بِسُهُولَةٍ، وَبَعْضُهُمْ بِعُنْفٍ فَذَلِكَ لَمْ يَقُمْ فِيهِ وَاحِدٌ مَقَامَ وَاحِدٍ وَكَانَ الْمُعَيَّنُ فِيهِ مُتَعَيَّنًا بِالْعَقْدِ فَعَلَى اخْتِلَافِ هَذَيْنِ التَّعْلِيلَيْنِ لَوْ خالعها وَلَدِهِ مِنْ غَيْرِهَا فَمَاتَ كَانَ لَهُ عَلَى التَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ إِبْدَالُهُ بِغَيْرِهِ، وَلَيْسَ لَهُ عَلَى التَّعْلِيلِ الثَّانِي أَنْ يُبَدِّلَهُ، وَهَكَذَا لَوْ خَالَعَهَا عَلَى وَلَدِهِ مِنْهَا، وَلَهُ مِنْهَا وَلَدٌ آخَرُ فَلَهُ عَلَى التَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ أَنْ يُقِيمَهُ مَقَامَ الْمَيِّتِ، وَلَيْسَ لَهُ عَلَى التَّعْلِيلِ الثَّانِي أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ.

Alasan kedua: Kebutuhan setiap anak terhadap susu berbeda-beda; sebagian anak cukup dengan sedikit, sebagian lagi tidak cukup kecuali dengan banyak, sebagian mudah merasa cukup, sebagian lagi sulit. Karena itu, tidak ada satu pun yang dapat menggantikan posisi yang lain, dan yang ditentukan dalam akad adalah anak tertentu. Berdasarkan perbedaan dua alasan ini, jika seorang laki-laki melakukan khul‘ dengan istrinya untuk menyusui anaknya dari perempuan lain, lalu anak itu meninggal, maka menurut alasan pertama, ia boleh menggantinya dengan anak lain, sedangkan menurut alasan kedua, ia tidak boleh menggantinya. Demikian pula, jika ia melakukan khul‘ dengan istrinya untuk menyusui anaknya dari perempuan itu sendiri, dan ia memiliki anak lain dari perempuan tersebut, maka menurut alasan pertama, ia boleh menggantikan anak yang meninggal dengan anak yang lain, sedangkan menurut alasan kedua, ia tidak boleh melakukannya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قُلْنَا بِبُطْلَانِ الْخُلْعِ وَأَنْ لَيْسَ لَهُ إِبْدَالُ الْوَلَدِ إِذَا مَاتَ بِغَيْرِهِ فَفِيمَا يَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهما قَوْلَانِ مَضَيَا:

Setelah jelas penjelasan dua pendapat tersebut, jika kita berpendapat bahwa khul‘ batal dan ia tidak boleh mengganti anak yang meninggal dengan anak lain, maka mengenai apa yang dapat ia ambil kembali dari keduanya terdapat dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Salah satunya: Dengan mahar mitsil (mahar yang sepadan).

وَالثَّانِي: بِأُجْرَةِ رَضَاعِ الْحَوْلَيْنِ.

Yang kedua: Dengan upah menyusui selama dua tahun.

وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْخُلْعَ لَا يَبْطُلُ وَإِنَّ لَهُ أَنْ يَأْتِيَهَا بِغَيْرِهِ فَإِنْ أَتَاهَا بِغَيْرِهِ أَرْضَعَتْهُ تَمَامَ الْحَوْلَيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَأْتِهَا بِغَيْرِهِ حَتَّى مَضَى الْحَوْلَانِ ففيه وجهان:

Dan jika kita berpendapat bahwa khul‘ tidak batal dan ia boleh membawa anak lain kepadanya, maka jika ia benar-benar membawa anak lain, perempuan itu wajib menyusuinya selama dua tahun penuh. Namun, jika ia tidak membawa anak lain hingga dua tahun berlalu, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا شَيْءَ لَهُ عَلَيْهَا، لِأَنَّهَا بَذَلَتْ لَهُ الرَّضَاعَ فَكَانَ التَّفْرِيطُ مِنْهُ، فَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى مَنِ اسْتَأْجَرَ دَارًا فَمُكِّنَ مِنْهَا فَلَمْ يَسْكُنْهَا حَتَّى انْقَضَتِ الْمُدَّةُ فَقَدِ اسْتَوْفَى حَقَّهُ وَلَا شَيْءَ لَهُ.

Salah satunya: Ia tidak berhak menuntut apa pun darinya, karena perempuan itu telah menawarkan jasa menyusui, sehingga kelalaian berasal dari pihak laki-laki. Hal ini seperti orang yang menyewa rumah, lalu telah diberi kesempatan untuk menempatinya namun tidak menempatinya hingga masa sewa berakhir, maka ia telah menerima haknya dan tidak berhak menuntut apa pun.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ حَقَّهُ بَاقٍ لَا يَسْقُطُ بِانْقِضَاءِ الْمُدَّةِ لِأَنَّ الْمَعْقُودَ عَلَيْهِ عَيْنٌ وَالْأَعْيَانُ إِذَا قُلْتَ تَسْلِيمُهَا بِتَرْكِ مُسْتَحِقِّهَا لَمْ يَسْقُطْ حَقُّهُ مِنْهَا كَمَنِ ابْتَاعَ عَيْنًا فَلَمْ يَقْبِضْهَا حَتَّى هَلَكَتْ كَانَتْ مَضْمُونَةً عَلَى بَائِعِهَا، كَذَلِكَ فَوَاتُ اللَّبَنِ يَكُونُ مَضْمُونًا عَلَيْهَا، وَلَيْسَ لَهُ بَعْدَ انْقِضَاءِ زَمَانِهِ أَنْ يَسْتَرْضِعَهَا وَلَدًا وَيَصِيرُ كَالْخُلْعِ عَلَى فَائِتٍ فَفِيمَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: Bahwa haknya tetap ada dan tidak gugur dengan berakhirnya masa, karena objek akadnya adalah suatu benda (‘ayn), dan jika dikatakan bahwa penyerahan benda tersebut dengan meninggalkan pihak yang berhak atasnya tidak menggugurkan haknya atas benda itu, seperti seseorang yang membeli suatu barang namun belum menerimanya hingga barang itu rusak, maka barang tersebut tetap menjadi tanggungan penjualnya. Demikian pula, jika susu (yang menjadi objek akad) tidak dapat diberikan, maka itu tetap menjadi tanggungan pihak yang bersangkutan. Namun, setelah masa menyusui berakhir, ia tidak berhak lagi menyusui anak tersebut, dan keadaannya menjadi seperti khul‘ atas sesuatu yang telah lewat. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat mengenai apa yang dapat dituntut darinya:

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ الْمِثْلِ.

Salah satunya: mahar mitsil (mahar sepadan).

وَالثَّانِي: أُجْرَةُ رَضَاعِ الْحَوْلَيْنِ.

Yang kedua: upah menyusui selama dua tahun.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

فَأَمَّا إِذَا مَاتَتِ الْمُرْضِعَةُ فَقَدْ بَطَلَ الْخُلْعُ بِمَوْتِهَا، وَلَا يَقُومُ غَيْرُهَا مَقَامَهَا، لِأَنَّ الْعَقْدَ مُعَيَّنٌ فِي لَبَنِهَا، وَهَكَذَا لَوْ لَمْ تَمُتْ، وَلَكِنْ جَفَّ لَبَنُهَا وَانْقَطَعَ، وَلَمْ يَثْبُتْ لَهَا فَالْخُلْعُ بَاطِلٌ، لِأَنَّ اللَّبَنَ هُوَ الْمَعْقُودُ عَلَيْهِا وَقَدْ فَاتَ بِذَهَابِهِ، كَمَا فَاتَ بِمَوْتِهَا فَيَكُونُ فِيمَا يَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى.

Adapun jika ibu susu itu meninggal dunia, maka khul‘ batal dengan kematiannya, dan tidak ada orang lain yang dapat menggantikannya, karena akad tersebut ditentukan pada susunya. Demikian pula, jika ia tidak meninggal, namun susunya kering dan terputus, sehingga tidak lagi tetap baginya, maka khul‘ batal, karena susu itulah yang menjadi objek akad dan telah hilang dengan kepergiannya, sebagaimana hilang dengan kematiannya. Maka, dalam hal apa yang dapat dituntut darinya, terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan.

فَأَمَّا إِنْ قَلَّ لَبَنُهَا وَلَمْ يَنْقَطِعْ، فَإِنْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهُ بَعْدَ قِلَّتِهِ يَرْوِي الْوَلَدَ، فَالْخُلْعُ بِحَالِهِ، وَلَا خِيَارَ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَرْوِيهِ لَمْ يَبْطُلْ فِيهِ الْخُلْعُ، لَكِنَّ الزَّوْجَ فِيهِ بِالْخِيَارِ، لِأَنَّ نَقْصَهُ عَيْبٌ بَيْنَ أَنْ يُقِيمَ عَلَيْهِ، وَيُكْمِلَ إِرْضَاعَ وَلَدِهِ مِنْ لَبَنِ غَيْرِهَا، وَبَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ، وَفِيمَا يَرْجِعُ بِهِ بَعْدَ فسخه قولان والله أعلم.

Adapun jika susunya berkurang namun tidak terputus, maka jika sisa susunya setelah berkurang masih dapat memenuhi kebutuhan anak, maka khul‘ tetap berlaku dan tidak ada pilihan (untuk membatalkannya). Namun jika tidak dapat memenuhi kebutuhan anak, maka khul‘ tidak batal, tetapi suami memiliki hak memilih, karena kekurangan tersebut merupakan cacat; antara tetap melanjutkan dan menyempurnakan penyusuan anaknya dengan susu orang lain, atau membatalkan (khul‘). Dalam hal apa yang dapat dituntut darinya setelah pembatalan, terdapat dua pendapat. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لَهُ أَبُو امْرَأَتِهِ طَلِّقْهَا وَأَنْتَ برئ من صداقها فطلقها ومهرها عَلَيْهِ وَلَا يَرْجِعُ عَلَى الْأَبِ بِشَيْءٍ لِأَنَّهُ لَمْ يَضْمَنْ لَهُ شَيْئًا وَلَهُ عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ) .

Imam asy-Syafi‘i berkata: “Jika ayah dari istri berkata kepadanya: ‘Ceraikanlah dia dan engkau bebas dari kewajiban membayar maharnya,’ lalu ia menceraikannya, maka mahar tetap menjadi tanggungannya dan ia tidak dapat menuntut apa pun dari ayahnya, karena ayahnya tidak menanggung apa pun untuknya. Dan ia (suami) tetap memiliki hak ruju‘ atas istrinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مُخَالَفَةَ الزَّوْجِ مَعَ أَبِي الزَّوْجَةِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa perselisihan antara suami dengan ayah istri terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُخَالِعَهُ عَنْهَا بِمَالِهِ فَيَقُولُ لَهُ: طَلِّقْ بِنْتِي بِأَلْفٍ لَكَ عَلَيَّ أَوْ بِهَذَا الْعَبْدِ الَّذِي لِي، فَهَذَا خُلْعٌ جَائِزٌ لَوْ فَعَلَهُ الزَّوْجُ مِنْ غَيْرِ الْأَبِ مِنَ الْأَجَانِبِ جَازِ فَكَانَ الْأَبُ أَجْوَزَ، فَإِذَا طَلَّقَهَا وَجَبَ لَهُ عَلَى الْأَبِ مَا بَذَلَهُ.

Pertama: Ayah melakukan khul‘ atas nama anaknya dengan hartanya sendiri, misalnya ia berkata kepada suami: “Ceraikanlah putriku dengan imbalan seribu (dirham) dariku, atau dengan budak milikku ini.” Ini adalah khul‘ yang sah. Jika suami melakukannya, baik dari selain ayah (orang lain), maka itu sah, maka ayah lebih utama (untuk sah). Jika suami menceraikannya, maka wajib bagi ayah untuk memberikan apa yang telah dijanjikannya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُخَالِعَهُ الْأَبُ عَلَى مَالِهَا، كَأَنَّهُ قَالَ لِلزَّوْجِ: طَلِّقْهَا بِأَلْفٍ عَلَيْهَا أَوْ عَلَى هَذَا الْعَبْدِ الَّذِي لَهَا، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ بِأَمْرِهَا وَهِيَ جَائِزَةُ الْأَمْرِ، كَانَ الْأَبُ وَكِيلًا فِي الْخُلْعِ، صَحَّ خُلْعُهُ، كَمَا يَصِحُّ خُلْعُ الْوَكِيلِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.

Bagian kedua: Ayah melakukan khul‘ atas harta milik anaknya, misalnya ia berkata kepada suami: “Ceraikanlah dia dengan seribu (dirham) yang menjadi tanggungannya, atau dengan budak miliknya ini.” Jika hal itu dilakukan atas perintah anaknya dan ia sudah cakap bertindak, maka ayah menjadi wakil dalam khul‘, dan khul‘nya sah, sebagaimana sahnya khul‘ oleh wakil, sebagaimana akan dijelaskan.

وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ بِغَيْرِ أَمْرِهَا فَالْخُلْعُ بَاطِلٌ، سَوَاءٌ كَانَتْ جَائِزَةَ الْأَمْرِ أَوْ مَحْجُورًا عَلَيْهَا، لِأَنَّهُ مَعَ رُشْدِهَا لَا يَجُوزُ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي مَالِهَا، وَمَعَ الْحَجْرِ عَلَيْهَا يَتَصَرَّفُ فِي حِفْظِهِ دُونَ إِتْلَافِهِ فِي الْخُلْعِ بِمَالِهَا فَرُدَّ كَمَا تُرَدُّ هِبَاتُهُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ طَلَاقُ الزَّوْجِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ. إِمَّا أَنْ يَكُونَ نَاجِزًا أَوْ مُقَيَّدًا، فَإِنْ كَانَ نَاجِزًا وَقَعَ رَجْعِيًّا وَلَا شَيْءَ عَلَى الزَّوْجَةِ، لِأَنَّهَا لَمْ تُخَالِعْهُ وَلَا عَلَى الْأَبِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَضْمَنْهُ، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ مُقَيَّدًا كَأَنَّهُ قَالَ: قَدْ طَلَّقْتُهَا عَلَى هَذَا الْعَبْدِ الَّذِي لَهَا فَطَلَاقُهُ لَا يَقَعُ، لِأَنَّهُ جَعَلَ وُقُوعَهُ مُقَابِلًا لِتَمَلُّكِ الْعَبْدِ، فَإِذَا لَمْ يَمْلِكِ الْعَبْدَ لَمْ يُوجَدْ شَرْطُ الطَّلَاقِ فَلَمْ يَقَعْ.

Namun jika hal itu dilakukan tanpa perintah anaknya, maka khul‘nya batal, baik anaknya sudah cakap bertindak maupun masih dalam perwalian, karena meskipun ia sudah cakap, ayah tidak berhak bertindak atas hartanya, dan jika masih dalam perwalian, ayah hanya berhak menjaga hartanya, bukan membinasakannya dalam khul‘ dengan hartanya, sehingga batal sebagaimana batalnya hibahnya. Dalam hal ini, talak suami tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi talaknya langsung (tanpa syarat) atau bersyarat. Jika talaknya langsung, maka jatuh sebagai talak raj‘i dan tidak ada kewajiban apa pun atas istri, karena ia tidak melakukan khul‘, dan tidak pula atas ayah, karena ia tidak menanggungnya. Jika talaknya bersyarat, misalnya ia berkata: “Aku telah menceraikannya dengan budak miliknya ini,” maka talaknya tidak jatuh, karena ia mensyaratkan terjadinya talak dengan kepemilikan budak tersebut, sehingga jika ia tidak memilikinya, syarat talak tidak terpenuhi dan talak pun tidak terjadi.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُخَالِعَهُ الْأَبُ عَلَى صَدَاقِهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketiga: Ayah melakukan khul‘ atas mahar anaknya, dan ini terbagi menjadi dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَالْخُلْعُ عَلَيْهِ بَاطِلٌ، لِأَنَّ صَدَاقَهَا كَسَائِرِ أَمْوَالِهَا لَيْسَ لِلْأَبِ أَنْ يُبَرِّئَ مِنْهُ، كَمَا لَا يُبَرِّئُ مِنْ غَيْرِهِ سَوَاءً قِيلَ إِنَّهُ الَّذِي بِيَدِهِ عَقْدُ النِّكَاحِ أَمْ لَا؟ لِأَنَّ الْأَبَ وَإِنْ جَعَلَ بِيَدِهِ عُقْدَةَ النِّكَاحِ، فَلَيْسَ لَهُ الْإِبْرَاءُ مِنَ الصَّدَاقِ بَعْدَ الدُّخُولِ.

Yang pertama: Jika terjadi setelah dukhūl (hubungan suami istri), maka khulu‘ atasnya batal, karena mahar adalah seperti harta-harta lainnya milik istri, ayah tidak berhak membebaskan suami darinya, sebagaimana ia juga tidak berhak membebaskan dari selainnya, baik dikatakan bahwa ayah adalah wali yang memegang akad nikah atau bukan. Sebab, meskipun ayah diberi hak untuk melakukan akad nikah, ia tidak berhak membebaskan mahar setelah terjadi dukhūl.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُخَالِعَهُ بِصَدَاقِهَا قَبْلَ الدُّخُولِ.

Jenis yang kedua: Jika ayah melakukan khulu‘ dengan mahar putrinya sebelum terjadi dukhūl.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ لَا يَمْلِكُ عُقْدَةَ النِّكَاحِ، فَالْخُلْعُ بَاطِلٌ، وَالْكَلَامُ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَى مَا مَضَى مِنْ كَوْنِهِ نَاجِزًا أَوْ مُقَيَّدًا.

Jika dikatakan bahwa ayah tidak memiliki hak akad nikah, maka khulu‘ tersebut batal, dan pembahasan mengenai jatuhnya talak kembali pada penjelasan sebelumnya, apakah talaknya jatuh secara langsung atau bersyarat.

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ، وَإِنَّهُ يَمْلِكُ إِبْرَاءَ الزَّوْجِ مِنْ صَدَاقِ بِنْتِهِ الْبِكْرِ إِذَا طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ فَفِي جَوَازِ مُخَالَفتِهِ لِلزَّوْجِ عَلَى صَدَاقِهَا وَجْهَانِ:

Dan jika dikatakan bahwa ayah adalah wali yang memegang akad nikah, dan ia berhak membebaskan suami dari mahar putrinya yang masih perawan jika ditalak sebelum dukhūl, maka dalam kebolehan ayah melakukan khulu‘ dengan suami atas mahar putrinya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُبْرِئَهُ بِغَيْرِ خُلْعٍ وَلَا مُعَاوَضَةٍ كَانَ أَوْلَى أَنْ يُبْرِئَهُ بِخُلْعٍ وَمُعَاوَضَةٍ.

Yang pertama: Boleh, karena jika ayah boleh membebaskan suami tanpa khulu‘ dan tanpa adanya kompensasi, maka tentu lebih boleh lagi jika dilakukan dengan khulu‘ dan adanya kompensasi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ خُلْعُهُ وَإِنْ جَازَ إِبْرَاؤُهُ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat: Tidak boleh ayah melakukan khulu‘, meskipun ia boleh membebaskan, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَوَّزَ لَهُ الْإِبْرَاءَ بَعْدَ الطَّلَاقِ، وَهَذَا قَبْلَ الطَّلَاقِ.

Yang pertama: Ia membolehkan ayah membebaskan setelah terjadi talak, sedangkan ini (khulu‘) dilakukan sebelum talak.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْإِبْرَاءَ لَا يَسْقُطُ بِهِ حَقُّهَا مِنَ السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ وَالْخُلْعَ مُسْقِطٌ لِحَقِّهَا مِنْ نَفَقَةِ الزَّوْجِيَّةِ وَسُكْنَاهَا.

Yang kedua: Pembebasan (ibrā’) tidak menggugurkan hak istri atas tempat tinggal dan nafkah, sedangkan khulu‘ menggugurkan hak istri atas nafkah dan tempat tinggal sebagai istri.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْإِبْرَاءَ نُدِبَ إِلَيْهِ لِمَا فِيهِ مِنْ تَرْغِيبِ الْخُطَّابِ فِيهَا، وَالْخُلْعَ مُنَفِّرٌ عَنْهَا فَافْتَرَقَ الْإِبْرَاءُ وَالْخُلْعُ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ، فَلِذَلِكَ جَازَ إِبْرَاؤُهُ وَلَمْ يَجُزْ خُلْعُهُ.

Yang ketiga: Pembebasan (ibrā’) dianjurkan karena dapat menarik minat para pelamar terhadapnya, sedangkan khulu‘ justru membuat orang menjauh darinya. Maka, ibrā’ dan khulu‘ berbeda dalam tiga hal ini. Oleh karena itu, ayah boleh membebaskan, tetapi tidak boleh melakukan khulu‘.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ نُظِرَ فِي إِبْرَاءِ الأب له في الخلع، فإن فيه ثلاثة مَسَائِلَ:

Jika demikian, maka perlu diperhatikan tentang pembebasan (ibrā’) yang dilakukan ayah dalam khulu‘, karena di dalamnya terdapat tiga permasalahan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَقُولَ لَهُ: طَلِّقْهَا وَأَنْتَ برئ مِنْ صَدَاقِهَا، فَطَلَّقَهَا الزَّوْجُ وَقَعَ طَلَاقُهُ، لِأَنَّهُ أَوْقَعَهُ نَاجِزًا وَلَا يَبْرَأُ مِنَ الصَّدَاقِ لِمَا ذَكَرْنَا، وَلَا يَلْزَمُ الْأَبَ الضَّمَانُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَضْمَنْ وَيَكُونُ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا، لِأَنَّ الزَّوْجَ لَمْ يَمْلِكْ فِيهِ عِوَضًا.

Pertama: Jika ayah berkata kepada suami, “Ceraikan dia dan kamu bebas dari maharnya,” lalu suami menceraikannya, maka talaknya jatuh, karena ia menjatuhkan talak secara langsung, namun suami tidak bebas dari mahar sebagaimana telah dijelaskan, dan ayah tidak wajib menanggungnya, karena ia tidak menjamin. Talak tersebut adalah talak raj‘i, karena suami tidak mendapatkan kompensasi dalam talak itu.

وَالثَّانِيَةُ: أَنْ يَقُولَ الْأَبُ: طَلِّقْهَا عَلَى أَنَّكَ برئ مِنْ صَدَاقِهَا، فَطَلَّقَهَا الزَّوْجُ عَلَى هَذَا لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ، لِأَنَّهُ أَوْقَعَهُ مُقَيَّدًا فَإِذَا لَمْ يَبْرَأْ لَمْ يَقَعْ.

Kedua: Jika ayah berkata, “Ceraikan dia dengan syarat kamu bebas dari maharnya,” lalu suami menceraikannya dengan syarat tersebut, maka talaknya tidak jatuh, karena talak itu bersyarat, dan jika syaratnya tidak terpenuhi, maka talak tidak jatuh.

وَالثَّالِثَةُ: أَنْ يَقُولَ الْأَبُ: طَلِّقْهَا عَلَى صَدَاقِهَا عَلَى أَنَّنِي ضَامِنُهُ لَكَ فَطَلَّقَهَا الزَّوْجُ عَلَى ذَلِكَ فَلَا يَخْلُو صَدَاقُهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ عَيْنًا أَوْ فِي الذِّمَّةِ، فَإِنْ كَانَ عَيْنًا لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ مُقَيَّدٌ بِتَمَلُّكِ تِلْكَ الْعَيْنِ، وَهِيَ لَا تُمَلَّكُ بِضَمَانِ الْأَبِ فَلَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ، لِعَدَمِ شَرْطِهِ وَإِنْ كَانَ فِي الذِّمَّةِ وَقَعَ الطَّلَاقُ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ بَرَاءَةُ ذِمَّتِهِ مِنَ الصَّدَاقِ، وَالْأَبُ قَدْ يَقْدِرُ عَلَى إِبْرَائِهِ مِنْهُ بِالْغُرْمِ عَنْهُ، لَكِنْ يَكُونُ بِالْخُلْعِ فَاسِدًا، لِأَنَّهُ لَيْسَ يَبْرَأُ بِهَذَا الْقَوْلِ، وَلَا يَلْزَمُ الْأَبَ ضَمَانُ الصَّدَاقِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَيْهَا، لَمْ يَصِحَّ ضَمَانُهُ عَنْهَا، لِأَنَّ الضَّمَانَ يَصِحُّ فِيمَا كَانَ مَضْمُونَ الْأَصْلِ فَيَقُومُ الضَّامِنُ فِي لُزُومِ الضَّمَانِ مَقَامَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ، وَإِذَا لَمْ يَلْزَمِ الْأَبَ ذَلِكَ الضَّمَانُ فَقَدْ خَالَعَ الزَّوْجَ عَلَى مَا قَدْ فَسَدَ فِيهِ الْخُلْعُ فَلَزِمَهُ الْبَدَلُ وَفِيمَا يَلْزَمُهُ قَوْلَانِ كَمَا لَوْ خُولِعَ عَلَى فَائِتٍ:

Ketiga: Jika ayah berkata, “Ceraikan dia atas maharnya dan aku yang menjaminnya untukmu,” lalu suami menceraikannya atas dasar itu, maka mahar tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan: berupa barang tertentu atau berupa utang (di tanggungan). Jika berupa barang tertentu, maka talak tidak jatuh, karena talak itu dikaitkan dengan kepemilikan barang tersebut, sedangkan barang itu tidak bisa dimiliki dengan jaminan ayah, sehingga talak tidak jatuh karena syaratnya tidak terpenuhi. Jika berupa utang (di tanggungan), maka talaknya jatuh, karena yang dimaksud adalah terbebasnya tanggungan suami dari mahar, dan ayah bisa saja membebaskannya dengan menanggungnya. Namun, khulu‘ ini rusak (tidak sah), karena suami tidak benar-benar bebas dengan ucapan tersebut, dan ayah tidak wajib menanggung mahar, karena mahar itu bukan tanggungan istri, sehingga tidak sah penjaminan ayah atasnya. Penjaminan hanya sah pada sesuatu yang memang menjadi tanggungan pokok, sehingga penjamin menggantikan posisi pihak yang dijamin dalam kewajiban penjaminan. Jika ayah tidak wajib menanggung, maka suami telah melakukan khulu‘ atas sesuatu yang menyebabkan khulu‘ itu rusak, sehingga ia tetap wajib membayar pengganti, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat sebagaimana jika khulu‘ dilakukan atas sesuatu yang tidak ada:

أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: يَلْزَمُهُ مَهْرُ الْمِثْلِ.

Salah satu pendapat: Suami wajib membayar mahar mitsil (mahar yang sepadan).

وَالثَّانِي: مِثْلُ تِلْكَ الْأَلْفِ فَهَذِهِ ثَلَاثُ مَسَائِلَ تَخْتَلِفُ أَجْوِبَتُهَا لِاخْتِلَافِ معانيها.

Pendapat kedua: Suami wajib membayar sejumlah nominal yang disebutkan (misal seribu). Inilah tiga permasalahan yang jawabannya berbeda karena perbedaan maknanya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ أَخَذَ مِنْهَا أَلْفًا عَلَى أَنْ يُطَلِّقَهَا إِلَى شَهْرٍ فَطَلَّقَهَا فَالطَّلَاقُ ثَابِتٌ وَلَهَا الْأَلْفُ وَعَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia mengambil darinya seribu (dirham) dengan syarat akan menceraikannya sampai sebulan, lalu ia menceraikannya, maka talak itu tetap sah, dan baginya (istri) seribu itu, serta atasnya (suami) mahar mitsil (mahar sepadan).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَلَامٌ مُحْتَمَلٌ قَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِهِ وَيَتَضَمَّنُ أَرْبَعَ مَسَائِلَ تَسْتَوْفِي جَمِيعَ تَأْوِيلَاتِهِ:

Al-Mawardi berkata: Ini adalah pernyataan yang mengandung kemungkinan (tafsiran), para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkannya, dan pernyataan ini mencakup empat permasalahan yang merangkum seluruh penafsirannya:

إِحْدَاهُنَّ: أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا أَلْفًا عَلَى أَنْ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ شَهْرٍ، فَهَذَا خُلْعٌ فَاسِدٌ لِمَعْنَيَيْنِ:

Salah satunya: Yaitu ia mengambil darinya seribu (dirham) dengan syarat akan menceraikannya setelah sebulan. Ini adalah khulu‘ yang fasid (rusak/tidak sah) karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ سَلَمٌ فِي طَلَاقٍ وَالسَّلَمُ فِيهِ لَا يَصِحُّ.

Pertama: Karena ini adalah salam (jual beli dengan pembayaran di muka) dalam talak, dan salam dalam hal ini tidak sah.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ عُقِدَ عَلَى غَيْرِ شَرْطٍ فِيهِ التَّأْخِيرُ، وَهَذَا لَا يَصِحُّ، فَإِذَا فَعَلَ هَذَا وَطَلَّقَهَا بَعْدَ شَهْرٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Karena akad ini dilakukan atas syarat yang di dalamnya ada penundaan, dan ini tidak sah. Jika ia melakukan ini dan menceraikannya setelah sebulan, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ رَدِّ الْأَلْفِ عَلَيْهَا بَعْدَ التَّنَازُعِ وَفَسَادِ الْخُلْعِ، وَالْحُكْمُ يَرُدُّ الْأَلْفَ فَالطَّلَاقُ رَجْعِيٌّ، وَلَا شَيْءَ لَهُ، لِأَنَّ الْقَضَاءَ بِرَدِّ الْأَلْفِ يَرْفَعُ حُكْمَ الْعَقْدِ فَصَارَ كَالْمُطَلِّقِ بِغَيْرِ عقد.

Pertama: Ia menceraikannya setelah mengembalikan seribu itu kepadanya (istri) setelah terjadi perselisihan dan rusaknya khulu‘, dan hukum mengembalikan seribu itu, maka talaknya adalah raj‘i (masih bisa rujuk), dan ia (suami) tidak berhak apa-apa, karena keputusan mengembalikan seribu itu membatalkan hukum akad, sehingga menjadi seperti orang yang menceraikan tanpa akad.

والضرب الثاني: أن لا يسترجعَ مِنْهُ الْأَلْفُ، وَلَا يقضي عَلَيْهِ بِرَدِّهَا حَتَّى يُطَلِّقَهَا فَيُنَظَرُ فِي زَمَانِ طَلَاقِهِ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ مُضِيِّ شَهْرٍ فَهُوَ طَلَاقٌ فِي غَيْرِ خُلْعٍ، لِأَنَّ عَقْدَ الْخُلْعِ كَانَ عَلَى إِيقَاعِ الطَّلَاقِ فِيهِ بَعْدَ شَهْرٍ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ رَجْعِيًّا لَا يُسْتَحَقُّ فِيهِ عِوَضٌ، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَعْدَ مُضِيِّ شَهْرٍ، فَهُوَ طَلَاقٌ فِي خُلْعٍ فَاسِدٍ، فَيَكُونُ الطَّلَاقُ بَائِنًا لَا رجعة فيه، لِبَقَاءِ الْعَقْدِ عَلَى فَسَادِهِ، وَيَسْتَحِقُّ فِيهِ الْبَدَلَ، فَعَلَى هَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَصِيرُ الْعِوَضُ بِهَذَا الْفَسَادِ مَجْهُولًا أَمْ لَا؟ .

Keadaan kedua: Tidak diambil kembali darinya seribu itu, dan tidak diputuskan untuk mengembalikannya sampai ia menceraikannya. Maka dilihat pada waktu talaknya, jika terjadi sebelum lewat sebulan, maka itu adalah talak yang bukan dalam khulu‘, karena akad khulu‘ itu disyaratkan untuk menjatuhkan talak setelah sebulan. Maka dalam hal ini talaknya adalah raj‘i dan tidak berhak mendapat kompensasi. Namun jika talak terjadi setelah lewat sebulan, maka itu adalah talak dalam khulu‘ yang fasid, sehingga talaknya menjadi bain (tidak bisa rujuk), karena akad tetap dalam keadaan rusak, dan ia berhak mendapat pengganti (kompensasi). Dalam hal ini para sahabat kami berbeda pendapat, apakah kompensasi karena kerusakan ini menjadi majhul (tidak jelas) atau tidak?

فَقَالَ الْبَغْدَادِيُّونَ: قَدْ أَفْضَى ذَلِكَ إِلَى جَهَالَتِهِ لِأَنَّ الْأَجَلَ الْمَشْرُوطَ فِيهِ يَأْخُذُ مِنْهُ حَظًّا مَجْهُولًا فَصَارَ الْبَاقِي مِنْهُ مَجْهُولًا فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ الْعِوَضَ الْمَجْهُولَ لَا مِثْلَ لَهُ وَلَا قِيمَةَ وَقَالَ الْبَصْرِيُّونَ الْعِوَضُ مَعْلُومٌ لَا جَهَالَةَ فِيهِ لِأَنَّ الطَّلَاقَ قَدْ وَقَعَ فِي أَجَلِهِ الْمَشْرُوطِ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى سُقُوطِه مَا قَابَلَهُ مِنَ الْعِوَضِ فَكَانَ مَعْلُومًا فَعَلَى هَذَا يَكُونُ فِيمَا يَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا قَوْلَانِ:

Golongan Baghdad berkata: Hal itu menyebabkan menjadi tidak jelas, karena waktu yang disyaratkan di dalamnya mengambil bagian yang tidak diketahui, sehingga sisanya menjadi tidak diketahui. Maka dalam hal ini, ia (suami) berhak atas mahar mitsil secara ijma‘, karena kompensasi yang tidak jelas tidak ada bandingannya dan tidak ada nilainya. Sedangkan golongan Basrah berkata: Kompensasi itu diketahui, tidak ada ketidakjelasan di dalamnya, karena talak terjadi pada waktu yang disyaratkan, sehingga tidak perlu menggugurkan kompensasi yang telah diterima. Maka dalam hal ini, ada dua pendapat mengenai apa yang bisa diambil darinya (istri):

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ الْمِثْلِ.

Pertama: Mahar mitsil.

وَالثَّانِي: مِثْلُ الْأَلْفِ.

Kedua: Sejumlah seribu (dirham).

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا أَلْفًا عَلَى أَنْ يُطَلِّقَهَا فِي الْحَالِ طَلَاقًا يَسْتَدِيمُ تَحْرِيمَهُ إِلَى شَهْرٍ، فَإِذَا مَضَى الشَّهْرُ عَادَتْ إِلَى إِبَاحَتِهِ، فَهَذَا فَاسِدٌ، لِمَعْنَيَيْنِ:

Permasalahan kedua: Yaitu ia mengambil darinya seribu (dirham) dengan syarat akan menceraikannya saat itu juga dengan talak yang keharamannya berlangsung sampai sebulan. Setelah sebulan berlalu, ia (istri) kembali halal baginya. Ini fasid (rusak/tidak sah) karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ تَحْرِيمَ الطَّلَاقِ لَا يَتَقَدَّرُ وَزَمَانَهُ لَا يَنْحَصِرُ.

Pertama: Karena keharaman talak tidak dapat dibatasi, dan waktunya tidak dapat ditentukan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْخُلْعَ مَا مَلَكَتْ بِهِ نَفْسَهَا، وَهَذِهِ لَمْ تَمْلِكْ نَفْسَهَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالطَّلَاقُ قَدْ وَقَعَ مُؤَبَّدًا، لِأَنَّ حُكْمَهُ لَا يَتَغَيَّرُ بِالشَّرْطِ، وَهُوَ عَنْ بَدَلٍ فَاسِدٍ.

Kedua: Karena khulu‘ adalah ketika istri memiliki hak atas dirinya sendiri, sedangkan dalam kasus ini ia tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Jika demikian, maka talak jatuh secara mu’abbad (selamanya), karena hukumnya tidak berubah dengan syarat, dan itu atas pengganti yang fasid.

فَعَلَى قَوْلِ الْبَغْدَادِيِّينَ هُوَ مَعَ الْفَسَادِ مَجْهُولٌ، فَيَكُونُ لَهُ مَهْرُ الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا.

Menurut pendapat golongan Baghdad, kompensasi dalam keadaan rusak ini menjadi majhul (tidak jelas), sehingga ia (suami) berhak atas mahar mitsil secara ijma‘.

وَعَلَى قَوْلِ الْبَصْرِيِّينَ هُوَ مَعَ الْفَسَادِ مَعْلُومٌ فَيَكُونُ فِيمَا يَرْجِعُ بِهِ قَوْلَانِ.

Menurut pendapat golongan Basrah, kompensasi dalam keadaan rusak ini diketahui, sehingga ada dua pendapat mengenai apa yang bisa diambil darinya (istri).

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا أَلْفًا عَلَى أَنْ يُطَلِّقَهَا مِنْ وَقْتِهِ إِلَى شَهْرٍ، فَأَيُّ وَقْتٍ طَلَّقَهَا فِيهِ قَبْلَ الشَّهْرِ وَقَعَ طَلَاقُهُ فِي الْخُلْعِ، وَإِنْ طَلَّقَهَا بَعْدَ الشَّهْرِ لَمْ يَكُنْ خُلْعًا فَجَعَلَ الشَّهْرَ أَجَلًا لِصِحَّةِ الْخُلْعِ فِيهِ وَرَفْعًا لَهُ بَعْدَ تَقَضِّيهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Permasalahan ketiga: Yaitu ia mengambil darinya seribu (dirham) dengan syarat akan menceraikannya dari saat itu hingga sebulan. Maka kapan saja ia menceraikannya dalam waktu sebelum sebulan, talaknya jatuh dalam khulu‘. Namun jika ia menceraikannya setelah sebulan, maka itu bukan khulu‘. Ia menjadikan sebulan sebagai batas waktu sahnya khulu‘ dan berakhirnya setelah waktu itu. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْخُلْعَ صَحِيحٌ، لِأَنَّ الْأَجَلَ لَمْ يَدْخُلْ فِي عَقْدِهِ، وَإِنَّمَا دَخَلَ فِي رَفْعِهِ وَأَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى قَوْلِهِ: مَتَى أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا فِي هَذَا الشَّهْرِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَيَكُونُ خُلْعًا جَائِزًا، فَعَلَى هَذَا إِنْ طَلَّقَهَا فِي الشَّهْرِ، فَهُوَ طَلَاقٌ فِي خُلْعٍ صَحِيحٍ يَقَعُ بَائِنًا، وَيَسْتَحِقُّ الْأَلْفَ، وَإِنْ طَلَّقَهَا بَعْدَ الشَّهْرِ فَهُوَ طَلَاقٌ فِي غَيْرِ خُلْعٍ يَقَعُ رَجْعِيًّا، وَلَا شَيْءَ لَهُ.

Salah satu pendapat: Bahwa khulu‘ itu sah, karena penetapan waktu (ajal) tidak masuk dalam akadnya, melainkan hanya masuk dalam pembatalannya. Hal ini serupa dengan ucapan: “Jika engkau memberiku seribu dalam bulan ini, maka engkau tertalak.” Maka ini menjadi khulu‘ yang boleh. Berdasarkan pendapat ini, jika ia mentalaknya dalam bulan tersebut, maka itu adalah talak dalam khulu‘ yang sah dan jatuh sebagai talak bain, serta ia berhak mendapatkan seribu tersebut. Namun jika ia mentalaknya setelah bulan itu, maka itu adalah talak yang bukan dalam khulu‘, sehingga jatuh sebagai talak raj‘i dan ia tidak berhak mendapatkan apa pun.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْخُلْعَ بَاطِلٌ، لِأَنَّ دُخُولَ الْأَجَلِ فِيهِ لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ قَبْلَ انْقِضَائِهِ كَدُخُولِهِ فِيهِ لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ بَعْدَ انْقِضَائِهِ فِي أَنَّهُ مُؤَجَّلٌ غَيْرُ مُطْلَقٍ، فَعَلَى هَذَا، إِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الشَّهْرِ فَهُوَ طَلَاقٌ فِي خُلْعٍ فَاسِدٍ، يَقَعُ بَائِنًا وَيَصِيرُ الْبَدَلُ فِيهِ مَجْهُولًا عَلَى قَوْلِ الْبَغْدَادِيِّينَ وَالْبَصْرِيِّينَ جَمِيعًا، فَيَكُونُ لَهَا الْمِثْلُ قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ طَلَّقَهَا بَعْدَ الشَّهْرِ فَهُوَ طَلَاقٌ فِي غَيْرِ خُلْعٍ يَكُونُ رَجْعِيًّا وَلَا شَيْءَ لَهُ.

Pendapat kedua: Bahwa khulu‘ tersebut batal, karena masuknya penetapan waktu di dalamnya untuk terjadinya talak sebelum berakhirnya waktu, sama seperti masuknya penetapan waktu untuk terjadinya talak setelah berakhirnya waktu, yaitu bahwa akad tersebut menjadi mu‘ajjal (ditangguhkan) dan bukan mutlak. Berdasarkan pendapat ini, jika ia mentalaknya sebelum bulan itu, maka itu adalah talak dalam khulu‘ yang fasid (rusak), jatuh sebagai talak bain dan nilai pengganti (badal) di dalamnya menjadi tidak jelas menurut pendapat ulama Baghdad dan Basrah secara keseluruhan, sehingga yang berlaku baginya adalah mahar mitsil menurut satu pendapat. Jika ia mentalaknya setelah bulan itu, maka itu adalah talak yang bukan dalam khulu‘, sehingga menjadi talak raj‘i dan ia tidak berhak mendapatkan apa pun.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالْمَسْأَلَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا أَلْفًا عَلَى أَنْ يُطَلِّقَهَا فِي الْحَالِ طَلَاقًا تَعَلَّقَ وُقُوعُهُ بِرَأْسِ الشَّهْرِ، فَيَقُولُ: إِذَا جَاءَ رَأْسُ الشَّهْرِ فَأَنْتِ طَالِقٌ عَلَى هَذَا الْأَلْفِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صِحَّةِ هَذَا الْخُلْعِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Permasalahan keempat: Yaitu suami mengambil seribu darinya dengan syarat akan mentalaknya saat itu juga, namun pelaksanaan talaknya dikaitkan dengan awal bulan. Ia berkata: “Jika telah datang awal bulan, maka engkau tertalak atas seribu ini.” Para sahabat kami berbeda pendapat tentang keabsahan khulu‘ seperti ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ خُلْعٌ صَحِيحٌ، لِأَنَّ عَقْدَ الطَّلَاقِ مُعَجَّلٌ، وَإِنْ كَانَ وُقُوعُهُ مُؤَجَّلًا، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ قَبْلَ الشَّهْرِ زَوْجَةً يَسْتَبِيحُ الِاسْتِمْتَاعَ بِهَا، فَإِذَا جَاءَ رَأْسُ الشَّهْرِ، طُلِّقَتْ طَلَاقًا بَائِنًا بِالْعَقْدِ الْمُتَقَدِّمِ، وَاسْتَحَقَّ جَمِيعَ الْأَلْفِ بِصِحَّةِ الْخُلْعِ.

Salah satunya: Bahwa itu adalah khulu‘ yang sah, karena akad talaknya dilakukan segera, meskipun pelaksanaannya ditangguhkan. Berdasarkan pendapat ini, sebelum datang bulan tersebut, ia masih berstatus sebagai istri yang halal untuk dinikmati, dan ketika awal bulan tiba, ia tertalak secara bain berdasarkan akad yang telah dilakukan sebelumnya, dan suami berhak atas seluruh seribu itu karena khulu‘nya sah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّهُ خُلْعٌ فَاسِدٌ لِمَعْنَيَيْنِ:

Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat, bahwa itu adalah khulu‘ yang fasid (rusak) karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُعْتَبَرَ بِالطَّلَاقِ حَالُ وُقُوعِهِ دُونَ عَقْدِهِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ حَلَفَ لَا يُطَلِّقُ امْرَأَةً فَقَالَ لَهَا: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ لَمْ يَحْنَثْ بِقَوْلِهِ، فَإِذَا دَخَلَتِ الدَّارَ حَنِثَ، وَوَقَعَ الطَّلَاقُ مُؤَجَّلًا فَصَارَ طَلَاقًا إِلَى أَجَلٍ.

Salah satunya: Bahwa yang menjadi acuan dalam talak adalah saat terjadinya, bukan saat akadnya. Bukankah engkau melihat, jika seseorang bersumpah tidak akan mentalak seorang wanita, lalu ia berkata kepada wanita itu: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” maka ia tidak melanggar sumpahnya dengan ucapannya itu. Namun jika wanita itu masuk rumah, barulah ia melanggar sumpah dan talaknya terjadi secara mu‘ajjal (tertunda), sehingga menjadi talak yang ditangguhkan hingga waktu tertentu.

وَالْمَعْنَى الثَّانِي: أَنَّهُ يَصِيرُ مَالِكًا لِلْأَلْفِ قَبْلَ أَنْ تَمْلِكَ نَفْسَهَا بِالطَّلَاقِ، فَعَلَى هَذَا إِذَا جَاءَ رَأْسُ الشَّهْرِ طُلِّقَتْ طَلَاقًا بَائِنًا، سَوَاءً قُضِيَ عَلَيْهِ بِرَدِّ الْأَلْفِ أَمْ لَا، لِأَنَّهُ طَلَاقٌ قَدِ انْعَقَدَتْ صِفَتُهُ بِالْبَدَلِ فَلَمْ يَجِدْ سَبِيلًا إِلَى رَدِّهِ فَوَقَعَ، وَالْبَدَلُ فِيهِ مَعْلُومٌ عَلَى قَوْلِ الْبَغْدَادِيِّينَ وَالْبَصْرِيِّينَ فَفِيمَا يَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهِمَا قَوْلَانِ:

Alasan kedua: Bahwa suami menjadi berhak atas seribu itu sebelum istri memiliki dirinya sendiri melalui talak. Berdasarkan hal ini, jika telah datang awal bulan, maka ia tertalak secara bain, baik suami telah diputuskan untuk mengembalikan seribu itu atau tidak, karena talak tersebut telah ditetapkan sifatnya dengan pengganti (badal), sehingga tidak ada jalan untuk mengembalikannya, maka talak pun jatuh. Nilai pengganti (badal) dalam hal ini diketahui menurut pendapat ulama Baghdad dan Basrah, sehingga dalam hal apa yang dapat dikembalikan kepada keduanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ المثل.

Salah satunya: Mahar mitsil.

والثاني: مثل الألف.

Yang kedua: Sejumlah seribu itu.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَتَا طَلِّقْنَا بِأَلْفٍ ثُمَّ ارْتَدَّتَا فَطَلَّقَهُمَا بَعْدَ الرِّدَّةِ وَقَفَ الطَّلَاقُ فَإِنْ رَجَعَتَا فِي الْعِدَّةِ لَزِمَهُمَا وَالْعِدَّةُ مِنْ يَوْمِ الطَّلَاقِ وَإِنْ لَمْ يَرْجِعَا حَتَّى انْقَضَتِ الْعِدَّةُ لَمْ يَلْزَمْهُمَا شَيْءٌ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika dua wanita berkata, ‘Ceraikanlah kami dengan seribu,’ lalu keduanya murtad, kemudian suami menceraikan mereka setelah murtad, maka talak itu tertunda. Jika keduanya kembali (masuk Islam) dalam masa ‘iddah, maka talak itu berlaku atas mereka dan masa ‘iddah dihitung sejak hari talak. Namun jika keduanya tidak kembali hingga masa ‘iddah habis, maka tidak ada kewajiban apa pun atas mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ فَقَالَتَا لَهُ طَلِّقْنَا بِأَلْفٍ، فَمِنْ تَمَامِ هَذَا الطَّلَبِ مِنْهُمَا أَنْ يَكُونَ طَلَاقُهُ عَلَى الْفَوْرِ جَوَابًا لَهُمَا، لِأَنَّهَا إِجَابَةٌ يُرَاعَى فِيهَا على الْفَوْر، وَإِنْ لَمْ يُطَلِّقْهُمَا حَتَّى تَرَاخَى الزَّمَانُ، بَطَلَ حُكْمُ الطَّلَبِ، وَصَارَ مُبْتَدِئًا بِالطَّلَاقِ مِنْ غَيْرِ طَلَبٍ تَقَدَّمَ، فَإِنْ لَمْ يَشْرُطْ فِيهِ الْعِوَضَ بَلْ قَالَ: أَنْتُمَا طَالِقَتَانِ وَقَعَ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا سَوَاءً قَبِلَتَاهُ أَمْ لَا، وَسَوَاءً بَذَلَتَا عَلَيْهِ عِوَضًا أَمْ لَا، لِأَنَّهُ طَلَاقٌ مُجَرَّدٌ عَنْ غَيْرِ عِوَضٍ فِيهِ، أَوْ طَلَبٍ تَقَدَّمَهُ، وَيَكُونُ مَا بَذَلَتَاهُ مِنَ الْعِوَضِ بَعْدَهُ هِبَةً مِنْهُمَا يُرَاعَى فِيهما حُكْمُ الْهِبَاتِ وَلَا يَرْتَفِعُ بِهَا الرَّجْعَةُ، وَإِنْ شَرَطَ فِيهِ الْعِوَضَ فَقَالَ: أَنْتُمَا طَالِقَتَانِ عَلَى أَلْفٍ فَإِنْ قَبِلَتَا ذَلِكَ مِنْهُ فِي الْحَالِ وَقَعَ الطَّلَاقُ بَائِنًا بِالْبَذْلِ وَالْقَبُولِ، فَاسْتَحَقَّ فِيهِ الْبَدَلَ، وَإِنْ لَمْ يَقْبَلَاهُ لَمْ يَقَعْ، لِأَنَّهُ مُقَيَّدٌ بِشَرْطٍ لَمْ يُوجَدْ، فَإِذَا ثَبَتَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ وَسَأَلَتَاهُ أَنْ يُطَلِّقَهُمَا عَلَى الْأَلْفِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika seseorang memiliki dua istri lalu keduanya berkata kepadanya, “Ceraikan kami dengan imbalan seribu,” maka kesempurnaan permintaan dari keduanya itu adalah bahwa talak yang dijatuhkan harus segera sebagai jawaban atas permintaan mereka, karena ini adalah jawaban yang harus dilakukan secara langsung. Jika ia tidak menceraikan keduanya hingga waktu berlalu, maka gugurlah hukum permintaan tersebut, dan ia menjadi memulai talak tanpa ada permintaan sebelumnya. Jika ia tidak mensyaratkan imbalan dalam talak itu, melainkan hanya berkata, “Kalian berdua aku ceraikan,” maka talak jatuh sebagai talak raj‘i, baik keduanya menerima atau tidak, dan baik keduanya memberikan imbalan atau tidak, karena itu adalah talak murni tanpa imbalan di dalamnya, atau tanpa permintaan sebelumnya. Apa yang diberikan keduanya sebagai imbalan setelah itu dianggap sebagai hibah dari mereka berdua yang berlaku hukum hibah padanya, dan tidak menghilangkan hak rujuk. Jika ia mensyaratkan imbalan dalam talak itu, lalu berkata, “Kalian berdua aku ceraikan dengan imbalan seribu,” maka jika keduanya menerima hal itu darinya saat itu juga, maka talak jatuh sebagai talak bain dengan adanya pemberian dan penerimaan, sehingga ia berhak atas imbalan tersebut. Namun jika keduanya tidak menerimanya, maka talak tidak jatuh, karena talak itu terikat dengan syarat yang belum terpenuhi. Jika telah tetap penjelasan ini, dan keduanya meminta agar ia menceraikan mereka dengan imbalan seribu, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُطَلِّقَهُمَا مَعًا فِي الْحَالِ فَقَدْ أَجَابَهُمَا إِلَى مَا سَأَلَتَاهُ وَوَقَعَ طَلَاقُهُمَا بَائِنًا ثُمَّ لَا تَخْلُو حَالُهُمَا فِي الْأَلْفِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يُبَيِّنَا مَا عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِنَ الْأَلْفِ، وَإِمَّا أَنْ يُطْلِقَاهُ، فَإِنْ بَيَّنَتَاهُ مِنْ تساوٍ أَوْ تَفَاضُلٍ فَجَعَلَتَا الْأَلْفَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ أَوِ الْتَزَمَتْ مِنَ الْأَلْفِ بِمِائَةٍ وَالْأُخْرَى تِسْعِمِائَةٍ صَحَّ الْعِوَضُ، وَلَزِمَ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مَا سَمَّتْهُ مِنَ الْأَلْفِ، وَإِنْ أَطْلَقَتَا الْأَلْفَ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يُفَصِّلَا مَا يَخُصُّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا فَفِيهِ قَوْلَانِ كَمَنْ أَصْدَقَ زَوْجَتَيْنِ أَلْفًا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ، وَلَمْ يفصل مهر كل احدة مِنَ الْأَلْفِ:

Pertama: Ia menceraikan keduanya sekaligus saat itu juga, maka ia telah memenuhi permintaan keduanya dan talak keduanya jatuh sebagai talak bain. Kemudian, keadaan keduanya dalam hal seribu itu tidak lepas dari dua kemungkinan: Pertama, keduanya menjelaskan bagian masing-masing dari seribu itu, atau kedua, keduanya membiarkannya tanpa penjelasan. Jika keduanya menjelaskan, baik dengan pembagian yang sama atau berbeda—misalnya keduanya membagi seribu menjadi dua bagian sama rata, atau salah satu mengambil seratus dan yang lain sembilan ratus—maka imbalan itu sah, dan masing-masing wajib membayar bagian yang telah disebutkan dari seribu itu. Namun jika keduanya membiarkan seribu itu tanpa penjelasan mengenai bagian masing-masing, maka ada dua pendapat, seperti halnya seseorang yang memberikan mahar seribu kepada dua istrinya dalam satu akad, namun tidak merinci mahar masing-masing dari seribu itu:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْخُلْعَ بِالْأَلْفِ بَاطِلٌ، إِذَا قِيلَ: إِنَّ الصَّدَاقَ بَاطِلٌ، لِأَنَّ قِسْطَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِنَ الْأَلْفِ مَجْهُولٌ، فَيَكُونُ لَهُ عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا فِي الْخُلْعِ مَهْرُ مِثْلِهَا كَمَا كَانَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا عَلَيْهِ فِي الصَّدَاقِ مَهْرُ مِثْلِهَا.

Salah satunya: Bahwa khulu‘ dengan seribu itu batal, jika dikatakan bahwa mahar tersebut batal, karena bagian masing-masing dari seribu itu tidak diketahui, sehingga ia berhak atas mahar mitsil dari masing-masing dalam khulu‘, sebagaimana masing-masing dari mereka berhak atas mahar mitsil dalam mahar.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْخُلْعَ بِالْأَلْفِ صَحِيحٌ، وَإِذَا قِيلَ: إِنَّ الصَّدَاقَ صَحِيحٌ، لِأَنَّ مَا جَمَعَتْهُ الصَّفْقَةُ مِنَ الْأَعْيَانِ الْمُخْتَلِفَةِ، يَسْقُطُ الْبَدَلُ فِيهِ عَلَى الْقِيَمِ كمن اشترى عبدين بألف فعلى هذا يسقط الْأَلْفَ بَيْنَهُمَا فِي الْخُلْعِ عَلَى مُهُورِ أَمْثَالِهِمَا فَيَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِنَ الْأَلْفِ قِسْطُهَا مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، كَمَا قُسِّطَتِ الْأَلْفُ بَيْنَهُمَا فِي الصَّدَاقِ عَلَى مُهُورِ أَمْثَالِهِمَا، فَكَانَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِنَ الْأَلْفِ بِقِسْطِهَا مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ.

Pendapat kedua: Bahwa khulu‘ dengan seribu itu sah, jika dikatakan bahwa mahar tersebut sah, karena apa yang dihimpun oleh satu transaksi dari beberapa barang yang berbeda, maka imbalan di dalamnya dibagi berdasarkan nilai, seperti seseorang membeli dua budak dengan seribu. Maka berdasarkan ini, seribu itu dibagi di antara keduanya dalam khulu‘ berdasarkan mahar mitsil mereka, sehingga masing-masing dari keduanya wajib membayar bagian dari seribu sesuai dengan bagian mahar mitsilnya, sebagaimana seribu itu dibagi di antara mereka dalam mahar berdasarkan mahar mitsil mereka, sehingga masing-masing dari mereka mendapat bagian dari seribu sesuai dengan bagian mahar mitsilnya.

وَمِثَالُ ذَلِكَ: أَنْ يَكُونَ مَهْرُ مِثْلِ إحداهما ألف، وَمَهْرُ الْأُخْرَى خَمْسَمِائَةٍ، فَتَكُونُ الْأَلْفُ بَيْنَهُمَا أَثْلَاثًا يخص التي مهر مثلها ألف ثلثا الألف، وَالَّتِي مَهْرُ مِثْلِهَا خَمْسُمِائَةٍ ثُلُثُ الْأَلْفِ فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ إِذَا طَلَّقَهُمَا فِي الْحَالِ.

Contohnya: Jika mahar mitsil salah satunya adalah seribu, dan mahar mitsil yang lain lima ratus, maka seribu itu dibagi di antara mereka menjadi tiga bagian; yang mahar mitsilnya seribu mendapat dua pertiga dari seribu, dan yang mahar mitsilnya lima ratus mendapat sepertiga dari seribu. Inilah hukum bagian pertama jika ia menceraikan keduanya saat itu juga.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُطَلِّقَ إِحْدَاهُمَا فِي الْحَالِ، دُونَ الْأُخْرَى فَقَدْ طُلِّقَتْ بَائِنًا، وَعَلَيْهَا مِنَ الْأَلْفِ إِنْ سَمَّتْ شَيْئًا مَا سَمَّتْهُ وَإِنْ لَمْ تُسَمِّ شَيْئًا كَانَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ:

Bagian kedua: Ia menceraikan salah satunya saat itu juga, tanpa yang lain, maka yang diceraikan jatuh talak bain, dan ia wajib membayar dari seribu itu, jika telah disebutkan jumlah tertentu, maka ia wajib membayar apa yang telah disebutkan; dan jika tidak disebutkan, maka kembali kepada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ مِثْلِهَا.

Salah satunya: Mahar mitsilnya.

وَالثَّانِي: بِقِسْطِهِ مِنَ الْأَلْفِ.

Dan yang kedua: Bagian dari seribu itu.

فَأَمَّا الْأُخْرَى فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهَا وَلَا شَيْءَ لَهُ.

Adapun yang lainnya, maka tidak jatuh talak atasnya dan tidak ada sesuatu pun baginya.

والقسم الثالث: أن لا يطلقهما فِي الْحَالِ فَلَا طَلَاقَ وَلَا عِوَضَ، فَإِنِ اسْتَأْنَفَ طَلَاقًا كَانَ كَالْمُبْتَدِئِ فَيَكُونُ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ.

Bagian ketiga: yaitu tidak menjatuhkan talak kepada keduanya pada saat itu, maka tidak terjadi talak dan tidak ada pengganti (iwad). Jika kemudian ia memulai talak, maka hukumnya seperti orang yang memulai dari awal, sehingga berlaku sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَمَسْأَلَةُ الْكِتَابِ أَنْ يُطَلِّقَهُمَا بِالْأَلْفِ بَعْدَ مَسْأَلَتِهِمَا، وَيَكُونَ مِنْهُمَا بَعْدَ الْمَسْأَلَةِ ارْتِدَادٌ عَنِ الْإِسْلَامِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Setelah apa yang kami jelaskan menjadi jelas, maka permasalahan dalam kitab ini adalah bahwa ia menceraikan keduanya dengan seribu (dirham) setelah keduanya meminta, lalu setelah permintaan itu, keduanya murtad dari Islam. Maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ رِدَّتُهُمَا بَعْدَ الطَّلَاقِ فَقَدْ وَقَعَ الطَّلَاقُ نَاجِزًا بِالْبَدَلِ الْمُسَمَّى عَلَى مَا مَضَى وَمَا حَدَثَ مِنْ رِدَّتِهِمَا بَعْدَ وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهِمَا غَيْرُ مُؤَثِّرٍ فِيهِ، وَعِدَّتُهُمَا مِنْ وَقْتِ الطَّلَاقِ.

Pertama: jika kemurtadan keduanya terjadi setelah talak, maka talak telah jatuh secara langsung dengan pengganti (iwad) yang telah disebutkan sebagaimana yang telah lalu, dan apa yang terjadi berupa kemurtadan keduanya setelah jatuhnya talak atas mereka tidak berpengaruh terhadapnya, dan masa iddah keduanya dihitung sejak waktu talak.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَرْتَدَّا عَنِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ سُؤَالِهِمَا فِي الْحَالِ، وَقَبْلَ الطَّلَاقِ فَيُطَلِّقَهُمَا الزَّوْجُ فِي الْحَالِ بَعْدَ الرِّدَّةِ مِنْ غَيْرِ تَرَاخٍ لِسُؤَالِهِمَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Keadaan kedua: jika keduanya murtad dari Islam setelah permintaan mereka pada saat itu, dan sebelum talak, lalu suami menceraikan keduanya pada saat itu setelah kemurtadan, tanpa ada jeda dari permintaan mereka, maka ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الزَّوْجَتَانِ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهِمَا، فَقَدْ بَانَتَا بِالرِّدَّةِ وَالطَّلَاقُ بَعْدَهَا غَيْرُ وَاقِعٍ عَلَيْهِمَا، فَلَا يَلْزَمُهُمَا شَيْءٌ أَقَامَتَا عَلَى الرِّدَّةِ أَوْ عَادَتَا إِلَى الْإِسْلَامِ، لِأَنَّ غَيْرَ الْمَدْخُولِ بِهَا تَبِينُ بِالرِّدَّةِ فِي الْحَالِ.

Pertama: jika kedua istri belum pernah digauli, maka keduanya telah berpisah karena kemurtadan, dan talak setelahnya tidak jatuh atas keduanya. Maka tidak ada kewajiban apa pun atas keduanya, baik mereka tetap dalam kemurtadan atau kembali kepada Islam, karena istri yang belum digauli berpisah dengan kemurtadan pada saat itu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَا مَدْخُولًا بِهِمَا بوُقُوع الطَّلَاقِ عَلَيْهِمَا مَوْقُوفٌ عَلَى مَا يَكُونُ مِنْ إِسْلَامِهِمَا فِي الْعِدَّةِ، وَلِأَنَّ نِكَاحَ الْمُرْتَدَّةِ مَوْقُوفٌ عَلَى إِسْلَامِهَا فِي الْعِدَّةِ، وَإِذَا كان كذلك فهما ثلاثة أحوال:

Keadaan kedua: jika keduanya telah digauli, maka jatuhnya talak atas keduanya tergantung pada apakah mereka masuk Islam dalam masa iddah atau tidak. Karena pernikahan wanita murtad tergantung pada keislamannya dalam masa iddah. Jika demikian, maka ada tiga keadaan:

أحدها: أَنْ يُسْلِمَا مَعًا قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهِمَا فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ عَلَيْهِمَا، لِأَنَّ الْإِسْلَامَ فِي الْعِدَّةِ قَدْ رَفَعَ سَابِقَ الرِّدَّةِ، وَصَادَفَ الطَّلَاقُ نِكَاحًا ثَابِتًا فَوَقَعَ بَائِنًا، وَكَانَ لَهُ عَلَيْهِمَا الْأَلْفُ عَلَى مَا تَقَدَّمَ بَيَانُهُ.

Pertama: jika keduanya masuk Islam bersama-sama sebelum habis masa iddah mereka, maka talak jatuh atas keduanya, karena keislaman dalam masa iddah telah menghapus kemurtadan sebelumnya, dan talak terjadi pada pernikahan yang masih sah sehingga jatuh talak bain, dan suami berhak atas seribu (dirham) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَأَخَّرَ إِسْلَامُهُمَا مِنَ الرِّدَّةِ حَتَّى تَنْقَضِيَ الْعِدَّةُ، فَالطَّلَاقُ غَيْرُ وَاقِعٍ لِارْتِفَاعِ النِّكَاحِ بِالرِّدَّةِ، فَصَادَفَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ غَيْرَ زَوْجَةٍ، فَلَمْ يَقَعْ، وَإِذَا لَمْ يَقَعْ فَالْأَلْفُ مَرْدُودَةٌ عَلَيْهِمَا.

Keadaan kedua: jika keislaman keduanya setelah kemurtadan tertunda hingga masa iddah habis, maka talak tidak jatuh karena pernikahan telah batal dengan kemurtadan, sehingga talak terjadi pada wanita yang bukan lagi istri, maka talak tidak jatuh, dan jika talak tidak jatuh maka seribu (dirham) dikembalikan kepada keduanya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تُسْلِمَ إِحْدَاهُمَا قَبْلَ الْعِدَّةِ، وَتُقِيمَ الْأُخْرَى عَلَى رِدَّتِهَا إِلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَالَّتِي أَسْلَمَتْ قَبْلَ الْعِدَّةِ يَقَعُ الطَّلَاقُ بَائِنًا عَلَيْهَا وَيَلْزَمُهَا مِنَ الْأَلْفِ مَا بَيَّنَّاهُ إِنْ سَمَّتْ مِنْهَا قَدْرًا لَزِمَهَا الْمُسَمَّى، وَإِنْ لَمْ تُسَمِّ مِنْهَا شَيْئًا فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ:

Keadaan ketiga: jika salah satu dari keduanya masuk Islam sebelum habis masa iddah, dan yang lainnya tetap dalam kemurtadannya hingga masa iddah habis, maka yang masuk Islam sebelum habis masa iddah jatuh talak bain atasnya dan ia wajib membayar bagian dari seribu (dirham) sebagaimana telah dijelaskan; jika ia telah menentukan jumlah tertentu maka ia wajib membayar yang telah disebutkan, dan jika tidak menentukan jumlah maka berlaku dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: قِسْطُ مَهْرِ مِثْلِهَا مِنَ الْأَلْفِ.

Pertama: bagian mahar mitsilnya dari seribu (dirham).

وَالثَّانِي: مَهْرُ مِثْلِهَا، وَتَكُونُ عِدَّتُهَا مِنْ وَقْتِ الطَّلَاقِ.

Kedua: mahar mitsilnya, dan masa iddahnya dihitung sejak waktu talak.

فَأَمَّا الْمُقِيمَةُ عَلَى الرِّدَّةِ إِلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهَا، وَلَا شَيْءَ لَهُ، وَعِدَّتُهَا مِنْ وَقْتِ الردة، فلو اختلفا مَعَ الزَّوْجِ فِي إِسْلَامِهِمَا مِنَ الرِّدَّةِ هَلْ كَانَ قَبْلَ الْعِدَّةِ أَوْ بَعْدَهَا؟ فَادَّعَاهُ الزَّوْجُ قَبْلَ الْعِدَّةِ لِيَقَعَ طَلَاقُهُ، وَيَسْتَحِقَّ الْأَلْفَ، وَادَّعَتَاهُ بَعْدَ الْعِدَّةِ إِنْكَارًا لِطَلَاقِهِ وَاسْتِحْقَاقِ الْأَلْفِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُمَا مَعَ أَيْمَانِهِمَا، وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِمَا، لِأَنَّ الْإِسْلَامَ وَالْعِدَّةَ مِنْهُمَا، فَكَانَ الْمَرْجُوعُ فِيهِمَا إِلَى قولهما والله أعلم.

Adapun yang tetap dalam kemurtadan hingga habis masa iddah, maka tidak jatuh talak atasnya dan tidak ada sesuatu pun baginya, dan masa iddahnya dihitung sejak waktu kemurtadan. Jika terjadi perselisihan antara keduanya dengan suami tentang keislaman mereka dari kemurtadan, apakah sebelum masa iddah atau setelahnya, lalu suami mengklaim bahwa keislaman itu sebelum masa iddah agar talaknya jatuh dan ia berhak atas seribu (dirham), sedangkan keduanya mengklaim setelah masa iddah sebagai penolakan atas talak dan hak suami atas seribu (dirham), maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan keduanya dengan sumpah mereka, dan tidak ada kewajiban apa pun atas keduanya, karena keislaman dan masa iddah berasal dari mereka, maka yang dijadikan rujukan dalam hal ini adalah ucapan mereka. Wallahu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لَهُمَا أَنْتُمَا طَالِقَتَانِ إِنْ شِئْتُمَا بِأَلْفٍ لَمْ يُطَلَّقَا وَلَا وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا حَتَّى يَشَاءَا مَعًا فِي وَقْتِ الْخِيَارِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia berkata kepada keduanya: ‘Kalian berdua tertalak jika kalian menghendaki dengan imbalan seribu (dirham),’ maka keduanya tidak tertalak dan tidak satu pun dari mereka tertalak sampai keduanya sama-sama menghendaki pada waktu pilihan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِزَوْجَتَيْهِ: أَنْتُمَا طَالِقَتَانِ عَلَى إِنْ شِئْتُمَا، كَانَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ عَلَيْهِمَا مُعَلَّقًا بِوُجُودِ الْمَشِيئَةِ مِنْهُمَا، وَمَشِيئَتُهُمَا مُعْتَبَرَةٌ عَلَى الْفَوْرِ فِي وَقْتِ الْخِيَارِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan, apabila seorang laki-laki berkata kepada dua istrinya: “Kalian berdua tertalak jika kalian berdua menghendaki,” maka jatuhnya talak atas keduanya tergantung pada adanya kehendak dari keduanya, dan kehendak mereka berdua dianggap harus segera dilakukan pada waktu pilihan, sebagaimana telah dijelaskan dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: خِيَارُ الْقَبُولِ.

Salah satunya: Pilihan untuk menerima.

وَالثَّانِي: خِيَارُ الْجَوَابِ.

Dan yang kedua: Pilihan untuk menjawab.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ يَسِيرِ الْمُهْلَةِ الْمُعْتَبَرَةِ بالعرف، وإذا كان كذلك فلها ثلاثة أحوال:

Perbedaan antara keduanya adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan, yaitu adanya tenggang waktu singkat yang diakui menurut ‘urf (kebiasaan). Jika demikian, maka ada tiga keadaan:

أحدهما: أَنْ يَشَاءَا مَعًا فِي الْحَالِ، فَقَدْ وَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهِمَا، وَصَارَ الْخُلْعُ لَازِمًا لَهُمَا، لِأَنَّ الْمَشِيئَةَ وَإِنْ كَانَتْ صِفَةً لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ فَهِيَ قَبُولٌ لِلْخُلْعِ فَلَا يُحْتَاجُ مَعَهَا إِلَى تَصْرِيحٍ بِالْقَبُولِ، وَإِذَا صَحَّ الْخُلْعُ بِالْمَشِيئَةِ وَلَزِمَ فَفِيمَا يَلْزَمُهُمَا مِنَ الْعِوَضِ قَوْلَانِ:

Pertama: Jika keduanya sama-sama menghendaki pada saat itu juga, maka talak jatuh atas keduanya, dan khulu‘ menjadi wajib bagi mereka berdua. Karena kehendak, meskipun merupakan sifat yang menyebabkan jatuhnya talak, ia juga merupakan bentuk penerimaan terhadap khulu‘, sehingga tidak diperlukan lagi pernyataan penerimaan secara eksplisit. Jika khulu‘ sah dengan adanya kehendak dan menjadi wajib, maka terkait kewajiban membayar ‘iwadh (tebusan) atas mereka berdua terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: الْأَلْفُ مُقَسَّطَةٌ بَيْنَهُمَا عَلَى قَدْرِ مُهُورِ أَمْثَالِهِمَا.

Salah satunya: Seribu (uang tebusan) dibagi antara keduanya sesuai kadar mahar wanita sejenis mereka.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تَسْقُطُ الْأَلْفُ، وَيَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مَهْرُ مثلها.

Pendapat kedua: Seribu (uang tebusan) gugur, dan masing-masing dari mereka wajib membayar mahar setara dirinya.

والحال الثانية: أن لا يَشَاءَا أَوْ لَا وَاحِدَةَ مِنْهُمَا فَلَا طَلَاقَ وَلَا خُلْعَ، لِأَنَّ صِفَةَ الطَّلَاقِ لَمْ تُوجَدْ فَلَوْ تَمَادَى بِهِمَا زَمَانُ الْمَشِيئَةِ ثُمَّ شَاءَتَا من بعد لم يؤثر مَشِيئَتُهُمَا لِاسْتِحْقَاقِهَا عَلَى الْفَوْرِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Keadaan kedua: Jika keduanya tidak menghendaki, atau tidak satu pun dari mereka yang menghendaki, maka tidak terjadi talak dan tidak pula khulu‘, karena sifat talak tidak terpenuhi. Jika masa kehendak telah berlalu dan kemudian keduanya baru menghendaki setelahnya, maka kehendak mereka tidak berpengaruh, karena kehendak itu harus dilakukan segera, dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: مَا فِيهَا مِنْ قَبُولِ الْعَقْدِ.

Pertama: Karena di dalamnya terdapat penerimaan terhadap akad.

وَالثَّانِي: مَا فِيهَا مِنْ قَبُولِ التَّمْلِيكِ فَصَارَتِ الْمَشِيئَةُ وَاقِعَةً فِي غَيْرِ مَوْضِعِهَا شَرْعًا فَجَرَتْ مَجْرَى وُقُوعِهَا فِي مَوْضِعِهَا شَرْطًا.

Kedua: Karena di dalamnya terdapat penerimaan terhadap kepemilikan, sehingga kehendak itu terjadi di luar tempatnya secara syar‘i, dan berlaku sebagaimana kehendak yang terjadi pada tempatnya sebagai syarat.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَشَاءَ إِحْدَاهُمَا دُونَ الْأُخْرَى فَلَا طَلَاقَ عَلَى وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّ شَرْطَ الطَّلَاقِ وُجُودُ الْمَشِيئَةِ مِنْهُمَا، فَإِذَا وُجِدَتْ مِنْ إِحْدَاهُمَا لَمْ تَكْمُلِ الصِّفَة فَلَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ، وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ زَيْدٌ وَعَمْرٌو، فَشَاءَ أَحَدُهُمَا لَمْ تُطَلَّقْ.

Keadaan ketiga: Jika salah satu dari mereka menghendaki tanpa yang lain, maka tidak terjadi talak atas salah satu dari mereka, karena syarat talak adalah adanya kehendak dari keduanya. Jika hanya ada dari salah satu, maka sifatnya belum sempurna, sehingga talak tidak jatuh. Hal ini seperti ucapan: “Engkau tertalak jika Zaid dan ‘Amr menghendaki,” lalu hanya salah satu dari mereka yang menghendaki, maka tidak terjadi talak.

فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ لَوْ قَالَ لَهُمَا أَنْتُمَا طَالِقَتَانِ عَلَى أَلْفٍ فَقَبِلَتْ إِحْدَاهُمَا دُونَ الْأُخْرَى طُلِّقَتِ الْقَابِلَةُ وَلَمْ تُطَلَّقِ الْأُخْرَى فَهَلَّا طُلِّقَتِ الَّتِي شَاءَتْ وَلَمْ تُطَلَّقِ الْأُخْرَى

Jika dikatakan: Bukankah jika ia berkata kepada keduanya, “Kalian berdua tertalak dengan tebusan seribu,” lalu salah satu menerima dan yang lain tidak, maka yang menerima tertalak dan yang lain tidak? Lalu mengapa yang menghendaki tidak tertalak dan yang lain tidak?

قِيلَ: لِأَنَّهُ جَعَلَ مَشِيئَتَهُمَا شَرْطًا فَلَمْ يُوجَدْ بِمَشِيئَةِ إِحْدَاهُمَا فَلَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا طَلَّقَهُمَا بِأَلْفٍ فَقَبِلَتْ إِحْدَاهُمَا، لِأَنَّهُ لَمْ يَجْعَلْ ذَلِكَ صِفَةً لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ وَلَا اجْتِمَاعُ قَبُولِ الْمُشْتَرِكِينَ فِي الْعَقْدِ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهِ، بَلْ قَبُولُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُعْتَبَرٌ فِي حَقِّ نَفْسِهِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ لِرَجُلَيْنِ: قَدْ بِعْتُكُمَا عَبْدِي بِأَلْفٍ فَقَبِلَ أَحَدُهُمَا دُونَ الْآخَرِ لَزِمَ الْقَابِلَ ابْتِيَاعُ نِصْفِ الْعَبْدِ بِنِصْفِ الْأَلْفِ، وَإِنْ لَمْ يَلْزَمِ ابْتِيَاعُ نِصْفِهِ الْآخَرَ.

Dijawab: Karena ia menjadikan kehendak keduanya sebagai syarat, maka tidak terpenuhi dengan kehendak salah satu saja, sehingga tidak ada satu pun yang tertalak. Tidak demikian halnya jika ia menalak keduanya dengan tebusan seribu lalu salah satu menerima, karena ia tidak menjadikan hal itu sebagai sifat jatuhnya talak, dan tidak pula menjadikan penerimaan bersama para pihak dalam akad sebagai syarat sahnya, melainkan penerimaan masing-masing dianggap untuk dirinya sendiri. Bukankah jika ia berkata kepada dua laki-laki: “Aku telah menjual budakku kepada kalian berdua dengan seribu,” lalu salah satu menerima dan yang lain tidak, maka yang menerima wajib membeli setengah budak dengan setengah seribu, dan yang lain tidak wajib membeli setengahnya.

فَلَوْ قَالَتِ الزَّوْجَتَانِ فِي الْحَالِ: قَدْ شِئْنَا فَكَذَّبَهُمَا فِي الْمَشِيئَةِ، وَقَعَ الطَّلَاقُ مَعَ تَكْذِيبِهِ لَهُمَا.

Jika kedua istri berkata pada saat itu: “Kami telah menghendaki,” lalu suami mendustakan mereka dalam kehendak itu, maka talak tetap jatuh meskipun ia mendustakan mereka.

فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ لَوْ قَالَ لَهُمَا: إِذَا حِضْتُمَا فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ.

Jika dikatakan: Bukankah jika ia berkata kepada keduanya: “Jika kalian berdua haid, maka kalian berdua tertalak.”

فَقَالَتَا: قَدْ حِضْنَا، فَكَذَّبَهُمَا لَمْ يَقطعِ الطَّلَاقُ فَمَا الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا.

Lalu keduanya berkata: “Kami telah haid,” kemudian suami mendustakan mereka, maka talak tidak langsung jatuh. Apa perbedaan antara keduanya?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ مَشِيئَتَهُمَا إِنَّمَا هِيَ وُجُودُ الْقَوْلِ مِنْهُمَا، وَقَدْ وُجِدَ مَعَ التَّكْذِيبِ فَوَقَعَ الطَّلَاقُ، وَلَا يَكُونُ حَيْضُهَا وُجُودَ الْقَوْلِ مِنْهُمَا فإذا أكذبهما فيه لم يَعْلَمْ وَجُودَهُ فَلَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ.

Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa kehendak mereka berdua hanyalah berupa adanya ucapan dari mereka, dan itu telah terjadi meskipun didustakan, sehingga talak jatuh. Sedangkan haid bukanlah berupa ucapan dari mereka, sehingga jika suami mendustakan mereka dalam hal itu, maka tidak diketahui terjadinya haid, sehingga talak tidak jatuh.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَلَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا مَحْجُورًا عَلَيْهَا وَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهِمَا وَطَلَاقُ غَيْرِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهَا بَائِنٌ وَعَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَلَا شَيْءَ عَلَى الْأُخْرَى وَيَمْلِكُ رجعتها (قال المزني) رحمه الله تعالى هذا عندي يَقْضِي عَلَى فَسَادِ تَجْوِيزِهِ مَهْرَ أَرْبَعٍ فِي عُقْدَةٍ بِأَلْفٍ لِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ مَهْرِ أَرْبَعٍ فِي عُقْدَةٍ بِأَلْفٍ وَخُلْعِ أَرْبَعٍ فِي عقدة بألف فإذا أفسده في إحداهما للجهل بما يصيب كل واحدة منهن فسد في الأخرى ولكل واحدة منهن وعليها مَهْرِ مِثْلِهَا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika salah satu dari keduanya berada dalam status mahjur (dilarang bertindak hukum), maka talak jatuh pada keduanya. Talak atas yang tidak mahjur adalah talak bain, dan ia berhak atas mahar mitsil (mahar sepadan), sedangkan yang mahjur tidak ada kewajiban apa pun atasnya, dan suami berhak merujukinya.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah, “Menurutku, ini menunjukkan rusaknya pendapat yang membolehkan mahar empat perempuan dalam satu akad dengan seribu (dirham), karena tidak ada perbedaan antara mahar empat perempuan dalam satu akad dengan seribu dan khulu‘ empat perempuan dalam satu akad dengan seribu. Jika dianggap rusak pada salah satunya karena ketidaktahuan bagian masing-masing, maka rusak pula pada yang lainnya, dan masing-masing dari mereka berhak atas mahar mitsilnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ يقول لزوجته، وَإِحْدَاهُمَا مَحْجُورٌ عَلَيْهَا: أَنْتُمَا طَالِقَتَانِ عَلَى الْأَلْفِ إِنْ شِئْتُمَا فَشَاءَتَا مَعًا، طُلِّقَتَا، لِأَنَّهُ عَلَّقَ طَلَاقَهُمَا بِوُجُودِ مَشِيئَتَيْنِ، وَقَدْ وُجِدَتَا، فَأَوْجَبَ ذَلِكَ وُقُوعَ طَلَاقِهِمَا، وَيَكُونُ طَلَاقُ غَيْرِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهَا بَائِنًا، وَفِيمَا يَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهَا قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: “Gambaran kasusnya adalah pada seorang laki-laki yang berkata kepada kedua istrinya, dan salah satunya mahjur: ‘Kalian berdua tertalak atas seribu (dirham) jika kalian berdua menghendaki.’ Lalu keduanya menghendaki secara bersamaan, maka keduanya tertalak, karena ia menggantungkan talak mereka berdua pada adanya dua kehendak, dan keduanya telah terjadi, sehingga menyebabkan jatuhnya talak atas keduanya. Talak atas yang tidak mahjur adalah talak bain, dan mengenai apa yang berhak ia terima, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ الْمِثْلِ.

Pertama: mahar mitsil (mahar sepadan).

وَالثَّانِي: بِقِسْطِ مَهْرِ مِثْلِهَا مِنَ الْأَلْفِ.

Kedua: bagian mahar mitsilnya dari seribu (dirham).

فَأَمَّا طَلَاقُ الْمَحْجُورِ عَلَيْهَا فَيَكُونُ رَجْعِيًّا، لِأَنَّ الْخُلْعَ عَقْدٌ يَصِحُّ مَعَ الْحَجْرِ.

Adapun talak atas yang mahjur, maka itu adalah talak raj‘i, karena khulu‘ adalah akad yang sah meski dalam keadaan mahjur.

فَإِنْ قِيلَ: فإذا لم يصح خلعها فينبغي أن لا تَصِحَّ مَشِيئَتُهَا.

Jika dikatakan: Jika khulu‘nya tidak sah, maka seharusnya kehendaknya juga tidak sah.

قِيلَ: الْمُعْتَبَرُ فِي الْمَشِيئَةِ التَّمْيِيزُ وَفِي الْخُلْعِ جَوَازُ التَّصَرُّفِ، وَلِلْمَحْجُورِ عَلَيْهَا تَمْيِيزٌ فَصَحَّتْ مَشِيئَتُهَا، وَلَا يَجُوزُ تَصَرُّفُهَا فَلَمْ يَصِحَّ خُلْعُهَا، فَلَوْ كَانَتْ وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا إِحْدَاهُمَا مَجْنُونَة فَشَاءَتَا لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُمَا، لِأَنَّ الْمَجْنُونَةَ لَا تَمْيِيزَ لَهَا، فَلَمْ تَصِحَّ مَشِيئَتُهَا، وَكَانَتْ كَمَنْ لم تشاء، وَلَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا صَغِيرَةً فَشَاءَتَا، تُطْرَحُ الصَّغِيرَةُ فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُمَيِّزَةٍ لَمْ تَصِحَّ مَشِيئَتُهَا، كَالْمَجْنُونَةِ، فَلَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ، وَإِنْ كَانَتْ مُمَيِّزَةً صَحَّتْ مَشِيئَتُهَا كَالْمَحْجُورِ عَلَيْهَا، وَوَقَعَ طَلَاقُهَا، وَكَانَ طَلَاقُ الْكَبِيرَةِ بَائِنًا، وَطَلَاقُ الصَّغِيرَةِ رَجْعِيًّا.

Dijawab: Yang menjadi pertimbangan dalam kehendak adalah kemampuan membedakan, sedangkan dalam khulu‘ adalah kebolehan bertindak hukum. Orang yang mahjur memiliki kemampuan membedakan sehingga kehendaknya sah, namun ia tidak boleh bertindak hukum sehingga khulu‘nya tidak sah. Jika dalam kasus yang sama, salah satunya adalah orang gila lalu keduanya menghendaki, maka talak tidak jatuh atas keduanya, karena orang gila tidak memiliki kemampuan membedakan, sehingga kehendaknya tidak sah dan ia seperti orang yang tidak menghendaki. Jika salah satunya masih kecil lalu keduanya menghendaki, maka yang kecil dikeluarkan dari kasus. Jika ia belum mumayyiz (belum bisa membedakan), maka kehendaknya tidak sah seperti orang gila, sehingga talak tidak jatuh. Jika ia sudah mumayyiz, maka kehendaknya sah seperti orang yang mahjur, dan talaknya jatuh. Talak atas yang dewasa adalah talak bain, sedangkan talak atas yang kecil adalah talak raj‘i.

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ رَأَى الشَّافِعِيَّ قَدْ أَوْجَبَ عَلَى الْجَائِزَةِ الْأَمْرَ مَهْرَ مِثْلِهَا فَقَالَ: (هَذَا يَقْضِي عَلَى فَسَادِ تَجْوِيزِهِ مَهْرَ أَرْبَعٍ فِي عُقْدَةٍ بِأَلْفٍ، لِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ مَهْرِ أَرْبَعٍ فِي عُقْدَةٍ بِأَلْفٍ، وَخُلْعِ أَرْبَعٍ فِي عُقْدَةٍ بألف.

Adapun Al-Muzani, ia melihat bahwa Imam Syafi‘i mewajibkan kepada yang sah tindakannya untuk memberikan mahar mitsil, lalu ia berkata: “Ini menunjukkan rusaknya pendapat yang membolehkan mahar empat perempuan dalam satu akad dengan seribu, karena tidak ada perbedaan antara mahar empat perempuan dalam satu akad dengan seribu dan khulu‘ empat perempuan dalam satu akad dengan seribu.”

والأمر على ما قاله المزني، وإنما ذكره الشَّافِعِيُّ هَا هُنَا أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ، وَفِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ مَسْأَلَةِ الْخُلْعِ وَالصَّدَاقِ قَوْلَانِ فَهُمَا سواء والله أعلم.

Dan perkara ini sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Muzani. Hanya saja Imam Syafi‘i menyebutkannya di sini sebagai salah satu dari dua pendapat, dan dalam setiap kasus khulu‘ dan mahar terdapat dua pendapat, keduanya sama. Wallahu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَلَوْ قَالَ لَهُ أَجْنَبِيٌّ طَلِّقْ فُلَانَة عَلَى أَنَّ لَكَ عَلَيَّ أَلْفَ دِرْهَمٍ فَفَعَلَ فَالْأَلْفُ لَهُ لَازِمَةٌ) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ada orang lain (bukan istri) berkata kepadanya, ‘Ceraikanlah si fulanah atas dasar bahwa engkau berhak atas seribu dirham dariku,’ lalu ia melakukannya, maka seribu itu menjadi kewajiban baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا خَالَعَهُ أَجْنَبِيٌّ عَلَى طَلَاقِ زَوْجَتِهِ، فَإِنْ كَانَ بِإِذْنِهَا صَحَّ، وَكَانَ وَكِيلًا لَهَا عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ، وَإِنْ كَانَ الْأَجْنَبِيُّ قَدْ خَالَعَ بِغَيْرِ إِذْنِ الزَّوْجَةِ بِمَالٍ فِي ذِمَّتِهِ فَقَالَ لَهُ: طَلِّقْ زَوْجَتَكَ فُلَانَة بِأَلْفِ دِرْهَمٍ لَكَ عَلَيَّ، صَحَّ الْخُلْعُ وَوَقَعَ الطَّلَاقُ، وَلَزِمَ الْأَجْنَبِيَّ الْأَلْفُ الَّتِي بَذَلَهَا، وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ.

Al-Mawardi berkata: “Dan ini sebagaimana yang dikatakan. Jika orang lain melakukan khulu‘ atas talak istri seseorang, maka jika dengan izin istri, hukumnya sah dan ia menjadi wakil istri sebagaimana akan dijelaskan. Jika orang lain melakukan khulu‘ tanpa izin istri dengan harta yang menjadi tanggungannya, lalu ia berkata: ‘Ceraikanlah istrimu si fulanah dengan seribu dirham yang menjadi tanggunganku,’ maka khulu‘ itu sah, talak jatuh, dan orang lain tersebut wajib membayar seribu yang ia janjikan. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama).”

وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: الْخُلْعُ بَاطِلٌ، وَالطَّلَاقُ غَيْرُ وَاقِعٍ فِيهِ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْخُلْعَ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ يَمْلِكُ بِهِ الْبُضْعَ، وَالْبُضْعُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَهُ بِالْعِوَضِ، إِلَّا زَوْجٌ بِنِكَاحٍ أَوْ زَوْجَةٌ بِخُلْعٍ، فَلَمَّا لَمْ يَمْلِكْهُ الْأَجْنَبِيُّ كَالْخُلْعِ وَلَا الزَّوْجَةُ بِغَيْرِ إِذْنِهَا اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ فَاسِدًا، وَلِأَنَّ الْأَعْوَاضَ إِنَّمَا تُبْذَلُ فِي الْأَغْرَاضِ الصَّحِيحَةِ، وَإِلَّا كَانَتْ سَفَهًا، وَمِنْ أَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ، وَلَا غَرَضَ لِلْأَجْنَبِيِّ فِي هَذَا الْخُلْعِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَرْدُودًا، وَهَذَا خَطَأٌ.

Abu Tsaur berkata: Khul‘ itu batal, dan talak yang terjadi di dalamnya tidak sah, dengan alasan bahwa khul‘ adalah akad mu‘āwaḍah (pertukaran) yang dengannya seseorang memiliki hak atas hubungan badan, dan hak atas hubungan badan tidak boleh dimiliki dengan imbalan kecuali oleh suami melalui nikah atau istri melalui khul‘. Maka, ketika orang asing tidak memilikinya seperti dalam khul‘, dan istri pun tidak memilikinya tanpa izinnya, hal itu menuntut agar akad tersebut rusak. Selain itu, imbalan hanya boleh diberikan untuk tujuan yang sah, jika tidak maka dianggap sia-sia dan termasuk memakan harta dengan cara yang batil. Tidak ada tujuan bagi orang asing dalam khul‘ ini, maka wajib untuk dianggap tertolak. Namun, ini adalah kekeliruan.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ لَمَّا جَازَ لِلزَّوْجِ أَنْ يُطَلِّقَ بِغَيْرِ بَذْلٍ، وَجَازَ لِلْأَجْنَبِيِّ أَنْ يَبْذُلَ لَهُ مَالَهُ بِغَيْرِ طَلَاقٍ جَازَ أَنْ يُطَلِّقَ الزَّوْجُ عَلَى الْمَالِ الَّذِي بَذَلَهُ الْأَجْنَبِيُّ، فيقول: كل من صح منه بذلك الْمَالِ بِغَيْرِ طَلَاقٍ صَحَّ بَذْلُهُ عَلَى الطَّلَاقِ كَالزَّوْجَةِ طَرْدًا، وَالصَّغِيرَةِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ الْعِتْقَ كَالطَّلَاقِ، يَتَنَوَّعُ تَارَةً بِعِوَضٍ، وَتَارَةً بِغَيْرِ عِوَضٍ، فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَبْذُلَ الْأَجْنَبِيُّ مَالًا فِي الْعِتْقِ، وَإِنْ لَمْ يَمْلِكْ بِهِ شَيْئًا جَازَ أَنْ يَبْذُلَ مَالًا فِي الطَّلَاقِ وَإِنْ لَمْ يَمْلِكْ بِهِ شَيْئًا.

Dalil kami adalah bahwa ketika suami boleh menjatuhkan talak tanpa imbalan, dan orang asing boleh memberikan hartanya kepada suami tanpa talak, maka boleh pula suami menjatuhkan talak dengan imbalan harta yang diberikan oleh orang asing. Artinya, siapa saja yang sah memberikan harta tanpa talak, maka sah pula memberikan harta untuk talak, seperti istri (secara qiyās), dan anak kecil (secara kebalikan). Selain itu, pembebasan budak (al-‘itq) seperti talak, kadang dilakukan dengan imbalan dan kadang tanpa imbalan. Maka, ketika orang asing boleh memberikan harta dalam pembebasan budak meskipun tidak memiliki apa pun darinya, maka boleh pula memberikan harta dalam talak meskipun tidak memiliki apa pun darinya.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ الْخُلْعَ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ كَالْبَيْعِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ مُفَارِقٌ لِلْبَيْعِ فِي أَحْكَامٍ وَإِنْ وَافَقَهُ فِي أَحْكَامٍ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْبَيْعِ تَمَلُّكُ الْمَبِيعِ، وَالْمَقْصُودَ بِالْخُلْعِ إِزَالَةُ مِلْكِ الزَّوْجِ، فَجَازَ أَنْ يَزُولَ إِلَى غَيْرِ مُتَمَلِّكٍ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يُزِيلَهُ بِالطَّلَاقِ الْمُجَرَّدِ إِلَى غَيْرِ مُتَمَلِّكٍ بِخِلَافِ الْبَيْعِ.

Adapun argumentasinya bahwa khul‘ adalah akad mu‘āwaḍah seperti jual beli, jawabannya adalah bahwa khul‘ berbeda dengan jual beli dalam beberapa hukum, meskipun ada kesamaan dalam beberapa hukum lainnya. Karena tujuan dari jual beli adalah memiliki barang yang dijual, sedangkan tujuan dari khul‘ adalah menghilangkan kepemilikan suami, sehingga boleh kepemilikan itu hilang kepada selain orang yang memilikinya, sebagaimana boleh menghilangkannya dengan talak murni kepada selain orang yang memilikinya, berbeda dengan jual beli.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِعَدَمِ الْغَرَضِ فِيهِ، فَخَطَأٌ، لِأَنَّ الْغَرَضَ فِيهِ مَوْجُودٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ وُجُوهٍ:

Adapun argumentasinya dengan tidak adanya tujuan dalam khul‘ ini, maka itu keliru, karena tujuan di dalamnya ada dan bisa dari beberapa sisi:

أَحَدُهَا: أَنْ يَرَاهُمَا الْأَجْنَبِيُّ مُقِيمَيْنِ عَلَى نِكَاحِ شُبْهَةٍ يَؤُولُ إلى مأثم فأحب أن يستنقذهما منهما.

Pertama: Orang asing melihat keduanya (suami-istri) tetap dalam pernikahan syubhat yang dapat berujung pada dosa, maka ia ingin menyelamatkan keduanya dari hal itu.

وَالثَّانِي: أَنْ يَرَاهُمَا قَدْ خَرَجَا فِي الزَّوْجِيَّةِ إِلَى أَنْ صَارَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا غَيْرَ مُؤَدٍّ لِلْحَقِّ فِيهَا. وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ لِرَغْبَةِ الْأَجْنَبِيِّ فِي نِكَاحِهَا فَيَسْتَنْزِلَ بِالْخُلْعِ الزَّوْجَ عَنْهَا.

Kedua: Orang asing melihat keduanya telah keluar dari hakikat pernikahan sehingga masing-masing tidak lagi menunaikan hak dalam pernikahan tersebut. Ketiga: Karena keinginan orang asing untuk menikahi wanita itu, maka ia menebus suami dengan khul‘ agar menceraikannya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ خُلْعِ الْأَجْنَبِيِّ، فَلَوْ كَانَ لِلزَّوْجِ امْرَأَتَانِ فَخَالَعَهُ الْأَجْنَبِيُّ عَنْهُمَا بِأَلْفٍ مِنْ مَالِهِ صَحَّ الْخُلْعُ بِالْأَلْفِ، وَإِنْ لَمْ يُفَصِّلْ حِصَّةَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِنَ الْأَلْفِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ الْأَلْفَ لَازِمَةٌ لِلْأَجْنَبِيِّ وَحْدَهُ، وَمُسْتَحَقَّةٌ لِلزَّوْجِ وَحْدَهُ، فَجَازَ أَن لا يَنْفَصِلَ، وَلَيْسَ كَبَذْلِ الزَّوْجَتَيْنِ الَّذِي يَجِبُ أَنْ تَنْفَصِلَ مَا تَلْتَزِمُهُ كُلُّ وَاحِدَةٍ، فَلَوْ خَالَعَهُ الْأَجْنَبِيُّ عَلَى طَلَاقِ إِحْدَاهُمَا مُبْهَمَةً مِنْ غَيْرِ تَعْيِينٍ وَلَا تَسْمِيَةٍ لَمْ يَجُزْ، وَكَانَ خُلْعًا فَاسِدًا، لِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ لَا يَصِحُّ إِلَّا عَلَى مُعَيَّنٍ كَالْبَيْعِ.

Jika telah tetap bolehnya khul‘ oleh orang asing, maka jika seorang suami memiliki dua istri lalu orang asing melakukan khul‘ atas keduanya dengan seribu (dinar/dirham) dari hartanya, maka khul‘ itu sah dengan seribu tersebut, meskipun tidak dirinci bagian masing-masing dari seribu itu menurut satu pendapat, karena seribu itu menjadi tanggungan orang asing saja dan menjadi hak suami saja, sehingga boleh tidak dipisahkan. Ini berbeda dengan pemberian dari dua istri yang harus dirinci apa yang menjadi tanggungan masing-masing. Jika orang asing melakukan khul‘ atas talak salah satu dari keduanya secara samar tanpa penentuan dan penyebutan, maka tidak sah dan khul‘ itu rusak, karena ini adalah akad mu‘āwaḍah yang tidak sah kecuali atas sesuatu yang tertentu seperti jual beli.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَإِذَا كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ فَقَالَتْ لَهُ إِحْدَاهُمَا: طَلِّقْنِي وَضَرَّتِي بِأَلْفٍ لَكَ عَلَيَّ، فَإِنْ طَلَّقَهُمَا صَحَّ الْخُلْعُ، وَكَانَ لَهُ عليها ألف عنها، وعن ضرته قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ طَلَّقَهَا دُونَ ضَرَّتِهَا كَانَ فِيمَا يَلْزَمُهَا قَوْلَانِ، لِأَنَّ الْأَلْفَ قَدْ تَفَصَّلَتْ:

Jika seorang suami memiliki dua istri, lalu salah satu dari keduanya berkata kepadanya: “Ceraikan aku dan maduku dengan seribu (dinar/dirham) yang menjadi tanggunganku untukmu,” maka jika ia menceraikan keduanya, khul‘ itu sah dan ia berhak atas seribu dari dirinya dan dari madunya menurut satu pendapat. Jika ia menceraikan dirinya saja tanpa madunya, maka dalam hal apa yang menjadi tanggungannya ada dua pendapat, karena seribu itu telah terperinci:

إحداهما: مَهْرُ مِثْلِهَا.

Pertama: Sebesar mahar mitsil (mahar sepadan) untuk dirinya.

وَالثَّانِي: بِقِسْطِ مَهْرِ مِثْلِهَا مِنَ الْأَلْفِ.

Kedua: Sebesar bagian mahar mitsil dirinya dari seribu itu.

وَلَوْ طَلَّقَ ضَرَّتَهَا دُونَهَا طُلِّقَتْ، وَكَانَ فِيمَا يَلْزَمُ الْبَاذِلَةَ قَوْلَانِ:

Jika ia menceraikan madunya saja tanpa dirinya, maka madunya telah dicerai, dan dalam hal apa yang menjadi tanggungan pemberi (istri yang meminta khul‘) ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ مِثْلِ الضَّرَّةِ الْمُطَلَّقَةِ.

Pertama: Sebesar mahar mitsil dari madu yang dicerai.

وَالثَّانِي: بِقِسْطِ مَهْرِ مِثْلِهَا مِنَ الْأَلْفِ.

Dan yang kedua: dengan bagian mahar mitsilnya dari seribu.

(فَصْلٌ:)

(Fashl:)

وَلَوْ قَالَتْ لَهُ إِحْدَى زَوْجَتَيْهِ: طَلِّقْنِي بِأَلْفٍ لَكَ عَلَيَّ عَلَى أَنْ تُطَلِّقَ ضَرَّتِي، أَوْ قَالَتْ: طَلِّقْ ضَرَّتِي بِأَلْفٍ لَكَ علي أن لا تُطَلِّقَنِي.

Jika salah satu dari dua istrinya berkata kepadanya: “Ceraikan aku dengan imbalan seribu untukmu atas tanggunganku, dengan syarat engkau menceraikan maduku,” atau ia berkata: “Ceraikan maduku dengan seribu untukmu atas tanggungan saya, dengan syarat engkau tidak menceraikan saya.”

فَأَجَابَهَا إِلَى مَا سَأَلَتْ وَقَعَ الطَّلَاقُ، وَلَزِمَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، لِأَنَّهُ قَدِ اقْتَرَنَ بِالْخُلْعِ شَرْطٌ فَاسِدٌ بِسُقُوطِهِ مِنَ الْعِوَضِ مَا صَارَ بِهِ مَجْهُولًا فَلَزِمَ فِيهِ مَهْرُ مِثْلِ الْمُطَلَّقَةِ قولاً واحداً.

Lalu ia mengabulkan permintaannya, maka jatuhlah talak, dan ia wajib membayar mahar mitsil, karena dalam khulu‘ tersebut terdapat syarat yang rusak, sehingga dengan gugurnya syarat itu dari kompensasi, kompensasi tersebut menjadi tidak jelas, maka wajib baginya membayar mahar mitsil perempuan yang dicerai menurut satu pendapat.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَا يَجُوزُ مَا اخْتَلَعَتْ بِهِ الْأَمَةُ إِلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهَا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Tidak sah apa yang dijadikan kompensasi khulu‘ oleh seorang budak perempuan kecuali dengan izin tuannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا خَالَعَتِ الْأَمَةُ زَوْجَهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Jika seorang budak perempuan melakukan khulu‘ terhadap suaminya, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بِإِذْنِ السَّيِّدِ.

Pertama: dilakukan dengan izin tuannya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ.

Kedua: dilakukan tanpa izinnya.

فَإِنْ كَانَ بِإِذْنِ السَّيِّدِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika dilakukan dengan izin tuannya, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْذَنَ لَهَا أَنْ تُخَالِعَهُ بِمَالٍ فِي ذِمَّتِهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ تُخَالِعَهُ عَلَى مَا بِيَدِهَا مِنَ الْأَعْيَانِ، لِأَنَّ الْإِذْنَ لَمْ يَتَنَاوَلْهَا، فَإِنْ خَالَعَتْهُ عَلَى غَيْرِ مَالٍ بِيَدِهَا لِلسَّيِّدِ لَمْ يَجُزْ وَنُظِرَ فِي طَلَاقِ الزَّوْجِ، فَإِنْ كَانَ مُقَيَّدًا بِتِلْكَ الْعَيْنِ لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ، وَإِنْ كَانَ نَاجِزًا وَقَعَ الطَّلَاقُ، وَكَانَ لَهُ عَلَيْهَا بَذْلُ الْخُلْعِ فِي ذِمَّتِهَا يُؤَدِّيهِ بَعْدَ عِتْقِهَا وَفِيهِ قَوْلَانِ:

Pertama: tuan mengizinkannya untuk melakukan khulu‘ dengan harta yang menjadi tanggungannya (budak perempuan), dan tidak boleh melakukan khulu‘ dengan barang yang ada di tangannya, karena izin tersebut tidak mencakup barang itu. Jika ia melakukan khulu‘ dengan selain harta yang ada di tangannya milik tuan, maka tidak sah dan dilihat pada talak suami; jika talak tersebut dikaitkan dengan barang itu, maka talak tidak jatuh, dan jika talak tersebut langsung, maka talak jatuh, dan suami berhak atas kompensasi khulu‘ yang menjadi tanggungannya (budak perempuan) yang akan dibayarkan setelah ia merdeka. Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ مِثْلِهَا.

Pertama: mahar mitsilnya.

وَالثَّانِي: مِثْلُ مَا خَالَعَتْ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ لَهُ مِثْلٌ، أَوْ قِيمَتِهِ إِنْ لم يكن لَهُ مِثْلٌ، وَإِنْ خَالَعَتْهُ عَلَى مَالٍ فِي ذِمَّتِهَا صَحَّ الْخُلْعُ وَاسْتَفَادَتْ بِالْإِذْنِ أَنْ تُؤَدِّيَهُ مِنْ كَسْبِهَا، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُؤَدِّيَهُ مِنَ الْأَعْيَانِ الَّتِي بِيَدِهَا، فَإِنْ كَانَ مَا خَالَعَتْ بِهِ قَدْرَ مَهْرِ مِثْلِهَا أَدَّتْ جَمِيعَهُ مِنْ كَسْبِهَا، وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ أَدَّتْ مِنْ كَسْبِهَا قَدْرَ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَكَانَ الْفَاضِلُ عَلَيْهِ بَاقِيًا فِي ذِمَّتِهَا تُؤَدِّيهِ بَعْدَ عِتْقِهَا فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لَهَا كَسْبٌ تُؤَدِّي مِنْهُ قَدْرَ مَا خَالَعَتْ عَلَيْهِ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ لَمْ يَلْزَمِ السَّيِّدَ غُرْمُهُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَضْمَنْهُ فِي ذِمَّتِهِ، وَلَا فِي رَقَبَةِ أَمَتِهِ، وَكَانَ ذَلِكَ فِي ذِمَّتِهَا إِلَى أَنْ تُؤَدِّيَهُ مِنْ كَسْبٍ إِنْ حَدَثَ لَهَا فِي الرِّقِّ، أَوْ بَعْدَ عِتْقِهَا.

Kedua: sebesar apa yang dijadikan kompensasi khulu‘ jika ada yang sejenis, atau nilainya jika tidak ada yang sejenis. Jika ia melakukan khulu‘ dengan harta yang menjadi tanggungannya, maka khulu‘ sah dan ia mendapatkan manfaat dari izin tersebut untuk membayarnya dari hasil usahanya, dan tidak boleh membayarnya dari barang yang ada di tangannya. Jika kompensasi khulu‘ sebesar mahar mitsilnya, maka ia membayar seluruhnya dari hasil usahanya. Jika lebih dari mahar mitsil, maka ia membayar dari hasil usahanya sebesar mahar mitsil, dan sisanya tetap menjadi tanggungannya untuk dibayarkan setelah ia merdeka. Jika ia tidak memiliki penghasilan untuk membayar kompensasi khulu‘ sebesar mahar mitsil, maka tuan tidak wajib menanggungnya, karena ia tidak menjaminnya baik dalam tanggungannya maupun pada budaknya, dan hal itu tetap menjadi tanggungannya hingga ia mampu membayarnya dari penghasilan jika kelak ia memilikinya saat masih menjadi budak, atau setelah ia merdeka.

وَهَكَذَا لَوْ قَتَلَهَا السَّيِّدُ أَوْ بَاعَهَا بِحَيْثُ لَا يَقْدِرُ الزَّوْجُ عَلَى مُطَالَبَتِهَا، لَمْ يَضْمَنِ السَّيِّدُ ذَلِكَ عَنْهَا، وَإِنْ أَذِنَ لَهَا.

Demikian pula jika tuan membunuhnya atau menjualnya sehingga suami tidak dapat menuntutnya, maka tuan tidak menanggung hal itu darinya, meskipun ia telah mengizinkannya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَأْذَنَ لَهَا أَنْ تُخَالِعَهُ عَلَى عَيْنٍ فِي يَدِهَا كَأَنَّهُ قَالَ لَهَا: خَالِعِيهِ عَلَى هَذَا الثَّوْبِ، أَوْ عَلَى هَذَا الْخَاتَمِ، فَإِنْ خَالَعَتْهُ عَلَيْهِ جَازَ، وَإِنْ خَالَعَتْهُ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الْأَعْيَانِ لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ خَالَعَتْهُ عَلَى مَالٍ فِي ذِمَّتِهَا جَازَ، وَلَمْ يَكُنْ لَهَا أَنْ تُؤَدِّيَهُ مِنْ كَسْبِهَا لِعَدَمِ الْإِذْنِ فِيهِ، وَكَانَ بَاقِيًا فِي ذِمَّتِهَا إِلَى أَنْ تُؤَدِّيَهُ بَعْدَ عِتْقِهَا.

Bagian kedua: tuan mengizinkannya untuk melakukan khulu‘ dengan barang tertentu yang ada di tangannya, seperti ia berkata: “Lakukanlah khulu‘ dengan baju ini,” atau “dengan cincin ini.” Jika ia melakukan khulu‘ dengan barang tersebut, maka sah. Jika dengan selain barang itu dari barang-barang yang ada, maka tidak sah. Jika dengan harta yang menjadi tanggungannya, maka sah, namun ia tidak boleh membayarnya dari hasil usahanya karena tidak ada izin dalam hal itu, dan tetap menjadi tanggungannya hingga ia membayarnya setelah ia merdeka.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهَا إِذْنًا مُطْلَقًا، وَلَا يَذْكُرَ عَيْنًا وَلَا ذِمَّةً فَإِنْ خَالَعَتْهُ عَلَى مَالٍ فِي ذِمَّتِهَا جَازَ، وَكَانَ لَهَا أَنْ تُؤَدِّيَهُ مِنْ كَسْبِهَا إِنْ كَانَ بِقَدْرِ مَهْرِ الْمِثْلِ فَمَا دُونَ، وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْهُ كَانَتِ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ بَاقِيَةً فِي ذِمَّتِهَا إِلَى وَقْتِ الْعِتْقِ، وَإِنْ خَالَعَتْهُ عَلَى عَيْنٍ فِي يَدِهَا نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ قَدْ أُذِنَ لَهَا بِالتَّصَرُّفِ فِي تِلْكَ الْعَيْنِ صَحَّ خُلْعُهَا عَلَيْهَا، إِنْ كَانَ بِقَدْرِ مَهْرِ مِثْلِهَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ أُذِنَ لَهَا بِالتَّصَرُّفِ فِيهَا لَمْ يَصِحَّ خُلْعُهَا بِهَا، وَكَانَ فِيمَا يَرْجِعُ بِهِ الزَّوْجُ عَلَيْهَا قَوْلَانِ:

Bagian ketiga: Jika tuannya memberikan izin secara mutlak kepadanya, tanpa menyebutkan barang tertentu maupun utang tertentu, maka jika ia melakukan khulu‘ dengan suaminya atas harta yang menjadi tanggungannya, maka hal itu sah, dan ia boleh membayarnya dari hasil usahanya sendiri jika jumlahnya sebesar atau kurang dari mahar mitsil. Namun jika lebih dari itu, kelebihan tersebut tetap menjadi tanggungannya hingga waktu ia merdeka. Jika ia melakukan khulu‘ atas barang tertentu yang ada di tangannya, maka perlu dilihat: jika ia telah diizinkan untuk bertindak atas barang tersebut, maka khulu‘ atas barang itu sah, jika nilainya sebesar mahar mitsil. Namun jika ia belum diizinkan bertindak atas barang itu, maka khulu‘ dengan barang tersebut tidak sah. Dalam hal apa yang dapat dituntut kembali oleh suami darinya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ الْمِثْلِ.

Pertama: mahar mitsil.

وَالثَّانِي: مِثْلُ تِلْكَ الْعَيْنِ إِنْ كَانَ لَهَا مِثْلٌ، وَقِيمَتُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا مِثْلٌ، وَلَهَا أَنْ تُؤَدِّيَ مِنْ كَسْبِهَا لِإِذْنِ السَّيِّدِ لَهَا.

Kedua: barang sejenis dengan barang tersebut jika ada barang sejenisnya, atau nilainya jika tidak ada barang sejenisnya. Ia boleh membayar dari hasil usahanya karena adanya izin dari tuannya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنْ خَالَعَتْهُ بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika ia melakukan khulu‘ tanpa izin tuannya, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تُخَالِعَهُ عَلَى عَيْنٍ فِي يَدِهَا، فَالْخُلْعُ بَاطِلٌ، سَوَاءً مَلَّكَهَا السَّيِّدُ تِلْكَ الْعَيْنَ أَوْ لَمْ يُمَلِّكْهَا، لِأَنَّهُ قَدْ مَلَّكَهَا فَمَلَكَتْ عَلَى قَوْلِهِ الْقَدِيمِ لَكَانَ لَهُ عَلَيْهَا حَجْرٌ فِيهَا يَمْنَعُ مِنَ التَّصَرُّفِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ نُظِرَ فِي طَلَاقِ الزَّوْجِ، فَإِنْ كَانَ مُقَيَّدًا بِتَمَلُّكِ تِلْكَ الْعَيْنِ فَهُوَ غَيْرُ وَاقِعٍ، وَإِنْ كَانَ نَاجِزًا وَقَعَ، وَفِيمَا يَرْجِعُهُ عَلَيْهِمَا بَعْدَ عِتْقِهَا قَوْلَانِ:

Pertama: jika ia melakukan khulu‘ atas barang tertentu yang ada di tangannya, maka khulu‘ tersebut batal, baik tuannya telah memberikan kepemilikan barang itu kepadanya maupun belum, karena jika tuan telah memberikan kepemilikan, maka menurut pendapat lama, tetap ada pembatasan (hajr) atasnya yang mencegahnya untuk bertindak atas barang itu. Dalam hal ini, perlu dilihat pada talak suami: jika talaknya dikaitkan dengan kepemilikan barang tersebut, maka talak tidak jatuh; namun jika talaknya langsung (tanpa syarat), maka talak jatuh. Dalam hal apa yang dapat dituntut kembali oleh suami setelah ia merdeka, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ مِثْلِهَا.

Pertama: mahar mitsil.

وَالثَّانِي: مِثْلُ تِلْكَ الْعَيْنِ، أَوْ قِيمَتُهَا، فَلَوْ أَنَّ السَّيِّدَ بَعْدَ أَنْ خَالَعَتْ عَلَى تِلْكَ الْعَيْنِ أَجَازَ خُلْعَهَا لَمْ يَصِحَّ لِوُقُوعِهِ فَاسِدًا.

Kedua: barang sejenis dengan barang tersebut, atau nilainya. Jika setelah khulu‘ atas barang itu, tuan kemudian mengizinkan khulu‘ tersebut, maka khulu‘ itu tetap tidak sah karena telah terjadi dalam keadaan fasid (rusak).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تُخَالِعَهُ عَلَى مَالٍ فِي ذِمَّتِهَا، فَالْخُلْعُ جَائِزٌ وَلَيْسَ لَهَا دَفْعُ الْمَالِ مِنْ كَسْبِهَا، لِعَدَمِ إِذْنِ السَّيِّدِ فِيهِ، وَيَكُونُ فِي ذِمَّتِهَا إِلَى أَنْ تُؤَدِّيَهُ بَعْدَ عِتْقِهَا.

Jenis kedua: jika ia melakukan khulu‘ atas harta yang menjadi tanggungannya, maka khulu‘ itu sah, namun ia tidak boleh membayar harta itu dari hasil usahanya karena tidak ada izin dari tuan, dan harta itu tetap menjadi tanggungannya hingga ia membayarnya setelah ia merdeka.

فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مُؤَجَّلًا إِلَى وَقْتِ الْعِتْقِ وَهُوَ أَجَلٌ مَجْهُولٌ.

Jika ada yang bertanya: Bagaimana bisa sah jika pembayaran itu ditangguhkan hingga waktu merdeka, padahal waktu itu adalah waktu yang tidak diketahui (majhul)?

قِيلَ: إِنَّمَا تَكُونُ جَهَالَةُ الْأَجَلِ مُوجِبَةً لِفَسَادِ الْعَقْدِ، إِذَا كَانَ الْأَجَلُ مُعَلَّقًا بِالشَّرْطِ دُونَ الشَّرْعِ، وَلَا يَبْطُلُ إِذَا كَانَ وَاجِبًا بِالشَّرْعِ إِلَّا أَنْ تَرَى إِعْسَارَ الْمُشْتَرِي بِالثَّمَنِ يُوجِبُ إِنْظَارَهُ إِلَى وَقْتِ يَسَارِهِ، وَلَوْ شَرَطْتَهُ فِي الْعَقْدِ لَمْ يَجُزْ.

Dijawab: Ketidaktahuan tentang waktu jatuh tempo hanya menyebabkan rusaknya akad jika waktu itu dikaitkan dengan syarat, bukan dengan syariat. Namun, jika waktu itu diwajibkan oleh syariat, maka tidak membatalkan akad, kecuali jika ketidakmampuan pembeli membayar harga menyebabkan penundaan pembayaran hingga ia mampu. Jika penundaan itu disyaratkan dalam akad, maka tidak boleh.

كَذَلِكَ الْأَمَةُ إِذَا خَالَعَتْهُ بِمَالٍ أَوْجَبَ الشَّرْعُ إِنْظَارَهَا بِهِ إِلَى وَقْتِ الْعِتْقِ جَازَ، وَلَوْ شَرَطَتْهُ إِلَى وَقْتِ الْعِتْقِ لَمْ يَجُزْ، وَكَانَ فَاسِدًا يَرْجِعُ عَلَيْهَا فِيهِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ بَعْدَ الْعِتْقِ، وَهَكَذَا خُلْعُ الْمُدَبَّرَةِ، وَأُمِّ الْوَلَدِ وَالْمُعْتَقَةِ بِصِفَةٍ لَمْ تَأْتِ.

Demikian pula, jika seorang budak perempuan melakukan khulu‘ dengan harta, maka syariat mewajibkan penundaan pembayaran hingga ia merdeka, dan hal itu sah. Namun jika penundaan itu disyaratkan hingga waktu merdeka, maka tidak boleh dan akadnya menjadi fasid, sehingga setelah ia merdeka, suami hanya dapat menuntut mahar mitsil darinya. Begitu pula hukum khulu‘ bagi budak mudabbirah, umm al-walad, dan budak yang dimerdekakan dengan syarat yang belum terjadi.

فَأَمَّا الَّتِي نِصْفُهَا حُرٌّ، وَنِصْفُهَا مَمْلُوكٌ، فَإِنْ خَالَعَتْهُ عَلَى مَا يَمْلِكُهُ بِنِصْفِهَا الْحُرِّ جَازَ، وَكَانَتْ فِيهِ كَالْحُرَّةِ وَإِنْ خَالَعَتْهُ عَلَى مَا يَمْلِكُهُ السَّيِّدُ لَمْ يَجُزْ، وَكَانَتْ فِيهِ كَالْأَمَةِ، وَإِنْ خَالَعَتْهُ عَلَى الْأَمْرَيْنِ صَارَتِ الصِّفَةُ فِيهِ جَامِعَةً لِأَمْرَيْنِ يَخْتَلِفُ حُكْمُهُمَا فَيَكُونُ عَلَى مَا يُوجِبُهُ تَفْرِيقُ الصفقة بعد جمعها.

Adapun perempuan yang setengahnya merdeka dan setengahnya budak, jika ia melakukan khulu‘ atas apa yang ia miliki dari bagian yang merdeka, maka hal itu sah dan ia diperlakukan seperti perempuan merdeka. Namun jika ia melakukan khulu‘ atas apa yang dimiliki oleh tuannya, maka tidak sah dan ia diperlakukan seperti budak. Jika ia melakukan khulu‘ atas kedua hal tersebut sekaligus, maka statusnya mencakup dua perkara yang berbeda hukumnya, sehingga berlaku hukum sesuai dengan apa yang diakibatkan oleh pemisahan akad setelah digabungkan.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَا الْمُكَاتَبَةُ وَلَوْ أَذِنَ لَهَا سَيِّدُهَا لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمَالٍ لِلسَّيِّدِ فَيَجُوزُ إِذْنُهُ فِيهِ وَلَا لَهَا فَيَجُوزُ مَا صَنَعَتْ فِي مَالِهَا وَطَلَاقُهُمَا بِذَلِكَ بَائِنٌ فَإِذَا أُعْتِقَتَا اتَّبِعُ كُلَّ وَاحِدَةٍ بِمَهْرِ مِثْلِهَا كَمَا لَا أَحْكُمُ عَلَى الْمُفْلِسِ حَتَّى يُوسِرَ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Demikian pula tidak sah khulu‘ dengan pembayaran berupa mukatabah, meskipun tuannya mengizinkannya, karena itu bukanlah harta milik tuan sehingga boleh diizinkan, dan bukan pula milik budak perempuan itu sehingga boleh ia lakukan dalam hartanya sendiri. Talak yang terjadi dengan itu adalah talak bain. Maka jika keduanya telah merdeka, masing-masing dituntut membayar mahar mitsil, sebagaimana aku tidak memutuskan perkara atas orang yang bangkrut hingga ia mampu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا خَالَعَتِ الْمُكَاتَبَةُ زَوْجَهَا لَمْ يَخْلُ خُلْعُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِإِذْنِ السَّيِّدِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ، فَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَهِيَ فِيهِ كَالْأَمَةِ إِذَا خَالَعَتْ زَوْجَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهَا، لِأَنَّهَا وَإِنْ خَالَفَتِ الْأَمَةَ فِي التَّمَلُّكِ وَالتَّصَرُّفِ فَهُوَ مَقْصُودٌ عَلَى أَدَائِهِ فِي مَالِ الْكِتَابَةِ دُونَ غَيْرِهِ، وَهِيَ كَالْأَمَةِ فِيمَا سِوَاهُ، وَإِنْ خَالَعَتْهُ بِإِذْنِ السَّيِّدِ فَهُوَ إِذْنٌ مِنْهُ بِاسْتِهْلَاكِ مَالٍ فِي غَيْرِ الْأَدَاءِ، وَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي السَّيِّدِ إِذَا أَذِنَ لِمُكَاتَبِهِ فِي الْهِبَةِ هَلْ يَصِحُّ إِذْنُهُ فِيهِ، وَيَجُوزُ هِبَتُهُ لَهُ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Jika seorang mukatabah melakukan khulu‘ terhadap suaminya, maka khulu‘ tersebut tidak lepas dari dua keadaan: bisa dengan izin tuannya atau tanpa izinnya. Jika dilakukan tanpa izin tuan, maka hukumnya seperti budak perempuan (‘amah) yang melakukan khulu‘ terhadap suaminya tanpa izin tuannya. Sebab, meskipun mukatabah berbeda dengan ‘amah dalam hal kepemilikan dan pengelolaan harta, namun pengelolaan itu hanya dimaksudkan untuk pembayaran utang kitabah, bukan yang lain, dan dalam hal selain itu, ia seperti ‘amah. Jika ia melakukan khulu‘ dengan izin tuan, maka itu berarti izin untuk menghabiskan harta pada selain pembayaran kitabah. Terdapat perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi‘i mengenai tuan yang mengizinkan mukatabnya untuk memberikan hibah: apakah izinnya sah dan bolehkah ia memberikan hibah atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَصِحُّ لِأَنَّ الْمُكَاتَبَ أَقْوَى تَصَرُّفًا مِنَ الْعَبْدِ، فَلَمَّا صَحَّتْ هِبَةُ الْعَبْدِ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ كَانَ أَوْلَى أَنْ تَصِحَّ هِبَةُ الْمُكَاتَبِ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَصِحُّ هِبَتُهُ بِإِذْنِ السَّيِّدِ، وَإِنْ صَحَّتْ هِبَةُ الْعَبْدِ، لِأَنَّ السَّيِّدَ يَمْلِكُ مَا فِي يَدِ عَبْدِهِ، فَصَحَّ إِذْنُهُ فِيهِ، وَلَا يَمْلِكُ مَا فِي يَدِ مُكَاتَبِهِ، فَلَمْ يَصِحَّ إِذْنُهُ فِيهِ، فَإِذَا ثَبَتَ الْقَوْلَانِ فِي هِبَةِ الْمُكَاتَبِ بِإِذْنِ السَّيِّدِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي خُلْعِ الْمُكَاتَبَةِ بِإِذْنِ السَّيِّدِ: فَذَهَبَ أَكْثَرُهُمْ إِلَى أَنَّهُ عَلَى قولين كالهبة، لأنه ليس الاستهلاك بالخلع أغلط مِنَ الِاسْتِهْلَاكِ بِالْهِبَةِ، بَلْ هُوَ أَحْسَنُ حَالًا، لِأَنَّهَا قَدْ تَمْلِكُ بِهِ الْبُضْعَ، وَلَا تَمْلِكُ بِالْهِبَةِ شَيْئًا عَلَى أَصَحِّ قَوْلَيْهِ فِي سُقُوطِ الْمُكَافَأَةِ.

Pertama: sah, karena mukatab lebih kuat dalam pengelolaan harta dibandingkan budak, sehingga jika hibah budak sah dengan izin tuannya, maka lebih utama lagi hibah mukatab sah dengan izin tuannya. Pendapat kedua: tidak sah hibahnya dengan izin tuan, meskipun hibah budak sah, karena tuan memiliki apa yang ada di tangan budaknya, sehingga izinnya sah, sedangkan ia tidak memiliki apa yang ada di tangan mukatabnya, maka izinnya tidak sah. Jika terdapat dua pendapat dalam hibah mukatab dengan izin tuan, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang khulu‘ mukatabah dengan izin tuan: mayoritas mereka berpendapat bahwa hukumnya juga dua pendapat seperti hibah, karena penggunaan harta dalam khulu‘ tidak lebih berat daripada penggunaan harta dalam hibah, bahkan lebih baik, karena dengan khulu‘ ia dapat memiliki hak atas tubuhnya (al-bud‘), sedangkan dengan hibah ia tidak memiliki apa pun menurut pendapat yang paling sahih tentang gugurnya kompensasi.

وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ: إِنَّ خُلْعَهَا بَاطِلٌ مَعَ إِذْنِ السَّيِّدِ وَإِنْ كَانَتْ هِبَتُهَا بِإِذْنِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ. وَفَرَّقُوا بَيْنَهُمَا بِأَنَّ مَا يَعُودُ مِنْ مُكَافَأَةِ الْهِبَةِ وَامْتِنَانِهَا رَاجِعٌ إِلَى السَّيِّدِ، وَمَا يَعُودُ بِالْخُلْعِ مِنْ مِلْكِ الْبُضْعِ يَكُونُ لِلْمُكَاتَبَةِ فَافْتَرَقَ إِذْنُ السَّيِّدِ فِيهِمَا لِافْتِرَاقِهِمَا فِي عَوْدِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَالطَّرِيقَةُ الْأُولَى أَصَحُّ، وَلَيْسَ لِهَذَا الْفَرْقِ وَجْهٌ، وَلَوْ قُلِبَ كَانَ أَوْلَى لِمَا ذَكَرْنَا.

Dan sekelompok ulama di antara mereka berpendapat: khulu‘ yang dilakukan mukatabah batal meskipun dengan izin tuan, sedangkan hibahnya dengan izin tuan terdapat dua pendapat. Mereka membedakan antara keduanya bahwa manfaat yang kembali dari kompensasi dan pemberian hibah kembali kepada tuan, sedangkan manfaat yang kembali dari khulu‘ berupa kepemilikan tubuh (al-bud‘) menjadi milik mukatabah, sehingga izin tuan dalam keduanya berbeda karena perbedaan manfaat yang kembali pada masing-masing. Namun, metode pertama lebih sahih, dan perbedaan ini tidak memiliki dasar, bahkan jika dibalik justru lebih utama sebagaimana telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَإِنْ قُلْنَا بِجَوَازِ الْخُلْعِ بِإِذْنِهِ صَحَّ إِذَا كَانَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ فَمَا دُونَهُ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَأْذَنَ لَهَا أَنْ تُخَالِعَهُ بِمَال فِي ذِمَّتِهَا فَتَعْدِلَ إِلَى الْخُلْعِ بِمَالٍ فِي يَدِهَا أَوْ يَأْذَنَ لَهَا أَنْ تُخَالِعَهُ بمال في ذمتها فَتَعْدِلَ عَنْهُ إِلَى مَالٍ فِي ذِمَّتِهَا، أَوْ يَأْذَنَ لَهَا فِي عَيْنٍ، فَتَعْدِلَ إِلَى غَيْرِهَا إِذَا كَانَتْ قِيمَتُهَا سَوَاءً، بِخِلَافِ الْأَمَةِ.

Setelah dipastikan sebagaimana yang telah kami jelaskan, jika kita berpendapat bolehnya khulu‘ dengan izin tuan, maka khulu‘ itu sah jika dilakukan dengan mahar yang sepadan atau kurang darinya. Tidak ada perbedaan antara tuan mengizinkan mukatabah untuk melakukan khulu‘ dengan harta yang menjadi tanggungannya lalu ia menggantinya dengan harta yang ada di tangannya, atau tuan mengizinkan khulu‘ dengan harta yang menjadi tanggungannya lalu ia menggantinya dengan harta yang menjadi tanggungannya, atau tuan mengizinkan dengan suatu barang tertentu lalu ia menggantinya dengan barang lain selama nilainya sama, berbeda dengan ‘amah.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْحَجْرَ عَلَى الْمُكَاتَبَةِ فِي قَدْرِ الْمَالِ، وَلَيْسَ عَلَيْهَا حَجْرٌ فِي أَعْيَانِهِ، لِأَنَّ لَهَا نَقْلَ الْأَعْيَانِ مِنْ عَيْنٍ إِلَى عَيْنٍ، فَلِذَلِكَ جَازَ خُلْعُهَا بَعْدَ الْإِذْنِ بِكُلِّ عَيْنِ، وَالْحَجْرُ عَلَى الْأَمَةِ وَاقِعٌ فِي قَدْرِ الْمَالِ، وَفِي أَعْيَانِهِ، وَلَيْسَ لَهَا نَقْلُ عَيْنٍ إِلَى عَيْنٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَعْدِلَ فِي الْخُلْعِ مِنْ عَيْنٍ إِلَى عَيْنٍ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pembatasan (hajr) pada mukatabah hanya pada jumlah harta, dan tidak ada pembatasan pada jenis barangnya, karena ia boleh memindahkan barang dari satu bentuk ke bentuk lain. Oleh karena itu, sah khulu‘nya setelah mendapat izin dengan barang apa pun. Sedangkan pembatasan pada ‘amah berlaku pada jumlah harta dan juga pada jenis barangnya, dan ia tidak boleh memindahkan barang dari satu bentuk ke bentuk lain, sehingga tidak sah baginya untuk mengganti barang dalam khulu‘ dari satu bentuk ke bentuk lain.

وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْخُلْعَ لَا يَصِحُّ مِنَ الْمُكَاتَبَةِ بِإِذْنِ السَّيِّدِ، وَغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَتْ فِيهِ كَالْأَمَةِ إِنْ خَالَعَتْهُ عَلَى مَالٍ فِي ذِمَّتِهَا أَدَّتْهُ بَعْدَ عِتْقِهَا، وَإِنْ خَالَعَتْهُ عَلَى عَيْنٍ بِيَدِهَا، نُظِرَ فِي طَلَاقِ الزَّوْجِ لَهَا فَإِنْ كَانَ مُقَيَّدًا بِهَا لَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ كَانَ نَاجِزًا طُلِّقَتْ، وَكَانَ فِيمَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا بَعْدَ الْعِتْقِ قَوْلَانِ:

Dan jika kita berpendapat bahwa khulu‘ tidak sah dari mukatabah baik dengan izin tuan maupun tanpa izinnya, maka dalam hal ini ia seperti ‘amah: jika ia melakukan khulu‘ dengan harta yang menjadi tanggungannya, maka ia membayarnya setelah ia merdeka; dan jika ia melakukan khulu‘ dengan barang yang ada di tangannya, maka dilihat pada talak suami kepadanya: jika talaknya digantungkan pada barang tersebut, maka ia tidak tertalak; jika talaknya langsung, maka ia tertalak, dan terkait apa yang harus dikembalikan kepadanya setelah merdeka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ الْمِثْلِ.

Pertama: mahar yang sepadan.

وَالثَّانِي: مِثْلُ مَا خَالَعَتْ بِهِ إِذَا كَانَ لَهُ مِثْلٌ وَقِيمَتُهُ إِنْ لَمْ يكن له مثل.

Kedua: seperti barang yang digunakan untuk khul‘ jika barang itu memiliki padanan, dan nilainya jika tidak memiliki padanan.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَإِذَا أَجَزْتُ طَلَاقَ السَّفِيهِ بِلَا شَيْءٍ كَانَ مَا أَخَذَ عَلَيْهِ جُعْلًا أَوْلَى وَلِوَلِيِّهِ أَنْ يَلِيَ عَلَى مَا أَخَذَ بِالْخُلْعِ لِأَنَّهُ مَالُهُ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika aku membolehkan talak orang safīh tanpa imbalan apa pun, maka mengambil sesuatu darinya sebagai imbalan tentu lebih utama, dan wali berhak menerima apa yang diambil melalui khul‘, karena itu adalah hartanya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، طَلَاقُ السَّفِيهِ وَاقِعٌ، وَخُلْعُهُ جَائِزٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, talak orang safīh sah, dan khul‘-nya pun boleh.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ: لَا يَقَعُ طَلَاقُهُ وَلَا يَصِحُّ خُلْعُهُ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهَا عَلَى وُقُوعِ طَلَاقِهِ فِي كِتَابِ الْحَجْرِ وَإِذَا صَحَّ وُقُوعُ طَلَاقِهِ صَحَّ جَوَازُ خُلْعِهِ، لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ طَلَاقُهُ بِغَيْرِ عِوَضٍ كَانَ بِالْعِوَضِ أَجْوَزَ، وَإِذَا كَانَ خُلْعُهُ جَائِزًا فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Abu Yusuf berkata: Talaknya tidak sah dan khul‘-nya pun tidak sah. Demikian pula pendapat Ibn Abi Layla. Telah dijelaskan sebelumnya tentang sahnya talak orang safīh dalam Kitab al-Ḥajr. Jika talaknya sah, maka khul‘-nya pun sah, karena jika talaknya boleh tanpa imbalan, maka dengan imbalan tentu lebih boleh. Jika khul‘-nya sah, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَلَى طَلَاقٍ نَاجِزٍ بِعِوَضِ الذِّمَّةِ، كَأَنَّهُ طَلَّقَ زَوْجَةً وَاحِدَةً عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ فِي ذِمَّتِهَا، فَقَدْ صَارَتِ الْأَلْفُ دَيْنًا فِي ذِمَّتِهَا بَعْدَ وُقُوعِ الطَّلَاقِ، وَعَلَيْها فَلَا يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَدْفَعَ الْأَلْفَ إِلَيْهِ، لِأَنَّهُ بِالْحَجْرِ مَمْنُوعٌ مِنْ قَبْضِ مَالِهِ، وَيَدْفَعُهَا إِلَى وَلِيِّهِ لِقَبْضِ مَالِهِ، فَإِنْ دَفَعَتِ الْأَلْفَ إِلَيْهِ لَمْ تَبْرَأْ مِنْهَا إِلَّا أَنْ يُبَادِرَ الْوَلِيُّ إِلَى قَبْضِهَا سُنَّةً فَتَبْرَأَ حِينَئِذٍ مِنْهَا، بِأَخْذِ الْوَلِيِّ لَهَا فَإِنْ لَمْ يَأْخُذْهَا الْوَلِيُّ مِنْهُ حَتَّى تَلِفَتْ مِنْ يَدِهِ كَانَتْ تَالِفَةً مِنْ مَالِ الزَّوْجَةِ، وَعَلَيْهَا أَنْ تَدْفَعَ إِلَى الْوَلِيِّ أَلْفًا ثَانِيَةً، وَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَرْجِعَ عَلَى السَّفِيهِ بِالْأَلْفِ الَّتِي اسْتَهْلَكَهَا مَا كَانَ الْحَجْرُ بَاقِيًا عَلَيْهَا، فَإِنْ فُكَّ حَجْرُهُ بِحُدُوثِ رُشْدِهِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ غُرْمُهَا حُكْمًا، وَفِي وُجُوبِ غُرْمِهَا عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى وَجْهَانِ ذَكَرْنَاهُمَا فِي كِتَابِ الْحَجْرِ.

Pertama: Talak yang langsung dengan imbalan berupa utang, misalnya ia menalak istrinya satu kali dengan imbalan seribu dirham yang menjadi utang atas istrinya. Maka seribu dirham itu menjadi utang atas istrinya setelah talak jatuh, dan wajib atasnya (istri) untuk membayar seribu dirham itu kepada wali suaminya, bukan kepada suaminya langsung, karena suami safīh dilarang menerima hartanya sendiri. Jika ia (istri) membayar seribu dirham itu kepada suaminya, maka ia belum terbebas dari kewajiban kecuali jika wali segera mengambilnya sesuai aturan, maka saat itu ia terbebas dengan diambilnya oleh wali. Jika wali tidak mengambilnya dari suami hingga harta itu rusak di tangan suami, maka kerusakan itu menjadi tanggungan istri, dan ia wajib membayar seribu dirham kedua kalinya kepada wali. Ia tidak boleh menuntut kembali seribu dirham yang telah dihabiskan oleh suami selama status safīh masih melekat padanya. Jika status safīh itu dicabut karena ia telah dewasa dan cakap, maka secara hukum ia tidak wajib mengganti kerugian tersebut. Namun, dalam hal kewajiban mengganti kerugian di hadapan Allah Ta‘ala, terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam Kitab al-Ḥajr.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مِنْ خُلْعِهِ أَنْ يَكُونَ عَلَى طَلَاقٍ مُقَيَّدٍ بِالدَّفْعِ مِثْلِ أَنْ يَقُولَ لِزَوْجَتِهِ: إِنْ دَفَعْتِ إِلَيَّ أَلْفَ دِرْهَمٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَيَجُوزُ لِلزَّوْجَةِ أَنْ تَدْفَعَ ذَلِكَ إِلَيْهِ، وَلَا تَدْفَعَهُ لِوَلِيِّهِ بِخِلَافِ مَا كَانَ فِي الذِّمَّةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Bentuk kedua dari khul‘ orang safīh adalah talak yang digantungkan pada pembayaran, seperti jika ia berkata kepada istrinya: “Jika kamu membayar seribu dirham kepadaku, maka kamu tertalak.” Dalam hal ini, istri boleh membayar langsung kepada suaminya, dan tidak boleh membayar kepada walinya, berbeda dengan kasus utang, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ كَانَ مَالِكًا لِمَا فِي الذِّمَّةِ قَبْلَ الدَّفْعِ لَا يَمْلِكُ هَذَا إِلَّا بِالدَّفْعِ.

Pertama: Karena dalam kasus utang, suami telah memiliki hak atas harta itu sebelum pembayaran, sedangkan dalam kasus ini, ia baru memiliki hak setelah pembayaran.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا لَوْ دَفَعَتْ هَذَا إِلَى الْوَلِيِّ لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ مُعَلَّقٌ بِالدَّفْعِ إِلَيْهِ، وَمَا فِي الذِّمَّةِ قَدْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ وُقُوعُ الطَّلَاقِ، فَافْتَرَقَا مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ، وَإِنْ كَانَ كَذَلِكَ وَدَفَعَتْ إِلَيْهِ مَا طَلَّقَهَا عَلَيْهِ لَمْ تَضْمَنْهُ، لِأَنَّهُ مَا تَعَلَّقَ بِذِمَّتِهَا، وَلَا مَلَكَهُ إِلَّا بِأَخْذِهِ مِنْهَا، وَعَلَى الْوَلِيِّ أَنْ يُبَادِرَ إِلَى أَخْذِهِ، فَإِنْ لَمْ يَأْخُذْهُ حَتَّى تَلِفَ فَلَا غُرْمَ فِيهِ وَلَا رُجُوعَ ببدله.

Kedua: Jika istri membayar kepada wali, maka talak tidak terjadi, karena talak digantungkan pada pembayaran kepada suami, sedangkan dalam kasus utang, talak sudah terjadi sebelumnya. Maka kedua kasus ini berbeda dari dua sisi tersebut. Jika demikian, dan istri membayar kepada suami sesuai dengan yang disyaratkan untuk talak, maka ia tidak menanggung apa-apa, karena tidak ada yang menjadi tanggungannya, dan suami tidak memilikinya kecuali setelah mengambil dari istri. Wali harus segera mengambilnya, dan jika tidak diambil hingga harta itu rusak, maka tidak ada tanggungan dan tidak ada tuntutan penggantiannya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَمَا أَخَذَ الْعَبْدُ بِالْخُلْعِ فَهُوَ لِسَيِّدِهِ فَإِنِ اسْتَهْلَكَا مَا أَخَذَا رَجَعَ الْوَلِيُّ وَالسَّيِّدُ عَلَى الْمُخْتَلِعَةِ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ حَقٌّ لَزِمَهَا فَدَفَعَتْهُ إِلَى مَنْ لَا يَجُوزُ لَهَا دَفْعُهُ إِلَيْهِ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Apa yang diambil oleh budak melalui khul‘ adalah milik tuannya. Jika wali dan tuan telah menghabiskan apa yang mereka terima, maka wali dan tuan dapat menuntut kembali kepada wanita yang melakukan khul‘, karena itu adalah hak yang menjadi tanggungannya, dan ia telah memberikannya kepada pihak yang tidak berhak menerimanya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: هَذَا صَحِيحٌ، وَخُلْعُ الْعَبْدِ جَائِزٌ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ، لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ طَلَاقُهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ خُلْعُهُ أَجْوَزَ وَهُوَ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, dan khul‘ budak itu sah, meskipun tanpa izin tuannya, karena jika talaknya sah tanpa izin tuannya, maka khul‘-nya lebih sah lagi. Khul‘ budak ini ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ فِيهِ مُقَيَّدًا بِالدَّفْعِ إِلَيْهِ كَقَوْلِهِ: إِنْ دَفَعْتِ إِلَيَّ أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَيَجُوزُ أَنْ تَدْفَعَ إِلَيْهِ أَلْفًا لِيُطَلِّقَ بِهَا، وَيَجُوزُ لَهُ قَبْضُهَا، لِأَنْ يَمْلِكَهَا وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهَا، لِأَنَّهُ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِذِمَّتِهَا وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَأْخُذَهَا مِنْ عَبْدِهِ، لِأَنَّهَا مِنْ كَسْبِهِ، فَإِنْ لَمْ يَأْخُذْهَا مِنْهُ حَتَّى تَلِفَتْ فِي يَدِهِ فَهِيَ تَالِفَةٌ مِنْ مَالِ السَّيِّدِ وَلَا رُجُوعَ لَهُ بِبَدَلِهَا.

Salah satu bentuknya: talak di sini dikaitkan dengan pembayaran kepadanya, seperti ucapannya: “Jika kamu memberiku seribu, maka kamu tertalak.” Maka boleh baginya (istri) untuk membayar seribu kepadanya agar ia mentalaknya, dan boleh pula baginya (suami) untuk menerima uang tersebut, karena ia memilikinya dan tidak ada tanggungan atas istri, sebab tidak terkait dengan tanggungan istri. Dan tuan (pemilik budak) boleh mengambilnya dari budaknya, karena itu termasuk hasil usahanya. Jika tuan tidak mengambilnya dari budak hingga uang itu rusak di tangan budak, maka kerusakan itu menjadi tanggungan harta tuan dan tidak ada hak baginya untuk menuntut penggantinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ طَلَاقُ خُلْعِهِ نَاجِزًا بِمَالٍ فِي ذِمَّتِهَا كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ عَلَيْكِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَبْدِ فِي ذَلِكَ مع سيده مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Bentuk kedua: talak khul‘ dilakukan secara langsung dengan harta yang menjadi tanggungan istri, seperti ucapannya: “Kamu tertalak atas seribu dirham yang menjadi tanggunganmu.” Maka, keadaan budak dalam hal ini bersama tuannya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي قَبْضِهَا فَيَجُوزَ لَهُ قَبْضُهَا، وَتَبْرَأَ الزَّوْجَةُ مِنْهَا بِدَفْعِهَا إِلَيْهِ.

Salah satunya: tuan mengizinkan budak untuk menerima harta tersebut, maka boleh baginya untuk menerimanya, dan istri terbebas dari tanggungan dengan menyerahkannya kepada budak.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَنْهَاهُ عَنْ قَبْضِهَا فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْبِضَهَا، وَلَا تَبْرَأُ الزَّوْجَةُ مِنْهَا بِدَفْعِهَا إِلَيْهِ إِلَّا أَنْ يُبَادِرَ السَّيِّدُ بِأَخْذِهَا مِنْهُ فَتَبْرَأَ حِينَئِذٍ الزَّوْجَةُ مِنْهَا، فَلَوْ لَمْ يَأْخُذْهَا السَّيِّدُ مِنَ الْعَبْدِ حَتَّى تَلِفَتْ فِي يَدِهِ كَانَ لَهُ مُطَالَبَةُ الزَّوْجَةِ بِهَا، وَإِغْرَامُهَا إِيَّاهَا، فَإِذَا غَرِمَتْهَا رَجَعَتْ بِهَا عَلَى الْعَبْدِ إِذَا أُعْتِقَ، وَلَيْسَ رُجُوعُ حُكْمٍ بُتَّ بِخِلَافِ السَّفِيهِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Keadaan kedua: tuan melarang budak menerima harta tersebut, maka tidak boleh baginya untuk menerimanya, dan istri tidak terbebas dari tanggungan dengan menyerahkannya kepadanya, kecuali jika tuan segera mengambilnya dari budak, maka saat itu istri terbebas dari tanggungan. Jika tuan tidak mengambilnya dari budak hingga harta itu rusak di tangan budak, maka tuan berhak menuntut istri atas harta tersebut dan mewajibkan istri menggantinya. Jika istri telah menggantinya, maka ia berhak menuntut budak setelah budak dimerdekakan. Ini bukanlah tuntutan hukum yang telah diputuskan, berbeda dengan orang safih (tidak cakap), dan perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ لِلْعَبْدِ ذِمَّةً وَلَيْسَ لِلسَّفِيهِ ذِمَّةٌ.

Salah satunya: budak memiliki tanggungan (dzimmah), sedangkan orang safih tidak memiliki tanggungan.

وَالثَّانِي: أَنَّ عَجْزَ الْعَبْدِ بِحَقِّ سَيِّدِهِ يَزُولُ بِعِتْقِهِ، وَحَجْرَ السَّفِيهِ بِحِفْظِ مَالِهِ وَلَا يَنْحَفِظُ بِغُرْمِهِ بعد رشده.

Kedua: ketidakmampuan budak terhadap hak tuannya hilang dengan kemerdekaannya, sedangkan pembatasan (hajr) terhadap orang safih untuk menjaga hartanya, dan tidak terjaga dengan ia membayar setelah ia menjadi cakap.

والحال الثانية: أن لا يَأْذَنَ لَهُ السَّيِّدُ فِي الْقَبْضِ، وَلَا يَنْهَاهُ عَنْهُ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَبْدِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ، أَوْ غَيْرَ مَأْذُونٍ لَهُ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَأْذُونٍ لَهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ قَبْضُهَا مِنَ الزَّوْجَةِ وَكَانَ حُكْمُهُ لَوْ قَبَضَهَا كَحُكْمِهِ لَوْ نَهَاهُ عَنْ قَبْضِهَا وَإِنْ كَانَ مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ فَفِي جَوَازِ قَبْضِهِ لَهَا بِإِذْنِ التِّجَارَةِ وَجْهَانِ:

Keadaan kedua: tuan tidak mengizinkan budak menerima harta, dan juga tidak melarangnya. Maka keadaan budak tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia diizinkan berdagang atau tidak. Jika tidak diizinkan berdagang, maka ia tidak boleh menerima harta dari istri, dan hukumnya jika ia menerima sama seperti jika ia dilarang menerima. Jika ia diizinkan berdagang, maka dalam kebolehan ia menerima harta khul‘ dengan izin berdagang terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لَهُ قَبْضُهَا بِمُطْلَقِ ذَلِكَ الْإِذْنِ لِجَوَازِ تَصَرُّفِهِ، وَأَنَّهُ لَوْ جاز أن يقبض من مال سيده من مَا لَمْ يَكُنْ مِنْ كَسْبِهِ كَانَ قَبْضُهُ لِمَا هُوَ مِنْ كَسْبِهِ أَوْلَى.

Salah satunya: boleh baginya menerima harta tersebut dengan izin umum tersebut karena ia boleh melakukan transaksi, dan jika ia boleh menerima dari harta tuannya yang bukan hasil usahanya, maka menerima yang merupakan hasil usahanya tentu lebih utama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ قَبْضُهَا بِإِذْنِ التِّجَارَةِ، لِأَنَّ الْإِذْنَ بِالتِّجَارَةِ مَقْصُورٌ عَلَى مَا تَعَلَّقَ بِالتِّجَارَةِ، وَمَالَ الْخُلْعِ لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا، فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ إِذَا أقبَضَهَا بَرِئَتِ الزَّوْجَةُ مِنْهَا، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي لَا تَبْرَأُ مِنْهَا.

Pendapat kedua: tidak boleh baginya menerima harta tersebut dengan izin berdagang, karena izin berdagang terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan, sedangkan harta khul‘ tidak berkaitan dengannya. Maka menurut pendapat pertama, jika ia telah menerima harta itu, istri terbebas dari tanggungan, dan menurut pendapat kedua, istri tidak terbebas darinya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا الْمُكَاتَبُ فَخُلْعُهُ جَائِزٌ، لِأَنَّ طَلَاقَهُ بِغَيْرِ عِوَضٍ جَائِزٌ، فَكَانَ بِالْعِوَضِ أَجْوَزَ، وَلَهُ قَبْضُ مَالِ الْخُلْعِ مِنْ زَوْجَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ السَّيِّدُ، سَوَاءٌ كَانَ الْخُلْعُ نَاجِزًا أَوْ مُقَيَّدًا، لِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَ بِالْكِتَابَةِ أَكْسَابَهُ، وَجَازَ تَصَرُّفُهُ بِخِلَافِ الْعَبْدِ، وَإِنَّمَا الْحَجْرُ عَلَيْهِ فِي الِاسْتِهْلَاكِ لَا في الأكساب.

Adapun mukatab (budak yang sedang menebus dirinya), maka khul‘ yang dilakukan sah, karena talaknya tanpa kompensasi pun sah, maka dengan kompensasi tentu lebih sah. Ia boleh menerima harta khul‘ dari istrinya meskipun tuan tidak mengizinkannya, baik khul‘ itu dilakukan secara langsung maupun dikaitkan, karena dengan kitabah (perjanjian tebusan) ia telah memiliki hasil usahanya dan boleh melakukan transaksi, berbeda dengan budak biasa. Adapun pembatasan (hajr) atasnya hanya dalam hal konsumsi, bukan dalam hasil usaha.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوِ اخْتَلَفَا فَهُوَ كَاخْتِلَافِ الْمُتَبَايِعَيْنِ فَإِنْ قَالَتْ خَلَعْتَنِي بِأَلْفٍ وَقَالَ بِأَلْفَيْنِ أَوْ قَالَتْ عَلَى أَنْ تُطَلِّقَنِي ثَلَاثًا فَطَلَّقْتَنِي وَاحِدَةً تَحَالَفَا وَلَهُ صَدَاقُ مِثْلِهَا وَلَا يُرَدُّ الطَّلَاقُ وَلَا يَلْزَمُهُ مِنْهُ إِلَّا مَا أَقَرَّ بِهِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika keduanya berselisih, maka seperti perselisihan antara dua orang yang berjual beli. Jika istri berkata, ‘Engkau telah menceraikanku dengan seribu,’ dan suami berkata, ‘Dengan dua ribu,’ atau istri berkata, ‘Dengan syarat engkau menceraikanku tiga kali,’ lalu suami menceraikan satu kali, maka keduanya saling bersumpah, dan suami berhak mendapatkan mahar seperti mahar wanita sepertinya, dan talak tidak dibatalkan, serta suami tidak wajib menunaikan kecuali apa yang ia akui.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا تَخَالَعَ الزَّوْجَانِ ثُمَّ اخْتَلَفَا فِي الْعِوَضِ تَحَالَفَا كَمَا يَتَحَالَفُ الْمُتَبَايِعَانِ إذا اختلفا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Jika suami istri melakukan khulu‘ lalu mereka berselisih mengenai kompensasi (iwad), maka keduanya saling bersumpah sebagaimana dua orang yang berjual beli saling bersumpah ketika berselisih.

وقال أبو حنيفة: لا يتحالفا، وَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُمَا قَدِ اتَّفَقَا عَلَى انْتِقَالِ الْبُضْعِ إِلَيْهَا، وَاخْتَلَفَا فِي مِقْدَارِ الْعِوَضِ الَّذِي فِي ذِمَّتِهَا فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ فِيهَا قَوْلَهَا مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ كَسَائِرِ الدَّعَاوَى.

Abu Hanifah berkata: Keduanya tidak saling bersumpah, dan dalam hal ini yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri dengan sumpahnya, dengan alasan bahwa keduanya telah sepakat atas berpindahnya hak atas kemaluan kepadanya (istri), dan mereka berselisih dalam kadar kompensasi yang menjadi tanggungannya, maka hal itu menuntut agar yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri dengan sumpahnya, karena pada dasarnya tanggungan itu bebas dari kewajiban sebagaimana dalam berbagai gugatan lainnya.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ اخْتِلَافٌ فِي مِقْدَارِ عِوَضِ مِلْكٍ بِعَقْدِ مُعَاوَضَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَدَمُ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ مُوجِبًا لِتَحَالُفِ الْمُخْتَلِفَيْنِ فِيهِ كَالْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ قَدْ صَارَ بِالِاخْتِلَافِ مُدَّعِيًا وَمُدَّعًى عَلَيْهِ، فَلَمْ تَكُنِ الْيَمِينُ فِي جَنَبَةِ أَحَدِهِمَا بِأَوْلَى مِنْهَا فِي جَنَبَةِ الْآخَرِ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْيَمِينِ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الْإِنْكَارِ.

Dalil kami adalah bahwa ini merupakan perselisihan dalam kadar kompensasi atas suatu kepemilikan melalui akad mu‘awadhah (pertukaran), maka ketiadaan bukti di dalamnya mewajibkan kedua pihak yang berselisih untuk saling bersumpah, sebagaimana dalam jual beli dan ijarah (sewa-menyewa). Dan karena masing-masing dari suami istri, dengan adanya perselisihan ini, menjadi pihak yang mengklaim dan diklaim, maka sumpah tidak lebih utama berada pada salah satu pihak dibanding pihak lainnya. Maka wajib bagi keduanya untuk sama-sama bersumpah karena keduanya sama-sama mengingkari.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالِاتِّفَاقِ عَلَى مِلْكِ الْبُضْعِ وَالِاخْتِلَافِ فِي مِقْدَارِ الْعِوَضِ فَهُوَ فَاسِدٌ بِاخْتِلَافِ الزَّوْجَيْنِ فِي قَدْرِ الصَّدَاقِ فَإِنَّهُمَا قَدِ اتَّفَقَا فِيهِ عَلَى مِلْكِ الزَّوْجِ لَهُ وَاخْتَلَفَا فِي قَدْرِ الصَّدَاقِ الَّذِي فِي ذِمَّةِ الزَّوْجِ لَهُ وَاخْتَلَفَا فِي قَدْرِ الصَّدَاقِ الَّذِي فِي ذِمَّةِ الزَّوْجِ، وَهُمَا يَتَحَالَفَانِ فِيهِ، وَلَا يَكُونُ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الزَّوْجِ اعْتِبَارًا بِهَذَا الْمَعْنَى فِي بَرَاءَةِ الذِّمَّةِ كَذَلِكَ فِي الْخُلْعِ.

Adapun dalilnya dengan kesepakatan atas kepemilikan kemaluan dan perselisihan dalam kadar kompensasi, maka itu tidak sah, karena dalam kasus perselisihan suami istri mengenai kadar mahar, keduanya telah sepakat atas kepemilikan suami terhadapnya dan berselisih dalam kadar mahar yang menjadi tanggungan suami, dan keduanya saling bersumpah dalam hal itu, dan tidak dijadikan pegangan ucapan suami dengan alasan ini dalam kebebasan tanggungan, demikian pula dalam kasus khulu‘.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ مَعَ اخْتِلَافٍ لم يخل اختلافهما من ثلاثة أقسام:

Jika telah tetap bahwa keduanya saling bersumpah ketika terjadi perselisihan, maka perselisihan mereka tidak lepas dari tiga bagian:

أحدهما: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي الْعِوَضِ وَيَتَّفِقَا فِي عَدَدِ الطَّلَاقِ، وَاخْتِلَافُهُمَا فِي الْعِوَضِ قَدْ يَكُونُ تَارَةً فِي الْجِنْسِ كَقَوْلِ الزَّوْجِ: خَالَعْتُكِ عَلَى مِائَةِ دِينَارٍ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: عَلَى مِائَةِ دِرْهَمٍ.

Pertama: Mereka berselisih dalam kompensasi dan sepakat dalam jumlah talak. Perselisihan mereka dalam kompensasi terkadang dalam jenisnya, seperti ucapan suami: “Aku menceraikanmu dengan khulu‘ atas seratus dinar,” dan istri berkata: “Atas seratus dirham.”

وَيَكُونُ تَارَةً فِي الْمِقْدَارِ فَيَقُولُ الزَّوْجُ: عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: عَلَى مِائَةِ دِرْهَمٍ.

Terkadang dalam kadarnya, seperti suami berkata: “Atas seribu dirham,” dan istri berkata: “Atas seratus dirham.”

وَيَكُونُ تَارَةً فِي الصِّفَةِ فَيَقُولُ الزَّوْجُ: عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ بِيضٍ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ سُودٍ.

Terkadang dalam sifatnya, seperti suami berkata: “Atas seribu dirham putih,” dan istri berkata: “Atas seribu dirham hitam.”

وَيَكُونُ تَارَةً فِي الْأَجَلِ فَيَقُولُ الزَّوْجُ: عَلَى أَلْف حَالَّةٍ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ عَلَى أَلْفٍ مُؤَجَّلَةٍ، أَوْ يَقُولُ الزَّوْجُ عَلَى أَلْفٍ إِلَى شَهْرٍ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: عَلَى أَلْفٍ إِلَى شَهْرَيْنِ.

Terkadang dalam tempo pembayarannya, seperti suami berkata: “Atas seribu yang tunai,” dan istri berkata: “Atas seribu yang ditangguhkan,” atau suami berkata: “Atas seribu sampai sebulan,” dan istri berkata: “Atas seribu sampai dua bulan.”

فَإِنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ فِي هَذَا الِاخْتِلَافِ كُلِّهِ إِذَا عَدِمَا الْبَيِّنَةَ فِيهِمْ وَالْبَيِّنَةُ شَاهِدَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ، لِأَنَّهَا لِإِثْبَاتِ مَالٍ مَحْضٍ، فَإِذَا تَحَالَفَا مَعَ عَدَمِ الْبَيِّنَةِ فَهُوَ كَتَحَالُفِهِمَا فِي اخْتِلَافِهِمَا فِي الْمَبِيعِ، وَكَاخْتِلَافِهِمَا فِي الصَّدَاقِ، فَيَكُونُ صِفَةُ التَّحَالُفِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ شَرْحُهُ، فَإِذَا تَحَالَفَا فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ وَهُوَ لَا يَرْتَفِعُ بَعْدَ وُقُوعِ التَّحَالُفِ، فَيَصِيرُ كَتَحَالُفِهِمَا فِي الْبَيْعِ بَعْدَ تَلَفِ الْمَبِيعِ الْمُوجِبِ لِلرُّجُوعِ بِقِيمَةِ المبيع، كذلك هاهنا يُوجِبُ الرُّجُوعَ بِقِيمَةِ الْبُضْعِ، وَهُوَ مَهْرُ الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَسَوَاءٌ كَانَ مَهْرُ الْمِثْلِ أَقَلَّ مِمَّا أَقَرَّتْ بِهِ الزَّوْجَةُ أَوْ أَكَثَرَ مِمَّا ادَّعَاهُ الزَّوْجُ، لِأَنَّهُ قِيمَةُ مُتْلَفٍ قَدْ سَقَطَ مَعَهُ الْمُسَمَّى، فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ الْقِلَّةُ وَلَا الْكَثْرَةُ.

Maka dalam seluruh perselisihan ini, keduanya saling bersumpah jika tidak ada bukti di antara mereka, dan bukti itu berupa dua orang saksi, atau satu saksi dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah, karena ini untuk menetapkan hak harta murni. Jika keduanya saling bersumpah tanpa adanya bukti, maka hal itu seperti sumpah mereka dalam perselisihan jual beli, dan seperti perselisihan mereka dalam mahar. Maka tata cara sumpahnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jika keduanya telah saling bersumpah, maka talak tetap jatuh dan tidak bisa dibatalkan setelah sumpah dilakukan. Maka hal itu seperti sumpah mereka dalam jual beli setelah barang yang dijual rusak, yang mewajibkan pengembalian dengan nilai barang, demikian pula di sini mewajibkan pengembalian dengan nilai kemaluan, yaitu mahar mitsil menurut satu pendapat, baik mahar mitsil itu lebih sedikit dari yang diakui istri maupun lebih banyak dari yang diklaim suami, karena itu adalah nilai barang yang rusak yang bersamaan dengan itu gugur penamaan (mahar yang disebutkan), sehingga tidak dipertimbangkan sedikit atau banyaknya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي عَدَدِ الطَّلَاقِ، وَيَتَّفِقَا عَلَى مِقْدَارِ الْعِوَضِ.

Bagian kedua: Mereka berselisih dalam jumlah talak, dan sepakat dalam kadar kompensasi.

فَيَقُولُ الزَّوْجُ: خَالَعْتُكِ عَلَى طَلْقَةٍ بِأَلْفٍ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: خَالَعْتُكَ على ثلاث طَلْقَاتٍ بِأَلْفٍ، فَإِنَّمَا يَتَحَالَفَانِ أَيْضًا كَمَا يَتَحَالَفُ الْمُتَبَايِعَانِ إِذَا اخْتَلَفَا فِي قَدْرِ الثَّمَنِ فَإِذَا تَحَالَفَا لَمْ يَلْزَمِ الزَّوْجَ مِنَ الطَّلَاقِ إِلَّا مَا أَقَرَّ بِهِ مِنَ الْوَاحِدَةِ وَلَهُ فِيهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، فَإِنْ أَقَامَ أَحَدُهُمَا بَيِّنَةً عَلَى مَا ادَّعَاهُ مِنْ عَدَدِ الطَّلَاقِ سُمِعَ فِيهَا شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وشَاهِد يَمِين لِأَنَّهُمَا لِاسْتِحْقَاقِ الْمَالِ بِالطَّلَاقِ، وَلَوْ قَالَ الزَّوْجُ: خَالَعْتُكِ عَلَى ثَلَاثِ طَلْقَاتٍ بِأَلْفٍ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: بَلْ عَلَى طَلْقَةٍ بِأَلْفٍ فَلَا تَحَالُفَ بَيْنَهُمَا لِحُصُولِ مَا ادَّعَتْ وَزِيَادَةٍ.

Maka jika suami berkata: “Aku melakukan khulu‘ denganmu dengan satu talak seharga seribu,” dan istri berkata: “Aku melakukan khulu‘ denganmu dengan tiga talak seharga seribu,” maka keduanya saling bersumpah sebagaimana dua orang yang berjual beli jika berselisih dalam jumlah harga. Jika keduanya telah bersumpah, maka suami tidak wajib menanggung talak kecuali sebanyak yang ia akui, yaitu satu talak, dan ia berhak atas mahar mitsil (mahar sepadan) dalam hal itu. Jika salah satu dari keduanya mendatangkan bukti atas apa yang ia klaim terkait jumlah talak, maka diterima di dalamnya dua saksi laki-laki atau satu saksi laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah, karena keduanya berkaitan dengan hak memperoleh harta melalui talak. Jika suami berkata: “Aku melakukan khulu‘ denganmu dengan tiga talak seharga seribu,” dan istri berkata: “Bukan, tetapi dengan satu talak seharga seribu,” maka tidak ada sumpah di antara keduanya karena telah tercapai apa yang diklaim oleh istri beserta tambahan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي قَدْرِ الْعِوَضِ، وَعَدَدِ الطَّلَاقِ فَيَقُولُ الزَّوْجُ: خَالَعْتُكِ عَلَى طَلْقَةٍ بِأَلْفٍ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: خَالَعْتَنِي عَلَى ثَلَاثٍ بِمِائَةٍ، فَإِنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ أَيْضًا، وَلَا يَلْزَمُ الزَّوْجَ مِنَ الطَّلَاقِ إِلَّا مَا اعْتَرَفَ بِهِ، وَلَهُ مَهْرُ الْمِثْلِ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ الزَّوْجُ: خَالَعْتُكِ عَلَى ثَلَاثٍ بِمِائَةٍ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: خَالَعْتَنِي عَلَى وَاحِدَةٍ بِأَلْفٍ، فَلَا تَحَالُفَ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّهُ قَدْ زَادَهَا عَلَى مَا ذَكَرَتْ مِنَ الطَّلَاقِ، وَنَقَصَهَا فِيمَا اعْتَرَفَتْ بِهِ مِنَ الْعِوَضِ.

Bagian ketiga: Jika keduanya berselisih dalam jumlah kompensasi dan jumlah talak, misalnya suami berkata: “Aku melakukan khulu‘ denganmu dengan satu talak seharga seribu,” dan istri berkata: “Engkau melakukan khulu‘ denganku dengan tiga talak seharga tiga ratus,” maka keduanya juga saling bersumpah, dan suami tidak wajib menanggung talak kecuali sebanyak yang ia akui, dan ia berhak atas mahar mitsil, baik sedikit maupun banyak. Namun, jika suami berkata: “Aku melakukan khulu‘ denganmu dengan tiga talak seharga tiga ratus,” dan istri berkata: “Engkau melakukan khulu‘ denganku dengan satu talak seharga seribu,” maka tidak ada sumpah di antara keduanya, karena suami telah menambah jumlah talak dari yang disebutkan oleh istri, dan mengurangi jumlah kompensasi dari yang diakui oleh istri.

فَلَوْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ وُجُوبِ التَّحَالُفِ بِالِاخْتِلَافِ وَنَكَلَ الْآخَرُ قُضِيَ بِقَوْلِ الْحَالِفِ مِنْهُمَا عَلَى الناكل.

Jika salah satu dari keduanya bersumpah ketika wajib bersumpah karena adanya perselisihan, dan yang lain enggan bersumpah, maka diputuskan berdasarkan pernyataan pihak yang bersumpah terhadap pihak yang enggan.

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَلَوْ قَالَ طَلَّقْتُكِ بِأَلْفٍ وَقَالَتْ بَلْ عَلَى غَيْرِ شَيْءٍ فَهُوَ مُقِرٌ بِطَلَاقٍ لَا يَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ فَيَلْزَمُهُ وَهُوَ مُدَّعِي مَا لَا يَمْلِكُهُ بِدَعْوَاهُ) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika (suami) berkata: ‘Aku menceraikanmu dengan seribu,’ dan (istri) berkata: ‘Bukan, tetapi tanpa imbalan apa pun,’ maka ia telah mengakui talak yang tidak dapat ia rujuk, sehingga talak itu wajib baginya, dan ia mengklaim sesuatu yang tidak ia miliki dengan pengakuannya itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ إِذَا اتَّفَقَا عَلَى أَصْلِ الْخُلْعِ، وَاخْتَلَفَا فِي صِفَتِهِ أَنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa jika keduanya sepakat atas pokok khulu‘ dan berselisih dalam sifatnya, maka keduanya saling bersumpah.

فَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفَا فِي أَصْلِ الْخُلْعِ، فَادَّعَاهُ أَحَدُهُمَا، وَأَنْكَرَهُ الْآخَرُ، فَلَا تَحَالُفَ فِيهِ، وَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ مُنْكِرِهِ مَعَ يَمِينِهِ، كَمَا لَوِ اخْتَلَفَا فِي أَصْلِ الْبَيْعِ فَادَّعَاهُ أَحَدُهُمَا وَأَنْكَرَهُ الْآخَرُ لَمْ يَتَحَالَفَا، وَكَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ المنكر مع يمينه، كذلك هاهنا، لِأَنَّهُ قَدْ تَعَيَّنَ أَحَدُهُمَا بِالدَّعْوَى، وَتَعَيَّنَ الْآخَرُ بِالْإِنْكَارِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ اخْتِلَافُهُمَا فِي أَصْلِ الْخُلْعِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَدَّعِيَهُ الزَّوْجُ، وَتُنْكِرَهُ الزَّوْجَةُ أَوْ تَدَّعِيَهُ الزَّوْجَةُ، وَيُنْكِرَهُ الزَّوْجُ.

Adapun jika keduanya berselisih dalam pokok khulu‘, salah satu mengklaimnya dan yang lain mengingkarinya, maka tidak ada sumpah di dalamnya, dan pernyataan diterima dari pihak yang mengingkari dengan sumpahnya, sebagaimana jika keduanya berselisih dalam pokok jual beli, salah satu mengklaim dan yang lain mengingkari, maka keduanya tidak saling bersumpah, dan pernyataan diterima dari pihak yang mengingkari dengan sumpahnya. Demikian pula di sini, karena salah satu telah ditetapkan sebagai pengklaim dan yang lain sebagai pengingkar. Jika demikian, maka perselisihan mereka dalam pokok khulu‘ tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi suami yang mengklaim dan istri yang mengingkari, atau istri yang mengklaim dan suami yang mengingkari.

فَإِنِ ادَّعَاهُ الزَّوْجُ وَأَنْكَرَتْهُ الزَّوْجَةُ فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ الزَّوْجُ: قَدْ طَلَّقْتُكِ وَاحِدَةً عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ فِي ذِمَّتِكِ، أَوْ عَلَى عَبْدِكِ هَذَا، فَتَقُولُ: بَلْ طَلَّقْتَنِي مُتَبَرِّعًا بِغَيْرِ بَذْلٍ، فَإِنْ كَانَ لِلزَّوْجِ بَيِّنَةٌ سُمِعَتْ وَهِيَ شَاهِدَانِ، أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ، أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ، لِأَنَّهَا بَيِّنَةُ إِثْبَاتِ مَالٍ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ بَيِّنَةٌ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّهَا مُنْكِرَةٌ، وَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا، إِذَا حَلَفَتْ وَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ بَائِنًا لَا رَجْعَةَ لَهُ فِيهِ لِاعْتِرَافِهِ بِسُقُوطِ رَجْعَتِهِ، وَلَا شَيْءَ له عليها.

Jika suami yang mengklaim dan istri yang mengingkari, maka bentuknya adalah suami berkata: “Aku telah menceraikanmu satu kali dengan kompensasi seribu dirham yang menjadi tanggunganmu, atau dengan budakmu ini,” lalu istri berkata: “Bukan, engkau menceraikanku secara sukarela tanpa kompensasi apa pun.” Jika suami memiliki bukti, maka diterima, yaitu dua saksi laki-laki, atau satu saksi laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah, karena ini adalah bukti penetapan harta. Jika ia tidak memiliki bukti, maka pernyataan diterima dari istri dengan sumpahnya, karena ia adalah pihak yang mengingkari, dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya jika ia bersumpah. Talak yang terjadi adalah talak bain (tidak bisa dirujuk), tidak ada hak rujuk baginya karena ia telah mengakui gugurnya hak rujuknya, dan tidak ada kewajiban apa pun atas istri.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَ إِنْكَارُ الزَّوْجَةِ لِلْخُلْعِ مَانِعًا مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا، كَمَا كَانَ إِنْكَارُ الْمُشْتَرِي لِلشِّرَاءِ مَانِعًا مِنْ ثُبُوتِ الْمِلْكِ لَهُ، وَالْبَائِعُ مُقِرٌّ لَهُ بِالْمِلْكِ، كَمَا أَنَّ الزوج مقر له بِالطَّلَاقِ.

Jika dikatakan: Bukankah pengingkaran istri terhadap khulu‘ seharusnya menjadi penghalang jatuhnya talak atas dirinya, sebagaimana pengingkaran pembeli terhadap jual beli menjadi penghalang tetapnya kepemilikan baginya, sementara penjual mengakui kepemilikan tersebut untuknya, sebagaimana suami mengakui talak untuk istrinya?

قِيلَ: لِأَنَّ لِلزَّوْجِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ فَلَزِمَهُ الطَّلَاقُ بِإِقْرَارِهِ، وَلَيْسَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِتَمْلِيكِ الْمُشْتَرِي، فَلَمْ يَلْزَمْهُ التَّمْلِيكُ بِإِقْرَارِهِ، فَلَوْ عَادَتِ الزَّوْجَةُ بَعْدَ الْإِنْكَارِ وَالْيَمِينِ فَاعْتَرَفَتْ لِلزَّوْجِ بِمَا ادَّعَاهُ مِنَ الْعِوَضِ لَزِمَهَا دَفْعُهُ إِلَيْهِ، وَلَوْ عَادَ الزَّوْجُ فَصَدَّقَهَا عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ خَالَعَهَا وَلَا طَلَّقَهَا، لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي رَفْعِ الطَّلَاقِ، وَلَا فِي سُقُوطِ الرَّجْعَةِ، لِأَنَّ مَنْ أَقَرَّ بِالتَّحْرِيمِ قُبِلَ مِنْهُ، وَمَنْ رَجَعَ عَنْهُ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ.

Dikatakan: Karena suami memiliki hak untuk secara mandiri menjatuhkan talak, maka talak menjadi wajib baginya dengan pengakuannya. Sedangkan penjual tidak memiliki hak untuk secara mandiri memberikan kepemilikan kepada pembeli, maka kepemilikan tidak menjadi wajib baginya hanya dengan pengakuannya. Jika istri kembali setelah mengingkari dan bersumpah, lalu mengakui kepada suami tentang apa yang ia klaim berupa kompensasi, maka wajib baginya untuk memberikannya kepada suami. Namun jika suami kembali lalu membenarkan istrinya bahwa ia tidak melakukan khul‘ atau talak, maka perkataannya tidak diterima dalam membatalkan talak, dan tidak pula dalam menggugurkan hak rujuk. Sebab, siapa yang telah mengakui keharaman (talak), pengakuannya diterima, dan siapa yang menarik kembali pengakuannya, maka tidak diterima darinya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنِ ادَّعَتْهُ الزَّوْجَةُ وَأَنْكَرَهُ الزَّوْجُ فَصُورَتُهُ أَنْ تَقُولَ الزَّوْجَةُ: قَدْ خَالَعْتَنِي عَلَى طَلْقَةٍ بِأَلْفٍ، فَيَقُولُ الزَّوْجُ: مَا خَالَعْتُكِ وَلَا طَلَّقْتُكِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ مَا لَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجَةِ بَيِّنَةٌ، فَإِذَا حَلَفَ فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، وَلَا أَلْفَ لَهُ، وَإِنِ اعْتَرَفَتْ لَهُ الزَّوْجَةُ بِهَا، لِأَنَّهُ لَمْ يَدَّعِهَا فَإِنْ أَقَامَتِ الزَّوْجَةُ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ قُبِلَ يَمِينُهُ أَوْ بَعْدَهَا سُمِعَتْ، وَبَيِّنَتُهَا شَاهِدَانِ لَا غَيْرَ، لِأَنَّهَا بَيِّنَةُ إِثْبَاتِ طَلَاقٍ لَا تَثْبُتُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ، فَإِنْ عَادَ الزَّوْجُ فَاعْتَرَفَ بِالْخُلْعِ قَبْلَ الْبَيِّنَةِ أَوْ بَعْدَهَا قُضِيَ لَهُ بِالْأَلْفِ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ قَدْ لَزِمَهُ، والزوجة معترفة له بالألف.

Jika istri yang mengklaim dan suami mengingkarinya, maka bentuk kasusnya adalah: istri berkata, “Aku telah melakukan khul‘ denganmu dengan satu talak seharga seribu (dirham),” lalu suami berkata, “Aku tidak melakukan khul‘ denganmu dan tidak pula mentalakmu.” Maka, perkataan suami yang diterima disertai sumpahnya, selama istri tidak memiliki bukti. Jika suami telah bersumpah, maka tidak ada talak atasnya, dan tidak ada hak seribu untuknya. Jika istri mengaku kepadanya (suami) tentang hal itu, karena ia (suami) tidak menuntutnya. Jika istri mendatangkan bukti atasnya, maka sumpahnya diterima, atau setelahnya didengarkan. Bukti yang sah adalah dua orang saksi, tidak kurang, karena ini adalah bukti penetapan talak yang tidak sah kecuali dengan dua saksi. Jika suami kemudian mengakui khul‘ sebelum atau sesudah adanya bukti, maka diputuskan haknya atas seribu tersebut, karena talak telah menjadi wajib baginya, dan istri telah mengakuinya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَيَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِي الْخُلْعِ حُرًّا كَانَ أَوْ عَبْدًا أَوْ مَحْجُورًا عَلَيْهِ أَوْ ذِمِّيًّا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Boleh melakukan perwakilan (wakalah) dalam khul‘, baik orang merdeka, budak, orang yang dibatasi haknya, maupun dzimmi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: التَّوْكِيلُ فِي الْخُلْعِ جَائِزٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا} [النساء: 35] . وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ لِلْحَكَمَيْنِ أَنْ يُخَالِعَا فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ التَّوْكِيلِ فِي الْخُلْعِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: perwakilan dalam khul‘ itu boleh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Maka utuslah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan} (an-Nisa: 35). Dan telah kami sebutkan bahwa kedua hakam itu boleh melakukan khul‘, maka ini menunjukkan bolehnya perwakilan dalam khul‘.

وَلِأَنَّ عَقْدَ الْخُلْعِ جَامِعٌ بَيْنَ الطَّلَاقِ وَالْبَيْعِ، وَالتَّوْكِيلَ جَائِزٌ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَجَازَ فِيمَا جَمَعَهُمَا.

Karena akad khul‘ menggabungkan antara talak dan jual beli, dan perwakilan dibolehkan pada keduanya, maka dibolehkan pula pada sesuatu yang menggabungkan keduanya.

وَلِأَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ أَغْلَظُ مِنْ رَفْعِهِ بِالْخُلْعِ وَالتَّوْكِيلُ فِي النِّكَاحِ جَائِزٌ فَأَوْلَى أَنْ يَجُوزَ فِي الْخُلْعِ، وإذا كان ذلك جائز جَازَ أَنْ تُوَكِّلَ الزَّوْجَةُ دُونَ الزَّوْجِ، وَأَنْ يُوَكِّلَ الزَّوْجُ دُونَ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّ الزَّوْجَةَ فِي الْخُلْعِ بِمَنْزِلَةِ الْمُشْتَرِي فِي الْبَيْعِ، وَالزَّوْجَ بِمَنْزِلَةِ الْبَائِعِ وَيَجُوزُ فِي الْبَيْعِ أَنْ يُوَكِّلَ الْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ وَيُوَكِّلَ الْبَائِعُ دُونَ الْمُشْتَرِي، فَإِذَا تَقَرَّرَ جَوَازُ تَوْكِيلِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ فِي الْخُلْعِ فَصِفَةُ الْوَكِيلَيْنِ تَخْتَلِفُ، لِأَنَّ وَكَالَةَ الزَّوْجَةِ فِي مُعَاوَضَةٍ مَحْضَةٍ، وَوَكَالَةَ الزَّوْجِ فِي مُعَاوَضَةٍ وَطَلَاقٍ وَالشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي وَكَالَتِهِمَا تَنْقَسِمُ في حق الوكيلين أربعة أقسام:

Karena akad nikah lebih berat daripada pembatalannya dengan khul‘, dan perwakilan dalam nikah dibolehkan, maka lebih utama lagi dibolehkan dalam khul‘. Jika demikian, maka boleh istri mewakilkan tanpa suami, dan suami mewakilkan tanpa istri, karena istri dalam khul‘ posisinya seperti pembeli dalam jual beli, dan suami seperti penjual. Dalam jual beli, pembeli boleh mewakilkan tanpa penjual, dan penjual boleh mewakilkan tanpa pembeli. Jika telah tetap bolehnya masing-masing dari suami istri mewakilkan dalam khul‘, maka sifat kedua wakil itu berbeda, karena wakil istri dalam akad mu‘awadhah murni, sedangkan wakil suami dalam akad mu‘awadhah dan talak. Syarat-syarat yang dianggap dalam perwakilan mereka terbagi pada kedua wakil menjadi empat bagian:

أحدهما: مَا يُعْتَبَرُ فِي حَقِّ الْوَكِيلَيْنِ مَعًا، وَهُوَ الْبُلُوغُ وَالْعَقْلُ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَكِيلُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ مِنْهُمَا عَقْدٌ، لَا يَتَعَلَّقُ بِقَوْلِهِمَا حُكْمٌ.

Pertama: Syarat yang dianggap pada kedua wakil sekaligus, yaitu baligh dan berakal. Maka tidak sah jika wakil dari masing-masing mereka adalah anak kecil atau orang gila, karena keduanya tidak sah melakukan akad, dan tidak ada hukum yang terkait dengan ucapan mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا لَا يُعْتَبَرُ فِي حَقِّ الْوَكِيلَيْنِ مَعًا، وَهُوَ الْحُرِّيَّةُ وَالْإِسْلَامُ، فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَا عَبْدَيْنِ وَكَافِرَيْنِ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَا حُرَّيْنِ وَمُسْلِمَيْنِ لِأَمْرَيْنِ:

Bagian kedua: Syarat yang tidak dianggap pada kedua wakil sekaligus, yaitu kemerdekaan dan Islam. Maka boleh keduanya adalah budak dan kafir, sebagaimana boleh keduanya adalah orang merdeka dan muslim, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَصِحُّ تَوْكِيلُهُمَا فِي الطَّلَاقِ وَالْبَيْعِ، فَصَحَّ فِيمَا جَمَعَهُمَا.

Pertama: Bahwa sah perwakilan mereka dalam talak dan jual beli, maka sah pula dalam sesuatu yang menggabungkan keduanya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَصِحُّ مِنْهُمَا خُلْعُ أَنْفُسِهِمَا، فَصَحَّ فِيهِ تَوْكِيلُهُمَا لِغَيْرِهِمَا.

Kedua: Bahwa sah bagi mereka melakukan khul‘ atas diri mereka sendiri, maka sah pula perwakilan mereka untuk orang lain.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا يَكُونُ اعْتِبَارُهُ فِي وَكِيلِ الزَّوْجَةِ أَقْوَى مِنِ اعْتِبَارِهِ فِي وَكِيلِ الزَّوْجِ، وَهُوَ الرشيدُ فَإِنَّهُ لَا يُعْتَبَرُ فِي وَكِيلِ الزَّوْجِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَحْجُورًا عَلَيْهِ بِالسَّفَهِ، لِأَنَّهُ لَوْ خَالَعَ لِنَفْسِهِ جَازَ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا فِي خُلْعِ غَيْرِهِ، وَهَلْ يُعْتَبَرُ فِي وَكِيلِ الزَّوْجَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Bagian ketiga: yaitu perkara yang persyaratannya pada wakil istri lebih kuat daripada pada wakil suami, yaitu sifat rasyid (dewasa dan cakap bertindak). Sifat ini tidak disyaratkan pada wakil suami, dan boleh saja wakil suami itu orang yang sedang dalam perwalian karena safih (boros/kurang cakap), karena jika ia melakukan khulu‘ untuk dirinya sendiri maka itu sah, maka boleh pula ia menjadi wakil dalam khulu‘ untuk orang lain. Apakah sifat rasyid ini disyaratkan pada wakil istri atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُعْتَبَرُ فِي وَكِيلِهَا، وَإِنْ وَكَّلَتْ سَفِيهًا جَازَ اعْتِبَارًا بِوَكِيلِ الزَّوْجِ.

Pertama: Tidak disyaratkan pada wakil istri, sehingga jika ia mewakilkan kepada orang safih maka itu sah, dengan pertimbangan sebagaimana pada wakil suami.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُعْتَبَرُ الرُّشْدُ فِي وَكِيلِ الزَّوْجَةِ، وَإِنْ لَمْ يُعْتَبَرْ فِي وَكِيلِ الزَّوْجِ كَمَا يُعْتَبَرُ رُشْدُ الزَّوْجَةِ فِي الْخُلْعِ، وَلَا يُعْتَبَرُ رُشْدُ الزَّوْجِ، فَلِذَلِكَ إِنْ وَكَّلَتِ الزَّوْجَةُ سَفِيهًا لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ وَكَّلَ الزَّوْجُ سَفِيهًا جَازَ.

Pendapat kedua: Sifat rasyid disyaratkan pada wakil istri, meskipun tidak disyaratkan pada wakil suami, sebagaimana sifat rasyid disyaratkan pada istri dalam khulu‘, sedangkan pada suami tidak disyaratkan. Oleh karena itu, jika istri mewakilkan kepada orang safih maka tidak sah, sedangkan jika suami mewakilkan kepada orang safih maka sah.

فَإِنْ قِيلَ: فَوَكَالَةُ الزَّوْجَةِ مُخْتَصَّةٌ بِمُعَاوَضَةٍ مَحْضَةٍ تمَّ الرُّشْدُ فِيهما عَلَى هَذَا الْوَجْهِ مُعْتَبَرٌ فَوَكَالَةُ الزَّوْجِ الْمُشْتَرِكَةُ فِي طَلَاقٍ وَمُعَاوَضَةٍ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ الرُّشْدُ فِيهَا مُعْتَبَرًا.

Jika dikatakan: Wakalah istri khusus dalam akad mu‘awadhah murni (pertukaran harta), maka pada sisi ini sifat rasyid menjadi syarat. Maka wakalah suami yang mengandung unsur talak dan mu‘awadhah seharusnya lebih utama untuk disyaratkan sifat rasyid padanya.

قِيلَ: لَمَّا تَفَرَّدَتْ وَكَالَةُ الزَّوْجَةِ بِالْمُعَاوَضَةِ تَفَرَّدَتْ بِحُكْمِهَا وَالرُّشْدُ فِي عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ مُعْتَبَرٌ فَاعْتُبِرَ فِي وَكَالَتِهَا، وَلَمَّا كَانَتِ الْمُعَاوَضَةُ فِي وَكَالَةِ الزَّوْجِ تَبَعًا لِلطَّلَاقِ الَّذِي لَا يُعْتَبَرُ فِيهِ الرُّشْدُ، وَكَانَ التَّبَعُ دَاخِلًا فِي حُكْمِ الْمَتْبُوعِ لَمْ يَكُنِ الرُّشْدُ فِي وَكَالَتِهِ مُعْتَبَرًا.

Dijawab: Karena wakalah istri khusus dalam mu‘awadhah, maka ia memiliki hukum tersendiri, dan sifat rasyid memang disyaratkan dalam akad-akad mu‘awadhah, maka disyaratkan pula dalam wakalahnya. Sedangkan mu‘awadhah dalam wakalah suami hanyalah mengikuti talak, yang dalam talak tidak disyaratkan sifat rasyid, dan sesuatu yang mengikuti (tabi‘) masuk dalam hukum yang diikutinya (matbu‘), maka sifat rasyid tidak disyaratkan dalam wakalahnya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: مَا يَكُونُ اعْتِبَارُهُ فِي وَكِيلِ الزَّوْجِ أَقْوَى مِنِ اعْتِبَارِهِ فِي وَكِيلِ الزَّوْجَةِ وَهُوَ الذُّكُورِيَّةُ لَا تُعْتَبَرُ فِي وَكَالَةِ الزَّوْجَةِ، فَإِنْ وَكَّلَتِ امْرَأَةً جَازَ، لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ تَتَوَلَّاهُ بِنَفْسِهَا مَعَ أُنُوثَتِهَا جَازَ أَنْ تُوَكَّلَ فِيهِ مِنْ مِثْلِهَا، وَكَمَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ وَكِيلًا فِي الْبَيْعِ، وَهَلْ يُعْتَبَرُ ذَلِكَ فِي وَكِيلِ الزَّوْجِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي جَوَازِ تَوْكِيلِ الْمَرْأَةِ فِي الطَّلَاقِ: أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ، لِأَنَّهَا لَا تَمْلِكُ الطَّلَاقَ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ وَكِيلًا فِيهِ، فَعَلَى هَذَا يُعْتَبَرُ فِي وَكِيلِ الزَّوْجِ أَنْ يكون رجلاً.

Bagian keempat: yaitu perkara yang persyaratannya pada wakil suami lebih kuat daripada pada wakil istri, yaitu sifat laki-laki. Sifat ini tidak disyaratkan pada wakil istri, sehingga jika istri mewakilkan kepada perempuan maka sah, karena jika ia boleh melakukannya sendiri dengan statusnya sebagai perempuan, maka boleh pula mewakilkan kepada sesama perempuan, sebagaimana perempuan boleh menjadi wakil dalam jual beli. Apakah hal ini disyaratkan pada wakil suami atau tidak? Ada dua pendapat yang bersumber dari perbedaan pendapat tentang bolehnya perempuan menjadi wakil dalam talak: Pertama, tidak boleh, karena perempuan tidak memiliki hak talak, maka tidak boleh menjadi wakil dalam hal itu. Maka menurut pendapat ini, disyaratkan wakil suami harus laki-laki.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا فِي الطَّلَاقِ، لِأَنَّهُ لَوْ مَلَّكَهَا الزَّوْجُ طَلَاقَ نَفْسِهَا مَلَكَتْ، فَجَازَ أَنْ تَكُونَ وَكِيلًا فِي طَلَاقِ غَيْرِهَا، فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ الزَّوْجُ امْرَأَةً فَصَارَتِ الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي وَكِيلِ الزَّوْجَةِ الْبُلُوغَ وَالْعَقْلَ دُونَ الذُّكُورِيَّةِ، وَهَلْ يُعْتَبَرُ فِيهِ الرُّشْدُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ، وَالشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي وَكِيلِ الزَّوْجِ الْبُلُوغُ وَالْعَقْلُ دُونَ الرُّشْدِ، وَهَلْ يُعْتَبَرُ فِيهِ الذُّكُورِيَّةُ أَمْ لَا؟ عَلَى وجهين.

Pendapat kedua: Boleh menjadi wakil dalam talak, karena jika suami memberikan hak talak kepada istrinya, maka ia memilikinya, sehingga boleh pula menjadi wakil dalam talak orang lain. Maka menurut pendapat ini, suami boleh mewakilkan kepada perempuan. Maka syarat-syarat yang disyaratkan pada wakil istri adalah baligh dan berakal, tanpa disyaratkan laki-laki. Apakah disyaratkan sifat rasyid padanya atau tidak? Ada dua pendapat. Dan syarat-syarat yang disyaratkan pada wakil suami adalah baligh dan berakal, tanpa disyaratkan sifat rasyid. Apakah disyaratkan laki-laki atau tidak? Ada dua pendapat.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فَإِنْ خَلَعَ عَنْهَا بِمَا لَا يَجُوزُ فَالطَّلَاقُ لَا يُرَدُّ وَهُوَ كَشَيْءٍ اشْتَرَاهُ لَهَا فَقَبَضَتْهُ وَاسْتَهْلَكَتْهُ فَعَلَيْهَا قِيمَتُهُ وَلَا شَيْءَ عَلَى الْوَكِيلِ إلا أن يكون ضمن ذلك له (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ لَيْسَ هَذَا عِنْدِي بشيء والخلع عنده كالبيع في أكثر معانيه وإذا باع الوكيل ما وكله به صاحبه بما لا يجوز من الثمن بطل البيع فكذلك لما طلقها عليه بما لا يجوز من البدل بطل الطلاق عنه كما بطل البيع عنه) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia melakukan khulu‘ atas nama istri dengan sesuatu yang tidak sah (sebagai pengganti), maka talaknya tidak batal, dan itu seperti sesuatu yang dibelikan untuknya lalu ia terima dan habiskan, maka ia wajib mengganti nilainya dan tidak ada tanggungan apa pun atas wakil kecuali jika ia menjamin hal itu untuknya.” (Al-Muzani rahimahullah berkata: “Menurutku ini tidak ada nilainya. Khulu‘ menurut beliau (Syafi‘i) seperti jual beli dalam kebanyakan maknanya. Jika wakil menjual sesuatu yang diwakilkan kepadanya dengan harga yang tidak sah, maka jual belinya batal. Maka demikian pula, jika ia mentalak istri dengan pengganti yang tidak sah, maka talaknya batal sebagaimana jual belinya batal.”)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَقْصُورَةٌ عَلَى وَكَالَةِ الزَّوْجَةِ فَإِذَا وَكَّلَتْ فِي الْخُلْعِ عَنْهَا مَنْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا لَهَا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini khusus berkaitan dengan wakalah istri. Jika istri mewakilkan khulu‘ atas dirinya kepada orang yang sah menjadi wakilnya, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْوَكَالَةُ مُطْلَقَةً.

Pertama: Wakalah itu bersifat mutlak.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مُقَيَّدَةً.

Kedua: Wakalah itu bersifat terbatas (muqayyad).

فَإِنْ كَانَتِ الْوَكَالَةُ مُطْلَقَةً فَقَالَتْ لَهُ: خَالِعْ عَنِّي، وَلَمْ تَذْكُرْ لَهُ مِنَ الْمَالِ جِنْسًا وَلَا قَدْرًا فَعَلَى الْوَكِيلِ أَنْ يُخَالِعَ عَنْهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ حَالًّا مِنْ غَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ مِنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ الَّتِي هِيَ أَثْمَانٌ وَقِيَمٌ دُونَ الْعُرُوضِ وَالسِّلَعِ، فَيُعْتَبَرُ فِي إِطْلَاقِهَا جِنْسًا، وَهُوَ غَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ، وَقَدْرًا وَهُوَ مَهْرُ الْمِثْلِ، كَمَا يُعْتَبَرُ إِطْلَاقُ الْوَكَالَةِ فِي الشِّرَاءِ أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ مِنْ غَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ، بِثَمَنِ الْمِثْلِ، وَالْحُلُولُ فِي الْمَوْضِعَيْنِ معتبراً، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْوَكِيلِ مِنْ أَحَدِ قِسْمَيْنِ:

Jika wakalah (kuasa) itu bersifat mutlak, lalu ia (istri) berkata kepadanya (wakil): “Ceraikan aku dengan khulu‘,” dan ia tidak menyebutkan jenis maupun jumlah harta kepadanya, maka wajib bagi wakil untuk melakukan khulu‘ atas nama istri dengan mahar mitsil (mahar sepadan) yang tunai, dari mata uang yang umum digunakan di negeri itu, baik dirham maupun dinar, yang merupakan alat tukar dan penentu nilai, bukan berupa barang dagangan atau komoditas. Maka dalam keumuman perintah tersebut, yang dipertimbangkan adalah jenisnya, yaitu mata uang yang umum di negeri itu, dan jumlahnya, yaitu mahar mitsil. Sebagaimana dalam keumuman wakalah dalam jual beli, yang dipertimbangkan adalah harga dari mata uang yang umum di negeri itu, dengan harga sepadan, dan pembayaran tunai pada kedua kasus tersebut juga diperhitungkan. Jika demikian, maka keadaan wakil tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُخَالِعَ عَنْهَا بِمَا كَانَ مَأْمُورًا بِهِ فِي إِطْلَاقِ الْوَكَالَةِ مِنْ غَيْرِ مُجَاوَزَةٍ، وَهُوَ مَهْرُ الْمِثْلِ حَالًّا مِنْ غَالِبِ النَّقْدِ، فَخُلْعُهُ لَازِمٌ لِلزَّوْجَةِ، وَمَضْمُونٌ عليها وللوكيل في العقد ثلاثة أحوال:

Pertama: Wakil melakukan khulu‘ atas nama istri sesuai dengan apa yang diperintahkan dalam keumuman wakalah, tanpa melebihi batas, yaitu dengan mahar mitsil yang tunai dari mata uang yang umum. Maka khulu‘ tersebut mengikat bagi istri dan menjadi tanggungannya. Bagi wakil dalam akad terdapat tiga keadaan:

أحدها: أَنْ يَعْقِدَهُ عَلَى مَالٍ مَضْمُونٍ فِي ذِمَّتِهَا.

Pertama: Ia mengadakan akad atas harta yang menjadi tanggungan istri.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: عَلَى مَالٍ مَضْمُونٍ فِي ذِمَّتِهِ.

Kedua: Atas harta yang menjadi tanggungannya sendiri.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُطْلِقَ فَلَا يَشْتَرِطَ أَنْ يَكُونَ فِي ذِمَّتِهَا، وَلَا فِي ذِمَّتِهِ، فَإِنْ شَرَطَ أَنْ يَكُونَ فِي ذِمَّتِهَا كَانَ مَضْمُونًا عَلَيْهَا دُونَ الْوَكِيلِ، وَهَلْ يَكُونُ الْوَكِيلُ مَأْخُوذًا بِاسْتِيفَائِهِ مِنْهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Ketiga: Ia mengadakan akad secara mutlak, tanpa mensyaratkan bahwa harta itu menjadi tanggungan istri atau tanggungannya sendiri. Jika disyaratkan bahwa harta itu menjadi tanggungan istri, maka itu menjadi tanggung jawab istri, bukan wakil. Apakah wakil wajib menagihnya dari istri atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ – إِنَّهُ غَيْرُ مَأْخُوذٍ بِاسْتِيفَائِهِ مِنْهَا، لِأَنَّ وَكَالَتَهُ مَقْصُورَةٌ عَلَى الْعَقْدِ دُونَ غَيْرِهِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ جَحَدَتْ وَكَالَتَهُ لَمْ يُؤْخَذِ الْوَكِيلُ بِالْغُرْمِ وَلِلزَّوْجِ إِحْلَافُهَا دُونَ الْوَكِيلِ، وَيَقَعُ طَلَاقُهُ بَائِنًا، إِنْ أَكْذَبَهَا فِي الْجُحُودِ، وَرَجْعِيًّا إِنْ صَدَّقَهَا عَلَيْهِ.

Pertama: — dan ini adalah pendapat yang tampak dalam mazhab Syafi‘i — bahwa wakil tidak wajib menagihnya dari istri, karena tugas wakil hanya terbatas pada akad, tidak lebih dari itu. Berdasarkan hal ini, jika istri mengingkari adanya wakalah, maka wakil tidak dibebani tanggungan, dan suami berhak meminta sumpah kepada istri, bukan kepada wakil. Talak yang dijatuhkan menjadi bain (talak yang tidak bisa dirujuk), jika suami mendustakan istri dalam pengingkarannya; dan menjadi raj‘i (talak yang bisa dirujuk) jika suami membenarkan istri.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ – أَنَّ الْوَكِيلَ مَأْخُوذٌ بِاسْتِيفَاءِ الْمَالِ مِنْهَا، لِأَنَّهُ مِنْ لَوَازِمِ عَقْدِهِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ جَحَدَتْهُ الْوَكَالَةَ لَزِمَهُ حِينَئِذٍ ذَلِكَ لِلزَّوْجِ لِجُحُودِهَا لَهُ، وَكَانَ لَهُ إِحْلَافُ الزَّوْجَةِ وَوَقَعَ الطَّلَاقُ بَائِنًا سَوَاءً أَكْذَبَهَا الزَّوْجُ عَلَى الْجُحُودِ أَوْ صَدَّقَهَا، لِأَنَّهُ يَصِيرُ إِلَى الْمَالِ مِنْ جِهَةِ الْوَكِيلِ، وَإِنْ شَرَطَ الْوَكِيلُ فِي الْعَقْدِ أَنْ يَكُونَ الْمَالُ فِي ذِمَّتِهِ كَانَ ضَامِنًا بِالْعَقْدِ، وَهَلْ تَضْمَنُهُ الزَّوْجَةُ بِالْعَقْدِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ ذَكَرَهُمَا أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ:

Pendapat kedua: — dan ini adalah pendapat yang tampak dari Abu al-‘Abbas bin Surayj — bahwa wakil wajib menagih harta tersebut dari istri, karena hal itu merupakan konsekuensi dari akad yang dilakukannya. Berdasarkan hal ini, jika istri mengingkari adanya wakalah, maka wakil wajib menanggungnya kepada suami karena pengingkaran istri terhadapnya. Suami berhak meminta sumpah kepada istri, dan talak yang dijatuhkan menjadi bain, baik suami mendustakan istri dalam pengingkarannya maupun membenarkannya, karena harta itu menjadi tanggungan wakil. Jika wakil dalam akad mensyaratkan bahwa harta itu menjadi tanggungannya, maka ia menjadi penanggung dengan akad tersebut. Apakah istri juga ikut menanggungnya dengan akad atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh Abu al-‘Abbas bin Surayj:

أَحَدُهُمَا: تَكُونُ ضَامِنَةً لَهُ بِالْعَقْدِ لِأَجْلِ إِذْنِهَا فِيهِ، فَعَلَى هَذَا لَيْسَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُطَالِبَهَا بِالْمَالِ قَبْلَ غُرْمِهِ وَإِنْ أَبْرَأَهُ الزَّوْجُ لَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهَا، وَإِنْ أَخَذَ الزَّوْجُ بِهِ عِوَضًا مِنَ الْوَكِيلِ رَجَعَ الْوَكِيلُ عَلَيْهَا بِالْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ دُونَ قِيمَةِ الْعِوَضِ.

Pertama: Istri menjadi penanggung dengan akad karena telah mengizinkan hal itu. Berdasarkan hal ini, wakil tidak boleh menuntut istri atas harta tersebut sebelum ia menanggung kerugian. Jika suami membebaskan wakil dari tanggungan, maka wakil tidak dapat menuntut istri. Jika suami mengambil harta itu sebagai ganti dari wakil, maka wakil dapat menuntut istri sebesar yang disebutkan dalam akad, bukan nilai pengganti.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَكُونُ ضَامِنَةً لَهُ بِالْعَقْدِ لِانْقِضَاءِ حَدِّهِ فِي ذِمَّةِ غَيْرِهَا فَعَلَى هَذَا لَيْسَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُطَالِبَهَا بِالْمَالِ قَبْلَ غُرْمِهِ وَإِنْ أَبْرَأَهُ الزَّوْجُ لَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهَا وَإِنْ أَخَذَ الزَّوْجُ بِهِ عِوَضًا مِنَ الْوَكِيلِ رَجَعَ عَلَيْهَا الْوَكِيلُ بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَةِ الْعِوَضِ أَوِ الْمُسَمَّى.

Pendapat kedua: Istri tidak menjadi penanggung dengan akad, karena tanggungan itu telah beralih kepada selain dirinya. Berdasarkan hal ini, wakil tidak boleh menuntut istri atas harta tersebut sebelum ia menanggung kerugian. Jika suami membebaskan wakil dari tanggungan, maka wakil tidak dapat menuntut istri. Jika suami mengambil harta itu sebagai ganti dari wakil, maka wakil dapat menuntut istri dengan nilai yang lebih kecil antara nilai pengganti atau yang disebutkan dalam akad.

فَأَمَّا إِذَا أَطْلَقَ الْوَكِيلُ الْعَقْدَ فَلَمْ يَشْتَرِطْ فِي ذِمَّتِهَا وَلَا فِي ذِمَّتِهِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ مَضْمُونًا عَلَى الْوَكِيلِ فِي حَقِّ الزَّوْجِ لِإِطْلَاقِهِ بِعَقْدٍ قَدْ تَفَرَّدَ بِهِ مَضْمُونًا عَلَى الزَّوْجَةِ فِي حَقِّ الْوَكِيلِ، لِتَقَدُّمِ إِذْنِهَا لَهُ بما أوجب ضَمَانَهُ، وَهَلْ يَكُونُ ضَامِنَهُ فِي حَقِّ الزَّوْجِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ ذَكَرَهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Adapun jika wakil melangsungkan akad secara mutlak tanpa mensyaratkan (pembayaran) pada tanggungan istri maupun pada tanggungannya sendiri, maka tanggungan itu menjadi beban wakil terhadap suami karena ia telah melangsungkan akad secara mutlak yang hanya ia sendiri yang menanggungnya; dan menjadi beban istri terhadap wakil karena sebelumnya ia telah memberi izin kepada wakil untuk melakukan sesuatu yang mewajibkan ia menanggungnya. Apakah ia (istri) juga menjadi penanggung terhadap suami atau tidak? Ada dua pendapat yang disebutkan oleh Ibn Surayj:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُهُ لِلزَّوْجِ لِنِيَابَةِ الْوَكِيلِ عَنْهَا فِيهِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الزَّوْجُ مُخَيَّرًا بَيْنَ مُطَالَبَتِهَا، وَمُطَالَبَةِ الْوَكِيلِ، وَلَيْسَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهَا، بِذَلِكَ قَبْلَ غُرْمِهِ لِارْتِهَانِ ذِمَّتِهَا بِهِ فِي حَقِّ الزَّوْجِ.

Salah satunya: ia (istri) menanggungnya kepada suami karena wakil bertindak atas namanya dalam hal ini. Dengan demikian, suami berhak memilih antara menuntut istri atau menuntut wakil, dan wakil tidak boleh menuntut istri sebelum ia benar-benar menanggung kerugian, karena tanggungan istri telah menjadi jaminan bagi suami.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا غَيْرُ ضَامِنَةٍ لَهُ فِي حَقِّ الزَّوْجِ، لِأَنَّهَا لَمْ تَتَوَلَّ الْعَقْدَ، وَلَا سُمِّيَتْ فِيهِ فَعَلَى هَذَا لِلزَّوْجِ مُطَالَبَةُ الْوَكِيلِ وَحْدَهُ، وَلَيْسَ لَهُ مُطَالَبَتُهَا وَلِلْوَكِيلِ أَنْ يَسْتَوْفِيَ ذَلِكَ مِنْهَا قَبْلَ الْغُرْمِ، فَهَذَا حُكْمُ الْخُلْعِ عَنْهَا مُعَجَّلًا بِمَهْرِ الْمِثْلِ مِنْ غَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ وَهَذَا الْحُكْمُ لَوْ خَالَعَ عَنْهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ مِنْ غَالِبِ النَّقْدِ لِأَنَّهُ إِذَا لَزِمَهَا الْخُلْعُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ كَانَ بِمَا دُونَهُ أَلْزَمَ، وَهَكَذَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ مُؤَجَّلًا جَازَ، وَلَزِمَهَا، لِأَنَّهُ لَمَّا أَلْزَمَهَا بِالْمُعَجَّلِ كَانَ بِالْمُؤَجَّلِ أَلْزَم، وَلِأَنَّ لَهَا تَعْجِيلَ الْمُؤَجَّلِ.

Pendapat kedua: istri tidak menanggungnya terhadap suami, karena ia tidak secara langsung melakukan akad dan namanya tidak disebutkan dalam akad tersebut. Dengan demikian, suami hanya berhak menuntut wakil saja, dan tidak berhak menuntut istri. Wakil boleh menagih dari istri sebelum ia menanggung kerugian. Inilah hukum khulu‘ atas nama istri secara langsung dengan mahar mitsil dari mayoritas mata uang yang berlaku di negeri tersebut. Hukum ini juga berlaku jika wakil melakukan khulu‘ atas nama istri dengan jumlah kurang dari mahar mitsil dari mayoritas mata uang, karena jika istri wajib menanggung khulu‘ dengan mahar mitsil, maka dengan jumlah yang kurang dari itu lebih wajib lagi. Demikian pula, jika dengan mahar mitsil secara tangguh (tidak tunai), maka itu sah dan menjadi kewajiban istri, karena jika ia diwajibkan membayar secara tunai, maka dengan pembayaran secara tangguh lebih wajib lagi, dan karena istri boleh mempercepat pembayaran yang ditangguhkan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَعْدِلَ عَمَّا كَانَ يَقْتَضِيهِ إِطْلَاقُ الْعَقْدِ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ إِلَى غَيْرِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: yaitu jika wakil menyimpang dari ketentuan akad mutlak berupa mahar mitsil kepada selainnya, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْدِلَ إِلَى الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ مِنْ جِنْسِهِ كَأَنَّهُ كَانَ مَهْرُ مِثْلِهَا أَلْفًا فَخَالَعَ عَنْهَا بِأَلْفَيْنِ فَالْأَلْفُ الَّتِي هِيَ مَهْرُ الْمِثْلِ لَازِمَةٌ لِلزَّوْجَةِ، وَفِي الْأَلْفِ الزَّائِدَةِ قَوْلَانِ:

Salah satunya: yaitu menyimpang kepada tambahan dari jenis yang sama, misalnya mahar mitsilnya seribu, lalu wakil melakukan khulu‘ atas nama istri dengan dua ribu. Maka seribu yang merupakan mahar mitsil tetap menjadi kewajiban istri, dan untuk seribu yang lebih ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا بَاطِلَةٌ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ سَاقِطَةٌ عَنْهَا لِتَعَدِّي الْوَكِيلِ بِهَا ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الْوَكِيلِ فَإِنْ كَانَ قَدْ ضَمِنَ الْعِوَضَ إِمَّا بِالشَّرْطِ أَوْ بِإِطْلَاقِ الْعَقْدِ غَرِمَ الْأَلْفَ الزَّائِدَةَ لِلزَّوْجِ لِدُخُولِهَا فِي ضَمَانِهَا وَإِنْ لَمْ يَضْمَنِ الْعِوَضَ لِاشْتِرَاطِهِ لَهُ فِي ذِمَّةِ الزَّوْجَةِ فِي غُرْمِهِ لِلْأَلْفِ الزَّائِدَةِ وَجْهَانِ:

Salah satunya: bahwa tambahan tersebut batal bagi istri dan gugur darinya karena wakil telah melampaui batas. Kemudian, dilihat pada wakil: jika ia telah menanggung kompensasi, baik dengan syarat maupun dengan akad mutlak, maka ia wajib membayar seribu tambahan itu kepada suami karena telah termasuk dalam tanggungannya. Jika ia tidak menanggung kompensasi karena mensyaratkan tanggungan itu pada istri, maka dalam hal ia menanggung seribu tambahan itu ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ لَا يَغْرَمُهَا، لِأَنَّهُ لَمْ يَضْمَنْهَا.

Salah satunya, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i: ia (wakil) tidak wajib membayarnya, karena ia tidak menanggungnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ يَغْرَمُهَا عَلَى قَوْلَيْهِ أَنَّ الْوَكِيلَ مَأْخُوذٌ بِاسْتِيفَاءِ الْعِوَضِ وَإِنْ لَمْ يَضْمَنْهَا فِي الِابْتِدَاءِ فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَوِ الْتَزَمَتِ الزَّوْجَةُ الْأَلْفَ الزَّائِدَةَ لِلزَّوْجِ كَانَتْ هِبَةً مِنْهَا لَهُ لَا تَتِمُّ إِلَّا بِبَذْلِهَا وَقَبُولِهِ وَقَبْضِهِ وَلَا يَبْرَأُ الْوَكِيلُ مِنْ غُرْمِهَا لِلزَّوْجِ.

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat yang tampak dari Abu al-‘Abbas Ibn Surayj: ia (wakil) wajib membayarnya menurut dua pendapatnya, karena wakil dianggap bertanggung jawab untuk memenuhi kompensasi, meskipun ia tidak menanggungnya sejak awal. Menurut pendapat ini, jika istri berkomitmen untuk membayar seribu tambahan kepada suami, maka itu dianggap sebagai hibah darinya kepada suami yang tidak sah kecuali dengan penyerahan, penerimaan, dan pengambilan, dan wakil tidak terbebas dari kewajiban membayar seribu tambahan itu kepada suami.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْخُلْعَ فِي الْأَلْفِ الزَّائِدَةِ مَوْقُوفٌ عَلَى إِجَازَتِهَا لَا يَبْطُلُ إِلَّا أَنْ تَخْتَارَ الزَّوْجَةُ إِبْطَالَهَا، لِأَنَّهَا كَالْعَيْبِ الدَّاخِلِ عَلَيْهَا فَأَوْجَبَ خِيَارَهَا كَسَائِرِ الْعُيُوبِ فَإِنِ اخْتَارَتْ فَسْخَ الْأَلْفِ الزَّائِدَةِ سَقَطَتْ عَنْهَا، وَالْكَلَامُ فِي غُرْمِ الْوَكِيلِ عَلَى مَا مَضَى، فَإِنِ اخْتَارَتِ الْتِزَامَهَا لَزِمَتْهَا الْأَلْفَانِ بِالْعَقْدِ، وَلَمْ يَلْزَمِ الْوَكِيلَ غُرْمُهَا.

Pendapat kedua: bahwa khulu‘ atas seribu tambahan itu tergantung pada persetujuan istri, tidak batal kecuali jika istri memilih untuk membatalkannya, karena hal itu seperti cacat yang masuk kepadanya sehingga memberinya hak memilih seperti cacat-cacat lainnya. Jika ia memilih untuk membatalkan seribu tambahan itu, maka gugurlah kewajiban darinya, dan pembahasan tentang kewajiban wakil mengikuti penjelasan sebelumnya. Jika ia memilih untuk berkomitmen membayarnya, maka dua ribu itu menjadi kewajibannya berdasarkan akad, dan wakil tidak wajib membayar kerugian itu.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ عليها فيهما إلا بالألف الَّتِي هِيَ مَهْرُ الْمِثْلِ أَنَّهَا إِذَا الْتَزَمَتِ الْأَلْفَ الزَّائِدَةَ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ لِلزَّوْجِ كَانَتْ هِبَةَ تَبَرُّعٍ لَا يَسْقُطُ عَنِ الْوَكِيلِ غُرْمُهَا، وَإِذَا الْتَزَمَهَا عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي كَانَتْ عِوَضًا فِي خُلْعٍ يُسْقِطُ غُرْمَهَا عَنِ الْوَكِيلِ.

Perbedaan antara dua pendapat tersebut, meskipun dalam keduanya tidak wajib atasnya kecuali seribu dirham yang merupakan mahar mitsil, adalah bahwa jika ia (istri) berkomitmen untuk membayar seribu dirham tambahan menurut pendapat pertama kepada suami, maka itu dianggap sebagai hibah (pemberian sukarela) yang tidak gugur tanggung jawabnya dari wakil. Namun, jika ia berkomitmen menurut pendapat kedua, maka itu dianggap sebagai ‘iwadh (pengganti) dalam khulu‘ yang menggugurkan tanggung jawabnya dari wakil.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَعْدِلَ الْوَكِيلُ عَنْ جِنْسِ الْمَهْرِ إِلَى غَيْرِهِ كَأَنَّهُ كَانَ مَهْرُ الْمِثْلِ دَرَاهِمَ فَخَالَعَ عَنْهَا بِغَيْرِ دَرَاهِمَ فَهَذَا عَلَى ضربين:

Jenis kedua: Wakil mengganti jenis mahar kepada selainnya, misalnya mahar mitsil berupa dirham, lalu ia melakukan khulu‘ atas selain dirham. Maka hal ini terbagi menjadi dua jenis:

أحدهما: أن يعدل على الدَّرَاهِمِ إِلَى مَا لَا يُسْتَبَاحُ مِنْ خَمْرٍ أَوْ خِنْزِيرٍ فَيُخَالِعَ بِهِ عَنْهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Pertama: Mengganti dari dirham kepada sesuatu yang tidak boleh dimiliki, seperti khamr (minuman keras) atau babi, lalu dilakukan khulu‘ dengannya. Ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَجْعَلَ الزَّوْجُ طَلَاقَهَا نَاجِزًا عَلَى خَمْرٍ فِي الذِّمَّةِ فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ وَالْخُلْعُ فَاسِدٌ، وَلِلزَّوْجِ مَهْرُ الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا وَلَا خِيَارَ لِلزَّوْجَةِ فِيهِ وَلَا يَضْمَنُ الْوَكِيلُ إِنْ لَزِمَهُ الضَّمَانُ سِوَاهُ.

Pertama: Suami menjadikan talaknya langsung dengan imbalan khamr yang menjadi tanggungan. Maka talaknya sah, tetapi khulu‘nya fasid (rusak/tidak sah), dan suami berhak atas mahar mitsil menurut satu pendapat, serta istri tidak memiliki hak memilih dalam hal ini, dan wakil tidak menanggungnya jika tanggung jawab itu wajib atas selainnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَجْعَلَ الطَّلَاقَ مُعَلَّقًا عَلَى خَمْرٍ بِعَيْنِهِ فَفِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهِ مَذْهَبَانِ:

Kedua: Menjadikan talak tergantung pada khamr tertentu. Dalam hal jatuhnya talak dengan cara ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَقَعُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْمِلْكِ الْمَفْقُودِ فَعَلَى هَذَا لَا شَيْءَ لِلزَّوْجِ.

Pertama: Tidak jatuh talak, karena mengedepankan hukum kepemilikan yang tidak ada. Maka dalam hal ini, suami tidak mendapatkan apa-apa.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّ الطَّلَاقَ وَاقِعٌ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الصِّفَةِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَسْتَحِقُّ الزَّوْجُ الْخَمْرَ، لِأَنَّهَا لَا تُمْلَكُ، وَلَا قِيمَتُهَا، لِأَنَّهُ لَا قِيمَةَ لَهَا، وَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِمَهْرِ الْمِثْلِ بَدَلًا مِنْهَا وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Talak jatuh, karena mengedepankan hukum sifat. Maka dalam hal ini, suami tidak berhak atas khamr, karena khamr tidak dapat dimiliki, dan juga tidak berhak atas nilainya, karena khamr tidak memiliki nilai. Dalam hal berhaknya suami atas mahar mitsil sebagai pengganti dari khamr, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا مَهْرَ لَهُ، لِأَنَّهُ لَا بَدَلَ لِلْخَمْرِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ طَلَاقُهُ رَجْعِيًّا.

Pertama: Suami tidak berhak atas mahar, karena tidak ada pengganti untuk khamr. Maka dalam hal ini, talaknya menjadi raj‘i (dapat rujuk).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ مَهْرُ الْمِثْلِ بَدَلًا مِنِ اسْتِهْلَاكِ الْبُضْعِ عَلَيْهِ بِعِوَضٍ فَاسِدٍ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ طَلَاقُهُ بَائِنًا، وَعَلَى الزَّوْجَةِ غُرْمُ الْمَهْرِ وَضَمَانُ الْوَكِيلِ لَهُ عَلَى مَا مَضَى.

Pendapat kedua: Suami berhak atas mahar mitsil sebagai pengganti dari penggunaan kemaluan dengan imbalan yang fasid. Maka dalam hal ini, talaknya menjadi bain (tidak dapat rujuk), dan istri wajib menanggung mahar, serta wakil menanggungnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يعدل الوكيل عن الدَّرَاهِمِ الَّتِي هِيَ الْغَالِبُ مِنْ نُقُودِ الْمَهْرِ إِلَى غَيْرِهَا مِنَ الْأَمْوَالِ الْمُسْتَبَاحَةِ كَالدَّنَانِيرِ أَوْ كَالْحُلِيِّ وَالثِّيَابِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Wakil mengganti dari dirham, yang umumnya merupakan mata uang mahar, kepada selainnya dari harta yang boleh dimiliki seperti dinar, perhiasan, atau pakaian. Maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ نَاجِزًا عَلَى مَالٍ فِي الذِّمَّةِ فَلَا يَخْلُو مَا طَلَّقَهَا عَلَيْهِ فِي الذِّمَّةِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مَعْلُومًا أَوْ مَجْهُولًا، فَإِنْ كَانَ مَجْهُولًا كَأَنَّهُ طَلَّقَهَا عَلَى ثَوْبٍ أَوْ عَبْدٍ، وَلَيْسَ لِلزَّوْجِ مِنْهُ إِلَّا مَهْرُ الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ الْمَجْهُولَ لَا قِيمَةَ لَهُ، فَعَلَى هَذَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ وَلَا خِيَارَ لَهَا، وَالْكَلَامُ فِي ضَمَانِ الْوَكِيلِ لِمَهْرِ الْمِثْلِ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ كَانَ فِي الذِّمَّةِ مَعْلُومًا كَأَنْ خَالَعَهَا عَلَى مِائَةِ دِينَارٍ وَمَهْرُ مِثْلِهَا أَلْفُ دِرْهَمٍ فَفِي بُطْلَانِ الْخُلْعِ عَلَى الدَّنَانِيرِ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ قَوْلَانِ:

Pertama: Talak dilakukan secara langsung atas harta yang menjadi tanggungan. Harta yang dijadikan dasar talak dalam tanggungan itu tidak lepas dari dua keadaan: diketahui atau tidak diketahui. Jika tidak diketahui, seperti talak atas sehelai pakaian atau seorang budak, maka suami hanya berhak atas mahar mitsil menurut satu pendapat, karena yang tidak diketahui tidak memiliki nilai. Dalam hal ini, suami kembali kepada istri dengan mahar mitsil dan istri tidak memiliki hak memilih, dan pembahasan tentang tanggung jawab wakil atas mahar mitsil sebagaimana telah dijelaskan. Jika harta dalam tanggungan itu diketahui, seperti khulu‘ atas seratus dinar, sedangkan mahar mitsilnya seribu dirham, maka dalam batalnya khulu‘ atas dinar bagi istri terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْخُلْعَ عَلَيْهَا بَاطِلٌ فِي حَقِّهَا سَوَاءٌ كَانَتْ بِقِيمَةِ الْأَلْفِ الَّتِي هِيَ مَهْرُ مِثْلِهَا أَوْ أَكْثَرَ وَلَا يَلْزَمُهَا إِلَّا الْأَلْفُ دِرْهَمٍ الَّتِي هِيَ مَهْرُ الْمِثْلِ فَإِنْ رَضِيَ بِهَا الزَّوْجُ لَمْ يَرْجِعْ بِغَيْرِهَا عَلَى الْوَكِيلِ، وَإِنْ لَمْ يَرْضَ كَانَ لَهُ رَدُّهَا عَلَى الْوَكِيلِ إِنْ كَانَ الْوَكِيلُ ضَامِنًا عَلَى مَا ذَكَرْنَا، وَمُطَالَبَةُ الْوَكِيلِ بِالْمِائَةِ دِينَارٍ الَّتِي خَالَعَهُ بِهَا فَإِنِ امْتَنَعَ الزَّوْجُ مِنْ قَبْضِ الدَّرَاهِمِ مِنْهَا لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهَا، وَرَجَعَ عَلَى الْوَكِيلِ بِالدَّنَانِيرِ، وَرَجَعَ الْوَكِيلُ بِالدَّرَاهِمِ عَلَى الزَّوْجَةِ.

Pertama: Khulu‘ atas dinar batal baginya, baik nilainya sama dengan seribu dirham yang merupakan mahar mitsilnya atau lebih, dan ia tidak wajib kecuali seribu dirham yang merupakan mahar mitsil. Jika suami ridha dengan itu, maka ia tidak menuntut selainnya kepada wakil. Jika tidak ridha, maka ia berhak mengembalikannya kepada wakil jika wakilnya memang bertanggung jawab sebagaimana telah disebutkan, dan menuntut wakil dengan seratus dinar yang menjadi dasar khulu‘. Jika suami menolak menerima dirham darinya, maka ia tidak dipaksa menerimanya, dan ia menuntut wakil dengan dinar, lalu wakil menuntut istri dengan dirham.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْخُلْعَ عَلَى الدَّنَانِيرِ لَا يَبْطُلُ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ، وَيَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى إِجَازَتِهَا، فَإِنْ أَجَازَتِ الْخُلْعَ بِهَا دَفَعَتْهَا إِلَى الزَّوْجِ بَرِئَ مِنْهَا الْوَكِيلُ وَإِنْ فَسَخَتِ الْخُلْعَ وَرَجَعَتْ إِلَى مَهْرِ الْمِثْلِ غَرِمَتِ الْأَلْفَ دِرْهَمٍ، وَكَانَ الْكَلَامُ فِي رُجُوعِ الزَّوْجِ عَلَى الْوَكِيلِ بِالدَّنَانِيرِ إِنْ كَانَ ضَامِنًا لَهَا عَلَى مَا مَضَى.

Pendapat kedua: Bahwa khulu‘ dengan dinar tidak batal bagi istri, dan statusnya tergantung pada persetujuannya. Jika ia menyetujui khulu‘ dengan dinar tersebut, maka ia menyerahkannya kepada suami dan wakil terbebas darinya. Namun jika ia membatalkan khulu‘ dan kembali kepada mahar mitsil, maka ia wajib membayar seribu dirham. Dan pembahasan ini terkait dengan hak suami untuk menuntut wakil atas dinar tersebut jika wakil menjaminnya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ مُقَيَّدًا بِعَيْنِ لمال كَأَنَّهُ قَالَ: قَدْ طَلَّقْتُهَا عَلَى هَذَا الْعَبْدِ بِعَيْنِهِ، فَفِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الطَّلَاقِ إِذَا كَانَ عَلَى عِوَضٍ فِي الذِّمَّةِ مِمَّا لَا يَلْزَمُهَا، هَلْ يَكُونُ الْخُلْعُ بِهِ بَاطِلًا فِي حَقِّهَا أَوْ مَوْقُوفًا عَلَى إِجَازَتِهَا؟ .

Jenis kedua: Yaitu talak yang dikaitkan dengan barang tertentu sebagai imbalan, misalnya ia berkata: “Aku telah menceraikannya dengan imbalan budak ini secara spesifik.” Dalam hal jatuhnya talak dengan cara ini terdapat dua pendapat, yang dibangun atas perbedaan pendapat mengenai talak jika dilakukan dengan imbalan yang menjadi tanggungan, yang tidak wajib atas istri: Apakah khulu‘ dengan cara ini batal baginya ataukah tergantung pada persetujuannya?

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ باطل لم يقع الطلاق هاهنا، لِأَنَّهُ مُقَيَّدٌ بِتَمَلُّكِ عَيْنٍ لَمْ تُمَلَّكْ.

Jika dikatakan: Bahwa hal itu batal, maka talak tidak terjadi di sini, karena dikaitkan dengan kepemilikan barang tertentu yang belum dimiliki.

(10/94)

(10/94)

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى إِجَازَتِهَا وَقَعَ الطَّلَاقُ بَائِنًا، وَكَانَتْ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْخُلْعِ وَفَسْخِهِ، فَإِنْ أَمْضَتِ الْخُلْعَ عَلَى ذَلِكَ الْعَبْدِ بِعَيْنِهِ سَلَّمَتْهُ إِلَى الزَّوْجِ وَبَرِئَ الْوَكِيلُ مِنْ ضَمَانِهِ إِنْ لَزِمَهُ الضَّمَانُ، وَإِنْ فَسَخَتْهُ لَزِمَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، فَإِذَا أَخَذَهُ الزَّوْجُ فَإِنْ كَانَ بِقَدْرِ قِيمَةِ الْعَبْدِ لَمْ يَرْجِعْ عَلَى الْوَكِيلِ بِشَيْءٍ وَلَمْ يَسْتَحِقَّ عَلَيْهِ الْمُطَالَبَةَ بِعَيْنِ الْعَبْدِ، لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُهُ، وَلَيْسَ لَهُ عَلَيْهِ إِلَّا قِيمَتُهُ، وَقَدْ أَخَذَهَا مِنَ الزَّوْجَةِ، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الْعَبْدِ أَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ رَجَعَ الزَّوْجُ عَلَى الْوَكِيلِ إِنْ كَانَ ضَامِنًا بِالْفَاضِلِ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ مِنْ قِيمَةِ الْعَبْدِ فَهَذَا حُكْمُ الْوَكَالَةِ إِذَا كَانَتْ مُطْلَقَةً.

Dan jika dikatakan: Bahwa statusnya tergantung pada persetujuannya, maka talak jatuh secara bain, dan ia berhak memilih antara melanjutkan khulu‘ atau membatalkannya. Jika ia melanjutkan khulu‘ dengan budak tersebut secara spesifik, maka ia menyerahkannya kepada suami dan wakil terbebas dari tanggung jawab jika memang wajib menanggungnya. Namun jika ia membatalkannya, maka ia wajib membayar mahar mitsil. Jika suami telah mengambil budak tersebut dan nilainya setara dengan mahar mitsil, maka suami tidak dapat menuntut apapun dari wakil dan tidak berhak menuntut budak itu secara spesifik, karena ia tidak memilikinya, dan ia hanya berhak atas nilainya, yang telah diambil dari istri. Namun jika nilai budak tersebut lebih besar dari mahar mitsil, maka suami dapat menuntut wakil jika wakil menjamin kelebihan nilai budak atas mahar mitsil. Inilah hukum wakalah jika dilakukan secara mutlak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْوَكَالَةُ مُقَيَّدَةً كَأَنَّهَا ذَكَرَتْ لَهُ جِنْسًا مِنَ الْمَالِ مُقَدَّرًا تَخَالَعَ بِهِ عَنْهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Yaitu jika wakalah dibatasi, misalnya istri menyebutkan kepada wakilnya jenis harta tertentu dengan nilai tertentu untuk melakukan khulu‘ atas namanya. Dalam hal ini terdapat dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ مَا عَيَّنَتْ عَلَيْهِ لَا يَجُوزُ الْمُخَالَعَةُ بِهِ، وَذَلِكَ قَدْ يَكُونُ مِنْ وُجُوهٍ إِمَّا لِكَوْنِهِ مَغْصُوبًا، أَوْ لِكَوْنِهِ مَرْهُونًا، وَإِمَّا لِكَوْنِهِ مُحَرَّمًا مِنْ وَقْفٍ أَوْ خَمْرٍ أَوْ خِنْزِيرٍ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُخَالِعَ عَنْهَا مَعَ هَذَا النَّصِّ إِلَّا بِمَهْرِ الْمِثْلِ، وَيَكُونُ الْحُكْمُ فِيهِ كَمَا لَوْ أَطْلَقَتْ مِنْ غَيْرِ نَصٍّ فَيَكُونُ الْحُكْمُ فِيمَا يَفْعَلُهُ الْوَكِيلُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ التَّقْسِيمِ، لِأَنَّ النَّصَّ غَيْرُ مُقَيَّدٍ.

Pertama: Apa yang ia tentukan tidak boleh dijadikan objek khulu‘, dan hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab: bisa jadi karena barang tersebut adalah barang hasil ghasab (hasil rampasan), atau barang gadai, atau barang yang haram seperti barang wakaf, khamr, atau babi. Maka tidak boleh melakukan khulu‘ atas nama istri dengan ketentuan seperti ini kecuali dengan mahar mitsil, dan hukumnya sama seperti jika ia tidak menyebutkan secara spesifik, sehingga hukum atas tindakan wakil mengikuti pembagian yang telah dijelaskan sebelumnya, karena ketentuannya tidak bersifat membatasi.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَا نَصَّتْ عَلَيْهِ يَجُوزُ الْخُلْعُ بِهِ كَأَنَّهَا أَمَرَتْهُ أَنْ يُخَالِعَ عَنْهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ أَوْ بِعَبْدٍ بِعَيْنِهِ فَلِلْوَكِيلِ حَالَتَانِ:

Bentuk kedua: Apa yang ia sebutkan boleh dijadikan objek khulu‘, misalnya ia memerintahkan wakilnya untuk melakukan khulu‘ atas namanya dengan seratus dinar atau dengan budak tertentu. Maka bagi wakil terdapat dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يُخَالِعَ بِمَا أَمَرَتْ بِهِ، وَلَا يَعْدِلَ عَنْهُ، فَالْخُلْعُ جَائِزٌ، فَإِنْ كَانَ عَلَى عَبْدٍ بِعَيْنِهِ لَمْ يَضْمَنْهُ الْوَكِيلُ، لِأَنَّ الْأَعْيَانَ لَا تَثْبُتُ فِي الذِّمَمِ، وَكَانَ مُسَلَّطًا عَلَى تَسْلِيمِ الْعَبْدِ مِنْ غَيْرِ إِذْنٍ، لِأَنَّ التَّسْلِيمَ مِنْ لَوَازِمِ الْإِذْنِ، وَإِنْ كَانَ عَلَى مَالٍ فِي الذِّمَّةِ كَانَ ضَمَانُهُ عَلَى الْوَكِيلِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ، وَهَلْ يَكُونُ الْوَكِيلُ مُسَلَّطًا عَلَى تَسْلِيمِهِ مِنْ غَيْرِ تَحْدِيدِ إِذْنٍ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pertama: Ia melakukan khulu‘ dengan apa yang diperintahkan, dan tidak menyimpang darinya, maka khulu‘ itu sah. Jika dilakukan dengan budak tertentu, wakil tidak menanggungnya, karena barang tertentu tidak menjadi tanggungan, dan ia diberi kewenangan untuk menyerahkan budak tersebut tanpa izin lagi, karena penyerahan adalah bagian dari konsekuensi izin. Jika dilakukan dengan harta dalam tanggungan, maka penjaminnya adalah wakil, sebagaimana telah dijelaskan dalam tiga pembagian sebelumnya. Apakah wakil diberi kewenangan untuk menyerahkannya tanpa izin khusus atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُسَلَّطٌ عَلَى تَسْلِيمِهِ مِنْ غَيْرِ إِذْنٍ كَالْمُعَيَّنِ لِاسْتِحْقَاقِهِمَا مَعًا بِالْإِذْنِ الْمُتَقَدِّمِ.

Pertama: Ia diberi kewenangan untuk menyerahkannya tanpa izin khusus, sebagaimana pada barang tertentu, karena keduanya sama-sama berhak atas dasar izin sebelumnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ إِلَّا بِإِذْنِهَا بِخِلَافِ الْمُعَيَّنِ.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak melakukan itu kecuali dengan izin istri, berbeda dengan barang tertentu.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمُعَيَّنَ لَا خِيَارَ لَهَا فِي الْعُدُولِ عَنْهُ فَجَازَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُسَلَّطَ عَلَى أَخْذِهِ، وَلَهَا فِي غَيْرِ الْمُعَيَّنِ أَنْ تَعْدِلَ إِلَى مَا شَاءَتْ مِنْ جِنْسِهِ، فَلَمْ يَتَسَلَّطِ الْوَكِيلُ عَلَى أَخْذِهِ وَقُطِعَ خِيَارُهَا فِيهِ، فَلَوْ أَذِنَتْ أَنْ يُخَالِعَ عَنْهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَخَالَعَ عَنْهَا بِخَمْسِينَ أَوْ أَذِنَتْ أَنْ يُخَالِعَ عَنْهَا بِعَبْدٍ فَخَالَعَ عَنْهَا بِبَعْضِهِ لَزِمَ فِي الْحَالَيْنِ، لِأَنَّهُ إِذَا لَزِمَهَا بِالْأَكْثَرِ كَانَ الْأَقَلُّ أَلْزَمَ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pada barang yang telah ditentukan, ia (istri) tidak memiliki pilihan untuk beralih darinya, sehingga diperbolehkan bagi wakil untuk diberi wewenang mengambilnya. Sedangkan pada barang yang tidak ditentukan, ia (istri) boleh beralih kepada apa saja yang ia kehendaki dari jenisnya, sehingga wakil tidak berwenang mengambilnya dan hak pilihnya pun terputus dalam hal ini. Maka, jika ia mengizinkan untuk melakukan khulu‘ atas namanya dengan seratus dinar, lalu wakil melakukan khulu‘ atas namanya dengan lima puluh dinar, atau ia mengizinkan untuk melakukan khulu‘ atas namanya dengan seorang budak, lalu wakil melakukan khulu‘ atas namanya dengan sebagian budak tersebut, maka keduanya tetap sah dan mengikat. Sebab, jika yang lebih banyak saja mengikatnya, maka yang lebih sedikit tentu lebih mengikat.

(10/95)

(10/95)

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَعْدِلَ الْوَكِيلُ عَمَّا أَذِنَتْ فِيهِ وَنَصَّتْ عَلَيْهِ إِلَى غَيْرِهِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ أَنْ يَعْدِلَ عَنْهُ إِلَى مَهْرِ الْمِثْلِ، فَالْخُلْعُ جَائِزٌ، وَمَهْرُ الْمِثْلِ لَازِمٌ لَهَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهَا بِالْمُخَالَفَةِ إِلَّا مَهْرُ الْمِثْلِ، فَإِذَا عَدَلَ عَنْهُ وَهُوَ مُوجِبٌ مُخَالَفَتَهُ صَارَ فِي اسْتِحْقَاقٍ عَلَيْهَا كَالْمُسْتَحَقِّ فِي مُوَافَقَتِهِ فَتَصِيرُ الْمُخَالَفَةُ فِي حُكْمِ الْمُوَافَقَةِ، وَقَلَّ أَنْ يَكُونَ هَذَا إِلَّا فِي مَوَاضِعَ نَادِرَةٍ، فَلَوْ خَالَعَ عَنْهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ كَانَ أَجْوَزَ.

Keadaan kedua: yaitu wakil beralih dari apa yang telah diizinkan dan disebutkan secara tegas oleh istri kepada selainnya. Dalam hal ini terdapat dua bentuk: pertama, beralih kepada mahar mitsil (mahar sepadan), maka khulu‘ itu sah dan mahar mitsil wajib baginya (istri); karena tidak wajib atasnya dengan penyimpangan kecuali mahar mitsil. Maka jika wakil beralih darinya, padahal itu mewajibkan penyimpangan, maka dalam hal hak yang diperoleh darinya (istri) menjadi seperti hak yang diperoleh dalam hal kesesuaian, sehingga penyimpangan itu dalam hukum dianggap seperti kesesuaian. Dan hal ini jarang terjadi kecuali dalam beberapa kasus yang langka. Maka jika wakil melakukan khulu‘ atas namanya dengan kurang dari mahar mitsil, itu lebih diperbolehkan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَعْدِلَ عَنْ مَهْرِ الْمِثْلِ وَعَمَّا سَمَّتْ إِلَى غَيْرِهِمَا مِمَّا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْأَقْسَامِ فَفِي بُطْلَانِ الْعَقْدِ قَوْلَانِ:

Bentuk kedua: yaitu beralih dari mahar mitsil dan dari apa yang telah ia sebutkan kepada selain keduanya, dari apa pun yang menyebabkan terjadinya talak sebagaimana telah kami jelaskan dari berbagai macam bagian, maka dalam batalnya akad terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ بَاطِلٌ، وَإِنْ وَقَعَ فِيهِ الطَّلَاقُ.

Salah satunya: bahwa akad itu batal, meskipun talak telah terjadi di dalamnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى خِيَارِهَا فَيَكُونُ فِيهِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَائِهِ وَفَسْخِهِ فَإِذَا قُلْنَا إِنَّهُ بَاطِلٌ فَفِيمَا يَلْزَمُهَا قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: bahwa akad itu tergantung pada pilihan istri, sehingga ia memiliki hak memilih antara melanjutkan atau membatalkannya. Jika kami katakan bahwa akad itu batal, maka mengenai apa yang wajib atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ الْمِثْلِ سَوَاءٌ كَانَ أَكْثَرَ مِمَّا بَذَلَتْ أَوْ أَقَلَّ، لِأَنَّ فَسَادَ الْعَقْدِ يُوجِبُ قِيمَةَ الْمُسْتَهْلَكِ فِيهِ.

Salah satunya: mahar mitsil, baik lebih banyak dari yang ia serahkan maupun lebih sedikit, karena rusaknya akad mewajibkan nilai dari apa yang telah digunakan di dalamnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِمَا أَكْثَرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ أَوْ مَا بَذَلَتْ؛ لِأَنَّهَا قَدْ طَابَتْ بِهِ نَفْسًا.

Pendapat kedua: wajib atas keduanya yang lebih banyak dari dua hal, yaitu mahar mitsil atau apa yang telah ia serahkan; karena ia telah rela dengan itu.

مِثَالُهُ: أَنْ تَكُونَ أَذِنَتْ لَهُ أَنْ يُخَالِعَ عَنْهَا بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فَخَالَعَ عَنْهَا بِأَلْفَيْنِ، فَإِنْ كَانَ مَهْرُ مِثْلِهَا خَمْسُمِائَةٍ، لَزِمَهَا الْأَلْفُ الَّتِي بَذَلَتْ؛ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ وَإِنْ كَانَ مَهْرُ مِثْلِهَا أَلْفًا وَخَمْسَمِائَةٍ لَزِمَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ أَلْفٌ وَخَمْسُمِائَةٍ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ.

Contohnya: jika ia mengizinkan wakilnya untuk melakukan khulu‘ atas namanya dengan seribu dirham, lalu wakil melakukan khulu‘ atas namanya dengan dua ribu dirham. Jika mahar mitsilnya adalah lima ratus, maka yang wajib atasnya adalah seribu yang telah ia serahkan, karena itu lebih banyak. Dan jika mahar mitsilnya adalah seribu lima ratus, maka yang wajib atasnya adalah mahar mitsil, yaitu seribu lima ratus, karena itu lebih banyak.

وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْعَقْدَ مَوْقُوفٌ عَلَى خِيَارِهَا فَإِنِ اخْتَارَتِ الْإِمْضَاءَ لَزِمَهَا الْمُسَمَّى، وَإِنِ اخْتَارَتِ الْفَسْخَ فَفِيمَا يَلْزَمُهَا قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى:

Dan jika kami katakan: bahwa akad itu tergantung pada pilihan istri, maka jika ia memilih untuk melanjutkan, maka yang wajib atasnya adalah jumlah yang disebutkan (dalam akad). Dan jika ia memilih untuk membatalkan, maka mengenai apa yang wajib atasnya terdapat dua pendapat sebagaimana telah lalu:

أَحَدُهُمَا: مَهْرُ الْمِثْلِ لَا غَيْرَ.

Salah satunya: mahar mitsil saja, tidak selainnya.

وَالثَّانِي: أَكْثَرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ أَوْ مَا بَذَلَتْ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ.

Dan yang kedua: yang lebih banyak dari dua hal, yaitu mahar mitsil atau apa yang telah ia serahkan, sebagaimana telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ ذَهَبَ إِلَى أَنَّ مُخَالَفَةَ الْوَكِيلِ مُوجِبَةٌ لفسادة الْعَقْدِ وَرَفْعِ الطَّلَاقِ، وَاعْتِبَارًا بِمُخَالَفَةِ وَكِيلِ الزَّوْجِ.

Adapun al-Muzani, ia berpendapat bahwa penyimpangan wakil menyebabkan rusaknya akad dan menggugurkan talak, dengan pertimbangan seperti penyimpangan wakil suami.

قُلْنَا: أَمَّا فَسَادُ الْعَقْدِ بِالْمُخَالَفَةِ فَصَحِيحٌ، وَأَمَّا رَفْعُ الطَّلَاقِ فِيهِ اعْتِبَارًا بِوَكِيلِ الزَّوْجِ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ إِشَارَةً مِنْهُ إِلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، فَهُوَ خَطَأٌ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مَذْهَبًا لِنَفْسِهِ، فَهُوَ مُخْطِئٌ فِيهِ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ مَعَ فَسَادِ الْخُلْعِ كَمَا يَقَعُ مَعَ صِحَّتِهِ، وَخَالَفَ الْبَيْعَ فِيهِ وَإِنْ وَافَقَهُ فِي بَعْضِ أَحْكَامِهِ، وَخَالَفَ وَكِيلُ الزَّوْجِ بِمَا سَنَذْكُرُهُ مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا وَمَا ذَكَرَهُ مِنَ الِاسْتِشْهَادِ بِوَكِيلِ الْبَائِعِ إِذَا خَالَفَ مُوَكِّلَهُ فَوَهْمٌ مِنْهُ؛ لِأَنَّ

Kami katakan: Adapun rusaknya akad karena penyimpangan, itu benar. Namun, mengenai gugurnya talak di dalamnya dengan pertimbangan seperti wakil suami, maka jika itu merupakan isyarat darinya kepada mazhab asy-Syafi‘i, maka itu adalah kesalahan menurut asy-Syafi‘i. Dan jika itu adalah pendapat pribadinya, maka ia juga keliru di dalamnya, karena talak tetap jatuh meskipun khulu‘nya rusak, sebagaimana talak jatuh ketika khulu‘nya sah. Hal ini berbeda dengan jual beli, meskipun dalam beberapa hukumnya ada kesamaan, dan berbeda pula dengan wakil suami sebagaimana akan kami sebutkan perbedaannya. Dan apa yang ia sebutkan sebagai dalil dengan wakil penjual jika menyelisihi pemberi kuasa, maka itu adalah kekeliruan darinya, karena

(10/96)

(10/96)

وَكِيلَ الْبَائِعِ يَقُومُ فِي الْخُلْعِ مَقَامَ وَكِيلِ الزَّوْجِ، وَلَا يَقُومُ مَقَامَ وَكِيلِ الزَّوْجَةِ كَمَا أَنَّ وَكِيلَ الْمُشْتَرِي يَقُومُ مَقَامَ وَكِيلِ الزَّوْجَةِ دون الزوج والله أعلم.

Wakil penjual menempati posisi wakil suami dalam khul‘, dan tidak menempati posisi wakil istri, sebagaimana wakil pembeli menempati posisi wakil istri dan bukan wakil suami. Allah lebih mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَلَوْ وَكَّلَ مَنْ يُخَالِعُهَا بِمِائَةٍ فَخَالَعَهَا بِخَمْسِينَ فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ كَمَا قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ بِمِائَةٍ فَأَعْطَتْهُ خَمْسِينَ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ وَهَذَا بَيَانٌ لِمَا قلت في الْمَسْأَلَةِ قَبْلَهَا) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan khul‘ dengan istrinya dengan imbalan seratus, lalu ia melakukan khul‘ dengan lima puluh, maka tidak terjadi talak atasnya, sebagaimana jika ia berkata: ‘Engkau tertalak dengan seratus,’ lalu istrinya memberikan lima puluh.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: “Ini adalah penjelasan dari apa yang aku katakan pada masalah sebelumnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَالَ الْمُزَنِيُّ: هَذَا بَيَانٌ لِمَا قُلْتُ فِي الْمَسْأَلَةِ قَبْلَهَا.

Al-Mawardi berkata: Al-Muzani berkata: “Ini adalah penjelasan dari apa yang aku katakan pada masalah sebelumnya.”

وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَقْصُورَةٌ عَلَى تَوْكِيلِ الزَّوْجِ فِي الْخُلْعِ عَنْهُ مَنْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا لَهُ فِيهِ بِالْوَكَالَةِ لِوَكِيلِهِ عَلَى مَا يُخَالِعُهَا بِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Masalah ini terbatas pada pendelegasian suami dalam khul‘, yaitu menunjuk seseorang yang sah menjadi wakilnya untuk melakukan khul‘ atas nama dirinya, sesuai dengan apa yang ia perintahkan untuk melakukan khul‘ dengannya. Dalam hal ini, terdapat dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَا نَصَّ عَلَيْهِ مَعْلُومًا فَيَقُولُ لَهُ: خَالِعْهَا عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ أَوْ يَقُولُ لَهُ: خَالِعْهَا عَلَى عَبْدِهَا الْفُلَانِيِّ فَعَلَيْهِ أَنْ يُخَالِعَهَا بِمَا سَمَّى مِنْ غَيْرِ مُخَالَفَةٍ فِيهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Pertama: Apa yang disebutkan secara jelas dan diketahui, misalnya ia berkata kepada wakilnya: “Lakukan khul‘ dengannya dengan seribu dirham,” atau ia berkata: “Lakukan khul‘ dengannya dengan budaknya yang tertentu.” Maka wajib bagi wakil tersebut untuk melakukan khul‘ dengan apa yang telah disebutkan tanpa menyelisihinya. Dalam kondisi ini, keadaannya tidak lepas dari empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى الْمُسَمَّى مِنْ غَيْرِ تَجَاوُزٍ عَنْهُ، وَلَا تَقْصِيرٍ فِيهِ فَيُخَالِعُ عَنْهُ بِالْأَلْفِ إِنْ كَانَتْ هِيَ الْمُسَمَّاةَ أَوْ بِالْعَبْدِ الْمُعَيَّنِ إِنْ كَانَ هُوَ الْمُسَمَّى، فَالْخُلْعُ لَازِمٌ، وَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ، وَلَهُ قَبْضُ مَا خَالَعَ بِهِ، وَإِنْ لم يذكره الزوج ما لم ينهه عنه قَبْضِهِ كَالْوَكِيلِ فِي الْبَيْعِ يَجُوزُ لَهُ قَبْضُ الثَّمَنِ، وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ مَا لَمْ يَنْهَهُ عَنْهُ.

Pertama: Ia membatasi pada apa yang telah disebutkan tanpa melebihi atau menguranginya, sehingga ia melakukan khul‘ atas nama suami dengan seribu dirham jika itu yang disebutkan, atau dengan budak tertentu jika itu yang disebutkan. Maka khul‘ menjadi sah dan talak jatuh, serta ia berhak menerima apa yang menjadi imbalan khul‘, meskipun suami tidak menyebutkannya, selama suami tidak melarangnya untuk menerimanya, sebagaimana wakil dalam jual beli boleh menerima pembayaran, meskipun tidak diizinkan secara khusus selama tidak dilarang.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُخَالِعَ عَنْهُ بِالْمُسَمَّى وَزِيَادَةٍ عَلَيْهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: Ia melakukan khul‘ atas nama suami dengan imbalan yang disebutkan dan menambahkannya. Dalam hal ini terdapat dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مِنَ الْجِنْسِ كَأَنَّهُ أَمَرَهُ أَنْ يُخَالِعَهَا بِأَلْفٍ، فَخَالَعَهَا بِأَلْفَيْنِ، فَالْخُلْعُ صَحِيحٌ، وَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ؛ لِأَنَّهُ إِذَا رَضِيَ بِالْأَلْفِ كَانَ بِهَا وَبِالزِّيَادَةِ عَلَيْهَا أَرْضَى، وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى رَجُلٍ قَالَ لِزَوْجَتِهِ: إِنْ دَفَعْتِ إِلَيَّ أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَدَفَعَتْ إِلَيْهِ أَلْفَيْنِ طُلِّقَتْ، وَلَا تَكُونُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا مَانِعَةً مِنْ حُصُولِ الصِّفَةِ بِهَا لِدُخُولِ الْأَلْفِ فِي الْأَلْفَيْنِ.

Pertama: Tambahan tersebut berasal dari jenis yang sama, misalnya suami memerintahkannya untuk melakukan khul‘ dengan seribu, lalu ia melakukan khul‘ dengan dua ribu. Maka khul‘ sah dan talak jatuh, karena jika ia rela dengan seribu, maka dengan tambahan di atasnya ia lebih rela lagi. Hal ini seperti seorang laki-laki berkata kepada istrinya: “Jika engkau memberiku seribu, maka engkau tertalak,” lalu istrinya memberikan dua ribu, maka talak jatuh. Tambahan di atasnya tidak menghalangi terwujudnya syarat, karena seribu termasuk dalam dua ribu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْمُسَمَّى مِثْلِ أَنْ يَقُولَ لَهُ: خَالِعْهَا عَلَى أَلْفٍ فَيُخَالِعَهَا عَلَى أَلْفٍ وَعَبْدٍ أَوْ يَقُولَ لَهُ: خَالِعْهَا عَلَى عَبْدٍ فَيُخَالِعَهَا عَلَى عَبْدٍ وَأَلِفٍ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Bentuk kedua: Tambahan tersebut berasal dari jenis yang berbeda, misalnya ia berkata kepada wakilnya: “Lakukan khul‘ dengannya dengan seribu,” lalu ia melakukan khul‘ dengan seribu dan seorang budak, atau ia berkata: “Lakukan khul‘ dengan seorang budak,” lalu ia melakukan khul‘ dengan seorang budak dan seribu. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَظْهَرُ أَنَّ الْخُلْعَ صَحِيحٌ، وَالطَّلَاقَ وَاقِعٌ لِوُجُودِ الْمُسَمَّى مَعَ هَذِهِ الزِّيَادَةِ لِوُجُودِهِ مَعَ الزِّيَادَةِ مِنَ الْجِنْسِ، وَكَمَا لَوْ قَالَ لِزَوْجَتِهِ: إِنْ دَفَعْتِ إِلَيَّ أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَدَفَعَتْ إِلَيْهِ أَلْفًا وَعَبْدًا.

Salah satunya, dan ini yang lebih kuat, bahwa khul‘ sah dan talak jatuh karena adanya imbalan yang disebutkan bersama tambahan tersebut, sebagaimana tambahan dari jenis yang sama, dan seperti jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau memberiku seribu, maka engkau tertalak,” lalu istrinya memberikan seribu dan seorang budak.

(10/97)

(10/97)

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْخُلْعَ بَاطِلٌ، وَالطَّلَاقَ غَيْرُ وَاقِعٍ، بِخِلَافِ زِيَادَةِ الْجِنْسِ؛ لِأَنَّ زِيَادَةَ الْجِنْسِ تَكُونُ تَبَعًا، فَدَخَلَتْ فِي حُكْمِ الْمَتْبُوعِ، وَزِيَادَةَ غَيْرِ الْجِنْسِ لَا تَكُونُ تَبَعًا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ أَحَدُ الْجِنْسَيْنِ بِأَنْ يَكُونَ تَبَعًا بِأَوْلَى مِنْ أَنْ يَكُونَ مَتْبُوعًا، وَمُخَالَفَةُ الْجِنْسِ تُفْسِدُ الْخُلْعَ كَذَلِكَ الزِّيَادَةُ مِنْ غَيْرِ الْجِنْسِ.

Pendapat kedua: Khul‘ batal dan talak tidak jatuh, berbeda dengan tambahan dari jenis yang sama, karena tambahan dari jenis yang sama dianggap sebagai pengikut sehingga masuk dalam hukum yang diikuti. Sedangkan tambahan dari jenis yang berbeda tidak dianggap sebagai pengikut, karena tidak ada salah satu dari kedua jenis itu yang lebih utama menjadi pengikut daripada menjadi yang diikuti. Perbedaan jenis merusak khul‘, demikian pula tambahan dari jenis yang berbeda.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَقْتَصِرَ مِنَ الْمُسَمَّى عَلَى بَعْضِهِ كَأَنَّهُ سمى له ألفاً فخالعها تسعمائة أو على ألف إلا درهم أَوْ سَمَّى لَهُ عَبْدًا فَخَالَعَهَا عَلَيْهِ إِلَّا جُزْءًا مِنْهُ وَإِنْ قَلَّ فَالطَّلَاقُ غَيْرُ وَاقِعٍ.

Bagian ketiga: Ia hanya mengambil sebagian dari imbalan yang disebutkan, misalnya suami menyebutkan seribu lalu ia melakukan khul‘ dengan sembilan ratus, atau dengan seribu kecuali satu dirham, atau suami menyebutkan seorang budak lalu ia melakukan khul‘ dengan budak tersebut kecuali sebagian darinya meskipun sedikit, maka talak tidak jatuh.

والقسم الرابع: أن يعدل على جِنْسِ الْمُسَمَّى إِلَى غَيْرِهِ، كَأَنَّهُ سَمَّى لَهُ أَلْفا دِرْهَمٍ فَخَالَعَهَا عَلَى عَبْدٍ، أَوْ سَمَّى لها عَبْدًا فَخَالَعَهَا عَلَى ثَوْبٍ، فَالطَّلَاقُ غَيْرُ وَاقِعٍ.

Bagian keempat: yaitu mengganti jenis barang yang disebutkan dengan selainnya, misalnya ia menyebutkan seribu dirham lalu melakukan khul‘ terhadapnya dengan seorang budak, atau ia menyebutkan seorang budak lalu melakukan khul‘ terhadapnya dengan sehelai kain, maka talak tidak terjadi.

وهذين القسمين سَوَاءٌ خَالَفَ فِي الْجِنْسِ أَوْ فِي نُقْصَانِ الْقَدْرِ؛ لِأَنَّ الصِّفَةَ الَّتِي جُعِلَ الطَّلَاقُ مُعَلَّقًا بِهَا لَمْ تُؤْخَذْ فِي الْحَالَيْنِ فَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ لَهَا إِنْ أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَأَعْطَتْهُ أَقَلَّ مِنْهَا، لَمْ تُطَلَّقْ، وَكَقَوْلِهِ إِنْ أَعْطَيْتِنِي عَبْدًا فَأَعْطَتْهُ ثَوْبًا، لَمْ تُطَلَّقْ، وَسَوَاءٌ كَانَ مَا أَعْطَتْهُ بِقِيمَةِ مَا قَالَهُ، أَوْ أَكَثَرَ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ مُعَلَّقٌ بِالصِّفَةِ لَا بِالْقِيمَةِ، كَذَلِكَ الْوَكِيلُ، وَفَارَقَ وَكِيلَ الزَّوْجَةِ حَيْثُ وَقَعَ الطَّلَاقُ بِمُخَالَفَتِهِ وَلَمْ يَقَعْ بِمُخَالَفَةِ وَكِيلِ الزَّوْجِ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ وَاقِعٌ مِنْ جِهَةِ وَكِيلِ الزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ.

Pada dua bagian ini, baik perbedaan itu pada jenis maupun pada kekurangan jumlah, hukumnya sama; karena sifat yang dijadikan syarat terjadinya talak tidak terpenuhi pada kedua keadaan tersebut, sehingga hukumnya seperti ucapan seseorang kepada istrinya: “Jika kamu memberiku seribu, maka kamu tertalak,” lalu istrinya memberinya kurang dari itu, maka ia tidak tertalak. Atau seperti ucapannya: “Jika kamu memberiku seorang budak,” lalu istrinya memberinya sehelai kain, maka ia tidak tertalak. Sama saja apakah yang diberikan itu senilai dengan apa yang disebutkan, atau lebih; karena talak digantungkan pada sifat, bukan pada nilai. Demikian pula halnya dengan wakil. Berbeda dengan wakil istri, di mana talak terjadi jika ia menyelisihi, sedangkan tidak terjadi jika yang menyelisihi adalah wakil suami; karena talak terjadi dari pihak wakil suami, bukan dari pihak istri.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَا نَصَّ عَلَيْهِ الزَّوْجُ وَسَمَّاهُ لِوَكِيلِهِ مَجْهُولًا كَأَنَّهُ قَالَ لَهُ: خَالِعْهَا عَلَى عَبْدٍ، أَوْ قَالَ عَلَى ثَوْبٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: yaitu apa yang disebutkan oleh suami dan ia sebutkan kepada wakilnya dalam keadaan tidak jelas, seperti ia berkata kepada wakilnya: “Lakukan khul‘ terhadapnya dengan seorang budak,” atau ia berkata: “Dengan sehelai kain.” Maka ini terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَذْكُرَ نَوْعَ الْعَبْدِ فَيَقُولَ: عَلَى عَبْدٍ هِنْدِيٍّ أَوْ سِنْدِيٍّ، فَيَجُوزُ وَيَصِحُّ خُلْعُ الْوَكِيلِ، وَإِنْ لَمْ يَصِفْهُ بِالصِّفَاتِ الْمُسْتَحَقَّةِ فِي السَّلَمِ؛ لِأَنَّ تِلْكَ الصِّفَاتِ تُسْتَحَقُّ فِي عَقْدِ الْمُعَاوَضَةِ لَا فِي عَقْدِ الْوَكَالَةِ.

Salah satunya: ia menyebutkan jenis budak, misalnya ia berkata: “Dengan seorang budak India atau Sind,” maka boleh dan sah khul‘ yang dilakukan oleh wakil, meskipun ia tidak menyebutkan sifat-sifat yang wajib dalam akad salam; karena sifat-sifat tersebut diwajibkan dalam akad mu‘āwaḍah (pertukaran), bukan dalam akad wakalah (perwakilan).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَن لَا يَذْكُرَ نَوْعَهُ فَفِي صِحَّةِ الْوَكَالَةِ وَجْهَانِ:

Jenis kedua: ia tidak menyebutkan jenisnya, maka dalam keabsahan wakalah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلَةٌ؛ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الْعَبِيدِ يُوقِعُ جَهَالَةً فِي التَّوْكِيلِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَصِحُّ خُلْعُ الوكيل.

Salah satunya: tidak sah; karena perbedaan para budak menimbulkan ketidakjelasan dalam perwakilan, sehingga dalam hal ini khul‘ yang dilakukan oleh wakil tidak sah.

والوجه الثاني: تصح الوكالة؛ لأن لَمَّا لَمْ يَلْزَمْ فِي الْوَكَالَةِ ذِكْرُ صِفَاتِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ ذِكْرُ نَوْعِهِ، فَعَلَى هَذَا إِذَا صَحَّتِ الْوَكَالَةُ، فَعَلَى الْوَكِيلِ أَنْ يُخَالِعَهَا عَلَى عَبْدٍ مُعَيَّنٍ تَكُونُ قِيمَتُهُ بِقَدْرِ مَهْرِ الْمِثْلِ فَمَا زَادَ، فَإِنْ خَالَعَهَا عَلَى عَبْدٍ مَوْصُوفٍ فِي ذِمَّتِهَا بِصِفَاتِ السَّلَمِ فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: wakalahnya sah; karena ketika dalam wakalah tidak diwajibkan menyebutkan sifat-sifatnya, maka tidak diwajibkan pula menyebutkan jenisnya. Maka berdasarkan hal ini, jika wakalahnya sah, maka wakil harus melakukan khul‘ terhadapnya dengan seorang budak tertentu yang nilainya sepadan dengan mahar mitsil atau lebih. Jika ia melakukan khul‘ dengan seorang budak yang hanya disebutkan sifat-sifatnya dalam tanggungan istri sesuai sifat-sifat salam, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ، لِأَنَّهُ يَكُونُ مَعْلُومًا بِالصِّفَةِ كَمَا يَكُونُ مَعْلُومًا بِالتَّعْيِينِ.

Salah satunya: boleh, karena ia menjadi diketahui dengan sifat sebagaimana diketahui dengan penentuan.

(10/98)

(10/98)

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ الْمَضْمُونَ فِي الذِّمَّةِ مُسَلَّمٌ، وَفِي السَّلَمِ عُذْرٌ لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَكِيلِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يُخَالِعَهَا عَلَى عَبْدٍ أَوْ عَلَى غَيْرِ عَبْدٍ، فَإِنْ خَالَعَهَا عَلَى غَيْرِ عَبْدٍ لَمْ يَجُزْ، وَلَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ سَوَاءً خَالَعَ بِقَدْرِ مَهْرِ الْمِثْلِ، أَوْ أَقَلَّ وَإِنْ خَالَعَهَا عَلَى عَبْدٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Pendapat kedua: tidak boleh, karena sesuatu yang dijamin dalam tanggungan harus diserahkan, dan dalam akad salam ada alasan yang tidak diizinkan di sini. Jika demikian, maka keadaan wakil tidak lepas dari dua kemungkinan: ia melakukan khul‘ dengan seorang budak atau dengan selain budak. Jika ia melakukan khul‘ dengan selain budak, maka tidak sah dan talaknya tidak terjadi, baik ia melakukan khul‘ dengan nilai mahar mitsil atau kurang. Jika ia melakukan khul‘ dengan seorang budak, maka ada dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهُ بِقَدْرِ مَهْرِ الْمِثْلِ فَصَاعِدًا فَخُلْعُهُ جَائِزٌ، وَطَلَاقُهُ وَاقِعٌ.

Salah satunya: nilai budak tersebut sepadan dengan mahar mitsil atau lebih, maka khul‘nya sah dan talaknya terjadi.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهُ أَقَلَّ مِنْ مَهْرِ المثل فيكون لحكم فِيهِ كَمَا لَوْ أَطْلَقَ الزَّوْجُ الْوَكَالَةَ، فَخَالَعَ الْوَكِيلُ بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فِي هَذَا الْفَصْلِ الْآتِي.

Jenis kedua: nilai budak tersebut kurang dari mahar mitsil, maka hukumnya seperti jika suami melepaskan wakalah secara mutlak, lalu wakil melakukan khul‘ dengan nilai kurang dari mahar mitsil, sebagaimana akan dijelaskan pada fasal berikutnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي مِنْ ضَرْبَيِ الْوَكَالَةِ أَنْ تَكُونَ وَكَالَةُ الزَّوْجِ مُطْلَقَةً فَيَقُولُ لِوَكِيلِهِ: خَالِعْ زَوْجَتِي، وَلَا يَذْكُرُ لَهُ جِنْسًا وَلَا قَدْرًا، فَالْوَكَالَةُ جَائِزَةٌ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُخَالِعَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ فَمَا زَادَ.

Adapun jenis kedua dari dua jenis wakalah adalah wakalah suami secara mutlak, yaitu suami berkata kepada wakilnya: “Lakukan khul‘ terhadap istriku,” tanpa menyebutkan jenis maupun jumlah, maka wakalahnya sah, dan ia harus melakukan khul‘ dengan mahar mitsil atau lebih.

فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ قَدْ قُلْتُمْ إِنَّهُ إِذَا قَيَّدَ الْوَكَالَةَ بِعَبْدٍ، لَمْ يَذْكُرْ نَوْعَهُ لَمْ تَصِحَّ الْوَكَالَةُ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ لِمَا فِيهِ مِنَ الْجَهَالَةِ فَأَوْلَى إِذَا أَطْلَقَ الْوَكَالَةَ أن لا تَصِحَّ؛ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ جَهَالَةً.

Jika dikatakan: Bukankah kalian telah mengatakan bahwa jika wakalah dibatasi dengan seorang budak namun tidak disebutkan jenisnya, maka wakalah tidak sah menurut salah satu pendapat karena adanya ketidakjelasan, maka lebih utama lagi jika wakalah dilakukan secara mutlak, mestinya tidak sah; karena itu lebih besar ketidakjelasannya.

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمَقْصُودَ فِي تَسْمِيَةِ الْعَبْدِ تَمَلُّكُ مَالٍ مَخْصُوصٍ لَا يُعْلَمُ مَعَ الْجَهَالَةِ فَلَمْ يَصِحَّ، وَالْمَقْصُودُ فِي الْإِطْلَاقِ مِلْكُ الْبَدَلِ عَنِ الْبُضْعِ وَهُوَ مَعْلُومٌ بِالشَّرْعِ أَنْ يَكُونَ بِقَدْرِ مَهْرِ الْمِثْلِ مِنْ غَالِبِ النَّقْدِ، فَلَمْ تُؤَثِّرْ فِيهِ جَهَالَةُ الْعَقْدِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَكِيلِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Dikatakan: Perbedaan antara keduanya adalah bahwa maksud dalam penamaan budak adalah kepemilikan atas harta tertentu yang tidak diketahui ketika ada ketidakjelasan, maka tidak sah. Sedangkan maksud dalam itlaq (pembebasan syarat) adalah kepemilikan pengganti dari hubungan badan, dan hal itu telah diketahui secara syar‘i, yaitu sebesar mahar mitsil dari mayoritas mata uang yang berlaku, sehingga ketidakjelasan dalam akad tidak berpengaruh padanya. Jika demikian, maka keadaan wakil tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُخَالِعَهَا عَنْهُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ حَالًّا مِنْ نَقْدِ غَالِبِ النَّقْدِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ فَهَذَا الْخُلْعُ مَاضٍ وَالطَّلَاقُ فِيهِ وَاقِعٌ.

Pertama: Wakil melakukan khulu‘ atas nama suami dengan mahar mitsil secara tunai dari mayoritas mata uang yang berlaku, tanpa ada tambahan maupun pengurangan, maka khulu‘ ini sah dan talak di dalamnya jatuh.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُخَالِعَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ وَزِيَادَةٍ، فَالْخُلْعُ جَائِزٌ، سَوَاءٌ كَانَتِ الزِّيَادَةُ مِنْ جِنْسِ الْمَهْرِ، أَوْ مِنْ غَيْرِهِ وَجْهًا وَاحِدًا، بِخِلَافِ الْعَيْنِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمُغَلَّبَ فِي التَّعْيِينِ حُكْمُ الطَّلَاقِ بِالصِّفَةِ، وَمَعَ الْإِطْلَاقِ حُكْمُ الْمُعَاوَضَةِ، وَالزِّيَادَةُ فِي الْمُعَاوَضَاتِ أَبَلَغُ فِي الِاحْتِيَاطِ.

Bagian kedua: Wakil melakukan khulu‘ dengan mahar mitsil dan tambahan, maka khulu‘ itu boleh, baik tambahan itu dari jenis mahar atau bukan, dengan satu alasan, berbeda dengan barang tertentu. Perbedaannya adalah bahwa yang dominan dalam penentuan adalah hukum talak dengan sifat, sedangkan dalam itlaq adalah hukum mu‘awadhah (pertukaran), dan tambahan dalam mu‘awadhah lebih utama dalam kehati-hatian.

الْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُخَالِعَهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَيَعْدِلَ إِلَى غَيْرِ جِنْسِ مَهْرِ الْمِثْلِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أقاويل.

Bagian ketiga: Wakil melakukan khulu‘ dengan kurang dari mahar mitsil, dan beralih kepada selain jenis mahar mitsil, maka dalam hal ini ada tiga pendapat.

أحدها: أن الطَّلَاق لَا يَقَعُ؛ لِأَنَّ الْمُخَالَفَةَ لِمَا أَوْجَبَهُ الْإِطْلَاقُ كَمُخَالَفَتِهِ لِمَا أَوْجَبَهُ التَّقْيِيدُ نَصًّا، وَقَدْ مَنَعَ مُخَالَفَةُ النَّصِّ مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ فَوَجَبَ أَنْ تَمْنَعَ مُخَالَفَةُ الْحُكْمِ مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ.

Salah satunya: Talak tidak jatuh; karena penyimpangan dari apa yang diwajibkan oleh itlaq seperti penyimpangan dari apa yang diwajibkan oleh taqyid secara nash, dan telah dicegahnya penyimpangan dari nash menyebabkan talak tidak jatuh, maka wajib juga penyimpangan dari hukum menyebabkan talak tidak jatuh.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بَائِنًا، وَلَهُ مَهْرُ الْمِثْلِ؛ لِأَنَّ مُخَالَفَةَ مَا تَقَدَّرَ بِالْحُكْمِ اجْتِهَادًا يَقْصُرُ عَنْ حُكْمِ النَّصِّ، فَلَمْ يَمْنَعْ مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْحَاكِمَ لَوْ أَمْضَى حُكْمًا خَالَفَ فِيهِ نَصًّا بَطَلَ حُكْمُهُ، وَلَوْ خَالَفَ فِيهِ اجْتِهَادًا لَمْ يَبْطُلْ.

Pendapat kedua: Talak jatuh secara bain (tidak bisa rujuk), dan ia berhak atas mahar mitsil; karena penyimpangan dari apa yang ditetapkan dengan hukum secara ijtihad tidak sekuat hukum nash, sehingga tidak mencegah jatuhnya talak. Bukankah engkau melihat bahwa jika hakim menetapkan hukum yang bertentangan dengan nash maka batal hukumnya, namun jika bertentangan karena ijtihad maka tidak batal.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّ الزَّوْجَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ مَا خَالَعَ بِهِ الْوَكِيلُ، وَأَخْذِ الْعِوَضِ الَّذِي خَالَعَهَا بِهِ، وَيَقَعُ الطَّلَاقُ بَائِنًا، وَبَيْنَ فَسْخِهِ وَيَقَعُ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا بِغَيْرِ بَدَلٍ، وَلَا يَسْتَحِقُّ مَهْرَ الْمِثْلِ؛ لِأَنَّ الزَّوْجَةَ لَمْ تَبْذُلْهُ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْفَعَ الطَّلَاقَ بَعْدَ وُقُوعِهِ، لَكِنْ يَرْفَعُ الْبَيْنُونَةَ بِرَدِّ الْعِوَضِ وَبِمِلْكِ الرَّجْعَةِ وَاللَّهُ أعلم.

Pendapat ketiga: Suami memiliki pilihan antara meneruskan apa yang dilakukan oleh wakil dalam khulu‘ dan mengambil kompensasi yang telah disepakati, dan talak jatuh secara bain, atau membatalkannya sehingga talak jatuh secara raj‘i (bisa rujuk) tanpa kompensasi, dan ia tidak berhak atas mahar mitsil; karena istri tidak memberikannya, dan suami tidak boleh membatalkan talak setelah jatuh, tetapi ia dapat menghilangkan status bain dengan mengembalikan kompensasi dan dengan hak rujuk. Allah Maha Mengetahui.

(باب الخلع في المرض من كتاب نشوز الرجل على المرأة)

(Bab Khulu‘ dalam keadaan sakit dari Kitab Nusyuz Suami terhadap Istri)

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ (وَيَجُوزُ الْخُلْعُ فِي الْمَرَضِ كَمَا يَجُوزُ الْبَيْعُ فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ هُوَ الْمَرِيضَ فَخَالَعَهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِهَا ثُمَّ مَاتَ فَجَائِزٌ لِأَنَّ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: (Khulu‘ dalam keadaan sakit itu boleh sebagaimana jual beli juga boleh. Jika suami yang sakit melakukan khulu‘ dengan istrinya dengan kompensasi kurang dari maharnya lalu ia meninggal, maka itu sah, karena ia boleh menceraikannya tanpa kompensasi apa pun).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْخُلْعُ فِي الْمَرَضِ جَائِزٌ، كَالصِّحَّةِ؛ لِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ فَصَحَّ فِي الْمَرَضِ كَالْبَيْعِ؛ وَلِأَنَّ الْمَرِيضَ يصح طلاقه بغير بدل، فصح بالبدل كَالصَّحِيحِ، فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُهُ فِي الْمَرَضِ، كَجَوَازِهِ فِي الصِّحَّةِ، فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ مَرِيضًا صَحَّ خُلْعُهُ سَوَاءٌ خَالَعَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ أَوْ أَقَلَّ، لِأَنَّهُ لَوْ طَلَّقَهَا بِغَيْرِ عِوَضٍ صَحَّ، فَإِذَا خَالَعَهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ فَأَوْلَى أَنْ يَصِحَّ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Khulu‘ dalam keadaan sakit itu sah seperti dalam keadaan sehat; karena ia adalah akad mu‘awadhah (pertukaran) sehingga sah dilakukan dalam keadaan sakit sebagaimana jual beli; dan karena orang sakit sah talaknya tanpa kompensasi, maka sah pula dengan kompensasi sebagaimana orang sehat. Jika telah tetap kebolehannya dalam keadaan sakit sebagaimana dalam keadaan sehat, maka jika suami sakit, khulu‘nya sah baik dengan mahar mitsil maupun kurang, karena jika ia menceraikannya tanpa kompensasi pun sah, maka jika ia melakukan khulu‘ dengan kurang dari mahar mitsil, lebih utama untuk sah.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا الْخُلْعُ كَالْبَيْعِ إِذَا خَالَعَ بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ أَنْ يَكُونَ مُحَابَاةً فِي الثُّلُثِ كَالْمُحَابَاةِ فِي الْبَيْعِ.

Jika dikatakan: Bukankah khulu‘ seperti jual beli, jika dilakukan dengan kurang dari mahar mitsil maka dianggap sebagai hibah dalam sepertiga harta, sebagaimana hibah dalam jual beli?

قِيلَ: لِأَنَّهُ لَوْ أَزَالَ مِلْكَهُ عَنِ الْبُضْعِ بِالطَّلَاقِ مِنْ غَيْرِ بَدَلٍ صَحَّ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا فِي الثُّلُثِ، فَإِذَا أَزَالَهُ بِقَلِيلِ الْبَدَلِ فَأَوْلَى أَنْ يَصِحَّ، وَلَا يَكُونُ مُعْتَبَرًا فِي الثُّلُثِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمَالُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ أَزَالَ مِلْكَهُ عَنْهُ بِالْهِبَةِ مِنْ غَيْرِ بَدَلٍ كان معتبراً من فيه الثلث، فكذلك إذا حابا فِيهِ وَاقْتَصَرَ عَلَى قَلِيلِ الْبَدَلِ كَانَ مُعْتَبَرًا مِنَ الثُّلُثِ.

Dikatakan: Karena jika seseorang menghilangkan kepemilikannya atas al-buḍ‘ (kemaluan/istri) dengan talak tanpa imbalan, maka hal itu sah tanpa harus diperhitungkan dalam sepertiga harta, maka jika ia menghilangkannya dengan sedikit imbalan, lebih utama lagi untuk dianggap sah dan tidak diperhitungkan dalam sepertiga harta. Tidak demikian halnya dengan harta; karena jika seseorang menghilangkan kepemilikannya atas harta dengan hibah tanpa imbalan, maka itu diperhitungkan dari sepertiga harta, demikian pula jika ia memberikan harta itu dengan sedikit imbalan, maka itu juga diperhitungkan dari sepertiga harta.

فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ كَانَ إِزَالَةُ الملك عن المال في المرض معتباراً مِنَ الثُّلُثِ، وَلَمْ يَكُنْ إِزَالَةُ الْمِلْكِ عَنِ الْبُضْعِ مُعْتَبَرًا مِنَ الثُّلُثِ.

Jika dikatakan: Mengapa penghilangan kepemilikan atas harta saat sakit diperhitungkan dari sepertiga harta, sedangkan penghilangan kepemilikan atas al-buḍ‘ tidak diperhitungkan dari sepertiga harta?

قِيلَ: إِنَّمَا يُعْتَبَرُ فِي الثُّلُثِ مَا كَانَ مِنْ حُقُوقِ الْوَرَثَةِ ومنتقلاً إليهم إرثاً بالموت، والمال منتقلاً إِلَيْهِمْ بِالْإِرْثِ فَكَانَ مُعْتَبَرًا فِي الثُّلُثِ، وَبُضْعُ الزَّوْجَةِ غَيْرُ مَوْرُوثٍ، وَلَا مُنْتَقِلٍ إِلَيْهِمْ، فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِي الثُّلُثِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ أَعْتَقَ عَبْدًا فِي مَرَضِهِ، كَانَ مِنْ ثُلُثِهِ، لِأَنَّهُ كَانَ مُنْتَقِلًا إِلَيْهِمْ بِمَوْتِهِ، وَلَوْ أَعْتَقَ أُمَّ وَلَدِهِ فِي مَرَضِهِ كَانَتْ مِنْ أَصْلِ مَالِهِ لَا مِنْ ثُلُثِهِ؛ لِأَنَّهَا مُنْتَقِلَة إِلَيْهِمْ بِمَوْتِهِ.

Dijawab: Yang diperhitungkan dalam sepertiga harta adalah apa yang termasuk hak para ahli waris dan berpindah kepada mereka sebagai warisan karena kematian. Harta berpindah kepada mereka melalui warisan, maka itu diperhitungkan dalam sepertiga harta. Sedangkan al-buḍ‘ istri tidak diwariskan dan tidak berpindah kepada mereka, maka tidak diperhitungkan dalam sepertiga harta. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang memerdekakan budaknya saat sakit, maka itu termasuk dari sepertiga hartanya, karena budak itu berpindah kepada ahli waris dengan kematiannya. Namun jika ia memerdekakan ummu walad-nya saat sakit, maka itu termasuk dari seluruh hartanya, bukan dari sepertiga, karena ummu walad tidak berpindah kepada ahli waris dengan kematiannya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فَإِنْ كَانَتْ هِيَ الْمَرِيضَةَ فَخَالَعَتْهُ بِأَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَا ثُمَّ مَاتَتْ مِنْ مَرَضِهَا جَازَ لَهُ مَهْرُ مِثْلِهَا وَكَانَ الْفَضْلُ وَصِيَّةً يُحَاصُّ أَهْلُ الْوَصَايَا بِهَا فِي ثُلُثِهَا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika istri yang sedang sakit itu melakukan khulu‘ (cerai tebus) dengan suaminya dengan imbalan lebih dari mahar mitsil (mahar sepadan), lalu ia meninggal karena sakitnya itu, maka suaminya berhak atas mahar mitsil, dan kelebihan dari itu dianggap sebagai wasiat yang dibagi bersama para penerima wasiat lainnya dalam sepertiga hartanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا خَالَعَتِ الْمَرِيضَةُ زَوْجَهَا صَحَّ خُلْعُهَا فَإِنْ خَالَعَتْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ فَمَا دُونَ كَانَ مِنْ رَأْسِ مَالِهَا، وَأَصْلِ تَرِكَتِهَا وَإِنْ خَالَعَتْهُ بِأَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ كَانَ الزِّيَادَةُ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ مُحَابَاةً تُعْتَبَرُ مِنَ الثُّلُثِ كَالْوَصَايَا، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ جَمِيعُ مَا تُخَالِعُ بِهِ الْمَرِيضَةُ مُعْتَبَرٌ فِي الثُّلُثِ كَالْوَصَايَا قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ خُرُوجَ الْبُضْعِ مِنْ مِلْكِ الزَّوْجِ لَا قِيمَةَ لَهُ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ طَلَّقَ فِي مَرَضِهِ لَمْ يُعْتَبَرْ مِنْ ثُلُثِهِ، فَإِذَا بَذَلَتْ لَهُ الزَّوْجَةُ مَالًا فِي مَرَضِهَا عَلَى مَا لَا قِيمَةَ لَهُ فِي خُرُوجِهِ مِنْ مِلْكِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا مِنْ ثُلُثِهَا كَالْهِبَةِ، وَلِأَنَّ أَجْنَبِيًّا لَوْ خَالَعَ عَنْهَا مِنْ مَالِهِ كَانَ جَمِيعُ مَا بَذَلَهُ مِنْ ثُلُثِهِ، وَلَوْ كَانَ فِي مُقَابَلَةِ مَالٍ لَكَانَ مِنْ أَصْلِ مَالِهِ كَذَلِكَ إِذَا كَانَتْ هِيَ الْبَاذِلَةَ وَلِأَنَّ فِي الْخُلْعِ ضَرَرًا يَدْخُلُ عَلَيْهَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Hal ini benar, jika wanita yang sakit melakukan khulu‘ terhadap suaminya, maka khulu‘-nya sah. Jika ia melakukan khulu‘ dengan mahar mitsil atau kurang, maka itu diambil dari pokok hartanya dan asal warisannya. Namun jika ia melakukan khulu‘ dengan imbalan lebih dari mahar mitsil, maka kelebihan atas mahar mitsil itu dianggap sebagai muḥābāh (pemberian istimewa) yang diperhitungkan dari sepertiga harta seperti wasiat. Abu Hanifah berpendapat: Semua yang diberikan wanita sakit dalam khulu‘ diperhitungkan dari sepertiga harta seperti wasiat, baik sedikit maupun banyak, dengan alasan bahwa keluarnya al-buḍ‘ dari kepemilikan suami tidak memiliki nilai, sebagaimana jika suami mentalak istrinya saat sakit, maka itu tidak diperhitungkan dari sepertiga hartanya. Maka jika istri memberikan harta kepada suaminya saat sakit atas sesuatu yang tidak bernilai dalam keluarnya dari kepemilikan suami, maka wajib diperhitungkan dari sepertiga hartanya seperti hibah. Dan jika orang lain melakukan khulu‘ untuknya dengan hartanya sendiri, maka seluruh harta yang diberikan itu diambil dari sepertiga hartanya. Jika khulu‘ itu sebagai imbalan atas harta, maka itu diambil dari pokok hartanya. Demikian pula jika istri sendiri yang memberikan harta. Karena dalam khulu‘ terdapat dua bentuk kerugian yang menimpa istri:

أَحَدُهُمَا: مَا بَذَلَتْهُ مِنْ مَالِهَا.

Pertama: Harta yang ia berikan dari miliknya.

وَالثَّانِي: مَا أَسْقَطَتْهُ مِنْ نَفَقَتِهَا فَكَانَ أَضَرَّ مِنَ الْعَطَايَا وَأَحَقَّ أَنْ يُعْتَبَرَ مِنَ الثُّلُثِ.

Kedua: Nafkah yang ia gugurkan, sehingga itu lebih merugikan daripada pemberian biasa dan lebih layak untuk diperhitungkan dari sepertiga harta.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ مَالٌ بَذَلَهُ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ فِي مُقَابَلَةِ الْبُضْعِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَهْرُ الْمِثْلِ فِيهِ مُعْتَبَرًا مِنْ أَصْلِ الْمَالِ كَالنِّكَاحِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ يَصِحُّ مُؤَجَّلًا وَمُعَجَّلًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عِوَضُ الْمِثْلِ مِنْ أصل المال كالبيع.

Dalil kami adalah bahwa harta yang diberikan oleh salah satu dari suami istri sebagai imbalan atas al-buḍ‘, maka mahar mitsil di dalamnya diperhitungkan dari pokok harta seperti dalam akad nikah. Karena akad ini adalah akad mu‘āwaḍah (pertukaran) yang sah baik secara kontan maupun tangguh, maka imbalan yang sepadan harus diambil dari pokok harta seperti jual beli.

وقولنا يَصِحُّ مُعَجَّلًا وَمُؤَجَّلًا احْتِرَازًا مِنَ الْكِتَابَةِ، وَلِأَنَّ خُلْعَ الزَّوْجِ تَوْفِيرًا عَلَى الْوَرَثَةِ فِي سُقُوطِ مِيرَاثِهِ، وَهُوَ فِي الْأَغْلَبِ أَكْثَرُ مِمَّا بَذَلَتْ فَكَانَ مَا أَفَادَهُمْ سُقُوطَ مِيرَاثِهِ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ.

Ucapan kami bahwa akad ini sah secara kontan maupun tangguh adalah untuk membedakannya dari akad kitābah (pembebasan budak dengan pembayaran bertahap). Dan karena khulu‘ dari pihak suami merupakan bentuk penghematan bagi ahli waris dalam gugurnya hak waris suami, dan biasanya jumlahnya lebih banyak dari apa yang diberikan istri, maka manfaat yang diperoleh ahli waris dari gugurnya hak waris suami itu lebih utama untuk diambil dari pokok harta.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِأَنَّ الْبُضْعَ لَا قِيمَةَ لَهُ فِي مِلْكِ الزَّوْجِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalil bahwa al-buḍ‘ tidak memiliki nilai dalam kepemilikan suami adalah dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا لَا قِيمَةَ لَهُ لَا تَجُوزُ الْمُعَاوَضَةُ فِيهِ كَالْحَشَرَاتِ، وَلَمَّا جَازَتِ الْمُعَاوَضَةُ عَلَى الْبُضْعِ فِي مِلْكِ الزَّوْجِ بِالْخُلْعِ دَلَّ عَلَى أَنَّ لَهُ قِيمَةً كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ.

Pertama: Sesuatu yang tidak memiliki nilai, tidak sah dijadikan objek tukar-menukar, seperti serangga. Ketika diperbolehkan tukar-menukar atas al-bud‘ dalam kepemilikan suami melalui khulu‘, hal itu menunjukkan bahwa al-bud‘ memiliki nilai seperti harta benda lainnya.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ كَانَ لَهُ زَوْجَةٌ صَغِيرَةٌ أَرْضَعَتْهَا زَوْجَةٌ لَهُ كَبِيرَةٌ حَتَّى حرمَتْ عَلَيْهِ لَزِمَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ عِنْدَنَا سَوَاءٌ قَصَدَتِ التَّحْرِيمَ أَوْ لَمْ تَقْصِدْ، فَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ إِنْ قَصَدَتِ التَّحْرِيمَ، وَلَوْ لَمْ يَكُنِ الْبُضْعُ مَالًا لِلزَّوْجِ لَمَا لَزِمَهَا لَهُ غُرْمُ قِيمَتِهِ.

Jawaban kedua: Jika seseorang memiliki istri yang masih kecil, lalu istri besarnya menyusui istri kecil itu hingga menjadi mahram baginya, maka wajib baginya membayar mahar mitsil menurut kami, baik ia bermaksud menjadikan haram atau tidak. Menurut Abu Hanifah, jika ia memang bermaksud menjadikan haram. Seandainya al-bud‘ bukanlah harta milik suami, niscaya tidak wajib baginya membayar ganti rugi atas nilainya.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالْأَجْنَبِيِّ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَمْ يَمْلِكِ الْبُضْعَ الَّذِي فِي مُقَابَلَةِ مَا بَذَلَهُ مِنَ الْمَالِ؛ فَلِذَلِكَ كَانَ مِنْ ثُلُثِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الزَّوْجَةُ؛ لِأَنَّهَا قَدْ مَلَكَتِ الْبُضْعَ فِي مُقَابَلَةِ مَا بَذَلَتْ.

Adapun dalilnya dengan orang asing, maksudnya adalah bahwa ia tidak memiliki al-bud‘ yang menjadi imbalan dari harta yang ia berikan; karena itu, ia hanya mendapatkan sepertiganya. Tidak demikian halnya dengan istri, karena ia telah memiliki al-bud‘ sebagai imbalan dari apa yang telah ia berikan.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّهَا قَدِ اسْتَضَرَّتْ مِنْ وَجْهَيْنِ بِمَا بَذَلَتْ مِنْ مَالِهَا وَأَسْقَطَتْهُ مِنْ نَفَقَتِهَا فَالْجَوَابُ أَنَّهَا تَنْتَفِعُ بِذَلِكَ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun dalilnya bahwa ia telah mengalami kerugian dari dua sisi, yaitu dari harta yang ia berikan dan dari nafkah yang ia gugurkan, maka jawabannya adalah bahwa ia juga memperoleh manfaat dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا قَدْ تَسْتَفِيدُ بِذَلِكَ نِكَاحَ غَيْرِهِ، وَنَفَقَةً أَكْثَرَ مِنْ نَفَقَتِهِ إِنْ عَاشَتْ.

Pertama: Ia bisa mendapatkan manfaat dengan menikah dengan laki-laki lain, dan memperoleh nafkah yang lebih banyak daripada nafkah suami sebelumnya jika ia hidup.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا تُوَفِّرُ عَلَى وَرَثَتِهَا قَدْرَ مِيرَاثِهِ إِنْ مَاتَتْ.

Kedua: Ia dapat menghemat bagi ahli warisnya sebesar bagian warisan suaminya jika ia meninggal dunia.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ مَا خَالَعَتْ بِهِ فِي مَرَضِهَا مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ يَكُونُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، وَمَا زَادَ عَلَيْهِ مِنَ الثُّلُثِ، فَخَالَعَتْهُ عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ، فَإِنْ كَانَتِ الْأَلْفُ قَدْرَ مَهْرِ الْمِثْلِ، صَحَّ الْخُلْعُ بِهَا سَوَاءٌ تَرَكَتْ غَيْرَ الْأَلْفِ أَمْ لَا، وَسَوَاءٌ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ يُحِيطُ بِالْأَلْفِ أَمْ لَا، وَإِنْ كَانَ مَهْرُ مِثْلِهَا مِنَ الْأَلْفِ أَرْبَعَمِائَةٍ كَانَ الْبَاقِي مِنَ الْأَلْفِ وَهُوَ سِتُّمِائَةِ دِرْهَمٍ مُحَابَاةً تَكُونُ وَصِيَّةً فِي الثُّلُثِ، فإن احتملها الثلث أمضت، وَهُوَ أَنْ تُخَلِّفَ سِوَى أَلْفِ الْخُلْعِ أَلْفًا وَمِائَتَيْ دِرْهَمٍ، فَيَأْخُذُ الزَّوْجُ الْأَلْفَ أَرْبَعُمِائَةٍ مِنْهَا فِي قَدْرِ مَهْرِ الْمِثْلِ وَسِتُّمِائَةٍ وَصِيَّةً قَدْ خَرَجَتْ مِنَ الثُّلُثِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ إِلَى الْوَرَثَةِ أَلْفٌ وَمِائَتَانِ وَذَلِكَ السِّتُّمِائَة الْخَارِجَةُ بِالْوَصِيَّةِ وَإِنْ لَمْ تُخَلِّفِ الزَّوْجَةُ سِوَى الْأَلْفِ الَّتِي خَالَعَتْ بِهَا كَانَ لِلزَّوْجِ مِنْهَا مَهْرُ الْمِثْلِ وَهُوَ أَرْبَعُمِائَةِ دِرْهَمٍ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَثُلُثُ السِّتِّمِائَةٍ الْبَاقِيَةِ مِنَ الْأَلْفِ وَهُوَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَصِيَّةً لَهُ فَيَصِيرُ لَهُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ وَبِالْوَصِيَّةِ سِتُّمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَيَكُونُ الْبَاقِي وَهُوَ أَرْبَعُمِائَةِ دِرْهَمٍ لِلْوَرَثَةِ وَهُوَ مِثْلُ مَا خَرَجَ بِالْوَصِيَّةِ فَلَوْ كان على الزوجة ثلثمائة دِرْهَمٍ دَيْنًا أَخَذَ الزَّوْجُ مِنَ الْأَلْفِ مَهْرَ الْمِثْلِ، وَهُوَ أَرْبَعُمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَدَفَعَ مِنَ الْبَاقِي قَدْرَ الدَّيْنِ، وَهُوَ ثَلَاثُمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَأَخَذَ الزَّوْجُ ثُلُثَ مَا بَقِيَ، وَهُوَ مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَأَخَذَ الْوَرَثَةُ الْبَاقِيَ وَهُوَ مِائَتَا دِرْهَمٍ، وَهُوَ مِثْلُ مَا خَرَجَ بِالْوَصِيَّةِ، وَلَوْ كَانَ دَيْنُهَا سِتَّمِائَةِ دِرْهَمٍ وَصَاعِدًا صُرِفَ بَاقِي الْأَلْفِ بَعْدَ مَهْرِ الْمِثْلِ فِي الدَّيْنِ؛ لِأَنَّهُ مُقَدَّمٌ عَلَى الْوَصِيَّةِ، وَلَوْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ قَدْ وَصَّتْ بِثُلُثِ مَالِهَا لِغَيْرِهِ، كَانَ الزَّوْجُ أَحَقَّ بِالثُّلُثِ فِي بَقِيَّةِ الْأَلْفِ مِنْ جَمِيعِ أَهْلِ الْوَصَايَا، لِأَنَّ وَصِيَّتَهَا عَطِيَّةٌ فِي الْمَرَضِ فَقُدِّمَتْ عَلَى الْوَصَايَا بَعْدَ الْمَوْتِ سَوَاءٌ قَبَضَهَا الزَّوْجُ فِي الْحَيَاةِ أَوْ بعد الموت.

Apabila telah ditetapkan bahwa apa yang dijadikan objek khulu‘ oleh istri dalam masa sakitnya dari mahar mitsil termasuk dari pokok harta, dan selebihnya dari sepertiga, maka jika ia melakukan khulu‘ dengan seribu dirham, jika seribu itu sebesar mahar mitsil, maka khulu‘ itu sah, baik ia meninggalkan selain seribu itu atau tidak, dan baik ia memiliki utang yang nilainya sebesar seribu itu atau tidak. Jika mahar mitsilnya dari seribu itu adalah empat ratus, maka sisanya dari seribu, yaitu enam ratus dirham, adalah hibah yang dihukumi sebagai wasiat dalam sepertiga harta; jika sepertiga harta mencukupinya, maka wasiat itu dilaksanakan, yaitu jika ia meninggalkan selain seribu khulu‘ itu sebanyak seribu dua ratus dirham, maka suami mengambil seribu empat ratus darinya sebagai mahar mitsil dan enam ratus sebagai wasiat yang diambil dari sepertiga harta; karena ahli waris memperoleh seribu dua ratus dan enam ratus itu keluar sebagai wasiat. Jika istri tidak meninggalkan selain seribu yang dijadikan objek khulu‘, maka suami mendapatkan darinya mahar mitsil, yaitu empat ratus dirham dari pokok harta, dan sepertiga dari sisa enam ratus dirham dari seribu, yaitu dua ratus dirham sebagai wasiat untuknya, sehingga ia mendapatkan enam ratus dirham dari mahar mitsil dan wasiat, dan sisanya, yaitu empat ratus dirham, untuk ahli waris, yang nilainya sama dengan yang keluar melalui wasiat. Jika istri memiliki utang tiga ratus dirham, maka suami mengambil dari seribu itu mahar mitsil, yaitu empat ratus dirham, dan dari sisanya dibayarkan utang sebesar tiga ratus dirham, lalu suami mengambil sepertiga dari sisanya, yaitu seratus dirham, dan ahli waris mengambil sisanya, yaitu dua ratus dirham, yang nilainya sama dengan yang keluar melalui wasiat. Jika utangnya enam ratus dirham atau lebih, maka sisa dari seribu itu setelah dikurangi mahar mitsil digunakan untuk membayar utang, karena utang didahulukan atas wasiat. Jika istri telah berwasiat dengan sepertiga hartanya kepada orang lain, maka suami lebih berhak atas sepertiga dari sisa seribu itu daripada semua penerima wasiat, karena wasiatnya merupakan pemberian dalam masa sakit, sehingga didahulukan atas wasiat-wasiat setelah kematian, baik suami telah menerima harta itu semasa hidupnya atau setelah kematian.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ كَانَ خُلْعُهَا بِعَبْدٍ يُسَاوِي مِائَةً وَمَهْرُ مِثْلِهَا خَمْسُونَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ أَخَذَ نِصْفَ الْعَبْدِ وَنِصْفَ مَهْرِ مِثْلِهَا أَوْ يَرُدَّ وَيَرْجِعَ بِمَهْرِ مِثْلِهَا كَمَا لَوِ اشْتَرَاهُ فَاسْتَحَقَّ نِصْفَهُ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ لَيْسَ هَذَا عِنْدِي بِشَيْءٍ وَلَكِنْ لَهُ مِنَ الْعَبْدِ مَهْرُ مِثْلِهَا وَمَا بَقِيَ مِنَ الْعَبْدِ بَعْدَ مَهْرِ مِثْلِهَا وَصِيَةٌ لَهُ إِنْ خَرَجَ مِنَ الثُّلُثِ فَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ مَا بَقِيَ مِنَ الْعَبْدِ من الثلث ولم يكن لها غيره فهر بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ قَبِلَ وَصِيَّتَهُ وَهُوَ الثُّلُثُ مِنْ نِصْفِ الْعَبْدِ وَكَانَ مَا بَقِيَ لِلْوَرَثَةِ وَإِنْ شَاءَ رَدَّ الْعَبْدَ وَأَخَذَ مِثْلَهَا لِأَنَّهُ إِذَا صَارَ فِي الْعَبْدِ شِرْكٌ لِغَيْرِهِ فَهُوَ عَيْبٌ يَكُونُ فِيهِ الْخِيَارُ) .

Imam asy-Syafi‘i berkata: “Jika khulu‘nya (perceraian dengan tebusan) dilakukan dengan memberikan seorang budak yang nilainya seratus, sedangkan mahar mitsil (mahar sepadan) untuknya adalah lima puluh, maka suami memiliki hak memilih: jika ia mau, ia mengambil setengah budak dan setengah mahar mitsil, atau ia mengembalikan (budak) dan mengambil kembali mahar mitsilnya, sebagaimana jika ia membeli lalu ternyata setengahnya menjadi milik orang lain.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Menurutku, pendapat ini tidak tepat. Akan tetapi, ia (suami) berhak atas budak sejumlah mahar mitsilnya, dan sisanya dari budak setelah mahar mitsil adalah wasiat baginya jika masih masuk sepertiga (harta peninggalan). Jika sisanya dari budak tidak masuk dalam sepertiga dan ia tidak memiliki harta lain, maka ia berhak memilih: jika ia mau, ia menerima wasiat tersebut, yaitu sepertiga dari setengah budak, dan sisanya menjadi milik ahli waris. Jika ia mau, ia mengembalikan budak dan mengambil mahar mitsilnya, karena jika dalam budak itu terdapat kepemilikan bersama dengan orang lain, maka itu merupakan cacat yang memberikan hak khiyar (memilih) baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ خَالَعَ زَوْجَتَهُ فِي مَرَضِهَا عَلَى عَبْدٍ يُسَاوِي مِائَةَ دِرْهَمٍ، وَمَهْرُ مِثْلِهَا خَمْسُونَ درهم، فَإِنْ صَحَّتِ الزَّوْجَةُ مَنْ مَرَضِهَا كَانَ لِلزَّوْجِ جَمِيعُ الْعَبْدِ سَوَاءٌ كَانَ لِلزَّوْجَةِ غَيْرُهُ أَمْ لَا؛ لِأَنَّ مُحَابَاةَ الْمَرِيضِ إِذَا صَحَّ مَاضِيَةٌ، وَإِنْ مَاتَتْ مِنْ مَرَضِهَا فَنِصْفُ الْعَبْدِ، وَهُوَ قَدْرُ مَهْرِ مِثْلِهَا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، وَنِصْفُهُ الْبَاقِي مُحَابَاةٌ فِي الثُّلُثِ، وَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: “Gambaran kasusnya adalah seorang laki-laki melakukan khulu‘ terhadap istrinya yang sedang sakit dengan tebusan seorang budak yang nilainya seratus dirham, sedangkan mahar mitsilnya lima puluh dirham. Jika istri sembuh dari sakitnya, maka seluruh budak menjadi milik suami, baik istri memiliki harta lain atau tidak; karena pemberian orang sakit jika ia sembuh tetap berlaku. Namun, jika ia meninggal karena sakitnya, maka setengah budak, yaitu sebesar mahar mitsil, diambil dari harta pokok, dan setengah sisanya adalah pemberian (muḥābāh) yang diambil dari sepertiga harta. Keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَخْرُجَ مِنْ ثُلُثِهَا.

Pertama: Seluruh setengah budak itu dapat diambil dari sepertiga harta.

وَالثَّانِي: أَن لا يَخْرُجَ مِنْ ثُلُثِهَا.

Kedua: Tidak ada bagian dari setengah budak yang dapat diambil dari sepertiga harta.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَخْرُجَ بَعْضُهُ مِنَ الثُّلُثِ وَلَا يَخْرُجَ بَاقِيهِ.

Ketiga: Sebagian dari setengah budak dapat diambil dari sepertiga harta, dan sisanya tidak dapat diambil.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَخْرُجَ جَمِيعُ النِّصْفِ مِنَ الثُّلُثِ، وَهُوَ أَنْ تُخَلِّفَ الزَّوْجَةُ مَعَ الْعَبْدِ مِائَةَ دِرْهَمٍ أُخْرَى فَيَأْخُذَ الزَّوْجُ جَمِيعَ الْعَبْدِ، نِصْفَهُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، وَنِصْفَهُ بِالْمُحَابَاةِ، وَقِيمَتُهُ خَمْسُونَ دِرْهَمًا قَدْ حَصَلَ لِلْوَرَثَةِ مِثْلَاهَا مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَلَا خِيَارَ لِلزَّوْجِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ جَمِيعَ الْعَبْدِ، فَلَمْ تَتَفَرَّقْ صَفْقَتُهُ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَ لَهُ الْخِيَارَ، لِأَنَّهُ عَاقَدَهَا لِيَكُونَ لَهُ جَمِيعُ الْعَبْدِ عِوَضًا، وَقَدْ صَارَ لَهُ نِصْفُ الْعَبْدِ عِوَضًا وَنِصْفُهُ وَصِيَّةً فَقَدْ تَفَرَّقَتْ صَفْقَتُهُ فِي الْعَبْدِ حُكْمًا وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ تَفْرِيقَ الصَّفْقَةِ يُوجِبُ الْخِيَارَ لِسُوءِ الْمُشَارَكَةِ فِي التَّفْرِيقِ، وَلَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِ فِي الْعَبْدِ سُوءُ الْمُشَارَكَةِ، لِأَنَّهُ صَارَ لَهُ جَمِيعُهُ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ الْخِيَارُ.

Adapun bagian pertama, yaitu seluruh setengah budak dapat diambil dari sepertiga harta, yaitu jika istri meninggalkan bersama budak itu seratus dirham lainnya, maka suami mengambil seluruh budak: setengahnya sebagai mahar mitsil, dan setengahnya sebagai pemberian (muḥābāh). Nilainya lima puluh dirham, dan ahli waris telah memperoleh harta yang setara, yaitu seratus dirham. Dalam hal ini, suami tidak memiliki hak khiyar, karena ia telah mengambil seluruh budak, sehingga akadnya tidak terpisah-pisah. Namun, sebagian ulama kami berpendapat bahwa ia tetap memiliki hak khiyar, karena ia mengadakan akad agar seluruh budak menjadi miliknya sebagai pengganti, namun ternyata setengah budak menjadi pengganti dan setengahnya lagi sebagai wasiat, sehingga akadnya terpisah secara hukum pada budak tersebut. Pendapat ini keliru, karena pemisahan akad menyebabkan hak khiyar karena buruknya kemitraan dalam pemisahan itu, sedangkan dalam kasus ini ia memperoleh seluruh budak, sehingga tidak ada hak khiyar baginya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ لَا يَخْرُجَ مِنْ نِصْفِ الْعَبْدِ الْبَاقِي شَيْءٌ مِنَ الثُّلُثِ؛ لِأَنَّ عَلَيْهَا دَيْنٌ قَدْ أَحَاطَ بِمَالِهَا، فَلَا يَمْلِكُ الزَّوْجُ مِنَ الْعَبْدِ إِلَّا نِصْفَهُ، وَهُوَ قَدْرُ مَهْرِ الْمِثْلِ وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ إِحَاطَةُ الدَّيْنِ بِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَهُ بِعَقْدِ مُعَاوَضَةٍ وَلِذَلِكَ كَانَ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَقَدْ تَفَرَّقَتِ الصَّفْقَةُ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ خَالَعَ بِجَمِيعِ الْعَبْدِ فَحَصَلَ لَهُ نَصِفُهُ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بِالْخِيَارِ لِتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ عَلَيْهِ بَيْنَ الْمُقَامِ أَوِ الْفَسْخِ فَإِنْ أَقَامَ عَلَيْهِ فَلَا شَيْءَ لَهُ غَيْرَ النِّصْفِ مِنْهُ، وَإِنْ فَسَخَ كَانَ لَهُ مَهْرُ الْمِثْلِ، وَذَلِكَ خَمْسُونَ دِرْهَمًا، فَإِنْ قِيلَ: مَا اسْتَفَادَ بِالْفَسْخِ زِيَادَةً قِيلَ: قَدِ اسْتَفَادَ أَنْ أَخَذَ نَقْدًا وَأَزَالَ عَنْ نَفْسِهِ سُوءَ الْمُشَارَكَةِ.

Adapun bagian kedua, yaitu tidak ada bagian dari setengah budak yang dapat diambil dari sepertiga harta, karena istri memiliki utang yang telah menghabiskan seluruh hartanya, maka suami hanya memiliki setengah budak, yaitu sebesar mahar mitsil, dan utang yang melingkupinya tidak berpengaruh, karena ia memilikinya melalui akad mu‘āwaḍah (pertukaran) sehingga diambil dari harta pokok. Dalam hal ini, akadnya terpisah, karena ia melakukan khulu‘ dengan seluruh budak, namun hanya memperoleh setengahnya, sehingga ia berhak memilih antara tetap menerima atau membatalkan. Jika ia tetap menerima, maka ia hanya mendapatkan setengah budak, dan jika ia membatalkan, maka ia berhak atas mahar mitsil, yaitu lima puluh dirham. Jika ditanyakan: “Apa keuntungan dari pembatalan?” Dijawab: “Ia memperoleh uang tunai dan terhindar dari buruknya kemitraan.”

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ بَعْضُ النِّصْفِ خَارِجًا مِنَ الثُّلُثِ، وَبَاقِيهِ غَيْرُ خَارِجٍ منه، وذلك في إحدى حالتين.

Adapun bagian ketiga, yaitu sebagian dari setengah budak dapat diambil dari sepertiga harta, dan sisanya tidak dapat diambil, dan hal ini terjadi dalam dua keadaan.

إما أن لا يُخَلِّفَ غَيْرَ نِصْفِهِ الْبَاقِي.

Yaitu jika tidak ada harta lain yang ditinggalkan selain setengah budak yang tersisa.

وَإِمَّا أَنْ يُخَلِّفَ غَيْرَهُ أَقَلَّ مِنْ مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَإِنْ لَمْ يُخَلِّفْ غَيْرَ النِّصْفِ الْبَاقِي مِنَ الْعَبْدِ كَانَ لِلزَّوْجِ ثُلُثُهُ وَهُوَ السُّدُسُ مِنْ جَمِيعِهِ يُضَافُ إِلَى النِّصْفِ الَّذِي أَخَذَهُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ فَيَصِيرُ لَهُ ثُلُثَا الْعَبْدِ نِصْفُهُ عِوَضًا وَسُدُسُهُ وَصِيَّةً، وَلَهُ الْخِيَارُ لِتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ فِيهِ، فَإِنْ فَسَخَ رَجَعَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، فَإِنْ قَالَ آخُذُ السُّدُسَ وَصِيَّةً وَأَفْسَخُ فِي النِّصْفِ لَا رَجْعَ فِي بَدَلِهِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Atau jika ia (istri) meninggalkan selainnya (harta lain) kurang dari seratus dirham, maka jika ia tidak meninggalkan selain setengah budak yang tersisa, maka bagi suami sepertiga dari budak tersebut, yaitu seperenam dari keseluruhannya, yang ditambahkan kepada setengah yang telah diambilnya sebagai mahar mitsil, sehingga menjadi miliknya dua pertiga dari budak itu: setengahnya sebagai pengganti (iwadh) dan seperenamnya sebagai wasiat. Suami memiliki hak memilih karena adanya tafriq ash-shafqah (pemisahan akad) dalam hal ini. Jika ia membatalkan (akad), maka ia kembali kepada mahar mitsil. Jika ia berkata, “Aku ambil seperenam sebagai wasiat dan aku batalkan pada setengahnya,” maka tidak ada hak kembali pada penggantinya dengan mahar mitsil.

قِيلَ: ليس لك ذلك لِأَنَّهَا مُحَابَاةٌ فِي مُعَارَضَةٍ لَا تُسْتَحَقُّ إِلَّا مَعَهَا كَالْمُحَابَاةِ فِي الْبَيْعِ وَإِنْ تَرَكَتِ الزَّوْجَةُ مَعَ نِصْفِ الْعَبْدِ أَقَلَّ مِنْ مِائَةِ دِرْهَمٍ ضُمَّ إِلَى نِصْفِ الْعَبْدِ، وَأُمْضِيَ لِلزَّوْجِ مِنَ الْعَبْدِ مَا احْتَمَلَهُ ثُلُثُ الْجَمِيعِ.

Dikatakan: Engkau tidak berhak melakukan itu karena hal tersebut merupakan muhabah (pemberian kelebihan) dalam mu‘āradzah (pertukaran) yang tidak berhak kecuali bersamanya, seperti muhabah dalam jual beli. Dan jika istri meninggalkan bersama setengah budak kurang dari seratus dirham, maka ditambahkan kepada setengah budak tersebut, dan diberikan kepada suami dari budak itu sebanyak yang dapat ditanggung oleh sepertiga dari seluruh harta.

مِثَالُهُ: أَنْ تَكُونَ قَدْ خَلَّفَتْ مَعَ الْبَاقِي مِنْ نِصْفِ الْعَبْدِ خَمْسِينَ دِرْهَمًا، فَإِذَا ضُمَّتْ إِلَى قِيمَةِ النِّصْفِ صَارَتْ مِائَةَ دِرْهَمٍ، فَيَكُونُ لِلزَّوْجِ ثُلُثُهَا ثَلَاثَةٌ وَثَلَاثُونَ دِرْهَمًا وَثُلُثُ دِرْهَمٍ فَيَأْخُذُ بِهَا ثُلُثَيِ النِّصْفِ الْبَاقِي مِنَ الْعَبْدِ، وَهُوَ ثُلُثُ الْجَمِيعِ فَيَصِيرُ لِلزَّوْجِ خَمْسَةُ أَسْدَاسِهِ بِالْعِوَضِ وَالْوَصِيَّةِ فَيَكُونُ الزَّوْجُ لِتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ بِالسُّدُسِ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْمُقَامِ عَلَيْهِ، أَوِ الْفَسْخِ وَالرُّجُوعِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ وَحْدَهُ، وَلَوْ كَانَتْ خَلَّفَتْ غَيْرَ النِّصْفِ مِنَ الْعَبْدِ

Contohnya: Jika ia meninggalkan bersama sisa setengah budak lima puluh dirham, maka ketika digabungkan dengan nilai setengah budak menjadi seratus dirham, maka bagi suami sepertiganya, yaitu tiga puluh tiga dirham dan sepertiga dirham. Dengan itu, ia mengambil dua pertiga dari setengah budak yang tersisa, yaitu sepertiga dari keseluruhan budak. Maka suami memperoleh lima perenamnya dengan pengganti (iwadh) dan wasiat. Suami, karena adanya tafriq ash-shafqah pada seperenamnya, diberi pilihan antara tetap mengambilnya atau membatalkan dan kembali kepada mahar mitsil saja. Dan seandainya ia meninggalkan selain setengah dari budak,

خَمْسَةً وَعِشْرِينَ دِرْهَمًا ضُمَّتْ إِلَى النِّصْفِ فَصَارَتْ تَرِكَتُهَا خَمْسَةً وَسَبْعِينَ دِرْهَمًا لِلزَّوْجِ ثُلُثُهَا خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا، يَأْخُذُ بِهَا نِصْفَ الْبَاقِي مِنَ الْعَبْدِ وَهُوَ رُبُعُ جَمِيعِهِ فَيَحْصُلُ لَهُ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِهِ بِالْعِوَضِ وَالْوَصِيَّةِ، وَهُوَ لِتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ بِرُبُعِهِ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الْمُقَامِ أَوِ الْفَسْخِ وَالرُّجُوعِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

dua puluh lima dirham, maka ditambahkan kepada setengahnya sehingga menjadi harta warisannya tujuh puluh lima dirham. Bagi suami sepertiganya, yaitu dua puluh lima dirham. Dengan itu, ia mengambil setengah dari sisa budak, yaitu seperempat dari keseluruhan budak. Maka ia memperoleh tiga perempatnya dengan pengganti (iwadh) dan wasiat. Ia, karena adanya tafriq ash-shafqah pada seperempatnya, diberi pilihan antara tetap mengambil atau membatalkan dan kembali kepada mahar mitsil.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيِّ اعْتِرَاضًا تَعْلِيلُهُ فِيهِ صَحِيحٌ وَوَهْمُهُ فِي تَأْوِيلِهِ فَسْخٌ، وَهُوَ أَنَّهُ نَقَلَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ إِذَا خَالَعَهَا عَلَى عَبْدٍ يُسَاوِي مِائَةَ دِرْهَمٍ لَا مَالَ لَهَا غَيْرُهُ، وَمَهْرُ مِثْلِهَا خَمْسُونَ أَنَّ لَهُ نِصْفَ الْعَبْدِ وَنِصْفَ مَهْرِ مِثْلِهَا وهُوَ رُبُعُ الْعَبْدِ فَيَكُونُ لَهُ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الْعَبْدِ فَقَالَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لَهُ ثُلُثُ مَهْرِ مِثْلِهَا وَهُوَ سُدُسُ الْعَبْدِ فَيَصِيرُ لِلزَّوْجِ ثُلُثَا الْعَبْدِ: وَهَذَا صَحِيحٌ فِي التَّعْلِيلِ وَلِمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ تَأْوِيلٌ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun al-Muzani, ia mengkritik Imam asy-Syafi‘i dengan kritik yang alasannya benar namun kekeliruannya dalam penafsiran adalah pembatalan. Yaitu, ia meriwayatkan dari asy-Syafi‘i dalam masalah ini: jika suami melakukan khulu‘ terhadap istrinya dengan imbalan seorang budak yang nilainya seratus dirham dan ia tidak memiliki harta lain, sedangkan mahar mitsilnya lima puluh dirham, maka bagi suami setengah budak dan setengah mahar mitsilnya, yaitu seperempat budak, sehingga menjadi miliknya tiga perempat budak. Maka ia (al-Muzani) berkata: “Seharusnya bagi suami sepertiga mahar mitsilnya, yaitu seperenam budak, sehingga menjadi miliknya dua pertiga budak.” Ini benar dalam alasan, dan terhadap apa yang disebutkan asy-Syafi‘i terdapat penafsiran yang para sahabat kami berbeda pendapat di dalamnya menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ: لَهُ نِصْفُ الْعَبْدِ وَنَصِفُهُ مَهْرُ مِثْلِهَا تَعْلِيلًا لِلنِّصْفِ الَّذِي اسْتَحَقَّهُ الزَّوْجُ؛ لِأَنَّهُ مَهْرُ مِثْلِهَا، وَلَمْ يَتَعَرَّضِ الشَّافِعِيُّ لِمَا يَسْتَحِقُّهُ مِنْ نِصْفِهِ الْبَاقِي بِالْوَصِيَّةِ؛ لِأَنَّهُ ثُلُثٌ لَا إِشْكَالَ فِيهِ، فَحَذَفَ الْكَاتِبُ الْهَاءَ مِنْ نِصْفُهُ، وَنَقَلَ لَهُ نِصْفُ الْعَبْدِ وَنِصْفُ مَهْرِ مِثْلِهَا، وَلِحَذْفِ الْهَاءِ مَا تَوَجَّهَ اعْتِرَاضُ الْمُزَنِيِّ.

Salah satunya: Bahwa asy-Syafi‘i berkata: “Baginya setengah budak dan setengahnya mahar mitsilnya,” sebagai alasan untuk setengah yang berhak didapatkan suami, karena itu adalah mahar mitsilnya. Dan asy-Syafi‘i tidak membahas apa yang menjadi haknya dari setengah sisanya melalui wasiat, karena itu adalah sepertiga yang tidak ada masalah di dalamnya. Maka penulis menghilangkan huruf “ha” dari “setengahnya”, dan menuliskan untuknya “setengah budak dan setengah mahar mitsilnya”. Karena penghilangan huruf “ha” inilah muncul kritik dari al-Muzani.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنَّ مَسْأَلَةَ الشَّافِعِيِّ مُصَوَّرَةٌ عَلَى أَنَّهَا خَلَّفَتْ مَعَ الْعَبْدِ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ دِرْهَمًا فَصَارَتْ تَرِكَتُهَا مَعَ نِصْفِ الْعَبْدِ خَمْسَةً وَسَبْعِينَ لِلزَّوْجِ ثُلُثُهَا وَهُوَ خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا، يَدْخُلُ بِهَا نِصْفُ النِّصْفِ الْبَاقِي مِنَ الْعَبْدِ، وَهُوَ نِصْفُ مَهْرِ مِثْلِهَا وَقَدْ نَقَلَهَا الرَّبِيعُ فِي كِتَابِ الْأُمِّ، إِذَا خَالَعَهَا عَلَى دَارٍ قِيمَتُهَا مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَتَرَكَتْ مَعَهَا خَمْسَةً وَعِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَكَانَ مَهْرُ مِثْلِهَا خَمْسِينَ دِرْهَمًا، فَلَهُ نِصْفُ الدَّارِ، وَنِصْفُ مَهْرِ مِثْلِهَا فَجُعِلَ لَهُ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الدَّارِ، فَنَقَلَ الْمُزَنِيُّ خُلْعَ الدَّارِ إِلَى الْعَبْدِ، وَغَفَلَ عَنْ نَقْلِ مَا خَلَّفَتْهُ مَعَهُ وَهُوَ خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا، وَنَقَلَ الْجَوَابَ عَلَى حَالِهِ فَتَوَجَّهَ لَهُ الِاعْتِرَاضُ الَّذِي ذَكَرَهُ لِسِعَتِهِ فِي النَّقْلِ وَوَهْمِهِ فِي التَّأْوِيلِ.

Penafsiran kedua: Bahwa kasus asy-Syafi‘i digambarkan dengan bahwa ia meninggalkan bersama budak itu dua puluh lima dirham, sehingga harta peninggalannya bersama setengah budak menjadi tujuh puluh lima dirham; untuk suami sepertiganya, yaitu dua puluh lima dirham. Dengan itu, masuklah setengah dari setengah budak yang tersisa, yaitu setengah mahar mitsil-nya. Hal ini telah dinukil oleh ar-Rabi‘ dalam Kitab al-Umm, yaitu jika ia dicerai dengan tebusan sebuah rumah yang nilainya seratus dirham, dan ia meninggalkan bersama suaminya dua puluh lima dirham, sedangkan mahar mitsil-nya lima puluh dirham, maka suami mendapat setengah rumah dan setengah mahar mitsil-nya, sehingga diberikan kepadanya tiga perempat rumah. Lalu al-Muzani memindahkan kasus khulu‘ rumah kepada budak, dan lalai menukil apa yang ditinggalkannya bersamanya, yaitu dua puluh lima dirham, dan ia menukil jawaban dalam keadaan seperti itu, sehingga muncullah keberatan yang disebutkan karena keluasan dalam menukil dan kekeliruan dalam penafsiran.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّالِثُ: أَنَّ مَسْأَلَةَ الشَّافِعِيِّ مُصَوَّرَةٌ فِي رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَتَهُ عَلَى مَهْرٍ فَاسِدٍ، فَوَجَبَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، ثُمَّ خَالَعَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا فِي مَرَضِهَا عَلَى عَبْدٍ قِيمَتُهُ مائة درهم لا مال لها غيره، ومهر مِثْلِهَا خَمْسُونَ دِرْهَمًا، فَلَهُ نِصْفُ الْعَبْدِ بِالْخُلْعِ عِوَضًا، وَنِصْفُ مَهْرِ مِثْلِهَا بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ، فَذَكَرَ مَا مَلَكَهُ بِالْخُلْعِ وَمَا مَلَكَهُ بِالطَّلَاقِ وَلَمْ يَعْرِضْ لِمَا مَلَكَهُ بِالْوَصِيَّةِ؛ لِأَنَّهُ مُعْتَبَرٌ مِنَ الثُّلُثِ، وَقَدْ أَفْصَحَ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا فِي بَعْضِ كُتُبِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Penafsiran ketiga: Bahwa kasus asy-Syafi‘i digambarkan pada seorang laki-laki yang menikahi istrinya dengan mahar yang rusak (tidak sah), maka wajib baginya mahar mitsil, kemudian ia menceraikannya dengan khulu‘ sebelum berhubungan dalam keadaan istrinya sakit dengan tebusan seorang budak yang nilainya seratus dirham, dan ia tidak memiliki harta selain itu, sedangkan mahar mitsil-nya lima puluh dirham. Maka suami mendapat setengah budak sebagai ganti khulu‘, dan setengah mahar mitsil karena talak sebelum berhubungan. Maka disebutkan apa yang dimilikinya melalui khulu‘ dan apa yang dimilikinya melalui talak, dan tidak disebutkan apa yang dimilikinya melalui wasiat, karena itu dihitung dari sepertiga (harta), dan asy-Syafi‘i telah menjelaskan hal ini dalam sebagian kitabnya. Allah Maha Mengetahui.

(باب خلع المشركين من كتاب نشوز الرجل على المرأة)

(Bab Khulu‘ Orang-Orang Musyrik dari Kitab Pembangkangan Suami terhadap Istri)

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (إِنِ اخْتَلَعَتِ الذِّمِّيَّةُ بِخَمْرٍ أَوْ بِخَنْزِيرٍ فَدَفَعَتْهُ ثُمَّ تَرَافَعَا إِلَيْنَا أَجَزْنَا الْخُلْعَ وَالْقَبْضَ وَلَوْ لَمْ تَكُنْ دَفَعَتْهُ جَعَلْنَا لَهُ عَلَيْهَا مَهْرَ مِثْلِهَا) .

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang perempuan dzimmiya melakukan khulu‘ dengan menebusnya dengan khamr atau babi, lalu ia menyerahkannya, kemudian keduanya mengadukan perkara kepada kami, maka kami sahkan khulu‘ dan penyerahan itu. Namun jika ia belum menyerahkannya, maka kami tetapkan untuk suaminya mahar mitsil-nya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ خُلْعُ الْمُشْرِكِينَ جَائِزٌ كَالْمُسْلِمِينَ، لِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ كَالْبَيْعِ، وَلِأَنَّهُ حِلُّ نِكَاحٍ كَالطَّلَاقِ، وَلَا يَخْلُو حَالُ الْعِوَضِ فِيهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ حَلَالًا أَوْ حَرَامًا، فَإِنْ كَانَ حَلَالًا يَجُوزُ أَنْ يَخْتَلِعَ بِهِ الزَّوْجَانِ الْمُسْلِمَانِ مِنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ، وَمَا كَانَ مَعْلُومًا مِنَ الْعُرُوضِ وَالسِّلَعِ صَحَّ خُلْعُهُمَا بِهِ، فَإِنْ تَرَافَعَا إِلَيْنَا أَمْضَيْنَاهُ قَبْلَ الْقَبْضِ وَبَعْدَهُ، وَإِنْ كَانَ حَرَامًا مِنْ خَمْرٍ أَوْ خِنْزِيرٍ، فَإِنْ لَمْ يَتَرَافَعَا إِلَيْنَا فِيهِ أُقِر عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ اعْتِرَاضٍ عَلَيْهِمَا لِاسْتِهْلَاكِهِمَا ذَلِكَ فِي شِرْكِهِمَا، فَكَانَ عفواً قال الله تعالى: {يأيها الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ من الربا} [البقرة: 278] فعفى عَمَّا مَضَى، وَحَرَّمَ مَا بَقِيَ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ لَزِمَهُ الطَّلَاقُ بَائِنًا وَبَرِئَتْ مِنَ الْعِوَضِ بِالْقَبْضِ.

Al-Mawardi berkata: Dan sebagaimana yang dikatakan, khulu‘ orang-orang musyrik itu sah seperti halnya kaum muslimin, karena ia adalah akad mu‘awadhah (pertukaran) seperti jual beli, dan karena ia adalah pelepasan pernikahan seperti talak. Adapun mengenai kompensasi dalam khulu‘, tidak lepas dari dua keadaan: halal atau haram. Jika halal, maka boleh bagi pasangan muslim melakukan khulu‘ dengan dirham, dinar, atau barang dan komoditas yang diketahui nilainya; maka khulu‘ mereka sah dengannya. Jika keduanya mengadukan perkara kepada kami, kami sahkan sebelum maupun sesudah penyerahan. Jika kompensasinya haram, seperti khamr atau babi, maka jika keduanya tidak mengadukan perkara kepada kami, maka kami biarkan tanpa keberatan terhadap mereka karena mereka telah menghabiskan barang itu dalam kemusyrikan mereka, sehingga dianggap gugur. Allah Ta‘ala berfirman: {Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba} (al-Baqarah: 278), maka Allah memaafkan yang telah lalu dan mengharamkan yang tersisa. Dengan demikian, talak bain berlaku dan istri bebas dari kompensasi setelah penyerahan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَتَرَافَعَا إِلَيْنَا قَبْلَ قَبْضِهِ، فَلَا يَجُوزُ لِحَاكِمِنَا أَنْ يَحْكُمَ فِي خُلْعِهِمَا بِإِقْبَاضِ خَمْرٍ أَوْ خِنْزِيرٍ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تتبع أهواءهم} [الشورى: 15] وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ أُوقِعُ الطَّلَاقُ بَائِنًا، وَأُبْطِلَ الْخَمْرُ وَالْخِنْزِيرُ، وَحُكِمَ عَلَيْهَا لِلزَّوْجِ بِمَهْرِ مِثْلِهَا، لِأَنَّ فَسَادَ الْخُلْعِ بِالْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ يُوجِبُ الطَّلَاقَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Bagian kedua: Jika keduanya mengadukan perkara kepada kami sebelum penyerahan, maka tidak boleh bagi hakim kami memutuskan khulu‘ mereka dengan penyerahan khamr atau babi, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka} (asy-Syura: 15). Dengan demikian, talak bain dijatuhkan, khamr dan babi dibatalkan, dan diputuskan untuk suami mahar mitsil-nya, karena rusaknya khulu‘ dengan khamr dan babi mewajibkan talak dengan mahar mitsil.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَرَافَعَا إِلَيْنَا بَعْدَ أَنْ تَقَابَضَا بَعْضَهُ، وَبَقِيَ بَعْضُهُ، فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ بَائِنًا، وَيَمْضِي مِنَ الْخُلْعِ مَا تَقَابَضَاهُ، وَيَبْطُلُ مِنْهُ مَا بَقِيَ، وَيُحْكَمُ فِيهِ بِقِسْطِهِ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، كَأَنَّهُ خَالَعَهَا عَلَى عَشَرَةِ خَنَازِيرَ، فَأَقْبَضَتْهُ مِنْهَا خَمْسَةً، وَبَقِيَ مِنْهَا خَمْسَةٌ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْ نِصْفِ الْبَدَلِ، وَبَقِيَ عَلَيْهَا نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ، فَلَوْ كَانَ قَدْ خَالَعَهَا عَلَى عَشَرَةِ خَنَازِيرَ وَعِشْرِينَ زِقًّا مِنْ خَمْرٍ، وَتَقَابَضَا الْخَنَازِيرَ وَبَقِيَ الْخَمْرُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَمْيِيزِ الْجِنْسَيْنِ وَتَسَاوِيهِمَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Bagian ketiga: Yaitu apabila keduanya mengajukan perkara kepada kami setelah sebagian dari tebusan telah diserahkan, dan sebagian lainnya masih tersisa. Maka talak jatuh secara bain (tidak bisa rujuk), dan dari khulu‘ itu yang berlaku adalah bagian yang telah diserahkan, sedangkan sisanya batal. Dalam hal ini diputuskan dengan bagian dari mahar mitsil (mahar sepadan), seolah-olah ia melakukan khulu‘ dengan sepuluh ekor babi, lalu ia telah menerima lima ekor di antaranya, dan masih tersisa lima ekor. Maka ia telah bebas dari setengah pengganti (tebusan), dan masih tersisa atasnya setengah mahar mitsil. Jika ia melakukan khulu‘ dengan sepuluh ekor babi dan dua puluh kantong khamar, lalu keduanya telah saling menerima babi dan masih tersisa khamar, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam membedakan dua jenis ini dan kesetaraannya dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أنهما يتميزان في الحكم لتميزها فِي الْجِنْسِ، فَعَلَى هَذَا يَغْلِبُ اعْتِبَارُ الْجِنْسَيْنِ، وَيَتَقَسَّطُ الْمَهْرُ عَلَيْهِمَا فَتَكُونُ الْخَنَازِيرُ فِي مُقَابَلَةِ النِّصْفِ، فَتَبْرَأُ مِنْ نِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ وَتَكُونُ الْخَمْرُ فِي مُقَابَلَةِ النِّصْفِ فَيَلْزَمُهَا نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ.

Salah satunya: Bahwa keduanya dibedakan dalam hukum karena perbedaan jenisnya. Berdasarkan hal ini, maka pertimbangan jenis lebih diutamakan, dan mahar dibagi kepada keduanya. Maka babi menjadi pengganti setengahnya, sehingga ia bebas dari setengah mahar mitsil, dan khamar menjadi pengganti setengahnya, sehingga ia wajib membayar setengah mahar mitsil.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْجِنْسَيْنِ لَا يَتَمَيَّزَانِ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي التَّحْرِيمِ، وَيَتَقَسَّطُ مَهْرُ الْمِثْلِ عَلَى أَعْدَادِهِمَا وَهُمَا ثَلَاثُونَ فَتَكُونُ الْعَشَرَةُ خَنَازِيرَ فِي مُقَابَلَةِ ثُلُثِ مَهْرِ الْمِثْلِ فَيَبْرَأُ مِنْ ثُلُثِهِ، وَتَبْقَى الْعِشْرُونَ زِقًّا فِي مُقَابَلَةِ ثُلُثَيِ الْمَهْرِ، فَيَلْزَمُهَا ثُلُثَانِ.

Pendapat kedua: Bahwa kedua jenis tersebut tidak dibedakan karena keduanya sama-sama haram, dan mahar mitsil dibagi berdasarkan jumlah keduanya, yaitu tiga puluh. Maka sepuluh ekor babi menjadi pengganti sepertiga mahar mitsil, sehingga ia bebas dari sepertiganya, dan dua puluh kantong menjadi pengganti dua pertiga mahar, sehingga ia wajib membayar dua pertiga.

فَلَوْ تَقَابَضَا قَبْلَ التَّرَافُعِ إِلَيْنَا خَمْسَةَ خَنَازِيرَ، وَخَمْسَةَ أَزْقَاقِ خَمْرٍ، فَإِنْ قُلْنَا: بِاعْتِبَارِ الْجِنْسَيْنِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ بَرِئَتْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَثْمَانِ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَبَقِيَ عَلَيْهَا خَمْسَةُ أَثْمَانِهِ؛ لِأَنَّ الْخَمْسَةَ خَنَازِيرَ مِنَ الْعَشْرَةِ فِي مُقَابَلَةِ الرُّبُعِ، وَالْخَمْسَةَ الْأَزْقَاقِ مِنَ الْعِشْرِينَ فِي مُقَابَلَةِ الثُّمُنِ، فَصَارَتْ ثَلَاثَةُ أَثْمَانٍ، وَإِنْ قُلْنَا بِاعْتِبَارِ الْعَدَدَيْنِ دُونَ الْجِنْسَيْنِ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي بَرِئَتْ مِنْ ثُلُثِ مَهْرِ الْمِثْلِ؛ لِأَنَّهَا أَقَبَضَتْهُ عَشَرَةً مِنْ ثَلَاثِينَ وَيَبْقَى عَلَيْهَا ثُلُثَا مَهْرِ الْمِثْلِ، وَهُوَ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ فِي كتاب الصداق سواء.

Jika keduanya telah saling menerima sebelum mengajukan perkara kepada kami lima ekor babi dan lima kantong khamar, maka jika kita katakan: dengan mempertimbangkan jenis pada pendapat pertama, ia bebas dari tiga per delapan mahar mitsil, dan masih tersisa atasnya lima per delapan; karena lima ekor babi dari sepuluh sebagai pengganti seperempat, dan lima kantong dari dua puluh sebagai pengganti seperdelapan, sehingga menjadi tiga per delapan. Dan jika kita katakan dengan mempertimbangkan jumlah tanpa membedakan jenis pada pendapat kedua, ia bebas dari sepertiga mahar mitsil; karena ia telah menerima sepuluh dari tiga puluh, dan masih tersisa atasnya dua pertiga mahar mitsil. Hal ini sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam kitab as-sadaq (mahar).

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَهَكَذَا أَهْلُ الْحَرْبِ إِلَّا أَنَّا لَا نَحْكُمُ عَلَيْهِمْ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عَلَى الرِّضَا وَنَحْكُمُ عَلَى الذِّمِّيَّيْنِ إِذَا جَاءَانَا أَوْ أَحَدُهُمَا) .

Imam Syafi‘i berkata: (Demikian pula halnya dengan ahl al-harb, kecuali bahwa kami tidak memutuskan hukum atas mereka sampai mereka sepakat untuk menerima, sedangkan terhadap dzimmi, jika keduanya atau salah satunya datang kepada kami, maka kami memutuskan hukum atas mereka).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لَا فَرْقَ بَيْنَ خُلْعِ الذِّمِّيَّيْنِ وَخُلْعِ الْمُعَاهَدَيْنِ فِيمَا ذَكَرْنَاهُ إِذَا تَرَافَعَا إِلَيْنَا، وَإِنَّمَا يَخْتَلِفَانِ فِي الْتِزَامِ أَحْكَامِنَا فَإِنْ كَانَا مُعَاهَدَيْنِ لَمْ يُؤْخذَا بِالْتِزَامِ أَحْكَامِنَا وَلَا يَلْزَمُنَا الْحُكْمُ بَيْنَهُمَا لِأَنَّهُمَا مِنْ أَهْلِ دَارٍ لَا تَجْرِي عَلَيْهَا أَحْكَامُنَا، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: فِيهِمْ {فَإِنْ جاؤوك فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ} [المائدة: 42] فَخَيَّرَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْحُكْمِ بَيْنَهُمْ؛ لِأَنَّ أَحْكَامَهُ لَا تَلْزَمُهُمْ، وَإِنْ كَانَا ذِمِّيَّيْنِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Tidak ada perbedaan antara khulu‘ dzimmi dan khulu‘ mu‘ahad dalam hal yang telah kami sebutkan jika keduanya mengajukan perkara kepada kami. Perbedaannya hanya dalam hal kewajiban mengikuti hukum kami. Jika keduanya adalah mu‘ahad, maka mereka tidak diwajibkan mengikuti hukum kami, dan kami tidak wajib memutuskan perkara di antara mereka, karena mereka termasuk penduduk negeri yang tidak berlaku hukum kami atasnya. Allah Ta‘ala berfirman tentang mereka: {Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah perkara di antara mereka atau berpalinglah dari mereka} (al-Ma’idah: 42). Maka Allah Ta‘ala memberikan pilihan dalam memutuskan perkara di antara mereka, karena hukum-hukum-Nya tidak wajib atas mereka. Namun jika keduanya adalah dzimmi, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَا عَلَى دِينٍ وَاحِدٍ كَيَهُودِيَّيْن أَوْ نَصْرَانِيَّيْنِ فَفِي وُجُوبِ الْحُكْمِ عَلَيْهِمْ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ مَضَتْ:

Salah satunya: Keduanya berada dalam satu agama, seperti sama-sama Yahudi atau sama-sama Nasrani. Dalam kewajiban memutuskan perkara atas mereka terdapat tiga pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهَا: يَجِبُ عَلَى حَاكِمِنَا أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ، وَعَلَيْهِمْ إِذَا حَكَمَ أَنْ يَلْتَزِمُوا حكمه لقوله اللَّهِ تَعَالَى: {حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ} [التوبة: 29] وَالصَّغَارُ أَنْ تَجْرِيَ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ وَلِأَنَّهُمْ فِي دَارٍ تَنْفُذُ فِيهَا أَحْكَامُنَا.

Salah satunya: Wajib bagi hakim kami untuk memutuskan perkara di antara mereka, dan mereka wajib menerima keputusan tersebut jika telah diputuskan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk} (at-Taubah: 29). Dan ketundukan itu adalah diberlakukannya hukum-hukum Islam atas mereka, karena mereka berada di negeri yang berlaku hukum kami di dalamnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ حَاكِمَنَا بِالْخِيَارِ فِي الْحُكْمِ بَيْنَهُمْ وَهُمْ إِذَا حَكَمَ بَيْنَهُمْ بِالْخِيَارِ فِي الْتِزَامِ حُكْمِهِ كَأَهْلِ الْعَهْدِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْكُفْرِ، وَإِقْرَارِنَا لَهُمَا جَمِيعًا عَلَيْهِ.

Pendapat kedua: Bahwa hakim kita memiliki pilihan dalam memutuskan perkara di antara mereka, dan mereka juga memiliki pilihan dalam menerima keputusan hakim kita, sebagaimana halnya Ahl al-‘Ahd, karena keduanya sama-sama berada dalam kekufuran, dan kita mengakui keduanya atas hal itu.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثِ: أَنَّهُ إِنْ كَانَ فِي حَقٍّ لِآدَمِيٍّ لَزِمَنَا أَنْ نَحْكُمَ بَيْنَهُمْ، وَأُخِذُوا جَبْرًا بِالْتِزَامِهِ، لِأَنَّ دَارَنَا تَمْنَعُ مِنَ التَّظَالُمِ، وَإِنْ كَانَ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى كَانَ حَاكِمُنَا مُخَيَّرًا فِي الْحُكْمِ بَيْنَهُمْ، وَكَانُوا مُخَيَّرِينَ فِي الْتِزَامِ حُكْمِهِ لِأَنَّ حَقَّ اللَّهِ فِي كُفْرِهِمْ أَعْظَمُ، وَقَدْ أُقِرُّوا عَلَيْهِ فَكَانَ مَا سِوَاهُ أَوْلَى، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَحَقُّ الْخُلْعِ مِنَ الْحُقُوقِ الْمُشْتَرَكَةِ بَيْنَ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى فِي التَّحْرِيمِ بِالطَّلَاقِ، وَبَيْنَ حَقِّ الْآدَمِيِّينَ فِي اسْتِحْقَاقِ الْعِوَضِ، فَيَكُونُ فِي وجوب الحكم بينهما والتزمهما قَوْلَانِ.

Pendapat ketiga: Jika perkara tersebut berkaitan dengan hak manusia (‘adami), maka kita wajib memutuskan perkara di antara mereka dan mereka dipaksa untuk menerima keputusan tersebut, karena wilayah kita melarang terjadinya kezaliman. Namun jika perkara tersebut berkaitan dengan hak Allah Ta‘ala, maka hakim kita diberi pilihan untuk memutuskan perkara di antara mereka, dan mereka juga diberi pilihan untuk menerima keputusan tersebut, karena hak Allah dalam kekufuran mereka lebih besar, dan mereka telah diakui atas hal itu, maka perkara selain itu lebih utama untuk diakui. Jika demikian, maka hak khulu‘ termasuk hak yang bersifat gabungan antara hak Allah Ta‘ala dalam pengharaman dengan talak, dan hak manusia dalam berhak atas kompensasi, sehingga dalam kewajiban memutuskan perkara di antara mereka dan keterikatan mereka terhadap keputusan tersebut terdapat dua pendapat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَا عَلَى دِينَيْنِ أَحَدُهُمَا يَهُودِيٌّ، وَالْآخَرُ نَصْرَانِيٌّ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jenis kedua: Yaitu keduanya berada pada dua agama yang berbeda, salah satunya Yahudi dan yang lainnya Nasrani. Maka para ulama kami berbeda pendapat dalam dua pandangan:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ يَكُونَ كَالدِّينِ الْوَاحِدِ، لِأَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ، فَيَكُونُ لُزُومُ الْحُكْمِ بَيْنَهُمَا عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْأَقَاوِيلِ الثلاثة.

Salah satunya: Bahwa keduanya diperlakukan seperti satu agama, karena seluruh kekufuran adalah satu golongan, sehingga kewajiban menerima keputusan di antara mereka sama seperti tiga pendapat yang telah lalu.

والوجه الثاني: أنهما يتميزا بِاخْتِلَافِ الدِّينَيْنِ عَنِ الْمُتَسَاوِيَيْنِ فِيهِ؛ لِأَنَّهُمَا فِي التَّسَاوِي مُتَّفِقَانِ عَلَى حُكْمِ دِينِهِمَا، فَأُقِرَّا عَلَيْهِ، وَفَى الِاخْتِلَافِ غَيْرُ مُتَّفِقَيْنِ فَوَجَبَ الْعُدُولُ بِهِمَا إِلَى دِينِ الْحَقِّ وَهُوَ الْإِسْلَامُ، قَطْعًا لِلتَّنَازُعِ في الباطل، فعلى هذا يجب على الحاكم أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمَا وَيُؤْخَذ جَبْرًا بِالْتِزَامِ حُكْمِهِ، فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْحُكْمُ بَيْنَ مُسْلِمٍ وَبَيْنَ ذِمِّيَّةٍ أَوْ مُعَاهَدٍ فَوَاجِبٌ عَلَى حَاكِمِنَا أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمَا وَيَأْخُذَهَا جَبْرًا بِالْتِزَامِ حُكْمِهِ سَوَاءٌ كَانَ الْمُسْلِمُ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى) وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا) فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ (تَرُدُّهُ عَنْ ظُلْمِهِ) .

Pandangan kedua: Bahwa keduanya dibedakan karena perbedaan agama dari yang sama agamanya; karena dalam kesamaan agama, keduanya sepakat atas hukum agama mereka sehingga diakui atas hal itu, sedangkan dalam perbedaan agama, keduanya tidak sepakat sehingga harus dialihkan kepada agama yang benar, yaitu Islam, untuk memutuskan perselisihan dalam kebatilan. Maka berdasarkan hal ini, wajib bagi hakim untuk memutuskan perkara di antara mereka dan memaksa mereka menerima keputusannya. Adapun jika perkara antara seorang Muslim dan seorang dzimmi atau mu‘ahad, maka wajib bagi hakim kita untuk memutuskan perkara di antara mereka dan memaksa mereka menerima keputusannya, baik Muslim tersebut yang zalim maupun yang dizalimi, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya,” dan sabda beliau ﷺ: “Tolonglah saudaramu, baik ia berbuat zalim maupun dizalimi.” Seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, aku menolongnya jika ia dizalimi, lalu bagaimana jika ia berbuat zalim?” Beliau bersabda, “Engkau mencegahnya dari kezalimannya.”

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

لَا يَجُوزُ لِوَلِيِّ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ مِنْ أَبٍ وَلَا غَيْرِهِ أَنْ يُطَلِّقَ عَنْهُ، وَلَا يُخَالِعَ فَإِنْ طَلَّقَ لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ، وَلَمْ يَصِحَّ خُلْعُهُ.

Tidak boleh bagi wali anak kecil dan orang gila, baik ayah maupun selainnya, untuk mentalak atas nama mereka, dan tidak boleh melakukan khulu‘. Jika ia mentalak, maka talaknya tidak jatuh, dan khulu‘-nya tidak sah.

وقال الحسن وعطاء: يجوز أن يطلق بعوض وبغير عِوَضٍ، لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ لِوَلِيِّهِ أَنْ يُمَلِّكَهُ لِلْبُضْعِ بِالنِّكَاحِ جَازَ لَهُ أَنْ يُزِيلَ مِلْكَهُ عَنْهُ بِالطَّلَاقِ كَالْمَالِ. وَقَالَ الزُّهْرِيُّ وَمَالِكٌ: يَجُوزُ أَنْ يُطَلِّقَ عَنْهُ بِعِوَضٍ، وَلَا يَجُوزَ أَنْ يُطَلِّقَ عَنْهُ بِغَيْرِ عِوَضٍ؛ لِأَنَّ طَلَاقَهُ بِعِوَضٍ كَالْبَيْعِ بِغَيْرِ عِوَضٍ كَالْهِبَةِ، وَلِوَلِيِّهِ أَنْ يَبِيعَ مَالَهُ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَهَبَهُ.

Al-Hasan dan ‘Atha’ berkata: Boleh bagi wali untuk mentalak dengan kompensasi maupun tanpa kompensasi, karena jika wali boleh menikahkan anak tersebut, maka boleh pula baginya untuk menghilangkan kepemilikan atasnya dengan talak sebagaimana harta. Az-Zuhri dan Malik berkata: Boleh bagi wali untuk mentalak atas nama anak tersebut dengan kompensasi, namun tidak boleh tanpa kompensasi; karena talak dengan kompensasi seperti jual beli, sedangkan tanpa kompensasi seperti hibah, dan wali boleh menjual hartanya, namun tidak boleh memberikannya sebagai hibah.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (الطَّلَاقُ لِمَنْ أَخَذَ بِالسَّاقِ) مَعْنَاهُ إِنَّمَا يَمْلِكُ الطَّلَاقَ مَنْ مَلَكَ الْأَخْذَ بِالسَّاقِ، يَعْنِي الْبُضْعَ، وَالْوَلِيُّ لَا يَمْلِكُ الْبُضْعَ، فَلَمْ يَمْلِكِ الطَّلَاقَ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يَمْلِكِ الْبُضْعَ لَمْ يَمْلِكْ بِنَفْسِهِ الطَّلَاقَ كَالْأَجْنَبِيِّ وَالْوَكِيل فِي الطَّلَاقِ لَا يَمْلِكُ بِنَفْسِهِ، وَإِنَّمَا يَمْلِكُ إِيقَاعَهُ مُوَكِّلُهُ.

Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Talak adalah hak bagi siapa yang memegang betis,” maksudnya yang berhak melakukan talak adalah yang memiliki hak atas betis, yaitu kemaluan (istri). Sedangkan wali tidak memiliki hak atas kemaluan, maka ia tidak berhak melakukan talak. Dan setiap orang yang tidak memiliki hak atas kemaluan, maka ia tidak berhak melakukan talak atas nama dirinya sendiri, seperti orang asing dan wakil dalam talak, ia tidak berhak atas nama dirinya sendiri, melainkan hanya berhak menjatuhkan talak atas nama orang yang mewakilkannya.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ الْحَسَنِ وَعَطَاءٍ بِالنِّكَاحِ فَهُوَ أَنَّ النِّكَاحَ تَمْلِيكٌ فَصَحَّ مِنَ الْوَلِيِّ، كَمَا يَصِحُّ مِنْهُ قَبُولُ الْهِبَةِ، وَالطَّلَاقُ إِزَالَةُ مِلْكٍ فَلَمْ يَصِحَّ مِنَ الْوَلِيِّ كَمَا لَا يَصِحُّ مِنْهُ بَذْلُ الْهِبَةِ.

Adapun jawaban atas dalil Hasan dan ‘Aṭā’ dengan pernikahan adalah bahwa pernikahan itu merupakan bentuk pemilikan, sehingga sah dilakukan oleh wali, sebagaimana sah baginya menerima hibah. Sedangkan talak adalah penghilangan kepemilikan, maka tidak sah dilakukan oleh wali, sebagaimana tidak sah baginya memberikan hibah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ الزُّهْرِيِّ وَمَالِكٍ بِالْبَيْعِ وَالْهِبَةِ فَهُوَ أَنَّ الْمُغَلَّبَ فِي الْخُلْعِ حُكْمُ الطَّلَاقِ دُونَ الْعِوَضِ، وَالطَّلَاقُ لَا يَمْلِكُهُ الْوَلِيُّ مُنْفَرِدًا كَالْأَجْنَبِيِّ فَكَذَلِكَ لَا يَمْلِكُهُ مَعَ غَيْرِهِ كَالْأَجْنَبِيِّ.

Adapun jawaban atas dalil az-Zuhrī dan Mālik dengan jual beli dan hibah adalah bahwa yang dominan dalam khul‘ adalah hukum talak, bukan kompensasinya. Talak tidak dimiliki oleh wali secara mandiri seperti orang lain (ajnabī), maka demikian pula ia tidak memilikinya bersama selainnya seperti orang lain (ajnabī).

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

إِذَا خَالَعَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ عَلَى أَلْفٍ وَأَعْطَاهَا عَبْدًا فَقَدْ صَارَ بَائِعًا لِلْعَبْدِ وَمُخَالِعًا عَنِ الْبُضْعِ بِأَلْفٍ فَصَارَ عَقْدُهُ قَدْ جَمَعَ بَيْعًا وَخُلْعًا فَكَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika seorang laki-laki melakukan khul‘ terhadap istrinya dengan kompensasi seribu, lalu ia memberikan seorang budak kepadanya, maka ia telah menjadi penjual budak dan melakukan khul‘ atas kemaluan (istri) dengan seribu. Maka akadnya telah menggabungkan antara jual beli dan khul‘, sehingga terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ بَاطِلٌ فِيهِمَا وَيَقَعُ طَلَاقُهُ بَائِنًا، وَيَكُونُ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا، وَيَرُدُّ الْأَلْفَ عَلَيْهَا، وَتَرُدُّ الْعَبْدَ عَلَيْهِ.

Salah satunya: bahwa akad tersebut batal pada keduanya, dan talaknya jatuh sebagai talak bain, dan ia berhak atas mahar mitsil darinya, serta seribu dikembalikan kepadanya, dan budak dikembalikan kepadanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ جَائِزٌ فِيهِمَا، وَيَكُونُ مَا قَابَلَ الْعَبْدَ مِنَ الْأَلْفِ ثَمَنًا، وَمَا قَابَلَ الْبُضْعَ مِنَ الْأَلْفِ خُلْعًا، فَيُقَالُ: كَمْ قِيمَةُ الْعَبْدِ؟ ، فَإِذَا قِيلَ: أَلْفٌ.

Pendapat kedua: bahwa akad tersebut sah pada keduanya, dan bagian dari seribu yang sepadan dengan budak menjadi harga (jual beli), dan bagian dari seribu yang sepadan dengan kemaluan (istri) menjadi kompensasi khul‘. Maka dikatakan: Berapa nilai budak itu? Jika dikatakan: seribu.

قِيلَ: وَكَمْ مَهْرُ الْمِثْلِ؟

Dikatakan: Berapa mahar mitsil?

فَإِذَا قِيلَ: خَمْسُمِائَةٍ كَانَ ثُلُثَا الْأَلْفِ ثَمَنًا وَثُلُثُهَا خُلْعًا، فَإِذَا رَدَّتِ الْعَبْدَ بِعَيْبٍ رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِثُلُثَيِ الْأَلْفِ سِتِّمِائَةٍ وَسِتَّةٍ وَسِتِّينَ دِرْهَمًا وَثُلُثَيْ دِرْهَمٍ.

Jika dikatakan: lima ratus, maka dua pertiga dari seribu menjadi harga (jual beli) dan sepertiganya menjadi kompensasi khul‘. Jika istri mengembalikan budak karena cacat, maka ia berhak kembali atas dua pertiga dari seribu, yaitu enam ratus enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham.

وَلَوْ خَالَعَهَا عَلَى عَبْدٍ وَأَعْطَاهَا أَلْفًا صَارَ مُتَمَلِّكًا لِلْعَبْدِ بِبُضْعِهَا وَبِأَلْفٍ فَيَكُونُ مَا قَابَلَ الْأَلْفَ مِنَ الْعَبْدِ مَبِيعًا، وَمَا قَابَلَ مَهْرَ الْمِثْلِ مِنَ الْعَبْدِ خُلْعًا، فَيُقَالُ: كَمْ مَهْرُ الْمِثْلِ، فَإِذَا قِيلَ: أَلْفٌ ضُمَّتْ إِلَى الْأَلْفِ الَّتِي بَذَلَهَا الزَّوْجُ فَصَارَتْ أَلْفَيْنِ فِي مُقَابَلَةِ الْعَبْدِ، فَيَكُونُ نِصْفُ الْعَبْدِ مَبِيعًا بِأَلْفٍ، وَنِصْفُهُ عِوَضًا عَنِ الْبُضْعِ، فَإِنْ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا فَأَرَادَ رَدَّ جَمِيعِهِ فِي الْبَيْعِ وَالْخُلْعِ جَازَ وَرَجَعَ عَلَيْهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ الَّذِي هُوَ أَلْفٌ، وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَرُدَّ مِنْهُ الْمَبِيعَ دُونَ الْخُلْعِ أَوِ الْخُلْعَ دُونَ الْمَبِيعِ فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ:

Jika ia melakukan khul‘ dengan budak dan memberikan seribu kepadanya, maka ia menjadi pemilik budak dengan kemaluan (istri) dan dengan seribu. Maka bagian dari budak yang sepadan dengan seribu menjadi barang jualan, dan bagian dari budak yang sepadan dengan mahar mitsil menjadi kompensasi khul‘. Maka dikatakan: Berapa mahar mitsil? Jika dikatakan: seribu, maka seribu yang diberikan suami digabungkan sehingga menjadi dua ribu sebagai kompensasi budak. Maka setengah budak menjadi barang jualan dengan seribu, dan setengahnya menjadi kompensasi khul‘. Jika ditemukan cacat pada budak dan ingin mengembalikan seluruhnya dalam jual beli dan khul‘, maka itu boleh dan ia berhak kembali atas mahar mitsil, yaitu seribu. Jika ia ingin mengembalikan bagian yang dijual saja tanpa khul‘, atau khul‘ saja tanpa bagian yang dijual, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِمَا فِيهِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ عَلَيْهَا.

Salah satunya: tidak boleh, karena di dalamnya terdapat pemisahan transaksi atasnya.

وَقِيلَ: إِمَّا أَنْ يَرُدَّ جَمِيعَهُ، أَوْ يُمْسِكَ جَمِيعَهُ.

Dan dikatakan: hendaknya ia mengembalikan seluruhnya, atau menahan seluruhnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ ذَلِكَ، لِأَنَّهُمَا عَقْدَانِ يَنْفَرِدُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحُكْمِهِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ رَدَّ الْمَبِيعَ مِنْهُ رَجَعَ بِالْأَلْفِ وَإِنْ رَدَّ الْخُلْعَ مِنْهُ رَجَعَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Pendapat kedua: ia boleh melakukan itu, karena keduanya adalah dua akad yang masing-masing berdiri sendiri dengan hukumnya. Maka berdasarkan ini, jika ia mengembalikan bagian yang dijual, ia berhak atas seribu, dan jika ia mengembalikan bagian khul‘, ia berhak atas mahar mitsil. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(Kitab Talak)

(بَابُ إِبَاحَةِ الطَّلَاقِ وَوَجْهِهِ وَتَفْرِيَعِهِ

(Bab Kebolehan Talak, Hikmahnya, dan Rinciannya)

(مِنَ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَمِنْ إِبَاحَةِ الطَّلَاقِ وَمِنْ جِمَاعِ عِشْرَةِ النِّسَاءِ وَغَيْرِ ذلك)

(Dari al-Jāmi‘, dari Kitab Ahkām al-Qur’ān, dan dari Bab Kebolehan Talak, dan dari Bab Hubungan Suami Istri, dan selainnya)

(مسألة:)

(Masalah:)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن} وَقَدْ قُرِئَتْ لِقَبْلِ عِدَّتِهِنَّ (قَالَ) وَالْمَعْنَى وَاحِدٌ) .

Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullah berkata: (Allah Ta‘ālā berfirman: {Apabila kalian menceraikan para wanita, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat menjalani iddahnya} dan telah dibaca “sebelum masa iddah mereka” (beliau berkata) dan maknanya sama).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْأَصْلُ فِي إِبَاحَةِ الطَّلَاقِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ.

Al-Māwardī berkata: Dasar kebolehan talak adalah al-Kitāb, as-Sunnah, dan ijmā‘ umat.

أَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} [الطلاق: 1] وَهَذَا وَإِنْ كَانَ خِطَابًا لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَهُوَ عَامُّ الْحُكْمِ فِيهِ وَفِي جَمِيعِ أُمَّتِهِ.

Adapun dalil dari al-Kitāb adalah firman-Nya Ta‘ālā: {Wahai Nabi, apabila kalian menceraikan para wanita, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat menjalani iddahnya} [ath-Thalāq: 1]. Meskipun ini merupakan khithāb (seruan) kepada Nabi ﷺ, namun hukumnya bersifat umum baginya dan seluruh umatnya.

فَهُوَ مِنَ الْخَاصِّ الَّذِي أُرِيدَ بِهِ الْعُمُومُ.

Maka ini termasuk kekhususan yang dimaksudkan untuk keumuman.

فَرَوَى قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ قَالَ طَلَّقَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَفْصَةَ فَأَتَتْ أَهْلَهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فطلقوهن} فَقِيلَ لَهُ: رَاجِعْهَا فَإِنَّهَا صَوَّامَةٌ قَوَّامَةٌ وَهِيَ مِنْ أَزْوَاجِكَ فِي الْجَنَّةِ.

Diriwayatkan dari Qatadah, dari Anas, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah menceraikan Hafshah, lalu Hafshah kembali ke keluarganya. Maka Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: {Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan perempuan-perempuan (istri-istrimu), maka ceraikanlah mereka…} Lalu dikatakan kepada beliau: Rujuklah dia, karena dia adalah wanita yang banyak berpuasa dan banyak salat malam, dan dia termasuk istri-istrimu di surga.

وقَوْله تَعَالَى: {لِعِدَّتِهِنَّ} أَيْ فِي طُهْرِهِنَّ إِذَا لَمْ يُجَامَعْنَ فِيهِ.

Dan firman-Nya Ta‘ala: {li‘iddatihinna} maksudnya adalah pada masa suci mereka, jika mereka belum digauli pada masa itu.

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَقْرَأُ فَطَلِّقُوهُنَ لِقَبْلِ عِدَّتِهِنَّ.

Diriwayatkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- membaca: “Fathalliquhunna liqabli ‘iddatihinna” (maka ceraikanlah mereka sebelum masa iddah mereka).

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْمَعْنَى وَاحِدٌ وَقَالَ تَعَالَى: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 229] وَفِي قَوْلِهِ {الطلاق مرتان} تَأْوِيلَانِ:

Imam Syafi‘i berkata: Maknanya sama. Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Talak itu dua kali. Maka tahanlah (rujuklah) dengan cara yang baik atau lepaskanlah dengan cara yang baik} [al-Baqarah: 229]. Dalam firman-Nya {talak itu dua kali} terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ بَيَانٌ لِعَدَدِ الطَّلَاقِ وَتَقْدِيرِهِ بِالثَّلَاثِ وَأَنَّهُ يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ فِي الِاثْنَتَيْنِ وَلَا يَمْلِكُهَا فِي الثَّالِثَةِ، وَهُوَ قَوْلُ عُرْوَةَ وَقَتَادَةَ.

Pertama: Bahwa itu adalah penjelasan tentang jumlah talak yang ditetapkan menjadi tiga, dan bahwa seorang suami berhak merujuk istrinya pada talak pertama dan kedua, namun tidak berhak merujuknya pada talak ketiga. Ini adalah pendapat ‘Urwah dan Qatadah.

رَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ يُطَلِّقُ مَا شَاءَ، ثُمَّ إِنْ رَاجَعَ امْرَأَتَهُ قَبْلَ أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا كَانَتْ زَوْجَتَهُ، فَغَضِبَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ عَلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ لَهَا: لَا أَقْرَبُكِ وَلَا تَخْلُصِينَ مِنِّي، قَالَتْ لَهُ: وَكَيْفَ؟ قَالَ أُطَلِّقُكِ فَإِذَا دَنَا أَجَلُكِ رَاجَعْتُكِ. ثُمَّ أُطَلِّقُكِ فَإِذَا دَنَا أَجَلُكِ رَاجَعْتُكِ. قَالَ: فَشَكَتْ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فأنزل الله تعالى {الطلاق مرتان} الْآيَةَ.

Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, ia berkata: Dahulu seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya sebanyak yang dia mau. Jika ia merujuk istrinya sebelum masa iddahnya habis, maka istrinya kembali menjadi istrinya. Lalu ada seorang laki-laki dari Anshar marah kepada istrinya, lalu berkata: “Aku tidak akan mendekatimu dan kamu pun tidak akan lepas dariku.” Istrinya bertanya: “Bagaimana caranya?” Ia menjawab: “Aku akan menceraikanmu, dan jika masa iddahmu hampir habis, aku akan merujukmu. Lalu aku ceraikan lagi, dan jika masa iddahmu hampir habis, aku rujuk lagi.” Maka istrinya mengadukan hal itu kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu Allah Ta‘ala menurunkan ayat {talak itu dua kali…} tersebut.

فَقَدَّرَهُ بِالثَّلَاثِ، وَلِذَلِكَ قَالَ عُرْوَةُ نَزَلَ الطَّلَاقُ مُوَافِقًا لِطَلَاقِ الْأَعْشَى فِي تَقْدِيرِهِ بِالثَّلَاثِ حين يقول.

Maka talak itu ditetapkan menjadi tiga. Oleh karena itu, ‘Urwah berkata: Talak diturunkan sesuai dengan talak yang dilakukan oleh al-A‘syā, yaitu ditetapkan menjadi tiga, sebagaimana ia berkata.

(أجارتنا بيني فإنك طالقه … وموقومة مَا أَنْتِ فِينَا وَوَامِقَهْ)

(Wahai pelindung kami, berpisahlah denganku, karena engkau telah tertalak… dan engkau tetap mulia di antara kami dan dicintai)

(أَجَارَتَنَا بِينِي فَإِنَّكِ طَالِقَةْ … كَذَاكَ أُمُورُ النَّاسِ تَغْدُو وَطَارِقَهْ)

(Wahai pelindung kami, berpisahlah denganku, karena engkau telah tertalak… demikianlah urusan manusia berlalu dan silih berganti)

(وَبِينِي فَإِنَّ الْبَيْنَ خَيْرٌ مِنَ الْعَصَا … وإَلَّا تَزَالي فَوْقَ رَأْسِكِ بَارِقَهْ)

(Dan berpisahlah denganku, karena perpisahan lebih baik daripada kekerasan… jika tidak, engkau akan selalu berada di bawah ancaman)

وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنَّهُ بَيَانٌ لِسُنَّةِ الطَّلَاقِ أَنْ يُوقِعَ فِي كُلِّ قُرْءٍ واحدة وأن لا يَجْمَعَ بَيْنَهُنَّ فِي قُرْءٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَمُجَاهِدٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ.

Penafsiran kedua: Bahwa itu adalah penjelasan tentang sunnah talak, yaitu menjatuhkan satu talak pada setiap masa suci (qur’), dan tidak mengumpulkan beberapa talak dalam satu masa suci. Ini adalah pendapat Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Abu Hanifah.

وَفِي قَوْلِهِ: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 229] تَأْوِيلَانِ:

Dan dalam firman-Nya: {Maka tahanlah (rujuklah) dengan cara yang baik atau lepaskanlah dengan cara yang baik} [al-Baqarah: 229] terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الَإِمْسَاكَ بِالْمَعْرُوفِ الرَّجْعَةُ بعد الثانية والتسريح بالإحسان الطلقة الثالثة.

Pertama: Bahwa “menahan dengan cara yang baik” adalah rujuk setelah talak kedua, dan “melepaskan dengan cara yang baik” adalah talak ketiga.

وروى سُفْيَانُ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ سُمَيْعٍ عَنْ أَبِي رَزِينٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقال: الطلاق مرتان فأين الثالثة؟ قال: إِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ.

Diriwayatkan dari Sufyan, dari Isma‘il bin Sumai‘, dari Abu Razin, ia berkata: Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan bertanya: “Talak itu dua kali, lalu di mana yang ketiga?” Beliau menjawab: “Menahan dengan cara yang baik atau melepaskan dengan cara yang baik.”

وَهُوَ قَوْلُ عطاء ومجاهد.

Ini adalah pendapat ‘Atha’ dan Mujahid.

والتأويل الثاني: فإمساك بمعروف الرجعة بعد الثانية أو تسريح بإحسان هُوَ الْإِمْسَاكُ عَنْ رَجْعَتِهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا.

Penafsiran kedua: “Menahan dengan cara yang baik” adalah rujuk setelah talak kedua, atau “melepaskan dengan cara yang baik” adalah menahan diri dari rujuk hingga masa iddahnya habis.

وَهَذَا قَوْلُ السُّدِّيِّ وَالضَّحَّاكِ.

Ini adalah pendapat as-Suddi dan adh-Dhahhak.

وَقَالَ تَعَالَى: {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تنكح زوجاً غيره} وَقَالَ تَعَالَى: {لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ} [البقرة: 236] الْآيَةَ.

Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Jika ia telah menceraikannya (untuk ketiga kalinya), maka tidak halal lagi baginya setelah itu hingga ia menikah dengan suami yang lain}. Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Tidak ada dosa atas kalian jika kalian menceraikan perempuan-perempuan itu sebelum kalian menyentuh mereka} [al-Baqarah: 236].

فَأَمَّا السُّنَّةُ: فَرَوَى حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ أَحَدُكُمْ لِامْرَأَتِهِ قَدْ طَلَّقْتُكِ قَدْ رَاجَعْتُكِ لَيْسَ هَذَا طَلَاقُ الْمُسْلِمِينَ. تُطَلَّقُ الْمَرْأَةُ فِي قبل عدتها.

Adapun sunnah: Diriwayatkan dari Humaid bin ‘Abdurrahman, dari Abu Musa, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Salah seorang dari kalian berkata kepada istrinya: ‘Aku telah menceraikanmu, aku telah merujukmu.’ Ini bukanlah talak kaum muslimin. Seorang wanita ditalak pada masa sebelum iddahnya.”

وَرَوَى مُحَارِبُ بْنُ دِثَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ.

Diriwayatkan dari Muharib bin Ditsar, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالْعِتَاقُ.

Diriwayatkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tiga perkara yang seriusnya adalah serius, dan candanya pun serius: nikah, talak, dan pembebasan budak.”

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – طَلَّقَ حَفْصَةَ وَاحِدَةً ثُمَّ رَاجَعَهَا.

Diriwayatkan bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- menceraikan Hafshah satu kali, kemudian beliau merujuknya kembali.

وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ تَزَوَّجَ الْعَالِيَةَ بِنْتَ ظِبْيَانَ فَمَكَثَتْ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا.

Dan diriwayatkan dari beliau -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau menikahi ‘Āliyah binti Zhibyān, lalu ia tinggal bersamanya selama yang Allah kehendaki, kemudian beliau menceraikannya.

فَإِذَا ثَبَتَ إِبَاحَةُ الطَّلَاقِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَمَا تَعَقَّبَهُمَا مِنْ إِجْمَاعِ الْأُمَّةِ فَالطَّلَاقُ فِي اللُّغَةِ هُوَ التَّخْلِيَةُ، مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِمْ نَعْجَةٌ طَالِقٌ إِذَا خُلِّيَتْ مهملة بغير راع.

Apabila telah tetap kebolehan talak berdasarkan al-Kitāb, as-Sunnah, dan ijmā‘ umat setelah keduanya, maka talak dalam bahasa adalah pembebasan, diambil dari ucapan mereka: “na‘jah ṭāliq” jika dibiarkan tanpa penggembala.

ومنه قول النابعة.

Dan di antaranya adalah ucapan an-Nābi‘ah.

(تَنَاذَرَهَا الرَّاقُونَ مِنْ سُوءِ سَمِّهَا … تُطَلَّقُ طَوْرًا وَطَوْرًا تُرَاجَعُ)

(Mereka yang mengobati dengan ruqyah saling memperingatkan dari buruknya racunnya … kadang ia diceraikan, kadang dirujuk kembali)

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَالطَّلَاقُ لَا يَصِحُّ إِلَّا مِنْ زَوْجٍ وَلَا يَقَعُ إِلَّا عَلَى زَوْجَةٍ. فيختص الزوج بالطلاق وإن اشتركا الزَّوْجَانِ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ، وَهُوَ أَحَدُ التَّأْوِيلَاتِ فِي قَوْله تَعَالَى:

Talak tidak sah kecuali dari seorang suami dan tidak jatuh kecuali atas seorang istri. Maka talak menjadi kekhususan suami, meskipun kedua pasangan sama-sama terlibat dalam akad nikah, dan ini adalah salah satu penafsiran terhadap firman Allah Ta‘ālā:

{وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ} [البقرة: 228] أَنَّ الرَّجُلَ يَمْلِكُ الطَّلَاقَ وَلَا تَمْلِكُهُ الزَّوْجَةُ. فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ اشْتَرَكَ الزَّوْجَانِ فِي النِّكَاحِ وَتَفَرَّدَ الزَّوْجُ بِالطَّلَاقِ. قِيلَ لِأَمْرَيْنِ:

{Dan para lelaki memiliki satu derajat atas mereka} [al-Baqarah: 228], yaitu bahwa laki-laki memiliki hak talak dan istri tidak memilikinya. Jika dikatakan: Mengapa kedua pasangan sama-sama terlibat dalam pernikahan, namun suami saja yang memiliki hak talak? Maka dijawab karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا اشْتَرَكَ الزَّوْجَانِ فِي الِاسْتِمْتَاعِ جَازَ أَنْ يَشْتَرِكَا فِي عَقْدِ النِّكَاحِ، وَلَمَّا اخْتُصَّ الزَّوْجُ بِالْتِزَامِ الْمَؤُونَةِ جَازَ أَنْ يُخْتَصَّ الزَّوْجُ بِإِيقَاعِ الْفُرْقَةِ.

Pertama: Karena ketika kedua pasangan sama-sama menikmati hubungan, maka keduanya boleh terlibat dalam akad nikah. Namun karena suami yang menanggung nafkah, maka boleh jika suami saja yang memiliki hak menjatuhkan perpisahan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَرْأَةَ لَمْ يُجْعَلِ الطَّلَاقُ إِلَيْهَا، لِأَنَّ شَهْوَتَهَا تَغْلِبُهَا فَلَمْ تُؤْمَنْ مِنْهَا مُعَاجَلَةُ الطَّلَاقِ عِنْدَ التَّنَافُرِ وَالرَّجُلُ أَغْلَبُ لِشَهْوَتِهِ مِنْهَا. وَأَنَّهُ يُؤْمَنُ منه معاجلة الطلاق عند التنافر.

Kedua: Bahwa talak tidak diberikan kepada perempuan, karena syahwatnya lebih menguasainya sehingga dikhawatirkan ia akan segera menjatuhkan talak saat terjadi perselisihan, sedangkan laki-laki lebih mampu mengendalikan syahwatnya daripada perempuan. Dan lebih aman dari suami untuk tidak segera menjatuhkan talak saat terjadi perselisihan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: (وَطَلَّقَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا امْرَأَتَهُ وهي حائض في زمان النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال عمر فسألت النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن ذلك فقال (مرة فليراجعها ثم ليمسكها حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إن شاء أمسكها بعد وإن شاء طلق فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لها النساء) (قال) وقد روى هذا الحديث سالم بن عبد الله ويونس بن جبير عن ابن عمر يخالفون نافعاً في شيء منه قالوا كلهم عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال (مره فليراجعها ثم ليمسكها حَتَّى تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أمسك وإن شاء طلق) ولم يقولوا ثم تحيض ثم تطهر (قال) وفي ذلك دليل على أن الطلاق يقع على الحائض لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لم يأمر بالمراجعة إلا من لزمه الطلاق) .

Imam asy-Syāfi‘ī berkata: (Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā menceraikan istrinya saat ia sedang haid pada masa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-. Umar berkata: Maka aku bertanya kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- tentang hal itu, lalu beliau bersabda: “Perintahkan dia agar merujuknya kembali, lalu tahanlah dia sampai ia suci, kemudian haid lagi, lalu suci lagi, kemudian jika ia mau, ia boleh menahannya setelah itu, dan jika mau, ia boleh menceraikannya. Itulah masa ‘iddah yang Allah perintahkan agar perempuan ditalak padanya.” (Beliau berkata): Hadis ini juga diriwayatkan oleh Sālim bin ‘Abdullah dan Yūnus bin Jubair dari Ibnu ‘Umar, mereka berbeda dengan Nāfi‘ dalam sebagian riwayatnya. Mereka semua meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Perintahkan dia agar merujuknya kembali, lalu tahanlah dia sampai ia haid, kemudian suci, lalu jika ia mau, ia boleh menahan, dan jika mau, ia boleh menceraikan.” Mereka tidak mengatakan: “kemudian haid, lalu suci.” (Beliau berkata): Dalam hal ini terdapat dalil bahwa talak jatuh atas perempuan yang haid, karena Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- tidak memerintahkan rujuk kecuali kepada orang yang telah jatuh talak atasnya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الطَّلَاقُ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: طَلَاقُ سُنَّةٍ، وَطَلَاقُ بِدْعَةٍ، وَطَلَاقٌ لَا سُنَّةَ فِيهِ ولا بدعة.

Al-Māwardī berkata: Talak terbagi menjadi tiga bagian: talak sunnah, talak bid‘ah, dan talak yang tidak termasuk sunnah maupun bid‘ah.

[القسم الأول في طلاق السنة]

[Bagian pertama: Talak Sunnah]

فَأَمَّا طَلَاقُ السُّنَّةِ فَهُوَ: طَلَاقُ الْمَدْخُولِ بِهَا في طهر لم تجامع فيه.

Adapun talak sunnah adalah: menceraikan istri yang telah digauli pada masa suci yang belum digauli padanya.

[القسم الثاني وهو طلاق البدعة]

[Bagian kedua: Talak Bid‘ah]

وَأَمَّا طَلَاقُ الْبِدْعَةِ فَطَلَاقُ اثْنَتَيْنِ الْحَائِضِ وَالطَّاهِرِ الَّتِي قَدْ جُومِعَتْ فِي طُهْرِهَا أَمَّا الْحَائِضُ فَكَانَ طَلَاقُهَا بِدْعَةً؛ لِأَنَّهَا طُلِّقَتْ فِي زَمَانٍ لَا يُحْتَسَبُ بِهِ مِنْ عِدَّتِهَا وَأَمَّا الْمُجَامَعَةُ فِي طُهْرِهَا. فَلِإِشْكَالِ أَمْرِهَا هَلْ عَلَقَتْ مِنْهُ فَلَا يُعْتَبَرُ بِالطُّهْرِ وَتَعْتَدُّ بِوَضْعِ الْحَمْلِ. أَوْ لم تعلق منه فتعتد بالطهر.

Adapun talak bid‘ah adalah talak terhadap dua golongan: perempuan yang sedang haid dan perempuan yang suci namun telah digauli pada masa sucinya. Adapun perempuan haid, maka talaknya termasuk bid‘ah karena ia dicerai pada masa yang tidak dihitung sebagai bagian dari masa ‘iddahnya. Adapun perempuan yang telah digauli pada masa suci, maka karena ada keraguan apakah ia telah hamil darinya, sehingga masa suci tidak dihitung dan ia ber‘iddah dengan melahirkan. Atau jika tidak hamil, maka ia ber‘iddah dengan masa suci.

[القسم الثالث في الطلاق الذي ليس فيه سنة ولا بدعة]

[Bagian ketiga: Talak yang tidak termasuk sunnah maupun bid‘ah]

وَأَمَّا الَّتِي لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهَا وَلَا بِدْعَةَ فَخَمْسٌ: الصَّغِيرَةُ وَالْمُويِسَةُ وَالْحَامِلُ وَغَيْرُ الْمَدْخُولِ بِهَا وَالْمُخْتَلِعَةُ.

Adapun perempuan yang tidak ada sunnah maupun bid‘ah dalam talaknya ada lima: anak kecil, perempuan yang sudah menopause, perempuan hamil, perempuan yang belum digauli, dan perempuan yang melakukan khulu‘.

أَمَّا الصَّغِيرَةُ وَالْمُويِسَةُ فَلِاعْتِدَادِهِمَا بِالشُّهُورِ الَّتِي لَا تَخْتَلِفُ بِحَيْضٍ وَلَا طُهْرٍ.

Adapun anak kecil dan perempuan yang sudah menopause, karena masa ‘iddah mereka dihitung dengan bulan-bulan yang tidak dipengaruhi oleh haid maupun suci.

وَأَمَّا غَيْرُ الْمَدْخُولِ بِهَا فَلِأَنَّهُ لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا فَيُؤَثِّرُ فِيهَا حَيْضٌ أَوْ طُهْرٌ. وَأَمَّا الْمُخْتَلِعَةُ فَلِأَنَّ خَوْفَهُمَا مِنْ أَنْ لَا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ يَقْتَضِي تَعْجِيلَ الطَّلَاقِ مِنْ غَيْرِ اعْتِبَارِ سُنَّةٍ وَلَا بِدْعَةٍ.

Adapun perempuan yang belum dicampuri, maka karena tidak ada ‘iddah atasnya sehingga haid atau suci tidak berpengaruh padanya. Adapun perempuan yang melakukan khulu‘, karena kekhawatiran keduanya (suami-istri) tidak dapat menegakkan hudūd Allah menuntut agar talak disegerakan tanpa memperhatikan apakah sesuai sunnah atau bid‘ah.

وَإِذَا انْقَسَمَ الطَّلَاقُ عَلَى هَذِهِ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ فَقِسْمَانِ مِنْهُمَا يُجْمَعُ عَلَى وُقُوعِ الطَّلَاقِ فِيهِمَا:

Dan apabila talak terbagi menjadi tiga bagian ini, maka dua di antaranya disepakati jatuhnya talak padanya:

أَحَدُهُمَا: طَلَاقُ السُّنَّةِ، مُجْمَعٌ عَلَى وُقُوعِهِ.

Salah satunya: talak sunnah, disepakati jatuhnya.

وَالثَّانِي: مَا لَا سُنَّةَ فِيهِ وَلَا بِدْعَةَ مُجْمَعٌ عَلَى وُقُوعِهِ.

Dan yang kedua: talak yang tidak ada sunnah dan tidak ada bid‘ah di dalamnya, juga disepakati jatuhnya.

وَالثَّالِثُ: مُخْتَلَفٌ فِيهِ وَهُوَ طَلَاقُ الْبِدْعَةِ فِي حَيْضٍ أَوْ فِي طُهْرٍ مُجَامَعٍ فِيهِ. فَهُوَ مَحْظُورٌ مُحَرَّمٌ بِوِفَاقٍ. وَاخْتُلِفَ فِي وُقُوعِهِ مَعَ تَحْرِيمِهِ. فَمَذْهَبُنَا إِنَّهُ وَاقِعٌ وَإِنْ كَانَ مُحَرَّمًا. وَهُوَ قَوْلُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.

Dan yang ketiga: diperselisihkan padanya, yaitu talak bid‘ah yang terjadi saat haid atau pada masa suci yang telah digauli. Maka talak ini terlarang dan haram menurut kesepakatan. Namun diperselisihkan tentang kejatuhannya meskipun diharamkan. Mazhab kami menyatakan bahwa talak itu tetap jatuh meskipun haram. Ini adalah pendapat para sahabat, tabi‘in, dan mayoritas fuqahā’.

وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عُلَيَّةَ وَالسَّبْعَةِ وَبَعْضِ أَهْلِ الظَّاهِرِ أَنَّهُ غَيْرُ وَاقِعٍ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} [الطلاق 1] فَاقْتَضَى ذَلِكَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْمَأْمُورِ بِهِ وَالْمَنْهِيِّ عَنْهُ فِي الْوُقُوعِ كَمَا اقْتَضَى الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي التَّحْرِيمِ.

Diriwayatkan dari Ibn ‘Ulayyah, as-Sab‘ah, dan sebagian Ahl azh-Zhāhir bahwa talak tersebut tidak jatuh, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Apabila kamu menceraikan perempuan-perempuan (istrimu), maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat menghadapi ‘iddahnya} [at-Talāq: 1]. Maka ayat ini menunjukkan adanya perbedaan antara yang diperintahkan dan yang dilarang dalam hal kejatuhan talak, sebagaimana terdapat perbedaan antara keduanya dalam hal keharaman.

وَبِمَا روى أن ابن جريج عَنْ أَبَى الزُّبَيْرِ: قَالَ: سَأَلَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَيْمَنَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَأَبُو الزُّبَيْرِ يَسْمَعُ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ طَلَّقْتُ زَوْجَتِي وَهِيَ حَائِضٌ فَسَأَلَ عُمَرُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ ذَلِكَ فَرَدَّهَا عَلَيَّ وَلَمْ يَرَهُ شَيْئًا وَهَذَا نَصٌّ فِي أَنَّهُ لَا يَقَعُ. وَلَوْ وَقَعَ لَرَآهُ شَيْئًا.

Dan juga berdasarkan riwayat bahwa Ibn Juraij dari Abu az-Zubair berkata: ‘Abdurrahman bin Aiman bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar, dan Abu az-Zubair mendengar, tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya saat haid. Maka Ibn ‘Umar berkata: Aku pernah menceraikan istriku saat haid, lalu ‘Umar bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hal itu, maka beliau mengembalikannya kepadaku dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu (talak). Ini adalah nash bahwa talak tersebut tidak jatuh. Seandainya jatuh, tentu beliau akan menganggapnya sebagai sesuatu.

وَلِأَنَّ النِّكَاحَ قَدْ يَحْرُمُ فِي وَقْتٍ وَهُوَ فِي الْعِدَّةِ وَالْإِحْرَامِ كَمَا يَحْرُمُ الطَّلَاقُ فِي وَقْتٍ وَهُوَ الْحَيْضُ وَالطُّهْرُ الْمُجَامَعُ فِيهِ.

Dan karena pernikahan bisa menjadi haram pada waktu tertentu, yaitu saat masa ‘iddah dan ihram, sebagaimana talak juga haram pada waktu tertentu, yaitu saat haid dan masa suci yang telah digauli.

ثُمَّ كَانَ عَقْدُ النِّكَاحِ فِي وَقْتِ تَحْرِيمِهِ بَاطِلًا. وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ بِمَثَابَةِ إِذَا وَقَعَ فِي وَقْتِ تَحْرِيمِهِ.

Kemudian, akad nikah yang dilakukan pada waktu keharamannya adalah batal. Maka seharusnya talak juga demikian jika dilakukan pada waktu keharamannya.

وَلِأَنَّهُ لَوْ وَكَّلَ وَكِيلًا فِي طَلَاقِ زَوْجَتِهِ فِي الطُّهْرِ وَطَلَّقَهَا فِي الْحَيْضِ لَمْ تُطَلَّقْ؛ لِأَجْلِ مُخَالَفَتِهِ وَإِيقَاعُ الطَّلَاقِ فِي غَيْرِ وَقْتِهِ مخالفة الله تَعَالَى فِي وَقْتِ الطَّلَاقِ أَوْلَى أَنْ لَا تَقَعَ بِهَا طَلَاقٌ، وَهَذَا خَطَأٌ.

Dan jika seseorang mewakilkan kepada wakil untuk menceraikan istrinya pada masa suci, lalu wakil itu menceraikannya saat haid, maka talak tidak terjadi; karena ia telah menyelisihi (perintah). Menjatuhkan talak di luar waktunya adalah bentuk penyelisihan terhadap Allah Ta‘ala dalam waktu talak, maka lebih utama talak tidak jatuh karenanya. Namun ini adalah kekeliruan.

وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ. أنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ. فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ.

Dalil kami adalah riwayat yang dibawakan asy-Syāfi‘ī dari Mālik dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar, bahwa ia menceraikan istrinya saat haid pada masa Rasulullah ﷺ. Lalu ‘Umar bin al-Khaththāb bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu, maka beliau bersabda: “Perintahkan dia untuk merujuknya, lalu menahannya hingga ia suci, lalu haid lagi, lalu suci lagi, kemudian jika ia mau, ia menahannya setelah itu, dan jika ia mau, ia menceraikannya sebelum menyentuhnya.” Itulah ‘iddah yang Allah Ta‘ala perintahkan agar perempuan ditalak padanya.

فَمَوْضِعُ الدليل منه انه أَمْرَهُ بِالرَّجْعَةِ مُوجِبٌ لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ، لِأَنَّ الرَّجْعَةَ لَا تَكُونُ إِلَّا بَعْدَ الطَّلَاقِ.

Letak dalilnya adalah bahwa perintah beliau untuk rujuk menunjukkan bahwa talak telah jatuh, karena rujuk hanya terjadi setelah talak.

فَإِنْ قِيلَ أَمْرُهُ بِالرَّجْعَةِ إِنَّمَا هُوَ أَمْرٌ بِرَدِّهَا إِلَيْهِ. قُلْنَا: هَذَا تَأْوِيلٌ فَاسِدٌ مِنْ وُجُوهٍ:

Jika dikatakan bahwa perintah beliau untuk rujuk hanyalah perintah untuk mengembalikannya (sebagai istri), kami katakan: Ini adalah penafsiran yang rusak dari beberapa sisi:

أَحَدُهَا: أِنَّ الرَّجْعَةَ بَعْدَ ذِكْرِ الطَّلَاقِ تَنْصَرِفُ إِلَى رَجْعَةِ الطَّلَاقِ.

Pertama: bahwa rujuk setelah disebutkan talak, maka yang dimaksud adalah rujuk setelah talak.

وَالثَّانِي: أِنَّهُ مَا ذَكَرَ إِخْرَاجَهَا فَيُؤْمَرُ بِرَدِّهَا، وَإِنَّمَا ذَكَرَ الطَّلَاقَ وَكَانَ مُنْصَرِفًا إِلَى رَجْعَتِهَا.

Kedua: bahwa tidak disebutkan adanya pengusiran sehingga diperintahkan untuk mengembalikannya, yang disebutkan hanyalah talak, dan itu bermakna rujuk setelah talak.

وَالثَّالِثُ: أِنَّ الْمُسْلِمِينَ جَعَلُوا طَلَاقَ ابْنِ عُمَرَ هَذَا أَصْلًا فِي طَلَاقِ الرَّجْعَةِ وَحُكْمِ الْعِدَّةِ وَوُقُوعِ الطَّلَاقِ فِي الْحَيْضِ وَلَمْ يَتَأَوَّلُوا هَذَا التَّأْوِيلَ فَبَطَلَ بِالْإِجْمَاعِ.

Ketiga: Kaum Muslimin telah menjadikan talak Ibnu Umar ini sebagai dasar dalam hukum talak raj‘i, hukum ‘iddah, dan terjadinya talak pada masa haid, dan mereka tidak menakwilkan hal itu dengan penakwilan seperti ini, sehingga batal dengan adanya ijmā‘.

وَرَوَى الْحَسَنُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: طَلَّقْتُ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ طَلْقَةً وَأَرَدْتُ أَنْ أُتْبِعَهَا طَلْقَتَيْنِ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: رَاجِعْهَا. قُلْتُ أَرَأَيْتَ لَوْ طَلَّقْتُهَا ثَلَاثًا قَالَ كُنْتَ قَدْ أَبَنْتَ زَوْجَتَكَ وَعَصَيْتَ رَبَّكَ.

Al-Hasan meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Aku menceraikan istriku satu kali talak saat ia sedang haid, dan aku bermaksud untuk menambah dua talak lagi setelahnya. Maka aku bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hal itu, lalu beliau bersabda: “Rujuklah dia.” Aku bertanya, “Bagaimana jika aku menceraikannya tiga kali?” Beliau bersabda: “Engkau telah memisahkan istrimu dan telah durhaka kepada Tuhanmu.”

وَهَذَا نَصٌّ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ فِي الْحَيْضِ لَا يَتَوَجَّهُ عَلَيْهِ ذَلِكَ التَّأْوِيلُ الْمَعْلُولُ وَمِنَ الْقِيَاسِ أِنَّهُ طَلَاقُ مُكَلَّفٍ صَادَفَ مِلْكًا فَوَجَبَ أَنْ يَنْعَقِدَ كَالطَّاهِرِ.

Ini adalah nash yang jelas tentang terjadinya talak pada masa haid, yang tidak dapat diarahkan kepada penakwilan yang cacat itu. Dari segi qiyās, talak tersebut adalah talak dari orang yang mukallaf yang terjadi pada sesuatu yang menjadi miliknya, maka wajib dianggap sah sebagaimana talak pada masa suci.

وَلِأَنَّ رَفْعَ الطَّلَاقِ تَخْفِيفٌ وَوُقُوعَهُ تَغْلِيظٌ، لِأَنَّ طَلَاقَ الْمَجْنُونِ لَا يَقَعُ تَخْفِيفًا وَطَلَاقَ السَّكْرَانِ يَقَعُ تَغْلِيظًا؛ لِأَنَّ الْمَجْنُونَ لَيْسَ بِعَاصٍ وَالسَّكْرَانَ عَاصٍ.

Karena penghapusan talak adalah keringanan, sedangkan terjadinya talak adalah penegasan (pemberatan); sebab talak orang gila tidak terjadi sebagai bentuk keringanan, dan talak orang mabuk terjadi sebagai bentuk penegasan, karena orang gila tidak dianggap bermaksiat, sedangkan orang mabuk adalah pelaku maksiat.

فَكَانَ الْمُطَلِّقُ فِي الْحَيْضِ أَوْلَى بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ تَغْلِيظًا مِنْ رَفْعِهِ عَنْهُ تَخْفِيفًا، وَلِأَنَّ النَّهْيَ إِذَا كَانَ لِمَعْنًى وَلَا يَعُودُ إِلَى الْمَنْهِيِّ عَنْهُ لَمْ يَكُنِ النَّهْيُ مُوجِبًا لِفَسَادِ مَا نُهِيَ عَنْهُ، كَالنَّهْيِ عَنِ الْبَيْعِ عِنْدَ نِدَاءِ الْجُمُعَةِ لَا يُوجِبُ فَسَادَ الْبَيْعِ.

Maka orang yang menjatuhkan talak saat haid lebih utama untuk diberlakukan terjadinya talak sebagai penegasan, daripada dihapuskan darinya sebagai keringanan. Karena larangan, jika ditetapkan karena suatu alasan yang tidak kembali kepada objek yang dilarang, maka larangan itu tidak menyebabkan rusaknya apa yang dilarang tersebut, seperti larangan jual beli saat azan Jumat yang tidak menyebabkan batalnya jual beli.

كَذَلِكَ النَّهْيُ عَنِ الطَّلَاقِ فِي الْحَيْضِ، إِنَّمَا هُوَ لِأَجْلِ تَطْوِيلِ الْعِدَّةِ لَا لِأَجْلِ الْحَيْضِ، فَلَمْ يَمْنَعِ النَّهْيُ عَنْهُ مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ فِيهِ.

Demikian pula larangan talak pada masa haid, sesungguhnya itu hanya karena memperpanjang masa ‘iddah, bukan karena haid itu sendiri, sehingga larangan tersebut tidak mencegah terjadinya talak pada masa haid.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالْآيَةِ فَنَصُّهَا يُوجِبُ وُقُوعَ الطَّلَاقِ فِي الْعِدَّةِ، وَدَلِيلُهَا يَقْتَضِي أَنْ لَا يَقَعَ فِي الْعِدَّةِ، لَكِنْ إِذَا عَارَضَ دَلِيلٌ دَلِيلٌ الْخِطَابَ بَعْدَ صَرْفِهِ عَنْ مُوجِبِهِ، وَقَدْ عَارَضَهُ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ مَا يُوجِبُ صَرَفَهُ عَنْ مُوجِبِهِ.

Adapun dalil mereka dengan ayat, maka teksnya mewajibkan terjadinya talak dalam masa ‘iddah, sedangkan dalilnya menghendaki agar tidak terjadi talak dalam masa ‘iddah. Namun, jika ada dalil yang bertentangan dengan dalil lafaz setelah dialihkan dari makna asalnya, maka telah ada dalil dari hadis Ibnu Umar yang mewajibkan pengalihan dari makna asalnya.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ فَرَدَّهَا عَلَيَّ وَلَمْ يَرَهُ شَيْئًا فَضَعِيفٌ لِتَفَرُّدِ أَبِي الزُّبَيْرِ بِهِ وَمُخَالَفَةِ جَمِيعِ الرُّوَاةِ فِيهِ مَعَ أَنَّ قَوْلَهُ لَمْ يَرَهُ شَيْئًا يَحْتَمِلُ أَنَّهُ لَمْ يَرَهُ إِثْمًا، وَلَمْ يَرَهُ شَيْئًا لَا يَقْدِرُ عَلَى اسْتِدْرَاكِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ بَيَّنَ أَنَّهُ يُسْتَدْرَكُ بِالرَّجْعَةِ. وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالنِّكَاحِ، فَالْفَرْقُ بَيْنَ النِّكَاحِ حَيْثُ بَطَلَ بِعَقْدِهِ فِي حَالِ التَّحْرِيمِ وَبَيْنَ الطَّلَاقِ حَيْثُ أَمَرَهُ بِإِيقَاعِهِ فِي حَالِ التَّحْرِيمِ، أَنَّ الطَّلَاقَ أَوْسَعُ حُكْمًا وَأَقْوَى نُفُوذًا مِنَ النِّكَاحِ لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ مُبَاشَرَةً وَسَرَايَةً، وَمُعَجَّلًا وَمُؤَجَّلًا.

Adapun dalil mereka dengan perkataan Ibnu Umar “lalu beliau mengembalikannya kepadaku dan tidak menganggapnya sesuatu” adalah lemah, karena hanya Abu Zubair yang meriwayatkannya dan bertentangan dengan seluruh perawi lain. Selain itu, perkataannya “tidak menganggapnya sesuatu” bisa bermakna beliau tidak menganggapnya dosa, atau tidak menganggapnya sesuatu yang tidak bisa diperbaiki, karena telah dijelaskan bahwa itu bisa diperbaiki dengan rujuk. Adapun dalil mereka dengan pernikahan, maka perbedaannya adalah pernikahan batal jika akadnya dilakukan pada saat haram, sedangkan talak, Nabi memerintahkan untuk menjatuhkannya pada saat haram. Talak lebih luas hukumnya dan lebih kuat keberlakuannya daripada pernikahan, karena talak bisa terjadi secara langsung maupun tidak langsung, baik segera maupun tertunda.

وَعَلَى غَرَرٍ لَا يَصِحُّ النِّكَاحُ عَلَى مِثْلِهِ، فَجَازَ أَنْ يَقَعَ فِي وَقْتِ تَحْرِيمِهِ وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ عَقْدُ النِّكَاحِ فِي وَقْتِ تَحْرِيمِهِ.

Dan pada sesuatu yang mengandung unsur gharar, tidak sah akad nikah atas hal seperti itu, maka boleh saja talak terjadi pada waktu yang diharamkan, meskipun akad nikah tidak sah dilakukan pada waktu yang diharamkan.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْوَكِيلِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْوَكِيلَ إِذَا خَالَفَ الْإِذْنَ زَالَتْ وَكَالَتُهُ وَلَيْسَ يَرْجِعُ بَعْدَ زَوَالِهَا إِلَى مِلْكٍ فَرُدَّ تَصَرُّفُهُ.

Adapun dalil mereka dengan perwakilan (wakil), jawabannya adalah jika wakil menyelisihi izin, maka perwakilannya batal dan ia tidak kembali lagi kepada kepemilikan setelah batalnya, sehingga tindakannya pun ditolak.

وَالزَّوْجُ إِذَا خَالَفَ رَجَعَ بَعْدَ الْمُخَالَفَةِ إِلَى مِلْكٍ فَجَازَ تَصَرُّفُهُ.

Sedangkan suami, jika ia menyelisihi, maka ia kembali kepada kepemilikan setelah penyelisihan, sehingga tindakannya tetap sah.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَأُحِبُّ أَنْ يُطَلِّقَ وَاحِدَةً لِتَكُونَ لَهُ الرَّجْعَةُ لِلْمَدْخُولِ بِهَا وَخَاطِبًا لِغَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا وَلَا يحرم عليه أن يطلقها ثلاثا لأن الله تعالى أباح الطلاق فليس بمحظور وعلم النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ابن عمر موضع الطلاق فلو كان في عدده محظور ومباح لعلمه إياه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إن شاء الله. وطلق العجلاني بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثلاثا فلم ينكره عليه وسأل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ركانة لما طلق امرأته ألبتة ما أردت؟ ولم ينهه أن يزيد اكثر من واحدة) .

Imam Syafi‘i berkata: “Aku lebih suka jika seseorang menalak satu kali saja, agar ia masih memiliki hak rujuk terhadap istri yang sudah digauli, dan agar ia tetap menjadi pelamar bagi istri yang belum digauli. Namun, tidak diharamkan baginya untuk menalak tiga kali sekaligus, karena Allah Ta‘ala telah membolehkan talak, maka hal itu tidaklah terlarang. Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan kepada Ibnu ‘Umar tentang waktu pelaksanaan talak. Seandainya dalam jumlah talak itu ada yang terlarang dan ada yang dibolehkan, niscaya beliau ﷺ akan mengajarkannya pula, insya Allah. Al-‘Ajlāni menalak istrinya tiga kali di hadapan Rasulullah ﷺ dan beliau tidak mengingkarinya. Nabi ﷺ juga bertanya kepada Rukānah ketika ia menalak istrinya dengan talak bain, ‘Apa yang engkau maksudkan?’ Namun beliau tidak melarangnya untuk menambah lebih dari satu talak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا يَمْلِكُ مِنْ عَدَدِ الطَّلَاقِ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثٍ، لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أو تسريح بإحسان} .

Al-Mawardi berkata: Dan sebagaimana yang telah dikatakan, seseorang tidak memiliki hak untuk menalak lebih dari tiga kali, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Talak itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik} .

فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُطَلِّقَ ثَلَاثًا فَالْأَوْلَى وَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ يُفَرِّقَهَا فِي ثَلَاثَةِ أَطْهَارٍ، فَيُطَلِّقَ فِي كُلِّ طُهْرٍ وَاحِدَةً. وَلَا يَجْمَعُهُنَّ فِي طُهْرٍ لِيَخْرُجَ بِذَلِكَ مِنَ الْخِلَافِ وَلِيَأْمَنَ بِهِ مَا يخافه مِنْ نَدَمِهِ فَإِنْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ وَقَعَتِ الثَّلَاثُ وَلَمْ تَكُنْ مُحَرَّمَةً وَلَا بِدْعَةً وَالسُّنَّةُ وَالْبِدْعَةُ فِي زَمَانِ الطَّلَاقِ لَا فِي عَدَدِهِ.

Jika seseorang ingin menalak tiga kali, maka yang utama dan yang dianjurkan adalah memisahkannya dalam tiga masa suci, sehingga ia menalak satu kali pada setiap masa suci. Ia tidak mengumpulkan ketiganya dalam satu masa suci, agar keluar dari perbedaan pendapat dan agar ia terhindar dari penyesalan yang ia khawatirkan. Jika ia menalak tiga kali sekaligus dalam satu waktu, maka jatuhlah tiga talak tersebut, dan itu tidaklah haram atau bid‘ah. Sunnah dan bid‘ah dalam talak itu berkaitan dengan waktu pelaksanaannya, bukan pada jumlahnya.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ.

Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti Hasan bin ‘Ali dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf.

وَمِنَ التَّابِعِينَ ابْنُ سِيرِينَ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ.

Dan dari kalangan tabi‘in adalah Ibnu Sirin, serta dari kalangan fuqaha adalah Ahmad bin Hanbal.

وَحُكِيَ عَنِ السَّبْعَةِ وَعَنْ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ وَطَائِفَةٍ مِنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ أَنَّ طَلَاقَ الثلث لَا يَقَعُ. فَاخْتَلَفَ الْقَائِلُونَ بِهَذَا هَلْ يَكُونُ وَاحِدَةً أَمْ لَا؟ فَقَالَ الْمَغْرِبِيُّ: تَكُونُ وَاحِدَةً، وَقَالَ آخَرُونَ: لَا يَقَعُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ.

Diriwayatkan dari kelompok as-sab‘ah, Dawud bin ‘Ali, dan sekelompok Ahl azh-Zhahir bahwa talak tiga sekaligus tidak jatuh (tidak sah). Namun, di antara yang berpendapat demikian terdapat perbedaan: apakah talak itu dihitung satu kali atau tidak sama sekali? Al-Maghribi berkata: Dihitung satu kali, sedangkan yang lain berkata: Tidak jatuh satu pun dari talak tersebut.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: طَلَاقُ الثَّلَاثِ وَاقِعٌ لَكِنَّهُ حَرَامٌ مُبْتَدَعٌ.

Abu Hanifah berkata: Talak tiga sekaligus itu jatuh (sah), tetapi hukumnya haram dan merupakan bid‘ah.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَالْعِرَاقِيُّونَ.

Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti ‘Umar bin al-Khattab, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan ‘Abdullah bin Mas‘ud, serta dari kalangan fuqaha adalah Malik dan para ulama Irak.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ مَنَعَ مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَرَّقَ طَلَاقَ الثَّلَاثِ بِقَوْلِهِ: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بإحسان} فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْمَعَ مَا أُمِرَ بِتَفْرِيقِهِ؛ لِأَنَّهُ ارْتِكَابُ مَا نُهِيَ عَنْهُ. وَمَا حَرُمَ مِنَ الطَّلَاقِ لَا يَقَعُ كَالْمُرَاجَعَةِ.

Adapun yang melarang jatuhnya talak tiga sekaligus berdalil bahwa Allah Ta‘ala telah memisahkan talak tiga dengan firman-Nya: {Talak itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik}, maka tidak boleh mengumpulkan apa yang telah diperintahkan untuk dipisahkan, karena itu berarti melakukan sesuatu yang dilarang. Dan apa yang diharamkan dari talak tidaklah jatuh, sebagaimana halnya rujuk yang diharamkan.

وَبِمَا رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ الطَّلَاقُ الثَّلَاثُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَيَّامِ أَبِي بَكْرٍ. وَصَدْرٍ مِنْ أَيَّامِ عُمَرَ وَاحِدَةً. فَقَالَ عُمَرُ: قَدِ اسْتَعْجَلْتُمْ فِي أَمْرٍ كَانَ لَكُمْ فِيهِ أَنَاةٌ. وَجَعَلَهُ ثَلَاثًا.

Juga berdasarkan riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, ia berkata: “Talak tiga pada masa Rasulullah ﷺ, masa Abu Bakar, dan permulaan masa ‘Umar, dihitung satu kali. Lalu ‘Umar berkata: ‘Kalian telah tergesa-gesa dalam perkara yang sebelumnya kalian diberi kelonggaran padanya.’ Maka ia menetapkannya menjadi tiga talak.”

فَلَا يَجُوزُ لِعُمَرَ أَنْ يُخَالِفَ شَرْعًا ثَبَتَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -. وَقَدِ ارْتَفَعَ النَّسْخُ بِمَوْتِهِ.

Maka tidak boleh bagi ‘Umar untuk menyelisihi syariat yang telah tetap pada masa Rasulullah ﷺ. Dan naskh (penghapusan hukum) telah berakhir dengan wafatnya beliau.

وَبِمَا رَوَوْهُ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَمَّارٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا فِي الْحَيْضِ فَاسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَمَرَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا. فَإِذَا طَهُرَتْ فَلْيَسْتَقْبِلْ بِهَا الْعِدَّةَ إِنْ شَاءَ طَلَّقَ وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَ. وَهَذَا نَصٌّ.

Juga berdasarkan riwayat dari Mu‘awiyah bin ‘Ammar, dari Abu az-Zubair, dari Ibnu ‘Umar bahwa ia menalak istrinya tiga kali saat haid, lalu ia meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau memerintahkannya untuk merujuk istrinya. Jika istrinya telah suci, hendaklah ia memulai masa ‘iddahnya; jika ia mau, boleh menalaknya, dan jika ia mau, boleh mempertahankannya. Dan ini adalah nash (teks yang jelas).

(فَصْلٌ:)

(Bab:)

وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى أَنَّ طَلَاقَ الثَّلَاثِ مُحَرَّمٌ وَإِنْ كَانَ وَاقِعًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ} [الطلاق: 1] .

Abu Hanifah berdalil bahwa talak tiga sekaligus itu haram meskipun sah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Apabila kamu menalak istri-istri kamu, maka hendaklah kamu menalak mereka pada masa ‘iddahnya dan hitunglah masa ‘iddah itu} [ath-Thalaq: 1].

فَتَضَمَّنَتْ هَذِهِ الْآيَةُ تَفْرِيقَ الطَّلَاقِ فِي الْأَطْهَارِ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: قوله تعالى: {وأحصوا العدة} وَإِحْصَاؤُهَا إِنَّمَا يَكُونُ انْتِظَارًا لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ فِيهَا.

Maka ayat ini mengandung penegasan tentang pemisahan talak pada masa suci dari dua sisi: Pertama, firman Allah Ta‘ala: {Dan hitunglah masa iddah}, dan perhitungan iddah itu hanya terjadi dengan menunggu jatuhnya talak di dalamnya.

وَالثَّانِي: قَوْله تَعَالَى فِيهَا {لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بعد ذلك أمراً} يُرِيدُ بِهِ الرَّجْعَةَ وَالرَّجْعَةُ لَا تَكُونُ فِي الثَّلَاثِ. وَإِنَّمَا تَكُونُ فِيمَا دُونَ الثَّلَاثِ.

Dan yang kedua: firman-Nya Ta‘ala dalam ayat tersebut {Mudah-mudahan Allah mengadakan sesudah itu suatu urusan}, yang dimaksud adalah rujuk, dan rujuk tidak terjadi pada talak tiga. Rujuk hanya bisa dilakukan pada talak kurang dari tiga.

وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ} [البقرة: 229] . فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ فِيهِ أَنْ يَكُونَ مَرَّةً.

Dan dengan firman-Nya Ta‘ala: {Talak itu dua kali} [al-Baqarah: 229]. Maka ini menunjukkan bahwa tidak boleh talak itu hanya sekali.

وَبِمَا رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: طَلَّقْتُ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هَكَذَا أَمَرَكَ رَبُّكَ إِنَّمَا السُّنَّةُ أَنْ تَسْتَقْبِلَ بِهَا الطُّهْرَ ثُمَّ تُطَلِّقَهَا فِي كُلِّ قُرْءٍ طَلْقَةً.

Dan berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Umar bahwa ia berkata: Aku menceraikan istriku saat ia sedang haid, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Beginikah Tuhanmu memerintahkanmu? Sesungguhnya sunnahnya adalah engkau menunggu masa suci, lalu menceraikannya pada setiap masa suci satu talak.”

وَبِمَا رَوَاهُ الْحَسَنُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: طَلَّقْتُ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ طَلْقَةً وَأَرَدْتُ أَنْ أُتْبِعَهَا طَلْقَتَيْنِ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: رَاجِعْهَا فَقُلْتُ أَرَأَيْتَ لَوْ طَلَّقْتُهَا ثَلَاثًا فَقَالَ: كُنْتَ قَدْ أَبَنْتَ زَوْجَتَكَ وَعَصَيْتَ رَبَّكَ. فَلَوْلَا أَنَّ جَمْعَ الثَّلَاثِ مُحَرَّمٌ مَا كَانَ بِهِ عَاصِيًا.

Dan berdasarkan riwayat al-Hasan dari Ibnu Umar bahwa ia berkata: Aku menceraikan istriku saat ia sedang haid satu talak, dan aku ingin menambah dua talak lagi, maka aku bertanya kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tentang hal itu, beliau bersabda: “Rujuklah dia.” Aku bertanya: “Bagaimana jika aku menceraikannya tiga kali?” Beliau bersabda: “Engkau telah memisahkan istrimu dan telah durhaka kepada Tuhanmu.” Seandainya penggabungan tiga talak tidak diharamkan, niscaya ia tidak dianggap durhaka.

وَبِمَا رَوَاهُ إِبْرَاهِيمُ عَنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّهُ قَالَ طَلَّقَ بَعْضُ آبَائِي امْرَأَتَهُ أَلْفًا. فَانْطَلَقَ بَنُوهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالُوا إِنَّ أَبَانَا طَلَّقَ أُمَّنَا أَلْفًا فَهَلْ لَهُ مِنْ مَخْرَجٍ؟ فَقَالَ: إِنَّ أَبَاكُمْ لَمْ يتق الله فيما فَعَلَ؛ فَيَجْعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ مَخْرَجًا بَانَتْ مِنْهُ بِثَلَاثٍ عَلَى غَيْرِ السُّنَّةِ وَتِسْعُمِائَةٍ وَسَبْعَةٌ وَتِسْعُونَ إِثْمٌ فِي عُنُقِهِ.

Dan berdasarkan riwayat Ibrahim dari Abdullah bin ‘Ubadah bin ash-Shamit dari ayahnya dari kakeknya bahwa ia berkata: Salah satu dari nenek moyangku menceraikan istrinya seribu kali. Maka anak-anaknya mendatangi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan berkata: “Ayah kami telah menceraikan ibu kami seribu kali, adakah jalan keluar baginya?” Beliau bersabda: “Ayah kalian tidak bertakwa kepada Allah dalam perbuatannya; maka Allah tidak menjadikan jalan keluar baginya. Ibumu telah tercerai darinya dengan tiga talak secara tidak sesuai sunnah, dan sembilan ratus sembilan puluh tujuh sisanya adalah dosa yang menanggungnya.”

قَالَ: وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ. رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابَ كَانَ إِذَا أُتِيَ بِرَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا أَوْجَعَ ظَهْرَهُ.

Ia berkata: Dan karena ini adalah ijmā‘ para sahabat. Diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khaththab, jika didatangkan seorang laki-laki yang menceraikan istrinya tiga kali, beliau akan memukul punggungnya.

وَإِنَّ رَجُلًا أَتَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ: إِنَّ عَمِّي طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّ عَمَّكَ عَصَى اللَّهَ فَأَنْدَمَهُ. وَأَطَاعَ الشَّيْطَانَ فَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَإِنَّ عَلِيًّا وَابْنَ عَبَّاسٍ أَنْكَرَاهُ فَكَانَ إِجْمَاعًا، لِعَدَمِ الْمُخَالِفِ فِيهِ.

Dan ada seorang laki-laki datang kepada Abdullah bin Abbas dan berkata: “Sesungguhnya pamanku menceraikan istrinya tiga kali.” Ibnu Abbas berkata: “Pamanmu telah durhaka kepada Allah, maka biarkan ia menyesal. Ia telah menaati setan sehingga Allah tidak memberinya jalan keluar.” Dan Ali serta Ibnu Abbas mengingkari hal itu, maka itu menjadi ijmā‘ karena tidak ada yang menyelisihinya.

وَلِأَنَّهُ عَدَدٌ يَتَعَلَّقُ بِهِ الْبَيْنُونَةُ فَوَجَبَ أَنْ يَتَكَرَّرَ كَاللِّعَانِ.

Dan karena jumlah talak itu berkaitan dengan terjadinya bain (perpisahan), maka harus diulang seperti halnya li‘an.

وَدَلِيلُنَا عَلَى الْفَرِيقَيْنِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تفرضوا لهن فريضة} [236] .

Dan dalil kami atas kedua kelompok adalah firman Allah Ta‘ala: {Tidak ada dosa atas kalian jika kalian menceraikan para wanita sebelum kalian menyentuh mereka atau sebelum kalian menentukan mahar bagi mereka} [al-Baqarah: 236].

فَكَانَ رَفْعُ الْجُنَاحِ عَنْهُ مِنْ غَيْرِ تَمْيِيزٍ لِعَدَدٍ يُوجِبُ التَّسْوِيَةَ بَيْنَ الْأَعْدَادِ.

Maka penghilangan dosa darinya tanpa membedakan jumlah, menunjukkan adanya penyamaan antara jumlah-jumlah tersebut.

وَرَوَى سَهْلُ بْنُ سَعْدٍ السَّاعِدِيُّ، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا لَاعَنَ بَيْنَ عُوَيْمِرٍ الْعَجْلَانِيِّ وَامْرَأَتِهِ قَالَ: كَذَبْتَ عَلَيْهَا إِنْ أَمْسَكْتَهَا، هِيَ طَالِقٌ ثَلَاثًا.

Dan diriwayatkan dari Sahl bin Sa‘d as-Sa‘idi, bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– ketika melakukan li‘an antara ‘Uwaimir al-‘Ajlani dan istrinya, beliau bersabda: “Engkau berdusta atasnya jika engkau tetap menahannya, maka ia telah tertalak tiga.”

فَلَوْ كَانَ الْجَمْعُ بَيْنَ الطَّلَاقِ وَالثَّلَاثِ مُحَرَّمًا لأبانه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَنْكَرَهُ، لِأَنَّهُ لَا يُقِرُّ عَلَى مُنْكَرٍ.

Seandainya penggabungan antara talak dan tiga itu haram, niscaya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– akan menjelaskannya dan mengingkarinya, karena beliau tidak membiarkan kemungkaran.

وَرُوِيَ أَنَّ رُكَانَةَ بْنَ عَبْدِ يَزِيدَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ. فَأَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِذَلِكَ فَقَالَ: مَا أَرَدْتَ بِالْبَتَّةِ قَالَ وَاحِدَةً فَأَحْلَفَهُ أَنَّهُ مَا أَرَادَ أَكْثَرَ مِنْهَا فَدَلَّ عَلَى وُقُوعِ الثَّلَاثِ لَوْ أَرَادَهَا مِنْ غَيْرِ تَحْرِيمٍ.

Dan diriwayatkan bahwa Rukanah bin ‘Abd Yazid menceraikan istrinya dengan talak ba’in (al-battah). Lalu ia memberitahukan hal itu kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–, maka beliau bertanya: “Apa yang engkau maksud dengan al-battah?” Ia menjawab: “Satu kali.” Maka beliau menyuruhnya bersumpah bahwa ia tidak bermaksud lebih dari itu. Maka ini menunjukkan jatuhnya tiga talak jika memang diniatkan, tanpa keharaman.

وَرَوَى سَلَمَةُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ حَفْصَ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْمُغِيرَةِ طَلَّقَ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ ثَلَاثًا بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ. فَلَمْ يُنْكِرْهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.

Salamah bin Abi Salamah meriwayatkan dari ayahnya bahwa Hafsh bin Amru bin al-Mughirah telah menceraikan Fatimah binti Qais dengan tiga talak dalam satu ucapan. Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak mengingkarinya.

وَإِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ طَلَّقَ تُمَاضِرَ بِنْتَ الْإِصْبَغِ الْكَلْبِيَّةَ ثَلَاثًا فِي مَرَضِهِ فَلَمْ يُنْكِرْهُ الصَّحَابَةُ عَلَيْهِ، وَتُمَاضِرُ هِيَ أُمُّ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَدَلَّ ذَلِكَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَمِنَ الصَّحَابَةِ بَعْدَهُ عَلَى إِبَاحَةِ الْجَمْعِ بَيْنَ الثَّلَاثِ، وَرُوِيَ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ أَنَّ امْرَأَتَهُ عَائِشَةَ الْخَثْعَمِيَّةَ قَالَتْ لَهُ بَعْدَ قَتْلِ أَبِيهِ: لِتَهْنِكَ الْخِلَافَةُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ لها: أو يقتل أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ وَتَشْمَتِينَ اذْهَبِي فَأَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَاكَ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ فَدَلَّ عَلَى إِبَاحَتِهِ عِنْدَهُمْ.

Dan sesungguhnya Abdurrahman bin Auf telah menceraikan Tumadhir binti al-Ashbagh al-Kalabiyyah dengan tiga talak saat ia sedang sakit, dan para sahabat tidak mengingkari hal itu darinya. Tumadhir adalah ibu dari Abu Salamah bin Abdurrahman. Maka hal ini menunjukkan, baik dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- maupun dari para sahabat setelah beliau, tentang kebolehan mengumpulkan tiga talak sekaligus. Diriwayatkan pula dari al-Hasan bin Ali bahwa istrinya, ‘Aisyah al-Khats’amiyyah, berkata kepadanya setelah ayahnya terbunuh: “Selamat atas kekhalifahanmu, wahai Amirul Mukminin.” Maka ia berkata kepadanya: “Apakah Amirul Mukminin terbunuh lalu engkau bergembira? Pergilah, engkau aku talak tiga.” Tidak ada seorang pun dari para sahabat yang mengingkari hal itu, sehingga menunjukkan kebolehannya menurut mereka.

وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سُئِلَ عَمَّنْ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ مِائَةَ طَلْقَةٍ فَقَالَ: ثَلَاثَةٌ لَهَا وَأَقْسَمَ الْبَاقِي عَلَى نِسَائِهَا.

Diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau pernah ditanya tentang seseorang yang menceraikan istrinya seratus kali talak. Maka beliau menjawab: “Tiga talak berlaku untuknya, dan sisanya dibagi kepada istri-istrinya yang lain.”

وَمِنَ الْقِيَاسِ أنَّهُ طَلَاقٌ وَقَعَ فِي طُهْرٍ لَمْ يُجَامِعْهَا فِيهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُبَاحًا كَالطَّلْقَةِ الْأُولَى، وَلِأَنَّ كُلَّ طَلَاقٍ جَازَ تَفْرِيقُهُ جَازَ جَمْعُهُ. أَصْلُهُ طَلَاقُ الزَّوْجَاتِ يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَهُنَّ فِي الطَّلَاقِ وَأَنْ يُفَرِّقَهُنَّ.

Dan menurut qiyās, itu adalah talak yang dijatuhkan pada masa suci (thuhur) yang belum digauli, maka wajib hukumnya boleh sebagaimana talak pertama. Karena setiap talak yang boleh dipisah-pisah, maka boleh pula digabungkan. Dasarnya adalah talak terhadap para istri, boleh mengumpulkan mereka dalam satu talak atau memisah-misahkan mereka.

وَلِأَنَّ كُلَّ طَلَاقٍ جَازَ تَفْرِيقُهُ فِي الْأَطْهَارِ جَازَ إِيقَاعُهُ فِي طُهْرٍ. أَصْلُهُ إِذَا طَلَّقَ فِي طُهْرٍ ثُمَّ رَاجَعَ فِيهِ ثُمَّ طَلَّقَهَا فيه ثم راجع وثم طَلَّقَهَا فِيهِ ثُمَّ رَاجَعَ.

Dan karena setiap talak yang boleh dipisah-pisah pada masa-masa suci, maka boleh juga dijatuhkan dalam satu masa suci. Dasarnya, jika seseorang menceraikan pada masa suci, lalu merujukinya pada masa itu, lalu menceraikannya lagi pada masa itu, lalu merujukinya, lalu menceraikannya lagi pada masa itu, lalu merujukinya.

وَلِأَنَّ الثَّلَاثَ لَفْظٌ يَقْطَعُ الرَّجْعَةَ فَجَازَ إِيقَاعُهُ في طهر لاجماع فِيهِ كَالْوَاحِدَةِ بَعْدَ اثْنَتَيْنِ أَوْ كَالْخُلْعِ.

Dan karena tiga talak adalah lafaz yang memutuskan hak rujuk, maka boleh dijatuhkan dalam satu masa suci yang tidak ada ijmā‘ di dalamnya, sebagaimana satu talak setelah dua talak, atau seperti khulu‘.

فَأَمَّا الجواب عن قوله تعالى: {الطلاق مرتان} فَمِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ عَدَدُ الطَّلَاقِ، وَإِنَّهُ ثَلَاثٌ وَإِنَّهُ يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ بَعْدَ اثْنَتَيْنِ وَلَا يَمْلِكُهَا بَعْدَ الثَّالِثَةِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ وَلَمْ يُرِدْ بِهِ تَفْرِيقَ الطَّلَاقِ أَوْ جَمْعَهُ.

Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta‘ala: {Talak itu dua kali} adalah dari dua sisi: Pertama, bahwa yang dimaksud adalah jumlah talak, yaitu tiga, dan bahwa ia memiliki hak rujuk setelah dua talak dan tidak memilikinya setelah yang ketiga hingga ia menikah dengan suami lain. Dan ayat itu tidak bermaksud tentang memisah-misahkan talak atau menggabungkannya.

وَالثَّانِي: أنَّ قَوْلَهُ: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ} يَقْتَضِي فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ لَا فِي وَقْتَيْنِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ} [الأحزاب: 31] يَعْنِي أَجْرَيْنِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ. لَا فِي وَقْتَيْنِ. وَهُمْ يُحَرِّمُونَ وُقُوعَ الطَّلْقَتَيْنِ فِي وَقْتٍ كَمَا يُحَرِّمُونَ وُقُوعَ الثَّلَاثِ.

Kedua, bahwa firman-Nya: {Talak itu dua kali} mengandung makna dalam satu waktu, bukan dalam dua waktu, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: {Kami berikan kepadanya pahalanya dua kali} [al-Ahzab: 31], maksudnya dua pahala dalam satu waktu, bukan dalam dua waktu. Padahal mereka mengharamkan terjadinya dua talak dalam satu waktu sebagaimana mereka mengharamkan terjadinya tiga talak.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ بِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ. فَهُوَ أنَّهُ لَمْ يُطَلِّقْ إِلَّا وَاحِدَةً فِي الْحَيْضِ وَقَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَوْ طَلَّقْتَهَا ثَلَاثًا كُنْتَ قَدْ أَبَنْتَ امْرَأَتَكَ وَعَصَيْتَ رَبَّكَ. يَعْنِي بِإِيقَاعِهِنَّ فِي الْحَيْضِ لَا بِالْجَمْعِ بَيْنَهُنَّ.

Adapun jawaban terhadap dalil dengan hadis Ibnu Umar, maka sesungguhnya ia hanya menceraikan satu kali dalam keadaan haid. Dan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Seandainya engkau menceraikannya tiga kali, sungguh engkau telah memisahkan istrimu dan telah durhaka kepada Tuhanmu.” Maksudnya adalah karena menjatuhkan talak dalam keadaan haid, bukan karena mengumpulkan talak sekaligus.

وَأَمَّا أَمْرُهُ لَهُ فِي الْخَبَرِ الثَّانِي أَنْ يُطَلِّقَ فِي كُلِّ طُهْرٍ وَاحِدَةً فَعَلَى طَرِيقِ الِاسْتِحْبَابِ وَالنَّدْبِ.

Adapun perintah beliau dalam hadis kedua agar menceraikan satu kali pada setiap masa suci, maka itu bersifat anjuran (istihbāb) dan sunnah (nadb).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban terhadap hadis al-Bara’ bin ‘Azib, maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أنَّ الدَّارَقُطْنِيَّ رَوَاهُ وَذَكَرَ أَنَّهُ ضَعِيفٌ مَجْهُولُ الرَّاوِي.

Pertama, bahwa ad-Daraquthni meriwayatkannya dan menyebutkan bahwa hadis itu lemah dan perawinya majhul (tidak dikenal).

وَالثَّانِي: أنَّ قَوْلَهُ: طَلَّقَهَا عَلَى غَيْرِ السُّنَّةِ؛ لِأَنَّهُ طَلَّقَهَا أَلْفًا وَهُوَ لَا يَمْلِكُ إِلَّا ثَلَاثًا.

Kedua, bahwa maksud ucapannya: “Ia menceraikannya tidak sesuai sunnah,” karena ia menceraikannya seribu kali, padahal ia tidak memiliki hak kecuali tiga talak saja.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْإِجْمَاعِ فَهُوَ غَيْرُ مُنْعَقِدٍ بِمَنْ ذَكَرْنَا خِلَافَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَقَدِ اخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَوَى سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ: إِنِّي طَلَّقْتُ امْرَأَتِي أَلْفًا فَقَالَ: أَمَّا ثَلَاثٌ فَتَحْرُمُ عَلَيْكَ امْرَأَتُكَ، وَبَقِيَّتُهُنَّ وِزْرًا اتَّخَذْتَ آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا.

Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan ijmā‘, maka ijmā‘ itu tidak terwujud karena adanya perbedaan pendapat dari para sahabat yang telah kami sebutkan. Riwayat dari Ibnu ‘Abbās pun berbeda-beda. Sa‘īd bin Jubair meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Ibnu ‘Abbās dan berkata: “Aku telah menceraikan istriku seribu kali.” Maka Ibnu ‘Abbās berkata: “Adapun tiga kali, maka istrimu menjadi haram bagimu, dan sisanya adalah dosa; engkau telah menjadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan olok-olokan.”

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى اللِّعَانِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap kasus li‘ān, maka ada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أنَّ الْفُرْقَةَ لَا تَقَعُ عَلَى قَوْلِهِمْ بِاللِّعَانِ حَتَّى يُوقِعَهَا الْحَاكِمُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ أَصْلًا لِمَا يُوقِعُ الْفُرْقَةَ.

Pertama: Bahwa perpisahan (perceraian) menurut pendapat mereka dalam kasus li‘ān tidak terjadi kecuali setelah diputuskan oleh hakim, maka tidak boleh dijadikan sebagai asal (dalil) bagi sesuatu yang menyebabkan perpisahan secara langsung.

وَالثَّانِي: أنَّ عَدَدَ اللِّعَانِ لَا يَصِحُّ مَجْمُوعُهُ فَوَجَبَ تَفْرِيقُهُ. وَالطَّلَاقُ يَصِحُّ مَجْمُوعُهُ فَلَمْ يَجِبْ تَفْرِيقُهُ.

Kedua: Bahwa jumlah li‘ān tidak sah jika digabungkan, sehingga harus dipisahkan. Sedangkan talak sah jika digabungkan, maka tidak wajib dipisahkan.

وَالثَّالِثُ: أِنَّهُ لَمَّا جَازَ عَدَدُ اللِّعَانِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ اقْتَضَى أَنْ يَجُوزَ عَدَدُ الطَّلَاقِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ.

Ketiga: Ketika jumlah li‘ān boleh dilakukan dalam satu waktu, maka hal itu menuntut bolehnya jumlah talak dalam satu waktu.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُ مَنْ أَنْكَرَ وُقُوعَ الثَّلَاثِ بِحَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ: فَهُوَ ضَعِيفٌ لَا يَعْرِفُهُ أَصْحَابُ الْحَدِيثِ. وَلَوْ سَلَّمْنَاهُ لَاحْتَمَلَ قَوْلُهُ. كَانَ الطَّلَاقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَيَّامِ أَبِي بَكْرٍ وَصَدْرٍ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ وَاحِدَةً فَقَالَ عُمَرُ: قَدِ اسْتَعْجَلْتُمْ فِي أَمْرٍ كَانَ لَكُمْ فِيهِ أَنَاةٌ. وَجَعَلَهُ ثَلَاثًا.

Adapun dalil orang yang mengingkari jatuhnya tiga talak dengan hadis Ibnu ‘Abbās dari ‘Umar, maka hadis itu lemah dan tidak dikenal oleh para ahli hadis. Andaikan kami menerimanya, maka perkataannya masih mengandung kemungkinan. Ia berkata: “Talak pada masa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, masa Abu Bakar, dan permulaan kekhalifahan ‘Umar adalah satu. Lalu ‘Umar berkata: Kalian telah tergesa-gesa dalam perkara yang dahulu kalian diberi kelonggaran padanya, maka beliau menjadikannya tiga.”

فَمَنْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ فَإِنَّهُ إِنْ أَرَادَ بِالثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ طُلِّقَتْ وَاحِدَةً. وَإِنْ أَرَادَ الِاسْتِئْنَافَ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا.

Maka barang siapa berkata kepada istrinya: “Engkau talak, engkau talak, engkau talak,” jika ia bermaksud dengan yang kedua dan ketiga sebagai penegasan, maka jatuh satu talak. Namun jika ia bermaksud memulai (talak) yang baru, maka jatuh tiga talak.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika ia tidak memiliki maksud tertentu, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْإِمْلَاءِ تُطَلَّقُ وَاحِدَةً.

Pertama: Sebagaimana disebutkan dalam al-Imlā’, jatuh satu talak.

وَالثَّانِي: قَالَهُ فِي (الْأُمِّ) تُطَلَّقُ ثَلَاثًا.

Kedua: Sebagaimana disebutkan dalam al-Umm, jatuh tiga talak.

فَعَلِمَ عُمَرُ أَنَّهُمْ كَانُوا يُرِيدُونَ بِهِ التَّأْكِيدَ فَتَكُونُ وَاحِدَةً، ثُمَّ صَارُوا يُرِيدُونَ بِهِ التَّأْكِيدَ فَجَعَلَهَا ثَلَاثًا. وَإِنَّمَا حَمَلْنَاهُ عَلَى هَذَا الِاحْتِمَالِ مَعَ بُعْدِهِ؛ لِأَنَّ عُمَرَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُخَالِفَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي شَيْءٍ عَمِلَهُ مِنْ دِينِهِ. وَلَوْ خَالَفَهُ لَمَا أَقَرَّتْهُ الصَّحَابَةُ عَلَى خِلَافِهِ.

Maka ‘Umar mengetahui bahwa dahulu mereka bermaksud penegasan, sehingga dihukumi satu talak. Kemudian mereka berubah dan bermaksud penegasan (dengan cara berbeda), maka dijadikan tiga talak. Kami menafsirkan hal ini dengan kemungkinan tersebut, meskipun kemungkinannya jauh, karena tidak mungkin ‘Umar menyelisihi Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- dalam perkara agama yang telah beliau lakukan. Seandainya ia menyelisihi, niscaya para sahabat tidak akan membiarkannya dalam penyelisihan tersebut.

أَلَا تَرَاهُ يَقُولُ؛ لَا تُغَالُوا فِي صَدُقَاتِ النِّسَاءِ فَلَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً لَكَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَقَامَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: يُعْطِينَا اللَّهُ وَتَمْنَعُنَا يابن الْخَطَّابِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا} [النساء: 20] فَقَالَ عُمَرُ: كُلُّ النَّاسِ أَفْقَهُ مِنْ عُمَرَ حَتَّى امْرَأَةٌ لِيَفْعَلِ الرَّجُلُ بِمَالِهِ مَا شَاءَ. وَهَمَّ أَنْ يُخَالِفَ بَيْنَ دِيَاتِ الْأَصَابِعِ حَتَّى ذُكِرَ لَهُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: في اليدين الدية وفي أحدهما نِصْفُ الدِّيَةِ وَفِي كُلِّ إِصْبَعٍ مِمَّا هُنَالِكَ عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ. فَرَجَعَ عَمَّا هَمَّ بِهِ وَسَوَّى بَيْنِ دِيَاتِهَا.

Tidakkah engkau melihat bahwa ia (‘Umar) berkata: “Janganlah kalian berlebihan dalam mahar wanita. Jika itu merupakan suatu kemuliaan, maka Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- lebih berhak atasnya daripada kalian.” Lalu seorang wanita berdiri dan berkata: “Allah memberi kami (hak), dan engkau melarang kami, wahai Ibnu al-Khaththāb? Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan jika kamu telah memberikan kepada salah seorang dari mereka harta yang banyak (qinthār), maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya} (QS. an-Nisā’: 20). Maka ‘Umar berkata: “Semua orang lebih memahami (fiqh) daripada ‘Umar, bahkan seorang wanita pun. Hendaklah seseorang berbuat terhadap hartanya sesuai kehendaknya.” Dan ia pernah hendak membedakan diyat (denda) jari-jari, hingga diingatkan kepadanya bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Pada kedua tangan diyat penuh, pada salah satunya setengah diyat, dan pada setiap jari dari keduanya sepuluh ekor unta.” Maka ia pun kembali dari niatnya dan menyamakan diyat seluruh jari.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِمَا رَوَوْهُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فأمره النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِمُرَاجَعَتِهَا فَلَا يَعْرِفُهُ أَهْلُ الْحَدِيثِ. وَإِنَّمَا الْخَبَرُ أَنَّهُ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ طَلَّقْتُهَا ثَلَاثًا فَقَالَ كُنْتَ قَدْ أَبَنْتَ امْرَأَتَكَ وَعَصَيْتَ رَبَّكَ.

Adapun dalil mereka dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa ia menceraikan istrinya tiga kali, lalu Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- memerintahkannya untuk merujuknya, maka riwayat ini tidak dikenal oleh para ahli hadis. Adapun riwayat yang benar adalah bahwa ia berkata: “Bagaimana jika aku menceraikannya tiga kali?” Nabi bersabda: “Engkau telah memisahkan istrimu dan telah durhaka kepada Tuhanmu.”

وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى أَنَّهُ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا فِي ثَلَاثَةِ أَوْقَاتٍ. فَأَمَرَهُ بِالرَّجْعَةِ فِي إِحْدَاهُنَّ بَلْ قَدْ رُوِيَ أَنَّهُ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثُمَّ طَلَّقَهَا ثَانِيَةً عَلَى عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ، ثُمَّ طَلَّقَهَا ثَالِثَةً فِي زَمَنِ عُمَرَ. فَضَبَطَ الرُّوَاةُ طَلَاقَهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا. فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ رِوَايَةُ مَنْ أَطْلَقَ مَحْمُولَةً عَلَى هَذَا البيان والله أعلم بالصواب.

Dan seandainya riwayat itu sahih, maka harus dipahami bahwa ia menceraikannya tiga kali dalam tiga waktu yang berbeda. Maka Nabi memerintahkannya untuk merujuk pada salah satu dari tiga talak itu. Bahkan telah diriwayatkan bahwa ia menceraikannya satu kali pada masa Rasulullah ﷺ, kemudian menceraikannya kedua kali pada masa Abu Bakar, lalu menceraikannya ketiga kali pada masa Umar. Maka para perawi mencatat talaknya sebagaimana yang telah kami sebutkan. Hal ini mengharuskan bahwa riwayat orang yang menyebutkan secara mutlak harus dipahami dengan penjelasan ini. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رحمه الله: (ولو طلقها ظاهرا بَعْدَ جِمَاعٍ أَحْبَبْتُ أَنْ يَرْتَجِعَهَا ثُمَّ يُمْهَلَ لِيُطَلِّقَ كَمَا أُمِرَ وَإِنْ كَانَتْ فِي طُهْرٍ بَعْدَ جِمَاعٍ فَإِنَّهَا تَعْتَدُّ بِهِ) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: (Jika ia menceraikannya secara zhahir setelah berhubungan badan, aku lebih menyukai agar ia merujuknya, kemudian diberi waktu untuk menceraikan sebagaimana yang diperintahkan. Dan jika ia dalam keadaan suci setelah berhubungan badan, maka masa iddahnya dihitung dengan masa suci itu).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: فقد ذَكَرْنَا أَنَّ طَلَاقَ الْبِدْعَةِ طَلَاقَانِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa talak bid‘ah itu ada dua:

أَحَدُهُمَا: الطَّلَاقُ في الحيض.

Pertama: Talak saat haid.

وَالثَّانِي: الطَّلَاقُ فِي طُهْرٍ قَدْ جُومِعَتْ فِيهِ.

Kedua: Talak pada masa suci yang telah digauli di dalamnya.

أَمَّا طَلَاقُ الْحَيْضِ فَلِتَحْرِيمِهِ عِلَّةٌ وَاحِدَةٌ، وَهُوَ أَنَّ بَقِيَّةَ حَيْضِهَا غَيْرُ مُحْتَسَبٍ بِهِ مِنْ عِدَّتِهَا عِنْدَ مَنْ جَعَلَ الْأَقْرَاءَ الْأَطْهَارَ، وَعِنْدَ مَنْ جَعَلَهَا الْحَيْضَ، فَصَارَتْ بِالطَّلَاقِ فِيهِ غَيْرَ زَوْجَةٍ وَلَا مُعْتَدَّةٍ. وَأَمَّا الْمُطَلَّقَةُ فِي الطُّهْرِ المجامع فيه فلتحريمه علتان.

Adapun talak saat haid, maka keharamannya memiliki satu alasan, yaitu sisa masa haidnya tidak dihitung sebagai bagian dari masa iddahnya menurut pendapat yang menjadikan quru’ itu adalah masa suci, dan juga menurut pendapat yang menjadikannya masa haid. Maka dengan talak pada masa itu, ia menjadi bukan istri dan bukan pula wanita yang menjalani iddah. Adapun wanita yang ditalak pada masa suci yang telah digauli di dalamnya, keharamannya memiliki dua alasan.

أحدهما: أِنَّهَا رُبَّمَا عَلَقَتْ مِنْ وَطْئِهِ فَصَارَتْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ فَلَحِقَهُ نَدَمٌ مِنْ طَلَاقِ أُمِّ وَلَدِهِ.

Pertama: Bisa jadi ia hamil dari hubungan tersebut, sehingga ia menjadi umm walad (ibu dari anaknya), lalu ia akan menyesal karena menceraikan umm walad-nya.

وَالثَّانِيَةُ: أِنَّهَا تَصِيرُ مُرْتَابَةً فِي عِدَّتِهَا هَلْ عَلَقَتْ مِنْ وَطْئِهِ فَتَكُونَ عِدَّتُهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ؟ أَوْ لَمْ تَعْلَقْ فَتَكُونَ بِالْأَقْرَاءِ؟ لَكِنَّهَا تَعْتَدُّ بِبَقِيَّةِ طُهْرِهَا قُرْءًا فَإِذَا طَلَّقَ إِحْدَى هَاتَيْنِ إِمَّا فِي حَالِ الْحَيْضِ أَوْ فِي طُهْرٍ جَامَعَهَا فِيهِ فَقَدْ طَلَّقَهَا طَلَاقًا بِدْعِيًّا مُحَرَّمًا. وَاسْتَحْبَبْنَا لَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا؛ لِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ابْنَ عُمَرَ حِينَ طَلَّقَ فِي الْحَيْضِ أَنْ يُرَاجِعَ، وَاسْتِدْرَاكًا لِمُوَاقَعَةِ الْمَحْظُورِ بِالْإِقْلَاعِ عَنْهُ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ الرَّجْعَةُ.

Kedua: Ia menjadi ragu dalam masa iddahnya, apakah ia hamil dari hubungan tersebut sehingga masa iddahnya dengan melahirkan, atau tidak hamil sehingga masa iddahnya dengan quru’? Namun ia tetap menjalani iddah dengan sisa masa sucinya sebagai satu quru’. Maka jika ia menceraikan dalam salah satu dari dua keadaan ini, baik saat haid atau pada masa suci yang telah digauli, maka ia telah menjatuhkan talak bid‘ah yang haram. Kami menganjurkan agar ia merujuknya; karena Rasulullah ﷺ memerintahkan Ibnu Umar ketika menceraikan istrinya saat haid untuk merujuknya, dan sebagai bentuk perbaikan atas pelanggaran dengan segera meninggalkannya. Namun, rujuk tidaklah wajib baginya.

وَأَوْجَبَهَا مَالِكٌ فِي طَلَاقِ الْحَائِضِ اسْتِدْلَالًا بِهَذَيْنِ.

Imam Malik mewajibkan rujuk dalam talak wanita haid, berdalil dengan dua hal tersebut.

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الرَّجْعَةَ غَيْرُ وَاجِبَةٍ وَإِنِ اسْتُحِبَّتْ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} فَخَيَّرَهُ بَيْنَ الرَّجْعَةِ وَالتَّرْكِ وَقَالَ تَعَالَى: {وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا} [البقرة: 228] فَدَلَّتْ عَلَى أَنَّ الرَّجْعَةَ غَيْرُ وَاجِبَةٍ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dalil bahwa rujuk tidak wajib meskipun dianjurkan adalah firman Allah Ta‘ala: {Maka tahanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik} sehingga Allah memberikan pilihan antara rujuk dan tidak, dan firman-Nya Ta‘ala: {Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka dalam masa itu jika mereka menghendaki islah (perbaikan)} (QS. Al-Baqarah: 228). Ini menunjukkan bahwa rujuk tidak wajib dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أِنَّهُ جَعَلَهَا حَقًّا لِلْأَزْوَاجِ لَا عَلَيْهِمْ.

Pertama: Allah menjadikannya sebagai hak bagi para suami, bukan kewajiban atas mereka.

وَالثَّانِي: أِنَّهُ قَرَنَهَا بِإِرَادَةِ الْإِصْلَاحِ.

Kedua: Allah mengaitkannya dengan keinginan untuk islah (perbaikan).

وَلِأَنَّ الرَّجْعَةَ إِمَّا أَنْ تُرَادَ لِاسْتِدَامَةِ الْعَقْدِ أَوْ إِعَادَتِهِ. فَإِنْ أُرِيدَتْ لِإِعَادَتِهِ لَمْ تَجِبْ، لِأَنَّ ابْتِدَاءَ النِّكَاحِ لَا يَجِبُ، فَإِنْ أُرِيدَتْ لِاسْتِدَامَتِهِ لَمْ تَجِبْ؛ لِأَنَّ لَهُ رَفْعَهُ بِالطَّلَاقِ، وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ الطَّلَاقِ فِي الْحَيْضِ كَتَحْرِيمِهِ فِي طُهْرٍ مُجَامَعٍ فِيهِ، ثُمَّ لَمْ تَجِبِ الرَّجْعَةُ فِي طُهْرِ الْجِمَاعِ كَذَلِكَ فِي الْحَيْضِ.

Dan karena rujuk itu, jika dimaksudkan untuk melanjutkan akad (pernikahan), atau untuk mengulanginya. Jika dimaksudkan untuk mengulanginya, maka tidak wajib, karena memulai pernikahan tidak wajib. Jika dimaksudkan untuk melanjutkannya, maka juga tidak wajib, karena ia boleh mengakhirinya dengan talak. Dan karena keharaman talak saat haid sama dengan keharaman talak pada masa suci yang telah digauli, maka rujuk tidak diwajibkan pada masa suci yang telah digauli sebagaimana pada masa haid.

فَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ وَقَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُرْهُ فَلَيُرَاجِعْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ فَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَ.

Adapun hadits Ibnu Umar dan sabda Nabi ﷺ: “Perintahkan dia agar merujuk istrinya sampai ia suci, lalu haid lagi, lalu suci lagi, kemudian jika ia mau, boleh menceraikannya setelah itu, dan jika ia mau, boleh mempertahankannya.”

فَعَنْهُ جَوَابَانِ: أَحَدُهُمَا: أِنَّهُ لَمْ يَأْمُرْهُ بِنَفْسِهِ وَجَعَلَ عُمَرَ هُوَ الْآمِرَ لَهُ بِقَوْلِهِ: مُرْهُ فَلَيُرَاجِعْهَا دَلَّ عَلَى أَنَّ الْأَمْرَ مَعْدُولٌ بِهِ عَنِ الْوُجُوبِ إِلَى الِاسْتِحْبَابِ، لِأَنَّهُ عَدَلَ بِهِ عَمَّنْ تَجِبُ أَوَامِرُهُ إِلَى مَنْ لَا تَجِبُ أَوَامِرُهُ.

Mengenai hal ini terdapat dua jawaban: Pertama, Nabi tidak memerintahkannya secara langsung, melainkan menjadikan ‘Umar sebagai pihak yang memerintahkannya dengan sabdanya: “Perintahkan dia agar merujuk istrinya.” Hal ini menunjukkan bahwa perintah tersebut dialihkan dari kewajiban menjadi anjuran (istihbab), karena perintah itu dialihkan dari orang yang perintahnya wajib ditaati kepada orang yang perintahnya tidak wajib ditaati.

وَالثَّانِي إِنَّ قَوْلَهُ: ثُمَّ إِنْ شَاءَ طَلَّقَ وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَ ترجع المشيئة إلى جمع الْمَذْكُورِ مِنَ الرَّجْعَةِ وَالطَّلَاقِ. وَمَا رُدَّ إِلَى مَشِيئَةِ فَاعِلِهِ لَمْ يَجِبْ. وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ فِيهِ اسْتِدْرَاكًا لِمُوَاقَعَةِ الْمَحْظُورِ. فَالْمَحْظُورُ هُوَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ. وَالطَّلَاقُ الْوَاقِعُ لَا يُسْتَدْرَكُ بِالرَّجْعَةِ وَإِنَّمَا يَقْطَعُ تَحْرِيمَهُ.

Kedua, sabda Nabi: “Kemudian jika ia mau, ia boleh menceraikan, dan jika ia mau, ia boleh mempertahankan,” kehendak di sini kembali kepada dua hal yang disebutkan, yaitu rujuk dan talak. Sesuatu yang dikembalikan kepada kehendak pelakunya tidaklah wajib. Adapun dalil yang menyatakan bahwa di dalamnya terdapat upaya memperbaiki pelanggaran terhadap larangan, maka larangan yang dimaksud adalah terjadinya talak. Talak yang sudah terjadi tidak dapat diperbaiki dengan rujuk, melainkan hanya menghilangkan keharamannya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الرَّجْعَةَ مُسْتَحَبَّةٌ غَيْرُ وَاجِبَةٍ فَهِيَ فِي الْمَدْخُولِ بِهَا إِذَا طُلِّقَتْ أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ، لِأَنَّ غَيْرَ الْمَدْخُولِ بِهَا لَا رَجْعَةَ لَهَا وَالثَّلَاثُ لَا رَجْعَةَ مَعَهَا فَتَكُونُ الرَّجْعَةُ مَعَ هَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ.

Jika telah tetap bahwa rujuk itu dianjurkan dan tidak wajib, maka hal itu berlaku pada istri yang sudah digauli jika ditalak kurang dari tiga kali, karena istri yang belum digauli tidak ada hak rujuk baginya, dan talak tiga tidak ada rujuk setelahnya. Maka rujuk hanya berlaku dengan dua syarat ini.

ثُمَّ الزَّمَانُ الَّذِي يُسْتَحَقُّ فِيهِ الرَّجْعَةُ مُقَدَّرٌ، وَإِنْ كَانَ الشَّافِعِيُّ قَدْ أَطْلَقَهُ. فَإِنْ طُلِّقَتْ فِي الْحَيْضِ كَانَ الْأَمْرُ بِارْتِجَاعِهَا مَا كَانَ حَيْضُهَا بَاقِيًا، فَإِنْ طَهُرَتْ مِنْ تِلْكَ الْحَيْضَةِ الَّتِي طُلِّقَتْ فِيهَا سَقَطَ اسْتِحْبَابُ الرَّجْعَةِ وَكَانَتْ إِلَى خِيَارِهِ، لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ فِي طُهْرٍ لَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ طَلَاقُهَا فِيهِ فَلَمْ يُؤْمَرْ بِارْتِجَاعِهَا فِيهِ.

Kemudian, waktu yang berhak untuk melakukan rujuk itu telah ditentukan, meskipun asy-Syafi‘i membolehkannya secara mutlak. Jika seorang istri ditalak saat haid, maka perintah untuk merujuknya berlaku selama masa haidnya masih berlangsung. Jika ia telah suci dari haid yang saat itu ia ditalak, maka anjuran untuk rujuk gugur dan menjadi pilihan suami, karena ia telah berada dalam masa suci yang tidak diharamkan untuk mentalaknya, sehingga tidak diperintahkan untuk merujuknya dalam masa itu.

وَإِنْ طُلِّقَتْ فِي طُهْرٍ قَدْ جُومِعَتْ فِيهِ كَانَ مَأْمُورًا بِارْتِجَاعِهَا فِي بَقِيَّةِ طُهْرِهَا وَفِي الْحَيْضَةِ الَّتِي بَعْدَ طُهْرِهَا، فَإِنْ رَاجَعَهَا فِي هَذَا الْحَالِ فَقَدْ أَتَى بِمَا أُمِرَ بِهِ وَنُدِبَ إِلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْهَا حَتَّى دَخَلَتْ فِي الطُّهْرِ الثَّانِي الَّذِي لَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ طَلَاقُهَا فِيهِ سَقَطَ مَا كَانَ مَنْدُوبًا إِلَيْهِ مِنَ الرَّجْعَةِ وَكَانَتْ إِلَى خِيَارِهِ.

Jika ia ditalak dalam masa suci yang telah digauli di dalamnya, maka suami diperintahkan untuk merujuknya selama sisa masa suci tersebut dan selama haid berikutnya setelah masa suci itu. Jika ia merujuk istrinya dalam keadaan ini, maka ia telah melaksanakan apa yang diperintahkan dan dianjurkan. Namun jika ia tidak merujuknya hingga masuk masa suci kedua yang tidak diharamkan untuk mentalaknya, maka anjuran untuk rujuk telah gugur dan menjadi pilihan suami.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ فَقَدْ رَوَاهُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مُرْهُ فَلَيُرَاجِعْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ فَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ يُطْلَّقَ لها الله النِّسَاءُ.

Adapun hadis Ibnu ‘Umar, telah diriwayatkan oleh Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Perintahkan dia agar merujuk istrinya sampai ia suci, kemudian ia haid, lalu ia suci kembali. Setelah itu, jika ia mau, ia boleh menceraikan, dan jika ia mau, ia boleh mempertahankan. Itulah masa iddah yang Allah Ta‘ala perintahkan agar wanita ditalak padanya.”

وَرَوَاهُ سَالِمٌ وَيُونُسُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ مُرْهُ فَلَيُرَاجِعْهَا حَتَّى تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ طَلَّقَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ يطلق لها الله النِّسَاءُ. فَخَالَفَ نَافِعٌ لِسَالِمٍ وَلِيُونُسَ فِي زِيَادَةِ طُهْرٍ؛ لِأَنَّ رِوَايَةَ سَالِمٍ حَتَّى تَحِيضَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ طَلَّقَ فَأَذِنَ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَ فِي الطُّهْرِ الْأَوَّلِ بَعْدَ الْحَيْضَةِ الَّتِي طَلَّقَ فِيهَا وَهَذَا صَحِيحٌ.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Salim dan Yunus bin Jubair dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Perintahkan dia agar merujuk istrinya sampai ia haid, lalu ia suci. Setelah itu, jika ia mau, ia boleh menceraikan, dan jika ia mau, ia boleh mempertahankan. Itulah masa iddah yang Allah Ta‘ala perintahkan agar wanita ditalak padanya.” Maka Nafi‘ berbeda dengan Salim dan Yunus dalam tambahan “suci”, karena riwayat Salim berbunyi: “sampai ia haid, lalu jika ia mau, ia boleh menceraikan,” sehingga Nabi membolehkan talak pada masa suci pertama setelah haid yang ia ditalak di dalamnya, dan ini adalah riwayat yang sahih.

وَفِي رِوَايَةِ نَافِعٍ. حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ طَلَّقَ. فَأَذِنَ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَ فِي الطُّهْرِ الثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ. وَالطَّلَاقُ فِي الطُّهْرِ الْأَوَّلِ كَالطَّلَاقِ فِي الطُّهْرِ الثَّانِي فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي أَيِّ الرِّوَايَتَيْنِ أَثْبَتُ وَأَصَحُّ.

Sedangkan dalam riwayat Nafi‘: “sampai ia suci, lalu ia haid, lalu ia suci, kemudian jika ia mau, ia boleh menceraikan.” Maka Nabi membolehkan talak pada masa suci kedua, bukan yang pertama. Padahal talak pada masa suci pertama sama hukumnya dengan talak pada masa suci kedua. Maka para ulama kami berbeda pendapat tentang riwayat mana yang lebih kuat dan lebih sahih.

فَقَالَ بَعْضُهُمْ: الْأَصَحُّ رِوَايَةُ سَالِمٍ وَيُونُسَ. فَأَمَّا نَافِعٌ فَوَهِمَ فِي زِيَادَةِ الطُّهْرِ الثَّانِي؛ لِأَنَّ حُكْمَ الطَّلَاقِ فِي الطُّهْرِ الْأَوَّلِ كَحُكْمِ الطَّلَاقِ فِي الطُّهْرِ الثاني.

Sebagian mereka berkata: Riwayat yang lebih sahih adalah riwayat Salim dan Yunus. Adapun Nafi‘, ia keliru dalam menambahkan masa suci kedua, karena hukum talak pada masa suci pertama sama dengan hukum talak pada masa suci kedua.

وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: إِنَّ رِوَايَةَ نَافِعٍ أَصَحُّ وَأَثْبَتُ، وَإِنَّمَا حَذَفَ سَالِمٌ وَيُونُسُ ذِكْرَ الطُّهْرِ الثَّانِي اخْتِصَارًا.

Sebagian lain dari ulama kami berkata: Riwayat Nafi‘ lebih sahih dan lebih kuat, dan Salim serta Yunus hanya menghilangkan penyebutan masa suci kedua sebagai bentuk ringkasan.

فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا كَانَتْ رِوَايَةُ نَافِعٍ أَصَحَّ فَلِمَ أَذِنَ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَ فِي الطُّهْرِ الثَّانِي وَلَمْ يَأْذَنْ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَ فِي الطُّهْرِ الْأَوَّلِ وَهُمَا فِي الْحُكْمِ سَوَاءٌ.

Jika dikatakan: Jika riwayat Nafi‘ lebih sahih, maka mengapa beliau membolehkannya untuk mentalak pada masa suci yang kedua dan tidak membolehkannya mentalak pada masa suci yang pertama, padahal keduanya sama dalam hukum?

قِيلَ: قَدْ أَجَابَ أَصْحَابُنَا عَنْ هذا بأربعة أجوبة:

Dijawab: Para ulama kami telah memberikan empat jawaban atas hal ini:

الأول: أِنَّهُ لَمَّا كَانَ طَلَاقُ ابْنِ عُمَرَ فِي الْحَيْضِ مُوجِبًا لِتَطْوِيلِ الْعِدَّةِ عَلَيْهَا قَابَلَهُ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى طَرِيقِ الْعُقُوبَةِ لَهُ بِتَطْوِيلِ الرَّجْعَةِ إِلَى الطُّهْرِ الثَّانِي وَإِنْ جَازَتْ فِي الطُّهْرِ الْأَوَّلِ.

Pertama: Karena talak Ibnu ‘Umar yang dilakukan saat haid menyebabkan masa ‘iddah menjadi lebih panjang baginya, maka Rasulullah ﷺ membalasnya dengan hukuman berupa memperpanjang masa rujuk hingga masa suci yang kedua, meskipun sebenarnya boleh dilakukan pada masa suci yang pertama.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أِنَّهُ لَمَّا أَوْقَعَ ابْنُ عُمَرَ الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ زَمَانِهِ قَابَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِاسْتِدَامَةِ الرَّجْعَةِ بَعْدَ زَمَانِهَا.

Jawaban kedua: Karena Ibnu ‘Umar menjatuhkan talak bukan pada waktunya, maka Rasulullah ﷺ membalasnya dengan memperpanjang masa rujuk setelah waktunya.

وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَحَبَّ أَنْ تَتَحَقَّقَ رَجْعَتُهُ وَيَقْوَى حُكْمُهَا بِالْوَطْءِ فِيهَا. وَزَمَانُ الْوَطْءِ بَعْدَهَا هُوَ الطُّهْرُ الْأَوَّلُ. فَإِذَا وَطِئَ فِيهِ خَرَجَ إِيقَاعُ الطَّلَاقِ فِيهِ. وَكَانَ طَلَاقَ بِدْعَةٍ فَلِذَلِكَ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَ فِيهِ، وَأَذِنَ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَ فِي الطُّهْرِ الثَّانِي.

Jawaban ketiga: Rasulullah ﷺ menginginkan agar rujuknya benar-benar terjadi dan hukumnya menjadi kuat dengan terjadinya hubungan suami istri pada masa itu. Dan waktu berhubungan setelahnya adalah pada masa suci yang pertama. Jika ia berhubungan pada masa itu, maka talak yang dijatuhkan di dalamnya menjadi talak bid‘ah. Oleh karena itu, beliau tidak membolehkannya mentalak pada masa suci itu, dan membolehkannya mentalak pada masa suci yang kedua.

وَالْجَوَابُ الرَّابِعُ: أِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَحَبَّ أَنْ يَكْمُلَ الِاسْتِبْرَاءُ بَعْدَ الرَّجْعَةِ وَكَمَالُهُ يكون بطهر بعد حيضة كاملة.

Jawaban keempat: Rasulullah ﷺ menginginkan agar istibra’ (penegasan bebasnya rahim) sempurna setelah rujuk, dan kesempurnaannya adalah dengan satu masa suci setelah satu kali haid yang sempurna.

وَالطُّهْرُ الْأَوَّلُ لَمْ يَكُنْ بَعْدَ حَيْضَةٍ كَامِلَةٍ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ كَانَ فِي بُضَاعَتِهَا وَإِنَّمَا الطُّهْرُ الثَّانِي بَعْدَ حَيْضَةٍ كَامِلَةٍ فَلِذَلِكَ جَعَلَ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَ فِيهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Sedangkan masa suci yang pertama tidak terjadi setelah satu kali haid yang sempurna, karena talak dijatuhkan pada masa haidnya. Adapun masa suci yang kedua terjadi setelah satu kali haid yang sempurna, maka karena itulah beliau membolehkannya mentalak pada masa itu. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَلَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا أَوْ دَخَلَ بِهَا وَكَانَتْ حَامِلًا أَوْ لَا تَحِيضُ مِنْ صِغَرٍ أَوْ كِبَرٍ فَقَالَ أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا لِلسُّنَّةِ أَوِ الْبِدْعَةِ طُلِّقَتْ مَكَانَهَا لِأَنَّهَا لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهَا وَلَا بِدْعَةَ) .

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: (Jika ia belum berhubungan dengannya, atau telah berhubungan namun ia sedang hamil, atau ia tidak haid karena masih kecil atau sudah tua, lalu ia berkata: “Engkau tertalak tiga kali” baik dengan cara sunnah maupun bid‘ah, maka ia tertalak saat itu juga, karena tidak ada sunnah maupun bid‘ah dalam talaknya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ النِّسَاءَ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa perempuan terbagi menjadi dua golongan:

ضَرْبٌ لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهِنَّ وَلَا بِدْعَةَ وَضَرْبٌ يَتَعَلَّقُ بِطَلَاقِهِنَّ حُكْمُ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ. فَأَمَّا اللَّاتِي لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهِنَّ وَلَا بِدْعَةَ فَأَرْبَعٌ.

Golongan yang tidak ada sunnah maupun bid‘ah dalam talaknya, dan golongan yang talaknya terkait dengan hukum sunnah dan bid‘ah. Adapun yang tidak ada sunnah maupun bid‘ah dalam talaknya ada empat.

إِحْدَاهُنَّ: الصَّغِيرَةُ الَّتِي لَمْ تَحِضْ. وَالثَّانِيَةُ الَّتِي قَدْ يَئِسَتْ مِنَ الْحَيْضِ. وَالثَّالِثَةُ الْحَامِلُ. وَالرَّابِعَةُ غَيْرُ الْمَدْخُولِ بِهَا، وَقَدْ ذَكَرْنَا الْمَعْنَى فِي أَنْ لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهِنَّ وَلَا بِدْعَةَ مَعَ الْمُخْتَلِعَةِ الَّتِي وَإِنْ كَانَتْ بِالْحَيْضِ وَالطُّهْرِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ، فَقَدْ صَرَفَ الْخُلْعُ طَلَاقَهَا عَنْ أَنْ تَكُونَ لِسُنَّةٍ أَوْ بدعة.

Pertama: Perempuan kecil yang belum haid. Kedua: Perempuan yang telah putus haid (menopause). Ketiga: Perempuan hamil. Keempat: Perempuan yang belum digauli. Telah kami sebutkan alasan mengapa tidak ada sunnah maupun bid‘ah dalam talak mereka, bersama dengan perempuan yang melakukan khulu‘, yang meskipun ia termasuk perempuan yang haid dan suci, yang termasuk ahli sunnah dan bid‘ah, namun khulu‘ telah mengeluarkan talaknya dari kategori sunnah maupun bid‘ah.

وأما التي يتعلق بحكمها بطلاقها حُكْمُ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ فَهِيَ الْمَدْخُولُ بِهَا إِذَا كَانَتْ حَامِلًا مِنْ ذَوَاتِ الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ، فَتَصِيرُ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ فِي الطَّلَاقِ بِاجْتِمَاعِ ثَلَاثَةِ شُرُوطٍ.

Adapun yang talaknya terkait dengan hukum sunnah dan bid‘ah adalah perempuan yang telah digauli jika ia tidak hamil dan termasuk perempuan yang mengalami haid dan suci, maka ia termasuk ahli sunnah dan bid‘ah dalam talak dengan terpenuhinya tiga syarat.

أَنْ تَكُونَ مَدْخُولًا بِهَا. وَأَنْ تَكُونَ حَائِلًا. وَأَنْ تَكُونَ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ بِالْحَيْضِ وَالطُّهْرِ.

Yaitu: telah digauli, tidak sedang hamil, dan termasuk perempuan yang mengalami haid dan suci.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مُصَوَّرَةٌ عَلَى طَلَاقِ مَنْ لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهَا وَلَا بِدْعَةَ مِنَ النِّسَاءِ الْأَرْبَعِ. الصَّغِيرَةِ، وَالْمُؤَيَّسَةِ، وَالْحَامِلِ، وَغَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا فَإِذَا قَالَ لِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ وَلَمْ يَكُنْ طَلَاقَ سُنَّةٍ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُرَاعَى ذَلِكَ فِيهَا وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ أَنْتِ طَالِقٌ لِلْبِدْعَةِ طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ وَلَمْ يَكُنْ طَلَاقَ بِدْعَةٍ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ أَهْلِ الْبِدْعَةِ حَتَّى يُرَاعَى ذَلِكَ فِيهَا. فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا انْتُظِرَ بِهَا حَتَّى تَصِيرَ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ فَتُطَلَّقَ لِلسُّنَّةِ أَوِ الْبِدْعَةِ. كَمَا انْتُظِرَ بِالْحَائِضِ إِذَا قِيلَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ أَنْ تَطْهُرَ فَتَصِيرَ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ قِيلَ: لِأَنَّ ذَاتَ الْحَيْضِ فِي الطُّهْرِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ، فَانْتُظِرَ بِطَلَاقِهَا أَنْ تَكُونَ لِلسُّنَّةِ أَوِ الْبِدْعَةِ. وَهَؤُلَاءِ الْأَرْبَعُ لَسْنَ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ فَلَمْ يُنْتَظَرْ بِطَلَاقِهِنَّ مَا لَا يَتَّصِفْنَ بِهِ مِنْ سُنَّةٍ وَلَا بِدْعَةٍ كَمَا أن الأجنبية لما لَمْ تَكُنْ مِنْ أَهْلِ الطَّلَاقِ لَمْ يُنْتَظَرْ بِهَا عَقْدُ النِّكَاحِ لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ.

Setelah apa yang kami jelaskan tadi telah dipahami, maka permasalahan ini digambarkan pada talak terhadap perempuan yang tidak berlaku sunnah maupun bid‘ah dalam talaknya dari empat golongan perempuan: anak kecil, perempuan yang sudah putus haid (menopause), perempuan hamil, dan perempuan yang belum digauli. Jika seseorang berkata kepada salah satu dari mereka, “Engkau tertalak dengan talak sunnah,” maka ia tertalak saat itu juga, namun talaknya bukan talak sunnah; karena ia bukan termasuk golongan yang berlaku sunnah dalam talaknya, sehingga hal itu harus diperhatikan padanya. Demikian pula jika ia berkata kepada salah satu dari mereka, “Engkau tertalak dengan talak bid‘ah,” maka ia tertalak saat itu juga, namun talaknya bukan talak bid‘ah; karena ia bukan termasuk golongan yang berlaku bid‘ah dalam talaknya, sehingga hal itu harus diperhatikan padanya. Jika ada yang bertanya, “Mengapa tidak menunggu hingga ia menjadi termasuk golongan yang berlaku sunnah atau bid‘ah, lalu ditalak dengan talak sunnah atau bid‘ah, sebagaimana menunggu perempuan haid jika dikatakan kepadanya, ‘Engkau tertalak dengan talak sunnah’ hingga ia suci, lalu menjadi termasuk golongan yang berlaku sunnah?” Maka dijawab: Karena perempuan haid ketika dalam keadaan suci termasuk golongan yang berlaku sunnah dan bid‘ah, sehingga talaknya ditunggu hingga bisa menjadi talak sunnah atau bid‘ah. Adapun keempat golongan perempuan ini bukan termasuk golongan yang berlaku sunnah maupun bid‘ah, maka tidak perlu menunggu talak mereka atas sesuatu yang tidak mereka miliki, baik sunnah maupun bid‘ah, sebagaimana perempuan asing (bukan istri) ketika ia bukan termasuk golongan yang bisa ditalak, maka tidak perlu menunggu akad nikah untuk terjadinya talak.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

فَلَوْ قَالَ لِإِحْدَى الْأَرْبَعِ أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ إِذَا صِرْتِ فِي الطَّلَاقِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ رُوعِيَ ذَلِكَ فِيمَنْ أَمْكَنَ مُرَاعَاتُهُ فِيهَا، وَانْتُظِرَ بِهَا أَنْ تَصِيرَ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ؛ لِأَنَّهُ طَلَاقٌ مُقَيَّدٌ بِشَرْطٍ فَلَمْ يَقَعْ قَبْلَ وُجُودِ الشَّرْطِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ أَنَّ هَذَا شَرْطٌ لِلطَّلَاقِ فَانْتُظِرَ. وَذَلِكَ صِفَةٌ لِلطَّلَاقِ فَلَمْ يُنْتَظَرْ. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً انْتُظِرَ بِهَا أَنْ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ فَتُطَلَّقَ، وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا انْتُظِرَ بِهَا أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا وَيَنْقَضِيَ نِفَاسُهَا وَتَطْهُرَ فَتُطَلَّقَ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا انْتُظِرَ بِهَا أَنْ يُجَامِعَهَا. وَيَنْقَضِيَ طُهْرُ الْمُجَامَعَةِ وَالْحَيْضُ الَّذِي بَعْدَهُ ثُمَّ تَطْهُرَ فَتُطَلَّقَ.

Jika seseorang berkata kepada salah satu dari keempat perempuan tersebut, “Engkau tertalak dengan talak sunnah jika engkau telah menjadi termasuk golongan yang berlaku talak sunnah,” maka hal itu diperhatikan pada siapa saja yang memungkinkan untuk diperhatikan padanya, dan ditunggu hingga ia menjadi termasuk golongan yang berlaku talak sunnah; karena ini adalah talak yang digantungkan pada suatu syarat, maka talak tidak terjadi sebelum syarat itu terpenuhi. Perbedaan antara dua keadaan ini adalah bahwa yang pertama merupakan syarat bagi terjadinya talak, sehingga ditunggu, sedangkan yang kedua merupakan sifat dari talak, sehingga tidak perlu ditunggu. Dengan demikian, jika ia masih kecil, maka ditunggu hingga ia haid lalu suci, kemudian ditalak. Jika ia hamil, maka ditunggu hingga ia melahirkan, masa nifasnya selesai, lalu suci, kemudian ditalak. Jika ia belum digauli, maka ditunggu hingga ia digauli, kemudian selesai masa suci setelah jima‘ dan haid setelahnya, lalu ia suci, kemudian ditalak.

فَأَمَّا الْمُؤَيَّسَةُ فَلَا يُنْتَظَرُ بِهَا ذَلِكَ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُمْكِنٍ فِيهَا، فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا وَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ لِإِحْدَى هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعِ أَنْتِ طَالِقٌ لِلْبِدْعَةِ، إِذَا صِرْتِ فِي الطَّلَاقِ مِنْ أَهْلِ الْبِدْعَةِ رُوعِيَ ذَلِكَ.

Adapun perempuan yang sudah putus haid (menopause), maka tidak perlu ditunggu, karena hal itu tidak mungkin terjadi padanya, sehingga talak tidak jatuh padanya. Berdasarkan hal ini, jika seseorang berkata kepada salah satu dari keempat perempuan tersebut, “Engkau tertalak dengan talak bid‘ah jika engkau telah menjadi termasuk golongan yang berlaku talak bid‘ah,” maka hal itu juga diperhatikan.

فَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً انْتَظَرَ بِهَا أَنْ تَحِيضَ فَتُطَلَّقَ وَإِنْ كانت غير مدخول بها انتظر بها أن يُجَامِعَهَا فَتُطَلَّقَ سَوَاءٌ جَامَعَهَا فِي طُهْرٍ أَوْ حَيْضٍ، لِأَنَّهَا تَصِيرُ بَعْدَ جِمَاعِهِ مِنْ أَهْلِ الْبِدْعَةِ فِي الْحَالَيْنِ. وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا انْتَظَرَ بِهَا أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا ثُمَّ تُطَلَّقُ فِي أول نِفَاسِهَا. فَإِنْ لَمْ تَرَ بَعْدَ وِلَادَتِهَا دَمَ نِفَاسٍ لَمْ تُطَلَّقْ حَتَّى يُجَامِعَهَا فِي طُهْرِهَا، سواء قبل بِوُجُوبِ الْغُسْلِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ أَوْ بِسُقُوطِهِ عَنْهَا فِي الْوَجْهِ الثَّانِي؛ لِأَنَّ الْغُسْلَ إِنْ وَجَبَ فَلِوَضْعِ الْحَمْلِ الْجَارِي مَجْرَى الْإِنْزَالِ لَا إِنَّهُ لِأَجْلِ النِّفَاسِ.

Jika ia masih kecil, maka ditunggu hingga ia haid, lalu ditalak. Jika ia belum digauli, maka ditunggu hingga ia digauli, lalu ditalak, baik ia digauli dalam keadaan suci maupun haid, karena setelah digauli ia menjadi termasuk golongan yang berlaku talak bid‘ah dalam kedua keadaan tersebut. Jika ia hamil, maka ditunggu hingga ia melahirkan, lalu ditalak pada awal masa nifasnya. Jika setelah melahirkan ia tidak melihat darah nifas, maka tidak ditalak hingga ia digauli dalam keadaan suci, baik sebelum wajib mandi menurut salah satu pendapat, atau setelah gugur kewajiban mandi menurut pendapat kedua; karena mandi jika diwajibkan, maka itu karena melahirkan yang dipersamakan dengan keluarnya mani, bukan karena nifas.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

فَلَوْ قَالَ لِإِحْدَى هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعِ أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ، وَقَالَ: أَرَدْتُ بِنِيَّتِي أَنَّهَا تُطَلَّقُ إِذَا صَارَتْ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ لَمْ يُقْبَلْ ذَلِكَ مِنْهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، وَلَزِمَهُ الطَّلَاقُ مُعَجَّلًا لِغَيْرِ السُّنَّةِ، وَدِينَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى فِيمَا نَوَى. فَلَمْ يُلْزِمْهُ الطَّلَاقُ أَنْ تَصِيرَ فِيهِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَجَرَى ذَلِكَ فِي مَجْرَى قَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ وَقَالَ: أَرَدْتُ بِذَلِكَ إِنْ دَخَلَتِ الدَّارَ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، وَدِينَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْبَاطِنِ، فَلَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا بِدُخُولِ الدَّارِ. وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لِإِحْدَاهُنَّ أَنْتِ طَالِقٌ لِلْبِدْعَةِ وَقَالَ: أَرَدْتُ بِنِيَّتِي أَنَّهَا تُطَلَّقُ إِذَا صَارَتْ مِنْ أَهْلِ الْبِدْعَةِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ وَأُلْزِمَ تَعْجِيلَ الطَّلَاقِ. وَدِينَ فِي الْبَاطِنِ وَلَمْ يُلْزِمْهُ الطَّلَاقُ إِلَّا أَنْ تَصِيرَ إِلَى تِلْكَ الْحَالِ.

Maka jika seseorang berkata kepada salah satu dari empat perempuan tersebut, “Engkau tertalak secara sunah,” lalu ia berkata, “Aku bermaksud dengan niatku bahwa ia tertalak jika ia telah menjadi termasuk golongan ahli sunah,” maka hal itu tidak diterima darinya secara lahiriah dalam hukum, dan talak langsung berlaku atasnya, bukan secara sunah, dan urusannya dengan Allah Ta‘ala sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka talak tidak bergantung pada menjadi bagian dari ahli sunah, dan hal ini serupa dengan ucapannya, “Engkau tertalak,” lalu ia berkata, “Aku bermaksud dengan itu jika engkau masuk ke dalam rumah,” maka tidak diterima darinya secara lahiriah dalam hukum, dan urusannya dengan Allah Ta‘ala secara batin, sehingga ia tidak tertalak kecuali setelah masuk ke dalam rumah. Demikian pula jika ia berkata kepada salah satu dari mereka, “Engkau tertalak secara bid‘ah,” lalu ia berkata, “Aku bermaksud dengan niatku bahwa ia tertalak jika ia menjadi bagian dari ahli bid‘ah,” maka hal itu tidak diterima darinya secara lahiriah dalam hukum dan ia diwajibkan untuk segera menjatuhkan talak. Dan urusannya secara batin, talak tidak diwajibkan kecuali jika ia telah berada dalam keadaan tersebut.

وَلَوْ قَالَ لِإِحْدَى هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعِ أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ إِنْ كَانَ يَقَعُ طَلَاقُ السُّنَّةِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Dan jika seseorang berkata kepada salah satu dari empat perempuan tersebut, “Engkau tertalak secara sunah jika talak sunah itu jatuh,” maka kasus ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقُولَ ذَلِكَ مَعَ الشَّكِّ فِي حَالِهَا؛ لِأَنَّهُ شَكٌّ فِي الصَّغِيرَةِ هَلْ حَاضَتْ أَوْ لَمْ تَحِضْ؟ أَوْ شَكٌّ فِي الْحَمْلِ هَلْ هُوَ حَمْلٌ أَوْ غَلَطٌ أَوْ شَكٌّ فِي الْمُؤَيَّسَةِ هَلِ انْقَطَعَ حَيْضُهَا أَوْ تَأَخَّرَ أَوْ شَكٌّ فِي غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا هَلْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ؟

Pertama: Ia mengucapkan hal itu dalam keadaan ragu terhadap kondisinya; seperti ragu apakah anak kecil itu sudah haid atau belum? Atau ragu terhadap kehamilan, apakah itu benar-benar hamil atau keliru? Atau ragu terhadap perempuan yang sudah putus haid, apakah haidnya benar-benar sudah terputus atau hanya terlambat? Atau ragu terhadap perempuan yang belum digauli, apakah ia sudah digauli atau belum?

فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ فِي الْحَالِ وَلَا إِذَا صَارَتْ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي ثَانِي حَالٍ؛ لِأَنَّهُ عَلَّقَ ذَلِكَ بِوُجُودِ الشَّرْطِ فِي الْحَالِ.

Maka tidak terjadi talak atasnya pada saat itu, dan juga tidak jika ia kemudian menjadi termasuk golongan ahli sunah pada waktu berikutnya; karena ia menggantungkan hal itu pada adanya syarat pada saat itu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَقُولَ ذَلِكَ وَهُوَ عَلَى يَقِينٍ أَنَّهَا لَيْسَتْ فِي الطَّلَاقِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Ia mengucapkan hal itu dalam keadaan yakin bahwa ia bukan termasuk golongan yang sah untuk talak sunah, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أِنَّهُ شَرْطٌ مَلْغِيٌّ لِاسْتِحَالَتِهِ وَيَقَعُ الطَّلَاقُ فِي الْحَالِ.

Pertama: Bahwa syarat tersebut dianggap batal karena mustahil terjadi, sehingga talak jatuh saat itu juga.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أِنَّهُ مُعْتَبَرٌ مَعَ اسْتِحَالَتِهِ فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ فِي الْحَالِ وَلَا إِنْ صَارَتْ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي ثَانِي حَالٍ كَمَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ صَعِدْتِ السَّمَاءَ لَمْ تُطَلَّقْ وَإِنْ عُلِّقَ بِشَرْطٍ مُسْتَحِيلٍ وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لِإِحْدَاهُنَّ: أَنْتِ طَالِقٌ لِلْبِدْعَةِ إِنْ كَانَ يَقَعُ عَلَيْكِ طَلَاقُ الْبِدْعَةِ، فَإِنْ كَانَ مَعَ الشَّكِّ فِيهِنَّ لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ، وَإِنْ كَانَ مَعَ الْيَقِينِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ.

Pendapat kedua: Bahwa syarat tersebut tetap dianggap meskipun mustahil, sehingga talak tidak jatuh saat itu juga dan juga tidak jika ia kemudian menjadi termasuk golongan ahli sunah pada waktu berikutnya, sebagaimana jika ia berkata, “Engkau tertalak jika engkau naik ke langit,” maka ia tidak tertalak meskipun digantungkan pada syarat yang mustahil. Demikian pula jika ia berkata kepada salah satu dari mereka, “Engkau tertalak secara bid‘ah jika talak bid‘ah itu jatuh atasmu,” maka jika disertai keraguan terhadap mereka, talak tidak jatuh, dan jika disertai keyakinan, maka ada dua pendapat.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لِإِحْدَى هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعِ أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ فِي الْحَالِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ جَمَعَ بَيْنَ صِفَتَيْنِ مُتَضَادَّتَيْنِ يَسْتَحِيلُ اجْتِمَاعُهُمَا فِي النِّسَاءِ عُمُومًا وَانْفِرَادُهُمَا فِي هَؤُلَاءِ خُصُوصًا فَأُلْغِيَتِ الصِّفَتَانِ وَعُجِّلَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ. وَلَوْ قَالَ لِإِحْدَاهُنَّ: أَنْتِ طالق لا لِلسُّنَّةِ وَلَا لِلْبِدْعَةِ طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ وَهِيَ مُنْصَفَةٌ بِهَذَا الْحُكْمِ لِأَنَّهُ لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهَا وَلَا بِدْعَةَ.

Dan jika seseorang berkata kepada salah satu dari empat perempuan tersebut, “Engkau tertalak secara sunah saat ini,” maka karena ia telah menggabungkan dua sifat yang saling bertentangan yang mustahil berkumpul pada perempuan secara umum dan mustahil pula terpisah pada mereka secara khusus, maka kedua sifat itu dianggap batal dan talak langsung jatuh. Dan jika ia berkata kepada salah satu dari mereka, “Engkau tertalak bukan secara sunah dan bukan pula secara bid‘ah,” maka ia tertalak saat itu juga, dan ia mendapatkan hukum ini karena tidak ada sunah dalam talaknya dan tidak pula bid‘ah.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا رَأَتِ الْحَامِلُ دَمًا يُضَارِعُ الْحَيْضَ صِفَةً وَقَدْرًا. فَقَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ أَوْ قَالَ: لِلْبِدْعَةِ. فَهُوَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الدَّمِ عَلَى الْحَمْلِ. هَلْ يَكُونُ حَيْضًا أَمْ لَا؟ فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ، لَا يَكُونُ حَيْضًا وَيَكُونُ دَمَ فَسَاٍدٍ.

Dan jika perempuan hamil melihat darah yang menyerupai darah haid baik dari segi sifat maupun jumlahnya, lalu ia berkata kepadanya, “Engkau tertalak secara sunah,” atau ia berkata, “Secara bid‘ah,” maka hal itu tergantung pada perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang darah pada perempuan hamil, apakah itu dianggap haid atau tidak? Menurut pendapat lama beliau, itu bukan haid, melainkan darah fasad (darah rusak).

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كَطَلَاقِ الْحَامِلِ ذَاتِ النَّقَاءِ، إِنْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ، طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ، سَوَاءٌ كَانَتْ فِي حَالِ الدَّمِ أَوْ فِي وَقْتِ انْقِطَاعِهِ، وَلَمْ يَكُنْ طَلَاقَ سُنَّةٍ. وَإِنْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ لِلْبِدْعَةِ طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ وَلَمْ يَكُنْ طَلَاقَ بدعة.

Maka berdasarkan hal ini, hukumnya sama seperti talak terhadap perempuan hamil yang suci, jika ia berkata kepadanya, “Engkau tertalak secara sunah,” maka ia tertalak saat itu juga, baik ketika sedang keluar darah maupun ketika darahnya telah berhenti, dan talaknya tidak dianggap sebagai talak sunah. Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak secara bid‘ah,” maka ia tertalak saat itu juga dan talaknya tidak dianggap sebagai talak bid‘ah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ دَمَ الْحَامِلِ إِذَا ضَارَعَ الْحَيْضَ فِي الصِّفَةِ وَالْقَدْرِ كَانَ حَيْضًا. فَعَلَى هَذَا إِنْ قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ انْقِطَاعِ حَيْضِهَا طُلِّقَتْ، وَإِنْ كَانَ فِي وَقْتِ حَيْضِهَا فَفِي وُقُوعِ طَلَاقِهَا وَجْهَانِ:

Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadid: bahwa darah wanita hamil jika menyerupai darah haid dalam sifat dan kadarnya, maka itu dihukumi sebagai haid. Berdasarkan hal ini, jika suami berkata kepadanya, “Engkau aku talak sesuai sunnah,” maka dilihat keadaannya: jika setelah darah haidnya terputus, maka talaknya jatuh; namun jika pada waktu ia sedang haid, maka dalam jatuh atau tidaknya talak terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أنها لا تُطَلَّقُ فِيهِ لِكَوْنِهِ حَيْضًا فَصَارَ كَحَيْضِ الْحَائِلِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: bahwa ia tidak ditalak pada waktu itu karena dianggap sebagai haid, sehingga hukumnya sama seperti haid pada wanita yang tidak hamil.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا: أِنَّهَا تُطَلَّقُ فِيهِ بِخِلَافِ حَيْضِ الْحَائِلِ؛ لِأَنَّ الْحَائِلَ تَعْتَدُّ بِالطُّهْرِ دُونَ الْحَيْضِ فَلِذَلِكَ صَارَ طَلَاقُهَا فِي الْحَيْضِ بِدْعَةً.

Pendapat kedua, yaitu pendapat mayoritas ulama mazhab kami: bahwa ia boleh ditalak pada waktu itu, berbeda dengan haid pada wanita yang tidak hamil; karena wanita yang tidak hamil menjalani masa iddah dengan masa suci, bukan dengan haid, sehingga talak pada waktu haid menjadi talak bid‘ah.

وَالْحَامِلُ تَعْتَدُّ بِوَضْعِ الْحَمْلِ دُونَ الطُّهْرِ وَالْحَيْضِ فَلَمْ يَكُنْ طَلَاقُهَا فِي الْحَيْضِ بِدْعَةً، وَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ لَهَا وَهِيَ تَحِيضُ عَلَى الْحَمْلِ أَنْتِ طَالِقٌ لِلْبِدْعَةِ. فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي حَالِ حَيْضِهَا طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ وَإِنْ كَانَ فِي حَالِ طُهْرِهَا فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Sedangkan wanita hamil menjalani masa iddah dengan melahirkan, bukan dengan masa suci atau haid, sehingga talak pada waktu haid tidak menjadi talak bid‘ah. Berdasarkan hal ini, jika suami berkata kepadanya saat ia mengalami haid dalam keadaan hamil, “Engkau aku talak dengan talak bid‘ah,” maka jika itu terjadi saat ia sedang haid, talaknya jatuh saat itu juga; dan jika pada waktu ia suci, maka berlaku dua pendapat yang telah disebutkan:

أَحَدُهُمَا: أِنَّهَا تُطَلَّقُ فِي الْحَالِ إِذَا قِيلَ: إِنَّ طَلَاقَهَا في الحيض ليس ببدعة.

Salah satunya: bahwa talaknya jatuh saat itu juga jika dikatakan bahwa talak pada waktu haid baginya bukanlah talak bid‘ah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أنَّهَا لَا تُطَلَّقُ إِلَّا فِي الْحَيْضِ، إِذَا قِيلَ: إِنَّ طَلَاقَهَا فِي الْحَيْضِ بِدْعَةٌ فَعَلَى هَذَا لَوْ لَمْ تَرَ بَعْدَ طَلَاقِهِ حَيْضًا حَتَّى وَلَدَتْ. طُلِّقَتْ فِي نِفَاسِهَا بَعْدَ الْوِلَادَةِ. لِأَنَّنَا قَدْ أَثْبَتْنَا عَلَى هَذَا الْوَجْهِ حُكْمَ هَذِهِ الصِّفَةِ فَلِذَلِكَ وَجَبَ انْتِظَارُهَا، وَلَكِنْ لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا إِنْ وَطِئَهَا فِي طُهْرِهَا عَلَى الْحَمْلِ لَا يَكُونُ الطَّلَاقُ فِيهِ طَلَاقَ بِدْعَةٍ وَهَذَا يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ طَلَاقُهَا فِي الْحَيْضِ لَا يَكُونُ طَلَاقَ بِدْعَةٍ.

Pendapat kedua: bahwa talaknya tidak jatuh kecuali pada waktu haid, jika dikatakan bahwa talak pada waktu haid baginya adalah talak bid‘ah. Berdasarkan hal ini, jika setelah talak ia tidak melihat haid hingga melahirkan, maka talaknya jatuh pada masa nifas setelah melahirkan. Karena pada pendapat ini telah ditetapkan hukum sifat tersebut, sehingga wajib menunggunya. Namun, para ulama mazhab kami sepakat bahwa jika suami menggaulinya saat ia suci dalam keadaan hamil, maka talak pada waktu itu bukanlah talak bid‘ah. Hal ini menunjukkan bahwa talak pada waktu haid baginya juga bukan talak bid‘ah.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا تَزَوَّجَ حَامِلًا مِنْ زِنًا صَحَّ نِكَاحُهَا عِنْدَنَا، وَجَازَ لَهُ وَطْؤُهَا فِي حَمْلِهَا وَإِنْ خَالَفَنَا فِيهِ مَالِكٌ فَإِنَّ طَلَاقَهَا لِلسُّنَّةِ. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ دَخَلَ بِهَا تَعَجَّلَ طَلَاقَهَا؛ لِأَنَّ غَيْرَ الْمَدْخُولِ بِهَا لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهَا وَلَا بِدْعَةَ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا لَمْ يَتَعَجَّلْ طَلَاقَهَا وَانْتَظَرَ بِهَا أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا وَيَنْقَضِيَ نِفَاسُهَا، فَتُطَلَّقَ فِي أَوَّلِ طُهْرِهَا بَعْدَ النِّفَاسِ، بِخِلَافِ الْحَامِلِ مِنْهُ.

Apabila seseorang menikahi wanita hamil karena zina, maka menurut mazhab kami, pernikahannya sah dan boleh menggaulinya selama masa kehamilannya, meskipun Malik berbeda pendapat dalam hal ini. Maka talaknya sesuai sunnah. Jika belum pernah berhubungan dengannya, boleh segera mentalaknya; karena wanita yang belum digauli tidak ada sunnah maupun bid‘ah dalam talaknya. Namun jika sudah digauli, tidak boleh segera mentalaknya, melainkan menunggu hingga ia melahirkan dan selesai masa nifasnya, lalu ditalak pada awal masa sucinya setelah nifas, berbeda dengan wanita hamil dari suaminya sendiri.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْحَامِلِ مِنْهُ وَبَيْنَ الْحَامِلِ مِنْ زِنًا حَيْثُ لَمْ يَكُنْ فِي طَلَاقِ الْحَامِلِ سُنَّةٌ وَلَا بِدْعَةٌ وَكَانَ فِي طَلَاقِ الْحَامِلِ مِنْ زِنًا سُنَّةٌ وَبِدْعَةٌ لِأَنَّهُ إِذَا طَلَّقَ الْحَامِلَ مِنْهُ اعْتَدَّتْ بِوَضْعِهِ فَارْتَفَعَتِ السُّنَّةُ وَالْبِدْعَةُ فِي طَلَاقِهَا.

Perbedaan antara wanita hamil dari suaminya dan wanita hamil karena zina adalah: pada talak wanita hamil dari suaminya tidak ada sunnah maupun bid‘ah, sedangkan pada talak wanita hamil karena zina terdapat sunnah dan bid‘ah. Karena jika suami menalak wanita hamil darinya, masa iddahnya adalah dengan melahirkan, sehingga tidak berlaku sunnah maupun bid‘ah dalam talaknya.

وَإِذَا طَلَّقَ الْحَامِلَ مِنْ زِنًا لم تعتد من بوضعه واعتد بالأقراء فتثبت السُّنَّةُ وَالْبِدْعَةُ فِي طَلَاقِهَا. فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتْ تَحِيضُ عَلَى الْحَمْلِ، فَإِنْ لَمْ نَجْعَلْهُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ حَيْضًا لَمْ نَعْتَبِرْهُ. وَإِنْ جَعَلْنَاهُ حَيْضًا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ اعْتَبَرْنَاهُ، فَإِذَا طَهُرَتْ مِنْهُ عَلَى الْحَمْلِ طُلِّقَتْ لِلسُّنَّةِ.

Sedangkan jika menalak wanita hamil karena zina, masa iddahnya bukan dengan melahirkan, melainkan dengan masa suci (qurū’), sehingga berlaku sunnah dan bid‘ah dalam talaknya. Berdasarkan hal ini, jika ia mengalami haid saat hamil, maka jika menurut qaul qadim itu bukan haid, maka tidak dianggap. Namun jika menurut qaul jadid itu dianggap haid, maka dihitung, sehingga jika ia telah suci dari haid tersebut dalam keadaan hamil, maka boleh ditalak sesuai sunnah.

وَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ لِلْبِدْعَةِ، وَقَدْ جَامَعَهَا عَلَى حَمْلِهَا، وَقَعَ عَلَيْهَا فِي الْحَالِ طَلَاقُ الْبِدْعَةِ، لِأَنَّ حُكْمَ هَذَا الْحَمْلِ مُلْغًى. وَهُوَ طُهْرٌ قَدْ جُومِعَتْ فِيهِ، فَكَانَ الطَّلَاقُ فِيهِ طَلَاقَ بِدْعَةٍ. وَلَوْ حَاضَتْ عَلَيْهِ بَعْدَ جِمَاعِهِ، وَجَعَلْنَاهُ حَيْضًا، وَطَهُرَتْ مِنْهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا لِلْبِدْعَةِ لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا أَنْ تَحِيضَ عَلَى الْحَمْلِ فَتُطَلَّقَ أَوْ يَطَأَهَا فِي هَذَا الطُّهْرِ فَتُطَلَّقُ، أَوْ تَضَعُ حَمْلَهَا وَتَصِيرُ فِي نِفَاسِهَا فَتُطَلَّقُ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ فِي الْحَيْضِ بِدْعَةٌ، وَفِي طُهْرِ الْجِمَاعِ بِدْعَةٌ، وَفِي النِّفَاسِ بِدْعَةٌ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Berdasarkan hal ini, jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak dengan talak bid‘ah,” padahal ia telah menggaulinya saat istrinya sedang hamil, maka jatuhlah atasnya talak bid‘ah saat itu juga, karena hukum kehamilan ini dianggap tidak berlaku. Dan itu adalah masa suci yang telah digauli di dalamnya, maka talak yang terjadi di dalamnya adalah talak bid‘ah. Jika setelah digauli ia mengalami haid, lalu kita anggap itu sebagai haid, kemudian ia suci dari haid tersebut lalu ditalak dengan talak bid‘ah, maka ia tidak tertalak kecuali jika ia mengalami haid saat hamil lalu ditalak, atau digauli dalam masa suci tersebut lalu ditalak, atau melahirkan kandungannya lalu masuk masa nifas dan ditalak; karena talak saat haid adalah bid‘ah, talak pada masa suci setelah digauli adalah bid‘ah, dan talak pada masa nifas juga bid‘ah. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لِزَوْجَتِهِ وَهِيَ حَامِلٌ مِنْهُ إِذَا وَلَدْتِ وَلَدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ قَبْلَ الْوِلَادَةِ، فَإِذَا وَلَدَتْ لَمْ تُطَلَّقْ حَتَّى يَنْقَضِيَ نِفَاسُهَا، لِأَنَّهُ جَعَلَهُ بِالْوِلَادَةِ وَاقِعًا لِلسُّنَّةِ فَلِذَلِكَ رُوعِيَ انْقِضَاءُ نِفَاسِهَا، فَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بحالها فولدت ولدين طلقت بعد لأول وَقَبْلَ وَضْعِ الثَّانِي، لِأَنَّهَا بِوَضْعِ الْأَوَّلِ قَدْ وُجِدَ شَرْطُ طَلَاقِهَا، وَصَارَتْ مَعَ بَقَاءِ الثَّانِي حَامِلًا، وَالْحَامِلُ إِذَا طُلِّقَتْ لِلسُّنَّةِ وَقَعَ طَلَاقُهَا فِي الْحَالِ، لِأَنَّهُ لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهَا ولا بدعة.

Jika seorang suami berkata kepada istrinya yang sedang hamil darinya: “Jika engkau melahirkan seorang anak, maka engkau tertalak dengan talak sunnah,” maka talak tidak jatuh sebelum kelahiran. Jika ia telah melahirkan, maka ia tidak tertalak hingga masa nifasnya selesai, karena ia menjadikan talak itu jatuh sesuai sunnah setelah kelahiran, maka oleh sebab itu diperhatikan berakhirnya masa nifasnya. Jika kasusnya tetap seperti itu lalu ia melahirkan dua anak, maka ia tertalak setelah melahirkan anak pertama dan sebelum melahirkan anak kedua, karena dengan melahirkan anak pertama telah terpenuhi syarat jatuhnya talak, dan dengan masih adanya anak kedua ia tetap berstatus hamil, dan wanita hamil jika ditalak dengan talak sunnah maka talaknya jatuh saat itu juga, karena tidak ada sunnah maupun bid‘ah dalam talaknya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَإِنْ كَانَتْ تَحِيضُ فَقَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا لِلسُّنَّةِ فَإِنْ كَانَتْ طَاهِرًا مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا مَعًا وَإِنْ كَانَتْ مُجَامَعَةً أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ وَقَعَ عَلَيْهَا الطَّلَاقُ حِينَ تَطْهُرُ مِنَ الْحَيْضِ أَوِ النِّفَاسِ وَحِينَ تَطْهُرُ الْمُجَامَعَةُ مِنْ أَوَّلِ حَيْضٍ بَعْدَ قَوْلِهِ وقبل الغسل وإن قال نويت أن تقع في كل طهر طلقة وقعن معاً في الحكم وعلى ما نوى فيما بينه وبين الله) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang wanita mengalami haid lalu suaminya berkata kepadanya, ‘Engkau tertalak tiga kali dengan talak sunnah,’ maka jika ia dalam keadaan suci dan belum digauli, maka jatuhlah talak tiga sekaligus. Jika ia telah digauli atau sedang haid atau dalam masa nifas, maka talak jatuh padanya ketika ia suci dari haid atau nifas, dan ketika wanita yang telah digauli itu suci dari haid pertama setelah ucapan suami dan sebelum mandi. Jika suami berkata, ‘Aku berniat agar talak jatuh satu kali pada setiap masa suci,’ maka talak jatuh sekaligus dalam hukum, dan sesuai niatnya antara dia dengan Allah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِذَا قَدْ مَضَى طَلَاقُ مَنْ لا سنة في طلاقها، لا بِدْعَةَ، فَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَقْصُورَةٌ عَلَى طَلَاقِ ذَاتِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ مِنْ ذَوَاتِ الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ، وَهُوَ الضَّرْبُ الثَّانِي مِنَ النِّسَاءِ وَهُوَ أَنْ يَجْتَمِعَ فِيهَا مَا قَدَّمْنَا مِنَ الشُّرُوطِ الثَّلَاثَةِ.

Al-Mawardi berkata: Jika telah terjadi talak pada wanita yang tidak ada sunnah maupun bid‘ah dalam talaknya, maka masalah ini hanya terbatas pada talak wanita yang berlaku hukum sunnah dan bid‘ah, yaitu dari kalangan wanita yang mengalami haid dan suci. Ini adalah kelompok kedua dari para wanita, yaitu yang padanya terkumpul tiga syarat yang telah kami sebutkan sebelumnya.

أَنْ تَكُونَ مَدْخُولًا بِهَا، وَأَنْ تَكُونَ حَائِلًا، وَأَنْ تَكُونَ مِنْ ذَوَاتِ الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ.

Yaitu: telah digauli, tidak sedang hamil, dan termasuk wanita yang mengalami haid dan suci.

فَإِذَا قَالَ لِهَذِهِ الَّتِي قَدْ تَكَامَلَ فِيهَا شُرُوطُ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ لَمْ يخل حالها من ثلاثة أقسام:

Jika kepada wanita yang telah sempurna padanya syarat-syarat sunnah dan bid‘ah ini suami berkata, “Engkau tertalak dengan talak sunnah,” maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أحدهما: أَنْ تَكُونَ فِي طُهْرٍ لَمْ تُجَامَعْ فِيهِ، فَيَقَعُ طَلَاقُهَا فِي الْحَالِ؛ لِأَنَّهُ طَلَاقٌ لِلسُّنَّةِ.

Pertama: Ia dalam keadaan suci yang belum digauli, maka talaknya jatuh saat itu juga, karena itu adalah talak sunnah.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ حَائِضًا فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهَا فِي حَالِ الْحَيْضِ فَإِذَا انْقَضَى بَقِيَّةُ حَيْضِهَا طُلِّقَتْ بِدُخُولِهَا فِي أَوَّلِ الطُّهْرِ قَبْلَ الغسل، سوء انْقَطَعَ الْحَيْضُ لِأَقَلِّهِ أَوْ لِأَكْثَرِهِ.

Bagian kedua: Ia sedang haid, maka talak tidak jatuh padanya saat haid. Jika sisa masa haidnya telah selesai, maka ia tertalak dengan masuknya pada awal masa suci sebelum mandi, baik haidnya berhenti pada masa terpendek maupun terpanjang.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنِ انْقَطَعَ حَيْضُهَا لِأَكْثَرِهِ طُلِّقَتْ قَبْلَ الْغُسْلِ، وَإِنِ انْقَطَعَ حَيْضُهَا لِأَقَلِّهِ لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا بَعْدَ الْغُسْلِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ مَا وَقَعَ فِيهِ طَلَاقُ السُّنَّةِ بَعْدَ الْغُسْلِ وَقَعَ فِيهِ طَلَاقُ السُّنَّةِ قَبْلَ الْغُسْلِ قِيَاسًا عَلَى أَكْثَرِ الْحَيْضِ. وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَتْ نُفَسَاءَ لَمْ تُطَلَّقْ فِي نِفَاسِهَا، لِأَنَّ النِّفَاسَ فِي حُكْمِ الْحَيْضِ.

Abu Hanifah berkata: Jika haidnya berhenti pada masa terpanjang, maka ia tertalak sebelum mandi. Jika haidnya berhenti pada masa terpendek, maka ia tidak tertalak kecuali setelah mandi. Ini adalah kekeliruan, karena talak sunnah yang jatuh setelah mandi juga jatuh sebelum mandi, berdasarkan qiyās pada masa haid terpanjang. Demikian pula jika ia dalam masa nifas, maka ia tidak tertalak dalam masa nifasnya, karena nifas dalam hukum seperti haid.

فَإِذَا طَهُرَتْ مِنْهُ طُلِّقَتْ قَبْلَ الْغُسْلِ مِثْلَ الْحَيْضِ.

Jika ia telah suci dari nifas, maka ia tertalak sebelum mandi seperti halnya haid.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ فِي طُهْرٍ قَدْ جَامَعَهَا فِيهِ فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهَا فِي الْحَالِ؛ لِأَنَّهَا مِنْ غَيْرِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي الطَّلَاقِ، فَإِذَا انْقَضَى بَقِيَّةُ طُهْرِهَا الَّذِي جَامَعَهَا فِيهِ وَحَاضَتْ بَعْدَهُ حَيْضَةً كَامِلَةً وَدَخَلَتْ فِي أَوَّلِ الطُّهْرِ الثَّانِي طُلِّقَتْ، لِأَنَّهُ حِينَئِذٍ طَلَاقُ السُّنَّةِ إِلَّا أَنْ يُجَامِعَهَا فِي آخِرِ الْحَيْضِ وَأَوَّلِ الطُّهْرِ فَلَا تُطَلَّقُ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ بَدَأَهَا وَهِيَ مُجَامَعَةٌ وَصَارَ طُهْرًا جَامَعَهَا فِيهِ لَا يَقَعُ فِيهِ طَلَاقُ السُّنَّةِ، وَهَكَذَا لَوْ فَعَلَ ذَلِكَ مَعَ أَوَّلِ كُلِّ طُهْرٍ لَمْ تُطَلَّقْ.

Bagian ketiga: Yaitu ketika seorang istri berada dalam masa suci yang di dalamnya suaminya telah menggaulinya, maka tidak boleh menjatuhkan talak kepadanya saat itu; karena ia bukan termasuk orang yang berhak mendapatkan talak sesuai sunnah. Apabila sisa masa sucinya yang di dalamnya ia telah digauli telah berlalu, lalu ia mengalami satu kali haid secara sempurna, dan kemudian memasuki awal masa suci yang kedua, maka barulah ia boleh ditalak, karena saat itu merupakan waktu talak sesuai sunnah, kecuali jika suaminya menggaulinya pada akhir masa haid dan awal masa suci, maka ia tidak boleh ditalak pada waktu itu; karena ia memulai masa sucinya dalam keadaan telah digauli, sehingga masa suci tersebut menjadi masa suci yang di dalamnya ia telah digauli, dan tidak berlaku talak sesuai sunnah di dalamnya. Demikian pula, jika hal itu dilakukan pada awal setiap masa suci, maka ia tidak boleh ditalak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ لِلْبِدْعَةِ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنَ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ:

Dan apabila suami berkata kepada istrinya: “Engkau ditalak karena bid‘ah,” maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ حَائِضًا فَتُطَلَّقَ فِي الْحَالِ، لِأَنَّ الْحَيْضَ زَمَانُ الْبِدْعَةِ وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَتْ نُفَسَاءَ طُلِّقَتْ؛ لِأَنَّ النِّفَاسَ كَالْحَيْضِ.

Pertama: Jika ia sedang haid, maka ia ditalak saat itu juga, karena haid adalah waktu terjadinya talak bid‘ah. Demikian pula jika ia sedang nifas, maka ia ditalak, karena nifas sama hukumnya dengan haid.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ فِي طُهْرٍ جَامَعَهَا فِيهِ فَتُطَلَّقَ، لِأَنَّ طُهْرَ الْمُجَامَعَةِ زَمَانُ الْبِدْعَةِ وَسَوَاءٌ أَنْزَلَ مِنْ جِمَاعِهِ أَوْ لَمْ يُنْزِلْ إِذَا الْتَقَى خِتَانَاهُمَا؛ لِأَنَّهُ حُكْمٌ يَسْتَقِرُّ بِهِ الدُّخُولُ وَيَكْمُلُ بِهِ الْمَهْرُ وَتَجِبُ بِهِ الْعِدَّةُ.

Bagian kedua: Jika ia berada dalam masa suci yang di dalamnya ia telah digauli, maka ia ditalak, karena masa suci setelah berhubungan adalah waktu terjadinya talak bid‘ah, baik suaminya mengeluarkan mani saat berhubungan atau tidak, selama telah terjadi pertemuan dua kemaluan; karena hal itu sudah dianggap sebagai hubungan suami istri yang sah, mahar menjadi sempurna, dan masa iddah menjadi wajib.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ فِي طُهْرٍ لَمْ يُجَامِعْهَا فِيهِ فَلَا طَلَاقَ حَتَّى تَحِيضَ فَتُطَلَّقَ، لِأَنَّ الْحَيْضَ زَمَانُ الْبِدْعَةِ، أَوْ يُجَامِعُهَا فِي ذَلِكَ الطُّهْرِ فَتُطَلَّقُ؛ لِأَنَّ طُهْرَ الْمُجَامَعَةِ زَمَانٌ لِطَلَاقِ الْبِدْعَةِ ثُمَّ يُعْتَبَرُ حَالُ جِمَاعِهِ فِيهِ، فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Bagian ketiga: Jika ia berada dalam masa suci yang di dalamnya ia belum digauli, maka tidak boleh ditalak sampai ia mengalami haid, lalu ia ditalak, karena haid adalah waktu terjadinya talak bid‘ah. Atau, jika suaminya menggaulinya dalam masa suci tersebut, maka ia ditalak, karena masa suci setelah berhubungan adalah waktu terjadinya talak bid‘ah. Kemudian, keadaan hubungan suami istri pada masa itu diperhatikan, yang mana tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ حِينَ أَوْلَجَ ذَكَرَهُ نَزَعَ وَأَقْلَعَ فَقَدْ طُلِّقَتْ بِالْإِيلَاجِ وَلَمْ يَلْزَمْهُ بَعْدَ وُقُوعِ الطَّلَاقِ مَهْرًا بِالْإِخْرَاجِ؛ لِأَنَّهُ تَرَكَ.

Pertama: Jika ketika suami memasukkan kemaluannya, ia langsung mencabut dan berhenti, maka istrinya telah ditalak dengan perbuatan memasukkan tersebut dan tidak wajib baginya membayar mahar setelah terjadinya talak karena ia telah meninggalkannya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ نَزَعَ بَعْدَ إِيلَاجِهِ ثُمَّ اسْتَأْنَفَ الْإِيلَاجَ بَعْدَهُ، فَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا بِالْإِيلَاجِ الثَّانِي؛ لِأَنَّهَا طُلِّقَتْ بِالْإِيلَاجِ الْأَوَّلِ فَصَارَ مُسْتَأْنِفًا لِلْإِيلَاجِ الثَّانِي بَعْدَ طَلَاقٍ رَجْعِيٍّ فَلَزِمَهُ فِيهِ مَهْرُ الْمِثْلِ.

Bagian kedua: Jika ia mencabut setelah memasukkan, lalu mengulangi memasukkan kembali, maka ia wajib membayar mahar yang sepadan pada hubungan kedua; karena istrinya telah ditalak pada hubungan pertama, sehingga hubungan kedua terjadi setelah talak raj‘i, dan wajib baginya mahar yang sepadan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ حِينَ أَوْلَجَ اسْتَدَامَ الْإِيلَاجَ وَلَمْ يَنْزَعْ حَتَّى أَنْهَى جِمَاعَهُ فَفِي وُجُوبِ مَهْرِ الْمِثْلِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: Jika ketika memasukkan, ia terus melanjutkan hubungan dan tidak mencabut hingga selesai berhubungan, maka dalam hal kewajiban membayar mahar yang sepadan terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا مَهْرَ عَلَيْهِ اعْتِبَارًا بِأَوَّلِهِ فَإِنَّهُ كَانَ وَهِيَ زَوْجَةٌ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي عَلَيْهِ مَهْرُ الْمِثْلِ اعْتِبَارًا بِآخِرِهِ؛ لِأَنَّهُ كَانَ وَهِيَ مُطَلَّقَةٌ.

Pertama: Tidak wajib membayar mahar, karena dilihat dari awalnya, saat itu ia masih berstatus istri. Pendapat kedua, wajib membayar mahar yang sepadan, karena dilihat dari akhirnya, saat itu ia sudah berstatus sebagai perempuan yang ditalak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَدْ مَضَى مَا يقع به الطلاق السُّنَّةُ فِي زَمَانِهِ. وَمَا يَقَعُ بِهِ طَلَاقُ الْبِدْعَةِ فِي زَمَانِهِ. فَقَدِ اسْتَقَرَّ لَكَ زَمَانُ الطَّلَاقَيْنِ فَاعْتَبِرْهُمَا فِيمَا تَفَرَّعَ مِنْهُمَا.

Apabila telah berlalu waktu yang di dalamnya terjadi talak sesuai sunnah pada waktunya, dan talak bid‘ah pada waktunya, maka telah tetap bagimu waktu kedua jenis talak tersebut, maka perhatikanlah keduanya dalam cabang-cabang hukumnya.

فَإِنْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ لَا لِلسُّنَّةِ كَانَتْ طَالِقًا لِلْبِدْعَةِ، لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَخْلُ هَذَا الطَّلَاقُ مِنْ هَاتَيْنِ الصِّفَتَيْنِ كَانَ نَفْيُ إِحْدَاهُمَا إِثْبَاتًا لِلْأُخْرَى.

Jika suami berkata: “Engkau ditalak, bukan karena sunnah,” maka ia ditalak karena bid‘ah, karena jika talak ini tidak lepas dari dua sifat tersebut, maka menafikan salah satunya berarti menetapkan yang lainnya.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ لَا لِلْبِدْعَةِ، كانت طالقاً للسنة؛ لأن نَفْيِ الْبِدْعَةِ إِثْبَاتًا لِضِدِّهَا وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ أَوِ الْبِدْعَةِ. رَجَعَ إِلَى خِيَارِهِ لِيُوقِعَ مَا شَاءَ مِنْ طَلَاقِ السُّنَّةِ أَوِ الْبِدْعَةِ؛ لِأَنَّ لَفْظَةَ أَوْ مَوْضُوعَةٌ لِلتَّخْيِيرِ.

Demikian pula jika ia berkata: “Engkau ditalak, bukan karena bid‘ah,” maka ia ditalak karena sunnah; karena menafikan bid‘ah berarti menetapkan lawannya. Dan jika ia berkata: “Engkau ditalak karena sunnah atau bid‘ah,” maka kembali kepada pilihannya untuk menjatuhkan talak sesuai sunnah atau bid‘ah, karena kata “atau” digunakan untuk pilihan.

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ لِتَعَارُضِ الصِّفَتَيْنِ وَتَنَافِي اجْتِمَاعِهِمَا فَأُلْغِيَتَا: ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الْحَالِ: فَإِنْ كَانَ زَمَانَ الْبِدْعَةِ كَانَ طَلَاقَ بِدْعَةٍ، وَإِنْ كَانَ زَمَانَ السُّنَّةِ كَانَ طَلَاقَ سُنَّةٍ، وَهَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ لَا لِلسُّنَّةِ وَلَا لِلْبِدْعَةِ طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ، لِأَنَّهُ قَدْ جَمَعَ فِي النَّفْيِ بَيْنَ صِفَتَيْنِ لَا بُدَّ مِنْ وُجُودِ إِحْدَاهَا فَسَقَطَ حُكْمُ نَفْيِهِ وَتَعَجَّلَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ فَإِنْ كَانَ زَمَانَ السُّنَّةِ كَانَ طَلَاقَ سُنَّةٍ، وَإِنْ كَانَ زَمَانَ الْبِدْعَةِ كَانَ طَلَاقَ بِدْعَةٍ.

Jika seseorang berkata: “Engkau aku talak karena sunnah dan bid‘ah,” maka talak jatuh seketika itu juga karena adanya pertentangan antara dua sifat tersebut dan tidak mungkin keduanya berkumpul, sehingga keduanya dianggap tidak berlaku. Kemudian dilihat pada keadaan saat itu: jika waktunya adalah waktu bid‘ah, maka talaknya adalah talak bid‘ah; dan jika waktunya adalah waktu sunnah, maka talaknya adalah talak sunnah. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau aku talak bukan karena sunnah dan bukan karena bid‘ah,” maka talak jatuh seketika itu juga, karena ia telah menafikan dua sifat yang salah satunya pasti ada, sehingga penafian itu tidak dianggap dan talak langsung terjadi. Jika waktunya adalah waktu sunnah, maka talaknya adalah talak sunnah; dan jika waktunya adalah waktu bid‘ah, maka talaknya adalah talak bid‘ah.

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي السُّنَّةِ وَأَنْتِ طَالِقٌ بِالسُّنَّةِ كَانَ كَقَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ، فَيَقَعُ عَلَيْهَا طَلَاقَ السُّنَّةِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ بِالْبِدْعَةِ أَوْ أَنْتِ طَالِقٌ فِي الْبِدْعَةِ كَانَ كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ لِلْبِدْعَةِ فَيَقَعُ عَلَيْهَا طَلَاقُ الْبِدْعَةِ. وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ طَلَاقَ الْحَرَجِ فَقَدْ حَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ طَلَاقُ الثَّلَاثِ. وَلَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ فِيهِ نَصٌّ، لَكِنْ قِيَاسُ مَذْهَبِهِ أَنْ يَكُونَ طَلَاقَ بِدْعَةٍ. فَيَقَعُ عَلَيْهَا طَلَاقُ الْبِدْعَةِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ لِلسَّاعَةِ وَقَعَ عَلَيْهَا طَلَاقُ السُّنَّةِ.

Jika seseorang berkata: “Engkau aku talak pada waktu sunnah” atau “Engkau aku talak dengan cara sunnah,” maka hukumnya sama seperti ia berkata: “Engkau aku talak karena sunnah,” sehingga jatuh padanya talak sunnah. Jika ia berkata: “Engkau aku talak dengan cara bid‘ah” atau “Engkau aku talak pada waktu bid‘ah,” maka hukumnya sama seperti ia berkata: “Engkau aku talak karena bid‘ah,” sehingga jatuh padanya talak bid‘ah. Jika ia berkata: “Engkau aku talak talak haraj (talak yang memberatkan),” Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra. bahwa itu adalah talak tiga. Tidak ada nash dari Imam asy-Syafi‘i tentang hal ini, namun menurut qiyās mazhabnya, itu dianggap sebagai talak bid‘ah, sehingga jatuh padanya talak bid‘ah. Jika ia berkata: “Engkau aku talak saat ini juga,” maka jatuh padanya talak sunnah.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ طَلْقَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا لِلسُّنَّةِ وَالْأُخْرَى لِلْبِدْعَةِ، وَقَعَتْ إِحْدَى الطَّلْقَتَيْنِ فِي الْحَالِ، لِأَنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ تَكُونَ حَالَ سُنَّةٍ أَوْ بِدْعَةٍ. فإن كانت حال سنية كَانَتِ الْأُولَى سُنِّيَّةً فَوَقَعَتِ الثَّانِيَةُ فِي زَمَانِ الْبِدْعَةِ، وَإِنْ كَانَتْ حَالَ بِدْعَةٍ كَانَتِ الْأُولَى بِدْعِيَّةً فَوَقَعَتِ الثَّانِيَةُ فِي زَمَانِ السُّنَّةِ.

Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau aku talak dua kali, salah satunya karena sunnah dan yang lainnya karena bid‘ah,” maka salah satu dari dua talak itu jatuh seketika, karena tidak mungkin lepas dari keadaan sunnah atau bid‘ah. Jika keadaannya adalah keadaan sunnah, maka talak pertama adalah talak sunnah dan talak kedua jatuh pada waktu bid‘ah. Jika keadaannya adalah keadaan bid‘ah, maka talak pertama adalah talak bid‘ah dan talak kedua jatuh pada waktu sunnah.

وَلَوْ قَالَ؛ أَنْتِ طَالِقٌ طَلْقَتَانِ لِلسُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ احْتَمَلَ وَجْهَيْنِ:

Jika seseorang berkata: “Engkau aku talak dua kali karena sunnah dan bid‘ah,” maka ada dua kemungkinan pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُجْعَلَ إِحْدَاهُمَا لِلسُّنَّةِ وَالْأُخْرَى لِلْبِدْعَةِ إِثْبَاتًا لِحُكْمِ الصِّفَتَيْنِ، لِأَنَّهُ إِذَا أَمْكَنَ اجْتِمَاعُهُمَا لَمْ يَسْقُطَا.

Pertama: Salah satunya dijadikan karena sunnah dan yang lainnya karena bid‘ah, untuk menetapkan hukum kedua sifat tersebut, karena jika memungkinkan keduanya berkumpul maka keduanya tidak gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ تُلْغَى الصِّفَتَانِ وَيُعَجَّلَ إِيقَاعُ الطَّلْقَتَيْنِ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنَ الصِّفَتَيْنِ عَوْدُهُمَا إِلَى جَمِيعِ الطَّلْقَتَيْنِ، فَلَمْ يجز أن يفيد الْمُطْلَقُ كَمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُطْلَقَ الْمُقَيَّدُ.

Pendapat kedua: Kedua sifat itu diabaikan dan kedua talak dijatuhkan sekaligus, karena yang tampak dari kedua sifat itu adalah kembali kepada kedua talak secara keseluruhan, sehingga tidak boleh yang mutlak memberi faedah sebagaimana tidak boleh yang muqayyad (terikat) memberi faedah.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا لِلسُّنَّةِ فَهِيَ مَسْطُورُ الْمَسْأَلَةِ فَتَقَعُ الثَّلَاثُ مَعًا فِي زَمَانِ السُّنَّةِ وَلَا يَتَفَرَّقْنَ فِي ثَلَاثَةِ أَطْهَارٍ؛ لِأَنَّ السُّنَّةَ وَالْبِدْعَةَ عِنْدَنَا فِي زَمَانِ الطَّلَاقِ لَا فِي عَدَدِهِ.

Jika seseorang berkata: “Engkau aku talak tiga kali karena sunnah,” maka ini adalah permasalahan yang telah tercatat, sehingga ketiga talak jatuh sekaligus pada waktu sunnah dan tidak dipisah dalam tiga masa suci, karena menurut kami, sunnah dan bid‘ah itu berkaitan dengan waktu talak, bukan pada jumlahnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ: يَتَفَرُّقُ الثَّلَاثُ فِي ثَلَاثَةِ أَطْهَارٍ، وَلَا يَقَعْنَ فِي طُهْرٍ وَاحِدٍ، لِأَنَّ السُّنَّةَ وَالْبِدْعَةَ عِنْدَهُمَا فِي الطَّلَاقِ وَفِي عَدَدِهِ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُمَا) .

Abu Hanifah dan Malik berkata: Ketiga talak itu dipisah dalam tiga masa suci dan tidak boleh jatuh dalam satu masa suci, karena menurut mereka, sunnah dan bid‘ah itu berkaitan dengan talak dan juga jumlahnya. Penjelasan tentang hal ini telah disebutkan sebelumnya bersama mereka.

فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: أَرَدْتُ أَنْ يَتَفَرَّقْنَ فِي ثَلَاثَةِ أَطْهَارٍ فَيَقَعُ فِي كُلِّ طُهْرٍ وَاحِدَةٌ لِقَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ، فَهَذَا مُحْتَمَلٌ وَهُوَ مُخَالِفٌ لِلظَّاهِرِ، فَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ وَيُقْبَلُ مِنْهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى، فَيَدِينُ فِيهِ فَلَا يَقَعُ فِي بَاطِنِ الْحُكْمِ إِلَّا عَلَى مَا نَوَى، وَإِنْ وَقَعَ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ مُعَجَّلًا، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ: أَرَدْتُ لِلسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانَتِ الْحَالُ وَقْتًا لِطَلَاقِ السُّنَّةِ طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ ثَلَاثًا لِلسُّنَّةِ. فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ وَبَاطِنِهِ، وَإِنْ كَانَتِ الْحَالُ وَقْتًا لِطَلَاقِ الْبِدْعَةِ. فَقَدْ ذَكَرَ مُحْتَمَلًا يُخَالِفُ ظَاهِرَ الْإِطْلَاقِ، فَيَقَعُ الطَّلَاقُ مُعَجَّلًا فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ اعْتِبَارًا بِظَاهِرِ الطَّلَاقِ، وَلَا يَقَعُ فِي بَاطِنِ الْحُكْمِ وَفِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى إِلَّا عَلَى مَا نَوَى مِنْ طَلَاقِ السُّنَّةِ إِذَا جَاءَ زَمَانُ السُّنَّةِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا لِلسُّنَّةِ ثُمَّ قَالَ سَبَقَ لِسَانِي بِقَوْلِ السُّنَّةِ وَإِنَّمَا أَرَدْتُ طَلَاقَ الثَّلَاثِ عَلَى الإطلاق قبل منه وقع الطَّلَاقُ الثَّلَاثُ سَوَاءٌ كَانَ لِلسُّنَّةِ أَوْ لِلْبِدْعَةِ، لِأَنَّهُ وَإِنْ خَالَفَ ظَاهِرَ لَفْظِهِ فَهُوَ أَغْلَظُ عليه وأضربه. وَمَنْ يُبَيِّنُ الْأَخَفَّ بِالْأَغْلَظِ قُبِلَ مِنْهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَمَنْ بَيَّنَ الْأَغْلَظَ بِالْأَخَفِّ لَمْ يُقْبَلْ منه الظَّاهِرِ. وَإِنْ قُبِلَ مِنْهُ فِي الْبَاطِنِ إِذَا كان محتملاً.

Berdasarkan hal ini, jika seseorang berkata: “Aku bermaksud agar talak itu terpisah dalam tiga masa suci, sehingga jatuh satu talak pada setiap masa suci,” menurut pendapat Abu Hanifah dan Malik, maka hal ini mungkin saja terjadi, namun bertentangan dengan makna lahiriah, sehingga tidak diterima secara lahiriah dalam hukum, tetapi diterima antara dia dengan Allah Ta‘ala, sehingga ia bertanggung jawab atas niatnya itu dan talak tidak jatuh secara batin kecuali sesuai dengan apa yang diniatkannya, meskipun secara lahiriah talak itu jatuh secara langsung. Demikian pula jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak tiga,” lalu ia berkata: “Aku bermaksud sesuai sunnah,” maka jika kondisinya saat itu memungkinkan untuk talak sesuai sunnah, maka jatuhlah talak tiga saat itu juga sesuai sunnah, baik secara lahiriah maupun batin. Namun jika kondisinya saat itu adalah waktu talak bid‘ah, maka ia telah menyebutkan kemungkinan yang bertentangan dengan makna lahiriah lafaz, sehingga talak jatuh secara langsung secara lahiriah dengan mempertimbangkan makna lahiriah talak, dan tidak jatuh secara batin maupun antara dia dengan Allah Ta‘ala kecuali sesuai dengan niat talak sunnah jika telah tiba waktunya. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga untuk sunnah,” lalu ia berkata: “Lisanku telah mendahului dengan menyebut sunnah, padahal aku hanya bermaksud talak tiga secara mutlak,” maka ucapan itu diterima darinya dan jatuhlah talak tiga, baik untuk sunnah maupun bid‘ah, karena meskipun bertentangan dengan makna lahiriah ucapannya, hal itu lebih berat baginya dan lebih keras. Barang siapa menjelaskan yang lebih ringan dengan yang lebih berat, maka diterima darinya baik secara lahir maupun batin, dan barang siapa menjelaskan yang lebih berat dengan yang lebih ringan, maka tidak diterima secara lahiriah, meskipun bisa diterima secara batin jika memang memungkinkan.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ كَانَ قَالَ فِي كُلِّ قُرْءٍ وَاحِدَةٌ فَإِنْ كَانَتْ طَاهِرًا حُبْلَى وَقَعَتِ الْأُولَى وَلَمْ تَقَعِ الثِّنْتَانِ إِنْ كَانَتْ تَحِيضُ عَلَى الْحَبَلِ أو لا تحيض حَتَّى تَلِدَ ثُمَّ تَطْهُرَ فَإِنْ لَمْ يَحْدُثْ لَهَا رَجْعَةٌ حَتَّى تَلِدَ بَانَتْ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَلَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا غَيْرُ الْأُولَى) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Pada setiap quru‘ (masa suci/haid) satu talak,’ maka jika istrinya dalam keadaan suci dan hamil, jatuhlah talak pertama dan tidak jatuh dua talak sisanya, baik ia mengalami haid saat hamil atau tidak mengalami haid hingga melahirkan lalu suci kembali. Jika tidak terjadi rujuk hingga ia melahirkan, maka ia menjadi terpisah dengan habisnya masa iddah dan tidak terkena selain talak pertama.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا فِي كُلِّ قُرْءٍ وَاحِدَةٌ فَقَدْ صَرَّحَ بِتَفْرِيقِ الثَّلَاثِ فِي ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، فَلَا يَقَعْنَ إِلَّا هَكَذَا، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَرْأَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ. إِمَّا أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ، أَوْ لَا تَكُونُ مِنْهُنَّ. فَإِنْ كَانَتْ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ حَائِضًا أَوْ طَاهِرًا، فَإِنْ كَانَتْ حَائِضًا لَمْ تُطَلَّقْ فِي حَالِ حَيْضِهَا حَتَّى إِذَا طَهُرَتْ طُلِّقَتْ فِي أَوَّلِ طُهْرِهَا؛ لِأَنَّهُ أَوَّلُ زَمَانِ السُّنَّةِ. فَإِذَا حَاضَتِ الْحَيْضَةَ الثَّانِيَةَ وَدَخَلَتْ فِي أَوَّلِ الطُّهْرِ الثَّانِي طُلِّقَتْ طَلْقَةً ثَانِيَةً، سَوَاءٌ رَاجَعَ بَعْدَ الْأُولَى أَوْ لَمْ يُرَاجِعْ. فَإِذَا حَاضَتِ الْحَيْضَةَ الثَّالِثَةَ وَدَخَلَتْ فِي أَوَّلِ الطُّهْرِ الثَّالِثِ، طُلِّقَتْ طَلْقَةً ثَالِثَةً، سَوَاءٌ رَاجَعَ بَعْدَ الثَّانِيَةِ أَوْ لَمْ يُرَاجِعْ.

Al-Mawardi berkata: “Konteksnya adalah seorang laki-laki berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak tiga, pada setiap quru‘ satu talak.’ Maka ia telah secara tegas memisahkan tiga talak dalam tiga quru‘, sehingga talak itu tidak jatuh kecuali dengan cara demikian. Jika demikian, maka keadaan perempuan tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, ia termasuk perempuan yang mengalami haid dan suci (ahli sunnah dan bid‘ah), atau bukan termasuk keduanya. Jika ia termasuk perempuan yang mengalami haid dan suci, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: sedang haid atau suci. Jika ia sedang haid, maka tidak dijatuhkan talak saat haidnya, hingga ketika ia suci, dijatuhkan talak pada awal masa sucinya, karena itu adalah awal waktu talak sunnah. Jika ia mengalami haid kedua dan masuk pada awal masa suci kedua, dijatuhkan talak kedua, baik suaminya merujuk setelah talak pertama atau tidak. Jika ia mengalami haid ketiga dan masuk pada awal masa suci ketiga, dijatuhkan talak ketiga, baik suaminya merujuk setelah talak kedua atau tidak.”

فَأَمَّا الْعِدَّةُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ رَاجَعَهَا بَنَتْ عَلَى عِدَّةِ الطَّلْقَةِ الْأُولَى، فَإِذَا انْقَضَى الطُّهْرُ الثَّالِثُ بِدُخُولِ الْحَيْضَةِ الرَّابِعَةِ فَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا وَحَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ، وَإِنْ رَاجَعَهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ بعد الرجعة من أن يطأها فَإِنْ وَطِئَهَا اسْتَأْنَفَتِ الْعِدَّةَ بَعْدَ الطَّلْقَةِ الثَّالِثَةِ الَّتِي بَعْدَ رَجْعَتِهِ وَوَطْئِهِ وَيَكُونُ ذَلِكَ الطُّهْرُ الَّذِي وَقَعَتْ فِيهِ الطَّلْقَةُ الثَّالِثَةُ قُرْءًا وَاحِدًا فتأتي بعده بقرأين، وَإِنْ لَمْ يَطَأْهَا بَعْدَ رَجْعَتِهِ، فَهَلْ تَبْنِي عَلَى الْعِدَّةِ أَوْ تَسْتَأْنِفُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun mengenai iddah, jika suaminya tidak merujuk, maka iddahnya tetap berdasarkan talak pertama. Ketika masa suci ketiga berakhir dengan masuknya haid keempat, maka iddahnya telah selesai dan ia halal untuk dinikahi laki-laki lain. Jika suaminya merujuk, maka setelah rujuk keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia digauli atau tidak. Jika digauli, maka ia memulai iddah baru setelah talak ketiga yang terjadi setelah rujuk dan jima‘, dan masa suci yang terjadi padanya talak ketiga dihitung satu quru‘, lalu setelah itu ia menjalani dua quru‘ lagi. Jika tidak digauli setelah rujuk, maka ada dua pendapat: apakah ia melanjutkan iddah sebelumnya atau memulai iddah baru.

أَحَدُهُمَا: أِنَّهَا تَبْنِي عَلَى عِدَّةِ الطَّلْقَةِ الْأُولَى، لِأَنَّ الرجعة قد بطلت بما تعقبهما مِنَ الطَّلَاقِ.

Salah satu pendapat: ia (perempuan) melanjutkan masa iddah berdasarkan iddah talak pertama, karena hak rujuk telah gugur dengan adanya talak yang mengikutinya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أِنَّهَا تَسْتَأْنِفُ الْعِدَّةَ مِنَ الطَّلْقَةِ الثَّالِثَةِ؛ لِأَنَّ الرَّجْعَةَ قَدْ أَبْطَلَتْ مَا تَقَدَّمَهَا مِنَ الطَّلَاقِ.

Pendapat kedua: ia memulai masa iddah dari talak ketiga, karena rujuk telah membatalkan talak-talak sebelumnya.

فَأَمَّا إِذَا كَانَتْ عِنْدَ الطَّلَاقِ طَاهِرًا طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ وَاحِدَةً، لِأَنَّ بَقِيَّةَ هَذَا الطُّهْرِ قُرْءٌ. وَسَوَاءٌ كَانَ قَدْ وَطِئَهَا فِي هَذَا الطُّهْرِ أَمْ لَا، لِأَنَّ طُهْرَ الْجِمَاعِ قُرْءٌ يَقَعُ بِهِ الِاعْتِدَادُ كَمَا تَعْتَدُّ بِطُهْرٍ لَيْسَ فِيهِ جِمَاعٌ. إِلَّا أَنَّ الطَّلْقَةَ فِي طُهْرِ الْجِمَاعِ تَكُونُ بِدْعِيَّةً.

Adapun jika saat talak dijatuhkan ia dalam keadaan suci, maka ia ditalak dalam satu waktu, karena sisa masa suci tersebut dihitung satu quru’. Baik suaminya telah menggaulinya dalam masa suci itu atau tidak, karena masa suci setelah jima‘ juga dihitung satu quru’ yang dapat dijadikan dasar perhitungan iddah, sebagaimana masa suci yang tidak ada jima‘ di dalamnya. Hanya saja talak yang dijatuhkan dalam masa suci setelah jima‘ disebut talak bid‘ah.

وَفِي طُهْرِ غَيْرِ الْجِمَاعِ تَكُونُ سُنِّيَّةً، وَهُوَ إِنَّمَا عَلَّقَ الطَّلَاقَ بِالْقُرْءِ لَا بِالسُّنَّةِ فَلِذَلِكَ رُوعِيَ مَا يَكُونُ قُرْءًا وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الطَّلَاقُ فِيهِ لِلسُّنَّةِ، فَإِذَا وَقَعَتِ الطَّلْقَةُ الْأُولَى فِي الطُّهْرِ الْأَوَّلِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ جِمَاعُهَا إِنْ لَمْ يُرَاجِعْهَا وَإِنْ رَاجَعَهَا فِيهِ حَلَّ له جماعها فهي بَقِيَّةِ طُهْرِهَا فَإِذَا حَاضَتْ حَرُمَ عَلَيْهِ جِمَاعُهَا فِي الْحَيْضِ، فَإِذَا دَخَلَتْ فِي أَوَّلِ الطُّهْرِ الثَّانِي طَلْقَةٌ ثَانِيَةٌ وَحَرُمَ عَلَيْهِ جِمَاعُهَا فِيهِ إِنْ لَمْ يُرَاجِعْهَا، وَإِنْ رَاجَعَهَا فِيهِ حَلَّ لَهُ جِمَاعُهَا فِي بَقِيَّتِهِ فَإِذَا حَاضَتِ الْحَيْضَةَ الثَّانِيَةَ، حَرُمَ عَلَيْهِ جِمَاعُهَا فِي حَيْضِهَا، فَإِذَا دَخَلَتْ فِي الطُّهْرِ الثَّانِي طُلِّقَتْ ثَالِثَةً وَحَرُمَتْ عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ.

Sedangkan talak yang dijatuhkan dalam masa suci tanpa jima‘ disebut talak sunnah. Hukum talak dikaitkan dengan quru’, bukan dengan sunnah, sehingga yang diperhatikan adalah apa yang menjadi quru’ meskipun talak tersebut bukan talak sunnah. Jika talak pertama dijatuhkan pada masa suci pertama, maka suaminya tidak boleh menggaulinya kecuali jika ia merujuknya. Jika ia merujuknya pada masa itu, maka halal baginya untuk menggaulinya selama sisa masa sucinya. Jika ia haid, maka haram baginya menggaulinya selama haid. Jika ia memasuki awal masa suci kedua, lalu dijatuhkan talak kedua, maka haram baginya menggaulinya kecuali jika ia merujuknya. Jika ia merujuknya pada masa itu, maka halal baginya menggaulinya selama sisa masa sucinya. Jika ia mengalami haid kedua, maka haram baginya menggaulinya selama haid. Jika ia memasuki masa suci kedua, lalu dijatuhkan talak ketiga, maka ia menjadi haram baginya hingga menikah dengan laki-laki lain.

فَأَمَّا الْعِدَّةُ فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا. فَإِنْ لَمْ تُرَاجَعْ بَنَتْ عَلَى عِدَّةِ الطَّلْقَةِ الْأُولَى وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِانْقِضَاءِ الطُّهْرِ الثَّالِثِ. وَإِنْ رَاجَعَهَا فَإِنْ جَامَعَهَا بَعْدَ الرَّجْعَةِ اسْتَأْنَفَ الْعِدَّةَ مِنْ وَقْتِ الطَّلْقَةِ الثَّالِثَةِ، وَإِنْ لَمْ يُجَامِعْهَا فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ:

Adapun mengenai iddah, maka sebagaimana yang telah kami sebutkan. Jika tidak dirujuk, maka ia melanjutkan masa iddah berdasarkan iddah talak pertama, dan iddahnya selesai dengan berakhirnya masa suci ketiga. Jika ia dirujuk, lalu digauli setelah rujuk, maka ia memulai masa iddah dari waktu talak ketiga. Jika tidak digauli, maka kembali kepada dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: يَبْنِي عَلَى عِدَّةِ الطَّلْقَةِ الْأُولَى وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَسْتَأْنِفُ الْعِدَّةَ مِنْ وَقْتِ الطَّلْقَةِ الثَّالِثَةِ. فَلَوْ قَالَ لَهَا فِي آخِرِ طُهْرِهَا: أَنْتِ طَالِقٌ فِي كُلِّ قُرْءٍ وَاحِدَةٌ ثُمَّ حَاضَتْ قَبْلَ تَمَامِ كَلَامِهِ أَوْ مَعَ تَمَامِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُتَصَوَّرَ فِيهِمَا طُهْرٌ مُنْفَصِلٌ.

Salah satunya: melanjutkan masa iddah berdasarkan iddah talak pertama. Pendapat kedua: memulai masa iddah dari waktu talak ketiga. Jika suami berkata kepadanya di akhir masa sucinya: “Engkau ditalak satu kali pada setiap quru’,” lalu ia haid sebelum kalimatnya selesai atau bersamaan dengan selesainya kalimat itu, tanpa ada masa suci yang terpisah di antara keduanya.

قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: تُطَلَّقُ فِيهِ وَتَعْتَدُّ بِهِ قُرْءًا لِوُجُودِ الطَّلَاقِ فِيهِ، وَهَذَا خَطَأٌ، بَلْ لَا يَقَعُ فِيهِ طلاق ولاي يَقَعُ بِهِ اعْتِدَادٌ؛ لِأَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ بِالْكَلَامِ إِنَّمَا يَكُونُ بَعْدَ تَمَامِ الْكَلَامِ لَا بِأَوَّلِهِ ألا تراه لو قيده بقيمة كَلَامِهِ بِشَرْطٍ كَانَ الطَّلَاقُ مَحْمُولًا عَلَى ذَلِكَ الشَّرْطِ وَلَوْ وَقَعَ بِأَوَّلِهِ مَا حُمِلَ عَلَى شَرْطِ آخِرِهِ، وَلَمْ يَجِدْ بَعْدَ تَمَامِ كَلَامِهِ طُهْرًا يَكُونُ قُرْءًا، فَيَكُونُ شَرْطًا لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ وَلِذَلِكَ لَمْ تُطَلَّقْ.

Abu al-‘Abbas Ibn Surayj berkata: “Ia ditalak pada masa itu dan masa itu dihitung sebagai satu quru’ karena adanya talak di dalamnya.” Namun ini adalah kekeliruan. Bahkan, talak tidak jatuh pada masa itu dan tidak dihitung sebagai iddah, karena jatuhnya talak dengan ucapan hanya terjadi setelah ucapan itu selesai, bukan pada awalnya. Bukankah engkau lihat, jika ia mengaitkan ucapannya dengan suatu syarat, maka talak itu bergantung pada syarat tersebut? Jika talak jatuh pada awal ucapan, tentu tidak akan bergantung pada syarat di akhir ucapannya. Dan setelah selesai ucapannya, tidak ada masa suci yang dapat dihitung sebagai quru’, sehingga menjadi syarat jatuhnya talak. Oleh karena itu, ia tidak ditalak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ وَذَلِكَ بِأَنْ تَكُونَ وَاحِدَةً مِنْ أَرْبَعٍ:

Adapun keadaan kedua, yaitu jika ia bukan termasuk ahli sunnah maupun bid‘ah, yaitu jika ia termasuk salah satu dari empat golongan:

إِحْدَاهُنَّ: أَنْ تَكُونَ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا فَتُطَلَّقَ وَاحِدَةً فِي الْحَالِ طَاهِرًا كَانَتْ أَوْ حَائِضًا. وَقَدْ بَانَتْ بِهَا لِأَنَّهُ لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا وَمَنْ لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا فَلَا قُرْءَ لَهَا فَتَجْرِي مَجْرَى طَلَاقِهَا لِلسُّنَّةِ فَيَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا في الحال. وإن لم تكون لِلسُّنَّةِ، فَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا حَتَّى مَضَى لَهَا بَعْدَ الطَّلْقَةِ الْأُولَى طُهْرَانِ انْحَلَّ طَلَاقُهُ فِيمَا بَقِيَ مِنَ الطَّلْقَتَيْنِ، وَإِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ مُضِيِ الطهرين فعود طَلَاقُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ؛ لِأَنَّهُ عَقْدُ طَلَاقٍ فِي نِكَاحٍ وُجِدَ شَرْطُهُ فِي غَيْرِهِ.

Salah satu di antaranya: jika istri belum pernah digauli, lalu ditalak satu kali saat itu juga, baik dalam keadaan suci maupun haid. Ia telah menjadi terpisah dengan talak itu karena tidak ada masa ‘iddah baginya, dan siapa yang tidak memiliki ‘iddah maka tidak ada quru’ baginya, sehingga hukumnya seperti talak sesuai sunnah, maka talak jatuh padanya saat itu juga. Jika tidak sesuai sunnah, maka jika suaminya tidak menikahinya kembali hingga setelah dua kali masa suci berlalu sejak talak pertama, maka talaknya telah terputus untuk sisa dua talak berikutnya. Namun jika ia menikahinya kembali sebelum dua kali masa suci berlalu, maka kembalinya talak itu terdapat dua pendapat; karena itu adalah akad talak dalam pernikahan yang syaratnya terpenuhi di luar pernikahan tersebut.

وَالثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ حَامِلًا فَتَقَعَ عَلَيْهَا فِي الْحَالِ طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ، لِأَنَّ الْحَمْلَ قُرْءٌ مُعْتَدٌّ بِهِ وَتَكُونُ طَلْقَةً لَا سُنَّةَ فِيهَا وَلَا بِدْعَةَ، فَلَوْ كَانَتْ تَحِيضُ عَلَى حَمْلِهَا لَمْ تُطَلَّقْ فِي الْأَطْهَارِ الَّتِي بَيْنَ حَيْضِهَا سِوَى الطَّلْقَةِ الَّتِي وَقَعَتْ بِحَمْلِهَا، سَوَاءٌ حُكِمَ لَهُ بِحُكْمِ الْحَيْضِ أَمْ لَا؛ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ حَيْضًا فَلَيْسَتْ أَطْهَارُهُ أَقْرَاءً يُعْتَدُّ بِهَا، وَإِذَا لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا وَاحِدَةً بِالْحَمْلِ فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْهَا حَتَّى وَضَعَتْ فَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا وَبَانَتْ، فَإِنِ اسْتَأْنَفَ نِكَاحَهَا بَعْدَ مُضِيِ طُهْرَيْنِ مِنْ حَمْلِهَا لَمْ يَعُدْ عَلَيْهَا طَلَاقٌ، وَإِنِ اسْتَأْنَفَهُ قَبْلَ مُضِيِ الطُّهْرَيْنِ فَفِي عَوْدِ طَلَاقِهِ قَوْلَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا.

Yang kedua: jika istri sedang hamil, maka jatuh padanya satu kali talak saat itu juga, karena kehamilan adalah quru’ yang diperhitungkan, dan talak itu bukanlah talak sunnah maupun bid‘ah. Jika ia mengalami haid saat hamil, maka ia tidak ditalak pada masa-masa suci di antara haidnya kecuali talak yang terjadi karena kehamilannya, baik darah tersebut dihukumi sebagai haid atau tidak; karena meskipun itu adalah haid, masa sucinya bukanlah quru’ yang diperhitungkan. Jika ia hanya ditalak satu kali saat hamil, lalu suaminya tidak merujukinya hingga ia melahirkan, maka habislah masa ‘iddahnya dan ia telah terpisah. Jika suaminya menikahinya kembali setelah berlalu dua kali masa suci dari kehamilannya, maka talak tidak kembali padanya. Namun jika menikahinya kembali sebelum berlalu dua kali masa suci, maka dalam kembalinya talak terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan.

وَإِنْ رَاجَعَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا فَإِذَا طَهُرَتْ بَعْدَ نِفَاسِهَا طُلِّقَتْ ثَانِيَةً، فَإِذَا حَاضَتْ وَدَخَلَتْ فِي الطُّهْرِ الثَّانِي طُلِّقَتْ ثَالِثَةً، فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعِ اعْتَدَّتْ مِنَ الطَّلْقَةِ الثَّانِيَةِ، وَإِنْ رَاجَعَ وَوَطِئَ اعْتَدَّتْ مِنَ الطَّلْقَةِ الثَّالِثَةِ، وَإِنَّ رَاجَعَ وَلَمْ يَطَأْ فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ.

Jika suaminya merujukinya sebelum ia melahirkan, maka ketika ia suci setelah nifasnya, ia ditalak kedua kalinya. Ketika ia haid dan masuk pada masa suci kedua, ia ditalak ketiga kalinya. Jika suaminya tidak merujukinya, maka ia menjalani masa ‘iddah dari talak kedua. Jika suaminya merujukinya dan menggaulinya, maka ia menjalani masa ‘iddah dari talak ketiga. Jika suaminya merujukinya namun tidak menggaulinya, maka berlaku dua pendapat yang telah lalu.

وَالثَّالِثَةُ: أَنْ تَكُونَ صَغِيرَةً قَدْ دَخَلَ بِهَا فَتُطَلَّقُ فِي الْحَالِ وَاحِدَةً، فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْهَا حَتَّى مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ فَقَدْ بَانَتْ بِهَا، وَإِنْ رَاجَعَ قَبْلَ مُضِيِّ ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ حَلَّتْ وَلَمْ تُطَلَّقْ بَعْدَ رَجْعَتِهِ مَا لَمْ تَحِضْ؛ لِأَنَّهُ قَدْ وَقَعَ طَلَاقُهَا فِيهِ، فَإِذَا حَاضَتْ ثُمَّ طَهُرَتْ طُلِّقَتْ ثَانِيَةً، فَإِذَا حَاضَتْ وَدَخَلَتْ في الطهر الثاني طَلْقَةً ثَالِثَةً وَحَرُمَتْ عَلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ. وَالْكَلَامُ فِي الْعِدَّةِ عَلَيْهَا مَضَى.

Yang ketiga: jika istri masih kecil namun sudah pernah digauli, maka ia ditalak satu kali saat itu juga. Jika suaminya tidak merujukinya hingga berlalu empat bulan, maka ia telah terpisah. Jika suaminya merujukinya sebelum berlalu tiga bulan, maka ia halal baginya dan tidak ditalak lagi setelah rujuk selama ia belum haid; karena talaknya telah jatuh pada masa itu. Jika kemudian ia haid lalu suci, maka ia ditalak kedua kalinya. Jika ia haid lagi dan masuk pada masa suci kedua, maka ditalak ketiga kalinya dan menjadi haram baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain. Penjelasan tentang masa ‘iddahnya telah lalu.

وَالرَّابِعَةُ: أَنْ تَكُونَ مُؤَيَّسَةً فَتُطَلَّقَ فِي الْحَالِ وَاحِدَةً كَالصَّغِيرَةِ، فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْهَا حَتَّى مَضَتْ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ فَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا وَبَانَتْ، وَلَوْ تَزَوَّجَهَا لَمْ يَعُدِ الطَّلَاقُ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهَا فِي طُهْرٍ قَدْ وَقَعَ طَلَاقُهَا فِيهِ، وَإِنْ رَاجَعَهَا كَانَا عَلَى النِّكَاحِ وَلَا تُطَلَّقُ بِالطُّهْرِ بَعْدَ الرَّجْعَةِ؛ لِأَنَّهُ هُوَ الطُّهْرُ الَّذِي وَقَعَ فِيهِ الطَّلَاقُ الْأَوَّلُ وَلَا يُتَصَوَّرُ مَعَ الْإِيَاسِ أَنْ تَحِيضَ، فَإِنْ حَاضَتْ فَهِيَ غَيْرُ مُؤَيَّسَةٍ فَتُطَلَّقُ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ حَيْضِهَا طَلْقَةً ثَانِيَةً، ثُمَّ تُطَلَّقُ ثَالِثَةً فِي طُهْرٍ إِنْ كَانَ لَهَا بَعْدُ حَيْضَةٌ أُخْرَى.

Yang keempat: jika istri sudah menopause, maka ia ditalak satu kali saat itu juga seperti halnya anak kecil. Jika suaminya tidak merujukinya hingga berlalu tiga bulan, maka habislah masa ‘iddahnya dan ia telah terpisah. Jika suaminya menikahinya kembali, maka talak tidak kembali menurut satu pendapat; karena ia berada dalam masa suci yang telah jatuh talaknya. Jika suaminya merujukinya, maka keduanya tetap dalam pernikahan dan ia tidak ditalak lagi pada masa suci setelah rujuk; karena itu adalah masa suci yang terjadi talak pertama dan tidak mungkin mengalami haid setelah menopause. Jika ia haid, maka ia bukan lagi wanita menopause, sehingga ia ditalak ketika suci dari haidnya untuk talak kedua, lalu ditalak ketiga pada masa suci jika masih ada haid berikutnya.

(فَصْلٌ فِي تَعْلِيقِ الطَّلَاقِ بِالطُّهْرِ)

(Bab tentang penangguhan talak dengan masa suci)

وَإِذَا قَالَ لَهَا وَهِيَ حَائِضٌ: إِذَا طَهُرْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ طُلِّقَتْ بَعْدَ انْقِطَاعِ دَمِهَا بِدُخُولِهَا فِي أَوَّلِ الطُّهْرِ، سَوَاءٌ انْقَطَعَ دَمُهَا لِأَقَلِّ الْحَيْضِ أَوْ لِأَكْثَرِهِ، وَسَوَاءٌ اغْتَسَلَتْ أَوْ لَمْ تَغْتَسِلْ، وَيَكُونُ طَلَاقَ سُنَّةٍ، وَلَوْ قَالَ لَهَا وَهِيَ طَاهِرٌ إِذَا طَهُرْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، لَمْ تُطَلَّقْ فِي هَذَا الطُّهْرِ حَتَّى تَدْخُلَ فِي طُهْرٍ مُسْتَقْبَلٍ، وَذَلِكَ بِأَنْ تَحِيضَ بَعْدَ الطُّهْرِ ثُمَّ تَطْهُرَ فَتُطَلَّقَ بِدُخُولِهَا فِي أَوَّلِ الطُّهْرِ الثَّانِي؛ لِأَنَّ لَفْظَةَ إِذَا مَوْضُوعَةٌ لِلْمُسْتَقْبَلِ. أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ يَا زَيْدُ إِذَا جِئْتَنِي فَلَكَ دِينَارٌ وَهُوَ عِنْدَهُ لَمْ يَسْتَحِقَّ الدِّينَارَ حَتَّى يَسْتَأْنِفَ الْمَجِيءَ إِلَيْهِ بَعْدَ هَذَا الْقَوْلِ، ولكن لو قال لها إن كانت طَاهِرًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِنْ كَانَتْ فِي الْحَالِ طَاهِرًا طُلِّقَتْ، وَإِنْ كَانَتْ حَائِضًا لَمْ تُطَلَّقْ فِي الْحَالِ إِلَّا إِذَا طَهُرَتْ؛ لِأَنَّهُ جَعَلَ وُجُودَ طُهْرِهَا فِي الْحَالِ شَرْطًا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ كُنْتِ فِي الدَّارِ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَكَانَتْ فِي غَيْرِ الدَّارِ لَمْ تُطَلَّقْ بِدُخُولِ الدَّارِ، وَلَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا طَهُرْتِ طُهْرًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَإِنْ كَانَتْ فِي الْحَالِ حَائِضًا، فَإِذَا مَضَى عَلَيْهَا بَعْدَ هَذَا الْحَيْضِ طُهْرٌ كَامِلٌ وَدَخَلَتْ فِي أَوَّلِ الْحَيْضَةِ الثَّانِيَةِ طُلِّقَتْ وَكَانَ طَلَاقَ بِدْعَةٍ لِوُقُوعِهِ فِي الْحَيْضِ. وَإِنْ كَانَتْ فِي الْحَالِ طَاهِرًا فَإِذَا مَضَى بَقِيَّةُ طُهْرِهَا وَحَيْضَةٌ بَعْدَهَا ثُمَّ طُهْرٌ كَامِلٌ وَدَخَلَتْ فِي أَوَّلِ الْحَيْضَةِ الثَّانِيَةِ طُلِّقَتْ وَكَانَ طَلَاقَ بِدْعَةٍ. وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّ قَوْلَهُ إِذَا طَهُرْتِ طُهْرًا يَقْتَضِي كَمَالَ طُهْرٍ مُسْتَقْبَلٍ، وَلَوْ قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ فِي طُهْرِكِ، فَإِنْ كَانَتْ فِي تِلْكَ الْحَالِ طَاهِرًا طُلِّقَتْ، وَإِنْ كَانَتْ حَائِضًا طُلِّقَتْ إِذَا طَهُرَتْ فَيَقَعُ الطَّلَاقُ فِي هَذَا بِالطُّهْرِ فِي الْحَالِ وَبِالطُّهْرِ الْمُسْتَقْبَلِ وَإِذَا وَقَعَ الطَّلَاقُ بِالطُّهْرِ فِي الْحَالِ لَمْ يَقَعْ بِالطُّهْرِ الْمُسْتَقْبَلِ؛ لِأَنَّ وُجُودَ الشَّرْطِ قَدِ اسْتَوْفَى حُكْمَهُ.

Apabila seorang suami berkata kepada istrinya yang sedang haid: “Jika kamu telah suci, maka kamu tertalak,” maka ia tertalak setelah darah haidnya berhenti, yaitu ketika ia memasuki awal masa suci, baik darah haidnya berhenti pada masa haid yang paling singkat maupun yang paling lama, dan baik ia telah mandi suci atau belum. Talak tersebut dihukumi sebagai talak sunnah. Namun, jika ia berkata kepada istrinya yang sedang suci: “Jika kamu suci, maka kamu tertalak,” maka ia tidak tertalak pada masa suci itu, melainkan baru tertalak ketika memasuki masa suci berikutnya, yaitu setelah ia mengalami haid setelah masa suci tersebut, lalu ia suci kembali, maka ia tertalak saat memasuki awal masa suci yang kedua. Hal ini karena lafaz “jika” (idza) digunakan untuk masa yang akan datang. Bukankah kamu melihat, jika seseorang berkata kepada Zaid: “Jika kamu datang kepadaku, maka kamu mendapat satu dinar,” padahal Zaid sudah ada di hadapannya, maka Zaid tidak berhak atas dinar itu sampai ia datang lagi setelah ucapan tersebut. Namun, jika ia berkata kepada istrinya: “Jika kamu sedang suci, maka kamu tertalak,” maka jika pada saat itu istrinya sedang suci, ia langsung tertalak; dan jika sedang haid, ia tidak tertalak saat itu kecuali setelah ia suci, karena ia menjadikan keberadaan suci pada saat itu sebagai syarat jatuhnya talak. Bukankah kamu melihat, jika ia berkata kepada istrinya: “Jika kamu di dalam rumah, maka kamu tertalak,” lalu ternyata istrinya tidak di dalam rumah, maka ia tidak tertalak dengan masuknya ke dalam rumah setelah itu. Dan jika ia berkata kepada istrinya: “Jika kamu suci satu kali, maka kamu tertalak,” lalu pada saat itu istrinya sedang haid, maka setelah selesai haid tersebut dan ia mengalami satu masa suci penuh, lalu memasuki awal haid kedua, maka ia tertalak dan talaknya dihukumi sebagai talak bid‘ah karena jatuh pada masa haid. Jika pada saat itu istrinya sedang suci, maka setelah sisa masa sucinya berlalu, lalu mengalami satu kali haid setelahnya, kemudian satu masa suci penuh, dan memasuki awal haid kedua, maka ia tertalak dan talaknya dihukumi sebagai talak bid‘ah. Hal itu karena ucapannya “jika kamu suci satu kali” mengharuskan adanya satu masa suci penuh yang akan datang. Jika ia berkata kepada istrinya: “Kamu tertalak pada masa sucimu,” maka jika pada saat itu istrinya sedang suci, ia langsung tertalak; dan jika sedang haid, ia tertalak ketika ia suci. Maka, talak itu bisa jatuh pada masa suci saat itu maupun pada masa suci yang akan datang. Jika talak jatuh pada masa suci saat itu, maka tidak jatuh lagi pada masa suci yang akan datang, karena syaratnya telah terpenuhi dan hukumnya telah berlaku.

(فَصْلٌ: فِي تَعْلِيقِ الطلاق بالحيض)

(Fasal: Tentang penangguhan talak dengan haid)

وإذا قال لها وإذ هي طَاهِرٌ إِذَا حِضْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ طُلِّقَتْ بِدُخُولِهَا فِي أَوَّلِ الْحَيْضِ وَيَكُونُ طَلَاقَ بِدْعَةٍ، فَإِذَا رَأَتِ الدَّمَ فِي زَمَانِ الْعَادَةِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ أَوَّلُ الْحَيْضِ فَيُحْكَمُ بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ، فَإِنِ اسْتَدَامَ يَوْمًا وَلَيْلَةً تَحَقَّقَ وُقُوعُهُ، وَإِنِ انْقَطَعَ لِأَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بَانَ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ حَيْضًا وَأَنَّ الطَّلَاقَ لَمْ يَقَعْ، وَإِنْ رَأَتِ الدَّمَ قَبْلَ وَقْتِ الْعَادَةِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَيْسَ بِحَيْضٍ، وَأَنَّ الطَّلَاقَ لَمْ يَقَعْ، وَإِنِ اسْتَدَامَ يَوْمًا وَلَيْلَةً بَانَ أَنَّهُ كَانَ حَيْضًا وَأَنَّ الطَّلَاقَ وَقَعَ بِأَوَّلِ الدَّمِ، وَلَوْ قَالَ لَهَا وَهِيَ حَائِضٌ: إِذَا حِضْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، لَمْ تُطَلَّقْ فِي بَقِيَّةِ حَيْضِهَا حَتَّى تَطْهُرَ مِنْهَا ثُمَّ تَحِيضَ بَعْدَ طُهْرِهَا فَتُطَلَّقُ كَمَا ذَكَرْنَا في الطهر، ويكون طلاق بدعة، لو قَالَ لَهَا: إِذَا حِضْتِ حَيْضَةً فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِنْ كَانَتْ طَاهِرًا: فَإِذَا مَضَى بَقِيَّةُ طُهْرِهَا ثُمَّ حَيْضَةٌ كَامِلَةٌ بَعْدَهَا ثُمَّ دَخَلَتْ فِي أول الطهر الثاني طلقة وَكَانَ طَلَاقَ سُنَّةٍ. وَلَوْ كَانَتْ حَائِضًا فَإِذَا مَضَى بَقِيَّةُ حَيْضِهَا ثُمَّ طُهْرٌ كَامِلٌ ثُمَّ حَيْضَةٌ كَامِلَةٌ ثُمَّ دَخَلَتْ فِي أَوَّلِ الطُّهْرِ الثَّانِي طُلِّقَتْ، وَكَانَ طَلَاقَ سُنَّةٍ. وَلَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ كُنْتِ حَائِضًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَكَانَتْ طَاهِرًا لَمْ تُطَلَّقْ فِي الْحَالِ وَلَا إِذَا حَاضَتْ فِي ثَانِي حَالٍ. وَلَوْ قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ فِي حَيْضِكِ طُلِّقَتْ بِالْحَيْضِ فِي الحال.

Jika seorang suami berkata kepada istrinya saat ia dalam keadaan suci: “Jika engkau haid, maka engkau tertalak,” maka ia tertalak ketika mulai masuk haid pertama, dan talaknya adalah talak bid‘ah. Jika ia melihat darah pada waktu kebiasaan haidnya, maka yang tampak itu adalah awal haid, sehingga diputuskan bahwa talak telah jatuh. Jika darah itu berlangsung sehari semalam, maka talak benar-benar jatuh. Namun jika darah itu terputus kurang dari sehari semalam, maka jelas bahwa itu bukan haid dan talak tidak jatuh. Jika ia melihat darah sebelum waktu kebiasaan haidnya, maka yang tampak itu bukan haid dan talak tidak jatuh. Namun jika darah itu berlangsung sehari semalam, maka jelas bahwa itu adalah haid dan talak jatuh sejak awal keluarnya darah. Jika suami berkata kepadanya saat ia sedang haid: “Jika engkau haid, maka engkau tertalak,” maka ia tidak tertalak selama sisa masa haidnya hingga ia suci, lalu haid kembali setelah suci, maka ia tertalak sebagaimana telah disebutkan pada masa suci, dan itu adalah talak bid‘ah. Jika suami berkata: “Jika engkau mengalami satu kali haid, maka engkau tertalak,” jika ia dalam keadaan suci, maka setelah sisa masa sucinya berlalu, lalu satu kali haid penuh setelahnya, kemudian ia masuk pada awal suci kedua, maka jatuhlah talak dan itu adalah talak sunnah. Jika ia dalam keadaan haid, maka setelah sisa masa haidnya berlalu, lalu satu kali suci penuh, kemudian satu kali haid penuh, lalu ia masuk pada awal suci kedua, maka ia tertalak dan itu adalah talak sunnah. Jika suami berkata: “Jika engkau sedang haid, maka engkau tertalak,” lalu ternyata ia dalam keadaan suci, maka ia tidak tertalak saat itu juga, dan tidak pula ketika ia haid pada kesempatan berikutnya. Jika suami berkata: “Engkau tertalak pada saat haidmu,” maka ia tertalak pada saat haid itu juga.

فإن لم تكن فبالحيض المستقبل كما قُلْنَا فِي الطُّهْرِ، فَلَوْ قَالَ: كُلَّمَا حِضْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ طُلِّقَتْ بِدُخُولِهَا فِي الْحَيْضَةِ الْأُولَى طَلْقَةً وَاحِدَةً، وَبِدُخُولِهَا فِي الْحَيْضَةِ الثَّانِيَةِ طَلْقَةً ثَانِيَةً، وَبِدُخُولِهَا فِي الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ طَلْقَةً ثَالِثَةً، لِأَنَّ لَفْظَ كُلَّمَا مَوْضُوعٌ لِلتَّكْرَارِ، وَيَكُونُ الثَّلَاثُ كُلُّهُنَّ طَلَاقَ بِدْعَةٍ وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِدُخُولِهَا فِي الْحَيْضَةِ الرَّابِعَةِ، لِأَنَّ لَهَا فِي الثَّلَاثِ حِيَضٍ طُهْرَيْنِ فَتَأْتِي بِالطُّهْرِ الثَّالِثِ وَانْقِضَاؤُهُ يَكُونُ بِدُخُولِهَا فِي الْحَيْضَةِ الرَّابِعَةِ، وَلَوْ كَانَ قَالَ لَهَا كُلَّمَا حِضْتِ حَيْضَةً فَأَنْتِ طَالِقٌ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا بِدُخُولِهَا فِي الطُّهْرِ الثَّالِثِ وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِدُخُولِهَا فِي الْحَيْضَةِ الرَّابِعَةِ، وَيَكُونُ هَذَا طَلَاقَ سُنَّةٍ، لِأَنَّهُ يَقَعُ فِي أَوَّلِ كُلِّ طُهْرٍ.

Jika tidak demikian, maka talak jatuh pada haid yang akan datang sebagaimana telah dijelaskan pada masa suci. Jika suami berkata: “Setiap kali engkau haid, maka engkau tertalak,” maka ia tertalak satu kali ketika masuk haid pertama, tertalak kedua kali ketika masuk haid kedua, dan tertalak ketiga kali ketika masuk haid ketiga, karena lafaz “setiap kali” menunjukkan pengulangan. Ketiga talak tersebut semuanya adalah talak bid‘ah, dan masa iddahnya berakhir ketika ia masuk haid keempat, karena dalam tiga kali haid terdapat dua kali suci, sehingga setelah suci ketiga dan berakhirnya masa suci itu adalah dengan masuknya ia pada haid keempat. Jika suami berkata: “Setiap kali engkau mengalami satu kali haid, maka engkau tertalak,” maka ia tertalak tiga kali ketika masuk pada suci ketiga, dan masa iddahnya berakhir ketika ia masuk pada haid keempat, dan ini adalah talak sunnah, karena talak jatuh pada awal setiap masa suci.

(فَصْلٌ آخَرُ مِنْهُ:)

(Bagian lain darinya:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: إِذَا حِضْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَقَالَتْ: قَدْ حِضْتُ فَإِنْ صَدَّقَهَا فِيهِ طُلِّقَتْ، وَإِنْ أَكْذَبَهَا فَقَوْلُهَا فِيهِ مَقْبُولٌ عَلَى نَفْسِهَا، وَلَهُ إِحْلَافُهَا، وَقَدْ طُلِّقَتْ. وَلَوْ قَالَ لَهَا: قَدْ حِضْتِ؟ فَقَالَتْ: لَمْ أَحِضْ طُلِّقَتْ بِإِقْرَارِهِ. وَلَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا حِضْتِ فَضَرَّتُكِ عَمْرَةُ طَالِقٌ، فَقَالَتْ: قَدْ حِضْتُ. فَإِنْ صَدَّقَهَا طُلِّقَتْ ضَرَّتُهَا، وَإِنْ أَكْذَبَهَا لَمْ تُطَلَّقْ ضَرَّتُهَا، لِأَنَّ قَوْلَهَا فِي حَيْضِهَا وَإِنْ كَانَ مَقْبُولًا عَلَى نَفْسِهَا، مَعَ تَكْذِيبِ الزَّوْجِ فَهُوَ غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَى غَيْرِهَا إِلَّا بِتَصْدِيقِ الزَّوْجِ. كَالْمُودِعِ يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي الْوَدِيعَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا وَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي رَدِّهَا عَلَى غَيْرِهِ. فَلَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا حِضْتِ فَأَنْتِ وَضَرَّتُكِ طَالِقَتَانِ فَقَالَتْ قَدْ حِضْتُ فَإِنْ صَدَّقَهَا طُلِّقَتْ هِيَ وَضَرَّتُهَا، وَإِنْ أَكْذَبَهَا طُلِّقَتْ هِيَ، وَلَمْ تُطَلَّقْ ضَرَّتُهَا لِأَنَّ قَوْلَهَا على نفسها مقبولاً وَعَلَى ضَرَّتِهَا غَيْرُ مَقْبُولٍ، فَإِنْ صَدَّقَتْهَا الضَّرَّةُ عَلَى الْحَيْضِ لَمْ يُؤَثِّرْ تَصْدِيقُهَا، لَكِنْ لَهَا إِحْلَافُ الزَّوْجِ عَلَى تَكْذِيبِهَا، وَهُوَ مُخَيَّرٌ فِي يَمِينِهِ بَيْنَ أَنْ يَحْلِفَ أَنَّ تِلْكَ لَمْ تَحِضْ أَوْ يَحْلِفَ أَنَّ الضَّرَّةَ لَمْ تُطَلَّقْ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْحَيْضِ وُقُوعُ الطَّلَاقِ فِي أَنْ تَكُونَ الْيَمِينُ مَعْقُودَةً عَلَيْهِ.

Jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Jika kamu haid, maka kamu tertalak,” lalu istrinya berkata: “Aku telah haid,” maka jika suami membenarkannya dalam hal itu, maka ia tertalak. Namun jika suami mendustakannya, maka perkataan istri diterima untuk dirinya sendiri, dan suami berhak meminta sumpah darinya, dan ia pun tertalak. Jika suami berkata kepadanya: “Apakah kamu telah haid?” lalu istri menjawab: “Aku belum haid,” maka ia tertalak karena pengakuan suami. Jika suami berkata kepadanya: “Jika kamu haid, maka madumu, ‘Amrah, tertalak,” lalu istri berkata: “Aku telah haid,” maka jika suami membenarkannya, madunya tertalak. Namun jika suami mendustakannya, maka madunya tidak tertalak, karena perkataan istri tentang haidnya meskipun diterima untuk dirinya sendiri, namun jika didustakan oleh suami, maka tidak diterima untuk orang lain kecuali dengan pembenaran suami. Hal ini seperti orang yang menitipkan barang, perkataannya diterima tentang barang titipan sebagaimana telah disebutkan, namun tidak diterima perkataannya tentang pengembalian barang kepada orang lain. Jika suami berkata kepadanya: “Jika kamu haid, maka kamu dan madumu tertalak,” lalu istri berkata: “Aku telah haid,” maka jika suami membenarkannya, maka ia dan madunya tertalak. Namun jika suami mendustakannya, maka hanya ia yang tertalak dan madunya tidak tertalak, karena perkataannya untuk dirinya sendiri diterima, sedangkan untuk madunya tidak diterima. Jika madunya membenarkan tentang haid tersebut, maka pembenarannya tidak berpengaruh, namun ia berhak meminta suami bersumpah atas pendustaannya, dan suami boleh memilih dalam sumpahnya antara bersumpah bahwa istri tersebut belum haid atau bersumpah bahwa madunya belum tertalak; karena yang dimaksud dari haid adalah terjadinya talak, sehingga sumpah itu terkait dengannya.

(فَصْلٌ آخَرُ مِنْهُ:)

(Bagian lain darinya:)

وَلَوْ قَالَ وَلَهُ زَوْجَتَانِ: إِذَا حِضْتُمَا فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ، فَإِنْ حَاضَتْ إِحْدَاهُمَا لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا، وَإِنْ حَاضَتَا طُلِّقَتَا. فَلَوْ قَالَتَا قَدْ حِضْنَا، فَإِنْ صَدَّقَهُمَا طُلِّقَتَا، وَإِنْ أَكْذَبَهُمَا لَمْ يُطَلَّقَا؛ لِأَنَّ طَلَاقَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِحَيْضِهَا فَحَيْضِ ضَرَّتِهَا، وَقَوْلُهَا وَإِنْ كَانَ مَقْبُولًا عَلَى نَفْسِهَا فَقَوْلُ ضَرَّتِهَا غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَيْهَا، فَلَوْ صَدَّقَ إِحْدَاهُمَا وَكَذَّبَ الْأُخْرَى، طُلِّقَتِ الْمُكَذَّبَةُ دُونَ الْمُصَدَّقَةُ؛ لِأَنَّ الْمُكَذَّبَةَ قَوْلُهَا مَقْبُولٌ عَلَى نَفْسِهَا، وَقَدْ صَدَّقَ عَلَيْهَا ضَرَّتَهَا فَطُلِّقَتْ، فَضَرَّةُ الْمُصَدَّقَةِ مُكَذَّبَةٌ عَلَيْهَا فَلَمْ تُطَلَّقْ.

Jika seorang suami memiliki dua istri dan berkata: “Jika kalian berdua haid, maka kalian berdua tertalak,” maka jika salah satu dari keduanya haid, tidak ada satu pun dari mereka yang tertalak. Namun jika keduanya haid, maka keduanya tertalak. Jika keduanya berkata: “Kami telah haid,” maka jika suami membenarkan keduanya, maka keduanya tertalak. Namun jika suami mendustakan keduanya, maka keduanya tidak tertalak; karena talak masing-masing dari mereka bergantung pada haid dirinya dan haid madunya, dan meskipun perkataan seorang istri diterima untuk dirinya sendiri, perkataan madunya tidak diterima untuknya. Jika suami membenarkan salah satu dan mendustakan yang lain, maka yang didustakanlah yang tertalak, bukan yang dibenarkan; karena perkataan yang didustakan diterima untuk dirinya sendiri, dan suami telah membenarkan madunya atas dirinya sehingga ia tertalak, sedangkan madunya yang dibenarkan didustakan atas dirinya sehingga ia tidak tertalak.

فَلَوْ قَالَ وَهُنَّ ثَلَاثٌ إِذَا حِضْتُنَّ فَأَنْتُنَّ طَوَالِقُ، فَإِذَا حَاضَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ أَوِ اثْنَتَانِ لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ. فَإِذَا حِضْنَ مَعًا طُلِّقْنَ كُلُّهُنَّ، فَلَوْ قُلْنَ: قَدْ حِضْنَ فَإِنْ صَدَّقَهُنَّ طُلِّقْنَ وَإِنْ كَذَّبَهُنَّ لَمْ يُطَلَّقْنَ، وَإِنْ صَدَّقَ وَاحِدَةً وَكَذَّبَ اثْنَتَيْنِ لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ؛ لِأَنَّ فِي طَلَاقِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ 7 مُكَذَّبَةً عَلَيْهَا. وَلَوْ صَدَّقَ اثْنَتَيْنِ وَكَذَّبَ وَاحِدَةً طُلِّقَتِ الْمُكَذَّبَةُ وَحْدَهَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَدَّقَ ضَرَّتَيْهَا عَلَيْهَا، وَلَا تُطَلَّقُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمُصَدَّقَتَيْنِ؛ لِأَنَّ فِي إِحْدَى ضَرَّتَيْهَا مُكَذَّبَةً.

Jika suami memiliki tiga istri dan berkata: “Jika kalian haid, maka kalian semua tertalak,” maka jika salah satu atau dua dari mereka haid, tidak ada satu pun dari mereka yang tertalak. Jika mereka semua haid bersama-sama, maka semuanya tertalak. Jika mereka berkata: “Kami telah haid,” maka jika suami membenarkan mereka, semuanya tertalak, dan jika suami mendustakan mereka, maka tidak ada yang tertalak. Jika suami membenarkan satu dan mendustakan dua, maka tidak ada satu pun dari mereka yang tertalak; karena dalam talak masing-masing dari mereka terdapat satu yang didustakan atasnya. Jika suami membenarkan dua dan mendustakan satu, maka yang didustakanlah yang tertalak sendiri; karena suami telah membenarkan dua madunya atas dirinya, dan masing-masing dari dua yang dibenarkan tidak tertalak karena di antara kedua madunya ada yang didustakan.

وَلَوْ كُنَّ أَرْبَعًا فَقَالَ: إِذَا حِضْتُنَّ فَأَنْتُنَّ طَوَالِقُ فَقُلْنَ: قَدْ حِضْنَا فَإِنْ صَدَّقَهُنَّ طُلِّقْنَ وَإِنْ كَذَّبَهُنَّ لَمْ يُطَلَّقْنَ، وَإِنْ صَدَّقَ وَاحِدَةً وَكَذَّبَ ثَلَاثًا لَمْ يُطَلَّقْنَ، وَكَذَلِكَ لَوْ صَدَّقَ اثْنَتَيْنِ وَكَذَّبَ اثْنَتَيْنِ لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ؛ لِأَنَّ طَلَاقَ كُلِّ وَاحِدَةٍ يَكُونُ بِحَيْضِهَا وَحَيْضِ ضَرَائِرِهَا الثَّلَاثِ وَكُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمُصَدَّقَتَيْنِ قَدْ كَذَّبَ عَلَيْهَا ضَرَّتَيْنِ، وَكُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمُكَذَّبَتَيْنِ قَدْ كَذَّبَ عَلَيْهَا ضَرَّةً، فَلَوْ صَدَّقَ ثَلَاثًا وَكَذَّبَ وَاحِدَةً طُلِّقَتِ الْمُكَذَّبَةُ وَحْدَهَا دُونَ الْمُصَدَّقَاتِ؛ لِأَنَّ قَوْلَ الْمُكَذَّبَةِ مَقْبُولٌ عَلَى نَفْسِهَا وَقَدْ صَدَّقَ ضَرَائِرَهَا عَلَيْهَا فَطُلِّقَتْ.

Dan jika mereka berjumlah empat orang, lalu ia berkata: “Jika kalian haid maka kalian tertalak,” kemudian mereka berkata: “Kami telah haid,” maka jika ia membenarkan mereka, mereka tertalak. Jika ia mendustakan mereka, maka mereka tidak tertalak. Jika ia membenarkan satu orang dan mendustakan tiga orang, maka tidak ada satu pun dari mereka yang tertalak. Demikian pula jika ia membenarkan dua orang dan mendustakan dua orang, tidak ada satu pun dari mereka yang tertalak; karena talak masing-masing istri terjadi dengan haidnya dan haid tiga madunya, dan setiap dari dua yang dibenarkan telah didustakan oleh dua madunya, dan setiap dari dua yang didustakan telah didustakan oleh satu madunya. Maka jika ia membenarkan tiga orang dan mendustakan satu orang, maka yang didustakan saja yang tertalak, sedangkan yang dibenarkan tidak; karena ucapan yang didustakan diterima atas dirinya sendiri dan madunya telah membenarkannya atas dirinya, maka ia tertalak.

وَكُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمُصَدَّقَاتِ قَدْ كَذَّبَ عَلَيْهَا وَاحِدَةً مِنْ ضَرَائِرِهَا فَلَمْ تُطَلَّقْ.

Dan setiap dari yang dibenarkan telah didustakan oleh salah satu dari madunya, maka ia tidak tertalak.

(فَصْلٌ آخَرُ مِنْهُ:)

(Bagian lain darinya:)

وَإِذَا كَانَ لَهُ أَرْبَعُ زَوْجَاتٍ فَقَالَ: أَيَّتُكُنَّ حَاضَتْ فَضَرَائِرُهَا طَوَالِقُ فَإِنْ حَاضَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ لَمْ تُطَلَّقْ، وَطَلَّقَ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْ ضَرَائِرِهَا وَاحِدَةً؛ لِأَنَّ حَيْضَ كُلِّ وَاحِدَةٍ شَرْطٌ فِي طَلَاقِ غَيْرِهَا. فَإِنْ حَاضَتْ ثَانِيَةً لَمْ تُطَلَّقْ هِيَ، وَطُلِّقَتِ الْحَائِضُ الْأُولَى وَاحِدَةً، وَطُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ فِي الْحَيْضَةِ الثَّانِيَةِ ثَانِيَةً ثَانِيَةً، فَإِنْ حاضت ثالثة طُلِّقَتْ بِهَا الْأُولَى طَلْقَةً ثَانِيَةً وَطُلِّقَتِ الثَّانِيَةُ طلقة ثانية وطلقت بها والرابعة طَلْقَةً ثَالِثَةً، فَإِنْ حَاضَتِ الرَّابِعَةُ طُلِّقَتْ بِهَا الْأُولَى طَلْقَةً ثَالِثَةً، وَطُلِّقَتْ بِهَا الثَّانِيَةُ طَلْقَةً ثَانِيَةً، وَطُلِّقَتْ بِهَا الثَّالِثَةُ طَلْقَةً ثَالِثَةً، فَيُطَلَّقْنَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، فَلَوْ قُلْنَ: قَدْ حِضْنَا فَإِنْ كَذَّبَهُنَّ لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ، لِأَنَّ طَلَاقَهَا بِحَيْضِ ضَرَائِرِهَا لَا بِحَيْضِهَا، وَإِنْ صَدَّقَ وَاحِدَةً منهن وكذبت الْبَاقِيَاتِ طُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمُكَذَّبَاتِ الثَّلَاثِ واحدة واحدة؛ لأن قَدْ صَدَّقَ عَلَيْهَا وَاحِدَةً، وَلَا تُطَلَّقُ الْمُصَدَّقَةُ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْ ضَرَائِرِهَا مُكَذَّبَةٌ.

Dan jika ia memiliki empat istri lalu berkata: “Siapa di antara kalian yang haid, maka madu-madunya tertalak,” maka jika salah satu dari mereka haid, ia tidak tertalak, dan setiap dari madu-madunya tertalak satu kali; karena haid masing-masing istri menjadi syarat bagi talak istri yang lain. Jika istri kedua haid, ia tidak tertalak, dan istri pertama yang haid tertalak satu kali, dan setiap istri yang haid pada haid kedua tertalak satu kali juga. Jika istri ketiga haid, maka dengan haidnya istri pertama tertalak untuk kedua kalinya, istri kedua tertalak untuk kedua kalinya, dan istri keempat tertalak satu kali. Jika istri keempat haid, maka dengan haidnya istri pertama tertalak untuk ketiga kalinya, istri kedua tertalak untuk kedua kalinya, dan istri ketiga tertalak untuk ketiga kalinya, sehingga mereka semua tertalak tiga kali tiga. Jika mereka berkata: “Kami telah haid,” lalu ia mendustakan mereka, maka tidak ada satu pun dari mereka yang tertalak, karena talaknya tergantung pada haid madu-madunya, bukan pada haidnya sendiri. Jika ia membenarkan satu dari mereka dan mendustakan sisanya, maka setiap dari tiga yang didustakan tertalak satu kali; karena ia telah membenarkan satu atas mereka, dan yang dibenarkan tidak tertalak karena setiap dari madu-madunya didustakan.

وَلَوْ صَدَّقَ اثْنَتَيْنِ وَكَذَّبَ اثْنَتَيْنِ طُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمُكَذَّبَتَيْنِ طَلْقَتَيْنِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَدَّقَ عَلَيْهَا ضَرَّتَيْنِ وَطُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمُصَدَّقَتَيْنِ طَلْقَةً وَاحِدَةً، لِأَنَّهُ قَدْ صَدَّقَ عَلَيْهَا ضَرَّةً وَاحِدَةً، وَلَوْ صَدَّقَ ثَلَاثًا وَكَذَّبَ وَاحِدَةً طُلِّقَتِ الْمُكَذَّبَةُ ثَلَاثًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَدَّقَ عَلَيْهَا ثَلَاثَ ضَرَائِرَ وَطُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمُصَدَّقَاتِ طَلْقَتَيْنِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَدَّقَ عَلَيْهَا ضَرَّتَيْنِ، وَلَوْ صَدَّقَ الْأَرْبَعَ كُلَّهُنَّ طُلِّقَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ ثَلَاثًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَدَّقَ عَلَيْهَا ثَلَاثَ ضَرَائِرَ.

Jika ia membenarkan dua orang dan mendustakan dua orang, maka setiap dari dua yang didustakan tertalak dua kali; karena ia telah membenarkan dua madunya atasnya, dan setiap dari dua yang dibenarkan tertalak satu kali, karena ia telah membenarkan satu madu atasnya. Jika ia membenarkan tiga orang dan mendustakan satu orang, maka yang didustakan tertalak tiga kali; karena ia telah membenarkan tiga madunya atasnya, dan setiap dari tiga yang dibenarkan tertalak dua kali, karena ia telah membenarkan dua madu atasnya. Jika ia membenarkan keempat-empatnya, maka salah satu dari mereka tertalak tiga kali, karena ia telah membenarkan tiga madunya atasnya.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: إِذَا حِضْتِ حَيْضَةً فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، فَإِذَا حِضْتِ حَيْضَتَيْنِ فَأَنْتِ طَالِقٌ اثْنَتَيْنِ. فَحَاضَتْ حَيْضَتَيْنِ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، بِالْأُولَى مِنْهُمَا طَلْقَةٌ؛ لِأَنَّهَا قَدْ حَاضَتْ حَيْضَةً، وَبِالثَّانِيَةِ مِنْهُمَا طَلْقَتَيْنِ: لِأَنَّهَا حَاضَتْ حَيْضَتَيْنِ.

Dan jika ia berkata kepada istrinya: “Jika kamu haid satu kali maka kamu tertalak satu kali, jika kamu haid dua kali maka kamu tertalak dua kali.” Lalu ia haid dua kali, maka ia tertalak tiga kali: dengan haid pertama satu talak, karena ia telah haid satu kali, dan dengan haid kedua dua talak, karena ia telah haid dua kali.

وَمِثَالُهُ أَنْ يَقُولَ: إِنْ كَلَّمْتِ رَجُلًا فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، وَإِنْ كَلَّمْتِ شَيْخًا فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً وَإِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً فَكَلَّمَتْ زَيْدًا وَكَانَ شَيْخًا طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَاحِدَةً بِأَنَّهُ رَجُلٌ وَثَانِيَةً بِأَنَّهُ شَيْخٌ وَثَالِثَةً بِأَنَّهُ زَيْدٌ، وَلَوْ كَلَّمَتْ عَمْرًا وَإِنْ كَانَ شَابًّا لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا وَاحِدَةً بِأَنَّهُ رجل. ولو كان شيخاً لم تطلق الاثنتين وَاحِدَةً بِأَنَّهُ رَجُلٌ وَثَانِيَةً بِأَنَّهُ شَيْخٌ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا حِضْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، ثُمَّ إِذَا حِضْتِ حَيْضَتَيْنِ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثِنْتَيْنِ لَمْ تُطَلَّقْ ثَلَاثًا إِلَّا بِثَلَاثِ حِيَضٍ لِأَجْلِ قَوْلِهِ. فَيَقَعُ مِنْهُمَا بِالْحَيْضَةِ الْأُولَى طَلْقَةٌ وَلَا تُطَلَّقُ بِالْحَيْضَةِ الثَّانِيَةِ شَيْئًا، فَإِذَا حَاضَتِ الْحَيْضَةَ الثَّالِثَةَ صَارَتْ مَعَ الْحَيْضَةِ الثَّانِيَةِ صِفَةً لِوُقُوعِ الطَّلْقَتَيْنِ فَتُطَلَّقُ حِينَئِذٍ ثَلَاثًا، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ ثُمَّ تُوجِبُ التَّرَاخِيَ وَالْفَصْلَ، وَالْوَاوَ تودب الاشتراك والجمع، فلذلك فافترقا فِي هَذَيْنِ الْمَوْضِعَيْنِ.

Contohnya adalah jika seseorang berkata: “Jika engkau berbicara dengan seorang laki-laki maka engkau tertalak satu, dan jika engkau berbicara dengan seorang syaikh maka engkau tertalak satu, dan jika engkau berbicara dengan Zaid maka engkau tertalak satu.” Lalu ia berbicara dengan Zaid, dan Zaid itu adalah seorang syaikh, maka ia tertalak tiga: satu karena Zaid adalah laki-laki, kedua karena ia adalah syaikh, dan ketiga karena ia adalah Zaid. Namun jika ia berbicara dengan Amr, dan Amr itu seorang pemuda, maka ia hanya tertalak satu karena Amr adalah laki-laki. Jika Amr adalah seorang syaikh, maka ia tertalak dua: satu karena ia laki-laki dan kedua karena ia syaikh. Akan tetapi, jika seseorang berkata kepada istrinya: “Jika engkau haid maka engkau tertalak satu, kemudian jika engkau haid dua kali maka engkau tertalak dua,” maka ia tidak tertalak tiga kecuali setelah mengalami tiga kali haid, karena ucapan suami tersebut. Maka, dari keduanya, pada haid pertama jatuh satu talak, dan pada haid kedua tidak jatuh talak apapun, lalu ketika ia mengalami haid ketiga, maka haid ketiga itu bersama haid kedua menjadi syarat jatuhnya dua talak, sehingga saat itu ia tertalak tiga. Hal ini karena kata “kemudian” (tsumma) menunjukkan adanya jeda dan pemisahan, sedangkan kata “dan” (waw) menunjukkan kebersamaan dan penggabungan, sehingga keduanya berbeda dalam dua kasus ini.

(فَصْلٌ آخَرُ:)

(Bagian lain:)

إِذَا قَالَ وَلَهُ امْرَأَتَانِ: إِذَا حِضْتُمَا حَيْضَةً فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

Jika seseorang berkata, dan ia memiliki dua istri: “Jika kalian berdua haid satu kali maka kalian berdua tertalak,” maka dalam hal ini menurut para ulama mazhab kami terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أِنَّهُ عَلَّقَ طَلَاقَهُمَا بِحَيْضَةٍ مِنْهُمَا وَمُسْتَحِيلٌ أَنْ يَشْتَرِكَا فِي حَيْضَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَا بِحَيْضِ إِحْدَاهُمَا؛ لِأَنَّهَا لَا تَكُونُ الْحَيْضَةُ مِنْهُمَا فَصَارَ تَعْلِيقُ الطَّلَاقِ بِهَا لَغْوًا فلم تقع.

Salah satunya: bahwa ia menggantungkan talak keduanya pada satu haid dari salah satu di antara mereka, dan mustahil keduanya mengalami satu haid yang sama, dan juga tidak bisa dengan haid salah satu dari mereka; karena haid itu tidak bisa berasal dari keduanya, sehingga penggantungkan talak pada hal itu menjadi sia-sia dan tidak terjadi talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أِنَّ الشَّرْطَ صَحِيحٌ وَتَعْلِيقَ الطَّلَاقِ بِهِ جَائِزٌ، وَمَعْنَى قَوْلِهِ: إِذَا حِضْتُمَا حَيْضَةً أَيْ إِذَا حَاضَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْكُمَا حَيْضَةً فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ، وَالْكَلَامُ إِذَا كَانَ مَفْهُومَ الْمَعْنَى وأمكن حمله على الصحة. وإن كان وَجْهِ الْمَجَازِ لَمْ يَجُزْ حَمْلُهُ عَلَى الْإِلْغَاءِ وَالْفَسَادِ، فَإِذَا حَاضَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ حَيْضَةً كَامِلَةً طُلِّقَتْ طَلَاقَ السُّنَّةِ لِوُقُوعِهِ فِي أَوَّلِ الطُّهْرِ وَإِنْ حَاضَتْ إِحْدَاهُمَا دُونَ الْأُخْرَى لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا. وَأَصْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: اخْتِلَافُ الْمُتَقَدِّمِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا وَأَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ فِيمَنْ قَالَ لِامْرَأَتَيْهِ إِذَا وَلَدْتُمَا وَلَدًا فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ، فَذَهَبَ الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ مِنْ أَصْحَابِنَا. وَأَبُو يُوسُفَ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ إِلَى أَنَّهُمَا لَا يَلْحَقُهُمَا بِالْوِلَادَةِ طَلَاقٌ؛ لِأَنَّهُ إِنْ وَلَدَتْ إِحْدَاهُمَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مِنْهُمَا وَإِنْ وَلَدَتَا مَعًا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ وَلَدًا، فَلِذَلِكَ لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا بِوِلَادَتِهَا وَلَا بِوِلَادَتِهِمَا. وَذَهَبَ أَبُو إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ إِلَى أَنَّ تَعْلِيقَ الطَّلَاقِ بِهِمَا صَحِيحٌ وَالْمُرَادُ بِهِ وِلَادَةُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا، فَإِذَا وَلَدَتْ إِحْدَاهُمَا لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا، وَإِنْ وَلَدَتَا مَعًا طُلِّقَتَا.

Pendapat kedua: bahwa syarat tersebut sah dan penggantungkan talak dengannya diperbolehkan, dan maksud dari ucapannya: “Jika kalian berdua haid satu kali” adalah jika masing-masing dari kalian mengalami satu kali haid maka kalian berdua tertalak. Ucapan tersebut jika maknanya dapat dipahami dan memungkinkan untuk dimaknai secara sahih, meskipun secara majaz, maka tidak boleh dianggap batal atau rusak. Maka, jika masing-masing dari keduanya mengalami satu kali haid secara sempurna, maka jatuhlah talak sesuai sunnah karena terjadi pada awal masa suci. Namun jika hanya salah satu dari mereka yang haid dan yang lain tidak, maka tidak ada satu pun dari mereka yang tertalak. Dasar masalah ini adalah perbedaan pendapat di kalangan ulama terdahulu dari mazhab kami dan mazhab Abu Hanifah tentang seseorang yang berkata kepada kedua istrinya: “Jika kalian berdua melahirkan seorang anak maka kalian berdua tertalak.” Rabi’ bin Sulaiman dari mazhab kami dan Abu Yusuf dari mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak jatuh talak pada keduanya karena jika salah satu melahirkan, itu bukan dari keduanya, dan jika keduanya melahirkan bersamaan, itu bukan satu anak, sehingga tidak ada satu pun dari mereka yang tertalak karena kelahiran tersebut, baik oleh salah satu maupun oleh keduanya. Sedangkan Abu Ibrahim al-Muzani dan Muhammad bin al-Hasan berpendapat bahwa penggantungkan talak pada keduanya itu sah, dan yang dimaksud adalah kelahiran masing-masing dari mereka. Maka, jika salah satu melahirkan, tidak ada satu pun dari mereka yang tertalak, dan jika keduanya melahirkan bersamaan, maka keduanya tertalak.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا بَعْضُهُنَّ لِلسُّنَّةِ وَبَعْضُهُنَّ لِلْبِدْعَةِ وَقَعَتِ اثْنَتَانِ فِي أَيِّ الْحَالَيْنِ كَانَتْ وَالْأُخْرَى إِذَا صَارَتْ فِي الْحَالِ الأخرى قلت أنا أَشْبَهُ بِمَذْهَبِهِ عِنْدِي أَنَّ قَوْلَهُ بَعْضُهُنَّ يَحْتَمِلُ وَاحِدَةً فَلَا يَقَعُ غَيْرُهَا أَوِ اثْنَتَيْنِ فَلَا يَقَعُ غَيْرُهُمَا أَوْ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ فَيَقَعُ بِذَلِكَ ثَلَاثٌ فَلَمَّا كَانَ الشَكُّ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ مَا أَرَادَ بِبَعْضِهِنَّ فِي الْحَالِ الْأُولَى إِلَّا وَاحِدَةً وَبَعْضُهُنَّ الْبَاقِي فِي الْحَالِ الثَّانِيَةِ فَالْأَقَلُّ يَقِينٌ وَمَا زَادَ شَكٌّ وَهُوَ لَا يَسْتَعْمِلُ الْحُكْمَ بِالشَكِّ فِي الطَّلَاقِ) .

Imam asy-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata kepada istrinya, ‘Engkau tertalak tiga, sebagian untuk sunnah dan sebagian untuk bid‘ah,’ maka jatuh dua talak pada salah satu dari dua keadaan, dan yang satu lagi jatuh ketika masuk pada keadaan yang lain.” Saya (al-Muzani) berkata: “Menurut saya, yang lebih sesuai dengan mazhab beliau adalah bahwa ucapannya ‘sebagian’ itu bisa bermakna satu, sehingga tidak jatuh selain satu, atau bermakna dua, sehingga tidak jatuh selain dua, atau bermakna sebagian dari masing-masing, sehingga jatuh tiga talak. Karena ada keraguan, maka yang dipegang adalah ucapannya dengan sumpahnya, bahwa yang ia maksud dengan ‘sebagian’ pada keadaan pertama hanyalah satu, dan ‘sebagian’ sisanya pada keadaan kedua. Maka yang paling sedikit adalah yang yakin, sedangkan yang lebih dari itu adalah syak, dan beliau tidak menggunakan hukum berdasarkan keraguan dalam masalah talak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ قَالَ لِامْرَأَتِهِ؛ أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا بَعْضُهُنَّ لِلسُّنَّةِ وَبَعْضُهُنَّ لِلْبِدْعَةِ، فَالْبَعْضُ اسْمٌ مُبْهَمٌ يَجُوزُ أَنْ يُطْلَقَ عَلَى أَقَلِّ الثَّلَاثِ وَعَلَى أَكْثَرِهَا، وَعَلَى الْعَدَدِ الصَّحِيحِ مِنْهَا وَالْمَكْسُورِ. فَإِذَا جَعَلَ بَعْضَ الثَّلَاثِ لِلسُّنَّةِ وَبَعْضَهَا لِلْبِدْعَةِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: أَحَدُهَا: أن يقدر بلفظه.

Al-Mawardi berkata: “Gambaran kasusnya adalah seorang laki-laki berkata kepada istrinya, ‘Engkau tertalak tiga, sebagian untuk sunnah dan sebagian untuk bid‘ah.’ Maka kata ‘sebagian’ adalah istilah yang samar, bisa bermakna paling sedikit dari tiga, bisa juga bermakna lebih banyak, bisa bermakna jumlah bulat atau pecahan dari tiga. Jika ia menjadikan sebagian dari tiga untuk sunnah dan sebagian untuk bid‘ah, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian: Pertama, ia menentukan dengan lafaznya.”

والثالث: أن يقدر بِنِيَّتِهِ، فَإِنْ أَطْلَقَ وَلَمْ يُقَدِّرْ بِلَفْظِهِ وَلَا بِنِيَّتِهِ اقْتَضَى إِطْلَاقَ التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الْبَعْضِ وَأَنْ لَا يُفَضِّلَ أَحَدَهُمَا عَلَى الْآخَرِ، كَمَا لَوْ أَقَرَّ بِدَارٍ لِرَجُلَيْنِ كَانَتْ بَيْنَهُمَا مِنْ غَيْرِ تَفْضِيلٍ، لِأَنَّهُ لَيْسَ تَفْضِيلُ أَحَدِهِمَا بِالزِّيَادَةِ بِأَوْلَى مِنْ تَفْضِيلِ الْآخَرِ. فَلِذَلِكَ وَجَبَ التَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا. وَأَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْبَعْضَيْنِ طَلْقَةً وَنِصْفًا، فَيُجْعَلُ الْبَعْضُ الْوَاقِعُ فِي الْحَالِ طَلْقَةً وَنِصْفًا. وَالطَّلَاقُ لَا يَتَبَعَّضُ بَلْ يَكْمُلُ فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ فِي الْحَالِ طَلْقَتَانِ، فَإِنْ كَانَتِ الْحَالُ الْأُولَى حَالَ السُّنَّةِ، كَانَتِ الطَّلْقَتَانِ لِلسُّنَّةِ، ووقعت الثَّالِثَةُ لِلْبِدْعَةِ. وَإِنْ كَانَتِ الْحَالُ الْأُولَى حَالَ الْبِدْعَةِ كَانَتِ الطَّلْقَتَانِ لِلْبِدْعَةِ، وَالطَّلْقَةُ الثَّالِثَةُ لِلسُّنَّةِ. وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: إِطْلَاقُ التَّبْعِيضِ يَقْتَضِي تَعْجِيلَ أَقَلِّهِمَا، فَلَا يَقَعُ فِي الْحَالِ الْأُولَى إِلَّا وَاحِدَةٌ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَقِينٌ وَالزِّيَادَةُ شَكٌّ. وَإِذَا اقْتَرَنَ بِيَقِينِ الطَّلَاقِ شَكٌّ لَمْ يَعْمَلْ إِلَّا عَلَى الْيَقِينِ دُونَ الشَّكِّ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ التَّسْوِيَةَ بَيْنَ الْبَعْضَيْنِ فِي الْإِطْلَاقِ أَوْلَى مِنَ التَّفْضِيلِ لِمَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ قَدَّرَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْبَعْضَيْنِ بِلَفْظٍ، حُمِلَ عَلَى مَا قَدَّرَهُ بِلَفْظِهِ، سَوَاءٌ عَجَّلَ الْأَكْثَرَ فَأَوْقَعَ فِي الْحَالِ الْأُولَى طَلْقَتَيْنِ، وَفِي الْحَالِ الْأُخْرَى طَلْقَةً أَوْ عَجَّلَ الْأَقَلَّ فَأَوْقَعَ فِي الْحَالِ الْأُولَى طَلْقَةً وَفِي الْحَالِ الْأُخْرَى طَلْقَتَيْنِ أَوْ سَوَّى بَيْنَ الْحَالَيْنِ فَأَوْقَعَ فِي الْأُولَى طَلْقَتَيْنِ وَفِي الْأُخْرَى طَلْقَةً؛ لِأَنَّ التَّقْدِيرَ مَلْفُوظٌ بِهِ كَالطَّلَاقِ فَوَجَبَ أَنْ يُعْمَلَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَدَّرَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْبَعْضَيْنِ بِنِيَّتِهِ نُظِرَ فَإِنْ نَوَى بِأَعْجَلِ الْبَعْضَيْنِ أَكْثَرَهُمَا أَوِ التَّسْوِيَةَ بَيْنَهُمَا عُمِلَ عَلَى نِيَّتِهِ فَوَقَعَ فِي الْحَالِ الْأُولَى طَلْقَتَانِ، وَفِي الْحَالِ الثَّانِيَةِ طَلْقَةٌ. وَإِنْ نَوَى بِأَعْجَلِ الْبَعْضَيْنِ أَقَلَّهُمَا، وَهُوَ أَنْ يَقَعَ فِي الْحَالِ الْأُولَى وَاحِدَةٌ وَفِي الْحَالِ الثَّانِيَةِ طَلْقَتَانِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Ketiga: ia menentukan dengan niatnya. Jika ia mengucapkan secara mutlak tanpa menentukan dengan lafaz atau niat, maka keumuman ucapannya menuntut adanya penyamaan antara kedua ‘sebagian’ itu dan tidak mengutamakan salah satunya atas yang lain, sebagaimana jika seseorang mengakui sebuah rumah untuk dua orang, maka rumah itu menjadi milik bersama tanpa ada keutamaan salah satu atas yang lain, karena tidak ada alasan untuk mengutamakan salah satu dengan tambahan atas yang lain. Oleh karena itu, wajib disamakan antara keduanya, sehingga masing-masing dari dua ‘sebagian’ itu adalah satu setengah talak, maka bagian yang jatuh pada keadaan itu adalah satu setengah talak. Namun talak tidak bisa dibagi, melainkan harus sempurna, sehingga yang jatuh pada keadaan itu adalah dua talak. Jika keadaan pertama adalah keadaan sunnah, maka dua talak itu untuk sunnah dan yang ketiga untuk bid‘ah. Jika keadaan pertama adalah keadaan bid‘ah, maka dua talak itu untuk bid‘ah dan talak ketiga untuk sunnah. Al-Muzani berkata: “Penyebutan ‘sebagian’ secara mutlak menuntut dipercepatnya bagian yang paling sedikit, sehingga pada keadaan pertama tidak jatuh kecuali satu talak, karena itu yang yakin dan tambahan atasnya adalah syak. Jika terdapat keraguan bersama keyakinan dalam talak, maka yang diamalkan hanya yang yakin, bukan yang syak. Ini adalah kekeliruan, karena penyamaan antara dua ‘sebagian’ dalam keumuman lebih utama daripada mengutamakan salah satunya, sebagaimana telah dijelaskan. Jika ia menentukan masing-masing ‘sebagian’ dengan lafaz, maka dipegang sesuai dengan apa yang ia tentukan dengan lafaznya, baik ia mempercepat yang lebih banyak sehingga menjatuhkan dua talak pada keadaan pertama dan satu talak pada keadaan kedua, atau mempercepat yang lebih sedikit sehingga menjatuhkan satu talak pada keadaan pertama dan dua talak pada keadaan kedua, atau menyamakan antara kedua keadaan sehingga menjatuhkan dua talak pada keadaan pertama dan satu talak pada keadaan kedua. Karena penentuan dengan lafaz itu seperti talak itu sendiri, maka wajib diamalkan. Jika ia menentukan masing-masing ‘sebagian’ dengan niatnya, maka dilihat: jika ia berniat pada ‘sebagian’ yang lebih cepat jatuh itu adalah yang lebih banyak atau menyamakan antara keduanya, maka diamalkan niatnya, sehingga pada keadaan pertama jatuh dua talak dan pada keadaan kedua satu talak. Jika ia berniat pada ‘sebagian’ yang lebih cepat jatuh itu adalah yang lebih sedikit, yaitu jatuh satu talak pada keadaan pertama dan dua talak pada keadaan kedua, maka dalam hal ini ada dua pendapat.”

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أن يُقْبَلُ مِنْهُ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ. وَلَا يَقَعُ فِي الْحَالِ الْأُولَى إِلَّا وَاحِدَةٌ وَيَقَعُ فِي الْحَالِ الْأُخْرَى طَلْقَتَانِ كَمَا لَوْ قَدَّرَهُ بِلَفْظِهِ.

Salah satunya, dan inilah pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i, adalah diterima darinya baik secara lahir maupun batin. Dalam keadaan pertama, tidak terjadi kecuali satu talak, sedangkan dalam keadaan kedua terjadi dua talak, sebagaimana jika ia mengatakannya dengan lafaznya sendiri.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ فِي الظَّاهِرِ وَيَلْزَمُهُ فِي الْحَالِ طَلْقَتَانِ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ وَيَدِينُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى كَمَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ قَالَ بِوَقْتٍ إِلَى شَهْرٍ وَهَذَا خَطَأٌ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْبَعْضَ حَقِيقَةٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِطْلَاقُ الطَّلَاقِ، إِذَا نَوَى أَنْ يَكُونَ إِلَى شَهْرٍ؛ لِأَنَّ حَقِيقَتَهُ تَعْجِيلُ الطَّلَاقِ فَجَازَ أَنْ لَا يُحْمَلَ فِي الظَّاهِرِ عَلَى نيته، والله أعلم.

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat sebagian ulama kami, adalah tidak diterima darinya secara lahir dan baginya wajib dua talak secara lahir dalam hukum, dan ia bertanggung jawab di hadapan Allah Ta‘ala sesuai dengan apa yang ada antara dirinya dan Allah, sebagaimana jika ia berkata: “Engkau tertalak,” kemudian ia berkata dengan waktu tertentu sampai sebulan. Ini adalah kekeliruan, dan perbedaannya adalah bahwa sebagian itu adalah hakikat, sedangkan tidak demikian halnya dengan pengucapan talak jika ia berniat sampai sebulan; karena hakikat talak adalah mempercepat terjadinya talak, maka boleh untuk tidak dibawa secara lahir kepada niatnya, dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ أَعْدَلَ أَوْ أَحْسَنَ أَوْ أَكْمَلَ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ سَأَلْتُهُ عَنْ نِيَّتِهِ فَإِنْ لَمْ يَنْوِ شَيْئًا وَقَعَ الطَّلَاقُ لِلسُّنَّةِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Engkau tertalak dengan cara yang paling adil, atau yang paling baik, atau yang paling sempurna, atau yang semisalnya,’ maka aku akan menanyakan niatnya. Jika ia tidak meniatkan apa pun, maka jatuhlah talak sesuai dengan sunnah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَعْدَلَ الطَّلَاقِ أَوْ أَكْمَلَ الطَّلَاقِ أَوْ أَفْضَلَ الطَّلَاقِ أَوْ أَحْسَنَ الطَّلَاقِ أَوْ أَهْنَأَهُ أَوْ أَسْرَاهُ أَوْ أَسْوَأَهُ أَوْ أَنْهَاهُ أَوْ قَالَ: شِبْهَ ذَلِكَ مِنْ صِفَاتِ الْحَمْدِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ فِيهِ نِيَّةٌ أَوْ لَا نِيَّةَ لَهُ فِيهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ نِيَّةٌ وَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى طَلَاقِ السُّنَّةِ، لِأَنَّهُ الْأَعْدَلُ الْأَفْضَلُ الْأَجْمَلُ الْأَكْمَلُ سَوَاءٌ تَغَلَّظَ ذَلِكَ عَلَيْهِ بِالتَّعْجِيلِ أَوْ تَخَفَّفَ بِالتَّأْجِيلِ، وَإِنْ كَانَتْ طَاهِرًا طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ طَلَاقَ السُّنَّةِ. وَإِنْ كَانَتْ حَائِضًا لَمْ تُطَلَّقْ حَتَّى إِذَا طَهُرَتْ طُلِّقَتْ حِينَئِذٍ لِلسُّنَّةِ وَإِنْ كَانَتْ لَهُ نِيَّةٌ فَعَلَى ضربين:

Al-Mawardi berkata: Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak dengan talak yang paling adil, atau talak yang paling sempurna, atau talak yang paling utama, atau talak yang paling baik, atau yang paling menenangkan, atau yang paling mudah, atau yang paling buruk, atau yang paling akhir,” atau ia berkata semisal itu dari sifat-sifat pujian, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia memiliki niat tertentu atau tidak. Jika ia tidak memiliki niat tertentu, maka wajib dibawa kepada talak sesuai sunnah, karena itulah yang paling adil, paling utama, paling indah, dan paling sempurna, baik hal itu memberatkannya dengan percepatan maupun meringankannya dengan penundaan. Jika istrinya dalam keadaan suci, maka jatuhlah talak saat itu juga sesuai sunnah. Jika ia sedang haid, maka tidak jatuh talak hingga ia suci, barulah talak jatuh sesuai sunnah. Jika ia memiliki niat tertentu, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ نِيَّتُهُ مُوَافِقَةً لِظَاهِرِ لَفْظِهِ وَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ طَلَاقَ السُّنَّةِ فَيُحْمَلُ عَلَى مَا نَوَى مِنْ طَلَاقِ السُّنَّةِ وَتَكُونُ النِّيَّةُ تَأْكِيدًا لِلظَّاهِرِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا حُمِلَ عَلَى طَلَاقِ السُّنَّةِ فِي غَيْرِ نِيَّةٍ كَانَ أَوْلَى أَنْ يُحْمَلَ عَلَيْهِ مَعَ النِّيَّةِ.

Salah satunya: niatnya sesuai dengan lahir dari ucapannya, yaitu ia meniatkan talak sesuai sunnah, maka dibawa kepada apa yang ia niatkan dari talak sesuai sunnah, dan niat itu menjadi penegasan bagi makna lahirnya; karena jika dibawa kepada talak sesuai sunnah tanpa niat, maka lebih utama lagi dibawa kepadanya jika ada niat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ نِيَّتُهُ مُخَالِفَةً لِظَاهِرِ لَفْظِهِ، وَهُوَ أَنْ يُرِيدَ بِهِ طَلَاقَ الْبِدْعَةِ لِأَنَّهُ اعْتَقَدَ أَنَّ الْأَعْدَلَ مَعَ قُبْحِ طَرِيقِهَا، وَالْأَجْمَلَ بِسُوءِ خُلُقِهَا، أَنْ يُطَلِّقَ لِلْبِدْعَةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bentuk kedua: niatnya bertentangan dengan lahir dari ucapannya, yaitu ia menginginkan talak bid‘ah, karena ia meyakini bahwa yang paling adil adalah dengan cara yang buruk, dan yang paling indah adalah karena buruknya akhlak istrinya, sehingga ia menalak dengan cara bid‘ah. Dalam hal ini ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ أَغْلَظَ حَالَيْهِ بِأَنْ تَكُونَ حَائِضًا أَوْ مُجَامَعَةً فَيُحْمَلُ عَلَى طَلَاقِ الْبِدْعَةِ، وَيَقَعُ الطَّلَاقُ فِي الْحَالِ؛ لِأَنَّهُ أَغْلَظُ.

Salah satunya: jika itu adalah keadaan yang paling berat, yaitu istrinya sedang haid atau telah digauli, maka dibawa kepada talak bid‘ah, dan talak jatuh saat itu juga, karena itu lebih berat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ أَخَفَّ حَالَيْهِ بِأَنْ تَكُونَ فِي الْحَالِ طَاهِرًا غَيْرَ مُجَامَعَةٍ، دِينَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى.

Bentuk kedua: jika itu adalah keadaan yang lebih ringan, yaitu istrinya dalam keadaan suci dan belum digauli, maka dihukumi secara batin antara dirinya dan Allah Ta‘ala.

وَهَلْ تُقْبَلُ مِنْهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apakah diterima darinya secara lahir dalam hukum atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ مِنْهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، وَلَا يَلْزَمُهُ وُقُوعُ الطَّلَاقَ إِلَّا إِذَا صارت إلى حال البدعة، لأن ما ذكر مِنَ التَّأْوِيلِ قَدْ يَحْتَمِلُ أَنْ يُعْدَلَ بِظَاهِرِ اللَّفْظِ إِلَيْهِ ثُمَّ لَا يَلْزَمُهُ فِي ذَلِكَ إِلَّا طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ مَا لَمْ يُرِدْ أَكْثَرَ مِنْهَا.

Salah satunya: tidak diterima darinya secara lahir dalam hukum, dan tidak wajib jatuh talak kecuali jika telah masuk pada keadaan bid‘ah, karena apa yang disebutkan dari penafsiran itu mungkin saja dibawa kepada makna lahir dari ucapannya, dan tidak wajib baginya kecuali satu talak saja selama ia tidak menginginkan lebih dari itu.

فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا إِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَكْمَلَ الطَّلَاقِ يَلْزَمُهُ الثَّلَاثُ لِأَنَّهَا أَكْمَلُ الطَّلَاقِ قِيلَ: الثَّلَاثُ هِيَ أَكْمَلُ الطَّلَاقِ عَدَدًا وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يُرِيدَ أَكْمَلَ الطَّلَاقِ صِفَةً وَحُكْمًا، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى كَمَالِ العدد دون الصفة إلى بِنِيَّةٍ؛ لِأَنَّ الثَّلَاثَ زِيَادَةٌ فَلَمْ تَقَعْ إِلَّا بِالْيَمِينِ وَلَكِنْ لَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ أَكْثَرَ الطَّلَاقِ وَقَعَ ثَلَاثًا؛ لِأَنَّ الْكَثْرَةَ لَا تَكُونُ إِلَّا فِي الْعَدَدِ، دُونَ الصِّفَةِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَكْثَرَ الطَّلَاقِ كَانَ وَاحِدَةً وَلَمْ يَكُنْ ثَلَاثًا إِلَّا بِالنِّيَّةِ؛ لِأَنَّهُ الْأَكْثَرُ قَدْ يَعُودُ إِلَى الصِّفَةِ كَمَا يَعُودُ إِلَى الْعَدَدِ، والله أعلم بالصواب.

Jika ada yang bertanya: “Mengapa ketika seseorang berkata: ‘Engkau tertalak dengan talak yang sempurna’, tidak otomatis jatuh talak tiga, karena itu adalah talak yang paling sempurna?” Maka dijawab: Talak tiga memang talak yang paling sempurna dari segi jumlah, namun bisa jadi yang dimaksud adalah talak yang paling sempurna dari segi sifat dan hukum. Maka tidak boleh dipahami sebagai kesempurnaan jumlah tanpa memperhatikan sifatnya, kecuali dengan niat; karena talak tiga adalah tambahan, sehingga tidak terjadi kecuali dengan sumpah. Namun, jika ia berkata: “Engkau tertalak dengan talak yang paling banyak”, maka jatuh talak tiga; karena kebanyakan hanya berlaku pada jumlah, bukan pada sifat. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak dengan talak yang lebih banyak”, maka jatuh satu talak saja dan tidak menjadi tiga kecuali dengan niat; karena “yang lebih banyak” bisa kembali pada sifat sebagaimana bisa kembali pada jumlah. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَقْبَحَ أَوْ أَسْمَجَ أَوْ أَفْحَشَ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ سَأَلْتُهُ عَنْ نِيَّتِهِ فَإِنْ لَمْ يَنْوِ شَيْئًا وَقَعَ لِلْبِدْعَةِ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika seseorang berkata: “Yang terburuk”, atau “yang paling buruk”, atau “yang paling keji”, atau yang semisalnya, maka aku tanyakan niatnya. Jika ia tidak meniatkan sesuatu, maka jatuh talak bid‘ah).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وهذا نَصُّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ صِفَةِ الطَّلَاقِ بِصِفَاتِ الْحَمْدِ فَإِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ أَقْبَحَ الطَّلَاقِ أَوْ أَسْمَجَ الطَّلَاقِ أَوْ أَفْحَشَ الطَّلَاقِ أَوْ أَرْدَأَهُ أَوْ أَنْدَاهُ أَوْ أَضَرَّهُ أَوْ أَنْكَرَهُ أَوْ أَمَرَّهُ. أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنْ صِفَاتِ الذَّمِّ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ حُمِلَ عَلَى طَلَاقِ الْبِدْعَةِ، لِأَنَّهُ الْأَسْمَجُ، الْأَقْبَحُ الْأَضَرُّ الْأَمَرُّ. وَإِنْ كَانَتْ لَهُ نِيَّةٌ نُظِرَ فِيهَا فَإِنْ وَافَقَتْ ظَاهِرَ لَفْظِهِ، أَنْ يُرِيدَ بِهِ طَلَاقَ الْبِدْعَةِ حُمِلَ عَلَيْهَا، وَكَانَ عِشْرَتُهَا هُوَ الْأَسْمَجَ الْأَقْبَحَ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ أغلظ حاليه وأعجلهما عمل عليه وقل قَوْلُهُ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ أَخَفَّ حَالَيْهِ وَأَبْعَدَهُمَا دِينَ فِيهِ، وَفِي قَبُولِهِ مِنْهُ فِي الْحُكْمِ وجهان:

Al-Mawardi berkata: Ini adalah nash beliau terkait sifat talak dengan sifat-sifat celaan. Maka jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak dengan talak yang terburuk”, atau “talak yang paling buruk”, atau “talak yang paling keji”, atau “yang paling rendah”, atau “yang paling hina”, atau “yang paling merugikan”, atau “yang paling aneh”, atau “yang paling pahit”, atau yang semisal itu dari sifat-sifat celaan, maka jika ia tidak memiliki niat tertentu, maka dipahami sebagai talak bid‘ah, karena itulah yang paling buruk, paling keji, paling merugikan, dan paling pahit. Namun jika ia memiliki niat tertentu, maka dilihat niatnya; jika sesuai dengan lafaz lahirnya, yaitu ia memang meniatkan talak bid‘ah, maka dipahami sesuai niatnya, dan perlakuannya terhadap istrinya adalah yang paling buruk, paling keji. Jika itu adalah keadaan terberat dan tercepat dari dua keadaannya, maka diputuskan sesuai itu dan ucapannya diterima. Namun jika itu adalah keadaan yang lebih ringan dan lebih jauh dari sisi agama, maka dalam penerimaan ucapannya dalam hukum terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ مِنْهُ اعْتِبَارًا بِظَاهِرِ اللَّفْظِ.

Pertama: Tidak diterima ucapannya, dengan mempertimbangkan lahir lafaznya.

وَالثَّانِي: يُقْبَلُ مِنْهُ لِاحْتِمَالِ مَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّأْوِيلِ.

Kedua: Diterima ucapannya, karena kemungkinan adanya penafsiran seperti yang telah disebutkan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَشَدَّ الطَّلَاقِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ مِنْ غَيْرِ مُرَاعَاةِ سُنَّةٍ وَلَا بِدْعَةٍ، لِأَنَّ أَشَدَّ الطَّلَاقِ تَعْجِيلُهُ وَتَكُونُ رَجْعِيَّةً، وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ أَطْوَلَ الطَّلَاقِ أَوْ أَعْرَضَ الطَّلَاقِ أَوْ أَقْصَرَ الطَّلَاقِ كَانَتْ وَاحِدَةً رَجْعِيَّةً؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ لَا طُولَ لَهُ وَلَا عَرْضَ.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak dengan talak yang paling berat” dan ia tidak memiliki niat tertentu, maka jatuh talak saat itu juga tanpa memperhatikan apakah sesuai sunnah atau bid‘ah, karena “talak yang paling berat” maksudnya adalah penyegeraan, dan talaknya menjadi raj‘i (masih bisa rujuk). Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak dengan talak yang paling panjang”, atau “talak yang paling lebar”, atau “talak yang paling pendek”, maka jatuh satu talak raj‘i; karena talak tidak memiliki panjang atau lebar.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَكْبَرَ الطَّلَاقِ أَوْ أَطْوَلَ الطَّلَاقِ أَوْ أَعْرَضَ الطَّلَاقِ أَوْ أَشَدَّ الطَّلَاقِ طُلِّقَتْ طَلْقَةً وَاحِدَةً بَائِنَةً. وَوَافَقَ فِي الْأَقْصَرِ وَالْأَصْغَرِ أَنَّهَا تَكُونُ رَجْعِيَّةً. وَعِنْدَنَا لَا تَكُونُ الْوَاحِدَةُ بَائِنَةً بِحَالٍ إِلَّا فِي غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا. وَالْكَلَامُ معه يأتي.

Abu Hanifah berkata: Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak dengan talak yang paling besar”, atau “talak yang paling panjang”, atau “talak yang paling lebar”, atau “talak yang paling berat”, maka jatuh satu talak bain (tidak bisa rujuk). Dan beliau sepakat dalam hal “yang paling pendek” dan “yang paling kecil” bahwa itu adalah talak raj‘i. Menurut kami, satu talak tidak pernah menjadi bain kecuali pada wanita yang belum pernah digauli. Dan pembahasan dengan beliau akan dijelaskan.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً حَسَنَةً قَبِيحَةً أَوْ جَمِيلَةً فَاحِشَةً طُلِّقَتْ حِينَ تَكَلَّمَ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak satu kali yang baik, yang buruk, atau yang indah, yang keji”, maka jatuh talak saat ia mengucapkannya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا قَصَدَ الطَّلَاقَ بِصِفَتَيْنِ مُخْتَلِفَتَيْنِ فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً حَسَنَةً قَبِيحَةً، أَوْ جَمِيلَةً فَاحِشَةً، أَوْ ضَارَّةً نَافِعَةً، أَوْ سُنِّيَّةً بِدْعِيَّةً وَقَعَ طَلَاقُهَا فِي الْحَالِ، سَوَاءٌ كَانَتْ فِي حَالِ السُّنَّةِ أَوْ فِي حَالِ الْبِدْعَةِ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَعْلِيلِ ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ تَعْلِيلِ الشَّافِعِيِّ أنه وصفها بصفتين أحدهما صِفَةُ طَلَاقِ السُّنَّةِ وَالْأُخْرَى صِفَةُ طَلَاقِ الْبِدْعَةِ، وهي في أحد الحالتين، فوقع الطلاق عليهما بِوُجُودِ إِحْدَى الصِّفَتَيْنِ. وَقَالَ آخَرُونَ: بَلِ الْعِلَّةُ فِيهِ أَنَّ تَقَابُلَ الصِّفَتَيْنِ أَوْجَبَ سُقُوطَهُمَا، لِأَجْلِ الْمُضَادَّةِ فِيهِمَا فَصَارَتِ الطَّلْقَةُ بِسُقُوطِ الصِّفَتَيْنِ مُطْلَقَةً، فَوَقَعَ الطَّلَاقُ بِهَا فِي الْحَالِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ طَلَاقَ الْحَرَجِ وَالسِّرِّ، وَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا فِي الْحَالِ، لِأَنَّ طَلَاقَ الْحَرَجِ هُوَ طَلَاقُ الْبِدْعَةِ فَصَارَ وَاصِفًا لَهَا بِصِفَتَيْنِ مُتَضَادَّتَيْنِ فَيَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ مُعَجَّلًا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنِ اخْتِلَافِ الْعِلَّتَيْنِ فَلَوْ قَالَ: أَرَدْتُ بِالْحَرَجِ طَلَاقَ الثَّلَاثِ وَبِالسُّنَّةِ أَنْ يَكُونَ فِي كُلِّ طُهْرٍ وَاحِدَةٌ، فَهَذَا يَحْتَمِلُ ظَاهِرُ كَلَامِهِ أَيْضًا. وَهُوَ أَغْلَظُ عَلَيْهِ مِنَ الْوَاحِدَةِ الْمُعَجَّلَةِ فَتَقَعُ ظاهراً وباطناً على ما نوى.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan. Jika seseorang bermaksud menjatuhkan talak dengan dua sifat yang berbeda, lalu ia berkata: “Engkau aku talak satu kali, baik dengan talak yang baik maupun buruk, atau cantik maupun keji, atau merugikan maupun menguntungkan, atau dengan cara sunni maupun bid‘ah,” maka talaknya jatuh saat itu juga, baik ia dalam keadaan sesuai sunah maupun dalam keadaan bid‘ah. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam memberikan alasan atas hal ini. Sebagian mereka—dan ini yang tampak dari alasan Imam Syafi‘i—berpendapat bahwa ia telah menyifati talak itu dengan dua sifat, salah satunya adalah sifat talak sunah dan yang lainnya sifat talak bid‘ah, sedangkan ia pasti berada dalam salah satu dari dua keadaan tersebut, maka talak jatuh dengan adanya salah satu dari dua sifat itu. Yang lain berpendapat: justru alasannya adalah karena adanya dua sifat yang saling bertentangan menyebabkan keduanya gugur, karena adanya pertentangan di antara keduanya, sehingga talak menjadi mutlak tanpa terikat sifat, maka talak pun jatuh saat itu juga. Jika ia berkata: “Engkau aku talak dengan talak haraj (menyulitkan) dan sirr (rahasia),” maka talak jatuh saat itu juga, karena talak haraj adalah talak bid‘ah, sehingga ia telah menyifatinya dengan dua sifat yang saling bertentangan, maka talak jatuh secara langsung sebagaimana telah kami sebutkan tentang perbedaan dua alasan tersebut. Jika ia berkata: “Yang aku maksud dengan haraj adalah talak tiga, dan dengan sunah adalah satu talak di setiap kali suci,” maka ini juga memungkinkan secara lahiriah dari ucapannya. Dan ini lebih berat baginya daripada satu talak yang langsung, maka talak jatuh secara lahir dan batin sesuai dengan niatnya.

ولو قال: أنت طالق ملئ مكة أو ملئ الحجاز أو ملئ الدُّنْيَا، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً لَمْ يُرِدْ أَكْثَرَ مِنْهَا. لِأَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَشْمَلُ مَحَلًّا، فَيَقَعُ فِي مكان دون مكان. ويكون معنى قوله: ملئ الدُّنْيَا أَيْ يَظْهَرُ ذِكْرُهَا فِي الدُّنْيَا، وَقَدْ ظَهَرَ فِيهَا ذِكْرُ الْوَاحِدَةِ كَظُهُورِ الثَّلَاثِ.

Dan jika ia berkata: “Engkau aku talak sebanyak isi Mekah, atau sebanyak isi Hijaz, atau sebanyak isi dunia,” maka ia tertalak satu kali saja selama ia tidak bermaksud lebih dari itu. Karena talak tidak mencakup tempat, sehingga tidak mungkin terjadi di satu tempat tanpa tempat lain. Makna ucapannya “sebanyak isi dunia” adalah agar penyebutan talak itu menjadi terkenal di dunia, dan telah nyata di dunia penyebutan talak satu sebagaimana nyata pula penyebutan talak tiga.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا قَدِمَ فُلَانٌ لِلسُنَّةِ فَقَدِمَ فُلَانٌ فَهِيَ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Engkau aku talak jika Fulan datang, dengan talak sunah,’ lalu Fulan datang, maka ia tertalak dengan talak sunah.”

قَالَ الماوردي: لأنه علق بطلاقها بشرط وصفة، فَالشَّرْطُ قُدُومُ زَيْدٍ وَالصِّفَةُ أَنْ يَكُونَ طَلَاقَ السُّنَّةِ فَوَجَبَ أَنْ تُعْتَبَرَ الصِّفَةُ بَعْدَ وُجُودِ الشَّرْطِ فَلَا طَلَاقَ قَبْلَ قُدُومِ زَيْدٍ، فَإِذَا قَدِمَ فَقَدْ وُجِدَ الشَّرْطُ فَوَجَبَ مُرَاعَاةُ الصِّفَةِ فَإِنْ كَانَتْ عِنْدَ قُدُومِ زَيْدٍ فِي طُهْرٍ لَمْ تُجَامَعْ فِيهِ، طُلِّقَتْ حَالَ قُدُومِهِ لِوُجُودِ الشَّرْطِ وَالصِّفَةِ مَعًا، وَإِنْ كَانَتْ حَائِضًا أَوْ فِي طُهْرٍ قَدْ جُومِعَتْ فِيهِ، لَمْ تُطَلَّقْ بِوُجُودِ الشَّرْطِ لِعَدَمِ الصِّفَةِ حَتَّى إِذَا صَارَتْ فِي طُهْرٍ لَا جِمَاعَ فِيهِ، طُلِّقَتْ بِحُدُوثِ الصِّفَةِ بَعْدَ وُجُودِ الشَّرْطِ وَلَا يُعْتَبَرُ اجْتِمَاعُ الصِّفَةِ وَالشَّرْطِ. وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: إِذَا قَدِمَ فُلَانٌ وَأَنْتِ مِنْ ذَوَاتِ السُّنَّةِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا بِقُدُومِ فُلَانٍ وَهِيَ فِي ظهر لَا جِمَاعَ فِيهِ، لِأَنَّهُ قَدْ جَعَلَ الصِّفَةَ شَرْطًا، وَجَعَلَ طَلَاقَهَا مُعَلَّقًا بِاجْتِمَاعِ شَرْطَيْنِ، فَلَمْ تُطَلَّقْ بِوُجُودِ أَحَدِهِمَا وَلَا بِانْفِرَادِهِمَا.

Al-Mawardi berkata: Karena ia menggantungkan talaknya pada syarat dan sifat. Syaratnya adalah kedatangan Zaid, dan sifatnya adalah talak sunah. Maka wajib memperhatikan sifat setelah adanya syarat, sehingga tidak terjadi talak sebelum Zaid datang. Jika Zaid telah datang, maka syarat telah terpenuhi, sehingga wajib memperhatikan sifat. Jika saat kedatangan Zaid ia dalam keadaan suci yang belum digauli, maka ia tertalak saat kedatangan Zaid karena syarat dan sifat telah terpenuhi bersamaan. Jika ia sedang haid atau dalam keadaan suci yang sudah digauli, maka ia tidak tertalak dengan adanya syarat saja karena tidak adanya sifat, hingga jika ia telah berada dalam keadaan suci yang belum digauli, maka ia tertalak dengan terjadinya sifat setelah adanya syarat, dan tidak disyaratkan berkumpulnya sifat dan syarat secara bersamaan. Namun, jika ia berkata: “Jika Fulan datang dan engkau termasuk wanita yang sesuai sunah, maka engkau aku talak,” maka ia tidak tertalak kecuali dengan kedatangan Fulan dan ia dalam keadaan suci yang belum digauli, karena ia telah menjadikan sifat sebagai syarat, dan menjadikan talaknya tergantung pada terpenuhinya dua syarat, sehingga ia tidak tertalak dengan adanya salah satu saja atau dengan terpisahnya keduanya.

وَلَوْ قَالَ: إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَلَمْ يُعَلِّقْهُ بِسُنَّةٍ وَلَا بِدْعَةٍ، طُلِّقَتْ بِقُدُومِهِ طَاهِرًا كَانَتْ أَوْ حَائِضًا. لَكِنْ إِنْ كَانَتْ طَاهِرًا فَهُوَ طَلَاقُ سُنَّةٍ، وَإِنْ كَانَتْ حَائِضًا فَهُوَ طَلَاقُ بِدْعَةٍ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَأْثَمُ بِهِ، لِأَنَّهُ لم يقصده.

Dan jika ia berkata: “Jika Zaid datang, maka engkau aku talak,” dan tidak mengaitkannya dengan sunah atau bid‘ah, maka ia tertalak dengan kedatangannya, baik dalam keadaan suci maupun haid. Namun, jika ia dalam keadaan suci maka itu adalah talak sunah, dan jika dalam keadaan haid maka itu adalah talak bid‘ah, hanya saja ia tidak berdosa karenanya, karena ia tidak bermaksud demikian.

ألا ترى أن متعمد وطئ الشُّبْهَةِ آثِمٌ، وَمَنْ لَمْ يَتَعَمَّدْهُ غَيْرُ آثِمٍ، وَإِذَا لَمْ يَأْثَمْ لَمْ يُنْدَبْ إِلَى الرَّجْعَةِ كَالْإِثْمِ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالرَّجْعَةِ قَطْعُ الْإِثْمِ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ وَبَيْنَ قَوْلِهِ إِنْ قَدِمَ زَيْدٌ، إِنَّهَا لَا تُطَلَّقُ إِلَّا بِقُدُومِ زَيْدٍ، لِأَنَّهُمَا جَمِيعًا حَرْفَا شَرْطٍ. وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ، وَأَنْتِ طَالِقٌ أَنْ قَدِمَ بِفَتْحِ الْأَلِفِ طُلِّقَتْ مَكَانَهَا، لِأَنَّهُمَا حَرْفَا جَزَاءٍ عَنْ مَاضٍ سَوَاءٌ كَانَ زَيْدٌ قَدْ قَدِمَ أَمْ لَا؟ لِأَنَّهُ إِنْ لَمْ يَقْدُمْ بَطَلَ الْجَزَاءُ وَثَبَتَ الْحُكْمُ.

Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang sengaja melakukan hubungan suami istri karena syubhat adalah berdosa, sedangkan siapa yang tidak sengaja melakukannya tidak berdosa. Dan jika ia tidak berdosa, maka ia tidak dianjurkan untuk kembali (rujuk) sebagaimana dalam kasus dosa, karena tujuan dari rujuk adalah untuk menghilangkan dosa. Tidak ada perbedaan antara ucapannya: “Engkau tertalak jika Zaid datang” dan ucapannya: “Jika Zaid datang”, karena keduanya merupakan huruf syarat. Namun, jika ia berkata: “Engkau tertalak jika Zaid datang” dan “Engkau tertalak an qadima (dengan membuka huruf alif)”, maka ia tertalak saat itu juga, karena keduanya merupakan huruf balasan untuk sesuatu yang telah terjadi, baik Zaid sudah datang atau belum. Karena jika Zaid belum datang, maka balasan itu batal dan hukum tetap berlaku.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طالق للسنة إذ جَاءَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فَيَوْمُ الْجُمُعَةِ شَرْطٌ وَطَلَاقُ السُّنَّةِ صِفَةٌ فَإِنْ جَاءَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَهِيَ فِي طُهْرٍ لَا جِمَاعَ فِيهِ طُلِّقَتْ، وَإِنْ كَانَتْ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ حَائِضًا فَإِذَا طَهُرَتْ طُلِّقَتْ، وَلَوْ كَانَ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَإِنْ كَانَتْ فِيهِ طَاهِرًا طُلِّقَتْ، وَإِنْ كَانَتْ حَائِضًا فِيهِ لَمْ تُطَلَّقْ إِذَا طَهُرَتْ، لِأَنَّهُ جَعَلَ وُقُوعَ طَلَاقِهَا عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ شَرْطًا، فَلَمْ يَقَعْ فِي غَيْرِهِ. وَلَمْ يَجْعَلْهُ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى شَرْطًا فَجَازَ أَنْ يَقَعَ فِي غَيْرِهِ فَلِذَلِكَ افْتَرَقَا.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak secara sunah jika hari Jumat tiba”, maka hari Jumat adalah syarat dan talak sunah adalah sifat. Jika hari Jumat tiba dan ia dalam keadaan suci tanpa adanya hubungan suami istri, maka ia tertalak. Jika pada hari Jumat ia sedang haid, maka ketika ia telah suci, ia tertalak. Namun, jika ia berkata: “Engkau tertalak secara sunah pada hari Jumat”, maka jika pada hari itu ia dalam keadaan suci, ia tertalak. Jika pada hari itu ia sedang haid, maka ketika ia telah suci, ia tidak tertalak, karena ia mensyaratkan jatuhnya talak dengan sifat tersebut pada hari Jumat, sehingga tidak terjadi pada selain hari itu. Ia tidak menjadikannya sebagai syarat dalam masalah pertama, sehingga boleh terjadi pada selain hari itu. Oleh karena itu, keduanya berbeda.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَلَوْ قَالَ لِصَغِيرَةٍ أَوْ حَامِلٍ أَوْ غَيْرِ مَدْخُولٍ بِهَا: إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ. فَإِنْ قَدِمَ زيد قبل بلوغ لصغيرة وَوَضْعِ الْحَامِلِ، وَوَطْءِ غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ، لِأَنَّهُ لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهِنَّ وَلَا بِدْعَةَ. وَإِنْ قَدِمَ زَيْدٌ بَعْدَ حيض الصغيرة، ووضع الحامل، ووطئ غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا، رُوعِيَ فِيهِنَّ طَلَاقُ السُّنَّةِ اعْتِبَارًا بِحَالِ الشَّرْطِ لَا وَقْتَ الْعَقْدِ، فَإِنْ كُنَّ فِي طُهْرٍ طُلِّقْنَ، وَإِنْ كُنَّ فِي حَيْضٍ لَمْ يُطَلَّقْنَ فِيهِ حَتَّى إِذَا طَهُرْنَ طلقن والله أعلم.

Jika seseorang berkata kepada perempuan yang masih kecil, atau yang sedang hamil, atau yang belum pernah digauli: “Jika Zaid datang, maka engkau tertalak secara sunah.” Jika Zaid datang sebelum si kecil baligh, sebelum wanita hamil melahirkan, dan sebelum wanita yang belum digauli digauli, maka ia tertalak saat itu juga, karena tidak ada sunah maupun bid‘ah dalam talak mereka. Jika Zaid datang setelah si kecil haid, wanita hamil melahirkan, dan wanita yang belum digauli telah digauli, maka pada mereka diperhatikan talak sunah sesuai dengan keadaan saat syarat itu terjadi, bukan saat akad. Jika mereka dalam keadaan suci, maka mereka tertalak. Jika mereka dalam keadaan haid, maka mereka tidak tertalak sampai mereka suci, barulah mereka tertalak. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (ولو قال أنت طالق لفلان طُلِّقَتْ مَكَانَهُ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika seseorang berkata, “Engkau tertalak untuk si Fulan,” maka ia tertalak saat itu juga).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ لِفُلَانٍ فَهِيَ طَالِقٌ فِي الْحَالِ، لِأَنَّ مَعْنَاهُ لِأَجْلِ فُلَانٍ، وَأَمَّا إِذَا قَالَ: أنت طالق لرضى فلان، فقد ذهب قوم إلى أن رضى فُلَانٍ شَرْطٌ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ، وَهَذَا خَطَأٌ بَلِ الطَّلَاقُ وَاقِعٌ فِي الْحَالِ، لِأَنَّ مَعْنَاهُ أنك طالق لرضى فلان كقوله لعبده: أنت حر لرضى اللَّهِ، أَوْ لِوَجْهِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ يُعْتَقُ وَلَا يكون شرطاً، لأن معناه لرضى الله، فإن قال: أردت بقولي لرضى فُلَانٍ الشَّرْطَ وَأَنَّ مَعْنَاهُ أن رَضِيَ فُلَانٌ فَلَا تُطَلَّقُ إِنْ لَمْ يَرْضَ فُلَانٌ دِينَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى، فَلَمْ يَقَعْ إِلَّا أَنْ يَرْضَى فُلَانٌ. فَأَمَّا الظَّاهِرُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun jika seseorang berkata, “Engkau tertalak untuk si Fulan,” maka ia tertalak saat itu juga, karena maksudnya adalah demi si Fulan. Adapun jika ia berkata, “Engkau tertalak demi keridhaan si Fulan,” maka sebagian ulama berpendapat bahwa keridhaan si Fulan adalah syarat jatuhnya talak, dan ini adalah pendapat yang salah. Talak tetap jatuh saat itu juga, karena maksudnya adalah engkau tertalak demi keridhaan si Fulan, sebagaimana ucapannya kepada budaknya: “Engkau merdeka demi keridhaan Allah” atau “karena Allah”, maka budak itu merdeka dan tidak menjadi syarat, karena maksudnya adalah demi keridhaan Allah. Jika ia berkata, “Yang aku maksud dengan ucapanku demi keridhaan si Fulan adalah sebagai syarat, yaitu jika si Fulan ridha, maka talak tidak jatuh jika si Fulan tidak ridha,” maka secara agama antara dia dan Allah Ta‘ala, talak tidak jatuh kecuali jika si Fulan ridha. Adapun secara lahiriah, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَقَعُ الطَّلَاقُ فِي الظَّاهِرِ مُعَجَّلًا اعْتِبَارًا بِحُكْمِ الظَّاهِرِ فِي الْجَزَاءِ.

Pertama: Talak jatuh secara lahiriah langsung, berdasarkan hukum lahiriah dalam balasan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَقَعُ فِي الظَّاهِرِ إِلَّا عَلَى مَا نَوَى، إِذَا رَضِيَ فُلَانٌ اعْتِبَارًا بِاحْتِمَالِ الْكَلَامِ فِي كَوْنِهِ شَرْطًا.

Pendapat kedua: Tidak jatuh secara lahiriah kecuali sesuai dengan niatnya, yaitu jika si Fulan ridha, karena mempertimbangkan kemungkinan ucapan itu sebagai syarat.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ رَضِيَ زَيْدٌ وَإِذَا رَضِيَ زَيْدٌ، صار الرضى شرطاً في وقوع الطلاق، لأن إذا وإن مِنْ حُرُوفِ الشَّرْطِ الْمُسْتَقْبَلَةِ، فَإِنْ رَضِيَ زَيْدٌ وَقَعَ الطَّلَاقُ، وَإِنْ لَمْ يَرْضَ لَمْ يَقَعْ، لكن الرضى فِي قَوْلِهِ: إِنْ رَضِيَ عَلَى الْفَوْرِ فَإِنْ تراخى الرضى لَمْ يَصِحَّ، وَفِي قَوْلِهِ إِذَا رَضِيَ عَلَى التَّرَاخِي، فَلَوْ رَضِيَ وَلَوْ بَعْدَ طُولِ زَمَانٍ صَحَّ، لِمَا ذَكَرْنَا قَبْلُ مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ إن وإذا. وأما رضى زَيْدٍ فَلَا يُعْرَفُ إِلَّا بِقَوْلِهِ قَدْ رَضِيتُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعْتَبَرَ أَمَارَاتُ فِعْلِهِ كَالْمَشِيئَةِ، لَكِنْ إِنْ كَانَ زَيْدٌ صَادِقًا فِي رِضَاهُ وَقَعَ الطَّلَاقُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ. وَهَلْ يَدِينُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak jika Zaid ridha” atau “apabila Zaid ridha”, maka keridhaan menjadi syarat terjadinya talak, karena “apabila” (idza) dan “jika” (in) adalah huruf-huruf syarat untuk masa yang akan datang. Jika Zaid ridha, maka talak jatuh; jika tidak ridha, maka tidak jatuh. Namun, keridhaan pada ucapan “jika Zaid ridha” (in radiya) harus segera (langsung), sehingga jika keridhaan itu tertunda, maka tidak sah. Sedangkan pada ucapan “apabila Zaid ridha” (idza radiya) boleh tertunda, sehingga jika Zaid ridha meskipun setelah waktu yang lama, maka sah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tentang perbedaan antara “in” dan “idza”. Adapun keridhaan Zaid tidak diketahui kecuali dengan ucapannya: “Aku telah ridha”, tanpa memperhatikan tanda-tanda perbuatannya seperti kehendak, namun jika Zaid jujur dalam keridhaannya, maka talak jatuh secara lahir dalam hukum. Apakah ia berdosa di hadapan Allah Ta‘ala atau tidak, ada dua pendapat:

أحدهما: يدين اعتباراً بحقيقة الرضى بِهِ بِالْقَلْبِ.

Pertama: Ia berdosa, dengan mempertimbangkan hakikat keridhaan di dalam hati.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَدِينُ اعْتِبَارًا بِالْقَوْلِ الَّذِي لَا يَتَحَقَّقُ مَا سِوَاهُ. وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ زَيْدٌ فَقَالَ زَيْدٌ: قَدْ شِئْتُ كَاذِبًا كَانَ الطَّلَاقُ وَاقِعًا فِي الْحُكْمِ. وَهَلْ يَدِينُ فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ، فَأَمَّا إِذَا قَالَ: أَنْتِ طالق إذا رضي زيداً وَأَنْ رَضِيَ زَيْدٌ بِفَتْحِ الْأَلِفِ طُلِّقَتْ مِنْ غير اعتبار الرضى لِأَنَّهُمَا حَرْفَا جَزَاءٍ عَنْ مَاضٍ.

Pendapat kedua: Ia tidak berdosa, dengan mempertimbangkan ucapan yang tidak dapat dibuktikan selain itu. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak jika Zaid menghendaki”, lalu Zaid berkata: “Aku telah menghendaki” padahal ia berdusta, maka talak jatuh dalam hukum. Apakah ia berdosa atau tidak? Ada dua pendapat. Adapun jika ia berkata: “Engkau tertalak apabila Zaid ridha” dan “bahwa Zaid telah ridha” (dengan membuka huruf alif pada “an”), maka ia tertalak tanpa memperhatikan keridhaan, karena keduanya adalah huruf jawab untuk masa lampau.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ رَضِيَ زَيْدٌ وَكَانَ زَيْدٌ صَغِيرًا فَرَضِيَ فِي صِغَرِهِ فَفِيهِ وجهان:

Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika Zaid ridha”, dan Zaid masih kecil lalu ia ridha saat masih kecil, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أِنَّهُ لَا حُكْمَ لِرِضَاهُ، لِأَنَّهُ بِالصِّغَرِ خَارِجٌ مِنْ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الرِّضَا، فَعَلَى هَذَا لَا تُطَلَّقُ بِرِضَاهُ فِي صِغَرِهِ، من غير أهل الرضى، ولا تطلق برضاه في كبره لتراخي الرضى.

Pertama: Tidak ada hukum bagi keridhaannya, karena saat kecil ia belum termasuk orang yang layak untuk ridha. Maka, dalam hal ini, talak tidak jatuh dengan keridhaannya saat kecil, karena bukan termasuk ahli ridha, dan tidak jatuh pula dengan keridhaannya saat dewasa karena keridhaannya tertunda.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ضَعِيفٌ أِنَّهَا تُطَلَّقُ بِقَوْلِهِ فِي صِغَرِهِ: قَدْ رَضِيتُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الطَّلَاقِ بِالصِّفَةِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ زَيْدٌ وَكَانَ زَيْدٌ صَغِيرًا فَقَالَ: قَدْ شِئْتُ كَانَ وُقُوعُ طَلَاقِهَا عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا وَهِيَ صَغِيرَةٌ أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شِئْتِ فَقَالَتْ: قَدْ شِئْتُ. كَانَ وُقُوعُ طَلَاقِهَا عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ. وَلَكِنْ لَوْ قَالَ لِلْبَالِغِ وَهِيَ سَكْرَى مِنْ شَرَابٍ مُحَرَّمٍ، أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شِئْتِ فَشَاءَتْ فِي سُكْرِهَا طُلِّقَتْ لِأَنَّ السَّكْرَانَ فِي حُكْمِ الصَّاحِي، وَلَوْ قَالَ لَهَا وَهِيَ صَغِيرَةٌ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ، فَطُلِّقَتْ وَجْهًا وَاحِدًا كَمَا لَوْ عَلَّقَ ذَلِكَ بِدُخُولِ مَنْ لَا قَصْدَ لَهُ مِنْ حِمَارٍ أَوْ بَهِيمَةٍ طُلِّقَتْ.

Pendapat kedua, dan ini lemah: Talak jatuh dengan ucapannya saat kecil: “Aku telah ridha”, dengan menguatkan hukum talak yang digantungkan pada sifat. Demikian pula jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika Zaid menghendaki”, dan Zaid masih kecil lalu berkata: “Aku telah menghendaki”, maka jatuhnya talak mengikuti dua pendapat ini. Demikian pula jika ia berkata kepada istrinya yang masih kecil: “Engkau tertalak jika engkau menghendaki”, lalu ia berkata: “Aku telah menghendaki”, maka jatuhnya talak mengikuti dua pendapat ini. Namun, jika ia berkata kepada wanita dewasa yang sedang mabuk karena minuman haram: “Engkau tertalak jika engkau menghendaki”, lalu ia menghendaki dalam keadaan mabuk, maka talak jatuh, karena orang mabuk dalam hukum disamakan dengan orang sadar. Jika ia berkata kepada istrinya yang masih kecil: “Engkau tertalak jika engkau masuk rumah”, maka talak jatuh menurut satu pendapat, sebagaimana jika ia menggantungkan talak pada masuknya sesuatu yang tidak memiliki kehendak seperti keledai atau binatang ternak, maka talak jatuh.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شِئْتِ، فَقَالَتْ: قَدْ شِئْتُ إِنْ شِئْتَ. فَقَالَ الزَّوْجُ: قَدْ شِئْتُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau menghendaki”, lalu istrinya berkata: “Aku menghendaki jika engkau menghendaki”, lalu suami berkata: “Aku menghendaki”, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أِنَّ الطَّلَاقَ وَاقِعٌ لِحُصُولِ مَشِيئَتِهَا بِمَشِيئَةِ الزَّوْجِ.

Pertama: Talak jatuh karena kehendaknya (istri) telah terjadi dengan kehendak suami.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَوْلَاهُمَا – أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أِنَّ تَعْلِيقَ الطَّلَاقِ بِمَشِيئَتِهَا يَقْتَضِي وُجُودَ مَشِيئَةٍ مُطْلَقَةٍ، وَهَى عَلَّقَتْ مَشِيئَتَهَا بِمَشِيئَةِ الزَّوْجِ فَكَانَتْ مِنْهُ غَيْرَ مُطْلَقَةٍ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih utama: Talak tidak jatuh karena dua alasan. Pertama, penggantungan talak pada kehendaknya (istri) menuntut adanya kehendak yang mutlak, sedangkan ia menggantungkan kehendaknya pada kehendak suami, sehingga kehendaknya tidak mutlak.

وَالثَّانِي: أِنَّ تَعْلِيقَ الْمَشِيئَةِ بِالصِّفَةِ لَا يَجُوزُ، لِأَنَّهُ لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شِئْتِ إِنْ قَامَ زيد لم تصح، كَذَلِكَ إِذَا عَلَّقَتْ مَشِيئَتَهَا بِمَشِيئَةِ الزَّوْجِ.

Kedua, penggantungan kehendak pada sifat tidak diperbolehkan, karena jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau menghendaki jika Zaid berdiri”, maka tidak sah. Demikian pula jika ia menggantungkan kehendaknya pada kehendak suami.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً إِلَّا أَنْ تَشَائِي ثَلَاثًا، فَقَالَتْ: قَدْ شِئْتُ ثَلَاثًا لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةً وَلَا ثَلَاثًا، لِأَنَّهُ جَعَلَ وُقُوعَ الْوَاحِدَةِ مَشْرُوطًا بِأَنْ لَا تَشَاءَ ثَلَاثًا، فَإِذَا شَاءَتْ ثَلَاثًا عُدِمَ الشَّرْطُ فِي الْوَاحِدَةِ فَلَمْ تَقَعْ. فَأَمَّا الثَّلَاثُ فَالْمَشِيئَةُ فِيهَا شَرْطٌ فِي رَفْعِ الْوَاحِدَةِ، وَلَيْسَ بِشَرْطٍ فِي وُقُوعِ الثَّلَاثِ والله أعلم.

Jika seseorang berkata: “Engkau aku talak satu kecuali jika engkau menghendaki tiga,” lalu sang istri berkata: “Aku menghendaki tiga,” maka ia tidak tertalak satu maupun tiga. Sebab, ia menjadikan jatuhnya talak satu bersyarat pada tidak menghendaki tiga. Maka jika ia menghendaki tiga, syarat untuk jatuhnya talak satu tidak terpenuhi, sehingga talak tidak terjadi. Adapun talak tiga, keinginan (mashī’ah) di dalamnya adalah syarat untuk menggugurkan talak satu, dan bukan syarat untuk jatuhnya talak tiga. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ إِنْ لَمْ تَكُونِي حَامِلًا فَأَنْتِ طَالِقٌ وُقِفَ عَنْهَا حَتَّى تَمُرَّ لَهَا دَلَالَةٌ عَلَى الْبَرَاءَةِ مِنَ الْحَمْلِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: Jika engkau tidak hamil maka engkau tertalak, maka statusnya ditangguhkan darinya hingga terdapat tanda yang menunjukkan bahwa ia terbebas dari kehamilan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا قَوْلُهُ: إِنْ لَمْ تَكُونِي حَامِلًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَمَعْنَاهُ إِنْ كُنْتِ حَائِلًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ تَكُونَ حَامِلًا أَوْ حَائِلًا، فَإِذَا نَفَاهُ عَنْ أَحَدِهِمَا تَعَلَّقَ بِالْآخَرِ. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالظَّاهِرُ عِنْدَ اشْتِبَاهِ حَالِهَا أَنَّهَا حائل، فيحرم عليه وطئها، لِأَنَّ الظَّاهِرَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا، وَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا بِعِدَّةِ حُرَّةٍ، ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ هِيَ أَطْهَارٌ.

Al-Mawardi berkata: Adapun ucapannya: Jika engkau tidak hamil maka engkau tertalak, maknanya adalah: Jika engkau tidak mengandung maka engkau tertalak. Maka tidak lepas, ia pasti antara hamil atau tidak hamil. Jika ia menafikan dari salah satunya, maka akan terkait dengan yang lain. Jika demikian, maka yang tampak ketika keadaannya masih samar adalah ia dianggap tidak hamil, sehingga haram baginya (suami) untuk menggaulinya, karena yang tampak adalah talak telah jatuh padanya. Maka wajib baginya untuk memastikan bebasnya rahim dengan masa ‘iddah wanita merdeka, yaitu tiga kali suci.

وَسَوَاءٌ كَانَ قَدِ اسْتَبْرَأَهَا قَبْلَ عَقْدِ طَلَاقِهِ أَمْ لَا، لِأَنَّ هَذَا اسْتِبْرَاءُ طَلَاقٍ فِي الظَّاهِرِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْتَدَّ بِهِ قَبْلَ زَمَانِ وُقُوعِهِ. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا عِنْدَ انْقِضَاءِ الْأَقْرَاءِ مِنْ أَنْ تَكُونَ مُسْتَبْرِئَةً أَوْ غَيْرَ مُسْتَبْرِئَةٍ. فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُسْتَبْرِئَةٍ بَانَتْ بِالظَّاهِرِ، وَهَلْ تَحِلُّ لِلْأَزْوَاجِ قَبْلَ أَنْ تَمْضِيَ مُدَّةُ أَكْثَرِ الْحَمْلِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Sama saja apakah ia telah memastikan bebasnya rahim sebelum akad talak atau belum, karena ini adalah istibra’ (memastikan bebasnya rahim) akibat talak menurut zhahir, sehingga tidak boleh dianggap cukup sebelum waktu jatuhnya talak. Jika demikian, maka keadaannya setelah selesai tiga kali suci tidak lepas dari dua kemungkinan: sudah istibra’ atau belum. Jika belum istibra’, maka ia berpisah dengan zhahir. Apakah ia halal dinikahi laki-laki lain sebelum berlalu masa maksimal kehamilan atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أِنَّهَا قَدْ حَلَّتْ فِي الظَّاهِرِ لِلْأَزْوَاجِ وَإِنْ جَازَ فِي الْمُمْكِنِ أَنْ يَكُونَ بِهَا حَمْلٌ، كَمَا تَحِلُّ الَّتِي نَجُزَ طَلَاقُهَا إِذَا اعْتَدَّتْ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ وَإِنْ أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ بِهَا حَمْلٌ.

Pertama: Ia telah halal secara zhahir untuk dinikahi laki-laki lain, meskipun secara kemungkinan masih bisa saja ia hamil, sebagaimana wanita yang talaknya jatuh dan telah menjalani ‘iddah tiga kali suci, meskipun masih mungkin ia hamil.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَى الْأَزْوَاجِ حَتَّى تَمْضِيَ مُدَّةُ أَكْثَرِ الْحَمْلِ وَهِيَ أَرْبَعُ سِنِينَ فَتَبَيَّنَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا بِيَقِينِ، كَوْنِهَا حَائِلًا وَقْتَ عَقْدِ طَلَاقِهَا، وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذِهِ وَبَيْنَ الَّتِي نَجُزَ طَلَاقُهَا فَأَمْكَنَ بَعْدَ الْأَقْرَاءِ الثَّلَاثَةِ أَنْ تَكُونَ حَامِلًا فَلَا تَحْرُمُ عَلَى الْأَزْوَاجِ بِهَذَا التَّوَهُّمِ الْمُمْكِنِ، وَتَحْرُمُ فِي مَسْأَلَتِنَا بِهَذَا التَّوَهُّمِ الْمُمْكِنِ، أَنَّ التَّوَهُّمَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يُوقِعُ شَكًّا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ، فَجَازَ أَنْ تَحْرُمَ عَلَى الْأَزْوَاجِ، وَالتَّوَهُّمُ فِي الطَّلَاقِ النَّاجِزِ لَا يُوقِعُ شَكًّا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ، وَإِنَّمَا يُوقِعُهُ فِي الْعِدَّةِ مَعَ انْقِضَائِهَا بِحُكْمِ الشَّرْعِ فِي الظَّاهِرِ، فَجَازَ أَنْ لَا تَحْرُمَ عَلَى الْأَزْوَاجِ.

Pendapat kedua: Ia haram dinikahi laki-laki lain hingga berlalu masa maksimal kehamilan, yaitu empat tahun, sehingga dapat dipastikan talak jatuh padanya dengan yakin, yaitu ia benar-benar tidak hamil saat akad talak. Perbedaan antara kasus ini dengan wanita yang talaknya jatuh lalu setelah tiga kali suci masih mungkin hamil, maka ia tidak haram dinikahi laki-laki lain hanya karena kemungkinan tersebut. Sedangkan dalam masalah kita, ia haram dinikahi karena kemungkinan tersebut, sebab kemungkinan dalam masalah ini menimbulkan keraguan dalam jatuhnya talak, sehingga boleh ia haram dinikahi laki-laki lain. Adapun kemungkinan dalam talak yang sudah pasti tidak menimbulkan keraguan dalam jatuhnya talak, hanya menimbulkan keraguan dalam masa ‘iddah, dan jika telah selesai menurut hukum syariat secara zhahir, maka boleh ia tidak haram dinikahi laki-laki lain.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنْ كَانَتْ عِنْدَ انْقِضَاءِ الثَّلَاثَةِ أَقْرَاءٍ مُسْتَبْرِئَةً بِأَنْ ظَهَرَ مِنْهَا أَمَارَاتُ الْحَمْلِ وَشَوَاهِدُهُ، فَفِي اسْتِبَاحَةِ وَطْئِهَا بِهَذِهِ الْأَمَارَاتِ وَجْهَانِ يَخْرُجَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ، فِي نَفَقَةِ الْحَامِلِ الْمُعْتَدَّةِ:

Jika setelah selesai tiga kali suci ia telah istibra’ (terbukti tidak hamil) dengan munculnya tanda-tanda dan bukti kehamilan, maka dalam kebolehan menggaulinya dengan adanya tanda-tanda tersebut terdapat dua pendapat yang berasal dari perbedaan dua pendapat Imam Syafi‘i dalam masalah nafkah bagi wanita hamil yang menjalani ‘iddah:

أَحَدُهُمَا: يَسْتَبِيحُ وطئها بِأَمَارَاتِ الْحَمْلِ اعْتِبَارًا بِالظَّاهِرِ وَتَغْلِيبًا لِحُكْمِهِ.

Pertama: Boleh menggaulinya dengan adanya tanda-tanda kehamilan, berdasarkan zhahir dan menguatkan hukumnya.

وَالْوَجْهُ الثاني: أنه لا يستبيح وطئها وَهُوَ عَلَى تَحْرِيمِهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ غِلَظًا وَرِيحًا وَلَا يَكُونُ حَمْلًا صَحِيحًا.

Pendapat kedua: Tidak boleh menggaulinya, dan tetap haram, karena bisa jadi yang tampak itu hanya gumpalan darah atau angin, dan bukan kehamilan yang sah.

وَالْوَطْءُ الْمَحْظُورُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَبَاحَ بِالشَّكِّ، فَعَلَى هَذَا لَهَا حَالَتَانِ:

Hubungan suami istri yang terlarang tidak boleh dihalalkan hanya dengan keraguan. Maka dalam hal ini ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ لَا تَضَعَ حَمْلًا، فَالطَّلَاقُ قَدْ وَقَعَ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ، وَالْعِدَّةُ قَدِ انْقَضَتْ بِالْأَقْرَاءِ الثَّلَاثَةِ مِنْ بَعْدِ الْعَقْدِ، فَإِنْ كَانَ وَطِئَهَا فَهُوَ وَطْءُ شُبْهَةٍ، تَعْتَدُّ مِنْهُ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ لَا يَمْلِكُ فِيهَا رَجْعَةً.

Yang pertama: Jika ia tidak melahirkan anak, maka talak telah jatuh sejak waktu akad, dan masa ‘iddah telah selesai dengan tiga kali quru’ setelah akad. Jika suami telah menggaulinya, maka itu dianggap sebagai hubungan syubhat, sehingga ia harus menjalani masa ‘iddah tiga kali quru’ dari hubungan tersebut, dan suami tidak memiliki hak rujuk padanya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَضَعَ وَلَدًا فَلَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Keadaan kedua: Jika ia melahirkan anak, maka tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَما: أَنْ تَضَعَهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ عَقْدِ الطَّلَاقِ فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ لِعِلْمِنَا بِكَوْنِهَا حَامِلًا عِنْدَ عَقْدِهِ، لِأَنَّ الْحَمْلَ لَا يَكُونُ أقل من سنة. وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ، فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ وَالْعِدَّةُ مُنْقَضِيَةٌ بِالْأَقْرَاءِ الثَّلَاثَةِ، لِأَنَّ الْحَمْلَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَدِيمَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ فَيَتَعَيَّنُ بِذَلِكَ أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ عَقْدِ الطَّلَاقِ حَامِلًا فَإِنْ كَانَ وَطَئَهَا قَبْلَ الْحَمْلِ، اعْتَدَّتْ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، لِأَنَّهُ وَطْءُ شُبْهَةٍ.

Pertama: Jika ia melahirkan anak kurang dari enam bulan setelah akad talak, maka talak tidak jatuh atasnya, karena kita mengetahui bahwa ia sudah hamil saat akad talak, sebab kehamilan tidak mungkin kurang dari enam bulan. Bagian kedua: Jika ia melahirkan anak lebih dari empat tahun, maka talak jatuh dan masa ‘iddah selesai dengan tiga kali quru’, karena kehamilan tidak mungkin berlangsung lebih dari empat tahun, sehingga dapat dipastikan bahwa ia sudah hamil saat akad talak. Jika suami menggaulinya sebelum hamil, maka ia menjalani masa ‘iddah tiga kali quru’, karena itu adalah hubungan syubhat.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَضَعَهُ مَا بَيْنَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ وَأَرْبَعِ سِنِينَ، فَلِلزَّوْجِ حَالَتَانِ إِحْدَاهُمَا أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ وَطِئَهَا فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ فَيُحْكَمُ لِحَمْلِهَا بِالتَّقَدُّمِ، وَوُجُودِهِ عِنْدَ عَقْدِ الطَّلَاقِ فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ.

Bagian ketiga: Jika ia melahirkan anak antara enam bulan dan empat tahun, maka suami memiliki dua keadaan. Pertama, jika suami tidak menggaulinya dalam rentang waktu tersebut, maka kehamilannya dianggap telah ada sebelumnya, dan kehamilan itu sudah ada saat akad talak, sehingga talak tidak jatuh.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ قَدْ وَطِئَهَا، فَيُنْظَرُ فِي وَضْعِ الْحَمْلِ، فَإِنْ وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ الْوَطْءِ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ فَهُوَ حَمْلٌ مُتَقَدِّمٌ وَقْتَ الْعَقْدِ فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ، وَإِنْ وَضَعَتْهُ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ الْوَطْءِ وَالْعَقْدِ جَمِيعًا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Keadaan kedua: Jika suami telah menggaulinya, maka dilihat dari waktu kelahiran anak. Jika ia melahirkan anak kurang dari enam bulan sejak waktu hubungan, atau lebih dari enam bulan sejak akad, maka itu adalah kehamilan yang sudah ada sebelum akad, sehingga talak tidak jatuh. Namun jika ia melahirkan anak lebih dari enam bulan sejak hubungan dan akad sekaligus, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أِنَّهَا تُطَلَّقُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ حُدُوثِهِ لَا بِنَاءً عَلَى يَقِينٍ مِنْهُ، وَفِي شَكٍّ فِي تَقَدُّمِهِ.

Pertama: Pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu bahwa talak jatuh atasnya dengan mengedepankan hukum terjadinya kehamilan, bukan berdasarkan keyakinan pasti, melainkan karena ada keraguan dalam mendahuluinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أِنَّهَا لَا تُطَلَّقُ لِجَوَازِ تَقَدُّمِهِ، وَتَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْيَقِينِ فِي بَقَاءِ نِكَاحِهِ وَإِسْقَاطًا لِلشَّكِّ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, yaitu bahwa talak tidak jatuh atasnya karena dimungkinkan kehamilan itu sudah ada sebelumnya, dan mengedepankan hukum keyakinan dalam keberlangsungan pernikahan serta meniadakan keraguan dalam jatuhnya talak. Allah lebih mengetahui.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا إِذَا عَكَسَ مَسْأَلَةَ الْكِتَابِ فَقَالَ: إِنْ كُنْتِ حَائِلًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنْ وَطْئِهَا حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ حَامِلًا فَتُطَلَّقَ، وَفِي هَذَا الْمَنْعِ وَجْهَانِ:

Adapun jika seseorang membalik permasalahan dalam kitab ini, lalu berkata: “Jika engkau tidak hamil, maka engkau tertalak,” maka ia dilarang menggaulinya sampai memastikan rahimnya kosong, karena dimungkinkan ia sedang hamil sehingga talak jatuh. Dalam larangan ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أِنَّهُ مَنْعُ تَحْرِيمٍ كَالْمَنْعِ فِي قَوْلِهِ: إِنْ كُنْتِ حَائِلًا فَأَنْتِ طَالِقٌ.

Pertama: Larangan tersebut adalah larangan yang bersifat haram, seperti larangan dalam ucapan: “Jika engkau tidak hamil, maka engkau tertalak.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أِنَّهُ كَرَاهَةٌ لَا تَحْرِيمٌ وَقَدْ أَشَارَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي (الْإِمْلَاءِ) ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يُعَلِّقَ طَلَاقَهَا بِوُجُودِ الْحَمْلِ فَيَكُونَ الْمَنْعُ لِكَرَاهَةٍ لَا لِتَحْرِيمٍ وَبَيْنَ أَنْ يُعَلِّقَهُ بِعَدَمِ الْحَمْلِ فَيَكُونَ الْمَنْعُ مَنْعَ تَحْرِيمٍ هُوَ أَنَّ الْأَصْلَ أَنْ لا حمل فحرم وطئها، إِذَا عَلَّقَهُ بِعَدَمِهِ، وَلَمْ يَحْرُمْ إِذَا عَلَّقَهُ بِوُجُودِهِ. وَإِذَا لَزِمَ اسْتِبْرَاؤُهَا لِوَطْئِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ اسْتَبْرَأَهَا قَبْلَ عقد طلاقها، أو لم يستبرأها، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدِ اسْتَبْرَأَهَا فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَبْرِئَ، وَفِي قَدْرِ مَا يَسْتَبْرِئُ بِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Larangan tersebut adalah makruh, bukan haram, dan hal ini telah disinggung oleh asy-Syafi‘i dalam (al-Imla’). Perbedaannya adalah jika talak digantungkan pada keberadaan kehamilan, maka larangan itu karena makruh, bukan haram. Sedangkan jika digantungkan pada tidak adanya kehamilan, maka larangan itu adalah larangan haram, karena asalnya adalah tidak ada kehamilan sehingga diharamkan menggaulinya jika digantungkan pada ketiadaannya, dan tidak diharamkan jika digantungkan pada keberadaannya. Jika wajib memastikan rahimnya kosong sebelum menggaulinya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: sudah memastikan rahimnya kosong sebelum akad talak, atau belum. Jika belum memastikan rahimnya kosong, maka wajib baginya untuk memastikan, dan dalam kadar waktu memastikan tersebut ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ هِيَ ثَلَاثَةُ أَطْهَارٍ لِأَنَّ اسْتِبْرَاءَ الْحُرَّةِ لَا يَكُونُ بِأَقَلَّ مِنْهَا كَالْعِدَّةِ.

Pertama: Dengan tiga kali quru’, yaitu tiga kali suci, karena memastikan rahim perempuan merdeka tidak boleh kurang dari itu, sebagaimana masa ‘iddah.

والوجه الثاني: أن يَسْتَبْرِئُهَا بِقُرْءٍ وَاحِدٍ لِأَنَّهُ اسْتِبْرَاءٌ لِاسْتِبَاحَةِ الْوَطْءِ وَلَيْسَ بِاسْتِبْرَاءٍ مِنْ فُرْقَةٍ، فَجَرَى مَجْرَى اسْتِبْرَاءِ الْأَمَةِ الْمُشْتَرَاةِ وَالْمَسْبِيَّةِ وَخَالَفَ الِاسْتِبْرَاءَ فِي الْمَسْأَلَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ، لِأَنَّهُ اسْتِبْرَاءُ الْفُرْقَةِ، فَعَلَى هَذَا هَلْ يَكُونُ الْقُرْءُ طُهْرًا أَوْ حَيْضًا؟ فِيهِ وَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي اسْتِبْرَاءِ الْأَمَةِ:

Pendapat kedua: hendaknya ia melakukan istibra’ (penyucian rahim) dengan satu kali quru’ (masa suci atau haid), karena istibra’ ini dilakukan untuk membolehkan hubungan suami istri, bukan istibra’ karena perpisahan. Maka hukumnya seperti istibra’ terhadap budak perempuan yang dibeli atau tawanan, dan berbeda dengan istibra’ pada masalah sebelumnya, karena itu adalah istibra’ karena perpisahan. Berdasarkan hal ini, apakah quru’ itu berarti masa suci atau haid? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, sebagaimana perbedaan pendapat dalam istibra’ budak perempuan:

أَحَدُهُمَا: أنه الطهر.

Salah satunya: bahwa yang dimaksud adalah masa suci.

وَالثَّانِي: أِنَّهُ الْحَيْضُ، وَإِنْ كَانَ قَدِ اسْتَبْرَأَهَا قَبْلَ عَقْدِ طَلَاقِهِ، فَفِي إِجْزَائِهِ عَنِ اسْتِبْرَائِهِ بَعْدَ عَقْدِهِ وَجْهَانِ:

Dan yang kedua: bahwa yang dimaksud adalah haid. Jika istibra’ dilakukan sebelum akad talak, maka mengenai cukup atau tidaknya istibra’ tersebut untuk menggantikan istibra’ setelah akad, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُجْزِئُ لِأَنَّهُ قَدْ يَعْلَمُ بِهِ بَرَاءَةَ الرَّحِمِ.

Salah satunya: cukup, karena dengan itu dapat diketahui kebersihan rahim.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أِنَّهُ لَا يُجْزِئُ، لِتَقَدُّمِهِ عَلَى سَبَبِهِ، كَمَا لَا يُجْزِئُ اسْتِبْرَاءُ أَمَةٍ قَبْلَ الشِّرَاءِ عَنْ أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا بَعْدَ الشِّرَاءِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ مِنْ أَنْ تَظْهَرَ بِهَا أَمَارَاتُ الْحَمْلِ أَوْ لَا تَظْهَرُ، فَإِنْ لَمْ تَظْهَرْ بِهَا أَمَارَاتُ الْحَمْلِ وَلَا اسْتَرَابَتْ بِنَفْسِهَا بَعْدَ زَمَانِ الِاسْتِبْرَاءِ فَهِيَ عَلَى الزَّوْجِيَّةِ وله وطئها، وَإِنْ ظَهَرَ بِهَا أَمَارَاتُ الْحَمْلِ انْتَظَرَ بِهِ حَالَ الْوَضْعِ، وَلَا يَخْلُو حَالُهُ إِذَا وَضَعَتْهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Pendapat kedua: tidak cukup, karena dilakukan sebelum sebabnya, sebagaimana istibra’ terhadap budak perempuan sebelum pembelian tidak cukup untuk menggantikan istibra’ setelah pembelian. Jika demikian, maka setelah istibra’, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: muncul tanda-tanda kehamilan atau tidak. Jika tidak muncul tanda-tanda kehamilan dan ia pun tidak merasa ragu setelah masa istibra’, maka statusnya tetap sebagai istri dan suaminya boleh menggaulinya. Namun jika muncul tanda-tanda kehamilan, maka ditunggu sampai ia melahirkan. Setelah melahirkan, keadaannya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَضَعَهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ عَقْدِهِ فَالطَّلَاقُ بِهِ وَاقِعٌ لِعِلْمِنَا بِوُجُودِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ وَقَدِ انْقَضَتِ الْعِدَّةُ بِانْفِصَالِهِ، وَسَوَاءٌ كَانَ قَدْ وَطِئَهَا مَا بَيْنَ عَقْدِ طَلَاقِهِ وَوَضْعِهِ أَمْ لَا.

Pertama: ia melahirkan kurang dari enam bulan sejak waktu akad, maka talak berlaku karena kita mengetahui bahwa kehamilan itu sudah ada saat akad, dan masa iddahnya pun telah selesai dengan kelahiran tersebut, baik suaminya telah menggaulinya antara akad talak dan kelahiran atau tidak.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ وَقْتِ عَقْدِهِ، فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ لِعِلْمِنَا أَنَّهُ كَانَ مَعْدُومًا عِنْدَ عَقْدِهِ، وَالْوَلَدُ لَاحِقٌ بِهِ، سَوَاءٌ كَانَ يَطَأُ أَمْ لَا، لِأَنَّهَا فِرَاشٌ لَهُ.

Kedua: ia melahirkan lebih dari empat tahun sejak waktu akad, maka tidak terjadi talak karena kita mengetahui bahwa kehamilan itu tidak ada saat akad, dan anak tersebut dinasabkan kepadanya, baik ia telah menggaulinya atau tidak, karena ia adalah istri yang sah baginya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ وَلِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الزَّوْجِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ وَطِئَ فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ أَوْ لَمْ يَطَأْ، فَإِنْ لَمْ يَطَأْ طُلِّقَتْ، لِعِلْمِنَا بِوُجُودِهِ حُكْمًا وَقْتَ الْعَقْدِ، وَإِنْ وَطِئَ فَلَا يَخْلُو أَنْ تَضَعَهُ قَبْلَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وطئه، أو بعدهها، فَإِنْ وَضَعَتْهُ قَبْلَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَطْئِهِ فَهُوَ حَمْلٌ مُتَقَدِّمٌ عِنْدَ الْعَقْدِ، فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ بِوَضْعِهِ مُنْقَضِيَةً، وَإِنْ وَضَعَتْهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَطْئِهِ فَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُتَقَدِّمًا، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ حَادِثًا، وَالطَّلَاقُ لَا يَقَعُ بِالشَّكِّ فَلَا يَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ وَجْهًا وَاحِدًا وَاللَّهُ أعلم.

Ketiga: ia melahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun sejak akad, maka keadaan suami tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia telah menggaulinya dalam rentang waktu tersebut atau tidak. Jika tidak, maka ia ditalak karena kita mengetahui secara hukum bahwa kehamilan itu sudah ada saat akad. Jika ia telah menggaulinya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia melahirkan sebelum enam bulan dari waktu suaminya menggaulinya, atau setelahnya. Jika ia melahirkan sebelum enam bulan dari waktu suaminya menggaulinya, maka itu adalah kehamilan yang sudah ada saat akad, sehingga talak berlaku dengan kelahiran tersebut dan masa iddahnya selesai. Namun jika ia melahirkan setelah enam bulan dari waktu suaminya menggaulinya, maka bisa jadi kehamilan itu sudah ada sebelumnya, bisa juga baru terjadi setelahnya. Karena talak tidak bisa dipastikan dengan adanya keraguan, maka talak tidak wajib baginya dalam satu pendapat. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَتْ لَهُ طَلِّقْنِي فَقَالَ كُلُّ امْرَأَةٍ لِي طَالِقٌ طُلِّقَتِ امْرَأَتُهُ الَّتِي سَأَلَتْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَزَلَهَا بِنِيَّتِهِ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika seorang istri berkata kepada suaminya, “Ceraikan aku,” lalu suaminya berkata, “Setiap istriku aku ceraikan,” maka istrinya yang meminta cerai itu dicerai, kecuali jika ia mengecualikannya dengan niatnya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا قَالَتْ لَهُ وَاحِدَةٌ مِنْ نِسَائِهِ طَلِّقْنِي إِمَّا لِخُصُومَةٍ وَتَغَايُرٍ بَيْنَ الضَّرَائِرِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَقَالَ: نِسَائِي طَوَالِقُ. فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan: Jika salah satu dari istri-istrinya berkata kepadanya, “Ceraikan aku,” baik karena perselisihan atau kecemburuan di antara para istri, atau karena sebab lain, lalu suaminya berkata, “Istri-istriku aku ceraikan.” Maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُرْسِلَ هَذَا الْقَوْلَ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ فِي عَزْلِ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، فَيُطَلَّقْنَ جَمِيعًا، السَّائِلَةُ وَغَيْرُهَا، وَقَالَ مَالِكٌ: لَا تُطَلَّقُ السَّائِلَةُ وَتُطَلَّقُ مَنْ سِوَاهَا، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهَا توجهه بِالْخِطَابِ، وَلَوْ أَرَادَهَا لَقَابَلَهَا بِالْمُوَاجَهَةِ فَلَمَّا عَدَلَ إِلَى خِطَابِ غَائِبٍ خَرَجَتْ مِنْ جُمْلَتِهِنَّ. وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pertama: jika ia mengucapkan perkataan tersebut tanpa niat mengecualikan salah satu dari mereka, maka seluruh istrinya, baik yang meminta maupun yang tidak, dicerai. Imam Malik berkata: Yang meminta cerai tidak dicerai, sedangkan selainnya dicerai, dengan alasan bahwa permintaan itu ditujukan kepadanya secara langsung, dan jika ia memang menginginkan yang meminta, tentu ia akan membalasnya secara langsung pula. Namun ketika ia beralih ke bentuk kalimat untuk orang ketiga, maka yang meminta cerai keluar dari kelompok yang dimaksud. Ini adalah kekeliruan dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أِنَّهُ لَمَّا كَانَ لَوْ قَالَ مُبْتَدِئًا: كُلُّ نِسَائِي طَوَالِقُ، طُلِّقَتْ هَذِهِ الْحَاضِرَةُ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ سَائِلَةً فِي الطَّلَاقِ لِعُمُومِهَا، لِدُخُولِهَا فِي عُمُومِ اللَّفْظِ دُونَ سَبَبِهِ، فَلِذَلِكَ قُلْنَا: إِنَّهُنَّ يُطَلَّقْنَ جَمِيعًا فَقَدْ صَارَ مَالِكٌ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ تَارِكًا لِمَذْهَبِهِ وَمَذْهَبِنَا. فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ، بِأَنَّ عُدُولَهُ عَنِ الْمُوَاجَهَةِ يُخْرِجُهَا مِنَ الْخِطَابِ، فَتَفْسَدُ بِهِ إِذَا قَالَ مُبْتَدِئًا؛ لِأَنَّهَا تَدْخُلُ فِي الطَّلَاقِ وَلَوْ لَمْ يَتَنَاوَلْهَا الْخِطَابُ لَمْ تُطَلَّقْ.

Salah satu alasannya: Jika seseorang berkata sejak awal, “Seluruh istriku tertalak,” maka istri yang hadir ini menjadi tertalak, meskipun ia bukanlah yang bertanya tentang talak, karena keumuman lafaz tersebut, sebab ia termasuk dalam keumuman kata-kata itu tanpa memandang sebabnya. Oleh karena itu, kami katakan: mereka semua menjadi tertalak. Maka dalam hal ini, Malik telah meninggalkan mazhabnya sendiri dan mazhab kami. Adapun dalilnya bahwa berpaling dari penyebutan langsung (muwajah) mengeluarkan istri tersebut dari cakupan ucapan, maka ini menjadi rusak jika ia mengucapkannya sejak awal; karena istri tersebut tetap masuk dalam cakupan talak, dan seandainya ucapan itu tidak mencakupnya, maka ia tidak akan tertalak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ لَهُ نِيَّةٌ فِي عَزْلِ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَلَا تُطَلَّقُ الْمَعْزُولَةُ مِنْهُنَّ سَوَاءٌ كَانَتِ السَّائِلَةَ أَوْ غَيْرَهَا، ويطلق من سوها.

Jenis kedua: Jika ia memiliki niat untuk mengecualikan salah satu dari mereka, maka istri yang dikecualikan itu tidak tertalak, baik ia yang bertanya maupun bukan, dan yang tertalak adalah selainnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: تُطَلَّقُ الْمَعْزُولَةُ مِنْهُنَّ سَوَاءٌ فِي الْعُمُومِ كَدُخُولِهَا فِي التَّعْيِينِ وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ اللَّفْظَ يَصْلُحُ لِجَمَاعَتِهِنَّ مِنْ غَيْرِ اسْتِثْنَاءِ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ كَمَا يَصِحُّ اسْتِثْنَاءُ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، وَإِذَا صَلُحَ لِكِلَا الْأَمْرَيْنِ جَازَ أَنْ يَصْرِفَهُ إِلَى أَيِّهِمَا شَاءَ كَالْعُمُومِ، وَفِي هَذَا الْوَجْهِ خَالَفَ التَّعْيِينَ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ طَلَاقَ الْمَعْزُولَةِ لَا يَقَعُ فَالظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَقَعُ ظَاهِرًا وَلَا بَاطِنًا، فَإِنِ اتَّهَمَتْهُ الْمَعْزُولَةُ أَحْلَفْتُهُ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: لَا تُطَلَّقُ فِي الْبَاطِنِ، وَفِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى، ويطلق فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، لِأَنَّ إِطْلَاقَ الْقَوْلِ يُخَالِفُ تَقْيِيدَ النِّيَّةِ، فَدِينَ فِيهِ وَلَمْ يُقْبَلْ فِي الْحُكْمِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Abu Hanifah berkata: Istri yang dikecualikan itu tetap tertalak dalam keumuman, sebagaimana ia termasuk dalam penetapan (ta‘yīn). Pendapat ini tidak benar, karena lafaz tersebut berlaku untuk seluruh mereka tanpa pengecualian satu pun, sebagaimana sah pula mengecualikan salah satu dari mereka. Jika lafaz itu bisa digunakan untuk kedua keadaan tersebut, maka boleh diarahkan ke salah satunya sesuai kehendaknya, sebagaimana dalam keumuman. Dalam hal ini berbeda dengan penetapan (ta‘yīn). Jika telah tetap bahwa talak bagi yang dikecualikan tidak jatuh, maka yang tampak dari perkataan asy-Syafi‘i adalah bahwa talak itu tidak jatuh baik secara lahir maupun batin. Jika istri yang dikecualikan menuduhnya (berbohong), maka ia harus bersumpah. Sebagian ulama kami berkata: Talak tidak jatuh secara batin, yakni antara dia dengan Allah Ta‘ala, namun jatuh secara lahir dalam hukum, karena ucapan yang mutlak berbeda dengan pembatasan niat. Maka ada tanggungan agama di dalamnya, namun tidak diterima dalam hukum. Allah lebih mengetahui kebenaran.

(بَابُ مَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ مِنَ الْكَلَامِ وما لا يقع إلا بالنية والطلاق من الجامع من كتاب الرجعة ومن كتاب النكاح ومن إملاء مسائل مالك وغير ذلك)

(Bab tentang apa saja yang menyebabkan talak dengan ucapan, dan apa yang tidak jatuh kecuali dengan niat, serta talak yang diambil dari kitab al-Jāmi‘, dari Kitab ar-Raj‘ah, dari Kitab an-Nikāh, dari catatan masalah-masalah Malik, dan selainnya)

قَالَ الشَّافِعِيُّ: رَحِمَهُ اللَّهُ: (ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى الطَّلَاقَ فِي كِتَابِهِ بِثَلَاثَةِ أَسْمَاءَ الطَّلَاقِ وَالْفِرَاقِ وَالسَّرَاحِ) .

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: (Allah Ta‘ala menyebut talak dalam Kitab-Nya dengan tiga nama: talak, firāq (perpisahan), dan sarāh (pembebasan).)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الطَّلَاقُ فَلَا يَقَعُ إِلَّا بِالْكَلَامِ وَمَا قَامَ مَقَامَهُ عِنْدَ الْعَجْزِ عَنِ الْكَلَامِ. وَلَا يَقَعُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ مِنْ غَيْرِ كَلَامٍ، فَلَوْ نَوَى طَلَاقَ امْرَأَتِهِ لَمْ تُطَلَّقْ. وَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَمَالِكٌ فِي إِحْدَى رِوَايَاتِهِ تُطَلَّقُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ حَتَّى لَوْ نَوَى طَلَاقَ امْرَأَتِهِ طُلِّقَتْ، اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى) قَالَ: وَلِأَنَّهُ لَمَّا وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِنِيَّةِ الرِّدَّةِ، جَازَ أَنْ تقع الطَّلَاقُ وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: (إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ بِنِيَّةِ أَنْفُسِهَا) .

Al-Mawardi berkata: Adapun talak, maka tidak jatuh kecuali dengan ucapan atau sesuatu yang menggantikan ucapan ketika tidak mampu berbicara. Talak tidak jatuh hanya dengan niat tanpa ucapan. Jika seseorang hanya berniat menceraikan istrinya, maka istrinya tidak tertalak. Ibnu Sirin dan Malik dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwa talak jatuh hanya dengan niat, sehingga jika seseorang berniat menceraikan istrinya, maka istrinya tertalak. Mereka berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya setiap orang tergantung pada niatnya.” Mereka juga berkata: Karena perpisahan (fasakh) terjadi dengan niat riddah (murtad), maka boleh juga talak terjadi dengan niat. Dalil kami adalah riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala memaafkan umatku atas apa yang dibisikkan oleh dirinya sendiri.”

وَالنِّيَّةُ مِنْ حَدِيثِ النَّفْسِ. فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ مَوْضُوعَةً عَنْهُ، وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ إِزَالَةُ مِلْكٍ وَالْمِلْكُ لَا يَزُولُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ كَالْعِتْقِ وَالْهِبَةِ، وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ أَحَدُ طَرَفَيِ النِّكَاحِ فَلَمْ يَصِحَّ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ كَالْعَقْدِ.

Niat termasuk dalam bisikan hati. Maka hal ini menunjukkan bahwa niat tidak diperhitungkan (dalam hukum talak). Karena talak adalah penghilangan kepemilikan, dan kepemilikan tidak hilang hanya dengan niat, sebagaimana dalam masalah pembebasan budak dan hibah. Dan karena talak adalah salah satu sisi dari akad nikah, maka tidak sah hanya dengan niat, sebagaimana akad nikah itu sendiri.

وَأَمَّا قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: (إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى) فَالْمُرَادُ بِهِ ثَوَابُ قُرَبِهِ إِلَى فِعْلِهَا، فَلَمْ يَدْخُلْ فِيهِ نِيَّةُ الطَّلَاقِ، لَمْ يَفْعَلْ. فَأَمَّا الرِّدَّةُ فَلِأَنَّ ثُبُوتَ الرِّدَّةِ توقع الْفُرْقَةَ وَالرِّدَّةَ فَتَكُونُ بِمُجَرَّدِ الِاعْتِقَادِ كَالْإِيمَانِ وَلَيْسَ كَالطَّلَاقِ.

Adapun sabda beliau ﷺ: “Sesungguhnya setiap orang tergantung pada niatnya,” yang dimaksud adalah pahala atas pendekatannya kepada suatu amal jika ia melakukannya, maka tidak termasuk di dalamnya niat talak jika belum dilakukan. Adapun riddah, karena ketetapan riddah menyebabkan perpisahan dan riddah itu sendiri terjadi hanya dengan keyakinan, sebagaimana iman, dan ini tidak sama dengan talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا صَحَّ أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ إِلَّا بِالْقَوْلِ. فَالْأَلْفَاظُ فِيهِ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ يَكُونُ صَرِيحًا فِيهِ، وَالصَّرِيحُ مَا وَقَعَتْ بِهِ الْفُرْقَةُ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ، وَقِسْمٌ يَكُونُ كِنَايَةً فِيهِ. وَالْكِنَايَةُ مَا وَقَعَتْ بِهِ الْفُرْقَةُ مَعَ النِّيَّةِ وَلَمْ تَقَعْ بِهِ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ، وَقِسْمٌ لَا يَكُونُ صَرِيحًا فِيهِ وَلَا كِنَايَةً: وَهُوَ مَا لَا يَقَعُ بِهِ الفرقة سواء كانت معه نية أم لَمْ تَكُنْ.

Jika telah sah bahwa talak tidak terjadi kecuali dengan ucapan, maka lafaz-lafaz dalam talak terbagi menjadi tiga bagian: bagian yang merupakan lafaz sharih (jelas) dalam talak, dan sharih adalah lafaz yang menyebabkan perpisahan tanpa memerlukan niat; bagian yang merupakan kinayah (sindiran) dalam talak, dan kinayah adalah lafaz yang menyebabkan perpisahan jika disertai niat, dan tidak menyebabkan perpisahan tanpa niat; dan bagian yang bukan sharih maupun kinayah, yaitu lafaz yang tidak menyebabkan perpisahan, baik disertai niat maupun tidak.

فَأَمَّا صَرِيحُ الطَّلَاقِ فَهُوَ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ ثَلَاثَةُ أَلْفَاظٍ الطَّلَاقُ وَالْفِرَاقُ والسَّرَاحُ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: صَرِيحُ الطَّلَاقِ لَفْظَةٌ وَاحِدَةٌ وَهِيَ الطَّلَاقُ دُونَ الْفِرَاقِ وَالسَّرَاحِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ كُلَّ لَفْظٍ تَعَارَفَ النَّاسُ اسْتِعْمَالَهُ فِي الطَّلَاقِ وَغَيْرِ الطَّلَاقِ، لَمْ يَكُنْ صَرِيحًا فِي الطَّلَاقِ، قِيَاسًا عَلَى قَوْلِهِ أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ، وَقَدْ تَعَارَفَ النَّاسُ اسْتِعْمَالَ الْفِرَاقِ وَالسَّرَاحِ فِي غَيْرِ الطَّلَاقِ، فَلَمْ يَكُنْ صَرِيحًا فِي الطَّلَاقِ.

Adapun lafaz sharih dalam talak, menurut mazhab Syafi‘i ada tiga lafaz: “thalāq”, “firāq”, dan “sarāh”. Abu Hanifah berpendapat bahwa lafaz sharih talak hanya satu, yaitu “thalāq”, tidak termasuk “firāq” dan “sarāh”, dengan alasan bahwa setiap lafaz yang biasa digunakan masyarakat untuk makna talak dan selain talak, maka lafaz itu tidak sharih dalam talak, sebagaimana ucapan “engkau haram bagiku”. Dan masyarakat telah terbiasa menggunakan “firāq” dan “sarāh” untuk selain talak, sehingga keduanya tidak sharih dalam talak.

وَدَلِيلُنَا هُوَ: أَنَّ كُلَّ لَفْظٍ وَرَدَ بِهِ الْقُرْآنُ قَصَدَ الْفُرْقَةَ بَيْنَ الْأَزْوَاجِ كَانَ صَرِيحًا فِيهَا كَالطَّلَاقِ، وَقَدْ وَرَدَ الْقُرْآنُ بِهَذِهِ الْأَلْفَاظِ الثَّلَاثَةِ. أَمَّا الطَّلَاقُ فَبِقَولِهِ: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ} [البقرة: 229] . وَبِقَوْلِهِ: {إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} [الطلاق: 1] . وَغَيْرُ ذَلِكَ.

Dalil kami adalah: setiap lafaz yang disebutkan dalam Al-Qur’an dengan maksud perpisahan antara suami istri, maka lafaz itu adalah sharih dalam talak, seperti “thalāq”. Dan Al-Qur’an telah menyebutkan tiga lafaz ini. Adapun “thalāq”, terdapat dalam firman-Nya: {Talak itu dua kali} [Al-Baqarah: 229], dan firman-Nya: {Apabila kamu mentalak istri-istri, maka talaklah mereka pada waktu mereka dapat menjalani idahnya} [At-Talaq: 1], dan selainnya.

وَأَمَّا السَّرَاحُ فَبِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان} وَقَالَ: {فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا} [الأحزاب: 28] . وَأَمَّا الْفِرَاقُ فَبِقَوْلِهِ: {فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ} [الطلاق: 2] . اعْتَرَضُوا عَلَى هَذِهِ الدَّلَالَةِ، وَهِيَ دَلَالَةُ الشَّافِعِيِّ بِخَمْسَةِ أَسْئِلَةٍ:

Adapun “sarāh”, terdapat dalam firman-Nya Ta‘ala: {Maka tahanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik}, dan firman-Nya: {Maka datanglah, aku akan berikan kesenangan kepadamu dan aku akan melepaskanmu dengan pelepasan yang baik} [Al-Ahzab: 28]. Adapun “firāq”, terdapat dalam firman-Nya: {Maka tahanlah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik} [At-Talaq: 2]. Mereka mengkritik dalil ini, yaitu dalil Syafi‘i, dengan lima pertanyaan:

أَحَدُهَا: أَنْ قَالُوا: هَذَا مُنْتَقِضٌ بِالْفِدْيَةِ، قَدْ وَرَدَ بِهَا الْقُرْآنُ فِي الْفُرْقَةِ بِقَوْلِهِ: {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ} [البقرة: 229] . وَلَيْسَ بِصَرِيحٍ فِي الطَّلَاقِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Pertama: Mereka berkata, “Ini terbantahkan dengan lafaz ‘fidyah’, yang juga disebutkan dalam Al-Qur’an terkait perpisahan, dalam firman-Nya: {Maka tidak ada dosa atas keduanya dalam hal yang diberikan oleh istri sebagai tebusan} [Al-Baqarah: 229], padahal lafaz itu tidak sharih dalam talak.” Terhadap hal ini ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْفِدْيَةَ لَفْظٌ صَرِيحٌ فِي حُكْمِهِ أَنَّهُ فَسْخٌ أَوْ طَلَاقٌ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.

Pertama: Bahwa “fidyah” adalah lafaz yang sharih dalam hukumnya, yaitu sebagai fasakh atau talak menurut salah satu dari dua pendapat.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَقْصُودَ الْفِدْيَةِ اسْتِبَاحَةُ مَالِهَا بِهِ، بَعْدَ أَنْ كَانَ مَحْظُورًا قَبْلَهُ بِقَوْلِهِ: {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا} [النساء: 20] . فَنُسِخَ بِقَوْلِهِ: {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ} [البقرة: 229] .

Kedua: Bahwa maksud dari “fidyah” adalah membolehkan harta istri untuk diambil suami, setelah sebelumnya terlarang, sebagaimana firman-Nya: {Dan kamu telah memberikan kepada salah seorang dari mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya sedikit pun} [An-Nisa: 20]. Maka ayat ini di-nasakh dengan firman-Nya: {Maka tidak ada dosa atas keduanya dalam hal yang diberikan oleh istri sebagai tebusan} [Al-Baqarah: 229].

وَالسُّؤَالُ الثَّانِي: أَنْ قَالُوا: الْكِنَايَةُ قَدْ وَرَدَ بِهَا الْقُرْآنُ فِي الْعِتْقِ بِقَوْلِهِ: {فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا} [النور: 33] . وَالْفَكُّ قَدْ وَرَدَ بِهِ الْقُرْآنُ فِي العتق بقوله: {وما أدراك ما العقبة فَكُّ رَقَبَةٍ} [البلد: 12، 13] . وَلَيْسَ الْكِنَايَةُ وَالْفَكُّ مِنْ صَرِيحِ الْعِتْقِ وَكَذَلِكَ السَّرَاحُ وَالْفِرَاقُ جَازَ وَإِنْ وَرَدَ بِهِمَا الْقُرْآنُ أَوْ لَا يَكُونُ مِنْ صَرِيحِ الطَّلَاقِ، فَعَنْهُ جَوَابَانِ.

Pertanyaan kedua: Mereka berkata, “Kinayah telah disebutkan dalam Al-Qur’an terkait pembebasan budak, dalam firman-Nya: {Maka hendaklah kamu adakan perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka} [An-Nur: 33]. Dan lafaz ‘fakk’ juga disebutkan dalam Al-Qur’an terkait pembebasan budak, dalam firman-Nya: {Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki itu? (yaitu) membebaskan budak} [Al-Balad: 12-13]. Padahal kinayah dan ‘fakk’ bukanlah lafaz sharih dalam pembebasan budak. Demikian pula ‘sarāh’ dan ‘firāq’, meskipun disebutkan dalam Al-Qur’an, boleh jadi bukan termasuk lafaz sharih dalam talak.” Terhadap hal ini ada dua jawaban.

أَحَدُهُمَا: لَيْسَ يَلْزَمُ إِذَا كَانَ مَا وَرَدَ بِهِ الْقُرْآنُ فِي الطَّلَاقِ صَرِيحًا، أَنْ يَكُونَ مَا وَرَدَ بِهِ الْقُرْآنُ فِي الطَّلَاقِ صَرِيحًا وَلَا يَكُونُ افْتِرَاقُهُمَا فِيهِ مَانِعًا مِنْ أَنْ يَخْتَصَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحُكْمِهِ.

Pertama: Tidak mesti jika suatu lafaz yang disebutkan dalam Al-Qur’an terkait talak adalah sharih, maka setiap lafaz yang disebutkan dalam Al-Qur’an terkait talak juga harus sharih, dan perbedaan antara keduanya tidak menghalangi masing-masing untuk memiliki hukum tersendiri.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْكِنَايَةَ الْمُرَادُ بِهَا الْعَقْدُ الْمَكْتُوبُ بَيْنَ السَّيِّدِ وَعَبْدِهِ دُونَ الْعِتْقِ وَهِيَ صَرِيحٌ فِيهِ، وَأَمَّا فَكُّ الرَّقَبَةِ، فَلِنُزُولِ ذلك سبب، وهو أن أبا الأشد ابن المحيي كَانَ ذَا قُوَّةٍ يُدِلُّ بِهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ: {أَيَحْسَبُ أَنْ لَنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أحد} إِلَى قَوْلِهِ: {فَلا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ} [البلد: 11] . أَيْ أنه وإن ذل بِقُوَّتِهِ فَلَيْسَ يَقْدِرُ عَلَى اقْتِحَامِ الْعَقَبَةِ، إِلَّا بِفَكِّ رَقَبَةٍ، فَخَرَجَ مَخْرَجَ الْخَبَرِ عَنْ صِفَةِ مُقْتَحِمِهَا، وَلَمْ يَخْرُجْ مَخْرَجَ الْأَمْرِ فَيَصِيرُ بِذَلِكَ مُعْتِقًا لَهَا.

Kedua: bahwa kinayah yang dimaksud di sini adalah akad tertulis antara tuan dan hambanya, bukan pembebasan budak, dan itu merupakan lafaz sharih dalam hal tersebut. Adapun “pembebasan budak” (fakku raqabah), maka ada sebab turunnya ayat tentang hal itu, yaitu bahwa Abu Al-Asyad bin Al-Muhyi adalah seorang yang kuat dan membanggakan kekuatannya, maka Allah Ta‘ala menurunkan ayat tentang dirinya: {Apakah dia mengira bahwa tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya?} hingga firman-Nya: {Maka dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar itu (al-‘aqabah)} [Al-Balad: 11]. Artinya, meskipun ia membanggakan kekuatannya, ia tidak mampu menempuh jalan yang sukar itu kecuali dengan membebaskan budak. Maka ayat tersebut turun dalam bentuk pemberitaan tentang sifat orang yang menempuhnya, dan tidak turun dalam bentuk perintah sehingga dengan itu menjadi pembebasan budak baginya.

وَالسُّؤَالُ الثَّالِثُ: أَنَّ السَّرَاحَ لَوْ كَانَ صَرِيحًا كَالطَّلَاقِ، لَمَا سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عند نزول قوله تعالى: {الطلاق مرتان} عَنِ الثَّالِثَةِ حَتَّى بَيَّنَ فَقَالَ: {أَوْ تَسْرِيحٌ بإحسان} وَلَكَانَ السَّائِلُ يَعْلَمُ أَنَّهُ صَرِيحٌ فَيَسْتَغْنِي عَنِ السُّؤَالِ.

Pertanyaan ketiga: Seandainya “sarah” (pembebasan) itu merupakan lafaz sharih seperti talak, niscaya Rasulullah ﷺ tidak akan ditanya tentang makna “yang ketiga” ketika turun firman Allah Ta‘ala: {Talak itu dua kali} hingga beliau menjelaskan dengan sabdanya: {atau melepaskan (tasrih) dengan cara yang baik}. Seandainya demikian, tentu penanya sudah mengetahui bahwa itu adalah lafaz sharih sehingga tidak perlu lagi bertanya.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنَّ صَرِيحَ الطَّلَاقِ وَكِنَايَتَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي تَخْفَى عَنْ أَهْلِ اللُّغَةِ فَسَأَلَهُ لِيَعْلَمَ صَرِيحَ الشَّرْعِ دُونَ اللُّغَةِ، وَذَلِكَ مِمَّا لَا يَسْتَغْنِي عَنْهُ أَحَدٌ.

Jawabannya: Bahwa lafaz sharih dan kinayah dalam talak adalah bagian dari hukum-hukum syariat yang tersembunyi dari para ahli bahasa, sehingga penanya bertanya kepada beliau untuk mengetahui lafaz sharih menurut syariat, bukan menurut bahasa. Dan hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun.

وَالسُّؤَالُ الرَّابِعُ: أَنَّ الطَّلَاقَ إِنَّمَا كَانَ صَرِيحًا، لِأَنَّ الْقُرْآنَ وَرَدَ بِهِ، وَلَكِنْ لِأَنَّهُ لَا يُسْتَعْمَلُ فِي غَيْرِ الْفُرْقَةِ، لِذَلِكَ صَارَ صَرِيحًا، وَالْفِرَاقُ وَالسَّرَاحُ قَدْ يُسْتَعْمَلَانِ فِي غَيْرِ الْفُرْقَةِ فَكَانَا كِنَايَةً.

Pertanyaan keempat: Bahwa talak menjadi lafaz sharih karena Al-Qur’an menyebutkannya, dan juga karena kata tersebut tidak digunakan kecuali untuk makna perpisahan, sehingga menjadi lafaz sharih. Adapun “firaq” dan “sarah” kadang digunakan untuk selain makna perpisahan, sehingga keduanya menjadi kinayah.

قِيلَ: قَدْ يُسْتَعْمَلُ الطَّلَاقُ فِي غَيْرِ الْفُرْقَةِ، فَيُقَالُ: فُلَانٌ قَدْ طَلَّقَ الدُّنْيَا، إِذَا زَهِدَ فِيهَا وَطَلَّقْتُ فُلَانًا مِنْ وَثَاقِهِ، وَقَدْ دَاعَبَ الشَّافِعِيُّ بَعْضَ إِخْوَانِهِ فَقَالَ.

Dikatakan: Talak juga kadang digunakan untuk selain makna perpisahan, seperti dikatakan: “Fulan telah menceraikan dunia” jika ia zuhud terhadapnya, atau “Aku telah melepaskan Fulan dari ikatannya”. Bahkan Imam Asy-Syafi‘i pernah bersenda gurau dengan salah satu saudaranya dan berkata:

(اذْهَبْ حَصِينُ فَإِنَّ وِدَّكَ طَالِقٌ … مِنِّي وَلَيْسَ طَلَاقَ ذَاتِ البين)

(Pergilah, Hushain, sesungguhnya kasih sayangmu telah aku ceraikan… dariku, namun bukan talak yang memisahkan keluarga)

فما أنكر ذلك حد مِنْ أَهْلِ اللُّغَةِ، فَلَمَّا لَمْ يَمْنَعْ مِنِ اسْتِعْمَالِ الطَّلَاقِ فِي غَيْرِهِ أَنْ يَكُونَ صَرِيحًا فِيهِ، كَذَلِكَ الْفِرَاقُ وَالسَّرَاحُ.

Tidak ada seorang pun dari ahli bahasa yang mengingkari hal itu. Maka ketika penggunaan kata talak untuk selain makna perpisahan tidak menghalangi kata tersebut menjadi lafaz sharih dalam talak, demikian pula halnya dengan “firaq” dan “sarah”.

وَالسُّؤَالُ الْخَامِسُ: أَنَّ الطَّلَاقَ كَانَ صَرِيحًا لِكَثْرَةِ اسْتِعْمَالِهِ، وَالْفِرَاقُ وَالسَّرَاحُ يَقِلُّ اسْتِعْمَالُهُمَا فَكَانَا كِنَايَةً، قِيلَ: الصَّرِيحُ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ فَاقْتَضَى أَنْ يُرَاعَى فِيهِ عُرْفُ الشَّرْعِ لَا عُرْفَ الِاسْتِعْمَالِ، وَهُمَا فِي عُرْفِ الشَّرْعِ كَالطَّلَاقِ، وَإِنْ خَالَفَاهُ فِي عُرْفِ الِاسْتِعْمَالِ. وَقِيَاسٌ ثَانٍ: وَهُوَ أَنَّ إِزَالَةَ الْمِلْكِ إِذَا سَرَى لَمْ يَقِفْ صَرِيحُهُ عَلَى لَفْظٍ وَاحِدٍ كَالْعِتْقِ. وَقِيَاسٌ ثَالِثٌ: وَهُوَ أَنَّ الطَّلَاقَ أَحَدُ طَرَفَيِ النكاح، فوجب أن يزيد صريحه على لفظه واحدة كَالْعَقْدِ، وَقِيَاسٌ رَابِعٌ: وَهُوَ أَنَّ كُلَّ لَفْظٍ لَا يَفْتَقِرُ فِي الطَّلَاقِ عِنْدَ الْغَضَبِ وَالطَّلَبِ إِلَى نِيَّةِ الطَّلَاقِ كَانَ صَرِيحًا فِيهِ كَالطَّلَاقِ، وَقِيَاسٌ خَامِسٌ: أَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ الطَّلَاقِ فَلَمْ يَقِفْ عَلَى لَفْظَةٍ وَاحِدَةٍ، كَالْكِنَايَةِ لِأَنَّ الطَّلَاقَ صَرِيحٌ وَكِنَايَةٌ.

Pertanyaan kelima: Bahwa talak menjadi lafaz sharih karena sering digunakan, sedangkan “firaq” dan “sarah” jarang digunakan sehingga keduanya menjadi kinayah. Dijawab: Lafaz sharih adalah hukum syar‘i, sehingga yang dijadikan tolok ukur adalah kebiasaan syariat, bukan kebiasaan penggunaan bahasa. Dalam kebiasaan syariat, keduanya sama seperti talak, meskipun berbeda dalam kebiasaan penggunaan bahasa. Qiyas (analogi) kedua: Bahwa penghilangan kepemilikan jika berlaku, maka lafaz sharih-nya tidak terbatas pada satu kata saja, seperti dalam ‘itq (pembebasan budak). Qiyas ketiga: Bahwa talak adalah salah satu dari dua sisi pernikahan, maka seharusnya lafaz sharih-nya lebih dari satu kata, sebagaimana dalam akad. Qiyas keempat: Setiap lafaz yang tidak membutuhkan niat talak ketika marah atau diminta, maka itu adalah lafaz sharih dalam talak, seperti kata “talak”. Qiyas kelima: Bahwa ia adalah salah satu dari dua jenis talak, maka tidak terbatas pada satu kata saja, seperti kinayah, karena talak itu ada yang sharih dan ada yang kinayah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ فَقَدْ مَضَى فِي أَجْوِبَةِ الْأَسْئِلَةِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ بِهِ الْقُرْآنُ وَاللَّهُ أعلم.

Adapun jawaban atas qiyas-qiyas mereka telah dijelaskan dalam jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Kemudian, makna asalnya adalah bahwa lafaz tersebut tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Wallahu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فَإِنْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ أَوْ قَدْ طَلَّقْتُكِ أو فارقتك أو سرحتك لزمه) .

Imam Asy-Syafi‘i berkata: (Jika seseorang berkata: “Engkau aku talak”, atau “Aku telah menceraikanmu”, atau “Aku telah memisahkanmu”, atau “Aku telah melepaskanmu”, maka talak jatuh kepadanya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا ثَبَتَ مَا دَلَّلْنَا عَلَيْهِ، أَنَّ صَرِيحَ الطَّلَاقِ ثَلَاثَةُ أَلْفَاظٍ، الطَّلَاقُ وَالْفِرَاقُ وَالسَّرَاحُ، فَإِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ أَوْ قَدْ طَلَّقْتُكِ، أَوْ أَنْتِ مُطَلَّقَةٌ، أَوْ يَا مُطَلَّقَةُ، كَانَ كُلُّ هَذَا صَرِيحًا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ.

Al-Mawardi berkata: Jika telah tetap apa yang telah kami jelaskan, bahwa lafaz sharih talak ada tiga: talak, firaq, dan sarah, maka jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau aku talak”, atau “Aku telah menceraikanmu”, atau “Engkau telah ditalak”, atau “Wahai yang ditalak”, maka semua itu adalah lafaz sharih yang menyebabkan jatuhnya talak.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ مُطَلَّقَةٌ، لَمْ يَكُنْ صَرِيحًا، لِأَنَّهُ إِخْبَارٌ، وَإِذَا قَالَ لَهَا يَا مُطَلَّقَةُ لَمْ يَكُنْ صَرِيحًا، لِأَنَّهُ نِدَاءٌ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ إخبارها وندائها إِنَّمَا يَكُونُ بِحُكْمٍ قَدِ اسْتَقَرَّ عَلَيْهَا، وَلَوْ لَمْ يَسْتَقِرَّ لَمَا صَحَّ أَنْ يَكُونَ نِدَاءً وَلَا خَبَرًا، وَلِأَنَّ قَوْلَهُ أَنْتِ طَالِقٌ إِخْبَارٌ، وَهُوَ صَرِيحٌ، فَكَذَلِكَ قَوْلُهُ: (أَنْتِ مُطَلَّقَةٌ) ، فَإِذَا صَحَّ أَنْ يَكُونَ النِّدَاءُ صَرِيحًا وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ مُفَارَقَةٌ أَوْ قَدْ فَارَقْتُكِ، أَوْ يَا مُفَارَقَةُ، كَانَ صَرِيحًا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ مُسَرَّحَةٌ أَوْ قَدْ سَرَّحْتُكِ، أَوْ يَا مُسَرَّحَةُ، كَانَ كُلُّ هَذَا صَرِيحًا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا.

Abu Hanifah berkata: Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Engkau muthallaqah (perempuan yang ditalak),” maka itu tidak dianggap sebagai lafaz sharih (jelas), karena itu merupakan bentuk pemberitahuan. Dan jika ia berkata, “Wahai muthallaqah,” maka itu juga tidak dianggap sharih, karena itu adalah panggilan. Ini adalah kekeliruan, karena pemberitahuan dan panggilan itu hanya terjadi atas suatu hukum yang telah tetap pada dirinya. Seandainya belum tetap, maka tidak sah jika dijadikan panggilan atau pemberitahuan. Lagi pula, ucapan “Engkau thaliq (tertalak)” adalah pemberitahuan, dan itu adalah lafaz sharih, maka demikian pula ucapan “Engkau muthallaqah.” Maka jika sah panggilan itu sebagai lafaz sharih, demikian pula jika ia berkata, “Engkau mufaraqah (yang telah berpisah),” atau “Aku telah berpisah denganmu,” atau “Wahai mufaraqah,” maka semua itu adalah lafaz sharih dalam terjadinya talak atas dirinya. Demikian pula jika ia berkata, “Engkau musarrahah (yang telah dilepas),” atau “Aku telah melepaskanmu,” atau “Wahai musarrahah,” maka semua itu adalah lafaz sharih dalam terjadinya talak atas dirinya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ يَا مُطَلَّقَةُ صَارَ هَذَا النِّدَاءُ بَعْدَ تَقْدِيمِ الطَّلَاقِ مُحْتَمَلًا فَيُرْجَعُ فِيهِ إِلَى إِرَادَتِهِ، لِزِيَادَةِ طَلَاقٍ، أَوْ لِنِدَاءِ مَنْ وَقَعَ عَلَيْهَا الطَّلَاقُ، وَكَذَلِكَ نَظَائِرُ هَذَا.

Jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau thaliq, wahai muthallaqah,” maka panggilan itu setelah mendahulukan lafaz talak menjadi mengandung kemungkinan makna, sehingga dikembalikan kepada maksudnya: apakah untuk menambah talak, atau hanya memanggil orang yang telah dijatuhi talak. Demikian pula hal-hal yang serupa dengan ini.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ الطَّلَاقُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau ath-thalaq (talak),” maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ صَرِيحٌ يَقَعُ بِغَيْرِ نِيَّةٍ اعْتِبَارًا بِاللَّفْظِ.

Salah satunya: Itu adalah lafaz sharih yang menjatuhkan talak tanpa memerlukan niat, berdasarkan pada lafaznya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَكُونُ كِنَايَةً، لِأَنَّهَا تَكُونُ مُطَلَّقَةً، وَلَا يَكُونُ طَلَاقًا.

Pendapat kedua: Itu adalah kinayah (lafaz sindiran), sehingga dikembalikan kepada niatnya, karena istri menjadi muthallaqah (yang ditalak), bukan berarti talak itu sendiri.

(فصل:)

(Fashl/Bab:)

وإذا قال لها رَجُلٌ طَلَّقْتَ امْرَأَتَكَ هَذِهِ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ صَرِيحًا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika seorang laki-laki ditanya, “Apakah engkau telah menalak istrimu ini?” lalu ia menjawab, “Ya,” maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah itu dianggap sebagai lafaz sharih dalam terjadinya talak atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَظْهَرُ: أَنَّهُ يَكُونُ صَرِيحًا لَا يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى إِرَادَتِهِ كَمَا يَكُونُ الْإِقْرَارُ عِنْدَ سُؤَالِ الْحَاكِمِ صَرِيحًا.

Salah satunya, dan ini yang lebih kuat: Itu dianggap sebagai lafaz sharih yang tidak dikembalikan kepada maksudnya, sebagaimana pengakuan di hadapan hakim ketika ditanya dianggap sebagai lafaz sharih.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ كِنَايَةً يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى إِرَادَتِهِ، لِأَنَّ ظَاهِرَهُ إِخْبَارٌ عن سؤال.

Pendapat kedua: Itu dianggap sebagai kinayah yang dikembalikan kepada maksudnya, karena secara lahiriah itu adalah pemberitahuan atas pertanyaan.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَمْ يَنْوِ فِي الْحُكْمِ وَيَنْوِي فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى لِأَنَّهُ قَدْ يُرِيدُ طَلَاقًا من وثاق كما لو قال لعبده أنت حر يريد حر النفس ولا يسع امرأته وعبده أن يقبلا منه) .

Imam Syafi’i berkata: “Dan tidak berniat dalam hukum, namun berniat antara dirinya dan Allah Ta’ala, karena bisa jadi ia menginginkan talak dari ikatan, sebagaimana jika ia berkata kepada budaknya, ‘Engkau merdeka,’ yang ia maksudkan adalah kebebasan jiwa, dan tidak boleh bagi istrinya maupun budaknya untuk menerima darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ مَنْ تَلَفَّظَ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَقْصِدَ اللَّفْظَ وَيَنْوِيَ الْفُرْقَةَ، فَيَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ إِجْمَاعًا، إِذَا كَانَ الْمُتَلَفِّظُ مِنْ أهل الطلاق.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa keadaan orang yang mengucapkan lafaz sharih talak tidak lepas dari empat bagian: Pertama, ia bermaksud pada lafaz dan berniat untuk berpisah, maka talak jatuh atasnya berdasarkan ijma‘, jika yang mengucapkan adalah orang yang berhak menjatuhkan talak.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَقْصِدَ اللَّفْظَ وَلَا يَنْوِيَ الْفُرْقَةَ، فَيَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ، لِأَنَّ الصَّرِيحَ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ، وَقَالَ دَاوُدُ: لَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ إِلَّا مَعَ النِّيَّةِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى) وَهَذَا خَطَأٌ. لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ. النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالْعِتَاقُ) .

Bagian kedua: Ia bermaksud pada lafaz namun tidak berniat untuk berpisah, maka talak tetap jatuh, karena lafaz sharih tidak memerlukan niat, dan ini adalah pendapat jumhur fuqaha. Dawud berkata: Talak tidak jatuh kecuali dengan niat, berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya setiap orang tergantung pada niatnya.” Ini adalah kekeliruan, karena sabda Nabi ﷺ: “Tiga perkara yang seriusnya adalah serius dan bercandanya pun serius: nikah, talak, dan pembebasan budak.”

وَلِأَنَّ الْفُرْقَةَ تَقَعُ بِالْفَسْخِ تَارَةً وَبِالطَّلَاقِ أُخْرَى. فَلَمَّا لَمْ يَفْتَقِرِ الْفَسْخُ إِلَى النِّيَّةِ، لَمْ يَفْتَقِرِ الطَّلَاقُ إِلَيْهَا، وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَفْتَقِرْ صَرِيحُ الْعِتْقِ إِلَى النِّيَّةِ، لَمْ يَفْتَقِرْ صَرِيحُ الطَّلَاقِ إِلَى النِّيَّةِ وَلِأَنَّهُ قَدِ افْتَرَقَ فِي الطَّلَاقِ حُكْمُ الصَّرِيحِ وَالْكِنَايَةِ، فَلَوِ افْتَقَرَ الصَّرِيحُ إِلَى النِّيَّةِ، لَصَارَ جَمِيعُهُ كِنَايَةً، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ وَقَعَ الطَّلَاقُ مَعَ عَدَمِ النِّيَّةِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا.

Karena perpisahan kadang terjadi dengan fasakh dan kadang dengan talak. Maka, ketika fasakh tidak memerlukan niat, talak pun tidak memerlukannya. Demikian pula, ketika lafaz sharih pembebasan budak tidak memerlukan niat, maka lafaz sharih talak pun tidak memerlukannya. Dan karena dalam talak telah dibedakan antara hukum sharih dan kinayah, maka jika lafaz sharih memerlukan niat, semuanya akan menjadi kinayah. Dengan demikian, talak telah jatuh baik secara lahir maupun batin meskipun tanpa niat.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُبْعِدَ اللَّفْظَ وَيُرِيدَ بِهِ طَلَاقًا مِنْ وِثَاقٍ، أَوْ فِرَاقًا إِلَى سَفَرٍ، أَوْ تَسْرِيحًا إِلَى أَهْلٍ، فَيَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، وَيَدِينُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْبَاطِنِ. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، وَلَا يَدِينُ كَمَا لَا يَدِينُ إِذَا تَلَفَّظَ بِالطَّلَاقِ، وَيُرِيدُ بِهِ غَيْرَ الطَّلَاقِ.

Bagian ketiga: Yaitu seseorang menjauhkan makna lafaz dan bermaksud dengan lafaz tersebut talak dari ikatan, atau perpisahan karena bepergian, atau membebaskan untuk kembali kepada keluarganya. Maka baginya wajib talak secara zahir hukum, dan ia bertanggung jawab di hadapan Allah Ta‘ala secara batin. Abu Hanifah berkata: Talak wajib baginya baik secara zahir maupun batin, dan ia tidak bertanggung jawab (di hadapan Allah), sebagaimana ia juga tidak bertanggung jawab jika mengucapkan lafaz talak namun bermaksud selain talak.

وَدَلِيلُنَا: قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (لَا تُحَاسِبُوا الْعَبْدَ حِسَابَ الرَّبِّ) أَيْ لَا تُحَاسِبُوهُ إِلَّا عَلَى الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ، وَإِنْ كَانَ اللَّهُ تَعَالَى يُحَاسِبُ عَلَى الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ. وقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (إِنَمَا أَحْكُمُ بِالظَّاهِرِ وَيَتَوَلَّى اللَّهُ السَّرَائِرَ) ، وَلِأَنَّ اللَّفْظَ يَحْتَمِلُ مَا نَوَى، لِأَنَّهُ لَوْ صَرَّحَ بِهِ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَيْهِ فَاقْتَضَى إِذَا نَوَاهُ أَنْ يَكُونَ مَدِينًا فِيهِ، لِأَنَّهُ أَحَدُ احْتِمَالَيْهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا أَوْقَعَ الطَّلَاقَ مُرِيدًا بِهِ غَيْرَ الطَّلَاقِ، لِأَنَّهُ يَسْلُبُ اللَّفْظَ حُكْمَهُ الَّذِي لَا يَحْتَمِلُ غَيْرَهُ.

Dalil kami: Sabda Nabi ﷺ: “Janganlah kalian menghisab seorang hamba dengan hisab Tuhan,” maksudnya janganlah kalian menghisabnya kecuali berdasarkan yang tampak, bukan yang batin, meskipun Allah Ta‘ala menghisab baik yang zahir maupun yang batin. Nabi ﷺ juga bersabda: “Aku hanya memutuskan berdasarkan yang zahir, dan Allah yang mengurus perkara batin.” Karena lafaz itu mengandung apa yang diniatkan, sebab jika ia menegaskan niatnya maka lafaz itu akan dibawa kepada niat tersebut, maka jika ia meniatkannya, ia bertanggung jawab atasnya, karena itu salah satu dari dua kemungkinan makna lafaz. Tidak demikian halnya jika ia menjatuhkan talak namun bermaksud selain talak, karena hal itu menghilangkan hukum lafaz yang tidak mengandung makna lain.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ لَا يَقْصِدَ اللَّفْظَ وَلَا يُرِيدَ بِهِ الْفُرْقَةَ وَإِنَّمَا يسبق لِسَانُهُ غَلَطًا أَوْ دَهَشًا أَوْ كَانَ أَعْجَمِيًّا [لَا يَعْرِفُ لَفْظَ الطَّلَاقِ وَلَا حُكْمَهُ] فَالطَّلَاقُ لَازِمٌ لَهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ وَهُوَ مَدِينٌ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى، فَلَا يَلْزَمُهُ فِي الْبَاطِنِ.

Bagian keempat: Yaitu tidak bermaksud dengan lafaz tersebut dan tidak menginginkan perpisahan, melainkan lisannya terucap karena salah atau terkejut, atau ia adalah seorang ‘ajamī (bukan Arab) [yang tidak mengetahui lafaz talak dan hukumnya], maka talak tetap berlaku baginya secara zahir hukum, namun ia bertanggung jawab di hadapan Allah Ta‘ala secara batin, sehingga tidak wajib baginya secara batin.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا زَوْجَةُ الْمَدِينِ فِي طَلَاقِهِ، إِذَا أُلْزِمَ الطَّلَاقَ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ، فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: إِمَّا أَنْ تَعْلَمَ صِدْقَهُ فِيمَا دِينَ فِيهِ فَيَسَعُهَا فِيمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ تُقِيمَ مَعَهُ وَتُمَكِّنَهُ مِنْ نَفْسِهَا، وَلَا يُكْرَهُ لَهَا، وَيَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ نَفَقَتُهَا، وَيَحْرُمُ عَلَيْهَا النُّشُوزُ عَنْهُ، فَإِنْ نَشَزَتْ لَمْ يُجْبِرْهَا الْحَاكِمُ، وَإِنْ أَثِمَتْ لِوُقُوعِ طَلَاقِهِ فِي الظَّاهِرِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْحَاكِمِ إِذَا رَآهُمَا عَلَى الِاجْتِمَاعِ، هَلْ يَلْزَمُهُ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُمَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun istri dari orang yang bertanggung jawab (madīn) dalam talaknya, jika talak diwajibkan secara zahir namun tidak secara batin, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian: Pertama, ia mengetahui kebenaran suaminya dalam hal yang ia bertanggung jawab atasnya, maka baginya diperbolehkan di hadapan Allah Ta‘ala untuk tetap tinggal bersamanya dan membiarkan suaminya menggaulinya, dan hal itu tidak makruh baginya, serta suami tetap wajib menafkahinya, dan haram baginya untuk nusyuz (membangkang) terhadap suaminya. Jika ia nusyuz, hakim tidak memaksanya, meskipun ia berdosa karena talak telah jatuh secara zahir. Ulama kami berbeda pendapat tentang hakim jika melihat keduanya tetap bersama, apakah wajib memisahkan keduanya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ بِحُكْمِ الظَّاهِرِ الْفُرْقَةُ.

Pertama: Hakim wajib memisahkan keduanya berdasarkan hukum zahir.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُهُ لِأَنَّ مَا هُمَا عَلَيْهِ مِنَ الِاجْتِمَاعِ، يَجُوزُ إِبَاحَتُهُ فِي الشَّرْعِ، فَلَوْ فَرَّقَ الْحَاكِمُ بَيْنَهُمَا فَفِي تَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ فِي الْبَاطِنِ وَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي وُجُوبِ حُكْمِهِ بِالْفُرْقَةِ.

Pendapat kedua: Tidak wajib, karena keadaan keduanya yang tetap bersama masih mungkin dibolehkan secara syariat. Jika hakim memisahkan keduanya, maka dalam hal keharaman istri bagi suaminya secara batin terdapat dua pendapat, sebagaimana perbedaan dua pendapat dalam kewajiban hakim memutuskan perpisahan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَعْلَمَ الزَّوْجَةُ كَذِبَهُ فِيمَا دِينَ فِيهِ، فَعَلَيْهَا الْهَرَبُ مِنْهُ، وَلَا يَسَعُهَا فِي حُكْمِ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ أَنْ تُمَكِّنَهُ مِنْ نَفْسِهَا، وَإِنْ جَوَّزْنَا لِلزَّوْجِ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَتِ الْحَاكِمَ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمَا بِالْفُرْقَةِ لَزِمَهُ الْحُكْمُ بِهَا، وَيَجُوزُ لَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ أَنْ تَتَزَوَّجَ بِغَيْرِهِ وَيَجُوزُ لِمَنْ خَطَبَتْهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا إِنْ لَمْ يُصَدِّقِ الزَّوْجَ فِيمَا دِينَ فِيهِ، فَإِنْ عَلِمَ صِدْقَهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا إِنْ لَمْ يَحْكُمِ الْحَاكِمُ بَيْنَهُمَا بِالْفُرْقَةِ.

Bagian kedua: Jika istri mengetahui bahwa suaminya berdusta dalam hal yang ia bertanggung jawab atasnya, maka ia wajib menjauh darinya, dan tidak boleh baginya baik secara zahir maupun batin untuk membiarkan suaminya menggaulinya, meskipun kami membolehkan suami untuk menikmati istrinya. Jika ia meminta hakim untuk memutuskan perpisahan di antara mereka, maka wajib bagi hakim untuk memutuskannya. Setelah selesai masa ‘iddah, ia boleh menikah dengan laki-laki lain, dan laki-laki yang melamarnya boleh menikahinya jika ia tidak membenarkan suaminya dalam hal yang ia bertanggung jawab atasnya. Namun jika ia mengetahui kebenaran suaminya, maka tidak boleh menikahinya kecuali jika hakim telah memutuskan perpisahan di antara mereka.

وَفِي جَوَازِ تَزْوِيجِهِ بِهَا بَعْدَ الْحُكْمِ بِالْفُرْقَةِ وَجْهَانِ.

Dalam hal kebolehan menikahinya setelah diputuskan perpisahan oleh hakim, terdapat dua pendapat.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا تَعْلَمَ الزَّوْجَةُ صِدْقَهُ فِيمَا دِينَ فِيهِ وَلَا كَذِبَهُ فَيُكْرَهُ لَهَا تَمْكِينُهُ مِنْ نَفْسِهَا لِجَوَازِ كَذِبِهِ، وَفِي تَحْرِيمِهِ فِيمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: Jika istri tidak mengetahui kebenaran atau kedustaan suaminya dalam hal yang ia bertanggung jawab atasnya, maka makruh baginya membiarkan suaminya menggaulinya karena kemungkinan suaminya berdusta. Dalam hal keharamannya di hadapan Allah Ta‘ala terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَحْرُمُ عَلَيْهَا فِي الْبَاطِنِ تَغْلِيبًا لِبَقَاءِ النِّكَاحِ، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ فِي حُكْمِ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ.

Salah satu dari keduanya: tidak haram baginya secara batin dengan mengedepankan keberlangsungan pernikahan. Maka, dalam hal ini, ia termasuk dalam hukum bagian pertama.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: يَحْرُمُ عَلَيْهَا فِي الْبَاطِنِ تَغْلِيبًا لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ فِي الظَّاهِرِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ فِي حُكْمِ الْقِسْمِ الثَّانِي. فَلَوِ ادَّعَى عَلَيْهِ تَصْدِيقَهُ فِيمَا دِينَ فِيهِ وَأَنْكَرَتْهُ، فَفِي وُجُوبِ إحلافها عَلَيْهِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى مَا مَضَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun bagian kedua: haram baginya secara batin dengan mengedepankan terjadinya talak secara lahiriah. Maka, dalam hal ini, ia termasuk dalam hukum bagian kedua. Jika ada yang mengklaim atasnya dan ia membenarkannya dalam perkara yang bersifat agama, sementara istrinya mengingkarinya, maka dalam hal kewajiban bersumpah atasnya terdapat dua pendapat, berdasarkan apa yang telah lalu. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عِنْدَ غَضَبٍ أَوْ مَسْأَلَةِ طَلَاقٍ أَوْ رِضًا وَقَدْ يَكُونُ السَبَبُ وَيَحْدُثُ كَلَامٌ عَلَى غَيْرِ السَبَبِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Sama saja apakah itu terjadi karena marah, permintaan talak, atau karena kerelaan. Terkadang ada sebab, lalu terjadi ucapan yang tidak sesuai dengan sebabnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا صريح الطلاق، فيستوي حكمه في الغضب والرضى، وَعِنْدَ مَسْأَلَةِ الطَّلَاقِ، وَفِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَأَمَّا كِنَايَاتُ الطَّلَاقِ فَحُكْمُهَا عِنْدَنَا فِي الغضب والرضى سَوَاءٌ.

Al-Mawardi berkata: Adapun talak sharih, hukumnya sama baik dalam keadaan marah maupun ridha, juga ketika ada permintaan talak maupun pada permulaan. Hal ini telah menjadi kesepakatan. Adapun kinayah talak, menurut kami hukumnya sama saja dalam keadaan marah maupun ridha.

وَعِنْدَ مَسْأَلَةِ الطَّلَاقِ وَفِي الِابْتِدَاءِ أَنَّهُ لَا يَقَعُ إِلَّا بِنِيَّتِهِ وَإِرَادَتِهِ.

Dan ketika ada permintaan talak maupun pada permulaan, maka talak tidak jatuh kecuali dengan niat dan kehendaknya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ: إِنْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِالْكِنَايَاتِ سَبَبٌ، من غضب أو طلب علم يَقَعْ بِهَا الطَّلَاقُ إِلَّا مَعَ النِّيَّةِ، وَإِنْ قَارَنَهَا سَبَبٌ مِنْ طَلَبٍ أَوْ غَضَبٍ فَعِنْدَ مَالِكٍ يَقَعُ الطَّلَاقُ بِجَمِيعِهَا مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ، وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ: يَقَعُ الطَّلَاقُ بِسِتَّةِ أَلْفَاظٍ مِنْهَا بِغَيْرِ نِيَّةٍ، وهي قوله: أنت خلية أبو برية أَوْ بَتَّةٌ، أَوْ بَائِنٌ أَوْ حَرَامٌ أَوْ أَمْرُكِ بِيَدِكِ، وَلَا يَقَعُ بِغَيْرِهَا مِنَ الْكِنَايَاتِ إِلَّا مَعَ النِّيَّةِ، عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فِي مَوْضِعِهِ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ دَلَالَةَ الْحَالِ تَصْرِفُ الْكَلَامَ عَنْ حَقِيقَتِهِ وَمَوْضُوعِهِ إِلَى غَيْرِهِ، وَتَخُصُّهُ بِحُكْمٍ دُونَ حُكْمٍ، اسْتِشْهَادًا بِأَنَّ الْخُلْعَ لَوِ اقْتَرَنَ بِهِ الْعِوَضُ كَانَ صَحِيحًا، وَلَوْ تَجَرَّدَ عَنِ الْعِوَضِ كَانَ كِنَايَةً، فَاخْتَلَفَ حُكْمُهُ بِالْقَرِينَةِ، كَذَلِكَ سَائِرُ الْكِنَايَاتِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ جَزَاءُ الشَّرْطِ مَقْصُورًا عَلَيْهِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْحُكْمُ عَنْ سَبَبٍ مَحْمُولًا عَلَيْهِ.

Abu Hanifah dan Malik berkata: Jika kinayah tidak disertai sebab, baik karena marah atau permintaan, maka talak tidak jatuh kecuali dengan niat. Namun jika disertai sebab, baik permintaan atau marah, maka menurut Malik talak jatuh dengan seluruh lafaz tersebut tanpa niat, sedangkan menurut Abu Hanifah, talak jatuh dengan enam lafaz di antaranya tanpa niat, yaitu ucapannya: “Engkau khaliyyah (bebas), abu bariyyah (terlepas dariku), batta (putus), bain (terpisah), haram (haram bagiku), atau urusanmu di tanganmu.” Selain itu dari kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat, sebagaimana akan dijelaskan pada tempatnya. Hal ini didasarkan pada bahwa indikasi keadaan dapat mengalihkan makna ucapan dari hakikat dan maksud asalnya kepada makna lain, dan mengkhususkannya dengan hukum tertentu, sebagaimana khulu‘ jika disertai kompensasi maka sah, dan jika tanpa kompensasi maka menjadi kinayah, sehingga hukumnya berbeda karena adanya indikasi. Begitu pula seluruh kinayah, dan karena ketika konsekuensi syarat hanya terbatas padanya, maka wajib hukum sebab dibawa kepadanya.

قَالَ: وَلِأَنَّهُ لَفْظٌ مِنْ أَلْفَاظِ الطَّلَاقِ، وَرَدَ عَلَى طَلَبِ الطَّلَاقِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ طَلَاقًا كَالْفِرَاقِ وَالسَّرَاحِ.

Ia berkata: Dan karena itu adalah salah satu lafaz talak yang diucapkan atas permintaan talak, maka wajib dihukumi sebagai talak sebagaimana firāq dan sarāh.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ (أَنَّ رُكَانَةَ بْنَ عَبْدِ يَزِيدَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ سُهَيْمَةَ الْبَتَّةَ، وَجَاءَ إِلَى النَبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَالَ لَهُ: طَلَّقْتُ امْرَأَتِي الْبَتَّةَ، فَقَالَ لَهُ: مَا أَرَدْتَ بِهَا، فَقَالَ وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ إِلَّا وَاحِدَةً، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ألله إِنَّكَ مَا أَرَدْتَ إِلَّا وَاحِدَةً؟ فَقَالَ: وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ إِلَّا وَاحِدَةً) .

Dalil kami adalah riwayat bahwa Rukanah bin ‘Abd Yazid menceraikan istrinya Suhaimah dengan lafaz batta, lalu ia datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Aku telah menceraikan istriku dengan batta.” Maka Nabi ﷺ bertanya kepadanya: “Apa yang engkau maksud dengan itu?” Ia menjawab: “Demi Allah, aku tidak bermaksud kecuali satu talak.” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Demi Allah, apakah engkau tidak bermaksud kecuali satu talak?” Ia menjawab: “Demi Allah, aku tidak bermaksud kecuali satu talak.”

فَرَجَعَ فِيهِ إِلَى إِرَادَتِهِ، وَلَوِ اخْتَلَفَ حُكْمُهُ بِالسَّبَبِ، أَوْ عِنْدَ الْغَضَبِ وَالطَّلَبِ، لَسَأَلَهُ عَنْهُ وَلَبَيَّنَهُ لَهُ. وَلِأَنَّ الأحكام لا تختلف بالغضب والرضى كَسَائِرِ الْأَحْكَامِ، وَلِأَنَّ الْكِنَايَةَ أَحَدُ نَوْعَيِ الطَّلَاقِ فلم تختلف بالرضى وَالْغَضَبِ كَالصَّرِيحِ، وَلِأَنَّهَا كِنَايَةٌ لَمْ تَقْتَرِنْ بِنِيَّةِ الطلاق، فلم يكن طلاقاً كالرضى وَعَدَمِ الطَّلَبِ. فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ: بِأَنَّ دَلَالَةَ الْحَالِ، تَصْرِفُ الْكَلَامَ عَنْ حَقِيقَتِهِ وَمَوْضُوعِهِ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِنَّ الْأَسْبَابَ مُتَقَدِّمَةٌ وَالْأَيْمَانَ بَعْدَهَا مُحْدَثَةٌ، وَقَدْ يَخْرُجُ عَلَى مِثَالِهَا وَعَلَى خِلَافِهَا، فَأَخَذَتْهُ لِمَخْرَجِ يَمِينِهِ، فَإِذَا كَانَ لَفْظُهُ عَامًّا، لَمْ أَعْتَبِرْ بِخُصُوصِ السَّبَبِ. وَإِذَا كَانَ لَفْظُهُ خَاصًّا لَمْ أَعْتَبِرْ بِعُمُومِ السَّبَبِ وَيَرْجِعُ عَنْ نِيَّةِ الطَّلَاقِ فِي حَالِ الْغَضَبِ وَفِي اسْتِشْهَادِهِ كَلَامٌ مَضَى، فِي مَوْضِعِهِ يَمْنَعُ بِهِ مِنْ صِحَّةِ الاستشهاد.

Maka dalam hal ini dikembalikan kepada maksudnya. Andaikata hukumnya berbeda karena sebab, atau pada saat marah dan permintaan, tentu ia akan ditanya tentang hal itu dan akan dijelaskan kepadanya. Karena hukum-hukum tidak berbeda karena marah dan ridha sebagaimana hukum-hukum lainnya, dan karena kinayah adalah salah satu dari dua jenis talak, maka tidak berbeda antara ridha dan marah sebagaimana sharih, dan karena ia adalah kinayah yang tidak disertai niat talak, maka tidak dianggap talak sebagaimana ridha dan tidak adanya permintaan. Adapun dalil bahwa indikasi keadaan dapat memalingkan makna ucapan dari hakikat dan maksud aslinya, maka asy-Syafi‘i berkata: Sesungguhnya sebab-sebab itu mendahului dan sumpah-sumpah datang setelahnya sebagai sesuatu yang baru, dan terkadang bisa sesuai dengan contohnya dan terkadang bertentangan dengannya, maka diambil sesuai dengan keluarnya sumpahnya. Jika lafalnya umum, maka aku tidak memperhatikan kekhususan sebabnya. Dan jika lafalnya khusus, maka aku tidak memperhatikan keumuman sebabnya, dan kembali kepada niat talak dalam keadaan marah. Dalam penjelasannya terdapat pembahasan yang telah lalu pada tempatnya yang mencegah dari sahnya istidlal.

وأما قياسهم على الفراق والسرح فلأنهما صريحان في الرضى والغضب ك (الطلاق) . وَأَمَّا الشَّرْطُ وَالْجَزَاءُ مُخَالِفٌ لِلْحُكْمِ وَالسَّبَبِ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun qiyās mereka terhadap al-firaq dan as-sarah, karena keduanya adalah sharih baik dalam keadaan ridha maupun marah seperti (talak). Adapun syarat dan akibat berbeda dengan hukum dan sebab karena dua hal:

أحدهما: اتصال الشرط وانفصال السبب.

Pertama: Syarat itu bersambung, sedangkan sebab itu terpisah.

والثاني: أَنَّ الشَّرْطَ مَنْطُوقٌ بِهِ فَلَمْ يَدْخُلْهُ احْتِمَالٌ، وَالسَّبَبُ غَيْرُ مَنْطُوقٍ بِهِ، فَدَخَلَهُ الِاحْتِمَالُ وَاللَّهُ أعلم.

Kedua: Syarat itu diucapkan secara eksplisit sehingga tidak ada kemungkinan lain, sedangkan sebab tidak diucapkan secara eksplisit, sehingga masih mengandung kemungkinan. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: فَإِنْ قَالَ قَدْ فَارَقْتُكِ سَائِرًا إِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ سَرَّحْتُكِ إِلَى أَهْلِكِ أَوْ قَدْ طَلَّقْتُكِ مِنْ وَثَاقِكِ أَوْ مَا أَشْبَهَ هَذَا لَمْ يكن طلاقا فإن قيل قد يكون هذا طلاقاً تقدم فأتبعه كلاما يخرج به منه قيل قد يقول: لا إله إلا الله فيكون مؤمنا يبين آخر الكلام عن أوله ولو أفرد (لا إله كان كافراً) .

Asy-Syafi‘i berkata: Jika seseorang berkata, “Aku telah menceraikanmu saat berjalan ke masjid,” atau “Aku telah melepaskanmu kepada keluargamu,” atau “Aku telah menceraikanmu dari ikatanmu,” atau ucapan serupa, maka itu bukanlah talak. Jika dikatakan, “Bukankah ini bisa menjadi talak yang telah terjadi, lalu ia mengikutkannya dengan ucapan yang mengeluarkannya dari talak?” Maka dijawab: Seseorang bisa saja berkata, “La ilaha illallah,” sehingga ia menjadi seorang mukmin, sedangkan akhir ucapannya menjelaskan maksud dari awalnya. Jika hanya mengucapkan “la ilaha” saja, maka ia menjadi kafir.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا قُيِّدَ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ بِمَا يُغَلِّبُ حُكْمَ الصَّرِيحِ، مِثْلَ أَنْ يَقُولَ: قَدْ طَلَّقْتُكِ مِنْ وَثَاقِكِ وَفَارَقْتُكِ إِلَى الْمَسْجِدِ، وَسَرَّحْتُكِ إِلَى أَهْلِكِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika dibatasi dengan sharih talak dengan sesuatu yang menguatkan hukum sharih, seperti ia berkata, “Aku telah menceraikanmu dari ikatanmu dan aku telah berpisah denganmu menuju masjid, dan aku telah melepaskanmu kepada keluargamu.” Maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقُولَ ذَلِكَ فَاصِلًا بَيْنَ قَوْلِهِ: طَلَّقْتُكِ، وَبَيْنَ قَوْلِهِ مِنْ وَثَاقِكِ، فَقَدِ اسْتَقَرَّ حُكْمُ الطَّلَاقِ فِي الْوُقُوعِ بِإِمْسَاكِهِ عَلَى قَوْلِهِ قَدْ طَلَّقْتُكِ وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ، مَا اسْتَأْنَفَهُ بَعْدَ الْإِمْسَاكِ مِنْ قَوْلِهِ مِنْ وَثَاقِكِ وَلَظَهَرَ أَوَّلُ الْكَلَامِ مَرْبُوطًا بِآخِرِهِ كَمَا لَا يُؤَثِّرُ الِاسْتِثْنَاءُ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ وَيُبَيِّنُ الْعَدَدَ بَعْدَ انْقِطَاعِ الْكَلَامِ.

Pertama: Ia mengucapkan hal itu dengan memisahkan antara ucapannya “Aku telah menceraikanmu” dan antara ucapannya “dari ikatanmu”, maka hukum talak telah tetap jatuh dengan menahan pada ucapannya “Aku telah menceraikanmu”, dan apa yang ia lanjutkan setelahnya berupa ucapan “dari ikatanmu” tidak berpengaruh, dan tampaklah awal ucapan terkait dengan akhirnya, sebagaimana istisna’ (pengecualian) dengan “insya Allah” tidak berpengaruh dan penjelasan jumlah setelah terputusnya ucapan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَقُولَ ذَلِكَ مُتَّصِلًا، لَا يَفْصِلُ بَيْنَ قَوْلِهِ: طَلَّقْتُكِ وَبَيْنَ قَوْلِهِ: مِنْ وَثَاقِكِ فَيَصِيرُ أَوَّلُ الْكَلَامِ مَرْبُوطًا بِآخِرِهِ، فَيَخْرُجُ أَوَّلُهُ مِنَ الصَّرِيحِ، بِمَا اتَّصَلَ فِيهِ وفي آخر. كَمَا لَوِ اتَّصَلَ بِالْكَلَامِ اسْتِثْنَاءٌ، صَارَ حُكْمُ أَوَّلِهِ مَحْمُولًا عَلَى الِاسْتِثْنَاءِ بِآخِرِهِ. فَإِنْ قِيلَ: فقد قدح صَرِيحَ الطَّلَاقِ بِقَوْلِهِ: قَدْ طَلَّقْتُكِ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَتَعَقَّبَهُ نَدَمٌ، فَيَصِلُهُ بِقَوْلِهِ مِنْ وَثَاقِكِ، قِيلَ لَا مَعْنَى لِهَذَا التَّوَهُّمِ لِأَنَّ الْكَلَامَ الْمُتَّصِلَ يَتَعَلَّقُ الْحُكْمُ بِجَمِيعِهِ لَا بِبَعْضِهِ، أَلَا تَرَى لَوْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، كَانَ مُوَحِّدًا بِالْإِيمَانِ، وَإِنْ كَانَ أَوَّلُهُ نَفْيًا وَآخِرُهُ إِثْبَاتًا، وَلَيْسَ لِقَائِلٍ أَنْ يَقُولَ: قَدْ كَفَرَ بِقَوْلِهِ لَا إِلَهَ ثُمَّ خَافَ فَاسْتَدْرَكَ بقوله لا إله، فَيَنْبَغِي أَنْ يُحْكَمَ بِكُفْرِهِ، وَلَا يُحْكَمَ بِإِيمَانِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، صَارَ اللَّفْظُ الصَّرِيحُ بِمَا اتَّصَلَ بِهِ مِنَ الْقَرِينَةِ، كِنَايَةً يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ إِنْ نَوَاهُ، وَلَا يَقَعُ بِهِ إِنْ لَمْ يَنْوِهِ.

Kedua: Ia mengucapkan hal itu secara bersambung, tidak memisahkan antara ucapannya “Aku telah menceraikanmu” dan ucapannya “dari ikatanmu”, sehingga awal ucapan menjadi terkait dengan akhirnya, dan awalnya keluar dari status sharih karena adanya sambungan tersebut pada akhirnya. Sebagaimana jika dalam ucapan itu terdapat istisna’ yang bersambung, maka hukum awalnya dibawa kepada istisna’ pada akhirnya. Jika dikatakan: “Ia telah merusak sharih talak dengan ucapannya ‘Aku telah menceraikanmu’, dan bisa jadi setelah itu ia menyesal, lalu ia menyambungnya dengan ucapan ‘dari ikatanmu’,” maka dijawab: Tidak ada makna dari dugaan ini, karena ucapan yang bersambung, hukumnya terkait dengan keseluruhannya, bukan sebagian darinya. Bukankah jika seseorang berkata, “La ilaha illallah,” maka ia menjadi seorang yang bertauhid dengan keimanan, meskipun awalnya berupa penafian dan akhirnya berupa penetapan. Tidak ada yang berhak berkata: “Ia telah kafir dengan ucapannya ‘la ilaha’, lalu ia takut dan memperbaikinya dengan ucapannya ‘illallah’, maka seharusnya dihukumi kafir dan tidak dihukumi beriman.” Jika demikian, maka lafal sharih dengan adanya qarinah yang menyertainya menjadi kinayah, sehingga talak jatuh jika diniatkan, dan tidak jatuh jika tidak diniatkan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِامْرَأَتِهِ: أَنَا طَالِقٌ مِنْكِ، كَانَ كِنَايَةً يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ إِنْ نَوَاهُ، وَلَا يَقَعُ إِنْ لَمْ يَنْوِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ جَعَلَ إِلَيْهَا طَلَاقَ نَفْسِهَا، فَقَالَتْ: أَنْتَ طَالِقٌ مِنِّي كَانَ كِنَايَةً، يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ، إِنْ نَوَتْهُ، وَلَا يَقَعُ إِنْ لَمْ تَنْوِهِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَقَعُ بِهِمَا الطَّلَاقُ إِلَّا إِذَا قَالَ الزَّوْجُ: أَنَا طَالِقٌ مِنْكِ، وَلَا إِذَا قَالَتِ الزَّوْجَةُ: أَنْتَ طَالِقٌ مِنِّي، وَلَوْ قَالَ الزَّوْجُ: أَنَا بَائِنٌ مِنْكِ، أَوْ أَنَا حَرَامٌ عَلَيْكِ، قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ إِنْ نَوَاهُ، وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى مَا خَالَفَنَا فِيهِ بِأَنَّ رَجُلًا جَعَلَ أَمْرَ امْرَأَتِهِ بِيَدِهَا، فَطَلَّقَتْ زَوْجَهَا، فَسَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: خَطَّأَ اللَّهُ نُؤْهَا، هَلَّا طَلَّقَتْ نَفْسَهَا، إِنَّمَا الطَّلَاقُ لَكَ عَلَيْهَا، وَلَيْسَ لَهَا عَلَيْكَ: وَلِأَنَّهُ لَمَّا اخْتَصَّ اسْمُ الطَّلَاقِ بِالزَّوْجَةِ دُونَ الزَّوْجِ، فَقِيلَ لَهَا: إِنَّهَا طَالِقٌ، وَلَمْ يُقَلْ لِلزَّوْجِ: إِنَّهُ طَالِقٌ، وَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ حُكْمُ الطَّلَاقِ بِالزَّوْجَةِ دُونَ الزَّوْجِ، فَتَقَعُ الْفُرْقَةُ بِالطَّلَاقِ عَلَيْهَا وَلَا تَقَعُ بِالطَّلَاقِ عَلَيْهِ، لِأَنَّ ثُبُوتَ الحكم يقتضي ثبوت الاسم، وانتقاء الِاسْمِ يَقْتَضِي انْتِفَاءَ الْحُكْمِ كَمَا أَنَّ انْتِفَاءَ اسْمِ الزَّوْجِيَّةِ يُوجِبُ انْتِفَاءَ حُكْمِهَا وَثُبُوتَ اسْمِهَا يُوجِبُ ثُبُوتَ حُكْمِهَا، قَالَ: وَلِأَنَّ الزَّوْجَ لَوْ كَانَ مَحَلًّا لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهِ، لَكَانَ صَرِيحُ الطَّلَاقِ فِيهِ صَرِيحًا، وَلَكَانَ حُكْمُهُ بِهِ مُتَعَلِّقًا فَلَمَّا انْتَفَى عَنْهُ صَرِيحُ الطَّلَاقِ، وَلَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ الْعِدَّةُ مِنَ الطَّلَاقِ، دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِمَحَلٍّ لِلطَّلَاقِ كَالْأَجْنَبِيِّ، وَلِأَنَّ قَوْلَهُ لِزَوْجَتِهِ: أَنَا طَالِقٌ مِنْكِ، كَقَوْلِهِ لِعَبْدِهِ: أَنَا حُرٌّ مِنْكَ، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ هَذَا عِتْقًا، لَمْ يكن هذا طلاقاً، قال: ولأن الطلاق هو الإطلاق مِنَ الْحَبْسِ، وَالزَّوْجَةُ مَحْبُوسَةٌ عَنِ الْأَزْوَاجِ. فَجَازَ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهَا الطَّلَاقُ وَالزَّوْجُ غَيْرُ مَحْبُوسٍ بِهَا عَنِ الزَّوْجَاتِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ الطَّلَاقُ.

Apabila seorang laki-laki berkata kepada istrinya: “Aku thāliq (tercerai) darimu,” maka itu merupakan kināyah (lafaz sindiran) yang menyebabkan terjadinya talak jika ia meniatkannya, dan tidak terjadi talak jika ia tidak meniatkannya. Demikian pula jika ia menyerahkan urusan talak dirinya kepada istrinya, lalu istrinya berkata: “Engkau thāliq dariku,” maka itu juga merupakan kināyah yang menyebabkan terjadinya talak jika ia meniatkannya, dan tidak terjadi talak jika ia tidak meniatkannya. Abu Hanifah berpendapat: Talak tidak terjadi dengan kedua lafaz tersebut kecuali jika suami berkata: “Aku thāliq darimu,” dan tidak terjadi jika istri berkata: “Engkau thāliq dariku.” Jika suami berkata: “Aku bā’in (terpisah) darimu,” atau “Aku haram atasmu,” Abu Hanifah berpendapat: Talak terjadi jika ia meniatkannya. Abu Hanifah berdalil atas pendapat yang berbeda dengan kami dengan kisah seorang laki-laki yang menyerahkan urusan istrinya kepada istrinya, lalu istrinya men-talak suaminya. Abdullah bin Abbas ditanya tentang hal itu, lalu beliau berkata: “Allah telah menyalahkan akalnya, mengapa ia tidak men-talak dirinya sendiri? Sesungguhnya talak itu hakmu atasnya, bukan haknya atasmu.” Karena nama talak itu khusus untuk istri, bukan untuk suami, sehingga dikatakan kepada istri: “Ia thāliq,” dan tidak dikatakan kepada suami: “Ia thāliq,” maka wajib hukum talak itu khusus untuk istri, bukan untuk suami. Maka perpisahan terjadi dengan talak atas istri, dan tidak terjadi dengan talak atas suami. Karena penetapan hukum menuntut penetapan nama, dan ketiadaan nama menuntut ketiadaan hukum, sebagaimana ketiadaan nama pernikahan menyebabkan ketiadaan hukumnya, dan penetapan namanya menyebabkan penetapan hukumnya. Ia berkata: Dan karena jika suami adalah pihak yang sah untuk dijatuhkan talak atasnya, tentu lafaz talak yang sharih (eksplisit) padanya juga sharih, dan tentu hukumnya juga berlaku atasnya. Maka ketika tidak ada lafaz talak sharih atasnya, dan tidak wajib atasnya masa ‘iddah karena talak, menunjukkan bahwa ia bukan pihak yang sah untuk dijatuhkan talak seperti orang asing. Dan karena ucapan suami kepada istrinya: “Aku thāliq darimu,” seperti ucapannya kepada budaknya: “Aku merdeka darimu.” Maka ketika yang ini bukan pembebasan budak, yang itu pun bukan talak. Ia berkata: Dan karena talak adalah pembebasan dari penahanan, dan istri itu tertahan dari para suami, maka boleh dijatuhkan talak atasnya. Sedangkan suami tidak tertahan olehnya dari para istri, maka tidak boleh dijatuhkan talak atasnya.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، سَأَلَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَى الزَّوْجِ فَقَالَ عُمَرُ: كَيْفَ تَرَى أَنْتَ، فَقَالَ: أَرَى أَنَّهَا وَاحِدَةٌ، وَزَوْجُهَا أَحَقُّ بِهَا، فَقَالَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – نِعْمَ مَا رَأَيْتَ، فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى إِجْمَاعِهِمَا عَلَى أَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ عَلَى الزَّوْجِ كِنَايَةٌ فِيهِ، وَلِأَنَّهُ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ، فَجَازَ أَنْ تَقَعَ الْفُرْقَةُ، بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهِ كَالزَّوْجَةِ، وَلِأَنَّ مَا صَلَحَ أَنْ تَقَعَ بِهِ الْفُرْقَةُ إِذَا وَقَعَ عَلَى الزَّوْجَةِ، جَازَ أَنْ تَقَعَ بِهِ الْفُرْقَةُ إِذَا وَقَعَ عَلَى الزَّوْجِ، كَالتَّحْرِيمِ وَالْبَيْنُونَةِ، وَلِأَنَّ مَنْ صَحَّ إِضَافَةُ كِنَايَةِ الطَّلَاقِ إِلَيْهِ صَحَّ إِضَافَةُ صَرِيحِهِ إِلَيْهِ، كَالزَّوْجَةِ طَرْدًا وَكَالْأَجْنَبِيَّةِ عَكْسًا.

Dalil kami adalah riwayat dari Abdullah bin Mas‘ud, ia bertanya kepada Umar bin Khattab ra. tentang jatuhnya talak atas suami. Umar berkata: “Bagaimana pendapatmu?” Ia menjawab: “Menurutku itu satu talak, dan suaminya lebih berhak untuk kembali kepadanya.” Umar ra. berkata: “Bagus pendapatmu.” Hal ini menunjukkan adanya ijmā‘ (konsensus) keduanya bahwa jatuhnya talak atas suami adalah kināyah padanya. Dan karena ia adalah salah satu dari dua pihak suami-istri, maka boleh terjadi perpisahan dengan jatuhnya talak atasnya sebagaimana pada istri. Dan karena sesuatu yang sah menyebabkan perpisahan jika dijatuhkan atas istri, maka boleh juga menyebabkan perpisahan jika dijatuhkan atas suami, seperti pengharaman dan bain (perpisahan total). Dan karena siapa yang sah dinisbatkan kināyah talak kepadanya, maka sah pula dinisbatkan talak sharih kepadanya, sebagaimana pada istri secara analogi, dan sebagaimana pada orang asing secara kebalikan.

وَالِاسْتِدْلَالُ مِنْ هَذَا الْأَصْلِ هُوَ: أَنَّ صَرِيحَ الطَّلَاقِ أَقْوَى مِنْ كِنَايَتِهِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِكِنَايَةِ الطَّلَاقِ فِي الزوج كان وقوعها بصريحة بها أولى.

Dalil dari prinsip ini adalah: Bahwa talak sharih (eksplisit) lebih kuat daripada kināyah-nya (sindiran). Maka ketika perpisahan terjadi dengan kināyah talak pada suami, maka lebih utama lagi terjadi dengan lafaz sharih.

فأما استدلاله بحيث ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَدْ خَالَفَ عُمَرَ وَابْنَ مَسْعُودٍ، وَقَوْلُ الِاثْنَيْنِ أَقْوَى مِنْ قَوْلِ الْوَاحِدِ. وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِانْتِفَاءِ الِاسْمِ عَنِ الزَّوْجِ أَوْجَبَ انْتِفَاءَ حُكْمِهِ فَبَاطِلٌ بِقَوْلِهِ: أَنَا بَائِنٌ مِنْكِ، وَحَرَامٌ عَلَيْكِ، عَلَى أَنَّ حُكْمَ الطَّلَاقِ مُتَعَلِّقٌ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ وَإِنِ اخْتَصَّ أَحَدُهُمَا بِالِاسْمِ.

Adapun argumentasinya dengan pendapat Ibnu ‘Abbās, maka pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat ‘Umar dan Ibnu Mas‘ūd, dan pendapat dua orang lebih kuat daripada pendapat satu orang. Adapun argumentasinya bahwa hilangnya nama (suami) dari suami mengharuskan hilangnya hukumnya, maka itu batal dengan ucapannya: “Aku bā’in darimu,” dan “Haram atasmu,” padahal hukum talak berkaitan dengan masing-masing dari kedua pasangan, meskipun salah satunya yang secara khusus disebutkan dalam nama.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ صَرِيحُ الطَّلَاقِ فِيهِ صَرِيحًا وَلَا وَجَبَ عَلَيْهِ الْعِدَّةُ لم يكن محالاً لَهُ. فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ فِي حَقِيقَتِهِ صَرِيحًا. لِأَنَّ الصَّرِيحَ مَا اقْتَرَنَ بِهِ عُرْفُ الِاسْتِعْمَالَ عِنْدَهُمْ وَعُرْفُ الْقُرْآنِ عِنْدَنَا وَلَمْ يَتَنَاوَلْ جِهَةَ الزَّوْجِ عُرْفُ الِاسْتِعْمَالِ وَعُرْفُ الْقُرْآنَ، فَكَانَ صَرِيحًا، وَقَدْ تَنَاوَلَهُ فِي جِهَةِ الزَّوْجَةِ عُرْفُ الِاسْتِعْمَالِ وَعُرْفُ الْقُرْآنِ فَكَانَ صَرِيحًا.

Adapun argumentasinya bahwa karena tidak ada lafaz talak yang jelas di dalamnya, maka tidak wajib atasnya masa ‘iddah, sehingga tidak mustahil baginya (tidak jatuh talak), maka jawabannya adalah: karena pada hakikatnya tidak ada lafaz yang jelas. Sebab, yang dimaksud dengan lafaz yang jelas adalah yang disertai dengan kebiasaan penggunaan menurut mereka dan kebiasaan Al-Qur’an menurut kami, dan tidak mencakup sisi suami kebiasaan penggunaan maupun kebiasaan Al-Qur’an, maka itu menjadi jelas. Dan telah mencakup sisi istri kebiasaan penggunaan dan kebiasaan Al-Qur’an, maka itu menjadi jelas.

وَأَمَّا الْعِدَّةُ فَهِيَ الِامْتِنَاعُ مِنَ الْأَزْوَاجِ وَالزَّوْجَةُ مَمْنُوعَةٌ مِنْ ذَلِكَ، فِي حَالِ الزَّوْجِيَّةِ فَمُنِعَتْ مِنْهُ بَعْدَ الزَّوْجِيَّةِ وَالزَّوْجُ غَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْهُ فِي حَالِ الزَّوْجِيَّةِ، فَلَمْ يَكُنْ مَمْنُوعًا مِنْهُ بَعْدَ الزَّوْجِيَّةِ.

Adapun ‘iddah adalah larangan dari para suami, dan istri dilarang dari hal itu pada masa pernikahan, maka ia tetap dilarang setelah pernikahan. Sedangkan suami tidak dilarang dari hal itu pada masa pernikahan, maka ia pun tidak dilarang setelah pernikahan.

وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِقَوْلِهِ لِعَبْدِهِ: أَنَا حُرٌّ مِنْكَ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ كِنَايَةً عَنْ عِتْقِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun argumentasi dengan ucapannya kepada hambanya: “Aku merdeka darimu,” maka para sahabat kami berbeda pendapat, apakah itu merupakan kināyah dari pembebasan atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: يَكُونُ كِنَايَةً فِي عِتْقِهِ، يُعْتَقُ بِهِ إِذَا نَوَاهُ، فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah: itu merupakan kināyah dalam pembebasan, sehingga hamba itu merdeka jika ia meniatkannya. Maka berdasarkan pendapat ini, argumentasi dengan hal itu gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُ لَا يَكُونُ كِنَايَةً، وَلَا يُعْتَقُ بِهِ، فَعَلَى هَذَا الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا، أَنَّ الْعِتْقَ إِنَّمَا هُوَ إِزَالَةُ الرِّقِّ، وَالرِّقُّ يَخْتَصُّ بِالْعَبْدِ دُونَ السَّيِّدِ فَلَمْ يَصِحَّ الْعِتْقُ إِلَّا أَنْ يَتَوَجَّهَ اللَّفْظُ إِلَى الْعَبْدِ دُونَ السَّيِّدِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ رَفْعُ الزَّوْجِيَّةِ الَّتِي قَدِ اشْتَرَكَ فِيهَا الزَّوْجَانِ، فَجَازَ أَنْ تَقَعَ الْفُرْقَةُ بِوُقُوعِهَا عَلَى الزَّوْجَيْنِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Ishāq al-Marwazī, bahwa itu bukan merupakan kināyah, dan tidak menyebabkan hamba itu merdeka. Maka berdasarkan perbedaan ini, pembebasan (hamba) itu hanyalah penghilangan status perbudakan, dan perbudakan itu khusus pada hamba, bukan pada tuan, sehingga tidak sah pembebasan kecuali jika lafaz itu ditujukan kepada hamba, bukan kepada tuan. Tidak demikian halnya dengan talak, karena talak adalah penghapusan status pernikahan yang dimiliki bersama oleh kedua pasangan, sehingga boleh terjadi perpisahan dengan jatuhnya talak pada keduanya.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ الطَّلَاقَ هُوَ إِطْلَاقٌ مِنَ الْحَبْسِ، وَهَذَا مُخْتَصٌّ بِالزَّوْجَةِ دُونَ الزَّوْجِ فَفِيهِ جَوَابَانِ:

Adapun argumentasinya bahwa talak adalah pembebasan dari penahanan, dan ini khusus bagi istri, bukan suami, maka ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الطَّلَاقَ هُوَ الْإِطْلَاقُ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ وَالْعَقْدُ مُتَعَلِّقٌ بِهِمَا فَجَازَ أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ وَاقِعًا عَلَيْهَا.

Pertama: bahwa talak adalah pembebasan dari akad nikah, dan akad itu berkaitan dengan keduanya, sehingga boleh talak itu jatuh atas keduanya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ وَإِنْ كَانَ إِطْلَاقًا مِنْ حَبْسٍ، فَهُوَ مَحْبُوسٌ بِهَا عَنْ نِكَاحِ أُخْتِهَا، وَخَالَتِهَا وَعَمَّتِهَا وَعَنْ نِكَاحِ أَرْبَعٍ سِوَاهَا، كَمَا كَانَتْ مَحْبُوسَةً عَنْ غَيْرِهِ فَجَازَ أَنْ يَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهِ، لِيَنْطَلِقَ مِنْ حَبْسِ هَذَا التَّحْرِيمِ كَمَا وَقَعَ عَلَيْهَا، فَانْطَلَقَتْ مِنْ حَبْسِ التَّحْرِيمِ وَاللَّهُ أعلم.

Kedua: meskipun itu adalah pembebasan dari penahanan, maka suami juga terhalang olehnya dari menikahi saudari istri, bibinya dari pihak ibu, bibinya dari pihak ayah, dan dari menikahi empat wanita selainnya, sebagaimana istri juga terhalang dari selain suaminya. Maka boleh talak itu jatuh atas suami, agar ia terbebas dari penahanan larangan ini sebagaimana talak itu jatuh atas istri, sehingga ia pun terbebas dari penahanan larangan tersebut. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ خَلِيَّةٌ أَوْ بَائِنٌ أَوْ بَرِيئَةٌ أَوْ بَتَّةٌ أَوْ حَرَامٌ أَوْ مَا أشبهه فإن قال قلته ولو أنو طلاقا وأنوي بِهِ السَّاعَةَ طَلَاقًا لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا حَتَّى يبتدئه ونيته الطلاق وما أراد من عدد) .

Imam Syāfi‘ī berkata: “Jika ia berkata: ‘Engkau khaliyyah (bebas), atau bā’in (terputus), atau barī’ah (terlepas), atau battah (putus total), atau harām (haram), atau yang semisalnya, lalu ia berkata: ‘Aku mengucapkannya, meskipun aku meniatkan talak dan meniatkan talak saat itu juga, maka itu tidak menjadi talak hingga ia memulai dengan niat talak dan apa yang ia kehendaki dari jumlah (talak).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْأَلْفَاظَ الَّتِي يُخَاطِبُ بِهَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ فِي الطَّلَاقِ تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ صَرِيحٍ وَكِنَايَةٍ وَمَا لَيْسَ بصريح ولا كناية، فأما صريح فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ ثَلَاثَةُ أَلْفَاظٍ: الطَّلَاقُ، وَالْفِرَاقُ، وَالسَّرَاحُ، وَمَعْنَى الصَّرِيحِ أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ فِي وُقُوعِهِ إِلَى نِيَّةٍ، وَأَمَّا الْكِنَايَةُ فَهُوَ الَّذِي لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ بِهِ إِلَّا مَعَ النِّيَّةِ، وَهُوَ كُلُّ لَفْظٍ دَلَّ عَلَى الْمُبَاعَدَةِ.

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa lafaz-lafaz yang digunakan seorang laki-laki kepada istrinya dalam talak terbagi menjadi tiga bagian: sharih (jelas), kināyah (sindiran), dan yang bukan sharih maupun kināyah. Adapun sharih, telah kami sebutkan bahwa itu ada tiga lafaz: talak, firāq, dan sarāh. Makna sharih adalah bahwa ia tidak memerlukan niat untuk jatuhnya talak. Adapun kināyah, yaitu lafaz yang tidak menjatuhkan talak kecuali dengan niat, dan itu adalah setiap lafaz yang menunjukkan makna menjauhkan.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ (الرَّجْعَةِ) : كُلُّ مَا يُشْبِهُ الطَّلَاقَ فَهُوَ كِنَايَةٌ، وَالْكِنَايَاتُ ضَرْبَانِ: ظَاهِرَةٌ وَبَاطِنَةٌ، فَالظَّاهِرَةُ سِتَّةُ أَلْفَاظٍ، بَتَّةٌ وَخَلِيَّةٌ وَبَرِيَّةٌ وَبَايِنٌ وبتلة وحرام.

Imam Syafi‘i berkata dalam kitab (ar-Raj‘ah): Segala sesuatu yang menyerupai talak adalah kinayah, dan kinayah itu terbagi menjadi dua: zhahir dan batin. Kinayah zhahir terdiri dari enam lafaz: batta, khaliyah, bariyah, ba’in, batilah, dan haram.

والباطنة اعتدي واذهبي وَالْحَقِي بِأَهْلِكِ، وَحَبْلُكِ عَلَى غَارِبِكِ وَلَا حَاجَةَ لِي فِيكِ وَانْكَحِي مَنْ شِئْتِ وَاسْتَبْرِئِي وَتَقَنَّعِي وَقُومِي وَاخْرُجِي وَتَجَرَّعِي، وَذُوقِي وَكُلِي وَاشْرَبِي وَاخْتَارِي وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ عَلَى مَا سَنَشْرَحُهُ، وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ الضَّرْبَيْنِ عِنْدَنَا سَوَاءٌ، وَحُكْمُ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ عِنْدَنَا وَاحِدٌ. فَإِنِ اقْتَرَنَ بِالنِّيَّةِ وَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ وَإِنْ تَجَرَّدَ عَنْهَا لَمْ يَقَعْ.

Adapun kinayah batin adalah: “ber‘iddahlah”, “pergilah”, “kembalilah kepada keluargamu”, “tali (urusan)mu di pundakmu”, “aku tidak membutuhkanmu lagi”, “nikahilah siapa yang kamu kehendaki”, “bersihkan rahimmu”, “berkerudunglah”, “berdirilah”, “keluarlah”, “rasakanlah”, “cicipilah”, “makanlah”, “minumlah”, “pilihlah”, dan lafaz-lafaz lain yang serupa sebagaimana akan kami jelaskan. Kedua jenis kinayah ini menurut kami sama saja, dan hukum kinayah zhahir maupun batin menurut kami adalah satu. Jika disertai niat, maka jatuhlah talak dengannya, dan jika tidak disertai niat, maka tidak jatuh talak.

وَقَالَ مَالِكٌ: الْكِنَايَاتُ الظَّاهِرَةُ يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ الثَّلَاثُ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ، فَإِنْ نَوَى بِهَا وَاحِدَةً كَانَتْ فِي غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا مَا نَوَى، وَفِي الْمَدْخُولِ بِهَا ثَلَاثًا.

Imam Malik berkata: Kinayah zhahir menyebabkan jatuhnya talak tiga tanpa memerlukan niat. Jika diniatkan satu talak, maka untuk istri yang belum digauli berlaku sesuai niatnya, sedangkan untuk istri yang sudah digauli maka jatuh tiga talak.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: جميع الكنايات الظاهرة يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ، إِذَا قَارَنَهَا أَحَدُ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: النِّيَّةُ أَوِ الْغَضَبُ أَوْ طَلَبُ الطَّلَاقِ، وَلَكِنْ مَا كَانَ ظَاهِرًا وَقَعَ بَائِنًا، وَمَا كَانَ مِنْهَا بَاطِنًا وَقَعَ رَجْعِيًّا، إِلَّا أَنْ يُرِيدَ بِهِمَا ثَلَاثًا فَتَكُونَ ثَلَاثًا، وَلَوْ أَرَادَ اثْنَتَيْنِ، لَمْ تَكُنْ إِلَّا وَاحِدَةً، وَلَوْ أَرَادَ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ ثَلَاثًا أَوِ اثْنَتَيْنِ، لَمْ تَكُنْ إِلَّا وَاحِدَةً، وَلَهُ فِي كُلِّ لَفْظَةٍ مَذْهَبٌ يَطُولُ شَرْحُهُ، لَكِنَّ تَقْرِيبَ جُمْلَتِهِ مَا ذَكَرْنَاهُ فصار الخلاف معه في أربعة فصول:

Abu Hanifah berkata: Semua kinayah zhahir menyebabkan jatuhnya talak jika disertai salah satu dari tiga hal: niat, marah, atau permintaan talak. Namun, jika lafaznya zhahir maka jatuh talak ba’in, dan jika lafaznya batin maka jatuh talak raj‘i, kecuali jika ia bermaksud tiga, maka jatuh tiga talak. Jika ia bermaksud dua, maka hanya jatuh satu. Jika dengan lafaz sharih talak ia bermaksud tiga atau dua, maka hanya jatuh satu. Dan dalam setiap lafaz, beliau memiliki pendapat yang penjelasannya panjang, namun ringkasan keseluruhannya adalah seperti yang telah kami sebutkan. Maka perselisihan dengannya terjadi pada empat bab:

أحدهما: أَنَّ الْغَضَبَ وَالطَّلَبَ هَلْ يَقُومَانِ فِي الْكِنَايَةِ مَقَامَ النِّيَّةِ أَمْ لَا؟ .

Pertama: Apakah marah dan permintaan dapat menggantikan niat dalam kinayah atau tidak?

وَالثَّانِي: أَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ بِالْكِنَايَاتِ الظَّاهِرَةِ هَلْ يَكُونُ بَائِنًا أَمْ لَا؟ .

Kedua: Apakah jatuhnya talak dengan kinayah zhahir itu menjadi ba’in atau tidak?

وَالثَّالِثُ: إِذَا أَرَادَ بِالْكِنَايَاتِ اثْنَتَيْنِ هَلْ تَكُونُ اثْنَتَيْنِ أَمْ لَا؟ .

Ketiga: Jika dengan kinayah dimaksudkan dua talak, apakah jatuh dua talak atau tidak?

وَالرَّابِعُ: أَنَّهُ أَرَادَ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ الثَّلَاثَ هَلْ تَكُونُ ثَلَاثًا أَمْ لَا؟ .

Keempat: Jika dengan lafaz sharih talak dimaksudkan tiga, apakah jatuh tiga talak atau tidak?

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ: فِي الطَّلَبِ وَالْغَضَبِ فَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِمَا، وَذَكَرْنَا أَنَّهُ لَا تَأْثِيرَ لَهُمَا فِي صَرِيحٍ وَلَا كِنَايَةٍ.

Adapun bab pertama, tentang permintaan dan marah, telah dibahas sebelumnya, dan telah kami sebutkan bahwa keduanya tidak berpengaruh baik pada lafaz sharih maupun kinayah.

(فَصْلٌ:)

(Bab:)

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ بِالْكِنَايَاتِ الظَّاهِرَةِ، هَلْ يَكُونُ رَجْعِيًّا إِذَا لَمْ يرد به ثلاثاً، فعندنا يَكُونُ رَجْعِيًّا إِنْ أَرَادَ بِهِ وَاحِدَةً أَوِ اثنتين، أو لم تكن له نية في عدده.

Adapun bab kedua, yaitu apakah jatuhnya talak dengan kinayah zhahir menjadi raj‘i jika tidak dimaksudkan tiga, maka menurut kami, talak itu menjadi raj‘i jika dimaksudkan satu atau dua, atau tidak ada niat mengenai jumlahnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَكُونُ بَائِنًا، لَا يَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ قَوْلَهُ: أَنْتِ بَائِنٌ لفظ يقتضي البينونة فوجب أَنْ يَقَعَ الطَّلَاقُ بِهِ بَائِنًا كَالثَّلَاثِ، وَلِأَنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ يَعْمَلَ هَذَا اللَّفْظُ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ، فَيَجِبُ أَنْ يَقَعَ عَلَى مُقْتَضَاهُ، وَإِنْ لَمْ يَعْمَلْ تَجَرَّدَتِ النِّيَّةُ عَنْ لَفْظٍ عَامِلٍ، فَيَجِبُ أَنْ لَا يَقَعَ بِهِ طَلَاقٌ.

Abu Hanifah berkata: Talak itu menjadi ba’in, sehingga tidak boleh rujuk lagi, dengan alasan bahwa ucapannya “engkau ba’in” adalah lafaz yang menunjukkan perpisahan, maka wajib jatuh talak ba’in sebagaimana tiga talak. Karena lafaz tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan: jika lafaz itu berfungsi dalam menjatuhkan talak, maka harus jatuh sesuai maknanya; jika tidak berfungsi, maka niat menjadi terlepas dari lafaz yang berpengaruh, sehingga tidak jatuh talak dengannya.

وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ رُكَانَةَ بْنِ عَبْدِ يَزِيدَ حِينَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ سُهَيْمَةَ الْبَتَّةَ، فَسَأَلَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَمَّا أَرَادَ بِالْبَتَّةَ فَقَالَ: وَاحِدَةً فَأَحْلَفَهُ عَلَيْهَا، وَرَدَّهَا عَلَيْهِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهَا لَا تَكُونُ ثَلَاثًا. فَخَالَفَ قَوْلَ مَالِكٍ وَتَكُونُ رَجْعِيَّةً بِخِلَافِ قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ، وَرُوِيَ أَنَّ الْمُطَّلِبَ بْنَ حنطب طَلَّقَ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ، فَإِنَّ الْوَاحِدَةَ لَا تَبُتُّ، وَهَذَا دَلِيلٌ عَلَيْهِمَا، وَرُوِيَ أَنَّهُ قَالَ: فَإِنَّ الْوَاحِدَةَ تَبُتُّ، يَعْنِي بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ إِنْ لَمْ يُمْسِكْ.

Dalil kami adalah hadis Rukanah bin ‘Abd Yazid ketika ia menalak istrinya Suhaimah dengan lafaz “al-battah”, lalu Nabi ﷺ menanyakan apa yang ia maksud dengan “al-battah”, ia menjawab: satu talak, maka Nabi ﷺ meminta ia bersumpah atas hal itu, lalu Nabi ﷺ mengembalikan istrinya kepadanya. Ini menunjukkan bahwa talak tersebut tidak menjadi tiga. Maka ini menyelisihi pendapat Malik dan menjadi talak raj‘i, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Diriwayatkan pula bahwa al-Muththalib bin Hantab menalak istrinya dengan lafaz “al-battah”, lalu Umar berkata kepadanya: “Pertahankanlah istrimu, karena satu talak tidak memutuskan (hubungan secara total).” Ini adalah dalil bagi keduanya. Diriwayatkan pula bahwa Umar berkata: “Sesungguhnya satu talak memutuskan,” maksudnya adalah setelah habis masa ‘iddah jika tidak dirujuk.

وروي أن التؤمة طَلَّقَ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ فَقَالَ عُمَرُ: مَا أَرَدْتَ قَالَ: وَاحِدَةً فَاسْتَحْلَفَهُ، فَقَالَ: أَتُرَانِي أُقِيمُ عَلَى فَرْجٍ حَرَامٍ، فَأَحْلَفَهُ وَأَقَرَّهُ عَلَى نِكَاحِهِ، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لِعُمَرَ فِي هَذَا مُخَالِفٌ، فَكَانَ إِجْمَاعًا عَلَى مَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ، لِأَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنْ عَدَدٍ وَعِوَضٍ، كَانَ رَجْعِيًّا في المدخول به، قِيَاسًا عَلَى قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ، أَوِ اعْتَدِّي أَوِ اسْتَبْرِئِي رَحِمَكِ، أَوْ أَنْتِ وَاحِدَةٌ، فَإِنَّ أبا حنفية وَافَقَ عَلَى هَذِهِ الْأَرْبَعِ أَنَّهُ يَمْلِكُ بِهَا الرَّجْعَةَ، وَلِأَنَّهَا مُعْتَدَّةٌ يَلْحَقُهَا الطَّلَاقُ فَوَجَبَ أَنْ يَمْلِكَ رَجْعَتَهَا كَالْمُطَلَّقَةِ بِالصَّرِيحِ، وَبِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْكِنَايَةِ، وَلِأَنَّ مَا لَا يَتَعَلَّقُ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِكِنَايَتِهِ، لِتَحْرِيمِ الثَّلَاثِ، وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَمْنَعْ صَرِيحُهُ مِنَ الرَّجْعَةِ لَمْ تَمْنَعْ كِنَايَتُهُ مِنَ الرَّجْعَةِ لِقَوْلِهِ: أَنْتِ وَاحِدَةٌ، هُوَ كِنَايَةُ أَنْتِ طَالِقٌ.

Diriwayatkan bahwa al-Tu’mah menceraikan istrinya dengan lafaz al-battah (talak tegas), lalu ‘Umar bertanya: “Apa yang kamu maksudkan?” Ia menjawab: “Satu talak.” Maka ‘Umar menyuruhnya bersumpah, lalu ia berkata: “Apakah kamu mengira aku akan tetap bersama perempuan yang haram bagiku?” Maka ‘Umar menyuruhnya bersumpah dan menetapkannya tetap dalam pernikahannya. Tidak diketahui ada yang menyelisihi pendapat ‘Umar dalam hal ini, sehingga menjadi ijmā‘ menurut Mālik dan Abū Ḥanīfah. Sebab, jatuhnya talak jika tidak disertai penyebutan jumlah dan tidak ada kompensasi, maka hukumnya raj‘i (dapat dirujuk) pada istri yang sudah digauli, berdasarkan qiyās atas ucapannya: “Kamu tertalak,” atau “Ber‘iddahlah,” atau “Bersihkan rahimmu,” atau “Kamu satu (talak).” Abū Ḥanīfah sepakat bahwa pada keempat lafaz ini, suami masih berhak merujuk istrinya. Karena ia masih dalam masa ‘iddah yang memungkinkan jatuhnya talak, maka wajib suami berhak merujuknya sebagaimana perempuan yang ditalak secara ṣarīḥ (jelas), dan sebagaimana yang telah kami sebutkan dari lafaz kināyah (sindiran). Dan karena sesuatu yang tidak terkait dengan lafaz ṣarīḥ talak, tidak pula terkait dengan lafaz kināyah-nya, untuk mengharamkan tiga talak sekaligus. Dan karena sesuatu yang tidak mencegah rujuk dengan lafaz ṣarīḥ, maka lafaz kināyah-nya pun tidak mencegah rujuk, seperti ucapan: “Kamu satu (talak),” yang merupakan kināyah dari “Kamu tertalak.”

وَلِأَنَّ صَرِيحَ الطَّلَاقِ مِنْ كِنَايَتِهِ فَلَمَّا لَمْ يَرْفَعِ الصَّرِيحُ الرَّجْعَةَ، فَأَوْلَى أن لَا تَرْفَعَهَا الْكِنَايَةُ، وَلِأَنَّهُ لَوْ نَوَى بِالطَّلَاقِ صَرِيحَ أَنَّهُ بَائِنٌ لَمْ يَرْفَعِ الرَّجْعَةَ، فَإِذَا تَجَرَّدَ لَفْظُ الْبَائِنِ عَنِ الصَّرِيحِ، فَأَوْلَى أَن لا يَرْفَعَ الرَّجْعَةَ، فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّهُ لَفْظٌ يَقْتَضِي الْبَيْنُونَةَ، فَمُنْتَقَضٌ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ وَلَا رَجْعَةَ لِي عَلَيْكِ، تَكُونُ طَالِقًا وَلَهُ الرَّجْعَةُ، فَلَمْ يَرْتَفِعْ بِهَذَا اللَّفْظِ، وَإِنْ كَانَ مُقْتَضِيًا لِلْبَيْنُونَةِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ الَّذِي هُوَ الثَّلَاثُ، اسْتِيفَاءُ الْعَدَدِ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّهُ إِذَا وَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ وَقَعَ مُقْتَضَاهُ، فَمُنْتَقَضٌ بِلَفْظِ الطَّلَاقِ، لِأَنَّهُ يَقْتَضِي طَلَاقًا مِنْ جِنْسِهِ، وَقَدْ يَكُونُ رَجْعِيًّا لَا يَخْرُجُ بِهِ مِنْ جِنْسِهِ.

Dan karena lafaz ṣarīḥ talak termasuk dalam kināyah-nya, maka ketika lafaz ṣarīḥ tidak menghilangkan hak rujuk, maka lebih utama lagi kināyah tidak menghilangkannya. Dan jika seseorang berniat dengan talak ṣarīḥ bahwa talaknya bā’in (tidak dapat dirujuk), itu pun tidak menghilangkan hak rujuk. Maka jika lafaz bā’in itu berdiri sendiri tanpa lafaz ṣarīḥ, maka lebih utama lagi tidak menghilangkan hak rujuk. Adapun dalil yang mengatakan bahwa itu adalah lafaz yang menunjukkan perpisahan, maka itu terbantahkan dengan ucapan: “Kamu tertalak dan aku tidak punya rujuk atasmu,” maka ia tetap tertalak dan suami masih berhak merujuknya. Maka tidak hilang hak rujuk dengan lafaz ini, meskipun mengandung makna perpisahan. Adapun makna asal dalam masalah tiga talak adalah terpenuhinya jumlah (tiga). Adapun dalil yang mengatakan bahwa jika talak jatuh dengan lafaz itu maka berlaku konsekuensinya, maka itu terbantahkan dengan lafaz talak, karena lafaz itu menunjukkan talak dari jenisnya, dan terkadang talak itu raj‘i yang tidak mengeluarkan dari jenisnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ إِذَا نَوَى بِالْكِنَايَاتِ اثْنَتَيْنِ وَقَعَ اثْنَتَانِ عِنْدَنَا.

Adapun fasal ketiga: yaitu jika seseorang berniat dengan lafaz kināyah untuk menjatuhkan dua talak, maka jatuh dua talak menurut kami.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا تَقَعُ إِلَّا وَاحِدَةً، اسْتِدْلَالًا بأن قوله: أنت بائن يتضمن البيونة وَهِيَ نَوْعَانِ: صُغْرَى وَهِيَ الَّتِي تُثْبِتُ الرَّجْعَةَ وَتَحِلُّ قَبْلَ زَوْجٍ، وَكُبْرَى وَهِيَ الَّتِي تَقْطَعُ عِصْمَةَ الرَّجْعَةِ وَلَا تَحِلُّ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ، فَإِذَا أَرَادَ الْكُبْرَى وَكَانَتِ الثَّلَاثُ تَبَعًا وَإِنْ لَمْ يُرِدِ الْكُبْرَى وَقَعَتِ الصُّغْرَى، لِأَنَّهَا لَا تَنْفَكُّ عَنْهَا وَهِيَ وَاحِدَةٌ، فَأَمَّا الثِّنْتَانِ فَخَارِجٌ مِنْهُمَا، وَلِأَنَّ لَفْظَ الْبَيْنُونَةِ لَا يَتَضَمَّنُ عَدَدًا، لِأَنَّ الْبَائِنَ مِثْلُ الْحَائِضِ وَالطَّاهِرِ، وَلَا يَحْسُنُ أَنْ تَقُولَ: أَنْتِ بَائِنَتَانِ كَمَا لَا يَحْسُنُ أَنْ تَقُولَ: أَنْتِ حَائِضَتَانِ وَطَاهِرَتَانِ، فَإِذَا لَمْ يَتَضَمَّنِ الْعَدَدَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعَلَّقَ عَلَيْهِ الْعَدَدُ.

Abū Ḥanīfah berkata: Tidak jatuh kecuali satu talak saja, dengan alasan bahwa ucapan “Kamu bā’in” mengandung makna perpisahan, dan perpisahan itu ada dua macam: sughrā, yaitu yang masih membolehkan rujuk dan boleh menikah sebelum menikah dengan laki-laki lain; dan kubrā, yaitu yang memutuskan ikatan rujuk dan tidak boleh menikah kecuali setelah menikah dengan laki-laki lain. Jika yang dimaksud adalah kubrā dan telah terjadi tiga talak, maka itu mengikuti (niatnya), dan jika tidak dimaksudkan kubrā maka jatuh sughrā, karena sughrā tidak bisa dipisahkan darinya dan itu satu talak. Adapun dua talak, maka itu di luar keduanya. Dan karena lafaz al-baynūnah tidak mengandung jumlah, sebab bā’in seperti haid dan suci, dan tidak pantas dikatakan: “Kamu bā’in dua kali,” sebagaimana tidak pantas dikatakan: “Kamu haid dua kali” atau “suci dua kali.” Maka jika tidak mengandung jumlah, tidak boleh dikaitkan dengan jumlah.

وَدَلِيلُنَا هُوَ: أَنَّ كُلَّ عَدَدٍ مَلَكَ إِيقَاعَهُ بِالصَّرِيحِ، مَلَكَ إِيقَاعَهُ بِالْكِنَايَةِ كَالثَّلَاثِ، وَلِأَنَّ وُقُوعَ الثَّلَاثِ أَغْلَظُ مِنْ وُقُوعِ الثِّنْتَيْنِ، لِأَنَّ الثَّالِثَةَ لَا تَقَعُ إِلَّا بَعْدَ الثَّانِيَةِ، فَإِذَا وَقَعَتِ الثِّنْتَانِ مَعَ الثَّالِثَةِ فَأَوْلَى أَنْ تَقَعَ الثِّنْتَانِ دُونَ الثَّالِثَةِ، فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ الْبَيْنُونَةَ بِالصَّرِيحِ لَا تَكُونُ بِوَاحِدَةٍ فَهُوَ أَنَّهُ لَيْسَ وُقُوعُهَا بِالْوَاحِدَةِ، وَأَنْ يَصِحَّ ضَمُّ ثَانِيَةٍ إِلَيْهَا، كالمختلفة، وإن كانت تبين بالواحدة يجوز أن يخالفها عَلَى اثْنَتَيْنِ.

Dalil kami adalah: setiap jumlah talak yang boleh dijatuhkan dengan lafaz ṣarīḥ, maka boleh juga dijatuhkan dengan lafaz kināyah, seperti tiga talak. Dan karena jatuhnya tiga talak lebih berat daripada jatuhnya dua talak, sebab talak ketiga tidak jatuh kecuali setelah talak kedua. Maka jika dua talak bisa jatuh bersama talak ketiga, maka lebih utama lagi dua talak bisa jatuh tanpa talak ketiga. Adapun dalil mereka bahwa perpisahan dengan lafaz ṣarīḥ tidak terjadi dengan satu talak, maksudnya bukan jatuhnya dengan satu talak, dan bahwa boleh menambahkan talak kedua padanya, seperti yang berbeda-beda. Dan meskipun perpisahan bisa terjadi dengan satu talak, boleh saja berbeda pendapat dalam dua talak.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ لَفْظَ الْبَائِنِ لَا يَتَضَمَّنُ عَدَدًا، لِأَنَّهُ لَا يَحْسُنُ أَنْ يقال أنت بائنتان ففاسد بالثلاث، لأنه لَمْ يَتَضَمَّنِ الْعَدَدَ لَمْ تَقَعِ الثَّلَاثُ، وَإِذَا جَازَ أَنْ تَقَعَ ثَلَاثًا، جَازَ أَنْ تَقَعَ ثنتين ولا يمتنع أن يقال: أنت بائن ثنتين، كَمَا لَا يَمْتَنِعُ أَنْ يُقَالَ: أَنْتِ بَائِنٌ ثَلَاثٌ.

Adapun argumentasinya bahwa lafaz “bā’in” tidak mengandung jumlah tertentu, karena tidak pantas dikatakan “engkau bā’in dua kali”, maka ini rusak dengan (kasus) tiga kali, sebab jika tidak mengandung jumlah, maka tidak jatuh tiga kali. Dan jika boleh jatuh tiga kali, maka boleh juga jatuh dua kali, dan tidak mustahil dikatakan: “Engkau bā’in dua kali”, sebagaimana tidak mustahil dikatakan: “Engkau bā’in tiga kali”.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْفَصْلُ الرَّابِعُ: وَهُوَ إِذَا نَوَى بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ ثَلَاثًا، فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ، وَنَوَى الثَّلَاثَ كَانَتْ ثَلَاثًا، وَلَوْ نَوَى اثْنَتَيْنِ، كَانَتِ اثْنَتَيْنِ فَيُحْمَلُ صَرِيحُ الطَّلَاقِ عَلَى مَا نَوَى مِنْ عَدَدِهِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَقَعُ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ إِلَّا وَاحِدَةً، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ يَنْوِي طَلْقَتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا لَمْ تَقَعْ إِلَّا وَاحِدَةً، إِلَّا أَنْ يَتَلَفَّظَ بِالْعَدَدِ نُطْقًا، أَوْ يَقُولَ أَنْتِ طَالِقٌ نَاوِيًا الثَّلَاثَ فَتُطَلَّقُ ثَلَاثًا وَفَرَّقَ بَيْنَ قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ يَنْوِي ثَلَاثًا فَيُطَلِّقُ وَاحِدَةً، وَبَيْنَ قَوْلِهِ: أَنْتِ الطلاق وَيَنْوِي الثَّلَاثَ، فَيُطَلِّقُ ثَلَاثًا، بِأَنَّ الطَّلَاقَ مَصْدَرٌ يَحْتَمِلُ الْعَدَدَ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {الطَّلاقُ مرتان} .

Adapun fasal keempat: yaitu apabila seseorang berniat tiga (talak) dengan lafaz talak yang jelas, lalu ia berkata: “Engkau tertalak”, dan ia berniat tiga, maka jatuhlah tiga (talak). Dan jika ia berniat dua, maka jatuh dua (talak). Maka lafaz talak yang jelas dibawa kepada jumlah yang ia niatkan. Abu Hanifah berkata: Tidak jatuh dengan lafaz talak yang jelas kecuali satu (talak). Jika ia berkata: “Engkau tertalak” dengan niat dua atau tiga (talak), maka tidak jatuh kecuali satu, kecuali jika ia mengucapkan jumlahnya secara lisan, atau ia berkata: “Engkau tertalak” dengan niat tiga, maka jatuh tiga (talak). Ia membedakan antara ucapannya: “Engkau tertalak” dengan niat tiga, maka jatuh satu, dan ucapannya: “Engkau talak” dengan niat tiga, maka jatuh tiga, karena “talak” adalah mashdar (kata dasar) yang bisa mengandung jumlah. Allah Ta‘ala berfirman: {Talak itu dua kali}.

وَقَوْلُهُ: أَنْتِ طَالِقٌ إِخْبَارٌ عَنْ صِفَةٍ، لَا تَحْتَمِلُ الْعَدَدَ كَمَا لَا تَحْتَمِلُ دُخُولَ الْعَدَدِ فِي قَوْلِهِمْ أَنْتَ قَائِمٌ وَقَاعِدٌ وَرَاكِعٌ وَسَاجِدٌ وَجَعَلَ هَذَا الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا دَلِيلًا.

Ucapannya: “Engkau tertalak” adalah pemberitahuan tentang suatu sifat, yang tidak mengandung jumlah, sebagaimana tidak mengandung masuknya jumlah dalam ucapan mereka: “Engkau berdiri”, “duduk”, “ruku‘”, dan “sujud”. Ia menjadikan perbedaan ini sebagai dalil.

قَالَ: وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ صَرِيحٌ فِي الْوَاحِدِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ كِنَايَةً فِي الثَّلَاثِ، لِأَنَّهُ يُؤَخَّرُ إِلَى أَنْ يَكُونَ اللَّفْظُ الْوَاحِدُ فِي الْجِنْسِ الْوَاحِدِ صَرِيحًا وَكِنَايَةً فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ وَهَذَا فَاسِدٌ وَدَلِيلُنَا أَنَّ قَوْلَهُ: أَنْتِ طَالِقٌ، عِنْدَ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ اسْمُ فَاعِلٍ، لِأَنَّهُمْ يَقُولُونَ طُلِّقَتْ فَهِيَ طَالِقٌ كَمَا قَالُوا حَاضَتْ فَهِيَ حَائِضٌ، وَضَرَبَتْ فَهِيَ ضَارِبٌ، وَاسْمُ الْفَاعِلِ يَحْتَمِلُ الْعَدَدَ، لِأَنَّهُ يَجِبُ أَنْ يُفَسَّرَ بِأَعْدَادِ الْمَصَادِرِ، فَيُقَالُ: أَنْتِ طَالِقٌ طَلْقَتَيْنِ، وَأَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ وَمِائَةَ طَلْقَةٍ وَضَارِبٌ مِائَةَ ضَرْبَةٍ، وَلَوْ كَانَ الِاسْمُ لَا يَتَضَمَّنُ أَعْدَادَ مَصَادِرِهِ، فَأَحْسَنُ أَنْ يُعْتَبَرَ بِهِ كَمَا لَا يَحْسُنُ أَنْ يُقَالَ: أَنْتِ ضَارِبٌ طَلْقَةً، وَقَائِمٌ قَعْدَةً. وَلِذَا تَضَمَّنَ الْعَدَدَ بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَا، جَازَ أَنْ يَقَعَ بِهِ الثَّلَاثُ، كَمَا يَقَعُ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ الطَّلَاقُ.

Ia berkata: Karena talak adalah lafaz yang jelas untuk satu (talak), maka tidak boleh dijadikan sebagai kinayah (lafaz sindiran) untuk tiga (talak), karena hal itu akan menyebabkan satu lafaz dalam satu jenis bisa menjadi lafaz jelas dan kinayah dalam satu keadaan, dan ini rusak. Dalil kami adalah bahwa ucapannya: “Engkau tertalak”, menurut ahli bahasa Arab adalah isim fā‘il (kata pelaku), karena mereka mengatakan: “Dia telah ditalak, maka ia adalah muṭallaqah (tertalaq)”, sebagaimana mereka mengatakan: “Dia telah haid, maka ia adalah ḥā’iḍ”, “Dia telah memukul, maka ia adalah ḍārib”. Dan isim fā‘il dapat mengandung jumlah, karena harus ditafsirkan dengan jumlah mashdar-nya. Maka dikatakan: “Engkau tertalak dua kali”, “Engkau tertalak tiga talak”, “seratus talak”, “pemukul seratus pukulan”. Jika isim tersebut tidak mengandung jumlah mashdar-nya, maka tidak pantas dianggap demikian, sebagaimana tidak pantas dikatakan: “Engkau pemukul satu talak”, “berdiri satu duduk”. Oleh karena itu, ia mengandung jumlah, berdasarkan dalil yang telah kami sebutkan, maka boleh jatuh tiga (talak) dengannya, sebagaimana jatuh dengan ucapannya: “Engkau talak”.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّ كُلَّ لَفْظٍ جَازَ أَنْ يَكُونَ الْعَدَدُ فِيهِ مُظْهَرًا، جَازَ أَنْ يَكُونَ الْعَدَدُ فِيهِ مُضْمَرًا، كَالْمَصْدَرِ إِذَا قَالَ: أَنْتِ الطَّلَاقُ.

Dan penjelasannya secara qiyās: bahwa setiap lafaz yang boleh jumlahnya ditampakkan, maka boleh juga jumlahnya disembunyikan, seperti mashdar jika ia berkata: “Engkau talak”.

وَدَلِيلٌ ثَانٍ: وَهُوَ أَنَّهُ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا وَقَعَتِ الثَّلَاثُ، بِقَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ وكان قوله ثلاثاً تفسير للعدد المضمر فيه، ألا تراه لو وقال لِغَيْرِ مَدْخُولٍ بِهَا، أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا طُلِّقَتْ ثَلَاثًا وَلَوْ كَانَتِ الثَّلَاثُ لَا تَقَعُ إِلَّا بِاللَّفْظِ الْأَوَّلِ، لَمَا وَقَعَ عَلَيْهَا إِلَّا وَاحِدَةً، لِأَنَّ غَيْرَ الْمَدْخُولِ بِهَا لَا تطلق بفلظ بَعْدَ لَفْظٍ، لِأَنَّهُ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ وَقَعَتِ الْأُولَى وَلَمْ تَقَعِ الثَّانِيَةُ، وَإِذَا جَازَ أَنْ يَكُونَ الْعَدَدُ فِيهِ مُضْمَرًا فِيهِ، إِذَا أَظْهَرَهُ، جَازَ أَنْ يَكُونَ مُضْمَرًا فِيهِ إِذَا نَوَاهُ.

Dan dalil kedua: yaitu jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kali”, maka jatuhlah tiga (talak), karena ucapannya “Engkau tertalak” dan ucapannya “tiga kali” adalah penjelasan dari jumlah yang tersembunyi di dalamnya. Tidakkah engkau lihat, jika ia berkata kepada wanita yang belum digauli: “Engkau tertalak tiga kali”, maka jatuh tiga (talak). Jika tiga (talak) itu tidak jatuh kecuali dengan lafaz pertama, maka tidak akan jatuh atasnya kecuali satu, karena wanita yang belum digauli tidak jatuh talak atasnya dengan lafaz setelah lafaz (pertama). Karena jika ia berkata: “Engkau tertalak dan tertalak”, maka jatuh yang pertama dan tidak jatuh yang kedua. Dan jika boleh jumlah itu tersembunyi di dalamnya, maka jika ia menampakkannya, boleh juga jumlah itu tersembunyi di dalamnya jika ia meniatkannya.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا، أَنَّ كُلَّ عَدَدٍ جَازَ أَنْ يَتَضَمَّنَهُ مَصْدَرُ الطَّلَاقِ، جَازَ أَنْ يَتَضَمَّنَهُ اسْمُ الطَّلَاقِ كَالْمُظْهَرِ.

Dan penjelasannya secara qiyās, bahwa setiap jumlah yang boleh terkandung dalam mashdar talak, maka boleh juga terkandung dalam isim talak seperti yang ditampakkan.

وَدَلِيلٌ ثَالِثٌ: وَهُوَ أَنَّهُ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ، وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثِ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا وَنِيَّةُ الثَّلَاثِ أَقْوَى مِنْ إِشَارَتِهِ بِالثَّلَاثِ، لِأَنَّ الْكِنَايَةَ تَعْمَلُ فِيهَا النِّيَّةُ، وَلَا تَعْمَلُ فِيهَا الْإِشَارَةُ فَلَمَّا وَقَعَتِ الثَّلَاثُ بِالْإِشَارَةِ، فَأَوْلَى أَنْ تَقَعَ بِالنِّيَّةِ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ قَوْلَهُ: أَنْتِ طَالِقٌ إِخْبَارٌ عَنْ صِفَةٍ، لَا تَتَضَمَّنُ عَدَدًا فَهُوَ خَطَأٌ، لِمَا ذَكَرْنَا أَنَّهُ اسْمٌ يَحْتَمِلُ الْعَدَدَ بِمَا بَيَّنَّاهُ مِنْ جَوَازِ قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا، وَقَوْلِهِ: أَنْتِ حَائِضٌ وَطَاهِرٌ وَقَائِمٌ وَقَاعِدٌ، فَهُوَ مِمَّا لَا يَجُوزُ أَنْ يَجْتَمِعَ مِنْهُ عَدَدٌ فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ، فَلَمْ يَتَضَمَّنِ الْعَدَدَ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَجْتَمِعَ مِنْهُ الْعَدَدُ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ، فَجَازَ أَنْ يَتَضَمَّنَ الْعَدَدَ، كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَقُولَ: أَنْتَ عَالِمٌ عِلْمَيْنِ، وَجَائِرٌ جَوْرَيْنِ فَيَجُوزُ أَنْ يَتَضَمَّنَهُ الْعَدَدُ.

Dalil ketiga: Yaitu bahwa jika seseorang berkata, “Engkau tertalak,” lalu ia menunjuk dengan tiga jarinya, maka istrinya tertalak tiga kali. Niat untuk menjatuhkan talak tiga lebih kuat daripada sekadar isyarat dengan tiga jari, karena dalam kināyah (lafaz sindiran) niat berperan, sedangkan isyarat tidak berperan di dalamnya. Maka ketika talak tiga bisa jatuh hanya dengan isyarat, maka lebih utama lagi jika dengan niat. Adapun argumentasinya bahwa ucapan “Engkau tertalak” adalah pemberitahuan tentang suatu sifat yang tidak mengandung jumlah, maka itu adalah kekeliruan. Sebab, sebagaimana telah kami sebutkan, lafaz tersebut adalah isim (kata benda) yang dapat mengandung jumlah, sebagaimana telah kami jelaskan tentang bolehnya seseorang berkata, “Engkau tertalak tiga kali,” atau “Engkau sedang haid, suci, berdiri, duduk,” yang mana hal-hal tersebut tidak mungkin berkumpul dalam satu waktu, sehingga tidak mengandung jumlah. Namun talak tidaklah demikian; karena talak memungkinkan terkandungnya jumlah dalam satu waktu, sehingga boleh mengandung jumlah, sebagaimana boleh dikatakan, “Engkau seorang alim dua ilmu,” atau “Engkau seorang zalim dua kezhaliman,” maka boleh saja lafaz tersebut mengandung jumlah.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّهُ صَرِيحٌ فِي الْوَاحِدَةِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ كِنَايَةً فِي الثَّلَاثِ، فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ، لِأَنَّهُ إِذَا نَوَى الثَّلَاثَ، كَانَ صَرِيحًا فِيهَا، وَلَمْ يَكُنْ صَرِيحًا فِي وَاحِدَةٍ، كِنَايَةً فِي اثْنَتَيْنِ فَلَمْ يُسَلَّمْ لَهُمُ الِاسْتِدْلَالُ.

Adapun argumentasinya bahwa lafaz tersebut adalah sharih (tegas) untuk satu talak, sehingga tidak boleh menjadi kināyah untuk tiga talak, maka itu tidak dapat diterima. Karena jika seseorang meniatkan tiga talak, maka lafaz tersebut menjadi sharih untuk tiga talak, dan tidak lagi menjadi sharih untuk satu talak, serta menjadi kināyah untuk dua talak. Maka argumentasi tersebut tidak dapat diterima.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا تَمَهَّدَ حُكْمُ الْكِنَايَةِ وَأَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ بِهَا إِلَّا مَعَ النِّيَّةِ، فَإِنْ تَجَرَّدَتْ عَنِ النِّيَّةِ لَمْ يَقَعْ بِهَا طَلَاقٌ، لِأَنَّ قَوْلَهُ: أَنْتِ خَلِيَّةٌ يَحْتَمِلُ خَلِيَّةً مِنْ خَيْرٍ، وَخَلِيَّةً مِنْ شَرٍّ وَخَلِيَّةً مِنْ زَوْجٍ فَلَمْ يُحْمَلْ عَلَى إِحْدَى احْتِمَالَاتِهِ بِغَيْرِ نِيَّةٍ، وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ: أَنْتِ بَائِنٌ يَحْتَمِلُ مِنَ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ وَالزَّوْجِ وَكَذَلِكَ سَائِرُ الْكِنَايَاتِ، يَتَقَابَلُ فِيهَا الِاحْتِمَالُ، فَلَمْ يَقَعْ بِهَا طَلَاقٌ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ، فَأَمَّا إِذَا وُجِدَتِ الْكِنَايَةُ وَنِيَّةُ الطَّلَاقِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ النِّيَّةِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ: أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ مُتَقَدِّمَةً عَلَى جَمِيعِ اللَّفْظِ، فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ، وَلِأَنَّ النِّيَّةَ تَجَرَّدَتْ عَنْ لَفْظٍ فَلَمْ يَقَعْ بِهَا طَلَاقٌ، وَاللَّفْظَ تَجَرَّدَ عَنْ نِيَّةٍ، فَلَمْ يَقَعْ بِهِ طَلَاقٌ.

Apabila telah dijelaskan hukum kināyah dan bahwa talak tidak jatuh dengannya kecuali dengan niat, maka jika lafaz kināyah itu diucapkan tanpa disertai niat, tidak jatuh talak karenanya. Sebab, ucapan “Engkau khaliyyah” (bebas) dapat bermakna bebas dari kebaikan, bebas dari keburukan, atau bebas dari suami, sehingga tidak dapat dibawa pada salah satu makna tersebut tanpa niat. Begitu pula ucapan “Engkau bā’in” (terpisah) dapat bermakna kebaikan, keburukan, atau suami, demikian pula seluruh lafaz kināyah lainnya, yang mengandung kemungkinan makna ganda, sehingga tidak jatuh talak tanpa niat. Adapun jika terdapat lafaz kināyah dan niat talak, maka keadaan niat tidak lepas dari empat bagian: Pertama, niat mendahului seluruh lafaz, maka talak tidak jatuh, karena niat yang terlepas dari lafaz tidak menjatuhkan talak, dan lafaz yang terlepas dari niat juga tidak menjatuhkan talak.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ مُتَأَخِّرَةً عَنْ جَمِيعِ اللَّفْظِ، فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ أَيْضًا، لِمَا ذَكَرْنَا أَنَّ اللَّفْظَ لَمَّا تَجَرَّدَ عَنِ النِّيَّةِ لَمْ يَقَعْ بِهِ طَلَاقٌ، وَالنِّيَّةَ لَمَّا تَجَرَّدَتْ عَنِ اللَّفْظِ لَمْ يَقَعْ بِهَا طَلَاقٌ.

Bagian kedua: Jika niat datang setelah seluruh lafaz, maka talak juga tidak jatuh, sebagaimana telah kami sebutkan bahwa lafaz yang terlepas dari niat tidak menjatuhkan talak, dan niat yang terlepas dari lafaz juga tidak menjatuhkan talak.

مِثَالُ هَذَيْنِ: نِيَّةُ الصَّلَاةِ، إِنْ تَقَدَّمَتْ عَلَى الْإِحْرَامِ لَمْ تَصِحَّ، وَإِنْ تَأَخَّرَتْ عَنْهُ لَمْ تَصِحَّ.

Contoh kedua keadaan ini: Niat shalat, jika didahulukan sebelum takbir ihram maka tidak sah, dan jika diakhirkan setelahnya juga tidak sah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ مُقَارِنَةً لِجَمِيعِ اللَّفْظِ، فَتُوجَدُ مِنْ أَوَّلِ اللَّفْظِ إِلَى آخِرِهِ فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ، بِاللَّفْظِ وَالنِّيَّةِ مَعًا، وَلَا يَكُونُ وُقُوعُهُ بِأَحَدِهِمَا، وَإِنْ كَانَ اللَّفْظُ هُوَ الْمُغَلَّبُ لِظُهُورِهِ.

Bagian ketiga: Jika niat bersamaan dengan seluruh lafaz, yaitu hadir dari awal hingga akhir lafaz, maka talak jatuh dengan lafaz dan niat secara bersamaan, dan tidak jatuh hanya dengan salah satunya saja, meskipun lafaz lebih dominan karena lebih tampak.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ تُوجَدَ النِّيَّةُ فِي بَعْضِ اللَّفْظِ وَتُعْدَمَ فِي بَعْضِهِ، إِمَّا أَنْ تُوجَدَ فِي أَوَّلِهِ وَتُعْدَمَ فِي آخِرِهِ، أَوْ تُوجَدَ فِي آخِرِهِ، وَتُعْدَمَ فِي أَوَّلِهِ، مِثْلَ أَنْ يَقُولَ لَهَا: أَنْتِ بَائِنٌ، فَيَنْوِي عِنْدَ قَوْلِهِ: أَنْتِ بَا، بِتَرْكِ النِّيَّةِ عِنْدَ قَوْلِهِ ئِنٌ، أَوْ يَتْرُكُ النِّيَّةَ عِنْدَ قَوْلِهِ: أَنْتِ بَا وَيَنْوِي عِنْدَ قَوْلِهِ ئِنٌ، فَفِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:

Bagian keempat: Jika niat ada pada sebagian lafaz dan tidak ada pada sebagian lainnya, baik niat itu ada di awal dan tidak ada di akhir, atau ada di akhir dan tidak ada di awal, seperti seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau bā’in,” lalu ia meniatkan talak saat mengucapkan “Engkau bā-” namun tidak meniatkan saat mengucapkan “-in,” atau ia tidak meniatkan saat mengucapkan “Engkau bā-” dan meniatkan saat mengucapkan “-in.” Dalam hal jatuhnya talak pada kasus ini terdapat dua pendapat di kalangan ulama mazhab kami:

أَحَدُهُمَا: لَا يَقَعُ اللَّفْظُ إِذَا اعْتُبِرَتْ فِيهِ النِّيَّةُ، كَانَ وُجُودُهَا عِنْدَ بَعْضِهَا، كَعَدَمِهَا فِي جَمِيعِهِ كَالنِّيَّةِ فِي تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ.

Salah satu pendapat: Lafaz tidak dianggap sah jika niat menjadi syarat di dalamnya, sehingga keberadaan niat pada sebagian lafaz sama dengan ketiadaannya pada seluruh lafaz, seperti niat dalam takbīratul ihrām.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الطَّلَاقَ وَاقِعٌ، لِأَنَّ اسْتِصْحَابَ النِّيَّةِ فِي جَمِيعِ مَا يُعْتَبَرُ فِيهِ النِّيَّةُ لَيْسَ بِلَازِمٍ كَالصَّلَاةِ لَا يَلْزَمُ اسْتِصْحَابُ النِّيَّةِ فِي جَمِيعِهَا.

Pendapat kedua: Talak tetap jatuh, karena mempertahankan niat sepanjang seluruh perkara yang disyaratkan niat di dalamnya tidaklah wajib, sebagaimana dalam salat tidak diwajibkan mempertahankan niat sepanjang salat.

وَالْأَصَحُّ عِنْدِي أَنْ يُنْظَرَ فِي النِّيَّةِ فَإِنْ وُجِدَتْ فِي أَوَّلِ اللَّفْظِ، وَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ، وَإِنْ عُدِمَتْ فِي آخِرِهِ كَالصَّلَاةِ، إِذَا وُجِدَتِ النِّيَّةُ فِي أَوَّلِهَا، جَازَ أَنْ تُعْدَمَ فِي آخِرِهَا، وَإِنْ وُجِدَتِ النِّيَّةُ فِي آخِرِ اللَّفْظِ وَعُدِمَتْ فِي أَوَّلِهِ، لَمْ يَقَعْ لَهُ الطَّلَاقُ، كَالنِّيَّةِ فِي آخِرِ الصَّلَاةِ، وَلِأَنَّ النِّيَّةَ إِذَا انْعَقَدَتْ مَعَ أَوَّلِ اللَّفْظِ، كَانَ بَاقِيهِ رَاجِعًا إِلَيْهَا، وَإِذَا خَلَتْ مِنْ أَوَّلِهِ صَارَ لَغْوًا وَكَانَ مَا بَقِيَ مِنْهُ مَعَ النِّيَّةِ نَاقِصًا، فَخَرَجَ مِنْ كِنَايَاتِ الطَّلَاقِ، وَهَذَا التَّفْصِيلُ أَشْبَهُ بِنَصِّ الشَّافِعِيِّ، لِأَنَّهُ قال: لم يكن طلاقاً حتى يبتدأ وَنِيَّتُهُ الطَّلَاقُ، فَاعْتَبَرَهَا فِي ابْتِدَاءِ اللَّفْظِ وَاللَّهُ أعلم.

Menurut pendapat yang lebih kuat menurutku, hendaknya diperhatikan pada niat: jika niat itu ada pada awal lafaz, maka talak jatuh dengannya; dan jika niat itu tidak ada pada akhir lafaz, seperti dalam salat, jika niat ada di awalnya, boleh saja tidak ada di akhirnya. Namun jika niat itu ada pada akhir lafaz dan tidak ada di awalnya, maka talak tidak jatuh, sebagaimana niat di akhir salat. Karena jika niat telah terikat dengan awal lafaz, maka sisa lafaznya kembali kepada niat tersebut. Namun jika awal lafaz kosong dari niat, maka menjadi sia-sia, dan sisa lafaz yang ada bersama niat menjadi kurang, sehingga keluar dari kategori kināyah talak. Perincian ini lebih sesuai dengan nash asy-Syāfi‘ī, karena beliau berkata: “Tidak dianggap talak hingga dimulai dengan niat talak,” maka beliau mensyaratkan niat pada permulaan lafaz. Allah lebih mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (قال) وَلَوْ قَالَ لَهَا أَنْتِ حُرَّةٌ يُرِيدُ بِهَا الطَّلَاقَ وَلِأَمَتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ يُرِيدُ الْعِتْقَ لَزِمَهُ ذَلِكَ) .

Asy-Syāfi‘ī berkata: (Beliau berkata) “Jika ia berkata kepada istrinya: ‘Engkau merdeka’ dengan maksud talak, dan kepada budaknya perempuan: ‘Engkau tertalak’ dengan maksud memerdekakan, maka hal itu wajib baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، أَمَّا صَرِيحُ الْعِتْقِ فَهُوَ كِنَايَةٌ فِي الطَّلَاقِ إِجْمَاعًا، فَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِامْرَأَتِهِ، أَنْتِ حُرَّةٌ أَوْ أَنْتِ مُعْتَقَةٌ، يُرِيدُ طَلَاقَهَا، طُلِّقَتْ، لِأَنَّ عِتْقَ الْأَمَةِ إِطْلَاقٌ مِنْ حَبْسِ الرِّقِّ، كَمَا أَنَّ طَلَاقَ الزَّوْجَةِ إِطْلَاقٌ مِنْ حَبْسِ النِّكَاحِ، فَتَقَارَبَ مَعْنَاهُمَا، وَأَمَّا صَرِيحُ الطَّلَاقِ فَهُوَ كِنَايَةٌ عِنْدَنَا فِي الْعِتْقِ، فَإِذَا قَالَ لِأَمَتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ مُسَرَّحَةٌ أَوْ مُفَارَقَةٌ، يُرِيدُ عِتْقَهَا عُتِقَتْ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا تُعْتَقُ وَلَا يَكُونُ صَرِيحَ الطَّلَاقِ كِنَايَةً فِي الْعِتْقِ، وَإِنْ كَانَ صَرِيحُ الْعِتْقِ كِنَايَةً فِي الطَّلَاقِ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الطَّلَاقَ يُوجِبُ التَّحْرِيمَ، وَتَحْرِيمُ الْأَمَةِ لَا يُوجِبُ عِتْقَهَا، لِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ، وَلَا تُعْتَقُ عَلَيْهِ، وَلَا يُشْبِهُ قَوْلُهُ لِزَوْجَتِهِ، أَنْتِ حُرَّةٌ فَتُطَلَّقُ، لِأَنَّ عِتْقَ الْأَمَةِ تَحْرِيمٌ، وَتَحْرِيمَ الزَّوْجَةِ مُوجِبٌ لِزَوَالِ الْمِلْكِ عَنْهَا، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ طَلَاقًا لَهَا، قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ لَفْظٍ كَانَ صَرِيحًا فِي تَحْرِيمِ الْحَرَائِرِ لَمْ يَكُنْ كِنَايَةً فِي عِتْقِ الْإِمَاءِ كَالظِّهَارِ، وَلِأَنَّ لَفْظَ الطَّلَاقِ أَضْعَفُ حُكْمًا مِنْ لَفْظِ الْحُرِّيَّةِ، لِأَنَّهُ مُخْتَصٌّ بِإِزَالَةِ الْمِلْكِ عَنِ الِاسْتِمْتَاعِ، وَالْحُرِّيَّةُ تُزِيلُ الْمِلْكَ عَنِ الرِّقِّ وَالِاسْتِمْتَاعِ، فَجَازَ أَنْ تَكُونَ الْحُرِّيَّةُ كِنَايَةً فِي الطَّلَاقِ لِقُوَّتِهَا، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ كِنَايَةً فِي الْعِتْقِ لِضَعْفِهِ، كَالْبَيْعِ لَمَّا كَانَ أَقْوَى مِنَ الْإِجَارَةِ، جَازَ أَنْ تَنْعَقِدَ الْإِجَارَةُ بِلَفْظِ الْبَيْعِ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْعَقِدَ الْبَيْعُ بِلَفْظِ الْإِجَارَةِ.

Al-Māwardī berkata: Ini benar. Adapun lafaz eksplisit ‘memerdekakan’ adalah kināyah dalam talak menurut ijmā‘. Maka jika seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Engkau merdeka” atau “Engkau dimerdekakan,” dengan maksud menceraikannya, maka ia tertalak, karena memerdekakan budak perempuan adalah melepaskan dari ikatan perbudakan, sebagaimana talak istri adalah melepaskan dari ikatan pernikahan, sehingga maknanya berdekatan. Adapun lafaz eksplisit talak adalah kināyah menurut kami dalam memerdekakan. Maka jika ia berkata kepada budak perempuannya: “Engkau tertalak,” atau “Engkau dilepaskan,” atau “Engkau dipisahkan,” dengan maksud memerdekakan, maka ia merdeka. Abū Hanīfah berkata: Tidak menjadi merdeka, dan lafaz eksplisit talak tidak menjadi kināyah dalam memerdekakan, meskipun lafaz eksplisit memerdekakan menjadi kināyah dalam talak. Ia berdalil bahwa talak menyebabkan keharaman, sedangkan keharaman budak perempuan tidak menyebabkan ia menjadi merdeka, karena seseorang tetap memiliki budak perempuan yang haram dinikahi karena nasab atau karena persusuan, namun tidak menjadi merdeka. Tidak serupa dengan ucapan kepada istri: “Engkau merdeka” sehingga menjadi tertalak, karena memerdekakan budak perempuan adalah keharaman, dan keharaman istri menyebabkan hilangnya kepemilikan atasnya, sehingga boleh menjadi talak baginya. Ia berkata: Dan setiap lafaz yang eksplisit dalam mengharamkan perempuan merdeka tidak menjadi kināyah dalam memerdekakan budak perempuan, seperti ẓihār. Dan karena lafaz talak lebih lemah hukumnya dibandingkan lafaz kemerdekaan, karena talak khusus untuk menghilangkan kepemilikan atas kenikmatan, sedangkan kemerdekaan menghilangkan kepemilikan atas perbudakan dan kenikmatan, sehingga kemerdekaan boleh menjadi kināyah dalam talak karena lebih kuat, dan tidak boleh talak menjadi kināyah dalam memerdekakan karena lebih lemah. Seperti jual beli yang lebih kuat dari ijarāh, maka boleh akad ijarāh dengan lafaz jual beli, namun tidak boleh akad jual beli dengan lafaz ijarāh.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى) فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ، وَلِأَنَّ صَرِيحَ مَا يَجْرِي فِيهِ النِّيَّةُ أَنَّهُ كِنَايَةٌ، فِي مِثْلِهِ كَالْعِتْقِ فِي الطَّلَاقِ، وَلِأَنَّ كُلَّ لَفْظٍ صَحَّ اسْتِعْمَالُهُ فِي الطَّلَاقِ، صَحَّ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْعِتْقِ، كَقَوْلِهِ: لَا سُلْطَانَ لِي عَلَيْكِ، وَلِأَنَّ مَا صَحَّ وُقُوعُ الطَّلَاقِ بِهِ، صَحَّ وُقُوعُ الْحُرِّيَّةِ بِهِ، كَقَوْلِهِ أَنْتِ حُرَّةٌ، وَلِأَنَّ صَرِيحَ الطَّلَاقِ أوقى مِنْ كِنَايَتِهِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْحُرِّيَّةُ بِكِنَايَةِ الطَّلَاقِ، فَأَوْلَى أَنْ تَقَعَ بِصَرِيحِهِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتِ الْحُرِّيَّةُ كِنَايَةً فِي طَلَاقِ الْحُرَّةِ، وَهِيَ صِفَتُهَا فِي حَالِ الزَّوْجِيَّةِ، فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ كِنَايَةً فِي عِتْقِ الْأَمَةِ وَلَيْسَ مِنْ صِفَتِهَا فِي حَالِ الرِّقِّ.

Dan dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” Maka hadis ini berlaku secara umum. Selain itu, makna eksplisit dari perkara yang memerlukan niat adalah bahwa hal itu merupakan kināyah, sebagaimana dalam kasus ‘itq (pembebasan budak) pada talak. Setiap lafaz yang sah digunakan untuk talak, maka sah pula digunakan untuk ‘itq, seperti ucapannya: “Aku tidak punya kekuasaan atasmu.” Dan setiap hal yang sah dijadikan sebagai sebab jatuhnya talak, maka sah pula dijadikan sebab jatuhnya kemerdekaan, seperti ucapannya: “Engkau merdeka.” Lafaz talak yang eksplisit lebih kuat daripada kināyah-nya, maka jika kemerdekaan bisa terjadi dengan kināyah talak, maka lebih utama lagi jika terjadi dengan lafaz talak yang eksplisit. Karena kemerdekaan merupakan kināyah dalam talak terhadap perempuan merdeka, padahal itu adalah sifatnya dalam keadaan sebagai istri, maka lebih utama lagi talak menjadi kināyah dalam ‘itq terhadap budak perempuan, padahal itu bukan sifatnya dalam keadaan sebagai budak.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ تَحْرِيمَ الطَّلَاقِ لَا يُنَافِي بَقَاءَ الرِّقِّ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ صَرِيحَ الطَّلَاقِ إِنَّمَا كَانَ كِنَايَةً فِي الْعِتْقِ، لِأَنَّهُ يَتَضَمَّنُ الْإِطْلَاقَ مِنْ حَبْسِ الْعِتْقِ، لَا بِمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنَ التَّحْرِيمِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الظِّهَارِ، فَالظِّهَارُ عِنْدَنَا كِنَايَةٌ فِي الْعِتْقِ كَالطَّلَاقِ فَسَقَطَ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ ثُمَّ لَوْ سُلِّمَ لَهُمْ هَذَا الْأَصْلُ – وَلَيْسَ بِمُسَلَّمٍ – لَكَانَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّ الطَّلَاقَ مُزِيلٌ لِلْمِلْكِ مَعَ التَّحْرِيمِ، فَجَازَ أَنْ تَقَعَ بِهِ الْحُرِّيَّةُ، وَالظِّهَارُ مُخْتَصٌّ بِالتَّحْرِيمِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَزُولَ بِهِ الْمِلْكُ، فَلَمْ تَقَعْ بِهِ الْحُرِّيَّةُ. وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ لَفْظَ الطَّلَاقِ أَضْعَفُ مِنْ لَفْظِ الْعِتَاقِ لِاخْتِصَاصِهِ بِإِزَالَةِ الِاسْتِمْتَاعِ عَنِ الْمَنْفَعَةِ دُونَ الرَّقَبَةِ، فَالْجَوَابُ: أَنَّهُ وَإِنْ ضَعُفَ عَنْهُ فِي الْإِمَاءِ فَهُوَ أَقْوَى مِنْهُ فِي الْحَرَائِرِ، ثُمَّ لَا يُنْكَرُ أَنْ يُسَاوِيَهُ فِي الْقُوَّةِ إِذَا انْضَمَّتْ إِلَيْهِ النِّيَّةُ كَمَا تُسَاوِيهِ كِنَايَةُ الطَّلَاقِ الَّتِي هِيَ أَضْعَفُ مِنْ صَرِيحِ الطَّلَاقِ / إِذَا انْضَمَّتْ إِلَيْهِ النِّيَّةُ، وَاسْتِشْهَادُهُمْ بِالْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ، فَهُمْ لَا يُجَوِّزُونَ عَقْدَ الْإِجَارَةِ بِلَفْظِ، الْبَيْعِ كَمَا لَا يَجُوزُ عَقْدُ الْبَيْعِ بِلَفْظِ الْإِجَارَةِ، وَإِنْ جَازَ عِنْدَنَا، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ لَفْظَ الْبَيْعِ أَعَمُّ مِنْ لَفْظِ الْإِجَارَةِ، فَجَازَ أَنْ يُعْقَدَ الْأَخَصُّ بِاللَّفْظِ الْأَعَمِّ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْقَدَ الْأَعَمُّ باللفظ الأخص والله أعلم.

Adapun argumentasi mereka bahwa pengharaman talak tidak bertentangan dengan tetapnya status perbudakan, maka jawabannya adalah bahwa lafaz talak yang eksplisit hanyalah menjadi kināyah dalam ‘itq karena ia mengandung makna pembebasan dari penahanan perbudakan, bukan karena aspek pengharamannya. Adapun qiyās mereka terhadap ẓihār, maka menurut kami ẓihār adalah kināyah dalam ‘itq sebagaimana talak, sehingga istidlāl dengan hal itu gugur. Kemudian, seandainya pun prinsip mereka ini diterima—padahal tidak diterima—maka tetap ada perbedaan antara keduanya, karena talak menghilangkan kepemilikan disertai pengharaman, sehingga sah jika kemerdekaan terjadi dengannya. Sedangkan ẓihār khusus pada pengharaman tanpa menghilangkan kepemilikan, sehingga kemerdekaan tidak terjadi dengannya. Adapun argumentasi mereka bahwa lafaz talak lebih lemah daripada lafaz ‘itq karena khusus untuk menghilangkan kenikmatan dari manfaat (istri) tanpa menyentuh kepemilikan (atas budak), maka jawabannya: meskipun lafaz talak lebih lemah dalam konteks budak perempuan, namun ia lebih kuat dalam konteks perempuan merdeka. Selain itu, tidak mustahil lafaz talak menjadi setara dalam kekuatan jika disertai dengan niat, sebagaimana kināyah talak yang lebih lemah daripada lafaz talak yang eksplisit, namun menjadi setara jika disertai niat. Adapun istidlāl mereka dengan akad jual beli dan sewa-menyewa, mereka sendiri tidak membolehkan akad sewa-menyewa dengan lafaz jual beli, sebagaimana tidak boleh akad jual beli dengan lafaz sewa-menyewa, meskipun menurut kami hal itu boleh. Perbedaannya adalah bahwa lafaz jual beli lebih umum daripada lafaz sewa-menyewa, sehingga boleh akad yang lebih khusus dengan lafaz yang lebih umum, namun tidak boleh akad yang lebih umum dengan lafaz yang lebih khusus. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً بَائِنًا كَانَتْ وَاحِدَةً يَمْلِكُ الَّرَجْعَةَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى حكم في الواحدة والثنتين بالرجعة كَمَا لَوْ قَالَ لِعَبْدِهِ أَنْتَ حُرٌّ وَلَا وَلَاءَ لِي عليك كان حراً والولاء له جعل عليه الصلاة والسلام الولاء لمن أعتق كما جعل الله الرجعة لمن طلق واحدة أو اثنتين وطلق ركانة امرأته أَلْبَتَّةَ فَأَحْلَفَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ما أراد إلا واحدة وردها عليه وطلق المطلب بن حنطب امرأته ألبتة فقال عمر رضي الله عنه أمسك عليك امرأتك فإن الواحدة تبت وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه لرجل قال لأمرأته حبلك على غاربك ما أردت؟ وقال شريح أما الطلاق فسنة فأمضوه وأما ألبتة فبدعة فدينوه (قال) ويحتمل طلاق ألبتة يقينا ويحتمل الإبتات الذي ليس بعده شيء ويحتمل واحدة مبينة منه حتى يرتجعها فلما احتملت معاني جعلت إلى قائلها) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata kepada istrinya, ‘Engkau talak satu secara bain,’ maka itu dihitung sebagai satu talak yang masih dimiliki hak rujuk, karena Allah Ta‘ala menetapkan hak rujuk pada talak satu dan dua, sebagaimana jika seseorang berkata kepada budaknya, ‘Engkau merdeka dan aku tidak punya hak wala’ atasmu,’ maka ia menjadi merdeka dan hak wala’ tetap untuknya. Rasulullah ﷺ menetapkan hak wala’ bagi orang yang memerdekakan, sebagaimana Allah menetapkan hak rujuk bagi orang yang menalak satu atau dua kali. Rukanah pernah menalak istrinya dengan lafaz ‘al-battah’ (talak yang tegas), lalu Nabi ﷺ meminta ia bersumpah bahwa ia tidak bermaksud kecuali satu talak, kemudian Nabi mengembalikan istrinya kepadanya. Al-Muthallib bin Hantab juga menalak istrinya dengan lafaz ‘al-battah’, lalu Umar ra. berkata kepadanya, ‘Tahanlah istrimu, karena talak satu itu sudah cukup.’ Ali bin Abi Thalib ra. pernah bertanya kepada seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, ‘Tali kendalimu ada di pundakmu,’ ‘Apa maksudmu?’ Syuraih berkata, ‘Adapun talak, itu adalah sunnah, maka laksanakanlah; adapun lafaz ‘al-battah’, itu adalah bid‘ah, maka mintalah pertanggungjawaban darinya.’ (Imam Syafi‘i berkata) Talak dengan lafaz ‘al-battah’ bisa bermakna talak yang pasti, bisa bermakna talak yang tidak ada lagi setelahnya, dan bisa bermakna satu talak bain yang masih bisa dirujuk. Karena lafaz tersebut mengandung beberapa kemungkinan makna, maka dikembalikan kepada maksud orang yang mengucapkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الْكَلَامُ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: “Ucapan ini mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ إِذَا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَاحِدَةً بَائِنَةً كَانَتْ رَجْعِيَّةً، وَلَا تَبِينُ بِالْوَاحِدَةِ، وَإِنْ جَعَلَهَا بَائِنَةً، كَمَا لَا يَسْقُطُ وَلَاءُ الْعِتْقِ، وَإِذَا شَرَطَ سُقُوطَهُ فِي الْعِتْقِ.

Pertama: Jika seseorang menceraikan istrinya dengan satu talak bā’in, maka talak tersebut dianggap raj‘ī, dan tidak menjadi bā’in hanya dengan satu talak, meskipun ia meniatkannya sebagai bā’in, sebagaimana tidak gugur hak wala’ karena memerdekakan budak, meskipun ia mensyaratkan gugurnya hak tersebut dalam pemerdekaan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: تَكُونُ الْوَاحِدَةُ بَائِنَةً إِذَا جَعَلَهَا بَائِنَةً، وَتَسْقُطُ الرَّجْعَةُ فِيهَا بِإِسْقَاطِهِ لَهَا، وَبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ، إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ بَائِنٌ يُرِيدُ بِهِ الطَّلَاقَ، أَنَّهَا تُطَلَّقُ وَاحِدَةً بَائِنَةً، لَا يَمْلِكُ فِيهَا الرَّجْعَةَ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فيه، ثم تفسد مَذْهَبُهُ هَاهُنَا مِنْ وَجْهَيْنِ أَيْضًا:

Abu Hanifah berpendapat: Satu talak bisa menjadi bā’in jika ia meniatkannya sebagai bā’in, dan hak rujuk gugur padanya jika ia menggugurkannya, dan ia membangun pendapat ini di atas prinsipnya, yaitu jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau bā’in” dengan maksud talak, maka jatuhlah satu talak bā’in, dan ia tidak memiliki hak rujuk padanya. Telah dijelaskan pembahasan bersamanya dalam hal ini, kemudian mazhabnya di sini rusak dari dua sisi juga:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً بَائِنَةً، كَانَتْ طَالِقًا وَاحِدَةً غَيْرَ بَائِنَةٍ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، لَا رجعة لي فِيهَا، كَانَتْ طَالِقًا وَاحِدَةً لَهُ الرَّجْعَةُ، كَذَلِكَ فِي الْوَاحِدَةِ وَالثَّانِيَةِ.

Pertama: Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak satu kali bā’in,” maka itu menjadi talak satu kali yang tidak bā’in. Kedua: Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak satu kali, aku tidak punya hak rujuk padanya,” maka itu menjadi talak satu kali yang ia masih memiliki hak rujuk, demikian pula pada talak pertama dan kedua.

وَالْفَصْلُ الثَّانِي: فِي الْكِنَايَةِ يشتمل عَلَى فَصْلَيْنِ:

Bagian kedua: Tentang kināyah, terdiri dari dua bagian:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْكِنَايَةَ لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ بِهَا إِلَّا مَعَ النِّيَّةِ، وَإِنْ وَقَعَ بِالصَّرِيحِ رَدًّا عَلَى مَالِكٍ حَيْثُ أَوْقَعَ الطَّلَاقَ بِالْكِنَايَةِ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ، وَعَلَى مَنْ ذَهَبَ إِلَى قَوْلِ دَاوُدَ: إِنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ بِالصَّرِيحِ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُمَا وَالْفَرْقُ بَيْنَ الصَّرِيحِ وَالْكِنَايَةِ، فِي اعْتِبَارِ النِّيَّةِ فِي الْكِنَايَةِ، دُونَ الصَّرِيحِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pertama: Bahwa kināyah tidak menjatuhkan talak kecuali dengan niat, meskipun talak dengan lafaz sharih (jelas) jatuh tanpa niat, sebagai bantahan terhadap Malik yang menetapkan jatuhnya talak dengan kināyah tanpa niat, dan terhadap pendapat Dawud yang mengatakan bahwa talak dengan lafaz sharih tidak jatuh tanpa niat. Telah dijelaskan pembahasan dengan keduanya dan perbedaan antara sharih dan kināyah dalam mempertimbangkan niat pada kināyah, tidak pada sharih, dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الصَّرِيحَ لَا يَحْتَمِلُ إِلَّا مَعْنًى واحد، فَحُمِلَ عَلَى مُوجِبِهِ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ، وَالْكِنَايَةُ تَحْمِلُ مَعَانِيَ، فَلَمْ تَنْصَرِفْ إِلَى أَحَدِهِما إِلَّا بِنْيَةٍ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَا كَانَ مِنَ العبادات لا تعقد إِلَّا عَلَى وَجْهٍ وَاحِدٍ، كَأَدَاءِ الْأَمَانَةِ، وَإِزَالَةِ النَّجَاسَةِ لَمْ تَفْتَقِرْ إِلَى نِيَّةٍ، وَمَا كَانَ مُحْتَمِلًا كَالصَّوْمِ لَمْ يَصِحَّ أَنْ يَكُونَ عِبَادَةً إِلَّا بِالنِّيَّةِ.

Pertama: Lafaz sharih hanya mengandung satu makna, sehingga diberlakukan sesuai maknanya tanpa memerlukan niat, sedangkan kināyah mengandung beberapa makna, sehingga tidak diarahkan pada salah satunya kecuali dengan niat. Tidakkah engkau melihat bahwa ibadah-ibadah yang hanya memiliki satu bentuk, seperti menunaikan amanah dan menghilangkan najis, tidak membutuhkan niat, sedangkan yang masih mengandung kemungkinan seperti puasa tidak sah sebagai ibadah kecuali dengan niat.

وَالثَّانِي: أَنَّ الصَّرِيحَ حَقِيقَةٌ وَالثَّانِيَ مَجَازٌ، وَالْحَقَائِقُ يُفْهَمُ مَقْصُودُهَا بِغَيْرِ قَرِينَةٍ وَالْمَجَازُ لَا يَقُومُ مَقْصُودُهُ إِلَّا بِقَرِينَةٍ، فَلِذَلِكَ افْتَقَرَتِ الْكِنَايَةُ إِلَى نِيَّةٍ، وَلَمْ يَفْتَقِرِ الصَّرِيحُ إِلَى نِيَّةٍ.

Kedua: Lafaz sharih adalah hakikat, sedangkan kināyah adalah majaz (kiasan). Makna hakikat dapat dipahami tanpa adanya indikasi lain, sedangkan makna majaz tidak dapat dipahami kecuali dengan adanya indikasi, oleh karena itu kināyah membutuhkan niat, sedangkan sharih tidak membutuhkan niat.

وَالْفَصْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْكِنَايَةَ إِذَا وَقَعَ بِهَا الطَّلَاقُ مَعَ النِّيَّةِ كَالْبَائِنِ وَالْبَتَّةِ والخلية والبرية كَانَ رَجْعِيًّا، إِلَّا أَنْ يَنْوِيَ ثَلَاثًا، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَكُونُ بَائِنًا، لَا يَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِيهِ.

Bagian kedua: Bahwa kināyah, jika dijatuhkan talak dengannya disertai niat, seperti lafaz bā’in, al-battah, al-khaliyah, dan al-bariyyah, maka talaknya dianggap raj‘ī, kecuali jika ia meniatkan tiga talak. Abu Hanifah berpendapat: Talak tersebut menjadi bā’in, sehingga ia tidak memiliki hak rujuk padanya, dan telah dijelaskan pembahasan bersamanya dalam hal ini.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ كَتَبَ بِطَلَاقِهَا فَلَا يَكُونُ طَلَاقًا إِلَّا بِأَنْ يَنْوِيَهُ كَمَا لَا يَكُونُ مَا خَالَفَهُ الصَّرِيحُ طَلَاقًا إِلَّا بِأَنْ يَنْوِيَهُ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menulis talak untuk istrinya, maka talak itu tidak jatuh kecuali jika ia meniatkannya, sebagaimana lafaz yang tidak sharih tidak menjadi talak kecuali jika ia meniatkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا وُقُوعُ الطَّلَاقِ بِغَيْرِ الْكَلَامِ فَيَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: فِعْلٌ وَكِنَايَةٌ وَإِشَارَةٌ، فَأَمَّا الْفِعْلُ: مِثْلُ الضَّرْبِ وَالْإِخْرَاجِ مِنَ الْمَنْزِلِ، وَمَا جَرَى مَجْرَاهُ مِنَ الْإِبْعَادِ وَالطَّرْدِ، فَلَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ وَإِنْ نَوَاهُ وَعِنْدَ مَالِكٍ يَكُونُ طَلَاقًا، لِأَنَّهُ يُوقِعُ الطَّلَاقَ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، فَأَوْلَى أَنْ يُوقِعَهُ بِالْفِعْلِ مَعَ النِّيَّةِ وَفِيمَا مَضَى مِنَ الدَّلِيلِ، عَلَى أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ بِالنِّيَّةِ، دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَا يَقَعُ بِالْفِعْلِ، وَإِنِ اقْتَرَنَتْ بِهِ النِّيَّةُ.

Al-Mawardi berkata: Adapun jatuhnya talak tanpa ucapan, terbagi menjadi tiga bagian: perbuatan, kināyah, dan isyarat. Adapun perbuatan, seperti memukul dan mengusir dari rumah, atau tindakan lain yang serupa seperti menjauhkan dan mengusir, maka talak tidak jatuh karenanya meskipun ia meniatkannya. Menurut Malik, itu menjadi talak, karena ia menetapkan jatuhnya talak hanya dengan niat, maka lebih utama lagi jika dengan perbuatan disertai niat. Namun dalil yang telah lalu menunjukkan bahwa talak tidak jatuh hanya dengan niat, maka itu juga menjadi dalil bahwa talak tidak jatuh dengan perbuatan, meskipun disertai niat.

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ أَيْضًا: أَنَّ الطَّلَاقَ أَعْظَمُ حُكْمًا مِنَ الْإِيلَاءِ وَالظِّهَارِ، لِأَنَّهُ يُسَاوِيهِمَا فِي قَصْدِ التَّحْرِيمِ، وَيَزِيدُ عَلَيْهِمَا فِي رَفْعِ الْعَقْدِ، فَلَمَّا لَمْ يَصِحَّ الْإِيلَاءُ وَالظِّهَارُ إِلَّا بِقَوْلِهِ دُونَ النِّيَّةِ وَالْفِعْلِ، كَانَ الطَّلَاقُ بِذَلِكَ أَوْلَى.

Dan dalil atas hal ini juga: bahwa talak memiliki kedudukan hukum yang lebih agung daripada ila’ dan zihar, karena talak setara dengan keduanya dalam maksud untuk mengharamkan (istri), dan bahkan lebih dari keduanya dalam membatalkan akad (pernikahan). Maka ketika ila’ dan zihar tidak sah kecuali dengan ucapan, bukan dengan niat atau perbuatan, maka talak lebih utama (untuk tidak sah) kecuali dengan ucapan pula.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْكِنَايَةُ وَهُوَ أَنْ يَكْتُبَ بِخَطِّ يَدِهِ، أَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ قَدْ طَلَّقْتُكِ، أَوْ أَنْتِ مُطَلَّقَةٌ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيمَا حُكِيَ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ: أَنَّهَا صَرِيحٌ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهَا لَا يَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ كَالْكَلَامِ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَنْذَرَ بِكُتُبِهِ فَقَالَ تَعَالَى: {لأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ} [الأنعام: 91] . وَقَدْ بَلَّغَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الرسالة بمكاتبة من كَاتِبِهِ، وَلِأَنَّهَا تَقُومُ فِي الْإِفْهَامِ مَقَامَ الْكَلَامِ، ثُمَّ هِيَ أَعَمُّ مِنْ إِفْهَامِ الْحَاضِرِ وَالْغَائِبِ مِنَ الْكَلَامِ الْمُخْتَصِّ بِإِفْهَامِ الْحَاضِرِ دُونَ الْغَائِبِ، وَلِأَنَّ الْعَادَةَ جَارِيَةٌ بِاسْتِعْمَالِهَا فِي مَوْضِعِ الْكَلَامِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ جَارِيَةً فِي الْحُكْمِ مَجْرَى الْكَلَامِ، وَلِأَنَّ الصَّحَابَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – قَدْ جَمَعُوا الْقُرْآنَ فِي الْمُصْحَفِ خَطًّا، وَأَقَامُوهُ مَقَامَ تَلَفُّظِهِمْ بِهِ نُطْقًا، حَتَّى صَارَ مَا تَضَمَّنَهُ إِجْمَاعًا لَا يَجُوزُ خِلَافُهُ، وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ الْكِتَابَةَ لَيْسَتْ صَرِيحًا فِي الْكَلَامِ، وَلَا يَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ الصَّرِيحِ مِنَ الْكَلَامِ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَرْسَلَ رَسُولَهُ نَذِيرًا لِأُمَّتِهِ وَمُبَلِّغًا لِرِسَالَتِهِ فَقَالَ تَعَالَى: {إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا} [البقرة: 199] . فَلَوْ كَانَتِ الْكِتَابَةُ كَالْكَلَامِ الصَّرِيحِ، لَمَكَّنَ اللَّهُ تَعَالَى رَسُولَهُ مِنْهَا، وَلَعَلَّمَهُ إِيَّاهَا لِيَكُونَ مَعَ تَكْلِيفِ الْإِنْذَارِ مُمَكَّنًا مِنْ آلَائِهِ، وَكَامِلًا لِصِفَاتِهِ، وَمُعَانًا عَلَيْهِ مِنْ سَائِرِ جِهَاتِهِ، حَتَّى لَا يَنَالَهُ نَقْصٌ فَيُقَصِّرَ، وَلَا ضَعْفٌ فَيَعْجِزَ، وَلَكَانَ لَا يَبْعَثُ رَسُولًا، إِلَّا أُمِّيًّا لَا يَكْتُبُ، وَإِنْ تَكَلَّمَ، كَمَا لَا يَبْعَثُ رَسُولًا أَخْرَسَ، لَا يَتَكَلَّمُ وَإِنْ كتب، وفي فحوى هذا دليل على خروج الكتابة مِنْ صَرِيحِ الْكَلَامِ، وَلِأَنَّهَا لَوْ قَامَتْ مَقَامَ صَرِيحِ الْكَلَامِ لَأَجْزَأَ مِنْ كَتْبِ الْقُرْآنِ فِي الصَّلَاةِ عَنْ أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهِ فِي الصَّلَاةِ، وَلَاقْتَضَى مِنَ الْمُرْتَدِّ إِذَا كَتَبَ الشَّهَادَتَيْنِ عَنْ أَنْ يَتَكَلَّمَ بِالشَّهَادَتَيْنِ، وَفِي امْتِنَاعِنَا مِنْ ذَلِكَ خُرُوجُ الْكِتَابَةِ مِنْ حُكْمِ الْكَلَامِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَتِ الْكِتَابَةُ صَرِيحًا كَالْكَلَامِ لَصَحَّ بِهَا عَقْدُ النِّكَاحِ، كَمَا يَقَعُ بِهَا فِيهِ الطَّلَاقُ، وَفِي إِجْمَاعِنَا عَلَى أَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ بِهَا لَا يِصِحُّ دَلِيلٌ عَلَى خُرُوجِهِمَا مِنْ صَرِيحِ الْكَلَامِ فِي الطَّلَاقِ، فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنْ لَيْسَتِ الْكِتَابَةُ صَرِيحًا فِي الطَّلَاقِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ، هَلْ يَكُونُ كِنَايَةً فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun kinayah, yaitu seseorang menulis dengan tangannya sendiri, “Engkau tertalak,” atau “Aku telah menceraikanmu,” atau “Engkau telah dicerai,” maka telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan manusia sebagaimana yang dinukil dari asy-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal: bahwa tulisan tersebut dianggap sharih (jelas) dalam terjadinya talak dengannya dan tidak memerlukan niat, sebagaimana ucapan, karena Allah Ta‘ala telah memberi peringatan dengan kitab-kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya: {Agar aku memberi peringatan kepadamu dengannya dan kepada siapa saja yang sampai kepadanya} (al-An‘am: 91). Rasulullah ﷺ juga telah menyampaikan risalah dengan tulisan dari penulis beliau. Selain itu, tulisan dapat berfungsi dalam pemahaman sebagaimana ucapan, bahkan cakupannya lebih luas karena dapat dipahami oleh yang hadir maupun yang tidak hadir, sedangkan ucapan hanya khusus dipahami oleh yang hadir saja. Kebiasaan juga telah berlaku menggunakan tulisan pada tempat ucapan, sehingga sudah sepatutnya hukumnya disamakan dengan ucapan. Para sahabat – semoga Allah meridhai mereka – telah mengumpulkan al-Qur’an dalam mushaf secara tertulis, dan mereka menempatkannya pada posisi pelafalan secara lisan, sehingga apa yang terkandung di dalamnya menjadi ijmā‘ yang tidak boleh diselisihi. Adapun jumhur fuqaha berpendapat bahwa tulisan bukanlah sharih dalam ucapan, dan tidak berlaku atasnya hukum sharih dari ucapan. Karena Allah Ta‘ala telah mengutus Rasul-Nya sebagai pemberi peringatan kepada umatnya dan penyampai risalah-Nya, sebagaimana firman-Nya: {Sesungguhnya Kami mengutusmu dengan kebenaran sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan} (al-Baqarah: 199). Seandainya tulisan itu seperti ucapan yang sharih, niscaya Allah Ta‘ala akan memampukan Rasul-Nya untuk menulis, dan mengajarkannya agar dengan tugas memberi peringatan, beliau juga mampu menulis, sempurna sifat-sifatnya, dan mendapat pertolongan dari segala sisi, sehingga tidak ada kekurangan yang menimpanya hingga lalai, dan tidak ada kelemahan hingga tidak mampu. Maka tidaklah Allah mengutus seorang Rasul kecuali dalam keadaan ummi (tidak bisa menulis), meskipun ia berbicara, sebagaimana Allah tidak mengutus Rasul yang bisu, tidak bisa berbicara meskipun ia menulis. Dalam makna ini terdapat dalil bahwa tulisan keluar dari kategori ucapan sharih. Seandainya tulisan menempati kedudukan ucapan sharih, niscaya cukup dengan menulis al-Qur’an dalam shalat tanpa harus melafalkannya dalam shalat, dan niscaya cukup bagi orang murtad yang menulis dua kalimat syahadat tanpa harus melafalkannya. Dengan tidak bolehnya hal itu, menunjukkan bahwa tulisan keluar dari hukum ucapan. Seandainya tulisan itu sharih seperti ucapan, niscaya akad nikah sah dengan tulisan, sebagaimana talak bisa terjadi dengan tulisan. Dan dalam ijmā‘ kita bahwa akad nikah dengan tulisan tidak sah, terdapat dalil bahwa tulisan keluar dari kategori ucapan sharih dalam talak. Jika telah tetap bahwa tulisan bukanlah sharih dalam talak, maka terdapat perbedaan pendapat dari asy-Syafi‘i, apakah tulisan itu termasuk kinayah dalam talak atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَأَشَارَ إِلَيْهِ فِي كِتَابِ الرَّجْعَةِ.

Salah satunya: dan ini ditunjukkan dalam Kitab ar-Raj‘ah.

وَقَالَ بِهِ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا: أَنَّهَا لَا تَكُونُ كِنَايَةً، وَلَا يَقَعُ بِهَا طَلَاقٌ وَإِنْ نَوَاهُ، لِأَنَّهَا فِعْلٌ فَأَشْبَهَتْ سَائِرَ الْأَفْعَالِ، وَلِأَنَّ كِتَابَةَ الْيَدِ تُرْجُمَانِ اللِّسَانِ وَمُعَبِّرٌ عَنْهُ كَمَا أَنَّ كِنَايَةَ الْكَلَامِ تُرْجُمَانُ الْقَلْبِ وَمُعَبِّرٌ عَنْهُ فَلَمَّا لَمْ تَقُمِ الْكِتَابَةُ مَقَامَ الصَّرِيحِ إِلَّا بِنِيَّةِ الْقَلْبِ لَمْ تَقُمِ الْكِنَايَةُ مَعَ الْكَلَامِ إِلَّا بِنُطْقِ اللِّسَانِ.

Dan pendapat ini dipegang oleh Abu Ishaq al-Marwazi dari kalangan ulama kami: bahwa tulisan tidak termasuk kinayah, dan talak tidak terjadi dengan tulisan meskipun diniatkan, karena tulisan adalah perbuatan sehingga menyerupai perbuatan-perbuatan lainnya. Dan karena tulisan tangan adalah penerjemah lisan dan penjelasnya, sebagaimana kinayah dalam ucapan adalah penerjemah hati dan penjelasnya. Maka ketika tulisan tidak menempati kedudukan sharih kecuali dengan niat hati, demikian pula kinayah dalam ucapan tidak menempati kedudukan (talak) kecuali dengan pelafalan lisan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ نَصَّ عَلَيْهِ هَاهُنَا وَفِي الْإِمْلَاءِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ: إِنَّ الْكِتَابَةَ كِنَايَةٌ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهَا مَعَ النِّيَّةِ، وَلَا يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ إِنْ تَجَرَّدَتْ عَنِ النِّيَّةِ، لِأَنَّهَا نَقْصٌ عَنِ الْكَلَامِ لِاحْتِمَالِهَا وَتُخَالِفُ الْأَفْعَالَ لِإِفْهَامِ الْمُخَاطَبِ بِهَا، وَلِأَنَّ الْعُرْفَ فِي اسْتِعْمَالِهَا أَنَّهَا بَدَلٌ مِنَ الْكَلَامِ، تَقْتَضِي أَنْ يَتَعَلَّقَ عَلَيْهَا بَعْضُ أَحْكَامِ الْكَلَامِ، فَصَارَتْ كَالْمُحْتَمَلِ فِيهِ مِنِ اعْتِبَارِ النِّيَّةِ فِيهِ:

Pendapat kedua, dan inilah yang benar, telah dinyatakan secara tegas di sini dan dalam al-Imlā’, dan juga merupakan pendapat Abū Ḥanīfah dan Mālik: bahwa penulisan (tulisan) merupakan kināyah (ungkapan tidak langsung) dalam terjadinya talak dengannya apabila disertai niat, dan talak tidak terjadi dengannya jika tidak disertai niat. Sebab, tulisan itu lebih rendah dari ucapan karena mengandung kemungkinan (makna), dan berbeda dengan perbuatan karena tulisan dimaksudkan untuk memberi pemahaman kepada pihak yang dituju. Selain itu, dalam kebiasaan penggunaannya, tulisan merupakan pengganti ucapan, sehingga menuntut agar sebagian hukum ucapan berlaku padanya. Maka, tulisan menjadi seperti sesuatu yang mengandung kemungkinan dalam ucapan, yaitu dengan mempertimbangkan niat di dalamnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا قُلْنَا بِالْأَوَّلِ أَنَّ الْكِتَابَةَ لَيْسَتْ صَرِيحًا وَلَا كِنَايَةً، فَلَا يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ وَإِنْ نَوَاهُ مِنْ حَاضِرٍ وَلَا غَائِبٍ، وَكَذَلِكَ الْعِتْقُ، فَإِنْ قُلْنَا بِالثَّانِي فِي أَنَّ الْكِتَابَةَ كِنَايَةٌ يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ إِذَا اقْتَرَنَتْ بِالنِّيَّةِ، وَلَا يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ إِذَا تَجَرَّدَتْ عَنِ النِّيَّةِ، فَكَذَلِكَ الْعِتْقُ، وَيَصِحُّ بِهَا الطَّلَاقُ وَالْعِتَاقُ مِنَ الْغَائِبِ، وَهَلْ يَصِحُّ مِنَ الْحَاضِرِ أَمْ لَا؟ فِيهِ وَجْهَانِ:

Jika kita berpendapat yang pertama, bahwa tulisan bukanlah lafaz ṣarīḥ (tegas) dan bukan pula kināyah, maka talak tidak terjadi dengannya, baik diniatkan atau tidak, baik oleh orang yang hadir maupun yang tidak hadir. Begitu pula dalam masalah ‘itq (pembebasan budak). Namun, jika kita berpendapat yang kedua, bahwa tulisan adalah kināyah, maka talak terjadi dengannya jika disertai niat, dan tidak terjadi jika tidak disertai niat. Demikian pula dalam masalah ‘itq. Talak dan pembebasan budak dengan tulisan sah dilakukan oleh orang yang tidak hadir. Adapun apakah sah dilakukan oleh orang yang hadir atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَصِحُّ مِنَ الْحَاضِرِ كَمَا يَصِحُّ مِنَ الْغَائِبِ، لِأَنَّ كِنَايَاتِ الطَّلَاقِ وَالْعِتَاقِ مِنَ الْحَاضِرِ وَالْغَائِبِ سَوَاءٌ، فَكَذَلِكَ الْكِتَابَةُ.

Salah satunya: Sah dilakukan oleh orang yang hadir sebagaimana sah dilakukan oleh orang yang tidak hadir, karena kināyah talak dan pembebasan budak bagi yang hadir dan tidak hadir adalah sama, demikian pula halnya dengan tulisan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَصِحُّ بِهَا الطَّلَاقُ وَالْعِتَاقُ، مِنَ الْحَاضِرِ وَالْغَائِبِ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: Tidak sah talak dan pembebasan budak dengan tulisan, baik oleh orang yang hadir maupun yang tidak hadir, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مِنَ الْغَائِبِ ضَرُورَةٌ كَإِشَارَةِ الْأَخْرَسِ، وَمِنَ الْحَاضِرِ غَيْرُ ضَرُورَةٍ كَإِشَارَةِ النَّاطِقِ.

Pertama: Karena bagi yang tidak hadir, tulisan merupakan suatu kebutuhan, seperti isyarat bagi orang bisu; sedangkan bagi yang hadir, tidak ada kebutuhan, seperti isyarat bagi orang yang mampu berbicara.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا مُسْتَعْمَلَةٌ فِي عُرْفِ الْغَائِبِ، وَغَيْرُ مُسْتَعْمَلَةٍ فِي عُرْفِ الْحَاضِرِ، فَأَمَّا الظِّهَارُ بِالْكِتَابَةِ فَهُوَ كَالطَّلَاقِ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَأَمَّا الْإِيلَاءُ بِالْكِتَابَةِ فَلَا يَصِحُّ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ الْإِيلَاءَ يَمِينٌ بِاللَّهِ تَعَالَى لَا يَنْعَقِدُ بِالْكِنَايَةِ، وَأَمَّا عَقْدُ الْبَيْعِ وَالْإِجَابَةِ بِالْكِتَابَةِ، فَإِنْ قِيلَ إِن الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ بِهِمَا وَلَا يَكُونُ كِنَايَةً فِيهِ فَأَوْلَى أَن لَا يَنْعَقِدَ بِهَا بَيْعٌ وَلَا إِجَارَةٌ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِهَا، وَإِنَّهَا كِنَايَةٌ فِيهِ، فَفِي عَقْدِ الْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ بِهِمَا وَجْهَانِ، مِنِ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي عَقْدِ الْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ بِصَرِيحِ الْعَقْدِ وَكِنَايَتِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Karena tulisan digunakan dalam kebiasaan untuk orang yang tidak hadir, dan tidak digunakan dalam kebiasaan untuk orang yang hadir. Adapun ẓihār dengan tulisan, hukumnya seperti talak menurut dua pendapat. Sedangkan īlā’ dengan tulisan, tidak sah menurut satu pendapat, karena īlā’ adalah sumpah dengan nama Allah Ta‘ālā yang tidak sah dilakukan dengan kināyah. Adapun akad jual beli dan ijābah (penerimaan) dengan tulisan, jika dikatakan bahwa talak tidak terjadi dengannya dan tidak dianggap sebagai kināyah, maka lebih utama lagi bahwa jual beli dan sewa-menyewa tidak sah dengan tulisan. Namun, jika dikatakan bahwa talak terjadi dengannya dan tulisan dianggap sebagai kināyah, maka dalam akad jual beli dan sewa-menyewa dengan tulisan terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat ulama kami dalam akad jual beli dan sewa-menyewa dengan lafaz ṣarīḥ dan kināyah, yaitu dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَصِحُّ بِالْكِتَابَةِ، إِذَا قِيلَ إِنَّهُ لَا تَصِحُّ بِالْكِنَايَاتِ.

Salah satunya: Tidak sah dengan tulisan, jika dikatakan bahwa tidak sah dengan kināyah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ تَصِحُّ بِالْكِتَابَةِ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ تَصِحُّ بِالْكِنَايَاتِ.

Pendapat kedua: Sah dengan tulisan, jika dikatakan bahwa sah dengan kināyah.

وَقَدْ حَكَى أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ: أَنَّهُ وَجَدَ نَصًّا عَنِ الشَّافِعِيِّ، أَنَّهُ إِذَا كَتَبَ إِلَى رَجُلٍ فِي بَلَدٍ إنِّي قَدْ بِعْتُكَ دَارِي، فِيهِ بِكَذَا صَحَّ الْبَيْعُ، إِذَا قَبِلَهُ الْمُكَاتَبُ إِلَيْهِ، وَكَانَ لَهُ الْخِيَارُ مَا لَمْ يفارق مجلسه. والله أعلم.

Abū Ḥāmid al-Marwazī telah meriwayatkan bahwa ia menemukan nash dari asy-Syāfi‘ī, bahwa jika seseorang menulis surat kepada orang lain di negeri lain: “Aku telah menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian,” maka jual beli itu sah jika orang yang dikirimi surat menerimanya, dan ia memiliki hak khiyār (memilih) selama belum berpisah dari majelisnya. Wallāhu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: (فإذا كَتَبَ إِذَا جَاءَكِ كِتَابِي فَحَتَّى يَأْتِيَهَا) .

Asy-Syāfi‘ī berkata: (Jika ia menulis: “Apabila suratku sampai kepadamu, maka…”, maka talak berlaku setelah surat itu sampai kepadanya).

قَالَ الماوردي: وإذا قد مضى الكلام، حُكْمُ الْكِتَابَةِ بِالطَّلَاقِ أَنَّهَا لَيْسَتْ صَرِيحَةً فِيهِ، وَفِي كَوْنِهَا كِنَايَةً قَوْلَانِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ مَنْ كَتَبَ بِطَلَاقِ زَوْجَتِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Māwardī berkata: Setelah pembahasan sebelumnya, hukum tulisan dalam talak adalah bahwa tulisan bukanlah lafaz ṣarīḥ dalam talak, dan dalam statusnya sebagai kināyah terdapat dua pendapat. Maka, keadaan orang yang menulis talak kepada istrinya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَقْتَرِنَ بِكِتَابَتِهِ لَفْظٌ.

Pertama: Disertai dengan lafaz dalam tulisannya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَقْتَرِنَ بِهَا نِيَّةٌ.

Kedua: Disertai dengan niat.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَتَجَرَّدَ عَنْ لَفْظٍ وَنِيَّةٍ، فَإِنْ قَارَنَهَا لَفْظٌ، وَقَعَ الطَّلَاقُ، لِأَنَّ اللَّفْظَ لَوْ تَجَرَّدَ عَنِ الْكِتَابَةِ وَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ، فَإِذَا انْضَمَّ إِلَى الْكِتَابَةِ فَأَوْلَى أَنْ يَقَعَ بِهِ، وَإِنْ قَارَنَهَا نِيَّةُ الطَّلَاقِ، فَفِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهَا قَوْلَانِ، إِنْ قِيلَ كِنَايَةٌ وَقَعَ الطَّلَاقُ، وَإِنْ قِيلَ لَيْسَتْ كِنَايَةً لَمْ يَقَعْ، وَإِنْ تَجَرَّدَتِ الْكِتَابَةُ عَنْ قَوْلٍ وَنِيَّةٍ لَمْ يَقَعْ بِهَا الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ كَتَبَ حَاكِيًا عَنْ غَيْرِهِ، أَوْ مُجَرِّبًا لِخَطِّهِ، أَوْ مُرْهِبًا لِزَوْجَتِهِ، فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا؛ فَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى زَوْجَتِهِ إِذَا جَاءَكِ كِتَابِي هَذَا فَأَنْتِ طَالِقٌ، إِمَّا مَعَ لَفْظٍ اقْتَرَنَ بِهِ فَكَانَ طَلَاقًا قَوْلًا وَاحِدًا وَإِمَّا مَعَ نِيَّةٍ اقْتَرَنَتْ بِخَطِّهِ، فَكَانَ طَلَاقًا فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ، وَعَلَيْهِ تَفَرُّعُ جَمِيعِ هَذِهِ الْمَسَائِلِ، فَهُوَ طَلَاقٌ مُعَلَّقٌ بِصِفَةٍ، وَهُوَ مَجِيءُ الْكِتَابِ إِلَيْهَا، فَإِنْ لَمْ يَجِئْهَا الْكِتَابُ لَمْ تُطَلَّقْ فَإِنْ تَأَخَّرَ لِهَلَاكِهِ فَقَدْ بَطَلَتْ صِفَةُ طَلَاقِهَا، فَهُوَ غَيْرُ مُنْتَظَرٍ سَوَاءٌ كَانَ هَلَاكُهُ بِسَبَبٍ مِنْهَا أَوْ مِنْ غَيْرِهِ، وَإِنْ تَأَخَّرَ مَعَ بَقَائِهِ فَالصِّفَةُ بَاقِيَةٌ، وَتَعْلِيقُ الطَّلَاقِ بِهَا مُنْتَظِرٌ لِمَجِيءِ الْكِتَابِ إِلَيْهَا، لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Ketiga: Jika tulisan itu terlepas dari lafaz dan niat. Jika tulisan itu disertai lafaz, maka talak jatuh, karena lafaz saja tanpa tulisan pun sudah menyebabkan talak jatuh, maka jika lafaz itu bergabung dengan tulisan, lebih utama lagi talak jatuh dengannya. Jika tulisan itu disertai niat talak, maka ada dua pendapat mengenai jatuhnya talak dengannya: jika dikatakan sebagai kināyah, maka talak jatuh; jika dikatakan bukan kināyah, maka talak tidak jatuh. Jika tulisan itu terlepas dari ucapan dan niat, maka talak tidak jatuh dengannya, karena mungkin saja ia menulis hanya mengutip dari orang lain, atau sekadar mencoba tulisannya, atau menakut-nakuti istrinya. Setelah penjelasan ini, gambaran masalah ini adalah: seseorang menulis kepada istrinya, “Jika suratku ini sampai kepadamu, maka engkau tertalak,” baik disertai lafaz yang menyertainya sehingga talak jatuh menurut satu pendapat, atau disertai niat yang menyertai tulisannya sehingga talak jatuh menurut pendapat yang lebih sahih dari dua pendapat, dan seluruh perincian masalah-masalah ini bercabang darinya. Maka ini adalah talak mu‘allaq (talak yang digantungkan) pada suatu sifat, yaitu sampainya surat itu kepadanya. Jika surat itu tidak sampai kepadanya, maka ia tidak tertalak. Jika surat itu terlambat karena rusak atau hilang, maka sifat talaknya batal, sehingga tidak lagi ditunggu, baik kerusakan itu karena ulahnya atau bukan. Jika surat itu terlambat namun masih ada, maka sifatnya tetap, dan talak yang digantungkan itu menunggu sampai surat itu sampai kepadanya. Dalam hal ini, keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ سَلِيمًا، فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ سَوَاءٌ قَرَأَتْهُ أَوْ لَمْ تَقْرَأْهُ، لِأَنَّهُ عَلَّقَ طَلَاقَهَا بِمَجِيئِهِ لَا بِقِرَاءَتِهِ، وَلَوْ كَانَ كَتَبَ إِذَا جَاءَكِ كِتَابٌ وَقَرَأْتِيهِ لَمْ تُطَلَّقْ لِمَجِيئِهِ حَتَّى تقرأه، فإن قرأ عَلَيْهَا لَمْ تُطَلَّقْ، إِنْ كَانَتْ تُحْسِنُ الْقِرَاءَةَ، وَطُلِّقَتْ إِنْ كَانَتْ لَا تُحْسِنُهَا اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ.

Pertama: Surat itu sampai dalam keadaan utuh, maka talak jatuh baik ia membacanya maupun tidak, karena ia menggantungkan talaknya pada sampainya surat, bukan pada pembacaannya. Jika ia menulis, “Jika sampai kepadamu surat dan engkau membacanya,” maka ia tidak tertalak hanya karena surat itu sampai, sampai ia membacanya. Jika surat itu dibacakan kepadanya, ia tidak tertalak jika ia bisa membaca, dan ia tertalak jika ia tidak bisa membaca, sesuai dengan kebiasaan (‘urf).

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَصِلَ الْكِتَابُ مَمْحُوَّ الْكِتَابَةِ، فَلَا طَلَاقَ، لِأَنَّ الْكِتَابَ هُوَ الْمَكْتُوبُ وَمَا لا كتابة فيه فهو كأخذ وَلَيْسَ بِكِتَابٍ، سَوَاءٌ كَانَ هُوَ الْمَاحِيَ لَهُ أو غيره، ولكن لو تطلست كتابته ولم يمح نُظِرَ فَإِنْ كَانَ مَفْهُومَ الْقِرَاءَةِ طُلِّقَتْ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَفْهُومٍ لَمْ تُطَلَّقْ.

Bagian kedua: Surat itu sampai dalam keadaan tulisannya terhapus, maka tidak terjadi talak, karena yang dimaksud dengan surat adalah yang tertulis, dan jika tidak ada tulisan di dalamnya, maka itu seperti mengambil sesuatu dan bukan surat, baik yang menghapus itu dirinya sendiri atau orang lain. Namun, jika tulisannya samar namun belum terhapus, maka dilihat: jika masih bisa dipahami saat dibaca, maka ia tertalak; jika tidak bisa dipahami, maka ia tidak tertalak.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَصِلَ الْكِتَابُ وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُهُ، فَإِنْ كَانَ الذَّاهِبُ مِنْهُ مَوْضِعَ طَلَاقِهَا لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ مَقْصُودَهُ لَمْ يَصِلْ، وَإِنْ كَانَ مَوْضِعَ طَلَاقِهَا بَاقِيًا وَالذَّاهِبُ مِنْ غَيْرِهِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُقُوعِ طَلَاقِهَا بِهِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:

Bagian ketiga: Surat itu sampai namun sebagian tulisannya hilang. Jika yang hilang adalah bagian yang berisi talak, maka ia tidak tertalak, karena maksudnya tidak sampai. Jika bagian talaknya masih ada dan yang hilang adalah bagian lain, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang jatuhnya talak dengannya menjadi empat pendapat:

أَحَدُهَا: لَا تُطَلَّقُ سَوَاءٌ كَانَ الذَّاهِبُ مِنْهُ مَكْتُوبًا أَوْ غَيْرَ مَكْتُوبٍ، لِأَنَّ الْوَاصِلَ مِنْهُ بَعْضُهُ.

Pertama: Ia tidak tertalak, baik yang hilang itu bagian yang tertulis maupun yang tidak tertulis, karena yang sampai hanya sebagian surat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُطَلَّقُ، سَوَاءٌ كَانَ الذَّاهِبُ مَكْتُوبًا أَوْ غَيْرَ مَكْتُوبٍ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ هُوَ لَفْظُ الطَّلَاقِ وَاصِلٌ.

Pendapat kedua: Ia tertalak, baik yang hilang itu bagian yang tertulis maupun yang tidak tertulis, karena yang dimaksud dari surat itu adalah lafaz talak yang telah sampai.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: إِنْ كَانَ الذَّاهِبُ مِنَ الْمَكْتُوبِ لَمْ تُطَلَّقْ، لا بَعْضُ الْكِتَابِ وَإِنْ كَانَ الذَّاهِبُ مِنْ غَيْرِ الْمَكْتُوبِ طُلِّقَتْ، لِأَنَّ الْمَكْتُوبَ هُوَ جَمِيعُ الْكِتَابِ.

Pendapat ketiga: Jika yang hilang adalah bagian yang tertulis, maka ia tidak tertalak, bukan hanya sebagian surat; dan jika yang hilang adalah bagian yang tidak tertulis, maka ia tertalak, karena yang tertulis adalah seluruh surat.

وَالْوَجْهُ الرَّابِعُ: إِنْ وَصَلَ أَكْثَرُهُ طُلِّقَتْ، وَإِنْ وَصَلَ أَقَلُّهُ لَمْ تُطَلَّقِ اعْتِبَارًا بالأغلب.

Pendapat keempat: Jika sebagian besarnya sampai, maka ia tertalak; jika yang sampai hanya sebagian kecil, maka ia tidak tertalak, berdasarkan pertimbangan mayoritas.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فَإِنْ كَتَبَ أَمَّا بَعْدُ فَأَنْتِ طَالِقٌ مِنْ حِينِ كَتَبَ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia menulis, ‘Amma ba‘du, maka engkau tertalak,’ maka talak jatuh sejak ia menulisnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا اقْتَرَنَ بِكِتَابَتِهِ نِيَّةُ الطَّلَاقِ فَيَقَعُ الطَّلَاقُ بِالْأَصَحِّ مِنْ قَوْلَيْهِ، الَّذِي تَفَرَّعَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ كَتَبَ طَلَاقًا نَاجِزًا، وَلَمْ يُعَلِّقْهُ بِوُصُولِ الْكِتَابِ إِلَيْهَا، فَيَعْمَلُ وُقُوعُهُ فِي الْحَالِ، كَمَا لَوْ تَلَفَّظَ بِطَلَاقِهَا نَاجِزًا وَخَالَفَ أَنْ يُكْتَبَ، إِذَا وَصَلَ إليك كتابي فأنت طالق، فلا يطلق إِلَّا بِوُصُولِهِ، لِأَنَّ هَذَا مُقَيَّدٌ بِصِفَةٍ، وَذَاكَ نَاجِزٌ، فَلَوْ كَانَ قَالَ لَهَا: إِذَا أَتَاكِ طَلَاقِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ كَتَبَ إِلَيْهَا إِذَا جَاءَكِ كِتَابِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَجَاءَهَا الْكِتَابُ طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ، إِحْدَاهُمَا بِوُصُولِ الْكِتَابِ وَالثَّانِيَةُ بِمَجِيءِ الطَّلَاقِ، لأن الصفتين موجودتين فِي وُصُولِهِ، وَعَلَى مِثَالِهِ أَنْ يَقُولَ لَهَا: إِنْ أَكَلْتِ نِصْفَ رُمَّانَةٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ وَإِنْ أَكَلْتِ رُمَّانَةً، فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَأَكَلَتْ رُمَّانَةً فَتُطَلَّقُ طَلْقَتَيْنِ لِأَنَّهَا قَدْ أَكَلَتْ نِصْفَ رُمَّانَةٍ وَأَكَلَتْ رُمَّانَةً وَلَوْ قَالَ لَهَا: كُلَّمَا أَكَلْتِ نِصْفَ رُمَّانَةٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ وَكُلَّمَا أَكَلْتِ رُمَّانَةً فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَأَكَلَتْ رُمَّانَةً طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ، لِأَنَّ فِيهَا نِصْفَيْنِ، فَطُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ وَهِيَ رُمَّانَةٌ، فَطُلِّقَتْ ثَالِثَةً.

Al-Mawardi berkata: Ini benar apabila penulisan tersebut disertai dengan niat talak, maka talak jatuh menurut pendapat yang lebih sahih dari dua pendapatnya, yang dibangun di atasnya, karena ia telah menulis talak yang langsung (tanpa penangguhan), dan tidak menggantungkan talak itu pada sampainya surat tersebut kepadanya, sehingga talak itu berlaku saat itu juga, sebagaimana jika ia mengucapkan talak secara langsung dan berbeda dengan jika ia berkata: “Jika suratku sampai kepadamu, maka engkau tertalak,” maka talak tidak jatuh kecuali setelah surat itu sampai, karena yang ini terikat dengan suatu sifat, sedangkan yang itu langsung. Maka jika ia berkata kepada istrinya: “Jika talakku sampai kepadamu, maka engkau tertalak,” kemudian ia menulis surat kepadanya: “Jika suratku sampai kepadamu, maka engkau tertalak,” lalu surat itu sampai kepadanya, maka ia tertalak dua kali, yang pertama karena sampainya surat, dan yang kedua karena sampainya talak, karena kedua sifat itu ada pada sampainya surat. Contohnya lagi, jika ia berkata kepada istrinya: “Jika engkau makan setengah buah delima, maka engkau tertalak, dan jika engkau makan satu buah delima, maka engkau tertalak,” lalu ia makan satu buah delima, maka ia tertalak dua kali, karena ia telah makan setengah buah delima dan juga makan satu buah delima. Jika ia berkata: “Setiap kali engkau makan setengah buah delima, maka engkau tertalak, dan setiap kali engkau makan satu buah delima, maka engkau tertalak,” lalu ia makan satu buah delima, maka ia tertalak dua kali, karena di dalamnya terdapat dua setengah, sehingga ia tertalak dua kali, dan itu satu buah delima, maka ia tertalak yang ketiga.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَإِنْ شُهِدَ عَلَيْهِ أَنَّ هَذَا خَطُّهُ لَمْ يَلْزَمْهُ حَتَّى يُقِرَّ بِهِ) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika disaksikan bahwa itu adalah tulisannya, maka tidak wajib baginya (talak) sampai ia mengakuinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ تَدَّعِيَ الْمَرْأَةُ عَلَى زَوْجِهَا، أَنَّهُ كَتَبَ إليها بطلاقها، وتحضر كِتَابًا بِالطَّلَاقِ تَدَّعِي أَنَّهُ كِتَابُهُ وَيُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ كِتَابَهُ، فَإِنْ لَمْ تَصِلِ الْمَرْأَةُ الدَّعْوَى بِأَنَّهُ كِتَابُهُ، نَاوِيًا لِلطَّلَاقِ، لَمْ يُحْلَفِ الزَّوْجُ، وَإِنْ وَصَلَتْ دَعْوَاهَا، بِأَنَّهُ كَتَبَ نَاوِيًا أُحْلِفَ الزَّوْجُ حِينَئِذٍ عَلَى إِنْكَارِهِ، فَإِنْ كَانَ مُنْكِرًا لِلْكِتَابِ، أُحْلِفَ أَنَّهُ مَا كَتَبَهُ وَإِنْ كَانَ مُنْكِرًا لِلنِّيَّةِ، أُحْلِفَ أَنَّهُ مَا نَوَى، وَإِنْ أُحْلِفَ أَنَّهَا لَمْ تُطَلَّقْ مِنْهُ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ مِمَّنْ لَا يَعْتَقِدُ وُقُوعَ الطَّلَاقِ بِالْكِتَابِ، وَيَعْتَقِدُهُ الْحَاكِمُ فَإِنْ شَهِدَ عَلَيْهِ عِنْدَ إِنْكَارِ الْكِتَابِ شَاهِدَانِ، أَنَّهُ خَطُّهُ وَكِتَابُهُ لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ الْكِتَابَةَ لَا يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ إِلَّا مَعَ النِّيَّةِ، وَالشَّهَادَةُ وَإِنْ صَحَّتْ عَلَى الْكِتَابَةِ فَلَا تَصِحُّ عَلَى النِّيَّةِ، لِأَنَّ النِّيَّةَ تَخْفَى وَالْكِتَابَةَ لَا تَخْفَى، وَلِذَلِكَ قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لَمْ يَلْزَمْهُ حَتَّى يُقِرَّ بِهِ، يَعْنِي يُقِرُّ بِالْكِتَابِ وَالنِّيَّةِ مَعَ كِتَابَتِهِ، فَإِنْ قِيلَ فَكَيْفَ تَصِحُّ الشَّهَادَةُ عَلَى خطه؟ قيل بأن رأياه يكتبه، ولا تغيب الْكِتَابُ عَنْ أَعْيُنِهِمَا حَتَّى يَشْهَدَا بِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَأَيَاهُ، يَكْتُبُهُ وَلَكِنَّهُمَا عَرَفَا خَطَّهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْهَدَا بِهِ، لِأَنَّ الْخَطَّ (يشبه الخط) ، وَإِنْ رَأَيَاهُ قَدْ كَتَبَهُ وَغَابَ الْكِتَابُ عَنْهُمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْهَدَا بِهِ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ مُزَوَّرًا عَلَيْهِ فَيَتَشَبَّهُ بِهِ وَهَذِهِ الشَّهَادَةُ لَا تَلْزَمُ الشَّاهِدَيْنِ، أَنْ يَشْهَدَا بِهَا، وَلَا الْحَاكِمَ أَنْ يَسْتَدْعِيَهُمَا، لِأَنَّهُ لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا حُكْمٌ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk permasalahannya adalah ketika seorang wanita menuduh suaminya bahwa ia telah menulis surat kepadanya berisi talak, dan ia membawa surat talak yang ia klaim sebagai surat dari suaminya, sementara suaminya mengingkari bahwa itu suratnya. Jika wanita itu tidak menyertakan dalam gugatannya bahwa itu surat dari suaminya dengan niat talak, maka suami tidak diminta bersumpah. Namun jika ia menyertakan dalam gugatannya bahwa suaminya menulis dengan niat talak, maka suami diminta bersumpah atas pengingkarannya. Jika ia mengingkari surat itu, maka ia diminta bersumpah bahwa ia tidak menulisnya. Jika ia mengingkari niat, maka ia diminta bersumpah bahwa ia tidak berniat (talak). Jika ia diminta bersumpah bahwa istrinya tidak tertalak darinya, maka itu tidak sah, karena bisa jadi ia termasuk orang yang tidak meyakini jatuhnya talak dengan tulisan, sementara hakim meyakininya. Jika ada dua saksi bersaksi atasnya ketika ia mengingkari surat itu, bahwa itu adalah tulisannya dan suratnya, maka talak tidak jatuh, karena talak dengan tulisan tidak terjadi kecuali dengan niat, dan kesaksian meskipun sah atas tulisan, tidak sah atas niat, karena niat itu tersembunyi sedangkan tulisan tidak. Oleh karena itu, Imam Syafi‘i ra. berkata: “Tidak wajib baginya sampai ia mengakuinya,” maksudnya mengakui surat dan niat bersamaan dengan penulisannya. Jika ditanyakan, bagaimana kesaksian atas tulisannya bisa sah? Dijawab: Yaitu jika kedua saksi melihatnya menulis, dan surat itu tidak hilang dari pandangan mereka hingga mereka bersaksi atasnya. Jika keduanya tidak melihatnya menulis, tetapi hanya mengenal tulisannya, maka tidak boleh mereka bersaksi atasnya, karena tulisan bisa mirip. Jika mereka melihatnya telah menulis dan surat itu hilang dari mereka, maka tidak boleh mereka bersaksi atasnya, karena mungkin saja surat itu dipalsukan sehingga menyerupai tulisannya. Kesaksian seperti ini tidak mewajibkan kedua saksi untuk bersaksi, dan tidak pula hakim untuk memanggil mereka, karena tidak ada hukum yang terkait dengannya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا الْإِشَارَةُ بِالطَّلَاقِ، فَإِنْ كَانَتْ مِنَ الْأَخْرَسِ، قَامَتْ مَقَامَ نُطْقِهِ، وَوَقَعَ الطَّلَاقُ بِإِشَارَتِهِ كَمَا يَقَعُ طَلَاقُ النَّاطِقِ بِلَفْظِهِ، إِذَا كَانَتْ إِشَارَتُهُ مَفْهُومَةً، وَتَكُونُ الْإِشَارَةُ مِنْهُ طَلَاقًا صَرِيحًا وَإِنْ كَانَتِ الْإِشَارَةُ مِنْ نَاطِقٍ، لَمْ يَقَعْ بِهَا الطَّلَاقُ لَا صَرِيحًا وَلَا كِنَايَةً، لِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى الْكَلَامِ الَّذِي هُوَ بِالطَّلَاقِ أَخَصُّ.

Adapun isyarat dalam talak, jika berasal dari orang bisu, maka isyarat itu menempati posisi ucapannya, dan talak jatuh dengan isyaratnya sebagaimana talak orang yang dapat berbicara jatuh dengan ucapannya, apabila isyaratnya dapat dipahami. Isyarat dari orang bisu tersebut dianggap sebagai talak sharih (jelas). Namun, jika isyarat itu berasal dari orang yang dapat berbicara, maka talak tidak jatuh dengan isyarat tersebut, baik secara sharih maupun kinayah (sindiran), karena ia mampu mengucapkan kata-kata yang secara khusus menunjukkan talak.

فَلَوْ قَالَ: أَنْتِ وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثِ مُرِيدًا بِهَا الطَّلَاقَ لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ بِقَوْلِهِ أَنْتِ بَدْءٌ وَلَيْسَ بِصَرِيحٍ فِي الطَّلَاقِ وَلَا كِنَايَةً، فَالْإِشَارَةُ بَعْدَ الْبَدْءِ، لَا يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ، وَنِيَّةُ الطَّلَاقِ قَدْ تَجَرَّدَتْ عَنْ لَفْظٍ فَلَمْ يَقَعْ بِهَا الطَّلَاقُ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ كَذَا وَأَشَارَ بِأصْبَعٍ وَاحِدَةٍ طُلِّقَتْ وَاحِدَةً، وَلَوْ أَشَارَ بِأصْبَعَيْنِ، طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ، وَلَوْ أشار بثلاثة أَصَابِعَ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَقَامَتْ إِشَارَتُهُ مَقَامَ الثَّلَاثِ، مَعَ قَوْلِهِ هَكَذَا مَقَامَ نِيَّتِهِ بِالثَّلَاثِ نَصَّ عَلَيْهِ ابْنُ سُرَيْجٍ، فَلَوْ أَشَارَ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ قَائِمَةٍ وَبِأصْبَعَيْنِ مَعْقُودَتَيْنِ فَإِنْ أَرَادَ الثَّلَاثَ الْقَائِمَةَ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَإِنْ أَرَادَ الْأصْبَعَيْنِ الْمَعْقُودَتَيْنِ طُلِّقَتْ ثنتين، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ نِيَّةٌ، طُلِّقَتْ بِالثَّلَاثِ أَصَابِعَ ثَلَاثًا، لِأَنَّ فِيهَا زِيَادَةَ إِشَارَةٍ.

Jika seseorang berkata, “Engkau…” sambil menunjuk dengan tiga jarinya dengan maksud talak, maka talak tidak jatuh, karena ucapannya “Engkau…” hanyalah permulaan dan bukan lafaz sharih dalam talak maupun kinayah. Maka, isyarat setelah permulaan tersebut tidak menyebabkan talak, dan niat talak yang terlepas dari lafaz tidak menyebabkan talak. Namun, jika ia berkata, “Engkau talak sekian…” sambil menunjuk dengan satu jari, maka jatuh satu talak; jika menunjuk dengan dua jari, jatuh dua talak; dan jika menunjuk dengan tiga jari, jatuh tiga talak. Isyaratnya menempati posisi tiga talak, dan ucapannya “sekian” menempati posisi niat tiga talak, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Surayj. Jika ia menunjuk dengan tiga jari yang terbuka dan dua jari yang ditekuk, maka jika ia bermaksud tiga jari yang terbuka, jatuh tiga talak; jika ia bermaksud dua jari yang ditekuk, jatuh dua talak; dan jika tidak ada niat, maka jatuh tiga talak karena terdapat tambahan isyarat.

قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ، وَلَمْ يَقُلْ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثِ لَمْ يَلْزَمْهُ بِالْإِشَارَةِ عَدَدٌ.

Abu al-‘Abbas Ibnu Surayj berkata: Jika seseorang berkata, “Engkau talak,” tanpa mengatakan “sekian,” lalu menunjuk dengan tiga jarinya, maka jumlah talak tidak ditetapkan berdasarkan isyarat tersebut.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ اخْتَارِي أَوْ أَمْرُكِ بِيَدِكِ فَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا فَقَالَ مَا أَرَدْتُ طَلَاقًا لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا إِلَّا بِأَنْ يُرِيدَهُ وَلَوْ أَرَادَ طَلَاقًا فَقَالَتْ قَدِ اخْتَرْتُ نَفْسِي سُئِلَتْ فَإِنْ أَرَادَتْ طَلَاقًا فَهُوَ طَلَاقٌ وَإِنْ لَمْ تُرِدْهُ فليس بطلاق) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Pilihlah (dirimu)” atau “Urusanmu di tanganmu,” lalu istrinya men-talak dirinya sendiri, kemudian suami berkata, “Aku tidak bermaksud talak,” maka tidak terjadi talak kecuali jika ia memang menginginkannya. Jika ia memang menginginkan talak, lalu istrinya berkata, “Aku telah memilih diriku sendiri,” maka istrinya ditanya; jika ia bermaksud talak, maka itu adalah talak, dan jika tidak bermaksud talak, maka itu bukan talak).

قال الماوردي:

Al-Mawardi berkata:

اعْلَمْ أَنَّ لِلزَّوْجِ فِي الطَّلَاقِ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ:

Ketahuilah bahwa suami dalam masalah talak memiliki tiga keadaan:

أحدهما: أَنْ يَتَوَلَّاهُ لِنَفْسِهِ مُبَاشِرًا فَيَقَعُ الطَّلَاقُ بِمُبَاشَرَتِهِ.

Pertama: Suami melakukannya sendiri secara langsung, maka talak jatuh dengan tindakannya secara langsung.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَسْتَنِيبَ فِيهِ وَكِيلًا، فَيَقُومُ الْوَكِيلُ فِي الطَّلَاقِ الَّذِي اسْتَنَابَهُ فِيهِ مَقَامَ نَفْسِهِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.

Keadaan kedua: Suami menunjuk seorang wakil dalam masalah talak, maka wakil tersebut menempati posisi dirinya dalam talak yang diwakilkan kepadanya, sebagaimana akan kami jelaskan.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُفَوِّضَهُ إِلَى زَوْجَتِهِ وَهِيَ مَسْأَلَتُنَا فَيَكُونُ ذَلِكَ تَمْلِيكًا لَهَا وَلَا يَكُونُ تَوْكِيلًا وَاسْتِنَابَةً، وَهُوَ جَائِزٌ يَصِحُّ بِهِ وُقُوعُ الْفُرْقَةِ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خير نساءه، فاخترنه فلولا أن لتخييرهن تأثير فِي الْفُرْقَةَ إِنِ اخْتَرْنَهَا، مَا كَانَ لِتَخْيِيرِهِنَّ مَعْنًى، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ تَفْوِيضِهِ الطَّلَاقَ إِلَى زَوْجَتِهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Keadaan ketiga: Suami menyerahkan urusan talak kepada istrinya, dan inilah masalah kita. Maka hal itu merupakan pemberian hak (tamlīk) kepada istri, bukan perwakilan (tawkīl) atau penunjukan (istinābah), dan hal itu diperbolehkan serta sah menyebabkan terjadinya perpisahan, karena Rasulullah ﷺ pernah memberikan pilihan kepada istri-istrinya, lalu mereka memilihnya. Seandainya pilihan tersebut tidak berpengaruh pada terjadinya perpisahan jika mereka memilihnya, maka pemberian pilihan itu tidak akan bermakna. Jika demikian, maka penyerahan urusan talak kepada istri tidak lepas dari empat bentuk:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بِصَرِيحٍ مِنْهُمَا. وَالثَّانِي: بِكِنَايَةٍ مِنْهُمَا، وَالثَّالِثُ: بِصَرِيحٍ مِنْهُ وَكِنَايَةٍ مِنْهَا، وَالرَّابِعُ: بِكِنَايَةٍ مِنْهُ وَصَرِيحٍ مِنْهَا.

Pertama: Dengan lafaz sharih dari keduanya. Kedua: Dengan kinayah dari keduanya. Ketiga: Dengan lafaz sharih dari suami dan kinayah dari istri. Keempat: Dengan kinayah dari suami dan lafaz sharih dari istri.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وهو أن يكون بصريح مِنْهُمَا جَمِيعًا فَصُورَتُهُ: أَنْ يَقُولَ لَهَا طَلِّقِي نَفْسَكِ فَتَقُولَ: قَدْ طَلَّقْتُ نَفْسِي، فَقَدْ وَقَعَ الطَّلَاقُ بِطَلَاقِهَا لِنَفْسِهَا، وَلَا يُرَاعَى مِنْ أَصْلِ الطلاق ووقوعه نية واحدة مِنْهُمَا، فَأَمَّا عَدَدُ الطَّلَاقِ فَلَهُمَا فِيهِ ثَلَاثَةُ أحوال:

Adapun bentuk pertama, yaitu dengan lafaz sharih dari keduanya, contohnya: Suami berkata kepada istrinya, “Talaklah dirimu,” lalu istri berkata, “Aku telah menalak diriku.” Maka talak jatuh dengan talak yang dilakukan istri terhadap dirinya sendiri, dan dari sisi asal talak dan kejadiannya tidak dipertimbangkan niat salah satu dari keduanya. Adapun mengenai jumlah talak, maka ada tiga keadaan:

أحدها: أَنْ يَذْكُرَاهُ.

Pertama: Keduanya menyebutkan jumlah talak.

وَالثَّانِيَةُ: أَنْ يَنْوِيَاهُ.

Kedua: Keduanya meniatkan jumlah talak.

وَالثَّالِثَةُ: أَنْ يطلقاه، فإن ذكراه فلهما فيه حالتان:

Ketiga: Keduanya melakukannya (talak) tanpa menyebutkan atau meniatkan jumlahnya. Jika keduanya menyebutkan jumlahnya, maka ada dua keadaan:

أحدهما: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَيْهِ.

Pertama: Keduanya sepakat atas jumlah tersebut.

وَالثَّانِيَةُ: أَنْ يَخْتَلِفَا فِيهِ، فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَيْهِ وَقَعَ الْعَدَدُ الَّذِي اتَّفَقَا عَلَيْهِ كَأَنَّهُ قَالَ لَهَا: طَلِّقِي نَفْسَكِ وَاحِدَةً، فَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا وَاحِدَةً، أَوْ قَالَ لَهَا: طَلِّقِي نَفْسَكِ طَلْقَتَيْنِ، فَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا طَلْقَتَيْنِ، أَوْ قَالَ لَهَا: طَلِّقِي نَفْسَكِ ثَلَاثًا فَقَالَتْ: قَدْ طَلَّقْتُ نَفْسِي ثَلَاثًا وَقَعَ الثَّلَاثُ أَوْ مَا اتَّفَقَا عَلَيْهِ مِنَ الْعَدَدِ، وَإِنِ اخْتَلَفَا فِيهِ وَقَعَ أقل العددين.

Dan yang kedua: jika keduanya berbeda pendapat dalam hal ini, maka jika keduanya sepakat atas jumlah tertentu, maka jatuhlah jumlah talak yang mereka sepakati. Misalnya, suami berkata kepada istrinya: “Talakkan dirimu satu kali,” lalu istri mentalak dirinya satu kali; atau suami berkata: “Talakkan dirimu dua kali,” lalu istri mentalak dirinya dua kali; atau suami berkata: “Talakkan dirimu tiga kali,” lalu istri berkata: “Aku telah mentalak diriku tiga kali,” maka jatuhlah tiga talak atau jumlah yang mereka sepakati. Namun, jika keduanya berbeda pendapat dalam jumlahnya, maka yang berlaku adalah jumlah yang paling sedikit dari keduanya.

مِثَالُهُ: أَنْ يَقُولَ لَهَا: طَلِّقِي نَفْسَكِ ثَلَاثًا فَتُطَلِّقَ نَفْسَهَا وَاحِدَةً فَلَا تُطَلَّقُ إِلَّا وَاحِدَةً، وَلَوْ قَالَ لَهَا: طَلِّقِي نَفْسَكِ وَاحِدَةً فَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا ثَلَاثًا لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا وَاحِدَةً.

Contohnya: jika suami berkata kepada istrinya: “Talakkan dirimu tiga kali,” lalu istri mentalak dirinya satu kali, maka yang jatuh hanyalah satu talak. Dan jika suami berkata: “Talakkan dirimu satu kali,” lalu istri mentalak dirinya tiga kali, maka yang jatuh hanyalah satu talak.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ قَالَ لَهَا: طَلِّقِي نَفْسَكِ ثَلَاثًا فَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا وَاحِدَةً لَمْ تُطَلَّقْ.

Abu Hanifah berpendapat: Jika suami berkata kepada istrinya: “Talakkan dirimu tiga kali,” lalu istri mentalak dirinya satu kali, maka talak tidak jatuh.

وَقَالَ مَالِكٌ مِثْلَ هَذَا وَأَمَّا إِنْ نَوَيَا الْعَدَدَ وَلَمْ يَذْكُرَاهُ حُمِلَا فِيهِ عَلَى نِيَّتِهِمَا، فَإِنِ اتَّفَقَا فِي نِيَّةِ الْعَدَدِ فَنَوَيَا طَلْقَتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كَانَ عَلَى مَا نَوَيَا مِنَ الْعَدَدِ.

Malik berpendapat serupa dengan ini. Adapun jika keduanya berniat jumlah tertentu namun tidak menyebutkannya, maka yang berlaku adalah sesuai niat mereka. Jika keduanya sepakat dalam niat jumlah talak, misalnya berniat dua atau tiga talak, maka berlaku sesuai jumlah yang mereka niatkan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا تَأْثِيرَ لِلنِّيَّةِ فِي الْعَدَدِ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ، فَإِنِ اخْتَلَفَا فِي النِّيَّةِ كَانَ الْعَدَدُ مَحْمُولًا عَلَى أَقَلِّ الثِّنْتَيْنِ كَمَا لَوْ أَظْهَرَاهُ قَوْلًا، فَإِنْ نَوَى الزَّوْجُ ثَلَاثًا وَنَوَتِ الزَّوْجَةُ وَاحِدَةً كَانَتْ وَاحِدَةً وَإِنْ لَمْ يَذْكُرَا عَدَدًا وَلَا نَوَيَاهُ طُلِّقَتْ وَاحِدَةً.

Abu Hanifah berpendapat: Niat tidak berpengaruh dalam jumlah talak, dan telah dijelaskan sebelumnya pendapatnya. Jika keduanya berbeda dalam niat, maka jumlah talak dianggap yang paling sedikit di antara keduanya, sebagaimana jika mereka mengucapkannya secara lisan. Jika suami berniat tiga talak dan istri berniat satu talak, maka yang jatuh adalah satu talak. Jika keduanya tidak menyebutkan jumlah dan tidak pula meniatkannya, maka jatuh satu talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ بَذْلُهُ كِنَايَةً وَقَبُولُهَا كِنَايَةً كَقَوْلِهِ: اخْتَارِي نَفْسَكِ فَتَقُولُ: قَدِ اخْتَرْتُ نَفْسِي، فَلَا يَقَعُ الطلاق حتى ينوياه جميعاً فإن نواه دُونَ الزَّوْجَة أَوِ الزَّوْجَةُ دُونَ الزَّوْجِ لَمْ يَقَعْ.

Adapun bagian kedua: yaitu apabila pernyataan suami berupa kinayah (lafaz sindiran) dan penerimaan istri juga berupa kinayah, seperti suami berkata: “Pilihlah dirimu sendiri,” lalu istri berkata: “Aku telah memilih diriku sendiri,” maka talak tidak jatuh kecuali jika keduanya sama-sama meniatkannya. Jika hanya suami yang meniatkan tanpa istri, atau hanya istri tanpa suami, maka talak tidak jatuh.

وَقَالَ مَالِكٌ: يَقَعُ وَإِنْ لَمْ يَنْوِيَاهُ وَلَا وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الْكِنَايَةَ الظَّاهِرَةَ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ.

Malik berpendapat: Talak tetap jatuh meskipun tidak ada niat dari keduanya, berdasarkan pendapat dasarnya bahwa kinayah yang jelas tidak memerlukan niat.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِذَا نَوَاهُ الزَّوْجُ وَحْدَهُ وَقَعَ الطَّلَاقُ وَإِنْ لَمْ تَنْوِهِ الزَّوْجَةُ، اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ الصَّحَابَةَ سُئِلُوا عَمَّنْ خَيَّرَ زَوْجَتَهُ فَقَالَ عُمَرُ: إِنِ اخْتَارَتْ نَفْسَهَا فَوَاحِدَةً، وَلَهَا الرَّجْعَةُ، وَإِنِ اخْتَارَتْ زَوْجَهَا فَلَا طَلَاقَ، وَتَابَعَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَقَالَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – أَنَّ اخْتَارَتْ نَفْسَهَا فَهِيَ وَاحِدَةٌ بَائِنَةٌ، وَإِنِ اخْتَارَتْ زَوْجَهَا فَوَاحِدَةٌ وَهُوَ أَحَقُّ بِهَا.

Abu Hanifah berpendapat: Jika hanya suami yang meniatkan, maka talak jatuh meskipun istri tidak meniatkannya, dengan dalil riwayat bahwa para sahabat pernah ditanya tentang seseorang yang memberi pilihan kepada istrinya, lalu Umar berkata: “Jika istri memilih dirinya sendiri, maka jatuh satu talak dan suami masih berhak rujuk. Jika istri memilih suaminya, maka tidak terjadi talak.” Pendapat ini diikuti oleh Ibnu Mas‘ud dan Ibnu ‘Abbas. Ali bin Abi Thalib – ‘alaihis salam – berkata: “Jika istri memilih dirinya sendiri, maka jatuh satu talak bain (tidak bisa rujuk), dan jika ia memilih suaminya, maka jatuh satu talak dan suami lebih berhak atasnya.”

وَقَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ: إِنِ اخْتَارَتْ نَفْسَهَا طُلِّقَتْ ثَلَاثًا وَإِنِ اخْتَارَتْ زَوْجَهَا فَوَاحِدَةٌ بَائِنَةٌ فَأَوْقَعَ جَمِيعُهُمُ الطَّلَاقَ عَلَيْهَا بِاخْتِيَارِهَا نَفْسَهَا، وَلَمْ يَعْتَبِرُوا النِّيَّةَ، فَصَارُوا مُجْمِعِينَ عَلَى أَنَّ النِّيَّةَ غَيْرُ مُعْتَبَرَةٍ مِنْ جِهَتِهَا، قَالَ: وَلِأَنَّ تَعْلِيقَ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا لَا يُوجِبُ اعْتِبَارَ نِيَّتِهَا فِيهِ كَمَا لَوْ قَالَ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، طُلِّقَتْ بِدُخُولِ الدَّارِ، وَإِنْ لَمْ يَنْوِهِ كَذَلِكَ فِي الِاخْتِيَارِ وَدَلِيلُنَا هُوَ: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ تَخْيِيرُ الزَّوْجِ لَهَا كِنَايَةً، يَرْجِعُ فِيهِ إِلَى نِيَّة، لِاحْتِمَالِهِ أَنْ يَكُونَ أَرَادَ اخْتَارِي نَفْسَكِ لِلنِّكَاحِ أَوِ الطَّلَاقِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ اخْتِيَارُهَا لِنَفْسِهَا كِنَايَةً، تَرْجِعُ فِيهِ إِلَى نِيَّتِهَا لِاحْتِمَالِهِ أَنْ يَكُونَ اخْتَرْتُ نَفْسِي لِنِكَاحِكَ أَوْ طَلَاقِكَ، أَلَا تَرَاهَا لَوْ قَالَتْ: قَدِ اخْتَرْتُ نَفْسِي لِنِكَاحِكَ لَمْ تُطَلَّقْ، كَذَلِكَ إِذَا أَطْلَقَتْ، فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ، فَلَا دَلِيلَ فِيهِ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَعْتَبِرُوا نِيَّةَ الزَّوْجِ، وَهِيَ مُعْتَبَرَةٌ عِنْدَنَا وَعِنْدَهُ، فَكَذَلِكَ إذا لم يعتبروا نية الزوجة، وَيَكُونُ ذَلِكَ مِنْهُمْ لِعِلْمِهِمْ بِوُجُودِ النِّيَّةِ مِنْهُمَا.

Zaid bin Tsabit berkata: Jika istri memilih dirinya sendiri, maka ia ditalak tiga kali, dan jika ia memilih suaminya, maka satu kali talak bain. Maka seluruh mereka menjatuhkan talak atasnya karena pilihannya terhadap dirinya sendiri, dan mereka tidak mempertimbangkan niat. Maka mereka sepakat bahwa niat tidak dianggap dari pihak istri. Ia berkata: Karena pengaitan talak kepada istri tidak mewajibkan memperhatikan niatnya di dalamnya, sebagaimana jika suami berkata: “Jika engkau masuk ke dalam rumah, maka engkau tertalak,” maka ia tertalak dengan masuknya ke rumah, meskipun suami tidak meniatkannya; demikian pula dalam masalah pilihan. Dalil kami adalah: Karena ketika suami memberikan pilihan kepada istri merupakan kinayah (lafaz sindiran), maka kembali kepada niat, karena ada kemungkinan ia bermaksud “pilihlah dirimu untuk tetap dalam pernikahan” atau “untuk talak”, maka wajib pula bahwa pilihan istri terhadap dirinya sendiri adalah kinayah yang kembali kepada niatnya, karena ada kemungkinan ia bermaksud “aku memilih diriku untuk tetap dalam pernikahan denganmu” atau “untuk bercerai darimu”. Bukankah engkau melihat, jika ia berkata: “Aku memilih diriku untuk tetap dalam pernikahan denganmu,” maka ia tidak tertalak? Demikian pula jika ia mengucapkannya secara mutlak. Adapun dalil yang digunakan dengan ijmā‘ para sahabat, maka tidak ada dalil di dalamnya, karena mereka tidak mempertimbangkan niat suami, padahal niat itu dianggap menurut kami dan menurut mereka, maka demikian pula jika mereka tidak mempertimbangkan niat istri, dan hal itu dari mereka karena pengetahuan mereka akan adanya niat dari keduanya.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِدُخُولِ الدَّارِ، فَحَسْبُنَا بِهِ دَلِيلًا، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ إِذَا عَلَّقَ طَلَاقَهَا صَحَّ، بدخول الدار لم تطلق لا بِوُجُودِ الدُّخُولِ مِنْهَا، كَذَلِكَ إِذَا خَيَّرَهَا فِي طَلَاقِ نَفْسِهَا، لَمْ تُطَلَّقْ حَتَّى تَخْتَارَ طَلَاقَ نَفْسِهَا، فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ النِّيَّةَ مُعْتَبَرَةٌ مِنْهُمَا، وَأَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ إِلَّا بِنِيَّتِهِمَا فَلَهَا ثلاثة أحوال:

Adapun dalilnya dengan masuk ke rumah, maka cukuplah itu sebagai dalil, karena ketika suami menggantungkan talaknya dan sah dengan masuknya istri ke rumah, maka istri tidak tertalak hanya dengan masuknya ia ke rumah, demikian pula jika suami memberikan pilihan kepada istri dalam masalah talak dirinya, maka ia tidak tertalak hingga ia memilih talak atas dirinya sendiri. Maka jika telah tetap bahwa niat itu dianggap dari keduanya, dan bahwa talak tidak jatuh kecuali dengan niat keduanya, maka istri memiliki tiga keadaan:

أحدها: أَنْ تَخْتَارَ نَفْسَهَا.

Pertama: Ia memilih dirinya sendiri.

وَالثَّانِيَةُ: أَنْ تَخْتَارَ زَوْجَهَا.

Kedua: Ia memilih suaminya.

وَالثَّالِثَةُ: أن لا يَكُونَ لَهَا اخْتِيَارٌ. فَإِنِ اخْتَارَتْ نَفْسَهَا، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً رَجْعِيَّةً، وَإِنِ اخْتَارَتْ زَوْجَهَا أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهَا اخْتِيَارٌ لَمْ تُطَلَّقْ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عُمَرُ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنِ اخْتَارَتْ نَفْسَهَا طُلِّقَتْ وَاحِدَةً بَائِنَةً، وَإِنِ اخْتَارَتْ زَوْجَهَا لَمْ تُطَلَّقْ، وَقَالَ رَبِيعَةُ: إِنِ اخْتَارَتْ نَفْسَهَا طُلِّقَتْ وَاحِدَةً بَائِنَةً، وَإِنِ اخْتَارَتْ زَوْجَهَا، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً رَجْعِيَّةً، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَقَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ: إِنِ اخْتَارَتْ نَفْسَهَا طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَإِنِ اخْتَارَتْ زَوْجَهَا طُلِّقَتْ وَاحِدَةً بَائِنَةً.

Ketiga: Ia tidak memilih apa pun. Jika ia memilih dirinya sendiri, maka ia tertalak satu kali talak raj‘i. Jika ia memilih suaminya atau tidak memilih apa pun, maka ia tidak tertalak. Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat: Umar, Ibnu Mas‘ud, dan Ibnu ‘Abbas. Abu Hanifah berkata: Jika ia memilih dirinya sendiri, maka ia tertalak satu kali talak bain, dan jika ia memilih suaminya, maka ia tidak tertalak. Rabi‘ah berkata: Jika ia memilih dirinya sendiri, maka ia tertalak satu kali talak bain, dan jika ia memilih suaminya, maka ia tertalak satu kali talak raj‘i. Pendapat ini juga dikatakan oleh sahabat: ‘Ali bin Abi Thalib. Zaid bin Tsabit berkata: Jika ia memilih dirinya sendiri, maka ia tertalak tiga kali, dan jika ia memilih suaminya, maka ia tertalak satu kali talak bain.

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ اخْتِيَارَهَا لِزَوْجِهَا لَا يَكُونُ طَلَاقًا، مَا رَوَاهُ الزُّهْرِيُّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – قَالَتْ: لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِتَخْيِيرِ نِسَائِهِ بَدَأَ بِي، فَقَالَ: إِنِّي ذَاكِرٌ لَكِ أَمْرًا فَلَا تَعْجَلِي حَتَّى تَسْتَأْمِرِي أَبَوَيْكِ، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا} [الأحزاب: 28] الْآيَةَ. فَقُلْتُ فِي أَيِّ هَذَيْنِ أَسْتَأْمِرُ أَبَوَيَّ، فَإِنِّي أُرِيدُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ، قَالَتْ: ثُمَّ فَعَلَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِثْلَ مَا فَعَلْتُ، وَلَمْ يَكُنْ حِينَ قَالَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ، فَاخْتَرْتَهُ طَلَاقًا مِنْ أَجْلِ أَنَّهُنَّ اخْتَرْنَهُ.

Dalil bahwa pilihannya kepada suaminya tidak dianggap sebagai talak adalah riwayat dari Az-Zuhri dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman dari ‘Aisyah ra., ia berkata: Ketika Rasulullah saw. memerintahkan untuk memberikan pilihan kepada istri-istrinya, beliau memulai denganku, lalu bersabda: “Aku akan menyampaikan kepadamu suatu perkara, maka janganlah terburu-buru hingga engkau bermusyawarah dengan kedua orang tuamu.” Kemudian beliau membacakan ayat ini: {Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan berikan kepada kalian mut‘ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik} (Al-Ahzab: 28) dan seterusnya. Maka aku berkata, “Dalam hal mana aku harus bermusyawarah dengan kedua orang tuaku? Sungguh aku menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat.” Ia berkata: Kemudian istri-istri Nabi saw. melakukan seperti apa yang aku lakukan, dan tidaklah ketika Rasulullah berkata kepada mereka, lalu mereka memilih beliau, itu dianggap sebagai talak hanya karena mereka memilih beliau.

وَمِنَ الدَّلِيلِ عَلَيْهِ أَيْضًا: أَنَّ اخْتِيَارَهَا لِزَوْجِهَا ضِدُّ اخْتِيَارِهَا لِنَفْسِهَا، فَلَمَّا طُلِّقَتْ بِاخْتِيَارِهَا نَفْسَهَا، وَجَبَ أَن لَا تُطَلَّقَ بِاخْتِيَارِ زَوْجِهَا، لِأَنَّ اخْتِلَافَ الضِّدَّيْنِ يُوجِبُ اخْتِلَافَ الْحُكْمَيْنِ.

Dan di antara dalil atas hal ini juga: bahwa pilihannya terhadap suaminya adalah kebalikan dari pilihannya terhadap dirinya sendiri. Maka ketika ia dicerai karena memilih dirinya sendiri, wajiblah ia tidak dicerai karena pilihan suaminya, karena perbedaan dua hal yang berlawanan menuntut perbedaan dua hukum.

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهَا تَكُونُ وَاحِدَةً رَجْعِيَّةً، وَلَا تكون ثلاثاً ولا واحدة بائنة، ما قدمناه فِي حُكْمِ الطَّلَاقِ إِذَا وَقَعَ بِالْكِنَايَةِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا أَمْرُكِ بِيَدِكِ، فَقَالَتْ: قَدِ اخترت نفسي أو قال لها لَهَا: أَبِينِي نَفْسَكِ، فَقَالَتْ: قَدْ أَبَنْتُ نَفْسِي، وَهَكَذَا لَوِ اخْتَلَفَتِ الْكِنَايَةُ مِنْهُمَا، فَقَالَ لَهَا: حَرِّمِي نَفْسَكِ فَقَالَتْ: قَدِ اخْتَرْتُ نَفْسِي، أَوْ قَالَ لَهَا: اخْتَارِي نَفْسَكِ، فَقَالَتْ قَدْ حَرَّمْتُ نَفْسِي لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ حَتَّى يَنْوِيَاهُ جَمِيعًا.

Dan dalil bahwa talak itu menjadi satu talak raj‘i, bukan tiga talak dan bukan pula satu talak bain, adalah apa yang telah kami sebutkan dalam hukum talak jika terjadi dengan kināyah. Demikian pula jika suami berkata kepadanya, “Urusanmu di tanganmu,” lalu ia berkata, “Aku memilih diriku sendiri,” atau suami berkata kepadanya, “Pisahkanlah dirimu sendiri,” lalu ia berkata, “Aku telah memisahkan diriku sendiri.” Demikian pula jika kināyah dari keduanya berbeda, misal suami berkata kepadanya, “Haramkanlah dirimu atas dirimu,” lalu ia berkata, “Aku memilih diriku sendiri,” atau suami berkata, “Pilihlah dirimu sendiri,” lalu ia berkata, “Aku telah mengharamkan diriku sendiri,” maka talak tidak jatuh hingga keduanya sama-sama meniatkannya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِنْ قَالَ لَهَا: اخْتَارِي نَفْسَكِ، فَقَالَتْ: قَدِ اخْتَرْتُ أَبِي وَأُمِّي، لَمْ يَقَعْ بِهِ الطَّلَاقُ، وَإِنْ نَوَتْهُ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِصَرِيحٍ وَلَا كِنَايَةً، إِذْ لَيْسَ اخْتِيَارُهَا لِأَبِيهَا مُوجِبًا لِفِرَاقِ زَوْجِهَا. وَلَوْ قَالَتْ: قَدِ اخْتَرْتُ الْأَزْوَاجَ فَفِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهِ إِذَا نَوَتْهُ وَجْهَانِ:

Jika suami berkata kepadanya, “Pilihlah dirimu sendiri,” lalu ia berkata, “Aku memilih ayah dan ibuku,” maka talak tidak jatuh karenanya, meskipun ia meniatkannya, karena itu bukanlah lafaz sharih maupun kināyah, sebab pilihannya kepada ayahnya tidak menyebabkan perpisahan dengan suaminya. Dan jika ia berkata, “Aku memilih para suami,” maka dalam jatuhnya talak jika ia meniatkannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهَا لَا تَحِلُّ لِلْأَزْوَاجِ مَعَ بَقَائِهَا عَلَى نِكَاحِهِ.

Salah satunya: talak jatuh karenanya, karena ia tidak halal bagi para suami selama masih dalam ikatan nikahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ لِعِلَّتَيْنِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: talak tidak jatuh karenanya karena dua alasan.

إِحْدَاهُمَا: أَنَّهُ مِنَ الْأَزْوَاجِ.

Pertama: karena suaminya termasuk dari para suami itu.

وَالثَّانِيَةُ: أَنَّ اخْتِيَارَهَا لِنَفْسِهَا لَا تَكُونُ ذَاتَ زَوْجٍ، فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَتْ: قَدِ اخْتَرْتُ زَيْدًا نَاوِيَةً لِلطَّلَاقِ طُلِّقَتْ عَلَى التَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ، وَلَمْ تُطَلَّقْ عَلَى التَّعْلِيلِ الثَّانِي.

Kedua: bahwa pilihannya terhadap dirinya sendiri berarti ia tidak lagi berstatus sebagai istri, maka berdasarkan hal ini, jika ia berkata, “Aku memilih Zaid,” dengan niat talak, maka ia ditalak menurut alasan pertama, dan tidak ditalak menurut alasan kedua.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ بَذْلُهُ صَرِيحًا وَقَبُولُهَا كِنَايَةً. فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ لَهَا: طَلِّقِي نَفْسَكِ، أَوْ قَدْ جَعَلْتُ بِيَدِكِ طَلَاقَ نَفْسِكِ، فَتَقُولُ: قَدِ اخْتَرْتُ نَفْسِي أَوْ قَدْ أَبَنْتُ نَفْسِي، فَتُعْتَبَرُ نِيَّةُ الزَّوْجَةِ وَلَا تُعْتَبَرُ نِيَّةُ الزَّوْجِ، لِأَنَّ صَرِيحَ الزَّوْجِ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ وَكِنَايَةَ الزَّوْجَةِ تَفْتَقِرُ إِلَى النِّيَّةِ، فَإِذَا قَالَتْ ذَلِكَ نَاوِيَةً لِلطَّلَاقِ طُلِّقَتْ، عَلَى قَوْلِ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا، وَقَالَ مِنْهُمْ أَبُو عُبَيْدِ بْنُ حَرْبَوَيْهِ، وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ: لَا تُطَلَّقُ لِأَنَّ قَبُولَ الصَّرِيحِ يَكُونُ صَرِيحًا لِلنِّكَاحِ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ الْكِنَايَةَ مَعَ النِّيَّةِ تَقُومُ مَقَامَ الصَّرِيحِ بِغَيْرِ نِيَّةٍ، وَجَرَى اخْتِلَافُ الصَّرِيحِ وَالْكِنَايَةِ مَجْرَى اخْتِلَافِ الصَّرِيحَيْنِ، وَاخْتِلَافِ الْكِنَايَتَيْنِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَسُئِلَتِ الزَّوْجَةُ عَنْ نِيَّتِهَا، فَقَالَتْ: مَا أَرَدْتُ الطَّلَاقَ لَمْ تُطَلَّقْ فَإِنْ أَكْذَبَهَا الزَّوْجُ طُلِّقَتْ بِإِقْرَارِهِ أَنَّهَا قَدْ نَوَتْ، وَإِنْ قَالَتْ: أَرَدْتُ الطَّلَاقَ، طُلِّقَتْ فَإِنْ أَكْذَبَهَا الزَّوْجُ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّ النِّيَّةَ بَاطِنَةٌ لَا تُعْرَفُ إِلَّا مِنْ جِهَتِهَا.

Adapun bagian ketiga, yaitu jika penyerahan (hak talak) dari suami berupa lafaz sharih dan penerimaan dari istri berupa kināyah. Contohnya adalah suami berkata kepadanya, “Ceraikanlah dirimu sendiri,” atau “Aku telah menjadikan urusan talakmu di tanganmu,” lalu ia berkata, “Aku memilih diriku sendiri,” atau “Aku telah memisahkan diriku sendiri.” Maka yang diperhitungkan adalah niat istri, bukan niat suami, karena lafaz sharih dari suami tidak membutuhkan niat, sedangkan kināyah dari istri membutuhkan niat. Jika ia mengucapkan itu dengan niat talak, maka jatuhlah talak menurut pendapat jumhur ulama kami. Namun sebagian dari mereka, yaitu Abu Ubaid bin Harbawaih dan Abu ‘Ali bin Khairan, berpendapat: talak tidak jatuh, karena penerimaan lafaz sharih haruslah dengan lafaz sharih pula dalam akad nikah. Pendapat ini tidak benar, karena kināyah dengan niat menempati posisi lafaz sharih tanpa niat, dan perbedaan antara lafaz sharih dan kināyah sama dengan perbedaan antara dua lafaz sharih atau dua kināyah. Jika demikian, lalu istri ditanya tentang niatnya, dan ia berkata, “Aku tidak bermaksud talak,” maka talak tidak jatuh. Jika suami mendustakannya, maka jatuh talak dengan pengakuan suami bahwa ia telah meniatkannya. Jika ia berkata, “Aku bermaksud talak,” maka jatuh talak. Jika suami mendustakannya, maka yang dipegang adalah perkataan istri dengan sumpahnya, karena niat itu perkara batin yang tidak diketahui kecuali dari pihak istri.

وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: الْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَا يُصَدَّقُ قَوْلُهَا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهِ كَمَا لَوِ ادَّعَتْهُ، وَكَمَا لَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَقَالَتْ: قَدْ دَخَلْتُ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ تَعْلِيقَ الطَّلَاقِ بِمَا يُعْتَبَرُ فِيهِ نِيَّتُهَا، أَخْفَى مِنْ تَعْلِيقِهِ بِحَيْضِهَا، فَلَمَّا كَانَ لَوْ قَالَ لَهَا إِذَا حِضْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَقَالَتْ: قَدْ حِضْتُ، قُبِلَ فِيهِ قَوْلُهَا، وَإِنْ أَكْذَبَهَا، فَأَوْلَى أَنْ يُقْبَلَ قَوْلُهَا فِيمَا تَعَلَّقَ مِنْ نِيَّتِهَا، لِأَنَّ إِقَامَةَ الْبَيِّنَةِ عَلَى نِيَّتِهَا، أَشَدُّ تَعَذُّرًا مِنْ إِقَامَتِهَا عَلَى حَيْضِهَا، لِاسْتِحَالَةِ تِلْكَ وَإِمْكَانِ هَذِهِ، وَخَالَفَ قَوْلُهُ لَهَا: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَتَدَّعِي دُخُولَهَا، فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهَا، لِأَنَّهُ يُمْكِنُهُ إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَى دُخُولِهَا.

Abu Sa‘id al-Ishthakhri berkata: Pendapat yang dipegang adalah pendapat suami dengan sumpahnya, dan tidak diterima pengakuan istri mengenai terjadinya talak atas dirinya, sebagaimana jika ia mengakuinya, dan sebagaimana jika suami berkata kepadanya: “Jika engkau masuk ke dalam rumah, maka engkau tertalak,” lalu istri berkata: “Aku telah masuk,” maka ini adalah keliru. Sebab, pengaitan talak dengan sesuatu yang bergantung pada niat istri lebih samar daripada pengaitan talak dengan haidnya. Maka, ketika jika suami berkata kepadanya: “Jika engkau haid, maka engkau tertalak,” lalu istri berkata: “Aku telah haid,” maka dalam hal ini pengakuan istri diterima, meskipun suami mendustakannya. Maka lebih utama lagi pengakuan istri diterima dalam perkara yang berkaitan dengan niatnya, karena mendatangkan bukti atas niatnya lebih sulit daripada mendatangkan bukti atas haidnya, sebab yang pertama mustahil dan yang kedua memungkinkan. Berbeda halnya jika suami berkata kepadanya: “Jika engkau masuk ke dalam rumah, maka engkau tertalak,” lalu istri mengaku telah masuk, maka pengakuannya tidak diterima, karena suami dapat mendatangkan bukti atas masuknya istri.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ بَذْلُهُ كِنَايَةً وَقَبُولُهَا صَرِيحًا فَصُورَتُهُ: أَنْ يَقُولَ لَهَا اخْتَارِي نَفْسَكِ أَوْ أَمْرُكِ بِيَدِكِ، فَتَقُولُ قَدْ طَلَّقْتُ نَفْسِي، فَتُعْتَبَرُ نِيَّةُ الزوج ولا تُعْتَبَرُ نِيَّةُ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّ كِنَايَةَ الزَّوْجِ تَفْتَقِرُ إِلَى النِّيَّةِ، وَصَرِيحَ الزَّوْجَةِ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى النية، فإن قالت أَرَدْتُ الطَّلَاقَ طُلِّقَتْ، وَإِنْ قَالَ لَمْ أُرِدْهُ، لَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ جُنَّ أَوْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ تُعْلَمَ إِرَادَتُهُ، لَا تُطَلَّقُ وَكَانَ لَهَا مِيرَاثُهَا مِنْهُ، لِأَنَّ إِرَادَتَهُ مُجَوِّزَةٌ وَالطَّلَاقَ لَا يَقَعُ بِالشَّكِّ، فَلَوْ قَالَ لَهَا: أَمْرُكِ بِيَدِكِ فَأَرَادَ بِهِ طَلَاقَهَا فِي الْحَالِ، وَلَمْ يَجْعَلْهُ بَذْلًا يَقِفُ عَلَى قَبُولِهَا. قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ (الْإِمْلَاءِ) : لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ هَذَا الْقَوْلَ مِنْهُ إِذَا اقْتَرَنَ بِالْإِضَافَةِ إِلَيْهَا صَارَ صَرِيحًا، فِي جَعْلِ الطَّلَاقِ إِلَيْهَا، وَتَعْلِيقِهِ بِقَبُولِهَا، فَلَمْ يَقَعْ إِلَّا بِهِ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ مِنْ كِنَايَاتِهِ الْجَارِي مَجْرَى قَوْلِهِ: قَدْ مَلَّكْتُكِ نَفْسَكِ، وَتَزَوَّجِي مَنْ شِئْتِ فَيَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ إِذَا نَوَاهُ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ لَهَا: طَلِّقِي نَفْسَكِ وَأَرَادَ بِهِ وُقُوعَ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقِفَهُ عَلَى قَبُولِهَا وَتَطْلِيقِهَا لِنَفْسِهَا لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا أَنْ تُطَلِّقَ نَفْسَهَا، لِأَنَّهُ لَا يَحْتَمِلُ غَيْرَهُ.

Adapun bagian keempat, yaitu apabila pemberian (hak talak) dilakukan dengan lafaz kinayah dan penerimaannya dengan lafaz sharih, maka bentuknya adalah: suami berkata kepada istri, “Pilihlah dirimu sendiri” atau “Urusanmu ada di tanganmu,” lalu istri berkata, “Aku telah mentalaq diriku.” Maka yang dipertimbangkan adalah niat suami, bukan niat istri, karena lafaz kinayah dari suami membutuhkan niat, sedangkan lafaz sharih dari istri tidak membutuhkan niat. Jika istri berkata, “Aku maksudkan talak,” maka ia tertalak. Namun jika suami berkata, “Aku tidak bermaksud demikian,” maka ia tidak tertalak. Jika suami menjadi gila atau meninggal sebelum diketahui maksudnya, maka tidak terjadi talak dan istri tetap berhak atas warisannya, karena niat suami hanya memungkinkan (talak) dan talak tidak jatuh dengan keraguan. Jika suami berkata kepadanya, “Urusanmu ada di tanganmu,” dan ia bermaksud talak saat itu juga, tanpa menjadikannya sebagai pemberian yang bergantung pada penerimaan istri, Imam asy-Syafi‘i dalam kitab al-Imla’ berkata: “Talak tidak terjadi,” karena ucapan tersebut jika diiringi dengan pengaitan kepada istri menjadi sharih dalam menjadikan talak ada di tangan istri dan menggantungkan talak pada penerimaannya, sehingga talak tidak terjadi kecuali dengan penerimaan itu. Namun, ada kemungkinan talak jatuh dengan ucapan itu, karena itu termasuk kinayah yang setara dengan ucapan, “Aku telah menyerahkan dirimu kepadamu,” atau “Menikahlah dengan siapa yang engkau kehendaki,” sehingga talak jatuh jika diniatkan. Akan tetapi, jika suami berkata kepadanya, “Talakilah dirimu,” dan ia bermaksud terjadinya talak atas istri tanpa menggantungkan pada penerimaan dan talak istri atas dirinya sendiri, maka talak tidak terjadi kecuali jika istri benar-benar mentalaq dirinya, karena ucapan itu tidak mengandung kemungkinan makna lain.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ أَحْبَبْتِ فِرَاقِي، فَأَمْرُكِ بِيَدِكِ، لَمْ تُطَلَّقْ إِذَا طَلَّقَتْ نَفْسَهَا، حَتَّى تَقُولَ قَبْلَ الطَّلَاقِ قَدْ أَحْبَبْتُ فِرَاقَكَ، ثُمَّ تُطَلِّقُ نَفْسَهَا فَتُطَلَّقُ حِينَئِذٍ، لِأَنَّهُ مُقَيَّدٌ بِهَذَا الشَّرْطِ وَلَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا مَضَتْ سَنَةٌ فَأَمْرُكِ بِيَدِكِ، أَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ فَأَمْرُكِ بِيَدِكِ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّهُ تَمْلِيكٌ مُؤَجَّلٌ، وَبَذْلٌ مُنْتَظَرٌ، فَإِنْ طَلَّقَتْ نَفْسَهَا بَعْدَ مُضِيِّ السَّنَةِ، أَوْ بَعْدَ قُدُومِ زَيْدٍ، لَمْ تُطَلَّقْ، لِبُطْلَانِ التَّمْلِيكِ، وَفَسَادِ الْبَذْلِ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: أَمْرُكِ بِيَدِكِ تُطَلِّقِينَ نَفْسَكِ بَعْدَ سَنَةٍ أَوْ إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ، فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Jika suami berkata kepada istri, “Jika engkau menginginkan perpisahan denganku, maka urusanmu ada di tanganmu,” maka istri tidak tertalak jika ia mentalaq dirinya, kecuali ia berkata sebelum talak, “Aku telah menginginkan perpisahan denganmu,” kemudian ia mentalaq dirinya, maka saat itu ia tertalak, karena hal itu terikat dengan syarat tersebut. Jika suami berkata kepadanya, “Jika telah berlalu satu tahun, maka urusanmu ada di tanganmu,” atau berkata, “Jika Zaid telah datang, maka urusanmu ada di tanganmu,” maka itu tidak sah, karena itu merupakan penyerahan hak yang ditangguhkan dan pemberian yang menunggu waktu. Jika istri mentalaq dirinya setelah berlalu satu tahun atau setelah kedatangan Zaid, maka talak tidak terjadi, karena penyerahan hak tersebut batal dan pemberiannya rusak. Namun, jika suami berkata, “Urusanmu ada di tanganmu, engkau boleh mentalaq dirimu setelah satu tahun atau jika Zaid telah datang,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْإِمْلَاءِ) وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَاخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ أَنَّهُ جَازَ، تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الطَّلَاقِ بِالصِّفَةِ، وَلَهَا إِذَا مَضَتِ السَّنَةُ أَوْ قَدِمَ زَيْدٌ أَنْ تُعَجِّلَ طَلَاقَهَا، فَإِنْ أَخَّرَتْهُ لَمْ تُطَلَّقْ.

Salah satunya, yang dinyatakan dalam al-Imla’ dan merupakan pendapat Abu Hanifah serta pilihan al-Muzani, yaitu sah, dengan menguatkan hukum talak dengan sifat (syarat), dan istri boleh mempercepat talaknya jika telah berlalu satu tahun atau Zaid telah datang. Namun jika ia menunda, maka talak tidak terjadi.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ، وَهُوَ الْأَصَحُّ لَا يَجُوزُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ التَّمْلِيكِ، الَّذِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُعَلَّقَ لِأَجَلٍ مُنْتَظَرٍ، وَلَا بِصِفَةٍ مُتَوَقَّعَةٍ، فَإِنْ طَلَّقَتْ نَفْسَهَا عِنْدَ مُضِيِّ السَّنَةِ، وَقُدُومِ زَيْدٍ لَمْ تُطَلَّقْ، لِبُطْلَانِ التمليك، والله أعلم.

Pendapat kedua: Dinukilkan dalam pendapat al-jadīd, dan inilah yang paling sahih, yaitu tidak boleh, karena menguatkan hukum tamlīk, yang tidak boleh digantungkan pada waktu yang akan datang atau pada sifat yang diharapkan terjadi. Maka jika ia (istri) menjatuhkan talak atas dirinya sendiri ketika telah berlalu satu tahun dan ketika Zaid datang, maka talak tidak jatuh, karena tamlīk tersebut batal. Allah lebih mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (لَا أَعْلَمُ خِلَافًا أَنَّهَا إِنْ طَلَّقَتْ نَفْسَهَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا مِنَ الْمَجْلِسِ وَتُحْدِثُ قَطْعًا لِذَلِكَ أَنَ الطَّلَاقَ يَقَعُ عَلَيْهَا فَيَجُوزُ أَنْ يُقَالَ لِهَذَا الْمَوْضِعِ إِجْمَاعٌ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa jika ia (istri) menjatuhkan talak atas dirinya sendiri sebelum keduanya berpisah dari majelis dan ia melakukannya secara tegas, maka talak jatuh atasnya. Maka boleh dikatakan bahwa dalam masalah ini terdapat ijmā‘.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا جَعَلَ إِلَيْهَا طَلَاقَ نَفْسِهَا فَهُوَ تَمْلِيكٌ، يُرَاعَى فِيهِ تَعْجِيلُ الْقَبُولِ، وَالْقَبُولُ أَنْ تُطَلِّقَ نَفْسَهَا فَتَمْلِكَ بِتَعْجِيلِ الطَّلَاقِ مَا مَلَّكَهَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا: إِنْ طَلَّقَتْ نَفْسَهَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا مِنَ الْمَجْلِسِ أَوْ يُحْدِثَ قَطْعًا لِذَلِكَ، وَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا، فَجَعَلَ وُقُوعَ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا مُقَيَّدًا بِشَرْطَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Jika suami menyerahkan urusan talak kepada istrinya, maka itu adalah tamlīk, yang harus diperhatikan di dalamnya adalah segera menerima (tamlīk tersebut), dan penerimaan itu adalah dengan istri menjatuhkan talak atas dirinya sendiri, sehingga ia memiliki dengan segera menjatuhkan talak apa yang telah diberikan kepadanya. Jika demikian, maka Imam Syafi‘i berkata di sini: Jika ia menjatuhkan talak atas dirinya sendiri sebelum keduanya berpisah dari majelis atau sebelum terjadi sesuatu yang memutuskan hal itu, maka talak jatuh atasnya. Maka beliau mensyaratkan jatuhnya talak atasnya dengan dua syarat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَبْلَ افْتِرَاقِهِمَا عَنْ مَجْلِسِهِمَا.

Pertama: Harus dilakukan sebelum keduanya berpisah dari majelis mereka.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَبْلَ أَنْ يُحْدِثَا مَا يَقْطَعُ ذَلِكَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ، فَلَمْ يَخْتَلِفْ أَصْحَابُنَا أَنَّهَا مَتَى طَلَّقَتْ نَفْسَهَا بَعْدَ افْتِرَاقِهِمَا عَنِ الْمَجْلِسِ، لَمْ تُطَلَّقْ، وَمَتَى طَلَّقَتْ نَفْسَهَا فِي الْمَجْلِسِ بَعْدَ أَنْ حَدَثَ تَشَاغُلٌ بِغَيْرِهِ مِنْ كَلَامٍ أَوْ فِعَالٍ لَمْ تُطَلَّقْ.

Kedua: Harus dilakukan sebelum keduanya melakukan sesuatu yang memutuskan hal itu, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Maka para ulama kami tidak berbeda pendapat bahwa jika istri menjatuhkan talak atas dirinya sendiri setelah keduanya berpisah dari majelis, maka talak tidak jatuh. Dan jika ia menjatuhkan talak atas dirinya sendiri di majelis setelah terjadi kesibukan dengan hal lain, baik berupa ucapan maupun perbuatan, maka talak juga tidak jatuh.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ خِيَارُهَا مُمْتَدًّا فِي جَمِيعِ الْمَجْلِسِ أَوْ يَكُونُ عَلَى الْفَوْرِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Para ulama kami berbeda pendapat, apakah hak pilih (khiyār) istri itu berlangsung selama seluruh majelis ataukah harus segera (langsung) di majelis, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِهِ هَاهُنَا، وَفِي (الْإِمْلَاءِ) أَنَّهُ مُمْتَدٌّ فِي جَمِيعِ الْمَجْلِسِ، فَمَتَى طَلَّقَتْ نَفْسَهَا فِيهِ طُلِّقَتْ، وَإِنْ تَرَاخَى الزَّمَانِ.

Pertama: Dan ini adalah zahir dari perkataannya di sini dan dalam (al-Imlā’), bahwa hak pilih itu berlangsung selama seluruh majelis. Maka kapan saja ia menjatuhkan talak atas dirinya sendiri di dalamnya, maka talak jatuh, meskipun waktu telah berlalu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَالْمُحَقِّقِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ فِي الْمَجْلِسِ، لِأَنَّهُ قَبُولُ تَمْلِيكٍ، فَأَشْبَهَ الْقَبُولَ فِي تمليك البيع والهبة، وإطلاق الشافعي من مَحْمُولٌ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ، لِأَنَّ أُصُولَهُ مُقَرَّرَةٌ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّهُ ذَكَرَ الْإِجْمَاعَ فِيهِ، أَنَّهَا إِذَا طَلَّقَتْ نَفْسَهَا عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ، كَانَ إِجْمَاعًا وَلَا يَكُونُ إِلَّا أَنْ يَتَعَجَّلَ عَلَى الْفَوْرِ مِنْ غَيْرِ مُهْلَةٍ.

Pendapat kedua: Dan ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazī dan para muhaqqiq dari kalangan ulama kami, yaitu harus segera (langsung) di majelis, karena itu adalah penerimaan tamlīk, sehingga menyerupai penerimaan dalam tamlīk jual beli dan hibah. Pernyataan Imam Syafi‘i yang mutlak dipahami dengan syarat ini, karena ushul beliau telah ditetapkan atas dasar itu, dan karena beliau menyebutkan adanya ijmā‘ di dalamnya, bahwa jika istri menjatuhkan talak atas dirinya sendiri dengan sifat seperti ini, maka itu adalah ijmā‘ dan tidak terjadi kecuali dengan segera tanpa ada jeda waktu.

وَقَالَ مَالِكٌ فِي إِحْدَى رِوَايَتَيْهِ: لَهَا أَنْ تُطَلِّقَ إِلَى شَهْرٍ، وَفِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ: مَا لَمْ تُمَكِّنْهُ مِنْ وَطْئِهَا، وَكِلَا الْقَوْلَيْنِ مَرْدُودٌ وَمَدْفُوعٌ بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّعْلِيلِ.

Imam Mālik dalam salah satu riwayatnya berkata: Istri boleh menjatuhkan talak hingga satu bulan. Dalam riwayat kedua: Selama ia belum membiarkan suaminya menggaulinya. Kedua pendapat ini tertolak dan dibantah dengan alasan yang telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا مَلَّكَهَا طَلَاقَ نَفْسِهَا، ثُمَّ رَجَعَ فِي التَّمْلِيكِ، قَبْلَ أَنْ تُطَلِّقَ نَفْسَهَا صَحَّ رُجُوعُهُ وَبَطَلَ تَمْلِيكُهُ، فَإِنْ طَلَّقَتْ نَفْسَهَا لَمْ تُطَلَّقْ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ مِنْ أَصْحَابِنَا: لَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ، وَإِذَا طَلَّقَتْ نَفْسَهَا بَعْدَ رُجُوعِهِ طُلِّقَتْ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ طَلَاقٌ مُعَلَّقٌ بِصِفَةٍ، فَلَمْ يَمْلِكِ الزَّوْجُ الرُّجُوعَ فِيهِ، كَقَوْلِهِ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِنَّهُ لَا يَمْلِكُ إِبْطَالَ هَذِهِ الصِّفَةِ وَتُطَلَّقُ مَتَى دَخَلَتِ الدَّارَ.

Jika suami telah memberikan hak talak kepada istrinya, kemudian ia menarik kembali tamlīk tersebut sebelum istri menjatuhkan talak atas dirinya sendiri, maka penarikan itu sah dan tamlīk-nya batal. Jika istri kemudian menjatuhkan talak atas dirinya sendiri, maka talak tidak jatuh. Abu Hanifah, Mālik, dan Abu ‘Ali bin Khairān dari kalangan ulama kami berkata: Suami tidak boleh menarik kembali tamlīk tersebut, dan jika istri menjatuhkan talak atas dirinya sendiri setelah suami menarik kembali, maka talak tetap jatuh, dengan alasan bahwa itu adalah talak yang digantungkan pada suatu sifat, sehingga suami tidak memiliki hak untuk menarik kembali, seperti ucapannya: “Jika engkau masuk ke dalam rumah, maka engkau tertalak,” maka suami tidak dapat membatalkan sifat tersebut dan talak jatuh kapan saja istri masuk ke dalam rumah.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ تَمْلِيكٌ لِلطَّلَاقِ لِوُقُوفِهِ عَلَى قَبُولِهَا، وَلِلْمَالِكِ وبعد بَذْلِهِ أَنْ يَرْجِعَ فِيهِ قَبْلَ قَبُولِهِ مِنْهُ، كَمَا يَرْجِعُ فِي بَذْلِ الْهِبَةِ وَالْبَيْعِ، قَبْلَ قَبُولِهِمَا مِنْهُ، وَخَالَفَ تَعْلِيقَ طَلَاقِهَا بِدُخُولِ الدَّارِ، لِأَنَّهُ لَا يَقِفُ عَلَى قَبُولِهَا، وَلَيْسَ لَهَا إِبْطَالُ ذَلِكَ عَلَى نَفْسِهَا، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِبْطَالُ ذَلِكَ عَلَيْهَا، وَلَيْسَ كَالتَّمْلِيكِ الَّذِي لَهَا أَنْ تُبْطِلَهُ عَلَى نَفْسِهَا، فَكَانَ لَهُ إِبْطَالُهُ عَلَيْهَا، وَإِذَا صَحَّ رُجُوعُهُ كَمَا ذَكَرْنَا، فَمَتَى طلقت نفسها بعد عِلْمِهَا بِرُجُوعِهِ، كَانَ فِي وُقُوعِ طَلَاقِهَا وَجْهَانِ، مِنَ الْوَكِيلِ فِي الْقِصَاصِ إِذَا لَمْ يَعْلَمْ بِالرُّجُوعِ حَتَّى اقْتَصَّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dalil kami adalah bahwa ini merupakan pemberian hak talak karena pelaksanaannya bergantung pada penerimaan istri, dan bagi pemilik (hak) setelah ia memberikannya, ia berhak menarik kembali sebelum istri menerimanya, sebagaimana ia boleh menarik kembali pemberian hibah dan jual beli sebelum keduanya diterima. Hal ini berbeda dengan penangguhan talak atas syarat masuk rumah, karena tidak bergantung pada penerimaan istri, dan istri tidak dapat membatalkan hal itu atas dirinya sendiri, maka suami pun tidak dapat membatalkannya atas istri. Ini tidak seperti pemberian hak (talak) yang mana istri dapat membatalkannya atas dirinya sendiri, sehingga suami pun dapat membatalkannya atas istri. Apabila sah penarikan kembali sebagaimana telah kami sebutkan, maka jika istri mentalak dirinya sendiri setelah mengetahui penarikan kembali tersebut, terdapat dua pendapat mengenai jatuhnya talak, seperti halnya wakil dalam qishāsh apabila ia tidak mengetahui penarikan kembali hingga ia melaksanakan qishāsh. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ المزني: (وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ: وَإِنْ مَلَّكَ أَمْرَهَا غَيْرَهَا فَهَذِهِ وَكَالَةٌ مَتَى أَوْقَعَ الطَّلَاقَ وَقَعَ وَمَتَى شَاءَ الزَّوْجُ رَجَعَ) .

Al-Muzani berkata: (Dan beliau berkata dalam al-Imlā’ atas masalah-masalah Mālik: Jika suami memberikan hak urusan talak kepada selain istrinya, maka ini adalah bentuk wakālah; kapan pun wakil menjatuhkan talak, maka talak jatuh, dan kapan pun suami menghendaki, ia boleh menarik kembali.)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَالْوَكَالَةُ فِي الطَّلَاقِ جَائِزَةٌ، لِأَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ طَلَّقَهَا وَكِيلُ زَوْجِهَا، بِمَشْهَدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَأَمْضَاهُ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَتِ الْوَكَالَةُ فِي النِّكَاحِ مَعَ تَغْلِيظِ حُكْمِهِ كَانَ جَوَازُهَا فِي الطَّلَاقِ أَوْلَى، فَإِذَا وَكَّلَ رَجُلًا عَاقِلًا جَازَ، سَوَاءٌ كَانَ حُرًّا أَوْ عَبْدًا، مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ مَجْنُونًا وَلَا صَغِيرًا، لِأَنَّهُ لَا حُكْمَ لِقَوْلِهِمَا، وَفِي جَوَازِ تَوْكِيلِهِ لِامْرَأَةٍ وَجْهَانِ مَضَيَا فِي الْخُلْعِ، ثُمَّ الْوَكَالَةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan, dan wakālah dalam talak itu diperbolehkan, karena Fāṭimah binti Qais ditalak oleh wakil suaminya di hadapan Rasulullah ﷺ, lalu beliau membolehkannya. Dan karena ketika wakālah dalam nikah diperbolehkan, padahal hukumnya lebih berat, maka kebolehan wakālah dalam talak lebih utama lagi. Maka jika seseorang mewakilkan kepada seorang laki-laki yang berakal, itu diperbolehkan, baik ia merdeka maupun budak, muslim maupun kafir. Tidak boleh mewakilkan kepada orang gila atau anak kecil, karena ucapan mereka tidak dianggap. Dalam kebolehan mewakilkan kepada seorang perempuan terdapat dua pendapat yang telah dijelaskan dalam masalah khulu‘. Kemudian, wakālah itu ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ مُطْلَقَةً وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدْ وَكَّلْتُكَ فِي طَلَاقِ زَوْجَتِي فُلَانَةَ، فَلَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا عَلَى الْفَوْرِ وَالتَّرَاخِي بِخِلَافِ مَا لَوْ مَلَّكَهَا الطَّلَاقَ لِنَفْسِهَا، لِأَنَّ هَذِهِ نِيَابَةٌ وَذَاكَ تَمْلِيكٌ، فَإِنْ ذَكَرَ لَهُ مِنَ الطَّلَاقِ عَدَدًا لَمْ يَتَجَاوَزْهُ، فَلَوْ قَالَ لَهُ: طَلِّقْهَا ثَلَاثًا فَقَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طالق ونوى أن يكون ثلاثاً فيه وَجْهَانِ:

Pertama: Wakālah bersifat mutlak, yaitu jika suami berkata: “Aku telah mewakilkan kepadamu untuk mentalak istriku Fulanah,” maka wakil boleh mentalaknya secara langsung maupun ditunda, berbeda dengan jika suami memberikan hak talak kepada istrinya untuk dirinya sendiri, karena ini adalah perwakilan, sedangkan yang itu adalah pemberian hak. Jika suami menyebutkan jumlah talak kepada wakil, maka tidak boleh melebihi jumlah tersebut. Jika ia berkata: “Talakkan dia tiga kali,” lalu wakil berkata kepada istri: “Engkau tertalak tiga kali,” maka jatuhlah talak tiga. Namun jika ia berkata: “Engkau tertalak,” dan berniat tiga, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُطَلَّقُ ثَلَاثًا، لِأَنَّ نِيَّةَ الثَّلَاثِ تَقُومُ مَقَامَ التَّلَفُّظِ بِالثَّلَاثِ.

Pertama: Jatuh talak tiga, karena niat tiga menggantikan ucapan tiga.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تُطَلَّقُ ثَلَاثًا وَلَا تَقُومُ نِيَّتُهُ مَقَامَ نِيَّةِ الزَّوْجِ، لِأَنَّ الزَّوْجَ مَدِينٌ فِي الطَّلَاقِ مَعْمُولٌ عَلَى نِيَّتِهِ فِيهِ، وَالْوَكِيلُ غَيْرُ مَدِينٍ فِي الطَّلَاقِ فَلَمْ يُعْمَلْ عَلَى نِيَّتِهِ فِيهِ، وَهَكَذَا لَوْ طَلَّقَهَا الْوَكِيلُ بِالْكِنَايَةِ مَعَ النِّيَّةِ، كَانَ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ، فَلَوْ وَكَّلَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا ثَلَاثًا فَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً، فَفِي وُقُوعِهَا وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Tidak jatuh talak tiga, dan niatnya tidak menggantikan niat suami, karena suami adalah pihak yang bertanggung jawab dalam talak, sehingga yang diikuti adalah niatnya, sedangkan wakil tidak bertanggung jawab dalam talak, sehingga niatnya tidak diikuti. Demikian pula jika wakil mentalak dengan kināyah (lafaz sindiran) disertai niat, maka berlaku dua pendapat ini. Jika suami mewakilkan untuk mentalak tiga, lalu wakil mentalak satu, maka dalam keabsahan talak tersebut ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَقَعُ، لِأَنَّهُ بَعْضُ مَا وَكَّلَ فِيهِ.

Pertama: Sah, karena itu termasuk sebagian dari apa yang diwakilkan kepadanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَقَعُ لِأَنَّهُ وُكِّلَ فِي طَلَاقٍ بَائِنٍ، وَهَذَا الطَّلَاقُ غَيْرُ بَائِنٍ فَصَارَ غَيْرَ مَا وُكِّلَ فِيهِ، فَلَوْ وَكَّلَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا وَاحِدَةً، لَمْ تَقَعِ الثَّلَاثُ، وَفِي وُقُوعِ الْوَاحِدَةِ وَجْهَانِ: لَوْ وَكَّلَهُ فِي طَلَاقِ وَاحِدَةٍ مِنْ نِسَائِهِ وَلَمْ يُعَيِّنْهَا لَهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Tidak sah, karena yang diwakilkan adalah talak bā’in (talak tiga), sedangkan talak ini bukan talak bā’in, sehingga tidak sesuai dengan yang diwakilkan. Jika suami mewakilkan untuk mentalak satu, maka tidak jatuh talak tiga, dan dalam keabsahan talak satu terdapat dua pendapat. Jika suami mewakilkan untuk mentalak satu dari istri-istrinya tanpa menentukan siapa, maka juga terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَيَّتَهُنَّ طَلَّقَهَا صَحَّ، لِأَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ الْمُبْهَمِ جَائِزٌ، فَكَانَ التَّوْكِيلُ فِيهِ جَائِزًا. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُطَلِّقَ وَاحِدَةً قَبْلَ أَنْ يُعَيِّنَهَا الزَّوْجُ، فَإِنْ طَلَّقَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ قَبْلَ تَعْيِينِهَا لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ إِبْهَامَ الطَّلَاقِ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ يَجُوزُ، لِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى خِيَارِهِ فِي التَّعْيِينِ، وَمِنْ جِهَةِ الْوَكِيلِ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَوْقُوفٍ عَلَى خِيَارِهِ فِي التَّعْيِينِ.

Salah satu pendapat: bahwa siapa pun di antara mereka yang ditalak, maka talaknya sah, karena terjadinya talak yang tidak jelas (mubham) itu diperbolehkan, maka pendelegasian (tawkīl) dalam hal itu juga diperbolehkan. Pendapat kedua: bahwa boleh bagi seseorang untuk menalak salah satu dari mereka sebelum suami menentukan (siapa yang dimaksud), maka jika ia menalak salah satu dari mereka sebelum penentuan, talak itu tidak terjadi, karena ketidakjelasan talak dari pihak suami diperbolehkan, sebab itu bergantung pada pilihannya dalam penentuan, sedangkan dari pihak wakil tidak diperbolehkan karena tidak bergantung pada pilihannya dalam penentuan.

(فَصْلٌ:)

(Fashal:)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْوَكَالَةُ مُقَيَّدَةً، وَهُوَ أَنْ يُوَكِّلَهُ فِي طَلَاقِهَا عَلَى صِفَةٍ، وَهُوَ أَنْ يَأْمُرَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فِي يَوْمِ الْخَمِيسِ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُطَلِّقَهَا إِلَّا فِيهِ، فَإِنْ طَلَّقَهَا فِي غَيْرِهِ لَمْ تُطَلَّقْ، أَوْ يَأْمُرَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا لِلسُّنَّةِ، فَإِنْ طَلَّقَهَا لِلْبِدْعَةِ لَمْ تُطَلَّقْ، أَوْ يَأْمُرَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا لِلْبِدْعَةِ، فَإِنْ طَلَّقَهَا لِلسُّنَّةِ لَمْ تُطَلَّقْ، فَلَوْ قَالَ لَهُ: طَلِّقْهَا إِنْ شِئْتَ لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ حَتَّى يَقُولَ قَدْ شِئْتُ وَلَا يَكُونُ إِيقَاعُهُ لِلطَّلَاقِ مَشِيئَةً مِنْهُ، لِأَنَّهُ قَدْ يُوقِعُ الطَّلَاقَ بِمَشِيئَةٍ وَغَيْرِ مَشِيئَةٍ، وَالْمَشِيئَةُ لَا تُعْلَمُ إِلَّا بِالْقَوْلِ. وَلَيْسَ مِنْ شَرْطِ مَشِيئَتِهِ الْفَوْرُ، بِخِلَافِ مَا لَوْ عَلَّقَ الطَّلَاقَ بِمَشِيئَتِهَا، لِأَنَّ تَعْلِيقَهُ لِلطَّلَاقِ بِمَشِيئَتِهَا، تَمْلِيكٌ فَرُوعِيَ فِيهِ الْفَوْرُ، وَتَعْلِيقَهُ لِلطَّلَاقِ بِمَشِيئَتِهِ صِفَةٌ، فَلَمْ يُرَاعَ فِيهَا الْفَوْرُ، وَلِأَنَّهُ جَعَلَ إِلَيْهَا طَلَاقَهَا إِذَا شَاءَ، فَلَمَّا جَازَ أَنْ يُطَلِّقَهَا عَلَى الْفَوْرِ وَالتَّرَاخِي جَازَ أَنْ تَكُونَ مَشِيئَتُهُ مَعَ الطَّلَاقِ الْمُتَرَاخِي، لَكِنْ مِنْ صِحَّةِ مَشِيئَتِهِ أَنْ يُخْبِرَ بِهَا الزَّوْجَ قَبْلَ طَلَاقِهِ فَإِنْ أَخْبَرَ بِهَا غَيْرَهُ ثُمَّ طَلَّقَ لَمْ يَقَعْ، لأنه إذا كان إخباره بها شرطاً، كان إِخْبَارُ الزَّوْجِ بِهَا أَحَقَّ، وَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ شَرْطًا، فَلَوْ قَالَ لَهُ: طَلِّقْهَا إِنْ شَاءَتْ، رُوعِيَتْ مَشِيئَتُهَا عِنْدَ عَرْضِ الْوَكِيلِ الطَّلَاقَ عَلَيْهَا، فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُطَلِّقَهَا إِلَّا بَعْدَ عَرْضِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا وَسُؤَالِهَا عَنْ مَشِيئَتِهَا، فَتَصِيرُ حِينَئِذٍ مَشِيئَتُهَا مُعْتَبَرَةً عَلَى الْفَوْرِ، فَإِنْ عَجَّلَهَا وَقَعَ الطَّلَاقُ، وَإِذَا أَوْقَعَهُ الْوَكِيلُ بَعْدَهَا، سَوَاءٌ أَوْقَعَهُ عَلَى الْفَوْرِ أَوْ عَلَى التَّرَاخِي، فَإِنْ تَرَاخَتْ مَشِيئَتُهَا، لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ بَعْدَهَا، لِفَسَادِ الْمَشِيئَةِ.

Jenis kedua: yaitu apabila wakalah (pendelegasian) itu bersifat terbatas, yaitu ketika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menalak istrinya dengan syarat tertentu, misalnya ia memerintahkannya untuk menalak istrinya pada hari Kamis, maka tidak boleh menalaknya kecuali pada hari itu; jika ia menalaknya pada hari lain, maka talaknya tidak sah. Atau ia memerintahkannya untuk menalaknya sesuai sunnah, maka jika ia menalaknya dengan cara bid‘ah, talaknya tidak sah. Atau ia memerintahkannya untuk menalaknya dengan cara bid‘ah, maka jika ia menalaknya sesuai sunnah, talaknya tidak sah. Jika ia berkata kepadanya: “Talaklah dia jika engkau menghendaki,” maka talak tidak jatuh sampai ia mengatakan, “Aku menghendaki,” dan pelaksanaan talak oleh wakil bukanlah dianggap sebagai kehendaknya, karena bisa jadi ia melaksanakan talak dengan kehendak atau tanpa kehendak, dan kehendak itu tidak diketahui kecuali dengan ucapan. Tidak disyaratkan kehendaknya harus segera, berbeda dengan jika talak digantungkan pada kehendak istri, karena penggantungan talak pada kehendak istri adalah pemberian hak milik (tamlik) yang disyaratkan segera, sedangkan penggantungan talak pada kehendak wakil adalah sifat, sehingga tidak disyaratkan segera. Karena suami menjadikan urusan talak kepada wakil jika ia menghendaki, maka ketika boleh menalak secara langsung maupun ditunda, maka boleh juga kehendaknya bersamaan dengan talak yang ditunda. Namun, syarat sahnya kehendak adalah ia memberitahukan kepada suami sebelum menalaknya; jika ia memberitahukan kepada selain suami lalu menalak, maka talak tidak jatuh, karena jika pemberitahuan itu menjadi syarat, maka memberitahu suami lebih utama dan lebih layak menjadi syarat. Jika ia berkata kepadanya: “Talaklah dia jika ia (istri) menghendaki,” maka kehendak istri diperhatikan ketika wakil menawarkan talak kepadanya; maka tidak boleh menalaknya kecuali setelah menawarkan talak dan menanyakan kehendaknya, sehingga kehendaknya menjadi syarat yang harus segera; jika ia segera menghendaki, maka talak jatuh, dan jika wakil melaksanakan talak setelahnya, baik segera maupun ditunda, maka jika kehendaknya tertunda, talak tidak jatuh setelahnya karena rusaknya kehendak tersebut.

(فَصْلٌ:)

(Fashal:)

وَلَيْسَ لِلْوَكِيلِ فِي الطَّلَاقِ أَنْ يُوَكِّلَ غَيْرَهُ فِيهِ، فَإِنْ وَكَّلَ وَكِيلَيْنِ فِي طَلَاقِ زَوْجَةٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يُطَلِّقَهَا، فَأَيُّهُمَا سَبَقَ بِطَلَاقِهَا ثَلَاثًا، بَطَلَتْ وَكَالَةُ الْآخَرِ وَلَوْ جَعَلَ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يُطَلِّقَهَا وَاحِدَةً فَإِذَا سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً لَمْ تَبْطُلْ وَكَالَةُ الْآخَرِ وَجَازَ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا أُخْرَى، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مَا صَحَّ. وَهَكَذَا لَوْ وَكَّلَ وَاحِدًا فِي طَلَاقِهَا ثَلَاثًا ثُمَّ بَادَرَ الزَّوْجُ فَطَلَّقَهَا ثَلَاثًا بَطَلَتِ الْوَكَالَةُ.

Wakil dalam talak tidak berhak mewakilkan kepada orang lain dalam urusan tersebut. Jika seseorang mewakilkan dua orang wakil untuk menalak satu istri dan memberikan hak kepada masing-masing untuk menalaknya, maka siapa pun di antara mereka yang lebih dahulu menalaknya tiga kali, batalah wakalah yang lain. Jika ia memberikan hak kepada masing-masing untuk menalaknya satu kali, maka jika salah satu dari mereka lebih dahulu menalaknya satu kali, wakalah yang lain tidak batal dan ia boleh menalaknya satu kali lagi. Perbedaan antara keduanya adalah sebagaimana yang telah sah. Demikian pula jika seseorang mewakilkan satu orang untuk menalaknya tiga kali, kemudian suami lebih dahulu menalaknya tiga kali, maka batalah wakalah tersebut.

وَلَوْ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ وَاحِدَةً، كَانَتِ الْوَكَالَةُ بِحَالِهَا فِي الطَّلْقَتَيْنِ الْبَاقِيَتَيْنِ، وَإِنْ طَلَّقَهَا الْوَكِيلُ ثَلَاثًا وَقَعَ مِنْهُمَا طَلْقَتَانِ، لِأَنَّهُمَا الْبَاقِيَتَانِ مِنْ طَلَاقِ الزَّوْجِ، بَعْدَ الْوَاحِدَةِ الَّتِي أَوْقَعَهَا وَلَوْ وَكَّلَهُ فِي طَلَاقِهَا وَاحِدَةً ثُمَّ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ وَاحِدَةً، لَمْ تَبْطُلِ الْوَكَالَةُ مَا لَمْ تَنْقَضِ الْعِدَّةُ، فَإِنْ طَلَّقَهَا الْوَكِيلُ وَاحِدَةً فِي الْعِدَّةِ، طُلِّقَتْ سَوَاءٌ رَاجَعَهَا الزَّوْجُ مِنْ طَلْقَتِهِ، أَوْ لَمْ يُرَاجِعْ، فَلَوِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا مِنْ طَلْقَةِ الزَّوْجِ ثُمَّ اسْتَأْنَفَ نِكَاحَهَا فَفِي بَقَاءِ الْوَكَالَةِ وَجَوَازِ طَلَاقِ الْوَكِيلِ لَهَا وَجْهَانِ:

Jika suami menceraikannya satu kali, maka status wakalah tetap berlaku untuk dua talak yang tersisa. Jika wakil menceraikannya tiga kali, maka yang jatuh adalah dua talak dari keduanya, karena keduanya adalah talak yang tersisa dari suami setelah satu talak yang telah dijatuhkan. Jika ia mewakilkan kepada wakil untuk menceraikannya satu kali, lalu suami menceraikannya satu kali, maka wakalah tidak batal selama masa iddah belum habis. Jika wakil menceraikannya satu kali dalam masa iddah, maka talak jatuh, baik suami merujuk istrinya dari talaknya atau tidak. Namun, jika iddahnya telah habis dari talak suami, lalu suami menikahinya kembali, maka dalam hal keberlangsungan wakalah dan kebolehan wakil menjatuhkan talak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: الْوَكَالَةُ بَاقِيَةٌ وَطَلَاقُ الْوَكِيلِ لَهَا وَاقِعٌ.

Pertama: Wakalah tetap berlaku dan talak yang dijatuhkan oleh wakil sah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْوَكَالَةَ قَدْ بَطَلَتْ وَطَلَاقَهُ غَيْرُ وَاقِعٍ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي عَقْدِ الطَّلَاقِ فِي نِكَاحٍ، هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَقَعَ فِي غَيْرِهِ أَمْ لَا.

Pendapat kedua: Wakalah telah batal dan talaknya tidak sah. Kedua pendapat ini merupakan perbedaan pendapat dalam masalah akad talak dalam pernikahan, apakah boleh berlaku pada selain pernikahan tersebut atau tidak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا رَجَعَ الزَّوْجُ عَنِ الْوَكَالَةِ أَوْ جُنَّ أَوْ مَاتَ، لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَ، فَإِنْ طَلَّقَ لَمْ يَقَعْ، فَلَوْ لَمْ يَعْلَمِ الْوَكِيلُ بِجُنُونِ مُوَكِّلِهِ أَوْ مَوْتِهِ فَطَلَّقَ، لَمْ يَقَعْ طلاقه، لأن الطَّلَاقَ لَا يَصِحُّ أَنْ يَقَعَ عَنْ زَوْجٍ مَيِّتٍ، أَوْ مَجْنُونٍ، وَلَوْ لَمْ يَعْلَمِ الْوَكِيلُ بِرُجُوعِ الزَّوْجِ حَتَّى طَلَّقَ، كَانَ فِي وُقُوعِ طَلَاقِهِ قَوْلَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْمُوَكَّلِ فِي الْقِصَاصِ، إِذَا اقْتَصَّ قَبْلَ الْعِلْمِ بِالْعَفْوِ.

Jika suami menarik kembali wakalah, atau menjadi gila, atau meninggal dunia, maka wakil tidak berhak menjatuhkan talak. Jika wakil tetap menjatuhkan talak, maka talaknya tidak sah. Jika wakil tidak mengetahui bahwa muwakkilnya telah gila atau meninggal, lalu ia menjatuhkan talak, maka talaknya tidak sah, karena talak tidak sah dijatuhkan atas nama suami yang telah meninggal atau gila. Jika wakil tidak mengetahui bahwa suami telah menarik kembali wakalah hingga ia menjatuhkan talak, maka dalam keabsahan talaknya terdapat dua pendapat, sebagaimana perbedaan pendapat dalam masalah wakil dalam qishāsh, jika ia menuntut qishāsh sebelum mengetahui adanya pemaafan.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ جَعَلَ لَهَا أَنْ تُطَلِّقَ نَفْسَهَا ثَلَاثًا فطلقت واحدة فإن لَهَا ذَلِكَ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika suami memberikan hak kepada istrinya untuk menceraikan dirinya sendiri tiga kali, lalu ia menceraikan dirinya satu kali, maka ia berhak melakukannya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا قَالَ لَهَا: طَلِّقِي نَفْسَكِ ثَلَاثًا، فَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا واحدة، طلقت واحدة، وقال مالك إذا قال طلقي نفسك ثلاثاً، فطلقت واحدة لا يقع شيء وإذا قال: طلقي واحدة فطلقت ثلاثاً، وقعت الثلاث، وعنه لَا تُطَلَّقُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ قَبُولَهَا بَعْضَ مَا مَلَّكَهَا مُوجِبٌ لِفَسَادِ الْقَبُولِ، وَبُطْلَانِ التَّمْلِيكِ كَمَا لَوْ بَاعَهَا عَبْدَيْنِ بِمِائَةٍ فَقَبِلَتْ أَحَدَهُمَا لَمْ يَصِحَّ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika suami berkata kepadanya: “Ceraikanlah dirimu tiga kali,” lalu ia menceraikan dirinya satu kali, maka jatuh satu talak. Malik berkata: Jika suami berkata, “Ceraikanlah dirimu tiga kali,” lalu ia menceraikan dirinya satu kali, maka tidak jatuh apa pun. Jika suami berkata, “Ceraikanlah dirimu satu kali,” lalu ia menceraikan dirinya tiga kali, maka jatuh tiga talak. Menurut pendapat lain, ia tidak jatuh talak, dengan alasan bahwa menerima sebagian dari apa yang diberikan kepadanya menyebabkan rusaknya penerimaan dan batalnya pemberian hak, sebagaimana jika seseorang menjual dua budak seharga seratus, lalu pembeli hanya menerima salah satunya, maka tidak sah.

وَدَلِيلُنَا هُوَ: أَنَّ مَنْ مَلَكَ إِيقَاعَ الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ مَلَكَ إِيقَاعَ الطَّلْقَةِ الْوَاحِدَةِ كَالزَّوْجِ. وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِتَبْعِيضِ الْقَبُولِ فِي الْبَيْعِ، فَإِنَّمَا لَمْ يَصِحَّ، لِأَنَّ الْبَذْلَ إِنَّمَا كَانَ فِي مُقَابَلَةِ ثَمَنٍ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ بِالتَّبْعِيضِ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَصِحَّ قَبُولُ الْبَعْضِ، وَلَوْلَا الثَّمَنُ لَصَحَّ، أَلَا تَرَى لَوْ وَهَبَ لَهَا عَبْدَيْنِ، فَقَبِلَتْ إحداهما صَحَّ، فَكَذَلِكَ الطَّلَاقُ.

Dalil kami adalah: Barang siapa yang memiliki hak untuk menjatuhkan tiga talak, maka ia juga berhak menjatuhkan satu talak, sebagaimana suami. Adapun dalil mereka tentang sebagian penerimaan dalam jual beli, maka tidak sah karena penyerahan itu sebagai imbalan harga yang tidak didapatkan dengan sebagian, sehingga tidak sah menerima sebagian. Seandainya tidak ada harga, maka sah. Bukankah jika seseorang menghadiahkan dua budak kepadanya, lalu ia menerima salah satunya, maka sah. Demikian pula dalam masalah talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا جَعَلَ إِلَيْهَا أَنْ تُطَلِّقَ نَفْسَهَا وَاحِدَةً، فَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا ثَلَاثًا، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا تُطَلَّقُ لِأَنَّ مَا عَدَلَتْ إِلَيْهِ غَيْرُ مَأْذُونٍ فِيهِ، فَلَمْ يَجُزْ.

Jika suami memberikan hak kepada istrinya untuk menceraikan dirinya satu kali, lalu ia menceraikan dirinya tiga kali, maka yang jatuh hanya satu talak. Abu Hanifah berkata: Tidak jatuh talak, karena apa yang ia lakukan bukanlah yang diizinkan, sehingga tidak sah.

وَدَلِيلُنَا هُوَ: أَنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ فِي طَلَاقِهَا مَأْذُونٌ فِيهِ وَغَيْرُ مَأْذُونٍ فِيهِ، لَمْ يَمْنَعْ غَيْرُ الْمَأْذُونِ فِيهِ مِنْ وُقُوعِ الْمَأْذُونِ فِيهِ، كَمَا لَوْ جَعَلَ إِلَيْهَا طَلَاقَ نَفْسِهَا، فَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا وَضَرَائِرَهَا، وَادَّعَى فِيهِ أَنَّ الْوَاحِدَةَ لَا تَتَمَيَّزُ عَنِ الثَّلَاثِ، غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْمَأْذُونَ فِيهِ مُتَمَيِّزٌ عَنْ غَيْرِ الْمَأْذُونِ فِيهِ وَرُبَّمَا حُكِيَ هَذَا الْقَوْلُ عَنْ أَبِي حنيفة والأول عن مالك.

Dalil kami adalah: Jika dalam talak yang dijatuhkan terdapat yang diizinkan dan yang tidak diizinkan, maka yang tidak diizinkan tidak menghalangi jatuhnya yang diizinkan, sebagaimana jika suami memberikan hak kepada istrinya untuk menceraikan dirinya, lalu ia menceraikan dirinya dan madunya. Adapun klaim bahwa satu talak tidak dapat dibedakan dari tiga talak, itu tidak benar, karena yang diizinkan dapat dibedakan dari yang tidak diizinkan. Pendapat ini kadang dinisbatkan kepada Abu Hanifah dan pendapat pertama kepada Malik.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَقَالَ فِيهِ وَسَوَاءٌ قَالَتْ طَلَّقْتُكَ أَوْ طَلَّقْتُ نَفْسِي إِذَا أَرَادَتْ طَلَاقًا) .

Imam Syafi‘i berkata: (Dan beliau berkata dalam hal ini: Sama saja apakah istri berkata, “Aku menceraikanmu” atau “Aku menceraikan diriku sendiri” jika ia bermaksud untuk talak).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا جَعَلَ إِلَيْهَا طَلَاقَ نَفْسِهَا، فَإِنْ قَالَتْ قَدْ طَلَّقْتُ نَفْسِي، طُلِّقَتْ وَكَانَ هَذَا صَرِيحًا لَا يَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّتِهَا.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu apabila suami menyerahkan urusan talak dirinya kepada istrinya, lalu sang istri berkata, “Aku telah menceraikan diriku,” maka ia pun tertalak, dan ini merupakan lafaz yang jelas (ṣarīḥ) sehingga tidak membutuhkan niat darinya.

وَإِنْ قَالَتْ: قَدْ طَلَّقْتُكَ كَانَتْ كِنَايَةً يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ إِذَا نَوَتْهُ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ وَإِنْ نَوَتْهُ، وَقَدْ مَضَى الكلام في هذه المسألة.

Dan jika ia berkata, “Aku telah menceraikanmu,” maka ini merupakan kināyah (lafaz sindiran) yang menyebabkan jatuhnya talak jika ia meniatkannya. Abu Hanifah berpendapat: Talak tidak jatuh dengan lafaz tersebut meskipun ia meniatkannya, dan telah dijelaskan sebelumnya pembahasan mengenai masalah ini.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ طَلَّقَ بِلِسَانِهِ وَاسْتَثْنَى بِقَلْبِهِ لَزِمَهُ الطَّلَاقُ وَلَمْ يَكُنِ الِاسْتِثْنَاءُ إِلَّا بِلِسَانِهِ) .

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menjatuhkan talak dengan lisannya, namun ia mengecualikan sesuatu dalam hatinya, maka talak tetap berlaku atasnya dan pengecualian itu tidak dianggap kecuali jika diucapkan dengan lisannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ فِي الطَّلَاقِ عَلَى ثَلَاثَةِ أضرب:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa pengecualian (istitsnā’) dalam talak terbagi menjadi tiga macam:

أحدها: ما يصح مضمراً، مظهراً. وَالثَّانِي: مَا لَا يَصِحُّ مُضْمَرًا، وَلَا مُظْهَرًا.

Pertama: Yang sah dilakukan secara tersembunyi (dalam hati) maupun terang-terangan (dengan lisan). Kedua: Yang tidak sah baik secara tersembunyi maupun terang-terangan.

وَالثَّالِثُ: مَا يَصِحُّ مُظْهَرًا وَلَا يَصِحُّ مُضْمَرًا.

Ketiga: Yang sah dilakukan secara terang-terangan namun tidak sah secara tersembunyi.

فَأَمَّا مَا يَصِحُّ إِظْهَارُهُ وَإِضْمَارُهُ فَهُوَ مَا جَازَ أَنْ يَكُونَ صِفَةً لِلطَّلَاقِ، أَوْ أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ حَالًا لِلْمُطَلَّقَةِ، فَالَّذِي يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ صِفَةً لِلطَّلَاقِ مِثْلَ قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ مِنْ وَثَاقٍ، أَوْ مُسَرَّحَةٌ إِلَى أَهْلِكِ، أَوْ مفارقة إلى المسجد فإن أظهره بلفظ صَحَّ وَحُمِلَ عَلَيْهِ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، وَلَمْ يَلْزَمْهُ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ وَصَفَهُ بِمَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ صِفَاتِهِ، فِي غَيْرِ الطَّلَاقِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَقَعْ بِهِ الطَّلَاقُ، وَإِنْ لَمْ يُظْهِرْهُ فِي لَفْظِهِ وَأَضْمَرَهُ فِي نِيَّتِهِ صَحَّ إِضْمَارُهُ، وَدِينَ فِيهِ وَلَمْ يَلْزَمْهُ الطَّلَاقُ فِي الْبَاطِنِ، اعْتِبَارًا بِالْمُضْمَرِ، وَلَزِمَهُ الطَّلَاقُ فِي الظَّاهِرِ، اعْتِبَارًا بِالْمَظْهَرِ، وَأَمَّا الَّذِي يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ حَالًا لِلْمُطَلَّقَةِ فَمِثْلُ قَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ إِلَى رَأْسِ الشَّهْرِ، وَلَوْ دَخَلْتِ الدَّارَ، أَوْ إِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا، فَإِنْ أَظْهَرَ ذَلِكَ بِلَفْظِهِ عُمِلَ عَلَيْهِ فِي الظَّاهِرِ، وَلَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا الطَّلَاقُ إِلَّا عَلَى الْحَالِ الَّتِي شَرَطَهَا، وَإِنْ أَضْمَرَهُ بِقَلْبِهِ، وَلَمْ يُظْهِرْهُ بِلَفْظِهِ دِينَ فِيهِ، وَفِي الْبَاطِنِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ الطَّلَاقُ إِلَّا بِذَلِكَ الشَّرْطِ، اعْتِبَارًا بِإِضْمَارِهِ وَلَزِمَهُ الطَّلَاقُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ اعْتِبَارًا بِإِظْهَارِهِ، فَهَذَا ضَرْبٌ.

Adapun yang sah dilakukan baik secara terang-terangan maupun tersembunyi adalah sesuatu yang boleh menjadi sifat bagi talak, atau memungkinkan menjadi keadaan bagi istri yang ditalak. Yang boleh menjadi sifat bagi talak misalnya ucapan: “Engkau tertalak dari ikatan,” atau “Engkau dilepaskan kepada keluargamu,” atau “Berpisah menuju masjid.” Jika ia menampakkan hal itu dengan lafaz, maka sah dan dianggap berlaku baik secara lahir maupun batin, dan talak tidak wajib baginya, karena ia mensifati talak dengan sifat yang memang boleh ada pada talak, bukan pada selain talak, sehingga talak tidak jatuh karenanya. Jika ia tidak menampakkan dalam lafaznya dan hanya menyimpannya dalam niat, maka sah penyimpanannya itu, dan ia dibebani secara batin (di hadapan Allah), namun talak tidak wajib baginya secara batin, karena mempertimbangkan yang tersembunyi. Namun talak tetap wajib secara lahir, karena mempertimbangkan yang tampak. Adapun yang memungkinkan menjadi keadaan bagi istri yang ditalak, seperti ucapannya: “Engkau tertalak sampai akhir bulan,” atau “Jika engkau masuk ke rumah,” atau “Jika engkau berbicara dengan Zaid.” Jika ia menampakkan hal itu dengan lafaz, maka berlaku secara lahir, dan talak tidak jatuh atasnya kecuali pada keadaan yang disyaratkan. Jika ia hanya menyimpannya dalam hati dan tidak menampakkannya dengan lafaz, maka ia dibebani secara batin, dan talak tidak wajib baginya kecuali dengan syarat tersebut, karena mempertimbangkan yang tersembunyi. Namun talak tetap wajib secara lahir, karena mempertimbangkan yang tampak. Inilah satu macam.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا مَا لَا يَصِحُّ إِضْمَارُهُ، وَلَا إِظْهَارُهُ، فَهُوَ مَا كَانَ فِيهِ إِبْطَالُ مَا أَوْقَعَ وَنَفْيُ مَا أَثْبَتَ، كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا ثَلَاثًا، أَوْ أَنْتِ طَالِقٌ إِلَّا أَنْتِ، فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ وَالِاسْتِثْنَاءُ بَاطِلٌ فِي إِظْهَارِهِ بِاللَّفْظِ وَإِضْمَارِهِ بِالْقَلْبِ، لِأَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ يَمْنَعُ مِنْ رَفْعِهِ، لَا سِيَّمَا مَعَ قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالْعِتَاقُ) .

Adapun yang tidak sah baik secara tersembunyi maupun terang-terangan, yaitu sesuatu yang di dalamnya terdapat pembatalan terhadap apa yang telah dijatuhkan dan penafian terhadap apa yang telah ditetapkan, seperti ucapannya: “Engkau tertalak tiga kecuali tiga,” atau “Engkau tertalak kecuali engkau sendiri.” Maka talak tetap jatuh, dan pengecualian itu batal baik secara terang-terangan dengan lafaz maupun tersembunyi dalam hati, karena jatuhnya talak mencegah untuk mengangkatnya kembali, terutama dengan sabda Nabi ﷺ: “Tiga perkara yang seriusnya adalah serius dan bercandanya pun serius, yaitu nikah, talak, dan pembebasan budak.”

وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا حَيْثُ بَطَلَ وَبَيْنَ الضَّرْبِ الْأَوَّلِ حَيْثُ صَحَّ: أَنَّ ذَاكَ صِفَةٌ مُحْتَمَلَةٌ وَحَالٌ مُمْكِنَةٌ، يَبْقَى مَعَهَا اللَّفْظُ عَلَى احْتِمَالٍ مُجَوَّزٍ، وَهَذَا رُجُوعٌ لَا يَحْتَمِلُ وَلَا يَجُوزُ، وَإِذَا بَطَلَ هَذَا الِاسْتِثْنَاءُ بِمَا عَلَّلْنَا، وَقَعَ الطَّلَاقُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا.

Perbedaan antara hal ini yang batal dan macam pertama yang sah adalah: bahwa pada macam pertama itu merupakan sifat yang masih mungkin dan keadaan yang masih memungkinkan, sehingga lafaznya masih mengandung kemungkinan yang dibenarkan. Sedangkan yang ini merupakan penarikan kembali (rujū‘) yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Jika pengecualian ini batal sebagaimana alasan yang telah dijelaskan, maka talak jatuh baik secara lahir maupun batin.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَا يَصِحُّ إِظْهَارُهُ وَلَا يَصِحُّ إِضْمَارُهُ، فَهُوَ الِاسْتِثْنَاءُ مِنَ الْعَدَدِ، أَوِ الشَّرْطُ الواقع بحكم الطلاق، فالاستثناء من الْعَدَدِ، أَنْ يَقُولَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا اثنتين والشرط الرافع لحكم الطلاق، أنت يَقُولَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَإِنْ أَظْهَرَهُ فِي لَفْظِهِ مُتَّصِلًا بِكَلَامِهِ صَحَّ، وَكَانَ مَحْمُولًا عَلَيْهِ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، فَلَا يَلْزَمُهُ الطلاق إذا قال: إن شاء الله يقع عَلَيْهَا طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ، إِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا اثْنَتَيْنِ، لِأَنَّ بَعْضَ الْكَلَامِ مُرْتَبِطٌ بِبَعْضٍ، فَأَوَّلُهُ مَوْقُوفٌ عَلَى آخِرِهِ، وَهُوَ كَلَامٌ لَا يَنْقُضُ بَعْضُهُ بَعْضًا، فَصَحَّ وَلَوْ لَمْ يَتَلَفَّظْ بِهَذَا الِاسْتِثْنَاءِ بِلِسَانِهِ وَأَضْمَرَهُ بِقَلْبِهِ وَنَوَى بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ أَنْ يَكُونَ مُعَلَّقًا بِمَشِيئَةِ اللَّهِ، أَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا وَنَوَى إلا اثْنَتَيْنِ، لَمْ يَصِحَّ مَا أَضْمَرَهُ مِنَ الِاسْتِثْنَاءِ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ، وَمِنَ الْعَدَدِ، وَوَقَعَ الطَّلَاقُ ثَلَاثًا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، وَإِنَّمَا كَانَ صَحِيحًا مَعَ الْإِظْهَارِ وَبَاطِلًا مَعَ الْإِضْمَارِ، لِأَنَّ حُكْمَ اللَّفْظِ أَقْوَى مِنَ النِّيَّةِ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِمُجَرَّدِ اللَّفْظِ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ، وَلَا يَقَعُ لِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ مِنْ غَيْرِ لَفْظٍ، فَإِذَا تَعَارَضَتِ النِّيَّةُ وَاللَّفْظُ، يُغَلَّبُ حُكْمُ اللَّفْظِ لِقُوَّتِهِ عَلَى حُكْمِ النِّيَّةِ لِضَعْفِهِ، فَوَقَعَ الطَّلَاقُ وَبَطَلَ الِاسْتِثْنَاءُ.

Adapun jenis yang ketiga: yaitu sesuatu yang sah untuk ditampakkan namun tidak sah untuk disembunyikan, yaitu istisnā’ (pengecualian) dari jumlah, atau syarat yang berkaitan dengan hukum talak. Istisnā’ dari jumlah, misalnya seseorang berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali dua.” Dan syarat yang mengangkat hukum talak, misalnya seseorang berkata: “Engkau tertalak jika Allah menghendaki.” Jika ia menampakkan (pengecualian atau syarat itu) dalam ucapannya yang bersambung dengan perkataannya, maka itu sah dan dianggap berlaku baik secara lahir maupun batin. Maka tidak wajib baginya talak jika ia berkata: “Jika Allah menghendaki, engkau tertalak satu kali,” atau jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali dua,” karena sebagian ucapan itu saling terkait, sehingga awalnya bergantung pada akhirnya, dan itu adalah ucapan yang tidak saling bertentangan, maka itu sah. Namun, jika ia tidak mengucapkan istisnā’ ini dengan lisannya dan hanya menyembunyikannya dalam hatinya, serta berniat dengan ucapannya “Engkau tertalak” agar itu tergantung pada kehendak Allah, atau ia berkata: “Engkau tertalak tiga” dan berniat “kecuali dua”, maka tidak sah apa yang ia sembunyikan dari istisnā’ dengan kehendak Allah atau dari jumlah, dan talak jatuh tiga baik secara lahir maupun batin. Hal itu hanya sah jika ditampakkan dan batal jika disembunyikan, karena hukum lafaz lebih kuat daripada niat, sebab talak jatuh hanya dengan lafaz tanpa niat, dan tidak jatuh hanya dengan niat tanpa lafaz. Maka jika niat dan lafaz bertentangan, hukum lafaz diunggulkan karena lebih kuat daripada hukum niat yang lemah, sehingga talak jatuh dan istisnā’ menjadi batal.

فَلَوْ قَالَ: وَلَهُ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ: أَنْتُنَّ طَوَالِقٌ، وَاسْتَثْنَى وَاحِدَةً مِنْهُنَّ فَعَزَلَهَا مِنَ الطَّلَاقِ صَحَّ استثناؤه من الطلاقهن، مُظْهَرًا وَمُضْمَرًا، فَلَا يَقَعُ طَلَاقُهَا إِنِ اسْتَثْنَاهَا ظَاهِرًا بِلَفْظِهِ لَا فِي الظَّاهِرِ، وَلَا فِي الْبَاطِنِ، وَلَا يَقَعُ طَلَاقُهَا إِنِ اسْتَثْنَاهَا، بَاطِنًا بنيته في الباطن، وإن كان واقعاً، وَإِنْ كَانَ وَاقِعًا فِي الظَّاهِرِ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ لِلْأَرْبَعِ: أَنْتُنَّ يَا أَرْبَعُ طَوَالِقٌ وَأَرَادَ إِلَّا وَاحِدَةً فَإِنِ اسْتَثْنَاهَا بِلَفْظِهِ صَحَّ، وَإِنْ عَزَلَهَا بِنِيَّتِهِ لَمْ يَصِحَّ، كَالِاسْتِثْنَاءِ مِنَ الْعَدَدِ لِأَنَّهُ قَدْ صَرَّحَ بِذِكْرِ الْأَرْبَعِ، وَلَمْ يُصَرِّحْ بِذِكْرِهِنَّ فِيمَا تَقَدَّمَ، فَلَوْ قَالَ لِزَوْجَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ وَأَرَادَ بِقَلْبِهِ الْإِشَارَةَ بِالطَّلَاقِ إِلَى أصْبَعِهِ دُونَ زَوْجَتِهِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَدِينُ فِي بَاطِنِ الْحُكْمِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika seseorang berkata, dan ia memiliki empat istri: “Kalian semua tertalak,” lalu ia mengecualikan salah satu dari mereka dan memisahkannya dari talak, maka pengecualiannya dari talak mereka sah, baik secara lahir maupun batin. Maka talak tidak jatuh atasnya jika ia mengecualikannya secara lahir dengan ucapannya, baik secara lahir maupun batin, dan talak tidak jatuh atasnya jika ia mengecualikannya secara batin dengan niatnya dalam hati, meskipun secara lahir tampak jatuh. Namun, jika ia berkata kepada keempatnya: “Kalian wahai empat orang, tertalak,” dan ia bermaksud “kecuali satu”, maka jika ia mengecualikannya dengan ucapannya, itu sah, dan jika ia memisahkannya dengan niatnya, itu tidak sah, seperti istisnā’ dari jumlah, karena ia telah menyebutkan keempatnya secara eksplisit, sedangkan sebelumnya ia tidak menyebutkan mereka secara eksplisit. Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak,” dan ia bermaksud dalam hatinya bahwa talak itu ditujukan kepada jarinya, bukan kepada istrinya, maka hal itu tidak diterima dalam hukum lahir. Para ulama kami berbeda pendapat, apakah ia berdosa dalam hukum batin antara dirinya dan Allah Ta’ala atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَدِينُ فِيهِ لِاحْتِمَالِهِ.

Salah satunya: Ia berdosa karenanya karena masih ada kemungkinan.

وَالثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ: لَا يَدِينُ فِيهِ، وَيَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ جَمِيعًا لِأَمْرَيْنِ:

Yang kedua, dan ini yang lebih sahih: Ia tidak berdosa karenanya, dan talak wajib baginya baik secara lahir maupun batin, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأصْبَعَ لَا يَتَوَجَّهُ إِلَيْهَا طَلَاقُ انْفِصَالٍ، وَلَا طَلَاقُ تَحْرِيمٍ.

Pertama: Jari tidak dapat menjadi objek talak pemisahan, maupun talak pengharaman.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَوْقَعَ طَلَاقًا عَلَى أَن لَا يَكُونَ طَلَاقًا فَصَارَ كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِلَّا أَنْتِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Ia menjatuhkan talak dengan syarat tidak menjadi talak, sehingga hal itu seperti ucapannya: “Engkau tertalak kecuali engkau,” dan Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ يُرِيدُ تَحْرِيمَهَا بِلَا طَلَاقٍ فَعَلَيْهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَرَّمَ جَارِيَتَهُ فَأُمِرَ بِكَفَّارَةِ يَمِينٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ لِأَنَّهُمَا تَحْرِيمُ فَرْجَيْنِ حِلَّيْنِ بِمَا لَمْ يَحْرُمَا بِهِ) .

Imam Syafi’i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Engkau haram atasku,’ dengan maksud mengharamkannya tanpa talak, maka ia wajib membayar kafarat sumpah, karena Nabi ﷺ pernah mengharamkan budaknya lalu diperintahkan untuk membayar kafarat sumpah.” (Imam Syafi’i rahimahullah berkata:) “Karena keduanya adalah pengharaman dua kemaluan yang halal dengan sesuatu yang tidak mengharamkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِزَوْجَتِهِ: أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ، فَإِنْ أَرَادَ بِهِ الطَّلَاقَ، كَانَ طَلَاقًا يَقَعُ مِنْ عَدَدِهِ مَا نَوَاهُ، مِنْ وَاحِدَةٍ أَوِ اثْنَتَيْنِ أَوْ ثَلَاثٍ، وَإِنْ لَمْ يَنْوِ عَدَدًا، كَانَتْ وَاحِدَةً رَجْعِيَّةً، وَإِنْ أَرَادَ بِهِ الظِّهَارَ كَانَ ظِهَارًا، وَإِنْ أَرَادَ بِهِ الْإِيلَاءَ لَمْ يَكُنْ إِيلَاءً، لِأَنَّ الْإِيلَاءَ يَمِينٌ، لَا يَنْعَقِدُ بِالْكِنَايَةِ وَإِنْ أَرَادَ بِهِ تَحْرِيمَ وَطْئِهَا لَمْ يَحْرُمْ، وَلَزِمَهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ طَلَاقٌ وَلَا ظِهَارٌ وَلَا تَحْرِيمٌ، وَهَلْ تَجِبُ بِهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ ذَكَرَهُمَا فِي (الْإِمْلَاءِ) . وَلَوْ قَالَ لِأَمَتِهِ: أَنْتِ عَلَيَّ حرام، فإن أرادبه عِتْقَهَا، عَتَقَتْ وَإِنْ أَرَادَ تَحْرِيمَ وَطْئِهَا لَمْ تحرم وَطْئِهَا لَمْ تَحْرُمْ وَكَفَّرَ كَفَّارَةَ يَمِينٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَرَادَ، لَزِمَتْهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ قَوْلًا وَاحِدًا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan. Jika seorang laki-laki berkata kepada istrinya: “Engkau haram atasku,” maka jika ia bermaksud talak, maka itu menjadi talak sesuai jumlah yang ia niatkan, baik satu, dua, atau tiga. Jika ia tidak meniatkan jumlah, maka itu menjadi satu talak raj‘i. Jika ia bermaksud zihar, maka itu menjadi zihar. Jika ia bermaksud ila’, maka itu tidak menjadi ila’, karena ila’ adalah sumpah yang tidak sah dengan kinayah. Jika ia bermaksud mengharamkan hubungan suami istri dengannya, maka tidak menjadi haram, dan ia wajib membayar kafarat sumpah. Jika ia tidak memiliki maksud apa pun, maka tidak terkait padanya talak, zihar, maupun pengharaman. Apakah wajib kafarat sumpah atau tidak? Ada dua pendapat yang disebutkan dalam (al-Imla’). Jika ia berkata kepada budaknya: “Engkau haram atasku,” jika ia bermaksud memerdekakannya, maka budak itu merdeka. Jika ia bermaksud mengharamkan hubungan dengannya, maka tidak menjadi haram, dan ia wajib membayar kafarat sumpah. Jika ia tidak bermaksud apa pun, maka ia wajib membayar kafarat sumpah menurut satu pendapat.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْحُرَّةِ، وَمِنْهُمْ مَنْ خرجَ الْحُرَّةَ وَالْأَمَةَ فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ عِنْدَ فَقْدِ الْإِرَادَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ أقاويل:

Sebagian ulama kami berpendapat ada dua pendapat sebagaimana pada wanita merdeka, dan sebagian dari mereka membedakan antara wanita merdeka dan budak dalam kewajiban kafarat ketika tidak ada maksud, menjadi tiga pendapat:

أحدهما: تَجِبُ فِي الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ.

Pertama: Wajib pada wanita merdeka dan budak.

وَالثَّانِي: لَا تَجِبُ فِي الْحُرَّةِ وَلَا فِي الْأَمَةِ.

Kedua: Tidak wajib pada wanita merdeka maupun budak.

وَالثَّالِثُ: تَجِبُ فِي الْأَمَةِ، وَلَا تَجِبُ فِي الْحُرَّةِ، لِأَنَّ التَّحْرِيمَ فِي الْأَمَةِ أَصْلٌ، وَفِي الْحُرَّةِ فَرْعٌ وَلَا يَنْعَقِدُ بِهِ فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا يَمِينٌ، هَذَا مَذْهَبُنَا.

Ketiga: Wajib pada budak, dan tidak wajib pada wanita merdeka, karena pengharaman pada budak adalah asal, sedangkan pada wanita merdeka adalah cabang, dan tidak sah menjadi sumpah dalam semua keadaan. Ini adalah mazhab kami.

وَقَدِ اخْتَلَفَ الصَّحَابَةُ ثُمَّ التَّابِعُونَ – رضي الله عنه – في لفظ الَّذِي يُوجِبُ إِذَا فُقِدَتْ فِيهِ الْإِرَادَةُ عَلَى ثَمَانِيَةِ أَقَاوِيلَ:

Para sahabat kemudian para tabi‘in – semoga Allah meridhai mereka – telah berbeda pendapat mengenai lafaz yang mewajibkan (sesuatu) jika tidak ada maksud, menjadi delapan pendapat:

أَحَدُهَا: مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي بكر – رضي الله عنه – أنها يمين يجب بِهَا إِذَا حَنِثَ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَبِهِ قَالَتْ عَائِشَةُ وَالْأَوْزَاعِيُّ.

Pertama: Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Bakar – semoga Allah meridhainya – bahwa itu adalah sumpah, jika dilanggar wajib kafarat sumpah, dan ini juga pendapat ‘Aisyah dan al-Auza‘i.

وَالثَّانِي: مَا حُكِيَ عَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهَا طَلْقَةٌ رَجْعِيَّةٌ، وَبِهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ.

Kedua: Sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar – semoga Allah meridhainya – bahwa itu adalah satu talak raj‘i, dan ini juga pendapat az-Zuhri.

وَالثَّالِثُ: مَا حُكِيَ عَنْ عُثْمَانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ يَكُونُ ظِهَارًا تَجِبُ بِهِ كَفَّارَةُ الظِّهَارِ وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَبِهِ قَالَ: سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ.

Ketiga: Sebagaimana yang diriwayatkan dari Utsman – semoga Allah meridhainya – bahwa itu menjadi zihar yang mewajibkan kafarat zihar, dan ini salah satu riwayat dari Ibnu Abbas, dan juga pendapat Sa‘id bin Jubair dan Ahmad bin Hanbal.

وَالرَّابِعُ: مَا رُوِيَ عَنْ عَلَيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ يَكُونُ طَلَاقًا لَا تَحِلُّ مِنْهُ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ، وَبِهِ قَالَ: زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى وَمَالِكٌ.

Keempat: Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ali – semoga Allah meridhainya – bahwa itu menjadi talak yang tidak halal baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain, dan ini juga pendapat Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Ibnu Abi Laila, dan Malik.

وَالْخَامِسُ: مَا حُكِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ تَجِبُ بِهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَأَحَدُ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ، وَبِهِ قَالَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ.

Kelima: Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud dan Ibnu Umar, bahwa itu mewajibkan kafarat sumpah, dan ini salah satu riwayat dari Ibnu Abbas dan salah satu pendapat asy-Syafi‘i, dan juga pendapat Ishaq bin Rahawaih.

وَالسَّادِسُ: مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَمَسْرُوقٍ أَنَّهُ لَا شَيْءَ فِيهِ. قَالَ أَبُو سَلَمَةَ: مَا أُبَالِي حَرَّمْتُهَا أَوْ حَرَّمْتُ مَاءَ الْبِئْرِ، وَقَالَ مَسْرُوقٌ: ما أبالي حرمتها أو حرمت قصعة تريد، وَبِهِ قَالَ: الشَّعْبِيُّ، وَهُوَ أَحَدُ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ.

Keenam: Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman dan Masruq bahwa tidak ada apa-apa padanya. Abu Salamah berkata: “Aku tidak peduli, apakah aku mengharamkannya atau mengharamkan air sumur.” Masruq berkata: “Aku tidak peduli, apakah aku mengharamkannya atau mengharamkan mangkuk yang ia inginkan.” Ini juga pendapat asy-Sya‘bi, dan salah satu pendapat asy-Syafi‘i.

وَالسَّابِعُ: مَا حُكِيَ عَنِ النَّخَعِيِّ أَنَّهَا طَلْقَةٌ بائن، وبه قال: الحكم به عُيَيْنَةَ، وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ.

Ketujuh: Sebagaimana yang diriwayatkan dari an-Nakha‘i bahwa itu adalah talak bain, dan ini juga pendapat al-Hakam bin ‘Uyainah, Hammad bin Abi Sulaiman, dan Sufyan ats-Tsauri.

وَالثَّامِنُ: مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ، أَنَّهُ يكون إيلاء، يؤجل فيه أربعة من أَشْهُرٍ، فَإِنْ وَطِئَ فَعَلَيْهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَإِنْ لَمْ يَطَأْ حَتَّى مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ طُلِّقَتْ طَلْقَةً بَائِنَةً، فَيَصِيرُ قَوْلُهُ مُوَافِقًا لِقَوْلِ أَبِي بَكْرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهَا يَمِينٌ، ثُمَّ يَزِيدُ عَلَيْهِ بِمَا يُعَلِّقُ عَلَيْهَا مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ، وَيَقُولُ إِنَّهُ لَوْ حَرَّمَ طَعَامَهُ أَوْ مَالَهُ عَلَى نَفْسِهِ كَانَ يَمِينًا يَلْزَمُهُ بِهَا كَفَّارَةُ يَمِينٍ وَلَا يَلْزَمُهُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ، بِتَحْرِيمِ طَعَامِهِ وَمَالِهِ كَفَّارَةٌ.

Kedelapan: Pendapat yang dinukil dari Abu Hanifah, bahwa itu termasuk ila’, yang diberi tenggang waktu selama empat bulan. Jika ia berhubungan (dengan istrinya), maka ia wajib membayar kafarat sumpah. Namun jika ia tidak berhubungan hingga berlalu empat bulan, maka istrinya ditalak satu kali talak bain. Maka pendapatnya menjadi sesuai dengan pendapat Abu Bakar – raḍiyallāhu ‘anhu – bahwa itu adalah sumpah, kemudian ia menambahkan padanya dengan hukum-hukum ila’ yang dikaitkan dengannya. Ia juga mengatakan bahwa jika seseorang mengharamkan makanan atau hartanya atas dirinya sendiri, maka itu adalah sumpah yang mewajibkan kafarat sumpah, dan tidak wajib kafarat menurut asy-Syafi‘i jika seseorang mengharamkan makanan atau hartanya.

وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيمَ يَمِينٌ يُوجِبُ مَا ذَكَرَهُ مِنَ الْإِيلَاءِ وَالْكَفَّارَةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ، تَبْتَغِي مرضات أزواجك والله غفور رحيم، قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ} [التحريم: 1، 2] . فَكَانَ اسْتِدْلَالًا بِذَلِكَ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Abu Hanifah berdalil bahwa pengharaman adalah sumpah yang mewajibkan apa yang telah ia sebutkan berupa ila’ dan kafarat, dengan firman Allah Ta‘ala: {Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, demi mencari keridaan istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sungguh Allah telah mewajibkan bagimu penebusan sumpah-sumpahmu} [at-Tahrim: 1, 2]. Maka pendalilannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الَّذِي حَرَّمَهُ عَلَى نَفْسِهِ مُخْتَلَفٌ فِيهِ، فَحَكَى عُرْوَةُ وَابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ، أَنَّهُ حَرَّمَ الْعَسَلَ عَلَى نَفْسِهِ لِأَنَّهُ كَانَ يَشْرَبُهُ عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ، فَقَالَتِ الْبَاقِيَاتُ: نَجِدُ مِنْكَ رِيحَ الْمَعَافِيرِ، وَالْمَعَافِيرُ صَمْغُ الْعُرْفُطِ، لِأَنَّ مِنَ النَّحْلِ مَا يَكُونُ يَرْعَاهُ، فَيَظْهَرُ فِيهِ رِيحُهُ، وَكَانَ يُكْرَهُ رِيحُهُ، فَحَرَّمَهُ عَلَى نَفْسِهِ ثُمَّ كَفَّرَ.

Pertama: Bahwa apa yang diharamkan atas dirinya sendiri itu diperselisihkan. ‘Urwah dan Ibnu Abi Mulaikah meriwayatkan bahwa beliau mengharamkan madu atas dirinya sendiri karena beliau meminumnya di rumah salah satu istrinya, lalu istri-istri yang lain berkata: “Kami mencium bau al-ma‘afir darimu.” Al-ma‘afir adalah getah pohon ‘urfut, karena ada lebah yang mengisapnya sehingga baunya muncul pada madu tersebut, dan baunya tidak disukai. Maka beliau pun mengharamkannya atas dirinya sendiri, lalu beliau membayar kafarat.

وَحَكَى الْحَسَنُ وَقَتَادَةُ، أَنَّهُ حَرَّمَ مَارِيَةَ عَلَى نَفْسِهِ، لأنه كان خلا بها في منزل د حَفْصَةَ، فَغَارَتْ فَحَرَّمَهَا ثُمَّ كَفَّرَ، فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ فِي الْإِمَاءِ وَالطَّعَامِ، وَكَفَّارَةُ الْيَمِينِ تَجِبُ فِي الْإِمَاءِ.

Al-Hasan dan Qatadah meriwayatkan bahwa beliau mengharamkan Maria atas dirinya sendiri, karena beliau pernah berduaan dengannya di rumah Hafshah, lalu Hafshah cemburu, maka beliau mengharamkannya lalu membayar kafarat. Maka hal ini menunjukkan wajibnya kafarat pada budak perempuan dan makanan, dan kafarat sumpah wajib pada budak perempuan.

وَالثَّانِي: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قال: {قد فرض لكم تحلة أيمانكم} فَدَلَّ بِهَذَا النَّصِّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيمَ عَلَى يَمِينٍ، وَبِمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: (الْحَرَامُ يَمِينٌ تُكَفَّرُ) وَهَذَا نَصٌّ.

Kedua: Bahwa Allah Ta‘ala berfirman: {Sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian penebusan sumpah-sumpah kalian}, maka ayat ini menunjukkan bahwa pengharaman itu adalah sumpah. Dan juga berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbas dari ‘Umar bin al-Khattab – raḍiyallāhu ‘anhumā – bahwa Nabi – ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Pengharaman adalah sumpah yang wajib ditebus.” Dan ini adalah nash.

وَلِأَنَّ مَا أَوْجَبَ كَفَّارَةَ الْيَمِينِ فِي الزَّوْجَةِ وَالْأَمَةِ، كَانَتْ يَمِينًا تُوجِبُ الْكَفَّارَةَ فِي الطَّعَامِ وَالْمَالِ كَالْحَلِفِ بِاللَّهِ تَعَالَى.

Dan karena apa yang mewajibkan kafarat sumpah pada istri dan budak perempuan, maka itu adalah sumpah yang mewajibkan kafarat pada makanan dan harta, sebagaimana bersumpah dengan nama Allah Ta‘ala.

وَدَلِيلُنَا: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {يا أيها النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ، تَبْتَغِي مرضات أزواجك} فَأَنْكَرَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا أَحَلَّهُ لَهُ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيمَ لَمْ يَقَعْ فَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ مَنْ جَعَلَهُ طَلَاقًا وَظِهَارًا، وقَوْله تَعَالَى: {قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ} دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ حَرَّمَ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَهُ، بِيَمِينٍ حَلَفَ بِهَا، فَعُوتِبَ فِي التَّحْرِيمِ، وَأُمِرَ بِالْكَفَّارَةِ فِي الْيَمِينِ، وَلَمْ يَكُنِ التَّحْرِيمُ يَمِينًا، لِأَنَّ الْيَمِينَ إِنَّمَا يَكُونُ خَبَرًا عَنْ مَاضٍ وَوَعْدًا بِمُسْتَقْبَلٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ يَمِينًا، وَيَدُلُّ عَلَى مَا قُلْنَاهُ مَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – قَالَتْ: إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا، وَحَرَّمَ جَارِيَتَهُ يَوْمًا بِيَمِينٍ، وكفر عن تَحْرِيمِهِ. فَبَطَلَ بِهَذَا أَنْ يَكُونَ التَّحْرِيمُ يَمِينًا، أَوْ يَصِيرَ مُؤْلِيًا، وَأَخْبَرَتْ أَنَّهُ كَفَّرَ عَنْ تَحْرِيمِ الْجَارِيَةِ دُونَ الْعَسَلِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الِاعْتِبَارِ، أَنَّ كُلَّ لَفْظٍ عَرَبِيٍّ عَنِ اسْمٍ لِلَّهِ تَعَالَى وَصِفَتِهِ لَمْ تَنْعَقِدْ بِهِ الْيَمِينُ، قِيَاسًا عَلَى كِنَايَاتِ الطَّلَاقِ وَالْعِتَاقِ وَسَائِرِ الْكَلَامِ.

Adapun dalil kami: Firman Allah Ta‘ala: {Wahai Nabi – ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam – mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, demi mencari keridaan istri-istrimu?} Maka Allah Ta‘ala mengingkari Nabi-Nya – ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam – atas apa yang dihalalkan baginya, sehingga menunjukkan bahwa pengharaman itu tidak terjadi. Maka batallah pendapat yang menjadikannya sebagai talak atau zihar. Dan firman-Nya Ta‘ala: {Sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian penebusan sumpah-sumpah kalian} adalah dalil bahwa beliau mengharamkan apa yang Allah halalkan baginya dengan sumpah yang diucapkan, lalu beliau ditegur atas pengharaman itu dan diperintahkan membayar kafarat sumpah, dan pengharaman itu sendiri bukanlah sumpah. Karena sumpah itu hanyalah berupa berita tentang masa lalu atau janji untuk masa depan, maka tidak sah jika dianggap sebagai sumpah. Dan yang menunjukkan apa yang kami katakan adalah riwayat dari ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā – ia berkata: “Rasulullah – ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam – menjauhi istri-istrinya selama sebulan, dan beliau mengharamkan budaknya pada suatu hari dengan sumpah, lalu beliau membayar kafarat atas pengharamannya.” Maka batallah dengan ini bahwa pengharaman itu adalah sumpah atau menjadi mu’li (orang yang melakukan ila’). Ia juga mengabarkan bahwa beliau membayar kafarat atas pengharaman budak, bukan atas madu. Dan hal ini juga dapat dipahami secara qiyās, bahwa setiap lafaz Arab yang berupa nama atau sifat Allah Ta‘ala tidak sah dijadikan sumpah, sebagaimana kinayah dalam talak, ‘itaq, dan ucapan-ucapan lainnya.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ بِهَا، وَقَدْ رَوَى الْحَسَنُ وَقَتَادَةُ وَالشَّعْبِيُّ أَنَّهُ حَرَّمَ مَارِيَةَ عَلَى نَفْسِهِ بِيَمِينٍ حَلَفَ بِهَا.

Adapun jawaban terhadap ayat tersebut adalah sebagaimana yang telah kami kemukakan sebelumnya mengenai pendalilan dengannya. Dan telah diriwayatkan oleh al-Hasan, Qatadah, dan asy-Sya‘bi bahwa beliau (Nabi) mengharamkan Maria atas dirinya sendiri dengan sumpah yang beliau ucapkan.

وَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ، فَقَدْ رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحْرِزٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَقَدْ ذَكَرَ الدَّارَقُطْنِيُّ أَنَّ ابْنَ مُحْرِزٍ ضَعِيفٌ، وَلَمْ يَرَوِهِ عَنْ قَتَادَةَ عَلَى أَنَّهُ يَحْمِلُ قَوْلَهُ: (الْحَرَامُ يَمِينٌ تُكَفَّرُ) ، أَيْ فِي الْحَرَامِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَأَمَّا الْقِيَاسُ بِالْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ أَنَّهُ خَالَفَ اللَّهَ تعالى فانعقدت به اليمين.

Adapun hadis Ibnu ‘Abbas dari ‘Umar, telah diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Muharriz dari Qatadah dari Sa‘id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas, dan ad-Daraquthni telah menyebutkan bahwa Ibnu Muharriz adalah perawi yang lemah, dan tidak meriwayatkannya dari Qatadah. Adapun maksud dari perkataannya: “al-harām adalah sumpah yang harus dibayar kaffarahnya”, yaitu bahwa dalam perkara haram terdapat kewajiban kaffarah sumpah. Adapun qiyās secara makna pada asalnya adalah bahwa ia menyelisihi Allah Ta‘ala, sehingga sumpah itu menjadi sah karenanya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ كُلُّ مَا أَمْلِكُ عَلَيَّ حَرَامٌ يَعْنِي امْرَأَتَهُ وَجَوَارِيَهُ وَمَالَهُ كَفَّرَ عَنِ الْمَرْأَةِ والجواري كفارة يمين وَاحِدَةً وَلَمْ يُكَفِّرْ عَنْ مَالِهِ) .

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Segala yang aku miliki haram atasku,’ yang dimaksud adalah istrinya, budak perempuannya, dan hartanya, maka ia cukup membayar kaffarah sumpah satu kali untuk istri dan budak-budaknya, dan tidak wajib membayar kaffarah atas hartanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا حَرَّمَ عَلَى نَفْسِهِ مَا يَمْلِكُ مِنْ نِسَائِهِ وَجَوَارِيهِ وَأَمْوَالِهِ، فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ فِي الْأَمْوَالِ لِمَا ذَكَرْنَا، وَأَنَّهُ لَا حُرْمَةَ لَهُ وَلَا تَغْلِيظَ وَلَا حَدَّ فِي تَنَاوُلِ مَحْظُورِهِ، وَأَمَّا نِسَاؤُهُ وَجَوَارِيهِ، فَإِنْ أَرَادَ تَحْرِيمَ وَطْئِهِنَّ لَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ، وَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: وهو قوله في القديم، وظاهرة نَصِّهِ هَاهُنَا، عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، لِأَنَّ لَفْظَةَ التَّحْرِيمِ وَاحِدَةٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika seseorang mengharamkan atas dirinya apa yang ia miliki berupa istri, budak perempuan, dan hartanya, maka tidak ada kewajiban kaffarah atas hartanya sebagaimana telah kami sebutkan, karena tidak ada kehormatan, tidak ada penegasan, dan tidak ada had dalam menggunakan sesuatu yang terlarang darinya. Adapun istri dan budak perempuannya, jika ia bermaksud mengharamkan hubungan badan dengan mereka, maka wajib atasnya kaffarah. Dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya, yaitu pendapatnya dalam qaul qadim dan yang tampak dari nash beliau di sini, bahwa ia cukup membayar satu kaffarah saja, karena lafaz pengharamannya hanya satu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ نِسَائِهِ وَجَوَارِيهِ كَفَّارَةٌ، اعْتِبَارًا بِأَعْدَادِهِنَّ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ مُحَرَّمَةٌ، وَمِثْلُهُ مَنْ ظَاهَرَ مِنْ أَرْبَعِ نِسْوَةٍ لَهُ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ كَانَ فِيمَا يَلْزَمُهُ مِنَ الْكَفَّارَةِ قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: ia wajib membayar kaffarah untuk masing-masing istri dan budak perempuannya, berdasarkan jumlah mereka, karena masing-masing dari mereka menjadi haram. Demikian pula seseorang yang melakukan zihar terhadap empat istrinya dengan satu kalimat, maka dalam hal kewajiban kaffarah atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: كَفَارَّةٌ وَاحِدَةٌ، لِأَنَّ اللَّفْظَةَ وَاحِدَةٌ.

Salah satunya: satu kaffarah saja, karena lafaznya satu.

وَالثَّانِي: أَرْبَعُ كَفَّارَاتٍ، بِاعْتِبَارِ أَعْدَادِهِنَّ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ مُحَرَّمَةٌ أَنَّهُ مُظَاهِرٌ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ.

Dan yang kedua: empat kaffarah, berdasarkan jumlah mereka, karena masing-masing dari mereka menjadi haram, dan ia telah melakukan zihar terhadap masing-masing dari mereka.

وَهَكَذَا مَنْ قَذَفَ جَمَاعَةً بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ، كَانَ فِيمَا يَلْزَمُهُ مِنَ الْحَدِّ قَوْلَانِ:

Demikian pula seseorang yang menuduh sekelompok orang dengan satu kalimat, maka dalam hal kewajiban had atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: حَدٌّ وَاحِدٌ، لِأَنَّ اللَّفْظَةَ وَاحِدَةٌ وَالثَّانِي: يُحَدُّ لِكُلِّ وَاحِدٍ حد، لأنه مقذوف في عيشه.

Salah satunya: satu had saja, karena lafaznya satu. Dan yang kedua: dijatuhi had untuk masing-masing orang, karena masing-masing dari mereka telah dituduh dalam kehidupannya.

وَأَمَّا إِذَا حَرَّمَهُنَّ غَيْرَ مُرِيدٍ لِتَحْرِيمِ وَطْئِهِنَّ، فَفِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ قَوْلَانِ: عَلَى مَا مَضَى:

Adapun jika ia mengharamkan mereka tanpa bermaksud mengharamkan hubungan badan dengan mereka, maka dalam kewajiban kaffarah terdapat dua pendapat, sebagaimana telah lalu:

أَحَدُهُمَا: لَا كَفَّارَةَ فِيهِ، وَيَكُونُ لَفْظُ التَّحْرِيمِ كِنَايَةً فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ، لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مَعَ فَقْدِ الْإِرَادَةِ حُكْمٌ.

Salah satunya: tidak ada kaffarah atasnya, dan lafaz pengharaman menjadi kinayah dalam kewajiban kaffarah, sehingga tidak terkait hukum apa pun dengannya jika tidak ada niat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ صَرِيحٌ فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ مَعَ فَقْدِ الْإِرَادَةِ، فَيَجِبُ عَلَيْهِ بِهِ الْكَفَّارَةُ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا يلزمه منها، فمذهب جُمْهُورُهُمْ إِلَى أَنَّهَا عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا لَوْ أَرَادَ بِهِ تَحْرِيمَ وَطْئِهِنَّ:

Pendapat kedua: bahwa lafaz tersebut adalah sharih (jelas) dalam kewajiban kaffarah meskipun tanpa niat, sehingga wajib atasnya kaffarah. Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai berapa jumlah kaffarah yang wajib atasnya; mayoritas mereka berpendapat bahwa dalam hal ini terdapat dua pendapat, sebagaimana jika ia bermaksud mengharamkan hubungan badan dengan mereka:

أَحَدُهُمَا: كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ.

Salah satunya: satu kaffarah saja.

وَالثَّانِي: بِأَعْدَادِهِنَّ.

Dan yang kedua: berdasarkan jumlah mereka.

وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: لَا تَجِبُ عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، قَوْلًا وَاحِدًا، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّهُ فِي إِرَادَةِ التَّحْرِيمِ، يَحْرُمُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، فَجَازَ اعْتِبَارُ الْكَفَّارَةِ بِأَعْدَادِهِنَّ، وَمَعَ فَقْدِ الْإِرَادَةِ، فَالْحُكْمُ فِي الْكَفَّارَةِ مُتَعَلِّقٌ بِاللَّفْظِ دُونَهُنَّ، فَلَمْ يَكُنْ لِاعْتِبَارِ عَدَدِهِنَّ وَجْهٌ، فَلَزِمَهُ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: Tidak wajib atasnya satu kaffarah saja, menurut satu pendapat. Ia membedakan antara keduanya bahwa jika ada niat pengharaman, maka haram bagi masing-masing dari mereka, sehingga boleh mempertimbangkan kaffarah berdasarkan jumlah mereka. Namun jika tanpa niat, maka hukum kaffarah terkait dengan lafaz, bukan dengan mereka, sehingga tidak ada alasan untuk mempertimbangkan jumlah mereka, maka cukup satu kaffarah saja. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال المزني: (وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ وَإِنْ نَوَى إِصَابَةً قُلْنَا أَصِبْ وَكَفِّرْ) .

Al-Muzani berkata: “Dan beliau berkata dalam al-Imla’: Jika ia berniat melakukan hubungan, kami katakan: ‘Lakukanlah dan bayarlah kaffarah.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِنَّمَا أَرَادَ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا، وَإِنْ جَوَّزَ تَقْدِيمَ الْكَفَّارَةِ فِي تَحْرِيمِ الوطئ.

Al-Mawardi berkata: Yang dimaksud asy-Syafi‘i dengan hal ini adalah, meskipun ia membolehkan mendahulukan pembayaran kaffarah dalam pengharaman hubungan badan.

الفرق بينه ونين الظِّهَارِ لِأَنَّهُ فِي الظِّهَارِ تَجِبُ عَلَيْهِ تَقْدِيمُ الْكَفَّارَةِ عَلَى الْوَطْءِ، وَيَعْصِي اللَّهَ تَعَالَى إِنْ أَخَّرَهَا، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا} [المجادلة: 3] وَيَجُوزُ لَهُ فِي تَحْرِيمِ الْوَطْءِ أَنْ يُقَدِّمَ الْإِصَابَةَ وَيُؤَخِّرَ الْكَفَّارَةَ، وَإِنْ تَقَدَّمَ وُجُوبُهَا عَلَى الْإِصَابَةِ، وَجَازَ تَعْجِيلُهَا لِأَنَّهَا غَيْرُ مُقَيَّدَةٍ بِشَرْطٍ.

Perbedaannya dengan zihar adalah bahwa dalam zihar ia wajib mendahulukan pembayaran kafarat sebelum melakukan hubungan suami istri, dan ia berdosa kepada Allah Ta‘ala jika menundanya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur} (QS. Al-Mujadilah: 3). Sedangkan dalam pengharaman hubungan suami istri, ia boleh mendahulukan hubungan dan menunda kafarat, meskipun kewajiban kafarat itu telah ada sebelum hubungan, dan boleh juga mempercepat kafarat karena tidak terikat dengan syarat tertentu.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَلَوْ قَالَ لِنِسَائِهِ: أَنْتُنَّ عَلَيَّ حَرَامٌ يُرِيدُ تَحْرِيمَ وَطْئِهِنَّ، إِنْ أَصَابَهُنَّ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ فِي الْحَالِ حَتَّى يُصِيبَهُنَّ، لِأَنَّهُ جَعَلَ التَّحْرِيمَ مَشْرُوطًا فِي نِيَّتِهِ بِإِصَابَتِهِنَّ، فَإِذَا أَصَابَهُنَّ وَجَبَتِ الْكَفَّارَةُ عَلَيْهِ حِينَئِذٍ وَيُقْبَلُ ذَلِكَ مِنْهُ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، بِخِلَافِ مَا يَنْوِيهِ مِنْ شُرُوطِ الطَّلَاقِ، الَّذِي يُقْبَلُ مِنْهُ فِي الْبَاطِنِ دُونَ الظَّاهِرِ، لِأَنَّ هَذَا مِمَّا يَخْتَصُّ بِوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ الَّتِي هِيَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي يَدِينُ فِيهَا، فَاسْتَوَى فِيهَا حُكْمُ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، وَلَيْسَ كَالْكَلَامِ الَّذِي يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقٌّ لِآدَمِيٍّ، فَجَازَ أَنْ يَخْتَلِفَ فِيهِ حُكْمُ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Jika seseorang berkata kepada istri-istrinya: “Kalian haram bagiku,” dengan maksud mengharamkan hubungan suami istri dengan mereka, maka jika ia berhubungan dengan mereka, tidak ada kafarat yang wajib atasnya saat itu hingga ia benar-benar berhubungan dengan mereka. Sebab, ia menjadikan pengharaman itu dalam niatnya tergantung pada terjadinya hubungan. Maka, apabila ia telah berhubungan dengan mereka, barulah kafarat menjadi wajib atasnya saat itu, dan hal itu diterima darinya baik secara lahir maupun batin, berbeda dengan niat syarat talak, yang hanya diterima secara batin, tidak secara lahir. Karena hal ini berkaitan dengan kewajiban kafarat yang merupakan hak Allah Ta‘ala yang pelaksanaannya bersifat ibadah, maka hukum lahir dan batinnya sama. Tidak seperti ucapan yang berkaitan dengan hak manusia, yang boleh jadi hukum lahir dan batinnya berbeda. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ كَالْمَيْتَةِ وَالدَّمِ فَهُوَ كَالْحَرَامِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata (kepada istrinya): ‘Seperti bangkai dan darah,’ maka hukumnya seperti (ucapan) haram.”

قال الماوردي: إذا قال لزوجته أو لأمته: أنت عليه كَالْمَيْتَةِ وَالدَّمِ، أَوْ كَلَحْمِ الْخِنْزِيرِ، فَهَذَا قَدْ يُسْتَعْمَلُ فِي كِنَايَاتِ الطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ وَالْعِتْقِ، فَإِنْ أَرَادَ بِهِ طَلَاقًا أَوْ ظِهَارًا أَوْ عِتْقًا صَحَّ، وَإِنْ لَمْ يُرِدْ بِهِ ذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.

Al-Mawardi berkata: Jika seseorang berkata kepada istrinya atau budaknya: “Engkau bagiku seperti bangkai dan darah,” atau “seperti daging babi,” maka ucapan ini bisa digunakan sebagai kinayah (sindiran) untuk talak, zihar, atau ‘itq (pembebasan budak). Jika ia bermaksud talak, zihar, atau ‘itq, maka sah. Jika tidak bermaksud demikian, maka keadaannya tidak lepas dari tiga kemungkinan.

أَحَدُهَا: أَنْ يريد به تحريم الوطئ، فَيَكُونُ كِنَايَةً فِيهِ فَتَجِبُ بِهِ الْكَفَّارَةُ، لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ كِنَايَةً فِي الطَّلَاقِ فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ كِنَايَةً فِي تَحْرِيمِ الْوَطْءِ تَجِبُ بِهِ الْكَفَّارَةُ، وَإِنْ لَمْ يَقَعْ بِهِ التَّحْرِيمُ، كَقَوْلِهِ أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ، يُرِيدُ تَحْرِيمَ الْوَطْءِ.

Pertama: Ia bermaksud mengharamkan hubungan suami istri, maka ucapan itu menjadi kinayah untuk maksud tersebut, sehingga wajib baginya membayar kafarat. Karena jika ucapan itu bisa menjadi kinayah untuk talak, maka lebih utama lagi menjadi kinayah untuk pengharaman hubungan suami istri yang mewajibkan kafarat, meskipun tidak terjadi pengharaman secara hakiki, seperti ucapannya: “Engkau haram bagiku,” dengan maksud mengharamkan hubungan suami istri.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ بِهِ لَفْظَ التَّحْرِيمِ، فَيَجْعَلَهُ قَائِمًا مَقَامَ أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْحَرَامَ صَرِيحٌ فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ، كَانَ هَذَا كِنَايَةً عَنْهُ، لِأَنَّ الصَّرِيحَ يُكَنَّى عَنْهُ، فَيَصِيرُ بِالنِّيَّةِ جَارِيًا مَجْرَى قَوْلِهِ: أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ، فَتَكُونُ الْكَفَّارَةُ بِهِ وَاجِبَةً، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْحَرَامَ كِنَايَةٌ فِي الْكَفَّارَةِ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مَعَ فَقْدِ الْإِرَادَةِ حُكْمٌ، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي هَذَا، لِأَنَّ الْكِنَايَةَ لَيْسَ لَهَا كِنَايَةٌ.

Kedua: Ia bermaksud menggunakan lafaz pengharaman, sehingga ucapan itu dianggap sama dengan “Engkau haram bagiku.” Jika kita berpendapat bahwa lafaz “haram” adalah sharih (tegas) dalam mewajibkan kafarat, maka ucapan ini menjadi kinayah darinya, karena sesuatu yang sharih bisa diungkapkan dengan kinayah, sehingga dengan niat, ucapan itu berlaku seperti ucapan “Engkau haram bagiku,” dan kafarat menjadi wajib. Namun jika kita berpendapat bahwa lafaz “haram” adalah kinayah dalam hal kafarat dan tidak menimbulkan hukum tanpa adanya niat, maka tidak ada kewajiban apapun atasnya, karena kinayah tidak memiliki kinayah lagi.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَن لَا يُرِيدَ شَيْئًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْكِنَايَةَ مَعَ فَقْدِ الْإِرَادَةِ لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا حُكْمٌ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Ketiga: Ia tidak bermaksud apa-apa, maka tidak ada kewajiban apapun atasnya, karena kinayah tanpa adanya niat tidak menimbulkan hukum apapun. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ لِزَوْجَتِهِ وَهِيَ مُحْرِمَةٌ، أو حائض أو في عدة عن طَلَاقٍ رَجْعِيٍّ، أَوْ فِي ظِهَارٍ لَمْ يُكَفِّرْ عَنْهُ: أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ، يُرِيدُ تَحْرِيمَ وَطْئِهَا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ، لِأَنَّ وَطْأَهَا مُحَرَّمٌ عَلَيْهِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لِأَمَتِهِ، وَقَدْ زَوَّجَهَا أَوْ كَاتَبَهَا. أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ، يُرِيدُ تَحْرِيمَ وطئها، لم تلزمه الكفارة، لأن وطئها مُحَرَّمٌ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَالَ ذَلِكَ لَهُمَا: وَهُمَا عَلَى الْحَالِ الَّتِي ذَكَرْنَا، لَا يُرِيدُ تَحْرِيمَ وَطْئِهَا، فَإِنْ جَعَلْنَا اللَّفْظَ صَرِيحًا فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ وَجَبَتْ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْحُكْمَ يَصِيرُ مُعَلَّقًا بِاللَّفْظِ وَإِنْ جَعَلْنَاهُ كِنَايَةً فِيهِمَا، لَمْ تَجِبْ عليه.

Jika seseorang berkata kepada istrinya yang sedang ihram, atau haid, atau dalam masa iddah talak raj‘i, atau dalam zihar yang belum dibayar kafaratnya: “Engkau haram bagiku,” dengan maksud mengharamkan hubungan suami istri dengannya, maka tidak wajib atasnya kafarat, karena hubungan suami istri dengannya memang haram baginya. Demikian pula jika ia berkata kepada budaknya yang telah ia nikahkan atau ia mukatabkan: “Engkau haram bagiku,” dengan maksud mengharamkan hubungan suami istri dengannya, maka tidak wajib atasnya kafarat, karena hubungan suami istri dengannya memang haram baginya. Namun jika ia mengucapkan itu kepada keduanya dalam keadaan yang telah disebutkan, tanpa bermaksud mengharamkan hubungan suami istri, maka jika kita menganggap lafaz itu sharih dalam mewajibkan kafarat, maka kafarat menjadi wajib atasnya, karena hukum menjadi tergantung pada lafaz. Namun jika kita menganggapnya sebagai kinayah dalam kedua keadaan tersebut, maka tidak wajib atasnya kafarat.

(فصل:)

(Fasal:)

وإذا قال زوجته: فَرَجُكِ عَلَيَّ حَرَامٌ أَوْ قَالَ: رَأْسُكِ عَلَيَّ حَرَامٌ فَهُمَا سَوَاءٌ وَلَيْسَ لِذِكْرِ الْفَرْجِ زِيَادَةُ حُكْمٍ، لِأَنَّهُ بَعْضُهَا كَرَأْسِهَا، فَدَخَلَا فِي قَوْلِهِ: أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ، فَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُهُ وَإِنْ كَانَ لَفْظُ التَّحْرِيمِ أَعَمَّ، فَإِنْ أَرَادَ بِتَحْرِيمِ الْفَرْجِ وَالرَّأْسِ تَحْرِيمَ الْوَطْءِ، لَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ فَعَلَى قَوْلَيْنِ، وَلَوْ قَالَ بَطْنُكِ عَلَيَّ حَرَامٌ، كَانَ صَرِيحًا فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ لِانْتِفَاءِ الِاحْتِمَالِ عَنْهُ.

Jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Kemaluanmu haram atasku” atau berkata: “Kepalamu haram atasku”, maka keduanya sama saja, dan penyebutan kemaluan tidak menambah hukum apa pun, karena itu adalah bagian dari dirinya, seperti halnya kepala. Maka keduanya termasuk dalam ucapannya: “Engkau haram atasku”, sehingga berlaku hukum yang sama atasnya, meskipun lafaz pengharaman lebih umum. Jika ia bermaksud dengan pengharaman kemaluan dan kepala itu adalah pengharaman jima‘ (hubungan badan), maka wajib baginya membayar kafārah. Namun jika ia tidak memiliki maksud tertentu, maka ada dua pendapat. Dan jika ia berkata: “Perutmu haram atasku”, maka itu adalah lafaz yang jelas (ṣarīḥ) dalam mewajibkan kafārah, karena tidak ada kemungkinan makna lain darinya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَلَوْ قَالَ أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ طَالِقٌ، وَلَا نِيَّةَ لَهُ طُلِّقَتْ، وَلَمْ تَلْزَمْهُ الْكَفَّارَةُ، وَصَارَ مَا تَعَقَّبَ التَّحْرِيمَ مِنَ الطَّلَاقِ تَفْسِيرًا لَهُ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ وَأَنْتِ طَالِقٌ، لَمْ يَصِرِ الطَّلَاقُ تَفْسِيرًا لِاسْتِئْنَافِهِ بِلَفْظٍ مُبْتَدَأٍ، وَلَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ فِي التَّحْرِيمِ، عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.

Jika ia berkata: “Engkau haram atasku, talak”, dan ia tidak berniat apa-apa, maka istrinya tertalak dan ia tidak wajib membayar kafārah. Maka apa yang mengikuti lafaz pengharaman berupa talak menjadi penjelas baginya. Namun jika ia berkata: “Engkau haram atasku dan engkau talak”, maka talak tidak menjadi penjelas karena diucapkan dengan lafaz yang baru, dan ia wajib membayar kafārah atas pengharaman itu menurut salah satu dari dua pendapat.

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ كَظَهْرِ أُمِّي، وَلَا نِيَّةَ لَهُ، كَانَ مُظَاهِرًا وَلَمْ تَلْزَمْهُ بِالتَّحْرِيمِ كَفَّارَةٌ، لِأَنَّهُ قَدْ تَفَسَّرَ إِطْلَاقُهُ، بِقَوْلِهِ: كَظَهْرِ أُمِّي، فَيَكُونُ ظِهَارًا، وَلَا يَكُونُ طَلَاقًا.

Jika ia berkata: “Engkau haram atasku seperti punggung ibuku”, dan ia tidak berniat apa-apa, maka ia menjadi muzhāhir (melakukan ẓihār) dan tidak wajib membayar kafārah atas pengharaman itu, karena ucapannya telah dijelaskan dengan perkataannya: “seperti punggung ibuku”, sehingga menjadi ẓihār dan bukan talak.

وَالثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ، الطَّلَاقَ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ عَلَيَّ حرام، فيكون مطلقاً مظاهراً.

Yang kedua: jika ia bermaksud talak dengan ucapannya: “Engkau haram atasku”, maka ia menjadi orang yang mentalak sekaligus muzhāhir.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فأما ما لا يشبه الطلاق مثل قوله بَارَكَ اللَّهُ فِيكِ أَوِ اسْقِينِي أَوْ أَطْعَمِينِي أَوِ ارْوِينِي أَوْ زَوِّدِينِي وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ فَلَيْسَ بِطَلَاقٍ وَإِنْ نَوَاهُ وَلَوْ أَجَزْتُ النِّيَّةَ بِمَا لَا يُشْبِهُ الطَّلَاقَ أَجَزْتُ أَنْ يُطَلِّقَ فِي نَفْسِهِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Adapun ucapan yang tidak menyerupai talak, seperti ucapannya: ‘Semoga Allah memberkahimu’, atau ‘Berilah aku minum’, atau ‘Berilah aku makan’, atau ‘Berilah aku air’, atau ‘Bekalilah aku’, dan yang semisalnya, maka itu bukanlah talak meskipun ia meniatkannya. Seandainya aku membolehkan niat pada sesuatu yang tidak menyerupai talak, berarti aku membolehkan seseorang mentalak hanya dalam hatinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْأَلْفَاظَ فِي الطَّلَاقِ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: صَرِيحٌ وَقَدْ مَضَى، وَكِنَايَةٌ وَقَدْ تَقَدَّمَ، وَمَا لَيْسَ بِصَرِيحٍ وَلَا كِنَايَةٍ، وَهُوَ هَذَا، كَقَوْلِهِ: أَطْعِمِينِي أَوِ اسْقِينِي أَوْ زَوِّدِينِي وَمَا أَحْسَنَ عِشْرَتَكِ وَمَا أَظْهَرَ أَخْلَاقَكِ، وَمَا جَرَى مَجْرَى هَذِهِ الْأَلْفَاظِ الَّتِي تُوضَعُ لِلْفُرْقَةِ وَلَا تَتَضَمَّنُ مَعْنَى الْبُعْدِ، فَلَا يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ، سَوَاءٌ نَوَاهُ أَوْ لَمْ يَنْوِهِ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ لوقَوعَ بِمَا لا يتضمن معنى الفرقة، لوقع بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، وَقَدْ رَدَدْنَا عَلَى مَالِكٍ فِي إِيقَاعِهِ الطَّلَاقَ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ، وَهُوَ قَوْلُ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa lafaz-lafaz dalam talak terbagi menjadi tiga bagian: ṣarīḥ (jelas) dan telah dijelaskan sebelumnya, kināyah (sindiran) dan telah dijelaskan juga, dan yang bukan ṣarīḥ maupun kināyah, yaitu seperti ini, seperti ucapannya: “Berilah aku makan” atau “Berilah aku minum” atau “Bekalilah aku”, atau “Alangkah baiknya pergaulanmu”, atau “Alangkah mulianya akhlakmu”, dan ucapan-ucapan lain yang serupa yang digunakan untuk perpisahan namun tidak mengandung makna menjauh, maka talak tidak jatuh dengan ucapan-ucapan itu, baik ia meniatkannya maupun tidak, karena jika talak bisa jatuh dengan sesuatu yang tidak mengandung makna perpisahan, maka talak bisa jatuh hanya dengan niat saja. Kami telah membantah pendapat Malik yang membolehkan jatuhnya talak hanya dengan niat, dalam salah satu riwayat darinya, dan itu juga pendapat Muhammad bin Sirin.

فَأَمَّا إِذَا قَالَ لَهَا: اطْعَمِي أَوِ اشْرَبِي، كَانَ كِنَايَةً يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ، إِذَا نَوَاهُ.

Adapun jika ia berkata kepada istrinya: “Makanlah” atau “Minumlah”, maka itu adalah kināyah yang bisa menyebabkan jatuhnya talak jika ia meniatkannya.

وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: لَا يَكُونُ كِنَايَةً كَمَا قَالَ أَطْعِمِينِي وَاسْقِينِي، وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ قَوْلَهُ اطعمني وَاشْرَبِي، يَتَضَمَّنُ مَعْنَى الْبُعْدِ، لِأَنَّ مَعْنَاهُ اطْعَمِي مالك وَاشْرَبِي شَرَابَكِ وَهِيَ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي الْأَغْلَبِ، إِذَا خَلَتْ مِنْ زَوْجٍ، وَقَوْلُهُ: أَطْعِمِينِي وَاسْقِينِي، إذناً لها وتقريب، فجرى هذا مجرى قوله اقري، وَلَيْسَ بِكِنَايَةٍ وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى قَوْلِهِ اذْهَبِي، وَهِيَ كِنَايَةٌ، وَلَوْ قَالَ: تَجَرَّعِي وَتَفَصَّصِي، كَانَ كِنَايَةً، وَافَقَ عَلَيْهِ أَبُو إِسْحَاقَ، وَلَوْ قَالَ: جَرِّعِينِي وَغَصِّصِينِي كَانَ فِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Itu bukan kināyah, sebagaimana ucapannya: “Berilah aku makan” dan “Berilah aku minum”. Ini adalah pendapat yang lemah, karena ucapannya “Berilah aku makan” dan “Berilah aku minum” mengandung makna menjauh, karena maksudnya adalah: “Makanlah makananmu dan minumlah minumanmu”, dan biasanya itu dilakukan oleh seorang wanita ketika ia tidak lagi bersama suaminya. Sedangkan ucapannya: “Berilah aku makan” dan “Berilah aku minum” adalah izin dan pendekatan, sehingga ini seperti ucapannya: “Bacakanlah (Al-Qur’an) untukku”, dan itu bukan kināyah. Ini seperti ucapannya: “Pergilah”, dan itu adalah kināyah. Jika ia berkata: “Minumlah sendiri” atau “Makanlah sendiri”, maka itu adalah kināyah, dan Abu Ishaq menyetujuinya. Jika ia berkata: “Buatlah aku tersedak” atau “Buatlah aku tercekik”, maka menurut ulama kami ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَكُونُ كِنَايَةً، كَمَا لَوْ قَالَ: أَطْعِمِينِي وَاسْقِينِي.

Salah satunya: Itu bukan kināyah, sebagaimana jika ia berkata: “Berilah aku makan” dan “Berilah aku minum”.

وَالثَّانِي: يَكُونُ كِنَايَةً، لِأَنَّ مَعْنَاهُ جَرَّعَنِي فرقاك، وَغَصَّصْتِينِي لِبِعَادِكِ، وَلَوْ قَالَ لَهَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكِ، لَا يَكُونُ كِنَايَةً وَلَوْ قَالَ: بَارَكَ اللَّهُ لَكِ، كَانَ كِنَايَةً، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مَا ذَكَرْنَاهُ.

Yang kedua: Itu adalah kināyah, karena maksudnya adalah: “Engkau membuatku tersedak karena perpisahanmu” dan “Engkau membuatku tercekik karena jauhnya dirimu”. Jika ia berkata kepada istrinya: “Semoga Allah memberkahimu”, itu bukan kināyah. Namun jika ia berkata: “Semoga Allah memberkahimu (dengan laki-laki lain)”, maka itu adalah kināyah. Perbedaannya telah kami sebutkan sebelumnya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَأَمَّا إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ الطَّلَاقُ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، هَلْ يَكُونُ صَرِيحًا، لِأَنَّ الطَّلَاقَ صَرِيحٌ، فَعَلَى هَذَا يطَلقُ وَاحِدَةً، إِلَّا أَنْ يُرِيدَ أَكْثَرَ مِنْهَا.

Adapun jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau adalah talak”, maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah ini termasuk lafaz sharih (jelas), karena kata “talak” itu sendiri adalah lafaz sharih. Maka menurut pendapat ini, jatuhlah satu talak, kecuali jika ia bermaksud lebih dari itu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تَكُونُ كِنَايَةً، لِأَنَّهَا فِي نَفْسِهَا لَا تَكُونُ طَلَاقًا، وَإِنَّمَا يَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا إِذَا أَوْقَعَهُ، فَلِذَلِكَ صَارَ كِنَايَةً فَيُرْجَعُ فِيهِ إِلَى إِرَادَتِهِ، فَإِنْ لَمْ يُرِدْ بِهِ الطَّلَاقَ لَمْ يَقَعْ.

Pendapat kedua: itu dianggap sebagai kinayah (lafaz sindiran), karena pada hakikatnya kata tersebut bukanlah talak, dan talak hanya terjadi jika ia menjatuhkannya (dengan niat talak). Oleh karena itu, ia menjadi kinayah dan dikembalikan kepada niat suami; jika ia tidak berniat talak dengan ucapan itu, maka talak tidak terjadi.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لِلَّتِي لَمْ يَدْخُلْ بِهَا أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا لِلسُّنَّةِ وَقَعْنَ مَعًا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata kepada istrinya yang belum digauli, ‘Engkau aku talak tiga karena mengikuti sunnah’, maka jatuhlah ketiganya sekaligus.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا طَلَّقَ غَيْرَ الْمَدْخُولِ بِهَا ثَلَاثًا، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَقَالَ عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ: وَالْمَغْرِبِيُّ تُطَلَّقُ وَاحِدَةً، لِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ، فَلَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا بَعْدَ الْبَيْنُونَةِ بِقَوْلِهِ ثَلَاثًا شَيْءٌ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ وُقُوعَ الثَّلَاثِ هُوَ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ، لِاحْتِمَالِهِ الْعَدَدَ، وَقَوْلُهُ ثَلَاثًا تَفْسِيرًا مِنْهُ لِلْعَدَدِ الْمُرَادِ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ، وَلِذَلِكَ جَاءَ بِهِ مَنْصُوبًا، لِكَوْنِهِ تَفْسِيرًا، كَمَا لَوْ قَالَ لَهُ: عَلَيَّ عِشْرُونَ دِرْهَمًا، صَارَ الدِّرْهَمُ لِكَوْنِهِ مَنْصُوبًا، تَفْسِيرًا لِلْعَدَدِ كَذَلِكَ الثَّلَاثُ تَفْسِيرا لِلْعَدَدِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun jika seseorang menalak istrinya yang belum digauli sebanyak tiga kali, maka jatuhlah tiga talak, dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Namun ‘Atha’ bin Yasar dan al-Maghribi berpendapat: jatuh satu talak saja, karena dengan ucapan “Engkau aku talak” sudah terjadi perpisahan (bain), sehingga setelah terjadi bain, ucapan “tiga kali” tidak lagi berpengaruh. Pendapat ini tidak benar, karena jatuhnya tiga talak itu berdasarkan ucapannya “Engkau aku talak”, yang mengandung kemungkinan jumlah, dan ucapannya “tiga kali” merupakan penjelasan dari jumlah yang dimaksud dalam ucapan “Engkau aku talak”. Oleh karena itu, kata “tiga kali” disebut dalam bentuk manshub (sebagai penjelasan), sebagaimana jika seseorang berkata: “Aku berutang dua puluh dirham”, maka kata “dirham” dalam bentuk manshub sebagai penjelasan jumlah, demikian pula “tiga kali” sebagai penjelasan jumlah.

وَقَدْ حُكِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا، إِذَا طُلِّقَتْ ثلاثاً، قال عطاء بن يسار: فقلت ولاثنتين، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: وَأَمَّا هِيَ الْوَاحِدَةُ بَيَّنَتْهَا، وَالثَّلَاثُ تُحَرِّمُهَا حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa ia pernah ditanya tentang wanita yang belum digauli, jika ditalak tiga kali. ‘Atha’ bin Yasar berkata: “Aku bertanya, bagaimana jika dua kali?” Abdullah bin Umar menjawab: “Adapun satu kali, maka itu sudah memutuskan hubungan (bain), sedangkan tiga kali menjadikannya haram (untuk dinikahi kembali) sampai ia menikah dengan suami lain.”

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ طَلَاقَ الثَّلَاثِ: يَقَعُ عَلَى غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا، كَوُقُوعِهِ عَلَى الْمَدْخُولِ بِهَا فَقَالَ لَهَا وَهِيَ غَيْرُ مَدْخُولٍ بِهَا، أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا لِلسُّنَّةِ، وَقَعْنَ مَعًا فِي الْحَالِ، عَلَى أَيِّ حَالٍ كَانَتْ مِنْ حَيْضٍ أَوْ طُهْرٍ، لِأَنَّنَا قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ غَيْرَ الْمَدْخُولِ بِهَا، لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهَا وَلَا بِدْعَةَ، وَلَيْسَ عِنْدَنَا فِي عَدَدِ الطَّلَاقِ سُنَّةٌ وَلَا بِدْعَةٌ، وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ، أَنَّهَا تُطَلَّقُ وَاحِدَةً تَبِينُ بِهَا وَلَا يَقَعُ عَلَيْهَا غَيْرُهَا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ، فِي أَنَّ طَلَاقَ الثَّلَاثِ بِدْعَةٌ، وَأَنَّ السُّنَّةَ فِيهِ، أَنْ تَقَعَ فِي كُلِّ قُرْءٍ طَلْقَةٌ، وَهِيَ بِالطَّلْقَةِ الْأُولَى قَدْ بَانَتْ، فَلَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا غَيْرُهَا، وَقَدْ مضى الكلام معه.

Jika telah dipastikan bahwa talak tiga jatuh pada wanita yang belum digauli, sebagaimana jatuhnya pada wanita yang sudah digauli, maka jika seseorang berkata kepada istrinya yang belum digauli: “Engkau aku talak tiga karena mengikuti sunnah”, maka jatuhlah ketiganya sekaligus pada saat itu juga, dalam keadaan apapun, baik sedang haid maupun suci. Karena telah disebutkan bahwa pada wanita yang belum digauli, tidak ada sunnah maupun bid‘ah dalam talak, dan menurut kami, dalam jumlah talak tidak ada sunnah maupun bid‘ah. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ia hanya jatuh satu talak yang menyebabkan perpisahan (bain), dan tidak jatuh talak lainnya, berdasarkan pendapat dasarnya bahwa talak tiga adalah bid‘ah, dan sunnahnya adalah menjatuhkan satu talak pada setiap kali suci, dan dengan satu talak pertama sudah terjadi perpisahan, sehingga talak lainnya tidak jatuh. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ، وَقَعَتِ الْأُولَى وَبَانَتْ بِلَا عِدَّةٍ. وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau aku talak, engkau aku talak, engkau aku talak’, maka jatuhlah talak pertama dan terjadi perpisahan tanpa masa iddah. Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala Maha Mengetahui.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا فِي غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا، إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ، أَنْتِ طَالِقٌ، أَنْتِ طَالِقٌ، مُرِيدًا بِالثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ الِاسْتِئْنَافَ، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً بِاللَّفْظِ الْأَوَّلِ، وَلَمْ تَقَعْ بِالثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ لِأَنَّهَا بِالْأُولَى بَانَتْ.

Al-Mawardi berkata: Ini berlaku pada wanita yang belum digauli, jika seseorang berkata kepadanya: “Engkau aku talak, engkau aku talak, engkau aku talak”, dengan maksud memulai (talak baru) pada ucapan kedua dan ketiga, maka jatuh satu talak saja dengan ucapan pertama, dan tidak jatuh talak pada ucapan kedua dan ketiga, karena dengan talak pertama sudah terjadi perpisahan.

وَقَالَ مَالِكٌ: تُطَلَّقُ ثَلَاثًا إِذَا قَالَ لَهَا: مُتَّصِلًا لِأَنَّ بَعْضَ الْكَلَامِ مُرْتَبِطٌ بِبَعْضٍ، وَحُكْمُ أَوَّلِهِ مَوْقُوفٌ عَلَى آخِرِهِ، فَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّهُ طَلَاقٌ مُرَتَّبٌ قُدِّمَ بَعْضُهُ عَلَى بَعْضٍ فَإِذَا وَقَعَ مَا تَقَدَّمَ مِنْهُ مَنْعَ مِنْ وُقُوعِ مَا تأخر عنه، وَخَالَفَ قَوْلَهُ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا، لِأَنَّهُنَّ وَقَعْنَ مَعًا بِاللَّفْظِ الْأَوَّلِ مِنْ غَيْرِ تَرْتِيبٍ، وَحُكِيَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّهَا تُطَلَّقُ ثَلَاثًا كَقَوْلِ مَالِكٍ فَخَرَّجَهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ قَوْلًا ثَانِيًا، وَأَبَاهُ سَائِرُ أَصْحَابِنَا وَجَعَلُوهُ جَوَابَهُ عَنْ مَالِكٍ.

Malik berkata: Talak dijatuhkan tiga kali jika ia mengatakan kepadanya secara bersambung, karena sebagian ucapan itu saling berkaitan satu sama lain, dan hukum awalnya bergantung pada akhirnya, sehingga hal itu sama dengan ucapannya: “Engkau tertalak tiga kali.” Namun, ini tidak sah, karena ini adalah talak yang berurutan, sebagian didahulukan atas sebagian yang lain, sehingga apabila bagian yang didahulukan telah jatuh, maka mencegah jatuhnya bagian yang diakhirkan. Ini berbeda dengan ucapannya: “Engkau tertalak tiga kali,” karena ketiganya jatuh sekaligus dengan lafaz pertama tanpa urutan. Diriwayatkan dari asy-Syafi‘i dalam pendapat lama: bahwa ia juga menjatuhkan talak tiga seperti pendapat Malik, dan hal ini dijadikan oleh Ibnu Abi Hurairah sebagai pendapat kedua, namun mayoritas ulama kami menolaknya dan menjadikannya sebagai jawaban beliau terhadap Malik.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا قَالَ لِغَيْرِ مَدْخُولٍ بِهَا: أنت طالق طَلْقَتَيْنِ وَلَمْ تَقَعْ عَلَيْهَا الثَّالِثَةُ لِانْفِرَادِهَا عَنْ مَا قَبْلَهَا بِوَاوِ الْعَطْفِ، وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا نِصْفَ وَاحِدَةٍ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا لِأَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ الِاسْتِثْنَاءِ، طَلْقَتَانِ وَنِصْفٌ بكلمة واحدة فكلمت ثَلَاثًا.

Apabila ia berkata kepada wanita yang belum digauli: “Engkau tertalak dua kali,” maka talak ketiga tidak jatuh padanya karena terpisahnya dengan huruf ‘wawu’ (dan) sebagai penghubung. Dan jika ia berkata kepadanya: “Engkau tertalak tiga kali kecuali setengah satu,” maka ia tertalak tiga kali, karena sisa setelah pengecualian adalah dua setengah talak dalam satu kata, sehingga dihitung tiga talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا قَالَ لِغَيْرِ مَدْخُولٍ بِهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً بَعْدَهَا وَاحِدَةً، فَهِيَ طَالِقٌ وَاحِدَةً لَيْسَ بَعْدَهَا شَيْءٌ، لِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ بِالْوَاحِدَةِ. وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً قَبْلَهَا وَاحِدَةٌ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Apabila ia berkata kepada wanita yang belum digauli: “Engkau tertalak satu kali, setelahnya satu kali,” maka ia tertalak satu kali dan tidak ada lagi setelahnya, karena ia telah menjadi asing (bukan istri) dengan satu talak. Dan jika ia berkata kepadanya: “Engkau tertalak satu kali, sebelumnya satu kali,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا يُوجِبُ وُقُوعَ طَلْقَةٍ قَبْلَهَا وَوُقُوعَ مَا قَبْلَهَا يَمْنَعُ مِنْ وُقُوعِهَا، فَاقْتَضَى تَنَافِي الدَّوْرِ وإِسْقَاطَ الْجَمِيعِ.

Salah satunya: Tidak jatuh talak atasnya, karena jatuhnya talak atasnya mengharuskan jatuhnya satu talak sebelumnya, dan jatuhnya yang sebelumnya mencegah jatuhnya yang sesudahnya, sehingga terjadi kontradiksi dan menggugurkan semuanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهَا تُطَلَّقُ وَاحِدَةً لَيْسَ قَبْلَهَا شَيْءٌ، لِأَنَّ وُقُوعَ مَا قَبْلَهَا مُوجِبٌ لِإِسْقَاطِهَا، وَإِسْقَاطَ مَا قَبْلَهَا يُوجِبُ إِثْبَاتَهَا، وَإِسْقَاطَ مَا قَبْلَهَا، وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً مَعَهَا وَاحِدَةٌ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: Ia tertalak satu kali, tidak ada sesuatu pun sebelumnya, karena jatuhnya yang sebelumnya menyebabkan gugurnya yang sesudahnya, dan gugurnya yang sebelumnya menyebabkan tetapnya yang sesudahnya, dan gugurnya yang sebelumnya. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak satu kali bersamanya satu kali,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُطَلَّقُ طَلْقَتَيْنِ، لِأَنَّهُمَا يَقَعَانِ مَعًا لَا تَتَقَدَّمُ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى، فَصَارَ كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ طَلْقَتَيْنِ.

Salah satunya: Ia tertalak dua kali, karena keduanya jatuh bersamaan, tidak ada yang mendahului yang lain, sehingga sama dengan ucapannya: “Engkau tertalak dua kali.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْمُزَنِيِّ أَنَّهَا تُطَلَّقُ وَاحِدَةً، لَيْسَ مَعَهَا شَيْءٌ، لِأَنَّهُ قَدْ أَفْرَدَهَا، فَصَارَ كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً بَعْدَهَا وَاحِدَةٌ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat al-Muzani: Ia tertalak satu kali, tidak ada sesuatu pun bersamanya, karena ia telah mengkhususkannya, sehingga sama dengan ucapannya: “Engkau tertalak satu kali, setelahnya satu kali.”

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا وَهِيَ غَيْرُ مَدْخُولٍ بِهَا: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، ثُمَّ قَالَ لَهَا: إذا دخلت فأنت طالق ثنتين، فَدَخَلَتِ الدَّارَ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا لِوُقُوعِهِنَّ مَعًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ.

Jika ia berkata kepadanya, sementara ia belum digauli: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak satu kali,” kemudian ia berkata lagi: “Jika engkau masuk, maka engkau tertalak dua kali,” lalu ia masuk ke rumah, maka ia tertalak tiga kali karena semuanya jatuh bersamaan dalam satu keadaan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ، فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، مَعَهَا وَاحِدَةٌ، فَدَخَلَتِ الدار، طلقت ثنتين لِوُقُوعِهِمَا مَعًا، وَلَوْ قَالَ: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، بَعْدَهَا وَاحِدَةٌ طُلِّقَتْ بِدُخُولِ الدَّارِ وَاحِدَةً، لَيْسَ بَعْدَهَا شَيْءٌ، لِأَنَّهُ رَتَّبَهُمَا. وَلَوْ قَالَ: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً قَبْلَهَا وَاحِدَةٌ، كَانَ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Jika ia berkata: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak satu kali, bersamanya satu kali,” lalu ia masuk ke rumah, maka ia tertalak dua kali karena keduanya jatuh bersamaan. Dan jika ia berkata: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak satu kali, setelahnya satu kali,” maka dengan masuk ke rumah ia tertalak satu kali, tidak ada lagi setelahnya, karena ia telah mengurutkannya. Dan jika ia berkata: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak satu kali, sebelumnya satu kali,” maka hukumnya seperti dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا لَا تُطَلَّقُ بِدُخُولِ الدَّارِ أَصْلًا.

Salah satunya: Bahwa ia tidak tertalak sama sekali dengan masuk ke rumah.

وَالثَّانِي: تُطَلَّقُ وَاحِدَةً لَيْسَ قَبْلَهَا شيء.

Dan yang kedua: Ia tertalak satu kali, tidak ada sesuatu pun sebelumnya.

وَلَوْ قَالَ: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ طَالِقٌ، فَدَخَلَتِ الدَّارَ فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا أَنْ يَقَعَ عَلَيْهَا بِدُخُولِ الدَّارِ طَلْقَتَانِ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَقَعُ بِدُخُولِ الدَّارِ مِنْ غَيْرِ تَرْتِيبٍ.

Dan jika ia berkata: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak, tertalak,” lalu ia masuk ke rumah, maka dalam hal ini ada dua pendapat: Salah satunya, jatuh atasnya dua talak dengan masuk ke rumah, karena masing-masing jatuh dengan masuk ke rumah tanpa urutan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَقَعُ عَلَيْهَا إِلَّا طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ، كَمَا لَوْ قَالَ لَهَا مُوَاجَهَةً: أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ، لَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا إِلَّا وَاحِدَةٌ، وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّهُ فِي الْمُوَاجَهَةِ يَتَرَتَّبُ وَفِي تَعْلِيقِهِ بِدُخُولِ الدَّارِ غَيْرُ مُرَتَّبٍ وَلَعَلَّ قَائِلَ هَذَا الْوَجْهِ، أَوْقَعَ الْوَاحِدَةَ، لِأَنَّ الْمُوَاجَهَةَ عِنْدَهُ، تُوجِبُ التَّرْتِيبَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Tidak jatuh atasnya kecuali satu talak saja, sebagaimana jika ia berkata kepadanya secara langsung: “Engkau tertalak dan tertalak,” maka tidak jatuh atasnya kecuali satu talak saja. Pendapat ini tidak benar, karena dalam pernyataan langsung berlaku urutan, sedangkan dalam pengaitan dengan masuk rumah tidak ada urutan. Barangkali orang yang berpendapat demikian hanya menetapkan satu talak, karena menurutnya pernyataan langsung mewajibkan adanya urutan. Allah Maha Mengetahui.

(باب الطلاق بالوقت وطلاق المكره وغيره من كتاب إباحة الطلاق والإملاء وغيرهما)

(Bab Talak dengan Penentuan Waktu dan Talak Orang yang Dipaksa serta Lainnya, dari Kitab Kebolehan Talak, Al-Imlā’, dan selainnya)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَأَيُّ أَجَلٍ طَلَّقَ لَمْ يَلْزَمْهُ قَبْلَ وَقْتِهِ) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Talak yang dijatuhkan dengan penentuan waktu tertentu, tidak menjadi wajib sebelum waktunya tiba.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. الطَّلَاقُ يَقَعُ نَاجِزًا وَعَلَى صِفَةٍ، وَإِلَى أَجَلٍ، فَوُقُوعُهُ نَاجِزًا أَنْ يَقُولَ: أَنْتِ طَالِقٌ فَتَقَعُ بِمُجَرَّدِ اللَّفْظِ، وَوُقُوعُهُ عَلَى صِفَةٍ أَنْ يَقُولَ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ إِنْ قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ قَبْلَ وُجُودِ الصِّفَةِ، سَوَاءٌ بِصِفَةٍ مُضَافَةٍ إِلَيْهَا بِدُخُولِ الدَّارِ، أَوْ مُضَافَةٍ إِلَى غَيْرِهَا كَقُدُومِ زَيْدٍ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَأَمَّا تَعْلِيقُهُ بِأَجَلٍ فَكَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِلَى بَعْدِ شَهْرٍ، أَوْ إِلَى سَنَةٍ، أَوْ رَأْسِ الشَّهْرِ فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا قَبْلَ حُلُولِ الْأَجَلِ، سَوَاءٌ كَانَ الْأَجَلُ مَعْلُومًا أَوْ مَجْهُولًا وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ، وَقَالَ مَالِكٌ: يَقَعُ الطَّلَاقُ مُعَجَّلًا، اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Talak dapat terjadi secara langsung, dengan syarat tertentu, atau dengan penentuan waktu. Talak yang terjadi secara langsung adalah jika seseorang berkata: “Engkau tertalak,” maka talak jatuh seketika dengan ucapan tersebut. Talak yang terjadi dengan syarat adalah jika ia berkata: “Jika engkau masuk ke dalam rumah, maka engkau tertalak,” atau “Jika Zaid datang, maka engkau tertalak,” maka talak tidak jatuh sebelum syarat tersebut terpenuhi, baik syarat itu terkait dengannya seperti masuk rumah, maupun terkait dengan selainnya seperti kedatangan Zaid. Hal ini telah menjadi kesepakatan. Adapun talak yang digantungkan pada waktu tertentu, seperti ia berkata: “Engkau tertalak setelah sebulan,” atau “setelah setahun,” atau “pada awal bulan,” maka talak tidak jatuh atasnya sebelum waktu yang ditentukan tiba, baik waktu itu diketahui maupun tidak diketahui. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Hanifah dan mayoritas fuqaha. Malik berkata: Talak jatuh seketika, dengan dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَصِيرُ نِكَاحًا إِلَى مُدَّةٍ وَهَذَا بَاطِلٌ كَالْمُتْعَةِ.

Pertama: Karena hal itu menjadikan pernikahan seperti nikah mu‘aqqat (nikah dengan batas waktu), dan ini batal seperti nikah mut‘ah.

وَالثَّانِي: أَنَّ عَقْدَ التَّحْرِيمِ إِلَى أَجَلٍ، يُوجِبُ تَعْجِيلَهُ كَالْمُكَاتَبَةِ لَمَّا أَوْجَبَتِ الْكِتَابَةُ تَحْرِيمَهَا بِالْعِتْقِ بَعْدَ الْأَدَاءِ، تُعَجِّلُ تَحْرِيمَهَا بِنَفْسِ الْكِتَابَةِ قَبْلَ الْأَدَاءِ.

Kedua: Karena akad pengharaman yang digantungkan pada waktu tertentu mewajibkan percepatan pengharaman, seperti dalam kasus mukatabah, ketika akad mukatabah mewajibkan pengharaman budak perempuan dengan kemerdekaan setelah pembayaran, maka pengharaman itu dipercepat dengan akad mukatabah itu sendiri sebelum pembayaran.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ تَعْلِيقُ طَلَاقٍ بِشَرْطٍ، فَوَجَبَ أَن لَا يَقَعَ قَبْلَ وُجُودِ الشَّرْطِ، قِيَاسًا عَلَى تَعْلِيقِهِ بِمَوْتِ زيد، فإن قبل فَمَوْتُ زَيْدٍ مَجْهُولُ الْأَجَلِ، قِيلَ إِذَا ثَبَتَ فيه لأجل الْمَجْهُولُ كَانَ ثُبُوتُ الْأَجَلِ الْمَعْلُومِ أَحَقَّ، وَلِأَنَّهُ إزالة ملك لو علق بأجل معلوم مَجْهُولٍ، لَمْ يَزُلْ قَبْلَهُ وَجَبَ، وَإِذَا عُلِّقَ بِأَجَلٍ مَعْلُومٍ أَن لَا يَزُولَ قَبْلَهُ كَالْعِتْقِ، وَلِأَنَّهُ أَجَلٌ لَوْ عُلِّقَ بِهِ الْعِتْقُ لَمْ يَقَعْ قَبْلَهُ، فَوَجَبَ إِذَا عُلِّقَ بِهِ الطَّلَاقُ أن لَا يَقَعَ قَبْلَهُ كَالْمَجْهُولِ، أَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْمُتْعَةِ لِأَنَّهُ نِكَاحٌ إِلَى مُدَّةٍ فَغَلَطٌ، لِأَنَّ النِّكَاحَ، عَقْدٌ يتَمنعُ فِيهِ دُخُولُ الْأَجَلِ، فَفَسَدَ بِالْمَعْلُومِ وَالْمَجْهُولِ وَالطَّلَاقُ حَدٌّ لَا يَفْسَدُ بِالْأَجَلِ الْمَجْهُولِ، فَكَانَ أَوْلَى أن لا يَفْسَدَ بِالْأَجَلِ الْمَعْلُومِ، عَلَى أَنَّ دُخُولَ الْأَجَلِ فِي النِّكَاحِ مُبْطِلٌ لَهُ، فَلَوْ كَانَ الطَّلَاقُ مِثْلَهُ، لَكَانَ دُخُولُ الْأَجَلِ فِيهِ مُبْطِلًا لَهُ دُونَ النِّكَاحِ، وَمَالِكٌ يَجْعَلُهُ مُبْطِلًا لِلنِّكَاحِ دُونَ الطَّلَاقِ.

Dalil kami adalah bahwa ini merupakan pengaitan talak dengan syarat, sehingga tidak boleh jatuh sebelum syarat itu terpenuhi, sebagaimana pengaitan talak dengan kematian Zaid. Jika diterima bahwa kematian Zaid adalah waktu yang tidak diketahui, maka jika talak dapat berlaku pada waktu yang tidak diketahui, maka lebih utama lagi berlaku pada waktu yang diketahui. Karena talak adalah penghilangan hak milik, jika digantungkan pada waktu yang diketahui atau tidak diketahui, maka tidak hilang sebelum waktunya tiba, dan jika digantungkan pada waktu yang diketahui, maka tidak boleh hilang sebelum waktunya, sebagaimana dalam kasus pembebasan budak. Dan karena waktu, jika pembebasan budak digantungkan padanya, maka tidak terjadi sebelum waktunya, maka jika talak digantungkan padanya, maka tidak boleh jatuh sebelum waktunya, sebagaimana pada waktu yang tidak diketahui. Adapun qiyās dengan nikah mut‘ah karena dianggap sebagai pernikahan dengan batas waktu, maka itu keliru, karena nikah adalah akad yang tidak boleh dimasuki waktu, sehingga batal baik dengan waktu yang diketahui maupun tidak diketahui. Sedangkan talak adalah batasan yang tidak batal dengan waktu yang tidak diketahui, maka lebih utama lagi tidak batal dengan waktu yang diketahui. Lagi pula, masuknya waktu dalam akad nikah membatalkannya, maka jika talak sama dengannya, tentu masuknya waktu dalam talak juga membatalkannya, bukan hanya pada nikah. Namun Malik menjadikannya membatalkan nikah, bukan talak.

وَأَمَّا الْكِتَابَةُ فَلَا يَصِحُّ الِاعْتِبَارُ لَهَا، لِأَنَّ الْمُكَاتَبَةَ قَدْ مَلَكَتْ نَفْسَهَا وَمَلَكَ الْمَالَ عَلَيْهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ مِلْكِ الْمَالِ عَلَيْهَا وَمِلْكِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا كَالْخُلْعِ، وَخَالَفَ الطلاق الموجل لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ عَلَيْهَا مَا يَمْنَعُ مِنْ بَقَاءِ مِلْكِهِ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فَافْتَرَقَا.

Adapun mukatabah, maka tidak sah dijadikan perbandingan, karena budak perempuan yang melakukan mukatabah telah memiliki dirinya sendiri dan memiliki harta atasnya, sehingga tidak boleh digabungkan antara kepemilikan harta atasnya dan kepemilikan hak menikmati dirinya, seperti dalam kasus khulu‘. Berbeda dengan talak yang digantungkan pada waktu tertentu, karena suami tidak memiliki sesuatu atas istrinya yang dapat mencegah tetapnya hak miliknya untuk menikmati istrinya, sehingga keduanya berbeda.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا، مِنْ أَنَّ الطَّلَاقَ الْمُؤَجَّلَ لَا يَتَعَجَّلُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَقُولَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ بَعْدَ شَهْرٍ، وَبَيْنَ أَنْ يَقُولَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِلَى شَهْرٍ، فِي أَنَّهَا زَوْجَةٌ فِي الْحَالَيْنِ وَيَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا قَبْلَ شَهْرٍ، وَإِنْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِلَى شَهْرٍ، وَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا فِي الْحَالِ لِأَنَّهُ جَعَلَ ذَلِكَ أَجَلًا، لِمُدَّةِ الطَّلَاقِ، وَلَمْ يَجْعَلْهُ شَرْطًا فِي وُقُوعِهِ، وَهَذَا فَاسِدٌ، بَلْ كِلَا الْأَمْرَيْنِ شَرْطٌ، وَالطَّلَاقُ فِيهِمَا مُؤَجَّلٌ بَعْدَ شَهْرٍ، لِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ قَوْلِ الْقَائِلِ: أَنَا خَارِجٌ بَعْدَ شَهْرٍ وَبَيْنَ أَنْ يَقُولَ: أَنَا خَارِجٌ إِلَى شَهْرٍ، فِي أَنَّ الشَّهْرَ أَجَلٌ لِكَوْنِ الْخُرُوجِ بَعْدَهُ.

Jika telah dipastikan sebagaimana yang telah kami jelaskan, bahwa talak yang ditangguhkan tidak menjadi segera, maka tidak ada perbedaan antara seseorang yang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak setelah satu bulan,” dengan yang berkata: “Engkau tertalak hingga satu bulan,” dalam hal bahwa ia tetap menjadi istri dalam kedua keadaan tersebut dan talak jatuh padanya setelah satu bulan. Jika ia berkata: “Engkau tertalak hingga satu bulan,” maka talak jatuh padanya saat itu juga, karena ia menjadikan waktu itu sebagai batas waktu untuk masa talak, dan tidak menjadikannya sebagai syarat terjadinya talak. Ini adalah pendapat yang keliru, bahkan kedua ungkapan tersebut adalah syarat, dan talak pada keduanya adalah ditangguhkan setelah satu bulan, karena tidak ada perbedaan antara ucapan seseorang: “Aku akan keluar setelah satu bulan,” dan: “Aku akan keluar hingga satu bulan,” dalam hal bahwa satu bulan itu adalah batas waktu terjadinya keluar setelahnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي (الْإِمْلَاءِ) : وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ رَأْسَ الشَّهْرِ، ثُمَّ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ، تِلْكَ الطَّلْقَةَ الْآنَ، فَإِنْ أَرَادَ بِهِ تَعْجِيلَهَا، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً، لِأَنَّهُ قَدْ عَجَّلَ مَا أَجَّلَ، فَكَانَ أَغْلَظَ، وَإِنْ أَرَادَ رَفْعَ تِلْكَ وَإِيقَاعَ هَذِهِ، طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ، لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ رَفْعَ الطَّلَاقِ الْمُؤَجَّلِ وَلَا الْمُعَلَّقِ بِصِفَةٍ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Imam Syafi‘i berkata dalam (al-Imla’): Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak pada awal bulan,” kemudian ia berkata lagi: “Engkau tertalak, talak itu sekarang,” maka jika ia bermaksud mempercepat talak tersebut, jatuhlah satu talak, karena ia telah mempercepat sesuatu yang sebelumnya ditangguhkan, sehingga menjadi lebih berat. Namun jika ia bermaksud membatalkan talak yang pertama dan menjatuhkan talak yang kedua, maka jatuhlah dua talak, karena ia tidak berhak membatalkan talak yang ditangguhkan maupun yang digantungkan pada suatu sifat. Dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ فِي شَهْرِ كَذَا أَوْ فِي غُرَّةِ هِلَالِ كَذَا طُلِّقَتْ فِي الْمَغِيبِ مِنَ اللَّيْلَةِ الَّتِي يُرَى فِيهَا هِلَالُ ذَلِكَ الشَّهْرِ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika seseorang berkata: “Pada bulan ini” atau “pada awal hilal bulan ini, engkau tertalak,” maka talak jatuh pada waktu malam ketika terlihat hilal bulan tersebut).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، طُلِّقَتْ بِدُخُولِ أَوَّلِ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَذَلِكَ بِأَوَّلِ جُزْءٍ مِنَ اللَّيْلَةِ الَّتِي يُرَى فِيهَا هِلَالُ رَمَضَانَ، وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: لَا تُطَلَّقُ إِلَّا فِي آخِرِ جُزْءٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، لِيَسْتَوْعِبَ بِهِ الصِّفَةَ الَّتِي علق به طَلَاقَهَا، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ الْمُعَلَّقَ بِالصِّفَةِ يَقَعُ بِأَوَّلِ وُجُودِ الصِّفَةِ، كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ

Al-Mawardi berkata: Adapun jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak pada bulan Ramadan,” maka talak jatuh dengan masuknya awal bulan Ramadan, yaitu pada bagian pertama malam ketika terlihat hilal Ramadan. Abu Tsaur berkata: Talak tidak jatuh kecuali pada bagian akhir bulan Ramadan, agar sifat yang dijadikan syarat talaknya terpenuhi secara sempurna. Pendapat ini keliru, karena talak yang digantungkan pada suatu sifat jatuh pada saat pertama kali sifat itu ada, seperti ucapannya: “Engkau tertalak jika

دَخَلْتِ الدَّارَ، تُطَلَّقُ بِدُخُولِ الدَّارِ كَذَلِكَ إِذَا عَلَّقَهُ بِشَهْرِ رَمَضَانَ، وَجَبَ أَنْ تُطَلَّقَ بِأَوَّلِ دُخُولِهِ فَإِذَا صَحَّ مَا ذَكَرْنَا مِنْ طَلَاقِهَا بِدُخُولِ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَذَلِكَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ يُرَى فِيهَا هِلَالُهُ فَقَالَ: أَرَدْتُ بِقَوْلِي أَنْتِ طالق في شهر رمضان، وقوع الطَّلَاقِ عَلَيْهَا فِي آخِرِهِ دِينَ فِيهِ، وَحُمِلَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ لِاحْتِمَالِهِ، وَأُلْزِمَ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، وُقُوعَ الطَّلَاقِ فِي أَوَّلِهِ اعْتِبَارًا بِظَاهِرِ لَفْظِهِ.

memasuki rumah,” maka talak jatuh dengan masuknya ke rumah. Demikian pula jika talak digantungkan pada bulan Ramadan, maka wajib jatuh pada awal masuknya bulan tersebut. Jika telah sah apa yang kami sebutkan tentang jatuhnya talak dengan masuknya bagian pertama bulan Ramadan, yaitu setelah terbenamnya matahari pada malam pertama terlihat hilalnya, lalu ia berkata: “Yang aku maksud dengan ucapanku ‘engkau tertalak pada bulan Ramadan’ adalah jatuhnya talak pada akhir bulan,” maka secara agama hal itu diperbolehkan karena ada kemungkinan makna, namun dalam hukum lahiriah, talak tetap dianggap jatuh pada awal bulan sesuai dengan lafaz zahirnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي أَوَّلِ شَهْرِ رَمَضَانَ طُلِّقَتْ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْهُ، كالذي قلنا بوفاق أبو ثَوْرٍ هَاهُنَا، فَلَوْ قَالَ: أَرَدْتُ أَنْ تَكُونَ طَالِقًا فِي آخِرِهِ لِمَ يُدَيَّنْ فِيهِ، وَلَزِمَهُ فِي الظَّاهِرِ تَعْجِيلُهُ فِي أَوَّلِهِ، لِأَنَّ آخِرَهُ لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ أَوَّلِهِ.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak pada awal bulan Ramadan,” maka talak jatuh saat terbenamnya matahari pada malam pertama bulan tersebut, sebagaimana yang telah kami sebutkan dan disepakati oleh Abu Tsaur di sini. Jika ia berkata: “Aku bermaksud agar engkau tertalak pada akhir bulan,” maka tidak diperhitungkan secara agama, dan ia tetap diwajibkan secara lahiriah untuk mempercepat talak pada awal bulan, karena akhir bulan tidak dapat disebut sebagai awalnya.

وَلَوْ قَالَ: أَرَدْتُ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ أَوَّلِهِ دِينَ فِيهِ لِاحْتِمَالِهِ، وَأَنَّهُ مِنْ أَوَّلِهِ. وَلَوْ قَالَ:

Jika ia berkata: “Aku bermaksud pada akhir hari dari awal bulan,” maka secara agama diperbolehkan karena ada kemungkinan makna, dan itu masih termasuk bagian dari awal bulan. Jika ia berkata:

أَرَدْتُ فِي آخِرِ النِّصْفِ الْأَوَّلِ مِنْهُ فَهَلْ يَدِينُ فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مِنْ مَسْأَلَةٍ نَذْكُرُهَا فِيمَا بَعْدُ.

“Aku bermaksud pada akhir setengah pertama dari bulan tersebut,” maka apakah diperbolehkan secara agama atau tidak? Ada dua pendapat dalam masalah ini yang akan kami sebutkan kemudian.

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي غُرَّةِ شَهْرِ رَمَضَانَ، طُلِّقَتْ بِدُخُولِ أَوَّلِهِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، فَلَوْ قَالَ أَرَدْتُ وُقُوعَ الطَّلَاقِ فِي آخِرِهِ، لِمَ يُدَيَّنْ فِيهِ، لِأَنَّهُ لَا يَنْطَلِقُ اسْمُ الْغُرَّةِ عَلَيْهِ.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak pada awal bulan Ramadan,” maka talak jatuh dengan masuknya awal bulan sebagaimana yang telah kami sebutkan. Jika ia berkata: “Aku bermaksud jatuhnya talak pada akhir bulan,” maka tidak diperhitungkan secara agama, karena istilah ‘awal’ tidak berlaku untuk akhir bulan.

وَلَوْ أَرَادَ وُقُوعَهُ فِي أَوَّلِ يَوْمٍ مِنْهُ، وَثَانِيهِ وَثَالِثِهِ، دِينَ فِيهِ؛ لِأَنَّ الثَّلَاثَ الْأُوَلَ مِنَ الشَّهْرِ مِنْ غُرَّتِهِ لِقَوْلِهِمْ: ثَلَاثٌ غُرَرٌ، وَثَلَاثٌ بُهَرٌ، فَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ مُسْتَهَلَّ شَهْرِ رَمَضَانَ، طُلِّقَتْ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْهُ، فَإِنْ أَرَادَ بِهِ مَا بَعْدَ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ مِنْهُ، لِمَ يُدَيَّنْ فِيهِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ مُسْتَهَلِّهِ، وَإِنْ أَرَادَ الْيَوْمَ الْأَوَّلَ إِلَى آخِرِهِ دِينَ فِيهِ، لِأَنَّهُ مُسْتَهَلُّ أَيَّامِهِ.

Jika seseorang bermaksud terjadinya (talak) pada hari pertama bulan itu, atau hari kedua, atau hari ketiganya, maka ia dihukumi sesuai niatnya; karena tiga hari pertama dari bulan itu termasuk dari permulaan bulannya, berdasarkan ucapan mereka: “Tiga hari permulaan (ghurar), dan tiga hari pertengahan (buhar).” Maka jika ia berkata: “Engkau tertalak pada permulaan bulan Ramadan,” maka ia tertalak saat matahari terbenam di malam pertama bulan itu. Jika ia bermaksud setelah hari pertama bulan itu, maka tidak dihukumi demikian, karena itu bukan termasuk permulaannya. Namun jika ia bermaksud hari pertama hingga akhirnya, maka dihukumi sesuai niatnya, karena itu adalah permulaan hari-harinya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي آخِرِ شَهْرِ رَمَضَانَ، أَوْ فِي انْسِلَاخِ شَهْرِ رَمَضَانَ، أَوْ فِي انْقِضَاءِ شَهْرِ رَمَضَانَ طُلِّقَتْ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْهُ، لِأَنَّ أَوَّلَ الشَّهْرِ يَكُونُ بِدُخُولِ اللَّيْلِ وَآخِرَهُ بِخُرُوجِ النَّهَارِ، لِأَنَّ الشَّهْرَ يَجْمَعُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا يَجْمَعُهُمَا لُغَةً، وَالشَّرْعُ يَخُصُّ النَّهَارَ مِنْهُمَا، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) [البقرة: 185] . فَأَوْجَبَ الشَّرْعُ صَوْمَ النَّهَارِ دُونَ اللَّيْلِ، فَكَانَ النَّهَارُ هُوَ الشَّهْرَ الشَّرْعِيَّ، وَكَانَ أَوْلَى أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ الشَّرْعِ، قِيلَ قَدْ جَاءَ الشَّرْعُ بِجَمْعِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ، فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ} [الطلاق: 4] . وَهِيَ تَعْتَدُّ فِيهَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ جَمِيعًا، فَلَمْ يَكُنْ لِتَعْلِيقِ الْحُكْمِ بِأَحَدِهِمَا وَجْهٌ، مَا لَمْ يَخُصُّهُ دَلِيلٌ.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak pada akhir bulan Ramadan,” atau “pada saat berakhirnya bulan Ramadan,” atau “pada saat habisnya bulan Ramadan,” maka ia tertalak saat matahari terbenam di hari terakhir bulan itu. Karena permulaan bulan terjadi dengan masuknya malam, dan akhirnya dengan keluarnya siang, sebab bulan mencakup malam dan siang. Jika dikatakan: “Sesungguhnya bulan hanya mencakup keduanya secara bahasa, sedangkan syariat mengkhususkan siang saja, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Maka barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka berpuasalah} [al-Baqarah: 185],” maka syariat mewajibkan puasa di siang hari, bukan di malam hari. Maka sianglah yang menjadi bulan secara syar‘i, dan lebih utama untuk dikaitkan dengan hukum syariat. Maka dijawab: “Syariat telah datang dengan menggabungkan malam dan siang,” sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang telah putus haid dari istri-istrimu, jika kamu ragu, maka iddah mereka adalah tiga bulan} [ath-Thalaq: 4], dan dalam masa iddah itu, malam dan siang dihitung bersama-sama. Maka tidak ada alasan untuk mengaitkan hukum hanya pada salah satunya, kecuali jika ada dalil yang mengkhususkannya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ فِي أَوَّلِ آخِرِ الشَّهْرِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak pada permulaan akhir bulan,” maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تُطَلَّقُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ مِنَ اللَّيْلَةِ السَّادِسَةَ عَشْرَةَ مِنْهُ لِأَنَّ آخِرَ الشَّهْرِ نِصْفُهُ الثَّانِي، وَأَوَّلَ النِّصْفِ الثَّانِي غُرُوبُ الشَّمْسِ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلَةِ السَّادِسَةَ عَشْرَةَ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ.

Pertama: Ia tertalak saat matahari terbenam pada malam keenam belas bulan itu, karena akhir bulan adalah setengah kedua, dan permulaan setengah kedua adalah terbenamnya matahari pada awal malam keenam belas. Ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُطَلَّقُ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ الشَّهْرُ كَامِلًا، فَهُوَ يَوْمُ الثَّلَاثِينَ وَإِنْ كَانَ الشَّهْرُ نَاقِصًا، فَهُوَ يَوْمُ التَّاسِعِ وَالْعِشْرِينَ، لِأَنَّ آخِرَ الشَّهْرِ هُوَ آخِرُ يَوْمٍ مِنْهُ، وَأَوَّلُ الْيَوْمِ طُلُوعُ فَجْرِهِ.

Pendapat kedua: Ia tertalak saat terbit fajar pada hari terakhir bulan itu. Jika bulan itu sempurna (30 hari), maka pada hari ketiga puluh, dan jika bulan itu kurang (29 hari), maka pada hari kedua puluh sembilan. Karena akhir bulan adalah hari terakhirnya, dan permulaan hari adalah terbit fajar.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي آخِرِ أَوَّلِ الشَّهْرِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata: “Engkau tertalak pada akhir permulaan bulan,” maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ أَنَّهَا تُطَلَّقُ بِغُرُوبِ الشمس في اليوم الخامس عشرة، لِأَنَّ أَوَّلَ الشَّهْرِ نِصْفُهُ الْأَوَّلُ، وَآخِرَهُ غُرُوبُ الشَّمْسِ فِي الْخَامِسَ عَشَرَ مِنْهُ.

Pertama, dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas: Ia tertalak saat matahari terbenam pada hari kelima belas, karena permulaan bulan adalah setengah pertamanya, dan akhirnya adalah terbenamnya matahari pada hari kelima belas.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُطَلَّقُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ فِي أَوَّلِ يَوْمٍ مِنْهُ، لِأَنَّ أَوَّلَهُ الْيَوْمُ الْأَوَّلُ وَآخِرَهُ غُرُوبُ شَمْسِهِ.

Pendapat kedua: Ia tertalak saat matahari terbenam pada hari pertama bulan itu, karena permulaannya adalah hari pertama dan akhirnya adalah terbenamnya matahari pada hari itu.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي أَوَّلِ آخِرِ أَوَّلِ الشَّهْرِ، فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ: تُطَلَّقُ عِنْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنَ الْيَوْمِ السَّادِسِ عَشَرَ، لِأَنَّ عِنْدَهُ أَنَّ أَوَّلَ آخر الشهر، أول الليلة السادسة عشر فَكَانَ آخِرُهَا طُلُوعَ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِهَا.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak pada permulaan akhir permulaan bulan,” maka menurut pendapat Abu al-‘Abbas: Ia tertalak saat terbit fajar pada hari keenam belas, karena menurutnya, permulaan akhir bulan adalah awal malam keenam belas, sehingga akhirnya adalah terbit fajar pada hari itu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُطَلَّقُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْهُ، لِأَنَّ أَوَّلَ آخِرِهِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ، طُلُوعُ الْفَجْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِهِ، فَكَانَ آخِرُهُ غُرُوبَ شَمْسِهِ.

Pendapat kedua: Ia tertalak saat matahari terbenam pada hari terakhir bulan itu, karena permulaan akhirnya menurut pendapat ini adalah terbit fajar pada hari terakhir, sehingga akhirnya adalah terbenamnya matahari pada hari itu.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ فِي أَوَّلِ آخِرِ أَوَّلِ الشَّهْرِ، فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ: تُطَلَّقُ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ مِنَ الْيَوْمِ الْخَامِسَ عَشَرَ، لِأَنَّ آخِرَ أَوَّلِهِ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنَ الْيَوْمِ الْخَامِسَ عَشَرَ فَكَانَ أَوَّلُهُ طُلُوعَ فَجْرِهِ.

Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak pada permulaan akhir permulaan bulan,” maka menurut pendapat Abu al-‘Abbas: Ia tertalak saat terbit fajar pada hari kelima belas, karena akhir permulaannya adalah saat matahari terbenam pada hari kelima belas, sehingga permulaannya adalah terbit fajar pada hari itu.

وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي: تُطَلَّقُ بطلوع الفجر في أَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الشَّهْرِ لِأَنَّ آخِرَ أَوَّلِ الشَّهْرِ غُرُوبُ الشَّمْسِ مِنْ أَوَّلِ أَيَّامِهِ، فَكَانَ أَوَّلُهُ طُلُوعَ الْفَجْرِ.

Dan menurut pendapat kedua: talak terjadi saat terbit fajar pada hari pertama bulan itu, karena akhir dari awal bulan adalah terbenamnya matahari pada hari pertamanya, maka awalnya adalah terbit fajar.

(فَصْلٌ:)

(Bab:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ الْيَوْمَ طُلِّقَتْ فِي وَقْتِهِ، وَلَوْ قَالَ: فِي غَدٍ طُلِّقَتْ عِنْدَ طُلُوعِ فَجْرِهِ، فَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ الْيَوْمَ أَوْ غَدًا، طُلِّقَتْ فِي غَدٍ، لِأَنَّهُ تَيَقَّنَ.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak hari ini,” maka talak jatuh pada waktunya. Jika ia berkata: “Besok,” maka talak jatuh saat terbit fajar esok hari. Jika ia berkata: “Engkau tertalak hari ini atau besok,” maka talak jatuh pada hari esok, karena hal itu sudah pasti.

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ الْيَوْمَ وَغَدًا، طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ وَاحِدَةً، وَرُجِعَ إِلَى بَيَانِهِ فِي غَدٍ، فَإِنْ أَرَادَ وُقُوعَ أُخْرَى فِيهِ، طُلِّقَتْ ثَانِيَةً، وَإِنْ أَرَادَ وُقُوعَ طَلْقَةٍ فِي هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ، لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا وَاحِدَةً، فِي الْيَوْمِ وَإِنْ أَرَادَ تَأْخِيرَ الطَّلَاقِ مِنَ الْيَوْمِ إِلَى غَدٍ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، وَدِينَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata: “Engkau tertalak hari ini dan besok,” maka talak jatuh sekaligus pada saat itu juga, lalu dikembalikan kepada penjelasannya pada hari esok. Jika ia bermaksud terjadinya talak lain pada hari esok, maka jatuh talak kedua. Jika ia bermaksud satu talak terjadi pada kedua hari itu, maka hanya jatuh satu talak pada hari ini. Jika ia bermaksud menunda talak dari hari ini ke esok hari, maka tidak diterima menurut hukum lahiriah, namun menjadi urusan antara dia dan Allah Ta‘ala. Jika ia tidak memiliki maksud tertentu, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْعِرَاقِيِّينَ لَا تُطَلَّقُ إِلَّا وَاحِدَةً فِي الْيَوْمِ، لِأَنَّهَا إِذَا طُلِّقَتْ فِي الْيَوْمِ فَهِيَ فِي غَدٍ كَذَلِكَ.

Salah satunya, yaitu pendapat ulama Irak: tidak jatuh kecuali satu talak pada hari ini, karena jika ia tertalak hari ini, maka pada hari esok pun statusnya sama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُطَلَّقُ فِي الْيَوْمِ وَاحِدَةً، وَفِي غَدٍ أُخْرَى، لِأَنَّهُ مَعْطُوفٌ عَلَى الْيَوْمِ فَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُهُ تَسْوِيَةً بَيْنَ الْعَطْفِ وَالْمَعْطُوفِ.

Pendapat kedua: ia tertalak satu kali pada hari ini dan satu kali lagi pada hari esok, karena kata “besok” diikutkan pada “hari ini”, sehingga berlaku hukumnya secara setara antara yang diikutkan dan yang mengikut.

(فَصْلٌ:)

(Bab:)

وَإِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي الْيَوْمِ بَعْضَ تَطْلِيقَةٍ، وَفِي غَدٍ بَعْضَ تَطْلِيقَةٍ، طُلِّقَتْ فِي الْيَوْمِ وَاحِدَةً وَسُئِلَ عَنْ إِرَادَتِهِ عَنْ بَعْضِ التَّطْلِيقَةِ فِي غَدٍ، فَإِنْ أَرَادَ الْبَاقِيَ مِنَ التَّطْلِيقَةِ الْأُولَى، لَمْ تُطَلَّقْ فِي غَدٍ، لِأَنَّهُ قَدْ عَجَّلَ بَاقِيَهَا، بِتَكْمِيلِ الطَّلْقَةِ فِي الْيَوْمِ، وَإِنْ أَرَادَ بَعْضَ تَطْلِيقَةٍ أُخْرَى طُلِّقَتْ فِي غَدٍ تَطْلِيقَةً ثَانِيَةً تَكْمِيلًا لِلْبَعْضَيْنِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata: “Engkau tertalak hari ini sebagian talak, dan besok sebagian talak,” maka ia tertalak satu kali pada hari ini, lalu ditanyakan maksudnya tentang sebagian talak pada hari esok. Jika ia bermaksud sisa dari talak pertama, maka tidak jatuh talak pada hari esok, karena ia telah menyegerakan sisanya dengan menyempurnakan talak pada hari ini. Jika ia bermaksud sebagian dari talak yang lain, maka jatuh talak kedua pada hari esok sebagai penyempurna dari kedua bagian tersebut. Jika ia tidak memiliki maksud tertentu, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تُطَلَّقُ وَاحِدَةً، لِأَنَّهَا يَقِينٌ.

Salah satunya: tidak jatuh kecuali satu talak, karena itu yang pasti.

وَالثَّانِي: تُطَلَّقُ تَطْلِيقَتَيْنِ وَاحِدَةً فِي الْيَوْمِ، وَأُخْرَى فِي غَيْرِ تَسْوِيَةٍ بَيْنَ حُكْمِ الْيَوْمَيْنِ، وَأَنَّ بَعْضَ التطليقة يوم مَقَامَ التَّطْلِيقَةِ، لِوُجُوبِ تَكْمِيلِهَا بِالشَّرْعِ.

Yang kedua: jatuh dua talak, satu pada hari ini dan satu lagi pada hari esok, tanpa menyamakan hukum kedua hari itu, dan bahwa sebagian talak pada satu hari menempati posisi satu talak penuh, karena wajib disempurnakan menurut syariat.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَلَوْ قَالَ إِذَا رَأَيْتُ هِلَالَ شَهْرِ كَذَا حَنِثَ إِذَا رَآهُ غَيْرُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَرَادَ رُؤْيَةَ نَفْسِهِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Jika aku melihat hilal bulan tertentu, maka engkau tertalak,’ maka ia terkena (talak) jika hilal itu dilihat oleh orang lain, kecuali jika ia memang bermaksud melihatnya sendiri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا قَالَ: إِذَا رَأَيْتُ هِلَالَ شَهْرِ رَمَضَانَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِنْ رَآهُ جَمِيعُ النَّاسِ طُلِّقَتْ إِجْمَاعًا، وَإِنْ رَآهُ النَّاسُ دُونَهُ طُلِّقَتْ عندنا، وقال أبو حنيفة: لا تطلق متى تراه بِنَفْسِهِ، لِأَنَّ تَعْلِيقَ الْحِنْثِ بِرُؤْيَتِهِ لَا يُوجِبُ وُقُوعَهُ بِرُؤْيَةِ غَيْرِهِ، كَمَا لَوْ قَالَ: إِذَا رَأَيْتُ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَرَآهُ غَيْرُهُ، لَمْ تُطَلَّقْ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ الشَّرْعَ قَدْ قَرَّرَ أَنَّ رُؤْيَةَ غَيْرِهِ لِلْهِلَالِ كَرُؤْيَتِهِ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana jika seseorang berkata: “Jika aku melihat hilal bulan Ramadan, maka engkau tertalak.” Jika seluruh orang melihatnya, maka jatuh talak secara ijmā‘. Jika orang-orang melihatnya selain dia, maka menurut kami jatuh talak, sedangkan menurut Abu Hanifah: tidak jatuh talak kecuali jika ia sendiri yang melihatnya, karena pengaitan pelanggaran pada penglihatan dirinya tidak menyebabkan terjadinya (talak) dengan penglihatan orang lain, sebagaimana jika ia berkata: “Jika aku melihat Zaid, maka engkau tertalak,” lalu orang lain yang melihatnya, maka tidak jatuh talak. Ini adalah pendapat yang lemah, karena syariat telah menetapkan bahwa penglihatan orang lain terhadap hilal sama dengan penglihatannya sendiri, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya.”

ثُمَّ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ وَيُفْطِرَ بِرُؤْيَةِ غَيْرِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِطْلَاقُ رُؤْيَةِ الشَّهْرِ مَحْمُولًا عَلَى مَا قَيَّدَهُ الشَّرْعُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ، إِذَا عَلَّقَهُ بِرُؤْيَةِ زَيْدٍ، لِأَنَّ الشَّرْعَ مَا جَعَلَ رُؤْيَةَ الْغَيْرِ لَهُ كَرُؤْيَتِهِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: أَرَدْتُ رُؤْيَةَ نَفْسٍ، دِينَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى، عَلَى مَا نَوَى، وَلَمْ يَحْنَثْ إِلَّا بِرُؤْيَةِ نَفْسِهِ وَحَنِثَ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ بِرُؤْيَةِ غَيْرِهِ، فَلَوْ رَآهُ وَقَدْ أَرَادَ رُؤْيَةَ نَفْسِهِ فِي نَهَارِ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ قَبْلَ غُرُوبِ شَمْسِهِ، فَفِي حِنْثِهِ وَجْهَانِ:

Kemudian, ia wajib berpuasa dan berbuka berdasarkan rukyat orang lain. Maka, haruslah pemaknaan mutlak terhadap rukyat bulan itu dibawa kepada apa yang telah dibatasi oleh syariat, dan tidak demikian halnya jika dikaitkan dengan rukyat Zaid, karena syariat tidak menjadikan rukyat orang lain baginya seperti rukyat dirinya sendiri. Berdasarkan hal ini, jika ia berkata: “Aku maksudkan rukyat diriku sendiri,” maka secara agama antara dirinya dan Allah Ta‘ala, berlaku sesuai dengan niatnya, dan ia tidak dianggap melanggar kecuali dengan rukyat dirinya sendiri, namun secara zahir hukum ia dianggap melanggar dengan rukyat orang lain. Maka, jika ia melihatnya dan ia memang bermaksud rukyat dirinya sendiri pada siang hari terakhir bulan Sya‘ban sebelum terbenam matahari, maka dalam hal ia dianggap melanggar terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَحْنَثُ، لِأَنَّهُ هِلَالُ شَهْرِ رَمَضَانَ وَإِنْ تَقَدَّمَهُ.

Salah satunya: Ia dianggap melanggar, karena itu adalah hilal bulan Ramadan meskipun terlihat lebih awal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَقَدْ أَشَارَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ، أَنَّهُ لَا يَحْنَثُ، لِأَنَّ هِلَالَ الشَّهْرِ مَا كَانَ مَرْئِيًّا فِيهِ، فَلَوْ لَمْ يَرَ هِلَالَ رَمَضَانَ فِي أَوَّلِهِ حَتَّى صَارَ قَمَرًا فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: يَحْنَثُ تَغْلِيبًا لِلْإِشَارَةِ، إِلَّا أَنْ يُرِيدَ حَقِيقَةَ الِاسْمِ.

Pendapat kedua, sebagaimana yang ditunjukkan oleh asy-Syafi‘i dalam al-Umm, bahwa ia tidak dianggap melanggar, karena hilal bulan itu adalah apa yang terlihat di dalamnya. Maka, jika ia tidak melihat hilal Ramadan pada awalnya hingga bulan itu menjadi bulan purnama, terdapat dua pendapat: salah satunya, ia dianggap melanggar dengan mengutamakan makna isyarat, kecuali jika ia menghendaki makna hakiki dari nama tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَحْنَثُ اعْتِبَارًا بِحَقِيقَةِ الِاسْمِ إِلَّا أَنْ يُرِيدَ الْإِشَارَةَ، وَاخْتَلَفُوا مَتَى يَصِيرُ الْهِلَالُ قَمَرًا، فَقَالَ قَوْمٌ: يَصِيرُ قَمَرًا بَعْدَ ثَلَاثٍ.

Pendapat kedua: Ia tidak dianggap melanggar dengan mempertimbangkan makna hakiki dari nama tersebut, kecuali jika ia menghendaki makna isyarat. Para ulama berbeda pendapat tentang kapan hilal berubah menjadi bulan (purnama). Sebagian mengatakan: menjadi bulan setelah tiga hari.

وَقَالَ آخَرُونَ: إِذَا اسْتَدَارَ.

Dan yang lain mengatakan: ketika bentuknya bulat penuh.

وقال آخرون: إذا بهر ضوؤه، والله أعلم.

Dan yang lain lagi mengatakan: ketika cahayanya sangat terang, dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ إِذَا مَضَتْ سَنَةٌ وَقَدْ مَضَى مِنَ الْهِلَالِ خَمْسٌ لَمْ تُطَلَّقْ حَتَّى تَمْضِيَ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً مِنْ يَوْمِ تَكَلَّمَ وَأَحَدَ عَشَرَ شَهْرًا بِالْأَهِلَّةِ وَخَمْسٌ بَعْدَهَا قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا قَالَ لِامْرَأَتِهِ إِذَا مَضَتْ سَنَةٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِالسَّنَةِ الْهِلَالِيَّةِ، التي هي اثني عَشَرَ شَهْرًا بِالْأَهِلَّةِ، بِكَمَالِ الشُّهُورِ وَنُقْصَانِهَا، لِأَنَّ الشَّهْرَ مَا بَيْنَ الْهِلَالَيْنِ كَامِلًا كَانَ أَوْ نَاقِصًا، فَإِنْ كَمُلَ فَهُوَ ثَلَاثُونَ يَوْمًا، لَا يَزِيدُ عَلَيْهَا، وَإِنْ نَقَصَ فَهُوَ تِسْعَةٌ وَعِشْرُونَ يَوْمًا لَا يَنْقُصُ مِنْهَا، وَالْأَغْلَبُ مِنَ السَّنَةِ الهلالية أنها ثلثمائة وَأَرْبَعَةٌ وَخَمْسُونَ يَوْمًا، وَرُبَّمَا نَقَصَتْ يَوْمًا أَوْ زادا يَوْمًا، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا اعْتِبَارَ فِيهَا بالأهلة، وهي مقدرة ثلثمائة وَسِتِّينَ يَوْمًا لِأَنَّهَا أَيَّامُ السَّنَةِ عُرْفًا، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهُ تَعَالَى: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ، قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ} [البقرة: 189] . فَلَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ تَعَالَى لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ عِلْمًا إِلَّا بِهَا، وَقَدْ يَكْمُلُ مَا بَيْنَ الْهِلَالَيْنِ تَارَةً وتنقص أُخْرَى، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الِاعْتِبَارُ بِاثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عشر شهراً} .

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Jika telah berlalu satu tahun dan dari hilal telah berlalu lima (malam), maka engkau tertalak,’ maka ia tidak tertalak hingga berlalu dua puluh lima malam sejak hari ia mengucapkan (lafaz tersebut), dan sebelas bulan dengan perhitungan hilal, dan lima malam setelahnya.” Al-Mawardi berkata: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Jika telah berlalu satu tahun maka engkau tertalak,” maka yang dijadikan acuan adalah tahun hijriah, yaitu dua belas bulan berdasarkan perhitungan hilal, baik bulannya sempurna maupun kurang, karena satu bulan adalah waktu antara dua hilal, baik sempurna maupun kurang. Jika sempurna maka tiga puluh hari, tidak lebih dari itu, dan jika kurang maka dua puluh sembilan hari, tidak kurang dari itu. Umumnya tahun hijriah adalah tiga ratus lima puluh empat hari, kadang kurang satu hari atau lebih satu hari. Abu Hanifah berkata: Tidak dipertimbangkan perhitungan hilal, melainkan ditetapkan tiga ratus enam puluh hari karena itu adalah jumlah hari dalam setahun menurut kebiasaan, dan ini adalah kesalahan berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Mereka bertanya kepadamu tentang hilal, katakanlah: itu adalah penanda waktu bagi manusia dan (ibadah) haji} [al-Baqarah: 189]. Maka Allah Ta‘ala tidak menjadikan ilmu bagi umat Islam kecuali dengan hilal, dan terkadang waktu antara dua hilal sempurna dan terkadang kurang. Maka wajib dijadikan acuan dua belas bulan berdasarkan hilal, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: {Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah adalah dua belas bulan}.

وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ مَا يُقَدَّرُ بِالشُّهُورِ، لَا يُرَاعَى فِيهِ كَمَالُ الْأَيَّامِ، وَجَبَ فِيمَا تَعَلَّقَ بِالسِّنِينَ لَا يُرَاعَى فِيهِ كَمَالُ الشُّهُورِ.

Dan karena sesuatu yang ditentukan dengan bulan, tidak dipertimbangkan kesempurnaan hari-harinya, maka dalam perkara yang berkaitan dengan tahun juga tidak dipertimbangkan kesempurnaan bulannya.

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا، لَمْ يَخْلُ حَالُ الْوَقْتِ الَّذِي عُقِدَ فِيهِ هَذَا الطَّلَاقُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Jika hal ini telah ditetapkan, maka tidak lepas dari dua keadaan waktu ketika talak itu diucapkan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ فِي أَوَّلِ شَهْرٍ، أَوْ قَضَاءً عَيَّنَهُ، فَإِنْ كَانَ فِي أَوَّلِ شَهْرٍ ومع رأسه هلاله، اعتبرت اثني عَشَرَ شَهْرًا بِالْأَهِلَّةِ، فَإِذَا طَلَعَ هِلَالُ الشَّهْرِ الثَّالِثَ عَشَرَ، فَقَدِ انْقَضَتِ السَّنَةُ، وَوَقَعَ الطَّلَاقُ، وَإِنْ كَانَ فِي قَضَاءٍ عُيِّنَ شَهْرٌ، كَأَنَّهُ قَالَ هَذَا: وَقَدْ مَضَى مِنَ الشَّهْرِ خَمْسَةُ أَيَّامٍ، فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ هَذَا الشَّهْرُ كَامِلًا، أَوْ نَاقِصًا، فَإِنْ كَانَ كَامِلًا، وَبَاقِيهِ خمس وَعِشْرُونَ يَوْمًا، فَإِذَا مَضَى بَقِيَّةُ الشَّهْرِ وَأَحَدَ عَشَرَ شَهْرًا بِالْأَهِلَّةِ، وَمَضَى مِنَ الشَّهْرِ الثَّالِثَ عَشَرَ خَمْسَةُ أَيَّامٍ، فَقَدْ تَمَّتِ السَّنَةُ، وَوَقَعَ الطلاق، وإن كان الشَّهْرِ الثَّالِثِ عَشَرَ سِتَّةُ أَيَّامٍ، اعْتِبَارًا بِكَمَالِ الشَّهْرِ الْأَوَّلِ، وَإِنْ لَمْ يُعْتَبَرْ كَمَالُ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ، لِأَنَّ فَوَاتَ هِلَالِهِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ كَمَالِهِ كَالصَّوْمِ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ) .

Bisa jadi (talak itu) terjadi pada awal bulan, atau pada waktu tertentu yang telah ditetapkan. Jika terjadi pada awal bulan dan bersamaan dengan munculnya hilal, maka dihitung dua belas bulan dengan melihat hilal. Ketika hilal bulan ketiga belas telah tampak, maka genaplah satu tahun dan jatuhlah talak. Jika terjadi pada waktu tertentu di bulan yang telah ditetapkan, misalnya ia berkata demikian: dan telah berlalu lima hari dari bulan itu, maka tidak lepas kemungkinan bulan itu sempurna atau kurang. Jika bulan itu sempurna dan sisanya dua puluh lima hari, maka ketika sisa bulan itu dan sebelas bulan berikutnya dengan melihat hilal telah berlalu, serta telah berlalu lima hari dari bulan ketiga belas, maka genaplah satu tahun dan jatuhlah talak. Jika pada bulan ketiga belas telah berlalu enam hari, maka hal itu dihitung berdasarkan kesempurnaan bulan pertama, meskipun kesempurnaan bulan-bulan lainnya tidak diperhitungkan, karena hilangnya hilal mengharuskan memperhitungkan kesempurnaannya seperti dalam puasa, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutup (mendung), maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh.”

فَلَوْ شَكَّ فِي وَقْتِ عَقْدِهِ لِهَذَا الطَّلَاقِ، هَلْ كَانَ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ، أَوْ بَعْدَ عَشْرٍ مَضَتْ مِنْهُ لَمْ يَلْزَمْهُ الطَّلَاقُ إِلَّا بَعْدَ عَشْرٍ مِنَ الشَّهْرِ الثَّالِثِ عَشَرَ، اعْتِبَارًا بِالْيَقِينِ فِي بَقَاءِ الزَّوْجِيَّةِ وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ بِالشَّكِّ.

Jika ia ragu tentang waktu pengucapan talak tersebut, apakah terjadi pada awal bulan atau setelah sepuluh hari berlalu darinya, maka talak tidak wajib baginya kecuali setelah sepuluh hari dari bulan ketiga belas, dengan mempertimbangkan keyakinan dalam keberlangsungan pernikahan, dan karena talak tidak jatuh dengan keraguan.

وَهَلْ يَحْرُمُ عليه في هذا الشهر وطئها، وَإِنْ لَمْ يَقَعْ فِيهِ طَلَاقُهَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apakah haram baginya menyetubuhinya pada bulan tersebut, meskipun talaknya belum jatuh pada bulan itu? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَظْهَرُ: إنَّ وَطْأَهَا لَا يَحْرُمُ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ فِيهَا لَمْ يَقَعْ.

Pendapat pertama, dan ini yang lebih kuat: menyetubuhinya tidak haram, karena talak padanya belum terjadi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إنَّ وَطْأَهَا يَحْرُمُ لِلشَّكِّ فِي اسْتِبَاحَتِهَا، كَمَا لَوِ اشْتَبَهَتْ زَوْجَتُهُ بِأَجْنَبِيَّةٍ.

Pendapat kedua: menyetubuhinya haram karena adanya keraguan dalam kehalalannya, sebagaimana jika istrinya tertukar dengan perempuan asing (bukan mahram).

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَلَوْ قَالَ: أَرَدْتُ بِقَوْلِي إِذَا مَضَتْ سَنَةٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ السَّنَةَ الْعَدَدِيَّةَ، الَّتِي هِيَ استكمال ثلثمائة وَسِتِّينَ يَوْمًا، دِينَ فِي الْفُتْيَا دُونَ الْحُكْمِ، وَلَوْ قَالَ: أَرَدْتُ السَّنَةَ الشَّمْسِيَّةَ الَّتِي هِيَ ثلثمائة وخمس وَسِتُّونَ يَوْمًا تَرْجِعُ الشَّمْسُ بَعْدَهَا، إِلَى الْبُرْجِ الَّذِي طَلَعَتْ مِنْهُ، دِينَ فِي الْفُتْيَا دُونَ الْحُكْمِ، لِأَنَّ إِطْلَاقَ التَّسْمِيَةِ فِي الشَّرْعِ يُوجِبُ حَمْلَهُ فِي الْحُكْمِ عَلَى السَّنَةِ الْهِلَالِيَّةِ، دُونَ الْعَدَدِيَّةِ وَالشَّمْسِيَّةِ لِمَا ذَكَرْنَا، فَلَمْ يُقْبَلْ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، لِمَا فِيهِ مِنْ زِيَادَةِ الْأَجَلِ، وَدِينَ فِي الْفُتْيَا لِاحْتِمَالِهِ.

Jika ia berkata: “Yang aku maksud dengan ucapanku ‘jika telah berlalu satu tahun maka engkau tertalak’ adalah tahun hitungan, yaitu genap tiga ratus enam puluh hari,” maka dalam fatwa diterima, namun tidak dalam hukum. Jika ia berkata: “Aku maksudkan tahun syamsiyah (tahun matahari) yang berjumlah tiga ratus enam puluh lima hari, di mana matahari setelah itu kembali ke rasi bintang tempat ia terbit,” maka dalam fatwa diterima, namun tidak dalam hukum. Karena penyebutan istilah secara mutlak dalam syariat mengharuskan membawanya dalam hukum kepada tahun hijriyah (tahun hilal), bukan tahun hitungan atau tahun syamsiyah, sebagaimana telah kami sebutkan. Maka tidak diterima secara lahir dalam hukum, karena di dalamnya terdapat penambahan waktu, namun diterima dalam fatwa karena ada kemungkinan (penafsiran).

وَلَوْ قَالَ: أَرَدْتُ سَنَةَ التَّأْرِيخِ، الَّتِي أَوَّلُهَا مُسْتَهَلُّ الْمُحَرَّمِ، وَآخِرُهَا مُنْسَلَخُ ذِي الْحِجَّةِ، قُبِلَ مِنْهُ فِي الْفُتْيَا والحكم، لأنه أضر به وأقضى لأجله.

Jika ia berkata: “Aku maksudkan tahun penanggalan, yang awalnya adalah awal Muharram dan akhirnya adalah akhir Dzulhijjah,” maka pendapatnya diterima dalam fatwa dan hukum, karena itu lebih memberatkannya dan lebih mempercepat jatuhnya talak.

فلو وقال: إِذَا مَضَتِ السَّنَةُ فَأَنْتِ طَالِقٌ حُمِلَ عَلَى ظَاهِرِ الْحُكْمِ عَلَى سَنَةِ التَّأْرِيخِ، لِأَنَّهَا مَعْهُودَةٌ فَإِذَا انْقَضَتْ بِانْسِلَاخِ ذِي الْحِجَّةِ لَزِمَهُ الطَّلَاقُ، كَانَ الْبَاقِي مِنْهَا قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا، فَلَوْ قَالَ: أَرَدْتُ كَمَالَ سَنَةِ الْأَهِلَّةِ دِينَ فِي الْفُتْيَا، دُونَ الْحُكْمِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika ia berkata: “Jika telah berlalu satu tahun maka engkau tertalak,” maka secara lahir dalam hukum dibawa kepada tahun penanggalan, karena itu yang sudah dikenal. Maka ketika tahun itu berakhir dengan berlalunya Dzulhijjah, wajiblah talak, baik sisa tahun itu sedikit maupun banyak. Jika ia berkata: “Aku maksudkan genap satu tahun berdasarkan hilal,” maka diterima dalam fatwa, namun tidak dalam hukum. Wallāhu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ الشَّهْرَ الْمَاضِيَ طُلِّقَتْ مَكَانَهَا وَإِيقَاعُهُ الطَّلَاقَ الْآنَ فِي وَقْتٍ مَضَى مُحَالٌ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia berkata kepada istrinya, ‘Engkau tertalak bulan lalu,’ maka ia tertalak saat itu juga. Menjatuhkan talak sekarang untuk waktu yang telah berlalu adalah mustahil.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ قَوْلَهُ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ الشَّهْرَ الْمَاضِيَ، وَأَنْتِ طَالِقٌ أَمْسَ، يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa ucapannya kepada istrinya, “Engkau tertalak bulan lalu,” atau “Engkau tertalak kemarin,” terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يُرِيدُ بِذَلِكَ أَنَّهُ يُطَلِّقُهَا فِي الشَّهْرِ الْمَاضِي طَلَاقًا يُوقِعُهُ الْآنَ فَهَذَا مُحَالٌ، وَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ مَا مَضَى مِنَ النَّهَارِ غَيْرُ مُسْتَدْرَكٍ.

Pertama: Ia bermaksud dengan itu bahwa ia menceraikannya pada bulan lalu dengan talak yang ia jatuhkan sekarang, maka ini mustahil, dan tidak jatuh talak atasnya, karena waktu yang telah berlalu dari siang hari tidak dapat diulang kembali.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ بِذَلِكَ أَنَّهُ يُطَلِّقُهَا الْآنَ طَلَاقًا يَقَعُ عَلَيْهَا فِي الشَّهْرِ الْمَاضِي، فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ فِي هَذَا الْقِسْمِ، وُقُوعُ الطَّلَاقِ فِي الْوَقْتِ فَوَقَعَ، وَلَمْ يُرِدْ فِي الْقِسْمِ الْأَوَّلِ وُقُوعَ الطَّلَاقِ فِي الْوَقْتِ فَلَمْ يَقَعْ، وَإِذَا وَقَعَ الطَّلَاقُ فِي هَذَا الْقِسْمِ فَهُوَ وَاقِعٌ لِوَقْتِهِ، وَلَا يَتَقَدَّمُ حُكْمُهُ فِي الشَّهْرِ الْمَاضِي.

Bagian kedua: Yaitu apabila ia bermaksud dengan ucapannya itu bahwa ia menceraikannya sekarang dengan talak yang berlaku atasnya pada bulan yang lalu, maka talak tersebut jatuh. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pada bagian ini, talak terjadi pada waktu yang diinginkan sehingga jatuh, sedangkan pada bagian pertama, ia tidak bermaksud terjadinya talak pada waktu tersebut sehingga tidak jatuh. Jika talak jatuh pada bagian ini, maka ia berlaku pada saat itu juga dan tidak berlaku mundur ke bulan yang lalu.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: هُوَ مُتَقَدِّمُ الْحُكْمِ، فَيَكُونُ وَاقِعًا لِلشَّهْرِ الْمَاضِي، اسْتِدْلَالًا، بِأَنَّهُ لَوْ عَلَّقَهُ بِوَقْتٍ مُسْتَقْبَلٍ لَمْ يَتَقَدَّمْهُ، فَوَجَبَ إِذَا عَلَّقَهُ بِوَقْتٍ مَاضٍ أن لا يَتَأَخَّرَ عَنْهُ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ إِذَا عُلِّقَ بِشَرْطٍ صَحَّ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، وَلَمْ يَصِحَّ فِي الْمَاضِي، لِأَنَّهُ يَصِحُّ إِيجَادُ الْفِعْلِ فِيمَا يُسْتَقْبَلُ وَلَا يَصِحُّ إِيجَادُهُ فِيمَا مَضَى، ولذلك صح الأمر، فالأفعال الْمُسْتَقْبَلَةِ دُونَ الْمَاضِيَةِ، وَصَارَ مِنْهَا خَبَرًا، وَلَمْ يَكُنْ أَمْرًا.

Abu Hanifah berpendapat: Hukumnya berlaku mundur, sehingga talak dianggap terjadi pada bulan yang lalu. Ia berdalil bahwa jika talak digantungkan pada waktu yang akan datang, maka tidak berlaku sebelumnya, maka wajib pula jika digantungkan pada waktu yang telah lalu, tidak boleh terjadi setelahnya. Pendapat ini tidak benar, karena talak jika digantungkan pada suatu syarat, maka sah untuk masa yang akan datang dan tidak sah untuk masa yang telah lalu, sebab perbuatan hanya bisa diwujudkan pada masa yang akan datang dan tidak bisa diwujudkan pada masa yang telah berlalu. Oleh karena itu, perintah hanya sah untuk perbuatan yang akan datang, bukan yang telah lalu, sehingga menjadi khabar (pemberitahuan), bukan perintah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَقُولَ ذَلِكَ وَلَا إِرَادَةَ لَهُ، وَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ في كتاب الْأُمِّ، وَنَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ إِلَى هَذَا الْمَوْضِعِ، أَنَّ الطَّلَاقَ وَاقِعٌ، لِأَنَّهُ أَوْقَعَ الطَّلَاقَ عَلَى صِفَةٍ مُسْتَحِيلَةٍ، فَوَقَعَ الطَّلَاقُ وَأُلْغِيَتِ الصِّفَةُ، كَمَا لَوْ قَالَ: لِمَنْ لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهَا وَلَا بِدْعَةَ أَنْتِ لِلسُّنَّةِ أَوْ لِلْبِدْعَةِ طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ مِنْ غَيْرِ اعْتِبَارِ سُنَّةٍ وَلَا بِدْعَةٍ.

Bagian ketiga: Yaitu apabila ia mengucapkan hal itu tanpa ada maksud tertentu. Pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i dalam kitab al-Umm, dan dinukil oleh al-Muzani ke dalam pembahasan ini, bahwa talak jatuh, karena ia menjatuhkan talak dengan sifat yang mustahil, maka talak jatuh dan sifatnya diabaikan. Seperti jika ia berkata kepada wanita yang tidak ada sunnah maupun bid‘ah dalam talaknya: “Engkau ditalak karena sunnah atau karena bid‘ah,” maka talak jatuh saat itu juga tanpa memperhatikan sunnah atau bid‘ah.

قَالَ الرَّبِيعُ: وَفِيهَا قَوْلٌ آخَرُ؛ أَنَّهُ لَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ، فَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ يَجْعَلُهُ قَوْلًا ثَانِيًا لِلشَّافِعِيِّ تَعْلِيلًا بِأَنَّ تَعْلِيقَ الطَّلَاقِ بِالصِّفَاتِ الْمُسْتَحِيلَةِ لَا يُوجِبُ وُقُوعَهُ وَإِلْغَاءَ الصِّفَةِ، كَمَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ صَعِدْتِ السَّمَاءَ، أَوْ شَرِبْتِ مَاءَ الْبَحْرِ لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا لِاسْتِحَالَةِ صُعُودِ السَّمَاءِ وَشُرْبِ مَاءِ الْبَحْرِ كَذَلِكَ قَوْلُهُ أَنْتِ طَالِقٌ فِي الشَّهْرِ الْمَاضِي لَا يَجِبُ وُقُوعُهُ فِي الْحَالِ لِاسْتِحَالَةِ وُقُوعِهِ فِي الشَّهْرِ الْمَاضِي.

Ar-Rabi‘ berkata: Dalam masalah ini ada pendapat lain, yaitu talak tidak jatuh. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang hal ini. Abu ‘Ali bin Khairan menganggapnya sebagai pendapat kedua dari asy-Syafi‘i, dengan alasan bahwa menggantungkan talak pada sifat yang mustahil tidak menyebabkan jatuhnya talak dan tidak pula mengabaikan sifat tersebut. Seperti jika ia berkata: “Engkau tertalak jika engkau naik ke langit atau meminum air laut,” maka talak tidak jatuh karena mustahilnya naik ke langit dan meminum air laut. Demikian pula ucapannya: “Engkau tertalak pada bulan yang lalu,” tidak wajib jatuhnya talak saat ini karena mustahil terjadinya talak pada bulan yang lalu.

وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ مَذْهَبٌ لِلرَّبِيعِ، وَلَيْسَ بِقَوْلٍ لِلشَّافِعِيِّ، وَفَرَّقُوا بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ أَنَّ اسْتِحَالَةَ صُعُودِ السَّمَاءِ وَشُرْبِ مَاءِ الْبَحْرِ، لِأَنَّهُ بِخِلَافِ الْعَادَةِ لَا أَنَّهُ غَيْرُ دَاخِلٍ فِي الْقُدْرَةِ، فَلِذَلِكَ صَارَ صِفَةً مُعْتَبَرَةً لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ بِإِلْغَائِهَا، وَإِيقَاعُ الطَّلَاقِ الْحَادِثِ فِي الزمان الماضي مستحيل لخروجه عن القدرة، فصار الصِّفَةُ فِيهِ مُلْغَاةً، وَالطَّلَاقُ فِيهِ وَاقِعًا، عَلَى أَنَّ مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ وَأَوْقَعَ الطَّلَاقَ، إِذَا عَلَّقَهُ بِصُعُودِ السَّمَاءِ وَشُرْبِ مَاءِ الْبَحْرِ، لِاسْتِحَالَتِهِ كَمَا إِذَا عَلَّقَهُ بِالشَّهْرِ الْمَاضِي، وَالصَّحِيحُ أن لا يَقَعَ، وَإِنْ كَانَ بينهما فرق فهو ما تقدم.

Mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa itu adalah madzhab ar-Rabi‘, dan bukan pendapat asy-Syafi‘i. Mereka membedakan antara dua permasalahan tersebut, bahwa mustahilnya naik ke langit dan meminum air laut adalah karena bertentangan dengan kebiasaan, bukan karena di luar kemampuan, sehingga sifat tersebut dianggap sah dan talak tidak jatuh dengan mengabaikannya. Sedangkan menjatuhkan talak yang baru pada waktu yang telah lalu adalah mustahil karena di luar kemampuan, sehingga sifatnya diabaikan dan talak jatuh. Namun, di antara sahabat kami ada juga yang menggabungkan kedua permasalahan tersebut dan menjatuhkan talak jika digantungkan pada naik ke langit atau meminum air laut karena mustahilnya, sebagaimana jika digantungkan pada bulan yang lalu. Pendapat yang benar adalah talak tidak jatuh, meskipun ada perbedaan antara keduanya sebagaimana telah dijelaskan.

(فصل:)

(Fasal:)

فَصْلٌ وَلَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ قَبْلَهُ بِشَهْرٍ، فَإِنْ قَدِمَ زَيْدٌ بَعْدَ شَهْرٍ، طُلِّقَتْ قَبْلَ قُدُومِهِ بِشَهْرٍ؛ لِأَنَّهُ طَلَاقٌ يَقَعُ بَعْدَ عَقْدِهِ، وَإِنْ قَدِمَ زَيْدٌ قَبْلَ شَهْرٍ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ يُجعلُ وُقُوعَ الطَّلَاقِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَالرَّبِيعِ، لِأَنَّهُ طَلَاقٌ أَوْقَعَهُ قَبْلَ عَقْدِهِ، وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ ها هنا، قَوْلًا وَاحِدًا.

Fasal: Jika ia berkata kepada istrinya: “Jika Zaid datang, maka engkau tertalak satu bulan sebelum kedatangannya,” maka jika Zaid datang setelah satu bulan, istrinya tertalak satu bulan sebelum kedatangannya, karena itu adalah talak yang terjadi setelah akadnya. Namun jika Zaid datang sebelum satu bulan, maka di antara sahabat kami ada yang menganggap jatuhnya talak sebagaimana yang telah kami sebutkan dari pendapat asy-Syafi‘i dan ar-Rabi‘, karena itu adalah talak yang dijatuhkan sebelum akadnya. Mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa talak tidak jatuh dalam kasus ini, menurut satu pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ قَدْ كَانَ وجود الشرط ها هنا مُمْكِنًا لَا يَسْتَحِيلُ، فَوَجَبَ اعْتِبَارُهُ وَوُجُودُهُ فِيمَا تَقَدَّمَ مُسْتَحِيلٌ، فَسَقَطَ اعْتِبَارُهُ فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ قَبْلَ مَوْتِي بِشَهْرٍ، فَمَاتَ بَعْدَ شَهْرٍ، طُلِّقَتْ قَبْلَ مَوْتِهِ بِشَهْرٍ؛ لِوُجُودِ الشَّرْطِ بَعْدَ الْعَقْدِ، وَلَوْ مَاتَ قَبْلَ شَهْرٍ بلم تُطَلَّقْ؛ لِتَقَدُّمِ الشَّرْطِ عَلَى الْعَقْدِ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa keberadaan syarat di sini mungkin terjadi dan tidak mustahil, maka wajib untuk memperhatikannya. Sedangkan keberadaannya pada kasus sebelumnya adalah mustahil, sehingga tidak perlu dipertimbangkan. Berdasarkan hal ini, jika seseorang berkata, “Engkau tertalak sebelum kematianku satu bulan,” lalu ia meninggal setelah satu bulan, maka istrinya tertalak satu bulan sebelum kematiannya, karena syaratnya terpenuhi setelah akad. Namun, jika ia meninggal sebelum satu bulan, maka istrinya tidak tertalak, karena syaratnya terjadi sebelum akad.

وَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا فَمَاتَتْ ثُمَّ مَاتَ بَعْدَهَا، فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا، إِلَّا أَنْ تَمُوتَ بَعْدَ شَهْرٍ، وَيَكُونُ مَوْتُهَا قَبْلَهُ لِأَقَلَّ مَنْ شَهْرٍ، لِيَكُونَ الشَّرْطُ مُصَادِفًا لِحَيَاتِهَا، فَإِنْ مَاتَتْ قَبْلَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ شَهْرٍ لَمْ يَصِحَّ الطَّلَاقُ، لِمُصَادَفَةِ الشَّرْطِ بَعْدَ مَوْتِهَا، وَالطَّلَاقُ لَا يَقَعُ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَهَكَذَا لَوْ مَاتَتْ قَبْلَهُ بِشَهْرٍ سَوَاءٌ لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ؛ لِأَنَّهُ لَا يقع عَلَيْهَا مَعَ الْمَوْتِ، كَمَا لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا بَعْدَ الْمَوْتِ.

Berdasarkan hal ini, jika kasusnya tetap seperti itu lalu sang istri meninggal dunia, kemudian suaminya meninggal setelahnya, maka talak tidak jatuh atasnya, kecuali jika ia meninggal setelah satu bulan dan kematiannya kurang dari satu bulan sebelum suaminya, agar syarat tersebut bertepatan dengan masa hidupnya. Jika ia meninggal lebih dari satu bulan sebelum suaminya, maka talak tidak sah, karena syaratnya terjadi setelah kematiannya, dan talak tidak terjadi setelah kematian. Demikian pula jika ia meninggal satu bulan sebelum suaminya, talak tidak jatuh, karena talak tidak berlaku atas orang yang telah meninggal, sebagaimana talak juga tidak jatuh setelah kematian.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يَقْدُمُ فِيهِ زَيْدٌ، ثُمَّ مَاتَتْ فِي أَوَّلِ يَوْمٍ قَدِمَ زَيْدٌ فِي آخِرِهِ، فَفِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا وَجْهَانِ:

Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak pada hari Zaid datang,” lalu istrinya meninggal pada awal hari kedatangan Zaid dan Zaid datang di akhir hari itu, maka dalam hal jatuhnya talak atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْحَدَّادِ فِي (فُرُوعِهِ) ، أَنَّ الطَّلَاقَ وَاقِعٌ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهُ إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ فِي يَوْمِ السَّبْتِ، طُلِّقَتْ بَعْدَ طُلُوعِ فَجْرِهِ، فَكَذَلِكَ إِذَا قَالَ لَهَا: أنت طالق في اليوم الذي يقدم فيه زَيْدٌ، كَانَ قُدُومُهُ فِي الْيَوْمِ يَقْتَضِي وُقُوعَ الطَّلَاقِ فِيهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ وَاقِعًا مَعَ طُلُوعِ فَجْرِهِ، وَقَدْ كَانَتْ فِي الْحَيَاةِ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَقَبْلَ قُدُومِ زَيْدٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Bakar bin al-Haddad dalam (Furu‘-nya), bahwa talak jatuh atasnya; karena jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak pada hari Sabtu,” maka ia tertalak setelah terbit fajar hari itu. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak pada hari Zaid datang,” maka kedatangan Zaid pada hari itu menuntut jatuhnya talak pada hari tersebut, sehingga wajib talak jatuh bersamaan dengan terbit fajar hari itu, dan ia masih hidup setelah terbit fajar dan sebelum kedatangan Zaid, maka wajib talak jatuh atasnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ: أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ، إِذَا تَقَدَّمَ الْمَوْتُ عَلَى الْقُدُومِ، وَأَنَّ قُدُومَ زَيْدٍ يُوجِبُ وُقُوعَ الطَّلَاقِ بَعْدَهُ، حَتَّى لَا يَقَعَ الطَّلَاقُ قَبْلَ وُجُودِ شَرْطِهِ وَخَالَفَ تَعْلِيقَ الطَّلَاقِ بِالْيَوْمِ وَحْدَهُ، مِنْ غَيْرِ تَعْلِيقِهِ بِشَرْطٍ فِيهِ، حَيْثُ وَقَعَ بِطُلُوعِ فَجْرِهِ، لِأَنَّهُ فِي تَعْلِيقِهِ بِالْيَوْمِ مُعَلَّقٌ بِشَرْطٍ وَاحِدٍ، وَقَدْ وُجِدَ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ فَوَقَعَ الطَّلَاقُ، وَفِي تَعْلِيقِهِ بِقُدُومِ زَيْدٍ تَعْلِيقٌ لِطَلَاقِهَا بِشَرْطَيْنِ، فَلَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ إِلَّا بِهِمَا.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj: bahwa talak tidak jatuh jika kematian mendahului kedatangan (Zaid), dan bahwa kedatangan Zaid menyebabkan jatuhnya talak setelah kedatangannya, sehingga talak tidak jatuh sebelum syaratnya terpenuhi. Pendapat ini berbeda dengan penangguhan talak pada hari tertentu saja tanpa mengaitkannya dengan syarat lain di hari itu, di mana talak jatuh dengan terbit fajar hari itu. Karena dalam penangguhan pada hari tertentu, talak hanya tergantung pada satu syarat, dan syarat itu telah terpenuhi dengan terbit fajar sehingga talak jatuh. Sedangkan dalam penangguhan dengan kedatangan Zaid, talak tergantung pada dua syarat, sehingga talak tidak jatuh kecuali dengan terpenuhinya kedua syarat tersebut.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لِعَبْدِهِ: إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ، فَأَنْتَ حُرٌّ ثُمَّ بَاعَهُ فِي أَوَّلِ يَوْمٍ، قَدِمَ زَيْدٌ فِي آخِرِهِ، عُتِقَ عَلَى قَوْلِ ابْنِ الْحَدَّادِ، وَبَطَلَ الْبَيْعُ، وَلَمْ يُعْتَقْ عَلَى قَوْلِ سُرَيْجٍ؛ لِوُجُودِ الشَّرْطِ بَعْدَ صِحَّةِ الْبَيْعِ.

Demikian pula jika seseorang berkata kepada budaknya: “Jika Zaid datang, maka engkau merdeka,” lalu ia menjual budaknya pada awal hari itu, dan Zaid datang di akhir hari itu, maka menurut pendapat Ibn al-Haddad, budak tersebut menjadi merdeka dan jual belinya batal. Namun menurut pendapat Surayj, budak tersebut tidak menjadi merdeka, karena syaratnya terpenuhi setelah jual beli sah.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا قَبْلَ قُدُومِ زَيْدٍ بِشَهْرٍ؛ ثُمَّ خَلَعَهَا وَقَدِمَ زَيْدٌ فَإِنْ قَدِمَ زَيْدٌ قَبْلَ شَهْرٍ، لَمْ تُطَلَّقْ بِقُدُومِهِ، وَصَحَّ الْخُلْعُ، وَإِنْ قَدِمَ زَيْدٌ بَعْدَ شَهْرٍ، فَإِنْ كَانَ الْخُلْعُ قَبْلَ قُدُومِ زَيْدٍ بِأَكْثَرَ مِنْ شَهْرٍ صَحَّ الْخُلْعُ، وَلَمْ تُطَلَّقْ بِقُدُومِ زَيْدٍ؛ لِأَنَّهَا باتت بِالْخُلْعِ قَبْلَ قُدُومِ زَيْدٍ بِأَكْثَرَ مِنْ شَهْرٍ.

Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak tiga sebelum kedatangan Zaid satu bulan,” lalu ia menceraikannya dengan khulu‘ dan Zaid datang, maka jika Zaid datang sebelum satu bulan, ia tidak tertalak dengan kedatangannya, dan khulu‘ sah. Jika Zaid datang setelah satu bulan, maka jika khulu‘ terjadi lebih dari satu bulan sebelum kedatangan Zaid, khulu‘ sah dan ia tidak tertalak dengan kedatangan Zaid, karena ia telah menjadi bukan istri dengan khulu‘ lebih dari satu bulan sebelum kedatangan Zaid.

فَإِنْ كَانَ الْخُلْعُ قَبْلَ قُدُومِ زَيْدٍ بِأَقَلَّ مِنْ شَهْرٍ، وَقَدِمَ زَيْدٌ بَعْدَ عَقْدِ الطَّلَاقِ بِأَكْثَرَ مِنْ شَهْرٍ طُلِّقَتْ بِقُدُومِ زَيْدٍ، وَبَطَلَ الْخُلْعُ، لِتَقَدُّمِ الطَّلَاقِ وَتَقَدُّمِ زَيْدٍ عَلَى الْخُلْعِ، فَصَارَ الْخُلْعُ وَاقِعًا بَعْدَ وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا بقدوم زيد.

Jika khulu‘ terjadi kurang dari satu bulan sebelum kedatangan Zaid, dan Zaid datang setelah akad talak lebih dari satu bulan, maka ia tertalak dengan kedatangan Zaid dan khulu‘ batal, karena talak dan kedatangan Zaid mendahului khulu‘, sehingga khulu‘ terjadi setelah talak jatuh atasnya dengan kedatangan Zaid.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ عَنَيْتُ أَنَّهَا مُطَلَّقَةٌ مِنْ غَيْرِي لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ إِلَّا أَنْ يُعْلَمَ أَنَهَا كَانَتْ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ مُطَلَّقَةً مِنْ غَيْرِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ فِي نَحْوِ ذَلِكَ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia berkata, ‘Maksudku adalah bahwa dia telah ditalak oleh orang lain, bukan olehku,’ maka ucapannya tidak diterima darinya kecuali diketahui bahwa pada waktu itu dia memang telah ditalak oleh orang lain. Maka, dalam hal seperti ini, ucapan suami diterima dengan sumpahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا عَائِدٌ إِلَى قَوْلِهِ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ الشَّهْرَ الْمَاضِي، وَقَالَ: أَرَدْتُ أَنَّهُ طَلَّقَهَا فِيهِ زَوْجٌ كَانَ لَهَا قَبْلِي، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِيهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Hal ini kembali pada ucapannya kepada istrinya, “Engkau telah tertalak pada bulan lalu,” lalu ia berkata, “Aku bermaksud bahwa yang menalaknya pada bulan itu adalah suami yang pernah menjadi suaminya sebelumku.” Maka, dalam hal ini, keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُعْلَمَ صِدْقُ قَوْلِهِ فِي تَقَدُّمِ الزَّوْجِ وَطَلَاقِهِ فَقَوْلُهُ إنَّهُ أَرَادَ ذَلِكَ، مَقْبُولٌ لاحتماله، فإن صدقته الزوجة عَلَى إِرَادَتِهِ فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ وَإِنْ أَكْذَبَتْهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ.

Pertama: Diketahui kebenaran ucapannya bahwa memang ada suami sebelumnya dan suami itu telah menalaknya. Maka, ucapannya bahwa ia bermaksud demikian diterima karena masih mungkin. Jika istrinya membenarkannya atas maksud tersebut, maka tidak ada sumpah baginya. Namun jika istrinya mendustakannya, maka ucapan suami diterima dengan sumpahnya dan tidak jatuh talak atasnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَعْلَمَ كَذِبَ قَوْلِهِ: وَأَنَّهُ لَمْ يَتَقَدَّمْهُ زَوْجٌ غَيْرُهُ، فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ، وَدَعْوَاهُ مَرْدُودَةٌ لِلْعِلْمِ بِبُطْلَانِهَا.

Bagian kedua: Diketahui bahwa ucapannya dusta, dan bahwa tidak ada suami sebelum dirinya, maka talak jatuh, dan pengakuannya ditolak karena sudah diketahui kebatilannya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ لَا يَعْلَمَ حَالَهَا وَيَجُوزُ الْأَمْرَانِ فِيهَا، فَيَرْجِعُ إِلَى الزَّوْجَةِ، وَلَهَا حَالَتَانِ:

Ketiga: Tidak diketahui keadaannya dan kedua kemungkinan itu sama-sama mungkin, maka dikembalikan kepada istri, dan istri memiliki dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ تُصَدِّقَهُ عَلَى تَقَدُّمِ زَوْجٍ، وَأَنَّهُ أَرَادَ بِالطَّلَاقِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ، فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ وَلَا يَمِينَ لِتَصْدِيقِهَا لَهُ عَلَى الْأَمْرَيْنِ.

Pertama: Istri membenarkannya bahwa memang ada suami sebelumnya, dan bahwa yang dimaksud dengan talak adalah talak dari suami pertama, maka tidak jatuh talak atasnya dan tidak ada sumpah, karena istri membenarkannya dalam kedua hal tersebut.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تُكَذِّبَهُ عَلَى تَقَدُّمِ الزَّوْجِ، وَعَلَى أَنَّهُ طَلَاقُ غَيْرِهِ، فَإِنْ أَقَامَ بَيِّنَةً عَلَى ما تَقَدُّمِ زَوْجٍ قَبْلَهُ صَارَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ أَرَادَ طَلَاقَ الْأَوَّلِ، وَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ بَيِّنَةٌ عَلَى زَوْجٍ قَبْلَهُ، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا، أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لَهَا زَوْجٌ قَبْلَهُ وَالطَّلَاقُ لَازِمٌ لَهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ وَإِنْ كَانَ مَدِينًا فِيهِ.

Kedua: Istri mendustakannya bahwa ada suami sebelumnya dan bahwa itu adalah talak dari orang lain. Jika suami dapat menghadirkan bukti atas adanya suami sebelum dirinya, maka ucapan suami diterima dengan sumpahnya bahwa ia bermaksud talak dari suami pertama, dan tidak jatuh talak atasnya. Namun jika ia tidak dapat menghadirkan bukti atas adanya suami sebelum dirinya, maka ucapan istri diterima dengan sumpahnya bahwa tidak ada suami sebelum dirinya, dan talak menjadi wajib atas suami secara lahiriyah dalam hukum, meskipun ia tetap dianggap berutang dalam masalah ini.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَرَدْتُ بِقَوْلِي لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ فِي الشَّهْرِ الْمَاضِي، أَنَّنِي كُنْتُ طَلَّقْتُهَا فِيهِ وَاحِدَةً ثُمَّ رَاجَعْتُهَا، فَإِنْ صَدَّقَتْهُ الزَّوْجَةُ عَلَى ذَلِكَ، فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ وَلَا يَمِينَ، وَإِنْ أَكْذَبَتْهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَدَّعِيَ طَلَاقَ زَوْجٍ، فَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ، وَبَيْنَ أَنْ يَدَّعِيَ طَلَاقًا ارْتَجَعَهَا فِيهِ فَيُقْبَلُ مِنْهُ، أَنَّهُ بِادِّعَاءِ الرَّجْعَةِ يُوقِعُ الطَّلَاقَ فِي نِكَاحِهِ، وَبِادِّعَاءِ الزَّوْجِ غَيْرُ مُوقِعٍ لَهُ فِي نِكَاحِهِ.

Jika ia berkata, “Maksudku dengan ucapanku kepada istri, ‘Engkau tertalak pada bulan lalu,’ adalah bahwa aku telah menalaknya satu kali pada bulan itu lalu aku rujuk kembali,” maka jika istrinya membenarkannya atas hal itu, maka tidak jatuh talak atasnya dan tidak ada sumpah. Namun jika istrinya mendustakannya, maka ucapan suami diterima dengan sumpahnya dan tidak jatuh talak atasnya. Perbedaan antara mengaku talak oleh suami lain—yang tidak diterima darinya—dan mengaku talak yang kemudian ia rujuk—yang diterima darinya—adalah bahwa dengan mengaku rujuk, ia menjatuhkan talak dalam pernikahannya sendiri, sedangkan dengan mengaku talak oleh suami lain, ia tidak menjatuhkan talak dalam pernikahannya sendiri.

(فصل:)

(Fasal:)

ثم يتفرع على تعليق الطَّلَاقِ بِالشُّهُورِ وَالْأَزْمِنَةِ فُرُوعٌ، فَمِنْهَا أَنْ يَقُولَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي شَهْرٍ قَبْلَ رَمَضَانَ تُطَلَّقُ فِي شَعْبَانَ؛ لِأَنَّهُ قَبْلَ رَمَضَانَ، وَلَوْ قَالَ: فِي شَهْرٍ قَبْلَهُ رَمَضَانُ طُلِّقَتْ فِي شَوَّالٍ، لِأَنَّهُ قَبْلَهُ رَمَضَانُ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي شَهْرٍ بَعْدَ رَمَضَانَ طُلِّقَتْ فِي شَوَّالٍ، وَلَوْ قَالَ: فِي شَهْرٍ بَعْدَهُ رَمَضَانُ طُلِّقَتْ فِي شَعْبَانَ؛ لِأَنَّ دُخُولَ الْهَاءِ عَلَى قَبْلُ وبعد مخالفاً لِحَذْفِهَا مِنْهُمَا؛ تَعْلِيلًا بِمَا يَظْهَرُ فِي النُّفُورِ مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا، فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي شَهْرٍ قَبْلَ مَا قَبْلَ رَمَضَانَ، طُلِّقَتْ فِي رَجَبٍ؛ لِأَنَّ مَا قَبْلَ رَمَضَانَ شَعْبَانُ، وَمَا قَبْلَ شَعْبَانَ رَجَبٌ، وَلَوْ قَالَ فِي شَهْرٍ قَبْلَ مَا قَبْلَهُ رَمَضَانُ؛ طُلِّقَتْ فِي رَمَضَانَ لِأَنَّ مَا قَبْلَ رَمَضَانَ شَوَّالٌ، وَمَا قَبْلَ شَوَّالٍ رَمَضَانُ، وَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي شَهْرٍ بَعْدَ مَا بَعْدَ رَمَضَانَ، طُلِّقَتْ فِي ذِي الْقَعْدَةِ ولو قال: في شهر مَا بَعْدَهُ رَمَضَانُ طُلِّقَتْ فِي رَمَضَانَ.

Kemudian, dari permasalahan talak yang digantungkan pada bulan-bulan dan waktu-waktu, terdapat beberapa cabang. Di antaranya, jika ia berkata, “Engkau tertalak pada bulan sebelum Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Sya‘ban, karena Sya‘ban adalah sebelum Ramadan. Jika ia berkata, “Pada bulan sebelum Ramadan itu,” maka ia tertalak pada bulan Syawwal, karena Syawwal adalah sebelum bulan itu (yaitu Ramadan). Jika ia berkata, “Engkau tertalak pada bulan setelah Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Syawwal. Jika ia berkata, “Pada bulan setelahnya Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Sya‘ban, karena masuknya huruf ‘ha’ pada kata ‘qabla’ (sebelum) dan ‘ba‘da’ (setelah) berbeda dengan jika huruf tersebut dihilangkan, sebagai penjelasan atas perbedaan yang tampak antara keduanya. Berdasarkan hal ini, jika ia berkata, “Engkau tertalak pada bulan sebelum bulan sebelum Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Rajab, karena bulan sebelum Ramadan adalah Sya‘ban, dan sebelum Sya‘ban adalah Rajab. Jika ia berkata, “Pada bulan sebelum bulan sebelumnya Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Ramadan, karena bulan sebelum Ramadan adalah Syawwal, dan sebelum Syawwal adalah Ramadan. Berdasarkan hal ini, jika ia berkata, “Engkau tertalak pada bulan setelah bulan setelah Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Dzulqa‘dah. Jika ia berkata, “Pada bulan setelahnya Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Ramadan.

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي شَهْرٍ قَبْلَ مَا بَعْدَ رَمَضَانَ، طُلِّقَتْ فِي رَمَضَانَ، وَلَوْ قَالَ فِي شَهْرٍ قَبْلَ مَا بَعْدَهُ رَمَضَانُ، طُلِّقَتْ فِي رَجَبٍ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي شَهْرٍ بَعْدَ مَا قَبْلَ رَمَضَانَ طُلِّقَتْ فِي رَمَضَانَ؛ لِأَنَّهُ قَبْلَ مَا بَعْدَهُ، وَلَوْ قَالَ: فِي شَهْرٍ بَعْدَ مَا قَبْلَهُ رَمَضَانُ، طُلِّقَتْ فِي ذِي الْقَعْدَةِ.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak pada bulan sebelum setelah Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Ramadan. Jika ia berkata: “Pada bulan sebelum setelahnya Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Rajab. Jika ia berkata: “Engkau tertalak pada bulan setelah sebelum Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Ramadan, karena Ramadan adalah sebelum setelahnya. Jika ia berkata: “Pada bulan setelah sebelumnya Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Dzulqa’dah.

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي شَهْرٍ قَبْلَ مَا قَبْلَ مَا بَعْدَ رَمَضَانَ، طُلِّقَتْ فِي شَعْبَانَ، وَلَوْ قَالَ: فِي شَهْرٍ قَبْلَ مَا قَبْلَ مَا بَعْدَهُ رَمَضَانُ، طُلِّقَتْ فِي جُمَادَى الْآخِرَةِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي شَهْرٍ بَعْدَ مَا بَعْدَ مَا قَبْلَ رَمَضَانَ، طُلِّقَتْ فِي شَوَّالٍ، وَلَوْ قَالَ؛ فِي شَهْرٍ بَعْدَ مَا بَعْدَ مَا قَبْلَهُ رَمَضَانُ، طُلِّقَتْ فِي ذِي الْحِجَّةِ، ثُمَّ عَلَى هَذِهِ الْعِبْرَةِ تَعْلِيلًا بِمَا ذَكَرْنَا.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak pada bulan sebelum sebelum setelah Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Sya’ban. Jika ia berkata: “Pada bulan sebelum sebelum setelahnya Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Jumadil Akhirah. Jika ia berkata: “Engkau tertalak pada bulan setelah setelah sebelum Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Syawwal. Jika ia berkata: “Pada bulan setelah setelah sebelumnya Ramadan,” maka ia tertalak pada bulan Dzulhijjah. Kemudian, hal ini berlaku seterusnya dengan pertimbangan sebagaimana penjelasan yang telah kami sebutkan.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا طَلَّقْتُكِ فَإِذَا طَلَّقَهَا وَقَعَتْ عَلَيْهَا وَاحِدَةٌ بِابْتِدَائِهِ الطَّلَاقَ وَالْأُخْرَى بِالْحِنْثِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak jika aku menalakmu,’ lalu ia menalaknya, maka jatuh kepadanya satu talak karena permulaan talak, dan satu lagi karena melanggar syarat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَالَ لَهَا: إِذَا طَلَّقْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ إِنْ طَلَّقْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ مَتَى طَلَّقْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ لَهَا: بَعْدَ ذَلِكَ أَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ قَالَ: أَنْتِ بَائِنٌ، يُرِيدُ بِهِ الطَّلَاقَ أَوْ قَالَ: قَدْ مَلَّكْتُكِ نَفْسَكِ، يُرِيدُ بِهِ الطَّلَاقَ، فَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا، فَإِنَّهَا تُطَلَّقُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا طَلْقَتَيْنِ، وَاحِدَةٌ بِالْمُبَاشَرَةِ صَرِيحًا كَانَ مَا بَاشَرَهَا بِهِ أَوْ كِنَايَةً، وَالطَّلْقَةُ الثَّانِيَةُ بِالصِّفَةِ، لِأَنَّهُ جَعَلَ طَلَاقَهُ لَهَا صِفَةً، فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا،، وَقَدْ وُجِدَتِ الصِّفَةُ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَحْنَثَ بِهَا فِي وُقُوعِ الطَّلْقَةِ الثَّانِيَةِ عَلَيْهَا، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا طَلَّقْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثم قَالَ لَهَا: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَدَخَلَتِ الدَّارَ، طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ أَحَدُهُمَا بِدُخُولِ الدَّارِ، وَالثَّانِيَةُ بِأَنَّهُ قَدْ طَلَّقَهَا، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ الَّذِي أَوْقَعَهُ عَلَيْهَا، طَلَاقَ مُبَاشَرَةٍ أَوْ طَلَاقًا قَدْ عَلَّقَهُ بِصِفَةٍ؛ لِأَنَّهُ فِي كِلَا الْحَالَيْنِ قَدْ طَلَّقَهَا فَصَارَ صِفَةً فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ الثَّانِي عَلَيْهَا، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ لَهَا مُبْتَدِئًا: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ لَهَا: إِنْ طَلَّقْتُكِ، فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ دَخَلَتِ الدَّارَ، لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا وَاحِدَةً بِدُخُولِ الدَّارِ، وَلَا تُطَلَّقُ الثَّانِيَةَ بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهُ جَعَلَ إِحْدَاثَهُ لِإِيقَاعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا صِفَةً فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ الثَّانِي عَلَيْهَا، وَإِذَا طُلِّقِتْ بِمَا تَقَدَّمَ، لَمْ يَكُنْ مُحْدِثًا؛ لِإِيقَاعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا فَلَمْ تُوجَدِ الصِّفَةُ فَلِذَلِكَ لَمْ يَقَعِ الْحِنْثُ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini benar apabila ia berkata kepada istrinya: “Jika aku menalakmu, maka engkau tertalak,” atau “Jika aku menalakmu, maka engkau tertalak,” atau “Kapan pun aku menalakmu, maka engkau tertalak.” Kemudian setelah itu ia berkata: “Engkau tertalak,” atau ia berkata: “Engkau bain,” dengan maksud talak, atau ia berkata: “Aku telah menyerahkan dirimu kepadamu,” dengan maksud talak, lalu sang istri menalak dirinya sendiri, maka dalam semua keadaan ini ia tertalak dua kali: satu karena langsung, baik dengan lafaz tegas maupun sindiran, dan talak kedua karena sifat (syarat), karena ia menjadikan talaknya sebagai sifat dalam terjadinya talak atas dirinya, dan sifat itu telah terpenuhi dengan ucapannya: “Engkau tertalak,” sehingga wajib baginya melanggar syarat itu dengan jatuhnya talak kedua atas dirinya. Demikian pula jika ia berkata kepada istrinya: “Jika aku menalakmu, maka engkau tertalak,” lalu ia berkata: “Jika engkau masuk rumah, maka engkau tertalak,” lalu istrinya masuk rumah, maka ia tertalak dua kali: satu karena masuk rumah, dan kedua karena ia telah menalaknya. Tidak ada perbedaan apakah talak yang dijatuhkan kepadanya itu talak langsung atau talak yang digantungkan pada suatu sifat, karena dalam kedua keadaan itu ia telah menalaknya, sehingga menjadi sifat dalam terjadinya talak kedua atas dirinya. Namun, jika ia berkata sejak awal: “Jika engkau masuk rumah, maka engkau tertalak,” lalu ia berkata: “Jika aku menalakmu, maka engkau tertalak,” kemudian istrinya masuk rumah, maka ia hanya tertalak satu kali karena masuk rumah, dan tidak tertalak kedua kalinya karena terjadinya talak atas dirinya, karena ia menjadikan perbuatannya menalak sebagai sifat dalam terjadinya talak kedua atas dirinya, dan jika ia telah tertalak dengan sebab yang telah lalu, maka ia tidak lagi melakukan perbuatan menalak, sehingga sifat itu tidak terpenuhi, dan karena itu tidak terjadi pelanggaran syarat.

وَلَوْ قَالَ لَهَا: كُلَّمَا طَلَّقْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ، طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ كَالَّذِي ذَكَرْنَا، إِحْدَاهَا بِالْمُبَاشَرَةِ وَالثَّانِيَةُ بِالصِّفَةِ، وَلَا يَكُونُ لِقَوْلِهِ كُلَّمَا تَأْثِيرُهَا هُنَا، لِأَنَّ مَعْنَاهُ كُلَّمَا أَحْدَثْتُ إِيقَاعَ الطَّلَاقِ عَلَيْكِ، فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِذَا قَالَ لَهَا مِنْ بَعْدُ: أَنْتِ طَالِقٌ، فَمَا أَحْدَثَ لِلطَّلَاقِ عَلَيْهَا إِلَّا مَرَّةً، فَلَمْ يَقَعِ الْحِنْثُ بِهِ إِلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً.

Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Setiap kali aku menalakmu, maka engkau tertalak,” lalu ia berkata: “Engkau tertalak,” maka ia tertalak dua kali sebagaimana yang telah kami sebutkan: satu karena langsung dan kedua karena sifat (syarat). Ucapan “setiap kali” di sini tidak berpengaruh, karena maksudnya adalah: setiap kali aku melakukan perbuatan menalak atasmu, maka engkau tertalak. Jika setelah itu ia berkata: “Engkau tertalak,” maka ia hanya melakukan perbuatan menalak atasnya satu kali, sehingga pelanggaran syarat hanya terjadi satu kali saja.

فَلَوْ قَالَ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ كُلِّهَا: أَرَدْتُ بِقَوْلِي إِذَا طَلَّقْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، أَنَّهَا تَكُونُ طَالِقًا بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا، إِخْبَارًا عَنْهُ، وَلَمْ أُرِدْ بِهِ عَقْدَ طَلَاقٍ بِصِفَةٍ، دِينَ فِي الْفُتْيَا، فَلَمْ يَلْزَمْهُ فِي الْبَاطِنِ إِلَّا وَاحِدَةٌ، لِاحْتِمَالِ مَا أَرَادَ، وَلَزِمَهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ طَلْقَتَانِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الظَّاهِرِ.

Maka jika dalam seluruh permasalahan ini ia berkata: “Yang aku maksud dengan ucapanku ‘jika aku menceraikanmu maka engkau tertalak’ adalah bahwa ia menjadi tertalak dengan terjadinya talak atasnya, sebagai pemberitahuan saja, dan aku tidak bermaksud dengannya akad talak dengan suatu sifat tertentu,” maka secara agama dalam fatwa, tidak wajib baginya secara batin kecuali satu talak saja, karena kemungkinan maksud yang ia inginkan. Namun secara lahir dalam hukum, wajib baginya dua talak, dengan mengedepankan hukum lahir.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

ثُمَّ يَتَفَرَّعُ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ، أَنْ يَقُولَ وَلَهُ امْرَأَتَانِ حَفْصَةُ وَعَمْرَةُ: يَا حَفْصَةُ كُلَّمَا طَلَّقْتُ عَمْرَةَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَيَا عَمْرَةُ كُلَّمَا طَلَّقْتُ حَفْصَةَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَقَدْ جَعَلَ طَلَاقَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا صِفَةً فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَى الْأُخْرَى، إِلَّا أَنَّهُ قَدَّمَ عَقْدَ الطَّلَاقِ عَلَى حَفْصَةَ قَبْلَ عَمْرَةَ. فَإِنِ ابْتَدَأَ فَقَالَ لِحَفْصَةَ: أَنْتِ طَالِقٌ، طُلِّقَتْ حَفْصَةُ وَاحِدَةً مُبَاشَرَةً، وَطُلِّقَتْ عَمْرَةُ ثَانِيَةً بِالصِّفَةِ وَهِيَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ عَلَى عَمْرَةَ، فَتُطَلَّقُ حَفْصَةُ طَلْقَتَيْنِ وَتُطَلَّقُ عَمْرَةُ طَلْقَةً وَاحِدَةً، وَلَوِ ابْتَدَأَ فَقَالَ لِعَمْرَةَ أَنْتِ طَالِقٌ، طُلِّقَتْ عَمْرَةُ وَاحِدَةً بِالْمُبَاشَرَةِ وَطُلِّقَتْ حَفْصَةُ وَاحِدَةً بِالصِّفَةِ، وَلَمْ تُطَلَّقْ عَمْرَةُ ثَانِيَةً لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَى حَفْصَةَ، وَإِنْ طُلِّقَتْ حَفْصَةُ ثَانِيَةً، بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَى عَمْرَةَ؛ لِأَنَّهُ مُبْتَدِئٌ بِعَقْدِ الْيَمِينِ عَلَى حَفْصَةَ، وَمُؤَخِّرٌ عَقْدَ الْيَمِينِ عَلَى عَمْرَةَ، فَطُلِّقَتْ حَفْصَةُ ثَانِيَةً بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَى عَمْرَةَ، لِحُدُوثِ عَقْدِ طَلَاقِهَا بَعْدَ يَمِينِهِ عَلَى حَفْصَةَ وَلَمْ تُطَلَّقْ عَمْرَةُ ثَانِيَةً بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَى حَفْصَةَ، لِتَقَدُّمِ عَقْدِ طَلَاقِهَا قَبْلَ يَمِينِهِ عَلَى عَمْرَةَ.

Kemudian, cabang dari apa yang telah kami sebutkan adalah jika seseorang memiliki dua istri, Hafshah dan ‘Amrah, lalu ia berkata: “Wahai Hafshah, setiap kali aku menceraikan ‘Amrah maka engkau tertalak. Dan wahai ‘Amrah, setiap kali aku menceraikan Hafshah maka engkau tertalak.” Maka ia telah menjadikan talak masing-masing dari keduanya sebagai sifat pada terjadinya talak atas yang lain, kecuali ia mendahulukan akad talak atas Hafshah sebelum ‘Amrah. Jika ia memulai dengan berkata kepada Hafshah, “Engkau tertalak,” maka Hafshah tertalak satu kali secara langsung, dan ‘Amrah tertalak kedua kalinya dengan sifat, yaitu terjadinya talak atas ‘Amrah. Maka Hafshah tertalak dua kali dan ‘Amrah tertalak satu kali. Jika ia memulai dengan berkata kepada ‘Amrah, “Engkau tertalak,” maka ‘Amrah tertalak satu kali secara langsung dan Hafshah tertalak satu kali dengan sifat, dan ‘Amrah tidak tertalak kedua kalinya karena terjadinya talak atas Hafshah. Namun jika Hafshah tertalak kedua kalinya karena terjadinya talak atas ‘Amrah; sebab ia memulai akad sumpah atas Hafshah dan mengakhirkan akad sumpah atas ‘Amrah, maka Hafshah tertalak kedua kalinya karena terjadinya talak atas ‘Amrah, karena akad talaknya terjadi setelah sumpahnya atas Hafshah, dan ‘Amrah tidak tertalak kedua kalinya karena terjadinya talak atas Hafshah, karena akad talaknya lebih dahulu sebelum sumpah atas ‘Amrah.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا كَانَ لَهُ أَرْبَعُ زَوْجَاتٍ فَقَالَ: كُلَّمَا وَلَدَتْ وَاحِدَةٌ مِنْكُنَّ فَصَوَاحِبُهَا طَوَالِقُ، فَوَلَدْنَ جَمِيعًا، فَهَذَا يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ نُبَيِّنُ بِهِ حُكْمَ مَا زَادَ عَلَيْهَا.

Jika seseorang memiliki empat istri lalu berkata: “Setiap kali salah satu dari kalian melahirkan, maka teman-temannya tertalak,” lalu mereka semua melahirkan, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian yang dengannya kami akan menjelaskan hukum jika lebih dari itu.

أَحَدُ الْأَقْسَامِ: أَنْ يَلِدْنَ مَعًا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ، فَتُطَلَّقُ كُلُّ واحدة منهن ثلاثاً ثلاثاً ويعتد بالأقراء، لأن لِكُلِّ وَاحِدَةٍ ثَلَاثَ صَوَاحِبَ، يَقَعُ عَلَيْهَا بِوِلَادَةِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ طَلْقَةٌ وَلِذَلِكَ طُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ثَلَاثًا بِوِلَادَةِ صَوَاحِبِهَا الثَّلَاثِ، وَاعْتَدَدْنَ بِالْأَقْرَاءِ، لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهِنَّ بَعْدَ الْوِلَادَةِ، وَأَوَّلُ عِدَدِهِنَّ طُهْرُهُنَّ بَعْدَ انْقِضَاءِ النِّفَاسِ.

Salah satu bagiannya adalah: jika mereka melahirkan bersamaan dalam satu waktu, maka masing-masing dari mereka tertalak tiga kali dan menjalani masa iddah dengan tiga kali suci, karena masing-masing dari mereka memiliki tiga teman, dan atasnya jatuh satu talak dengan kelahiran masing-masing temannya. Oleh karena itu, masing-masing dari mereka tertalak tiga kali dengan kelahiran tiga temannya, dan mereka menjalani masa iddah dengan tiga kali suci, karena talak jatuh atas mereka setelah melahirkan, dan awal masa iddah mereka adalah suci setelah selesai masa nifas.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَلِدْنَ جَمِيعًا وَاحِدَةٌ بَعْدَ وَاحِدَةٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا يَقَعُ عَلَيْهِنَّ مِنْ عَدَدِ الطَّلَاقِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Bagian kedua: jika mereka semua melahirkan satu demi satu, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai jumlah talak yang jatuh atas mereka dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ بْنِ الْحَدَّادِ الْمِصْرِيِّ، ذَكَرَهُ فِي فُرُوعِهِ، وَتَابَعَهُ عَلَيْهِ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْأُولَى تُطَلَّقُ ثَلَاثًا، وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالْأَقْرَاءِ، وَالثَّانِيَةَ تُطَلَّقُ وَاحِدَةً وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالْوِلَادَةِ، وَالثَّالِثَةَ تُطَلَّقُ طَلْقَتَيْنِ وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالْوِلَادَةِ وَالرَّابِعَةَ تُطَلَّقُ ثَلَاثًا وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالْوِلَادَةِ.

Salah satunya adalah pendapat Abu Bakar bin al-Haddad al-Mishri, yang disebutkan dalam kitab cabangnya, dan diikuti oleh sekelompok ulama kami, bahwa istri pertama tertalak tiga kali dan masa iddahnya selesai dengan tiga kali suci, istri kedua tertalak satu kali dan masa iddahnya selesai dengan melahirkan, istri ketiga tertalak dua kali dan masa iddahnya selesai dengan melahirkan, dan istri keempat tertalak tiga kali dan masa iddahnya selesai dengan melahirkan.

وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّ الْأُولَى إِذَا وَلَدَتْ طُلِّقَ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الثَّلَاثِ وَاحِدَةً وَاحِدَةً وَلَمْ تُطَلَّقِ الْأُولَى، لِأَنَّ وِلَادَةَ كُلِّ وَاحِدَةٍ صِفَةٌ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَى غيرها، وَلَيْسَ بِصِفَةٍ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا فَإِذَا وَلَدَتِ الثَّانِيَةُ، بَانَتْ بِوِلَادَتِهَا لِوُقُوعِ الطَّلْقَةِ الْأُولَى عَلَيْهَا، وَطُلِّقَتْ بِهَا الْأُولَى وَاحِدَةً، وَطُلِّقَتْ بِهَا الثَّالِثَةُ طَلْقَةً ثَانِيَةً، وَطُلِّقَتْ بِهَا الرابعة طَلْقَةً ثَانِيَةً.

Dan hal itu terjadi demikian karena jika istri pertama melahirkan, maka masing-masing dari tiga istri lainnya dicerai satu per satu, dan istri pertama tidak dicerai. Sebab, kelahiran masing-masing istri merupakan sifat yang menyebabkan terjadinya talak atas selain dirinya, dan bukan sifat yang menyebabkan talak atas dirinya sendiri. Maka apabila istri kedua melahirkan, ia menjadi terpisah (bain) dengan kelahirannya karena jatuh talak pertama atasnya, dan dengan kelahiran itu istri pertama dicerai satu kali, istri ketiga dicerai talak kedua, dan istri keempat dicerai talak kedua.

فَإِذَا وَلَدَتِ الثَّالِثَةُ طُلِّقَتْ بِهَا الْأُولَى ثَانِيَةً، وَلَمْ تُطَلَّقْ بِهَا الثَّانِيَةُ لِانْقِضَاءِ عَدَّتِهَا بِالْوِلَادَةِ، وَطُلِّقَتْ بِهَا الرَّابِعَةُ ثَالِثَةً، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالْوِلَادَةِ، بَعْدَ وُقُوعِ طَلْقَتَيْنِ عَلَيْهَا.

Kemudian apabila istri ketiga melahirkan, maka dengan kelahirannya istri pertama dicerai talak kedua, dan istri kedua tidak dicerai karena masa iddahnya telah habis dengan kelahiran, dan istri keempat dicerai talak ketiga, serta masa iddahnya selesai dengan kelahiran, setelah jatuh dua kali talak atasnya.

فَإِذَا وَلَدَتِ الرَّابِعَةُ، طُلِّقَتْ بِهَا الْأُولَى طَلْقَةً ثَالِثَةً، وَلَمْ تُطَلَّقْ بِهَا الثَّانِيَةُ وَالثَّالِثَةُ لِانْقِضَاءِ عِدَدِهِمَا وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالْوِلَادَةِ.

Lalu apabila istri keempat melahirkan, maka dengan kelahirannya istri pertama dicerai talak ketiga, dan istri kedua dan ketiga tidak dicerai karena masa iddah keduanya telah selesai, dan masa iddah istri keempat pun selesai dengan kelahiran.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ الْقَاصِّ، ذَكَرَهُ فِي (تَلْخِيصِهِ) وَلَمْ يُسَاعِدْهُ عَلَيْهِ مَنْ يُعْتَدُّ بِقَوْلِهِ أَنَّ الْأُولَى لَا يَقَعُ عَلَيْهَا طَلَاقٌ وَتُطَلَّقُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الثَّلَاثِ تَطْلِيقَةً، لِأَنَّ الْأُولَى إِذَا وَلَدَتْ لَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا بِوِلَادَتِهَا طَلَاقٌ، وَوَقَعَ عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الثَّلَاثِ تَطْلِيقَةٌ، فَإِذَا وَلَدَتِ الثَّانِيَةُ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِوِلَادَتِهَا وَلَمْ تُطَلَّقْ بِهَا غَيْرُهَا، لِأَنَّهَا بِالْبَيْنُونَةِ خَرَجَتْ عَنْ أَنْ تَكُونَ صَاحِبَةً لَهُنَّ، وَخَرَجْنَ بِبَقَائِهِنَّ فِي الْعِدَّةِ أَنْ يَكُنَّ صَوَاحِبَ لَهَا، فَلَمْ يُوجَدْ شَرْطُ الطَّلَاقِ مِنْهُنَّ فَلَمْ يُطَلَّقْنَ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin al-Qash, yang disebutkan dalam (Talakhkhash)-nya, dan tidak ada yang pendapatnya diperhitungkan yang mendukungnya, adalah bahwa istri pertama tidak jatuh talak atasnya dan masing-masing dari tiga istri lainnya dicerai satu kali. Karena jika istri pertama melahirkan, tidak jatuh talak atasnya dengan kelahirannya, dan atas masing-masing dari tiga istri lainnya jatuh satu kali talak. Maka apabila istri kedua melahirkan, masa iddahnya selesai dengan kelahirannya dan tidak ada selain dirinya yang dicerai, karena dengan terjadinya perpisahan (bain) ia keluar dari status sebagai “teman” bagi mereka, dan mereka pun dengan tetapnya mereka dalam iddah keluar dari status sebagai “teman” baginya, sehingga syarat terjadinya talak dari mereka tidak terpenuhi, maka mereka pun tidak dicerai.

وَكَذَلِكَ إِذَا وَلَدَتِ الثَّالِثَةُ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، وَلَمْ يُطَلَّقْ بِهَا غَيْرُهَا لِهَذَا الْمَعْنَى، وَكَذَلِكَ الرَّابِعَةُ، وَالْأَصَحُّ عِنْدِي مِنْ إِطْلَاقِ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ أَنْ يُرْجَعَ إِلَى إِرَادَةِ الزَّوْجِ بِقَوْلِهِ كُلَّمَا وَلَدَتْ وَاحِدَةٌ مِنْكُنَّ فَصَوَاحِبُهَا طَوَالِقُ.

Demikian pula jika istri ketiga melahirkan, masa iddahnya selesai, dan tidak ada selain dirinya yang dicerai karena alasan ini, demikian pula istri keempat. Dan menurutku, yang lebih sahih dari dua pendapat ini adalah dikembalikan kepada maksud suami dengan ucapannya: “Setiap kali salah satu dari kalian melahirkan, maka temannya dicerai.”

فَإِنْ أَرَادَ الشَّرْطَ، فَالْجَوَابُ عَلَى مَا قَالَهُ ابْنُ الْقَاصِّ، وَإِنْ أَرَادَ بِهِ التَّعْرِيفَ فَالْجَوَابُ عَلَى مَا قَالَهُ ابْنُ الْحَدَّادِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ، أَوْ فَاتَ الرُّجُوعُ إِلَى إِرَادَتِهِ بِالْمَوْتِ، كَانَ مَحْمُولًا عَلَى التَّعْرِيفِ دُونَ الشَّرْطِ، لِأَنَّ الشُّرُوطَ عُقُودٌ لَا تَثْبُتُ بِالِاحْتِمَالِ وَالْجِوَازِ.

Jika ia bermaksud menjadikannya sebagai syarat, maka jawabannya seperti yang dikatakan oleh Ibn al-Qash. Jika ia bermaksud sebagai penjelasan, maka jawabannya seperti yang dikatakan oleh Ibn al-Haddad. Dan jika ia tidak memiliki maksud tertentu, atau tidak memungkinkan lagi untuk kembali pada maksudnya karena kematian, maka ucapan itu dianggap sebagai penjelasan, bukan sebagai syarat. Karena syarat-syarat adalah akad yang tidak dapat ditetapkan dengan dugaan dan kemungkinan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَلِدَ اثْنَتَانِ مِنْهُنَّ فِي حَالٍ مَعًا، ثُمَّ تَلِدُ بَعْدَهُمَا اثْنَتَانِ فِي حَالٍ مَعًا.

Bagian ketiga: Dua dari mereka melahirkan secara bersamaan, kemudian setelah itu dua lainnya melahirkan secara bersamaan pula.

فَالْجَوَابُ عَلَى قَوْلِ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْحَدَّادِ أَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنَ الأولتين تُطَلَّقُ ثَلَاثًا ثَلَاثًا وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالْأَقْرَاءِ، وَكُلَّ واحدة من الآخرتين تطلق تطليقتين وتنقضي عدتهما بالولادة،؛ لأن الأولتين إِذَا وَلَدَتَا طُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَطْلِيقَةً، بِوِلَادَةِ صَاحِبَتِهَا وَلَمْ تُطَلَّقْ بِوِلَادَةِ نَفْسِهَا. وَطُلِّقَتْ كل واحدة من الآخرتين تطليقتين، بولادة كل واحدة من الأولتين، فإذا ولدت كل واحدة من الآخرتين، لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ بِوِلَادَةِ صَاحِبَتِهَا، لِانْقِضَاءِ عِدَّتِهَا بولادتهما وطلقت كل واحدة من الأولتين طلقتين بولادة الآخرتين، فاستكمل طلاق الأولتين ثلاثاً ووقع على الآخرتين تطليقتان.

Jawaban menurut pendapat Abu Bakr ibn al-Haddad adalah bahwa masing-masing dari dua istri yang pertama dicerai tiga kali dan masa iddahnya selesai dengan haid, dan masing-masing dari dua istri yang terakhir dicerai dua kali dan masa iddahnya selesai dengan kelahiran. Karena jika dua istri yang pertama melahirkan, maka masing-masing dari mereka dicerai satu kali dengan kelahiran temannya dan tidak dicerai dengan kelahiran dirinya sendiri. Dan masing-masing dari dua istri yang terakhir dicerai dua kali dengan kelahiran masing-masing dari dua istri yang pertama. Jika masing-masing dari dua istri yang terakhir melahirkan, maka tidak ada satu pun dari mereka yang dicerai dengan kelahiran temannya, karena masa iddahnya telah selesai dengan kelahiran mereka berdua, dan masing-masing dari dua istri yang pertama dicerai dua kali dengan kelahiran dua istri yang terakhir, sehingga talak pada dua istri yang pertama menjadi tiga kali dan pada dua istri yang terakhir menjadi dua kali.

وَالْجَوَابُ عَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ: أَنَّ كُلَّ واحدة من الأولتين تُطَلَّقُ وَاحِدَةً وَاحِدَةً بِوِلَادَةِ صَاحِبَتِهَا. وَكُلَّ وَاحِدَةٍ من الآخرتين تطلق تطليقتين بولادة الأولتين.

Jawaban menurut pendapat Abu al-‘Abbas adalah bahwa masing-masing dari dua istri yang pertama dicerai satu kali dengan kelahiran temannya. Dan masing-masing dari dua istri yang terakhir dicerai dua kali dengan kelahiran dua istri yang pertama.

ولا تطلق الأولتين بولادة الآخرتين؛ لِأَنَّهُمَا قَدْ خَرَجَتَا بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِالْوِلَادَةِ، مِنْ أن تكونا صاحبتين للأولتين.

Dan dua istri yang pertama tidak dicerai dengan kelahiran dua istri yang terakhir, karena keduanya telah keluar dari masa iddah dengan kelahiran, sehingga tidak lagi menjadi “teman” bagi dua istri yang pertama.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَلَوْ كَانَ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ كُلَّمَا وَقَعَ عَلَيْكِ طَلَاقِي وَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً طُلِّقَتْ ثَلَاثًا وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا طُلِّقَتْ بِالْأُولَى وَحْدَهَا قال الشافعي وَكَذَلِكَ لَوْ خَالَعَهَا بِطَلْقَةٍ مَدْخُولًا بِهَا قَالَ المزني رحمه الله تعالى أَلْطَفَ الشَّافِعِيُّ فِي وَقْتِ إِيقَاعِ الطَّلَاقِ فَلَمْ يُوقِعْ إِلَّا وَاحِدَةً) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Engkau tertalak setiap kali talakku jatuh atasmu,’ lalu ia mentalaknya satu kali, maka ia tertalak tiga kali. Namun jika ia belum pernah digauli, maka ia hanya tertalak dengan talak yang pertama saja.” Imam Syafi‘i juga berkata, “Demikian pula jika ia melakukan khulu‘ dengan satu talak pada istri yang sudah digauli.” Al-Muzani rahimahullah berkata, “Imam Syafi‘i sangat cermat dalam waktu pelaksanaan talak, sehingga beliau hanya menjatuhkan satu talak saja.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَالَ لَهَا: كُلَّمَا: وَقَعَ عَلَيْكِ طَلَاقِي، فَأَنْتِ طَالِقٌ فَلَهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: “Ini benar, jika ia berkata kepada istrinya: ‘Setiap kali talakku jatuh atasmu, maka engkau tertalak,’ maka ada tiga keadaan baginya:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ مَدْخُولًا بِهَا.

Pertama: Istri tersebut sudah pernah digauli.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ غَيْرَ مَدْخُول بِهَا.

Kedua: Istri tersebut belum pernah digauli.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ مُخْتَلِعَةً.

Ketiga: Istri tersebut dalam keadaan khulu‘ (cerai tebus).

فَإِنْ كَانَتْ مَدْخُولًا بِهَا فَمَتَى طَلَّقَهَا وَاحِدَةً طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَاحِدَةً بِمُبَاشَرَتِهِ، وَالثَّانِيَةَ بِالصِّفَةِ وَهُوَ وُقُوعُ الْأُولَى عَلَيْهَا وَالثَّالِثَةَ بِالثَّانِيَةِ، لِأَنَّهَا قَدْ وَقَعَتْ عَلَيْهَا فَصَارَتْ صِفَةً فِي وُقُوعِ الثَّالِثَةِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا بَعْدَ عَقْدِ هَذَا الطَّلَاقِ أَوْ قَبْلَهُ، إِنْ دَخَلَتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَدَخَلَتِ الدَّارَ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَاحِدَةً بِدُخُولِ الدَّارِ، وَثَانِيَةً بِوُقُوعِ الْأُولَى، وَثَالِثَةً بِوُقُوعِ الثَّانِيَةِ وَكَانَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مُخَالِفَةً لِمَسْطُورِ الْمَسْأَلَةِ الَّتِي قَبْلَهَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jika ia sudah pernah digauli, maka kapan saja suami mentalaknya satu kali, ia tertalak tiga kali: satu karena talak langsung, kedua karena sifat (yaitu terjadinya talak pertama atasnya), dan ketiga karena terjadinya talak kedua, karena talak telah jatuh atasnya sehingga menjadi sifat bagi terjadinya talak ketiga. Demikian pula jika suami berkata kepada istrinya setelah akad talak ini atau sebelumnya, “Jika engkau masuk ke dalam rumah, maka engkau tertalak,” lalu ia masuk ke dalam rumah, maka ia tertalak tiga kali: satu karena masuk ke dalam rumah, kedua karena terjadinya talak pertama, dan ketiga karena terjadinya talak kedua. Masalah ini berbeda dengan masalah yang telah disebutkan sebelumnya dalam dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ إِذَا قَالَ لَهَا فِي الْمَسْأَلَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ: إِذَا طَلَّقْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثم طلقها واحدة، طلقت ثنتين لَا غَيْرَ.

Pertama: Jika dalam masalah sebelumnya suami berkata kepada istrinya, “Jika aku mentalakmu, maka engkau tertalak,” lalu ia mentalaknya satu kali, maka ia tertalak dua kali saja, tidak lebih.

وَإِذَا قَالَ لَهَا فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: كُلَّمَا وَقَعَ عَلَيْكِ طَلَاقِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً طُلِّقَتْ ثَلَاثًا.

Sedangkan dalam masalah ini, jika suami berkata kepada istrinya, “Setiap kali talakku jatuh atasmu, maka engkau tertalak,” lalu ia mentalaknya satu kali, maka ia tertalak tiga kali.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الشَّرْطَ فِي الْأُولَى، فِعْلُ الطَّلَاقِ، وَفِي الثَّانِيَةِ وُقُوعُ الطَّلَاقِ وَفِعْلُ الطَّلَاقِ لَمْ يَتَكَرَّرْ، فلذلك لم يتكرر وقوع الطلاق به.

Perbedaannya adalah: pada kasus pertama, syaratnya adalah perbuatan talak, sedangkan pada kasus kedua, syaratnya adalah jatuhnya talak. Dan perbuatan talak tidak berulang, sehingga jatuhnya talak pun tidak berulang karenanya.

ووقوع الطلاق قد تكرر، فلذلك تكرر وقوع الطلاق، وَلَوْلَا أَنَّ عَدَدَ الطَّلَاقِ مَقْصُورٌ عَلَى الثَّلَاثِ لَتَنَاهَى وُقُوعُهُ إِلَى مَا لَا غَايَةَ لَهُ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: كُلَّمَا أَوْقَعْتُ عَلَيْكِ طَلَاقِي فَأَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً طُلِّقَتْ ثَانِيَةً لَا غَيْرَ، كَقَوْلِهِ كُلَّمَا طَلَّقْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، لِأَنَّهُ قَدْ أَضَافَ الْوُقُوعَ إِلَى نَفْسِهِ فَصَارَ الطَّلَاقُ مُعَلَّقًا بِفِعْلِهِ.

Sedangkan jatuhnya talak bisa berulang, sehingga jatuhnya talak pun berulang. Seandainya jumlah talak tidak dibatasi hanya tiga, niscaya jatuhnya talak akan terus berulang tanpa batas. Namun, jika suami berkata, “Setiap kali aku menjatuhkan talakku atasmu, maka engkau tertalak,” lalu ia mentalaknya satu kali, maka ia tertalak kedua kali saja, tidak lebih, sebagaimana ucapannya, “Setiap kali aku mentalakmu, maka engkau tertalak,” karena ia telah mengaitkan jatuhnya talak pada dirinya sendiri, sehingga talak menjadi tergantung pada perbuatannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى إِذَا قَالَ: إِنْ دَخَلَتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ: إِنْ طَلَّقْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَدَخَلَتِ الدَّارَ لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا وَاحِدَةً بِدُخُولِهَا.

Adapun perbedaan kedua: Dalam kasus pertama, jika suami berkata, “Jika engkau masuk ke dalam rumah, maka engkau tertalak,” lalu berkata lagi, “Jika aku mentalakmu, maka engkau tertalak,” kemudian istrinya masuk ke dalam rumah, maka ia hanya tertalak satu kali karena masuknya itu.

وَفِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، إِنْ قَالَ لَهَا: إِنْ دَخَلَتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ لَهَا: إِنْ وَقَعَ عَلَيْكِ طَلَاقِي، فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَدَخَلَتِ الدَّارَ، طُلِّقَتْ ثنتين.

Sedangkan dalam kasus ini, jika suami berkata kepada istrinya, “Jika engkau masuk ke dalam rumah, maka engkau tertalak,” lalu berkata lagi, “Jika talakku jatuh atasmu, maka engkau tertalak,” kemudian istrinya masuk ke dalam rumah, maka ia tertalak dua kali.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ فِي الْأُولَى جَعَلَ الشَّرْطَ إِحْدَاثَ الطَّلَاقِ فَإِذَا طُلِّقَتْ بِمَا تَقَدَّمَ لَمْ يَكُنْ مُحْدِثًا لَهُ فَلَمْ تُطَلَّقْ وَفِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ جَعَلَ وُقُوعَ الطَّلَاقِ وَهُوَ وَاقِعٌ مِنْ بَعْدُ وَإِنْ كَانَ بِعَقْدٍ مُتَقَدِّمٍ، فَلِذَلِكَ طُلِّقَتْ.

Perbedaannya adalah: pada kasus pertama, syaratnya adalah terjadinya talak, sehingga jika ia sudah tertalak dengan sebab yang telah lalu, maka tidak terjadi talak baru, sehingga ia tidak tertalak lagi. Sedangkan pada kasus ini, syaratnya adalah jatuhnya talak, dan itu memang terjadi setelahnya, meskipun dengan akad yang telah lalu, sehingga ia tertalak.

وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا بِمَا ذَكَرْنَاهُ أَصَحُّ، وَلَوْ قَالَ: إِذَا وَقَعَ عَلَيْكِ طَلَاقِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَلَمْ يَقُلْ كلما، ثم طلقها واحدة طلقت ثنتين؛ لِأَنَّ إِذَا لَا تُوجِبُ التَّكْرَارَ، وَكُلَّمَا تُوجِبُ التَّكْرَارَ.

Sebagian ulama kami menggabungkan kedua masalah ini, namun perbedaan antara keduanya sebagaimana yang telah kami sebutkan adalah yang lebih benar. Jika suami berkata, “Jika talakku jatuh atasmu, maka engkau tertalak,” tanpa menyebutkan ‘setiap kali’, lalu ia mentalaknya satu kali, maka ia tertalak dua kali, karena ‘jika’ tidak menunjukkan pengulangan, sedangkan ‘setiap kali’ menunjukkan pengulangan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا لَمْ تُطَلَّقْ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْمُبَاشِرَةُ؛ لِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ بِهَا، فَلَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا بِالصِّفَةِ، بَعْدَ أَنْ بَانَتْ طَلَاقٌ.

Jika istri belum pernah digauli, maka dalam masalah ini ia tidak tertalak kecuali satu kali saja, yaitu talak langsung, karena dengan talak itu ia telah menjadi wanita yang terpisah (bain), sehingga tidak terjadi talak lagi atasnya dengan sifat tersebut setelah ia menjadi bain.

وَلَكِنْ لَوْ قَالَ لَهَا وَهِيَ غَيْرُ مَدْخُولٍ بِهَا: إِنْ وَطِئْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ: كُلَّمَا وَقَعَ عَلَيْكِ طَلَاقِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَقَدَّمَ هَذَا الْقَوْلَ عَلَى تَعْلِيقِ الطَّلَاقِ بِالْوَطْءِ، فَكِلَاهُمَا فِي الْحُكْمِ سَوَاءٌ، فَإِذَا وَطِئَهَا بِأَنْ غَيَّبَ الْحَشَفَةَ فِي الْفَرْجِ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَاحِدَةً بِالْوَطْءِ، وَثَانِيَةً بِالْأُولَى، لِأَنَّهَا بِالْوَطْءِ قَدْ صَارَتْ مَدْخُولًا بِهَا، تَجِبُ الْعِدَّةُ عَلَيْهَا، وَثَالِثَةً بِالثَّانِيَةِ.

Namun, jika ia berkata kepada istrinya yang belum digauli: “Jika aku menggaulimu, maka engkau tertalak,” kemudian ia berkata: “Setiap kali talakku jatuh padamu, maka engkau tertalak,” dan ia mendahulukan ucapan ini atas penangguhan talak dengan hubungan badan, maka keduanya dalam hukum adalah sama. Maka jika ia menggaulinya dengan memasukkan hasyafah ke dalam farji, maka istrinya tertalak tiga: satu karena hubungan badan, kedua karena yang pertama, karena dengan hubungan badan ia telah menjadi istri yang sudah digauli sehingga wajib atasnya menjalani ‘iddah, dan ketiga karena yang kedua.

وَأَمَّا وُجُوبُ الْحَدِّ عَلَيْهِ بِوَطْئِهِ مَعَ وُقُوعِ الثَّالِثَةِ عَلَيْهِ، فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Adapun kewajiban had atasnya karena menggauli istrinya setelah jatuh talak ketiga, maka ada tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ حِينَ أَوْلَجَ نَزَعَ وَلَمْ يُعَاوِدْ، فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ.

Pertama: Jika ketika ia memasukkan (hasyafah), ia langsung menariknya keluar dan tidak mengulangi, maka tidak ada had atasnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ نَزَعَ ثُمَّ عَادَ، فَعَلَيْهِ الْحَدُّ.

Kedua: Jika ia menariknya keluar lalu mengulangi, maka wajib atasnya had.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَدِيمَهُ بَعْدَ الْإِيلَاجِ، مِنْ غَيْرِ نَزْعٍ، فَفِي وُجُوبِ الْحَدِّ وَجْهَانِ.

Ketiga: Jika ia melanjutkan (hubungan) setelah memasukkan (hasyafah), tanpa menarik keluar, maka dalam kewajiban had terdapat dua pendapat.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنْ كَانَتْ مُخْتَلِعَةً، حِينَ قَالَ لَهَا: كُلَّمَا أَوْقَعْتُ عَلَيْكِ طَلَاقِي، فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً، لَمْ تُطَلَّقْ بِالْمُبَاشَرَةِ وَلَا بِالصِّفَةِ؛ لِأَنَّ الْمُخْتَلِعَةَ لَا يَلْحَقُهَا طَلَاقٌ.

Jika istri tersebut adalah mukhtali‘ah (yang telah melakukan khulu‘), ketika ia berkata kepadanya: “Setiap kali aku jatuhkan talak padamu, maka engkau tertalak,” lalu ia menalaknya satu kali, maka ia tidak tertalak baik secara langsung maupun dengan sifat tersebut; karena mukhtali‘ah tidak terkena talak.

وَلَوْ كَانَتْ غَيْرَ مُخْتَلِعَةٍ، فَقَالَ لَهَا: كُلَّمَا وَقَعَ عَلَيْكِ طَلَاقِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ خَالَعَهَا بِطَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ، طُلِّقَتْ بِهَا، وَلَمْ تُطَلَّقْ غَيْرَهَا بِوُقُوعِهَا؛ لِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ بِالْخُلْعِ، كَمَا بَانَتْ بِالثَّلَاثِ.

Dan jika ia bukan mukhtali‘ah, lalu ia berkata kepadanya: “Setiap kali talakku jatuh padamu, maka engkau tertalak,” kemudian ia melakukan khulu‘ dengan satu talak, maka ia tertalak dengan talak itu, dan tidak tertalak lagi dengan jatuhnya talak tersebut; karena ia telah menjadi wanita yang terpisah dengan khulu‘, sebagaimana terpisah dengan tiga talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: كُلَّمَا طَلَّقْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ وَكَّلَ فِي طَلَاقِهَا فَطَلَّقَهَا الْوَكِيلُ وَاحِدَةً، لَمْ تُطَلَّقْ غَيْرَهَا؛ لِأَنَّ طَلَاقَ الْوَكِيلِ لَيْسَ هُوَ فِعْلَ الزَّوْجِ وَإِنْ لَزِمَهُ حُكْمُهُ.

Jika ia berkata kepada istrinya: “Setiap kali aku menalakkanmu, maka engkau tertalak,” kemudian ia mewakilkan urusan talaknya kepada seseorang lalu wakil tersebut menalaknya satu kali, maka tidak jatuh talak lainnya; karena talak yang dilakukan oleh wakil bukanlah perbuatan suami, meskipun hukumnya tetap berlaku atas suami.

وَلَوْ كَانَ قَالَ لَهَا: كُلَّمَا وَقَعَ عَلَيْكِ طلاقي، فأنت طالق، ثُمَّ طَلَّقَهَا وَكِيلُهُ وَاحِدَةً، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Dan jika ia berkata kepadanya: “Setiap kali talakku jatuh padamu, maka engkau tertalak,” kemudian wakilnya menalaknya satu kali, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تُطَلَّقُ غَيْرَهَا، كَمَا لَوْ قَالَ لَهَا: كُلَّمَا طَلَّقْتُكِ؛ لِأَنَّ فِعْلَ الْوَكِيلِ لَيْسَ مِنْ فِعْلِهِ.

Salah satunya: Tidak jatuh talak lainnya, sebagaimana jika ia berkata: “Setiap kali aku menalakkanmu”; karena perbuatan wakil bukanlah perbuatannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُطَلَّقُ ثَلَاثًا، كَمَا لَوْ كَانَ هُوَ الْمُطَلِّقَ لَهَا، وَاحِدَةً بِمُبَاشَرَةِ الْوَكِيلِ وَثَانِيَةً بِالْأُولَى، وَثَالِثَةً بِالثَّانِيَةِ، لِأَنَّ طَلَاقَ الْوَكِيلِ وَاقِعٌ مِنْ جِهَةِ الْمُوَكِّلِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ فِعْلِهِ.

Pendapat kedua: Bahwa ia tertalak tiga, sebagaimana jika suami sendiri yang menalaknya: satu karena langsung dilakukan oleh wakil, kedua karena yang pertama, dan ketiga karena yang kedua; karena talak yang dilakukan oleh wakil terjadi atas nama muwakkil (pemberi kuasa), meskipun bukan perbuatannya sendiri.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ وَلَهُ أَرْبَعُ زَوْجَاتٍ وَعَبِيدٌ: كُلَّمَا طَلَّقْتُ وَاحِدَةً مِنْكُنَّ فَوَاحِدٌ مِنْ عَبِيدِي حُرٌّ، وَكُلَّمَا طَلَّقْتُ اثْنَتَيْنِ فَعَبْدَانِ حُرَّانِ، وَكُلَّمَا طَلَّقْتُ ثَلَاثًا فَثَلَاثَةُ أَعْبُدٍ أحراراً، وكلما طلقت أربعاً فأربعة أعبد أحراراً، فَطَلَاقُ الْأَرْبَعِ كُلِّهِنَّ عَتَقَ عَلَيْهِ خَمْسَةَ عَشْرَةَ عَبْدًا، وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّهُ عَلَّقَ الْعِتْقَ بِالْآحَادِ وَبِالِاثْنَيْنِ وَبِالثَّلَاثِ وَبِالْأَرْبَعِ وَفِي الْأَرْبَعِ أَرْبَعَةُ آحَادٍ فَعَتَقَ بِهِنَّ أَرْبَعَةُ عَبِيدٍ، وَفِيهِنَّ اثْنَانِ وَاثْنَانِ، فَعَتَقَ بِهِنَّ أَرْبَعَةُ عَبِيدٍ، وَفِيهِنَّ ثَلَاثٌ وَاحِدَةٌ، فَعَتَقَ ثَلَاثَةُ عَبِيدٍ وَهنَّ أَرْبَعٌ وَاحِدَةٌ، فَعَتَقَ أربعة عبيد، فصار ذلك خمسة عشرة عَبْدًا، أَرْبَعَةٌ وَأَرْبَعَةٌ وَثَلَاثَةٌ وَأَرْبَعَةٌ، وَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَعْرِفَ ذَلِكَ بِطَلَاقِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، فَإِنَّ طَلَاقَ الْأُولَى، يَعْتِقُ بِهِ عَبْدٌ وَاحِدٌ، وَطَلَاقَ الثَّانِيَةِ يَعْتِقُ بِهِ ثَلَاثَةُ أعبدٍ؛ لِأَنَّهُ قَدْ جُمِعَ فِيهَا صِفَتَانِ أَنَّهَا وَاحِدَةٌ وَأَنَّهَا ثانية، وطلاق الثانية يَعْتِقُ بِهِ أَرْبَعَةُ عَبِيدٍ، لِأَنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ فِيهَا صِفَتَانِ، أَنَّهَا وَاحِدَةٌ، وَأنَّهَا ثَالِثَةٌ، وَطَلَاقَ الرَّابِعَةِ يَعْتِقُ سَبْعَةُ عَبِيدٍ، لِأَنَّهُ اجْتَمَعَ فِيهَا ثَلَاثُ صِفَاتٍ أَنَّهَا وَاحِدَةٌ، وَأَنَّهَا ثَانِيَةٌ وَأَنَّهَا رَابِعَةٌ هَذَا هُوَ أَصَحُّ مَا قِيلَ فِيهَا.

Jika seseorang berkata, sedangkan ia memiliki empat istri dan beberapa budak: “Setiap kali aku menceraikan salah satu dari kalian, maka salah satu dari budakku merdeka; setiap kali aku menceraikan dua orang dari kalian, maka dua budakku merdeka; setiap kali aku menceraikan tiga orang dari kalian, maka tiga budakku merdeka; dan setiap kali aku menceraikan empat orang dari kalian, maka empat budakku merdeka,” maka jika ia menceraikan keempat istrinya, ia telah memerdekakan lima belas budak. Penjelasannya adalah bahwa ia menggantungkan pembebasan budak pada satu, dua, tiga, dan empat (istri), dan dalam empat itu terdapat empat kali satu, sehingga dengan itu merdeka empat budak; dan di dalamnya terdapat dua dan dua, sehingga merdeka empat budak; dan di dalamnya terdapat tiga dan satu, sehingga merdeka tiga budak; dan di dalamnya terdapat empat dan satu, sehingga merdeka empat budak. Maka jumlahnya menjadi lima belas budak: empat, empat, tiga, dan empat. Jika engkau ingin mengetahui hal itu dengan menceraikan masing-masing istri, maka: perceraian yang pertama, membebaskan satu budak; perceraian yang kedua, membebaskan tiga budak, karena di dalamnya terkumpul dua sifat: ia sebagai yang pertama dan sebagai yang kedua; perceraian yang ketiga, membebaskan empat budak, karena di dalamnya terkumpul dua sifat: ia sebagai yang pertama dan sebagai yang ketiga; dan perceraian yang keempat, membebaskan tujuh budak, karena di dalamnya terkumpul tiga sifat: ia sebagai yang pertama, sebagai yang kedua, dan sebagai yang keempat. Inilah pendapat yang paling sahih tentang masalah ini.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَعْتَقَ بِهِنَّ سَبْعَةَ عَشَرَ عَبْدًا، وَزَادَ عَبْدَيْنِ بِالثَّالِثَةِ، وَجَعَلَ فِيهَا ثَلَاثَ صِفَاتٍ صِفَةَ الْوَاحِدَةِ، وَصِفَةَ الِاثْنَتَيْنِ، وَالثَّالِثَةِ وَصِفَةَ الثَّلَاثِ.

Di antara ulama mazhab kami ada yang berpendapat bahwa dengan itu ia membebaskan tujuh belas budak, dan menambahkan dua budak pada perceraian yang ketiga, serta menjadikan di dalamnya tiga sifat: sifat satu, sifat dua, dan sifat tiga.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَعْتَقَ بِهِنَّ عِشْرِينَ عَبْدًا، وَبِهِ قَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَجَعَلُوا فِي الرَّابِعَةِ أَرْبَعَ صِفَاتٍ، صِفَةَ الْوَاحِدَةِ، وَصِفَةَ الِاثْنَتَيْنِ وَصِفَةَ الثَّلَاثِ، لِأَنَّ الثَّانِيَةَ وَالثَّالِثَةَ وَالرَّابِعَةَ ثَلَاثٌ، وَصِفَةَ الرَّابِعَةِ، فَأَعْتَقَ بِالْأُولَى عَبْدًا، وَبِالثَّانِيَةِ ثَلَاثَةً، وَبِالثَّالِثَةِ، سِتَّةً، وَبِالرَّابِعَةِ عَشَرَةً وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ خَطَأٌ، وَالْأَوَّلُ هُوَ الْأَصَحُّ؛ لِأَنَّ الِاثْنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ إِنَّمَا يَتَكَرَّرُ بَعْدَ كَمَالِ عَدَدِهَا الْأَوَّلِ.

Dan di antara ulama mazhab kami ada yang berpendapat bahwa dengan itu ia membebaskan dua puluh budak, dan pendapat ini juga dikatakan oleh para pengikut Abu Hanifah. Mereka menjadikan pada perceraian yang keempat terdapat empat sifat: sifat satu, sifat dua, sifat tiga—karena yang kedua, ketiga, dan keempat adalah tiga—dan sifat keempat. Maka dengan perceraian pertama membebaskan satu budak, dengan yang kedua tiga budak, dengan yang ketiga enam budak, dan dengan yang keempat sepuluh budak. Kedua pendapat ini keliru, dan pendapat pertama adalah yang paling sahih, karena dua dan tiga itu hanya berulang setelah sempurnanya jumlah yang pertama.

أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ: كُلَّمَا أَكَلْتُ نِصْفَ رُمَّانَةٍ، فَعَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي حُرٌّ فَأَكَلَ رُمَّانَةً، عَتَقَ عَلَيْهِ عَبْدَانِ، لِأَنَّ الرُّمَّانَةَ لَهَا نِصْفَانِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ: يَعْتِقُ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَعْبُدٍ، عَبْدٌ بِالنِّصْفِ الْأَوَّلِ وَعَبْدٌ ثَالِثٌ إِذَا أَكَلَ الرُّبْعَ الثَّالِثَ؛ لِأَنَّهُ يَكُونُ مَعَ الرُّبْعِ الثَّانِي نِصْفًا، وَعَبْدٌ ثَالِثٌ إِذَا أَكَلَ الْبَاقِيَ، لِأَنَّهُ مَعَ الرُّبْعِ الثَّالِثِ يَكُونُ نِصْفًا، فَيَعْتِقُ عَلَيْهِ ثلاثة أعبد، ويكون هذا فاسد؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ نِصْفٌ ثَانٍ إِلَّا بَعْدَ كَمَالِ النِّصْفِ الْأَوَّلِ، فَلَا يَكُونُ فِي الْوَاحِدِ أَكْثَرَ مِنْ نِصْفَيْنِ، كَذَلِكَ الْأَرْبَعَةُ لَا يَكُونُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنَ اثْنَيْنِ وَاثْنَيْنِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَدَاخَلَ ذَلِكَ فِي بَعْضٍ، كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَدَاخَلَ فِي الرُّمَّانَةِ أَحَدُ النِّصْفَيْنِ فِي الْآخَرِ، وَبِهَذَا التَّعْلِيلِ مَا وَهِمَ فِيهِ أَبُو الْحَسَنِ بْنُ الْقَطَّانِ مِنْ أَصْحَابِنَا وَلَمْ يَعْتِقْ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، إِلَّا عَشَرَةُ أَعْبُدٍ، وَاحِدٍ وَاثْنَيْنِ وَثَلَاثَةٍ وَأَرْبَعَةٍ، وَهَذَا وَهْمٌ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ الْعَدَدَ لَا يَتَدَاخَلُ فِي مِثْلِهِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَتَدَاخَلَ فِي غَيْرِهِ، وَالْآحَادُ مَوْجُودَةٌ فِي الْأَرْبَعَةِ فَتَضَاعَفَتْ، وَالِاثْنَانِ تَتَضَاعَفُ فِي الْأَرْبَعَةِ، وَلَا تُضَاعَفُ الِاثْنَتَانِ مِنَ اثْنَيْنِ، وَلَا الثَّلَاثَةُ من ثلاثة، ففسد ما قاله بن الْقَطَّانِ فِي اقْتِصَارِهِ عَلَى عِتْقِ عَشَرَةٍ، كَمَا فَسَدَ مَا قَالَهُ غَيْرُهُ فِي عِتْقِهِ سَبْعَةَ عشرة وَفِي عِتْقِهِ عِشْرِينَ، وَكَانَ الصَّحِيحُ عِتْقَ خَمْسَةَ عشرة عَبْدًا مِنَ الْوَجْهَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ فِي التَّعْلِيلِ.

Tidakkah engkau melihat, seandainya ia berkata: “Setiap kali aku memakan setengah buah delima, maka seorang budak dari budak-budakku merdeka,” lalu ia memakan satu buah delima, maka merdekalah dua orang budak baginya, karena satu buah delima terdiri dari dua setengah. Tidak boleh dikatakan: merdeka tiga orang budak, satu karena setengah pertama, dan budak ketiga jika ia memakan seperempat ketiga; karena bersama seperempat kedua menjadi setengah, dan budak ketiga jika ia memakan sisa, karena bersama seperempat ketiga menjadi setengah, sehingga merdeka tiga budak baginya. Ini adalah pendapat yang rusak, karena tidak mungkin ada setengah kedua kecuali setelah sempurnanya setengah pertama, sehingga dalam satu buah tidak mungkin ada lebih dari dua setengah, demikian pula pada empat tidak mungkin ada lebih dari dua dan dua, dan tidak boleh saling tumpang tindih dalam hal ini, sebagaimana tidak boleh salah satu dari dua setengah pada buah delima saling tumpang tindih dengan yang lain. Dengan alasan inilah, Abu al-Hasan bin al-Qattan dari kalangan ulama kami keliru dalam masalah ini, dan tidaklah merdeka baginya dalam masalah ini kecuali sepuluh budak: satu, dua, tiga, dan empat. Ini adalah kekeliruan yang rusak, karena bilangan tidak saling tumpang tindih pada jenisnya, namun boleh saling tumpang tindih pada selainnya. Satuan terdapat pada empat sehingga menjadi berlipat, dua juga berlipat pada empat, namun dua dari dua tidak berlipat, dan tiga dari tiga juga tidak berlipat, maka rusaklah apa yang dikatakan oleh Ibn al-Qattan dalam membatasi pada sepuluh budak, sebagaimana rusak pula pendapat selainnya yang mengatakan tujuh belas atau dua puluh budak yang merdeka. Yang benar adalah merdekanya lima belas budak dari dua sisi yang telah disebutkan dalam penjelasan.

(مَسَأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا لَمْ أُطَلِّقْكِ أَوْ مَتَى مَا لَمْ أُطَلِّقْكِ فَسَكَتَ مُدَّةً يُمْكِنُهُ فِيهَا الطَّلَاقُ طُلِّقَتْ وَلَوْ كَانَ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ لَمْ أُطَلِّقْكِ لَمْ يَحْنَثْ حَتَّى نَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يُطَلِّقُهَا بِمَوْتِهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فَرَّقَ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ إذا وإن فَأَلْزَمَ فِي إِذَا لَمْ نَفْعَلْهُ مِنْ سَاعَتِهِ وَلَمْ يُلْزِمْهُ فِي إِنْ إِلَّا بِمَوْتِهِ أَوْ بِمَوْتِهَا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Engkau tertalak jika aku tidak menalakkanmu’ atau ‘kapan saja aku tidak menalakkanmu’, lalu ia diam selama waktu yang memungkinkan untuk menjatuhkan talak, maka istrinya tertalak. Namun jika ia berkata: ‘Engkau tertalak jika aku tidak menalakkanmu’, maka ia tidak terkena sumpah (tidak terjadi talak) hingga diketahui bahwa ia tidak menalakkan istrinya sampai ia meninggal dunia.” Al-Muzani rahimahullah berkata: “Imam Syafi‘i membedakan antara ‘idza’ dan ‘in’, sehingga ia mewajibkan (jatuh talak) pada ‘idza’ jika tidak dilakukan saat itu juga, dan tidak mewajibkannya pada ‘in’ kecuali dengan kematiannya atau kematian istrinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْأَلْفَاظَ الْمُسْتَعْمَلَةَ فِي شُرُوطِ الطَّلَاقِ سَبْعَةٌ. إِنْ وَإِذَا وَمَتَى وَمَا وَأَيُّ وَقْتٍ وَأَيُّ زَمَانٍ وَأَيُّ حِينٍ، وَلَهَا إِذَا اسْتُعْمِلَتْ فِي شُرُوطِ الطَّلَاقِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa lafaz-lafaz yang digunakan dalam syarat talak ada tujuh: in, idza, mata, ma, ayyu waqtin, ayyu zamanin, dan ayyu hinin. Jika lafaz-lafaz ini digunakan dalam syarat talak, maka terdapat tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَتَجَرَّدَ عَنْ عِوَضٍ، وَأَنْ لَا يَدْخُلَ عَلَيْهَا لَمْ الْمَوْضُوعَةُ لِلنَّفْيِ،.

Pertama: Lafaz tersebut tidak disertai dengan ‘iwadh (pengganti/imbalan), dan tidak dimasuki oleh “lam” yang berfungsi untuk penafian.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَقْتَرِنَ بِهَا الْعِوَضُ،.

Kedua: Tidak disertai dengan ‘iwadh.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَدْخُلَ عَلَيْهَا لَمْ الْمَوْضُوعَةُ لِلنَّفْيِ.

Ketiga: Dimulai dengan “lam” yang berfungsi untuk penafian.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ تَتَجَرَّدَ الْأَلْفَاظُ السَّبْعَةُ عَنِ الْعِوَضِ، وَلَا تَدْخُلَ عَلَيْهَا لَمْ، فَلَا تَكُونَ هَذِهِ الْأَلْفَاظُ السَّبْعَةُ مُسْتَعْمَلَةً إِلَّا فِي تَعْلِيقِ الطَّلَاقِ بِوُجُودِ الشَّرْطِ، فَيُعْتَبَرُ بِوُجُودِ ذَلِكَ الشَّرْطِ أَبَدًا مَا لَمْ يَفُتْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُرَاعَى فِيهِ الْفَوْرُ، وَيَكُونُ عَلَى التَّرَاخِي، فَإِذَا وُجِدَ الشَّرْطُ وَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ، إِذَا كَانَ قَبْلَ مَوْتِ أَحَدِهِمَا بِطَرْفَةِ عَيْنٍ.

Adapun bagian pertama, yaitu jika ketujuh lafaz tersebut tidak disertai ‘iwadh dan tidak dimasuki “lam”, maka lafaz-lafaz ini hanya digunakan untuk menggantungkan talak pada terjadinya syarat. Maka, talak dianggap terjadi dengan adanya syarat tersebut selama-lamanya, selama syarat itu belum terlewat, tanpa memperhatikan keharusan segera, dan berlaku secara bertahap (tidak harus langsung). Jika syarat itu terjadi, maka talak jatuh karenanya, selama itu terjadi sebelum salah satu dari keduanya meninggal walau sekejap mata.

فَإِذَا قَالَ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَإِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ أَوْ مَتَى مَا دَخَلْتِ، أَوْ أَيُّ وَقْتٍ دَخَلْتِ الدَّارَ، أَوْ أَيُّ زَمَانٍ دَخَلْتِ الدَّارَ، أَوْ أَيُّ حِينٍ دَخَلْتِ الدار، فأنت طَالِقٌ كَانَتْ هَذِهِ الْأَلْفَاظُ السَّبْعَةُ كُلُّهَا عَلَى التَّرَاخِي لِتَعَلُّقِهَا بِوُجُودِ شَرْطٍ، لَا يَخْتَصُّ بِزَمَانٍ دُونَ غَيْرِهِ فَمَتَى وُجِدَ الشَّرْطُ قَرِيبًا أَوْ بَعِيدًا تَعَلَّقَ بِهِ الْحُكْمُ، وَوَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ إِذَا كَانَ قَبْلَ الْمَوْتِ، فَلَوْ لَمْ تَدْخُلِ الدَّارَ حَتَّى مَاتَ الزَّوْجُ، ثُمَّ دَخَلَتْ لَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ مَوْجُودًا؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ بَعْدَ مَوْتِ الزَّوْجِ، فَصَارَ الشَّرْعُ رافعاً لحكم الشرط بالموت، فإن قبل فَقَدْ قُلْتُمْ فِي كِتَابِ الْخُلْعِ إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شِئْتِ أَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ، وَأَنْتِ طَالِقٌ إِذَا شِئْتِ، أَنَّهُ عَلَى التراخي وسويتم ها هنا بَيْنَ قَوْلِهِ، أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ، وَأَنْتِ طَالِقٌ إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ، أَنَّهُمَا عَلَى التَّرَاخِي، قِيلَ: قَدْ ذَكَرْنَا فِي كِتَابِ الْخُلْعِ الْفَرْقَ بَيْنَ قَوْلِهِ: (أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا شِئْتِ أَنَّهُ عَلَى التَّرَاخِي) ، (وَأَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شِئْتِ أَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ) .

Jika seseorang berkata: “Jika kamu masuk ke rumah, maka kamu tertalak,” atau “Jika kamu masuk ke rumah,” atau “Kapan saja kamu masuk ke rumah,” atau “Pada waktu apa pun kamu masuk ke rumah,” atau “Pada zaman apa pun kamu masuk ke rumah,” atau “Pada saat apa pun kamu masuk ke rumah, maka kamu tertalak,” maka ketujuh lafaz ini semuanya berlaku secara mu’allaq (tertunda pelaksanaannya) karena bergantung pada adanya suatu syarat, yang tidak terbatas pada waktu tertentu saja. Maka kapan saja syarat itu terpenuhi, baik segera maupun lambat, maka hukum akan berlaku dan talak jatuh jika itu terjadi sebelum kematian. Jika istri tidak masuk ke rumah hingga suami meninggal, lalu ia masuk setelah itu, maka talak tidak jatuh, meskipun syaratnya telah terpenuhi; karena talak tidak jatuh setelah kematian suami. Maka syariat telah menghapus hukum syarat itu dengan kematian. Adapun sebelumnya, kalian telah menyebutkan dalam Kitab al-Khul‘ bahwa jika suami berkata kepada istrinya: “Kamu tertalak jika kamu menghendaki,” maka itu berlaku seketika, dan jika ia berkata: “Kamu tertalak jika kamu menghendaki,” maka itu berlaku secara mu’allaq (tertunda). Dan kalian menyamakan di sini antara ucapan: “Kamu tertalak jika kamu masuk ke rumah,” dan “Kamu tertalak jika kamu masuk ke rumah,” bahwa keduanya berlaku secara mu’allaq. Dikatakan: Kami telah sebutkan dalam Kitab al-Khul‘ perbedaan antara ucapan: (“Kamu tertalak jika kamu menghendaki” yang berlaku secara mu’allaq), dan (“Kamu tertalak jika kamu menghendaki” yang berlaku seketika).

فَأَمَّا الْفَرْقُ بَيْنَ قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ، فَيَكُونُ عَلَى التَّرَاخِي، وَبَيْنَ قَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شِئْتِ فَيَكُونُ عَلَى الْفَوْرِ، وَهُوَ أَنَّهُ إِذَا عَلَّقَ الطَّلَاقَ بِمَشِيئَتِهَا، فَهُوَ تَخْيِيرٌ وَمِنْ حُكْمِ التَّخْيِيرِ أن يكون على الفور، وإذا علته بِدُخُولِ الدَّارِ، فَهُوَ صِفَةٌ مَشْرُوطَةٌ، يَتَعَلَّقُ الْحُكْمُ بِهَا مَتَى وُجِدَتْ، فَلِذَلِكَ صَارَ عَلَى التَّرَاخِي.

Adapun perbedaan antara ucapan: “Kamu tertalak jika kamu masuk ke rumah,” maka itu berlaku secara mu’allaq (tertunda), dan antara ucapan: “Kamu tertalak jika kamu menghendaki,” maka itu berlaku seketika. Hal ini karena jika talak digantungkan pada kehendaknya, maka itu merupakan bentuk takhyir (pilihan), dan hukum takhyir adalah harus dilakukan seketika. Namun jika digantungkan pada masuknya ke rumah, maka itu adalah sifat yang disyaratkan, sehingga hukum akan berlaku kapan saja sifat itu ada. Oleh karena itu, ia menjadi mu’allaq (tertunda).

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَقْتَرِنَ بِهَا الْعِوَضُ، فَيَنْقَسِمُ حُكْمُ الْأَلْفَاظِ السَّبْعَةِ بِدُخُولِ الْعِوَضِ عَلَيْهَا قِسْمَيْنِ:

Adapun bagian kedua, yaitu jika disertai dengan ‘iwadh (tebusan), maka hukum dari tujuh lafaz tersebut ketika disertai dengan ‘iwadh terbagi menjadi dua bagian:

أَحَدُهُمَا: مَا يَكُونُ مَعَ اقْتِرَانِ الْعِوَضِ بِهِ عَلَى التَّرَاخِي أَيْضًا، وَهُوَ خَمْسَةُ أَلْفَاظٍ مَتَى، وَمَتَى مَا، وَأَيُّ وَقْتٍ، وَأَيُّ زَمَانٍ، وَأَيُّ حِينٍ، فَإِذَا قَالَ: مَتَى أَعْطَيْتِنِي أَلْفَ دِرْهَمٍ، فَأَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ مَتَى مَا أَعْطَيْتِنِي، أَوْ أَيُّ وَقْتٍ أَعْطَيْتِنِي، أَوْ أَيُّ زَمَانٍ أَعْطَيْتِنِي أَوْ أَيُّ حِينٍ أَعْطَيْتِنِي، كَانَ الْحُكْمُ فِي هَذِهِ الْأَلْفَاظِ الْخَمْسَةِ كُلِّهَا عَلَى التَّرَاخِي، فَفِي أَيِّ وَقْتٍ أَعْطَتْهُ الْأَلْفَ مِنْ عَاجِلٍ أَوْ آجِلٍ طُلِّقَتْ.

Pertama: Lafaz yang jika disertai dengan ‘iwadh tetap berlaku secara mu’allaq (tertunda), yaitu lima lafaz: matā (kapan), matā mā (kapan saja), ayy waqtin (pada waktu apa pun), ayy zamānin (pada zaman apa pun), dan ayy hīnin (pada saat apa pun). Jika suami berkata: “Kapan kamu memberiku seribu dirham, maka kamu tertalak,” atau “Kapan saja kamu memberiku,” atau “Pada waktu apa pun kamu memberiku,” atau “Pada zaman apa pun kamu memberiku,” atau “Pada saat apa pun kamu memberiku,” maka hukum pada kelima lafaz ini semuanya berlaku secara mu’allaq (tertunda). Maka pada waktu kapan pun ia memberikan seribu dirham, baik segera maupun lambat, ia tertalak.

وَالثَّانِي: مَا يَصِيرُ بَاقِي الْعِوَضِ بِهِ عَلَى الْفَوْرِ، وَهُوَ لَفْظَتَانِ إِنْ وَإِذَا، فَإِذَا قَالَ؛ إِنْ أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ إِذَا أَعْطَيْتِنِي أَلْفًا، فَأَنْتِ طَالِقٌ، رُوعِيَ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ، بِدَفْعِهَا أَنْ يَكُونَ عَلَى الْفَوْرِ، فِي الزَّمَانِ الَّذِي يَصِحُّ فِيهِ الْفَوْرُ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ إذا وإن مِنْ حُرُوفِ الصِّفَاتِ، فَإِذَا اقْتَرَنَ بِهَا الْعِوَضُ صَارَ الْحُكْمُ لَهُ، وَصَارَا مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ حُكْمِ الْمُعَاوَضَاتِ أَنْ يَكُونَ قَبُولُهَا عَلَى الْفَوْرِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْأَلْفَاظِ الْخَمْسَةِ؛ لِأَنَّهَا أَسْمَاءٌ صَرِيحَةٌ فِي الْوَقْتِ، فَصَارَ حُكْمُهَا لِقُوَّتِهِ أَغْلَبَ مِنْ حُكْمِ الْعِوَضِ، فَصَارَتْ عَلَى التَّرَاخِي، لِتَسَاوِي الْأَوْقَاتِ فِيهَا، وَصَارَ كَالْقِيَاسِ الَّذِي إِنْ قَوِيَ عَلَى تَخْصِيصِ الْعُمُومِ، وَبَيَانِ الْمُجْمَلِ ضَعُفَ مِنْ مُقَابَلَةِ النَّصِّ وَتَغْيِيرِ حُكْمُهُ.

Kedua: Lafaz yang jika disertai dengan ‘iwadh menjadi berlaku seketika, yaitu dua lafaz: in (jika) dan idzā (apabila). Jika suami berkata: “Jika kamu memberiku seribu, maka kamu tertalak,” atau “Apabila kamu memberiku seribu, maka kamu tertalak,” maka dalam jatuhnya talak, pemberian itu harus dilakukan seketika, pada waktu yang memungkinkan untuk segera. Hal ini karena idzā dan in termasuk huruf-huruf sifat, maka jika disertai dengan ‘iwadh, hukum menjadi milik ‘iwadh, dan keduanya menjadi bagian dari sifatnya. Dan hukum dalam mu‘āwadāt (transaksi pertukaran) adalah penerimaannya harus seketika. Tidak demikian halnya dengan lima lafaz yang telah disebutkan sebelumnya, karena kelimanya adalah isim (kata benda) yang secara jelas menunjukkan waktu, sehingga hukumnya lebih kuat daripada hukum ‘iwadh, sehingga tetap berlaku secara mu’allaq (tertunda) karena semua waktu di dalamnya setara. Hal ini seperti qiyās yang jika cukup kuat untuk mengkhususkan keumuman dan menjelaskan yang mujmal (global), maka ia menjadi lemah jika berhadapan dengan nash dan mengubah hukumnya.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يُدْخِلَ عَلَى الْأَلْفَاظِ السَّبْعَةِ، لَمِ الْمَوْضُوعَةَ لِلنَّفْيِ، فَتَنْقَسِمَ أَيْضًا قسمين:

Adapun bagian ketiga, yaitu memasukkan huruf lam yang bermakna penafian pada tujuh lafaz tersebut, maka ia juga terbagi menjadi dua bagian:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ خَمْسَةُ أَلْفَاظٍ تَصِيرُ بِدُخُولِ لَمْ عَلَيْهَا، مُوجِبَةً لِلْفَوْرِ، وَإِنْ كَانَتْ قَبْلَ دُخُولِهَا مُوجِبَةً لِلتَّرَاخِي، وَهِيَ مَتَى، وَمَتَى مَا، وَأَيُّ وَقْتٍ، وَأَيُّ زَمَانٍ، وَأَيُّ حِينٍ، فَإِذَا قَالَ: مَتَى لَمْ تَدْخُلِي الدَّارَ، فَأَنْتِ طَالِقٌ أَوْ مَتَى مَا لَمْ تَدْخُلِي الدَّارَ، أَوْ أَيُّ وَقْتٍ لَمْ تَدْخُلِي، أَوْ أَيُّ زَمَانٍ لَمْ تَدْخُلِي أَوْ أَيُّ حِينٍ لَمْ تَدْخُلِي الدَّارَ، فَأَنْتِ طَالِقٌ فَإِنَّهَا تَكُونُ عَلَى الْفَوْرِ فَمَتَى مَرَّ عَلَيْهَا بَعْدَ هَذَا الْقَوْلِ زَمَانٌ يُمْكِنُ دُخُولُ الدَّارِ فِيهِ فَلَمْ تَدْخُلْ طُلِّقَتْ، وَإِنَّمَا اخْتَلَفَ حُكْمُهَا بِدُخُولِ لَمْ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ إِذَا تَجَرَّدَتْ عَنْ لَمْ، فَالطَّلَاقُ مَشْرُوطٌ بِوُجُودِ الصِّفَةِ.

Yang pertama: yaitu lima lafaz yang, apabila dimasuki oleh “lam”, menjadi mewajibkan pelaksanaan segera, meskipun sebelumnya mewajibkan penundaan. Lafaz-lafaz tersebut adalah: matā, matā mā, ayy waqtin, ayy zamānin, dan ayy hīnin. Maka jika seseorang berkata: “Matā lam tadkhulī al-dār fa anti ṭāliq” (Kapan pun engkau tidak masuk rumah, maka engkau tertalak), atau “Matā mā lam tadkhulī al-dār”, atau “Ayy waqtin lam tadkhulī”, atau “Ayy zamānin lam tadkhulī”, atau “Ayy hīnin lam tadkhulī al-dār fa anti ṭāliq”, maka itu berlaku secara langsung. Maka kapan saja setelah ucapan tersebut berlalu suatu waktu yang memungkinkan untuk masuk rumah namun ia tidak masuk, maka jatuhlah talak. Perbedaan hukum ini terjadi karena masuknya “lam” pada lafaz-lafaz tersebut; sebab jika lafaz-lafaz itu berdiri sendiri tanpa “lam”, maka talak tergantung pada terwujudnya sifat (syarat).

فَفِي أَيِّ زَمَانٍ وُجِدَتْ وَقَعَ بِهَا الطَّلَاقُ، فَصَارَتْ عَلَى التَّرَاخِي، وَإِذَا أُدْخِلَ عَلَيْهَا لَمِ الموضوعة للنفي، صار الطلاق مشروطاً بعد الصِّفَةِ، وَهِيَ مَعْدُومَةٌ فِي أَوَّلِ زَمَانِ الْمُكْنَةِ، فَلِذَلِكَ صَارَتْ عَلَى الْفَوْرِ وَوَقَعَ الطَّلَاقُ.

Maka pada waktu kapan pun sifat itu terwujud, talak pun jatuh, sehingga menjadi bersifat penundaan. Namun, jika dimasuki “lam” yang berfungsi untuk penafian, maka talak menjadi tergantung setelah sifat itu, dan sifat tersebut tidak ada pada awal waktu kemampuan (untuk melakukannya). Oleh karena itu, hukumnya menjadi segera dan talak pun jatuh.

وَالْقِسْمُ الثاني: وهما للفظتان: إن وإذا، إِذَا دَخَلَ عَلَيْهِمَا لَمِ الْمَوْضُوعَةُ لِلنَّفْيِ، فَالَّذِي نص عليه الشافعي، ونقله المزني ها هنا، أَنَّهُ إِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا لَمْ أُطَلِّقْكِ، أَوْ مَتَى مَا لَمْ أُطَلِّقْكِ فَسَكَتَ مُدَّةً يُمْكِنُهُ فِيهَا الطَّلَاقُ، طُلِّقَتْ فَحَصَلَ ذَلِكَ عَلَى الْفَوْرِ، وَلَوْ كَانَ قَالَ: إِنْ لَمْ أُطَلِّقْكِ لَمْ يَحْنَثْ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يُطَلِّقُهَا بِمَوْتِهِ، أَوْ مَوْتِهَا فَجَعَلَ ذَلِكَ عَلَى التراخي، وفرق بين إذا وإن، فَلَا وَجْهَ لِتَسْوِيَةِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ بَيْنَهُمَا، لِمُخَالَفَةِ النَّصِّ وَظُهُورِ الْفَرْقِ.

Adapun bagian kedua: yaitu dua lafaz, yaitu “in” dan “idhā”. Jika keduanya dimasuki “lam” yang berfungsi untuk penafian, maka menurut pendapat yang ditegaskan oleh al-Syāfi‘ī dan dinukil oleh al-Muzanī di sini, bahwa jika seseorang berkata: “Anti ṭāliq idhā lam uṭalliqki” (Engkau tertalak jika aku tidak menalakkanmu), atau “Matā mā lam uṭalliqki”, lalu ia diam dalam waktu yang memungkinkan untuk menjatuhkan talak, maka jatuhlah talak, sehingga hal itu berlaku secara langsung. Namun, jika ia berkata: “In lam uṭalliqki”, maka ia tidak terkena pelanggaran (ḥinth) hingga diketahui bahwa ia tidak menalakkan istrinya karena kematiannya atau kematian istrinya, sehingga hal itu menjadi bersifat penundaan. Dan terdapat perbedaan antara “idhā” dan “in”, maka tidak ada alasan untuk menyamakan keduanya sebagaimana dilakukan Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah, karena bertentangan dengan nash dan jelasnya perbedaan.

وَأَمَّا أبو حنيفة: سوى بَيْنَ إِذَا وَإِنْ، فِي هَذَا الْمَوْضِعِ فِي أَنَّهَا عَلَى التَّرَاخِي، لَا يَقَعُ طَلَاقُ الْحِنْثِ إِلَّا أَنْ يَفُوتَ طَلَاقُ الْمُبَاشَرَةِ بِالْمَوْتِ فَجَعَلَ حُكْمَ إِذَا عِنْدَهُ كَحُكْمِ إِنْ عِنْدَنَا.

Adapun Abū Ḥanīfah: beliau menyamakan antara “idhā” dan “in” dalam hal ini, bahwa keduanya bersifat penundaan, sehingga talak karena pelanggaran tidak jatuh kecuali jika kesempatan untuk menalakkan secara langsung telah hilang karena kematian. Maka beliau menjadikan hukum “idhā” menurutnya sama dengan hukum “in” menurut kami.

وَمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ أَنَّ إِذَا فِي هَذَا الموضع على الفور وإن عَلَى التَّرَاخِي.

Adapun yang dikatakan oleh al-Syāfi‘ī bahwa “idhā” dalam konteks ini bersifat segera, sedangkan “in” bersifat penundaan.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Perbedaan antara keduanya ada pada tiga sisi:

أَحَدُهَا: وَهُوَ فَرْقُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ إذا موضوع لليقين والتحقيق وإن مَوْضِعٌ لِلشَّكِّ وَالتَّوَهُّمِ لِأَنَّهُ يَحْسُنُ أَنْ يُقَالَ: إِذَا جَاءَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ جِئْتُكَ، وَلَا يَحْسُنُ أَنْ يُقَالَ: إِنْ جَاءَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ جِئْتُكَ؛ لِأَنَّ مَجِيءَ يَوْمِ الْجُمُعَةِ يَقِينٌ وَلَيْسَ بِمَشْكُوكٍ فِيهِ، وَيَحْسُنُ أَنْ يُقَالَ إِنْ جَاءَ الْمَطَرُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَقَمْتُ، وَلَا يَحْسُنُ أَنْ يُقَالَ: إِذَا جَاءَ الْمَطَرُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَقَمْتُ؛ لِأَنَّ مَجِيءَ الْمَطَرِ فِيهِ شَكٌّ وَتَوَهُّمٌ لَيْسَ بِيَقِينٍ، وَلِذَلِكَ قَالَ: {إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ} [التكوير: 1] لِأَنَّ تَكْوِيرَهَا يَقِينٌ، فَلَمَّا كَانَ إِذَا مُسْتَعْمَلًا فِي الْيَقِينِ وَالتَّحْقِيقِ، فَإِذَا مَضَى زَمَانُ الْمُكْنَةِ، اسْتَقَرَّ حُكْمُهُ، فَصَارَ عَلَى الْفَوْرِ، وَلَمَّا كَانَ إِنْ مُسْتَعْمَلًا فِي الشَّكِّ وَالتَّوَهُّمِ، لَمْ يَسْتَقِرَّ حُكْمُهُ إِلَّا بِالْفَوَاتِ، فَصَارَ عَلَى التَّرَاخِي.

Pertama: yaitu perbedaan menurut Abū Ḥāmid al-Marwazī, bahwa “idhā” digunakan untuk sesuatu yang pasti dan telah terjadi, sedangkan “in” digunakan untuk sesuatu yang diragukan dan diandaikan. Karena itu, baik dikatakan: “Idhā jā’a yaum al-jum‘ah ji’tuka” (Jika hari Jumat tiba, aku akan datang kepadamu), dan tidak baik dikatakan: “In jā’a yaum al-jum‘ah ji’tuka”; karena kedatangan hari Jumat adalah sesuatu yang pasti, bukan sesuatu yang diragukan. Dan baik dikatakan: “In jā’a al-maṭar fī yaum al-jum‘ah aqamtu” (Jika turun hujan pada hari Jumat, aku akan tinggal), dan tidak baik dikatakan: “Idhā jā’a al-maṭar fī yaum al-jum‘ah aqamtu”; karena turunnya hujan pada hari Jumat adalah sesuatu yang masih diragukan dan diandaikan, bukan sesuatu yang pasti. Oleh karena itu Allah berfirman: {Idhā al-syamsu kuwwirat} [al-Takwīr: 1], karena penggulungan matahari adalah sesuatu yang pasti. Maka ketika “idhā” digunakan untuk hal yang pasti dan telah terjadi, jika waktu kemampuan telah berlalu, maka hukumnya menjadi tetap, sehingga berlaku segera. Sedangkan “in” digunakan untuk sesuatu yang diragukan dan diandaikan, maka hukumnya tidak tetap kecuali setelah berlalu, sehingga menjadi bersifat penundaan.

وَالْفَرْقُ الثَّانِي: وَهُوَ فَرْقُ أَبِي الْقَاسِمِ الدَّارَكِيِّ: أن إذا مستعمل في الأوقات، وإن مُسْتَعْمَلٌ فِي الْأَفْعَالِ أَلَا تَرَى لَوْ قَالَ رجل: متى تأتيني، يَحْسُنُ فِي جَوَابِهِ، أَنْ تَقُولَ إِذَا شِئْتَ،. وَمَتَى شِئْتَ وَلَمْ يَحْسُنْ فِي الْجَوَابِ أَنْ تَقُولَ: إِنْ شِئْتَ، فَإِذَا قَالَ: إِنْ لَمْ أُطَلِّقْكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، كَانَ عَلَى الْفَوْرِ؛ لِأَنَّ وَقْتَ الْمُكْنَةِ قَدْ مَضَى.

Perbedaan kedua: yaitu perbedaan menurut Abū al-Qāsim al-Dārakī, bahwa “idhā” digunakan untuk waktu, sedangkan “in” digunakan untuk perbuatan. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang berkata: “Matā ta’tīnī?” (Kapan engkau akan datang kepadaku?), maka baik dalam jawabannya dikatakan: “Idhā syi’ta” (Jika engkau menghendaki), atau “Matā syi’ta”, dan tidak baik dalam jawabannya dikatakan: “In syi’ta”. Maka jika ia berkata: “In lam uṭalliqki fa anti ṭāliq”, maka itu berlaku segera, karena waktu kemampuan telah berlalu.

وَالْفَرْقُ الثَّالِثُ وَهُوَ فَرْقُ أَبِي الْحَسَنِ الْفَرَضِيِّ، أَنَّ إِذَا اسْمٌ فَكَانَ أَقْوَى عَمَلًا، فَلِذَلِكَ كَانَ عَلَى الْفَوْرِ، وإن حَرْفٌ فَكَانَ أَضْعَفَ عَمَلًا، فَلِذَلِكَ كَانَ عَلَى التَّرَاخِي.

Perbedaan ketiga, yang merupakan perbedaan menurut Abu al-Hasan al-Faradhi, adalah bahwa “idza” merupakan isim sehingga lebih kuat dalam pengaruhnya, oleh karena itu berlaku secara langsung (seketika). Sedangkan “in” adalah huruf sehingga lebih lemah dalam pengaruhnya, oleh karena itu berlaku secara bertahap (tidak langsung).

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الفرق بين إذا وإن، فَقَالَ لَهَا: إِذَا لَمْ أُطَلِّقْكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَمَتَى أَمْسَكَ عَنْ طَلَاقِهَا، بَعْدَ هَذَا الْقَوْلِ، زَمَنًا يُمْكِنُهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فِيهِ بِأَنْ يَقُولَ: أَنْتِ طَالِقٌ فَقَدْ طُلِّقَتْ، إِلَّا أَنْ يَمُوتَ أَحَدُهُمَا عَقِيبَ كَلَامِهِ فِي الْحَالِ مِنْ غَيْرِ فَصْل يُمْكِنُهُ إِيقَاعُ طَلَاقِهَا فِيهِ فَلَا يُطَلِّقُ لِأَنَّ زَمَانَ الْمُكْنَةِ لَمْ يُوجَدْ، وَالطَّلَاقُ بَعْدَ الْمَوْتِ لَا يَقَعُ، وَلَوْ قَالَ: إِنْ لَمْ أُطَلِّقْكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا أَنْ يَفُوتَهُ طَلَاقُهَا بِمَوْتِهِ أَوْ مَوْتِهَا، فَتُطَلَّقُ حِينَئِذٍ ثُمَّ يَنْظُرُ، فَإِنْ فَاتَ الطَّلَاقُ بِمَوْتِهَا، وَقَعَ الطَّلَاقُ قَبْلَ مَوْتِهَا بِزَمَانٍ يَضِيقُ عَنْ قَوْلِهِ فِيهِ أَنْتِ طَالِقٌ، وَلَا مِيرَاثَ لَهُ مِنْهَا إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ ثَلَاثًا، وَلَهُ الْمِيرَاثُ إِنْ كَانَ دُونَهَا، وَإِنْ فَاتَ الطَّلَاقُ بِمَوْتِهِ وَقَعَ الطَّلَاقُ قَبْلَ وَقْتِهِ فِي آخِرِ زَمَانِ قُدْرَتِهِ، إِذَا ضَاقَ عَنْ قَوْلِهِ فِيهِ، أَنْتِ طَالِقٌ، فَوَقَعَ الطَّلَاقُ بِمَوْتِهِ قَبْلَ زَمَانِ قُدْرَتِهِ وَبِمَوْتِهَا قَبْلَ زَمَانِ الْمَوْتِ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ مِنْ جِهَتِهِ، فروعي فيه آخر أوقات الموت، إلا أن الموت يعرف آخِرُ أَوْقَاتِ الْقُدْرَةِ، وَتَكُونُ كَالْمَبْتُوتَةِ فِي الْمَرَضِ فَتَرِثُهُ، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ ثَلَاثًا عَلَى قَوْلِ مَنْ يُورِّثُ الْمَبْتُوتَةَ، فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا وَجَبَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ بِالْمَوْتِ، فَهَلَّا مَنَعْتُمْ مِنْ وُقُوعِهِ، كَمَا لَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا مُتُّ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَمَاتَ لَمْ تُطَلَّقْ، قِيلَ: لِأَنَّ تَعْلِيقَ الطَّلَاقِ بِالْمَوْتِ تُوجَدُ فِيهِ الصِّفَةُ بَعْدَ زَوَالِ ملكه بالموت فلذلك لم يَقَعْ. وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي مَسْأَلَتِنَا؛ لِأَنَّهَا صِفَةٌ تُوجَدُ فِي حَالِ الْحَيَاةِ، وَإِنْ عُلِمَ فَوَاتُهَا بِالْمَوْتِ فَلِذَلِكَ وَقَعَ.

Setelah jelas apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan antara “idza” dan “in”, maka jika seseorang berkata kepada istrinya: “Jika aku tidak menceraikanmu, maka engkau tertalak,” maka kapan saja ia menahan diri untuk tidak menceraikannya setelah ucapan tersebut, dalam waktu yang memungkinkan baginya untuk menceraikannya dengan mengatakan: “Engkau tertalak,” maka istrinya telah tertalak, kecuali jika salah satu dari keduanya meninggal dunia segera setelah ucapan itu tanpa ada jeda waktu yang memungkinkan baginya untuk menjatuhkan talak, maka talak tidak terjadi karena waktu kemampuan (untuk mentalak) tidak ada, dan talak setelah kematian tidak berlaku. Namun, jika ia berkata: “Jika aku tidak menceraikanmu, maka engkau tertalak,” maka istrinya tidak tertalak kecuali jika ia kehilangan kesempatan untuk menceraikannya karena kematiannya atau kematian istrinya, maka saat itu barulah terjadi talak. Kemudian dilihat, jika kesempatan mentalak hilang karena kematian istrinya, maka talak terjadi sebelum kematiannya dalam waktu yang sangat singkat sehingga tidak cukup untuk mengucapkan “engkau tertalak”, dan ia tidak berhak mewarisi istrinya jika talaknya tiga, dan ia berhak mewarisi jika kurang dari tiga. Jika kesempatan mentalak hilang karena kematiannya, maka talak terjadi sebelum kematiannya, yaitu pada akhir waktu kemampuannya, jika waktu itu terlalu singkat untuk mengucapkan “engkau tertalak”, maka talak terjadi karena kematiannya sebelum waktu kemampuannya, dan karena kematian istrinya sebelum waktu kematian; karena talak berasal dari pihak suami, maka yang diperhitungkan adalah akhir waktu kematian, kecuali bahwa kematian diketahui sebagai akhir waktu kemampuan, dan istrinya seperti wanita yang ditalak ba’in dalam keadaan sakit, sehingga ia mewarisinya, dan jika talaknya tiga menurut pendapat yang mewariskan wanita yang ditalak ba’in, maka jika ada yang bertanya: “Jika talak wajib terjadi karena kematian, mengapa kalian tidak mencegah terjadinya talak, sebagaimana jika ia berkata kepada istrinya: ‘Jika aku mati, maka engkau tertalak,’ lalu ia mati, maka istrinya tidak tertalak?” Dijawab: Karena pengaitan talak dengan kematian, sifatnya baru ada setelah kepemilikannya hilang karena kematian, maka talak tidak terjadi. Tidak demikian halnya dalam masalah kita; karena sifatnya ada pada saat hidup, meskipun diketahui akan hilang karena kematian, maka oleh karena itu talak terjadi.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

ثُمَّ يَتَفَرَّعُ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، أَنْ يَقُولَ لَهَا: كُلَّمَا لَمْ أُطَلِّقْكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِذَا مَضَى عَلَيْهَا بَعْدَ هَذَا الْقَوْلِ ثَلَاثَةُ أَوْقَاتٍ، يُمْكِنُهُ فِي كُلِّ وَقْتٍ مِنْهَا، أَنْ يَقُولَ لَهَا فِيهِ: أَنْتِ طَالِقٌ فَقَدْ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا لِأَنَّ كُلَّمَا مَوْضُوعٌ لِلتَّكْرَارِ، فَإِذَا مَضَى الْوَقْتُ الْأَوَّلُ، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً، ثُمَّ إِذَا مَضَى الْوَقْتُ الثَّانِي وَهِيَ مَدْخُولٌ بِهَا طُلِّقَتْ ثَانِيَةً، فَإِذَا مَضَى الْوَقْتُ الثَّالِثُ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَلَوْ كَانَتْ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا وَاحِدَةً، لِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ بِهَا، وَهَكَذَا لَوْ كَانَتْ مَدْخُولًا بِهَا، وَوَضَعَتْ حَمْلَهَا بَعْدَ الْوَقْتِ الْأَوَّلِ، وَقَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ الثَّانِي، لَمْ تُطَلَّقْ غَيْرَ الْأُولَى؛ لِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ بَعْدَهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ فَلَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا طَلَاقٌ، وَلَوْ كَانَتْ مَدْخُولًا بِهَا فَخَالَعَهَا فِي الْوَقْتِ الْأَوَّلِ، طُلِّقَتْ بِالْخُلْعِ دُونَ الْحِنْثِ، وَلَا يَقَعُ عَلَيْهَا بِدُخُولِ الْوَقْتِ الثَّانِي وَالثَّالِثِ طَلَاقٌ؛ لِأَنَّ الْمُخْتَلِعَةَ بَائِنٌ لَا يَلْحَقُهَا طَلَاقٌ.

Kemudian, cabang dari masalah ini adalah jika seseorang berkata kepada istrinya: “Setiap kali aku tidak menceraikanmu, maka engkau tertalak,” maka jika telah berlalu atas istrinya setelah ucapan ini tiga waktu, di mana pada setiap waktu itu ia bisa mengatakan kepadanya: “Engkau tertalak,” maka istrinya tertalak tiga kali, karena “setiap kali” bermakna pengulangan. Maka jika waktu pertama telah berlalu, ia tertalak satu kali, kemudian jika waktu kedua berlalu sementara ia masih dalam status istri yang telah digauli, maka ia tertalak kedua kalinya, lalu jika waktu ketiga berlalu, ia tertalak tiga kali. Jika ia belum digauli, maka ia hanya tertalak satu kali, karena ia telah menjadi ba’in (terpisah) dengan talak pertama. Demikian pula jika ia telah digauli, lalu melahirkan setelah waktu pertama dan sebelum masuk waktu kedua, maka ia tidak tertalak kecuali yang pertama, karena ia telah menjadi ba’in setelahnya dengan melahirkan, sehingga talak tidak jatuh padanya. Jika ia telah digauli lalu suaminya melakukan khulu’ (cerai tebus) pada waktu pertama, maka ia tertalak dengan khulu’ tanpa pelanggaran sumpah, dan tidak terjadi talak pada waktu kedua dan ketiga, karena wanita yang dicerai dengan khulu’ adalah ba’in dan tidak terkena talak lagi.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

فَإِذَا قَالَ لَهَا: إِنْ لَمْ أُطَلِّقْكِ الْيَوْمَ، فَأَنْتِ طَالِقٌ الْيَوْمَ، فَلَمْ يُطَلِّقْهَا فِي الْيَوْمِ حَتَّى مَضَى، لَمْ تُطَلَّقْ؛ لِأَنَّ مُضِيَّ الْيَوْمِ شَرْطٌ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ، وَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ فِيهِ بَعْدَ مُضِيِّهِ، لِامْتِنَاعِ صِفَتِهِ.

Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Jika aku tidak menceraikanmu hari ini, maka engkau tertalak hari ini,” lalu ia tidak menceraikannya pada hari itu hingga hari itu berlalu, maka istrinya tidak tertalak; karena berlalunya hari adalah syarat terjadinya talak, dan talak tidak terjadi setelah hari itu berlalu, karena sifatnya sudah tidak mungkin lagi.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَلَوْ قَالَ وَلَهُ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ: أَيَّتُكُنَّ وَقَعَ عَلَيْهَا طَلَاقِي، فَصَوَاحِبُهَا طَوَالِقُ ثُمَّ طَلَّقَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ، طُلِّقْنَ كُلُّهُنَّ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، لِأَنَّ طَلَاقَهُ لِلْوَاحِدَةِ مُوقِعٌ عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ طَلْقَةً وَاحِدَةً، وَوُقُوعُ هَذِهِ الْوَاحِدَةِ عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، مُوقِعٌ لِلطَّلَاقِ عَلَى صَوَاحِبِهَا وَهِيَ ثَلَاثٌ كل واحدة ثلاث.

Dan jika seseorang berkata, sedangkan ia memiliki empat istri: “Siapa di antara kalian yang terkena talakku, maka teman-temannya menjadi tertalak,” lalu ia menalak salah satu dari mereka, maka seluruhnya tertalak tiga kali tiga, karena talaknya kepada salah satu dari mereka menyebabkan jatuhnya satu talak kepada masing-masing dari mereka, dan jatuhnya satu talak kepada masing-masing dari mereka menyebabkan jatuhnya talak kepada teman-temannya, sehingga masing-masing tertalak tiga kali.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا قَدِمَ فُلَانٌ فَقُدِمَ بِهِ مَيِّتًا أَوْ مُكْرَهًا لَمْ تُطَلَّقْ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Dan jika ia berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak jika Fulan datang,’ lalu Fulan datang dalam keadaan sudah meninggal atau dipaksa (datang), maka istrinya tidak tertalak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَالَ لَهَا: إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ، فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَلَا يَخْلُو قُدُومُ زَيْدٍ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika ia berkata kepada istrinya: “Jika Zaid datang, maka engkau tertalak,” maka kedatangan Zaid tidak lepas dari empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَقْدَمَ بِنَفْسِهِ مُخْتَارًا لِلْقُدُومِ، عَالِمًا لِلْيَمِينِ، فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ، سَوَاءٌ قَدِمَ مِنْ مَسَافَةٍ بَعِيدَةٍ، يَقْصُرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ، أَوْ مِنْ مَسَافَةٍ قَرِيبَةٍ لَا يَقْصُرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ، لِأَنَّهُ فِي الْحَالَيْنِ قَادِمٌ وَسَوَاءٌ كَانَ صَحِيحًا أَوْ مَرِيضًا، لِأَنَّهُ فَعَلَ الْقُدُومَ بِنَفْسِهِ.

Pertama: Zaid datang sendiri dengan pilihannya, mengetahui adanya sumpah tersebut, maka talak jatuh, baik ia datang dari jarak jauh yang dalam jarak tersebut boleh mengqashar shalat, atau dari jarak dekat yang tidak boleh mengqashar shalat, karena dalam kedua keadaan tersebut ia tetap dikatakan datang. Sama saja apakah ia dalam keadaan sehat atau sakit, karena ia melakukan kedatangan itu sendiri.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُقْدَمَ بِزَيْدٍ مَيِّتًا أَوْ مُكْرَهًا مَحْمُولًا، فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ جَعَلَ صِفَةَ الطَّلَاقِ فِعْلَ زَيْدٍ لِلْقُدُومِ، فَإِذَا قُدِمَ بِزَيْدٍ مَيِّتًا أَوْ مُكْرَهًا، فَهُوَ مَفْعُولٌ بِهِ وَلَيْسَ بِفَاعِلٍ، فَلَمْ تُوجَدْ صِفَةُ الطَّلَاقِ فَلَمْ يَقَعْ.

Kedua: Zaid didatangkan dalam keadaan sudah meninggal atau dipaksa (dibawa), maka tidak terjadi talak, karena ia menjadikan sifat talak itu adalah perbuatan Zaid dalam datang, maka jika Zaid didatangkan dalam keadaan sudah meninggal atau dipaksa, berarti ia adalah objek (yang didatangkan), bukan pelaku, sehingga sifat talak tidak terpenuhi, maka talak tidak jatuh.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَقْدَمَ زَيْدٌ بِنَفْسِهِ مُكْرَهًا مُخَوَّفًا غير مختاراً، فَفِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ قَوْلَانِ:

Ketiga: Zaid datang sendiri dalam keadaan dipaksa, ditakut-takuti, tidak dengan pilihannya, maka dalam hal jatuhnya talak terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَقَعُ لِوُجُودِ الْقُدُومِ مِنْهُ، فَاسْتَوَى فِيهِ الْمُكْرَهُ وَالْمُخْتَارُ.

Salah satunya: Talak jatuh karena kedatangan itu terjadi darinya, sehingga dalam hal ini, yang dipaksa dan yang memilih sama saja.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَقَعُ لِعَدَمِ الْقَصْدِ، فَأَشْبَهَ الْمَحْمُولَ، وَهَكَذَا حُكْمُ الْإِكْرَاهِ عَلَى الْأَكْلِ وَالْفِطْرِ عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ.

Pendapat kedua: Talak tidak jatuh karena tidak ada unsur kehendak, sehingga menyerupai orang yang dibawa (datang), dan demikian pula hukum dipaksa dalam hal makan dan berbuka (puasa) menurut dua pendapat ini.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَقْدَمَ زَيْدٌ، وَهُوَ غَيْرُ عَالِمٍ بِيَمِينِ الْحَالِفِ، أَوْ عَلِمَ بِهَا، فَقَدِمَ نَاسِيًا لِلْيَمِينِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Keempat: Zaid datang, namun ia tidak mengetahui adanya sumpah dari orang yang bersumpah, atau ia mengetahuinya namun datang dalam keadaan lupa terhadap sumpah tersebut, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَكُونَ الْقَصْدُ بِالْيَمِينِ مَنْعَ زيد من القدوم، إما لأن زيد سُلْطَانٌ لَا يَمْتَنِعُ مِنَ الْقُدُومِ بِيَمِينِ هَذَا الْحَالِفِ، أَوْ يَكُونُ مَجْنُونًا أَوْ صَغِيرًا لَا قصد له، فالطلاق ها هنا وَاقِعٌ بِقُدُومِهِ؛ لِأَنَّهُ طَلَاقٌ بِصِفَةٍ مَحْضَةٍ لَا يُرَاعَى فِيهَا الْقَصْدُ، وَقَدْ وُجِدَتْ فَوَقَعَ بِهَا الطَّلَاقُ كَمَا لَوْ قَالَ: إِذَا دَخَلَ الْحِمَارُ هَذِهِ الدَّارَ أَوْ طَارَ الْغُرَابُ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَدَخَلَ الْحِمَارُ وَطَارَ الْغُرَابُ، وَقَعَ الطَّلَاقُ وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ ذِي قَصْدٍ.

Pertama: Tidak ada maksud dengan sumpah tersebut untuk mencegah Zaid datang, baik karena Zaid adalah seorang penguasa yang tidak bisa dicegah datangnya oleh sumpah orang yang bersumpah, atau karena ia gila atau masih kecil yang tidak memiliki kehendak, maka talak di sini jatuh dengan kedatangannya; karena ini adalah talak yang bergantung pada suatu sifat murni yang tidak memperhatikan niat, dan jika sifat itu ada maka talak jatuh karenanya, sebagaimana jika ia berkata: “Jika keledai ini masuk ke rumah atau burung gagak ini terbang, maka engkau tertalak,” lalu keledai itu masuk dan burung gagak itu terbang, maka talak jatuh meskipun tanpa kehendak dari makhluk yang bersangkutan.

والضرب الثاني: أن يقصد الحالف يمينه مَنْعَ زَيْدٍ مِنَ الْقُدُومِ؛ لِأَنَّهُ مِمَّنْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ أَوْ يُتَمَثَّلُ أَمْرُهُ فَهَذِهِ يَمِينٌ مَحْضَةٌ، وَفِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهَا بِقُدُومِ زَيْدٍ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ وَلَا عِلْمٍ قَوْلَانِ، مَنْ حِنْثِ النَّاسِ فِي قَوْلِ الْبَغْدَادِيِّينَ.

Kedua: Orang yang bersumpah memang bermaksud dengan sumpahnya untuk mencegah Zaid datang, karena Zaid termasuk orang yang ucapannya diterima atau perintahnya ditaati, maka ini adalah sumpah murni, dan dalam hal jatuhnya talak dengan kedatangan Zaid tanpa niat dan tanpa pengetahuan terdapat dua pendapat, menurut pendapat masyarakat Baghdad.

وَقَالَ الْبَصْرِيُّونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: يَحْنَثُ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ الْقَصْدَ إِنَّمَا يُرَاعَى فِي فِعْلِ الْحَالِفِ لَا فِي فِعْلِ الْمَحْلُوفِ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْحَالِفَ لَا بُدَّ أَنْ يكون ذا قصد، فجاز أن ويراعى الْقَصْد فِي أَفْعَالِهِ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمَحْلُوفُ عَلَيْهِ، غَيْرَ ذِي قَصْدٍ، فَلَمْ يُرَاعَ الْقَصْدُ فِي أَفْعَالِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan menurut pendapat masyarakat Bashrah dari kalangan ulama kami: Sumpahnya dianggap batal menurut satu pendapat, karena niat hanya diperhatikan dalam perbuatan orang yang bersumpah, bukan dalam perbuatan objek sumpah; karena orang yang bersumpah pasti memiliki niat, maka boleh memperhatikan niat dalam perbuatannya, sedangkan objek sumpah bisa jadi tidak memiliki niat, maka niat tidak diperhatikan dalam perbuatannya. Dan Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (ولو قال إذا رأيته فرأته فِي تِلْكَ الْحَالِ حَنَثَ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Dan jika ia berkata: ‘Jika aku melihatnya,’ lalu ia melihatnya pada saat itu juga, maka ia dianggap melanggar sumpah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّهُ قَالَ: إِذَا رَأَيْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَقَدْ عَلَّقَ طَلَاقَهَا بِرُؤْيَتِهَا لِزَيْدٍ، فَإِذَا رَأَتْهُ مَيِّتًا أَوْ رَأَتْهُ مَجْنُونًا أَوْ مُكْرَهًا مَحْمُولًا، وَقَعَ الطَّلَاقُ لِوُجُودِ الرُّؤْيَةِ مِنْهَا، فَحَصَلَتْ صِفَةُ الْحِنْثِ، وَوَقَعَ بِهَا الطَّلَاقُ فَلَوْ كَانَ زيد في مقابلة مرآة، فاطلقت فِي الْمِرْآةِ صُورَةُ زَيْدٍ فِيهَا، أَوِ اطَّلَعَتْ فِي الْمَاءِ، وَزَيْدٌ فِي مُقَابَلَةِ الْمَاءِ، فَرَأَتْ صُورَتَهُ فِيهِ، لَمْ تُطَلَّقْ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَرَهُ، وَإِنَّمَا رَأَتْ مِثَالَهُ، وَصَارَ كَرُؤْيَتِهَا لِزَيْدٍ فِي الْمَنَامِ فَإِنَّهُ لَا يَقَعُ بِهَا طَلَاقٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar; karena ia berkata: “Jika engkau melihat Zaid, maka engkau tertalak.” Maka ia telah menggantungkan talak istrinya pada penglihatannya terhadap Zaid. Jika ia melihat Zaid dalam keadaan sudah meninggal, atau melihatnya dalam keadaan gila, atau dipaksa dan sedang dibawa, maka talak jatuh karena penglihatan itu telah terjadi darinya, sehingga sifat pelanggaran syarat telah terpenuhi dan talak pun jatuh karenanya. Namun, jika Zaid berada di depan cermin, lalu tampak di cermin itu bayangan Zaid, atau ia melihat ke air dan Zaid berada di depan air itu, lalu ia melihat bayangannya di air, maka talak tidak jatuh; karena ia tidak benar-benar melihat Zaid, melainkan hanya melihat gambarnya saja. Hal ini sama seperti jika ia melihat Zaid dalam mimpi, maka talak tidak jatuh karenanya.

فَإِنْ رَأَتْ زَيْدًا مِنْ وَرَاءِ زُجَاجٍ شَفَّافٍ، لَا يَمْنَعُ مِنْ مُشَاهَدَةِ مَا وَرَاءَهُ فَإِنْ كَانَ حَائِلًا وَقَعَ الطَّلَاقُ بِخِلَافِ رُؤْيَتِهِ فِي الْمِرْآةِ، لأنها رأت ها هنا جِسْمَ زَيْدٍ، وَرَأَتْ فِي الْمِرْآةِ مِثَالَ زَيْدٍ وَلَا يَكُونُ الزُّجَاجُ الْحَائِلُ مَعَ وُجُودِ الرُّؤْيَةِ مِنْ وَرَائِهِ، مَانِعًا لَهُ مِنْهَا.

Jika ia melihat Zaid dari balik kaca bening yang tidak menghalangi pandangan terhadap apa yang ada di baliknya, maka jika kaca itu tidak menjadi penghalang, talak jatuh, berbeda dengan melihatnya di cermin. Sebab, di sini ia benar-benar melihat tubuh Zaid, sedangkan di cermin ia hanya melihat gambaran Zaid. Kaca bening yang menjadi penghalang, selama penglihatan terhadap Zaid tetap terjadi dari baliknya, tidak menghalangi jatuhnya talak.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ حَلَفَ لَا تَأْخُذُ مَالَكَ عَلَيَّ فَأَجْبَرَهُ السلطان فأخذ منه المال حنث ولو قال لَا أُعْطِيكَ لَمْ يَحْنَثْ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang bersumpah, ‘Engkau tidak akan mengambil hartamu dariku,’ lalu penguasa memaksanya sehingga hartanya diambil darinya, maka ia dianggap melanggar sumpah. Namun jika ia berkata, ‘Aku tidak akan memberimu,’ maka ia tidak dianggap melanggar sumpah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَلِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مُقَدِّمَةٌ، وَهِيَ فمَنْ حَلَفَ عَلَى نَفْيِ فِعْلٍ، فَوَجَدَ الْفِعْلَ بِغَيْرِ قَصْدٍ وَلَا اخْتِيَارٍ، إِمَّا عَلَى وَجْهِ الْإِكْرَاهِ وَإِمَّا عَلَى وَجْهِ النِّسْيَانِ.

Al-Mawardi berkata: Dalam masalah ini terdapat pendahuluan, yaitu: Barang siapa bersumpah untuk menafikan suatu perbuatan, lalu perbuatan itu terjadi tanpa sengaja dan tanpa pilihan, baik karena paksaan maupun karena lupa.

فَالْيَمِينُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Sumpah itu terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ مَعْقُودَةً عَلَى نَفْيِ فِعْلِ الْحَالِفِ.

Pertama: Sumpah yang diikrarkan untuk menafikan perbuatan orang yang bersumpah.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مَعْقُودَةً عَلَى نَفْيِ فِعْلِ غَيْرِ الْحَالِفِ، فَإِنْ كَانَتْ عَلَى نَفْيِ فِعْلِ، الْحَالِفِ فَصُورَتُهَا فِي الطَّلَاقِ، إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَهَلْ يَكُونُ قَصْدُ الدُّخُولِ مُعْتَبَرًا فِي حِنْثِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: وَإِنْ كَانَتْ عَلَى نَفْيِ فِعْلِ غَيْرِهِ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ إِنْ دَخَلَ زَيْدٌ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَذَهَبَ الْبَغْدَادِيُّونَ مِنْهُمْ إِلَى أَنَّ قَصْدَ زَيْدٍ لِلدُّخُولِ هَلْ يَكُونُ مُعْتَبَرًا فِي الْحِنْثِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا يَكُونُ فِي فِعْلِ الْحَالِفِ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Kedua: Sumpah yang diikrarkan untuk menafikan perbuatan selain orang yang bersumpah. Jika sumpah itu untuk menafikan perbuatan orang yang bersumpah, contohnya dalam masalah talak: “Jika aku masuk ke rumah, maka engkau tertalak.” Apakah niat masuk itu dianggap dalam pelanggaran sumpah atau tidak? Ada dua pendapat. Jika sumpah itu untuk menafikan perbuatan orang lain, misalnya ia berkata, “Jika Zaid masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” para sahabat kami berbeda pendapat. Golongan Baghdadi di antara mereka berpendapat: Apakah niat Zaid untuk masuk dianggap dalam pelanggaran sumpah atau tidak? Ada dua pendapat, sebagaimana dalam perbuatan orang yang bersumpah juga ada dua pendapat.

وَذَهَبَ الْبَصْرِيُّونَ إِلَى أَنَّ الْقَصْدَ فِي فِعْلِ الْمَحْلُوفِ عَلَيْهِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي الْحِنْثِ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ كَانَ اعْتِبَارُهُ فِي فِعْلِ الْحَالِفِ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Sedangkan golongan Basrah berpendapat bahwa niat dalam perbuatan orang yang disumpahkan tidak dianggap dalam pelanggaran sumpah, menurut satu pendapat saja, meskipun dalam perbuatan orang yang bersumpah ada dua pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مَا قَدَّمْنَاهُ، مِنْ أَنَّ الْيَمِينَ لَا تَكُونُ إِلَّا مِنْ ذِي قَصْدٍ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ الْقَصْدُ فِي فِعْلِهِ مُعْتَبَرًا، وَقَدْ يَكُونُ عَلَى غَيْرِ ذِي قَصْدٍ، فَلَمْ يَكُنِ الْقَصْدُ فِي فِعْلِهِ مُعْتَبَرًا.

Perbedaan antara keduanya sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu bahwa sumpah tidak terjadi kecuali dari orang yang memiliki niat, maka boleh jadi niat dalam perbuatannya dianggap. Namun, bisa jadi sumpah itu terkait dengan selain orang yang memiliki niat, sehingga niat dalam perbuatannya tidak dianggap.

وَظَاهِرُ كلام الشافعي ها هنا، أَشْبَهُ بِمَا قَالَهُ الْبَصْرِيُّونَ؛ لِأَنَّهُ قَالَ: وَلَوْ حلف لا يأخذ مَالَكَ عَلَيَّ، فَأَجْبَرَهُ السُّلْطَانُ، فَأَخَذَ مِنْهُ الْمَالَ حنث، ولو قال: لا أعطيك لم يحنث، فَحَنَّثَهُ مَعَ فَقْدِ الْقَصْدِ مِنَ الْمَحْلُوفِ عَلَيْهِ، وَلَمْ يُحَنِّثْهُ مَعَ فَقْدِ الْقَصْدِ مِنَ الْحَالِفِ، وَلَوِ اسْتَوَى الْقَوْلَانِ فِيهِمَا لَسُّوِّيَ فِي الْحِنْثِ بَيْنَهُمَا.

Dan zahir perkataan Imam Syafi‘i di sini lebih mirip dengan pendapat golongan Basrah; karena ia berkata: “Jika seseorang bersumpah bahwa engkau tidak akan mengambil hartamu dariku, lalu penguasa memaksanya sehingga hartanya diambil darinya, maka ia dianggap melanggar sumpah. Namun jika ia berkata, ‘Aku tidak akan memberimu,’ maka ia tidak dianggap melanggar sumpah.” Maka ia menganggap pelanggaran sumpah terjadi meskipun tidak ada niat dari pihak yang disumpahkan, dan tidak menganggap pelanggaran sumpah jika tidak ada niat dari pihak yang bersumpah. Seandainya kedua pendapat itu sama dalam kedua kasus, niscaya keduanya disamakan dalam pelanggaran sumpah.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا، فَقَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فَصْليْنِ:

Jika telah jelas apa yang kami sebutkan, maka Imam Syafi‘i dalam masalah ini menyebutkan dua bagian:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَحْلِفَ بِالطَّلَاقِ عَلَى صَاحِبِ دَيْنٍ عَلَيْهِ، أَنَّكَ لَا تَأْخُذُ مَالَكَ عَلَيَّ، فَصَارَ الْمَالُ إِلَيْهِ، فَلَهُ فِيهِ خَمْسَةُ أَحْوَالٍ:

Pertama: Seseorang bersumpah dengan talak kepada orang yang memiliki piutang atas dirinya, “Engkau tidak akan mengambil hartamu dariku,” lalu harta itu sampai kepadanya. Dalam hal ini terdapat lima keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْخُذَ الْمَالَ مُخْتَارًا لِأَخْذِهِ، فَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ سَوَاءٌ دَفَعَهُ الْحَالِفُ مُخْتَارًا أَوْ مَكْرَهًا أَوْ أَخَذَ الْمَالَ بِنَفْسِهِ سِرًّا أَوْ جَهْرًا، لِأَنَّ الْحِنْثَ مُعَلَّقٌ بِالْأَخْذِ، وَقَدْ وُجِدَ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا وَهَكَذَا لَوْ أَخَذَ الْمَالَ مِنْ وَكِيلِهِ أَوْ مِنْ مُتَطَوِّعٍ عَلَيْهِ بِالْقَضَاءِ حَنِثَ، بِوُجُودِ الْأَخْذِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْحَالِفُ قَالَ: لَا تَأْخُذُ مِنِّي مَالَكَ عَلَيَّ، فَإِذَا أَخَذَهُ مِنْ غَيْرِهِ لَمْ يَحْنَثْ.

Pertama: Jika ia mengambil harta tersebut dengan kehendaknya sendiri, maka talak jatuh, baik yang bersumpah menyerahkan harta itu secara sukarela atau terpaksa, atau ia sendiri yang mengambil harta itu secara diam-diam atau terang-terangan, karena pelanggaran sumpah (ḥinth) dikaitkan dengan pengambilan, dan hal itu telah terjadi dalam semua keadaan ini. Demikian pula jika ia mengambil harta itu dari wakilnya atau dari seseorang yang secara sukarela membayarkannya, maka ia tetap melanggar sumpah karena pengambilan telah terjadi, kecuali jika yang bersumpah berkata: “Jangan ambil hartamu dariku,” maka jika ia mengambilnya dari selain dirinya, ia tidak melanggar sumpah.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ، أَنْ يَأْخُذَهُ وَكِيلُهُ فَلَا حِنْثَ عَلَى الْحَالِفِ؛ لِأَنَّ الْمَحْلُوفَ عَلَيْهِ لَمْ يَأْخُذِ الْمَالَ، وَإِنَّمَا أَخَذَهُ وَكِيلُهُ، فَلَمْ تُوجَدْ صِفَةُ الْحِنْثِ، وَسَوَاءٌ أَخَذَهُ الْوَكِيلُ بِأَمْرِهِ أَوْ غَيْرِ أَمْرِهِ.

Keadaan kedua, jika yang mengambilnya adalah wakilnya, maka tidak ada pelanggaran sumpah atas orang yang bersumpah; karena yang disumpahi tidak mengambil harta itu, melainkan wakilnya yang mengambil, sehingga sifat pelanggaran sumpah tidak terjadi, baik wakil itu mengambil atas perintahnya atau tanpa perintahnya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَأْخُذَ الْمَالَ عَرَضًا أَوْ حَوَالَةً، فَلَا حِنْثَ عليه أيضاً؛ لأنه قد بدل الْمَالَ وَلَمْ يَأْخُذْ عَيْنَ الْمَالِ، فَلَمْ تُوجَدْ صِفَةُ الْحِنْثِ.

Keadaan ketiga: Jika ia mengambil harta itu dalam bentuk barang atau melalui hawālah (pengalihan utang), maka tidak ada pelanggaran sumpah atasnya juga; karena ia telah menukar harta tersebut dan tidak mengambil harta yang sama, sehingga sifat pelanggaran sumpah tidak terjadi.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَأْخُذَ السُّلْطَانُ الْمَالَ، وَيَضَعَهُ فِي حِرْزِ صَاحِبِ الدَّيْنِ أَوْ فِي حِجْرِهِ فَلَا حِنْثَ أَيْضًا، إِلَّا أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْمَحْلُوفُ أَخْذَ ذَلِكَ مِنْ حِرْزِهِ أَوْ حِجْرِهِ، فَيَحْنَثُ الْحَالِفُ حِينَئِذٍ لِوُجُودِ الْآخذِ الْآنَ.

Keadaan keempat: Jika penguasa mengambil harta itu dan meletakkannya di tempat aman milik pemilik utang atau di pangkuannya, maka tidak ada pelanggaran sumpah juga, kecuali jika yang disumpahi kemudian mengambil harta itu dari tempat amannya atau pangkuannya, maka yang bersumpah melanggar sumpah pada saat itu karena pengambilan telah terjadi sekarang.

وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ: أَنْ يُخَوِّفَهُ السُّلْطَانُ فَيَأْخُذَ الْمَالَ مُكْرَهًا فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا، فَعَلَى مَذْهَبِ الْبَغْدَادِيِّينَ هَلْ يَكُونُ حَنِثَ الْحَالِفُ عَلَى قَوْلَيْنِ، تَسْوِيَةٌ بَيْنَ عَدَمِ الْفِعْلِ مِنَ الْمَحْلُوفِ عَلَيْهِ وَبَيْنَ عِلْمِهِ مِنَ الْحَالِفِ، وَعَلَى مَذْهَبِ الْبَصْرِيِّينَ يَحْنَثُ الْحَالِفُ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ الْقَصْدَ لَا يُرَاعَى مِنْ غَيْرِ الْحَالِفِ، وَقَدْ وُجِدَ فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ الْحِنْثُ.

Keadaan kelima: Jika penguasa menakut-nakutinya sehingga ia mengambil harta itu dalam keadaan terpaksa, maka menurut yang telah kami sebutkan tentang perbedaan pendapat ulama kami, menurut mazhab Baghdadiyyīn, apakah yang bersumpah dianggap melanggar sumpah ada dua pendapat, yaitu menyamakan antara tidak adanya perbuatan dari yang disumpahi dan pengetahuan dari yang bersumpah. Sedangkan menurut mazhab Baṣriyyīn, yang bersumpah pasti dianggap melanggar sumpah, karena niat tidak diperhitungkan dari selain yang bersumpah, dan pengambilan telah terjadi sehingga pelanggaran sumpah harus terjadi.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالْفَصْلٌ الثَّانِي: أَنْ يَحْلِفَ بِالطَّلَاقِ، أَنْ لَا يُعْطِيَهُ مَالَهُ فَلَهُ فِي أَخْذِ الْمَالِ مِنْهُ سِتَّةُ أَحْوَالٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَيْهِ بِنَفْسِهِ مُخْتَارًا فَيَحْنَثُ، سَوَاءٌ أُخِذَ الْمَالُ مِنْهُ، بِاخْتِيَارٍ أَوْ غَيْرِ اخْتِيَارٍ؛ لِأَنَّ الْحِنْثَ مُعَلَّقٌ بِالْعَطَاءِ دُونَ الْأَخْذِ، وَقَدْ وُجِدَ فَوَقَعَ الْحِنْثُ.

Fasal kedua: Jika seseorang bersumpah dengan talak bahwa ia tidak akan memberikan hartanya, maka dalam pengambilan harta darinya terdapat enam keadaan: Pertama: Ia sendiri yang menyerahkan harta itu dengan sukarela, maka ia melanggar sumpah, baik harta itu diambil darinya dengan sukarela atau tidak; karena pelanggaran sumpah dikaitkan dengan pemberian, bukan pengambilan, dan hal itu telah terjadi sehingga pelanggaran sumpah pun terjadi.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَدْفَعَ الْمَالَ إِلَى وَكِيلِهِ فَلَا يَحْنَثُ سَوَاءٌ أَخَذَهُ الْوَكِيلُ بِأَمْرِهِ أَوْ غَيْرِ أَمْرِهِ؛ لِأَنَّهُ أَعْطَى غَيْرَهُ وَلَمْ يُعْطِهِ.

Keadaan kedua: Jika ia menyerahkan harta itu kepada wakilnya, maka ia tidak melanggar sumpah, baik wakil itu mengambilnya atas perintahnya atau tanpa perintahnya; karena ia memberikan kepada orang lain, bukan kepada yang disumpahi.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَتَوَلَّى وَكِيلُهُ دَفْعَ الْمَالِ إِلَيْهِ، فَلَا حِنْثَ سَوَاءٌ دَفَعَهُ الْوَكِيلُ بِأَمْرِهِ أَوْ غَيْرِ أَمْرِهِ؛ لِأَنَّ الْمُعْطِيَ غَيْرُهُ.

Keadaan ketiga: Jika wakilnya yang menyerahkan harta itu kepadanya, maka tidak ada pelanggaran sumpah, baik wakil itu menyerahkan atas perintahnya atau tanpa perintahnya; karena yang memberi adalah orang lain.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُعْطِيَهُ الْمَالَ عَرَضًا أَوْ حَوَالَةً، فَلَا يَحْنَثُ، لِأَنَّهُ أَعْطَى بَدَلَ الْمَالِ وَلَمْ يُعْطِ الْمَالَ.

Keadaan keempat: Jika ia memberikan harta itu dalam bentuk barang atau melalui hawālah, maka ia tidak melanggar sumpah, karena ia memberikan pengganti harta, bukan harta itu sendiri.

وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ: أَنْ يَأْخُذَهُ السُّلْطَانُ مِنْ مَالِهِ جَبْرًا، فَيُعْطِيَهُ فَلَا حِنْثَ، كَدَفْعِ الْوَكِيلِ. وَالْحَالُ السَّادِسَةُ: أَنْ يُخَوِّفَهُ السُّلْطَانُ عَلَى دَفْعِهِ، فَيُعْطِيَهُ إِيَّاهُ مُكْرَهًا، فَفِي حِنْثِهِ قَوْلَانِ.

Keadaan kelima: Jika penguasa mengambil harta itu secara paksa dari hartanya, lalu memberikannya, maka tidak ada pelanggaran sumpah, seperti halnya penyerahan oleh wakil. Keadaan keenam: Jika penguasa menakut-nakutinya agar ia menyerahkan harta itu, lalu ia memberikannya dalam keadaan terpaksa, maka dalam hal pelanggaran sumpah terdapat dua pendapat.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ إِنْ كَلَّمْتِهِ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَكَلَّمَتْهُ حَيْثُ يَسْمَعُ حَنِثَ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ لَمْ يَحْنَثْ وَإِنْ كَلَّمَتْهُ مَيِّتًا أَوْ حَيْثُ لَا يَسْمَعُ لَمْ يَحْنَثْ وَإِنْ كَلَّمَتْهُ مُكْرَهَةً لَمْ يَحْنَثْ وَإِنْ كَلَّمَتْهُ سَكْرَانَةً حَنِثَ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Jika engkau berbicara dengannya maka engkau tertalak,’ lalu ia berbicara dengannya di tempat yang ia dapat mendengar, maka ia melanggar sumpah, dan jika ia tidak mendengar maka tidak melanggar sumpah. Jika ia berbicara dengannya ketika sudah meninggal atau di tempat yang tidak dapat mendengar, maka tidak melanggar sumpah. Jika ia berbicara dengannya dalam keadaan terpaksa, maka tidak melanggar sumpah. Jika ia berbicara dengannya dalam keadaan mabuk, maka ia melanggar sumpah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَالَ لَهَا: إِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَكَلَّمَتْهُ مُخْتَارَةً كَلَامًا سَمِعَهُ، سَوَاءٌ قَلَّ الْكَلَامُ أَوْ كَثُرَ، أَجَابَ زَيْدٌ عَنْهُ أَوْ لَمْ يُجِبْ؛ لِأَنَّ الْكَلَامَ قَدْ وُجِدَ، وَإِنْ كَلَّمَتْهُ فَلَمْ يَسْمَعْ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ بِحَيْثُ يَجُوزُ أَنْ يَسْمَعَ لِقُرْبِهِ، فَلَمْ يَسْمَعْ لِشُغْلِهِ حَنِثَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُقَالُ: كَلَّمْتُ فُلَانًا فَلَمْ يَسْمَعْ فَصَارَتْ مُكَلِّمَةً لَهُ، وَإِنْ كَانَ بِحَيْثُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْمَعَ لِبُعْدِهِ، لَمْ يَحْنَثْ؛ لِأَنَّهَا لَا تَكُونُ مُكَلِّمَةً لَهُ إِلَّا إِذَا كَانَ الْكَلَامُ وَاصِلًا إِلَيْهِ، وَإِلَّا فَهِيَ مُتَكَلِّمَةٌ وَلَيْسَتْ مُكَلِّمَةً، وَلَوْ كَلَّمَتْهُ وَهُوَ أَصَمُّ لَا يَسْمَعُ كَلَامَهَا، فَإِنْ كَانَ بِحَيْثُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْمَعَهُ لَوْ كَانَ سَمِيعًا، لَمْ يَحْنَثْ، وَإِنْ كَانَ بِحَيْثُ يَجُوزُ أَنْ يَسْمَعَهُ، لَوْ كَانَ سَمِيعًا فَفِي حِنْثِهِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar apabila ia berkata kepada istrinya: “Jika engkau berbicara dengan Zaid, maka engkau tertalak,” lalu ia berbicara dengannya secara sadar dengan ucapan yang didengar olehnya, baik ucapannya sedikit maupun banyak, baik Zaid menjawabnya atau tidak; karena percakapan itu telah terjadi. Jika ia berbicara dengannya namun tidak didengar, maka perlu ditinjau: jika jaraknya memungkinkan untuk didengar karena dekat, namun Zaid tidak mendengarnya karena sedang sibuk, maka suaminya dianggap melanggar sumpahnya; karena bisa saja dikatakan: “Aku telah berbicara dengan si Fulan, namun ia tidak mendengar,” sehingga ia tetap dianggap telah berbicara dengannya. Namun jika jaraknya tidak memungkinkan untuk didengar karena terlalu jauh, maka suaminya tidak dianggap melanggar; karena ia tidak dianggap berbicara dengannya kecuali jika ucapannya sampai kepadanya, jika tidak, maka ia hanya berbicara (secara umum) dan bukan berbicara kepadanya secara khusus. Jika ia berbicara kepada Zaid yang tuli sehingga tidak dapat mendengar ucapannya, maka jika jaraknya tidak memungkinkan untuk didengar meskipun Zaid tidak tuli, maka suaminya tidak dianggap melanggar. Namun jika jaraknya memungkinkan untuk didengar seandainya Zaid tidak tuli, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَحْنَثُ كَمَا لَوْ كَلَّمَتْ سَمِيعًا، فَلَمْ يَسْمَعْ.

Salah satunya: suaminya dianggap melanggar, sebagaimana jika ia berbicara kepada orang yang dapat mendengar namun tidak mendengarnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَسْمَعُ، لِأَنَّ مِثْلَهُ غَيْرُ مُكَلَّمٍ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ} [الروم: 52] .

Pendapat kedua: suaminya tidak dianggap melanggar, karena orang seperti itu tidak termasuk orang yang diajak bicara, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan engkau tidak dapat memperdengarkan seruan kepada orang-orang tuli ketika mereka berpaling membelakangi} (QS. Ar-Rum: 52).

وَلَوْ كَلَّمَتْهُ وَهُوَ حَيٌّ حَنِثَ، وَلَوْ كَلَّمَتْهُ وَهُوَ مَجْنُونٌ مَغْلُوبٌ عَلَيْهِ، لَمْ يَحْنَثْ لِأَنَّ مِثْلَهُ لَا يُكَلَّمُ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَلَّمَتْهُ وَهُوَ مَيِّتٌ، وَالنَّائِمُ وَالْمَيِّتُ لَا يُكَلَّمَانِ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {فَإِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى} [الروم: 52] .

Jika ia berbicara kepada Zaid saat ia masih hidup, maka suaminya dianggap melanggar. Namun jika ia berbicara kepada Zaid yang gila dan tidak sadar, maka suaminya tidak dianggap melanggar, karena orang seperti itu tidak diajak bicara. Demikian pula jika ia berbicara kepada Zaid yang telah meninggal, karena orang yang tidur dan orang yang mati tidak diajak bicara, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Maka sesungguhnya engkau tidak dapat memperdengarkan (seruan) kepada orang-orang yang telah mati} (QS. Ar-Rum: 52).

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ وَقَفَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى قَتْلَى بَدْرٍ، وَهُمْ فِي الْقَلِيبِ فَقَالَ: هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا، قَيْلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتُكَلِّمُ أَمْوَاتًا لَا يَسْمَعُونَ، فَقَالَ: إِنَّهُمْ لَأَسْمَعُ مِنْكُمْ، وَلَكِنَّهُ لَا يُؤْذَنُ لَهُمْ فِي الْجَوَابِ، فَصَارَ الْمَيِّتُ مِمَّنْ يَجُوزُ أَنْ يُكَلَّمَ، فَاقْتَضَى أَنْ يَقَعَ الْحِنْثُ بِكَلَامِهَا لَهُ مَيِّتًا.

Jika dikatakan: Rasulullah ﷺ pernah berdiri di hadapan para korban Perang Badar yang telah berada di sumur, lalu beliau bersabda: “Apakah kalian telah mendapati apa yang dijanjikan Tuhan kalian itu benar?” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah engkau berbicara kepada orang mati yang tidak mendengar?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya mereka lebih dapat mendengar daripada kalian, hanya saja mereka tidak diizinkan untuk menjawab.” Maka orang mati termasuk yang mungkin diajak bicara, sehingga seharusnya suaminya dianggap melanggar jika istrinya berbicara kepada orang mati.

قِيلَ: هَذَا هُوَ الْحُجَّةُ عَلَى أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يُكَلَّمُ؛ لِأَنَّهُمْ أَنْكَرُوا كَلَامَهُ لَهُمْ، وَلَوْ كَانَ الْمَيِّتُ مُكَلَّمًا مَا أَنْكَرُوهُ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ تَعَالَى، رَدَّ أَرْوَاحَهُمْ إِلَيْهِ، حِينَ كَلَّمَهُمْ مُعْجِزَةً خَصَّ بِهَا رسوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَمَا يُعِيدُ أَرْوَاحَهُمْ لِسَائِلِهِ مُنْكَرٍ وَنَكِيرٍ، وَلَوْ كَلَّمَتْهُ وَهُوَ سَكْرَانُ لَا يَشْعُرُ بِالْكَلَامِ وَلَا يَسْمَعُهُ، لَمْ يَحْنَثْ؛ لِأَنَّهُ مِثْلُهُ لَا يُكَلَّمُ كَالنَّائِمِ وَالْمَجْنُونِ.

Dijawab: Inilah dalil bahwa orang mati tidak diajak bicara; karena para sahabat mengingkari ucapan beliau kepada mereka, dan jika orang mati memang bisa diajak bicara, tentu mereka tidak akan mengingkarinya. Bisa jadi Allah Ta‘ala mengembalikan ruh mereka kepadanya saat beliau berbicara kepada mereka sebagai mukjizat khusus untuk Rasul-Nya ﷺ, sebagaimana Allah mengembalikan ruh kepada orang yang ditanya oleh malaikat Munkar dan Nakir. Jika ia berbicara kepada Zaid yang sedang mabuk sehingga tidak sadar dan tidak mendengar ucapannya, maka suaminya tidak dianggap melanggar; karena orang seperti itu tidak diajak bicara, sebagaimana orang yang tidur dan orang gila.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ كَاتَبَتْهُ، لَمْ يَحْنَثْ؛ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ لَا تَكُونُ كَلَامًا، وَإِنْ قَامَتْ فِي الْإِفْهَامِ مَقَامَ الْكَلَامِ، وَهَكَذَا لَوْ رَاسَلَتْهُ لَمْ يَحْنَثْ؛ لِأَنَّ الرَّسُولَ هُوَ الْمُتَكَلِّمُ دُونَهَا، وَإِنْ كَانَ مُبَلِّغًا عَنْهَا، وَلَوْ أَشَارَتْ إِلَيْهِ بِالْكَلَامِ إِشَارَةً فَهِمَ بِهَا مُرَادَهَا، فَإِنْ كَانَ نَاطِقًا سَمِيعًا، لَمْ يَحْنَثْ بِإِشَارَتِهَا إِلَيْهِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {آيَتُكَ أَلا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا، فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا} [مريم: 10، 11] فَلَمْ يَجْعَلِ الْإِشَارَةَ كَلَامًا، وَإِنْ قَامَتْ مَقَامَهُ فِي الْإِفْهَامِ، وَإِنْ كَانَ زَيْدٌ أَصَمَّ لَا يَسْمَعُ الْكَلَامَ إِلَّا بِالْإِشَارَةِ فَفِي حِنْثِهِ، بِإِشَارَتِهَا إِلَيْهِ قَوْلَانِ:

Jika ia menulis surat kepada Zaid, maka suaminya tidak dianggap melanggar; karena tulisan tidak dianggap sebagai percakapan, meskipun dalam hal pemahaman dapat menggantikan percakapan. Demikian pula jika ia mengirim utusan kepadanya, maka suaminya tidak dianggap melanggar; karena yang berbicara adalah utusan, bukan dirinya, meskipun utusan itu menyampaikan pesan darinya. Jika ia memberi isyarat kepadanya dengan isyarat yang dapat dipahami maksudnya, maka jika Zaid adalah orang yang dapat berbicara dan mendengar, suaminya tidak dianggap melanggar dengan isyarat tersebut, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Tandamu adalah bahwa kamu tidak berbicara dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat} (QS. Maryam: 10-11), lalu ia keluar kepada kaumnya dari mihrab dan memberi isyarat kepada mereka agar bertasbih di pagi dan petang. Maka Allah tidak menjadikan isyarat sebagai percakapan, meskipun dalam hal pemahaman dapat menggantikan percakapan. Namun jika Zaid adalah orang tuli yang hanya dapat memahami percakapan melalui isyarat, maka dalam hal suaminya dianggap melanggar karena isyarat istrinya kepadanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَحْنَثُ؛ لِأَنَّ الْإِشَارَةَ لَيْسَتْ كَلَامًا.

Salah satunya: suaminya tidak dianggap melanggar; karena isyarat bukanlah percakapan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَحْنَثُ؛ لِأَنَّهُ هَكَذَا يُكَلَّمُ الْأَصَمُّ، وَلَوْ كَلَّمَتْ رَجُلًا آخَرَ كَلَامًا سَمِعَهُ زَيْدٌ؛ لَمْ يَحْنَثْ؛ لِأَنَّهَا مُكَلِّمَةٌ لِغَيْرِهِ، وَلَوْ كَلَّمَتِ الْحَائِطَ كَلَامًا لَمْ يَسْمَعْهُ إِلَّا زَيْدٌ فَفِي حِنْثِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: ia dianggap melanggar sumpah; karena seperti inilah cara berbicara dengan orang tuli. Jika ia berbicara kepada laki-laki lain dengan ucapan yang didengar oleh Zaid, maka ia tidak dianggap melanggar; karena ia berbicara kepada orang lain, bukan kepada Zaid. Jika ia berbicara kepada dinding dengan ucapan yang hanya didengar oleh Zaid, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَحْنَثُ كَمَا لَوْ كَلَّمَتْ غَيْرَهُ فَسَمِعَهُ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَحْنَثُ؛ لِأَنَّ الْحَائِطَ لَا يُكَلَّمُ، فَصَارَ الْكَلَامُ مُتَوَجِّهًا إِلَى مَنْ يَجُوزُ أَنْ يُكَلَّمَ وَلَوْ سَلَّمَتْ عَلَى جَمَاعَةٍ وَفِيهِمْ زَيْدٌ فَإِنْ لَمْ تَعْزِلْهُ بِنِيَّتِهَا حَنِثَ، وَإِنْ عَزَلَتْهُ بِنِيَّتِهَا فَفِي حِنْثِهِ وَجْهَانِ.

Salah satunya: tidak dianggap melanggar, sebagaimana jika ia berbicara kepada orang lain lalu didengar oleh Zaid. Pendapat kedua: dianggap melanggar; karena dinding bukanlah sesuatu yang layak diajak bicara, sehingga ucapan itu diarahkan kepada orang yang layak diajak bicara. Jika ia memberi salam kepada sekelompok orang yang di dalamnya ada Zaid, maka jika ia tidak mengecualikan Zaid dalam niatnya, ia dianggap melanggar. Namun jika ia mengecualikan Zaid dalam niatnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَلَوْ كَلَّمَتْ زَيْدًا وَهِيَ نَائِمَةٌ، لَمْ يَحْنَثْ لِأَنَّ كَلَامَ النَّائِمِ هَذَيَانٌ، وَهَكَذَا لَوْ كَلَّمَتْهُ وَهِيَ مَجْنُونَةٌ فَلَا حِنْثَ عَلَيْها، أَوْ فِي إِغْمَاءٍ قَدْ أَطْبَقَ لَمْ يَحْنَثْ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ ذَلِكَ مِنْهَا فِي الْعُرْفِ كَلَامًا وَلَوْ كَلَّمَتْهُ وَهِيَ سَكْرَانَةٌ لَا تَعْقِلُ، فَإِنْ كَانَ سُكْرُ غَيْرِ مَعْصِيَةٍ لَمْ يَحْنَثْ كَالْإِغْمَاءِ، وَإِنْ كَانَ سُكْرُ مَعْصِيَةٍ حَنِثَ، لِأَنَّ طَلَاقَ السَّكْرَانِ وَاقِعٌ، كَطَلَاقِ الصَّاحِي، وَإِنْ خَرَجَ قَوْلٌ آخَرُ فِي طَلَاقِ السَّكْرَانِ أَنَّهُ لَا يَقَعُ لم يحنث ها هنا، وَلَوْ كَلَّمَتْهُ نَاسِيَةً حَنِثَ عَلَى مَذْهَبِ الْبَصْرِيِّينَ، وَعِنْدَ الْبَغْدَادِيِّينَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَلَوْ كَلَّمَتْهُ مُكْرَهَةً كَانَ فِي حِنْثِهِ عَلَى مَذْهَبِ الْبَغْدَادِيِّينَ قَوْلَانِ وَمِنَ الْبَصْرِيِّينَ مَنْ وَافَقَهُمْ عَلَى تَخْرِيجِ الْقَوْلَيْنِ ها هنا؛ لِأَنَّ مَا لَا يُقْصَدُ مِنَ الْكَلَامِ لَيْسَ بِكَلَامٍ، فَجَرَى مَجْرَى هَذَيَانِ النَّائِمِ.

Jika ia berbicara kepada Zaid dalam keadaan tidur, maka ia tidak dianggap melanggar, karena ucapan orang tidur adalah omong kosong. Begitu pula jika ia berbicara kepadanya dalam keadaan gila, maka tidak ada pelanggaran atasnya. Atau dalam keadaan pingsan total, maka tidak dianggap melanggar; karena dalam kebiasaan, hal itu tidak dianggap sebagai ucapan darinya. Jika ia berbicara kepadanya dalam keadaan mabuk hingga tidak sadar, maka jika mabuknya bukan karena maksiat, ia tidak dianggap melanggar seperti halnya orang pingsan. Namun jika mabuknya karena maksiat, maka ia dianggap melanggar, karena talak orang mabuk tetap sah seperti talak orang sadar. Meskipun ada pendapat lain dalam masalah talak orang mabuk bahwa talaknya tidak jatuh, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap melanggar. Jika ia berbicara kepadanya karena lupa, maka menurut mazhab Basrah, ia dianggap melanggar, sedangkan menurut ulama Baghdad ada dua pendapat. Jika ia berbicara kepadanya dalam keadaan terpaksa, maka menurut mazhab Baghdad ada dua pendapat dalam hal ini, dan sebagian ulama Basrah setuju dengan mereka dalam mengeluarkan dua pendapat di sini; karena ucapan yang tidak disengaja bukanlah ucapan yang sebenarnya, sehingga ia diperlakukan seperti omong kosong orang tidur.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِزَوْجَتِهِ إِنْ بَدَأْتُكِ بِالْكَلَامِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: إِنْ بَدَأْتُكَ بِالْكَلَامِ فَعَبْدِي حُرٌّ، انْحَلَّتْ يَمِينُ الزَّوْجِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ خَرَجَ بقولها، إن بدأتك بكلام فَعَبْدِي حُرٌّ مِنْ أَنْ يَكُونَ بَادِئًا لَهَا بِالْكَلَامِ، فَإِنْ بَدْأَهَا الزَّوْجُ بَعْدَ ذَلِكَ بِالْكَلَامِ انْحَلَّتْ يَمِينُ الزَّوْجَةِ وَلَمْ يَحْنَثِ الزَّوْجُ، لِأَنَّهَا خَرَجَتْ بِمَا بَدَأَهَا الزَّوْجُ بِهِ مِنَ الْكَلَامِ، أَنْ تَكُونَ بَادِئَةً لَهُ بِالْكَلَامِ، وَإِنْ بَدَأَتْهُ بِالْكَلَامِ حَنِثَ وَعَتَقَ عَبْدُهَا.

Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Jika aku memulai berbicara denganmu, maka engkau tertalak,” lalu sang istri berkata, “Jika aku memulai berbicara denganmu, maka budakku merdeka,” maka sumpah suami menjadi batal; karena dengan ucapan istrinya, “Jika aku memulai berbicara denganmu, maka budakku merdeka,” suami telah keluar dari kemungkinan menjadi pihak yang memulai berbicara dengannya. Jika setelah itu suami memulai berbicara kepada istrinya, maka sumpah istri menjadi batal dan suami tidak dianggap melanggar, karena dengan apa yang diucapkan suami ketika memulai pembicaraan, istri telah keluar dari kemungkinan menjadi pihak yang memulai berbicara dengannya. Namun jika istri yang memulai berbicara, maka ia dianggap melanggar dan budaknya menjadi merdeka.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَإِذَا قَالَ لِزَوْجَتِهِ إِنْ أَمَرْتُكِ بِأَمْرٍ فَخَالَفْتِينِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ لَهَا؛ إِنْ لَمْ تَصْعَدِي السَّمَاءَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، كَانَ فِي طَلَاقِهَا وَجْهَانِ:

Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Jika aku memerintahkanmu suatu perkara lalu engkau menentangku, maka engkau tertalak,” kemudian ia berkata kepadanya, “Jika engkau tidak naik ke langit, maka engkau tertalak,” maka dalam hal talaknya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ طُلِّقَتْ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَفْعَلْ مَا أَمَرَهَا.

Salah satunya: telah jatuh talak; karena ia tidak melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تُطَلَّقُ، لِأَنَّ الْأَمْرَ فِي الْعُرْفِ مَا أَمْكَنَ إِجَابَةَ الْمَأْمُورِ إِلَيْهِ، وَهَذَا غَيْرُ مُمْكِنٍ.

Pendapat kedua: tidak jatuh talak, karena dalam kebiasaan, perintah adalah sesuatu yang memungkinkan orang yang diperintah untuk melakukannya, sedangkan ini tidak mungkin dilakukan.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الطَّلَاقِ بصفة وبين اليمين بالطلاق.

Tentang perbedaan antara talak dengan sifat tertentu dan sumpah dengan talak.

والطلاق بالعقد أَنْ يُعَلِّقَ طَلَاقَهَا بِشَرْطٍ لَا تَقْدِرُ عَلَى دَفْعِهِ، كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا طَلَعْتِ الشَّمْسُ أَوْ إِذَا دَخَلَ رَأْسُ الشَّهْرِ، أَوْ إِذَا قَدِمَ الْحَاجُّ، أَوْ إِذَا جَاءَ الْمَطَرُ، أَوْ إِذَا نَعَبَ الْغُرَابُ أَوْ إِذَا حَضْتِ، أَوْ إِنْ وَلَدْتِ، أَوْ إِنْ شِئْتِ، فَهَذَا كُلُّهُ وَمَا شَاكَلَهُ تَعْلِيقُ الطَّلَاقِ بِصِفَةٍ فَإِذَا قَالَ؛ إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِكِ، فَأَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ قَالَ لَهَا؛ إِذَا جَاءَ رَأْسُ الشَّهْرِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ إِذَا قَدِمَ الْحَاجُّ فَأَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ إِذَا جَاءَ الْمَطَرُ فَأَنْتِ طَالِقٌ؛ لَمْ يَحْنَثْ وَلَمْ يَلْزَمْهُ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ مُطَلِّقٌ بِصِفَةٍ وَلَيْسَ بِحَالِفٍ بِالطَّلَاقِ.

Talak dengan akad adalah ketika seseorang menggantungkan talak istrinya pada suatu syarat yang tidak mampu ia cegah, seperti ucapannya: “Engkau tertalak jika matahari terbit,” atau “jika awal bulan tiba,” atau “jika jamaah haji datang,” atau “jika hujan turun,” atau “jika burung gagak berbunyi,” atau “jika engkau haid,” atau “jika engkau melahirkan,” atau “jika engkau menghendaki,” maka semua ini dan yang semisalnya adalah penggantungan talak pada suatu sifat. Jika ia berkata, “Jika aku bersumpah dengan talakmu, maka engkau tertalak,” kemudian ia berkata lagi, “Jika awal bulan tiba, maka engkau tertalak,” atau “jika jamaah haji datang, maka engkau tertalak,” atau “jika hujan turun, maka engkau tertalak,” maka ia tidak dianggap melanggar dan talak tidak wajib baginya, karena dalam keadaan-keadaan ini ia menjatuhkan talak dengan sifat, bukan bersumpah dengan talak.

وَأَمَّا الْيَمِينُ بِالطَّلَاقِ فَهُوَ مَا مَنَعَ بِهَا مِنْ فِعَالٍ، وَحَثَّ بِهَا عَلَى فِعْلٍ، أَوْ قَصَدَ تَصْدِيقَ نَفْسِهِ، أَوْ غَيْرِهِ عَلَى شَيْءٍ، فَالَّتِي يَمْنَعُ بِهَا مِنْ فِعْلٍ، أَنْ يَقُولَ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ.

Adapun sumpah dengan talak adalah apa yang digunakan untuk mencegah suatu perbuatan, atau mendorong untuk melakukan suatu perbuatan, atau bermaksud membenarkan dirinya sendiri atau orang lain atas sesuatu. Contoh sumpah yang digunakan untuk mencegah suatu perbuatan adalah dengan mengatakan: “Jika kamu masuk ke dalam rumah, maka kamu tertalak.”

وَالَّتِي يَحُثُّ بِهَا عَلَى فِعْلٍ، أَنْ يَقُولَ: إِنْ لَمْ تَدْخُلِي الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ.

Adapun sumpah yang digunakan untuk mendorong melakukan suatu perbuatan adalah dengan mengatakan: “Jika kamu tidak masuk ke dalam rumah, maka kamu tertalak.”

وَالَّتِي قصد بها التصديف عَلَى فِعْلٍ، أَنْ يَقُولَ: إِنْ لَمْ أَكُنْ دَخَلْتُ الدَّارَ، فَأَنْتِ طَالِقٌ فَهَذَا كُلُّهُ حَلِفٌ بِالطَّلَاقِ، فَلَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، حَنِثَ وَطُلِّقَتْ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ حَلَفَ بِطَلَاقِهَا، فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا لَمْ تُطَلَّقْ، بِدُخُولِ الدَّارِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ بِالْأُولَى، وَإِنْ كَانَتْ مَدْخُولًا بِهَا، طُلِّقَتْ ثَانِيَةً بِدُخُولِهَا، فَلَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ دَخَلَ زَيْدٌ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِنْ كَانَ زَيْدٌ مِمَّنْ يُطِيعُهُ، وَيَمْتَنِعُ مِنَ الدُّخُولِ بِقَوْلِهِ فَهِيَ يَمِينٌ بِالطَّلَاقِ وَإِنْ كَانَ زَيْدٌ سُلْطَانًا أَوْ ذَا قُدْرَةٍ لَا بطبعه وَلَا يَمْتَنِعُ مِنَ الدُّخُولِ بِقَوْلِهِ، فَهُوَ طَلَاقٌ بِصِفَةٍ، وَلَيْسَ بِيَمِينٍ، هَذَا مَذْهَبُنَا، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: كُلُّ هَذَا يَمِينٌ كَالطَّلَاقِ، إِلَّا فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ، أَحَدُهَا أَنْ يَقُولَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا حِضْتِ، أَوْ أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا طَهُرْتِ، أَوْ أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا شِئْتِ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِقَوْلِهِ إِذَا حِضْتِ أَوْ طَهُرْتِ، أَنْ يُوقِعَهُ لِلسُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ، وَالْمَقْصُودُ بِقَوْلِهِ إِنْ شِئْتِ التَّمْلِيكُ الَّذِي يُرَاعَى فِيهِ الرَّدُّ وَالْقَبُولُ. فَأَمَّا إِذَا قَالَ: إِذَا جَاءَ رَأْسُ الشَّهْرِ، أَوْ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَأَنْتِ طَالِقٌ فَإِنَّهَا يَمِينٌ بِالطَّلَاقِ؛ لِأَنَّهُ تَعْلِيقُ طَلَاقٍ بِصِفَةٍ، فَأَشْبَهَ قَوْلَهُ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ. وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْيَمِينَ مَا قُصِدَ بِهَا الْمَنْعُ مِنْ شَيْءٍ، أَوِ الْحَثُّ عَلَى شَيْءٍ، أَوِ التَّصْدِيقُ عَلَى شَيْءٍ، وَمَا خَرَجَ عَنْ هَذَا فَلَيْسَ بِيَمِينٍ كَقَوْلِهِ: إِذَا حِضْتِ أَوْ طَهُرْتِ.

Adapun sumpah yang dimaksudkan untuk membenarkan suatu perbuatan adalah dengan mengatakan: “Jika aku belum masuk ke dalam rumah, maka kamu tertalak.” Semua ini termasuk sumpah dengan talak. Jika ia berkata kepada istrinya: “Jika aku bersumpah dengan talakmu, maka kamu tertalak. Jika kamu masuk ke dalam rumah, maka kamu tertalak,” maka ia telah melanggar sumpah dan istrinya tertalak darinya, karena ia telah bersumpah dengan talaknya. Jika istrinya belum pernah digauli, maka ia tidak tertalak karena masuk ke rumah, karena ia telah berpisah dengan talak yang pertama. Namun jika istrinya sudah digauli, maka ia tertalak kedua kalinya karena masuk ke rumah. Jika ia berkata kepada istrinya: “Jika Zaid masuk ke dalam rumah, maka kamu tertalak,” maka jika Zaid adalah orang yang taat kepadanya dan akan menahan diri untuk tidak masuk karena ucapannya, maka ini adalah sumpah dengan talak. Namun jika Zaid adalah seorang penguasa atau orang yang berkuasa yang tidak akan menahan diri untuk tidak masuk karena ucapannya, maka ini adalah talak yang digantungkan pada suatu sifat, dan bukan sumpah. Inilah madzhab kami. Abu Hanifah berkata: Semua ini adalah sumpah seperti talak, kecuali dalam tiga hal: Pertama, jika ia berkata kepada istrinya: “Kamu tertalak jika kamu haid,” atau “Kamu tertalak jika kamu suci,” atau “Kamu tertalak jika kamu menghendaki,” karena maksud dari ucapannya “jika kamu haid” atau “jika kamu suci” adalah untuk menjatuhkan talak sesuai sunnah atau bid‘ah, dan maksud dari ucapannya “jika kamu menghendaki” adalah memberikan hak memilih (tamlīk) yang di dalamnya diperhatikan adanya penolakan dan penerimaan. Adapun jika ia berkata: “Jika awal bulan tiba,” atau “Jika matahari terbit, maka kamu tertalak,” maka ini adalah sumpah dengan talak, karena ini adalah menggantungkan talak pada suatu sifat, sehingga serupa dengan ucapannya: “Jika kamu masuk ke dalam rumah.” Ini adalah kekeliruan, karena sumpah adalah apa yang dimaksudkan untuk mencegah sesuatu, atau mendorong sesuatu, atau membenarkan sesuatu, dan apa yang keluar dari hal tersebut bukanlah sumpah, seperti ucapannya: “Jika kamu haid atau suci.”

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا، تَفَرَّعَ عَلَيْهِ أَنْ يَقُولَ لَهَا: إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِكِ، فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ يُعِيدُهُ ثَانِيَةً، فَيَقُولُ: إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِنَّهُ يَحْنَثُ وَتُطَلَّقُ مِنْهُ وَاحِدَةً؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِإِعَادَةِ اللَّفْظِ حَالِفًا بِطَلَاقِهَا، فَلَوْ أَعَادَهُ ثَالِثَةً، فَقَالَ؛ إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ طُلِّقَتْ ثَالِثَةً بِالْيَمِينِ الثَّالِثَةِ، وَلَا فَرْقَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ بَيْنَ قَوْلِهِ، كُلَّمَا حَلَفْتُ بِطَلَاقِكِ، فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَبَيْنَ أَنْ يَقُولَ: كُلَّمَا فِي وُجُودِ التَّكْرَارِ، وَوُقُوعُ الطَّلَاقِ بِتَكْرَارِ الْأَيْمَانِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا، فَلَا تُطَلَّقَ إِلَّا الْأُولَى وَحْدَهَا؛ لِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ بِهَا.

Jika telah jelas apa yang kami jelaskan, maka cabangnya adalah jika ia berkata kepada istrinya: “Jika aku bersumpah dengan talakmu, maka kamu tertalak,” lalu ia mengulanginya kedua kali, dan berkata: “Jika aku bersumpah dengan talakmu, maka kamu tertalak,” maka ia melanggar sumpah dan istrinya tertalak satu kali, karena dengan pengulangan lafaz tersebut ia telah menjadi orang yang bersumpah dengan talaknya. Jika ia mengulanginya ketiga kali, dan berkata: “Jika aku bersumpah dengan talakmu, maka kamu tertalak,” maka istrinya tertalak ketiga kalinya karena sumpah yang ketiga. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ucapannya: “Setiap kali aku bersumpah dengan talakmu, maka kamu tertalak,” dan antara ucapannya: “Setiap kali…” dalam hal adanya pengulangan dan jatuhnya talak karena pengulangan sumpah, kecuali jika istrinya belum pernah digauli, maka tidak jatuh talak kecuali yang pertama saja, karena ia telah berpisah dengan talak tersebut.

فَرْعٌ: وَإِذَا كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ مَدْخُولٌ بِهَا وَغَيْرُ مَدْخُولٍ بِهَا، فَقَالَ لَهُمَا: إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِكُمَا فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ ثُمَّ أَعَادَهُ ثَانِيَةً، فَقَالَ: إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِكُمَا فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ، حَنِثَ وَطُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَاحِدَةً، إِلَّا أَنَّ طَلَاقَ غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا بَائِنٌ، وَطَلَاقَ الْمَدْخُولِ بِهَا رَجْعِيٌّ.

Cabang: Jika seseorang memiliki dua istri, satu sudah digauli dan satu belum digauli, lalu ia berkata kepada keduanya: “Jika aku bersumpah dengan talak kalian berdua, maka kalian berdua tertalak,” lalu ia mengulanginya kedua kali, dan berkata: “Jika aku bersumpah dengan talak kalian berdua, maka kalian berdua tertalak,” maka ia melanggar sumpah dan masing-masing dari keduanya tertalak satu kali, hanya saja talak terhadap yang belum digauli adalah talak bain, sedangkan talak terhadap yang sudah digauli adalah talak raj‘i.

فَإِنْ أَعَادَ ذَلِكَ ثَالِثَةً، فَقَالَ: إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِكُمَا فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ، لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا أَمَّا غَيْرُ الْمَدْخُولِ بِهَا، فَلِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ، وَأَمَّا الْمَدْخُولُ بِهَا فَلِأَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا، بِأَنْ يَكُونَ حَالِفًا بِطَلَاقِهَا، وَهُوَ غَيْرُ حَالِفٍ بِطَلَاقِ غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا؛ لِأَنَّ بَعْدَ بَيْنُونَتِهَا لَا يَكُونُ حَالِفًا بِطَلَاقِهَا.

Jika ia mengulangi hal itu untuk ketiga kalinya, lalu berkata: “Jika aku bersumpah dengan talak kalian berdua, maka kalian berdua tertalak,” maka tidak tertalak salah satu dari keduanya. Adapun yang belum digauli, karena ia telah benar-benar berpisah (bain), dan adapun yang sudah digauli, karena jatuhnya talak atasnya terjadi jika ia bersumpah dengan talaknya, sedangkan ia tidak bersumpah dengan talak yang belum digauli; karena setelah terjadinya perpisahan (bain) tidak lagi dianggap bersumpah dengan talaknya.

فَرْعٌ: وَإِذَا كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ، حَفْصَةُ وَعَمْرَةُ، فَقَالَ: يَا حَفْصَةُ إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِ عَمْرَةَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ: يَا عَمْرَةُ إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِ حَفْصَةَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، طُلِّقَتْ حَفْصَةُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ حَالِفًا بِطَلَاقِ عَمْرَةَ، وَلَمْ تُطَلَّقْ عَمْرَةَ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَصِرْ حَالِفًا بِطَلَاقِ حَفْصَةَ، فَإِنْ أَعَادَ ذَلِكَ ثَانِيَةً فَقَالَ: يَا حَفْصَةُ إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِ عَمْرَةَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَيَا عَمْرَةُ إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِ حَفْصَةَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، طُلِّقَتْ عَمْرَةُ وَاحِدَةً؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ حَالِفًا بِطَلَاقِ حَفْصَةَ، وَطُلِّقَتْ حَفْصَةُ ثَانِيَةً، لِأَنَّهُ صَارَ حَالِفًا بِطَلَاقِ عَمْرَةَ، فَإِنْ أَعَادَ ذَلِكَ ثَالِثَةً، فَقَالَ: يَا حَفْصَةُ إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِ عَمْرَةَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَيَا عَمْرَةُ إِنْ حَلَفْتُ بِطَلَاقِ حَفْصَةَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، طُلِّقَتْ حَفْصَةُ ثَالِثَةً وَطُلِّقَتْ عَمْرَةُ ثَانِيَةً.

Cabang: Jika seseorang memiliki dua istri, Hafshah dan Amrah, lalu ia berkata: “Wahai Hafshah, jika aku bersumpah dengan talak Amrah maka engkau tertalak,” kemudian ia berkata: “Wahai Amrah, jika aku bersumpah dengan talak Hafshah maka engkau tertalak,” maka Hafshah tertalak; karena ia telah menjadi orang yang bersumpah dengan talak Amrah, dan Amrah tidak tertalak; karena ia belum menjadi orang yang bersumpah dengan talak Hafshah. Jika ia mengulangi hal itu untuk kedua kalinya dan berkata: “Wahai Hafshah, jika aku bersumpah dengan talak Amrah maka engkau tertalak, dan wahai Amrah, jika aku bersumpah dengan talak Hafshah maka engkau tertalak,” maka Amrah tertalak satu kali; karena ia telah menjadi orang yang bersumpah dengan talak Hafshah, dan Hafshah tertalak untuk kedua kalinya, karena ia telah menjadi orang yang bersumpah dengan talak Amrah. Jika ia mengulangi hal itu untuk ketiga kalinya, lalu berkata: “Wahai Hafshah, jika aku bersumpah dengan talak Amrah maka engkau tertalak, dan wahai Amrah, jika aku bersumpah dengan talak Hafshah maka engkau tertalak,” maka Hafshah tertalak untuk ketiga kalinya dan Amrah tertalak untuk kedua kalinya.

فَإِنْ أَعَادَ ذَلِكَ رَابِعَةً لَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا، وَصَارَ الطَّلَاقُ الْوَاقِعُ عَلَى حَفْصَةَ ثَلَاثًا وَالطَّلَاقُ الْوَاقِعُ عَلَى عَمْرَةَ اثْنَتَيْنِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ حَفْصَةَ بَعْدَ اسْتِكْمَالِ طَلَاقِهَا، لَا يَقَعُ عَلَيْهَا طَلَاقٌ وَلَا يَكُونُ حَالِفًا عَلَيْهَا بِالطَّلَاقِ فَلَمْ تُطَلَّقْ بِعَمْرَةَ لِاسْتِكْمَالِهَا لِلثَّلَاثِ، وَلَمْ تُطَلَّقْ بِهَا عَمْرَةُ لِأَنَّهُ لَمْ يَصِرْ حَالِفًا عَلَى حَفْصَةَ بِالطَّلَاقِ.

Jika ia mengulangi hal itu untuk keempat kalinya, maka tidak tertalak satu pun dari keduanya, dan talak yang jatuh atas Hafshah menjadi tiga kali dan talak yang jatuh atas Amrah menjadi dua kali. Hal itu terjadi karena setelah Hafshah sempurna talaknya (tiga kali), maka talak tidak lagi jatuh atasnya dan tidak lagi dianggap bersumpah dengan talaknya, sehingga Amrah tidak tertalak karena Hafshah telah sempurna tiga kali talak, dan Amrah juga tidak tertalak karena ia belum menjadi orang yang bersumpah atas Hafshah dengan talak.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

: قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لِمَدْخُولٍ بِهَا أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ وَقَعَتِ الْأُولَى وَسُئِلَ مَا نَوَى فِي الثِّنْتَيْنِ بَعْدَهَا فَإِنْ أَرَادَ تَبْيِينَ الْأُولَى فَهِيَ وَاحِدَةٌ وَمَا أَرَادَ وَإِنْ قَالَ لم أرد طلاقا لم يدين فِي الْأُولَى وَدِينَ فِي الثِّنْتَيْنِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata kepada istri yang sudah digauli: ‘Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak,’ maka jatuh talak yang pertama dan ia ditanya tentang niatnya pada dua ucapan setelahnya. Jika ia bermaksud menegaskan talak yang pertama, maka itu hanya satu talak sesuai dengan apa yang ia niatkan. Jika ia berkata: ‘Aku tidak bermaksud talak,’ maka ia tidak diminta pertanggungjawaban pada talak yang pertama, namun diminta pertanggungjawaban pada dua talak setelahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يُكَرِّرَ لَفْظَ الطَّلَاقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَيَقُولُ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ، أَنْتِ طَالِقٌ، أَنْتِ طَالِقٌ، فَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهَا تُطَلَّقُ ثَلَاثًا، وَلَا يُرْجَعُ إِلَى إِرَادَتِهِ، وَيَجْرِي ذَلِكَ مَجْرَى قَوْلِهِ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا غَيْرَ أَنَّهُ فَرَّقَ فِي إِحْدَى الْمَوْضِعَيْنِ وَجَمَعَ فِي الْآخَرِ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk permasalahannya adalah seseorang mengulangi lafaz talak tiga kali, lalu berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak.” Menurut Abu Hanifah, ia tertalak tiga kali dan tidak kembali pada niatnya, dan hal itu diperlakukan sama seperti ucapannya: “Engkau tertalak tiga kali,” hanya saja pada salah satu kasus ia memisahkan (lafaz), sedangkan pada kasus lain ia menggabungkannya.

وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ التَّكْرَارَ يُحْتَمَلُ أَنْ يُرَادَ بِهِ التَّأْكِيدُ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُرَادَ بِهِ التَّكْرَارُ وَالِاسْتِئْنَافُ أَلَا تَرَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ.

Menurut mazhab Syafi‘i: Pengulangan itu bisa jadi dimaksudkan sebagai penegasan, dan bisa jadi dimaksudkan sebagai pengulangan dan permulaan baru. Tidakkah engkau melihat bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa saja perempuan yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikahnya batal.”

فَكَرَّرَهَا ثَلَاثًا فَكَانَ ذَلِكَ مِنْهُ مَحْمُولًا عَلَى التَّأْكِيدِ دُونَ الِاسْتِئْنَافِ وَقَالَ: (وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا، وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا، وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا) .

Beliau mengulanginya tiga kali, dan hal itu dari beliau dipahami sebagai penegasan, bukan permulaan baru. Dan beliau bersabda: “Demi Allah, sungguh aku akan memerangi Quraisy, demi Allah, sungguh aku akan memerangi Quraisy, demi Allah, sungguh aku akan memerangi Quraisy.”

فَكَانَ تَكْرَارُهُ لِذَلِكَ مَحْمُولًا عَلَى التَّأْكِيدِ دُونَ الِاسْتِئْنَافِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَغْزُهَا بَعْدَ هَذِهِ الْيَمِينِ، إِلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً، هَذَا لِسَانُ الْعَرَبِ وَعَادَتُهُمْ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَكْرَارُ لَفْظِ الطَّلَاقِ مَحْمُولًا عَلَيْهِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كُرِّرَ الْإِقْرَارُ لَمَا تَضَاعَفَ بِهِ الْحَقُّ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ لَوْ قَالَ؛ لَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ، لَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ، لَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ، لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا دِرْهَمٌ وَاحِدٌ، وَيَكُونُ التَّكْرَارُ مَحْمُولًا عَلَى التَّأْكِيدِ فَكَذَلِكَ الطلاق.

Maka pengulangan lafaz tersebut dianggap sebagai penegasan, bukan permulaan yang baru, karena setelah sumpah itu ia tidak memeranginya lagi kecuali satu kali saja. Demikianlah bahasa dan kebiasaan orang Arab, sehingga pengulangan lafaz talak pun harus dianggap sebagai penegasan. Dan karena jika pengakuan diulang-ulang, hak tidak menjadi berlipat ganda karenanya, demikian pula talak. Jika seseorang berkata: “Ia memiliki satu dirham atas saya, ia memiliki satu dirham atas saya, ia memiliki satu dirham atas saya,” maka ia hanya wajib membayar satu dirham saja, dan pengulangan itu dianggap sebagai penegasan. Demikian pula halnya dengan talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا ثَبَتَ احْتِمَالُ هَذَا التَّكْرَارِ أَنْ يُرَادَ بِهِ التَّأْكِيدُ تَارَةً وَالِاسْتِئْنَافُ أُخْرَى، وَقَعَتِ الطَّلْقَةُ الْأُولَى وَرُجِعَ إِلَى إِرَادَتِهِ، فِي الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ، وَلَهُ فِيهِمَا أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Jika telah tetap bahwa pengulangan ini bisa dimaksudkan sebagai penegasan pada satu waktu dan permulaan baru pada waktu lain, maka jatuhlah talak yang pertama dan dalam talak kedua dan ketiga dikembalikan kepada maksudnya. Dalam hal ini ada empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُرِيدَ بِهَا التَّأْكِيدَ لِلْأُولَى، فَلَا تُطَلَّقُ إِلَّا وَاحِدَةً، فَإِنْ أَكْذَبَتْهُ الزَّوْجَةُ فِي أَنَّهُ أَرَادَ التَّأْكِيدَ، وَقَالَتْ: بَلْ أَرَدْتَ الِاسْتِئْنَافَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ.

Pertama: Jika ia bermaksud dengan pengulangan itu sebagai penegasan untuk talak yang pertama, maka tidak jatuh kecuali satu talak saja. Jika istri mendustakannya dalam hal bahwa ia bermaksud penegasan, dan ia berkata: “Bahkan engkau bermaksud permulaan baru,” maka yang dijadikan pegangan adalah perkataannya dengan sumpahnya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُرِيدَ الِاسْتِئْنَافَ فتطلق ثلاثاً، فإن أكذبته الزوجة وقالت: أرد التَّأْكِيدَ لَمْ يُؤَثِّرْ تَكْذِيبُهَا وَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ.

Keadaan kedua: Jika ia bermaksud permulaan baru, maka jatuh tiga talak. Jika istri mendustakannya dan berkata: “Aku bermaksud penegasan,” maka pendustaannya tidak berpengaruh dan tidak ada sumpah atasnya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُرِيدَ بِإِحْدَاهُمَا التَّأْكِيدَ، وَبِالْأُخْرَى الِاسْتِئْنَافَ، فَقَدْ طُلِّقَتْ ثِنْتَيْنِ وَكَانَتِ الْأُخْرَى تَأْكِيدًا لِإِحْدَى الطَّلْقَتَيْنِ. وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ لَا تَكُونَ لَهُ إِرَادَةٌ، فَفِيهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْإِمْلَاءِ يُحْمَلُ عَلَى التَّأْكِيدِ وَلَا تَلْزَمُهُ إِلَّا الطَّلْقَةُ الْأُولَى لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ إِذَا احْتَمَلَ الْأَمْرَيْنِ صَارَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ بِهِ شَكًّا وَالطَّلَاقُ لَا يَقَعُ بِالشَّكِّ.

Keadaan ketiga: Jika ia bermaksud dengan salah satunya sebagai penegasan dan dengan yang lainnya sebagai permulaan baru, maka jatuhlah dua talak, dan yang satu lagi merupakan penegasan untuk salah satu dari dua talak tersebut. Keadaan keempat: Jika ia tidak memiliki maksud apa pun, maka dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, yaitu pendapatnya dalam Kitab al-Imla’, bahwa hal itu dianggap sebagai penegasan dan tidak wajib baginya kecuali talak yang pertama karena dua alasan: Pertama, jika suatu perkara mengandung dua kemungkinan, maka jatuhnya talak menjadi syubhat, dan talak tidak jatuh dengan syubhat.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ إِذَا رُجِعَ فِيهِ إِلَى إِرَادَتِهِ صَارَ كِنَايَةً وَالْكِنَايَةُ لَا يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ مَعَ فَقْدِ الْإِرَادَةِ.

Kedua: Jika dikembalikan kepada maksudnya, maka menjadi kinayah, dan kinayah tidak menjatuhkan talak jika tidak ada maksud.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي كِتَابِ الْأُمِّ مِنَ الْجَدِيدِ، يُحْمَلُ عَلَى الِاسْتِئْنَافِ وَتُطَلَّقُ ثَلَاثًا، لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: Disebutkan dalam Kitab al-Umm dari pendapat baru, bahwa hal itu dianggap sebagai permulaan baru dan jatuh tiga talak, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللَّفْظَ الثَّانِيَ كَالْأَوَّلِ، وَعَلَى صِيغَتِهِ، فَلَمَّا وَقَعَ الطَّلَاقُ بِاللَّفْظِ الْأَوَّلِ، وَجَبَ أَنْ يَقَعَ بِمَا كَانَ مِثْلًا لَهُ مِنَ الثَّانِي وَالثَّالِثِ.

Pertama: Lafaz kedua sama dengan yang pertama dan dalam bentuk yang sama, maka ketika talak jatuh dengan lafaz pertama, wajib pula jatuh dengan lafaz kedua dan ketiga yang serupa dengannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ حَمْلَهُ عَلَى الِاسْتِئْنَافِ مُقَيَّدٌ، وَعَلَى التَّأْكِيدِ غَيْرُ مُقَيَّدٍ، فَكَانَ حَمْلُهُ عَلَى مَا أَفَادَ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى مَا لَمْ يُفِدْ، فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا جَعَلْتُمُ الْإِقْرَارَ، إِذَا تَكَرَّرَ مَحْمُولًا عَلَى الِاسْتِئْنَافِ فَضَاعَفْتُمُ الْحَقَّ بِتَكْرَارِهِ كَالطَّلَاقِ، قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا، أَنَّ الْإِقْرَارَ إِخْبَارٌ عَنْ مَاضٍ بِحَقٍّ مُسْتَقِرٍّ فَلَمْ يُوجِبْ تَكْرَارُهُ تَكْرَارَ الْحَقِّ، وَالطَّلَاقُ تَقَعُ بِهِ الْفُرْقَةُ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، فَجَازَ إِذَا تَكَرَّرَ، أَنْ يَبْقَى.

Kedua: Menjadikannya sebagai permulaan baru itu bersifat terbatas, sedangkan sebagai penegasan tidak terbatas, maka menjadikannya pada sesuatu yang memberikan faedah lebih utama daripada pada sesuatu yang tidak memberikan faedah. Jika dikatakan: “Mengapa kalian tidak menjadikan pengakuan, jika diulang-ulang, sebagai permulaan baru sehingga hak menjadi berlipat ganda dengan pengulangannya seperti talak?” Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa pengakuan adalah pemberitahuan tentang masa lalu atas hak yang sudah tetap, sehingga pengulangannya tidak menyebabkan hak menjadi berlipat ganda, sedangkan talak menyebabkan terjadinya perpisahan di masa depan, sehingga jika diulang-ulang, boleh jadi tetap berlaku.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ وَطَالِقٌ وقعت الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ بِالْوَاوِ لَأَنَّهَا اسْتِئْنَافٌ لِكَلَامٍ فِي الظَّاهِرِ وَدِينَ فِي الثَّالِثَةِ فَإِنْ أَرَادَ بِهَا طَلَاقًا فَهُوَ طَلَاقٌ وَإِنْ أَرَادَ بِهَا تَكْرِيرًا فَلَيْسَ بِطَلَاقٍ وَكَذَلِكَ أَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ طَالِقٌ ثَمَّ طَالِقٌ وَكَذَلِكَ طَالِقٌ بَلْ طَالِقٌ بَلْ طالق (قال المزني) رحمه الله وفي كتاب الإملاء وإن أدخل (ثم) أو واواً في كلمتين فإن لم تكن له نية فظاهرها استئناف وهي ثلاث (قال المزني) رحمه الله والظاهر في الحكم أولى والباطن فيما بينه وبين الله تعالى) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak, dan tertalak, dan tertalak,’ maka jatuh talak yang pertama dan kedua dengan kata penghubung ‘dan’, karena itu secara lahir adalah permulaan kalimat baru, dan secara agama pada talak yang ketiga, jika ia bermaksud talak maka itu adalah talak, dan jika ia bermaksud pengulangan maka itu bukan talak. Demikian pula jika ia berkata: ‘Engkau tertalak, kemudian tertalak, lalu tertalak,’ dan juga: ‘Tertalak, bahkan tertalak, bahkan tertalak.’ (Al-Muzani rahimahullah berkata:) Dalam Kitab al-Imla’, jika ia memasukkan (tsumma) atau kata penghubung ‘dan’ pada dua kata, maka jika ia tidak memiliki niat, secara lahirnya itu adalah permulaan baru dan jatuh tiga talak. (Al-Muzani rahimahullah berkata:) Yang lahir dalam hukum lebih utama, dan yang batin antara dia dan Allah Ta‘ala.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ وَطَالِقٌ، وَقَعَتِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ وَلَمْ يُرْجَعْ إِلَى إِرَادَتِهِ فِيهِمَا، لِأَنَّهُ قَدْ غَايَرَ بَيْنَ الْحَرْفَيْنِ، فَالطَّلْقَةُ الْأُولَى بِحَرْفِ الْإِشَارَةِ فِي قَوْلِهِ: أَنْتِ، وَالطَّلْقَةُ الثَّانِيَةُ بِوَاوِ الْعَطْفِ، وَإِذَا غَايَرَ بَيْنَ الْحَرْفَيْنِ خَرَجَ عَنْ حُكْمِ التأكيد، إلى الاستئناف، لأن التأكيد يكون يشاكل الْأَلْفَاظَ فَإِنْ تَغَايَرَتْ صَارَتِ اسْتِئْنَافًا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَقَعَتِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ لِتَغَايُرِهِمَا، وَكَانَتِ الثَّالِثَةُ مُشَابِهَةً لِلثَّانِيَةِ، لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي وَاوِ الْعَطْفِ، فَدَخَلَهَا الِاحْتِمَالُ فَاقْتَضَى أَنْ لَا يُرْجَعَ فِيهَا إِلَى إِرَادَتِهِ، فَإِنْ أَرَادَ بِهَا التَّأْكِيدَ، كَانَتْ تَأْكِيدًا وَلَمْ يُطَلِّقْ إِلَّا ثِنْتَيْنِ وَإِنْ أَرَادَ بِهَا الِاسْتِئْنَافَ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ إرادة ففيها قولان:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak, dan tertalak, dan tertalak,” maka jatuh talak pertama dan kedua, dan tidak dikembalikan kepada maksudnya pada keduanya, karena ia telah membedakan antara dua huruf (penghubung), maka talak pertama dengan huruf isyarat dalam ucapannya “engkau”, dan talak kedua dengan huruf waw ‘athaf (dan). Jika ia membedakan antara dua huruf, maka keluar dari hukum penegasan (ta’kid) menuju permulaan (istinaf), karena penegasan itu mengikuti bentuk lafaz, maka jika lafaznya berbeda-beda, menjadi permulaan (istinaf). Jika demikian, maka jatuh talak pertama dan kedua karena perbedaan keduanya, dan talak ketiga serupa dengan yang kedua karena keduanya sama-sama menggunakan waw ‘athaf, sehingga terdapat kemungkinan (ta’wil) padanya, maka tidak dikembalikan kepada maksudnya. Jika ia bermaksud penegasan dengan yang ketiga, maka itu menjadi penegasan dan ia hanya mentalak dua kali. Jika ia bermaksud permulaan (istinaf), maka jatuh tiga talak. Jika ia tidak memiliki maksud tertentu, maka ada dua pendapat:

إحداهما: يَكُونُ تَأْكِيدًا.

Salah satunya: itu dianggap sebagai penegasan.

وَالثَّانِي: يَكُونُ اسْتِئْنَافًا عَلَى مَا مَضَى، فَلَوْ قَالَ: أَرَدْتُ بِالثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ التَّأْكِيدَ قُبِلَ مِنْهُ فِي الثَّالِثَةِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، فَلَمْ تَقَعْ وَلَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ فِي الثَّانِيَةِ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، وَقُبِلَ مِنْهُ فِي الْبَاطِنِ وَكَانَ فِيهَا مَدِينًا، فَيَلْزَمُهُ فِي الظَّاهِرِ طَلْقَتَانِ، وَفِي الْبَاطِنِ وَاحِدَةٌ، وَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ طَالِقٌ ثُمَّ طَالِقٌ، وَقَعَتِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ، لِأَنَّهَا مُغَايِرَةٌ لِلْأُولَى بِحَرْفِ النَّسَقِ، وَالثَّالِثَةُ مِثْلُ الثَّانِيَةِ، يُرْجَعُ إِلَى إِرَادَتِهِ فِيهَا، فَإِنْ أَرَادَ بِهَا التَّأْكِيدَ لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا ثِنْتَيْنِ، وَإِنْ أَرَادَ بِهَا الِاسْتِئْنَافَ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ بَلْ طَالِقٌ، بَلْ طَالِقٌ، طُلِّقَتِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةَ لِتَغَايُرِهِمَا بِحَرْفِ الِاسْتِدْرَاكِ، الَّذِي يَقْتَضِي الْإِضْرَابَ عَنِ الْأَوَّلِ بِاسْتِدْرَاكِ مَا بَعْدَهُ، وَالطَّلَاقُ لَا يَرْتَفِعُ بَعْدَ وُقُوعِهِ، وَلَكِنَّ الثَّالِثَةَ مُشَابِهَةٌ لِلثَّانِيَةِ، فَيُسْأَلُ عَنْهَا، وَيُحْمَلُ عَلَى إِرَادَتِهِ فِيهَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ فَعَلَى قَوْلَيْنِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَأَنْتِ طَالِقٌ وَأَنْتِ طَالِقٌ، طُلِّقَتِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةَ لِأَنَّهُ قَدْ أَدْخَلَ عَلَى الثَّانِيَةِ وَاوَ الْعَطْفِ، وَرُجِعَ إِلَى إِرَادَتِهِ فِي الثَّالِثَةِ، لِأَنَّهَا كَالثَّانِيَةِ.

Dan pendapat kedua: itu dianggap sebagai permulaan (istinaf) atas yang telah lalu. Maka jika ia berkata: “Aku bermaksud penegasan pada yang kedua dan ketiga,” diterima darinya pada yang ketiga secara lahir dan batin, sehingga tidak jatuh (talak), dan tidak diterima darinya pada yang kedua secara lahir dalam hukum, namun diterima secara batin dan ia tetap memikul tanggung jawab (madin) padanya. Maka secara lahir baginya wajib dua talak, dan secara batin satu talak. Berdasarkan hal ini, jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak, kemudian tertalak, kemudian tertalak,” maka jatuh talak pertama dan kedua, karena yang kedua berbeda dari yang pertama dengan huruf penghubung, dan yang ketiga seperti yang kedua, dikembalikan kepada maksudnya padanya. Jika ia bermaksud penegasan, maka tidak jatuh kecuali dua talak, dan jika ia bermaksud permulaan (istinaf), maka jatuh tiga talak. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak, bahkan tertalak, bahkan tertalak,” maka jatuh talak pertama dan kedua karena perbedaan keduanya dengan huruf istidrak (bahkan), yang mengharuskan pembatalan terhadap yang pertama dengan menegaskan yang setelahnya, dan talak tidak bisa dibatalkan setelah jatuhnya. Namun talak ketiga serupa dengan yang kedua, maka ditanyakan maksudnya, dan dikembalikan kepada maksudnya padanya. Jika ia tidak memiliki maksud tertentu, maka ada dua pendapat. Demikian pula jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak, dan engkau tertalak, dan engkau tertalak,” maka jatuh talak pertama dan kedua karena ia telah memasukkan waw ‘athaf pada yang kedua, dan dikembalikan kepada maksudnya pada yang ketiga, karena ia seperti yang kedua.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طالق فطالق، فالذي نص عليه الشافعي ها هنا، أَنَّهَا تُطَلَّقُ طَلْقَتَيْنِ وَاحِدَةً بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ، والثانية فَطَالِقٌ. وَقَالَ فِي كِتَابِ الْإِقْرَارِ: لَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ فَدِرْهَمٌ، لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا دِرْهَمٌ وَاحِدٌ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ يَنْقُلُ جَوَابَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى وَيُخْرِجُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak, lalu tertalak,” maka yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i di sini adalah bahwa ia tertalak dua kali: satu dengan ucapannya “Engkau tertalak”, dan yang kedua dengan “lalu tertalak”. Dan beliau berkata dalam Kitab al-Iqrar: Jika seseorang berkata, “Atas saya satu dirham, lalu satu dirham,” maka tidak wajib baginya kecuali satu dirham saja. Maka para sahabat kami berbeda pendapat, Abu ‘Ali bin Khairan memindahkan jawaban masing-masing dari dua masalah ini ke yang lain dan mengeluarkannya atas dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ طَلْقَتَانِ وَدِرْهَمَانِ، عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الطَّلَاقِ.

Salah satunya: Wajib baginya dua talak dan dua dirham, sebagaimana yang dinyatakan dalam masalah talak.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تَلْزَمُهُ طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ وَدِرْهَمٌ وَاحِدٌ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الإقرار.

Dan pendapat kedua: Wajib baginya satu talak dan satu dirham saja, sebagaimana yang dinyatakan dalam masalah iqrar (pengakuan).

وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى حَمْلِ الْجَوَابِ عَلَى ظَاهِرِهِ، فِي الْمَوْضِعَيْنِ فَتُطَلَّقُ طَلْقَتَيْنِ وَلَا يَلْزَمُهُ فِي الْإِقْرَارِ إِلَّا دِرْهَمٌ وَاحِدٌ.

Dan mayoritas sahabat kami berpendapat untuk mengambil jawaban sesuai zahirnya pada kedua tempat tersebut, maka jatuh dua talak dan tidak wajib baginya dalam iqrar kecuali satu dirham saja.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الدَّرَاهِمَ قَدْ تَتَفَاضَلُ فَيَكُونُ دِرْهَمٌ خَيْرًا مِنْ دِرْهَمٍ فَإِذَا قَالَ: لَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ فَدِرْهَمٌ احْتَمَلَ أَنْ يُرِيدَ فَدِرْهَمٌ آخَرُ خَيْرٌ مِنْهُ، فَلَمْ يَحْتَمِلْ قَوْلُهُ فَطَالِقٌ أَنَّهَا خَيْرٌ مِنَ الْأُولَى أَوْ دُونَهَا، فَوَقَعَتِ الثَّانِيَةُ لِانْتِفَاءِ الِاحْتِمَالِ عَنْهَا.

Perbedaannya adalah: dirham bisa saja berbeda nilainya, sehingga satu dirham bisa lebih baik daripada dirham yang lain. Maka jika seseorang berkata, “Ia memiliki hak atas saya satu dirham, lalu satu dirham lagi,” bisa jadi maksudnya adalah satu dirham lain yang lebih baik dari yang pertama. Namun, jika ia berkata, “Maka talak,” tidak mungkin dimaksudkan bahwa talak yang kedua lebih baik atau lebih rendah dari yang pertama, sehingga talak yang kedua jatuh karena tidak adanya kemungkinan makna lain padanya.

فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فَطَالِقٌ فَطَالِقٌ، وَقَعَتِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ لِتَغَايُرِ اللَّفْظِ فِيهِمَا وَرُجِعَ إِلَى إِرَادَتِهِ فِي الثَّالِثَةِ، لِأَنَّهَا كَالثَّانِيَةِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهَا إِرَادَةٌ فَعَلَى قَوْلَيْنِ.

Berdasarkan hal ini, jika seseorang berkata, “Engkau tertalak, lalu tertalak, lalu tertalak,” maka talak pertama dan kedua jatuh karena adanya perbedaan lafaz di antara keduanya, dan untuk talak ketiga dikembalikan pada maksudnya, karena ia seperti talak kedua. Jika ia tidak memiliki maksud tertentu pada talak ketiga, maka ada dua pendapat dalam hal ini.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ، ثُمَّ طَالِقٌ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا وَلَمْ يُرْجَعْ إِلَى إِرَادَتِهِ فِيهِمَا لِأَنَّهُ قَدْ غَايَرَ بَيْنَ الْأَلْفَاظِ الثَّلَاثَةِ، فَإِنْ قَالَ: إِنِّي أَرَدْتُ بِالثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ التَّأْكِيدَ، لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ وَدِينَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى.

Jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak dan tertalak, lalu tertalak,” maka jatuh tiga talak dan tidak dikembalikan pada maksudnya dalam ketiganya, karena ia telah membedakan antara tiga lafaz tersebut. Jika ia berkata, “Aku bermaksud menegaskan pada talak kedua dan ketiga,” maka tidak diterima secara zahir hukum, tetapi urusannya antara dia dan Allah Ta‘ala.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ، فَطَالِقٌ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، لِلْمُغَايَرَةِ بَيْنَ الْأَلْفَاظِ الثَّلَاثَةِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ بَلْ طَالِقٌ ثُمَّ طَالِقٌ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ مَتَى غَايَرَ بَيْنَ اللَّفْظِ لَمْ يُسْأَلْ، وَإِنْ لَمْ يَتَغَايَرْ سُئِلَ فَأَمَّا الْمُغَايَرَةُ بَيْنَ أَلْفَاظِ الطَّلَاقِ مَعَ اتِّفَاقِ الْحُرُوفِ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ، أَنْتِ مُفَارَقَةٌ أَنْتِ مُسَرَّحَةٌ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Demikian pula jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak dan tertalak, lalu tertalak,” maka jatuh tiga talak, karena adanya perbedaan antara tiga lafaz tersebut. Demikian juga jika ia berkata, “Engkau tertalak, bahkan tertalak, lalu tertalak,” maka jatuh tiga talak. Kesimpulannya, kapan pun ia membedakan antara lafaz, maka tidak ditanya maksudnya; namun jika tidak ada perbedaan lafaz, maka ditanya maksudnya. Adapun perbedaan antara lafaz talak dengan kesamaan huruf adalah jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak, engkau mufaraqah (berpisah), engkau musarrahah (dilepaskan),” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ كَمُغَايَرَةِ الْحُرُوفِ، فَتُطَلَّقَ ثَلَاثًا مِنْ غَيْرِ سُؤَالٍ، لِأَنَّ الْحُكْمَ بِلَفْظِ الطَّلَاقِ أَخَصُّ مِنْهُ بِحُرُوفِ الطَّلَاقِ.

Pertama: bahwa hal itu seperti perbedaan huruf, sehingga jatuh tiga talak tanpa perlu ditanya maksudnya, karena hukum dengan lafaz talak lebih khusus daripada hukum dengan huruf-huruf talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُغَلَّبُ حُكْمُ الْحُرُوفِ الْمُتَشَاكِلَةِ وَإِنْ كَانَتْ أَلْفَاظُ الطَّلَاقِ مُتَغَايِرَةً، لِأَنَّ الْحُرُوفَ هِيَ الْعَامِلَةُ فِي وُقُوعِ الْحُكْمِ بِاللَّفْظِ.

Pendapat kedua: bahwa yang diutamakan adalah hukum huruf-huruf yang serupa, meskipun lafaz talak berbeda-beda, karena huruf-huruf itulah yang berperan dalam terjadinya hukum dengan lafaz.

فَعَلَى هَذَا يُرْجَعُ إِلَى مَا أَرَادَهُ بِالثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ عَلَى مَا مَضَى.

Berdasarkan hal ini, dikembalikan pada apa yang ia maksudkan pada talak kedua dan ketiga sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ: وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ لَا بَلْ طَالِقٌ، وَنَوَى بِقَوْلِهِ لَا بَلْ طَالِقٌ إِثْبَاتَ الثَّانِيَةِ، طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّهُ مَتَى قَالَ ذَلِكَ مُرْسَلًا، مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، لِأَنَّهُ قَدْ غَايَرَ بَيْنَ الْأَلْفَاظِ الثَّلَاثَةِ. وَإِنْ نَوَى بِالثَّالِثَةِ أَنْ يَسْتَدْرِكَ بِهَا وُقُوعَ الثَّانِيَةِ لِأَنَّهُ شَكَّ فِي إِيقَاعِهَا، قَالَ الشَّافِعِيُّ: طُلِّقَتْ ثِنْتَيْنِ لِأَنَّهُ يَحْتَمِلُ مَا أَرَادَ، هَذَا الَّذِي قَالَهُ الشَّافِعِيُّ: أَنَّ الثَّالِثَةَ لَا تَقَعُ فِي الْبَاطِنِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى وَهِيَ وَاقِعَةٌ فِي الظَّاهِرِ، فَالْأَمْرُ عَلَى مَا قَالَهُ، وَإِنْ أَرَادَ بِهَا لَا تَقطعُ ظَاهِرًا وَلَا بَاطِنًا فَهُوَ مَعْلُولٌ، لِأَنَّ تَغَايُرَ الْأَلْفَاظِ يَحْمِلُ لِكُلِّ طَلْقَةٍ حُكْمَ نَفْسِهَا، فَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ، فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ مَا أَدَّى إِلَى رَفْعِهَا.

Imam Syafi‘i berkata dalam kitab Al-Imla’: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak dan tertalak, tidak, bahkan tertalak,” dan ia berniat dengan ucapannya “tidak, bahkan tertalak” untuk menegaskan talak kedua, maka jatuh dua talak. Kesimpulannya, kapan pun ia mengucapkan demikian secara mutlak tanpa niat tertentu, maka jatuh tiga talak, karena ia telah membedakan antara tiga lafaz. Jika ia berniat dengan talak ketiga untuk memastikan jatuhnya talak kedua karena ia ragu dalam menjatuhkannya, Imam Syafi‘i berkata: jatuh dua talak, karena memungkinkan apa yang ia maksudkan. Inilah yang dikatakan Imam Syafi‘i: bahwa talak ketiga tidak jatuh secara batin antara dia dan Allah Ta‘ala, namun secara lahir tetap jatuh. Maka perkara ini sesuai dengan apa yang beliau katakan. Jika ia bermaksud dengan talak ketiga untuk membatalkan talak secara lahir maupun batin, maka itu tidak sah, karena perbedaan lafaz menyebabkan setiap talak memiliki hukum tersendiri, sehingga tidak diterima darinya secara zahir hukum apa yang menyebabkan pembatalan talak tersebut.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً لَا بَلْ ثِنْتَيْنِ، طُلِّقَتْ ثَلَاثَةً، لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَدْرَكَ بِالثِّنْتَيْنِ، الْإِضْرَابَ عَنِ الْوَاحِدَةِ، فَوَقَعَتِ الثنتان ولم يَصِحَّ الْإِضْرَابُ عَنِ الْأُولَى، وَهَذَا عِنْدِي غَيْرُ صَحِيحٍ، بَلْ لَا يَلْزَمُهُ إِلَّا طَلْقَتَانِ، لِأَنَّهُ إِذَا اسْتَدْرَكَ زِيَادَةً عَلَى الْأُولَى بَطَلَ حُكْمُ الْإِضْرَابِ، لِدُخُولِهِ فِي الْمُسْتَدْرِكِ، وَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ: لَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ لَا بَلْ دِرْهَمَانِ، لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا دِرْهَمَانِ لَا غَيْرَهُ، لِدُخُولِ الدِّرْهَمِ فِي الدِّرْهَمَيْنِ، فَزَالَ عَنْهُ حُكْمُ الْإِضْرَابِ.

Abu al-‘Abbas bin Surayj berkata: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak satu, tidak, melainkan dua,” maka jatuh talak tiga, karena dengan menyebut dua, ia telah membatalkan (meninggalkan) pernyataan satu, sehingga yang berlaku adalah dua, dan pembatalan terhadap yang pertama tidak sah, sehingga dua talak jatuh, dan menurutku ini tidak benar. Bahkan, yang wajib baginya hanyalah dua talak, karena jika ia membatalkan dengan menambah atas yang pertama, maka hukum pembatalan menjadi batal, sebab yang pertama telah termasuk dalam yang kedua, dan ini seperti ucapannya: “Ia memiliki satu dirham atas diriku, tidak, melainkan dua dirham,” maka yang wajib baginya hanyalah dua dirham, tidak lebih, karena satu dirham telah termasuk dalam dua dirham, sehingga hukum pembatalan tidak berlaku lagi.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لِإِحْدَى زَوْجَتَيْهِ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، لَا بَلْ هَذِهِ ثَلَاثًا، طُلِّقَتِ الْأُولَى وَاحِدَةً وَطُلِّقَتِ الثَّانِيَةُ ثَلَاثًا، لِأَنَّهُ اسْتَدْرَكَ بِالثَّانِيَةِ الْإِضْرَابَ عَنْ طَلَاقِ الْأُولَى، فَطُلِّقَتِ الثَّانِيَةُ وَلَمْ يَقَعْ طَلَاقُ الْأُولَى، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ لِزَوْجَةٍ وَاحِدَةٍ أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، لَا بَلْ ثَلَاثًا إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ، قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَدَّادِ الْمِصْرِيُّ فِي فُرُوعِهِ: طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ وَاحِدَةً، وَطُلِّقَتْ بِدُخُولِ الدَّارِ تَمَامَ الثَّلَاثِ إِنْ كَانَتْ مَدْخُولًا بِهَا فَجَعَلَ الشَّرْطَ رَاجِعًا إِلَى الثَّلَاثَةِ وَحْدَهَا، وَجَعَلَ الْأُولَى بِآخِرِهِ بِغَيْرِ شَرْطٍ، لِإِضْرَابِهِ عَنْهَا بِاسْتِدْرَاكِ الثَّلَاثِ بِالشَّرْطِ، وَهَذَا قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ فِي قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً بَلْ ثِنْتَيْنِ، أَنَّهَا تُطَلَّقُ ثَلَاثًا، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ ابْنُ الْحَدَّادِ، لَيْسَ بِصَحِيحٍ عِنْدِي لِدُخُولِ الْوَاحِدَةِ فِي الثَّلَاثِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الشَّرْطُ رَاجِعًا إِلَى الْجَمِيعِ، وَلَا تُطَلَّقُ قَبْلَ دُخُولِ الدَّارِ شَيْئًا، فَإِذَا دَخَلَتْهَا طُلِّقَتْ ثَلَاثًا.

Jika seseorang berkata kepada salah satu dari dua istrinya, “Engkau tertalak satu,” lalu berkata, “Tidak, melainkan yang ini tiga,” maka istri pertama tertalak satu dan istri kedua tertalak tiga. Karena dengan menyebut yang kedua, ia membatalkan pernyataan talak atas yang pertama, sehingga talak jatuh pada yang kedua dan tidak jatuh pada yang pertama. Namun, jika ia berkata kepada satu istri, “Engkau tertalak satu, tidak, melainkan tiga jika engkau masuk ke dalam rumah,” Abu Bakr bin al-Haddad al-Mishri dalam kitab cabangnya berkata: “Ia tertalak satu saat itu juga, dan jika ia masuk ke dalam rumah maka jatuh seluruh tiga talak jika sudah digauli.” Ia menjadikan syarat itu hanya kembali pada tiga talak saja, dan menjadikan talak pertama tanpa syarat, karena ia membatalkan talak pertama dengan menyebut tiga talak yang bersyarat. Ini adalah qiyās pendapat Abu al-‘Abbas dalam ucapannya: “Engkau tertalak satu, tidak, melainkan dua,” bahwa ia tertalak tiga. Namun, apa yang dikatakan oleh Ibn al-Haddad menurutku tidak benar, karena satu sudah termasuk dalam tiga, sehingga syarat harus kembali kepada semuanya, dan tidak jatuh talak apa pun sebelum masuk ke dalam rumah. Jika ia telah masuk, maka jatuh tiga talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: إِنْ طَلَّقْتُكِ وَاحِدَةً، أَمْلِكُ فِيهَا الرَّجْعَةَ، فَأَنْتِ طَالِقٌ قَبْلَهَا ثَلَاثًا، فَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً، فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا طُلِّقَتْ وَاحِدَةً وَلَمْ يُوجِبْ وُقُوعُهَا وُقُوعَ ثَلَاثٍ قَبْلَهَا، لِأَنَّهُ شَرْطٌ فِي وُقُوعِ الثَّلَاثِ، بِثُبُوتِ الرَّجْعَةِ فِي الْوَاحِدَةِ، وَغَيْرُ الْمَدْخُولِ بِهَا لَا رَجْعَةَ فِي طَلَاقِهَا، فَلَمْ يُوجَدْ شَرْطُ الثَّلَاثِ فِيهَا، فَوَقَعَتِ الْوَاحِدَةُ، وَلَمْ تَقَعِ الثَّلَاثُ، وَهَذَا مِمَّا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ، فَأَمَّا إِنْ كَانَتْ مَدْخُولًا بِهَا، مَلَكَ بَعْدَ الْوَاحِدَةِ رَجَعَتْهَا، فَقَدْ وُجِدَ شَرْطُ الثَّلَاثِ فِيهَا، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Jika aku menalakkanmu satu kali, aku masih memiliki hak rujuk padamu, maka engkau tertalak sebelumnya tiga kali,” lalu ia menalakkan satu kali, maka jika istrinya belum digauli, jatuh satu talak dan tidak menyebabkan jatuhnya tiga talak sebelumnya, karena syarat jatuhnya tiga talak adalah adanya hak rujuk pada talak satu, sedangkan pada istri yang belum digauli tidak ada hak rujuk dalam talaknya, sehingga syarat tiga talak tidak terpenuhi, maka yang jatuh hanya satu talak dan tidak jatuh tiga talak. Ini adalah masalah yang diperselisihkan oleh para sahabat kami. Adapun jika istrinya sudah digauli, maka setelah satu talak ia masih memiliki hak rujuk, sehingga syarat tiga talak terpenuhi. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang jatuhnya talak pada istri tersebut dalam tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ أَنَّهُ لَا يَقَعُ عَلَيْهَا الطَّلَاقُ لَا الْوَاحِدَةُ الْمُتَأَخِّرَةُ، وَلَا الثَّلَاثُ الْمُعَلَّقَةُ بِالصِّفَةِ، لِأَنَّ وُقُوعَ النَّاجِزَةِ تُوجِبُ وُقُوعَ ثَلَاثٍ قَبْلَهَا بِالصِّفَةِ، وَوُقُوعَ الثَّلَاثِ مِنْ قَبْلُ تَمْنَعُ مِنْ وُقُوعِ الْوَاحِدَةِ مِنْ بَعْدِهِ، فَنَفَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الطَّلَاقَيْنِ وُقُوعَ الْآخَرِ فَسَقَطَا مَعًا.

Pertama: Ini adalah mazhab al-Muzani, bahwa tidak jatuh talak atasnya, baik talak satu yang terakhir maupun tiga talak yang digantungkan pada sifat, karena jatuhnya talak yang langsung menyebabkan jatuhnya tiga talak sebelumnya secara bersyarat, dan jatuhnya tiga talak sebelumnya menghalangi jatuhnya talak satu setelahnya, sehingga masing-masing dari kedua talak tersebut meniadakan jatuhnya yang lain, maka keduanya gugur bersamaan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ، وَمَنْ حَكَى عَنْهُ خِلَافَهُ، فَقَدْ وَهِمَ أَنَّهُ تَقَعُ عَلَيْهَا الطَّلْقَةُ النَّاجِزَةُ وَحْدَهَا وَلَا يَكُونُ اشْتِرَاطُهَا فِي وُقُوعِ الثَّلَاثَةِ قَبْلَهَا مَانِعًا مِنْ وُقُوعِهَا وَهَذَا الصَّحِيحُ عِنْدِي، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: Ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, dan barang siapa yang menisbatkan pendapat lain darinya maka ia keliru, yaitu bahwa yang jatuh adalah talak yang langsung saja, dan syarat jatuhnya tiga talak sebelumnya tidak menghalangi jatuhnya talak yang langsung. Inilah yang benar menurutku, dan ini juga pendapat Abu Hanifah dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّاجِزَ أَصْلٌ وَهُوَ أَقْوَى، وَالْمُعَلَّقَ بِالصِّفَةِ فَرْعٌ وَهُوَ أَضْعَفُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ أَضْعَفُهُمَا رَافِعًا لِأَقْوَاهُمَا.

Salah satu alasannya: bahwa talak yang langsung (nāgiz) adalah pokok dan lebih kuat, sedangkan talak yang digantungkan pada sifat (mu‘allaq biṣ-ṣifah) adalah cabang dan lebih lemah, sehingga tidak boleh yang lebih lemah di antara keduanya membatalkan yang lebih kuat.

وَالثَّانِي: أَنَّ طَلَاقَ الصِّفَةِ لَا يَقَعُ إِلَّا بَعْدَ وُقُوعِ النَّاجِزِ، وَالطَّلَاقُ لَا يَرْتَفِعُ بَعْدَ وُقُوعِهِ.

Alasan kedua: bahwa talak yang digantungkan pada sifat tidak terjadi kecuali setelah terjadinya talak langsung, dan talak tidak dapat dibatalkan setelah terjadi.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّهَا تُطَلَّقُ ثَلَاثًا الْوَاحِدَةَ النَّاجِزَةَ وَثِنْتَيْنِ مِنَ الثَّلَاثِ الْمُعَلَّقَةِ بِالصِّفَةِ، وَلَا يَكُونُ امْتِنَاعُ وُقُوعِ الثَّالِثَةِ لِأَنَّهَا فِي حَقِّ الْمُطَلَّقَةِ رَابِعَةً مَانِعًا مِنْ وُقُوعِ مَا سِوَاهَا إِذَا كَانَ وُقُوعُهُ مُمْكِنًا، كَمَنْ قَالَ لِزَوْجَتِهِ: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ أَرْبَعًا طُلِّقَتْ بِدُخُولِ الدَّارِ ثَلَاثًا، وَلَمْ يَكُنِ امْتِنَاعُ وُقُوعِ الرَّابِعَةِ مَانِعًا مِنْ وُقُوعِ الثَّلَاثِ كَذَلِكَ فِي مَسْأَلَتِنَا.

Alasan ketiga: yaitu pendapat sebagian ulama muta’akhkhirīn bahwa istri tersebut tertalak tiga kali: satu talak langsung dan dua dari tiga talak yang digantungkan pada sifat. Tidak terjadinya talak ketiga bukanlah karena talak itu menjadi talak keempat bagi perempuan yang telah ditalak, sehingga mencegah terjadinya talak selainnya jika terjadinya memungkinkan. Sebagaimana jika seseorang berkata kepada istrinya: “Jika kamu masuk ke dalam rumah, maka kamu tertalak empat kali,” maka dengan masuknya istri ke rumah, jatuhlah tiga talak, dan tidak terjadinya talak keempat tidak mencegah terjadinya tiga talak. Demikian pula dalam permasalahan kita.

وَلِهَذَا الْقَوْلِ وَجْهٌ، فَأَمَّا إِذَا قَالَ لَهَا: إِنْ طَلَّقْتُكِ ثَلَاثًا فَأَنْتِ طَالِقٌ قَبْلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنْ طَلَّقَهَا طَلْقَةً أَوْ طَلْقَتَيْنِ طُلِّقَتْ مَا أَوْقَعَهُ عَلَيْهَا مِنْ نَاجِزِ الطَّلَاقِ مِنْ وَاحِدَةٍ أَوِ اثْنَتَيْنِ، فَإِنْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَعَلَى مَذْهَبِ الْمُزَنِيِّ وَمَنْ تَابَعَهُ لَا تُطَلَّقُ شَيْئًا، لَا مِنْ نَاجِزِ الطَّلَاقِ وَلَا الْمُعَلَّقِ بِالصِّفَةِ لِتَدْفَعَ الطَّلَّاقَيْنِ.

Pendapat ini memiliki sisi kebenaran. Adapun jika seseorang berkata kepada istrinya: “Jika aku menalakkanmu tiga kali, maka sebelum itu kamu tertalak tiga kali,” lalu ia menalakkan istrinya satu atau dua kali, maka jatuhlah talak yang ia jatuhkan kepadanya dari talak langsung, satu atau dua. Namun jika ia menalakkan istrinya tiga kali, maka menurut mazhab al-Muzani dan para pengikutnya, tidak jatuh talak apa pun, baik dari talak langsung maupun talak yang digantungkan pada sifat, karena hal itu menolak kedua talak tersebut.

وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ تَقَعُ الثَّلَاثُ النَّاجِزَةُ، لِأَنَّهَا أَثْبَتُ الطَّلَّاقَيْنِ وَأَقْوَاهُمَا فَلَوْ قَالَ: كُلَّمَا طَلَّقْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ قَبْلَهُ ثَلَاثًا، فَعَلَى قَوْلِ الْمُزَنِيِّ: فَلَا يَقَعُ عَلَيْهَا طَلَاقٌ قَطُّ، لأن وقوعه يقتضي وقوع ثلاثة قبله ووقع ثَلَاثَةٍ قَبْلَهُ تَمْنَعُ مِنْ وُقُوعِ مَا بَعْدَهُ. وَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَسْقُطُ حُكْمُ الثَّلَاثِ الْمُعَلَّقَةِ بِالصِّفَةِ، لِأَنَّ ثُبُوتَهَا يُؤَدِّي إِلَى أَنْ لَا يَلْحَقَهَا طَلَاقٌ أَبَدًا، وَهَذَا مَدْفُوعٌ فِي الزَّوْجَاتِ مَعَ بَقَاءِ نِكَاحِهِنَّ فَبَطَلَ، وَوَقَعَ عَلَيْهَا مَا اسْتَأْنَفَهُ من الطلاق والله أعلم.

Menurut mazhab Abu al-‘Abbas Ibn Surayj dan Ibn Abi Hurairah, jatuhlah tiga talak langsung, karena talak langsung lebih kuat dan lebih pasti. Jika seseorang berkata: “Setiap kali aku menalakkanmu, maka sebelum itu kamu tertalak tiga kali,” maka menurut pendapat al-Muzani, tidak akan pernah jatuh talak kepadanya, karena terjadinya talak mensyaratkan terjadinya tiga talak sebelumnya, dan terjadinya tiga talak sebelumnya mencegah terjadinya talak setelahnya. Sedangkan menurut pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj dan Ibn Abi Hurairah, hukum tiga talak yang digantungkan pada sifat gugur, karena jika tetap berlaku, maka tidak akan pernah jatuh talak kepadanya selamanya, dan ini tertolak dalam kasus para istri selama akad nikah mereka masih berlangsung, maka batal, dan jatuhlah talak yang dimulai oleh suami kepadanya. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ طَلَاقًا فَهِيَ وَاحِدَةٌ كَقَوْلِهِ طَلَاقًا حَسَنًا) .

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: (Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak talak,” maka itu berarti satu talak, sebagaimana ucapannya “talak yang baik.”)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ قَوْلَهُ طَلَاقًا مَصْدَرٌ مُشْتَقٌّ مِنَ اسْمِ الطَّلَاقِ وَلَا مَدْخَلَ لَهُ فِي زِيَادَةِ الْعَدَدِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا} [النساء: 164] . وَلِأَنَّ قَوْلَهُ طَلَاقًا صِفَةٌ لِقَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ، فَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ طَلَاقًا حَسَنًا، وَهَكَذَا أَنْتِ طَالِقٌ تَطْلِيقًا لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا وَاحِدَةٌ، وَهَذَا كُلُّهُ مَا لَمْ تَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ فِي زِيَادَةِ الْعَدَدِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena ucapannya “talak” adalah mashdar yang diambil dari kata talak dan tidak berpengaruh dalam menambah jumlah, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan Allah berbicara kepada Musa dengan pembicaraan} (an-Nisa: 164). Dan karena ucapannya “talak” adalah sifat dari ucapannya “engkau tertalak”, maka itu sama seperti ucapannya “talak yang baik”. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak dengan penjatuhan talak”, maka tidak wajib baginya kecuali satu talak. Semua ini berlaku selama ia tidak berniat menambah jumlah.

فَإِنْ أَرَادَ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ طَلَاقًا أَوْ أَنْتِ طَالِقٌ تَطْلِيقًا ثِنْتَيْنِ لَزِمَهُ ثِنْتَانِ، وَإِنْ أَرَادَ بِهِ ثَلَاثًا، لَزِمَهُ ثَلَاثٌ، لِأَنَّهُ لَوْ أَرَادَ بِمُجَرَّدِ قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ، ثِنْتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا لَزِمَهُ مَا أَرَادَ، وَكَذَلِكَ إِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ طَلَاقًا، وَهَذَا مِمَّا وَافَقَ عَلَيْهِ أَبُو حَنِيفَةَ وَإِنْ خَالَفَ فِي اقْتِصَارِهِ عَلَى قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ.

Jika ia bermaksud dengan ucapannya: “Engkau tertalak talak” atau “Engkau tertalak dengan penjatuhan talak” dua kali, maka wajib baginya dua talak. Jika ia bermaksud tiga kali, maka wajib tiga talak. Karena jika ia bermaksud dengan hanya ucapannya: “Engkau tertalak” dua atau tiga kali, maka wajib baginya sesuai yang ia niatkan. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak talak.” Hal ini juga disepakati oleh Abu Hanifah, meskipun ia berbeda pendapat dalam kasus cukup dengan ucapannya: “Engkau tertalak.”

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ مَرِيضَةً بِالنَّصْبِ كان المريض شَرْطًا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ فَمَا لَمْ تَمْرَضْ لَمْ تُطَلَّقْ، فَإِذَا مَرِضَتْ طُلِّقَتْ، لِأَنَّ نَصْبَهُ عَلَى الْحَالِ يُخْرِجُهُ مَخْرَجَ الشَّرْطِ وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ مَرِيضَةٌ بِالرَّفْعِ طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ سَوَاءٌ كَانَتْ مَرِيضَةً أَوْ غَيْرَ مَرِيضَةٍ، لِأَنَّهُ بِالرَّفْعِ يَصِيرُ صِفَةً، وَهَذَا فِيمَنْ كَانَ مَنْ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ، فَأَمَّا مَنْ كَانَ لَا يَعْرِفُ الْعَرَبِيَّةَ، وَلَا يُفَرِّقُ بَيْنَ الرَّفْعِ وَالنَّصْبِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak dalam keadaan sakit” dengan menggunakan bentuk nashab (akuzatif), maka sakit menjadi syarat terjadinya talak. Selama ia belum sakit, talak belum jatuh. Jika ia sakit, maka talak jatuh, karena penggunaan nashab dalam bentuk hal (keadaan) menjadikannya sebagai syarat. Namun jika ia berkata: “Engkau tertalak dalam keadaan sakit” dengan menggunakan bentuk rafa‘ (nominatif), maka talak jatuh saat itu juga, baik ia sedang sakit maupun tidak, karena dengan bentuk rafa‘, kata tersebut menjadi sifat. Hal ini berlaku bagi orang yang ahli dalam bahasa Arab. Adapun bagi yang tidak memahami bahasa Arab dan tidak bisa membedakan antara rafa‘ dan nashab, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ فِي حُكْمِ مَا يَلْزَمُهُ كَأَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ، لِأَنَّ الْحُكْمَ مُتَعَلِّقٌ بِاللَّفْظِ، سَوَاءٌ عَرَفَ حُكْمَهُ أَوْ جَهِلَهُ مِثْلَ صَرِيحِ الطَّلَاقِ وَكِنَايَتِهِ.

Salah satunya: hukumnya mengikuti apa yang berlaku bagi ahli bahasa Arab, karena hukum terkait dengan lafaz, baik ia mengetahui hukumnya maupun tidak, sebagaimana dalam lafaz talak sharih dan kinayah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أنه يستوفي فِيهِ حُكْمُ الرَّفْعِ وَالنَّصْبِ، فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ، لِأَنَّ الْإِعْرَابَ دَلِيلٌ عَلَى الْمَقَاصِدِ وَالْأَغْرَاضِ فَإِذَا جُهِلَتْ عُدِمَتْ.

Pendapat kedua: dalam kasus ini, hukum rafa‘ dan nashab sama-sama berlaku dalam terjadinya talak, karena i‘rab (perubahan akhir kata dalam bahasa Arab) adalah petunjuk terhadap maksud dan tujuan. Jika i‘rab tidak diketahui, maka maksud tersebut menjadi tidak ada.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ طَالِقًا، فَقَدْ جَعَلَ الشَّرْطَ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا، أَنْ تَدْخُلَ الدَّارَ وَهِيَ مُطَلَّقَةٌ، فَإِنْ دَخَلَتْهَا غَيْرَ مُطَلَّقَةٍ لَمْ تُطَلَّقْ، كَمَا لَوْ قَالَ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ رَاكِبَةً فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَدَخَلَتْهَا غَيْرَ رَاكِبَةٍ لَمْ تُطَلَّقْ، وَلَوْ طَلَّقَهَا، فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَائِنًا، بِأَنْ تَكُونَ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا أَوْ تَكُونَ مُخْتَلِعَةً لَمْ تُطَلَّقْ بِدُخُولِ الدَّارِ، لِأَنَّ الْبَائِنَ لَا يَلْحَقُهَا طَلَاقٌ، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ رجعياً طلقت دخول الدَّارِ طَلْقَتَيْنِ، لِقَوْلِهِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ فَتَصِيرُ طَالِقًا ثَلَاثًا.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak, dan tertalak jika engkau masuk ke rumah dalam keadaan tertalak,” maka ia menjadikan syarat terjadinya talak atas istrinya adalah masuk ke rumah dalam keadaan sudah tertalak. Jika ia masuk ke rumah dalam keadaan belum tertalak, maka talak tidak jatuh, sebagaimana jika ia berkata: “Jika engkau masuk ke rumah dalam keadaan berkendara, maka engkau tertalak,” lalu ia masuk ke rumah tidak dalam keadaan berkendara, maka talak tidak jatuh. Jika ia telah mentalaknya, dan talak itu adalah talak bain, seperti jika ia belum pernah digauli atau ia telah melakukan khulu‘, maka talak tidak jatuh dengan masuknya ke rumah, karena talak bain tidak bisa dikenai talak lagi. Namun jika talaknya adalah talak raj‘i, maka dengan masuk ke rumah, jatuh dua talak, karena ia berkata “tertalak dan tertalak”, sehingga menjadi tiga talak.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ بِالْكَسْرِ كَانَ دُخُولُ الدَّارِ شَرْطًا، فَلَا تُطَلَّقُ حَتَّى تَدْخُلَهَا وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْ دَخَلَتِ الدَّارَ بِالْفَتْحِ، طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ، سَوَاءٌ دَخَلَتِ الدَّارَ أَوْ لَمْ تَدْخُلْ، لِأَنَّهَا إِذَا فُتِحَتْ بِمَعْنَى الْجَزَاءِ، وَتَقْدِيرُهُ أَنْتِ طَالِقٌ، لِأَنَّكِ دَخَلْتِ الدَّارَ، هَذَا فِيمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ، فَأَمَّا مَنْ لَا يَعْرِفُ الْعَرَبِيَّةَ فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak jika engkau masuk ke rumah” dengan menggunakan kasrah, maka masuk ke rumah menjadi syarat, sehingga talak tidak jatuh sampai ia masuk ke rumah. Namun jika ia berkata: “Engkau tertalak an dakhalti ad-dar” dengan menggunakan fathah, maka talak jatuh saat itu juga, baik ia masuk ke rumah atau tidak, karena jika menggunakan fathah, maknanya adalah jazā’ (akibat), dan maksudnya adalah: “Engkau tertalak karena engkau telah masuk ke rumah.” Hal ini berlaku bagi orang yang ahli dalam bahasa Arab. Adapun bagi yang tidak memahami bahasa Arab, maka berlaku dua pendapat yang telah kami sebutkan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ كَأَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ.

Salah satunya: hukumnya seperti ahli bahasa Arab.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ شَرْطًا فِي الْحَالَيْنِ.

Yang kedua: menjadi syarat dalam kedua keadaan.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا دَخَلَتِ الدَّارَ، كَانَ دُخُولُ الدَّارِ شَرْطًا، لَا تُطَلَّقُ حَتَّى تَدْخُلَ الدَّارَ، ولو قال: أنت طالق إن دخلت الدار، لَمْ يَكُنْ دُخُولُ الدَّارِ شَرْطًا، وَطُلِّقَتْ فِي الْحَالِ لِأَنَّ إِذَا اسْمٌ لِمُسْتَقْبَلٍ، فَكَانَ شَرْطًا، وإذ اسْمٌ لِمَا مَضَى فَكَانَ خَبَرًا.

Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau masuk ke rumah,” maka masuk ke rumah menjadi syarat, sehingga talak tidak jatuh sampai ia masuk ke rumah. Namun jika ia berkata: “Engkau tertalak in dakhalti ad-dar,” maka masuk ke rumah bukanlah syarat, dan talak jatuh saat itu juga, karena “idza” adalah kata untuk masa yang akan datang sehingga menjadi syarat, sedangkan “id” adalah kata untuk masa lampau sehingga menjadi berita.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَإِذَا كَرَّرَ حَرْفَ الشَّرْطِ وَيُسَمِّيهِ أَهْلُ الْعِلْمِ اعْتِرَاضُ الشَّرْطِ عَلَى الشَّرْطِ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا رَكِبْتِ إِنْ لَبِسْتِ، فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا، إِلَّا بِاللُّبْسِ وَالرُّكُوبِ فَإِنْ رَكِبَتْ وَلَبِسَتْ عَلَى مَا قَالَهُ فِي لَفْظِهِ فَإِنْ بَدَأَتْ بِالرُّكُوبِ، ثُمَّ عَقَّبَتْهُ بِاللُّبْسِ لَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ خَالَفَتْ تَرْتِيبَ اللَّفْظِ فَبَدَأَتْ بِاللُّبْسِ وَعَقَّبَتْهُ بِالرُّكُوبِ، لِأَنَّ قَوْلَهُ إِذَا رَكِبْتِ إِنْ لَبِسْتِ فَقَدْ جَعَلَ اللُّبْسَ شَرَطًا فِي الرُّكُوبِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَقَدَّمَ عَلَيْهِ.، لِأَنَّ الشَّرْطَ يَتَقَدَّمُ عَلَى الْمَشْرُوطِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا قُمْتِ إِذَا قَعَدْتِ، لَمْ تُطَلَّقْ حَتَّى تُقَدِّمَ الْقُعُودَ عَلَى الْقِيَامِ، لِأَنَّهُ جَعَلَ الْقُعُودَ شَرْطًا فِي الْقِيَامِ، وَإِنْ كَانَ حَرْفُ الشَّرْطِ فِيهِمَا وَاحِدًا.

Jika seseorang mengulangi huruf syarat—yang oleh para ulama disebut sebagai “i‘tirādh asy-syarth ‘ala asy-syarth” (penyisipan syarat atas syarat)—yaitu ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau berkendara jika engkau memakai pakaian,” maka talak tidak jatuh kecuali dengan terpenuhinya kedua syarat, yaitu memakai pakaian dan berkendara. Jika ia berkendara lalu memakai pakaian sesuai urutan dalam ucapannya, maka jika ia memulai dengan berkendara lalu diikuti dengan memakai pakaian, talak tidak jatuh. Namun jika ia membalik urutan lafaz, yaitu memulai dengan memakai pakaian lalu diikuti dengan berkendara, maka talak jatuh, karena ucapannya “jika engkau berkendara jika engkau memakai pakaian” menjadikan memakai pakaian sebagai syarat bagi berkendara, sehingga harus didahulukan. Sebab syarat harus didahulukan atas yang disyaratkan. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak jika engkau berdiri jika engkau duduk,” maka talak tidak jatuh sampai ia mendahulukan duduk sebelum berdiri, karena ia menjadikan duduk sebagai syarat bagi berdiri, meskipun huruf syarat pada keduanya sama.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ أَكَلْتِ إِنْ تَكَلَّمْتِ، لَمْ تُطَلَّقْ حَتَّى يَتَقَدَّمَ الْكَلَامُ عَلَى الْأَكْلِ، وَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ إِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا إِنْ ضَرَبْتِ عَمْرًا لَمْ تُطَلَّقْ، حَتَّى تَفْعَلَ الثَّلَاثَةَ بِعَكْسِ لَفْظِهِ، فَتَبْدَأُ بِضَرْبِ عَمْرٍو ثُمَّ بِكَلَامِ زَيْدٍ ثُمَّ بِدُخُولِ الدَّارِ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهَا شَرْطٌ فِيمَا تَقَدَّمَهُ فَوَجَبَ أَنْ يَتَقَدَّمَهُ.

Demikian pula jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau makan jika engkau berbicara,” maka talak tidak jatuh hingga pembicaraan mendahului makan. Berdasarkan hal ini, jika ia berkata: “Engkau tertalak jika engkau masuk rumah jika engkau berbicara dengan Zaid jika engkau memukul Amr,” maka talak tidak jatuh hingga ia melakukan ketiganya dengan urutan terbalik dari ucapannya, yaitu dimulai dengan memukul Amr, kemudian berbicara dengan Zaid, lalu masuk rumah. Karena masing-masing perbuatan itu menjadi syarat bagi perbuatan sebelumnya, maka wajib didahulukan.

(فصل: في (لو))

(Bagian: tentang (lau))

وَإِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ لَوْ دَخَلْتِ الدَّارَ، كَانَ شَرْطًا لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا إِلَّا بِدُخُولِ الدَّارِ وَجَرَى مَجْرَى إِنِ، الَّتِي تَكُونُ شَرْطًا، وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ لَوْ دخلت الدار لخرجت مِنْهَا فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهَا حَتَّى تَدْخُلَ الدَّارَ وَلَا يَخْرُجَ الزَّوْجُ مِنْهَا، فَإِنْ دَخَلَتْ وَخَرَجَ منها لم تطلق.

Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak lau (seandainya) engkau masuk rumah,” maka itu menjadi syarat, sehingga talak tidak jatuh atasnya kecuali dengan masuknya ia ke dalam rumah, dan ini serupa dengan kata “in” yang menjadi syarat. Jika ia berkata: “Engkau tertalak lau engkau masuk rumah lalu keluar darinya,” maka tidak jatuh talak atasnya hingga ia masuk rumah dan suami tidak keluar darinya. Jika ia masuk dan keluar dari rumah tersebut, maka talak tidak jatuh.

(فصل: في (لولا))

(Bagian: tentang (laulā))

وَإِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ لَوْلَا أَبُوكِ، فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، قَالَ الْمُزَنِيُّ فِي مَسَائِلِهِ الْمَنْثُورَةِ، لِأَنَّ تَقْدِيرَهُ لَوْلَا أَبُوكِ لَطَلَّقْتُكِ، وَهَكَذَا أَنْتِ طَالِقٌ لَوْلَا جَمَالُكِ، فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ لِأَنَّ مَعْنَاهُ لَوْلَا جَمَالُكِ لَطَلَّقْتُكِ.

Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak laulā (seandainya bukan karena) ayahmu,” maka tidak jatuh talak atasnya. Al-Muzani berkata dalam masalah-masalahnya yang tersebar, karena maknanya adalah: “Seandainya bukan karena ayahmu, niscaya aku telah menceraikanmu.” Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak laulā kecantikanmu,” maka tidak jatuh talak atasnya, karena maknanya: “Seandainya bukan karena kecantikanmu, niscaya aku telah menceraikanmu.”

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ لَا لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ أَوْ لِلتَّخْيِيرِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ بَلْ لَا طُلِّقَتْ لِأَنَّ بَلْ لِلْإِضْرَابِ، وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ أَمْ لَا.

Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak, atau tidak,” maka talak tidak jatuh, karena “atau” untuk memilih. Jika ia berkata: “Engkau tertalak, bahkan tidak,” maka talak jatuh karena “bahkan” untuk penegasan. Jika ia berkata: “Engkau tertalak atau tidak.”

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَإِذَا قِيلَ لِلرَّجُلِ زَوْجَتُكَ هَذِهِ طَالِقٌ مِنْكَ، فَقَالَ: نَعَمْ كَانَ هَذَا ابْتِدَاءَ إِيقَاعٍ مِنْهُ لِلطَّلَاقِ فَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ، فَيَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ وَلَا يُرَاعَى فِيهِ النِّيَّةُ، لِأَنَّهُ أَجَابَ إِلَى صَرِيحٍ فَجَرَى عَلَى جَوَابِهِ حُكْمُ الصَّرِيحِ، وَلَوْ قِيلَ لَهُ: طَلَّقْتَ امْرَأَتَكَ هَذِهِ، فَقَالَ: نعم، كان هذا إقرار بِالطَّلَاقِ، يَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ بِإِقْرَارِهِ فِي الظَّاهِرِ وَيدينُ فِي الْبَاطِنِ إِنْ كَانَ كَاذِبًا وَلَا يَلْزَمُهُ.

Jika dikatakan kepada seorang laki-laki: “Istrimu ini tertalak darimu,” lalu ia menjawab: “Ya,” maka ini dianggap sebagai permulaan pelafalan talak darinya, sehingga hukumnya seperti ia berkata: “Engkau tertalak,” maka talak wajib baginya dan tidak dipertimbangkan niatnya, karena ia telah menjawab dengan lafaz yang jelas, sehingga berlaku atas jawabannya hukum lafaz yang jelas. Jika dikatakan kepadanya: “Apakah engkau telah menceraikan istrimu ini?” lalu ia menjawab: “Ya,” maka ini adalah pengakuan talak, sehingga talak wajib baginya secara lahiriah dan ia bertanggung jawab di batin jika ia berdusta, dan tidak wajib baginya.

وَلَوْ قِيلَ لَهُ: أَتُطَلِّقُ امْرَأَتَكَ هَذِهِ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، كَانَ مُوعِدًا بِالطَّلَاقِ لَا يَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ إِلَّا أَنْ يَسْتَأْنِفَ إِيقَاعَهُ مِنْ بَعْدُ.

Jika dikatakan kepadanya: “Apakah engkau akan menceraikan istrimu ini?” lalu ia menjawab: “Ya,” maka itu adalah janji untuk menceraikan, sehingga talak tidak wajib baginya kecuali ia melafalkan talak setelah itu.

وَلَوْ قِيلَ لَهُ: أَهَذِهِ زَوْجَتُكَ، فَقَالَ لَا، كَانَ هَذَا إِنْكَارًا، لَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ إِلَّا أَنْ يَنْوِيَهُ فَيَصِيرَ كِنَايَةً فِيهِ، فَهَذَا أَصَحُّ مَا قِيلَ فِي هَذَا الْفَصْل، وَإِنْ خَبَطَ أَصْحَابُنَا فِيهِ خَبْطَ عَشْوَاءٍ.

Jika dikatakan kepadanya: “Apakah ini istrimu?” lalu ia menjawab: “Tidak,” maka ini adalah penolakan, sehingga talak tidak jatuh kecuali jika ia meniatkannya, maka menjadi kinayah (lafaz sindiran) dalam hal ini. Inilah pendapat yang paling sahih dalam bab ini, meskipun sebagian ulama kami ada yang berpendapat secara tidak jelas.

فَصْلٌ:

Bagian:

: وَإِذَا قَالَ الْأَعْجَمِيُّ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِيهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika seorang non-Arab berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak,” maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْرِفَ مَعْنَاهُ فَيَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ، سَوَاءٌ أَرَادَهُ أَوْ لَمْ يُرِدْهُ كَالْعَرَبِيِّ.

Pertama: Ia mengetahui maknanya, maka talak wajib baginya, baik ia menginginkannya ataupun tidak, sebagaimana orang Arab.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَعْرِفَ مَعْنَاهُ وَلَا يُرِيدَ مُوجَبَهُ عِنْدَ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ، فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، وَيَصِيرُ ذَلِكَ مِنْ كَلَامِهِ لَغْوًا.

Kedua: Ia tidak mengetahui maknanya dan tidak menginginkan konsekuensinya menurut ahli bahasa Arab, maka talak tidak jatuh atasnya, dan ucapan itu dianggap sia-sia.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ لَا يَعْرِفَ مَعْنَاهُ، وَلَكِنَّهُ يُرِيدُ مُوجَبَهُ عِنْدَ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ، فَالَّذِي ذَكَرَهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ وَحَكَاهُ عَنْ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ، حَتَّى يَعْرِفَ مَعْنَى اللَّفْظِ، لِأَنَّهُ مُوجِبٌ لِلطَّلَاقِ.

Ketiga: Ia tidak mengetahui maknanya, namun ia menginginkan konsekuensinya menurut ahli bahasa Arab, maka menurut pendapat yang disebutkan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini dan dinukil dari ulama kami, talak tidak wajib baginya hingga ia mengetahui makna lafaz tersebut, karena lafaz itu menyebabkan terjadinya talak.

وَعِنْدِي أَنَّ الطَّلَاقَ لَازِمٌ لَهُ، لِأَنَّهُ قَدْ أَرَادَ مُوجَبَ اللَّفْظِ، وَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ مَعْنَاهُ لِأَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِمُجَرَّدِ اللَّفْظِ، إِذَا كَانَ الْمُتَكَلِّمُ بِهِ مِنْ أَهْلِ الْإِرَادَةِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ إِرَادَةٌ، لِأَنَّهُ وَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ مَعْنَاهُ فَقَدْ كَانَ يَقْدِرُ عَلَى تَعَرُّفِ مَعْنَاهُ، وَلِأَنَّنَا لَوْ أَسْقَطْنَا عَنْهُ الطَّلَاقَ، لَسَوَّيْنَا بَيْنَ أَنْ يُرِيدَ مُوجَبَهُ أَوْ لَا يُرِيدَ، وَهُمَا لَا يَسْتَوِيَانِ. وَهَكَذَا الْعَرَبِيُّ إِذَا طَلَّقَ بِصَرِيحِ الْأَعْجَمِيَّةِ، وَهُوَ لَا يَعْرِفُ مَعْنَاهَا، كَانَ عَلَى هَذِهِ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ.

Menurut pendapat saya, talak tetap berlaku baginya, karena ia telah menghendaki konsekuensi dari lafaz tersebut, meskipun ia tidak mengetahui maknanya. Sebab, talak jatuh hanya dengan pengucapan lafaz, selama yang mengucapkannya adalah orang yang memiliki kehendak, meskipun ia tidak memiliki niat di dalamnya. Karena meskipun ia tidak mengetahui maknanya, ia sebenarnya mampu untuk mengetahui maknanya. Dan jika kita menggugurkan talak darinya, berarti kita menyamakan antara orang yang menghendaki konsekuensinya dengan yang tidak menghendakinya, padahal keduanya tidaklah sama. Demikian pula, seorang Arab jika menjatuhkan talak dengan lafaz jelas dalam bahasa non-Arab, sementara ia tidak mengetahui maknanya, maka hukumnya juga terbagi menjadi tiga bagian ini.

فَلَوْ أَنَّ زَوْجَةَ الْأَعْجَمِيِّ ادَّعَتْ عَلَيْهِ أَنَّهُ يَعْرِفُ مَعْنَى الطَّلَاقِ بِالْعَرَبِيَّةِ، كَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ، وَكَذَلِكَ زَوْجَةُ الْعَرَبِيِّ لَوِ ادَّعَتْ عَلَيْهِ أَنَّهُ يَعْرِفُ الطَّلَاقَ بِالْأَعْجَمِيَّةِ، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ.

Jika istri seorang non-Arab mengklaim bahwa suaminya mengetahui makna talak dalam bahasa Arab, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan suami disertai sumpahnya. Demikian pula, jika istri seorang Arab mengklaim bahwa suaminya mengetahui talak dalam bahasa non-Arab, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan suami disertai sumpahnya.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَكُلُّ مُكْرَهٍ وَمَغْلُوبٍ عَلَى عَقْلِهِ فَلَا يَلْحَقُهُ الطَّلَاقُ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Setiap orang yang dipaksa dan orang yang hilang akalnya, maka talak tidak berlaku baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْمَغْلُوبُ عَلَى عَقْلِهِ بِجُنُونٍ أَوْ مَرَضٍ فَلَا يَقَعُ طَلَاقُهُ وَلَا يَصِحُّ عَقْدُهُ.

Al-Mawardi berkata: Adapun orang yang hilang akalnya karena gila atau sakit, maka talaknya tidak jatuh dan akadnya pun tidak sah.

وَأَمَّا الْمُكْرَهُ عَلَى الطَّلَاقِ إِذَا تَلَفَّظَ بِهِ كُرْهًا غَيْرَ مُخْتَارٍ لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ وَلَا عِتْقُهُ وَلَمْ تَصِحَّ عُقُودُهُ، وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَلْحَقُهُ الْفَسْخُ كَالطَّلَاقِ أو العتق أو كان مما لا يَلْحَقُهُ الْفَسْخُ، كَالنِّكَاحِ وَالْبَيْعِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ.

Adapun orang yang dipaksa untuk menjatuhkan talak, jika ia mengucapkannya dalam keadaan terpaksa dan tidak memilih, maka talaknya tidak jatuh, begitu pula pembebasan budaknya, dan akad-akadnya tidak sah. Baik hal itu termasuk perkara yang tidak dapat dibatalkan seperti talak atau pembebasan budak, maupun perkara yang dapat dibatalkan seperti nikah dan jual beli. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Malik dan mayoritas fuqaha.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ كَانَ مِمَّا يَلْحَقُهُ الْفَسْخُ كَالنِّكَاحِ وَالْبَيْعِ لَمْ يَصِحَّ مِنَ الْمُكْرَهِ، وَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يَلْحَقُهُ الْفَسْخُ كَالطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ صَحَّ مِنَ الْمُكْرَهِ كَمَا يَصِحُّ مِنَ الْمُخْتَارِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] . وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ مُكْرَهٍ وَمُخْتَارٍ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ. وَبِرِوَايَةِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: (كُلُّ الطَّلَاقِ جَائِزٌ إِلَّا طَلَاقَ المعتوه الصبي) . فَدَخَلَ طَلَاقُ الْمُكْرَهِ فِي عُمُومِ الْجَوَازِ.

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat: Jika termasuk perkara yang dapat dibatalkan seperti nikah dan jual beli, maka tidak sah dari orang yang dipaksa. Namun jika termasuk perkara yang tidak dapat dibatalkan seperti talak dan pembebasan budak, maka sah dari orang yang dipaksa sebagaimana sah dari orang yang memilih, dengan dalil firman Allah Ta‘ala: {Jika ia menceraikannya, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia menikah dengan suami yang lain} (QS. Al-Baqarah: 230). Dan tidak ada pembedaan antara orang yang dipaksa dan yang memilih, maka hukumnya berlaku umum. Juga berdasarkan riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Setiap talak itu sah kecuali talak orang gila dan anak kecil.” Maka talak orang yang dipaksa termasuk dalam keumuman kebolehan tersebut.

وَبِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: (ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ) .

Juga berdasarkan riwayat Abu Hurairah dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tiga perkara yang seriusnya adalah sungguh-sungguh dan bercandanya pun dianggap sungguh-sungguh, yaitu nikah, talak, dan rujuk.”

وَالْمُكْرَهُ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ جَادًّا أَوْ هَازِلًا فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ طَلَاقُهُ.

Orang yang dipaksa tidak lepas dari dua keadaan: serius atau bercanda, maka wajib talaknya jatuh.

وَلِمَا رُوِيَ أَنَّ صَفْوَانَ بْنَ عِمْرَانَ كَانَ نَائِمًا مَعَ امْرَأَتِهِ فِي الْفِرَاشِ فَجَلَسَتْ عَلَى صَدْرِهِ، وَوَضَعَتِ السِّكِّينَ وَقَالَتْ: طَلِّقْنِي وَإِلَّا ذَبَحْتُكَ فَنَاشَدَهَا اللَّهَ فَأَبَتْ فَطَلَّقَهَا، ثُمَّ آتِي رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَذَكَرَ لَهُ ذَلِكَ، فَقَالَ: (لَا إِقَالَةَ فِي الطَّلَاقِ) .

Dan diriwayatkan bahwa Shafwan bin ‘Imran sedang tidur bersama istrinya di atas ranjang, lalu istrinya duduk di atas dadanya dan meletakkan pisau seraya berkata: “Ceraikan aku atau aku akan menyembelihmu!” Ia memohon kepada Allah, namun istrinya tetap memaksa, lalu ia pun menceraikannya. Kemudian ia datang kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu, maka beliau bersabda: “Tidak ada pembatalan dalam talak.”

أَيْ لَا رُجُوعَ فِيهِ، فَدَلَّ عَلَى وُقُوعِهِ مَعَ الْإِكْرَاهِ.

Artinya, tidak ada rujuk di dalamnya, sehingga hal ini menunjukkan bahwa talak tetap jatuh meskipun dalam keadaan dipaksa.

وَمِنَ الْقِيَاسِ: أَنَّهُ طَلَاقُ مُكَلَّفٍ مَالِكٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ وَاقِعًا كَالْمُخْتَارِ قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ مَعَ الْإِرَادَةِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ وُقُوعِهِ مَعَ فَقْدِ الْإِرَادَةِ كَالْهَزْلِ، وَلِأَنَّ مَا أَوْجَبَ تَحْرِيمَ الْبُضْعِ مَعَ الِاخْتِيَارِ، أَوْجَبَ تَحْرِيمَهُ مَعَ الْإِكْرَاهِ كَالرَّضَاعِ.

Dan dari qiyās: bahwa talak yang dijatuhkan oleh orang yang mukallaf dan memiliki kepemilikan, maka wajib dianggap jatuh sebagaimana orang yang memilih. Ia berkata: Dan karena setiap hal yang tidak mencegah jatuhnya talak dengan kehendak, maka tidak pula mencegah jatuhnya talak tanpa kehendak, seperti bercanda. Dan karena sesuatu yang menyebabkan haramnya hubungan suami istri dengan pilihan, juga menyebabkan haramnya dengan paksaan, seperti halnya penyusuan.

وَدَلِيلُنَا: مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: (رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ) . فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ طَلَاقُ الْمُكْرَهِ مَرْفُوعًا. فَإِنْ قِيلَ: فَالِاسْتِكْرَاهُ لَمْ يُرْفَعْ لِأَنَّهُ قَدْ يُوجَدُ، قِيلَ الْمُرَادُ بِهِ حُكْمُ الِاسْتِكْرَاهِ، لَا الِاسْتِكْرَاهُ، كَمَا أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ حُكْمُ الْخَطَأِ لَا وُجُودُ الْخَطَأِ. عَلَى أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ: (عُفِيَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ) . فَبَانَ بِهِ مَا ذَكَرْنَا، فَإِنْ قِيلَ فَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى رَفْعِ الْإِثْمِ، قِيلَ حَمْلُهُ عَلَى رَفْعِ الْحُكْمِ أَوْلَى لِأَنَّهُ أَعَمُّ، لِأَنَّ مَا رَفَعَ الْحُكْمَ قَدْ رَفَعَ الْإِثْمَ، وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: (لَا طَلَاقَ فِي إِغْلَاقٍ) .

Dalil kami adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Diangkat dari umatku kesalahan, lupa, dan apa yang mereka dipaksa atasnya.” Maka hal ini menunjukkan bahwa talak orang yang dipaksa itu tidak berlaku. Jika dikatakan: “Pemaksaan itu sendiri tidak diangkat karena ia masih bisa terjadi,” maka dijawab bahwa yang dimaksud adalah hukum pemaksaan, bukan pemaksaan itu sendiri, sebagaimana yang dimaksud adalah hukum kesalahan, bukan keberadaan kesalahan itu sendiri. Selain itu, telah diriwayatkan: “Dimaafkan dari umatku kesalahan, lupa, dan apa yang mereka dipaksa atasnya.” Maka jelaslah dengan riwayat ini apa yang kami sebutkan. Jika dikatakan: “Itu dimaknai sebagai pengangkatan dosa,” maka dijawab bahwa memaknainya sebagai pengangkatan hukum lebih utama karena maknanya lebih umum, sebab apa yang mengangkat hukum pasti mengangkat dosa juga. Dan Aisyah ra. meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada talak dalam keadaan iglāq (tertutup akal atau terpaksa).”

قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: الْإِغْلَاقُ كَالْإِكْرَاهِ، يَعْنِي أَنَّهُ كَالْمُغْلَقِ عَلَيْهِ اخْتِيَارُهُ، فَإِنْ قِيلَ الْمُرَادُ بِهِ الْجُنُونُ لِأَنَّهُ مُعَلَّقُ الْإِرَادَةِ فَفِيهِ جَوَابَانِ:

Abu Ubaid berkata: “Iglāq itu seperti ikrāh (pemaksaan), maksudnya seperti orang yang tertutup pilihannya.” Jika dikatakan bahwa yang dimaksud adalah kegilaan karena ia kehilangan kehendak, maka ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَهْلَ اللُّغَةِ أَقْوَمُ بِمَعَانِيهَا مِنْ غَيْرِهِمْ فَكَانَ حَمْلُهُ عَلَى مَا قَرَّرَهُ أَوْلَى.

Pertama: Bahwa ahli bahasa lebih memahami makna-maknanya daripada selain mereka, maka memaknainya sesuai penjelasan mereka lebih utama.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يُحْمَلُ عَلَى الْأَمْرَيْنِ فَيَكُونُ أَعَمَّ. وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ. قَالَهُ خَمْسَةٌ مِنْهُمْ، لَمْ يَظْهَرْ مُخَالِفٌ لَهُمْ، مِنْهُمْ عُمَرُ رَوَى عَنْهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ، أَنَّ رَجُلًا تَدَلَّى بِحَبْلٍ يَشْتَارُ – أَيْ يَجْتَنِي عَسَلًا – فَأَدْرَكَتْهُ امْرَأَةٌ، فحلفت لتقطعن الحبل أو ليطلقها ثَلَاثًا فَذَكَّرَهَا اللَّهَ وَالْإِسْلَامَ فَحَلَفَتْ لَتَفْعَلَنَّ أَوْ لِيَفْعَلَنَّ، فَطَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَلَمَّا خَرَجَ أَتَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، فَذَكَرَ لَهُ الَّذِي كَانَ مِنَ امْرَأَتِهِ إِلَيْهِ، وَالَّذِي كَانَ مِنْهُ إِلَيْهَا، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى امْرَأَتِكَ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ بِطَلَاقٍ.

Kedua: Bahwa ia bisa dimaknai untuk kedua keadaan tersebut sehingga maknanya lebih umum. Dan karena ini merupakan ijmā‘ para sahabat ra. Lima orang dari mereka menyatakan demikian dan tidak tampak ada yang menyelisihi mereka. Di antaranya Umar, diriwayatkan dari beliau oleh Ibnu al-Mundzir, bahwa ada seorang laki-laki yang turun dengan tali untuk mengambil madu, lalu didatangi oleh seorang wanita. Wanita itu bersumpah akan memotong talinya atau laki-laki itu harus mentalaknya tiga kali. Laki-laki itu mengingatkan wanita itu kepada Allah dan Islam, namun wanita itu tetap bersumpah akan melakukannya atau laki-laki itu harus melakukannya. Maka laki-laki itu mentalaknya tiga kali. Setelah keluar, ia mendatangi Umar bin al-Khattab dan menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dan istrinya. Umar berkata: “Kembalilah kepada istrimu, karena ini bukanlah talak.”

وَمِنْهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ: كَانَ لَا يَرَى طَلَاقَ الْمُكْرَهِ شَيْئًا، وَمِنْهُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَيْسَ عَلَى الْمُكْرَهِ وَالْمُضْطَهَدِ طَلَاقٌ، وَمِنْهُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ كَانَا يَرَيَانِ مِثْلَ ذَلِكَ.

Di antara mereka juga adalah Ali bin Abi Thalib as., beliau tidak menganggap talak orang yang dipaksa sebagai sesuatu (yang sah). Di antara mereka juga Abdullah bin Abbas, beliau berkata: “Tidak ada talak bagi orang yang dipaksa dan teraniaya.” Di antara mereka juga Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Zubair, keduanya berpendapat seperti itu.

وَمِنَ الْقِيَاسِ: أَنَّهُ لَفْظٌ حُمِلَ عَلَيْهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَثْبُتَ بِهِ حُكْمٌ، كَالْإِكْرَاهِ عَلَى الْإِقْرَارِ بِالطَّلَاقِ فَإِنْ قِيلَ: لَا يَصِحُّ اعْتِبَارُ الْإِيقَاعِ بِالْإِقْرَارِ، لِأَنَّ الْإِكْرَاهَ عَلَى الرَّضَاعِ يَتَعَلَّقُ بِهِ التَّحْرِيمُ وَالْإِكْرَاهَ عَلَى الْإِقْرَارِ بِالرَّضَاعِ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ تَحْرِيمٌ، وَالْإِكْرَاهَ عَلَى الْإِقْرَارِ بِالْإِسْلَامِ لَا يَصِحُّ لِأَنَّ الْإِقْرَارَ خَبَرٌ بِهِ يَدْخُلُهُ الصِّدْقُ وَالْكَذِبُ، وَخَالَفَ الْإِيقَاعَ الَّذِي لَا يَدْخُلُهُ صِدْقٌ وَلَا كَذِبٌ.

Dan dari segi qiyās: Talak adalah lafaz yang diucapkan secara tidak sah (karena paksaan), maka tidak seharusnya menetapkan hukum dengannya, sebagaimana ikrāh atas pengakuan talak. Jika dikatakan: “Tidak sah menyamakan pelaksanaan talak dengan pengakuan, karena pemaksaan atas penyusuan (radā‘) menyebabkan keharaman, sedangkan pemaksaan atas pengakuan penyusuan tidak menyebabkan keharaman. Dan pemaksaan atas pengakuan masuk Islam tidak sah karena pengakuan adalah berita yang bisa benar atau salah, berbeda dengan pelaksanaan (talak) yang tidak mengandung benar atau salah.”

فعن ذلك جوابان:

Maka terhadap hal itu ada dua jawaban:

أحدهما: أنه إِقْرَارَ الْمُكْرَهِ لَمْ يَرْتَفِعْ لِاحْتِمَالِ دُخُولِ الصِّدْقِ، وَالْكَذِبِ فِيهِ، لِأَنَّ هَذَا الْمَعْنَى مِنَ احْتِمَالِ الصِّدْقِ. وَالْكَذِبُ مَوْجُودٌ فِي إِقْرَارِ الْمُخْتَارِ، وَطَلَاقُهُ وَاقِعٌ وَإِنَّمَا الْمَعْنَى فِيهِ الْإِكْرَاهُ، وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي الْإِيقَاعِ.

Pertama: Bahwa pengakuan orang yang dipaksa tidak diangkat (tidak gugur) karena kemungkinan mengandung kebenaran dan kebohongan, sebab makna ini—kemungkinan benar dan salah—juga ada pada pengakuan orang yang memilih (tidak dipaksa), dan talaknya tetap sah. Yang menjadi masalah di sini adalah unsur paksaan, dan makna ini juga ada pada pelaksanaan (talak).

وَالثَّانِي: هُوَ أَنَّ الرَّضَاعَ فِعْلٌ لَا يُرَاعَى فِيهِ الْقَصْدُ، فَاسْتَوَى فِيهِ حُكْمُ الْمُكْرَهِ وَالْمُخْتَارِ، وَالْإِقْرَارُ قَوْلٌ يُرَاعَى فِيهِ الْقَصْدُ، فَافْتَرَقَ فِيهِ حُكْمُ الْمُكْرَهِ وَالْمُخْتَارِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْمَجْنُونَةَ لَوْ أَرْضَعَتْ ثَبَتَ بِهِ حكم التحريم، ولو أقرت به لم ثبت.

Kedua: Bahwa penyusuan (radā‘) adalah perbuatan yang tidak memperhatikan niat, sehingga hukum orang yang dipaksa dan yang memilih sama saja. Sedangkan pengakuan adalah ucapan yang memperhatikan niat, sehingga hukum orang yang dipaksa dan yang memilih berbeda. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seorang wanita gila menyusui, maka berlaku hukum keharaman, tetapi jika ia mengakuinya, maka tidak berlaku.

وَالْمَجْنُونُ لَوْ أَوْلَدَ أَمَتَهُ صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ، وَلَوْ أَعْتِقَهَا لَمْ تَعْتِقْ، فَافْتَرَقَ حُكْمُ الْإِكْرَاهِ عَلَى الْإِرْضَاعِ، وَحُكْمُ الْإِقْرَارِ بِالرَّضَاعِ، لِأَنَّ أَحَدَهُمَا فِعْلٌ وَالْآخَرَ قَوْلٌ. وَاسْتَوَى حُكْمُ الْإِكْرَاهِ عَلَى إِيقَاعِ الطَّلَاقِ وَعَلَى الْإِقْرَارِ، لِأَنَّ كِلَيْهِمَا قَوْلُهُ، وَأَمَّا الْإِكْرَاهُ عَلَى فِعْلِ الْإِسْلَامِ، فَإِنَّمَا يَصِحُّ وَيَثْبُتُ فِيمَنْ كَانَ حَرْبِيًّا فَيُدْعَى بِالسَّيْفِ إِلَى الْإِسْلَامِ، لِأَنَّ إِكْرَاهَهُ عَلَيْهِ وَاجِبٌ قَدْ وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ، وَلَا يَصِحُّ إِكْرَاهُ الذِّمِّيِّ الْبَاذِلِ لِلْجِزْيَةِ، لِأَنَّ الشَّرْعَ قَدْ أَقَرَّهُ عَلَيْهِ، فَكَانَ إِكْرَاهُهُ عَلَيْهِ ظُلْمًا، فَلَمْ يَصِحَّ.

Dan orang gila, jika ia menghamili budak perempuannya, maka budak itu menjadi umm walad, dan jika ia memerdekakannya, maka budak itu tidak menjadi merdeka. Maka berbeda hukum ikrah (paksaan) atas penyusuan dan hukum pengakuan atas penyusuan, karena salah satunya adalah perbuatan dan yang lainnya adalah ucapan. Adapun hukum ikrah atas pelaksanaan talak dan atas pengakuan (talak), keduanya sama, karena keduanya merupakan ucapan. Adapun ikrah atas pelaksanaan Islam, maka itu hanya sah dan tetap berlaku pada orang harbi yang diajak masuk Islam dengan pedang, karena memaksanya untuk itu adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Tidak sah memaksa dzimmi yang telah membayar jizyah, karena syariat telah menetapkannya atas hal itu, sehingga memaksanya adalah kezaliman, maka tidak sah.

وَالْإِكْرَاهُ عَلَى الْإِقْرَارِ بِالْإِسْلَامِ إِنَّمَا هُوَ إِكْرَاهٌ عَلَى الْتِزَامِ أَحْكَامِهِ، قَبْلَ الْإِقْرَارِ مِنْ فِعْلِ الصَّلَاةِ وَأَدَاءِ الزَّكَاةِ. وَهَذَا ظُلْمٌ فَاسْتَوَى حُكْمُ الْإِكْرَاهِ عَلَى الْإِقْرَارِ بِالْإِسْلَامِ، وَالْإِكْرَاهِ عَلَى فِعْلِ الْإِسْلَامِ فِي حَقِّ الذِّمِّيِّ لِكَوْنِهِمَا ظُلْمًا فَلَمْ يَصِحَّا وَافْتَرَقَ حُكْمُ الْإِكْرَاهِ عَلَى الْإِقْرَارِ بِالْإِسْلَامِ، وَالْإِكْرَاهِ عَلَى الْإِسْلَامِ فِي حَقِّ الْحَرْبِيِّ، لِأَنَّ الْإِقْرَارَ ظَلَمٌ فَلَمْ يَصِحَّ، وَفِعْلَ الْإِسْلَامِ حَقٌّ فَصَحَّ، فَإِنْ وَجَبَ مَا ذَكَرْنَاهُ أَنْ يَسْتَوِيَ فِي الطَّلَاقِ حُكْمُ الْإِقْرَارِ وَالْإِيقَاعِ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ظُلْمٌ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَقَعَا.

Dan ikrah atas pengakuan terhadap Islam hanyalah merupakan paksaan untuk menerima hukum-hukumnya, sebelum pengakuan berupa pelaksanaan shalat dan pembayaran zakat. Dan ini adalah kezaliman, sehingga hukum ikrah atas pengakuan terhadap Islam dan ikrah atas pelaksanaan Islam terhadap dzimmi sama-sama tidak sah karena keduanya merupakan kezaliman. Berbeda hukum ikrah atas pengakuan terhadap Islam dan ikrah atas Islam terhadap harbi, karena pengakuan adalah kezaliman sehingga tidak sah, sedangkan pelaksanaan Islam adalah hak sehingga sah. Maka, sebagaimana yang telah kami sebutkan, hukum pengakuan dan pelaksanaan talak haruslah sama, karena keduanya merupakan kezaliman, sehingga keduanya tidak boleh terjadi.

وَقِيَاسٌ ثَانٍ: وَهُوَ أَنَّ الْإِكْرَاهَ مَعْنًى يُزِيلُ حُكْمَ الْإِقْرَارِ بِالطَّلَاقِ، فَوَجَبَ أَنْ يُزِيلَ حُكْمَ إِيقَاعِ الطَّلَاقِ كَالْجُنُونِ وَالنَّوْمِ وَالصِّغَرِ.

Qiyās kedua: Bahwa ikrah adalah suatu makna yang menghilangkan hukum pengakuan talak, maka harus pula menghilangkan hukum pelaksanaan talak, seperti halnya pada orang gila, tidur, dan anak kecil.

وَقِيَاسٌ ثَالِثٌ: أَنَّهُ لَفْظٌ يَتَعَلَّقُ بِهِ الْفَرْقُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ إِذَا حُمِلَ عَلَيْهِ فِيهِ حَقٌّ، أَصْلُهُ الْإِكْرَاهُ عَلَى كَلِمَةِ الْكُفْرِ.

Qiyās ketiga: Bahwa talak adalah lafaz yang berkaitan dengan perpisahan antara suami istri, maka tidak sah jika dilakukan dengan paksaan dalam perkara yang merupakan hak, sebagaimana ikrah atas ucapan kekufuran.

قِيَاسٌ رَابِعٌ: أَنَّهُ قَوْلٌ فِي أَحَدِ طَرَفَيِ النِّكَاحِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ مَعَ الْإِكْرَاهِ كَالنِّكَاحِ.

Qiyās keempat: Bahwa talak adalah ucapan pada salah satu pihak dalam pernikahan, maka tidak sah jika dilakukan dengan paksaan, sebagaimana dalam akad nikah.

وَقِيَاسٌ خَامِسٌ: أَنَّ كُلَّ بُضْعٍ لَمْ يُمْلَكْ بِلَفْظِ الْمُكْرَهِ، لَمْ يَحْرُمْ بِقَوْلِ الْمُكْرَهِ، كَالْإِيمَاءِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ.

Qiyās kelima: Bahwa setiap kemaluan (hubungan suami istri) yang tidak dimiliki dengan lafaz orang yang dipaksa, maka tidak menjadi haram dengan ucapan orang yang dipaksa, seperti budak perempuan dalam jual beli.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الآية فهو انه قال: (فإن طلقها) ، وَالْمُكْرَهُ عِنْدَنَا غَيْرُ مُطَلِّقٍ، وَلَوْ صَحَّ دُخُولُهُ فِي عُمُومِهَا لَكَانَ مَخْصُوصًا بِمَا ذَكَرْنَا.

Adapun jawaban atas ayat tersebut adalah bahwa Allah berfirman: (Jika ia menceraikannya), sedangkan orang yang dipaksa menurut kami bukanlah orang yang menceraikan. Dan seandainya ia termasuk dalam keumuman ayat tersebut, maka telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (كُلُّ الطَّلَاقِ جَائِزٌ إِلَّا طَلَاقَ الْمَعْتُوهِ وَالصَّبِيِّ) . فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas sabda Nabi ﷺ: “Setiap talak itu sah kecuali talaknya orang yang tidak waras dan anak kecil,” maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى حَالِ الِاخْتِيَارِ.

Pertama: Bahwa hadis itu dimaknai pada keadaan pilihan (bukan paksaan).

وَالثَّانِي: أَنَّ فِي اسْتِثْنَاءِ الصَّبِيِّ وَالْمَعْتُوهِ لِفَقْدِ الْقَصْدِ مِنْها تَنْبِيهٌ عَلَى إِلْحَاقِ الْمُكْرَهِ بِهِمَا.

Kedua: Bahwa pengecualian terhadap anak kecil dan orang yang tidak waras karena hilangnya maksud dari keduanya, merupakan isyarat untuk menyamakan orang yang dipaksa dengan keduanya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (ثَلَاثَةٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ) ، فَهُوَ أَنَّنَا نَقُولُ بِمُوجَبِهِ وَنَجْعَلُ الْجِدَّ وَالْهَزْلَ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ سَوَاءً، وَالْمُكْرَهُ لَيْسَ بِجَادٍّ وَلَا هَازِلٍ، فخرج عنها كالمجنون، لأن الجاد قاصد اللفظ مُرِيدٌ لِلْفُرْقَةِ وَالْهَازِلَ قَاصِدٌ لِلْفَظِّ غَيْرُ مُرِيدٍ لِلْفُرْقَةِ وَالْمُكْرَهَ غَيْرُ قَاصِدٍ لِلَّفْظِ وَلَا مُرِيدٍ لِلْفُرْقَةِ.

Adapun jawaban atas sabda beliau ﷺ: “Tiga perkara yang seriusnya adalah sungguh-sungguh dan bercandanya pun dianggap sungguh-sungguh,” maka kami mengatakan sesuai dengan maknanya, dan kami menyamakan antara keseriusan dan candaan dalam terjadinya talak. Sedangkan orang yang dipaksa bukanlah orang yang serius maupun bercanda, sehingga ia keluar dari ketentuan itu seperti orang gila. Karena orang yang serius bermaksud pada lafaz dan menginginkan perpisahan, sedangkan orang yang bercanda bermaksud pada lafaz namun tidak menginginkan perpisahan, dan orang yang dipaksa tidak bermaksud pada lafaz dan tidak pula menginginkan perpisahan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (لَا إِقَالَةَ فِي الطَّلَاقِ) فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas sabda beliau ﷺ: “Tidak ada pembatalan dalam talak,” maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّجُلَ أَقَرَّ بِالطَّلَاقِ وَادَّعَى الْإِكْرَاهَ فَأَلْزَمَهُ إِقْرَارُهُ، وَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ.

Pertama: Bahwa seorang laki-laki mengakui talak lalu mengaku dipaksa, maka pengakuannya tetap mengikatnya dan pengakuan dipaksanya tidak diterima.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ رَأَى مِنْ جَلَدِهِ وَضَعْفِ زَوْجَتِهِ مَا لَا يَكُونُ بِهِ مُكْرَهًا فَأَلْزَمَهُ الطَّلَاقَ. وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُخْتَارِ فَالْمَعْنَى فِيهِ صِحَّةُ إِقْرَارِهِ، وَالْمُكْرَهُ لَا يَصِحُّ إِقْرَارُهُ فَلَمْ يَصِحَّ إِيقَاعُهُ وَإِنْ شِئْتَ قُلْتَ الْقِيَاسَ عَلَيْهِمْ فَقُلْتَ: فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِيقَاعُهُ بِهَزْلِهِ إِقْرَارَهُ كَالْمُخْتَارِ.

Kedua: Boleh jadi ia melihat dari keteguhan dirinya dan kelemahan istrinya sesuatu yang tidak menjadikannya sebagai orang yang dipaksa, sehingga ia mewajibkan talak atasnya. Adapun qiyās mereka terhadap orang yang memilih (talak), maka maksudnya adalah sahnya pengakuannya, sedangkan orang yang dipaksa tidak sah pengakuannya, maka tidak sah pula pelaksanaan talaknya. Jika engkau mau, engkau bisa mengatakan qiyās kepada mereka, lalu engkau berkata: Maka wajiblah pelaksanaan talaknya dengan senda gurau itu dianggap sebagai pengakuannya seperti orang yang memilih.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ، إِنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ مَعَ الْإِرَادَةِ، لَمْ يَمْنَعْ وُقُوعَهُ مَعَ فَقْدِ الْإِرَادَةِ فَهُوَ أَنَّهُ لَيْسَ الْمُعْتَبَرُ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ، وُجُودَ الْإِرَادَةِ وَإِنَّمَا الْمُعْتَبَرُ فِيهِ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْإِرَادَةِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْهَازِلِ صِحَّةُ إِقْرَارِهِ.

Adapun pernyataan mereka bahwa segala sesuatu yang tidak menghalangi jatuhnya talak dengan adanya kehendak, maka tidak pula menghalangi jatuhnya talak tanpa adanya kehendak, maka jawabannya adalah bahwa yang dianggap dalam jatuhnya talak bukanlah adanya kehendak, melainkan yang dianggap adalah bahwa ia termasuk orang yang memiliki kehendak. Kemudian maksud dalam orang yang bergurau adalah sahnya pengakuannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الرَّضَاعِ، فَهُوَ أَنَّهُ يُنْتَقَضُ بِالْمُكْرَهِ عَلَى كَلِمَةِ الْكُفْرِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الرَّضَاعِ أَنَّهُ فِعْلٌ وَالطَّلَاقُ قَوْلٌ، وَقَدْ ذَكَرْنَا مَنْ فَرَّقَ مَا بَيْنَ الْفِعْلِ وَالْقَوْلِ، بِحَالِ الْمَجْنُونَةِ إِذَا أَرْضَعَتْ وَالْمَجْنُونِ إِذَا طَلَّقَ مَا كَفَى.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap kasus penyusuan, maka itu dapat dibantah dengan kasus orang yang dipaksa mengucapkan kata-kata kufur. Kemudian, maksud dalam penyusuan adalah bahwa itu merupakan perbuatan, sedangkan talak adalah ucapan. Telah kami sebutkan siapa yang membedakan antara perbuatan dan ucapan, seperti keadaan perempuan gila jika ia menyusui dan laki-laki gila jika ia mentalak, itu sudah cukup.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ طَلَاقَ الْكرهِ لَا يَقَعُ، فَجَمِيعُ مَا وَقَعَ الْإِكْرَاهُ عَلَيْهِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Jika telah dipastikan bahwa talak karena paksaan tidak jatuh, maka seluruh perkara yang terjadi karena paksaan terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا لَا يَصِحُّ مَعَ الْإِكْرَاهِ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمُ الِاخْتِيَارِ.

Pertama: Sesuatu yang tidak sah dengan paksaan dan tidak terkait dengan hukum pilihan.

وَالثَّانِي: مَا يَصِحُّ مَعَ الْإِكْرَاهِ وَيَسْتَوِي فِيهِ حُكْمُ الْمُكْرَهِ وَالْمُخْتَارِ.

Kedua: Sesuatu yang sah dengan paksaan dan hukum orang yang dipaksa dan yang memilih sama.

وَالثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ.

Ketiga: Sesuatu yang terdapat perbedaan pendapat Imam Syafi‘i di dalamnya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ مَا لَا يَصِحُّ مَعَ الْإِكْرَاهِ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ، فَهُوَ الْإِكْرَاهُ عَلَى الْكُفْرِ وَعَلَى سَبِّ الرَّسُولِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَعَلَى عَقْدِ الْأَيْمَانِ بِاللَّهِ تَعَالَى، أَوْ بِالطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ وَعَلَى سَائِرِ الْعُقُودِ مِنَ الْمَنَاكِحِ وَالْبُيُوعِ وَالْإِجَارَاتِ وَالْوِكَالَاتِ عَلَى الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ وَالْوَقْفِ وَالظِّهَارِ وَالْقَذْفِ وَالْوَصِيَّةِ، فَهَذَا كُلُّهُ لَا حُكْمَ لَهُ، إِذَا أُكْرِهَ عَلَى فِعْلِهِ، وَكَذَلِكَ الصَّائِمُ إِذَا أُوجِرَ الطَّعَامُ فِي حَلْقِهِ فَهُوَ عَلَى صَوْمِهِ.

Adapun bagian pertama, yaitu sesuatu yang tidak sah dengan paksaan dan tidak terkait dengan hukum apa pun, maka itu adalah paksaan untuk melakukan kekufuran, mencela Rasulullah ﷺ, mengucapkan sumpah atas nama Allah Ta‘ala, atau dengan talak dan pembebasan budak, serta pada seluruh akad seperti pernikahan, jual beli, sewa-menyewa, perwakilan, talak, pembebasan budak, wakaf, zihar, qadzaf, dan wasiat. Semua ini tidak memiliki hukum jika dilakukan karena paksaan. Demikian pula orang yang berpuasa jika makanan dipaksa masuk ke tenggorokannya, maka puasanya tetap sah.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: الَّذِي يَصِحُّ مَعَ الْإِكْرَاهِ وَيَسْتَوِي فِيهِ حُكْمُ الْمُكْرَهِ وَالْمُخْتَارِ، فَهُوَ إِسْلَامُ أَهْلِ الْحَرْبِ وَالرَّضَاعُ وَالْحَدَثُ وَطَرْحُ النَّجَاسَةِ عَلَى الْمُصَلِّي عَلَى خُفِّهِ إِذَا كَانَ مَاسِحًا، إِلَى مَا جَرَى هَذَا الْمَجْرَى فَيَكُونُ وُجُودُ ذَلِكَ مِنَ الْمُكْرَهِ وَالْمُخْتَارِ سَوَاءً.

Adapun bagian kedua, yaitu sesuatu yang sah dengan paksaan dan hukum orang yang dipaksa dan yang memilih sama, maka itu adalah keislaman orang-orang kafir harbi, penyusuan, hadats, dan menaruh najis pada orang yang shalat di atas khuf-nya jika ia mengusapnya, serta hal-hal lain yang sejenis. Maka terjadinya hal tersebut dari orang yang dipaksa dan yang memilih adalah sama.

وَأَمَّا مَا اخْتَلَفَ فِيهِ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فَالْمُكْرَهُ عَلَى الْقَتْلِ فِي وُجُوبِ الْقَوْدِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ، وَإِكْرَاهُ الرَّجُلِ عَلَى الزِّنَا فِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ قَوْلَانِ وَإِكْرَاهُ الصَّائِمِ عَلَى الْأَكْلِ فِي فِطْرِهِ بِهِ قَوْلَانِ وَإِكْرَاهُ الْمُصَلِّي عَلَى الْكَلَامِ فِي الصَّلَاةِ فِي بُطْلَانِهَا قَوْلَانِ. وَتَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ يُذْكَرُ فِي مَوَاضِعِهَا.

Adapun perkara yang terdapat perbedaan pendapat Imam Syafi‘i di dalamnya adalah: orang yang dipaksa membunuh, dalam kewajiban qishāsh atasnya terdapat dua pendapat; orang yang dipaksa berzina, dalam kewajiban had atasnya terdapat dua pendapat; orang yang dipaksa makan saat berpuasa, dalam batalnya puasa terdapat dua pendapat; orang yang dipaksa berbicara dalam shalat, dalam batalnya shalat terdapat dua pendapat. Penjelasan kedua pendapat dalam masalah-masalah ini akan disebutkan pada tempatnya masing-masing.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا قَدْ صَحَّ أَنَّ طَلَاقَ الْمُكْرَهِ لَا يَقَعُ، فَالْكَلَامُ فِيهِ مُشْتَمِلٌ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:

Jika telah sah bahwa talak orang yang dipaksa tidak jatuh, maka pembahasan tentangnya mencakup tiga fasal:

أَحَدُهَا: فِي صِفَةِ الْمُكْرِهِ.

Pertama: Tentang sifat orang yang memaksa.

وَالثَّانِي: فِي صِفَةِ الْإِكْرَاهِ.

Kedua: Tentang sifat paksaan.

وَالثَّالِثُ: فِي صِفَةِ الْمُكْرَهِ، فَأَمَّا الْمُكْرِهُ، فَهُوَ مَنِ اجْتَمَعَتْ فِيهِ ثَلَاثَةٌ شُرُوطٍ:

Ketiga: Tentang sifat orang yang dipaksa. Adapun orang yang memaksa, maka ia adalah orang yang memenuhi tiga syarat:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَاهِرًا، وَالْقَاهِرُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Pertama: Ia haruslah orang yang berkuasa, dan orang yang berkuasa itu ada dua macam:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ عَامَّ الْقُدْرَةِ كَالسُّلْطَانِ والْمُنقَلِبِ.

Pertama: Orang yang memiliki kekuasaan umum seperti sultan dan orang yang melakukan kudeta.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ خَاصَّ الْقُدْرَةِ كَالْمُتَلَصِّصِ، وَالسَّيِّدِ مَعَ عَبْدِهِ، وَكِلَاهُمَا مَكْرِهٌ، وَهُمَا فِي الْحُكْمِ سَوَاءٌ، إِذَا كَانَتْ قُدْرَةُ الْمُكْرِهِ نَافِذَةً عَلَى الْمُكْرَهِ.

Kedua: Orang yang memiliki kekuasaan khusus seperti pencuri atau tuan terhadap budaknya. Keduanya adalah orang yang memaksa, dan keduanya dalam hukum adalah sama, selama kekuasaan orang yang memaksa itu berlaku atas orang yang dipaksa.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَغْلِبَ فِي النَّفْسِ بِالْأَمَارَاتِ الظَّاهِرَةِ أَنَّهُ سَيَفْعَلُ عِنْدَ الِامْتِنَاعِ مِنْ إِصَابَتِهِ مَا يَتَوَعَّدُهُ بِهِ وَتَهَدَّدَهُ، فَأَمَّا إِنْ لَمْ يَغْلِبْ عَلَى النَّفْسِ، جَازَ أَنْ يَفْعَلَ وَلَا يَفْعَلَ فَلَيْسَ بِمَكْرِهٍ.

Syarat kedua: Hendaknya dalam diri seseorang lebih dominan keyakinan berdasarkan tanda-tanda lahiriah bahwa jika ia menolak melakukan sesuatu, maka orang yang mengancamnya benar-benar akan melaksanakan ancaman yang diucapkannya. Adapun jika keyakinan itu tidak lebih dominan dalam dirinya—artinya, bisa jadi ancaman itu akan dilakukan atau tidak—maka ia tidak dianggap sebagai orang yang dipaksa (mukrah).

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مَكْرِهًا بِظُلْمٍ، فَأَمَّا إِنْ أَكْرَهْ بِغَيْرِ ظُلْمٍ كَإِكْرَاهِ الْمُولِي عَلَى الطَّلَاقِ فِي قَوْلِ مَنْ يَرَى أَنْ يُكْرَهَ عَلَيْهِ، فَلَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْمُكْرِهِ، وَمَا أَكْرَهَ عَلَيْهِ الطَّلَاقَ وَاقِعٌ، وَكَالنَّاذِرِ عِتْقَ عَبْدٍ بِعَيْنِهِ، إِذَا امْتَنَعَ مِنْ عِتْقِهِ فَأُكْرِهَ عَلَيْهِ، فَقَدْ عَتَقَه لِأَنَّ الْمَأْخُوذَ بِهِ حَقٌّ وَاجِبٌ وَهُوَ بِامْتِنَاعِهِ مِنْهُ طَوْعًا ظَالِمٌ آثِمٌ، فَإِذَا تَكَامَلَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ الثَّلَاثَةُ فِي المكره صار مكرها.

Syarat ketiga: Pemaksaan itu harus dilakukan secara zalim. Adapun jika pemaksaan dilakukan bukan karena kezaliman, seperti pemaksaan seorang suami yang melakukan ila’ (sumpah tidak menggauli istri) untuk menceraikan istrinya—menurut pendapat yang membolehkan pemaksaan dalam hal ini—maka tidak berlaku hukum orang yang dipaksa (mukrah) atasnya, dan talak yang dipaksakan tersebut tetap sah. Demikian pula, seseorang yang bernazar untuk memerdekakan budaknya secara spesifik, lalu ia enggan melakukannya dan kemudian dipaksa untuk memerdekakannya, maka budak tersebut menjadi merdeka, karena yang diwajibkan atasnya adalah hak yang wajib, dan dengan menolak melaksanakannya secara sukarela, ia menjadi zalim dan berdosa. Maka, apabila tiga syarat ini terpenuhi pada seseorang, ia dianggap sebagai orang yang dipaksa (mukrah).

(فصل:)

(Fasal:)

وأما الأكراه بِإِدْخَالِ الضَّرَرِ وَالْأَذَى الْبَيِّنِ عَلَى الْمُكْرَهِ، وَذَلِكَ قَدْ يَكُونُ مِنْ أَحَدِ سَبْعَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun pemaksaan dengan cara menimbulkan bahaya dan gangguan yang nyata terhadap orang yang dipaksa, hal itu dapat terjadi melalui salah satu dari tujuh cara:

أَحَدُهَا: الْقَتْلُ، وَهُوَ أَعْظَمُ مَا يَدْخُلُ بِهِ الضَّرَرُ عَلَى النَّفْسِ، فَإِذَا هَدَرَهُ فِي نَفْسِهِ كَانَ إِكْرَاهًا، فَإِنْ هَدَرَ بِهِ فِي غَيْرِهِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْغَيْرِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Pertama: Pembunuhan, dan ini adalah bentuk bahaya terbesar yang dapat menimpa jiwa seseorang. Jika ancaman itu ditujukan pada dirinya sendiri, maka itu termasuk pemaksaan. Namun, jika ancaman itu ditujukan kepada orang lain, maka keadaan orang lain tersebut terbagi menjadi tiga kategori:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ بَيْنَهُمِ بَعْضِيَّةٌ كَالْوَالِدِينَ وَإِنْ عَلَوْا، وَالْمَوْلُودِينَ وَإِنْ سَفَلُوا، فَيَكُونَ التَّهْدِيدُ بِقَتْلِهِمْ إِكْرَاهًا لِأَنَّ الْبَعْضِيَّةَ تَقْتَضِي التَّمَازُجَ فِي الْأَحْكَامِ.

Pertama: Orang yang memiliki hubungan sebagian (ba‘ḍiyyah) dengannya, seperti orang tua (meskipun lebih tinggi) dan anak-anak (meskipun lebih rendah), maka ancaman membunuh mereka dianggap sebagai pemaksaan, karena adanya hubungan sebagian yang menuntut adanya keterikatan dalam hukum.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِ ذِي رَحِمٍ مُحَرَّمٍ، إِمَّا أَجْنَبِيًّا أَوْ ذَا نَسَبٍ لَا يَكُونُ مُحَرَّمًا كَبَنِي الْأَعْمَامِ وَبَنِي الْأَخْوَالِ، فَلَا يَكُونُ تَهْدِيدُهُ بِقَتْلِهِمْ إِكْرَاهًا، لِأَنَّ بَيْنَ جَمِيعِ النَّاسِ تَنَاسُبٌ مِنْ بَعِيدٍ.

Kategori kedua: Orang yang bukan mahram, baik orang asing maupun kerabat yang tidak termasuk mahram, seperti anak-anak paman atau anak-anak bibi, maka ancaman membunuh mereka tidak dianggap sebagai pemaksaan, karena antara seluruh manusia hanya ada hubungan kekerabatan yang jauh.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ ذَا رَحِمٍ مُحَرَّمٍ كَالْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ وبينهما، وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ دُونَ بَنِيهَا وَالْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ دُونَ بَنِيهَا، فَهَلْ يَكُونُ التَّهْدِيدُ بِقَتْلِهِمْ إِكْرَاهًا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kategori ketiga: Orang yang memiliki hubungan mahram, seperti saudara laki-laki dan perempuan, serta di antara mereka, juga paman dan bibi (dari pihak ayah dan ibu) kecuali anak-anak mereka, maka apakah ancaman membunuh mereka dianggap sebagai pemaksaan atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ إِكْرَاهًا لِثُبُوتِ الْمُحَرَّمِ كَالْوَالِدَيْنِ.

Pertama: Dianggap sebagai pemaksaan karena adanya hubungan mahram, seperti halnya orang tua.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ إِكْرَاهًا لِعَدَمِ الْبَعْضِيَّةِ كَالْأَبْعَدِينَ، فَهَذَا حُكْمُ التَّهْدِيدِ بِالْقَتْلِ.

Pendapat kedua: Tidak dianggap sebagai pemaksaan karena tidak adanya hubungan sebagian (ba‘ḍiyyah), seperti kerabat yang lebih jauh. Inilah hukum ancaman pembunuhan.

وَالثَّانِي: الْجُرْحُ، إِمَّا بِقَطْعِ طَرَفٍ أَوْ إِنْهَارِ دَمٍ، فَهُوَ إِكْرَاهٌ لِمَا فِيهِ مِنْ إِدْخَالِ أَلَمٍ، وَأَنَّهُ رُبَّمَا سَرَى إِلَى النَّفْسِ.

Kedua: Melukai, baik dengan memotong anggota tubuh atau menumpahkan darah, maka ini termasuk pemaksaan karena menimbulkan rasa sakit, dan bisa jadi berakibat pada kematian.

وَالثَّالِثُ: الضَّرْبُ، فَيَكُونُ إِكْرَاهًا لِأَلَمِهِ وَضَرَرِهِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الشَّطَارَةِ وَالصَّعْلَكَةِ الَّذِينَ يَتَبَاهَوْنَ فِي احْتِمَالِ الضَّرْبِ، وَيَتَفَاخَرُونَ فِي الصَّبْرِ عَلَيْهِ فَلَا يَكُونُ إِكْرَاهًا فِي أَمْثَالِهِمْ.

Ketiga: Pemukulan, maka ini termasuk pemaksaan karena menimbulkan rasa sakit dan bahaya, kecuali jika terjadi pada sekelompok orang yang dikenal sebagai ahli syatharah (petualang) dan sha‘lakah (gelandangan) yang membanggakan diri dalam menahan pukulan dan bermegah-megahan dalam kesabaran menghadapinya, maka pada mereka hal itu tidak dianggap sebagai pemaksaan.

وَالرَّابِعُ: الْحَبْسُ، فَلَا يَخْلُو أَمْرُهُ فِيهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Keempat: Penahanan (penjara), yang keadaannya terbagi menjadi tiga:

أَحَدُهَا: أَنْ يُهَدِّدَهُ بِطُولِ الْحَبْسِ فَيَكُونَ إِكْرَاهًا، لِدُخُولِ الضَّرَرِ بِهِ.

Pertama: Diancam dengan penahanan yang lama, maka itu dianggap sebagai pemaksaan karena menimbulkan bahaya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَصِيرَ الزَّمَانِ كَالْيَوْمِ وَنَحْوِهِ فَلَا يَكُونَ إِكْرَاهًا لِقُرْبِهِ وَقِلَّةِ ضَرَرِهِ.

Kedua: Penahanan dalam waktu singkat, seperti sehari atau sejenisnya, maka itu tidak dianggap sebagai pemaksaan karena waktunya singkat dan bahayanya sedikit.

وَالثَّالِثُ: أَنْ لَا يُعْلَمَ طُولُهُ وَلَا قِصَرُهُ فَيَكُونَ إِكْرَاهًا، لِأَنَّ الظَّاهِرَ فِي الْمَحْبُوسِ عَلَى شَيْءٍ أَنَّهُ لَا يُطِيقُ إِلَّا بَعْدَ فِعْلِهِ وَحُكْمُ الْقَيْدِ، إِذَا هدر به كحكم الحبس، لأن أحد المانعين من التَّصَرُّفِ.

Ketiga: Tidak diketahui apakah penahanannya akan lama atau singkat, maka itu dianggap sebagai pemaksaan, karena pada umumnya orang yang ditahan atas sesuatu tidak akan mampu bertahan kecuali setelah melakukannya. Adapun hukum pengekangan (belenggu), jika ancamannya seperti ancaman penahanan, maka hukumnya sama, karena pengekangan adalah salah satu penghalang untuk bertindak.

وَالْخَامِسُ: أَخْذُ الْمَالِ، فَلَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Kelima: Pengambilan harta, yang terbagi menjadi tiga kategori:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ كَثِيرًا يُؤَثِّرُ أَخْذُهُ فِي حَالِهِ فَيَكُونَ إِكْرَاهًا.

Pertama: Jika harta yang diambil banyak sehingga mempengaruhi keadaannya, maka itu dianggap sebagai pemaksaan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَلِيلًا، فَلَا يُؤَثِّرُ فِي حَالِهِ فَلَا يَكُونَ إِكْرَاهًا.

Kedua: Jika harta yang diambil sedikit sehingga tidak berpengaruh pada keadaannya, maka itu tidak dianggap sebagai pemaksaan.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ كَثِيرًا إِلَّا أَنَّهُ لَا يُؤَثِّرُ فِي حَالِهِ لِسِعَةِ مَالِهِ، فَفِي كَوْنِهِ مُكْرَهًا بِأَخْذِهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: يَكُونُ مُكْرَهًا بِقَدْرِ الْمَالِ الْمَنْفُوسِ بِهِ.

Ketiga: Jika harta yang diambil itu banyak, namun tidak berpengaruh pada keadaannya karena kelapangan hartanya, maka dalam hal ia dianggap sebagai orang yang dipaksa untuk menyerahkan harta tersebut terdapat dua pendapat: Pertama, ia dianggap dipaksa sebatas nilai harta yang sangat berharga baginya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لا يكون إكراها اعتباراً بما له التي لا يؤثر المأخوذ فيها.

Pendapat kedua: Tidak dianggap sebagai paksaan, dengan mempertimbangkan hartanya yang tidak terpengaruh oleh harta yang diambil itu.

وَالسَّادِسُ: النَّفْيُ عَنْ بَلَدِهِ، فَنَنْظُرُ حَالَهُ، فَإِنْ كان ذا ولد وأهل مال لَا يَقْدِرُ عَلَى نَقْلِ أَهْلِهِ وَمَالِهِ مَعَهُ كَانَ إِكْرَاهًا، وَإِنْ قَدَرَ عَلَى نَقْلِهِمَا وَمُكِّنَ مِنْهُمَا فَفِي كَوْنِهِ إِكْرَاهًا وَجْهَانِ:

Keenam: Pengusiran dari negerinya. Maka dilihat keadaannya; jika ia memiliki keluarga dan harta, namun tidak mampu memindahkan keluarga dan hartanya bersamanya, maka itu dianggap sebagai paksaan. Namun jika ia mampu memindahkan keduanya dan diberi kemudahan untuk itu, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَكُونُ إِكْرَاهًا لِتَسَاوِي الْبِلَادِ كُلِّهَا فِي مُقَامِهِ فِيمَا شَاءَ مِنْهَا.

Pertama: Tidak dianggap sebagai paksaan, karena semua negeri sama saja baginya untuk tinggal di mana saja yang ia kehendaki.

وَالثَّانِي: يَكُونُ إِكْرَاهًا لِأَنَّ النَّفْيَ عُقُوبَةٌ كَالْحَدِّ، وَلِأَنَّ فِي تَغْرِيبِهِ عَنْ وَطَنِهِ مَشَقَّةٌ لَاحِقَةٌ بِهِ.

Kedua: Dianggap sebagai paksaan, karena pengusiran adalah hukuman seperti hadd, dan karena dalam pengasingan dari tanah airnya terdapat kesulitan yang menimpanya.

وَالسَّابِعُ: السَّبُّ وَالِاسْتِخْفَافُ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Ketujuh: Celaan dan penghinaan, hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِنْ رَعَاعِ النَّاسِ وَسَفَلَتِهِمُ الَّذِينَ لَا يَتَنَاكَرُونَ ذَلِكَ فِيمَا بَيْنَهُمْ وَلَا يُغَضُّ لَهُمْ جَاها، فَلَا يَكُونَ ذَلِكَ إِكْرَاهًا فِي أَمْثَالِهِمْ.

Pertama: Jika berasal dari kalangan rakyat jelata dan orang-orang rendahan yang di antara mereka tidak saling mengingkari hal itu dan tidak mengurangi kedudukan mereka, maka hal itu tidak dianggap sebagai paksaan bagi orang semacam mereka.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِنَ الصِّيَانَاتِ وَذَوِي الْمُرُوءَاتِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Jika berasal dari kalangan orang-orang terhormat dan bermuru’ah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ ذَلِكَ إِكْرَاهًا فِي أَمْثَالِهِمْ، لِمَا يلحقهم من وهن والجاه، وَأَلَمِ الْغَلَبِ.

Pertama: Hal itu dianggap sebagai paksaan bagi orang semacam mereka, karena menimbulkan kehinaan pada kedudukan dan rasa sakit akibat kekalahan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ إِكْرَاهًا، لِأَنَّ النَّاسَ قَدْ عَلِمُوا أَنَّهُمْ مَظْلُومُونَ بِهِ، وَالْأَصَحُّ عِنْدِي مِنْ إِطْلَاقِ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ أَنْ يُنْظَرَ حَالُ الْإِنْسَانِ فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الدنيا وطالبي فيها الرتب، كَانَ ذَلِكَ إِكْرَاهًا فِي مِثْلِهِ، لِأَنَّهُ يُنْقِصُ ذَلِكَ مِنْ جَاهِهِ بَيْنَ نُظَرَائِهِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْآخِرَةِ وَذَوِي الزَّهَادَةِ فِي الدُّنْيَا، لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ إِكْرَاهًا فِي مِثْلِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ جَاهِهِ بَيْنَ نُظَرَائِهِ، بَلْ رُبَّمَا كَانَ إِعْلَاءً لِذِكْرِهِ مَعَ كَثْرَةِ صَوَابِهِ، هَذَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، جُرِّدَ لِلسِّيَاطِ فِيمَا كَانَ يُفْتِي بِهِ مِنْ سُقُوطِ يَمِينِ الْمُكْرَهِ، فَكَأَنَّمَا كَانَ ذَلِكَ حُلِيًّا حُلِّيَ بِهِ فِي النَّاسِ، فَهَذَا حُكْمُ الْإِكْرَاهِ.

Pendapat kedua: Tidak dianggap sebagai paksaan, karena orang-orang telah mengetahui bahwa mereka dizalimi dengan hal itu. Namun pendapat yang lebih kuat menurut saya dari dua pendapat ini adalah melihat keadaan seseorang; jika ia termasuk ahli dunia dan pencari kedudukan di dalamnya, maka hal itu dianggap sebagai paksaan bagi orang semacamnya, karena hal itu mengurangi kedudukannya di antara sesamanya. Namun jika ia termasuk ahli akhirat dan orang-orang yang zuhud terhadap dunia, maka hal itu tidak dianggap sebagai paksaan bagi orang semacamnya, karena hal itu tidak mengurangi kedudukannya di antara sesamanya, bahkan mungkin justru mengangkat namanya karena banyaknya kebenaran yang ia miliki. Inilah Malik bin Anas, yang pernah dilucuti pakaiannya untuk dicambuk karena fatwanya tentang gugurnya sumpah orang yang dipaksa, sehingga seolah-olah hal itu menjadi perhiasan yang menghiasinya di tengah masyarakat. Demikianlah hukum tentang paksaan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا الْمُكْرَهُ فَيُعْتَبَرُ فِيهِ ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ وَهُوَ الَّذِي لَا يَقْدِرُ عَلَى دَفْعِ الْإِكْرَاهِ عَنْ نَفْسِهِ إِلَّا بِالْهَرَبِ مِنَ الْمُكْرِهِ لِحَبْسِهِ أَوْ لِإِمْسَاكِهِ، فَإِنْ قَدَرَ عَلَى الْهَرَبِ لَمْ يَكُنْ مُكْرَهًا.

Adapun orang yang dipaksa, maka padanya dipersyaratkan tiga syarat, yaitu orang yang tidak mampu menolak paksaan dari dirinya kecuali dengan melarikan diri dari orang yang memaksanya karena ditahan atau ditangkap. Jika ia mampu melarikan diri, maka ia tidak dianggap sebagai orang yang dipaksa.

وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ إِنْ خَوَّفَ الْمُكْرِهَ بِاللَّهِ تَعَالَى لَمْ يَخَفْ لِعُتُوِّهِ وَبَغْيِهِ، فَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ إِنْ خَوَّفَهُ بِاللَّهِ تَعَالَى خَافَ وَكَفَّ فَلَيْسَ بِمُكْرَهٍ، وَأَنْ لَا يَكُونَ لَهُ نَاصِرٌ يَمْنَعُ مِنْهُ، وَلَا شَفِيعٌ يَكُفُّهُ عَنْهُ، فَإِنْ وَجَدَ نَاصِرًا أَوْ شَفِيعًا فَلَيْسَ بِمَكْرَهٍ، فَإِذَا عُدِمَ الْخَلَاصُ مِنْ أَحَدِ هَذِهِ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ تَحَقَّقَ إِكْرَاهُهُ، فَإِذَا تَلَفَّظَ حِينَئِذٍ بِالطَّلَاقِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ فِيهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Dan ia mengetahui bahwa jika ia menakut-nakuti orang yang memaksanya dengan (ancaman) Allah Ta‘ala, orang itu tidak akan takut karena keras kepala dan kezalimannya. Jika ia tahu bahwa jika ia menakut-nakutinya dengan (ancaman) Allah Ta‘ala, orang itu akan takut dan berhenti, maka ia tidak dianggap sebagai orang yang dipaksa. Dan tidak ada penolong yang dapat mencegahnya, serta tidak ada pemberi syafaat yang dapat menahannya darinya. Jika ia menemukan penolong atau pemberi syafaat, maka ia tidak dianggap sebagai orang yang dipaksa. Jika tidak ada jalan keluar dari salah satu dari tiga hal ini, maka paksaan terhadapnya benar-benar terjadi. Jika pada saat itu ia mengucapkan talak, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَكَلَّمَ بِالطَّلَاقِ غَيْرَ قَاصِدٍ لِلَفْظِ الطَّلَاقِ وَلَا مُرِيدٍ لِإِيقَاعِهِ فَهُوَ الَّذِي لَا يَقَعُ طَلَاقُهُ، لِوُجُودِ الْإِكْرَاهِ عَلَى اللَّفْظِ وَعَدَمِ الْإِرَادَةِ فِي الْوُقُوعِ.

Pertama: Ia mengucapkan talak tanpa bermaksud pada lafaz talak dan tidak ingin menjatuhkannya, maka talaknya tidak jatuh, karena adanya paksaan pada lafaz dan tidak adanya kehendak untuk menjatuhkan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَقْصِدَ لَفْظَ الطَّلَاقِ، وَيُرِيدَ إِيقَاعَهُ فَطَلَاقُ هَذَا وَاقِعٌ لِارْتِفَاعِ حُكْمِ الْإِرَادَةِ بِقَصْدِهِ وَإِرَادَتِهِ.

Bagian kedua: Ia bermaksud pada lafaz talak dan ingin menjatuhkannya, maka talaknya jatuh, karena hukum kehendak telah hilang dengan adanya maksud dan keinginannya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَقْصِدَ لَفْظَ الثَّلَاثِ وَلَا يُرِيدُ إِيقَاعَهُ فَفِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ مِنْهُ وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: Ia bermaksud pada lafaz talak, namun tidak ingin menjatuhkannya, maka dalam jatuhnya talak darinya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَقَعُ طَلَاقُهُ لِفَقْدِ الْإِرَادَةِ فِي الْوُقُوعِ.

Pertama: Talaknya tidak jatuh karena tidak adanya kehendak untuk menjatuhkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَقَعُ طَلَاقُهُ لِقَصْدِهِ لَفَظَ الطَّلَاقِ، فَصَارَ فِيهِ كَالْمُخْتَارِ، وَإِذَا تَلَفَّظَ الْمُخْتَارُ بِالطَّلَاقِ وَلَمْ يُرِدْ بِهِ وُقُوعَ الطَّلَاقِ وَقَعَ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Talaknya jatuh karena ia memang bermaksud mengucapkan lafaz talak, sehingga dalam hal ini ia seperti orang yang memilih (menjatuhkan talak secara sadar). Dan apabila orang yang sadar mengucapkan talak, meskipun ia tidak bermaksud terjadinya talak, maka talak tetap jatuh. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (خَلَا السَّكْرَانَ مِنْ خَمْرٍ أَوْ نَبِيذٍ فَإِنَّ الْمَعْصِيَةَ بِشُرْبِ الْخَمْرِ لَا تُسْقِطُ عَنْهُ فَرْضًا وَلَا طَلَاقًا وَالْمَغْلُوبُ عَلَى عَقْلِهِ مِنْ غَيْرِ مَعْصِيَةٍ مُثَابٌ فَكَيْفَ يُقَاسُ مَنْ عَلَيْهِ الْعِقَابُ على من له الثواب وقد قال بعض أهل الحجاز لا يلزمه طلاق فيلزمه إذا لم يجز عليه تحريم الطلاق أن يقول ولا عليه قضاء الصلاة كما لا يكون على المغلوب على عقله قضاء صلاة) .

Imam Syafi‘i berkata: (Kecuali orang yang mabuk karena khamar atau nabidz, karena maksiat dengan meminum khamar tidak menggugurkan kewajiban maupun talak darinya, sedangkan orang yang kehilangan akal tanpa maksiat justru mendapat pahala. Maka bagaimana bisa disamakan orang yang mendapat hukuman dengan orang yang mendapat pahala? Dan sebagian ahli Hijaz berkata: Tidak wajib baginya talak, maka jika tidak wajib baginya pengharaman talak, hendaknya dikatakan pula tidak wajib baginya qadha shalat, sebagaimana orang yang kehilangan akal tidak wajib qadha shalat.)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسَائِلُ تَشْتَمِلُ عَلَى فَصْليْنِ:

Al-Mawardi berkata: Masalah-masalah ini mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: طَلَاقُ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ.

Pertama: Talak orang yang kehilangan akal.

وَالثَّانِي: طَلَاقُ السَّكْرَانِ، فَأَمَّا الْمَغْلُوبُ عَلَى عَقْلِهِ بِجُنُونٍ أَوْ عَتَهٍ أَوْ إِغْمَاءٍ أَوْ غِشٍّ أَوْ نَوْمٍ، فَإِذَا تَلَفَّظَ بِالطَّلَاقِ فِي حَالِهِ هَذِهِ الَّتِي غُلِبَ فِيهَا عَلَى عَقْلِهِ فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَنْتَبِهَ) .

Kedua: Talak orang yang mabuk. Adapun orang yang kehilangan akal karena gila, idiot, pingsan, tidak sadar, atau tidur, maka jika ia mengucapkan talak dalam keadaan tersebut di mana akalnya hilang, maka talak tidak jatuh atasnya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Pena (catatan amal) diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai baligh, dari orang gila sampai sadar, dan dari orang tidur sampai ia bangun.”

وَلِأَنَّهُمْ بِزَوَالِ الْعَقْلِ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْمُكْرَهِ الْعَاقِلِ، فَكَانَ مَا دَلَّ عَلَى ارْتِفَاعِ طَلَاقِ الْمُكْرَهِ فَهُوَ عَلَى ارْتِفَاعِ طَلَاقِ هَؤُلَاءِ أَدَلُّ. فَلَوْ أَفَاقَ الْمَغْلُوبُ عَلَى عَقْلِهِ بِمَا ذَكَرْنَا بَعْدَ أَنْ تَلَفَّظَ بِالطَّلَاقِ لَمْ يلزمه بعد الإفاقة طلاق، فلو اختلفا قالت الزَّوْجَةُ: قَدْ كُنْتَ وَقْتَ طَلَاقِي عَاقِلًا، وَإِنَّمَا تَجَانَنْتَ أَوْ تَغَاشَيْتَ أَوْ تَنَاوَمْتَ وَقَالَ الزَّوْجُ: بَلْ كُنْتُ مَغْلُوبَ الْعَقْلِ بِالْجُنُونِ وَالْإِغْمَاءِ وَالنَّوْمِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، لِأَمْرَيْنِ.

Karena mereka, dengan hilangnya akal, keadaannya lebih buruk daripada orang yang dipaksa namun masih berakal. Maka, apa yang menunjukkan tidak jatuhnya talak pada orang yang dipaksa, lebih menunjukkan lagi tidak jatuhnya talak pada mereka ini. Jika orang yang kehilangan akal sebagaimana disebutkan tadi sadar kembali setelah mengucapkan talak, maka setelah sadar talak tidak wajib baginya. Jika terjadi perselisihan, misal istri berkata: “Saat engkau mentalakku, engkau dalam keadaan sadar, hanya pura-pura gila, tidak sadar, atau pura-pura tidur,” sedangkan suami berkata: “Justru aku kehilangan akal karena gila, pingsan, atau tidur,” maka yang dipegang adalah pernyataan suami dengan sumpahnya, dan talak tidak jatuh atasnya, karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا: اعْتِبَارًا بِالظَّاهِرِ مِنْ حَالِهِ.

Pertama: Berdasarkan keadaan lahiriah dirinya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَعْرَفُ بِنَفْسِهِ مِنْ غَيْرِهِ. وَلَوِ اختلفا فقال زوج: طَلَّقْتُكِ فِي حَالِ الْجُنُونِ. وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: بَلْ طَلَّقْتَنِي بَعْدَ الْإِفَاقَةِ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Karena ia lebih mengetahui dirinya daripada orang lain. Jika keduanya berselisih, misal suami berkata: “Aku mentalakmu saat gila,” dan istri berkata: “Justru engkau mentalakku setelah sadar,” maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ النِّكَاحِ، وَأَنْ لَا طَلَاقَ عَلَيْهِ.

Pertama: Yang dipegang adalah pernyataan suami dengan sumpahnya, dan talak tidak jatuh atasnya, karena asalnya adalah tetapnya pernikahan dan tidak jatuhnya talak.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا، وَالطَّلَاقُ لَهُ لَازِمٌ، لِأَنَّ الْأَصْلَ الْإِفَاقَةُ، وَالْتِزَامُ أَحْكَامِ الطَّلَاقِ إِلَّا عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ، وَلَكِنْ لَوِ ادَّعَى أَنَّهُ طَلَّقَهَا وَهُوَ مَجْنُونٌ، وَأَنْكَرَتْ أَنْ يَكُونَ قَدْ جُنَّ قَطُّ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا، وَالطَّلَاقُ لَهُ لَازِمٌ، لِأَنَّهُ عَلَى أَصْلِ الصِّحَّةِ حَتَّى يُعْلَمَ غَيْرُهَا.

Kedua: Yang dipegang adalah pernyataan istri dengan sumpahnya, dan talak wajib baginya, karena asalnya adalah keadaan sadar dan berlakunya hukum-hukum talak kecuali dalam kondisi tertentu. Namun, jika ia mengaku telah mentalaknya saat gila, dan istri mengingkari bahwa ia pernah gila sama sekali, maka yang dipegang adalah pernyataan istri dengan sumpahnya, dan talak wajib baginya, karena asalnya adalah keadaan sehat sampai diketahui sebaliknya.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَأَمَّا السَّكْرَانُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun orang yang mabuk, maka ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَسْكَرَ بشرب مطرب (فعلى ضربين) .

Pertama: Mabuk karena minuman yang memabukkan (ada dua macam).

وَالثَّانِي: أَنْ يَسْكَرَ بِشُرْبِ دَوَاءٍ غَيْرِ مُطْرِبٍ، فإذا سَكِرَ بِشُرْبِ مُسْكِرٍ مُطْرِبٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Mabuk karena meminum obat yang tidak memabukkan. Jika ia mabuk karena meminum minuman yang memabukkan, maka ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يُنْسَبَ فِيهِ إِلَى مَعْصِيَةٍ، إِمَّا لِأَنَّهُ شَرِبَهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ أَنَّهُ مُسْكِرٌ، وَإِمَّا بِأَنْ أُكْرِهَ عَلَيْهِ وَأُوجِرَ الشَّرَابُ فِي حَلْقِهِ، فَهَذَا فِي حُكْمِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ، وَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ لِارْتِفَاعِ الْمَأْثَمِ عَنْهُ.

Pertama: Tidak dinisbatkan padanya maksiat, baik karena ia meminumnya tanpa tahu bahwa itu memabukkan, atau karena ia dipaksa dan minuman itu dipaksa masuk ke tenggorokannya. Maka ini hukumnya seperti orang yang kehilangan akal, dan talak tidak jatuh atasnya karena tidak ada dosa baginya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَاصِيًا فِيهِ لِعِلْمِهِ بأنه مسكر، وشربه له مختار، فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي وُقُوعِ طَلَاقِهِ، فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ إِلَى وُقُوعِ طَلَاقِهِ.

Kedua: Ia berdosa karena tahu itu memabukkan dan meminumnya secara sadar. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang jatuhnya talaknya. Imam Syafi‘i, Abu Hanifah, Malik, dan mayoritas fuqaha berpendapat talaknya jatuh.

وَحُكِيَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَمُجَاهِدٍ وَرَبِيعَةَ وَاللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ وَدَاوُدَ أَنَّ طَلَاقَهُ لَا يَقَعُ، وَبِهِ قَالَ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُزَنِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ، وَمِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ الطَّحَاوِيُّ وَالْكَرْخِيُّ، وَحَكَى الْمُزَنِيُّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ فِي ظِهَارِ السَّكْرَانِ قَوْلَيْنِ:

Diriwayatkan dari ‘Utsmān bin ‘Affān – raḍiyallāhu ‘anhu -, Mujāhid, Rabī‘ah, al-Layts bin Sa‘d, dan Dāwūd bahwa talaknya tidak jatuh. Pendapat ini juga dikatakan oleh sebagian ulama kami seperti al-Muzanī dan Abū Tsaūr, serta dari kalangan pengikut Abū Ḥanīfah yaitu al-Ṭaḥāwī dan al-Karkhī. Al-Muzanī meriwayatkan dalam kitab al-Jāmi‘ al-Kabīr dari al-Syāfi‘ī dalam qaul qadīm terkait ẓihār orang yang mabuk terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي كُتُبِهِ يَقَعُ، وَالْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِهِ.

Salah satunya, yang merupakan pendapat yang dinyatakan dalam kitab-kitabnya, adalah talaknya jatuh, dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhabnya.

وَالثَّانِي: لَا يَقَعُ وَحُكْمُ طَلَاقِهِ وَظِهَارِهِ فِي الْوُقُوعِ وَالسُّقُوطِ وَاحِدٌ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا الْقَوْلِ الَّذِي تَفَرَّدَ الْمُزَنِيُّ بِنَقْلِهِ فِي الْقَدِيمِ، وَلَمْ يُسَاعِدْهُ غَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِ الْقَدِيمِ، وَلَا وُجِدَ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِهِ الْقَدِيمَةِ هَلْ يَصِحُّ تَخْرِيجُهُ قَوْلًا ثَانِيًا لِلشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ، أَنَّ طَلَاقَهُ وَظِهَارَهُ لَا يَقَعُ؟ فَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ إِلَى صِحَّةِ تَخْرِيجِهِ، وَأَنَّهُ قَوْلٌ ثَانٍ لِلشَّافِعِيِّ، لِأَنَّ الْمُزَنِيَّ ثِقَةٌ فِيمَا يَرْوِيهِ ضَابِطًا لِمَا يَنْقُلُهُ وَيَحْكِيهِ، وَذَهَبَ الْأَكْثَرُونَ مِنْهُمْ إِلَى أَنَّهُ لَا يَصِحُّ هَذَا التَّخْرِيجُ، وَلَيْسَ فِي طَلَاقِ السَّكْرَانِ إِلَّا قَوْلٌ وَاحِدٌ أَنَّهُ يَقَعُ، لِأَنَّ الْمُزَنِيَّ وَإِنْ كَانَ ثِقَةً ضَابِطًا، فَأَصْحَابُ الْقَدِيمِ بِمَذْهَبَيْهِ فِيهِ أَعْرَفُ، وَيَجُوزُ إِنْ ظَهَرَ بِهِ الْمُزَنِيُّ أَنْ يَكُونَ حَكَاهُ عَنْ غَيْرِهِ.

Pendapat kedua: talaknya tidak jatuh, dan hukum talak serta ẓihār-nya dalam hal jatuh atau tidaknya adalah sama. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai pendapat ini yang hanya diriwayatkan oleh al-Muzanī dalam qaul qadīm, dan tidak ada selainnya dari kalangan pengikut qaul qadīm yang mendukungnya, serta tidak ditemukan dalam kitab-kitab lama beliau (al-Syāfi‘ī). Apakah boleh mengeluarkan pendapat ini sebagai pendapat kedua al-Syāfi‘ī dalam qaul qadīm, bahwa talak dan ẓihār-nya tidak jatuh? Sebagian dari mereka berpendapat bolehnya mengeluarkan pendapat tersebut, dan bahwa itu adalah pendapat kedua dari al-Syāfi‘ī, karena al-Muzanī adalah orang yang terpercaya dalam meriwayatkan dan teliti dalam menukil dan menyampaikan. Namun mayoritas dari mereka berpendapat bahwa pendapat tersebut tidak sah untuk dikeluarkan, dan dalam masalah talak orang mabuk hanya ada satu pendapat, yaitu talaknya jatuh, karena meskipun al-Muzanī terpercaya dan teliti, para pengikut qaul qadīm dengan dua mazhabnya lebih mengetahui, dan mungkin saja apa yang dinukil oleh al-Muzanī itu berasal dari selain al-Syāfi‘ī.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّ طَلَاقَهُ غَيْرُ وَاقِعٍ، بِأَنَّهُ مَفْقُودُ الْإِرَادَةِ بِعِلْمٍ ظَاهِرٍ، فَلَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ كَالْمُكْرَهِ. وَلِأَنَّهُ زَائِلُ الْعَقْلِ، فَلَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ كَالْمَجْنُونِ، وَلِأَنَّهُ غَيْرُ مُمَيِّزٍ فَلَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ كَالصَّغِيرِ وَدَلِيلُنَا مِنْ طَرِيقَيْنِ:

Orang yang berpendapat bahwa talaknya tidak jatuh berdalil bahwa ia kehilangan kehendak secara nyata, sehingga talaknya tidak jatuh seperti orang yang dipaksa. Karena ia kehilangan akal, maka talaknya tidak jatuh seperti orang gila. Karena ia tidak dapat membedakan, maka talaknya tidak jatuh seperti anak kecil. Dalil kami ada dua:

أَحَدُهُمَا: ثُبُوتُ تَكْلِيفِهِ.

Pertama: tetapnya taklīf atas dirinya.

وَالثَّانِي: وُقُوعُ طَلَاقِهِ.

Kedua: jatuhnya talaknya.

فَأَمَّا ثُبُوتُ تَكْلِيفِهِ فَبِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ} [النساء: 43] .

Adapun tetapnya taklīf atas dirinya berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat sedang kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan} (QS. al-Nisā’: 43).

فَدَلَّتْ عَلَى تَكْلِيفِهِمْ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Ayat ini menunjukkan adanya taklīf atas mereka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: تَسْمِيَتُهُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ، وَنِدَائُهُمْ بِالْإِيمَانِ وَلَا يُنَادَى بِهِ إِلَّا لَهُ.

Pertama: Penamaan mereka sebagai orang-orang beriman, dan seruan kepada mereka dengan keimanan, dan tidaklah seseorang diseru dengan itu kecuali ia memang memilikinya.

وَالثَّانِي: نَهْيُهُمْ فِي حَالِ السُّكْرِ أَنْ يَقْرَبُوا الصَّلَاةَ، وَلَا يُنْهَى إِلَّا مُكَلَّفٌ، وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، لِأَنَّ عُمَرَ شَاوَرَهُمْ فِي حَدِّ الْخَمْرِ، وَقَالَ: أَرَى النَّاسَ قَدْ بَالَغُوا فِي شُرْبِهِ وَاسْتَهَانُوا بِحَدِّهِ، فَمَاذَا تَرَوْنَ؟ فَقَالَ عَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلَامُ: إِنَّهُ إِذَا شَرِبَ سَكِرَ، وَإِذَا سَكِرَ هَذَى، وَإِذَا هَذَى افْتَرَى، فَأَرَى أَنْ يُحَدَّ حَدَّ الْمُفْتَرِي ثَمَانِينَ، فَحَدَّهُ عُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ ثَمَانِينَ، فَكَانَ الدَّلِيلُ مِنْهُ أَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى الْأَرْبَعِينَ عِلَّةٌ لِافْتِرَائِهِ فِي سُكْرِهِ، وَلَوْ كَانَ غَيْرَ مُكَلَّفٍ لَمَا حُدَّ بِمَا أَتَاهُ وَلَا كَانَ مُؤَاخَذًا بِهِ وَفِي مُؤَاخَذَتِهِ بِهِ دَلِيلٌ عَلَى تَكْلِيفِهِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ مُكَلَّفٌ، وَجَبَ أَنْ يَقَعَ طَلَاقُهُ كَالصَّاحِي. وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى وُقُوعِ طَلَاقِهِ فِي الْأَصْلِ، فَمَا رَوَاهُ الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَرَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا خَطَبَ خَدِيجَةَ بِنْتَ خُوَيْلِدٍ تَزَوَّجَهَا مِنْ أَبِيهَا خُوَيْلِدٍ وَهُوَ سَكْرَانُ وَدَخَلَ بِهَا، فَلَمَّا جَاءَ الْإِسْلَامُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (لَا يُزَوِّجُ نَشْوَانُ وَلَا يُطَلِّقُ إِلَّا أَجَزْتُهُ) وَهَذَا نَصٌّ.

Kedua: Larangan kepada mereka dalam keadaan mabuk untuk mendekati salat, dan tidaklah seseorang dilarang kecuali ia adalah mukallaf. Dan ini juga merupakan ijmā‘ para sahabat, karena ‘Umar pernah bermusyawarah dengan mereka tentang hukuman bagi peminum khamr, dan berkata: “Aku melihat orang-orang telah berlebihan dalam meminumnya dan meremehkan hukumannya, maka bagaimana pendapat kalian?” ‘Alī ‘alaihis salām berkata: “Sesungguhnya jika ia minum, ia akan mabuk, jika ia mabuk, ia akan mengigau, jika ia mengigau, ia akan berbuat dusta, maka aku berpendapat hendaknya ia dihukum seperti hukuman orang yang berdusta, yaitu delapan puluh kali.” Maka ‘Umar, ‘Utsmān, dan ‘Alī menghukumnya delapan puluh kali. Maka dalil dari sini adalah bahwa tambahan atas empat puluh itu disebabkan karena ia berdusta dalam keadaan mabuk, dan seandainya ia bukan mukallaf, niscaya ia tidak akan dihukum atas perbuatannya dan tidak akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Dalam adanya pertanggungjawaban atasnya terdapat dalil bahwa ia adalah mukallaf. Maka jika telah tetap bahwa ia mukallaf, wajib jatuh talaknya seperti orang sadar. Adapun dalil atas jatuhnya talaknya secara asal adalah riwayat dari al-Zuhrī dari Sa‘īd bin al-Musayyab, dan riwayat dari ‘Abdullāh bin al-Zubair bahwa Nabi – ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam – ketika melamar Khadījah binti Khuwaylid, menikahkannya ayahnya Khuwaylid dalam keadaan mabuk dan beliau masuk bersamanya. Ketika Islam datang, Rasulullah – ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Orang mabuk tidak menikahkan dan tidak mentalak kecuali aku izinkan.” Dan ini adalah nash.

وَلِأَنَّهُ مُؤَاخَذٌ بِسُكْرِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُؤَاخَذًا بِمَا حَدَثَ عَنْ سُكْرِهِ، أَلَا ترى أن من جنى حناية فَسَرَتْ لَمَّا كَانَ مُؤَاخَذًا بِهَا، كَانَ مُؤَاخَذًا بِسِرَايَتِهَا، فَإِنْ قِيلَ فَلَيْسَ السُّكْرُ مَنْ فِعْلِهِ وَإِنَّمَا هُوَ مَنْ فِعْلِ اللَّهِ تَعَالَى فِيهِ، فَكَيْفَ صَارَ مَنْسُوبًا إِلَيْهِ، وَمُؤَاخَذًا بِهِ؟ قِيلَ: لِأَنَّ سَبَبَهُ وَهُوَ الشُّرْبُ مِنْ فِعْلِهِ. فَصَارَ مَا حَدَثَ عَنْهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ فِعْلِ اللَّهِ تَعَالَى مَنْسُوبًا إِلَى فِعْلِهِ، كَمَا أَنَّ سَرَايَةَ الْجِنَايَةِ لَمَّا حَدَثَتْ عَنْ فِعْلِهِ، نُسِبَتْ إِلَيْهِ وَكَانَ مُؤَاخَذًا بِهَا، وَإِنْ كَانَ مِنْ فِعْلِ اللَّهِ تَعَالَى فِيهِ، لِأَنَّ رَفْعَ الطَّلَاقِ تَخْفِيفٌ وَرُخْصَةٌ، وَإِيقَاعَهُ تَغْلِيظٌ وَغَرِيمَةٌ، فَإِذَا وَقَعَ مِنَ الصَّاحِي وَلَيْسَ بِعَاصٍ، كَانَ وُقُوعُهُ مِنَ السَّكْرَانِ مَعَ الْمَعْصِيَةِ أَوْلَى، لِأَنَّ السَّكْرَانَ لَيْسَ يُسْتَدَلُّ عَلَى سُكْرِهِ بِعِلْمٍ ظَاهِرٍ، هُوَ مَعْذُورٌ فِيهِ، وَإِنَّمَا يُعْرَفُ مِنْ جِهَتِهِ، وَهُوَ فَاسِقٌ مَرْدُودُ الْخَبَرِ وَرُبَّمَا تَسَاكَرَ تَصَنُّعًا، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْدَلَ بِهِ عَنْ يَقِينِ الْحُكْمِ السَّابِقِ، بِالتَّوَهُّمِ الطَّارِئِ، وَلَا يَجُوزُ اعْتِبَارُهُ بِالْمُكْرَهِ وَالْمَجْنُونِ لِأَمْرَيْنِ:

Dan karena ia dikenai sanksi atas keadaan mabuknya, maka wajib pula ia dikenai sanksi atas apa yang terjadi akibat mabuknya. Tidakkah engkau melihat bahwa seseorang yang melakukan suatu kejahatan lalu kejahatan itu berlanjut (dampaknya), ketika ia dikenai sanksi atas kejahatan itu, maka ia juga dikenai sanksi atas dampaknya. Jika dikatakan: “Bukankah mabuk itu bukan perbuatannya, melainkan perbuatan Allah Ta‘ala pada dirinya? Lalu bagaimana bisa dinisbatkan kepadanya dan ia dikenai sanksi karenanya?” Maka dijawab: “Karena sebabnya, yaitu minum, adalah perbuatannya.” Maka apa yang terjadi darinya, meskipun itu merupakan perbuatan Allah Ta‘ala, tetap dinisbatkan kepada perbuatannya, sebagaimana dampak kejahatan, ketika itu terjadi akibat perbuatannya, dinisbatkan kepadanya dan ia dikenai sanksi karenanya, meskipun itu merupakan perbuatan Allah Ta‘ala pada dirinya. Karena pembatalan talak adalah keringanan dan rukhsah, sedangkan penjatuhan talak adalah penegasan dan beban. Jika talak jatuh pada orang yang sadar dan ia tidak bermaksiat, maka jatuhnya talak pada orang mabuk yang disertai maksiat tentu lebih utama (untuk diberlakukan). Karena keadaan mabuk tidak dapat diketahui dengan ilmu yang nyata, ia dimaafkan dalam hal itu, dan hanya diketahui dari pengakuannya sendiri, sedangkan ia adalah orang fasik yang kesaksiannya ditolak, dan bisa jadi ia berpura-pura mabuk. Maka tidak boleh berpaling dari hukum yang pasti dengan dugaan yang muncul, dan tidak boleh disamakan dengan orang yang dipaksa (mukrah) dan orang gila karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَعَ الْمُكْرَهِ وَالْمَجْنُونِ عِلْمٌ ظَاهِرٌ يَدُلُّ عَلَى فَقْدِ الْإِرَادَةِ هُمَا فِيهِ مَعْذُورَانِ، بِخِلَافِ السَّكْرَانِ.

Pertama: Bahwa pada orang yang dipaksa (mukrah) dan orang gila terdapat bukti nyata yang menunjukkan hilangnya kehendak; keduanya dimaafkan dalam hal itu, berbeda dengan orang mabuk.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُكْرَهَ وَالْمَجْنُونَ غَيْرُ مُؤَاخَذَيْنِ بِالْإِكْرَاهِ وَالْجُنُونِ، فَلَمْ يُؤَاخَذَا بِمَا حَدَثَ فِيهِمَا، كَمَا أَنَّ مَنْ قَطَعَ يَدَ سَارِقٍ فَسَرَتْ إِلَى نَفْسِهِ، لَا يُؤَاخِذُهُ بِالسِّرَايَةِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُؤَاخَذٍ بِالْقَطْعِ، وَلَوْ كَانَ مُتَعَدِّيًا بِالْقَطْعِ لَكَانَ مُؤَاخَذًا بِالسَّرَايَةِ، كَمَا كَانَ مُؤَاخَذًا بِالْقَطْعِ، وَخَالَفَ الصَّبِيَّ لِأَنَّهُ مُكَلَّفٌ وَالصَّبِيَّ غَيْرُ مُكَلَّفٍ، وَإِذَا صَحَّ أَنَّ طَلَاقَهُ وَاقِعٌ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي عِلَّةِ وُقُوعِهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أوجه:

Kedua: Bahwa orang yang dipaksa dan orang gila tidak dikenai sanksi atas paksaan dan kegilaannya, maka mereka tidak dikenai sanksi atas apa yang terjadi pada keduanya, sebagaimana seseorang yang memotong tangan pencuri lalu dampaknya berlanjut pada dirinya sendiri, maka ia tidak dikenai sanksi atas dampaknya, karena ia tidak dikenai sanksi atas pemotongan itu. Namun jika ia melampaui batas dalam pemotongan, maka ia dikenai sanksi atas dampaknya, sebagaimana ia dikenai sanksi atas pemotongan itu. Berbeda dengan anak kecil, karena ia belum mukallaf, sedangkan orang dewasa adalah mukallaf. Jika telah sah bahwa talaknya jatuh, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang sebab jatuhnya talak tersebut dalam tiga pendapat:

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ: الْعِلَّةُ فِي وُقُوعِ طَلَاقِهِ أَنَّهُ مُتَّهِمٌ فِيهِ لِنَفْسِهِ، وَأَنَّهُ لَا يُعْلَمُ سُكْرُهُ إِلَّا مِنْ جِهَتِهِ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ وَجَمِيعُ الْأَحْكَامِ الْمُغَلَّظَةِ وَالْمُخَفَّفَةِ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ، وَيَكُونُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى فِيهَا مَدِينًا.

Pertama, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj: Sebab jatuhnya talak orang mabuk adalah karena ia tertuduh dalam hal itu terhadap dirinya sendiri, dan bahwa mabuknya tidak diketahui kecuali dari dirinya sendiri. Maka berdasarkan hal ini, talak dan seluruh hukum yang berat maupun ringan berlaku baginya secara lahiriah, tidak secara batiniah, dan antara dia dengan Allah Ta‘ala ia tetap bertanggung jawab.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْعِلَّةَ فِي وُقُوعِ طَلَاقِهِ بأنه الْمَعْصِيَةَ مُغَلَّظ عَلَيْهِ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ كُلُّ مَا كَانَ مُغَلَّظًا مِنَ الطَّلَاقِ، وَالظِّهَارِ وَالْعِتْقِ والردة والحدود، ولا يصح منه د مَا كَانَ تَخْفِيفًا كَالنِّكَاحِ وَالرَّجْعَةِ، وَقَبُولِ الْهِبَاتِ وَالْوَصَايَا.

Pendapat kedua: Bahwa sebab jatuhnya talak orang mabuk adalah karena maksiatnya yang diperberat atasnya. Maka berdasarkan hal ini, ia dikenai semua hukum yang berat seperti talak, zihar, pembebasan budak, riddah, dan hudud, dan tidak sah darinya semua yang bersifat keringanan seperti nikah, rujuk, menerima hibah, dan wasiat.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ: إنَّ الْعِلَّةَ فِي وُقُوعِ طَلَاقِهِ إِسْقَاطُ حُكْمِ سُكْرِهِ بِتَكْلِيفِهِ، وَأَنَّهُ كَالصَّاحِي فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ مِنْهُ جَمِيعُ مَا كَانَ تَغْلِيظًا وَتَخْفِيفًا، ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ: كُنْتُ أَذْهَبُ إِلَى الْوَجْهِ الثَّانِي حَتَّى وَجَدْتُ نَصًّا لِلشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَصِحُّ رَجْعَتُهُ وَإِسْلَامُهُ مِنَ الرِّدَّةِ فَرَجَعْتُ إِلَى هَذَا الْوَجْهِ.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat jumhur: Bahwa sebab jatuhnya talak orang mabuk adalah penghilangan hukum mabuknya dengan membebaninya (taklif), dan ia diperlakukan seperti orang sadar. Maka berdasarkan hal ini, sah darinya semua yang berat maupun ringan, baik secara lahir maupun batin. Abu Hamid al-Marwazi berkata: “Aku dahulu cenderung pada pendapat kedua, hingga aku menemukan nash dari asy-Syafi‘i bahwa rujuk dan masuk Islamnya dari riddah itu sah, maka aku kembali kepada pendapat ini.”

(فَصْلٌ:)

(Pembahasan:)

وَأَمَّا السَّكْرَانُ بِشُرْبِ دَوَاءٍ غَيْرِ مُطْرِبٍ كَشَارِبِ الْبَنْجِ وَمَا فِي مَعْنَاهُ، فَهَذَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun orang yang mabuk karena meminum obat yang tidak memabukkan, seperti orang yang meminum bius dan semacamnya, maka hal ini ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقْصِدَ بِهِ التداوي ولا يقصد به السكر، فلا يقطع طَلَاقُهُ وَهُوَ فِي حُكْمِ الْمَغْشِيِّ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ مُبَاحٌ لَا يُؤَاخَذُ بِهِ.

Pertama: Ia bermaksud untuk berobat dan tidak bermaksud untuk mabuk, maka talaknya tidak jatuh dan ia dalam hukum seperti orang yang pingsan, karena hal itu diperbolehkan dan tidak dikenai sanksi karenanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَقْصِدَ بِهِ السُّكْرَ دُونَ التَّدَاوِي فَفِيهِ وَجْهَانِ.

Kedua: Ia bermaksud untuk mabuk, bukan untuk berobat, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أحدهما: أَنْ يَكُونَ فِي حُكْمِ السُّكْرِ مِنَ الشَّرَابِ، فِي وُقُوعِ طَلَاقِهِ، وَمُؤَاخَذَتِهِ بِأَحْكَامِهِ عَلَى مَا ذكرنا، لمواخذته بِسُكْرِهِ وَمَعْصِيَتِهِ بِتَنَاوُلِهِ كَمَعْصِيَتِهِ بِتَنَاوُلِ الشَّرَابِ.

Pertama: Jika ia berada dalam hukum mabuk karena minuman keras, maka jatuh talaknya dan ia dikenai hukum-hukum talak sebagaimana telah kami sebutkan, karena ia dimintai pertanggungjawaban atas kemabukannya dan maksiatnya dalam mengonsumsi minuman tersebut, sebagaimana ia berdosa dengan mengonsumsi minuman keras.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: أَنَّهُ لَا يَقَعُ طَلَاقُهُ، وَلَا يُؤَاخَذُ بِأَحْكَامِهِ وَيَكُونُ فِي حُكْمِ الْمَغْشِيِّ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ عَاصِيًا بِهِ، لأن الشراب مطرب يدعو النفوس إلى تناوله فغلط حكمه آخراً عَنْهُ بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ، كَمَا غُلِّظَ بِالْحَدِّ، وَهَذَا غير مطرب، والنفوس مِنْهُ نَافِرَةٌ، وَلِذَلِكَ لَمْ يُغَلَّظْ بِالْحَدِّ، فَلَمْ يغلظ بوقوع الطلاق والله أعلم بالصواب.

Pendapat kedua, yang dipegang oleh Abu Hanifah: Talaknya tidak jatuh dan ia tidak dikenai hukum-hukum talak, serta ia berada dalam posisi seperti orang yang pingsan, meskipun ia berdosa karena perbuatannya itu. Sebab, minuman keras bersifat memabukkan dan mendorong jiwa untuk mengonsumsinya, sehingga hukumannya diperberat dengan jatuhnya talak, sebagaimana diperberat pula dengan hukuman had. Sedangkan zat ini (selain minuman keras) tidak memabukkan dan jiwa manusia cenderung menjauhinya, sehingga tidak diperberat dengan hukuman had, maka tidak pula diperberat dengan jatuhnya talak. Allah lebih mengetahui kebenaran.

(باب الطلاق بالحساب والاستثناء من الجامع من كتابين)

(Bab Talak dengan Perhitungan dan Pengecualian dari Gabungan Dua Kitab)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَلَوْ قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً فِي اثْنَتَيْنِ فَإِنْ نَوَى مَقْرُونَةً بِاثْنَتَيْنِ فَهِيَ ثَلَاثٌ وَإِنْ نَوَى الْحِسَابَ فَهِيَ اثْنَتَانِ وَإِنْ لَمْ يَنْوِ شَيْئًا فَوَاحِدَةٌ) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak satu dalam dua’, maka jika ia berniat menggabungkan satu dengan dua, maka jatuh tiga talak. Jika ia berniat perhitungan, maka jatuh dua talak. Jika ia tidak berniat apa-apa, maka jatuh satu talak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً فِي اثْنَتَيْنِ، فَقَدْ قَسَّمَ الشَّافِعِيُّ حَالَهُ فِيهِ ثلاثة أقسام:

Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan, jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak satu dalam dua,” maka Imam Syafi‘i membagi keadaannya menjadi tiga bagian:

أحدهما: أَنْ يُرِيدَ وَاحِدَةً مَعَ اثْنَتَيْنِ، فَتُطَلَّقَ ثَلَاثًا لِأَنَّ (فِي) قَدْ تَقُومُ مَقَامَ مَعَ، لِأَنَّهَا مِنْ حُرُوفِ الصِّفَاتِ الَّتِي يَقُومُ بَعْضُهَا مَقَامَ بَعْضٍ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَنَصَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْمِ} [الأنبياء: 77] . أَيْ عَلَى الْقَوْمِ.

Pertama: Jika ia bermaksud satu bersama dua, maka jatuh tiga talak, karena kata “dalam” (‘fi’) dapat menggantikan makna “bersama” (‘ma‘a’), sebab keduanya termasuk huruf-huruf sifat yang sebagian dapat menggantikan sebagian yang lain. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan Kami menolongnya dari kaum itu} [Al-Anbiya: 77], maksudnya atas kaum itu.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ الْحِسَابَ وَهُوَ مَضْرُوبُ وَاحِدَةٍ فِي اثْنَتَيْنِ، فَتُطَلَّقَ اثْنَتَيْنِ، لِأَنَّهُمَا مَضْرُوبُ الْوَاحِدَةِ فِيهِمَا.

Bagian kedua: Jika ia bermaksud perhitungan, yaitu satu dikalikan dua, maka jatuh dua talak, karena keduanya merupakan hasil perkalian satu pada keduanya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يَكُونَ إِرَادَةً، فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي جَمِيعِ كُتُبِهِ وَنَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا، وَفِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ أَنَّهَا تَكُونُ وَاحِدَةً، لِأَنَّ قَوْلَهُ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً إِيقَاعٌ لَهَا وَقَوْلَهُ فِي اثْنَتَيْنِ عَلَى مُقْتَضَى اللِّسَانِ، ظَرْفٌ لِلْوَاحِدَةِ، وَالظَّرْفُ مَحَلٌّ لَا يَتْبَعُ الْمَقْصُودَ فِي حُكْمِهِ، كَمَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي ثَوْبَيْنِ، أَوْ فِي دَارَيْنِ، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً إِذَا لَمْ يُرِدْ أَكْثَرَ مِنْهَا، وَكَمَا لَوْ أَقَرَّ بِثَوْبٍ فِي مِنْدِيلٍ كَانَ إِقْرَارًا بِالثَّوْبِ، دُونَ الْمِنْدِيلِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ أَيْضًا. وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: تُطَلَّقُ اثْنَتَيْنِ إِذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ، لِأَنَّهُ لَيْسَ لِلطَّلَاقِ مَحَلٌّ، فَيَجْعَلُ الِاثْنَتَيْنِ ظَرْفًا، وَإِذَا بَطَلَ أَنْ يَكُونَ ظَرْفًا، فَصَارَ مَحْمُولًا عَلَى مُوجَبِ الْحِسَابِ فَكَانَ اثْنَتَيْنِ، وَهَذَا مَعَ مُخَالَفَتِهِ لِلنَّصِّ فَاسِدٌ، لِأَنَّهُ إِنْ لَمْ يَكُنْ لِلطَّلَاقِ مَحَلٌّ فَلِلْمُطَلَّقَةِ مَحَلٌّ فَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ فِي ثَوْبَيْنِ وَفِي دَارَيْنِ، وَهُوَ مُحْتَمِلٌ لِذَلِكَ، فَلَمْ يَبْطُلْ حُكْمُ هَذَا الِاحْتِمَالِ.

Bagian ketiga: Jika tidak ada maksud tertentu, maka pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i dalam seluruh kitabnya dan dinukil oleh Al-Muzani di sini dan dalam kitab jami‘nya yang besar, bahwa jatuh satu talak. Karena ucapannya: “Engkau tertalak satu” adalah pelaksanaan talak, dan ucapannya “dalam dua” menurut kaidah bahasa adalah keterangan tambahan bagi talak satu, dan keterangan tambahan tidak memengaruhi hukum pokoknya, sebagaimana jika ia berkata: “Engkau tertalak dalam dua baju atau dalam dua rumah,” maka jatuh satu talak jika tidak bermaksud lebih dari itu. Demikian pula jika ia mengakui memiliki satu baju dalam satu sapu tangan, maka itu adalah pengakuan atas bajunya saja, bukan sapu tangannya. Ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah. Abu Ishaq Al-Marwazi berkata: Jatuh dua talak jika tidak ada maksud tertentu, karena talak tidak memiliki tempat tertentu, sehingga dua dijadikan sebagai keterangan tambahan. Jika tidak bisa dijadikan keterangan tambahan, maka kembali kepada makna perhitungan sehingga menjadi dua talak. Namun, pendapat ini bertentangan dengan nash dan tidak benar, karena jika talak tidak memiliki tempat, maka istri sebagai objek talak memiliki tempat, sehingga sama seperti ucapan “dalam dua baju” atau “dalam dua rumah”, yang memungkinkan untuk dimaknai demikian, sehingga hukum kemungkinan ini tidak gugur.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً فِي ثَلَاثٍ، فَإِنْ أَرَادَ مَعَ ثَلَاثٍ أَوْ أَرَادَ الْحِسَابَ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ طلقت اثنين أيضاً.

Berdasarkan hal ini, jika seseorang berkata: “Engkau tertalak satu dalam tiga,” maka jika ia bermaksud bersama tiga atau bermaksud perhitungan, maka jatuh tiga talak. Jika tidak ada maksud tertentu, maka jatuh dua talak juga.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَإِنْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً لَا تَقَعُ عَلَيْكِ فَهِيَ وَاحِدَةٌ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Engkau tertalak satu yang tidak jatuh padamu’, maka jatuh satu talak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّهُ قَدْ أَوْقَعَ وَاحِدَةً، وَأَرَادَ رَفْعَهَا فَالطَّلَاقُ بَعْدَ وُقُوعِهِ لَا يَرْتَفِعُ، وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى قَوْلِهِ لِعَبْدِهِ، أَنْتَ حُرٌّ حُرِّيَّةً لَا تَقَعُ عَلَيْكَ، فَإِنَّهُ يَعْتِقُ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْحُرِّيَّةَ بَعْدَ الْعِتْقِ لَا تَرْتَفِعُ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ لَا طُلِّقْتِ، وَلَمْ يُؤَثِّرْ قَوْلُهُ (لَا) بَعْدَ تَقْدِيمِ الطَّلَاقِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ لَا طَالِقٌ لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ قَدَّمَ حَرْفَ النَّفْيِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena ia telah menjatuhkan satu talak, lalu bermaksud membatalkannya, maka talak setelah dijatuhkan tidak bisa dibatalkan. Hal ini serupa dengan ucapannya kepada budaknya: “Engkau merdeka, kemerdekaan yang tidak berlaku atasmu,” maka budak itu tetap merdeka, karena kemerdekaan setelah dimerdekakan tidak bisa dibatalkan. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak, tidak tertalak,” maka ucapannya “tidak” setelah mendahulukan talak tidak berpengaruh. Namun jika ia berkata: “Engkau tidak tertalak,” maka talak tidak jatuh, karena ia telah mendahulukan kata penafian.

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ اثْنَتَيْنِ لَا يَقَعَانِ عَلَيْكِ طُلِّقَتِ اثْنَتَيْنِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا لَا يَقَعْنَ عَلَيْكِ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً وَثَانِيَةٌ لَا تَقَعُ عَلَيْكِ أَوْ قَالَ: ثَانِيَةٌ لَا طُلِّقَتْ وَاحِدَةً، لِأَنَّ تَقْدِيرَ كَلَامِهِ فَأَمَّا الثَّانِيَةُ فَلَا تَقَعُ عَلَيْكِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ اثْنَتَيْنِ وَثَالِثَةٌ لَا تَقَعُ عَلَيْكِ، أَوْ قَالَ: وَثَالِثَةٌ لَا طُلِّقَتِ اثْنَتَيْنِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ اثْنَتَيْنِ لَا تَقَعُ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا عَلَيْكِ طُلِّقَتْ وَاحِدَةً وَصَارَ اسْتِثْنَاءً كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ اثنتين لا واحدة.

Dan jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak dua, yang tidak berlaku atasmu,” maka ia tertalak dua. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga, yang tidak berlaku atasmu,” maka ia tertalak tiga. Namun jika ia berkata: “Engkau tertalak satu, dan yang kedua tidak berlaku atasmu,” atau ia berkata: “Yang kedua tidak (jatuh),” maka ia tertalak satu, karena makna ucapannya adalah: “Adapun yang kedua, maka tidak berlaku atasmu.” Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak dua, dan yang ketiga tidak berlaku atasmu,” atau ia berkata: “Yang ketiga tidak (jatuh),” maka ia tertalak dua. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak dua, tidak satu pun dari keduanya berlaku atasmu,” maka ia tertalak satu, dan ini menjadi pengecualian seperti ucapannya: “Engkau tertalak dua, tidak satu.”

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَإِنْ قَالَ وَاحِدَةٌ قَبْلَهَا وَاحِدَةٌ كَانَتْ تَطْلِيقَتَيْنِ) .

Asy-Syafi‘i berkata: (Jika ia berkata: “Satu sebelum satu,” maka itu adalah dua talak).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ أَصْحَابُنَا، أَنَّهُ إِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً قَبْلَهَا وَاحِدَةٌ أَنَّهَا طَالِقٌ طَلْقَتَيْنِ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فِي الْوَاحِدَةِ الَّتِي جَعَلَهَا قَبْلَ الَّتِي أَوْقَعَهَا، هَلْ تَقَعُ قَبْلَهَا عَلَى مُوجَبِ لَفْظِهِ أَوْ تَقَعُ مَعَهَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, tidak ada perbedaan di antara para sahabat kami, bahwa jika ia berkata: “Engkau tertalak satu, sebelum itu satu,” maka ia tertalak dua. Namun mereka berbeda pendapat tentang talak yang dijadikan sebelum talak yang dijatuhkan, apakah jatuh sebelumnya sesuai dengan lafazhnya, atau jatuh bersamaan? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهَا تَقَعُ مع التي أوقعها ولا تقع قبلها، لأن لا يَكُونُ وُقُوعُ الطَّلَاقِ سَابِقًا لِلَفْظِ الطَّلَاقِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa talak itu jatuh bersamaan dengan talak yang dijatuhkan, dan tidak jatuh sebelumnya, agar tidak terjadi talak jatuh sebelum lafaz talak diucapkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أنها تَقَعُ قَبْلَ الَّتِي أَوْقَعَهَا، اعْتِبَارًا بِمُوجَبِ لَفْظِهِ، وَيَكُونُ وُقُوعُهَا بَعْدَ لَفْظِهِ، وَقَبْلَ الَّتِي أَوْقَعَهَا بِلَفْظِهِ، فَيَجْعَلُ نَاجِزَ الطَّلَاقِ مُؤَخَّرًا لِيَتَقَدَّمَهُ طَلَاقُ الصِّفَةِ حَتَّى لَا يَكُونَ وُقُوعُهُ سَابِقًا لِلَفْظِهِ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ نَاجِزَ الطَّلَاقِ يَقَعُ بِنَفْسِ اللَّفْظِ وَلَا يَتَعَقَّبُهُ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَمَاتَ مَعَ آخِرِ كَلَامِهِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ طُلِّقَتْ وَلَوْ كَانَ يَقَعُ بَعْدَهُ لَمْ تُطَلَّقْ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ تقع الطلقتان عليها بعد لقطه بِزَمَانَيْنِ، لِتَقَعَ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الطَّلْقَتَيْنِ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّمَانَيْنِ. وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، تَقَعُ الطَّلْقَتَانِ بِنَفْسِ اللَّفْظِ مِنْ غَيْرِ زَمَانٍ يُعْتَبَرُ بَعْدَهُ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa talak itu jatuh sebelum talak yang dijatuhkan, sesuai dengan lafazhnya, dan kejadiannya setelah ucapannya, dan sebelum talak yang dijatuhkan dengan ucapannya. Maka talak yang langsung dijatuhkan dianggap tertunda agar didahului oleh talak sifat, sehingga tidak terjadi talak jatuh sebelum lafazhnya. Namun pendapat ini tidak benar, karena talak yang langsung dijatuhkan berlaku dengan lafaz itu sendiri dan tidak tertunda setelahnya. Bukankah jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak,” lalu ia meninggal tepat setelah akhir ucapannya tanpa jeda, maka istrinya tertalak? Jika talak itu jatuh setelahnya, tentu ia tidak tertalak. Maka menurut pendapat Abu Ishaq, kedua talak itu jatuh pada istrinya dalam dua waktu yang berbeda, sehingga masing-masing talak jatuh pada masing-masing waktu. Sedangkan menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, kedua talak itu jatuh bersamaan dengan lafaznya tanpa ada waktu yang dipertimbangkan setelahnya.

فَلَوْ قَالَ الزَّوْجُ: أَرَدْتُ بِقَوْلِي قَبْلَهَا وَاحِدَةٌ فِي نِكَاحٍ كَانَ تَقَدَّمَهُ، فَإِنْ صَدَّقَتْهُ الزَّوْجَةُ عَلَيْهِ لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا وَاحِدَةً، وَإِنْ أَكْذَبَتْهُ فَإِنْ كانت له بنية على النكاح المتقدم، كان القول فيه مَعَ يَمِينِهِ، وَلَا تُطَلَّقُ إِلَّا وَاحِدَةً، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ بَيِّنَةٌ، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مَعَهَا وَلَزِمَهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ طَلْقَتَانِ، وَكَانَ مَدِينًا فِي الْبَاطِنِ لَا يَلْزَمُهُ إِلَّا وَاحِدَةٌ.

Jika suami berkata: “Yang aku maksud dengan ucapanku ‘sebelumnya satu’ adalah dalam pernikahan yang telah lalu,” maka jika istrinya membenarkannya, ia hanya tertalak satu. Jika istrinya mendustakannya, dan ia memiliki bukti atas niatnya pada pernikahan terdahulu, maka pendapatnya diterima dengan sumpahnya, dan ia hanya tertalak satu. Jika ia tidak memiliki bukti, maka pendapat istrinya diterima dengan sumpahnya, karena zhahir berpihak padanya, dan secara zhahir hukum berlaku dua talak, namun secara batin ia hanya menanggung satu talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً بَعْدَهَا وَاحِدَةٌ، طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ، وَتَكُونُ وَاحِدَةً بَعْدَ وَاحِدَةٍ عَلَى مُوجَبِ لَفْظِهِ، لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ أَصْحَابُنَا، فَتَكُونُ النَّاجِزَةُ مُتَقَدِّمَةً عَلَى الْوَاقِعَةِ بِالصِّفَةِ إِلَّا أَنَّ عَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ تَقَعُ الْأُولَى بَعْدَ قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، وَتَقَعُ الثَّانِيَةُ بَعْدَ قَوْلِهِ بَعْدَهَا وَاحِدَةٌ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيٍّ: تَقَعُ الْأُولَى مَعَ قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، وَتَقَعُ الثَّانِيَةُ مَعَ قَوْلِهِ: بَعْدَهَا وَاحِدَةٌ، فَلَوْ قَالَ الزَّوْجُ: أَرَدْتُ بِقَوْلِي بَعْدَهَا وَاحِدَةٌ، أَنَّنِي أَسْتَأْنِفُ إِيقَاعَهَا عَلَيْهَا مِنْ بَعْدِ لَفْظٍ مُسْتَجَدٍّ، وَلَمْ أُرِدْ إِيقَاعَهَا الْآنَ بِهَذَا اللَّفْظِ، فَإِنْ صَدَّقَتْهُ الزَّوْجَةُ قُبِلَ مِنْهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَلَمْ يَلْزَمْهُ فِي الْحَال إِلَّا وَاحِدَةٌ، فَكَانَ مُوعِدًا بِطَلْقَةٍ أُخْرَى، إِنْ أَوْقَعَهَا، وَإِلَّا لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهَا، وَإِنْ أَكْذَبَتْهُ الزَّوْجَةُ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ، وَلَزِمَتْهُ طَلْقَتَانِ، وَكَانَ مَدِينًا فِي الْبَاطِنِ لَا تَلْزَمُهُ إِلَّا وَاحِدَةٌ.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak satu kali, setelahnya satu kali lagi,” maka istrinya tertalak dua kali, dan makna “satu kali setelah satu kali” sesuai dengan lafaz yang diucapkannya. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mazhab kami dalam hal ini. Maka talak yang langsung terjadi (naajizah) didahulukan atas talak yang terjadi dengan sifat tertentu. Namun, menurut pendapat Abu Ishaq, talak pertama jatuh setelah ia mengatakan: “Engkau tertalak satu kali,” dan talak kedua jatuh setelah ia mengatakan: “setelahnya satu kali.” Sedangkan menurut pendapat Abu ‘Ali, talak pertama jatuh bersamaan dengan ucapannya: “Engkau tertalak satu kali,” dan talak kedua jatuh bersamaan dengan ucapannya: “setelahnya satu kali.” Jika suami berkata: “Yang aku maksud dengan ucapanku ‘setelahnya satu kali’ adalah aku akan memulai (menjatuhkan) talak itu kepadanya dengan lafaz baru, dan aku tidak bermaksud menjatuhkannya sekarang dengan lafaz ini,” maka jika istrinya membenarkannya, pendapat itu diterima baik secara lahir maupun batin, dan ia hanya wajib satu talak saat itu. Maka itu menjadi janji untuk talak berikutnya jika ia menjatuhkannya, dan jika tidak, ia tidak dipaksa untuk melakukannya. Namun, jika istrinya mendustakannya, maka pendapatnya tidak diterima secara lahiriah dalam hukum, dan ia wajib dua talak, tetapi secara batin ia tetap dianggap hanya wajib satu talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً قَبْلَهَا وَاحِدَةٌ وَبَعْدَهَا وَاحِدَةٌ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak satu kali, sebelumnya satu kali, dan setelahnya satu kali,” maka istrinya tertalak tiga kali.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً بَعْدَ وَاحِدَةٍ وَبَعْدَ وَاحِدَةٍ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَقُولَ قَبْلَهَا وَاحِدَةٌ وَبُعْدَهَا وَاحِدَةٌ، وَبَيْنَ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ وَاحِدَةٍ وَبَعْدَ وَاحِدَةٍ.

Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak satu kali setelah satu kali dan setelah satu kali,” maka istrinya tertalak tiga kali. Tidak ada perbedaan antara ia mengatakan “sebelumnya satu kali dan setelahnya satu kali” dengan “sebelum satu kali dan setelah satu kali.”

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً مَعَ وَاحِدَةٍ طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً فَوْقَ وَاحِدَةٍ، أَوْ أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً تَحْتَ وَاحِدَةٍ طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak satu kali bersama satu kali,” maka istrinya tertalak dua kali. Jika ia berkata: “Engkau tertalak satu kali di atas satu kali,” atau “Engkau tertalak satu kali di bawah satu kali,” maka istrinya tertalak dua kali.

وَلَوْ قَالَ فِي الْإِقْرَارِ عَلَيَّ دِرْهَمٌ فَوْقَ دِرْهَمٍ أَوْ تَحْتَ دِرْهَمٍ لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا دِرْهَمٌ وَاحِدٌ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الدَّرَاهِمَ تَتَفَاضَلُ، فَجَازَ أَنْ يُنْسَبَ فَوْقَ إِلَى الْجَوْدَةِ وَتَحْتَ إِلَى الرَّدَاءَةِ وَالطَّلَاقُ لَا يَتَفَاضَلُ، فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يُنْسَبَ إِلَّا إِلَى الْوُقُوعِ وَاللَّهُ أعلم.

Jika seseorang berkata dalam pengakuan: “Atas tanggunganku satu dirham di atas satu dirham” atau “di bawah satu dirham,” maka ia hanya wajib satu dirham saja. Perbedaannya adalah: dirham dapat berbeda-beda nilainya, sehingga boleh dinisbatkan “di atas” kepada kualitas yang baik dan “di bawah” kepada kualitas yang buruk. Sedangkan talak tidak memiliki perbedaan kualitas, sehingga tidak sah dinisbatkan kecuali kepada terjadinya talak itu sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَإِنْ قَالَ رَأْسُكِ أَوْ شَعْرُكِ أَوْ يَدُكِ أَوْ رِجْلُكِ أَوْ جُزْءٌ مِنْ أَجْزَائِكِ طَالِقٌ فَهِيَ طَالِقٌ لَا يَقَعُ عَلَى بَعْضِهَا دُونَ بَعْضٍ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Kepalamu, atau rambutmu, atau tanganmu, atau kakimu, atau sebagian dari anggota tubuhmu tertalak,’ maka istrinya tertalak; tidak berlaku talak hanya pada sebagian anggota tubuh saja tanpa yang lainnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ: إِذَا طَلَّقَ بَعْضَ بَدَنِهَا طَلَّقَ جَمِيعِهَا، سَوَاءٌ كَانَ مَا طَلَّقَهُ مِنْهَا جُزْءًا شَائِعًا مُقَدَّرًا كَقَوْلِهِ: رُبُعُكِ طَالِقٌ، أَوْ نِصْفُكُ طَالِقٌ، أَوْ غَيْرَ مُقَدَّرٍ كَقَوْلِهِ جُزْءٌ مِنْكِ طَالِقٌ، أَوْ كَانَ عُضْوًا مُعَيَّنًا كَقَوْلِهِ: رَأْسُكِ طَالِقٌ، أَوْ يَدُكِ طَالِقٌ أَوْ شَعْرُكِ طَالِقٌ، أَوْ ظُفْرُكِ طَالِقٌ، وسواء كان العضو مما يعبر عن الجملة ولا يحيي كَالرَّأْسِ أَوْ كَانَ مِمَّا لَا يُعَبَّرُ بِهِ عن الجملة ويحيي بِفَقْدِهِ كَالْيَدِ وَالشَّعَرِ. أَوْ كَانَ مِمَّا لَا يُعَبَّرُ بِهِ عَنِ الْجُمْلَةِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي طَلَاقِ بَعْضِهَا، هَلْ يَقَعُ عَلَيْهِ ثُمَّ يَسْرِي مِنْهُ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: “Sebagaimana yang beliau katakan: Jika seseorang menalak sebagian tubuh istrinya, maka seluruh tubuhnya tertalak, baik bagian yang ditalak itu merupakan bagian yang umum dan terukur seperti ucapannya: ‘Seperempatmu tertalak,’ atau ‘Setengahmu tertalak,’ maupun yang tidak terukur seperti ucapannya: ‘Sebagian darimu tertalak,’ atau merupakan anggota tertentu seperti ucapannya: ‘Kepalamu tertalak,’ atau ‘Tanganmu tertalak,’ atau ‘Rambutmu tertalak,’ atau ‘Kukumu tertalak.’ Baik anggota tersebut merupakan bagian yang mewakili keseluruhan dan tidak hidup jika hilang seperti kepala, atau bagian yang tidak mewakili keseluruhan namun tetap hidup jika hilang seperti tangan dan rambut, atau bagian yang tidak mewakili keseluruhan. Para ulama mazhab kami berbeda pendapat tentang talak pada sebagian anggota tubuh, apakah talak itu jatuh pada bagian tersebut lalu menyebar ke seluruh tubuh, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَى ذَلِكَ الْبَعْضِ ثُمَّ يَسْرِي مِنْهُ إِلَى جميعها.

Pertama: Talak jatuh pada bagian tersebut terlebih dahulu, kemudian menyebar ke seluruh tubuhnya.

والوجه الثاني: انه ينكمل فِي الْحَالِ ثُمَّ يَقَعُ عَلَى جَمِيعِهَا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ غَيْرِ سَرَايَةٍ.

Pendapat kedua: Talak langsung sempurna saat itu juga dan jatuh pada seluruh tubuhnya dalam satu waktu tanpa ada proses penyebaran.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ طَلَّقَ جُزْءًا شَائِعًا مِنْهَا طُلِّقَتْ، مُقَدَّرًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مُقَدَّرٍ، وَإِنْ طَلَّقَ عُضْوًا مِنْهَا، طُلِّقَتْ بِخَمْسَةِ أَعْضَاءٍ وَهِيَ قَوْلُهُ: رَأْسُكِ طَالِقٌ أَوْ ظَهْرُكِ طَالِقٌ، أَوْ وَجْهُكِ طَالِقٌ، أَوْ رَقَبَتُكِ طَالِقٌ أَوْ فَرْجُكِ طَالِقٌ، وَلَا تُطَلَّقُ بِغَيْرِهَا مِنْ قَوْلِهِ: يَدُكِ طَالِقٌ وَرِجْلُكِ طَالِقٌ، وَشَعْرُكِ طَالِقٌ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي عِلَّةِ وُقُوعِ الطَّلَاقِ بِهَذِهِ الْأَعْضَاءِ الْخَمْسَةِ دُونَ غَيْرِهَا فَقَالَ بَعْضُهُمْ: الْعِلَّةُ فِيهَا أنها أعضاء لا يحيى بقطعها، واليد والرجل يحيى بِقَطْعِهَا، وَقَالَ آخَرُونَ مِنْهُمْ: وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِهِمْ إِنَّ الْعِلَّةَ فِيهَا أَنَّهُ قَدْ يُعَبَّرُ بِهَذِهِ الْأَعْضَاءِ الْخَمْسَةِ عَنْ جُمْلَتِهَا، وَلَا يُعَبَّرُ بِغَيْرِهَا عنها، أما الوجه قوله تَعَالَى: {وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ} [الرحمن: 27] . وَأَمَّا الرَّأْسُ فَلِقَوْلِهِمْ: عِنْدِي كَذَا رَأْسٍ مِنَ الرَّقِيقِ، وَأَمَّا الظَّهْرُ فَلِقَوْلِهِمْ: عِنْدِي مِنَ الظَّهْرِ كَذَا وَكَذَا، وَأَمَّا الرَّقَبَةُ فَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَكُّ رَقَبَةٍ} [البلد: 13] .

Abu Hanifah berkata: Jika seseorang mentalak bagian yang bersifat syuyu‘ (tidak tertentu) dari istrinya, maka istrinya tertalak, baik bagian itu ditentukan ukurannya maupun tidak. Dan jika ia mentalak salah satu anggota tubuh istrinya, maka talak jatuh dengan menyebut lima anggota, yaitu ucapannya: “Kepalamu tertalak”, atau “Punggungmu tertalak”, atau “Wajahmu tertalak”, atau “Lehermu tertalak”, atau “Kemaluanmu tertalak”. Tidak jatuh talak dengan selain itu, seperti ucapannya: “Tanganmu tertalak”, “Kakimu tertalak”, atau “Rambutmu tertalak”. Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai sebab jatuhnya talak pada lima anggota ini saja dan bukan pada selainnya. Sebagian mereka berkata: Sebabnya adalah karena anggota-anggota ini jika terpotong tidak menyebabkan kematian, sedangkan tangan dan kaki jika terpotong masih bisa hidup. Sebagian lain dari mereka, dan ini pendapat mayoritas, mengatakan: Sebabnya adalah karena lima anggota ini dapat digunakan sebagai ungkapan untuk mewakili keseluruhan tubuh, sedangkan selainnya tidak. Adapun wajah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan} (QS. ar-Rahman: 27). Adapun kepala, karena ucapan mereka: “Aku memiliki sekian kepala budak”. Adapun punggung, karena ucapan mereka: “Aku memiliki sekian punggung (budak)”. Adapun leher, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Membebaskan budak (leher)} (QS. al-Balad: 13).

وَأَمَّا الْفَرْجُ فَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (فَكَيْفَ بِكُمْ إِذَا رَكِبَتِ الْفُرُوجُ الشُّرُوجَ) .

Adapun kemaluan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Bagaimana keadaan kalian jika kemaluan-kemaluan telah menunggangi (melakukan perbuatan keji)?”.

وَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ بِطَلَاقِ مَا سِوَاهَا، بِأَنَّهُ جُزْءٌ يَصِحُّ بَقَاءُ النِّكَاحِ مَعَ فَقْدِهِ، فَإِذَا أَوْقَعَ الطَّلَاقَ عَلَيْهِ لَمْ يُطَلَّقْ بِهِ كَالدَّمِ وَاللَّحْمِ.

Dan dalil bahwa talak tidak jatuh dengan mentalak selain anggota-anggota tersebut adalah karena bagian itu merupakan bagian yang jika hilang, akad nikah masih tetap sah, sehingga jika talak dijatuhkan padanya, tidak menyebabkan talak, seperti darah dan daging.

قَالَ: وَلِأَنَّ صِحَّةَ الطَّلَاقِ مُعْتَبَرٌ بِالْقَوْلِ، فَلَمْ يَصِحَّ إِيقَاعُهُ عَلَى غَيْرِ مُعَيَّنٍ كَالْبَيْعِ وَالنِّكَاحِ قَالَ: وَلِأَنَّهُ سَبَبٌ لِلْفُرْقَةِ فَلَمْ يَصِحَّ تَعْلِيقُهُ بِبَعْضِ مُعَيَّنٍ كَالْفَسْخِ.

Ia berkata: Karena keabsahan talak itu bergantung pada ucapan, maka tidak sah menjatuhkannya pada sesuatu yang tidak tertentu, seperti dalam jual beli dan nikah. Ia juga berkata: Karena talak adalah sebab terjadinya perpisahan, maka tidak sah dikaitkan pada sebagian tertentu, seperti halnya fasakh.

وَدَلِيلُنَا: أَنَّهُ طَلَّقَ جُزْءًا اسْتَبَاحَهُ بِعَقْدِ النِّكَاحِ فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ، إِذَا كَانَ مِنْ أَصْلِهِ كَالْجُزْءِ الشَّائِعِ، فَإِنْ قِيلَ: الْمَعْنَى فِي الْجُزْءِ الشَّائِعِ، أَنَّهُ يَجُوزُ إِفْرَادُهُ بِالْبَيْعِ، فَوَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ، وَالْجُزْءُ الْمُعَيَّنُ لَا يَجُوزُ إِفْرَادُهُ بِالْبَيْعِ، فَلَمْ يَقَعْ بِهِ الطَّلَاقُ.

Dalil kami: Bahwa ia telah mentalak bagian yang dihalalkan baginya melalui akad nikah, maka wajib jatuh talak karenanya, jika bagian itu merupakan bagian asal, seperti bagian syuyu‘ (tidak tertentu). Jika dikatakan: Hikmah pada bagian syuyu‘ adalah karena ia boleh dijadikan objek jual beli, sehingga talak jatuh padanya, sedangkan bagian tertentu tidak boleh dijadikan objek jual beli, maka talak tidak jatuh padanya.

قِيلَ: لَا يَصِحُّ اعْتِبَارُ الطَّلَاقِ بِالْبَيْعِ، لِأَنَّ الْبَيْعَ يَقِفُ عَلَى مَا تَنَاوَلَهُ وَلَا يَسْرِي إِلَى غَيْرِهِ، فَصَحَّ فِي الْجُزْءِ الشَّائِعِ، لِأَنَّهُ مُنْتَفَعٌ بِهِ، وَلَمْ يَصِحَّ فِي الْجُزْءِ الْمُعَيَّنِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُنْتَفَعٍ بِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ يَسْرِي، فَوَقَعَ عَلَى الْجُزْءِ الْمُعَيَّنِ، وَالشَّائِعِ جَمِيعًا لِسَرَايَتِهَا إِلَى الْجَمِيعِ، فَإِنْ قِيلَ فَالْجُزْءُ الْمُشَاعُ هُوَ شَائِعٌ فِي جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَجَازَ أَنْ يَسْرِيَ، وَالْجُزْءُ الْمُعَيَّنُ لَيْسَ بِشَائِعٍ فِي جَمِيعِ الْبَدَنِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْرِيَ قِيلَ إِذَا جَازَ أَنْ يَسْرِيَ مِنْ ذَلِكَ الْجُزْءِ الشَّائِعِ إِلَى جَمِيعِ الْأَجْزَاءِ جَازَ أَنْ يَسْرِيَ مِنْ ذَلِكَ الْعُضْوِ الْمُعَيَّنِ إِلَى جَمِيعِ الْأَعْضَاءِ.

Dijawab: Tidak sah menyamakan talak dengan jual beli, karena jual beli hanya berlaku pada apa yang disebutkan saja dan tidak merambat ke selainnya, sehingga sah pada bagian syuyu‘ karena dapat dimanfaatkan, dan tidak sah pada bagian tertentu karena tidak dapat dimanfaatkan. Tidak demikian halnya dengan talak, karena talak itu merambat, sehingga jatuh pada bagian tertentu maupun syuyu‘ seluruhnya karena sifatnya yang merambat ke seluruh bagian. Jika dikatakan: Bagian syuyu‘ itu tersebar pada seluruh tubuh, maka boleh merambat, sedangkan bagian tertentu tidak tersebar pada seluruh tubuh sehingga tidak boleh merambat, dijawab: Jika boleh merambat dari bagian syuyu‘ ke seluruh bagian, maka boleh pula merambat dari anggota tertentu ke seluruh anggota.

فَإِنْ قِيلَ: فَالْعُضْوُ تَابِعٌ لِلْجُمْلَةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْرِيَ حُكْمُ التَّابِعَ إِلَى الْمَتْبُوعِ، كَمَا لَا يَسْرِي عِتْقُ الْحَمْلِ إِلَى الْحَامِلِ لِأَنَّ الْحَمْلَ تَابِعٌ، وَيَسْرِي عِتْقُ الْحَامِلِ إِلَى الْحَمْلِ، لِأَنَّهُ مَتْبُوعٌ، قِيلَ الْعُضْوُ تَابِعٌ لِلنَّفْسِ فَلِذَلِكَ دَخَلَتْ دِيَاتُ الأطراف في دية النفس، وليس العضو تابع لِلْبَدَنِ، لِأَنَّهُ لَا يَدْخُلُ دِيَةُ عُضْوٍ فِي دِيَةِ عُضْوٍ، ثُمَّ يُنْتَقَضُ بِطَلَاقِ الْفَرْجِ وَالْأَعْضَاءِ الْخَمْسَةِ.

Jika dikatakan: Anggota tubuh adalah bagian yang mengikuti keseluruhan, dan tidak boleh hukum bagian yang mengikuti merambat ke yang diikuti, sebagaimana pembebasan budak yang sedang hamil tidak merambat ke ibunya karena janin adalah pengikut, sedangkan pembebasan ibu merambat ke janin karena ibu adalah yang diikuti, dijawab: Anggota tubuh adalah pengikut jiwa, oleh karena itu diyat anggota tubuh masuk dalam diyat jiwa, dan anggota tubuh bukan pengikut badan, karena diyat anggota tidak masuk dalam diyat anggota lain. Kemudian, hal ini terbantahkan dengan talak pada kemaluan dan lima anggota tersebut.

وَقِيَاسٌ ثَانٍ: وَهُوَ أَنَّهُ أَشَارَ بِالطَّلَاقِ إِلَى عُضْوٍ مُتَّصِلٍ بِهَا اتِّصَالَ الْخِلْقَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ كَالْإِشَارَةِ بِهِ إِلَى جَمِيعِ الْجُمْلَةِ كَالْأَعْضَاءِ الْخَمْسَةِ، وَقَوْلُنَا: اتِّصَالَ الْخِلْقَةِ احْتِرَازًا مِنَ الْأُذُنِ إِذَا أُلْصِقَتْ بَعْدَ قَطْعِهَا، فَإِنَّهُ إِذَا وَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهِ لَمْ يُطَلِّقْ بِهِ.

Qiyās kedua: yaitu bahwa ia menunjuk dengan talak kepada anggota yang menyatu dengannya secara penciptaan, maka wajib hukumnya dianggap seperti menunjuk kepada seluruh tubuh, seperti lima anggota tubuh. Ucapan kami “penyatuan secara penciptaan” adalah sebagai pengecualian dari telinga jika ditempelkan kembali setelah dipotong, maka jika talak dijatuhkan atasnya, tidak jatuh talak karenanya.

فَإِنْ قيل: المعنى في الأعضاء الخمسة أنها قوم البدن، وأنها لا يحيى بِفَقْدِهَا انْتُقِضَ بِالْكَبِدِ وَالْفُؤَادِ لِأَنَّهُمَا قَوَامُ الْبَدَنِ، لا يحيى إِلَّا بِهِمَا، وَلَا تُطَلَّقُ عِنْدَهُ بِطَلَاقِهِمَا.

Jika dikatakan: Makna pada lima anggota tubuh itu adalah bahwa ia merupakan penopang badan, dan badan tidak akan hidup tanpa kelima anggota itu, maka hal ini terbantahkan dengan hati dan jantung, karena keduanya adalah penopang badan dan badan tidak akan hidup kecuali dengan keduanya, namun menurut pendapatnya, talak tidak jatuh dengan menalak keduanya.

وَأَنْ يُقَالَ: الْمَعْنَى فِيهَا أَنَّهُ يُعَبَّرُ بِهَا عَنِ الْجُمْلَةِ، كَانَ الْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Dan jika dikatakan: Makna pada anggota-anggota itu adalah bahwa dengannya diungkapkan maksud seluruh tubuh, maka jawabannya ada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يُعَبَّرُ عَنِ الْجُمْلَةِ عَلَى طَرِيقِ الْمَجَازِ دُونَ الْحَقِيقَةِ، وَصَرِيحُ الطَّلَاقِ يَتَعَلَّقُ بِالْحَقِيقَةِ دُونَ الْمَجَازِ.

Pertama: Bahwa ungkapan itu digunakan untuk seluruh tubuh secara majazi (kiasan), bukan secara hakiki, sedangkan lafaz talak yang jelas berkaitan dengan makna hakiki, bukan majazi.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يُعَبَّرُ بِهَا عَنِ الْجُمْلَةِ إِذَا أُطْلِقَتْ مِنْ غَيْرِ إِضَافَةٍ وَهِيَ هَاهُنَا مُضَافَةٌ، لِأَنَّهُ قَالَ: رَأْسُكِ طَالِقٌ، فَلَمْ يعبر بها مع الإضافة إلى عَنْهَا، لَا عَنِ الْجُمْلَةِ، لِأَنَّ الْإِضَافَةَ قَدْ مَيَّزَتِ الْمُضَافَ مِنَ الْمُضَافِ إِلَيْهِ.

Kedua: Bahwa ungkapan itu digunakan untuk seluruh tubuh jika disebutkan tanpa tambahan (mudhaf), sedangkan di sini ia disebutkan dalam bentuk tambahan (mudhaf), karena ia berkata: “Kepalamu tertalak,” maka ungkapan itu tidak merujuk kepada seluruh tubuh, karena tambahan (mudhaf) telah membedakan antara yang ditambahkan dan yang menjadi tambahan.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ قَدْ يُعَبَّرُ عَنِ الْجُمْلَةِ بِغَيْرِ الْأَعْضَاءِ الْخَمْسَةِ. أما اليد فبقوله تعالى: {تبت يد أَبِي لَهَبٍ} [المسد: 1] .

Ketiga: Bahwa terkadang ungkapan untuk seluruh tubuh digunakan dengan selain lima anggota tubuh. Adapun tangan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Binasalah kedua tangan Abu Lahab} [Al-Masad: 1].

وَأَمَّا الرِّجْلُ فَلِقَوْلِهِمْ: لِفُلَانٍ عِنْدَ السُّلْطَانِ قَدَمٌ أَيْ مَنْزِلَةٌ، وَأَمَّا الشَّعَرُ فَلِقَوْلِهِمْ حَيَّا اللَّهُ هَذِهِ اللِّحْيَةَ أَيِ الْجُمْلَةَ.

Adapun kaki, berdasarkan ucapan mereka: “Si Fulan memiliki kaki di sisi penguasa,” maksudnya kedudukan. Adapun rambut, berdasarkan ucapan mereka: “Semoga Allah memberkahi jenggot ini,” maksudnya seluruh tubuh.

وَقِيَاسٌ ثَالِثٌ: وَهُوَ أَنَّ كُلَّمَا لَوِ اسْتَثْنَاهُ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ بَطَلَ، وَجَبَ إِذَا أَوْقَعَ عَلَيْهِ الطَّلَاقَ أَنْ يَقَعَ كَالْفَرْجِ.

Qiyās ketiga: yaitu bahwa setiap bagian yang jika dikecualikan dari akad nikah maka akadnya batal, maka wajib jika talak dijatuhkan atasnya, talak itu jatuh, seperti farj (kemaluan).

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الْحَمْلِ وَالدَّمِ، فَالْمَعْنَى فِيهِمَا أَنَّهُ لَمْ يَسْتَبِحْهُمَا بِعَقْدِ النِّكَاحِ.

Adapun jawaban atas qiyās kepada janin dan darah, maknanya adalah bahwa keduanya tidak menjadi halal dengan akad nikah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الْبَيْعِ وَالنِّكَاحِ، فَالْمَعْنَى فِيهِمَا أَنَّهُمَا لَا يَدْخُلُهُمَا السَّرَايَةُ.

Adapun jawaban atas qiyās kepada jual beli dan nikah, maknanya adalah bahwa keduanya tidak mengandung unsur penularan (sarāyah).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الْفَسْخِ فَالْمَعْنَى فِي الْفَسْخِ أَنَّهُ لَا يَسْرِي كَسَرَايَةِ الطَّلَاقِ فَخَالَفَ حُكْمَ الطَّلَاقِ.

Adapun jawaban atas qiyās kepada fasakh, maknanya adalah bahwa dalam fasakh tidak terjadi penularan seperti penularan dalam talak, sehingga hukumnya berbeda dengan talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا، فَكُلُّ مَا كان متصلاً ببدنها اتصال الخلقة مع جَمِيعِ الْأَطْرَافِ وَالشَّعَرِ، وَإِذَا أَوْقَعَ عَلَيْهِ الطَّلَاقَ، وَقَعَ عَلَى جَمِيعِهَا عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا فِي وُقُوعِهِ جُمْلَةً أَوْ سَرَايَةً. فَأَمَّا مَا لَمْ يَكُنْ مُتَّصِلًا اتِّصَالَ الْخِلْقَةِ، كالحمل وَالْأُذُنِ الْمُلْصَقَةِ بَعْدَ الْقَطْعِ، فَلَا تُطَلَّقُ بِطَلَاقِهِ. وَكَذَلِكَ الدَّمُ وَالرِّيقُ وَالْعَرَقُ، لِأَنَّ الْبَدَنَ وِعَاؤُهُ وَلَيْسَ بِمُتَّصِلٍ بِهِ، كَمَا يَكُونُ وِعَاءً لِلطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، وَلِذَلِكَ يَنفَصْلٌ عَنِ الْبَدَنِ كَانْفِصَالِ الطَّعَامِ والشراب، فذلك لَمْ تُطَلَّقْ بِطَلَاقِهِ.

Jika telah jelas apa yang kami uraikan, maka setiap bagian yang menyatu dengan tubuhnya secara penciptaan, baik seluruh anggota maupun rambut, jika talak dijatuhkan atasnya, maka talak jatuh atas seluruh dirinya, sebagaimana telah kami sebutkan menurut dua pendapat ulama kami, apakah jatuh secara keseluruhan atau dengan penularan. Adapun bagian yang tidak menyatu secara penciptaan, seperti janin dan telinga yang ditempelkan kembali setelah dipotong, maka tidak jatuh talak dengan menalaknya. Demikian pula darah, air liur, dan keringat, karena tubuh hanyalah wadahnya dan tidak menyatu dengannya, sebagaimana tubuh menjadi wadah bagi makanan dan minuman, sehingga ia dapat terpisah dari tubuh sebagaimana makanan dan minuman terpisah, maka tidak jatuh talak dengan menalaknya.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى: تُطَلَّقُ بِطَلَاقِ ذَلِكَ، لِكَوْنِهِ مِنْ جُمْلَتِهَا وَفِي بَدَنِهَا كَسَائِرِ أَعْضَائِهَا، وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا عَلَّلْنَا بِهِ، وَأَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى قَوْلِهِ: ثِيَابُكِ طَالِقٌ، وَهَكَذَا لَوْ أَوْقَعَ الطَّلَاقَ عَلَى أَفْعَالِهَا فَقَالَ: أَكْلُكِ طَالِقٌ، أَوْ شُرْبُكِ طَالِقٌ أَوْ قِيَامُكِ طَالِقٌ أَوْ وقُودُكِ طَالِقٌ، وَهَكَذَا إِذَا أَوْقَعَهُ عَلَى حَوَاسِّهَا فَقَالَ: نَظَرُكِ طَالِقٌ أَوْ سَمْعُكِ طَالِقٌ أَوْ ذَوْقُكِ طَالِقٌ أَوْ لَمْسُكِ طَالِقٌ لَمْ تُطَلَّقْ، لِانْفِصَالِهِ عَنْهَا، إِلَّا أَنْ يُوقِعَهُ عَلَى جَوَارِحِ هَذِهِ الْحَوَاسِّ فَيَقُولَ: عَيْنُكِ طَالِقٌ، وَأُذُنُكِ طَالِقٌ، وَأَنْفُكِ طَالِقٌ وَلِسَانُكِ طَالِقٌ فَتُطَلَّقُ، فَإِنْ قَالَ: عِنْدَكَ طَالِقٌ لَمْ تُطَلَّقْ أَيْضًا، فَأَمَّا إِنْ قَالَ: بَيَاضُكِ طَالِقٌ أَوْ سَوَادُكِ طَالِقٌ، أَوْ لَوْنُكِ طَالِقٌ فَفِي وُقُوعِهِ عَلَيْهَا وَجْهَانِ:

Ibnu Abi Laila berkata: “Talak dijatuhkan dengan talak tersebut, karena itu termasuk bagian dari dirinya dan berada pada tubuhnya seperti anggota tubuh lainnya.” Namun ini adalah kekeliruan, sebagaimana alasan yang telah kami kemukakan, dan bahwa hal itu serupa dengan ucapan: “Pakaianmu tertalak.” Demikian pula jika talak dijatuhkan pada perbuatannya, seperti ia berkata: “Makanmu tertalak,” atau “Minummu tertalak,” atau “Berdirimu tertalak,” atau “Menyalamu tertalak.” Demikian pula jika talak dijatuhkan pada inderanya, seperti ia berkata: “Penglihatanmu tertalak,” atau “Pendengaranmu tertalak,” atau “Pencicipanmu tertalak,” atau “Sentuhanmu tertalak,” maka tidak jatuh talak, karena hal itu terpisah darinya. Kecuali jika talak dijatuhkan pada anggota tubuh yang menjadi alat indera tersebut, seperti ia berkata: “Matamu tertalak,” “Telingamu tertalak,” “Hidungmu tertalak,” “Lidahmu tertalak,” maka jatuh talak. Jika ia berkata: “Di sisimu tertalak,” maka tidak jatuh talak juga. Adapun jika ia berkata: “Putihmu tertalak,” atau “Hitammu tertalak,” atau “Warna kulitmu tertalak,” maka dalam hal jatuhnya talak terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُطَلَّقُ، لِأَنَّهُ مِنْ ذَاتِهَا الَّتِي لَا تَنْفَصْلٌ عَنْهَا.

Salah satunya: Talak jatuh, karena itu merupakan bagian dari dirinya yang tidak terpisahkan darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تُطَلَّقُ، لِأَنَّ الْأَلْوَانَ أَعْرَاضٌ تَحُلُّ الذَّاتَ وَلَيْسَتْ أَجْسَامًا كَالذَّاتِ.

Pendapat kedua: Talak tidak jatuh, karena warna adalah sifat yang menempel pada diri, bukanlah benda seperti diri itu sendiri.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طالق إلا فرجك، وطلقت مع فرجها، لأنها لا تبتعض فِي الطَّلَاقِ وَالِاسْتِثْنَاءُ لَا يَسْرِي، وَالطَّلَاقُ يَسْرِي وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِلَّا أَنْتِ، وطلقت وَكَانَ هَذَا الِاسْتِثْنَاءُ لَغْوًا، لِأَنَّهُ رَافِعٌ لِجَمِيعِ الْأَحْكَامِ.

Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak kecuali farjimu (kemaluanmu),” maka ia tertalak beserta farjinya, karena talak tidak dapat dibagi-bagi dan pengecualian tidak berlaku, sedangkan talak berlaku. Jika ia berkata: “Engkau tertalak kecuali engkau,” maka ia tetap tertalak dan pengecualian tersebut dianggap sia-sia, karena hal itu meniadakan seluruh hukum.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَلَوْ قَالَ وَلَهُ زَوْجَتَانِ: يَا حَفْصَةُ أَنْتِ طَالِقٌ وَرَأْسُ عَمْرَةَ بِالرَّفْعِ، طُلِّقَتْ حَفْصَةُ وَعَمْرَةُ، لِأَنَّهُ طَلَّقَ جَمِيعَ حَفْصَةَ وَطَلَّقَ رَأْسَ عَمْرَةَ، فَطَلَّقَ جَمِيعُهَا، وَلَوْ قَالَ: يَا حَفْصَةُ: أَنْتِ طَالِقٌ وَرَأْسِ عَمْرَةَ بِالْكَسْرِ لَمْ تُطَلَّقْ عَمْرَةُ، لِأَنَّهُ صَارَ خَارِجًا مَخْرَجَ الْقَسَمِ بِرَأْسِ عَمْرَةَ عَلَى طَلَاقِ حَفْصَةَ.

Jika seseorang memiliki dua istri lalu berkata: “Wahai Hafshah, engkau tertalak dan kepala Amrah” (dengan rafa‘), maka Hafshah dan Amrah sama-sama tertalak, karena ia telah menalak seluruh Hafshah dan menalak kepala Amrah, sehingga seluruh Amrah tertalak. Namun jika ia berkata: “Wahai Hafshah, engkau tertalak dan kepala Amrah” (dengan kasrah), maka Amrah tidak tertalak, karena hal itu menjadi sumpah dengan menyebut kepala Amrah atas talak Hafshah.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ بَعْضَ تَطْلِيقَةٍ كَانَتْ تَطْلِيقَةً وَالطَّلَاقُ لَا يَتَبَعَّضُ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia berkata: ‘Engkau tertalak sebagian talak’, maka itu dihitung satu talak, dan talak tidak dapat dibagi-bagi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كما قال. إذا بَعْضُ طَلَاقِهَا يَكْمُلُ وَلَمْ يَتَبَعَّضْ، سَوَاءٌ كَانَ الْبَعْضُ مِنْهَا كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ بَعْضَ طَلْقَةٍ، أَوْ كَانَ مِقْدَارًا: أَنْتِ طَالِقٌ نِصْفَ طَلْقَةٍ أَوْ عُشْرَ طَلْقَةٍ، سَوَاءٌ قَلَّ الْبَعْضُ أَوْ كَثُرَ، وَيَكُونُ طَلْقَةً كَامِلَةً وَقَالَ دَاوُدُ: لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا إِلَّا بِطَلْقَةٍ كَامِلَةٍ وَإِنْ طَلَّقَهَا بَعْضَ طَلْقَةٍ لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَبَعَّضْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْزَمَ مِنْهُ، مَا لَمْ يَلْزَمْ، وَصَارَ الْبَعْضُ الَّذِي أَوْقَعَهُ لَغْوًا.

Al-Mawardi berkata: “Ini sebagaimana yang dikatakan. Jika sebagian talak dijatuhkan, maka menjadi sempurna dan tidak terbagi, baik sebagian itu berasal dari dirinya, seperti ucapan: ‘Engkau tertalak sebagian talak’, atau berupa ukuran: ‘Engkau tertalak setengah talak’ atau ‘sepersepuluh talak’, baik sedikit maupun banyak, maka itu dihitung satu talak penuh.” Dawud berkata: “Talak tidak jatuh kecuali dengan satu talak penuh, dan jika ia menalak dengan sebagian talak, maka tidak jatuh talak, karena jika talak tidak dapat dibagi, maka tidak sah untuk diwajibkan darinya sesuatu yang tidak wajib, dan sebagian yang dijatuhkan menjadi sia-sia.”

وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ تَكْمِيلَ الطَّلَاقِ مُوجِبٌ لِكَمَالِ التَّحْرِيمِ، وَتَبْعِيضَهُ مقْتَضى تَبْعِيضَ التَّحْرِيمِ وَالتَّحْرِيمُ لَا يَتَبَعَّضُ، فَصَارَ التَّحْرِيمُ بِالتَّبْعِيضِ مُمَازِجًا لِلتَّحْلِيلِ، وَهُمَا لَا يَمْتَزِجَانِ فَلَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنْ تَغْلِيبِ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ، فكان تغليب التحريم أولى الأمرين:

Ini adalah pendapat yang rusak, karena penyempurnaan talak mewajibkan kesempurnaan keharaman, sedangkan membaginya mengharuskan pembagian keharaman, dan keharaman tidak dapat dibagi. Maka keharaman yang dibagi-bagi bercampur dengan kehalalan, padahal keduanya tidak dapat bercampur, sehingga harus menguatkan salah satunya atas yang lain, dan menguatkan keharaman lebih utama dari dua perkara tersebut:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْحَظْرَ وَالْإِبَاحَةَ إِذَا اجْتَمَعَا يَغْلِبُ حُكْمُ الْحَظْرِ عَلَى الْإِبَاحَةِ، كَاخْتِلَاطِ زَوْجَتِهِ بِأُخْتِهِ.

Pertama: Jika larangan dan kebolehan berkumpul, maka hukum larangan lebih diutamakan atas kebolehan, seperti percampuran antara istri dengan saudara perempuannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ تَحْرِيمَ الطَّلَاقِ يَسْرِي، وَإِبَاحَةَ النِّكَاحِ لَا تَسْرِي، لِأَنَّهُ لَوْ طَلَّقَ نِصْفَ زَوْجَتِهِ سَرَى الطَّلَاقُ إِلَى جَمِيعِهَا، وَلَوْ نَكَحَ نِصْفَ امْرَأَةٍ لَمْ يَسْرِ النِّكَاحُ إِلَى جَمِيعِهَا

Kedua: Bahwa keharaman talak berlaku, sedangkan kebolehan nikah tidak berlaku, karena jika seseorang menalak setengah istrinya, maka talak berlaku pada seluruhnya, sedangkan jika menikahi setengah perempuan, maka nikah tidak berlaku pada seluruhnya.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لَهَا أَنْتِ طَالِقٌ نِصْفَيْ تَطْلِيقَةٍ فَهِيَ وَاحِدَةٌ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak dua setengah talak’, maka itu dihitung satu talak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ لِلْوَاحِدَةِ نِصْفَيْنِ، فَلَمْ يَكُنْ فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَقُولَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ طَلْقَةً وَاحِدَةً، وَبَيْنَ أَنْ يَقُولَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ نِصْفَيْ طَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ، فِي أَنَّهَا فِي الْحَالَيْنِ طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ، كما أن لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَقُولَ: لَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ، وَبَيْنَ أَنْ يَقُولَ: لَهُ عَلَيَّ نِصْفَا دِرْهَمٍ، فِي أَنَّهُ يَكُونُ فِي الْحَالَيْنِ مُقِرًّا بِدِرْهَمٍ وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثَةَ أَثْلَاثِ طَلْقَةٍ، أَوْ أَرْبَعَةَ أَرْبَاعِ طَلْقَةٍ، كَانَتْ طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ، مَا لَمْ يُرِدْ أَكْثَرَ مِنْهَا، لأن للطلقة الواحدة ثلاث أَثْلَاثٍ وَأَرْبَعَةُ أَرْبَاعٍ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena satu talak terdiri dari dua setengah, sehingga tidak ada perbedaan antara ia berkata kepadanya: “Engkau tertalak satu kali,” dan antara ia berkata: “Engkau tertalak dua setengah talak,” karena dalam kedua keadaan itu tetap terhitung satu talak. Sebagaimana tidak ada perbedaan antara ia berkata: “Ia memiliki hak satu dirham atas saya,” dan antara ia berkata: “Ia memiliki hak dua setengah dirham atas saya,” karena dalam kedua keadaan itu ia mengakui satu dirham. Demikian juga jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga pertiga talak,” atau “empat perempat talak,” maka itu tetap satu talak, selama ia tidak bermaksud lebih dari itu, karena satu talak terdiri dari tiga pertiga dan empat perempat.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ نِصْفَ تَطْلِيقَةٍ، وَمِثْلَهُ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Namun, jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah talak, dan yang semisalnya,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُطَلَّقُ وَاحِدَةً، لِأَنَّ مِثْلَ النِّصْفِ نِصْفٌ، فَصَارَ كَأَنَّهُ قَالَ: نِصْفَيْ تَطْلِيقَةٍ.

Salah satunya: Ia tertalak satu kali, karena yang semisal setengah adalah setengah, sehingga seakan-akan ia berkata: “Dua setengah talak.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُطَلَّقُ تَطْلِيقَتَيْنِ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: Ia tertalak dua kali karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمْ يُدْخِلْ بَيْنَ النِّصْفَيْنِ وَاوَ الْعَطْفِ وَقَدْ أَدْخَلَهَا هَاهُنَا.

Pertama, ia tidak memasukkan huruf ‘wawu athaf’ (dan) di antara dua setengah, sedangkan di sini ia memasukkannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَضَافَ النِّصْفَيْنِ إِلَى طَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ، وَلَمْ يُضِفْهَا هَاهُنَا إِلَى طَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ، فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ نِصْفَ طَلْقَةٍ وَمِثْلَهُ، طُلِّقَتْ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ طَلْقَتَيْنِ، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: أنت طالق نصف طلقة ونصفها طلقت ثنتين وَجْهًا وَاحِدًا.

Kedua, ia menambahkan dua setengah pada satu talak, sedangkan di sini ia tidak menambahkannya pada satu talak. Berdasarkan ini, jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah talak dan yang semisalnya,” maka menurut pendapat pertama, ia tertalak dua kali, dan menurut pendapat kedua, tiga kali talak. Namun, jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah talak dan setengahnya,” maka ia tertalak dua kali menurut satu pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمِثْلِ وَالضِّعْفِ، أَنَّ الْمِثْلَ نَظِيرٌ، وَالضِّعْفَ تَكْرِيرٌ.

Perbedaan antara “mitsl” (yang semisal) dan “dhi’f” (dua kali lipat) adalah bahwa “mitsl” berarti serupa, sedangkan “dhi’f” berarti pengulangan.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

فَأَمَّا إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثَةَ أَنْصَافِ طَلْقَةٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: تُطَلَّقُ طَلْقَتَيْنِ، لِأَنَّ الثَّلَاثَةَ أنصاف تكون واحدة ونصف، فَكَمَّلَ اثْنَتَيْنِ.

Adapun jika ia berkata kepadanya: “Engkau tertalak tiga setengah talak,” maka ada dua pendapat: Salah satunya, ia tertalak dua kali, karena tiga setengah itu sama dengan satu setengah, sehingga genap menjadi dua talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُطَلَّقُ وَاحِدَةً، لِأَنَّهُ أَضَافَ الثَّلَاثَةَ الْأَنْصَافَ إِلَى الْوَاحِدَةِ، فَصَارَ النِّصْفُ الثَّالِثُ بِإِضَافَتِهِ إِلَى الْوَاحِدَةِ لَغْوًا فَسَقَطَ، وَطُلِّقَتْ وَاحِدَةً، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ أَرْبَعَةَ أَثْلَاثِ طَلْقَةٍ، أَوْ خَمْسَةَ أَرْبَاعِ طَلْقَةٍ كان على هذين الوجهين:

Pendapat kedua: Ia tertalak satu kali, karena ia menambahkan tiga setengah pada satu talak, sehingga setengah ketiga yang ditambahkan pada satu talak menjadi sia-sia dan gugur, maka ia tertalak satu kali. Demikian pula jika ia berkata kepadanya: “Engkau tertalak empat pertiga talak,” atau “lima perempat talak,” maka hukumnya menurut dua pendapat ini:

أحدهما: تطلق ثنتين.

Pertama: Ia tertalak dua kali.

وَالثَّانِي: وَاحِدَةً.

Kedua: Satu kali.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ نِصْفَ طَلْقَةٍ وَثُلُثَهَا وَسُدُسَهَا، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً، لِأَنَّهُ قَدْ كَمَّلَها بِالْأَجْزَاءِ وَلَمْ يَزِدْ عَلَيْهَا، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ نِصْفَ طَلْقَةٍ وَثُلُثَهَا وَرُبُعَهَا وَسُدُسَهَا فَقَدْ زَادَتْ أَجْزَاؤُهَا عَلَيْهَا، وَهِيَ مُضَافَةٌ إِلَى وَاحِدَةٍ، فَكَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ، كَقَوْلِهِ ثَلَاثَةَ أضعاف طلقة:

Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah talak, sepertiga talak, dan seperenam talak,” maka ia tertalak satu kali, karena bagian-bagian tersebut telah menyempurnakan satu talak dan tidak melebihinya. Namun, jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah talak, sepertiga talak, seperempat talak, dan seperenam talak,” maka bagian-bagiannya telah melebihi satu talak, dan semuanya ditambahkan pada satu talak, maka ada dua pendapat, seperti halnya jika ia berkata: “Tiga kali lipat talak:”

أحدهما: تطلق ثنتين.

Pertama: Ia tertalak dua kali.

وَالثَّانِي: وَاحِدَةً، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ نِصْفَ طَلْقَةٍ وَثُلُثَ طَلْقَةٍ وَسُدُسَ طَلْقَةٍ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ نِصْفَ طَلْقَةٍ سُدُسَ طَلْقَةٍ طُلِّقَتْ وَاحِدَةً.

Kedua: Satu kali. Namun, jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah talak, sepertiga talak, dan seperenam talak,” maka ia tertalak tiga kali. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah talak, seperenam talak,” maka ia tertalak satu kali.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّهُ إِذَا أَدْخَلَ بَيْنَ الْأَجْزَاءِ (وَاوَ الْعَطْفِ) تَغَايَرَ الْمَعْطُوفُ عَلَيْهِ وَإِذَا حَذَفَهَا لَمْ يَتَغَايَرْ.

Perbedaannya adalah: Jika ia memasukkan huruf ‘wawu athaf’ (dan) di antara bagian-bagian tersebut, maka bagian-bagian yang dihubungkan menjadi berbeda, dan jika ia menghilangkannya maka tidak menjadi berbeda.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ نِصْفَ طَلْقَتَيْنِ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah dari dua talak,” maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تُطَلَّقُ وَاحِدَةً وَيَصِيرُ كَقَوْلِهِ واحدة من ثنتين، وَيَكُونُ النِّصْفُ مُمَيِّزًا لِإِحْدَاهُمَا عَنِ الْأُخْرَى.

Salah satunya: Ia tertalak satu kali dan itu seperti ia berkata: “Satu dari dua talak,” dan setengah itu menjadi pembeda antara salah satunya dengan yang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُطَلَّقُ تَطْلِيقَتَيْنِ وَيَكُونُ النِّصْفُ رَاجِعًا إِلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الطَّلْقَتَيْنِ، فَتُطَلَّقُ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا نِصْفَهَا، وَيَسْرِي إِلَى جَمِيعِهَا، وَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ نِصْفَيْ تَطْلِيقَتَيْنِ، فعلى الوجه الأول: تطلق تطلقتين، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي: تُطَلَّقُ ثَلَاثًا. وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثَةَ أَنْصَافِ تَطْلِيقَتَيْنِ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا عَلَى الْوَجْهَيْنِ مَعًا، أَمَّا عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ، فَلِأَنَّ النِّصْفَ لَمَّا كَانَ مُوقِعًا لِطَلْقَةٍ، وَجَبَ أَنْ تَكُونَ الثَّلَاثَةُ أَنْصَافٍ مُوقِعًا لِثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ.

Pendapat kedua: Ia ditalak dua kali, dan setengahnya kembali kepada masing-masing dari dua talak tersebut, sehingga ia ditalak setengah dari masing-masing talak, dan ini berlaku untuk keseluruhannya. Berdasarkan hal ini, jika seseorang berkata: “Engkau tertalak setengah dari dua talak,” maka menurut pendapat pertama: ia ditalak dua kali, dan menurut pendapat kedua: ia ditalak tiga kali. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga setengah dari dua talak,” maka ia ditalak tiga kali menurut kedua pendapat sekaligus. Adapun menurut pendapat pertama, karena setengah itu ketika dijatuhkan berlaku untuk satu talak, maka tiga setengah itu harus berlaku untuk tiga talak.

وَأَمَّا عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي: فَلِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَنْصَافِ يَرْجِعُ إِلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ التَّطْلِيقَتَيْنِ، فَيَصِيرُ مُوقِعًا لِسِتٍّ فَوَقَعَ مِنْهَا ثَلَاثٌ.

Adapun menurut pendapat kedua: karena masing-masing setengah kembali kepada masing-masing dari dua talak, maka itu menjadi berlaku untuk enam, dan yang jatuh darinya adalah tiga.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ نِصْفُ طَالِقٍ طُلِّقَتْ كَمَا لَوْ قَالَ (نِصْفُكِ طَالِقٌ) ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتَ نِصْفُ طَلْقَةٍ كَانَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا وَجْهَانِ.

Jika seseorang berkata: “Engkau setengah talak,” maka ia tertalak sebagaimana jika ia berkata: “Setengahmu tertalak.” Dan jika ia berkata: “Engkau setengah talak,” maka jatuhnya talak atasnya ada dua pendapat.

كَقَوْلِهِ أَنْتِ الطَّلَاقُ. أَحَدُهُمَا: تُطَلَّقُ وَاحِدَةً إِذَا قِيلَ: إِنَّ قَوْلَهُ: أَنْتِ الطَّلَاقُ صَرِيحٌ. وَالثَّانِي: لَا تُطَلَّقُ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ كِنَايَةٌ.

Seperti ucapannya: “Engkau adalah talak.” Salah satunya: ia tertalak satu kali jika dikatakan bahwa ucapannya “Engkau adalah talak” adalah sharih (jelas). Yang kedua: tidak tertalak jika dikatakan bahwa itu adalah kinayah (sindiran).

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ لِأَرْبَعِ نِسْوَةٍ قَدْ أَوْقَعْتُ بَيْنَكُنَّ تَطْلِيقَةً كَانَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ طَالِقًا وَاحِدَةً وَكَذَلِكَ تَطْلِيقَتَيْنِ وَثَلَاثًا وَأَرْبَعًا إِلَّا أَنْ يُرِيدَ قَسْمَ كُلِّ وَاحِدَةٍ فَيُطَلَّقْنَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا) .

Imam Syafi’i berkata: “Jika seseorang berkata kepada empat istrinya: ‘Aku telah menjatuhkan satu talak di antara kalian,’ maka masing-masing dari mereka tertalak satu kali, demikian pula jika dua, tiga, atau empat talak, kecuali jika ia bermaksud membagi talak untuk masing-masing, maka mereka ditalak tiga-tiga.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَالَ لِأَرْبَعِ زَوْجَاتٍ لَهُ: قَدْ أَوْقَعْتُ بَيْنَكُنَّ تَطْلِيقَةً، كَانَ ذَلِكَ صَرِيحًا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهِنَّ، لِأَنَّهُ لَا فَرْقَ فِي عُرْفِ الْخِطَابِ بَيْنَ قَوْلِهِ: قَدْ أَوْقَعْتُ عَلَيْكُنَّ، وَبَيْنَ قَوْلِهِ قَدْ أَوْقَعْتُ بَيْنَكُنَّ، كَمَا لَا فَرْقَ فِي الْإِقْرَارِ بَيْنَ قَوْلِهِ: هَذِهِ الدَّارُ لِزَيْدٍ وَعَمْرٍو، وَبَيْنَ قَوْلِهِ هِيَ بَيْنَ زَيْدٍ وَعَمْرٍو، لِأَنَّ حُرُوفَ الصِّفَاتِ يَقُومُ بَعْضُهَا مَقَامَ بَعْضٍ، وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ صَرِيحًا فَلَهُ فِي إِيقَاعِ الطَّلَاقِ بَيْنَهُنَّ سِتَّةٌ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika seseorang berkata kepada empat istrinya: “Aku telah menjatuhkan satu talak di antara kalian,” maka itu adalah sharih (jelas) dalam jatuhnya talak atas mereka, karena tidak ada perbedaan dalam kebiasaan ucapan antara ucapannya: “Aku telah menjatuhkan atas kalian,” dan ucapannya: “Aku telah menjatuhkan di antara kalian,” sebagaimana tidak ada perbedaan dalam pengakuan antara ucapannya: “Rumah ini milik Zaid dan Amr,” dan ucapannya: “Rumah ini di antara Zaid dan Amr,” karena huruf-huruf sifat dapat saling menggantikan, dan jika itu adalah sharih, maka dalam menjatuhkan talak di antara mereka terdapat enam keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُوقِعَ بَيْنَهُنَّ تَطْلِيقَةً وَاحِدَةً، فَتُطَلَّقَ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً، لِأَنَّ الْوَاحِدَةَ إِذَا قُسِّمَتْ بَيْنَ أَرْبَعٍ، كَانَ قِسْطُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ الرُّبُعَ فَيَكْمُلُ الرُّبُعُ بِالسَّرَايَةِ تَطْلِيقَةً كَامِلَةً.

Salah satunya: Menjatuhkan satu talak di antara mereka, maka masing-masing dari mereka tertalak satu kali, karena jika satu talak dibagi kepada empat, maka bagian masing-masing adalah seperempat, dan seperempat itu menjadi satu talak penuh karena berlaku untuk keseluruhannya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُوقِعَ بَيْنَهُنَّ تَطْلِيقَتَيْنِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِيهِمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Keadaan kedua: Menjatuhkan dua talak di antara mereka, maka dalam hal ini tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُرِيدَ قِسْمَةَ جُمْلَةِ التَّطْلِيقَةِ بَيْنَهُنَّ، فَتُطَلَّقَ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً، لِأَنَّ قِسْطَهَا مِنْ قِسْمَةِ الثِّنْتَيْنِ نِصْفُ وَاحِدَةٍ فَكَمُلَتْ وَاحِدَةً.

Salah satunya: Ia bermaksud membagi keseluruhan talak di antara mereka, maka masing-masing dari mereka tertalak satu kali, karena bagian mereka dari pembagian dua talak adalah setengah, sehingga menjadi satu talak penuh.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ قِسْمَةَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَيْنَهُنَّ، فَتُطَلَّقُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ تَطْلِيقَتَيْنِ، لِأَنَّ قِسْطَهَا مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا رُبُعٌ، فَيَكْمُلُ الرُّبُعُ طَلْقَةً، فَوَقَعَ عَلَيْهَا بِالرُّبُعَيْنِ تَطْلِيقَتَانِ.

Bagian kedua: Ia bermaksud membagi masing-masing dari dua talak itu di antara mereka, maka masing-masing dari mereka tertalak dua kali, karena bagian mereka dari masing-masing talak adalah seperempat, dan seperempat itu menjadi satu talak, sehingga dengan dua seperempat jatuh dua talak atasnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يَكُونُ لَهُ إِرَادَةٌ فِي الْقَسْمِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُحْمُلُ إِطْلَاقُ ذَلِكَ عَلَى قِسْمَةِ جُمْلَةِ التَّطْلِيقَتَيْنِ بَيْنَهُنَّ، فَيَكُونُ قِسْطُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ نِصْفَ تَطْلِيقَةٍ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَجْهًا آخَرَ، وَحَكَاهُ أَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ فِي إِفْصَاحِهِ إنَّهُ يُحْمَلُ إِطْلَاقُ ذَلِكَ عَلَى قِسْمَةِ كُلِّ تَطْلِيقَةٍ بَيْنَهُنَّ، فَيَكُونُ قِسْطُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ رُبُعَيْ تَطْلِيقَتَيْنِ، فَتُطَلَّقُ تَطْلِيقَتَيْنِ، وَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَصَحُّ، لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ محتملاً للأمرين وجب حمله على الأقل.

Bagian ketiga: Jika ia tidak memiliki kehendak tertentu dalam pembagian tersebut, maka menurut mazhab Syafi‘i, ungkapan itu dibawa kepada pembagian jumlah dua talak di antara mereka, sehingga bagian masing-masing dari mereka adalah setengah talak. Namun, sebagian ulama kami berpendapat lain, sebagaimana yang dinukil oleh Abu ‘Ali at-Tabari dalam kitab Ifshah-nya, bahwa ungkapan itu dibawa kepada pembagian setiap talak di antara mereka, sehingga bagian masing-masing dari mereka adalah dua perempat dari dua talak, sehingga dijatuhkan dua talak. Pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i lebih kuat, karena jika suatu lafaz mengandung kemungkinan dua makna, maka harus dibawa kepada makna yang paling sedikit.

والحالة الثَّالِثَةُ: أَنْ يُوقِعَ بَيْنَهُنَّ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ، فَإِنْ أَرَادَ قِيمَةَ الْجُمْلَةِ بَيْنَهُنَّ طُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ تَطْلِيقَةً وَاحِدَةً، لِأَنَّ قِسْطَهَا مِنَ الثَّلَاثِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ تَطْلِيقَةٍ، فَكَمُلَتْ تَطْلِيقَةً وَإِنْ أَرَادَ قِسْمَةَ كُلِّ تَطْلِيقَةٍ بَيْنَهُنَّ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ثَلَاثًا، لِأَنَّ قِسْطَهَا ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ تَطْلِيقَاتٍ فَيُكْمِلُ كُلُّ رُبُعٍ تَطْلِيقَةً، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يُحْمَلُ عَلَى قِسْمَةِ الْجُمْلَةِ فَتُطَلَّقُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً، وَعَلَى الْوَجْهِ الْآخَرِ تُطَلَّقُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ثَلَاثًا.

Keadaan ketiga: Jika ia menjatuhkan tiga talak di antara mereka, maka jika ia bermaksud membagi jumlahnya di antara mereka, maka masing-masing dari mereka dijatuhi satu talak, karena bagian masing-masing dari tiga talak adalah tiga perempat talak, sehingga genap menjadi satu talak. Namun jika ia bermaksud membagi setiap talak di antara mereka, maka masing-masing dari mereka dijatuhi tiga talak, karena bagian masing-masing adalah tiga perempat talak, sehingga setiap seperempat talak dilengkapi menjadi satu talak. Jika ia tidak memiliki kehendak tertentu, maka menurut mazhab Syafi‘i, dibawa kepada pembagian jumlah, sehingga masing-masing dari mereka dijatuhi satu talak, dan menurut pendapat lain, masing-masing dari mereka dijatuhi tiga talak.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُوقِعَ بَيْنَهُنَّ أَرْبَعَ تَطْلِيقَاتٍ، فَإِنْ أَرَادَ قِسْمَةَ الْجُمْلَةِ، طُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ منهن واحدة على الْوَجْهِ الْآخَرِ تُطَلَّقُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ثَلَاثًا، وَتَكُونُ الرَّابِعَةُ لَغْوًا، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ تُطَلَّقُ وَاحِدَةً، وَعَلَى الْوَجْهِ الْآخَرِ ثَلَاثًا.

Keadaan keempat: Jika ia menjatuhkan empat talak di antara mereka, maka jika ia bermaksud membagi jumlahnya, masing-masing dari mereka dijatuhi satu talak. Menurut pendapat lain, masing-masing dari mereka dijatuhi tiga talak, dan talak keempat menjadi sia-sia. Jika ia tidak memiliki kehendak tertentu, maka menurut mazhab Syafi‘i, masing-masing dijatuhi satu talak, dan menurut pendapat lain, tiga talak.

وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ: أَنْ يُوقِعَ بَيْنَهُنَّ خَمْسَ تَطْلِيقَاتٍ فَإِنْ أَرَادَ قِسْمَةَ الْجُمْلَةِ بَيْنَهُنَّ طُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ تَطْلِيقَتَيْنِ، لِأَنَّ قسط كل واحدة، واحدة وربع، فكملت ثنتين، وَإِنْ أَرَادَ قِسْمَةَ كُلِّ تَطْلِيقَةٍ بَيْنَهُنَّ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا مِنْ خَمْسٍ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ تُطَلَّقُ كُلُّ وَاحِدَةٍ تَطْلِيقَتَيْنِ، وَعَلَى الْوَجْهِ الْآخَرِ ثَلَاثًا، وَكَذَلِكَ لَوْ أَوْقَعَ بَيْنَهُنَّ سِتًّا أَوْ سَبْعًا أَوْ ثَمَانِيَةً، لِأَنَّ قِسْطَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ السِّتِّ تَطْلِيقَةٌ وَنِصْفٌ، وَمِنَ السَّبْعِ تَطْلِيقَةٌ وَثَلَاثَةُ أَرْبَاعٍ، وَمِنَ الثَّمَانِ تَطْلِيقَتَانِ، وَلَا فَرَقَ بَيْنَ تَطْلِيقَتَيْنِ وَبَيْنَ تَطْلِيقَةٍ مِنْ بَعْضِ ثَانِيَةٍ فِي تَكْمِيلِهَا بِطَلْقَتَيْنِ.

Keadaan kelima: Jika ia menjatuhkan lima talak di antara mereka, maka jika ia bermaksud membagi jumlahnya di antara mereka, masing-masing dari mereka dijatuhi dua talak, karena bagian masing-masing adalah satu seperempat, sehingga genap menjadi dua talak. Jika ia bermaksud membagi setiap talak di antara mereka, maka dijatuhkan tiga talak dari lima. Jika ia tidak memiliki kehendak tertentu, maka menurut mazhab Syafi‘i, masing-masing dijatuhi dua talak, dan menurut pendapat lain, tiga talak. Demikian pula jika ia menjatuhkan enam, tujuh, atau delapan talak di antara mereka, karena bagian masing-masing dari enam adalah satu setengah talak, dari tujuh adalah satu dan tiga perempat talak, dan dari delapan adalah dua talak. Tidak ada perbedaan antara dua talak dan satu talak ditambah sebagian dari talak kedua dalam penyempurnaannya menjadi dua talak.

وَالْحَالُ السَّادِسَةُ: أَنْ يُوقِعَ بَيْنَهُنَّ تِسْعَ تَطْلِيقَاتٍ، فَتُطَلَّقَ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، لِأَنَّ قِسْطَهَا مِنْ قِسْمَةِ الْجُمْلَةِ تَطْلِيقَتَانِ وَرُبُعٌ، وَهُوَ أَقَلُّ أَحْوَالِهَا، فَكَمُلَتْ ثَلَاثًا، وَكَذَلِكَ لَوْ أَوْقَعَ بينهن اكثر من سبع أو أكبر مِنْ ثَمَانٍ، وَدُونَ التِّسْعِ كَثَمَانٍ وَنِصْفٍ أَوْ ثمان وعشر، لأنه أزاد قِسْطَ كُلِّ وَاحِدَةٍ عَلَى الثِّنْتَيْنِ وَلَوْ بِيَسِيرٍ مِنْ ثَالِثَةٍ، كَمُلَ ثَلَاثًا.

Keadaan keenam: Jika ia menjatuhkan sembilan talak di antara mereka, maka masing-masing dari mereka dijatuhi tiga talak, karena bagian masing-masing dari pembagian jumlah adalah dua seperempat talak, dan itu adalah keadaan paling sedikitnya, sehingga genap menjadi tiga talak. Demikian pula jika ia menjatuhkan lebih dari tujuh atau lebih dari delapan, dan kurang dari sembilan seperti delapan setengah atau delapan dan sepersepuluh, karena bagian masing-masing telah melebihi dua talak, meskipun hanya sedikit dari talak ketiga, maka genap menjadi tiga talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: قَدْ أَوْقَعْتُ بَيْنَكُنَّ تِسْعَ تَطْلِيقَاتٍ، وَقَالَ أَرَدْتُ بِالتِّسْعِ ثَلَاثًا وَاسْتَثْنَيْتُ الرَّابِعَةَ، طَلَّقَ الثَّلَاثَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَطُلِّقَتِ الرَّابِعَةُ فِي الظَّاهِرِ، وَكَانَ مَدِينًا فِي الْبَاطِنِ.

Jika ia berkata: “Aku telah menjatuhkan sembilan talak di antara kalian,” lalu ia berkata, “Yang aku maksud dengan sembilan adalah tiga dan aku mengecualikan yang keempat,” maka tiga dijatuhkan secara lahir dan batin, dan yang keempat dijatuhkan secara lahir, dan ia tetap memiliki tanggungan secara batin.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: قَدْ أَوْقَعْتُ بَيْنَكُنَّ خَمْسًا، وَقَالَ: أَرَدْتُ التَّفْضِيلَ بَيْنَهُنَّ فِي الْقِسْمَةِ، وَأَنْ يَكُونَ ثَلَاثٌ مِنَ الْخَمْسِ لِوَاحِدَةٍ، والثنتان الباقيتان بين الثلاث، قبل قوله الَّتِي فَضَّلَهَا ظَاهِرًا، وَطُلِّقَتْ مِنْهُ ثَلَاثًا، وَقَدْ كَانَ يَقَعُ عَلَيْهَا لَوْلَا التَّفْضِيلُ تَطْلِيقَتَانِ وَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي اللَّائِي نَقَصَهُنَّ فِي الظَّاهِرِ وَإِنْ كَانَ مَدِينًا فِي الْبَاطِنِ، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يَقَعُ عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ لَوْلَا التَّفْضِيلُ طَلْقَتَانِ، وَيَقَعُ عَلَيْهَا مَعَ التَّفْضِيلِ وَاحِدَةٌ، فَيَلْزَمُهُ فِي الظَّاهِرِ تَطْلِيقَتَانِ وَفِي الْبَاطِنِ وَاحِدَةٌ والله أعلم.

Dan jika ia berkata: “Aku telah menjatuhkan lima talak di antara kalian,” lalu ia berkata: “Aku bermaksud memberikan keutamaan di antara kalian dalam pembagian, dan agar tiga dari lima itu untuk satu orang, dan dua sisanya untuk yang tiga lainnya,” maka ucapannya diterima untuk yang ia utamakan secara lahiriah, dan ia telah tertalak tiga kali darinya, padahal seandainya tidak ada keutamaan itu, ia hanya akan tertalak dua kali. Namun, ucapannya tidak diterima untuk yang ia kurangi secara lahiriah, meskipun ia bertanggung jawab secara batin, karena seandainya tidak ada keutamaan itu, masing-masing dari mereka akan tertalak dua kali, dan dengan adanya keutamaan, yang lain hanya tertalak satu kali. Maka, secara lahiriah ia wajib menjatuhkan dua talak, dan secara batin satu talak saja. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا اثْنَتَيْنِ فَهِيَ وَاحِدَةٌ وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا ثَلَاثًا فَهِيَ ثَلَاثٌ إِنَّمَا يَجُوزُ الِاسْتِثْنَاءُ إِذَا بَقَّى شَيئًا فَإِذَا لَمْ يُبَقِّ شَيئًا فمحال) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Engkau tertalak tiga kali kecuali dua,’ maka itu berarti satu talak. Dan jika ia berkata: ‘Engkau tertalak tiga kali kecuali tiga,’ maka itu berarti tiga talak. Pengecualian (istitsnā’) hanya sah jika masih menyisakan sesuatu; jika tidak menyisakan apa pun, maka itu mustahil.”

قال الماوردي: أما الاسثناء فَهُوَ ضِدُّ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ، لِأَنَّهُ يَخْرُجُ مِنْهُ مَا لَوْلَاهُ لَكَانَ دَاخِلًا فِيهِ، فَيَكُونُ مِنَ الْإِثْبَاتِ نَفْيًا وَمِنَ النَّفْيِ إِثْبَاتًا، فَإِذَا قَالَ: جَاءَنِي الْقَوْمُ إِلَّا زَيْدًا، فَقَدْ أَثْبَتَ مَجِيءَ الْقَوْمِ إِلَيْهِ، وَنَفَى مَجِيءَ زَيْدٍ إِلَيْهِ، لِاسْتِثْنَائِهِ مِنْهُمْ وَلَوْ قَالَ: ما جاءني أحداً إلا زيد، فَقَدْ نَفَى مَجِيءَ أَحَدٍ وَأَثْبَتَ مَجِيءَ زَيْدٍ لِاسْتِثْنَائِهِ منْ نَفي، وَإِذَا عَادَ الِاسْتِثْنَاءُ إِلَى جُمْلَةٍ، كَانَ الْمُرَادُ بِهَا، مَا بَقِيَ بَعْدَ الِاسْتِثْنَاءِ مِنْهَا، فَإِذَا قَالَ: لَهُ عَشَرَةٌ إِلَّا ثَلَاثَةً كَانَ إِقْرَارُهُ بِسَبْعَةٍ، وَلَمْ يَكُنْ فَرْقٌ بَيْنَ أَنْ يَقُولَ مُبْتَدِئًا: عَلَيَّ سَبْعَةٌ وَبَيْنَ قَوْلِهِ: لَهُ عَلَيَّ عَشَرَةٌ إِلَّا ثَلَاثَةً.

Al-Mawardi berkata: Adapun istitsnā’ (pengecualian) adalah lawan dari yang dikecualikan darinya, karena ia mengeluarkan sesuatu yang jika tidak ada pengecualian itu, maka ia termasuk di dalamnya. Maka, dari penetapan menjadi penafian, dan dari penafian menjadi penetapan. Jika seseorang berkata: “Kaum itu datang kepadaku kecuali Zaid,” maka ia telah menetapkan kedatangan kaum itu kepadanya dan menafikan kedatangan Zaid kepadanya karena ia dikecualikan dari mereka. Jika ia berkata: “Tidak ada seorang pun yang datang kepadaku kecuali Zaid,” maka ia menafikan kedatangan siapa pun dan menetapkan kedatangan Zaid karena ia dikecualikan dari penafian. Jika istitsnā’ kembali pada suatu jumlah, maka yang dimaksud adalah apa yang tersisa setelah pengecualian darinya. Jika ia berkata: “Ia memiliki sepuluh (utang) kecuali tiga,” maka pengakuannya adalah tujuh, dan tidak ada perbedaan antara ia berkata sejak awal: “Aku berutang tujuh,” dengan ucapannya: “Ia memiliki sepuluh atasku kecuali tiga.”

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا خَمْسِينَ عَامًا} [العنكبوت: 14] . فَكَانَ كَقَوْلِهِ: تِسْعَمِائَةٍ وَخَمْسِينَ عَامًا، وَيَجُوزُ أَنْ يَأْتِيَ اسْتِثْنَاءٌ ثَانِي بَعْدَ أَوَّلٍ وَثَالِثٌ بَعْدَ ثَانِي فَيَعُودُ الْأَوَّلُ إِلَى الْمُسْتَثْنَى نَقَصَ فِيهِ إِثْبَاتًا كَانَ الِاسْتِثْنَاءُ الْأَوَّلُ نَفْيًا، وَالثَّانِي إِثْبَاتًا، وَالثَّالِثُ نَفْيًا لِمَا ذَكَرْنَا، مِنْ أَنَّ حُكْمَ الِاسْتِثْنَاءِ ضِدُّ حُكْمِ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ.

Allah Ta‘ala berfirman: {Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kecuali lima puluh tahun} (QS. Al-‘Ankabut: 14). Maka itu seperti ucapannya: sembilan ratus lima puluh tahun. Boleh juga ada pengecualian kedua setelah yang pertama, dan ketiga setelah yang kedua. Maka pengecualian pertama kembali pada yang dikecualikan darinya, lalu berkurang di dalamnya; jika pengecualian pertama adalah penafian, maka yang kedua adalah penetapan, dan yang ketiga penafian, sebagaimana telah kami sebutkan, bahwa hukum istitsnā’ adalah kebalikan dari hukum yang dikecualikan darinya.

مِثَالُهُ: أَنْ يَقُولَ: لَهُ عَشَرَةٌ إِلَّا سَبْعَةً إِلَّا خَمْسَةً، فَيَكُونُ مُقِرًّا بِثَمَانِيَةٍ، لِأَنَّ قَوْلَهُ لَهُ عَلَيَّ عَشَرَةٌ إِثْبَاتٌ، فَكَانَ قَوْلُهُ إِلَّا سَبْعَةً نَفْيًا لَهَا مِنَ الْعَشَرَةِ، فَسَقَطَتْ مِنْهَا بَقِيَتْ ثَلَاثًا، فَلَمَّا قَالَ: إِلَّا خَمْسَةً عَادَ إِلَى السَّبْعَةِ وَهِيَ نَفْيٌ، فَكَانَتِ الْخَمْسَةُ إِثْبَاتًا فَزِيدَتْ عَلَى الثَّلَاثَةِ الْبَاقِيَةِ مِنَ الْعَشَرَةِ، فصارت ثمانية، وصار مستثناً لِاثْنَتَيْنِ مِنْ عَشَرَةٍ، لِأَنَّ الْخَمْسَةَ الْمُسْتَثْنَاةَ مِنَ السَّبْعَةِ يَبْقَى مِنْهَا اثْنَتَانِ فَصَارَ هُوَ الْمُسْتَثْنَى مِنَ الْعَشَرَةِ، وَشَاهِدُهُ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى قَوْلُهُ فِي قِصَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَلُوطٍ: {قَالُوا إِنَّا أرسلنا إلى قوم مجرمين إلا آل لوط إنا لمنجوهم أجمعين إِلا امْرَأَتَهُ} [الحجر: 58 – 60] . فَاسْتَثْنَى آلَ لُوطٍ بِالنَّجَاةِ مِنَ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ فِي الْهَلَاكِ ثُمَّ اسْتَثْنَى امْرَأَةَ لُوطٍ مِنْ آلِ لُوطٍ الْمُنَجَّوْنَ مِنَ الْهَلَاكِ، فَصَارَتْ مِنَ الْهَالِكِينَ، فَأَمَّا إِذَا كَانَ بَعْدَ الِاسْتِثْنَاءِ الْأَوَّلِ يَأْتِي بِوَاوِ الْعَطْفِ، كَانَا اسْتِثْنَاءً وَاحِدًا كَقَوْلِهِ: عَلَيَّ عَشَرَةٌ إِلَّا أَرْبَعَةً إِلَّا ثَلَاثَةً، فَيَكُونُ كَقَوْلِهِ: عَلَيَّ عَشَرَةٌ إِلَّا سَبْعَةً، فَيَكُونُ عَلَيْهِ ثَلَاثَةٌ، لِأَنَّ وَاوَ الْعَطْفِ تَجْمَعُ بَيْنَ الْمَعْطُوفِ وَالْمَعْطُوفِ عَلَيْهِ فِي الْحُكْمِ، وَمَتَى كَانَ الِاسْتِثْنَاءُ رَافِعًا لِجَمِيعِ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ بَطَلَ الِاسْتِثْنَاءُ وَثَبَتَ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ، كَقَوْلِهِ لَهُ عَلَيَّ عَشَرَةٌ إِلَّا عَشَرَةً، ثَبَتَ إِقْرَارُهُ بِالْعَشَرَةِ وَبَطَلَ اسْتِثْنَاؤُهُ لِلْعَشَرَةِ، لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ مَوْضُوعٌ لِإِبْقَاءِ بَعْضِ الْجُمْلَةِ لَا لِرَفْعِهَا، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يَحْسُنُ أَنْ يَقُولَ: جَاءَ بَنُو تَمِيمٍ إِلَّا بَنِي تَمِيمٍ، وَيَحْسُنُ أَنْ يَقُولَ: إِلَّا الصبيان، لأن في الأول رافع، وفي الثاني مبقي، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الِاسْتِثْنَاءُ رَافِعًا لِلْأَوَّلِ، مُبْقِيًا للأكثر إجماعاً كقوله: علي عشرة إلا درهم، فَيَبْقَى تِسْعَةٌ يَكُونُ مُقِرًّا بِهَا. فَأَمَّا إِذَا كَانَ رَافِعًا لِلْأَكْثَرِ مُبْقِيًا لِلْأَقَلِّ جَازَ عَلَى قَوْلِ جَمِيعِ الْفُقَهَاءِ وَأَكْثَرِ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ، فَيَقُولُ: لَهُ عَلَيَّ عَشَرَةٌ إِلَّا تِسْعَةً، فَيَكُونُ مُقِرًّا بِدِرْهَمٍ.

Contohnya: Seseorang berkata, “Dia memiliki hak atas saya sepuluh, kecuali tujuh, kecuali lima.” Maka ia dianggap mengakui delapan. Karena ucapannya “dia memiliki hak atas saya sepuluh” adalah penetapan, lalu ucapannya “kecuali tujuh” adalah penafian terhadap tujuh dari sepuluh, sehingga tersisa tiga. Ketika ia berkata lagi “kecuali lima”, maka kembali kepada tujuh yang dinafikan tadi, sehingga lima menjadi penetapan, lalu ditambahkan kepada tiga yang tersisa dari sepuluh, sehingga menjadi delapan. Maka yang dikecualikan adalah dua dari sepuluh, karena lima yang dikecualikan dari tujuh, sisanya tinggal dua, maka itulah yang menjadi pengecualian dari sepuluh. Dalilnya dari Kitabullah Ta‘ala adalah firman-Nya dalam kisah Ibrahim dan Luth: {Mereka berkata: “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa, kecuali keluarga Luth, sesungguhnya kami akan menyelamatkan mereka semuanya, kecuali istrinya.”} [al-Hijr: 58-60]. Maka Allah mengecualikan keluarga Luth dari kaum yang berdosa dalam kebinasaan, kemudian mengecualikan istri Luth dari keluarga Luth yang diselamatkan dari kebinasaan, sehingga ia termasuk yang binasa. Adapun jika setelah pengecualian pertama disambung dengan huruf ‘wawu’ (‘dan’), maka itu menjadi satu pengecualian, seperti ucapannya: “Atas saya sepuluh, kecuali empat, kecuali tiga,” maka itu seperti ucapannya: “Atas saya sepuluh, kecuali tujuh,” sehingga yang tersisa atasnya tiga, karena huruf ‘wawu’ menggabungkan antara yang di-‘athaf’ dan yang di-‘athaf’-kan dalam hukum. Dan apabila pengecualian itu menghapus seluruh yang dikecualikan darinya, maka batal pengecualian itu dan tetaplah yang dikecualikan darinya, seperti ucapannya: “Dia memiliki hak atas saya sepuluh, kecuali sepuluh,” maka tetaplah pengakuannya atas sepuluh dan batal pengecualian sepuluh itu, karena pengecualian itu bertujuan untuk menyisakan sebagian dari jumlah, bukan untuk menghapus seluruhnya. Tidakkah engkau lihat, tidak pantas seseorang berkata: “Bani Tamim datang kecuali Bani Tamim,” tetapi pantas ia berkata: “kecuali anak-anak,” karena yang pertama menghapus seluruhnya, sedangkan yang kedua menyisakan sebagian. Dan boleh saja pengecualian itu menghapus yang pertama dan menyisakan yang lebih banyak menurut ijmā‘, seperti ucapannya: “Atas saya sepuluh, kecuali satu dirham,” maka tersisa sembilan, dan ia mengakuinya. Adapun jika pengecualian itu menghapus yang lebih banyak dan menyisakan yang lebih sedikit, maka boleh menurut seluruh fuqahā’ dan mayoritas ahli bahasa Arab, seperti ucapannya: “Dia memiliki hak atas saya sepuluh, kecuali sembilan,” maka ia mengakui satu dirham.

وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ دَرَسْتَوَيْهِ مِنَ النُّحَاةِ، أَنَّهُ أَبْطَلَ الِاسْتِثْنَاءَ إِذَا كَانَ رَفْعَ الْأَكْثَرَ، وَأَبْقَى الْأَقَلَّ وَهُوَ قَوْلٌ مُطْرَحٌ، لِأَنَّ الْقُرْآنَ يَدْفَعُهُ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ} [الحجر: 39، 40] . فَاسْتَثْنَى الْمُخْلَصِينَ الْمُؤْمِنِينَ، وَنَفَى الْكَافِرِينَ ثُمَّ قَالَ بَعْدَهَا: {إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ} [الحجر: 42] . فَاسْتَثْنَى الْغَاوِينَ من الكافرين وبقي المؤمنين، وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا أَكْثَرَ مِنَ الْآخَرِ عَلَى أَنَّ الْكُفَّارَ أَكْثَرُ لِقَوْلِهِ: {وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ} [الأعراف: 17] . فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ الاستثناء الأكثر وَقَالَ الشَّاعِرُ.

Diriwayatkan dari Ibn Daristawaih, seorang ahli nahwu, bahwa ia membatalkan pengecualian jika menghapus yang lebih banyak dan menyisakan yang lebih sedikit, dan pendapat ini ditinggalkan, karena al-Qur’an menolaknya. Allah Ta‘ala berfirman: {Iblis berkata: “Ya Tuhanku, karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti akan aku jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi dan pasti akan aku sesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.”} [al-Hijr: 39-40]. Maka Allah mengecualikan orang-orang mukhlis yang beriman dan menafikan orang-orang kafir. Kemudian Allah berfirman setelahnya: {Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu atas mereka, kecuali orang-orang yang mengikutimu dari golongan yang sesat.} [al-Hijr: 42]. Maka Allah mengecualikan orang-orang yang sesat dari golongan kafir, dan yang tersisa adalah orang-orang beriman. Pasti salah satu dari keduanya lebih banyak dari yang lain, dan kaum kafir lebih banyak sebagaimana firman-Nya: {Dan engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.} [al-A‘raf: 17]. Maka ini menunjukkan bolehnya pengecualian terhadap yang lebih banyak. Dan seorang penyair berkata:

(أَدُّوا الَّتِي نَقَصَتْ تِسْعِينَ عَنْ مِائَةٍ … ثُمَّ ابْعَثُوا حَكَمًا بِالْحَقِّ قَوَّالًا)

(Tunaikanlah yang kurang sembilan puluh dari seratus… lalu utuslah seorang hakim yang berkata benar)

فَاسْتَثْنَى تِسْعِينَ مِنْ مِائَةٍ وَهِيَ الْأَكْثَرُ.

Maka ia mengecualikan sembilan puluh dari seratus, padahal itu adalah yang lebih banyak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ تَمْهِيدِ هَذِهِ الْأُصُولِ، كَانَ الِاسْتِثْنَاءُ فِي الطَّلَاقِ مَبْنِيًّا عَلَيْهَا. فَإِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا وَاحِدَةً، طُلِّقَتِ اثْنَتَيْنِ، لِبَقَائِهَا بَعْدَ اسْتِثْنَائِهَا الْوَاحِدَةَ.

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan dari penjelasan dasar-dasar ini, maka pengecualian dalam talak dibangun di atasnya. Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali satu,” maka jatuhlah talak dua, karena satu dikecualikan dan sisanya tetap.

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا وَاحِدَةً اثْنَتَيْنِ، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً لِبَقَائِهَا بَعْدَ الِاسْتِثْنَاءِ لِلِاثْنَتَيْنِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا ثَلَاثًا، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا لِإِيقَاعِهَا بَعْدَ اسْتِثْنَائِهَا وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ خَمْسًا إِلَّا ثَلَاثًا. فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak tiga kali kecuali satu, yaitu dua kali,” maka ia tertalak satu kali, karena yang tersisa setelah pengecualian dari dua adalah satu. Jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kali kecuali tiga,” maka ia tertalak tiga kali, karena talak itu tetap jatuh setelah pengecualian tersebut. Jika ia berkata: “Engkau tertalak lima kali kecuali tiga,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهَا تُطَلَّقُ ثَلَاثًا، لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ مِنَ الطَّلَاقِ إِلَّا ثَلَاثًا، وَالزِّيَادَةُ عَلَيْهَا مِنَ الْخَمْسِ لَغْوٌ فَصَارَ كَأَنَّهُ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا ثَلَاثًا، فَطُلِّقَتْ ثَلَاثًا.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa ia tertalak tiga kali, karena seseorang tidak memiliki hak talak kecuali tiga kali, dan tambahan dari lima itu dianggap sia-sia, sehingga seakan-akan ia berkata: “Engkau tertalak tiga kali kecuali tiga,” maka ia tertalak tiga kali.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَقَدْ حَكَاهُ الْبُوَيْطِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا تُطَلَّقُ اثْنَتَيْنِ، لِأَنَّ الخمس لغواً إِذَا لَمْ يَتَعَقَّبْهَا اسْتِثْنَاءٌ، فَأَمَّا مَعَ الِاسْتِثْنَاءِ فَلَا تَكُونُ لَغْوًا لِأَنَّ الْبَاقِيَ هُوَ الْمَقْصُودُ، فَخَرَجَتْ عَنْ حُكْمِ اللَّغْوِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ خَمْسًا إِلَّا اثْنَتَيْنِ، طُلِّقَتْ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ وَاحِدَةً لِعَوْدِ الِاسْتِثْنَاءِ إِلَى الثَّلَاثِ، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي: تُطَلَّقُ ثَلَاثًا لِعَوْدِ الِاسْتِثْنَاءِ إِلَى الْخَمْسِ. وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَرْبَعًا إِلَّا اثْنَتَيْنِ، طُلِّقَتْ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ وَاحِدَةً، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي اثْنَتَيْنِ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ سِتًّا إِلَّا ثَلَاثًا، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا عَلَى الْوَجْهَيْنِ، لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ إِنْ عَادَ إِلَى السِّتِّ فَقَدْ أَبْقَى ثَلَاثًا، وَإِنْ عَادَ إِلَى الثَّلَاثِ فَقَدِ اسْتَثْنَى جَمِيعَهَا فَلَمْ يَصِحَّ.

Pendapat kedua, yang dinukil oleh Al-Buwaiti dari Asy-Syafi‘i, bahwa ia tertalak dua kali, karena lima itu dianggap sia-sia jika tidak diikuti pengecualian. Adapun jika disertai pengecualian, maka tidak dianggap sia-sia, karena yang tersisa itulah yang dimaksudkan, sehingga keluar dari hukum sia-sia. Berdasarkan ini, jika ia berkata: “Engkau tertalak lima kali kecuali dua,” maka menurut pendapat pertama, ia tertalak satu kali karena pengecualian kembali kepada tiga, dan menurut pendapat kedua, ia tertalak tiga kali karena pengecualian kembali kepada lima. Jika ia berkata: “Engkau tertalak empat kali kecuali dua,” maka menurut pendapat pertama, ia tertalak satu kali, dan menurut pendapat kedua, ia tertalak dua kali. Namun, jika ia berkata: “Engkau tertalak enam kali kecuali tiga,” maka ia tertalak tiga kali menurut kedua pendapat, karena jika pengecualian kembali kepada enam, maka yang tersisa adalah tiga, dan jika kembali kepada tiga, maka seluruhnya dikecualikan sehingga tidak sah.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا اثْنَتَيْنِ إِلَّا وَاحِدَةً، طُلِّقَتِ اثْنَتَيْنِ، لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ الْأَوَّلَ نَفْيٌّ فَبَقِيَتْ بَعْدَهُ وَاحِدَةٌ، وَالِاسْتِثْنَاءَ الثَّانِي إِثْبَاتٌ فَزَادَتْ بِهِ وَاحِدَةٌ، وَتَحْقِيقُهُ أَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ الثَّانِيَ قَدْ أَسْقَطَ مِنَ الِاسْتِثْنَاءِ الْأَوَّلِ وَاحِدَةً، فَصَارَ الْبَاقِي مِنْهُ وَاحِدَةً، وَهُوَ الْقَدْرُ الْمُسْتَثْنَى مِنَ الثَّلَاثِ فَبَقِيَتِ اثْنَتَانِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا وَاحِدَةً وَوَاحِدَةً، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً، لِأَنَّهُ لَمَّا جَمَعَ بَيْنَ عَدَدَيِ الِاسْتِثْنَاءِ بِوَاوِ الْعَطْفِ، صَارَ الْمُسْتَثْنَى وَاحِدَةً، وَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا اثْنَتَيْنِ، فَتُطَلَّقُ وَاحِدَةً، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا وَاحِدَةً وَإِلَّا وَاحِدَةً، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً، لِأَنَّ دُخُولَ وَاوِ الْعَطْفِ بَيْنَ الْعَدَدَيْنِ يَجْعَلُ إِعَادَةَ حَرْفِ الِاسْتِثْنَاءِ تَأْكِيدًا. وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا اثْنَتَيْنِ وَوَاحِدَةً، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kali kecuali dua kecuali satu,” maka ia tertalak dua kali, karena pengecualian pertama adalah penafian sehingga yang tersisa setelahnya satu, dan pengecualian kedua adalah penetapan sehingga bertambah satu, dan penjelasannya adalah bahwa pengecualian kedua telah mengurangi satu dari pengecualian pertama, sehingga yang tersisa darinya satu, dan itulah jumlah yang dikecualikan dari tiga, maka yang tersisa adalah dua. Jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kali kecuali satu dan satu,” maka ia tertalak satu kali, karena ketika ia menggabungkan dua jumlah pengecualian dengan huruf waw ‘athaf, maka yang dikecualikan adalah satu, dan hal itu sama dengan ucapannya: “Engkau tertalak tiga kali kecuali dua,” maka ia tertalak satu kali. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kali kecuali satu dan kecuali satu,” maka ia tertalak satu kali, karena masuknya huruf waw ‘athaf di antara dua jumlah menjadikan pengulangan huruf pengecualian sebagai penegasan. Jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kali kecuali dua dan satu,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُطَلَّقُ ثَلَاثًا، لِأَنَّ عَدَدَيِ الِاسْتِثْنَاءِ إِذَا جُمِعَا كَانَا ثَلَاثًا، فَصَارَ كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا ثَلَاثًا، فَتُطَلَّقُ ثَلَاثًا وَيَبْطُلُ الِاسْتِثْنَاءُ لِرَفْعِهِ لِلْجَمِيعِ.

Salah satunya: ia tertalak tiga kali, karena jika dua jumlah pengecualian digabungkan maka menjadi tiga, sehingga sama dengan ucapannya: “Engkau tertalak tiga kali kecuali tiga,” maka ia tertalak tiga kali dan pengecualian menjadi batal karena menghapus seluruhnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُطَلَّقُ وَاحِدَةً، إِسْقَاطًا لِلْوَاحِدَةِ، الْأَخِيرَةِ مِنْ عَدَدَيِ الِاسْتِثْنَاءِ، لِتَكُونَ الثِّنْتَانِ الْبَاقِيَتَانِ مِنْهُ عَدَدًا يَصِحُّ الاستثناء، فلذلك طلقت واحدة، لأه لَمَّا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا اثْنَتَيْنِ بَقِيَتْ وَاحِدَةٌ، فَإِذَا قَالَ: إِلَّا وَاحِدَةً صَارَ كَأَنَّهُ قَدِ اسْتَثْنَى وَاحِدَةً مِنْ وَاحِدَةٍ، فَلَمْ يَصِحَّ، وَلَوْ كَانَ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا وَاحِدَةً وَاثْنَتَيْنِ فَفِي الْوَجْهِ الْأَوَّلِ تُطَلَّقُ ثَلَاثًا إِسْقَاطًا لِجَمِيعِ الِاسْتِثْنَاءِ، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي تُطَلَّقُ اثْنَتَيْنِ إِسْقَاطًا لِآخِرِ الْعَدَدَيْنِ، وَإِثْبَاتًا لِلْأَوَّلِ، وَلَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةٌ وَوَاحِدَةٌ وَوَاحِدَةٌ، إِلَّا وَاحِدَةً طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَسَقَطَ الِاسْتِثْنَاءُ، لِأَنَّهُ لَمَّا فَرَّقَ الْجُمْلَةَ الْمُسْتَثْنَى مِنْهَا صَارَ الِاسْتِثْنَاءُ رَاجِعًا إِلَى أَقْرَبِهَا، وَهِيَ الْوَاحِدَةُ الْأَخِيرَةُ، فَلَمْ يَصِحَّ اسْتِثْنَاؤُهَا وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ فَطَالِقٌ، إِلَّا طَلْقَةً طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، لِأَنَّهُ أَفْرَدَهَا، وَلَمْ يَجْمَعْهَا فَلَمْ يَصِحَّ الِاسْتِثْنَاءُ فِيهَا.

Pendapat kedua: dijatuhkan talak satu, sebagai pengurangan satu, yaitu yang terakhir dari dua jumlah yang dikecualikan, agar dua yang tersisa darinya menjadi jumlah yang sah untuk pengecualian. Oleh karena itu, dijatuhkan talak satu. Sebab, ketika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali dua,” maka yang tersisa adalah satu. Jika ia berkata: “Kecuali satu,” maka seolah-olah ia mengecualikan satu dari satu, sehingga tidak sah. Jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali satu dan dua,” maka menurut pendapat pertama, dijatuhkan talak tiga sebagai pengurangan seluruh pengecualian, dan menurut pendapat kedua, dijatuhkan talak dua sebagai pengurangan jumlah yang terakhir dan menetapkan yang pertama. Jika ia berkata: “Engkau tertalak satu, satu, dan satu, kecuali satu,” maka dijatuhkan talak tiga dan pengecualian gugur, karena ketika ia memisahkan kalimat yang dikecualikan darinya, pengecualian kembali kepada yang paling dekat, yaitu satu yang terakhir, sehingga pengecualiannya tidak sah. Demikian pula jika ia berkata kepadanya: “Engkau tertalak, tertalak, lalu tertalak, kecuali satu talak,” maka dijatuhkan talak tiga, karena ia memisahkannya dan tidak mengumpulkannya, sehingga pengecualian tidak sah padanya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِلَّا اثْنَتَيْنِ وَنِصْف إِلَّا وَاحِدَةً، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، لِأَنَّ نِصْفَ الثَّالِثَةِ يَسْرِي، فَيَصِيرُ وَاحِدَةً كَامِلَةً، وقد ضمنها إِلَى اثْنَتَيْنِ بِوَاوِ الْعَطْفِ، فَصَارَ كَقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ اثْنَتَيْنِ وَوَاحِدَةً إِلَّا وَاحِدَةً فَتُطَلَّقُ ثَلَاثًا وَيَسْقُطُ اسْتِثْنَاءُ الْوَاحِدَةِ، لِرُجُوعِهِ إِلَى الْوَاحِدَةِ وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ: أَنَّهَا تُطَلَّقُ طَلْقَتَيْنِ، لِأَنَّ وَاوَ الْعَطْفِ دَخَلَتْ هَاهُنَا، فِيمَا لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ وَسَرَايَةُ الطَّلَاقِ تَسْتَقِرُّ بَعْدَ الِاسْتِثْنَاءِ، فَإِذَا اسْتَثْنَى وَاحِدَةً مِنَ اثْنَتَيْنِ وَنِصْفٍ بَقِيَتْ وَاحِدَةٌ وَنِصْفٌ فَكَمُلَتِ اثْنَتَيْنِ، فَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا نِصْف، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، لِأَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ الِاسْتِثْنَاءِ طَلْقَتَانِ وَنِصْف، وَيَكُونُ تَكْمِيلُ الطَّلَاقِ فِي الْوَاقِعِ مِنْهُ دُونَ الْمُسْتَثْنَى.

Jika ia berkata kepadanya: “Engkau tertalak kecuali dua dan setengah kecuali satu,” maka dijatuhkan talak tiga, karena setengah dari yang ketiga tetap berlaku, sehingga menjadi satu talak penuh, dan ia telah menggabungkannya dengan dua dengan huruf waw ‘athaf, sehingga seperti ucapannya: “Engkau tertalak dua dan satu kecuali satu,” maka dijatuhkan talak tiga dan pengecualian satu gugur, karena kembali kepada satu. Dalam hal ini ada pendapat lain: bahwa ia dijatuhkan talak dua, karena waw ‘athaf masuk di sini pada sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan, dan pengaruh talak tetap setelah pengecualian. Jika ia mengecualikan satu dari dua setengah, maka yang tersisa satu setengah, sehingga menjadi dua. Jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali setengah,” maka dijatuhkan talak tiga, karena yang tersisa setelah pengecualian adalah dua setengah talak, dan penyempurnaan talak dalam kenyataannya berasal dari yang dijatuhkan, bukan dari yang dikecualikan.

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ طَلْقَتَيْنِ وَنِصْف إِلَّا طَلْقَةً وَنِصْف فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Jika ia berkata: “Engkau tertalak dua setengah kecuali satu talak dan setengah,” maka ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهَا تُطَلَّقُ ثَلَاثًا، لِأَنَّ الطَّلْقَةَ وَنِصْف لَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَثْنَى مِنْ نِصْفِ طَلْقَةٍ، فَيَسْقُطَ الِاسْتِثْنَاءُ وَيَكْمُلَ الْوَاقِعُ ثَلَاثًا.

Pertama: ia dijatuhkan talak tiga, karena satu talak dan setengah tidak boleh dikecualikan dari setengah talak, sehingga pengecualian gugur dan yang dijatuhkan menjadi tiga.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُطَلَّقُ طَلْقَتَيْنِ، لِأَنَّ النِّصْفَ طَلْقَةٍ الْوَاقِعَةَ مَعَ الطَّلْقَتَيْنِ قَدْ صَارَتْ ثَلَاثًا، وَقَدِ اسْتَثْنَى مِنْهَا طَلْقَةً وَنِصْف، فَبَقِيَتْ طَلْقَةٌ فَكَمُلَتْ طَلْقَتَيْنِ.

Pendapat kedua: ia dijatuhkan talak dua, karena setengah talak yang dijatuhkan bersama dua talak menjadi tiga, dan ia telah mengecualikan darinya satu talak dan setengah, sehingga yang tersisa satu talak, maka menjadi dua talak.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهَا تُطَلَّقُ وَاحِدَةً، لِأَنَّ كَمَالَ الْوَاقِعِ يَكُونُ بَعْدَ الِاسْتِثْنَاءِ مِنْهُ، وَقَدِ اسْتَثْنَى طَلْقَةً وَنِصْف مِنْ طَلْقَتَيْنِ وَنِصْفٍ فَبَقِيَتْ وَاحِدَةٌ.

Pendapat ketiga: ia dijatuhkan talak satu, karena penyempurnaan yang dijatuhkan terjadi setelah pengecualian darinya, dan ia telah mengecualikan satu talak dan setengah dari dua setengah talak, sehingga yang tersisa satu.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا ثَلَاثًا إِلَّا وَاحِدَةً، ففيه ثلاثة أوجه:

Jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali tiga kecuali satu,” maka ada tiga pendapat:

أحدها: تطلق تُطَلَّقُ ثَلَاثًا لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ الْأَوَّلَ رَافِعٌ لِلْكُلِّ فَيَسْقُطُ، وَالِاسْتِثْنَاءَ الثَّانِيَ رَاجِعٌ إِلَى الْأَوَّلِ فَسَقَطَ بِسُقُوطِهِ.

Pertama: ia dijatuhkan talak tiga, karena pengecualian pertama menghapus seluruhnya sehingga gugur, dan pengecualian kedua kembali kepada yang pertama sehingga gugur bersamanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُطَلَّقُ طَلْقَتَيْنِ، لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ الْأَوَّلَ سَقَطَ بِرَفْعِهِ لِلْكُلِّ وَقَامَ الِاسْتِثْنَاءُ الثَّانِي مَقَامَ الْأَوَّلِ، فَنَفَى طَلْقَةً وَبَقِيَتْ طَلْقَتَانِ.

Pendapat kedua: ia dijatuhkan talak dua, karena pengecualian pertama gugur karena menghapus seluruhnya, dan pengecualian kedua menggantikan posisi yang pertama, sehingga meniadakan satu talak dan yang tersisa dua talak.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهَا تُطَلَّقُ وَاحِدَةً، لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ الْأَوَّلَ قَدْ عَادَ إِلَيْهِ الِاسْتِثْنَاءُ الثَّانِي فَبَقي مِنْهُ وَاحِدَة وَنفي مِنْهُ اثْنَتَانِ، فَصَحَّ عَوْدُهُ إِلَى الثَّلَاثِ، فَبَقِيَ مِنْهَا طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ. وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا ثَلَاثًا إِلَّا ثِنْتَيْنِ، كَانَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Pendapat ketiga: Ia ditalak satu kali, karena pengecualian pertama telah kembali kepadanya pengecualian kedua, sehingga yang tersisa darinya adalah satu dan yang ditiadakan darinya adalah dua, maka sah pengecualian itu kembali kepada tiga, sehingga yang tersisa darinya adalah satu talak. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau aku talak tiga kecuali tiga kecuali dua,” maka ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: تُطَلَّقُ ثَلَاثًا وَيَسْقُطُ جَمِيعُ الِاسْتِثْنَاءِ.

Salah satunya: Ia ditalak tiga kali dan seluruh pengecualian gugur.

وَالثَّانِي: تُطَلَّقُ وَاحِدَةً، إِسْقَاطًا لِلِاسْتِثْنَاءِ الْأَوَّلِ، وَإِقَامَة الثَّانِي مَقَامَهُ.

Kedua: Ia ditalak satu kali, dengan menggugurkan pengecualian pertama dan menempatkan pengecualian kedua sebagai gantinya.

وَالثَّالِثُ: تُطَلَّقُ اثْنَتَانِ، لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ الْأَخِيرَ يَرْجِعُ إِلَى الِاسْتِثْنَاءِ الْأَوَّلِ، فَبَقِيَ مِنْهُ وَاحِدَةٌ فَيَصِحُّ اسْتِثْنَاءُ الْوَاحِدَةِ مِنَ الثَّلَاثَةِ، فَتَبْقَى اثْنَتَانِ وَتُطَلَّقُ وَاحِدَةً اسْتِعْمَالًا لَهَا فَتَسْقُطُ مِنَ الْأَوَّلِ اثْنَتَانِ، وَتَبْقَى مِنْهُ وَاحِدَةٌ، وَهُوَ الْقَدْرُ الْمُسْتَثْنَى.

Ketiga: Ia ditalak dua kali, karena pengecualian terakhir kembali kepada pengecualian pertama, sehingga yang tersisa darinya adalah satu, maka sah pengecualian satu dari tiga, sehingga tersisa dua dan ia ditalak satu sebagai pelaksanaan atasnya, maka gugurlah dari yang pertama dua, dan tersisa darinya satu, dan itulah kadar yang dikecualikan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَاعْلَمْ أَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ يَصِحُّ بِجَمِيعِ حُرُوفِهِ الْمُسْتَعْمَلَةِ فيه، وهي: إلا، وغير، وسوى، وخلا، وحاشى، وَعَدَا، فَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا وَاحِدَةً، أَوْ غَيْرَ وَاحِدَةٍ أَوْ سِوَى وَاحِدَةٍ أو خلا واحدة أو حاشى وَاحِدَةً أَوْ عَدَا وَاحِدَةً، صَحَّ اسْتِثْنَاؤُهُ بِهَذِهِ الْأَلْفَاظِ كُلِّهَا، وَطُلِّقَتِ اثْنَتَيْنِ، إِلَّا أَنَّ غَيْرَ وَحْدَهَا مِنْ جَمِيعِ هَذِهِ الْأَلْفَاظِ قَدْ يُسْتَعْمَلُ فِيهَا الْإِعْرَابُ، فَتُضُمُّ الرَّاءُ مِنْهَا تَارَةً، وَتُفْتَحُ أُخْرَى، فَإِنْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ غَيْرَ وَاحِدَةٍ بِفَتْحِ الرَّاءِ، كَانَ اسْتِثْنَاءٌ وَطَلَّقَتِ اثْنَتَيْنِ، وَإِنْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا غَيْرُ وَاحِدَةٍ، بِضَمِّ الراء قال أهل العربية: تطلق ثلاثاً، لان بِالضَّمِّ يَصِيرُ نَفْيًا، وَلَا يَكُونُ اسْتِثْنَاءً وَتَقْدِيرُهُ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا لَيْسَتْ وَاحِدَةً، وَلَيْسَ لِأَصْحَابِنَا فِي هَذَا نَصٌّ، فَإِنْ كَانَ الْمُطَلِّقُ مِنْ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ الَّذِي يَسْتَعْمِلُ الْإِعْرَابَ فِي كَلَامِهِ، فَالْجَوَابُ عَلَى مَا قَالُوهُ، وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِهِمْ كَانَ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ اخْتِلَافِ وِجْهَتَيْ أَصْحَابِنَا فِي أَمْثَالِهِ.

Ketahuilah bahwa pengecualian sah dengan seluruh huruf-huruf yang digunakan di dalamnya, yaitu: illā, ghayr, siwā, khalā, ḥāshā, dan ‘adā. Maka jika ia berkata: “Engkau aku talak tiga kecuali satu,” atau “selain satu,” atau “siwa satu,” atau “kecuali satu,” atau “hasha satu,” atau “ada satu,” maka sah pengecualiannya dengan seluruh lafaz ini, dan ia ditalak dua kali. Kecuali kata “ghayr”, dari seluruh lafaz ini, terkadang digunakan dalam bentuk i‘rāb, sehingga huruf rā’ darinya kadang di-dhammah, kadang di-fathah. Jika ia berkata: “Engkau aku talak selain satu” dengan fathah pada rā’, maka itu adalah pengecualian dan ia ditalak dua kali. Namun jika ia berkata: “Engkau aku talak tiga selain satu” dengan dhammah pada rā’, menurut ahli bahasa Arab: ia ditalak tiga, karena dengan dhammah menjadi penafian, bukan pengecualian, dan maksudnya: “Engkau aku talak tiga, bukan satu,” dan tidak ada nash dari ulama mazhab kami dalam hal ini. Jika yang menjatuhkan talak adalah orang Arab yang menggunakan i‘rāb dalam ucapannya, maka jawabannya sesuai dengan apa yang mereka katakan. Namun jika bukan dari mereka, maka mengikuti apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan dua pendapat ulama mazhab kami dalam kasus serupa.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَدَّمَ الِاسْتِثْنَاءَ، فَقَالَ: أَنْتِ إِلَّا وَاحِدَةً طَالِقٌ ثَلَاثًا، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا وَسَقَطَ الِاسْتِثْنَاءُ، لِأَنَّهُ يَعُودُ إِلَى مَا تَقَدَّمُهُ، وَلَا يَصِحُّ أَنْ يَعُودَ إِلَى مَا تَعَقَّبَهُ، فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ جَاءَ فِي كَلَامِهِمْ عَوْدُ الِاسْتِثْنَاءِ إِلَى مَا تَعَقَّبَهُ، وَهُوَ قَوْلُ الْفَرَزْدَقِ فِي مَدْحِ هِشَامِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْمُغِيرَةِ خَالِ هِشَامِ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ.

Jika pengecualian didahulukan, lalu ia berkata: “Engkau, kecuali satu, aku talak tiga,” maka ia ditalak tiga dan pengecualian gugur, karena pengecualian kembali kepada apa yang mendahuluinya, dan tidak sah kembali kepada apa yang mengikutinya. Jika dikatakan: “Telah datang dalam ucapan mereka pengecualian yang kembali kepada apa yang mengikutinya,” yaitu ucapan al-Farazdaq dalam memuji Hisham bin Ibrahim bin al-Mughirah, paman Hisham bin Abdul Malik.

(وَمَا مِثْلُهُ فِي النَّاسِ إِلَّا مُمَلَّكًا … أبو أمه حي أبو يقاربه)

(Dan tidak ada yang sepertinya di antara manusia kecuali seorang raja … Ayah dari ibunya masih hidup, ayah yang menjadi kerabatnya)

فقد الِاسْتِثْنَاءَ عَلَى الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ، فَكَانَ التَّقْدِيرُ وَمَا مثله في الناس حتى يُقَارِبُهُ إِلَّا مُمَلَّكًا أَبُو أَمِّ ذَلِكَ الْمُمَلَّكِ، أَبُو هَذَا الْمَمْدُوحِ.

Maka pengecualian itu kembali kepada yang dikecualikan darinya, sehingga maksudnya: “Dan tidak ada yang sepertinya di antara manusia hingga mendekatinya, kecuali seorang raja, yaitu ayah dari ibu raja itu, ayah dari orang yang dipuji ini.”

قِيلَ: هَذَا الِاسْتِثْنَاءُ إِنَّمَا قُدِّمَ فِي ضَرُورَةِ الشِّعْرِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْمَلَ عَلَيْهِ، مَا زَالَتِ الضَّرُورَةُ عَنْهُ وَاللَّهُ أعلم.

Dikatakan: Pengecualian ini hanya didahulukan karena kebutuhan syair, maka tidak boleh dijadikan dasar, selama kebutuhan itu telah hilang. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

: قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ كُلَّمَا وَلَدْتِ وَلَدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً فَوَلَدَتْ ثَلَاثًا فِي بَطْنٍ طُلِّقَتْ بِالْأَوَّلِ وَاحِدَةً وَبِالثَّانِي أُخْرَى وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالثَّالِثِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia berkata: Setiap kali engkau melahirkan seorang anak, maka engkau tertalak satu kali, lalu ia melahirkan tiga anak dalam satu kandungan, maka dengan anak pertama ia tertalak satu kali, dengan anak kedua satu kali lagi, dan selesai masa iddahnya dengan anak ketiga.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: كُلَّمَا وَلَدْتِ وَلَدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِنْ وَلَدَتْ وَلَدًا وَاحِدًا طُلِّقَتْ وَاحِدَةً، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالْأَقْرَاءِ، وَسَوَاءٌ كَانَ الْوَلَدُ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى، وَسَوَاءٌ وَضَعَتْهُ حَيًّا أَوْ مَيِّتًا، كَامِلَ الْخَلْقِ أَوْ نَاقِصًا، فَأَمَّا إِنْ وَضَعَتْ يَدًا أَوْ رِجْلًا لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّهُ بَعْضُ وَلَدٍ وَلَيْسَ بِوَلَدٍ وَتَصِيرُ بِهِ لَوْ كَانَتْ أُمَّهُ أَمَّ وَلَدٍ، وَلِأَنَّهَا قَدْ عَلِقَتْ مِنْهُ بِوَلَدٍ.

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya: “Setiap kali kamu melahirkan anak, maka kamu tertalak.” Jika ia melahirkan satu anak, maka ia tertalak satu kali, dan masa iddahnya selesai dengan masa haid. Tidak ada perbedaan apakah anak itu laki-laki atau perempuan, apakah dilahirkan dalam keadaan hidup atau mati, sempurna penciptaannya atau tidak sempurna. Adapun jika ia melahirkan hanya tangan atau kaki, maka ia tidak tertalak, karena itu hanyalah sebagian dari anak dan bukan anak secara utuh, dan dengan itu, seandainya ia adalah budak perempuan, maka ia menjadi umm walad, karena ia telah mengandung sebagian anak darinya.

وَإِنْ وَضَعَتْ وَلَدَيْنِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika ia melahirkan dua anak, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَلِدَهُمَا مَعًا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ، لَا يَسْبِقُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ لِكَوْنِهِمَا فِي مَشِيمَةٍ وَاحِدَةٍ، فَتُطَلَّقُ بِهِمَا طَلْقَتَيْنِ، لِأَنَّ كُلَّمَا مَوْضُوعَةٌ لِلتَّكْرَارِ. وَقَدْ تَكَرَّرَتْ صِفَةُ الطَّلَاقِ، فَوَجَبَ أَنْ يَتَكَرَّرَ بِهَا وُقُوعُ الطَّلَاقِ، وَعَلَيْهَا بَعْدَ التَّطْلِيقَتَيْنِ أَنْ تَعْتَدَّ بِالْأَقْرَاءِ.

Pertama: Ia melahirkan keduanya sekaligus dalam satu waktu, tidak ada salah satu yang mendahului yang lain karena keduanya berada dalam satu ari-ari, maka ia tertalak dua kali, karena kata “setiap kali” menunjukkan pengulangan. Dan karena sifat talak telah berulang, maka wajib pula terulang jatuhnya talak, dan setelah dua kali talak itu, ia harus menjalani iddah dengan masa haid.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَضَعَهُمَا وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kemungkinan kedua: Ia melahirkan keduanya satu per satu, maka ini juga terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ رَاجَعَهَا بَعْدَ الْأَوَّلِ، فَتُطَلَّقُ بِالثَّانِي ثَانِيَةً وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالْأَقْرَاءِ.

Pertama: Suaminya telah merujuknya setelah kelahiran anak pertama, maka ia tertalak dengan kelahiran anak kedua untuk yang kedua kalinya dan masa iddahnya selesai dengan masa haid.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ رَاجَعَهَا فَتُطَلَّقُ بِالْأَوَّلِ وَاحِدَةً، وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالثَّانِي وَلَا تُطَلَّقُ بِهِ، لِأَنَّ مَا انْقَضَتْ بِهِ الْعُدَّةُ لم ويقع بِهِ الطَّلَاقُ، وَإِنَّمَا انْقَضَتْ بِهِ الْعُدَّةُ، لِأَنَّهَا بِوُقُوعِ الطَّلْقَةِ الْأُولَى بِالْوَلَدِ الْأَوَّلِ مُعْتَدَّةٌ، وَالْمُعْتَدَّةُ إِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا بَانَتْ، وَإِنَّمَا لَمْ يَقَعْ بِهِ الطَّلَاقُ إِذَا انْقَضَتْ بِهِ الْعِدَّةُ، لِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ بِوَضْعِهِ.

Kedua: Suaminya tidak merujuknya, maka ia tertalak dengan kelahiran anak pertama satu kali, dan masa iddahnya selesai dengan kelahiran anak kedua, dan ia tidak tertalak lagi dengan kelahiran anak kedua, karena sesuatu yang dengannya iddah telah selesai tidak menyebabkan jatuhnya talak. Masa iddahnya selesai dengan kelahiran anak kedua, karena dengan jatuhnya talak pertama melalui kelahiran anak pertama, ia menjadi wanita yang menjalani iddah, dan wanita yang menjalani iddah jika melahirkan kandungannya maka ia menjadi terpisah (bain). Talak tidak jatuh dengan kelahiran anak kedua jika iddah telah selesai dengannya, karena ia telah menjadi terpisah dengan kelahiran tersebut.

والثاني لا يقع عليها الطلاق في حال الْبَيْنُونَةِ، كَمَا لَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا مُتُّ فَأَنْتِ طَالِقٌ، لَمْ تُطَلَّقْ بِمَوْتِهِ؛ لِأَنَّهَا بَانَتْ بِالْمَوْتِ، فَلَمْ تُطَلَّقْ بِالْمَوْتِ.

Talak kedua tidak jatuh atasnya dalam keadaan bain, sebagaimana jika suami berkata kepadanya: “Jika aku mati, maka kamu tertalak,” maka ia tidak tertalak dengan kematian suaminya, karena ia telah menjadi terpisah dengan kematian, sehingga ia tidak tertalak dengan kematian.

وَحَكَى أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ عَنِ الشَّافِعِيِّ قَوْلًا ثَانِيًا فِي الْإِمْلَاءِ، أَنَّهَا تُطَلَّقُ بِالثَّانِي أُخْرَى وَتَنْقَضِي بِهِ الْعُدَّةُ؛ لِوُجُودِ الصِّفَةِ فِي الثَّانِي كَوُجُودِهَا فِي الْأَوَّلِ، وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَقَعَ الطَّلَاقُ وَالْبَيْنُونَةُ مَعًا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ، كَالَّتِي لَمْ يَدْخُلْ بِهَا.

Abu ‘Ali bin Khairan meriwayatkan dari asy-Syafi‘i pendapat kedua dalam kitab al-Imla’, bahwa ia tertalak dengan kelahiran anak kedua untuk yang kedua kalinya dan masa iddahnya selesai dengannya; karena sifat (yang menyebabkan talak) terdapat pada anak kedua sebagaimana pada anak pertama, dan tidak mustahil jatuhnya talak dan perpisahan (bain) secara bersamaan dalam satu waktu, seperti wanita yang belum digauli.

وَأَنْكَرَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا تَخْرِيجَ هَذَا الْقَوْلِ لِأَمْرَيْنِ:

Namun seluruh ulama mazhab kami menolak pendapat ini karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّنِي لَمْ أَجِدْهُ فِي شَيْءٍ مِنْ أَمَالِيهِ وَقَدْ تَقَدَّمَ ابْنُ خَيْرَانَ مَنْ وقف على أمالي الشافعي قبله، فلم يحكيه مِنْهُمْ أَحَدٌ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ ابْنُ خَيْرَانَ مَنْسُوبًا فِي حِكَايَةِ هَذَا الْقَوْلِ إِلَى السَّهْوِ وَالْغَلَطِ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْحِجَاجَ يُبْطِلُهُ وَهُوَ كَمَنْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: إِذَا مُتُّ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَمَاتَ لَمْ تُطَلَّقْ إِجْمَاعًا لِأَنَّ مَا بِهِ يَقَعُ الطَّلَاقُ قَدْ وَقَعَتْ بِهِ الْبَيْنُونَةُ، فَلَمْ يَقَعْ بِهِ الطَّلَاقُ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مَا حَكَّاهُ ابْنُ خَيْرَانَ مَحْمُولَا عَلَى أَنَّهَا وَضَعَتْهُمَا مَعًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ، فَطُلِّقَتْ بِهِمَا وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالْأَقْرَاءِ، وَلَوْ وَضَعَتْهُمَا وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ، طُلِّقَتْ بِالْأَوَّلِ وَاحِدَةً، وَلَمْ تَنْقَضِ به الْعِدَّةُ، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالثَّانِي، وَلَمْ تُطَلَّقْ بِهِ، وَعَلَى هَذَا يَكُونُ التَّفْرِيعُ، فَعَلَى هَذَا لَوْ وَضَعَتْ ثَلَاثَةَ أَوْلَادٍ، فَإِنْ وَضَعَتْهُمْ مَعًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ طلقت بهم ثلاثاً، وانقضت عدتها بالأقراء، ولو وَضَعَتْهُمْ وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ طُلِّقَتْ بِالْأَوَّلَ وَاحِدَةً وَبِالثَّانِي ثَانِيَةٍ وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالثَّالِثِ، وَلَمْ تُطَلَّقْ بِهِ، وَهَذَا إِذَا كَانَ الثَّلَاثَةُ مِنْ حَمْلٍ وَاحِدٍ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ بَيْنَ الْأَوَّلِ وَالْأَخِيرِ أَقَلُّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ كَانَ بَيْنَ الْأَوَّلِ وَالثَّانِي أَكْثَرُ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ طُلِّقَتْ بِالْأَوَّلِ وَحْدَهُ طَلْقَةً.

Pertama: Aku tidak menemukannya dalam salah satu dari amali (catatan pelajaran) Imam Syafi‘i, dan telah disebutkan bahwa Ibnu Khairan adalah orang yang telah menelaah amali Syafi‘i sebelum yang lain, namun tidak ada seorang pun dari mereka yang meriwayatkannya. Berdasarkan hal ini, maka Ibnu Khairan dinisbatkan dalam meriwayatkan pendapat ini kepada kekeliruan dan kesalahan. Kedua: Dalil juga membatalkannya, yaitu seperti orang yang berkata kepada istrinya: “Jika aku mati, maka engkau tertalak,” lalu ia meninggal dunia, maka istrinya tidak tertalak menurut ijmā‘, karena sebab yang menjadikan talak jatuh telah menyebabkan perpisahan (bainunah), sehingga talak tidak terjadi. Berdasarkan hal ini, apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Khairan dapat dipahami bahwa ia meletakkan (melahirkan) keduanya sekaligus dalam satu keadaan, sehingga ia tertalak dengan keduanya dan masa iddahnya selesai dengan al-aqrā’ (masa suci). Namun, jika ia melahirkan keduanya satu demi satu, maka ia tertalak dengan yang pertama satu kali, dan iddahnya belum selesai, lalu iddahnya selesai dengan yang kedua, dan ia tidak tertalak dengan yang kedua. Berdasarkan hal ini pula cabang-cabang hukum dibangun. Maka, jika ia melahirkan tiga anak, jika ia melahirkan mereka sekaligus dalam satu keadaan, maka ia tertalak tiga kali dan iddahnya selesai dengan al-aqrā’. Namun, jika ia melahirkan mereka satu demi satu, maka ia tertalak dengan yang pertama satu kali, dengan yang kedua dua kali, dan iddahnya selesai dengan yang ketiga, dan ia tidak tertalak dengan yang ketiga. Ini jika ketiganya berasal dari satu kehamilan, yaitu jika jarak antara yang pertama dan yang terakhir kurang dari enam bulan. Jika antara yang pertama dan yang kedua lebih dari enam bulan, maka ia tertalak dengan yang pertama saja satu kali talak.

قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ: وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا قَبْلَ وَضْعِ الثَّانِي وَالثَّالِثِ؛ لِأَنَّهُمَا مِنْ حَمْلٍ مُسْتَأْنَفٍ فَيَكُونُ لُحُوقُهُمَا بِهِ، كَمَنْ وَضَعَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ عَدَّتِهَا عَلَى مَا سَنُفَصْلهُ.

Abu Hamid al-Isfarayini berkata: Masa iddahnya selesai sebelum melahirkan anak kedua dan ketiga, karena keduanya berasal dari kehamilan yang baru, sehingga keduanya mengikuti kehamilan tersebut, seperti halnya seorang wanita yang melahirkan setelah masa iddahnya selesai, sebagaimana akan kami jelaskan.

وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ عِنْدِي لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ يُمْتَنِعُ أَنْ يَطَأَهَا فِي الْعِدَّةِ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ عَنِ الثَّالِثِ فَتُعَلَّقُ وَيَكُونُ بَاقِيه فِي عِدَّتِهَا إِلَى وَضْعِهِ، فَتَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ.

Menurutku, apa yang dikatakan itu tidaklah benar; karena tidak mustahil suaminya menggaulinya dalam masa iddah sebelum iddah dari anak ketiga selesai, sehingga ia hamil lagi dan kehamilan berikutnya tetap dalam masa iddahnya hingga ia melahirkan, maka dengan kelahiran itu iddahnya selesai.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِمَا قَالَهُ أَبُو حَامِدٍ وَجْهٌ، وَنُظِرَ فِي الثَّانِي وَالثَّالِثِ فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا أَكْثَرُ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالثَّانِي وَلَمْ تُطَلَّقْ بِهِ وَكَانَ لَاحِقًا بِالزَّوْجِ، وَصَارَ الثَّالِثُ مَوْلُودًا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَيَكُونُ لُحُوقُهُ عَلَى مَا سَنُفَصْل فِي الْمَوْلُودِ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَإِنْ كَانَ بَيْنَ الثَّانِي وَالثَّالِثِ أَقَلُّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَهُمَا مِنْ حَمْلٍ وَاحِدٍ، فَعَلَى هَذَا تُطَلَّقُ بِالثَّانِي ثَانِيَةً وَلَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ لِبَقَاءِ الْحَمْلِ، تَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالثَّالِثِ، وَلَا تُطَلَّقُ بِهِ وَيُلْحَقَانِ بِالزَّوْجٍ كَالْأَوَّلِ. وَلَوْ وَضَعَتْ أَرْبَعَةَ أَوْلَادٍ نُظِرَ، فَإِنْ وَضَعَتْهُمْ مَعًا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا؛ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ لَا تَقَعُ، وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالْأَقْرَاءِ، وَإِنْ وَضَعَتْهُمْ وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ وَجَمِيعُهُمْ فِي حَمْلٍ وَاحِدٍ طُلِّقَتْ بِالْأَوَّلِ وَاحِدَةً وَبِالثَّانِي ثَانِيَةً وَبِالثَّالِثِ ثَالِثَةً، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالرَّابِعِ.

Jika demikian, maka tidak ada alasan bagi pendapat Abu Hamid, dan perlu diteliti pada anak kedua dan ketiga. Jika antara keduanya lebih dari enam bulan, maka iddahnya selesai dengan anak kedua dan ia tidak tertalak dengan kelahiran itu, dan anak tersebut dinisbatkan kepada suami, dan anak ketiga menjadi anak yang lahir setelah iddah selesai, sehingga nasabnya mengikuti ketentuan yang akan kami jelaskan pada anak yang lahir setelah iddah selesai. Jika antara anak kedua dan ketiga kurang dari enam bulan, maka keduanya berasal dari satu kehamilan, sehingga ia tertalak dengan anak kedua untuk talak kedua dan iddahnya belum selesai karena masih ada kehamilan, iddahnya selesai dengan anak ketiga, dan ia tidak tertalak dengan kelahiran itu, dan keduanya dinisbatkan kepada suami seperti anak pertama. Jika ia melahirkan empat anak, maka perlu diteliti: jika ia melahirkan mereka sekaligus dalam satu keadaan, maka ia tertalak tiga kali, karena lebih dari tiga talak tidak terjadi, dan iddahnya selesai dengan al-aqrā’. Jika ia melahirkan mereka satu demi satu dan semuanya dari satu kehamilan, maka ia tertalak dengan yang pertama satu kali, dengan yang kedua dua kali, dengan yang ketiga tiga kali, dan iddahnya selesai dengan yang keempat.

فَلَوْ وَضَعَتِ اثْنَيْنِ مَعًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ اثْنَيْنِ مَعًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ طُلِّقَتْ بِالِاثْنَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ طَلْقَتَيْنِ، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا ثَلَاثَةً بِالِاثْنَيْنِ الْآخِرَيْنِ، وَلَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ بِوَاحِدٍ مِنْهَا؛ لِأَنَّهُمَا كَالْوَلَدِ الواحد في الانفصال، فلو ضعت ثَلَاثَةَ أَوْلَادٍ مَعًا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ وَضَعَتْ رَابِعًا مُنْفَرِدًا طُلِّقَتْ ثَلَاثًا بِالثَّلَاثَةِ، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالرَّابِعِ الْمُنْفَرِدِ، وَلَوْ وَضَعَتِ الْوَاحِدَ الْمُنْفَرِدَ أَوَّلًا ثُمَّ الثَّلَاثَ الْمُجْتَمِعِينَ مَعًا، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً بِالْأَوَّلِ وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالثَّالِثِ، وَلَمْ تُطَلَّقْ بِوَاحِدٍ مِنْهُمْ؛ لِاجْتِمَاعِهِمْ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَيَجْرِي عَلَيْهِمْ إِذَا اجْتَمَعُوا فِي الطَّلَاقِ حُكْمُ الِافْتِرَاقِ، وَفِي الْعِدَّةِ حُكْمُ الْوَاحِدِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَقْتَرِنَ عَدَدُ الطَّلَاقِ، وَلَا يَجُوزَ أَنْ تَقْتَرِنَ الْعِدَّةُ وَالطَّلَاقُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Maka jika ia melahirkan dua anak sekaligus dalam satu keadaan, lalu dua anak lagi sekaligus dalam satu keadaan, maka ia ditalak dua kali dengan dua anak yang pertama, dan masa ‘iddahnya selesai tiga kali dengan dua anak yang terakhir, dan talak tidak jatuh dengan salah satu dari mereka; karena keduanya seperti satu anak dalam hal pemisahan. Maka jika ia melahirkan tiga anak sekaligus dalam satu keadaan, lalu melahirkan anak keempat secara terpisah, maka ia ditalak tiga kali dengan tiga anak tersebut, dan masa ‘iddahnya selesai dengan anak keempat yang terpisah. Dan jika ia melahirkan satu anak yang terpisah terlebih dahulu, lalu tiga anak sekaligus setelahnya, maka ia ditalak satu kali dengan anak pertama dan masa ‘iddahnya selesai dengan anak ketiga, dan ia tidak ditalak dengan salah satu dari mereka; karena mereka berkumpul dalam penyelesaian masa ‘iddah, sehingga jika mereka berkumpul dalam talak maka berlaku hukum perpisahan, dan dalam masa ‘iddah berlaku hukum satu anak. Perbedaannya adalah bahwa jumlah talak boleh digabungkan, sedangkan masa ‘iddah dan talak tidak boleh digabungkan. Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ:)

(Fashl:)

وَإِذَا قَالَ: كُلَّمَا كَانَ فِي بَطْنِكِ وَلَدٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً فَوَضَعَتْ وَلَدًا وَاحِدًا، طُلِّقَتْ بِهِ وَاحِدَةً، وَانْقَضَتْ بِهِ عِدَّتُهَا بِخِلَافِ قَوْلِهِ، إِذَا وَلَدْتِ وَلَدًا، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْحَالِفَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِتَقَدُّمِ الْوِلَادَةِ؛ لِأَنَّهَا تُطَلَّقُ بِكَوْنِهِ فِي بَطْنِهَا وَإِنَّمَا يُعْلَمُ بِالْوِلَادَةِ، أَنَّهُ كَانَ فِي بَطْنِهَا، فَلِذَلِكَ جَازَ أَنْ تَنْقَضِيَ بِهِ العدة لولادته بعدم تَقَدُّمِ الطَّلَاقِ وَوُقُوعِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا قَالَ: إِنْ وَلَدْتِ وَلَدًا؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِنَفْسِ الْوِلَادَةِ، فَلِذَلِكَ لَمْ تَنْقَضِ بِهِ الْعِدَّةُ؛ لِأَنَّ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ يَكُونُ بَعْدَ تَقَدُّمِ الطَّلَاقِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ وَضَعَتْ وَلَدَيْنِ طُلِّقَتْ بِهِمَا طَلْقَتَيْنِ سَوَاءٌ وَضَعَتْهُمَا مَعًا أَوْ مُفَرَّقًا، وَانْقَضَتْ بِهِمَا الْعِدَّةُ، وَلَوْ وَضَعَتْ ثَلَاثَةَ أَوْلَادٍ طُلِّقَتْ بِهِمْ ثَلَاثًا، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالْأَخِيرِ.

Dan jika ia berkata: “Setiap kali ada anak di dalam perutmu, maka engkau tertalak satu kali,” lalu ia melahirkan satu anak, maka ia tertalak satu kali dengannya dan masa ‘iddahnya selesai dengannya, berbeda dengan ucapannya: “Jika engkau melahirkan seorang anak.” Perbedaannya adalah bahwa sumpah dalam masalah ini terjadi sebelum kelahiran; karena ia tertalak dengan keberadaan anak di dalam perutnya, dan hanya diketahui dengan kelahiran bahwa anak itu memang ada di dalam perutnya. Oleh karena itu, boleh masa ‘iddah selesai dengan kelahirannya karena tidak ada talak sebelumnya dan talak terjadi setelahnya. Tidak demikian halnya jika ia berkata: “Jika engkau melahirkan seorang anak”; karena talak terjadi dengan sendirinya pada saat kelahiran, sehingga masa ‘iddah tidak selesai dengannya; karena penyelesaian masa ‘iddah terjadi setelah adanya talak sebelumnya. Berdasarkan hal ini, jika ia melahirkan dua anak, maka ia tertalak dua kali dengan keduanya, baik melahirkan keduanya sekaligus maupun terpisah, dan masa ‘iddahnya selesai dengan keduanya. Jika ia melahirkan tiga anak, maka ia tertalak tiga kali dengan mereka, dan masa ‘iddahnya selesai dengan yang terakhir.

وَلَوْ قَالَ: إِنْ كَانَ فِي بَطْنِكِ وَلَدٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، فَوَضَعَتْ ثَلَاثَةَ أَوْلَادٍ طُلِّقَتْ وَاحِدَةً وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالْأَخِيرِ، لِأَنَّهُ قَدْ أَسْقَطَ اللَّفْظَ الْمُوجِبَ لِلتَّكْرَارِ، وَهُوَ قَوْلُهُ: (كُلَّمَا) فَلَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ إِلَّا بِوَاحِدٍ، إِسْقَاطًا لِحُكْمِ التَّكْرَارِ، كَمَا لَوْ قَالَ: إِنْ وَلَدْتِ أَوْ إِذَا وَلَدْتِ وَلَدًا أَوْ مَتَى وَلَدْتِ وَلَدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَوَلَدَتْ ثَلَاثَةَ أَوْلَادٍ، طُلِّقَتْ وَاحِدَةً بِالْأَوَّلِ وَلَمْ تُطَلَّقْ بِالثَّانِي وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالثَّالِثِ.

Dan jika ia berkata: “Jika ada anak di dalam perutmu, maka engkau tertalak satu kali,” lalu ia melahirkan tiga anak, maka ia tertalak satu kali dan masa ‘iddahnya selesai dengan yang terakhir; karena ia telah menggugurkan lafaz yang menyebabkan pengulangan, yaitu ucapannya: “Setiap kali”, sehingga talak tidak jatuh kecuali satu kali, sebagai pengguguran hukum pengulangan. Seperti jika ia berkata: “Jika engkau melahirkan, atau jika engkau melahirkan seorang anak, atau kapan saja engkau melahirkan seorang anak maka engkau tertalak,” lalu ia melahirkan tiga anak, maka ia tertalak satu kali dengan anak pertama dan tidak tertalak dengan yang kedua, dan masa ‘iddahnya selesai dengan yang ketiga.

(فَصْلٌ:)

(Fashl:)

وَإِذَا قَالَ: إِنْ وَلَدْتِ وَلَدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ: إِنْ وَلَدْتِ ذَكَرًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَإِنْ وَلَدَتْ أُنْثَى طُلِّقَتْ؛ لِأَنَّهَا وَلَدٌ، وَإِنْ وَلَدَتْ ذَكَرًا طُلِّقَتِ اثْنَتَيْنِ، وَاحِدَةً بِأَنَّهُ وَلَدٌ، وَثَانِيَةً لِأَنَّهُ ذَكَرٌ، وَمِثْلُهُ أَنْ يَقُولَ؛ إِنْ كَلَّمْتِ رَجُلًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَإِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِذَا كَلَّمَتْ زَيْدًا طُلِّقَتِ اثْنَتَيْنِ، وَاحِدَةً بِأَنَّهُ رَجُلٌ وَثَانِيَةً بِأَنَّهُ زَيْدٌ.

Dan jika ia berkata: “Jika engkau melahirkan seorang anak maka engkau tertalak,” lalu ia berkata lagi: “Jika engkau melahirkan anak laki-laki maka engkau tertalak,” maka jika ia melahirkan anak perempuan, ia tertalak; karena anak perempuan adalah anak. Dan jika ia melahirkan anak laki-laki, maka ia tertalak dua kali: satu kali karena ia adalah anak, dan kedua karena ia adalah laki-laki. Demikian pula jika ia berkata: “Jika engkau berbicara dengan seorang laki-laki maka engkau tertalak, dan jika engkau berbicara dengan Zaid maka engkau tertalak,” maka jika ia berbicara dengan Zaid, ia tertalak dua kali: satu kali karena Zaid adalah laki-laki, dan kedua karena ia adalah Zaid.

فَلَوْ قَالَ: إِنْ وَلَدْتِ ذَكَرًا فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، وَإِنْ وَلَدْتِ أُنْثَى فَأَنْتِ طَالِقٌ اثْنَتَيْنِ، فَوَلَدَتْ ذَكَرًا وَأُنْثَى فَلَهُمَا أربعة أحوال:

Maka jika ia berkata: “Jika engkau melahirkan anak laki-laki maka engkau tertalak satu kali, dan jika engkau melahirkan anak perempuan maka engkau tertalak dua kali,” lalu ia melahirkan anak laki-laki dan anak perempuan, maka terdapat empat keadaan bagi keduanya:

أَحَدُهَا: أَنْ تَضَعَهُمَا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ فَتُطَلَّقَ ثَلَاثًا وَاحِدَةً بِوَضْعِ الذَّكَرِ وَاثْنَتَانِ بِوَضْعِ الْأُنْثَى وَتَعْتَدُّ بِالْأَقْرَاءِ.

Pertama: Jika ia melahirkan keduanya sekaligus dalam satu keadaan, maka ia tertalak tiga kali: satu kali karena melahirkan anak laki-laki, dan dua kali karena melahirkan anak perempuan, dan ia menjalani masa ‘iddah dengan hitungan quru’ (masa suci).

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَلِدَ الْأُنْثَى أولاً ثم الذكر، فتطلق ثنتين بِالْأُنْثَى، وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالذَّكَرِ، وَلَا تُطَلَّقُ بِهِ.

Keadaan kedua: Jika perempuan melahirkan anak perempuan terlebih dahulu kemudian anak laki-laki, maka ia tertalak dua kali karena anak perempuan, dan masa iddahnya selesai karena anak laki-laki, serta tidak tertalak karena anak laki-laki tersebut.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَلِدَ الذَّكَرَ أَوَّلًا ثُمَّ الْأُنْثَى، فَتُطَلَّقُ بِالذِّكْرِ وَاحِدَةً، وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالْأُنْثَى، وَلَا تُطَلَّقُ بِهَا.

Keadaan ketiga: Jika ia melahirkan anak laki-laki terlebih dahulu kemudian anak perempuan, maka ia tertalak satu kali karena anak laki-laki, dan masa iddahnya selesai karena anak perempuan, serta tidak tertalak karena anak perempuan tersebut.

وَالْحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ لَا تعلم كيف ولدتها فَتُطَلَّقُ مِنْ أَجْلِهِ، لِأَنَّهَا يَقِينٌ، لِجَوَازِ أَنْ تَلِدَ الذَّكَرَ ثُمَّ الْأُنْثَى، وَالطَّلَاقُ يَقَعُ بِالْيَقِينِ دُونَ الشَّكِّ، وَيُخْتَارُ لَهُ فِي الْوَرَعِ أَنْ يَلْتَزِمَ الطَّلَاقَ الثَّلَاثَ لِجَوَازِ أَنْ تَلِدَهُمَا مَعًا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ، وَلَا تَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِالْأَقْرَاءِ؛ لِأَنَّ الْعِدَّةَ لَا تَنْقَضِي إِلَّا بِالْيَقِينِ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ تَلِدَهُمَا مَعًا فَتَكُونَ عِدَّتُهَا بِالْأَقْرَاءِ، فَلِذَلِكَ مَا الْتَزَمَهَا.

Keadaan keempat: Jika tidak diketahui bagaimana urutan kelahirannya, maka ia tertalak karena anak laki-laki, karena itu adalah sesuatu yang pasti, sebab ada kemungkinan ia melahirkan anak laki-laki lalu anak perempuan, dan talak dijatuhkan berdasarkan kepastian, bukan keraguan. Namun, dalam sikap wara‘ (kehati-hatian), dipilih untuk menetapkan tiga talak, karena ada kemungkinan ia melahirkan keduanya sekaligus dalam satu waktu. Masa iddahnya tidak selesai dengan haid, karena iddah tidak selesai kecuali dengan kepastian, dan bisa jadi ia melahirkan keduanya sekaligus sehingga masa iddahnya dengan haid, oleh karena itu tidak diwajibkan atasnya.

وَلَوْ قَالَ: إِنْ كَانَ فِي بَطْنِكِ ذَكَرٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً، وَإِنْ كان في بطنك أنثى فأنت طالق ثنتين فَوَلَدَتْ ذَكَرًا وَأُنْثَى طُلِّقَتْ ثَلَاثًا فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا لِتَقَدُّمِ وُقُوعِهِ عَلَى الْوِلَادَةِ، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالْأَخِيرِ مِنْهُمَا، تَعْلِيلًا بِمَا قَدَّمْنَاهُ، فَلَوْ وَلَدَتْ خُنْثَى مُشْكَلًا طُلِّقَتْ بِهِ وَاحِدَةً، لِأَنَّهُ وَإِنْ أُشْكِلَ عِنْدَنَا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى غَيْرُ مُشْكَلٍ، فَأَوْقَعْنَا بِهِ وَاحِدَةً لِأَنَّهَا يَقِينٌ.

Jika seseorang berkata: “Jika di dalam kandunganmu ada anak laki-laki maka engkau tertalak satu kali, dan jika di dalam kandunganmu ada anak perempuan maka engkau tertalak dua kali,” lalu ia melahirkan anak laki-laki dan anak perempuan, maka ia tertalak tiga kali dalam seluruh keadaan, karena talak telah didahulukan sebelum kelahiran, dan masa iddahnya selesai dengan yang terakhir dari keduanya, sesuai penjelasan yang telah kami sampaikan. Jika ia melahirkan khuntsa musykil (anak yang tidak jelas jenis kelaminnya), maka ia tertalak satu kali karena anak tersebut, karena meskipun tidak jelas bagi kita, namun di sisi Allah Ta‘ala tidak ada yang tidak jelas, maka kami jatuhkan satu talak karena itu adalah sesuatu yang pasti.

وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: إِنْ وَلَدْتِ ذَكَرًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَوَلَدَتْ خُنْثَى لَمْ تُطَلَّقْ؛ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ أُنْثَى وَلَوْ قَالَ: إِنْ وَلَدْتِ أُنْثَى فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَوَلَدَتْ خُنْثَى لَمْ تُطَلَّقْ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ ذَكَرًا.

Namun, jika seseorang berkata: “Jika engkau melahirkan anak laki-laki maka engkau tertalak,” lalu ia melahirkan khuntsa, maka ia tidak tertalak, karena ada kemungkinan anak itu perempuan. Jika ia berkata: “Jika engkau melahirkan anak perempuan maka engkau tertalak,” lalu ia melahirkan khuntsa, maka ia juga tidak tertalak, karena ada kemungkinan anak itu laki-laki.

وَلَوْ قَالَ: إِنْ كَانَ مَا فِي بَطْنِكِ ذَكَرًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَوَلَدَتْ ذَكَرًا وَأُنْثَى لَمْ تُطَلَّقْ، وَهَكَذَا لَوْ وَلَدَتْ ذَكَرَيْنِ لَمْ تُطَلَّقْ؛ لِأَنَّ شَرْطَ طَلَاقِهَا أَنْ يَكُونَ كل ما في بطنها ذكراً واحداً، فإذ كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ عُدِمَ شَرْطُهُ فَلَمْ يَقَعْ. وَمِثْلُهُ أَنْ يَقُولَ: إِنْ كَانَ كُلُّ مَا في الكيس دراهم فأنت طالق، فكان فيه دَرَاهِمُ وَدَنَانِيرُ لَمْ تُطَلَّقْ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ كُلُّ مَا فِي الْكِيسِ دَرَاهِمَ، وَلَوْ قَالَ: إِنْ كَانَ فِي الْكِيسِ دَرَاهِمُ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَكَانَ فِيهِ دَرَاهِمُ وَدَنَانِيرُ طُلِّقَتْ كَذَلِكَ الْحَمْلُ.

Jika seseorang berkata: “Jika yang ada di dalam kandunganmu adalah anak laki-laki maka engkau tertalak,” lalu ia melahirkan anak laki-laki dan anak perempuan, maka ia tidak tertalak. Demikian pula jika ia melahirkan dua anak laki-laki, maka ia tidak tertalak, karena syarat talaknya adalah seluruh yang ada di dalam kandungannya adalah satu anak laki-laki saja. Jika ada selainnya bersamanya, maka syaratnya tidak terpenuhi sehingga talak tidak jatuh. Hal yang serupa jika seseorang berkata: “Jika seluruh isi kantong ini adalah dirham maka engkau tertalak,” lalu di dalamnya terdapat dirham dan dinar, maka ia tidak tertalak, karena tidak seluruh isi kantong adalah dirham. Namun jika ia berkata: “Jika di dalam kantong ada dirham maka engkau tertalak,” lalu di dalamnya terdapat dirham dan dinar, maka ia tertalak. Demikian pula halnya dengan kandungan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا قَالَ لِزَوْجَتَيْهِ حَفْصَةَ وَعَمْرَةَ: كُلَّمَا وَلَدَتْ وَاحِدَةٌ مِنْكُمَا فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ، فَوَلَدَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَلَدًا، نُظِرَ فَإِنْ وَلَدَتَا مَعًا طُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا طَلْقَتَيْنِ، وَاحِدَةً بِوِلَادَتِهَا وَالْأُخْرَى بِوِلَادَةِ صَاحِبَتِهَا، وَعَلَيْهِمَا الِاعْتِدَادُ بِالْأَقْرَاءِ، وَإِنْ وَلَدَتْ إِحْدَاهُمَا بَعْدَ الْأُخْرَى مِثْلَ أَنْ تَلِدَ حَفْصَةُ يَوْمَ السَّبْتَ وَعَمْرَةُ يَوْمَ الْأَحَدِ، طُلِّقَتْ حَفْصَةُ طَلْقَتَيْنِ، وَاحِدَةً بِوِلَادَتِهَا وَالْأُخْرَى بِوِلَادَةِ عَمْرَةَ، وَاعْتَدَّتْ بِالْأَقْرَاءِ، وَطُلِّقَتْ عَمْرَةُ وَاحِدَةً بِوِلَادَةِ حَفْصَةَ وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِوِلَادَةِ نَفْسِهَا وَلَمْ تُطَلَّقْ بِهِ، وَلَوْ وَلَدَتْ حَفْصَةُ أَوَّلًا ثُمَّ وَلَدَتْ عَمْرَةُ بَعْدَهَا وَلَدَيْنِ، طُلِّقَتْ حفصة ثلاثاً، واحدة بولادتها، واثنان بِوِلَادَةِ عَمْرَةَ، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالْأَقْرَاءِ، وَطُلِّقَتْ عَمْرَةُ طَلْقَتَيْنِ وَاحِدَةً بِوِلَادَةِ حَفْصَةَ وَثَانِيَةً بِوَلَدِهَا الْأَوَّلِ، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِوَلَدِهَا الثَّانِي وَلَمْ تُطَلَّقْ.

Jika seseorang berkata kepada dua istrinya, Hafshah dan ‘Amrah: “Setiap kali salah satu dari kalian melahirkan, maka kalian berdua tertalak,” lalu masing-masing dari mereka melahirkan seorang anak, maka diperhatikan: jika keduanya melahirkan bersamaan, maka masing-masing dari mereka tertalak dua kali, satu karena kelahirannya sendiri dan satu lagi karena kelahiran temannya, dan keduanya wajib menjalani iddah dengan haid. Jika salah satu melahirkan setelah yang lain, misalnya Hafshah melahirkan pada hari Sabtu dan ‘Amrah pada hari Ahad, maka Hafshah tertalak dua kali, satu karena kelahirannya sendiri dan satu lagi karena kelahiran ‘Amrah, dan ia menjalani iddah dengan haid. Sedangkan ‘Amrah tertalak satu kali karena kelahiran Hafshah, dan masa iddahnya selesai dengan kelahiran dirinya sendiri serta tidak tertalak karenanya. Jika Hafshah melahirkan terlebih dahulu, kemudian ‘Amrah melahirkan dua anak setelahnya, maka Hafshah tertalak tiga kali, satu karena kelahirannya sendiri dan dua karena kelahiran ‘Amrah, dan masa iddahnya selesai dengan haid. ‘Amrah tertalak dua kali, satu karena kelahiran Hafshah dan satu lagi karena anak pertamanya, dan masa iddahnya selesai dengan anak keduanya serta tidak tertalak karenanya.

وَلَوْ وَلَدَتْ عَمْرَةُ أَوَّلًا وَلَدَيْنِ، وَوَلَدَتْ حَفْصَةُ بَعْدَهَا وَلَدًا، طُلِّقَتْ عَمْرَةُ وَاحِدَةً بِوَلَدِهَا الْأَوَّلِ وَانْقَضَتْ عدتها بولدها الثاني ولم تطلق به طلقت حَفْصَةُ طَلْقَتَيْنِ بِوَلَدِي عَمْرَةَ، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بَعْدَهَا وَلَدًا ثَانِيًا طُلِّقَتْ عَمْرَةُ طَلْقَتَيْنِ، وَاحِدَةً بِوَلَدِهَا الْأَوَّلِ، وَثَانِيَةً بِوَلَدِ حَفْصَةَ وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِوَلَدِهَا الثَّانِي، وَلَمْ تُطَلَّقْ بِهِ، وَلَوْ وَلَدَتْ حَفْصَةُ وَلَدَيْنِ وَعَمْرَةُ وَلَدًا، وَكُلُّ ذَلِكَ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ لَمْ يَتَقَدَّمْ بَعْضهم عَلَى بَعْضٍ، طُلِّقَتْ كُلُّ

Jika ‘Amrah lebih dahulu melahirkan dua anak, lalu Hafshah melahirkan seorang anak setelahnya, maka ‘Amrah diceraikan satu kali karena anak pertamanya, dan masa ‘iddahnya selesai dengan anak keduanya, dan ia tidak diceraikan karena anak kedua itu. Hafshah diceraikan dua kali karena dua anak ‘Amrah, dan masa ‘iddahnya selesai setelah itu dengan anak kedua. Jika ‘Amrah diceraikan dua kali, satu karena anak pertamanya, dan kedua karena anak Hafshah, dan masa ‘iddahnya selesai dengan anak keduanya, dan ia tidak diceraikan karena anak itu. Jika Hafshah melahirkan dua anak dan ‘Amrah satu anak, dan semua itu terjadi dalam satu waktu tanpa ada yang mendahului yang lain, maka masing-masing dari mereka diceraikan…

وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا ثَلَاثًا لِثَلَاثَةِ الْأَوْلَادِ، وَاعْتَدَّتْ بِالْأَقْرَاءِ.

…tiga kali untuk tiga anak tersebut, dan mereka menjalani masa ‘iddah dengan hitungan quru’ (masa suci).

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَلَوْ قَالَ: يَا حَفْصَةُ إِنْ كَانَ أَوَّلُ مَا تَلِدِينَ ذَكَرًا فَعَمْرَةُ طَالِقٌ، فَإِنْ كَانَ أُنْثَى فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَوَلَدَتْ ذَكَرًا وَأُنْثَى فَلَا يَخْلُو مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:

Jika seseorang berkata: “Wahai Hafshah, jika anak pertama yang engkau lahirkan adalah laki-laki, maka ‘Amrah tertalak; jika perempuan, maka engkau yang tertalak.” Lalu ternyata ia melahirkan anak laki-laki dan perempuan, maka ada empat kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَلِدَ الذَّكَرَ ثُمَّ الْأُنْثَى فَتُطَلَّقُ عَمْرَةُ دُونَهَا.

Pertama: Ia melahirkan anak laki-laki terlebih dahulu, lalu perempuan, maka ‘Amrah yang diceraikan, bukan Hafshah.

وَالثَّانِي: أَنْ تَلِدَ الْأُنْثَى ثُمَّ الذَّكَرَ، فَتُطَلَّقُ هِيَ دُونَ عَمْرَةَ.

Kedua: Ia melahirkan anak perempuan terlebih dahulu, lalu laki-laki, maka Hafshah yang diceraikan, bukan ‘Amrah.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَلِدَهُمَا مَعًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ فَلَا تُطَلَّقُ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْوَلَدَيْنِ أَوَّلٌ.

Ketiga: Ia melahirkan keduanya sekaligus dalam satu waktu, maka tidak ada satu pun dari mereka yang diceraikan, karena pada dua anak itu tidak ada yang disebut “pertama”.

وَالرَّابِعُ: أَنْ تَلِدَهُمَا وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ، وَيُشْكَلَ هَلْ تَقَدَّمَ الذَّكَرُ أَوِ الْأُنْثَى؟ فَقَدْ طُلِّقَتْ إِحْدَاهُمَا لَا بِعَيْنِهَا، وَيَكُونُ كَالطَّلَاقِ الْوَاقِعِ عَلَى إِحْدَى زَوْجَتَيْهِ وَقَدْ أُشْكِلَتْ.

Keempat: Ia melahirkan keduanya satu per satu secara berurutan, namun tidak diketahui mana yang lebih dahulu, laki-laki atau perempuan. Maka salah satu dari mereka telah diceraikan, namun tidak diketahui secara pasti siapa, dan hal ini seperti talak yang dijatuhkan kepada salah satu dari dua istrinya namun tidak diketahui siapa yang dimaksud.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَلَوْ قَالَ: يَا حَفْصَةُ، إِنْ وَلَدْتِ فَأَنْتِ وَعَمْرَةُ طَالِقَتَانِ، فَقَالَتْ حَفْصَةُ: قَدْ وَلَدْتُ، وَأَكْذَبَهَا الزَّوْجُ، لَمْ تُطَلَّقْ عَمْرَةُ، وَفِي طَلَاقِ حَفْصَةَ وَجْهَانِ:

Jika seseorang berkata: “Wahai Hafshah, jika engkau melahirkan, maka engkau dan ‘Amrah tertalak.” Lalu Hafshah berkata, “Aku telah melahirkan,” namun suaminya mendustakannya, maka ‘Amrah tidak diceraikan. Adapun mengenai talak Hafshah, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ الْعِدَدِ، وَنَقْلَهُ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ إِلَى جَامِعِهِ، أَنَّ قَوْلَهَا فِي حَقِّ نَفْسِهَا مَقْبُولٌ وَيَقَعُ بِهِ طَلَاقُهَا وَلَا يَلْحَقُ بِالزَّوْجِ إِلَّا أَنْ تُقِيمَ بَيِّنَةً عَلَى وِلَادَتِهَا.

Pertama, sebagaimana dinyatakan oleh asy-Syafi‘i dalam Kitab al-‘Iddah dan dinukil oleh Abu Hamid al-Marwazi dalam kitab Jami‘-nya, bahwa pernyataan Hafshah tentang dirinya sendiri diterima dan talaknya jatuh karenanya, namun tidak berlaku bagi suaminya kecuali jika ia mendatangkan bukti atas kelahirannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا: أَنَّهَا لَا تُطَلَّقُ بِهِ، وَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهَا عَلَى نَفْسِهَا كَمَا لَا يُقْبَلُ عَلَى غَيْرِهَا، وَكَمَا لَا يَلْحَقُ بِالزَّوْجِ بِقَوْلِهَا؛ لِأَنَّهُ مِمَّا يُمْكِنُهَا إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَى وِلَادَتِهِ فَصَارَ كَقَوْلِهِ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَقَالَتْ: قَدْ دَخَلْتُ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهَا إِلَّا بِبَيِّنَةٍ، وَاللَّهُ أعلم.

Pendapat kedua, yaitu pendapat mayoritas ulama mazhab kami: bahwa talak tidak jatuh karenanya, dan pernyataannya tentang dirinya sendiri tidak diterima, sebagaimana tidak diterima untuk orang lain, dan sebagaimana tidak berlaku bagi suaminya dengan hanya pernyataannya; karena ia memungkinkan untuk mendatangkan bukti atas kelahirannya, sehingga keadaannya seperti jika seseorang berkata: “Jika engkau masuk rumah, maka engkau tertalak,” lalu ia berkata: “Aku telah masuk,” maka tidak diterima kecuali dengan bukti. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمْ يَقَعْ وَالِاسْتِثْنَاءُ فِي الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ وَالنُّذُورِ كَهُوَ فِي الأيمان) .

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata ‘insyā’ Allāh’ (jika Allah menghendaki), maka talak tidak jatuh, dan pengecualian dalam talak, ‘itq (pembebasan budak), dan nadzar (nazar) itu seperti dalam sumpah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا عَلَّقَ طَلَاقَهُ أَوْ عِتْقَهُ أَوْ يَمِينَهُ أَوْ نَذْرَهُ أَوْ إِقْرَارَهُ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ تَعَالَى، لَمْ يَلْزَمْهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، وَكَذَلِكَ جَمِيعُ عُقُودِهِ وَارْتَفَعَ حُكْمُ الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ وَالْأَيْمَانِ وَالنُّذُورِ وَالْإِقْرَارِ وَالْعُقُودِ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan: Jika seseorang menggantungkan talak, pembebasan budak, sumpah, nazar, atau pengakuannya dengan kehendak Allah Ta‘ala, maka tidak wajib baginya apa pun dari itu semua, demikian pula seluruh akadnya, dan gugurlah hukum talak, pembebasan budak, sumpah, nazar, pengakuan, dan akad-akad.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ ذَلِكَ الِاسْتِثْنَاءُ يَمْنَعُ مِنَ انْعِقَادِ ذَلِكَ كُلِّهِ، أَوْ يَكُونُ شَرْطًا يُعَلَّقُ بِهِ فَلَمْ يَثْبُتْ حُكْمُهُ لِعَدَمِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Ulama mazhab kami berbeda pendapat, apakah pengecualian itu mencegah terjadinya semua hal tersebut, ataukah itu menjadi syarat yang digantungkan padanya sehingga hukumnya tidak berlaku karena syaratnya tidak terpenuhi, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ اسْتِثْنَاءٌ يَمْنَعُ مِنَ انْعِقَادِهِ فَلَا يَثْبُتُ لِذَلِكَ كُلِّهِ عَقْدٌ وَلَا حُكْمٌ.

Pertama, dan ini adalah pendapat yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i, bahwa itu adalah pengecualian yang mencegah terjadinya, sehingga tidak terjadi akad maupun hukum apa pun dari semua itu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُ شَرْطٌ انْعَقَدَتْ عَلَيْهِ هَذِهِ الْأَحْكَامُ فَلَمْ يَلْزَمْ لِعَدَمِ الشَّرْطِ، وَإِنْ كَانَتْ مُنْعَقِدَةً فَهَذَا حُكْمُ مَا عُقِدَ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ وَالْأَيْمَانِ وَالنُّذُورِ وَالْإِقْرَارِ وَالْعُقُودِ، فِي أَنَّ جَمِيعَهُ غَيْرُ لَازِمٍ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَصَاحِبَاهُ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa hal itu merupakan syarat yang atasnya hukum-hukum ini menjadi sah, sehingga tidak menjadi wajib karena tidak terpenuhinya syarat tersebut, meskipun akadnya telah terjadi. Inilah hukum segala sesuatu yang diakadkan dengan mengaitkannya pada kehendak Allah Ta‘ala, baik berupa talak, pembebasan budak, sumpah, nazar, pengakuan, maupun akad-akad lainnya, bahwa semuanya tidak menjadi wajib. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Hanifah dan kedua sahabatnya.

وَقَالَ مَالِكٌ: تَقَعُ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ حُكْمُ الْأَيْمَانِ بِاللَّهِ تَعَالَى وَلَا يَرْتَفِعُ مَا سِوَى الْأَيْمَانِ بِاللَّهِ مِنَ الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ وَالنُّذُورِ وَالْإِقْرَارِ.

Malik berkata: Dengan kehendak Allah berlaku hukum sumpah atas nama Allah Ta‘ala, dan tidak terangkat (tidak gugur) selain sumpah atas nama Allah dari talak, pembebasan budak, nazar, dan pengakuan.

وَبِهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ.

Pendapat ini juga dikatakan oleh az-Zuhri dan al-Laits bin Sa‘d.

وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى: يَرْتَفِعُ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ حُكْمُ جَمِيعِ الْأَيْمَانِ بِاللَّهِ وَبِالطَّلَاقِ وَبِالْعِتْقِ، وَلَا يَرْتَفِعُ بِهِ وُقُوعُ النَّاجِزِ مِنَ الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ وَالنُّذُورِ، وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: يَرْتَفِعُ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ حُكْمُ الْأَيْمَانِ كُلِّهَا، وَحُكْمُ الطَّلَاقِ وَإِنْ كَانَ نَاجِزًا، وَلَا يَرْتَفِعُ حُكْمُ الْعِتْقِ وَالنُّذُورِ وَالْإِقْرَارِ. فأما مالكاً فَاسْتَدَلَّ عَلَى ذَلِكَ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: (مَنْ حَلَفَ بِاللَّهِ فَقَالَ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمْ يَحْنَثْ) فَاقْتَضَى دَلِيلُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ حَنِثَ وَلِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ رَافِعٌ كَالْكَفَّارَةِ، فَلَمَّا اخْتُصَّتِ الْكَفَّارَةُ بِالْأَيْمَانِ بِاللَّهِ دُونَ غَيْرِهَا، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الِاسْتِثْنَاءُ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ تَعَالَى مُخْتَصًّا بِهَا دُونَ غَيْرِهَا، وَلِأَنَّهُ فِي الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ الْمُعَلَّقِ لَهُ بِشَرْطٍ يَسْتَحِيلُ وُجُودُهُ، فَوَجَبَ أَنْ يُتَعَجَّلَ وُقُوعُهُ وَيَسْقُطَ شَرْطُهُ، كَمَا لَوْ

Al-Auza‘i dan Ibnu Abi Laila berkata: Dengan kehendak Allah, hukum seluruh sumpah atas nama Allah, talak, dan pembebasan budak menjadi gugur, namun tidak gugur terjadinya talak, pembebasan budak, dan nazar yang bersifat langsung (tanpa syarat). Ahmad bin Hanbal berkata: Dengan kehendak Allah, hukum seluruh sumpah menjadi gugur, demikian pula hukum talak meskipun bersifat langsung, namun hukum pembebasan budak, nazar, dan pengakuan tidak gugur. Adapun Malik, ia berdalil dengan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa bersumpah atas nama Allah lalu berkata: ‘Insya Allah’, maka ia tidak berdosa (jika melanggarnya).” Maka dalil ini menunjukkan bahwa barang siapa bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia berdosa, dan karena pengecualian (istitsna’) itu menggugurkan sebagaimana kafarat, maka ketika kafarat itu khusus untuk sumpah atas nama Allah dan tidak untuk selainnya, wajiblah pengecualian dengan kehendak Allah Ta‘ala juga khusus untuk sumpah atas nama Allah dan tidak untuk selainnya. Dan karena dalam talak dan pembebasan budak yang digantungkan pada syarat yang mustahil terjadi, maka wajib dipercepat kejadiannya dan syaratnya gugur, sebagaimana jika…

قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ صَعِدْتِ السماء طلق في الحال لاستحالة الشرط، قالوا: ولأن أجر اللَّهُ تَعَالَى الطَّلَاقَ وَالْعِتْقَ عَلَى لِسَانِهِ، مَشِيئَةً مِنْهُ لِإِيقَاعِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَرْتَفِعَ لِوُجُودِ شَرْطِهِ.

Seseorang berkata: “Engkau tertalak jika engkau naik ke langit,” maka talak jatuh seketika karena syaratnya mustahil terjadi. Mereka juga berkata: Karena Allah Ta‘ala telah menjadikan talak dan pembebasan budak di lisan seseorang sebagai kehendak-Nya untuk mewujudkannya, maka wajiblah hal itu gugur karena adanya syaratnya.

وَدَلِيلُنَا: رِوَايَةُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ: (مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ ثُمَّ قَالَ فِي إِثْرِهَا: إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمْ يَحْنَثْ) فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الْأَيْمَانِ بِاللَّهِ وَفِي الطلاق والعتق، وَلِأَنَّهُ طَلَاقٌ عُلِّقَ بِمَشِيئَةٍ مِنْ لَهُ مَشِيئَةٌ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَقَعَ قَبْلَ الْعِلْمِ بِهَا، أَصْلُهُ إِذَا عَلَّقَهُ بِمَشِيئَةِ زَيْدٍ، وَلِأَنَّهُ طَلَاقٌ عَلَّقَهُ بِصِفَةٍ صَحِيحَةٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَقَعَ قَبْلَ وُجُودِهَا، أَصْلُهُ إِذَا عَلَّقَهُ بِدُخُولِ الدَّارِ، وَلِأَنَّ كُلَّ يَمِينٍ لَوْ عَلَّقَهَا بِمَشِيئَةِ آدَمِيٍّ، لَمْ تَقَعْ قَبْلَ الْعِلْمِ، بِهَا، وَجَبَ إِذَا عَلَّقَهَا بِمَشِيئَةِ اللَّهِ أَنْ لَا تَقَعَ قَبْلَ الْعِلْمِ بِهَا كَالْيَمِينِ بِاللَّهِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا ارْتَفَعَ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ حُكْمُ الْيَمِينِ بِاللَّهِ، مَعَ عِظَمِ حُرْمَتِهَا كَانَ رَفْعُ مَا دُونَهُ فِي الْحُرْمَةِ مِنَ الْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ أَوْلَى.

Dalil kami: Riwayat Nafi‘ dari Ibnu Umar bahwa Nabi bersabda: “Barang siapa bersumpah atas suatu sumpah lalu setelahnya berkata: ‘Insya Allah’, maka ia tidak berdosa (jika melanggarnya).” Maka hadits ini berlaku umum untuk sumpah atas nama Allah, talak, dan pembebasan budak. Karena talak yang digantungkan pada kehendak Dzat yang memiliki kehendak, maka wajib tidak terjadi sebelum diketahui kehendak tersebut, sebagaimana jika digantungkan pada kehendak Zaid. Dan karena talak yang digantungkan pada sifat yang sah, maka wajib tidak terjadi sebelum sifat itu ada, sebagaimana jika digantungkan pada masuknya ke rumah. Dan karena setiap sumpah jika digantungkan pada kehendak manusia, tidak terjadi sebelum diketahui kehendaknya, maka jika digantungkan pada kehendak Allah, wajib tidak terjadi sebelum diketahui kehendak-Nya, sebagaimana sumpah atas nama Allah. Dan karena ketika hukum sumpah atas nama Allah gugur dengan kehendak Allah, padahal kehormatannya sangat agung, maka menggugurkan hukum selainnya yang lebih rendah kehormatannya seperti pembebasan budak dan talak tentu lebih utama.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ خَبَرِهِمْ فَهُوَ أَنَّ خَبَرَنَا أَعَمُّ وَأَزْيَدُ فَكَانَ قَاضِيًا عَلَى الْأَخَصِّ الْأَنْقَصِ.

Adapun jawaban atas hadits mereka adalah bahwa hadits kami lebih umum dan lebih lengkap, sehingga menjadi penentu atas yang lebih khusus dan kurang.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ كَالْكَفَّارَةِ فِي رَفْعِ الْيَمِينِ بِهِمَا، فَهُوَ أَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ رَافِعٌ لِلْيَمِينِ وَالْكَفَّارَةَ غَيْرُ رَافِعَةٍ؛ لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ يَمْنَعُ مِنَ انْعِقَادِ الْيَمِينِ، وَالْكَفَّارَةَ لَا تَجِبُ إِلَّا بِالْحِنْثِ بَعْدَ انْعِقَادِ الْيَمِينِ فَافْتَرَقَا.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa pengecualian dengan kehendak Allah itu seperti kafarat dalam menggugurkan sumpah, maka pengecualian itu menggugurkan sumpah, sedangkan kafarat tidak menggugurkan; karena pengecualian mencegah terjadinya sumpah, sedangkan kafarat tidak wajib kecuali setelah melanggar sumpah yang sudah terjadi, maka keduanya berbeda.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى تَعْلِيقِ طَلَاقِهَا بِصُعُودِ السَّمَاءِ، فَهُوَ أَنَّ أَصْحَابَنَا قَدِ اخْتَلَفُوا فِي وُقُوعِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan menggantungkan talak pada naik ke langit, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang kejadiannya menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَقَعُ لِأَنَّهُ مُقَيَّدٌ بِشَرْطٍ لَمْ يُوجَدْ فَأَشْبَهَ غَيْرَهُ مِنَ الشُّرُوطِ التي تُوجَدُ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ زَيْدٌ، وَزَيْدٌ مَيِّتٌ لَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ كَانَ مُقَيَّدًا بِشَرْطٍ لَمْ يُوجَدْ فَعَلَى هَذَا يَبْطُلُ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ.

Salah satu pendapat: Talak tidak terjadi karena dikaitkan dengan syarat yang tidak terpenuhi, sehingga serupa dengan syarat-syarat lain yang juga tidak terpenuhi. Bukankah engkau melihat, jika seseorang berkata: “Engkau tertalak jika Zaid menghendaki,” sementara Zaid telah meninggal, maka istrinya tidak tertalak. Jika dikaitkan dengan syarat yang tidak ada, maka berdasarkan ini, istidlāl (pengambilan dalil) dengan kasus tersebut menjadi batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ وَالشَّرْطَ يُلْغَى؛ لِاسْتِحَالَتِهِ، وَأَنَّهُ فِي الْكَلَامِ لَغْوٌ، وَلَيْسَتْ مَشِيئَةُ اللَّهِ مُسْتَحِيلٌ وَلَا الْكَلَامُ بِهَا لَغْوٌ، بَلْ قَدْ أَمَرَ اللَّهُ تعالى بها وندب إليها بقول تَعَالَى: {وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غداً إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ} [الكهف: 23، 24] .

Pendapat kedua: Talak terjadi dan syaratnya diabaikan karena syarat tersebut mustahil, sehingga dalam ucapan itu menjadi sia-sia (laghw). Sedangkan kehendak Allah tidaklah mustahil dan ucapan dengannya bukanlah sia-sia, bahkan Allah Ta‘ala memerintahkannya dan menganjurkannya, sebagaimana firman-Nya: {Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok,” kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”} (QS. Al-Kahfi: 23-24).

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ إِجْرَاءَ الطَّلَاقِ عَلَى لِسَانِهِ دَلِيلٌ عَلَى مَشِيئَةِ اللَّهِ تَعَالَى فَهُوَ أَنَّهُ دَلِيلٌ عَلَى إرادة إجرائه، ولليس بِدَلِيلٍ عَلَى إِرَادَةِ إِيقَاعِهِ، ثُمَّ ثَبَتَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فِي الْيَمِينِ بِاللَّهِ إِذَا عَلَّقَهَا بِصُعُودِ السَّمَاءِ كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَأَضْرِبَنَّكِ إِنْ صَعِدْتِ السَّمَاءَ، فإنها لا يلزم وَإِنْ قُيِّدَتْ بِشَرْطٍ مُسْتَحِيلٍ.

Adapun dalil mereka bahwa pelafalan talak di lisan seseorang merupakan bukti atas kehendak Allah Ta‘ala, maka itu hanyalah bukti atas keinginan untuk melafalkannya, bukan bukti atas keinginan untuk menjatuhkannya (talak). Kemudian hal ini juga berlaku pada sumpah dengan nama Allah jika dikaitkan dengan sesuatu yang mustahil, seperti ucapannya: “Demi Allah, aku pasti akan memukulmu jika engkau naik ke langit,” maka sumpah itu tidak berlaku, meskipun dikaitkan dengan syarat yang mustahil.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَأَمَّا أَحْمَدُ فَاسْتَدَلَّ عَلَى وُقُوعِ الْعِتْقِ دُونَ الطَّلَاقِ أَنَّهُ مَكْرُوهٌ لَمْ يُرِدْهُ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ) ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَقَعْ وَالْعِتْقُ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ وَمُرِيدٌ لَهُ، فَدَلَّ عَلَى وُقُوعِهِ بِمَا رَوَاهُ أَصْحَابُهُ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ مَالِكٍ اللَّخْمِيِّ عَنْ مَكْحُولٍ عَنْ مُعَاذٍ قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (يَا مُعَاذُ مَا خَلَقَ اللَّهُ شَيْئًا عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ، أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْعِتَاقِ وَلَا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ) .

Adapun Ahmad, ia berdalil bahwa pembebasan budak (itq) terjadi, sedangkan talak tidak, karena talak adalah sesuatu yang makruh dan tidak dikehendaki, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” Oleh karena itu, talak tidak terjadi, sedangkan pembebasan budak adalah sesuatu yang dianjurkan dan dikehendaki, sehingga itu menunjukkan terjadinya pembebasan budak, sebagaimana diriwayatkan oleh para sahabatnya dari Humaid bin Malik al-Lakhmi dari Mak-hul dari Mu‘adz, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku: “Wahai Mu‘adz, tidaklah Allah menciptakan sesuatu di muka bumi yang lebih dicintai Allah daripada pembebasan budak, dan tidak ada yang lebih dibenci-Nya daripada talak.”

فَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِمَمْلُوكِهِ: أَنْتَ حُرٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَهُوَ حَرٌّ وَلَا اسْتِثْنَاءَ لَهُ، فَإِذَا قَالَ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَكَذَا اسْتِثْنَاؤُهُ وَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ، بِدَلِيلَيْنِ عَلَى حَمْلِ مَا دَلَلْنَا بِهِ عَلَى مَالِكٍ، وَهَذَا الْخَبَرُ غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ حُمَيْدَ بْنَ مَالِكٍ غَيْرُ ثِقَةٍ، وَمَكْحُولٌ لَمْ يَلْقَ مُعَاذًا. هَكَذَا قَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ، وَحَكَى الدَّارَكِيُّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، لَوْ ثَبَتَ هَذَا الْحَدِيثُ لَمْ يَكُنْ تَأْوِيلُهُ بِحَالٍ، وَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا، فَهُوَ أَنَّ اخْتِلَافَهُمَا فِي الِاسْتِحْبَابِ وَالْكَرَاهِيَةِ لَا يَدُلُّ عَلَى اخْتِلَافِهِمَا فِي الْوُقُوعِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَقَعُ الشَّيْءُ وَيَلْزَمُ حُكْمُهُ، وَإِنْ كَانَ مَكْرُوهًا وَقَدْ يَقَعُ وَلَا يَلْزَمُ وَإِنْ كَانَ مُسْتَحَبًّا.

Maka jika seorang laki-laki berkata kepada budaknya: “Engkau merdeka jika Allah menghendaki,” maka ia menjadi merdeka dan tidak ada pengecualian baginya. Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika Allah menghendaki,” maka demikian pula pengecualiannya, dan tidak terjadi talak atasnya. Ada dua dalil yang mendukung apa yang kami tunjukkan kepada pendapat Malik. Namun hadis ini tidak sahih, karena Humaid bin Malik tidak terpercaya dan Mak-hul tidak pernah bertemu dengan Mu‘adz. Demikian dikatakan oleh ad-Daraquthni. Ad-Daraki meriwayatkan dari Abu Ishaq al-Marwazi, seandainya hadis ini sahih maka tidak ada penakwilan apapun terhadapnya. Adapun perbedaan yang disebutkan antara keduanya, yaitu perbedaan dalam hal anjuran dan kebencian, tidak menunjukkan perbedaan dalam terjadinya (hukum), karena bisa saja sesuatu terjadi dan hukumnya tetap berlaku meskipun makruh, dan bisa saja sesuatu terjadi namun tidak wajib meskipun dianjurkan.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا، فَمَشِيئَةُ اللَّهِ تَرْفَعُ حُكْمَ كُلِّ قَوْلٍ اتَّصَلَ بِهَا مِنْ طَلَاقٍ وَغَيْرِهِ، سَوَاءٌ تَقَدَّمَتِ الْمَشِيئَةُ أَوْ تَأَخَّرَتْ أَوْ تَوَسَّطَتْ، فَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، أَوْ أَنْتِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ طَالِقٌ، أَوْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْتِ طَالِقٌ، فَلَا طَلَاقَ وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ أَوْ إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَوْ مَتَى شَاءَ اللَّهُ فَلَا طَلَاقَ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ لَمْ يَشَأِ اللَّهُ لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ لَا يَشَأَ فَتُطَلَّقُ، وَقَدْ يَشَاءُ فَلَا تُطَلَّقُ وَلَيْسَ يُعْلَمُ هَلْ شَاءَ أَوْ لَمْ يَشَأْ، فَلَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ؛ لِأَنَّ صِفَةَ وُقُوعِهِ وَهُوَ عَدَمُ الْمَشِيئَةِ لَمْ تُعْلَمْ كَمَا لَا يَقَعُ إِذَا قَالَ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ، لِأَنَّ صِفَةَ وُقُوعِهِ وَهُوَ الْمَشِيئَةُ لَمْ تُعْلَمْ، وَهَكَذَا إِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ مَا لَمْ يَشَأِ اللَّهُ لَمْ تُطَلَّقْ، فَأَمَّا إِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ، فَفِي وُقُوعِهِ وَجْهَانِ:

Jika telah jelas apa yang telah kami sebutkan, maka kehendak Allah menghapuskan hukum setiap ucapan yang terkait dengannya, baik berupa talak maupun selainnya, tanpa memandang apakah kehendak itu didahulukan, diakhirkan, atau diletakkan di tengah-tengah. Maka jika seseorang berkata: “Engkau tertalak jika Allah menghendaki,” atau “Engkau, jika Allah menghendaki, tertalak,” atau “Jika Allah menghendaki, engkau tertalak,” maka tidak terjadi talak. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak dengan kehendak Allah,” atau “Jika Allah menghendaki,” atau “Kapan saja Allah menghendaki,” maka tidak terjadi talak. Namun jika ia berkata: “Engkau tertalak jika Allah tidak menghendaki,” maka tidak tertalak, karena bisa jadi Allah tidak menghendaki sehingga ia tertalak, dan bisa jadi Allah menghendaki sehingga ia tidak tertalak, dan tidak diketahui apakah Allah menghendaki atau tidak, maka talak tidak terjadi; karena sifat terjadinya, yaitu tidak adanya kehendak, tidak diketahui, sebagaimana tidak terjadi jika ia berkata: “Jika Allah menghendaki,” karena sifat terjadinya, yaitu kehendak, tidak diketahui. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak selama Allah tidak menghendaki,” maka tidak tertalak. Adapun jika ia berkata: “Engkau tertalak kecuali jika Allah menghendaki,” maka dalam hal terjadinya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: حَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ أَنَّهَا لَا تُطَلَّقُ؛ لِأَنَّهُ مقيد بمشيئة لا تعلم.

Salah satunya: Diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini bahwa ia tidak tertalak; karena hal itu dikaitkan dengan kehendak yang tidak diketahui.

الوجه الثَّانِي: وَهُوَ الْمَذْهَبُ أَنَّهَا تُطَلَّقُ؛ لِأَنَّهُ أَوْقَعَ الطَّلَاقَ، وَجَعَلَ رَفْعَهُ مُقَيَّدًا بِمَشِيئَةِ اللَّهِ وَهِيَ لَا تُعْلَمُ، فَسَقَطَ حُكْمُ رَفْعِهِ وَثَبَتَ حُكْمُ وُقُوعِهِ، وَخَالَفَ قَوْلَهُ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، لِأَنَّهُ جَعَلَ حُكْمَ وُقُوعِهِ مُقَيَّدًا بِمَشِيئَةِ اللَّهِ وَهِيَ لَا تُعْلَمُ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَقَعْ.

Pendapat kedua, dan ini adalah madzhab (yang dipegangi), bahwa ia tertalak; karena ia telah menjatuhkan talak, dan menjadikan pembatalannya dikaitkan dengan kehendak Allah yang tidak diketahui, maka gugurlah hukum pembatalannya dan tetaplah hukum terjadinya. Ini berbeda dengan ucapannya: “Engkau tertalak jika Allah menghendaki,” karena ia menjadikan hukum terjadinya dikaitkan dengan kehendak Allah yang tidak diketahui, maka sebab itu tidak terjadi.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ زَيْدٌ، فَكَانَ وُقُوعُهُ مَوْقُوفًا عَلَى مَشِيئَتِهِ، فَإِنْ شَاءَ طُلِّقَتْ وَإِنْ لَمْ يَشَأْ لَمْ تُطَلَّقْ، وإن مات زيداً قَبْلَ أَنْ تَعْلَمَ مَشِيئَتَهُ لَمْ تُطَلَّقْ، وَهَكَذَا لَوْ كَانَ زَيْدٌ مَيِّتًا قَبْلَ طَلَاقِهِ لَمْ تُطَلَّقْ، فَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ زَيْدٌ، فَإِنْ شَاءَ زَيْدٌ لَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ لَمْ يَشَأْ طُلِّقَتْ، فَإِنْ مَاتَ زَيْدٌ قَبْلَ أَنْ تَعْلَمَ مَشِيئَتَهُ، كَانَ عَلَى الْوَجْهَيْنِ: فَإِنْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتِ، فَقَالَتْ: قَدْ شِئْتُ لَمْ تُطَلَّقْ؛ لِأَنَّهُ قَيَّدَ وُقُوعَ طَلَاقِهَا بِشَرْطَيْنِ هُمَا مَشِيئَةُ اللَّهِ وَمَشِيئَتُهَا، وَمَشِيئَةُ اللَّهِ لَا تُعْلَمُ وَإِنْ عُلِمَتْ مَشِيئَتُهَا، فَلِذَلِكَ لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak jika Zaid menghendaki,” maka terjadinya talak bergantung pada kehendaknya; jika Zaid menghendaki, maka ia tertalak, dan jika tidak, maka tidak tertalak. Jika Zaid meninggal sebelum diketahui kehendaknya, maka tidak tertalak. Demikian pula jika Zaid sudah meninggal sebelum talak diucapkan, maka tidak tertalak. Jika ia berkata: “Engkau tertalak kecuali jika Zaid menghendaki,” maka jika Zaid menghendaki, maka tidak tertalak, dan jika tidak, maka tertalak. Jika Zaid meninggal sebelum diketahui kehendaknya, maka ada dua pendapat. Jika ia berkata: “Engkau tertalak jika Allah dan engkau menghendaki,” lalu istrinya berkata: “Aku telah menghendaki,” maka tidak tertalak; karena ia mengaitkan terjadinya talak dengan dua syarat, yaitu kehendak Allah dan kehendak istrinya, dan kehendak Allah tidak diketahui meskipun kehendak istrinya diketahui, maka sebab itu talak tidak terjadi.

فَلَوْ قال: أنت طالق إن شاء الله زَيْدٌ، وَكَانَ زَيْدٌ مَجْنُونًا فَقَالَ؛ قَدْ شِئْتُ لَمْ تُطَلَّقْ؛ لِأَنَّ الْمَجْنُونَ لَا مَشِيئَةَ لَهُ، وَلَوْ كَانَ سَكْرَانَ فَشَاءَ طُلِّقَتْ؛ لِثُبُوتِ الْأَحْكَامِ بِأَقْوَالِهِ، وَيَحْتَمِلُ وَجْهًا آخَرَ: أَنَّهَا لَا تُطَلَّقُ لِأَنَّ سُكْرَهُ يُوجِبُ تَغْلِيظَ الْحُكْمِ عَلَى نَفْسِهِ، وَلَا يُوجِبُ تَغْلِيظَهُ عَلَى غَيْرِهِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ زَيْدٌ وَكَانَ أَخْرَسَ فَشَاءَ بِالْإِشَارَةِ طُلِّقَتْ، وَلَوْ كَانَ نَاطِقًا فَخُرِسَ فَشَاءَ بِالْإِشَارَةِ، قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ لَمْ تطلق؛ لأنه مَشِيئَتَهُ وَقْتَ الطَّلَاقِ كَانَتْ نُطْقًا فَلَمْ تَثْبُتْ بالإشارة وهذا عندي غير صحيح؛ لأنه إِشَارَةَ الْأَخْرَسِ تَقُومُ مَقَامَ نُطْقِهِ مَعَ الْعَجْزِ وَقْتَ الْبَيَانِ وَلَا اعْتِبَارَ بِمَا تَقَدَّمَ الْأَمْرَ، أَنْ لَوْ كَانَ أَخْرَسَ فِي وَقْتِ الطَّلَاقِ نَاطِقًا فِي وَقْتِ الْبَيَانِ، لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ إِلَّا بِالنُّطْقِ دُونَ الْإِشَارَةِ وَإِنْ صَحَّتْ مِنْهُ فِي وَقْتِ الطَّلَاقِ بِالْإِشَارَةِ كَذَلِكَ إِذَا كَانَ ناطقاً فخرس، فو قَالَ؛ أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ الْحِمَارُ، فَهَذَا مِنَ الشُّرُوطِ الْمُسْتَحِيلَةِ لِأَنَّهُ لَا مَشِيئَةَ لِلْحِمَارِ، فَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ صَعِدْتِ السَّمَاءَ، فَيَكُونُ لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ فِيهِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ.

Maka jika seseorang berkata: “Engkau tertalak jika Allah menghendaki, Zaid,” dan Zaid adalah orang gila lalu ia berkata, “Aku telah menghendaki,” maka istrinya tidak tertalak; karena orang gila tidak memiliki kehendak. Namun jika Zaid sedang mabuk lalu ia menghendaki, maka istrinya tertalak; karena hukum-hukum tetap berlaku atas ucapannya. Namun ada kemungkinan pendapat lain: bahwa istrinya tidak tertalak, karena mabuknya menyebabkan pemberatan hukum atas dirinya sendiri, dan tidak menyebabkan pemberatan atas orang lain. Jika ia berkata: “Engkau tertalak jika Zaid menghendaki,” dan Zaid adalah bisu lalu ia menghendaki dengan isyarat, maka istrinya tertalak. Jika Zaid awalnya bisa berbicara lalu menjadi bisu dan menghendaki dengan isyarat, menurut Abu Hamid al-Isfarayini, istrinya tidak tertalak; karena kehendaknya saat talak adalah dengan ucapan, sehingga tidak sah dengan isyarat. Namun menurut saya, ini tidak benar; karena isyarat orang bisu menggantikan ucapannya ketika ia tidak mampu berbicara pada saat penjelasan, dan tidak dianggap apa yang terjadi sebelumnya. Seandainya saat talak ia bisu dan saat penjelasan ia bisa berbicara, maka tidak sah kecuali dengan ucapan, bukan dengan isyarat, meskipun pada saat talak sah dengan isyarat. Demikian pula jika ia awalnya bisa berbicara lalu menjadi bisu. Jika ia berkata: “Engkau tertalak jika keledai menghendaki,” maka ini termasuk syarat yang mustahil, karena keledai tidak memiliki kehendak, sehingga sama seperti ucapannya: “Engkau tertalak jika engkau naik ke langit.” Maka jatuhnya talak dalam hal ini mengikuti dua pendapat yang telah lalu.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَإِذَا قَالَ لِزَوْجَتَيْهِ حَفْصَةَ وَعَمْرَةَ: أَنْتُمَا طَالِقَتَانِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ كَانَ الِاسْتِثْنَاءُ رَاجِعًا إِلَيْهِمَا، فَلَمْ تُطَلَّقْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا إِلَّا أَنْ يَعْزِلَهَا فِي اسْتِثْنَائِهِ، وَلَوْ قَالَ: حَفْصَةُ طَالِقٌ وَعَمْرَةُ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَإِنْ أَرَادَ بِالِاسْتِثْنَاءِ عَمْرَةَ الْأَخِيرَةَ، طُلِّقَتْ حَفْصَةُ وَلَمْ تُطَلَّقْ عَمْرَةُ، وَإِنْ أَرَادَهُمَا مَعًا لَمْ تُطَلَّقَا جَمِيعًا، وَإِنْ أَطْلَقَ الِاسْتِثْنَاءَ وَلَمْ يُرِدْ بِهِ وَاحِدَةً بِعَيْنِهَا، كَانَ الِاسْتِثْنَاءُ رَاجِعًا إِلَيْهِمَا فَلَمْ تُطَلَّقَا؛ لِرُجُوعِ الِاسْتِثْنَاءِ وَالْعَطْفِ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِلَى جَمِيعِ الْمَذْكُورِ، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي حَنِيفَةَ يَرُدُّهُمْ إِلَى أَقْرَبِ الْمَذْكُورِ فَتُطَلَّقُ حَفْصَةُ عِنْدَهُ لِخُرُوجِهَا مِنَ الِاسْتِثْنَاءِ، وَلَا تُطَلَّقُ عَمْرَةُ لِدُخُولِهَا فِي الِاسْتِثْنَاءِ، فَلَوْ قَالَ أَرَدْتُ بِالِاسْتِثْنَاءِ حَفْصَةَ الْأُولَى دُونَ الثَّانِيَةِ حُمِلَ عَلَى إِرَادَتِهِ، وَطُلِّقَتْ عَمْرَةُ الْأَخِيرَةُ دُونَ حَفْصَةَ الْأُولَى، وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ تُطَلَّقَانِ مَعًا.

Jika seseorang berkata kepada dua istrinya, Hafshah dan Amrah: “Kalian berdua tertalak jika Allah menghendaki,” maka pengecualian itu kembali kepada keduanya, sehingga tidak ada satu pun dari mereka yang tertalak kecuali jika ia mengkhususkan salah satunya dalam pengecualian itu. Jika ia berkata: “Hafshah tertalak dan Amrah tertalak jika Allah menghendaki,” lalu ia bermaksud dengan pengecualian itu untuk Amrah yang terakhir, maka Hafshah tertalak dan Amrah tidak tertalak. Jika ia bermaksud keduanya sekaligus, maka keduanya tidak tertalak. Jika ia mengucapkan pengecualian tanpa bermaksud salah satu secara khusus, maka pengecualian itu kembali kepada keduanya sehingga keduanya tidak tertalak; karena pengecualian dan penghubung menurut mazhab asy-Syafi‘i kembali kepada semua yang disebutkan. Sedangkan menurut mazhab Abu Hanifah, pengecualian itu kembali kepada yang paling dekat dari yang disebutkan, sehingga Hafshah tertalak menurutnya karena keluar dari pengecualian, dan Amrah tidak tertalak karena masuk dalam pengecualian. Jika ia berkata, “Saya maksudkan dengan pengecualian itu Hafshah yang pertama, bukan yang kedua,” maka diambil menurut maksudnya, sehingga Amrah yang terakhir tertalak dan Hafshah yang pertama tidak, dan menurut Abu Hanifah keduanya tertalak.

وَلَوْ قَالَ لِزَوْجَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، رَجَعَ الِاسْتِثْنَاءُ إِذَا أَطْلَقَهُ إِلَى الطَّلَاقَيْنِ فَلَمْ يَقَعَا وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ يَرْجِعُ إِلَى الثَّانِي وَيَقَعُ الْأَوَّلُ.

Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak dan tertalak jika Allah menghendaki,” maka pengecualian itu, jika diucapkan secara umum, kembali kepada kedua talak tersebut sehingga keduanya tidak jatuh. Menurut Abu Hanifah, pengecualian itu kembali kepada talak yang kedua dan yang pertama tetap jatuh.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَإِذَا وَصَلَ طَلَاقَهُ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ تَعَالَى غَيْرَ مُرِيدٍ بِأَوَّلِ كَلَامِ الِاسْتِثْنَاءِ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ تَعَالَى صَحَّ اسْتِثْنَاؤُهُ؛ لِأَنَّ الْكَلَامَ الْمُتَّصِلَ يُعْتَبَرُ حُكْمُ أَوَّلِهُ بِآخِرِهِ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: لَا حُكْمَ لِلِاسْتِثْنَاءِ حَتَّى يَنْوِيَهُ عِنْدَ تَلَفُّظِهِ بِالطَّلَاقِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَ أَوَّلِ كَلَامِهِ بَطَلَ وَهَذَا فَاسِدٌ بِمَا ذَكَرْنَاهُ.

Jika seseorang menyambungkan talaknya dengan kehendak Allah Ta‘ala tanpa bermaksud dari awal ucapannya sebagai pengecualian dengan kehendak Allah Ta‘ala, maka pengecualiannya sah; karena ucapan yang bersambung, hukum awalnya dianggap dengan akhirnya. Sebagian ulama kami berkata: Tidak ada hukum bagi pengecualian kecuali jika diniatkan saat mengucapkan talak. Jika tidak bersamaan dengan awal ucapannya, maka batal, dan ini tidak benar sebagaimana yang telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَنْ شَاءَ اللَّهُ بِالْفَتْحِ طُلِّقَتْ بِخِلَافِ إِنِ الْمَكْسُورَةِ لِأَنَّهَا بِالْكَسْرِ شَرْطٌ وَبِالْفَتْحِ تَعْلِيلٌ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِذْ شَاءَ اللَّهُ طُلِّقَتْ بِخِلَافِ قَوْلِهِ: إِذَا شَاءَ اللَّهُ؛ لِأَنَّ إِذْ لِلْمَاضِي، فَلَمْ تَكُنْ شَرْطًا وَإِذَا لِلْمُسْتَقْبَلِ فَكَانَتْ شَرْطًا والله أعلم.

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak an sya’a Allah” dengan menggunakan “an” (fathah), maka istrinya tertalak, berbeda dengan “in” (kasrah), karena “in” bermakna syarat, sedangkan “an” bermakna penjelasan sebab. Demikian pula jika ia berkata: “Engkau tertalak idz sya’a Allah,” maka istrinya tertalak, berbeda dengan ucapannya: “idza sya’a Allah,” karena “idz” untuk masa lampau sehingga tidak menjadi syarat, sedangkan “idza” untuk masa depan sehingga menjadi syarat. Wallahu a‘lam.

(باب طلاق المريض)

(Bab Talak Orang Sakit)

(من كتاب الرجعة ومن العدة ومن الإملاء على مسائل مالك واختلاف الحديث)

(Dari Kitab Ruju‘, dari Kitab ‘Iddah, dan dari dikte atas masalah Malik dan perbedaan hadis)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: وَطَلَاقُ الْمَرِيضِ وَالصَّحِيحِ سَوَاءٌ) .

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Talak yang dijatuhkan oleh orang sakit dan orang sehat itu sama saja.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لَا فَرْقَ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ بَيْنَ الصَّحِيحِ وَالْمَرِيضِ سَوَاءٌ كَانَ الطَّلَاقُ ثَلَاثًا أَوْ دُونَهَا وَقَالَ الشَّعْبِيُّ طَلَاقُ الْمَرِيضِ لَا يَقَعُ لِأَجْلِ التُّهْمَةِ فِي الإدما وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِعُمُومِ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالْعِتَاقُ) وَلِأَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ أَغْلَظُ مِنْ حَلِّهِ، ثُمَّ نِكَاحُ الْمَرِيضِ يَصِحُّ فَحَلُّهُ بِالطَّلَاقِ أَوْلَى أَنْ يَصِحَّ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا صَحَّ مِنْهُ الظِّهَارُ وَالْإِيلَاءُ، كَانَ أَوْلَى أَنْ يَصِحَّ مِنْهُ الطَّلَاقُ؛ لأن حكمه أغلظ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Tidak ada perbedaan dalam terjadinya talak antara orang sehat dan orang sakit, baik talaknya tiga kali ataupun kurang dari itu. Asy-Sya‘bi berpendapat bahwa talak orang sakit tidak terjadi karena adanya tuduhan dalam warisan, dan ini adalah kesalahan; karena keumuman firman Allah Ta‘ala: {Jika dia menceraikannya (untuk ketiga kalinya), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum menikah dengan suami yang lain} [al-Baqarah: 230], dan juga sabda Nabi ﷺ: “Tiga perkara yang seriusnya adalah sungguh-sungguh dan bercandanya pun dianggap sungguh-sungguh: nikah, talak, dan pembebasan budak.” Dan karena akad nikah itu lebih kuat daripada pembubarannya, sementara nikah orang sakit itu sah, maka pembubarannya dengan talak lebih utama untuk dianggap sah; dan karena zhihar dan ila’ yang dilakukan orang sakit itu sah, maka talak dari orang sakit lebih utama untuk dianggap sah, karena hukumnya lebih berat.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فَإِنْ طَلَقَ مَرِيضٌ ثَلَاثًا فَلَمْ يَصِحَّ حَتَى مَاتَ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا قَالَ الْمُزَنِيُّ فَذَكَرَ حُكْمَ عُثْمَانَ بِتَوْرِيثِهَا مِنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي مَرَضِهِ وَقَوْلَ ابْنِ الزُّبَيْرِ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أَرَ أَنْ تَرِثَ الْمَبْتُوتَةُ قَالَ الْمُزَنِيُّ وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تعالى فِي كِتَابِ الْعِدَّةِ إِنَّ الْقَوْلَ بِأَنْ لَا تَرِثَ المَبْتُوتَةُ قَوْلٌ يَصِحُّ وَقَدْ ذِهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ أَهْلِ الْآثَارِ وَقَالَ كَيْفَ تَرِثُهُ امْرَأَةٌ لا يرثها وليست له بزوجة قال المزني فقلت أنا هذا أصح وأقيس لقوله قال المزني وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ إِمْلَاءً عَلَى مسائل مالك إن مذهب ابن الزبير أصحهما وقال فيه) .

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika seorang yang sakit mentalak istrinya tiga kali, lalu ia tidak sembuh hingga meninggal dunia, maka para sahabat kami berbeda pendapat. Al-Muzani menyebutkan hukum ‘Utsman yang mewariskan istri dari ‘Abdurrahman dalam sakitnya, dan perkataan Ibnu az-Zubair: ‘Seandainya aku yang memutuskan, aku tidak akan mewariskan kepada wanita yang telah ditalak bain.’ Al-Muzani berkata: Dan asy-Syafi‘i rahimahullah telah berkata dalam Kitab al-‘Iddah bahwa pendapat yang mengatakan wanita yang telah ditalak bain tidak mewarisi adalah pendapat yang sah, dan sebagian ahli atsar juga berpendapat demikian. Ia berkata: Bagaimana mungkin seorang wanita yang tidak lagi menjadi istri dan tidak bisa diwarisi olehnya, bisa mewarisi? Al-Muzani berkata: Menurutku, ini lebih sahih dan lebih sesuai dengan qiyās menurut pendapatnya. Al-Muzani berkata: Dan dalam Kitab an-Nikah dan at-Talaq, dalam penjelasan masalah-masalah Malik, disebutkan bahwa mazhab Ibnu az-Zubair adalah yang paling sahih di antara keduanya, dan beliau juga menyatakannya di sana.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الطَّلَاقَ فِي قَطْعِ التَّوَارُثِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ، قِسْمٌ يَقْطَعُ التَّوَارُثَ بَيْنَهُمَا وَهُوَ الطَّلَاقُ الْبَائِنُ فِي الصِّحَّةِ أَوْ فِي مَرَضٍ غَيْرِ مُخَوِّفٍ، وَالْبَائِنُ طَلَاقُ غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا، وَطَلَاقُ الثَّلَاثِ، وَالطَّلَاقُ فِي الْخَلْعِ، فَلَا يَرِثُهَا وَلَا تَرِثُهُ، سَوَاءٌ كَانَ الْمَوْتُ فِي الْعِدَّةِ أَوْ بَعْدَهَا؛ لِارْتِفَاعِ النِّكَاحِ بَيْنَهُمَا، وَهَذَا إِجْمَاعٌ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa talak dalam memutus hubungan waris-mewarisi antara suami istri terbagi menjadi tiga bagian: Bagian yang memutus waris-mewarisi di antara keduanya, yaitu talak bain yang dijatuhkan dalam keadaan sehat atau dalam sakit yang tidak membahayakan, talak bain terhadap istri yang belum digauli, talak tiga, dan talak dalam khulu‘; maka dalam hal ini, suami tidak mewarisi istri dan istri tidak mewarisi suami, baik kematian terjadi dalam masa iddah atau setelahnya, karena hubungan pernikahan telah terputus di antara keduanya, dan ini adalah ijmā‘.

وَقِسْمٌ لَا يَقْطَعُ التَّوَارُثَ بَيْنَهُمَا وَهُوَ الطَّلَاقُ الرَّجْعِيُّ، سَوَاءٌ كَانَ فِي الصِّحَّةِ أَوْ فِي الْمَرَضِ يَتَوَارَثَانِ فِيهِ مَا لَمْ تَنْقَضِ الْعِدَّةُ، فَإِنْ مَاتَ وَرِثَتْهُ وَإِنْ مَاتَتْ وَرِثَهَا، فَإِذَا انْقَضَتْ الْعِدَّةُ فَلَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمَا.

Dan bagian yang tidak memutus waris-mewarisi di antara keduanya, yaitu talak raj‘i, baik dijatuhkan dalam keadaan sehat maupun sakit, maka keduanya masih saling mewarisi selama masa iddah belum habis. Jika suami meninggal, istri mewarisinya, dan jika istri meninggal, suami mewarisinya. Namun, jika masa iddah telah habis, maka tidak ada lagi waris-mewarisi di antara keduanya.

وَقِسْمٌ مُخْتَلَفٌ فِيهِ وَهُوَ الطَّلَاقُ الْبَائِنُ فِي الْمَرَضِ الْمُخَوِّفِ إِذَا اتَّصَلَ بِالْمَوْتِ، فَإِنْ مَاتَتْ لَمْ يَرِثْهَا إِجْمَاعًا وَإِنْ مَاتَ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي مِيرَاثِهَا مِنْهُ، وَاخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ عَلَى قَوْلَيْنِ نص عليهما في الرجعة والعدد وَالْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلَ مَالِكٍ، وَلَيْسَ لَهُ فِي الْقَدِيمِ فِيهَا نَصٌّ، أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّهَا تَرِثُهُ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَرَبِيعَةُ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَصْحَابُهُ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ.

Dan bagian yang diperselisihkan, yaitu talak bain yang dijatuhkan dalam sakit yang membahayakan jika bersambung dengan kematian. Jika istri meninggal, maka suami tidak mewarisinya menurut ijmā‘, namun jika suami meninggal, para fuqaha berbeda pendapat tentang apakah istri mewarisinya atau tidak. Pendapat asy-Syafi‘i dalam hal ini ada dua, yang dinyatakan dalam kitab ar-Raj‘ah, al-‘Iddah, dan penjelasan masalah-masalah Malik, dan tidak ada nash dalam pendapat lama beliau. Salah satu dari dua pendapat tersebut adalah bahwa istri tetap mewarisinya, dan ini adalah pendapat dari kalangan sahabat: ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, serta dari kalangan fuqaha: Malik, Rabi‘ah, al-Laits bin Sa‘d, al-Auza‘i, Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah dan para pengikutnya, serta Ahmad bin Hanbal.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَرِثُ وَبِهِ قَالَ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، وَرُبَّمَا أُضِيفَ إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَقَوْلُ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ وَكَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْآثَارِ.

Pendapat kedua: Istri tidak mewarisinya, dan ini adalah pendapat ‘Abdullah bin az-Zubair, dan kadang juga dinisbatkan kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf, serta pendapat Ibnu Abi Mulaykah dan banyak ahli atsar.

وَبِهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ وَدَاوُدُ، فَإِذَا قِيلَ بِالْأَوَّلِ: أَنَّهَا تَرِثُ فَدَلِيلُهُ مَعْنَى الْإِجْمَاعِ الْمَنْقُولِ عَنِ الصَّحَابَةِ.

Dan ini pula pendapat al-Muzani dan Dawud. Jika pendapat pertama yang diambil, yaitu istri tetap mewarisi, maka dalilnya adalah makna ijmā‘ yang dinukil dari para sahabat.

وَهُوَ مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي الْمَبْتُوتَةِ فِي الْمَرَضِ تَرِثُ وَرُوِيَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ طَلَّقَ تُمَاضِرَ بِنْتَ الْأَصْبَغِ الْكَلْبِيَّةَ فِي مَرَضِهِ فَوَرَّثَهَا مِنْهُ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قِيلَ بِمُشَاوَرَةِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقِيلَ إِنَّهَا صُولِحَتْ عَلَى رُبُعِ ثَمَنِهَا لِأَنَّهُنَّ كُنَّ أَرْبَعًا عَلَى ثَمَانِينَ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَقِيلَ ثَمَانِينَ أَلْفَ دِينَارٍ.

Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khattab, raḍiyallāhu ‘anhu, bahwa beliau berkata tentang wanita yang ditalak ba’in (mabtuutah) saat suami dalam keadaan sakit: ia berhak mewarisi. Diriwayatkan pula bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf menceraikan Tumāḍir binti al-Aṣbagh al-Kalbiyyah saat ia sakit, lalu ‘Utsmān bin ‘Affān, raḍiyallāhu ‘anhu, mewariskan harta darinya kepada Tumāḍir. Dikatakan bahwa hal itu dilakukan setelah bermusyawarah dengan ‘Ali bin Abi Ṭālib, raḍiyallāhu ‘anhu. Dikatakan pula bahwa Tumāḍir berdamai dengan menerima seperempat dari bagian warisannya, karena mereka (para istri) berjumlah empat orang atas delapan puluh ribu dirham, dan ada pula yang mengatakan delapan puluh ribu dinar.

وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّمِيمِيُّ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ وَكَانَ بِهِ الْفَالِجُ فَمَاتَ بَعْدَ سَنَةٍ فَوَرِثَهَا مِنْهُ عُثْمَانُ.

Muhammad bin Ibrahim at-Tamimi meriwayatkan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf menceraikan istrinya ketika ia sedang menderita lumpuh, lalu ia wafat setahun kemudian, dan ‘Utsmān mewariskan harta darinya kepada istrinya tersebut.

وَرُوِيَ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا حُوصِرَ طَلَّقَ وَاحِدَةً مِنْ نِسَائِهِ فَوَرَّثَهَا مِنْهُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَقَالَ: طَلَّقَهَا فِي شَرَفِ الْمَوْتِ، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لِهَذِهِ الْقَضَايَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ إِلَّا قَوْلَ ابْنِ الزُّبَيْرِ: لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أَرَ أَنْ تَرِثَ مَبْتُوتَةٌ، فَقِيلَ مَعْنَاهُ، لَمْ يَبْلُغِ اجْتِهَادِي أَنْ تَرِثَ مَبْتُوتَةٌ، كَمَا يَقُولُ الْقَائِلُ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أَهْتَدِ إِلَى هَذَا، فَكَانَ هَذَا مَنْ ذَكَرْنَا مَعَ عَدَمِ الْمُخَالِفِ فِيهِ إِجْمَاعًا حَاجًّا، وَلِأَنَّهَا بَانَتْ فِي حَالٍ يُعْتَبَرُ عَطَايَاهُ فِيهَا مِنَ الثُّلُثِ، فَوَجَبَ أَنْ تَرِثَهُ كَالْبَائِنِ بِالْمَوْتِ، وَلِأَنَّهُ مَتْهُومٌ فِي مَنْعِهَا مِنَ الْإِرْثِ فَأَشْبَهَ الْقَاتِلَ الْمَتْهُومَ فِي اخْتِلَافِ الْإِرْثِ فَكَانَتِ التُّهْمَةُ بِالْقَتْلِ مَانِعَةً مِنَ الْمِيرَاثِ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ التُّهْمَةُ بِالطَّلَاقِ مَانِعَةً مِنْ إِسْقَاطِ الْمِيرَاثِ، وَلِأَنَّ بِالْمَرَضِ قَدْ تَعَلَّقَتْ حُقُوقُ الْوَرَثَةِ بَيْنَ مَالِهِ، بِدَلِيلٍ أَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ الْعَطَايَا فِيمَا زَادَ عَلَى ثُلُثِهِ كَالْوَصَايَا بَعْدَ الْمَوْتِ.

Diriwayatkan bahwa ketika ‘Utsmān bin ‘Affān, raḍiyallāhu ‘anhu, dikepung, beliau menceraikan salah satu istrinya, lalu ‘Ali bin Abi Ṭālib, ‘alayhis salām, mewariskan harta darinya kepada istrinya itu, dan berkata: “Ia menceraikannya dalam keadaan mendekati kematian.” Tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi kasus-kasus ini kecuali perkataan Ibn az-Zubair: “Seandainya aku, aku tidak melihat bahwa wanita yang ditalak ba’in berhak mewarisi.” Maka dikatakan maksudnya: “Ijtihadku belum sampai pada kesimpulan bahwa wanita yang ditalak ba’in berhak mewarisi,” sebagaimana seseorang berkata: “Seandainya aku, aku tidak akan sampai pada pendapat ini.” Maka inilah yang kami sebutkan, dan tidak ada yang menyelisihinya di kalangan sahabat, sehingga menjadi ijmā‘ yang kuat. Karena wanita itu telah berpisah (dari suaminya) dalam keadaan di mana pemberian-pemberian suami hanya dianggap sah jika tidak melebihi sepertiga harta, maka wajib baginya untuk mewarisi sebagaimana wanita yang berpisah karena kematian. Dan karena suami dicurigai bermaksud menghalangi istrinya dari warisan, maka hal ini serupa dengan pembunuh yang dicurigai dalam perbedaan warisan; jika tuduhan membunuh menjadi penghalang warisan, maka tuduhan menceraikan (untuk menghalangi warisan) juga harus menjadi penghalang untuk menggugurkan hak waris. Selain itu, dalam keadaan sakit, hak-hak ahli waris telah terkait dengan hartanya, sebagaimana dibuktikan dengan larangan memberikan harta lebih dari sepertiga, seperti wasiat setelah kematian.

فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مَمْنُوعًا مِنْ إِسْقَاطِ حُقُوقِهِمْ مِنْ مِيرَاثِهِمْ لِتَعَلُّقِهَا بتركته.

Maka, hal ini menuntut agar ia dilarang menggugurkan hak-hak mereka dari warisan karena hak-hak itu telah terkait dengan peninggalannya.

وَإِذَا قِيلَ بِالثَّانِي: وَأَنَّهَا لَا تَرِثُ وَهُوَ أَقِيسُ الْقَوْلَيْنِ وَأَوْلَاهُمَا فَدَلِيلُهُ: مَا رَوَاهُ أَبُو سَعِيدٍ الْمَكِّيُّ فِي خِلَافِهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: (لَا تَرِثُ الْمَبْتُوتَةُ) وَهَذَا إِذَا صَحَّ نَصٌّ لَا يَسُوغُ خِلَافُهُ، وَلِأَنَّهَا فُرْقَةٌ تَقْطَعُ إِرْثَهُ مِنْهَا فَوَجَبَ أَنْ تَقْطَعَ إِرْثَهَا مِنْهُ، أَصْلُهُ الْفُرْقَةُ فِي الصِّحَّةِ، وَلِأَنَّهُ إِرْثٌ يَنْقَطِعُ بِالْفُرْقَةِ فِي حَالِ الصِّحَّةِ فَوَجَبَ أَنْ يَنْقَطِعَ بِالْفُرْقَةِ فِي حَالِ الْمَرَضِ، أَصْلُهُ إِرْثُ الزَّوْجِ، وَلِأَنَّ لِلنِّكَاحِ أَحْكَامًا مِنْ طَلَاقٍ وَظِهَارٍ وَإِيلَاءٍ وَتَحْرِيمٍ لِلْجَمْعِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ أُخْتِهَا وَخَالَتِهَا وَعَمَّتِهَا وَثُبُوتِ الْمِيرَاثِ وَعِدَّةِ الْوَفَاةِ، فَلَمَّا انْتَفَى عَنْ هَذِهِ الْمَبْتُوتَةِ فِي حَالِ الْمَرَضِ أَحْكَامُ النِّكَاحِ مِنْ غَيْرِ الْمِيرَاثِ، انْتَفَى عَنْهَا أَحْكَامُ النِّكَاحِ فِي الْمِيرَاثِ. وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّهُ حُكْمٌ يَخْتَصُّ بِالنِّكَاحِ فَوَجَبَ أَنْ يَنْتَفِيَ عَنِ الْمَبْتُوتَةِ فِي الْمَرَضِ كَسَائِرِ الْأَحْكَامِ وَلِأَنَّ فَسْخَ النِّكَاحِ فِي الْمَرَضِ سَبَبٌ مِنْ جِهَتِهَا كَالرِّدَّةِ وَالرَّضَاعِ يَمْنَعُ مِيرَاثَهُ مِنْهَا، وَإِنْ تَوَجَّهَتِ التُّهْمَةُ إِلَيْهِمَا جَمِيعًا بَيْنَ وُجُودِهِ فِي الصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ وُجُودُ الْفُرْقَةِ مِنْ جِهَتِهِ يَمْنَعُ مِيرَاثَهَا مِنْهُ تَسْوِيَةً بَيْنَ الصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ.

Dan jika dikatakan dengan pendapat kedua, yaitu bahwa ia (wanita yang ditalak ba’in saat suami sakit) tidak berhak mewarisi—dan ini adalah pendapat yang lebih sesuai dengan qiyās dan lebih utama di antara dua pendapat—dalilnya adalah: riwayat Abu Sa‘id al-Makki dalam perbedaan pendapat ini dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Wanita yang ditalak ba’in tidak berhak mewarisi.” Jika nash ini sahih, maka tidak boleh ada perbedaan pendapat. Selain itu, perceraian adalah pemutusan hubungan yang menghilangkan hak waris dari suami, maka wajib pula menghilangkan hak waris istri darinya; asalnya adalah perceraian dalam keadaan sehat. Dan karena warisan itu terputus dengan perceraian dalam keadaan sehat, maka wajib pula terputus dengan perceraian dalam keadaan sakit; asalnya adalah warisan suami. Selain itu, pernikahan memiliki hukum-hukum seperti talak, ẓihār, ila’, pengharaman mengumpulkan antara istri dengan saudari, bibi dari pihak ayah dan ibu, penetapan hak waris, dan masa ‘iddah wafat. Maka ketika hukum-hukum pernikahan selain warisan telah hilang dari wanita yang ditalak ba’in dalam keadaan sakit, maka hukum warisan pun hilang darinya. Penjelasan secara qiyās: ini adalah hukum yang khusus dengan pernikahan, maka wajib hilang dari wanita yang ditalak ba’in dalam keadaan sakit sebagaimana hukum-hukum lainnya. Selain itu, pembatalan pernikahan dalam keadaan sakit yang berasal dari pihak istri, seperti riddah dan radā‘, mencegah suami mewarisi darinya, meskipun tuduhan diarahkan kepada keduanya baik dalam keadaan sehat maupun sakit, maka wajib pula keberadaan perceraian dari pihak suami mencegah istri mewarisi darinya, sebagai penyamaan antara keadaan sehat dan sakit.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْإِجْمَاعِ: فَهُوَ أَنَّ الْخِلَافَ فِيهَا حَاصِلٌ وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ: لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أَرَ أَنْ تَرِثَ مَبْتُوتَةٌ، وَهُوَ صَحَابِيٌّ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ لَا سِيَّمَا فِي أَيَّامِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَرُوِيَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ قَالَ: وَاللَّهِ لَا أُوَرِّثُ تَمَاضُرَ، ثُمَّ طَلَّقَهَا فِي مَرَضِهِ فَقِيلَ لَهُ أَفَرَرْتَ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ. قَالَ: مَا فَرَرْتُ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَهَا فِيهِ مِيرَاثٌ فَأَعْطُوهَا فَصَالَحَهَا عُثْمَانُ مِنْ رُبُعِ الثَّمَنِ عَلَى ثَمَانِينَ أَلْفًا. وَلَوْ كَانَتْ وَارِثَةً فَصُولِحَتْ، فَخَرَجَ أَنْ يَكُونَ فِيهِ إِجْمَاعًا.

Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan ijmā‘ adalah bahwa dalam masalah ini memang terdapat perbedaan pendapat, yaitu pendapat ‘Abdullāh bin az-Zubair: “Seandainya aku, aku tidak akan memandang bahwa perempuan yang ditalak bain (mubtūnah) berhak mewarisi.” Ia adalah seorang sahabat yang termasuk ahli ijtihad, terutama pada masa ‘Utsmān raḍiyallāhu ‘anhu. Diriwayatkan pula bahwa ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf berkata: “Demi Allah, aku tidak akan mewariskan kepada Tamāḍur,” lalu ia menceraikannya saat sakitnya. Maka dikatakan kepadanya: “Apakah engkau lari dari (hukum) Kitābullah?” Ia menjawab: “Aku tidak lari dari Kitābullah. Jika memang ada hak waris baginya di dalamnya, maka berikanlah kepadanya.” Kemudian ‘Utsmān berdamai dengannya dengan memberikan seperempat dari seperdelapan (harta warisan) sebesar delapan puluh ribu. Seandainya ia memang pewaris lalu didamaikan, maka tidak mungkin ada ijmā‘ dalam hal ini.

وَلَكِنْ لِاحْتِمَالِ الْأَمْرِ عِنْدَ عُثْمَانَ تَقَدَّمَ بِمُصَالَحَتِهَا.

Namun karena adanya kemungkinan dalam perkara ini menurut ‘Utsmān, maka ia mendahulukan untuk berdamai dengannya.

وَجَوَابُ ثَانٍ وَهُوَ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ رَوَى عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ: لَا تَسْأَلُنِي امْرَأَةٌ مِنْ نِسَائِي الطَّلَاقَ إِلَّا طَلَّقْتُهَا فَغَضِبَتْ تَمَاضُرُ وَسَأَلْتِ الطَّلَاقَ، فَغَضِبَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَطَلَّقَهَا. وَتَمَاضُرُ هِيَ أُمُّ أَبِي مَسْلَمَةَ وَهُوَ أَعْرَفُ بِحَالِهَا، وَقَدْ رُوِيَ أَنَّهَا سَأَلَتِ الطَّلَاقَ، وَأَبُو حَنِيفَةَ لَا يُورِّثُهَا إِذَا سَأَلَتْ طَلَاقَهَا، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ دَلِيلٌ لَوْ كَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّ أَبَا سَلَمَةَ رُوِيَ أَنَّهُ مَاتَ بَعْدَ انْقِضَاءِ عَدَّتِهَا، وَأَنَّ مَوْتَهُ كَانَ بَعْدَ تِسْعَةِ أَشْهُرٍ مِنْ طَلَاقِهَا، وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهَا لَا تَرِثُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عَدَّتِهَا، فَخَرَجَ أَنْ يَكُونَ لَهُ فِيهِ دَلِيلٌ.

Jawaban kedua, yaitu bahwa Abū Salamah ‘Abdullāh bin ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf meriwayatkan dari ayahnya bahwa ia berkata: “Tidak ada seorang perempuan pun dari istriku yang meminta cerai kepadaku kecuali pasti akan kuceraikan.” Maka Tamāḍur marah dan meminta cerai, lalu ‘Abdurraḥmān pun marah dan menceraikannya. Tamāḍur adalah ibu Abū Salamah, dan ia lebih mengetahui keadaannya. Diriwayatkan bahwa ia memang meminta cerai, dan Abū Ḥanīfah tidak mewariskan kepadanya jika ia yang meminta cerai. Maka tidak ada dalil baginya dalam hal ini seandainya itu merupakan ijmā‘. Selain itu, Abū Salamah meriwayatkan bahwa ia (Tamāḍur) meninggal setelah selesai masa ‘iddahnya, dan bahwa kematiannya terjadi sembilan bulan setelah ditalak. Menurut Abū Ḥanīfah, ia tidak berhak mewarisi setelah selesai masa ‘iddahnya. Maka tidak ada dalil baginya dalam hal ini.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ رَوَى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ مَاتَ وَهِيَ فِي الْعِدَّةِ، وَرَوَى ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّهُ مَاتَ فِي عِدَّتِهَا بَعْدَ حَيْضَتَيْنِ، قِيلَ: أَبُو سَلَمَةَ أَعْرَفُ بِحَالِهَا؛ لِأَنَّهُ ابْنُهَا مِنْ غَيْرِهِ مِنَ الْأَجَانِبِ، وَلِأَنَّ نَقْلَهُ أَزْيَدُ فَكَانَ الْأَخْذُ به أحق.

Jika dikatakan: “Telah diriwayatkan oleh ‘Urwah bin az-Zubair bahwa ia (Abdurraḥmān bin ‘Auf) meninggal saat Tamāḍur masih dalam masa ‘iddah, dan Ibnu Abī Mulaykah meriwayatkan bahwa ia meninggal dalam masa ‘iddahnya setelah dua kali haid,” maka dijawab: Abū Salamah lebih mengetahui keadaannya, karena ia adalah anaknya sendiri, bukan orang lain, dan karena riwayatnya lebih lengkap, maka mengambil riwayatnya lebih utama.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْفُرْقَةِ بِالْمَوْتِ، فَالْمَعْنَى فِيهَا أَنَّهَا لَا تَمْنَعُ مِيرَاثَهَا مِنْهُ.

Adapun qiyās mereka dengan perpisahan karena kematian, maka maknanya adalah bahwa perpisahan itu tidak menghalangi hak warisnya darinya.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْقَتْلِ فَهُوَ اسْتِدْلَالُ الْعِلَّتَيْنِ؛ لِأَنَّ الْقَتْلَ يَمْنَعُ مِنْ مِيرَاثٍ كَانَ مُسْتَحَقًّا وَهُمْ جَعَلُوا طَلَاقَ الْمَرَضِ يُثْبِتُ مِيرَاثًا كَانَ سَاقِطًا، وَلَيْسَ لِاعْتِبَارِ التُّهْمَةِ فِيهِ وَجْهٌ فَإِنَّ التُّهْمَةَ لَوْ وُجِدَتْ فِي الْفُرْقَةِ الَّتِي مِنْ جِهَتِهَا لَمْ تُوَرَّثْ فَكَذَلِكَ فِي الْفُرْقَةِ مِنْ جِهَتِهِ.

Adapun dalil mereka dengan kasus pembunuhan, itu adalah dalil dengan dua ‘illat; karena pembunuhan mencegah warisan yang seharusnya didapatkan, sedangkan mereka menjadikan talak saat sakit menetapkan warisan yang semestinya gugur. Tidak ada alasan untuk mempertimbangkan tuduhan (niat jahat) dalam hal ini, sebab jika tuduhan itu ada pada perpisahan dari pihak istri sehingga ia tidak diwariskan, maka demikian pula pada perpisahan dari pihak suami.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ حُقُوقَ الْوَرَثَةِ قَدْ تَعَلَّقَتْ بِعَيْنِ مَالِهِ فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ؛ لِأَنَّهُ لَوْ أَنْفَقَهُ فِي شَهَوَاتِهِ وَمَلَاذِهِ وَلَمْ يَمْنَعْهُ وَلَوْ سُلِّمَ لَهُمْ لَتَعَلَّقَ بِهِ حَقُّ مَنْ كَانَ وَارِثًا عِنْدَ مَوْتِهِ وَلَيْسَتْ هَذِهِ وَارِثَةً عِنْدَ الْمَوْتِ فلم يصح الاستدلال.

Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa hak para ahli waris telah melekat pada harta peninggalannya, maka itu tidak dapat diterima; sebab jika ia membelanjakan hartanya untuk keinginan dan kenikmatannya, tidak ada yang melarangnya. Andaikata dalil itu diterima, maka hak itu hanya berlaku bagi siapa yang menjadi ahli waris pada saat kematiannya, sedangkan perempuan ini bukan ahli waris pada saat kematian, maka dalil tersebut tidak sah.

(فصل:)

(Fasal:)

إذا تقرر القولين فَإِنْ قِيلِ بِالثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَرِثُ فَلَا تَفْرِيعَ عَلَيْهِ، سَوَاءٌ كَانَ الْمَوْتُ فِي الْعِدَّةِ أَوْ بَعْدَهَا، سَأَلَتْهُ الطَّلَاقَ أَوْ لَمْ تَسْأَلْهُ.

Setelah dua pendapat tersebut dijelaskan, maka jika dipilih pendapat kedua, yaitu bahwa ia tidak berhak mewarisi, maka tidak ada rincian lebih lanjut, baik kematian terjadi saat masa ‘iddah maupun setelahnya, baik ia yang meminta cerai ataupun tidak.

وَإِذَا قِيلَ بِالْأَوَّلِ: أَنَّهَا تَرِثُ، فَفِي زَمَانِ مِيرَاثِهَا مِنْهُ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Dan jika dipilih pendapat pertama, yaitu bahwa ia berhak mewarisi, maka dalam hal waktu ia mewarisi darinya terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ إِنَّهَا تَرِثُهُ مَا كَانَتْ فِي عِدَّتِهَا وَهِيَ عِدَّةُ الطَّلَاقِ بِالْأَقْرَاءِ، فَإِذَا انْقَضَتْ عَدَّتُهَا لَمْ تَرِثْ؛ لِأَنَّ بَقَاءَ الْعِدَّةِ مِنْ بقايا علق النِّكَاحِ وَأَحْكَامِهِ فَتَبِعَهَا الْإِرْثُ وَسَقَطَ بِانْقِضَائِهَا.

Pertama, yaitu mazhab Abū Ḥanīfah, bahwa ia berhak mewarisi selama masih dalam masa ‘iddah, yaitu ‘iddah talak dengan hitungan quru’ (masa haid). Jika masa ‘iddahnya telah selesai, maka ia tidak lagi berhak mewarisi; karena keberadaan masa ‘iddah masih merupakan sisa-sisa keterikatan dan hukum-hukum pernikahan, sehingga warisan pun mengikutinya dan gugur dengan berakhirnya masa ‘iddah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَرِثُهُ مَا لَمْ تَتَزَوَّجْ وَهُوَ مَذْهَبُ ابْنِ أَبِي لَيْلَى وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، فَإِنْ تَزَوَّجَتْ لَمْ تَرِثْ؛ لِأَنَّ تَزْوِيجَهَا رِضًا مِنْهَا بِطَلَاقِهِ.

Pendapat kedua, bahwa ia berhak mewarisi selama belum menikah lagi, dan ini adalah mazhab Ibnu Abī Lailā dan Aḥmad bin Ḥanbal. Jika ia menikah lagi, maka ia tidak berhak mewarisi; karena pernikahan barunya menunjukkan kerelaannya atas perceraian dari suaminya yang pertama.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ: أَنَّهَا تَرِثُهُ وَإِنْ تَزَوَّجَتْ؛ لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهَا فَلَمْ يَسْقُطْ بِالتَّزْوِيجِ كَسَائِرِ الْحُقُوقِ.

Pendapat ketiga, yaitu mazhab Mālik: ia (istri) tetap mewarisinya meskipun telah menikah lagi; karena itu adalah hak baginya sehingga tidak gugur dengan pernikahan, sebagaimana hak-hak lainnya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ مِيرَاثَهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَقَاوِيلِ الثَّلَاثَةِ، فَإِنَّهَا تَرِثُهُ إِذَا لَمْ تَخْتَرْ طلاق نفسها فإن اختارات طَلَاقَهَا لَمْ تَخْتَرْ طَلَاقَ نَفْسِهَا فَإِنِ اخْتَارَتْ طَلَاقَهَا لَمْ تَرِثْ. وَاخْتِيَارُهَا لِلطَّلَاقِ قَدْ يَكُونُ مِنْ وُجُوهٍ، مِنْهَا: أَنْ تَسْأَلَهُ الطَّلَاقَ فَيُطَلِّقَهَا، أَوْ يُعَلِّقَهُ بِمَشِيئَتِهَا فَتَشَاءُ طَلَاقَهَا أَوْ يُعَلِّقَهُ بِفِعْلِهَا فِيمَا لَا تَجِدُ مِنْهُ بُدًّا، كَقَوْلِهِ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ أَوْ كَلَّمْتِ زَيْدًا أَوْ لَبِسْتِ هَذَا الْقَمِيصَ أَوْ أَكَلْتِ هَذَا الرَّغِيفَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَتَفْعَلُ ذَلِكَ، فَيَدُلُّ عَلَى اخْتِيَارِهَا لِلطَّلَاقِ؛ لِأَنَّهَا تَجِدُ مِنْ ذَلِكَ بُدًّا فَلَا تَدْخُلُ الدَّارَ، وَلَا تُكَلِّمُ زَيْدًا، وَلَا تَلْبَسُ ذَلِكَ الْقَمِيصَ، وَلَا تَأْكُلُ ذَلِكَ الرَّغِيفَ.

Apabila telah dipastikan bahwa warisannya (istri) sesuai dengan tiga pendapat yang telah kami sebutkan, maka ia berhak mewarisinya selama ia tidak memilih untuk menceraikan dirinya sendiri. Jika ia memilih untuk bercerai, maka ia tidak mewarisinya. Pilihan untuk bercerai itu bisa terjadi dalam beberapa bentuk, di antaranya: ia meminta cerai lalu suaminya menceraikannya, atau suami menggantungkan talak pada kehendaknya lalu ia memilih untuk bercerai, atau suami menggantungkan talak pada perbuatannya dalam hal yang masih bisa ia hindari, seperti ucapan suami: “Jika engkau masuk ke rumah, atau berbicara dengan Zaid, atau memakai baju ini, atau memakan roti ini, maka engkau tertalak,” lalu ia melakukan hal tersebut, maka itu menunjukkan bahwa ia memilih untuk bercerai; karena ia masih bisa menghindari hal itu, sehingga ia tidak masuk ke rumah, tidak berbicara dengan Zaid, tidak memakai baju itu, dan tidak memakan roti itu.

فَأَمَّا إِنْ عَلَّقَهُ بِفِعْلِ مَا لَا تَجِدُ بُدًّا مِنْهُ كَقَوْلِهِ: إِنْ أَكَلْتِ أَوْ شَرِبْتِ أَوْ نِمْتِ أَوْ قَعَدْتِ، فَإِنْ فَعَلَتْ ذَلِكَ عِنْدَ الْحَاجَةِ فَهِيَ غَيْرُ مُخْتَارَةٍ لِطَلَاقِهَا، فَلَهَا الْمِيرَاثُ وَإِنْ فَعَلَتْهُ قَبْلَ وَقْتِ الْحَاجَةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun jika suami menggantungkan talak pada perbuatan yang tidak bisa ia hindari, seperti ucapan suami: “Jika engkau makan, minum, tidur, atau duduk,” maka jika ia melakukannya karena kebutuhan, ia tidak dianggap memilih talak, sehingga ia tetap berhak mewarisi. Namun jika ia melakukannya sebelum waktu kebutuhan, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ الِاخْتِيَارِ، اعْتِبَارًا بِوَقْتِ الْفِعْلِ لِأَنَّهَا تَجِدُ مِنْ تَقْدِيمِهِ قَبْلَ الْحَاجَةِ بُدًّا.

Pertama: berlaku hukum memilih (talak) atasnya, dengan mempertimbangkan waktu perbuatan, karena ia masih bisa menunda perbuatan itu hingga saat dibutuhkan.

وَالثَّانِي: يَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ عَدَمِ الِاخْتِيَارِ، اعْتِبَارًا بِوَقْتِ الْفِعْلِ؛ لِأَنَّهَا تَجِدُ مِنْ تَقْدِيمِهِ قبل الحاجة بداً بحال الفعل؛ لأنها لَا تَجِدُ مِنْ فِعْلِهِ بُدًّا، وَكَذَلِكَ لَوْ خَالَفَتْهُ دَلَّ الْخُلْعُ عَلَى اخْتِيَارِهَا فَمَنَعَهَا طَلَاقُ الْخُلْعِ مِنَ الْمِيرَاثِ، هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ.

Kedua: berlaku hukum tidak memilih (talak) atasnya, dengan mempertimbangkan waktu perbuatan; karena ia tidak bisa menghindari perbuatan itu, dan demikian pula jika ia menentang suaminya, maka khul‘ menunjukkan bahwa ia memilih (berpisah), sehingga talak khul‘ mencegahnya dari warisan. Ini adalah mazhab Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah.

وَقَالَ مَالِكٌ: لَهَا الْمِيرَاثُ وَإِنِ اخْتَارَتِ الطَّلَاقَ وَسَأَلَتْهُ، وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ مِنْ أَصْحَابِنَا تَعَلُّقًا بِأَنَّ تَمَاضُرَ بِنْتَ الإصبغ الكلبية سَأَلَتْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ الطَّلَاقَ، فَوَرَّثَهَا عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْقَتْلُ مَانِعًا مِنَ الْمِيرَاثِ لَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ فِيهِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ عَنْ سُؤَالٍ وَغَيْرِ سُؤَالٍ، حَتَّى لَوْ قَالَ لَهُ الْمَوْرُوثُ: اقْتُلْنِي فَقَتَلَهُ لَمْ يَرِثْهُ، كَذَلِكَ الطَّلَاقُ فِي الْمَرَضِ لَمَّا كَانَ مُوجِبًا لِلْمِيرَاثِ لَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ فِيهِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ عَنْ سُؤَالٍ وَغَيْرِ سؤال، وهذا فاسد؛ لأنه اسْتِحْقَاقَ الْإِرْثِ إِنَّمَا يَكُونُ لِأَجْلِ التُّهْمَةِ فِي الإرث فإذا اختارت وسألت زالت التهمة سقط مُوجِبُ الْإِرْثِ، وَلِأَنَّهَا إِذَا سَأَلَتْ وَاخْتَارَتْ، صَارَتِ الْفُرْقَةُ مَنْسُوبَةً إِلَيْهَا فَجَرَى مَجْرَى فَسْخِهَا بِالْعُيُوبِ الَّتِي لَا تُوجِبُ مِيرَاثَهَا وَلَا مِيرَاثَهُ مِنْهَا.

Mālik berkata: ia tetap berhak mewarisi meskipun ia memilih talak dan memintanya. Abū ‘Alī bin Abī Hurairah dari kalangan ulama kami berpendapat, berdasarkan kisah Tamāḍur binti al-Aṣbagh al-Kilābiyyah yang meminta cerai kepada ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Awf, lalu ‘Utsmān raḍiyallāhu ‘anhu mewariskannya. Karena pembunuhan menjadi penghalang warisan, tidak ada perbedaan apakah itu atas permintaan atau tidak, sehingga jika pewaris berkata kepada seseorang: “Bunuhlah aku,” lalu ia membunuhnya, maka ia tidak mewarisinya. Demikian pula talak dalam keadaan sakit, ketika menjadi sebab warisan, tidak ada perbedaan apakah atas permintaan atau tidak. Namun, ini pendapat yang lemah; karena hak waris itu diberikan karena adanya tuduhan (niat menghalangi warisan), maka jika istri memilih dan meminta (talak), tuduhan itu hilang dan sebab warisan gugur. Karena jika ia meminta dan memilih, perpisahan itu dinisbatkan kepadanya, sehingga hukumnya seperti pembatalan pernikahan karena cacat yang tidak menyebabkan warisan baginya maupun bagi suaminya.

وَأَمَّا تَمَاضُرُ فَكُلُّ مَا أَخَذَتْهُ وَإِنْ سَأَلَتِ الطَّلَاقَ صُلْحًا لَا إِرْثًا، عَلَى أَنَّهُ لَمْ يُطَلِّقْهَا حَتَّى سَأَلَتْهُ لِأَنَّهُ أَمْسَكَهَا حَتَّى حَاضَتْ ثُمَّ طَهُرَتْ ثُمَّ طَلَّقَهَا.

Adapun Tamāḍur, apa pun yang ia terima, meskipun ia meminta talak sebagai jalan damai, bukan untuk warisan, dan suaminya tidak menceraikannya sampai ia memintanya; karena ia menahannya hingga ia haid, lalu suci, kemudian menceraikannya.

وَإِذَا تَأَخَّرَ طَلَاقُهُ عَنْ سُؤَالِهَا لَمْ يَكُنْ جَوَابًا، وَصَارَ طَلَاقًا مُبْتَدَأً، وَقِيلَ إِنَّهَا سَأَلَتْهُ فِي حَالِ الصِّحَّةِ فَطَلَّقَهَا فِي الْمَرَضِ.

Jika talak itu terjadi setelah permintaannya, maka itu bukan jawaban atas permintaannya, melainkan talak yang baru. Ada juga yang mengatakan bahwa ia memintanya dalam keadaan sehat, lalu suaminya menceraikannya saat sakit.

وَأَمَّا الْإِرْثُ فِي الْقَتْلِ فَوُجُودُهُ كَعَدَمِهِ فِي الْحَظْرِ سَوَاءٌ فَكَانَ فِي حُكْمِ الْمِيرَاثِ سَوَاءً وَخَالَفَ سُؤَالَ الطَّلَاقِ وَاللَّهُ أعلم.

Adapun warisan dalam kasus pembunuhan, maka keberadaannya sama saja dengan ketiadaannya dalam hal larangan, sehingga dalam hukum waris pun sama, berbeda dengan permintaan talak. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (لَوْ أَقَرَّ فِي مَرَضِهِ أَنَّهُ طَلَقَهَا فِي صِحَّتِهِ ثَلَاثًا لَمْ تَرِثْهُ وَحُكْمُ الطَّلَاقِ فِي الإيقاع والإقرار في القياس عندي سواء. وَقَالَ فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي ليلى لا ترث المبتوتة قال المزني وقد احتج الشافعي رحمه الله على من قال إذا ادعيا ولداً فمات ورثه كل واحد منهما نصف ابن وإن ماتا ورثهما كمال أب فقال الشافعي الناس يرثون من يورثون فألزمهم تناقض قولهم إذا لم يجعلوا الابن منهما كهما منه في الميراث فكذلك إنما ترث الزوجة الزوج من حيث يرثها فإذا ارتفع المعنى الذي يرثهم به لم ترثه وهذا أصح في القياس وكذا قال عبد الرحمن بن عوف ما قررت من كتاب الله ولا من سنة رسوله وتبعه ابن الزبير) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang mengakui dalam masa sakitnya bahwa ia telah mentalaknya tiga kali saat sehat, maka istrinya tidak mewarisinya. Hukum talak dalam pelaksanaan dan pengakuan menurut qiyās menurutku adalah sama. Dan dalam kitab Ikhtilāf Abī Hanīfah wa Ibn Abī Laylā, beliau berkata: wanita yang ditalak ba’in tidak mewarisi. Al-Muzani berkata: Imam Syafi‘i rahimahullah telah berdalil terhadap orang yang mengatakan bahwa jika keduanya mengaku memiliki seorang anak lalu anak itu meninggal, maka masing-masing dari mereka mewarisi setengah bagian sebagai anak, dan jika keduanya meninggal, maka anak itu mewarisi mereka secara penuh sebagai ayah. Maka Imam Syafi‘i berkata: Orang-orang mewarisi dari siapa yang memang menjadi ahli waris mereka. Maka beliau menuntut mereka atas kontradiksi pendapat mereka; jika mereka tidak menjadikan anak itu sebagai anak dari keduanya dalam warisan, maka demikian pula istri hanya mewarisi suami dari sisi di mana suami juga mewarisinya. Jika sebab yang membuat istri mewarisi suami itu hilang, maka ia tidak mewarisinya. Ini lebih sahih menurut qiyās. Demikian pula pendapat ‘Abdurrahman bin ‘Auf: ‘Aku tidak menemukan hal ini dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya.’ Dan Ibnuz Zubair mengikuti pendapatnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ؛ إِذَا أَقَرَّ فِي مَرَضِهِ أَنَّهُ كَانَ قَدْ طَلَّقَهَا فِي صِحَّتِهِ، يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ؛ لِأَنَّهَا حَالَةٌ يَمْلِكُ فِيهَا إِيقَاعَ الطَّلَاقِ فَصَحَّ مِنْهُ الْإِقْرَارُ بِالطَّلَاقِ، وَيَكُونُ طَلَاقًا فِي الصِّحَّةِ دُونَ الْمَرَضِ، لَا يَرِثُ بِهِ قَوْلًا وَاحِدًا، لَكِنَّهَا تَعْتَدُّ مِنْ وَقْتِ إِقْرَارِهِ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي سُقُوطِ نَفَقَتِهَا، وَنُقِلَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ أَنَّهَا تَرِثُهُ لِلُحُوقِ التُّهْمَةِ فِي إِقْرَارِهِ، كَلُحُوقِهَا فِي طَلَاقِهِ. وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْمُقِرَّ بِالطَّلَاقِ غَيْرُ مُطَلِّقٍ فِي حَالِ الْإِقْرَارِ، أَلَا تَرَى لَوْ حَلَفَ لَا يُطَلِّقُ فَأَقَرَّ بِالطَّلَاقِ لَمْ يَحْنَثْ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُضَافَ طَلَاقُ الصِّحَّةِ إِلَى حَالِ الْمَرَضِ، وَإِنْ كَانَ مُقِرًّا بِهِ فِي الْمَرَضِ.

Al-Mawardi berkata: “Dan memang demikianlah sebagaimana yang dikatakan; jika seseorang mengakui dalam masa sakitnya bahwa ia telah mentalaknya saat sehat, maka pengakuannya diterima; karena itu adalah keadaan di mana ia masih memiliki hak untuk menjatuhkan talak, sehingga sah pengakuannya atas talak tersebut, dan talaknya dianggap terjadi saat sehat, bukan saat sakit, sehingga tidak mewarisi menurut satu pendapat. Namun, ia tetap menjalani masa ‘iddah sejak waktu pengakuannya, dan tidak diterima ucapannya mengenai gugurnya nafkahnya. Diriwayatkan dari Abū Hanīfah dan Mālik bahwa ia tetap mewarisinya karena adanya tuduhan (rekayasa) dalam pengakuannya, sebagaimana adanya tuduhan dalam talaknya. Namun ini adalah kekeliruan; karena orang yang mengakui talak bukanlah orang yang menjatuhkan talak pada saat pengakuan. Tidakkah engkau lihat, jika ia bersumpah tidak akan mentalak lalu ia mengakui talak, ia tidak dianggap melanggar sumpahnya? Maka tidak boleh mengaitkan talak yang terjadi saat sehat kepada keadaan sakit, meskipun ia mengakuinya saat sakit.”

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا فِي صِحَّتِهِ: إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَقَدِمَ زَيْدٌ فِي مَرَضِهِ، طُلِّقَتْ وَلَا تَرِثُ، قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ كَانَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ فِي الْمَرَضِ لِعَقْدِهِ فِي الصِّحَّةِ، وَانْتَفَى التُّهْمَهُ عَنْهُ فِي الْإِرْثِ وَهَكَذَا لَوْ قَالَ فِي صِحَّتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ رَأْسَ الشَّهْرِ، فَأَهَلَّ الشَّهْرُ وَهُوَ مَرِيضٌ طُلِّقَتْ، وَلَمْ تَرِثْ تَعْلِيلًا بِمَا ذَكَرْنَا، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: وَقَالَ مَالِكٌ تَرِثُ؛ لِأَنَّهَا مُطَلَّقَةٌ فِي الْمَرَضِ، وَقَوْلُهُ مَرْدُودٌ بِمَا وَصَفْنَا مِنَ انْتِفَاءِ التُّهْمَةِ عَنْهُ، وَلَوْ قَالَ لَهَا فِي صِحَّتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي مَرَضِي، طُلِّقَتْ فِيهِ وَكَانَ لَهَا الْمِيرَاثُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَقَاوِيلِ، ولكن لو قال لها في صحتها: أَنْتِ طَالِقٌ قَبْلَ مَوْتِي لِشَهْرٍ، وَمَاتَ بَعْدَهُ بِشَهْرٍ مِنْ قَوْلِهِ، طُلِّقَتْ قَبْلَ مَوْتِهِ بِشَهْرٍ، فَإِنْ كَانَ وَقْتَ وُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا صَحِيحًا لَمْ تَرِثْهُ؛ لِأَنَّهُ طَلَاقٌ فِي الصِّحَّةِ وَإِنْ كَانَ مَرِيضًا، فَالصَّحِيحُ أَنَّهَا لَا تَرِثُهُ لِأَنَّهُ عَقْدُ طَلَاقٍ فِي الصِّحَّةِ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وُقُوعُهُ فِي الصِّحَّةِ. وَفِيهِ وَجْهٌ: أَنَّهَا تَرِثُهُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا قَيَّدَهُ بِزَمَانِ الْمَوْتِ صَارَ مَتْهُومًا بِالتَّعَرُّضِ لَهُ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي آخِرِ أَجْزَاءِ صِحَّتِي الْمُتَّصِلَةِ بِأَسْبَابِ أَوَّلِ مَوْتِي طُلِّقَتْ فِيهِ وَلَمْ تَرِثْ وَإِنْ كَانَ مَتْهُومًا لِأَنَّهُ طَلَاقٌ فِي الصِّحَّةِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُوَرَّثَ فِيهِ، وَلَكِنْ لَوْ عَلَّقَ طَلَاقَهَا فِي صِحَّتِهِ بِفِعْلِهِ ثُمَّ أَوْقَعَ الْفِعْلَ فِي مَرَضِهِ. مِثَالُهُ: أَنْ يَقُولَ وَهُوَ صَحِيحٌ: إِنْ كَلَّمْتُ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ أَوْ إِنْ دَخَلْتُ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ كَلَّمَ زَيْدًا فِي مَرَضِهِ أَوْ دَخَلَ الدَّارَ فِي مَرَضِهِ فَلَهَا الميراث؛ لأنه منهم بِإِيقَاعِ الْفِعْلِ فِيهِ.

Jika seseorang berkata kepada istrinya saat ia sehat: “Jika Zaid datang, maka engkau tertalak,” lalu Zaid datang saat ia sakit, maka istrinya tertalak dan tidak mewarisinya menurut satu pendapat, meskipun jatuhnya talak terjadi saat sakit karena akadnya dilakukan saat sehat, sehingga tidak ada tuduhan dalam warisan. Demikian pula jika ia berkata saat sehat: “Engkau tertalak pada awal bulan,” lalu bulan itu tiba saat ia sakit, maka istrinya tertalak dan tidak mewarisinya, dengan alasan sebagaimana telah disebutkan. Demikian pula pendapat Abū Hanīfah. Mālik berkata: istrinya tetap mewarisi karena ia ditalak saat sakit, namun pendapatnya tertolak dengan penjelasan bahwa tidak ada tuduhan dalam hal ini. Jika ia berkata kepada istrinya saat sehat: “Engkau tertalak saat aku sakit,” lalu ia sakit dan istrinya tertalak saat itu, maka istrinya berhak mewarisi menurut pendapat-pendapat yang telah disebutkan. Namun, jika ia berkata kepada istrinya saat sehat: “Engkau tertalak sebulan sebelum kematianku,” lalu ia meninggal sebulan setelah ucapannya, maka istrinya tertalak sebulan sebelum kematiannya. Jika saat jatuhnya talak ia dalam keadaan sehat, maka istrinya tidak mewarisinya karena itu talak saat sehat. Jika ia sakit, maka pendapat yang sahih adalah istrinya tidak mewarisinya karena akad talak dilakukan saat sehat, sehingga mungkin saja jatuhnya talak terjadi saat sehat. Namun ada pendapat lain: istrinya tetap mewarisinya karena ketika ia mengaitkan talak dengan waktu kematian, maka timbul tuduhan (rekayasa) terhadapnya. Namun, jika ia berkata: “Engkau tertalak pada akhir masa sehatku yang bersambung dengan awal sebab kematianku,” maka istrinya tertalak saat itu dan tidak mewarisinya, meskipun ada tuduhan, karena itu talak saat sehat, sehingga tidak boleh diwarisi. Namun, jika ia menggantungkan talaknya saat sehat dengan perbuatannya, lalu ia melakukan perbuatan itu saat sakit—misalnya ia berkata saat sehat: “Jika aku berbicara dengan Zaid, maka engkau tertalak,” atau “Jika aku masuk rumah, maka engkau tertalak,” lalu ia berbicara dengan Zaid saat sakit atau masuk rumah saat sakit, maka istrinya berhak mewarisi karena talak terjadi dengan perbuatannya saat sakit.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَلَوْ طَلَّقَهَا فِي مَرَضِهِ الْمُخَوِّفِ ثُمَّ صَحَّ مِنْهُ ثُمَّ مَرِضَ وَمَاتَ لَمْ تَرِثْهُ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَقَالَ زُفَرُ بْنُ الْهُذَيْلِ: تَرِثُ؛ لِأَنَّهُ طلاق في المرض، وليس بصحيح؛ لأنه تَعَقُّبَ الصِّحَّةِ قَدْ أَخْرَجَ مَرَضَ الطَّلَاقِ أَنْ يَكُونَ مُخَوِّفًا، فَلَوْ طَلَّقَهَا فِي مَرَضِهِ الْمُخَوِّفِ ثُمَّ قُتِلَ فِيهِ أَوِ افْتَرَسَهُ سَبْعٌ أَوْ نَهَشَتْهُ أَفْعَى فَكَانَ مَوْتُهُ مِنْ غَيْرِهِ، قَالَ أَصْحَابُنَا: لَمْ تَرِثْ؛ لِأَنَّ حُدُوثَ الْمَوْتِ مِنْ غَيْرِهِ فَنُفِيَ عَنْهُ حُكْمُ الْخَوْفِ. وَهَكَذَا لَوْ طَلَّقَهَا فِي مَرَضِهِ فَارْتَدَتْ عَنِ الْإِسْلَامِ ثُمَّ عَادَتْ إِلَيْهِ قَبْلَ مَوْتِهِ لَمْ تَرِثْ قَوْلًا واحداً؛

Jika seorang suami menceraikan istrinya saat ia sedang sakit yang dikhawatirkan (menyebabkan kematian), lalu ia sembuh dari sakit tersebut, kemudian sakit lagi dan meninggal, maka istrinya tidak mewarisinya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah dan Malik. Sedangkan Zufar bin al-Hudzail berpendapat: istrinya tetap mewarisinya, karena itu adalah talak dalam keadaan sakit. Namun pendapat ini tidak benar, sebab adanya masa sehat setelah sakit telah mengeluarkan status sakit talak tersebut dari kategori sakit yang menakutkan (membahayakan). Jika ia menceraikan istrinya saat sakit yang membahayakan, lalu ia terbunuh dalam sakit itu, atau diterkam binatang buas, atau digigit ular sehingga kematiannya bukan karena sakit tersebut, para ulama kami berkata: istrinya tidak mewarisinya, karena terjadinya kematian bukan karena sakit itu, sehingga hukum kekhawatiran (kematian karena sakit) tidak berlaku. Demikian pula, jika ia menceraikan istrinya saat sakit, lalu istrinya murtad dari Islam, kemudian kembali masuk Islam sebelum suaminya meninggal, maka ia tidak mewarisinya menurut satu pendapat.

لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بِالرِّدَّةِ فِي حَالٍ لَوْ مَاتَ فِيهَا لَمْ تَرِثْهُ، وَإِنْ كَانَتْ ذِمِّيَّةً فَطَلَّقَهَا فِي مَرَضِهِ ثُمَّ أَسْلَمَتْ قَبْلَ مَوْتِهِ لَمْ تَرِثْهُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ مَاتَ وَقْتَ طَلَاقِهِ وَقَبْلَ إِسْلَامِهَا لَمْ تَرِثْهُ، فَانْتَفَتِ التُّهْمَةُ عَنْهُ، ولو أسلمت ثم طلقها وورثت، ولو قال لها في مرضه مَوْتِهِ: إِنْ أَسْلَمْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَأَسْلَمَتْ وَرِثَتْ لِتُهْمَتِهِ، وَهَكَذَا لَوْ كَانَتْ زَوْجَتُهُ أَمَةً فَطَلَّقَهَا فِي مَرَضِهِ ثُمَّ أُعْتِقَتْ لَمْ تَرِثْ، وَلَوْ أُعْتِقَتْ ثُمَّ طَلَّقَهَا وَرِثَتْ.

Karena dengan murtad, ia berada dalam keadaan di mana jika suaminya meninggal saat itu, ia tidak akan mewarisinya. Jika ia seorang dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam), lalu dicerai saat suaminya sakit, kemudian ia masuk Islam sebelum suaminya meninggal, maka ia tidak mewarisinya; sebab jika suaminya meninggal pada saat talak dan sebelum ia masuk Islam, ia tidak berhak mewarisi, sehingga tuduhan (rekayasa talak untuk menghalangi warisan) tidak berlaku. Namun, jika ia masuk Islam terlebih dahulu lalu dicerai dan mewarisi, atau jika suaminya berkata kepadanya saat sakitnya menjelang kematian: “Jika kamu masuk Islam, maka kamu tertalak,” lalu ia masuk Islam dan mewarisi karena ada tuduhan (rekayasa talak). Demikian pula, jika istrinya adalah seorang budak, lalu dicerai saat suaminya sakit kemudian dimerdekakan, maka ia tidak mewarisi. Namun jika ia dimerdekakan terlebih dahulu lalu dicerai, maka ia berhak mewarisi.

فَلَوْ أَوْقَعَ الطَّلَاقَ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ وَذَلِكَ بِأَنْ يُعَلِّقَ الزَّوْجُ طَلَاقَهَا بِقُدُومِ زَيْدٍ، وَيُعَلِّقَ السَّيِّدُ عِتْقَهَا بِقُدُومِ زَيْدٍ، فَيَكُونُ قُدُومُ زَيْدٍ مُوقِعًا لِطَلَاقِهَا وَعِتْقِهَا، فَيَغْلِبُ فِيهَا حُكْمُ الْأَسْبَقِ مِنْهُمَا، فَإِنْ سَبَقَ الزَّوْجُ السَّيِّدَ فَقَالَ: إِنْ قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ تَلَاهُ السَّيِّدُ فَقَالَ: إِنْ قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتِ حُرَّةٌ فَلَا مِيرَاثَ لَهَا؛ لِارْتِفَاعِ التُّهْمَةِ عَنِ الزَّوْجِ، وَإِنْ سَبَقَ السَّيِّدُ فَقَالَ: إِنْ قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتِ حُرَّةٌ ثُمَّ تَلَاهُ الزَّوْجُ فَقَالَ: إِنْ قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَلَهَا الْمِيرَاثُ لِتُهْمَةِ الزَّوْجِ، فَلَوْ قَالَ لَهَا السيد: إن طلقتك الزَّوْجُ غَدًا فَأَنْتِ الْيَوْمَ حُرَّةٌ، فَطَلَّقَهَا الزَّوْجُ مِنَ الْغَدِ ثَلَاثًا فِي مَرَضِ مَوْتِهِ لَمْ تَرِثْ قَوْلًا وَاحِدًا، سَوَاءٌ عَلِمَ الزَّوْجُ بِذَلِكَ أَمْ لَا؛ لِأَنَّ الْعِتْقَ لَا يَقَعُ إِلَّا بِالطَّلَاقِ، وَلَوْ قَالَ الزَّوْجُ فِي مَرَضِهِ: إِنْ أَعْتَقَكِ السَّيِّدُ غَدًا فَأَنْتِ الْيَوْمَ طَالِقٌ ثَلَاثًا، فَأَعْتَقَهَا السَّيِّدُ فِي غَدٍ، فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

Jika talak dijatuhkan dalam satu keadaan, yaitu suami menggantungkan talaknya pada kedatangan Zaid, dan tuannya (pemilik budak) juga menggantungkan pembebasannya pada kedatangan Zaid, sehingga kedatangan Zaid menjadi sebab jatuhnya talak dan pembebasan, maka yang berlaku adalah hukum yang lebih dahulu di antara keduanya. Jika suami lebih dahulu berkata: “Jika Zaid datang, maka kamu tertalak,” lalu diikuti oleh tuan yang berkata: “Jika Zaid datang, maka kamu merdeka,” maka tidak ada warisan baginya, karena tuduhan (rekayasa talak) dari suami telah hilang. Namun jika tuan lebih dahulu berkata: “Jika Zaid datang, maka kamu merdeka,” lalu diikuti oleh suami yang berkata: “Jika Zaid datang, maka kamu tertalak,” maka ia berhak mewarisi karena adanya tuduhan pada suami. Jika tuan berkata kepadanya: “Jika suamimu menceraikanmu besok, maka hari ini kamu merdeka,” lalu suaminya menceraikannya keesokan harinya dengan tiga talak saat sakit yang membahayakan, maka ia tidak mewarisi menurut satu pendapat, baik suami mengetahui hal itu atau tidak, karena pembebasan tidak terjadi kecuali setelah talak. Jika suami berkata saat sakitnya: “Jika tuanmu memerdekakanmu besok, maka hari ini kamu tertalak tiga,” lalu tuannya memerdekakannya keesokan harinya, maka menurut ulama kami ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهَا الْمِيرَاثُ؛ لِتُهْمَةِ الزَّوْجِ فَتَكُونُ كَالْحُرَّةِ الْمَبْتُوتَةِ فِي الْمَرَضِ.

Pertama: Ia berhak mewarisi karena adanya tuduhan pada suami, sehingga ia seperti wanita merdeka yang dicerai secara bain dalam keadaan sakit.

وَالثَّانِي: لَا مِيرَاثَ لَهَا لتقدم الطلاق على العتق، فلوا اخْتَلَفَتْ مَعَ وَرَثَةِ الزَّوْجِ، فَقَالَتْ: طَلَّقَنِي بَعْدَ عِتْقِي فَلِيَ الْمِيرَاثُ. وَقَالَ الْوَرَثَةُ: طَلَّقَكِ قَبْلَ عِتْقِكِ فَلَا مِيرَاثَ لَكِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَرَثَةِ مع أيمانهم ولا ميراث لها؛ لأني الْأَصْلَ فِيهَا عَدَمُ الْإِرْثِ حَتَّى يَتَحَقَّقَ سَبْقُهُ. وَلَوِ اخْتَلَفَتِ الْحُرَّةُ وَوَرَثَةُ الزَّوْجِ فَقَالَتْ طَلَّقَنِي فِي مَرَضِهِ فَلِيَ الْمِيرَاثُ، وَقَالَ الْوَرَثَةُ: طَلَّقَكِ فِي الصِّحَّةِ فَلَا مِيرَاثَ لَكِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا وَلَهَا الْمِيرَاثُ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهَا اسْتِحْقَاقُ الْمِيرَاثِ، وَلِأَنَّنَا عَلَى يَقِينٍ مِنْ حُدُوثِ الطَّلَاقِ، وَفِي شَكٍّ مِنْ تَقَدُّمِهِ.

Kedua: Ia tidak berhak mewarisi karena talak lebih dahulu daripada pembebasan. Jika terjadi perselisihan antara istri dan ahli waris suami, istri berkata: “Ia menceraikanku setelah aku merdeka, maka aku berhak mewarisi,” sedangkan para ahli waris berkata: “Ia menceraikanmu sebelum kamu merdeka, maka kamu tidak berhak mewarisi,” maka yang dipegang adalah ucapan para ahli waris dengan sumpah mereka, dan ia tidak berhak mewarisi, karena asalnya ia tidak berhak mewarisi sampai terbukti talak terjadi setelah pembebasan. Jika wanita merdeka berselisih dengan ahli waris suami, ia berkata: “Ia menceraikanku saat sakitnya, maka aku berhak mewarisi,” sedangkan para ahli waris berkata: “Ia menceraikanmu saat sehat, maka kamu tidak berhak mewarisi,” maka yang dipegang adalah ucapan istri dengan sumpahnya, dan ia berhak mewarisi, karena asalnya ia berhak mewarisi, dan karena kita yakin talak telah terjadi, namun masih ragu apakah talak itu terjadi lebih dahulu atau tidak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وإذا طلقها في مرضها طَلَاقًا رَجْعِيًّا فَإِنْ مَاتَ فِي عِدَّتِهَا وَرِثَتْهُ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ طَلَاقًا فِي الصِّحَّةِ وَرِثَتْ بِهِ، فَلَأَنْ تَرِثَ بِهِ فِي الْمَرَضِ أَوْلَى، وَلَوْ مَاتَتْ عَنْهُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عَدَّتِهَا لَمْ تَرِثْهُ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ هَذَا الطَّلَاقَ لَا يَمْنَعُهَا الْمِيرَاثَ فَلَمْ يُتَّهَمْ فِيهِ وَإِنَّمَا مَنَعَهَا الْمِيرَاثَ انْقِضَاءُ الْعِدَّةِ وَلَيْسَتْ مِنْ فِعْلِهِ.

Jika ia menceraikannya dalam keadaan sakit dengan talak raj‘i, lalu ia meninggal dunia dalam masa ‘iddahnya, maka ia (istri) mewarisinya menurut satu pendapat; karena jika talak itu terjadi saat suami sehat, istri tetap mewarisinya, maka lebih utama lagi jika ia mewarisinya dalam keadaan sakit. Namun, jika istri meninggal setelah habis masa ‘iddahnya, maka ia tidak mewarisinya menurut satu pendapat; karena talak ini tidak menghalangi istri dari warisan, sehingga tidak ada tuduhan (niat menghalangi warisan) dalam hal ini, dan yang menghalangi warisan hanyalah habisnya masa ‘iddah, yang bukan merupakan perbuatan suami.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ فَسَخَ نِكَاحَهَا فِي مَرَضِ مَوْتِهِ بِأَحَدِ الْعُيُوبِ، فِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia membatalkan akad nikah istrinya dalam keadaan sakit menjelang kematian karena salah satu cacat, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فِي حُكْمِ الطَّلَاقِ فِي مَرَضِهِ فَتَرِثُهُ؛ لِأَنَّهَا فُرْقَةٌ فِي الْمَرَضِ هُوَ مَتْهُومٌ بِهَا. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَرِثُهُ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَمْرَيْنِ:

Pertama: Hal itu dihukumi seperti talak dalam keadaan sakit, sehingga istri mewarisinya; karena itu merupakan perpisahan dalam keadaan sakit yang menimbulkan tuduhan (menghalangi warisan). Pendapat kedua: Istri tidak mewarisinya menurut satu pendapat, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا فُرْقَةٌ بِسَبَبٍ مِنْ جِهَتِهَا فَضَعُفَتْ تُهْمَتُهُ بِهَا.

Pertama: Karena perpisahan itu terjadi karena sebab dari pihak istri, sehingga tuduhan terhadap suami menjadi lemah.

وَالثَّانِي: أَنَّ تَأْخِيرَهَا بَعْدَ الْعِلْمِ بِهَا يُسْقِطُ حَقَّهُ مِنَ الْفَسْخِ، فَخَالَفَ الطَّلَاقَ الَّذِي لَا يَسْقُطُ حَقُّهُ مِنْهُ بِالتَّأْخِيرِ.

Kedua: Penundaan istri setelah mengetahui adanya cacat tersebut menggugurkan hak suami untuk membatalkan, sehingga berbeda dengan talak yang hak suami tidak gugur karena penundaan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا ارْتَدَّ فِي مَرَضِهِ عَنِ الْإِسْلَامِ فَبَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ لَمْ تَرِثْهُ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ الطَّلَاقِ؛ لِأَمْرَيْنِ:

Jika suami murtad dalam keadaan sakit, sehingga istrinya menjadi terpisah darinya, lalu ia kembali masuk Islam, maka istrinya tidak mewarisinya menurut satu pendapat, berbeda dengan kasus talak; karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرِّدَّةَ غَيْرُ مَوْضُوعَةٍ لِلْفُرْقَةِ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ أَحْكَامِهَا، فَخَالَفَتْ حُكْمَ الطَّلَاقِ الْمَوْضُوعِ لِلْفُرْقَةِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ غَيْرُ مَتْهُومٍ بِالرِّدَّةِ فِي قَصْدِ ارْتِدَادِهِ لما يتغلط عَلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِهَا. فَخَالَفَتِ الطَّلَاقَ.

Pertama: Murtad bukanlah sesuatu yang ditetapkan untuk perpisahan, meskipun merupakan salah satu akibatnya, sehingga berbeda dengan talak yang memang ditetapkan untuk perpisahan. Kedua: Tidak ada tuduhan pada suami dalam murtadnya, karena ia tidak mengetahui seluruh hukum-hukum murtad, sehingga berbeda dengan talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا لَاعَنَهَا فِي مَرَضِهِ ثُمَّ مَاتَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مِيرَاثِهَا مِنْهُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Jika suami melakukan li‘ān terhadap istrinya dalam keadaan sakit lalu ia meninggal, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang hak waris istrinya darinya menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: تَرِثُهُ كَالْمُطَلَّقَةِ لِلُحُوقِ التُّهْمَةِ فِيهِ كَالطَّلَاقِ.

Pertama: Istri mewarisinya seperti wanita yang ditalak, karena adanya tuduhan dalam kasus ini sebagaimana pada talak.

وَالثَّانِي: لَا تَرِثُهُ؛ لِأَنَّ لُحُوقَ الْمَعَرَّةِ بِهِ فِي لِعَانِهِ وَفَسَادِ فِرَاشِهِ وَنَفْيِ نَسَبِ وَلَدِهِ عَنْهُ، تَنْفِي عَنْهُ التُّهْمَةَ فِي فُرْقَتِهِ فَلَمْ ترثه.

Kedua: Istri tidak mewarisinya; karena adanya aib pada suami dalam li‘ān, rusaknya hubungan suami istri, dan penafian nasab anak darinya, yang meniadakan tuduhan dalam perpisahan itu, sehingga istri tidak mewarisinya.

والوجه الثاني: إن لاعنها في المرض عن قذف الصِّحَّةِ لَمْ تَرِثْهُ، وَإِنْ لَاعَنَهَا عَنْ قَذْفٍ فِي الْمَرَضِ وَرِثَتْ؛ لِأَنَّ تَقَدُّمَ السَّبَبِ عَلَى الْمَرَضِ يَنْفِي عَنْهُ التُّهْمَةَ.

Pendapat kedua: Jika suami melakukan li‘ān dalam keadaan sakit karena tuduhan zina yang terjadi saat sehat, maka istri tidak mewarisinya. Namun jika li‘ān dilakukan karena tuduhan zina yang terjadi saat sakit, maka istri mewarisinya; karena sebab yang mendahului sakit meniadakan tuduhan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا فِي مَرَضِهِ: إِنْ صَلَّيْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ صُمْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَصْلتْ وَصَامَتْ نُظِرَ، إِنْ فَعَلَتْ ذَلِكَ تَطَوُّعًا طُلِّقَتْ وَلَا مِيرَاثَ لَهَا؛ لِأَنَّهَا تَجِدُ مِنْ تَرْكِ التَّطَوُّعِ بِالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ بُدًّا، فَصَارَتْ مُخْتَارَةً لِلطَّلَاقِ، فَلَمْ تَرِثْ، وَإِنْ صَلَّتْ وَصَامَتْ فَرْضًا طُلِّقَتْ وَلَهَا الْمِيرَاثُ؛ لِأَنَّهَا لَا تَجِدُ مِنْ فَرْضِ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ بُدًّا، فَلَمْ تَصِرْ مُخْتَارَةً لِلطَّلَاقِ.

Jika suami berkata kepada istrinya dalam keadaan sakit: “Jika kamu shalat, maka kamu tertalak,” atau berkata: “Jika kamu puasa, maka kamu tertalak,” lalu istri shalat dan puasa, maka diperinci: jika ia melakukannya sebagai ibadah sunnah, maka ia tertalak dan tidak berhak atas warisan; karena ia masih bisa meninggalkan shalat dan puasa sunnah, sehingga ia dianggap memilih talak, maka ia tidak mewarisi. Namun jika ia shalat dan puasa wajib, maka ia tertalak dan tetap berhak atas warisan; karena ia tidak mungkin meninggalkan shalat dan puasa wajib, sehingga ia tidak dianggap memilih talak.

وَلَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ كَلَّمْتِ أَبَوَيْكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَكَلَّمَتْهُمَا طُلِّقَتْ مَكَانَهَا، وَلَهَا الْمِيرَاثُ؛ لِأَنَّهَا لَا تَجِدُ مِنْ كَلَامِ أَبَوَيْهَا بُدًّا لِأَنَّ تَرْكَ كَلَامِهِمَا مَعْصِيَةٌ، وَإِنْ عَلَّقَ طَلَاقَهَا وكلام غَيْرِهِمَا مِنْ أَهْلِهَا وَأَقَارِبِهَا، طُلِّقَتْ، وَلَمْ تَرِثْ لِأَنَّهَا تَجِدُ مِنْ كَلَامِ غَيْرِهِمَا بُدًّا، وَقَالَ الحسن بن زياد الؤلؤي: إِنْ كَلَّمَتْ ذَا مَحْرَمٍ وَرِثَتْ كَالْأَبَوَيْنِ وَإِنْ كَلَّمَتْ غَيْرَ ذِي مَحْرَمٍ لَمْ تَرِثْ وَلَا فَرْقَ بَيْنَهُمَا عِنْدَنَا لِمَا ذَكَرْنَاهُ.

Jika suami berkata kepada istrinya: “Jika kamu berbicara dengan kedua orang tuamu, maka kamu tertalak,” lalu ia berbicara dengan keduanya, maka ia tertalak saat itu juga dan tetap berhak atas warisan; karena ia tidak mungkin meninggalkan berbicara dengan kedua orang tuanya, sebab meninggalkan berbicara dengan mereka adalah maksiat. Jika suami menggantungkan talak pada berbicara dengan selain kedua orang tuanya dari keluarga atau kerabatnya, maka jika ia berbicara dengan mereka, ia tertalak dan tidak berhak atas warisan, karena ia masih bisa meninggalkan berbicara dengan selain kedua orang tuanya. Al-Hasan bin Ziyad al-Lu’lu’i berkata: Jika ia berbicara dengan mahramnya, maka ia tetap mewarisi seperti kedua orang tuanya, dan jika ia berbicara dengan selain mahram, maka ia tidak mewarisi. Namun menurut kami tidak ada perbedaan antara keduanya sebagaimana telah dijelaskan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا طَلَّقَ فِي مَرَضِهِ أَرْبَعَ زَوْجَاتٍ لَهُ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ تَزَوَّجَ أَرْبَعًا سِوَاهُنَّ وَمَاتَ عَنْهُنَّ وقيل بتوريث المبتوتة، ففي الميراث ها هنا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Jika dalam keadaan sakit ia menalak tiga kali masing-masing kepada empat istrinya, lalu menikahi empat wanita lain dan meninggal dunia, dan ada pendapat tentang mewariskan istri yang ditalak ba’in, maka dalam masalah warisan di sini terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّ مِيرَاثَ الزَّوْجَاتِ وَهُوَ الرُّبُعُ أَوِ الثُّمُنُ يَكُونُ مَقْسُومًا بَيْنَ الْأَرْبَعِ الْمُطَلَّقَاتِ وَالْأَرْبَعِ الْمُزَوَّجَاتِ أَثْمَانًا؛ لِأَنَّ كُلَّ فَرِيقٍ مِنْهُمَا يَسْتَحِقُّ الْمِيرَاثَ.

Salah satu pendapat: bahwa warisan para istri, yaitu seperempat atau seperdelapan, dibagi di antara empat istri yang ditalak dan empat istri yang masih dalam pernikahan secara sama; karena masing-masing kelompok dari mereka berhak atas warisan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْمِيرَاثَ يَكُونُ لِلْأَرْبَعِ الْمُطَلَّقَاتِ دُونَ الْأَرْبَعِ الْمُزَوَّجَاتِ؛ لِأَنَّ حَقَّ الْمُطَلَّقَاتِ أَسْبَقُ مِنْ حَقِّ الْمُزَوَّجَاتِ.

Pendapat kedua: bahwa warisan diberikan kepada empat istri yang ditalak saja, tidak kepada empat istri yang masih dalam pernikahan; karena hak para istri yang ditalak lebih didahulukan daripada hak para istri yang masih dalam pernikahan.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْمِيرَاثَ يَكُونُ لِلْأَرْبَعِ الْمُزَوَّجَاتِ دُونَ الْمُطَلَّقَاتِ، لِأَنَّ حُقُوقَ الزَّوْجَاتِ ثَابِتٌ بِالنَّصِّ، وَحُقُوقَ الْمُطَلَّقَاتِ بِالِاجْتِهَادِ.

Pendapat ketiga: bahwa warisan diberikan kepada empat istri yang masih dalam pernikahan saja, tidak kepada yang ditalak, karena hak-hak istri yang masih dalam pernikahan telah ditetapkan secara nash, sedangkan hak-hak istri yang ditalak berdasarkan ijtihad.

فَلَوْ تَزَوَّجَ بَعْدَ الْأَرْبَعِ اثْنَتَيْنِ، ثُمَّ مَاتَ، فَأَحَدُ الْأَوْجُهِ الثَّلَاثَةِ أَنَّ الْمِيرَاثَ مَقْسُومٌ بَيْنَ السِّتِّ كُلِّهِنَّ. وَالثَّانِي أَنَّهُ لِلْأَرْبَعِ الْمُطَلَّقَاتِ. وَالثَّالِثُ: لِلزَّوْجَتَيْنِ نِصْفُ الْمِيرَاثِ وَالنِّصْفُ الْبَاقِي بَيْنَ الْأَرْبَعِ الْمُطَلَّقَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika setelah menikahi empat istri, ia menikahi lagi dua orang, lalu meninggal dunia, maka salah satu dari tiga pendapat adalah warisan dibagi di antara keenam istri tersebut seluruhnya. Pendapat kedua, warisan hanya untuk empat istri yang ditalak. Pendapat ketiga: kepada dua istri setengah warisan, dan setengah sisanya dibagi antara empat istri yang ditalak. Dan Allah lebih mengetahui.

(باب الشك في الطلاق)

(Bab Keraguan dalam Talak)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (لَمَّا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (إن الشيطان لعنة الله يَأْتِي أَحَدَكُمْ فَيَنْفُخُ بَيْنَ إِلْيَتَيْهِ فَلَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَشُمَّ رِيحًا) . عَلِمْنَا أَنَّهُ لَمْ يُزَلْ يَقِينُ طَهَارَةٍ إِلَّا بِيَقِينِ حَدَثٍ فَكَذَلِكَ مَنِ اسْتَيْقَنَ نِكَاحًا ثُمَّ شَكَّ فِي الطَّلَاقِ لَمْ يُزَلِ الْيَقِينُ إِلَّا بِالْيَقِينِ.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: (Ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya setan, semoga Allah melaknatnya, mendatangi salah seorang dari kalian lalu meniup di antara kedua pantatnya, maka janganlah ia berpaling (dari shalat) hingga ia mendengar suara atau mencium bau.” Maka kita mengetahui bahwa keyakinan akan kesucian tidak hilang kecuali dengan keyakinan akan adanya hadats. Demikian pula, siapa yang yakin telah menikah lalu ragu tentang talak, maka keyakinan itu tidak hilang kecuali dengan keyakinan (terjadinya talak).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَا الشَّكُّ فِي أَصْلِ الطَّلَاقِ هَلْ طَلَّقَ أَمْ لَا؟ فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ إِسْقَاطًا لِحُكْمِ الشَّكِّ، وَاعْتِبَارًا بِيَقِينِ النِّكَاحِ وَأَنَّ أَحْكَامَ الشَّرْعِ مُسْتَقِرَّةٌ عَلَى تَغْلِيبِ الْيَقِينِ عَلَى الشَّكِّ لِحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: إِذَا شَكَّ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعَا فَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِي أَحَدَكُمْ فَيَنْفُخُ بَيْنَ إِلْيَتَيْهِ فَيَقُولُ أَحْدَثْتُ أَحْدَثْتُ فَلَا يَنْصَرِفْ مِنْ صَلَاتِهِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا. فَأَمَرَهُ في هين الْخَبِرَيْنِ أَنْ يَعْمَلَ عَلَى الْيَقِينِ فِيمَا يُؤَدِّيهِ مِنْ صِلَاتِهِ وَفِيمَا يَلْتَزِمُ مِنْ حَدَثِهِ وَأَسْقَطَ حُكْمَ الشَّكِّ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ حُكْمٌ، فَكَذَلِكَ فِي الطَّلَاقِ يَلْزَمُ مَا يَتَيَقَّنُهُ وَيَسْقُطُ مَا يَشُكُّ فِيهِ، وَكَذَلِكَ سَائِرُ الْأَحْكَامِ، فَإِنْ قِيلَ: فقد تركتم هذا لأصل فِي مَوَاضِعَ غَلَّبْتُمْ فِيهَا حُكْمَ الشَّكِّ عَلَى الْيَقِينِ مِنْهَا فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ إِذَا شَكَّ وَهُوَ فِيهَا فِي دُخُولِ وَقْتِ صَلَاةِ الْعَصْرِ غَلَبَ حُكْمُ الشَّكِّ وَأَتَمَّهَا ظُهْرًا فَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا أَنَّ أَصْحَابَنَا اخْتَلَفُوا فِيهِ، فَذَهَبَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ إِلَى أَنَّهُ يُتِمُّهَا جُمُعَةً تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْيَقِينِ فِي بَقَاءِ الْوَقْتِ فَسَقَطَ هَذَا الِاعْتِرَاضُ.

Al-Mawardi berkata: Adapun keraguan dalam pokok talak, apakah ia telah mentalak atau tidak? Maka tidak terjadi talak atasnya, karena hukum keraguan gugur, dan yang dianggap adalah keyakinan atas pernikahan, serta bahwa hukum-hukum syariat didasarkan pada mengedepankan keyakinan atas keraguan, berdasarkan hadis Abu Sa‘id al-Khudri bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Jika seseorang ragu dalam shalatnya, tidak tahu apakah ia telah shalat tiga atau empat rakaat, maka hendaklah ia membangun (keyakinan) atas apa yang ia yakini.” Dan sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang dari kalian lalu meniup di antara kedua pantatnya, lalu berkata: ‘Engkau telah berhadats, engkau telah berhadats.’ Maka janganlah ia berpaling dari shalatnya hingga ia mendengar suara atau menemukan bau.” Maka beliau memerintahkan dalam kedua berita ini agar berpegang pada keyakinan dalam apa yang ia lakukan dari shalatnya dan dalam apa yang ia yakini dari hadatsnya, serta menggugurkan hukum keraguan agar tidak terkait dengan suatu hukum. Demikian pula dalam talak, yang wajib adalah apa yang diyakini dan gugur apa yang diragukan, demikian pula dalam seluruh hukum. Jika dikatakan: Bukankah kalian telah meninggalkan kaidah ini dalam beberapa tempat di mana kalian lebih mengedepankan hukum keraguan atas keyakinan, di antaranya dalam shalat Jumat jika seseorang ragu saat sedang melaksanakannya apakah waktu shalat Ashar telah masuk, maka hukum keraguan lebih diutamakan dan ia menyempurnakannya sebagai shalat Zuhur? Jawabannya adalah bahwa para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini. Abu Ishaq al-Marwazi berpendapat bahwa ia menyempurnakannya sebagai shalat Jumat, mengedepankan hukum keyakinan atas masih adanya waktu, sehingga gugurlah sanggahan ini.

وَقَالَ غَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا: بَلْ يُتِمُّهَا لِأَجْلِ الشَّكِّ ظُهْرًا؛ لِأَنَّ فَرْضَ الصَّلَاةِ مُتَيَقَّنٌ فَلَمْ يَسْقُطْ إِلَّا بِيَقِينِ الْأَدَاءِ، وَأَدَاءُ الْجُمُعَةِ يَصِحُّ بِشَرْطٍ مُتَيَقَّنٍ وَهُوَ بَقَاءُ الْوَقْتِ، فَلَمْ يَصِحَّ أَدَاؤُهَا مَعَ الشَّكِّ فِي وُجُودِ شَرْطِهَا فَلِذَلِكَ أَتَمَّهَا ظُهْرًا، فَعَلَى هَذَا إِنَّمَا هُوَ تُقَابُلُ أَصْلَيْنِ لَا يُمْكِنُ الْعَمَلُ عَلَى الْيَقِينِ فيها فَرَجَّحْنَا حُكْمَ الْيَقِينِ فِي أَوْكَدِهِمَا.

Dan sebagian ulama kami yang lain berkata: Bahkan ia menyempurnakannya karena keraguan sebagai shalat Zuhur; karena kewajiban shalat adalah sesuatu yang diyakini, maka tidak gugur kecuali dengan keyakinan telah menunaikannya, dan pelaksanaan shalat Jumat sah dengan syarat yang diyakini, yaitu masih adanya waktu. Maka tidak sah pelaksanaannya jika ragu terhadap keberadaan syaratnya, oleh karena itu ia menyempurnakannya sebagai shalat Zuhur. Maka dalam hal ini, yang terjadi adalah pertentangan dua kaidah yang tidak mungkin diamalkan keduanya, sehingga kami lebih menguatkan hukum keyakinan pada yang lebih kuat di antara keduanya.

وَمِنْهَا الْمُتَلَفِّفُ فِي ثَوْبِهِ إِذَا ضَرَبَهُ ضَارِبٌ فَقَدَّهُ، وَاخْتُلِفَ فِي حَيَاتِهِ قَبْلَ ضَرْبِهِ، الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ ضَارِبِهِ، فَقَدْ خَالَفْتُمُ الْيَقِينَ فِي بَقَاءِ حَيَاتِهِ، قُلْنَا: أَمَّا الْقَوَدُ فَلَا يَجِبُ، لِأَنَّهَا شُبْهَةٌ وَالْقَوَدُ حَدٌّ يَسْقُطُ بِالشُّبْهَةِ، وإما الدية ففيها قولان:

Di antaranya adalah seseorang yang membungkus dirinya dengan pakaiannya, lalu dipukul oleh seseorang hingga pakaiannya robek. Terdapat perbedaan pendapat mengenai status hidupnya sebelum dipukul; dalam hal ini, pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang memukulnya, sehingga kalian telah menyelisihi keyakinan tentang keberlangsungan hidupnya. Kami katakan: Adapun qawad (qisas) tidak wajib, karena terdapat syubhat, sedangkan qawad adalah hukuman yang gugur dengan adanya syubhat. Adapun mengenai diyat, terdapat dua pendapat:

أحدهما: تجب اعتبار باليقين بَقَاءِ حَيَاتِهِ

Pertama: Diyat wajib, dengan mempertimbangkan keyakinan akan keberlangsungan hidupnya.

وَالثَّانِي: لَا تَجِبُ اعْتِبَارًا بِالْيَقِينِ فِي بَرَاءَةِ الذِّمَّةِ، فَعَلَى هَذَا قَدْ تَقَابَلَ أَصْلَانِ لِأَحَدِهِمَا بَقَاءُ الْحَيَاةِ فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ.

Kedua: Diyat tidak wajib, dengan mempertimbangkan keyakinan akan bebasnya tanggungan. Dalam hal ini, terdapat dua prinsip yang saling berhadapan: salah satunya adalah keberlangsungan hidup dalam kewajiban diyat.

وَالثَّانِي: بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ فِي إِسْقَاطِهَا فَعُلِمَ حُكْمُ الْيَقِينِ فِي أَحَدِ الْأَصْلَيْنِ وَهُوَ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الطَّلَاقِ لِأَنَّهُ أَصْلٌ وَاحِدٌ لَمْ يُعَارِضْهُ غَيْرُهُ فَاعْتُبِرَ الْيَقِينُ فِيهِ. وَمِنْهَا أَنَّ الْعَبْدَ الْآبِقَ إِذَا أَعْتَقَهُ عَنْ كَفَّارَتِهِ لَمْ يُجْزِهِ، وَالْأَصْلُ بَقَاءُ حَيَاتِهِ، قِيلَ: هَذَا نَصُّ الشَّافِعِيِّ فِي عِتْقِهِ عَنِ الْكَفَّارَةِ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُ؛ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ مَيِّتًا، وَعَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِ؛ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ حَيًّا، فَغَلَبَ حُكْمُ الْحَيَاةِ فِي الزَّكَاةِ، وَحُكْمُ الْمَوْتِ فِي الْكَفَّارَةِ.

Kedua: Bebasnya tanggungan dalam menggugurkan diyat. Maka, diketahui hukum keyakinan pada salah satu dari dua prinsip tersebut, yaitu bebasnya tanggungan. Tidak demikian halnya dalam masalah talak, karena talak merupakan satu prinsip yang tidak ada yang menentangnya, sehingga keyakinan menjadi pertimbangan di dalamnya. Di antaranya juga, apabila seorang budak yang melarikan diri dimerdekakan sebagai tebusan kafarat, maka itu tidak sah. Prinsip dasarnya adalah ia masih hidup. Dikatakan: Ini adalah nash asy-Syafi‘i dalam masalah memerdekakan budak untuk kafarat, bahwa itu tidak mencukupi, karena mungkin saja ia telah mati. Namun, atasnya tetap wajib zakat fitrah, karena mungkin saja ia masih hidup. Maka, hukum kehidupan lebih diutamakan dalam zakat, dan hukum kematian lebih diutamakan dalam kafarat.

فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ نَقَلَ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى، وَخَرَّجَهُمَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Sebagian dari kalangan kami ada yang memindahkan masing-masing dari dua permasalahan tersebut ke permasalahan yang lain, dan mengeluarkan keduanya dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُجْزِئُ عِتْقُهُ فِي الْكَفَّارَةِ كَمَا تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ؛ تَغْلِيبًا لِلْيَقِينِ فِي بَقَاءِ الْحَيَاةِ.

Pertama: Memerdekakan budak dalam kafarat itu sah, sebagaimana wajib atasnya zakat fitrah; dengan mengutamakan keyakinan akan keberlangsungan hidup.

وَالثَّانِي: لَا تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ، كَمَا لَا يُجْزِئُ عِتْقُهُ فِي الْكَفَّارَةِ، تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْيَقِينِ فِي بَقَاءِ الْكَفَّارَةِ فِي الذِّمَّةِ؛ لِأَنَّهُ تَقَابَلَ أَصْلَانِ فَرَجَحَ الْيَقِينُ فِي أَوْكَدِهِمَا وَلَيْسَ كَالطَّلَاقِ الَّذِي هُوَ أَصْلٌ وَاحِدٌ يَجِبُ اعْتِبَارُ الْيَقِينِ فِيهِ.

Kedua: Tidak wajib atasnya zakat fitrah, sebagaimana tidak sah memerdekakan budak dalam kafarat; dengan mengutamakan hukum keyakinan dalam keberlangsungan kafarat dalam tanggungan, karena terdapat dua prinsip yang saling berhadapan, maka keyakinan lebih diutamakan pada yang lebih kuat di antara keduanya. Tidak seperti talak yang merupakan satu prinsip sehingga wajib mempertimbangkan keyakinan di dalamnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَالشَّكُّ فِي الطَّلَاقِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Setelah apa yang kami jelaskan menjadi jelas, maka keraguan dalam talak terbagi menjadi dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَشُكَّ فِي أَصْلِهِ.

Pertama: Ragu pada asal terjadinya talak.

وَالثَّانِي: أَنْ يَشُكَّ فِي عَدَدِهِ، فَإِنْ كَانَ شَكَّ فِي أَصْلِهِ، هَلْ طَلَّقَ أَمْ لَا؟ لَمْ يَلْزَمْهُ الطَّلَاقُ، اعْتِبَارًا بِالْيَقِينِ فِي بَقَاءِ النِّكَاحِ، وَإِسْقَاطًا لِلشَّكِّ فِي رَفْعِهِ بِالطَّلَاقِ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، لَكِنَّ الْوَرِعَ أَنْ يَلْتَزِمَ حُكْمَ الطَّلَاقِ حَتَّى لَا يَسْتَبِيحَ بُضْعًا بِالشَّكِّ، فَإِنْ كَانَ الشَّكُّ فِي طَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ، هَلْ أَوْقَعَهَا أَمْ لَا؟ فَالْتِزَامُهُ لِحُكْمِهَا وَرَعًا أَنْ يَرْتَجِعَهَا، فَإِنْ كَانَ قَدْ طَلَّقَ حَلَّتْ لَهُ بِالرَّجْعَةِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ طَلَّقَ لَمْ تَضُرَّهُ الرَّجْعَةُ وَيَسْتَبْقِيهَا عَلَى طَلْقَتَيْنِ، وَإِنْ كَانَ الشَّكُّ فِي الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ هَلْ أَوْقَعَهَا أَمْ لَا؟ فَالْوَرَعُ أَنْ يَتْرُكَ الِاسْتِمْتَاعَ بِهَا، أَنْ يَعْتَزِلَهَا وَيَلْتَزِمَ نَفَقَتَهَا، فَيَغْلِبُ الشَّكُّ فِي اعْتِزَالِ الْوَطْءِ وَالْيَقِينُ فِي الْتِزَامِ النَّفَقَةِ، وَإِنْ أَرَادَ الِاسْتِمْتَاعَ بِهَا أَنْ يُطَلِّقَهَا ثَلَاثًا لِتَسْتَبِيحَ نِكَاحَ غَيْرِهِ بِيَقِينٍ، فَإِنْ كَانَ قَدْ وَطِئَهَا مِنْ قَبْلُ لَمْ يَقَعْ هَذَا الطَّلَاقُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ طَلَّقَهَا مِنْ قَبْلُ وَقَعَ هَذَا الطَّلَاقُ.

Kedua: Ragu pada jumlah talak. Jika ragu pada asalnya, apakah ia telah mentalak atau belum, maka talak tidak wajib baginya, dengan mempertimbangkan keyakinan atas keberlangsungan akad nikah dan meniadakan keraguan dalam pembatalannya melalui talak. Hal ini telah menjadi kesepakatan, namun sikap wara‘ adalah berpegang pada hukum talak agar tidak menghalalkan kemaluan dengan keraguan. Jika keraguan itu pada satu kali talak, apakah ia telah menjatuhkannya atau belum, maka sikap wara‘ adalah berpegang pada hukumnya dengan cara merujuknya. Jika memang telah mentalak, maka ia halal baginya dengan rujuk. Jika belum mentalak, maka rujuk tidak membahayakannya dan ia tetap memiliki dua talak. Jika keraguan itu pada tiga talak, apakah ia telah menjatuhkannya atau belum, maka sikap wara‘ adalah meninggalkan hubungan suami istri, mengasingkan diri darinya, dan tetap menanggung nafkahnya. Maka, keraguan lebih diutamakan dalam mengasingkan hubungan suami istri, dan keyakinan lebih diutamakan dalam menanggung nafkah. Jika ia ingin kembali menikmati istrinya, hendaknya ia mentalaknya tiga kali agar istrinya halal menikah dengan laki-laki lain secara yakin. Jika sebelumnya ia telah menggaulinya, maka talak ini tidak jatuh. Jika sebelumnya ia belum mentalaknya, maka talak ini jatuh.

وَحَلَّتْ لَهُ لِزَوْجٍ بَعْدَهُ، فَإِذَا اسْتَحَلَّتْ بِزَوْجٍ حَلَّتْ لَهُ أَنْ يَنْكِحَهَا ثُمَّ هِيَ مُسْتَبَاحَةٌ بِيَقِينٍ هَذَا فِي الْوَرَعِ وَإِنْ لَمْ يَلْزَمْهُ فِي الْحُكْمِ أَنْ يَرْتَجِعَ إِذَا شَكَّ فِي الْوَاحِدَةِ، وَلَا أَنْ يَعْتَزِلَ أَوْ يُطْلِّقَ بِالْيَقِينِ فِي أَصْلِ النِّكَاحِ، وَاسْتِدَامَةِ إِبَاحَتِهِ.

Setelah itu, ia halal bagi suami lain. Jika ia telah halal dengan suami lain, maka halal pula baginya untuk menikahinya kembali, sehingga ia menjadi halal baginya secara yakin. Ini dalam hal wara‘, meskipun tidak wajib baginya secara hukum untuk merujuk jika ragu pada satu talak, dan tidak pula wajib mengasingkan diri atau mentalak secara yakin dalam asal pernikahan dan kelangsungan kebolehannya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنْ كَانَ الشَّكُّ فِي عَدَدِ الطَّلَاقِ مَعَ يَقِينِ وُقُوعِهِ، مِثْلَ أَنْ يَشُكَّ هَلْ طَلَّقَ وَاحِدَةً أَوْ ثَلَاثًا، لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا الْيَقِينُ وَهُوَ الْأَقَلُّ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ.

Dan jika keraguan terjadi pada jumlah talak dengan keyakinan telah terjadinya talak, seperti seseorang ragu apakah ia telah mentalak satu kali atau tiga kali, maka yang wajib baginya hanyalah yang diyakini, yaitu jumlah yang paling sedikit. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah dan mayoritas fuqaha.

وَقَالَ مَالِكٌ: يَلْزَمُ أَكْثَرُ مَا شَكَّ فِيهِ وَهُوَ الثَّلَاثُ، فَلَا تَحِلُّ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ.

Sedangkan Malik berpendapat: yang wajib adalah jumlah terbanyak yang diragukan, yaitu tiga, sehingga perempuan itu tidak halal (untuk dinikahi kembali) kecuali setelah menikah dengan suami lain.

فَإِذَا تَزَوَّجَهَا بَعْدَ زَوْجٍ ثُمَّ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً طُلِّقَتْ ثَلَاثًا؛ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ طَلَّقَهَا فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ اثْنَتَيْنِ فَبَقِيَتْ مَعَهُ عَلَى وَاحِدَةٍ، فَإِذَا تَزَوَّجَهَا ثَالِثَةً بَعْدَ زَوْجٍ ثَانٍ وَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً طُلِّقَتْ مِنْهُ ثَلَاثًا؛ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ قَدْ طَلَّقَهَا فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ وَاحِدَةً، وَيُسَمَّى الطَّلَاقُ الدُّولَابِيُّ. وَاسْتَدَلَّ عَلَى الْتِزَامِهِ مَعَ الشَّكِّ حُكْمَ الْأَكْثَرِ، بِأَنَّ الشَّكَّ فِي الْحَظْرِ وَالْإِبَاحَةِ يُوجِبُ تَغْلِيبَ الْحَظْرِ عَلَى الْإِبَاحَةِ، كَمَنِ اخْتَلَطَتْ أُخْتُهُ بِأَجْنَبِيَّةٍ حُرِّمَ عَلَيْهِ نِكَاحُهَا؛ تَغْلِيبًا لِلتَّحْرِيمِ، وَكَمَنَ أَصَابَ ثَوْبَهُ نَجَاسَةٌ فَلَمْ يَعْرِفْ مَوْضِعَهَا، غسل جميعه تغليبا للنجاسة.

Apabila ia menikahi perempuan itu setelah menikah dengan suami lain, kemudian menceraikannya satu kali, maka dianggap telah ditalak tiga kali; karena mungkin saja ia telah mentalaknya dua kali pada pernikahan pertama sehingga tersisa satu talak, maka jika ia menikahinya untuk ketiga kalinya setelah menikah dengan suami kedua dan menceraikannya satu kali, maka dianggap telah ditalak tiga kali darinya; karena mungkin saja ia telah mentalaknya satu kali pada pernikahan pertama. Ini disebut talak dūlābī (berputar). Dalil atas kewajiban mengambil jumlah terbanyak saat ragu adalah bahwa keraguan dalam perkara yang terlarang dan yang dibolehkan mengharuskan untuk mengedepankan yang terlarang atas yang dibolehkan, seperti seseorang yang saudara perempuannya bercampur dengan perempuan asing, maka haram baginya menikahi salah satunya, sebagai bentuk penguatan terhadap keharaman, dan seperti seseorang yang bajunya terkena najis namun tidak mengetahui letaknya, maka ia harus mencuci seluruh bajunya sebagai bentuk penguatan terhadap najis.

وكمن طلق أحدى زوجتيه، ولم يعرفها حرمتا على التأبيد تغليباً لحكم الطلاق، كذلك إذا شك في عدد الطلاق لزمه الأكثر تغليباً للطلاق.

Dan seperti seseorang yang mentalak salah satu dari dua istrinya, namun tidak mengetahui siapa yang ditalak, maka keduanya menjadi haram baginya untuk selamanya sebagai bentuk penguatan terhadap hukum talak. Demikian pula jika ia ragu dalam jumlah talak, maka yang wajib baginya adalah jumlah terbanyak sebagai bentuk penguatan terhadap talak.

وَدَلِيلُنَا مَعَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْخَبَرَيْنِ، أَنَّهُ شَكٌّ فِي طَلَاقٍ فَلَمْ يُحْكَمْ بِوُقُوعِهِ، كَالشَّكِّ في اصل الطلاق، ولأن كلما لَوْ وَقَعَ الشَّكُّ فِي أَصْلِهِ بُنِيَ عَلَى الْيَقِينِ، وَجَبَ إِذَا وَقَعَ فِي عَدَدِهِ أَنْ يَبْنِيَ عَلَى الْيَقِينِ كَالصَّلَاةِ، وَلِأَنَّهُ إِسْقَاطُ حَقٍّ فَلَمْ يَلْزَمِ الشَّكُّ كَالْإِبْرَاءِ.

Adapun dalil kami, selain dua hadis yang telah kami sebutkan, adalah bahwa ini merupakan keraguan dalam talak sehingga tidak dihukumi telah terjadi, sebagaimana keraguan dalam asal terjadinya talak. Dan karena setiap kali terjadi keraguan dalam asalnya maka dikembalikan kepada keyakinan, maka jika terjadi keraguan dalam jumlahnya juga harus dikembalikan kepada keyakinan, seperti dalam shalat. Dan karena ini merupakan pengguguran hak, maka keraguan tidak mewajibkannya, sebagaimana dalam pembebasan utang.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِتَغْلِيبِ الْحَظْرِ عَلَى الْإِبَاحَةِ فَهُوَ أَنَّ ذَلِكَ يَكُونُ مَعَ اجْتِمَاعِهِمْ دُونَ الشَّكِّ فِيهِمَا، وأن لا أصل تَغْلِيبُ حُكْمٍ.

Adapun jawaban atas dalil mereka yang mengedepankan yang terlarang atas yang dibolehkan adalah bahwa hal itu berlaku jika keduanya berkumpul tanpa ada keraguan di antara keduanya, dan tidak ada asal dalam mengedepankan suatu hukum.

فَأَمَّا الثَّوْبُ إِذَا شَكَّ فِي مَوْضِعِ النَّجَاسَةِ ومنه فَغَلَّبَهُ عَلَى جَمِيعِهِ لِأَنَّ وُقُوعَ النَّجَاسَةِ فِيهِ قَدْ يَمْنَعُ الصَّلَاةَ فِيهِ، فَلَمْ يَسْتَبِحْهَا فِيهِ إِلَّا بِيَقِينِ طَهَارَةٍ، فَكَذَلِكَ عَلَى جَمِيعِهِ وَأَمَّا أُخْتُهُ وَأَجْنَبِيَّةٌ، فَلِأَنَّ التَّحْرِيمَ قَدْ ثَبَتَ فَلَمْ يَسْتَبِحْ أَحَدَهُمَا بِالشَّكِّ.

Adapun baju, jika ragu tentang letak najisnya lalu menganggap najis seluruhnya, maka itu karena adanya najis di baju dapat menghalangi sahnya shalat, sehingga tidak boleh shalat di dalamnya kecuali dengan keyakinan akan kesuciannya, maka demikian pula pada seluruh baju. Adapun saudara perempuan dan perempuan asing, maka karena keharaman telah tetap sehingga tidak boleh menikahi salah satunya hanya karena keraguan.

وَكَذَلِكَ إِذَا شَكَّ فِي الْمُطَلَّقَةِ مِنْ زَوْجَتَيْهِ وَلَيْسَ كَالشَّكِّ فِي الطَّلَاقِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ تَحْرِيمُ الثَّلَاثِ، فَلَمْ يَلْزَمْ تَحْرِيمُهَا بِالشَّكِّ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Demikian pula jika ragu tentang siapa yang ditalak dari dua istrinya, maka ini tidak sama dengan keraguan dalam talak; karena keharaman tiga talak belum tetap, maka tidak wajib mengharamkannya hanya karena keraguan. Dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ حَنِثْتُ بِالطَّلَاقِ أَوْ فِي الْعِتْقِ وَقَفَ عَنْ نِسَائِهِ وَرَقِيقِهِ حَتَى يُبَيِّنَ وَيَحْلِفَ لِلَّذِي يَدَّعِي فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ ذَلِكَ أُقْرِعَ بَيْنَهُمْ فَإِنْ خَرَجَ السَّهْمُ عَلَى الرَّقِيقِ عَتَقُوا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَإِنْ وَقَعَتْ عَلَى النِّسَاءِ لَمْ يُطَلَّقْنَ وَلَمْ يَعْتِقِ الرَّقِيقُ وَالْوَرَعُ أَنْ يدعن ميراثه) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika seseorang berkata, “Aku melanggar sumpah dengan talak atau dengan pembebasan budak,” maka ia harus menahan diri dari istri-istrinya dan budaknya sampai ia menjelaskan dan bersumpah kepada orang yang menuntut. Jika ia meninggal sebelum itu, maka diundi di antara mereka. Jika undian jatuh pada budak, maka mereka merdeka dari harta peninggalan. Jika undian jatuh pada istri-istri, maka mereka tidak ditalak dan budak tidak dimerdekakan. Sikap wara‘ adalah agar mereka meninggalkan warisannya).

قال الماوردي: وصورتها في رجل تيقين حنثه بطلاق نسائه، أو أعتق إمائه وَأُشْكِلَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَعْلَمْ هَلْ كَانَ بِطَلَاقِ النِّسَاءِ أَوْ عِتْقِ الْإِمَاءِ، مِثْلَ أَنْ يَقُولَ وَقَدْ رَأَى طَائِرًا: إِنْ كَانَ هَذَا الطَّائِرُ غُرَابًا فَنِسَائِي طَوَالِقُ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ غُرَابًا فَإِمَائِي أَحْرَارٌ، وَطَارَ الطَّائِرُ وَلَمْ يَعْلَمْ أَغُرَابٌ كان أو غير غراب، فيصر متقيناً لِلْحِنْثِ فِي أَحَدِهِمَا، وَإِنْ لَمْ يَتَيَقَّنْ فَيَتَعَلَّقُ بشكه هذا أربعة أحكام:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seorang laki-laki yang yakin telah melanggar sumpah dengan mentalak istri-istrinya atau membebaskan budak perempuannya, namun ia bingung dan tidak mengetahui apakah itu dengan talak istri-istri atau pembebasan budak perempuan, seperti seseorang yang berkata setelah melihat seekor burung: “Jika burung ini gagak, maka istri-istriku tertalak; jika bukan gagak, maka budak perempuanku merdeka.” Lalu burung itu terbang dan ia tidak tahu apakah itu gagak atau bukan, sehingga ia yakin telah melanggar sumpah pada salah satunya. Jika ia tidak yakin, maka terkait keraguannya ini ada empat hukum:

أحدهما: أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْهُمَا قَبْلَ الْبَيَانِ مَنْعَ تَحْرِيمٍ، فلا يحل له وطئ النِّسَاءِ وَلَا الِاسْتِمْتَاعُ بِالْإِمَاءِ وَلَا التَّصَرُّفُ فِيهِنَّ تغليباً لحكم الحظر؛ لأن التحريم فيما وَاقِعٌ بِيَقِينِ، وَالشَّكَّ وَاقِعٌ بِالتَّعْيِينِ، فَجَرَى مَجْرَى اخْتِلَاطِ أُخْتِهِ بِأَجْنَبِيَّةٍ يُوجِبُ تَحْرِيمَهَا عَلَيْهِ؛ لِوُقُوعِ التَّحْرِيمِ مَعَ الْجَهْلِ بِالتَّعْيِينِ، وَإِذَا حُرِّمَ عَلَيْهِ النساء بالشك حرم حُرِّمَ عَلَيْهِنَّ أَنْ يَتَزَوَّجْنَ غَيْرَهُ بِالشَّكِّ، وَكَذَلِكَ الْإِمَاءُ يَحْرُمُ عَلَيْهِنَّ أَنْ يَتَصَرَّفْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ، توقف أَمْرُ الْفَرِيقَيْنِ عَلَى الْبَيَانِ.

Pertama: Ia harus menahan diri dari keduanya sebelum ada penjelasan dengan larangan yang bersifat haram, sehingga tidak halal baginya untuk menggauli para perempuan, tidak pula menikmati budak perempuan, dan tidak boleh melakukan tindakan apa pun terhadap mereka, dengan mengedepankan hukum larangan; karena keharaman dalam hal ini terjadi secara yakin, sedangkan keraguan terjadi pada penentuan (siapa yang terkena hukum), sehingga hal ini serupa dengan percampuran antara saudara perempuannya dengan perempuan lain yang menyebabkan keharaman baginya, karena keharaman terjadi bersamaan dengan ketidaktahuan dalam penentuan. Apabila perempuan-perempuan itu diharamkan baginya karena keraguan, maka mereka juga diharamkan untuk menikah dengan selain dirinya karena keraguan, demikian pula para budak perempuan diharamkan untuk bertindak atas diri mereka sendiri, sehingga urusan kedua kelompok tersebut bergantung pada penjelasan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالْحُكْمُ الثَّانِي: أَنْ يُؤْخَذَ بِنَفَقَاتِ النِّسَاءِ وَنَفَقَاتِ الْإِمَاءِ، وَإِنْ حُرِّمْنَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ تَحْرِيمَهُنَّ مَنْسُوبٌ إِلَيْهِ، وَلِأَنَّ نَفَقَاتِهِنَّ وَاجِبَةٌ قَبْلَ الشَّكِّ، فَلَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ بِالشَّكِّ، لَكِنْ يَسْقُطُ حَقُّ الْقَسْمِ لِلنِّسَاءِ لِتَحْرِيمِهِنَّ كَالْمُحَرَّمِ بِالرِّدَّةِ وَالْإِحْرَامِ، وَيُوقَفُ كَسْبُ الْإِمَاءِ أَنْ يتصرفن أو السيد فيه، حتى يتيقن عِتْقُهُنَّ فَيَمْلِكْنَ الْفَاضِلَ مِنْ إِكْسَابِهِنَّ أَوْ سَيْرِ رِزْقِهِنَّ فَتَكُونُ مِلْكًا لِلسَّيِّدِ، فَلَوْ أَرَادَ السَّيِّدُ أَنْ يَسْتَخْدِمَهُنَّ وَيُنْفِقَ عَلَيْهِنَّ، وَأَرَدْنَ أَنْ يَكْتَسِبْنَ لِأَنْفُسِهِنَّ وَيُنْفِقْنَ مِنْ كَسْبِهِنَّ فِيهِ وَجْهَانِ:

Hukum kedua: Ia tetap wajib menanggung nafkah para perempuan dan nafkah para budak perempuan, meskipun mereka diharamkan baginya, karena keharaman mereka dinisbatkan kepadanya, dan karena nafkah mereka telah wajib sebelum adanya keraguan, maka kewajiban itu tidak gugur karena keraguan. Namun, hak pembagian giliran bagi para perempuan gugur karena keharaman mereka, sebagaimana halnya perempuan yang diharamkan karena riddah (murtad) dan ihram. Penghasilan para budak perempuan juga ditangguhkan, baik mereka sendiri maupun tuannya tidak boleh mengelolanya, hingga dipastikan kemerdekaan mereka; jika mereka telah merdeka, maka mereka berhak atas kelebihan dari penghasilan mereka atau nafkah mereka menjadi milik tuan. Jika tuan ingin mempekerjakan mereka dan menafkahi mereka, dan mereka ingin bekerja untuk diri mereka sendiri dan menafkahi diri mereka dari penghasilan mereka, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ السَّيِّدِ تَغْلِيبًا لِسَابِقِ الْمِلِكِ.

Salah satunya: Pendapat yang diutamakan adalah pendapat tuan, dengan mengedepankan kepemilikan sebelumnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهُنَّ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ التَّحْرِيمِ.

Pendapat kedua: Pendapat mereka yang diutamakan, dengan mengedepankan hukum keharaman.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالْحُكْمُ الْآخَرُ أَنْ يُؤْخَذَ بِبَيَانِ الْحِنْثِ، هَلْ كَانَ فِي طَلَاقِ النِّسَاءِ أَوْ عِتْقِ الْإِمَاءِ وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ بَيَانٌ فَإِنَّ بَيَّنَ شَيْئًا قُبِلَ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ مَقْبُولَ الْقَوْلِ فِي وُقُوعِ الْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ كَانَ مَقْبُولَ الْبَيَانِ فِي الصِّفَةِ الَّتِي يَقَعُ بِهَا الْعِتْقُ وَالطَّلَاقُ، فَإِنْ قَالَ: كَانَ الْحِنْثُ بِطَلَاقِ النِّسَاءِ، لِأَنَّ الطَّائِرَ كَانَ غُرَابًا طُلِّقَ النِّسَاءُ بِإِقْرَارِهِ، فَإِنْ صَدَّقَهُ الْإِمَاءُ كُنَّ عَلَى رِقِّهِنَّ، وَلَا يَمِينَ، عَلَيْهِ، وَإِنْ كَذَّبْنَهُ حَلَفَ لَهُنَّ وَكُنَّ عَلَى رِقِّهِنَّ، فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ لَهُنَّ، رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَيْهِنَّ، فَإِذَا حَلَفْنَ عُتِقْنَ بِأَيْمَانِهِنَّ بَعْدَ نُكُولِهِ وَطُلِّقَ النِّسَاءُ بِإِقْرَارِهِ فَلَوْ أَكْذَبْنَهُ وَلَمْ يَكُنْ إِحْلَافُهُ، فَهَلْ يُحَلِّفُهُ الْحَاكِمُ أم لا؟ عل وَجْهَيْنِ:

Hukum lainnya adalah bahwa penjelasan mengenai pelanggaran (ḥinth) harus diambil, apakah itu berupa talak terhadap para perempuan atau pembebasan para budak perempuan. Jika ia memiliki penjelasan, maka penjelasannya diterima; karena ketika ucapannya diterima dalam terjadinya pembebasan dan talak, maka penjelasannya juga diterima dalam sifat yang menyebabkan terjadinya pembebasan dan talak. Jika ia berkata: “Pelanggaran itu berupa talak terhadap para perempuan, karena burung itu adalah gagak,” maka para perempuan ditalak berdasarkan pengakuannya. Jika para budak perempuan membenarkannya, maka mereka tetap dalam status budak dan tidak ada sumpah atasnya. Jika mereka mendustakannya, maka ia harus bersumpah untuk mereka dan mereka tetap dalam status budak. Jika ia enggan bersumpah untuk mereka, maka sumpah itu dikembalikan kepada mereka; jika mereka bersumpah, maka mereka merdeka dengan sumpah mereka setelah ia enggan, dan para perempuan ditalak berdasarkan pengakuannya. Jika mereka mendustakannya dan ia tidak disumpah, apakah hakim akan menyuruhnya bersumpah atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُحَلِّفُهُ؛ لِأَنَّ فِي عِتْقِهِنَّ حَقًّا لِلَّهِ تَعَالَى.

Salah satunya: Hakim menyuruhnya bersumpah, karena dalam pembebasan mereka terdapat hak Allah Ta‘ala.

وَالثَّانِي: لَا يُحَلِّفُهُ لِأَنَّ قَوْلَهُنَّ فِي تَصْدِيقِهِ مَقْبُولٌ بِغَيْرِ يَمِينٍ، وَلَوْ تَجَرَّدَ في حق الله تعالى يحلفن إن صدفه فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ مِنْ حُقُوقِهِنَّ، وَإِنْ قَالَ: كَانَ الْحِنْثُ بِعِتْقِ الْإِمَاءِ؛ لِأَنَّ الطَّائِرَ لَمْ يَكُنْ غُرَابًا عَتَقَ الْإِمَاءُ وَإِنْ صَدَّقْنَهُ النِّسَاءُ، وَإِلَّا حَلَفَ لَهُنَّ، ثُمَّ هُنَّ بَعْدَ إِمَائِهِ زَوْجَاتٌ، فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ لَهُنَّ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَيْهِنَّ، فَإِذَا حَلَفْنَ طُلِّقْنَ بِأَيْمَانِهِنَّ بَعْدَ نُكُولِهِ، وَعَتَقَ الْإِمَاءُ باقراره، وإن أمسك عن الْبَيَانَ فَلَمْ يُبَيِّنْ طَلَاقَ النِّسَاءِ، وَلَا عِتْقَ الإماء نظر في إمساكه، فإن كان في عِلْمِهِ بِالْحَالِ حُبِسَ لَهُنَّ حَتَّى يُبَيِّنَ، وَإِنْ كَانَ إِمْسَاكُهُ عَنِ الْبَيَانِ لِجَهْلِهِ بِالْحَالِ لَمْ يُحْبَسْ، وَكَانَ النِّسَاءُ وَالْإِمَاءُ مَوْقُوفَاتٍ عَلَى التَّحْرِيمِ مَا بَقِيَ حَتَّى يَمُوتَ، فَلَوْ قَالَ: أَمْسَكْتُ عَنِ الْبَيَانِ لِخَفَائِهِ عَلَيَّ، وَقُلْنَ بَلْ أَمْسَكَ عَنْهُ مَعَ عِلْمِهِ بِهِ، أُحْلِفَ لَهُنَّ وَلَمْ يُحْبَسْنَ، وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَيْهِنَّ وَيُحْبَسُ لَهُنَّ، وَرُجِعَ إِلَى بَيَانِهِنَّ إِنْ كَانَ عِنْدَهُنَّ عِلْمٌ، كَمَا يَجُوزُ رَدُّ الْيَمِينِ عَلَيْهِنَّ، فَإِذَا نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ لَهُنَّ، فَإِنِ اتَّفَقَ الْفَرِيقَانِ عَلَى أَنَّ الْحِنْثَ كَانَ بِطَلَاقِ النِّسَاءِ لِأَنَّ الطَّائِرَ كَانَ غُرَابًا حَلَفَ النِّسَاءُ، وَلَمْ يحلف الإماء، وطلق النساء بأيمانهن ولم يرق الْإِمَاءُ؛ لِشَكِّ السَّيِّدِ فِي عِتْقِهِنَّ.

Kedua: Ia tidak menyuruh mereka bersumpah, karena ucapan mereka dalam membenarkannya diterima tanpa sumpah. Namun, jika perkara itu murni hak Allah Ta‘ala, maka mereka bersumpah jika membenarkannya. Ini menunjukkan bahwa perkara tersebut termasuk hak mereka. Jika ia berkata: pelanggaran sumpah itu dengan memerdekakan budak perempuan, karena burung itu bukan gagak, maka budak-budak perempuan itu merdeka meskipun para istri membenarkannya. Jika tidak, ia bersumpah kepada mereka, kemudian setelah budak-budak itu menjadi merdeka, mereka menjadi istri-istrinya. Jika ia enggan bersumpah kepada mereka, maka sumpah itu dikembalikan kepada mereka. Jika mereka bersumpah, maka mereka dicerai dengan sumpah mereka setelah ia enggan, dan budak-budak perempuan itu merdeka dengan pengakuannya. Jika ia diam dan tidak menjelaskan apakah yang terjadi adalah talak istri atau memerdekakan budak, maka dilihat alasan diamnya. Jika ia mengetahui keadaannya, maka ia ditahan sampai menjelaskan. Jika ia diam karena tidak tahu keadaannya, maka ia tidak ditahan, dan status para istri dan budak perempuan tetap tergantung pada keharaman selama ia masih hidup hingga ia wafat. Jika ia berkata: “Aku diam karena tidak tahu,” dan mereka berkata: “Bahkan ia diam padahal ia tahu,” maka ia disuruh bersumpah kepada mereka dan mereka tidak ditahan. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada mereka dan ia ditahan untuk mereka, dan kembali kepada penjelasan mereka jika mereka mengetahui keadaannya, sebagaimana boleh mengembalikan sumpah kepada mereka. Jika ia enggan bersumpah kepada mereka, dan kedua pihak sepakat bahwa pelanggaran sumpah itu berupa talak istri karena burung itu adalah gagak, maka para istri bersumpah dan budak perempuan tidak bersumpah, dan para istri dicerai dengan sumpah mereka dan budak perempuan tidak dimerdekakan karena tuan mereka ragu dalam memerdekakan mereka.

وَإِنِ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْحِنْثَ كَانَ بِعِتْقِ الْإِمَاءِ، لِأَنَّ الطَّائِرَ لَمْ يَكُنْ غُرَابًا حَلَفْنَ دُونَ النِّسَاءِ، وَعَتَقْنَ بِأَيْمَانِهِنَّ، وَلَمْ يُحِلَّ النِّسَاءَ لِشَكِّ الزَّوْجِ فِي طَلَاقِهِنَّ.

Jika mereka sepakat bahwa pelanggaran sumpah itu berupa memerdekakan budak perempuan karena burung itu bukan gagak, maka budak-budak perempuan bersumpah tanpa para istri, dan mereka merdeka dengan sumpah mereka, dan para istri tidak dicerai karena suami ragu dalam menceraikan mereka.

وَإِنِ اخْتَلَفَ الْفَرِيقَانِ فَادَّعَى النِّسَاءُ الْحِنْثَ بِطَلَاقِهِنَّ، لِأَنَّ الطَّائِرَ كَانَ غُرَابًا، وَادَّعَى الْإِمَاءُ أَنَّ الْحِنْثَ بِعِتْقِهِنَّ لِأَنَّ الطَّائِرَ لَمْ يَكُنْ غُرَابًا، حَلَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ عَلَى مَا ادَّعَاهُ وَطُلِّقَ النِّسَاءُ بِأَيْمَانِهِنَّ وَعَتَقَ الْإِمَاءُ بِأَيْمَانِهِنَّ.

Jika kedua pihak berselisih, para istri mengklaim bahwa pelanggaran sumpah itu berupa talak mereka karena burung itu adalah gagak, dan budak-budak perempuan mengklaim bahwa pelanggaran sumpah itu berupa memerdekakan mereka karena burung itu bukan gagak, maka masing-masing pihak bersumpah atas klaimnya, dan para istri dicerai dengan sumpah mereka, dan budak-budak perempuan dimerdekakan dengan sumpah mereka.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالْحُكْمُ الرَّابِعُ: إِذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ بَيَانٌ أَوْ كَانَ فَلَمْ يُبَيِّنْ حَتَّى مَاتَ، فَهَلْ يُرْجَعُ إِلَى بَيَانِ وَرَثَتِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: يُرْجَعُ إِلَى بَيَانِهِمْ، لِقِيَامِهِمْ بِالْمَوْتِ مَقَامَهُ، فَعَلَى هَذَا يَقُومُ بَيَانُهُمْ مَقَامَ بَيَانِهِ عَلَى مَا مَضَى.

Hukum keempat: Jika ia tidak memiliki penjelasan atau ia memilikinya namun tidak menjelaskannya hingga ia wafat, apakah kembali kepada penjelasan ahli warisnya atau tidak? Ada dua pendapat: salah satunya, kembali kepada penjelasan mereka, karena dengan kematian, mereka menggantikan posisinya. Maka, menurut pendapat ini, penjelasan mereka menempati posisi penjelasannya sebagaimana yang telah lalu.

وَالْوَجْهُ الثاني: وهو أصح مذهبنا وحجاجاً، أَنَّهُ لَا يُرْجَعُ إِلَى بَيَانِهِمْ، أَمَّا الْمَذْهَبُ فَلِقَوْلِ الشَّافِعِيِّ هَاهُنَا، فَإِنْ مَاتَ أُقْرِعَ بَيْنَهُنَّ، وَلَمْ يَقُلْ إِنَّهُ يُرْجَعُ إِلَى بَيَانِ وَرَثَتِهِ، فَأَمَّا الْحِجَاجُ فَلِأَنَّهُمْ يَأْخُذُونَ الْبَيَانَ عَنْهُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ فَهُمْ بِذَلِكَ أَوْلَى، وَلِأَنَّهُمْ لَا يَقَعُ مِنْهُمُ الطَّلَاقُ فَلَمْ يُرْجَعْ إِلَيْهِمْ فِي بَيَانِهِ، فَعَلَى هَذَا يُقْرَعُ بَيْنَ الْإِمَاءِ وَالنِّسَاءِ سَوَاءٌ كَانَ عِنْدَ الْوَرَثَةِ أَمْ لَا، وَهَكَذَا لَوْ رُجِعَ إِلَى بَيَانِهِمْ فَلَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ بَيَانٌ أُقْرِعَ بَيْنَهُمْ وَإِذَا وَجَبَ الْإِقْرَاعُ بَيْنَهُمْ جُمِعَ بَيْنَ النِّسَاءِ فِي قُرْعَةٍ، وَبَيْنَ الْإِمَاءِ فِي قُرْعَةٍ، وَأُخْرِجَتْ عَلَى الْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ لأن العتق قد خلا فِي الْقُرْعَةِ فَدَخَلَتْ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، فَإِنْ قِيلَ: وَلَيْسَ لِلطَّلَاقِ مَدْخَلٌ فِي الْقُرْعَةِ فَلِمَ دَخَلَتْ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، وَفِي ذَلِكَ إِدْخَالُ قُرْعَةٍ فِي شَيْئَيْنِ لَيْسَ لِأَحَدِهِمَا مَدْخَلٌ فِي الْقُرْعَةِ قِيلَ: قَدْ يَجُوزُ إِذَا لَمْ يَثْبُتْ حُكْمُ الشَّيْئَيْنِ بِسَبَبٍ وَاحِدٍ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ بِهِ إِحْدَاهُمَا، كَمَا أَنَّ الْقَطْعَ مَعَ الْعَزْمِ في السَّرِقَةِ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ وَيَجُوزُ أَنْ يَثْبُتَ الْعَزْمُ وَحْدَهُ بِالشَّاهِدِ وَالْمَرْأَتَيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ بِهِ الْقَطْعُ.

Pendapat kedua, yang merupakan mazhab kami yang paling sahih dan paling kuat secara argumentasi, adalah bahwa tidak dikembalikan kepada penjelasan mereka. Adapun dari sisi mazhab, hal itu berdasarkan perkataan asy-Syafi‘i di sini: “Jika ia wafat, maka dilakukan undian di antara mereka,” dan beliau tidak mengatakan bahwa dikembalikan kepada penjelasan para ahli warisnya. Adapun dari sisi argumentasi, karena mereka mengambil penjelasan dari orang yang bersangkutan, maka jika penjelasan itu tidak ada padanya, mereka lebih utama untuk tidak dijadikan rujukan. Selain itu, karena para ahli waris tidak melakukan talak, maka tidak dikembalikan kepada mereka dalam penjelasan masalah ini. Oleh karena itu, dilakukan undian di antara para budak perempuan dan para istri, baik ada ahli waris atau tidak. Demikian pula, jika dikembalikan kepada penjelasan mereka namun mereka tidak memiliki penjelasan, maka dilakukan undian di antara mereka. Jika memang harus dilakukan undian di antara mereka, maka para istri dikumpulkan dalam satu undian, dan para budak perempuan dalam undian yang lain, lalu diundi untuk menentukan siapa yang mendapatkan kemerdekaan dan siapa yang terkena talak. Karena kemerdekaan bisa terjadi melalui undian, maka dalam hal ini talak pun masuk. Jika ada yang bertanya: “Talak tidak termasuk dalam undian, lalu mengapa dalam hal ini talak dimasukkan ke dalam undian, padahal itu berarti memasukkan undian pada dua hal yang salah satunya tidak termasuk dalam undian?” Maka dijawab: Hal itu boleh jika hukum dua hal tersebut tidak dapat ditetapkan dengan satu sebab yang sama, meskipun salah satunya tidak dapat ditetapkan dengan sebab itu. Sebagaimana hukuman potong tangan karena mencuri dengan niat tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dua saksi, namun niat saja bisa ditetapkan dengan satu saksi laki-laki dan dua perempuan, meskipun dengan itu tidak dapat ditetapkan hukuman potong tangan.

(فَصْلٌ:)

(Fashl / Pasal:)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْقُرْعَةِ فَإِنْ رَجَعَتْ بِقُرْعَةِ الْإِمَاءِ عَتَقْنَ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَقَدَ الْيَمِينَ فِي الْمَرَضِ فَيَعْتِقْنَ مِنَ الثُّلُثِ، وَكَانَ النِّسَاءُ زَوْجَاتٍ يُحْكَمُ لَهُنَّ بِالْمِيرَاثِ، لِأَنَّ الْإِرْثَ مُسْتَحَقٌّ قَبْلَ الشَّكِّ فَلِمَ سَقَطَ بِالشَّكِّ كَالنَّفَقَةِ؟ وَإِنْ خرجت القرعة على النساء لم يطلق وَرقَّ الْإِمَاءُ وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: يُطَلَّقُ النِّسَاءُ بِالْقُرْعَةِ كَمَا يَعْتِقُ الْإِمَاءُ بِهَا، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْعِتْقَ وَالطَّلَاقَ يَجْتَمِعَانِ فِي وُقُوعِهِمَا عَلَى الْجَهَالَةِ وَالْغَرَرِ، فَوَجَبَ أَنْ يَجْتَمِعَا فِي دُخُولِ الْقُرْعَةِ فِيهِمَا، وَلِأَنَّهَا دَاخِلَةٌ فِي تَمْيِيزِ الْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ، فَكَذَلِكَ فِي تَمْيِيزِ الطَّلَاقِ مِنَ الْعِتْقِ. وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّهُ لَوْ طَلَّقَ وَاحِدَةً مِنْ نِسَائِهِ لَا بِعَيْنِهَا لَمْ يَقَعْ بَيْنَهُنَّ. وَلَوْ أَعْتَقَ وَاحِدَةً مِنْ إِمَائِهِ أَوْ عَبِيدِهِ أُقْرِعَ بَيْنَهُنَّ، فَدَلَّ عَلَى دُخُولِ الْقُرْعَةِ فِي الْعِتْقِ دُونَ الطَّلَاقِ، وَإِنَّمَا دَخَلَتِ الْقُرْعَةُ فِي الْعِتْقِ، لِأَنَّ الْعِتْقَ مَحِلُّهُ الْمِلْكُ وَالْقُرْعَةُ تَدْخُلُ فِي الْمَالِ، فَجَازَ أَنْ تَدْخُلَ فِيمَا يَكُونُ مَحِلُّهُ فِي الْمِلْكِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ، لِأَنَّ مَحِلَّهُ النِّكَاحُ، وَالْقُرْعَةُ لَا تَدْخُلُ فِي النِّكَاحِ، فَلَمْ تَدْخُلْ فِيمَا يَكُونُ مَحِلُّهُ النِّكَاحُ، فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ خُرُوجَ الْقُرْعَةِ عَلَى النِّسَاءِ لَا يُوقِعُ عَلَيْهِنَّ الطَّلَاقَ فَلَهُنَّ الْمِيرَاثُ، لِأَنَّهُ لَا يَثْبُتُ مَا يُسْقِطُهُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِيهِنَّ مَنِ ادَّعَتْ طلاقها يكون الطَّائِرِ غُرَابًا فَلَا تَرِثُ لِإِخْبَارِهَا بِسُقُوطِ الْإِرْثِ، فَأَمَّا الْإِمَاءُ فَيَثْبُتُ لَهُنَّ حُكْمُ الرِّقِّ بِخُرُوجِهِنَّ مِنَ الْقُرْعَةِ، وَيَجُوزُ لِلْوَرَثَةِ التَّصَرُّفُ فِيهِنَّ لِثُبُوتِ رِقِّهِنَّ، فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا مُنِعَ الْوَرَثَةُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِيهِنَّ كَمَا مُنِعَ السَّيِّدُ، قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ السَّيِّدَ اجْتَمَعَ فِي مِلْكِهِ الْمَحْظُورُ وَالْمُبَاحُ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ الْإِمَاءَ وَأَبْضَاعَ النِّسَاءِ، فَغَلَبَ حُكْمُ الْحَظْرِ عَلَى الْإِبَاحَةِ، لِاجْتِمَاعِهِمَا يَقِينًا، وَلَيْسَ كذلك للورثة، لأنهمن لا يملكون أَحَدَ الْفَرِيقَيْنِ، وَهُمُ الْإِمَاءُ دُونَ أَبْضَاعِ النِّسَاءِ، فَلَمْ يَجْتَمِعِ الْحَظْرُ وَالْإِبَاحَةُ، فَكَذَلِكَ لَمْ يَغْلِبْ حُكْمُ الْحَظْرِ عَلَى الْإِبَاحَةِ وَصَارَ مِلْكًا شُكَّ في حظره بعد الإباحة فأعثر فِيهِ أَصْلُ الْإِبَاحَةِ، فَإِذَا صَحَّ كَوْنُ الْإِمَاءِ مِلْكًا لِلْوَرَثَةِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ارْتِفَاعِ الشُّبْهَةِ عَنْهُنَّ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apabila telah tetap kebolehan menggunakan undian (al-qur‘ah), maka jika hasil undian jatuh pada para budak perempuan (al-imā’), mereka dimerdekakan dari harta pokok, kecuali jika sumpah itu diikrarkan dalam keadaan sakit, maka mereka dimerdekakan dari sepertiga harta. Adapun para istri tetap berstatus sebagai istri dan diputuskan berhak atas warisan, karena hak waris telah tetap sebelum adanya keraguan, maka mengapa hak itu gugur hanya karena keraguan, sebagaimana nafkah? Jika undian jatuh pada para istri, maka mereka tidak dicerai, sedangkan para budak perempuan tetap berstatus budak. Abu Tsaur berpendapat: para istri dapat dicerai melalui undian sebagaimana para budak perempuan dimerdekakan dengannya, dengan alasan bahwa pemerdekaan (al-‘itq) dan talak sama-sama dapat terjadi dalam keadaan tidak jelas dan mengandung unsur gharar, maka keduanya seharusnya sama-sama dapat dilakukan dengan undian, dan karena undian termasuk dalam membedakan antara pemerdekaan dan talak, maka demikian pula dalam membedakan talak dari pemerdekaan. Namun, pendapat ini keliru, karena jika seseorang menalak salah satu dari istrinya tanpa menyebutkan secara spesifik, maka talak tidak jatuh pada salah satu dari mereka. Tetapi jika ia memerdekakan salah satu dari budak perempuan atau budak laki-lakinya, maka dilakukan undian di antara mereka. Hal ini menunjukkan bahwa undian berlaku dalam pemerdekaan, bukan dalam talak. Undian masuk dalam pemerdekaan karena pemerdekaan berkaitan dengan kepemilikan, sedangkan undian berlaku dalam urusan harta, sehingga boleh diterapkan pada sesuatu yang berkaitan dengan kepemilikan. Tidak demikian halnya dengan talak, karena talak berkaitan dengan pernikahan, sedangkan undian tidak berlaku dalam pernikahan, sehingga tidak dapat diterapkan pada sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan. Maka, jika telah dipastikan bahwa hasil undian yang jatuh pada para istri tidak menyebabkan jatuhnya talak atas mereka, maka mereka tetap berhak atas warisan, karena tidak ada sesuatu yang membatalkan hak waris tersebut, kecuali jika di antara mereka ada yang mengaku telah ditalak, maka ia tidak mewarisi karena pengakuannya sendiri telah menggugurkan hak waris. Adapun para budak perempuan, maka tetap berlaku hukum perbudakan atas mereka karena hasil undian, dan para ahli waris boleh memperlakukan mereka sebagai budak karena status perbudakan mereka telah tetap. Jika ada yang bertanya: mengapa para ahli waris tidak dilarang memperlakukan mereka sebagaimana tuan mereka dilarang? Maka jawabannya adalah perbedaannya terletak pada bahwa tuan mereka memiliki dua hal sekaligus, yaitu yang terlarang dan yang dibolehkan, karena ia memiliki para budak perempuan dan juga hak atas kemaluan para istri, sehingga hukum larangan lebih dominan atas kebolehan karena keduanya berkumpul secara pasti. Tidak demikian halnya dengan para ahli waris, karena mereka tidak memiliki kedua kelompok tersebut, mereka hanya memiliki para budak perempuan tanpa hak atas kemaluan para istri, sehingga larangan dan kebolehan tidak berkumpul, maka hukum larangan tidak lebih dominan atas kebolehan. Kepemilikan itu menjadi sesuatu yang diragukan larangannya setelah sebelumnya dibolehkan, maka yang berlaku adalah hukum asal kebolehan. Jika telah sah bahwa para budak perempuan menjadi milik para ahli waris, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai hilangnya syubhat dari mereka menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَرْتَفِعُ الشُّبْهَةُ عَنْهُنَّ لِلشَّكِّ الْمُتَقَدِّمِ فِي عِتْقِهِنَّ، وَأَنَّ الْقُرْعَةَ لَمْ تَدْخُلْ لِتَحْقِيقِ مَا وَقَعَتْ عَلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ، فَأَوْلَى أَنْ لَا تَدْخُلَ لِتَحْقِيقِ مَا لَمْ يَقَعْ عَلَيْهِ مِنَ الْعِتْقِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ لِلْوَرَثَةِ الِاسْتِمْتَاعُ بِهِنَّ، وَيَجُوزُ التَّوَصُّلُ إِلَى أَخْذِ أَثْمَانِهِنَّ وَيَمْلِك كَسْبَهُنَّ وَلَوْ وُزِّعُوا كَانَ أَوْلَى.

Pertama: Syubhat tidak hilang dari mereka karena adanya keraguan sebelumnya dalam pemerdekaan mereka, dan undian tidak masuk untuk memastikan terjadinya talak, maka lebih utama lagi tidak masuk untuk memastikan tidak terjadinya pemerdekaan. Berdasarkan pendapat ini, para ahli waris tidak boleh menikmati mereka, tetapi boleh mengambil harga mereka dan memiliki hasil kerja mereka, dan jika mereka dibagi-bagikan, itu lebih utama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الشُّبْهَةَ عَنْ رِقِّهِنَّ مُرْتَفِعَةٌ، لِأَنَّ الْقُرْعَةَ تَضَمَّنَتْ نَفْيًا وَإِثْبَاتًا. أَمَّا النَّفْيُ فَنَفْيُ عِتْقِ الْإِمَاءِ. وَأَمَّا الإثبات فإثبات طلاق النساء، فإذا لم يعمل فِي إِثْبَاتِ الطَّلَاقِ لَمْ يَتَحَقَّقْ، وَإِذَا عَمِلَتْ فِي نَفْيِ الْعِتْقِ تَحَقَّقَ، فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ لَهُمْ وَطْءُ الْإِمَاءِ وَالتَّصَرُّفُ فِيهِنَّ كَيْفَ شَاءُوا.

Pendapat kedua: Syubhat atas status perbudakan mereka telah hilang, karena undian mengandung unsur penafian dan penetapan. Penafian adalah penafian pemerdekaan para budak perempuan, sedangkan penetapan adalah penetapan talak atas para istri. Jika undian tidak berlaku dalam penetapan talak, maka talak tidak terjadi, dan jika undian berlaku dalam penafian pemerdekaan, maka penafian itu sah. Berdasarkan pendapat ini, para ahli waris boleh menggauli para budak perempuan dan memperlakukan mereka sesuka hati.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ: إِنْ كَانَ هَذَا الطَّائِرُ غُرَابًا فَنِسَائِي طَوَالِقُ، وَإِنْ كَانَ حَمَامًا فَإِمَائِي أَحْرَارٌ فَطَارَ وَلَمْ يَعْلَمْ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا حِنْثَ عَلَيْهِ بِطَلَاقٍ وَلَا عِتْقٍ، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الطَّائِرُ لَيْسَ بِغُرَابٍ وَلَا حَمَامٍ فَلَمْ يَتَحَقَّقِ الْحِنْثُ. وَلَيْسَ كالذي يقدم إِنْ كَانَ غُرَابًا أَوْ غَيْرَ غُرَابٍ، لِأَنَّهُ لَا يَنْفَكُّ مِنْ أَحَدِهِمَا.

Apabila seorang laki-laki berkata: “Jika burung ini adalah burung gagak maka istri-istriku tertalak, dan jika burung ini adalah burung merpati maka budak-budakku merdeka.” Lalu burung itu terbang dan ia tidak mengetahui apakah burung itu gagak atau merpati, maka dalam keadaan seperti ini tidak ada kewajiban baginya baik berupa talak maupun pembebasan budak, karena bisa jadi burung itu bukan gagak dan bukan pula merpati, sehingga tidak dapat dipastikan terjadinya pelanggaran sumpah (ḥinth). Ini tidak seperti orang yang mengajukan syarat: “Jika ini gagak atau bukan gagak,” karena pasti salah satunya akan terjadi.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ أَنَّ رَجُلَيْنِ قَالَ أَحَدُهُمَا: إِنْ كَانَ هَذَا الطَّائِرُ غُرَابًا فَنِسَائِي طَوَالِقُ، وَقَالَ آخَرُ: إِنْ لَمْ يَكُنْ غُرَابًا فَعَبِيدِي أَحْرَارٌ، فَطَارَ وَلَمْ يُعْلَمْ أَغْرَابًا كَانَ أَوْ غَيْرَ غُرَابٍ فَلَا حِنْثَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلِلزَّوْجِ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِنِسَائِهِ، وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي عَبِيدِهِ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا شَاكٌّ فِي الْحِنْثِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ حِنْثٌ، وَخَالَفَ اجْتِمَاعَهُمَا فِي مِلْكٍ وَاحِدٍ، لِأَنَّ الْحِنْثَ يَقِينٌ وَإِنْ جُهِلَ تَعْيِينُهُ.

Jika ada dua orang laki-laki, salah satunya berkata: “Jika burung ini adalah burung gagak maka istri-istriku tertalak,” dan yang lain berkata: “Jika bukan burung gagak maka budak-budakku merdeka.” Lalu burung itu terbang dan tidak diketahui apakah itu gagak atau bukan, maka tidak ada pelanggaran sumpah pada salah satu dari keduanya, dan suami tetap boleh menikmati istrinya, serta tuan tetap boleh memperlakukan budaknya, karena masing-masing dari mereka ragu terhadap terjadinya pelanggaran sumpah, sehingga tidak wajib baginya pelanggaran tersebut. Ini berbeda dengan jika keduanya berkumpul dalam satu kepemilikan, karena pelanggaran sumpah itu pasti terjadi meskipun penentuannya tidak diketahui.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا قَالَ رَجُلَانِ وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَبْدٌ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا: إِنْ كَانَ هَذَا الطَّائِرُ غُرَابًا فَعَبْدِي حُرٌّ، وَقَالَ الْآخَرُ: إِنْ لَمْ يَكُنْ غُرَابًا فعبدي حر فطار وَلَمْ يَعْلَمْ أَغُرَابٌ كَانَ أَوْ غَيْرُ غُرَابٍ لَمْ يَعْتَقْ عَبْدُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِشَكِّهِ فِي عِتْقِهِ، فَإِنِ اشْتَرَى أَحَدُهُمَا عَبْدَ الْآخِرِ فَصَارَا مَعًا فِي مِلْكِ أَحَدِهِمَا نُظِرَ، فَإِنْ تَكَاذَبَا عَتَقَ عَلَى الْمُشْتَرِي الْعَبْدُ الَّذِي اشْتَرَاهُ، لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِحُرِّيَّتِهِ، وَعَبْدُهُ الْأَوَّلُ عَلَى رِقِّهِ، وَإِنْ لَمْ يَتَكَاذَبَا وَكَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى شَكِّهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ada dua orang laki-laki dan masing-masing dari mereka memiliki seorang budak, lalu salah satunya berkata: “Jika burung ini adalah burung gagak maka budakku merdeka,” dan yang lain berkata: “Jika bukan burung gagak maka budakku merdeka.” Lalu burung itu terbang dan tidak diketahui apakah itu gagak atau bukan, maka tidak ada satu pun budak dari keduanya yang merdeka karena masing-masing ragu terhadap pembebasan budaknya. Jika salah satu dari mereka membeli budak milik yang lain sehingga keduanya berada dalam kepemilikan salah satu dari mereka, maka perlu dilihat: jika keduanya saling mendustakan, maka budak yang dibeli menjadi merdeka atas pembelinya, karena ia mengakui kemerdekaannya, sedangkan budaknya yang pertama tetap dalam status budak. Jika keduanya tidak saling mendustakan dan masing-masing masih dalam keraguannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ تَعَيَّنَ عَلَى الْمُشْتَرِي عِتْقُ أَحَدِهِمَا، كَمَا لَوْ قَالَ ذَلِكَ وَهُمَا فِي مِلْكِهِ، لِاجْتِمَاعِهِمَا الْآنَ فِي مِلْكِهِ فَعَلَى هَذَا يُمْنَعُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِيهِمَا حَتَّى يُبَيَّنَ الْحُرُّ مِنْهُمَا.

Salah satunya: bahwa telah ditentukan atas pembeli untuk memerdekakan salah satu dari keduanya, sebagaimana jika ia mengucapkan hal itu sementara keduanya berada dalam kepemilikannya, karena sekarang keduanya telah berkumpul dalam kepemilikannya. Maka berdasarkan pendapat ini, ia dilarang memperlakukan keduanya sampai jelas siapa di antara mereka yang merdeka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا عِتْقَ عَلَيْهِ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ السَّيِّدَيْنِ قَدْ كَانَ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي عَبْدِهِ بَعْدَ الْيَمِينِ. وَكَذَلِكَ إِذَا اجْتَمَعَ فِي مِلْكِ أَحَدِهِمَا وَلَكِنْ لَوْ تنازع كل واحد منهما عبد الآخر فكان كانا تكاذبا اعتق عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا الْعَبْدُ الَّذِي اشْتَرَاهُ وَإِنْ لَمْ يَتَكَاذَبَا جَازَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي الْعَبْدِ الَّذِي اشْتَرَاهُ وَجْهًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُمَا لَمْ يَجْتَمِعَا فِي مَلْكٍ وَمُشْتَرِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَقُومُ مَقَامَ بَائِعِهِ فِيهِ والله أعلم.

Pendapat kedua: bahwa tidak ada kewajiban memerdekakan salah satu dari keduanya, karena masing-masing dari kedua tuan sebelumnya boleh memperlakukan budaknya setelah sumpah. Demikian pula jika keduanya berkumpul dalam kepemilikan salah satu dari mereka. Namun, jika masing-masing dari mereka memperdebatkan budak milik yang lain sehingga keduanya saling mendustakan, maka budak yang dibeli menjadi merdeka atas masing-masing dari mereka. Jika keduanya tidak saling mendustakan, maka masing-masing boleh memperlakukan budak yang dibelinya tanpa keraguan, karena keduanya tidak berkumpul dalam satu kepemilikan, dan pembeli dari masing-masing mereka menempati posisi penjualnya dalam hal tersebut. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ إِحْدَاكُمَا طَالِقٌ ثَلَاثًا مُنِعَ مِنْهُمَا وَأُخِذَ بِنَفَقَتِهِمَا حَتَى يُبَيِّنَ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia berkata: ‘Salah satu dari kalian tertalak tiga kali,’ maka ia dilarang memperlakukan keduanya dan tetap wajib menafkahi keduanya sampai jelas (siapa yang tertalak).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صحيح.

Al-Māwardī berkata: “Dan ini benar.”

إذ قَالَ وَلَهُ زَوْجَتَانِ: إِحْدَاكُمَا طَالِقٌ ثَلَاثًا، طُلِّقَتْ إِحْدَاهُمَا دُونَ الْأُخْرَى.

Jika ia berkata dan ia memiliki dua istri: “Salah satu dari kalian tertalak tiga kali,” maka salah satu dari keduanya tertalak tanpa yang lain.

وَقَالَ مَالِكٌ: طُلِّقَتَا مَعًا، لِأَنَّ إِرْسَالَ الطَّلَاقِ عَلَيْهِمَا يَجْعَلُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ منهما حظاً فَطُلِّقَتَا، كَمَا لَوْ شَرَكَ بَيْنَهُمَا. وَقَالَ دَاوُدُ: لَا طَلَاقَ عَلَى وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا، كَمَا لَوْ قَالَ: لِأَحَدِ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ عَلَيَّ أَلْفُ دِرْهَمٍ لَمْ يَلْزَمْهُ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا شَيْءٌ. وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ مَدْخُولٌ وَيَلْزَمُهُ طَلَاقُ إِحْدَاهُمَا دُونَ الْأُخْرَى لِرِوَايَةِ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ عُمَانَ أَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّ لِي ثَلَاثَ نِسْوَةٍ وَإِنِّي طَلَّقْتُ إِحْدَاهُنَّ، فَثَبَتَ طَلَاقُهَا فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنْ كُنْتَ نَوَيْتَ طَلَاقَ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِعَيْنِهَا، ثُمَّ أُنْسِيتَهَا فَقَدِ اشْتَرَكْنَ فِي الطَّلَاقِ، كَمَا يَشْتَرِكْنَ فِي الْمِيرَاثِ، وَإِنْ لَمْ تكن نويت واحدة منهما بِعَيْنِهَا، فَطَلِّقْ أَيَّتَهُنَّ شِئْتَ وَأَمْسِكِ الْبَاقِيَتَيْنِ. وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَلَيْسَ أَعْرِفُ لَهُ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفًا فَصَارَ إِجْمَاعًا.

Malik berkata: Keduanya tertalak sekaligus, karena melepaskan talak atas keduanya menjadikan masing-masing dari mereka mendapat bagian, maka keduanya tertalak, sebagaimana jika ia menyekutukan antara keduanya. Dawud berkata: Tidak jatuh talak atas salah satu dari mereka, sebagaimana jika ia berkata: “Salah satu dari dua laki-laki ini, aku berutang seribu dirham kepadanya,” maka tidak wajib atasnya sesuatu pun untuk salah satu dari keduanya. Kedua mazhab ini terdapat kekurangan, dan yang wajib baginya adalah talak salah satu dari mereka saja, bukan yang lainnya, berdasarkan riwayat ‘Atha’ dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki dari penduduk Oman datang kepadanya dan berkata: “Aku memiliki tiga istri dan aku telah menalak salah satu dari mereka.” Maka talaknya tetap berlaku. Ibnu ‘Abbas berkata: “Jika engkau memang berniat menalak salah satu dari mereka secara spesifik, kemudian engkau lupa siapa, maka mereka telah sama-sama masuk dalam talak, sebagaimana mereka sama-sama masuk dalam warisan. Namun jika engkau tidak meniatkan salah satu dari mereka secara spesifik, maka talaklah siapa saja yang engkau kehendaki dan pertahankan dua yang lainnya.” Inilah pendapat Ibnu ‘Abbas, dan aku tidak mengetahui ada sahabat yang menyelisihinya, sehingga menjadi ijmā‘.

وَقَوْلُهُ: إِنْ كُنْتَ نَوَيْتَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ بِعَيْنِهَا، ثُمَّ أُنْسِيتَهَا فَقَدِ اشْتَرَكْنَ فِي الطَّلَاقِ، يَعْنِي فِي تَحْرِيمِ الطَّلَاقِ لَا فِي وُقُوعِهِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ، وَلِأَنَّ الْحَظْرَ وَالْإِبَاحَةَ إِذَا اجْتَمَعَا لَمْ يَغْلِبْ حُكْمُ الْإِبَاحَةِ إِجْمَاعًا، فَسَقَطَ بِهِ قَوْلُ دَاوُدَ، وَإِذَا أَمْكَنَ تَمْيِيزُهَا لَمْ يَغْلِبْ بِهِ حُكْمُ الْحَظْرِ، فَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ مَالِكٍ. وَلِأَنَّهُ لَوْ قَالَ لِعَبْدَيْهِ: أَحَدُكُمَا حُرٌّ، عَتَقَ أَحَدُهُمَا، وَبَيَّنَ الْمُعْتَقَ مِنْهُمَا كَذَلِكَ الطَّلَاقُ وَفِيمَا ذَكَرْنَا انْفِصَالٌ.

Adapun ucapannya: “Jika engkau memang berniat salah satu dari mereka secara spesifik, kemudian engkau lupa siapa, maka mereka telah sama-sama masuk dalam talak,” maksudnya adalah dalam keharaman talak, bukan dalam kejatuhannya, sebagaimana akan kami sebutkan. Karena jika larangan dan kebolehan berkumpul, maka hukum kebolehan tidak mengalahkan secara ijmā‘, sehingga pendapat Dawud gugur karenanya. Jika memungkinkan untuk membedakannya, maka hukum larangan tidak mengalahkan, sehingga pendapat Malik pun batal karenanya. Karena jika seseorang berkata kepada dua budaknya: “Salah satu dari kalian merdeka,” maka salah satu dari mereka merdeka, dan yang dimerdekakan dapat dijelaskan, demikian pula dalam masalah talak, dan dalam apa yang kami sebutkan terdapat perincian.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يُطَلِّقُ إِحْدَاهُمَا دُونَ الْأُخْرَى. فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُطَلَّقَةِ مِنْهُمَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يُعَيِّنَهَا بِاللَّفْظِ أَوْ لَا يُعَيِّنَهَا، فَإِنْ عَيَّنَهَا وَقْتَ لَفْظِهِ وَقَصَدَهَا بِإِشَارَتِهِ أَوْ تَسْمِيَتِهِ فَهِيَ الْمُطَلَّقَةُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَصْرِفَ الطَّلَاقَ عَنْهَا إِلَى غَيْرِهَا. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ نَسِيَهَا وَلَا أُشْكِلَتْ عَلَيْهِ سُئِلَ عَنْهَا وَأُخِذَ بِبَيَانِهَا، وَإِنْ كَانَ قَدْ نَسِيَهَا أَوْ خَفِيَتْ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ طَلَّقَهَا فِي ظُلْمَةٍ أَوْ مِنْ وَرَاءِ جِدَارٍ، وُقِفَ أَمْرُهَا وَأُخِذَ بِبَيَانِهَا بِالْكَشْفِ عَنِ الْحَالَةِ وَالتَّوَصُّلِ إِلَى زَوَالِ الإشكال، فإذ بين أجدهما قَبْلَ قَوْلِهِ، فَإِنْ صُدِّقَ عَلَيْهَا لَمْ يَحْلِفْ وَإِنْ كَذَّبَتَاهُ حَلَفَ لِلْبَاقِيَةِ مِنْهُمَا دُونَ الْمُطَلَّقَةِ، لِأَنَّهُ لَوْ رَجَعَ عَنِ الْمُطَلَّقَةِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ، وَلَوْ رَجَعَ عَنِ الْبَاقِيَةِ قُبِلَ مِنْهُ، وَكَانَ الطَّلَاقُ وَاقِعًا وَقْتَ لَفْظِهِ دُونَ بَيَانِهِ، وَكَذَلِكَ الْفَتْرَةُ عَقِيبَ الطَّلَاقِ، وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنِ الطَّلَاقَ وَقْتَ لَفْظِهِ وَأَرْسَلَهُ بَيْنَهُمَا فَلَهُ أَنْ يُعَيِّنَهُ الْآنَ فِيمَنْ شَاءَ مِنْهُمَا، وَيَكُونَ الْأَمْرُ فِيهِ إِلَى خِيَارِهِ، فَأَيَّتُهُمَا شَاءَ أَنْ يُعَيِّنَهَا بِالطَّلَاقِ فَعَلَ، وَيُؤْخَذُ بِالْبَيَانِ فِي تَعْيِينِ الَّتِي شَاءَ طَلَاقَهَا، فَإِذَا عَيَّنَهَا بِالطَّلَاقِ وَبَيَّنَهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ الطَّلَاقُ وَاقِعًا عَلَيْهَا مَنْ وَقْتِ اللَّفْظِ أَوْ وَقْتِ التَّعْيِينِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa ia menalak salah satu dari mereka saja, bukan yang lainnya, maka keadaan istri yang ditalak di antara mereka tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, ia menentukannya secara lisan, atau kedua, ia tidak menentukannya. Jika ia menentukannya pada saat mengucapkan talak dan menujukannya dengan isyarat atau penyebutan nama, maka dialah yang tertalak dan tidak boleh mengalihkan talak dari dirinya kepada yang lain. Jika ia tidak lupa dan tidak samar baginya, maka ia ditanya tentangnya dan diambil penjelasannya. Jika ia lupa atau samar baginya, misalnya karena menalaknya dalam kegelapan atau dari balik dinding, maka urusannya ditangguhkan dan diambil penjelasannya dengan meneliti keadaan dan berusaha menghilangkan kesamaran. Jika ia dapat menjelaskan salah satunya sebelum mengucapkan, lalu jika penjelasannya dibenarkan, maka ia tidak perlu bersumpah. Namun jika keduanya mendustakannya, maka ia bersumpah untuk yang tersisa di antara mereka, bukan untuk yang tertalak, karena jika ia menarik kembali dari yang tertalak, tidak diterima darinya, dan jika ia menarik kembali dari yang tersisa, diterima darinya. Talak terjadi pada saat pengucapan, bukan pada saat penjelasan, demikian pula masa setelah talak. Jika ia tidak menentukan talak pada saat pengucapan dan melepaskannya di antara mereka, maka ia boleh menentukan sekarang kepada siapa saja yang ia kehendaki di antara mereka, dan urusannya menjadi pilihannya. Siapa saja yang ia kehendaki untuk ditentukan sebagai yang tertalak, maka ia lakukan, dan diambil penjelasannya dalam menentukan siapa yang ia kehendaki untuk ditalak. Jika ia telah menentukannya dengan talak dan menjelaskannya, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah talak jatuh atasnya sejak saat pengucapan atau sejak saat penentuan? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مِنْ وَقْتِ اللَّفْظِ، لِأَنَّهُ أَوْجَبَ الطَّلَاقَ.

Salah satunya: sejak saat pengucapan, karena ia telah mewajibkan talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ مَنْ وَقْتِ التَّعْيِينِ لِأَنَّهُ مَيَّزَ الطَّلَاقَ فَإِذَا قِيلَ بِهَذَا الْوَجْهِ اعْتَدَّتْ مَنْ وَقْتِ التَّعْيِينِ، وَإِذَا قِيلَ بِالْأَوَّلِ فَفِي عِدَّتِهَا وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: مِنْ وَقْتِ وُقُوعِ الطَّلَاقِ، بِاللَّفْظِ؛ لِأَنَّهَا تَتَعَقَّبُ بِالطَّلَاقِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Ibn Abi Hurairah, yaitu dari waktu penentuan (ta‘yīn), karena ia telah membedakan talak. Maka jika dipilih pendapat ini, masa iddah dihitung sejak waktu penentuan. Namun jika dipilih pendapat pertama, maka dalam masa iddahnya ada dua pendapat: salah satunya, dari waktu terjadinya talak dengan lafaz, karena masa iddah mengikuti talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: مِنْ وَقْتِ تَعْيِينِهِ، وَإِنْ تَقَدَّمَ الطَّلَاقُ شَرَعَ بِغَلِيظِ الْأَمْرَيْنِ.

Pendapat kedua: dari waktu penentuannya, meskipun talak telah didahulukan, syariat memilih yang lebih berat di antara dua perkara.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

فَلَوْ قَالَ: إِحْدَاكُمَا طَالِقٌ، وَكَانَ نِكَاحُ إِحْدَاهُمَا فَاسِدًا، وَنِكَاحُ الْأُخْرَى صَحِيحًا فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ مُرْسَلًا غَيْرَ مُعَيَّنٍ وَقَعَ عَلَى الْمَنْكُوحَةِ نِكَاحًا صَحِيحًا، وَلَمْ يُرْجَعْ إِلَى خِيَارِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ إِلَّا عَلَيْهَا، وَكَانَ مُعَيَّنًا فَبَيَّنَ أَنَّهُ أَرَادَ الْمَنْكُوحَةَ نِكَاحًا فَاسِدًا قُبِلَ مِنْهُ هَكَذَا لَوِ اتَّفَقَتِ الزَّوْجَتَانِ فِي الِاسْمِ وَالنَّسَبِ وَنِكَاحُ إِحْدَاهُمَا فَاسِدٌ، فَذُكِرَتْ بِاسْمِهَا وَنَسَبِهَا الَّذِي يَشْتَرِكَانِ فِيهِ، وَقَالَ: أَرَدْتُ الْمَنْكُوحَةَ نِكَاحًا فَاسِدًا قُبِلَ مِنْهُ. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ قَالَ: إِحْدَاكُمَا طَالِقٌ قُبِلَ مِنْهُ، وَإِنِ اشْتَرَكَا فِي الِاسْمِ وَالنَّسَبِ لَمْ يُقْبَلْ، وَوَافَقَنَا فِي الْعَبْدَيْنِ إِذَا اشْتَرَكَا فِي الِاسْمِ، وَشِرَاءُ أَحَدِهِمَا فَاسِدٌ وَشِرَاءُ الْآخَرِ صَحِيحٌ، وَقَالَ يَا فُلَانُ: أَنْتَ حُرٌّ، وَأَرَادَ الْمُشْتَرَى فَاسِدًا قُبِلَ مِنْهُ، كَمَا لَوْ قَالَ: أَحَدُكُمَا حُرٌّ. وَهَذَا حُجَّةٌ عَلَيْهِ فِي الطَّلَاقِ، فَوَجَبَ التَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا، وَاللَّهُ أعلم.

Jika seseorang berkata: “Salah satu dari kalian berdua tertalak,” sementara pernikahan salah satunya fasid (tidak sah) dan pernikahan yang lainnya sah, maka jika talak tersebut bersifat umum dan tidak ditentukan, maka talak jatuh pada istri yang pernikahannya sah, dan tidak kembali kepada pilihannya, karena talak hanya berlaku atasnya. Namun jika talak itu ditentukan, lalu ia menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah istri yang pernikahannya fasid, maka penjelasan itu diterima darinya. Demikian pula jika kedua istri memiliki kesamaan nama dan nasab, dan pernikahan salah satunya fasid, lalu ia menyebutkan nama dan nasab yang sama di antara keduanya, dan berkata: “Aku maksudkan yang pernikahannya fasid,” maka penjelasan itu diterima darinya. Abu Hanifah berkata: Jika ia berkata, “Salah satu dari kalian berdua tertalak,” maka penjelasannya diterima darinya. Namun jika keduanya memiliki kesamaan nama dan nasab, maka tidak diterima. Ia sependapat dengan kami dalam kasus dua budak jika keduanya memiliki nama yang sama, dan pembelian salah satunya fasid dan pembelian yang lainnya sah, lalu ia berkata, “Wahai Fulan, engkau merdeka,” dan yang dimaksud adalah budak yang dibeli secara fasid, maka penjelasan itu diterima darinya, sebagaimana jika ia berkata, “Salah satu dari kalian berdua merdeka.” Ini adalah hujah atasnya dalam masalah talak, sehingga wajib disamakan antara keduanya. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فَإِنْ قَالَ لَمْ أُرِدْ هَذِهِ بِالطَّلَاقِ كَانَ إِقْرَارًا مِنْهُ لِلْأُخْرَى) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia berkata, ‘Aku tidak bermaksud menalak yang ini,’ maka itu merupakan pengakuan darinya untuk yang lainnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا طَلَّقَ إِحْدَى امْرَأَتَيْهِ كَانَ مَأْخُوذًا بِالْبَيَانِ، فإن كان الطلاق معيناً أخذ (تبيين الْمُعَيَّنَةِ مِنْهُمَا) ، وَإِنْ كَانَ مُرْسَلًا عَيَّنَهُ فِيمَنْ شَاءَ مِنْهُمَا، ثُمَّ هُمَا إِلَى وَقْتِ الْبَيَانِ فِي الِاسْتِمْتَاعِ كَالْأَجَانِبِ وَكَالزَّوْجَاتِ فِي النَّفَقَةِ وَإِنَّمَا حُرِّمَتَا مَعًا قَبْلَ الْبَيَانِ، لِأَنَّ الْمُحَرَّمَةَ مِنْهُمَا غَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ عَنِ الْمُبَاحَةِ فَغَلَبَ فِيهِمَا حُكْمُ الْحَظْرِ وَالتَّحْرِيمِ، كَمَا لَوِ اخْتَلَطَتْ زَوْجَتُهُ بِأَجْنَبِيَّةٍ، حُرِّمَتَا عَلَيْهِ فِي حَالِ الِاشْتِبَاهِ حَتَّى يَسْتَبِينَ الزَّوْجَةَ مِنَ الْأَجْنَبِيَّةِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika seseorang menalak salah satu dari dua istrinya, maka ia terikat dengan penjelasan. Jika talak itu ditentukan, maka penjelasan berlaku pada yang ditentukan di antara keduanya. Jika talak itu bersifat umum, maka ia boleh menentukan pada siapa saja di antara keduanya. Sampai waktu penjelasan, keduanya dalam hal hubungan suami istri seperti orang asing, dan dalam hal nafkah seperti para istri. Keduanya diharamkan bersamaan sebelum penjelasan, karena yang diharamkan di antara keduanya tidak dapat dibedakan dari yang halal, sehingga berlaku pada keduanya hukum larangan dan pengharaman, sebagaimana jika istrinya bercampur dengan perempuan asing, maka keduanya diharamkan baginya selama masa ketidakjelasan, hingga dapat dibedakan mana istri dan mana perempuan asing.

وَأَمَّا الْتِزَامُ النَّفَقَةِ فَلِأَنَّ المحرمة منهما محتبسة على بيانه الْعَائِدِ إِلَيْهِ عَنْ زَوْجَتِهِ تَقَدَّمَتْ عَلَيْهِ فَجَرَى مَجْرَى الْمُشْرِكِ إِذَا أَسْلَمَ عَنْ عَشْرِ زَوْجَاتٍ، كَانَ عَلَيْهِ الْتِزَامُ نَفَقَاتِهِنَّ حَتَّى يَخْتَارَ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا يُحْبَسُ عَلَى اخْتِيَارِهِ.

Adapun kewajiban nafkah, karena yang diharamkan di antara keduanya tetap tertahan hingga ada penjelasan yang kembali kepadanya dari istrinya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Maka hal ini seperti orang musyrik yang masuk Islam dengan sepuluh istri, ia wajib menafkahi mereka hingga ia memilih empat di antara mereka, dan ia tetap tertahan hingga ia menentukan pilihannya.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَخْذِهِ بِالْبَيَانِ، لَمْ تَخْلُ الْمُبَيَّنَةُ مِنْ أَنْ يَكُونَ طَلَاقُهَا مُعَيَّنًا أَوْ مُبْهَمًا مُرْسَلًا، فَإِنْ كَانَ مُعَيَّنًا لَمْ يَخْلُ حَالُ بَيَانِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ. إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِالْقَوْلِ أَوْ بِالْوَطْءِ فَإِنْ بُيِّنَ بِالْقَوْلِ صَحَّ، وَهُوَ فِي بَيَانِهِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يُبَيِّنَ الْمُطَلَّقَةَ مِنْهُمَا فَتُبَيَّنُ بِهَا زَوْجَتُهُ الْأُخْرَى، كَقَوْلِهِ وَهُمَا حَفْصَةُ وَعَمْرَةُ: الْمُطَلَّقَةُ هِيَ حَفْصَةُ فَيُعْلَمُ أَنَّ عَمْرَةَ زَوْجَتُهُ، أَوْ يُبَيِّنُ الزَّوْجَةَ مِنْهُمَا، فَيُعْلَمُ أَنَّ الْأُخْرَى هِيَ مُطَلَّقَةٌ، كقوله عمرة هي الزوجة فيعلم أن عمرة هِيَ الْمُطَلَّقَةُ وَلَكِنْ لَوْ كُنَّ ثَلَاثًا كَانَ أَنْجَزُ الْبَيَانَيْنِ بَيَانَ الْمُطَلَّقَةِ، فَيَقُولُ حَفْصَةُ هِيَ الْمُطَلَّقَةُ، فَيُعْلَمُ بِبَيَانِ طَلَاقِهَا أَنَّ مَنْ سِوَاهَا من الأخرتين زَوْجَةٌ احْتَاجَ إِلَى بَيَانٍ ثَانٍ فِي الأُخْرَتَيْنِ، إِمَّا بِأَنْ يُبَيِّنَ الْمُطَلَّقَةَ مِنْهُمَا فَتَكُونَ الْأُخْرَى زَوْجَةً وَإِمَّا أَنْ يُبَيِّنَ الزَّوْجَةَ مِنْهُمَا فَتَكُونَ الْأُخْرَى مُطَلَّقَةً، فَهَذَا حُكْمُ بَيَانِهِ بِالْقَوْلِ، فَأَمَّا بَيَانُهُ بِالْوَطْءِ وَهُوَ أَنْ يَطَأَ إِحْدَاهُمَا، فَلَا يكون وطئه بياناً لزوجته الموطوءة، وتعيين الطَّلَاقِ فِي الْأُخْرَى، فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ الْوَطْءُ بَيَانًا كَمَا لَوْ قَالَ: بَاعَ أَمَتَهُ بِشَرْطِ الْخِيَارِ، ثُمَّ وَطِئَهَا الْبَائِعُ فِي زمان خياره كان وطئه بَيَانًا لِفَسْخِ الْبَيْعِ، لِأَنَّهُ لَا يَطَأُ إِلَّا فِي مِلْكٍ، فَكَذَلِكَ لَا يَطَأُ إِلَّا زَوْجَةً. قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ إِلَّا بِالْقَوْلِ دُونَ الْفِعْلِ، فَلَمْ يَصِحَّ مِنْهُ بَيَانُهُ، وَالْمِلْكُ يَصِحُّ وَيَثْبُتُ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ فَصَحَّ فَسْخُهُ فِي الْبَيْعِ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ.

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan mengenai pengambilan keputusan dengan penjelasan, maka wanita yang dijelaskan (statusnya) tidak lepas dari dua kemungkinan: talaknya ditentukan secara spesifik atau masih samar dan umum. Jika talaknya ditentukan secara spesifik, maka keadaan penjelasannya tidak lepas dari dua hal: bisa dengan ucapan atau dengan hubungan suami istri (jima‘). Jika dijelaskan dengan ucapan, maka sah, dan dalam penjelasannya terdapat dua kemungkinan: bisa jadi ia menjelaskan siapa yang ditalak di antara keduanya, sehingga dengan penjelasan itu diketahui bahwa yang satunya adalah istrinya, seperti ucapannya (misal ia punya dua istri, Hafshah dan ‘Amrah): “Yang ditalak adalah Hafshah,” maka diketahui bahwa ‘Amrah adalah istrinya. Atau ia menjelaskan siapa istrinya di antara keduanya, sehingga diketahui bahwa yang satunya adalah yang ditalak, seperti ucapannya: “‘Amrah adalah istriku,” maka diketahui bahwa Hafshah adalah yang ditalak. Namun, jika istrinya ada tiga, maka penjelasan yang paling jelas adalah dengan menyebutkan siapa yang ditalak, misalnya ia berkata: “Hafshah adalah yang ditalak,” maka dengan penjelasan talaknya diketahui bahwa selain Hafshah dari dua lainnya adalah istri, sehingga masih membutuhkan penjelasan kedua untuk dua yang tersisa, baik dengan menjelaskan siapa yang ditalak di antara keduanya sehingga yang satunya menjadi istri, atau menjelaskan siapa istrinya sehingga yang satunya menjadi yang ditalak. Inilah hukum penjelasan dengan ucapan. Adapun penjelasan dengan hubungan suami istri, yaitu ia menggauli salah satunya, maka perbuatannya itu tidak menjadi penjelasan bahwa yang digauli adalah istrinya dan yang lainnya adalah yang ditalak. Jika ada yang bertanya: “Mengapa hubungan suami istri tidak menjadi penjelasan, sebagaimana jika seseorang menjual budaknya dengan syarat khiyār (pilihan), lalu penjual menggaulinya di masa khiyār, maka perbuatannya itu menjadi penjelasan pembatalan jual beli, karena ia tidak menggauli kecuali dalam kepemilikan, maka demikian pula ia tidak menggauli kecuali istrinya?” Maka dijawab: perbedaannya adalah bahwa talak tidak terjadi kecuali dengan ucapan, bukan dengan perbuatan, sehingga tidak sah penjelasan dengan perbuatan. Sedangkan kepemilikan sah dan tetap dengan ucapan maupun perbuatan, sehingga sah pembatalan jual beli dengan ucapan maupun perbuatan.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَكُونُ بِالْوَطْءِ مُبَيِّنًا عَنِ الطَّلَاقِ، سُئِلَ عَنْ بَيَانِ الْمُطَلَّقَةِ قَوْلًا، فَإِنْ بَيَّنَ الْمُطَلَّقَةَ عَنِ الْمَوْطُوءَةِ صَارَ وَاطِئًا لِزَوْجَتِهِ، وَكَانَ الطَّلَاقُ وَاقِعًا مِنْ وَقْتِ اللَّفْظِ دُونَ الْبَيَانِ، وَإِنْ بَيَّنَ أَنَّ الْمُطَلَّقَةَ هِيَ الْمَوْطُوءَةُ صَارَ وَاطِئًا لِأَجْنَبِيَّةٍ، وَكَانَ عَلَيْهِ الْحَدُّ، إِنْ عَلِمَ دُونَهَا، لِأَنَّهَا لَمْ تَعْلَمْ وَعِدَّتُهَا مِنْ وَقْتِ اللَّفْظِ دُونَ الْبَيَانِ، وَسَوَاءٌ كَانَ الْوَطْءُ فِي زمان العدة أم بَعْدَ انْقِضَائِهَا إِذَا كَانَ الطَّلَاقُ ثَلَاثًا وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا مِنَ الْوَطْءِ إِنْ حُدَّ، لِأَنَّهُ زِنًا، وَاعْتَدَّتْ مِنْهُ إِنْ لَمْ يُحَدَّ، لِأَنَّهُ شِبْهٌ.

Jika telah tetap bahwa hubungan suami istri tidak menjadi penjelasan tentang talak, maka ditanyakan tentang penjelasan siapa yang ditalak dengan ucapan. Jika ia menjelaskan bahwa yang ditalak adalah selain yang digauli, maka ia menjadi orang yang menggauli istrinya, dan talak terjadi sejak waktu pengucapan, bukan sejak penjelasan. Namun jika ia menjelaskan bahwa yang ditalak adalah yang digauli, maka ia menjadi orang yang menggauli perempuan asing (bukan istrinya), dan ia wajib dikenai hadd (hukuman had), jika ia mengetahui dan istrinya tidak, karena istrinya tidak tahu, dan masa iddahnya dihitung sejak waktu pengucapan, bukan sejak penjelasan. Sama saja apakah hubungan suami istri itu terjadi di masa iddah atau setelah iddah selesai jika talaknya tiga, dan tidak ada iddah baginya dari hubungan suami istri jika ia dikenai hadd, karena itu dianggap zina. Namun jika tidak dikenai hadd, maka ia tetap menjalani iddah karena statusnya syubhat (meragukan).

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ مُبْهَمًا، لَمْ يُعْتَبَرْ فِي وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا، وَأَرْسَلَ نِيَّتَهُمَا كَانَ مخيراً في إيقاعه على أتيهما شَاءَ وَأَخَذَ بِتَعْيِينِهِ، فَإِنْ عَيَّنَهُ بِالْقَوْلِ صَحَّ، فَإِنْ عَيَّنَهُ بِالْوَطْءِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika talak itu masih samar, maka tidak dianggap pada salah satu dari keduanya, dan ia membiarkan niatnya, maka ia boleh memilih untuk menjatuhkan talak kepada siapa saja yang ia kehendaki dan mengambil keputusan dengan penentuan. Jika ia menentukannya dengan ucapan, maka sah. Jika ia menentukannya dengan hubungan suami istri, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا، وَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَصِحُّ تَعْيِينُهُ كَمَا يَصِحُّ بِهِ فَسْخُ الْمَبِيعَةِ، وَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ الطَّلَاقِ الْمُعَيَّنِ، حَيْثُ لَمْ يَكُنِ الْوَطْءُ فِيهِ بَيَانًا، وَبَيَانُ الطَّلَاقِ الْمُبْهَمِ حَيْثُ صَارَ الْوَطْءُ فِيهِ بَيَانًا، أَنَّ الطَّلَاقَ الْمُعَيَّنَ لَا خِيَارَ فِي تَعْيِينِهِ، فَلَمْ يَكُنِ اخْتِيَارُهُ لِلْوَطْءِ تَعْيِينًا، وَالطَّلَاقَ الْمُبْهَمَ لَهُ الْخِيَارُ فِي تَعْيِينِهِ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ اخْتِيَارُهُ لِلْوَطْءِ تَعْيِينًا.

Salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan mayoritas ulama kami, dan ini juga pendapat yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i, bahwa sah penentuan dengan cara itu sebagaimana sah pembatalan jual beli dengan cara itu. Perbedaannya antara talak yang ditentukan, di mana hubungan suami istri tidak menjadi penjelasan, dan penjelasan talak yang samar, di mana hubungan suami istri menjadi penjelasan, adalah bahwa talak yang ditentukan tidak ada pilihan dalam penentuannya, sehingga pilihannya untuk berhubungan suami istri tidak dianggap sebagai penentuan. Sedangkan talak yang samar, ia memiliki pilihan dalam penentuannya, maka boleh pilihannya untuk berhubungan suami istri dianggap sebagai penentuan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، أَنَّهُ لَا يَصِحُّ تَعْيِينُهُ بِالْوَطْءِ، وَإِنْ صَحَّ بِالْوَطْءِ فُسِخَ الْبَيْعُ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا، فَإِذَا جَعَلْنَا الْوَطْءَ تَعْيِينًا لِلطَّلَاقِ، كَانَتِ الْمَوْطُوءَةُ زَوْجَةً وَصَارَ الطَّلَاقُ وَاقِعًا عَلَى غَيْرِ الْمَوْطُوءَةِ. وَإِذَا لَمْ يجْعَلِ الْوَطْءَ تَعْيِينًا للطلاق، أخذ بتعيينه قولاً واحداً، وهل يلزم تعيينه في غير الموطوءة أَنْ يَكُونَ عَلَى خِيَارِهِ فِي تَعْيِينِهِ فِي أيتهما المطلقة على وجهين:

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, dan yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i, bahwa tidak sah penetapan (siapa yang dicerai) dengan hubungan suami istri (jimak), dan jika dianggap sah dengan hubungan suami istri maka akad jual-beli (dalam kasus budak) dibatalkan karena perbedaan yang telah kami sebutkan antara keduanya. Maka, jika hubungan suami istri dijadikan sebagai penetapan untuk talak, maka perempuan yang digauli menjadi istri, dan talak jatuh pada selain yang digauli. Dan jika hubungan suami istri tidak dijadikan sebagai penetapan untuk talak, maka penetapan dengan ucapanlah yang diambil, dan apakah wajib menetapkan pada selain yang digauli ataukah ia tetap memiliki pilihan untuk menetapkan talak pada salah satu dari keduanya, terdapat dua pendapat:

أحدهما: يلزم تَعْيِينُهُ بِالْقَوْلِ فِي غَيْرِ الْمَوْطُوءَةِ لِيَكُونَ الْوَطْءُ لِزَوْجَتِهِ:

Pendapat pertama: Wajib menetapkan dengan ucapan pada selain yang digauli agar hubungan suami istri itu terjadi dengan istrinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَلَى خِيَارِهِ فِي تَعْيِينِهِ فِي أَيَّتِهِمَا شَاءَ، كَمَا لَوْ كَانَ مُخَيَّرًا لَوْ لَمْ يَطَأْ فَعَلَى هَذَا إِنْ عَيَّنَهُ فِي غَيْرِ الْمَوْطُوءَةِ تَعَيَّنَ فِيهَا، وَكَانَتِ الْمَوْطُوءَةُ زَوْجَتَهُ، وَإِنْ عَيَّنَهُ فِي الْمَوْطُوءَةِ تَعَيَّنَ فِيهَا، وَهَلْ يَكُونُ الطَّلَاقُ وَاقِعًا بِهَذَا التَّعْيِينِ، أَوْ يَكُونُ وَاقِعًا بِاللَّفْظِ الْمُقَدَّمِ؟ عَلَى وجهين:

Pendapat kedua: Ia tetap memiliki pilihan untuk menetapkan pada siapa saja yang ia kehendaki di antara keduanya, sebagaimana jika ia diberi pilihan seandainya belum melakukan hubungan suami istri. Maka, berdasarkan pendapat ini, jika ia menetapkan pada selain yang digauli, maka penetapan berlaku padanya, dan perempuan yang digauli tetap menjadi istrinya. Dan jika ia menetapkan pada yang digauli, maka penetapan berlaku padanya. Apakah talak jatuh dengan penetapan ini, ataukah jatuh dengan lafaz yang telah diucapkan sebelumnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ فِي التَّعْيِينِ وَتَكُونُ الْمُعَيَّنَةُ قَبْلَ التَّعْيِينِ وَبَعْدَ التَّلَفُّظِ بِالطَّلَاقِ زَوْجَتَهُ.

Pendapat pertama: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa talak jatuh pada saat penetapan, dan perempuan yang ditetapkan itu sebelum penetapan dan setelah pengucapan talak tetap menjadi istrinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة: إِنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِاللَّفْظِ الْمُتَقَدِّمِ، وَأَنَّ الْوَطْءَ صادفها وهي غير زوجة، عير أَنَّهُ لَا حَدَّ عَلَيْهِ بِحَالٍ، لِأَنَّهَا كَانَتْ جَارِيَةً فِي حُكْمِ الزَّوْجَاتِ لِتَخْيِيرِهِ تَعْيِينَ الطَّلَاقِ فِي غَيْرِهَا، فَعَلَى هَذَا إِنْ قِيلَ: إِنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِالتَّعْيِينِ الْمُتَأَخِّرِ، فَالْعِدَّةُ مِنْ وَقْتِ التَّعْيِينِ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِاللَّفْظِ الْمُتَقَدِّمِ فَفِي الْعِدَّةِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa talak jatuh dengan lafaz yang telah diucapkan sebelumnya, dan hubungan suami istri terjadi pada perempuan itu dalam keadaan ia bukan lagi istri, hanya saja tidak ada hukuman (had) atasnya dalam keadaan apa pun, karena ia masih dianggap sebagai istri dalam hukum karena suami masih memiliki pilihan untuk menetapkan talak pada selainnya. Berdasarkan hal ini, jika dikatakan bahwa talak jatuh dengan penetapan yang belakangan, maka masa ‘iddah dihitung sejak waktu penetapan. Dan jika dikatakan bahwa talak jatuh dengan lafaz yang telah diucapkan sebelumnya, maka dalam hal masa ‘iddah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مِنْ وَقْتِ الطَّلَاقِ الْمُتَقَدِّمِ لَا مِنَ الْعِدَّةِ بِتَعَقُّبِ الطَّلَاقِ.

Pendapat pertama: Masa ‘iddah dihitung sejak waktu talak yang telah diucapkan sebelumnya, bukan dari masa setelah talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْعِدَّةَ مِنْ وَقْتِ التَّعْيِينِ الْمُتَأَخِّرِ، وَإِنْ تَقَدَّمَ الطَّلَاقُ اعْتِبَارًا بِالتَّغْلِيظِ في الأمرين.

Pendapat kedua: Masa ‘iddah dihitung sejak waktu penetapan yang belakangan, meskipun talak telah didahulukan, sebagai bentuk kehati-hatian dalam kedua perkara.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (ولو قال أخطأت بل هي هذه طلقتنا مَعًا بِإِقْرَارِهِ) .

Asy-Syafi‘i berkata: (Jika ia berkata, “Aku keliru, bahkan yang ini,” maka keduanya tertalak berdasarkan pengakuannya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ طَلَّقَ إِحْدَى زَوْجَتَيْهِ وَأَخَذَ بِبَيَانِ الْمُطَلَّقَةِ مِنْهُمَا، فَقَالَ: هِيَ هَذِهِ لَا بَلْ هَذِهِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُوقِعِ بَيْنَهُمَا مِنْ أَنْ يَكُونَ مُعَيِّنًا أَوْ مُبْهِمًا، فَإِنْ كَانَ مُعَيِّنًا فَقَالَ: هذه لا بل هذه طلقتنا مَعًا، لِأَنَّ الْبَيَانَ لَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ وَإِنَّمَا هُوَ إِقْرَارٌ بِوُقُوعِهِ بِاللَّفْظِ الْمُتَقَدِّمِ، فَإِذَا قَالَ: بَلْ هَذِهِ صَارَ مُقِرًّا بِطَلَاقِهَا، فَإِذَا قَالَ: لَا بَلْ هَذِهِ صَارَ مُقِرًّا بِطَلَاقِ الْأُخْرَى رَاجِعًا عَنْ طَلَاقِ الْأُولَى، فَقُبِلَ إِقْرَارُهُ بِالثَّانِيَةِ وَلَمْ يُقْبَلْ رُجُوعُهُ عَنِ الْأُولَى كَمَنْ قَالَ: عَلَيَّ لِزَيْدٍ أَلْفُ دِرْهَمٍ، لَا بَلْ هِيَ عَلَى عَمْرٍو، كَانَ مُقِرًّا لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِأَلْفٍ، لِأَنَّ رُجُوعَهُ عَنْ زَيْدٍ إِلَى عَمْرٍو يَجْعَلُهُ مُقِرًّا لِزَيْدٍ وَعَمْرٍو. وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ مُبْهَمًا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seorang laki-laki yang menalak salah satu dari dua istrinya dan ia menetapkan siapa yang ditalak di antara keduanya, lalu ia berkata: “Yang ini, tidak, bahkan yang ini.” Maka keadaan orang yang menjatuhkan talak di antara keduanya tidak lepas dari dua kemungkinan: menetapkan secara jelas atau samar. Jika ia menetapkan secara jelas lalu berkata: “Yang ini, tidak, bahkan yang ini,” maka keduanya tertalak, karena penetapan itu tidak menyebabkan jatuhnya talak, melainkan merupakan pengakuan atas terjadinya talak dengan lafaz yang telah diucapkan sebelumnya. Maka, ketika ia berkata: “Bahkan yang ini,” ia menjadi mengakui talak atasnya. Ketika ia berkata: “Tidak, bahkan yang ini,” ia menjadi mengakui talak atas yang lain dan menarik kembali pengakuan atas yang pertama. Maka, diterima pengakuannya atas yang kedua dan tidak diterima penarikannya dari yang pertama, seperti orang yang berkata: “Aku berutang seribu dirham kepada Zaid, tidak, bahkan kepada ‘Amr,” maka ia dianggap mengakui utang kepada masing-masing dari keduanya sebesar seribu, karena penarikannya dari Zaid kepada ‘Amr menjadikannya mengakui utang kepada Zaid dan ‘Amr. Dan jika talak itu samar, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمَا تُطَلَّقَانِ مَعًا كَالطَّلَاقِ الْمُعَيَّنِ وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي نقول: إِنَّ الْبَيَانَ فِي الْمُبْهَمِ يُوجِبُ وُقُوعَ الطَّلَاقِ بِاللَّفْظِ دُونَ التَّعْيِينِ.

Pendapat pertama: Keduanya tertalak bersama-sama seperti talak yang ditetapkan secara jelas, dan ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa penetapan dalam kasus samar menyebabkan jatuhnya talak dengan lafaz, bukan dengan penetapan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُطَلِّقُ الْأُولَى دُونَ الثَّانِيَةِ، وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَقُولُ فِيهِ: إِنَّ الْبَيَانَ فِي الْمُبْهَمِ يُوجِبُ وُقُوعَ الطَّلَاقِ بِالتَّعْيِينِ، وَيَكُونُ الْفَرْقُ عَلَى هَذَا بَيْنَ الْمُعَيَّنِ وَالْمُبْهَمِ، أَنَّ الْبَيَانَ فِي الْمُعَيَّنِ إقراراً، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ الثَّانِي إِقْرَارًا كَالْأَوَّلِ وَالثَّانِي فِي الْمُبْهَمِ طَلَاقٌ، وَلَمْ يَكُنِ الثَّانِي طَلَاقًا بِخِلَافِ الْأَوَّلِ، لِأَنَّهُ إِشَارَةٌ وَالطَّلَاقُ لَا يَقَعُ بمجرد الإشارة.

Penjelasan kedua: Bahwa ia menceraikan istri pertama saja, bukan yang kedua. Ini berlaku pada pendapat yang mengatakan bahwa penjelasan terhadap sesuatu yang masih samar mewajibkan jatuhnya talak dengan penetapan. Perbedaannya di sini antara yang sudah ditentukan (mu‘ayyan) dan yang masih samar (mubham) adalah bahwa penjelasan pada yang sudah ditentukan merupakan pengakuan, sehingga boleh jadi penjelasan kedua juga merupakan pengakuan seperti yang pertama, sedangkan penjelasan kedua pada yang masih samar adalah talak, dan tidak dianggap talak seperti yang pertama, karena itu hanyalah isyarat, dan talak tidak jatuh hanya dengan isyarat semata.

(فصل:)

(Pasal:)

وإذا كان له ثَلَاثُ زَوْجَاتٍ، وَطَلَّقَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ طَلَاقًا مُعَيَّنًا، وَأَخَذَ بِبَيَانِهَا، فَقَالَ: هِيَ هَذِهِ، بَلْ هَذِهِ بَلْ هَذِهِ، طُلِّقْنَ كُلُّهُنَّ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّهُ صَارَ مُقِرًّا بِطَلَاقِهِنَّ كُلِّهِنَّ، فَلَوْ قَالَ: هِيَ هَذِهِ، أَوْ هَذِهِ أَوْ هَذِهِ، لَمْ يَكُنْ فِيهِ بَيَانٌ لِطَلَاقِ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، لِأَنَّهُ لم يرد بَيَانًا عَلَى مَا عَلِمْنَاهُ، فَلَوْ قَالَ: هِيَ هذه وهذه وهذه طلقهن كُلُّهُنَّ.

Jika seseorang memiliki tiga istri, lalu ia menceraikan salah satu dari mereka dengan talak yang ditentukan, dan ia menjelaskan siapa yang dimaksud, misalnya ia berkata: “Dia yang ini, tidak, yang ini, tidak, yang ini,” maka seluruhnya telah tertalak, sebagaimana telah kami sebutkan, karena ia telah mengakui talak atas semuanya. Namun jika ia berkata: “Dia yang ini, atau yang ini, atau yang ini,” maka itu bukanlah penjelasan untuk talak salah satu dari mereka, karena ia tidak bermaksud menjelaskan, sebagaimana telah kami ketahui. Jika ia berkata: “Dia yang ini, dan ini, dan ini,” maka seluruhnya tertalak.

وَلَوْ قَالَ: هِيَ هَذِهِ أَوْ هَذِهِ أَوْ هَذِهِ، طُلِّقَتِ الْأُولَى وَأُخِذَ بِبَيَانِ إِحْدَى الْأُخْرَتَيْنِ فَيَصِيرُ مُطَلِّقًا لِاثْنَتَيْنِ، ثُمَّ قِيَاسُ هَذَا فِي الْأَرْبَعِ إِذَا طَلَّقَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ. وَاللَّهُ أعلم.

Jika ia berkata: “Dia yang ini atau yang ini atau yang ini,” maka yang pertama tertalak dan diambil penjelasan dari salah satu dari dua yang lain, sehingga ia menjadi menceraikan dua orang. Demikian pula qiyās-nya pada kasus empat istri jika ia menceraikan salah satu dari mereka. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فَإِنْ مَاتَتَا أَوْ إِحْدَاهُمَا قَبْلَ أَنْ يُبَيِّنَ وَقَفْنَا لَهُ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِيرَاثَ زَوْجٍ وَإِذَا قَالَ لِإِحْدَاهُمَا هَذِهِ الَّتِي طَلَقْتُ رددنا على أهلها من وَقَفْنَا لَهُ وَأَحْلَفْنَاهُ لِوَرَثَةِ الْأُخْرَى) .

Imam Syāfi‘ī berkata: “Jika kedua istri itu atau salah satunya meninggal sebelum ia menjelaskan (siapa yang ditalak), maka kami tahan untuknya dari masing-masing istri bagian warisan suami. Jika ia berkata kepada salah satunya: ‘Inilah yang aku talak,’ maka kami kembalikan kepada ahli warisnya apa yang kami tahan untuknya, dan kami minta ia bersumpah kepada ahli waris yang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا طَلَّقَ إِحْدَى زَوْجَتَيْهِ ثُمَّ لَمْ يُبَيِّنْ حَتَّى مَاتَتْ إِحْدَى الزَّوْجَتَيْنِ، عُزِلَ مَنْ تَرِكَتِهَا مِيرَاثُ زَوْجٍ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ هِيَ الزَّوْجَةُ، وَالْأَصْلُ ثُبُوتُ الزَّوْجِيَّةِ، وَأُخِذَ بِبَيَانِ الْمُطَلَّقَةِ مِنْهُمَا بَعْدَ الْمَوْتِ كَمَا يُؤْخَذُ بِبَيَانِهَا قَبْلَهُ، سَوَاءٌ كَانَ الطَّلَاقُ مُعَيَّنًا أَوْ مُبْهَمًا، لِأَنَّ الطَّلَاقَ وَاقِعٌ فِي الْإِبْهَامِ لِوُقُوعِهِ فِي التَّعْيِينِ، وَإِنَّمَا يَكُونُ فِي الْمُعَيَّنِ مُخْبِرًا، فَإِنْ قَالَ: الْمُطَلَّقَةُ هِيَ الْمَيِّتَةُ وَالْبَاقِيَةُ هِيَ الزَّوْجَةُ فَقَدِ انْتَفَتِ التُّهْمَةُ عَنْهُ فِي الْمِيرَاثِ فَرُدَّ عَلَى وَرَثَتِهِ، وَتَكُونُ الْبَاقِيَةُ زَوْجَةً، فَإِنْ أُكْذِبَ فِي هَذَا الْبَيَانِ فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ لِوَرَثَةِ الْمَيِّتَةِ إِنْ كَانَتْ مَدْخُولًا بِهَا، لِأَنَّهُمْ لَا يَسْتَحِقُّونَ بِهَذَا التَّكْذِيبِ شَيْئًا.

Al-Māwardī berkata: Ini benar, jika seseorang menceraikan salah satu dari dua istrinya lalu tidak menjelaskan hingga salah satu dari keduanya meninggal, maka bagian warisan suami dari peninggalan istri yang meninggal itu ditahan, karena mungkin saja dialah istri yang ditalak, dan hukum asalnya adalah tetapnya status pernikahan. Penjelasan tentang siapa yang ditalak di antara keduanya diambil setelah kematian sebagaimana diambil sebelumnya, baik talaknya mu‘ayyan maupun mubham, karena talak jatuh pada yang samar sebagaimana jatuh pada yang ditentukan, dan pada yang ditentukan hanyalah sebagai pemberitahuan. Jika ia berkata: “Yang ditalak adalah yang telah meninggal, dan yang masih hidup adalah istriku,” maka tuduhan dalam warisan telah hilang darinya, sehingga dikembalikan kepada ahli warisnya, dan yang masih hidup tetap menjadi istri. Jika ia berdusta dalam penjelasan ini, maka tidak ada sumpah atasnya kepada ahli waris istri yang meninggal jika ia telah berhubungan dengannya, karena mereka tidak berhak mendapatkan apa pun dengan kedustaannya tersebut.

فَأَمَّا الزَّوْجَةُ الْبَاقِيَةُ إِذَا أَكْذَبَتْهُ، وَقَالَتْ: أَنَا الْمُطَلَّقَةُ فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ مُعَيَّنًا فَلَهَا إِحْلَافُهُ، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ مُبْهَمًا فَلَيْسَ لَهَا إِحْلَافُهُ، لِأَنَّهُ فِي الْمُعَيَّنِ مُخْبِرٌ فَجَازَ أَنْ يَحْلِفَ عَلَى تَكْذِيبِهِ فِي خَبَرِهِ، وَفِي الْمُبْهَمِ مُخَيَّرٌ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْلِفَ عَلَى خِيَارِهِ. فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الْمَيِّتَةُ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا، فَهُوَ وَإِنْ أَسْقَطَ مِيرَاثَهُ مِنْهَا فَقَدْ رَامَ بِمَا أَقَرَّ بِهِ مِنَ الطَّلَاقِ إِسْقَاطَ نِصْفِ مَهْرِهَا فَنَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ نِصْفُ الصَّدَاقِ مِثْلَ الْمِيرَاثِ، أَوْ أَقَلَّ فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ نِصْفُ الصَّدَاقِ أَكْثَرَ كَانَ لِوَرَثَتِهَا إِحْلَافُهُ إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ مُعَيَّنًا، وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ إِحْلَافُهُ إِنْ كَانَ مُبْهَمًا، فَلَوْ مَاتَتِ الزَّوْجَتَانِ قَبْلَ بَيَانِهِ، عُزِلَ لَهُ مِنْ تَرِكَةِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِيرَاثُ زَوْجٍ، لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ هِيَ الزَّوْجَةَ وَأُخِذَ بِالْبَيَانِ، فَإِذَا بَيَّنَ طَلَاقَ إِحْدَاهُمَا رُدَّ مَا عُزِلَ مِنْ مِيرَاثِهِ مِنْهَا عَلَى وَرَثَتِهَا، وَلَمْ يَسْتَحِقَّ مِيرَاثَ الْأُخْرَى، لِأَنَّهَا زَوْجَةٌ، فَإِنْ أَكْذَبَهُ الْفَرِيقَانِ كَانَ لِوَرَثَةِ الزَّوْجَةِ مِنْهُمَا إِحْلَافُهُ، إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ مُعَيَّنًا، وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ إِحْلَافُهُ إِنْ كَانَ مُبْهَمًا.

Adapun istri yang tersisa, jika ia mendustakannya dan berkata, “Akulah yang ditalak,” maka jika talak itu tertentu, ia berhak meminta sumpah darinya. Namun jika talak itu tidak jelas (mubham), maka ia tidak berhak meminta sumpah darinya. Sebab, dalam talak yang tertentu, suami memberikan keterangan sehingga boleh baginya untuk disumpah atas pendustaannya dalam keterangannya, sedangkan dalam talak yang tidak jelas, suami diberi pilihan, sehingga tidak boleh disumpah atas pilihannya. Adapun jika istri yang meninggal belum pernah digauli, maka meskipun suami menggugurkan hak warisnya darinya, dengan pengakuan talak yang ia sampaikan, ia juga berusaha menggugurkan setengah mahar istrinya. Maka kita perhatikan: jika setengah mahar itu sama dengan warisan atau kurang, maka tidak ada sumpah atasnya. Namun jika setengah mahar itu lebih banyak, maka ahli warisnya berhak meminta sumpah darinya jika talak itu tertentu, dan tidak berhak jika talak itu tidak jelas. Jika kedua istri meninggal sebelum penjelasan (siapa yang ditalak), maka dari harta warisan masing-masing dipisahkan bagian warisan untuk seorang suami, karena mungkin saja ia adalah istri yang dimaksud, dan menunggu penjelasan. Jika kemudian dijelaskan bahwa salah satunya yang ditalak, maka bagian warisan yang telah dipisahkan dari harta warisannya dikembalikan kepada ahli warisnya, dan suami tidak berhak atas warisan istri yang lain, karena ia adalah istri (yang masih sah). Jika kedua belah pihak mendustakannya, maka ahli waris dari istri mana pun berhak meminta sumpah darinya jika talak itu tertentu, dan tidak berhak jika talak itu tidak jelas.

وَلَمْ يَكُنْ لِوِرْثِهِ الْمُطَلَّقَةِ مِنْهُمَا إِحْلَافُهُ إِنْ كَانَتْ مَدْخُولًا بِهَا، وَلَا إِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا، وَكَانَ نِصْفُ الصَّدَاقِ أَقَلَّ مِنَ الْمِيرَاثِ أَوْ مِثْلَهُ.

Dan ahli waris dari istri yang ditalak di antara keduanya tidak berhak meminta sumpah darinya, baik jika istri itu sudah digauli maupun belum, dan setengah mahar lebih sedikit atau sama dengan warisan.

وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْهُ فَلَهُمْ إِحْلَافُهُ، إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ مُعَيَّنًا، وَلَيْسَ لَهُمْ إِحْلَافُهُ إِنْ كَانَ مُبْهَمًا.

Namun jika setengah mahar itu lebih banyak dari warisan, maka mereka berhak meminta sumpah darinya jika talak itu tertentu, dan tidak berhak jika talak itu tidak jelas.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ كَانَ هُوَ الْمَيِّتَ وَقَفْنَا لَهُمَا مِيرَاثَ امْرَأَةٍ حَتَّى يَصْطَلِحَا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami yang meninggal, maka bagian warisan seorang istri ditahan untuk keduanya hingga mereka berdamai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِيمَنْ طَلَّقَ إِحْدَى زَوْجَتَيْهِ ثُمَّ مَاتَ قَبْلَ بَيَانِ الْمُطَلَّقَةِ مِنْهُمَا، وَجَبَ أَنْ يُعْزَلَ مِنْ تَرِكَتِهِ ميراث زوجة من ربع أو ثمن، هل يَقُومُ وَرَثَتُهُ مَقَامَهُ فِي بَيَانِ الْمُطَلَّقَةِ مِنْهُمَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: seseorang menalak salah satu dari dua istrinya, lalu ia meninggal sebelum menjelaskan siapa yang ditalak di antara keduanya, maka wajib dipisahkan dari hartanya bagian warisan seorang istri, baik seperempat atau seperdelapan. Apakah ahli warisnya dapat menggantikan posisinya dalam menjelaskan siapa yang ditalak di antara keduanya? Ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُمْ يَقُومُونَ مَقَامَهُ فِي الْبَيَانِ، سَوَاءٌ كَانَ الطَّلَاقُ مُعَيَّنًا أَوْ مُبْهَمًا، لِأَنَّهُمْ لَمَّا قَامُوا مَقَامَهُ فِي اسْتِحْقَاقِ النَّسَبِ وَالْإِقْرَارِ بِهِ قَامُوا مَقَامَهُ فِي تَعْيِينِ الطَّلَاقِ.

Pertama: Mereka dapat menggantikan posisinya dalam penjelasan, baik talaknya tertentu maupun tidak jelas, karena mereka telah menggantikan posisinya dalam penetapan nasab dan pengakuan, maka mereka juga dapat menggantikannya dalam menentukan talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمْ لَا يَقُومُونَ مَقَامَهُ فِيهِ، وَلَا يُرْجَعُ فِي بَيَانِهِ إِلَيْهِمْ، سَوَاءٌ كَانَ الطَّلَاقُ مُعَيَّنًا أَوْ مُبْهَمًا، لِأَنَّ فِي بَيَانِهِمْ إِسْقَاطُ وَارِثٍ مُشَارِكٍ، وَالْوَارِثُ لَا يَمْلِكُ إِسْقَاطَ مَنْ شَارَكَهُ فِي الْمِيرَاثِ.

Kedua: Mereka tidak dapat menggantikan posisinya dalam hal ini, dan tidak dikembalikan kepada mereka dalam penjelasannya, baik talaknya tertentu maupun tidak jelas, karena dalam penjelasan mereka terdapat pengguguran hak ahli waris lain yang juga berhak, dan ahli waris tidak berhak menggugurkan hak orang lain yang berhak bersama mereka dalam warisan.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُمْ يَقُومُونَ مَقَامَهُ فِي الطَّلَاقِ الْمُعَيَّنِ، لِأَنَّهُمْ مخيرون وقد يجوز أن يخيروا عَنْهُ، وَلَا يَقُومُونَ مَقَامَهُ فِي الطَّلَاقِ الْمُبْهَمِ، لِأَنَّهُ يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى خِيَارِ مَنْ يَمْلِكُ الطَّلَاقَ، وَهُمْ لَا يَمْلِكُونَهُ.

Ketiga: Mereka dapat menggantikan posisinya dalam talak yang tertentu, karena mereka diberi pilihan dan boleh jadi mereka memilih atas namanya, namun mereka tidak dapat menggantikan posisinya dalam talak yang tidak jelas, karena dalam hal ini dikembalikan kepada pilihan orang yang memiliki hak talak, sedangkan mereka tidak memilikinya.

فَإِذَا قُلْنَا: إِنَّهُ يُرْجَعُ إِلَى بَيَانِهِمْ، قَامُوا فِيهِ مَقَامَ بَيَانِ الزَّوْجِ، وَكَانَ الْخَصْمُ فِي الْمِيرَاثِ هُوَ وَارِثَ الزَّوْجِ، فَإِذَا بَيَّنَ وَأُكْذِبَ فِي الْبَيَانِ، لَمْ يَحْلِفْ لِلْمُقِرِّ بِزَوَاجِهَا وَحَلَفَ لِلْمُقِرِّ بِطَلَاقِهَا، إِنْ كَانَ مُعَيَّنًا، وَلْمِ يَحْلِفْ إِنْ كَانَ مُبْهَمًا، وَإِذَا قُلْنَا إِنَّهُ لَا يُرْجَعُ إِلَى بَيَانِ الْوَارِثِ لَمْ يَكُنِ الْوَارِثُ خَصْمًا لَهُمَا، وَوُقِفَ الْمِيرَاثُ بَيْنَ الزَّوْجَتَيْنِ حَتَّى يَتَحَالَفَا عَلَيْهِ، فَتَأْخُذَهُ الْحَالِفَةُ مِنْهُمَا دُونَ النَّاكِلَةِ أَوْ يَصْطَلِحَانِ عَلَيْهِ فَيَقْتَسِمَانِهِ عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا بِهِ، وَإِلَّا فَهُوَ بَاقٍ عَلَى الْوَقْفِ بَيْنَهُمَا حَتَّى يَكُونَ مِنْهُمَا أحد هذين.

Jika kita katakan: bahwa perkara ini dikembalikan kepada penjelasan mereka, maka mereka menempati posisi penjelasan suami, dan pihak yang bersengketa dalam warisan adalah ahli waris suami. Jika telah dijelaskan dan penjelasan itu didustakan, maka ia tidak bersumpah untuk orang yang mengakui pernikahannya, tetapi bersumpah untuk orang yang mengakui talaknya, jika orang tersebut tertentu; dan tidak bersumpah jika orang tersebut tidak jelas. Jika kita katakan bahwa perkara ini tidak dikembalikan kepada penjelasan ahli waris, maka ahli waris tidak menjadi pihak yang bersengketa bagi keduanya, dan warisan ditahan di antara kedua istri sampai keduanya saling bersumpah atasnya; maka yang bersumpah di antara keduanya yang berhak mengambil warisan, sedangkan yang menolak bersumpah tidak mendapatkannya, atau keduanya berdamai atas warisan itu lalu membaginya dengan kerelaan bersama; jika tidak, maka warisan tetap tertahan di antara keduanya sampai terjadi salah satu dari dua hal tersebut.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فَإِنْ مَاتَتْ وَاحِدَةٌ قَبْلَهُ ثُمَّ مَاتَ بَعْدَهَا فَقَالَ وَارِثُهُ طَلَّقَ الْأُولَى وَرِثَتِ الْأُخْرَى بِلَا يَمِينٍ وَإِنْ قَالَ طَلَّقَ الْحَيَّةَ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَ الْمَيِّتِ فَيَحْلِفُ أَنَّ الْحَيَّةَ هِيَ الَتِي طَلَّقَ ثَلَاثًا وَيَأْخُذُ مِيرَاثَهُ مِنَ الْمَيِّتَةِ قَبْلَهُ وَقَدْ يُعْلَمُ ذَلِكَ بِخَبَرِهِ أَوْ بِخَبَرِ غَيْرِهِ مِمَنْ يُصَدِّقُهُ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهُ يُوقَفُ لَهُ مِيرَاثُ زَوْجٍ مِنَ الْمِيتَةِ قَبْلَهُ وَلِلْحَيَّةِ مِيرَاثُ امْرَأَةٍ مِنْهُ حَتَّى يَصْطَلِحَا) .

Imam Syafi‘i berkata: (Jika salah satu dari keduanya meninggal dunia sebelum suami, kemudian suami meninggal setelahnya, lalu ahli waris suami berkata: “Ia telah menalak yang pertama,” maka yang mewarisi adalah yang kedua tanpa sumpah. Namun jika ia berkata: “Ia menalak yang masih hidup,” maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya, ia menempati posisi si mayit, lalu ia bersumpah bahwa yang masih hidup itulah yang telah ditalak tiga kali, dan ia mengambil warisannya dari yang telah meninggal sebelumnya, dan hal itu bisa diketahui dari keterangannya atau keterangan orang lain yang dipercaya. Pendapat kedua, warisan suami dari yang telah meninggal sebelumnya ditahan, dan untuk yang masih hidup diberikan warisan sebagai istri darinya, sampai keduanya berdamai.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِيمَنْ طَلَّقَ إِحْدَى زَوْجَتَيْهِ، ثم مات إِحْدَاهُمَا وَمَاتَ الزَّوْجُ بَعْدَهَا قَبْلَ الْبَيَانِ، فَالْوَاجِبُ أَنْ يُعْزَلَ مِنْ تَرِكَةِ الْمَيِّتَةِ قَبْلَهُ مِيرَاثُ زَوْجٍ، لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ الْبَاقِيَةُ هِيَ الزَّوْجَةَ وَيُعْزَلُ مِنْ تَرِكَةِ الزَّوْجِ مِيرَاثُ زَوْجَةٍ، لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ الْبَاقِيَةُ هِيَ الزَّوْجَةَ، ثُمَّ يُنْظَرُ مَا يَقُولُهُ وَارِثُ الزَّوْجِ، فَإِنْ قَالَ مَا يَضُرُّهُ فِي الْأَمْرَيْنِ: بِأَنَّ الْمُتَوَفَّاةَ قَبْلَهُ مُطَلَّقَةٌ، فَلَا مِيرَاثَ لَنَا مِنْهَا وَالْبَاقِيَةَ بَعْدَهُ زَوْجَةٌ فَلَهَا الْمِيرَاثُ مَعَنَا، فَقَدْ بَيَّنَ مَا يَضُرُّهُ، فَقَوْلُهُ مَقْبُولٌ فِيهِ، لِأَنَّ مَا يَدَّعِي عَلَيْهِ مِنْ مِيرَاثِ الْبَاقِيَةِ قَدْ صُدِّقَ عَلَيْهِ، وَمَا يَجُوزُ أَنْ يُطَالِبَ بِهِ مِنْ مِيرَاثِ الْمَيِّتَةِ قَدْ أَسْقَطَهُ فَلَمْ يُعْتَرَضْ عَلَيْهِ، وَإِنْ بَيَّنَ مَا يَنْفَعُهُ فِي الْأَمْرَيْنِ فَقَالَ: الْمَيِّتَةُ هِيَ الزَّوْجَةُ فَلَنَا الْمِيرَاثُ مِنْ تَرِكَتِهَا، وَالْبَاقِيَةُ هِيَ الْمُطَلَّقَةُ فَلَا مِيرَاثَ لَهَا مَعَنَا، فَإِنْ صُدِّقَ عَلَى ذَلِكَ زَالَ النِّزَاعُ، وَحُمِلَ الْأَمْرُ عَلَى مَا قَالَ، فَأُعْطِيَ مِيرَاثَ الْمَيِّتَةِ، وَمُنِعَ مِنْ مِيرَاثِ الْحَيَّةِ. وَإِنْ أُكْذِبَ عَلَيْهِ وَقَالَ وَارِثُ الْمَيِّتَةِ: هِيَ الْمُطَلَّقَةُ فَلَا مِيرَاثَ لَكُمْ مِنْهَا.

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah pada seseorang yang menalak salah satu dari dua istrinya, kemudian salah satu dari keduanya meninggal dunia, lalu suami meninggal setelahnya sebelum ada penjelasan (siapa yang ditalak). Maka yang wajib adalah memisahkan dari harta peninggalan yang telah meninggal sebelumnya bagian warisan untuk suami, karena mungkin saja yang masih hidup adalah istri (yang sah), dan dipisahkan dari harta peninggalan suami bagian warisan untuk istri, karena mungkin saja yang masih hidup adalah istri (yang sah). Kemudian dilihat apa yang dikatakan oleh ahli waris suami; jika ia mengatakan sesuatu yang merugikan dirinya dalam kedua perkara, yaitu bahwa yang wafat sebelumnya adalah yang ditalak, maka tidak ada warisan untuk kami darinya, dan yang masih hidup setelahnya adalah istri, maka ia berhak mendapat warisan bersama kami, maka ia telah menjelaskan sesuatu yang merugikan dirinya, maka ucapannya diterima dalam hal ini, karena apa yang ia klaim dari warisan yang masih hidup telah dibenarkan atasnya, dan apa yang mungkin ia tuntut dari warisan yang telah meninggal telah ia gugurkan, maka tidak ada sanggahan atasnya. Namun jika ia menjelaskan sesuatu yang menguntungkan dirinya dalam kedua perkara, lalu ia berkata: yang meninggal adalah istri (yang sah), maka kami berhak mendapat warisan dari peninggalannya, dan yang masih hidup adalah yang ditalak, maka tidak ada warisan baginya bersama kami, maka jika hal itu dibenarkan, hilanglah perselisihan, dan perkara dijalankan sesuai ucapannya, maka ia diberikan warisan dari yang meninggal, dan dicegah dari warisan yang masih hidup. Namun jika ia didustakan dan ahli waris yang meninggal berkata: “Yang meninggal adalah yang ditalak, maka tidak ada warisan untuk kalian darinya.”

وَقَالَتِ الْبَاقِيَةُ: أَنَا الزَّوْجَةُ فَلِيَ الْمِيرَاثُ مَعَكُمْ، فَفِيهِ قَوْلَانِ، نَصَّ عَلَيْهِمَا الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا، وَتِلْكَ الْأَوْجُهُ الثَّلَاثَةُ بِنَاءً عَلَيْهَا، وَمَخْرَجُهُ مِنْهَا أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: إِنَّهُ يَرْجِعَ إِلَى بَيَانِ الْوَارِثِ، فَيَحْلِفُ لِوَرَثَةِ الْمَيِّتَةِ عَلَى الْعِلْمِ، لِأَنَّهَا يَمِينٌ عَلَى نَفْيِ طَلَاقِ غَيْرِهِ، فَيَقُولُ: وَاللَّهِ لَا أَعْلَمُ أَنَّهُ طَلَّقَهَا، وَيَسْتَحِقُّ مِنْ تَرِكَتِهَا مِيرَاثَ زَوْجٍ، وَيَحْلِفُ لِلْبَاقِيَةِ عَلَى الْبَتِّ وَالْقَطْعِ، لِأَنَّهَا يَمِينٌ عَلَى إِثْبَاتِ طَلَاقِهَا فَيَقُولُ: وَاللَّهِ لَقَدْ طَلَّقَهَا وَيَسْقُطُ مِيرَاثَهَا مِنَ الزَّوْجِ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ لَا يَرْجِعُ إِلَى بَيَانِ الْوَارِثِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّعْلِيلِ، وَيَكُونُ مَا عُزِلَ مِنْ مِيرَاثِ الْمَيِّتَةِ مَوْقُوفًا حَتَّى يَصْطَلِحَ عَلَيْهِ وَارِثُهَا وَوَارِثُ الزَّوْجِ. وَمَا عُزِلَ مِنْ مِيرَاثِ الزَّوْجِ مَوْقُوفًا حَتَّى تَصْطَلِحَ عَلَيْهِ الزَّوْجَةُ الْبَاقِيَةُ وَوَارِثُ الزَّوْجِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Dan pihak yang tersisa berkata: “Aku adalah istri, maka aku berhak mendapatkan warisan bersama kalian.” Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i di sini, dan tiga pendapat tersebut dibangun di atasnya. Salah satu dari dua pendapat itu adalah: perkara ini kembali kepada penjelasan dari ahli waris, maka ia bersumpah kepada ahli waris perempuan yang wafat berdasarkan pengetahuan, karena sumpah ini adalah untuk menafikan adanya talak dari selain dirinya. Maka ia berkata: “Demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa ia telah menceraikannya.” Dengan demikian, ia berhak mendapatkan warisan sebagai suami dari harta peninggalannya. Dan ia bersumpah kepada pihak yang tersisa dengan sumpah yang tegas dan pasti, karena sumpah ini adalah untuk menetapkan adanya talak terhadap dirinya. Maka ia berkata: “Demi Allah, sungguh ia telah menceraikannya,” sehingga gugurlah hak warisnya sebagai istri dari suami tersebut. Pendapat kedua: perkara ini tidak kembali kepada penjelasan ahli waris, sebagaimana alasan yang telah kami sebutkan, dan bagian warisan dari perempuan yang wafat tersebut tetap ditangguhkan hingga terjadi kesepakatan antara ahli warisnya dan ahli waris suami. Dan bagian warisan dari suami juga tetap ditangguhkan hingga terjadi kesepakatan antara istri yang tersisa dan ahli waris suami. Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.

(باب ما يهدم الرجل من الطلاق من كتابين)

(Bab tentang talak yang membatalkan dari dua kitab)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (لَمَّا كَانَتِ الطَّلْقَةُ الثَّالِثَةُ تُوجِبُ التَّحْرِيمَ كَانَتْ إِصَابَةُ زَوْجٍ غَيْرِهِ تُوجِبُ التَّحْلِيلَ وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ فِي الطَّلْقَةِ وَلَا فِي الطَّلْقَتَيْنِ مَا يُوجِبُ التَّحْرِيمَ لَمْ يَكُنْ لِإِصَابَةِ زَوْجٍ غَيْرِهِ مَعْنًى يُوجِبُ التَّحْلِيلَ فَنِكَاحُهُ وَتَرْكُهُ سَوَاءٌ وَرَجَعَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ إِلَى هَذَا وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا سأله عمن طلق امرأته اثنتين فانقضت عدتها فتزوجت غيره فطلقها أو مات عنها وتزوجها الأول قال عمر هي عنده على ما بقي من الطلاق) .

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ketika talak ketiga menyebabkan keharaman (untuk rujuk), maka pernikahan dengan suami lain menjadi syarat untuk halal kembali. Dan ketika pada talak pertama maupun kedua tidak ada yang menyebabkan keharaman, maka pernikahan dengan suami lain tidak memiliki makna yang menyebabkan kehalalan kembali. Maka menikahinya atau tidak, kedudukannya sama saja. Muhammad bin al-Hasan kembali kepada pendapat ini. Asy-Syafi‘i rahimahullah berdalil dengan (perkataan) ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang seseorang yang menceraikan istrinya dua kali, lalu masa iddahnya selesai, kemudian ia menikah dengan laki-laki lain, lalu suami barunya menceraikannya atau meninggal dunia, kemudian ia dinikahi kembali oleh suami pertama. Maka ‘Umar berkata: ‘Ia kembali kepada suaminya dengan sisa jumlah talak yang masih ada.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ الْفُرْقَةَ الْوَاقِعَةَ بِالطَّلَاقِ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Secara ringkas, perpisahan yang terjadi karena talak terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: وَهُوَ أَخَفُّهَا: مَا يَسْتَبِيحُهُ الْمُطَلِّقُ بِالرَّجْعَةِ مِنْ غَيْرِ عَقْدٍ، وَهُوَ مَا دُونَ الثَّلَاثِ فِي الْمَدْخُولِ بِهَا فَيَسْتَبِيحُهَا الزَّوْجُ بِأَنْ يُرَاجِعَهَا فِي الْعِدَّةِ.

Bagian pertama, dan ini yang paling ringan: yaitu talak yang masih memungkinkan bagi suami untuk merujuk istrinya tanpa akad baru, yaitu talak kurang dari tiga kali pada istri yang telah digauli, sehingga suami dapat merujuknya selama masa iddah.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَغْلَظُهُمَا: أَنْ لَا يَسْتَبِيحَهَا الْمُطَلِّقُ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ، وَهُوَ الطَّلَاقُ الثَّلَاثُ فِي الْمَدْخُولِ بِهَا وَغَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا، فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ بِالثَّلَاثِ، حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ.

Bagian kedua, dan ini yang paling berat: yaitu talak yang tidak memungkinkan bagi suami untuk merujuk istrinya kecuali setelah ia menikah dengan suami lain, yaitu talak tiga baik pada istri yang telah digauli maupun yang belum digauli. Maka ia menjadi haram bagi suaminya dengan talak tiga, hingga ia menikah dengan laki-laki lain.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَوْسَطُهَا أَنْ يَسْتَبِيحَهَا بَعْدَ نِكَاحٍ بَعْدَ طَلَاقِهِ، وَلَا يَسْتَبِيحَهَا بِالرَّجْعَةِ، وَلَا يَفْتَقِرَ إِلَى نِكَاحِ زَوْجٍ، وَهُوَ مَا دُونَ الثَّلَاثِ مِنْ طَلْقَةٍ أَوْ طَلْقَتَيْنِ إِمَّا فِي غَيْرِ مَدْخُولٍ بِهَا وَإِمَّا فِي مَدْخُولٍ بِهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا، وَإِمَّا فِي مُخْتَلِعَهٍ، فَإِنْ نَكَحَهَا قَبْلَ زَوْجٍ أَوْ بَعْدَ زَوْجٍ، لَمْ يُصِبْهَا حَتَّى طَلَّقَهَا، فَإِذَا تَزَوَّجَهَا الْأَوَّلُ كَانَتْ مَعَهُ عَلَى مَا بَقِيَ مِنَ الطَّلَاقِ إِجْمَاعًا، وَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ وَاحِدَةً بَقِيَتْ مَعَهُ عَلَى اثْنَتَيْنِ، وَإِنْ كَانَ اثْنَتَانِ بَقِيَتْ مَعَهُ عَلَى وَاحِدَةٍ، وَإِنْ نَكَحَتْ زَوْجًا وَأَصَابَهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا وَعَادَ الْأَوَّلُ بَعْدَ عِدَّتِهَا مِنَ الثَّانِي وَتَزَوَّجَهَا، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيهِ، فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ وُجُودَ الزَّوْجِ الثَّانِي كَعَدَمِهِ، وَأَنَّهُ لَا يَرْفَعُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ، وَإِذَا نَكَحَهَا الْأَوَّلُ بَعْدَهُ كَانَتْ مَعَهُ عَلَى مَا بَقِيَ مِنَ الطَّلَاقِ، فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ وَاحِدَةً بَقِيَتْ مَعَهُ عَلَى اثْنَتَيْنِ، وَإِنْ كَانَ اثْنَتَانِ بَقِيَتْ عَلَى وَاحِدَةٍ، فَإِنْ طَلَّقَهَا فِي النِّكَاحِ الثَّانِي وَاحِدَةً حُرِّمَتْ عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ.

Bagian ketiga, yang merupakan pertengahan di antara keduanya, adalah ketika seorang laki-laki menghalalkan istrinya kembali setelah menikahinya lagi pasca talak, namun tidak menghalalkannya dengan rujuk, dan tidak membutuhkan pernikahan dengan suami lain. Ini berlaku untuk talak kurang dari tiga kali, yaitu satu atau dua kali talak, baik pada istri yang belum digauli maupun yang sudah digauli setelah selesai masa iddahnya, atau pada wanita yang melakukan khulu‘. Jika ia menikahinya sebelum atau sesudah menikah dengan suami lain, namun belum digauli oleh suami kedua hingga ia menceraikannya, maka ketika suami pertama menikahinya kembali, ia bersamanya dengan sisa jumlah talak yang masih ada menurut ijmā‘. Jika sebelumnya baru satu kali talak, maka ia masih memiliki dua kali talak; jika dua kali talak, maka ia masih memiliki satu kali talak. Namun, jika ia menikah dengan suami lain dan telah digauli, lalu dicerai dan suami pertama menikahinya kembali setelah selesai iddah dari suami kedua, maka para fuqahā’ berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Syāfi‘ī berpendapat bahwa keberadaan suami kedua sama saja seperti tidak ada, dan tidak menghapus talak yang telah dijatuhkan oleh suami pertama. Jika suami pertama menikahinya kembali setelah itu, maka ia bersamanya dengan sisa jumlah talak yang masih ada. Jika talaknya satu kali, maka ia masih memiliki dua kali talak; jika dua kali, maka ia masih memiliki satu kali talak. Namun, jika ia dicerai oleh suami kedua dengan satu kali talak, maka ia menjadi haram bagi suami pertama hingga ia menikah dengan suami lain.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ.

Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: ‘Umar bin al-Khattāb, ‘Alī bin Abī Ṭālib, dan Abū Hurairah.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى وَزُفَرُ بْنُ الْهُذَيْلِ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَيُوسُفُ: الزَّوْجُ الثَّانِي قَدْ هَدَمَ طَلَاقَ الأول ورفعه، فإذا عادت إلى الأولى كَانَتْ مَعَهُ عَلَى ثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ، اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 299] . فَاقْتَضَى ظَاهِرُ الْآيَةِ جَوَازَ الرَّجْعَةِ إِذَا طَلَّقَهَا فِي النِّكَاحِ الثَّانِي، وَاحِدَةً بَعْدَ اثْنَتَيْنِ فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ، وَأَنْتُمْ تَمْنَعُونَ مِنْهَا وَتُحَرِّمُونَهَا إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ، قَالُوا: وَلِأَنَّهَا إِصَابَةُ زَوْجٍ ثَانٍ فَوَجَبَ أَنْ تَهْدِمَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ، أَصْلُهُ إِذَا كَانَ طَلَاقُ الْأَوَّلِ ثَلَاثًا، قَالَ: وَلِأَنَّ إِصَابَةَ الثَّانِي لَمَّا قَوِيَتْ عَلَى هَدْمِ الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ، كَانَتْ عَلَى هَدْمِ مَا دُونَهَا أَقْوَى، كَمَنْ قَوِيَ عَلَى حَمْلِ مِائَةِ رِطْلٍ كَانَ عَلَى حَمْلِ رِطْلٍ أَقْوَى، وَكَالْمَاءِ إِذَا رَفَعَ كَثِيرَ النَّجَاسَةِ كَانَ بِرَفْعِ قَلِيلِهَا أَوْلَى، وَكَالْغُسْلِ إِذَا رَفَعَ الْجَنَابَةَ، كَانَ بِرَفْعِ الْحَدَثِ أَوْلَى، وَكَالْجَنَابَةِ إِذَا نَقَضَتْ طُهْرَ الْبَدَنِ، كَانَتْ بِنَقْضِ طَهَارَةِ بَعْضِهِ أَوْلَى.

Dari kalangan fuqahā’: Mālik, al-Awzā‘ī, Ibn Abī Lailā, Zufar bin al-Hudail, dan Muhammad bin al-Hasan. Sedangkan Abū Hanīfah dan Yūsuf berpendapat: suami kedua telah menghapus dan membatalkan talak suami pertama. Maka jika ia kembali kepada suami pertama, ia bersamanya dengan tiga kali talak. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {Maka tahanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik} (al-Baqarah: 229). Maka, menurut lahiriah ayat ini, diperbolehkan rujuk jika ia dicerai dalam pernikahan kedua, satu kali setelah dua kali talak dalam pernikahan pertama, sedangkan kalian melarang dan mengharamkannya kecuali setelah menikah dengan suami lain. Mereka juga berkata: karena telah terjadi pernikahan dengan suami kedua, maka wajib untuk menghapus talak yang telah dijatuhkan oleh suami pertama, sebagaimana jika talak suami pertama sudah tiga kali. Mereka berkata: karena pernikahan dengan suami kedua jika mampu menghapus tiga kali talak, maka untuk menghapus talak yang kurang dari itu tentu lebih mampu, seperti seseorang yang mampu mengangkat seratus rithl tentu lebih mampu mengangkat satu rithl, dan seperti air yang dapat menghilangkan banyak najis tentu lebih mampu menghilangkan sedikit najis, dan seperti mandi wajib yang dapat menghilangkan janabah tentu lebih mampu menghilangkan hadas kecil, dan seperti janabah yang membatalkan kesucian seluruh badan tentu lebih mampu membatalkan kesucian sebagian anggota badan.

وَدَلِيلُنَا قول الله تَعَالَى: {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] . فَكَانَ طَلَاقُ مَنْ بَقِيَتْ لَهُ مِنَ الثلاث طلقة يُوجِبُ تَحْرِيمَهَا إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ، سَوَاءٌ نَكَحَتْ قَبْلَ طَلَاقِهِ زَوْجًا أَمْ لَا، فَإِنْ قِيلَ: فَإِنْ كَانَ آخِرُ الْآيَةِ دَلِيلًا لَكُمْ، كَانَ أَوَّلُهَا عَلَى مَا مَضَى دَلِيلًا لَنَا، قِيلَ: إِذَا اجْتَمَعَ فِي الْآيَةِ الْوَاحِدَةِ مَا يُوجِبُ الْحَظْرَ وَالْإِبَاحَةَ، كَانَ تَغْلِيبُ مَا يُوجِبُ الْحَظْرَ عَلَى الْإِبَاحَةِ أَوْلَى.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Jika ia telah menceraikannya (tiga kali), maka tidak halal baginya setelah itu hingga ia menikah dengan suami yang lain} (al-Baqarah: 230). Maka, talak yang masih tersisa dari tiga kali talak menyebabkan keharaman baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain, baik ia menikah dengan suami lain sebelum ditalak atau tidak. Jika dikatakan: Jika akhir ayat menjadi dalil bagi kalian, maka awalnya menjadi dalil bagi kami atas apa yang telah lalu, maka dijawab: Jika dalam satu ayat terkumpul dalil yang mewajibkan larangan dan kebolehan, maka mengedepankan dalil yang mewajibkan larangan lebih utama daripada kebolehan.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهَا إِصَابَةٌ لَمْ تَكُنْ شَرْطًا فِي الْإِبَاحَةِ فَلَمْ تَهْدِمْ مَا تَقَدَّمَ الطَّلَاقَ كَإِصَابَةِ السَّيِّدِ وَالْإِصَابَةِ بِشُبْهَةٍ وَلِأَنَّهُ طَلَّقَهَا قَبْلَ اسْتِكْمَالِ عَدَدِ الطَّلَاقِ، فَوَجَبَ أَنْ يَبْنِيَ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنَ الطَّلَاقِ، وَأَصْلُهُ إِذَا لَمْ يَدْخُلْ بِهَا الثَّانِي، وَلِأَنَّ الِاسْتِبَاحَةَ الْوَاقِعَةَ بَعْدَ الْفُرْقَةِ الْمُسْتَبِيحَةِ عَنْ نِكَاحِ زَوْجٍ، لَا تَرُدُّهَا إِلَى أَوَّلِ الْعِدَّةِ كَالرَّجْعَةِ، لِأَنَّهَا طَلْقَةٌ اسْتَكْمَلَ بِهَا عَدَدَ الثَّلَاثِ، فَوَجَبَ تَحْرِيمُهَا إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ.

Dan menurut qiyās, hubungan suami istri tersebut adalah suatu perbuatan yang tidak menjadi syarat dalam kehalalan, sehingga tidak membatalkan talak yang telah terjadi sebelumnya, sebagaimana hubungan antara tuan dengan budaknya dan hubungan karena syubhat. Karena ia telah mentalaknya sebelum menyempurnakan jumlah talak, maka wajib baginya untuk membangun (melanjutkan) atas talak yang telah terjadi sebelumnya. Dasarnya adalah jika suami kedua belum berhubungan dengannya. Dan karena kehalalan yang terjadi setelah perpisahan yang membolehkan karena pernikahan dengan suami, tidak mengembalikannya ke awal masa iddah seperti halnya rujuk, karena itu adalah talak yang dengannya telah sempurna jumlah tiga kali talak, maka wajib baginya menjadi haram kecuali setelah menikah dengan suami lain.

أَصْلُهُ: إِذَا اسْتَكْمَلَ الثَّلَاثَ فِي الِابْتِدَاءِ، وَلِأَنَّ إِصَابَةَ الزَّوْجِ الثَّانِي فِي الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ لَا يَهْدِمُهُ، وَإِنَّمَا يَرْفَعُ تَحْرِيمَهُ لِأَمْرَيْنِ:

Dasarnya: jika telah menyempurnakan tiga kali talak sejak awal, dan karena hubungan suami kedua dalam kasus talak tiga tidak membatalkannya, melainkan hanya mengangkat keharamannya karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الطَّلَاقَ قَدْ وَقَعَ فلم يرتفع بعد وقوعه.

Pertama: bahwa talak telah terjadi, sehingga tidak hilang setelah terjadinya.

الثاني: أَنَّهُ لَوِ ارْتَفَعَ لَاسْتَبَاحَهَا بِغَيْرِ عَقْدٍ، وَإِذَا أَثَّرَتْ فِي رَفْعِ التَّحْرِيمِ فِي الثَّلَاثِ وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ الثَّلَاثِ تَحْرِيمٌ لَمْ يَكُنْ لِلْإِصَابَةِ فِيهَا تَأْثِيرٌ.

Kedua: bahwa jika keharaman itu hilang, niscaya ia menjadi halal tanpa akad baru. Dan jika hubungan itu berpengaruh dalam mengangkat keharaman pada talak tiga, sedangkan pada kurang dari tiga tidak ada keharaman, maka hubungan itu tidak berpengaruh padanya.

وَلِأَنَّنَا أَجْمَعْنَا عَلَى أَنَّ النِّكَاحَ الثَّانِيَ يُبْنَى عَلَى الْأَوَّلِ فِي الْإِيلَاءِ وَالظِّهَارِ، قَبْلَ زَوْجٍ وَبَعْدَهُ فَكَذَلِكَ فِي عَدَدِ الطَّلَاقِ.

Dan karena kita telah berijmā‘ bahwa pernikahan kedua dibangun di atas yang pertama dalam masalah ila’ dan zihar, baik sebelum maupun sesudah menikah dengan suami lain, maka demikian pula dalam jumlah talak.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَقَدْ مَضَى.

Adapun jawaban atas ayat tersebut telah dijelaskan sebelumnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الثَّلَاثِ، فَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا كَانَتِ الْإِصَابَةُ شَرْطًا فِيهِ كَانَتْ رَافِعَةً لَهُ، وَلَيْسَتْ شَرْطًا فِيمَا دُونَهَا فَلَمْ يَرْفَعْهُ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap talak tiga, maka ketika hubungan itu menjadi syarat dalam kasus tersebut, maka hubungan itu dapat mengangkatnya, dan tidak menjadi syarat pada selainnya, maka tidak dapat mengangkatnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ مَا قَوِيَ عَلَى رَفْعِ الْأَكْثَرِ كَانَ عَلَى رَفْعِ الْأَقَلِّ أَقْوَى، فَهُوَ أَنَّ الْإِصَابَةَ عِنْدَنَا لَا تَرْفَعُ الثَّلَاثَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا وَإِنَّمَا تَرْفَعُ تَحْرِيمَهَا، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ الثَّلَاثِ تَحْرِيمٌ، عَلَى أَنَّ هَذَا الْأَصْلَ غَيْرُ مُسْتَمِرٍّ عَلَى مَذْهَبِ أبي حنيفة لأنه جَعْلَهُ قَدْ يَجْعَلُ الشَّيْءَ مُؤَثِّرًا فِي الْأَكْثَرِ غَيْرَ مُؤَثِّرٍ فِي الْأَقَلِّ فِي مَوَاضِعَ شَتَّى. فَمِنْهَا أَنَّ الْعَاقِلَةَ تَتَحَمَّلُ جَمِيعَ الدِّيَةِ وَلَا تَتَحَمَّلُ مَا دُونُ الْمُوضِحَةِ. وَمِنْهَا أَنَّهُ لَوْ قَالَ لِزَوْجَتِهِ: أَنْتِ بَائِنٌ يَنْوِي بِهَا الثَّلَاثَ، كَانَتْ ثَلَاثًا وَلَوْ نَوَى اثْنَتَيْنِ كَانَتِ وَاحِدَةً، فَجَعَلَ النِّيَّةَ مُؤَثِّرَةً فِي الثَّلَاثِ غَيْرَ مُؤَثِّرَةٍ فِي الْأَقَلِّ. وَمِنْهَا أَنَّ الْقَهْقَهَةَ فِي الصَّلَاةِ تُبْطِلُ الصَّلَاةَ وَالطَّهَارَةَ، وَفِي غَيْرِ الصَّلَاةِ لَا تُبْطِلُ الطَّهَارَةَ، فَجَعَلَهَا مُؤَثِّرَةً فِي الْأَكْثَرِ غَيْرَ مُؤَثِّرَةٍ فِي الْأَقَلِّ، فَفَسَدَ بِهِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa sesuatu yang mampu mengangkat yang lebih besar tentu lebih mampu mengangkat yang lebih kecil, maka hubungan menurut kami tidak mengangkat talak tiga sebagaimana telah kami sebutkan, melainkan hanya mengangkat keharamannya, dan pada selain tiga tidak ada keharaman. Selain itu, kaidah ini tidak konsisten menurut mazhab Abu Hanifah, karena beliau menjadikan sesuatu kadang berpengaruh pada yang lebih besar namun tidak berpengaruh pada yang lebih kecil dalam beberapa kasus. Di antaranya adalah bahwa ‘aqilah menanggung seluruh diyat, tetapi tidak menanggung selain luka muwaddiha. Dan di antaranya, jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau bā’in,” dengan niat tiga talak, maka jatuh tiga talak, dan jika berniat dua, maka jatuh satu, sehingga niat berpengaruh pada tiga namun tidak pada yang lebih sedikit. Dan di antaranya, tertawa terbahak-bahak dalam shalat membatalkan shalat dan thaharah, namun di luar shalat tidak membatalkan thaharah, sehingga hal itu berpengaruh pada yang lebih besar namun tidak pada yang lebih kecil. Maka rusaklah apa yang mereka jadikan pegangan. Dan Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ: فِي فُرُوعِ الطَّلَاقِ)

(Fasal: Cabang-cabang Hukum Talak)

وَإِذَا تَزَوَّجَ الرَّجُلُ جَارِيَةَ أَبِيهِ تَزْوِيجًا صَحِيحًا، لأنه يخاف العنث، أو لأنه عبد، وإن لم يخف العنث فَقَالَ لَهَا: إِنْ مَاتَ أَبِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَمَاتَ أَبُوهُ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ وَارِثًا لِكَوْنِهِ عَبْدًا، طُلِّقَتْ بِمَوْتِهِ، لِوُجُودِ الصِّفَةِ، وَإِنْ كَانَ وَارِثًا لِكَوْنِهِ حُرًّا فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ عَلَى أَبِيهِ دَيْنٌ يُحِيطُ بِقِيمَتِهَا أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى أَبِيهِ دَيْنٌ يُحِيطُ بِقِيمَتِهَا فَفِي طَلَاقِهَا وَجْهَانِ:

Apabila seorang laki-laki menikahi budak perempuan milik ayahnya dengan akad yang sah, karena khawatir terjerumus dalam perzinaan, atau karena ia adalah seorang budak, meskipun tidak khawatir terjerumus, lalu ia berkata kepada budak itu: “Jika ayahku meninggal, maka engkau tertalak,” kemudian ayahnya meninggal, maka jika ia bukan ahli waris karena statusnya sebagai budak, maka budak itu tertalak dengan kematian ayahnya, karena telah terpenuhi syaratnya. Namun jika ia menjadi ahli waris karena ia merdeka, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ayahnya memiliki utang yang nilainya setara dengan harga budak itu atau tidak. Jika ayahnya tidak memiliki utang yang nilainya setara dengan harga budak itu, maka dalam hal talaknya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ: لَا يُطَلِّقُ، لِأَنَّهُ إِذَا وَرِثَهَا انْفَسَخَ نِكَاحُهَا بِالْمِلْكِ، وَزَمَانُ الْفَسْخِ وَزَمَانُ الطَّلَاقِ سَوَاءٌ، فَوَقَعَ الْفَسْخُ وَلَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ كَقَوْلِهِ لَهَا: إِذَا مُتُّ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَمَاتَ لَمْ تُطَلَّقْ.

Salah satunya, yaitu pendapat Ibn Surayj: tidak jatuh talak, karena jika ia mewarisinya, maka pernikahannya batal karena kepemilikan, dan waktu pembatalan dan waktu talak adalah bersamaan, sehingga yang terjadi adalah pembatalan pernikahan, bukan talak, sebagaimana jika ia berkata kepada istrinya: “Jika aku mati, maka engkau tertalak,” lalu ia mati, maka tidak jatuh talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ أَنَّهَا تُطَلَّقُ وَلَا يَقَعُ الْفَسْخُ بِالْمِلْكِ، لِأَنَّ صِفَةَ الطَّلَاقِ تُوجَدُ عَقِيبَ الْمَوْتِ وَهُوَ زَمَانُ الْمِلْكِ الَّذِي يَتَعَقَّبُهُ الْفَسْخُ، فَصَارَ الطَّلَاقُ وَاقِعًا فِي زَمَانِ الْمِلْكِ لَا فِي زَمَانِ الْفَسْخِ فَلِذَلِكَ وَقَعَ الطَّلَاقُ وَلَمْ يَقَعِ الْفَسْخُ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, bahwa ia (perempuan itu) ditalak dan tidak terjadi fasakh karena kepemilikan, karena sifat talak itu terjadi setelah kematian, yaitu pada masa kepemilikan yang setelahnya terjadi fasakh. Maka talak itu terjadi pada masa kepemilikan, bukan pada masa fasakh. Oleh karena itu, talak terjadi dan fasakh tidak terjadi.

وَإِنْ كَانَ عَلَى أَبِيهِ دَيْنٌ يُحِيطُ بِقِيمَةِ الْجَارِيَةِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي التَّرِكَةِ إِذَا أَحَاطَ بِهَا الدَّيْنُ، هَلْ تَنْتَقِلُ إِلَى مِلْكِ الْوَرَثَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ أَنَّهَا لَا تَنْتَقِلُ إلى ملكهم، وتكون لأرباب الذين دُونَهُمْ، فَعَلَى هَذَا تُطَلَّقُ لِوُجُودِ شَرْطِ الطَّلَاقِ وَعَدَمِ شَرْطِ الْفَسْخِ.

Dan jika ayahnya memiliki utang yang nilainya setara dengan harga budak perempuan tersebut, maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenai harta warisan apabila seluruhnya dikepung oleh utang, apakah berpindah ke kepemilikan ahli waris atau tidak? Ada dua pendapat: salah satunya, yaitu pendapat Abu Sa’id al-Istakhri, bahwa harta warisan tidak berpindah ke kepemilikan mereka, tetapi menjadi milik para pemilik utang sebelum mereka. Maka menurut pendapat ini, perempuan itu ditalak karena syarat talak terpenuhi dan syarat fasakh tidak terpenuhi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا: أَنَّهَا تَنْتَقِلُ إِلَى مِلْكِ الْوَرَثَةِ وَإِنْ أَحَاطَ بِهَا الدَّيْنُ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ طَلَاقُهَا عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu al-‘Abbas dan mayoritas sahabat kami, bahwa harta warisan berpindah ke kepemilikan ahli waris meskipun seluruhnya dikepung oleh utang. Maka menurut pendapat ini, talaknya berlaku sebagaimana dua pendapat yang telah lalu.

فَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ عَلَى حَالِهَا، فِي تَزْوِيجِ الِابْنِ جَارِيَةَ الْأَبِ، فَقَالَ لَهَا الْأَبُ: إِذَا مُتُّ فَأَنْتِ حُرَّةٌ، وَقَالَ لَهَا الِابْنُ: إِذَا مَاتَ أَبِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَمَاتَ الْأَبُ نُظِرَ، فَإِنْ مَاتَ وَقِيمَتُهَا تَخْرُجُ مِنْ ثُلُثِهِ، عَتَقَتْ عَلَى الْأَبِ، وَطُلِّقَتْ عَلَى الِابْنِ، لِأَنَّ عِتْقَ الْأَبِ لَهَا يَمْنَعُ مِنْ مِلْكِ الِابْنِ لَهَا، وَلِذَلِكَ وَقَعَ الْعِتْقُ وَالطَّلَاقُ مَعًا. وَإِنْ كَانَ عَلَى الْأَبِ دَيْنٌ يُحِيطُ بِهَا وَيَمْنَعُ مِنْ خُرُوجِهَا مِنْ ثُلُثِهِ، لَمْ تَعْتِقْ عَلَيْهِ، لِأَنَّ عِتْقَ الْمَرِيضِ إِذَا لَمْ يَخْرُجْ مِنَ الثُّلُثِ مَرْدُودٌ، فَطَلَاقُهَا عَلَى الِابْنِ مُعْتَبَرٌ بِاخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا، هَلْ يَمْلِكُهَا الِابْنُ إِذَا أَحَاطَ بِهَا دَيْنُ الْأَبِ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ لَا يَمْلِكُهَا الِابْنُ، فَعَلَى هَذَا تُطَلَّقُ، وَعَلَى قَوْلِ الْجَمَاعَةِ قَدْ مَلَكَهَا الِابْنُ، فَعَلَى هَذَا فِي طَلَاقِهَا عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Seandainya masalahnya tetap seperti itu, yaitu dalam pernikahan anak laki-laki dengan budak perempuan milik ayah, lalu sang ayah berkata kepada budak itu: “Jika aku mati, maka engkau merdeka,” dan sang anak berkata kepadanya: “Jika ayahku mati, maka engkau tertalak,” kemudian ayahnya meninggal dunia, maka dilihat: jika ia meninggal dan nilai budak itu dapat diambil dari sepertiga hartanya, maka budak itu merdeka karena ayah, dan tertalak karena anak, karena kemerdekaan yang dilakukan ayah mencegah anak untuk memilikinya. Oleh karena itu, kemerdekaan dan talak terjadi bersamaan. Namun jika ayah memiliki utang yang nilainya setara dengan budak itu dan menghalangi budak itu keluar dari sepertiga hartanya, maka ia tidak merdeka karena ayah, sebab kemerdekaan yang dilakukan orang sakit jika tidak keluar dari sepertiga harta adalah tertolak. Maka talaknya oleh anak dipertimbangkan sesuai perbedaan pendapat sahabat kami, apakah anak menjadi pemilik budak itu jika utang ayah mengepungnya. Menurut pendapat Abu Sa’id al-Istakhri, anak tidak memilikinya, maka menurut pendapat ini, budak itu tertalak. Sedangkan menurut pendapat mayoritas, anak telah memilikinya, maka menurut pendapat ini, dalam masalah talaknya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ: لَا تُطَلَّقُ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas: tidak tertalak.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ: تطلق.

Dan yang kedua, yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini: tertalak.

(فصل: في الشرط والجزاء)

(Fasal: tentang syarat dan konsekuensi)

إِذَا قَالَ: إِنْ دَخَلَتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَهُوَ طلاق معلق بشرط لا يقع إلا بوجود، وَالشَّرْطُ دُخُولُ الدَّارِ، وَالْجَزَاءُ وُقُوعُ الطَّلَاقِ، فَمَتَى دَخَلَتِ الدَّارَ طُلِّقَتْ، وَلَا تُطَلَّقُ إِنْ لَمْ تَدْخُلْ.

Jika seseorang berkata: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” maka itu adalah talak yang digantungkan pada syarat, dan tidak terjadi kecuali dengan adanya syarat tersebut. Syaratnya adalah masuk ke rumah, dan konsekuensinya adalah terjadinya talak. Maka kapan saja ia masuk ke rumah, ia tertalak, dan tidak tertalak jika tidak masuk.

فَلَوْ قَالَ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَظَاهِرُهُ الشَّرْطُ وَالْجَزَاءُ، وَإِنْ أَسْقَطَ فَاءَ الْجَزَاءِ فَلَا تُطَلَّقُ إِلَّا بِدُخُولِ الدَّارِ، كَقَوْلِهِ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَلَوْ قَالَ: أردت به الطلاق في الحال، فقولي: أَنْتِ طَالِقٌ حُمِلَ عَلَى إِرَادَتِهِ، لِأَنَّهُ أَضَرَّ به، ويحلف في الحال ولم يطلق بِدُخُولِ الدَّارِ.

Seandainya ia berkata: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” maka secara lahiriah itu adalah syarat dan konsekuensi. Jika ia menghilangkan huruf fa’ pada konsekuensi, maka tidak tertalak kecuali dengan masuk ke rumah, seperti ucapannya: “Jika engkau masuk ke rumah, engkau tertalak.” Jika ia berkata: “Aku maksudkan talak saat ini, maka ucapanku: engkau tertalak,” maka ucapan itu mengikuti maksudnya, karena itu lebih memberatkannya, dan ia bersumpah saat itu juga dan tidak tertalak dengan masuk ke rumah.

وَلَوْ قَالَ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، احْتَمَلَ ثَلَاثَةَ مَعَانٍ:

Jika ia berkata: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” maka ucapan itu mengandung tiga makna:

أَحَدُهَا: أَنْ يُرِيدَ بِذَلِكَ الشَّرْطَ وَيُضْمِرَ الْجَزَاءَ فِي نَفْسِهِ، فَكَأَنَّهُ أَرَادَ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ وَأَنْتِ طَالِقٌ فَعَبْدِي حُرٌّ، أَوْ فَحَفْصَةُ طَالِقٌ فَيُحْمَلُ عَلَى مَا أَرَادَ، لِأَنَّ الْكَلَامَ يَحْتَمِلُهُ، فَلَا تُطَلَّقُ هِيَ بِدُخُولِ الدَّارِ، فَإِنْ أَكْذَبَتْهُ الزَّوْجَةُ أُحْلِفُ لَهَا.

Salah satunya: ia bermaksud menjadikan itu sebagai syarat dan menyembunyikan konsekuensinya dalam hatinya, seolah-olah ia bermaksud: “Jika engkau masuk ke rumah dan engkau tertalak, maka hambaku merdeka,” atau “maka Hafshah tertalak,” maka ucapan itu mengikuti maksudnya, karena kalimat itu memungkinkan makna tersebut. Maka ia tidak tertalak hanya dengan masuk ke rumah. Jika istri mendustakannya, maka ia diminta bersumpah untuknya.

الْمَعْنَى الثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ الشَّرْطَ وَالْجَزَاءَ، فَيَكُونَ كَقَوْلِهِ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَيَكُونَ عَلَى مَا أَرَادَ شَرْطًا وَجَزَاءً وَتَقُومُ الْوَاوُ مَقَامَ الْفَاءِ، فَإِذَا دَخَلَتِ الدَّارَ طُلِّقَتْ فَإِنْ أَكْذَبَتْهُ الزَّوْجَةُ وَذَكَرَتْ أَنَّهُ أَرَادَ بِهِمَا جَمِيعًا الشَّرْطَ لَمْ يَحْلِفْ لَهَا، فَإِنْ ذَكَرَتْ أَنَّهُ أَرَادَ الطَّلَاقَ الْمُعَجَّلَ أُحْلِفُ لَهَا.

Makna kedua: ia bermaksud syarat dan konsekuensi, maka itu seperti ucapannya: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak.” Maka ucapan itu berlaku sesuai maksudnya sebagai syarat dan konsekuensi, dan huruf waw menggantikan posisi fa’. Jika ia masuk ke rumah, maka ia tertalak. Jika istri mendustakannya dan mengatakan bahwa ia bermaksud keduanya sebagai syarat, maka ia tidak diminta bersumpah untuknya. Namun jika ia mengatakan bahwa ia bermaksud talak yang segera, maka ia diminta bersumpah untuknya.

وَالْمَعْنَى الثَّالِثُ: أَنْ يُرِيدَ إِيقَاعَ الطَّلَاقِ فِي الْحَالِ فَتُطَلَّقَ، وَيَكُونُ ذِكْرُ الدَّارِ صِلَةً لَا شَرْطًا، فَإِنْ أَكْذَبَتْهُ الزَّوْجَةُ لَمْ يَحْلِفْ لَهَا، فَإِنْ قَالَ ذَلِكَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ، كَانَ الظَّاهِرُ مِنْهُ حَمْلَهُ عَلَى الشَّرْطِ وَالْجَزَاءِ، لِأَنَّ الْكَلَامَ إِذَا أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ مُسْتَقِلًّا بِنَفْسِهِ، لَمْ يُجْعَلْ مَبْتُورًا وَالْوَاوُ قَدْ تَقُومُ مَقَامَ الْفَاءِ، لِأَنَّهَا مِنَ الْحُرُوفِ الَّتِي يَنُوبُ بَعْضُهَا مَنَابَ بَعْضٍ.

Makna yang ketiga: yaitu ia bermaksud menjatuhkan talak saat itu juga, maka talak pun jatuh, dan penyebutan rumah hanya sebagai keterangan tambahan, bukan sebagai syarat. Jika istri mendustakannya, ia tidak perlu bersumpah untuknya. Jika ia mengucapkan hal itu tanpa ada niat, maka yang tampak adalah ucapan tersebut dianggap sebagai syarat dan balasan, karena jika suatu ucapan memungkinkan untuk berdiri sendiri, maka tidak dianggap terputus, dan huruf “wawu” kadang bisa menggantikan posisi “fa”, karena keduanya termasuk huruf-huruf yang bisa saling menggantikan.

وَلَوْ قَالَ: وَإِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، احْتَمَلَ مَعْنَيَيْنِ:

Dan jika ia berkata: “Dan jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” maka ucapan ini mengandung dua kemungkinan makna:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَطْفًا عَلَى كَلَامٍ تَقَدَّمَ كَأَنَّهُ قَالَ: إِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ وَإِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فأنت طالق، فيكون شرطاً وجزءا فَمَتَى دَخَلَتِ الدَّارَ طُلِّقَتْ، وَلَا تُطَلَّقُ قَبْلَ دُخُولِهَا.

Salah satunya: yaitu sebagai sambungan dari ucapan sebelumnya, seakan-akan ia berkata: “Jika engkau berbicara dengan Zaid maka engkau tertalak, dan jika engkau masuk ke rumah maka engkau tertalak,” sehingga menjadi syarat dan balasan. Maka kapan pun ia masuk ke rumah, ia tertalak, dan tidak tertalak sebelum masuk ke rumah.

وَالْمَعْنَى الثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ بِهِ إِيقَاعَ الطَّلَاقِ فِي الْحَالِ، فَتُطَلَّقُ وَيَكُونُ مَعْنَاهُ أَنْتِ طَالِقٌ وَإِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ. وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا وَعَمْرًا وَبَكْرًا مَعَ خَالِدٍ، فَإِنْ أَرَادَ بِقَوْلِهِ وَبَكْرًا مَعَ خَالِدٍ اسْتِئْنَافَ كَلَامٍ كَانَ شَرْطُ الطَّلَاقِ كَلَامَ زَيْدٍ وَعَمْرٍو، دُونَ بَكْرٍ وَخَالِدٍ، فَإِذَا كَلَّمَتْ زَيْدًا وَعَمْرًا مَعًا أَوْ عَلَى انْفِرَادٍ طُلِّقَتْ، وَإِنْ كَلَّمَتْ أَحَدَهُمَا دُونَ الْآخَرِ لَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ أَرَادَ بِقَوْلِهِ بَكْرًا مَعَ خَالِدٍ الشَّرْطَ، صَارَ شَرْطُ الطَّلَاقِ مُقَيَّدًا بِكَلَامِ زَيْدٍ وَعَمْرٍو، وَبَكْرٍ مَعَ خَالِدٍ فَإِنْ كَلَّمَتْهُمْ إِلَّا وَاحِدًا مِنْهُمْ لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ الشَّرْطَ لَمْ يَكْمُلْ، وَإِنْ كَلَّمَتْهُمْ جَمِيعًا وَأَفْرَدَتْ كَلَامَ بَكْرٍ عَنْ خَالِدٍ لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّهُ جَعَلَ شَرْطَ الطَّلَاقِ اجْتِمَاعَهُمْ فِي الْكَلَامِ وَإِنْ جَمَعَتْ بَيْنَ بَكْرٍ وَخَالِدٍ فِي الْكَلَامِ وَفَرَّقَتْ بَيْنَ زَيْدٍ وَعَمْرٍو فِي الْكَلَامِ طُلِّقَتْ، لِأَنَّهُ جَعَلَ الْجَمْعَ بَيْنَ بَكْرٍ وَخَالِدٍ شَرْطًا، وَلَمْ يَجْعَلِ الْجَمْعَ بَيْنَ زَيْدٍ وَعَمْرٍو شَرْطًا، وَإِنْ قَالَ ذَلِكَ: وَلَا إِرَادَةَ له حمل ذكر وبكر وَخَالِدٍ عَلَى الِاسْتِئْنَافِ دُونَ الشَّرْطِ، لِأَنَّ اخْتِلَافَهُمَا فِي حُكْمِ الْإِعْرَابِ يُخَالِفُ بَيْنَهُمَا فِي حُكْمِ الشَّرْطِ، وَلَوْ قَالَ: إِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا أَوْ عَمْرًا أَوْ بَكْرًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَإِنْ كَلَّمَتْ أَحَدَهُمْ طُلِّقَتْ وَاحِدَةً، وَإِنْ كَلَّمَتْهُمْ جَمِيعًا قَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ: تُطَلَّقُ ثَلَاثًا، لِأَنَّ كَلَامَ كُلِّ وَاحِدٍ شَرْطٌ يَتَعَلَّقُ بِهِ الْجَزَاءُ إِذَا انْفَرَدَ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ الْجَزَاءُ إِذَا اجْتَمَعَ.

Makna yang kedua: yaitu ia bermaksud menjatuhkan talak saat itu juga, maka talak pun jatuh, dan maknanya adalah: “Engkau tertalak, meskipun engkau masuk ke rumah.” Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak jika engkau berbicara dengan Zaid, Amr, dan Bakr bersama Khalid,” maka jika yang dimaksud dengan ucapannya “dan Bakr bersama Khalid” adalah memulai ucapan baru, maka syarat talak adalah berbicara dengan Zaid dan Amr saja, tanpa Bakr dan Khalid. Maka jika ia berbicara dengan Zaid dan Amr, baik bersamaan maupun sendiri-sendiri, ia tertalak. Jika ia berbicara dengan salah satu dari keduanya saja, ia tidak tertalak. Jika yang dimaksud dengan ucapannya “Bakr bersama Khalid” adalah sebagai syarat, maka syarat talak menjadi terikat dengan berbicara dengan Zaid dan Amr, dan Bakr bersama Khalid. Jika ia berbicara dengan mereka kecuali salah satu dari mereka, ia tidak tertalak, karena syaratnya belum sempurna. Jika ia berbicara dengan mereka semua, namun pembicaraan dengan Bakr dipisahkan dari Khalid, ia tidak tertalak, karena syarat talak adalah berkumpulnya mereka dalam pembicaraan. Jika ia mengumpulkan Bakr dan Khalid dalam pembicaraan, namun memisahkan Zaid dan Amr dalam pembicaraan, ia tertalak, karena syaratnya adalah mengumpulkan Bakr dan Khalid, dan tidak menjadikan berkumpulnya Zaid dan Amr sebagai syarat. Jika ia mengucapkan itu tanpa ada niat, maka penyebutan Zaid, Bakr, dan Khalid dianggap sebagai permulaan ucapan baru, bukan sebagai syarat, karena perbedaan i‘rab (tata bahasa) menunjukkan perbedaan dalam hukum syarat. Jika ia berkata: “Jika engkau berbicara dengan Zaid atau Amr atau Bakr maka engkau tertalak,” maka jika ia berbicara dengan salah satu dari mereka, ia tertalak satu kali. Jika ia berbicara dengan mereka semua, menurut Ibnu Surayj: ia tertalak tiga kali, karena pembicaraan dengan masing-masing adalah syarat yang terkait dengan balasan jika berdiri sendiri, maka wajib juga terkait dengan balasan jika berkumpul.

وَالَّذِي أَرَاهُ أَنَّهَا لَا تُطَلَّقُ إِلَّا وَاحِدَةً، لِأَنَّ الْجَزَاءَ وَاحِدٌ عُلِّقَ بِأَحَدِ ثَلَاثَةِ شُرُوطٍ فوجب أن لا يَتَعَلَّقَ بِهِمَا إِذَا اجْتَمَعَتِ الْأَجْزَاءُ وَاحِدَةً، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: إِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ وَإِنْ كَلَّمْتِ عَمْرًا فَأَنْتِ طَالِقٌ وَإِنْ كَلَّمْتِ بكراص فَأَنْتِ طَالِقٌ فَكَلَّمَتْهُمْ جَمِيعًا، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، لِأَنَّهَا ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ عُلِّقَ بِكُلِّ شَرْطٍ مِنْهَا جَزَاءٌ مُفْرَدٌ، وَلَوْ قَالَ وَلَهُ زَوْجَتَانِ: وَإِنْ دَخَلْتُمَا هَاتَيْنِ الدَّارَيْنِ، فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ، فَإِنْ دَخَلَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنَ الدَّارَيْنِ طُلِّقَتَا، وَإِنْ دَخَلَتْ إِحْدَاهُمَا إِحْدَى الدَّارَيْنِ وَدَخَلَتِ الْأُخْرَى الدَّارَ الْأُخْرَى فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Pendapat yang aku anggap benar adalah bahwa ia tidak tertalak kecuali satu kali, karena balasan hanya satu yang digantungkan pada salah satu dari tiga syarat, maka tidak boleh terkait dengan mereka semua jika syarat-syarat itu terkumpul, kecuali satu kali. Namun, jika ia berkata: “Jika engkau berbicara dengan Zaid maka engkau tertalak, dan jika engkau berbicara dengan Amr maka engkau tertalak, dan jika engkau berbicara dengan Bakr maka engkau tertalak,” lalu ia berbicara dengan mereka semua, maka ia tertalak tiga kali, karena itu adalah tiga syarat yang masing-masing digantungkan pada satu balasan tersendiri. Jika ia memiliki dua istri dan berkata: “Dan jika kalian berdua masuk ke dua rumah ini, maka kalian berdua tertalak,” lalu masing-masing dari keduanya masuk ke masing-masing rumah, maka keduanya tertalak. Jika salah satu dari keduanya masuk ke salah satu rumah dan yang lainnya masuk ke rumah yang lain, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: طُلِّقَتَا، لِأَنَّ دُخُولَ الدَّارَيْنِ مَوْجُودٌ مِنْهُمَا فَصَارَ الشَّرْطُ بِدُخُولِهِمَا موجوداً.

Salah satunya: keduanya tertalak, karena masuknya ke dua rumah telah terjadi dari keduanya, sehingga syarat dengan masuknya mereka berdua telah terpenuhi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ: لَا تُطَلَّقَا حَتَّى تَدْخُلَ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنَ الدَّارَيْنِ، لِأَنَّهُ لَوْ أَفْرَدَ طَلَاقَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِدُخُولِ الدَّارَيْنِ، لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا بِدُخُولِهِمَا مَعًا، فَكَذَلِكَ إِذَا جَمَعَ بَيْنَهُمَا لَمْ تُطَلَّقْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا إِلَّا بِدُخُولِ الدَّارَيْنِ مَعًا، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: إِنْ رَكِبْتُمَا هَاتَيْنِ الدَّابَّتَيْنِ فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ فَرَكِبَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنَ الدَّابَّتَيْنِ أَوْ قَالَ إِنْ أَكَلْتُمَا هَذَيْنِ الرَّغِيفَيْنِ فَأَنْتُمَا طَالِقَتَانِ، فَأَكَلَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا أَحَدَ الرَّغِيفَيْنِ كَانَ طَلَاقُهُمَا عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: keduanya tidak jatuh talak hingga masing-masing dari mereka masuk ke kedua rumah itu. Karena jika talak masing-masing dari mereka dikaitkan dengan masuk ke kedua rumah itu, maka talak tidak terjadi kecuali jika keduanya masuk bersama-sama. Maka demikian pula jika keduanya digabungkan dalam satu ucapan, maka talak masing-masing dari mereka tidak terjadi kecuali dengan masuk ke kedua rumah itu bersama-sama. Demikian juga jika ia berkata: “Jika kalian berdua menaiki dua hewan tunggangan ini, maka kalian berdua tertalak,” lalu masing-masing dari mereka menaiki masing-masing dari dua hewan itu, atau ia berkata: “Jika kalian berdua memakan dua roti ini, maka kalian berdua tertalak,” lalu masing-masing dari mereka memakan salah satu dari dua roti itu, maka jatuhnya talak mereka berdua mengikuti dua pendapat di atas.

(فَصْلٌ آخَرُ:)

(Bagian lain:)

فَلَوْ قَالَ لِزَوْجَتِهِ: إِنْ لَمْ أُطَلِّقْكِ الْيَوْمَ فَأَنْتِ طَالِقٌ الْيَوْمَ، فَمَضَى الْيَوْمُ قَبْلَ أَنْ تُطَلَّقَ لَمْ تُطَلَّقْ قَالَهُ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ، تَعْلِيلًا بِأَنَّ مُضِيَّ الْيَوْمِ شَرْطٌ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ فِي الْيَوْمِ فَلَيْسَ يُوجَدُ شَرْطُ الطَّلَاقِ، إِلَّا وَقَدِ انْقَضَى مَحِلُّ الطَّلَاقِ فَلَمْ يَقَعْ.

Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Jika hari ini aku tidak menceraikanmu, maka hari ini engkau tertalak,” lalu hari itu berlalu sebelum ia menceraikannya, maka talak tidak terjadi. Hal ini dikatakan oleh Abu al-‘Abbas bin Surayj, dengan alasan bahwa berlalunya hari adalah syarat terjadinya talak pada hari itu, sehingga syarat talak tidak terpenuhi kecuali setelah waktu talak telah berlalu, maka talak pun tidak terjadi.

وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ: يَقَعُ الطَّلَاقُ، لِأَنَّ شَرْطَ الطَّلَاقِ فَوَاتُهُ فِي الْيَوْمِ، وَإِذَا بَقِيَ مِنْ آخِرِهِ مَا يضيف عَنْ لَفْظِ الطَّلَاقِ فَقَدْ وُجِدَ الشَّرْطُ، وَذَلِكَ الزَّمَانُ لَا يَضِيقُ عَنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ، وَإِنْ ضَاقَ عَنْ لَفْظِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ وَهَذَا فَاسِدٌ، وَقَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ أَوْلَى، لِأَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ إِذَا لَمْ يَكُنْ إِلَّا بِلَفْظِ الطَّلَاقِ وَزَمَانُ لَفْظِهِ وَزَمَانُ وُقُوعِهِ مِثْلَانِ، فَإِذَا ضَاقَ عَنْ أَحَدِهِمَا ضَاقَ عَنِ الْآخَرِ.

Abu Hamid al-Isfarayini berkata: Talak terjadi, karena syarat talak adalah tidak terjadinya talak pada hari itu, dan jika masih tersisa sedikit waktu dari hari itu yang memungkinkan untuk mengucapkan lafaz talak, maka syarat telah terpenuhi, dan waktu tersebut tidak sempit untuk terjadinya talak, meskipun sempit untuk mengucapkannya, maka wajib talak terjadi. Namun pendapat ini rusak, dan pendapat Abu al-‘Abbas lebih utama, karena terjadinya talak tidak mungkin kecuali dengan lafaz talak, dan waktu mengucapkan lafaz serta waktu terjadinya talak adalah sama, sehingga jika waktu sempit untuk salah satunya, maka sempit pula untuk yang lainnya.

وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: إِنْ لَمْ أَبِعْ عَبْدِي الْيَوْمَ فَأَنْتِ طَالِقٌ الْيَوْمَ فَلَمْ يَبِعْهُ حَتَّى مَضَى الْيَوْمُ، طُلِّقَتْ وَصَحَّ فِيهِ تَعْلِيلُ أَبِي حَامِدٍ، لِأَنَّ زَمَانَ الْبَيْعِ أَوْسَعُ مِنْ زَمَانِ الطَّلَاقِ، لِأَنَّهُ يَفْتَقِرُ إِلَى بَذْلِ الْبَائِعِ وَقَبُولٍ مِنَ الْمُشْتَرِي، فَإِذَا ضَاقَ عَنِ اللَّفْظَيْنِ فِي الْبَيْعِ وُجِدَ الشَّرْطُ، وَهُوَ لَا يَضِيقُ عَنِ الطَّلَاقِ الَّذِي يَقَعُ بِأَحَدِ اللَّفْظَيْنِ فَلِذَلِكَ وَقَعَ، وَلَوْ قَالَ: إِنْ لَمْ أَبِعْ عَبْدِي الْيَوْمَ فَأَنْتِ طَالِقٌ الْيَوْمَ، فَأَعْتَقَهُ طُلِّقَتْ لِفَوَاتِ بَيْعِهِ بِالْعِتْقِ، وَفِي زَمَانِ طَلَاقِهَا وَجْهَانِ:

Namun, jika ia berkata: “Jika hari ini aku tidak menjual budakku, maka hari ini engkau tertalak,” lalu ia tidak menjualnya hingga hari itu berlalu, maka istrinya tertalak. Dalam hal ini, alasan Abu Hamid sah, karena waktu untuk menjual lebih luas daripada waktu untuk talak, sebab jual beli memerlukan penawaran dari penjual dan penerimaan dari pembeli. Jika waktu sempit untuk kedua lafaz dalam jual beli, maka syarat telah terpenuhi, dan waktu itu tidak sempit untuk talak yang cukup dengan salah satu lafaz, maka sebab itu talak terjadi. Jika ia berkata: “Jika hari ini aku tidak menjual budakku, maka hari ini engkau tertalak,” lalu ia memerdekakannya, maka istrinya tertalak karena batalnya jual beli dengan kemerdekaan, dan dalam waktu jatuhnya talak ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: عَقِيبَ عِتْقِهِ.

Salah satunya: Setelah budak itu dimerdekakan.

وَالثَّانِي: فِي آخِرِ الْيَوْمِ إِذَا ضَاقَ عَنْ وَقْتِ الْبَيْعِ، لَوْ كَانَ بَيْعُهُ مُمْكِنًا وَلَكِنْ لَوْ دَبَّرَ عَبْدَهُ لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا بِفَوَاتِ بَيْعِهِ، لِأَنَّ بَيْعَ الْمُدَبَّرِ جَائِزٌ وَكَذَلِكَ لَوْ كَاتَبَهُ، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَفْسَخَ الْمُكَاتِبُ كِتَابَتَهُ فَيَجُوزُ بَيْعُهُ.

Yang kedua: Pada akhir hari jika waktu untuk menjual sudah sempit, seandainya penjualan masih memungkinkan. Namun jika ia menjadikan budaknya mudabbar, maka istrinya tidak tertalak kecuali setelah batalnya penjualan, karena penjualan budak mudabbar masih boleh. Demikian pula jika ia melakukan mukatabah, karena bisa saja mukatabah itu dibatalkan sehingga budaknya bisa dijual.

قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ يَوْمَ لَا أُطَلِّقُكِ فَإِذَا مَضَى يَوْمٌ لَمْ يُطَلِّقْهَا فِيهِ طُلِّقَتْ بِالْحِنْثِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ يَوْمَ لَا أَدْخُلُ دَارَ زَيْدٍ، طُلِّقَتْ إِذَا مَضَى عَلَيْهِ وَقْتٌ يُمْكِنُهُ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ دَارَ زَيْدٍ، مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، وَلَمْ يُرَاعَ فِيهِ مُضِيُّ الْيَوْمِ، قَالَ: لِأَنَّ النَّاسَ يُرِيدُونَ بِمِثْلِ هَذَا الْوَقْتِ دُونَ الْيَوْمِ الْمُقَدَّرِ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ} [الأنعام: 16] . يُرِيدُ بِهِ الْوَقْتَ وَلَا يُرِيدُ بِهِ نَهَارَ الْيَوْمِ، وَهَذَا التَّعْلِيلُ إِنْ صَحَّ فِي قَوْلِهِ: لَا أَدْخُلُ دَارَ زَيْدٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ، صَحَّ في قَوْلِهِ: يَوْمَ لَا أُطَلِّقُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَلَيْسَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مَعْنًى يَصِحُّ فَإِنْ جَعَلَ ذِكْرَ الْيَوْمِ فِي دُخُولِ الدَّارِ، عِبَارَةً عَنِ الْوَقْتِ جَعَلَ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ عِبَارَةً عَنِ الْوَقْتِ، وَإِنْ لَمْ يَجْعَلْ فِي أَحَدِهِمَا لَمْ يَجْعَلْ فِي الْآخَرِ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: لَيْلَةٌ لَا أَدْخُلُ فِيهَا دَارَ زَيْدٍ، فَأَنْتِ طَالِقٌ لَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا بِمُضِيِّ اللَّيْلَةِ لَا بِدُخُولِ دَارِهِ فِيهَا.

Abu al-‘Abbas Ibn Surayj berkata: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak pada hari di mana aku tidak menalakmu,” maka apabila telah berlalu satu hari di mana ia tidak menalaknya, maka istrinya tertalak karena melanggar sumpah. Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak pada hari di mana aku tidak masuk ke rumah Zaid,” maka istrinya tertalak apabila telah berlalu waktu di mana ia memungkinkan untuk masuk ke rumah Zaid, baik malam maupun siang, dan tidak disyaratkan harus berlalu satu hari penuh. Ia berkata: Karena kebiasaan masyarakat dalam hal seperti ini adalah maksudnya waktu, bukan hari yang ditentukan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa yang pada hari itu membelakangi mereka, kecuali berbelok untuk berperang…} [al-Anfal: 16]. Maksudnya adalah waktu, bukan siang hari secara khusus. Jika penjelasan ini sah untuk ucapannya: “Aku tidak masuk ke rumah Zaid, maka engkau tertalak,” maka sah pula untuk ucapannya: “Pada hari aku tidak menalakmu, maka engkau tertalak.” Tidak ada perbedaan makna yang sah antara keduanya. Jika penyebutan hari dalam masuk rumah dimaknai sebagai waktu, maka dalam jatuhnya talak pun dimaknai sebagai waktu. Jika tidak dimaknai demikian pada salah satunya, maka tidak dimaknai demikian pula pada yang lainnya. Namun, jika ia berkata: “Pada malam aku tidak masuk ke rumah Zaid, maka engkau tertalak,” maka istrinya tidak tertalak kecuali setelah berlalu malam itu, bukan karena masuk ke rumah Zaid pada malam itu.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ اللَّيْلَةِ وَالْيَوْمِ، أَنَّ الْعُرْفَ مُسْتَعْمَلٌ بِأَنَّ الْوَقْتَ قَدْ يُعَبَّرُ عَنْهُ بِالْيَوْمِ وَلَا يُعَبَّرُ عَنْهُ بِاللَّيْلَةِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِلَى حِينٍ أَوْ إِلَى زَمَانٍ، طُلِّقَتْ إِذَا سَكَتَ، لِأَنَّهُ حِينٌ وَزَمَانٌ وَوَقْتٌ.

Perbedaan antara malam dan hari adalah bahwa dalam kebiasaan, waktu kadang-kadang diungkapkan dengan “hari” dan tidak diungkapkan dengan “malam”. Jika ia berkata: “Engkau tertalak sampai waktu tertentu” atau “sampai masa tertentu”, maka istrinya tertalak jika ia diam, karena itu adalah waktu, masa, dan saat.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ الْيَوْمَ غَدًا فَلَهُ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak hari ini besok,” maka ada empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُرِيدَ أَنَّهَا تُطَلَّقُ الْيَوْمَ وَاحِدَةً وَهِيَ لَاحِقَةٌ بِهَا فِي غَدٍ، فَتُطَلَّقُ فِي يَوْمِهِ وَاحِدَةً لَا غَيْرَ وَهِيَ لَاحِقَةٌ بِهَا فِي غَدٍ.

Pertama: Ia bermaksud bahwa istrinya tertalak satu kali hari ini dan talak itu tetap berlaku hingga besok, maka istrinya tertalak satu kali pada hari itu saja dan talak itu tetap berlaku hingga besok.

وَالثَّانِيَةُ: أَنْ يُرِيدَ أَنَّهَا تُطَلَّقُ فِي يَوْمِهِ وَاحِدَةً وَفِي غَدِهِ أُخْرَى فَتُطَلَّقُ اثْنَتَيْنِ وَاحِدَةً فِي الْيَوْمِ وَأُخْرَى فِي غَدٍ.

Kedua: Ia bermaksud bahwa istrinya tertalak satu kali pada hari ini dan satu kali lagi pada besoknya, maka istrinya tertalak dua kali: satu kali pada hari ini dan satu kali lagi pada besoknya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُرِيدَ تَبْعِيضَ الطَّلَاقِ، الطَّلْقَةُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ، فَيُنْظَرُ إِنْ أَرَادَ تَبْعِيضَ طَلْقَتَيْنِ كَأَنَّهُ أَرَادَ بَعْضَ طَلْقَةٍ فِي يَوْمِهِ، وَبَعْضَ أُخْرَى فِي غَدِهِ، طُلِّقَتْ طَلْقَتَيْنِ فِي يَوْمِهِ وَغَدِهِ تَكْمِيلًا لِلْبَعْضِ الْوَاقِعِ فِيهِ. وَإِنْ أَرَادَ تَبْعِيضَ طَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ فَتَقَعُ الْيَوْمَ طَلْقَةٌ تَكْمِيلًا لِلطَّلْقَةِ الْوَاقِعَةِ فِيهِ فَهَلْ يُطَلِّقُ فِي غَدِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ ذَكَرَهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Ketiga: Ia bermaksud membagi talak, yaitu talak itu terjadi sebagian pada hari ini dan sebagian pada besok. Maka, jika ia bermaksud membagi dua talak, seakan-akan ia menghendaki sebagian talak pada hari ini dan sebagian lagi pada besok, maka istrinya tertalak dua kali pada hari ini dan besok sebagai penyempurnaan dari bagian yang terjadi pada masing-masing hari. Jika ia bermaksud membagi satu talak, maka pada hari ini jatuh satu talak sebagai penyempurnaan talak yang terjadi pada hari itu. Apakah pada besoknya jatuh talak lagi atau tidak? Ada dua pendapat yang disebutkan oleh Ibn Surayj:

أَحَدُهُمَا: لَا تُطَلَّقُ، لِأَنَّ الْبَعْضَ الَّذِي أَوْقَعَهُ فِي غَدِهِ، قَدْ تُعُجِّلَ فِي يَوْمِهِ.

Pertama: Tidak jatuh talak lagi, karena bagian yang seharusnya terjadi pada besok telah disegerakan pada hari ini.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُطَلَّقُ، لِأَنَّ الْبَعْضَ الَّذِي فِي يَوْمٍ يَكْمُلُ بِالشَّرْعِ، لَا بِتَقْدِيمِ مَا أَخَّرَهُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْبَعْضُ الَّذِي في غده واقعاً بالإرادة تكملاً بِالشَّرْعِ.

Pendapat kedua: Jatuh talak lagi, karena bagian yang terjadi pada hari ini menjadi sempurna menurut syariat, bukan karena mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan. Maka, bagian yang terjadi pada besoknya jatuh berdasarkan kehendak sebagai penyempurnaan menurut syariat.

وَالرَّابِعَةُ: أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ إِرَادَةٌ فَتُطَلَّقَ فِي يَوْمِهِ وَاحِدَةً، وَلَا تُطَلَّقَ فِي غَدِهِ حَمْلًا عَلَى الْحَالِ الْأُولَى، لِأَنَّهَا مُحْتَمَلَةٌ وَالْأَصْلُ أَنْ لَا تُطَلَّقَ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ الْيَوْمَ إِذَا جَاءَ غَدٌ، فَجَاءَ غَدٌ لَمْ تُطَلَّقْ فِي الْيَوْمِ وَلَا فِي غَدٍ، لِأَنَّ وُقُوعَ طَلَاقِهَا فِي الْيَوْمِ تَقْدِيمٌ لِلطَّلَاقِ قَبْلَ وُجُودِ الشَّرْطِ، وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَوُقُوعَهُ فِي الْغَدِ إِيقَاعٌ لَهُ فِي غَيْرِ مَحِلِّهِ، وَذَلِكَ لَا يَصِحُّ، فَإِنْ أَرَادَ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ الْيَوْمَ إِذَا جَاءَ غَدٌ، كَقَوْلِهِ: إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ قَبْلَهُ بِيَوْمٍ.

Keempat: Ia tidak memiliki maksud tertentu, maka istrinya tertalak satu kali pada hari itu saja dan tidak tertalak pada besoknya, berdasarkan pada keadaan pertama, karena masih mengandung kemungkinan dan pada dasarnya talak tidak terjadi. Jika ia berkata: “Engkau tertalak hari ini jika besok datang,” lalu besok datang, maka istrinya tidak tertalak pada hari itu maupun pada besoknya, karena jatuhnya talak pada hari itu berarti mendahulukan talak sebelum syaratnya terpenuhi, dan itu tidak boleh. Sedangkan jatuhnya talak pada besok berarti menjatuhkan talak di luar waktunya, dan itu tidak sah. Jika ia bermaksud dengan ucapannya: “Engkau tertalak hari ini jika besok datang,” seperti ucapannya: “Jika Zaid datang, maka engkau tertalak sehari sebelumnya.”

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ بِمَكَّةَ أَوْ فِي مَكَّةَ، فَإِنْ أَرَادَ كَوْنَهَا بِمَكَّةَ دُونَهُ، رُوعِيَ ذَلِكَ وَطُلِّقَتْ إِنْ حَصَلَتْ بِمَكَّةَ، وَلَمْ تُطَلَّقْ إِنْ لَمْ تَحْصُلْ بِهَا، سَوَاءٌ كَانَ الزَّوْجُ بِمَكَّةَ أَوْ لَمْ يَكُنْ، وَإِنْ أَرَادَ كَوْنَهُ بِمَكَّةَ دُونَهَا رُوعِيَ ذَلِكَ، فَإِذَا حَصَلَ الزَّوْجُ بمكة طلقت، وَإِنْ لَمْ يَحْصُلْ بِهَا لَمْ تُطَلَّقْ سَوَاءٌ كَانَتْ بِمَكَّةَ أَوْ لَمْ تَكُنْ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ رُوعِيَ حُصُولُهَا بِمَكَّةَ دُونَهُ، لِأَنَّهُ هُوَ الْأَظْهَرُ مِنَ الْكَلَامِ، فَإِذَا حَصَلَتْ بِمَكَّةَ طُلِّقَتْ، سَوَاءٌ كَانَ الزَّوْجُ بِهَا أَوْ لَمْ يَكُنْ.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak di Makkah” atau “di dalam Makkah”, maka jika ia bermaksud agar istrinya berada di Makkah tanpa dirinya, maka maksud itu yang diperhatikan dan talak jatuh jika istrinya berada di Makkah, dan tidak jatuh talak jika ia tidak berada di sana, baik suami berada di Makkah ataupun tidak. Jika ia bermaksud agar dirinya yang berada di Makkah tanpa istrinya, maka maksud itu yang diperhatikan; maka jika suami berada di Makkah, jatuh talak, dan jika tidak berada di sana maka tidak jatuh talak, baik istrinya berada di Makkah ataupun tidak. Jika ia tidak memiliki maksud tertentu, maka yang diperhatikan adalah keberadaan istrinya di Makkah tanpa dirinya, karena itu yang paling tampak dari ucapannya. Maka jika istrinya berada di Makkah, jatuh talak, baik suami berada di sana ataupun tidak.

وَقَالَ الْبُوَيْطِيُّ: تُطَلَّقُ إِذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِمَكَّةَ، لِأَنَّ الْمُطَلَّقَةَ بِغَيْرِ مَكَّةَ تَكُونُ مُطَلَّقَةً بِمَكَّةَ، وَهَذَا الْقَوْلُ فِيهِ تَنْفَصْل فَائِدَةُ التَّخْصِيصِ. وَيُعَبَّرُ بِقَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ فِي غَدٍ فَإِنَّهَا لَا تُطَلَّقُ قَبْلَ مَجِيءِ غَدٍ، وَإِنْ كَانَتِ الْمُطَلَّقَةُ فِي الْيَوْمِ مُطَلَّقَةً فِي غَدٍ.

Al-Buwaiti berkata: Talak jatuh jika ia tidak memiliki maksud tertentu, meskipun tidak ada satu pun dari keduanya yang berada di Makkah, karena perempuan yang ditalak di luar Makkah bisa dianggap ditalak di Makkah. Pendapat ini menghilangkan manfaat dari adanya pembatasan. Hal ini diungkapkan dengan ucapannya: “Engkau tertalak besok”, maka talak tidak jatuh sebelum datangnya hari esok, meskipun perempuan yang ditalak hari ini adalah perempuan yang tertalak besok.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ مَرِيضَةً أَوْ مُصَلِّيَةً، نُظِرَ فَإِنْ قَالَ: مَرِيضَةً أَوْ مُصَلِّيَةً بِالنَّصْبِ كَانَ الْمَرَضُ وَالصَّلَاةُ شَرْطًا فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ، فَلَا تُطَلَّقُ قَبْلَهُ، وَإِنْ قَالَ: مَرِيضَةٌ أَوْ مُصَلِّيَةٌ بِالرَّفْعِ كَانَ جَزَاءً، فَتُطَلَّقُ فِي الْحَالِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ مَرِيضَةً وَلَا مُصَلِّيَةً، فَإِنْ أَدْغَمَ اللَّفْظَ وَأَلْغَى الْإِعْرَابَ فَلَمْ يُبَيِّنْ فِيهِ نَصْبَ الشَّرْطِ، وَلَا رَفْعَ الْخَبَرِ سُئِلَ عَنْ مُرَادِهِ، فَإِنْ أَرَادَ أَحَدَ الْأَمْرَيْنِ حُمِلَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ حُمِلَ عَلَى الْخَبَرِ دُونَ الشَّرْطِ، وَكَانَ الطَّلَاقُ وَاقِعًا، لِأَنَّ الشَّرْطَ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِالْقَصْدِ فَإِنْ أَعْرَبَ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْإِعْرَابِ وَلَا عَرَفَ مَعْنَى الْمُعْرَبِ، بِالنَّصْبِ وَلَا بِالرَّفْعِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata: “Engkau tertalak dalam keadaan sakit” atau “dalam keadaan salat”, maka dilihat: jika ia mengucapkan “dalam keadaan sakit” atau “dalam keadaan salat” dengan bentuk nashab (sebagai syarat), maka sakit dan salat menjadi syarat jatuhnya talak, sehingga talak tidak jatuh sebelum itu. Jika ia mengucapkan “dalam keadaan sakit” atau “dalam keadaan salat” dengan bentuk rafa‘ (sebagai berita), maka itu menjadi konsekuensi, sehingga talak jatuh saat itu juga meskipun ia tidak sedang sakit atau salat. Jika ia mengucapkan dengan lafaz yang samar dan tidak jelas bentuk nashab sebagai syarat atau rafa‘ sebagai berita, maka ditanyakan maksudnya; jika ia bermaksud salah satu dari keduanya, maka diikuti maksud tersebut. Jika ia tidak memiliki maksud tertentu, maka dianggap sebagai berita, bukan syarat, dan talak pun jatuh, karena syarat tidak berlaku kecuali dengan niat. Jika ia mengucapkan dengan bentuk i‘rab (nashab atau rafa‘), namun ia bukan orang yang memahami i‘rab dan tidak mengetahui makna bentuk i‘rab tersebut, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ كَالْعَارِفِ بِالْإِعْرَابِ، وَالْقَاصِدِ لَهُ اعْتِبَارًا لَهُ بِحُكْمِ اللَّفْظِ.

Pertama: Diperlakukan seperti orang yang memahami i‘rab dan sengaja menggunakannya, sehingga hukum lafaznya diperhitungkan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يُلْغَى حُكْمُ الْإِعْرَابِ، وَيُوقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ اعْتِبَارًا بِالْقَصْدِ فِي لَفْظِ الطَّلَاقِ.

Kedua: Hukum i‘rab diabaikan, dan talak jatuh berdasarkan niat dalam lafaz talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: إِنْ بَدَأْتُكِ بِالْكَلَامِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَقَالَتْ لَهُ: إِنْ بَدَأْتُكِ بِالْكَلَامِ فَعَبْدِي حُرٌّ انْحَلَّتْ يَمِينُ الزَّوْجِ، لِأَنَّهُ قَدْ بَدَأَ بِالْكَلَامِ فَبَطَلَ أَنْ يَكُونَ مُبْتَدِئًا لَهَا بِالْكَلَامِ، وَكَانَتْ يَمِينُهَا بِالْعِتْقِ بَاقِيَةً، فَإِنْ بَدَأَهَا الزَّوْجُ بِالْكَلَامِ انْحَلَّتْ يَمِينُهَا، وَإِنْ بَدَأَتْهُ بِالْكَلَامِ حَنِثَتْ بِالْعِتْقِ وَلَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ كَلَّمْتِنِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَقَالَتْ لَهُ، إِنْ كَلَّمْتَنِي فَعَبْدِي حُرٌّ، طُلِّقَتْ، لِأَنَّهَا قد كلمته ولم يعتق عبدها أن يكلمها.

Jika ia berkata kepada istrinya: “Jika aku memulai pembicaraan denganmu, maka engkau tertalak”, lalu istrinya berkata kepadanya: “Jika aku memulai pembicaraan denganmu, maka budakku merdeka”, maka sumpah suami menjadi batal, karena ia telah memulai pembicaraan sehingga tidak lagi dianggap sebagai orang yang memulai pembicaraan dengannya, dan sumpah istrinya tentang pembebasan budak tetap berlaku. Jika suami memulai pembicaraan dengannya, maka sumpah istrinya menjadi batal. Jika istri yang memulai pembicaraan, maka ia melanggar sumpah dan budaknya harus dimerdekakan. Jika suami berkata: “Jika engkau berbicara kepadaku, maka engkau tertalak”, lalu istrinya berkata: “Jika engkau berbicara kepadaku, maka budakku merdeka”, maka talak jatuh, karena ia telah berbicara kepadanya, dan budaknya tidak menjadi merdeka karena suami tidak berbicara kepadanya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: إِنْ أَمَرْتُكِ بِأَمْرٍ فَخَالَفْتِينِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، لَا تُكَلِّمِي أَبَاكِ وَلَا أَخَاكِ، فَكَلَّمَتْهُمَا لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّهَا خَالَفَتْ نَهْيَهُ وَلَمْ تُخَالِفْ أَمْرَهُ، وَلَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ نَهَيْتِنِي عَنْ مَنْفَعَةٍ أَنْوِي فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَكَانَ لَهَا فِي يَدِهِ مَالٌ أَرَادَ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَيْهَا لِيَنْفَعَهُمَا فَقَالَتْ: لَا تُعْطِيهِمَا مِنْ مَالِي شَيْئًا لَمْ تُطَلَّقْ لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَنْفَعَهُمَا بِمَالِهَا، إِذْ لَيْسَ يَجُوزُ لَهُمَا الِانْتِفَاعُ بِهِ، فَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ نَهْيًا عَنْ مَنْفَعَتِهِمَا.

Jika ia berkata kepada istrinya: “Jika aku memerintahkanmu suatu perkara lalu engkau menyalahi perintahku, maka engkau tertalak. Jangan berbicara dengan ayahmu dan saudaramu”, lalu istrinya berbicara dengan keduanya, maka talak tidak jatuh, karena ia menyalahi larangannya, bukan perintahnya. Jika ia berkata: “Jika engkau melarangku dari suatu manfaat yang aku niatkan, maka engkau tertalak”, dan istrinya memiliki harta di tangannya yang ingin ia berikan kepada mereka berdua untuk memberi manfaat kepada mereka, lalu istrinya berkata: “Jangan berikan kepada mereka sesuatu pun dari hartaku”, maka talak tidak jatuh, karena tidak sah ia memberi manfaat kepada mereka dengan hartanya, sebab mereka tidak boleh mengambil manfaat darinya, sehingga itu bukanlah larangan dari manfaat bagi mereka.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ ضَرَبْتُ زَيْدًا، فَضَرَبَهُ مَيِّتًا لَمْ تُطَلَّقْ لِأَنَّهُ قَدْ سَقَطَ حُكْمُ ضَرْبِهِ بِالْمَوْتِ كَمَا سَقَطَ حُكْمُ كَلَامِهِ بِالْمَوْتِ، وَلَوْ ضَرَبَهُ بَعْدَ جُنُونِهِ أو إِغْمَائِهِ أَوْ سُكْرِهِ، طُلِّقَتْ سَوَاءٌ أَحَسَّ بِالضَّرْبِ أم لَمْ يُحِسَّ، لِأَنَّ حُكْمَ الضَّرْبِ لَا يَسْقُطُ بِالْجُنُونِ وَالْإِغْمَاءِ وَالسُّكْرِ، وَلَوْ ضَرَبَهُ عَلَى ثَوْبِهِ فأحس بالضرب من تحت الثواب، طُلِّقَتْ سَوَاءٌ آلَمَهُ أَوْ لَمْ يُؤْلِمْهُ، وَإِنْ لَمْ يُحِسَّ بِهِ مِنْ تَحْتِ الثِّيَابِ لِكَثْرَتِهَا وَكَثَافَتِهَا لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّهُ ضَرْبُ حَائِلٍ دُونَهُ فَصَارَ كَمَا لَوْ ضَرَبَ حَائِطًا هُوَ مِنْ وَرَائِهِ.

Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika aku memukul Zaid,” lalu ia memukul Zaid yang sudah meninggal, maka istrinya tidak tertalak, karena hukum memukul orang yang sudah mati telah gugur sebagaimana gugur pula hukum berbicara dengan orang mati. Namun, jika ia memukul Zaid setelah Zaid gila, pingsan, atau mabuk, maka istrinya tertalak, baik Zaid merasakan pukulan itu maupun tidak, karena hukum memukul tidak gugur dengan sebab gila, pingsan, atau mabuk. Jika ia memukul Zaid di atas pakaiannya dan Zaid merasakan pukulan itu dari balik pakaian, maka istrinya tertalak, baik pukulan itu menyakitinya atau tidak. Namun, jika Zaid tidak merasakan pukulan itu karena banyak dan tebalnya pakaian, maka istrinya tidak tertalak, karena itu dianggap memukul penghalang yang ada di antara keduanya, sehingga hukumnya seperti memukul dinding yang di baliknya ada Zaid.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ كُنْتُ أَمْلِكُ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَهَذِهِ الْيَمِينُ تَقْتَضِي نَفْيَ الزِّيَادَةِ عَلَى الْمِائَةِ، وَتَقْتَضِي إِثْبَاتَ الْمِائَةِ أَوْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika seseorang berkata: “Engkau tertalak jika aku memiliki lebih dari seratus dirham,” maka sumpah ini menunjukkan penafian adanya tambahan atas seratus, namun apakah juga menunjukkan penetapan kepemilikan seratus atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَقْتَضِيهِ لِاخْتِصَاصِهَا بِنَفْيِ الزِّيَادَةِ.

Pertama: Tidak menunjukkan penetapan kepemilikan seratus, karena sumpah itu khusus untuk menafikan tambahan.

وَالثَّانِي: تَقْتَضِيهِ لِتَتْمِيمِهَا لِلْمِائَةِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ مَالِكًا لِمِائَةِ دِرْهَمٍ لَا يَزِيدُ عَلَيْهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْهَا بَرَّ وَلَمْ تُطَلَّقْ، وَإِنْ مَلَكَ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ دِرْهَمٍ وَلَوْ بِقِيرَاطٍ طُلِّقَتْ، وَإِنْ مَلَكَ أَقَلَّ مِنْ مِائَةِ دِرْهَمٍ وَلَوْ بِقِيرَاطٍ فَفِي طَلَاقِهَا وَجْهَانِ:

Kedua: Menunjukkan penetapan kepemilikan seratus, karena untuk menyempurnakan makna seratus. Maka, jika ia memiliki seratus dirham, tidak lebih dan tidak kurang, ia dianggap memenuhi sumpah dan istrinya tidak tertalak. Jika ia memiliki lebih dari seratus dirham, meskipun hanya satu qirath, maka istrinya tertalak. Jika ia memiliki kurang dari seratus dirham, meskipun hanya satu qirath, maka dalam hal talaknya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُطَلَّقُ.

Pertama: Istrinya tertalak.

وَالثَّانِي: لَا تُطَلَّقُ.

Kedua: Istrinya tidak tertalak.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَلَوْ قَالَ: أَيُّ نِسَائِي بَشَّرَتْنِي بِقُدُومِ زَيْدٍ فَهِيَ طَالِقٌ فَبَشَّرَتْهُ إِحْدَاهُنَّ بِقُدُومِهِ فَإِنْ كَانَتْ صَادِقَةً فِي الْبُشْرَى طُلِّقَتْ وَإِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً لَمْ تُطَلَّقْ، لِأَنَّ حَقِيقَةَ الْبُشْرَى مَا تَمَّ السُّرُورُ بِهَا وَالْبُشْرَى الْكَاذِبَةُ لَا يتم السرور بها. فلم تكن بشرى، لو بَشَّرَتْهُ ثَانِيَةً بَعْدَ الْأُولَى، فَإِنْ كَانَتِ الْأُولَى صَادِقَةً طُلِّقَتِ الْأُولَى دُونَ الثَّانِيَةِ، وَإِنْ كَانَتِ الْأُولَى كَاذِبَةً وَالثَّانِيَةُ صَادِقَةً، طُلِّقَتِ الثَّانِيَةُ دُونَ الْأُولَى، وَلَوْ بَشَّرَتَاهُ مَعًا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ وَهُمَا صَادِقَتَانِ طُلِّقَتَا.

Jika seseorang berkata: “Siapa pun dari istriku yang memberiku kabar gembira tentang kedatangan Zaid, maka ia tertalak,” lalu salah satu dari mereka memberinya kabar gembira tentang kedatangan Zaid, maka jika kabar itu benar, istrinya tertalak. Jika kabar itu dusta, istrinya tidak tertalak, karena hakikat kabar gembira adalah sesuatu yang benar-benar membawa kegembiraan, sedangkan kabar gembira yang dusta tidak membawa kegembiraan, sehingga tidak dianggap sebagai kabar gembira. Jika salah satu istrinya memberinya kabar gembira kedua kali setelah yang pertama, maka jika yang pertama benar, yang tertalak adalah yang pertama saja, bukan yang kedua. Jika yang pertama dusta dan yang kedua benar, maka yang tertalak adalah yang kedua saja, bukan yang pertama. Jika dua istrinya sekaligus memberi kabar gembira dalam waktu yang sama dan keduanya benar, maka keduanya tertalak.

وَلَوْ قَالَ: أَيَّتُكُنَّ أَخْبَرَتْنِي بِقُدُومِ زَيْدٍ فَهِيَ طَالِقٌ، فَأَخْبَرَتْهُ إِحْدَاهُنَّ بِقُدُومِهِ طُلِّقَتْ صَادِقَةً كَانَتْ أَوْ كَاذِبَةً، وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْخَبَرِ وَالْبُشْرَى، أَنَّ الْبُشْرَى مَا سَرَّتْ، وَهِيَ لَا تَسُرُّ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صِدْقًا، وَالْخَبَرَ ذِكْرُ الشَّيْءِ وَقَدْ ذَكَرَتْهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ صِدْقًا، هَكَذَا ذَكَرَ ابْنُ سُرَيْجٍ وَفِيهِ عِنْدِي نَظَرٌ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا فِي اعْتِبَارِ الصِّدْقِ أَصَحُّ، فَإِنْ أَخْبَرَتْهُ ثَانِيَةً بِقُدُومِ زَيْدٍ طُلِّقَتْ أَيْضًا وَكَذَلِكَ لَوْ أَخْبَرَتْهُ جَمِيعًا بِقُدُومِهِ، طُلِّقْنَ كُلُّهُنَّ بِخِلَافِ الْبِشَارَةِ، لِأَنَّ الْبُشْرَى تَكُونُ بِالْأَسْبَقِ وَالْخَبَرَ يَصِحُّ مِنَ الْجَمِيعِ.

Jika seseorang berkata: “Siapa pun dari kalian yang memberitahuku tentang kedatangan Zaid, maka ia tertalak,” lalu salah satu dari mereka memberitahunya tentang kedatangan Zaid, maka istrinya tertalak, baik ia berkata benar maupun dusta. Perbedaan antara “kabar” (khabar) dan “kabar gembira” (busyra) adalah bahwa busyra adalah sesuatu yang membawa kegembiraan, dan itu tidak akan membawa kegembiraan kecuali jika benar, sedangkan khabar adalah sekadar menyampaikan sesuatu, dan itu tetap disebut khabar meskipun tidak benar. Demikian disebutkan oleh Ibn Surayj, namun menurutku ada tinjauan lain, dan menyamakan keduanya dalam mempertimbangkan kebenaran adalah lebih tepat. Jika istrinya memberitahunya kedua kali tentang kedatangan Zaid, maka ia juga tertalak. Demikian pula jika semua istrinya memberitahunya tentang kedatangan Zaid, maka semuanya tertalak, berbeda dengan kasus busyra, karena busyra berlaku bagi yang lebih dahulu, sedangkan khabar sah dari semuanya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا حَتَّى يَقَدَمَ عَمْرٌو، فَإِنْ جَعْلَ الْغَايَةَ فِي قُدُومِ عَمْرٍو حَدًّا لِلشَّرْطِ صَحَّ، فَإِنْ كَلَّمَتْهُ قَبْلَ قُدُومِ عَمْرٍو طُلِّقَتْ لِوُجُودِ الشَّرْطِ، وَإِنْ كَلَّمَتْهُ بَعْدَ قُدُومِ عَمْرٍو لَمْ تُطَلَّقْ لِخُرُوجِ الشَّرْطِ عَنْ حَدِّهِ، وَإِنْ جَعْلَ الْغَايَةَ فِي قُدُومِ عَمْرٍو حَدًّا لِلطَّلَاقِ لَمْ يَصِحَّ، لِأَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ يُمْنَعُ مِنْ تَحْدِيدِهِ إِلَى غَايَةٍ. فَإِذَا كَلَّمَتْهُ قَبْلَ قُدُومِ عَمْرٍو أَوْ بَعْدَهُ طُلِّقَتْ عَلَى الأبد.

Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau berbicara dengan Zaid sampai Amr datang,” maka jika ia menjadikan kedatangan Amr sebagai batas syarat, maka itu sah. Jika istrinya berbicara dengan Zaid sebelum Amr datang, maka istrinya tertalak karena syarat telah terpenuhi. Jika ia berbicara dengan Zaid setelah Amr datang, maka istrinya tidak tertalak karena syarat telah keluar dari batasnya. Namun, jika ia menjadikan kedatangan Amr sebagai batas terjadinya talak, maka itu tidak sah, karena terjadinya talak tidak boleh dibatasi sampai suatu batas tertentu. Maka, jika istrinya berbicara dengan Zaid sebelum atau sesudah Amr datang, maka istrinya tertalak untuk selamanya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: يَا زَانِيَةُ أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ، كَانَ الِاسْتِثْنَاءُ رَاجِعًا إِلَى قَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا فَلَا تُطَلَّقُ، وَلَا يَرْجِعُ قَوْلُهُ يَا زَانِيَةُ، وَيَكُونُ قَاذِفًا، لِأَنَّهُ اسْمٌ مُشْتَقٌّ مِنْ فِعْلٍ لَا يَصِحُّ دُخُولُ الِاسْتِثْنَاءِ فِيهِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَصِحُّ أَنْ يَقُولَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ، وَلَا يَصِحُّ أَنْ يَقُولَ يَا زَانِيَةُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، وَهَكَذَا لَوْ قَلَبَ الْكَلَامَ فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا يَا زَانِيَةُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ رَجَعَ الِاسْتِثْنَاءُ إِلَى الطَّلَاقِ، وَإِنْ تَقَدَّمَ فَلَا تُطَلَّقُ، وَلَا يَرْجِعُ إِلَى الْقَذْفِ، وَإِنْ تَأَخَّرَ يَكُونُ قَاذِفًا، وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ: يَرْجِعُ الِاسْتِثْنَاءُ إِلَيْهِمَا فَلَا يَكُونُ مُطَلِّقًا وَلَا قَاذِفًا، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ رُجُوعُهُ إِلَى الْأَبْعَدِ دُونَ الْأَقْرَبِ، وَهَذَا فَاسِدٌ بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّعْلِيلِ، بِأَنَّ الْأَسْمَاءَ الْمُشْتَقَّةَ مِنَ الْأَفْعَالِ وَالصِّفَاتِ لَا يَصِحُّ دُخُولُ الِاسْتِثْنَاءِ فِيهَا، فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا يَا طَالِقُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، رَجَعَ الِاسْتِثْنَاءُ إِلَى قَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا، فَلَمْ تُطَلَّقْ بِهِ، وَلَمْ يَرْجِعْ إِلَى قَوْلِهِ يَا طَالِقُ لِأَنَّهُ اسْمٌ مُشْتَقٌّ مِنْ صِفَةٍ وَطُلِّقَتْ بِهِ، وَعَلَى قَوْلِ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ رَجَعَ إِلَيْهِمَا فَلَا تُطَلَّقُ.

Jika ia berkata kepada istrinya: “Wahai pezina, engkau tertalak tiga jika Allah menghendaki,” maka pengecualian (syarat “jika Allah menghendaki”) kembali kepada ucapannya “engkau tertalak tiga”, sehingga talak tidak terjadi, dan tidak kembali kepada ucapannya “wahai pezina”, sehingga ia tetap dianggap sebagai penuduh zina (qādzif). Sebab, kata tersebut adalah isim musytaq (kata turunan) dari suatu perbuatan yang tidak sah dimasuki pengecualian. Bukankah engkau melihat bahwa sah saja ia berkata: “Engkau tertalak tiga jika Allah menghendaki,” namun tidak sah ia berkata: “Wahai pezina jika Allah menghendaki.” Demikian pula jika ia membalik susunan kalimat lalu berkata: “Engkau tertalak tiga, wahai pezina, jika Allah menghendaki,” maka pengecualian kembali kepada talak, sehingga jika pengecualian didahulukan maka talak tidak terjadi, dan tidak kembali kepada penuduhan zina, namun jika pengecualian diakhirkan maka ia tetap menjadi penuduh zina. Muhammad bin al-Hasan berkata: pengecualian kembali kepada keduanya, sehingga ia tidak menjadi penjatuh talak maupun penuduh zina, karena tidak sah pengecualian kembali kepada yang lebih jauh tanpa yang lebih dekat. Pendapat ini rusak (tidak tepat) sebagaimana penjelasan yang telah kami sebutkan, yaitu bahwa isim musytaq dari fi‘il (perbuatan) dan sifat tidak sah dimasuki pengecualian. Atas dasar ini, jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga, wahai yang tertalak, jika Allah menghendaki,” maka pengecualian kembali kepada ucapannya “engkau tertalak tiga”, sehingga talak tidak jatuh karenanya, dan tidak kembali kepada ucapannya “wahai yang tertalak” karena itu adalah isim musytaq dari sifat, dan talak tetap jatuh karenanya. Menurut pendapat Muhammad bin al-Hasan, pengecualian kembali kepada keduanya sehingga talak tidak jatuh.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ كَانَتْ زَوْجَتُهُ مَعَ أَجْنَبِيَّةٍ، فَقَالَ: إِحْدَاكُمَا طَالِقٌ فَإِنْ أَرَادَ طَلَاقَ زَوْجَتِهِ طُلِّقَتْ، وَإِنْ أَرَادَ الْأَجْنَبِيَّةَ قُبِلَ مِنْهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَلَمْ تُطَلَّقْ زَوْجَتُهُ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ، وَلَوْ كَانَ اسْمُ زَوْجَتِهِ زَيْنَبَ وَفِي الْبَلَدِ جَمَاعَةُ زَيَانِبَ يُشَارِكْنَهَا فِي الِاسْمِ، فَقَالَ: زَيْنَبُ طَالِقٌ وَقَالَ: أَرَدْتُ غَيْرَ زَوْجَتِي مِنَ الزَّيَانِبِ.

Jika istrinya bersama seorang perempuan asing, lalu ia berkata: “Salah satu dari kalian tertalak,” maka jika ia bermaksud menalak istrinya, istrinya tertalak. Namun jika ia bermaksud perempuan asing, maka maksudnya diterima baik secara lahir maupun batin, dan istrinya tidak tertalak. Hal ini dinyatakan oleh asy-Syafi‘i dalam al-Imla’. Jika nama istrinya adalah Zainab, dan di negeri itu ada beberapa perempuan bernama Zainab yang juga memiliki nama yang sama, lalu ia berkata: “Zainab tertalak,” kemudian ia berkata: “Aku maksudkan Zainab yang lain, bukan istriku.”

قَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ: لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ، وَطُلِّقَتْ عَلَيْهِ زَوْجَتُهُ فِي الظَّاهِرِ، وَكَانَ مَدِينًا فِي الْبَاطِنِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ التَّسْمِيَةَ أَقْوَى حُكْمًا مِنَ الْكِنَايَةِ فَاخْتَصَّ الِاسْمُ لِقُوَّتِهِ بِالزَّوْجَةِ دُونَ الْأَجْنَبِيَّةِ، وَلَمْ تَخْتَصَّ الْكِنَايَةُ لِضَعْفِهَا بِالزَّوْجَةِ دُونَ الْأَجْنَبِيَّةِ.

Ibnu Surayj berkata: Tidak diterima darinya, dan istrinya tertalak secara lahiriah, dan ia berdosa secara batin. Perbedaannya adalah bahwa penamaan (dengan nama) lebih kuat hukumnya daripada kinayah (sindiran), sehingga nama secara khusus berlaku untuk istri karena kekuatannya, tidak untuk perempuan asing, sedangkan kinayah karena lemahnya tidak khusus berlaku untuk istri saja tanpa perempuan asing.

وَلَوْ قَالَ وَزَوْجَتُهُ ابْنَةُ زَيْدٍ وَلِزَيْدٍ بِنْتٌ أُخْرَى، فَقَالَ: بِنْتُ زَيْدٍ طَالِقٌ، وَقَالَ: أَرَدْتُ أُخْتَهَا دُونَهَا فَهَذَا وَإِنْ كَانَ تَعْرِيفًا وَلَمْ يَكُنِ اسْمًا، فَهُوَ بِالِاسْمِ أَشْبَهُ مِنْهُ بِالْكِنَايَةِ، فَلَا تُقْبَلُ مِنْهُ وَيَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ فِي الظَّاهِرِ وَيَدِينُ فِي الْبَاطِنِ.

Jika istrinya adalah putri Zaid, dan Zaid memiliki putri lain, lalu ia berkata: “Putri Zaid tertalak,” dan ia berkata: “Aku maksudkan saudara perempuannya, bukan istriku,” maka meskipun ini adalah ta‘rīf (penjelasan) dan bukan nama, namun ia lebih mirip dengan nama daripada kinayah, sehingga tidak diterima darinya dan talak tetap berlaku secara lahiriah, dan ia berdosa secara batin.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا رَأَى امْرَأَةً فَظَنَّهَا زَوْجَتَهُ عَمْرَةَ فقال لها: أنت طالق، وأشار (بالطلاق إليها، ولم يذكر اسم زوجته في الإشارة) لَمْ يَلْزَمْهُ الطَّلَاقُ، لِأَنَّ زَوْجَتَهُ لَمْ يُسَمِّهَا، وَلَا أَشَارَ بِالطَّلَاقِ إِلَيْهَا وَالطَّلَاقُ لَا يَقَعُ إِلَّا بِالتَّسْمِيَةِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ، وَلَوْ سَمَّى فَقَالَ: يَا عَمْرَةُ وَأَشَارَ إِلَى الْأَجْنَبِيَّةِ أَنْتِ طَالِقٌ وَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّهَا أَجْنَبِيَّةٌ طُلِّقَتْ زَوْجَتُهُ عَمْرَةُ فِي الظَّاهِرِ، لِأَجْلِ التَّسْمِيَةِ وَكَانَ فِي الْبَاطِنِ مَدِينًا لِأَجْلِ الْإِشَارَةِ.

Jika ia melihat seorang perempuan dan mengira itu adalah istrinya ‘Amrah, lalu berkata kepadanya: “Engkau tertalak,” dan ia menunjuk (talak) kepadanya, namun tidak menyebut nama istrinya dalam isyarat tersebut, maka talak tidak wajib baginya, karena ia tidak menyebut nama istrinya dan tidak menunjuk talak kepadanya, dan talak tidak jatuh kecuali dengan penamaan atau isyarat. Namun jika ia menyebut nama, lalu berkata: “Wahai ‘Amrah,” dan menunjuk kepada perempuan asing, “engkau tertalak,” dan ia tidak tahu bahwa itu perempuan asing, maka istrinya ‘Amrah tertalak secara lahiriah karena penamaan, dan ia berdosa secara batin karena isyarat.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ حَفْصَةُ وَعَمْرَةُ، فَنَادَى حَفْصَةَ فَأَجَابَتْهُ عَمْرَةُ، فَقَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ فَلَهُ فِي ذَلِكَ خَمْسَةُ أَحْوَالٍ:

Jika ia memiliki dua istri, Hafshah dan ‘Amrah, lalu ia memanggil Hafshah, namun yang menjawab adalah ‘Amrah, lalu ia berkata kepadanya: “Engkau tertalak,” maka dalam hal ini ada lima keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْلَمَ حِينَ نَادَى حَفْصَةَ أَنَّ الَّتِي أَجَابَتْهُ عَمْرَةُ وَيُرِيدُ بِالطَّلَاقِ حفصة دُونَ عَمْرَةَ، فَتُطَلَّقُ حَفْصَةُ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، لِتَسْمِيَتِهَا وَإِرَادَتِهِ وَتُطَلَّقُ عَمْرَةُ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ لِإِشَارَتِهِ.

Pertama: Ketika ia memanggil Hafshah, ia mengetahui bahwa yang menjawabnya adalah ‘Amrah, dan ia menginginkan talak untuk Hafshah, bukan untuk ‘Amrah. Maka Hafshah tertalak secara zhahir (lahiriah) dan batin (hakikatnya), karena ia disebutkan namanya dan memang dikehendaki. Sedangkan ‘Amrah tertalak secara zhahir saja, tidak secara batin, karena hanya ditunjuk (dengan isyarat).

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَعْلَمَ حِينَ نَادَى حَفْصَةَ أَنَّ الَّتِي أَجَابَتْهُ عَمْرَةُ، وَيُرِيدُ عَمْرَةَ بِالطَّلَاقِ دُونَ حَفْصَةَ فَتُطَلَّقُ عَمْرَةُ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، لِإِشَارَتِهِ مَعَ إِرَادَتِهِ، وَتُطَلَّقُ حَفْصَةُ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ لِتَسْمِيَتِهِ.

Kedua: Ketika ia memanggil Hafshah, ia mengetahui bahwa yang menjawabnya adalah ‘Amrah, dan ia menginginkan talak untuk ‘Amrah, bukan untuk Hafshah. Maka ‘Amrah tertalak secara zhahir dan batin, karena ia ditunjuk dengan isyarat dan memang dikehendaki. Sedangkan Hafshah tertalak secara zhahir saja, tidak secara batin, karena hanya disebutkan namanya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ لَا يَعْلَمَ حِينَ نَادَى حَفْصَةَ أَنَّ الَّتِي أَجَابَتْهُ عَمْرَةُ، وَيُرِيدُه بِالطَّلَاقِ حَفْصَةَ دُونَ عمرة المشار إليه، طَلَّقَ حَفْصَةَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا لِتَسْمِيَتِهَا وَإِرَادَتِهِ، وَلَا تُطَلَّقُ عَمْرَةُ، لِأَنَّ الْإِشَارَةَ إِذَا تَجَرَّدَتْ عَنْ مَعْرِفَةِ الْمُشَارِ إِلَيْهِ وَعَنْ إِرَادَتِهِ، كَانَتِ التَّسْمِيَةُ مَعَ الْإِرَادَةِ أَقْوَى مِنْهَا وَسَقَطَ بِالتَّسْمِيَةِ وَالْإِرَادَةِ حُكْمُهَا.

Ketiga: Ketika ia memanggil Hafshah, ia tidak mengetahui bahwa yang menjawabnya adalah ‘Amrah, dan ia menginginkan talak untuk Hafshah, bukan untuk ‘Amrah yang ditunjuk. Maka Hafshah tertalak secara zhahir dan batin karena disebutkan namanya dan memang dikehendaki, sedangkan ‘Amrah tidak tertalak, karena isyarat (penunjukan) jika terlepas dari pengetahuan tentang yang ditunjuk dan dari keinginan terhadapnya, maka penyebutan nama beserta keinginan lebih kuat darinya, sehingga dengan penyebutan nama dan keinginan gugurlah hukum isyarat tersebut.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ لَا يَعْلَمَ حِينَ نَادَى حَفْصَةَ أَنَّ الَّتِي أَجَابَتْهُ عَمْرَةُ وَيُرِيدُ بِالطَّلَاقِ الَّتِي أَشَارَ إِلَيْهَا يَظُنُّهَا حَفْصَةَ، طُلِّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ، أَمَّا حَفْصَةُ فَطُلِّقَتْ فِي الظَّاهِرِ لِلتَّسْمِيَةِ مَعَ ظَنِّهِ أَنَّ الْمُشَارَ إِلَيْهَا وَهِيَ حَفْصَةُ، وَلَمْ تُطَلَّقْ فِي الْبَاطِنِ لِإِرَادَتِهِ عَمْرَةَ بِالْإِشَارَةِ، وَأَمَّا عَمْرَةُ فَطُلِّقَتْ بِإِشَارَتِهِ وَإِرَادَتِهِ، وَلَمْ تُطَلَّقْ فِي الْبَاطِنِ لِنِدَائِهِ حَفْصَةَ وَظَنِّهِ أَنَّهَا حَفْصَةُ.

Keempat: Ketika ia memanggil Hafshah, ia tidak mengetahui bahwa yang menjawabnya adalah ‘Amrah, dan ia menginginkan talak untuk yang ia tunjuk (dengan isyarat), yang ia sangka adalah Hafshah. Maka keduanya, Hafshah dan ‘Amrah, tertalak secara zhahir saja, tidak secara batin. Adapun Hafshah, tertalak secara zhahir karena penyebutan nama beserta sangkaannya bahwa yang ditunjuk adalah Hafshah, dan tidak tertalak secara batin karena ia menginginkan ‘Amrah dengan isyarat. Adapun ‘Amrah, tertalak dengan isyarat dan keinginannya, dan tidak tertalak secara batin karena ia memanggil Hafshah dan menyangka bahwa yang ditunjuk adalah Hafshah.

وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ: أَنْ لَا يُنَادِيَ حَفْصَةَ وَيُشِيرُ بِالطَّلَاقِ إِلَى عَمْرَةَ يُرِيدُهَا بِالطَّلَاقِ، وَيَظُنُّهَا حَفْصَةَ، طُلِّقَتْ عَمْرَةُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، لِأَنَّهُ قَدْ أَرْسَلَ عَنْ تَسْمِيَةِ غَيْرِهَا فَلِذَلِكَ وَقَعَ طَلَاقُهَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَلَمْ تُطَلَّقْ حَفْصَةُ فِي الظَّاهِرِ وَلَا فِي الْبَاطِنِ، لِأَنَّهَا غَيْرُ مُسَمَّاةٍ وَلَا مُشَارٍ إِلَيْهَا، وَالظَّنُّ إِذَا تَجَرَّدَ عَنْ تَسْمِيَةٍ وَإِشَارَةٍ، لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ حُكْمٌ.

Kelima: Ia tidak memanggil Hafshah, melainkan menunjuk (dengan isyarat) kepada ‘Amrah untuk ditalak, dan ia menyangkanya sebagai Hafshah. Maka ‘Amrah tertalak secara zhahir dan batin, karena ia tidak menyebutkan nama selainnya, sehingga talaknya jatuh secara zhahir dan batin. Sedangkan Hafshah tidak tertalak baik secara zhahir maupun batin, karena ia tidak disebutkan namanya dan tidak ditunjuk, dan sangkaan jika terlepas dari penyebutan nama dan isyarat, tidak berimplikasi hukum apa pun.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ وَلَهُ زَوْجَتَانِ حَفْصَةُ وَعَمْرَةُ، يَا حَفْصَةُ، إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ لَا بَلْ عَمْرَةُ، فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Jika seseorang berkata, sedangkan ia memiliki dua istri, Hafshah dan ‘Amrah: “Wahai Hafshah, jika engkau masuk ke rumah maka engkau tertalak, tidak, melainkan ‘Amrah,” maka ada tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُرِيدَ لَا بَلْ عَمْرَةُ طَالِقٌ بِدُخُولِ حَفْصَةَ فَإِذَا دَخَلَتْ حَفْصَةُ فَإِذَا دَخَلَتْ حَفْصَةُ الدَّارَ، طُلِّقَتْ حَفْصَةُ وَعَمْرَةُ، كَمَا لَوْ قَالَ حَفْصَةُ طَالِقٌ لَا بَلْ عَمْرَةُ طُلِّقَتَا مَعًا.

Pertama: Ia bermaksud dengan “tidak, melainkan ‘Amrah” bahwa ‘Amrah tertalak jika Hafshah masuk. Maka jika Hafshah masuk ke rumah, Hafshah dan ‘Amrah sama-sama tertalak, sebagaimana jika ia berkata, “Hafshah tertalak, tidak, melainkan ‘Amrah,” maka keduanya tertalak bersamaan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُرِيدَ لَا بَلْ إِنْ دَخَلَتْ عَمْرَةُ الدَّارَ فَهِيَ طَالِقٌ، فَتُطَلَّقُ حَفْصَةُ وَحْدَهَا بِدُخُولِهَا الدَّارَ وَتُطَلَّقُ عَمْرَةُ أَيْضًا بِدُخُولِ الدَّارِ.

Kedua: Ia bermaksud dengan “tidak, melainkan jika ‘Amrah masuk ke rumah maka ia tertalak.” Maka Hafshah saja yang tertalak jika ia masuk ke rumah, dan ‘Amrah juga tertalak jika ia masuk ke rumah.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ لَا تَكُونَ لَهُ إِرَادَةٌ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Ketiga: Ia tidak memiliki maksud tertentu, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا أَنَّ إِطْلَاقَ ذَلِكَ يَقْتَضِي حَمْلَهُ عَلَى الْحَالِ الْأُولَى فَيَكُونُ دُخُولُ حَفْصَةَ الدَّارَ مَوْقِعًا لِطَلَاقِهَا وَطَلَاقِ عَمْرَةَ.

Salah satunya, bahwa ucapan tersebut secara mutlak mengharuskan untuk dibawa pada keadaan pertama, sehingga masuknya Hafshah ke rumah menjadi sebab jatuhnya talak atas dirinya dan atas ‘Amrah.

وَالثَّانِي: أَنْ يَقْتَضِيَ حَمْلَهُ عَلَى الْحَالِ الثَّانِيَةِ، فَيَكُونَ دُخُولُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مُوقِعًا لِطَلَاقِهَا وَلَا تُطَلَّقُ عَمْرَةُ بِدُخُولِ حَفْصَةَ.

Yang kedua, bahwa ucapan tersebut mengharuskan untuk dibawa pada keadaan kedua, sehingga masuknya masing-masing dari keduanya menjadi sebab jatuhnya talak atas dirinya, dan ‘Amrah tidak tertalak dengan masuknya Hafshah.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَأَرَادَ أَنْ يَقُولَ ثَلَاثًا فَأَمْسَكَ عَلَى فَمِهِ وَمَنَعَهُ أَنْ يَقُولَ ثَلَاثًا نُظِرَ، فَإِنْ أَرَادَ الثَّلَاثَ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ فَمَنَعَ مِنْ إِظْهَارِ الثَّلَاثِ، طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، لِأَنَّهُ لَوْ أَرَادَهَا بِاللَّفْظِ وَقَعَتْ وَإِنْ لَمْ يُظْهِرْهَا، وَإِنْ لَمْ يُرِدِ الثَّلَاثَ بِقَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِالثَّلَاثِ فَمَنَعَ مِنْهَا طُلِّقَتْ وَاحِدَةً بِاللَّفْظِ، وَلَمْ تُطَلَّقْ ثَلَاثًا، لِأَنَّهُ مَنَعَ مِنْهَا مَعَ إِرَادَةِ التَّلَفُّظِ بِهَا، فَصَارَ كَمَا لَوْ أَرَادَ الطَّلَاقَ فَمَنَعَ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِهِ لَمْ يَقَعْ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَأَرَادَ أَنْ يقول ثلاثاً فمات قَبْلَ قَوْلِهِ ثَلَاثًا، كَانَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّهُ إِنْ أَرَادَ الثَّلَاثَ بِاللَّفْظِ الْأَوَّلِ فَمَاتَتْ قَبْلَ التَّصْرِيحِ بِهِ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا، وَإِنْ لَمْ يُرِدِ الثَّلَاثَ بِاللَّفْظِ الْأَوَّلِ، وَأَرَادَ أَنْ يُصَرِّحَ بِهَا لَمْ تُطَلَّقْ ثَلَاثًا.

Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak,” dan ia bermaksud untuk mengucapkan tiga kali, lalu ia menahan mulutnya dan mencegah dirinya untuk mengucapkan tiga kali, maka hal ini perlu diteliti. Jika ia memang bermaksud tiga talak dengan ucapannya “Engkau tertalak” namun ia terhalang untuk menampakkan tiga talak, maka istrinya tertalak tiga kali. Sebab, jika ia memang menginginkan tiga talak dengan lafaz tersebut, maka jatuhlah tiga talak meskipun tidak diucapkan secara eksplisit. Namun, jika ia tidak bermaksud tiga talak dengan ucapannya “Engkau tertalak”, kemudian ia ingin melafalkan tiga talak namun terhalang untuk melakukannya, maka istrinya hanya tertalak satu kali dengan lafaz tersebut dan tidak jatuh tiga talak, karena ia terhalang untuk melafalkannya padahal ia berniat untuk mengucapkannya, sehingga keadaannya seperti seseorang yang berniat talak namun terhalang untuk melafalkannya, maka talak tidak jatuh. Demikian pula jika ia berkata, “Engkau tertalak,” dan ia bermaksud untuk mengucapkan tiga kali lalu ia meninggal sebelum mengucapkan tiga kali, maka hukumnya seperti yang telah disebutkan, yaitu jika ia bermaksud tiga talak dengan lafaz pertama lalu istrinya meninggal sebelum ia menegaskan niatnya, maka jatuhlah tiga talak. Namun jika ia tidak bermaksud tiga talak dengan lafaz pertama, dan ia ingin menegaskannya namun belum sempat, maka tidak jatuh tiga talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ مَا لَمْ تَحْبَلِي أَوْ مَا لَمْ تَحِيضِي طُلِّقَتْ إِذَا لَمْ تَحْبَلْ في الحال أو تحيض، فإن كانت حبلى أو حائضاً طلقت، لأنه عَلَى حَبَلٍ وَحَيْضٍ مُسْتَقْبَلٍ، فَلَوْ لَمْ يَعْلَمْ حَبَلَهَا وَوَضَعَتْ وَلَدًا لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ طُلِّقَتْ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لَحَبَلٍ مُبْتَدَأٍ، وَإِنْ وَضَعَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا نُظِرَ فَإِنْ كَانَ حِينَ خَاطَبَهَا بِذَلِكَ غَيْرَ مُبَاشِرٍ لَهَا طُلِّقَتْ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْ حَبَلٍ اقْتَرَنَ بِلَفْظٍ، لِأَنَّهُ مِنْ أَحْدَاثِ مُبَاشِرَةٍ بَعْدَ اللَّفْظِ، وَإِنْ كَانَ حِينَ خَاطَبَهَا بِذَلِكَ مُبَاشِرًا لَهَا، فَفِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ وَجْهَانِ:

Jika seorang suami berkata, “Engkau tertalak selama engkau belum hamil” atau “selama engkau belum haid”, maka istrinya tertalak jika saat itu ia tidak hamil atau tidak haid. Jika ternyata istrinya sedang hamil atau haid, maka jatuhlah talak, karena yang dimaksud adalah kehamilan atau haid yang akan datang. Jika suami tidak mengetahui bahwa istrinya hamil, lalu istrinya melahirkan anak kurang dari enam bulan, maka jatuhlah talak, karena itu bukan kehamilan yang baru. Namun jika ia melahirkan setelah enam bulan atau lebih, maka perlu diteliti: jika saat suami mengucapkan itu ia tidak sedang berhubungan langsung dengan istrinya, maka jatuhlah talak, karena kehamilan itu tidak bersamaan dengan lafaz talak, melainkan akibat hubungan setelah lafaz tersebut. Namun jika saat mengucapkan itu suami sedang berhubungan langsung dengan istrinya, maka dalam hal jatuhnya talak terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَقَعُ، لِأَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ عُمُومٌ إِلَّا بِشَرْطٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ.

Pendapat pertama: Talak jatuh, karena jatuhnya talak berlaku umum kecuali jika ada syarat yang masih diragukan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ، لِأَنَّهُ مُعَلَّقٌ بِشَرْطٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ.

Pendapat kedua: Talak tidak jatuh, karena talak tersebut digantungkan pada syarat yang masih diragukan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ لَهَا: إِذَا جَاءَ رَأْسُ الشَّهْرِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ: قَدْ عَجَّلْتُهَا أَنْتِ طَالِقٌ تِلْكَ الطَّلْقَةَ السَّاعَةَ، فَإِنْ أَرَادَ أَنَّ تِلْكَ الطَّلْقَةَ تَتَعَجَّلُ قَبْلَ وَقْتِهَا لَمْ تَتَعَجَّلْ وَلَمْ تُطَلَّقْ إِلَّا بِمَجِيءِ الشَّهْرِ، وَلَا تُطَلَّقُ فِي الْحَالِ لِأَنَّ تَغْيِيرَ الشُّرُوطِ بَعْدَ عَقْدِهَا لَا يَجُوزُ. وَإِنْ أَرَادَ بِهِ تَعْجِيلَ طَلَاقِهَا فِي الْحَالِ بَدَلًا مِنَ الطَّلَاقِ الْمُؤَجَّلِ بَدَأَ مِنَ الشَّهْرِ طُلِّقَتْ فِي الْحَالِ الطَّلْقَةَ الْمُعَجَّلَةَ وَلَمْ تَكُنْ بَدَلًا مِنَ الطَّلْقَةِ الْمُؤَجَّلَةِ، فَإِذَا جَاءَ رَأْسُ الشَّهْرِ طُلِّقَتْ بِالشَّرْطِ أُخْرَى، لِأَنَّ إِبْطَالَ مَا قُيِّدَ بِالشَّرْطِ لَا يَجُوزُ، أَلَّا تَرَاهُ لَوْ قَالَ: إِذَا كَلَّمْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ: قَدْ أَبْطَلْتُ هَذَا الشَّرْطَ لَمْ يَبْطُلْ وَطُلِّقَتْ فِي كَلِمَتِهِ، فَلَوْ قَالَ: إِذَا كَلَّمْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ: قَدْ أَبْطَلْتُ هَذَا الشَّرْطَ لَمْ يَبْطُلْ وَطُلِّقَتْ فِي كَلِمَتِهِ، فَلَوْ قَالَ: إِذَا كَلَّمْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ: لَا بَلْ إِذَا كَلَّمْتِ عَمْرًا فَأَنْتِ طَالِقٌ طُلِّقَتْ بِكَلَامِ زَيْدٍ وَاحِدَةً، وَطُلِّقَتْ بِكَلَامِ عَمْرٍو ثَانِيَةً، لِأَنَّهُ رَاجِعٌ عَنِ الشَّرْطِ الْأَوَّلِ إِلَى الثَّانِي فَلَزِمَهُ الثَّانِي وَالْأَوَّلُ، وَلَمْ يَصِحَّ رُجُوعُهُ عَنِ الْأَوَّلِ.

Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Jika awal bulan tiba, maka engkau tertalak,” kemudian ia berkata, “Aku percepat talak itu, engkau tertalak sekarang dengan talak tersebut,” maka jika maksudnya adalah mempercepat talak yang digantungkan sebelum waktunya, maka talak itu tidak menjadi lebih cepat dan tidak jatuh kecuali dengan datangnya awal bulan, dan talak tidak jatuh saat itu juga, karena mengubah syarat setelah akad tidak diperbolehkan. Namun jika maksudnya adalah menjatuhkan talak saat itu juga sebagai ganti dari talak yang ditangguhkan mulai awal bulan, maka jatuhlah talak saat itu juga sebagai talak yang dipercepat dan tidak menjadi pengganti dari talak yang ditangguhkan. Maka jika awal bulan tiba, jatuhlah talak lain karena syarat tersebut, sebab membatalkan sesuatu yang telah digantungkan dengan syarat tidak diperbolehkan. Bukankah jika seseorang berkata, “Jika engkau berbicara dengan Zaid, maka engkau tertalak, engkau tertalak,” lalu ia berkata, “Aku telah membatalkan syarat ini,” maka syarat itu tidak batal dan talak jatuh ketika ia berbicara. Maka jika ia berkata, “Jika engkau berbicara dengan Zaid, maka engkau tertalak,” lalu ia berkata, “Tidak, melainkan jika engkau berbicara dengan Amr, maka engkau tertalak,” maka ia tertalak satu kali karena berbicara dengan Zaid, dan tertalak kedua kali karena berbicara dengan Amr, karena ia berpindah dari syarat pertama ke syarat kedua, sehingga keduanya tetap berlaku, dan tidak sah baginya untuk menarik kembali syarat pertama.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَقَدْ تُحْمَلُ الْأَيْمَانُ بِالطَّلَاقِ عَلَى الْعُرْفِ، كَمَا تُحْمَلُ عَلَيْهِ الْأَيْمَانُ بِاللَّهِ تَعَالَى.

Sumpah dengan talak dapat disesuaikan dengan kebiasaan (‘urf), sebagaimana sumpah dengan nama Allah Ta‘ala juga disesuaikan dengan kebiasaan.

فَإِذَا حَلَفَ الرَّجُلُ عَلَى غَرِيمِهِ بِالطَّلَاقِ لَيَجُرَّنَّهُ عَلَى الشَّوْكِ، فَإِذَا مَطَلَهُ مَطْلًا بَعْدَ مَطْلٍ بَرَّ فِي يَمِينِهِ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ، وَلَوْ حَلَفَ عَلَى زَوْجَتِهِ بِالطَّلَاقِ لَيَضْرِبَنَّهَا حَتَّى تَمُوتَ فَضَرَبَهَا ضَرْبًا مُؤْلِمًا وَجِيعًا بَرَّ فِي يَمِينِهِ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ، إِذَا أَطْلَقَ الْيَمِينَ وَلَمْ يُرِدْ حَقِيقَةَ اللَّفْظِ، فَإِنْ أَرَادَهُ حُمِلَ عَلَيْهِ وَهَكَذَا نَظِيرُ ذَلِكَ وَأَشْبَاهُهُ.

Apabila seorang laki-laki bersumpah atas lawannya dengan sumpah talak bahwa ia pasti akan menyeretnya di atas duri, lalu lawannya menunda pembayaran berulang kali, maka ia dianggap menepati sumpahnya menurut ‘urf (kebiasaan), dan jika ia bersumpah atas istrinya dengan sumpah talak bahwa ia pasti akan memukulnya hingga mati, lalu ia memukulnya dengan pukulan yang menyakitkan dan keras, maka ia dianggap menepati sumpahnya menurut ‘urf, jika ia mengucapkan sumpah secara mutlak dan tidak bermaksud makna harfiah dari lafaz tersebut. Namun jika ia memang bermaksud makna harfiahnya, maka sumpah itu berlaku sesuai makna tersebut. Demikian pula pada kasus-kasus serupa dan yang sejenis dengannya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ كَلَّمْتُكِ، وَأَنْتِ طَالِقٌ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ، طُلِّقَتْ بِالْيَمِينِ الْأُولَى، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مُكَلِّمًا لَهَا بِالْيَمِينِ الثَّانِيَةِ، وَسَوَاءٌ جَاءَ بِالْيَمِينِ الثَّانِيَةِ مُتَّصِلَةً بِالْيَمِينِ الْأُولَى أَوْ مُنْفَصْلةً عَنْهَا، لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْهَا، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ كَلَّمْتُكِ، ثُمَّ أَعَادَهَا وَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ كَلَّمْتُكِ طُلِّقَتْ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مُكَلِّمًا لَهَا بِإِعَادَتِهَا. وَلَكِنْ لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ كَلَّمْتُكِ فَاعْلَمِي ذَلِكَ، فَإِنْ قَالَ: فَاعْلَمِي ذَلِكَ مُنْفَصْلا عَنْ يَمِينِهِ حَنِثَ، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مُكَلِّمًا لَهَا، وَإِنْ قَالَهُ مُتَّصِلًا فَفِي حِنْثِهِ بِهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika aku berbicara denganmu, dan engkau tertalak jika engkau masuk ke dalam rumah,” maka ia tertalak dengan sumpah yang pertama, karena dengan sumpah yang kedua ia telah menjadi orang yang berbicara kepadanya. Baik sumpah kedua diucapkan bersambung dengan sumpah pertama maupun terpisah darinya, karena sumpah kedua bukan bagian dari sumpah pertama. Demikian pula jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika aku berbicara denganmu,” kemudian ia mengulanginya dan berkata: “Engkau tertalak jika aku berbicara denganmu,” maka ia tertalak karena dengan pengulangan itu ia telah menjadi orang yang berbicara kepadanya. Namun, jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika aku berbicara denganmu, maka ketahuilah hal itu,” lalu ia berkata “maka ketahuilah hal itu” secara terpisah dari sumpahnya, maka ia dianggap melanggar sumpah karena ia telah berbicara kepadanya. Tetapi jika ia mengucapkannya secara bersambung, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَحْنَثُ، لِأَنَّهُ كَلَامٌ لَهَا بَعْدَ يَمِينِهِ.

Salah satunya: Ia dianggap melanggar sumpah, karena itu adalah ucapan kepadanya setelah sumpahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَحْنَثُ، لِأَنَّهُ مِنْ حَالَاتِ يَمِينِهِ.

Pendapat kedua: Ia tidak dianggap melanggar sumpah, karena itu masih termasuk dalam rangkaian sumpahnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنْ قَالَ لَهَا وَهُوَ يَأْكُلُ مَا يأتي عليه الإحصاء والعدد مثل النبق وَالرُّطَبِ، وَمَا يُلْقَى نَوَاهُ فِي نَهْرٍ أَوْ نَارٍ، أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ لَمْ تُخْبِرِينِي بِعَدَدِ مَا أَكَلْتُ، فَمَخْرَجُهُ مِنَ الْحِنْثِ أَنْ تَبْتَدِئَ بِالْعَدَدِ الَّذِي يَتَحَقَّقُ أَنَّهُ لَمْ يَأْكُلْ أَقَلَّ مِنْهُ وَتَنْتَهِي إِلَى الْعَدَدِ الَّذِي تَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يَأْكُلْ أَكْثَرَ مِنْهُ، فَيَبَرُّ حِينَئِذٍ فِي يَمِينِهِ، لِأَنَّهَا قَدِ اجْتَهَدَتْ فِي جُمْلَةِ الْأَعْدَادِ الَّتِي ذَكَرَتْهَا بِعَدَدِ مَا أَكَلَهُ وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ لَهَا.

Jika ia berkata kepada istrinya saat ia sedang makan sesuatu yang dapat dihitung dan dibilang seperti buah nabq atau kurma basah, dan bijinya dibuang ke sungai atau api: “Engkau tertalak jika engkau tidak memberitahuku jumlah yang aku makan,” maka cara agar ia tidak melanggar sumpah adalah dengan memulai dari jumlah yang pasti tidak kurang dari itu ia makan, dan mengakhiri pada jumlah yang ia yakin tidak lebih dari itu ia makan. Maka dengan demikian ia dianggap menepati sumpahnya, karena istrinya telah berusaha menyebutkan jumlah yang ia makan secara keseluruhan, meskipun tidak dapat dipastikan jumlah pastinya.

مِثَالُهُ: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ لَمْ يَأْكُلْ أَقَلَّ مِنْ عَشَرَةٍ، وَلَمْ يَزِدْ مَا أَكَلَهُ عَلَى الْمِائَةِ، فَتَبْتَدِئُ بِالْعَشَرَةِ وَتَنْتَهِي إِلَى الْمِائَةِ، فَيَتَعَيَّنُ أَنَّ عَدَدَ الْمَأْكُولِ فِيهَا بَيْنَ الطَّرَفَيْنِ.

Contohnya: Ia mengetahui bahwa ia tidak makan kurang dari sepuluh, dan tidak lebih dari seratus, maka istrinya memulai dari sepuluh dan mengakhiri pada seratus, sehingga dapat dipastikan bahwa jumlah yang dimakan berada di antara dua angka tersebut.

وَلَوْ قَالَ لَهَا وَقَدْ أَكَلَتْ مَعَهُ رُطَبًا أَوْ نَبْقًا، وَاخْتَلَطَ نَوَى مَا أَكَلَاهُ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ لَمْ تُمَيِّزِي نَوَى مَا أَكَلْتُهُ مِنْ نَوَى مَا أَكْلَتِيهِ فَمَخْرَجُهُ مِنْ يَمِينِهِ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ كُلِّ نَوَاةٍ وَبَيْنَ الْأُخْرَى لِتَكُونَ بَعِيدَةً مِنْهَا فَيَبَرَّ وَلَا يَحْنَثَ.

Jika ia berkata kepada istrinya, dan istrinya makan bersamanya buah kurma basah atau nabq, lalu biji yang mereka makan bercampur, “Engkau tertalak jika engkau tidak dapat membedakan biji yang aku makan dari biji yang engkau makan,” maka cara agar ia tidak melanggar sumpah adalah dengan memisahkan setiap biji satu sama lain agar terpisah darinya, sehingga ia dianggap menepati sumpah dan tidak melanggarnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا كَانَ فِي وَسَطِ دَرَجَةٍ فَصَعِدَ إِلَيْهِ رَجُلٌ، فَحَلَفَ بِالطَّلَاقِ أَنْ لَا يَصْعَدَ مَعَهُ، وَنَزَلَ إِلَيْهِ آخَرُ فَحَلَفَ بِالطَّلَاقِ أَنْ لَا يَنْزِلَ مَعَهُ فَصَعِدَ مَعَ الَّذِي حَلَفَ أَنْ لَا يَنْزِلَ مَعَهُ وَنَزَلَ مَعَ الَّذِي حَلَفَ أَنْ لَا يَصْعَدَ مَعَهُ لَمْ يَحْنَثْ.

Jika seseorang berada di tengah-tengah tangga, lalu ada seorang laki-laki naik ke arahnya, kemudian ia bersumpah dengan talak bahwa ia tidak akan naik bersamanya, dan ada orang lain turun ke arahnya, lalu ia bersumpah dengan talak bahwa ia tidak akan turun bersamanya, kemudian ia naik bersama orang yang ia bersumpah tidak akan turun bersamanya, dan ia turun bersama orang yang ia bersumpah tidak akan naik bersamanya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah.

وَلَوْ حَلَفَ وَهُوَ فِي وَسَطِ دَرَجَةٍ أَنْ لَا يَصْعَدَ مِنْهَا، وَأَنْ لَا يَنْزِلَ عَنْهَا وَلَا يَقْعُدَ عَلَيْهَا فَحَمَلَهُ حَامِلٌ فَصَعِدَ بِهِ أَوْ نَزَلَ بِهِ لَمْ يَحْنَثْ.

Jika ia bersumpah saat berada di tengah-tengah tangga bahwa ia tidak akan naik darinya, tidak akan turun darinya, dan tidak akan duduk di atasnya, lalu ada orang yang membawanya naik atau turun, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا اتَّهَمَ زَوْجَتَهُ بِسَرِقَةٍ، وَقَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ لَمْ تَصْدُقِينِي هَلْ سَرَقْتِ أَمْ لَا؟ فَمَخْرَجُهُ يَقِينًا مِنْ يَمِينِهِ أَنْ تقول له سرقت، وتقول له ما سرقت فيتقين أَنَّهَا قَدْ صَدَقَتْهُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فَيَبَرُّ وَلَا يَحْنَثُ.

Jika ia menuduh istrinya mencuri, lalu berkata kepadanya: “Engkau tertalak jika engkau tidak jujur kepadaku, apakah engkau mencuri atau tidak?” Maka cara pasti agar ia tidak melanggar sumpah adalah istrinya berkata kepadanya: “Aku mencuri,” dan berkata kepadanya: “Aku tidak mencuri,” sehingga dapat dipastikan bahwa ia telah berkata jujur dalam salah satu dari dua perkataan itu, maka ia dianggap menepati sumpah dan tidak melanggarnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا كَانَ وَاقِفًا فِي الْمَاءِ فَحَلَفَ بِالطَّلَاقِ أَنْ لَا يُقِيمَ فِيهِ وَلَا يَخْرُجَ مِنْهُ، فَإِنْ كَانَ الْمَاءُ جَارِيًا لَمْ يَحْنَثْ بِمُقَامِهِ وَلَا بِخُرُوجِهِ مِنْهُ، لِأَنَّ الْمَاءَ الَّذِي كَانَ فِيهِ بِجَرَيَانِهِ قَدْ مَضَى فَسَقَطَ حُكْمُهُ، وَإِنْ كَانَ رَاكِدًا فَأَقَامَ فِيهِ (أو خرج منه حنث، ولو انتقل من موضع منه) إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ حَنِثَ، لِأَنَّ جَمِيعَهُ مَاءٌ وَاحِدٌ وَلَيْسَ كَالْجَارِي.

Jika seseorang berdiri di dalam air lalu bersumpah dengan talak bahwa ia tidak akan tetap di situ dan tidak akan keluar darinya, maka jika air itu mengalir, ia tidak dianggap melanggar sumpah baik dengan tetap di situ maupun dengan keluar darinya, karena air yang ada padanya telah berlalu bersama alirannya sehingga hukumnya gugur. Namun jika air itu tenang (tidak mengalir) lalu ia tetap di situ atau keluar darinya, maka ia dianggap melanggar sumpah. Bahkan jika ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain di dalam air itu, ia pun dianggap melanggar sumpah, karena seluruh air itu adalah satu kesatuan dan tidak seperti air yang mengalir.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا حَلَفَ بِاللَّهِ تَعَالَى أَوْ بِالطَّلَاقِ عَلَى شَيْءٍ يَحْتَمِلُ أَمْرَيْنِ، تَعَيَّنَ أَحَدُهُمَا بِالنِّيَّةِ فَإِنْ لَمْ يَخْتَلِفْ فِي حَظْرِهِ وَإِبَاحَتِهِ، فَالنِّيَّةُ فِيهِ نِيَّةُ الْحَالِفِ دُونَ الْمُسْتَحْلِفِ، وَإِنِ اخْتَلَفَ فِي حَظْرِهِ وَإِبَاحَتِهِ، فَإِنَّ النِّيَّةَ فِيهِ نِيَّةُ الْحَالِفِ كَانَ الْحَالِفُ مَظْلُومًا وَالْمُسْتَحْلِفُ ظَالِمًا، كَالْحَالِفِ إِذَا كَانَ شَافِعِيًّا فَحَلَفَ أَنْ لَا شُفْعَةَ عَلَيْهِ لِلْجَارِ أَوْ كَانَ حَنَفِيًّا فَحَلَفَ أَنْ لَا ثَمَنَ عَلَيْهِ لِلْمُدَبَّرِ، فَالنِّيَّةُ فِي الْيَمِينِ نِيَّةُ الْحَالِفِ دُونَ الْحَاكِمِ الْمُسْتَحْلِفِ وَإِنْ كَانَ الْحَالِفُ ظَالِمًا كَالشَّافِعِيِّ إِذَا حَلَفَ لَا ثَمَنَ عَلَيْهِ لِلْمُدَبَّرِ، وَالْحَنَفِيِّ إِذَا حَلَفَ أَنْ لَا شُفْعَةَ عَلَيْهِ لِلْجَارِ كَانَتِ النِّيَّةُ نِيَّةَ الْحَاكِمِ الْمُسْتَحْلِفِ دُونَ الْحَالِفِ فَكَأَنَّهَا لَا تَكُونُ عَلَى نِيَّةِ الْمُسْتَحْلِفَ إِلَّا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَحْدَهُ، فَأَمَّا إِذَا تَفَرَّدَ الْحَالِفُ بِالْيَمِينِ فَهِيَ مَحْمُولَةٌ عَلَى نِيَّتِهِ إِذَا كَانَ مَا نَوَاهُ فِيهَا مُحْتَمَلًا.

Jika seseorang bersumpah dengan nama Allah Ta‘ala atau dengan talak atas sesuatu yang memiliki dua kemungkinan, maka salah satunya menjadi pasti dengan niat. Jika tidak ada perbedaan dalam hal larangan atau kebolehannya, maka niat yang dipegang adalah niat orang yang bersumpah, bukan niat orang yang menyuruh bersumpah. Namun jika ada perbedaan dalam hal larangan atau kebolehannya, maka niat yang dipegang adalah niat orang yang bersumpah apabila ia dizalimi dan orang yang menyuruh bersumpah adalah zalim, seperti seorang Syafi‘i yang bersumpah bahwa tidak ada hak syuf‘ah atasnya bagi tetangga, atau seorang Hanafi yang bersumpah bahwa tidak ada harga atasnya bagi mudabbar, maka niat dalam sumpah adalah niat orang yang bersumpah, bukan niat hakim yang menyuruh bersumpah. Namun jika orang yang bersumpah adalah zalim, seperti seorang Syafi‘i yang bersumpah tidak ada harga atasnya bagi mudabbar, atau seorang Hanafi yang bersumpah tidak ada hak syuf‘ah atasnya bagi tetangga, maka niat yang dipegang adalah niat hakim yang menyuruh bersumpah, bukan niat orang yang bersumpah. Seolah-olah niat itu tidak mengikuti niat orang yang menyuruh bersumpah kecuali dalam kasus ini saja. Adapun jika orang yang bersumpah bersumpah sendiri, maka sumpah itu mengikuti niatnya selama apa yang diniatkannya masih mungkin secara makna.

وَإِنْ حَلَفَ عَلَى شَيْءٍ مَاضٍ أَنَّهُ مَا فَعَلَهُ، وَقَدْ فَعَلَهُ، وَنَوَى فِي يَمِينِهِ أَنَّهُ مَا فَعَلَهُ بِالصِّينِ أَوْ عَلَى ظَهْرِ الْكَعْبَةِ أَوْ حَلَفَ عَلَى شَيْءٍ مُسْتَقْبَلٍ أَنَّهُ يَفْعَلُهُ، وَلَمْ يَفْعَلْهُ، وَنَوَى فِي يَمِينِهِ أَنَّهُ يَفْعَلُهُ فِي الصِّينِ أَوْ عَلَى ظَهْرِ الْكَعْبَةِ حُمِلَ عَلَى نِيَّتِهِ وَلَمْ يَحْنَثْ، وَلَوْ حَلَفَ فَقَالَ: كُلُّ نِسَائِي طَوَالِقُ وَنَوَى نِسَاءَ قَرَابَتِهِ لَمْ تُطَلَّقْ نِسَاؤُهُ، وَإِذَا قَالَ لِزَوْجَتِهِ: إِنْ تَزَوَّجْتُ عَلَيْكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، وَنَوَى أَنْ يَتَزَوَّجَ عَلَى بَطْنِهَا، حُمِلَ عَلَى مَا نَوَى وَلَمْ يَحْنَثْ إِنْ تَزَوَّجَ عَلَيْهَا غَيْرَهَا، وَلَوْ قِيلَ لَهُ: طَلَّقْتَ زَوْجَتَكَ فَقَالَ: نَعَمْ وَأَرَادَ نَعَمَ بَنِي فَلَانٍ كَانَ عَلَى مَا نَوَى فِي الْبَاطِنِ، وَإِنْ كَانَ مُؤَاخَذًا بِإِقْرَارِهِ فِي الظَّاهِرِ، وَإِذَا حَلَفَ مَا كَاتَبْتُ فَلَانًا أَوْ لَا كَلَّمْتُهُ وَلَا رَأَيْتُهُ وَلَا عرفته ولا أعلمته ونوى بالمكاتبة عقد الكاتبة وَبُقُولِهِ: مَا رَأَيْتُهُ أَيْ مَا ضَرَبْتُ رُؤْيَتَهُ وَبِقَوْلِهِ مَا كَلَّمْتُهُ أَيْ مَا صرَخْتُهُ وَبِقَوْلِهِ: مَا عَرَّفْتُهُ أَيْ مَا جَعَلْتُهُ عَرِيفًا، وَبِقَوْلِهِ مَا أَعْلَمْتُهُ أَيْ مَا قَطَعْتُ شَفَتَهُ الْعُلْيَا، حُمِلَ ذَلِكَ عَلَى مَا نَوَى وَهَكَذَا لَوْ حَلَفَ فَقَالَ: مَا أُخَوِّفُ لَكَ جَمَلًا وَلَا بَقَرَةً وَلَا ثَوْرًا وَلَا عَنْزًا وَنَوَى بِالْجَمَلِ السَّحَابَ، وَبِالْبَقَرَةِ الْعِيَالَ، وَبِالثَّوْرِ الْقِطْعَةَ مِنَ الْأَقِطِ، وَبِالْعَنْزِ الْأَكَمَةَ السَّوْدَاءَ، حُمِلَ عَلَى مَا نَوَى وَلَمْ يَحْنَثْ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: مَا شَرِبْتُ لَكَ مَاءً وَنَوَى الْمَنِيَّ حُمِلَ عَلَيْهِ، وَصَحَّ مَا نَوَاهُ، وَكَذَلِكَ جَمِيعُ الْأَشْبَاهِ الْمُشْتَرَكَةِ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُؤَدِّيَ عَنِ الظَّاهِرِ، وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إِذَا لَمْ يَقْصِدْ بِهِ التَّوَصُّلَ إِلَى مَحْظُورٍ.

Jika seseorang bersumpah atas sesuatu yang telah lalu bahwa ia tidak melakukannya, padahal ia telah melakukannya, dan ia meniatkan dalam sumpahnya bahwa ia tidak melakukannya di Cina atau di atas atap Ka‘bah, atau ia bersumpah atas sesuatu yang akan datang bahwa ia akan melakukannya, lalu ia tidak melakukannya, dan ia meniatkan dalam sumpahnya bahwa ia akan melakukannya di Cina atau di atas atap Ka‘bah, maka sumpah itu mengikuti niatnya dan ia tidak dianggap melanggar sumpah. Jika ia bersumpah dengan berkata, “Semua istriku tertalak,” dan ia meniatkan istri-istri dari kerabatnya, maka istri-istrinya tidak tertalak. Jika ia berkata kepada istrinya, “Jika aku menikah lagi atasmu, maka engkau tertalak,” dan ia meniatkan menikah atas perutnya, maka sumpah itu mengikuti niatnya dan ia tidak dianggap melanggar sumpah jika ia menikahi wanita lain selain istrinya itu. Jika seseorang ditanya, “Apakah engkau telah menceraikan istrimu?” lalu ia menjawab, “Ya,” dan ia maksudkan “Ya” untuk keluarga si Fulan, maka berlaku sesuai niat batinnya, meskipun secara lahiriah ia tetap dimintai pertanggungjawaban atas pengakuannya. Jika ia bersumpah, “Aku tidak pernah menulis surat kepada si Fulan, tidak pernah berbicara dengannya, tidak pernah melihatnya, tidak pernah mengenalnya, dan tidak pernah memberitahunya,” lalu ia meniatkan dengan “menulis surat” adalah akad mukatabah, dengan “tidak pernah melihatnya” maksudnya tidak pernah memukulnya hingga melihatnya, dengan “tidak pernah berbicara dengannya” maksudnya tidak pernah berteriak kepadanya, dengan “tidak pernah mengenalnya” maksudnya tidak pernah menjadikannya sebagai ‘arif (kepala kelompok), dan dengan “tidak pernah memberitahunya” maksudnya tidak pernah memotong bibir atasnya, maka semua itu mengikuti niatnya. Demikian pula jika ia bersumpah, “Aku tidak pernah menakut-nakuti untukmu unta, sapi, banteng, atau kambing,” dan ia meniatkan dengan “unta” adalah awan, dengan “sapi” adalah anak-anak, dengan “banteng” adalah potongan keju kering, dan dengan “kambing” adalah bukit hitam, maka semua itu mengikuti niatnya dan ia tidak dianggap melanggar sumpah. Demikian pula jika ia berkata, “Aku tidak pernah meminum air untukmu,” dan ia meniatkan mani, maka sumpah itu mengikuti niatnya dan apa yang ia niatkan sah. Begitu juga seluruh lafaz yang memiliki makna ganda, maka boleh baginya untuk menjalankan sesuai makna lahiriah, dan hal itu tidak diharamkan baginya selama ia tidak bermaksud untuk mencapai sesuatu yang terlarang.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي قِصَّةِ إِبْرَاهِيمَ: {أَأَنْتَ فَعَلْتَ هذا بآلهتنا يا إبراهيم قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ} [الأنبياء: 62، 63] .

Allah Ta‘ala berfirman dalam kisah Ibrahim: {Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim? Ia menjawab: Sebenarnya yang melakukannya adalah yang besar di antara mereka ini, maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara.} (QS. al-Anbiya: 62–63).

قِيلَ: إِنَّهُ نَوَى إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ، فَقَدْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا.

Dikatakan: Sesungguhnya ia berniat, “Jika mereka dapat berbicara, maka sungguh yang melakukan itu adalah yang paling besar di antara mereka ini.”

وَرُوِيَ أَنَّ سُوَيْدَ بْنَ حَنْظَلَةَ أَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَنَّهُ حَلَفَ بِاللَّهِ أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ أَخُوهُ لِيُخَلِّصَهُ مِنَ الْعَدُّوِ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (صدقت المسلم أخو المسلم) وبالله التوفيق.

Diriwayatkan bahwa Suwaid bin Hanzhalah memberitahu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa ia bersumpah demi Allah bahwa Wa’il bin Hujr adalah saudaranya demi menyelamatkannya dari musuh. Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepadanya, “Engkau benar, seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya.” Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

(مختصر من الرجعة من الجامع من كتاب الرجعة من الطلاق ومن أحكام القرآن ومن كتاب العدد ومن القديم)

(Diringkas dari bab ar-raj‘ah dalam al-Jāmi‘, dari Kitab ar-raj‘ah dalam bab talak, dari Ahkam al-Qur’an, dari Kitab al-‘Iddah, dan dari al-Qadim)

قال الشافعي: (قال الله تعالى في المطلقات {فإذا بلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو سرحوهن بمعروف} وقال تعالى: {فإذا بلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن} فَدَلَّ سِيَاقُ الْكَلَامِ عَلَى افْتِرَاقِ الْبُلُوغَيْنِ فَأَحَدُهُمَا مُقَارَبَةُ بُلُوغِ الْأَجَلِ فَلَهُ إِمْسَاكُهَا أَوْ تَرْكُهَا فَتُسَرَّحُ بِالطَّلَاقِ الْمُتَقَدِّمِ وَالْعَرَبُ تَقُولُ إِذَا قَارَبَتِ الْبَلَدَ تُرِيدُهُ قَدْ بَلَغْتُ كَمَا تَقُولُ إِذَا بَلَغَتْهُ وَالْبُلُوغُ الْآخَرُ انْقِضَاءُ الْأَجَلِ) .

Asy-Syafi‘i berkata: (Allah Ta‘ala berfirman tentang para wanita yang ditalak: {Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik} dan Allah Ta‘ala berfirman: {Apabila mereka telah mencapai akhir masa iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka untuk menikah kembali dengan suami-suami mereka}. Maka rangkaian kalimat ini menunjukkan adanya perbedaan antara dua jenis “mencapai akhir masa iddah”: salah satunya adalah mendekati akhir masa iddah, di mana suami boleh merujuk atau membiarkan istrinya, sehingga ia berpisah dengan talak yang telah dijatuhkan sebelumnya. Orang Arab mengatakan, “Aku telah sampai di negeri yang kutuju,” ketika ia hampir sampai, sebagaimana mereka mengatakan ketika benar-benar telah sampai. Sedangkan “mencapai akhir masa iddah” yang lain adalah benar-benar habisnya masa iddah.)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْأَصْلُ فِي إِبَاحَةِ الرَّجْعَةِ بَعْدَ الطَّلَاقِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 229] . وَسَبَبُ نُزُولِهَا مَا رَوَاهُ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ يُطَلِّقُ مَا شَاءَ ثُمَّ يُرَاجِعُ امْرَأَتَهُ قُبَيْلَ أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا، فَغَضِبَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ عَلَى امْرَأَتِهِ، فَقَالَ لَهَا: لَا أُقَرِّبُكِ وَلَا تَختلِينَ مِنِّي، قَالَتْ لَهُ كَيْفَ؟ قَالَ: أُطَلِّقُكِ فَإِذَا دَنَا أَجَلُكِ رَاجَعْتُكِ ثُمَّ أُطَلِّقُكِ فَإِذَا دَنَا أَجَلُكِ رَاجَعْتُكِ، قَالَ: فَشَكَتْ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فأنزل الله تعالى: {الطلاق مرتان} الْآيَةَ، فَجَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى الطَّلَاقَ مُقَدَّرًا بِالثَّلَاثِ.

Al-Mawardi berkata: Dasar kebolehan rujuk setelah talak adalah firman Allah Ta‘ala: {Talak itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik} [al-Baqarah: 229]. Adapun sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, ia berkata: Dahulu seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya sesuka hati, lalu merujuknya sebelum masa iddahnya habis. Pernah seorang laki-laki dari Anshar marah kepada istrinya, lalu berkata, “Aku tidak akan mendekatimu dan tidak pula membiarkanmu lepas dariku.” Istrinya bertanya, “Bagaimana caranya?” Ia menjawab, “Aku akan menceraikanmu, lalu jika masa iddahmu hampir habis aku akan merujukmu, kemudian aku ceraikan lagi, dan jika masa iddahmu hampir habis aku akan merujukmu lagi.” Maka istrinya mengadukan hal itu kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu Allah Ta‘ala menurunkan ayat: {Talak itu dua kali…} Maka Allah Ta‘ala menetapkan talak itu maksimal tiga kali.

رَوَى إِسْمَاعِيلَ بْنِ سُمَيْعٍ عَنْ أَبِي رَزِينٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَأَيْنَ الثَّلَاثَةُ؟ قَالَ: فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ.

Diriwayatkan dari Isma‘il bin Sumai‘ dari Abu Razin, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan bertanya, “Talak itu dua kali, lalu di mana yang ketiga?” Beliau menjawab, “Maka rujuklah dengan cara yang baik atau ceraikanlah dengan cara yang baik.”

فَجَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى الطَّلَاقَ الَّذِي يَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ مَرَّتَيْنِ بِقَوْلِهِ: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 229] . يَعْنِي الرَّجْعَةَ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ.

Maka Allah Ta‘ala menetapkan bahwa talak yang masih memungkinkan rujuk itu hanya dua kali, berdasarkan firman-Nya: {Talak itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik} [al-Baqarah: 229]. Maksudnya adalah rujuk sebelum habis masa iddah.

(أَوْ تسريح بإحسان) فِيهِ تَأْوِيلَانِ:

(Atau menceraikan dengan cara yang baik) memiliki dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا الطَّلْقَةُ الثَّانِيَةُ، وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءٍ وَمُجَاهِدٍ.

Pertama: Bahwa itu adalah talak yang kedua, dan ini adalah pendapat ‘Atha’ dan Mujahid.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ الْإِمْسَاكُ عَنْ رَجْعَتِهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا وَهُوَ قَوْلُ السُّدِّيِّ وَالضَّحَّاكِ.

Kedua: Bahwa maksudnya adalah menahan diri dari rujuk hingga masa iddahnya habis, dan ini adalah pendapat as-Suddi dan adh-Dhahhak.

(وَالْإِحْسَانُ) . هُوَ تَأْدِيَةُ حَقِّهَا وَكَفُّ أَذَاهَا.

(Dengan cara yang baik) maksudnya adalah menunaikan haknya dan menahan diri dari menyakitinya.

وقال تعالى: {فإذا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فارقوهن بِمَعْرُوفٍ} [البقرة: 231] . يَعْنِي بِبُلُوغِ الْأَجَلِ مُقَارَبَتَهُ كَمَا يَقُولُ الْعَرْبُ: بَلَغْتُ بَلَدَ كَذَا، إِذَا قَارَبْتُهُ، وَمَعْنَى قَوْلِهِ: {فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ} فَهُوَ الْمُرَاجَعَةُ فِي الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ قَبْلَ انْقِضَاءِ العدة، أو يسرحخن بِمَعْرُوفٍ هُوَ الْإِمْسَاكُ عَنْ رَجَعَتْهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ وَقَالَ تَعَالَى: {وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ} [البقرة: 228] . يَعْنِي بِرَجْعَتِهِنِّ فِي ذَلِكَ، يَعْنِي فِي الطَّلَاقِ إِذَا كان دون الثلاث، {إن أرادوا إصلاحاً} يعني إن أراد البعولة إصلاحاً، مَا تَشَعَّثَ مِنَ النِّكَاحِ بِالطَّلَاقِ بِمَا جُعِلَ لَهُمْ مِنَ الرَّجْعَةِ فِي الْعِدَّةِ.

Allah Ta‘ala berfirman: {Apabila kamu menceraikan para wanita lalu mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik} [al-Baqarah: 231]. Maksud dari “mendekati akhir masa iddah” adalah hampir habisnya masa iddah, sebagaimana orang Arab mengatakan, “Aku telah sampai di negeri ini,” ketika ia hampir sampai. Makna firman-Nya: {Maka rujuklah mereka dengan cara yang baik} adalah rujuk pada talak pertama dan kedua sebelum habis masa iddah, atau “ceraikanlah mereka dengan cara yang baik” maksudnya adalah menahan diri dari rujuk hingga masa iddah habis. Allah Ta‘ala juga berfirman: {Dan para suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka} [al-Baqarah: 228]. Maksudnya adalah rujuk dalam hal itu, yaitu dalam talak yang kurang dari tiga kali, {Jika mereka menghendaki islah (perbaikan)} maksudnya jika para suami menghendaki perbaikan atas apa yang rusak dari pernikahan akibat talak, dengan adanya hak rujuk selama masa iddah.

وَحُكِيَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ أَنَّهُ أَرَادَ الصَّلَاحَ فِي الدِّينِ وَالتَّقْوَى، وَأَنَّ الرَّجْعَةَ لَا تَصِحُّ إِلَّا لِمَنْ أَرَادَ بِهَا صَلَاحَ دِينِهِ وَتَقْوَى رَبِّهِ، وَهُوَ قَوْلٌ تَفَرَّدَ بِهِ عَنِ الْجَمَاعَةِ، فَدَلَّتِ الْآيَةُ الْأُولَى عَلَى إِبَاحَةِ الرَّجْعَةِ بَعْدَ الثَّانِيَةِ، وَإِبْطَالِهَا بَعْدَ الثَّالِثَةِ، وَدَلَّتِ الْآيَةُ الثَّانِيَةُ عَلَى إِبَاحَةِ الرَّجْعَةِ فِي الْعِدَّةِ وَإِبْطَالِهَا بَعْدَ الْعِدَّةِ.

Diriwayatkan dari ‘Aṭā’ bin Abī Rabāḥ bahwa yang dimaksud adalah menginginkan kebaikan dalam agama dan takwa, dan bahwa rujuk tidak sah kecuali bagi orang yang bermaksud dengan rujuk tersebut untuk memperbaiki agamanya dan bertakwa kepada Tuhannya. Ini adalah pendapat yang ia sendiri berbeda dari jumhur. Maka ayat pertama menunjukkan kebolehan rujuk setelah talak kedua dan batalnya rujuk setelah talak ketiga. Ayat kedua menunjukkan kebolehan rujuk selama masa ‘iddah dan batalnya rujuk setelah habis masa ‘iddah.

وَدَلَّتِ الْآيَةُ الثَّالِثَةُ عَلَى أَنَّ الرَّجْعَةَ رَافِعَةٌ لِتَحْرِيمِ الطَّلَاقِ. فَكَانَ فِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْآيِ الثَّلَاثِ دَلِيلٌ عَلَى حُكْمٍ لَمْ يَكُنْ فِي غَيْرِهَا وَقَالَ تَعَالَى: {فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} [الطلاق: 1] . إِلَى قَوْله تَعَالَى: {لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا} [الطلاق: 1] . يَعْنِي رَجْعَةً فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى إِبَاحَةِ الرَّجْعَةِ وَاخْتِيَارِ الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ احْتِرَازًا مِنَ النَّدَمِ فِي الثَّلَاثِ وَأَنَّ وُقُوعَهُ فِي أَقَرَاءِ الْعِدَّةِ أَفْضَلُ. وَيَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ الرَّجْعَةِ مِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ أَبُو عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ عَنْ قَيْسِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – طَلَّقَ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ تَطْلِيقَةً فَأَتَاهَا خَالَاهَا قَدَامَةُ وَعُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ، فَبَكَتْ وَقَالَتْ: أَمَا وَاللَّهِ مَا طَلَّقَنِي عَنْ شِبَعٍ فَجَاءَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَدَخَلَ عَلَيْهَا فَتَجَلْبَبَتْ. فَقَالَ: (إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَتَانِي فَقَالَ لِي رَاجِعْ حَفْصَةَ، فَإِنَّهَا صَوَّامَةٌ قَوَّامَةٌ، وَإِنَّهَا زَوْجَتُكَ فِي الْجَنَّةِ) .

Ayat ketiga menunjukkan bahwa rujuk mengangkat keharaman talak. Maka pada masing-masing dari tiga ayat tersebut terdapat dalil atas hukum yang tidak terdapat pada ayat lainnya. Allah Ta‘ala berfirman: {Maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat menghadapi masa ‘iddahnya} [at-Ṭalāq: 1], hingga firman-Nya: {Mudah-mudahan Allah mengadakan sesudah itu suatu urusan yang baru} [at-Ṭalāq: 1], maksudnya adalah rujuk. Maka ayat ini menunjukkan kebolehan rujuk dan memilih talak raj‘ī sebagai kehati-hatian dari penyesalan pada talak tiga, dan bahwa pelaksanaannya pada masa quru‘ ‘iddah lebih utama. Dan yang menunjukkan kebolehan rujuk dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan oleh Abū ‘Imrān al-Jawnī dari Qais bin Zaid bahwa Rasulullah ﷺ menceraikan Hafshah binti ‘Umar dengan satu talak. Kemudian dua paman Hafshah, Qudāmah dan ‘Utsmān bin Maẓ‘ūn, mendatanginya, lalu ia menangis dan berkata: “Demi Allah, beliau tidak menceraikanku karena sudah bosan.” Maka Nabi ﷺ datang dan masuk menemuinya, lalu Hafshah menutup diri. Nabi bersabda: “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salām mendatangiku dan berkata: ‘Rujuklah Hafshah, karena ia adalah wanita yang banyak berpuasa dan banyak shalat malam, dan ia adalah istrimu di surga.’”

وَرَوَى إِسْحَاقُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ عَنِ الْهَيْثَمِ بْنِ عَدِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِسَوْدَةَ: (اعْتَدِّي) فَجَعَلَهَا تَطْلِيقَةً فَجَلَسَتْ فِي طَرِيقِهِ فَقَالَتْ: إِنِّي أَسْأَلُكَ بِاللَّهِ لَمَا رجَّعْتَنِي وَاجْعَلْ نَصِيبِي مِنْكَ لَكَ تَجْعَلُهُ لِأَيِّ أَزْوَاجِكِ شِئْتَ، إِنَّمَا أُرِيدُ أَنْ أُحْشَرَ وَأَزْوَاجِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرَاجَعَهَا.

Diriwayatkan oleh Isḥāq bin Yūsuf dari Abū Ḥanīfah dari al-Haitsam bin ‘Adī bahwa Nabi ﷺ berkata kepada Saudah: “Ber‘iddahlah.” Maka beliau menjadikannya satu talak. Lalu Saudah duduk di jalan Nabi dan berkata: “Aku memohon kepadamu demi Allah, rujuklah aku dan jadikan bagianku darimu untukmu, engkau boleh memberikannya kepada istri-istrimu yang engkau kehendaki. Aku hanya ingin dikumpulkan bersama istri-istrimu pada hari kiamat.” Maka Nabi pun merujuknya.

وَرُوِيَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ حَائِضًا فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِعُمَرَ (مُرْهُ فَلَيُرَاجِعْهَا حَتَّى تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ طَلَّقَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ) .

Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya saat haid, maka Nabi ﷺ berkata kepada ‘Umar: “Perintahkan dia untuk merujuk istrinya hingga ia suci, lalu jika ia mau boleh menceraikannya setelah itu, dan jika mau boleh menahannya. Itulah masa ‘iddah yang Allah perintahkan untuk menceraikan para wanita.”

وَرُوِيَ أَنَّ رُكَانَةَ بْنَ عَبْدِ يَزِيدَ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ أَلْبَتَّةَ فَأَحْلَفَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ أَرَادَ وَاحِدَةً ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ بِالرَّجْعَةِ.

Diriwayatkan bahwa Rukānah bin ‘Abd Yazīd menceraikan istrinya dengan talak bain, maka Nabi ﷺ meminta ia bersumpah bahwa ia hanya bermaksud satu talak, lalu Nabi mengembalikan istrinya kepadanya dengan rujuk.

(فَصْلٌ:)

(Bab:)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ جَوَازِ الرجعة بعد الطلاق فإن اسْتِبَاحَةَ الْبُضْعِ بَعْدَ تَحْرِيمِهِ بِالطَّلَاقِ بِغَيْرِ عَقْدِ نِكَاحٍ عَلَى مَا سَنَصِفُهُ مِنْ حَلَالِهَا وَجَوَازِهَا مَعًا مُعْتَبَرٌ بِأَرْبَعَةِ شُرُوطٍ:

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan tentang bolehnya rujuk setelah talak, maka kebolehan hubungan suami istri setelah diharamkan oleh talak tanpa akad nikah baru—sebagaimana akan kami jelaskan tentang kehalalan dan kebolehannya—tergantung pada empat syarat:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ دُونَ الثَّلَاثِ، فَإِنْ كَانَ ثَلَاثًا حُرِّمَتْ عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ، وَسَوَاءٌ جَمَعَ بَيْنَ الثَّلَاثِ أَوْ فَرَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ كَانَتْ أَوْ بَعْدَهُ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 23]

Pertama: Talak tersebut kurang dari tiga kali. Jika sudah tiga kali, maka istri menjadi haram baginya sampai ia menikah dengan suami lain, baik talak itu dijatuhkan sekaligus maupun terpisah, sebelum atau sesudah terjadi hubungan suami istri. Allah Ta‘ala berfirman: {Jika suami menceraikannya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak boleh lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain} [al-Baqarah: 230].

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ بَعْدَ الدُّخُولِ فَإِنْ كَانَ قَبْلَهُ فَلَا رَجْعَةَ، لِأَنَّهُ لَا عِدَّةَ عَلَى غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا، وَالرَّجْعَةُ تُمْلَكُ فِي الْعِدَّةِ.

Syarat kedua: Talak terjadi setelah terjadi hubungan suami istri. Jika sebelum itu, maka tidak ada rujuk, karena tidak ada masa ‘iddah bagi wanita yang belum digauli, dan rujuk hanya dapat dilakukan selama masa ‘iddah.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {. . ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا} [الأحزاب: 49] .

Allah Ta‘ala berfirman: {…kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban ‘iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan…} [al-Aḥzāb: 49].

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ بِغَيْرِ عِوَضٍ، فَإِنْ كَانَ خُلْعًا بَعِوَضٍ، فَلَا رَجْعَةَ فِيهِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ فِي كِتَابِ الْخُلْعِ.

Syarat ketiga: Talak harus dilakukan tanpa adanya kompensasi. Jika talak tersebut berupa khulu‘ dengan kompensasi, maka tidak ada hak rujuk di dalamnya sebagaimana telah dijelaskan dalam Kitab al-Khulu‘.

وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةً فِي عِدَّتِهَا، فَإِنِ انْقَضَتِ الْعِدَّةُ فَلَا رَجْعَةَ.

Syarat keempat: Istri masih berada dalam masa ‘iddah. Jika masa ‘iddah telah selesai, maka tidak ada hak rujuk.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ} [الطلاق: 2 ٍ] . وَالْمُرَادُ بِهِ مُقَارَبَةُ الْأَجَلِ، لِأَنَّ حَقِيقَةَ الْأَجَلِ، وإن كان لانقضاء المدة كما قال: {فإذا بلغن أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ} [البقرة: 232] . يُرِيدُ بِهِ انْقِضَاءَ عِدَّتِهِنَّ فَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يُرَادَ بِهِ مَجَازًا أَنْ يُقَارِبَ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ كَالَّذِي قَالَهُ هَاهُنَا، وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ، فَدَلَّ سِيَاقُ الْكَلَامَيْنِ عَلَى افْتِرَاقِ الْبُلُوغَيْنِ.

Allah Ta‘ala berfirman: {Apabila mereka telah mendekati akhir masa ‘iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik} (ath-Thalaq: 2). Yang dimaksud di sini adalah mendekati akhir masa ‘iddah, karena makna hakiki dari “akhir masa” adalah berakhirnya masa tersebut, sebagaimana firman-Nya: {Apabila mereka telah mencapai akhir masa ‘iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka menikah dengan suami-suami mereka} (al-Baqarah: 232). Yang dimaksud adalah berakhirnya masa ‘iddah mereka. Maka boleh saja dimaksudkan secara majazi (kiasan) yaitu mendekati berakhirnya masa ‘iddah, seperti yang disebutkan di sini, dan inilah makna dari pendapat asy-Syafi‘i. Maka rangkaian dua ayat tersebut menunjukkan perbedaan antara dua makna “mencapai akhir masa”.

فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ خَصَّ الرَّجْعَةَ بِمُقَارَبَةِ الْأَجَلِ وَعِنْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَهِيَ تَجُوزُ فِي أَوَّلِ الْعِدَّةِ، كَمَا تَجُوزُ فِي آخِرِهَا. وَهِيَ فِي أَوَّلِهَا أَوْلَى.

Jika dikatakan: Mengapa hak rujuk dikhususkan pada saat mendekati akhir masa ‘iddah, padahal rujuk boleh dilakukan di awal masa ‘iddah sebagaimana boleh di akhir masa ‘iddah? Bahkan di awal masa ‘iddah lebih utama.

قِيلَ عَنْهُ جَوَابَانِ:

Dijawab atas pertanyaan ini dengan dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: التَّنْبِيهُ عَلَى أَنَّهَا إِذَا جَازَتْ فِي آخِرِ الْعِدَّةِ كَانَتْ بِالْجَوَازِ فِي أَوَّلِهَا أَوْلَى.

Pertama: Untuk menunjukkan bahwa jika rujuk boleh dilakukan di akhir masa ‘iddah, maka di awal masa ‘iddah tentu lebih utama untuk dibolehkan.

وَالثَّانِي: لِيَدُلَّ عَلَى صِحَّةِ الرَّجْعَةِ فِي حَالِ الْإِضْرَارِ بِهَا، وَهُوَ أَنْ تَنْتَظِرَ بِهَا آخِرَ الْعِدَّةِ، ثُمَّ يُرَاجِعَهَا ثُمَّ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ الرَّجْعَةِ فَلَا تَكُونُ هَذِهِ الرَّجْعَةُ مِنَ الْإِمْسَاكِ بِالْمَعْرُوفِ، وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا} [البقرة: 231] . ثُمَّ قَدْ صَحَّتِ الرَّجْعَةُ فِي هَذِهِ الْحَالِ مَعَ قَصْدِ الإضرار فكان صحتها بِالْمَعْرُوفِ إِذَا لَمْ يَقْصِدِ الْإِضْرَارَ أَوْلَى فَإِذَا صَحَّتِ بِهَذِهِ الشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ فَهِيَ جَائِزَةٌ وَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ، وَأَوْجَبُهَا مِلْكًا فِي طَلَاقِ الْبِدْعَةِ وَقَدْ مضى الكلام معه.

Kedua: Untuk menunjukkan sahnya rujuk dalam kondisi yang mengandung unsur mudarat, yaitu seseorang menunggu hingga akhir masa ‘iddah, lalu ia merujuk istrinya, kemudian menceraikannya lagi setelah rujuk. Maka rujuk seperti ini bukanlah termasuk “menahan dengan cara yang baik”, padahal Allah Ta‘ala berfirman: {Dan janganlah kamu menahan mereka untuk memberi mudarat agar kamu melampaui batas} (al-Baqarah: 231). Namun demikian, rujuk dalam kondisi ini tetap sah meskipun dengan niat memberi mudarat. Maka jika rujuk sah dalam kondisi seperti ini, maka sahnya rujuk dengan cara yang baik dan tanpa niat memberi mudarat tentu lebih utama. Jika rujuk telah sah dengan empat syarat ini, maka rujuk itu boleh dan tidak wajib. Yang paling wajib adalah dalam kasus talak bid‘ah, dan penjelasannya telah lalu.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلِلْعَبْدِ مِنَ الرَّجْعَةِ بَعْدَ الْوَاحِدَةِ مَا لِلْحُرِّ بَعْدَ الثِّنْتَيْنِ كَانَتْ تَحْتَهُ حُرَةٌ أَوْ أَمَةٌ) .

Asy-Syafi‘i berkata: “Bagi seorang budak, hak rujuk setelah satu kali talak sama seperti hak rujuk bagi orang merdeka setelah dua kali talak, baik istrinya seorang wanita merdeka maupun seorang budak perempuan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الزَّوْجَ يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ مَا لَمْ يَسْتَوْفِ عَدَدَ الطَّلَاقِ الَّذِي قَدْ مَلَكَهُ بِعَقْدِ النِّكَاحِ وَالْحُرُّ يَمْلِكُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ فَيُرَاجِعُ بَعْدَ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ، وَلَا يُرَاجِعُ بَعْدَ الثَّالِثَةِ، وَالْعَبْدُ يَمْلِكُ طَلْقَتَيْنِ فَيُرَاجِعُ بَعْدَ الْأُولَى وَلَا يُرَاجِعُ بَعْدَ الثَّانِيَةِ، لِأَنَّ الْعَبْدَ يَسْتَوْفِي بِالثَّانِيَةِ عَدَدَ طَلَاقِهِ كَمَا يَسْتَوْفِيهِ الْحُرُّ بَعْدَ الثَّالِثَةِ وَإِذَا افْتَرَقَا حُكْمُ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ فِيمَا وَصَفْنَا مِنْ عَدَدِ الطَّلَاقِ وَاسْتِحْقَاقِ الرَّجْعَةِ فِيهِ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِحَالِهِ لَا بِحَالِ الزَّوْجَةِ فَيَتَمَلَّكُ الْحُرُّ ثَلَاثًا سَوَاءٌ كَانَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ أَوْ أَمَةٌ وَيَمْلِكُ الْعَبْدُ طَلْقَتَيْنِ سَوَاءٌ كَانَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ أَوْ أَمَةٌ فَيَكُونُ اعْتِبَارُهُ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ وَبِهِ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعَائِشَةُ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ.

Al-Mawardi berkata: Dasar dari hal ini adalah bahwa suami memiliki hak rujuk selama belum menyempurnakan jumlah talak yang ia miliki berdasarkan akad nikah. Seorang merdeka memiliki tiga kali talak, sehingga ia boleh rujuk setelah talak pertama dan kedua, dan tidak boleh rujuk setelah talak ketiga. Sedangkan budak memiliki dua kali talak, sehingga ia boleh rujuk setelah talak pertama dan tidak boleh rujuk setelah talak kedua, karena budak telah menyempurnakan jumlah talaknya dengan talak kedua sebagaimana orang merdeka menyempurnakannya dengan talak ketiga. Jika hukum orang merdeka dan budak berbeda dalam jumlah talak dan hak rujuk, maka yang menjadi patokan adalah keadaan suami, bukan keadaan istri. Maka orang merdeka memiliki tiga kali talak, baik istrinya wanita merdeka maupun budak perempuan, dan budak memiliki dua kali talak, baik istrinya wanita merdeka maupun budak perempuan. Maka yang dijadikan patokan adalah laki-laki, bukan perempuan. Pendapat ini juga dikatakan oleh ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit, ‘Aisyah, ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Abdullah bin ‘Abbas, dan Malik bin Anas.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَصَاحِبَاهُ وَالثَّوْرِيُّ: الطَّلَاقُ مُعْتَبَرٌ بِالنِّسَاءِ دُونَ الرِّجَالِ، فَالْحُرَّةُ تُمَلِّكُ زَوْجَهَا ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ حُرًّا كَانَ أَوْ عَبْدًا، وَالْأَمَةُ تُمَلِّكُ زَوْجَهَا طَلْقَتَيْنِ حُرًّا كَانَ زَوْجُهَا أَوْ عَبْدًا، وَحَكَوْهُ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 229] . وَالْمُرَادُ بِهِ الْحُرَّةُ لِقَوْلِهِ: {وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ عليهما مما افْتَدَتْ بِهِ} [البقرة: 229] .

Abu Hanifah, kedua sahabatnya, dan ats-Tsauri berkata: Talak itu diukur berdasarkan perempuan, bukan laki-laki. Maka seorang perempuan merdeka berhak menjadikan suaminya memiliki tiga kali talak, baik suaminya itu merdeka maupun budak. Sedangkan seorang budak perempuan berhak menjadikan suaminya memiliki dua kali talak, baik suaminya itu merdeka maupun budak. Pendapat ini juga dinukil dari Ali bin Abi Thalib—‘alaihis salam—dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Talak itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik} (al-Baqarah: 229). Yang dimaksud di sini adalah perempuan merdeka, berdasarkan firman-Nya: {Dan tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu pun dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika keduanya khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, maka tidak berdosa bagi keduanya atas apa yang diberikan oleh istri sebagai tebusan} (al-Baqarah: 229).

وَذَلِكَ فِي الْحُرَّةِ لِأَنَّهَا هِيَ الَّتِي تَفْتَدِي نَفْسَهَا بِمَا شَاءَتْ، وَقَدْ جعل طلاقها ثلاثة ولم تفرق بَيْنَ أَنْ يَكُونَ زَوْجُهَا حُرًّا أَوْ عَبْدًا فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِيهِمَا وَبِرِوَايَةِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ مُظَاهِرِ بْنِ أٍسلم عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: (طَلَاقُ الْأَمَةِ طَلْقَتَانِ وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ) فَجَعَلَ طَلَاقَهَا مُعْتَبَرًا بِهَا كَالْعِدَّةِ.

Hal itu berlaku pada perempuan merdeka karena dialah yang menebus dirinya dengan apa yang ia kehendaki, dan talaknya dijadikan tiga tanpa membedakan apakah suaminya merdeka atau budak, sehingga tetap berlaku umum pada keduanya. Dalam riwayat Ibnu Juraij dari Muzahir bin Aslam dari al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Talak budak perempuan adalah dua kali dan masa iddahnya dua kali haid.” Maka talaknya diukur berdasarkan dirinya, sebagaimana iddahnya.

وَلِأَنَّهُ عَدَدٌ مَحْصُورٌ مُتَعَلِّقٌ بِالنِّكَاحِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا لِلنِّسَاءِ كَالْعِدَّةِ لِأَنَّهُ عَدَدٌ مَحْصُورٌ يَخْتَلِفُ بِالْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ كَمَالُهُ وَنُقْصَانُهُ مُعْتَبَرًا بِالْمُوقَعِ عَلَيْهِ كَالْحُدُودِ.

Karena talak adalah bilangan tertentu yang berkaitan dengan pernikahan, maka wajib diukur berdasarkan perempuan sebagaimana iddah, karena ia adalah bilangan tertentu yang berbeda antara merdeka dan budak. Maka sempurna dan kurangnya harus diukur berdasarkan pihak yang dijatuhi talak, sebagaimana pada hudud.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 229] . وَالْمُرَادُ بِهِ الْحُرُّ لِقَوْلِهِ مِنْ بَعْدُ: {وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ} [البقرة: 229] . وَذَلِكَ خِطَابٌ لِلْحُرِّ وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ أَوْ أَمَةٌ قَدْ خَالَعَتْ بِإِذْنِ سَيِّدِهَا، فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ مِنْهُمَا.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Talak itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik} (al-Baqarah: 229). Yang dimaksud di sini adalah laki-laki merdeka, berdasarkan firman-Nya setelah itu: {Dan tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu pun dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika keduanya khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah} (al-Baqarah: 229). Ini adalah khitab (seruan) kepada laki-laki merdeka, dan tidak dibedakan apakah istrinya merdeka atau budak yang melakukan khulu‘ dengan izin tuannya, sehingga tetap berlaku umum pada keduanya.

وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنَ الْمَعْنَى وَهُوَ عِلَّةُ أَبِي حَامِدٍ أَنَّهُ ذُو عَدَدٍ مَحْصُورٍ لِلزَّوْجِ إِزَالَةُ مِلْكِهِ عَنْهُ بِعِوَضٍ فَوَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ كَمَالُهُ وَنُقْصَانُهُ بِالزَّوْجِ.

Yang menunjukkan hal itu dari segi makna—dan ini adalah ‘illat (alasan) menurut Abu Hamid—bahwa talak adalah bilangan tertentu bagi suami untuk menghilangkan kepemilikannya atas istrinya dengan imbalan, maka wajib diukur sempurna dan kurangnya berdasarkan suami.

أَصْلُهُ عَدَدُ الْمَنْكُوحَاتِ فَإِنَّ الْحُرَّ يَنْكِحُ أَرْبَعًا وَالْعَبْدَ اثْنَتَيْنِ.

Dasarnya adalah jumlah istri yang boleh dinikahi, di mana laki-laki merdeka boleh menikahi empat perempuan, sedangkan budak hanya dua.

وَقَوْلُهُ: ذُو عَدَدٍ مَحْصُورٍ احْتِرَازًا مِنَ الْقَسْمِ فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ بِالزَّوْجَةِ دُونَ الزَّوْجِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَحْظُورٍ.

Adapun ucapannya “bilangan tertentu” adalah untuk membedakan dari pembagian giliran, karena itu diukur berdasarkan istri, bukan suami, sebab tidak ada larangan di dalamnya.

وَقَوْلُهُ لِلزَّوْجِ إِزَالَةُ مِلْكِهِ بِغَيْرِ عِوَضٍ احْتِرَازًا مِنْ حَدِّ الْقَذْفِ فَإِنَّهُ مُعْتَبَرٌ بِالْمَقْذُوفَةِ وَتَحْرِيرُ هَذِهِ الْعِلَّةِ بِأَصَحَّ مِنْ هَذِهِ الْعِبَارَةِ أَنَّ مَا مَلَكَهُ الزَّوْجُ بِنِكَاحِهِ إِذَا اخْتَلَفَ عَدَدُهُ بَعْدَ حَصْرِهِ كَانَ مُعْتَبَرًا بِالزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ، أَصْلُهُ عَدَدُ الْمَنْكُوحَاتِ وَعِلَّةٌ أُخْرَى أَنَّهُ نَقْصٌ يُؤَثِّرُ فِي مَنْعِ الطَّلَاقِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا بِالزَّوْجِ كَالْجُنُونِ وَالصِّغَرِ وَعِلَّةٌ ثَالِثَةٌ أَنَّ مَا اخْتَصَّ بِأَحَدِ الزَّوْجَيْنِ إِذَا اخْتَلَفَ بِالْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ كَانَ مُعْتَبَرًا بِمَنْ يُبَاشِرُهُ كَالْعِدَّةِ.

Dan ucapannya “bagi suami menghilangkan kepemilikannya tanpa imbalan” adalah untuk membedakan dari had qazaf, karena itu diukur berdasarkan pihak yang dituduh. Penjelasan ‘illat ini yang lebih tepat dari ungkapan tersebut adalah: apa yang dimiliki suami melalui pernikahan, jika jumlahnya berbeda setelah ditentukan, maka diukur berdasarkan suami, bukan istri. Dasarnya adalah jumlah istri yang boleh dinikahi. ‘Illat lain adalah bahwa kekurangan yang memengaruhi larangan talak, maka wajib diukur berdasarkan suami, seperti kegilaan dan masih kecil. ‘Illat ketiga adalah bahwa sesuatu yang khusus pada salah satu dari kedua pasangan, jika berbeda antara merdeka dan budak, maka diukur berdasarkan pihak yang langsung mengalaminya, seperti iddah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ بِهَا.

Adapun jawaban atas ayat tersebut adalah sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam pendalilan dengannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى الزَّوْجِ إِذَا كَانَ عَبْدًا؛ لِأَنَّهُ هُوَ زَوْجُهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ وَالْحُرُّ إِنَّمَا يَنْكِحُهَا لِضَرُورَةٍ وَشَرْطٍ.

Adapun jawaban atas hadis tersebut adalah bahwa hadis itu dimaksudkan untuk suami jika ia adalah budak; karena dialah suaminya secara mutlak, sedangkan laki-laki merdeka hanya menikahinya karena kebutuhan dan syarat tertentu.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْعِدَّةِ فَهُوَ مَا جَعَلْنَاهَا بِهِ أَصْلًا فِي وُجُوبِ اخْتِصَاصِهَا بِالْمُبَاشِرِ لَهَا.

Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan iddah adalah bahwa kami telah menjadikan iddah sebagai dasar dalam kewajiban pengkhususan kepada pihak yang langsung mengalaminya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْحُدُودِ فَهُوَ أَنَّهَا تَجِبُ عُقُوبَةً فَاخْتَصَّتْ بِالْفَاعِلِ لِسَبَبِهَا، وَالطَّلَاقُ مِلْكٌ فَاعْتُبِرَ بِهِ حَالُ مَالِكِهِ كَسَائِرِ الْأَمْلَاكِ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap hudūd adalah bahwa hudūd itu wajib sebagai hukuman, sehingga dikhususkan bagi pelaku karena sebabnya, sedangkan talak adalah kepemilikan, maka yang diperhatikan adalah keadaan pemiliknya sebagaimana kepemilikan-kepemilikan lainnya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ عَدَدَ الطَّلَاقِ مُعْتَبَرٌ بِالزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ، فَإِنَّ الْحُرَّ يَمْلِكُ ثَلَاثَ طَلَقَاتٍ فِي الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ، وَأَنَّ الْعَبْدَ يَمْلِكُ طَلْقَتَيْنِ فِي الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ، فَالْحُرُّ يَمْلِكُ رَجْعَتَيْنِ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُهَا بَعْدَ طَلْقَتَيْنِ، وَالْعَبْدُ يَمْلِكُ رَجْعَةً وَاحِدَةً، لِأَنَّهُ يَمْلِكُهَا بَعْدَ طَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ، وَلَهُ أَنْ يُرَاجِعَ بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ إِلَّا بِإِذْنِ السَّيِّدِ، لِأَنَّهَا إِصْلَاحٌ ثَانٍ فِي الْعَقْدِ وَرَفْعُ تَحْرِيمٍ طَرَأَ عَلَيْهِ.

Jika telah ditetapkan bahwa jumlah talak itu diperhitungkan berdasarkan suami, bukan istri, maka orang merdeka memiliki hak tiga talak atas perempuan merdeka maupun budak perempuan, dan budak hanya memiliki dua talak atas perempuan merdeka maupun budak perempuan. Maka orang merdeka memiliki dua kali hak rujuk, karena ia masih dapat merujuk setelah dua talak, sedangkan budak hanya memiliki satu kali hak rujuk, karena ia hanya dapat merujuk setelah satu talak. Ia boleh merujuk tanpa izin tuannya, meskipun ia tidak boleh menikah kecuali dengan izin tuannya, karena rujuk adalah perbaikan kedua dalam akad dan penghapusan keharaman yang sempat terjadi padanya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَالْقَوْلُ فِيمَا يُمْكِنُ فِيهِ انْقِضَاءُ الْعِدَّةِ قَوْلُهَا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Dan dalam perkara yang memungkinkan selesainya masa ‘iddah, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan istri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَهُنَّ فِي ذَلِكَ أُمَنَاءَ وَحَظَرَ عَلَيْهِنَّ كَتْمَهُ، وَقَرَنَهُ بِوَعِيدِهِ قَالَ تَعَالَى: {وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ} [البقرة: 228] . قِيلَ: مِنَ الْحَيْضِ وَالْحَمْلِ، فَدَلَّ عَلَى قَبُولِ قَوْلِهِنَّ فِيهِ كَمَا قَالَ فِي الشَّهَادَةِ: {وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ إثم عليه} [البقرة: 283] . فَدَلَّ عَلَى أَنَّ قَوْلَ الشُّهُودِ مَقْبُولٌ، وَكَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْمُفْتِي: (مَنْ كَتَمَ عِلْمًا يُحْسِنُهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ) .

Al-Mawardi berkata: Hal itu karena Allah Ta‘ala telah menjadikan mereka (para istri) sebagai orang-orang yang dipercaya dalam hal tersebut dan melarang mereka untuk menyembunyikannya, serta mengaitkannya dengan ancaman-Nya. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan tidak halal bagi mereka untuk menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim mereka} (QS. Al-Baqarah: 228). Dikatakan: maksudnya adalah haid dan kehamilan. Maka ini menunjukkan diterimanya pernyataan mereka dalam hal itu, sebagaimana firman Allah tentang kesaksian: {Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sungguh ia berdosa} (QS. Al-Baqarah: 283). Ini menunjukkan bahwa kesaksian para saksi itu diterima. Dan sebagaimana sabda Nabi ﷺ tentang mufti: “Barang siapa yang menyembunyikan ilmu yang ia kuasai, maka Allah akan mengalunginya pada hari kiamat dengan kendali dari api.”

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُعْتَدَّةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ: أَحَدُهَا: أَنْ تَعْتَدَّ بِالْأَقْرَاءِ.

Jika hal ini telah tetap, maka keadaan perempuan yang menjalani ‘iddah tidak lepas dari tiga keadaan: Pertama, ia menjalani ‘iddah dengan masa suci (qurū’).

والثاني: بوضع الحمل.

Kedua: dengan melahirkan kandungan.

والثالث: بالشهود.

Ketiga: dengan kesaksian.

فَإِنِ اعْتَدَّتْ بِالْأَقْرَاءِ فَأَقَلُّ مَا يُمْكِنُ فِيهِ انْقِضَاءُ عِدَّتِهَا بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، اثْنَانِ وَثَلَاثُونَ يَوْمًا وَلَحْظَتَانِ، وَذَلِكَ بِأَنْ تُطَلَّقَ فِي آخِرِ طُهْرِهَا وَقَدْ بَقِيَ مِنْهُ لَحْظَةٌ، فَتَكُونُ تِلْكَ اللَّحْظَةُ قُرْءًا مُعْتَبَرًا بِهِ. ثُمَّ تَحِيضُ أَقَلَّ الْحَيْضِ يوم وَلَيْلَةً ثُمَّ تَطْهُرُ أَقَلَّ الطُّهْرِ خَمْسَةَ عَشَرَ يوماً وقد حصل لها به قُرْءٌ ثَالِثٌ، فَإِذَا طَعَنَتْ فِي أَوَّلِ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ بِدُخُولِ لَحْظَةٍ مِنْهَا، فَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، فَإِذَا جُمِعَ بَيْنَ الطُّهْرِينَ وَهُمَا ثَلَاثُونَ يَوْمًا وَبَيْنَ الْحَيْضَتَيْنِ وَهُمَا يَوْمَانِ وَثُلُثَانِ وَبَيْنَ اللَّحْظَتَيْنِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ، صَارَ جَمِيعُ ذَلِكَ اثْنَيْنِ وَثَلَاثِينَ يَوْمًا وَلَحْظَتَيْنِ غَيْرَ أَنَّ اللَّحْظَةَ الْأُولَى مِنْ جُمْلَةِ الْعِدَّةِ وَاللَّحْظَةَ الْأَخِيرَةَ لَيْسَتْ مِنْ جُمْلَةِ الْعِدَّةِ وَإِنَّمَا يُعْلَمُ بِهَا انْقِضَاءُ الْعِدَّةِ فَصَارَتْ وَاجِبَةً فِي الْعِدَّةِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ مِنْهَا، فَهَذَا أَقَلُّ زَمَانٍ يُمْكِنُ أَنْ تَنْقَضِيَ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ.

Jika ia menjalani ‘iddah dengan masa suci (qurū’), maka waktu paling singkat yang memungkinkan selesainya masa ‘iddahnya dengan tiga kali masa suci adalah tiga puluh dua hari dan dua saat. Yaitu jika ia ditalak pada akhir masa sucinya dan masih tersisa satu saat, maka saat itu dihitung sebagai satu qur’ yang sah. Kemudian ia mengalami haid dengan masa haid paling singkat, yaitu satu hari satu malam, lalu ia suci dengan masa suci paling singkat, yaitu lima belas hari, sehingga ia telah mendapatkan qur’ yang ketiga. Jika ia masuk pada awal haid ketiga dengan satu saat saja, maka telah selesai masa ‘iddahnya. Jika dijumlahkan antara dua masa suci (masing-masing lima belas hari, total tiga puluh hari), dua masa haid (masing-masing satu hari satu malam, total dua hari dua pertiga hari), dan dua saat (satu di awal dan satu di akhir), maka seluruhnya menjadi tiga puluh dua hari dan dua saat. Hanya saja, saat pertama termasuk dalam masa ‘iddah, sedangkan saat terakhir tidak termasuk dalam masa ‘iddah, melainkan hanya sebagai penanda selesainya ‘iddah. Maka saat itu menjadi wajib dalam masa ‘iddah meskipun bukan bagian darinya. Inilah waktu paling singkat yang memungkinkan selesainya tiga kali masa suci (qurū’).

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يُقْبَلُ مِنْهَا أَقَلُّ مِنْ سِتِّينَ يَوْمًا اعْتِبَارًا بِأَكْمَلِ الحيض، وهو عنده عشرة وأقل الظهر وهو خمسة عشرة يَوْمًا، وَأَنَّ الْأَقْرَاءَ عِنْدَهُ الْحَيْضُ فَتَمْضِي عَشَرَةُ أَيَّامٍ حَيْضًا ثُمَّ خَمْسُونَ يَوْمًا حَيْضَتَانِ وَطُهْرَانِ.

Abu Hanifah berkata: Tidak diterima darinya kurang dari enam puluh hari, dengan mempertimbangkan masa haid paling sempurna, yaitu sepuluh hari menurutnya, dan masa suci paling singkat, yaitu lima belas hari. Menurutnya, qurū’ adalah haid, sehingga berlangsung sepuluh hari haid, lalu lima puluh hari terdiri dari dua kali haid dan dua kali suci.

وَقَالَ زُفَرُ بْنُ الْهُذَيْلِ: أَقَلُّهُ أَرْبَعَةٌ وَسَبْعُونَ يَوْمًا، لِأَنَّهُ اعْتُبِرَ فِي أَوَّلِهِ طُهْرًا كَامِلًا.

Zufar bin al-Hudzail berkata: Paling sedikit adalah tujuh puluh empat hari, karena ia memperhitungkan pada awalnya satu masa suci penuh.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ: يُقْبَلُ قَوْلُهَا فِي سَبْعَةٍ وَثَلَاثِينَ يَوْمًا اعْتِبَارًا بِأَقَلِّ الْحَيْضِ، وَهُوَ عِنْدَهُمْ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَبِأَقَلِّ الطُّهْرِ، وَهُوَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَهَذَا الْخِلَافُ مَبْنِيٌّ عَلَى أَصْلَيْنِ مَضَى الْكَلَامُ فِي أَحَدِهِمَا وَيَأْتِي الْكَلَامُ فِي الآخر.

Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat: Diterima pernyataannya (perempuan) dalam jangka waktu tiga puluh tujuh hari, berdasarkan pertimbangan masa haid paling sedikit, yaitu menurut mereka tiga hari, dan masa suci paling sedikit, yaitu lima belas hari. Perbedaan pendapat ini didasarkan pada dua prinsip dasar; pembahasan mengenai salah satunya telah dijelaskan sebelumnya, dan pembahasan mengenai yang lainnya akan datang kemudian.

وإذا كان كذلك لم يخلو حَالُهَا إِذَا ادَّعَتِ انْقِضَاءَ عِدَّتِهَا بِالْأَقْرَاءِ مِنْ أَنْ تَذْكُرَ عَادَتَهَا فِي الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ أَوْ لَا تَذْكُرَ فَإِنْ ذَكَرَتْ عَادَتَهَا فِيهِمَا، وَأَنَّ حيضها عشرة أيام، وطهرها عشرين يَوْمًا سُئِلَتْ عَنْ طَلَاقِهَا هَلْ هُوَ صَادَفَ حَيْضَهَا أَوْ طُهْرَهَا فَإِنْ ذَكَرَتْ مُصَادَفَتَهُ لِأَحَدِهِمَا، سُئِلَتْ عَنْهُ هَلْ كَانَ فِي أَوَّلِهِ أَوْ آخِرِهِ، فَإِذَا ذَكَرَتْ أَحَدَهُمَا عُمِلَ عَلَيْهِ، وَتُظْهِرُ مَا يُوجِبُهُ حِسَابُ الْعَادَتَيْنِ فِي ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ ما ذكر لَهُ مِنْ حَيْضٍ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ أَوْ طُهْرٍ فِي أَوَّلِهِ أَوْ آخِرِهِ، فَإِنْ وَافَقَ مَا ذَكَرَتْهُ مِنَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِمَا أَوْجَبَهُ الْحِسَابُ مِنْ عَادَتِيِ الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ كَانَ مَا ذَكَرَتْهُ مَقْبُولًا بِغَيْرِ يَمِينٍ إِلَّا أَنْ يُكَذِّبَهَا الزَّوْجُ فِي قَدْرِ عَادَتِهَا فِي الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ فَتَدَّعِيَ أَكْثَرَ مِمَّا ذَكَرَتْهُ فِيهِمَا أَوْ فِي أَحَدِهِمَا فَيَكُونَ لَهُ إِحْلَافُهَا، لِأَنَّ قَوْلَهَا وَإِنْ كَانَ مَقْبُولًا فِيهِمَا فَلَسْنَا عَلَى قَطْعٍ بِصِحَّتِهِ، وَمَا قَالَهُ الزَّوْجُ مِنَ الزِّيَادَةِ فِيهِمَا مُمْكِنَةٌ، فذلك كَانَ لَهُ إِحْلَافُهَا، وَإِنْ لَمْ يُوَافِقْ مَا ذَكَرَتْهُ مِنَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ مَا أَوْجَبَهُ حِسَابُ الْعَادَتَيْنِ، لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، لِأَنَّ إِقْرَارَهَا بِالْعَادَةِ قَدْ أَكْذَبَ دَعْوَاهَا فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَإِنْ لَمْ تَذْكُرْ عَادَتَهَا فِي الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ سُئِلَتْ عَنْ طَلَاقِهَا هَلْ كَانَ فِي الْحَيْضِ أَوِ الطُّهْرِ، فَإِنْ قَالَتْ كَانَ فِي الطُّهْرِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا مِنَ اثْنَيْنِ وَثَلَاثِينَ يَوْمًا وَلَحْظَتَيْنِ. إِنْ كَانَتْ حُرَّةً عَلَى مَا بَيَّنَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ أَمَةً انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِسِتَّةَ عَشَرَ يَوْمًا وَلَحْظَتَيْنِ. لِأَنَّ عِدَّتَهَا قُرْءَانِ، فَكَأَنَّهَا طُلِّقَتْ فِي آخِرِ طُهْرِهَا وَقَدْ بَقِيَ مِنْهُ لَحْظَةٌ فَتَكُونُ بَاقِيَةً قُرْءًا ثَالِثًا فَإِذَا دَخَلَتْ فِي أَوَّلِ جُزْءٍ مِنْ حَيْضِهَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا إِلَّا أَنَّ هَذِهِ اللَّحْظَةَ الْأَخِيرَةَ لَيْسَتْ مِنَ الْعِدَّةِ، وَإِنَّمَا يُعْلَمُ بِهَا انْقِضَاءُ الْعِدَّةِ، وَإِنْ قَالَتْ وَهِيَ حُرَّةٌ كَانَ طَلَاقِي فِي الْحَيْضِ فَأَقَلُّ مَا يَنْقَضِي بِهِ عِدَّتُهَا حُرَّةً سَبْعَةٌ وَأَرْبَعُونَ يَوْمًا وَلَحْظَتَانِ كَأَنَّهَا طُلِّقَتْ فِي آخِرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ طَهُرَتْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا ثُمَّ حَاضَتْ يَوْمًا وَلَيْلَةً ثُمَّ طَهُرَتْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا ثُمَّ دَخَلَتْ فِي أَوَّلِ جُزْءٍ مِنْ حَيْضِهَا فَيَكُونُ يَوْمَانِ بِحَيْضَتَيْنِ وَخَمْسَةٌ وَأَرْبَعُونَ يَوْمًا لِثَلَاثَةِ أَطْهَارٍ وَلَحْظَتَانِ أَوَّلُهُ هِيَ مِنَ الْعِدَّةِ وَآخِرُهُ لَيْسَتْ مِنَ الْعِدَّةِ وَإِنْ كَانَتْ أَمَةً فَاثْنَانِ وَثَلَاثُونَ يَوْمًا وَلَحْظَتَانِ وَذَلِكَ حَيْضَتَانِ وَطُهْرَانِ وَإِنْ لَمْ تَذْكُرِ الْحُرَّةُ طَلَاقَهَا هَلْ كَانَ فِي الْحَيْضِ أَوْ فِي الطُّهْرِ جُعِلَ أَمْرُهَا عَلَى أَقَلِّ الْحَالَيْنِ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ فِي الطُّهْرِ فَتَنْقَضِيَ بِاثْنَيْنِ وَثَلَاثِينَ يَوْمًا وَلَحْظَتَيْنِ وَلِلزَّوْجِ إِحْلَافُهَا إِنْ أَكْذَبَهَا وَلَا رَجْعَةَ لَهُ إِنْ حَلَفَتْ فَإِنْ تَكَلَّمَتْ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَيْهِ وَرَاجَعَهَا، وَهَذَا الْقَوْلُ مَقْبُولٌ مِنْهَا إِذَا كانت ممن يجوز أن تحيض وتطهر وَتَطْهُرَ بِكَوْنِهَا فَوْقَ التِّسْعِ سِنِينَ وَدُونَ حَدِّ الإياس.

Jika demikian, maka keadaannya ketika ia mengaku telah habis masa ‘iddahnya dengan al-aqrā’ (masa suci dan haid) tidak lepas dari dua kemungkinan: ia menyebutkan kebiasaannya dalam haid dan suci, atau tidak menyebutkannya. Jika ia menyebutkan kebiasaannya dalam keduanya, misalnya ia mengatakan bahwa haidnya sepuluh hari dan sucinya dua puluh hari, maka ia ditanya tentang talaknya, apakah terjadi saat haid atau saat suci. Jika ia menyebutkan bahwa talaknya bertepatan dengan salah satunya, ia ditanya lagi apakah itu terjadi di awal atau di akhir masa tersebut. Jika ia menyebutkan salah satunya, maka diputuskan berdasarkan hal itu, dan ia harus menunjukkan apa yang dihasilkan oleh perhitungan dua kebiasaan tersebut dalam tiga quru’ (tiga kali suci atau haid), baik yang disebutkan berupa haid di awal dan akhir, atau suci di awal atau akhir. Jika apa yang ia sebutkan tentang habisnya masa ‘iddah sesuai dengan hasil perhitungan kebiasaan haid dan sucinya, maka pengakuannya diterima tanpa sumpah, kecuali jika suami mendustakannya dalam jumlah kebiasaan haid dan sucinya, atau ia mengaku lebih banyak dari yang pernah ia sebutkan dalam keduanya atau salah satunya, maka suami berhak meminta sumpahnya. Sebab, meskipun pengakuannya diterima dalam hal itu, kita tidak bisa memastikan kebenarannya, dan apa yang dikatakan suami tentang tambahan dalam keduanya masih mungkin terjadi, sehingga suami berhak meminta sumpahnya. Jika apa yang ia sebutkan tentang habisnya masa ‘iddah tidak sesuai dengan hasil perhitungan dua kebiasaan tersebut, maka pengakuannya tentang habisnya masa ‘iddah tidak diterima, karena pengakuannya tentang kebiasaan telah membantah pengakuannya tentang habisnya masa ‘iddah. Jika ia tidak menyebutkan kebiasaannya dalam haid dan suci, maka ia ditanya tentang talaknya, apakah terjadi saat haid atau suci. Jika ia mengatakan terjadi saat suci, maka masa ‘iddahnya selesai dalam tiga puluh dua hari dan dua saat, jika ia adalah perempuan merdeka, sebagaimana telah kami jelaskan. Jika ia adalah budak perempuan, maka masa ‘iddahnya selesai dalam enam belas hari dan dua saat, karena masa ‘iddahnya adalah dua quru’, seolah-olah ia ditalak di akhir masa sucinya dan tersisa satu saat, sehingga ia masih menjalani satu quru’ ketiga, dan ketika ia memasuki bagian pertama dari haidnya, maka masa ‘iddahnya selesai, kecuali bahwa saat terakhir itu bukan bagian dari masa ‘iddah, melainkan hanya diketahui dengan itu bahwa masa ‘iddah telah selesai. Jika ia mengatakan, padahal ia perempuan merdeka, bahwa talaknya terjadi saat haid, maka masa tercepat habisnya masa ‘iddah bagi perempuan merdeka adalah empat puluh tujuh hari dan dua saat, seolah-olah ia ditalak di akhir haidnya, lalu suci selama lima belas hari, lalu haid sehari semalam, lalu suci lima belas hari, lalu memasuki bagian pertama dari haidnya, sehingga dua hari untuk dua haid dan empat puluh lima hari untuk tiga masa suci, dan dua saat, yang pertama termasuk masa ‘iddah dan yang terakhir bukan bagian dari masa ‘iddah. Jika ia adalah budak perempuan, maka tiga puluh dua hari dan dua saat, yaitu dua haid dan dua masa suci. Jika perempuan merdeka tidak menyebutkan apakah talaknya terjadi saat haid atau suci, maka urusannya diputuskan pada keadaan yang paling sedikit, yaitu dianggap terjadi saat suci, sehingga masa ‘iddahnya selesai dalam tiga puluh dua hari dan dua saat, dan suami berhak meminta sumpahnya jika ia mendustakannya, dan suami tidak boleh rujuk jika ia telah bersumpah. Jika ia berbicara, maka sumpah dikembalikan kepada suami dan ia boleh rujuk. Pengakuan ini diterima darinya jika ia termasuk perempuan yang memungkinkan mengalami haid dan suci, yaitu yang usianya di atas sembilan tahun dan belum mencapai batas menopause.

فإن كانت صغيرة أو ميؤسة لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فِي ذَلِكَ.

Jika ia masih kecil atau sudah menopause, maka pengakuannya dalam hal ini tidak diterima.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنِ ادَّعَتِ انْقِضَاءَ عِدَّتِهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ بَعْدَ طَلَاقِهَا قُبِلَ قَوْلُهَا بِشَرْطَيْنِ:

Jika ia mengaku habis masa ‘iddahnya karena melahirkan setelah ditalak, maka pengakuannya diterima dengan dua syarat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَجُوزُ أَنْ تَلِدَ وَذَلِكَ بِأَنْ تَتَجَاوَزَ التِّسْعَ سِنِينَ بِمُدَّةِ الْحَمْلِ وَتَقْصُرُ عَنْ زَمَانِ الْإِيَاسِ.

Salah satunya: hendaknya ia termasuk orang yang memungkinkan untuk melahirkan, yaitu dengan telah melewati usia sembilan tahun ditambah masa kehamilan, dan belum mencapai masa putus haid (menopause).

وَالثَّانِي: أَنْ يَمْضِيَ عَلَيْهَا بَعْدَ الْعَقْدِ مُدَّةَ أَقَلِّ الْحَمْلِ وَذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِحَالِ مَا وَضَعَتْ فَإِنْ كَانَ سَقَطًا مُصَوَّرًا لَمْ يُسْتَكْمَلْ فَأَقَلُّ مُدَّتِهِ أَنْ تَتَجَاوَزَ ثَمَانِينَ يَوْمًا لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (يَكُونُ خَلْقُ أَحَدِكُمْ فِي بَطْنِ أُمِّهِ نُطْفَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ عَلَقَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ مُضْغَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا) ثُمَّ هُوَ بِانْتِقَالِهِ إِلَى المضغة بتصور خَلْقُهُ، وَتَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ، وَيَصِيرُ بِهِ الْأَمَةُ أُمَّ وَلَدٍ، وَإِنْ وَضَعَتْهُ حَيًّا كَامِلًا فَأَقَلُّ مُدَّتِهِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ فَيَكُونُ قَوْلُهَا مَقْبُولًا فِي وِلَادَتِهِ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَغَيْرَ مَقْبُولٍ فِي لُحُوقِهِ بِالزَّوْجِ إِلَّا بِتَصْدِيقٍ أَوْ بَيِّنَةٍ فَإِنْ أَكْذَبَهَا الزَّوْجُ فِي وِلَادَتِهِ، وَقَالَ اسْتَعَرْتِيهِ أَوِ اشْتَرَيْتِيهِ أَوِ الْتَقِطِيهِ وَقَالَتْ بَلْ وَلَدْتُهُ انْقَضَتْ بِهِ الْعِدَّةُ بَعْدَ إِحْلَافِهَا عَلَيْهِ، لِأَنَّ قَوْلَهَا مَقْبُولٌ فِي الْعِدَّةِ، وَلَمْ يُلْحَقْ بِالزَّوْجِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ؛ لِأَنَّ قَوْلَهَا غَيْرُ مَقْبُولٍ فِي لُحُوقِهِ، فَإِنْ كَانَتْ أَمَةً فَادَّعَتْ وِلَادَتَهُ مِنْ سَيِّدِهَا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فِي كَوْنِهَا أُمَّ وَلَدٍ وَلَا فِي لُحُوقِهِ بِالسَّيِّدِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ لَهَا وَالْفَرْقُ بَيْنَ ادِّعَاءِ وِلَادَتِهِ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَيُقْبَلُ وَبَيْنَ ادِّعَاءِ وِلَادَتِهِ فِي كَوْنِهَا أُمَّ وَلَدٍ فَلَا يُقْبَلُ أَنَّ فِي كَوْنِهَا أُمَّ وَلَدٍ إِثْبَاتًا لِلْحُكْمِ بِالْحُرِّيَّةِ، وَرَفْعُ الْمِلْكِ مُسْتَقِرٌّ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْعِدَّةُ.

Dan yang kedua: hendaknya telah berlalu atasnya setelah akad, masa minimal kehamilan, dan hal ini berbeda tergantung pada keadaan apa yang ia lahirkan. Jika yang dilahirkan adalah janin yang sudah berbentuk namun belum sempurna, maka masa minimalnya adalah telah melewati delapan puluh hari, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Penciptaan salah seorang dari kalian di perut ibunya adalah berupa nutfah selama empat puluh hari, kemudian menjadi ‘alaqah selama empat puluh hari, kemudian menjadi mudhghah selama empat puluh hari.” Maka, dengan berpindahnya ke mudhghah dan terbentuknya penciptaan, maka iddah pun selesai dengannya, dan dengan itu budak perempuan menjadi ummu walad. Jika ia melahirkan anak yang hidup dan sempurna, maka masa minimalnya adalah enam bulan. Maka, perkataannya diterima dalam hal kelahiran untuk pengakhiran iddah, namun tidak diterima dalam hal penyandaran nasab kepada suami kecuali dengan adanya pembenaran atau bukti. Jika suami mendustakannya dalam kelahiran tersebut, dan berkata: “Kamu meminjamnya, atau membelinya, atau menemukannya,” sedangkan ia berkata: “Bahkan aku melahirkannya,” maka iddah selesai dengannya setelah ia bersumpah atas hal itu, karena perkataannya diterima dalam hal iddah, dan tidak disandarkan kepada suami kecuali dengan bukti, karena perkataannya tidak diterima dalam hal penyandaran nasab. Jika ia adalah seorang budak perempuan lalu mengaku melahirkan dari tuannya, maka perkataannya tidak diterima dalam statusnya sebagai ummu walad, dan tidak pula dalam penyandaran nasab kepada tuan kecuali dengan bukti yang menyaksikan untuknya. Perbedaan antara pengakuan kelahiran dalam pengakhiran iddah yang diterima dan pengakuan kelahiran dalam status ummu walad yang tidak diterima adalah bahwa dalam status ummu walad terdapat penetapan hukum kemerdekaan, dan pengangkatan kepemilikan itu tetap, sedangkan iddah tidak demikian.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يُقْبَلَ قَوْلُهَا فِي الْعِدَّةِ، وَلَا يَقْبَلَ قَوْلُهَا فِي ثُبُوتِ النَّسَبِ، أَنَّهَا مُؤْتَمَنَهٌ فِي الْعِدَّةِ، وَغَيْرُ مُؤْتَمَنَهٍ فِي لُحُوقِ النسب، فلو علق طلاقها بولاتها فَذَكَرَتْ أَنَّهَا وَلَدَتْ، فَفِي قَبُولِ قَوْلِهَا فِي وُقُوعِ طَلَاقِهَا بِهِ وَجْهَانِ:

Perbedaan antara diterimanya perkataannya dalam hal iddah dan tidak diterimanya perkataannya dalam penetapan nasab adalah karena ia dipercaya dalam hal iddah, namun tidak dipercaya dalam penyandaran nasab. Maka, jika talaknya digantungkan pada kelahirannya lalu ia mengaku telah melahirkan, maka dalam penerimaan perkataannya terkait jatuhnya talak dengan sebab itu terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقْبَلُ كَمَا يُقْبَلُ فِي حَيْضِهَا.

Salah satunya: diterima sebagaimana diterima dalam hal haidnya.

وَالثَّانِي: لَا يُقْبَلُ؛ لِأَنَّهَا يُمْكِنُهَا إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَى الْوِلَادَةِ وَلَا يُمْكِنُهَا إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَى الْحَيْضِ، فَصَارَ قَوْلُهَا فِي الْوِلَادَةِ مَقْبُولًا فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَغَيْرَ مَقْبُولٍ فِي لُحُوقِ النَّسَبِ، وَفِي كَوْنِهَا أُمَّ وَلَدٍ، وَفِي قَبُولِهِ فِي وُقُوعِ طَلَاقِهَا بِهِ وَجْهَانِ.

Dan yang kedua: tidak diterima, karena ia dapat mendatangkan bukti atas kelahiran, sedangkan ia tidak dapat mendatangkan bukti atas haid, sehingga perkataannya dalam kelahiran diterima dalam pengakhiran iddah dan tidak diterima dalam penyandaran nasab, juga tidak diterima dalam statusnya sebagai ummu walad, dan dalam penerimaannya terkait jatuhnya talak dengan sebab itu terdapat dua pendapat.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ لِصِغَرٍ أَوْ إِيَاسٍ فَعِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ إِنْ كَانَتْ حُرَّةً فَإِنِ اتَّفَقَا فِي وَقْتِ الطَّلَاقِ فَلَا نِزَاعَ بَيْنِهِمَا فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَإِنِ اخْتَلَفَا فِيهِ فَادَّعَتِ الزَّوْجَةُ أَنَّهُ طَلَّقَهَا فِي أَوَّلِ رَمَضَانَ وَادَّعَى الزَّوْجُ أَنَّهُ طَلَّقَهَا فِي أَوَّلِ شَوَّالٍ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الطَّلَاقَ بِيَدِهِ وَلِأَنَّهُ عَلَى يَقِينٍ مِنْ حُدُوثِهِ وَلَهُ الرَّجْعَةُ عَلَيْهَا إِذَا حَلَفَ إِلَى انْقِضَاءِ ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ مِنْ شَوَّالٍ، وَإِنْ كَانَتْ مُتَوَفًّى عَنْهَا زَوْجُهَا فَاخْتَلَفَتْ وَالْوَرَثَةُ فِي وَقْتِ الْوَفَاةِ كَانَ الْقَوْلُ فِيهَا قَوْلَ الْوَرَثَةِ مَعَ أَيْمَانِهِمْ؛ لِأَنَّهَا وُقُوعُ فُرْقَةٍ كَالطَّلَاقِ، وَالْوَرَثَةُ يَقُومُونَ فِيهَا مقام الموروث.

Dan apabila ia termasuk wanita yang masa iddahnya dengan bulan-bulan karena masih kecil atau sudah menopause, maka iddahnya adalah tiga bulan jika ia seorang merdeka. Jika keduanya sepakat tentang waktu talak, maka tidak ada perselisihan di antara mereka dalam pengakhiran iddah. Namun jika mereka berselisih, misalnya istri mengaku bahwa ia ditalak pada awal Ramadan dan suami mengaku bahwa ia ditalak pada awal Syawal, maka perkataan suami yang diterima dengan sumpahnya, karena talak ada di tangannya dan ia yakin akan terjadinya, dan ia berhak rujuk kepadanya jika ia bersumpah hingga berakhir tiga bulan dari Syawal. Jika ia adalah wanita yang ditinggal wafat suaminya lalu terjadi perselisihan antara ia dan para ahli waris tentang waktu wafat, maka yang diterima adalah perkataan para ahli waris dengan sumpah mereka, karena itu adalah terjadinya perpisahan seperti talak, dan para ahli waris menempati posisi pewaris dalam hal itu.

فلوه ادَّعَتِ الزَّوْجَةُ تَأْخِيرَ الطَّلَاقِ فِي شَوَّالٍ، وَادَّعَى الزَّوْجُ تَقْدِيمَهُ فِي رَمَضَانَ فَقَدِ ادَّعَتْ مَا هُوَ أَضَرُّ بِهَا فِي تَطْوِيلِ الْعِدَّةِ عَلَيْهَا فَيُقْبَلُ قَوْلُهَا فِي بَقَاءِ الْعِدَّةِ، وَفِي قَبُولِ قَوْلِهَا فِي اسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ وَجْهَانِ، وَلَا رَجْعَةَ لِلزَّوْجِ فِي الْمَرَّةِ الَّتِي اخْتَلَفَا فِيهَا مِنَ الْعِدَّةِ لِأَنَّهُ أَسْقَطَ حَقَّهُ مِنْهَا.

Jika istri mengklaim bahwa talak terjadi di bulan Syawwal, sedangkan suami mengklaim bahwa talak terjadi lebih awal, yaitu di bulan Ramadhan, maka istri telah mengklaim sesuatu yang lebih memberatkannya, yaitu memperpanjang masa ‘iddah baginya. Oleh karena itu, perkataannya diterima dalam hal keberlangsungan masa ‘iddah. Adapun dalam hal diterimanya perkataannya terkait hak nafkah, terdapat dua pendapat. Dan suami tidak memiliki hak rujuk pada masa ‘iddah yang diperselisihkan tersebut, karena ia telah menggugurkan haknya atas masa itu.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ تَحْرِيمَ الْمَبْتُوتَةِ حَتَّى تُرَاجَعَ وَطَلَّقَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ امْرَأَتَهُ وَكَانَتْ طَرِيقُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ عَلَى مَسْكَنِهَا فَكَانَ يَسْلُكُ الطَّرِيقَ الْأُخْرَى كَرَاهِيَةَ أَنْ يَسْتَأْذِنَ عَلَيْهَا حَتَّى رَاجَعَهَا وَقَالَ عَطَاءٌ لَا يَحِلُّ لَهُ مِنْهَا شَيْءٌ أَرَادَ ارْتِجَاعَهَا أَوْ لَمْ يُرِدْهُ مَا لَمْ يُرَاجِعْهَا وَقَالَ عَطَاءٌ وَعَبْدُ الْكَرِيمِ لَا يَرَاهَا فَضْلًا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Ia (perempuan yang ditalak raj‘i) diharamkan atas suaminya sebagaimana haramnya perempuan yang ditalak ba’in, hingga ia dirujuk kembali. Abdullah bin Umar pernah menalak istrinya, dan jalan menuju masjid melewati rumah istrinya, maka ia memilih jalan lain karena tidak ingin meminta izin kepadanya hingga ia merujuknya kembali. ‘Atha’ berkata: Tidak halal baginya (suami) sedikit pun dari istrinya, baik ia berniat merujuknya atau tidak, selama belum merujuknya. ‘Atha’ dan ‘Abd al-Karim berkata: Tidak boleh melihatnya, apalagi yang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْمُطَلَّقَةُ طَلَاقًا رَجْعِيًّا، وَهُوَ أَنْ يُطَلِّقَهَا وَاحِدَةً، أو اثنتين بغير عوض، وهو مَدْخُولٌ بِهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ قَبْلَ الرَّجْعَةِ تَحْرِيمَ الْمَبْتُوتَةِ فِي الْوَطْءِ وَالِاسْتِمْتَاعِ وَالنَّظَرِ وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَعَطَاءٍ وَأَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu perempuan yang ditalak secara raj‘i, yakni suami menalaknya satu kali atau dua kali tanpa kompensasi (iwad), dan ia telah digauli, maka ia haram atas suaminya sebelum rujuk, sebagaimana haramnya perempuan yang ditalak ba’in dalam hal hubungan badan, kenikmatan, dan pandangan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abdullah bin Umar, dan merupakan mazhab Malik, ‘Atha’, serta mayoritas fuqaha.

وَقَالَ أَبُو حنيفة وأصحابه: يحل له وطئها وَالِاسْتِمْتَاعُ بِهَا كَالزَّوْجَةِ بَلْ جَعَلَ وَطْأَهُ لَهَا رجعة.

Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat: Boleh bagi suami menggaulinya dan menikmati istrinya seperti layaknya istri, bahkan mereka menganggap bahwa hubungan badan itu sendiri merupakan rujuk.

وَالْكَلَامُ فِي الرَّجْعَةِ بِالْوَطْءِ يَأْتِي وَهُوَ مَقْصُورٌ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ عَلَى التَّحْرِيمِ، وَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِ الله تَعَالَى: {وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا} [البقرة: 228] فَسَمَّاهُ بَعْلًا دَلَالَةً عَلَى بَقَاءِ الزَّوْجِيَّةِ بَيْنَهُمَا وَإِبَاحَةِ الِاسْتِمْتَاعِ، وَالتَّبَعُّلِ. قَالَ: وَلِأَنَّهُ طَلَاقٌ لَا يَقَعُ بِهِ الْبَيْنُونَةُ، فَوَجَبَ أَلَّا يَقَعَ بِهِ التَّحْرِيمُ كَقَوْلِهِ: إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ.

Pembahasan tentang rujuk dengan hubungan badan akan dijelaskan kemudian. Di sini hanya dibahas tentang keharamannya. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka dalam masa itu jika mereka menghendaki islah (perbaikan)} [al-Baqarah: 228]. Allah menyebutnya sebagai “suami” sebagai petunjuk bahwa status pernikahan masih ada di antara keduanya dan dibolehkannya kenikmatan dan hubungan suami istri. Mereka juga berkata: Karena talak ini tidak menyebabkan perpisahan total (bainunah), maka tidak seharusnya menyebabkan keharaman, sebagaimana ucapan: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak.”

قَالَ: وَهَذَا الْقَوْلُ أَغْلَظُ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ إِبْطَالُهُ، وَلَهُ إِبْطَالُ الطلاق الرجعي.

Mereka berkata: Pendapat ini (yang mengharamkan) lebih berat, karena tidak ada cara untuk membatalkannya, sedangkan talak raj‘i masih bisa dibatalkan.

قال: ولأنها مدة مضروبة للترخص لَا تَمْنَعُ مِنَ اللِّعَانِ فَوَجَبَ أَلَّا تَقْتَضِيَ التحريم كمدة اللعنة وَالْإِيلَاءِ.

Mereka juga berkata: Karena masa ‘iddah itu adalah waktu yang ditetapkan untuk keringanan, tidak mencegah terjadinya li‘an, maka tidak seharusnya menyebabkan keharaman, sebagaimana masa li‘an dan ila’.

قَالَ: وَلِأَنَّهُ لَفْظٌ يَتَضَمَّنُ إِسْقَاطَ حَقِّهِ، فَإِذَا لَمْ يُزَلْ بِهِ الْمِلْكُ لَمْ يَقَعْ بِهِ التَّحْرِيمُ كَالْبَيْعِ بِشَرْطِ الْخِيَارِ، وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ الرَّجْعِيَّ لَوِ اقْتَضَى التَّحْرِيمَ فِي الْعِدَّةِ لَمْ يَصِحَّ أَنْ يُرَاجِعَ إِلَّا بِعَقْدِ مُرَاضَاةٍ كَالْمُتَقَضِيَةِ الْعِدَّةِ، وَلِأَنَّهَا لَوْ حُرِّمَتْ عَلَيْهِ بِالطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ لم يوطئها، وَلَمَا تَوَارَثَا بِالْمَوْتِ وَلَمَا وَقَعَ عَلَيْهَا طَلَاقُهُ، وَلَمَا صَحَّ مِنْهَا ظِهَارُهُ كَالْمَبْتُوتَةِ وَفِي ثُبُوتِ ذَلِكَ كُلِّهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ اسْتِبَاحَتِهَا كَالزَّوْجَةِ وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذلك} : [الطلاق: 2] فَدَلَّ عَلَى خُرُوجِهَا بِالطَّلَاقِ حَتَّى يَرُدَّهَا بِالرَّجْعَةِ، ثم قال: {إذا أَرَادُوا إِصْلاحًا} [البقرة: 228] .

Mereka juga berkata: Karena lafaz talak mengandung makna menggugurkan hak suami, maka jika kepemilikan (status pernikahan) tidak hilang karenanya, tidak seharusnya menyebabkan keharaman, seperti jual beli dengan syarat khiyar. Dan jika talak raj‘i menyebabkan keharaman dalam masa ‘iddah, maka tidak sah rujuk kecuali dengan akad baru seperti perempuan yang telah habis masa ‘iddahnya. Dan jika ia diharamkan karena talak raj‘i, maka suami tidak akan menggaulinya, tidak akan saling mewarisi jika salah satu meninggal, talaknya tidak berlaku atasnya, dan tidak sah zhihar darinya, sebagaimana perempuan yang ditalak ba’in. Kenyataan bahwa semua itu tetap berlaku menunjukkan bolehnya menikmati istri seperti layaknya istri. Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka dalam masa itu} [ath-Thalaq: 2], yang menunjukkan bahwa ia keluar dari status istri dengan talak hingga dirujuk kembali, lalu Allah berfirman: {jika mereka menghendaki islah (perbaikan)} [al-Baqarah: 228].

قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِصْلَاحُ الطَّلَاقِ بِالرَّجْعَةِ، فَدَلَّ عَلَى ثُبُوتِ الْفَسَادِ قَبْلَ الرَّجْعَةِ وَلَيْسَ فِي تَسْمِيَتِهِ بَعْلًا دَلِيلٌ عَلَى رَفْعِ التَّحْرِيمِ كَالْمُحَرَّمَةِ وَالْحَائِضِ، وَقَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِعُمْرَ (مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا) فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ قَبْلَ الرَّجْعَةِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُمْسِكَهَا وَلِذَلِكَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ لَا يَمُرُّ عَلَى مَسْكَنِهَا قَبْلَ الرَّجْعَةِ حَتَّى رَاجَعَ، وَلِأَنَّهَا مُعْتَبَرَةٌ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ مُحَرَّمَةً كَالْبَائِنِ.

Imam Syafi‘i berkata: Islah (perbaikan) talak adalah dengan rujuk, maka ini menunjukkan adanya kerusakan (fasad) sebelum rujuk. Dan tidak ada dalam penyebutan kata “suami” dalil atas hilangnya keharaman, sebagaimana pada perempuan yang diharamkan dan perempuan haid. Sabda Nabi ﷺ kepada Umar: “Perintahkan dia untuk merujuk istrinya, kemudian tahanlah dia,” menunjukkan bahwa sebelum rujuk tidak boleh menahannya. Oleh karena itu, Ibnu Umar tidak melewati rumah istrinya sebelum rujuk hingga ia merujuknya kembali. Dan karena ia (perempuan yang ditalak raj‘i) adalah mu‘taddah, maka wajib hukumnya ia haram seperti perempuan yang ditalak ba’in.

وَلِأَنَّهُ طَلَاقٌ يَمْنَعُ مِنَ السَّفَرِ بِهَا، فَوَجَبَ أَنْ يَمْنَعَ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا كَالْمُخْتَلِعَةِ.

Karena talak ini mencegah bepergian bersamanya, maka wajib pula mencegah dari menikmati dirinya, seperti halnya wanita yang melakukan khulu‘.

وَلِأَنَّ كُلَّ مَعْنًى أَوْقَعَ الْفُرْقَةَ أَوْقَعَ التَّحْرِيمَ كَالْفَسْخِ.

Dan karena setiap makna yang menyebabkan perpisahan juga menyebabkan keharaman, seperti fasakh.

وَلِأَنَّ حُكْمَ الطَّلَاقِ مُضَادٌّ لِحُكْمِ النِّكَاحِ فَلَّمَا كَانَ كُلُّ نِكَاحٍ إِذَا صَحَّ أَوْجَبَ الْإِبَاحَةَ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ كُلُّ طَلَاقٍ إِذَا وَقَعَ أَوْجَبَ التَّحْرِيمَ.

Dan karena hukum talak bertentangan dengan hukum nikah, maka sebagaimana setiap akad nikah yang sah mewajibkan kebolehan (berhubungan), maka setiap talak yang terjadi mewajibkan keharaman.

فَأَمَّا الْآيَةُ فَقَدْ جَعَلْنَاهَا دَلِيلًا.

Adapun ayat, maka telah kami jadikan sebagai dalil.

وَأَمَّا الْجَوَابَ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى قَوْلِهِ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَهُوَ أَنَّ الطَّلَاقَ لَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا فَلَمْ تُحَرَّمْ عَلَيْهِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ طَلَّقَهَا بِدُخُولِ الدَّارِ ثَلَاثًا لَمْ تُحَرَّمْ عَلَيْهِ قَبْلَ دُخُولِهَا؛ لِعَدَمِ وُقُوعِهَا وَهَذِهِ قَدْ وَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا فَثَبَتَ تَحْرِيمُهَا كَالْبَائِنِ بِثَلَاثٍ أَوْ دونها.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap ucapannya: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak,” adalah bahwa talak belum jatuh padanya sehingga ia belum menjadi haram baginya. Bukankah engkau melihat, jika ia mentalaknya dengan syarat masuk rumah sebanyak tiga kali, maka ia belum menjadi haram baginya sebelum ia masuk rumah, karena talak belum terjadi. Sedangkan dalam kasus ini, talak telah jatuh padanya, sehingga tetaplah keharamannya, seperti wanita yang tertalak bain tiga kali atau kurang dari itu.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مُدَّةِ الْإِيلَاءِ وَالْعُنَّةِ فَالْمَعْنَى فِيهَا أَنَّهَا مُدَّةٌ لَمْ تَقَعْ بِهَا الْفُرْقَةُ وَمُدَّةُ الْعِدَّةِ قَدْ وَقَعَتْ بِهَا الْفُرْقَةُ.

Adapun qiyās mereka terhadap masa ila’ dan ‘innah, maka maksudnya adalah bahwa masa tersebut belum terjadi perpisahan, sedangkan masa iddah telah terjadi perpisahan.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْبَيْعِ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ.

Adapun qiyās mereka terhadap jual beli pada masa khiyār.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْمِلْكَ لَمْ يَنْتَقِلْ إِلَّا بِانْقِضَائِهِ عَلَى أَصَحِّ أَقَاوِيلِهِ وَلِأَنَّ فَسْخَ الْبَيْعِ قَدْ رَفَعَهُ، وَالرَّجْعَةُ لَا تَرْفَعُ الطَّلَاقَ وَإِنَّمَا تَرْفَعُ حُكْمَهُ، وَلَا حُكْمَ لَهُ إِلَّا التَّحْرِيمُ، فَدَلَّ عَلَى ثُبُوتِهِ.

Jawabannya adalah bahwa kepemilikan belum berpindah kecuali setelah masa khiyār berakhir menurut pendapat yang paling sahih, dan karena pembatalan jual beli telah menghapus akad tersebut, sedangkan rujuk tidak menghapus talak, melainkan hanya menghapus hukumnya, dan tidak ada hukum baginya kecuali keharaman, maka ini menunjukkan tetapnya (keharaman tersebut).

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ أَنَّ مَا تَفَرَّدَ بِاسْتِصْلَاحٍ وَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى عَقْدِ مُرَاضَاةٍ لَمْ يُوجِبِ التَّحْرِيمَ فَبَاطِلٌ بِالزَّوْجَيْنِ الْحُرَّيْنِ إِذَا أَسْلَمَ أَحَدُهُمَا كَانَ التَّحْرِيمُ وَاقِعًا، وَإِنِ ارْتَفَعَ بِإِسْلَامِ المتأخر منهما.

Adapun dalil mereka bahwa sesuatu yang berdiri sendiri sebagai islah dan tidak memerlukan akad kerelaan tidak mewajibkan keharaman, maka ini batal dengan kasus dua suami istri yang merdeka, jika salah satu dari keduanya masuk Islam, maka keharaman tetap terjadi, meskipun keharaman itu hilang dengan masuk Islamnya yang lain setelahnya.

وأما استدلالهم بأن أَوْجَبَ التَّحْرِيمَ مَنَعَ الْإِرْثَ، وَأَوْجَبَ الْحَدَّ فَبَاطِلٌ بالحيض والإحرام والظهار.

Adapun dalil mereka bahwa sesuatu yang mewajibkan keharaman mencegah warisan dan mewajibkan had, maka ini batal dengan haid, ihram, dan zihar.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ نِكَاحٌ وَلَا طَلَاقٌ إِلَّا بِكَلَامٍ فَلَا تَكُونُ الرَّجْعَةُ إِلَّا بِكَلَامٍ) .

Imam Syafi‘i berkata: (Dan karena tidak ada nikah dan talak kecuali dengan ucapan, maka rujuk pun tidak sah kecuali dengan ucapan).

قَالَ المارودي: وَهَذَا كَمَا قَالَ: وَلَا تَصِحُّ الرَّجْعَةُ إِلَّا بِكَلَامٍ مِنَ النَّاطِقِ وَبِالْإِشَارَةِ مِنَ الْأَخْرَسِ، وَلَا تَصِحُّ بِالْفِعْلِ مِنَ الْوَطْءِ وَالِاسْتِمْتَاعِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Rujuk tidak sah kecuali dengan ucapan dari orang yang bisa berbicara dan dengan isyarat dari orang bisu, dan tidak sah dengan perbuatan seperti jima‘ dan menikmati.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَصِحُّ الرَّجْعَةُ بِالْقَوْلِ وَبِالْفِعْلِ كَالْوَطْءِ وَالْقُبْلَةِ حَتَّى لَوْ نَظَرَ إِلَيْهَا بِشَهْوَةٍ صَحَّتِ الرَّجْعَةُ.

Abu Hanifah berkata: Rujuk sah dengan ucapan dan perbuatan seperti jima‘ dan ciuman, bahkan jika ia memandang istrinya dengan syahwat, maka rujuknya sah.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ نَوَى بِالْوَطْءِ الرَّجْعَةَ صَحَّتْ، وَإِنْ لَمْ يَنْوِ لَمْ تَصِحَّ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ الله تَعَالَى: {وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا} [البقرة: 228] وَالرَّدُّ يَكُونُ بِالْفِعْلِ كَمَا يَكُونُ بِالْقَوْلِ كَرَدِّ الْوَدِيعَةِ، وَلِأَنَهَا مُدَّةٌ مَضْرُوبَةٌ لِلْفُرْقَةِ فَصَحَّ رَفْعُهَا بِالْفِعْلِ كَالْإِيلَاءِ وَالْعُنَّةِ.

Malik berkata: Jika dengan jima‘ ia berniat rujuk, maka sah; jika tidak berniat, maka tidak sah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk mengembalikan mereka dalam masa itu jika mereka menghendaki islah} [al-Baqarah: 228], dan pengembalian itu bisa dengan perbuatan sebagaimana bisa dengan ucapan, seperti mengembalikan titipan, dan karena masa itu adalah waktu yang ditetapkan untuk perpisahan, maka sah dihapus dengan perbuatan seperti pada ila’ dan ‘innah.

وَلِأَنَّهَا مُدَّةٌ تُفْضِي إِلَى زَوَالِ الْمِلْكِ فَصَحَّ رَفْعُهَا بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ كَمُدَّةِ الْخِيَارِ فِي الْبَيْعِ.

Dan karena masa itu adalah masa yang dapat menyebabkan hilangnya kepemilikan, maka sah dihapus dengan ucapan dan perbuatan seperti masa khiyār dalam jual beli.

وَلِأَنَّ تَأْثِيرَ الْوَطْءِ أَبْلَغُ فِي الْإِبَاحَةِ مِنَ الْقَوْلِ كَالْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا لَا تُسْتَبَاحُ إِلَّا بِوَطْءِ زَوْجٍ، فَلَمَّا اسْتُبِيحَتِ الْمُرْتَجَعَةُ بِالْقَوْلِ فَأَوْلَى أَنْ يستباح بِالْفِعْلِ.

Dan karena pengaruh jima‘ lebih kuat dalam kebolehan daripada ucapan, seperti wanita yang ditalak tiga kali tidak boleh dinikahi kecuali setelah digauli oleh suami lain, maka ketika wanita yang dirujuk boleh kembali dengan ucapan, maka lebih utama boleh dengan perbuatan.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} [الطلاق: 2] فَكَانَ فِي الْآيَةِ دَلِيلَانِ:

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik, dan persaksikanlah dua orang yang adil di antara kalian} [at-Talaq: 2], maka dalam ayat ini terdapat dua dalil:

أحدهما: قوله {فأمسكوهن بمعروف} فَدَلَّ عَلَى أَنَّ إِبَاحَةَ الِامْتِلَاكِ يَكُونُ بَعْدَ الْإِمْسَاكِ.

Pertama: Firman-Nya {tahanlah mereka dengan cara yang baik}, menunjukkan bahwa kebolehan memiliki (istri) terjadi setelah penahanan (rujuk).

وَالثَّانِي: أَمْرُهُ بِالْإِشْهَادِ فِي الرَّجْعَةِ، إِمَّا واجب على القديم، أو ندباً عَلَى الْجَدِيدِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهَا عَلَى وَجْهٍ تَصِحُّ فِيهِ الشَّهَادَةُ، وَالْوَطْءُ مِمَّا لَمْ تَجُزْ بِالْإِشْهَادِ عَلَيْهِ عَادَةً، وَقَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا) فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الرَّجْعَةِ قَبْلَ إِمْسَاكِهَا، وَإِلَّا يَكُونُ إِمْسَاكُهَا رَجْعَةً وَلِأَنَّهُ رفع الحكم طَلَاقِهِ فَلَمْ يَتِمَّ إِلَّا بِالْقَوْلِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ كَالْبَائِنِ، وَلِأَنَّهَا حَادِثَةٌ فِي فُرْقَةٍ فَلَا يَصِحُّ إِمْسَاكُهَا بِالْوَطْءِ كَالزَّوْجَيْنِ الْحُرَّيْنِ إِذَا أَسْلَمَ أَحَدُهُمَا وَلِأَنَّهُ فِعْلٌ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْقَوْلِ فَلَمْ تَصِحَّ بِهِ الرَّجْعَةُ كَالْقُبْلَةِ لِغَيْرِ شَهْوَةٍ، وَلِأَنَّ مَا كَمُلَ بِهِ الْمَهْرُ لَمْ تَصِحَّ بِهِ الرَّجْعَةُ، كَالْخَلْوَةِ.

Kedua: Perintahnya untuk menghadirkan saksi dalam rujuk, menurut pendapat lama adalah wajib, sedangkan menurut pendapat baru adalah sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa rujuk itu dilakukan dengan cara yang sah untuk dijadikan kesaksian, sedangkan hubungan suami istri (jima‘) bukanlah sesuatu yang lazim dijadikan kesaksian. Sabda Nabi ﷺ: “Maka hendaklah ia merujuknya, kemudian menahannya,” menunjukkan wajibnya rujuk sebelum menahan (istri), sehingga menahan istri tidak dianggap sebagai rujuk. Karena rujuk itu mengangkat hukum talak, maka tidak sempurna kecuali dengan ucapan jika mampu, sebagaimana pada talak bain. Dan karena rujuk itu terjadi dalam keadaan perpisahan, maka tidak sah menahan istri dengan hubungan badan, sebagaimana dua suami istri yang salah satunya masuk Islam. Dan karena itu adalah perbuatan yang masih memungkinkan dilakukan dengan ucapan, maka tidak sah rujuk dengan perbuatan tersebut, seperti mencium tanpa syahwat. Dan karena sesuatu yang menyebabkan mahar menjadi sempurna tidak menyebabkan rujuk menjadi sah, seperti halnya khalwat (berduaan).

وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ تَجِبُ عَنِ الْوَطْءِ فَاسْتَحَالَ أَنْ تَنْقَطِعَ الْعِدَّةُ بِالْوَطْءِ، لِأَنَّ مَا يُوجِبُ الشَّيْءَ لَا يَقْطَعُهُ أَلَا تَرَى أَنَّ الْوَطْءَ يُسْتَبَاحُ بِالْعَقْدِ فَاسْتَحَالَ أَنْ يُقْطَعَ العقد.

Dan karena masa iddah itu wajib karena adanya hubungan badan, maka mustahil masa iddah terputus dengan hubungan badan. Sebab, sesuatu yang menjadi sebab adanya suatu hal tidak mungkin memutusnya. Tidakkah engkau melihat bahwa hubungan badan menjadi halal dengan akad, maka mustahil akad itu terputus karenanya.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ أَنَّ الرَّدَّ عَلَى ضَرْبَيْنِ: مُشَاهَدٍ، وَحُكْمٍ فَرَدُّ الْمُشَاهَدَةِ لَا يَكُونُ إِلَّا بِالْفِعْلِ كَالْوَدِيعَةِ، وَرَدُّ حُكْمٍ فَلَا يَكُونُ إِلَّا بِالْقَوْلِ كَقَوْلِهِ: رَدَدْتُ فُلَانًا إِلَى حِزْبِي أَوْ إِلَى مَوَدَّتِي، وَرَدُّ الرَّجْعَةِ حُكْمٌ فَلَمْ يَكُنْ إِلَّا بِالْقَوْلِ.

Adapun jawaban terhadap dalil ayat adalah bahwa “pengembalian” (ar-raad) itu ada dua macam: pengembalian secara nyata dan pengembalian secara hukum. Pengembalian secara nyata hanya bisa dilakukan dengan perbuatan, seperti mengembalikan titipan. Sedangkan pengembalian secara hukum hanya bisa dilakukan dengan ucapan, seperti ucapan: “Aku telah mengembalikan si fulan ke kelompokku atau ke kasih sayangku.” Maka pengembalian dalam rujuk adalah pengembalian secara hukum, sehingga tidak sah kecuali dengan ucapan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى مُدَّةِ الْإِيلَاءِ وَالْعُنَّةِ، فَهُوَ أَنَّ الْمُدَّةَ غَيْرُ مَضْرُوبَةٍ فِي الْإِيلَاءِ، وَالْعُنَّةِ لِلْفُرْقَةِ، وَإِنَّمَا هِيَ مَضْرُوبَةٌ لِاسْتِحْقَاقِ الْمُطَالَبَةِ، وَالْمُدَّةَ فِي الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ غَيْرُ مَضْرُوبَةٍ لِلْفُرْقَةِ لِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ بِالطَّلَاقِ دُونَ الْمُدَّةِ فَلَمْ يَسْلَمْ وَصْفُ الْعِلَّةِ فِي أَصْلِهِ وَفَرْعِهَا، ثُمَّ مُدَّةُ الْإِيلَاءِ وَالْعُنَّةِ الْمُعْتَبَرُ فِيهَا أَنَّهَا لَا تَرْتَفِعُ بِالْقَوْلِ فَلِذَلِكَ ارْتَفَعَتْ بِالْوَطْءِ، وَهَذِهِ لَمَّا ارْتَفَعَتْ بِالْقَوْلِ لَمْ تَرْتَفِعْ بِالْوَطْءِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى مُدَّةِ الْخِيَارِ فَالْمَعْنَى فِيهَا أَنَّهَا اسْتِبَاحَةُ مِلْكٍ وَاسْتِعَادَةُ مِلْكٍ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الرَّجْعَةُ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan masa iddah pada kasus ila’ dan ‘unnah, maka masa tersebut pada ila’ dan ‘unnah bukanlah ditetapkan untuk perpisahan, melainkan untuk memberikan hak menuntut. Sedangkan masa iddah dalam talak raj‘i bukanlah ditetapkan untuk perpisahan, karena perpisahan terjadi dengan talak, bukan dengan masa iddah. Maka tidak tepat penyamaan illat (alasan hukum) antara asal dan cabangnya. Kemudian, masa pada ila’ dan ‘unnah, yang menjadi pertimbangan adalah bahwa masa tersebut tidak hilang dengan ucapan, sehingga hilang dengan perbuatan (jima‘). Sedangkan dalam masalah ini, karena masa iddah dapat berakhir dengan ucapan, maka tidak berakhir dengan perbuatan. Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan masa khiyar, maka maknanya adalah bahwa masa khiyar merupakan kebolehan memiliki dan pengembalian kepemilikan, sehingga boleh dilakukan dengan ucapan maupun perbuatan. Sedangkan rujuk tidak demikian.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِتَأْثِيرِ الْوَطْءِ فِي الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا، فَهُوَ أَنَّ ذَلِكَ الْوَطْءَ إِنَّمَا هُوَ تَمْلِيكٌ لَا يُوجِبُ اسْتِيفَاءَ نِكَاحٍ وَلَا تَجْدِيدَهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَصِيرَ فِي الرَّجْعَةِ مُوجِبًا اسْتِيفَاءَ نِكَاحٍ كَمَا لم يوجب تجديده.

Adapun jawaban atas dalil mereka tentang pengaruh hubungan badan pada perempuan yang ditalak tiga, maka hubungan badan tersebut hanyalah merupakan bentuk kepemilikan, tidak menyebabkan terjadinya akad nikah baru atau pembaruannya. Maka tidak boleh dijadikan dasar bahwa dalam rujuk, hubungan badan dapat menyebabkan terjadinya nikah, sebagaimana ia tidak menyebabkan pembaruan akad nikah.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَالْكَلَامُ بِهَا أَنْ يَقُولَ قَدْ رَاجَعْتُهَا أَوِ ارْتَجَعْتُهَا أَوْ رَدَدْتُهَا إِلَيَّ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Ucapan rujuk itu adalah dengan mengatakan: ‘Aku telah merujuknya’ atau ‘Aku telah mengambilnya kembali’ atau ‘Aku telah mengembalikannya kepadaku’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ الرَّجْعَةَ إِذَا لَمْ تَكُنْ إِلَّا بِالْكَلَامِ اخْتُصَّتْ بِالتَّصْرِيحِ دُونَ الْكِنَايَةِ، وَلِلتَّصْرِيحِ فِي الرَّجْعَةِ لَفْظَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena rujuk jika tidak sah kecuali dengan ucapan, maka harus dengan lafaz yang jelas (sharih), bukan dengan sindiran (kinayah). Untuk lafaz sharih dalam rujuk ada dua bentuk:

إِحْدَاهُمَا: رَاجَعْتُكِ أَوِ ارْتَجَعْتُكِ.

Pertama: “Aku telah merujukmu” atau “Aku telah mengambilmu kembali.”

الثَّانِيَةُ: رَدَدْتُكِ أَوِ ارْتَدَدْتُكِ فَصَرِيحٌ بِالْكِتَابِ، قَالَ الله تَعَالَى: {وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا} [البقرة: 228] وَأَمَّا رَاجَعْتُكِ فَصَرِيحٌ بِالسُّنَّةِ، قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِعُمَرَ: (مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا) .

Kedua: “Aku telah mengembalikanmu” atau “Aku telah mengambilmu kembali,” ini adalah lafaz sharih yang terdapat dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk mengembalikan mereka dalam masa itu jika mereka menghendaki islah (perbaikan)} [Al-Baqarah: 228]. Adapun “Aku telah merujukmu” adalah lafaz sharih yang terdapat dalam sunnah, sebagaimana sabda Nabi ﷺ kepada Umar: “Perintahkan dia agar merujuknya.”

ثُمَّ الْعُرْفُ الْجَارِي بِهِ، فَلَمْ يَخْتَلِفْ أَصْحَابُنَا فِي قَوْلِهِ: (رَاجَعْتُكِ) أَنَهُ صَرِيحٌ، وَأَمَّا رَدَدْتُكِ فَقَدَ نَصَّ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ (الْأُمِّ) عَلَى أَنَّهُ صَرِيحٌ وَلَمْ يَذَكُرْهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْإِمْلَاءِ، فَوِهَمَ الرَّبِيعُ فَخَرَّجَ مِنْهُ قَوْلًا آخَرَ أَنَّهُ كِنَايَةٌ لَا تَصِحُّ بِهِ الرَّجْعَةُ، لِإِخْلَالِ الشَّافِعِيِّ بِذِكْرِهِ فِي الْقَدِيمِ وَالْإِمْلَاءِ، وَقَدْ أَنْكَرَ تَحْرِيمَهُ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا، فَأَمَّا قَوْلُهُ: قَدْ أَمْسَكْتُكِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، هَلْ يَكُونُ صَرِيحًا تَصِحُّ بِهِ الرَّجْعَةُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kemudian, ‘urf yang berlaku. Maka para sahabat kami tidak berbeda pendapat dalam ucapannya: “Aku merujukmu,” bahwa itu adalah lafaz sharih (jelas). Adapun ucapan “Aku mengembalikanmu,” Imam Syafi‘i telah menegaskan dalam kitab *al-Umm* bahwa itu adalah lafaz sharih, namun beliau tidak menyebutkannya dalam pendapat lama dan dalam *al-Imla’*, sehingga ar-Rabi‘ keliru dan menyimpulkan darinya pendapat lain bahwa itu adalah kinayah (lafaz sindiran) yang tidak sah untuk rujuk, karena Imam Syafi‘i tidak menyebutkannya dalam pendapat lama dan *al-Imla’*. Mayoritas sahabat kami telah mengingkari pengharaman pendapat tersebut. Adapun ucapannya: “Aku menahanmu,” para sahabat kami berbeda pendapat, apakah itu merupakan lafaz sharih yang sah untuk rujuk atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: هُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، أَنَّهُ صَرِيحٌ فِيهَا كَقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {فَأَمْسِكُوهُنَّ بمعروف} .

Salah satunya: Ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri, bahwa itu adalah lafaz sharih, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Maka tahanlah mereka dengan cara yang baik}.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا كِنَايَةٌ لَا تَصِحُّ بِهَا الرَّجْعَةُ وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَمْسَكْتُكِ حَيْثُ لَمْ يَكُنْ صَرِيحًا وَبَيْنَ رَاجَعْتُكِ وَرَدَدْتُكِ حَيْثُ كَانَ صَرِيحًا أَنَّ الْمُطْلَقَةَ مُرْسَلَةٌ مُخَلَّاةٌ، وَالْعَرَبُ تَقُولُ: لِمَا خَرَجَ عَنِ الْيَدِ إِذَا أُعِيدَ إِلَيْهَا، قَدِ ارْتَجَعْتُهُ فَرَدَدْتُهُ، وَلَا تَقُولُ أَمْسَكْتُهُ إِلَّا لِمَا كَانَ فِي الْيَدِ لَمْ يَخْرُجْ عَنْهَا، فَلِذَلِكَ ما افْتَرَقَا فِي حُكْمِ الرَّجْعَةِ.

Pendapat kedua: Bahwa itu adalah kinayah yang tidak sah untuk rujuk. Perbedaannya antara “Aku menahanmu” yang bukan lafaz sharih, dan antara “Aku merujukmu” serta “Aku mengembalikanmu” yang merupakan lafaz sharih, adalah bahwa perempuan yang ditalak itu telah terlepas dan bebas, sedangkan orang Arab mengatakan untuk sesuatu yang telah keluar dari genggaman jika dikembalikan kepadanya: “Aku telah mengambilnya kembali” atau “Aku telah mengembalikannya,” dan mereka tidak mengatakan “Aku menahannya” kecuali untuk sesuatu yang masih dalam genggaman dan belum keluar darinya. Oleh karena itu, keduanya berbeda dalam hukum rujuk.

فَأَمَّا إِذَا رَاجَعَ بِلَفْظِ النِّكَاحِ وَالتَّزْوِيجِ مِثْلَ: قَدْ تَزَوَّجْتُهَا أَوْ نَكَحْتُهَا، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun jika rujuk dilakukan dengan lafaz nikah dan pernikahan seperti: “Aku telah menikahinya” atau “Aku telah mengawininya,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَصِحُّ بِهِ الرَّجْعَةُ؛ لِأَنَّ مَا صَحَّ بِهِ أَغْلَظُ الْعَقْدَيْنِ كَانَ أَخَفُّهُمَا لَهُ أَصَحَّ.

Salah satunya: Rujuk sah dengan lafaz tersebut; karena sesuatu yang sah dengan akad yang paling kuat, maka dengan akad yang lebih ringan tentu lebih sah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّهُ لَا تَصِحُّ بِهِ الرَّجْعَةُ؛ لِأَنَّ صَرِيحَ كُلِّ عَقْدٍ إِذَا نُقِلَ إِلَى غَيْرِهِ، صَارَ كِنَايَةً فِيهِ كَصَرِيحِ الْبَيْعِ فِي النِّكَاحِ، وَصَرِيحِ الطَّلَاقِ فِي الْعِتْقِ، وَالرَّجْعَةُ لَا تَصِحُّ بِالْكِنَايَةِ، وَلَيْسَ إِذَا انْعَقَدَ الْأَقْوَى بِلَفْظٍ كَانَ صَرِيحًا فِيهِ وَجَبَ أَنْ يَنْعَقِدَ بِالْأَضْعَفِ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَا انْعَقَدَ بِهِ النِّكَاحُ الَّذِي هُوَ أَقْوَى لَمْ يَقَعْ بِهِ الطَّلَاقُ الَّذِي هُوَ أَضْعَفُ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: Rujuk tidak sah dengan lafaz tersebut; karena lafaz sharih dari setiap akad jika dipindahkan ke akad lain, maka menjadi kinayah di dalamnya, seperti lafaz sharih jual beli dalam nikah, dan lafaz sharih talak dalam pembebasan budak. Rujuk tidak sah dengan kinayah. Tidaklah jika akad yang lebih kuat sah dengan suatu lafaz, maka harus akad yang lebih lemah juga sah dengan lafaz itu. Tidakkah engkau melihat bahwa sesuatu yang dengannya akad nikah yang lebih kuat dapat terjadi, tidaklah sah untuk talak yang lebih lemah.

فَصْلٌ:

Fasal:

: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَإِنَّ صَرِيحَ الرَّجْعَةِ لَفْظَتَانِ: رَاجَعْتُكِ أَوْ رَدَدْتُكِ.

Jika telah jelas apa yang kami uraikan, maka lafaz sharih untuk rujuk ada dua: “Aku merujukmu” atau “Aku mengembalikanmu.”

فَالْأَوْلَى أَنْ يَصِلَ ذَلِكَ بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَقُولَ رَاجَعْتُكِ إِلَى النِّكَاحِ، أَوْ يَقُولَ رَاجَعْتُكِ مِنَ الطَّلَاقِ هَذَا إِنْ كَانَتْ حَاضِرَةً، وَإِنْ كَانَتْ غَائِبَةً ذَكَرَ اسْمَهَا فَقَالَ: رَاجَعْتُ امْرَأَتَيْ فلانة أو زوجتي فلانة؛ لأن الرجعية زَوْجَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مُحَرَّمَةً، فَإِنْ قَالَ: رَاجَعْتُكِ أَوْ رَدَدْتُكِ وَلَمْ يَقُلْ إِلَى النِّكَاحِ أَوْ مِنَ الطَّلَاقِ صَحَّ وَتَمَّتِ الرَّجْعَةُ؛ لِأَنَّ الرَّجْعَةَ لَا تَكُونُ إِلَّا مِنْ طَلَاقٍ وَإِلَى نِكَاحٍ، وإن لم يذكر اسمها مع الغيبية، وَقَالَ: رَاجَعْتُهَا صَحَّتِ الرَّجْعَةُ إِنْ قِيلَ: إِنَّ الشَّهَادَةَ فِيهَا نَدْبٌ وَلَمْ تَصِحَّ إِنْ قِيلَ: إِنَّ الشَّهَادَةَ وَاجِبَةٌ.

Sebaiknya hal itu disertai dengan salah satu dari dua perkara: yaitu dengan mengatakan “Aku merujukmu ke dalam pernikahan,” atau “Aku merujukmu dari talak ini,” jika istrinya hadir. Jika istrinya tidak hadir, maka disebutkan namanya, misalnya: “Aku merujuk istriku Fulanah” atau “Aku merujuk istriku Fulanah”; karena perempuan yang dalam masa iddah rujuk masih berstatus istri, meskipun sedang dalam keadaan ihram. Jika ia mengatakan: “Aku merujukmu” atau “Aku mengembalikanmu” tanpa menyebutkan “ke dalam pernikahan” atau “dari talak,” maka rujuk tetap sah dan sempurna; karena rujuk itu tidak terjadi kecuali dari talak dan menuju pernikahan. Jika tidak menyebutkan namanya saat istrinya tidak hadir, lalu mengatakan: “Aku merujuknya,” maka rujuk sah jika dikatakan bahwa persaksian dalam rujuk itu sunnah, dan tidak sah jika dikatakan bahwa persaksian itu wajib.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا تَلَفَّظَ بِالرَّجْعَةِ صَحَّتْ وَإِنْ لَمْ يَنْوِهَا نَصَّ عَلَيْهَا الشَّافِعِيُّ: فَإِنْ قَالَ رَاجَعْتُكِ بِالْمَحَبَّةِ أَوْ قَالَ: رَاجَعْتُكِ مِنَ الْأَذَى صَحَّتِ الرَّجْعَةُ، وَلَوْ قَالَ: رَاجَعْتُ مَحَبَّتَكِ أَوْ رَاجَعْتُ بغضك لم تصح الرجعة؛ لأن الرجعة ها هنا إِلَى الْمَحَبَّةِ، وَهُنَاكَ إِلَى النِّكَاحِ، لِأَجْلِ الْمَحَبَّةِ، وَلَوْ قَالَ: قَدِ اخْتَرْتُ رَجْعَتَكِ أَوْ قَالَ: شِئْتُ رَجْعَتَكِ فَإِنْ أَرَادَ أَنَّهُ قَدِ اخْتَارَ أَوْ شَاءَ أَنْ يُرَاجِعَهَا مِنْ بَعْدُ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ رَجْعَةً؛ لِأَنَّهُ إِخْبَارٌ عَنْ إِرَادَتِهِ لَا عَنْ رَجْعَتِهِ، وَإِنْ أَرَادَ لِذَلِكَ الرَّجْعَةَ فِي الْحَالِ، وَأَنَّهُ اخْتَارَ بِذَلِكَ عَقْدَهَا فَفِي صِحَّةِ رَجْعَتِهِ وَجْهَانِ:

Jika seseorang melafazkan rujuk, maka rujuknya sah meskipun tidak meniatkannya, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Syafi‘i. Jika ia berkata: “Aku merujukmu karena cinta,” atau berkata: “Aku merujukmu dari gangguan,” maka rujuknya sah. Namun jika ia berkata: “Aku merujuk cintamu” atau “Aku merujuk kebencianmu,” maka rujuk tidak sah; karena rujuk di sini kembali kepada cinta, sedangkan di sana (lafaz sebelumnya) kembali kepada pernikahan karena cinta. Jika ia berkata: “Aku memilih rujukmu” atau “Aku menginginkan rujukmu,” maka jika yang dimaksud adalah ia memilih atau menginginkan untuk merujuknya di kemudian hari, maka itu bukanlah rujuk; karena itu hanya pemberitahuan tentang keinginannya, bukan tentang rujuknya. Namun jika yang dimaksud adalah rujuk saat itu juga, dan bahwa ia memilih untuk mengikat akadnya, maka dalam keabsahan rujuknya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَصِحُّ؛ لِأَنَّ اخْتِيَارَ الرَّجْعَةِ أَوْكَدُ فِي صِحَّتِهَا.

Salah satu pendapat: sah; karena memilih untuk melakukan ruju‘ lebih kuat dalam hal keabsahannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يصح؛ لأنه لما صار محتملاً يُسْأَلَ عَنْهُ خَرَجَ عَنْ حُكْمِ التَّصْرِيحِ إِلَى الْكِنَايَةِ، وَالرَّجْعَةُ لَا تَصِحُّ بِالْكِنَايَةِ؛ وَعَلَى هَذَا لَوْ نَكَحَهَا بَوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ لَمْ يَكُنْ نِكَاحًا، وَهَلْ يَكُونُ رَجْعَةً أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ.

Pendapat kedua: tidak sah; karena ketika menjadi sesuatu yang masih mengandung kemungkinan dan perlu ditanyakan maksudnya, maka ia keluar dari hukum tashrīḥ (pernyataan eksplisit) menuju kināyah (pernyataan implisit), dan ruju‘ tidak sah dengan kināyah. Berdasarkan hal ini, jika ia menikahinya dengan wali dan dua saksi adil, maka itu bukanlah akad nikah. Apakah itu dianggap sebagai ruju‘ atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا قَالَ: قَدْ رَاجَعْتُكِ إِنْ شِئْتِ فَشَاءَتْ لَمْ تَصِحَّ الرَّجْعَةُ، لِأَنَّهَا عَقْدٌ قَدْ عَلَّقَهُ بِشَرْطٍ، وَالْعُقُودُ إِذَا عُلِّقَتْ بِشُرُوطٍ مُتَرَتِّبَةٍ، لَمْ تَصِحَّ، كَمَا لَوْ قَالَ: رَاجَعْتُكِ إِنْ جَاءَ الْمَطَرُ أَوْ قَدِمَ زَيْدٌ أَوْ قَالَ مِثْلَ ذَلِكَ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ.

Jika ia berkata: “Aku telah meruju‘mu jika engkau menghendaki,” lalu istrinya menghendaki, maka ruju‘ tersebut tidak sah, karena itu adalah akad yang digantungkan pada suatu syarat, dan akad-akad jika digantungkan pada syarat-syarat yang akan datang, maka tidak sah, sebagaimana jika ia berkata: “Aku meruju‘mu jika turun hujan atau jika Zaid datang,” atau ia mengucapkan hal serupa dalam akad nikah.

وَلَوْ قَالَ: قَدْ رَاجَعْتُكِ إِذَا جَاءَ غَدٌ أَوْ فِي رَأْسِ الشَّهْرِ لَمْ تَصِحَّ الرَّجْعَةُ؛ لِأَنَّهُ عَقْدٌ قَدْ تَعَلَّقَ بِمُدَّةٍ مُنْتَظَرَةٍ.

Dan jika ia berkata: “Aku telah meruju‘mu jika besok datang,” atau “pada awal bulan,” maka ruju‘ tersebut tidak sah; karena itu adalah akad yang dikaitkan dengan waktu yang masih dinantikan.

فَإِنْ قَالَ: رَاجَعْتُكِ أَمْسَ لَمْ تَصِحَّ الرَّجْعَةُ، إِلَّا أَنْ يُرِيدَ الْإِقْرَارَ بِهَا عَنْ رَجْعَةٍ كَانَتْ مِنْهُ بِالْأَمْسِ فَيَكُونَ إِقْرَارًا بِالرَّجْعَةِ، وَلَا يَكُونَ فِي نَفْسِهِ رَجْعَةً، وَلَوْ قَالَ لَهَا: كُلَّمَا طَلَّقْتُكِ فَقَدْ رَاجَعْتُكِ ثُمَّ طَلَّقَهَا لَمْ تَصِحَّ الرَّجْعَةُ لِتَقَدُّمِهَا عَلَى مُوجِبِهَا مِنَ الطلاق حتى تستأنفها بعد الطلاق، والله أعلم.

Jika ia berkata: “Aku telah meruju‘mu kemarin,” maka ruju‘ tersebut tidak sah, kecuali jika ia bermaksud mengakui bahwa ia telah melakukan ruju‘ pada hari kemarin, maka itu dianggap sebagai pengakuan atas ruju‘, dan bukan ruju‘ itu sendiri. Dan jika ia berkata kepada istrinya: “Setiap kali aku menceraikanmu, maka aku telah meruju‘mu,” kemudian ia menceraikannya, maka ruju‘ tersebut tidak sah karena ruju‘nya mendahului sebabnya, yaitu talak, sehingga ia harus mengulangi ruju‘ setelah talak. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (فَإِنْ جَامَعَهَا يَنْوِي الرَّجْعَةَ أَوْ لَا يَنْوِيهَا فَهُوَ جِمَاعُ شُبْهَةٍ وَيُعَزَّرَانِ إِنْ كَانَا عَالِمَيْنِ وَلَهَا صَدَاقُ مِثْلِهَا وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلَوْ كَانَتِ اعْتَدَّتْ بِحَيْضَتَيْنِ ثُمَّ أَصَابَهَا ثُمَّ تَكَلَّمَ بِالرَّجْعَةِ قَبْلَ أَنْ تَحِيضَ الثَّالِثَةَ فَهِيَ رَجْعَةٌ وَإِنْ كَانَتْ بَعْدَهَا فَلَيْسَتْ بِرَجْعَةٍ وَقَدِ انْقَضَتْ مِنْ يَوْمِ طَلَّقَهَا الْعِدَّةُ وَلَا تَحِلُّ لِغَيْرِهِ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا مِنْ يَوْمِ مَسَّهَا) .

Imam asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia menggaulinya dengan niat ruju‘ atau tanpa niat ruju‘, maka itu adalah jima‘ syubhat dan keduanya dikenai ta‘zīr jika keduanya mengetahui hukumnya, dan bagi perempuan berhak mendapatkan mahar mitsil, serta ia wajib menjalani masa ‘iddah. Jika ia telah menjalani ‘iddah dua kali haid, lalu digauli, kemudian suami mengucapkan ruju‘ sebelum haid ketiga, maka itu dianggap ruju‘. Namun jika setelah haid ketiga, maka itu bukan ruju‘ dan masa ‘iddah telah selesai sejak hari ia menceraikannya, dan ia tidak halal bagi laki-laki lain sampai masa ‘iddahnya selesai sejak hari ia digauli.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْوَطْءَ لَا يَكُونُ رَجْعَةً، وَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ: لَوْ كَلَّمَهَا يَنْوِي الرَّجْعَةَ، أَرَادَ بِهِ مَالِكًا، وَإِنْ لَمْ يَنْوِ بِهَا أَوْ لم ينو بها أَرَادَ بِهِ أَبَا حَنِيفَةَ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ عَلَيْهِمَا فَإِذَا وَطِئَهَا فِي الْعِدَّةِ قَبْلَ الرَّجْعَةِ، فَهُوَ وَطْءُ شُبْهَةٍ، لَا اخْتِلَافَ فِي إِبَاحَتِهِ، وَالْكَلَامُ فِيهِ يَشْتَمِلُ عَلَى خَمْسَةِ فُصُولٍ فِي الْحَدِّ وَالتَّعْزِيرِ وَالْمَهْرِ وَالْعِدَّةِ وَالْوَلَدِ فَأَمَّا الْحَدُّ فَلَا يَجِبُ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa jima‘ tidak dianggap sebagai ruju‘. Perkataan asy-Syafi‘i: “Jika ia berbicara kepadanya dengan niat ruju‘,” maksudnya adalah pendapat Malik, dan jika tanpa niat ruju‘, maksudnya adalah pendapat Abu Hanifah, dan telah dijelaskan pembahasan tentang keduanya. Jika ia menggaulinya dalam masa ‘iddah sebelum ruju‘, maka itu adalah jima‘ syubhat, tidak ada perbedaan pendapat tentang kebolehannya. Pembahasan tentang hal ini mencakup lima bagian: tentang had, ta‘zīr, mahar, ‘iddah, dan anak. Adapun had, maka tidak wajib karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ وَطْءٌ مُخْتَلَفٌ فِي إِبَاحَتِهِ، فَأَشْبَهَ الْوَطْءَ فِيمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَالشِّغَارِ، وَالنِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ.

Pertama: karena itu adalah jima‘ yang diperselisihkan kebolehannya, sehingga menyerupai jima‘ dalam nikah mut‘ah, syighar, dan nikah tanpa wali yang juga diperselisihkan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّجْعِيَّةَ زَوْجَةٌ لِتَوَارُثِهِمَا وَإِنْ حُرِّمَ وَطْؤُهَا كَالْمُحْرِمَةِ وَالْحَائِضِ.

Kedua: karena perempuan yang dalam masa ruju‘ masih berstatus sebagai istri dalam hal saling mewarisi, meskipun diharamkan untuk digauli seperti perempuan yang sedang ihram atau haid.

وَأَمَّا التَّعْزِيرُ فَإِنِ اعْتَقَدَ إِبَاحَتَهُ أَوْ جَهِلَ تَحْرِيمَهُ فَلَا تَعْزِيرَ عَلَيْهِمَا، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتِ الشُّبْهَةُ مُسْقِطَةً لِلْحَدِّ فَأَوْلَى أَنْ تُسْقِطَ التَّعْزِيرَ، وَإِنِ اعْتَقَدَا تَحْرِيمَهُ وَلَمْ يَجْهَلَاهُ عُزِّرَا فَإِنِ اعْتَقَدَ أَحَدُهُمَا تَحْرِيمَهُ وَجَهِلَهُ الْآخَرُ عُزِّرَ الْعَالِمُ مِنْهُمَا دُونَ الْجَاهِلِ.

Adapun ta‘zīr, jika keduanya meyakini kebolehannya atau tidak mengetahui keharamannya, maka tidak ada ta‘zīr atas keduanya, karena syubhat menggugurkan had, maka lebih utama lagi menggugurkan ta‘zīr. Namun jika keduanya meyakini keharamannya dan tidak jahil terhadapnya, maka keduanya dikenai ta‘zīr. Jika salah satu dari keduanya mengetahui keharamannya dan yang lain tidak mengetahuinya, maka yang dikenai ta‘zīr adalah yang mengetahui, sedangkan yang tidak mengetahui tidak dikenai ta‘zīr.

وَأَمَّا الْمَهْرُ فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ بِهَذَا الْوَطْءِ، لِأَنَّهَا وَإِنْ كَانَتْ فِي حُكْمِ الزَّوْجَاتِ فَهِيَ جَارِيَةٌ فِي الْبَيْنُونَةِ فَأَشْبَهَ وَطْءَ زَوْجَتِهِ الْمُرْتَدَّةِ فِي عِدَّتِهَا، وَوَطْءَ مِنْ أَسْلَمَ عَنْ دِينِهِ فِي عدتها يلزمها مَهْرُ الْمِثْلِ بِوَطْئِهَا؛ لِأَنَّهُمَا وَطِئَا مَنْ هِيَ جَارِيَةٌ فِي فَسْخٍ، فَإِذَا وَجَبَ عَلَيْهِ الْمَهْرُ بِوَطْئِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ أَنْ يُرَاجِعَ فِي الْعِدَّةِ أَوْ لَا يُرَاجِعَ، فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعِ اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ وُجُوبُ الْمَهْرِ، وَإِنْ رَاجَعَ فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَنَّ الْمُهْرَ لَا يَسْقُطُ الرجعة وَقَالَ فِي وَطْءِ الْمُرْتَدَّةِ وَالْحَرْبِيَّةِ، إِنَّ الْمُهْرَ يَسْقُطُ بِالْإِسْلَامِ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ يَنْقُلُ جَوَابَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى وَيُخْرِجُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun mahar, maka wajib atasnya karena persetubuhan ini, karena meskipun ia (perempuan) masih dalam status sebagai istri, namun ia berada dalam keadaan bain (terputusnya hubungan pernikahan), sehingga hal ini serupa dengan persetubuhan terhadap istri yang murtad dalam masa iddahnya. Persetubuhan terhadap perempuan yang masuk Islam setelah sebelumnya beragama lain dalam masa iddahnya mewajibkan mahar mitsil (mahar yang sepadan) karena persetubuhan tersebut; sebab keduanya telah menyetubuhi perempuan yang sedang dalam status fasakh (pembatalan nikah). Maka, apabila mahar telah wajib atasnya karena persetubuhan itu, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia melakukan rujuk dalam masa iddah atau tidak. Jika tidak melakukan rujuk, maka kewajiban mahar tetap berlaku atasnya. Jika ia melakukan rujuk, menurut pendapat yang dinyatakan oleh Imam asy-Syafi‘i, mahar tidak gugur karena rujuk. Namun, dalam kasus persetubuhan terhadap perempuan murtad dan wanita musyrik (harbiyyah), beliau berpendapat bahwa mahar gugur dengan masuk Islam. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini. Abu Sa‘id al-Istakhri menukil jawaban masing-masing dari kedua masalah ini kepada yang lain dan mengeluarkannya dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَهْرَ يَسْقُطُ بِالرَّجْعَةِ وَبِإِسْلَامِ الْمُرْتَدَّةِ وَالْحَرْبِيَّةِ؛ لِأَنَّهَا بِالرَّجْعَةِ وَالْإِسْلَامِ تَكُونُ مَعَهُ بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ فَلَا يَجُبْ فِيهِ مَهْرَانِ.

Salah satunya: bahwa mahar gugur dengan rujuk dan dengan masuk Islamnya perempuan murtad dan harbiyyah; karena dengan rujuk dan masuk Islam, ia kembali bersama suaminya dengan pernikahan yang pertama, sehingga tidak wajib dua mahar dalam satu pernikahan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْمَهْرَ لَا يَسْقُطُ بِالرَّجْعَةِ وَلَا بِإِسْلَامِ الْمُرْتَدَّةِ وَلَا الْحَرْبِيَّةِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ وَجَبَ بِالْوَطْءِ فَلَمْ يَسْقُطْ معه الوجوب كما لو لم يرتجع وَلَمْ يُسْلِمْ.

Pendapat kedua: bahwa mahar tidak gugur dengan rujuk, tidak pula dengan masuk Islamnya perempuan murtad maupun harbiyyah; karena mahar telah menjadi wajib dengan adanya persetubuhan, sehingga kewajiban itu tidak gugur bersamanya, sebagaimana jika tidak dilakukan rujuk atau tidak masuk Islam.

وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِنَا: جَوَابَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ عَلَى ظَاهِرِهِ فَلَا يَسْقُطُ وَطْءُ الْمُطَلَّقَةِ بِالرَّجْعَةِ، وَيَسْقُطُ وَطْءُ الْمُرْتَدَّةِ وَالْحَرْبِيَّةِ بِالْإِسْلَامِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الرَّجْعَةَ لَا تَرْفَعُ مَا وَقَعَ مِنَ الطَّلَاقِ وَلِأَنَّهَا تَكُونُ مَعَهُ عَلَى مَا بَقِيَ مِنْ عَدَدِ الطَّلَاقِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْإِسْلَامُ؛ لِأَنَّهُ يَرْفَعُ حُكْمَ الرِّدَّةِ وَالشِّرْكَ، وَيَكُونُ مَعَهُ بِعَدَدِ الطَّلَاقِ الَّذِي مَلَكَهُ بِالنِّكَاحِ، فَصَارَ الطَّلَاقُ خَارِمًا لِلنِّكَاحِ، وَالرِّدَّةُ لَمْ تَخْرِمْهُ.

Abu Ishaq al-Marwazi dan mayoritas ulama kami berpendapat: jawaban masing-masing dari kedua masalah tersebut sesuai dengan zahirnya, sehingga persetubuhan terhadap perempuan yang ditalak tidak gugur dengan rujuk, sedangkan persetubuhan terhadap perempuan murtad dan harbiyyah gugur dengan masuk Islam. Perbedaannya adalah bahwa rujuk tidak menghapus apa yang telah terjadi dari talak, dan karena ia bersama suaminya berdasarkan sisa jumlah talak yang masih dimiliki dalam pernikahan, sedangkan Islam tidak demikian; karena Islam menghapus hukum riddah (kemurtadan) dan syirik, dan ia bersama suaminya berdasarkan jumlah talak yang dimiliki melalui pernikahan. Maka talak menjadi sesuatu yang mengurangi keutuhan pernikahan, sedangkan riddah tidak menguranginya.

وَأَمَا الْعِدَّةُ فَوَاجِبَةٌ بِهَذَا الْوَطْءِ؛ لِأَنَّهُ وَطْءُ شُبْهَةٍ فَاشْتَبَهَ وَطْءَ الْأَجْنَبِيَّةِ بِشُبْهَةٍ، وَعَلَيْهَا أَنْ تَسْتَأْنِفَ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ بَعْدَ هَذَا الْوَطْءِ، إِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ وَيَكُونُ الْبَاقِي مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ نَائِيًا عَنِ الْعِدَّةِ، وَمَا زَادَ عَلَيْهِ مُخْتَصًّا بِعِدَّةِ الْوَطْءِ.

Adapun iddah, maka wajib karena persetubuhan ini; karena ini adalah persetubuhan syubhat, sehingga serupa dengan persetubuhan terhadap perempuan asing (ajnabiyyah) karena syubhat. Maka ia wajib memulai kembali iddah tiga kali suci setelah persetubuhan ini, jika ia termasuk perempuan yang mengalami haid. Sisa dari iddah talak menjadi terpisah dari iddah ini, dan yang lebih dari itu khusus untuk iddah persetubuhan.

مِثَالُهُ أَنْ يَكُونَ قَدْ وَطِئَهَا بَعْدَ قُرْأَيْنِ مِنْ عِدَّتِهَا، وَبَقِيَ مِنْهَا قُرْءٌ فَتَأْتِي بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ مِنْهَا قُرْءٌ عَنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ وَالْوَطْءِ، لِأَنَّهُمَا فِي حَقِّ شَخْصٍ وَاحِدٍ فَتَدَاخَلَتَا، وَإِنَّمَا لا تَتَدَاخَلُ الْعِدَّتَانِ إِذَا كَانَتَا فِي حَقِّ شَخْصَيْنِ، وَيَكُونُ الْقُرْءَانِ الْبَاقِيَانِ مُخْتَصَّيْنِ بِعِدَّةِ الْوَطْءِ دُونَ الطَّلَاقِ وَلَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا فِيمَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا مِنْ عِدَّةِ الْوَطْءِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ بِانْقِضَاءِ عِدَّةِ الطَّلَاقِ.

Contohnya adalah jika ia telah menyetubuhinya setelah dua kali suci dari iddahnya, dan masih tersisa satu kali suci, maka ia harus menjalani tiga kali suci, di mana salah satunya dihitung untuk iddah talak dan persetubuhan, karena keduanya berlaku untuk satu orang sehingga saling masuk. Dua iddah tidak saling masuk jika berlaku untuk dua orang yang berbeda. Maka dua kali suci yang tersisa khusus untuk iddah persetubuhan, bukan untuk talak. Suaminya boleh merujuknya selama masih dalam sisa iddah talak, tetapi tidak boleh merujuknya dalam iddah persetubuhan; karena ia telah benar-benar berpisah setelah habisnya iddah talak.

وَالرَّجْعَةُ لَا تَصِحُّ مِنْ بَائِنٍ لَكِنْ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِيمَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الْوَطْءِ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِغَيْرِهِ إِلَّا بَعْدَ انْقِضَائِهَا لِأَنَّ الْعِدَّةَ تَجِبُ عَلَيْهَا لِحِفْظِ مَاءٍ مُسْتَحَقٍّ، فَإِذَا تَزَوَّجَهَا فِي الْعِدَّةِ كَانَ مَاؤُهُ مَحْفُوظًا فَجَازَ، وَإِذَا تَزَوَّجَهَا غَيْرُهُ كَانَ مُضَاعًا فَلَمْ يَجُزْ.

Rujuk tidak sah dari talak bain, tetapi suaminya boleh menikahinya kembali selama masih dalam sisa iddah persetubuhan, dan hal itu tidak boleh dilakukan oleh orang lain kecuali setelah iddahnya selesai. Sebab, iddah wajib atasnya untuk menjaga air (keturunan) yang berhak, maka jika suaminya menikahinya dalam masa iddah, airnya tetap terjaga sehingga diperbolehkan. Namun jika orang lain menikahinya, airnya menjadi tercampur sehingga tidak diperbolehkan.

وَأَمَّا الْوَلَدُ فَلَا حَقَّ لَهُ بِهِ؛ لِأَنَّهَا فِرَاشٌ لَهُ بِالْعَقْدِ، وَفِرَاشٌ بِمَا اسْتُحْدِثَ مِنْ وَطْءِ الشُّبْهَةِ فَإِنْ وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ الْوَطْءِ انْقَضَتْ بِهِ عِدَّةُ الطَّلَاقِ، وَكَانَ لَهُ الرَّجْعَةُ مَا لَمْ تَضَعْ، فَلَمْ تَنْتَقِضْ بِهِ عِدَّةُ الْوَطْءِ، وَاسْتَقْبَلَتْ جَمِيعَ أَقْرَائِهَا بَعْدَ الْوَضْعِ لِأَنَّ مَا تَقَدَّمَ مِنْ أَقْرَائِهَا كَانَ قَبْلَ الْوَطْءِ، وَإِنْ وَضَعَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ وَقْتِ الْوَطْءِ انْقَضَتْ بِهِ الْعِدَّتَانِ مَعًا، وَكَانَ عَلَى رَجْعِيَّتِهِ مَا لَمْ تَضَعْ سَوَاءٌ حَاضَتْ عَلَى الْحَمْلِ أَوْ لَمْ تَحِضْ؛ لِأَنَّ حَيْضَهَا عَلَى الْحَمْلِ لَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ، وَلَا يُعْتَدُّ بِهِ مِنَ الْأَقْرَاءِ وَإِنْ أُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْحَيْضِ.

Adapun anak, maka ia tidak memiliki hak atasnya; karena ia adalah firāsy baginya berdasarkan akad, dan juga firāsy karena adanya hubungan suami istri yang terjadi karena syubhat. Jika ia melahirkan anak kurang dari enam bulan sejak terjadinya hubungan tersebut, maka iddah talak selesai dengan kelahiran itu, dan suami masih berhak merujukinya selama ia belum melahirkan. Maka, iddah karena hubungan tersebut tidak batal, dan ia harus memulai seluruh masa haidnya setelah melahirkan, karena masa haid yang telah lalu terjadi sebelum terjadinya hubungan. Namun, jika ia melahirkan anak dalam enam bulan atau lebih sejak terjadinya hubungan, maka kedua iddah sekaligus selesai dengan kelahiran itu, dan suami masih berhak merujukinya selama ia belum melahirkan, baik ia mengalami haid saat hamil maupun tidak; karena haid saat hamil tidak menyebabkan iddah selesai, dan tidak dihitung sebagai bagian dari masa haid, meskipun hukum haid tetap berlaku padanya.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَلَوْ أَشْهَدَ عَلَى رَجْعَتِهَا وَلَمْ تَعْلَمْ بِذَلِكَ وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا وَتَزَوَّجَتْ فَنِكَاحُهَا مَفْسُوخٌ وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا إِنْ كَانَ مَسَّهَا وَهِيَ زَوْجَةُ الْأَوَّلِ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ (إِذَا أَنْكَحَ الْوَلِيَّانِ فَالْأَوَّلُ أَحَقُّ) وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ هِيَ امْرَأَةُ الْأَوَّلِ دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ (قال الشافعي) رحمه الله وَإِنْ لَمْ يُقِمْ بَيِّنَةً لَمْ يُفْسَخْ نِكَاحُ الْآخَرِ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang suami telah menghadirkan saksi atas rujuknya, namun istrinya tidak mengetahui hal itu, lalu masa iddahnya selesai dan ia menikah lagi, maka pernikahan barunya batal, dan ia berhak atas mahar mitsil jika telah digauli, karena pada saat itu ia masih istri dari suami pertama. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika dua wali menikahkan, maka yang pertama lebih berhak.’ Ali bin Abi Thalib ra. berkata dalam masalah ini: ‘Ia tetap istri yang pertama, baik suami telah menggaulinya atau belum.’ (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: ‘Jika ia tidak dapat menghadirkan bukti, maka pernikahan yang kedua tidak dibatalkan.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَمُقَدِّمَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ الرَّجْعَةَ تَصِحُّ بِغَيْرِ عِلْمِ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّ رِضَاهَا غَيْرُ مُعْتَبَرٍ بِخِلَافِ النِّكَاحِ؛ لِأَنَّهُ رَفْعُ تَحْرِيمٍ طَرَأَ عَلَى عَقْدِ النِّكَاحِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ رِضَاهَا فِي رَفْعِهِ كَالظِّهَارِ وَالْإِحْرَامِ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ رضاها معتبراً بما ذكرنا فعلمها وغير معتبر كالطلاق، لأن إعلانها مقصود به الرضا قثبت بذلك أن الرجعة بعلمها وغير علمها، ومعه حُضُورِهَا وَغَيْبَتِهَا جَائِزَةٌ، فَلَوْ طَلَّقَهَا وَغَابَ وَتَزَوَّجَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَقَدِمَ الزَّوْجُ فَادَّعَى أَنَّهُ رَاجَعَهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَلَهُ حَالَتَانِ: حَالٌ يُقِيمُ الْبَيِّنَةَ عَلَى رَجْعَتِهِ، وَحَالٌ يُعْدَمُهَا، فَإِنْ أَقَامَ الْبَيِّنَةَ عَلَيْهَا، وَهِيَ شَاهِدَانِ عَدْلَانِ لَا غَيْرَ كَانَ نِكَاحُ الثَّانِي بَاطِلًا سَوَاءٌ دَخَلَ بِهَا أَمْ لَمْ يَدْخُلْ.

Al-Mawardi berkata: “Pendahuluan masalah ini adalah bahwa rujuk sah meskipun tanpa sepengetahuan istri, karena kerelaannya tidak menjadi syarat, berbeda dengan akad nikah; sebab rujuk adalah penghapusan larangan yang muncul pada akad nikah, sehingga kerelaannya tidak dianggap dalam penghapusannya, sebagaimana pada zihar dan ihram. Jika kerelaan istri tidak dianggap sebagaimana telah kami sebutkan, maka pengetahuannya atau ketidaktahuannya juga tidak dianggap, seperti halnya talak, karena pengumuman talak bertujuan untuk memperoleh kerelaan. Dengan demikian, rujuk sah baik ia tahu maupun tidak, baik ia hadir maupun tidak. Jika suami mentalaknya lalu pergi, kemudian istri menikah lagi setelah iddah selesai, lalu suami kembali dan mengaku telah merujukinya sebelum iddah selesai, maka ada dua keadaan: pertama, ia dapat menghadirkan bukti atas rujuknya; kedua, ia tidak dapat menghadirkannya. Jika ia dapat menghadirkan bukti, yaitu dua orang saksi yang adil, maka pernikahan kedua batal, baik suami kedua telah menggaulinya maupun belum.”

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ دَخَلَ بِهَا الثَّانِي كَانَ أَحَقَّ بِهَا مِنَ الْأَوَّلِ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا كَانَ الْأَوَّلُ أَحَقَّ بِهَا مِنَ الثَّانِي كَمَا قَالَ فِي الْوَلِيَّيْنِ إِذَا زَوَّجَا امْرَأَةً، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ عَلَى ذَلِكَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ.

Imam Malik berkata: “Jika suami kedua telah menggaulinya, maka ia lebih berhak atasnya daripada suami pertama. Namun, jika belum menggaulinya, maka suami pertama lebih berhak atasnya daripada suami kedua, sebagaimana pendapatnya tentang dua wali yang menikahkan seorang wanita. Penjelasan tentang hal ini telah disebutkan dalam Kitab Nikah.”

وَدَلِيلُنَا عَلَيْهِ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (إِذَا أَنْكَحَ الْوَلِيَّانِ فَالْأَوَّلُ أَحَقُّ) وَلِأَنَّ وَطْءَ الثَّانِي حَرَامٌ، وَالْوَطْءُ الْمُحَرَّمُ لَا يُفْسِدُ نِكَاحًا صَحِيحًا، وَلَا يُصَحِّحُ نِكَاحًا فَاسِدًا، وَلِأَنَّهُمَا قَدِ اسْتَوَيَا فِي الْوَطْءِ، وَفُضِّلَ الْأَوَّلُ لِصِحَّةِ الْعَقْدِ وَبِمَذْهَبِنَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَبِمَذْهَبِ مَالِكٍ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

Dalil kami atas hal ini adalah sabda Rasulullah ﷺ: “Jika dua wali menikahkan, maka yang pertama lebih berhak.” Selain itu, hubungan suami istri dengan suami kedua adalah haram, dan hubungan yang diharamkan tidak membatalkan pernikahan yang sah, dan tidak mengesahkan pernikahan yang batil. Keduanya telah sama-sama melakukan hubungan, namun suami pertama lebih utama karena akadnya sah. Menurut mazhab kami, Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam berkata demikian, dan menurut mazhab Malik, Umar bin Khattab ra. juga berpendapat demikian.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَهِيَ أَحَدُ الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ الَّتِي اخْتَلَفَ فِيهَا عُمَرُ وَعَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.

Imam Syafi‘i berkata: “Ini adalah salah satu dari tiga masalah yang diperselisihkan oleh Umar dan Ali ra.”

وَالْقِيَاسُ فِيهَا مَعَ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا زَوْجَةُ الْأَوَّلِ بَعْدَ ثُبُوتِ رَجْعَتِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الثَّانِي مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ. فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَلَا مَهْرَ عَلَيْهِ وَتَحِلُّ أَصَابَتُهَا لِلْأَوَّلِ فِي الْحَالِ وَإِنْ دَخَلَ بِهَا الثَّانِي وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْعِدَّةُ مِنْ إِصَابَتِهِ وَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا دُونَ الْمُسَمَّى، وَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَى الْأَوَّلِ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا من الثاني؛ لأنها معتدة في غَيْرِهِ، وَلَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ فِي مُدَّةِ الْعِدَّةِ لِتَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ لِسَبَبٍ مِنْ جِهَتِهَا، وَلَا عَلَى الثَّانِي لِفَسَادِ نِكَاحِهَا فَإِنْ قَضَتْ عِدَّتَهَا مِنَ الثاني عادة إِلَى إِبَاحَةِ الْأَوَّلِ.

Qiyās dalam masalah ini adalah sebagaimana pendapat ‘Ali ‘alaihis salam. Jika telah tetap bahwa ia adalah istri pertama setelah terbukti rujuknya, maka keadaan suami kedua tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia telah berhubungan dengannya atau belum. Jika suami kedua belum berhubungan dengannya, maka tidak ada mahar atasnya dan ia halal bagi suami pertama saat itu juga. Namun jika suami kedua telah berhubungan dengannya, maka wajib atasnya menjalani masa ‘iddah akibat hubungan tersebut dan ia wajib membayar mahar mitsil (mahar sepadan) bukan mahar yang telah disebutkan, dan ia haram bagi suami pertama sampai selesai masa ‘iddahnya dari suami kedua; karena ia sedang menjalani masa ‘iddah dari selainnya. Tidak ada nafkah atas suami pertama selama masa ‘iddah karena ia haram baginya akibat sebab yang berasal dari pihaknya, dan tidak pula atas suami kedua karena rusaknya akad nikahnya. Jika ia telah menyelesaikan masa ‘iddahnya dari suami kedua, maka ia kembali halal bagi suami pertama.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/un: Bagian)

وَإِنْ عُدِمَ الْبَيِّنَةَ عَلَى رَجْعَتِهِ فَدَعَوَاهُ مَسْمُوعَةٌ عَلَى الزَّوْجَةِ وَعَلَى الزَّوْجِ الثَّانِي، وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِيهَا خَصْمٌ لَهُ، لِأَنَّ الزَّوْجَةَ مُدَّعَاةٌ، وَالزَّوْجَ الثَّانِي مُتَمَلِّكٌ، فلذلك صار فِيهَا خَصْمَيْنِ لِلْأَوَّلِ، فَإِذَا ادَّعَى ذَلِكَ عَلَيْهِمَا فَلَهُمَا أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Jika tidak ada bukti atas rujuknya, maka pengakuannya didengar terhadap istri dan terhadap suami kedua, dan masing-masing dari keduanya adalah pihak lawan baginya dalam perkara ini, karena istri adalah pihak yang didakwakan, dan suami kedua adalah pihak yang memiliki hak, maka dalam hal ini keduanya menjadi lawan bagi suami pertama. Jika ia mengklaim hal itu terhadap keduanya, maka ada empat kemungkinan keadaan bagi keduanya:

أَحَدُهَا: أَنْ يُصَدِّقَاهُ عَلَى الرَّجْعَةِ فَيَبْطُلَ نِكَاحُ الثَّانِي.

Pertama: Keduanya membenarkannya atas rujuk tersebut, maka batal akad nikah suami kedua.

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ دَخَلَ بِهَا فَلَا مَهْرَ عَلَيْهِ وَلَا حَدَّ، وَعَادَتْ إِلَى الْأَوَّلِ بِنِكَاحِهِ الْأَوَّلِ، وَحَلَّ له وطئها فِي الْحَالِ.

Jika suami kedua belum berhubungan dengannya, maka tidak ada mahar atasnya dan tidak ada hukuman had, dan ia kembali kepada suami pertama dengan akad nikah yang pertama, dan halal bagi suami pertama untuk menggaulinya saat itu juga.

وَإِنْ دَخَلَ بِهَا الثَّانِي نُظِرَ فَإِنْ كَانَا عَالِمَيْنِ بِالرَّجْعَةِ فَهُمَا زَانِيَانِ، وَعَلَيْهِمَا الْحَدُّ وَلَا مَهْرَ عَلَيْهِ وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهِ وَهِيَ حَلَالٌ لِلْأَوَّلِ مِنْ غَيْرِ عِدَّةٍ وَلَوْ تَوَقَّفَ عَنْ إِصَابَتِهَا إِلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ كَانَ أَوْلَى، وَإِنْ لَمْ يَتَوَقَّفْ فَلَا حَرَجَ كَمَا لَوْ زَنَتْ تَحْتَهُ، وَإِنْ كَانَا جَاهِلَيْنِ بِالرَّجْعَةِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِمَا لِلشُّبْهَةِ، وَعَلَيْهِ مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى، وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ، وَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَى الْأَوَّلِ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا مِنَ الثَّانِي، وَلَا نَفَقَةَ لَهَا عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي زَمَانِ الْعِدَّةِ، فَإِنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ نُظِرَ فِيهِ، وَكَانَتْ حَالُهُ مُتَرَدِّدَةً بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Jika suami kedua telah berhubungan dengannya, maka dilihat: jika keduanya mengetahui adanya rujuk, maka keduanya adalah pezina dan atas keduanya hukuman had, tidak ada mahar atasnya dan tidak ada ‘iddah atasnya, dan ia halal bagi suami pertama tanpa ‘iddah, meskipun suami pertama menunda menggaulinya hingga selesai masa ‘iddah itu lebih utama, namun jika tidak menunda maka tidak mengapa, sebagaimana jika ia berzina saat masih menjadi istrinya. Jika keduanya tidak mengetahui adanya rujuk, maka tidak ada hukuman had atas keduanya karena adanya syubhat, dan atas suami kedua mahar mitsil bukan mahar yang telah disebutkan, dan atas istri wajib menjalani masa ‘iddah, dan ia haram bagi suami pertama sampai selesai masa ‘iddahnya dari suami kedua, dan tidak ada nafkah baginya dari keduanya selama masa ‘iddah, jika ia melahirkan anak maka dilihat keadaannya, dan status anak tersebut terbagi menjadi empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُمْكِنَ لُحُوقُهُ بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي لِوِلَادَتِهِ لِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ فِي طَلَاقِ الْأَوَّلِ وَأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ إِصَابَةِ الثَّانِي فَهَذَا لَاحِقٌ بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي، فَلَا تَنْقَضِي بِهِ عِدَّتُهَا مِنَ الثَّانِي وَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ بِالْأَقْرَاءِ مِنْ إِصَابَتِهِ.

Pertama: Jika memungkinkan anak tersebut dinisbatkan kepada suami pertama saja, bukan kepada suami kedua, karena kelahirannya kurang dari empat tahun sejak talak suami pertama dan kurang dari enam bulan sejak hubungan dengan suami kedua, maka anak tersebut dinisbatkan kepada suami pertama saja, tidak kepada suami kedua, sehingga masa ‘iddahnya dari suami kedua tidak selesai dengan kelahiran anak itu, dan ia wajib menjalani masa ‘iddah dengan hitungan quru’ (haid) akibat hubungan dengan suami kedua.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُمْكِنَ لُحُوقُ الثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ لِوِلَادَتِهِ مَنْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ، وَأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ إِصَابَةِ الثَّانِي فَهَذَا لَاحِقٌ بالثاني وتنقضي عدتها منه بوضعه ويعود إِلَى إِبَاحَةِ الْأَوَّلِ بَعْدَ وِلَادَتِهِ.

Bagian kedua: Jika memungkinkan anak tersebut dinisbatkan kepada suami kedua saja, bukan kepada suami pertama, karena kelahirannya lebih dari empat tahun sejak talak suami pertama dan lebih dari enam bulan sejak hubungan dengan suami kedua, maka anak tersebut dinisbatkan kepada suami kedua dan masa ‘iddahnya selesai dengan kelahiran anak itu, dan ia kembali halal bagi suami pertama setelah melahirkan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَلَّا يُمْكِنَ لُحُوقُهُ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا لِوِلَادَتِهِ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ، وَأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ إِصَابَةِ الثَّانِي، فَلَا يُلْحَقُ بِالثَّانِي لِاسْتِحَالَةِ كَوْنِهِ مِنْ إِصَابَتِهِ وَلَا بِالْأَوَّلِ لِاسْتِحَالَةِ عُلُوقِهِ قَبْلَ طَلَاقِهِ، وَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ مِنْ إِضَافَةِ الثَّانِي بِالْأَقْرَاءِ.

Bagian ketiga: Jika tidak mungkin anak tersebut dinisbatkan kepada keduanya, karena kelahirannya lebih dari empat tahun sejak talak suami pertama dan kurang dari enam bulan sejak hubungan dengan suami kedua, maka anak tersebut tidak dinisbatkan kepada suami kedua karena mustahil berasal dari hubungannya, dan tidak pula kepada suami pertama karena mustahil terjadi kehamilan sebelum talaknya, dan ia wajib menjalani masa ‘iddah dari suami kedua dengan hitungan quru’ (haid).

الْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يُمْكِنَ لُحُوقُهُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِوِلَادَتِهِ لِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ وَلِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ إِصَابَةِ الثَّانِي فَيُعْرَضُ عَلَى الْقَافَةِ وَلَا يُعْتَبَرُ تَصَادُقُهُمَا عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ لُحُوقَ النَّسَبِ حَقٌّ لِلْوَلَدِ فَإِذَا أَلْحَقَتْهُ الْقَافَةُ بِأَحَدِهِمَا لَحِقَ بِهِ، وَكَانَ الْجَوَابُ فِيهِ على ما مضى فهذا إذا كان جاهلين بالرجعة فإذا كَانَ الزَّوْجُ جَاهِلًا بِهَا وَالزَّوْجَةُ عَالِمَةً بِهِ حُدَّتْ دُونَهُ، وَلَا مَهْرَ لَهَا لِوُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهَا، وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ لِسُقُوطِ الْحَدِّ عَنِ الزَّوْجِ، وَلُحُوقُ الْوَلَدِ بِهِ لَوْ أَمْكَنَ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ جَاهِلَةً بِهَا وَالزَّوْجُ عَالِمًا حُدَّ دُونَهَا، وَلَهَا الْمَهْرُ لِسُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهَا، وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا لِوُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى الزَّوْجِ وَنَفْيِ النَّسَبِ عَنْهُ فَهَذَا حُكْمُ الْحَالِ الْأَوَّلِ إِذَا صَدَّقَاهُ.

Bagian keempat: Yaitu apabila kemungkinan nasab anak dapat dinisbatkan kepada masing-masing dari keduanya, karena kelahirannya kurang dari empat tahun sejak talak dari suami pertama dan lebih dari enam bulan sejak digauli oleh suami kedua. Maka, perkara ini diajukan kepada ahli qāfah (pakar identifikasi nasab), dan kesepakatan kedua belah pihak tidak dianggap; karena penetapan nasab adalah hak anak. Jika ahli qāfah menetapkan nasab anak kepada salah satu dari keduanya, maka anak itu dinisbatkan kepadanya. Jawaban dalam hal ini sebagaimana yang telah lalu, yaitu jika keduanya tidak mengetahui adanya rujuk. Namun, jika suami tidak mengetahui adanya rujuk sedangkan istri mengetahuinya, maka istri dikenai had tanpa suami, dan ia tidak berhak atas mahar karena wajibnya had atas dirinya, serta ia tetap menjalani masa ‘iddah karena had tidak dikenakan kepada suami, dan anak dinisbatkan kepada suami jika memungkinkan sebagaimana yang telah lalu. Jika istri tidak mengetahui adanya rujuk sedangkan suami mengetahuinya, maka suami dikenai had tanpa istri, dan istri berhak atas mahar karena had tidak dikenakan kepadanya, serta ia tidak menjalani masa ‘iddah karena wajibnya had atas suami dan penafian nasab dari suami. Inilah hukum keadaan pertama jika keduanya membenarkannya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُكَذِّبَاهُ عَلَى الرَّجْعَةِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُمَا مَعَ أَيْمَانِهِمَا، لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الرَّجْعَةِ، وَالظَّاهِرُ صِحَّةُ النِّكَاحِ، فلم يقبل دَعْوَى الْأَوَّلِ فِي إِحْدَاثِ الرَّجْعَةِ وَإِبْطَالِ النِّكَاحِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلِلزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ الثَّانِي أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Keadaan kedua: Yaitu apabila keduanya mendustakan adanya rujuk, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan keduanya disertai sumpah mereka, karena asalnya tidak ada rujuk dan yang tampak adalah sahnya akad nikah. Maka, klaim suami pertama untuk menetapkan adanya rujuk dan membatalkan akad nikah tidak diterima. Dalam hal ini, istri dan suami kedua memiliki empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُجِيبَا إِلَى الْيَمِينِ فَيَحْلِفَ الزَّوْجُ الثَّانِي لَا يُخْتَلَفُ فِيهِ، وَهَلْ تَحْلِفُ الزَّوْجَةُ بَعْدَ يَمِينِ الثَّانِي أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pertama: Keduanya bersedia bersumpah, maka suami kedua bersumpah dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Apakah istri juga bersumpah setelah sumpah suami kedua atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَحْلِفُ، لِأَنَّ الْيَمِينَ يُوضَعُ زَجْرًا لِيَرْجِعَ الْحَالِفُ فَتقْضِي عَلَيْهِ بِالدَّعْوَى، وَهَذِهِ لَوْ رَجَعَتْ لَمْ يُقْضَ لِلْأَوَّلِ بِهَا بَعْدَ يَمِينِ الثَّانِي، فَلَمْ يَكُنْ لِتَمَيُّزِ الزَّوْجَةٍ مَعْنًى.

Pertama: Istri tidak bersumpah, karena sumpah itu ditetapkan sebagai pencegah agar yang bersumpah mau mengakui, sehingga perkara diputuskan atasnya berdasarkan klaim. Dalam kasus ini, jika istri mengakui, maka tidak diputuskan untuk suami pertama setelah sumpah suami kedua, sehingga tidak ada makna bagi pembedaannya istri.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَحْلِفُ، حَتَّى إِنْ نَكَلَتْ قُضِيَ عَلَيْهَا بِالْمَهْرِ الْأَوَّلِ وَإِنْ حُكِمَ بِأَنَّهَا زَوْجَةٌ لِلثَّانِي.

Pendapat kedua: Istri tetap bersumpah, sehingga jika ia enggan bersumpah, maka diputuskan atasnya untuk membayar mahar pertama, meskipun telah diputuskan bahwa ia adalah istri suami kedua.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَنْكُلَا جَمِيعًا عَنِ الْيَمِينِ، وَتُرَدُّ الْيَمِينُ عَلَى الزَّوْجِ الْأَوَّلِ، فَإِذَا حَلَفَ حُكِمَ لَهُ بِالزَّوْجَةِ، وَهَلْ يَجْرِي يَمِينُهُ بَعْدَ نُكُولِهِمَا مَجْرَى الْبَيِّنَةِ أَوِ الْإِقْرَارِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Keadaan kedua: Keduanya sama-sama enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada suami pertama. Jika ia bersumpah, maka diputuskan untuknya mendapatkan istri. Apakah sumpahnya setelah keengganan keduanya itu setara dengan bukti atau pengakuan? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجْرِي مَجْرَى الْإِقْرَارِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الثَّانِي لَمْ يُصِبْ فَعَلَيْهِ نِصْفُ الْمَهْرِ، وَإِنْ أَصَابَ فَعَلَيْهِ جَمِيعُ الْمُسَمَّى.

Pertama: Sumpah itu setara dengan pengakuan. Maka, jika suami kedua belum menggauli, ia wajib membayar setengah mahar; dan jika sudah menggauli, ia wajib membayar seluruh mahar yang telah ditetapkan.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا تَجْرِي مَجْرَى النِّيَّةِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الثَّانِي لَمْ يُصِبْ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، فَإِنْ أَصَابَ فَعَلَيْهِ مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى، وَالْكَلَامُ فِي الْعِدَّةِ وَالْوَلَدِ عَلَى مَا مَضَى.

Kedua: Sumpah itu setara dengan niat. Maka, jika suami kedua belum menggauli, tidak ada kewajiban apa pun atasnya; jika sudah menggauli, ia wajib membayar mahar mitsil (mahar sepadan) bukan mahar yang telah ditetapkan. Adapun pembahasan tentang ‘iddah dan anak sebagaimana yang telah lalu.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَحْلِفَ الزَّوْجُ الثَّانِي وَتَنْكُلَ هِيَ عَنِ الْيَمِينِ، فَيُحْكَمَ بِهَا زَوْجَةً لِلثَّانِي بِيَمِينِهِ، وَهَلْ يَكُونُ لِنُكُولِهَا تَأْثِيرٌ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِهِمَا فِي وُجُوبِ الْيَمِينِ عَلَيْهِمَا.

Keadaan ketiga: Suami kedua bersumpah dan istri enggan bersumpah, maka diputuskan bahwa ia adalah istri suami kedua berdasarkan sumpahnya. Apakah keengganan istri bersumpah berpengaruh atau tidak? Ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang wajibnya sumpah atas keduanya.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا لَا تَجِبُ، لَمْ تُرَدَّ الْيَمِينُ عَلَى الْأَوَّلِ، وَلَمْ يُقْضَ لَهُ عَلَيْهَا بِالْمَهْرِ.

Jika dikatakan bahwa sumpah tidak wajib, maka sumpah tidak dikembalikan kepada suami pertama, dan tidak diputuskan baginya untuk mendapatkan mahar dari istri.

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا تَجِبُ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الْأَوَّلِ، فَإِذَا حَلَفَ قُضِيَ لَهُ عَلَيْهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ.

Jika dikatakan bahwa sumpah wajib, maka sumpah dikembalikan kepada suami pertama. Jika ia bersumpah, maka diputuskan baginya untuk mendapatkan mahar mitsil dari istri.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ تَحْلِفَ الزَّوْجَةُ وَيَنْكُلَ الزَّوْجُ الثَّانِي عَنِ الْيَمِينِ، فَتَكُونَ زَوْجَةً لِلثَّانِي لِسُقُوطِ حَقِّ الْأَوَّلِ بِيَمِينِهَا، وَلَا يُؤَثِّرُ نُكُولُ الثَّانِي فِي سُقُوطِ حَقِّ الْأَوَّلِ فَهَذَا حُكْمُ الْحَالِ الثَّانِيَةِ إِنْ أَكْذَبَاهُ.

Keadaan keempat: Istri bersumpah dan suami kedua enggan bersumpah, maka ia tetap menjadi istri suami kedua karena hak suami pertama gugur dengan sumpah istri, dan keengganan suami kedua tidak berpengaruh terhadap gugurnya hak suami pertama. Inilah hukum keadaan kedua jika keduanya mendustakannya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تُصَدِّقَهُ الزَّوْجَةُ وَيُكَذِّبَهُ الزَّوْجُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ الثَّانِي مَعَ يَمِينِهِ وَلَا تُصَدَّقُ عَلَيْهِ الزَّوْجَةُ فِي إِبْطَالِ نِكَاحِهِ، فَإِنْ حَلَفَ الثَّانِي كَانَتْ زَوْجَتَهُ دُونَ الْأَوَّلِ، وَهَلْ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ: فِيمَنْ قَالَ: هَذِهِ الدَّارُ لِزَيْدٍ لَا بَلْ لِعَمْرٍو:

Keadaan ketiga: Jika istri membenarkannya dan suami kedua mendustakannya, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat suami kedua dengan sumpahnya, dan istri tidak dipercaya dalam membatalkan akad nikahnya. Jika suami kedua bersumpah, maka ia menjadi istrinya, bukan istri suami pertama. Apakah suami pertama berhak menuntut mahar mitsil darinya atau tidak? Ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat dalam kasus seseorang berkata: “Rumah ini milik Zaid.” Lalu yang lain berkata: “Tidak, tapi milik ‘Amr.”

أَحَدُهُمَا: تَجِبُ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، لِأَنَّهَا قَدْ فَوَّتَتْ بُضْعَهَا عَلَيْهِ بِنِكَاحِ الثَّانِي فَصَارَ كَمَا لَوْ فَوَّتَتْهُ بِرِضَاعٍ.

Salah satunya: Ia berhak mendapatkan mahar mitsil darinya, karena ia telah kehilangan hak atas kemaluannya akibat pernikahan kedua, sehingga keadaannya seperti jika ia kehilangannya karena persusuan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا مَهْرَ لَهُ عَلَيْهَا، لِأَنَّهَا قَدْ أَقَرَّتْ لَهُ بِمَا لَزِمَهُ وَإِنَّمَا الْحُكْمُ صَرَفَهُ عَنْهَا، فَإِنْ فَارَقَهَا الثَّانِي بِمَوْتٍ أَوْ طَلَاقٍ عَادَتْ إِلَى الْأَوَّلِ بِالتَّصْدِيقِ الْمُتَقَدِّمِ، وَإِنْ نَكَلَ الزَّوْجُ الثَّانِي عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الزَّوْجِ الْأَوَّلِ، فَإِنْ حَلَفَ حُكِمَ لَهُ بِالنِّكَاحِ وَإِنْ نَكَلَ كَانَتْ زَوْجَةَ الثَّانِي وَعَلَى نِكَاحِهِ، وَلَمْ يَكُنْ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهَا بِالْمَهْرِ، لِأَنَّهُ قَدْ أَسْقَطَ حَقَّهُ مِنْهَا بِالنُّكُولِ فَإِنْ فَارَقَهَا الثَّانِي بِمَوْتٍ أَوْ طَلَاقٍ، عَادَتْ إِلَى الْأَوَّلِ بِإِقْرَارِهَا الْأَوَّلِ.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak mendapatkan mahar darinya, karena ia telah mengakui apa yang menjadi kewajibannya, dan hukum hanya memalingkannya darinya. Jika suami kedua menceraikannya karena kematian atau talak, maka ia kembali kepada suami pertama berdasarkan pengakuan sebelumnya. Jika suami kedua enggan bersumpah, maka hak kembali diberikan kepada suami pertama. Jika suami pertama bersumpah, maka diputuskan nikah untuknya. Jika ia enggan bersumpah, maka ia tetap menjadi istri suami kedua dan berada dalam akad nikahnya, dan suami pertama tidak berhak menuntut mahar darinya, karena ia telah menggugurkan haknya dengan enggan bersumpah. Jika suami kedua menceraikannya karena kematian atau talak, maka ia kembali kepada suami pertama berdasarkan pengakuan pertamanya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُصَدِّقَهُ الزَّوْجُ الثَّانِي، وَتُكَذِّبَهُ الزَّوْجَةُ فَيَبْطُلُ نِكَاحُ الثَّانِي بِتَصْدِيقِهِ لِإِقْرَارِهِ عَلَى نَفْسِهِ بِفَسَادِهِ، وَلَا يُقْبَلُ عَلَى الزَّوْجَةِ فِي سُقُوطِ مَهْرِهَا فَإِنْ كَانَ قَبْلَ إِصَابَتِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ نِصْفُ مَهْرِهَا الْمُسَمَّى، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْإِصَابَةِ وَجَبَ عَلَيْهِ جَمِيعُهُ، ثُمَّ الْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا لَا يَخْتَلِفُ فِي إِبْطَالِ رَجْعَةِ الْأَوَّلِ، فَإِنْ حَلَفَتْ فَلَا رَجْعَةَ عَلَيْهَا لِلْأَوَّلِ، وَهِيَ بَائِنٌ مِنْهُ، وَخَلِيَّةٌ مِنْ زَوْجٍ وَإِنْ نَكَلَتْ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الزَّوْجِ، فَإِنْ حَلَفَ حُكِمَ لَهُ بِالرَّجْعَةِ وَكَانَتْ لَهُ زَوْجَةً، وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ فَلَا رَجْعَةَ لَهُ عَلَيْهَا وَقَدْ أُسْقِطَ حَقُّهُ بِنُكُولِهِ والله أعلم.

Keadaan keempat: Jika suami kedua membenarkannya, dan istri mendustakannya, maka batal akad nikah suami kedua karena ia mengakui sendiri kerusakannya, dan pengakuan itu tidak diterima untuk menggugurkan mahar istri. Jika pengakuan itu sebelum terjadi hubungan, maka wajib atasnya membayar setengah mahar yang telah ditetapkan; jika setelah terjadi hubungan, maka wajib membayar seluruhnya. Setelah itu, pendapat yang dipegang adalah pendapat istri dengan sumpahnya, tidak ada perbedaan dalam membatalkan hak rujuk suami pertama. Jika ia bersumpah, maka suami pertama tidak berhak rujuk kepadanya, dan ia menjadi wanita yang terpisah darinya serta tidak bersuami. Jika ia enggan bersumpah, maka hak sumpah berpindah kepada suami. Jika suami bersumpah, maka diputuskan hak rujuk baginya dan ia menjadi istrinya. Jika ia enggan bersumpah, maka tidak ada hak rujuk baginya dan haknya gugur karena keengganannya, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوِ ارْتَجَعَ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ وَأَقَرَّتْ بِذَلِكَ فَهِيَ رَجْعَةٌ وَكَانَ يَنْبَغِي أَنْ يُشْهِدَ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang merujuk tanpa saksi dan istri mengakuinya, maka itu adalah rujuk yang sah, namun sebaiknya ia menghadirkan saksi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَا الرَّجْعَةُ فَلَا تَفْتَقِرُ إِلَى وَلِيٍّ، وَلَا إِلَى قَبُولِ الزَّوْجَةِ، وَيَجُوزُ لِلزَّوْجِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهَا، وَهَلْ يَفْتَقِرُ إِلَى شَهَادَةٍ وَيَكُونُ شَرْطًا فِي صِحَّتِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun rujuk, tidak membutuhkan wali, tidak pula persetujuan istri, dan suami boleh melakukannya sendiri. Apakah rujuk membutuhkan saksi dan menjadi syarat sahnya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْإِمْلَاءِ إِنَّ الشَّهَادَةَ فِي الرَّجْعَةِ وَاجِبَةٌ مَعَ التَّلَفُّظِ بِهَا، فَإِنْ لَمْ يُشْهِدْ كَانَتِ الرَّجْعَةُ بَاطِلَةً، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} [الطلاق: 2] . فَهَذَا أَمْرٌ فَاقْتَضَى الْوُجُوبَ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ يُسْتَبَاحُ بِهِ بُضْعُ الْحُرَّةِ، فَوَجَبَ فِيهِ الشَّهَادَةُ كَالنِّكَاحِ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ أَنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُعْتَبَرْ فِيهَا شُرُوطُ النِّكَاحِ فِي غَيْرِ الشَّهَادَةِ مِنَ الْوَلِيِّ وَالْقَبُولِ لَمْ يُعْتَبَرْ فِيهَا الشَّهَادَةُ.

Salah satunya: Sebagaimana yang dikatakan dalam kitab Al-Imla’, bahwa kesaksian dalam rujuk itu wajib bersamaan dengan pengucapannya. Jika tidak menghadirkan saksi, maka rujuknya batal, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kamu} [At-Talaq: 2]. Ini adalah perintah yang menunjukkan kewajiban. Karena rujuk adalah akad yang dengannya dihalalkan kemaluan wanita merdeka, maka wajib di dalamnya adanya saksi sebagaimana dalam akad nikah. Pendapat kedua: Ditegaskan dalam pendapat lama dan baru bahwa kesaksian itu sunnah, tidak wajib, karena dalam rujuk tidak disyaratkan syarat-syarat nikah selain saksi, seperti wali dan persetujuan, maka tidak disyaratkan pula adanya saksi.

وَلِأَنَّهَا رَفْعُ تَحْرِيمٍ طَرَأَ عَلَى النِّكَاحِ فَأَشْبَهَ الظِّهَارَ.

Karena rujuk adalah penghapusan larangan yang muncul pada pernikahan, sehingga menyerupai zihar.

وَلِأَنَّ الْبَيْعَ أَوْكَدُ مِنْهَا لِاعْتِبَارِ الْقَوْلِ فِيهِ دُونَهَا، ثُمَّ لَمْ تَجِبِ الشَّهَادَةُ فِي الْبَيْعِ فَكَانَ بِأَنْ لَا تَجِبَ لِاعْتِبَارِ الْقَبُولِ فِيهِ دُونَهَا ثُمَّ لَمْ تَجِبِ الشَّهَادَةُ فِي الْبَيْعِ فَكَانَ أَنْ لَا تَجِبَ فِي الرَّجْعَةِ أَوْلَى.

Karena jual beli lebih kuat dari rujuk dalam hal mempertimbangkan ucapan (ijab kabul) di dalamnya, namun tidak diwajibkan adanya saksi dalam jual beli, maka lebih utama jika tidak diwajibkan dalam rujuk, karena dalam jual beli dipertimbangkan adanya penerimaan (kabul), sedangkan dalam rujuk tidak, dan tidak diwajibkan adanya saksi dalam jual beli, maka lebih utama jika tidak diwajibkan dalam rujuk.

فَأَمَّا قَوْله تعالى: {وأشهدوا ذوي عدل منكم} فَهُوَ عَطْفٌ عَلَى الرَّجْعَةِ فِي قَوْلِهِ: {فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ} [الطلاق: 2] . وَعَلَى الطَّلَاقِ فِي قَوْلِهِ: {أَوْ فارقوهن بمعروف} ثُمَّ لَمْ تَجِبْ فِي الطَّلَاقِ وَهُوَ أَقْرَبُ الْمَذْكُورِينَ فَكَانَ بِأَنْ لَا تَجِبَ فِي الرَّجْعَةِ لَبُعْدِهَا أَوْلَى، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الشَّهَادَةُ عَلَيْهَا نَدْبًا إِنْ لَمْ تُشْهِدْ صَحَّتِ الرَّجْعَةُ وَهَلْ يَكُونُ مَنْدُوبًا إِلَى الْإِشْهَادِ عَلَى إِقْرَارِهِ بِهَا أم لا؟ على وجهين.

Adapun firman Allah Ta‘ala: {Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kalian} maka ini merupakan penghubung (athaf) terhadap rujuk dalam firman-Nya: {Maka pertahankanlah mereka dengan cara yang baik} [ath-Thalaq: 2], dan juga terhadap talak dalam firman-Nya: {atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik}. Namun, persaksian tersebut tidak diwajibkan dalam talak, padahal talak lebih dekat (dengan perkara yang disebutkan), maka lebih utama lagi untuk tidak diwajibkan dalam rujuk karena lebih jauh (hubungannya). Dengan demikian, persaksian atas rujuk hukumnya sunnah; jika tidak menghadirkan saksi, rujuk tetap sah. Apakah dianjurkan untuk menghadirkan saksi atas pengakuan rujuk atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ قَالَ قَدْ رَاجَعْتُكِ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِكِ وَقَالَتْ بَعْدَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا) .

Imam asy-Syafi‘i berkata: (Jika seorang suami berkata, “Aku telah merujukmu sebelum habis masa iddahmu,” dan sang istri berkata, “Setelah habis masa iddah,” maka yang dipegang adalah ucapan istri dengan sumpahnya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا اخْتَلَفَا فِي الرَّجْعَةِ وَالْعِدَّةُ بَاقِيَةٌ فَقَالَ الزَّوْجُ: رَاجَعْتُكِ، وَقَالَتْ: لَمْ تُرَاجِعْنِي فَالْقَوْلُ فِيهَا قَوْلُ الزَّوْجِ، لِأَنَّهَا حَالٌ تُمْلَكُ فِيهَا الرَّجْعَةُ فَمِلْكُ الْإِقْرَارِ فِيهَا بِالرَّجْعَةِ كَالطَّلَاقِ، وَإِذَا مَلَكَهُ الزَّوْجُ مَلَكَ الْإِقْرَارَ بِهِ، ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا قَبْلَ الرَّجْعَةِ حَقٌّ عَلَى الزَّوْجِ، فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الرجعة لما جوزت لَهُ بِغَيْرِ عِلْمِهَا صَارَ مُؤْتَمَنًا عَلَيْهَا، فَإِذَا لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا حَقٌّ لِغَيْرِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ إِحْلَافُهُ عَلَيْهَا، وَإِنْ تَعَلَّقَ عَلَيْهِ حُقُّ الزَّوْجَةِ قَبْلَ إِقْرَارِهِ بِالرَّجْعَةِ، لِأَنَّهُ وَطِئَهَا قَبْلَ إِقْرَارِهِ بِهَا فَطَالَبَتْهُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، لِأَجْلِ وَطْئِهِ فَأَنْكَرَ وُجُوبَ الْمَهْرِ بِمَا أَقَرَّ مِنَ الرجعة قبل وطئه أحلف عَلَى رَجْعَتِهِ وَلَمْ يَسْقُطْ دَعْوَاهَا بِإِنْكَارِهِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun jika keduanya berselisih tentang rujuk sementara masa iddah masih berlangsung, lalu suami berkata, “Aku telah merujukmu,” dan istri berkata, “Engkau belum merujukku,” maka yang dipegang adalah ucapan suami, karena pada kondisi ini suami masih memiliki hak rujuk, sehingga hak untuk mengakui rujuk sama seperti hak untuk menjatuhkan talak. Jika suami memiliki hak tersebut, maka ia juga berhak mengakuinya. Selanjutnya, dilihat lagi: jika sebelum rujuk tidak ada hak yang berkaitan dengan istri atas suami, maka suami tidak perlu bersumpah, karena rujuk dibolehkan tanpa sepengetahuan istri, sehingga suami dianggap terpercaya dalam hal ini. Jika tidak ada hak pihak lain yang terkait, maka suami tidak wajib bersumpah. Namun, jika ada hak istri yang terkait sebelum pengakuan rujuk, misalnya suami telah menggaulinya sebelum mengakui rujuk, lalu istri menuntut mahar mitsil (mahar yang sepadan) karena hubungan tersebut, dan suami mengingkari kewajiban mahar dengan alasan telah mengakui rujuk sebelum menggauli, maka suami wajib bersumpah atas pengakuan rujuknya, dan gugatan istri tidak gugur hanya karena pengingkaran suami.

فَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفَا فِي الرَّجْعَةِ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَقَالَ الزَّوْجُ: رَاجَعْتُكِ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَلَا يَخْلُو إِنْكَارُهَا لَهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَجْحَدَهُ الرَّجْعَةَ، وَإِمَّا أَنْ تُقِرَّ بِهَا وَتَدَّعِيَ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ قَبْلَهَا، فَإِنْ جَحَدَتْ أَنْ يَكُونَ قَدْ رَاجَعَهَا قَبْلَ هَذِهِ الدَّعْوَى فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّهَا قَدْ مَلَكَتْ نَفْسَهَا فِي الظَّاهِرِ بِالطَّلَاقِ الْمُتَقَدِّمِ فَلَمْ يُقْبَلْ دَعْوَى الزَّوْجِ فِيمَا يُخَالِفُهُ مَعَ بَقَاءِ عِصْمَتِهِ، وَإِنِ اعْتَرَفَتْ لَهُ بِالرَّجْعَةِ إِلَّا أَنَّهَا أَنْكَرَتْ أَنْ تَكُونَ فِي الْعِدَّةِ، وَادَّعَتِ انْقِضَاءَ عِدَّتِهَا قَبْلَ الرَّجْعَةِ فَالَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا وَلَا رَجْعَةَ، وَنَقَلَ الْمُزَنِيُّ فِي نِكَاحِ الْمُشْرِكِينَ إِذَا أَسْلَمَ الزَّوْجُ بعد تقدم إسلام الزوجة، ثم اختلف فَقَالَ: أَسْلَمْتِ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِكِ فَنَحْنُ عَلَى النِّكَاحِ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: بَلْ أَسْلَمْتَ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِي فَلَا نِكَاحَ بَيْنَنَا إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ فِي تَقَدُّمِ إِسْلَامِهِ، وَهُمَا عَلَى النِّكَاحِ وَقَدْ حَكَاهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي اخْتِلَافِهِمَا فِي الرَّجْعَةِ أَنَّ الْقَوْلَ فِيهَا قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun jika keduanya berselisih tentang rujuk setelah habis masa iddah, lalu suami berkata, “Aku telah merujukmu sebelum habis masa iddah,” maka penolakan istri terhadap klaim suami tidak lepas dari dua kemungkinan: Pertama, istri mengingkari adanya rujuk sama sekali; kedua, istri mengakui adanya rujuk namun mengklaim bahwa iddah telah habis sebelum rujuk. Jika istri mengingkari bahwa suami telah merujuknya sebelum klaim ini, maka yang dipegang adalah ucapan istri dengan sumpahnya, karena secara lahiriah ia telah memiliki dirinya sendiri akibat talak sebelumnya, sehingga klaim suami yang bertentangan tidak diterima selama masih ada ikatan pernikahan. Jika istri mengakui adanya rujuk, namun mengingkari bahwa rujuk terjadi dalam masa iddah dan mengklaim iddah telah habis sebelum rujuk, maka menurut riwayat al-Muzani di sini, yang dipegang adalah ucapan istri dengan sumpahnya dan tidak terjadi rujuk. Al-Muzani juga meriwayatkan dalam masalah pernikahan orang musyrik apabila suami masuk Islam setelah istrinya lebih dahulu masuk Islam, lalu terjadi perselisihan: suami berkata, “Engkau masuk Islam sebelum habis masa iddahmu, maka kita masih dalam pernikahan,” sedangkan istri berkata, “Engkau masuk Islam setelah iddahku habis, maka tidak ada lagi pernikahan antara kita,” maka yang dipegang adalah ucapan suami dengan sumpahnya dalam hal lebih dahulu masuk Islam, dan keduanya tetap dalam pernikahan. Sebagian ulama kami menukil dari asy-Syafi‘i dalam perselisihan tentang rujuk bahwa yang dipegang adalah ucapan suami dengan sumpahnya. Maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ مُتَقَدِّمٌ أَنَّهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Salah satunya, dan ini adalah pendapat terdahulu, bahwa dalam masalah ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَصَحُ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهَا دُونَهُ، لِأَنَّ إِقَامَةَ الْبَيِّنَةِ عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ مُتَعَذَّرٌ وَإِقَامَتَهَا عَلَى الرَّجْعَةِ مُمْكِنَةٌ، فَلِذَلِكَ غَلَبَ قَوْلُهَا فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ عَلَى قَوْلِهِ فِي تَقَدُّمِ الرَّجْعَةِ لِتَعَذُّرِ الْبَيِّنَةِ مِنْ جِهَتِهَا وَإِمْكَانِهَا مِنْ جِهَتِهِ.

Salah satunya, dan ini yang paling shahih, bahwa yang dipegang adalah ucapan istri, bukan suami, karena menghadirkan bukti atas habisnya iddah itu sulit, sedangkan menghadirkan bukti atas rujuk itu memungkinkan. Oleh karena itu, ucapan istri dalam habisnya iddah lebih diunggulkan daripada ucapan suami dalam mendahulukan rujuk, karena sulitnya menghadirkan bukti dari pihak istri dan mudahnya dari pihak suami.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهُ فِي تَقَدُّمِ الرَّجْعَةِ دُونَهَا، لِأَنَّ الرَّجْعَةَ مِنْ فِعْلِهِ وَصَادِرَةٌ عَنِ اخْتِيَارِهِ، وَلَيْسَ انْقِضَاءُ الْعِدَّةِ مَنْ فِعْلِهَا وَلَا صَادِرَةً عَنِ اخْتِيَارِهَا فَكَانَ قَوْلُهُ فِيهَا أَمْضَى وَدَعَوَاهُ فِيهَا أَقْوَى.

Pendapat kedua: Bahwa yang dipegang adalah pernyataan suami dalam hal mendahulukan rujuk, bukan dalam hal selainnya. Sebab, rujuk adalah perbuatan suami dan berasal dari pilihannya, sedangkan habisnya masa ‘iddah bukanlah perbuatan istri dan bukan pula berasal dari pilihannya. Maka, pernyataan suami dalam hal rujuk lebih kuat dan klaimnya dalam hal itu lebih utama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُ لَيْسَ عَلَى قَوْلَيْنِ بَلِ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ مِنْ سَبَقَ بِالدَّعْوَى فَإِنْ سَبَقَتِ الزَّوْجَةُ بِأَنَّ عِدَّتَهَا قَدِ انْقَضَتْ وَاسْتَقَرَّ قَوْلُهَا فِي الْبَيْنُونَةِ ثُمَّ جَاءَ الزَّوْجُ يَدَّعِي تَقَدُّمَ الرَّجْعَةِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا بِاللَّهِ أَنَّهَا لَا تَعْلَمُ تَقَدُّمَ الرَّجْعَةِ، فَيَكُونُ يَمِينُهَا عَلَى نَفْيِ الْعِلْمِ، لِأَنَّهَا عَلَى نَفْيِ فِعْلِ الْغَيْرِ، وَإِنْ سَبَقَ دَعْوَى الزَّوْجِ بِأَنَّهُ قَدْ رَاجَعَ زَوْجَتَهُ فِي الْعِدَّةِ وَاسْتَقَرَّ قَوْلُهُ فِي الرَّجْعَةِ ثُمَّ جَاءَتِ الزَّوْجَةُ فَادَّعَتِ انْقِضَاءَ عِدَّتِهَا قَبْلَ الرَّجْعَةِ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ أَنَّهُ لَا يَعْلَمُ انْقِضَاءَ عِدَّتِهَا قَبْلَ رَجْعَتِهِ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِاسْتِقْرَارِ الْحُكْمِ فِيمَا سَبَقَتْ بِهِ الدَّعْوَى، فَلَمْ تَبْطُلْ بِمَا حَدَثَ بَعْدَهُ مِنَ الدَّعْوَى كَاخْتِلَافِ الْوَكِيلِ وَالْمُوَكِّلِ بَعْدَ بَيْعِ الْوَكِيلِ هَلْ كَانَ بَيْعُهُ قَبْلَ فَسْخِ الْوَكَالَةِ فَيَصِحَّ، أَوْ بَعْدَ فَسْخِهَا فَيَبْطُلَ، فَإِنَّهُ مُعْتَبَرٌ بِأَسْبَقِهِمَا قَوْلًا، فَإِنْ بَدَأَ الْوَكِيلُ فَقَالَ: قَدْ بِعْتُ السِّلْعَةَ بِوَكَالَتِكَ، وَقَالَ الْمُوَكِّلُ قَدْ فَسَخْتُ وكالتك قبل بيعك أن القول قول قَوْلُهُ، لِأَنَّ الْوَكِيلَ قَدْ كَانَ فِي حَالِ الْوَكَالَةِ فَصَارَ مَقْبُولًا عَلَى مُوَكِّلِهِ، وَإِنْ سَبَقَ الْمُوَكِّلُ فَقَالَ: فَسَخْتُ وَكَالَتَكَ، فَقَالَ الْوَكِيلُ: قَدْ بِعْتُ قَبْلَ فَسْخِكَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُوَكِّلِ، لِأَنَّ الْوَكِيلَ قَدْ خَرَجَ مِنَ الْوَكَالَةِ بِفَسْخِهِ، فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ بَعْدَ فَسْخِ وَكَالَتِهِ كَذَلِكَ حُكْمُ اخْتِلَافِهِمَا فِي تَقَدُّمِ الرَّجْعَةِ وَانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ يَكُونُ مُعْتَبَرًا بِأَسْبَقِهِمَا قَوْلًا إِذَا اسْتَقَرَّ قَوْلُهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَّصِلَ بِإِنْكَارٍ، فَإِنِ اتَّصَلَ بِإِنْكَارٍ لَمْ يَسْتَقِرَّ مَعَهُ حُكْمُ السَّبْقِ، إِمَّا بِأَنْ تَبْدَأَ الزَّوْجَةُ فَتَقُولَ: قَدِ انْقَضَتْ عِدَّتِي، فَيَقُولَ الزَّوْجُ جَوَابًا لَهَا: قَدْ رَاجَعْتُكِ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِكِ، أَوْ يَبْدَأَ الزَّوْجُ فَيَقُولَ: قَدْ رَاجَعْتُكِ فِي عِدَّتِكِ، فَتَقُولَ الزَّوْجَةُ جَوَابًا لَهُ: قَدِ انْقَضَتْ عِدَّتِي قَبْلَ رَجْعَتِكَ، فَيَكُونَا فِي حُكْمِ الدَّعْوَى سَوَاءً، وَلَا يَقْوَى قَوْلُ مَنْ سَبَقَ مِنْهُمَا بِالدَّعْوَى إِذَا أُجِيبَتْ بِالْإِنْكَارِ، لِأَنَّ حُكْمَ قوله لم يستقر، وإذا كان كَذَلِكَ صَارَا فِيهَا مُتَسَاوِيَيْنِ فَالْقَوْلُ حِينَئِذٍ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ قَوْلُ الزَّوْجَةِ دُونَ الزَّوْجِ لِمَعْنَيَيْنِ يَرْجِعُ بِهِمَا قَوْلُهُمَا إِنَّهَا جَارِيَةٌ فِي فَسْخٍ وَأَنَّ قَوْلَهَا فِي حَيْضِهَا مَقْبُولٌ.

Pendapat kedua: Yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj dan Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa tidak ada dua pendapat dalam masalah ini, melainkan yang dipegang adalah pernyataan siapa yang lebih dahulu mengajukan klaim. Jika istri lebih dahulu mengklaim bahwa masa ‘iddahnya telah habis dan pernyataannya telah tetap dalam hal terjadinya perpisahan, kemudian suami datang mengklaim bahwa rujuk telah didahulukan, maka yang dipegang adalah pernyataan istri dengan sumpahnya atas nama Allah bahwa ia tidak mengetahui adanya rujuk yang didahulukan. Maka sumpahnya adalah atas dasar menafikan pengetahuan, karena ia menafikan perbuatan orang lain. Namun jika suami lebih dahulu mengklaim bahwa ia telah merujuk istrinya dalam masa ‘iddah dan pernyataannya telah tetap dalam hal rujuk, kemudian istri datang mengklaim bahwa masa ‘iddahnya telah habis sebelum rujuk, maka yang dipegang adalah pernyataan suami dengan sumpahnya atas nama Allah bahwa ia tidak mengetahui habisnya masa ‘iddah istrinya sebelum rujuknya. Hal ini demikian karena ketetapan hukum didasarkan pada siapa yang lebih dahulu mengajukan klaim, sehingga tidak gugur dengan adanya klaim yang datang setelahnya, sebagaimana perbedaan antara wakil dan muwakkil setelah wakil melakukan penjualan, apakah penjualannya terjadi sebelum pembatalan wakalah sehingga sah, atau setelah pembatalan sehingga batal. Maka yang dijadikan pegangan adalah siapa yang lebih dahulu mengajukan pernyataan. Jika wakil lebih dahulu berkata, “Aku telah menjual barang dengan wakalahmu,” lalu muwakkil berkata, “Aku telah membatalkan wakalahmu sebelum engkau menjual,” maka yang dipegang adalah pernyataan wakil, karena pada saat itu ia masih dalam posisi sebagai wakil sehingga pernyataannya diterima terhadap muwakkilnya. Namun jika muwakkil lebih dahulu berkata, “Aku telah membatalkan wakalahmu,” lalu wakil berkata, “Aku telah menjual sebelum engkau membatalkan,” maka yang dipegang adalah pernyataan muwakkil, karena wakil telah keluar dari wakalah dengan pembatalan tersebut, sehingga pernyataannya tidak diterima setelah pembatalan wakalahnya. Demikian pula hukum perbedaan antara suami dan istri dalam hal mendahulukan rujuk dan habisnya masa ‘iddah, yang dijadikan pegangan adalah siapa yang lebih dahulu mengajukan pernyataan, jika pernyataannya telah tetap tanpa disertai penolakan. Namun jika disertai penolakan, maka ketetapan hukum atas dasar siapa yang lebih dahulu mengajukan klaim tidak berlaku, baik istri yang lebih dahulu berkata, “Masa ‘iddahku telah habis,” lalu suami menjawab, “Aku telah merujukmu sebelum masa ‘iddahmu habis,” atau suami yang lebih dahulu berkata, “Aku telah merujukmu dalam masa ‘iddahmu,” lalu istri menjawab, “Masa ‘iddahku telah habis sebelum engkau merujuk,” maka keduanya dalam hukum klaim adalah sama, dan pernyataan siapa yang lebih dahulu tidak lebih kuat jika dijawab dengan penolakan, karena hukum pernyataannya belum tetap. Jika demikian, keduanya menjadi setara, maka dalam hal ini yang dipegang adalah pernyataan istri, bukan suami, karena dua alasan yang mengembalikan pernyataan mereka, yaitu bahwa hal ini serupa dengan pembatalan, dan bahwa pernyataan istri tentang haidnya diterima.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَقَدْ أَشَارَ إِلَيْهِ الْمُزَنِيُّ وَاخْتَارَهُ الدَّارَكِيُّ أَنَّهُمَا إِنِ اتَّفَقَا فِي وَقْتِ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَاخْتَلَفَا فِي وَقْتِ الرَّجْعَةِ كَأَنَّهُ قَالَ: رَاجَعْتُكِ فِي شَعْبَانَ، وَانْقَضَتْ عِدَّتُكِ فِي رَمَضَانَ، وَقَالَتْ: انْقَضَتْ عِدَّتِي فِي رَمَضَانَ وَرَاجَعْتَنِي فِي شَوَّالٍ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّ اخْتِلَافَهُمَا فِي الرَّجْعَةِ دُونَ الْعِدَّةِ، وَالرَّجْعَةُ مِنْ فِعْلِهِ دُونَهَا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ فِيهَا قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ رَجْعَتَهُ لَا عَلَى تَأْخِيرٍ عِدَّتِهَا، لِأَنَّهُ يَحْلِفُ عَلَى مَا اخْتَلَفَا فِيهِ، وَهِيَ الرَّجْعَةُ دُونَ الْعِدَّةِ، فَيَقُولُ وَاللَّهِ لَقَدْ رَاجَعْتُكِ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِكِ، فَتَكُونُ يَمِينُهُ عَلَى الْقَطْعِ، لِأَنَّهَا يَمِينُ إِثْبَاتٍ.

Pendapat ketiga, yang telah disinggung oleh al-Muzani dan dipilih oleh al-Daraki, adalah: jika keduanya sepakat tentang waktu berakhirnya masa ‘iddah, namun berbeda pendapat tentang waktu rujuk, misalnya suami berkata, “Aku telah merujukmu pada bulan Sya‘ban, dan masa ‘iddahmu berakhir pada bulan Ramadan,” sementara istri berkata, “Masa ‘iddahku berakhir pada bulan Ramadan dan engkau merujukku pada bulan Syawwal,” maka pendapat yang diambil adalah pendapat suami dengan sumpahnya. Sebab, perbedaan mereka hanya pada waktu rujuk, bukan pada waktu ‘iddah, dan rujuk adalah perbuatan suami, bukan istri, sehingga yang dijadikan pegangan adalah pernyataan suami dengan sumpahnya bahwa ia telah merujuk sebelum berakhirnya masa ‘iddah, bukan karena keterlambatan masa ‘iddah istri. Karena ia bersumpah atas hal yang diperselisihkan, yaitu rujuk, bukan ‘iddah. Maka ia berkata, “Demi Allah, sungguh aku telah merujukmu sebelum berakhirnya masa ‘iddahmu.” Maka sumpahnya bersifat pasti, karena ini adalah sumpah penetapan.

وَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى وَقْتِ الرَّجْعَةِ، وَاخْتَلَفَا فِي وَقْتِ انْقِضَاءِ العدة، وكأنها قَالَتْ: انْقَضَتْ عِدَّتِي فِي شَعْبَانَ وَرَاجَعْتَنِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ الزَّوْجُ: رَاجَعْتُكِ فِي رَمَضَانَ وَانْقَضَتْ عِدَّتُكِ فِي شَوَّالٍ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّهُ حَلَفَ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ لَا فِي وَقْتِ الرَّجْعَةِ، فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا، لِأَنَّهَا مُؤْتَمَنَةٌ عَلَى عِدَّتِهَا فَيَحْلِفُ بِاللَّهِ لَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا قَبَلَ رَجْعَتِكَ عَلَى الْقِطَعِ، لِأَنَّهَا يَمِينُ إثبات والله أعلم.

Dan jika keduanya sepakat tentang waktu rujuk, namun berbeda pendapat tentang waktu berakhirnya masa ‘iddah, misalnya istri berkata, “Masa ‘iddahku berakhir pada bulan Sya‘ban dan engkau merujukku pada bulan Ramadan,” lalu suami berkata, “Aku merujukmu pada bulan Ramadan dan masa ‘iddahmu berakhir pada bulan Syawwal,” maka pendapat yang diambil adalah pendapat istri dengan sumpahnya. Karena sumpah itu terkait dengan berakhirnya masa ‘iddah, bukan waktu rujuk, maka yang dipegang adalah pernyataan istri, karena ia dipercaya atas masa ‘iddahnya. Maka ia bersumpah, “Demi Allah, sungguh masa ‘iddahku telah berakhir sebelum engkau merujukku,” secara pasti, karena ini adalah sumpah penetapan. Dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ دَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا وَقَالَ قَدْ أَصَبْتُكِ وَقَالَتْ لَمْ يُصِبْنِي فَلَا رَجْعَةَ وَلَوْ قَالَتْ أَصَابَنِي وَأَنْكَرَ فَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ بِإِقْرَارِهَا وَلَا رجعة له عليها بإقراره وسواء طال مقامه أو لم يطل لا تجب العدة وكمال المهر إلا بالمسيس نفسه ولو قال ارتجعتك اليوم وقالت انقضت عدتي قبل رجعتك صدقتها إلا أن تقر بعد ذلك فتكون كمن جحد حقا ثم أقر به (قال المزني) رحمه الله إن لم يقرا جميعا ولا أحدهما بانقضاء العدة حتى ارتجع الزوج وصارت امرأته فليس لها عندي نقض ما ثبت عليها له) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami telah berhubungan dengannya lalu menceraikannya, dan suami berkata, ‘Aku telah menggaulimu,’ sedangkan istri berkata, ‘Engkau belum menggauliku,’ maka tidak ada hak rujuk. Namun jika istri berkata, ‘Engkau telah menggauliku,’ dan suami mengingkarinya, maka istri wajib menjalani masa ‘iddah karena pengakuannya, dan suami tidak berhak rujuk atasnya karena pengakuannya pula. Baik suami lama tinggal bersamanya atau tidak, tidak wajib ‘iddah dan penyempurnaan mahar kecuali dengan adanya hubungan badan itu sendiri. Jika suami berkata, ‘Aku merujukmu hari ini,’ dan istri berkata, ‘Masa ‘iddahku telah berakhir sebelum engkau merujukku,’ maka istri dibenarkan kecuali jika ia mengakui setelah itu, maka keadaannya seperti orang yang mengingkari hak lalu mengakuinya. (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Jika keduanya, atau salah satunya, tidak mengakui berakhirnya masa ‘iddah hingga suami merujuk dan ia kembali menjadi istrinya, maka menurutku ia tidak berhak membatalkan apa yang telah tetap atasnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ (وَلَوْ دَخَلَ بها) يعني خلا به، وَقَدْ ذَكَرْنَا حُكْمَ الْخَلْوَةِ فِي دُخُولِ الزَّوْجَيْنِ بيتاً، وأن يغلق عَلَيْهِمَا بَابًا أَوْ يُرْخِيَا عَلَيْهِمَا سِتْرًا وَذَكَرْنَا فِي كِتَابِ النِّكَاحِ اخْتِلَافَ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِيهَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:

Al-Mawardi berkata: Adapun perkataan Imam Syafi‘i, “Jika suami telah berhubungan dengannya,” maksudnya adalah telah berduaan dengannya. Kami telah menjelaskan hukum khalwat dalam masuknya kedua suami istri ke dalam rumah, menutup pintu atas mereka, atau menurunkan tirai atas mereka. Kami juga telah sebutkan dalam Kitab Nikah perbedaan pendapat Imam Syafi‘i dalam masalah ini menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ أَنَّهَا كَالْإِصَابَةِ فِي كَمَالِ الْمَهْرِ وَوُجُوبِ الْعِدَّةِ وَاسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ، وَهَلْ تَكُونُ كَالْإِصَابَةِ فِي ثُبُوتِ الرَّجْعَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ.

Pertama, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim dan juga pendapat Abu Hanifah, bahwa khalwat itu seperti hubungan badan dalam hal penyempurnaan mahar, kewajiban ‘iddah, dan berhak atas nafkah. Adapun apakah ia seperti hubungan badan dalam menetapkan hak rujuk atau tidak, ada dua pendapat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْإِمْلَاءِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ إِنَّهَا كَالْيَدِ لِمُدَّعِي الْإِصَابَةِ مِنْهُمَا فَيَحْلِفُ عَلَيْهَا وَيُحْكَمُ لَهُ بِهَا زَوْجًا كَانَ أَوْ زَوْجَةً.

Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam al-Imla’, dan juga pendapat Malik, bahwa khalwat itu seperti tangan bagi orang yang mengaku telah melakukan hubungan badan di antara keduanya, maka ia harus bersumpah atasnya dan diputuskan untuknya, baik ia suami maupun istri.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إنَّهُ لَا حُكْمَ لَهَا فِي اسْتِكْمَالِ الْمَهْرِ وَلَا فِي وُجُوبِ الْعِدَّةِ، وَلَا فِي ثُبُوتِ الرَّجْعَةِ، وَإِنَّ وَجُودَهَا كَعَدَمِهَا.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadid, bahwa khalwat tidak memiliki pengaruh dalam penyempurnaan mahar, kewajiban ‘iddah, maupun penetapan hak rujuk. Keberadaannya sama saja dengan ketiadaannya.

(فَصْلٌ: [اخْتِلَافُ الزَّوْجَيْنِ فِي الْإِصَابَةِ)

(Fasal: [Perselisihan Suami Istri dalam Masalah Hubungan Badan])

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ وَاخْتَلَفَ الزَّوْجَانِ فِي الْإِصَابَةِ إما مع عدم الخلوة أو مع د وُجُودِهَا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ الَّذِي لَا تَأْثِيرَ فِيهِ لِلْخَلْوَةِ فِيهِ مَسْأَلَتَانِ:

Jika telah jelas uraian di atas, lalu suami istri berselisih tentang terjadinya hubungan badan, baik tanpa adanya khalwat maupun dengan adanya khalwat menurut pendapat beliau dalam qaul jadid yang menyatakan khalwat tidak berpengaruh, maka ada dua permasalahan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَدَّعِيَ الزَّوْجُ الْإِصَابَةَ وَتُنْكِرَهَا الزَّوْجَةُ.

Pertama: Suami mengaku telah melakukan hubungan badan, sedangkan istri mengingkarinya.

وَالثَّانِي: أَنْ تَدَّعِيَ الزَّوْجَةُ الْإِصَابَةَ وَيُنْكِرَهَا الزَّوْجُ، فَإِنِ ادَّعَاهَا الزَّوْجُ وَأَنْكَرَتْهَا الزَّوْجَةُ فَادِّعَاؤُهُ لَهَا إِنَّمَا هُوَ لِإِثْبَاتِ الرَّجْعَةِ عَلَيْهَا، فَيَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا فِي إِنْكَارِهَا الْإِصَابَةَ مَعَ يَمِينِهَا، بِخِلَافِ الْمَوْلَى وَالْعِنِّينِ حِينَ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُمَا فِي ادِّعَاءِ الْإِصَابَةِ دُونَهَا.

Kedua: Jika istri mengaku telah terjadi hubungan (persetubuhan) dan suami mengingkarinya, maka jika suami yang mengaku telah terjadi hubungan dan istri mengingkarinya, pengakuan suami itu hanya untuk menetapkan hak rujuk atasnya. Maka, dalam hal ini, yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri dalam pengingkarannya terhadap terjadinya hubungan, disertai sumpahnya. Hal ini berbeda dengan kasus mu‘alla (suami yang membenci istrinya dan bersumpah tidak akan menggaulinya) dan ‘innin (suami impoten), di mana yang dijadikan pegangan adalah ucapan mereka (suami) dalam pengakuan terjadinya hubungan, bukan ucapan istri.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْمَوْلَى وَالْعِنِّينِ بَقَاءُ الزَّوْجَةِ فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا فِي ادِّعَاءِ الْإِصَابَةِ اسْتِصْحَابًا لِهَذَا الْأَصْلِ فِي ثُبُوتِ الْعَقْدِ، وَالْأَصْلُ هَاهُنَا وُقُوعُ الْفُرْقَةِ فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا فِي عَدَمِ الْإِصَابَةِ اسْتِصْحَابًا لِهَذَا الْأَصْلِ فِي ثُبُوتِ الْفُرْقَةِ، فَإِذَا حَلَفَتْ هَذِهِ الْمُطَلَّقَةُ أَنَّهُ طَلَّقَهَا مِنْ غَيْرِ إِصَابَةٍ فَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا، وَلَا رَجْعَةَ لَهُ، فَأَمَّا الْمَهْرُ فَإِنْ كَانَ فِي يَدِ الزَّوْجِ فَلَيْسَ لَهَا الْمُطَالَبَةُ إِلَّا بِنِصْفِهِ، لِأَنَّهَا لَا تَدَّعِي أَكْثَرَ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ بِيَدِهَا لَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجِ مُطَالَبَتُهَا بِشَيْءٍ مِنْهُ، لِأَنَّهُ مُقِرٌّ لَهَا بِاسْتِحْقَاقِ جَمِيعِهِ، فَإِنْ نَكَلَتِ الزَّوْجَةُ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الزَّوْجِ، فَإِذَا حَلَفَ حَكَمْنَا عَلَيْهَا بِالْعِدَّةِ، وَلَهُ الرَّجْعَةُ، لِأَنَّهُ حَقٌّ عَلَيْهَا فَقُبِلَ فِيهِ رُجُوعُهَا، وَلِأَنَّهَا لَوْ أَنْكَرَتْ أَصْلَ النِّكَاحِ ثُمَّ اعْتَرَفَتْ بِهِ صَحَّ، وَجَازَ لَهَا الِاجْتِمَاعُ فَكَانَ لِلرُّجُوعِ إِلَى الِاعْتِرَافِ وَالْإِصَابَةِ أَوْلَى بِالْقَبُولِ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pada kasus mu‘alla dan ‘innin, hukum asalnya adalah tetapnya status istri (sebagai istri), sehingga ucapan istri yang dipegang dalam pengakuan terjadinya hubungan sebagai kelanjutan dari hukum asal tetapnya akad nikah. Sedangkan dalam kasus ini, hukum asalnya adalah terjadinya perpisahan, sehingga ucapan istri yang dipegang dalam pengingkaran terjadinya hubungan sebagai kelanjutan dari hukum asal tetapnya perpisahan. Maka, jika perempuan yang ditalak ini bersumpah bahwa ia ditalak tanpa pernah digauli, maka tidak ada masa ‘iddah atasnya dan suami tidak memiliki hak rujuk. Adapun mengenai mahar, jika masih di tangan suami, maka istri hanya berhak menuntut setengahnya saja, karena ia tidak mengaku lebih dari itu. Jika mahar sudah di tangan istri, maka suami tidak berhak menuntut apa pun darinya, karena ia telah mengakui bahwa istri berhak atas seluruh mahar. Jika istri menolak bersumpah, maka hak itu kembali kepada suami. Jika suami bersumpah, maka diputuskan bahwa istri wajib menjalani masa ‘iddah dan suami berhak rujuk, karena itu adalah hak atas istri sehingga diterima pengakuan kembalinya. Sebab, jika istri mengingkari adanya akad nikah lalu kemudian mengakuinya, maka pengakuannya sah dan ia boleh kembali berkumpul dengan suami. Maka, pengakuan kembali terhadap terjadinya hubungan dan pengakuan atasnya lebih layak untuk diterima.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

فَإِذَا ادَّعَتِ الزَّوْجَةُ الْإِصَابَةَ وَأَنْكَرَهَا الزَّوْجُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ وَلَيْسَ لَهَا مِنَ الْمَهْرِ إِلَّا نِصْفُهُ، وَلَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا رَجْعَةَ لَهُ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ بِإِقْرَارِهَا، لِأَنَّ دَعْوَاهَا قَدْ تَضَمَّنَتْ مَا يَنْفَعُهَا وَهُوَ كَمَالُ الْمَهْرِ وَوُجُوبُ النَّفَقَةِ، وَمَا يَضُرُّهَا وَهُوَ وُجُوبُ الْعِدَّةِ، فَقُبِلَ قَوْلُهَا فِيمَا يَضُرُّهَا مِنْ وُجُوبِ الْعِدَّةِ، وَرُدَّ فِيمَا يَنْفَعُهَا مِنْ كَمَالِ الْمَهْرِ وَوُجُوبِ النَّفَقَةِ، فَإِنْ حَلَفَ الزَّوْجُ فَالْحُكْمُ فِيهِ مَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الزَّوْجَةِ فَإِذَا حَلَفَتْ حَكَمْنَا لَهَا عَلَيْهِ بِكَمَالِ الْمَهْرِ وَوُجُوبِ النَّفَقَةِ وَالْعِدَّةِ فَلَازِمَةٌ لَهَا بِالْإِقْرَارِ الْأَوَّلِ، وَلَا رَجْعَةَ لِلزَّوْجِ، لِأَنَّهُ بِإِنْكَارِ الإصابة مبطل لرجعته.

Jika istri mengaku telah terjadi hubungan dan suami mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami disertai sumpahnya, dan istri hanya berhak atas setengah mahar, tidak berhak atas nafkah, dan suami tidak memiliki hak rujuk, sedangkan istri tetap wajib menjalani masa ‘iddah karena pengakuannya sendiri. Sebab, pengakuannya mengandung hal yang menguntungkannya, yaitu hak atas mahar penuh dan kewajiban nafkah, serta hal yang merugikannya, yaitu kewajiban menjalani masa ‘iddah. Maka, diterima ucapannya dalam hal yang merugikannya, yaitu kewajiban ‘iddah, dan ditolak dalam hal yang menguntungkannya, yaitu hak atas mahar penuh dan nafkah. Jika suami bersumpah, maka hukumnya seperti yang telah disebutkan. Jika suami menolak bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada istri. Jika istri bersumpah, maka diputuskan bahwa ia berhak atas mahar penuh, nafkah, dan tetap wajib menjalani masa ‘iddah karena pengakuan awalnya, dan suami tetap tidak memiliki hak rujuk, karena dengan mengingkari terjadinya hubungan, ia telah membatalkan hak rujuknya.

(فصل:)

(Pasal:)

قال الشافعي في كتاب [ … ] إذا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثُمَّ قَالَ: أَعْلَمَتْنِي أَنَّ عِدَّتَهَا قَدِ انْقَضَتْ، ثُمَّ رَاجَعْتُهَا لَمْ يَكُنْ هَذَا إِقْرَارًا مِنْهُ بِأَنَّ عِدَّتَهَا قَدِ انْقَضَتْ، لِأَنَّهَا قَدْ تُكَذِّبُهُ فِيمَا أَعْلَمَتْهُ، وَتَصِحُّ الرَّجْعَةُ إِنْ عادت فأكذبها نفسها، وهكذا لو أقرت بطلاقها واحدة وراجعتها وَادَّعَتْ أَنَّهُ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا لَا رَجْعَةَ فِيهَا ثُمَّ صَدَّقَتْهُ وَأَكْذَبَتْ نَفْسَهَا حَلَّ لَهَا الِاجْتِمَاعُ معه.

Imam Syafi‘i berkata dalam kitab [ … ]: Jika seorang suami menceraikan istrinya, lalu berkata, “Ia memberitahuku bahwa masa ‘iddahnya telah selesai, kemudian aku merujuknya,” maka hal itu tidak dianggap sebagai pengakuan dari suami bahwa masa ‘iddahnya telah selesai, karena bisa jadi istrinya berdusta dalam pemberitahuannya. Rujuk tetap sah jika istri kemudian menarik ucapannya dan membantah dirinya sendiri. Demikian pula jika istri mengakui bahwa ia ditalak satu kali lalu dirujuk, kemudian ia mengaku bahwa ia telah ditalak tiga kali yang tidak bisa dirujuk, lalu ia membenarkan suaminya dan membantah dirinya sendiri, maka boleh bagi suami untuk kembali berkumpul dengannya.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَلَوِ ارْتَدَّتْ بَعْدَ طَلَاقِهِ فَارْتَجَعَهَا مُرْتَدَّةً فِي الْعِدَّةِ لَمْ تكُنْ رَجْعَةً لِأَنَّهَا تَحْلِيلٌ فِي حَالِ التَّحْرِيمِ (قَالَ المزني) رحمه الله فيها نظر وَأَشْبَهُ بِقَوْلِهِ عِنْدِي أَنْ تَكُونَ رَجْعَةً مَوْقُوفَةً فإن جمعهما الإسلام قبل انقضاء العدة علمنا أنه رجعة وإن لم يجمعهما الإسلام قبل انقضاء العدة علمنا أنه لا رجعة لأن الفسخ من حين ارتدت كما نقول في الطلاق إذا طلقها مرتدة أو وثنية فجمعهما الإسلام قبل انقضاء العدة علمنا أن الطلاق كان واقعاً وكانت العدة من حين وقع الطلاق وإن لم يجمعهما الإسلام في العدة بطل الطلاق وكانت العدة من حين أسلم متقدم الإسلام) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika istri murtad setelah ditalak, lalu suami merujuknya dalam keadaan ia masih murtad dan masih dalam masa ‘iddah, maka rujuk itu tidak sah, karena itu berarti menghalalkan dalam keadaan haram.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat, dan yang lebih mendekati pendapat Imam Syafi‘i menurutku adalah bahwa rujuk itu bersifat mu‘allaq (tergantung/tertunda). Jika keduanya masuk Islam kembali sebelum masa ‘iddah selesai, maka kita ketahui bahwa rujuk itu sah. Jika keduanya tidak masuk Islam kembali sebelum masa ‘iddah selesai, maka kita ketahui bahwa tidak ada rujuk, karena fasakh (pembatalan nikah) terjadi sejak istri murtad, sebagaimana yang kita katakan dalam kasus talak: jika suami menceraikan istri yang murtad atau musyrik, lalu keduanya masuk Islam sebelum masa ‘iddah selesai, maka kita ketahui bahwa talak itu sah dan masa ‘iddah dihitung sejak talak dijatuhkan. Jika keduanya tidak masuk Islam dalam masa ‘iddah, maka talak batal dan masa ‘iddah dihitung sejak keduanya masuk Islam, dengan mendahulukan Islam.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي الْمُطَلَّقَةِ الرَّجْعِيَّةِ إِذَا ارْتَدَّتْ عَنِ الْإِسْلَامِ فِي عِدَّتِهَا، فَالزَّوْجُ مَمْنُوعٌ مَنْ رَجَعْتِهَا فِي الرِّدَّةِ كَمَا كَانَ مَمْنُوعًا مِنْ نِكَاحِهَا فَإِنْ رَاجَعَهَا وَهِيَ فِي الرِّدَّةِ كَانَتْ رَجْعَتُهُ بَاطِلَةً سَوَاءٌ رَجَعَتْ إِلَى الْإِسْلَامِ قَبْلَ مُضِيِّ الْعِدَّةِ أَمْ لَا، وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: رَجْعَتُهُ فِي الرِّدَّةِ مَوْقُوفَةٌ عَلَى إِسْلَامِهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَإِنْ أَسْلَمَتْ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا صَحَّتِ الرَّجْعَةُ، وَإِنْ لَمْ تُسْلِمْ حَتَّى انْقَضَتِ الْعِدَّةُ بَطَلَتِ الرَّجْعَةُ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ طَلَاقَ الْمُرْتَدَّةِ لَمَّا كَانَ مَوْقُوفًا صَحَّ أَنْ تَكُونَ رَجْعَتُهَا مَوْقُوفَةً وَلَمَّا صَحَّ أَنْ يَكُونَ نِكَاحُهَا مَوْقُوفًا عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَأَوْلَى أَنْ تَكُونَ رَجْعَتُهَا مَوْقُوفَةً. وَلِأَنَّ أَسْوَأَ أَحْوَالِ الْمُرْتَدَّةِ أَنْ تَكُونَ مُحَرَّمَةً وَتَحْرِيمُهَا لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ الرَّجْعَةِ.

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada perempuan yang ditalak raj‘i, apabila ia murtad dari Islam dalam masa ‘iddahnya, maka suami dilarang untuk merujuknya selama ia dalam keadaan riddah, sebagaimana ia juga dilarang menikahinya. Jika suami merujuknya saat ia masih dalam keadaan riddah, maka rujuknya batal, baik ia kembali masuk Islam sebelum habis masa ‘iddah maupun tidak. Al-Muzani berpendapat: rujuk dalam keadaan riddah itu bergantung pada kembalinya istri kepada Islam sebelum habis masa ‘iddah. Jika ia masuk Islam sebelum habis masa ‘iddahnya, maka rujuknya sah. Namun jika ia tidak masuk Islam hingga masa ‘iddah selesai, maka rujuknya batal. Pendapat ini didasarkan pada bahwa talak terhadap perempuan murtad itu statusnya mu‘allaq (tergantung), maka boleh juga rujuknya berstatus mu‘allaq. Dan sebagaimana sah pernikahannya berstatus mu‘allaq sampai habis masa ‘iddah, maka lebih utama lagi rujuknya juga berstatus mu‘allaq. Karena keadaan terburuk dari perempuan murtad adalah ia menjadi haram (dinikahi), dan keharamannya tidak menghalangi keabsahan rujuk.

كَالْمُحَرَّمَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلا تمكسوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ} [الممتحنة: 10] . وَفِي الرَّجْعَةِ تَمَسُّكًا بِرَجْعَتِهَا بِعِصْمَتِهَا، فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الرِّدَّةُ مَانِعَةً مِنْهَا.

Seperti halnya perempuan yang sedang ihram. Namun, ini adalah kekeliruan berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir} (QS. Al-Mumtahanah: 10). Dalam rujuk terdapat makna tetap berpegang pada tali pernikahan, maka wajiblah bahwa riddah menjadi penghalang dari rujuk.

وَلِأَنَّ الرَّجْعَةَ عَقْدٌ يُسْتَبَاحُ بِهِ بُضْعُ الْحُرَّةِ فَلَمْ يَصِحَّ فِي الرِّدَّةِ، وَلَا أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا فِيهَا كَالنِّكَاحِ، وَلِأَنَّ الرِّدَّةَ مُنَافِيَةٌ لِلرَّجْعَةِ، لِأَنَّ الرِّدَّةَ تَقْتَضِي الْبَيْنُونَةَ، وَالرَّجْعَةَ رَافِعَةٌ لِلْبَيْنُونَةِ وَإِذَا تَنَافَيَا لَمْ يَصِحَّ أَنْ يَجْتَمِعَا، وَإِذَا لَمْ يَصِحَّ اجْتِمَاعُهُمَا لِتَنَافِيهِمَا، وَقَدْ ثَبَتَتِ الرِّدَّةُ فَبَطَلَتِ الرَّجْعَةُ.

Karena rujuk adalah akad yang dengannya dihalalkan hubungan suami istri dengan perempuan merdeka, maka tidak sah dilakukan dalam keadaan riddah, dan tidak pula boleh statusnya mu‘allaq sebagaimana pernikahan. Sebab riddah bertentangan dengan rujuk, karena riddah menuntut terjadinya perpisahan, sedangkan rujuk menghilangkan perpisahan. Jika keduanya saling bertentangan, maka tidak sah untuk digabungkan. Jika tidak sah digabungkan karena pertentangannya, dan telah tetap adanya riddah, maka batal pula rujuknya.

وَأَمَّا الطَّلَاقُ فَهُوَ غَيْرُ مُنَافٍ لِلرِّدَّةِ، لِأَنَّهُمَا مَعًا يَقْتَضِيَانِ الْفُرْقَةَ وَعَلَى أَنَّ الطَّلَاقَ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى شَرْطٍ لَا يَصِحُّ إِيقَافُ الرَّجْعَةِ وَلَا تَعْلِيقُهَا بِشَرْطٍ فَافْتَرَقَ حُكْمُهُمَا فِي الرِّدَّةِ.

Adapun talak, ia tidak bertentangan dengan riddah, karena keduanya sama-sama menuntut terjadinya perpisahan. Selain itu, talak boleh berstatus mu‘allaq pada suatu syarat, sedangkan rujuk tidak sah dijadikan mu‘allaq atau digantungkan pada syarat. Maka berbeda hukum keduanya dalam masalah riddah.

وَأَمَّا النِّكَاحُ فَفَسْخُهُ مَوْقُوفٌ وَعَقْدُهُ غَيْرُ مَوْقُوفٍ، وَالرَّجْعَةُ مُلْحَقَةٌ بِالْعَقْدِ دُونَ الْفَسْخِ.

Adapun pernikahan, maka pembatalannya (fasakh) bisa berstatus mu‘allaq, sedangkan akadnya tidak bisa berstatus mu‘allaq. Rujuk lebih dekat kepada akad daripada kepada fasakh.

وَأَمَّا الرَّجْعَةُ فِي الْإِحْرَامِ فَمُفَارِقَةٌ لِلرَّجْعَةِ فِي الرِّدَّةِ، لِأَنَّ الْمُزَنِيَّ يَقِفُ الرَّجْعَةَ في الردة، ولا يقفها في الإحرام فهذا الْفَرْقُ جَوَّزْنَا الرَّجْعَةَ فِي الْإِحْرَامِ وَأَبْطَلْنَاهَا فِي الرِّدَّةِ.

Adapun rujuk dalam keadaan ihram, maka berbeda dengan rujuk dalam keadaan riddah. Karena al-Muzani menjadikan rujuk dalam riddah berstatus mu‘allaq, namun tidak demikian dalam ihram. Karena perbedaan inilah kami membolehkan rujuk dalam ihram dan membatalkannya dalam riddah.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا زُوِّجَتِ الْمُطَلَّقَةُ فِي عِدَّتِهَا، وَقَبْلَ مُرَاجَعَةِ الزَّوْجِ لَهَا، وَدَخَلَ بِهَا الثَّانِي فَرَاجَعَهَا الْأَوَّلُ بَعْدَ دُخُولِ الثَّانِي، وَقَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ صَحَّتِ الرَّجْعَةُ، وَكَانَتْ مُحَرَّمَةً عَلَى الْأَوَّلِ بعد رجعته حتى تقتضي عِدَّتَهَا مِنْ إِصَابَةِ الثَّانِي، لِأَنَّ نِكَاحَ الثَّانِي بَاطِلٌ فَلَمْ يَكُنْ عِدَّتُهَا مِنْ إِصَابَتِهِ مَانِعَةً مِنْ صِحَّةِ رَجْعَتِهِ، لِأَنَّ الرَّجْعَةَ تُوجِبُ اسْتِبْقَاءَ النِّكَاحِ، وَوُجُوبَ الْعِدَّةِ لَا يَمْنَعُ مِنَ اسْتِبْقَاءِ النِّكَاحِ كَالْمَوْطُوءَةِ بِشُبْهَةٍ.

Apabila perempuan yang ditalak dinikahi orang lain dalam masa ‘iddahnya, sebelum suaminya yang pertama merujuknya, lalu suami kedua telah menggaulinya, kemudian suami pertama merujuknya setelah suami kedua menggaulinya namun sebelum habis masa ‘iddah, maka rujuknya sah. Namun, ia tetap haram bagi suami pertama setelah rujuknya hingga selesai masa ‘iddah dari hubungan dengan suami kedua. Karena pernikahan suami kedua adalah batal, maka masa ‘iddah dari hubungan dengan suami kedua tidak menghalangi keabsahan rujuk suami pertama. Sebab rujuk menyebabkan tetapnya pernikahan, dan kewajiban ‘iddah tidak menghalangi tetapnya pernikahan, sebagaimana perempuan yang digauli karena syubhat.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا رَاجَعَهَا الزَّوْجُ وَهُوَ مَجْنُونٌ أَوْ مُغْمًى عَلَيْهِ بَطَلَتْ رَجْعَتُهُ لِبُطْلَانِ عُقُودِهِ، فَإِنْ كَانَ يُجَنُّ فِي زَمَانٍ وَيُفِيقُ فِي زَمَانٍ صَحَّتْ رَجْعَتُهُ فِي إِفَاقَتِهِ، وَبَطَلَتْ فِي جُنُونِهِ فَلَوِ اخْتَلَفَا فَقَالَ: رَاجَعْتُكِ فِي حَالِ الْإِفَاقَةِ، وَقَالَتْ رَاجَعْتَنِي فِي حَالِ الْجُنُونِ فَفِيهِ قَوْلَانِ كَالطَّلَاقِ إِذَا اخْتَلَفَا فِي وُقُوعِهِ فِي الْجُنُونِ وَالصِّحَّةِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ وَتَصِحُّ رَجْعَتُهُ.

Apabila suami merujuk istrinya dalam keadaan ia gila atau pingsan, maka rujuknya batal karena seluruh akadnya batal. Namun jika ia mengalami gila pada waktu tertentu dan sadar pada waktu lain, maka rujuknya sah saat ia sadar, dan batal saat ia gila. Jika keduanya berselisih, suami berkata: “Aku merujukmu saat sadar,” sedangkan istri berkata: “Engkau merujukku saat gila,” maka ada dua pendapat sebagaimana dalam kasus talak jika keduanya berselisih tentang kejadiannya saat gila atau sehat: salah satunya, yang dipegang adalah ucapan suami dengan sumpahnya, dan rujuknya sah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا وَرَجْعَةُ الزَّوْجِ بَاطِلَةٌ وَلَوْ رَاجَعَهَا وَهُوَ سَكْرَانُ صَحَّتْ رَجْعَتُهُ إِذَا قِيلَ بِوُقُوعِ طَلَاقِهِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ وَلَمْ تَصِحَّ رَجْعَتُهُ إِذَا قِيلَ بِتَخْرِيجِ الْمُزَنِيِّ أَنَّ طَلَاقَهُ لَا يَقَعُ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا تَصِحُّ رَجْعَتُهُ، وَإِنْ وَقَعَ طَلَاقُهُ، لِأَنَّ وُقُوعَ طَلَاقِهِ تَغْلِيظٌ وَرَجْعَتَهُ تَخْفِيفٌ، وَالسَّكْرَانُ يُغَلَّظُ عَلَيْهِ، وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّنَا نُجْرِي عَلَى سُكْرِهِ حُكْمَ الصِّحَّةِ فَلَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ بَيْنَ مَا غُلِّظَ وَخُفِّفَ، فَلَوْ رَاجَعَهَا وَهِيَ مَجْنُونَةٌ أَوْ سَكْرَانَةٌ صَحَّتْ رَجْعَتُهَا، لِأَنَّ نِكَاحَهَا فِي جُنُونِهَا وَسُكْرِهَا يَصِحُّ فَكَانَتْ رَجْعَتُهَا أَصَحَّ.

Pendapat kedua: bahwa pendapat istri diterima dengan sumpahnya, dan rujuk suami adalah batal. Jika suami merujuknya dalam keadaan mabuk, maka rujuknya sah apabila dikatakan bahwa talaknya jatuh menurut pendapat yang sahih dalam mazhab. Namun, rujuknya tidak sah jika mengikuti pendapat al-Muzani bahwa talaknya tidak jatuh. Di antara ulama kami ada yang berpendapat bahwa rujuknya tidak sah, meskipun talaknya jatuh, karena jatuhnya talak merupakan bentuk pengetatan (tasydid), sedangkan rujuk adalah bentuk keringanan (takhfif), dan orang yang mabuk diperlakukan dengan pengetatan, bukan keringanan. Pendapat ini rusak, karena kita menetapkan hukum keabsahan pada kondisi mabuknya, sehingga tidak ada perbedaan antara yang diperketat dan yang diringankan. Jika suami merujuk istrinya yang sedang gila atau mabuk, maka rujuknya sah, karena akad nikahnya dalam keadaan gila atau mabuk tetap sah, maka rujuknya lebih sah lagi.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا شَكَّ الزَّوْجُ فِي طَلَاقِ امْرَأَتِهِ لَمْ تَلْزَمْهُ رَجْعَتُهَا لِأَنَّ الطَّلَاقَ بِالشَّكِّ مُلْغًى فَيَسْقُطُ حُكْمُهُ فِي التَّحْرِيمِ فَسَقَطَ حُكْمُهُ فِي الرَّجْعَةِ.

Jika suami ragu apakah ia telah mentalak istrinya, maka tidak wajib baginya untuk merujuk istrinya, karena talak yang didasarkan pada keraguan dianggap batal, sehingga hukumnya dalam hal pengharaman gugur, maka gugur pula hukumnya dalam hal rujuk.

وَأَوْجَبَ عَلَيْهِ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ الرَّجْعَةَ، وَهَذَا فَاسِدٌ بِمَا ذَكَرْنَا.

Sufyan ats-Tsauri mewajibkan rujuk atasnya, dan ini adalah pendapat yang rusak sebagaimana yang telah kami sebutkan.

وَأَمَرَهُ شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بِالطَّلَاقِ وَالرَّجْعَةِ، وَهَذَا الْقَوْلُ أَفْسَدُ.

Syarik bin Abdullah memerintahkannya untuk mentalak dan kemudian merujuk, dan pendapat ini lebih rusak lagi.

وَقَدْ حَكَى بِشْرُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ أَبِي يُوسُفَ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي حَنِيفَةَ فَقَالَ: لَا أَدْرِي أَطَلَّقْتُ أَمْ لَا؟ فَقَالَ لَهُ أَبُو حَنِيفَةَ: هِيَ امْرَأَتُكَ حَتَّى تَسْتَيْقِنَ أَنَّكَ طَلَّقْتَهَا فَذَهَبَ إِلَى سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ فَسَأَلَهُ فَقَالَ: رَاجِعْهَا، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ طَلَّقْتَهَا لَا تَضُرَّكَ الرَّجْعَةُ فَذَهَبَ إِلَى شَرِيكِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ لَهُ: طَلِّقْهَا ثُمَّ رَاجِعْهَا، قَالَ فَجَاءَ الرَّجُلُ إِلَى زُفَرَ بْنِ الْهُذَيْلِ فَأَخْبَرَهُ بِمَقَالَتِهِمْ فَقَالَ لَهُ زُفَرُ أَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَأَفْتَاكَ بِالْفِقْهِ. وَأَمَّا سُفْيَانُ فَأَفْتَاكَ بِالْوَرَعِ وَالِاحْتِيَاطِ، وَأَمَّا شَرِيكٌ فَسَأَضْرِبُ لَكَ مَثَلًا فِيهِ مَثَلُهُ مَثَلُ رَجُلٍ مَرَّ بِثَقْبٍ فَسَالَ عَلَيْهِ مِنْهُ، فَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَقَالَ لَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ مِنْهُ حَتَّى تَسْتَيْقِنَ أَنَّهُ نَجِسٌ، وَأَمَّا سُفْيَانُ فَإِنَّهُ أَمَرَهُ بِغَسْلِهِ فَإِنْ كَانَ طَاهِرًا لَمْ يَضُرَّهُ، والْغَسْلُ وَإِنْ كَانَ نَجِسًا فَقَدْ غَسَلَهُ، وَأَمَّا شَرِيكٌ فَقَالَ بُلْ عَلَيْهِ ثُمَّ اغْسِلْهُ.

Bishr bin al-Walid meriwayatkan dari Abu Yusuf, ia berkata: Ada seorang laki-laki datang kepada Abu Hanifah dan berkata: Aku tidak tahu apakah aku telah mentalak istriku atau tidak? Maka Abu Hanifah berkata kepadanya: Ia tetap istrimu sampai engkau yakin bahwa engkau telah mentalaknya. Lalu ia pergi kepada Sufyan ats-Tsauri dan bertanya kepadanya, maka Sufyan berkata: Rujuklah, dan jika engkau belum mentalaknya, rujuk itu tidak membahayakanmu. Kemudian ia pergi kepada Syarik bin Abdullah dan bertanya kepadanya, maka Syarik berkata: Talaklah dia, lalu rujuklah. Lalu laki-laki itu datang kepada Zufar bin al-Hudzail dan memberitahukan pendapat-pendapat mereka. Zufar berkata kepadanya: Adapun Abu Hanifah, ia telah memberimu fatwa berdasarkan fiqh. Adapun Sufyan, ia memberimu fatwa berdasarkan sikap wara‘ dan kehati-hatian. Adapun Syarik, aku akan membuatkan perumpamaan untukmu: perumpamaannya seperti seseorang yang melewati sebuah lubang lalu mengalir sesuatu dari lubang itu kepadanya. Abu Hanifah berkata: Tidak ada kewajiban apa pun atasmu sampai engkau yakin bahwa itu najis. Sufyan memerintahkannya untuk mencucinya; jika ternyata suci, tidak membahayakannya, dan jika najis, ia telah mencucinya. Adapun Syarik berkata: Kencingilah dulu, lalu cucilah.

(باب المطلقة ثلاثا)

(Bab tentang wanita yang ditalak tiga kali)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الْمُطَلَّقَةِ الطَّلْقَةَ الثَّالِثَةَ: {فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] . وَشَكَتِ الْمَرْأَةُ الَّتِي طَلَّقَهَا رِفَاعَةُ ثَلَاثًا زَوْجَهَا بَعْدَهُ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ إِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَقَالَ (أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ؟ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ)) .

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: (Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman tentang wanita yang ditalak ketiga kalinya: {Maka tidak halal baginya (untuk rujuk) setelah itu, hingga ia menikah dengan suami yang lain} [al-Baqarah: 230]. Dan wanita yang ditalak tiga kali oleh Rifa‘ah mengadukan suaminya setelah itu kepada Nabi ﷺ, ia berkata: “Suamiku hanya memiliki seperti ujung kain.” Maka beliau bersabda: “Apakah engkau ingin kembali kepada Rifa‘ah? Tidak, hingga engkau merasakan madunya dan ia merasakan madumu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ كُلُّ زَوْجٍ وَقَعَ طَلَاقُهُ عَلَى كُلِّ زَوْجَةٍ مِنْ صَغِيرَةٍ أَوْ كَبِيرَةٍ عَاقِلَةٍ أَوْ مَجْنُونَةٍ إِذَا اسْتَكْمَلَ طَلَاقَهَا ثَلَاثًا مُجْتَمِعَةً أَوْ مُتَفَرِّقَةً قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ، وَيَدْخُلَ بِهَا الثَّانِي، فَتَحِلَّ بَعْدَهُ لِلْأَوَّلِ بِعَقْدِ الثَّانِي وَإِصَابَتِهِ، وَهُوَ قَوْلُ الْجَمَاعَةِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, setiap suami yang menjatuhkan talak kepada setiap istri, baik masih kecil atau dewasa, berakal atau gila, apabila telah menyempurnakan talak tiga kali, baik sekaligus maupun terpisah, sebelum atau sesudah berhubungan, maka ia haram baginya hingga menikah dengan suami lain dan suami kedua itu telah berhubungan dengannya. Setelah itu, ia halal bagi suami pertama dengan akad suami kedua dan telah terjadi hubungan, dan inilah pendapat jumhur ulama.

وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ تَحِلُّ لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ بِعَقْدِ الثَّانِي، وَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا فَجَعَلَا الشَّرْطَ فِي إِبَاحَتِهَا لِلْأَوَّلِ عَقْدَ الثَّانِي دُونَ إِصَابَتِهِ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] . وَاسْمُ النِّكَاحِ يَتَنَاوَلُ الْعَقْدَ دُونَ الْوَطْءِ.

Said bin al-Musayyab dan Said bin Jubair berpendapat bahwa wanita tersebut halal bagi suami pertama dengan akad suami kedua, meskipun suami kedua belum menggaulinya. Maka keduanya menjadikan syarat kebolehan bagi suami pertama adalah akad suami kedua tanpa harus terjadi hubungan suami istri, dengan berdalil pada keumuman firman Allah Ta‘ala: {Maka jika suaminya menceraikannya (sesudah talak yang kedua), maka wanita itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain} [al-Baqarah: 230]. Dan istilah nikah mencakup akad tanpa harus terjadi hubungan badan.

وَلِأَنَّهُ لَمَّا ثَبَتَ بِمُجَرَّدِ الْعَقْدِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ ثَبَتَ بِهِ حُكْمُ الْإِبَاحَةِ.

Karena ketika dengan sekadar akad saja sudah tetap keharaman karena hubungan mahram (musāharah), maka dengan akad pula tetap hukum kebolehan (kembali kepada suami pertama).

وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ الْأَعْمَشِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيَّ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ ثَلَاثًا فَنَكَحَتْ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فذكرت زوجها وقالت إنما معه كهدية الثَّوْبِ فَقَالَ: (لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقُ عُسَيْلَتَكِ) وَهَذَا نَصٌّ. وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ عَمْرَو بْنَ حَزْمٍ طَلَّقَ الْغُمَيْصَاءَ فَنَكَحَهَا رَجُلٌ فَطَلَّقَهَا، قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا أَوْ طَلَّقَهَا رجل فتزوجها عمرو بن حزاً وَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَأَتَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَسْأَلُهُ هَلْ تَرْجِعُ إِلَى زَوْجِهَا الْأَوَّلِ فَقَالَ لَهَا: هَلْ قَرَبَكِ، قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ما كان له إلا كهدية الثَّوْبِ فَقَالَ: فَلَا إِذًا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ.

Dalil kami adalah hadis al-A‘mash dari ‘Urwah dari ‘Aisyah bahwa Rifa‘ah al-Qurazhi menceraikan istrinya tiga kali, lalu setelah itu ia menikah dengan ‘Abdurrahman bin az-Zubair. Kemudian ia datang kepada Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- dan menceritakan tentang suaminya serta berkata, “Sesungguhnya yang ada padanya hanya seperti ujung kain saja.” Maka beliau bersabda: “Barangkali engkau menginginkan Rifa‘ah? Tidak, hingga engkau merasakan manisnya madu darinya dan ia merasakan manisnya madu darimu.” Ini adalah nash (teks yang jelas). Dan Hisham bin ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya dari ‘Aisyah bahwa ‘Amr bin Hazm menceraikan al-Ghumaisa’, lalu ia dinikahi oleh seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya sebelum menggaulinya, atau ia dicerai oleh seorang laki-laki lalu dinikahi kembali oleh ‘Amr bin Hazm dan dicerai sebelum menggaulinya. Maka ia datang kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- untuk bertanya apakah ia boleh kembali kepada suami pertamanya. Beliau bertanya kepadanya: “Apakah ia telah mendekatimu?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, ia tidak memiliki apa-apa kecuali seperti ujung kain saja.” Maka beliau bersabda: “Kalau begitu, tidak boleh, hingga engkau merasakan manisnya madu darinya dan ia merasakan manisnya madu darimu.”

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلًا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ زَوْجًا فَخَلَا بِهَا وَأَغْلَقَ الْبَابَ وَكَشَفَ الْقِنَاعَ إِلَّا أَنَّهُ لَمْ يَطَأْ فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هَلْ تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ إِنْ طَلَّقَهَا الثَّانِي فَقَالَ: (لَا حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا) .

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar bahwa ada seorang laki-laki menceraikan istrinya tiga kali, lalu setelah itu wanita tersebut menikah dengan suami lain. Suami kedua itu berduaan dengannya, menutup pintu, dan membuka penutup wajahnya, namun tidak menggaulinya. Maka Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- ditanya, “Apakah ia halal bagi suami pertama jika suami kedua menceraikannya?” Beliau menjawab: “Tidak, hingga ia merasakan manisnya madu darinya dan ia merasakan manisnya madu darinya.”

وَالْعُسَيْلَةُ: مُخْتَلِفٌ فِيهَا فَذَهَبَ أَبُو عُبَيْدٍ الْقَاسِمُ بْنُ سَلَّامٍ إِلَى أَنَّهَا لَذَّةُ الْجِمَاعِ، وَذَهَبَ آخَرُونَ إِلَى أَنَّهَا الْإِنْزَالُ وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهَا الْجِمَاعُ، لِأَنَّ اللَّذَّةَ زِيَادَةٌ وَالْإِنْزَالَ غَايَةٌ.

Adapun makna ‘usyailah (manisnya madu), terdapat perbedaan pendapat. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam berpendapat bahwa maksudnya adalah kenikmatan jima‘ (hubungan badan), sementara yang lain berpendapat bahwa maksudnya adalah keluarnya mani. Imam asy-Syafi‘i dan mayoritas fuqaha berpendapat bahwa maksudnya adalah jima‘, karena kenikmatan adalah tambahan dan keluarnya mani adalah batas akhir.

وَقَدْ رَوَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: (الْعُسَيْلَةُ هِيَ الْجِمَاعُ) .

Dan telah diriwayatkan oleh Abdullah bin Abi Mulaikah dari ‘Aisyah ra. dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “’Usyailah itu adalah jima‘ (hubungan badan).”

وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَوَى ذَلِكَ عَنْ عَلِيِّ وَعَائِشَةَ وَجَابِرٍ وَابْنِ عُمَرَ وَأَنَسٍ أَنَّهَا لَا تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ حَتَّى يُصِيبَهَا الثَّانِي.

Dan karena ini adalah ijmā‘ para sahabat, telah diriwayatkan dari ‘Ali, ‘Aisyah, Jabir, Ibnu ‘Umar, dan Anas bahwa wanita tersebut tidak halal bagi suami pertama hingga suami kedua menggaulinya.

وَقَالَ عُمَرُ وَعَلِيٌّ حَتَّى تَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ وَهِيَ مَاؤُهُ، وَلَيْسَ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالَفَةٌ، لِأَنَّ الزَّوْجَ الثَّانِيَ شَرْطُ عُقُوبَةٍ للأول، وزجراً مِنَ الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ لِتَدْعُوَهُ الْحَمِيَّةُ وَالْأَنَفَةُ مِنْ نِكَاحِ الزَّوْجَةِ أَنْ لَا يُطَلِّقُهَا ثَلَاثًا؛ لِأَنَّهُمْ كَانُوا يُطَلِّقُونَ وَيُرَاجِعُونَ، فَلَوْ حَلَّتْ لَهُ بِمُجَرَّدِ الْعَقْدِ مِنْ غَيْرِ إِصَابَةٍ لَمَا دَخَلَهُ مِنَ الْحَمِيَّةِ وَالْأَنَفَةِ مَا يَمْنَعُهُ مِنَ الثَّلَاثِ كَمَا يَدْخُلُهُ إِذَا وُطِئَتْ، فَلِذَلِكَ صَارَ الْوَطْءُ مَشْرُوطًا.

Umar dan ‘Ali berkata: “Hingga ia merasakan ‘usyailah, yaitu air maninya.” Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tentang hal ini. Karena suami kedua adalah syarat sebagai hukuman bagi suami pertama, dan sebagai pencegah dari talak tiga, agar rasa cemburu dan harga diri mencegahnya dari menceraikan istrinya tiga kali. Sebab dahulu mereka sering menceraikan dan merujuk kembali, maka jika wanita itu halal bagi suami pertama hanya dengan akad tanpa hubungan badan, tidak akan timbul rasa cemburu dan harga diri yang mencegahnya dari talak tiga sebagaimana jika istrinya telah digauli oleh suami kedua. Oleh karena itu, hubungan badan dijadikan sebagai syarat.

فَأَمَّا الْآيَةُ وَأَنَّ النِّكَاحَ هُوَ الْعَقْدُ دُونَ الوطء فعنها جَوَابَانِ:

Adapun mengenai ayat dan bahwa nikah adalah akad tanpa hubungan badan, maka ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَقْدَ حَقِيقَةٌ فِي النِّكَاحِ، فَجَازَ فِي الْوَطْءُ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى مَجَازِهِ بِدَلِيلٍ، وَالسُّنَّةُ أَقْوَى دَلِيلٍ، قَالَ الشافعي: فسرت السنة والكتاب وَأَوْلَى مَا فُسِّرَ بِهِ الْقُرْآنُ هُوَ السُّنَّةُ.

Pertama: Bahwa akad adalah hakikat dalam nikah, maka boleh juga digunakan untuk makna hubungan badan, dan boleh jadi dimaknai secara majazi (kiasan) dengan adanya dalil, dan sunnah adalah dalil yang paling kuat. Imam asy-Syafi‘i berkata: “Sunnah telah menafsirkan al-Kitab, dan penafsiran terbaik terhadap al-Qur’an adalah dengan sunnah.”

وَالثَّانِي: أَنَّ الْكِتَابَ أَوْجَبَ شَرْطًا هُوَ الْعَقْدُ، وَالسُّنَّةَ أَوْجَبَتْ شَرْطًا ثَانِيًا وَهُوَ الْإِصَابَةُ فَاقْتَضَى وُجُوبَ أَحَدِهِمَا بِالْكِتَابِ، وَوُجُوبَ الْآخَرِ بِالسُّنَّةِ.

Yang kedua: bahwa al-Kitab mewajibkan satu syarat, yaitu akad, dan as-Sunnah mewajibkan syarat kedua, yaitu al-ishābah (hubungan suami istri), sehingga kewajiban salah satunya berdasarkan al-Kitab, dan kewajiban yang lainnya berdasarkan as-Sunnah.

وَأَمَّا تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْتَبَرَ بِهِ حُكْمُ الْإِبَاحَةِ، لِأَنَّ التَّحْرِيمَ أَوْسَعُ لِحُصُولِهِ بِالْوَطْءِ مِنْ غَيْرِ عَقْدٍ كَالْوَطْءِ بِشُبْهَةٍ كَذَلِكَ بِالْعَقْدِ مِنْ غَيْرِ وَطْءٍ وَالْإِبَاحَةُ لَمَّا لَمْ تَثْبُتْ بِالْوَطْءِ مِنْ غَيْرِ عَقْدٍ، وَلَا بِالْفَاسِدِ مِنَ الْعُقُودِ لَمْ يَثْبُتْ بِمُجَرَّدِ الْعَقْدِ مِنْ غَيْرِ وَطْءٍ.

Adapun pengharaman karena mushāharah (hubungan kekerabatan karena pernikahan), maka tidak boleh dijadikan dasar untuk menetapkan hukum kebolehan, karena pengharaman itu lebih luas cakupannya, sebab dapat terjadi dengan hubungan badan tanpa akad seperti hubungan badan karena syubhat, demikian pula dengan akad tanpa hubungan badan, sedangkan kebolehan tidaklah ditetapkan dengan hubungan badan tanpa akad, dan tidak pula dengan akad yang fasid (rusak), maka tidak ditetapkan hanya dengan akad tanpa hubungan badan.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَلَا تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ بَعْدَ الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ إِلَّا بِخَمْسَةِ شُرُوطٍ:

Jika telah jelas apa yang telah kami uraikan, maka tidak halal bagi suami pertama setelah talak tiga kecuali dengan lima syarat:

أَحُدُّهَا: أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا مِنْهُ.

Pertama: Telah habis masa iddahnya dari suami kedua.

وَالثَّانِي: أَنْ تَنْكِحَ غَيْرَهُ.

Kedua: Ia menikah dengan laki-laki lain.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَطَأَهَا. وَالرَّابِعُ: أَنْ يُطَلِّقَهَا إِمَّا ثَلَاثًا أَوْ دُونَهَا.

Ketiga: Suami kedua telah menggaulinya. Keempat: Suami kedua menceraikannya, baik dengan tiga talak atau kurang dari itu.

وَالْخَامِسُ: أَنْ تَقْضِيَ مِنْهُ عِدَّتَهَا فَتَحِلَّ حِينَئِذٍ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَنْكِحَهَا غَيْرَ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَا الْإِبَاحَةُ فِي هَذِهِ الشُّرُوطِ الْخَمْسَةِ شَرْطَانِ الْعَقْدُ وَالْإِصَابَةُ.

Kelima: Ia telah menyelesaikan masa iddahnya dari suami kedua, maka pada saat itu halal bagi suami pertama untuk menikahinya kembali. Namun, yang dimaksud dengan kebolehan dalam lima syarat ini adalah dua syarat: akad dan al-ishābah.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (فَإِذَا أَصَابَهَا بِنِكَاحٍ صَحِيحٍ فَغَيَّبَ الْحَشَفَةَ فِي فَرْجِهَا فَقَدْ ذَاقَا الْعُسَيْلَةَ) .

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika suami kedua telah menggaulinya dengan akad nikah yang sah, lalu memasukkan hasyafah (kepala zakar) ke dalam farjinya, maka keduanya telah merasakan ‘al-‘usailah’ (kenikmatan hubungan suami istri).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ بَيَّنَ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا صِفَةَ الشَّرْطَيْنِ أَمَّا الْعَقْدُ فَهُوَ أَنْ يَكُونَ صَحِيحًا غَيْرَ فَاسِدٍ، لِأَنَّ الْأَحْكَامَ إِذَا اخْتَصَّتْ بِالْعُقُودِ تَعَلَّقَتْ بِالصَّحِيحِ مِنْهَا دُونَ الْفَاسِدِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ حَلَفَ لَا يَعْقِدُ نِكَاحًا وَلَا بَيْعًا فَعَقَدَهُمَا عَقْدًا فَاسِدًا لَمْ يَحْنَثْ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Dengan ini, asy-Syafi‘i telah menjelaskan sifat kedua syarat tersebut. Adapun akad, maka harus sah dan tidak fasid, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan akad hanya berlaku pada akad yang sah, tidak pada yang fasid. Bukankah engkau melihat, jika seseorang bersumpah tidak akan melakukan akad nikah atau jual beli, lalu ia melakukannya dengan akad yang fasid, maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya.

وَأَمَّا الْوَطْءُ فَيَكُونُ فِي الْقُبُلِ بِتَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ فِيهِ.

Adapun hubungan badan, maka harus dilakukan di qubul (kemaluan) dengan memasukkan hasyafah ke dalamnya.

فَأَمَّا الْوَطْءُ فِي الدُّبُرِ أَوْ فِيمَا دُونَ الْفَرْجِ فَلَا تَتَعَلَّقُ بِهِ الْإِبَاحَةُ، لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ مَعَهُ ذَوْقُ الْعُسَيْلَةِ وَإِنْ كَمُلَ بِهِ الْمَهْرُ وَوَجَبَتْ بِهِ الْعِدَّةُ، فَيَكُونُ الْوَطْءُ فِي الدُّبُرِ مُخَالِفًا لِحُكْمِ الْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ فِي أَرْبَعَةِ مَوَاضِعَ لِلْإِحْلَالِ وَالْإِحْصَانِ وَالْإِيلَاءِ وَالْعُنَّةِ وَمُوَافِقًا لَهُ فِيمَا سِوَى هَذِهِ الْأَرْبَعَةِ، وَإِذَا لَمْ يُحِلَّهَا إِلَّا بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ فَلَا يَكُونُ بِدُونِ تَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ، لِأَنَّ فَسَادَ الصَّوْمِ وَوُجُوبَ الْكَفَّارَةِ فِيهِ وَكَمَالَ الْمَهْرِ وَوُجُوبَ الْحَدِّ وَالْغَسْلِ إِنَّمَا يَتَعَلَّقُ بِتَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ لِيَلْتَقِيَ بِهَا الختانان، ولا لا يَتَعَلَّقُ بِمَا دُونَهَا كَذَلِكَ حُكْمُ الْإِبَاحَةِ وَسَوَاءٌ حَصَلَ مَعَ تَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ إِنْزَالٌ أَوْ لَمْ يَحْصُلْ، لِأَنَّهُمَا قَدْ ذَاقَا الْعُسَيْلَةَ بِتَغْيِيبِهَا وَإِنْ لَمْ يُنْزِلَا، وَكَمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا سَائِرُ الْأَحْكَامِ مَعَ عَدَمِ الْإِنْزَالِ.

Adapun hubungan badan di dubur (anus) atau selain farji, maka tidak menjadikan kebolehan, karena tidak terjadi padanya dzawq al-‘usailah (merasakan kenikmatan hubungan suami istri), meskipun dengan itu mahar menjadi sempurna dan iddah menjadi wajib. Maka, hubungan badan di dubur berbeda hukumnya dengan hubungan badan di qubul dalam empat perkara: untuk kehalalan, keabsahan pernikahan (ihshān), ila’ (sumpah tidak menggauli istri), dan ‘unnah (impotensi), dan sama dalam selain empat perkara tersebut. Dan jika tidak menjadikannya halal kecuali dengan hubungan badan di qubul, maka tidak cukup tanpa memasukkan hasyafah, karena batalnya puasa, wajibnya kafarat, sempurnanya mahar, wajibnya had, dan mandi junub hanya berkaitan dengan masuknya hasyafah sehingga bertemunya dua khitan, dan tidak berlaku untuk selain itu. Demikian pula hukum kebolehan. Sama saja apakah dengan masuknya hasyafah terjadi ejakulasi atau tidak, karena keduanya telah merasakan ‘al-‘usailah’ dengan masuknya hasyafah, meskipun tidak terjadi ejakulasi, sebagaimana hukum-hukum lain juga berlaku tanpa adanya ejakulasi.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَإِذَا كَانَتْ بِكْرًا فَالْإِصَابَةُ الَّتِي تَحِلُّ بِهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ أَنْ يَفْتَضَّهَا وَلَيْسَ الِافْتِضَاضُ شَرْطًا فِي الْإِبَاحَةِ، وَإِنَّمَا هُوَ شَرْطٌ فِي الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ، وَالْتِقَاءُ الْخِتَانَيْنِ شَرْطٌ فِي الْإِبَاحَةِ، لِأَنَّ مَدْخَلَ الذَّكَرِ فِي مَخْرَجِ الْحَيْضِ، وَهُوَ فِي الْبِكْرِ يَضِيقُ عَنْ مَدْخَلِ الذَّكَرِ، فَإِذَا دَخَلَ اتَّسَعَ بِهِ الثَّقْبُ فَانْخَرَقَتْ بِهِ الْجِلْدَةُ فَزَالَتِ الْبَكَارَةُ الَّتِي هِيَ ضِيقُ الثَّقْبِ فَكَانَ هُوَ الِافْتِضَاضَ، فَلَوْ أَرَادَ الثَّانِي افْتِضَاضَهَا بِوَطْئِهِ أَحَلَّهَا، وَالِافْتِضَاضُ

Jika perempuan itu masih perawan, maka al-ishābah yang menjadikannya halal bagi suami pertama adalah terjadinya iftidādh (robeknya selaput dara), namun iftidādh bukanlah syarat kebolehan, melainkan syarat bertemunya dua khitan, dan bertemunya dua khitan adalah syarat kebolehan, karena tempat masuknya zakar adalah tempat keluarnya haid, yang pada perempuan perawan lebih sempit dari ukuran zakar. Jika zakar masuk, maka lubang itu menjadi lebih lebar dan selaputnya robek, sehingga hilanglah keperawanan yang berupa sempitnya lubang tersebut, dan itulah yang disebut iftidādh. Jika suami kedua bermaksud melakukan iftidādh dengan menggaulinya, maka itu menjadikannya halal, dan iftidādh

هُوَ خَرْقُ الْحَاجِزِ الَّذِي بَيْنَ مَخْرَجِ الْحَيْضِ وَهُوَ مَدْخَلُ الذَّكَرِ، وَبَيْنَ مَخْرَجِ الْبَوْلِ وَهَذَا يُحِلُّهَا، لِأَنَّهُ أُرِيدَ مِنَ الِافْتِضَاضِ وَالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ فَكَانَ أَبْلَغَ في الإباحة.

adalah robeknya penghalang antara tempat keluarnya haid (yang merupakan tempat masuknya zakar) dan tempat keluarnya air kencing. Hal ini menjadikannya halal, karena yang dimaksud dari iftidādh dan bertemunya dua khitan adalah tercapainya kehalalan secara sempurna.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَسَوَاءٌ قَوِيُّ الْجِمَاعِ وَضَعِيفُهُ لَا يُدْخِلُهُ إِلَّا بِيَدِهِ أَوْ بِيَدِهَا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Baik yang kuat dalam melakukan jima‘ maupun yang lemah, tidak memasukkannya kecuali dengan tangannya sendiri atau dengan tangan istrinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لَا فَرْقَ فِي وَطْءِ الثَّانِي بَيْنَ أَنْ يَكُونَ قَوِيَّ الْجِمَاعِ أَوْ ضَعِيفَهُ، لِأَنَّهُ قَدْ يَذُوقُ بِهِ الْعُسَيْلَةَ، وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا، فَأَمَّا قَوْلُهُ أَدْخَلَهُ بِيَدِهِ أَوْ يَدِهَا. فَإِنْ كَانَ بَعْدَ انْتِشَارِهِ فَسَوَاءٌ أَدْخَلَهُ بِيَدِهِ أَوِ اسْتَدْخَلَتْهُ الْمَرْأَةُ بِيَدِهَا فِي حُصُولِ الْإِبَاحَةِ بِهِ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, tidak ada perbedaan dalam persetubuhan suami kedua antara yang kuat jima‘ dan yang lemah, karena bisa saja ia merasakan ‘usyailah (kenikmatan hubungan) meskipun ia lemah. Adapun perkataannya ‘memasukkannya dengan tangannya sendiri atau dengan tangan istrinya’, maka jika itu dilakukan setelah zakar menegang, maka sama saja apakah ia memasukkannya dengan tangannya sendiri atau istrinya memasukkannya dengan tangannya, keduanya sama-sama menyebabkan kehalalan.

فَأَمَّا إِنْ لَمْ يَنْتَشِرْ عَلَيْهِ فَأَدْخَلَهُ غَيْرَ مُنْتَشِرٍ بِيَدِهِ أَوْ يَدِهَا قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ: لَا تَحْصُلُ بِهِ الْإِبَاحَةُ، وَلَا تَتَعَلَّقْ بِهِ أَحْكَامُ الْوَطْءِ، وَلَا يُجِبْ بِهِ الْغُسْلُ، لِأَنَّ عُرْفَ الْوَطْءِ لَا يَتَنَاوَلُهُ، فَلَمْ يَتَعَلَّقْ عَلَيْهِ حُكْمٌ، وَلِأَنَّ الْعُسَيْلَةَ إِنَّمَا تَكُونُ بِالشَّهْوَةِ، وَالشَّهْوَةُ إِنَّمَا تَكُونُ مَعَ الِانْتِشَارِ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ بَلْ تَغْيِيبُ الْحَشَفَةِ فِي الْفَرْجِ، وَإِنْ كَانَ الذَّكَرُ غَيْرَ مُنْتَشِرٍ يَتَعَلَّقُ بِهِ أَحْكَامُ الْوَطْءِ بِالذَّكَرِ الْمُنْتَشِرِ، لِأَنَّ لِينَ الذَّكَرِ ضَعْفٌ، وَانْتِشَارَهُ قُوَّةٌ، وَضَعْفُ الْجِمَاعِ وَقُوَّتُهُ سَوَاءٌ فَكَذَلِكَ لِينُ الذَّكَرِ وَانْتِشَارُهُ سَوَاءٌ إِذَا أَمْكَنَ دُخُولُ الْحَشَفَةِ مَعَ لِينِهِ، وَلِأَنَّ وُجُودَ اللَّذَّةِ فِي ذَوْقِ الْعُسَيْلَةِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ وَطِئَهَا وَهِيَ نَائِمَةٌ أَحَلَّهَا إِنْ لم تذوق عُسَيْلَتَهُ، وَلَوِ اسْتَدْخَلَتْ ذَكَرَهُ وَهُوَ نَائِمٌ حَلَّتْ، وَإِنْ لَمْ يَذُقْ عُسَيْلَتَهَا فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ غير منتشر.

Adapun jika zakar belum menegang lalu dimasukkan dalam keadaan tidak menegang, baik dengan tangannya sendiri atau tangan istrinya, Abu Hamid al-Isfarayini berkata: Tidak terjadi kehalalan dengannya, dan tidak terkait padanya hukum-hukum wath‘ (persetubuhan), serta tidak wajib mandi janabah karenanya, karena menurut kebiasaan wath‘ tidak mencakupnya, sehingga tidak ada hukum yang terkait dengannya. Dan karena ‘usyailah hanya terjadi dengan syahwat, dan syahwat hanya ada bersama ketegangan, namun pendapat ini tidak benar. Justru, memasukkan hasyafah (kepala zakar) ke dalam farji, meskipun zakar tidak menegang, tetap terkait padanya hukum-hukum wath‘ sebagaimana pada zakar yang menegang. Sebab, lunaknya zakar adalah kelemahan, dan menegangnya adalah kekuatan, dan lemahnya jima‘ serta kuatnya adalah sama, demikian pula lunaknya zakar dan menegangnya adalah sama jika memungkinkan masuknya hasyafah dalam keadaan lunak. Dan keberadaan kenikmatan dalam merasakan ‘usyailah tidak dianggap. Bukankah jika ia menyetubuhinya saat istrinya tidur, maka ia menjadi halal meskipun istrinya tidak merasakan ‘usyailah-nya? Dan jika istrinya memasukkan zakarnya saat ia tidur, maka ia pun halal, meskipun ia tidak merasakan ‘usyailah-nya. Maka demikian pula jika zakar tidak menegang.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنْ صَبِيٍ مُرَاهِقٍ أَوْ مَجْبُوبٍ بَقِيَ لَهُ قَدْرُ مَا يُغَيِّبُهُ تَغْيِيبَ غَيْرِ الْخَصِيِّ وَسَوَاءٌ كُلُّ زَوْجٍ وَزَوْجَةٍ) .

Imam Syafi‘i berkata: “Atau jika itu dilakukan oleh anak laki-laki yang mendekati baligh atau oleh seorang majbub (yang terpotong zakarnya) yang masih tersisa bagian yang dapat dimasukkan seperti selain khasi, maka sama saja semua suami dan istri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا كَانَ الزَّوْجُ الثَّانِي غَيْرَ بالغ وقد عقد عليها نكاحاً صحيحاً له حَالَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun jika suami kedua belum baligh namun telah melakukan akad nikah yang sah, maka ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُرَاهِقًا قَدِ انْتَشَرَ ذَكَرُهُ وَيَطَأُ مِثْلُهُ، فَوَطْؤُهُ يُحِلُّهَا لِلْأَوَّلِ، كَالْبَالِغِ.

Pertama: Ia adalah anak yang mendekati baligh, zakarnya sudah menegang dan anak seusianya sudah bisa melakukan wath‘, maka persetubuhannya menghalalkan istri bagi suami pertama, seperti halnya orang baligh.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ طِفْلًا لَا يَطَأُ مِثْلُهُ، وَلَا يَنْتَشِرُ ذَكَرُهُ، فَالْوَطْءُ مُسْتَحِيلٌ مِنْ مِثْلِهِ وَإِنَّمَا يَكُونُ اسْتِدْخَالُ ذَكَرِهِ عَبَثًا فَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ إِحْلَالٌ فَخَالَفَ الْبَالِغَ إِذَا أَوْلَجَ مِنْ غَيْرِ انْتِشَارٍ، لِأَنَّهُمَا يَخْتَلِفَانِ فِي انْطِلَاقِ اسْمِ الْوَطْءِ عَلَيْهَا فَاخْتَلَفَا فِي حُكْمِهِ.

Kedua: Ia masih anak-anak yang belum mampu melakukan wath‘ dan zakarnya belum menegang, maka persetubuhan tidak mungkin terjadi darinya dan memasukkan zakarnya hanyalah main-main, sehingga tidak menyebabkan kehalalan. Ini berbeda dengan orang baligh yang memasukkan zakar tanpa menegang, karena keduanya berbeda dalam penggunaan istilah wath‘, sehingga berbeda pula hukumnya.

وَأَمَّا الْخَصِيُّ فَهُوَ الْمَسْلُولُ الْأُنْثَيَيْنِ السَّلِيمُ الذَّكَرِ فَوَطْؤُهُ يُحِلُّهَا كَالْفَحْلِ، بَلْ وَطْؤُهُ أَقْوَى لِعَدَمِ إِنْزَالِهِ، وَقِلَّةِ فُتُورِهِ.

Adapun khasi (yang terpotong kedua testisnya namun zakarnya masih utuh), maka persetubuhannya menghalalkan istri sebagaimana laki-laki normal, bahkan persetubuhannya lebih kuat karena ia tidak mengeluarkan mani dan jarang mengalami lemah syahwat.

فَأَمَّا الْمَجْبُوبُ وَهُوَ الْمَقْطُوعُ الذَّكَرِ فَإِنْ لَمْ يَبْقَ مِنْهُ شَيْءٌ يُمْكِنُهُ إِيلَاجُهُ اسْتَحَالَ الْوَطْءُ مِنْهُ فَلَمْ يُحِلَّهَا، وَإِنْ بَقِيَ مِنْهُ مَا يُمْكِنُ إِيلَاجُهُ فَإِنْ كَانَ دُونَ مِقْدَارِ الْحَشَفَةِ لَمْ يُحِلَّهَا، لِأَنَّ السَّلِيمَ الذَّكَرِ لَوْ أَوْلَجَ دُونَ الْحَشَفَةِ، لَمْ يُحِلَّ، وَإِنْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهُ بِمِثْلِ مِقْدَارِ الْحَشَفَةِ فَمَا زَادَ أَحَلَّهَا، وَهَلْ يُعْتَبَرُ فِي إِحْلَالِهِ تَغْيِيبُ قَدْرِ الْحَشَفَةِ فِيهِ أَوْ يُعْتَبَرُ تَغْيِيبُ جَمِيعِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun majbub (yang terpotong zakarnya), jika tidak tersisa bagian yang memungkinkan untuk dimasukkan, maka persetubuhan tidak mungkin terjadi darinya sehingga tidak menghalalkan istri. Namun jika masih tersisa bagian yang memungkinkan untuk dimasukkan, maka jika kurang dari ukuran hasyafah, tidak menghalalkan, karena laki-laki normal jika memasukkan kurang dari hasyafah tidak menghalalkan. Jika sisa zakarnya seukuran hasyafah atau lebih, maka menghalalkan. Apakah dalam menghalalkan itu disyaratkan memasukkan seukuran hasyafah saja atau seluruh sisa zakar, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُعْتَبَرُ مِنْهُ تَغْيِيبُ قَدْرِ الحشفة، فإذا غيب من باقي ذكره قَدْرَ الْحَشَفَةِ أَحَلَّ.

Pertama: Yang dianggap adalah memasukkan seukuran hasyafah. Jika ia memasukkan dari sisa zakarnya seukuran hasyafah, maka menghalalkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُحِلُّهَا إِلَّا بِتَغْيِيبِ جَمِيعِ الْبَاقِي لِأَنَّ ذَهَابَ الْحَشَفَةِ مِنْهُ قَدْ أَسْقَطَ حُكْمَهَا فَانْتَقَلَ إِلَى الْبَاقِي بَعْدَهَا.

Pendapat kedua: Tidak menghalalkan kecuali dengan memasukkan seluruh sisa zakar, karena hilangnya hasyafah telah menggugurkan hukumnya, sehingga berpindah pada sisa setelahnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

قَالَ الشَّافِعِيُّ: (وَسَوَاءٌ كُلُّ زَوْجٍ وَزَوْجَةٍ) يَعْنِي أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ حُرًّا أَوْ عَبْدًا أَوْ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا مَعَ الزَّوْجَةِ الْكَافِرَةِ عَاقِلًا أَوْ مجنوناً، وكذلك الزَّوْجَةُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ حُرَّةً أَوْ أَمَةً مُسْلِمَةً أَوْ كَافِرَةً عَاقِلَةً أَوْ مَجْنُونَةً، لِأَنَّهَا إِصَابَةٌ مِنْ زَوْجٍ فِي نِكَاحٍ صحيح.

Imam asy-Syafi‘i berkata: “(Sama saja setiap suami dan istri),” maksudnya tidak ada perbedaan apakah suaminya itu merdeka atau budak, muslim atau kafir bersama istri yang kafir, berakal atau gila. Demikian pula sang istri, tidak ada perbedaan apakah ia merdeka atau budak, muslimah atau kafirah, berakal atau gila, karena ini merupakan hubungan suami istri dalam pernikahan yang sah.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ أَصَابَهَا صَائِمَةً أَوْ مُحْرِمَةً أَسَاءَ وَقَدْ أَحَلَّهَا) .

Imam asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia menggaulinya saat sedang berpuasa atau sedang berihram, maka ia berbuat buruk, namun tetap menghalalkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْوَطْءُ الْمُحَرَّمُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Hubungan suami istri yang diharamkan itu ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَعَ صِحَّةِ الْعَقْدِ. وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لِفَسَادِ الْعَقْدِ.

Pertama: terjadi dalam pernikahan yang sah. Kedua: terjadi karena rusaknya akad.

فَأَمَّا تَحْرِيمُهُ وَالْعَقْدُ صَحِيحٌ فَكَالْوَطْءِ فِي حَيْضٍ أَوْ صَوْمٍ أَوْ إِحْرَامٍ فَهُوَ يُحِلُّهَا وَإِنْ حُرِّمَ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يُحِلُّهَا حَتَّى تَكُونَ حَلَالًا، فَإِنْ كَانَ حَرَامًا لَا تَحِلُّ كَالزِّنَا، وَكَالْوَطْءِ مَعَ فَسَادِ الْعَقْدِ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ) فَجَعَلَ الْإِبَاحَةَ بِشَرْطَيْنِ الْعَقْدِ وَذَوْقِ الْعُسَيْلَةِ، وَقَدْ وُجِدَا فَوَجَبَ أَنْ يُوجِدَا الْإِبَاحَةَ، وَلِأَنَّهُ وَطْءٌ فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ التَّحْلِيلُ كَالْمُبَاحِ.

Adapun pengharaman hubungan suami istri dalam akad yang sah, seperti hubungan saat haid, puasa, atau ihram, maka itu tetap menghalalkannya meskipun diharamkan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah. Malik berkata: Tidak menghalalkannya sampai benar-benar halal. Jika haram, maka tidak halal, seperti zina, atau hubungan dalam akad yang rusak. Pendapat ini tidak benar, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak (halal) sampai engkau merasakan madunya dan dia merasakan madumu.” Maka Nabi mensyaratkan dua hal: akad dan merasakan madu (hubungan), dan jika keduanya terpenuhi maka harus menghasilkan kehalalan. Karena itu adalah hubungan dalam pernikahan yang sah, maka harus terkait dengan kehalalan sebagaimana hubungan yang mubah.

فَأَمَّا الزِّنَا فَلَا يُحِلُّ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى شَرَطَ فِيهِ نِكَاحَ زَوْجٍ.

Adapun zina, maka tidak menghalalkan, karena Allah Ta‘ala mensyaratkan adanya pernikahan dengan suami.

وَأَمَّا الْوَطْءُ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ فَالْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ وَالْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِهِ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ لَا يُحِلُّهَا كَالْوَطْءِ فِي نِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَالشِّغَارِ كَالنِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ، لِأَنَّهُ لَا يَسْتَنِدُ إِلَى صِحَّةِ عَقْدٍ، وَإِنْ سَقَطَ فِيهِ الْحَدُّ فَاشْتَبَهَ الْوَطْءُ بِالشُّبْهَةِ، إِذَا خَلَا عَنْ عَقْدٍ، وَقَدْ خَرَجَ قَوْلٌ آخَرُ فِي الْقَدِيمِ مِنْ نِكَاحِ الْمُحَلِّلِ أَنَّهُ يُحِلُّهَا لِلزَّوْجِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَتَعَلَّقُ بِهِ أَحْكَامُ النِّكَاحِ الصَّحِيحِ فِي وُجُوبِ الْمَهْرِ وَالْعِدَّةِ وَلُحُوقِ النَّسَبِ، وَهَذَا التَّعْلِيلُ يَفْسُدُ بِوَطْءِ الشُّبْهَةِ.

Adapun hubungan suami istri dalam pernikahan yang rusak, maka pendapat yang ditegaskan dalam pendapat baru dan yang masyhur dari madzhab beliau dalam pendapat lama adalah bahwa hal itu tidak menghalalkannya, seperti hubungan dalam nikah mut‘ah dan syighar, atau nikah tanpa wali, karena tidak didasarkan pada akad yang sah. Meskipun tidak dikenakan had, sehingga hubungan itu dianggap syubhat jika tanpa akad, terdapat pula pendapat lain dalam madzhab lama terkait nikah muhallil bahwa itu menghalalkannya bagi suami pertama, karena bisa terkait dengan hukum-hukum pernikahan sah seperti wajibnya mahar, masa iddah, dan nasab yang sah. Namun alasan ini batal dalam kasus hubungan syubhat.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

وَأَمَّا نِكَاحُ الْمُحَلِّلِ فَهُوَ أَنْ يُحِلَّ، فَالْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثًا إِذَا نَكَحَتْ زَوْجًا لِتَحَلَّ بِهِ لِلْأَوَّلِ أَنْ لَا يُطَلِّقَهَا وَيَتَمَسَّكَ بِهَا فَتَشْتَرِطُ عَلَيْهِ أَنَّهَا تَنْكِحُهُ لِيُحِلَّهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ حَتَّى تَعُودَ إِلَيْهِ فَهَذَا مَحْظُورٌ.

Adapun nikah muhallil adalah untuk menghalalkan, yaitu seorang wanita yang telah ditalak tiga jika menikah dengan seorang suami agar menjadi halal bagi suami pertamanya, dengan syarat suami kedua tidak menceraikannya dan tetap mempertahankannya, lalu ia mensyaratkan kepada suami kedua bahwa ia menikahinya agar menjadi halal bagi suami pertama sehingga ia bisa kembali kepadanya. Maka hal ini terlarang.

رَوَى سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَرِيكٍ الْعَامِرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – المستحل والمستحل له، وكلاهما وَإِنْ كَانَ إِلَى عَشْرِ سِنِينَ، وَإِنْ كَانَ إِلَى عِشْرِينَ سَنَةً، وَإِنْ كَانَ إِلَى ثَلَاثِينَ.

Diriwayatkan dari Sufyan, dari Abdullah bin Syarik al-‘Amiri, ia berkata: Aku mendengar Ibnu Umar berkata: Rasulullah ﷺ melaknat orang yang melakukan muhallil dan yang dimuhallilkan untuknya, meskipun sampai sepuluh tahun, dua puluh tahun, atau tiga puluh tahun lamanya.

رَوَى اللَّيْثُ عَنْ مِسْرَحٍ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ) قَالُوا بَلَى قَالَ: (هو المحل) ثم قال (لعن الله المحل وَالْمُحَلَّلَ لَهُ) فَإِذَا تَقَرَّرَ وَحُظِرَ هَذَا الشَّرْطُ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Diriwayatkan dari al-Laits, dari Misrah, dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang kambing jantan pinjaman?” Mereka menjawab: “Tentu.” Beliau bersabda: “Itulah muhallil.” Kemudian beliau bersabda: “Allah melaknat muhallil dan yang dimuhallilkan untuknya.” Jika hal ini telah jelas dan syarat ini dilarang, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَقَدَّمَ الْعَقْدَ فَلَا تَأْثِيرَ لَهُ فِي فَسَادِ الْعَقْدِ، لِأَنَّ مَا تَقَدَّمَ الْعُقُودَ مِنَ الشُّرُوطِ لَا تَلْزَمُ، فَصَارَ وُجُودُ الشَّرْطِ الْمُتَقَدِّمِ كَعَدَمِهِ، غَيْرَ أَنَّنَا نَكْرَهُهُ، وَهَكَذَا لَوْ أَضْمَرَهُ الزَّوْجَانِ، وَلَمْ يَشْتَرِطَاهُ كَرِهْنَاهُ لِمَا قَدَّمْنَاهُ فِي النِّكَاحِ وَالْبُيُوعِ، وَإِنَّ كُلَّ شَرْطٍ لَوْ انطلق بِهِ فِي الْعَقْدِ أَفْسَدَهُ فَمَكْرُوهٌ إِضْمَارُهُ وَإِنْ لَمْ يُفْسِدْهُ.

Pertama: Syarat tersebut diucapkan sebelum akad, maka tidak berpengaruh pada rusaknya akad, karena syarat yang diucapkan sebelum akad tidak mengikat. Maka keberadaan syarat sebelum akad seperti tidak ada. Namun, kami tetap membencinya. Demikian pula jika kedua mempelai hanya menyimpan niat tersebut tanpa mengucapkannya, kami tetap membencinya, sebagaimana telah kami jelaskan dalam masalah nikah dan jual beli. Setiap syarat yang jika diucapkan dalam akad dapat merusaknya, maka makruh pula menyimpannya dalam hati meskipun tidak merusaknya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُصَرِّحَا بِاشْتِرَاطِهِ فِي الْعَقْدِ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Bentuk kedua: Jika keduanya secara tegas mensyaratkan dalam akad, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُشْتَرَطَ عَلَيْهِ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ أَنْ يَنْكِحَهَا عَلَى أَنْ يُحِلَّهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ فَهَذَا الشَّرْطُ الْأَوَّلُ مَكْرُوهٌ، وَالْعَقْدُ مَعَهُ صَحِيحٌ، لِأَنَّهُ لَمْ يُشْتَرَطْ عَلَيْهِ الْفُرْقَةُ، وَهَكَذَا حُكْمُ نِكَاحِهِ أن يحلها للزوج الأول، وإن لم يشترط فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ الشَّرْطُ، فَإِنْ أَقَامَ الزَّوْجُ الثَّانِي مَعَهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤْخَذَ بِطَلَاقِهَا، فَإِنْ طَلَّقَهَا مُخْتَارًا أَحَلَّهَا.

Salah satunya: Jika disyaratkan dalam akad nikah bahwa ia menikahinya dengan tujuan agar ia menjadi halal bagi suami pertama, maka syarat pertama ini makruh, dan akadnya sah, karena tidak disyaratkan terjadinya perceraian. Demikian pula hukum menikahinya dengan tujuan agar menjadi halal bagi suami pertama, meskipun tanpa syarat, maka syarat tersebut tidak berpengaruh. Jika suami kedua tetap bersamanya, tidak boleh dipaksa untuk menceraikannya. Jika ia menceraikannya secara sukarela, maka ia menjadi halal (bagi suami pertama).

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُشْتَرَطَ عَلَيْهِ فِي الْعَقْدِ أَنْ يَنْكِحَهَا عَلَى أَنْ يُحِلَّهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ، فَإِذَا أَحَلَّهَا فَلَا نِكَاحَ بَيْنَهُمَا، فَهَذَا نِكَاحٌ فَاسِدٌ، لِأَنَّهُ نِكَاحٌ إِلَى مُدَّةٍ، وَهَذَا أَفْسَدُ مِنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ، لِأَنَّهُ إِلَى مُدَّةٍ مَجْهُولَةٍ، وَنِكَاحُ الْمُتْعَةِ إِلَى مُدَّةٍ مَعْلُومَةٍ، وَهَلْ يُحِلُّهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ إِذَا أَصَابَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Bagian kedua: Jika disyaratkan dalam akad bahwa ia menikahinya dengan tujuan agar ia menjadi halal bagi suami pertama, sehingga apabila ia telah menjadikannya halal, maka tidak ada lagi pernikahan di antara mereka berdua. Ini adalah nikah yang fasid (rusak), karena merupakan nikah untuk jangka waktu tertentu, dan ini lebih rusak daripada nikah mut‘ah, karena waktunya tidak jelas, sedangkan nikah mut‘ah untuk waktu yang jelas. Apakah ia menjadi halal bagi suami pertama jika telah digauli atau tidak? Ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ لَا يُحِلُّهَا؟ لِأَنَّ فَسَادَ الْعَقْدِ قَدْ سَلَبَهُ حُكْمَهُ وَأَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمَ الشُّبْهَةِ.

Salah satunya: yaitu pendapatnya dalam qaul jadid, bahwa ia tidak menjadi halal, karena kerusakan akad telah menghilangkan hukumnya dan diberlakukan hukum syubhat atasnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ إِنَّهُ يُحِلُّهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapatnya dalam qaul qadim, bahwa ia menjadi halal bagi suami pertama.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي عِلَّةِ إِحْلَالِهَا لَهُ، فَذَهَبَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجُمْهُورُ الْبَغْدَادِيِّينَ إِلَى أَنَّ الْعِلَّةَ فِيهِ أَنَّهَا مَوْطُوءَةٌ بِاسْمِ النِّكَاحِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ حُكْمُ الْوَطْءِ فِي كُلِّ نِكَاحٍ فَاسِدٍ كَحُكْمِهِ فِي نِكَاحِ الْمُحَلِّلِ.

Para ulama kami berbeda pendapat mengenai sebab kehalalannya bagi suami pertama. Abu ‘Ali ibn Abi Hurairah dan mayoritas ulama Baghdad berpendapat bahwa sebabnya adalah karena ia telah digauli atas nama pernikahan. Dengan demikian, hukum jima‘ dalam setiap nikah fasid sama dengan hukum dalam nikah muhallil.

وَذَهَبَ الْبَصْرِيُّونَ إِلَى أَنَّ الْعِلَّةَ فِيهِ إِطْلَاقُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اسْمَ الْإِحْلَالِ عَلَيْهِ فِي نَهْيِهِ عَنْهُ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ حُكْمُ الْوَطْءِ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَنَاكَحِ الْفَاسِدَةِ غَيْرَ مُحِلِّ لَهَا بِخِلَافِهِ لِاخْتِصَاصِهِ بِهَذَا الِاسْمِ دُونَ غَيْرِهِ.

Sedangkan ulama Basrah berpendapat bahwa sebabnya adalah karena Nabi ﷺ menyebutkan istilah “ihlal” (menjadikan halal) dalam larangannya terhadap hal itu. Dengan demikian, hukum jima‘ dalam selain nikah fasid ini tidak menjadikannya halal, berbeda dengan kasus ini karena kekhususan istilah tersebut hanya padanya, tidak pada selainnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهُ إِذَا أَحَلَّهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ بِوَطْئِهِ طَلَّقَهَا فَفِي فَسَادِ هَذَا الْعَقْدِ قَوْلَانِ:

Bagian ketiga: Menikahinya dengan syarat bahwa apabila ia telah menjadikannya halal bagi suami pertama dengan jima‘, ia akan menceraikannya. Dalam kerusakan akad ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فَاسِدٌ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُؤَبَّدٍ، فَأَشْبَهَ قَوْلَهُ عَلَى أَنَّنِي إِذَا أَحْلَلْتُكِ فَلَا نِكَاحَ بَيْنِنَا، فَعَلَى هَذَا، هَلْ يُحِلُّهَا أَمْ لَا؟ عَلَى الْقَوْلَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ عَلَى الْجَدِيدِ لَا يُحِلُّهَا، وَعَلَى الْقَدِيمِ يُحِلُّهَا، وَفِي الْعِلَّةِ وَجْهَانِ.

Salah satunya: bahwa akadnya fasid, karena tidak bersifat abadi, sehingga menyerupai pernyataan, “Jika aku telah menjadikanmu halal, maka tidak ada lagi pernikahan di antara kita.” Berdasarkan hal ini, apakah ia menjadi halal atau tidak? Berdasarkan dua pendapat sebelumnya: menurut qaul jadid tidak menjadikannya halal, dan menurut qaul qadim menjadikannya halal, dan dalam sebabnya terdapat dua sisi pendapat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ نِكَاحٌ صَحِيحٌ، لِأَنَّهُ نِكَاحٌ قُرِنَ بِشَرْطٍ فَاسِدٍ فَبَطَلَ الشَّرْطُ، وَثَبَتَ الْعَقْدُ، فَعَلَى هَذَا هُوَ بِالْخِيَارِ بَعْدَ إِصَابَتِهَا بَيْنَ أَنْ يُطَلِّقَهَا أَوْ يُقِيمَ مَعَهَا، وَلَيْسَ لِلشَّرْطِ تَأْثِيرٌ فِي إِجْبَارِهِ عَلَى طَلَاقِهَا فَإِنْ طَلَّقَهَا مُخْتَارًا أَحَلَّهَا قَوْلًا وَاحِدًا لِصِحَّةِ نِكَاحِهِ.

Pendapat kedua: bahwa itu adalah nikah yang sah, karena merupakan nikah yang disertai syarat fasid, sehingga syaratnya batal dan akadnya tetap sah. Dengan demikian, ia memiliki pilihan setelah berjima‘ antara menceraikannya atau tetap bersamanya, dan syarat tersebut tidak berpengaruh dalam memaksanya untuk menceraikan. Jika ia menceraikannya secara sukarela, maka ia menjadi halal menurut satu pendapat, karena sahnya pernikahan tersebut.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالْمَخْرَجُ لِمَنْ أَرَادَ الِاسْتِحْلَالَ وَأَنْ يَتَحَرَّزَ مِنْ فَسَادِ الْعَقْدِ وَمِنَ امْتِنَاعِ الثَّانِي مِنَ الطَّلَاقِ، وَمِنْ إِحْبَالِهَا بِالْوَطْءِ، أَنْ تُزَوَّجَ بِعَبْدٍ مُرَاهِقٍ لَمْ يَبْلُغْ، فَإِذَا أَصَابَهَا وُهِبَ لَهَا فَيَبْطُلُ النِّكَاحُ بِالْهِبَةِ، لِأَنَّهَا مَلَكَتْ زَوْجَهَا، وَقَدْ حَلَّتْ بِإِصَابَتِهِ لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ، وَأَمِنَتْ مِنْهُ الْإِحْبَالَ لعدم البلوغ.

Solusi bagi orang yang ingin melakukan istihlal dan ingin menghindari kerusakan akad, serta menghindari penolakan suami kedua untuk menceraikan, dan dari kemungkinan hamil karena jima‘, adalah menikahkannya dengan seorang budak yang mendekati baligh namun belum baligh. Jika ia telah berjima‘ dengannya, lalu budak itu dihibahkan kepadanya, maka pernikahan batal karena hibah tersebut, sebab ia telah menjadi pemilik suaminya. Ia telah menjadi halal bagi suami pertama karena telah dijima‘, dan aman dari kemungkinan hamil karena belum baligh.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (وَلَوْ أَصَابَ الذِّمِّيَّةَ زَوْجٌ ذِمِّيٌّ بِنِكَاحٍ صَحِيحٍ أَحَلَّهَا لِلْمُسْلِمِ لِأَنَّهُ زَوْجٌ وَرَجَمَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا وَلَا يَرْجُمُ إِلَّا مُحْصَنًا) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang wanita ahli kitab (dzimmah) telah dijima‘ oleh suami dzimmi dalam pernikahan yang sah, maka ia menjadi halal bagi Muslim, karena ia adalah suami. Nabi ﷺ pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina, dan beliau tidak merajam kecuali terhadap orang yang sudah muhsan (pernah menikah).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا طَلَّقَ الْمُسْلِمَ زَوْجَتَهُ الذِّمِّيَّةَ ثَلَاثًا فَنَكَحَتْ زَوْجًا ذِمِّيًّا، وَأَصَابَهَا حَلَّتْ بِإِصَابَتِهِ لِلْمُسْلِمِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, yaitu apabila seorang Muslim menceraikan istrinya yang dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam) dengan talak tiga, lalu ia menikah dengan seorang suami dzimmi, dan suami tersebut telah menggaulinya, maka ia menjadi halal bagi suami Muslimnya karena telah digauli oleh suami dzimmi tersebut.

وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يُحِلُّهَا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي فَسَادِ مَنَاكِحِهِمْ، وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ، فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَذَكَرْنَا الْعَفْوَ عَنْ مَنَاكِحِهِمْ، وَجَوَازَ الْإِقَامَةِ عَلَيْهَا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَقَدْ أَقَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ بَعْدَ إِسْلَامِهِ عَلَى نِكَاحِ ابْنَتِهِ زَيْنَبَ بِالْعَقْدِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَعَ عُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] . أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا، وَلَا يَرْجُمُ إِلَّا مُحْصَنَيْنِ، وَلَا يَكُونَا مُحْصَنَيْنِ إِلَّا بِالْإِصَابَةِ فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ، وَلِأَنَّهُ نِكَاحٌ يُقِرُّ عَلَيْهِ أَهْلُهُ فَأَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الصِّحَّةِ كَنِكَاحِ الْمُسْلِمِينَ.

Malik berkata: Hal itu tidak membuatnya halal, berdasarkan pendapat dasarnya tentang rusaknya pernikahan mereka (non-Muslim), dan masalah ini telah dibahas dalam Kitab Nikah, serta telah kami sebutkan adanya keringanan terhadap pernikahan mereka dan bolehnya tetap melanjutkan pernikahan tersebut setelah mereka masuk Islam. Rasulullah ﷺ telah membiarkan Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi‘ setelah masuk Islam tetap bersama istrinya Zainab dengan akad yang pertama. Kemudian, di antara dalil atas masalah ini, selain keumuman firman Allah Ta‘ala: {hingga ia menikah dengan suami yang lain} [Al-Baqarah: 230], adalah bahwa Rasulullah ﷺ pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina, dan tidaklah dirajam kecuali keduanya sudah muhsan (pernah menikah), dan keduanya tidak dianggap muhsan kecuali dengan adanya hubungan dalam pernikahan yang sah. Karena itu, pernikahan yang diakui oleh pemeluknya, maka diberlakukan hukum sah atasnya sebagaimana pernikahan kaum Muslimin.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَلَوْ كَانَتِ الْإِصَابَةُ بَعْدَ رِدَّةِ أَحَدِهِمَا ثُمَّ رَجَعَ الْمُرْتَدُّ مِنْهُمَا لَمْ تُحِلَّهَا الْإِصَابَةُ لِأَنَّهَا محرمة في تلك الحال (قال المزني) لَا مَعْنَى لِرُجُوعِ الْمُرْتَدِّ مِنْهُمَا عِنْدَهُ فَيَصِحُّ النِّكَاحُ بَيْنَهُمَا إِلَّا فِي الَّتِي قَدْ أَحَلَّتْهَا إصابته إياها للزوج قبله فإن كانت غير مدخول بها فقد انفسخ النكاح في قوله ولها مهر مثلها بالإصابة وإن كانت مدخولا بها فقد أحلها إصابته إياها قبل الردة فكيف لا يحلها؟ فتفهم) .

Asy-Syafi‘i berkata: (Seandainya hubungan suami istri terjadi setelah salah satu dari keduanya murtad, kemudian yang murtad itu kembali masuk Islam, maka hubungan tersebut tidak membuatnya halal, karena pada saat itu hubungan tersebut haram. (Al-Muzani berkata) Tidak ada makna bagi kembalinya yang murtad menurutnya, sehingga pernikahan antara keduanya tetap sah kecuali pada wanita yang telah menjadi halal karena telah digauli oleh suaminya sebelum suami sebelumnya. Jika ia belum digauli, maka pernikahan menurutnya telah batal dan ia berhak mendapat mahar mitsil karena telah digauli. Jika sudah digauli, maka hubungan tersebut telah membuatnya halal sebelum murtad, lalu bagaimana mungkin tidak membuatnya halal? Maka pahamilah.)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا إِذَا نَكَحَتْ زَوْجًا فَأَصَابَهَا الزَّوْجُ فِي حَالِ رِدَّتِهِ أَوْ رِدَّتِهَا لَمْ يُحِلَّهَا الْوَطْءُ فِي الرِّدَّةِ لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّهَا بِالرِّدَّةِ جَارِيَةٌ فِي فُرْقَةٍ فَصَارَ الْوَطْءُ فِيهِ مَعَ تَحْرِيمِهِ مُصَادِقًا لِعَقْدِ مُسْلِمٍ يُفْضِي إِلَى فَسْخٍ، فَزَالَ عَنْهُ حُكْمُ الْوَطْءِ فِي الْعَقْدِ الصَّحِيحِ، وَمِنْ هَذَا الْوَجْهِ خَالَفَ الصَّائِمَةَ وَالْمُحْرِمَةَ وَالْحَائِضَ؛ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ مُحَرَّمًا فَقَدْ صَادَفَ عَقْدًا كَامِلًا لَمْ يَتَثَلَّمْ شَيْءٌ مِنْهُ، فَلِذَلِكَ افْتَرَقَا فِي الْإِبَاحَةِ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah pada wanita yang ditalak tiga, jika ia menikah dengan suami lain lalu suami tersebut menggaulinya dalam keadaan ia atau suaminya murtad, maka hubungan suami istri dalam keadaan murtad tidak membuatnya halal bagi suami pertama; karena dengan murtad, ia berada dalam masa perpisahan, sehingga hubungan tersebut, meskipun haram, bertepatan dengan akad seorang Muslim yang berujung pada pembatalan, sehingga hilanglah hukum hubungan suami istri dalam akad yang sah. Dari sisi ini, ia berbeda dengan wanita yang sedang berpuasa, ihram, atau haid; karena meskipun hubungan itu haram, namun terjadi dalam akad yang sempurna dan tidak ada cacat di dalamnya, sehingga keduanya berbeda dalam hal kebolehan.

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي تَصْوِيرِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَذَكَرَ أَنَّهَا مُسْتَحِيلَةٌ؛ لِأَنَّ الرِّدَّةَ إِنْ طَرَأَتْ عَلَى النِّكَاحِ قَبْلَ الدُّخُولِ بَطَلَ العقد، وكان الوطء بعده وطء فِي غَيْرِ عَقْدٍ؛ لِأَنَّ غَيْرَ الْمَدْخُولِ بِهَا لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا بِالْفُرْقَةِ، فَإِذَا طَرَأَ مَا يُوجِبُ الْفُرْقَةَ بَانَتْ، وَإِنْ كَانَتِ الرِّدَّةُ بَعْدَ الدُّخُولِ بِهَا فَتِلْكَ الْإِصَابَةُ الَّتِي كَانَتْ قَبْلَ الرِّدَّةِ قَدْ أَحَلَّهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ إِصَابَتُهَا فِي الرِّدَّةِ.

Adapun Al-Muzani, ia mengkritik Asy-Syafi‘i dalam menggambarkan masalah ini dan menyebutnya mustahil; karena jika murtad terjadi pada pernikahan sebelum terjadi hubungan suami istri, maka akadnya batal, dan hubungan setelahnya adalah hubungan di luar akad; karena wanita yang belum digauli tidak ada masa iddah baginya karena perpisahan, sehingga jika terjadi sesuatu yang menyebabkan perpisahan, maka ia langsung berpisah. Jika murtad terjadi setelah hubungan suami istri, maka hubungan yang terjadi sebelum murtad itulah yang membuatnya halal bagi suami pertama, sehingga hubungan dalam keadaan murtad tidak dianggap.

وَظَاهِرُ الِاعْتِرَاضِ صَحِيحٌ غَيْرَ أن أصحابنا خرجوا لصحة المسألة والجواب عن هذا الاعتراض وجوهاً:

Secara lahiriah, kritik tersebut benar, namun para ulama kami telah mengemukakan pendapat tentang sahnya masalah ini dan jawaban atas kritik tersebut dengan beberapa penjelasan:

أحدهما: أَنَّهُ صَوَّرَهَا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ أَنَّ الْخَلْوَةَ تُوجِبُ الْعِدَّةَ، وَكَمَالَ الْمَهْرِ، وَإِنْ لَمْ يَقَعْ بِهَا الْإِحْلَالُ لِلْأَوَّلِ، فَإِذَا ارْتَدَّتْ كَانَ نِكَاحُهَا مَوْقُوفًا عَلَى انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا، فَإِذَا أَصَابَهَا فِي حَالِ الرِّدَّةِ لَمْ يُحِلَّهَا، فَأَمَّا عَلَى مَذْهَبِهِ فِي الْجَدِيدِ فِي أَنَّ الْخَلْوَةَ لَا تُوجِبُ الْعِدَّةَ فَلَا يُتَصَوَّرُ.

Pertama: Ia menggambarkan masalah ini berdasarkan pendapatnya yang lama bahwa khalwat (berduaan setelah akad) mewajibkan iddah dan mahar penuh, meskipun tidak terjadi hubungan yang membuatnya halal bagi suami pertama. Maka jika ia murtad, pernikahannya tergantung pada selesainya masa iddahnya. Jika suami menggaulinya dalam keadaan murtad, maka itu tidak membuatnya halal. Adapun menurut pendapat barunya bahwa khalwat tidak mewajibkan iddah, maka masalah ini tidak terbayangkan.

وَالثَّانِي: أَنَّ صُورَتَهَا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ وَالْقَدِيمِ مَعًا فِي الموطؤة فِي الدُّبُرِ تَجِبُّ الْعِدَّةُ عَلَيْهَا وَيُكْمِلِ الْمَهْرَ لَهَا، وَلَا يُحِلُّهَا الزَّوْج الْأَوَّل، فَإِذَا ارْتَدَّتْ بَعْدَهُ كَانَ نِكَاحُهَا مَوْقُوفًا عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَإِنْ أَصَابَهَا فِي الرِّدَّةِ لَمْ يُحِلَّهَا.

Kedua: Bahwa bentuk kasusnya menurut pendapat beliau (asy-Syafi‘i) dalam qaul jadid dan qadim sekaligus, pada wanita yang digauli melalui dubur, maka wajib atasnya menjalani ‘iddah dan mahar harus dibayarkan secara penuh kepadanya, dan tidak menjadi halal bagi suami pertama. Jika ia murtad setelah itu, maka pernikahannya bergantung pada berakhirnya masa ‘iddah. Jika suaminya menggaulinya dalam masa murtad, maka itu tidak menghalalkannya.

وَالثَّالِثُ: أنها مصورة في موطؤة دُونَ الْفَرْجِ إِذَا اسْتَدْخَلَتْ مَاءَ الزَّوْجِ وَجَبَتِ الْعِدَّةُ عَلَيْهَا، وَإِنْ لَمْ يُحِلَّهَا، فَإِذَا ارْتَدَّتْ كَانَ نِكَاحُهَا مَوْقُوفًا عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ لِوُجُوبِ الْعِدَّةِ عَلَيْهَا، فَلَوْ وَطِئَهَا فِي الرِّدَّةِ لَمْ يُحِلَّهَا، وَهَذَا إِنَّمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ عَلَى مَذْهَبِهِ فِي الْجَدِيدِ، وَالصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِهِ فِي الْقَدِيمِ أَنَّ الْوَطْءَ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ لَا يُحِلُّهَا.

Ketiga: Bahwa kasus ini juga terdapat pada wanita yang digauli bukan melalui farj (vagina), jika ia memasukkan mani suaminya ke dalam dirinya, maka wajib atasnya menjalani ‘iddah, meskipun hal itu tidak menghalalkannya. Jika ia murtad, maka pernikahannya bergantung pada berakhirnya masa ‘iddah karena kewajiban ‘iddah atasnya. Jika suaminya menggaulinya dalam masa murtad, maka itu tidak menghalalkannya. Ini adalah pendapat asy-Syafi‘i menurut madzhab beliau dalam qaul jadid, sedangkan pendapat yang sahih dari madzhab beliau dalam qaul qadim adalah bahwa persetubuhan dalam pernikahan yang fasid tidak menghalalkannya.

فَأَمَّا إِنْ قِيلَ: بِتَخْرِيجِ قَوْلِهِ الثَّانِي فَالْوَطْءُ فِي الرِّدَّةِ أَوْلَى أَنْ يُحِلَّهَا؛ لِأَنَّهُ إِذَا أَحَلَّهَا مَا صَادَفَ عَقْدًا فَاسِدًا فَأَوْلَى أَنْ يحلها ما صادف عقداً صحيحاً موقوفاً متثلماً والله أعلم.

Adapun jika dikatakan: dengan mengeluarkan pendapat beliau yang kedua, maka persetubuhan dalam masa murtad lebih utama untuk menghalalkannya; karena jika sesuatu yang mengenai akad yang fasid saja dapat menghalalkannya, maka lebih utama lagi jika mengenai akad yang sah dan masih tergantung, wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قَالَ الشَّافِعِيُّ: رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ ذَكَرْتَ أَنَّهَا نُكِحَتْ نِكَاحًا صَحِيحًا وَأُصِيبَتْ وَلَا نَعْلَمُ حَلَّتْ لَهُ وَإِنْ وَقَعَ فِي قَلْبِهِ أَنَّهَا كَاذِبَةٌ فَالْوَرَعُ أَنْ لَا يَفْعَلَ) .

Asy-Syafi‘i berkata: rahimahullāh, “Seandainya engkau menyebutkan bahwa ia dinikahi dengan nikah yang sah dan telah digauli, namun kita tidak mengetahui apakah ia telah menjadi halal baginya, dan jika terbersit dalam hatinya bahwa ia berdusta, maka sikap wara‘ adalah tidak melakukannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا إِذَا ادَّعَتْ أَنَّهَا نُكِحَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا زَوْجًا دَخَلَ بِهَا، وَأَنَّهُ طَلَّقَهَا وَانْقَضَتْ مِنْهُ عَدَّتُهَا لِيَتَزَوَّجَهَا الْأَوَّلُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقْصُرَ الزَّمَانُ عَنِ انْقِضَاءِ عِدَّتَيْنِ وَعَقْدٍ وَإِصَابَةٍ فَقَوْلُهَا مَرْدُودٌ لِلْإِحَاطَةِ بِكَذِبِهَا.

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya pada wanita yang ditalak tiga, jika ia mengaku bahwa ia telah dinikahi setelah habis masa ‘iddahnya oleh seorang suami yang telah menggaulinya, lalu suami itu menceraikannya dan masa ‘iddahnya dari suami itu telah habis agar ia dapat dinikahi kembali oleh suami pertama, maka kasus ini terbagi menjadi dua: Pertama, jika waktu yang ada tidak cukup untuk dua kali ‘iddah, akad, dan persetubuhan, maka pengakuannya ditolak karena jelas ia berdusta.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الزَّمَانُ مُتَّسِعًا لِذَلِكَ فَلَا تَخْلُو حَالُ الزَّوْجِ الْأَوَّلِ مَعَهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Bagian kedua: Jika waktu yang ada cukup untuk itu semua, maka keadaan suami pertama bersamanya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَيَقَّنَ كَذِبَهَا فَيَحْرُمَ عَلَيْهِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا.

Pertama: Jika ia yakin bahwa istrinya berdusta, maka haram baginya menikahinya kembali.

وَالثَّانِي: أَنْ يَتَيَقَّنَ صِدْقَهَا فَيَجُوزَ نِكَاحُهَا.

Kedua: Jika ia yakin bahwa istrinya jujur, maka boleh menikahinya kembali.

وَالثَّالِثُ: أَنْ لَا يَتَيَقَّنَ صِدْقَهَا وَلَا كَذِبَهَا فَإِنْ وَقَعَ فِي نَفْسِهِ صِدْقُهَا حَلَّ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا حُكْمًا وَوَرَعًا وَإِنْ وَقَعَ فِي نَفْسِهِ كَذِبُهَا كَرِهْنَا لَهُ وَرَعًا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، وَجَازَ لَهُ فِي الْحُكْمِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا؛ لِأَنَّهَا مُؤْتَمَنَةٌ عَلَى نَفْسِهَا لَا سِيَّمَا فِيمَا لَا يُمْكِنُهَا إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ مِنَ الْإِصَابَةِ وَانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَجَازَ فِي الشَّرْعِ الرُّجُوعُ إِلَى قَوْلِهَا، وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ مَعَ جَوَازِ كَذِبِهَا كَالْمُحْدِثِ إِذَا غَابَ وَعَادَ فَذَكَرَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ جَازَ الْإِتْمَامُ بِهِ مَعَ جَوَازِ كَذِبِهِ؛ لِأَنَّ إِقَامَةَ الْبَيِّنَةِ عَلَى نِيَّتِهِ مُتَعَذِّرَةٌ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ قَبُولُ قَوْلِهَا فِي الْإِصَابَةِ، وَهُوَ أَحَدُ شَرْطَيِ الْإِبَاحَةِ جَازَ قَبُولُ قَوْلِهَا فِي الشَّرْطِ الثَّانِي، وَهُوَ الْعَقْدُ، وَلِأَنَّهُ لَوْ غَابَ مَعَ زَوْجَتِهِ ثُمَّ عَادَ فَذَكَرَ مَوْتَ زَوْجَتِهِ حَلَّ لِأُخْتِهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ بِهِ، وَيَكُونُ قَوْلُهُ فِي الْمَوْتِ مَقْبُولًا، وَلَكِنْ لَوْ غَابَتْ زَوْجَتُهُ مَعَ أُخْتِهَا، ثُمَّ قَدِمَتِ الْأُخْتُ، فَذَكَرَتْ لَهُ مَوْتَ زَوْجَتِهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ الْعَقْدُ عَلَى أُخْتِهَا إِلَّا بَعْدَ أَنْ يَتَيَقَّنَ زَوَالَ مِلْكِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْأُخْتُ؛ لِأَنَّهَا لَا مِلْكَ لَهَا، فَجَازَ أَنْ يُرْجَعَ إِلَى قَوْلِ الزَّوْجِ فِي مَوْتِ أُخْتِهَا.

Ketiga: Jika ia tidak yakin akan kejujuran atau kedustaannya, maka jika dalam hatinya cenderung pada kejujurannya, boleh baginya menikahinya baik secara hukum maupun secara wara‘. Namun jika dalam hatinya cenderung pada kedustaannya, maka secara wara‘ kami makruhkan baginya menikahinya, tetapi secara hukum tetap boleh menikahinya; karena ia dipercaya atas dirinya sendiri, terutama dalam hal yang tidak mungkin ia mendatangkan bukti atasnya, seperti persetubuhan dan berakhirnya masa ‘iddah. Maka dalam syariat, boleh kembali kepada pengakuannya dan mengamalkannya meskipun ada kemungkinan ia berdusta, sebagaimana seseorang yang berhadats jika ia pergi lalu kembali dan mengaku telah berwudhu, maka boleh menyempurnakan shalat dengannya meskipun ada kemungkinan ia berdusta; karena mendatangkan bukti atas niatnya adalah mustahil. Dan karena jika boleh menerima pengakuannya dalam hal persetubuhan, yang merupakan salah satu syarat kehalalan, maka boleh pula menerima pengakuannya dalam syarat kedua, yaitu akad. Dan jika seorang laki-laki pergi bersama istrinya lalu kembali dan mengaku bahwa istrinya telah meninggal, maka halal bagi saudari istrinya untuk menikah dengannya, dan pengakuannya tentang kematian istrinya diterima. Namun jika istrinya pergi bersama saudari istrinya, lalu saudari itu kembali dan mengabarkan bahwa istrinya telah meninggal, maka tidak halal baginya menikahi saudari istrinya kecuali setelah yakin bahwa kepemilikannya atas istrinya telah hilang. Tidak demikian halnya dengan saudari istrinya, karena ia tidak memiliki hak kepemilikan atasnya, maka boleh kembali kepada pengakuan suami tentang kematian saudari istrinya.

وَلَوْ قَالَتِ الْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثًا: نَكَحْتُ زَيْدًا وَطَلَّقَنِي بَعْدَ الإصابة، فقال زيد: طلقتها قبل الإصاب، لم تقبل دعوى الإصابة تدخل عَلَى الثَّانِي ضَرَرًا فِي تَكْمِيلِ الْمَهْرِ، فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فِيهِ، وَغَيْرُ مُدْخِلَةٍ عَلَى الْأَوَّلِ ضَرَرًا فَقُبَلَ قَوْلُهَا فِيهِ.

Jika seorang perempuan yang ditalak tiga berkata: “Aku telah menikah dengan Zaid dan dia menceraikanku setelah melakukan hubungan suami istri,” lalu Zaid berkata: “Aku menceraikannya sebelum melakukan hubungan suami istri,” maka pengakuan perempuan tentang terjadinya hubungan suami istri tidak diterima karena hal itu akan menimbulkan kerugian bagi suami kedua dalam hal penyempurnaan mahar, sehingga pengakuannya tidak diterima dalam hal ini. Namun, jika pengakuannya tidak menimbulkan kerugian bagi suami pertama, maka pengakuannya diterima dalam hal itu.

فَلَوْ قَالَ زَيْدٌ: لَمْ أَتَزَوَّجْهَا وَقَالَتْ: قَدْ تَزَوَّجَنِي وَأَصَابَنِي وَطَلَّقَنِي قبل قولها في إحلالها للأول، وإذا كَذَّبَهَا الثَّانِي لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ ائْتِمَانِهَا عَلَى نَفْسِهَا، وَإِنْ لَمْ يُقْبَلْ عَلَى الثَّانِي، فَلَوْ أَقَرَّ زَيْدٌ بِتَزْوِيجِهَا وَإِصَابَتِهَا وَادَّعَتْ عَلَيْهِ طَلَاقَهَا فأنكرها حرمت عل الْأَوَّلِ أَنْ يُرَاجِعَهَا؛ لِأَنَّ إِنْكَارَ الثَّانِي لِطَلَاقِهَا مُوجِبٌ لِبَقَائِهَا عَلَى نِكَاحِهِ فَلَمْ يَجُزْ لِغَيْرِهِ أَنْ يَنْكِحَهَا وَلَا يُصَدَّقُ عَلَيْهِ فِي طَلَاقِهَا.

Jika Zaid berkata: “Aku tidak menikahinya,” sedangkan perempuan itu berkata: “Dia telah menikahiku, melakukan hubungan suami istri denganku, dan menceraikanku,” maka perkataannya diterima dalam hal kehalalannya bagi suami pertama. Jika suami kedua mendustakannya, maka (tetap) diterima karena perempuan itu dipercaya atas dirinya sendiri, dan jika tidak diterima terhadap suami kedua. Jika Zaid mengakui telah menikahinya dan melakukan hubungan suami istri dengannya, lalu perempuan itu mengklaim bahwa dia telah menceraikannya, namun Zaid mengingkarinya, maka haram bagi suami pertama untuk merujuknya; karena pengingkaran suami kedua terhadap talaknya menyebabkan perempuan itu tetap dalam ikatan pernikahan dengannya, sehingga tidak boleh bagi orang lain untuk menikahinya dan tidak diterima pengakuan talak darinya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا طَلَّقَ الْحُرُّ زَوْجَتَهُ الْأَمَةَ ثَلَاثًا فوطئها السيد بملك اليمين لم يحل بِهِ لِلزَّوْجِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِنَّمَا أَحَلَّهَا بِالْإِصَابَةِ مَنْ زَوْجٍ، وَلَوِ اشْتَرَاهَا الزَّوْجُ قَبْلَ أَنْ يَسْتَحِلَّ بِزَوْجٍ فَهَلْ تَحِلُّ لَهُ قَبْلَ إِصَابَةِ زَوْجٍ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika seorang laki-laki merdeka menceraikan istrinya yang merupakan seorang budak sebanyak tiga kali, lalu tuannya menyetubuhinya dengan hak kepemilikan, maka hal itu tidak menjadikannya halal bagi suami (yang pertama); karena Allah Ta‘ala hanya menghalalkannya dengan adanya hubungan suami istri dari seorang suami. Jika suami membeli budak tersebut sebelum dihalalkan oleh suami lain, maka apakah ia menjadi halal baginya sebelum adanya hubungan suami istri dengan suami lain atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَحِلُّ؛ لِأَنَّ إِصَابَةَ الزَّوْجِ شَرْطٌ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ لَا فِي مِلْكِ الْيَمِينِ.

Pendapat pertama: Halal; karena hubungan suami istri dari suami merupakan syarat dalam akad nikah, bukan dalam kepemilikan budak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَحِلُّ لَهُ إِلَّا بَعْدَ إِصَابَةِ زَوْجٍ؛ لِأَنَّهَا مُحَرَّمَةُ الْعَيْنِ عَلَيْهِ إِلَّا بِوُجُودِ هَذَا الشَّرْطِ.

Pendapat kedua: Tidak halal baginya kecuali setelah adanya hubungan suami istri dari suami lain; karena ia secara zat masih haram baginya kecuali dengan terpenuhinya syarat tersebut.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا تَزَوَّجَهَا ثَانٍ فَوَجَدَهَا عَلَى فِرَاشِهِ فَظَنَّهَا أَجْنَبِيَّةً فَوَطِئَهَا قَاصِدًا بِوَطْئِهَا الزِّنَى حَلَّتْ بِهَذَا الْوَطْءِ لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ، لِأَنَّهُ وَطْءٌ صَادَفَ نِكَاحًا صَحِيحًا، وَإِنْ قَصَدَ بِهِ أَنْ يَكُونَ سِفَاحًا وَلَوْ آوَى إِلَى فِرَاشِهِ فَوَجَدَ فِيهِ امْرَأَةً فَظَنَّهَا زَوْجَتَهُ فَوَطِئَهَا، ثُمَّ بَانَ أَنَّهَا هَذِهِ الْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثًا، لَمْ تَحِلَّ بِهَذَا الْوَطْءِ لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّهُ وَطْءٌ فِي غَيْرِ عَقْدٍ، وَإِنِ اعْتَقَدَ الْوَاطِئُ أَنَّهُ فِي عقد والله أعلم بالصواب.

Jika perempuan itu dinikahi oleh suami kedua, lalu ia mendapati perempuan itu di ranjangnya dan mengira bahwa ia adalah perempuan asing, kemudian ia menyetubuhinya dengan niat berzina, maka dengan persetubuhan ini perempuan tersebut menjadi halal bagi suami pertama, karena itu adalah persetubuhan yang terjadi dalam akad nikah yang sah, meskipun diniatkan sebagai zina. Jika ia masuk ke ranjangnya dan mendapati seorang perempuan di sana, lalu ia mengira bahwa itu adalah istrinya, kemudian ia menyetubuhinya, lalu ternyata perempuan itu adalah perempuan yang telah ditalak tiga, maka dengan persetubuhan ini tidak menjadi halal bagi suami pertama; karena itu adalah persetubuhan di luar akad, meskipun orang yang menyetubuhi mengira bahwa itu dalam akad. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(باب الإيلاء)

(Bab al-īlā’)

(مختصر من الجامع من كتاب الإيلاء قديم وجديد والإملاء وما دخل فيه من الأمالي)

(Ringkasan dari al-Jāmi‘ dari Kitab al-īlā’ lama dan baru, al-Imlā’, dan apa yang termasuk di dalamnya dari al-Amālī)

(على مسائل مالك ومن مسائل ابن القاسم من إباحة الطلاق وغير ذلك)

(Berdasarkan masalah-masalah dari Mālik dan dari masalah-masalah Ibn al-Qāsim tentang kebolehan talak dan lain-lain)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} الآية [البقرة: 226] ) .

Imam al-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: (Allah Ta‘ala berfirman: {Bagi orang-orang yang melakukan īlā’ dari istri-istri mereka, ada masa menunggu empat bulan} (QS. al-Baqarah: 226)).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْإِيلَاءُ فِي كَلَامِهِمْ فَهُوَ الْحَلِفُ، يُقَالُ آلَى يُولِي إِيلَاءً فَهُوَ مُولٍ إِذَا حَلَفَ فَالْإِيلَاءُ الْمَصْدَرُ، وَآلَى أَلِيَّةً الِاسْمُ.

Al-Māwardī berkata: Adapun īlā’ dalam bahasa mereka adalah sumpah. Dikatakan: ālā, yūlī, īlā’an, maka ia disebut muwlī jika bersumpah. Īlā’ adalah bentuk masdar, dan ālā aliyyatan adalah bentuk isim.

قَالَ جَرِيرٌ:

Jarīr berkata:

(وَلَا خَيْرَ فِي مَالٍ عَلَيْهِ أَلِيَّةٌ … وَلَا فِي يَمِينٍ عُقِدَتْ بِالْمَآثِمِ)

(Tidak ada kebaikan pada harta yang atasnya ada sumpah … dan tidak pula pada sumpah yang diikrarkan untuk dosa)

وَجَمْعُ الْأَلِيَّةِ آلَايَا، قَالَ الشَّاعِرُ.

Jamak dari aliyyah adalah ālāyā, sebagaimana dikatakan oleh penyair.

(قَلِيلُ الْأَلَايَا حَافِظٌ لِيَمِينِهِ … وَإِنْ بَدَرَتْ مِنْهُ الْأَلِيَّةُ بَرَّتِ)

(Sedikit sumpah adalah penjaga bagi sumpahnya … dan jika ia bersumpah, maka ia menepatinya)

فَإِنِ اشْتَقَقْتَ الِافْتِعَالَ مِنَ الْأَلِيَّةِ قُلْتَ أَيْتَلَى يَأْتَلِي إِيتِلَاءً، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى} [النور: 22] .

Jika engkau membentuk kata ifti‘āl dari aliyyah, engkau katakan: aytalā, ya’talī, iytlā’an. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan janganlah orang-orang yang mempunyai keutamaan di antara kamu dan kelapangan bersumpah untuk tidak memberi (pertolongan) kepada kaum kerabat} (QS. an-Nūr: 22).

فالإيلاء فِي اللُّغَةِ هِيَ كُلُّ يَمِينٍ حَلَفَ بِهَا حَالِفٌ عَلَى زَوْجَةٍ، أَوْ غَيْرِ زَوْجَةٍ فِي طَاعَةٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ.

Maka īlā’ dalam bahasa adalah setiap sumpah yang diucapkan oleh seseorang atas istrinya atau selain istrinya, baik dalam ketaatan maupun maksiat.

فَأَمَّا الْإِيلَاءُ فِي الشَّرْعِ: فَهُوَ الْحَلِفُ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَا يَطَأَهَا مُدَّةً يَصِيرُ بِهَا مُولِيًا عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.

Adapun īlā’ menurut syariat adalah bersumpah atas istrinya untuk tidak menggaulinya dalam jangka waktu tertentu sehingga ia menjadi muwlī sebagaimana akan kami sebutkan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ.

Imam al-Syāfi‘ī berkata dalam Kitab al-Umm.

كَانَتِ الفرق فِي الْجَاهِلِيَّةِ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ بِالطَّلَاقِ، وَالظِّهَارِ، وَالْإِيلَاءِ، فَنَقَلَ اللَّهُ تَعَالَى الْإِيلَاءَ، وَالظِّهَارَ عَمَّا كَانَا عَلَيْهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ إِيقَاعِ الْفُرْقَةِ عَلَى الزَّوْجَةِ إِلَى مَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ حُكْمُهَا فِي الشَّرْعِ، وَبَقِيَ حُكْمُ الطَّلَاقِ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ.

Pada masa jahiliah, perpisahan (antara suami-istri) terjadi karena tiga hal: talak, zhihār, dan ila’. Maka Allah Ta‘ala memindahkan hukum ila’ dan zhihār dari apa yang berlaku pada masa jahiliah—yakni menyebabkan perpisahan langsung antara suami dan istri—kepada hukum yang telah ditetapkan dalam syariat, sedangkan hukum talak tetap sebagaimana adanya.

وَالْأَصْلُ فِي بَيَانِ حُكْمِ الْإِيلَاءِ قَوْلُ الله تعالى: {للذين يؤلون من نسائهم تربص} [البقرة: 226] وَفِي الْكَلَامِ حَذْفٌ، وَتَقْدِيرُهُ: لِلَّذِي يُؤْلُونَ أَنْ يَعْتَزِلُوا مِنْ نِسَائِهِمْ، فَتُرِكَ أَنْ يَعْتَزِلُوا اكتفاءاً بِمَا دَلَّ عَلَيْهِ ظَاهِرُهُ، وَفِيهِ قَوْلَانِ:

Dasar penjelasan hukum ila’ adalah firman Allah Ta‘ala: {Bagi orang-orang yang bersumpah tidak akan mendekati istri-istri mereka, diberi waktu menunggu…} [al-Baqarah: 226]. Dalam ayat ini terdapat penghilangan (kalimat), dan maksudnya: bagi orang yang bersumpah hendaknya ia menjauhi istrinya. Maka kata “menjauhi” ditiadakan karena sudah cukup dipahami dari makna lahirnya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَكُونُ مُولِيًا إِلَّا بِاللَّهِ تَعَالَى.

Pertama: Seseorang tidak dianggap melakukan ila’ kecuali dengan menyebut nama Allah Ta‘ala.

والثاني: أنه يكون مولياً بكل يمين التزام بِالْحِنْثِ فِيهَا مَا لَمْ يَكُنْ لَازِمًا لَهُ سَوَاءٌ كَانَ حَالِفًا بِاللَّهِ تَعَالَى أَوْ بِالْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ.

Kedua: Ila’ terjadi dengan setiap sumpah yang mengandung komitmen untuk melanggar, selama sumpah itu tidak wajib baginya, baik ia bersumpah dengan nama Allah Ta‘ala, atau dengan sumpah membebaskan budak, atau talak.

وَفِيمَا يَصِيرُ بِالْحَلِفِ عَلَيْهِ مُولِيًا قَوْلَانِ:

Terkait hal apa yang menyebabkan seseorang menjadi mu-li (pelaku ila’) dengan sumpah, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: الْيَمِينُ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَا يَطَأَهَا فَيَكُونُ يَمِينُهُ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْ وَطْئِهَا هُوَ الْإِيلَاءُ، وَهَذَا هُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَالْجُمْهُورِ وَلَا يَكُونُ مُولِيًا إِذَا حَلَفَ عَلَى غَيْرِ الْوَطْءِ.

Pertama: Sumpah atas istrinya untuk tidak menggaulinya, sehingga sumpahnya untuk menahan diri dari menggauli istrinya itulah yang disebut ila’. Ini adalah pendapat asy-Syafi‘i dan jumhur (mayoritas ulama), dan tidak dianggap sebagai mu-li jika ia bersumpah atas selain hubungan suami-istri.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْإِيلَاءَ هُوَ الْحَلِفُ عَلَى مِسَاسِ زَوْجَتِهِ سَوَاءٌ كَانَتْ عَلَى الْوَطْءِ أَوْ عَلَى غَيْرِهِ إِذَا قَصَدَ الْإِضْرَارَ بِهَا.

Kedua: Ila’ adalah sumpah untuk tidak menyentuh istrinya, baik terkait hubungan suami-istri maupun selainnya, apabila ia bermaksud menyakiti istrinya.

وَهُوَ قَوْلُ أَبِي قِلَابَةَ وَإِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ.

Ini adalah pendapat Abu Qilabah dan Ibrahim an-Nakha‘i.

ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ: {تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} [البقرة: 226] يَعْنِي انْتِظَارَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَهَذِهِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ يُؤَجَّلُ بِهَا الْمُولِي، وَفِيهَا مَذْهَبَانِ:

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman: {Menunggu selama empat bulan} [al-Baqarah: 226], maksudnya adalah menanti selama empat bulan. Empat bulan ini adalah masa penangguhan bagi mu-li, dan dalam hal ini terdapat dua mazhab:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا أَجْلٌ مُقَدَّرٌ لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ بَعْدَهُ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَنْ وَافَقَهُ.

Pertama: Masa tersebut adalah waktu yang telah ditentukan untuk jatuhnya talak setelahnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan yang sepaham dengannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا أَجْلٌ لِاسْتِحْقَاقِ الْمُطَالَبَةِ بَعْدَهَا وَهَذَا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَمَنْ وَافَقَهُ.

Kedua: Masa tersebut adalah waktu untuk berhak menuntut (suami) setelahnya. Ini adalah pendapat asy-Syafi‘i dan yang sepaham dengannya.

ثُمَّ قَالَ: {فَإِنْ فَاءُوا} [البقرة: 226] أَيْ رَجَعُوا، وَالْفَيْئَةُ: الرُّجُوعُ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ} [الحجرات: 9] أَيْ تَرْجِعَ، وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ.

Kemudian Allah berfirman: {Jika mereka kembali (rujuk)} [al-Baqarah: 226], maksudnya adalah mereka kembali. Al-fay’ah artinya kembali. Allah Ta‘ala berfirman: {Hingga mereka kembali kepada perintah Allah} [al-Hujurat: 9], maksudnya kembali. Dan di antara syair Arab disebutkan:

(فَفَاءَتْ وَلَمْ تَقْضِ الَّذِي أَقْبَلَتْ لَهُ … ومن حاجة الإنسان مما ليس قاضياً)

(Maka ia pun kembali, namun tidak memenuhi apa yang ia datangi… dan dari kebutuhan manusia ada yang tidak terpenuhi)

وفيما أريد بالفيئة ها هنا قَوْلَانِ:

Terkait makna al-fay’ah di sini, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: الْجِمَاعُ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ.

Pertama: (Maksudnya) adalah jima‘ (hubungan suami-istri), dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama).

وَالثَّانِي: هُوَ الْمُرَاجَعَةُ بِاللِّسَانِ بِكُلِّ مَا أَزَالَ مَسَاءَتَهَا وَدَفْعَ الضَّرَرَ عَنْهَا، وَهَذَا قَوْلُ مِنْ زَعَمَ أَنَّ الْإِيلَاءَ هُوَ الْيَمِينُ عَلَى مَسَاءَتِهَا وَقَصْدِ الْإِضْرَارِ بِهَا {فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [البقرة: 226] ، وفيه تَأْوِيلَانِ:

Kedua: Maksudnya adalah rujuk dengan lisan, dengan segala ucapan yang menghilangkan keburukan sikapnya dan menghilangkan mudarat dari istrinya. Ini adalah pendapat mereka yang berpendapat bahwa ila’ adalah sumpah untuk menyakiti istri dan bermaksud menimpakan mudarat kepadanya. {Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} [al-Baqarah: 226], dan dalam hal ini terdapat dua tafsiran:

أَحَدُهُمَا: غَفُورٌ لِمَآثِمِهِ مَعَ وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ عَلَيْهِ، وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ.

Pertama: Allah Maha Pengampun atas dosa-dosanya dengan kewajiban membayar kafarat, dan ini adalah pendapat jumhur.

وَالثَّانِي: غَفُورٌ فِي تَخْفِيفِ الْكَفَّارَةِ وَإِسْقَاطِهَا، وَهَذَا قَوْلُ الْحَسَنِ، وَإِبْرَاهِيمَ، وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْكَفَّارَةَ لَا تَلْزَمُ فِيمَا كَانَ الْحِنْثُ فِيهِ بَرأَ. {وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ} [البقرة: 227] وَفِي عَزِيمَتِهِ تَأْوِيلَانِ:

Kedua: Allah Maha Pengampun dalam meringankan kafarat dan menggugurkannya. Ini adalah pendapat al-Hasan, Ibrahim, dan mereka yang berpendapat bahwa kafarat tidak wajib jika pelanggaran sumpah itu tidak disengaja. {Dan jika mereka bertekad untuk bercerai} [al-Baqarah: 227], dan tentang tekad ini terdapat dua tafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الطَّلَاقَ أَنْ لَا يَفِيءَ حَتَّى تَمْضِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ فَتُطَلَّقَ بِمُضِيِّهَا، وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِهَذَا فِي الطَّلَاقِ الَّذِي يَلْحَقُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pertama: Talak terjadi apabila suami tidak kembali (rujuk) hingga berlalu empat bulan, maka istri dicerai dengan berlalunya masa tersebut. Mereka yang berpendapat demikian berbeda pendapat tentang jenis talak yang dijatuhkan kepada istri, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: طَلْقَةٌ بَائِنَةٌ، وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ.

Pertama: Talak bain (talak yang tidak bisa dirujuk), dan ini adalah pendapat Abdullah bin Mas‘ud, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, dan Abu Hanifah.

وَالثَّانِي: طَلْقَةٌ رَجْعِيَّةٌ وَهُوَ قَوْلُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، وَأَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَابْنِ شُبْرُمَةَ رَحِمَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى.

Kedua: Talak raj‘i (talak yang masih bisa dirujuk), dan ini adalah pendapat Sa‘id bin al-Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman, dan Ibnu Syubrumah rahimahumullah Ta‘ala.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنَّ عَزِيمَةَ الطَّلَاقِ أَنْ يُطَالَبَ بِالْفَيْئَةِ، أَوْ بِالطَّلَاقِ بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَلَا يَفِيءُ وَيُطَلِّقُ وَهَذَا قَوْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وأبو الدَّرْدَاءِ وَعَائِشَةَ وَأَكْثَرِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَالتَّابِعِينَ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ. {فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ} [البقرة: 227] فِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Penafsiran kedua: bahwa ketetapan talak adalah bahwa suami diminta untuk kembali (rujuk) atau menceraikan setelah empat bulan, maka jika ia tidak kembali, ia harus menceraikan. Ini adalah pendapat ‘Umar bin al-Khattab ra., Abu Darda’, ‘Aisyah, mayoritas sahabat ra. dan para tabi‘in, serta pendapat al-Syafi‘i dan mayoritas fuqaha’ ra. {Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui} [al-Baqarah: 227] memiliki dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: سَمِيعٌ لِإِيلَائِهِ، عَلِيمٌ بِنِيَّتِهِ.

Pertama: Maha Mendengar sumpahnya, Maha Mengetahui niatnya.

وَالثَّانِي: سَمِيعٌ لِطَلَاقِهِ عَلِيمٌ بِصَبْرِهِ.

Dan yang kedua: Maha Mendengar talaknya, Maha Mengetahui kesabarannya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْإِيلَاءِ هَلْ عُمِلَ بِهِ فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ قَبْلَ نَسْخِهِ.

Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai ila’, apakah pernah diamalkan pada masa awal Islam sebelum hukumnya di-nasakh (dihapuskan).

فَقَالَ بَعْضُهُمْ: عُمِلَ بِهِ قَبْلَ النَّسْخِ ثُمَّ نُسِخَ إِلَى مَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ حُكْمُهُ.

Sebagian dari mereka berkata: Ila’ pernah diamalkan sebelum di-nasakh, kemudian di-nasakh menjadi hukum yang telah ditetapkan.

وَقَالَ جُمْهُورُهُمْ: بَلْ لَمْ يُعْمَلْ بِهِ قَبْلَ نَسْخِهِ.

Dan mayoritas dari mereka berpendapat: Bahkan tidak pernah diamalkan sebelum di-nasakh.

وَإِنَّمَا رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ وَجَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – آلَى مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا فَنَزَلَ إِلَيْهِنَّ لَيْلَةَ تِسْعٍ وَعِشْرِينَ.

Adapun Abu Hurairah dan Jabir meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pernah melakukan ila’ terhadap istri-istrinya selama sebulan, lalu beliau turun kepada mereka pada malam ke-29.

وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: يا رسول الله أطلقت نسائك فقال (لا، ولكني آليت شهراً) وسب ذَلِكَ مَا رَوَتْهُ عَمْرَةُ أَنَّ هَدِيَّةً بُعِثَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ عِنْدَ عَائِشَةَ فَقَالَ لَهَا ابْعَثِي إِلَى النِّسَاءِ بِأَنْصَابِهِنَّ فَفَعَلَتْ وَبَعَثَتْ إِلَى زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ بِنَصِيبِهَا فَرَدَّتْهُ فَقَالَ: زِيدِيهَا فَزَادَتْهَا فَرَدَّتْهُ فَقَالَ: زِيدِيهَا فَزَادَتْهَا فَرَدَّتْهُ فَقَالَ: زِيدِيهَا فَقَالَتْ عَائِشَةُ لَقَدْ أَقْمَأَتْكَ هَذِهِ، فَغَضِبَ وَقَالَ أَنْتُنَّ أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ أَنْ تُقْمِئْنَنِي وَآلَى مِنْهُنَّ شَهْرًا وَصَعِدَ إِلَى مَشْرَبَتِهِ فَتَخَلَّى فَلَمَّا مَضَتْ تِسْعَةٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً نَزَلَ إِلَيْهِنَّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Ibnu ‘Abbas meriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khattab ra. bahwa ia berkata: Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan istri-istrimu? Beliau menjawab, “Tidak, tetapi aku melakukan ila’ selama sebulan.” Sebabnya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Amrah bahwa suatu hadiah dikirimkan kepada Rasulullah ﷺ ketika beliau berada di rumah ‘Aisyah. Beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Bagikanlah kepada para istri sesuai bagian mereka.” Maka ‘Aisyah melakukannya dan mengirimkan kepada Zainab binti Jahsy bagian untuknya, namun Zainab menolaknya. Beliau berkata, “Tambahkan untuknya,” lalu ‘Aisyah menambahkannya, tetapi Zainab tetap menolaknya. Beliau berkata lagi, “Tambahkan untuknya,” lalu ‘Aisyah menambahkannya, namun Zainab tetap menolaknya. Beliau berkata, “Tambahkan lagi untuknya.” Maka ‘Aisyah berkata, “Sungguh wanita ini telah membuatmu kesal.” Maka Rasulullah marah dan berkata, “Kalian lebih ringan di sisi Allah daripada membuatku kesal,” lalu beliau melakukan ila’ terhadap mereka selama sebulan dan naik ke lotengnya untuk menyendiri. Ketika telah berlalu dua puluh sembilan malam, beliau turun menemui mereka. Wallahu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (فَفِي ذَلِكَ دَلَالَةٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ عَلَى أَنْ لَا سَبِيلَ عَلَى الْمُولِي لِامْرَأَتِهِ حَتَّى يَمْضِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ كَمَا لَوِ ابْتَاعَ بَيْعًا أَوْ ضَمِنَ شَيْئًا إِلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ لَمْ يَكُنْ عليه سبيل حتى يمضي الأجل وقال سليمان بن سار أدركت بضعة عشر مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كلهم يوقف المولى. وكان علي وعثمان وعائشة وابن عمر وسليمان بن يسار يوقفون المولى) .

Al-Syafi‘i ra. berkata: (Dalam hal ini terdapat petunjuk—wallahu a‘lam—bahwa tidak ada jalan (tindakan hukum) terhadap suami yang melakukan ila’ terhadap istrinya hingga berlalu empat bulan, sebagaimana jika seseorang membeli sesuatu atau menjamin sesuatu hingga empat bulan, maka tidak ada tindakan hukum atasnya hingga waktu itu berlalu. Sulaiman bin Yasar berkata, “Aku mendapati belasan sahabat Nabi ﷺ, semuanya menahan suami yang melakukan ila’.” Dan Ali, Utsman, ‘Aisyah, Ibnu ‘Umar, serta Sulaiman bin Yasar juga menahan suami yang melakukan ila’.)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَصِلُ هَذَا اخْتِلَافُ الْفُقَهَاءِ فِي الْمُدَّةِ الَّتِي يَصِيرُ بِهَا مُولِيًا يُؤْخَذُ بِحُكْمِ الْإِيلَاءِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Al-Mawardi berkata: Pokok permasalahan ini adalah perbedaan pendapat para fuqaha’ mengenai masa yang menjadikan seseorang sebagai mu-li (suami yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya) sehingga berlaku hukum ila’ atasnya, terdapat tiga mazhab:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَكُونُ مُولِيًا إِذَا حَلَفَ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْ وَطْئِهَا فِي أَيِّ زَمَانٍ كَانَ قَلَّ أَوْ كَثُرَ، وَهَذَا مَذْهَبُ الْحَسَنِ الْبَصَرِيِّ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى؛ لِأَنَّهَا يَمِينٌ تَمْنَعُهُ مِنَ الْوَطْءِ فَأَشْبَهَ الزَّمَانَ الْمُقَدَّرَ.

Pertama: Seseorang menjadi mu-li jika ia bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu kapan pun, baik sebentar maupun lama. Ini adalah mazhab Hasan al-Bashri dan Ibnu Abi Laila; karena sumpah itu mencegahnya dari hubungan suami istri, sehingga sama saja dengan waktu yang ditentukan.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ مُولِيًا حَتَّى يَحْلِفَ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْ وَطْئِهَا عَلَى الْأَبَدِ، فَإِنْ قَدَّرَ ذَلِكَ بِزَمَانٍ وَإِنْ طَالَ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، وَهَذَا مَذْهَبُ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ لِأَنَّهُ إِذَا قَدَّرَهُ بِزَمَانٍ قَدَرَ عَلَى الْخَلَاصِ بِمُضِيِّ الزَّمَانِ مِنْ غَيْرِ ضَرَرٍ فَلَمْ يَصِرْ مُولِيًا كَمَا لَوْ حَلَفَ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْ وَطْئِهَا فِي مَكَانٍ دُونَ مَكَانٍ.

Kedua: Tidak dianggap sebagai mu-li hingga ia bersumpah untuk tidak menggauli istrinya selamanya. Jika ia menentukan waktu, meskipun lama, maka tidak dianggap sebagai mu-li. Ini adalah mazhab Ibnu ‘Abbas; karena jika ia menentukan waktu, ia bisa terbebas dengan berlalunya waktu tanpa menimbulkan mudarat, sehingga tidak dianggap sebagai mu-li, sebagaimana jika ia bersumpah untuk tidak menggauli istrinya di tempat tertentu saja.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ مُدَّةَ الْإِيلَاءِ تُقَدَّرُ بِزَمَانٍ لَا يَكُونُ مُولِيًا فِي أَقَلَّ مِنْهُ وَيَكُونُ مُولِيًا فِي أَكْثَرَ مِنْهُ وَذَلِكَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرِ مُدَّةُ التَّرَبُّصِ الَّتِي ضَرَبَهَا اللَّهُ تَعَالَى لِلْمُولِي أَجَلًا وَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَمَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ؛ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ الْمُدَّةِ الَّتِي يَصْبِرُ النِّسَاءُ فِيهَا عَنِ الرِّجَالِ، وَحُكِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَطُوفُ ذَاتَ لَيْلَةٍ بِالْمَدِينَةِ لِيَعْرِفَ أَحْوَالَ ذَوِي الْحَاجَاتِ فَمَرَّ بِدَارٍ فَسَمِعَ فِيهَا صَوْتَ امْرَأَةٍ تَقُولُ:

Ketiga: Bahwa masa ila’ ditetapkan dengan waktu yang dalam waktu kurang dari itu seseorang tidak dianggap sebagai mu-li (orang yang melakukan ila’), dan dalam waktu lebih dari itu ia dianggap sebagai mu-li. Masa itu adalah empat bulan, yaitu masa menunggu yang telah ditetapkan Allah Ta‘ala sebagai batas waktu bagi mu-li. Ini adalah mazhab asy-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu, Malik, dan Abu Hanifah raḥimahullāh; karena itu adalah masa terlama yang dapat ditahan oleh para wanita dari berpisah dengan suami. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab raḍiyallāhu ‘anhu pernah berkeliling di Madinah pada suatu malam untuk mengetahui keadaan orang-orang yang membutuhkan, lalu ia melewati sebuah rumah dan mendengar suara seorang wanita berkata:

(أَلَا طَالَ هَذَا اللَّيْلُ وَازْوَرَّ جَانِبُهْ … وَلَيْسَ إِلَى جَنْبِي خَلِيلٌ أُلَاعِبُهْ)

“Betapa panjang malam ini dan betapa sepinya sisinya… dan tidak ada kekasih di sampingku untuk bermain-main dengannya.”

(فَوَاللَّهِ لَوْلَا اللَّهُ لَا شَيْءَ غَيْرَهُ … لَزُعْزِعَ مِنْ هَذَا السَّرِيرِ جَوَانِبُهْ)

“Demi Allah, kalau bukan karena Allah dan tidak ada selain-Nya… tentu sisi ranjang ini sudah berguncang.”

(مَخَافَةُ رَبِّي وَالْحَيَاءُ يَكُفَّنِّي … وَأُكْرِمُ زَوْجِي أَنْ تُنَالَ مَرَاكِبُهْ)

“Rasa takut kepada Tuhanku dan rasa malu menahanku… dan aku memuliakan suamiku agar kehormatannya tidak ternoda.”

فَسَأَلَ عَنْهَا فَذُكِرَ أَنَّهَا قَدْ غاب عنها فِي بَعْثِ الْجِهَادِ، فَلَمَّا أَصْبَحَ دَعَا بِنِسَاءٍ عَجَائِزَ وَسَأَلَهُنَّ: كَمْ تَصْبِرُ الْمَرْأَةُ عَنِ الرَّجُلِ فَقُلْنَ شَهْرَيْنِ وَفِي الثَّالِثِ يَقِلُّ الصَّبْرُ، وَفِي الرَّابِعِ يَنْفَذُ، فَضَرَبَ لِأَجَلِ الْمُجَاهِدِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَكَتَبَ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ أَنْ لَا تَحْبِسُوا رَجُلًا عَنِ امْرَأَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَكَتَبَ إِلَى زَوْجِ الْمَرْأَةِ فَاسْتَدْعَاهُ وَقَالَ: الْحَقْ سَرِيرَكَ قَبْلَ أَنْ تَتَحَرَّكَ جَوَانِبُهُ.

Lalu Umar bertanya tentang wanita itu, dan disebutkan bahwa suaminya sedang pergi berjihad. Ketika pagi tiba, Umar memanggil para wanita tua dan bertanya kepada mereka: “Berapa lama seorang wanita dapat bersabar berpisah dari suaminya?” Mereka menjawab: “Dua bulan, pada bulan ketiga kesabaran mulai berkurang, dan pada bulan keempat habis sudah.” Maka Umar menetapkan masa bagi para mujahid selama empat bulan dan menulis surat kepada para panglima pasukan agar tidak menahan seorang laki-laki dari istrinya lebih dari empat bulan. Ia juga menulis surat kepada suami wanita itu, memanggilnya, dan berkata: “Kembalilah ke ranjangmu sebelum sisi-sisinya mulai berguncang.”

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ مُدَّةَ التَّرَبُّصِ فِي الْإِيلَاءِ مَا أَجَّلَ اللَّهُ فِيهِ، فَإِنْ حَلَفَ عَلَى أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ لَمْ يَصِرْ مولياً عن الشَّافِعِيِّ، وَمَالِكٍ، وَأَبِي حَنِيفَةَ، وَإِنْ حَلَفَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَانَ مُولِيًا عِنْدَهُمْ، وَإِنْ حَلَفَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ سَوَاءٌ كَانَ مُولِيًا عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ لِأَنَّهُ يَجْعَلُ الْمُدَّةَ أجلاً لوقوع الطلاق بها، ولم يَكُنْ مُولِيًا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ لِأَنَّهُمَا يَجْعَلَانِ الْمُدَّةَ أَجَلًا لِاسْتِحْقَاقِ الْمُطَالَبَةِ بَعْدَهَا.

Jika telah tetap bahwa masa menunggu dalam ila’ adalah sebagaimana yang telah Allah tetapkan, maka jika seseorang bersumpah untuk tidak mendekati istrinya kurang dari empat bulan, ia tidak dianggap sebagai mu-li menurut asy-Syafi‘i, Malik, dan Abu Hanifah. Jika ia bersumpah untuk lebih dari empat bulan, maka ia dianggap sebagai mu-li menurut mereka. Jika ia bersumpah tepat empat bulan, maka menurut Abu Hanifah ia dianggap sebagai mu-li karena ia menjadikan masa itu sebagai batas jatuhnya talak, sedangkan menurut asy-Syafi‘i dan Malik, ia tidak dianggap sebagai mu-li karena keduanya menjadikan masa itu sebagai batas untuk berhak menuntut setelahnya.

وَعَلَى هَذَا الْخِلَافِ يَنْبَنِي اسْتِحْقَاقُ الْمُطَالَبَةِ فَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ يَسْتَحِقُّ عَلَيْهِ الْمُطَالَبَةَ بِحُكْمِ الْإِيلَاءِ مِنَ الْفَيْئَةِ قَبْلَ مُضِيِّ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ فَإِذَا مَضَتْ قَبْلَ أَنْ يَفِيءَ طُلِّقَتْ.

Berdasarkan perbedaan pendapat ini, timbul perbedaan dalam hal hak menuntut. Menurut Abu Hanifah, istri berhak menuntut suaminya untuk kembali (al-fay’) sebelum berakhirnya empat bulan. Jika masa itu berlalu sebelum ia kembali, maka jatuhlah talak.

وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ: أنَّهَا لَا تَسْتَحِقُّ الْمُطَالَبَةَ إِلَّا بَعْدَ مُضِيِّ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، فَإِذَا مَضَتْ قَبْلَ أَنْ يَفِيءَ اسْتَحَقَّتْ مُطَالَبَتَهُ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ فَصَارَ الْخِلَافُ مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي فَصْليْنِ:

Sedangkan menurut asy-Syafi‘i dan Malik, istri tidak berhak menuntut kecuali setelah berlalu empat bulan. Jika masa itu berlalu sebelum suami kembali, maka istri berhak menuntut suaminya untuk kembali atau bercerai. Maka perbedaan pendapat dengan Abu Hanifah terdapat pada dua hal:

أَحَدُهُمَا: اسْتِحْقَاقُ الْمُطَالَبَةِ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ: أَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بَعْدَهَا.

Pertama: Hak menuntut menurut Abu Hanifah adalah sebelum berakhirnya masa, sedangkan menurut asy-Syafi‘i adalah setelah masa itu berakhir.

وَالثَّانِي: الطَّلَاقُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ: أَنَّهُ يَقَعُ بِمُضِيِّ الْمُدَّةِ طَلْقَةً بَائِنَةً.

Kedua: Talak menurut Abu Hanifah jatuh dengan berlalunya masa, berupa satu talak bain.

وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ: أنَّهُ لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ بِانْقِضَاءِ الْمُدَّةِ حَتَّى يُطَالَبَ بَعْدَهَا بالفيئة أو الطلاق فإن لم يفيء أُخِذَ بِإِيقَاعِ الطَّلَاقِ.

Sedangkan menurut asy-Syafi‘i, talak tidak jatuh dengan berakhirnya masa sampai istri menuntut setelahnya untuk kembali atau bercerai. Jika suami tidak kembali, maka dipaksa untuk menjatuhkan talak.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ، وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ، وَزَيْدٌ، وَعَائِشَةُ، وَأَبُو الدَّرْدَاءِ.

Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: Umar, Utsman, Ali, Zaid, Aisyah, dan Abu Darda’.

وَمِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ وَمُجَاهِدٌ، وَطَاوُسٌ وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ.

Dan dari kalangan tabi‘in: ‘Atha’, Mujahid, Thawus, dan Sulaiman bin Yasar.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: مَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ، وَأَبُو ثَوْرٍ.

Dan dari para fuqaha: Malik, al-Auza‘i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ قَالَ أَدْرَكْتُ بِضْعَةَ عَشَرَ رَجُلًا مِنَ الصَّحَابَةِ كُلُّهُمْ، يُوقِفُ الْمُولِيَ يَعْنِي بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ.

Asy-Syafi‘i meriwayatkan dari Sufyan, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata: “Aku mendapati belasan orang sahabat, semuanya menghentikan mu-li, yaitu setelah empat bulan.”

وَرَوَى سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلْتُ اثْنَيْ عَشَرَ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الْمُولِي فَقَالُوا لَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ حَتَّى تَمْضِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ.

Suhail bin Abi Shalih meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: Aku bertanya kepada dua belas orang sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang orang yang melakukan ila’, maka mereka berkata: “Tidak ada kewajiban apa pun atasnya hingga berlalu empat bulan.”

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَاسْتَدِلَّ عَلَى اسْتِحْقَاقِ الْمُطَالَبَةِ بِالْفَيْئَةِ فِي الْمُدَّةِ ووقوع الطلاق بانقضائها بقوله تعالى: {للذي يؤلون من نسائهم تربص أربعة أشهر} الْآيَةَ إِلَى قَوْلِهِ: {فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ} [البقرة: 226، 227] .

Adapun Abu Hanifah, ia berdalil tentang berhaknya istri untuk menuntut rujuk (al-fay’) dalam masa (ila’) dan jatuhnya talak dengan berakhirnya masa tersebut dengan firman Allah Ta’ala: {Bagi orang-orang yang melakukan ila’ dari istri-istri mereka, ada masa tunggu empat bulan} hingga firman-Nya: {Maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui} (QS. Al-Baqarah: 226-227).

قَالَ وَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَدِلَّةٍ:

Ia berkata: Dalam ayat ini terdapat tiga dalil:

أَحَدُهَا: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَرَأَ {فَإِنْ فَاءُوا فيهن فإن الله غفور رحيم} [البقرة: 226] .

Pertama: Abdullah bin Mas‘ud membaca {Jika mereka kembali (rujuk) dalam masa itu, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} (QS. Al-Baqarah: 226).

فَأَضَافَ الْفَيْئَةَ إِلَى الْمُدَّةِ فَدَلَّ عَلَى اسْتِحْقَاقِ الْفَيْئَةِ فِيهَا، وَهَذِهِ الْقِرَاءَةُ وَإِنْ تَفَرَّدَ ابْنُ مَسْعُودٍ بِهَا تَجْرِي مَجْرَى خَبَرِ الْوَاحِدِ فِي وُجُوبِ الْعَمَلِ بِهِ.

Maka ia mengaitkan al-fay’ (rujuk) dengan masa tersebut, sehingga menunjukkan berhaknya al-fay’ di dalamnya. Dan bacaan ini, meskipun hanya diriwayatkan oleh Ibnu Mas‘ud, kedudukannya seperti khabar al-wahid dalam kewajiban untuk diamalkan.

وَالدَّلِيلُ الثَّانِي مِنْهَا: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ مُدَّةَ الْإِيلَاءِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَلَوْ كَانَتِ الْفَيْئَةُ بَعْدَهَا لَزَادَتْ عَلَى مُدَّةِ النَّصِّ وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ.

Dalil kedua darinya: Bahwa Allah Ta’ala menjadikan masa ila’ selama empat bulan. Jika al-fay’ dilakukan setelahnya, maka itu berarti menambah dari masa yang telah ditetapkan nash, dan hal itu tidak diperbolehkan.

وَالدَّلِيلُ الثَّالِثُ مِنْهَا: أَنَّهُ لَوْ وَطِئَهَا فِي مُدَّةِ الْإِيلَاءِ وَقَعَتِ الْفَيْئَةُ مَوْقِعَهَا فَدَلَّ عَلَى اسْتِحْقَاقِ الْفَيْئَةِ فِيهَا قَالَ: وَلِأَنَّهَا مُدَّةٌ شَرْعِيَّةٌ ثَبَتَتْ بِالْقَوْلِ فَيَتَعَلَّقُ بِهَا الْفُرْقَةُ فَوَجَبَ أَنْ تَتَعَقَّبَهَا الْبَيْنُونَةُ كَالْعِدَّةِ؛ وَلِأَنَّهُ قَوْلٌ تَعَلَّقَ بِهِ الْفُرْقَةُ إِلَى مُدَّةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ بِانْقِضَائِهَا كَمَا لَوْ قَالَ: إِذَا مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ.

Dalil ketiga darinya: Jika suami menggauli istrinya dalam masa ila’, maka al-fay’ terjadi pada tempatnya, sehingga menunjukkan berhaknya al-fay’ di dalam masa itu. Ia berkata: Karena masa itu adalah masa syar‘i yang ditetapkan dengan ucapan, maka perceraian bergantung padanya, sehingga wajib terjadi perpisahan setelahnya seperti masa ‘iddah; dan karena itu adalah ucapan yang perceraian bergantung padanya hingga waktu tertentu, maka wajib jatuh (talak) dengan berakhirnya masa tersebut, sebagaimana jika ia berkata: “Jika telah berlalu empat bulan, maka engkau tertalak.”

وَدَلِيلُنَا قول الله تعالى: {للذين يؤلون من نسائهم تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} [البقرة: 226] وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ سِتَّةُ أَدِلَّةٍ:

Dalil kami adalah firman Allah Ta’ala: {Bagi orang-orang yang melakukan ila’ dari istri-istri mereka, ada masa tunggu empat bulan} (QS. Al-Baqarah: 226), dan dalam ayat ini terdapat enam dalil:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ أَضَافَ مُدَّةَ الْإِيلَاءِ إلى الأزواج بقوله تعالى: {للذين يؤلون} فَجَعَلَ الْمَدَّةَ لَهُمْ وَلَمْ يَجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَسْتَحِقَّ الْمُطَالَبَةَ إِلَّا بَعْدَ انْقِضَائِهَا كَأَجَلِ الدَّيْنِ.

Pertama: Bahwa Allah mengaitkan masa ila’ kepada para suami dengan firman-Nya: {Bagi orang-orang yang melakukan ila’}, maka Dia menjadikan masa itu untuk mereka, bukan atas mereka, sehingga tidak berhak menuntut kecuali setelah masa itu berakhir, seperti tempo dalam utang.

وَالدَّلِيلُ الثَّانِي: قَوْلُهُ: {فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [البقرة: 226] فَذَكَرَ الْفَيْئَةَ بعد المدة بفاء التعقيب فوجب أن يستحق بَعْدَهَا، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 229] فَاقْتَضَتْ فَاءُ التَّعْقِيبِ أَنْ يَكُونَ الْإِمْسَاكُ بِمَعْرُوفٍ أَوِ التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ بَعْدَ طَلَاقِ الْمَرَّتَيْنِ.

Dalil kedua: Firman-Nya: {Jika mereka kembali (rujuk), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} (QS. Al-Baqarah: 226), maka Allah menyebutkan al-fay’ setelah masa itu dengan huruf “fa” yang menunjukkan urutan, sehingga wajib berhak setelahnya, sebagaimana firman-Nya: {Talak itu dua kali, maka tahanlah dengan cara yang baik atau lepaskanlah dengan cara yang baik} (QS. Al-Baqarah: 229), maka huruf “fa” yang menunjukkan urutan mengharuskan bahwa penahanan dengan cara baik atau pelepasan dengan cara baik itu setelah talak dua kali.

فَإِنْ قِيلَ فَاءُ التَّعْقِيبِ فِي الْمُدَّةِ يُوجِبُ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الْإِيلَاءِ لَا بَعْدَ الْمُدَّةِ فَهِيَ مَحْمُولَةٌ عَلَى مُوجِبِهَا، قِيلَ قَدْ تَقَدَّمَ فِي الْآيَةِ ذِكْرُ الْإِيلَاءِ ثُمَّ تَلَاهُ الْمُدَّةُ ثُمَّ تَعَقَّبَهَا ذِكْرُ الفيئة فإذا أوجبت إلغاء التَّعْقِيبَ بَعْدَ تَقَدُّمِ ذِكْرِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَعُودَ إِلَى أَبْعَدِ الْمَذْكُورَيْنِ وَوَجَبَ أَنْ يَعُودَ إِلَيْهِمَا أَوْ إِلَى أَقْرَبِهِمَا، وَعَلَى أَيِّ هَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ كَانَ فَهُوَ قَوْلُنَا.

Jika dikatakan: “Fa” urutan dalam masa itu mengharuskan bahwa (al-fay’) terjadi setelah ila’, bukan setelah masa itu, maka ia dibawa sesuai maknanya. Dijawab: Dalam ayat telah disebutkan ila’ terlebih dahulu, lalu diikuti masa, kemudian setelahnya disebutkan al-fay’. Jika engkau mengharuskan penghilangan urutan setelah disebutkan sebelumnya, maka tidak boleh kembali ke yang lebih jauh dari keduanya, dan wajib kembali kepada keduanya atau yang terdekat di antara keduanya. Dan pada kedua kemungkinan ini, itulah pendapat kami.

وَالدَّلِيلُ الثَّالِثُ: قَوْلُهُ: {وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ} [البقرة: 227] فَجَعَلَهُ وَاقِعًا بِعَزْمِ الْأَزْوَاجِ لَا بِمُضِيِّ الْمُدَّةِ، وَلَيْسَ انْقِضَاءُ الْمُدَّةِ عَزِيمَةً وَإِنَّمَا الْعَزْمُ مَا عَدَّهُ مِنْ فِعْلِهِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الكتاب أجله} [البقرة: 235] فإن قبل فترك الفيئة عزم على الطلاق، قبل الْعَزْمُ مَا كَانَ عَنِ اخْتِيَارٍ وَقَصْدٍ وَهُوَ لَمْ يَقْصِدْ تَرْكَ الْوَطْءِ لِشَهْوَةٍ، وَوَقَعَ الطَّلَاقُ عِنْدَهُمْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ عَزْمِهِ.

Dalil ketiga: Firman-Nya: {Dan jika mereka bertekad menjatuhkan talak} (QS. Al-Baqarah: 227), maka Allah menjadikan talak itu terjadi dengan tekad para suami, bukan dengan berlalunya masa. Dan berakhirnya masa bukanlah tekad, melainkan tekad adalah apa yang dilakukan oleh suami dengan pilihannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: {Dan janganlah kalian bertekad untuk mengadakan akad nikah sebelum kitab (iddah) sampai pada batasnya} (QS. Al-Baqarah: 235). Maka jika ia menerima, meninggalkan al-fay’ adalah tekad untuk talak, dan tekad adalah apa yang dilakukan dengan pilihan dan niat, sedangkan ia tidak bermaksud meninggalkan hubungan suami istri karena syahwat, dan talak terjadi menurut mereka meskipun bukan dari tekadnya.

وَالدَّلِيلُ الرَّابِعُ: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَيَّرَهُ فِي الْآيَةِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ الْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَالتَّخْيِيرُ بَيْنَ أَمْرَيْنِ لَا يَكُونُ إِلَّا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ كَالْكَفَّارَاتِ وَلَوْ كَانَ فِي حَالَتَيْنِ لَكَانَ تَرْتِيبًا وَلَمْ يَكُنْ تَخْيِيرًا.

Dalil keempat: Bahwa Allah Ta‘ala memberikan pilihan dalam ayat tersebut antara dua perkara, yaitu al-fay’ah atau talak. Pilihan antara dua perkara hanya terjadi dalam satu keadaan saja, seperti pada kafarat, dan jika terjadi dalam dua keadaan, maka itu menjadi urutan, bukan pilihan.

وَالدَّلِيلُ الْخَامِسُ: أَنَّ التَّخْيِيرَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ يُوجِبُ أَنْ يَكُونَ فِعْلُهُمَا إِلَيْهِ لِيَصِحَّ مِنْهُ اخْتِيَارُ فِعْلِهِ وَتَرْكِهِ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِعْلُهُ لِبَطَلَ حُكْمُ خِيَارِهِ.

Dalil kelima: Bahwa pilihan antara dua perkara mengharuskan bahwa pelaksanaan keduanya berada di tangan orang yang diberi pilihan, agar sah baginya memilih untuk melakukannya atau meninggalkannya. Jika pelaksanaannya bukan di tangannya, maka batal hukum pilihannya.

وَالدَّلِيلُ السَّادِسُ: ذَكَرَهُ ابْنُ سُرَيْجٍ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ} [البقرة: 227] فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ عَنْ قَوْلٍ مَسْمُوعٍ، فَإِنْ قِيلَ: مَعْنَاهُ أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ سَمِيعًا عَلِيمًا قَالَ: {وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ} [البقرة: 244] قِيلَ لَا يَجُوزُ حَمْلُهُ عَلَى هَذَا لِأَنَهُ مَعْقُولٌ بِغَيْرِ هَذِهِ الْآيَةِ، وَكَذَا فِي آيَةِ الْجِهَادِ سَمِيعٌ لِقَوْلِهِمْ فِي التَّحْرِيضِ، عَلِيمٌ بِنِيَّتِهِمْ فِي الْجِهَادِ، وَمِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى هُوَ أَنَّهَا مُدَّةٌ تَقَدَّرَتْ بِالشَّرْعِ لَمْ تَتَقَدَّمْهَا الْفُرْقَةُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَقَعَ بِهَا الْبَيْنُونَةُ كَأَجَلِ الْعُنَّةِ وَقَوْلُنَا تَقَدَّرَتْ بِالشَّرْعِ احْتِرَازًا مِنْ قَوْلِهِ: إِذَا مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ وَقَوْلُنَا لَمْ تَتَقَدَّمْهَا الْفُرْقَةُ احْتِرَازًا مِنَ الْعِدَّةِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ عَلَّلَ هَذَا الْأَصْلَ بِأَوْضَحِ مِنْ هَذَا التَّعْلِيلِ، فَقَالَ؛ لِأَنَّهَا مُدَّةٌ شُرِعَتْ فِي النِّكَاحِ بِجِمَاعٍ مُنْتَظَرٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَقَعَ بِهَا الْفُرْقَةُ كَأَجَلِ الْعُنَّةِ، وَلِأَنَّهَا يَمِينٌ بِاللَّهِ تَعَالَى تُوجِبُ الْكَفَّارَةَ فَلَمْ يَقَعْ بِهَا الطَّلَاقُ كسائر

Dalil keenam: Disebutkan oleh Ibn Surayj bahwa Allah Ta‘ala berfirman: {Dan jika mereka telah berketetapan hati untuk menceraikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui} (QS. Al-Baqarah: 227). Maka ini menunjukkan bahwa talak harus dengan ucapan yang terdengar. Jika dikatakan: maksudnya adalah bahwa Allah senantiasa Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, maka dijawab: {Dan perangilah di jalan Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui} (QS. Al-Baqarah: 244). Maka tidak boleh menafsirkannya demikian, karena hal itu sudah dapat dipahami tanpa ayat ini. Demikian pula dalam ayat jihad, “Maha Mendengar” atas ucapan mereka dalam memberi semangat, “Maha Mengetahui” atas niat mereka dalam berjihad. Dari sisi makna, bahwa ini adalah masa yang ditetapkan oleh syariat, yang sebelumnya belum terjadi perpisahan, maka tidak boleh terjadi perpisahan (bainunah) karenanya, seperti batas waktu impotensi. Ucapan kami “ditetapkan oleh syariat” sebagai pembeda dari ucapan: “Jika telah berlalu empat bulan maka engkau tertalak.” Dan ucapan kami “belum didahului perpisahan” sebagai pembeda dari masa iddah. Di antara ulama kami ada yang memberikan alasan lebih jelas dari ini, yaitu: karena masa tersebut disyariatkan dalam pernikahan dengan menunggu hubungan suami istri, maka tidak boleh terjadi perpisahan karenanya, seperti batas waktu impotensi. Dan karena sumpah itu dengan nama Allah Ta‘ala yang mewajibkan kafarat, maka tidak terjadi talak karenanya seperti pada seluruh sumpah yang dipercepat.

الْمُعَجَّلُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ الْمُؤَجَّلُ كَالظِّهَارِ؛ وَلِأَنَّ الْإِيلَاءَ قَدْ كَانَ طَلَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَنُسِخَ كَالظِّهَارِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ؛ لِأَنَّهُ اسْتِيفَاءُ حُكْمٍ مَنْسُوخٍ؛ وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِصَرِيحٍ أَوْ كِنَايَةٍ وَلَيْسَ الْإِيلَاءُ صَرِيحًا فِيهِ وَلَا كِنَايَةً لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ صَرِيحًا لَوَقَعَ مُعَجَّلًا إِنْ أَطْلَقَ أَوْ إِلَى الْأَجَلِ الْمُسَمَّى إِنْ قَيَّدَهُ وَلَوْ كَانَ كِنَايَةً لَرُجِعَ فِيهِ إِلَى نِيَّتِهِ وَلَيْسَ الْإِيلَاءُ كَذَلِكَ وَلَا يَنْتَقِضُ هَذَا الِاسْتِدْلَالُ بِاللِّعَانِ حَيْثُ وقعت به الفرقة وإن لم صَرِيحًا وَلَا كِنَايَةً؛ لِأَنَّ اللِّعَانَ يُوقِعُ الْفَسْخَ وَلَا يُوقِعُ الطَّلَاقَ، وَالْفَسْخُ يَقَعُ بِغَيْرِ قَوْلٍ والطلاق لا يقع إلى بِقَوْلٍ.

Yang dipercepat, maka tidak boleh terjadi talak yang ditangguhkan karenanya, seperti pada zihar. Dan karena ila’ (sumpah tidak menggauli istri) dahulu merupakan talak pada masa jahiliah, lalu di-nasakh seperti zihar, maka tidak boleh terjadi talak karenanya, karena itu berarti mengambil hukum yang sudah di-nasakh. Dan karena talak terjadi dengan lafaz sharih (jelas) atau kinayah (sindiran), sedangkan ila’ bukanlah sharih maupun kinayah dalam talak. Jika ia sharih, maka akan langsung jatuh talak jika diucapkan secara mutlak, atau jatuh pada waktu yang ditentukan jika dibatasi. Jika kinayah, maka dikembalikan pada niatnya, sedangkan ila’ tidak demikian. Dan istidlal ini tidak batal dengan li‘an, di mana perpisahan terjadi karenanya meskipun bukan dengan lafaz sharih atau kinayah, karena li‘an menyebabkan fasakh (pembatalan nikah) dan bukan talak, sedangkan fasakh bisa terjadi tanpa ucapan, sedangkan talak hanya terjadi dengan ucapan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ بِقِرَاءَةِ ابْنِ مَسْعُودٍ فَهُوَ أَنَّهُ لَمْ يَنْقُلْهَا ثِقَاةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَشَذَّتْ، وَالشَّاذُّ مَتْرُوكٌ، وَلَوْ ثَبَتَتْ وَجَرَتْ مَجْرَى خَبَرِ الْوَاحِدِ لَحُمِلَتْ عَلَى جَوَازِ الْفَيْئَةِ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ.

Adapun jawaban atas ayat dengan qira’ah Ibn Mas‘ud adalah bahwa tidak ada perawi terpercaya dari kalangan sahabatnya yang meriwayatkannya, sehingga menjadi syadz (ganjil), dan yang ganjil itu ditinggalkan. Andaikata riwayat itu sahih dan setara dengan khabar ahad, maka ditafsirkan sebagai kebolehan al-fay’ah dalam masa penantian.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: إِنَّكُمْ تَزِيدُونَ عَلَى مُدَّةِ التَّرَبُّصِ، فَهُوَ أَنَّنَا لَا نَزِيدُ عَلَيْهَا وَإِنَّمَا نُقَدِّرُ بِهَا مُطَالَبَةَ الْفَيْئَةِ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ.

Adapun jawaban atas ucapan mereka: “Kalian menambah masa penantian,” maka jawabannya adalah bahwa kami tidak menambahkannya, melainkan kami menetapkan dengan masa itu tuntutan untuk melakukan al-fay’ah selama masa penantian.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: إِنَّ جَوَازَ الْفَيْئَةِ فِيهَا دَلِيلٌ عَلَى اسْتِحْقَاقِهَا فِيهِ فَهُوَ بَاطِلٌ بِالدَّيْنِ الْمُؤَجَّلِ يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ أَجَلِهِ وَلَا يَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى اسْتِحْقَاقِهِ فِيهِ.

Adapun jawaban atas ucapan mereka: “Bolehnya al-fay’ah dalam masa itu adalah dalil atas haknya dalam masa itu,” maka itu batal dengan perumpamaan utang yang ditangguhkan, yang boleh dilunasi sebelum jatuh tempo, namun hal itu tidak menunjukkan haknya dalam masa itu.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْعِدَّةِ مَعَ انْتِقَاضِهِ بِمُدَّةِ الْعُنَّةِ فَهُوَ أَنَّ الْمُدَّةَ فِيهَا لَمَّا تَقَدَّمَتْهَا الْفُرْقَةُ جَازَ أَنْ تَقَعَ بِهَا الْبَيْنُونَةُ، وَلَمَّا لَمْ تَتَقَدَّمْ مُدَّةُ الإيلاء لم يجوز أَنْ تَقَعَ بِهَا الْفُرْقَةُ.

Adapun jawaban atas qiyas mereka dengan masa iddah, padahal telah dibatalkan dengan masa impotensi, adalah bahwa masa iddah, karena telah didahului perpisahan, maka boleh terjadi bainunah karenanya. Sedangkan masa ila’, karena belum didahului perpisahan, maka tidak boleh terjadi perpisahan karenanya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ إِذَا عَلَّقَ طَلَاقَهَا بِمُضِيِّ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ مَعَ انْتِقَاضِهِ بِمُدَّةِ الْعُنَّةِ، إنَّ الْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَوْ عَلَّقَ بِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَقَعَ قَبْلَهَا وَلَوْ عَلَّقَ بِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ لَمْ يَقَعْ قَبْلَهَا وَلَيْسَ الْإِيلَاءُ عِنْدَهُمْ كذلك والله أعلم.

Adapun jawaban atas qiyās mereka ketika mereka mengaitkan talak istri dengan berlalu empat bulan, yang dibantah dengan masa ‘unnah (impotensi), maknanya adalah bahwa jika ia mengaitkan (talak) dengan kurang dari empat bulan, maka talak terjadi sebelum masa itu, dan jika ia mengaitkan dengan lebih dari empat bulan, maka talak tidak terjadi sebelum masa itu. Sedangkan dalam masalah ila’ menurut mereka tidaklah demikian. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: (ولي المولى مَنْ حَلَفَ بِيَمِينٍ يَلْزَمُهُ بِهَا كَفَّارَةٌ وَمَنْ أَوْجَبَ عَلَى نِفْسِهِ شَيْئًا يَجِبُ عَلَيْهِ إِذَا أَوْجَبَهُ فَأَوْجَبَهُ عَلَى نَفْسِهِ إِنْ جَامَعَ امْرَأَتَهُ فَهُوَ فِي مَعْنَى الْمُولِي) .

Imam Syafi‘i berkata: (Orang yang disebut mu’li adalah siapa saja yang bersumpah dengan sumpah yang mewajibkan atasnya kafarat, dan siapa saja yang mewajibkan atas dirinya sesuatu yang wajib baginya jika ia mewajibkannya, lalu ia mewajibkan atas dirinya jika ia mencampuri istrinya, maka ia termasuk dalam makna mu’li).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْإِيلَاءَ يَمِينٌ يَحْلِفُهُ بِهَا عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْ وَطْئِهَا، فَإِنْ كَانَتْ هِيَ الْيَمِينَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ بِالْحِنْثِ فِيهَا شَيْءٌ كَالْيَمِينِ بِالْمَخْلُوقَاتِ كَالْأَنْبِيَاءِ، وَالْمَلَائِكَةِ وَالسَّمَاءِ وَالْعَرْشِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، لِأَنَّهُ خَارِجٌ عَنْ حُكْمِ الْأَيْمَانِ فَخَرَجَ عَنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ، وَإِنْ أَوْجَبَ عَلَيْهِ الْحِنْثُ فِي يَمِينِهِ شَيْئًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa ila’ adalah sumpah yang diucapkan untuk menahan diri dari menggauli istrinya. Jika sumpah itu adalah sumpah yang tidak mewajibkan apa pun atasnya ketika melanggarnya, seperti sumpah dengan makhluk, seperti para nabi, malaikat, langit, dan ‘arsy, maka ia tidak menjadi mu’li, karena itu di luar hukum sumpah, maka ia juga keluar dari hukum ila’. Namun jika melanggar sumpah itu mewajibkan sesuatu atasnya, maka ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ يَمِينُهُ بِاللَّهِ تَعَالَى: أَوْ بِاسْمٍ مِنْ أَسْمَائِهِ، أَوْ بِصِفَةٍ مِنْ صِفَاتِ ذَاتِهِ يَجِبُ عليه بالحنث فيها كفارة فهذا مولى يُؤْخَذُ بِحُكْمِ الْإِيلَاءِ.

Pertama: Sumpahnya dengan nama Allah Ta‘ala, atau dengan salah satu nama-Nya, atau dengan salah satu sifat Dzat-Nya, yang jika ia melanggarnya wajib baginya kafarat, maka ini adalah mu’li yang dikenai hukum ila’.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَهُوَ أَنْ يَحْلِفَ بِالْعِتْقِ، أَوِ الطَّلَاقِ، أَوِ الصَّدَقَةِ، أَوِ الصِّيَامِ كَأَنْ قَالَ: إِنْ وَطِئْتُكِ فَعَبْدِي حُرٌّ أَوْ أَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ عَمْرَةُ طَالِقٌ لِزَوْجَةٍ لَهُ أُخْرَى أَوْ مَالِي صَدَقَةٌ أَوْ عَلَيَّ الْحَجُّ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ، أَوْ صِيَامُ يَوْمٍ أَوْ صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ، أَوِ اعْتِكَافُ شَهْرٍ إِلَى مَا جَرَى هَذَا الْمَجْرَى مِنَ الْأَيْمَانِ الَّتِي إِذَا حَنِثَ فِيهَا لَزِمَهُ مَا لَمْ يَكُنْ لَازِمًا لَهُ فَيَكُونُ حَالِفًا وَهَلْ يَصِيرُ بِهَذَا الْحَلِفِ مُولِيًا يُؤْخَذُ بِحُكْمِ الْإِيلَاءِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Kedua: Sumpahnya bukan dengan Allah Ta‘ala, yaitu bersumpah dengan pembebasan budak, atau talak, atau sedekah, atau puasa, seperti ia berkata: “Jika aku menggaulimu maka budakku merdeka,” atau “engkau tertalak,” atau “Amrah tertalak” (untuk istri lain yang ia miliki), atau “hartaku menjadi sedekah,” atau “atas diriku wajib haji ke Baitullah,” atau “puasa sehari,” atau “salat dua rakaat,” atau “i‘tikaf sebulan,” atau sumpah-sumpah lain yang serupa, yang jika ia melanggarnya maka wajib baginya sesuatu yang sebelumnya tidak wajib, maka ia menjadi orang yang bersumpah. Apakah dengan sumpah seperti ini ia menjadi mu’li yang dikenai hukum ila’ atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ لَا يَكُونُ مُولِيًا مَا لَمْ يَحْلِفْ بِاللَّهِ تَعَالَى لِقَوْلِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ: {وَلا تَجْعَلُوا اللَّهَ عُرْضَةً لأَيْمَانِكُمْ} [البقرة: 224] ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: {لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ} [البقرة: 255] يَعْنِي بِاللَّهِ، ثُمَّ قَالَ: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ} [البقرة: 226] فَعَطَفَ بِهِ عَلَى الْيَمِينِ بِاللَّهِ فَاقْتَضَى أَنْ لَا يَكُونُ مُولِيًا إِلَّا بِهِ؛ وَلِأَنَّ مُطْلَقَ الْأَيْمَانِ مَحْمُولَةٌ عُرْفًا وَشَرْعًا عَلَى الْيَمِينِ بِاللَّهِ، أَمَّا الْعُرْفُ فَلِأَنَّهُ إِذَا قِيلَ فُلَانٌ قَدْ حَلَفَ لَمْ يُعْرَفْ مِنْهُ إِلَّا الْحَلِفَ بِاللَّهِ إِلَّا أَنْ يُقَيِّدَ فَيُقَالُ حَلَفَ بِالْعِتْقِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَأَمَّا الشَّرْعُ فَلِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: (مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ فَلْيَصْمُتْ) فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِطْلَاقُ الْإِيلَاءِ مَحْمُولًا عَلَى هَذَا الْمَعْهُودِ مِنْ عُرْفٍ، أَوْ شَرْعٍ، وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [البقرة: 226] وَغُفْرَانُ الْمَأْثَمِ يَتَوَجَّهُ إِلَى الْأَيْمَانِ بِاللَّهِ تَعَالَى دُونَ الْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ.

Pertama: Yaitu pendapat Imam Syafi‘i dalam qaul qadim, bahwa ia tidak menjadi mu’li kecuali jika ia bersumpah dengan nama Allah Ta‘ala, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala: {Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpah-sumpahmu sebagai penghalang} (al-Baqarah: 224), kemudian Allah Ta‘ala berfirman: {Allah tidak menghukum kamu karena sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja} (al-Baqarah: 225), maksudnya adalah sumpah dengan nama Allah, lalu Allah berfirman: {Bagi orang-orang yang melakukan ila’ dari istri-istri mereka} (al-Baqarah: 226), maka ayat ini mengaitkan ila’ dengan sumpah atas nama Allah, sehingga menunjukkan bahwa tidak menjadi mu’li kecuali dengan sumpah atas nama Allah. Karena secara umum, sumpah itu dipahami secara ‘urf (kebiasaan) dan syariat sebagai sumpah dengan nama Allah. Adapun secara ‘urf, jika dikatakan “si Fulan telah bersumpah”, maka yang dipahami darinya adalah bersumpah dengan nama Allah, kecuali jika dibatasi, seperti dikatakan “bersumpah dengan pembebasan budak” atau “talak”. Adapun secara syariat, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa yang hendak bersumpah, maka hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau diam.” Maka wajib bahwa lafaz ila’ dipahami menurut kebiasaan atau syariat ini. Dan firman Allah Ta‘ala: {Jika mereka kembali (rujuk), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} (al-Baqarah: 226), dan ampunan terhadap dosa itu berkaitan dengan sumpah atas nama Allah Ta‘ala, bukan dengan pembebasan budak atau talak.

وَلِأَنَّ الْإِيلَاءَ هُوَ الَّذِي يُسْتَضَرُّ بِالْحِنْثِ فِيهِ فليتزم مَا لَمْ يَكُنْ لَازِمًا لَهُ، وَالْيَمِينُ بِالْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ قَدْ لَا يُسْتَضَرُّ بِالْحِنْثِ فِيهَا وَهُوَ أن يطأ بعد ربيع عَبْدِهِ أَوْ طَلَاقِ زَوْجَتِهِ فَلَا يَلْتَزِمُ بِالْحِنْثِ بِالْوَطْءِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونُ مُولِيًا كَمَا لَوْ قَالَ وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ فِي هَذِهِ الدَّارِ أَوْ فِي هَذَا الْبَلَدِ لَمْ يَكُنْ مولياً وإن كان حالفاً لأنه قد يطأها فِي غَيْرِ تِلْكَ الدَّارِ، وَفِي غَيْرِ ذَلِكَ الْبَلَدِ فَلَا يَحْنَثُ.

Karena ila’ (sumpah tidak menggauli istri) adalah sumpah yang jika dilanggar akan menimbulkan mudarat, maka wajib terikat padanya selama belum menjadi kewajiban baginya. Adapun sumpah dengan pembebasan budak atau talak, bisa jadi tidak menimbulkan mudarat jika dilanggar, yaitu apabila ia menggauli istrinya setelah membebaskan budaknya atau menceraikan istrinya, maka ia tidak terikat dengan pelanggaran sumpah melalui hubungan suami istri. Maka, ia tidak dianggap sebagai muuli (orang yang melakukan ila’), sebagaimana jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu di rumah ini atau di negeri ini,” maka ia tidak dianggap sebagai muuli meskipun ia bersumpah, karena bisa saja ia menggaulinya di selain rumah atau negeri tersebut, sehingga ia tidak melanggar sumpah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ يَكُونُ مُولِيًا سَوَاءٌ كَانَتْ يَمِينُهُ بِالْعِتْقِ أَوْ بِالطَّلَاقِ أَوْ كَانَتْ بِالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapatnya dalam qaul jadid (pendapat baru), bahwa ia dianggap sebagai muuli, baik sumpahnya dengan pembebasan budak, talak, maupun dengan shalat atau puasa.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ: لَا يَكُونُ مُولِيًا إِذَا حَلَفَ بِالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَيَكُونُ مُولِيًا إِذَا حَلَفَ بِالْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَهُمْ عَلَى الْقَوْلَيْنِ، وَوَجْهُ قَوْلِنَا أَنَّهُ يَكُونُ مُولِيًا بِجَمِيعِ ذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نسائهم} فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي كُلِّ حَالِفٍ، وَإِذَا كَانَ اللَّفْظُ مُطْلَقًا كَانَ إِجْرَاؤُهُ عَلَى الْعُمُومِ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى الْخُصُوصِ، وَلِأَنَّهَا يَمِينٌ يَلْتَزِمُ بِالْحِنْثِ فِيهَا مَا لَمْ يَلْزَمْهُ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مُولِيًا كَالْيَمِينِ بِاللَّهِ تَعَالَى وَلِأَنَّ الْإِيلَاءَ مَا أَدْخَلَ الضَّرَرَ عَلَى الْمُولِي وَقَدْ يَكُونُ الضَّرَرُ فِي يَمِينِهِ بِالْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ مِنَ الضَّرَرِ مِنْ يَمِينِهِ بِاللَّهِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ بِهِمَا مُولِيًا.

Abu Yusuf berkata: Tidak dianggap sebagai muuli jika bersumpah dengan shalat dan puasa, dan dianggap sebagai muuli jika bersumpah dengan pembebasan budak dan talak. Tidak ada perbedaan di antara mereka menurut dua pendapat tersebut. Adapun alasan pendapat kami bahwa ia dianggap sebagai muuli dengan semua itu adalah firman Allah Ta‘ala: {Bagi orang-orang yang melakukan ila’ dari istri-istri mereka}, maka ayat itu berlaku umum untuk setiap orang yang bersumpah. Jika lafaznya bersifat mutlak, maka menjalankannya secara umum lebih utama daripada membawanya pada kekhususan. Dan karena itu adalah sumpah yang jika dilanggar menimbulkan kewajiban yang sebelumnya tidak wajib, maka sepatutnya ia dianggap sebagai muuli sebagaimana sumpah dengan nama Allah Ta‘ala. Dan karena ila’ adalah sesuatu yang menimbulkan mudarat pada pelakunya, dan bisa jadi mudarat pada sumpah dengan pembebasan budak dan talak lebih besar daripada mudarat pada sumpah dengan nama Allah, maka lebih utama jika dengan keduanya juga dianggap sebagai muuli.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَوْجِيهِ الْقَوْلَيْنِ فَعَلَى الثَّانِي مِنْهُمَا يَكُونُ التَّفْرِيعُ، فَإِذَا قَالَ: إِنْ وَطِئْتُكِ فَعَبْدِي حُرٌّ عَتَقَ بِوَطْئِهَا، وَلَوْ قَالَ: فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتِقَهُ لَمْ يُعْتَقْ بِالْوَطْءِ وَكَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ عِتْقِهِ أَوْ كَفَّارَةٍ وَهُوَ فِي الْحَالَيْنِ مولى، وَلَوْ قَالَ: إِنْ وَطِئْتُكِ فَزَيْنَبُ طَالِقٌ فَوَطِئَهَا طُلِّقَتْ زَيْنَبُ وَيَكُونُ مُولِيًا، وَلَوْ قَالَ؛ إِنْ وَطِئْتُكِ فَعَلَيَّ طَلَاقُ زَيْنَبَ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا؛ لِأَنَّهُ إِنْ وَطِئَهَا لَمْ تُطَلَّقْ زَيْنَبُ وَلَمْ يَلْزَمْهُ طَلَاقُهَا بِخِلَافِ الْعِتْقِ، وَلَوْ قَالَ إِنْ وَطِئْتُكِ فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَقِفَ دَارِي كَانَ مُولِيًا، وَلَوْ قَالَ فَدَارِي وَقْفٌ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا بِخِلَافِ الْعِتْقِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَصِيرُ بِوَطْئِهَا وَقْفًا وَيَصِيرُ الْعَبْدُ بِوَطْئِهَا حُرًّا وَلَوْ قَالَ إِنْ وَطِئْتُكِ فَأَنْتَ عَلَيَّ حَرَامٌ أَوْ قَالَ ذَلِكَ لِزَوْجَةٍ لَهُ أُخْرَى، فَإِنْ أَرَادَ بِالْحَرَامِ الطَّلَاقَ كَانَ مُولِيًا وَإِنْ أَرَادَ بِهِ تَحْرِيمَ الْوَطْءِ كَانَ مُولِيًا؛ لِأَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ بِالتَّحْرِيمِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ فَعَلَى وَجْهَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا هَلْ تَجِبُ عَلَيْهِ بِإِطْلَاقِ ذَلِكَ كَفَّارَةٌ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا تَجِبُ كَانَ مُولِيًا، وَإِنْ قِيلَ لَا تَجِبُ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Setelah jelas apa yang kami sebutkan tentang argumentasi kedua pendapat, maka menurut pendapat kedua, cabangnya sebagai berikut: Jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka budakku merdeka,” maka budaknya merdeka karena ia menggaulinya. Jika ia berkata, “Maka wajib atasku untuk memerdekakannya karena Allah,” maka tidak otomatis merdeka karena hubungan suami istri, dan ia boleh memilih antara memerdekakannya atau membayar kafarat, dan dalam kedua keadaan ia tetap dianggap muuli. Jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka Zainab tertalak,” lalu ia menggaulinya, maka Zainab tertalak dan ia dianggap muuli. Jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka wajib atasku mentalak Zainab,” maka ia tidak dianggap muuli, karena jika ia menggaulinya, Zainab tidak otomatis tertalak dan ia tidak wajib mentalaknya, berbeda dengan pembebasan budak. Jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka wajib atasku mewakafkan rumahku karena Allah,” maka ia dianggap muuli. Jika ia berkata, “Maka rumahku menjadi wakaf,” maka ia tidak dianggap muuli, berbeda dengan pembebasan budak, karena dengan menggaulinya rumah itu tidak otomatis menjadi wakaf, sedangkan budak menjadi merdeka dengan menggaulinya. Jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka engkau haram atasku,” atau ia berkata demikian kepada istri lainnya, maka jika yang ia maksud dengan haram adalah talak, maka ia dianggap muuli; jika yang ia maksud adalah mengharamkan hubungan suami istri, maka ia juga dianggap muuli, karena dengan pengharaman itu wajib baginya membayar kafarat sumpah. Jika ia tidak memiliki maksud tertentu, maka ada dua pendapat di kalangan ulama kami: apakah wajib baginya kafarat dengan mengucapkan hal itu secara mutlak? Jika dikatakan wajib, maka ia dianggap muuli; jika dikatakan tidak wajib, maka ia tidak dianggap muuli. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الشافعي: (وَلَا يَلْزَمُهُ الْإِيلَاءُ حَتَّى يُصَرِّحَ بِأَحَدِ أَسْمَاءِ الجماع التي هي صريحة وذلك قوله والله لا أنيكك ولا أغيب ذكري في فرجك أو لا أدخله في فرجك أو لا أجامعك أو يقول إن كانت عذراء والله لا أفتضك أو ما في مثل هذا المعنى فهو مول في الحكم (وقال في القديم) لو قال والله لا أطؤك أو لا أمسك أو لا أجامعك فهذا كله باب واحد كلما كان للجماع اسم كني به عن نفس الجماع فهو واحد وهو مول في الحكم قلنا ما لم ينوه في لا أمسك في الحكم في القديم ونواه فهي الجديد وأجمع قوله فيهما بحلفه لا أجامعك أنه مول وإن احتمل أجامعك ببدني وهذا أشبه بمعاني العلم والله أعلم (قَالَ الشَّافِعِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ قَالَ وَاللَّهِ لا أباشرك أو لا أباضعك أو لا أمسك أو ما أشبه هذا فإن أراد جماعاً فهو مول وإن لم يرده فغير مول في الحكم) .

Imam Syafi‘i berkata: “Ila’ tidak menjadi wajib kecuali ia menyatakan dengan salah satu nama jima’ (hubungan suami istri) yang jelas, seperti ucapannya: ‘Demi Allah, aku tidak akan menyetubuhimu,’ atau ‘Aku tidak akan memasukkan kemaluanku ke dalam kemaluanmu,’ atau ‘Aku tidak akan memasukkannya ke dalam kemaluanmu,’ atau ‘Aku tidak akan berjima’ denganmu,’ atau jika istrinya masih perawan, ‘Demi Allah, aku tidak akan menembus keperawananmu,’ atau yang semakna dengan itu, maka ia dianggap muuli dalam hukum. (Dan ia berkata dalam qaul qadim): Jika ia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu,’ atau ‘Aku tidak akan memegangmu,’ atau ‘Aku tidak akan berjima’ denganmu,’ maka semua itu satu bab; setiap kali ada nama untuk jima’ yang digunakan sebagai kiasan untuk jima’ itu sendiri, maka hukumnya satu, dan ia dianggap muuli dalam hukum. Kami katakan, kecuali jika ia meniatkan ‘tidak memegang’ dalam hukum qaul qadim, dan jika ia meniatkannya, maka itu adalah qaul jadid. Dan ia sepakat dalam kedua pendapatnya bahwa jika ia bersumpah ‘Aku tidak akan berjima’ denganmu,’ maka ia dianggap muuli, meskipun ‘berjima’’ bisa bermakna dengan badannya, dan ini lebih sesuai dengan makna ilmu. Wallahu a‘lam. (Imam Syafi‘i berkata) rahimahullah: Jika ia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan bersentuhan denganmu,’ atau ‘Aku tidak akan berbaring bersamamu,’ atau ‘Aku tidak akan memegangmu,’ atau yang semisalnya, jika ia maksudkan jima’, maka ia dianggap muuli; jika tidak, maka tidak dianggap muuli dalam hukum.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ الْأَلْفَاظِ الَّتِي يَسْتَعْلِمُهَا فِي الْإِيلَاءِ تَنْقَسِمُ خَمْسَةَ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Secara keseluruhan, lafaz-lafaz yang digunakan untuk meminta penjelasan dalam masalah ila’ terbagi menjadi lima bagian:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ صريحاً في الظاهر والباطن.

Pertama: Lafaz yang jelas secara lahir dan batin.

وَالثَّانِي: مَا كَانَ صَرِيحًا فِي الظَّاهِرِ كِنَايَةً فِي الْبَاطِنِ.

Kedua: Lafaz yang jelas secara lahir, namun merupakan kinayah (sindiran) secara batin.

وَالثَّالِثُ: مَا كَانَ كِنَايَةً فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ.

Ketiga: Lafaz yang merupakan kinayah baik secara lahir maupun batin.

وَالرَّابِعُ: مَا كَانَ مُخْتَلَفًا فِيهِ.

Keempat: Lafaz yang diperselisihkan (statusnya).

وَالْخَامِسُ: مَا لَمْ يَكُنْ صَرِيحًا وَلَا كِنَايَةً.

Kelima: Lafaz yang bukan merupakan lafaz yang jelas maupun kinayah.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ مَا كَانَ صَرِيحًا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ فَهُوَ وَاللَّهِ لَا أَنِيكُكِ أولا أدخل ذكري في فرجك أولا أُغَيِّبُهُ فِيهِ أَوْ لَا أَفْتَضُّكِ بِذَكَرِي وَهِيَ بِكْرٌ فَهَذَا صَرِيحٌ فِي الْإِيلَاءِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا به مولياً أرد بِهِ الْإِيلَاءَ أَمْ لَمْ يُرِدْ، فَيَكُونُ مُولِيًا فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثِ إِذَا أَرَادَ بِهِ الْإِيلَاءَ وَإِذَا أَطْلَقَ وَإِذَا لَمْ يُرِدْ، فَأَمَّا إِذَا قَالَ فِي الْبِكْرِ: لَا أَفْتَضُّكِ وَلَمْ يَقُلْ بِذَكَرِي فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَهُ مِنْ هَذَا الْقِسْمِ صَرِيحًا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَهُ مِنَ الْقَسَمِ الثَّانِي لِاحْتِمَالِهِ أَنْ لا يقتضها بِيَدِهِ.

Adapun bagian pertama, yaitu lafaz yang jelas secara lahir dan batin, contohnya adalah: “Demi Allah, aku tidak akan menyetubuhimu,” atau “Aku tidak akan memasukkan zakarku ke dalam farjimu,” atau “Aku tidak akan menenggelamkannya di dalamnya,” atau “Aku tidak akan membuka keperawananmu dengan zakarku, sedangkan engkau masih perawan.” Ini adalah lafaz yang jelas dalam masalah ila’ baik secara lahir maupun batin, sehingga pelakunya dianggap melakukan ila’ baik ia memang bermaksud ila’ atau tidak, baik ia mengucapkannya secara mutlak maupun dengan niat ila’, maka ia tetap dianggap melakukan ila’ dalam tiga keadaan tersebut: jika ia memang bermaksud ila’, jika ia mengucapkannya secara mutlak, dan jika ia tidak bermaksud ila’. Adapun jika ia berkata kepada seorang perawan: “Aku tidak akan membuka keperawananmu,” tanpa menyebutkan “dengan zakarku,” maka sebagian ulama kami menganggapnya termasuk bagian ini, yaitu jelas secara lahir dan batin, dan sebagian ulama kami menganggapnya termasuk bagian kedua karena masih ada kemungkinan ia bermaksud membuka keperawanan dengan tangannya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ مَا كَانَ صَرِيحًا فِي الظَّاهِرِ كِنَايَةً فِي الْبَاطِنِ فَهُوَ قَوْلُهُ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ وَلَا جَامَعْتُكِ فَهُوَ صَرِيحٌ فِي الظَّاهِرِ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ فِي هَذَا اللَّفْظِ فَيَجْعَلُهُ بِهِ مُولِيًا فِي الْحُكْمِ وَكِنَايَةٌ فِي الْبَاطِنِ لِاحْتِمَالِ أَنْ يُرِيدَ لَا أَطَؤُكِ بِقَدَمِي وَلَا أُجَامِعُكِ أَيْ لَا أجْتَمِعُ مَعَكِ فيدين فِيهِ إِنْ لَمْ يُرِدْ بِهِ الْإِيلَاءَ فَيَصِيرُ بذلك مولياً في حالتين: إذا أردا بِهِ الْإِيلَاءَ، وَإِذَا أَطْلَقَ، وَلَا يَكُونُ مُولِيًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ وَهُوَ إِذَا لَمْ يُرِدْ بِهِ الْإِيلَاءَ، فَإِنْ قَالَ وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ بِذَكَرِي وَلَا جَامَعْتُكِ بِفَرْجِي فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جعله من القسم الأول صريحاً في الظهر وَالْبَاطِنِ لِخُرُوجِهِ بِذِكْرِ الْفَرْجِ عَنْ حَالِ الِاحْتِمَالِ.

Adapun bagian kedua, yaitu lafaz yang jelas secara lahir namun kinayah secara batin, contohnya adalah ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu,” atau “Aku tidak akan mencampurimu.” Lafaz ini dianggap jelas secara lahir menurut kebiasaan penggunaan kata tersebut, sehingga dengan lafaz ini ia dianggap melakukan ila’ secara hukum, namun merupakan kinayah secara batin karena masih ada kemungkinan ia bermaksud “Aku tidak akan menginjakmu dengan kakiku” atau “Aku tidak akan berkumpul denganmu,” sehingga ia diminta bersumpah jika tidak bermaksud ila’. Dengan demikian, ia dianggap melakukan ila’ dalam dua keadaan: jika ia bermaksud ila’, dan jika ia mengucapkannya secara mutlak. Ia tidak dianggap melakukan ila’ dalam satu keadaan, yaitu jika ia tidak bermaksud ila’. Jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu dengan zakarku dan tidak akan mencampurimu dengan farjiku,” maka sebagian ulama kami menganggapnya termasuk bagian pertama, yaitu jelas secara lahir dan batin, karena penyebutan farji menghilangkan kemungkinan makna lain.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَهُ مِنْ هَذَا الْقِسْمِ صَرِيحًا فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ وَلَمْ يُخْرِجْهُ ذِكْرُ الْفَرْجِ مَنْ حَدِّ الِاحْتِمَالِ لِأَنَّهُ يَحْتَمِلُ لَا أَطَؤُكِ بِفَرْجِي وَلَا أُجَامِعُكِ بِذَكَرِي دُونَ الْفَرْجِ فَلِذَلِكَ صَارَ صَرِيحًا فِي الظَّاهِرِ كِنَايَةً في الباطن.

Sebagian ulama kami menganggapnya termasuk bagian ini, yaitu jelas secara lahir namun tidak secara batin, dan penyebutan farji tidak mengeluarkannya dari kemungkinan makna lain, karena masih mungkin ia bermaksud “Aku tidak akan menggaulimu dengan farjiku” dan “Aku tidak akan mencampurimu dengan zakarku tanpa farji.” Oleh karena itu, lafaz tersebut menjadi jelas secara lahir namun kinayah secara batin.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَا كَانَ كِنَايَةً فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ فَهُوَ كَقَوْلِهِ وَاللَّهِ لَأَسُوأَنَّكِ وَاللَّهِ لَا قَرَبْتُكِ أَوْ وَاللَّهِ لَا أَجْمَعُ رَأْسِي بِرَأْسِكِ أَوْ لَا ضَمَّنَا بَيْتٌ أَوْ لَا ضَاجَعْتُكِ أَوْ لَتَطُولَنَّ غَيْبَتِي عَنْكِ إِلَى مَا جَرَى هَذَا الْمَجْرَى مِنَ الْأَلْفَاظِ الْمُحْتَمِلَةِ لِلْوَطْءِ وَغَيْرِهِ فَتَكُونُ كِنَايَةً فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ لَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا إِلَّا مَعَ الْإِرَادَةِ فَيَصِيرُ بِهِ مُولِيًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ وَهِيَ مَعَ وُجُودِ الْإِرَادَةِ وَلَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا فِي حَالَتَيْنِ: وَهُوَ إِذَا أَطْلَقَ أَوْ لَمْ يُرِدِ الْإِيلَاءَ.

Adapun bagian ketiga, yaitu lafaz yang merupakan kinayah baik secara lahir maupun batin, contohnya adalah ucapannya: “Demi Allah, aku akan menyakitimu,” atau “Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu,” atau “Demi Allah, aku tidak akan menyatukan kepalaku dengan kepalamu,” atau “Tidak akan ada rumah yang menaungi kita berdua,” atau “Aku tidak akan tidur bersamamu,” atau “Aku akan lama tidak bersamamu,” dan lafaz-lafaz lain yang serupa yang masih mengandung kemungkinan bermakna menyetubuhi atau tidak. Maka lafaz-lafaz ini merupakan kinayah baik secara lahir maupun batin, sehingga tidak dianggap sebagai ila’ kecuali dengan niat. Dengan demikian, ia dianggap melakukan ila’ hanya dalam satu keadaan, yaitu jika ada niat, dan tidak dianggap melakukan ila’ dalam dua keadaan: jika diucapkan secara mutlak atau tidak ada niat ila’.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ مَا كَانَ مُخْتَلِفًا فِيهِ فَهُوَ ثَلَاثَةُ أَلْفَاظٍ، لَا بَاضَعْتُكِ وَلَا بَاشَرْتُكِ وَلَا مَسَسْتُكِ فَفِي هَذِهِ الْأَلْفَاظِ الثَّلَاثَةِ قَوْلَانِ:

Adapun bagian keempat, yaitu lafaz yang diperselisihkan statusnya, terdiri dari tiga lafaz: “Aku tidak akan membaḍi‘mu,” “Aku tidak akan membasyrmu,” dan “Aku tidak akan menyentuhmu.” Dalam tiga lafaz ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، إِنَّ ذَلِكَ يَكُونُ صَرِيحًا فِي الظَّاهِرِ كِنَايَةً فِي الْبَاطِنِ كَالْقِسْمِ الثَّانِي، فَيَكُونُ بِهِ مُولِيًا فِي حَالَتَيْنِ إِنْ أَرَادَ أَوْ أَطْلَقَ، وَلَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ وَهُوَ إِذَا لَمْ يُرِدْ لِأَنَّ الْمُبَاضَعَةَ مُفَاعَلَةٌ مِنَ الْبُضْعِ وَهُوَ الْفَرْجُ، وَالْمَسِيسُ وَالْمُبَاشَرَةُ قَدْ تَعَلَّقَ عَلَيْهِمَا فِي الشَّرْعِ حُكْمُ الْوَطْءِ.

Salah satunya, yaitu pendapat dalam kitab Qadim, bahwa lafaz-lafaz tersebut dianggap jelas secara lahir namun kinayah secara batin seperti bagian kedua, sehingga dengan lafaz tersebut ia dianggap melakukan ila’ dalam dua keadaan: jika ia bermaksud atau mengucapkannya secara mutlak, dan tidak dianggap melakukan ila’ dalam satu keadaan, yaitu jika ia tidak bermaksud, karena kata mubāḍa‘ah adalah bentuk musyarakah dari kata buḍ‘ (kemaluan), dan kata masis dan mubasyarah dalam syariat telah dikaitkan dengan hukum jima‘ (hubungan badan).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إنَّهُ كِنَايَةٌ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ كَالْقِسْمِ الثَّالِثِ فَلَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا فِي حَالَتَيْنِ: إِذَا أَطْلَقَ أَمْ لَمْ يُرِدْ، وَيَكُونُ بِهِ مُولِيًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ إِذَا أَرَادَ.

Pendapat kedua: yaitu pendapatnya dalam pendapat baru (al-jadid) bahwa itu adalah kinayah secara lahir dan batin seperti pada bagian ketiga, sehingga tidak menjadi sumpah ila’ dalam dua keadaan: jika diucapkan secara mutlak atau tidak dimaksudkan, dan menjadi sumpah ila’ dalam satu keadaan, yaitu jika dimaksudkan.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ثَلَاثَةِ أَلْفَاظٍ: لَا أَصَبْتُكِ، وَلَا غَشَيْتُكُ، وَلَا لَمْسَتُكِ، فَمِنْهُمْ مَنْ أَجْرَاهَا مَجْرَى هَذَا الْقِسْمِ فِي أَنَّهَا عَلَى قَوْلَيْنِ، وَمِنْهُمْ مَنْ أَخْرَجَهَا مِنْهُ وَجَعَلَهَا مِنَ الْقِسْمِ الثَّالِثِ كِنَايَةً فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ.

Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai tiga lafaz: “Aku tidak menyetubuhimu”, “Aku tidak menggaulimu”, dan “Aku tidak menyentuhmu”. Sebagian dari mereka memperlakukannya seperti bagian ini, yaitu terdapat dua pendapat, dan sebagian lain mengeluarkannya dari bagian ini dan menjadikannya bagian ketiga, yaitu kinayah secara lahir dan batin.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الْخَامِسُ: وَهُوَ مَا لَمْ يَكُنْ صَرِيحًا وَلَا كِنَايَةً فَهُوَ كَقَوْلِهِ لَا أوحشتك أو لا أحزنتك أو لا كسوتك أولاً أطعمتك أو لا أشربتك أولا ضربتك فهذا ما شَاكَلَهُ لَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا فِي الْأَحْوَالِ الثلاث لا إن أطلق، وإلا إن لَمْ يُرِدْ وَلَا إِنْ أَرَادَ كَالَّذِي لَا يَكُونُ صَرِيحًا وَلَا كِنَايَةً مِنَ الطَّلَاقِ وَلَا يقع به الطلاق.

Adapun bagian kelima: yaitu apa yang tidak termasuk sharih (lafaz tegas) maupun kinayah, seperti ucapannya: “Aku tidak membuatmu kesepian”, atau “Aku tidak membuatmu sedih”, atau “Aku tidak memberimu pakaian”, atau “Aku tidak memberimu makan”, atau “Aku tidak memberimu minum”, atau “Aku tidak memukulmu”, maka yang semisal dengan itu tidak menjadi sumpah ila’ dalam tiga keadaan: tidak jika diucapkan secara mutlak, tidak jika tidak dimaksudkan, dan tidak pula jika dimaksudkan, seperti halnya yang bukan sharih maupun kinayah dari talak, dan tidak jatuh talak dengannya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: رضي الله عنه وَلَوْ قَالَ وَاللَّهِ لَا أُجَامِعُكِ فِي دُبُرِكِ فهو محسن ولا قال والله لا يجمع رأسي ورأسك شيء أو لأسوأنك أو لتطولن غيبتي عنك أو ما أشبه هذا فلا يكون بذلك مولياً إلا أن يريد جماعاً وَلَوْ قَالَ وَاللَّهِ لَيَطُولَنَّ تَرْكِي لِجِمَاعِكِ فَإِنْ عني أكثر من أربعة أشهر فهو مول) .

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Jika seseorang berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu di duburmu,” maka ia berbuat baik. Dan jika ia berkata, “Demi Allah, tidak ada sesuatu pun yang akan mempertemukan kepalaku dan kepalamu,” atau “Aku benar-benar akan membuatmu menderita,” atau “Sungguh aku akan lama tidak bersamamu,” atau yang semisal dengan itu, maka dengan ucapan tersebut ia tidak menjadi mu’li kecuali jika ia bermaksud jima’. Dan jika ia berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan lama meninggalkan jima’ denganmu,” jika yang dimaksud lebih dari empat bulan, maka ia menjadi mu’li.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَهُوَ مِمَّا لَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا، لِأَنَّ الشَّرْعَ يَمْنَعُهُ مِنَ الْوَطْءِ فِي الدُّبُرِ فَلَمْ يَمْتَنِعْ بِالْيَمِينِ إِلَّا مِمَّا هُوَ مَمْنُوعٌ مِنْهُ فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ مولياً، ولو قَالَ: وَاللَّهِ لَا اغْتَسَلْتُ مِنْكِ مِنْ جَنَابَةٍ كَانَ كِنَايَةً لَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا إِلَّا مَعَ الْإِرَادَةِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُحْتَمَلُ أَنْ يَجِبَ عَلَيْهِ الْغُسْلُ بِوَطْءِ غَيْرِهَا فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ بِوَطْئِهَا أَوْ قَدْ يُولِجُ فَيَكْسَلُ وَلَا يُنْزِلُ فَلَا يَغْتَسِلُ عَلَى قَوْلِ مَنْ يَرَى ذَلِكَ مَذْهَبًا وَبِهَذَا الْوَطْءِ يَسْقُطُ حُكْمُ الْإِيلَاءِ فَلِذَلِكَ صَارَ كِنَايَةً، وَلَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا جَامَعْتُكِ جِمَاعَ سُوءٍ كَانَ كِنَايَةً، فَإِنْ أَرَادَ بِهِ الْوَطْءَ فِي الدُّبُرِ أَوْ دُونَ الْفَرْجِ كَانَ مُولِيًا وَإِنْ أَرَادَ بِهِ قُوَّةَ الْجِمَاعِ أَوْ ضَعْفَهُ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، وَلَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا جَامَعْتُكِ جِمَاعَ سُوءٍ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا سَوَاءٌ أَرَادَ بِهَذَا الْمَكْرُوهَ أَوْ غَيْرَ الْمَكْرُوهِ لِأَنَّ يَمِينَهُ عَلَى فِعْلِ هَذَا الْجِمَاعِ يَمْنَعُهُ مِنْ غَيْرِهِ مِنَ الْجِمَاعِ، وَلَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَيَطُولَنَّ تَرْكِي لِجِمَاعِكِ فَإِنْ عَنَى بِهِ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَانَ مُولِيًا وَإِلَّا فَلَا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, dan ini termasuk yang tidak menjadikan seseorang sebagai mu’li, karena syariat melarang berhubungan di dubur, sehingga ia tidak menahan diri dengan sumpah kecuali dari sesuatu yang memang sudah dilarang, maka sebab itulah tidak menjadi mu’li. Jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mandi junub darimu,” maka itu adalah kinayah, tidak menjadi mu’li kecuali dengan niat, karena bisa jadi ia wajib mandi junub karena berhubungan dengan selain istrinya, sehingga tidak wajib mandi karena berhubungan dengannya, atau bisa jadi ia memasukkan (kemaluannya) lalu lemas dan tidak keluar mani, sehingga tidak wajib mandi menurut pendapat yang menganggap demikian sebagai mazhab. Dengan hubungan seperti ini, gugur hukum ila’, maka sebab itu menjadi kinayah. Jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu dengan jima’ yang buruk,” maka itu adalah kinayah. Jika ia maksudkan hubungan di dubur atau selain farji, maka ia menjadi mu’li, dan jika ia maksudkan kekuatan atau kelemahan jima’, maka tidak menjadi mu’li. Jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu dengan jima’ yang buruk,” maka ia tidak menjadi mu’li, baik yang dimaksud adalah sesuatu yang dibenci atau bukan, karena sumpahnya atas perbuatan jima’ tersebut mencegahnya dari selain jima’ itu. Jika ia berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan lama meninggalkan jima’ denganmu,” jika yang dimaksud lebih dari empat bulan, maka ia menjadi mu’li, jika tidak maka tidak.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: رضي الله عنه (وَلَوْ قَالَ وَاللَّهِ لَا أَقْرَبُكِ خَمْسَةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ قَالَ إِذَا مَضَتْ خَمْسَةُ أَشْهُرٍ فَوَاللَّهِ لَا أَقْرَبُكِ سَنَةً فَوُقِفَ فِي الْأُولَى فَطَلَّقَ ثم ارتجع فَإِذَا مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَجْعَتِهِ وَبَعْدَ خَمْسَةِ أَشْهُرٍ وُقِفَ فَإِنْ كَانَتْ رَجْعَتُهُ فِي وَقْتٍ لَمْ يَبْقَ عَلَيْهِ فِيهِ مِنَ السَّنَةِ إِلَّا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ أَوْ أَقَلُّ لَمْ يُوقَفْ لِأَنِّي أَجْعَلُ لَهُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمِ يَحِلُّ لَهُ الْفَرْجُ) .

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Jika seseorang berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu selama lima bulan,” kemudian ia berkata, “Jika telah berlalu lima bulan, demi Allah aku tidak akan mendekatimu selama setahun,” lalu ia ditahan pada sumpah pertama, kemudian ia mentalak, lalu ia rujuk. Jika telah berlalu empat bulan setelah rujuknya dan setelah lima bulan, maka ia ditahan. Jika rujuknya terjadi pada waktu yang tersisa dari setahun itu hanya empat bulan atau kurang, maka ia tidak ditahan, karena aku memberinya waktu empat bulan sejak hari ia halal menggauli istrinya.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَيَتَعَلَّقُ بِمَسْطُورِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَرْبَعَةُ فُرُوعٍ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ (الْأُمِّ) بَعْضَهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, dan terkait dengan permasalahan ini terdapat empat cabang yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm sebagian di antaranya.

فَأَمَّا الْمَسْطُورُ فَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ قَالَ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ خَمْسَةَ أَشْهُرٍ فَإِذَا مَضَتْ خَمْسَةُ أَشْهُرٍ فَوَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ سَنَةً فَهَذِهِ يَمِينَانِ عَلَى زَمَانَيْنِ لَا يَدْخُلُ أَحَدُهُمَا فِي الْآخَرِ وَيَكُونُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُولِيًا وَلَا يَكُونُ الْوَطْءُ فِي إحداهما وطء فِي الْأُخْرَى وَلَا طَلَاقُ إِحْدَاهُمَا طَلَاقًا فِي الْأُخْرَى سَوَاءٌ قَالَ ذَلِكَ مُتَّصِلًا أَوْ مُنْفَصْلٌا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَمُدَّةُ الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ خَمْسَةُ أَشْهُرٍ فَيُوقَفُ فِيهَا بَعْدَ يَمِينِهِ، فَإِذَا مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ طُولِبَ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ وَمُدَّةُ الْإِيلَاءِ الثَّانِي سَنَةٌ فَيُوقَفُ فِيهَا مِنْ أَوَّلِ السَّنَةِ وَبَعْدَ مُضِيِّ الْخَمْسَةِ الْأَشْهُرِ إِنْ كَانَتْ عَلَى الْإِبَاحَةِ فَإِذَا مَضَتْ مِنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَذَلِكَ بَعْدَ تِسْعَةِ أَشْهُرٍ مَعَ الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ طُولِبَ حِينَئِذٍ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، ثُمَّ نَشْرَحُ حُكْمَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَنَقُولُ لَهُ فِيهِمَا أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Adapun yang tertulis, maka bentuknya adalah pada seorang laki-laki yang berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama lima bulan.” Lalu setelah berlalu lima bulan, ia berkata lagi: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama setahun.” Maka ini adalah dua sumpah untuk dua masa yang berbeda, yang satu tidak termasuk dalam yang lain, dan dengan masing-masing sumpah tersebut ia menjadi mu’li (orang yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya), dan hubungan suami istri pada salah satunya tidak dianggap sebagai hubungan pada yang lain, dan talak pada salah satunya tidak dianggap sebagai talak pada yang lain, baik ia mengucapkannya secara bersambung maupun terpisah. Jika demikian, maka masa iilā’ yang pertama adalah lima bulan, sehingga ia ditahan selama masa itu setelah sumpahnya. Jika telah berlalu empat bulan, maka ia diminta untuk kembali (rujuk) atau menceraikan. Masa iilā’ yang kedua adalah satu tahun, sehingga ia ditahan sejak awal tahun, dan setelah berlalu lima bulan, jika masa itu telah menjadi boleh (untuk menggauli), maka jika telah berlalu empat bulan darinya—dan itu setelah sembilan bulan bersama iilā’ yang pertama—maka saat itu ia diminta untuk kembali (rujuk) atau menceraikan. Kemudian kami akan menjelaskan hukum masing-masing dari keduanya, yaitu bahwa dalam hal ini terdapat empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَفِيءَ فِيهِمَا.

Pertama: Ia kembali (rujuk) pada keduanya.

وَالثَّانِي: أَنْ يُطَلِّقَ فِيهِمَا.

Kedua: Ia menceraikan pada keduanya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَفِيءَ فِي الْأَوَّلِ وَيُطَلِّقَ فِي الثَّانِي.

Ketiga: Ia kembali (rujuk) pada yang pertama dan menceraikan pada yang kedua.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يُطَلِّقَ فِي الْأَوَّلِ وَيَفِيءَ فِي الثَّانِي.

Keempat: Ia menceraikan pada yang pertama dan kembali (rujuk) pada yang kedua.

فأما الحال الأول: وَهُوَ أَنْ يَفِيءَ فِي الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ وَيَفِيءَ فِي الْإِيلَاءِ الثَّانِي، فَيَكُونُ حُكْمُهُ أَنَّ الْإِيلَاءَ الْأَوَّلَ إِذَا مَضَى لَهُ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ بعد يمينه وطولب بالفيئة، أو الطلاق فقاء وَوَطِئَ سَقَطَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ، بِوَطْئِهِ وَلَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ بِحِنْثِهِ، فَإِنْ وَطِئَ فِي بَقِيَّةِ الشَّهْرِ الْخَامِسِ مِنْهُ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِوَطْئِهِ حِنْثٌ وَلَا يَسْقُطْ بِهِ حُكْمُ الْإِيلَاءِ الثَّانِي؛ لِأَنَّهُ فِي غَيْرِ زَمَانِهِ فَإِذَا انْقَضَى الشَّهْرُ الْخَامِسُ فَهُوَ أَوَّلُ زَمَانِ وَقْفِهِ فِي الْإِيلَاءِ الثَّانِي لِدُخُولِ السَّنَةِ بِانْقِضَائِهِ، فَإِذَا مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ فَقَدِ تقضى زَمَانُ الْوَقْفِ مِنَ الْإِيلَاءِ الثَّانِي طُولِبَ فِيهِ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، فَإِذَا فَاءَ فِيهِ وَوَطِئَ سَقَطَ حُكْمُهُ وَلَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ بِحِنْثِهِ وَلَا يُوقَفُ بَعْدَ وَطْئِهِ إِنْ كَانَتِ السَّنَةُ بَاقِيَةً وَيَكُونُ وَطْؤُهُ فِي بِاقِيهَا كَوَطْئِهِ بَعْدَ انْقِضَائِهَا.

Adapun keadaan pertama, yaitu ia kembali (rujuk) pada iilā’ yang pertama dan kembali pada iilā’ yang kedua, maka hukumnya adalah: apabila pada iilā’ yang pertama telah berlalu empat bulan setelah sumpahnya dan ia diminta untuk kembali (rujuk) atau menceraikan, lalu ia kembali dan menggauli istrinya, maka gugurlah hukum iilā’ yang pertama karena ia telah menggauli istrinya, dan ia wajib membayar kafārah karena melanggar sumpahnya. Jika ia menggauli istrinya pada sisa bulan kelima, maka tidak terkait dengan perbuatannya itu pelanggaran sumpah dan tidak gugur pula hukum iilā’ yang kedua, karena itu terjadi di luar waktunya. Jika bulan kelima telah berlalu, maka itu adalah awal masa penahanan pada iilā’ yang kedua, karena masuknya tahun setelah berakhirnya bulan kelima. Jika telah berlalu empat bulan, maka telah selesai masa penahanan dari iilā’ yang kedua, dan ia diminta untuk kembali (rujuk) atau menceraikan. Jika ia kembali (rujuk) dan menggauli istrinya, maka gugurlah hukumnya dan ia wajib membayar kafārah karena melanggar sumpahnya, dan ia tidak lagi ditahan setelah menggauli istrinya, meskipun tahun itu masih tersisa, dan hubungan suami istri yang terjadi pada sisa tahun itu hukumnya sama seperti setelah berakhirnya tahun.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ: وَهُوَ أَنْ يُطَلِّقَ فِي الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ وَيُطَلِّقَ فِي الْإِيلَاءِ الثَّانِي، فَإِذَا طَلَّقَ بَعْدَ مُضِيِّ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ مِنَ الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ فَلَا يَخْلُو أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهِ الزَّوْجَةُ بَعْدَ الطَّلَاقِ أَوْ لَا تَرْجِعَ إِلَيْهِ، فَإِنْ لَمْ تَرْجِعْ إِلَيْهِ سَقَطَ إِيلَاؤُهُ وَبَقِيَتْ يَمِينُهُ لِأَنَّ الْإِيلَاءَ لَا يَكُونُ إِلَّا فِي زَوْجَةِ وَالْيَمِينَ يَكُونُ فِي زَوْجَةٍ وَغَيْرِ زَوْجَةٍ، وَإِنْ رَجَعَتْ إِلَيْهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun keadaan kedua, yaitu ia menceraikan pada iilā’ yang pertama dan menceraikan pada iilā’ yang kedua. Jika ia menceraikan setelah berlalu empat bulan dari iilā’ yang pertama, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: istrinya kembali kepadanya setelah talak atau tidak kembali kepadanya. Jika tidak kembali kepadanya, maka iilā’-nya gugur dan sumpahnya tetap berlaku, karena iilā’ hanya berlaku pada istri, sedangkan sumpah dapat berlaku pada istri maupun bukan istri. Jika istrinya kembali kepadanya, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهِ بِمُرَاجَعَتِهَا فِي الْعِدَّةِ.

Pertama: Istrinya kembali kepadanya dengan rujuk selama masa iddah.

وَالثَّانِي: بِعَقْدِ نِكَاحٍ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَإِنْ رَجَعَتْ إِلَيْهِ بِالرَّجْعَةِ فِي الْعِدَّةِ كَانَ الْإِيلَاءُ الثَّانِي بَاقِيًا بِحَالِهِ؛ لِأَنَّ النِّكَاحَ الَّذِي آلَى فِيهِ بَاقِيًا بَعْدَ الرَّجْعَةِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ نُظِرَ فِي حَالِ رَجْعَتِهِ فَإِنْ كَانَتْ فِي بَقِيَّةِ الشَّهْرِ الْخَامِسِ من الإيلاء الأول لم يعقد عليه بِبَاقِيهِ وَكَانَ حَالِفًا فَإِنْ وَطِئَ بِالْيَمِينِ الْأَوَّلِ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ طَلَاقِهِ وَرَجْعَتِهِ فَإِذَا مَضَى بَقِيَّةُ الشَّهْرِ الْخَامِسِ اسْتُوقِفَ لَهُ مُدَّةُ الْوَقْفِ فِي الْإِيلَاءِ الثَّانِي، وَإِنْ كَانَتْ رَجْعَتُهُ بَعْدَ انْقِضَاءِ الشَّهْرِ الْخَامِسِ وَبَعْدَ دُخُولِ السَّنَةِ مِنَ الْإِيلَاءِ الثَّانِي فَأَوَّلُ مُدَّةِ الْوَقْفِ بَعْدَ رَجْعَتِهِ وَلَا يُحْتَسَبُ عَلَيْهِ مَا مَضَى مِنَ السَّنَةِ قَبْلَهَا لِأَنَّهَا كَانَتْ مُحَرَّمَةً عَلَيْهِ لَا يَقْدِرُ عَلَى إِصَابَتِهَا، فَإِذَا مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَجْعَتِهِ طُولِبَ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، فَإِذَا طَلَّقَ فِيهِ سَقَطَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ بِالطَّلَاقِ وَلَمْ يَسْقُطْ حُكْمُ الْيَمِينِ بِالْحِنْثِ، فَإِذَا رَاجَعَ فِيهِ بَعْدَ طَلَاقِهِ اسْتُؤْنِفَ لَهُ الْوَقْفُ إِنْ كَانَ الْبَاقِي مِنَ السَّنَةِ بَعْدَ رَجْعَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِذَا مَضَتْ طُولِبَ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ فَإِنْ طَلَّقَ فَمَعْلُومٌ بَعْدَ الْوَقْفَيْنِ أَنَّهُ قَدِ اسْتَوْفَى الطَّلَاقَ الثَّلَاثَ وَأَنَّ الْبَاقِيَ مِنَ السَّنَةِ أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَلَا يَكُونُ مُولِيًا فِيهَا، وَيَكُونُ حَالِفًا كَمَنْ حَلَفَ أَنْ لَا يَطَأَ أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ يَكُونُ حَالِفًا وَلَا يَكُونُ مُولِيًا، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ الْبَاقِي مِنَ السَّنَةِ بَعْدَ الرَّجْعَةِ الْأُولَى مِنَ الْوَقْفِ الْأَوَّلِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَمَا دُونَ كَانَ فِيهَا حَالِفًا وَلَمْ يَكُنْ مُولِيًا، فَأَمَّا إِذَا عَادَتْ إِلَى الزَّوْجِ فِي الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ بِعَقْدِ نِكَاحٍ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَلَمْ تَعُدْ إِلَيْهِ بِالرَّجْعَةِ فِي الْعِدَّةِ، فَهَلْ يُعَدُّ إِيلَاؤُهُ فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ وَيَسْتَقِرُّ حُكْمُهُ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي أم لا على ثلاثة أقاويل:

Kedua: Dengan akad nikah setelah habis masa ‘iddah. Jika ia kembali kepadanya dengan rujuk dalam masa ‘iddah, maka sumpah ila’ yang kedua tetap berlaku sebagaimana adanya; karena akad nikah yang di dalamnya terjadi ila’ masih tetap ada setelah rujuk. Jika demikian, maka dilihat pada keadaan rujuknya: jika rujuk itu masih dalam sisa bulan kelima dari ila’ yang pertama, maka tidak berlaku akad atas sisa waktunya dan ia tetap sebagai orang yang bersumpah; jika ia menggauli istrinya, maka itu berdasarkan sumpah yang pertama. Jika rujuknya setelah talak dan rujuk, maka ketika sisa bulan kelima telah berlalu, ia diberi waktu penangguhan untuk ila’ yang kedua. Jika rujuknya setelah habis bulan kelima dan setelah masuk tahun dari ila’ yang kedua, maka awal masa penangguhan dimulai setelah rujuknya, dan waktu yang telah berlalu dari tahun sebelumnya tidak dihitung atasnya, karena pada waktu itu istrinya haram baginya dan ia tidak mampu menggaulinya. Maka, jika telah berlalu empat bulan setelah rujuknya, ia diminta untuk kembali (al-fay’) atau menceraikan. Jika ia menceraikan dalam masa itu, maka hukum ila’ gugur dengan talak, namun hukum sumpah tidak gugur kecuali dengan pelanggaran sumpah. Jika ia kembali setelah talak, maka masa penangguhan dimulai kembali, jika sisa tahun setelah rujuknya lebih dari empat bulan, maka setelah masa itu berlalu ia diminta untuk kembali (al-fay’) atau menceraikan. Jika ia menceraikan, maka sudah diketahui setelah dua kali penangguhan bahwa ia telah menyempurnakan tiga talak. Jika sisa tahun kurang dari empat bulan, maka ia tidak lagi menjadi mu’li (orang yang melakukan ila’), melainkan hanya sebagai orang yang bersumpah, seperti orang yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya kurang dari empat bulan; ia hanya sebagai orang yang bersumpah dan bukan mu’li. Demikian pula jika sisa tahun setelah rujuk pertama dari penangguhan pertama adalah empat bulan atau kurang, maka dalam masa itu ia hanya sebagai orang yang bersumpah dan bukan mu’li. Adapun jika ia kembali kepada suaminya dalam ila’ yang pertama dengan akad nikah setelah habis masa ‘iddah dan tidak kembali dengan rujuk dalam masa ‘iddah, maka apakah ila’nya pada nikah pertama tetap berlaku dan hukumnya berlanjut pada nikah kedua atau tidak, terdapat tiga pendapat:

أحدهما: أَنَّهُ لَا يَعُودُ الْإِيلَاءُ إِنْ كَانَ عَلَى يَمِينِهِ؛ لِأَنَّ الْإِيلَاءَ كَالطَّلَاقِ وَأَنَّهُمَا لَا يَصِحَّانِ إِلَّا فِي زَوْجَةٍ وَأَنَّ الطَّلَاقَ وَالْإِيلَاءَ لَا يَصِحَّانِ قَبْلَ النِّكَاحِ، وَالْإِيلَاءُ فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ قَبْلَ النِّكَاحِ الثَّانِي فَلَمْ يَصِحَّ، فَعَلَى هَذَا لَا يُوقَفُ.

Pendapat pertama: Ila’ tidak kembali jika berdasarkan sumpahnya; karena ila’ seperti talak, keduanya tidak sah kecuali pada istri, dan talak serta ila’ tidak sah sebelum akad nikah. Ila’ pada nikah pertama sebelum nikah kedua, maka tidak sah. Berdasarkan ini, tidak ada masa penangguhan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَعُودُ الْإِيلَاءُ لِبَقَاءِ الْيَمِينِ، وَأَنَّ عَقْدَهُ مَوْجُودٌ فِي نِكَاحٍ فَأَشْبَهَ النِّكَاحَ اسْتِدَامَةُ ذَلِكَ النِّكَاحِ، فَعَلَى هَذَا يُوقَفُ فِيهِ لِلْإِيلَاءِ الثَّانِي فَيَكُونُ الْوَقْفُ فِيهِ كَالْوَقْفِ بَعْدَ الرَّجْعَةِ.

Pendapat kedua: Ila’ kembali karena sumpahnya masih ada, dan akadnya terjadi dalam pernikahan, sehingga menyerupai pernikahan yang berkesinambungan. Berdasarkan ini, masa penangguhan berlaku untuk ila’ yang kedua, dan masa penangguhan itu seperti masa penangguhan setelah rujuk.

الْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ بَائِنًا وَهُوَ الثَّلَاثُ أَوْ دُونَهَا بَعِوَضٍ لَمْ يَعُدِ الْإِيلَاءُ وَلَمْ يُوقَفْ لَهَا وَكَانَ حَالِفًا إِنْ وَطِئَ حَنِثَ، وَإِنْ كَانَ رَجْعِيًّا فَنَكَحَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ مِنْهُ عَادَ الْإِيلَاءُ وَاسْتُؤْنِفَ لَهُ الْوَقْفُ كَمَا يُسْتَأْنَفُ بَعْدَ الرَّجْعَةِ، وَيَكُونُ حُكْمُهُ عَلَى مَا مَضَى.

Pendapat ketiga: Jika talak pada nikah pertama adalah talak bain (talak tiga atau kurang dari tiga dengan kompensasi), maka ila’ tidak kembali dan tidak ada masa penangguhan baginya, dan ia hanya sebagai orang yang bersumpah; jika ia menggauli istrinya, ia melanggar sumpah. Namun jika talaknya raj‘i, lalu ia menikahinya kembali setelah habis masa ‘iddah, maka ila’ kembali dan masa penangguhan dimulai kembali sebagaimana dimulai setelah rujuk, dan hukumnya mengikuti yang telah lalu.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْحَالُ الثَّالِثَةُ: وَهُوَ أن يفيء بالوطء فِي الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ وَيُطَلِّقَ فِي الْإِيلَاءِ الثَّانِي [فَقَدْ سَقَطَ إِيلَاؤُهُ الْأَوَّلُ بِوَطْئِهِ فِيهِ وَيُسْتَأْنَفُ لَهُ الْوَقْفُ فِي الْإِيلَاءِ الثَّانِي] بَعْدَ انْقِضَاءِ الْأَوَّلِ، فَإِذَا مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ مِنْ أَوَّلِ الْإِيلَاءِ الثَّانِي وَذَلِكَ بَعْدَ تِسْعَةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ يَمِينِهِ يُقْضَى بِهِ زَمَانُ الْوَقْفِ فِيهِ فَطُولِبَ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، فِإِذَا طَلَّقَ فِيهِ فَإِنْ لم يرجع إليه حَتَّى مَضَتِ السَّنَةُ سَقَطَتْ يَمِينُهُ وَزَالَ إِيلَاؤُهُ لِتَقَضِّي زَمَانِهِ، وَإِنْ عَادَتْ إِلَيْهِ قَبْلَ انْقِضَائِهَا فَعَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الضَّرْبَيْنِ، إِنْ عَادَتْ بِرَجْعَةٍ فِي الْعِدَّةِ وَكَانَ الْبَاقِي مِنَ السَّنَةِ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَانَ مُولِيًا وَاسْتُؤْنِفَ لَهُ وَقْفُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَطُولِبَ بَعْدَ انْقِضَائِهَا بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَإِنْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَمَا دُونَ لَمْ يَكُنْ فِيهَا مُولِيًا لِقُصُورِهَا عَنْ مُدَّةِ الْوَقْفِ، وَكَانَ فِيهَا حَالِفًا وَلَمْ يَكُنْ مُولِيًا، فَإِنْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهَا يَبْلُغُ مُدَّةَ الْوَقْفِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَهَلْ يَعُودُ الْإِيلَاءُ أم لا، وعلى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَقَاوِيلِ الثَّلَاثَةِ.

Adapun keadaan ketiga: yaitu jika suami kembali (berhubungan) dengan istrinya pada masa ila’ yang pertama, lalu menceraikannya pada masa ila’ yang kedua, maka ila’ yang pertama gugur karena ia telah kembali (berhubungan) pada masa itu, dan masa penantian (al-waqf) untuk ila’ yang kedua dimulai kembali setelah berakhirnya ila’ yang pertama. Jika telah berlalu empat bulan sejak awal ila’ yang kedua—dan itu terjadi setelah sembilan bulan sejak sumpahnya—maka masa penantian dalam ila’ kedua telah sempurna, lalu ia dituntut untuk kembali (berhubungan) atau menceraikan. Jika ia menceraikan pada masa itu, lalu tidak kembali kepadanya hingga genap satu tahun, maka sumpahnya gugur dan ila’nya berakhir karena telah habis masanya. Namun, jika istrinya kembali kepadanya sebelum masa satu tahun itu habis, maka hukumnya sesuai dengan yang telah kami sebutkan dari dua keadaan: jika ia kembali dengan rujuk dalam masa iddah dan sisa waktu dari satu tahun itu lebih dari empat bulan, maka ia kembali menjadi mu’li (orang yang melakukan ila’), dan masa penantian empat bulan dimulai kembali, lalu setelah berakhirnya masa itu ia dituntut untuk kembali (berhubungan) atau menceraikan. Jika sisa waktunya empat bulan atau kurang, maka ia tidak lagi menjadi mu’li karena kurang dari masa penantian, dan ia hanya menjadi orang yang bersumpah (halif) tanpa status mu’li. Namun, jika sisa waktunya mencapai masa penantian, yaitu lebih dari empat bulan, maka apakah ila’ kembali berlaku atau tidak, hal ini sesuai dengan tiga pendapat yang telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَأَمَّا الْحَالُ الرَّابِعَةُ: وَهُوَ أَنْ يُطَلِّقَ فِي الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ وَيَفِيءَ فِي الْإِيلَاءِ الثَّانِي، فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ فِي الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ لِعَدَمِ وَطْئِهِ فِيهِ وَقَدْ سَقَطَ عِنْدَ حُكْمِ الْمُطَالَبَةِ بِطَلَاقِهِ فِيهِ، وَيَكُونُ حُكْمُ طَلَاقِهِ فِي هَذَا الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ مِنْ هَذَا الْقِسْمِ كَحُكْمِهِ لَوْ طَلَّقَ فِيهِمَا وَيَكُونُ وَطْؤُهُ فِي الْإِيلَاءِ الثَّانِي مُوجِبًا لِلْكَفَّارَةِ مُسْقِطًا لِلْإِيلَاءِ كَحُكْمِهِ لَوْ وَطِئَ فِيهِ مَعَ الْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ، وَلَا فَرْقَ فِي الطَّلَاقِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْمُطَلِّقَ وَبَيْنَ أَنْ يَمْتَنِعَ فَيُطَلِّقَ عَلَيْهِ الْحَاكِمُ فِي أَنَّهُ يَكُونُ عَلَى مَا مَضَى، إِلَّا أَنَّهُ إِذَا كَانَ هُوَ الْمُطَلِّقَ فَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ وَالْبَائِنِ وَإِذَا كَانَ الْحَاكِمُ هُوَ الْمُطَلِّقَ فَلَيْسَ إِلَّا الْوَاحِدَةَ الرَّجْعِيَّةَ، لِأَنَّهُ أَقَلُّ مَا يَخْرُجُ بِهِ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ فَأَمَّا إِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْهُ وَاحِدٌ مِنَ الإيلائين وطئ وَلَا طَلَاقٌ حَتَّى انْقَضَى زَمَانُهُمَا فَقَدِ ارْتَفَعَتِ الْيَمِينُ فِيهِمَا وَسَقَطَ حُكْمُهَا ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ هَذَا لِعَفْوِ الزَّوْجَةِ عَنْ مُطَالَبَتِهِ لَمْ يَأْثَمْ، لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهَا يَجُوزُ لَهَا الْعَفْوُ عَنْهُ، وَإِنْ كَانَتْ قَدْ طَالَبَتْهُ فَدَافَعَهَا كَانَ آثِمًا لِاسْتِدَامَةِ الْإِضْرَارِ بِهَا مُدَّةَ يَمِينِهِ، وَلَا شَيْءَ لَهَا عَلَيْهِ بَعْدَ تَقَضِّي زَمَانِهِ.

Adapun keadaan keempat: yaitu jika suami menceraikan pada masa ila’ yang pertama dan kembali (berhubungan) pada masa ila’ yang kedua, maka tidak ada kewajiban kafarat atasnya pada ila’ yang pertama karena ia tidak berhubungan pada masa itu, dan ila’ tersebut telah gugur dengan adanya tuntutan cerai pada masa itu. Hukum talaknya pada ila’ pertama dalam bagian ini sama dengan hukumnya jika ia menceraikan pada kedua masa ila’. Sedangkan hubungan suami-istri pada ila’ kedua mewajibkan kafarat dan menggugurkan ila’ sebagaimana hukumnya jika ia berhubungan pada ila’ pertama. Tidak ada perbedaan dalam talak, baik ia sendiri yang menceraikan maupun hakim yang menceraikan karena ia enggan, semuanya sama seperti yang telah lalu. Hanya saja, jika ia sendiri yang menceraikan, ia boleh memilih antara talak raj’i (yang bisa dirujuk) atau talak bain (yang tidak bisa dirujuk). Namun jika hakim yang menceraikan, maka hanya satu talak raj’i, karena itu adalah kadar minimal untuk mengeluarkannya dari hukum ila’. Adapun jika tidak terjadi hubungan suami-istri maupun talak pada kedua masa ila’ hingga masa keduanya habis, maka sumpahnya telah gugur dan hukumnya pun berakhir. Kemudian dilihat, jika hal itu karena istri memaafkan dan tidak menuntutnya, maka suami tidak berdosa, karena itu adalah hak istri yang boleh ia maafkan. Namun jika istri telah menuntutnya dan suami mengelak, maka ia berdosa karena terus-menerus menzalimi istrinya selama masa sumpahnya, dan setelah masa itu habis, istri tidak lagi memiliki hak apa pun atasnya.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

فَأَمَّا الْفَرْعُ الْأَوَّلُ مِنْ فُرُوعِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ لَهَا وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ خَمْسَةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ يَقُولُ وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ سَنَةً فَتَدْخُلُ الْمُدَّةُ الْأُولَى فِي الْمُدَّةِ الثَّانِيَةِ لِأَنَّ الْأَقَلَّ دَاخِلٌ فِي الْأَكْثَرِ كَمَا لَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ مِائَةُ دِرْهَمٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ عَلَيَّ أَلْفُ دِرْهَمٍ، دَخَلَتِ الْمِائَةُ فِي الْأَلْفِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهُمَا إِيلَاءٌ وَاحِدٌ بيمينين يوقف فيهما وقفاً واحدا لكونه إيلاءا وَاحِدًا إِلَّا أَنَّ الْخَمْسَةَ الْأَشْهُرِ مَعْقُودَةٌ بِيَمِينَيْنِ وَمَا بَعْدَهَا مِنْ تَمَامِ السَّنَةِ مَعْقُودَةٌ بِيَمِينِ وَاحِدَةٍ، فَإِنْ فَاءَ وَوَطِئَ بَعْدَ مُضِيِّ خَمْسَةِ أشهر عليه كفارة وادة لأنه معقودة بِيَمِينِ وَاحِدَةٍ، وَإِنْ فَاءَ وَوَطِئَ فِي الْخَمْسَةِ الْأَشْهُرِ فَهُوَ حِنْثٌ بِيَمِينَيْنِ فَفِيمَا يَلْزَمُهُ مِنَ الْكَفَّارَةِ قَوْلَانِ:

Adapun cabang pertama dari cabang-cabang masalah ini adalah apabila seorang suami berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku tidak menggaulimu selama lima bulan,” kemudian ia berkata lagi, “Demi Allah, aku tidak menggaulimu selama satu tahun.” Maka, masa yang pertama masuk ke dalam masa yang kedua, karena yang lebih sedikit termasuk ke dalam yang lebih banyak, sebagaimana jika seseorang berkata, “Kamu berhak atas seratus dirham dariku,” lalu ia berkata lagi, “Kamu berhak atas seribu dirham dariku,” maka seratus itu termasuk dalam seribu. Jika demikian, maka keduanya adalah satu ilā’ (sumpah tidak menggauli istri) dengan dua sumpah, dan keduanya dihukumi dengan satu masa penantian karena dianggap satu ilā’, kecuali bahwa lima bulan itu terikat dengan dua sumpah, sedangkan sisanya hingga genap satu tahun terikat dengan satu sumpah. Jika ia kembali (rujuk) dan menggauli istrinya setelah berlalu lima bulan, maka ia wajib membayar satu kafārah karena itu terikat dengan satu sumpah. Namun, jika ia kembali dan menggauli istrinya dalam masa lima bulan, maka itu adalah pelanggaran terhadap dua sumpah, sehingga dalam hal kewajiban kafārah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: كَفَّارَتَانِ لِأَنَّهُ حِنْثٌ فِي يَمِينَيْنِ.

Salah satunya: dua kafārah, karena itu merupakan pelanggaran terhadap dua sumpah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: كَفَارَّةٌ وَاحِدَةٌ لِأَنَّ الْحِنْثَ فيهما واحداً.

Pendapat kedua: satu kafārah saja, karena pelanggarannya hanya satu.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْفَرْعُ الثَّانِي فَهُوَ: أَنْ يَقُولَ وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ سَنَةً ثُمَّ يَقُولُ وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ خَمْسَةَ أَشْهُرٍ، فَهَلْ تَدْخُلُ الْخَمْسَةُ الْأَشْهُرِ فِي السَّنَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun cabang kedua adalah: jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak menggaulimu selama satu tahun,” kemudian ia berkata, “Demi Allah, aku tidak menggaulimu selama lima bulan.” Apakah lima bulan itu termasuk dalam satu tahun atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَدْخُلُ فِيهَا إِذَا تَأَخَّرَتْ كَمَا تَدْخُلُ فيها إذا تقدمت، فعلى هذا يكون إيلاءاً وَاحِدًا عَلَى سَنَةٍ وَاحِدَةٍ، بَعْضُهَا بِيَمِينٍ وَاحِدَةٍ وَهِيَ سَبْعَةُ أَشْهُرٍ مِنْ أَوَّلِهَا إِنْ حَنِثَ فِيهِ لَزِمَتْهُ كَفَارَّةٌ وَاحِدَةٌ وَخَمْسَةُ أَشْهُرٍ بَعْدَهَا بِيَمِينَيْنِ إِنْ حَنِثَ فِيهِمَا فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Salah satunya: lima bulan itu termasuk di dalamnya jika datang belakangan, sebagaimana ia juga termasuk jika diucapkan lebih dahulu. Maka, berdasarkan pendapat ini, itu adalah satu ilā’ selama satu tahun, sebagian (yaitu tujuh bulan pertama) dengan satu sumpah; jika ia melanggar dalam masa ini, maka wajib satu kafārah, dan lima bulan setelahnya dengan dua sumpah; jika ia melanggar dalam masa ini, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: كَفَارَّةٌ وَاحِدَةٌ.

Salah satunya: satu kafārah saja.

وَالثَّانِي: كَفَّارَتَانِ.

Yang kedua: dua kafārah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْخَمْسَةَ أَشْهُرٍ لَمْ تَدْخُلْ فِي السَّنَةِ إِذَا تَأَخَّرَتْ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيهَا إِذَا تَقَدَّمَتْ لِأَنَّ لَهُ الزِّيَادَةَ عَلَى الْمُدَّةِ، وَلَيْسَ لَهُ النُّقْصَانُ مِنْهَا فَإِذَا كَانَ الثَّانِي نَاقِصًا وَلَيْسَ لَهُ النُّقْصَانُ حُمِلَ عَلَى الِاسْتِئْنَافِ فَإِذَا كَانَ الثَّانِي زَائِدًا وَلَهُ الزِّيَادَةُ حُمِلَ عَلَى التَّدَاخُلِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مُولِيًا سَنَةً وَخَمْسَةَ أَشْهُرٍ بِيَمِينَيْنِ، وهل يكون ذلك إيلاءاً وَاحِدًا أَوْ إِيلَاءَيْنِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: lima bulan itu tidak termasuk dalam satu tahun jika diucapkan belakangan, meskipun ia termasuk jika diucapkan lebih dahulu, karena seseorang boleh menambah masa, tetapi tidak boleh menguranginya. Maka, jika yang kedua lebih sedikit dan tidak boleh dikurangi, maka dianggap sebagai permulaan baru; dan jika yang kedua lebih banyak dan boleh ditambah, maka dianggap sebagai bagian yang masuk ke dalamnya. Berdasarkan ini, maka ia menjadi orang yang melakukan ilā’ selama satu tahun dan lima bulan dengan dua sumpah. Apakah itu dianggap satu ilā’ atau dua ilā’? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ إيلاءاً وَاحِدًا يُوقَفُ فِيهِ وَقْفًا وَاحِدًا وَلَا يَجُبْ إِذَا وَطِئَ فِي أَحَدِ الزَّمَانَيْنِ إِلَّا كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ لِأَنَّ أَحَدَ الزَّمَانَيْنِ لَمْ يَدْخُلْ فِي الآخر.

Salah satunya: dianggap satu ilā’ yang masa penantiannya satu kali, dan tidak wajib kecuali satu kafārah jika ia menggauli istrinya dalam salah satu dari dua masa, karena salah satu masa tidak masuk ke dalam yang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّهُمَا إِيلَاءَانِ مُدَّةُ الْأَوَّلِ مِنْهُمَا سَنَةٌ، وَمُدَّةُ الثَّانِي خَمْسَةُ أَشْهُرٍ، وَيُوقَفُ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَيُضْرَبُ لَهُ مُدَّةُ التَّرَبُّصِ وَلَا يُغْنِي وَقْفُهُ فِي أَحَدِهِمَا عَنْ وَقْفٍ فِي الْآخَرِ، فَإِنْ وَطِئَ فِيهِمَا لَزِمَهُ كَفَّارَتَانِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat: keduanya adalah dua ilā’, masa yang pertama satu tahun, dan masa yang kedua lima bulan. Ia harus menjalani masa penantian pada masing-masing, dan masa penantian pada salah satunya tidak menggugurkan kewajiban masa penantian pada yang lain. Jika ia menggauli istrinya dalam keduanya, maka ia wajib membayar dua kafārah. Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْفَرْعُ الثَّالِثُ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَإِذَا مَضَتْ فَوَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun cabang ketiga adalah jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak menggaulimu selama empat bulan,” lalu setelah masa itu berlalu ia berkata lagi, “Demi Allah, aku tidak menggaulimu selama empat bulan.” Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَكُونُ مُولِيًا لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّمَانَيْنِ يَقْصُرُ عَنْ مُدَّةِ الْإِيلَاءِ وَلَيْسَ يَتَعَلَّقُ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ فَلَا يُوقَفُ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَيَحْنَثُ إِنْ وَطِئَ فِيهِمَا.

Salah satunya: tidak dianggap sebagai ilā’, karena masing-masing dari dua masa itu kurang dari masa ilā’, dan keduanya tidak saling berkaitan, sehingga tidak diberlakukan masa penantian pada keduanya, dan ia berdosa jika menggauli istrinya dalam masa tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَكُونُ مُولِيًا لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِيَمِينِهِ مُمْتَنِعًا مَنْ وَطْئِهَا ثَمَانِيَةَ أَشْهُرٍ مُتَّصِلَةٍ فَصَارَ مُولِيًا كَمَا جَمَعَهَا فِي يَمِينٍ وَاحِدَةٍ، فَعَلَى هَذَا يُوقَفُ فِيهِمَا وَقْفًا وَاحِدًا، وَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَإِذَا مَضَتْ فَوَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ سَنَةً فَهَذَا يَكُونُ مُولِيًا وَفِي ابْتِدَاءِ مُدَّةِ الْوَقْفِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Bahwa ia menjadi mu‘allī (orang yang melakukan ila’) karena dengan sumpahnya itu ia telah menjadi orang yang menahan diri untuk tidak menggauli istrinya selama delapan bulan berturut-turut, sehingga ia menjadi mu‘allī sebagaimana jika ia mengumpulkan masa tersebut dalam satu sumpah. Berdasarkan hal ini, keduanya (dua masa) dihitung sebagai satu masa penantian. Maka, jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama empat bulan, dan setelah itu, demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama setahun,” maka ia menjadi mu‘allī. Dalam permulaan masa penantian, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مِنْ بَعْدِ مُضِيِّ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي لَا تَجْعَلُهُ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى مُولِيًا.

Salah satunya: Masa penantian dimulai setelah berlalunya empat bulan, dan ini menurut pendapat yang tidak menjadikannya sebagai mu‘allī dalam permasalahan pertama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُوقَفُ مِنْ أَوَّلِ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ وَهَذَا على الوجه الذي تجعله فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى مُولِيًا.

Pendapat kedua: Masa penantian dimulai sejak awal empat bulan, dan ini menurut pendapat yang menjadikannya sebagai mu‘allī dalam permasalahan pertama.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الْفَرْعُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ يَقُولُ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَفِي تَدَاخُلِ الزَّمَانَيْنِ وَجْهَانِ:

Adapun cabang keempat: Yaitu jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama empat bulan,” kemudian ia berkata lagi, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama empat bulan.” Maka dalam hal tumpang tindih dua masa tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمَا يَتَدَاخَلَانِ حَمْلًا عَلَى تَكْرَارِ التَّأْكِيدِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَكُونُ مُولِيًا لِقُصُورِهِ عَنْ مُدَّةِ الْإِيلَاءِ.

Salah satunya: Bahwa keduanya saling tumpang tindih, dianggap sebagai pengulangan penegasan, sehingga dalam hal ini ia tidak menjadi mu‘allī karena masa sumpahnya kurang dari masa ila’.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَتَدَاخَلَانِ وَتَكُونُ مُدَّةُ الْمَنْعِ ثَمَانِيَةَ أَشْهُرٍ لَكِنَّهَا بِيَمِينَيْنِ، فَعَلَى هَذَا هَلْ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِيلَاءِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِهِمَا فِي الْفَرْعِ الثَّانِي إِذَا قَالَ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ سَنَةً وَوَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ خَمْسَةَ أَشْهُرٍ، وَلَمْ نَجْعَلْ أَحَدَ الزمانين داخلاً في الآخر هل يكون إيلاءاً وَاحِدًا أَوْ إِيلَائَيْنِ عَلَى وَجْهَيْنِ إِنْ جَعَلْنَا ذلك إيلاءاً وَاحِدًا فَقُلْنَا: هَذَا مُولِيًا وَإِنْ جَعْلَنَا ذَلِكَ إِيلَائَيْنِ لَمْ نَجْعَلْ هَذَا مُولِيًا لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّمَانَيْنِ يَقْصُرُ عَنْ مُدَّةِ الْإِيلَاءِ والله أعلم.

Pendapat kedua: Keduanya tidak saling tumpang tindih dan masa penahanan menjadi delapan bulan, namun dengan dua sumpah. Maka, apakah berlaku atasnya hukum ila’ atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, sebagaimana perbedaan pendapat dalam cabang kedua jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama setahun, dan demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama lima bulan,” dan kita tidak memasukkan salah satu masa ke dalam masa yang lain, apakah itu dihitung sebagai satu ila’ atau dua ila’. Jika kita menganggapnya sebagai satu ila’, maka kita katakan: ini mu‘allī. Namun jika kita menganggapnya sebagai dua ila’, maka kita tidak menganggapnya sebagai mu‘allī karena masing-masing masa kurang dari masa ila’. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي: رضي الله عنه: (وَإِنْ قَالَ إِنْ قَرَبْتُكِ فَعَلَيَّ صَوْمُ هَذَا الشَّهْرِ كُلِّهِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا كَمَا لَوْ قَالَ فَعَلَيَّ صَوْمُ يَوْمِ أَمْسٍ وَلَوْ أَصَابَهَا وَقَدْ بَقِيَ عَلَيْهِ مِنَ الشَّهْرِ شَيْءٌ كَانَتْ عَلَيْهِ كَفَّارَةُ أَوْ صَوْمُ مَا بَقِيَ) .

Imam asy-Syāfi‘ī ra. berkata: “Jika ia berkata, ‘Jika aku mendekatimu maka wajib atasku puasa sebulan penuh ini,’ maka ia tidak menjadi mu‘allī, sebagaimana jika ia berkata, ‘Maka wajib atasku puasa kemarin.’ Jika ia menggaulinya sementara masih tersisa sebagian dari bulan itu, maka wajib baginya membayar kaffārah atau berpuasa sisa hari yang ada.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا التَّفْرِيعُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ الْإِيلَاءَ يَكُونُ بِكُلِّ يَمِينٍ الْتَزَمَ بِهَا مَا يَلْزَمُهُ، سَوَاءٌ كَانَتْ بِاللَّهِ أَوْ بِغَيْرِهِ فَأَمَّا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ: أَنَّ الْإِيلَاءَ، لَا يَكُونُ إِلَّا فِي الْحَلِفِ بِاللَّهِ تَعَالَى فَلَا يَتَفَرَّعُ عَلَيْهِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ، فَإِذَا قَالَ: إِنْ وَطِئْتُكِ فَلِلَّهِ عَلَيَّ صَوْمُ هَذَا الشَّهْرِ كَانَ حَالِفًا وَلَمْ يَكُنْ مُولِيًا، لِأَنَّ الْمُولِيَ مَنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْوَطْءِ بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ إِلَّا بِالْتِزَامِ مَا لَمْ يَلْزَمْهُ، وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى وَطْئِهَا بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَلَا يَلْزَمُهُ الصَّوْمُ بِمُضِيِّ زَمَانِهِ كَمَا لَوْ قَالَ لَهَا إِنْ وَطِئْتُكِ فَعَلَيَّ صَوْمُ أَمْسٍ لَمْ يَلْزَمْهُ الصَّوْمُ وَإِنْ وَطِئَ لِمُضِيِّ زَمَانِهِ.

Al-Māwardī berkata: “Penjabaran ini berdasarkan pendapat beliau dalam qaul jadīd: bahwa ila’ berlaku dengan setiap sumpah yang ia wajibkan atas dirinya, baik dengan nama Allah maupun selain-Nya. Adapun menurut qaul qadīm: bahwa ila’ hanya berlaku jika bersumpah dengan nama Allah Ta‘ālā, maka masalah ini tidak bercabang darinya. Maka jika ia berkata: ‘Jika aku menggaulimu maka wajib atasku puasa bulan ini,’ maka ia dianggap bersumpah namun tidak menjadi mu‘allī, karena mu‘allī adalah orang yang tidak mampu menggauli istrinya setelah empat bulan kecuali dengan menanggung sesuatu yang sebelumnya tidak wajib baginya. Sedangkan ia masih mampu menggauli istrinya setelah empat bulan dan tidak wajib baginya puasa dengan berlalunya waktu tersebut, sebagaimana jika ia berkata: ‘Jika aku menggaulimu maka wajib atasku puasa kemarin,’ maka tidak wajib baginya puasa meskipun ia menggauli istrinya karena waktu tersebut telah berlalu.”

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ لَا يَكُونُ مُولِيًا فَهُوَ حَالِفٌ فَإِنْ لَمْ يَطَأْ حَتَّى انْقَضَى ذَلِكَ الشَّهْرُ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إِنْ وَطِئَ بَعْدَهُ، وَإِنْ وَطِئَ فِي هَذَا الشَّهْرِ وَقَدْ بَقِيَتْ مِنْهُ بَقِيَّةٌ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Maka jika telah dipastikan bahwa ia tidak menjadi mu‘allī, maka ia hanya dianggap bersumpah. Jika ia tidak menggauli istrinya hingga bulan itu berlalu, maka tidak ada kewajiban apapun atasnya jika ia menggauli setelahnya. Namun jika ia menggauli istrinya dalam bulan tersebut sementara masih tersisa sebagian hari, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي مِنْهُ يَوْمًا فَصَاعِدًا فَيَكُونَ مُخَيَّرًا بَيْنَ صَوْمِ بَاقِيهِ وَبَيْنَ كَفَّارَةِ يَمِينٍ لِأَنَّهُ نَذْرُ لَحَاجٍ وَغَضِبَ فَكَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ حُكْمِ النَّذْرِ وَحُكْمِ الْأَيْمَانِ.

Salah satunya: Jika sisa bulan itu adalah satu hari atau lebih, maka ia boleh memilih antara berpuasa sisa hari tersebut atau membayar kaffārah sumpah, karena itu adalah nadzar orang yang sedang membutuhkan dan marah, sehingga ia boleh memilih antara hukum nadzar dan hukum sumpah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي مِنْهُ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَذَلِكَ أَنْ يَطَأَ فِي الْيَوْمِ الْأَخِيرِ مِنْهُ، فَفِيهِ قَوْلَانِ: فِيمَنْ نَذَرَ صَوْمَ الْيَوْمِ الَّذِي يَقْدَمُ فِيهِ زَيْدٌ.

Jenis kedua: yaitu apabila sisa waktu darinya kurang dari satu hari, yaitu jika ia melakukan hubungan pada hari terakhir dari masa tersebut. Dalam hal ini terdapat dua pendapat: mengenai orang yang bernazar puasa pada hari kedatangan Zaid.

أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُ، فَعَلَى هَذَا لَا شَيْءَ عَلَى هَذَا الْوَطْءِ.

Salah satunya: tidak wajib, maka menurut pendapat ini tidak ada kewajiban apa pun atas hubungan tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَلْزَمُ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ هَذَا الْوَاطِئُ مُخَيَّرًا بَيْنَ صَوْمِ يَوْمٍ وَبَيْنَ كَفَّارَةِ يَمِينٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: wajib, maka menurut pendapat ini orang yang melakukan hubungan tersebut diberi pilihan antara berpuasa satu hari atau membayar kafarat yamin (denda sumpah), dan Allah lebih mengetahui.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ إِنْ وَطِئْتُكِ فَلِلَّهِ عَلَيَّ صَوْمُ شَهْرٍ وَلَمْ يُعَيِّنْهُ كَانَ مُولِيًا بِخِلَافِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ تَعْيِينِ الصَّوْمِ، لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى وَطْئِهَا بَعْدَ مُضِيِّ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ إِلَّا بِالْتِزَامِ مَا لَمْ يَلْزَمْ لِوُجُودِ الشَّهْرِ الَّذِي لَا يَتَعَيَّنُ، فَعَلَى هَذَا إِنْ وَطِئَ بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ صِيَامِ شَهْرٍ أَوْ كَفَّارَةِ يَمِينٍ، لِأَنَّهُ نَذْرُ لَحَاجٍ وَسَقَطَتْ يَمِينُهُ وَإِنْ لَمْ يَطَأْ وَطَلَّقَ لَمْ يَلْزَمْهُ صَوْمٌ وَلَا كَفَّارَةٌ لِأَنَّهُ لَمْ يَحْنَثْ، فَإِنْ رَاجَعَ اسْتُؤْنِفَ لَهُ وَقْفُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، فَإِذَا مَضَتْ وَطَلَّقَ ثَانِيَةً ثُمَّ رَاجَعَ اسْتُؤْنِفَ لَهُ مُدَّةُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ ثَالِثَةٍ فَإِذَا مَضَتْ وَطَلَّقَ بَانَتْ مِنْهُ بِثَلَاثٍ وَإِنْ عَادَ فَنَكِحَهَا بَعْدَ زَوْجٍ فَهَلْ يَعُودُ الْإِيلَاءُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ كُلِّهِ وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ إنَّهُ لَا يَعُودُ ويكون حالفاً غي مولى.

Dan jika seseorang berkata, “Jika aku menggaulimu maka wajib atasku puasa satu bulan,” dan ia tidak menentukan bulannya, maka ia dianggap sebagai mu’li (orang yang bersumpah tidak menggauli istrinya), berbeda dengan kasus sebelumnya yang menentukan puasa, karena ia tidak mampu menggaulinya setelah lewat empat bulan kecuali dengan menanggung sesuatu yang sebelumnya tidak wajib, yaitu karena adanya bulan yang tidak ditentukan. Maka, jika ia menggauli setelah empat bulan, ia diberi pilihan antara puasa satu bulan atau kafarat yamin, karena itu adalah nazar untuk sesuatu yang mungkin terjadi dan sumpahnya gugur. Jika ia tidak menggauli dan menceraikan, maka tidak wajib baginya puasa maupun kafarat karena ia tidak melanggar sumpah. Jika ia rujuk, maka dihitung kembali masa empat bulan baginya. Jika masa itu berlalu dan ia menceraikan lagi lalu rujuk, maka dihitung kembali masa empat bulan yang ketiga. Jika masa itu berlalu dan ia menceraikan, maka istrinya menjadi talak bain (terputus) darinya dengan tiga kali talak. Jika ia kembali menikahinya setelah menikah dengan suami lain, apakah sumpah iilā’ (sumpah tidak menggauli) kembali berlaku atau tidak? Ada dua pendapat: salah satunya, yaitu pendapat dalam seluruh qaul jadid (pendapat baru) dan salah satu dari dua pendapat dalam qaul qadim (pendapat lama), bahwa sumpah iilā’ tidak kembali berlaku dan ia dianggap bersumpah biasa, bukan mu’li.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: فِي الْقَدِيمِ يَعُودُ الْإِيلَاءُ لِبَقَاءِ اليمين ووجودها في عقدي نكاح.

Pendapat kedua: dalam qaul qadim, sumpah iilā’ kembali berlaku karena sumpahnya masih ada dan terjadi dalam dua akad nikah.

(مسألة)

(Masalah)

الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ قَالَ إِنْ قَرَبْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا وُقِفَ فَإِنْ فَاءَ وَغَابَتِ الْحَشَفَةُ طُلِّقَتْ ثَلَاثًا فَإِذَا أَخْرَجَهُ ثُمَّ أَدْخَلَهُ بَعْدُ فَعَلَيْهِ مَهْرُ مثلها) .

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Jika aku mendekatimu maka engkau tertalak tiga,’ maka ia ditahan (tidak boleh menggauli). Jika ia kembali (rujuk) dan kepala zakarnya telah masuk (ke dalam farji), maka istrinya tertalak tiga. Jika ia mengeluarkannya lalu memasukkannya kembali setelah itu, maka ia wajib membayar mahar mitsil (mahar sepadan) untuknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا أَيْضًا مُفَرَّعٌ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ، فَإِذَا قَالَ لَهَا: إِنْ وَطِئْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا كَانَ مُولِيًا، لِمَا يَلْزَمُهُ مِنْ طَلَاقِهَا بِالْوَطْءِ، فَوَجَبَ أَنْ يُوقَفَ مُدَّةَ الْإِيلَاءِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَيُطَالَبُ بَعْدَهَا بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ.

Al-Mawardi berkata: Ini juga merupakan cabang dari pendapat beliau dalam qaul jadid. Jika ia berkata kepada istrinya, “Jika aku menggaulimu maka engkau tertalak tiga,” maka ia dianggap sebagai mu’li, karena ia akan terkena kewajiban talak jika menggauli, sehingga wajib ditahan selama masa iilā’ (empat bulan) dan setelah itu ia diminta memilih antara kembali (menggauli) atau menceraikan.

وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُطَالَبَ بِالْفَيْئَةِ وَيُؤْخَذَ بِالطَّلَاقِ، لِأَنَّ الْوَطْءَ مُحَرَّمٌ لِأَنَّهَا تُطَلَّقُ بِهِ ثَلَاثًا فَيَصِيرُ وَاطِئًا لِبَائِنٍ مِنْهُ، وَذَلِكَ مُحَرَّمٌ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ مَا بَعْدَ الْإِيلَاجِ مُحَرَّمًا كَانَ الْإِيلَاجُ مُحَرَّمًا كَالصَّائِمِ إِذَا تَحَقَّقَ بِخَبَرِ نَبِي صَادِقٍ أَنَّهُ لَمْ يَبْقَ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَّا قَدْرُ إِيلَاجِ الذَّكَرِ دُونَ إِخْرَاجِهِ حُرِّمَ عَلَيْهِ الْإِيلَاجُ وَإِنْ كَانَ فِي زَمَانِ الْإِبَاحَةِ لِتَحْرِيمِ مَا بَعْدَ الْإِيلَاجِ فِي زَمَانِ الْحَظْرِ فَيَحْرُمُ الْإِيلَاجُ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْفَجْرِ لِوُجُودِ الْإِخْرَاجِ بَعْدَ الْفَجْرِ، كَذَلِكَ حَالُ هَذَا الْمُولِي يَحْرُمُ عَلَيْهِ الْإِيلَاجُ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الطَّلَاقِ لِوُجُودِ الْإِخْرَاجِ بَعْدَ الطَّلَاقِ وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّ هَذَا الْمُولِيَ لَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ الْإِيلَاجُ لِأَنَّهَا زَوْجَةٌ وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ الْإِخْرَاجُ، لِأَنَّهُ تَرْكٌ، وَإِنْ طُلِّقَتْ بِالْإِيلَاجِ، وَيَكُونُ الْمُحَرَّمَ بِهَذَا الْوَطْءِ اسْتِدَامَةُ الْإِيلَاجِ لَا الِابْتِدَاءُ وَالْإِخْرَاجُ، وَشَاهِدُ ذَلِكَ شَيْئَانِ: مَذْهَبٌ، وَحِجَاجٌ.

Abu ‘Ali bin Khairan berkata: Tidak boleh ia diminta untuk kembali (menggauli) dan dipaksa menceraikan, karena hubungan suami istri itu haram sebab istrinya akan tertalak tiga karenanya, sehingga ia menjadi orang yang menggauli wanita yang telah menjadi bain (terputus) darinya, dan itu haram baginya. Karena jika setelah memasukkan (zakar) hukumnya haram, maka memasukkan (zakar) itu sendiri juga haram, seperti orang yang berpuasa jika telah diyakini dengan kabar dari Nabi yang benar bahwa tidak tersisa waktu hingga terbit fajar kecuali sekadar waktu memasukkan zakar tanpa mengeluarkannya, maka haram baginya memasukkan zakar meskipun masih dalam waktu yang dibolehkan, karena yang setelah memasukkan itu di waktu terlarang, maka haram memasukkan walaupun sebelum fajar karena keluarnya setelah fajar. Demikian pula keadaan mu’li ini, haram baginya memasukkan (zakar) meskipun sebelum talak karena keluarnya setelah talak. Namun mayoritas ulama kami berpendapat bahwa mu’li ini tidak haram baginya memasukkan (zakar) karena ia masih istrinya, dan tidak haram baginya mengeluarkan (zakar), karena itu adalah perbuatan meninggalkan, meskipun istrinya tertalak dengan memasukkan (zakar). Yang diharamkan dari hubungan ini adalah melanjutkan memasukkan (zakar), bukan memulai dan bukan mengeluarkan. Dalilnya ada dua: pendapat mazhab dan argumentasi.

أَمَّا الْمَذْهَبُ، فَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ لَوْ طَلَعَ الْفَجْرُ عَلَى الصَّائِمِ وَهُوَ مَجَامِعٌ وَأَخْرَجَهُ مَكَانَهُ كَانَ عَلَى صَوْمِهِ، فَإِنْ مَكَثَ بَعْدَ إِخْرَاجِهِ أَفْطَرَ وَكَفَّرَ، فَحَرَّمَ الِاسْتِدَامَةَ وَلَمْ يُحَرِّمِ الْإِخْرَاجَ لِوُجُودِ الْإِيلَاجِ فِي حَالِ الْإِبَاحَةِ، وَإِنَّ الْإِخْرَاجَ تَرْكٌ وَإِنْ كَانَ فِي زَمَانِ الْحَظْرِ فَصَارَ مُبَاحًا.

Adapun pendapat mazhab, maka menurut al-Syafi‘i: Jika fajar telah terbit atas orang yang berpuasa sementara ia sedang melakukan jima‘, lalu ia mengeluarkan (kemaluannya) pada saat itu juga, maka puasanya tetap sah. Namun jika ia tetap tinggal setelah mengeluarkannya, maka ia batal puasa dan wajib membayar kafarat. Maka, yang diharamkan adalah melanjutkan (jima‘) dan tidak diharamkan mengeluarkan (kemaluan), karena adanya ilaj (penetrasi) pada waktu yang masih dibolehkan. Sedangkan mengeluarkan (kemaluan) adalah meninggalkan (perbuatan), meskipun dilakukan pada waktu yang terlarang, sehingga menjadi diperbolehkan.

وَأَمَّا الْحِجَاجُ: فَهُوَ أَنَّ رَجُلًا لَوْ قَالَ لِرَجُلٍ ادْخُلْ دَارِي وَلَا تُقِمِ اسْتَبَاحَ الدُّخُولَ لِوُجُودِهِ عَنْ إِذْنٍ وَوَجَبَ عَلَيْهِ الْخُرُوجُ لِمَنْعِهِ عَنِ الْمُقَامِ، وَيَكُونُ الْخُرُوجُ وَإِنْ كَانَ فِي زَمَانِ الْحَظْرِ مُبَاحًا؛ لِأَنَّهُ تَرْكٌ كَذَلِكَ حَالُ هَذَا الْمُولِي يَسْتَبِيحُ أَنْ يُولِجَ وَيَسْتَبِيحُ أَنْ يُخْرِجَ، وَيَحْرُمُ عليه استدامة الإيلاج فأما الصائم إذا أخبره أَنَّ الْبَاقِيَ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ قَدْرُ الْإِيلَاجِ دُونَ الْإِخْرَاجِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَحْرُمُ عَلَيْهِ الْإِيلَاجُ لِوُجُودِ الْإِخْرَاجِ فِي زَمَانِ التَّحْرِيمِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun argumentasinya: Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Masuklah ke rumahku, tapi jangan tinggal di dalamnya,” maka ia boleh masuk karena adanya izin, dan ia wajib keluar karena dilarang untuk tinggal. Maka, keluarnya, meskipun pada waktu yang terlarang, tetap diperbolehkan karena itu adalah tindakan meninggalkan. Demikian pula keadaan orang yang melakukan ila’, ia dibolehkan untuk melakukan ilaj dan dibolehkan untuk mengeluarkan (kemaluan), namun haram baginya untuk melanjutkan ilaj. Adapun orang yang berpuasa, jika diberitahu bahwa waktu yang tersisa dari terbit fajar hanya cukup untuk ilaj tanpa mengeluarkan (kemaluan), maka para ulama kami berbeda pendapat: Apakah haram baginya melakukan ilaj karena mengeluarkan (kemaluan) terjadi pada waktu yang diharamkan atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ الْإِيلَاجُ لِوُجُودِهِ فِي زَمَانِ الْإِبَاحَةِ، وَإِنْ كَانَ الْإِخْرَاجُ فِي زَمَانِ الْحَظْرِ، لِأَنَّهُ تَرْكٌ فَعَلَى هَذَا يَسْتَوِي حُكْمُ الْمُولِي وَالصَّائِمِ.

Pertama: Tidak haram baginya melakukan ilaj karena dilakukan pada waktu yang dibolehkan, meskipun mengeluarkan (kemaluan) terjadi pada waktu yang terlarang, karena itu adalah tindakan meninggalkan. Dengan demikian, hukum bagi orang yang melakukan ila’ dan orang yang berpuasa adalah sama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَحْرُمُ عَلَى الصَّائِمِ الْإِيلَاجُ وَإِنْ كَانَ فِي زَمَانِ الْإِبَاحَةِ لِوُجُودِ الْإِخْرَاجِ فِي زَمَانِ الْحَظْرِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ الصَّائِمِ وَالْمُولِي أَنَّ التَّحْرِيمَ قَدْ يَطْرَأُ عَلَى الصَّائِمِ يَعْنِي الْإِيلَاجَ، فَجَازَ أَنْ يَحْرُمَ عَلَيْهِ الْإِيلَاجُ وَالْمُولِي لَا يَطْرَأُ عَلَيْهِ التَّحْرِيمُ بِغَيْرِ الْإِيلَاجِ، فَلَمْ يَحْرُمْ عَلَيْهِ الْإِيلَاجُ.

Pendapat kedua: Haram bagi orang yang berpuasa melakukan ilaj meskipun pada waktu yang dibolehkan, karena mengeluarkan (kemaluan) terjadi pada waktu yang terlarang. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara orang yang berpuasa dan orang yang melakukan ila’, yaitu keharaman dapat terjadi pada orang yang berpuasa, yakni pada ilaj, sehingga boleh jadi ilaj menjadi haram baginya. Sedangkan pada orang yang melakukan ila’, keharaman tidak terjadi kecuali dengan ilaj, sehingga ilaj tidak menjadi haram baginya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَنَّ الْإِيلَاجَ لَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ وَإِنْ طُلِّقَتْ بِهِ بِخِلَافِ مَا قَالَهُ ابْنُ خَيْرَانَ فَإِنَّهُ مُخَيَّرٌ فِي الْمُطَالَبَةِ بَعْدَ الْوَقْفِ بَيْنَ الْفَيْئَةِ، أَوِ الطَّلَاقِ، فَإِنْ طَلَّقَ فَطَلَاقُهُ فِيهِ كَطَلَاقِهِ فِي غَيْرِهِ عَلَى مَا مَضَى وَعَلَى مَا سَيَأْتِي، فَإِنْ فَاءَ بِالْوَطْءِ فَالَّذِي يُبَاحُ لَهُ مِنْهُ أَنْ يُولِجَ الْحَشَفَةَ حَتَّى يَلْتَقِيَ بِهَا الْخِتَانَانِ؛ لِأَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِالْوَطْءِ مِنْ سَائِرِ الْأَحْكَامِ يَتَعَلَّقُ بِهَذَا الْقَدْرِ مِنَ الْإِيلَاجِ وَهُوَ الْتِقَاءُ الْخِتَانَيْنِ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ الْمُعَلَّقُ بِوَطْئِهَا يَقَعُ بِالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ وَهُوَ تَغْيِيبُ الْحَشَفَةِ، وَهِيَ بَعْدَ تَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ طَالِقٌ ثَلَاثًا، فَحُرِّمَ عَلَيْهِ أَنْ يُولِجَ بَاقِيَ ذَكَرِهِ وَأَنْ يَمْكُثَ بَعْدَ تَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ فَيَكُونُ تَحْرِيمُ إِيلَاجِ الْبَاقِي مِنَ الذَّكَرِ كَتَحْرِيمِ الْمُكْثِ فَيَصِيرَانِ مَعًا مُحَرَّمَيْنِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ بَعْدَ تَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Jika telah dipastikan sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa ilaj tidak haram baginya, meskipun istrinya menjadi talak karenanya, berbeda dengan pendapat Ibn Khairan, maka ia diberi pilihan setelah masa penantian antara kembali (rujuk) atau menceraikan. Jika ia menceraikan, maka talaknya sama dengan talak pada keadaan lain, sebagaimana telah dijelaskan dan akan dijelaskan. Jika ia kembali dengan melakukan wath’, maka yang dibolehkan baginya adalah memasukkan hasyafah hingga bertemunya dua khitan, karena segala hukum yang berkaitan dengan wath’ bergantung pada kadar ilaj ini, yaitu bertemunya dua khitan. Demikian pula talak yang digantungkan pada wath’ jatuh dengan bertemunya dua khitan, yaitu dengan tenggelamnya hasyafah. Setelah tenggelamnya hasyafah, istrinya menjadi talak tiga, sehingga haram baginya untuk memasukkan sisa zakarnya dan untuk tetap tinggal setelah tenggelamnya hasyafah. Maka, keharaman memasukkan sisa zakar sama dengan keharaman tetap tinggal, sehingga keduanya menjadi sama-sama haram. Dengan demikian, setelah tenggelamnya hasyafah, keadaannya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُخْرِجَ حَشَفَةَ ذَكَرِهِ فِي الْحَالِ فَلَا يَسْتَدِيمُهَا وَلَا يُولِجُ بَاقِيَ ذَكَرِهِ مَعَهَا بَلْ فَعَلَ مَا أُبِيحَ لَهُ مِنَ الْفَيْئَةِ الَّتِي خَرَجَ بِهَا مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ، وَوَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ الثَّلَاثُ وَلَمْ يَتَجَاوَزْهُ إِلَى مَحْظُورٍ يُوجِبُ حَدًّا، وَلَا مَهْرًا.

Pertama: Ia mengeluarkan hasyafah zakarnya saat itu juga, sehingga tidak melanjutkan (jima‘) dan tidak memasukkan sisa zakarnya, melainkan ia telah melakukan apa yang dibolehkan baginya dari rujuk yang dengannya ia keluar dari hukum ila’, dan dengan itu jatuhlah talak tiga, serta ia tidak melampaui kepada sesuatu yang terlarang yang mewajibkan had atau mahar.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَمْكُثَ مُسْتَدِيمًا لِإِيلَاجِ الْحَشَفَةِ أَوْ يَسْتَوْفِيَ إِيلَاجَ جَمِيعِ الذَّكَرِ، سَوَاءٌ اسْتَدَامَ حَرَكَةَ الْوَطْءِ حَتَّى أَنْزَلَ أَوْ لَمْ يَسْتَدِمْهَا حَتَّى أَخْرَجَ مِنْ غَيْرِ إِحْدَاثِ إِيلَاجٍ ثَانٍ، فَهَذَا قِسْمٌ وَاحِدٌ وَحُكْمُهُ وَاحِدٌ وَهِيَ إِيلَاجَةٌ وَاحِدَةٌ كَانَ أَوَّلُهَا مُبَاحًا وَآخِرُهَا مَحْظُورًا فَلَا حَدَّ فِيهَا لِأَنَّ اجْتِمَاعَ التَّحْلِيلِ وَالتَّحْرِيمِ فِي الْفِعْلِ الْوَاحِدِ شُبْهَةٌ يُدْرَأُ بِهَا الْحَدُّ وَفِي وُجُوبِ الْمَهْرِ وَجْهَانِ:

Keadaan kedua: Yaitu apabila seseorang tetap memasukkan hasyafah secara terus-menerus atau menyempurnakan memasukkan seluruh zakar, baik ia melanjutkan gerakan jima‘ hingga keluar mani atau tidak melanjutkannya hingga mengeluarkan zakar tanpa melakukan penetrasi kedua, maka ini termasuk satu kategori dan hukumnya satu, yaitu dianggap satu kali penetrasi, baik awalnya mubah dan akhirnya terlarang, maka tidak ada hudud di dalamnya. Sebab, berkumpulnya kehalalan dan keharaman dalam satu perbuatan merupakan syubhat yang dengannya hudud dapat digugurkan. Adapun mengenai kewajiban mahar, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجِبُ عَلَيْهِ الْمَهْرُ بِالِاسْتِدَامَةِ كَمَا يَجِبُ بِالِابْتِدَاءِ كَالصَّائِمِ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ عَلَيْهِ وَهُوَ مَجَامِعٌ فَاسْتَدَامَ إِيلَاجَ ذَكَرِهِ بَعْدَ الْفَجْرِ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ بِاسْتِدَامَةِ الْإِيلَاجِ كَوُجُوبِهَا عَلَيْهِ بِابْتِدَاءِ الْإِيلَاجِ.

Salah satunya: Wajib baginya membayar mahar karena adanya kesinambungan (penetrasi), sebagaimana wajib pada permulaan, seperti orang yang berpuasa ketika terbit fajar sementara ia masih melakukan jima‘, lalu ia melanjutkan penetrasi setelah fajar, maka wajib baginya membayar kafarat karena melanjutkan penetrasi, sebagaimana wajib baginya kafarat karena memulai penetrasi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْمَهْرُ بِالِاسْتِدَامَةِ وَإِنْ وَجَبَتِ الْكَفَّارَةُ عَلَى الصَّائِمِ بِالِاسْتِدَامَةِ لِأَنَّهَا إِيلَاجَةٌ وَاحِدَةٌ لَا يَتَمَيَّزُ حُكْمُهَا فَإِذَا لَمْ يَجِبْ بِابْتِدَائِهَا مَهْرٌ لَمْ يَجِبْ بِاسْتِدَامَتِهَا مَهْرٌ، وَخَالَفَ اسْتِدَامَةَ الصَّائِمِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Tidak wajib baginya membayar mahar karena kesinambungan, meskipun kafarat wajib atas orang yang berpuasa karena kesinambungan, karena itu merupakan satu kali penetrasi yang hukumnya tidak dapat dibedakan. Maka jika pada permulaannya tidak wajib mahar, maka pada kesinambungannya pun tidak wajib mahar. Hal ini berbeda dengan kesinambungan pada orang yang berpuasa dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْكَفَّارَةَ فِي الصَّوْمِ تَتَعَلَّقُ بِشَيْئَيْنِ: الزَّمَانِ، وَالِاسْتِدَامَةِ، فَلَمَّا كَانَ الزَّمَانُ مُتَمَيِّزًا جَازَ أَنْ يَتَمَيَّزَ بِهِ حُكْمُ الِابْتِدَاءِ وَحُكْمُ الِاسْتِدَامَةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمَهْرُ لِأَنَّهُ يَجِبُ بِشَيْءٍ وَاحِدٍ وَهُوَ الْوَطْءُ فَلَمْ يَتَمَيَّزْ حُكْمُ الِابْتِدَاءِ مِنْ حُكْمِ الِاسْتِدَامَةِ.

Salah satunya: Bahwa kafarat dalam puasa terkait dengan dua hal: waktu dan kesinambungan. Ketika waktu dapat dibedakan, maka boleh hukumnya permulaan dan kesinambungan dibedakan. Tidak demikian halnya dengan mahar, karena mahar wajib karena satu hal saja, yaitu jima‘, sehingga tidak dapat dibedakan antara hukum permulaan dan hukum kesinambungan.

وَالْفَرْقُ الثَّانِي: أَنَّ إِيجَابَ الْمَهْرِ هَاهُنَا بِالِاسْتِدَامَةِ مُفْضٍ إِلَى إِيجَابِ مهرين بوطء واحد وهو أن تكون مفوضة غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا، فَيَجِبُ لَهَا بِالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ مَهْرٌ، وَيَجِبُ لَهَا بِاسْتِدَامَةِ الْإِيلَاجِ مَهْرٌ ثَانٍ فَيَصِيرُ الْوَطْءُ الْوَاحِدُ مُوجِبًا لِمَهْرَيْنِ، وَهَذَا غَيْرُ جائز وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْكَفَّارَةُ فِي اسْتِدَامَةِ إِيلَاجِ الصَّائِمِ؛ لِأَنَّهَا لَا تُوجِبُ إِلَّا كَفَّارَةً وَاحِدَةً عَلَى تَصَارِيفَ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا فَافْتَرَقَا.

Perbedaan kedua: Bahwa mewajibkan mahar di sini karena kesinambungan akan menyebabkan kewajiban dua mahar dalam satu kali jima‘, yaitu jika perempuan tersebut adalah perempuan yang belum pernah digauli, maka wajib baginya mahar karena bertemunya dua kemaluan, dan wajib baginya mahar kedua karena kesinambungan penetrasi. Maka satu kali jima‘ menyebabkan dua mahar, dan ini tidak diperbolehkan. Tidak demikian halnya dengan kafarat pada kesinambungan penetrasi orang yang berpuasa, karena kafarat hanya mewajibkan satu kafarat saja dalam seluruh keadaan, sehingga keduanya berbeda.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُخْرِجَ الْحَشَفَةَ بَعْدَ إِيلَاجِهَا ثُمَّ يَسْتَأْنِفَ إِيلَاجًا بَعْدَهَا فَالْمَهْرُ وَاجِبٌ بِالْإِيلَاجَةِ الثَّانِيَةِ وَإِنْ كَانَتِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ مَنْسُوبَتَيْنِ إِلَى وَطْءٍ وَاحِدٍ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا تَمَيَّزَتِ الْأُولَى عَنِ الثَّانِيَةِ فِي التَّحْرِيمِ حَتَّى حَلَّتِ الْأُولَى وَحُرِّمَتِ الثَّانِيَةُ، وَإِنْ كانتا في وَطْءٍ وَاحِدٍ تَمَيَّزَتِ الْأُولَى عَنِ الثَّانِيَةِ فِي الْمَهْرِ، وَإِنْ كَانَتَا مِنْ وَطْءٍ وَاحِدٍ أَلَا تَرَى أَنَّ الْوَطْءَ إِذَا تَكَرَّرَ مُتَسَاوِي الْحُكْمِ بِأَنْ وَطِئَهَا مِائَةَ مَرَّةٍ فِي نِكَاحٍ وَاحِدٍ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ إِلَّا مَهْرٌ وَاحِدٌ، وَلَوْ وَطِئَهَا مِائَةَ مَرَّةٍ بِشُبْهَةٍ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ إِلَّا مَهْرٌ وَاحِدٌ وَإِذَا اخْتَلَفَ حُكْمُهُ بِأَنْ وَطِئَ مَرَّةً بِنِكَاحٍ وَمَرَّةً بِشُبْهَةٍ تَمَيَّزَ حُكْمُهَا وَوَجَبَ عَلَيْهِ مَهْرٌ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، كَذَلِكَ الْوَاطِئُ الْوَاحِدُ وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْإِيلَاجَةَ الثَّانِيَةَ يَتَعَلَّقُ بِهَا وُجُوبُ الْمَهْرِ فَلَا حُكْمَ لِمَا بَعْدَهَا مِنْ إِيلَاجَةٍ ثَالِثَةٍ وَرَابِعَةٍ لِأَنَّهَا فِي حُكْمِ الثَّانِيَةِ فَاسْتَوَى حُكْمُ جَمِيعِهَا كَمَا لَوْ تَكَرَّرَ وَطْءُ الشُّبْهَةِ اسْتَوَى حُكْمُ جَمِيعِهِ فِي إِيجَابِ مَهْرٍ وَاحِدٍ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الزَّوْجَيْنِ هَاهُنَا فِي الْإِيلَاجَةِ الثَّانِيَةِ وَمَا بَعْدَهَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Keadaan ketiga: Yaitu apabila seseorang mengeluarkan hasyafah setelah memasukkannya, kemudian melakukan penetrasi lagi setelah itu, maka mahar wajib karena penetrasi kedua, meskipun penetrasi pertama dan kedua sama-sama termasuk dalam satu kali jima‘. Sebab, ketika penetrasi pertama dan kedua dapat dibedakan dalam hal keharaman, di mana yang pertama halal dan yang kedua haram, meskipun keduanya dalam satu kali jima‘, maka keduanya juga dapat dibedakan dalam hal mahar, meskipun berasal dari satu kali jima‘. Bukankah engkau melihat bahwa jika jima‘ diulang berkali-kali dengan hukum yang sama, misal ia menjima‘ istrinya seratus kali dalam satu pernikahan, maka ia hanya wajib membayar satu mahar saja. Dan jika ia menjima‘nya seratus kali karena syubhat, maka ia hanya wajib membayar satu mahar saja. Namun, jika hukumnya berbeda, misal ia menjima‘ sekali dengan akad nikah dan sekali dengan syubhat, maka hukumnya berbeda dan wajib baginya membayar mahar pada masing-masingnya. Demikian pula bagi orang yang melakukan jima‘. Jika telah tetap bahwa pada penetrasi kedua wajib membayar mahar, maka tidak ada hukum untuk penetrasi ketiga dan keempat setelahnya, karena kedudukannya sama dengan penetrasi kedua, sehingga hukumnya sama semuanya, sebagaimana jika jima‘ karena syubhat diulang-ulang, maka hukumnya sama dalam mewajibkan satu mahar saja. Jika demikian, maka keadaan kedua pasangan di sini pada penetrasi kedua dan setelahnya tidak lepas dari empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا جَاهِلَيْنِ بِالتَّحْرِيمِ لِقُصُورِهِمَا أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ إِلَّا بِاسْتِكْمَالِ الْوَطْءِ وَإِتْمَامِهِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِمَا لِوُجُودِ الشُّبْهَةِ، وَأَنَّ حَقِيقَةَ اسْمِ الْوَطْءِ فِي اللُّغَةِ يَنْطَلِقُ عَلَى الْفَرَاغِ مِنْهُ وَإِنْ كَانَتْ أَحْكَامُهُ فِي الشَّرْعِ مُتَعَلِّقَةً بِأَوَّلِهِ، فلهذه الشبهة سقط الحد عنهما ولا تعزيز عَلَيْهِمَا، لِأَنَّ مَا كَانَ شُبْهَةً فِي الْحَدِّ فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ شُبْهَةً فِي التَّعْزِيرِ، وَإِذَا سَقَطَ الْحَدُّ وَالتَّعْزِيرُ وَجَبَ بِهِمَا الْمَهْرُ بِمَا ذَكَرْنَا.

Salah satunya: Kedua orang tersebut tidak mengetahui keharaman karena keterbatasan pengetahuan mereka bahwa talak tidak terjadi kecuali setelah sempurnanya hubungan suami istri dan penyelesaiannya. Maka tidak ada had atas keduanya karena adanya syubhat, dan hakikat istilah “hubungan suami istri” dalam bahasa digunakan untuk makna telah selesai darinya, meskipun hukum-hukumnya dalam syariat berkaitan dengan permulaannya. Maka karena syubhat ini, had gugur dari keduanya dan tidak ada ta‘zīr atas mereka, karena sesuatu yang menjadi syubhat dalam had, lebih utama lagi menjadi syubhat dalam ta‘zīr. Dan apabila had dan ta‘zīr telah gugur, maka wajib bagi keduanya membayar mahar sebagaimana yang telah kami sebutkan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَا عَالِمَيْنِ بِالتَّحْرِيمِ، وَأَنَّ الْإِيلَاجَ الثَّانِيَ وَمَا بَعْدَهُ كَانَ بَعْدَ تَحْرِيمِهَا بِالْإِيلَاجِ الْأَوَّلِ، فَفِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِمَا وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Kedua orang tersebut mengetahui keharaman, dan bahwa hubungan suami istri yang kedua dan seterusnya terjadi setelah keharamannya dengan hubungan yang pertama. Maka dalam kewajiban had atas keduanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إنَّهُ زِنَا يُوجِبُ الْحَدَّ لِأَنَّهُ إِيلَاجٌ مُسْتَأْنَفٌ بَعْدَ الْعِلْمِ بِالتَّحْرِيمِ، فَأَشْبَهَ وَطْءَ الْأَجْنَبِيَّةِ، فَعَلَى هَذَا لَا مَهْرَ فِيهِ لِأَنَّ وُجُوبَ الْحَدِّ عَلَيْهِمَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْمَهْرِ لَهَا لِتَنَافِي مُوجِبِهَمَا.

Salah satunya: Itu adalah zina yang mewajibkan had, karena itu adalah hubungan suami istri yang baru setelah mengetahui keharamannya, sehingga menyerupai hubungan dengan perempuan asing (bukan istri). Berdasarkan pendapat ini, tidak ada mahar di dalamnya karena kewajiban had atas keduanya mencegah kewajiban mahar baginya, karena sebab keduanya saling bertentangan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا حَدَّ فِيهِ، وَلَيْسَ بِزِنًا؛ لِأَنَّهُ وَطْءٌ وَاحِدٌ فَكَانَ تَحْلِيلُ أَوَّلِهِ شُبْهَةً فِي تَحْرِيمِ آخِرِهِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لَهَا الْمَهْرُ لِسُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهُمَا وَيُعَزَّرَانِ.

Pendapat kedua: Tidak ada had di dalamnya, dan itu bukan zina; karena itu adalah satu hubungan suami istri, sehingga keabsahan permulaannya menjadi syubhat dalam keharaman akhirnya. Berdasarkan pendapat ini, ia berhak atas mahar karena had telah gugur dari keduanya dan mereka dikenai ta‘zīr.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ عَالِمًا بِالتَّحْرِيمِ وَالزَّوْجَةُ جَاهِلَةً أَوْ عَالِمَةً لَكِنَّهَا لَمْ تَقْدِرْ عَلَى دَفْعِهِ عَنْ نَفْسِهَا فَهُمَا سَوَاءٌ، وَلَا حَدَّ عَلَيْهِمَا لِوُجُودِ الشُّبْهَةِ وَلَهَا الْمَهْرُ لِسُقُوطِ الْحَدِّ، وَهَلْ عَلَى الزَّوْجِ الْحَدُّ لِعِلْمِهِ بِالتَّحْرِيمِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Bagian ketiga: Suami mengetahui keharaman dan istri tidak tahu, atau istri tahu tetapi tidak mampu menolak suami dari dirinya, maka keduanya sama saja. Tidak ada had atas keduanya karena adanya syubhat dan ia (istri) berhak atas mahar karena had telah gugur. Apakah suami dikenai had karena ia mengetahui keharaman atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: يُحَدُّ.

Salah satunya: Ia dikenai had.

وَالثَّانِي: لَا يُحَدُّ وَلَا يُعَزَّرُ.

Dan yang kedua: Ia tidak dikenai had dan tidak pula ta‘zīr.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ جَاهِلًا بِالتَّحْرِيمِ وَالزَّوْجَةُ عَالِمَةً بِهِ، فَلَا حَدَّ عَلَى الزَّوْجِ وَلَا تَعْزِيرَ لِجَهْلِهِ، وَفِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى الزَّوْجَةِ مَعَ عِلْمِهَا وَجْهَانِ:

Bagian keempat: Suami tidak mengetahui keharaman dan istri mengetahuinya, maka tidak ada had atas suami dan tidak ada ta‘zīr karena ketidaktahuannya. Adapun kewajiban had atas istri yang mengetahui, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا حَدَّ عَلَيْهَا وَتُعَزَّرُ، فَعَلَى هَذَا لَهَا الْمَهْرُ.

Salah satunya: Tidak ada had atasnya, tetapi ia dikenai ta‘zīr. Berdasarkan pendapat ini, ia berhak atas mahar.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهَا الْحَدُّ، فَعَلَى هَذَا لَا مَهْرَ لَهَا؛ لِأَنَّ الْحَدَّ وَالْمَهْرَ لَا يَجْتَمِعَانِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Ia dikenai had. Berdasarkan pendapat ini, ia tidak berhak atas mahar, karena had dan mahar tidak dapat dikumpulkan. Dan Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةُ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَإِنْ أَبَى أَنْ يَفِيءَ طُلِّقَ عَلَيْهِ وَاحِدَةٌ فَإِنْ رَاجَعَ فَلَهُ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمِ رَاجَعَ ثُمَّ هَكَذَا حَتَى يَنْقَضِيَ طَلَاقُ ذَلِكَ الْمِلْكِ ثَلَاثًا) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia (suami) enggan untuk kembali (rujuk), maka dijatuhkan talak satu atasnya. Jika ia rujuk, maka ia memiliki waktu empat bulan sejak hari ia rujuk, kemudian demikian seterusnya hingga talak dari kepemilikan itu selesai sebanyak tiga kali.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَكَذَا كَمَا قَالَ إِذَا مَضَتْ لِلْمُولِي مُدَّةُ التَّرَبُّصِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَخُيِّرَ بَيْنَ الْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ [فَامْتَنَعَ أَنْ يَفِيءَ أَوْ يُطَلِّقَ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى الْفَيْئَةِ وَهُوَ مِمَّا لَا يَعْلَمُهُ سِوَاهُ، فَأَمَّا الطَّلَاقُ] فَهُوَ مِمَّا يَصِحُّ فِيهِ النِّيَابَةُ، وَيَقُومُ غَيْرُهُ مَقَامَهُ فِيهِ فَهَلْ يُطَلِّقُ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Demikian pula sebagaimana yang dikatakan, apabila telah berlalu bagi suami yang melakukan ila’ masa menunggu selama empat bulan dan ia diberi pilihan antara kembali (rujuk) atau talak, lalu ia menolak untuk kembali atau mentalak, maka ia tidak dipaksa untuk kembali karena hal itu hanya ia sendiri yang mengetahuinya. Adapun talak, maka itu sesuatu yang sah dilakukan melalui perwakilan, dan orang lain dapat menggantikannya dalam hal itu. Maka apakah hakim dapat menjatuhkan talak atasnya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ لَا يُطَلِّقُ عَلَيْهِ الْحَاكِمُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ} [البقرة: 227] فَأَضَافَ الْعَزْمَ إِلَى الزَّوْجِ، فَاقْتَضَى أَنْ لَا يَصِحَّ من غيره، لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (الطلاق لمن أخذ بِالسَّاقِ) فَجَعَلَهُ إِلَى الْأَزْوَاجِ دُونَ غَيْرِهِمْ، وَلِأَنَّهُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَمْرَيْنِ لَا مَدْخَلَ لِلْحَاكِمِ فِي أَحَدِهِمَا، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَدْخَلٌ فِي الْآخَرِ، وَلِأَنَّ مَا يَتَعَيَّنُ الْحَقُّ فِيهِ لِأَجْلِ التَّخْيِيرِ لَمْ يَقُمِ الْحَاكِمُ فِي التَّخْيِيرِ مَقَامَهُ، كَالَّذِي يسلم عغن أُخْتَيْنِ فَيَمْتَنِعُ مِنَ اخْتِيَارِ أَحَدِهِمَا لَمْ يَقُمِ الْحَاكِمُ مَقَامَهُ فِي الِاخْتِيَارِ، كَذَلِكَ هَاهُنَا، فَعَلَى هَذَا يُحْبَسُ الزَّوْجُ بَعْدَ امْتِنَاعِهِ حَتَّى يَفِيءَ أَوْ يُطَلِّقَ لِقَصْدِهِ الْإِضْرَارَ بِالِامْتِنَاعِ مِنْ حَقٍّ وَجَبَ عَلَيْهِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ، كَمَا يُحْبَسُ بَعْدَ إِسْلَامِهِ إِذَا امْتَنَعَ مِنَ اخْتِيَارِ إِحْدَى الْأُخْتَيْنِ أَوِ اخْتِيَارِ أَرْبَعٍ إِذَا أَسْلَمَ وَمَعَهُ أَكْثَرُ مِنْهُنَّ.

Salah satu pendapat, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim, adalah bahwa hakim tidak dapat menjatuhkan talak atas suami, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika mereka telah berketetapan untuk menceraikan} (QS. Al-Baqarah: 227), maka Allah menisbatkan tekad (untuk menceraikan) kepada suami, sehingga menunjukkan bahwa tidak sah dilakukan oleh selainnya. Juga berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Talak itu hak bagi yang memegang kendali (yaitu suami),” maka beliau menjadikannya hak suami, bukan selainnya. Dan karena suami diberi pilihan antara dua perkara yang tidak ada campur tangan hakim dalam salah satunya, maka tidak ada pula campur tangan hakim dalam perkara yang lain. Dan karena dalam perkara yang haknya ditentukan karena adanya pilihan, hakim tidak dapat menggantikan posisinya dalam memilih, seperti seseorang yang masuk Islam dan memiliki dua saudara perempuan (sebagai istri), lalu ia enggan memilih salah satunya, maka hakim tidak dapat menggantikan posisinya dalam memilih, demikian pula dalam masalah ini. Oleh karena itu, suami ditahan setelah ia menolak (memenuhi hak istrinya) sampai ia kembali (rujuk) atau menjatuhkan talak, karena ia bermaksud menimbulkan mudarat dengan menolak hak yang wajib ia tunaikan padahal ia mampu melakukannya, sebagaimana ia juga ditahan setelah masuk Islam jika ia menolak memilih salah satu dari dua saudara perempuan atau memilih empat istri jika ia masuk Islam dan memiliki lebih dari empat istri.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ – إِنَّ الْحَاكِمَ يُطَلِّقُ عَلَيْهِ بَعْدَ امْتِنَاعِهِ؛ لِأَنَّ مَا دَخَلَتْهُ النِّيَابَةُ إِذَا تَعَيَّنَ مُسْتَحِقُّهُ وَامْتَنَعَ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ مِنَ الْإِيفَاءِ كَانَ لِلْحَاكِمِ الِاسْتِيفَاءُ كَالدُّيُونِ؛ وَلِأَنَّ مَا اسْتُحِقَّتْ بِهِ الْفُرْقَةُ بَعْدَ ضَرْبِ الْمُدَّةِ كَانَ لِلْحَاكِمِ مَدْخَلٌ فِيهَا كَالْعُنَّةِ، فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا جَازَ لِلْمَرْأَةِ عِنْدَ امْتِنَاعِ الزَّوْجِ مِنْ طَلَاقِهَا أَنْ تُطَلِّقَ نَفْسَهَا، وَتَكُونَ هِيَ الْمُسْتَوْفِيَةَ لِحَقِّهَا دُونَ الْحَاكِمِ كَالدَّيْنِ يَجُوزُ لِمُسْتَحَقِّهِ عِنْدَ امْتِنَاعِ الْغَرِيمِ مِنْ أَدَائِهِ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْمُسْتَوْفِيَ لَهُ دُونَ الحاكم.

Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadid, bahwa hakim dapat menjatuhkan talak atas suami setelah suami menolak (menjatuhkan talak); karena dalam perkara yang dapat diwakilkan, apabila haknya telah ditentukan dan orang yang berkewajiban menunaikan hak itu menolak untuk melaksanakannya, maka hakim berhak menunaikannya, seperti dalam kasus utang; dan karena dalam perkara yang menyebabkan terjadinya perpisahan setelah ditetapkan masa tunggu, hakim memiliki wewenang di dalamnya, seperti kasus ‘innah (impotensi). Jika ada yang bertanya: Mengapa tidak boleh bagi istri, ketika suami menolak menceraikannya, untuk menceraikan dirinya sendiri dan menjadi pihak yang menunaikan haknya tanpa melalui hakim, sebagaimana dalam kasus utang, pihak yang berhak boleh menagih sendiri jika yang berutang menolak membayar, tanpa melalui hakim?

قُلْنَا: لَا يَجُوزُ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الطَّلَاقَ مُجْتَهَدٌ فِيهِ فَكَانَ الْحَاكِمُ أَحَقَّ بِهِ، وَقَضَاءَ الدِّينِ غَيْرُ مُجْتَهَدٍ فِيهِ، فَكَانَ مَالِكُهُ أَحَقَّ بِهِ – فَعَلَى هَذَا إِذَا قِيلَ أَنَّ الْحَاكِمَ يُطَلِّقُ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُطَلِّقُ عَلَيْهِ وَاحِدَةً لَا يَتَجَاوَزُهَا، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَطْلَقَ عَزِيمَةَ الطَّلَاقِ فَاقْتَضَى مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ الطَّلَاقِ، وَهُوَ يَنْطَلِقُ عَلَى الْوَاحِدَةِ، فَلَمْ يَلْزَمِ الزِّيَادَةَ عَلَيْهَا.

Kami katakan: Tidak boleh, dan perbedaannya adalah bahwa talak merupakan perkara ijtihadi, sehingga hakim lebih berhak menanganinya, sedangkan pelunasan utang bukan perkara ijtihadi, sehingga pemilik hak lebih berhak menagihnya. Maka berdasarkan hal ini, jika dikatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan talak atas suami, maka hakim hanya menjatuhkan satu talak dan tidak boleh melebihi itu, karena Allah Ta‘ala menyebutkan tekad untuk menceraikan secara umum, sehingga yang dimaksud adalah apa yang dapat disebut sebagai talak, dan itu berlaku untuk satu talak, sehingga tidak wajib menambah lebih dari itu.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْمُسْتَحَقَّ فِيهِ طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ فَأَوْقَعَهَا الزَّوْجُ بِاخْتِيَارِهِ أَوِ الْحَاكِمُ عِنْدَ امْتِنَاعِهِ فَهِيَ طَلْقَةٌ رَجْعِيَّةٌ.

Jika telah dipastikan bahwa hak yang dapat dituntut adalah satu kali talak, maka apabila talak itu dijatuhkan oleh suami secara sukarela atau oleh hakim karena suami menolak, maka talak tersebut adalah talak raj‘i (yang masih bisa dirujuk).

وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: هِيَ طَلْقَةٌ بَائِنَةٌ لَا يَمْلِكُ فِيهَا الرَّجْعَةَ كَمَا يَجْعَلُ أَبُو حَنِيفَةَ مُضِيَّ الْمُدَّةِ مَوْقِعًا لِطَلْقَةٍ بَائِنَةٍ لَا يَمْلِكُ فِيهَا الرَّجْعَةَ، اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:

Abu Tsaur berkata: Itu adalah talak bain (talak yang tidak bisa dirujuk), suami tidak memiliki hak rujuk di dalamnya, sebagaimana Abu Hanifah menganggap berlalunya masa (iddah) sebagai sebab terjadinya talak bain yang tidak bisa dirujuk, dengan dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا أَوْقَعَهُ الْحَاكِمُ مِنَ الْفُرْقَةِ لَا يَمْلِكُ فِيهَا الرَّجْعَةَ كَالْفَسْخِ بِالْعُنَّةِ وَالْعُيُوبِ وَالْإِعْسَارِ بِالنَّفَقَةِ.

Pertama: Bahwa perpisahan yang dijatuhkan oleh hakim tidak memberikan hak rujuk, seperti pembatalan nikah karena ‘innah (impotensi), cacat, atau ketidakmampuan memberi nafkah.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْقَصْدَ بِالطَّلَاقِ رَفْعُ الْإِضْرَارِ، وَالطَّلَاقُ الرَّجْعِيُّ لَا يَرْتَفِعُ بِهِ الْإِضْرَارُ، لِأَنَّهُ قَدْ يُرَاجِعُ بَعْدَهُ فَيَعُودُ الْإِضْرَارُ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ بَائِنًا لِيَرْتَفِعَ بِهِ الْإِضْرَارُ.

Kedua: Bahwa tujuan dari talak adalah menghilangkan mudarat, dan talak raj‘i tidak menghilangkan mudarat, karena suami bisa merujuk kembali setelahnya sehingga mudarat itu bisa kembali terjadi, maka seharusnya talak itu menjadi talak bain agar mudarat benar-benar hilang.

وَدَلِيلُنَا: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا} [البقرة: 228] فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ؛ وَلِأَنَّهُ طَلَاقٌ لَمْ يُسْتَوْفَ عَدَدُهُ فَوَجَبَ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ الْعِوَضِ بَعْدَ الْإِصَابَةِ أَنْ يَسْتَحِقَّ فِيهِ الرَّجْعَةَ كَطَلَاقِ غَيْرِ الْمُولِي؛ وَلِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ الرَّجْعَةِ فِي الطَّلَاقِ كَاسْتِحْقَاقِ الْوَلَاءِ فِي الْعِتْقِ فَلَمَّا اسْتَحَقَّ الْوَلَاءَ فِي وَاجِبِ الْعِتْقِ وَتَطَوُّعِهِ، وَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ الرَّجْعَةَ فِي وَاجِبِ الطَّلَاقِ وَتَطَوُّعِهِ، فَأَمَّا الْفَسْخُ فَلَا يَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ، فَلِذَلِكَ وَقَعَ بَائِنًا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الطَّلَاقُ فَأَمَّا رَفْعُ الْإِضْرَارِ فَقَدْ يَرْتَفِعُ بِالطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ إِلَّا أَنَّهُ إِنْ لَمْ يُرَاجِعْ تَعَجَّلَ رَفْعُ الضَّرَرِ، وَإِنْ رَاجَعَ تَأَخَّرَ رَفْعُ الضَّرَرِ، وَهُوَ فِي الْحَالَيْنِ رَافِعٌ لِلضَّرَرِ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka dalam masa itu jika mereka menghendaki perbaikan} (QS. Al-Baqarah: 228). Maka ayat ini berlaku secara umum. Dan karena ini adalah talak yang belum sempurna jumlahnya, maka apabila talak itu murni tanpa adanya kompensasi setelah terjadi hubungan suami istri, wajib baginya untuk berhak melakukan rujuk sebagaimana talak selain mu‘allaq (yang disertai sumpah). Dan karena hak rujuk dalam talak itu seperti hak wala’ dalam pembebasan budak; maka sebagaimana hak wala’ tetap ada pada pembebasan budak yang wajib maupun yang sunnah, demikian pula hak rujuk tetap ada pada talak yang wajib maupun yang sunnah. Adapun fasakh (pembatalan nikah), maka tidak ada hak rujuk di dalamnya, sehingga jatuh sebagai talak bain (talak yang tidak bisa dirujuk). Tidak demikian halnya dengan talak. Adapun penghilangan mudarat, terkadang mudarat itu hilang dengan talak raj‘i (talak yang bisa dirujuk), hanya saja jika tidak dirujuk maka penghilangan mudarat itu segera terjadi, dan jika dirujuk maka penghilangan mudarat itu tertunda, dan dalam kedua keadaan tersebut tetap menghilangkan mudarat.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الطَّلْقَةَ رَجْعِيَّةٌ، وَأَنَّهُ لَا يَجِبُ أَكْثَرُ مِنْهَا، فَإِنْ كَانَ هُوَ الْمُوقِعَ لَهَا فَلَا يَجُوزُ لَهُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا، وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ هُوَ الْمُوقِعَ لَهَا جَازَ لَهُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا، فَتُطَلَّقُ اثْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كَمَا يَكُونُ لَهُ ذَلِكَ لَوْ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، فَإِذَا طَلَّقَ وَاحِدَةً أَوْ طَلَّقَ عَلَيْهِ الْحَاكِمُ وَاحِدَةً فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْ حَتَّى انْقَضَتِ الْعِدَّةُ فَقَدْ بَانَتْ، فَإِنِ اسْتَأْنَفَ الْعَقْدَ عَلَيْهَا بَعْدَ الْعِدَّةِ فَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ يَعُودُ الْإِيلَاءُ فَيُوقِفُ لَهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ يُطَالَبُ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَعَلَى قَوْلِهِ الثَّانِي فِي الْجَدِيدِ: إنَّهُ لَا يَعُودُ الْإِيلَاءُ وَلَا يُوقَفُ وَإِنْ كَانَتِ الْيَمِينُ بَاقِيَةً لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ مُولِيًا قَبْلَ النِّكَاحِ وَإِنْ رَاجَعَ فِي الْعِدَّةِ وُقِفَ لَهُ بَعْدَ الرَّجْعَةِ، وَكَانَ أَوَّلُ زَمَانِ الْوَقْفِ مِنْ بَعْدِ الرَّجْعَةِ وَلَا يُحْتَسَبُ عَلَيْهِ بما تقدمها، وإن كان مأخوذاً بنفقتها ومحكوم لَهُ بِزَوْجِيَّتِهَا لِأَنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ وَجَارِيَةٌ فِي الْفَسْخِ، فَإِذَا مَضَتْ مُدَّةُ الْوَقْفِ الثَّانِي بِانْقِضَاءِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ ثَانِيَةٍ طُولِبَ بَعْدَهَا بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ فَإِنْ طَلَّقَ ثَانِيَةً أَوِ امْتَنَعَ فَطَلَّقَهَا الْحَاكِمُ عَلَيْهِ طَلْقَةً ثَانِيَةً كَانَتِ الثَّانِيَةُ رَجْعِيَّةً كَالْأُولَى، فَإِنْ رَاجَعَهَا اسْتُؤْنِفَ لَهُ وَقْفٌ ثَالِثٌ، فَإِذَا مَضَتْ مُدَّتُهُ بِانْقِضَاءِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ ثَالِثَةٍ طُولِبَ بَعْدَهَا بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، فَإِنْ طَلَّقَ بَعْدَهَا ثَالِثَةً أَوِ امْتَنَعَ مِنْهَا فَطَلَّقَهَا الْحَاكِمُ عَلَيْهِ طَلْقَةً ثَالِثَةً فَلَا رَجْعَةَ لَهُ بَعْدَهَا؛ لِأَنَّ الثَّلَاثَ لَا رَجْعَةَ لَهُ فِيهَا مُجْتَمِعَةً كَانَتْ أَوْ مُتَفَرِّقَةً وَقَدْ سَقَطَ بِهَا حُكْمُ الْإِيلَاءِ فِي هَذَا النِّكَاحِ، فَإِنْ عَادَ بَعْدَ زَوْجٍ، فَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ كُلِّهِ وَأَحَدِ قَوْلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ لَا يَعُودُ الْإِيلَاءُ، وَإِنْ كَانَ حَالِفًا، وَعَلَى قَوْلِهِ الثَّانِي فِي الْقَدِيمِ: يَعُودُ الْإِيلَاءُ، وَيُسْتَأْنَفُ لَهُ مُدَّةُ الْوَقْفِ يكون حُكْمُهُ عَلَى مِثْلِ مَا مَضَى فِي النِّكَاحِ إِلَّا أَنْ يَفِيءَ فَيَسْقُطَ بِكُلِّ حَالٍ الْحِنْثُ فِيهِ فَارْتَفَعَ وَلَيْسَ فِي الطَّلَاقِ حِنْثٌ فَلَمْ يَرْتَفِعْ فَإِنْ قِيلَ فَاللَّهُ تَعَالَى جَعَلَ مُدَّةَ التَّرَبُّصِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَلِمَ جَعَلْتُمُوهَا أَضْعَافًا، قِيلَ إِنَّمَا قَدَّرَهَا بِالْأَرْبَعَةِ فِي التَّرَبُّصِ الْوَاحِدِ فَإِذَا وَجَبَ تَكْرَارُ التَّرَبُّصِ وَجَبَ تَكْرَارُ الْمُدَّةِ وَاللَّهُ أعلم.

Jika telah tetap bahwa talak itu adalah talak raj‘i (talak yang bisa dirujuk), dan tidak wajib lebih dari satu kali talak, maka jika pihak istri yang menuntut talak, tidak boleh baginya (hakim) menambah lebih dari satu talak. Namun jika suami yang menjatuhkan talak, maka boleh baginya menambah lebih dari satu talak, sehingga ia dapat menalak dua atau tiga kali, sebagaimana ia berhak melakukannya jika bukan dalam kasus ila’ (sumpah tidak menggauli istri). Jika suami menalak satu kali, atau hakim menalak satu kali atas permintaan istri, lalu suami tidak merujuk hingga habis masa iddah, maka istri menjadi terpisah (bain). Jika suami menikahi kembali setelah iddah, menurut pendapat lama Imam Syafi‘i dan salah satu pendapat beliau dalam pendapat baru, ila’ kembali berlaku, sehingga ia diberi waktu empat bulan, lalu diminta memilih antara kembali (fi’ah) atau menceraikan. Menurut pendapat kedua dalam pendapat baru, ila’ tidak kembali berlaku dan tidak perlu diberi waktu, meskipun sumpahnya masih ada, karena ia tidak dianggap mu‘allaq sebelum akad nikah. Jika suami merujuk dalam masa iddah, maka waktu penantian (arba‘ah asyhur) dimulai setelah rujuk, dan tidak dihitung waktu sebelumnya, meskipun ia tetap wajib menafkahi dan status pernikahan masih berlaku, karena istri haram baginya dan statusnya seperti dalam fasakh. Jika telah berlalu masa penantian kedua dengan berakhirnya empat bulan kedua, maka setelah itu suami diminta memilih antara kembali (fi’ah) atau menceraikan. Jika suami menalak kedua kali atau menolak sehingga hakim menjatuhkan talak kedua, maka talak kedua itu juga raj‘i seperti yang pertama. Jika suami merujuk, maka waktu penantian ketiga dimulai. Jika telah berlalu masa penantian ketiga dengan berakhirnya empat bulan ketiga, maka setelah itu suami diminta memilih antara kembali (fi’ah) atau menceraikan. Jika suami menalak ketiga kali setelah itu atau menolak sehingga hakim menjatuhkan talak ketiga, maka tidak ada hak rujuk setelahnya, karena tiga kali talak tidak bisa dirujuk, baik dilakukan sekaligus maupun terpisah, dan dengan itu gugur hukum ila’ dalam pernikahan ini. Jika suami menikahi kembali setelah istri menikah dengan suami lain, maka menurut pendapat baru Imam Syafi‘i seluruhnya dan salah satu pendapat beliau dalam pendapat lama, ila’ tidak kembali berlaku, meskipun ia bersumpah. Menurut pendapat kedua dalam pendapat lama: ila’ kembali berlaku, dan masa penantian dimulai kembali, dengan hukum yang sama seperti sebelumnya dalam pernikahan, kecuali jika suami kembali (fi’ah), maka batalah pelanggaran sumpah dalam semua keadaan. Dalam talak tidak ada pelanggaran sumpah, maka tidak batal. Jika ada yang bertanya: Allah Ta‘ala telah menetapkan masa penantian empat bulan, mengapa kalian menjadikannya berlipat-lipat? Jawabnya: Allah hanya menetapkan empat bulan untuk satu kali penantian. Jika penantian harus diulang, maka masa penantiannya pun harus diulang. Wallahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ قَالَ أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ يُرِيدُ تَحْرِيمَهَا بِلَا طَلَاقٍ أَوِ الْيَمِينَ بِتَحْرِيمِهَا فَلَيْسَ بِمُولٍ لأن التحريم شيء حكيم فِيهِ بِكَفَّارَةٍ إِذَا لَمْ يَقَعْ بِهِ طَلَاقٌ كَمَا لَا يَكُونُ الْإِيلَاءُ وَالظِّهَارُ طَلَاقًا وَإِنْ أُرِيدَ بِهِمَا طَلَاقٌ لِأَنَّهُ حُكِمَ فِيهِمَا بِكَفَّارَةٍ) .

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang berkata kepada istrinya, ‘Engkau haram atasku,’ dengan maksud mengharamkannya tanpa talak atau bermaksud sumpah untuk mengharamkannya, maka ia tidak dianggap sebagai mu‘li (orang yang melakukan ila’), karena pengharaman adalah perkara yang telah ditetapkan padanya kewajiban kafarat jika tidak terjadi talak dengannya, sebagaimana ila’ dan zihar tidak dianggap sebagai talak meskipun dimaksudkan talak, karena keduanya telah ditetapkan padanya kewajiban kafarat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا قَالَ لِزَوْجَتِهِ أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ فَإِنْ نَوَى بِهِ الطَّلَاقَ كَانَ طَلَاقًا وَإِنْ نَوَى بِهِ الظِّهَارَ كَانَ ظِهَارًا، وَإِنْ نَوَى بِهِ الْإِيلَاءَ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، فَيَكُونُ كِنَايَةً فِي الطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ، وَلَا يَكُونُ كِنَايَةً فِي الْإِيلَاءِ، لِأَنَّ الْمُولِيَ مَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْإِصَابَةِ فِيهِ بَعْدَ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ إِلَّا بِالْتِزَامِ مَا لَمْ يَكُنْ لَازِمًا قَبْلَ الْإِصَابَةِ وَقَوْلُهُ أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ إِنْ نَوَى به الْيَمِينَ فِي تَحْرِيمِ الْإِصَابَةِ لَزِمَتْ بِهِ الْكَفَّارَةُ فِي الْحَالِ مِنْ غَيْرِ إِصَابَةٍ، وَإِنْ أَطْلَقَهُ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau haram atasku,” lalu ia berniat talak, maka itu menjadi talak. Jika ia berniat zihar, maka itu menjadi zihar. Jika ia berniat ila’, maka ia tidak dianggap sebagai mu‘li. Maka, ucapan tersebut menjadi kinayah (lafaz samar) dalam talak dan zihar, namun tidak menjadi kinayah dalam ila’, karena seorang mu‘li tidak dapat menahan diri dari berhubungan (jima‘) setelah masa penantian kecuali dengan komitmen yang sebelumnya tidak wajib sebelum jima‘, dan ucapannya “Engkau haram atasku” jika diniatkan sebagai sumpah dalam mengharamkan jima‘, maka wajib baginya kafarat saat itu juga tanpa harus melakukan jima‘. Jika ia mengucapkannya secara mutlak, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَجِبُ بِهِ الْكَفَّارَةُ فِي الْحَالِ.

Pertama: Wajib baginya kafarat saat itu juga.

وَالثَّانِي: لَا تَجِبُ فِي الْحَالِ وَلَا بِالْإِصَابَةِ بِهِ فِي ثَانِي حَالٍ، فَصَارَ بِهَذَا الْقَوْلِ قَادِرًا عَلَى الْإِصَابَةِ بَعْدَ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ مِنْ غَيْرِ الْتِزَامِ كَفَّارَةٍ، لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ إِنْ وَجَبَتْ فِي اللَّفْظِ دُونَ الْإِصَابَةِ، وَإِنْ لَمْ تَجَبْ فَلَا بِاللَّفْظِ وَلَا بِالْإِصَابَةِ، فَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِالْإِصَابَةِ فِي الْأَحْوَالِ كَفَّارَةٌ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا.

Kedua: Tidak wajib kafarat saat itu juga, dan tidak pula dengan jima‘ pada waktu berikutnya. Dengan pendapat ini, ia menjadi mampu melakukan jima‘ setelah masa penantian tanpa harus berkomitmen pada kafarat, karena jika kafarat itu wajib pada lafaz tanpa jima‘, dan jika tidak wajib maka tidak pada lafaz maupun pada jima‘. Maka, tidak ada kaitan antara jima‘ dalam segala keadaan dengan kafarat, oleh karena itu ia tidak dianggap sebagai mu‘li.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِنْ قَالَ: إِنْ أَصَبْتُكِ فَأَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ، فَإِنْ أَرَادَ بِالْحَرَامِ الطَّلَاقَ كَانَ مُولِيًا لِأَنَّهُ مَتَى أَصَابَهَا بَعْدَ الْوَقْفِ طُلِّقَتْ، وَإِنْ أَرَادَ بِهِ الْيَمِينَ كَانَ مُولِيًا مَتَى أَصَابَهَا لَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ يُوجِبُ الْكَفَّارَةَ مَعَ الْإِطْلَاقِ كَانَ مُولِيًا، وَإِنْ قِيلَ لَا يُوجِبُهَا لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، وَقَدْ مَضَى ذَلِكَ فِي أَوَّلِ الْكِتَابِ وَأَمَّا إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ، وَقَالَ: نَوَيْتُ أَنَّهَا حَرَامٌ عَلَيَّ إِنْ أَصَبْتُهَا فَنِيَّتُهُ قَدْ خَالَفَتْ ظَاهِرَ لَفْظِهِ، لِأَنَّ ظَاهِرَ قَوْلِهِ أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ يُوجِبُ تَعْجِيلَ الْكَفَّارَةِ فِي الْحَالِ، وَنِيَّتُهُ أَنَّهَا حَرَامٌ عَلَيْهِ إِنْ أَصَابَهَا يُوجِبُ تَأْخِيرَ الْكَفَّارَةِ إِلَى الْإِصَابَةِ، وَهَذَا مُحْتَمَلٌ يَدِينُ فِيهِ وَالْكَفَّارَةُ مِمَّا يَدِينُ فِيهَا لِأَنَّهَا مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى وَقَدِ اعْتَرَفَ بِالْإِيلَاءِ وَفِيهِ حَقٌّ لِلزَّوْجَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَصِيرَ بِذَلِكَ مُولِيًا، وَوَجَدْتُ أَصْحَابَنَا يُرْسِلُونَ الْقَوْلَ بِأَنَّهُ لَا يَكُونُ مُولِيًا وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ لِمَا عللنا والله أعلم بالصواب.

Jika ia berkata: “Jika aku menggaulimu, maka engkau haram atasku,” lalu jika ia bermaksud dengan “haram” itu talak, maka ia dianggap mu‘li, karena kapan saja ia menggaulinya setelah masa penantian, maka jatuhlah talak. Jika ia bermaksud sumpah, maka ia dianggap mu‘li, kapan saja ia menggaulinya maka wajib baginya kafarat. Jika ia tidak memiliki maksud tertentu, maka jika dikatakan bahwa ucapan tersebut mewajibkan kafarat secara mutlak, maka ia dianggap mu‘li. Jika dikatakan tidak mewajibkan kafarat, maka ia tidak dianggap mu‘li. Hal ini telah dijelaskan di awal kitab. Adapun jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau haram atasku,” lalu ia berkata, “Aku berniat bahwa engkau haram atasku jika aku menggaulimu,” maka niatnya bertentangan dengan zahir lafaznya, karena zahir ucapannya “Engkau haram atasku” mewajibkan segera kafarat saat itu juga, sedangkan niatnya bahwa engkau haram atasku jika aku menggaulimu mewajibkan penundaan kafarat hingga terjadi jima‘. Ini adalah perkara yang mungkin, dan ia diperlakukan sesuai keyakinannya, dan kafarat termasuk perkara yang diperlakukan sesuai keyakinan, karena ia termasuk hak Allah Ta‘ala. Sedangkan ila’ terdapat hak istri di dalamnya, maka wajib baginya menjadi mu‘li dengan sebab itu. Aku dapati para ulama kami menyatakan secara mutlak bahwa ia tidak dianggap mu‘li, dan ini tidak benar sebagaimana alasan yang telah kami sebutkan. Allah lebih mengetahui kebenaran.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ قَالَ إِنْ قَرَبْتُكِ فَغُلَامِي حُرٌ عَنْ ظِهَارِي إِنْ تَظَاهَرْتُ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا حَتَّى يظاهر) .

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Jika aku mendekatimu, maka budakku merdeka sebagai tebusan dari zihar-ku jika aku melakukan zihar,’ maka ia tidak dianggap sebagai mu‘li sampai ia benar-benar melakukan zihar.”

قال المارودي: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا قَالَ: إِنْ أَصَبْتُكِ فَعَبْدِي هَذَا حَرٌّ عَنْ ظِهَارِي إِنْ تَظَاهَرْتُ فَقَدْ عَلَّقَ عِتْقَ عَبْدِهِ بِشَرْطَيْنِ: بِإِصَابَتِهَا، وَبِظِهَارِهِ فَلَا يَعْتِقُ بِوُجُودِ أَحَدِ الشَّرْطَيْنِ حَتَّى يُوجَدَا مَعًا، فَإِنْ وَطِئَهَا وَلَمْ يَتَظَاهَرْ لَمْ يُعْتَقْ، وَإِنْ ظَاهَرَ وَوَطِئَ عَتِقَ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَكُنْ فِي الْحَالِ مُولِيًا لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى إِصَابَتِهَا وَلَا يَعْتِقُ عَلَيْهِ عَبْدُهُ كَمَا لَوْ قال لها: إن وطتئك وَدَخَلْتُ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا قَبْلَ دُخُولِ الدَّارِ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى وَطْئِهَا مِنْ غَيْرِ طَلَاقٍ وَإِذَا لَمْ يَكُنْ هَذَا مُولِيًا فِي الْحَالِ نُظِرَ، فَإِنْ قَدَّمَ الْوَطْءَ عَلَى الظِّهَارِ سَقَطَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ وَبَقِيَ حُكْمُ الْيَمِينِ، فَإِذَا ظَاهَرَ عَتَقَ عَلَيْهِ عَبْدُهُ وَإِنَّمَا سَقَطَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ لِتَقْدِيمِ الْإِصَابَةِ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى إِصَابَتِهَا بَعْدَ ذَلِكَ وَلَا يَعْتِقُ بِهِ عَبْدُهُ لِأَنَّ عِتْقَ عَبْدِهِ يَكُونُ بِظِهَارِهِ مِنْ بَعْدُ لَا بِإِصَابَتِهِ وَإِنْ قَدَّمَ الظِّهَارَ قَبْلَ الْإِصَابَةِ صَارَ حِينَئِذٍ مُولِيًا، لِأَنَّهُ لَمْ يَبْقَ مِنْ شَرْطِ الْعِتْقِ إِلَّا إِصَابَتُهَا فَصَارَتِ الْإِصَابَةُ مُوجِبَةً عِتْقَ عَبْدِهِ فَلِذَلِكَ صَارَ مُولِيًا.

Al-Mawardi berkata: “Ini benar, jika seseorang berkata: ‘Jika aku menggaulimu maka budakku ini merdeka karena zhihār-ku, jika aku melakukan zhihār.’ Maka ia telah menggantungkan pembebasan budaknya pada dua syarat: dengan menggaulinya, dan dengan zhihār. Maka budaknya tidak menjadi merdeka dengan terpenuhinya salah satu dari kedua syarat itu sampai keduanya terpenuhi bersamaan. Jika ia menggaulinya namun tidak melakukan zhihār, maka budaknya tidak merdeka. Jika ia melakukan zhihār dan menggaulinya, maka budaknya merdeka. Karena demikian, dalam keadaan ini ia tidak dianggap sebagai mu’li (orang yang melakukan ila’), karena ia mampu menggaulinya dan budaknya tidak menjadi merdeka atasnya, sebagaimana jika ia berkata kepada istrinya: ‘Jika aku menggaulimu dan masuk ke dalam rumah, maka engkau tertalak,’ maka ia tidak dianggap mu’li sebelum masuk ke dalam rumah, karena ia mampu menggaulinya tanpa terjadi talak. Jika dalam keadaan ini ia tidak dianggap mu’li, maka perlu diperhatikan: jika ia mendahulukan hubungan suami-istri sebelum zhihār, maka gugurlah hukum ila’ dan yang tersisa adalah hukum sumpah. Maka jika ia kemudian melakukan zhihār, budaknya menjadi merdeka atasnya. Hukum ila’ gugur karena ia mendahulukan hubungan suami-istri, sebab ia masih mampu menggaulinya setelah itu dan budaknya tidak menjadi merdeka karenanya, karena pembebasan budaknya terjadi dengan zhihār setelahnya, bukan dengan menggaulinya. Namun jika ia mendahulukan zhihār sebelum menggauli, maka saat itu ia menjadi mu’li, karena yang tersisa dari syarat pembebasan hanya menggaulinya, sehingga menggaulinya menjadi sebab pembebasan budaknya. Oleh karena itu, ia menjadi mu’li.

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

وَإِذَا تَقَرَّرَ أَنْ لَا يَكُونَ مُولِيًا إِذَا قَدَّمَ الْإِصَابَةَ وَيَكُونَ مُولِيًا إِذَا قَدَّمَ الظِّهَارَ، وَجَبَ أَنْ يُوقَفَ لِإِيلَائِهِ هَذَا، فَإِذَا انْقَضَتْ مُدَّةُ الْوَقْفِ وَطُولِبَ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ فَإِنْ طَلَّقَ كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ أَنْ يَعْتِقَ عَبْدَهُ عَنْ ظِهَارِهِ، وَبَيْنَ أَنْ يَسْتَبْقِيَهُ عَلَى مِلْكِهِ، فَإِنِ اسْتَبْقَاهُ عَلَى مِلْكِهِ كَانَ إِيلَاؤُهُ بَاقِيًا إِنْ رَاجَعَ بَعْدَ طَلَاقِهِ لِأَنَّهُ يَعْتِقُ عَلَيْهِ بِإِصَابَتِهِ، وَإِنْ أَعْتَقَ عَنْ ظِهَارِهِ أَجْزَأَهُ عِتْقُهُ عَنِ الظِّهَارِ، وَيَسْقُطُ إِيلَاؤُهُ وَإِنْ رَاجَعَ لِأَنَّهُ لَمْ يَبْقَ مَنْ يَعْتِقُهُ عَلَيْهِ بِالْوَطْءِ فَهَذَا حُكْمُهُ إِنْ طَلَّقَ فِي هَذَا الْإِيلَاءِ فَأَمَّا إِنْ فَاءَ بِالْوَطْءِ وَلَمْ يُطَلِّقْ فَقَدْ عَتَقَ عَلَيْهِ عَبْدُهُ وَسَقَطَ إِيلَاؤُهُ لِحِنْثِهِ وَلَمْ يُجْزِهِ الْعِتْقُ عَنْ ظُهَارِهِ لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ وإنما اخْتَلَفُوا فِي عِلَّتِهِ فَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: الْعِلَّةُ فِي عَدَمِ إِجْزَائِهِ أَنَّهُ قَدَّمَ عَقْدَ عِتْقِهِ عَلَى ظِهَارِهِ فَلَمْ يُجْزِهْ لِأَجْلِ التَّقْدِيمِ، وَقَالَ آخَرُونَ إِنَّهُ جَعَلَ عِتْقَهُ مُشْتَرَكًا بَيْنَ ظِهَارِهِ وَبَيْنَ حِنْثِهِ فِي إِيلَائِهِ فَلَمْ يُجْزِهْ لِأَجْلِ التَّشْرِيكِ.

Dan apabila telah dipastikan bahwa seseorang tidak dianggap mu’li jika ia mendahulukan hubungan suami-istri, dan dianggap mu’li jika ia mendahulukan zhihār, maka wajib untuk menangguhkan (menunggu) atas ila’-nya ini. Jika masa penangguhan telah habis dan ia diminta untuk kembali (rujuk) atau menceraikan, maka jika ia menceraikan, ia diberi pilihan antara membebaskan budaknya karena zhihār-nya, atau tetap mempertahankannya dalam kepemilikannya. Jika ia mempertahankannya dalam kepemilikannya, maka ila’-nya tetap berlaku jika ia rujuk setelah menceraikan, karena budaknya akan merdeka dengan menggaulinya. Jika ia membebaskan budaknya karena zhihār-nya, maka pembebasan itu cukup untuk zhihār, dan ila’-nya gugur, serta jika ia rujuk maka tidak ada lagi yang bisa dimerdekakan dengan hubungan suami-istri. Inilah hukumnya jika ia menceraikan dalam kasus ila’ ini. Adapun jika ia kembali (rujuk) dengan menggauli dan tidak menceraikan, maka budaknya telah merdeka atasnya dan ila’-nya gugur karena ia telah melanggar sumpah, dan pembebasan itu tidak cukup untuk zhihār. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama kami tentang hal ini, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang alasannya. Abu Ishaq al-Marwazi berkata: “Alasannya pembebasan itu tidak cukup adalah karena ia mendahulukan akad pembebasan atas zhihār, sehingga tidak cukup karena didahulukan.” Yang lain berkata: “Ia menjadikan pembebasan budaknya bersifat gabungan antara zhihār dan pelanggaran ila’, sehingga tidak cukup karena adanya penggabungan tersebut.”

(فَصْلٌ:)

(Fashl/Bab:)

فَأَمَّا إِذَا كَانَ مُظَاهِرًا فَقَالَ بَعْدَ ظِهَارِهِ إِنْ أَصَبْتُكِ فَعَبْدِي هَذَا حَرٌّ عَنْ ظِهَارِي كَانَ مُولِيًا؛ لِأَنَّهُ مَتَى أَصَابَهَا عَتَقَ عَلَيْهِ فَإِنْ قِيلَ فَالْعِتْقُ مُسْتَحَقٌّ عليه بالظهار فهو ليس ملتزم بِالْإِصَابَةِ مَا لَمْ يَكُنْ لَازِمًا فَلِمَ جَعَلْتُمُوهُ مُولِيًا، قُلْنَا: لِأَنَّ عِتْقَ عَبْدِهِ غَيْرُ مُتَعَيَّنٍ بِالظِّهَارِ وَهُوَ مُتَعَيَّنٌ بِالْإِصَابَةِ فَصَارَ بِالْإِصَابَةِ مُلْتَزِمًا مِنْ تَعْيِينِ الْعِتْقِ مَا لَمْ يَلْزَمْ فَلِذَلِكَ صَارَ مُولِيًا فَإِذَا مَضَتْ مُدَّةُ الْإِيلَاءِ كَانَ مخيراً وبين الْإِصَابَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، فَإِنْ طَلَّقَ كَانَ مُخَيَّرًا فِي عِتْقِ الظِّهَارِ بَيْنَ عِتْقِ ذَلِكَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ عِتْقِ غَيْرِهِ، فَإِنْ أَعْتَقَهُ عَنْ ظِهَارِهِ أَجْزَأَهُ وَسَقَطَ إِيلَاؤُهُ إِنْ رَاجَعَ بَعْدَ الطَّلَاقِ، وَإِنْ أَعْتَقَ غَيْرَهُ أَجْزَأَهُ وَكَانَ إِيلَاؤُهُ إِنْ رَاجَعَ بَعْدَ الطَّلَاقِ، وَإِنْ أَعْتَقَ غَيْرَهُ أَجْزَأَهُ وَكَانَ إِيلَاؤُهُ إِنْ رَاجَعَ بَعْدَ الطَّلَاقِ بَاقِيًا لِوُقُوعِ عِتْقِهِ بِالْإِصَابَةِ وَإِنْ فَاءَ بِالْوَطْءِ وَلَمْ يُطَلِّقْ عَتَقَ عَلَيْهِ عَبْدُهُ، وَهَلْ يُجْزِئُهُ عِتْقُهُ عَنْ ظِهَارِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مِن اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي التَّعْلِيلِ الْمُتَقَدِّمِ:

Adapun jika seseorang melakukan ẓihār, lalu setelah itu ia berkata, “Jika aku mencampurimu, maka budakku ini merdeka sebagai tebusan dari ẓihārku,” maka ia menjadi seorang mu‘allī (orang yang melakukan īlā’); karena kapan pun ia mencampurinya, maka budaknya menjadi merdeka. Jika dikatakan, “Bukankah kemerdekaan budak itu memang sudah menjadi kewajiban baginya karena ẓihār, sehingga ia tidak berkomitmen dengan percampuran selama itu belum wajib, lalu mengapa kalian menganggapnya sebagai mu‘allī?” Kami menjawab: Karena kemerdekaan budaknya belum ditentukan dengan ẓihār, namun menjadi pasti dengan percampuran, sehingga dengan percampuran itu ia berkomitmen untuk menentukan kemerdekaan yang sebelumnya belum wajib, maka karena itu ia menjadi mu‘allī. Jika masa īlā’ telah berlalu, maka ia diberi pilihan antara mencampuri atau menceraikan. Jika ia menceraikan, maka ia diberi pilihan dalam membebaskan budak sebagai tebusan ẓihār, antara membebaskan budak tersebut atau budak yang lain. Jika ia membebaskan budak itu sebagai tebusan ẓihār, maka itu sah dan status īlā’-nya gugur jika ia rujuk setelah talak. Jika ia membebaskan budak lain, maka itu juga sah dan status īlā’-nya tetap jika ia rujuk setelah talak. Jika ia membebaskan budak lain, maka itu juga sah dan status īlā’-nya tetap jika ia rujuk setelah talak, karena kemerdekaan budaknya terjadi dengan percampuran. Jika ia kembali (rujuk) dengan berhubungan badan dan tidak menceraikan, maka budaknya menjadi merdeka. Apakah kemerdekaan budak itu cukup sebagai tebusan ẓihār atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat di kalangan para sahabat kami, berdasarkan penjelasan sebelumnya:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ يُجْزِئُهُ تَعْلِيلًا بِأَنَّ عِتْقَهُ مَعْقُودٌ بَعْدَ الظِّهَارِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa itu cukup, dengan alasan bahwa kemerdekaan budak itu terjadi setelah ẓihār.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ تَعْلِيلًا بِأَنَّ عِتْقَهُ مُشْتَرَكٌ بَيْنَ ظِهَارِهِ وَبَيْنَ وَطْئِهِ [فِي إِيلَائِهِ] وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua, tidak cukup, dengan alasan bahwa kemerdekaan budak itu terkait antara ẓihār dan hubungan badan (dalam īlā’), dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ قَالَ إِنْ قَرَبْتُكِ فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتِقَ فُلَانًا عَنْ ظِهَارِي وَهُوَ مُتَظَاهِرٌ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَعْتِقَ فُلَانًا عَنْ ظِهَارِهِ وَعَلَيْهِ فِيهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ (قَالَ المزني) رحمه الله أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ أَنْ لَا يَكُونَ عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَقُولُ لَوْ قَالَ لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَصُومَ يَوْمَ الْخَمِيسِ عَنِ الْيَوْمِ الَذِي عَلَيَّ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ صَوْمُ يَوْمِ الْخَمِيسِ لَأَنَّهُ لَمْ يَنْذِرْ فِيهِ بِشَيْءٍ يَلْزَمُهُ وَإِنَّ صَوْمَ يَوْمٍ لَازِمٌ فَأَيُّ يَوْمٍ صَامَهُ أَجْزَأَ عَنْهُ وَلَمْ يَجْعَلْ لِلنَّذْرِ فِي ذَلِكَ مَعْنًى يَلْزَمُهُ بِهِ كَفَّارَةٌ فَتَفَهَّمْ) .

Al-Muzani berkata, Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Jika aku mendekatimu, maka wajib bagiku karena Allah untuk memerdekakan si Fulan sebagai tebusan ẓihārku,’ dan ia telah melakukan ẓihār, maka ia tidak menjadi mu‘allī dan tidak wajib baginya memerdekakan si Fulan sebagai tebusan ẓihārnya, tetapi ia wajib membayar kafārat yamin.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: “Yang lebih mirip dengan pendapatnya adalah tidak ada kafārat atasnya. Tidakkah engkau melihat bahwa ia berkata, ‘Jika ia berkata, “Karena Allah wajib bagiku untuk berpuasa pada hari Kamis sebagai ganti dari hari yang wajib bagiku,” maka tidak wajib baginya berpuasa pada hari Kamis, karena ia tidak bernazar pada sesuatu yang wajib baginya, dan puasa satu hari itu wajib, sehingga hari apa pun yang ia puasa sudah cukup baginya, dan ia tidak menjadikan nazar dalam hal itu sebagai sesuatu yang mewajibkan kafārat. Maka pahamilah hal ini.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ هَذَا كُلَّهُ يَتَفَرَّعُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ بِأَنَّ الْإِيلَاءَ يَنْعَقِدُ بِكُلِّ يَمِينٍ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَقُولَ وَقَدْ تَظَاهَرَ وَعَادَ: إِنْ أَصَبْتُكِ فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتِقَ عَبْدِي سَالِمًا عَنْ ظِهَارِي فَصَارَ نَاذِرًا بِعِتْقِ سَالِمٍ عَنْ ظِهَارِهِ، وَحَالِفًا بِعِتْقِ سَالِمٍ فِي إِيلَائِهِ، إِلَّا أَنَّهُ جَعَلَ تَعْيِينَ عِتْقِهِ فِي الْإِيلَاءِ مَضْمُونًا فِي ذمته، وجعل عِتْقَهُ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى نَاجِزًا، فَهَذَا فَرْقُ ما بينهما وإذا كان كذلك فإيلاؤه إن هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَبْنِيٌّ عَلَى وُجُوبِ تَعْيِينِ عِتْقِهِ بِهَذَا النَّذْرِ، فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ يَجِبُ بِهَذَا النَّذْرِ تَعْيِينُ عِتْقِهِ إِلَّا أَنَّهُ نذر لجاج خرج مخرج اليمين فكان فيه بَعْدَ اللُّزُومِ مُخَيَّرًا بَيْنَ عِتْقِهِ الْتِزَامًا لِحُكْمِ النَّذْرِ وَبَيْنَ الْكَفَّارَةِ الْتِزَامًا لِحُكْمِ الْيَمِينِ، فَصَارَ بِالتَّخْيِيرِ فِي الْتِزَامِ أَحَدِهِمَا مُلْتَزِمًا بِالْإِصَابَةِ مَا لَمْ يَكُنْ مُلْتَزِمًا قَبْلَهَا فَلِذَلِكَ صَارَ مُولِيًا.

Al-Mawardi berkata: Kami telah sebutkan bahwa semua ini bercabang dari pendapatnya dalam qaul jadid bahwa īlā’ dapat terjadi dengan setiap sumpah. Jika demikian, maka gambaran masalah ini adalah seseorang berkata setelah melakukan ẓihār dan kembali (rujuk): “Jika aku mencampurimu, maka wajib bagiku karena Allah untuk memerdekakan budakku Salim sebagai tebusan ẓihārku.” Maka ia menjadi bernazar untuk memerdekakan Salim sebagai tebusan ẓihārnya, dan bersumpah untuk memerdekakan Salim dalam īlā’-nya, hanya saja ia menjadikan penentuan kemerdekaan budak dalam īlā’ sebagai sesuatu yang dijamin dalam tanggungannya, dan menjadikan kemerdekaan budak dalam masalah pertama sebagai sesuatu yang langsung terjadi. Inilah perbedaan antara keduanya. Jika demikian, maka īlā’-nya dalam masalah ini dibangun di atas kewajiban penentuan kemerdekaan budak dengan nazar ini. Menurut mazhab Syafi‘i rahimahullah, wajib dengan nazar ini untuk menentukan kemerdekaan budaknya, hanya saja itu adalah nazar lujaj yang keluar dalam bentuk sumpah, sehingga setelah menjadi wajib, ia diberi pilihan antara memerdekakan budak sebagai konsekuensi nazar atau membayar kafārat sebagai konsekuensi sumpah. Maka dengan adanya pilihan dalam komitmen salah satunya, ia menjadi berkomitmen dengan percampuran yang sebelumnya tidak ia komitmenkan, maka karena itu ia menjadi mu‘allī.

وَقَالَ الْمُزَنِيُّ لَا يَلْزَمُهُ بِهَذَا النَّذْرِ تَعْيِينُ الْعِتْقِ وَلَا يَكُونُ بِتَعْيِينِهِ مُولِيًا احْتِجَاجًا بِالصَّوْمِ إِذَا كَانَ عَلَيْهِ صَوْمُ يَوْمٍ مِنْ كَفَّارَةٍ أَوْ قَضَاءٍ، فَنَذَرَ أَنْ يَصُومَ هَذَا الْيَوْمَ الَّذِي عَلَيْهِ يَوْمَ الْخَمِيسِ لَمْ يَتَعَيَّنْ صَوْمُهُ فِيهِ، وَكَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ صَوْمِهِ أَوْ صَوْمِ غَيْرِهِ كَذَلِكَ الْعِتْقُ إِذَا وَجَبَ عَلَيْهِ فِي الظِّهَارِ فَعَيَّنَهُ بِالنَّذْرِ فِي عَبْدٍ بِعَيْنِهِ لَمْ يَتَعَيَّنْ فِيهِ، وَكَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ عِتْقِ ذَلِكَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ عِتْقِ غَيْرِهِ وَاحْتُجَّ عَلَى أَنَّ النَّذْرَ لَا يُوجِبُ التَّعْيِينَ فِي الْعِتْقِ وَالصَّوْمِ بِأَنَّ الْوَاجِبَ بِالنَّذْرِ مَا لَمْ يَكُنْ وَاجِبًا بِغَيْرِ النَّذْرِ وَالْعِتْقِ وَالصَّوْمِ قَدْ وَجَبَ بِغَيْرِ النَّذْرِ، وَلَيْسَ فِي التَّعْيِينِ زِيَادَةٌ فِي الْوُجُوبِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَتَعَيَّنَا وَلَمْ يَصِرْ مُولِيًا بِتَعْيِنِ الْعِتْقِ كَمَا لَمْ يَصِرْ مُولِيًا بِتَعْيِنِ الصَّوْمِ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الْمُزَنِيُّ خَطَأٌ، أَمَّا تَعْيِينُ الْعِتْقِ الْوَاجِبِ بِالنَّذْرِ فَوَاجِبٌ لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَسَائِرِ أَصْحَابِهِ حَتَّى لَوْ قَالَ وَعَلَيْهِ عِتْقُ رَقَبَةٍ وَاجِبَةٍ إِنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضِي فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتِقَ عَبْدِيَ هَذَا عَنِ الرَّقَبَةِ الَّتِي عَلَيَّ فَشَفَى اللَّهُ مَرِيضَهُ تَعَيَّنَ عِتْقُ الرَّقَبَةِ فِي ذَلِكَ الْعَبْدِ بِعَيْنِهِ وَيَكُونُ أَصْلُ الْعِتْقِ مُسْتَحَقًّا بِالْوُجُوبِ الْمُتَقَدِّمِ، وَتَعْيِنُهُ مستحق بالنذر الحادث مستوي فِي تَعْيِينِ الْعِتْقِ حُكْمُ الِابْتِدَاءِ وَالِانْتِهَاءِ، وَأَمَّا تَعْيِينُ الصَّوْمِ الْوَاجِبِ بِالنَّذْرِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Al-Muzani berkata: Dengan nadzar ini, tidak wajib baginya untuk menentukan (menetapkan) pembebasan budak secara spesifik, dan ia juga tidak menjadi muwalla (orang yang melakukan ila’) dengan penetapan tersebut, dengan alasan qiyas kepada puasa. Jika seseorang memiliki kewajiban puasa satu hari sebagai kafarat atau qadha, lalu ia bernadzar untuk berpuasa pada hari tertentu yang menjadi kewajibannya, misalnya hari Kamis, maka puasa tersebut tidak menjadi wajib secara khusus pada hari itu, dan ia tetap boleh memilih antara berpuasa pada hari itu atau hari lainnya. Demikian pula halnya dengan pembebasan budak; jika ia wajib membebaskan budak karena zihar, lalu ia menentukannya dengan nadzar pada budak tertentu, maka tidak menjadi wajib pada budak itu saja, dan ia tetap memiliki pilihan antara membebaskan budak tersebut atau budak lainnya. Dalil bahwa nadzar tidak mewajibkan penetapan dalam pembebasan budak dan puasa adalah bahwa yang wajib karena nadzar adalah sesuatu yang sebelumnya tidak wajib tanpa nadzar, sedangkan pembebasan budak dan puasa sudah wajib tanpa nadzar. Penetapan (ta’yin) tidak menambah kewajiban, sehingga keduanya tidak menjadi wajib secara khusus, dan ia tidak menjadi muwalla dengan penetapan pembebasan budak, sebagaimana ia juga tidak menjadi muwalla dengan penetapan puasa. Namun, pendapat yang dikemukakan oleh al-Muzani ini adalah keliru. Adapun penetapan pembebasan budak yang wajib karena nadzar, maka itu adalah wajib, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi’i dan seluruh pengikutnya. Sehingga, jika seseorang berkata, “Aku wajib membebaskan satu budak jika Allah menyembuhkan orang sakitku, maka demi Allah aku akan membebaskan budakku ini sebagai pengganti budak yang menjadi kewajibanku,” lalu Allah menyembuhkan orang sakitnya, maka pembebasan budak menjadi wajib pada budak yang telah ditentukan itu. Kewajiban asal pembebasan budak telah ditetapkan oleh kewajiban sebelumnya, dan penetapannya menjadi wajib karena nadzar yang baru. Hukum penetapan pembebasan budak sama saja baik pada permulaan maupun pada akhirnya. Adapun penetapan puasa wajib karena nadzar, para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: حَكَاهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ يَتَعَيَّنُ بِالنَّذْرِ كَالْعِتْقِ حَتَّى لَوْ قَالَ عَلَيْهِ صَوْمُ يَوْمٍ وَاجِبٍ إِنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضِي فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَصُومَ الْيَوْمَ الَّذِي عَلَيَّ فِي يَوْمِ الْخَمِيسِ، فَشَفَى اللَّهُ مَرِيضَهُ لَزِمَهُ صَوْمُهُ فِيهِ، فَيَسْتَوِي تَعْيِينُ الصَّوْمِ فِي الِابْتِدَاءِ وَالِانْتِهَاءِ كَالْعِتْقِ، وَإِنَّمَا يَتَعَيَّنَانِ بِالنَّذْرِ فِي الِانْتِهَاءِ، كَمَا يَتَعَيَّنَانِ بِالنَّذْرِ فِي الِابْتِدَاءِ لِأَنَّ تَعْيِينَ الْحُقُوقِ أَشَقُّ وَأَثْقَلُ مِنْ إِرْسَالِهَا فَصَارَ مُلْتَزِمًا بِالتَّعْيِينِ زِيَادَةَ مَشَقَّةٍ وَثِقَلٍ لَمْ يَكُنْ فَلِذَلِكَ وَجَبَ بِالنَّذْرِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مُولِيًا بِتَعْيِينِ الصَّوْمِ، كَمَا يَكُونُ مُولِيًا بِتَعْيِينِ الْعِتْقِ.

Salah satunya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hurairah, adalah bahwa puasa menjadi wajib secara khusus karena nadzar, seperti halnya pembebasan budak. Sehingga, jika seseorang memiliki kewajiban puasa satu hari, lalu ia berkata, “Jika Allah menyembuhkan orang sakitku, maka demi Allah aku akan berpuasa pada hari Kamis yang menjadi kewajibanku,” lalu Allah menyembuhkan orang sakitnya, maka wajib baginya berpuasa pada hari itu. Maka, penetapan puasa pada permulaan dan akhirnya adalah sama seperti penetapan pembebasan budak. Keduanya menjadi wajib secara khusus karena nadzar pada akhirnya, sebagaimana keduanya menjadi wajib secara khusus karena nadzar pada permulaannya. Sebab, penetapan hak lebih berat dan lebih sulit daripada membiarkannya secara umum, sehingga ia telah berkomitmen dengan penetapan tersebut yang menambah kesulitan dan beban yang sebelumnya tidak ada, maka karena itu menjadi wajib karena nadzar. Dengan demikian, ia menjadi muwalla dengan penetapan puasa, sebagaimana ia menjadi muwalla dengan penetapan pembebasan budak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي (الْأُمِّ) : أَنَّ الصَّوْمَ الْوَاجِبَ لَا يَتَعَيَّنُ بِالنَّذْرِ، وَالْعِتْقَ الْوَاجِبَ يَتَعَيَّنُ بِالنَّذْرِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua, yang dianut oleh mayoritas ulama kami dan telah dinyatakan oleh asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm, adalah bahwa puasa wajib tidak menjadi wajib secara khusus karena nadzar, sedangkan pembebasan budak wajib menjadi wajib secara khusus karena nadzar. Perbedaan antara keduanya ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ صَوْمَ الْأَيَّامِ يَتَسَاوَى فَصَوْمُ يَوْمِ السَّبْتِ كَيَوْمِ الْأَحَدِ لَيْسَ بَيْنَهُمَا زِيَادَةٌ وَلَا تُفَاضُلٌ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَتَعَيَّنْ مَا وَجَبَ مِنْهُ بِالنَّذْرِ لِتَسَاوِيهِ وَعِتْقَ الرِّقَابَ يَتَفَاضَلُ فَيَكُونُ رقبة قيمتها مائة دينار، ورقة قِيمَتُهَا دِينَارٌ وَكِلَاهُمَا يُجْزِيَانِ فِي الْكَفَّارَةِ، فَلِذَلِكَ تَعَيَّنَ مَا وَجَبَ مِنْهُ بِالنَّذْرُ لِتَفَاضُلِهِ.

Pertama, bahwa puasa pada hari-hari itu sama saja; puasa hari Sabtu sama dengan hari Ahad, tidak ada kelebihan atau keutamaan di antara keduanya. Oleh karena itu, apa yang wajib darinya karena nadzar tidak menjadi khusus karena kesamaannya. Sedangkan pembebasan budak berbeda-beda; ada budak yang nilainya seratus dinar, ada yang nilainya satu dinar, dan keduanya sah untuk kafarat. Oleh karena itu, apa yang wajib darinya karena nadzar menjadi khusus karena adanya perbedaan nilai.

وَالْفَرْقُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ الصَّوْمَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ الْمَحْضَةِ الَّتِي لَا تَتَعَلَّقُ بِحَقِّ آدَمِيٍّ، فَاسْتَوَى فِي حَقِّ اللَّهِ جَمِيعُ أَيَّامِ اللَّهِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ نَذَرَ صَوْمَ يَوْمِ الْخَمِيسِ فَفَاتَهُ صَوْمُهُ بِعُذْرٍ أَوْ بِغَيْرِ عُذْرٍ قَضَاهُ فِي غَيْرِهِ، وَلَوْ عَجَّلَهُ قَبْلَ الْخَمِيسِ لَمْ يُجْزِهْ لِتَقْدِيمِهِ عَلَى وُجُوبِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ تَعَيُّنُ الْعِتْقِ لِأَنَّ فِيهِ حَقَّ الْآدَمِيِّ لَا يَجُوزُ إِسْقَاطُهُ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ نَذَرَ عِتْقَ عَبْدٍ بِعَيْنِهِ فَمَاتَ لَمْ يَلْزَمْهُ عِتْقُ غَيْرِهِ ولو نذر عتقه بعد ثلاثة أيام جازم تَعْجِيلُ عِتْقِهِ، فَلِهَذَيْنِ الْفَرْقَيْنِ مَا تَعَيَّنَ الْعِتْقُ الْوَاجِبُ بِالنَّذْرِ، وَلَمْ يَتَعَيَّنِ الصَّوْمُ الْوَاجِبُ بِالنَّذْرِ، واستوى تعين الْعِتْقِ فِي الِابْتِدَاءِ وَالِانْتِهَاءِ، وَافْتَرَقَ تَعْيِينُ الصَّوْمِ فِي الِابْتِدَاءِ وَالِانْتِهَاءِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مُولِيًا بِتَعْيِينِ الْعِتْقِ الْوَاجِبِ وَلَا يَكُونُ مُولِيًا بِتَعْيِينِ الصَّوْمِ الْوَاجِبِ، فَأَمَّا مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَكُونُ مُولِيًا بِتَعْيِينِ الْعِتْقِ الْوَاجِبِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَقَدْ كَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُولُ: إِنَّمَا نَقَلَ ذَلِكَ عَلَى مَذْهَبِهِ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ لَا يَكُونُ مُولِيًا إِلَّا فِي الْيَمِينِ بِاللَّهِ تَعَالَى، فَأَمَّا مَذْهَبُهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ يَكُونُ مُولِيًا بِكُلِّ يَمِينٍ، فَإِنَّهُ يَكُونُ مُولِيًا، فَلَمْ يَكُنْ مِنَ الْمُزَنِيِّ خَطَأٌ فِي النَّقْلِ، وَإِنْ كَانَ مُخَالِفًا لِلشَّافِعِيِّ فِي الْمَذْهَبِ، وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ أَخْطَأَ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي النَّقْلِ، كَمَا خَالَفَهُ فِي الْمَذْهَبِ، لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ نَصَّ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَالْإِمْلَاءِ، وَهُمَا مِنَ الْجَدِيدِ لَا مِنَ الْقَدِيمِ، وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَذْهَبُهُ فِي الْجَدِيدِ بِأَنَّهُ يَكُونُ مُولِيًا بِكُلِّ يَمِينٍ تَلْزَمُ سَوَاءٌ كَانَتْ بِاللَّهِ تَعَالَى أَوْ بِغَيْرِهِ مِنْ عِتْقٍ أَوْ طَلَاقٍ أَوْ غَيْرِهِ.

Perbedaan kedua, dan ini yang lebih sahih, adalah bahwa puasa termasuk hak Allah semata yang murni, yang tidak berkaitan dengan hak manusia. Maka, dalam hak Allah, semua hari adalah sama. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang bernazar puasa pada hari Kamis lalu ia tidak melaksanakannya karena uzur atau tanpa uzur, maka ia menggantinya di hari lain. Dan jika ia mendahulukannya sebelum hari Kamis, maka itu tidak sah baginya karena ia melakukannya sebelum kewajibannya tiba. Tidak demikian halnya dengan penetapan pembebasan budak, karena di dalamnya terdapat hak manusia yang tidak boleh dihapuskan. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang bernazar membebaskan budak tertentu lalu budak itu meninggal, maka ia tidak wajib membebaskan budak lain. Dan jika ia bernazar membebaskannya setelah tiga hari, maka boleh baginya mempercepat pembebasannya. Karena dua perbedaan inilah, pembebasan budak yang wajib karena nazar menjadi tertentu, sedangkan puasa yang wajib karena nazar tidak menjadi tertentu. Penetapan pembebasan budak sama saja pada permulaan dan akhir, sedangkan penetapan puasa berbeda pada permulaan dan akhir. Oleh karena itu, seseorang dianggap melakukan ila’ (sumpah untuk tidak menggauli istri) dengan penetapan pembebasan budak yang wajib, namun tidak dianggap melakukan ila’ dengan penetapan puasa yang wajib. Adapun apa yang dinukil oleh al-Muzani dari asy-Syafi‘i bahwa tidak dianggap melakukan ila’ dengan penetapan pembebasan budak yang wajib dalam masalah ini, dan dahulu Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: “Ia hanya menukil itu menurut mazhabnya yang lama, bahwa tidak dianggap melakukan ila’ kecuali dengan sumpah atas nama Allah Ta‘ala.” Adapun mazhabnya yang baru, maka dianggap melakukan ila’ dengan setiap sumpah, maka itu dianggap sebagai ila’. Maka, tidak ada kesalahan dari al-Muzani dalam menukil, meskipun ia berbeda dengan asy-Syafi‘i dalam mazhab, dan mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa ia keliru dalam menukil dari asy-Syafi‘i, sebagaimana ia berbeda dengannya dalam mazhab, karena asy-Syafi‘i telah menegaskan masalah ini dalam kitab al-Umm dan al-Imla’, keduanya termasuk mazhab baru, bukan yang lama. Dan tidak ada perbedaan dalam mazhab barunya bahwa dianggap melakukan ila’ dengan setiap sumpah yang mengikat, baik dengan nama Allah Ta‘ala maupun dengan selainnya, seperti pembebasan budak, talak, atau selainnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ إِيلَائِهِ بِتَعْيِينِ الْعِتْقِ الْوَاجِبِ عَنْ ظِهَارِهِ، وَجَبَ أَنْ يُوقَفَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ، فَإِذَا طُولِبَ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ فَإِنْ فَاءَ وَوَطِئَ فَقَدْ لَزِمَهُ النَّذْرُ، وَالنَّذْرُ ضَرْبَانِ: نَذْرُ طَاعَةٍ يُقْصَدُ بِهِ الْقُرْبَة، وَنَذْرُ لَجَاجٍ خَرَجَ مَخْرَجَ الْيَمِينِ، فَأَمَّا نذر الطاعة المقصود به القربى فَكَقَوْلِهِ إِنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضِي فَلِلَّهِ عَلَيَّ عِتْقُ عَبْدِي هَذَا فَإِذَا شَفَى اللَّهُ مَرِيضَهُ لَزِمَهُ عِتْقُ عَبْدِهِ، وَلَمْ يَكُنْ مُخَيَّرًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ غَيْرِهِ، وَأَمَّا نَذْرُ اللَّجَاجِ الْخَارِجُ مَخْرَجَ الْأَيْمَانِ فَهُوَ مَا قَصَدَ بِهِ مَنْعَ نَفْسِهِ مِنْ شَيْءٍ أَوْ إِلْزَامَ نَفْسِهِ فِعْلَ شَيْءٍ كَقَوْلِهِ: إِنْ كَلَّمْتُ زَيْدًا فَلِلَّهِ عَلَيَّ عِتْقُ عَبْدِي هَذَا أَوْ إِنْ لَمْ أَدْخُلِ الدَّارَ فَلِلَّهِ عَلَيَّ عِتْقُ رَقَبَةٍ، فَإِذَا كَلَّمَ زَيْدًا أَوْ لَمْ يَدْخُلِ الدَّارَ وَجَبَ النَّذْرُ وَكَانَ مُخَيَّرًا فِيهِ بَيْنَ الْتِزَامِ مَا نَذَرَهُ مِنَ الْعِتْقِ اعْتِبَارًا بِالنُّذُورِ وَبَيْنَ كَفَّارَةِ يَمِينٍ اعْتِبَارًا بِالْأَيْمَانِ، وَنَذْرُهُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ نُذُرُ لَجَاجٍ خَرَجَ مَخْرَجَ الْيَمِينِ فَكَانَ فِيهِ مُخَيَّرًا بَيْنَ عِتْقِ عَبْدِهِ الَّذِي عَيَّنَهُ وَبَيْنَ الْعُدُولِ عَنْهُ إِلَى كَفَّارَةِ يَمِينٍ، فَإِنْ عَدَلَ إِلَى الْكَفَّارَةِ سقط بها حكم إيلاؤه وكان مخيراً في العتق عن ظاهره بَيْنَ عِتْقِ ذَلِكَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ عِتْقِ غَيْرِهِ كَحَالِهِ قَبْلَ نَذْرِهِ؛ لِأَنَّ النَّذْرَ قَدْ خَرَجَ مِنْهُ بِالتَّكْفِيرِ فَإِنْ أَعْتَقَ ذَلِكَ الْعَبْدَ عَنْ ظِهَارِهِ أَجْزَأَهُ وَجْهًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ عِتْقٌ اخْتَصَّ بظهاره وَحْدَهُ وَإِنْ لَمْ يُكَفِّرْ فِي إِيلَائِهِ وَأَعْتَقَ ذَلِكَ الْعَبْدَ فِيهِ عَنْ ظِهَارِهِ خَرَجَ بِعِتْقِهِ عَنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ، وَفِي إِجْزَاءِ عِتْقِهِ عَنْ ظِهَارِهِ وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى:

Apabila telah dipastikan sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang sumpah ilā’ dengan penetapan pembebasan budak yang wajib karena zhihār-nya, maka wajib ia ditahan selama empat bulan. Jika kemudian ia diminta untuk kembali (rujuk) atau menceraikan, lalu ia kembali dan menggauli istrinya, maka wajib baginya menunaikan nadzar. Nadzar itu ada dua macam: nadzar ketaatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan nadzar lajāj (nadzar karena dorongan keras) yang statusnya seperti sumpah. Adapun nadzar ketaatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, misalnya seseorang berkata: “Jika Allah menyembuhkan orang sakitku, maka demi Allah atas diriku untuk memerdekakan budakku ini.” Maka apabila Allah menyembuhkan orang sakitnya, wajib baginya memerdekakan budaknya, dan ia tidak boleh memilih antara budak itu dengan yang lain. Adapun nadzar lajāj yang statusnya seperti sumpah adalah nadzar yang dimaksudkan untuk mencegah dirinya dari sesuatu atau mewajibkan dirinya melakukan sesuatu, seperti ucapannya: “Jika aku berbicara dengan Zaid, maka demi Allah atas diriku untuk memerdekakan budakku ini,” atau “Jika aku tidak masuk ke rumah, maka demi Allah atas diriku untuk memerdekakan seorang budak.” Maka apabila ia berbicara dengan Zaid atau tidak masuk ke rumah, nadzar itu menjadi wajib, dan ia diberi pilihan antara menunaikan apa yang ia nadzarkan berupa memerdekakan budak—dengan pertimbangan hukum nadzar—atau membayar kafārat sumpah—dengan pertimbangan hukum sumpah. Nadzarnya dalam konteks ini adalah nadzar lajāj yang statusnya seperti sumpah, sehingga ia diberi pilihan antara memerdekakan budak yang telah ia tentukan atau beralih kepada kafārat sumpah. Jika ia memilih kafārat, maka gugurlah hukum ilā’-nya, dan ia kembali diberi pilihan dalam memerdekakan budak karena zhihār antara memerdekakan budak tersebut atau budak lainnya sebagaimana keadaannya sebelum nadzar; karena nadzar telah gugur darinya dengan pembayaran kafārat. Jika ia memerdekakan budak itu untuk zhihār-nya, maka itu sudah mencukupi menurut satu pendapat, karena itu adalah pembebasan budak yang khusus untuk zhihār-nya saja. Namun jika ia tidak membayar kafārat dalam ilā’-nya dan memerdekakan budak itu untuk zhihār-nya, maka dengan pembebasan budak itu gugurlah hukum ilā’, dan dalam hal mencukupinya pembebasan budak itu untuk zhihār-nya terdapat dua pendapat sebagaimana telah lalu:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قول أبي إسحق المروزي يجزئه عن الظهار لتعين عِتْقِهِ بَعْدَ وُجُودِ الظِّهَارِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa itu mencukupi untuk zhihār karena pembebasan budak itu telah ditetapkan setelah terjadinya zhihār.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجْزِيهِ ذَلِكَ عَنْ ظِهَارِهِ، لِأَنَّهُ عِتْقٌ مُشْتَرَكٌ بَيْنَ ظِهَارِهِ وَبَيْنَ إِيلَائِهِ، فَهَذَا حُكْمُ إِيلَائِهِ إِنْ فَاءَ فِيهِ، فَأَمَّا إِنْ طَلَّقَ فَقَدْ خَرَجَ بِالطَّلَاقِ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ وَكَانَ مُخَيَّرًا فِي الظِّهَارِ بَيْنَ عِتْقِ ذَلِكَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ عِتْقِ غَيْرِهِ، لِأَنَّ النَّذْرَ لَمْ يَلْزَمْ لِعَدَمِ الْوَطْءِ فَكَانَ فِي الظِّهَارِ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ فِي عِتْقِ أَيِّ عَبْدٍ شَاءَ، فَإِنْ أَعْتَقَ ذَلِكَ الْعَبْدَ أَجْزَأَهُ وَجْهًا وَاحِدًا كَمَا يَجْزِيهِ عِتْقُ غَيْرِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ بِعِتْقِهِ مِنْ حَقِّ الْإِيلَاءِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ رَاجَعَ فِي الْعِدَّةِ بَعْدَ طَلَاقِهِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَتْ رَجْعَتُهُ قَبْلَ الْعِتْقِ عَنْ ظِهَارِهِ عَادَ الْإِيلَاءُ، وَاسْتُؤْنِفَ لَهُ الْوَقْفُ كَالِابْتِدَاءِ، وَإِنْ كَانَتْ رَجْعَتُهُ بَعْدَ الْعِتْقِ عَنْ ظِهَارِهِ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَعْتَقَ ذَلِكَ الْعَبْدَ أَوْ أَعْتَقَ غَيْرَهُ فَإِنْ كَانَ قَدْ أَعْتَقَ غَيْرَهُ عَادَ الْإِيلَاءُ بَعْدَ رَجْعَتِهِ لِبَقَاءِ الْعَبْدِ الَّذِي يَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ عِتْقِهِ وَكَفَّارَتِهِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ أَعْتَقَ ذَلِكَ الْعَبْدَ فَفِي عَوْدِ الْإِيلَاءِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: itu tidak mencukupi untuk zhihār, karena pembebasan budak itu bersifat gabungan antara zhihār dan ilā’. Inilah hukum ilā’ jika ia kembali (rujuk) di dalamnya. Adapun jika ia menceraikan, maka dengan perceraian itu gugurlah hukum ilā’, dan ia diberi pilihan dalam zhihār antara memerdekakan budak tersebut atau budak lainnya, karena nadzar tidak menjadi wajib akibat tidak terjadi hubungan suami istri, sehingga dalam zhihār kembali kepada hukum asal, yaitu boleh memerdekakan budak mana saja yang ia kehendaki. Jika ia memerdekakan budak itu, maka itu sudah mencukupi menurut satu pendapat, sebagaimana juga memerdekakan budak lain mencukupi; karena dengan pembebasan budak itu tidak gugur hak ilā’. Berdasarkan hal ini, jika ia rujuk dalam masa iddah setelah menceraikan, maka perlu dilihat: jika rujuknya sebelum pembebasan budak untuk zhihār, maka ilā’ kembali dan masa penahanan dimulai kembali seperti semula. Jika rujuknya setelah pembebasan budak untuk zhihār, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia telah memerdekakan budak itu atau budak lain. Jika ia memerdekakan budak lain, maka ilā’ kembali setelah rujuknya karena budak yang menjadi pilihan antara memerdekakan atau membayar kafārat masih ada. Jika ia telah memerdekakan budak itu, maka dalam kembalinya ilā’ terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَعُودُ وَهُوَ الْأَظْهَرُ لِفَوَاتِ الْعَبْدِ الْمَنْذُورِ فِي الْإِيلَاءِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ قَدْ بَاعَ الْعَبْدَ فِي مُدَّةِ الْوَقْفِ سَقَطَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ.

Salah satunya: ilā’ tidak kembali, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat, karena budak yang dinadzarkan dalam ilā’ telah tiada. Berdasarkan hal ini, jika ia telah menjual budak itu dalam masa penahanan, maka gugurlah hukum ilā’.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ حُكْمَ الْإِيلَاءِ يَعُودُ لِأَنَّ حُكْمَ نَذْرِهِ يَتَعَلَّقُ بِالْكَفَّارَةِ كَتَعَلُّقِهِ بِعِتْقِهِ، وَالْكَفَّارَةُ مَقْدُورٌ عَلَيْهَا فَقَامَتْ مَقَامَ وُجُودِهِ ويكون وجوده موجباً للتخيير بَيْنَ عِتْقِهِ وَبَيْنَ التَّكْفِيرِ وَفَوَاتُ عِتْقِهِ مُسْقِطًا لِلتَّخْيِيرِ مُوجِبًا لِلتَّكْفِيرِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ بَاعَ الْعَبْدَ فِي مُدَّةِ الْوَقْفِ أَوْ مَاتَ لَمْ يَسْقُطِ الْإِيلَاءُ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Bahwa hukum ila’ kembali berlaku karena hukum nadzarnya berkaitan dengan kewajiban membayar kafarat sebagaimana berkaitannya dengan pembebasan budak, dan kafarat itu memungkinkan untuk dilakukan sehingga dapat menggantikan keberadaan pembebasan budak. Maka, keberadaan budak menyebabkan adanya pilihan antara membebaskannya atau membayar kafarat, sedangkan hilangnya budak menggugurkan pilihan tersebut dan mewajibkan kafarat. Berdasarkan hal ini, jika seseorang menjual budaknya dalam masa penangguhan atau budak itu meninggal, maka ila’ tidak gugur. Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ آلَى ثَمَّ قَالَ لِأُخْرَى قَدْ أَشْرَكْتُكِ مَعْهَا فِي الْإِيلَاءِ لَمْ تَكُنْ شَرِيكَتَهَا لِأَنَّ الْيَمِينَ لَزِمَتْهُ لِلْأُولَى وَالْيَمِينُ لَا يُشْتَرَكُ فِيهَا) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang melakukan ila’ kemudian berkata kepada istri yang lain, ‘Aku telah menyertakanmu bersamanya dalam ila’,’ maka ia tidak menjadi sekutunya, karena sumpah itu telah wajib atas istri pertama dan sumpah tidak dapat diperserikatkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْإِيلَاءَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa ila’ itu ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَعْقُودًا عَلَى الْيَمِينِ بِاللَّهِ تَعَالَى.

Pertama: Ila’ yang diikrarkan dengan sumpah atas nama Allah Ta‘ala.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَعْقُودًا بِكُلِّ يَمِينٍ لَازِمَةٍ، فَإِنْ عَقْدَهَا بِاللَّهِ تَعَالَى فَقَالَ لِإِحْدَى زَوْجَتَيْهِ، وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ ثُمَّ قَالَ لِلْأُخْرَى وَأَنْتِ شَرِيكَتُهَا يَعْنِي فِي الْإِيلَاءِ كَانَ مُولِيًا مِنَ الْأُولَى، وَلَمْ يَكُنْ مُولِيًا مِنَ الثَّانِيَةِ، وَلَوْ طَلَّقَ إِحْدَاهُمَا وَقَالَ لِلْأُخْرَى وَأَنْتِ شَرِيكَتُهَا يَعْنِي فِي الطَّلَاقِ كَانَ مُطَلِّقًا لَهُمَا وَهَكَذَا لَوْ ظَاهَرَ مِنْ إِحْدَاهُمَا ثُمَّ قَالَ لِلْأُخْرَى وَأَنْتِ شَرِيكَتُهَا يَعْنِي فِي الظِّهَارِ كَانَ مُظَاهِرًا مِنْهُمَا فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ لَمْ تَكُنِ الثَّانِيَةُ شريكة الأولى فِي الْإِيلَاءِ إِذَا أَرَادَهُ وَكَانَتْ شَرِيكَةً لَهَا فِي الطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ إِذَا أَرَادَهُ، قِيلَ: لِأَنَّ الْإِيلَاءَ يَمِينٌ بِاللَّهِ تَعَالَى لَا تَنْعَقِدُ بِالْكِنَايَةِ وَالطَّلَاقُ وَالظِّهَارُ يَقَعَانِ وَيَنْعَقِدَانِ بِالْكِنَايَةِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ إِنْ حَلَفَ زَيْدٌ بِاللَّهِ تَعَالَى فَأَنَا حَالِفٌ بِهِ، لَمْ يَصِرْ حَالِفًا إِذَا حَلَفَ زَيْدٌ وَلَوْ قَالَ إِنْ طَلَّقَ زَيْدٌ فَامْرَأَتِي طَالِقٌ لَزِمَهُ الطَّلَاقُ بِطَلَاقِ زَيْدٍ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي دُخُولِ الْكِنَايَةِ فِي الطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ، وَانْتِفَاءِ الْكِنَايَةِ عَنِ الْيَمِينِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Ila’ yang diikrarkan dengan setiap sumpah yang wajib. Jika ia mengikrarkannya dengan nama Allah Ta‘ala, lalu berkata kepada salah satu dari dua istrinya, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu,” kemudian berkata kepada istri yang lain, “Dan engkau adalah sekutunya,” maksudnya dalam ila’, maka ia menjadi mu-li dari istri pertama dan tidak menjadi mu-li dari istri kedua. Jika ia menceraikan salah satu dari keduanya lalu berkata kepada yang lain, “Dan engkau adalah sekutunya,” maksudnya dalam talak, maka ia telah menceraikan keduanya. Demikian pula jika ia melakukan zihar kepada salah satu dari keduanya lalu berkata kepada yang lain, “Dan engkau adalah sekutunya,” maksudnya dalam zihar, maka ia telah melakukan zihar kepada keduanya. Jika ditanyakan, “Mengapa istri kedua tidak menjadi sekutu istri pertama dalam ila’ jika ia menghendakinya, sedangkan ia menjadi sekutu dalam talak dan zihar jika ia menghendakinya?” Maka dijawab: Karena ila’ adalah sumpah dengan nama Allah Ta‘ala yang tidak sah dengan kinayah (sindiran), sedangkan talak dan zihar dapat terjadi dan sah dengan kinayah. Tidakkah engkau lihat, jika seseorang berkata, ‘Jika Zaid bersumpah dengan nama Allah Ta‘ala, maka aku pun bersumpah dengannya,’ maka ia tidak menjadi orang yang bersumpah jika Zaid bersumpah. Namun, jika ia berkata, ‘Jika Zaid menceraikan, maka istriku juga tertalak,’ maka talak menjadi wajib baginya dengan talaknya Zaid. Perbedaannya adalah pada masuknya kinayah dalam talak dan zihar, dan tidak masuknya kinayah dalam sumpah dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْيَمِينَ بِاللَّهِ تَعَالَى حُرْمَةُ التَّعْظِيمِ فَلَمْ يَجُزْ لِعِظَمِ حُرْمَتِهِ أَنْ يُكَنَّى عَنْهُ، وَلَيْسَ لِلطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ حُرْمَةُ تَعْظِيمٍ فَجَازَتِ الْكِنَايَةُ عَنْهُمَا.

Pertama: Sumpah dengan nama Allah Ta‘ala adalah bentuk penghormatan dan pengagungan, sehingga tidak boleh menggunakan kinayah karena besarnya kehormatan tersebut. Sedangkan talak dan zihar tidak memiliki kehormatan pengagungan, sehingga boleh menggunakan kinayah untuk keduanya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَصِحَّ النِّيَابَةُ فِي الْيَمِينِ تَغْلِيظًا لَمْ تَصِحَّ فِيهَا الْكِنَايَةُ، وَلَمَّا صَحَّتِ النِّيَابَةُ فِي الطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ تَخْفِيفًا صَحَّتِ فِيهِمَا الْكِنَايَةُ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي صِحَّةِ النِّيَابَةِ فِي الطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ، وَانْتِفَاءِ النِّيَابَةِ عَنِ الْيَمِينِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Karena tidak sahnya perwakilan dalam sumpah sebagai bentuk penegasan, maka tidak sah pula kinayah di dalamnya. Sedangkan dalam talak dan zihar, perwakilan itu sah sebagai bentuk keringanan, maka kinayah pun sah di dalamnya. Perbedaan antara keduanya dalam sahnya perwakilan pada talak dan zihar, dan tidak sahnya perwakilan dalam sumpah, juga dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَقْصُودَ الْيَمِينِ التَّعْظِيمُ فَلَمْ تَصِحَّ فِيهِ النِّيَابَةُ، وَمَقْصُودَ الطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ التَّحْرِيمُ فَصَحَّ فِيهِ النِّيَابَةُ.

Pertama: Maksud dari sumpah adalah pengagungan, sehingga tidak sah di dalamnya perwakilan. Sedangkan maksud dari talak dan zihar adalah pengharaman, sehingga perwakilan sah di dalamnya.

وَالثَّانِي: أَنَّ تَأْثِيرَ الْيَمِينِ فِي الْحَالِفِ، فَلَمْ يَجُزِ اسْتِنَابَةُ غَيْرِهِ وَتَأْثِيرَ الطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ فِي غَيْرِهِ فَجَازَ فِيهِمَا اسْتِنَابَةُ غَيْرِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Pengaruh sumpah itu kembali kepada orang yang bersumpah, sehingga tidak boleh mewakilkan kepada orang lain. Sedangkan pengaruh talak dan zihar itu kepada orang lain, sehingga boleh mewakilkan kepada orang lain. Dan Allah lebih mengetahui.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي: وَهُوَ إِذَا عَقَدَهَا بِعِتْقٍ أَوْ طَلَاقٍ وَجَعَلْنَاهُ مُولِيًا بِهِمَا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ فَإِذَا قَالَ لِإِحْدَى زَوْجَتَيْهِ إِنْ وَطِئْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ أَوْ فَعَبْدِي حُرٌّ، ثُمَّ قَالَ لِلْأُخْرَى وَأَنْتِ شَرِيكَتُهَا، سُئِلَ عَنْ إِرَادَتِهِ وَلَهُ فِي الْإِرَادَةِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Adapun jenis kedua, yaitu jika ia mengikrarkannya dengan pembebasan budak atau talak, dan kita menganggapnya sebagai mu-li dengan keduanya menurut pendapatnya dalam qaul jadid, maka jika ia berkata kepada salah satu dari dua istrinya, “Jika aku menggaulimu, maka engkau tertalak,” atau “Maka budakku merdeka,” kemudian berkata kepada istri yang lain, “Dan engkau adalah sekutunya,” maka ditanyakan tentang maksudnya, dan dalam maksud ini ada empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَقُولَ: أَرَدْتُ بِقَوْلِي أَنْتِ شَرِيكَتُهَا، أَنَّنِي مَتَى وَطِئْتُ الثَّانِيَةَ مَعَ الْأُولَى، فَالْأُولَى طَالِقَةٌ فَهَذَا يَكُونُ مُولِيًا مِنَ الْأُولَى دُونَ الثَّانِيَةِ وَلَا تَكُونُ الثَّانِيَةُ شريكة للأولى، ولا يكون وطئها شَرْطًا فِي طَلَاقِ الْأُولَى؛ لِأَنَّهُ عَلَّقَ طَلَاقَ الْأُولَى بِشَرْطٍ وَاحِدٍ وَهُوَ وَطْؤُهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَضُمَّ إِلَيْهِ شَرْطًا ثَانِيًا بِوَطْءِ الثَّانِيَةِ، لِمَا فِيهِ مِنْ رَفْعِ حُكْمِ الشَّرْطِ الْأَوَّلِ بعد انعقاد، أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ: إِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ قَالَ: وَإِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ يُرِيدُ أَنَّ طَلَاقَهَا لَا يَقَعُ بِكَلَامِ زَيْدٍ حَتَّى تَدْخُلَ الدَّارَ، لَمْ يَثْبُتِ الشَّرْطُ الثَّانِي، وَتَعَلَّقَ الطَّلَاقُ بِوُجُودِ الشَّرْطِ الْأَوَّلِ.

Pertama: Jika ia berkata, “Yang aku maksud dengan ucapanku ‘engkau adalah sekutunya’ adalah bahwa kapan pun aku menggauli istri kedua bersama istri pertama, maka istri pertama tertalak.” Dalam hal ini, ia menjadi mu‘allaq (menggantungkan talak) dari istri pertama saja, bukan dari istri kedua, dan istri kedua tidak menjadi sekutu bagi istri pertama, serta menggaulinya tidak menjadi syarat dalam talak istri pertama; karena ia telah menggantungkan talak istri pertama dengan satu syarat saja, yaitu menggaulinya, maka tidak boleh menambahkan syarat kedua berupa menggauli istri kedua, karena hal itu berarti menghapus hukum syarat pertama setelah terjadinya akad. Bukankah engkau melihat, jika ia berkata, “Jika engkau berbicara dengan Zaid, maka engkau tertalak,” kemudian ia berkata, “dan jika engkau masuk ke rumah,” dengan maksud bahwa talaknya tidak jatuh hanya dengan berbicara dengan Zaid sampai ia masuk ke rumah, maka syarat kedua tidak berlaku, dan talak tetap tergantung pada terwujudnya syarat pertama.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَقُولَ: أَرَدْتُ بِقَوْلِي: أَنْتِ شَرِيكَتُهَا أَنَّنِي مَتَى وَطِئْتُ الْأُولَى فَهِيَ طَالِقٌ مَعَ الثَّانِيَةِ فَهَذَا يَكُونُ مُولِيًا مِنَ الْأُولَى عَلَى مَا كان عليه قبل مشاركة الثانية لها وحالف بِطَلَاقِ الثَّانِيَةِ، وَلَا يَكُونُ مُولِيًا مِنْهَا، لِأَنَّهُ عَلَّقَ طَلَاقَهَا بِوَطْءِ الْأُولَى لَا بِوَطْئِهَا.

Kedua: Jika ia berkata, “Yang aku maksud dengan ucapanku ‘engkau adalah sekutunya’ adalah bahwa kapan pun aku menggauli istri pertama, maka ia tertalak bersama istri kedua.” Dalam hal ini, ia menjadi mu‘allaq dari istri pertama sebagaimana sebelumnya sebelum adanya keterlibatan istri kedua, dan ia bersumpah dengan talak istri kedua, namun ia tidak menjadi mu‘allaq dari istri kedua, karena ia menggantungkan talak istri kedua dengan menggauli istri pertama, bukan dengan menggauli istri kedua.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَقُولَ أَرَدْتُ بِقَوْلِي: وَأَنْتِ شَرِيكَتُهَا أَنَّنِي مَتَى وَطِئْتُ الْأُولَى وَالثَّانِيَةَ فَهُمَا طَالِقَانِ فَقَدْ زَادَ بِهَذَا شَرْطًا ثَانِيًا فِي طَلَاقِ الْأُولَى، فَلَمْ يَثْبُتْ وَكَانَ طَلَاقُهَا مُعَلَّقًا بِالشَّرْطِ الْأَوَّلِ وَهُوَ وَطْؤُهَا وَالشَّرْطُ الثَّانِي وَهُوَ وَطْءُ الثَّانِيَةِ لَغْوٌ فِي طَلَاقِ الْأُولَى، ثُمَّ قَدْ عَلَّقَ طَلَاقَ الثَّانِيَةِ بِشَرْطَيْنِ:

Ketiga: Jika ia berkata, “Yang aku maksud dengan ucapanku ‘dan engkau adalah sekutunya’ adalah bahwa kapan pun aku menggauli istri pertama dan istri kedua, maka keduanya tertalak.” Maka dengan ini ia menambahkan syarat kedua dalam talak istri pertama, sehingga syarat itu tidak berlaku, dan talak istri pertama tetap tergantung pada syarat pertama, yaitu menggaulinya, sedangkan syarat kedua, yaitu menggauli istri kedua, dianggap sia-sia dalam talak istri pertama. Kemudian, ia telah menggantungkan talak istri kedua dengan dua syarat:

أَحَدُهُمَا: وَطْءُ الْأُولَى.

Pertama: Menggauli istri pertama.

وَالثَّانِي: وَطْءُ الثَّانِيَةِ، فَلَا يَكُونُ مُولِيًا مِنَ الثَّانِيَةِ مَا لَمْ يَطَأِ الْأُولَى لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى وَطْءِ الثَّانِيَةِ، وَلَا يَقَعُ طَلَاقُهَا فَإِذَا وَطِئَ الْأُولَى صَارَ حِينَئِذٍ مُولِيًا مِنَ الثَّانِيَةِ لِأَنَّهُ مَتَى وَطِئَهَا طُلِّقَتْ.

Kedua: Menggauli istri kedua. Maka ia tidak menjadi mu‘allaq dari istri kedua selama belum menggauli istri pertama, karena ia masih mampu menggauli istri kedua, dan talaknya tidak jatuh. Namun, jika ia telah menggauli istri pertama, maka saat itu ia menjadi mu‘allaq dari istri kedua, karena kapan pun ia menggaulinya, maka ia tertalak.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَقُولَ أَرَدْتُ بِقَوْلِي وَأَنْتِ شَرِيكَتُهَا أَنَّنِي مَتَى وَطِئْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ، كَمَا أَنَّنِي مَتَى وَطِئْتُ الْأُولَى كَانَتْ طَالِقًا، فَهَذَا يَكُونُ مُولِيًا مِنَ الثَّانِيَةِ لِأَنَّهُ مَتَى وَطِئَهَا وَحْدَهَا طُلِّقَتْ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَجْعَلَهَا شَرِيكَتَهَا فِي هَذِهِ الحالة الرَّابِعَةِ فَيَكُونَ مُولِيًا إِذَا كَانَتْ يَمِينُهُ بِالطَّلَاقِ، وَلَا يَكُونَ فِيهَا مُولِيًا إِذَا كَانَتْ يَمِينُهُ بِاللَّهِ تَعَالَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَنَّ هَذَا كِنَايَةٌ تَنْعَقِدُ بِهَا الْيَمِينُ بِالطَّلَاقِ، وَلَا تَنْعَقِدُ به اليمين بالله تعالى.

Keempat: Jika ia berkata, “Yang aku maksud dengan ucapanku ‘dan engkau adalah sekutunya’ adalah bahwa kapan pun aku menggaulimu, maka engkau tertalak, sebagaimana kapan pun aku menggauli istri pertama, maka ia tertalak.” Dalam hal ini, ia menjadi mu‘allaq dari istri kedua, karena kapan pun ia menggaulinya saja, maka ia tertalak. Perbedaan antara menjadikannya sekutu dalam keadaan keempat ini adalah bahwa ia menjadi mu‘allaq jika sumpahnya dengan talak, dan tidak menjadi mu‘allaq jika sumpahnya dengan nama Allah Ta‘ala, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa ini adalah kinayah yang dapat menjadi sumpah dengan talak, dan tidak menjadi sumpah dengan nama Allah Ta‘ala.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ قَالَ إِنْ قَرَبْتُكِ فَأَنْتِ زَانِيَةٌ فَلَيْسَ بِمُولٍ وَإِنْ قَرَبَهَا فَلَيْسَ بِقَاذِفٍ إِلَّا بِقَذْفٍ صَرِيحٍ) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Jika aku mendekatimu, maka engkau pezina,’ maka itu bukanlah ilā’ (sumpah untuk tidak menggauli istri), dan jika ia mendekatinya, ia tidak dianggap sebagai qādzif (penuduh zina), kecuali dengan tuduhan yang jelas.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا لَمْ يَكُنْ هَذَا مُولِيًا، لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى إِصَابَتِهَا مِنْ غَيْرِ الْتِزَامِ شَيْءٍ، وَإِنَّمَا لَمْ يَلْزَمْهُ شَيْءٌ لِأَنَّهُ عَلَّقَ إِصَابَتَهَا بِقَذْفٍ، وَلَيْسَ بِقَذْفٍ، وَلَا حَدَّ فِيهِ، وَإِنَّمَا لَمْ يَكُنْ قَذْفًا لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ:

Al-Mawardi berkata: Hal ini tidak dianggap sebagai ilā’, karena ia masih mampu menggaulinya tanpa harus menanggung sesuatu. Ia juga tidak wajib menanggung apa pun karena ia menggantungkan hubungan suami istri dengan tuduhan zina, padahal itu bukanlah tuduhan zina, dan tidak ada had (hukuman) di dalamnya. Hal itu tidak dianggap sebagai tuduhan zina karena tiga alasan:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ جَعَلَ وَطْأَهُ لَهَا زِنًا، وَهُوَ يَطَؤُهَا بِعَقْدِ نِكَاحٍ لَا يَجُوزُ أَنْ يَصِيرَ زِنًا، فَتَحَقَّقْنَا كَذِبَهُ فِيهِ، فَصَارَ كَقَوْلِهِ كُلُّ النَّاسِ زُنَاةٌ فَلَا يَكُونُ قَذْفًا وَلَا يُوجِبُ حَدًّا لِيَقِينِ كَذِبِهِ.

Pertama: Ia menjadikan hubungan suami istri dengannya sebagai zina, padahal ia menggaulinya dengan akad nikah yang sah, sehingga tidak mungkin menjadi zina. Maka jelaslah kebohongannya dalam hal ini, sehingga sama seperti ucapannya, “Semua orang adalah pezina,” yang tidak dianggap sebagai tuduhan zina dan tidak menimbulkan had karena jelas kebohongannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْقَذْفَ بِالزِّنَا إِخْبَارٌ عَنْ فِعْلٍ مَاضٍ وَهَذَا مُعَلَّقٌ بِفِعْلٍ مستقبل، فلم يكون قَذْفًا كَمَا لَوْ قَالَ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ زانية لم يكن قذف.

Kedua: Tuduhan zina adalah pemberitaan tentang perbuatan yang telah lalu, sedangkan ini digantungkan pada perbuatan yang akan datang, maka tidak dianggap sebagai tuduhan zina, sebagaimana jika ia berkata, “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau pezina,” itu tidak dianggap sebagai tuduhan zina.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْقَذْفَ مَا كَانَ مُطْلَقًا، وَهَذَا مُعَلَّقٌ بِصِفَةٍ، فَلَمْ يَصِرْ بِوُجُودِ الصِّفَةِ قَذْفًا كَمَا لَوْ قَالَ إِنْ كَلَّمْتِ زَيْدًا فَأَنْتِ زَانِيَةٌ، لَمْ يَكُنْ قَذْفًا وَإِنْ كَلَّمَتْهُ فَصَارَ فَسَادُ هَذَا الْقَذْفِ يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ وَسُقُوطُ الْحَدِّ يَمْنَعُ مِنْ دُخُولِ الضَّرَرِ عَلَيْهِ بِالْوَطْءِ، وَمَنْعُ الضَّرَرِ بِالْوَطْءِ يُخْرِجُهُ مِنَ الْإِيلَاءِ.

Ketiga: Bahwa qazaf (tuduhan zina) itu berlaku jika dilakukan secara mutlak, sedangkan yang ini dikaitkan dengan suatu sifat (syarat), maka dengan adanya sifat tersebut tidaklah menjadi qazaf, sebagaimana jika seseorang berkata: “Jika engkau berbicara dengan Zaid, maka engkau pezina,” maka itu tidak dianggap sebagai qazaf, dan jika ia benar-benar berbicara dengannya, maka rusaknya qazaf ini mencegah kewajiban had (hukuman), dan gugurnya had mencegah terjadinya mudarat (bahaya) baginya karena hubungan suami istri, dan pencegahan mudarat karena hubungan suami istri mengeluarkannya dari kategori ila’ (sumpah tidak menggauli istri).

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ قَالَ لَا أُصِيبُكِ سَنَةً إِلَّا مَرَّةً لَمْ يَكُنْ مُولِيًا فَإِنْ وَطِئَ وَقَدْ بَقِيَ عَلَيْهِ مِنَ السَّنَةِ أَكْثَرُ مِنَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَهُوَ مُولٍ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ فليس بمول) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Aku tidak akan menggaulimu selama setahun kecuali satu kali,’ maka ia tidak dianggap sebagai mu’li (orang yang melakukan ila’). Jika ia menggauli istrinya dan sisa waktu dari setahun itu masih lebih dari empat bulan, maka ia menjadi mu’li. Namun jika sisa waktunya kurang dari itu, maka ia tidak dianggap mu’li.”

قال الماوردي: إِذَا قَالَ وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ سَنَةً إِلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً فَقَدَّرَ مُدَّةَ يَمِينِهِ بِسَنَةٍ وَاسْتَثْنَى مِنْهَا وَطْءَ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ، وَالْمَشْهُورُ مِنْ قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ، أَنَّهُ لَا يَكُونُ مُولِيًا لِأَنَّ الْمُولِيَ مَنْ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْوَطْءِ إِلَّا بِالْحِنْثِ، وَهَذَا يَقْدِرُ عَلَى وَطْءٍ تِلْكَ الْمَرَّةَ بِغَيْرِ حِنْثٍ فَلَمْ يَكُنْ فِي الْحَالِ مُولِيًا.

Al-Mawardi berkata: Jika seseorang berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama setahun kecuali satu kali,” lalu ia menentukan masa sumpahnya selama setahun dan mengecualikan satu kali hubungan suami istri, maka menurut pendapat baru Imam Syafi‘i, dan pendapat masyhur dari pendapat lamanya, ia tidak dianggap sebagai mu’li, karena mu’li adalah orang yang tidak dapat melakukan hubungan suami istri kecuali dengan melanggar sumpah, sedangkan orang ini masih dapat melakukan hubungan suami istri satu kali tanpa melanggar sumpah, maka pada saat itu ia tidak dianggap sebagai mu’li.

وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ: يَكُونُ مُولِيًا فِي الْحَالِ.

Dan dalam pendapat lamanya, beliau (Imam Syafi‘i) mengatakan: Ia dianggap sebagai mu’li pada saat itu.

وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، فَخَرَّجَهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ قَوْلًا ثَانِيًا، أَنَّهُ يَكُونُ فِي الْحَالِ مُولِيًا تَعْلِيلُهُ أَنَّ الْمُولِيَ مَنْ يَدْخُلُ عَلَيْهِ بِالْوَطْءِ ضَرَرٌ وَهَذَا قَدْ يَدْخُلُ عَلَيْهِ بِالْوَطْءِ الْأَوَّلِ ضَرَرٌ لِأَنَّهُ يَصِيرُ بِهِ مُولِيًا وَالْإِيلَاءُ ضَرَرٌ فَكَانَ مَا أَدَّى إِلَيْهِ ضَرَرًا فَلِذَلِكَ صَارَ بِهِ مُولِيًا وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Demikian pula pendapat Malik, dan hal ini juga dikeluarkan oleh Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah sebagai pendapat kedua, bahwa ia dianggap sebagai mu’li pada saat itu. Alasannya adalah bahwa mu’li adalah orang yang mengalami mudarat karena hubungan suami istri, dan orang ini bisa saja mengalami mudarat pada hubungan pertama, karena dengan itu ia menjadi mu’li, dan ila’ itu sendiri adalah mudarat, maka apa yang mengantarkan kepadanya juga merupakan mudarat. Oleh karena itu, ia menjadi mu’li karenanya. Namun pendapat ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُولِيَ مَنِ امْتَنَعَ مِنَ الْوَطْءِ بِيَمِينٍ وَلَيْسَ عَلَيْهِ فِي وَطْءِ هَذِهِ الْمَرَّةِ يَمِينٌ فَلَمْ يَكُنْ مُولِيًا.

Pertama: Bahwa mu’li adalah orang yang menahan diri dari hubungan suami istri dengan sumpah, sedangkan pada hubungan pertama ini tidak ada sumpah yang menghalanginya, maka ia tidak dianggap sebagai mu’li.

وَالثَّانِي: أَنَّ ضَرَرَ الْإِيلَاءِ الْتِزَامُ مَا لَا يَلْزَمُ، وَهَذَا لَيْسَ يَلْزَمُهُ بِالْوَطْءِ الْأَوَّلِ شَيْءٌ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ فِي الْحَالِ مُولِيًا، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا نُظِرَ، فَإِنْ لَمْ يَطَأْ حَتَّى مَضَتِ السَّنَةُ سَقَطَتِ الْيَمِينُ، وَلَمْ يُسْتَحَقَّ عَلَيْهِ فِي السَّنَةِ مُطَالَبَةٌ، وَإِنْ وَطِئَ فِي السَّنَةِ مَرَّةً لَمْ يَحْنَثْ بِهِ لِأَنَّهُ مُسْتَثْنًى مِنْ يَمِينِهِ، وَيَصِيرُ الْحِنْثُ مُعَلَّقًا بِالْوَطْءِ فِي بَقِيَّةِ السَّنَةِ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ نُظِرَ فِي بَاقِي السَّنَةِ، فَإِنْ كَانَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَمَا دُونَ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، وَإِنْ كَانَ حَالِفًا لِقُصُورِهِ عَنْ مُدَّةِ الْإِيلَاءِ، وَإِنْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهَا أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ صَارَ مُولِيًا وَتُضْرَبُ لَهُ مُدَّةُ الْإِيلَاءِ، لِأَنَّ زَمَانَ الْحِنْثِ يَتَّسِعُ لِمُدَّةِ الْوَقْفِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ سَنَةً إِلَّا مَرَّتَيْنِ فَعَلَى مَا حَكَيْنَاهُ مِنْ قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ يَكُونُ مُولِيًا فِي الْحَالِ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا يَكُونُ فِي الْحَالِ مُولِيًا، لِاسْتِثْنَائِهِ مِنْ مدة يمينه وطء مرتين، فهو قد بقي من استثنائه وطء في الحال بغير حنث، فإذا وطء مَرَّةً لَمْ يَحْنَثْ وَلَا يَصِيرُ بِهَا مُولِيًا، لِأَنَّهُ قَدْ بَقِيَ مِنَ اسْتِثْنَائِهِ وَطْءٌ مَرَّةً أُخْرَى. فَإِذَا وَطِئَ الْمَرَّةَ الثَّانِيَةَ وَفِي السَّنَةِ بَقِيَّةٌ وَقَعَ الْحِنْثُ بِهِ وَإِنْ وَطِئَ بَعْدَهَا فَيُنْظَرُ فِي بَقِيَّةِ السَّنَةِ، فَإِذَا كَانَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ صَارَ مُولِيًا، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا وَإِنْ كَانَ حَالِفًا.

Kedua: Bahwa mudarat ila’ adalah berkomitmen pada sesuatu yang tidak wajib, sedangkan pada hubungan pertama ini tidak ada sesuatu yang wajib baginya, maka karena itu ia tidak dianggap sebagai mu’li pada saat itu. Jika demikian, maka diperhatikan: Jika ia tidak menggauli istrinya hingga setahun berlalu, maka sumpahnya gugur, dan selama setahun itu ia tidak berhak dituntut. Jika ia menggauli istrinya sekali dalam setahun, ia tidak dianggap melanggar sumpah karena itu dikecualikan dari sumpahnya, dan pelanggaran sumpah menjadi tergantung pada hubungan suami istri di sisa tahun itu. Jika demikian, maka diperhatikan sisa tahun itu: Jika sisa waktunya empat bulan atau kurang, maka ia tidak dianggap sebagai mu’li, meskipun ia bersumpah, karena kurang dari masa ila’. Jika sisa waktunya lebih dari empat bulan, maka ia menjadi mu’li dan ditetapkan baginya masa ila’, karena waktu pelanggaran sumpah cukup untuk masa penantian. Berdasarkan hal ini, jika seseorang berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama setahun kecuali dua kali,” maka menurut pendapat lamanya yang telah kami sebutkan, ia dianggap sebagai mu’li pada saat itu. Sedangkan menurut pendapat barunya, dan inilah yang shahih, ia tidak dianggap sebagai mu’li pada saat itu, karena ia mengecualikan dari masa sumpahnya dua kali hubungan suami istri, sehingga masih tersisa baginya hubungan suami istri pada saat itu tanpa melanggar sumpah. Jika ia telah menggauli istrinya sekali, ia tidak dianggap melanggar sumpah dan tidak menjadi mu’li karenanya, karena masih tersisa satu kali hubungan suami istri dari pengecualiannya. Jika ia telah menggauli istrinya untuk kedua kalinya dan masih tersisa waktu dalam setahun, maka pelanggaran sumpah terjadi karenanya. Jika ia menggauli istrinya setelah itu, maka diperhatikan sisa tahun itu: Jika sisa waktunya lebih dari empat bulan, maka ia menjadi mu’li, dan jika kurang, maka ia tidak dianggap sebagai mu’li meskipun ia bersumpah.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ قَالَ إِنْ أَصَبْتُكِ فَوَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا حَتَى يُصِيبَهَا فَيَكُونَ مُولِيًا) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Jika aku menggaulimu, maka demi Allah aku tidak akan menggaulimu,’ maka ia tidak dianggap sebagai mu’li hingga ia benar-benar menggaulinya, barulah ia menjadi mu’li.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ كَالَّتِي قَبْلَهَا فِي أنه اسثتناء مِنْ يَمِينِهِ وَطْءَ مَرَّةٍ، وَمُخَالِفَةٌ لَهَا فِي أَنَّ تِلْكَ مَقْدِرَةٌ بِسَنَةٍ وَهَذِهِ مُطْلَقَةٌ عَلَى الْأَبَدِ، فَإِذَا قَالَ لَهَا: إِنْ وَطِئْتُكِ فَوَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ فَهُوَ كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ إِلَّا مَرَّةً، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ لَا يَكُونُ فِي الْحَالِ مُولِيًا لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى وَطْئِهَا فِي الْحَالِ مِنْ غَيْرِ حِنْثٍ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ يَكُونُ فِي الْحَالِ مُولِيًا، يُسْتَضَرُّ بِوَطْئِهِ فِي الْحَالِ لِانْعِقَادِ الْإِيلَاءِ بِهِ، وَقَدْ أَبْطَلْنَاهُ بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا وَصَحَّ بِهِ مَا ذَكَرْنَا مِنْ قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ، لَمْ يَكُنْ فِي الْحَالِ مُولِيًا مَا لَمْ يَطَأْ، وَلَا يُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ الْمُطَالَبَةُ، وَإِنْ تَطَاوَلَ بِهِ الزَّمَانُ، لِخُرُوجِهِ عَنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ فَإِذَا وَطِئَ مَرَّةً صَارَ حِينَئِذٍ مُولِيًا عَلَى الْإِطْلَاقِ؛ لِأَنَّ زَمَانَ يَمِينِهِ مُؤَبَّدٌ غَيْرُ مُقَدَّرٍ، بِخِلَافِ الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى، فَيُوقَفُ لَهَا مِنْهُ الإيلاء والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Masalah ini serupa dengan masalah sebelumnya dalam hal bahwa ini merupakan pengecualian dari sumpahnya untuk melakukan hubungan sekali, dan berbeda dengannya dalam hal bahwa yang sebelumnya dibatasi selama satu tahun, sedangkan yang ini bersifat mutlak untuk selamanya. Maka jika ia berkata kepada istrinya: “Jika aku menggaulimu, demi Allah aku tidak akan menggaulimu,” maka ini seperti ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu kecuali sekali.” Menurut pendapat baru Imam Syafi‘i, ia tidak dianggap sebagai mu‘li (orang yang melakukan ila’) saat itu, karena ia masih mampu menggaulinya saat itu tanpa melanggar sumpah. Namun menurut pendapat lama beliau, yang juga merupakan mazhab Malik, ia dianggap sebagai mu‘li saat itu, karena dengan menggaulinya saat itu, ila’ telah terjadi dan menimbulkan mudarat. Namun, kami telah membatalkan pendapat ini dengan dua alasan yang telah kami sebutkan pada masalah pertama. Jika demikian, dan telah sah apa yang kami sebutkan dari pendapat baru beliau, maka ia tidak dianggap sebagai mu‘li selama belum menggauli istrinya, dan tidak berhak dituntut (untuk rujuk), meskipun waktu telah berlalu lama, karena ia telah keluar dari hukum ila’. Namun jika ia telah menggauli istrinya sekali, maka saat itu ia menjadi mu‘li secara mutlak, karena masa sumpahnya bersifat abadi dan tidak terbatas, berbeda dengan masalah pertama. Maka untuknya berlaku hukum ila’, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ قَالَ وَاللَّهِ لَا أَقْرَبُكِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ أَوْ حَتَّى يَخْرُجَ الدَّجَّالُ أَوْ حَتَّى يَنْزِلَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ أَوْ حَتَّى يَقْدَمَ فُلَانٌ أَوْ يَمُوتَ أَوْ تَمُوتِي أَوْ تَفْطِمِي ابْنَكِ فَإِنْ مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ قَبْلَ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ مِمَّا حَلَفَ عَلَيْهِ كَانَ مُولِيًا وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ حَتَّى تَفْطِمِي وَلَدَكِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا لِأَنَّهَا قَدْ تَفْطِمُهُ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ إِلَّا أَنْ يُرِيدَ أَكْثَرَ مِنَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ (قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ) هَذَا أولى بقوله لأن أصله أَنَّ كُلَّ يَمِينٍ مَنَعَتِ الْجَمَاعَ بِكُلِّ حَالٍ اكثر من أربعة أشهر إلا بأن يحنث فهو مول وقوله حتى يشاء فلان فليس بمول حتى يموت فلان (قال المزني) وهذا مثل قوله حتى يقدم فلان أو يموت سواء في القياس وكذلك حتى تفطمي ولدك إذا أمكن الفطام في أربعة أشهر ولو قال حتى تحبلي فليس بمول (قال المزني) رحمه الله هذا مثل قوله حتى يقدم فلان أو يشاء فلان لأنه قد يقدم ويشاء قبل أربعة أشهر فلا يكون مولياً (قال المزني) رحمه الله عليه وأما قوله حتى تموتي فهو مول بكل حال كقوله حتى أموت أنا وهو كقوله والله لا أطؤك أبداً فهو مول من حين حلف) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu sampai hari kiamat, atau sampai Dajjal keluar, atau sampai Isa bin Maryam turun, atau sampai si Fulan datang, atau sampai ia mati, atau sampai engkau mati, atau sampai engkau menyapih anakmu, maka jika telah berlalu empat bulan sebelum terjadinya sesuatu yang ia sumpahkan, ia menjadi mu‘li.’ Dan beliau berkata di tempat lain: ‘Jika ia berkata sampai engkau menyapih anakmu, maka ia tidak menjadi mu‘li, karena mungkin saja anak itu disapih sebelum empat bulan, kecuali jika ia bermaksud lebih dari empat bulan.’ (Al-Muzani rahimahullah berkata:) ‘Ini lebih utama menurut pendapat beliau, karena asalnya setiap sumpah yang mencegah hubungan suami istri dalam segala keadaan lebih dari empat bulan kecuali jika ia melanggar sumpah, maka ia adalah mu‘li. Dan jika ia berkata sampai si Fulan menghendaki, maka ia bukan mu‘li sampai si Fulan meninggal.’ (Al-Muzani berkata:) ‘Ini seperti ucapannya sampai si Fulan datang atau mati, sama dalam qiyās. Demikian pula sampai engkau menyapih anakmu jika memungkinkan disapih dalam empat bulan. Jika ia berkata sampai engkau hamil, maka ia bukan mu‘li.’ (Al-Muzani rahimahullah berkata:) ‘Ini seperti ucapannya sampai si Fulan datang atau menghendaki, karena bisa saja si Fulan datang atau menghendaki sebelum empat bulan, maka ia tidak menjadi mu‘li.’ (Al-Muzani rahimahullah berkata:) ‘Adapun ucapannya sampai engkau mati, maka ia adalah mu‘li dalam segala keadaan, seperti ucapannya sampai aku mati, dan seperti ucapannya demi Allah aku tidak akan menggaulimu selamanya, maka ia menjadi mu‘li sejak ia bersumpah.'”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ تَمَهَّدَ بِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ أُصُولِ الْوَطْءِ أَنَّهُ لَا يَكُونُ مُولِيًا إِلَّا أن تزيد هذه إِيلَائِهِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ تَخْلُ مُدَّةُ إِيلَائِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan dengan apa yang telah kami sampaikan dari dasar-dasar hubungan suami istri, bahwa seseorang tidak dianggap sebagai mu‘li kecuali jika masa ila’-nya melebihi empat bulan. Jika demikian, maka masa ila’ tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ مُطْلَقَةً.

Pertama: Masa yang bersifat mutlak.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مُقَيَّدَةً بِزَمَانٍ. وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ مُعَلَّقَةً بِشَرْطٍ.

Kedua: Masa yang dibatasi dengan waktu. Dan ketiga: Masa yang digantungkan pada suatu syarat.

أَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ الْمُدَّةُ الْمُطْلَقَةُ، فَهُوَ أَنْ يَقُولَ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ فَإِطْلَاقُهَا يَقْتَضِي الْأَبَدَ، فَهُوَ كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ أَبَدًا وَالتَّلَفُّظُ بِالْأَبَدِ هَاهُنَا تَأْكِيدٌ فَهَذَا أَقْوَى.

Adapun bagian pertama, yaitu masa yang bersifat mutlak, adalah jika seseorang berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu,” maka kemutlakan ucapannya menunjukkan untuk selamanya. Ini seperti ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selamanya,” dan pengucapan kata “selamanya” di sini adalah penegasan, sehingga ini lebih kuat.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: الْمُقَدَّرُ بِالزَّمَانِ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ إِلَى سَنَةِ كَذَا أَوْ إِلَى شَهْرِ كَذَا أَوْ إِلَى يَوْمِ كَذَا، فَيُنْظَرُ فِي هَذَا الزَّمَانِ فَإِنْ زَادَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَانَ مُولِيًا وَإِنْ تَقَدَّرَ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَمَا دُونَ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا.

Adapun bagian kedua, yaitu yang dibatasi dengan waktu, adalah jika seseorang berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai tahun sekian, atau sampai bulan sekian, atau sampai hari sekian.” Maka dilihat waktu tersebut, jika melebihi empat bulan maka ia menjadi mu‘li, dan jika waktunya empat bulan atau kurang, maka ia tidak menjadi mu‘li.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الْمُعَلَّقُ بِشَرْطٍ فَهُوَ عَلَى ثَمَانِيَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun bagian ketiga, yaitu yang digantungkan pada suatu syarat, maka ini terbagi menjadi delapan bagian:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ بِهِ مُولِيًا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ لِاسْتِحَالَتِهِ وَهُوَ كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى تَصْعَدِي السَّمَاءَ أَوْ حَتَّى تُصَافِحِي الثُّرَيَّا أَوْ حَتَّى تُعِدِّي رَمْلَ عَالِجٍ أَوْ حَتَّى تَنْقُلِي جَبَلَ أَبِي قَبِيسٍ أَوْ حَتَّى تَشْرَبِي مَاءَ الْبَحْرِ، وَمَا شَابَهَ كُلَّ ذَلِكَ فَيَكُونُ مُولِيًا لِاسْتِحَالَةِ وُجُودِ هَذِهِ الشَّرَائِطِ فَكَانَ ذِكْرُهَا لَغْوًا وَصَارَ الْإِيلَاءُ مَعَهَا مُرْسَلًا.

Salah satunya: adalah sumpah yang menjadikan seseorang sebagai mu‘li dalam zhahir dan batin karena kemustahilannya, seperti ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai engkau naik ke langit, atau sampai engkau berjabat tangan dengan bintang Tsurayya, atau sampai engkau menghitung pasir ‘Ālij, atau sampai engkau memindahkan Gunung Abū Qubais, atau sampai engkau meminum air laut,” dan hal-hal serupa itu. Maka ia menjadi mu‘li karena syarat-syarat tersebut mustahil terjadi, sehingga penyebutannya menjadi sia-sia dan sumpah ila’ tersebut dianggap mutlak.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا كَانَ بِهِ مُولِيًا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ لِلْقَطْعِ وَالْإِحَاطَةِ بِأَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ حَتَّى تَقُومَ الْقِيَامَةُ، فَهَذَا مُولٍ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ لِأَنَّهُ قَدْ تَتَقَدَّمُ الْقِيَامَةَ أَشْرَاطٌ منذرة فنحن إذا لم نر أشراطها على يَقِينٍ مِنْ تَأَخُّرِهَا عَنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ.

Bagian kedua: adalah sumpah yang menjadikan seseorang sebagai mu‘li dalam zhahir dan batin karena kepastian dan keyakinan bahwa hal itu akan terjadi setelah lebih dari empat bulan, seperti ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai kiamat terjadi.” Ini adalah sumpah ila’ dalam zhahir dan batin, karena bisa saja sebelum kiamat muncul tanda-tanda yang mengabarkan kedatangannya. Maka selama kita tidak melihat tanda-tandanya, kita yakin kiamat itu akan terjadi setelah lebih dari empat bulan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا كَانَ بِهِ مُولِيًا فِي الظَّاهِرِ، وَإِنْ جَازَ أَنْ لَا يَكُونَ بِهِ مُولِيًا فِي الْبَاطِنِ كَقَوْلِهِ وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى يَنْزِلَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ أَوْ حَتَّى يَظْهَرَ الدَّجَّالُ أَوْ حَتَّى يَخْرُجَ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَحَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا أَوْ مَا جَرَى هَذَا الْمَجْرَى مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ الَّتِي الْأَغْلَبُ تَأَخُّرُهَا عَنْ مُدَّةِ الْإِيلَاءِ، وَإِنْ جَازَ فِي الْمُمْكِنِ تَقَدُّمُهَا فَلِذَلِكَ جَعَلْنَاهُ بِهَا مُولِيًا فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ، وَأَلْزَمْنَاهُ بِهَا حُكْمَ الْمُولِي فِي الْبَاطِنِ وَالظَّاهِرِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَ أَشْرَاطَ السَّاعَةِ كُلَّهَا كَالْقِيَامَةِ فِي أَنَّهُ يَكُونُ بِهَا مُولِيًا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، لِأَنَّ لَهَا أَمَارَاتٌ مُنْذِرَةً كَالْقِيَامَةِ تَتَأَخَّرُ قَبْلَ وُجُودِهَا عَنْ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ.

Bagian ketiga: adalah sumpah yang menjadikan seseorang sebagai mu‘li dalam zhahir, meskipun mungkin saja tidak menjadi mu‘li dalam batin, seperti ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai Isa bin Maryam turun, atau sampai Dajjal muncul, atau sampai Ya’juj dan Ma’juj keluar, atau sampai matahari terbit dari baratnya,” atau hal-hal serupa dari tanda-tanda kiamat yang umumnya terjadi setelah masa ila’, meskipun secara kemungkinan bisa saja terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, kami menganggapnya sebagai mu‘li dalam zhahir saja, tidak dalam batin, dan kami mewajibkan kepadanya hukum mu‘li baik dalam batin maupun zhahir. Di antara ulama kami ada yang menganggap seluruh tanda-tanda kiamat seperti kiamat itu sendiri, yaitu menjadi mu‘li dalam zhahir dan batin, karena tanda-tanda tersebut memiliki pertanda yang mengabarkan seperti kiamat, yang kemunculannya tertunda sebelum masa menunggu (masa ila’).

وَالْأَصَحُّ مِنْ إِطْلَاقِ هَذَيْنِ أَنْ يُقَالَ مَا صَحَّتْ بِهِ أَخْبَارُ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمْ السَّلَامُ أَنَّهَا تَتَرَتَّبُ فَيَكُونُ بَعْضُهَا بَعْدَ بَعْضٍ كَنُزُولِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَكُونُ مِنْ بَعْدِ ظُهُورِ الدَّجَّالِ، كَانَ إِيلَاؤُهُ إِلَى نُزُولِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَإِيلَاؤُهُ إِلَى ظُهُورِ الدَّجَّالِ ظَاهِرًا دُونَ الْبَاطِنِ لِجَوَازِ حُدُوثِهِ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَمَا لَمْ يَتَرَتَّبْ مِنْهَا فَهُوَ بِهِ مُولٍ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ، وَهَذَا مِنَ الِاخْتِلَافِ الَّذِي لَا يُفِيدُ لِأَنَّ مُوجِبَ الْإِيلَاءِ فِيهِمَا لَا يَخْتَلِفُ، فَأَمَّا إذا قال: والله أَصَبْتُكِ حَتَّى أَمُوتَ أَوْ تَمُوتِي فَهُوَ مِمَّا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا فِي الظَّاهِرِ [دُونَ الْبَاطِنِ] ، لِجَوَازِ مَوْتِهِمَا قَبْلَ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ، وَإِنَّمَا صَارَ مَعَ جَوَازِ الْمَوْتِ قَبْلَ الْمُدَّةِ مُولِيًا فِي الظاهر لعلتين:

Pendapat yang lebih shahih dari dua pendapat ini adalah dikatakan: apa yang telah sahih diberitakan oleh para nabi ‘alaihimussalām bahwa peristiwa-peristiwa itu berurutan, sehingga sebagian terjadi setelah yang lain, seperti turunnya Isa bin Maryam ‘alaihis salām yang terjadi setelah munculnya Dajjal. Maka sumpah ila’ yang dikaitkan dengan turunnya Isa bin Maryam berlaku dalam zhahir dan batin, sedangkan yang dikaitkan dengan munculnya Dajjal berlaku dalam zhahir saja, tidak dalam batin, karena mungkin saja terjadi sebelum empat bulan. Adapun yang tidak berurutan, maka ia menjadi mu‘li dalam zhahir saja, tidak dalam batin. Ini termasuk perbedaan yang tidak berpengaruh, karena konsekuensi hukum ila’ pada keduanya tidak berbeda. Adapun jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai aku mati atau engkau mati,” maka ini termasuk sumpah yang menjadikannya mu‘li dalam zhahir [tidak dalam batin], karena mungkin saja keduanya meninggal sebelum masa menunggu. Sumpah ini menjadi mu‘li dalam zhahir karena dua alasan:

إِحْدَاهُمَا: أَنَّ الظَّاهِرَ بَقَاؤُهُمْ إِلَى مُدَّةِ التَّرَبُّصِ، وإن جاء مَوْتُهُمَا قَبْلَهَا فَحُكِمَ بِالظَّاهِرِ.

Pertama: secara zhahir, keduanya masih hidup sampai masa menunggu, dan jika kematian terjadi sebelum itu, maka hukum didasarkan pada zhahirnya.

وَالْعِلَّةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّهُمَا لَوْ أَطْلَقَا ذَلِكَ عَلَى الْأَبَدِ لَا تُقَدَّرُ بِمُدَّةِ حَيَّاتِهِمَا، فَعَلَى هَذَيْنِ التَّعْلِيلَيْنِ لَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى يَمُوتَ زَيْدٌ، فَإِنْ كَانَ زَيْدٌ فِي مَرَضٍ مُخَوِّفٍ لَمْ يَكُنْ بِهِ مُولِيًا، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ حَالِهِ، مَوْتُهُ قَبْلَ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ لِأَمَارَاتِ الْمَوْتِ بِحُدُوثِ الْخَوْفِ وَإِنْ كَانَ زَيْدٌ صَحِيحًا أَوْ فِي مَرَضٍ غَيْرِ مُخَوِّفٍ، فَعَلَى التَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ يَكُونُ بِهِ مُولِيًا فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ اعْتِبَارًا بِظَاهِرِ بَقَائِهِ إِلَى مُدَّةِ التَّرَبُّصِ وَعَلَى التَّعْلِيلِ الثَّانِي لَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا لَا فِي الظَّاهِرِ وَلَا فِي الْبَاطِنِ لِتَرَدُّدِ حَالِهِ بَيْنَ الْمَوْتِ وَالْبَقَاءِ، وَإِنَّ إِيلَاءَ الزَّوْجَيْنِ لَوْ كَانَ مُطْلَقًا لَمْ يَتَقَدَّرْ بِمَوْتِهِ، وَحَمْلُهُ عَلَى التَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ أَصَحُّ، لِأَنَّهُ لَوْ قَالَ إِنْ أَصَبْتُكِ فَعَبْدِي حُرٌّ كَانَ مُولِيًا فِي الظَّاهِرِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَمُوتَ عَبْدُهُ أَوْ يَبِيعَهُ قَبْلَ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ فَلَا يَكُونُ مُولِيًا، لَكِنْ عَلَيْنَا حُكْمُ الظَّاهِرِ، مَعَ جَوَازِ خِلَافِهِ.

Alasan kedua: Jika keduanya mengucapkan sumpah itu secara mutlak untuk selamanya, maka tidak dibatasi dengan masa hidup mereka. Berdasarkan dua alasan ini, jika seseorang berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai Zaid meninggal,” maka jika Zaid sedang dalam kondisi sakit yang mengkhawatirkan, ia tidak dianggap sebagai mu’li (orang yang bersumpah tidak menggauli istrinya), karena yang tampak dari keadaannya adalah kemungkinan besar ia akan meninggal sebelum masa penantian selesai, berdasarkan tanda-tanda kematian yang muncul karena adanya kekhawatiran. Namun, jika Zaid sehat atau sakit tapi tidak mengkhawatirkan, maka menurut alasan pertama, ia dianggap sebagai mu’li secara lahiriah, bukan batiniah, dengan mempertimbangkan kemungkinan Zaid tetap hidup sampai masa penantian selesai. Sedangkan menurut alasan kedua, ia tidak dianggap sebagai mu’li, baik secara lahiriah maupun batiniah, karena keadaannya masih antara kemungkinan meninggal atau tetap hidup. Dan sesungguhnya sumpah iilā’ dari kedua suami istri, jika diucapkan secara mutlak, tidak dibatasi dengan kematian salah satunya. Membawa kasus ini pada alasan pertama lebih tepat, karena jika seseorang berkata: “Jika aku menggaulimu, maka budakku merdeka,” maka ia dianggap sebagai mu’li secara lahiriah, meskipun ada kemungkinan budaknya meninggal atau dijual sebelum masa penantian selesai, sehingga ia tidak dianggap sebagai mu’li. Namun, kita tetap harus memutuskan berdasarkan apa yang tampak, meskipun ada kemungkinan sebaliknya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: مَا اخْتَلَفَ حُكْمُهُ بِاخْتِلَافِ حَالِ الشَّرْطِ كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى يَقْدَمَ زَيْدٌ فَيُنْظَرُ غَيْبَةُ زَيْدٍ فَإِنْ كَانَ بِمَكَانٍ مَسَافَتُهُ أَكْثَرُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَالصِّينِ كَانَ بِهِ مُولِيًا، وَإِنْ كَانَ بِمَكَانٍ مَسَافَتُهُ أَقَلُّ لَمْ يَكُنْ بِهِ مُولِيًا، لِجَوَازِ قُدُومِهِ قَبْلَ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ سَوَاءٌ قدم قبلها أولاً وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ غَيْبَةَ زَيْدٍ لَمْ يَكُنْ بِهِ مُولِيًا أَيْضًا لِجَوَازِ قُدُومِهِ قَبْلَ الْمُدَّةِ وَكَقَوْلِهِ وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى تَحْبَلِي، فَلَهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Bagian keempat: Yaitu apa yang hukumnya berbeda-beda tergantung pada keadaan syaratnya, seperti ucapan seseorang: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai Zaid datang.” Maka dilihat keadaan Zaid, jika ia berada di tempat yang jaraknya lebih dari empat bulan, seperti di Cina, maka ia dianggap sebagai mu’li. Namun, jika ia berada di tempat yang jaraknya kurang dari itu, maka ia tidak dianggap sebagai mu’li, karena ada kemungkinan Zaid datang sebelum masa penantian selesai, baik ia benar-benar datang sebelum masa itu atau tidak. Jika ia tidak mengetahui keberadaan Zaid, maka ia juga tidak dianggap sebagai mu’li, karena ada kemungkinan Zaid datang sebelum masa itu. Contoh lain seperti ucapan: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai engkau hamil,” maka ada tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ أَنْ تَحْبَلَ قَبْلَ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ لِصِغَرِهَا أَوْ لِإِيَاسِهَا فَيَكُونَ بِذَلِكَ مُولِيًا.

Pertama: Jika istri termasuk orang yang tidak mungkin hamil sebelum masa penantian selesai, karena masih kecil atau sudah menopause, maka dengan sumpah itu ia dianggap sebagai mu’li.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَجُوزُ أَنْ تَحْبَلَ فِي الْحَالِ لِكَوْنِهَا بَالِغَةً مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ فَلَا يَكُونَ بِذَلِكَ مُولِيًا لِإِمْكَانِ حَبَلِهَا وَتَسَاوِي الْأَمْرَيْنِ فِيهِ.

Kedua: Jika istri termasuk orang yang mungkin hamil saat itu juga, karena sudah baligh dan mengalami haid, maka dengan sumpah itu ia tidak dianggap sebagai mu’li, karena kehamilan mungkin terjadi dan kedua kemungkinan itu sama-sama mungkin.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَكُونَ مُرَاهِقَةً لِجَوَازِ أَنْ يَتَعَجَّلَ بُلُوغُهَا فَتَحْبَلَ، وَيَجُوزُ أَنْ يَتَأَخَّرَ بُلُوغُهَا فَلَا تَحْبَلَ، قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَكُونُ بِذَلِكَ مُولِيًا، لِأَنَّ الظَّاهِرَ تَأَخُّرُ الْبُلُوغِ، وَتَأَخُّرُهُ مَانِعٌ مِنَ الْحَبَلِ.

Ketiga: Jika istri dalam masa mendekati baligh (murāhiqah), karena ada kemungkinan ia segera baligh lalu hamil, dan ada kemungkinan balighnya terlambat sehingga tidak hamil. Abu Hamid al-Isfarā’īnī – rahimahullah – berkata: Dalam keadaan ini ia dianggap sebagai mu’li, karena yang tampak adalah balighnya terlambat, dan keterlambatan itu menjadi penghalang kehamilan.

وَالصَّحِيحُ عِنْدِي أَنَّهُ لَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ بُلُوغُ الْمُرَاهِقَةِ مُمْكِنٌ كَمَا أَنَّ حَبَلَ الْبَالِغَةِ مُمْكِنٌ وَلَيْسَ أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ بِأَغْلَبَ مِنَ الْآخَرِ، وَإِذَا أَمْكَنَ بُلُوغُهَا أَمْكَنَ حَبَلُهَا.

Pendapat yang benar menurutku adalah bahwa ia tidak dianggap sebagai mu’li, karena yang tampak adalah kemungkinan murāhiqah itu baligh, sebagaimana kemungkinan wanita baligh bisa hamil, dan tidak ada salah satu dari dua kemungkinan itu yang lebih dominan. Jika mungkin ia baligh, maka mungkin pula ia hamil.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: مَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ إِرَادَتِهِ: كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى تَفْطِمِي وَلَدَكِ فَإِنْ أَرَادَ بِهِ قَطْعَ الرَّضَاعِ لَمْ يَكُنْ بِهِ مُولِيًا؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُهَا قَطْعُهُ فِي الْحَالِ، وَإِنْ أَرَادَ بِهِ مُدَّةَ رَضَاعِ الْحَوْلَيْنِ نُظِرَ فِي الْبَاقِي مِنْهَا فَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَانَ مُولِيًا، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مِنْ جَعَلَ هَذَا مِنَ الْقَسَمِ الرَّابِعِ الَّذِي يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ حَالِهِ لَا بِاخْتِلَافِ إِرَادَتِهِ فَقَالَ إِنْ كَانَ الْوَلَدُ طِفْلًا لَا يَجُوزُ قَطْعُ رَضَاعِهِ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَانَ بِهِ مُولِيًا، وَإِنْ كَانَ مُشَدًّا يَجُوزُ قَطْعُ رَضَاعِهِ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ لَمْ يَكُنْ بِهِ مُولِيًا، وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ وَالْأَكْثَرِ مِنْ أَصْحَابِنَا، لِأَنَّ قَطْعَهَا لِرَضَاعِهِ مُمْكِنٌ وَإِنْ مَنَعَ مِنْهُ الشَّرْعُ، وَالْإِيلَاءُ مُتَعَلِّقٌ بِإِمْكَانِ الْفِعْلِ لَا بِجَوَازِهِ فِي الشَّرْعِ، وَعَلَى هَذَا الِاخْتِلَافِ لَوْ عَلَّقَ بِمَا يُمْكِنُ فِعْلُهُ لَكِنْ يَمْنَعُ الشَّرْعُ مِنْهُ كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى تَقْتُلِي أَخَاكِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا عَلَى مَعْنَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ؛ لِأَنَّهَا تَقْدِرُ عَلَى قَتْلِهِ فِي الْحَالِ، وَكَانَ مُولِيًا عَلَى قَوْلِ مَنْ خَالَفَهُ؛ لِأَنَّ الشَّرْعَ مَنَعَهَا مِنْ قَتْلِهِ، وَمِنْ هَذَا الْقِسْمِ أَنْ يَقُولَ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى تَخْرُجِي إِلَى الْحَجِّ فَإِنْ أَرَادَ بِهِ زَمَانَ الْخُرُوجِ الْمَعْهُودِ كَانَ بِهِ مُولِيًا إِذَا بَقِيَ إِلَيْهِ أَكْثَرُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، وَإِنْ أَرَادَ بِهِ فِعْلَهَا لِلْخُرُوجِ لَمْ يَكُنْ بِهِ مُولِيًا لِأَنَّهُ يُمْكِنُهَا الْخُرُوجُ قَبْلَ الْمُدَّةِ.

Bagian kelima: yaitu apa yang berbeda-beda tergantung pada maksudnya, seperti ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai engkau menyapih anakmu.” Jika yang dimaksud adalah memutuskan penyusuan, maka ia tidak menjadi mu‘li (orang yang melakukan ila’), karena ia bisa memutuskannya saat itu juga. Namun jika yang dimaksud adalah masa penyusuan dua tahun, maka dilihat sisa waktunya: jika sisa waktunya lebih dari empat bulan, maka ia menjadi mu‘li; jika kurang, maka tidak menjadi mu‘li. Di antara ulama mazhab kami ada yang memasukkan hal ini ke dalam bagian keempat, yaitu yang berbeda-beda tergantung pada keadaannya, bukan pada maksudnya. Mereka berkata: jika anak itu masih bayi dan tidak boleh memutuskan penyusuannya sebelum empat bulan, maka ia menjadi mu‘li; jika anak itu sudah besar dan boleh memutuskan penyusuannya sebelum empat bulan, maka tidak menjadi mu‘li. Pendapat pertama lebih kuat, dan ini adalah pendapat Ibnu Surayj dan mayoritas ulama mazhab kami, karena memutuskan penyusuan itu memungkinkan meskipun dilarang oleh syariat, dan ila’ itu terkait dengan kemungkinan melakukan perbuatan, bukan kebolehannya menurut syariat. Berdasarkan perbedaan pendapat ini, jika seseorang menggantungkan pada sesuatu yang bisa dilakukan namun dilarang syariat, seperti ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai engkau membunuh saudaramu,” maka menurut pendapat Abu al-‘Abbas, ia tidak menjadi mu‘li, karena ia mampu membunuhnya saat itu juga. Namun menurut pendapat yang berbeda, ia menjadi mu‘li karena syariat melarangnya membunuh. Termasuk dalam bagian ini adalah jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai engkau keluar untuk haji.” Jika yang dimaksud adalah waktu keluar yang biasa, maka ia menjadi mu‘li jika waktu yang tersisa lebih dari empat bulan. Jika yang dimaksud adalah perbuatannya keluar, maka ia tidak menjadi mu‘li karena ia bisa keluar sebelum waktu tersebut.

وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: مَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ زَمَانِهِ كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى يَسْقُطَ الْبَلَحُ أَوْ يَجْمُدَ الْمَاءُ، فَإِنْ كَانَ هَذَا فِي الشِّتَاءِ وَزَمَانِ الْبَرْدِ لَمْ يَكُنْ بِهِ مُولِيًا لِإِمْكَانِهِ فِي الْحَالِ، وَإِنْ كَانَ فِي الصَّيْفِ وَزَمَانِ الْحَرِّ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ في آخره والباقي في الشِّتَاءِ أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، وَإِنْ كَانَ فِي أَوَّلِهِ وَالْبَاقِي مِنْهُ إِلَى الشِّتَاءِ أَكْثَرُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَانَ مُولِيًا، وَلَوْ قَالَ وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى يَجِيءَ الْمَطَرُ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مِنْ جَعَلَهُ فِي أَوَّلِ الصَّيْفِ كَالثَّلْجِ يَكُونُ بِهِ مُولِيًا لِتَعَزُّرِهِ فِي الْأَغْلَبِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا، وَفَرَّقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الثَّلْجِ، بِأَنَّ الْمَطَرَ قَدْ يَجِيءُ فِي الصَّيْفِ وَالثَّلْجَ لَا يَكُونُ فِي الصَّيْفِ، فَأَمَّا الْبِلَادُ الَّتِي يعهد فيها المطر صيفاً وشتاءاً كَبِلَادٍ طَبَرِسْتَانَ فَلَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ.

Bagian keenam: yaitu apa yang berbeda-beda tergantung pada waktunya, seperti ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai kurma jatuh atau air membeku.” Jika ini diucapkan pada musim dingin dan waktu dingin, maka ia tidak menjadi mu‘li karena hal itu bisa terjadi saat itu juga. Namun jika diucapkan pada musim panas dan waktu panas, maka dilihat: jika di akhir musim panas dan sisa waktu menuju musim dingin kurang dari empat bulan, maka tidak menjadi mu‘li; jika di awal musim panas dan sisa waktu menuju musim dingin lebih dari empat bulan, maka ia menjadi mu‘li. Jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai turun hujan,” maka di antara ulama mazhab kami ada yang menganggap jika di awal musim panas seperti salju, maka ia menjadi mu‘li karena biasanya sulit terjadi. Ada juga yang berkata tidak menjadi mu‘li, dan membedakan antara hujan dan salju, karena hujan bisa saja turun di musim panas, sedangkan salju tidak terjadi di musim panas. Adapun negeri-negeri yang biasa turun hujan di musim panas dan musim dingin seperti negeri Ṭabaristān, maka tidak menjadi mu‘li, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama kami dalam hal ini.

وَالْقِسْمُ السَّابِعُ: مَا لَا يَكُونُ مُولِيًا لِتَكَافُؤِ أَحْوَالِهِ، كَقَوْلِهِ وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى يَبْرَأَ هَذَا الْمَرِيضُ أَوْ حَتَّى يَمْرَضَ هَذَا الصَّحِيحُ أَوْ حَتَّى تَتَعَلَّمِي الْكِتَابَةَ أَوْ حَتَّى يُطَلِّقَ فُلَانٌ زَوْجَتَهُ أَوْ حَتَّى يَعْتِقَ عَبْدَهُ، فَلَا يَكُونُ بِذَلِكَ مُولِيًا لِإِمْكَانِ حُدُوثِهِ وَتَقَدُّمِهِ عَلَى مُدَّةِ التَّرَبُّصِ كَإِمْكَانِ تَأَخُّرِهِ عَنْهُ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى تَلْبَسِي هَذَا الثَّوْبَ أَوْ تَدْخُلِي هَذِهِ الدَّارَ أَوْ حَتَّى أُخْرِجَكِ مِنْ هَذَا الْبَلَدِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، لِإِمْكَانِ فِعْلِ ذَلِكَ فِي الْحَالِ وَلَا يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُهَا مِنَ الْبَلَدِ لِيَبَرَّ فِي يمينه إن وطء، لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَصِرْ مُولِيًا لَمْ يَلْزَمْهُ وَطْؤُهَا وَلَمْ يُطَالَبْ بِفَيْئَةٍ وَلَا طَلَاقٍ.

Bagian ketujuh: yaitu apa yang tidak menjadi mu‘li karena keadaan-keadaannya seimbang, seperti ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai orang sakit ini sembuh, atau sampai orang sehat ini sakit, atau sampai engkau belajar menulis, atau sampai si fulan menceraikan istrinya, atau sampai ia memerdekakan budaknya.” Maka dengan itu ia tidak menjadi mu‘li, karena kemungkinan terjadinya hal tersebut bisa lebih cepat dari masa penantian sebagaimana bisa juga lebih lambat darinya. Demikian pula jika ia berkata: “Aku tidak akan menggaulimu sampai engkau memakai baju ini, atau masuk ke rumah ini, atau sampai aku mengeluarkanmu dari negeri ini,” maka ia tidak menjadi mu‘li, karena hal itu bisa dilakukan saat itu juga. Ia juga tidak wajib mengeluarkannya dari negeri itu agar sumpahnya terpenuhi jika ia menggaulinya, karena jika ia tidak menjadi mu‘li, maka ia tidak wajib menggaulinya dan tidak dituntut untuk kembali (fa’), juga tidak wajib menceraikannya.

وَالْقِسْمُ الثَّامِنُ: مَا لَا يَكُونُ بِهِ مُولِيًا لِكَوْنِهِ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَقَوْلِهِ وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكِ حَتَّى تَذْبُلَ هَذِهِ الْبَقْلَةُ أَوْ حَتَّى يَخْتَمِرَ هَذَا الْعَجِينُ أَوْ حَتَّى يَحْمُضَ هَذَا الْعَصِيرُ أَوْ حَتَّى يَنْضَجَ هَذَا الْقِدْرُ فَلَا يَكُونُ بِذَلِكَ مُولِيًا لِوُجُودِ هَذَا كُلِّهِ فِي أَكْثَرَ مِنْ مُدَّةِ الْإِيلَاءِ.

Bagian kedelapan: adalah apa yang tidak menjadikan seseorang sebagai mu‘li (orang yang melakukan ila’) karena terjadi sebelum empat bulan, seperti ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai sayuran ini layu, atau sampai adonan ini mengembang, atau sampai sari buah ini menjadi asam, atau sampai masakan ini matang.” Maka dengan hal tersebut ia tidak menjadi mu‘li, karena semua hal itu bisa terjadi dalam waktu yang lebih singkat dari masa ila’.

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ سَبْعِ مَسَائِلَ، وَرَأْيُ الشَّافِعِيِّ قَدْ خَالَفَ فِي جَوَابِ بَعْضِ مَا يَتَكَلَّمُ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ اخْتِلَافُ جَوَابِهِ لِاخْتِلَافِ قَوْلِهِ، وَإِنَّمَا هُوَ لِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ عَلَى مَا بيناه في فطام [أم] الْوَلَدِ وَقُدُومِ الْغَائِبِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun al-Muzani, ia telah mengumpulkan tujuh permasalahan, dan pendapat asy-Syafi‘i berbeda dalam jawaban sebagian dari apa yang dibahasnya. Perbedaan jawaban beliau bukan karena perbedaan pendapat, melainkan karena perbedaan keadaan, sebagaimana telah kami jelaskan dalam masalah penyapihan anak dan kedatangan orang yang bepergian. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: (وَلَوْ قَالَ وَاللَّهِ لَا أَقْرَبُكِ إِنْ شِئْتِ فَشَاءَتْ فِي الْمَجْلِسِ فَهُوَ مُولٍ) .

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu jika engkau menghendaki,’ lalu ia (istri) menghendakinya dalam satu majelis, maka ia menjadi mu‘li.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ تَعْلِيقَ الْإِيلَاءِ بِمَشِيئَتِهَا عَلَى أَرْبَعَةِ أقسام:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa menggantungkan ila’ pada kehendaknya (istri) terbagi menjadi empat bagian:

أحدها: أن يقول: والله لا أقربك إن شئت أن أَقْرَبَكِ فَتَكُونَ مَشِيئَتُهَا أَنْ لَا يَقْرَبَهَا شَرْطًا فِي الْإِيلَاءِ مِنْهَا، فَإِنْ شَاءَتْ أَنْ لَا يَقْرَبَهَا انْعَقَدَ الْإِيلَاءُ، وَإِنْ لَمْ تَشَأْ لَمْ يَنْعَقِدْ. وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَقُولَ: وَاللَّهِ لَا قَرَبْتُكِ إِنْ شِئْتِ أَنْ أَقْرَبَكِ فَيَكُونَ مَشِيئَتُهَا أَنْ يَقْرَبَهَا شَرْطًا فِي انْعِقَادِ الْإِيلَاءِ مِنْهَا فَإِنْ شَاءَتْ أَنْ يَقْرَبَهَا، انْعَقَدَ الْإِيلَاءُ فِيهَا وَإِنْ لَمْ تَشَأْ لَمْ يَنْعَقِدْ بِخِلَافِ الْقِسْمِ الأول. لَمْ يَنْعَقِدْ بِخِلَافِ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ.

Pertama: Ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu jika engkau menghendaki aku mendekatimu.” Maka kehendaknya agar ia tidak mendekatinya menjadi syarat dalam ila’ dari pihak istri. Jika ia menghendaki agar tidak didekati, maka ila’ menjadi sah; jika tidak, maka tidak sah. Bagian kedua: Ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu jika engkau menghendaki aku mendekatimu.” Maka kehendaknya agar ia didekati menjadi syarat dalam terjadinya ila’ dari pihak istri. Jika ia menghendaki agar didekati, ila’ menjadi sah; jika tidak, maka tidak sah, berbeda dengan bagian pertama.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَقُولَ: وَاللَّهِ لَا أَقْرَبَنَّكِ إِنْ شِئْتِ فَتَكُونَ مَشِيئَتُهَا أَنْ لَا يَقْرَبَهَا شَرْطًا، وَلَا تَكُونَ مَشِيئَتُهَا أَنْ يَقْرَبَهَا شَرْطًا، وَإِنَّمَا وَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى ذَلِكَ مَعَ الْإِطْلَاقِ لِأَنَّ مِنْ حُكْمِ الشَّرْطِ أَنْ يَكُونَ وَفْقَ الْمَشْرُوطِ الَّذِي حَلَفَ عَلَيْهِ وَهُوَ حَلَفَ أَنْ لَا يَقْرَبَهَا فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ مَشِيئَتُهَا أَنْ لَا يَقْرَبَهَا.

Bagian ketiga: Ia berkata, “Demi Allah, aku benar-benar tidak akan mendekatimu jika engkau menghendaki.” Maka kehendaknya agar tidak didekati menjadi syarat, dan kehendaknya agar didekati tidak menjadi syarat. Hal ini harus dipahami demikian secara mutlak, karena hukum syarat adalah sesuai dengan yang disyaratkan yang ia sumpahkan, dan ia bersumpah untuk tidak mendekatinya, maka haruslah kehendaknya agar tidak didekati.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَقُولَ: وَاللَّهِ لَا أَقْرَبُكِ إِلَّا أَنْ تَشَائِي فَتَكُونَ مَشِيئَتُهَا أَنْ لَا يَقْرَبَهَا شَرْطًا فِي رَفْعِ الْإِيلَاءِ لَا فِي انْعِقَادِهِ بِخِلَافِ مَا تَقَدَّمَ، فَإِنْ شَاءَتْ لَمْ يَنْعَقِدْ وَإِنْ لَمْ تَشَأِ انْعَقَدَ، لِأَنَّ قَوْلَهُ وَاللَّهِ لَا أَقْرَبُكِ إِثْبَاتٌ وَقَوْلَهُ إِلَّا أَنْ تَشَائِي نَفْيٌ، فَصَارَ مُثْبِتًا لِلْإِيلَاءِ بِغَيْرِ شَرْطٍ، وَمُثْبِتًا لَهُ بِوُجُودِ الشَّرْطِ.

Bagian keempat: Ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu kecuali jika engkau menghendaki.” Maka kehendaknya agar tidak didekati menjadi syarat dalam menggugurkan ila’, bukan dalam terjadinya, berbeda dengan yang telah disebutkan sebelumnya. Jika ia menghendaki, maka tidak terjadi ila’; jika tidak menghendaki, maka ila’ terjadi. Karena ucapannya “Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu” adalah penetapan, dan ucapannya “kecuali jika engkau menghendaki” adalah penafian, sehingga menjadi penetapan ila’ tanpa syarat, dan juga penetapan ila’ dengan adanya syarat.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَحْكَامِ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى صِفَةِ مَشِيئَتِهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ عَلَى التَّرَاخِي كَمَا لَوْ عَلَّقَ طَلَاقَهَا بِمَشِيئَتِهَا لِأَنَّ فِيهِمَا نَوْعًا مِنَ التَّمْلِيكِ، وَهَلْ يُرَاعَى فِيهِ حُكْمُ الْفَوْرِ أَوْ حُكْمُ الْمَجْلِسِ، عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا فِي كِتَابِ الطَّلَاقِ:

Setelah jelas apa yang telah kami uraikan tentang hukum-hukum dari empat bagian tersebut, maka pembahasan berpindah kepada sifat kehendaknya (istri). Tidak boleh kehendak itu dilakukan secara bertangguh, sebagaimana jika seseorang menggantungkan talaknya pada kehendak istrinya, karena pada keduanya terdapat unsur penyerahan hak. Apakah dalam hal ini diperhatikan hukum segera atau hukum majelis? Ada dua pendapat yang telah dijelaskan dalam Kitab Thalaq:

أَحَدُهُمَا: يُرَاعَى حُكْمُ الْفَوْرِ، فَعَلَى هَذَا يَحْتَاجُ أَنْ تَكُونَ مَشِيئَتُهَا جَوَابًا فِي الْحَالِ كَالْقَبُولِ فِي الْعُقُودِ وَإِنْ تَمَادَى زَمَانًا وَإِنْ قَلَّ أَوْ تَخَلَّلَهُمَا كَلَامٌ بَطَلَتْ مَشِيئَتُهَا فَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا حُكْمٌ.

Salah satunya: diperhatikan hukum segera, sehingga dalam hal ini kehendaknya harus berupa jawaban langsung pada saat itu juga, seperti penerimaan dalam akad. Jika waktu berlalu, meskipun sebentar, atau di antara keduanya terdapat pembicaraan lain, maka kehendaknya batal dan tidak terkait padanya suatu hukum.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يُرَاعَى فِيهَا الْمَجْلِسُ، فَإِنْ شَاءَتْ قَبْلَ الِافْتِرَاقِ صَحَّتْ مَشِيئَتُهَا وَثَبَتَ حُكْمُهَا، وَإِنْ شَاءَتْ بَعْدَ الِافْتِرَاقِ فَلَا حُكْمَ لِمَشِيئَتِهَا، فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ تَعْلِيقُ الْإِيلَاءِ، بِمَشِيئَتِهَا رِضًا مِنْهَا بِإِسْقَاطِ حَقِّهَا مِنَ الْمُطَالَبَةِ كَتَعْلِيقِ الطَّلَاقِ فِي الْمَرَضِ بِمَشِيئَتِهَا رِضًا مِنْهَا فِي إِسْقَاطِ حَقِّهَا مِنَ الْمِيرَاثِ، قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمُطَالَبَةَ بِحُكْمِ الْإِيلَاءِ لَا يَجِبُ إِلَّا بِثُبُوتِ الْإِيلَاءِ، فَلَمْ يَكُنْ رِضَاهَا بِالْإِيلَاءِ مُسْقِطًا لِثُبُوتِ حَقِّهَا مِنْهُ، وَالْمِيرَاثُ يَسْقُطُ بِالطَّلَاقِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ رِضَاهَا بِالطَّلَاقِ مُسْقِطًا لِحَقِّهَا مِنَ الْمِيرَاثِ.

Pendapat kedua: yang diperhatikan adalah majelisnya, maka jika ia (istri) menghendaki sebelum berpisah, keinginannya sah dan hukumnya tetap berlaku. Namun jika ia menghendaki setelah berpisah, maka keinginannya tidak memiliki hukum. Jika ada yang bertanya: Mengapa penangguhan ila’ (sumpah tidak menggauli istri) dengan keinginannya dianggap sebagai kerelaan darinya untuk menggugurkan haknya dalam menuntut, sebagaimana penangguhan talak pada saat sakit dengan keinginannya dianggap sebagai kerelaan darinya untuk menggugurkan haknya dari warisan? Maka dijawab: Perbedaannya adalah bahwa tuntutan atas hukum ila’ tidak wajib kecuali setelah ila’ itu terbukti, sehingga kerelaannya terhadap ila’ tidak menggugurkan haknya darinya. Sedangkan warisan gugur dengan talak, maka boleh saja kerelaannya terhadap talak menggugurkan haknya dari warisan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا أَقْرَبُكِ إِنْ شَاءَ زَيْدٌ، فَلَا يُعْتَبَرُ الْفَوْرُ فِي مَشِيئَةِ زَيْدٍ، بِخِلَافِ مَشِيئَتِهَا، لِأَنَّهُ إِذَا عَلَّقَ ذَلِكَ بِمَشِيئَتِهَا كَانَ فِيهِ تَمْلِيكٌ فروعي فيه الفور، وإذا علق بِمَشِيئَةِ غَيْرِهَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ تَمْلِيكٌ، فَلَمْ يُرَاعَ فِيهِ الْفَوْرُ، فَمَتَى قَالَ زَيْدٌ قَدْ شِئْتُ عَلَى الْفَوْرِ أَوِ التَّرَاخِي انْعَقَدَ الْإِيلَاءُ، وَإِنْ قَالَ لَسْتُ أَشَأْ لَمْ يَنْعَقِدْ، وَإِنْ مَاتَ وَلَمْ تَعْلَمْ مَشِيئَتَهُ لَمْ يَنْعَقِدِ الْإِيلَاءُ لِأَنَّ الْأَصْلَ أَنْ لَا مَشِيئَةَ وَاللَّهُ تَعَالَى أعلم.

Dan jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu jika Zaid menghendaki,” maka tidak disyaratkan segera dalam keinginan Zaid, berbeda dengan keinginannya (istri). Karena jika ia menangguhkan hal itu pada keinginan istrinya, berarti di dalamnya ada unsur pemberian hak, maka disyaratkan segera. Namun jika ia menangguhkan pada keinginan selain istrinya, maka tidak ada unsur pemberian hak, sehingga tidak disyaratkan segera. Maka kapan saja Zaid berkata, “Aku menghendaki,” baik segera maupun ditunda, maka ila’ menjadi sah. Jika ia berkata, “Aku tidak menghendaki,” maka tidak sah. Dan jika ia meninggal dunia dan tidak diketahui keinginannya, maka ila’ tidak sah, karena asalnya adalah tidak ada keinginan. Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَالْإِيلَاءُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا سِوَاءٌ لِمَا تَكُونُ الْيَمِينُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا سَوَاءٌ وَقَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى الْإِيلَاءَ مُطْلَقًا) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Ila’ dalam keadaan marah dan ridha adalah sama, karena sumpah dalam keadaan marah dan ridha itu sama, dan Allah Ta‘ala telah menurunkan hukum ila’ secara mutlak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْإِيلَاءُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا سَوَاءٌ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ.

Al-Mawardi berkata: Ila’ dalam keadaan marah dan ridha adalah sama, dan demikian pula pendapat Abu Hanifah.

وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَكُونُ مُولِيًا إِلَّا فِي الْغَضَبِ دُونَ الرِّضَا وَحَكَى نَحْوَهُ عَنْ عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا؛ لِأَنَّ قَصْدَ الْإِضْرَارِ إِنَّمَا يَكُونُ فِي الْغَضَبِ، فَكَانَ الْغَضَبُ فِيهِ شَرْطًا، وَهَذَا فَاسِدٌ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} [البقرة: 226] وَلَمْ يُفَرِّقْ، لِأَنَّهَا يَمِينٌ بِاللَّهِ تَعَالَى فَاسْتَوَى فِيهَا حَالُ الْغَضَبِ وَالرِّضَا كَسَائِرِ الْأَيْمَانِ وَلِأَنَّ كُلَّ حَالٍ انْعَقَدَتْ فِيهَا الْيَمِينُ فِي غَيْرِ الْإِيلَاءِ انْعَقَدَتْ فِيهَا يَمِينُ الْإِيلَاءِ كَالْغَضَبِ.

Sedangkan Malik berkata: Tidak dianggap sebagai mu-li kecuali dalam keadaan marah, tidak dalam keadaan ridha, dan ia meriwayatkan hal yang serupa dari Ali dan Ibnu Abbas ra.; karena maksud untuk menimbulkan mudarat itu hanya ada dalam keadaan marah, maka marah menjadi syarat di dalamnya. Namun pendapat ini batal karena keumuman firman Allah Ta‘ala: {Bagi orang-orang yang melakukan ila’ terhadap istri-istri mereka, diberi waktu menunggu empat bulan} (QS. al-Baqarah: 226), dan tidak membedakan. Karena itu adalah sumpah dengan nama Allah Ta‘ala, maka keadaan marah dan ridha sama saja di dalamnya seperti sumpah-sumpah yang lain. Dan karena setiap keadaan di mana sumpah sah selain ila’, maka sumpah ila’ juga sah di dalamnya, seperti dalam keadaan marah.

فَأَمَّا قَصْدُ الْإِضْرَارِ فَلَا يُرَاعَى فِيهَا وَإِنَّمَا يُرَاعَى وُجُودُهُ دُونَ قَصْدِهِ، وَقَدْ وُجِدَ فِي الرِّضَا كَوُجُودِهِ فِي الْغَضَبِ وَإِنْ لَمْ يقصد.

Adapun maksud untuk menimbulkan mudarat tidak diperhatikan dalam hal ini, yang diperhatikan hanyalah keberadaannya, bukan maksudnya. Dan keberadaan mudarat itu bisa saja ada dalam keadaan ridha sebagaimana dalam keadaan marah, meskipun tidak dimaksudkan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ قَالَ وَاللَّهِ لَا أَقْرَبُكِ حَتَى أُخْرِجَكَ مِنْ هَذَا الْبَلَدِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا لِأَنَهُ قَدْ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يُخْرِجَهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ وَلَا يُجْبَرُ عَلَى إِخْرَاجِهَا) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu sampai aku mengeluarkanmu dari negeri ini,’ maka ia tidak dianggap sebagai mu-li, karena bisa jadi ia mampu mengeluarkannya sebelum berakhirnya empat bulan dan ia tidak dipaksa untuk mengeluarkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ ذَكَرْنَا هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ فِيمَا تَقَدَّمَ مِنَ التَّقْسِيمِ فَإِذَا حَلَفَ أَنْ لَا يَقْرَبَهَا حَتَّى يُخْرِجَهَا مِنَ الْبَلَدِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى إِخْرَاجِهَا مَتَى شَاءَ، وَيَقْرَبُهَا مِنْ غَيْرِ حِنْثٍ، فَصَارَ كَقَوْلِهِ: لَا أَقْرَبُكِ فِي هَذِهِ الدَّارِ، فَلَا يَكُونُ مُولِيًا لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى إِخْرَاجِهَا وَإِصَابَتِهَا مِنْ غَيْرِ حِنْثٍ، فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ مُولِيًا وَإِنْ قَدَرَ عَلَى إِخْرَاجِهَا كَمَا لَوْ حَلَفَ بِعِتْقِ عَبْدِهِ أَنْ لَا يَقْرَبَهَا كَانَ مُولِيًا، وَإِنْ قَدَرَ عَلَى بَيْعِ عَبْدِهِ فَلَا يَعْتِقُ بِوَطْئِهَا ثُمَّ يَبْتَاعُهُ إِنْ شَاءَ، قِيلَ الظَّاهِرُ مِنَ الْأَمْلَاكِ اقْتِنَاؤُهَا وَاسْتِيفَاؤُهَا، وَفِي بَيْعِهَا ضَرَرٌ، وَفِي تَمْلِيكِ الْغَيْرِ لَهَا أَسَفٌ، وَفِي اسْتِرْجَاعِهَا تَعَذُّرٌ، فَصَارَ الضَّرَرُ مُتَوَجِّهًا عَلَيْهِ فِي بَيْعِ الْعَبْدِ كَتَوَجُّهِهِ فِي عِتْقِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِخْرَاجُهَا مِنَ الْبَلَدِ، لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ عَلَيْهِ، وَرُبَّمَا كَانَ فِيهِ نزهة، وفي إِخْرَاجِهَا إِلَى ظَاهِرِ الْبَلَدِ، فَافْتَرَقَا، فَلَوْ قَالَ لَا أَقْرَبُكِ حَتَّى أُخْرِجَكِ إِلَى بَلَدِ كَذَا، فَإِنْ كَانَ الْبَلَدُ الَّذِي حَلَفَ أَنْ يُخْرِجَهَا إِلَيْهِ عَلَى مَسَافَةٍ أَكْثَرَ مِنْ مَسَافَةِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ كَانَ مُولِيًا، وَإِنْ كَانَ عَلَى أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، فَلَوْ قَالَ: لَا أَقْرَبُكِ حَتَّى أَهَبَ عَبْدِي كَانَ مُولِيًا لِأَنَّ فِي هِبَتِهِ إِدْخَالَ ضَرَرٍ عَلَيْهِ فَصَارَ كَقَوْلِهِ لَا أَقْرَبُكِ حَتَّى أَعْتِقَ عَبْدِي، فَاسْتَوَيَا فِي الضَّرَرِ بِزَوَالِ الْمِلْكِ، وَإِنْ كَانَتِ الْهِبَةُ أَضَرَّ لِعَدَمِ الثَّوَابِ فِيهَا، وَلَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا أَقْرَبُكِ حَتَّى أَبِيعَ عَبْدِي فَفِي إِيلَائِهِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan masalah ini pada pembahasan sebelumnya tentang pembagian. Jika seseorang bersumpah tidak akan mendekati istrinya sampai ia mengeluarkannya dari negeri, maka ia tidak dianggap sebagai mu’li (orang yang melakukan ila’) karena ia mampu mengeluarkannya kapan saja ia mau, dan dapat mendekatinya tanpa melanggar sumpah. Ini serupa dengan ucapannya: “Aku tidak akan mendekatimu di rumah ini,” maka ia tidak dianggap sebagai mu’li karena ia mampu mengeluarkannya dan menggaulinya tanpa melanggar sumpah. Jika ada yang bertanya: Mengapa ia tidak dianggap sebagai mu’li meskipun ia mampu mengeluarkannya, sebagaimana jika ia bersumpah dengan membebaskan budaknya untuk tidak mendekatinya, maka ia dianggap sebagai mu’li, padahal ia mampu menjual budaknya sehingga tidak jadi membebaskannya, lalu membelinya kembali jika ia mau? Maka dijawab: Kepemilikan yang tampak adalah dengan memiliki dan memanfaatkannya, sedangkan dalam menjualnya terdapat mudarat, dalam memberikan kepemilikan kepada orang lain terdapat penyesalan, dan dalam mengambilnya kembali terdapat kesulitan. Maka mudarat dalam menjual budak sama seperti mudarat dalam membebaskannya. Tidak demikian halnya dengan mengeluarkan istri dari negeri, karena tidak ada mudarat baginya, bahkan mungkin di dalamnya terdapat hiburan, atau mengeluarkannya ke luar kota, sehingga keduanya berbeda. Jika ia berkata: “Aku tidak akan mendekatimu sampai aku mengeluarkanmu ke negeri tertentu,” maka jika negeri yang ia sumpahkan untuk mengeluarkannya itu berjarak lebih dari empat bulan perjalanan, ia dianggap sebagai mu’li. Namun jika kurang dari itu, ia tidak dianggap sebagai mu’li. Jika ia berkata: “Aku tidak akan mendekatimu sampai aku menghadiahkan budakku,” maka ia dianggap sebagai mu’li karena dalam pemberian tersebut terdapat mudarat baginya, sehingga sama seperti ucapannya: “Aku tidak akan mendekatimu sampai aku membebaskan budakku,” keduanya sama dalam hal mudarat karena hilangnya kepemilikan, meskipun hibah lebih mudarat karena tidak ada imbalan di dalamnya. Jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu sampai aku menjual budakku,” maka dalam hal ila’ ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ مُولِيًا لِتَعْلِيقِ ذَلِكَ بِزَوَالِ مِلْكِهِ عَنْهُ، فَصَارَ الضَّرَرُ بِبَيْعِهِ دَاخِلًا عَلَيْهِ.

Pertama: Ia dianggap sebagai mu’li karena mengaitkan hal itu dengan hilangnya kepemilikan atas budaknya, sehingga mudarat dari penjualan budak itu menimpanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ مُولِيًا؛ لِأَنَّ الثَّمَنَ الَّذِي فِي مُقَابَلَتِهِ يَمْنَعُ مِنْ دُخُولِ ضَرَرٍ عَلَيْهِ، وَرُبَّمَا وَجَدَ فِيهِ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ، وَلَوْ قِيلَ إِنْ كَانَ هَذَا الْعَبْدُ لِلتِّجَارَةِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا لِبَيْعِهِ، وَإِنْ كَانَ لِلْفَيْئَةِ كَانَ مُولِيًا بِبَيْعِهِ، كَانَ لَهُ وَجْهٌ؛ لِأَنَّ بَيْعَ مَالِ التِّجَارَةِ مُفِيدٌ، وَبَيْعَ مَالِ الْفَيْئَةِ مُضِرٌّ، فَيَكُونُ ذَلِكَ وَجْهًا ثَالِثًا – وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Ia tidak dianggap sebagai mu’li, karena harga yang didapat dari penjualan budak itu mencegah terjadinya mudarat baginya, bahkan mungkin ia mendapatkan harga lebih dari nilai budak tersebut. Jika dikatakan bahwa jika budak itu untuk perdagangan maka ia tidak dianggap sebagai mu’li dengan menjualnya, namun jika untuk pelayanan (fai’ah) maka ia dianggap sebagai mu’li dengan menjualnya, maka ini adalah pendapat yang masuk akal; karena menjual harta dagangan itu bermanfaat, sedangkan menjual harta pelayanan itu merugikan, sehingga ini menjadi pendapat ketiga – wallahu a’lam.

(باب الإيلاء من نسوة)

(Bab Ila’ dari Beberapa Istri)

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَلَوْ قَالَ لِأَرْبَعِ نِسْوَةٍ لَهُ وَاللَّهِ لَا أَقْرَبُكُنَّ فَهُوَ مُولٍ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ يُوقَفُ لِكُلِّ واحدة منهن فإذا أصاب واحدة أو ثنتين خرجتا من حكم الإيلاء ويوقف للباقيتين حتى يَفِيءَ أَوْ يُطَلِّقَ وَلَا حِنْثَ عَلَيْهِ حَتَّى يُصِيبَ الْأَرْبَعَ اللَّائِي حَلَفَ عَلَيْهِنَّ كُلَّهِنَّ وَلَوْ طَلَّقَ مِنْهُنَّ ثَلَاثًا كَانَ مُولِيًا مِنَ الْبَاقِيَةِ لأنه لو جامعها واللائي طَلَّقَ حَنِثَ وَلَوْ مَاتَتْ إِحْدَاهُنَّ سَقَطَ عَنْهُ الْإِيلَاءُ لِأَنَّهُ يُجَامِعُ الْبَوَاقِيَ وَلَا يَحْنَثُ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) أَصْلُ قَوْلِهِ أَنَّ كُلَّ يَمِينٍ مَنَعَتِ الْجَمَاعَ بِكُلِّ حَالٍ فَهُوَ بِهَا مُولٍ وَقَدْ زَعَمَ أَنَّهُ مُولٍ مِنَ الرَّابِعَةِ الْبَاقِيَةِ وَلَوْ وَطِئَهَا وَحْدَهَا مَا حَنِثَ فَكَيْفَ يَكُونُ مِنْهَا مولياً؟ ثم بين ذلك بقوله لو ماتت إحداهن سقط عنه الإيلاء والقياس أنه لا إيلاء عليه حتى يطأ ثلاثاً يكون مولياً من الرابعة لأنه لا يقدر أن يطأها إلا حنث وهذا بقوله أولى) .

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata kepada empat istrinya, ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekati kalian,’ maka ia adalah mu’li dari semuanya, dan masa penantian (yuwqafu) berlaku untuk masing-masing dari mereka. Jika ia menggauli salah satu atau dua dari mereka, maka keduanya keluar dari hukum ila’, dan masa penantian tetap berlaku bagi dua sisanya hingga ia kembali (berhubungan) atau menceraikan, dan tidak ada pelanggaran sumpah atasnya sampai ia menggauli keempat istri yang ia sumpahi semuanya. Jika ia menceraikan tiga dari mereka, maka ia tetap menjadi mu’li dari yang tersisa, karena jika ia menggaulinya dan yang telah dicerai, ia melanggar sumpah. Jika salah satu dari mereka meninggal, maka ila’ gugur darinya, karena ia dapat menggauli yang tersisa tanpa melanggar sumpah. (Al-Muzani berkata) Dasar pendapatnya adalah bahwa setiap sumpah yang mencegah hubungan suami istri dalam segala keadaan, maka dengan itu ia menjadi mu’li. Ia juga berpendapat bahwa ia menjadi mu’li dari istri keempat yang tersisa, dan jika ia hanya menggaulinya saja, ia tidak melanggar sumpah. Lalu bagaimana ia bisa menjadi mu’li darinya? Kemudian ia menjelaskan dengan ucapannya: Jika salah satu dari mereka meninggal, maka ila’ gugur darinya, dan menurut qiyās, tidak ada ila’ atasnya sampai ia menggauli tiga orang, maka ia menjadi mu’li dari yang keempat, karena ia tidak mampu menggaulinya kecuali dengan melanggar sumpah, dan ini lebih utama menurut pendapatnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَصِلُ هَذَا الْبَابِ أَنَّ مَنْ حَلَفَ عَلَى جُمْلَةٍ لَمْ يَحْنَثْ بِتَفْصِيلِهَا، فَإِذَا قَالَ لِأَرْبَعِ زَوْجَاتٍ لَهُ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُكُنَّ لَمْ يَحْنَثْ بِإِصَابَةِ وَاحِدَةٍ أَوِ اثْنَتَيْنِ أَوْ ثَلَاثٍ حَتَّى يُصِيبَ الْأَرْبَعَ كُلَّهُنَّ كَمَا لَوْ قال: والله لا كلمت هؤلاء االأربع الْيَوْمَ لَمْ يَحْنَثْ بِكَلَامِ وَاحِدَةٍ وَلَا بِكَلَامِ اثْنَتَيْنِ وَلَا بِكَلَامِ ثَلَاثَةٍ حَتَّى يُكَلِّمَ الْأَرْبَعَ كُلَّهُنَّ فَيَحْنَثَ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْإِيلَاءُ مُتَوَجِّهٌ إِلَى جَمِيعِهِنَّ وَلَا يَتَعَيَّنُ إِلَّا فِي وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، وَتَعْيِينُهُ فِيهَا بِوَطْءِ مَنْ سِوَاهَا، فَإِذَا جَاءَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ تُطَالِبُ بِحُكْمِ الْإِيلَاءِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهَا، لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى وَطْئِهَا وَلَا يَحْنَثُ، فَإِنْ وَطِئَهَا خَرَجَتْ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ، فَإِنْ جَاءَتِ الثَّانِيَةُ فَطَالَبَتْهُ لَمْ يَكُنْ لَهَا، لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى وَطْئِهَا وَلَا يَحْنَثُ، فَإِنْ وَطِئَهَا خَرَجَتْ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ، فَإِنْ جَاءَتِ الثَّالِثَةُ فَطَالَبَتْهُ لَمْ يَكُنْ لَهَا لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى وَطْئِهَا وَلَا يَحْنَثُ، فَإِنْ وَطِئَهَا خَرَجَتْ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ وَتَعَيَّنَ الْإِيلَاءُ حِينَئِذٍ فِي الرَّابِعَةِ، وَكَانَ لَهَا الْمُطَالَبَةُ لِأَنَّهُ مَتَى وَطِئَهَا حَنِثَ، وَأَوَّلُ مُدَّةِ الْوَقْفِ لَهَا مِنْ بَعْدِ أَنْ تَعَيَّنَ الْإِيلَاءُ مِنْهَا، لِأَنَّ مَا لَمْ يَكُنْ وَقْتًا لِلْحِنْثِ لَمْ يَكُنْ وَقْتًا لِلْوَقْفِ، فَإِذَا انْقَضَتْ مُدَّةُ الْوَقْفِ طُولِبَ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، فَإِنْ فَاءَ حَنِثَ وَكَفَّرَ، وَإِنْ طَلَّقَ فَعَلَى مَا مَضَى مِنْ خُرُوجِهِ مِنْ حكم الإيلاء وعوده إن راجع، هذا فقه المسألة.

Al-Mawardi berkata: Pokok dari pembahasan ini adalah bahwa siapa saja yang bersumpah atas suatu hal secara keseluruhan, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah hanya dengan melakukan sebagian dari hal tersebut. Maka, jika seseorang berkata kepada empat istrinya: “Demi Allah, aku tidak akan menggauli kalian,” maka ia tidak dianggap melanggar sumpah hanya dengan menggauli satu, dua, atau tiga dari mereka, sampai ia menggauli keempat-empatnya. Hal ini sebagaimana jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan berbicara dengan kalian berempat hari ini,” maka ia tidak dianggap melanggar sumpah hanya dengan berbicara dengan satu, dua, atau tiga dari mereka, sampai ia berbicara dengan keempat-empatnya, barulah ia dianggap melanggar sumpah. Jika demikian, maka sumpah ila’ (الإيلاء) itu berlaku untuk semuanya, dan tidak menjadi khusus pada salah satu dari mereka, dan penentuan khusus itu terjadi dengan menggauli selainnya. Maka, jika salah satu dari mereka datang menuntut pelaksanaan hukum ila’, maka itu belum menjadi haknya, karena ia masih memungkinkan untuk digauli tanpa melanggar sumpah. Jika ia digauli, maka ia keluar dari hukum ila’. Jika yang kedua datang menuntut, juga belum menjadi haknya, karena ia masih memungkinkan untuk digauli tanpa melanggar sumpah. Jika ia digauli, maka ia keluar dari hukum ila’. Jika yang ketiga datang menuntut, juga belum menjadi haknya, karena ia masih memungkinkan untuk digauli tanpa melanggar sumpah. Jika ia digauli, maka ia keluar dari hukum ila’, dan pada saat itu ila’ menjadi khusus pada istri keempat, dan ia berhak menuntut, karena kapan pun ia digauli, maka suaminya melanggar sumpah. Awal masa penantian (الوقف) untuknya dimulai setelah ila’ menjadi khusus padanya, karena selama belum menjadi waktu untuk melanggar sumpah, maka belum menjadi waktu untuk penantian. Jika masa penantian telah selesai, maka suami dituntut untuk kembali (rujuk) atau menceraikan. Jika ia kembali, maka ia melanggar sumpah dan wajib membayar kafarat. Jika ia menceraikan, maka berlaku hukum sebagaimana yang telah lalu, yaitu keluarnya dari hukum ila’ dan kembalinya jika ia rujuk. Inilah fiqh masalah ini.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا بَيَانُ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ، فَقَوْلُهُ فَهُوَ مُولٍ مِنْهُنَّ كُلِّهُنَّ فِيهِ تَأْوِيلَانِ لِأَصْحَابِنَا:

Adapun penjelasan tentang perkataan Imam Syafi’i, yaitu ucapannya: “Maka ia adalah orang yang melakukan ila’ dari semuanya,” maka dalam hal ini terdapat dua penafsiran menurut para ulama kami:

أَحَدُهُمَا: مَعْنَاهُ فَهُوَ حَالِفٌ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْ وَطْئِهِنَّ كُلِّهِنَّ، وَلَمْ يُرِدْ أَنَّ الْإِيلَاءَ يُعْتَبَرُ فِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، وَإِنَّمَا يَجِيءُ هَذَا عَلَى 7 مَذْهَبِهِ فِي الْقَدِيمِ أَنَّ مَا قَارَبَ مِنَ الْإِيلَاءِ كَانَ بِهِ مُولِيًا وَقَدْ خَرَّجَهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ هَاهُنَا قَوْلًا فِي الْقَدِيمِ ثَانِيًا.

Salah satunya: Maksudnya adalah ia bersumpah untuk menahan diri dari menggauli semuanya, dan bukan berarti ila’ itu dianggap berlaku pada masing-masing dari mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul qadim (pendapat lama) bahwa siapa saja yang mendekati perbuatan ila’, maka ia dianggap telah melakukan ila’, dan hal ini juga dinukil oleh Ibn Abi Hurairah di sini sebagai salah satu pendapat dalam qaul qadim.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: مَعْنَاهُ فَهُوَ مُولٍ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ فِي الْجُمْلَةِ وَلَا يَتَعَيَّنُ إِلَّا فِي وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِوَطْءِ مَنْ سِوَاهَا، وَقَوْلُهُ يُوقَفُ لِكُلِّ واحد مِنْهُنَّ فِيهِ لِأَصْحَابِنَا تَأْوِيلَانِ أَيْضًا:

Penafsiran kedua: Maksudnya adalah ia melakukan ila’ dari semuanya secara keseluruhan, dan tidak menjadi khusus pada salah satu dari mereka kecuali dengan menggauli selainnya. Dan ucapannya: “Ditetapkan masa penantian untuk masing-masing dari mereka,” juga memiliki dua penafsiran menurut para ulama kami:

أَحَدُهُمَا: مَعْنَاهُ أَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ مَحِلٌّ لِلْوَقْفِ لَهَا، لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَتَعَيَّنَ الْإِيلَاءُ فِيهَا.

Salah satunya: Maksudnya adalah bahwa masing-masing dari mereka adalah pihak yang mungkin ditetapkan masa penantian untuknya, karena memungkinkan ila’ menjadi khusus padanya.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: مَعْنَاهُ: أَنَّهُ يُوقَفُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ إِنْ تَعَيَّنَ الْإِيلَاءُ فِيهَا بِوَطْءِ مَنْ سِوَاهَا وَقَوْلُهُ فَإِذَا أَصَابَ وَاحِدَةً أَوِ اثْنَتَيْنِ خَرَجَتَا من حكم الإيلاء، ويوقف للباقيتين حتى يفيء أو يطلق فخروج الموطؤتين مِنَ الْإِيلَاءِ صَحِيحٌ، وَأَمَّا قَوْلُهُ يُوقَفُ لِلْبَاقِيَتَيْنِ فَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى التَّأْوِيلَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ:

Penafsiran kedua: Maksudnya adalah masa penantian itu ditetapkan untuk masing-masing dari mereka jika ila’ telah menjadi khusus padanya dengan menggauli selainnya. Dan ucapannya: “Jika ia menggauli satu atau dua dari mereka, maka keduanya keluar dari hukum ila’, dan masa penantian ditetapkan untuk dua sisanya hingga suami kembali atau menceraikan,” maka keluarnya dua yang telah digauli dari hukum ila’ adalah benar. Adapun ucapannya: “Masa penantian ditetapkan untuk dua sisanya,” maka ini kembali pada dua penafsiran yang telah disebutkan:

أَحَدُهُمَا: مَعْنَاهُ أَنَّهُمَا مَحَلٌّ لِلْوَقْفِ لَهُمَا.

Salah satunya: Maksudnya adalah keduanya adalah pihak yang mungkin ditetapkan masa penantian untuknya.

وَالثَّانِي: مَعْنَاهُ أَنَّهُ يُوقَفُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا إِنْ تَعَيَّنَ الْإِيلَاءُ فِيهَا بِوَطْءِ الْأُخْرَى، وَفِيمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ هَذَا الْبَيَانِ مَا يَمْنَعُ اعْتِرَاضَ الْمُزَنِيِّ عَلَى ظَاهِرِ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ.

Yang kedua: Maksudnya adalah masa penantian itu ditetapkan untuk masing-masing dari mereka jika ila’ telah menjadi khusus padanya dengan menggauli yang lain. Dan penjelasan yang telah kami sebutkan ini cukup untuk menolak keberatan al-Muzani terhadap zahir ucapan Imam Syafi’i.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

ثُمَّ إِنَّ الشَّافِعِيَّ ذَكَرَ بَعْدَ الْإِيلَاءِ فِي الْأَرْبَعِ فَرْعَيْنِ:

Kemudian, Imam Syafi’i setelah membahas ila’ pada empat istri, menyebutkan dua cabang masalah:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُطَلِّقَ بَعْدَ الْأَرْبَعِ فَلَا يَسْقُطُ حُكْمُ الْإِيلَاءِ فِيمَنْ لَمْ يُطَلِّقْهَا مِنْهُنَّ، فَإِنْ طَلَّقَ مِنْهُنَّ ثَلَاثًا خَرَجْنَ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ بِالطَّلَاقِ وَيَكُونُ حُكْمُ الْإِيلَاءِ مَوْقُوفًا فِي الرَّابِعَةِ لَا يَتَعَيَّنُ فِيهَا لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى وَطْئِهَا وَلَا يَحْنَثُ وَلَا يَسْقُطُ الْإِيلَاءُ فِيهَا لِأَنَّهُ قَدْ يَطَأُ الثَّلَاثَ الْمُطَلَّقَاتِ بِنِكَاحٍ أَوْ سِفَاحٍ فَيَتَعَيَّنُ الْإِيلَاءُ فِي الرَّابِعَةِ؛ لِأَنَّهُ يَحْنَثُ بِوَطْئِهَا، وَوُقُوعُ الْحِنْثِ بِالْوَطْءِ الْمَحْظُورِ كَوُقُوعِهِ بِالْوَطْءِ الْمُبَاحِ.

Salah satu di antaranya: jika ia mentalak setelah empat (istri), maka hukum ila’ tidak gugur pada istri-istri yang tidak ia talak dari mereka. Jika ia menalak tiga dari mereka, maka ketiganya keluar dari hukum ila’ karena talak, dan hukum ila’ menjadi tertangguhkan pada istri keempat; tidak menjadi pasti pada dirinya, karena ia masih mampu menggaulinya dan tidak dianggap melanggar sumpah, serta ila’ tidak gugur pada dirinya, karena bisa jadi ia menggauli tiga istri yang telah ditalak itu baik dengan nikah maupun zina, sehingga ila’ menjadi pasti pada istri keempat; karena ia akan melanggar sumpah jika menggaulinya. Terjadinya pelanggaran sumpah dengan hubungan seksual yang terlarang sama seperti terjadinya pelanggaran dengan hubungan seksual yang diperbolehkan.

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ (الْأُمِّ) وَلَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ وَفُلَانَةَ لِلْأَجْنَبِيَّةِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا مِنَ امْرَأَتِهِ حَتَّى يَطَأَ الْأَجْنَبِيَّةَ فَيَصِيرَ مُولِيًا مِنَ امْرَأَتِهِ.

Imam Syafi‘i berkata dalam kitab *al-Umm*: “Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu dan si Fulanah (perempuan lain yang bukan istrinya),’ maka ia belum dianggap sebagai mu-li dari istrinya sampai ia menggauli perempuan lain itu, barulah ia menjadi mu-li dari istrinya.”

وَالْفَرْعُ الثَّانِي: أَنْ يَمُوتَ مِنَ الْأَرْبَعِ وَاحِدَةٌ فَيَسْقُطُ الْإِيلَاءُ مِنَ الثَّلَاثِ الْبَاقِيَاتِ لِأَنَّهُ لَا يَحْنَثُ بِوَطْئِهِنَّ لِفَوَاتِ الْوَطْءِ بِالْمَيِّتَةِ مِنْهُنَّ، فَأَسْقَطَ الشَّافِعِيُّ الْإِيلَاءَ بِالْمَوْتِ، وَلَمْ يُسْقِطْهُ بِالطَّلَاقِ؛ لِأَنَّ وَطْءَ الْمُطَلَّقَةِ لَمْ يَفُتْ وَوَطْءَ الْمَيِّتَةِ قَدْ فَاتَ، فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ يَطَأُ الْمَيِّتَةَ كَمَا يَطَأُ الْمُطَلَّقَةَ وَهُمَا وَطْآنِ مُحَرَّمَانِ، فَلِمَ أَجْرَيْتُمْ حُكْمَ الْوَطْءِ عَلَى أَحَدِهِمَا وَنَفَيْتُمُوهُ عَنِ الْآخَرِ؟ قُلْنَا: لِأَنَّ مُطْلَقَ عُرْفِ الْوَطْءِ يَنْتَفِي عَنْ وَطْءِ الْمَيِّتَةِ، لِأَنَّهُ لَوْ حَلَفَ لَا يَطَأُ زَوْجَتَهُ فَوَطِئَهَا بَعْدَ مَوْتِهَا. قَالَ أَصْحَابُنَا: لَمْ يَحْنَثْ وَتَنْتَفِي عَنْهُ أَحْكَامُ الْوَطْءِ مِنَ الْإِحْصَانِ وَكَمَالِ الْمَهْرِ وَتَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ وَإِنْ أَوْجَبَ الْغُسْلَ وَلَيْسَ كَذَلِكَ وَطْءُ الْحَيَّةِ، لِأَنَّ مُطْلَقَ اسْمِ الْوَطْءِ عُرْفًا يَنْطَلِقُ عَلَى وَطْئِهَا سِفَاحًا كَإِطْلَاقِهِ عَلَى وَطْئِهَا نِكَاحًا فَافْتَرَقَا.

Cabang kedua: jika salah satu dari empat istrinya meninggal, maka ila’ gugur dari tiga istri yang tersisa, karena ia tidak akan melanggar sumpah dengan menggauli mereka, sebab hubungan seksual dengan yang telah meninggal sudah tidak mungkin lagi. Maka Imam Syafi‘i menggugurkan ila’ karena kematian, dan tidak menggugurkannya karena talak; sebab hubungan seksual dengan yang ditalak masih mungkin terjadi, sedangkan dengan yang telah meninggal sudah tidak mungkin. Jika ada yang berkata: “Bukankah bisa saja ia menggauli yang telah meninggal sebagaimana ia menggauli yang ditalak, dan keduanya adalah hubungan seksual yang diharamkan? Mengapa kalian menerapkan hukum hubungan seksual pada salah satunya dan menafikannya pada yang lain?” Kami katakan: Karena secara umum, istilah hubungan seksual (‘wat’) menurut kebiasaan tidak berlaku pada menggauli yang telah meninggal, sebab jika seseorang bersumpah tidak akan menggauli istrinya, lalu ia menggaulinya setelah meninggal, menurut para ulama kami: ia tidak dianggap melanggar sumpah, dan hukum-hukum hubungan seksual seperti ihshan, kesempurnaan mahar, dan pengharaman mushaharah tidak berlaku atasnya, meskipun tetap mewajibkan mandi janabah. Tidak demikian halnya dengan menggauli yang masih hidup, karena secara umum istilah hubungan seksual (‘wat’) dalam kebiasaan berlaku pada menggaulinya baik dengan zina maupun dengan nikah, sehingga keduanya berbeda.

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي الْفَرْعِ الْأَوَّلِ وَلَوْ طَلَّقَ مِنْهُنَّ ثَلَاثًا كَانَ مُولِيًا فِي الْبَاقِيَةِ فَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ التَّأْوِيلَيْنِ:

Adapun perkataan Imam Syafi‘i pada cabang pertama: “Jika ia menalak tiga dari mereka, maka ia tetap menjadi mu-li pada yang tersisa,” maka maksudnya adalah sebagaimana dua penafsiran yang telah kami sebutkan sebelumnya:

أَحَدُهُمَا: مَعْنَاهُ كَانَتِ الْبَاقِيَةُ مَحَلًّا لِلْإِيلَاءِ.

Salah satunya: maksudnya adalah yang tersisa menjadi objek bagi ila’.

وَالثَّانِي: مَعْنَاهُ كَانَ مُولِيًا فِي الْبَاقِيَةِ إِنْ جَامَعَ مَنْ طَلَّقَهَا، وَقَدْ بَيَّنَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ لِأَنَّهُ لو جامعها واللائي طُلِّقْنَ حَنِثَ، فَبَطَلَ بِهَذَا التَّأْوِيلِ اعْتِرَاضُ الْمُزَنِيِّ عَلَى ظَاهِرِ كَلَامِهِ، لِأَنَّ الْمُزَنِيَّ تَكَلَّمَ عَلَى فِقْهِ الْمَسْأَلَةِ، وَفِقْهُهَا لَا يَقْتَضِيهِ ظَاهِرُ كَلَامِهِ وَإِنَّمَا يَقْتَضِيهِ أُصُولُهُ وَتَعْلِيلُهُ ثُمَّ يُؤْخَذُ مِنْهَا تأويله والله أعلم.

Dan yang kedua: maksudnya adalah ia tetap menjadi mu-li pada yang tersisa jika ia menggauli yang telah ditalak, dan hal ini telah dijelaskan dengan perkataannya: “Karena jika ia menggaulinya dan juga yang telah ditalak, maka ia melanggar sumpah.” Dengan penafsiran ini, gugurlah keberatan al-Muzani terhadap zahir perkataannya, karena al-Muzani berbicara tentang fiqh masalah ini, dan fiqhnya tidak ditunjukkan oleh zahir perkataannya, melainkan ditunjukkan oleh ushul dan illatnya, kemudian dari situ diambil penafsirannya. Wallahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ كَانَ قَالَ وَاللَّهِ لَا أَقْرَبُ وَاحِدَةً منكن وَهُوَ يُرِيدُهُنَّ كُلَّهُنَّ فَهُوَ مُولٍ يُوقَفُ لَهُنَّ فَأَيَّ وَاحِدَةٍ مَا أَصَابَ مِنْهُنَّ خَرَجَ مِنَ الْإِيلَاءِ فِي الْبَوَاقِي لِأَنَّهُ حَنِثَ بِإِصَابَةِ الَوَاحِدَةِ فَإِذَا حَنِثَ مَرَّةً لَمْ يَعُدِ الْحِنْثُ بِإِيلَاءِ ثَانِيَةٍ) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekati satu pun dari kalian,’ dan ia bermaksud semua istrinya, maka ia adalah mu-li dan ditangguhkan untuk mereka. Maka siapa saja dari mereka yang digauli, ila’ gugur dari sisanya, karena ia telah melanggar sumpah dengan menggauli salah satu dari mereka. Jika ia telah melanggar sekali, maka tidak berlaku lagi pelanggaran ila’ kedua kalinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تُخَالِفُ الَّتِي قَبْلَهَا، وَصُورَتُهَا: أَنْ يَقُولَ لِلْأَرْبَعِ مِنْ نِسَائِهِ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُ وَاحِدَةً مِنْكُنَّ وَهُوَ يُرِيدُهُنَّ كُلَّهُنَّ، وَلَا يُعَيِّنُ إِحْدَاهُنَّ، فَهُوَ فِي الِابْتِدَاءِ مُولٍ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ؛ لِأَنَّ أَيَّتَهُنَّ وَطِئَ حَنِثَ بِوَطْئِهَا كَمَنْ قَالَ لِجَمَاعَةٍ وَاللَّهِ لا كلمت واحداً منكن، حَنِثَ بِكَلَامِ أَيِّهِمْ كَلَّمَ.

Al-Mawardi berkata: “Masalah ini berbeda dengan yang sebelumnya. Gambarannya: seseorang berkata kepada keempat istrinya: ‘Demi Allah, aku tidak akan menggauli satu pun dari kalian,’ dan ia bermaksud semua istrinya, tanpa menentukan salah satu dari mereka. Maka pada awalnya ia menjadi mu-li dari setiap istri, karena siapa saja dari mereka yang digauli, ia dianggap melanggar sumpah, sebagaimana seseorang berkata kepada sekelompok orang: ‘Demi Allah, aku tidak akan berbicara dengan satu pun dari kalian,’ maka ia dianggap melanggar sumpah dengan berbicara kepada siapa saja dari mereka yang diajak bicara.”

فَإِذَا أَجْرَى عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فِي الِابْتِدَاءِ حُكْمَ الْإِيلَاءِ فَأَيَّتُهُنَّ جَاءَتْ مُطَالِبَةً وُقِفَ لَهَا مِنْ وَقْتِ يَمِينِهِ، فَإِذَا مَضَتْ مُدَّةُ الْوَقْفِ طُولِبَ بِالْفَيْئَةِ أو الطلاق فإذا طَلَّقَ ثُمَّ جَاءَتْ ثَانِيَةٌ وُقِفَ لَهَا، فَإِذَا مَضَتْ مُدَّةُ الْوَقْفِ طُولِبَ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ فإن طَلَّقَ ثُمَّ جَاءَتْ ثَالِثَةٌ وُقِفَ لَهَا، فَإِذَا مَضَتْ مُدَّةُ الْوَقْفِ طُولِبَ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، فَإِنْ طَلَّقَ ثُمَّ جَاءَتِ الرَّابِعَةُ وُقِفَ لَهَا، فَإِذَا مَضَتْ مُدَّةُ الْوَقْفِ طُولِبَ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، فَيَصِيرُ الزَّوْجُ بِامْتِنَاعِهِ مِنْ وَطْءِ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ مُولِيًا وَكُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ يُوقَفُ لَهَا عَلَى الْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَإِنْ كَانَتِ الْأُولَى عِنْدَ مُطَالَبَتِهَا بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ لَمْ يُطَلِّقْهَا، وَلَكِنْ فَاءَ مِنْهَا وَوَطِئَهَا حَنِثَ وَسَقَطَ الْإِيلَاءُ مِمَّنْ بَقِيَ، لِأَنَّهُ لَا يَحْنَثُ بِوَطْئِهِنَّ بَعْدَ حِنْثِهِ بِوَطْءِ الْأُولَى، وَلَوْ طَلَّقَ الْأُولَى عِنْدَ انقضاء مدة الوقف ووطء الثَّانِيَةَ سَقَطَ إِيلَاؤُهُ فِي الثَّالِثَةِ وَالرَّابِعَةِ، وَلَوْ وَطِئَ الثَّالِثَةَ سَقَطَ إِيلَاؤُهُ فِي الرَّابِعَةِ وَحْدَهَا.

Jika pada awalnya ia memberlakukan hukum ila’ terhadap masing-masing dari mereka, maka siapa saja di antara mereka yang datang menuntut, ia diberi waktu penantian sejak saat ia bersumpah. Jika masa penantian telah berlalu, ia diminta untuk melakukan al-fay’ atau menceraikan. Jika ia menceraikan, lalu yang kedua datang, maka ia diberi waktu penantian untuknya. Jika masa penantian telah berlalu, ia diminta untuk melakukan al-fay’ atau menceraikan. Jika ia menceraikan, lalu yang ketiga datang, maka ia diberi waktu penantian untuknya. Jika masa penantian telah berlalu, ia diminta untuk melakukan al-fay’ atau menceraikan. Jika ia menceraikan, lalu yang keempat datang, maka ia diberi waktu penantian untuknya. Jika masa penantian telah berlalu, ia diminta untuk melakukan al-fay’ atau menceraikan. Maka, suami dengan menolak berhubungan dengan salah satu dari mereka menjadi mu’li (orang yang melakukan ila’), dan masing-masing dari mereka diberi waktu penantian untuk al-fay’ atau cerai. Jika pada saat yang pertama menuntut al-fay’ atau cerai, ia tidak menceraikannya, namun ia melakukan al-fay’ dan berhubungan dengannya, maka ia melanggar sumpah dan ila’ terhadap yang lainnya gugur, karena ia tidak dianggap melanggar dengan berhubungan dengan mereka setelah ia melanggar dengan berhubungan dengan yang pertama. Jika ia menceraikan yang pertama saat berakhirnya masa penantian dan berhubungan dengan yang kedua, maka ila’ terhadap yang ketiga dan keempat gugur. Jika ia berhubungan dengan yang ketiga, maka ila’ terhadap yang keempat saja yang gugur.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُ وَاحِدَةً مِنْكُنَّ وَهُوَ يُرِيدُ إِحْدَاهُنَّ بِعَيْنِهَا كَانَتْ هِيَ الْمُولَى مِنْهَا دُونَ مَنْ سِوَاهَا، فَيُرْجَعُ إِلَى بَيَانِهِ فِي الَّتِي عَيَّنَهَا بِإِيلَائِهِ فَإِنْ صَدَّقَتْهُ الْبَاقِيَاتُ عَلَى ذَلِكَ فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ، وَإِنْ أَكْذَبْنَهُ حَلَفَ لَهُنَّ، فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ لَهُنَّ حَلَفْنَ وَثَبَتَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ مِنْهُنَّ بِأَيْمَانِهِنَّ بَعْدَ نُكُولِهِ.

Jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggauli salah satu dari kalian,” padahal ia bermaksud salah satu di antara mereka secara spesifik, maka yang menjadi mu’la hanyalah yang ia maksudkan, bukan yang lainnya. Maka dikembalikan kepada penjelasannya tentang siapa yang ia maksudkan dengan ila’-nya. Jika yang lainnya membenarkannya atas hal itu, maka tidak ada sumpah atasnya. Namun jika mereka mendustakannya, ia harus bersumpah kepada mereka. Jika ia enggan bersumpah kepada mereka, maka mereka yang bersumpah, dan hukum ila’ berlaku atas mereka dengan sumpah mereka setelah ia enggan bersumpah.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُ وَاحِدَةً مِنْكُنَّ وَهُوَ يُرِيدُ وَاحِدَةً لَا بِعَيْنِهَا كَانَ لَهُ أَنْ يُعَيِّنَ الْإِيلَاءَ فِيمَنْ شَاءَ مِنْهُنَّ، فَإِنْ وَقَفَ عَنِ التَّعْيِينِ أُجْبِرَ عَلَيْهِ إِذَا طَلَبْنَ ذَلِكَ لِمَا فِي التَّعْيِينِ مِنْ حَقِّ الْمُعَيَّنَةِ فِي الْإِيلَاءِ، فَإِنْ تَنَازَعْنَ فَلَا اعْتِبَارَ بِتَنَازُعِهِنَّ؛ لِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى اخْتِيَارِهِ كَالطَّلَاقِ إِذَا أَوْقَعَهُ عَلَى وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ لَا بِعَيْنِهَا كَانَ لَهُ أَنْ يُعَيِّنَهُ فِيمَنْ شَاءَ عَلَى اخْتِيَارِهِ، فَإِذَا عَيَّنَ الْإِيلَاءَ فِيمَنْ شَاءَ مِنْهُنَّ خَرَجَ الْبَاقِيَاتُ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ، وَوُقِفَ لِلْمُعَيَّنَةِ، وَفِي ابْتِدَاءِ زَمَانِ الْوَقْفِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggauli salah satu dari kalian,” padahal ia bermaksud salah satu tanpa menunjuk secara spesifik, maka ia boleh menentukan ila’ atas siapa saja yang ia kehendaki di antara mereka. Jika ia menahan diri dari penentuan, maka ia dipaksa untuk menentukannya jika mereka meminta hal itu, karena dalam penentuan terdapat hak bagi yang ditunjuk dalam ila’. Jika mereka berselisih, maka perselisihan mereka tidak dianggap, karena hal itu tergantung pada pilihannya, sebagaimana talak jika ia jatuhkan kepada salah satu dari mereka tanpa menunjuk secara spesifik, maka ia boleh menentukan kepada siapa saja sesuai pilihannya. Jika ia telah menentukan ila’ kepada siapa saja yang ia kehendaki di antara mereka, maka yang lainnya keluar dari hukum ila’, dan waktu penantian diberikan kepada yang ditunjuk. Dalam permulaan waktu penantian ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مِنْ وَقْتِ الْيَمِينِ.

Pertama: sejak waktu sumpah.

وَالثَّانِي: مِنْ وَقْتِ التَّعْيِينِ كَالْعِدَّةِ فِي الطَّلَاقِ الْمُبْهَمِ إِذَا عُيِّنَ.

Kedua: sejak waktu penentuan, seperti masa iddah dalam talak yang tidak jelas jika telah ditentukan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَلَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا أَصَبْتُ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْكُنَّ كُلِّكُنَّ فَهَذَا مُولٍ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ وَمِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَأَيَّتَهُنَّ وَطِئَهَا بَعْدَ الْوَقْفِ حَنِثَ وَلَمْ يَسْقُطْ حُكْمُ الْإِيلَاءِ فِيمَنْ عَدَاهَا؛ لِأَنَّهُ يَحْنَثُ بِوَطْءِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، وَأَوَّلُ زَمَانِ الْوَقْفِ مِنْ وَقْتِ الْيَمِينِ، وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ، والله أعلم.

Jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menggauli setiap dari kalian, semuanya,” maka ini berarti ia melakukan ila’ terhadap mereka semua dan terhadap masing-masing dari mereka. Maka siapa saja di antara mereka yang ia gauli setelah masa penantian, ia telah melanggar sumpah, dan hukum ila’ tidak gugur pada yang lainnya, karena ia melanggar dengan menggauli masing-masing dari mereka. Permulaan masa penantian adalah sejak waktu sumpah. Dan hanya kepada Allah-lah taufik, dan Allah Maha Mengetahui.

(بَابٌ عَلَى مَنْ يَجِبُ التَّأْقِيتُ فِي الْإِيلَاءِ ومن يسقط عنه)

(Bab: Siapa yang wajib diberi batas waktu dalam ila’ dan siapa yang tidak)

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَلَا تَعَرُّضَ لِلْمُولِي وَلَا لِامْرَأَتِهِ حَتَّى تَطْلَبَ الْوَقْفُ بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِمَّا أَنْ يَفِيءَ وَإِمَّا أَنْ يُطَلِّقَ) .

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Tidak ada tindakan apa pun terhadap mu’li dan istrinya hingga ia meminta penantian setelah empat bulan, maka ia harus memilih antara melakukan al-fay’ atau menceraikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي شُرُوطِ الْإِيلَاءِ، فَأَمَّا أَحْكَامُهُ فَهِيَ أَنْ يُنْتَظَرَ بِهِ مُدَّةَ التَّرَبُّصِ الَّتِي جَعَلَهَا اللَّهُ لَهُ، وَهِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ لَا مُطَالَبَةَ عَلَيْهِ فِيهَا بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَنْظَرَهُ بِهَا فَصَارَ كَالْإِنْظَارِ بِآجَالِ الدُّيُونِ لَا يَجُوزُ الْمُطَالَبَةُ بِهَا قَبْلَ انْقِضَائِهَا، وَأَوَّلُ وَقْتِ التَّرَبُّصِ مَنْ وَقْتِ الْإِيلَاءِ، لَا مَنْ وَقْتِ الْمُحَاكَمَةِ، بِخِلَافِ أَجَلِ الْعُنَّةِ الَّذِي يَكُونُ أَوَّلُهُ مَنْ وَقْتِ الْمُحَاكَمَةِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah dibahas sebelumnya mengenai syarat-syarat ila’, adapun hukum-hukumnya adalah bahwa seorang suami ditunggu selama masa penantian yang telah Allah tetapkan baginya, yaitu empat bulan, di mana selama masa itu ia tidak dituntut apa pun; karena Allah Ta‘ala telah memberinya tenggang waktu tersebut, sehingga ia seperti orang yang diberi tenggang waktu dalam pelunasan utang, yang tidak boleh dituntut sebelum tenggatnya berakhir. Awal masa penantian dihitung sejak waktu ila’, bukan sejak waktu persidangan, berbeda dengan masa tenggang untuk kasus ‘innah (impotensi) yang awalnya dihitung sejak waktu persidangan. Perbedaan antara keduanya ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مُدَّةَ الْإِيلَاءِ مُقَدَّرَةٌ بِالنَّصِّ فَلَمْ تَفْتَقِرْ إِلَى حُكْمٍ، وَمُدَّةَ الْعُنَّةِ مَقْدِرَةٌ بِالِاجْتِهَادِ، فَافْتَقَرَتْ إِلَى حُكْمٍ.

Pertama: Masa ila’ telah ditentukan secara nash sehingga tidak memerlukan keputusan hakim, sedangkan masa ‘innah ditentukan berdasarkan ijtihad, sehingga memerlukan keputusan hakim.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْإِيلَاءَ يَقِينٌ فَكَانَ أَوَّلُ مُدَّتِهِ مَنْ وَقْتِ وُجُودِهِ، وَالْعُنَّةَ مَظْنُونَةٌ فَكَانَ أَوَّلُ مُدَّتِهَا مَنْ وَقْتِ التَّحَاكُمِ فِيهَا، فَإِذَا انْقَضَتْ مُدَّةُ التَّرَبُّصِ بِمُضِيِّ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ اسْتَحَقَّتِ الزَّوْجَةُ الْمُطَالَبَةَ، إِلَّا أَنَّهُ لَا اعْتِرَاضَ عَلَيْهَا فِيهِ لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهَا مِنْ حُقُوقِهَا الْمَحْضَةِ فَوَقَفَ عَلَى خِيَارِهَا، فَإِنْ طَالَبَتْ وَمُطَالَبَتُهَا إِمَّا أَنْ تَقُولَ بَيِّنْ أَمْرِي، وَإِمَّا أَنْ تَقُولَ أَخْرِجْ إِلَيَّ مِنْ حَقِّي، فَإِذَا طَالَبَتْ بِأَحَدِ هَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ قِيلَ لِلزَّوْجِ قَدْ خَيَّرَكَ اللَّهُ تَعَالَى بَيْنَ أَمْرَيْنِ: إِمَّا الْفَيْئَةُ أَوِ الطَّلَاقُ، وَيَجُوزُ أَنْ يَقُولَ لَهُ ذَلِكَ حَاكِمٌ وَغَيْرُ حَاكِمٍ لِأَنَّ هَذَا الْحُكْمَ مَأْخُوذٌ مِنَ النَّصِّ، فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى حُكْمٍ إِلَّا أَنَّ الَّذِي يُجْبِرُ عَلَيْهِ هُوَ الْحَاكِمُ؛ لِأَنَّهُ هُوَ الَّذِي يُجْبِرُ عَلَى تَأْدِيَةِ الْحُقُوقِ، فَإِنْ فَاءَ فَحُكْمُ الْفَيْئَةِ مَا مَضَى، وَإِنْ طَلَّقَ فَحُكْمُ الطَّلَاقِ مَا مَضَى، وَإِنْ أَبَى أَنْ يَفْعَلَ أَحَدَهُمَا فَعَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا:

Kedua: Ila’ merupakan perkara yang pasti, sehingga awal masanya dihitung sejak terjadinya ila’, sedangkan ‘innah bersifat dugaan sehingga awal masanya dihitung sejak adanya persidangan. Apabila masa penantian telah berlalu dengan berlalunya empat bulan, maka istri berhak menuntut, hanya saja tidak ada keberatan terhadapnya karena itu adalah hak murni miliknya, sehingga bergantung pada pilihannya. Jika ia menuntut—dan bentuk tuntutannya bisa dengan mengatakan, “Jelaskan urusanku,” atau “Berikan hakku”—maka jika ia menuntut salah satu dari dua hal tersebut, dikatakan kepada suami: “Allah Ta‘ala telah memberimu pilihan antara dua hal: kembali (rujuk) atau menceraikan.” Boleh yang mengatakan hal itu adalah hakim atau selain hakim, karena hukum ini diambil dari nash, sehingga tidak memerlukan keputusan hakim, kecuali yang dapat memaksanya adalah hakim, karena hakimlah yang berwenang memaksa pelaksanaan hak-hak. Jika suami kembali (rujuk), maka berlaku hukum rujuk yang telah dijelaskan, dan jika ia menceraikan, maka berlaku hukum talak yang telah dijelaskan. Namun jika ia menolak melakukan salah satu dari keduanya, maka ada dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: يُحْبَسُ حَتَّى يَفِيءَ أَوْ يُطَلِّقَ.

Pertama: Ia dipenjara hingga ia kembali (rujuk) atau menceraikan.

وَالثَّانِي: يُطَلِّقُ عَلَيْهِ الْحَاكِمُ.

Kedua: Hakim menceraikan atas namanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ عَفَتْ ذَلِكَ ثَمَّ طَلَبَتْهُ كَانَ ذَلِكَ لَهَا لِأَنَّهَا تَرَكَتْ مَا لَمْ يَجِبْ لَهَا فِي حَالٍ دُونَ حَالٍ) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika istri memaafkan (haknya) lalu kemudian menuntutnya, maka itu tetap menjadi haknya, karena ia meninggalkan sesuatu yang belum menjadi haknya pada suatu keadaan, namun menjadi haknya pada keadaan lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا عَفَتِ الزَّوْجَةُ عَنِ الْمُطَالَبَةِ بِحَقِّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ صَحَّ عَفْوُهَا فِي حَقِّهَا، وَهُوَ مَا كَانَ مَأْخُوذًا بِهِ مِنَ الْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَلَمْ يُؤَثِّرِ الْعَفْوُ فِي حُكْمِ الْيَمِينِ، لِأَنَّ الْحِنْثَ فِيهِ مَأْخُوذٌ بِهِ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى لَا يَسْقُطُ بِعَفْوِهَا وَيَكُونُ كَحَالِفٍ لَيْسَ بِمُولٍ.

Al-Mawardi berkata: Jika istri memaafkan tuntutan haknya dari ila’ setelah berakhirnya masa (empat bulan), maka pemaafannya sah atas haknya, yaitu hak yang terkait dengan rujuk atau talak, dan pemaafan itu tidak berpengaruh pada hukum sumpah, karena pelanggaran sumpah tersebut adalah hak Allah Ta‘ala yang tidak gugur dengan pemaafan istri, dan keadaannya seperti orang yang bersumpah namun bukan dalam status mu’li (orang yang melakukan ila’).

إِنْ حَنِثَ فِي يَمِينِهِ أُلْزِمَ حُكْمَ حِنْثِهِ، فَإِنْ عَادَتْ بَعْدَ الْعَفْوِ مُطَالِبَةً بِحُكْمِ الْإِيلَاءِ كَانَ ذَلِكَ لَهَا، وَلَمْ يَكُنْ عَفْوُهَا مُسْقِطًا لِحَقِّهَا عَلَى الْأَبَدِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِمَا أَشَارَ إليه الشافعي رضي لله عَنْهُ وَهُوَ أَنَّ الْإِيلَاءَ يَمِينٌ قُصِدَ بِهَا إِضْرَارُ الزَّوْجَةِ لِيَمْتَنِعَ مِنْ إِصَابَتِهَا بِيَمِينِهِ وَهَذَا الضَّرَرُ يَتَجَدَّدُ مَعَ الْأَوْقَاتِ، فَإِذَا عَفَتْ عَنْهُ كَانَ عَفْوُهَا إِسْقَاطًا لِحَقِّهَا مِنَ الضَّرَرِ الْمَاضِي، فَسَقَطَ، وَلَمْ يَكُنْ عَفْوًا عَنْ حَقِّهَا فِي الْمُسْتَقْبَلِ، لِأَنَّهُ عَفْوٌ عَمَّا لَمْ يَجِبْ، وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى عَفْوِهَا عَنِ النَّفَقَةِ يُسْقِطُ حَقَّهَا الْمَاضِيَ، وَلَا يُسْقِطُ حَقَّهَا فِي الْمُسْتَقْبَلِ، وَخَالَفَ الْعُنَّةَ الَّتِي تَسْقُطُ بِالْعَفْوِ وَلَا يَجُوزُ الْعَوْدُ فِي الْمُطَالَبَةِ بِهَا، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْعُنَّةَ عَيْبٌ مُسْتَدِيمٌ يَكُونُ الْعَفْوُ عَنْهُ إِسْقَاطًا، فَجَرَى مَجْرَى سَائِرِ الْعُيُوبِ فِي النِّكَاحِ مِنَ الْجَبِّ وَالْبَرَصِ وَالْجُنُونِ الَّتِي تَسْقُطُ بِالْعَفْوِ وَلَا يَجُوزُ الْعَوْدُ فِيهَا، وَلَيْسَ الْإِيلَاءُ عَيْبًا وَإِنَّمَا هُوَ ضَرَرٌ لَا يَسْتَدِيمُ فَكَانَ الْعَفْوُ عَنْهُ تَرْكًا، وَلَمْ يَكُنْ إِسْقَاطًا كَالدَّيْنِ إِذَا تَرَكَهُ بِالْإِنْظَارِ جَازَ الْعَوْدُ فِيهِ.

Jika suami melanggar sumpahnya, maka ia dikenai hukum pelanggaran sumpah tersebut. Jika setelah istri memaafkan, ia kembali menuntut diberlakukannya hukum ila’, maka hal itu menjadi haknya. Pemaafan istri tidak menggugurkan haknya untuk selamanya. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh pendapat Imam asy-Syafi‘i ra., yaitu bahwa ila’ adalah sumpah yang dimaksudkan untuk menyakiti istri agar suami menahan diri dari menggaulinya dengan sumpahnya itu, dan bahaya ini terus berulang seiring waktu. Maka, jika istri memaafkan, pemaafannya hanya menggugurkan haknya atas bahaya yang telah lalu, sehingga hak itu gugur, dan bukan merupakan pemaafan atas haknya di masa mendatang, karena itu berarti memaafkan sesuatu yang belum menjadi kewajiban. Hal ini serupa dengan pemaafan istri atas nafkah, yang menggugurkan haknya atas nafkah yang telah lalu, namun tidak menggugurkan haknya atas nafkah di masa mendatang. Berbeda dengan kasus ‘innah (impotensi), yang jika dimaafkan maka gugur haknya dan tidak boleh kembali menuntutnya. Perbedaannya, ‘innah adalah cacat yang bersifat menetap, sehingga pemaafan atasnya berarti menggugurkan hak, sebagaimana cacat-cacat lain dalam pernikahan seperti kebiri, belang, dan gila, yang jika dimaafkan maka tidak boleh lagi menuntut setelahnya. Sedangkan ila’ bukanlah cacat, melainkan bahaya yang tidak menetap, sehingga pemaafan atasnya hanya berarti meninggalkan tuntutan, bukan menggugurkan hak, seperti halnya utang yang jika ditinggalkan penagihannya dengan penangguhan, maka boleh kembali menagihnya.

فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ الْعَفْوُ فِي الْإِيلَاءِ جَارِيًا مَجْرَى الْإِبْرَاءِ فِي الدَّيْنِ الَّذِي لَا يَجُوزُ الْعَوْدُ فِيهِ بَعْدَ الْإِبْرَاءِ مِنْهُ، قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْإِبْرَاءَ من الدين إسقاطاً لِلدَّيْنِ فَلَمْ يَجُزِ الْعَوْدُ فِيهِ بَعْدَ سُقُوطِهِ، وَلَيْسَ الْعَفْوُ فِي الْإِيلَاءِ إِسْقَاطًا لِلْيَمِينِ، فَجَازَ الْعُودُ فِيهِ بَعْدَ الْعَفْوِ لِثُبُوتِهِ.

Jika ada yang bertanya: Mengapa pemaafan dalam ila’ tidak diperlakukan seperti pembebasan utang, yang setelah dibebaskan tidak boleh lagi menuntutnya? Maka dijawab: Perbedaannya adalah bahwa pembebasan utang berarti menggugurkan utang, sehingga tidak boleh lagi menuntut setelah gugur. Sedangkan pemaafan dalam ila’ bukanlah pengguguran sumpah, sehingga boleh kembali menuntut setelah pemaafan karena sumpah itu masih tetap ada.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِذَا صَحَّ جَوَازُ عَوْدِهَا فِي الْمُطَالَبَةِ بَعْدَ الْعَفْوِ أَجْزَأَ مُدَّةُ الْوَقْفِ الْمَاضِي عَنْ تَجْدِيدِ وَقْفٍ مُسْتَأْنَفٍ فِي الْمُطَالَبَةِ بِخِلَافِ سُقُوطِ الْمُطَالَبَةِ بِالطَّلَاقِ الَّذِي يُسْتَأْنَفُ الْوَقْفُ فِيهِ بِالْعِدَّةِ بَعْدَ الرَّجْعَةِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهَا قَدِ اسْتَوْفَتْ حَقَّهَا بِالطَّلَاقِ، فَاسْتُؤْنِفَ لَهُ الْوَقْفُ بَعْدَ الرَّجْعَةِ وَلَمْ يُسْتَوْفَ حَقُّهَا بِالْعَفْوِ فَلَمْ يُسْتَأْنَفْ لَهُ الْوَقْفُ بَعْدَ الْمُطَالَبَةِ فَلَا وَجْهَ لِمَنْ جَمَعَ مِنْ أَصْحَابِنَا بَيْنَ الْعَفْوِ وَالطَّلَاقِ فِي اسْتِئْنَافِ الْوَقْفِ فِيهِمَا لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika telah sah bahwa istri boleh kembali menuntut setelah pemaafan, maka masa penantian (menunggu) yang telah lalu sudah cukup dan tidak perlu mengulang masa penantian baru dalam tuntutan berikutnya. Berbeda dengan gugurnya tuntutan talak, yang masa penantiannya dimulai kembali dengan masa iddah setelah rujuk. Perbedaannya, dalam talak, istri telah memperoleh haknya, sehingga masa penantian dimulai kembali setelah rujuk. Sedangkan dalam pemaafan, hak istri belum terpenuhi, sehingga tidak perlu memulai masa penantian baru setelah tuntutan. Oleh karena itu, tidak tepat pendapat sebagian ulama kami yang menyamakan antara pemaafan dan talak dalam hal memulai masa penantian baru, karena telah dijelaskan perbedaan antara keduanya. Wallahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وليس ذلك لسيد الأمة ولا لولي معتوهة) .

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Hal itu tidak berlaku bagi tuan budak perempuan maupun wali perempuan yang kurang akal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ الْمُطَالَبَةَ فِي الْإِيلَاءِ تَخْتَصُّ بِحُقُوقِ الِاسْتِمْتَاعِ وَذَلِكَ مِمَّا تَخْتَصُّ بِهِ الزَّوْجَةُ دُونَ وَلِيِّهَا وَسَيِّدِهَا؛ لِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ على شهوتها والتزازها فَإِذَا عَفَتْ عَنْهُ الزَّوْجَةُ صَحَّ عَفْوُهَا وَإِنْ كَانَتْ أَمَةً، وَلَمْ يَكُنْ لِسَيِّدِهَا الْمُطَالَبَةُ فَإِنْ قيل فَهَلَّا اسْتَحَقَّ السَّيِّدُ الْمُطَالَبَةَ بِالْوَطْءِ لِحَقِّهِ فِي مِلْكِ الْوَلَدِ، قِيلَ: لِأَنَّ الْوَطْءَ الْمُسْتَحَقَّ فِي الْإِيلَاءِ وَالْعُنَّةِ يَكُونُ بِالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ دُونَ الْإِنْزَالِ، وَذَلِكَ مِمَّا لَا يَحْدُثُ عَنْهُ إِحْبَالٌ، فَلَمْ يتعلق للسيد به حق، هكذا لَوْ عَفَا السَّيِّدُ مَعَ مُطَالَبَتِهَا لَمْ يُؤَثِّرْ عَفْوُ السَّيِّدِ فِي حَقِّهَا مِنَ الْمُطَالَبَةِ، وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى الْفَسْخِ بِالْعُيُوبِ مِنَ الْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَالْبَرَصِ تَسْتَحِقُّهُ دُونَ سَيِّدِهَا فَإِنْ عَفَتْ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ لِلسَّيِّدِ الْمُطَالَبَةُ بِهِ، وَإِنْ طَالَبَتْ بِهِ لَمْ يَكُنْ لِلسَّيِّدِ الْعَفْوُ عَنْهُ، فَأَمَّا الْمَعْتُوهَةُ فَلَا يَصِحُّ مِنْهَا الْمُطَالَبَةُ بِحَقِّهَا فِي الْإِيلَاءِ، لِأَنَّهُ لَا حُكْمَ لِقَوْلِهَا بِخِلَافِ الْأَمَةِ، وَلَيْسَ لِوَلِيِّهَا الْمُطَالَبَةُ كَمَا لَيْسَ لِسَيِّدِ الْأَمَةِ، فإن قيل فهلا كان الولي الْمَعْتُوهَةِ الْمُطَالَبَةُ بِحَقِّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ؛ لِأَنَّ لَهُ اسْتِيفَاءَ حُقُوقِهَا كَالدُّيُونِ، وَخَالَفَ السَّيِّدُ لِأَنَّهُ يَسْتَوْفِي بِهَا حَقَّ نَفْسِهِ لَا حَقَّ أَمَتِهِ، قِيلَ يَسْتَوِيَانِ فِي حُكْمِ الْإِيلَاءِ وَإِنِ افْتَرَقَا فِي الْمَعْنَى، لِأَنَّ حَقَّ الْإِيلَاءِ مَقْصُورٌ عَلَى اخْتِيَارِ الِاسْتِمْتَاعِ الْمَوْقُوفِ عَلَى شَهْوَتِهَا، وَلَيْسَ مِنْ حُقُوقِ الْأَمْوَالِ الَّتِي يَسْتَوْفِيهَا الْوَلِيُّ فِي حَقِّهَا، وَالسَّيِّدُ في حق نفسه.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena tuntutan dalam kasus ila’ (sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya) berkaitan dengan hak-hak kenikmatan (hubungan suami istri), dan itu adalah hak khusus istri, bukan wali atau tuannya; sebab hal itu bergantung pada syahwat dan kelezatannya. Maka jika istri memaafkan hak tersebut, sah pemaafannya, meskipun ia seorang budak perempuan, dan tuannya tidak berhak menuntutnya. Jika dikatakan: Bukankah seharusnya tuan berhak menuntut hubungan badan karena haknya dalam kepemilikan anak? Dijawab: Hubungan badan yang menjadi hak dalam kasus ila’ dan ‘innah (impotensi) adalah dengan bertemunya dua kemaluan (khitan), bukan dengan keluarnya mani, dan itu tidak menyebabkan kehamilan, sehingga tuan tidak memiliki hak atas hal itu. Demikian pula, jika tuan memaafkan bersama tuntutan istri, maka pemaafan tuan tidak berpengaruh pada hak istri untuk menuntut, dan hal ini serupa dengan pembatalan nikah karena cacat seperti gila, kusta, dan belang, yang menjadi hak istri, bukan hak tuannya. Jika istri memaafkan, maka tuan tidak berhak menuntutnya, dan jika istri menuntut, maka tuan tidak berhak memaafkan. Adapun perempuan yang idiot (ma‘tuha), maka tidak sah baginya menuntut haknya dalam kasus ila’, karena tidak ada pertimbangan pada ucapannya, berbeda dengan budak perempuan. Dan wali perempuan idiot tidak berhak menuntut, sebagaimana tuan budak perempuan juga tidak berhak. Jika dikatakan: Bukankah seharusnya wali perempuan idiot berhak menuntut haknya dari ila’, karena ia berhak menagih hak-haknya seperti utang, sedangkan tuan berbeda karena ia menagih untuk hak dirinya, bukan hak budaknya? Dijawab: Keduanya sama dalam hukum ila’, meskipun berbeda dalam makna, karena hak ila’ terbatas pada pilihan kenikmatan yang bergantung pada syahwatnya, dan bukan termasuk hak-hak harta yang dapat ditagih oleh wali untuk kepentingan perempuan tersebut, maupun oleh tuan untuk kepentingan dirinya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي لله عنه: (وَمَنْ حَلَفَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَلَا إِيلَاءَ عَلَيْهِ لِأَنَّهَا تَنْقَضِي وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْيَمِينِ) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Barang siapa bersumpah untuk tidak menggauli selama empat bulan, maka tidak berlaku ila’ atasnya, karena masa itu akan habis dan ia keluar dari sumpahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا قَدْ ذَكَرْنَاهُ وَإِنَّ الْمُولِيَ مَنِ اسْتُحِقَّتْ مُطَالَبَتُهُ بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، فَإِذَا حَلَفَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ لَمْ تُسْتَحَقَّ عَلَيْهِ الْمُطَالَبَةُ، لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى الْإِصَابَةِ مِنْ غَيْرِ حِنْثٍ وَالْمُولِي مَنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْإِصَابَةِ بَعْدَ الْوَقْفِ إِلَّا بِالْحِنْثِ فَخَرَجَ مَنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ، وَصَارَ مُلْتَزِمًا لِحُكْمِ الْيَمِينِ فِي غَيْرِ الْإِيلَاءِ وَإِنْ وَطِئَ وَإِنْ لَمْ يَطَأْ لَمْ يحنث والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Hal ini telah kami sebutkan, bahwa orang yang disebut sebagai mu’li (pelaku ila’) adalah orang yang berhak dituntut setelah empat bulan. Maka jika ia bersumpah untuk tidak menggauli selama empat bulan, tidak berhak dituntut atasnya, karena ia masih mampu menggauli tanpa melanggar sumpah. Mu’li adalah orang yang tidak mampu menggauli setelah masa penantian kecuali dengan melanggar sumpah. Maka ia keluar dari hukum ila’, dan menjadi terikat dengan hukum sumpah dalam perkara selain ila’. Jika ia menggauli, ia melanggar sumpah; jika tidak menggauli, ia tidak melanggar sumpah. Wallahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ حَلَفَ بِطَلَاقِ امْرَأَتِهِ لَا يَقْرَبُ امْرَأَةً لَهُ أُخْرَى ثُمَّ بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ نَكَحَهَا فهول مُولٍ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ لَوْ آلَى مِنْهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا فَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا ثَمَّ نَكَحَهَا نِكَاحًا جَدِيدًا وَسَقَطَ عَنْهُ حُكْمُ الْإِيلَاءِ وَإِنَّمَا يَسْقُطُ عَنْهُ حُكْمُ الْإِيلَاءِ لِأَنَّهَا صَارَتْ فِي حَالٍ لَوْ طَلَّقَهَا لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ عَلَيْهَا وَلَوْ جَازَ أَنْ تَبِينَ امْرَأَةُ الْمُولِي حَتَّى تَصِيرَ أَمْلَكَ لِنَفْسِهَا مِنْهُ ثُمَّ يَنْكِحَهَا فَيَعُودَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ جَازَ هَذَا بَعْدَ ثَلَاثٍ وَزَوْجٍ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْيَمِينَ قَائِمَةٌ بِعَيْنِهَا فِي امْرَأَةٍ بِعَيْنَهَا يُكَفِّرُ إِنْ أَصَابَهَا كَمَا كَانَتْ قَائِمَةً قَبْلَ التَّزْوِيجِ وَهَكَذَا الظِّهَارُ مِثْلُ الْإِيلَاءِ) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang bersumpah dengan talak istrinya bahwa ia tidak akan mendekati istri lain yang ia miliki, lalu istri itu berpisah darinya, kemudian ia menikahinya kembali, maka ia menjadi mu’li. (Al-Muzani rahimahullah berkata:) Dan beliau (Syafi‘i) berkata di tempat lain: Jika ia melakukan ila’ terhadap istrinya, lalu menceraikannya, kemudian masa iddahnya selesai, lalu ia menikahinya dengan akad baru, maka gugurlah hukum ila’ atasnya. Hukum ila’ gugur karena ia telah berada dalam keadaan yang jika ia menceraikannya, talak tidak jatuh atasnya. Jika boleh seorang istri mu’li berpisah hingga ia menjadi bebas dari suaminya, lalu suaminya menikahinya kembali, maka hukum ila’ kembali berlaku, demikian pula setelah tiga kali talak dan dengan suami lain, karena sumpah itu tetap berlaku pada istri tertentu; ia harus membayar kafarat jika menggaulinya, sebagaimana sumpah itu tetap berlaku sebelum pernikahan. Demikian pula hukum zihar sama seperti ila’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ لَهُ زَوْجَتَانِ حَفْصَةُ وَعَمْرَةُ، فَقَالَ يَا حَفْصَةُ إِنْ وَطِئْتُكِ فَعَمْرَةُ طَالِقٌ فَهَذَا مُولٍ مِنْ حَفْصَةَ، وَحَالِفٌ بِطَلَاقِ عَمْرَةَ، فَإِنْ أَحْدَثَ طَلَاقَ أَحَدِهِمَا، لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يُطَلِّقَ حَفْصَةَ الْمُولَى مِنْهَا أَوْ يُطَلِّقَ عَمْرَةَ الْمَحْلُوفَ بطلاقها، فَإِنْ طَلَّقَ حَفْصَةَ الْمُولَى عَلَيْهَا ثُمَّ رَاجَعَهَا فَالْإِيلَاءُ مِنْهَا بَعْدَ الرَّجْعَةِ بَاقٍ وَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْهَا حَتَّى انْقَضَتِ الْعِدَّةُ انْقَطَعَ الْإِيلَاءُ مِنْهَا، فَإِنْ عَادَ فَاسْتَأْنَفَ نَكَحَهَا بِعَقْدٍ جَدِيدٍ، نُظِرَ فإن نكاحها بَعْدَ زَوْجٍ مِنْ طَلَاقِ ثَلَاثٍ، فَعَلَى قَوْلِهِ في الجديد كله، وأحد قوليه في القديم لَا يَعُودُ الْإِيلَاءُ، وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي فِي الْقَدِيمِ يَعُودُ، فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ، فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ كُلِّهِ وَأَحَدِ قَوْلَيْنِ فِي الْجَدِيدِ يَعُودُ الْإِيلَاءُ، وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي فِي الْجَدِيدِ لَا يَعُودُ، وَإِنْ شِئْتَ قُلْتَ فِيهِ ثَلَاثَةَ أَقَاوِيلَ:

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada seorang laki-laki yang memiliki dua istri, Hafshah dan Amrah. Lalu ia berkata, “Wahai Hafshah, jika aku menggaulimu maka Amrah tertalak.” Maka ini adalah seorang yang melakukan ila’ terhadap Hafshah, dan bersumpah dengan talak Amrah. Jika ia menjatuhkan talak kepada salah satu dari keduanya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: ia menalak Hafshah yang di-ila’-i, atau menalak Amrah yang dijadikan sumpah talaknya. Jika ia menalak Hafshah yang di-ila’-i lalu merujukinya, maka ila’ terhadapnya setelah rujuk tetap berlaku. Namun jika ia tidak merujukinya hingga masa iddah selesai, maka ila’ darinya terputus. Jika ia kembali menikahinya dengan akad baru, maka dilihat: jika pernikahan itu setelah Hafshah menikah dengan suami lain karena talak tiga, maka menurut pendapatnya dalam qaul jadid seluruhnya, dan salah satu dari dua pendapat dalam qaul qadim, ila’ tidak kembali. Menurut pendapat kedua dalam qaul qadim, ila’ kembali. Jika talaknya kurang dari tiga, maka menurut pendapatnya dalam qaul qadim seluruhnya dan salah satu dari dua pendapat dalam qaul jadid, ila’ kembali. Sedangkan menurut pendapat kedua dalam qaul jadid, ila’ tidak kembali. Jika engkau mau, engkau bisa mengatakan ada tiga pendapat dalam masalah ini:

أَحَدُهَا: يَعُودُ الْإِيلَاءُ فِي الطَّلَاقَيْنِ.

Pertama: Ila’ kembali pada dua jenis talak.

وَالثَّانِي: لَا يَعُودُ فِي الطَّلَاقَيْنِ.

Kedua: Tidak kembali pada dua jenis talak.

وَالثَّالِثُ: يَعُودُ إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ دُونَ الثَّلَاثِ، وَلَا يَعُودُ إِنْ كَانَ ثَلَاثًا، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ، كَمَا بَيَّنَّا عَدَدَ الطَّلَاقِ فِي أَحَدِ النِّكَاحَيْنِ عَلَى الْآخَرِ إِنْ كَانَ دُونَ الثَّلَاثِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ ثَلَاثًا. سَوَاءٌ قُلْنَا إِنَّ الْإِيلَاءَ يَعُودُ عَلَى هَذِهِ الْمُطَلَّقَةِ أَوْ لَا يَعُودُ عَلَيْهَا فَالْيَمِينُ بِطَلَاقِ عَمْرَةَ بَاقِيَةٌ، لَا تَنْتَقِضُ، لِأَنَّ الْيَمِينَ بِطَلَاقِهَا يَجُوزُ أَنْ يُعَلَّقَ بِوَطْءِ الْأَجْنَبِيَّةِ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يُعَلَّقَ بِوَطْءِ الزَّوْجَةِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ لِزَوْجَتِهِ: إِنْ وَطِئْتُ هَذِهِ الْأَجْنَبِيَّةَ فَأَنْتِ طَالِقٌ، ثُمَّ نَكَحَ الْأَجْنَبِيَّةَ وَوَطْئِهَا طُلِّقَتْ زَوْجَتُهُ الْمَحْلُوفُ بِطَلَاقِهَا.

Ketiga: Ila’ kembali jika talaknya kurang dari tiga, dan tidak kembali jika talaknya tiga, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah. Sebagaimana telah kami jelaskan jumlah talak dalam salah satu dari dua pernikahan terhadap yang lain, jika kurang dari tiga maka tidak ada masalah, dan jika tiga maka tidak ada apa-apa atasnya. Baik kita katakan bahwa ila’ kembali kepada istri yang ditalak ini atau tidak kembali kepadanya, sumpah dengan talak Amrah tetap berlaku, tidak batal. Karena sumpah dengan talaknya boleh digantungkan pada hubungan suami istri dengan perempuan lain sebagaimana boleh digantungkan pada hubungan dengan istri sendiri. Tidakkah engkau lihat, jika seseorang berkata kepada istrinya: “Jika aku menggauli perempuan asing ini, maka engkau tertalak,” kemudian ia menikahi perempuan asing itu dan menggaulinya, maka istrinya yang dijadikan sumpah talaknya menjadi tertalak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا إِنْ طَلَّقَ عَمْرَةَ الْمَحْلُوفَ بِطَلَاقِهَا، فَإِنْ كَانَ طَلَاقًا رَجْعِيًّا فَمَا كَانَتْ فِي عِدَّتِهَا فَالْيَمِينُ بِطَلَاقِهَا بَاقِيَةٌ لِأَنَّهُ لَوْ طَلَّقَهَا فِي الْعِدَّةِ وَقَعَ الطَّلَاقُ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يَبْقَى فِيهِ الْيَمِينُ بِالطَّلَاقِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْإِيلَاءُ مِنْ حَفْصَةَ بَاقِيًا بِحَالِهِ مَا لَمْ تَنْتَقِضْ عِدَّةُ عَمْرَةَ، فَإِنْ رَاجَعَ عَمْرَةَ فِي عِدَّتِهَا فَالْيَمِينُ بِطَلَاقِهَا بَاقِيَةٌ بِحَالِهَا والإيلاء في حفصة باق بحالها فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْهَا حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا مِنَ الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ أَوْ كَانَ الطَّلَاقُ بَائِنًا بِثَلَاثٍ أَوْ فِي خُلْعٍ لِغَيْرِ مَدْخُولٍ بِهَا سَقَطَ حُكْمُ الْيَمِينِ بِطَلَاقِهَا، لِأَنَّهَا فِي حَالٍ لَا يَلْحَقُهَا الطَّلَاقُ الْمُبْتَدَأُ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يَلْحَقَهَا بِصِفَةٍ مُتَقَدِّمَةٍ، فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ حُكْمُ الْإِيلَاءِ فِي حَفْصَةَ، لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى إِصَابَتِهَا وَلَا يَسْتَضِرُّ بِطَلَاقِ غَيْرِهَا، فَإِنْ عَادَ فَنَكَحَ عَمْرَةَ الْمَحْلُوفَ بِطَلَاقِهَا بِعَقْدٍ جَدِيدٍ نَظَرْتُ، فَإِنْ نكحها بعد أن وطء حفصة المولى منهما فِي زَمَانِ بَيْنُونَتِهَا سَقَطَتْ يَمِينُهُ بِطَلَاقِ عَمْرَةَ لِوُجُودِ الصِّفَةِ مِنْ غَيْرِ حِنْثٍ، فَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِوُجُودِهَا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ حِنْثٌ، وَإِنْ نَكَحَ عَمْرَةَ الْمَحْلُوفَ بِطَلَاقِهَا قَبْلَ أَنْ يَطَأَ حَفْصَةَ المولى منها فهل تعود يمينه بِطَلَاقِ عَمْرَةَ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي أَمْ لَا؟ إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ الْأَوَّلُ ثَلَاثًا فَعَلَى قَوْلِهِ في الجديد كله وأحد قوليه في القديم لا يعود وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي فِي الْقَدِيمِ: تَعُودُ الْيَمِينُ، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ الْأَوَّلُ دُونَ الثَّلَاثِ، فَعَلَى قوله فِي الْقَدِيمِ كُلِّهِ وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ تَعُودُ الْيَمِينُ وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي فِي الْجَدِيدِ: لَا تَعُودُ، وَإِنْ شِئْتَ قُلْتَ فِي عَوْدِ الْيَمِينِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Adapun jika ia menceraikan ‘Amrah yang dijadikan objek sumpah talak, maka jika talaknya adalah talak raj‘i, selama ia masih dalam masa ‘iddah, sumpah talak atasnya tetap berlaku. Sebab, jika ia menceraikannya dalam masa ‘iddah, talak tetap jatuh, maka lebih utama lagi sumpah talak tetap berlaku dalam masa itu. Berdasarkan hal ini, sumpah ila’ dari Hafshah tetap berlaku selama ‘iddah ‘Amrah belum habis. Jika ia merujuk ‘Amrah dalam masa ‘iddahnya, maka sumpah talak atasnya tetap berlaku, dan ila’ atas Hafshah juga tetap berlaku. Namun jika ia tidak merujuknya hingga masa ‘iddahnya dari talak raj‘i berakhir, atau jika talaknya adalah talak bain dengan tiga kali talak, atau melalui khulu‘ terhadap istri yang belum digauli, maka gugurlah hukum sumpah talak atasnya, karena dalam keadaan tersebut talak baru tidak lagi bisa menimpanya, maka lebih utama lagi talak dengan sifat terdahulu juga tidak bisa menimpanya. Berdasarkan hal ini, gugurlah hukum ila’ atas Hafshah, karena ia mampu menggaulinya dan tidak terhalang oleh talak terhadap selainnya. Jika kemudian ia kembali menikahi ‘Amrah yang dijadikan objek sumpah talak dengan akad baru, maka perlu diteliti: jika ia menikahinya setelah menggauli Hafshah (yang menjadi objek ila’) pada masa bain-nya (‘Amrah), maka gugurlah sumpah talaknya terhadap ‘Amrah karena sifatnya telah terpenuhi tanpa terjadi pelanggaran sumpah, sehingga setelah itu tidak lagi terkait pelanggaran sumpah. Namun jika ia menikahi ‘Amrah yang dijadikan objek sumpah talak sebelum menggauli Hafshah (yang menjadi objek ila’), maka apakah sumpah talaknya terhadap ‘Amrah kembali berlaku dalam pernikahan kedua atau tidak? Jika talak pertama adalah tiga kali, maka menurut pendapatnya dalam kitab baru seluruhnya dan salah satu dari dua pendapat dalam kitab lama, sumpah tidak kembali berlaku. Menurut pendapat kedua dalam kitab lama: sumpah kembali berlaku. Jika talak pertama kurang dari tiga, maka menurut pendapatnya dalam kitab lama seluruhnya dan salah satu dari dua pendapat dalam kitab baru, sumpah kembali berlaku. Menurut pendapat kedua dalam kitab baru: tidak kembali berlaku. Jika engkau mau, engkau bisa mengatakan bahwa dalam kembalinya sumpah ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: تَعُودُ الْيَمِينُ فِي الطَّلَاقَيْنِ.

Salah satunya: sumpah kembali berlaku pada kedua jenis talak.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا تَعُودُ الْيَمِينُ فِي الطَّلَاقَيْنِ. وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: تَعُودُ الْيَمِينُ إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ الْأَوَّلُ أَقَلَّ من ثلاث، ولا تعود إن كانا ثَلَاثًا فَعَلَى هَذَا إِنْ قُلْنَا إِنَّ يَمِينَهُ بِطَلَاقِ عَمْرَةَ تَعُودُ فِي نِكَاحِهَا الثَّانِي عَادَ إِيلَاؤُهُ مِنْ حَفْصَةَ لِأَنَّهُ مَتَى أَصَابَهَا طُلِّقَتْ عَمْرَةُ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ يَمِينَهُ بِطَلَاقِ عَمْرَةَ لَا يَعُودُ فِي نِكَاحِهَا الثَّانِي لَمْ يَعُدْ إِيلَاؤُهُ مِنْ حَفْصَةَ لِأَنَّهُ مَتَى أَصَابَهَا لَمْ تُطَلَّقْ عَمْرَةُ، فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ كَانَ عَوْدُ الْإِيلَاءِ فِي حَفْصَةَ مُعْتَبَرًا بِعَوْدِ الطَّلَاقِ فِي عَمْرَةَ وَلَمْ يَكُنْ عَوْدُ الطَّلَاقِ فِي عَمْرَةَ مُعْتَبَرًا بِعُودِ الْإِيلَاءِ فِي حَفْصَةَ؟ قُلْنَا: لِأَنَّ الْإِيلَاءَ فِي حَفْصَةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعْقُودًا بِوَطْءِ أَجْنَبِيَّةٍ وَالطَّلَاقَ فِي عَمْرَةَ يَجُوزُ عَقْدُهُ بِوَطْءِ الْأَجْنَبِيَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: sumpah tidak kembali berlaku pada kedua jenis talak. Pendapat ketiga: sumpah kembali berlaku jika talak pertama kurang dari tiga, dan tidak kembali berlaku jika talak pertama tiga. Berdasarkan ini, jika kita katakan bahwa sumpah talaknya terhadap ‘Amrah kembali berlaku dalam pernikahan kedua, maka ila’-nya terhadap Hafshah juga kembali berlaku, karena kapan pun ia menggaulinya, ‘Amrah akan tertalak. Namun jika kita katakan bahwa sumpah talaknya terhadap ‘Amrah tidak kembali berlaku dalam pernikahan kedua, maka ila’-nya terhadap Hafshah juga tidak kembali berlaku, karena kapan pun ia menggaulinya, ‘Amrah tidak tertalak. Jika ada yang bertanya: mengapa kembalinya ila’ pada Hafshah dikaitkan dengan kembalinya talak pada ‘Amrah, sedangkan kembalinya talak pada ‘Amrah tidak dikaitkan dengan kembalinya ila’ pada Hafshah? Kami jawab: karena ila’ pada Hafshah tidak boleh dikaitkan dengan hubungan suami istri dengan perempuan lain, sedangkan talak pada ‘Amrah boleh dikaitkan dengan hubungan suami istri dengan perempuan lain. Wallāhu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ آلَى مِنَ امْرَأَتِهِ الْأَمَةِ ثُمَّ اشْتَرَاهَا فَخَرَجَتْ مِنْ مِلْكِهِ ثُمَّ تَزَوَّجَهَا أَوِ الْعَبْدُ مِنْ حُرَّةٍ ثَمَّ اشْتَرَتْهُ فَتَزَوَّجَتْهُ لَمْ يَعُدِ الْإِيلَاءُ لِانْفِسَاخِ النِّكَاحِ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ هذا كله أشبه بأصله لأن كل نكاح أو ملك حدث لم يعمل فيه إلا قول وإيلاء وظهار يحدث فالقياس أن كل حكم يكون في ملك إذا زال ذلك الملك زال ما فيه من الحكم فإذا زال نكاحه فبانت منه امرأته زال حكم الإيلاء عنه في معناه) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang ber-ila’ dari istrinya yang merupakan budak perempuan, kemudian ia membelinya sehingga keluar dari kepemilikannya, lalu ia menikahinya; atau seorang budak ber-ila’ dari istri merdeka, lalu istrinya membeli dirinya dan menikahinya, maka ila’ tidak kembali berlaku karena akad nikah telah terputus.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Semua ini lebih sesuai dengan asalnya, karena setiap akad nikah atau kepemilikan yang baru terjadi, tidak berlaku padanya kecuali ucapan, ila’, dan zihar yang baru pula. Maka menurut qiyās, setiap hukum yang berlaku dalam suatu kepemilikan, jika kepemilikan itu hilang, maka hilang pula hukum yang terkait dengannya. Jika akad nikahnya hilang sehingga istrinya menjadi terpisah darinya, maka hilang pula hukum ila’ atasnya dalam maknanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَاتَانِ مَسْأَلَتَانِ مُخْتَلِفَتَا الصُّورَةِ مُتَّفِقَتَا الْحُكْمِ:

Al-Mawardi berkata: Kedua masalah ini berbeda bentuknya, namun hukumnya sama.

إِحْدَاهُمَا: فِي حَرٍّ تَزَوَّجَ أَمَةً وَآلَى مِنْهَا ثُمَّ اشْتَرَاهَا، فَبَطَلَ بِالشِّرَاءِ نِكَاحُهَا ثُمَّ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ عِتْقِهَا أَوْ بَيْعِهَا، هَلْ يَعُودُ الْإِيلَاءُ مِنْهَا أَمْ لَا؟

Pertama: Dalam kasus seorang laki-laki merdeka menikahi seorang budak perempuan, lalu melakukan ila’ terhadapnya, kemudian ia membeli budak tersebut, maka dengan pembelian itu batalah pernikahannya. Setelah itu ia menikahinya kembali setelah budak itu dimerdekakan atau dijual. Apakah ila’ kembali berlaku terhadapnya atau tidak?

وَالثَّانِيَةُ: فِي عَبْدٍ تَزَوَّجَ وَآلَى مِنْهَا ثُمَّ اشْتَرَتْهُ فَبَطَلَ النِّكَاحُ بِالشِّرَاءِ ثُمَّ عَادَ فَتَزَوَّجَهَا بَعْدَ عِتْقِهِ أَوْ بَيْعِهِ، هَلْ يَعُودُ الْإِيلَاءُ مِنْهَا أَمْ لَا؟

Kedua: Dalam kasus seorang budak laki-laki menikah dan melakukan ila’ terhadap istrinya, lalu istrinya membeli dirinya sehingga pernikahan batal karena pembelian tersebut, kemudian ia menikahinya kembali setelah ia dimerdekakan atau dijual. Apakah ila’ kembali berlaku terhadapnya atau tidak?

وَالْجَوَابُ فِي عَوْدِ الْإِيلَاءِ فِيهِمَا مَبْنِيٌّ عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي الْفَسْخِ بِالْمِلْكِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ، أَوْ يَجْرِي مَجْرَى مَا دُونَ الثَّلَاثِ، وَفِيهِ لَهُمْ وَجْهَانِ:

Jawaban mengenai kembalinya ila’ dalam kedua kasus ini dibangun di atas perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab kami tentang pembatalan pernikahan karena kepemilikan, apakah hukumnya seperti talak tiga, atau seperti talak kurang dari tiga, dan dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أنه يجري مجرى الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ، لِأَنَّ الْفَسْخَ قَدْ رَفَعَ جَمِيعَ أَحْكَامِ النِّكَاحِ الْمُتَقَدِّمِ كَالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa hukumnya seperti talak tiga, karena pembatalan (fasakh) telah menghapus seluruh hukum-hukum pernikahan sebelumnya sebagaimana talak tiga.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى مَا دُونَ الثَّلَاثِ مِنَ الطَّلَاقِ لِأَنَّهُ إِذَا طَلَّقَهَا فِي النِّكَاحِ الثَّانِي بَنَتْهُ عَلَى عَدَدِ الطَّلَاقِ فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ، وَلِأَنَّهَا تَحِلُّ قَبْلَ زَوْجٍ بِخِلَافِ الثَّلَاثِ.

Pendapat kedua: bahwa hukumnya seperti talak kurang dari tiga, karena jika ia menalaknya dalam pernikahan kedua, maka talak itu dihitung berdasarkan jumlah talak dalam pernikahan pertama, dan karena ia masih halal sebelum menikah dengan suami lain, berbeda dengan talak tiga.

فَعَلَى هَذَا إِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ يَكُونُ كَالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ لَمْ يَعُدِ الْإِيلَاءُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ كُلِّهِ وَأَحَدِ قَوْلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ، وَعَادَ عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي فِي الْقَدِيمِ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ يَكُونُ كَالطَّلَاقِ إِذَا كَانَ أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ، فَعَلَى هَذَا يَعُودُ الْإِيلَاءُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ كُلِّهِ وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ وَلَا يَعُودُ عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي فِي الْجَدِيدِ.

Berdasarkan hal ini, jika kita katakan bahwa hukumnya seperti talak tiga, maka ila’ tidak kembali menurut pendapat beliau dalam seluruh pendapat baru dan salah satu dari dua pendapat dalam pendapat lama, dan ila’ kembali menurut pendapat kedua dalam pendapat lama. Namun jika kita katakan bahwa hukumnya seperti talak kurang dari tiga, maka ila’ kembali menurut pendapat beliau dalam seluruh pendapat lama dan salah satu dari dua pendapat dalam pendapat baru, dan tidak kembali menurut pendapat kedua dalam pendapat baru.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ قَالَ لَا يَعُودُ الطَّلَاقُ وَالْإِيلَاءُ وَالظِّهَارُ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي إِذَا كَانَ مَعْقُودًا فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ احْتِجَاجًا بِأَمْرَيْنِ:

Adapun al-Muzani, ia berpendapat bahwa talak, ila’, dan zihar tidak kembali berlaku dalam pernikahan kedua jika telah terjadi dalam pernikahan pertama, dengan dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ حُكْمٌ تَعَلَّقَ بِعَقْدٍ، فَإِذَا زَالَ ذَلِكَ الْعَقْدُ زَالَ حُكْمُهُ، وَهَذَا فَاسِدٌ بِعَدَدِ الطلاق بزوال عَقْدُهُ وَلَا يَزُولُ حُكْمُهُ، وَيَكُونُ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي مُعْتَبَرًا بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ.

Pertama: Bahwa itu adalah hukum yang terkait dengan akad, maka jika akad tersebut hilang, hukumnya pun hilang. Namun ini tidak benar, karena jumlah talak tetap berlaku meskipun akadnya telah hilang, dan dalam pernikahan kedua tetap dihitung berdasarkan pernikahan pertama.

وَالِاحْتِجَاجُ الثَّانِي: إِنْ قَالَ قَدْ صَارَتْ فِي حَالٍ لَوْ آلَى مِنْهَا أَوْ طَلَّقَهَا لَمْ يَصِحَّ، فَكَذَلِكَ لَا يَصِحُّ أَنْ يُسْتَدَامَ فِيهَا حُكْمُ الْإِيلَاءِ وَالطَّلَاقِ، وَهَذَا فَاسِدٌ بِالْجُنُونِ، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَبْتَدِئَ فِيهِ الْإِيلَاءُ وَالطَّلَاقُ، وَيَصِحُّ أَنْ يُسْتَدَامَ فِيهِ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْإِيلَاءِ وَالطَّلَاقِ، وَاللَّهُ أعلم.

Alasan kedua: Jika dikatakan bahwa ia telah berada dalam keadaan yang jika dilakukan ila’ atau talak tidak sah, maka demikian pula tidak sah untuk melanjutkan hukum ila’ dan talak atasnya. Namun ini tidak benar, karena dalam kasus gila, tidak sah untuk memulai ila’ dan talak, tetapi sah untuk melanjutkan ila’ dan talak yang telah terjadi sebelumnya. Dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَالْإِيلَاءُ يَمِينٌ لِوَقْتٍ فَالحُرُّ وَالْعَبْدُ فِيهَا سَوَاءٌ أَلَا تَرَى أَنَّ أَجَلَ الْعَبْدِ وَأَجَلَ الْحُرِّ الْعِنِّينِ سَنَةٌ) .

Imam asy-Syafi’i ra. berkata: “Ila’ adalah sumpah untuk waktu tertentu, maka laki-laki merdeka dan budak sama saja dalam hal ini. Tidakkah engkau melihat bahwa batas waktu bagi budak dan laki-laki merdeka yang mengalami impotensi adalah satu tahun?”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا، قَالَ: مُدَّةُ الْوَقْفِ فِي الْإِيلَاءِ مُقَدَّرَةٌ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ مَعَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ فِي الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ، وَقَالَ مَالِكٌ، وَأَبُو حَنِيفَةَ: تَنْتَصِفُ الْمُدَّةُ بِالرِّقِّ، ثُمَّ اخْتَلَفَا.

Al-Mawardi berkata: Dan sebagaimana yang beliau katakan, masa penantian dalam ila’ ditetapkan selama empat bulan, baik bagi laki-laki merdeka maupun budak, terhadap istri merdeka maupun budak. Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa masa tersebut menjadi setengahnya karena status budak, kemudian mereka berbeda pendapat.

فَقَالَ مَالِكٌ: يُعْتَبَرُ بِهَا الزَّوْجُ دُونَ الزَّوْجَةِ، فَوَقْفُ الْعَبْدِ شَهْرَيْنِ وَإِنْ كَانَتْ زَوْجَتُهُ حُرَّةً.

Malik berkata: Yang dijadikan patokan adalah suami, bukan istri, sehingga masa penantian bagi budak laki-laki adalah dua bulan, meskipun istrinya seorang wanita merdeka.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ: يُعْتَبَرُ بِهَا الزَّوْجَةُ دُونَ الزَّوْجِ فَيُوقَفُ لِلْأَمَةِ شَهْرَيْنِ وَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا حُرًّا.

Abu Hanifah rahimahullah berkata: Yang dijadikan patokan adalah istri, bukan suami, sehingga masa penantian bagi budak perempuan adalah dua bulan, meskipun suaminya seorang laki-laki merdeka.

فَأَمَّا مَالِكٌ فَجَعَلَهُ مُعْتَبَرًا بِالطَّلَاقِ، لِأَنَّهُمَا يُوجِبَانِ الْفُرْقَةَ، وَالْعَبْدُ يَمْلِكُ طَلْقَتَيْنِ مَعَ الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ، وَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَجَعَلَهُ مُعْتَبَرًا بِالْعِدَّةِ لِأَنَّ بِهَا تَقَعُ الْبَيْنُونَةُ، وَالْأَمَةُ تَعْتَدُّ بِقُرْأَيْنِ مَعَ الْعَبْدِ وَالْحُرِّ.

Adapun Malik, ia menjadikannya berdasarkan talak, karena keduanya (ila’ dan talak) menyebabkan perpisahan, dan budak laki-laki memiliki hak dua kali talak baik terhadap istri merdeka maupun budak. Sedangkan Abu Hanifah menjadikannya berdasarkan masa iddah, karena dengan iddah terjadi perpisahan, dan budak perempuan menjalani iddah dua kali haid baik dengan suami budak maupun merdeka.

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِمَا: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} [البقرة: 226] وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ مَعَ الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ، وَلِأَنَّهَا مُدَّةٌ ضُرِبَتْ فِي عَقْدٍ لِرَفْعِ الضَّرَرِ الدَّاخِلِ فِي الِاسْتِمْتَاعِ فَلَمْ تَخْتَلِفْ بِالْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ كَالْعُنَّةِ؛ وَلِأَنَّهَا يَمِينٌ لِوَقْتٍ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهَا الْحُرُّ وَالْعَبْدُ كَسَائِرِ الْأَيْمَانِ، وَهَذِهِ دَلَالَةُ الشَّافِعِيِّ؛ وَلِأَنَّهُ قَصَدَ تَحْرِيمَ الِاسْتِمْتَاعِ بِلَفْظٍ كَانَ طَلَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ الْحُرُّ وَالْعَبْدُ كَالظِّهَارِ.

Dalil atas keduanya adalah firman Allah Ta‘ala: {Bagi orang-orang yang bersumpah tidak akan menggauli istri-istri mereka, ada masa menunggu selama empat bulan} (QS. Al-Baqarah: 226). Allah tidak membedakan antara laki-laki merdeka dan budak, juga antara perempuan merdeka dan hamba sahaya, sehingga hukumnya berlaku umum. Karena masa tersebut ditetapkan dalam akad untuk menghilangkan mudarat yang timbul dalam hubungan suami istri, maka tidak berbeda antara status merdeka dan budak, sebagaimana pada kasus ‘innah (impotensi). Selain itu, sumpah tersebut adalah sumpah yang dibatasi waktu, sehingga wajib disamakan antara laki-laki merdeka dan budak sebagaimana sumpah-sumpah lainnya. Inilah pendalilan Imam Syafi‘i. Juga karena maksudnya adalah mengharamkan hubungan suami istri dengan lafaz yang pada masa jahiliah bermakna talak, maka wajib pula disamakan antara laki-laki merdeka dan budak sebagaimana pada kasus zihar.

فَأَمَّا اعْتِبَارُ مَالِكٍ بِالطَّلَاقِ فَلَا يَصِحُّ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ إِزَالَةُ مِلْكٍ وَالْحَرُّ وَالْعَبْدُ يَخْتَلِفَانِ فِي الْمِلْكِ فَاخْتَلَفَا فِي إِزَالَتِهِ، وَمُدَّةُ الْإِيلَاءِ مَوْضُوعَةٌ لِرَفْعِ الضَّرَرِ لَا لِإِزَالَةِ الْمَالِكِ، وَالضَّرَرُ يَسْتَوِي فِيهِ الْحُرُّ وَالْعَبْدُ فَاسْتَوَيَا فِي مُدَّةِ إِزَالَتِهِ.

Adapun pertimbangan Imam Malik yang menyamakan dengan talak, maka tidak sah; karena talak adalah penghilangan kepemilikan, sedangkan laki-laki merdeka dan budak berbeda dalam hal kepemilikan, sehingga berbeda pula dalam penghapusannya. Sementara masa ila’ ditetapkan untuk menghilangkan mudarat, bukan untuk menghilangkan kepemilikan, dan mudarat itu sama antara laki-laki merdeka dan budak, sehingga keduanya disamakan dalam masa penghapusannya.

وَأَمَّا اعْتِبَارُ أَبِي حَنِيفَةَ بِالْعِدَّةِ فَلَا يَصِحُّ، لِأَنَّ فِي الْعِدَّةِ اسْتِبْرَاءً وَتَعَبُّدًا، فَالِاسْتِبْرَاءُ بِقُرْءٍ وَاحِدٍ تَشْتَرِكُ فيه الحرة والأمة، والقرآن الزَّائِدَانِ تَعَبُّدٌ تَخْتَلِفُ فِيهِ الْحُرَّةُ وَالْأَمَةُ كَالْحُدُودِ، فاختصت الأمة بنصفة وهو أحد القراءين فصارت عدتها تعبداً واستبراء قراءين، وَمُدَّةُ الْإِيلَاءِ مَوْضُوعَةٌ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ رَفْعِ الضَّرَرِ الَّذِي يَسْتَوِي فِيهِ الْحُرِّيَّةُ وَالرِّقُّ، وَاللَّهُ أعلم.

Adapun pertimbangan Abu Hanifah yang menyamakan dengan masa iddah, maka tidak sah, karena dalam iddah terdapat unsur istibra’ (pengecekan rahim) dan ibadah. Istibra’ dilakukan dengan satu kali haid yang berlaku sama bagi perempuan merdeka dan hamba sahaya, sedangkan dua kali haid tambahan adalah bentuk ibadah yang membedakan antara perempuan merdeka dan hamba sahaya sebagaimana dalam hudud. Maka hamba sahaya dikhususkan dengan setengahnya, yaitu salah satu dari dua kali haid, sehingga masa iddahnya menjadi ibadah dan istibra’ dua kali haid. Adapun masa ila’ ditetapkan, sebagaimana telah disebutkan, untuk menghilangkan mudarat yang sama antara status merdeka dan budak. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ قَالَتْ قَدِ انْقَضَتِ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ وَقَالَ لَمْ تَنْقَضِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَعَلَيْهَا الْبَيِّنَةُ) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika istri berkata, ‘Empat bulan telah berlalu,’ sedangkan suami berkata, ‘Belum berlalu,’ maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami dengan sumpahnya, dan istri wajib mendatangkan bukti.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا اخْتَلَفَا فِي انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ فَادَّعَتْهَا وَأَنْكَرَهَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ، فِي بَقَاءِ الْمُدَّةِ وَلَا مُطَالَبَةَ عَلَيْهِ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ:

Al-Mawardi berkata: Jika keduanya berselisih tentang berakhirnya masa (ila’), lalu istri mengklaim telah berakhir dan suami mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami dengan sumpahnya, dalam hal masih berlanjutnya masa tersebut, dan tidak ada tuntutan atasnya karena tiga alasan:

أَحَدُهَا: أَنَّنَا عَلَى يَقِينٍ مِنْ بَقَائِهَا، وَفِي شَكٍّ مِنَ انْقِضَائِهَا.

Pertama: Karena kita yakin masa tersebut masih ada, dan masih ragu tentang telah berakhirnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ حَلِفٌ فِي وَقْتِ الْإِيلَاءِ وَهُوَ فِعْلُ الزَّوْجِ فَكَانَ قَوْلُهُ فِيهِ أَثْبَتَ كَمَا لَوِ اخْتَلَفَا فِي أَصْلِهِ.

Kedua: Karena sumpah itu diucapkan pada waktu ila’, dan itu adalah perbuatan suami, sehingga ucapannya lebih kuat dalam hal ini, sebagaimana jika keduanya berselisih tentang asal mula ila’.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْأَصْلَ بِثُبُوتِ النِّكَاحِ، وَهِيَ تَدَّعِي مَا يُخَالِفُهُ مِنَ اسْتِحْقَاقِ الْفُرْقَةِ.

Ketiga: Karena asalnya adalah tetapnya pernikahan, sedangkan istri mengklaim sesuatu yang bertentangan dengannya, yaitu berhaknya terjadi perpisahan.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ آلَى مِنْ مُطَلَّقَةٍ يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا كَانَ مُولِيًا مِنْ حِينِ يَرْتَجِعُهَا وَلَوْ لَمْ يَمْلِكْ رَجْعَتَهَا لَمْ يَكُنْ مُولِيًا) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang suami melakukan ila’ terhadap istri yang telah ditalak tetapi masih bisa dirujuk, maka ia dianggap melakukan ila’ sejak ia merujuk istrinya. Namun jika ia tidak lagi memiliki hak rujuk, maka ia tidak dianggap melakukan ila’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ وَلَوْ لَمْ يُرَاجِعْهَا لَمْ يَكُنْ مُولِيًا، وَكِلَا النَّقْلَيْنِ صَحِيحٌ وَهُمَا مَسْأَلَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Dalam sebagian naskah disebutkan: “Jika ia tidak merujuk istrinya, maka ia tidak dianggap melakukan ila’.” Kedua riwayat ini benar dan merupakan dua permasalahan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يُولِيَ مِنْ مُطَلَّقَةٍ يَمْلِكُ رَجَعَتْهَا فِي الْعِدَّةِ، فَالْإِيلَاءُ مِنْهَا فِي عِدَّتِهَا مُنْعَقِدٌ، لِأَنَّ أَحْكَامَ النِّكَاحِ جَارِيَةٌ عَلَيْهَا فِي عِدَّةِ الرَّجْعَةِ مِنَ التَّوَارُثِ وَوُجُوبِ النَّفَقَةِ وَوُقُوعِ الطَّلَاقِ، وَالظِّهَارِ فَكَذَلِكَ الْإِيلَاءُ، وَإِذَا انْعَقَدَ إِيلَاؤُهُ نُظِرَ، فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْ سَقَطَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ بِالطَّلَاقِ الْمُتَقَدِّمِ عَلَيْهِ، وَإِنِ اسْتَقَرَّ الْإِيلَاءُ وَاسْتُحِقَّتِ الْمُطَالَبَةُ لِأَنَّ الرَّجْعَةَ قَدْ رَفَعَتْ مَا تَقَدَّمَ مِنْ تَحْرِيمِ الطَّلَاقِ، وَإِذَا اسْتَقَرَّ إِيلَاؤُهُ بِالرَّجْعَةِ كَانَ أَوَّلُ مُدَّةِ الْوَقْفِ مَنْ وَقْتِ الرَّجْعَةِ لَا مَنْ وَقْتِ الْإِيلَاءِ.

Pertama: Jika seorang suami melakukan ila’ terhadap istri yang telah ditalak tetapi masih bisa dirujuk selama masa iddah, maka ila’ darinya selama masa iddah tersebut sah, karena hukum-hukum pernikahan masih berlaku atasnya selama masa iddah rujuk, seperti waris-mewarisi, wajibnya nafkah, jatuhnya talak, dan zihar, maka demikian pula ila’. Jika ila’nya telah sah, maka diperhatikan: jika ia tidak merujuk, maka hukum ila’ gugur karena talak yang telah mendahuluinya. Namun jika ila’nya tetap dan istri berhak menuntut, karena rujuk telah menghapus keharaman talak sebelumnya. Jika ila’nya tetap dengan rujuk, maka awal masa penantian dihitung sejak waktu rujuk, bukan sejak waktu ila’.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ أَوَّلُ الْمُدَّةِ من وقت الإيلاء بناءاً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الرَّجْعِيَّةَ غَيْرُ مُحَرَّمَةٍ، وَنَحْنُ نَبْنِي عَلَى أَصْلِنَا فِي أَنَّ الرَّجْعِيَّةَ مُحَرَّمَةٌ لِأَمْرَيْنِ:

Abu Hanifah rahimahullah berkata: Awal masa (penantian) dihitung sejak waktu ila’, berdasarkan pendapatnya bahwa istri yang ditalak raj‘i tidak haram (bagi suami), sedangkan kami berpendapat bahwa istri yang ditalak raj‘i itu haram karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مُدَّةَ الْإِيلَاءِ مَضْرُوبَةٌ فِي نِكَاحٍ كَامِلٍ فَيُقْصَدُ بِهَا رَفْعُ الضَّرَرِ الدَّاخِلِ عَلَيْهَا وَقَدْ دَخَلَ الضَّرَرُ عَلَيْهَا بِالطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ حَتَّى مُنِعَتْ بِهَا النِّكَاحَ، فَخَرَجَ هَذَا الْإِيلَاءُ قَبْلَ الرَّجْعَةِ أَنْ يَكُونَ مُخْتَصًّا بِالضَّرَرِ فَلَمْ يُحْتَسَبْ فِي الْمُدَّةِ.

Yang pertama: Bahwa masa ila’ ditetapkan dalam pernikahan yang sempurna, sehingga tujuannya adalah untuk menghilangkan mudarat yang menimpa istri. Sementara mudarat telah menimpanya dengan terjadinya talak raj‘i, sampai-sampai ia terhalang dari pernikahan karenanya. Maka, ila’ yang terjadi sebelum rujuk ini tidak lagi khusus berkaitan dengan mudarat, sehingga tidak dihitung dalam masa ila’.

وَالثَّانِي: أَنَّ مُدَّةَ الْإِيلَاءِ مَضْرُوبَةٌ لِيَأْخُذَ بِالْإِصَابَةِ عِنْدَ انْقِضَائِهَا، وَانْقِضَاءُ الْمُدَّةِ فِي الْعِدَّةِ يَمْنَعُ مِنْ أَخْذِهِ بِالْإِصَابَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مَحْسُوبًا مِنَ الْمُدَّةِ.

Yang kedua: Bahwa masa ila’ ditetapkan agar suami dapat melakukan hubungan (jima‘) pada akhir masa tersebut. Sementara berakhirnya masa dalam masa ‘iddah menghalangi suami untuk melakukan hubungan, maka tidak boleh masa itu dihitung sebagai bagian dari masa ila’.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

وَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: فَهُوَ أَنْ يُولِيَ مِنْ مُعْتَدَّةٍ فِي طَلَاقٍ بَائِنٍ، إِمَّا لِأَنَّهُ ثَلَاثٌ، وَإِمَّا لِأَنَّهُ دُونَهَا بِعِوَضٍ فَلَا يَنْعَقِدُ الْإِيلَاءُ مِنْهَا كَالْأَجْنَبِيَّةِ فَلَوْ نَكَحَهَا بَعْدَ ذَلِكَ بِعَقْدٍ لَمْ يَصِرْ مُولِيًا، وَكَانَ حَالِفًا لَا تَلْزَمُهُ الْمُطَالَبَةُ.

Adapun masalah kedua: Yaitu apabila seorang suami melakukan ila’ terhadap istri yang sedang menjalani ‘iddah karena talak bain, baik karena talak tiga ataupun kurang dari tiga dengan kompensasi, maka ila’ tidak sah darinya sebagaimana terhadap wanita asing. Jika ia menikahinya kembali setelah itu dengan akad baru, maka ia tidak menjadi mu-li (orang yang melakukan ila’), melainkan hanya menjadi orang yang bersumpah dan tidak wajib baginya tuntutan (untuk memilih antara rujuk atau talak).

وَقَالَ مَالِكٌ: يَكُونُ بِإِيلَائِهِ مِنْهَا فِي الْعِدَّةِ الْبَائِنِ مُولِيًا إِذَا نَكَحَهَا وَكَذَلِكَ لَوْ آلَى مِنْهَا وَهِيَ أَجْنَبِيَّةٌ ثُمَّ نَكَحَهَا كَانَ مُولِيًا، وَهَكَذَا عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ عَلَى قَوْلِهِ فِي عَقْدِ الطَّلَاقِ قَبْلَ النِّكَاحِ.

Imam Malik berkata: Jika seorang suami melakukan ila’ terhadap istri yang sedang dalam masa ‘iddah bain, maka ia menjadi mu-li jika menikahinya kembali. Demikian pula jika ia melakukan ila’ terhadap wanita asing lalu menikahinya, maka ia menjadi mu-li. Begitu pula menurut Abu Hanifah dalam pendapatnya tentang akad talak sebelum pernikahan.

وَفِيمَا تَقَدَّمَ مَعَهُ مِنَ الدَّلِيِلِ فِي الطَّلَاقِ كَافٍ فِي الْإِيلَاءِ مَعَ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} [البقرة: 226] وليست هذه من نسائه.

Dalil yang telah disebutkan sebelumnya dalam masalah talak sudah cukup sebagai dalil dalam masalah ila’, dengan firman Allah Ta‘ala: {Bagi orang-orang yang melakukan ila’ dari istri-istri mereka, hendaklah menunggu selama empat bulan} [al-Baqarah: 226], dan wanita ini bukan termasuk istri-istrinya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَالْإِيلَاءُ مِنْ كُلِّ زَوْجَةٍ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ وَمُسْلِمَةٍ وَذِمِّيَةٍ سِوَاءٌ) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: (Ila’ berlaku bagi setiap istri, baik merdeka maupun budak, muslimah maupun dzimmiyah, semuanya sama).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ} [البقرة: 226] وَلَمْ يُفَرِّقْ؛ وَلِأَنَّ مِنْ مَلَكَ الطَّلَاقَ مَلَكَ الْإِيلَاءَ وَالظِّهَارَ كَالْحُرِّ الْمُسْلِمِ مَعَ الْحُرَّةِ الْمُسْلِمَةِ؛ وَلِأَنَّهُنَّ فِي أَحْكَامِ الزَّوْجِيَّةِ سَوَاءٌ، فَوَجَبَ أَنْ يكون في الإيلاء سواء والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Bagi orang-orang yang melakukan ila’ dari istri-istri mereka} [al-Baqarah: 226], tanpa membedakan. Dan karena siapa yang memiliki hak talak, maka ia juga memiliki hak ila’ dan zihar, sebagaimana laki-laki muslim merdeka terhadap istri muslimah merdeka. Dan karena mereka semua dalam hukum pernikahan adalah sama, maka wajib pula dalam hukum ila’ mereka sama. Wallahu a‘lam.

(الوقف من كتاب الإيلاء ومن الإملاء)

(Batasan dari Kitab Ila’ dan dari al-Imla’)

(على مسائل ابن القاسم والإملاء على مسائل مالك)

(Terhadap masalah-masalah Ibn al-Qasim dan al-Imla’ terhadap masalah-masalah Malik)

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (إِذَا مَضَتِ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ لِلْمُولِي وُقِفَ وَقِيلَ لَهُ إِنْ فِئْتَ وَإِلَّا فَطَلِّقْ وَالْفَيْئَةُ الْجِمَاعُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ فَيَفِيءُ بِاللِّسَانِ مَا كَانَ الْعُذْرُ قَائِمًا فَيَخْرُجُ بِذَلِكَ مِنَ الضِّرَارِ) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: (Jika telah berlalu empat bulan bagi mu-li, maka ia dihentikan dan dikatakan kepadanya: Jika kamu kembali (berhubungan), maka lakukanlah, jika tidak maka ceraikanlah. Kembali (al-fay’) adalah melakukan jima‘, kecuali jika ada uzur, maka cukup dengan ucapan selama uzur itu masih ada, sehingga ia keluar dari perbuatan yang membahayakan).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ لَا مُطَالَبَةَ عَلَى الْمُولِي قَبْلَ انْقِضَاءِ مُدَّةِ الْإِيلَاءِ وَهِيَ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، فَإِذَا انْقَضَتْ كَانَ الْخِيَارُ إِلَيْهَا فِي مُطَالَبَتِهِ وَتَرْكِهِ فَإِنْ طَالَبَتْ كَانَ الزَّوْجُ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ كَمَا قَالَ تعالى {فإن فاؤوا فإن الله غفور رحيم وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ} [البقرة: 226] فَأَيَّهُمَا فَعَلَ لَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجَةِ مُطَالَبَتُهُ بِالْآخَرِ فَإِنْ طَلَّقَ فَلَمْ يَكُنْ لَهَا مُطَالَبَتُهُ بِالْفَيْئَةِ، وَإِنْ فَاءَ لَمْ يَكُنْ لَهَا مُطَالَبَتُهُ بِالطَّلَاقِ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa tidak ada tuntutan atas mu-li sebelum berakhirnya masa ila’, yaitu masa menunggu empat bulan. Jika telah berakhir, maka pilihan ada pada istri, apakah menuntutnya atau tidak. Jika ia menuntut, maka suami diberi pilihan antara kembali (al-fay’) atau menceraikan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Jika mereka kembali, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berketetapan untuk menceraikan, maka sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui} [al-Baqarah: 226]. Maka, jika suami melakukan salah satunya, istri tidak berhak menuntut yang lain. Jika suami menceraikan, maka istri tidak berhak menuntut kembali (al-fay’), dan jika suami kembali (al-fay’), maka istri tidak berhak menuntut cerai.

(فَصْلٌ:)

(Bagian:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ مُخَيَّرٌ فِيهِمَا فَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي صِفَةِ الطَّلَاقِ، وَأَنَّهُ رَجْعِيٌّ، فَإِنْ زَادَ عَلَى الْوَاحِدَةِ كَانَ مُتَطَوِّعًا بِهَا.

Jika telah dipastikan bahwa suami diberi pilihan antara keduanya, maka telah dijelaskan sebelumnya tentang sifat talak, yaitu talak raj‘i. Jika lebih dari satu kali, maka itu merupakan talak tambahan yang dilakukan secara sukarela.

وَأَمَّا الْفَيْئَةُ فَهِيَ الْجِمَاعُ لِأَنَّ الْفَيْءَ فِي اللُّغَةِ الرُّجُوعُ إِلَى مَا فَارَقَ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ} [الحجرات: 9] أَيْ تَرْجِعَ إِلَى طَاعَةِ اللَّهِ، وَهُوَ بِالْإِيلَاءِ مُمْتَنِعٌ مِنَ الْجِمَاعِ فَكَانَتِ الْفَيْئَةُ الرُّجُوعَ إِلَيْهِ، وَإِذَا كَانَتِ الْفَيْئَةُ الرُّجُوعَ إِلَى الْجِمَاعِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَادِرًا عَلَيْهِ أَوْ عَاجِزًا عَنْهُ فَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَيْهِ لَمْ يَكُنْ فَايِئًا إِلَّا بِجِمَاعٍ، وَأَقَلُّهُ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ، وَإِنْ كَانَ عَاجِزًا عَنْهُ لِعُذْرٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ لَزِمَهُ أَنْ يَفِيءَ فَيْءَ مَعْذُورٍ بِلِسَانِهِ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ لَسْتُ أَقْدِرَ عَلَى الْوَطْءِ وَلَوْ قَدَرْتُ عَلَيْهِ لَفَعَلْتُهُ، وَإِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهِ فَعَلْتُهُ فَيَقُومُ فَيْئُهُ بِلِسَانِهِ فِي حَالِ عُذْرِهِ فِي إِسْقَاطِ الْمُطَالَبَةِ مَقَامَ فَيْئَتِهِ بِوَطْئِهِ.

Adapun al-fay’ah adalah jima‘ (hubungan suami istri), karena al-fay’ dalam bahasa berarti kembali kepada sesuatu yang telah ditinggalkan. Allah Ta‘ala berfirman: {حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ} (hingga mereka kembali kepada perintah Allah) [al-Hujurat: 9], yakni kembali kepada ketaatan kepada Allah. Dalam kasus ila’, seseorang menahan diri dari jima‘, maka al-fay’ah adalah kembali kepadanya. Jika al-fay’ah adalah kembali kepada jima‘, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: mampu melakukannya atau tidak mampu. Jika ia mampu, maka ia tidak dianggap telah melakukan al-fay’ah kecuali dengan jima‘, dan batas minimalnya adalah sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu bertemunya dua khitan. Jika ia tidak mampu karena uzur seperti sakit atau lainnya, maka ia wajib melakukan al-fay’ah orang yang beruzur dengan lisannya, yaitu dengan mengatakan: “Aku tidak mampu melakukan hubungan, dan seandainya aku mampu, pasti aku akan melakukannya. Jika aku mampu, pasti aku akan melakukannya.” Maka al-fay’ah dengan lisannya dalam keadaan uzur itu menempati posisi al-fay’ah dengan jima‘ dalam menggugurkan tuntutan.

وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: لَا يَلْزَمُهُ الْفَيْئَةُ بِاللِّسَانِ حَتَّى يَقْدِرَ عَلَيْهَا بِالْوَطْءِ، وَيُؤَخِّرُ الْمُطَالَبَةَ إِلَى زَوَالِ الْعُذْرِ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:

Abu Tsaur berkata: Tidak wajib baginya melakukan al-fay’ah dengan lisan hingga ia mampu melakukannya dengan jima‘, dan penuntutan ditunda sampai hilangnya uzur, dengan berdalil pada dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ لَزِمَهُ فِي حَالِ الْعُذْرِ أَنْ يَفِيءَ بِلِسَانِهِ لَمَا لَزَمَهُ الْفَيْئَةُ بِالْوَطْءِ بَعْدَ زَوَالِ عُذْرِهِ لِسُقُوطِ الْحَقِّ بما تقدم.

Pertama: Jika memang wajib baginya dalam keadaan uzur untuk melakukan al-fay’ah dengan lisan, maka tidak wajib lagi melakukan al-fay’ah dengan jima‘ setelah uzurnya hilang, karena haknya telah gugur dengan yang telah dilakukan sebelumnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ قَامَ مَقَامَ الْوَطْءِ فِي سُقُوطِ الْمُطَالَبَةِ لَقَامَ مَقَامَهُ فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ.

Kedua: Jika al-fay’ah dengan lisan menempati posisi jima‘ dalam menggugurkan tuntutan, maka ia juga harus menempati posisinya dalam kewajiban membayar kafarat.

وَدَلِيلُنَا: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [البقرة: 226] وَالْفَيْئَةُ الرُّجُوعُ، وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ رُجُوعٍ بِالْقَوْلِ أَوْ رُجُوعٍ بِالْفِعْلِ؛ وَلِأَنَّ الْفَيْئَةَ تُرَادُ لِدَفْعِ الضَّرَرِ بِالْإِيلَاءِ وَسُكُونِ النَّفْسِ إِلَى زَوَالِهِ بِهَا وَقَدْ يَرْتَفِعُ الضَّرَرُ وَتَسْكُنُ النَّفْسُ بِقَوْلِ الْعَاجِزِ كَمَا يَرْتَفِعُ بِفِعْلِ الْقَادِرِ وَلِأَنَّ الْفَيْئَةَ تَرْفَعُ الضَّرَرَ كَالشُّفْعَةِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْمُطَالَبَةَ بِهَا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى أَحَدِهِمَا يَكُونُ بِالْفِعْلِ وَهُوَ دَفْعُ الثَّمَنِ وَانْتِزَاعُ الْمَبِيعِ فَإِنْ عَجَزَ عَنْهَا كَانَتِ الْمُطَالَبَةُ فِيهَا بِالْقَوْلِ وَهُوَ الْإِشْهَادُ عَلَى نَفْسِهِ بِالطَّلَبِ كَذَلِكَ الْفَيْئَةُ فِي الْإِيلَاءِ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} (Maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) [al-Baqarah: 226], dan al-fay’ah adalah kembali, tanpa membedakan antara kembali dengan ucapan atau kembali dengan perbuatan. Karena al-fay’ah dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat akibat ila’ dan menenangkan jiwa dengan hilangnya mudarat tersebut, dan terkadang mudarat itu hilang dan jiwa menjadi tenang dengan ucapan orang yang tidak mampu, sebagaimana mudarat itu hilang dengan perbuatan orang yang mampu. Dan karena al-fay’ah menghilangkan mudarat seperti halnya syuf‘ah, dan telah tetap bahwa penuntutan terhadapnya ketika mampu atas salah satunya adalah dengan perbuatan, yaitu membayar harga dan mengambil barang yang dijual. Jika tidak mampu, maka penuntutan dilakukan dengan ucapan, yaitu menyaksikan atas dirinya sendiri tentang permintaan tersebut. Demikian pula al-fay’ah dalam ila’.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُ أَبِي ثَوْرٍ بِأَنَّ الْمُطَالَبَةَ لَوْ سَقَطَتْ بِفَيْءِ اللِّسَانِ لَمَا وَجَبَتْ لِزَوَالِ الْعُذْرِ، فَفَاسِدٌ بِالْمُطَالَبَةِ بِالشُّفْعَةِ تَكُونُ بِالْقَوْلِ مَعَ الْعَجْزِ وَلَا يَسْقُطُ حَقُّ الطَّلَبِ بِالْفِعْلِ عِنْدَ زَوَالِ الْعُذْرِ وَنَحْنُ أَوْجَبْنَا عَلَيْهِ عِنْدَ عَدَمِ الْمَاءِ وَالتُّرَابِ أَنْ يُصَلِّيَ، وَلَا تَسْقُطُ الصَّلَاةُ إِذَا قَدَرَ عَلَى الْمَاءِ إِحْدَى الطِّهَارَتَيْنِ.

Adapun dalil Abu Tsaur bahwa jika penuntutan gugur dengan al-fay’ah lisan maka tidak wajib lagi setelah hilangnya uzur, maka itu tidak benar, karena penuntutan syuf‘ah dapat dilakukan dengan ucapan ketika tidak mampu, dan hak untuk menuntut dengan perbuatan tidak gugur setelah hilangnya uzur. Kita juga mewajibkan seseorang untuk shalat ketika tidak ada air dan tanah, dan shalat tidak gugur ketika ia mampu mendapatkan air, salah satu dari dua bentuk thaharah.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَجِبْ بِهِ الْكَفَّارَةُ لَمْ تَسْقُطْ بِهِ الْمُطَالَبَةُ فَفَاسِدٌ، لِأَنَّ الْفَيْئَةَ غيره مُعْتَبَرَةٍ بِوُجُوبٍ بِالْكَفَّارَةِ أَلَا تَرَى أَنَّ الْمَجْنُونَ يَفِيءُ فَتَسْقُطُ الْمُطَالَبَةُ وَتَصِحُّ الْفَيْئَةُ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ.

Adapun dalilnya bahwa karena kafarat tidak wajib dengan al-fay’ah lisan maka penuntutan juga tidak gugur dengannya, maka itu tidak benar, karena al-fay’ah tidak disyaratkan harus mewajibkan kafarat. Bukankah engkau melihat bahwa orang gila melakukan al-fay’ah sehingga gugur penuntutan dan sah al-fay’ahnya, namun kafarat tidak wajib atasnya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْفَيْئَةَ بِاللِّسَانِ تُسْقِطُ الْمُطَالَبَةَ فِي حَالِ الْعُذْرِ، فَإِذَا زَالَ الْعُذْرُ سَقَطَ حُكْمُ الْفَيْئَةِ بِاللِّسَانِ وَلَزِمَهُ أَنْ يَفِيءَ بِالْجِمَاعِ كَالشَّفِيعِ إِذَا أَشْهَدَ بِالطَّلَبِ فِي الْغَيْبَةِ ثُمَّ حَضَرَ جَدَّدَ الْمُطَالَبَةَ بِدَفْعِ الثَّمَنِ وَانْتِزَاعِ الْمَبِيعِ وَيَصِيرُ كَالْمُبْتَدِئِ بِالْعِلْمِ فِي الْحُضُورِ.

Jika telah tetap bahwa al-fay’ah dengan lisan menggugurkan penuntutan dalam keadaan uzur, maka ketika uzur telah hilang, hukum al-fay’ah dengan lisan juga gugur dan ia wajib melakukan al-fay’ah dengan jima‘, seperti halnya syafi‘ jika ia telah menyaksikan permintaan dalam keadaan tidak hadir, kemudian ia hadir, maka ia memperbarui penuntutan dengan membayar harga dan mengambil barang yang dijual, dan ia menjadi seperti orang yang memulai permintaan dalam keadaan hadir.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَفِيءَ بِالْوَطْءِ عِنْدَ الْقُدْرَةِ بَعْدَ أَنْ فَاءَ بِلِسَانِهِ فِي حَالِ الْعَجْزِ: لِأَنَّ مَا كَانَ فَيْئَةً فِي الْإِيلَاءِ لَمْ يَلْزَمْهُ إِعَادَةُ فَيْئَةِ كالوطء.

Abu Hanifah berkata: Tidak wajib baginya melakukan al-fay’ah dengan jima‘ ketika sudah mampu setelah sebelumnya melakukan al-fay’ah dengan lisan dalam keadaan tidak mampu, karena apa yang telah dianggap sebagai al-fay’ah dalam ila’ tidak wajib diulangi lagi seperti jima‘.

دليلنا مَعَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الشُّفْعَةِ هُوَ أَنَّ الْوَطْءَ حَقٌّ ثَبَتَ لَهَا مَعَ الْقُدْرَةِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِالْعَجْزِ حُكْمُ الْقُدْرَةِ كَسَائِرِ الْحُقُوقِ؛ وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَحْنَثْ بِهِ فِي الْإِيلَاءِ لَمْ يَسْقُطْ بِهِ الْوَطْءُ الْمُسْتَحَقُّ فِي الْإِيلَاءِ كَالْقُبْلَةِ؛ وَلِأَنَّ فَيْئَةَ اللِّسَانِ لَا تَتِمُّ إِلَّا أَنْ يَعِدَ فِيهَا بِالْوَطْءِ مَعَ الْقُدْرَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْقُطَ بِهَا فَوَجَبَ وَعْدُهُ عِنْدَ الْقُدْرَةِ والله أعلم.

Dalil kami, sebagaimana yang telah kami kemukakan terkait syuf‘ah, adalah bahwa hubungan suami istri merupakan hak yang tetap bagi istri selama ada kemampuan, sehingga hukum kemampuan itu tidak gugur hanya karena ketidakmampuan, sebagaimana hak-hak lainnya. Dan karena sesuatu yang belum menyebabkan pelanggaran sumpah dalam kasus ila’ (sumpah tidak menggauli istri) tidak menyebabkan gugurnya hak hubungan suami istri yang menjadi hak dalam ila’, seperti halnya ciuman. Dan karena rujuk dengan ucapan tidak sempurna kecuali dengan janji untuk menggauli istri ketika mampu, maka tidak boleh hak itu gugur karenanya, sehingga wajib baginya untuk berjanji akan menggauli istri ketika mampu. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ جَامَعَ فِي الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ خَرَجَ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ وَكَفَّرَ عَنْ يَمِينِهِ) .

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menggauli istrinya dalam masa empat bulan, maka ia keluar dari hukum ila’ dan wajib membayar kafarat atas sumpahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِنْ كَانَتْ يَمِينُهُ عَلَى أَقَلَّ مِنْ أربعة اشهر فليس بمول ومتى وطء وَجَبَتْ عَلَيْهِ كَفَّارَةُ يَمِينِهِ لَا يُخْتَلَفُ، سَوَاءٌ كَانَتْ بِاللَّهِ تَعَالَى أَوْ بِغَيْرِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَتْ يَمِينُهُ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَهُوَ مُولٍ، فَإِنْ فَاءَ فِيهَا بِالْوَطْءِ نُظِرَ فِي يَمِينِهِ، فَإِنْ كَانَتْ بِعِتْقٍ أَوْ طَلَاقٍ عَلَّقَهُمَا بِوَطْئِهِ، فَوَطْؤُهُ مُوجِبٌ لِلْحِنْثِ بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ، وَإِنْ كَانَتْ يَمِينُهُ بِاللَّهِ تَعَالَى فَفِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun jika sumpahnya kurang dari empat bulan, maka ia tidak disebut sebagai mu’li (orang yang melakukan ila’), dan kapan pun ia menggauli istrinya, wajib baginya membayar kafarat sumpahnya tanpa ada perbedaan, baik sumpah itu dengan nama Allah Ta‘ala atau selain Allah. Jika sumpahnya atas waktu lebih dari empat bulan, maka ia adalah mu’li. Jika ia rujuk dalam masa itu dengan menggauli istrinya, maka dilihat jenis sumpahnya: jika sumpahnya berupa pembebasan budak atau talak yang digantungkan pada perbuatan menggauli, maka perbuatannya itu menyebabkan pelanggaran sumpah dengan terjadinya talak atau pembebasan budak. Jika sumpahnya dengan nama Allah Ta‘ala, maka dalam kewajiban membayar kafarat atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ أَشَارَ إِلَيْهِ فِي مَوْضِعٍ مِنْهُ أنه لا كفارة عليه؛ لأن الله تَعَالَى جَعَلَ لِلْإِيلَاءِ حُكْمَيْنِ:

Salah satunya, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim yang beliau isyaratkan di salah satu tempat, bahwa tidak ada kafarat atasnya; karena Allah Ta‘ala telah menetapkan dua hukum untuk ila’:

أَحَدُهُمَا: الْفَيْئَةُ أَوِ الطَّلَاقُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُضَمَّ إِلَيْهِمَا ثَالِثٌ هُوَ الْكَفَّارَةُ لِمَا فِي إِيجَابِهَا مِنْ زِيَادَةِ حُكْمٍ عَلَى النَّصِّ، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَصَفَ الفيئة بالغفران فقال تعالى {فإن فاؤوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [البقرة: 226] وَمَا غُفِرَ لَنْ يُكَفَّرَ كَقَوْلِهِ تَعَالَى {لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ} [البقرة: 225] فَلَمْ يُكَفَّرْ لَغْوُ الْيَمِينِ لِلْعَفْوِ عَنْهُ وَلِأَنَّهُ يُخَيَّرُ بَيْنَ الْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، فَلَمَّا لَمْ يَجِبْ بِالطَّلَاقِ تَكْفِيرٌ لَمْ يَجِبْ بِالْفَيْئَةِ تَكْفِيرٌ.

Salah satunya adalah rujuk atau talak, sehingga tidak boleh ditambahkan hukum ketiga, yaitu kafarat, karena mewajibkannya berarti menambah hukum atas nash. Dan karena Allah Ta‘ala menyifati rujuk dengan ampunan, sebagaimana firman-Nya: {Jika mereka kembali (rujuk), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} (al-Baqarah: 226). Sesuatu yang telah diampuni tidak perlu ditebus (dengan kafarat), sebagaimana firman-Nya: {Allah tidak menghukum kamu karena sumpah yang tidak disengaja dalam sumpah-sumpahmu} (al-Baqarah: 225), sehingga sumpah yang tidak disengaja tidak dikenai kafarat karena telah dimaafkan. Dan karena seseorang diberi pilihan antara rujuk atau talak, maka ketika talak tidak mewajibkan kafarat, demikian pula rujuk tidak mewajibkan kafarat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ الْكَفَّارَةَ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ} [المائدة: 89] فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الْإِيلَاءِ وَغَيْرِهِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ (مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ) وَفَيْئَةُ الْمُولِي فِي الْأَرْبَعَةِ أَشْهُرِ خَيْرٌ مِنْهَا بَعْدَهَا وَذَلِكَ لَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ التَّكْفِيرِ، وَلِأَنَّ يَمِينَ الْمُولِي أَغْلَظُ مِنْ يَمِينِ غَيْرِ الْمُولِي ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا بِيَمِينِهِ لَكَفَّرَ بِحِنْثِهِ، فَإِذَا كَانَ مُولِيًا فَأَوْلَى أَنْ يُكَفِّرَ؛ وَلِأَنَّ يَمِينَهُ بِاللَّهِ تَعَالَى أَغْلَظُ مَأْثَمًا مِنْ يَمِينِهِ بِالْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ، فَلَمَّا لَزِمَهُ الْعِتْقُ وَالطَّلَاقُ إِذَا حَنِثَ بِهِمَا فَأَوْلَى أَنْ تَلْزَمَهُ الْكَفَّارَةُ إِذَا حَنِثَ بِاللَّهِ تَعَالَى.

Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadid dan inilah yang shahih, bahwa kafarat wajib atasnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah} (al-Ma’idah: 89), maka ayat ini berlaku umum baik dalam kasus ila’ maupun selainnya. Dan karena Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa bersumpah atas suatu sumpah, lalu melihat yang lain lebih baik darinya, maka hendaklah ia melakukan yang lebih baik dan membayar kafarat atas sumpahnya.” Rujuknya mu’li dalam masa empat bulan lebih baik daripada setelahnya, dan hal itu tidak menghalangi kewajiban membayar kafarat. Dan karena sumpah mu’li lebih berat daripada sumpah selain mu’li, dan telah tetap bahwa jika ia bukan mu’li dengan sumpahnya, maka ia wajib membayar kafarat jika melanggarnya. Maka jika ia adalah mu’li, lebih utama lagi untuk membayar kafarat. Dan karena sumpahnya dengan nama Allah Ta‘ala lebih berat dosanya daripada sumpah dengan pembebasan budak atau talak, maka ketika wajib baginya membebaskan budak atau talak jika melanggarnya, lebih utama lagi wajib baginya membayar kafarat jika melanggar sumpah dengan nama Allah Ta‘ala.

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَحَلِّ الْقَوْلَيْنِ:

Setelah penjelasan argumentasi kedua pendapat tersebut, para ulama kami berbeda pendapat mengenai tempat berlakunya kedua pendapat ini:

فَذَهَبَ بَعْضُهُمْ إِلَى أَنَّهَا مِنْ عُمُومِ الْفَيْئَةِ قَبْلَ الْمُدَّةِ وَبَعْدَهَا فِي أَنَّ وُجُوبَ الْكَفَّارَةِ بِهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa kedua pendapat itu berlaku umum pada rujuk sebelum dan sesudah masa (empat bulan), bahwa kewajiban membayar kafarat atasnya ada dua pendapat.

وَذَهَبَ آخَرُونَ مِنْهُمْ إِلَى أَنَّ الْقَوْلَيْنِ فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ بَعْدَ الْمُدَّةِ، فَأَمَّا الْفَيْئَةُ قَبْلَ الْمُدَّةِ فَمُوجِبَةٌ لِلْكَفَّارَةِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَفَرَّقُوا بَيْنَ الْمَوْضُوعَيْنِ بِأَنَّهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ غَيْرُ وَاجِبَةٍ فَأَوْجَبَتِ الْكَفَّارَةَ قَوْلًا وَاحِدًا وَبَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ وَاجِبَةٌ فَجَازَ أَنْ تَسْقُطَ الْكَفَّارَةُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ كَالْحَلْقِ فِي الْإِحْرَامِ يُوجِبُ الْكَفَّارَةَ إِذَا لَمْ تَجِبْ وَلَا يُوجِبُهَا إِذَا وَجَبَ، وَهَذَا الْفَرْقُ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَ الْمَوْضِعَيْنِ أَوْلَى، أَلَا تَرَى أَنَّ الْكَفَّارَةَ تَجِبُ فِي حِنْثِ الطَّاعَةِ كَوُجُوبِهَا فِي حِنْثِ الْمَعْصِيَةِ فَأَمَّا حَلْقُ الْمُحْرمِ فَلَا شَبَهَ فِيهِ لِلْإِيلَاءِ، لِأَنَّ الْحَلْقَ فِي وَقْفِهِ نُسُكٍ فَلَمْ يُكَفَّرْ فِي غَيْرِ وَقْفِهٍ فَلَيْسَ بِنُسُكٍ ثُمَّ يَسْتَوِي حُكْمُهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ نُسُكًا بَيْنَ مُبَاحَةٍ لِلْحَاجَةِ وَمَحْظُورَةٍ عِنْدَ عَدَمِ الْحَاجَةِ فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ فِيهَا كَذَلِكَ الْفَيْئَةُ والله أعلم.

Sebagian lain dari mereka berpendapat bahwa dua pendapat itu terkait kewajiban kafārah setelah berakhirnya masa (īlā’), adapun kembali (al-fay’ah) sebelum masa berakhir maka mewajibkan kafārah menurut satu pendapat saja. Mereka membedakan antara dua keadaan tersebut dengan alasan bahwa sebelum berakhirnya masa, kembali (al-fay’ah) tidak wajib, sehingga mewajibkan kafārah menurut satu pendapat saja. Sedangkan setelah berakhirnya masa, kembali (al-fay’ah) menjadi wajib, sehingga dimungkinkan gugurnya kafārah menurut salah satu dari dua pendapat, sebagaimana mencukur rambut dalam keadaan ihrām yang mewajibkan kafārah jika belum wajib, dan tidak mewajibkannya jika sudah wajib. Namun perbedaan ini tidak berpengaruh, dan menyamakan antara dua keadaan itu lebih utama. Bukankah engkau melihat bahwa kafārah wajib dalam pelanggaran sumpah ketaatan sebagaimana wajib dalam pelanggaran sumpah maksiat? Adapun mencukur rambut bagi orang yang berihrām, maka tidak ada kemiripan dengan īlā’, karena mencukur rambut pada waktu tertentu adalah bagian dari manasik, sehingga tidak dikenakan kafārah di luar waktunya karena bukan termasuk manasik. Kemudian hukumnya sama jika bukan termasuk manasik, baik dilakukan karena kebutuhan (mubah) maupun terlarang ketika tidak ada kebutuhan, dalam hal kewajiban kafārah. Demikian pula halnya dengan al-fay’ah. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (ولو قال أجلني في الجماع لم أوجله أَكْثَرَ مِنْ يَوْمٍ فَإِنْ جَامَعَ خَرَجَ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ وَعَلَيْهِ الْحِنْثُ فِي يَمِينِهِ وَلَا يبين أن أوجله ثَلَاثًا وَلَوْ قَالَهُ قَائِلٌ كَانَ مَذْهَبًا فَإِنْ طَلَّقَ وَإِلَّا طَلَّقَ عَلَيْهِ السُّلْطَانُ وَاحِدَةً (قَالَ المزني) رحمه الله تعالى قد قطع بأنه يجبر مكانه فإما أن يفيء وإما أن يطلق وهذا بالقياس أولى والتأقيت لا يجب إلا بخبر لازم وكذا قال في استتابة المرتد مكانه فإن تاب وإلا قتل فكان أصح من قوله ثلاثا) .

Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Tangguhkanlah aku dalam (urusan) jima‘,’ maka aku tidak akan menangguhkannya lebih dari satu hari. Jika ia melakukan jima‘, maka ia keluar dari hukum īlā’ dan terkena pelanggaran sumpahnya. Tidak jelas jika aku menangguhkannya tiga hari, namun jika ada yang berpendapat demikian, itu bisa menjadi sebuah mazhab. Jika ia menceraikan, maka selesai; jika tidak, maka hakim (sulṭān) menceraikannya satu kali atasnya.” (Al-Muzanī raḥimahullāh berkata: “Beliau telah memutuskan bahwa ia dipaksa di tempatnya, maka ia harus memilih antara kembali (al-fay’ah) atau menceraikan. Dan ini menurut qiyās lebih utama, dan penentuan waktu tidak wajib kecuali dengan dalil yang pasti. Demikian pula beliau berkata dalam istitabah (permintaan taubat) bagi murtad di tempatnya: jika ia bertaubat, maka selesai; jika tidak, maka dibunuh. Maka ini lebih kuat daripada pendapat beliau yang tiga hari.”)

قال الماوردي: أما إِذَا سَأَلَ الْإِنْظَارَ بِالْفَيْئَةِ لِعَجْزِهِ عَنْهَا بِالْمَرَضِ فَإِنَّهُ يُؤْمَرُ أَنْ يَفِيءَ بِلِسَانِهِ فَيْءَ مَعْذُورٍ عَلَى مَا مَضَى، فَإِذَا سَأَلَ الْإِنْظَارَ بِهَا بِغَيْرِ مَرَضٍ فَالْمُدَّةُ تَنْقَسِمُ فِي إِنْظَارِهِ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ، قِسْمٌ يُجَابُ إِلَيْهِ، وَقِسْمٌ لَا يُجَابُ إِلَيْهِ، وَقِسْمٌ مُخْتَلَفٌ فِيهِ. فَأَمَّا الْقِسْمُ الَّذِي يُجَابُ إِلَيْهِ فَهُوَ أَنْ يَسْأَلَ إِنْظَارَ يَوْمِهِ أَوْ إِنْظَارَ لَيْلَتِهِ فَهَذَا يُجَابُ إِلَى مَا سَأَلَ مِنْ إِنْظَارِ يَوْمِهِ أَوْ لَيْلَتِهِ؛ وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ جَائِعًا فَأُمْهِلَ لِأَكْلِهِ أَوْ شَبِعًا فَأُمْهِلَ لِهَضْمِهِ، وَمَا أَشْبَهَ هَذَا فَيُنْظَرُ لَهُ لِيَهْدَأَ بَدَنُهُ إِلَى وَقْتٍ يُعْرَفُ أَنَّهُ زَالَ ذَلِكَ الْعَارِضُ الَّذِي يَضْطَرِبُ الْبَدَنُ لَهُ لِأَنَّ الْجِمَاعَ يَكُونُ بِأَسْبَابِ مُحَرِّكَةٍ تَخْتَلِفُ النَّاسَ فِيهَا فَأُمْهِلَ لَهَا.

Al-Māwardī berkata: Adapun jika ia meminta penangguhan untuk kembali (al-fay’ah) karena tidak mampu melakukannya akibat sakit, maka ia diperintahkan untuk kembali (al-fay’ah) dengan lisannya sebagai orang yang uzur, sebagaimana yang telah lalu. Jika ia meminta penangguhan tanpa sebab sakit, maka masa penangguhan itu terbagi menjadi tiga bagian: bagian yang dikabulkan, bagian yang tidak dikabulkan, dan bagian yang diperselisihkan. Adapun bagian yang dikabulkan adalah jika ia meminta penangguhan satu hari atau satu malam, maka permintaannya dikabulkan; karena bisa jadi ia sedang lapar sehingga diberi waktu untuk makan, atau sedang kenyang sehingga diberi waktu untuk mencerna, dan hal-hal semacam itu. Maka ia diberi waktu hingga tubuhnya tenang sampai waktu yang diketahui bahwa penghalang yang menyebabkan tubuhnya terganggu telah hilang, karena jima‘ itu terjadi karena sebab-sebab yang memicu, yang berbeda-beda pada setiap orang, maka diberi waktu untuk itu.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: الَّذِي لَا يُجَابُ إِلَيْهِ فَهُوَ أَنْ يَسْأَلَ الْإِنْظَارَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَلَا يُجَابُ إِلَى ذَلِكَ لِأَنَّ مَا زَادَ عَلَى الثَّلَاثِ فِي حَدِّهِ الْكَثْرَةُ وَلِأَنَّهُ لَوْ أُجِيبَ إِلَى ذَلِكَ لَزَادَتْ مُدَّةُ التَّرَبُّصِ عَلَى النَّصِّ، وَصَارَ بِاسْتِنْظَارِهِ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثٍ كَالْمُمْتَنِعِ مِنَ الْفَيْئَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ:

Adapun bagian kedua, yaitu yang tidak dikabulkan, adalah jika ia meminta penangguhan lebih dari tiga hari, maka tidak dikabulkan, karena lebih dari tiga hari itu sudah dianggap banyak, dan jika dikabulkan maka masa penantian akan melebihi nash, dan dengan meminta penangguhan lebih dari tiga hari, ia menjadi seperti orang yang menolak kembali (al-fay’ah), sebagaimana telah kami sebutkan dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُحْبَسُ حَتَّى يَفِيءَ أَوْ يُطَلِّقَ.

Salah satunya: Ia dipenjara sampai kembali (al-fay’ah) atau menceraikan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُطَلِّقُ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ.

Dan pendapat kedua: Hakim menceraikan atasnya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ، فَهُوَ إِذَا سَأَلَ إِنْظَارَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَفِي إِجَابَتِهِ إِلَيْهَا قَوْلَانِ:

Adapun bagian ketiga yang diperselisihkan, yaitu jika ia meminta penangguhan tiga hari, maka dalam mengabulkannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُجَابُ إِلَيْهَا لِمَا فِيهَا مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَى مُدَّةِ النَّصِّ وَلِأَنَّهَا تَقْتَضِي تَأْخِيرَ حَقٍّ بَعْدَ الْوُجُوبِ كَالدُّيُونِ الَّتِي لَا يَلْزَمُ الْإِنْظَارُ بِهَا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهَا.

Salah satunya: Tidak dikabulkan, karena di dalamnya terdapat tambahan atas masa yang disebutkan dalam nash, dan karena hal itu berarti menunda hak setelah menjadi wajib, seperti utang yang tidak wajib ditangguhkan jika mampu membayarnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُجَابُ إِلَى إِنْظَارِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ لِأَنَّهَا حَدٌّ بَيْنَ الْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ، فَهِيَ حَدٌّ لِأَكْثَرِ الْقَلِيلِ وَأَقَلِّ الْكَثِيرِ، فَلَمَّا نُظِرَ بِالْقَلِيلِ جَازَ أَنْ يَنْتَهِيَ إِلَى غَايَةِ حَدِّهِ، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَوْعَدَ بِعَذَابٍ قَرِيبٍ أَنْظَرَ فِيهِ ثَلَاثًا فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلا تَمَسُّوهَا بسوء فيأخذكم عذاب قريب فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ ذَلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ} [هود: 64 – 65] فَكَانَ هَذَا الْإِنْظَارُ فِي الْأَحْكَامِ أَوْلَى مِنْهُ فِي الْعَذَابِ الْمَحْتُومِ، وَهَكَذَا إِذَا اسْتَنْظَرَ الْعِنِّينُ ثَلَاثًا بَعْدَ السَّنَةِ كَانَ عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ، وَأَصْلُ الْقَوْلَيْنِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ إِنْظَارُ الْمُرْتَدِّ ثَلَاثًا وَفِيهِ قَوْلَانِ، ثُمَّ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي إِنْظَارِ الزَّوْجِ ثَلَاثًا عَلَى هَذَا الْقَوْلِ، هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوِ اسْتِحْبَابٌ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Bahwa permintaan penangguhan selama tiga hari dikabulkan, karena tiga hari merupakan batas antara sedikit dan banyak; ia adalah batas bagi yang paling banyak dari yang sedikit dan yang paling sedikit dari yang banyak. Maka, ketika dipandang dari sisi yang sedikit, boleh saja berakhir pada batas akhirnya. Dan karena Allah Ta‘ala telah mengancam dengan azab yang dekat, yang di dalamnya diberikan penangguhan selama tiga hari, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu menyentuhnya dengan keburukan, nanti kamu akan ditimpa azab yang dekat. Lalu mereka menyembelihnya, maka Allah berfirman: “Bersenang-senanglah di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak didustakan.”} (Hud: 64-65). Maka penangguhan dalam hukum-hukum lebih utama daripada penangguhan dalam azab yang pasti. Demikian pula jika seorang ‘innīn meminta penangguhan tiga hari setelah setahun, maka berlaku dua pendapat ini. Asal kedua pendapat ini dalam masalah ini adalah penangguhan bagi murtad selama tiga hari, dan dalam hal ini ada dua pendapat. Kemudian para ulama kami berbeda pendapat tentang penangguhan bagi suami selama tiga hari menurut pendapat ini, apakah itu wajib atau mustahabb? Ada dua wajah:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ وَاجِبٌ كَإِنْظَارِ الْمُرْتَدِّ بِهَا فَعَلَى هَذَا يُنْظَرُ بِهَا سَوَاءٌ اسْتَنْظَرَهَا أَمْ لَا كَالْمُرْتَدِّ.

Salah satunya: Bahwa itu wajib seperti penangguhan bagi murtad, maka berdasarkan ini, ia diberi penangguhan tiga hari baik ia memintanya atau tidak, seperti halnya murtad.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَظْهَرُ وَاخْتَارَهُ الدَّارَكِيُّ أَنَّهَا اسْتِحْبَابٌ يُنْظَرُ بِهَا إِنِ اسْتَنْظَرَهَا وَلَا يُنْظَرُ بِهَا إِنْ لَمْ يَسْتَنْظِرْ وَيُؤْخَذُ بِتَعْجِيلِ الْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا وَالْمُرْتَدِّ، أَنَّ إِنْظَارَ الْمُرْتَدِّ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى، فَلَمْ يَقِفْ عَلَى اسْتِنْظَارِهِ، وَإِنْظَارَ هَذَا فِي حَقِّهِ، فَوَقَفَ عَلَى اسْتِنْظَارِهِ.

Wajah kedua, dan ini yang lebih kuat serta dipilih oleh ad-Dārakī, bahwa itu mustahabb, yaitu diberi penangguhan tiga hari jika ia memintanya, dan tidak diberi penangguhan jika tidak memintanya, serta diambil keputusan untuk segera melakukan rujuk atau talak. Perbedaan antara ini dan murtad adalah bahwa penangguhan bagi murtad berkaitan dengan hak Allah Ta‘ala, sehingga tidak tergantung pada permintaannya, sedangkan penangguhan dalam kasus ini berkaitan dengan haknya sendiri, sehingga tergantung pada permintaannya.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ مَنَعَ مِنْ إِنْظَارِ الثَّلَاثِ احْتِجَاجًا بِالْمُرْتَدِّ، وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْمُرْتَدَّ يُنْظَرُ ثَلَاثًا فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فَاسْتَوَيَا، بَلِ الْقَوْلَانِ فِي الْمُرْتَدِّ أَظْهَرُ مِنْهُمَا فِي الزَّوْجِ، ثُمَّ احْتَجَّ عَلَى إِبْطَالِ الْإِنْظَارِ بِالثَّلَاثِ بِأَمْرَيْنِ:

Adapun al-Muzanī, ia melarang adanya penangguhan tiga hari dengan alasan qiyās kepada kasus murtad, dan ini adalah kekeliruan, karena murtad diberi penangguhan tiga hari menurut salah satu dari dua pendapat, sehingga keduanya setara, bahkan dua pendapat dalam kasus murtad lebih jelas daripada dalam kasus suami. Kemudian ia berdalil untuk membatalkan penangguhan tiga hari dengan dua hal:

أَحَدُهُمَا: إِنْ قَالَ هُوَ بِالْقِيَاسِ أَوْلَى، وَلَيْسَ هَكَذَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ قِيَاسُ الثَّلَاثِ عَلَى مَا زَادَ عَلَيْهَا بِأَوْلَى مِنْ قِيَاسِهَا عَلَى ما نقص عنها.

Pertama: Jika ia berkata bahwa dengan qiyās lebih utama, maka tidak demikian; karena qiyās tiga hari atas yang lebih dari itu tidak lebih utama daripada qiyās atas yang kurang darinya.

والثاني: إن قال التأقيت لَا يَجِبُ إِلَّا بِخَبَرٍ لَازِمٍ، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، لِأَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ يَرَى هَذَا، وَالشَّافِعِيُّ ثَبَّتَ التَّوْقِيتَ بِالنَّصِّ وَالْمَعْنَى عَلَى أَنَّ فِي الثَّلَاثِ نَصًّا.

Kedua: Jika ia berkata bahwa penetapan waktu tidak wajib kecuali dengan dalil yang pasti, maka ini tidak benar menurut mazhab asy-Syāfi‘ī, karena Abū Hanīfah rahimahullāh berpendapat demikian, sedangkan asy-Syāfi‘ī menetapkan penetapan waktu dengan nash dan makna, bahkan dalam tiga hari terdapat nash.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَإِنَّمَا قُلْتُ لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُطَلِّقَ عَلَيْهِ وَاحِدَةً لِأَنَّهُ كَانَ عَلَى الْمُولِي أَنْ يَفِيءَ أَوْ يطلق إذا كان لا يقدر على الفيئة إلا به فإذا امتنع قدر على الطلاق عنه ولزمه حكم الطلاق كما يأخذ منه كل شيء وجب عليه إذا امتنع من أن يعطيه (وقال في القديم) فيها قولان أحدهما وهو أحبهما إليه والثاني يضيق عليه بالحبس حتى يفيء أو يطلق لأن الطلاق لا يكون إلا منه (قال المزني) رحمه الله تعالى ليس الثاني بشيء وما علمت أحدا قاله) .

Asy-Syāfi‘ī ra. berkata: “Aku mengatakan bahwa penguasa boleh menjatuhkan talak satu atasnya, karena seharusnya bagi al-mūlī untuk melakukan rujuk atau menjatuhkan talak jika ia tidak mampu melakukan rujuk kecuali dengan itu. Maka jika ia menolak, penguasa dapat menjatuhkan talak atasnya dan berlaku hukum talak sebagaimana penguasa mengambil darinya segala sesuatu yang wajib ia tunaikan jika ia menolak memberikannya. (Dan beliau berkata dalam pendapat lama) dalam masalah ini ada dua pendapat: salah satunya, dan ini yang lebih beliau sukai, dan yang kedua, ia dipersempit dengan penahanan hingga ia rujuk atau menjatuhkan talak, karena talak tidak terjadi kecuali darinya. (Al-Muzanī rahimahullāh berkata: Pendapat kedua itu tidak ada nilainya dan aku tidak mengetahui ada yang mengatakannya).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ إِذَا امْتَنَعَ بَعْدَ الْمُدَّةِ مِنَ الْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، هَلْ يُطَلَّقُ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ أَصَحُّهُمَا تُطَلَّقُ عَلَيْهِ، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا: فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ هُوَ الْمُطَلِّقَ كَانَ مُخَيَّرًا فِي عَدَدِ الطَّلَاقِ وَأَقَلُّهُ وَاحِدَةٌ يَمْلِكُ فِيهَا الرَّجْعَةَ فَإِنْ طَلَّقَ اثْنَتَيْنِ فَإِنَّ الرَّجْعَةَ بَعْدَهَا، وَإِنْ طَلَّقَ ثَلَاثًا بَانَتْ وَطَلَاقُهُ وَاقِعٌ فِي أَيِّ زَمَانٍ أَوْقَعَهُ قَبْلَ الْمُدَّةِ وَبَعْدَهَا، إِلَّا أَنَّهُ قَبْلَ الْمُدَّةِ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ وَبَعْدَ الْمُدَّةِ مُسْتَحَقَّةٌ.

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa jika setelah masa penantian ia menolak untuk rujuk atau menjatuhkan talak, apakah hakim boleh menjatuhkan talak atasnya atau tidak, ada dua pendapat, yang paling sahih adalah hakim boleh menjatuhkan talak atasnya. Jika demikian, maka jika suami sendiri yang menjatuhkan talak, ia boleh memilih jumlah talak, dan yang paling sedikit adalah satu, di mana ia masih memiliki hak rujuk. Jika ia menjatuhkan dua talak, maka rujuk masih boleh setelahnya, dan jika ia menjatuhkan tiga talak, maka istrinya menjadi bain dan talaknya sah kapan pun ia jatuhkan, baik sebelum masa penantian maupun sesudahnya, hanya saja sebelum masa penantian tidak berhak dan setelah masa penantian menjadi berhak.

وَإِنْ كَانَ الْحَاكِمُ هُوَ المطلق، فطلاقه معتبر بثلاث شروط:

Dan jika hakim yang menjatuhkan talak, maka talaknya sah dengan tiga syarat:

أحدهما: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ مُمْتَنِعًا مِنْهُ فَإِنْ كَانَ غير ممتنع منه فطلق الحاكم عليه ولم يَقَعْ طَلَاقُهُ.

Pertama: Suami benar-benar menolak (rujuk atau talak). Jika ia tidak menolak, lalu hakim menjatuhkan talak atasnya, maka talaknya tidak sah.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَقْصُورًا عَلَى الْعَدَدِ الْمُسْتَحَقِّ وَهُوَ طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ، فَإِنْ طَلَّقَ أَكْثَرَ مِنْهَا وَقَعَتِ الْوَاحِدَةُ وَلَمْ يَقَعِ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا.

Kedua: Bahwa talak itu dibatasi hanya pada jumlah yang berhak, yaitu satu kali talak saja. Jika hakim menjatuhkan talak lebih dari satu, maka yang jatuh hanya satu talak dan kelebihan dari itu tidak berlaku.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الزَّوْجِ: أَنَّ الْحَاكِمَ مُوقِعٌ مَا وَجَبَ وَالزَّوْجَ يُوقِعُ مَا مَلَكَ.

Perbedaan antara hakim dan suami adalah: hakim menjatuhkan apa yang wajib, sedangkan suami menjatuhkan apa yang menjadi hak miliknya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُوقِعَ الطَّلَاقَ فِي زَمَانِ الْوُجُوبِ، وَذَلِكَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ، فَإِنْ طَلَّقَ قَبْلَ انْقِضَائِهَا لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَجِبْ مَا يَسْتَوْفِيهِ، وَإِنْ طَلَّقَ بَعْدَ انْقِضَائِهَا، لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الثَّلَاثِ أَوْ بَعْدَهَا، فَإِنْ طَلَّقَ بَعْدَ الثَّلَاثِ وَقَعَ طَلَاقُهُ، وَإِنْ طَلَّقَ قَبْلَ الثَّلَاثِ فَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي إِنْظَارِ الْمُولِي بِالْفَيْئَةِ ثَلَاثًا، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ لَا يُنْظَرُ بِهَا وَقَعَ طَلَاقُ الْحَاكِمِ قَبْلَهَا، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يُنْظَرُ بِهَا فَفِي وُقُوعِ طَلَاقِهِ قَبْلَهَا وجهان بناءاً عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الثَّلَاثِ، هَلْ يَجِبُ شَرْعًا أَوِ اسْتِنْظَارًا فَإِنْ قِيلَ يَجِبُ اسْتِنْظَارًا وَقَعَ طَلَاقٌ، وَإِنْ قِيلَ يَجِبُ شَرْعًا لَمْ يَقَعْ طَلَاقٌ، هَذَا إِنْ كَانَ الْحَاكِمُ يَرَى إِنْظَارَ الثَّلَاثِ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ لَا يَرَاهَا وَقَعَ طَلَاقُهُ وَجْهًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ عَنِ اجْتِهَادٍ سَائِغٍ.

Ketiga: Bahwa talak dijatuhkan pada waktu kewajiban, yaitu setelah habisnya masa (iddah). Jika talak dijatuhkan sebelum habis masa tersebut, maka talaknya tidak jatuh, karena belum wajib baginya untuk menunaikannya. Jika talak dijatuhkan setelah habis masa tersebut, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: sebelum tiga hari atau setelahnya. Jika talak dijatuhkan setelah tiga hari, maka talaknya jatuh. Jika dijatuhkan sebelum tiga hari, maka hal ini kembali pada dua pendapat yang telah kami sebutkan tentang penantian bagi suami yang melakukan ila’ (sumpah tidak menggauli istri) untuk rujuk selama tiga hari. Jika dikatakan bahwa tidak perlu menunggu tiga hari, maka talak hakim sebelum tiga hari itu jatuh. Jika dikatakan harus menunggu tiga hari, maka dalam jatuhnya talak sebelum tiga hari terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam masalah tiga hari, apakah itu wajib secara syariat atau hanya sebagai penantian. Jika dikatakan wajib sebagai penantian, maka talak jatuh; jika dikatakan wajib secara syariat, maka talak tidak jatuh. Ini jika hakim berpendapat harus menunggu tiga hari. Adapun jika hakim tidak berpendapat demikian, maka talaknya jatuh secara pasti karena berdasarkan ijtihad yang sah.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا إِنْ طَلَّقَ الْحَاكِمُ وَالزَّوْجُ جميعاً فهذا على ثلاثة أقسام:

Adapun jika talak dijatuhkan oleh hakim dan suami secara bersamaan, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أحدهما: أَنْ يُطَلِّقَ الزَّوْجُ ثُمَّ يُطَلِّقَ الْحَاكِمُ بَعْدَهُ فَطَلَاقُ الزَّوْجِ وَاقِعٌ وَطَلَاقُ الْحَاكِمِ غَيْرُ وَاقِعٍ لِأَنَّهُ غَيْرُ وَاجِدٍ وَسَوَاءٌ عَلِمَ الْحَاكِمُ بِطَلَاقِ الزَّوْجِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ.

Pertama: Suami menjatuhkan talak terlebih dahulu, kemudian hakim menjatuhkan talak setelahnya. Maka talak suami sah dan talak hakim tidak sah, karena tidak ada lagi hak. Baik hakim mengetahui talak suami maupun tidak.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُطَلِّقَ الْحَاكِمُ ثُمَّ يُطَلِّقَ الزَّوْجُ بَعْدَهُ فَنَنْظُرُ، فَإِنْ عِلْمَ الزَّوْجُ بِطَلَاقِ الْحَاكِمِ وَقَعَ طَلَاقُ الزَّوْجِ وَطَلَاقُ الْحَاكِمِ، وَإِنْ لَمْ يَعْلَمِ الزَّوْجُ بِطَلَاقِ الْحَاكِمِ فَفِي وُقُوعِ طَلَاقِهِ وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Hakim menjatuhkan talak terlebih dahulu, kemudian suami menjatuhkan talak setelahnya. Maka kita perhatikan, jika suami mengetahui talak hakim, maka talak suami dan talak hakim keduanya sah. Jika suami tidak mengetahui talak hakim, maka dalam jatuhnya talak suami terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَقَعُ لِأَنَّهُ وَاجِبٌ قَدْ سَبَقَ الْحُكْمُ بِاسْتِيفَائِهِ مِنْهُ.

Pertama: Tidak jatuh, karena kewajiban telah dipenuhi oleh keputusan hakim.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَقَعُ طَلَاقُهُ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَا وَجَبَ وَمَا لَمْ يَجِبْ، فَإِذَا اسْتَوْفَى الْحَاكِمُ الْوَاجِبَ وَلَمْ يَسْتَكْشِفِ الزَّوْجُ عَنْهُ وَقَعَ طَلَاقُهُ غَيْرَ وَاجِبٍ.

Pendapat kedua: Talaknya jatuh, karena suami memiliki hak atas apa yang wajib dan yang tidak wajib. Maka jika hakim telah menunaikan yang wajib dan suami tidak mengetahuinya, maka talaknya jatuh sebagai talak yang tidak wajib.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُطَلِّقَ الزَّوْجُ وَالْحَاكِمُ مَعًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ فَطَلَاقُ الزَّوْجِ وَاقِعٌ وَفِي وُقُوعِ طَلَاقِ الْحَاكِمِ وجهان:

Bagian ketiga: Suami dan hakim menjatuhkan talak secara bersamaan dalam satu waktu, maka talak suami sah, dan dalam jatuhnya talak hakim terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقَعُ طَلَاقُهُ أَيْضًا، لِأَنَّهُ لَمْ يَسْبِقْهُ الزَّوْجُ بِالطَّلَاقِ.

Pertama, yaitu pendapat Ibnu Abi Hurairah: Talak hakim juga jatuh, karena suami tidak mendahuluinya dalam menjatuhkan talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَقَعُ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْبِقِ الزوج بالطلاق والله أعلم.

Pendapat kedua: Tidak jatuh, karena suami tidak mendahului hakim dalam menjatuhkan talak. Allah lebih mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَيُقَالُ لِلَّذِيَ فَاءَ بِلِسَانِهِ مِنْ عُذْرٍ إِذَا أَمْكَنَكَ أَنْ تُصِيبَهَا وَقَفْنَاكَ فَإِنْ أَصَبْتَهَا وَإِلَّا فَرَّقْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا) .

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Kepada orang yang telah rujuk dengan lisannya karena uzur, dikatakan kepadanya: Jika engkau mampu menggaulinya, kami akan menunggumu. Jika engkau menggaulinya, maka (selesai), jika tidak, maka kami akan memisahkan antara engkau dan dia.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مِمَّا قَدْ ذَكَرْنَاهُ فِي فَيْئَةِ اللِّسَانِ بِالْعُذْرِ، فَإِذَا زَالَ عُذْرُهُ زَالَ حُكْمُ فَيْئَتِهِ بِلِسَانِهِ وَطُولِبَ بِالْإِصَابَةِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Hal ini telah kami sebutkan dalam masalah rujuk dengan lisan karena uzur. Jika uzurnya telah hilang, maka hukum rujuk dengan lisannya juga hilang, dan ia dituntut untuk menggauli istrinya karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مِنْ حُكْمِ فَيْئَتِهِ بِلِسَانِهِ أَنْ يَعِدَ بِالْإِصَابَةِ عِنْدَ إِمْكَانِهِ فَلِذَلِكَ كَانَ مَأْخُوذًا بِهَا لِأَجْلِ وَعْدِهِ.

Pertama: Bahwa di antara hukum rujuk dengan lisan adalah berjanji untuk menggauli istrinya ketika mampu, maka karena itulah ia dituntut untuk menunaikannya karena janjinya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْإِنْظَارَ إِذَا كَانَ بِعُذْرٍ زَالَ حُكْمُهُ بِزَوَالِ الْعُذْرِ كَإِنْظَارِ الْمُعْسِرِ وَكَإِنْظَارِ الْغَائِبِ بِالشُّفْعَةِ إِذَا حضر.

Kedua: Bahwa penantian jika karena uzur, maka hukumnya hilang dengan hilangnya uzur, seperti penantian bagi orang yang kesulitan membayar hutang, dan seperti penantian bagi orang yang tidak hadir dalam perkara syuf‘ah jika ia telah hadir.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ كَانَتْ حَائِضًا أَوْ أَحْرَمَتْ مَكَانَهَا بِإِذْنِهِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَلَمْ يَأْمُرْهَا بِإِحْلَالٍ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ سَبِيلٌ حَتَّى يُمْكِنَ جِمَاعُهَا أَوْ تَحِلَّ إِصَابَتُهَا) .

Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Jika istri sedang haid atau sedang ihram di tempatnya dengan izin suami atau tanpa izinnya, lalu suami tidak memerintahkannya untuk bertahallul, maka tidak ada kewajiban atas suami hingga memungkinkan untuk menggaulinya atau hingga halal untuk menggaulinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَالْأَسْبَابُ الْمَانِعَةُ مِنَ الْوَطْءِ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, dan sebab-sebab yang menghalangi hubungan suami istri ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: مَا كَانَ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ.

Yang pertama: yang berasal dari pihak istri.

وَالثَّانِي: مَا كَانَ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ.

Dan yang kedua: yang berasal dari pihak suami.

فَأَمَّا مَا كَانَ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ فَالْوَقْفُ الْمَأْخُوذُ فِيهِ وَقْفَانِ، وَقْفٌ لِلزَّوْجِ وَوَقْفٌ لِلزَّوْجَةِ فَأَمَّا وَقْفُ الزَّوْجِ فَهُوَ مُدَّةُ التَّرَبُّصِ الَّتِي ضَرَبَهَا اللَّهُ تَعَالَى لِلْمُولِي، وَهِيَ الْأَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَأَمَّا وَقْفُ الزَّوْجَةِ فَهُوَ زَمَانُ الْمُطَالَبَةِ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ تَخْلُ الْأَسْبَابُ الْمَانِعَةُ مِنَ الْوَطْءِ إِذَا كَانَتْ حَادِثَةً مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ مِنْ أَنْ تَكُونَ مَوْجُودَةً فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ أَوْ فِي مُدَّةِ الْمُطَالَبَةِ، فَإِنْ كَانَتْ فِي مُدَّةِ الْمُطَالَبَةِ فَجَمِيعُهَا مَانِعَةٌ مِنَ الْمُطَالَبَةِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَانِعُ الْمُضَافُ إِلَيْهَا لِعَجْزٍ أَوْ شَرْعٍ فَالْمَانِعُ لِعَجْزٍ كَالضَّنَا وَالْمَرَضِ الَّذِي لَا يُمْكِنُ مَعَهُ إِصَابَتُهَا، وَكَالْجُنُونِ الَّذِي يُخَافُ مِنْهُ وَالْإِغْمَاءِ الَّذِي لَا تَمْيِزَ مَعَهُ وَالْحَبْسِ بِظُلْمٍ أَوْ بِحَقٍّ.

Adapun yang berasal dari pihak suami, maka masa penantian (al-waqf) yang diambil di dalamnya ada dua: masa penantian untuk suami dan masa penantian untuk istri. Adapun masa penantian suami adalah masa menunggu (‘iddah) yang telah ditetapkan Allah Ta‘ala bagi suami yang melakukan ila’, yaitu empat bulan. Sedangkan masa penantian istri adalah waktu menuntut setelah berakhirnya empat bulan tersebut. Dengan demikian, sebab-sebab yang menghalangi hubungan suami istri jika berasal dari pihak istri, tidak lepas dari kemungkinan terjadi pada masa penantian atau pada masa penuntutan. Jika terjadi pada masa penuntutan, maka seluruhnya menjadi penghalang untuk menuntut, baik penghalang itu karena ketidakmampuan atau karena syariat. Penghalang karena ketidakmampuan seperti sakit parah atau penyakit yang tidak memungkinkan untuk melakukan hubungan, atau gila yang dikhawatirkan, atau pingsan yang menyebabkan hilangnya kesadaran, atau dipenjara secara zalim atau dengan alasan yang benar.

وَأَمَّا الْمَانِعُ بِالشَّرْعِ مَعَ الْمُكْنَةِ مِنَ الْوَطْءِ فَالْإِحْرَامُ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، سَوَاءٌ كَانَ بِإِذْنِ الزَّوْجِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ اسْتَحَقَّ فَسْخَهُ عَلَيْهَا أَوْ لَمْ يَسْتَحِقَّ؛ لِأَنَّهَا لَا تَقْدِرُ بِنَفْسِهَا عَلَى الْخُرُوجِ مِنْهُ، وَالصَّوْمُ الْمَفْرُوضُ سَوَاءٌ تَعَيَّنَ زَمَانُهُ أَوْ لَمْ يَتَعَيَّنْ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لها الْخُرُوجُ مِنْ صَوْمِ الْمَفْرُوضِ وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ، فَأَمَّا صَوْمُ التَّطَوُّعِ فَمُخَالِفٌ لَهُ؛ لِأَنَّهُ يَجُوزُ لَهَا الْخُرُوجُ مِنْهُ، وَمِنْ ذَلِكَ الْحَيْضُ وَالنِّفَاسُ يَمْنَعَانِ الْوَطْءَ بِالشَّرْعِ، فَأَمَّا الِاسْتِحَاضَةُ فَلَا تَمْنَعُ مِنْ ذَلِكَ، وَمِنْ ذَلِكَ الرِّدَّةُ عَنِ الْإِسْلَامِ يحرم فيها الوطء، فإن وُجِدَ فِي زَمَانِ الْمُطَالَبَةِ وَهُوَ الْوَقْفُ الثَّانِي هَذِهِ الْأَسْبَابُ الْمَانِعَةُ مِنَ الْوَطْءِ مِنْ جِهَتِهَا مَنَعَهَا ذَلِكَ مِنَ الْمُطَالَبَةِ بِحَقِّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ سَوَاءٌ كَانَ مَنْعَ عَجْزٍ أَوْ مَنْعَ شَرْعٍ؛ لِأَنَّ الْمُطَالَبَةَ بِالْفَيْئَةِ يَكُونُ مَعَ اسْتِحْقَاقِهَا وَهِيَ تَسْتَحِقُّهَا إِذَا قَدَرَتْ عَلَى التَّمْكِينِ مِنْهَا وَهِيَ غَيْرُ قَادِرَةٍ عَلَى التَّمْكِينِ فَسَقَطَ الِاسْتِحْقَاقُ، وَإِذَا سَقَطَ الِاسْتِحْقَاقُ سَقَطَتِ الْمُطَالَبَةُ، وَسَيَأْتِي بَقِيَّةُ التَّقْسِيمِ في المسطور والله أعلم.

Adapun penghalang karena syariat, sementara masih memungkinkan untuk melakukan hubungan, seperti ihram haji atau umrah, baik dengan izin suami maupun tanpa izinnya, baik suami berhak membatalkannya atau tidak; karena istri tidak mampu keluar dari keadaan ihram itu sendiri. Demikian pula puasa wajib, baik waktu pelaksanaannya sudah ditentukan maupun belum, karena tidak boleh baginya membatalkan puasa wajib meskipun belum ditentukan waktunya. Adapun puasa sunnah, berbeda hukumnya; karena ia boleh membatalkannya. Termasuk juga haid dan nifas yang secara syariat menghalangi hubungan suami istri, sedangkan istihadhah tidak menghalanginya. Termasuk juga riddah (keluar dari Islam) yang di dalamnya diharamkan hubungan suami istri. Jika penghalang-penghalang ini terjadi pada masa penuntutan, yaitu masa penantian kedua, maka sebab-sebab yang menghalangi hubungan suami istri dari pihak istri tersebut mencegahnya dari menuntut haknya atas ila’, baik penghalang itu karena ketidakmampuan maupun karena syariat; karena penuntutan untuk kembali (al-fay’) hanya berlaku jika ia berhak mendapatkannya, dan ia berhak jika mampu memberikan kesempatan (untuk hubungan), sedangkan jika ia tidak mampu, maka hak itu gugur, dan jika hak itu gugur maka penuntutan pun gugur. Dan akan datang penjelasan pembagian selanjutnya dalam tulisan ini, wallahu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (إِذَا كَانَ الْمَنْعُ لَيْسَ مِنْ قِبَلِهِ مِثْلُ أَنْ تَكُونَ صَبِيَّةً أَوْ مُضْنَاةً لَا يَقْدِرُ عَلَى جِمَاعِهَا، فَإِذَا صَارَتْ فِي حَدِّ مَنْ تُجَامَعُ اسْتُؤْنِفَتْ بِهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ) .

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: (Jika penghalang itu bukan dari pihak suami, seperti istri masih kecil atau sakit sehingga tidak memungkinkan untuk berhubungan, maka apabila ia telah mencapai usia yang memungkinkan untuk berhubungan, maka masa empat bulan dimulai kembali bersamanya).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا وُجِدَتْ هَذِهِ الْمَوَانِعُ الَّتِي مِنْ جِهَتِهَا فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ وَهُوَ الْوَقْفُ الْأَوَّلُ فَجَمِيعُهَا غَيْرُ مَحْسُوبٍ عَلَى الزَّوْجِ لِمَنْعِهَا مِنَ الْإِصَابَةِ إِلَّا الْحَيْضَ وَحْدَهُ فَإِنَّ زَمَانَهُ مَحْسُوبٌ عَلَى الزَّوْجِ وَإِنْ كَانَ مَانِعًا وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ غَيْرِهِ مِنَ الْمَوَانِعِ أَنَّ الْحَيْضَ حلته وَانْقِطَاعُهُ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ غَيْرُ مَعْهُودٍ، وَخُلُوُّ الْمُدَّةِ مِنْهُ فِي الْغَالِبِ غَيْرُ مَوْجُودٍ، فَصَارَ زَمَانُهُ مَحْسُوبًا فَلَيْسَ كَغَيْرِهِ مِنَ الْمَوَانِعِ الَّتِي تَخْلُو مُدَّةُ التَّرَبُّصِ مِنْهَا فِي الْأَغْلَبِ، فَإِنْ طَرَأَتْ فِيهَا كَانَتْ نَادِرَةً فَلِذَلِكَ كَانَ زَمَانُهَا غَيْرَ مَحْسُوبٍ، أَلَا تَرَى أَنَّ وُجُودَ الْحَيْضِ فِي صَوْمِ الشَّهْرَيْنِ الْمُتَتَابِعَيْنِ فِي كَفَّارَةِ الْقَتْلِ لَا يَبْطُلُ تَتَابُعُهُ بِالْحَيْضِ لِتَعَذُّرِ خُلُوِّهِ مِنْهُ، ويبطل تتابعه بفطر ما سوى الحيض لإمكانه خُلُوِّهِ مِنْهُ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, apabila terdapat halangan-halangan ini yang berasal dari pihaknya selama masa penantian, yaitu penantian yang pertama, maka seluruhnya tidak diperhitungkan atas suami karena halangan tersebut mencegah terjadinya hubungan, kecuali haid saja, maka masa haid tetap diperhitungkan atas suami meskipun ia merupakan penghalang. Perbedaan antara haid dan selainnya dari penghalang adalah bahwa haid dan terputusnya dalam masa penantian adalah sesuatu yang tidak lazim, dan biasanya masa penantian tidak kosong darinya, sehingga masa haid diperhitungkan. Maka ia tidak seperti penghalang lain yang pada umumnya masa penantian kosong darinya, sehingga jika terjadi maka itu jarang, oleh karena itu masa penghalang tersebut tidak diperhitungkan. Tidakkah engkau melihat bahwa adanya haid dalam puasa dua bulan berturut-turut sebagai kafarat pembunuhan tidak membatalkan keterusannya karena sulitnya masa tersebut kosong dari haid, sedangkan keterusannya batal jika berbuka selain karena haid karena memungkinkan masa tersebut kosong darinya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ وُجُودِ الْحَيْضِ فِي زَمَانِ الْمُطَالَبَةِ فَيَمْنَعُ مِنْهَا كَغَيْرِهِ مِنَ الْمَوَانِعِ، وَبَيْنَ وُجُودِهِ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ فَيُحْتَسَبُ بِزَمَانِهِ بِخِلَافِ غَيْرِهِ مِنَ الْمَوَانِعِ، هُوَ أَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَخْلُوَ مِنْهُ زَمَانُ الْمُطَالَبَةِ فِي الْأَغْلَبِ فَسَاوَى غَيْرَهُ مِنَ الْمَوَانِعِ وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يَخْلُوَ مِنْهُ زَمَانُ التَّرَبُّصِ فِي الْأَغْلَبِ فَخَالَفَ غَيْرَهُ مِنَ الْمَوَانِعِ وَجَرَى وُجُودُهُ فِي زَمَانِ الْمُطَالَبَةِ مَجْرَى وُجُودِهِ فِي صَوْمِ الثَّلَاثِ فِي كَفَّارَةِ الْيَمِينِ يَبْطُلُ تَتَابُعُهَا لِإِمْكَانِ خُلُوِّهَا مِنْهُ. وَجَرَى وُجُودُهُ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ مَجْرَى وُجُودِهِ فِي صَوْمِ الشَّهْرَيْنِ الْمُتَتَابِعَيْنِ لَا يَبْطُلُ تَتَابُعُهُمَا لِتَعَذُّرِ خُلُوِّهَا مِنْهُ.

Perbedaan antara adanya haid pada masa penuntutan sehingga mencegah seperti penghalang lain, dan adanya haid pada masa penantian sehingga masa haid diperhitungkan tidak seperti penghalang lain, adalah karena pada umumnya masa penuntutan dapat kosong dari haid sehingga ia sama dengan penghalang lain, sedangkan pada umumnya masa penantian tidak dapat kosong dari haid sehingga ia berbeda dengan penghalang lain. Adanya haid pada masa penuntutan seperti adanya haid dalam puasa tiga hari pada kafarat sumpah, yang membatalkan keterusannya karena memungkinkan masa tersebut kosong dari haid. Adapun adanya haid pada masa penantian seperti adanya haid dalam puasa dua bulan berturut-turut, yang tidak membatalkan keterusannya karena sulitnya masa tersebut kosong dari haid.

فَأَمَّا النِّفَاسُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun nifas, para sahabat kami berbeda pendapat mengenainya menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ غَيْرُ قَاطِعٍ لِمُدَّةِ التَّرَبُّصِ وَمَحْسُوبٌ فِيهِ؛ لِأَنَّ أَحْكَامَ الْحَيْضِ عَلَيْهِ جَارِيَةٌ فَأَشْبَهَ الْحَيْضَ.

Pertama: Bahwa nifas tidak memutus masa penantian dan masa tersebut tetap diperhitungkan, karena hukum-hukum haid berlaku atasnya sehingga ia serupa dengan haid.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ قَاطِعٌ مُدَّةَ التَّرَبُّصِ وَغَيْرُ مَحْسُوبٍ فِيهَا بِخِلَافِ الْحَيْضِ وَهُوَ الصَّحِيحُ؛ لِأَنَّ الْحَيْضَ غَالِبٌ وَالنِّفَاسَ نَادِرٌ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْمَوَانِعِ.

Pendapat kedua: Bahwa nifas memutus masa penantian dan tidak diperhitungkan di dalamnya, berbeda dengan haid, dan inilah yang benar; karena haid itu umum sedangkan nifas itu jarang, sehingga ia serupa dengan penghalang-penghalang lainnya.

فَأَمَّا الصِّغَرُ: فَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ الِافْتِضَاضِ بِالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ كَانَ زَمَانُهُ مَحْسُوبًا، وَإِنْ كَانَ مَانِعًا مِنَ الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ لَمْ يُحْتَسَبْ عَلَيْهِ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ حَتَّى يَصِيرَ عَلَى حَالٍ يَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ مِنْهَا فَيُسْتَأْنَفَ لَهُ التَّرَبُّصُ.

Adapun masa kecil: Jika tidak menghalangi terjadinya hubungan dengan bertemunya dua khitan, maka masa tersebut diperhitungkan. Namun jika menghalangi bertemunya dua khitan, maka masa tersebut tidak diperhitungkan dalam masa penantian sampai ia berada dalam keadaan yang memungkinkan terjadinya hubungan, lalu masa penantian dimulai kembali untuknya.

وَأَمَّا الْمَرَضُ فَإِنْ أَمْكَنَ مَعَهُ إِصَابَتُهَا بِتَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ فِي فَرْجِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقْرَبَهَا كَانَ زَمَانُهُ مَحْسُوبًا فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ، وَإِنْ كَانَ لَا يُمْكِنُ مَعَهُ تَغْيِيبُ الْحَشَفَةِ إِلَّا بِضَرَرٍ يَلْحَقُهَا كَانَ زَمَانُهُ غَيْرَ مَحْسُوبٍ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ حَتَّى يَصِيرَ إِلَى مَا لَا يَلْحَقُهَا مِنْ ذَلِكَ ضَرَرٌ فَتُحْتَسَبُ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ.

Adapun sakit: Jika masih memungkinkan terjadinya hubungan dengan memasukkan hasyafah ke dalam farjinya tanpa harus mendekatinya, maka masa tersebut diperhitungkan dalam masa penantian. Namun jika tidak memungkinkan memasukkan hasyafah kecuali dengan menimbulkan bahaya baginya, maka masa tersebut tidak diperhitungkan dalam masa penantian sampai ia berada dalam keadaan yang tidak menimbulkan bahaya, lalu masa tersebut diperhitungkan dalam masa penantian.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنَ المواضع الَّتِي لَا يُحْتَسَبُ بِزَمَانِهَا فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ، فإذا زالت استؤنفت مدة لتربص وَلَا شَيْءَ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا قَبْلَ الموانع وبطل الماضي من مدة التربص بالمواقع الطَّارِئَةِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَنْظَرَهُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَاقْتَضَى إِطْلَاقُهَا التَّتَابُعَ فِي حَالِ الِاضْطِرَارِ كَمَا اقْتَضَاهُ فِي حَالِ الِاخْتِيَارِ فَصَارَ كَصَوْمِ الشَّهْرَيْنِ الْمُتَتَابِعَيْنِ يَبْطُلُ مَا تَقَدَّمَهُ بِتَرْكِ التَّتَابُعِ فِي الِاخْتِيَارِ وَغَيْرِ الِاخْتِيَارِ، وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَخَالَفَ فِيهِ نَصَّ الشَّافِعِيِّ إِلَى تَلْفِيقِ التَّرَبُّصِ وَالْبِنَاءِ عَلَى مَا مَضَى قَبْلَ الْمَوَانِعِ، قَالَ: لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ حُدُوثُ الْمَوَانِعِ فِي زَمَانِ الْمُطَالَبَةِ لَا يُسْقِطُ مَا مَضَى مِنْ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ كَذَلِكَ حُدُوثُهَا فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ لَا يُسْقِطُ مَا تَقَدَّمَهُ مِنْهَا وَهَذَا فَاسِدٌ.

Apabila telah dipastikan sebagaimana yang telah kami jelaskan mengenai tempat-tempat yang masa terhalangnya tidak dihitung dalam masa penantian (tarrabbus), maka apabila halangan tersebut hilang, masa penantian dimulai kembali dari awal, dan tidak ada pengaruh atas masa yang telah berlalu sebelum adanya halangan tersebut. Masa yang telah berlalu dari masa penantian menjadi batal karena adanya halangan yang datang secara tiba-tiba, karena Allah Ta‘ala telah memberikan waktu penantian selama empat bulan, dan keumuman ayat tersebut menuntut adanya kesinambungan (berturut-turut) baik dalam keadaan terpaksa maupun dalam keadaan pilihan, sebagaimana keumuman itu juga berlaku dalam puasa dua bulan berturut-turut, di mana yang telah berlalu menjadi batal apabila tidak dilakukan secara berturut-turut, baik karena pilihan maupun karena terpaksa. Sebagian ulama kami ada yang berpendapat berbeda dengan nash Imam Syafi‘i, yaitu dengan menggabungkan (talfīq) masa penantian dan membangun (melanjutkan) atas masa yang telah berlalu sebelum adanya halangan. Ia berkata: Karena ketika terjadinya halangan pada masa penuntutan tidak membatalkan masa penantian yang telah berlalu, maka demikian pula terjadinya halangan pada masa penantian tidak membatalkan masa yang telah berlalu darinya. Namun, pendapat ini adalah keliru.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أنَّ مُوَالَاةَ الْمُدَّةِ بِحُدُوثِهِ بَعْدَهَا مَوْجُودٌ وَمُوَالَاتَهَا بِحُدُوثِهِ فِي تَضَاعِيفِهَا مَعْدُومٌ.

Pertama: Kesinambungan masa penantian dengan terjadinya halangan setelahnya itu ada, sedangkan kesinambungan masa penantian dengan terjadinya halangan di tengah-tengahnya itu tidak ada.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدِ اسْتَوْفَى الزَّوْجُ حَقَّهُ بِحُدُوثِهِ بَعْدَهَا وَمَا اسْتَوْفَاهُ بِحُدُوثِهِ فِي تَضَاعِيفِهَا.

Kedua: Bahwa suami telah mengambil haknya dengan terjadinya halangan setelah masa penantian, sedangkan ia belum mengambil haknya jika halangan itu terjadi di tengah-tengah masa penantian.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَإِذَا كَانَ الْمَنْعُ مِنْ قِبَلِهِ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَفِيءَ فَيْءَ جِمَاعٍ أَوْ فَيْءَ مَعْذُورٍ وَفَيْءَ الْحَبْسِ بِاللِّسَانِ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إِذَا آلَى فَحُبِسَ اسْتُوقِفَتْ بِهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ متتابعة (قال المزني رحمه الله) الحبس والمرض عندي سواء لأنه ممنوع بهما فإذا حسبت عليه في المرض وكان يعجز عن الجماع بكل حال أجل المولى كان المحبوس الذي يمكنه أن تأتيه في حبسه فيصيبها بذلك أولى) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Apabila larangan itu berasal dari pihak suami, maka wajib baginya untuk kembali (fay’), baik dengan kembali melakukan hubungan suami istri, atau kembali karena uzur, dan kembali karena dipenjara cukup dengan ucapan. Dan beliau berkata di tempat lain: Jika seorang suami melakukan ila’ lalu ia dipenjara, maka masa penantian dihitung selama empat bulan berturut-turut.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Menurutku, penjara dan sakit itu sama saja, karena keduanya merupakan halangan. Jika masa penantian dihitung atasnya ketika sakit, padahal ia tidak mampu melakukan hubungan dalam keadaan apapun, maka lebih utama lagi bagi suami yang dipenjara, yang masih memungkinkan istrinya mendatanginya di penjara dan ia dapat menggaulinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا كَانَتِ الْمَوَانِعُ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ فَزَمَانُ جَمِيعِهَا مَحْسُوبٌ عَلَيْهِ مِنْ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ إِلَّا اثْنَتَيْنِ: زَمَانَ رِدَّتِهِ وَزَمَانَ عِدَّتِهَا مِنْ طَلَاقِهِ فَإِنَّهُمَا غَيْرُ مَحْسُوبَتَيْنِ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ مِنْ جِهَتِهِ لِأَنَّهُمَا مُوجِبَانِ مِنَ التَّحْرِيمِ فِي حَقِّهَا مِثْلَ مَا يُوجِبَانِهِ فِي حَقِّهِ وَلَيْسَ كَإِحْرَامٍ وَصِيَامٍ لِأَنَّهُ لَا يُوجِبُ التَّحْرِيمَ فِي حَقِّهَا، وَإِنَّمَا يُوجِبُهُ فِي حَقِّهِ دُونَهَا فافترقا، وإذ كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ هَذِهِ الْمَوَانِعِ الْمَحْسُوبَةِ مِنْ أَنْ تُوجَدَ فِي الْوَقْتِ الْأَوَّلِ وَهُوَ مُدَّةُ التَّرَبُّصِ أَوْ فِي الْوَقْتِ الثَّانِي وَهُوَ زَمَانُ الْمُطَالَبَةِ، فَإِنْ وُجِدَتْ فِي الْأَوَّلِ كَانَتْ مَحْسُوبَةً عَلَيْهِ فَيُحْسَبُ عَلَيْهِ زَمَانُ إِحْرَامٍ وَزَمَانُ صِيَامٍ وَزَمَانُ مَرَضٍ وَزَمَانُ سَفَرٍ سَوَاءٌ سَافَرَ فِي مُبَاحٍ أَوْ فِي وَاجِبٍ وَزَمَانُ حَبْسِهِ سَوَاءٌ حُبِسِ بِحَقٍّ أَوْ بِغَيْرِ حَقٍّ، قَالَ الْمُزَنِيُّ: وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: وَلَوْ آلَى فَحُبِسَ اسْتُؤْنِفَتْ لَهُ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ، فَلَمْ يُحْتَسَبْ بِزَمَانِ الْحَبْسِ عَلَيْهِ فَكَانَ أَبُو حَفْصِ بْن الْوَكِيلِ يُخْرِجُ هَذَا قَوْلًا ثَانِيًا فِي الْحَبْسِ كَمَا تَوَهَّمَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّهُ لَا يُحْتَسَبُ بِزَمَانٍ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَنْسُوبٍ إِلَيْهِ، وَهَذَا التَّعْلِيلُ فَاسِدٌ بِالْمَرَضِ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ فِعْلِهِ وَزَمَانِهِ مَحْسُوبٌ عَلَيْهِ لِوُجُودِهِ فِي حَبْسِهِ. وَذَهَبَ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّ هَذَا لَيْسَ بِقَوْلٍ ثَانٍ وَأَنَّ مَذْهَبَ الشَّافِعِيِّ لَمْ يَخْتَلِفْ فِي أَنَّ زَمَانَ الْحَبْسِ مَحْسُوبٌ عَلَيْهِ، لِمَا عَلَّلَ بِهِ الْمُزَنِيُّ فِي أَنَّ زَمَانَ الْمَرَضِ لَمَّا كَانَ مَحْسُوبًا عَلَيْهِ وَحَالُهُ فِيهِ أَغْلَظَ، كَانَ زَمَانُ حَبْسِهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ تَأْتِيَهُ فِي الْحَبْسِ فَيُصِيبَهَا أَوْلَى بِالِاحْتِسَابِ، وَنَسَبُوا الْمُزَنِيَّ إِلَى الْخَطَأِ فِي نَقْلِهِ؛ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ فَلَوْ آلَى فَحُبِسَتِ اسْتُؤْنِفَتْ لَهُ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ لِأَنَّ الْحَبْسَ مِنْ جِهَتِهَا فَوَهِمَ الْمُزَنِيُّ فِي نَقْلِهِ، وَلَوْ آلَى فَحُبِسَ فَأَضَافَ الْحَبْسَ إِلَيْهِ دُونَهَا.

Al-Mawardi berkata: Jika penghalang-penghalang itu berasal dari pihak suami, maka seluruh masa penghalang tersebut dihitung atasnya sebagai bagian dari masa penantian, kecuali dua hal: masa riddah-nya dan masa ‘iddah istrinya akibat talaknya, keduanya tidak dihitung atasnya meskipun berasal dari pihaknya, karena keduanya menyebabkan keharaman bagi istrinya sebagaimana juga menyebabkan keharaman bagi dirinya, dan tidak seperti ihram dan puasa, karena keduanya tidak menyebabkan keharaman bagi istrinya, melainkan hanya bagi dirinya saja, sehingga keduanya berbeda. Jika demikian, maka keadaan penghalang-penghalang yang dihitung ini tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi pada waktu pertama yaitu masa penantian, atau pada waktu kedua yaitu masa penuntutan. Jika terjadi pada waktu pertama, maka dihitung atasnya, sehingga masa ihram, masa puasa, masa sakit, masa safar—baik safar dalam perkara mubah maupun wajib—dan masa penahanan—baik ditahan dengan hak maupun tanpa hak—semuanya dihitung atasnya. Al-Muzani berkata: Dan ia berkata di tempat lain: Jika seorang suami melakukan ila’ lalu dipenjara, maka dimulai kembali masa empat bulan untuknya, sehingga masa penahanan tidak dihitung atasnya. Maka Abu Hafsh bin al-Wakil menjadikan ini sebagai pendapat kedua dalam masalah penahanan, sebagaimana yang dipahami oleh al-Muzani bahwa masa penahanan tidak dihitung atasnya, karena tidak dinisbatkan kepadanya. Namun alasan ini rusak jika dikaitkan dengan sakit, karena sakit bukan berasal dari perbuatannya, tetapi masa sakit tetap dihitung atasnya karena keberadaannya dalam penahanan. Mayoritas ulama kami berpendapat bahwa ini bukanlah pendapat kedua, dan mazhab al-Syafi‘i tidak berbeda pendapat bahwa masa penahanan dihitung atasnya, sebagaimana alasan yang dikemukakan al-Muzani bahwa masa sakit dihitung atasnya, padahal keadaannya dalam sakit lebih berat, maka masa penahanan—di mana ia masih mampu didatangi istrinya di penjara lalu menggaulinya—lebih layak untuk dihitung. Mereka menisbatkan kekeliruan kepada al-Muzani dalam periwayatannya, karena al-Syafi‘i berkata: Jika seorang suami melakukan ila’ lalu istrinya dipenjara, maka dimulai kembali masa empat bulan untuknya, karena penahanan berasal dari pihak istrinya, sehingga al-Muzani keliru dalam periwayatannya. Jika seorang suami melakukan ila’ lalu ia sendiri yang dipenjara, maka penahanan itu dinisbatkan kepadanya, bukan kepada istrinya.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: الْمُزَنِيُّ مُصِيبٌ فِي نَقْلِهِ، وَلَيْسَ ذَلِكَ بِاخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ كَمَا وَهِمَ فِيهِ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَفِي الْمَوْضِعِ الَّذِي احْتُسِبَ زَمَانُ حَبْسِهِ عَلَيْهِ إِذَا حُبِسَ بِحَقٍّ، وَالْمَوْضِعِ الَّذِي لَمْ يُحْتَسَبْ بِزَمَانِ حَبْسِهِ عَلَيْهِ إِذَا حُبِسَ بِظَالِمٍ وَهَذَا التَّفْصِيلُ يَبْطُلُ بِالْمَرَضِ كَمَا يَبْطُلُ بِهِ أَصْلُ التَّعْلِيلِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Sebagian ulama kami berkata: Al-Muzani benar dalam periwayatannya, dan hal itu bukanlah perbedaan dua pendapat sebagaimana disangka oleh sebagian ulama kami, melainkan perbedaan dua keadaan. Maka pada kasus di mana masa penahanan dihitung atasnya adalah jika ia dipenjara dengan hak, dan pada kasus di mana masa penahanan tidak dihitung atasnya adalah jika ia dipenjara secara zalim. Perincian ini batal dengan kasus sakit, sebagaimana batal pula alasan dasarnya. Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنْ وُجِدَتْ هَذِهِ الْمَوَانِعُ فِي الْوَقْتِ الثَّانِي وَهُوَ زَمَانُ الْمُطَالَبَةِ لَمْ يَسْقُطْ بِهَا حُكْمُ الْمُطَالَبَةِ بِالْفَيْئَةِ، لِأَنَّهُ لَمَّا وَقَعَ الِاحْتِسَابُ بِهَا كَانَتْ زَمَانًا لِلْفَيْئَةِ فَلَمْ تَمْنَعْ مِنَ الْمُطَالَبَةِ بِهَا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَإِنْ كَانَ الْمَانِعُ مَرَضًا فَإِنْ قَدَرَ مَعَهُ عَلَى تَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ مِنْ غَيْرِ ضَرَرٍ طُولِبَ أَنْ يَفِيءَ بِالْجِمَاعِ وَإِنْ عَجَزَ عَنْ تَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ طُولِبَ أَنْ يَفِيءَ بِلِسَانِهِ فَيْءَ مَعْذُورٍ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ كَانَ الْمَانِعُ حَبْسًا فَإِنْ قَدَرَ عَلَى إِدْخَالِهَا إِلَى حَبْسِهِ طُولِبَ أَنْ يَفِيءَ بِالْجِمَاعِ، وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى إِدْخَالِهَا إِلَى حَبْسِهِ طُولِبَ أَنْ يَفِيءَ بِلِسَانِهِ فَيْءَ مَعْذُورٍ مَا كَانَ فِي حَبْسِهِ، وَإِنْ كَانَ الْمَانِعُ إِحْرَامًا أَوْ صِيَامًا، قِيلَ لَا يَسْقُطُ فَيْئَةُ الْجِمَاعِ لِقُدْرَتِكَ عَلَيْهِ، وَلَا يُؤْمَرُ بِهِ لِتَحْرِيمِهِ عَلَيْكَ، وَلَا يُقْنِعُ مِنْكَ أَنْ تَفِيءَ بِلِسَانِكَ فَيْءَ مَعْذُورٍ لِأَنَّكَ قَادِرٌ عَلَى فَيْءِ غَيْرِ مَعْذُورٍ، فَإِنْ أَقْدَمْتَ عَلَى الْفَيْئَةِ بِالْجِمَاعِ خَرَجْتَ مِنْ حَقِّ الْإِيلَاءِ وَعَصَيْتَ بِالْوَطْءِ فِي الْإِحْرَامِ أَوِ الصيام وإن لم يطأ لم يتوجه عليك مآثم التحريم، وإن توجهت عليك الْمُطَالَبَةُ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ فَإِنْ أَقَمْتَ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْهَا فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ:

Jika penghalang-penghalang ini ada pada waktu kedua, yaitu masa penuntutan, maka hukum penuntutan untuk kembali (al-fay’) tidak gugur karenanya. Sebab, ketika perhitungan dilakukan dengan adanya penghalang itu, masa tersebut tetap dianggap sebagai masa al-fay’, sehingga tidak menghalangi penuntutan untuk kembali. Jika demikian, maka jika penghalangnya adalah sakit, lalu ia masih mampu melakukan penetrasi tanpa membahayakan dirinya, maka ia dituntut untuk kembali dengan berjima‘. Namun jika ia tidak mampu melakukan penetrasi, maka ia dituntut untuk kembali dengan lisannya, yaitu kembali dalam keadaan uzur sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jika penghalangnya adalah penahanan (dipenjara), lalu ia mampu memasukkan istrinya ke dalam penjara, maka ia dituntut untuk kembali dengan berjima‘. Namun jika ia tidak mampu memasukkan istrinya ke dalam penjara, maka ia dituntut untuk kembali dengan lisannya, yaitu kembali dalam keadaan uzur selama ia masih dalam penjara. Jika penghalangnya adalah ihram atau puasa, maka ada pendapat: tidak gugur kewajiban kembali dengan berjima‘ karena ia mampu melakukannya, namun ia tidak diperintahkan melakukannya karena hal itu diharamkan baginya, dan tidak cukup baginya untuk kembali dengan lisannya sebagai kembali dalam keadaan uzur, karena ia masih mampu kembali tanpa uzur. Jika ia tetap melakukan al-fay’ dengan berjima‘, maka ia telah keluar dari hak ila’ dan berdosa karena melakukan hubungan saat ihram atau puasa. Namun jika ia tidak melakukan hubungan, maka tidak ada dosa haram atasnya. Jika penuntutan untuk kembali atau talak telah diarahkan kepadanya, lalu ia tetap menolak, maka berlaku dua pendapat sebagaimana telah lalu:

أَحَدُهُمَا: يُحْبَسُ حَتَّى يَفْعَلَ أَحَدَهُمَا.

Salah satunya: Ia dipenjara hingga melakukan salah satu dari keduanya.

وَالثَّانِي: يُطَلِّقُ الْقَاضِي عَلَيْهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan yang kedua: Hakim menjatuhkan talak atasnya. Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قَالَ الْمُزَنِيُّ رضي الله عنه: (وقال في موضعين – يعني الشافعي – وَلَوْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا مَسِيرَةَ أَشْهُرٍ وَطَلَبَهُ وَكِيلُهَا بِمَا يَلْزَمُهُ لَهَا أَمَرْنَاهُ أَنْ يَفِيءَ بِلِسَانِهِ وَالْمَسِيرِ إِلَيْهَا كَمَا يُمْكِنُهُ فَإِنْ فَعَلَ وَإِلَّا طَلَّقَ عَلَيْهِ) .

Al-Muzani ra. berkata: (Dan beliau—yakni asy-Syafi‘i—berkata di dua tempat: “Seandainya antara dia dan istrinya terdapat jarak perjalanan berbulan-bulan, lalu wakil istrinya menuntutnya untuk menunaikan kewajiban terhadap istrinya, maka kami perintahkan ia untuk kembali dengan lisannya dan melakukan perjalanan menuju istrinya sesuai kemampuannya. Jika ia melakukannya, maka selesai. Jika tidak, maka hakim menjatuhkan talak atasnya.”)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا سَافَرَ الْمُولِي عَنْ زَوْجَةٍ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ كَانَ زَمَانُ سَفَرِهِ مَحْسُوبًا عَلَيْهِ مِنْ مُدَّةِ وَقْفِهِ لِأَنَّهُ مَانِعٌ مِنْ جِهَتِهِ وَكَذَلِكَ لَوْ آلَى مُبْتَدِئًا فِي سَفَرِهِ كَانَ مَا جَاوَزَ قَدْرَ (الْمُسَافِرِ) مِنْ أَيَّامِ سَفَرِهِ مَحْسُوبًا عَلَيْهِ وَفِي احْتِسَابِ قَدْرِ الْمَسَافَةِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Jika seorang suami yang melakukan ila’ bepergian meninggalkan istrinya selama masa penantian, maka masa perjalanannya tetap dihitung sebagai bagian dari masa penantian, karena penghalang itu berasal dari pihaknya. Demikian pula, jika ia melakukan ila’ sejak awal perjalanannya, maka hari-hari perjalanannya yang melebihi batas musafir tetap dihitung atasnya. Dalam menghitung jarak perjalanan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُحْتَسَبُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَقْدِرْ فِيهِ عَلَى الْإِصَابَةِ لَوْ أَرَادَهَا.

Salah satunya: Tidak dihitung atasnya, karena ia tidak mampu melakukan hubungan meskipun ia menginginkannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ تُحْتَسَبُ عَلَيْهِ كَغَيْرِهَا مِنْ أَيَّامِ السَّفَرِ، وَلَيْسَ تَعَذُّرُ الْإِصَابَةِ لَوْ أَرَادَهَا بِمَانِعٍ مِنَ احْتِسَابِ الْمُدَّةِ عَلَيْهِ كَالْمَرَضِ.

Pendapat kedua, dan ini yang benar: Dihitung atasnya sebagaimana hari-hari perjalanan lainnya, dan ketidakmampuan melakukan hubungan meskipun ia menginginkannya tidak menjadi penghalang untuk menghitung masa tersebut atasnya, sebagaimana halnya sakit.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ مُدَّةَ السَّفَرِ مَحْسُوبَةٌ عَلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ فِي وَقْتِ الْمُطَالَبَةِ حَاضِرًا طُولِبَ بِالْإِصَابَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَإِنْ كَانَ عَلَى غَيْبَتِهِ وَكَّلَتْ مَنْ يُطَالِبُهُ بِحَقِّهَا حَتَّى يُرَافِعَ وَكِيلُهَا إِلَى حَاكِمِ الْبَلَدِ الَّذِي هُوَ غَائِبٌ فِيهِ فَيُطَالِبَهُ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ فَإِنْ طَلَّقَ فَحُكْمُ طَلَاقِهِ فِي غَيْبَتِهِ كَحُكْمِ طَلَاقِهِ فِي حَضَرِهِ، وَقَدْ سَقَطَ بِالطَّلَاقِ حَقُّهَا حَتَّى إِذَا قَدِمَ فَلَا مُطَالَبَةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، وَإِنْ أَرَادَ الْفَيْئَةَ فَيَكْفِيهِ فِي الْفَيْئَةِ شَرْطَانِ:

Jika telah tetap bahwa masa perjalanan dihitung atasnya, maka jika pada waktu penuntutan ia hadir, ia dituntut untuk melakukan hubungan atau menceraikan. Jika ia masih dalam keadaan bepergian, maka istrinya dapat mewakilkan seseorang untuk menuntut haknya, hingga wakilnya mengadukan kepada hakim di negeri tempat suaminya berada, lalu hakim menuntutnya untuk kembali (al-fay’) atau menceraikan. Jika ia menceraikan, maka hukum talaknya saat ia tidak hadir sama dengan hukum talaknya saat ia hadir, dan dengan talak itu gugurlah hak istrinya, sehingga ketika ia kembali, tidak ada lagi penuntutan antara keduanya. Jika ia ingin kembali (al-fay’), maka cukup baginya dua syarat dalam al-fay’:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَفِيءَ بِلِسَانِهِ فَيْءَ مَعْذُورٍ.

Salah satunya: Ia kembali dengan lisannya sebagai kembali dalam keadaan uzur.

وَالثَّانِي: أَنْ يَأْخُذَ فِي الِاجْتِمَاعِ لِلْإِصَابَةِ، إِمَّا بِأَنْ يَقْدَمَ عَلَيْهَا، وَإِمَّا بِأَنْ يَسْتَقْدِمَهَا عَلَيْهِ، وَالْخِيَارُ فِيهِمَا إِلَيْهِ، فَإِنْ فَعَلَ أَحَدَ الْأَمْرَيْنِ خَرَجَ مِنْ حُكْمِ الْفَيْئَةِ قَبْلَ الِاجْتِمَاعِ، فَإِذَا اجْتَمَعَ لَمْ يَجُزْ مَا تَقَدَّمَ مِنْ فَيْئَةِ اللِّسَانِ حَتَّى يَفِيءَ بِالْإِصَابَةِ فَلَوْ أَنَّهُ فِي غَيْبَتِهِ أَخَذَ فِي الْقُدُومِ أَوِ الِاسْتِقْدَامِ ولم يفيء بِلِسَانِهِ فَيْءَ مَعْذُورٍ لَمْ يَكُنْ فَايِئًا وَطَلَّقَ عَلَيْهِ حَاكِمُ ذَلِكَ الْبَلَدِ فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ فَاءَ بِلِسَانِهِ فَيْءَ مَعْذُورٍ لَمْ يُأْخَذْ فِي الِاجْتِمَاعِ إِمَّا بِقُدُومٍ أَوِ الِاسْتِقْدَامِ لَمْ تَتِمَّ الْفَيْئَةُ وَطَلَّقَ عَلَيْهِ ذَلِكَ الْحَاكِمُ فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعْذُورًا بِخَوْفِ الطريق المانع أَوْ لِمَرَضٍ مُعْجِزٍ فَالْفَيْئَةُ بِلِسَانِهِ كَافِيَةٌ إِلَى أَنْ يَزُولَ عُذْرُهُ فَيُؤْخَذَ بِالْقُدُومِ أَوِ الِاسْتِقْدَامِ فَلَوِ اسْتَقْدَمَهَا فَامْتَنَعَتْ إِلَّا أَنْ يَقْدَمَ عَلَيْهَا صَارَتْ نَاشِزًا وَسَقَطَ حَقُّهَا من المطالبة والله أعلم.

Kedua: Yaitu bahwa ia memulai upaya untuk berkumpul (bersetubuh) guna melakukan hubungan, baik dengan mendatangi istrinya, atau dengan meminta istrinya mendatanginya, dan pilihan dalam hal ini ada padanya. Jika ia melakukan salah satu dari dua hal tersebut, maka ia telah keluar dari hukum al-fay’ sebelum terjadinya pertemuan (hubungan). Maka apabila telah terjadi pertemuan, tidak sah lagi apa yang telah dilakukan sebelumnya berupa al-fay’ dengan lisan, hingga ia melakukan al-fay’ dengan perbuatan (hubungan). Seandainya dalam ketidakhadirannya ia telah memulai untuk mendatangi atau meminta istrinya mendatanginya, namun belum melakukan al-fay’ dengan lisannya, maka itu dianggap sebagai al-fay’ yang disertai uzur, sehingga ia belum dianggap sebagai orang yang telah melakukan al-fay’, dan hakim di negeri tersebut menjatuhkan talak atasnya menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat. Jika ia melakukan al-fay’ dengan lisannya sebagai al-fay’ yang disertai uzur, namun belum memulai pertemuan, baik dengan mendatangi atau meminta istrinya mendatanginya, maka al-fay’ belum sempurna dan hakim tersebut menjatuhkan talak atasnya menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat, kecuali jika ia memiliki uzur karena takut bahaya di jalan atau karena sakit yang menghalangi, maka al-fay’ dengan lisannya sudah cukup hingga uzurnya hilang, lalu ia wajib memulai mendatangi atau meminta istrinya mendatanginya. Jika ia meminta istrinya mendatanginya namun istrinya menolak kecuali ia sendiri yang mendatangi, maka istrinya menjadi nasyiz (durhaka) dan gugurlah haknya untuk menuntut, dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ غُلِبَ عَلَى عَقْلِهِ لَمْ يُوقَفْ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِ عَقْلُهُ فَإِنْ عَقِلَ بَعْدَ الْأَرْبَعَةِ وقف مكانه فَإِمَّا أَنْ يَفِيءَ وَإِمَّا أَنْ يُطَلِّقَ (قَالَ المزني رحمه الله) هذا يؤكد أن يحسب عليه مدة حبسه ومنع تأخره يوماً) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang hilang akal (gila), maka tidak diberlakukan penantian hingga akalnya kembali. Jika ia sadar setelah empat bulan, maka ia tetap pada posisinya, lalu ia harus memilih antara melakukan al-fay’ atau mentalak.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Ini menegaskan bahwa masa penahanannya dihitung atasnya dan tidak boleh ditunda satu hari pun.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا غُلِبَ عَلَى عَقْلِ الْمُولِي بِجُنُونٍ أَوْ إِغْمَاءٍ كَانَ زَمَانُ جُنُونِهِ وَإِغْمَائِهِ مَحْسُوبًا عَلَيْهِ فِي وَقْفِهِ وَمُدَّةِ تَرَبُّصِهِ؛ لِأَنَّ الْمَنْعَ مِنْ جِهَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ فِعْلِهِ كَالْمَرَضِ، فَإِذَا انْقَضَتْ مُدَّةُ التَّرَبُّصِ وَهُوَ عَلَى جُنُونِهِ وَإِغْمَائِهِ لَمْ يَتَوَجَّهْ عَلَيْهِ مُطَالَبَةٌ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يُوقَفْ، يَعْنِي الْوَقْفَ الثَّانِيَ الَّذِي هُوَ زَمَانُ الْمُطَالَبَةِ، وَلَمْ يُرِدْ بِهِ الْوَقْفَ الْأَوَّلَ الَّذِي هُوَ مُدَّةُ التَّرَبُّصِ، فإذا أفاق من جنونه أو إغمائه استحق حِينَئِذٍ مُطَالَبَتُهُ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika seorang mu‘alla (suami yang bersumpah tidak menggauli istrinya) hilang akal karena gila atau pingsan, maka masa gilanya dan pingsannya dihitung dalam masa penantian dan masa menunggu, karena penghalang itu berasal dari dirinya, meskipun bukan dari perbuatannya, seperti halnya sakit. Maka apabila masa penantian telah habis sementara ia masih dalam keadaan gila atau pingsan, maka tidak ada tuntutan atasnya. Inilah maksud perkataan Imam Syafi‘i ra. “tidak diberlakukan penantian”, maksudnya adalah penantian kedua, yaitu masa tuntutan, bukan penantian pertama yaitu masa menunggu. Maka apabila ia telah sadar dari gilanya atau pingsannya, saat itulah ia berhak untuk dituntut melakukan al-fay’ atau talak.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

قَالَ الْمُزَنِيُّ هَذَا يُؤَكِّدُ أَنْ يُحْتَسَبَ مُدَّةُ حَبْسِهِ وَمُنِعَ تَأْخِيرُهُ يَوْمًا أَوْ ثَلَاثَةً. أَرَادَ الْمُزَنِيُّ بِذَلِكَ أَمْرَيْنِ:

Al-Muzani berkata: Ini menegaskan bahwa masa penahanannya dihitung atasnya dan tidak boleh ditunda satu atau tiga hari. Yang dimaksud Al-Muzani dengan hal ini ada dua perkara:

أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ: أَنْ يَجْعَلَ الِاحْتِسَابَ بِزَمَانِ الْجُنُونِ دَلِيلًا عَلَى الِاحْتِسَابِ بِزَمَانِ الْحَبْسِ، وَهَذَا صَحِيحٌ.

Salah satunya: Menjadikan perhitungan masa gila sebagai dalil atas perhitungan masa penahanan, dan ini benar.

وَالثَّانِي: أَنْ يَجْعَلَ مَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ منع تأخيره يَوْمًا أَوْ ثَلَاثَةً دَلِيلًا عَلَى إِبْطَالِ إِنْظَارِهِ ثَلَاثًا فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، وَلَا دَلِيلَ فِيهِ وَعَمَّا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ الله عنه – من منع تأخيره يوما أو ثَلَاثَةً جَوَابَانِ:

Kedua: Menjadikan apa yang disebutkan oleh Imam Syafi‘i ra. tentang larangan menunda satu atau tiga hari sebagai dalil untuk membatalkan penundaan selama tiga hari menurut salah satu dari dua pendapat, dan ini tidak benar, serta tidak ada dalil di dalamnya. Adapun mengenai apa yang disebutkan oleh Imam Syafi‘i ra. tentang larangan menunda satu atau tiga hari, terdapat dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَمْنَعُهُ ذَلِكَ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ: وَهُوَ عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي غَيْرُ مَمْنُوعٍ.

Salah satunya: Bahwa hal itu dilarang menurut salah satu dari dua pendapat, dan menurut pendapat kedua tidak dilarang.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَنْعَ مِنَ الْإِنْظَارِ فِي ابْتِدَاءِ الْمُطَالَبَةِ، وَالْقَوْلَانِ فِي الْإِنْظَارِ فِي الْإِجَابَةِ إِلَى الْفَيْئَةِ، لِأَنَّهُ لَوْ أَجَابَ إِلَى الطَّلَاقِ وَسَأَلَ الْإِنْظَارَ بِهِ لَمْ يُنْظَرْ قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنَّمَا الْقَوْلَانِ فِي الْإِنْظَارِ بِالْفَيْئَةِ.

Jawaban kedua: Bahwa larangan penundaan itu berlaku pada awal tuntutan, sedangkan dua pendapat mengenai penundaan adalah pada saat menjawab permintaan al-fay’, karena jika ia menjawab dengan talak dan meminta penundaan, maka tidak diberi penundaan menurut satu pendapat, dan dua pendapat itu hanya berlaku pada penundaan dalam al-fay’.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَلَوْ أَحْرَمَ قِيلَ لَهُ إِنْ وَطِئْتَ فَسَدَ إِحْرَامُكَ وَإِنْ لَمْ تَفِئْ طُلِّقَ عَلَيْكَ) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia sedang berihram, maka dikatakan kepadanya: Jika engkau menggauli (istrimu), maka ihrammu rusak, dan jika engkau tidak melakukan al-fay’, maka talak dijatuhkan atasmu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمُولِيَ إِذَا أَحْرَمَ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ كَانَ زَمَانُ إِحْرَامِهِ مَحْسُوبًا عَلَيْهِ، فَإِنْ أَحَلَّ قَبْلَ انْقِضَاءِ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَإِنْ كَانَ بَاقِيًا عَلَى إِحْرَامِهِ إِلَى انْقِضَاءِ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ، قِيلَ لَهُ إِحْرَامُكَ قَدْ حَظَرَ عَلَيْكَ الْوَطْءَ وَالْإِيلَاءُ يُوجِبُهُ، وَلَا يَمْنَعُ تَحْرِيمُهُ عَلَيْكَ مِنْ مُطَالَبَتِكَ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ بِالْوَطْءِ أَوِ الطلاق لِأَنَّ الْمُطَالَبَةَ بِالْوَطْءِ هِيَ أَقْوَى الْحَقَّيْنِ، لِأَنَّ الْوَطْءَ أَصْلٌ مَقْصُودٌ وَالطَّلَاقَ بَذْلٌ عَلَى وَجْهِ التخيير، فإذا طولب وطلق خرج مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ وَلَا يَأْثَمُ فِي إِفْسَادِ إِحْرَامِهِ، فَإِذَا فَاءَ فَقَدْ عَصَى بِوَطْئِهِ فِي الْإِحْرَامِ وَأَفْسَدَ بِهِ الْحَجَّ وَوَجَبَتْ فِيهِ الْكَفَّارَةُ وَخَرَجَ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ، وَوَجَبَتْ بِهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، فَإِنِ امْتَنَعَ أَنْ يَفْعَلَ أَحَدَ الْأَمْرَيْنِ طُلِّقَ عَلَيْهِ فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa apabila seorang mu‘alla (suami yang melakukan ila’) berihram dengan haji atau umrah, maka masa ihramnya tetap dihitung atas dirinya. Jika ia bertahallul sebelum berakhirnya masa penantian (tarrabbus), maka ia diberi pilihan antara kembali (rujuk) atau menceraikan. Namun jika ia tetap dalam keadaan ihram hingga berakhirnya masa penantian, dikatakan kepadanya: Ihrammu telah mengharamkan atasmu untuk berhubungan (jima‘), sedangkan ila’ mewajibkannya. Larangan ihram tidak mencegah tuntutan terhadapmu dalam hak istri, yaitu untuk berhubungan atau menceraikan, karena tuntutan untuk berhubungan adalah hak yang lebih kuat di antara dua hak tersebut, sebab jima‘ adalah tujuan pokok, sedangkan talak adalah pelepasan dengan cara pilihan. Maka apabila ia dituntut dan menceraikan, ia keluar dari hukum ila’ dan tidak berdosa dalam membatalkan ihramnya. Namun jika ia kembali (rujuk), maka ia telah berdosa karena berhubungan dalam keadaan ihram, merusak hajinya, wajib baginya membayar kafarat, dan ia keluar dari hukum ila’. Dengan itu, wajib pula kafarat sumpah. Jika ia menolak melakukan salah satu dari dua perkara tersebut, maka dijatuhkan talak atasnya menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat.

فَإِنْ قِيلَ فهلا اقتنع مِنْهُ بِفَيْءِ مَعْذُورٍ بِلِسَانِهِ كَالْمَرِيضِ؟ قِيلَ لِأَنَّهُ أَدْخَلَ الْإِحْرَامَ الْمَانِعَ عَلَى نَفْسِهِ بِخِلَافِ الْمَرَضِ الَّذِي لَمْ يَكُنْ دُخُولُهُ عَلَيْهِ مِنْ فِعْلِهِ، فَكَانَ بِالْإِحْرَامِ غَيْرَ مَعْذُورٍ وَبِالْمَرَضِ مَعْذُورًا وَاللَّهُ أعلم.

Jika ada yang bertanya: Mengapa tidak cukup baginya dengan rujuk secara lisan karena udzur, seperti orang sakit? Dijawab: Karena ia sendiri yang memasukkan ihram yang menjadi penghalang atas dirinya, berbeda dengan sakit yang bukan masuk atas dirinya karena perbuatannya. Maka dengan ihram ia tidak dianggap uzur, sedangkan dengan sakit ia dianggap uzur. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ آلَى ثُمَّ تَظَاهَرَ أَوْ تَظَاهَرَ ثُمَّ آلَى وَهُوَ يَجِدُ الْكَفَّارَةَ قِيلَ أَنْتَ أَدْخَلْتَ الْمَنْعَ عَلَى نَفْسِكَ فَإِنْ فِئْتَ فَأَنْتَ عَاصٍ وَإِنْ لَمْ تَفِئْ طُلِّقَ عَلَيْكَ) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: (Jika seseorang melakukan ila’ lalu melakukan zihar, atau melakukan zihar lalu melakukan ila’, sedangkan ia mampu membayar kafarat, dikatakan kepadanya: Engkau sendiri yang memasukkan penghalang atas dirimu. Jika engkau kembali (rujuk), maka engkau berdosa. Jika tidak kembali, maka dijatuhkan talak atasmu).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّهُ إِذَا جَمَعَ بَيْنَ الْإِيلَاءِ وَالظِّهَارِ فِي امْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ فَآلَى مِنْهَا ثُمَّ ظَاهَرَ أَوْ ظَاهَرَ ثُمَّ آلَى كَانَ زَمَانُ الظِّهَارِ مَحْسُوبًا عَلَيْهِ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ فَإِذَا انْقَضَتِ الْمُدَّةُ وَاسْتُحِقَّتِ الْمُطَالَبَةُ وَهُوَ عَلَى ظِهَارٍ لَمْ يُكَفِّرْ مِنْهُ فَقَدِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ فِي الْوَطْءِ حَقَّانِ مُتَنَافِيَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa apabila seseorang menggabungkan antara ila’ dan zihar pada satu istri, lalu ia melakukan ila’ kemudian zihar, atau zihar kemudian ila’, maka masa zihar dihitung atasnya dalam masa penantian. Jika masa tersebut telah berakhir dan istri berhak menuntut, sedangkan ia masih dalam keadaan zihar dan belum membayar kafaratnya, maka berkumpullah atasnya dua hak yang saling bertentangan dalam masalah jima‘:

أَحَدُهُمَا: يُحَرِّمُ الْوَطْءَ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى حَتَّى يُكَفِّرَ وَهُوَ الظِّهَارُ.

Pertama: Mengharamkan jima‘ dalam hak Allah Ta‘ala hingga ia membayar kafarat, yaitu zihar.

وَالثَّانِي: يُوجِبُ الْوَطْءَ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ قَبْلَ التَّكْفِيرِ وَهُوَ الْإِيلَاءُ، فَإِنْ عَجَّلَ الْكَفَّارَةَ فِي الظِّهَارِ وَوَطِئَ فِي الْإِيلَاءِ خَرَجَ مِنْ تَحْرِيمِ الظِّهَارِ بِالْكَفَّارَةِ وَمَنْ حَقِّ الْإِيلَاءِ بِالْوَطْءِ، وَإِنْ طَلَّقَ خَرَجَ بِالطَّلَاقِ مِنْ حَقِّ الْإِيلَاءِ، وَخَرَجَ مِنْ مَأْثَمِ الظِّهَارِ بِتَرْكِ الْوَطْءِ، وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ أَحَدَ هَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ وَوَطِئَ قَبْلَ التَّكْفِيرِ فِي الظِّهَارِ كَانَ عَاصِيًا بِالْوَطْءِ فِي حُكْمِ الظِّهَارِ، وَخَارِجًا بِهِ فِي الْإِيلَاءِ مِنْ حَقِّ الزَّوْجَةِ، فَإِنْ سَأَلَ الْإِنْظَارَ فِي الْوَطْءِ حَتَّى يُكَفِّرَ بِالظِّهَارِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُكَفِّرُ بِالصِّيَامِ لَمْ يُنْظَرْ، لِأَنَّهُ صَوْمُ شَهْرَيْنِ، وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُكَفِّرُ بِالْعِتْقِ، فَإِنْ كَانَ مَالِكًا لِلرَّقَبَةِ لَمْ يُنْظَرْ فِي عِتْقِهَا كَمَا لَا يُنْظَرُ فِي الطَّلَاقِ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى تَعْجِيلِهَا مِنْ غَيْرِ ضَرَرٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَالِكًا لِلرَّقَبَةِ أُنْظِرَ لِابْتِيَاعِهَا يَوْمًا، وَهَلْ يَبْلُغُ بِإِنْظَارِهِ ثَلَاثًا، عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ.

Kedua: Mewajibkan jima‘ dalam hak istri sebelum membayar kafarat, yaitu ila’. Jika ia menyegerakan kafarat zihar dan berjima‘ dalam ila’, maka ia keluar dari keharaman zihar dengan kafarat dan keluar dari hak ila’ dengan jima‘. Jika ia menceraikan, maka ia keluar dari hak ila’ dengan talak dan keluar dari dosa zihar dengan tidak berjima‘. Jika ia tidak melakukan salah satu dari dua perkara tersebut dan berjima‘ sebelum membayar kafarat zihar, maka ia berdosa karena berjima‘ menurut hukum zihar, namun keluar dari hak istri dalam ila’. Jika ia meminta penundaan untuk berjima‘ hingga membayar kafarat zihar, maka hal ini perlu ditinjau: Jika ia termasuk orang yang membayar kafarat dengan puasa, maka tidak diberi penundaan, karena puasanya dua bulan. Jika ia termasuk yang membayar kafarat dengan memerdekakan budak, maka jika ia memiliki budak, tidak diberi penundaan dalam memerdekakannya, sebagaimana tidak diberi penundaan dalam talak, karena ia mampu menyegerakannya tanpa kesulitan. Jika ia tidak memiliki budak, maka diberi penundaan untuk membelinya selama satu hari. Apakah penundaan itu sampai tiga hari? Hal ini sesuai dengan dua pendapat yang telah lalu.

وَلَوِ امْتَنَعَ مِنْ أَنْ يُطَلِّقَ أَوْ يَطَأَ طَلَّقَ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ، وَلَوْ أَرَادَ وَطْأَهَا فَمَنَعَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا لِتَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ قَبْلَ التَّكْفِيرِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهَا بِخِلَافِ الْوَطْءِ فِي الرِّدَّةِ وَالْحَيْضِ لِأَنَّ تَحْرِيمَهُ بِالرِّدَّةِ وَالْحَيْضِ فِي حَقِّهِمَا وَتَحْرِيمَهُ بِالظِّهَارِ فِي حَقِّهِ وَحْدَهُ، وَيَسْقُطُ حَقُّهَا مِنَ الْمُطَالَبَةِ بِهَذَا الِامْتِنَاعِ لِأَنَّ الْمُمْتَنِعَ مَمْنُوعٌ مِنَ الْمُطَالَبَةِ كَالدُّيُونِ الْمَبْذُولَةِ والله أعلم.

Jika suami enggan untuk menceraikan atau menggauli istrinya, maka hakim dapat menjatuhkan talak atasnya menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat. Jika suami ingin menggaulinya namun istri menolak untuk menyerahkan dirinya karena ia telah menjadi haram baginya sebelum melakukan kaffārah, maka penolakan itu tidak dibenarkan baginya, berbeda halnya dengan penolakan karena murtad atau haid; sebab keharaman karena murtad dan haid berlaku bagi keduanya, sedangkan keharaman karena ẓihār hanya berlaku bagi suami saja. Hak istri untuk menuntut gugur karena penolakan ini, sebab pihak yang menolak tidak berhak menuntut, sebagaimana dalam kasus utang yang telah diserahkan. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ قَالَتْ لَمْ يُصِبْنِي وَقَالَ أَصَبْتُهَا فَإِنْ كانت ثيباً فالقول قوله مع يمينه لأنها تدعي ما به الفرقة التي هي إليه وإن كانت بكراً أريها النساء فإن قلن هي بكر فالقول قولها مع يمينها (قال المزني) رحمه الله تعالى إِنَّمَا أَحْلَفَهَا لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ لَمْ يبالغ فرجعت العذرة بحالها) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika istri berkata, ‘Ia belum menggauliku,’ sedangkan suami berkata, ‘Aku telah menggaulinya,’ maka jika istri adalah seorang janda, perkataan suami yang diterima dengan sumpahnya, karena istri mengklaim sesuatu yang menyebabkan perpisahan yang menjadi hak suami. Namun jika istri masih perawan, maka ia diperiksa oleh para wanita; jika mereka mengatakan ia masih perawan, maka perkataan istri yang diterima dengan sumpahnya.” (Al-Muzani rahimahullāh berkata: “Ia hanya diminta bersumpah karena mungkin saja suami tidak sampai pada puncak hubungan sehingga selaput dara kembali seperti semula.”)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا ادَّعَى الْمُولِي إِصَابَتَهَا لِيُسْقِطَ مُطَالَبَتَهَا وَأَنْكَرَتْ أَنْ يَكُونَ أَصَابَهَا وَادَّعَتْ أَنَّهَا عَلَى حَقِّهَا مِنَ الْمُطَالَبَةِ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ بِكْرًا أَوْ ثَيِّبًا، فَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ فِي الْإِصَابَةِ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ لَقَدْ أَصَابَهَا لِأَنَّ الْوَطْءَ يستسر بِهِ وَلَا يُمْكِنُ إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ فَقِيلَ فِيهِ قَوْلُ مُدَّعِيهِ كَالْحَيْضِ وَالطُّهْرِ، وَلِأَنَّ بَقَاءَ النِّكَاحِ وَدَوَامَ صِحَّتِهِ أَصِلٌ قَدِ اسْتَصْحَبَهُ الزَّوْجُ بِدَعْوَى الْإِصَابَةِ وَالزَّوْجَةُ تَدَّعِي مَا يُخَالِفُ الْأَصْلَ مِنْ وُجُوبِ الْفُرْقَةِ بِإِنْكَارِ الْإِصَابَةِ فَكَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ لِاسْتِصْحَابِهِ حُكْمَ الْأَصْلِ، فَإِنْ قِيلَ فَالْأَصْلُ أَنْ لَا إِصَابَةَ كَمَا أَنَّ الْأَصْلَ فِي النِّكَاحِ الصِّحَّةُ، فَلِمَ اسْتَصْحَبْتُمُ الْأَصْلَ فِي صِحَّةِ النِّكَاحِ؟ وَلَمْ تَسْتَصْحِبُوا الْأَصْلَ فِي عَدَمِ الْإِصَابَةِ؟ قُلْنَا: لِأَنَّ صِحَّةَ النِّكَاحِ أَصْلٌ مُتَيَقَّنٌ، وَعَدَمَ الْإِصَابَةِ أَصْلٌ مَظْنُونٌ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَيَجُوزُ أَنْ لَا يَكُونَ، فَكَانَ اسْتِصْحَابُ الْأَصْلِ الْمُتَيَقَّنِ أَوْلَى مِنَ اسْتِصْحَابِ الْأَصْلِ الْمَظْنُونِ، وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ لِجَوَازِ كَذِبِهِ، فَإِذَا حَلَفَ حُكِمَ بِسُقُوطِ حَقِّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ، وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينِ عَلَيْهَا، فَإِنْ حَلَفَتْ كَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ وَأُخِذَ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ وَلَمْ يُحْكَمْ بِقَوْلِ الزَّوْجِ فِي ثُبُوتِ الْإِصَابَةِ.

Al-Mawardi berkata: Jika suami yang melakukan īlā’ mengaku telah menggauli istrinya untuk menggugurkan hak tuntut istrinya, sedangkan istri mengingkari telah digauli dan mengklaim bahwa ia masih berhak menuntut, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia masih perawan atau sudah janda. Jika ia janda, maka perkataan suami yang diterima dalam hal telah terjadi hubungan, dengan sumpahnya kepada Allah bahwa ia benar-benar telah menggaulinya, karena hubungan suami-istri adalah sesuatu yang tersembunyi dan tidak mungkin didatangkan bukti atasnya. Oleh karena itu, dalam hal ini diterima perkataan pihak yang mengklaim, sebagaimana dalam kasus haid dan suci. Selain itu, keberlangsungan dan keabsahan pernikahan adalah asal yang telah dipegang oleh suami dengan klaim telah terjadi hubungan, sedangkan istri mengklaim sesuatu yang bertentangan dengan asal, yaitu wajibnya perpisahan karena mengingkari telah terjadi hubungan. Maka, perkataan yang diterima adalah perkataan suami dengan sumpahnya, karena ia mempertahankan hukum asal. Jika dikatakan, “Asal dalam hal ini adalah belum terjadi hubungan, sebagaimana asal dalam pernikahan adalah keabsahan. Mengapa kalian mempertahankan asal dalam keabsahan pernikahan, tetapi tidak mempertahankan asal dalam belum terjadinya hubungan?” Kami jawab: Karena keabsahan pernikahan adalah asal yang pasti, sedangkan belum terjadinya hubungan adalah asal yang bersifat dugaan, bisa jadi terjadi, bisa jadi tidak. Maka, mempertahankan asal yang pasti lebih utama daripada mempertahankan asal yang bersifat dugaan. Jika telah tetap bahwa perkataan suami yang diterima dengan sumpahnya—karena kemungkinan ia berdusta—maka jika ia bersumpah, gugurlah hak istri dari īlā’. Namun jika ia enggan bersumpah, sumpah dialihkan kepada istri. Jika istri bersumpah, maka ia tetap berhak atas īlā’ dan suami diwajibkan untuk rujuk (al-fay’ah) atau menceraikan, dan tidak diputuskan dengan perkataan suami dalam menetapkan telah terjadi hubungan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا أَنَّهُ لم يصيبها؛ لِأَنَّ الْبَكَارَةَ مِنْ شَوَاهِدِ صِدْقِهَا فِي عَدَمِ الْإِصَابَةِ، فَصَارَ قَوْلُهَا أَقْوَى مِنْ قَوْلِ الزَّوْجِ، فَلِذَلِكَ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا قَالَ الْمُزَنِيُّ: إِنَّمَا أَحْلَفَهَا لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ لَمْ يُبَالِغْ فَرَجَعَتِ الْعُذْرَةُ بِحَالِهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا أَنَّهُ إِنَّمَا يُحَلِّفُهَا إِنِ ادَّعَى الزَّوْجُ أَنَّهُ لَمْ يُبَالِغْ فِي الْإِصَابَةِ فَعَادَتِ الْعَذْرَةُ فَأَمَّا إِنْ لَمْ يَدَّعِ لم يحلفها.

Jika istri masih perawan, maka perkataannya yang diterima bahwa suami belum menggaulinya; karena keperawanan adalah bukti kebenarannya dalam mengingkari telah terjadi hubungan. Maka, perkataannya lebih kuat daripada perkataan suami. Oleh sebab itu, Imam Syafi‘i ra. berkata: “Perkataannya yang diterima dengan sumpahnya.” Al-Muzani berkata: “Ia hanya diminta bersumpah karena mungkin saja suami tidak sampai pada puncak hubungan sehingga selaput dara kembali seperti semula.” Para ulama kami berbeda pendapat: ia hanya diminta bersumpah jika suami mengaku tidak sampai pada puncak hubungan sehingga selaput dara kembali seperti semula. Namun jika suami tidak mengaku demikian, maka istri tidak diminta bersumpah.

قال البغداديون بل يلحفها بِكُلِّ حَالٍ سَوَاءٌ ادَّعَى الزَّوْجُ ذَلِكَ أَوْ لَمْ يَدَّعِيهِ، لِأَنَّ دَعْوَاهُ الْإِصَابَةَ مَعَ الْبَكَارَةِ مُفْضٍ إِلَى ذَلِكَ، وَإِنْ لَمْ يُصَرِّحْ بِهِ فِي الدَّعْوَى، فَإِنْ حَلَفَتِ الزَّوْجَةُ كَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنَ الْمُطَالَبَةِ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَإِنْ نَكَلَتْ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الزَّوْجِ، وَإِنْ حَلَفَ سَقَطَ حَقُّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ وَإِنْ نَكَلَ حُكِمَ بِقَوْلِ الزَّوْجَةِ فِي بَقَاءِ حَقِّهَا مِنَ الْمُطَالَبَةِ فَعَلَى هَذَا لَوِ اخْتَلَفَ فِي الْبَكَارَةِ فَادَّعَتْهَا الزَّوْجَةُ لِيَكُونَ قَوْلُهَا مَقْبُولًا فِي عَدَمِ الْإِصَابَةِ وَأَنْكَرَهَا الزَّوْجُ لِيَكُونَ قَوْلُهُ مَقْبُولًا فِي وُجُودِ الْإِصَابَةِ لَمْ يُرْجَعْ فِيهَا إِلَى قَوْلِ أَحَدِهِمَا لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يُشَاهِدَ ذَلِكَ النِّسَاءُ الثِّقَاتُ فَإِذَا شَهِدَ أَرْبَعٌ مِنْهُنَّ بِأَنَّهَا بِكْرٌ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا فِي إِنْكَارِ الْإِصَابَةِ، وَإِنْ شَهِدْنَ بِأَنَّهَا ثَيِّبٌ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ فِي ثبوت الإصابة.

Orang-orang Baghdad berpendapat bahwa istri tetap diminta bersumpah dalam segala keadaan, baik suami mengakuinya maupun tidak, karena pengakuan suami telah melakukan hubungan dengan tetapnya keperawanan mengarah pada hal tersebut, meskipun ia tidak menyatakannya secara eksplisit dalam pengakuannya. Jika istri bersumpah, maka ia tetap berhak menuntut suaminya untuk melakukan hubungan atau meminta talak. Namun jika ia menolak bersumpah, sumpah itu dikembalikan kepada suami. Jika suami bersumpah, gugurlah hak istri dari tuntutan ila’. Jika suami menolak bersumpah, maka keputusan diambil berdasarkan pengakuan istri bahwa haknya untuk menuntut tetap ada. Berdasarkan hal ini, jika terjadi perselisihan tentang keperawanan, di mana istri mengaku masih perawan agar pengakuannya diterima dalam hal belum terjadi hubungan, dan suami mengingkarinya agar pengakuannya diterima dalam hal telah terjadi hubungan, maka tidak dikembalikan pada pengakuan salah satu dari keduanya, karena hal itu dapat disaksikan oleh perempuan-perempuan tepercaya. Jika ada empat orang perempuan tepercaya yang bersaksi bahwa istri masih perawan, maka pengakuan istri diterima dalam mengingkari terjadinya hubungan. Namun jika mereka bersaksi bahwa istri sudah tidak perawan, maka pengakuan suami diterima dalam menetapkan telah terjadinya hubungan.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوِ ارْتَدَّا أَوْ أَحَدُهُمَا فِي الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ أَوْ خَالَعَهَا ثُمَّ رَاجَعَهَا أَوْ رَجَعَ مَنِ ارْتَدَّ مِنْهُمَا فِي الْعِدَّةِ اسْتَأْنَفَ فِي هَذِهِ الْحَالَاتِ كُلِّهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمِ حَلَّ له الفرج ولا يشبه هذا الباب الأول لأنها في هذا الباب كانت محرمة كالأجنبية الشعر والنظر والجس وفي تلك الأحوال لم تكن محرمة بشيء غير الجماع (قال المزني) القياس عندي أن ما حل له بالعقد الأول فحكمه حكم امرأته والإيلاء يلزمه بمعناه وأما من لم تحل له بعقده الأول حتى يحدث نكاحاً جديداً فحكمه مثل الأيم تزوج فلا حكم للإيلاء في معناه المشبه لأصله) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika keduanya atau salah satu dari keduanya murtad dalam masa empat bulan, atau suami melakukan khulu‘ lalu rujuk, atau yang murtad dari keduanya kembali ke Islam dalam masa iddah, maka dalam semua keadaan ini dihitung ulang empat bulan sejak hari halal baginya untuk berhubungan. Hal ini tidak sama dengan bab yang pertama, karena dalam bab ini istri menjadi haram seperti perempuan asing dalam hal rambut, pandangan, dan sentuhan. Sedangkan dalam keadaan-keadaan tersebut, istri tidak menjadi haram kecuali dalam hubungan suami istri saja.” (Al-Muzani berkata:) Menurut qiyās saya, apa yang telah halal baginya dengan akad pertama, maka hukumnya seperti istrinya sendiri dan ila’ berlaku padanya sesuai maknanya. Adapun bagi yang belum halal baginya dengan akad pertama hingga terjadi akad nikah baru, maka hukumnya seperti perempuan yang baru menikah, sehingga tidak berlaku hukum ila’ atasnya menurut makna yang menyerupai asalnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الرِّدَّةَ تُسْقِطُ الْوَقْفَ الْأَوَّلَ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ وَتُسْقِطُ الْوَقْفُ الثَّانِي اسْتِحْقَاقَ الْمُطَالَبَةِ وَزَمَانُهَا غَيْرُ مُعْتَدٍّ بِهِ، سَوَاءٌ كَانَتِ الرِّدَّةُ مِنْ جِهَتِهِ أَوْ مِنْ جِهَتِهَا، فَإِنْ لَمْ يَعُدِ الْمُرْتَدُّ مِنْهُمَا إِلَى الإسلام إلى بَعْدِ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَقَدْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِالرِّدَّةِ، وَسَقَطَ بِهَا حُكْمُ الْإِيلَاءِ، وَهَذِهِ الْفُرْقَةُ فَسْخٌ، فَإِنْ عَادَ فَنَكَحَهَا فَهَلْ يَعُودُ الْإِيلَاءُ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي أَمْ لَا؟ يَنْبَنِي عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي الْفُرْقَةِ بِالْفَسْخِ، هَلْ تَجْرِي مَجْرَى فُرْقَةِ الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ، أَوْ مَجْرَى مَا دُونَهَا، عَلَى وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa riddah menggugurkan masa penantian yang pertama dalam masa menunggu, dan menggugurkan masa penantian yang kedua dalam hal hak menuntut, serta masa tersebut tidak diperhitungkan, baik riddah itu dari pihak suami maupun istri. Jika yang murtad dari keduanya tidak kembali kepada Islam hingga selesai masa iddah, maka terjadilah perpisahan karena riddah, dan gugurlah hukum ila’ karenanya. Perpisahan ini adalah fasakh. Jika ia kembali lalu menikahinya lagi, apakah ila’ kembali berlaku dalam pernikahan kedua atau tidak? Hal ini tergantung pada perbedaan pendapat di kalangan ulama kami tentang perpisahan karena fasakh, apakah hukumnya seperti perpisahan karena talak tiga atau seperti selain talak tiga, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا جَارِيَةٌ مَجْرَى الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَعُودُ الْإِيلَاءُ عَلَى قوله في الجديد كله وأحد قوليه في الْقَدِيمِ، وَيَعُودُ الْإِيلَاءُ عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي فِي الْقَدِيمِ.

Salah satunya: bahwa hukumnya seperti talak tiga. Berdasarkan pendapat ini, ila’ tidak kembali berlaku menurut pendapat beliau dalam kitab al-Jadid seluruhnya dan salah satu dari dua pendapat beliau dalam kitab al-Qadim, dan ila’ kembali berlaku menurut pendapat kedua dalam kitab al-Qadim.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى مَا دُونَ الثَّلَاثِ، فَعَلَى هَذَا يَعُودُ الْإِيلَاءُ عَلَى قوله فِي الْقَدِيمِ كُلِّهِ وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ وَلَا يَعُودُ الْإِيلَاءُ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي فِي الْجَدِيدِ، فَأَمَّا إِذَا عَادَ الْمُرْتَدُّ مِنَ الزَّوْجَيْنِ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ إِلَى الْإِسْلَامِ كَانَا عَلَى النِّكَاحِ وَاسْتُوقِفَ لَهُ الْوَقْفُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ مُدَّةُ التَّرَبُّصِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ لَا يَبْنِي عَلَى ما مضى منها فإن انقضت طولب بالفيئة أو الطلاق إلى أَنْ تَكُونَ الرِّدَّةُ فِي الْوَقْفِ الثَّانِي وَهُوَ زَمَانُ الْمُطَالَبَةِ فَلَا يُعَادُ الْوَقْفُ بَعْدَ انْقِضَائِهِ كاملاً قبل الردة فإن قبل فَهَلَّا اسْتُؤْنِفَ الْوَقْفُ بَعْدَ الْإِسْلَامِ كَمَا يُسْتَأْنَفُ الْوَقْفُ بَعْدَ الرَّجْعَةِ، قِيلَ لِأَنَّهُ قَدْ وَفَّاهَا حَقَّهَا بِالطَّلَاقِ وَلَمْ يُوفِّهَا حَقَّهَا بِالرِّدَّةِ، فَلِذَلِكَ سَقَطَ بِالطَّلَاقِ حُكْمُ الْوَقْفِ الْأَوَّلِ وَاسْتُؤْنِفَ لَهُ وَقْفٌ بَعْدَ الرَّجْعَةِ وَلَمْ يَسْقُطْ بِالرِّدَّةِ حُكْمُ الْوَقْفِ الْأَوَّلِ، فَلَمْ يُسْتَأْنَفْ لَهُ الْوَقْفُ بَعْدَ الْإِسْلَامِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: bahwa hukumnya seperti selain talak tiga. Berdasarkan pendapat ini, ila’ kembali berlaku menurut pendapat beliau dalam kitab al-Qadim seluruhnya dan salah satu dari dua pendapat beliau dalam kitab al-Jadid, dan tidak kembali berlaku menurut pendapat kedua dalam kitab al-Jadid. Adapun jika yang murtad dari kedua pasangan kembali kepada Islam sebelum selesai masa iddah, maka keduanya tetap dalam pernikahan dan masa penantian yang pertama, yaitu masa menunggu selama empat bulan, tetap berlaku dan tidak dihitung dari waktu yang telah berlalu sebelumnya. Jika masa itu telah habis, maka suami dituntut untuk kembali melakukan hubungan atau menceraikan, kecuali jika riddah terjadi pada masa penantian kedua, yaitu masa tuntutan, maka masa penantian tidak diulang setelah selesai seluruhnya sebelum riddah. Jika sebelum selesai, apakah masa penantian diulang setelah kembali ke Islam sebagaimana diulang setelah rujuk? Dikatakan bahwa suami telah memenuhi hak istri dengan talak, namun belum memenuhinya dengan riddah, sehingga dengan talak gugurlah hukum masa penantian pertama dan diulang setelah rujuk, sedangkan dengan riddah tidak gugur hukum masa penantian pertama, sehingga tidak diulang masa penantian setelah kembali ke Islam. Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ:)

(Pasal:)

فَأَمَّا إِذَا خَالَعَ الْمُولِي زَوْجَتَهُ فَقَدْ بَانَتْ مِنْهُ بِالْخُلْعِ وَسَقَطَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ فِي النِّكَاحِ، فَإِنْ عَادَ فَتَزَوَّجَهَا بِعَقْدٍ جَدِيدٍ كَانَ عَوْدُ الْإِيلَاءِ مُعْتَبَرًا بِفُرْقَةِ الْخُلْعِ وَفِيهِ قَوْلَانِ:

Adapun jika seorang muḷī‘ (suami yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya) melakukan khulu‘ terhadap istrinya, maka istrinya telah berpisah darinya dengan khulu‘, dan hukum īlā’ dalam pernikahan tersebut gugur. Jika ia kembali menikahinya dengan akad baru, maka kembalinya īlā’ dipertimbangkan berdasarkan perpisahan karena khulu‘, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ فَعَلَى هَذَا يَعُودُ الْخُلْعُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ كُلِّهِ وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ وَلَا يَعُودُ عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي فِي الْجَدِيدِ.

Salah satunya: bahwa itu dihitung sebagai satu talak. Berdasarkan pendapat ini, khulu‘ kembali menurut pendapat lama seluruhnya dan salah satu dari dua pendapat dalam pendapat baru, dan tidak kembali menurut pendapat kedua dalam pendapat baru.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: فِي الْخُلْعِ أَنَّهُ فَسْخٌ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ فِي الْفَسْخِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ أَوْ مَا دُونَهَا عَلَى مَا مَضَى، فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَقَدْ تَكَرَّرَ مِنْ كَلَامِهِ مَا تَقَدَّمَ الجواب عنه.

Pendapat kedua: bahwa khulu‘ adalah fasakh (pembatalan nikah), maka menurut pendapat ini, berlaku dua kemungkinan dalam fasakh: apakah ia diperlakukan seperti talak tiga atau kurang darinya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Adapun pendapat al-Muzanī, telah berulang dalam perkataannya sebagaimana telah dijawab sebelumnya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَأَقَلُّ مَا يَكُونُ بِهِ الْمُولِي فَائِتًا فِي الثيب أن يغيب الحشفة وفي البكر ذهاب العذرة) .

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Batas minimal seorang muḷī‘ dianggap telah melewatkan (masa) pada wanita yang sudah tidak perawan adalah dengan tenggelamnya hasyafah (kepala zakar), dan pada wanita perawan adalah hilangnya keperawanan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْتِقَاءُ الْخِتَانَيْنِ بِهِمَا لِأَنَّ جَمِيعَ أَحْكَامِ الْوَطْءِ مُتَعَلِّقَةٌ بِالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ مِنْ وُجُوبِ الْغُسْلِ وَالْحَدِّ وَالْمَهْرِ وَالْعِدَّةِ وَلُحُوقِ النَّسَبِ وَتَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ وَثُبُوتِ الْإِحْصَانِ وَالْإِحْلَالِ لِلْأَوَّلِ وَفَسَادِ الْعِبَادَاتِ، كَذَلِكَ الْخُرُوجُ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ.

Al-Māwardī berkata: Dan bertemunya dua khitān (alat kelamin laki-laki dan perempuan) pada keduanya, karena seluruh hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan suami istri bergantung pada bertemunya dua khitān, seperti kewajiban mandi, had, mahar, ‘iddah, penetapan nasab, pengharaman karena mushāharah (hubungan pernikahan), penetapan iḥṣān, kehalalan bagi suami pertama, rusaknya ibadah, demikian pula keluarnya dari hukum īlā’.

وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا قَالَ الشَّافِعِيُّ فَبِذَهَابِ الْعُذْرَةِ لِأَنَّ الْتِقَاءَ الْخِتَانَيْنِ يُذْهِبُ الْعُذْرَةَ لَا أَنَّ ذَهَابَ الْعُذْرَةِ هِيَ الشَّرْطُ الْمُعْتَبَرُ، فَأَمَّا الْوَطْءُ فِي الدُّبُرِ أَوْ فِيمَا دُونَ الْفَرْجِ فَلَا يُسْقِطُ حُكْمَ الإيلاء والعنة.

Dan jika ia masih perawan, Imam Syafi‘i berkata: maka dengan hilangnya keperawanan, karena bertemunya dua khitān menyebabkan hilangnya keperawanan, bukan karena hilangnya keperawanan itu sendiri yang menjadi syarat yang diperhitungkan. Adapun hubungan di dubur atau selain farji, tidak menggugurkan hukum īlā’ dan ‘innah (impotensi).

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (فَإِنْ قَالَ لَا أَقْدِرُ عَلَى افْتِضَاضِهَا أُجِّلَ أَجَلَ الْعِنِّينِ) .

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ia berkata: ‘Aku tidak mampu menembusinya (menghilangkan keperawanannya),’ maka ia diberi tenggang waktu sebagaimana tenggang waktu bagi orang yang ‘inn (impoten).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا ادَّعَى الْمُولِي الْعُنَّةَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِي هَذِهِ الدَّعْوَى مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ أَصَابَهَا فِي هَذَا النِّكَاحِ قَبْلَ الْإِيلَاءِ أَوْ لَمْ يُصِبْهَا، فَإِنْ كَانَ قَدْ أَصَابَهَا فِيهِ فَدَعَوَاهُ مَرْدُودَةٌ، لِأَنَّ حُكْمَ الْعُنَّةِ لَا يَثْبُتُ فِي نِكَاحٍ قَدْ وَقَعَتْ فِيهِ إِصَابَةٌ، وَصَارَ بِهَذِهِ الدَّعْوَى كَالْمُمْتَنِعِ مِنَ الْإِصَابَةِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهَا، فَإِنْ أَصَابَ أَوْ طَلَّقَ وَإِلَّا طَلَّقَ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ أَصَابَهَا فِيهِ وَهِيَ عَلَى بَكَارَتِهَا أَوْ كَانَتْ ثَيِّبًا قَبْلَ النِّكَاحِ نُظِرَ.

Al-Māwardī berkata: Jika seorang muḷī‘ mengaku mengalami ‘innah (impotensi) setelah habis masa (īlā’), maka keadaannya dalam pengakuan ini tidak lepas dari dua hal: apakah ia telah menggaulinya dalam pernikahan ini sebelum īlā’ atau belum. Jika ia telah menggaulinya, maka pengakuannya tertolak, karena hukum ‘innah tidak berlaku dalam pernikahan yang telah terjadi hubungan suami istri di dalamnya, dan dengan pengakuan ini ia seperti orang yang menolak melakukan hubungan padahal mampu. Maka jika ia menggauli atau menceraikan, (selesai); jika tidak, hakim menceraikannya menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat. Jika ia belum menggaulinya dalam pernikahan ini dan istrinya masih perawan, atau ia sudah tidak perawan sebelum menikah, maka diperhatikan (keadaannya).

فَإِنْ كَانَتْ عُنَّتُهُ قَدْ ثَبَتَتْ قَبْلَ الْإِيلَاءِ وَأَجَّلَ لَهَا وَرَضِيَتْ بِالْمُقَامِ مَعَهُ بَعْدَ انْقِضَاءِ أَجَلِهَا كَانَ مَقْبُولَ الْقَوْلِ فِي الْعُنَّةِ وَلَا يَسْقُطُ بِهِ حُكْمُ الْفَيْئَةِ لَكِنْ يَفِيءُ بِلِسَانِهِ فَيْءَ مَعْذُورٍ وَيُخَيَّرُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطَّلَاقِ، فَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ حُكْمُ الْعُنَّةِ قَبْلَ الْإِيلَاءِ وَلَمْ يَدَّعِهَا إِلَّا بَعْدَهُ، فَهَلْ تُقْبَلُ دَعْوَاهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika ‘innah-nya telah terbukti sebelum īlā’ dan telah diberi tenggang waktu, lalu istrinya ridha untuk tetap bersamanya setelah masa tenggangnya habis, maka pengakuannya tentang ‘innah diterima dan tidak gugur dengannya hukum al-fay’ah (kembali menggauli), tetapi ia dapat melakukan al-fay’ah dengan lisannya sebagai orang yang uzur, dan istrinya diberi pilihan antara tetap bersamanya atau bercerai. Jika hukum ‘innah belum terbukti sebelum īlā’ dan ia tidak mengakuinya kecuali setelahnya, maka apakah pengakuannya diterima atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَشَارَ إِلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّ قَوْلَهُ مَقْبُولٌ؛ لِأَنَّ الْعُنَّةَ مِنَ الْعُيُوبِ الْبَاطِنَةِ الَّتِي لَا تُعْرَفُ إِلَّا مِنْ جِهَتِهِ فَكَانَ مَقْبُولَ الْقَوْلِ فِيهَا لَكِنْ مَعَ يَمِينِهِ لِإِمْكَانِ كَذِبِهِ، فَعَلَى هَذَا إِذَا حَلَفَ قِيلَ لَهُ عَلَيْكَ أَنْ تَفِيءَ بِلِسَانِكَ فَيْءَ مَعْذُورٍ، فَإِذَا فَاءَ بِلِسَانِهِ أُجِّلَ لِلْعُنَّةِ سَنَةً فَإِنْ أَصَابَ فِيهَا سَقَطَ بِهَا حُكْمُ الْإِيلَاءِ وَالْعُنَّةِ جَمِيعًا، وَإِنْ لَمْ يُصِبْ فِيهَا ثَبَتَ لَهُ حُكْمُ الْعُنَّةِ وَكَانَ لَهَا الْخِيَارُ بَيْنَ الْمُقَامِ أَوِ الْفَسْخِ، فَإِنْ أَقَامَتْ سَقَطَ حَقُّهَا مِنَ الْعُنَّةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا الرُّجُوعُ فِيهِ فَيَسْقُطُ حَقُّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ وَلَمْ يَكُنْ لَهَا الرُّجُوعُ أَيْضًا لِأَنَّهُ قَدْ فَاءَ لَهَا فَيْءَ مَعْذُورٍ، وَإِنْ لَمْ تَخْتَرِ الْمُقَامَ مَعَهُ فَلِلْحَاكِمِ أَنْ يَقَعَ الْفُرْقَةَ بَيْنَهُمْ قَوْلًا وَاحِدًا بِالْعُنَّةِ وَقَدِ اسْتَوْفَتْ حَقَّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ وَالْعُنَّةِ، وَيَكُونُ ذَلِكَ فَسْخًا فِي الْعُنَّةِ لَا طَلَاقًا فِي الْإِيلَاءِ وَحُكْمُ الْفَسْخِ أَغْلَظُ مِنْ حُكْمِ الطَّلَاقِ، فَهَذَا أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ.

Salah satu pendapat, dan ini adalah pendapat yang zahir dari mazhab al-Syafi‘i sebagaimana yang beliau isyaratkan dalam bagian ini, adalah bahwa ucapannya diterima; karena ‘unnah (impotensi) termasuk cacat batin yang tidak diketahui kecuali dari pihaknya, maka ucapannya diterima dalam hal ini, namun dengan sumpahnya karena ada kemungkinan ia berdusta. Berdasarkan hal ini, jika ia bersumpah, dikatakan kepadanya: “Kamu wajib melakukan fiyā’ (rujuk) dengan ucapanmu, yaitu fiyā’ orang yang uzur.” Jika ia melakukan fiyā’ dengan ucapannya, maka untuk kasus ‘unnah ditangguhkan selama satu tahun. Jika selama masa itu ia mampu berhubungan, maka gugurlah hukum iilā’ dan ‘unnah sekaligus. Namun jika tidak mampu, maka tetap berlaku hukum ‘unnah dan istrinya berhak memilih antara tetap bersama atau memutuskan pernikahan. Jika ia memilih tetap bersama, maka gugur haknya atas ‘unnah dan ia tidak boleh kembali menuntutnya. Maka gugur pula haknya atas iilā’ dan ia juga tidak boleh kembali menuntutnya, karena suaminya telah melakukan fiyā’ sebagai orang yang uzur. Jika ia tidak memilih untuk tetap bersama, maka hakim berhak memutuskan perpisahan di antara mereka secara pasti karena ‘unnah, dan ia telah memperoleh haknya dari iilā’ dan ‘unnah. Perpisahan tersebut dihukumi sebagai fasakh karena ‘unnah, bukan talak karena iilā’, dan hukum fasakh lebih berat daripada hukum talak. Inilah salah satu dari dua pendapat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ دَعْوَى الْعُنَّةِ لِأَنَّهُ يَصِيرُ مَتْهُومًا بِدَعْوَاهَا لِيُقْتَنَعَ مِنْهُ بِفَيْءِ الْمَعْذُورِ وَيُنْظَرَ سَنَةً بَعْدَ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ فَرُدَّ قَوْلُهُ بِهَذِهِ التُّهْمَةِ وَإِذَا صَارَ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ مَرْدُودَ الْقَوْلِ قِيلَ لَا يَسْقُطُ عَنْكَ الْمُطَالَبَةُ إِلَّا بِفَيْئَةِ الْجِمَاعِ وَأَنْتَ مُخَيَّرٌ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الطَّلَاقِ، فَإِنْ فَعَلَ أَحَدَهُمَا وَإِلَّا طَلَّقَ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat sebagian ulama kami, menyatakan bahwa tidak diterima darinya pengakuan ‘unnah, karena ia dianggap tertuduh dengan pengakuan itu agar dapat dibebaskan dari kewajiban melakukan fiyā’ sebagai orang yang uzur dan menunggu selama satu tahun setelah masa penantian. Maka ucapannya ditolak karena tuduhan ini. Jika menurut pendapat ini ucapannya ditolak, dikatakan: “Tuntutan darimu tidak gugur kecuali dengan fiyā’ berupa jima‘, dan kamu diberi pilihan antara itu atau talak.” Jika ia melakukan salah satunya, maka selesai. Jika tidak, maka hakim menjatuhkan talak atasnya menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ جَامَعَهَا مُحْرِمَةً أَوْ حَائِضًا أَوْ هُوَ مُحْرِمٌ أَوْ صَائِمٌ خَرَجَ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ) .

Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menggaulinya dalam keadaan istrinya sedang ihram atau haid, atau suaminya yang sedang ihram atau sedang berpuasa, maka gugurlah hukum iilā’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا وَطِئَهَا الْمُولِي وَطْئًا مَحْظُورًا فِي إِحْرَامٍ، أَوْ صِيَامٍ، أَوْ ظِهَارٍ، أَوْ حَيْضٍ كَانَ فِي سُقُوطِ حَقِّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ فِي حُكْمِ الْوَطْءِ الْمُبَاحِ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ:

Al-Mawardi berkata: Hal ini benar, jika suami yang melakukan iilā’ menggauli istrinya dengan hubungan yang terlarang saat ihram, puasa, zihar, atau haid, maka gugurlah hak istrinya atas iilā’ sebagaimana gugurnya dengan hubungan yang mubah, karena tiga alasan:

أَحَدُهَا: أَنَّ جَمِيعَ أَحْكَامِ الْوَطْءِ الْمُبَاحِ يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ مَحْظُورًا فَكَذَلِكَ فِي الإيلاء.

Pertama: Seluruh hukum yang berkaitan dengan hubungan yang mubah juga berlaku padanya, meskipun hubungan itu terlarang; demikian pula dalam masalah iilā’.

والثاني: أنه قَدْ وَصَلَتْ إِلَى حَقِّهَا مِنْهُ وَإِنْ كَانَ مَحْظُورًا كَوُصُولِهَا إِلَيْهِ إِذَا كَانَ مُبَاحًا.

Kedua: Istrinya telah memperoleh haknya darinya, meskipun hubungan itu terlarang, sebagaimana jika ia memperolehnya saat hubungan itu mubah.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يَلْزَمُ مِنَ الْحِنْثِ بِمَحْظُورِ الْوَطْءِ مَا يَلْزَمُ بِمُبَاحِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ سُقُوطُ الْإِيلَاءِ بِمَثَابَتِهِ، وَخَالَفَ هَذَا قَضَاءَ الدَّيْنِ بِالْمَالِ الْمَغْصُوبِ لِأَنَّهُ يَقَعُ مَوْقِعَ الْحَلَالِ فِي الْمِلْكِ، فَلَمْ يَقَعْ مَوْقِعَهُ فِي الِاسْتِيفَاءِ وَلَوْ وَطِئَهَا وَهِيَ نَائِمَةٌ سَقَطَ حَقُّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ لِمَا ذَكَرْنَا، وَلَوِ اسْتَدْخَلَتْ ذَكَرَهُ وَهُوَ نَائِمٌ، فَفِي سُقُوطِ حَقِّهَا وَجْهَانِ:

Ketiga: Konsekuensi dari pelanggaran sumpah dengan hubungan terlarang sama dengan konsekuensi pelanggaran dengan hubungan yang mubah, maka wajib pula gugurnya iilā’ sebagaimana pada yang mubah. Hal ini berbeda dengan pelunasan utang dengan harta yang digasak, karena dalam kepemilikan ia menempati posisi yang halal, namun dalam pelunasan tidak demikian. Jika ia menggaulinya saat istrinya sedang tidur, maka gugurlah haknya atas iilā’ sebagaimana telah dijelaskan. Namun jika istrinya memasukkan kemaluannya saat suami sedang tidur, maka dalam hal gugurnya hak istri terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ سَقَطَ حَقُّهَا لِوُصُولِهَا إِلَى الْإِصَابَةِ وَأَنَّ ذَلِكَ قَدَّرَ عَلَيْهِ الْغُسْلَ وتحريم المصاهرة.

Pertama: Hak istri gugur karena ia telah mencapai hubungan (jima‘), dan hal itu mewajibkan mandi besar dan mengharamkan hubungan mahram.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَسْقُطُ حَقُّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ؛ لِأَنَّ حَقَّهَا فِي فِعْلِهِ لَا فِي فِعْلِهَا؛ وَلِأَنَّهُ لَمْ يَحْنَثْ بِذَلِكَ فَلَمْ يَسْقُطْ بِهِ الإيلاء والله أعلم.

Kedua: Hak istri tidak gugur dari iilā’, karena haknya terletak pada perbuatan suami, bukan perbuatannya sendiri; dan karena suami tidak melanggar sumpah dengan hal itu, maka iilā’ tidak gugur karenanya. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ آلَى ثُمَّ جُنَّ فَأَصَابَهَا فِي جُنُونِهِ أَوْ جُنُونِهَا خَرَجَ مِنَ الْإِيلَاءِ وَكَفَّرَ إِذَا أَصَابَهَا وَهُوَ صَحِيحٌ وَلَمْ يُكَفِّرْ إِذَا أَصَابَهَا وهو مجنون لأن القلم عنه مرفوع فِي تِلْكَ الْحَالِ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ جعل فعل المجنون في جنونه كالصحيح في خروجه من الإيلاء (قال المزني) رحمه الله إذا خرج من الإيلاء في جنونه بالإصابة فكيف لا يلزمه الكفارة ولو لم يلزمه الكفارة ما كان حانثاً وإذا لم يكن حانثاً لم يخرج من الإيلاء) .

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang melakukan ilā’ (sumpah tidak menggauli istri) lalu ia menjadi gila, kemudian ia menggauli istrinya dalam keadaan gilanya atau dalam keadaan istrinya gila, maka ia keluar dari ilā’ dan wajib membayar kafārah jika ia menggaulinya dalam keadaan sehat. Namun, ia tidak wajib membayar kafārah jika menggaulinya dalam keadaan gila, karena dalam keadaan itu pena (pencatatan dosa dan pahala) diangkat darinya.” (Al-Muzani raḥimahullāh berkata:) “Beliau (Imam Syafi‘i) menjadikan perbuatan orang gila dalam masa gilanya seperti orang sehat dalam hal keluar dari ilā’. (Al-Muzani berkata:) Jika keluar dari ilā’ dalam keadaan gila dengan melakukan hubungan, bagaimana mungkin tidak wajib kafārah? Jika memang tidak wajib kafārah, berarti ia tidak dianggap melanggar sumpah, dan jika tidak dianggap melanggar sumpah, maka ia tidak keluar dari ilā’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمُولِيَ إِذَا جُنَّ كَانَ زَمَانُ جُنُونِهِ عَلَيْهِ مَحْسُوبًا، لَكِنْ لَا مُطَالَبَةَ عَلَيْهِ حَتَّى يُفِيقَ فَلَا يَبْطُلُ الْوَقْفُ الْأَوَّلُ بِالْجُنُونِ وَيَبْطُلُ بِهِ الْوَقْفُ الثَّانِي، فَإِنْ وَطِئَ فِي جُنُونِهِ لَمْ يَحْنَثْ وَلَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ بِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُ، وَأَنَّ أَفْعَالَهُ فِي حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى عَفْوٌ، وَهَلْ يَسْقُطُ بِهَذَا الْوَطْءِ حَقُّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ أَمْ لَا، عَلَى وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa seorang yang melakukan ilā’ jika ia menjadi gila, maka masa gilanya tetap dihitung (dalam masa ilā’), namun ia tidak dituntut (untuk melakukan kewajiban) sampai ia sadar kembali. Maka, masa tunggu (ilā’) yang pertama tidak batal karena kegilaan, tetapi masa tunggu yang kedua batal karenanya. Jika ia menggauli istrinya dalam keadaan gila, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah dan tidak wajib membayar kafārah karena pena (pencatatan dosa) telah diangkat darinya, dan perbuatannya dalam hak-hak Allah Ta‘ala dimaafkan. Adapun apakah dengan hubungan tersebut gugur hak istri dari ilā’ atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَسْقُطُ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّهَا قَدْ وَصَلَتْ إِلَى حَقِّهَا مِنَ الْإِصَابَةِ فَإِنْ كَانَ عَنْ غَيْرِ قَصْدٍ كَالْوَاطِئِ نَاسِيًا لَا يَلْزَمُهُ الْكَفَّارَةُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَيَسْقُطُ بِهِ حُكْمُ الْإِيلَاءِ قَوْلًا وَاحِدًا وَكَالْمُولِي مِنْ إِحْدَى زَوْجَتَيْهِ إِذَا قَصَدَ وطء غير المولى منهما فَخَفِيَتْ عَلَيْهِ وَوَطِئَ الْمُولِي عَنْهَا سَقَطَ حَقُّهَا وإن لم يقصد وطئها، فَتَعَلَّقَ بِهَذَا الْوَطْءِ حَقَّانِ:

Pertama: Hak tersebut gugur, dan ini adalah pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i, karena istri telah mendapatkan haknya berupa hubungan suami-istri. Jika hubungan itu terjadi tanpa sengaja, seperti orang yang berhubungan karena lupa, maka menurut salah satu dari dua pendapat, ia tidak wajib membayar kafārah, dan dengan itu hukum ilā’ gugur secara pasti. Demikian pula seperti seorang yang melakukan ilā’ terhadap salah satu dari dua istrinya, lalu ia bermaksud menggauli istri yang bukan objek ilā’, namun keliru dan ternyata menggauli istri yang di-ilā’-i, maka hak istri tersebut gugur meskipun ia tidak bermaksud menggaulinya. Maka, pada hubungan tersebut terdapat dua hak:

أَحَدُهُمَا: لَا يُرَاعَى الْقَصْدُ فِيهِ لِأَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ كَالْمُسْلِمِ إِذَا حَاضَتْ زَوْجَتُهُ الذِّمِّيَّةُ أَجْبَرَهَا عَلَى الْغُسْلِ، وَإِنْ لَمْ يُنْوَ لِأَنَّ فِي غُسْلِهَا حَقَّيْنِ.

Pertama: Tidak dipertimbangkan niat di dalamnya, karena ini termasuk hak-hak Allah, seperti seorang Muslim yang memaksa istrinya yang berstatus dzimmi (non-Muslim) untuk mandi wajib ketika haidnya selesai, meskipun tanpa niat, karena dalam mandi tersebut terdapat dua hak.

أَحَدُهُمَا: لِلَّهِ تَعَالَى لَا يَصِحُّ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَالْآخَرُ لَهُ وَيَصِحُّ بِغَيْرِ نِيَّةٍ وَهُوَ فِي حَقِّ نَفْسِهِ لَا فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى فَلِذَلِكَ أُجْزِئَ بِغَيْرِ نِيَّةٍ.

Salah satunya: Hak Allah Ta‘ala, yang tidak sah kecuali dengan niat. Yang lainnya: Hak dirinya sendiri, yang sah meskipun tanpa niat, dan ini berlaku untuk hak dirinya, bukan hak Allah Ta‘ala. Oleh karena itu, dianggap sah meskipun tanpa niat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ وَطَائِفَةٍ أَنَّهَا عَلَى حَقِّهَا مِنَ الْفَيْئَةِ وَاسْتِحْقَاقِ الْمُطَالَبَةِ، وَلَا يَسْقُطُ بِهَذِهِ الْإِصَابَةِ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَحْنَثْ بِهَا وَيَلْزَمِ الْكَفَّارَةَ، وَكَانَ وَطْؤُهُ مِنْ بَعْدُ مُوجَبًا بِالْكَفَّارَةِ كَانَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ بَاقِيًا.

Pendapat kedua: Ini adalah mazhab Al-Muzani dan sekelompok ulama, bahwa istri tetap berhak mendapatkan al-fay’ (kembali suami menggaulinya) dan berhak menuntutnya, dan hak itu tidak gugur dengan hubungan tersebut, karena ia tidak dianggap melanggar sumpah dan tidak wajib membayar kafārah. Dan jika ia menggauli istrinya setelah itu, maka ia wajib membayar kafārah, sehingga hukum ilā’ tetap berlaku.

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ، فَإِذَا قُلْنَا بِالْوَجْهِ الْأَوَّلِ إِنَّ حُكْمَ الْإِيلَاءِ قَدْ سَقَطَ فَلَا مُطَالَبَةَ لَهَا وَيَمِينُهُ بَاقِيَةٌ مَتَى وَطِئَهَا حَنِثَ كَمَنْ آلَى مِنْ أَجْنَبِيَّةٍ ثُمَّ تَزَوَّجَهَا لَمْ يَكُنْ مُولِيًا وَكَانَ حَالِفًا مَتَى وَطِئَهَا حَنِثَ، وَإِذَا قُلْنَا بِالْوَجْهِ الثَّانِي إَِنَّهُ يَكُونُ عَلَى إِيلَائِهِ وَيَسْتَحِقُّ عَلَيْهِ الْمُطَالَبَةَ بَعْدَ إِقَامَتِهِ فَهَلْ يُجْزِيهِ الْوَقْفُ الْأَوَّلُ أَوْ يُسْتَأْنَفُ لَهُ وَقْفٌ ثَانٍ بَعْدَ الْإِصَابَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Setelah jelas dua pendapat yang telah kami sebutkan, maka jika kita memilih pendapat pertama bahwa hukum ilā’ telah gugur, maka istri tidak berhak menuntut lagi, dan sumpah suami tetap berlaku; kapan saja ia menggauli istrinya, ia dianggap melanggar sumpah, seperti orang yang bersumpah tidak menggauli seorang perempuan asing lalu menikahinya, maka ia bukan pelaku ilā’, tetapi tetap sebagai orang yang bersumpah; kapan saja ia menggaulinya, ia dianggap melanggar sumpah. Namun, jika kita memilih pendapat kedua, maka ia tetap dalam status ilā’ dan istri berhak menuntutnya setelah ia sadar. Lalu, apakah masa tunggu (ilā’) yang pertama sudah cukup atau harus dimulai masa tunggu baru setelah hubungan tersebut? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجْرِي لَهُ الْوَقْفُ الْأَوَّلُ؛ لِأَنَّ هَذِهِ الْإِصَابَةَ لَا حُكْمَ لَهَا فَصَارَ وُجُودُهَا كَعَدَمِهَا.

Pertama: Masa tunggu (ilā’) yang pertama tetap berlaku, karena hubungan tersebut tidak memiliki pengaruh hukum, sehingga keberadaannya dianggap seperti tidak ada.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَدْ سَقَطَ حُكْمُ الْوَقْفِ الْأَوَّلِ بِهَذِهِ الْإِصَابَةِ وَإِنْ لَمْ يَسْقُطْ بِهَا أَصْلُ الْإِيلَاءِ كَالرَّجْعَةِ بَعْدَ الطَّلَاقِ فَوَجَبَ اسْتِئْنَافُ الْوَقْفِ لِأَنَّهَا قَدِ اسْتَوْفَتْ بِالطَّلَاقِ مَا اسْتَحَقَّتْهُ بِالْوَقْفِ الْأَوَّلِ كَذَلِكَ هَاهُنَا، لِأَنَّهُ وَقْفٌ فِي حَقِّ الْجُنُونِ، قَدِ اسْتَوْفَتْ بِالْإِصَابَةِ، وَإِنْ لَمْ يَحْنَثْ لَهَا مَا اسْتَحَقَّتْهُ بِالْوَقْفِ الْأَوَّلِ فَوَجَبَ إِبْقَاءُ الْإِيلَاءِ أَوْ يُسْتَأْنَفُ لَهُ وَقْفٌ ثَانٍ بَعْدَ الْإِصَابَةِ.

Pendapat kedua: Hukum masa tunggu (ilā’) yang pertama gugur dengan hubungan tersebut, meskipun tidak gugur pokok ilā’-nya, seperti rujuk setelah talak. Maka, wajib memulai masa tunggu baru, karena istri telah mendapatkan haknya melalui talak yang diperolehnya dari masa tunggu pertama, demikian pula dalam kasus ini. Karena masa tunggu tersebut terjadi dalam keadaan gila, dan istri telah mendapatkan haknya melalui hubungan tersebut, meskipun suami tidak dianggap melanggar sumpah, sehingga wajib mempertahankan ilā’ atau memulai masa tunggu baru setelah hubungan tersebut.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَأَمَّا إِنْ جُنَّتِ الْمَرْأَةُ الْمُولَى مِنْهَا فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى إِصَابَتِهَا فِي الْجُنُونِ لِهَرَبٍ أَوْ بَطْشٍ لَمْ يُحْسَبْ عَلَيْهَا زَمَانُ جُنُونِهَا، لِأَنَّ الْمَانِعَ مِنْ جِهَتِهَا فَإِذَا أَفَاقَتْ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ اسْتُؤْنِفَ الْوَقْفُ، وَإِنْ أَفَاقَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ وَبَعْدَ جُنُونِهَا اسْتَقَرَّ حُكْمُ الْوَقْفِ وَكَانَ لَهَا الْمُطَالَبَةُ مَعَ الْإِفَاقَةِ فَأَمَّا إِذَا أَمْكَنَ الزَّوْجَ إِصَابَتُهَا فِي حَالِ الْجُنُونِ كَانَ زَمَانُ الْجُنُونِ مَحْسُوبًا مِنَ الْوَقْفِ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى الْإِصَابَةِ مِنْ غَيْرِ مَانِعٍ فَإِذَا انْقَضَتِ الْمُدَّةُ لَمْ تَسْتَحِقَّ عَلَيْهَا الْمُطَالَبَةُ مَا كَانَتْ بَاقِيَةً فِي جُنُونِهَا لِأَنَّهُ مُوقَفٌ عَلَى اخْتِيَارِهَا مِنْ شَهْوَتِهَا، فَإِنْ أَصَابَهَا فِي حَالِ الْجُنُونِ سَقَطَ حَقُّهَا مِنَ الْإِيلَاءِ وَوَجَبَتِ الْكَفَّارَةُ عَلَى الزَّوْجِ بِالْإِصَابَةِ، وَإِنْ لَمْ يُصِبْ لَمْ يُطَالَبْ لَكِنْ يُقَالُ اسْتِحْبَابًا يَنْبَغِي أَنْ تَتَّقِيَ اللَّهَ تَعَالَى فِيهَا فَيَفِيءُ أَوْ يُطَلِّقُ، وَإِنْ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى فَيْئَةٍ أَوْ طَلَاقٍ.

Adapun jika istri yang menjadi objek sumpah (mu‘alla) mengalami gangguan jiwa, maka jika suami tidak mampu menggaulinya selama masa gangguan jiwa itu karena ia melarikan diri atau melakukan perlawanan, maka masa gangguan jiwanya tidak dihitung sebagai bagian dari masa penantian (‘iddah), karena penghalang berasal dari pihak istri. Jika ia sembuh sebelum masa penantian berakhir, maka masa penantian dimulai kembali dari awal. Namun jika ia sembuh setelah masa penantian berakhir dan setelah masa gangguan jiwanya, maka hukum penantian tetap berlaku dan ia berhak menuntut setelah sembuh. Adapun jika suami masih memungkinkan untuk menggaulinya selama masa gangguan jiwa, maka masa gangguan jiwa itu tetap dihitung sebagai bagian dari masa penantian, karena suami mampu menggaulinya tanpa ada penghalang. Maka jika masa penantian telah selesai, istri tidak berhak menuntut selama ia masih dalam keadaan gangguan jiwa, karena penantian itu bergantung pada pilihannya dari syahwatnya. Jika suami menggaulinya saat ia dalam keadaan gangguan jiwa, maka gugurlah hak istri dari sumpah (īlā’) dan suami wajib membayar kafārah karena telah menggaulinya. Jika suami tidak menggaulinya, maka ia tidak dituntut, namun secara anjuran dikatakan bahwa sebaiknya ia bertakwa kepada Allah Ta‘ala terhadap istrinya, lalu kembali (rujuk) atau menceraikannya, meskipun ia tidak dipaksa untuk rujuk atau menceraikan.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَالذِّمِّيُّ كَالْمُسْلِمِ فِيمَا يَلْزَمُهُ مِنَ الْإِيلَاءِ إِذَا حَاكَمَ إِلَيْنَا وَحُكْمُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْعِبَادِ وَاحِدٌ (وَقَالَ) فِي كِتَابِ الْجِزْيَةِ لَوْ جَاءَتِ امْرَأَةٌ تَسْتَعْدِي بِأَنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا أَوْ آلَى مِنْهَا أَوْ تَظَاهَرَ حَكَمْتُ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ حكمي على المسلمين ولو جاء رجل منهم يطلب حقاً كان على الإمام أن يحكم على المطلوب وإن لم يرض بحكمه (قال المزني) رحمه الله هذا أشبه القولين به لأن تأويل قول الله عز وجل عنده {حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ} أن تجري عليهم أحكام الإسلام.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Orang dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam) sama seperti Muslim dalam hal yang wajib atasnya terkait sumpah (īlā’) jika ia mengadukan perkara kepada kita, karena hukum Allah Ta‘ala atas hamba-hamba-Nya adalah satu.” (Dan beliau berkata) dalam Kitab Jizyah: “Jika ada seorang wanita datang mengadukan bahwa suaminya telah menceraikannya, atau bersumpah (īlā’) terhadapnya, atau melakukan zihār, maka aku akan memutuskan perkara tersebut sebagaimana aku memutuskan perkara pada kaum Muslimin. Dan jika ada seorang laki-laki dari mereka menuntut hak, maka wajib bagi imam untuk memutuskan perkara terhadap yang dituntut, meskipun ia tidak ridha dengan putusannya.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Ini adalah pendapat yang paling mirip dengan pendapat beliau, karena penafsiran firman Allah ‘azza wa jalla menurut beliau {hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk} adalah bahwa hukum-hukum Islam berlaku atas mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى حُكْمُ الذِّمِّيَّيْنِ إِذَا تَحَاكَمَا إِلَيْنَا، هَلْ يَجِبُ عَلَى حَاكِمِنَا الْحُكْمُ عَلَيْهِمَا جَبْرًا أَوْ يَكُونُ فِي الْحُكْمِ مُخَيَّرًا، عَلَى الْقَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan hukum dua orang dzimmi jika mereka mengadukan perkara kepada kita, apakah hakim kita wajib memutuskan perkara mereka secara paksa atau boleh memilih dalam memutuskan perkara, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الْحُكْمِ وَالتَّرْكِ، وَهُمْ مُخَيَّرُونَ بَيْنَ الِالْتِزَامِ وَالْإِسْقَاطِ لِقَوْلِ الله تعالى {فإن جاؤوك فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ} [المائدة: 42] .

Pertama: Hakim boleh memilih antara memutuskan perkara atau tidak, dan mereka juga boleh memilih antara menerima atau menolak keputusan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah perkara di antara mereka atau berpalinglah dari mereka} (al-Mā’idah: 42).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ الْحُكْمُ بَيْنَهُمْ وَيَجِبُ عَلَيْهِمُ الْتِزَامُ حُكْمَهُ، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ} [التوبة: 29] وَالصَّغَارُ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ فَأَمَّا إِنْ تَحَاكَمَ إِلَيْنَا ذِمِّيَّانِ مِنْ دِينَيْنِ يَهُودِيٍّ وَنَصْرَانِيٍّ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَجِبُ عَلَيْهِ الْحُكْمُ بَيْنَهُمَا قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَعْتَقِدُ بُطْلَانَ دِينِ صَاحِبِهِ فَلَزِمَ الْعُدُولُ بِهِمَا إِلَى دِينِ الْحَقِّ الْإِسْلَامِ

Pendapat kedua: Hakim wajib memutuskan perkara di antara mereka dan mereka wajib menerima keputusannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk} (at-Taubah: 29), dan makna “tunduk” adalah hukum-hukum Islam berlaku atas mereka. Adapun jika dua orang dzimmi dari dua agama, misalnya Yahudi dan Nasrani, mengadukan perkara kepada kita, maka para ulama kami berbeda pendapat. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: Wajib bagi hakim memutuskan perkara di antara mereka menurut satu pendapat, karena masing-masing dari mereka meyakini batilnya agama yang lain, sehingga wajib mengembalikan mereka kepada agama yang benar, yaitu Islam.

وَقَالَ غَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا بَلْ هُوَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا لَوْ كَانَا عَلَى دِينٍ وَاحِدٍ لِأَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ عِنْدَنَا مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ.

Dan sebagian ulama kami yang lain berkata: Bahkan dalam hal ini juga terdapat dua pendapat, sebagaimana jika keduanya berasal dari satu agama, karena seluruh kekufuran menurut kami adalah satu golongan.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا وَتَرَافَعَ إِلَيْنَا مِنْهُمْ زَوْجَانِ فِي طَلَاقٍ أَوْ ظِهَارٍ أَوْ إِيلَاءٍ حُكِمَ بَيْنَهُمَا فِيهِ بِحُكْمِ الْإِسْلَامِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ} [المائدة: 49] فَإِنْ طَلَّقَ صَحَّ طَلَاقُهُ وَأَلْزَمَهُ حكمه، وإن ظاهر فيأتي حكم ظاهره، وَإِنَّ الْأَصَحَّ إِيلَاؤُهُ.

Jika telah jelas apa yang kami sebutkan dan ada dua orang dari mereka (non-Muslim) yang mengadukan perkara kepada kita terkait talak, zihār, atau īlā’, maka diputuskan perkara di antara mereka dengan hukum Islam, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka} (al-Mā’idah: 49). Jika suami menjatuhkan talak, maka talaknya sah dan ia wajib menerima keputusannya. Jika ia melakukan zihār, maka berlaku hukum zihār atasnya. Dan pendapat yang paling sahih, īlā’ juga berlaku atasnya.

وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ، وَمُحَمَّدٌ، وَمَالِكٌ: رَحِمَهُمُ اللَّهُ – لَا يَصِحُّ إِيلَاؤُهُ، لِقَوْلِ اللَّهِ تعالى في آية الإيلاء {فإن فاؤوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [البقرة: 226] ، وَالْغُفْرَانُ وَالرَّحْمَةُ لَا يَسْتَحِقَّانِ مَعَ الْكُفْرِ فَلَمْ يَتَوَجَّهْ بِهِ الإيلاء لا إِلَى الْمُسْلِمِ.

Dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abū Ḥanīfah – raḥimahullāh -. Sedangkan Abū Yūsuf, Muḥammad, dan Mālik – raḥimahumullāh – berpendapat: Ilā’ tidak sah, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā dalam ayat ilā’: {Jika mereka kembali (rujuk), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} [al-Baqarah: 226], dan ampunan serta rahmat tidaklah layak diberikan bersama kekufuran, sehingga ilā’ tidak berlaku kecuali kepada Muslim.

وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ مَنْ صَحَّ إِيلَاؤُهُ بِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى صَحَّ إِيلَاؤُهُ بِاللَّهِ كَالْمُسْلِمِ وَلِأَنَّ مَا صَحَّ بِهِ إِيلَاءُ الْمُسْلِمِ صَحَّ بِهِ إِيلَاءُ غَيْرِ الْمُسْلِمِ كَالْإِيلَاءِ بِغَيْرِ اللَّهِ فَأَمَّا آيَةُ الْإِيلَاءِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan ini adalah kekeliruan, karena siapa saja yang sah ilā’-nya dengan selain Allah Ta‘ālā, maka sah pula ilā’-nya dengan nama Allah, sebagaimana halnya pada Muslim. Dan apa yang sah dijadikan ilā’ oleh Muslim, maka sah pula dijadikan ilā’ oleh non-Muslim, seperti ilā’ dengan selain Allah. Adapun mengenai ayat ilā’, para sahabat kami berbeda pendapat tentangnya menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عُمُومَ نَصِّهَا تَنَاوَلَ الْمُسْلِمَ دُونَ الْكَافِرِ لِمَا تَضَمَّنَهُ آخِرُهَا من قوله {فإن فاؤوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [البقرة: 226] ثُمَّ قِيسَ مَنْ آلَى مِنَ الْكُفَّارِ، عَلَى الْمُسْلِمِينَ لِاشْتِرَاكِهِمْ فِي مَعْنَى الْإِيلَاءِ كَمَا قَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا} [الأحزاب: 49] فَقِيسَ عَلَى ذَلِكَ طَلَاقُ الذِّمِّيَّاتِ.

Pertama: Bahwa keumuman lafaz ayat tersebut hanya mencakup Muslim, tidak mencakup kafir, karena pada akhir ayat tersebut terdapat firman-Nya: {Jika mereka kembali (rujuk), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} [al-Baqarah: 226]. Kemudian, orang kafir yang melakukan ilā’ dianalogikan (qiyās) dengan Muslim karena kesamaan mereka dalam makna ilā’, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: {Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan mukminah lalu kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada masa iddah yang perlu kalian perhitungkan terhadap mereka} [al-Aḥzāb: 49], maka perceraian perempuan dzimmī (non-Muslimah) dianalogikan atas hal tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ عُمُومَ نَصِّهَا تَنَاوَلَ الْمُسْلِمِينَ وَالْكُفَّارَ، فَعَلَى هَذَا لِأَصْحَابِنَا في قوله في آخرها: {فإن فاؤوا فإن الله غفور رحيم} [البقرة: 226] .

Pendapat kedua: Bahwa keumuman lafaz ayat tersebut mencakup Muslim dan kafir. Berdasarkan ini, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai firman Allah pada akhir ayat: {Jika mereka kembali (rujuk), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} [al-Baqarah: 226].

أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْلَهُ: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} [البقرة: 226] عَامٌّ فِي الْمُسْلِمِينَ والكفار، وقوله تعالى {فإن فاؤوا فإن الله غفور رحيم} خَاصٌّ فِي الْمُسْلِمِينَ دُونَ الْكُفَّارِ، فَيَكُونُ أَوَّلُ الْآيَةِ عَامًّا وَآخِرُهَا خَاصًّا.

Pertama: Bahwa firman-Nya: {Bagi orang-orang yang melakukan ilā’ dari istri-istri mereka, ada masa tunggu empat bulan} [al-Baqarah: 226] adalah umum untuk Muslim dan kafir, sedangkan firman Allah Ta‘ālā {Jika mereka kembali (rujuk), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} khusus untuk Muslim, tidak untuk kafir. Maka awal ayat bersifat umum dan akhirnya bersifat khusus.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ جَمِيعَهَا عَامٌّ فِي الْمُسْلِمِينَ، وَقَوْلَهُ {فَإِنَّ اللَّهَ غفور رَحِيمٌ} [البقرة: 226] خَاصٌّ فِي غُفْرَانِ مَأْثَمِ الْإِيلَاءِ وَالْكُفَّارُ قَدْ يُغْفَرُ لَهُمْ مَأْثَمُ الْمَظَالِمِ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَلَا يُغْفَرُ لَهُمْ مَأْثَمُ الْأَدْيَانِ فِي حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى.

Pendapat kedua: Bahwa seluruh ayat tersebut umum untuk Muslim, dan firman-Nya {maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} [al-Baqarah: 226] khusus dalam pengampunan dosa ilā’. Adapun orang kafir, bisa saja diampuni dosa kezalimannya dalam hak-hak sesama manusia, namun tidak diampuni dosa agama dalam hak-hak Allah Ta‘ālā.

(فَصْلٌ:)

(Fasal:)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَكُونُ مُولِيًا حُكِمَ بَيْنَهُمْ بِحُكْمِ اللَّهِ فِي الْمُولِي الْمُسْلِمِ مِنْ تَرَبُّصِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ ثُمَّ مُطَالَبَتِهِ بَعْدَهَا بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ فَإِنْ فَعَلَ أَحَدَهُمَا وَإِلَّا طَلَّقَ عَلَيْهِ فِي أَصَحِّ القولين والله أعلم.

Jika telah tetap bahwa ia menjadi muwālī (orang yang melakukan ilā’), maka diputuskan di antara mereka dengan hukum Allah sebagaimana pada muwālī Muslim, yaitu dengan masa tunggu empat bulan, kemudian setelah itu ia dituntut untuk kembali (rujuk) atau menceraikan. Jika ia melakukan salah satu dari keduanya, maka selesai; jika tidak, maka hakim menceraikan atasnya menurut pendapat yang lebih kuat. Wallāhu a‘lam.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَإِذَا كَانَ الْعَرَبِيُّ يَتَكَلَّمُ بِأَلْسِنَةِ الْعَجَمِ وَآلَى بِأَيِّ لِسَانٍ كَانَ مِنْهَا فَهُوَ مُولٍ فِي الْحُكْمِ وَإِنْ كَانَ يَتَكَلَّمُ بِأَعْجَمِيَّةٍ فَقَالَ مَا عَرَفْتُ مَا قُلْتُ وَمَا أَرَدْتُ إيْلَاءً فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ) .

Imam Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: (Jika seorang Arab berbicara dengan bahasa ‘ajam (non-Arab) dan melakukan ilā’ dengan bahasa apa pun dari bahasa-bahasa tersebut, maka ia tetap dianggap melakukan ilā’ secara hukum. Namun jika ia berbicara dengan bahasa ‘ajam lalu berkata: “Aku tidak tahu apa yang aku ucapkan dan aku tidak bermaksud melakukan ilā’,” maka perkataannya diterima dengan sumpahnya.)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا آلَى الْعَرَبِيُّ بِالْأَعْجَمِيَّةِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan, yaitu jika seorang Arab melakukan ilā’ dengan bahasa ‘ajam, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْرِفَ الْأَعْجَمِيَّةَ وَيَتَكَلَّمَ بِهَا فَهَذَا يَكُونُ مُولِيًا بِهَا كَمَا يَكُونُ مُولِيًا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَنَّ الْإِيلَاءَ لَا يَخْتَصُّ بِلِسَانٍ دُونَ لِسَانٍ وَلَيْسَ مَا يَقِفُ على العربية إلا بالقرآن، وَمَا سِوَاهُ فَيَجُوزُ أَنْ يُعَبَّرَ عَنْهُ بِكُلِّ لسان، فلو قال قتله وما أرادت بِهِ الْإِيلَاءَ، لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فِي هَذَا الظاهر، ولم يدين فِي الْبَاطِنِ كَمَا لَوِ ادَّعَى ذَلِكَ فِي اللَّفْظِ الْعَرَبِيِّ.

Pertama: Ia memahami bahasa ‘ajam dan berbicara dengannya, maka ia dianggap melakukan ilā’ dengan bahasa itu sebagaimana ia melakukan ilā’ dengan bahasa Arab, karena ilā’ tidak dikhususkan pada satu bahasa saja. Tidak ada yang bergantung pada bahasa Arab kecuali dalam al-Qur’an, sedangkan selainnya boleh diungkapkan dengan bahasa apa pun. Maka jika ia berkata “qatalahu” (aku membunuhnya) dan tidak bermaksud ilā’, maka secara lahiriah tidak diterima darinya, dan secara batin pun tidak dianggap, sebagaimana jika ia mengaku demikian pada lafaz Arab.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَعْرِفَ الْأَعْجَمِيَّةَ لَكِنَّهُ لَا يَتَكَلَّمُ فَيَكُونُ مُولِيًا بِهَا، فَإِنْ قال ما أرادت الْإِيلَاءَ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فِي الظَّاهِرِ وَدِينَ فِي الْبَاطِنِ، لِأَنَّ تَرْكَهُ الْكَلَامَ بِهَا يَحْتَمِلُ مَا قَالَهُ فَلِأَجْلِ ذَلِكَ دِينَ فِيهِ.

Bagian kedua: Ia memahami bahasa ‘ajam namun tidak berbicara dengannya, maka ia tetap dianggap melakukan ilā’ dengan bahasa itu. Jika ia berkata “aku tidak bermaksud ilā’,” maka secara lahiriah tidak diterima darinya, namun secara batin diterima, karena ia tidak berbicara dengan bahasa itu sehingga memungkinkan apa yang ia katakan, maka karena itu diterima secara batin.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يَعْرِفَ الْعَجَمِيَّةَ فَيُسْأَلُ عَنْ ذلك، فإن قال أرادت بِهِ الْإِيلَاءَ كَانَ مُولِيًا بِإِقْرَارِهِ وَإِنْ قَالَ مَا عَرَفْتُهُ وَلَا أَرَدْتُ بِهِ الْإِيلَاءَ قُبِلَ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مَعَهُ وَعَلَيْهِ الْيَمِينُ لِاحْتِمَالِ كَذِبِهِ وَلَا نَجْعَلُهُ مُولِيًا فِي الظَّاهِرِ وَلَا فِي الْبَاطِنِ وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الْمَرْأَةِ، فَإِذَا حَلَفَتْ حُكِمَ عليه الإيلاء، وَإِنْ نَكَلَتْ فَلَا إِيلَاءَ عَلَيْهِ، وَهَكَذَا الْأَعْجَمِيُّ إِذَا آلَى بِالْعَرَبِيَّةِ كَانَ عَلَى هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ الثلاثة والله أعلم.

Bagian ketiga: Jika seseorang tidak mengetahui bahasa ‘ajam (non-Arab) lalu ditanya tentang hal itu, maka jika ia berkata, “Saya bermaksud dengannya adalah ila’ (sumpah untuk tidak menggauli istri),” maka ia menjadi mu’li (orang yang melakukan ila’) berdasarkan pengakuannya. Namun jika ia berkata, “Saya tidak mengetahuinya dan tidak bermaksud ila’,” maka ucapannya diterima dengan sumpahnya, karena zhahir (indikasi lahiriah) berpihak kepadanya, dan ia tetap harus bersumpah karena ada kemungkinan ia berdusta. Kita tidak menetapkannya sebagai mu’li secara zhahir maupun batin. Jika ia enggan bersumpah, maka hak bersumpah berpindah kepada istrinya. Jika sang istri bersumpah, maka diputuskan atasnya hukum ila’. Namun jika istri juga enggan bersumpah, maka tidak ada ila’ atasnya. Demikian pula jika seorang ‘ajam melakukan ila’ dengan bahasa Arab, maka hukumnya mengikuti tiga pendapat ini. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَلَوْ آلَى ثُمَّ آلَى فَإِنْ حَنِثَ فِي الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ لَمْ يَعُدْ عَلَيْهِ الْإِيلَاءُ وَإِنْ أَرَادَ بِالْيَمِينِ الثَّانِيَةِ الْأُولَى فَكَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ وَإِنْ أَرَادَ غَيْرَهَا فَأُحِبُّ كَفَّارَتَيْنِ) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang melakukan ila’ lalu mengulangi ila’ lagi, maka jika ia melanggar sumpah pada yang pertama dan kedua, tidak kembali berlaku hukum ila’ atasnya. Jika ia bermaksud dengan sumpah kedua untuk menguatkan sumpah pertama, maka cukup satu kafarat. Namun jika ia bermaksud sumpah yang berbeda, maka aku lebih suka ia membayar dua kafarat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا آلَى مَرَّةً ثُمَّ آلَى ثَانِيَةً انْقَسَمَ حَالُهُ فِيهَا أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya, jika seseorang melakukan ila’ sekali lalu mengulangi ila’ kedua kalinya, maka keadaannya terbagi menjadi empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْيَمِينَانِ مِنْ جِنْسَيْنِ وَعَلَى زَمَانَيْنِ كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَا أَطَؤُكِ سَنَةً فَإِذَا مَضَتْ فَإِنْ وَطِئْتُكِ بَعْدَهَا فَعَبْدِي حُرٌّ فَهُمَا إِيلَاءَانِ لَا يَكُونُ الْحِنْثُ فِي أَحَدِهِمَا حِنْثًا فِي الْآخَرِ لِاخْتِلَافِ الْجِنْسَيْنِ وَالزَّمَانَيْنِ وَلَا الْوَاجِبُ فِي أَحَدِهِمَا وَاجِبٌ فِي الْآخَرِ لِاخْتِلَافِ الْجِنْسَيْنِ فَإِذَا وَطِئَ بَعْدَهَا فِي السَّنَةِ الْأُولَى حَنِثَ بِاللَّهِ تَعَالَى وَلَزِمَهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَإِذَا وَطِئَ بَعْدَهَا حَنِثَ بِالْعِتْقِ وَعُتِقَ عَلَيْهِ عَبْدُهُ.

Pertama: Jika kedua sumpah itu dari dua jenis yang berbeda dan pada dua waktu yang berbeda, seperti ucapannya, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama setahun. Jika waktu itu telah berlalu, lalu aku menggaulimu setelahnya, maka budakku merdeka.” Maka ini adalah dua ila’ yang berbeda; pelanggaran pada salah satunya tidak dianggap pelanggaran pada yang lain karena perbedaan jenis dan waktu, begitu pula kewajiban pada salah satunya tidak berlaku pada yang lain karena perbedaan jenis. Jika ia menggauli setelah waktu setahun yang pertama, maka ia melanggar sumpah demi Allah dan wajib membayar kafarat sumpah. Jika ia menggauli setelah itu, maka ia melanggar sumpah pembebasan budak dan budaknya menjadi merdeka.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَا مِنْ جِنْسَيْنِ وَعَلَى زَمَانٍ وَاحِدٍ كَقَوْلِهِ: إِنْ وَطِئْتُكِ سَنَةً فَمَالِي صَدَقَةٌ ثُمَّ يَقُولُ: إِنْ وَطِئْتُكِ فِي هَذِهِ السَّنَةِ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَهُوَ إِيلَاءٌ وَاحِدٌ بِيَمِينَيْنِ يكون الحنث فيه واحد لِأَنَّ الزَّمَانَ وَاحِدٌ وَالْوَاجِبُ فِيهِ شَيْئَيْنِ لِأَنَّهُمَا جِنْسَانِ فَتُطَلَّقُ عَلَيْهِ بِالْحِنْثِ وَيَكُونُ فِي الصَّدَقَةِ فماله مخيراً بين الصدقة وبي 5 ن كَفَّارَةِ يَمِينٍ لِأَنَّهُ نَذْرُ لَجَاجٍ خَرَجَ مَخْرَجَ الْيَمِينِ.

Bagian kedua: Jika kedua sumpah itu dari dua jenis yang berbeda namun pada waktu yang sama, seperti ucapannya, “Jika aku menggaulimu dalam setahun ini, maka hartaku menjadi sedekah,” lalu ia berkata lagi, “Jika aku menggaulimu dalam tahun ini, maka engkau tertalak.” Maka ini adalah satu ila’ dengan dua sumpah, pelanggarannya satu karena waktunya sama, namun kewajibannya dua karena keduanya berbeda jenis. Maka jika ia melanggar, istrinya tertalak dan ia dalam hal hartanya diberi pilihan antara bersedekah atau membayar kafarat sumpah, karena itu adalah nadzar lajjaj (nazar karena dorongan emosi) yang hukumnya seperti sumpah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَعَلَى زَمَانَيْنِ كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ خمسة أَشْهُرٍ فَإِذَا مَضَتْ فَوَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ سَنَةً فَهُوَ إِيلَاءَانِ لَا يَكُونُ الْحِنْثُ فِي أَحَدِهِمَا حِنْثًا فِي الْآخَرِ لِاخْتِلَافِ الزَّمَانَيْنِ وَالْوَاجِبُ فِي أَحَدِهِمَا مِثْلُ الْوَاجِبِ فِي الْآخَرِ لِتَمَاثُلِ الْيَمِينَيْنِ فَإِذَا حَنِثَ فِي الْأَوَّلِ فَعَلَيْهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ وَإِذَا حَنِثَ فِي الثَّانِي فَعَلَيْهِ كَفَّارَةٌ ثَانِيَةٌ.

Bagian ketiga: Jika kedua sumpah itu dari satu jenis yang sama namun pada dua waktu yang berbeda, seperti ucapannya, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama lima bulan,” lalu setelah berlalu ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama setahun.” Maka ini adalah dua ila’ yang berbeda; pelanggaran pada salah satunya tidak dianggap pelanggaran pada yang lain karena perbedaan waktu, namun kewajiban pada keduanya sama karena sumpahnya sama. Jika ia melanggar yang pertama, maka wajib atasnya kafarat sumpah, dan jika ia melanggar yang kedua, maka wajib atasnya kafarat kedua.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَعَلَى زَمَانٍ وَاحِدٍ كَقَوْلِهِ وَاللَّهِ لَا وَطِئْتُكِ سَنَةً ثُمَّ يَقُولُ لَا وَطِئْتُكِ سَنَةً وَيُرِيدُ بِهِمَا سَنَةً وَاحِدَةً فَهُوَ إِيلَاءٌ وَاحِدٌ بِيَمِينَيْنِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ فَيَكُونُ الْحِنْثُ فِيهِمَا وَاحِدًا كَانَ الزَّمَانُ وَاحِدًا أَمْ لَا، وَلَا يَخْلُ حَالُهُ فِي الْيَمِينَيْنِ الْمُتَمَاثِلَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Bagian keempat: Jika kedua sumpah itu dari satu jenis yang sama dan pada waktu yang sama, seperti ucapannya, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama setahun,” lalu ia berkata lagi, “Aku tidak akan menggaulimu selama setahun,” dan ia bermaksud dengan keduanya satu tahun yang sama, maka ini adalah satu ila’ dengan dua sumpah dari satu jenis. Maka pelanggarannya dianggap satu, baik waktunya sama maupun tidak. Dalam dua sumpah yang serupa ini, keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُرِيدَ بِالثَّانِيَةِ تَأْكِيدَ الْأُولَى فَلَا يَلْزَمُهُ إِلَّا دَاخِلٌ فِي حُكْمِ الْمُؤَكَّدِ كَمَا لَوْ كَرَّرَ الطَّلَاقَ تَأْكِيدًا لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا طَلَاقٌ وَاحِدٌ.

Pertama: Jika ia bermaksud dengan sumpah kedua untuk menegaskan sumpah pertama, maka tidak wajib atasnya kecuali satu hukum yang termasuk dalam hukum penegasan, sebagaimana jika ia mengulangi talak untuk menegaskan, maka tidak wajib atasnya kecuali satu talak.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ بِالْيَمِينِ الثَّانِيَةِ الِاسْتِئْنَافَ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Bagian kedua: Jika ia bermaksud dengan sumpah kedua untuk memulai sumpah baru, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِهِ هَاهُنَا لِأَنَّهُ قَالَ فَأُوجِبُ كَفَّارَتَيْنِ، فَجَعَلَ الثَّانِيَةَ مُسْتَحَبَّةً لَا وَاجِبَةً، وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّ الْيَمِينَ الثَّانِيَةَ لَمْ تُفِدْ غَيْرَ مَا أَفَادَتِ الْأُولَى فَلَمْ تُوجِبْ غَيْرَ مُوجَبِ الْأُولَى، وَلِأَنَّ الْحُرْمَتَيْنِ إِذَا اتَّفَقَتَا فِي الْمُوجِبِ تَدَاخَلَتَا كَالْمُحْرِمِ إِذَا قَتَلَ صَيْدًا فِي الْحَرَمِ لَزِمَهُ جَزَاءٌ وَاحِدٌ.

Salah satu pendapat: Wajib atasnya satu kafārah saja, dan inilah yang tampak dari perkataannya di sini, karena ia berkata: “Maka aku mewajibkan dua kafārah,” lalu ia menjadikan yang kedua sebagai anjuran (mustahabb) dan bukan kewajiban. Alasannya adalah karena sumpah yang kedua tidak memberikan faedah selain apa yang telah diberikan oleh sumpah pertama, sehingga tidak mewajibkan selain apa yang diwajibkan oleh yang pertama. Dan karena dua keharaman jika keduanya sama dalam sebab kewajiban, maka keduanya saling masuk (menjadi satu), seperti orang yang berihram lalu membunuh binatang buruan di tanah haram, maka ia hanya wajib membayar satu denda saja.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ كَفَّارَتَانِ.

Pendapat kedua: Wajib atasnya dua kafārah.

وَوَجْهُهُ: إِنَّ حُرْمَةَ الْيَمِينِ الثَّانِيَةِ كَحُرْمَةِ الْيَمِينِ الْأُولَى فَوَجَبَ أَنْ يُوجِبَ مِثْلَ حُكْمِ الْأُولَى، وَلِأَنَّهُمَا يَمِينَانِ مَقْصُودَتَانِ فَلَمْ يَتَدَاخَلْ مُوجِبُهُمَا كَالْجِنْسَيْنِ.

Alasannya: Keharaman sumpah yang kedua sama dengan keharaman sumpah yang pertama, maka wajib untuk mewajibkan hukum yang sama dengan yang pertama. Dan karena keduanya adalah dua sumpah yang dimaksudkan secara terpisah, maka sebab kewajibannya tidak saling masuk, seperti dua jenis yang berbeda.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُطْلِقَ الْيَمِينَ الثَّانِيَةَ فَلَا يُرِيدُ بِهَا التَّأْكِيدَ كَالْقِسْمِ الْأَوَّلِ، وَلَا يُرِيدُ بِهَا الِاسْتِئْنَافَ كَالْقِسْمِ الثَّانِي، فَإِنْ قِيلَ لَوْ أَرَادَ الِاسْتِئْنَافَ لَزِمَتْهُ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ فَفِي الْإِطْلَاقِ أَوْلَى أَنْ يَلْزَمَهُ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، فَإِنْ قِيلَ لَوْ أَرَادَ الِاسْتِئْنَافَ لَزِمَتْهُ كَفَّارَتَانِ فَفِيهِ إِذَا أُطْلِقَ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِيمَنْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ وَلَمْ يُرِدْ تَأْكِيدًا وَلَا اسْتِئْنَافًا، فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ يَلْزَمُهُ طَلْقَتَانِ فَكَذَلِكَ هَاهُنَا يَلْزَمُهُ كَفَّارَتَانِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَلْزَمُهُ طَلْقَةٌ وَاحِدَةٌ وَكَذَلِكَ هَاهُنَا يَلْزَمُهُ كَفَّارَةٌ واحدة.

Bagian ketiga: Seseorang mengucapkan sumpah kedua secara mutlak, tidak bermaksud untuk menegaskan seperti pada bagian pertama, dan tidak pula bermaksud memulai sumpah baru seperti pada bagian kedua. Jika dikatakan: “Seandainya ia bermaksud memulai sumpah baru, maka cukup satu kafārah saja,” maka dalam kasus mutlak ini lebih utama untuk hanya mewajibkan satu kafārah. Namun jika dikatakan: “Seandainya ia bermaksud memulai sumpah baru, maka wajib dua kafārah,” maka dalam kasus mutlak ini terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang orang yang berkata kepada istrinya: “Engkau talak, engkau talak,” dan ia tidak bermaksud menegaskan maupun memulai yang baru. Salah satu pendapatnya: wajib dua talak, maka demikian pula di sini wajib dua kafārah. Pendapat kedua: wajib satu talak saja, maka demikian pula di sini hanya wajib satu kafārah.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وَقَدْ زَعَمَ مَنْ خَالَفَنَا فِي الْوَقْفِ أَنَّ الْفَيْئَةَ فِعْلٌ يُحْدِثُهُ بَعْدَ الْيَمِينِ فِي الْأَرْبَعَةِ الأشهر إما بجماع أو فيء معذور بلسانه وزعم أن عزيمة الطلاق انقضاء أربعة أشهر بغير فعل يحدثه وقد ذكرهما الله تعالى بلا فصل بينهما فقلت له أرأيت أن لَوْ عَزَمَ أَنْ لَا يَفِيءَ فِي الْأَرْبَعَةِ الأشهر أيكون طلاقاً؟ قال لا حتى يطلق قلت فكيف يكون انقضاء الأربعة الأشهر طلاقاً بغير عزم ولا إحداث شيء لم يكن؟) .

Imam Syafi‘i ra. berkata: (Dan orang yang menyelisihi kami dalam masalah ila’ berpendapat bahwa al-fay’ (rujuk) adalah perbuatan yang dilakukan setelah sumpah dalam masa empat bulan, baik dengan jima‘ atau rujuk karena uzur dengan lisannya. Ia juga berpendapat bahwa talak menjadi pasti dengan berlalunya empat bulan tanpa adanya perbuatan baru. Padahal Allah Ta‘ala telah menyebutkan keduanya tanpa pemisah di antara keduanya. Maka aku berkata kepadanya: Bagaimana pendapatmu jika seseorang berniat untuk tidak rujuk dalam empat bulan, apakah itu menjadi talak? Ia menjawab: Tidak, sampai ia menjatuhkan talak. Aku berkata: Lalu bagaimana mungkin berlalunya empat bulan menjadi talak tanpa niat dan tanpa melakukan sesuatu yang baru?)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا فَصْلٌ قَصَدَ الشَّافِعِيُّ فِيهِ أَبَا حَنِيفَةَ قَالَ انْقِضَاءُ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ مُوجِبًا لِلطَّلَاقِ فَاحْتَجَّ عَلَيْهِ بِشَيْئَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini adalah pembahasan yang ditujukan Syafi‘i kepada Abu Hanifah, yang berpendapat bahwa berlalunya empat bulan mewajibkan talak. Maka Syafi‘i membantahnya dengan dua hal:

أَحَدُهُمَا: إِنْ قَالَ لما كان لو عزم أن لا يفي فِي الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا حَتَّى يُطَلِّقَ وَذَلِكَ لَا يَكُونُ تَرْكُ الْعَزْمِ بِمُضِيِّ الْأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ طَلَاقًا حَتَّى يُطَلِّقَ.

Pertama: Jika dikatakan bahwa jika seseorang berniat untuk tidak rujuk dalam empat bulan, itu tidak menjadi talak sampai ia menjatuhkan talak, maka demikian pula, meninggalkan niat dengan berlalunya empat bulan tidak menjadi talak sampai ia menjatuhkan talak.

وَالثَّانِي: وَهُوَ فَحْوَى كَلَامِهِ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْفَيْئَةِ وَالطَّلَاقِ ثُمَّ لَمْ تَكُنِ الْفَيْئَةُ إِلَّا مِنْ فِعْلِهِ فَكَذَلِكَ الطَّلَاقُ، وَقَدْ مَضَى ذِكْرُ الْحِجَاجِ فِي أَوَّلِ الْكِتَابِ مُسْتَوْفًى وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Kedua: Dan ini adalah inti dari perkataannya, bahwa ketika seseorang diberi pilihan antara rujuk dan talak, dan rujuk itu hanya bisa terjadi dengan perbuatannya, maka demikian pula talak. Dan telah disebutkan argumentasi ini secara lengkap di awal kitab. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

(باب إيلاء الخصي غير المجبوب والمجبوب)

(Bab: Ila’ (sumpah tidak menggauli istri) bagi laki-laki kasim yang tidak terpotong seluruhnya dan yang terpotong seluruhnya)

(مِنْ كِتَابِ الْإِيلَاءِ وَكِتَابِ النِّكَاحِ وَإِمْلَاءٌ عَلَى مسائل مالك)

(Dari Kitab al-Ila’ dan Kitab Nikah, serta catatan atas masalah-masalah Malik)

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَإِذَا آلَى الْخَصِيُّ مِنِ امْرَأَتِهِ فَهُوَ كَغَيْرِ الْخَصِيِّ إِذَا بَقِيَ مِنْ ذَكَرِهِ مَا يَنَالُ بِهِ مِنَ الْمَرْأَةِ مَا يَبْلُغُ الرَّجُلُ حَتَّى يُغَيِّبَ الْحَشَفَةَ) .

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: (Jika seorang kasim (laki-laki yang dikebiri sebagian) melakukan ila’ terhadap istrinya, maka hukumnya sama seperti laki-laki yang tidak kasim, selama masih tersisa dari alat kelaminnya sesuatu yang dengannya ia dapat menjima‘ istrinya, yakni hingga ia dapat memasukkan hasyafah (kepala penis).)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْخَصِيُّ فَهُوَ الْمَسْلُولُ الْأُنْثَيَيْنِ السَّلِيمُ الذَّكَرِ، فَإِيلَاؤُهُ صَحِيحٌ كَإِيلَاءِ الْفَحْلِ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى الْإِصَابَةِ كَقُدْرَتِهِ بَلْ رُبَّمَا كَانَ جِمَاعُهُ أَقْوَى وَأَمَدَّ لِعَدَمِ إِنْزَالِهِ، وقيل أنه قد ينزل ماءاً رَقِيقًا أَصْفَرَ، وَلِذَلِكَ أُلْحِقَ بِهِ الْوَلَدُ فَيُوقَفُ ثُمَّ يُطَالَبُ بِالْفَيْئَةِ أَوْ بِالطَّلَاقِ وَفَيْئَتُهُ بِالْجِمَاعِ دُونَ اللِّسَانِ، لِقُدْرَتِهِ عَلَى الْإِصَابَةِ، فَإِنِ ادَّعَى الْعُنَّةَ كَانَ كَالْفَحْلِ إِذَا ادَّعَاهَا وَهَكَذَا إِنْ آلَى قَبْلَ الْخَصْيِ ثُمَّ خُصِيَ كَانَ عَلَى إِيلَائِهِ لَا يُؤَثِّرُ فِيهِ الْخَصْيُ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُؤَثِّرْ فِي الِابْتِدَاءِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يؤثر في الاستدامة.

Al-Mawardi berkata: Adapun al-khasi adalah laki-laki yang kedua testisnya telah diangkat namun alat kelaminnya masih utuh, maka sumpah ila’ (sumpah tidak akan menggauli istri) yang dilakukannya adalah sah seperti sumpah ila’ yang dilakukan oleh laki-laki normal, karena ia masih mampu melakukan hubungan suami istri sebagaimana kemampuan laki-laki normal, bahkan terkadang hubungan badan yang dilakukannya lebih kuat dan lebih lama karena tidak mengeluarkan mani. Ada juga yang berpendapat bahwa ia mungkin mengeluarkan cairan yang encer dan kekuningan, dan karena itu anak yang lahir darinya tetap dinisbatkan kepadanya, sehingga ia tetap dikenai hukum menunggu (masa iddah) lalu dituntut untuk kembali (rujuk) atau menceraikan istrinya, dan bentuk kembali (rujuk) baginya adalah dengan melakukan hubungan badan, bukan hanya dengan ucapan, karena ia mampu melakukan hubungan badan. Jika ia mengaku tidak mampu (impoten), maka hukumnya sama seperti laki-laki normal yang mengaku demikian. Demikian pula jika ia bersumpah ila’ sebelum dikhasi lalu kemudian dikhasi, maka sumpah ila’-nya tetap berlaku dan pengkhasiannya tidak berpengaruh, karena ketika pengkhasiannya tidak berpengaruh pada awal sumpah, maka lebih utama lagi tidak berpengaruh pada kelangsungan sumpah tersebut.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رضي الله عنه: (وإن كان مجبوباً قيل له فيء بِلِسَانِكَ لَا شَيْءَ عَلَيْكَ غَيْرَهُ لِأَنَّهُ مِمَّنْ لَا يُجَامِعُ مِثْلُهُ (وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ) وَلَا إِيلَاءَ عَلَى الْمَجْبُوبِ لِأَنَّهُ لَا يُطِيقُ الْجِمَاعَ أبداً (قال المزني) رحمه الله تعالى إذا لم نجعل ليمينه معنى يمكن إن يحنث به سقط الإيلاء فهذا بقوله أولى عندي) .

Imam Syafi’i ra. berkata: (Jika seseorang majbub, maka dikatakan kepadanya: “Kembalilah (rujuklah) dengan ucapanmu, tidak ada kewajiban lain bagimu selain itu, karena orang seperti dia memang tidak mampu melakukan hubungan badan.” (Dan beliau berkata dalam kitab al-Imla’): “Tidak ada sumpah ila’ atas orang majbub, karena ia sama sekali tidak mampu melakukan hubungan badan.” (Al-Muzani rahimahullah berkata: “Jika kita tidak memberikan makna pada sumpahnya yang memungkinkan ia melanggarnya, maka sumpah ila’ itu gugur, dan menurutku pendapat ini lebih utama.”)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَالَ الْمُزَنِيُّ أَمَّا الْمَجْبُوبُ: فَهُوَ الْمَقْطُوعُ الذَّكَرِ السَّلِيمُ الْأُنْثَيَيْنِ.

Al-Mawardi berkata: Al-Muzani berkata, adapun majbub adalah laki-laki yang alat kelaminnya terpotong namun kedua testisnya masih utuh.

وَالْمَمْسُوحُ هُوَ الْمَقْطُوعُ (الذَّكَرِ) السَّلِيمُ الْأُنْثَيَيْنِ وَهُمَا فِي حُكْمِ الْإِيلَاءِ سَوَاءٌ، وَلَهُ فِي قَطْعِ الذَّكَرِ حَالَتَانِ:

Sedangkan al-mamsuh adalah laki-laki yang alat kelaminnya terpotong (namun) kedua testisnya masih utuh, dan keduanya dalam hukum ila’ adalah sama. Dalam kasus terpotongnya alat kelamin, ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يُقْطَعَ بَعْضُهُ وَيَبْقَى مَا يُولِجُ بِهِ فإيلائه صَحِيحٌ كَإِيلَاءِ الْفَحْلِ (السَّلِيمِ) وَفَيْئَتُهُ بِإِيلَاجِ الْبَاقِي مِنْ ذَكَرِهِ إِنْ كَانَ يَقْدُرُ الْحَشَفَةَ مِثْلَ الْمُسْتَحَقِّ مِنْ إِيلَاجِ السَّلِيمِ، وَيَجْرِي الْبَاقِي مِنْهُ مَجْرَى الذَّكَرِ الصَّغِيرِ، فَإِنْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهُ أَكْثَرَ مِنْ حَشَفَةِ السَّلِيمِ، فَفِي قَدْرِ مَا يَلْزَمُهُ إِيلَاجُهُ فِيهِ وَجْهَانِ:

Pertama: Jika yang terpotong hanya sebagian dan masih tersisa bagian yang bisa digunakan untuk penetrasi, maka sumpah ila’-nya sah seperti sumpah ila’ laki-laki normal, dan bentuk kembalinya (rujuk) adalah dengan memasukkan sisa alat kelaminnya jika masih mampu memasukkan bagian kepala (hasyafah) sebagaimana yang menjadi syarat pada alat kelamin yang utuh. Sisa alat kelamin tersebut diperlakukan seperti alat kelamin yang kecil. Jika sisa alat kelaminnya lebih banyak dari kepala alat kelamin yang utuh, maka dalam hal berapa banyak yang wajib dimasukkan ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: جَمِيعُهُ.

Pertama: Seluruh sisa alat kelamin tersebut.

وَالثَّانِي: قدر الحشفة.

Kedua: Sebatas kepala alat kelamin (hasyafah).

والحالة الثانية: أن يقطع جميعه ففيه قولان لَا إِيلَاءَ عَلَيْهِ قَالَهُ فِي الْإِمْلَاءِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُدْخِلْ بِيَمِينِهِ ضَرَرًا عَلَى زَوْجَتِهِ، فَعَلَى هَذَا لَا وَقْفَ وَلَا مُطَالَبَةَ.

Keadaan kedua: Jika seluruh alat kelaminnya terpotong, maka ada dua pendapat: tidak ada sumpah ila’ atasnya, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Imla’, karena dengan sumpahnya itu ia tidak menimbulkan mudarat bagi istrinya. Maka dalam hal ini tidak ada masa tunggu dan tidak ada tuntutan (untuk rujuk atau cerai).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ هَاهُنَا، وَفِي كِتَابِ (الْأُمِّ) يَكُونُ مُولِيًا، لِأَنَّهُ قَصَدَ الْإِضْرَارَ بِقَوْلِهِ فَإِنْ كَانَ عَاجِزًا فَصَارَ كَقَصْدِهِ الْإِضْرَارَ بِفِعْلِهِ كَالْمَرِيضِ، فَعَلَى هَذَا يُوقَفُ لَهَا مُدَّةَ التَّرَبُّصِ ثُمَّ يُطَالَبُ بَعْدَهَا بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، إِلَّا أَنَّهَا فَيْئَةُ مَعْذُورٍ بِاللِّسَانِ فَيَقُولُ لَسْتُ أَقْدِرُ عَلَى الْوَطْءِ وَلَوْ أَقْدَرَنِي اللَّهُ عَلَيْهِ لَوَطِئْتُ فَيَسْقُطُ بِهَذِهِ الْفَيْئَةِ حُكْمُ الْإِيلَاءِ وَلَمْ تَجِبْ بِهَا الْكَفَّارَةُ؛ لِأَنَّهُ لم يحنث.

Pendapat kedua: Sebagaimana disebutkan di sini dan dalam kitab al-Umm, ia tetap dianggap melakukan sumpah ila’, karena ia sengaja bermaksud menimbulkan mudarat dengan ucapannya. Jika ia tidak mampu, maka keadaannya seperti orang sakit yang sengaja menimbulkan mudarat dengan perbuatannya. Maka dalam hal ini, ia tetap dikenai masa tunggu, lalu setelahnya dituntut untuk kembali (rujuk) atau menceraikan, hanya saja bentuk kembalinya adalah dengan ucapan sebagai orang yang uzur, yaitu ia berkata: “Aku tidak mampu melakukan hubungan badan, dan seandainya Allah memberiku kemampuan, pasti aku akan melakukannya.” Dengan ucapan ini, gugurlah hukum ila’ dan tidak wajib membayar kafarat, karena ia tidak melanggar sumpahnya.

(مسألة:)

(Masalah:)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَلَوْ آلَى صَحِيحًا ثُمَّ جُبَّ ذَكَرُهُ كَانَ لَهَا الْخِيَارُ مَكَانَهَا فِي الْمُقَامِ مَعَهُ أَوْ فِرَاقَهُ) .

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: (Jika seseorang yang sehat bersumpah ila’ lalu alat kelaminnya terpotong, maka istrinya berhak memilih untuk tetap bersamanya atau berpisah darinya.)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا آلَى الْفَحْلُ ثم خصي فهو على إيلائه لأنه الْخَصْيَ لَمَّا لَمْ يَمْنَعِ ابْتِدَاءَ الْإِيلَاءِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَمْنَعَ مِنِ اسْتَدَامَتِهِ، فَأَمَّا إِذَا آلَى ثُمَّ جُبَّ ذَكَرُهُ فَلَهَا خِيَارُ الْفَسْخِ فِي الْجَبِّ مِنْ وَقْتِهِ، لِأَنَّهُ أَحَدُ عُيُوبِ الْأَزْوَاجِ الْمُوجِبَةِ لِاسْتِحْقَاقِ الْفَسْخِ وَسَوَاءٌ كَانَ قَدْ أصابها قبل الجب أو لم يصيبها فَإِنَّهَا تَسْتَحِقُّ بِهِ الْفَسْخَ بِخِلَافِ الْعِنِّينِ إِذَا أَصَابَ قَبْلَ الْعُنَّةِ حَيْثُ لَمْ يَجِبْ لَهَا الفسخ لأن إصابة العنيين تَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ عُنَّتِهِ وَإِصَابَةَ الْمَجْبُوبِ لَا تَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ جَبِّهِ، وَإِنْ فَسَخَتْ بِالْجَبِّ سَقَطَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ، وَإِنْ لَمْ تَفْسَخْ بِالْجَبِّ فَفِي سُقُوطِ الْإِيلَاءِ بِهِ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun jika seorang laki-laki normal bersumpah ila’ lalu kemudian dikhasi, maka sumpah ila’-nya tetap berlaku, karena pengkhasiannya tidak menghalangi keabsahan sumpah ila’ sejak awal, maka lebih utama lagi tidak menghalangi kelangsungannya. Namun jika ia bersumpah ila’ lalu alat kelaminnya terpotong, maka istrinya berhak memilih untuk membatalkan pernikahan sejak saat itu, karena hal tersebut merupakan salah satu cacat pada suami yang membolehkan istri menuntut pembatalan pernikahan, baik ia sudah pernah menggauli istrinya sebelum alat kelaminnya terpotong maupun belum, maka istrinya tetap berhak membatalkan pernikahan, berbeda dengan kasus laki-laki impoten (‘innin) yang jika sudah pernah menggauli sebelum impoten maka istrinya tidak berhak membatalkan pernikahan, karena kemampuan menggauli pada laki-laki impoten mencegah keabsahan klaim impoten, sedangkan kemampuan menggauli pada laki-laki majbub tidak mencegah keabsahan status majbub. Jika istri membatalkan pernikahan karena alat kelamin terpotong, maka hukum ila’ gugur. Jika ia tidak membatalkan pernikahan, maka dalam hal gugurnya hukum ila’ ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: قَدْ سقط إيلاءه بِحُدُوثِ الْجَبِّ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَسْقُطُ إِذَا تَقَدَّمَ الْجَبُّ، فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الْبَاقِي مِنْ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ وَلَا يُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ الْمُطَالَبَةُ بِفَيْئَةٍ وَلَا طَلَاقٍ.

Salah satu dari keduanya: Telah gugur sumpah ila’nya dengan terjadinya kebiri jika dikatakan bahwa sumpah itu gugur apabila kebiri terjadi lebih dahulu. Maka berdasarkan hal ini, sisa masa penantian pun gugur dan ia tidak berhak lagi dituntut untuk kembali (berhubungan) atau menceraikan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ إِيلَاءَهُ لَا يَسْقُطُ إِذَا تَقَدَّمَ الْجَبَّ، فَعَلَى هَذَا يُسْتَكْمَلُ الْوَقْفُ ثُمَّ يُطَالَبُ بَعْدَهُ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَفَيْئَتُهُ فَيْئَةُ مَعْذُورٍ بِاللِّسَانِ، فَإِنِ امْتَنَعَ مِنْهُمَا طلق عليه الحكم فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ كَالْفَحْلِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Pendapat kedua: Bahwa sumpah ila’nya tidak gugur jika kebiri terjadi lebih dahulu. Maka berdasarkan hal ini, masa penantian harus disempurnakan, kemudian setelah itu ia dituntut untuk kembali (berhubungan) atau menceraikan. Kembalinya (berhubungan) di sini adalah kembalinya orang yang uzur secara lisan. Jika ia menolak keduanya, maka dijatuhkan hukum talak atasnya menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, seperti halnya laki-laki yang mampu—dan Allah lebih mengetahui kebenarannya.