Segala puji bagi Allah, yang Maha Kuasa lagi Maha

 

Mengetahui. Tuhan yang Maha Mengawasi, Maha Bijaksana, Maha Pemurah, dan Maha Mulia. Dia-lah yang-yang Mengurus dan Mengasihi, yang menurunkan Adz-Dzikrul Hakim dan Al-Qur’an yang mulia kepada seorang utusan dengan agama yang benar dan jalan yang lurus. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, seorang nabi yang ummi, penutup risalah kenabian dan penyelamat manusia dari jalan kesesatan. Seorang Rasul yang dimuliakan dengan membawa Kitab paling mulia kepada sekalian manusia. Shalawat dan salam semoga juga senantiasa tercurah kepada orang-orang pilihan dari keluarga dan para sahabat beliau.

 

Ilmu adalah anugerah yang paling mulia, kehormatan tertinggi, keagungan yang paling puncak, dan harta yang paling menguntungkan. Dengan ilmu seseorang bertauhid (mengesakan) kepada Tuhan semesta alam, dan membenarkan (risalah) para nabi-Nya. Para ulama adalah hamba-hamba Allah yang memiliki kedudukan istimewa, yang Allah pilih sebagai lentera agama-Nya. Allah menganugerahi petunjuk kepada mereka dengan berbagai kelebihan dan keutamaan. Mereka adalah pewaris para nabi, pengganti mereka, dan pemimpin kaum muslimin.

 

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (Faathir: 32)

 

Begitu pula dengan sabda Nabi saw.,

 

“Ulama adalah pewaris para nabi karena ilmu yang mereka miliki. Penduduk langit mencintai mereka, dan bahkan para penghuni lautan pun memohon ampunan untuk mereka hingga Hari Kiamat.” (HR. ad-Dailami)

 

Firman Allah Ta’ala,

 

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara  hamba-hamba-Nya, hanyalah orang yang berilmu (ulama).” (al-Faathir: 28)

 

Rasulullah saw. juga bersabda,

 

“Pada Hari Kiamat, Allah akan membangkitkan hamba-hamba(Nya), kemudian Dia akan memisahkan para ulama (dari sekalian manusia). Dia lantas berfirman, “Wahai orang-orang yang berilmu (ulama), sesungguhnya Aku tidak menganugerahkan ilmu-Ku kepada kalian kecuali atas dasar pengetahuan-Ku terhadap kalian. Aku pun tidak menganugerahkan ilmu-Ku untuk menyiksa kalian. Masuklah kalian (ke surga), sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.” (HR. ath-Thabrani)

 

Segala puji bagi Allah, yang telah memberi derajat tinggi (surga) bagi para ahli ibadah, dan al-qurbah (mendekatkan diri kepada-Nya) bagi ahli makrifat. Amma bad.

 

 

 

 

 

WAL PENCIPTAAN

 

Allah menciptakan ruh Muhammad saw. sebagai makhluk pertama dari cahaya keindahan-Nya. Ini dijelaskan dalam firman-Nya yang tertuang dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Aku menciptakan Muhammad pertama kali dari Cahaya Wajah-Ku.”

 

Nabi saw. juga bersabda,

 

“Pertama kali yang Allah ciptakan adalah ruhku, dan, yang pertama Allah ciptakan adalah cahayaku, yang pertama Allah ciptakan adalah pena, dan, yang pertama Allah ciptakan adalah akal.” (HR. Abu Daud)

 

Adapun maksud dari hadits di atas yang pertama diciptakan adalah “Hakikat Muhammad”, yang dinamakan pula dengan “cahaya”, karena ia bersih dari segala kegelapan yang menutupi keagungan-Nya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan.” (al-Maaidah: 15)

 

Hakikat Muhammad ini juga dinamakan dengan “akal”, karena dapat melihat dan memahami (menalar) segala sesuatu. Ia juga dinamakan pena, karena ia menjadi medium perpindahan ilmu, seperti halnya pena yang menjadi penyebab pindahnya ilmu ke dalam bentuk huruf-huruf (tulisan-tulisan dalam lembaran).

 

Ruh Muhammad adalah inti dari penciptaan, serta awal dari segala penciptaan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

 

“Aku dari Allah, dan orang-orang mukmin berasal dari diriku.” (HR. ad-Dailami)

 

Seluruh ruh yang ada di alam lahut itu tercipta dari ruh Muhammad dengan bentuk hakiki yang terbaik. Muhammad adalah nama bagi seluruh manusia di alam tersebut (alam lahut), yang tidak lain adalah sumber atau asal dari segala sesuatu. Setelah melewati kurun waktu empat ribu tahun, Allah lalu menciptakan al-‘arasy dan berbagai makhluk lainnya dari cahaya Muhammad.

 

Kemudian, ruh-ruh tersebut diturunkan kembalikan ke alam terendah, yaitu yaitu alam jasadi. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya,

 

“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” (at-Tiin: 5)

 

Allah pertama kali menurunkan mereka dari alam lahut menuju alam jabaru?’, lalu Dia mengenakan kepada mereka cahaya kemahakuasaan-Nya sebagai pakaian bagi mereka di dua tempat mulia tersebut (alam ketuhanan dan alam makhluk -penj.). Ruh di lapisan ini disebut ruh sulthani Kemudian Allah menurunkan mereka dengan pakaian itu ke alam malakut 8 dan mengenakan kepada mereka cahaya malakut, yang tidak lain adalah ruh rawwani. Tidak lama kemudian, Allah menurunkan mereka ke alam mulk? dan mengenakan kepada mereka cahaya mulk, yang tidak lain adalah ruh Jismani. Barulah kemudian Allah menciptakan jasad-jasad, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya,

 

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu….” (Thahaa: 55)

 

Kemudian Allah memerintahkan sekumpulan ruh (di alam mulk itu) untuk masuk ke dalam jasad, dan mereka pun masuk atas perintah-Nya. Sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya,

 

“Dan Aku meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.” (al-Hijr: 29)

 

Di saat ruh-ruh tersebut berada dalam jasad, mereka pun lupa akan janji yang telah mereka ikrarkan di hadapan Allah, yaitu saat Allah Ta’ala bertanya,

 

“Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” (al-A’raaf: 172)

 

Akibatnya, mereka tidak dapat kembali ke sumber atau asal mereka (alam lahut). Tapi, dengan kasih sayang-Nya, Allah tetap menolong mereka dengan menurunkan kitab-kitab samawi untuk mereka, sebagai pengingat akan negeri tersebut. Sebagaimana firman Allah,

 

“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” Ibrahim: 5)

 

Apa yang disebut “hari-hari Allah” itu adalah hari-hari perjumpaan antara Allah dengan kawanan ruh itu pada masa lampau (di alam lahut).

 

Banyak nabi dan rasul diutus ke dunia untuk menyampaikan peringatan ini, dan kemudian kembali ke akhirat (wafat). Akan tetapi, tidak banyak manusia yang ingat akan asal atau negeri mereka, apalagi rindu untuk kembali ke sana. Hal itu terus berlangsung hingga datangnya ruh Muhammad sebagai penutup para nabi. Allah mengutus Muhammad kepada manusia yang lalai, agar beliau membuka mata hati mereka, dan mengajak mereka kepada Allah Ta’ala. Dengan cara itu, mereka dapat wushul kepada Allah dan kembali berjumpa dengan keindahan-Nya.

 

Allah Ta’ala telah menjelaskan dalam sebuah firmanNya,

 

“Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Para sahabatku itu laksana bintang-bintang. Siapa pun di antara mereka yang kamu ikuti, maka engkau akan mendapat petunjuk.” (HR. Baihaqi)

 

Bashirah adalah penglihatan mata batin, yang dibukakan di relung hati para wali. Dan itu tidak akan didapatkan hanya melalui ilmu zhahir, melainkan dengan ilmu batin yang bersifat laduni Sebagaimana tertuang dalam firman-Nya, 

 

“Dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (al-Kahfi: 65)

 

Maka dari itu, manusia wajib meraih bashirah itu dari dari para ahlinya, dengan bimbingan wali mursyid yang dapat menjelaskan secara langsung segala sesuatu yang bersumber dari alam lahut.

 

Maka wahai saudara-saudaraku, waspadalah dan bergegaslah memohon ampunan Tuhan dengan segera bertobat. Tempuhlah tarekat ini (sebagai jalan kembali kepada-Nya). Kembalilah kepada Tuhan kalian bersama kafilah-kafilah ruhaniyah (para wali), karena dalam waktu dekat jalan itu akan terputus, sehingga engkau tidak akan memiliki seorang teman pun menuju alam asal tersebut. Kita datang untuk membersihkan dunia yang hina lagi berlumur kerusakan ini, yang hanya akan memuaskan dahaga nafsu belaka.

 

Ketahuilah, Nabi Muhammad saw. tengah menunggu kalian dengan perasaan khawatir, sebagaimana diisyaratkan dalam sabdanya,

 

“Aku mengkhawatirkan umatku yang hidup di akhir zaman.”

 

Perlu diingat, bahwa ilmu yang diturunkan kepada kita ada dua macam, ilmu lahir (syariat) dan ilmu batin (makrifat). Adapun ilmu syariat dianugerahkan untuk kita secara lahir, sedangkan ilmu makrifat untuk batin. Jika mampu menyatukan keduanya maka ia akan membuahkan ilmu hakikat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 

“Dia membiarkan dua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.” (ar-Rahmaan: 19-20)

 

Jika hanya menggunakan ilmu lahir maka engkau tidak akan pernah sampai kepada hakikat dan tujuan yang sesungguhnya (yaitu wushul kepada Allah). Ibadah hanya dapat sempurna dengan keduanya, bukan dengan salah satunya. Sebagaimana firman Allah, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzaariyaat: 56)

 

Maksud dari ayat ini adalah agar manusia mengenal Allah (makrifatullah). Orang yang tidak mengenali-Nya, bagaimana ia akan menyembah-Nya?

 

Sesungguhnya makrifat itu hanya dapat dicapai dengan menyingkap hijab nafsu yang menutupi cermin kalbu, yaitu dengan selalu membersihkannya agar terus mengkilap. Dengan itu, barulah ia akan dapat melihat keindahan dari “kekayaan tersembunyi” di relung hati yang terdalam. Sebagaimana Allah telah firmankan dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Aku adalah kanzan makhfiyya (kekayaan yang terpendam). Aku ingin dikenali, maka Aku pun menciptakan makhluk agar Aku dikenali.”

 

Makrifat itu ada dua macam, yaitu makrifat (mengenal) sifat Allah dan makrifat Zat Allah. Makrifat (mengenal) sifat-sifat Allah menjadi tugas setiap jasad di dunia dan akhirat, sedangkan makrifat (mengenal) Zat Allah adalah bagi ruh al-qudsi di alam akhirat. Sebagaimana firman Allah, “Dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus.” (al-Baqarah: 87)

 

Kedua makrifat ini tidak akan didapatkan kecuali dengan memadukan ilmu lahir dan ilmu batin. Rasulullah saw. bersabda, –

 

“Ilmu itu ada dua bagian. Pertama, ilmu dengan lisan, dan itu adalah hujjah Allah kepada anak keturunan Adam. Kedua, ilmu dengan hati. Maka itulah ilmu yang bermanfaat.” (HR. ad-Darimi)

 

Pada awalnya manusia membutuhkan ilmu syariat agar ruh bisa mendapatkan derajat tinggi di depan-Nya maupun di depan manusia, melalui usaha fisik. Pada tahap selanjutnya, manusia membutuhkan ilmu batin agar ruhnya sampai pada alam makrifat, melalui ilmu makrifat. Dan itu tidak dapat diperoleh kecuali dengan meninggalkan segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat dan tarekat. Selain itu, manusia juga harus menjalani latihan diri yang keras, yang menyebabkan kesusahan jasmani dan ruhani, agar dapat menundukkan hawa nafsunya secara total. Ini harus dilakukan semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah, tanpa sikap riya” dan sum’ah.

 

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh, dan janganlah ia menyekutukan Tuhannya dengan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (al-Kahfi: 110)

 

Alam makrifat adalah alam lahut (alam ketuhanan), yaitu tempat asal dimana ruh suci (ruh al-qudsi) diciptakan dalam bentuk yang sempurna. Adapun yang dimaksud ruh al-qudsi adalah “insan hakiki” yang diletakkan di relung hati yang paling dalam.

 

Hakikat manusia ini akan mewujud dalam bentuk tobat, talqin dan terus mengucapkan kalimat laa ilaaha Illallah. Awalnya ia membaca kalimat tauhid itu dengan lisannya, kemudian setekah hatinya hidup, maka ia melafazkannya dengan lisan hati.

 

Para ahli tasawuf menyebut ruh al-qudsi ini dengan sebutan thiflul ma’aani (bayi maknawi), karena maknamaknanya yang suci (seperti bayi).

 

Penamaan itu juga disebabkan beberapa alasan:

 

Pertama, ruh al-qudsi (atau thiflul ma’aani) terlahir dari hati, layaknya anak kecil yang lahir dari rahim seorang ibu. Kemudian hati merawatnya sebagaimana seorang ibu merawat bayinya, lalu sedikit demi sedikit bayi itu tumbuh besar dan dewasa.

 

Kedua, mengajarkan ilmu kepada anak kecil adalah suatu yang umum terjadi dimana-mana, maka mengajarkan ilmu makrifat kepada thiflul ma’ani adalah juga sesuatu yang lazim.

 

Ketiga seperti halnya seorang bayi yang bebas dosa, thiflul ma’ani juga suci dari syirik, kelalaian dan kotoran yang tampak secara kasat mata.

 

Keempat seperti halnya jiwa anak kecil yang jernih berkilau, maka dalam mimpi thiflul ma’ani akan muncul dalam bentuk seorang yang elok rupa (tampan) seperti malaikat.

 

Kelima, Allah menyifati anak-anak muda di surga-Nya dengan sifat kekanak-kanakan. Sebagaimana tertuang dalam firman-Nya,

 

“Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda.” (al-Waqi’ah: 17)

 

Demikian pula dengan firman-Nya yang lain,

 

“Dan di sekitar mereka ada anak-anak muda yang berkeliling untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan.” (ath-Thuur: 24)

 

Keenam, penyebutan thiflul ma’ani untuk ruh al-qudsi tidak lain karena faktor kelembutan dan kesuciannya.

 

Ketujuh penyebutan thiflul ma’ani, yang dihubungkan dengan fisik dan rupa manusia (anak-anak), hanya bersifat kiasan (majazi). Tujuannya semata-mata untuk menjelaskan keindahannya, bukan untuk meremehkan atau menganggap kecil.

 

Selain itu, berdasarkan pengamatan terhadap proses awalnya, thiflul ma’aani adalah “insan hakiki” karena dia lah yang merasakan ketentraman bersama Allah Ta’ala. Sedangkan tubuh dan ruh jismani tidaklah dapat berhubungan langsung dengan Allah karena bukan ‘mahram’ bagi-Nya. Ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw.,

 

“Aku memiliki waktu khusus bersama Allah, yang tidak dimiliki oleh malaikat terdekat dan juga oleh para nabi yang diutus.”

 

Maksud dari nabiyyun mursal (nabi yang diutus) adalah raga Nabi saw. sendiri, sedangkan malakun muqarrab (malaikat yang terdekat dengan Allah) adalah ruhaniah Nabi yang tercipta dari cahaya alam jabarut, sebagaimana pula malaikat. Namun demikian, malaikat tidak masuk ke dalam cahaya alam lahut (alam ketuhanan).

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah memiliki surga yang tidak terdapat di dalamnya bidadari dan istana, tak ada pula pakaian, madu, dan susu. Yang ada (di sana) hanyalah melihat wajah Allah Ta’ala.”

 

Allah swt. berfirman,

 

 “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (al Qiyaamah: 22-23)

 

Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

 

“ Kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan pada malam purnama.” (HR. Bukhari)

 

Namun demikian, bila malaikat dan makhluk bersifat badaniyah nekad menyusup masuk ke alam ini, niscaya keduanya akan terbakar. Ini seperti yang difirmankan Allah dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Jika tersingkap kesucian Wajah (Zat)-Ku yang Agung, niscaya akan terbakar segala yang terjangkau oleh pandangan-Ku.” (HR. Muslim)

 

Dan juga sebagaimana perkataan Jibril, “Jika aku mendekati (alam itu) secuil saja, niscaya aku akan terbakar.”

 

Kitab ini (Sirrul Asrar wa Mazh-harul Anwar) terdiri dari dua puluh empat bab (pasal), sesuai dengan jumlah huruf pada kalimat laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah, dan juga sesuai jumlah jam dalam sehari semalam, yaitu 24 jam.

 

 

 

 

 

Manusia terdiri dari dua bagian, yaitu jasmani dan ruhani. Jasmani adalah manusia pada umumnya, sedangkan ruhani adalah “manusia khusus”, yaitu manusia yang merindukan tempat atau negeri asalnya atau mendekatkan diri kepada-Nya (al-qurbah).

 

Kembalinya manusia jasmani ke tanah kelahirannya berarti ia kembali menapaki tangga-tangga surga. Itu dikarenakan ia mengamalkan ilmu syariat, tarekat dan makrifat. Dan saat beramal saleh, ja pun melakukannya tanpa riya dan sum ‘ah. Surga itu sendiri memiliki tiga tingkatan: Pertama, surga yang terletak di alam mulk (alam nyata), yaitu surga ma’wa.

 

Kedua, surga di alam malakut, yaitu surga na ‘im. Ketiga, surga di alam jabarut, yaitu surga firdaus. Seluruh tingkatan surga ini merupakan kenikmatan yang bersifat jasmaniah, dan manusia biasa tidak akan menapaki ketiga tingkatan surga itu kecuali dengan tiga ilmu, yaitu: ilmu syariat, ilmu tarekat, dan ilmu makrifat.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Hikmah yang sempurna adalah mengenal al-Haq (Allah, Sang Maha Benar), dan mengamalkannya adalah pengetahuan tentang batin.”

 

Rasulullah saw. berdoa,

 

“Ya Allah, tunjukanlah kepada kami yang hak (benar) itu adalah hak (benar), dan anugerahilah kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukanlah kepada kami yang batil itu adalah batil, dan anugerahilah kami kemampuan untuk menjahuinya.”

 

Beliau juga bersabda,

 

“Orang yang mengenal dirinya sendiri (dan menentang nafsunya), maka berarti dia telah mengenal Tuhannya dan mengikuti-Nya.

 

Adapun kembalinya “manusia khusus” dan wushulnya ke tempat asal adalah pendekatan diri (al-qurbah) kepada Allah dengan ilmu hakikat, dan ia mengesakanNya di alam al-qurbah itu (alam lahut). Ini terjadi saat ja hidup di dunia karena kebiasaan (ibadah) yang ia kerjakan, baik di saat tidur maupun terjaga. Di saat jasad tertidur, maka hati “manusia khusus” bahkan berpeluang untuk pergi ke negeri asalnya, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Allah memegang jiwa (seseorang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (seseorang) yang belum mati di waktu tidurnya: maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (az-Zumar: 42)

 

Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda,

 

“Tidurnya orang alim lebih baik daripada ibadahnya orang bodoh.”

 

Maka dari itu, “manusia khusus” baru akan pulang ketempat asalnya setelah hatinya hidup oleh cahaya tauhid, dan dengan senantiasa mengucapkan asma-asma tauhid dengan lisan sirr (tersembunyi), tanpa huruf dan suara.

 

Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Manusia itu adalah rahasia-Ku, dan Aku adalah rahasianya.”

 

Allah Ta’ala juga berfirman dalam hadits qudsi lainnya,

 

“Sesungguhnya ilmu batin adalah salah satu dari rahasia-Ku. Aku meletakkanya di relung hati hamba-Ku, dan tidak seorang pun yang mengetahuinya selain-Ku.” (HR. ad-Dailami)

 

Dalam hadits qudsi lainnya Allah Ta’ala berfirman, “Aku ini sesuai dengan sangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya bila ia mengingat-Ku (berzikir) dalam hatinya, dan Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Bila ia mengingat-Ku di tengah kumpulan (orang), maka Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik dari kumpulannya itu.”

 

Untuk mencapai tujuan itu hanya bisa dengan banyak bertafakur. Rasulullah saw. telah mengisyaratkan hal ini melalui sabdanya,

 

“Tafakur sesaat lebih utama daripada ibadah setahun.”

 

Beliau juga bersabda,

 

“Berfikir sesaat lebih baik daripada beribadah tujuh puluh tahun.” (HR. Ibnu Hibban) Sabda beliau pula, “Tafakur sesaat lebih utama daripada ibadah seribu tahun.”

 

Dari hadits-hadits di atas, kita tahu ada tiga pemahaman tentang nilai tafakur sesaat ini. Orang yang bertafakur mengenai suatu urusan, termasuk cabang-cabang yang lahir dari urusan itu, maka nilai ‘tafakur sesaat nya itu lebih baik dari ibadah selama setahun. Dan orang-orang yang menafakuri makrifat tentang ibadah-ibadah wajib, maka nilai tafakurnya itu lebih utama dari ibadah selama tujuh puluh tahun. Dan bagi orang yang bertafakur sesaat tentang ma’rifatullah (mengenal Allah), nilai tafakurnya lebih utama daripada ibadah seribu tahun. Tafakur seperti itulah yang disebut sebagai ilmu sejati (al-irfan).

 

Al-irfan ini adalah tauhid. Dengan ilmu ini seorang ahli makrifat mampu wushul (sampai) kepada Zat yang diketahui dan dicintainya. Dengan hasil ilmu itu pula seorang arif billah mampu “terbang” dengan ruhaninya menuju alam al-qurbah. Jadi, kalau seorang ahli ibadah (al’abid) itu berjalan kaki menuju surga, maka seorang ahli makrifat (alarif) akan terbang menuju alam al-qurbah. Seorang sufi bersenandung,

 

Hati para “arifin (ahli makrifat) memiliki banyak mata Melihat apa yang tak terlihat oleh orang lain Mereka memiliki sayap yang bisa terbang, meski tanpa bulu Terbang menuju alam malakut, (milik) Tuhan semesta alam

 

Hal ini beterbangan di relung batin seorang ahli makrifat, dan itulah yang disebut “insan hakiki”. Ia adalah kekasih, mahram dan pengantin Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana dikatakan Abu Yazid al-Busthami ra., “Para wali Allah adalah pengantin-Nya. Mereka tidak dapat terlihat kecuali oleh mahram mereka. Mereka tercenung dalam hijab ketenangan di sisi-Nya, dan tidak seorang pun yang dapat melihat mereka, baik di dunia maupun di akhirat selain Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah di dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Para kekasih-Ku barada dibawah naungan kubah-kubah-Ku, tidak ada yang mengetahui mereka kecuali Aku.”

 

Manusia tidak akan dapat melihat lahiriah si pengantin itu. Ia hanya dapat melihatnya dari luar tabir yang menutupi wajahnya.

 

Yahya bin Mu’adz ar-Razi berkata, “Para wali adalah wewangian Allah di muka bumi, dan hanya para shiddiqqin (orang-orang terpercaya) yang mampu mencium aromanya.”

 

Bau harum dari wewangian itu tercium masuk hingga ke relung hati mereka, dan membangkitkan rasa rindu mereka kepada Tuhan. Ibadah mereka pun kian meningkat, sejalan dengan akhlak dan kefanaan (ketiadaan) mereka. Sebab, bertambahnya kedekatan seseorang kepada-Nya maka akan semakin menambah kualitas kefanaannya.

 

Wali atau kekasih Allah itu adalah orang yang larut dalam kefanaan dirinya, dan hanya melihat al-Haq (Allah) dengan mata hati. Tak ada lagi pilihan dalam dirinya, dan tak ada lagi yang dapat membuat dirinya tenang, selain Allah.

 

Seorang wali adalah orang yang dikuatkan dengan sebuah karamah, namun karamah itu disembunyikan di dalam dirinya. Ia bahkan tidak diberi izin untuk untuk memperlihatkan karamah itu secara sengaja pada orang lain. Sebab, menyebarkan “rahasia ketuhanan” itu merupakan sebuah kekufuran.

 

Telah diungkapkan dalam kitab Al-Mirshaad, “Mereka yang dikaruniai karamah itu terhijab dari pengetahuan tentangnya, yang membuatnya tidak menyadari bahwa dalam dirinya ada karamah tertentu. Maka tidak salah kalau dikatakan bahwa saat-saat munculnya karamah itu laksana perempuan menjelaskan haidnya. Seorang wali memiliki seribu maqam (tangga), dan karamah merupakan tangga awal. Barang siapa yang mampu menapakinya, niscaya ia akan mudah mendaki maqam-maqam lainnya.”

 

 

 

 

 

Saat Allah menciptakan ruh yang suci (ruh al-qudsi) dengan bentuknya yang sempurna (ahsani taqwim) di alam lahut, Allah ingin mengembalikannya ke alam terendah (asfala safilin). Ini dimaksudkan untuk menyempurnakan kemanusiannya dan mendekat kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 

“Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” (al-Qamar: 55)

 

Manakala sifat kemanusiannya dan kedekatannya kepada Allah telah sempurna, itulah maqam (tingkatan) para nabi dan para wali.

 

Allah Ta’ala menurunkan ruh al-qudsi atau insan hakiki ini pertama dengan mengembalikannya ke alam jabarut dengan dibekali benih tauhid dan menaburnya melalui pelantara cahaya-Nya. Ruh al-qudsi lalu dipakaikan kiswah (pelindung) dari alam jabarut ini dan diberi nama jiwa sultan (ruh sulthani). Begitu pula yang dilakukan di alam malakut (alam batiniyah), dimana di situ ruh al-qudsi lalu diberi nama “jiwa aktif” (ruh sirani rawwani). Kemudian ruh al-qudsi itu menuju alam materi (alam mulk), dimana ia disebut ruh jismani. Dan disini Allah menciptakan untuknya pakaian pelindung (kiswah unshuriyahi) dari cahaya alam al-mulk untuk menyempurnakan wujudnya, agar tidak terbakar di alam mulk.

 

Sementara tujuan utama diturunkannya ruh al-qudsi ke alam terendah (asfal) adalah untuk mendapatkan derajat yang lebih mulia dan menambah kedekatan (kepada-Nya) dengan hati dan raga. Kemudian Allah menaburkan benih tauhid di relung hatinya sehingga tumbuh kuat menjadi pohon tauhid. Maka kemudian keluarlah darinya buah tauhid untuk memperoleh keridhaan Allah Ta’ala. Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair,

 

“Kami ranting-ranting pohon yang tinggi menjulang, yang penuh dengan buah tauhid Tak ada rasa takut di hati kami, meski orang-orang yang berjalan ingin melempar batu ke kami.”

 

Allah Ta’ala juga menumbuhkan benih syariat di relung hati, agar nantinya tumbuh subur menjadi pohon syariat dan menghasilkan buah derajat (pahala surga) melalui amal-amalnya.

 

Kemudian, Allah memerintahkan seluruh lapisan ruh (ruh jismani, ruh sirani rawwani, ruh sulthani dan ruh al-qudsi) untuk memasuki jasad, dan Allah menempatkan setiap ruh pada ruang yang telah disiapkan. Ruang ruh jismani dalam jasad adalah antara daging dan darah, sementara ruang bagi ruh rawwani adalah di hati (al-qalb). Ruh sulthani bertempat di mata hati ((al-fu ‘ad), sedangkan ruang bagi ruh al-qudsi adalah ruang tersembunyi (rasa).

 

Setiap ruh itu memiliki ruang masing-masing di alam jasad, dengan tugas dan urusan yang berbeda-beda. Setiap bagian memiliki potensi, hasil dan manfaat yang mendatangkan keuntungan, baik lahir maupun batin.

 

Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap manusia mengetahui tata cara berhubungan (bersosialisasi) dengan ruh-ruh itu di alam wujud (alam jasad), karena apapun daya upaya yang ia lakukan di alam itu, kelak (di akhirat) akan dimintai pertanggungjawabannya.

 

Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman,

 

“Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur. Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada.” (al-Aadiyaat: 9-10)

 

Dan juga firman Allah,

 

“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya….” (al-Israa’: 13)

 

 

 

 

Tempat ruh jismani di dalam jasad adalah di setiap anggota tubuh yang terlihat. Ruh ini berurusan dengan syariat agama, maka tugasnya adalah mengerjakan perintah-perintah Allah yang sudah ditetapkan (zhahir). Ia kerjakan ibadah-ibadah itu dengan ikhlas, dan tidak mempersekutukan-Nya.

 

Ini sesuai dengan firman Allah,

 

 “Dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (al-Kahfi: 110)

 

Demikian pula dengan sabda Rasulullah saw.,

 

“Sesungguhnya Allah Maha Baik yang tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)

 

“Sesungguhnya Allah ganjil (satu), Dia mencintai sesuatu yang ganjil.” (HR. at-Tirmidzi)

 

Maksudnya adalah, amal perbuatan yang dilakukan secara totalitas tanpa sikap riya’ dan sum ‘ah.

 

Dan keuntungan yang diraih oleh orang yang mampu mengelola ruh jismani secara baik di dunia adalah mendapat derajat kewalian (wilayah), penyingkapan (mukasyafah)’ dan penyaksian (musyahadah)” di alam mulk, dari bumi hingga ke langit. Orang yang telah mencapai derajat wali ini dianugerahi berbagai karamah al-kauniyyah oleh Allah Ta’ala. Mereka ada yang dianugerahi kemampuan bisa berjalan di atas air, terbang di udara, mendengar suara atau melihat dari jarak yang sangat jauh, menempuh jarak yang jauh hanya dalam waktu singkat, menyibak pikiran atau rahasia orang, dan lain sebagainya. Adapun keuntungan di akhirat dari mengelola ruh jismani secara baik ini adalah, ia akan dianugerahi surga, bidadari, istana, para pembantu, aneka minuman, dan berbagai kenikmatan lainnya. Kedudukan bagi yang berhasil memaksimalkan peran ruh jismani ini adalah tingkatan surga pertama, yaitu Jannatul Ma’wa (Surga Ma’wa).

 

Sedangkan tempat ruh ruwwani adalah relung hati (kalbu). Ia bertugas untuk mengetahui jalan ruhani (ilmu tarikat), sedangkan aktivitasnya adalah sibuk dengan empat asma Allah yang pertama dari dua belas nama Allah, tanpa suara dan tanpa huruf. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 

“Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asmaul Husna (nama-nama yang baik). (al-Israa: 110) Allah Ta’ala juga berfirman,

 

“Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut (Asmaul Husna) itu.” (al-A’raaf: 180)

 

Ayat ini merupakan isyarat bahwa nama-nama Allah adalah medium untuk menyibukkan diri dengan cara menyebutnya, dan itu adalah ilmu batin.

 

Adapun makrifat adalah hasil yang didapatkan dari nama-nama tauhid, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

 

“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama. Orang yang mampu memahaminya (secara mendalam) maka dia akan masuk surga.” (HR. at-Tirmidzi)

 

Dalam hadits yang lain beliau juga bersabda, “Belajar satu huruf, mengamalkan seribu kali.” Maksud dari “ihsha” (menghitung, memahami) pada hadist diatas adalah menjadikan manusia berakhlak dengan Asmaul Husna. Nama-nama yang dua belas adalah nama Allah yang utama, sumber dari seluruh nama Allah, sesusai dengan jumlah huruf hijaiyah yang terangkum dalam kalimat   yang berjumlah dua belas huruf. Maka Allah lalu menetapkan satu huruf pada setiap tangga perjalanan hati dengan satu nama. Dan pada setiap alam rohani ada tiga asma (nama) Allah. Allah lalu mengokohkan nama-nama itu di relung hati orang-orang yang mencintai-Nya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)

 

Setelah itu, Allah kemudian menganugerahkan ketentraman di hati mereka saat berdekatan dengan-Nya (beribadah), dan menumbuhkan pohon tauhid dengan akarnya menghujam kuat ke lapisan perut bumi ketujuh, sementara cabangnya menjalar hingga langit ketujuh, bahkan sampai melampaui tingginya al Arsy. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 

“Seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (Ibrahim: 24)

 

Keuntungan yang didapatkan oleh mereka yang memaksimalkan peran ruh rawwani adalah hidupnya hati dan kemampuan musyahadah di alam malakut, seperti musyahadah (menyaksikan) surga, penghuninya, cahaya-cahaya, dan malaikat-malaikatnya. Selain itu, akan dianugerahi pula lisan batin sehingga mampu mencermati (dan mengungkapkan) nama-nama tersirat tanpa menggunakan suara maupun huruf. Tempat baginya kelak di akhirat adalah surga tingkat kedua, yaitu Jannatun Na’im (Surga Na’im), yaitu surga yang berisi segala nikmat dari Allah Ta’ala.

 

Sementara itu, tempat bagi ruh sulthani adalah mata hati (al-fuad), yang mana perannya termaksimalkan dengan ilmu makrifat. Bentuk amalannya adalah dengan senantiasa melazimkan asma Allah yang empat (Al-Hayyu, Al-Qayyum, Al-Qahhar, Al-Wahhab) melalui perantara lisan hati. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

 

“Ilmu itu ada dua macam. Pertama, ilmu lisan. Dan ilmu inilah hujjah Allah atas Bani Adam (manusia). Kedua, ilmu hati, maka itulah ilmu yang bermanfaat.”

 

Ilmu hati ini ilmu yang bermanfaat, karena kebanyakan ilmu yang bermanfaat itu bersumber dari hati. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu memiliki sisi zahir dan batin, dan sisi batinnya masih memiliki batin lainnya sampai tujuh tingkatan.” (HR. ath-Thabrani)

 

“Sesungguhnya Allah menurunkan Al-Qur’an dalam sepuluh makna batin.”

 

Lebih tinggi tingkatan setiap makna (pemahaman) batin, maka ia akan semakin bermanfaat dan mengandung banyak keuntungan. Sebab, batin ini adalah sumber atau pokok dari segala hal.

 

Dua belas nama-nama Allah? itu, sama seperti dua belas mata air yang memancar dari pukulan tongkat Musa as.. Sebagaimana Allah Ta’ala isyaratkan dalam firman-Nya,

 

“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu’. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing).” (al-Baqarah: 60)

 

Ilmu zahir itu ibarat hujan yang turun ke bumi, sementara ilmu batin ibarat air yang mengalir dari sumber aslinya (yang belum terkontaminasi). Air yang kedua ini lebih bermanfaat daripada air hujan, dan tidak akan pernah berhenti mengalir.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) babi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan.” (Yaasiin: 33)

 

Dengan peran air hujan itu Allah Ta’ala menumbuhkan aneka biji-bijian dari dalam perut bumi yang merupakan makanan pokok bagi unsur nafsu semua makhluk hidup. Dan dengan mata air asli, Allah menumbuhkan biji-bijian di alam jiwa (alam al-anfus) manusia sebagai makanan pokok bagi ruh ruhani. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

 

“Orang yang ikhlas karena Allah selama empat puluh hari, niscaya “mata air’ hikmah akan mengalir dari hatinya melalui lisannya.” (HR. Abu Nu’aim)

 

Keuntungan lainnya (dari mereka yang memaksimalkan peran ruh sulthani) adalah, mampu melihat pantulan keindahan Allah (Jamalullah).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (an-Najm: 11)

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Seorang mukmin adalah cermin Al-Mukmin (Allah).” (HR. Abu Daud)

 

Adapun maksud dari kata “mukmin” yang pertama dalam hadits di atas adalah hati hamba seorang yang beriman (mukmin), sedangkan kata Al-Mukmin yang kedua adalah Zat Allah (Maha Pemberi Keamanan). Sebagaimana dalam firman-Nya,

 

“Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan.” (al-Hasyr: 23)

 

Dan tempat bagi golongan ini kelak adalah dalam surga tingkatan ketiga, yaitu Surga Firdaus (Jannatul Firdaus).

 

Sedangkan tempat ruh al-qudsi adalah di dalam ruang tersembunyi (rahasia), sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Manusia adalah rahasia-Ku, dan Aku adalah rahasianya.”

 

Medium untuk menggali ruh al-qudsi ini adalah dengan ilmu hakikat, yang tidak lain adalah ilmu tauhid. Bentuk amalannya adalah dengan melazimkan asma-asma tauhid, yaitu empat asma (nama) terakhir” dari dua belas nama Allah secara tersembunyi (sirr), tanpa suara dan huruf.

 

Firman Allah,

 

“Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (Thaahaa: 7)

 

Tidak ada yang dapat mengetahui hal ini kecuali Allah Ta’ala. Adapun keuntungan yang didapat oleh mereka yang memaksimalkan peran ruh sulthani ini adalah munculnya thiflul ma’aani (bayi maknawi), mampu menyaksikan (musyahadah) dan melihat Keagungan dan Keindahan Allah dengan penglihatan sirri.

 

Firman-Nya,

 

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (al-Qiyamah: 22-23)

 

Dalam musyahadah itu, Allah Ta’ala tak bisa dijelaskan dalam bentuk, cara maupun perumpamaan (diserupakan dengan makhluk). Sebagaimana firmanNya,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syuura: 11)

 

Saat manusia berhasil meraih tujuan esensialnya (yang selama ini dicari-cari), maka daya akal akan melemah, hingga tak mampu menggambarkannya. Hati pun tak mampu membayangkannya, sedangkan lisan tak mampu menuturkan semuanya. Bagaimana pun, ia tidak akan mampu untuk mengabarkan hal itu, karena Allah swt. suci dari segala penyerupaan. Jika kabar seperti ini sampai kepada telinga orang-orang ‘alim, maka sudah seharusnya mereka memahami lebih dulu tingkatan-tingkatan hati, lalu harus terdorong kuat untuk mencapai hakikatnya serta menghadap kepada Zat Yang Mahatinggi. Dan berusaha sampai pada maqam ilmu ladunni yang merupakan karunia Allah, yaitu makrifat terhadap Zat Yang Maha Esa tanpa pengingkaran terhadap maqam yang telah kami sebutkan sebelumnya.

 

 

 

 

 

Imu lahir ada dua belas bagian, demikian pula ilmu batin. Ilmu-ilmu itu lalu dibagikan kepada orang umum, orang khusus dan orang yang lebih khusus, sesuai kadar kemampuan masing-masing.

 

Akan tetapi, secara umum ilmu tersebut terbagi ke dalam empat macam:

 

Pertama, ilmu lahiriah, yaitu syariat, yang meliputi perintah, larangan dan berbagai hukum lainnya.

 

Kedua, ilmu batin syariat, atau populer dengan sebutan ilmu tarekat. Ketiga, ilmu batin tarekat, atau disebut juga ilmu makrifat.

 

Keempat, ilmu hakikat.

 

Semua cabang ilmu tersebut harus dikuasai, sebagaimana diisyaratkan dalam sabda Rasulullah saw.,

 

“Syariat laksana pohon, tarekat adalah rantingnya, makrifat adalah dedaunannya, hakikat adalah buahnya. Dan Al-Qur’an telah menghimpun semuanya, baik petunjuknya yang jelas, isyarat, tafsiran maupun takwilnya.”

 

Pengarang kitab Al-Majma berkata, “Tafsir itu untuk orang awam, sementara takwil untuk orang khusus, karena mereka adalah orang-orang yang rusukh. Sebab, rusukh secara etimologis bermakna kokoh dan kuat dalam soal ilmu, layaknya pohon kurma yang akarnya tertancap kuat di perut bumi, sementara rantingnya menjulang ke langit. Sifat rusukh ini adalah hasil dari kalimat baik yang tertanam di lubuk hati setelah hati itu disucikan.

 

Menurut salah satu pendapat, Allah Ta’ala telah mengkorelasikan ulama rasikhin dalam firman-Nya,

 

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya…”

 

dengan firman-Nya,

 

“Melainkan Allah.” (Ali Imran: 7)

 

Pengarang Tafsir al-Kabir berkata, “Jika pintu ini dibuka niscaya pintu-pintu batin lainnya akan ikut terbuka.”

 

Kemudian seorang hamba disuruh untuk menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan Allah, dan melawan semua nafsunya pada setiap tingkatan dari empat ilmu tersebut (ilmu syariat, tarekat, makrifat dan hakikat).

 

Hawa nafsu menebar godaan pada tingkatan syariat dengan membuat berbagai penentangan. Sementara di tingkatan tarekat, hawa nafsu menggoda dengan berbagai tipuan yang samar dan terlihat seolah-olah sejalan dengan syariat, seperti mengaku-ngaku sebagai nabi atau wali. Sedangkan pada tingkatan makrifat, hawa nafsu menghampiri dengan kesyirikan yang sangat samar, seperti mengaku sebagai Tuhan. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan nafsunya sebagai tuhannya.” (al-Jaatsiyah: 23)

 

Adapun pada tingkatan hakikat, tidak ada lagi celah sedikitpun bagi setan, nafsu, bahkan malaikat untuk menyusup, karena semua zat yang ada di dalamnya akan terbakar kecuali Allah. Sebagaimana Jibril as. berucap, “Jika saja aku menjulurkan ujung jari-jari(ku) ke sana, niscaya hanguslah aku.”

 

Hamba yang mampu mencapai tingkatan ini, berarti ja selamat dari terkaman dua musuh, yaitu setan dan nafsu. Dan ia menjadi orang yang ikhlas. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 

“(Iblis berkata): “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.'” (Shaada 82-83)

 

Oleh karena itu, siapa yang belum sampai pada tingkatan hakikat maka ia belum bisa dikatakan seorang yang ikhlas, karena sifat-sifat manusianya (basyariyah) tidak akan lenyap kecuali dengan tersingkapnya Zat-Nya (melalui mata batin). Kebodohan yang meringkuk dalam dirinya juga tidak akan terangkat kecuali dengan mengenal-Nya (ma’rifatullah). Manakala seorang hamba sudah mengenal Allah (ma’rifatullah) maka Allah akan memberikan ilmu-Nya kepada hamba itu tanpa melalui perantara, yaitu ilmu ladunni. Ta akan mengenal Allah karena langsung diperkenalkan oleh Allah sendiri, dan akan beribadah kepada-Nya dengan pengajaran langsung oleh-Nya, seperti halnya dengan Nabi Khidir as.. Di alam hakikat ini, hamba itu akan menyaksikan bermacam ruh al-qudsi dan akan mengenal Nabi Muhammad saw. secara hakiki, yang akan berbicara dengannya dari awal hingga akhir. Para nabi akan menyampaikan kabar gembira kepadanya bahwa ia akan wushul selamanya pada Allah. Sebagaimana firman Allah,

 

“Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (an-Nisaa ‘: 69)

 

Orang yang belum menguasai ilmu hakikat ini belumlah disebut “alim, sekalipun ia telah membaca jutaan kitab. Kondisi itu akan mendekapinya selama ia belum menyempurnakan tingkatan spiritualitasnya (ruhaniyah).

 

Amalan ruh jismani dengan dasar berbagai ilmu lahir ini ganjarannya hanyalah surga. Di sini akan ditampakkan pantulan sifat-sifat Allah berupa cahaya. Tapi, untuk masuk ke kawasan suci, tak cukup dengan menguasai ilmu lahir saja, karena itu adalah wilayah langit. Seorang hamba harus terbang untuk menuju ke sana. Untuk bisa terbang, kita perlu dua sayap (ilmu lahir dan ilmu batin). Jadi, hanyalah hamba yang menguasai ilmu dua ilmu, yaitu ilmu lahir dan ilmu batin yang dapat terbang ke alam tersebut. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Wahai hamba-Ku, jika engkau ingin menapaki wilayah kesucian-Ku (Haram-Ku) maka janganlah engkau terpukau pada alam mulki, alam malakut, dan alam jabarut. Sebab sesungguhnya alam mulki itu setan bagi orang alim, sementara alam malakut itu setan bagi orang ‘arif, dan alam jabarut itu setan bagi orang waqif (orang yang masuk ke alam qudsiyah). Orang yang tergiur (dan ridha) dengan salah satu dari semua itu maka dia akan terusir dari sisi-Ku.”

 

Maksud dari hadits ini adalah, terusir dari wilayah kedekatan dengan-Nya (alam al-qurbah), bukan terusir dari surga. Meski mereka mencari al-qurbah, namun tidak akan pernah sampai. Ini karena mereka mendambakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dicapai, padahal ia hanya memiliki satu sayap (Ilmu lahir) saja.

 

Sementara itu, orang-orang yang mencapai alam al-qurbah (dekat dengan Allah) berarti telah sampai pada tingkatan sempurna. Di sana ia mendapatkan anugerah yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terbesit di hati manusia. Itu adalah Surga Al-qurbah, yang di dalamnya tidak terdapat bidadari, istana, madu, dan susu.

 

Maka dari itu, sudah sepantasnya manusia tahu kualitas dirinya, dan tidak mengakui tingkatan (maqam) apa tidak pantas baginya.

 

Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah berkata, “Allah menyayangi orang yang mengetahui kualitas dirinya, tidak melampaui batas, menjaga lisannya, dan tidak menyia-nyiakan umurnya (yang tersisa).”

 

Maka dari itu, seorang ‘alim haruslah mampu mencapai makna hakikat manusia yang disebut thiflul ma’aani (bayi maknawi), lalu menjaganya dengan cara senantiasa melazimkan asma-asma tauhid. Setelah itu, mengeluarkan diri dari alam jasmani menuju alam ruhani, yaitu alam tersembunyi (sirri), yang tak ada di dalamnya selain Allah. Jika dianalogikan maka ia laksana gurun cahaya yang tidak bertepi, sementara thiflul ma’aani akan terbang menuju alam al-qurbah (kedekatan dengan-Nya), melihat berbagai keajaiban dan keanehan di alam tersebut.

 

Itu adalah tempat para ahli tauhid (maqam al-muwahhidin) yang telah tenggelam (fana”) dalam keesaan-Nya. Di alam tersembunyi itu mereka tidak melihat kecuali cahaya keindahan Allah (Jamalullah). Ini seperti seseorang yang tidak dapat melihat dirinya sendiri saat diterpa cahaya sinar matahari yang sangat kuat. Jadi, saat berhadapan dengan keindahan Allah (Jamalullah), manusia tidak dapat melihat dirinya sendiri karena silau akan cahayanya.

 

Nabi Isa bin Maryam as., “Manusia tidak akan dapat masuk ke alam malakut langit sampai ia dilahirkan dua kali, sebagaimana burung yang dilahirkan dua kali.”

 

 

Maksud dari kelahiran kedua pada manusia adalah terlahirnya thiflul ma’aani (bayi maknawi) yang tidak lain merupakan buah dari pengelolaan maksimal manusia atas al-insan al-hakiki. Dan itu adalah rahasianya. Dimana wujud dan ilmu-ilmunya akan tampak jelas dengan menyatunya cahaya ilmu syariat dengan ilmu hakikat. Ini sebagaimana seorang anak tidak akan lahir kecuali dengan bertemunya sperma laki-laki dan ovum perempuan.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur.” (al-Insaan: 2)

 

Dan setelah nampaknya makna ini, itu artinya ia (thiflul ma’aani) telah melewati samudera makhluk menuju puncak hakikat. Seluruh alam yang ada di lingkungan alam ruh akan terasa laksana setetes air di lautan. Setelah itu, ilmu-ilmu ruhani dan ladunni akan menyeruak luas tanpa huruf dan suara.

 

 

 

 

Ketahuilah bahwa tingkatan-tingkatan (maqamat) yang telah dijelaskan sebelumnya tidaklah akan berhasil ditapaki kecuali dengan tobat yang sebenar-benarnya (taubatan nashuha) dan bimbingan (talqin) dari ahlinya. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-kalimat takwa.” (al-Fath: 26)

 

Maksud “kalimat takwa’ dalam ayat di atas adalah kalimat laa ilaaha illallaah yang keluar dari hati orang yang bertakwa dan bersih dari selain Allah. Bukan sekedar kalimat laa ilaaha illallah yang keluar dari mulut orang biasa. Sekalipun lafaz laa ilaaha illallah setiap orang sama, namun ketika diucapkan masing-masing memiliki kualitas makna yang berbeda. Hati hanya akan hidup bila mengambil benih tauhid dari hati yang juga hidup, sehingga menjadi bibit yang bermutu tinggi. Adapun benih yang tidak matang, ia tidak akan dapat tumbuh (dan berkembang).

 

Kalimat tauhid dalam Al-Qur’an terdapat di dua tempat.

 

Pertama, kalimat tauhid laa ilaaha illallah yang bermakna lahir saja, yaitu:

 

“Apabila dikatakan kepada mereka, “laa ilaaha illallah’, mereka menyombongkan diri.” (ash-Shaffaat: 35)

 

Kalimat laa ilaaha illallah yang ini merupakan bagian Orang awam.

 

Kedua, kalimat tauhid yang disertai dengan ilmu hakikat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan (yang haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan (bagi) dosa orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19)

 

Maka talqin (bimbingan) yang menjadi sebab turunnya ayat ini, tujuannya tidak lain adalah untuk bimbingan bagi orang-orang khusus.

 

Dikatakan dalam kitab Bustaanu asy-Syarti’ah, orang yang pertama kali ingin menempuh jalan yang terdekat, yang utama dan yang termudah kepada Allah melalui Nabi saw. adalah Ali bin Abi Thalib ra.. Ia menanyakan hal itu kepada Nabi saw. Nabi saw. lalu menunggu turunnya jawaban dari Allah (wahyu) melalui Jibril as.. Dan Malaikat Jibril lantas turun menemui beliau dan membimbing (menalgin) beliau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah sebanyak tiga kali. Kemudian Nabi saw. mengucapkan seperti apa yang diucapkan Jibril, lalu beliau mengajarkannya kepada Ali ra.. Tidak lama kemudian, beliau mendatangi para sahabat dan membimbing mereka semua.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang paling besar.” (HR. al-Baihaqi)

 

Maksud dari jihad yang paling besar adalah, perang menjungkalkan hawa nafsu. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw., .

 

“Musuh terbesar kalian adalah hawa nafsu kalian sendiri yang letaknya ada di antara lambung kalian.” (HR. ad-Dailami)

 

Cinta kepada Allah tidak akan diperoleh kecuali setelah engkau menjungkalkan hawa nafsu yang ada dalam dirimu, berupa nafsu ammarah, nafsu lawwamah, dan nafsu mulhamah. Kemudian engkau bersihkan dirimu dari akhlak binatang jinak yang tercela (bahimiyah), seperti suka banyak makan, banyak minum, banyak tidur dan berhura-hura. Engkau juga harus membersihkan dirimu dari sifat-sifat binatang buas (sabu ‘iyyah), seperti marah, mencaci, memukul dan membentak. Demikian pula bersih dari sifat-sifat setan, seperti sombong, membanggakan diri, dengki, dendam, dan yang lainnya sehingga mampu merusak tubuh dan hati.

 

Jika engkau telah bersih dari sifat-sifat dan akhlak buruk itu, berarti engkau sudah bersih dari pangkal dosa, dan engkau termasuk golongan orang-orang yang bersuci dan bertobat.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)

 

Orang yang hanya bertobat dari gelimangan dosa lahiriah saja maka ia tidak termasuk orang yang disebutkan dalam ayat di atas. Ia bisa disebut sebagai orang yang bertobat (taa’ib), namun belum secara total menjadi orang yang benar-benar bertobat (tawwab). Sebab, ayat ini merupakan lafaz mubalaghah (superlatif), dan maksudnya adalah tobatnya orang-orang khusus.

 

Analogi orang yang bertobat hanya dari dosa-dosa lahiriyah itu seperti orang yang memotong rumput, tapi hanya di barangnya saja. Ia tidak mencabut dari akarnya. Walhasil, rumput yang ia pangkas pasti tumbuh kembali, bahkan lebih rimbun dari sebelumnya. Sementara, orang yang benar-benar bertobat dari dosa dan akhlak yang tercela, adalah seperti orang yang mencabut rumput dari akarnya sehingga rumput itu tidak akan tumbuh kembali. Kalaupun tumbuh, itu termasuk hal yang langka.

 

Sedangkan kedudukan talqin di sini merupakan alat yang memutuskan (memotong) hati manusia dari segala sesuatu selain Allah. Orang yang tidak memotong pohon yang pahit (tidak mau menjalani perjalanan pahit) tidaklah akan sampai kepada pohon yang manis. Berpikirlah wahai manusia yang memiliki pandangan hati. Semoga engkau berbahagia dan wushul kepada Allah.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan….” (asy-Syuura: 25)

 

Firman-Nya pula,

 

“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh: maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan.” (al-Furqaan: 70)

 

Tobat itu sendiri terbagi menjadi dua macam, yaitu tobat umum (taubat al-amm) dan tobat khusus (taubat al-khash).

 

Tobat umum adalah kembali seorang hamba dari kemaksiatan menuju ketaatan, dari perbuatan tercela ke perbuatan terpuji, dari lorong neraka kejalan surga, dari mengikuti keinginan badan menuju kesulitan batin dengan cara rajin zikir, bermujahadah, dan mencurahkan segenap potensi.

 

Tobat khusus adalah tobatnya seorang hamba setelah menggapai tobat umum (seperti penjabaran di atas), yaitu melanjutkan amal-amal baik menuju kemakrifatan, dari kemakrifatan menuju amalan derajat, serta dari amalan derajat kepada kedekatan kepadaNya (al-qurbah), dan dari kedekatan dan kenikmatan jasmani menuju kelezatan ruhaniyah. Singkatnya, tobat ini bermakna meninggalkan sesuatu selain Allah Ta’ala, bermesra-mesraan dengan Allah, dan melihat-Nya dengan pandangan yakin ( ainul yaqin).

 

Semua yang disebutkan di atas (yang ditinggalkan) adalah tergolong kasbul wujud (amalan-amalan jasmani), sementara kasbul wujud itu dipandang dosa menurut pandangan orang yang dekat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi saw. dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Wujudmu adalah dosa yang tidak dapat dibandingkan dengan dosa yang lainnya.”

 

Seorang sufi besar berkata, “Segala kebaikan manusia yang berbakti (al-abrar) adalah keburukan bagi orang-orang yang dekat dengan-Nya (al-muqarrib).”

 

Oleh karena itu, Nabi saw. beristighfar setiap hari sebanyak seratus kali.

 

 Firman Allah,

 

“Dan mohonlah ampunan atas dosamu.” (Muhammad: 19)

 

Maksud dosa dalam ayat di atas adalah dosa karena eksistensi (wujud)-mu. Dan itulah yang disebut inabah (kembali), karena hakikat inabah itu adalah kembali dari selain Allah kepada Allah Ta’ala, masuk menapaki tangga kedekatan (al-qurbah) kepada-Nya di alam akhirat, dan melihat (keindahan) wajah-Nya.

 

Nabi saw. bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang badan mereka di dunia, sementara hati mereka di bawah “Arasy.” Yang dimaksud melihat Allah (ru’yatullah) itu bukanlah melihat-Nya di dunia dengan indera mata kita karena itu mustahil-, tapi melihat sifat-sifat-Nya melalui cermin hati. Umar ibnul-Khaththab ra. berkata, “Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya hatiku.“ Jadi, hati adalah cermin yang memantulkan keindahan Allah (Jamalullah).

 

Musyahadah (penyaksian) seperti itu tidak bisa didapatkan kecuali dengan bimbingan (talqin) seorang syaikh yang telah wushul (sampai) kepada Allah dan diakui kemampuannya itu oleh syeikh-syeikh yang sebelumnya (as-sabiqiin). Mereka dikembalikan ke bumi untuk menyempurnakan orang-orang yang masih diliputi kekurangan (naqishin) atas perintah dari Allah Ta’ala, serta melalui perantara Nabi-Nya.

 

Sesungguhnya para wali diutus untuk orang-orang khusus (al-khawwash), bukan untuk orang awam. Inilah perbedaan antara nabi dengan wali. Adapun nabi diutus kepada orang awam dan orang khusus secara keseluruhan dan berdiri sendiri, sedangkan seorang wali mursyid hanya diutus untuk orang-orang khusus saja. Wali itu itu tidak membawa syariat sendiri, tapi mengikuti syariat Nabi saw. Maka, bila ia mengaku membawa syariat sendiri, berarti ia kufur.

 

Maka dari itu, Nabi saw. telah mengumpamakan para ulama dari umatnya dengan nabi-nabi Bani Israil, karena mereka masih mengikuti syariat seorang utusan, yaitu Musa as.. Para ulama itu mungkin membawa suatu hal yang baru atau seperti melakukan perubahan pada hukum, tapi itu lebih bersifat penguatan pada syariat, bukan membuat syariat yang baru.

 

Begitu pula dengan ulama umat Muhammad saw. dari kalangan para para wali. Mereka diutus untuk orang-orang khusus guna memperbarui kembali perintah-perintah agama, larangan-larangannya, memotivasi amal ibadah dengan penuh keyakinan, dan membersihkan ahli syariat (dari akhlak yang buruk). Pusatnya adalah hati, yang merupakan tempat makrifat. Para wali mengabarkan kepada orang lain melalui ilmu Nabi saw., sebagaimana ash-habush-suffah yang sudah mengungkapkan berbagai rahasia Mikraj sebelum Nabi saw. mengabarkannya.

 

Jadi, wali adalah orang menjalankan misi kenabian sekaligus juga menjadi bagian dari kenabian tersebut. Dimana batinnya adalah amanah bagi dirinya. Seorang wali bukanlah ulama yang hanya sekedar memiliki ilmu lahir (tapi juga ilmu batin). Ia tak hanya termasuk dari warisan kenabian, tapi juga seperti punya hubungan kerabat dengan Nabi saw. Pewaris yang sempurna itu adalah orang yang menempati status sebagai anak laki-laki, karena ia ashabah yang paling dekat. Status para wali seperti itu, pewaris sempurna dari ilmu Nabi saw., baik ilmu lahir maupun ilmu batin (rahasia).

 

Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda,

 

“Sesungguhnya ada ilmu yang seperti tiram (tersembunyi dengan baik). Tak ada yang mengetahuinya kecuali orang-orang yang mengenal Allah Ta’ala. Jika mereka berbicara (dengan ilmu tersebut) maka tak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang lalai.” (HR. ad-Dailami)

 

Ini adalah rahasia (sirri) yang dititipkan di hati Nabi saw. pada malam Mikraj. Tepatnya di relung batinnya yang paling dalam, yang terdiri dari tiga puluh ribu lapis. Rahasia itu tidak dikabarkan kepada kalangan awam, tapi hanya bagi para sahabat dekat beliau dan ash-habush-shuffah. Semoga Allah meridhai mereka semua, menganugerahkan manfaat kepada kita melalui kebaikan dan keberkahan mereka. Dengan barakah rahasia tersebut, syariat yang suci ini akan tetap tegak hingga hari kiamat. Dan hanya ilmu batin saja yang menunjukkan kepada rahasia itu, sedangkan ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuan lainnya semua itu hanyalah kulit terluar dari sebuah rahasia.

 

Sedangkan ulama atau ahli ilmu lahiriah, mereka adalah pewaris Nabi saw. Sebagian mereka kedudukannya seperti ash-habul furudh, sebagian lainnya seperti ashabah”, dan sebagian lainnya lagi seperti dzawil arham” dalam ilmu waris. Mereka dibiarkan menyebarkan ilmu-ilmu kulit dalam berdakwah dijalan Allah dengan nasihat-nasihat yang baik.

 

Para syaikh Ahlus-Sunnah, yang silsilahnya bersambung kepada Ali bin Abi Thalib ra. mengemban kewajiban untuk menyebarkan ilmu dari Babul Ilmi? ini melalui jalan dakwah kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan hikmah.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” tan-Nahl: 125)

 

Pada prinsipnya, pendapat mereka tentang masalah-masalah pokok (ushul) adalah satu, tapi dalam masalah cabang (furu’) mereka kadang berbeda pendapat.

 

Ada tiga makna yang dapat diambil dari ayat di

 

atas, dan ke semuanya terhimpun dalam diri Nabi saw.. Tak ada seorang pun dianugerahi ketiganya secara keseluruhan selain beliau.

 

Ilmu itu sendiri dibagi menjadi tiga bagian:

 

Pertama, esensi atau inti ilmu, yaitu ilmu hal yang dianugerahkan kepada seorang (wali).? Ini berkaitan dengan makrifat dan hakikat.

 

Dalam sebuah sabdanya, Nabi saw. menggambarkan tekad dan semangat wali itu untuk mendapatkan inti ilmu,

 

“Semangat para wali mampu mencabut gugusan gunung.”

 

Maksud dari “mencabut gugusan gunung” adalah mencabut kerasnya hati. Sifat keras hati itu dapat dilebur dengan doa dan sifat merendah mereka. Sebagaimana firman Allah,

 

“Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah, dia benar-benar dianugerahi kebaikan yang banyak.” (Al-Baqarah: 269)

 

Kedua, kulit dari inti ilmu tersebut. Dan ini dianugerahkan kepada ulama lahir, yaitu berupa nasihat yang baik (mau’izhah hasanah), menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

 

“Orang alim menasehati dengan ilmu dan adab, sedangkan orang bodoh menasehati dengan pukulan dan kemarahan.”

 

Ketiga, kulit terluar dari kulit inti tersebut. Dan itu dianugerahkan kepada para pemimpin, yakni keadilan lahiriah dan politik yang sehat. Sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya,  “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an -Nahl: 125)

 

Oleh karena itu, para pemimpin memiliki kekuatan untuk memaksa, demi terjaganya nilai-nilai agama. Ini sebagaimana kulit luar kacang. Sementara ulama itu bagaikan kulit bagian dalam, sedangkan ulama batin (ahli makrifat) itu bagaikan saripati (isi) yang dicari dari buah kacang tersebut. Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda,

 

“Hendaklah kalian bersama ulama, dan mendengarkan perkataan ahli hikmah, karena sesungguhnya Allah Ta’ala menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah, sebagaimana menghidupkan bumi yang mati dengan air hujan.” (HR. al-Haitsami)

 

“Kalimat hikmah adalah barang yang paling dicari oleh orang bijak, ia akan memungutnya di mana pun menjumpainya.” (HR. at-Tirmidzi)

 

Adapun kalimat yang keluar dari mulut orang awam turun dari Lauhul Mahfuzh?, yang tidak lain adalah alam jabarut dari masih melihat derajat. Sementara kalimat yang keluar dari mulut seorang laki-laki wushul turun dari Lauhul Akbar (Lembaran Terbesar) dengan lisan yang suci tanpa perantara dari alam qurbah.

 

Ketahuilah, segala sesuatu itu kelak akan kembali kepada asalnya sehingga mencari ahli talqin (pembimbing) adalah wajib untuk menghidupkan hati.

 

Nabi saw. bersabda,

 

“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah.” (HR. Ibnu Majah)

 

Maksud ilmu di hadits tersebut adalah ilmu makrifat dan ilmu al-qurbah, sementara ilmu-ilmu selain itu, yaitu ilmu-ilmu lahir, hanya dibutuhkan untuk memantapkan ibadah fardhu. Imam al-Ghazali bersyair,

 

Hidupnya hati adalah (dengan) ilmu, maka perbanyaklah Matinya hati adalah (dengan) kebodohan, maka jauhilah Dan sebaik-baik tujuanmu adalah takwa, maka berbekallah dengannya Cukuplah bagimu apa yang aku nasehatkan, maka ambilah nasehat darinya

 

Allah Ta’ala telah berfirman,

 

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)

 

Ridha Allah akan membawa hamba-Nya untuk sampai ke alam al-qurbah, tanpa peduli dengan ke derajat atau surga. Firman-Nya,

 

“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh.” (al-Kahfi: 30)

 

“Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu apapun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan’.” (asy-Syuura: 23)

 

Menurut salah satu pendapat, maksud dari kata qurbah di atas adalah alam al-qurbah.

 

 

 

 

Seseorang disebut ahli tasawuf (sufi) karena batin mereka jernih dengan cahaya makrifat dan tauhid. Atau, karena mereka dinisbatkan kepada ashhabush-shuffah, atau boleh jadi karena mereka mengenakan pakaian terbuat dari bulu-bulu (shuf). Bagi pemula dalam dunia tasawuf biasa mengenakan kain bulu domba, sementara bagi yang tingkat menengah biasa mengenakan pakain yang terbuat dari bulu kambing, dan bagi yang berada pada tingkatan akhir mengenakan kain bulu yang sangat lembut dan halus. Begitu pula kondisi batin mereka, berbeda-beda sesuai sesuai tingkatan kualitas spiritual mereka. Hal yang sama juga berlaku dalam menu makanan mereka yang juga berbeda-beda.

 

Penulis Kitab Tafsir al-Majma’ berkata, “Bagi ahli zuhud yang cocok adalah pakaian kasar (kualitas rendah), begitu pula makanan, dan minuman mereka. Sementara yang cocok bagi ahli makrifat adalah segala sesuatu yang halus (dengan bahan yang berkualitas). Sebab, menempatkan manusia sesuai kapasitasnya adalah bagian dari sunnatullah sehingga tidak ada yang melampaui kapasitas maupun batasnya. Atau karena mereka masih berada di barisan pertama dalam Al-Hadhrah al-Ahadiyah.

 

Kata tasawuf mengandung empat huruf: ta’, shaad, waawu, dan faa . Huruf taa’ berasal dari kata tobat. Tobat itu sendiri terbagi menjadi dua macam, tobat lahir dan tobat batin.

 

Tobat lahir adalah kembali dengan seluruh anggota badan lahiriahnya dari dosa dan sifat-sifat tercela kepada ketaatan. Dari penentangan terhadap berbagai perintah Allah menuju ketundukan (kepada-Nya), baik dalam ucapan maupun perbuatan. Sedangkan tobat batin adalah kembali dengan seluruh anggota batin dari penentangan yang bersifat batiniyah menuju ketundukan batiniyah melalui penyucian dan penjernihan hati. Jika ia berhasil mengganti sifat tercelanya itu dengan sifat yang terpuji (kebajikan), berarti ia telah mencapai maqam huruf taa’ secara sempurna. Dan ahli tasawuf menyebutnya dengan kata taa ib.

 

Huruf shad berasal dari kata shafa , yang berarti jernih (bersih). Jernih ini ada dua macam: jernih hati dan jernih rasa. Kejernihan hati (shafa’ al-qalb) adalah membersihkan hati dari berbagai kotoran akibat berlebihan dalam makan, minum, bicara, tidur, maupun akibat terlalu larut dalam gemerlap dunia, amat mencintai pekerjaan duniawi, berlebihan dalam jimak, berlebihan dalam mencintai anak-anak, keluarga, serta larangan-larangan lainnya.

 

Membersihkan hati dari berbagai kotoran tersebut hanya dapat dilakukan dengan senantiasa berzikir kepada Allah. Pada awalnya dimulai dengan suara keras (jahr), hingga akhirnya tak lagi terdengar (huruf dan suara) saat sudah mencapai maqam hakikat.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hati mereka.” (al-Anfaal: 2)

 

Maksudnya, hati mereka dihinggapi rasa takut mendalam kepada Allah. Rasa takut itu tidak akan ada kecuali setelah menyadarkan hati dari lelap kelalaiannya, dan menyingkirkannya. Jika itu telah dilakukan, maka di hatinya akan terukir gambaran-gambaran gaib dari kebaikan dan kejelekan. Dalam kata hikmah dikatakan, “Orang alim mengukir, sedangkan seorang arif (membuatnya) bersinar.”

 

Kejernihan rasa (sirri) ini dicapai dengan cara menjauhi segala sesuatu selain Allah, dan menjauhkan diri kita dari mencintai selain Allah dengan mendawamkan asma tauhid dengan lisan tersembunyi. Jika penjernihan ini telah berhasil, maka maqam shad pun akan sempurna.

 

Huruf waawu barasal dari kata al-wilayah (kewalian) yang merupakan hasil dari penjernihan hati (tashftyah). Sebagaimana firman Allah,

 

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yuunus: 62)

 

Adapun hasil dari al-wilayah adalah, seseorang akan berusaha untuk berakhlak dengan akhlak Allah Ta’ala. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah.”

 

Maksudnya adalah, jadikanlah sifat-sifat Allah sebagai sifat kalian. Jadi, sifat-sifat Allah akan melekat ketika seseorang telah melepaskan sifat-sifat manusia (basyariah) dalam dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Jika Aku mencintai seorang hamba, maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya, dan lisannya. Maka dengan-Ku ia mendengar, dengan-Ku ia melihat, dengan-Ku ia menyergap, dengan-Ku ia berbicara, dan dengan-Ku ia berjalan.” (HR. Bukhari)

 

Oleh karena itu, bersihkanlah (diri dan hati) dari segala sesuatu selain Allah, sebagaimana diisyarakan oleh firman-Nya,

 

“Dan katakanlah, “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (al-Israa : 81)

 

Jika ini sudah tercapai maka sempurnalah maqam wawu.

 

Huruf fa berasal dari kata al-fana’ fillah, yang berarti menenggelamkan diri kepada Allah. Jika sifat-sifat manusianya (basyariah) telah mencapai puncak kefanaan, maka sifat-sifat Alhadiyyah akan abadi dalam dirinya. Sifat itu tidak akan pernah lenyap dan terhapus, sehingga seorang hamba yang fana akan kekal bersama Rabb al-Baagi dalam keridhaan-Nya. Dan akan kekallah hati yang fana ‘ bersama rasa (sirri) dan penglihatan-Nya kepada Allah yang abadi.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali (Wajah, Zat) Allah.” (al-Qashash: 88)

 

Kata wajhahu (Wajah-Nya) di ayat di atas bisa ditakwilkan dengan keridhaan-Nya, yaitu ridha terhadap amal-amal saleh yang diperuntukkan hanya untuk-Nya, dan amal-amal itu dikerjakan semata-mata untuk menggapai ridha-Nya. Oleh karena itu, orang yang diridhai akan kekal bersama Pemberi ridha (Allah).

 

Hasil dari amal saleh itu adalah hidupnya insan al-hakiki, atau disebut juga dengan thiflul ma’aani.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Kepada-Nya naik perkataan-perkataan yang baik dan amal shalih dinaikkan-Nya.” (Faathir: 10)

 

Setiap amal perbuatan yang diperuntukan kepada selain Allah maka di dalamnya terdapat kesyirikan, dan itu adalah kesia-siaan belaka bagi pelakunya. Jika kefanaan telah mencapai puncak kesempurnaan maka ja akan menghasilkan keabadian (baga’) di alam alqurbah. Sebagaimana firman Allah,

 

“Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Kuasa.” (al-Qamar: 55)

 

Dan itu adalah maqam-nya para nabi dan wali di alam lahut.

 

Firman-Nya pula,

 

“Dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (at-Taubah: 119)

 

Jika zat yang bersifat baru (al-haadits) bergabung dengan Zat yang qadim (tidak berawal dan tidak berakhir) maka tak akan tampak lagi wujudnya.

 

Seorang penyair bersenandung,

 

Semua sifat Zat dan perbuatan (af’al) akan seluruhnya menjadi gadim dan takkan lenyap Jika kefanaan itu sempurna maka seorang sufi yang kekal bersama Tuhannya.

 

Sebagaimana firman Allah, 

 

“Mereka itu penghuni surga, mereka kekal didalamnya.” (al-Baqarah: 82)

 

Allah Ta’ala juga bersabda,

 

“Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 249)

 

 

 

Allah telah menganugerahkan petunjuk  kepada orang-orang yang senantiasa berzikir.

 

Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya,

 

“Dan berzikirlah (dengan menyebut) nama Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu.” (al-Baqarah: 198)

 

Maksudnya adalah, Allah menganugerahkan petunjuk sesuai kualitas dan tingkatan zikir kalian. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Perkataan yang paling utama yang aku ucapkan, dan diucapkan nabi-nabi sebelumku adalah: laa ilaha illallah.” (HR. at-Tirmidzi)

 

Setiap tingkatan (nagami) zikir ini memiliki martabat khusus, baik yang diucapkan secara jelas (jahr) maupun samar (khafi). Tingkatan pertama adalah zikir lisan, lalu zikir jiwa (nafs), zikir hati, zikir ruh, zikir sirri, zikir yang samara (khafi), sampai kepada zikir yang sangat samar (akhfal khafi).

 

Zikir lisan berfungsi sebagai ‘alarm’ atau pengingat bagi hati atas kelupaannya mengingat Allah, sementara zikir jiwa (zikrin-nafs) merupakan zikir yang tidak bisa didengar melalui buhulan huruf-huruf dan suara, namun hanya dapat didengar oleh perasaan dan intuisi di relung batin. Sementara zikir hati adalah medium pengingat atas keagungan dan keindahan yang tersimpan di dalam batin. Zikir ruh berfungsi untuk melihat cahaya-cahaya yang terpancar dari sifat-sifat Allah. Zikir sirri adalah pengawasan atas tersingkapnya rahasia Ilahi.

 

Sementara itu, zikir samar adalah untuk menangkap keindahan Zat Yang Maha Tunggal di tempat terjaga (maq’adi sidqin), sedang zikir yang sangat samar berfungsi sebagai medium untuk melihat hakikat dengan keyakinan yang total (haqqul yaqin) dan tiada yang dapat melihatnya kecuali Allah.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia (sirri) dan yang lebih tersembunyi (akhfa).” (Thaahaa: 7)

 

Itulah alam tertinggi dan tujuan yang paling akhir. Ketahuilah, bahwa di sana terdapat ruh lain, dan ia paling lembut dari seluruh ruh yang ada, yaitu thiflul ma’aani. Itu adalah lathifah (substansi yang amat lembut) yang selalu mengajak kembali kepada Allah. Kalangan sufi berkata, ruh tersebut tidaklah ada pada setiap orang, namun hanya ada bersama orang-orang yang memiliki keistimewaan (khawwash).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dia mengutus Ruh dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (al-Mu’min: 15)

 

Ruh yang ini (thiflul ma’ani) senantiasa berada pada alam al-qudrah dan menyaksikan di alam hakikat sampai ia tidak menoleh kepada selain Allah Ta’ala.

 

Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda,

 

“Dunia haram bagi ahli akhirat, sedangkan akhirat haram bagi ahli dunia, dan keduanya haram bagi ahlullah.” (HR. ad-Dailami)

 

Itulah thiful ma’ani.

 

Jalan untuk wushul kepada Allah adalah dengan konsisten menapaki jalan yang lurus dengan mematuhi rambu-rambu syariat, baik di waktu siang ataupun malam hari. Selain itu, dengan senantiasa berzikir kepada Allah, karena itu merupakan kewajiban yang harus ditegakkan oleh semua orang yang menginginkan wushul kepada-Nya.

 

Firman Allah,

 

“ Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan…” (Ali Imraan: 191)

 

Adapun maksud dari al-giyaam pada ayat di atas adalah waktu siang, sedang gu uud adalah waktu malam. Sementara yang dimaksud “dalam keadaan berbaring adalah dalam keadaan sempit, luas, sehat, sakit, kaya, fakir, mulia, rendah, dan lainnya.

 

 

Adapun syarat-syarat zikir antara lain, orang yang berzikir harus memiliki wudhu yang sempurna, berzikir dengan totalitas dan suara yang keras sehingga cahaya-cahaya zikir menerangi relung batinnya. Dengan cahaya itu, hati mereka pun menyala (hidup) di alam ukhrawi yang abadi.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati yang pertama (di dunia).” (ad-Dukhaan: 56)

 

Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang mukmin itu tidaklah mati, tapi hanya berpindah dari negeri yang fana’ ke negeri yang kekal (akhirat).”

 

Beliau juga bersabda,

 

“Para nabi dan wali shalat di kubur mereka sebagaimana mereka shalat di rumah mereka.” (HR. ad-Dailami)

 

Artinya, sekalipun sudah tiada, mereka senantiasa bermunajat kepada Tuhan mereka. Oleh karena itu, maknanya bukanlah shalat secara lahir yang meliputi gerakan berdiri, rukuk, sujud, dan duduk, melainkan ‘munajat dari seorang hamba’. Karena itulah maka mereka pun dianugerahi hadiah makrifat oleh Allah. Para ahli makrifat itu menjadi mahram Allah dengan terus meningkatnya munajat mereka di alam kubur masing-masing.

 

Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang shalat sejatinya bermunajat kepada Tuhannya.” (HR. Malik)

 

Sebagaimana tidak tertidurnya hati yang hidup, maka hatinya itupun tidak mati. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,

 

“Kedua mataku tertidur, namun hatiku tidak tidur.” (HR. Bukhari)

 

Rasulullah saw. juga bersabda,

 

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan mencari ilmu maka Allah akan mengutus dua malaikat untuk mengajarinya ilmu makrifat. Dan (sehingga) ia bangun dari kuburnya dalam keadaan ‘alim dan ‘arif.”

 

Adapun maksud dari dua malaikat di atas adalah ruhaniyah Nabi saw. dan ruhaniyah wali. Sebab, malaikat tidak akan pernah masuk ke alam makrifat dan tidak pula mengetahuinya.

 

Nabi saw. bersabda,

 

“Betapa banyak orang yang mati dalam kebodohan, namun ia bangkit pada hari kiamat dalam keadaan ‘alim dan ‘arif. Dan betapa banyak orang yang mati dalam keadaan ‘alim, namun bangkit pada hari kiamat dalam keadaan bodoh lagi bangkrut (muflis).”

 

Sebagaimana firman Allah,

 

“Kamu telah menghabiskan rezeki yang baik untuk kehidupan duniawimu, dan kamu telah bersenang-senang dengannya, maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan, karena kamu telah menyombongkan diri.” (al-Ahqaaf: 20)

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari)

 

Beliau juga bersabda,

 

“Niat seorang mukmin lebih baik dari amalannya, dan niat seorang fasik lebih buruk dari amalannya.” (HR. al-Baihaqi dan ad-Dailami)

 

Sebab, niat memang merupakan fondasi dari amal. Telah berkata seorang ahlu hikmah, “Bangunan yang baik di atas pondasi yang baik akan menghasilkan bangunan yang kokoh, sementara bangunan buruk di atas pondasi yang keropos pasti hancur.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (asy-Syuura: 20)

 

Maka dari itu, wajib bagi seorang hamba di dunia ini untuk menghidupkan hatinya sebelum mati, dengan mencari bimbingan (talqin) dari ahlinya.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Orang yang mencari dunia dengan amalan-amalan akhirat, maka tidak ada bagian untuknya di akhirat.” (HR. ad-Dailami)

 

Dunia adalah ladang akhirat. Orang yang tidak menanam di ladang dunia niscaya tidak akan menuai hasil secuil pun di akhirat kelak. Maksud dari “ladang” tempat bercocok tanam itu adalah hamparan bumi yang kita injak saat ini (alam nyata), bukan alam lain di luar sana.

 

 

 

 

 

Melihat Allah Ta’ala itu ada dua bentuk.  Pertama, melihat keindahan Allah (Jamalullah) di akhirat tanpa perantara cermin hati. Dan kedua, melihat sifat-sifat Allah di dunia melalui perantara cermin hati, yaitu dengan penglihatan mata hati (alfu’ad) dari pantulan cahaya keindahan-Nya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (an-Najm: 11)

 

Nabi saw bersabda,

 

“Seorang mukmin adalah cermin Al-Mukmin.” (HR. Abu Daud)

 

Adapun maksud dari kata mukmin yang pertama maksudnya adalah hati seorang mukmin, sedangkan kata mukmin yang kedua adalah Zat Allah yang bersifat Al-Mukmin.

 

Firman Allah,

 

“Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara….” (al-Hasyr: 23)

 

Orang yang melihat sifat-sifat Allah di dunia, niscaya akan melihat Zat-Nya di alam akhirat, tanpa perlu bertanya dengan cara bagaimana ia melihat-Nya. Melihat sifat-sifat Allah seperti inilah yang kerap diceritakan atau dituturkan oleh para wali, sebagaimana perkataan Umar ibnul-Khaththab ra., “Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku.” Demikian pula perkataan Ali bin Abi Thalib ra, “Aku tidak menyembah tuhan yang tidak aku lihat (dengan mata hati).

 

Semua penyaksian (musyahadah) di atas adalah penyaksian atas sifat-sifat Allah. Ini seperti orang yang melihat cahaya matahari yang bersinar dari sela-sela lubang yang tidak tembus, atau dari dinding yang serupa dengannya, maka boleh-boleh saja dia berkata, “Aku melihat matahari.” Sekalipun itu secara umum atau menggeneralisir apa yang ia lihat.

 

Allah Ta’ala telah memberi perumpamaan dalam kalam-Nya mengenai gambaran sifat-sifat-Nya,

 

“Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya).” (an-Nuur: 35)

 

Kalangan sufi mengatakan, al-misykah (lubang) di sini maksudnya adalah hati seorang mukmin, sementara al-mishbah (pelita yang menerangi lubang hati) adalah rahasia mata hati (sirri al-fu’ad), yaitu ruh sulthani. Adapun az-zujaajah adalah mata hati (al-fu’ad), ia disifati seperti mutiara, karena kemilau cahayanya yang bersinar terang-benderang.

 

Kemudian Allah menjelaskan mengenai sumber penerang tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya di ayat yang sama,

 

“..yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya….” (an-Nuur: 35)

 

Itu adalah pohon talqin. Sementara tauhid orang khusus keluar dari lisan suci tanpa perantara. Ini seperti Al-Qur’an yang pada dasarnya sudah melekat Nabia saw. secara utuh melalui lisan yang suci. Barulah kemudian turun Jibril as. kepada beliau (menyampaikan wahyu secara bertahap) demi kemaslahatan orang-orang awam, serta untuk melawan penolakan orang-orang kafir dan munafik.

 

Dalil bahwa Nabi saw. sebetulnya telah menerima Al-Qur’an secara utuh sebelum diwahyukan oleh Malaikat Jibril adalah firman Allah,

 

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al-Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (an-Naml: 6)

 

Oleh karena itu, Nabi saw. pernah mendahului malaikat Jibril dalam menerima wahyu hingga turun ayat,

 

“Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa membacakan Al-Qur’an sebelum selesai diwahyukan kepadamu.” (Thaahaa: 114)

 

Maka, Nabi saw. meninggalkan Malaikat Jibril pada peristiwa Mikraj, karena Jibril tidak mampu melewati sidratul muntaha.

 

Kemudian Allah menyifati pohon di atas dengan firman-Nya,

 

“.. yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya).” (an-Nuur: 35)

 

Maknanya, tidak mengalami sesuatu yang bersifat baru, tidak pula akan hilang, terbit maupun tenggelam, namun ia sudah ada sejak zaman azali dan tidak akan pernah hilang selamanya. Ini seperti halnya Zat Allah yang wajib ada (wajibul wujud), kekal, azali, tidak akan dihilangkan dan akan ada selamanya. Begitu pula dengan sifat-sifat-Nya, karena itu adalah cahaya yang memancar dari Zat-Nya, dan yang selalu melekat dengan Zat-Nya.

 

Maka, bisa saja tabir nafsu tersingkap dari hati sehingga hati menjadi hidup berkat cahaya-cahaya tersebut, sehingga roh dapat menyaksikan sifat-sifat Allah melalui misykat tersebut. Apalagi tujuan diciptakannya alam semesta ini adalah agar manusia dapat menyingkap Perbendaharaan Tersembunyi, seperti yang difirmankan oleh-Nya dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Aku adalah kanzan makhfiyya (kekayaan yang terpendam). Aku ingin dikenali maka Aku pun menciptakan makhluk agar Aku dikenali.”

 

Maksudnya adalah “agar mereka mengenal sifat-sifat-Ku di bumi ini”.

 

Adapun melihat Zat Allah Ta’ala itu hanya bisa dilakukan alam akhirat saja, tanpa perantara cermin hati insya Allah-, melalui pandangan tersembunyi (sirri). Dan itulah yang dinamakan dengan thiflul ma’ani.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat.” (al-Qiyaamah: 22-23)

 

Nabi saw. bersabda,

 

“Aku melihat Tuhanku dalam rupa anak muda yang tampan.” (HR. as-Suyuthi)

 

Mungkin yang dimaksudkan oleh Nabi saw. itu adalah thiflul ma’ani, dimana Allah ber-tajalli dalam bentuk tersebut di cermin ruh tanpa ada perantara antara Al-Mutajalli (Allah) dengan al-mutajallah lahu (orang yang melihat-Nya). Allah Ta’ala suci dari segala bentuk penyerupaan dan pencitraan, baik jenis maupun fisiknya. Citra adalah gambar yang ada di cermin, bukan cermin itu sendiri dan bukan pula orang yang melihat ke cermin tersebut. Maka, pahamilah benar-benar hal tersebut. Dan itu adalah inti sebuah rahasia.

 

Tapi, semua itu terjadi hanya di alam sifat, bukan di alam Zat. Sebab, di alam Zat semua perantara akan terbakar dan lenyap, tiada yang berkuasa di alam tersebut kecuali Allah. Sebagaimana Rasulullah saw. telah bersabda,

 

“Aku mengenal Tuhanku melalui Tuhanku.”

 

Maksudnya, mengenal melalui cahaya Tuhan. Sementara Insan al-hakiki merupakan mahram bagi cahaya tersebut.

 

Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya.”

 

Nabi saw. bersabda,

 

“Aku dari Allah, dan orang-orang beriman dari aku.”

 

Selain itu, Allah juga berfirman dalam hadits qudsi lainnya,

 

“Aku menciptakan Muhammad dari cahaya wajah-Ku.”

 

Maksud dari kata wajhi (wajah-Ku) pada hadits diatas adalah Zat Yang Mahasuci yang terpancar dalam sifat penyayang. Sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Rahmat -Ku mendahului murka-Ku.” (HR. Bukhari)

 

Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,

 

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (al Anbiya : 107)

 

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan.” (al-Maa-‘idah: 15)

 

Dan Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Tika bukan karena engkau, jika saja bukan karena engkau, Aku tidak akan menciptakan jagat raya ini.” (HR. ad Dailami)

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat ia akan buta dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (al-Israa ‘: 72)

 

Maksud buta di sini adalah buta hatinya. Sebagaimana yang Allah firmankan,

 

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah kalbu yang di dalam dada.” (al Hajj: 46)

 

Kebutaan hati itu disebabkan meluasnya tabir kegelapan (al-hijab azh-zhulmaniyah), kelalaian, dan karena si pemilik hati menjauhkan diri pada janji sucinya kepada Allah saat ia hidup di dunia. Sementara kelalaian disebabkan oleh kebodohan seseorang akan hakikat Ilahiyah. Kebodohan itu merajalela karena sifat-sifat tercela lebih menguasai ruang hati, seperti sifat sombong, dendam, dengki, kikir, ujub, mengumpat, mengadu domba (namimah), bohong, dan sifat tercela lainnya. Sifat-sifat tercela inilah yang mendorong manusia terjungkal ke derajat terendah.

 

Sifat-sifat tercela ini dapat dilenyapkan dengan cara membersihkan cermin hati dengan alat pembersih tauhid, ilmu, amal baik, dan berjuang keras secara lahir maupun batin. Dengan itu, hati akan hidup melalui sapaan cahaya tauhid dan sifat-sifat-Nya. Jika ia berjuang keras tanpa henti, niscaya hatinya menjadi hidup, dan ia pasti akan ingat pada tempat asalnya. Setelah ingat, akan muncul kerinduan untuk pulang kembali ke tempat asalnya yang hahiki itu, melalui pertolongan Allah.

 

Setelah hijab kegelapan itu terangkat maka yang tersisa adalah buncahan cahaya atau al-hujub annuraniyah. Dimana ia memperoleh bashirah, mampu mamandang melalui ‘kacamata’ ruh, sementara dirinya diterpa cahaya yang memancar dari nama dan sifat-sifat Allah. Kemudian secara perlahan hijab cahaya itu meninggi, dan jiwanya akan diterangi oleh cahaya yang mengalir dari Zat (Allah).

 

Ketahuilah, bahwa hati di dalam jiwa itu memiliki dua mata, mata kecil, dan mata besar. Mata kecil bisa menyaksikan kemunculan sifat-sifat Allah (tajalli sifat) melalui cahaya yang mengalir dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan itu berlangsung hingga ke alam surga yang bertingkat-tingkat (jannatul ma’wa, jannatun na’im, dan jannatul firdaus). Sementara mata besar bisa menyaksikan kemunculan (tajalli) cahaya-cahaya ZatNya di alam ketuhanan (alam lahut), yang dekat dengan cahaya tauhid Keesaan. Tiada jalan untuk bisa sampai ke tingkatan ini selain melalui kematian (al-maut). Atau bila sebelum mati, maka itu melalui fana’ dari segala nafsu kemanusiaannya. Sekali pun begitu, sampainya (wushul) manusia melangkah ke alam itu tergantung pada sejauh mana kualitas (kadar) keterputusannya dari sifat-sifat manusiawi dan hawa nafsu.

 

Konteks makna wushul kepada Allah di sini bukanlah seperti bersatunya jasad dengan jasad atau bersatunya ilmu dengan apa yang sudah diketahui. Bukan pula seperti pikiran dengan apa yang dipikirkan, dan tidak juga seperti dugaan dengan yang diduga. Adapun yang dimaksud wushul kepada Allah di sini adalah, seberapa besar dirinya bisa lepas dari selain-Nya, tanpa kedekatan, tanpa kejauhan, tanpa perjumpaan, tanpa berhubungan, dan tanpa berpisah. Mahasuci Allah dalam penampakan-Nya, kesamaran-Nya, tajalli-Nya, dan dalam mengenal-Nya, dimana di situ terdapat hikmah yang luar biasa.

 

Orang yang mampu mencapai nilai-nilai ini di dunia dan mampu mengintropeksi diri sebelum dihisab maka ia termasuk golongan orang-orang beruntung. Akan tetapi, jika dirinya tidak dapat menggapai nilai tersebut maka kelak ia akan menemukan berbagai rintangan, seperti siksa kubur, kengerian padang mahsyar, perhitungan amal, timbangan amal, melewati shiratal mustaqim, dan berbagai peristiwa menakutkan lainnya di akhirat.

 

 

 

Ketahuilah, bahwa manusia tidak akan lepas dari dua kondisi, bahagia atau sengsara. Dan salah satu dari keduanya harus meringkuk pada diri manusia. Jika kebaikan dan keikhlasan lebih mendominasi, maka kelak kesengsaraannya akan berubah menjadi kebahagiaan. Sifat yang bergumul nafsu pada dirinya juga akan berubah menjadi sifat-sifat ruhaniyah (yang suci). Sementara itu, jika ia lebih memilih ‘mempertuhan’ hawa nafsunya maka yang terjadi adalah sebaliknya.

 

Adapun bila keduanya (kebahagiaan dan kesengsaraannya) seimbang maka yang menjadi barometer adalah berharap pada kebaikan (raja’ ilal khoir). Sebagaimana firman Allah,

 

“Barang siapa melakukan amalan baik, maka baginya ganjaran sepuluh kali lipat amal perbuatannya.” (al-An’am: 160)

 

Allah Ta’ala menambahkan faktor “berharap pada kebaikan ini pada amal baik para hamba-Nya, sehingga timbangan amal baik hamba-Nya itu menjadi makin berat. Ini berlainan dengan orang yang telah mampu mengalahkan hawa nafsunya dan menggantinya dengan sifat-sifat ruhaniyah (yang suci) secara sempurna, dimana hamba seperti itu tak perlu lagi digiring ke penimbangan amal. Sebab, hamba-hamba seperti itu akan langsung masuk surga tanpa hisab.

 

Sebaliknya, mereka yang justru beralih dari sifat-sifat ruhaniyah ke sifat-sifat nafsunya, dengan sendirinya akan langsung masuk ke dalam neraka. Sedangkan hamba yang lebih banyak kebaikannya (daripada keburukannya), niscaya masuk surga tanpa azab (di neraka).

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang diridhai.” (al-Qari’ah: 6-7)

 

Sementara orang yang amal buruknya lebih banyak daripada amal baiknya maka ia akan diazab sesuai kadar kejahatannya. Kemudian, ia akan dikeluarkan dari neraka jika di dalam hatinya masih ada iman lalu dimasukkan ke dalam surga.

 

Maksud dari kebahagiaan dan kesengsaraan di sini adalah datang dan perginya kebaikan dan keburukan dalam diri seorang hamba. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Orang yang bahagia terkadang sengsara dan orang yang sengsara terkadang bahagia.”

 

Jika amal baiknya lebih banyak maka ia akan bahagia. Sebaliknya, bila amal-amal buruknya lebih mendominasi, maka ia akan sengsara. Adapun orang yang bertobat, beriman dan beramal saleh maka kesengsaraannya kelak akan Allah ganti menjadi kebahagiaan. Kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang pada hakikatnya sudah ditulis sejak zaman azali dan komprehensif.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Orang yang bahagia telah ditakdirkan bahagia sejak dalam perut ibunya. Begitu pula orang yang sengsara juga telah ditakdirkan sengsara sejak dalam perut ibunya.” (HR. Muslim)

 

Akan tetapi, tidak seorang pun mampu membahas soal takdir, karena itu termasuk rahasia takdir itu sendiri. Dimana seseorang tidak boleh berargumentasi dengannya.

 

Maka dari itu, seorang hamba dilarang untuk berdalih dengan rahasia takdir untuk tidak mengerjakan perbuatan baik. Misalnya dengan beralasan, “Kalau sejak zaman azali aku sudah ditakdirkan sengsara maka tak ada gunanya lagi beramal saleh. Dan bila aku ditakdirkan bahagia maka tak masalah kalau kau mengerjakan perbuatan buruk.”

 

Sesungguhnya, kebanyakan dari rahasia itu dapat disingkap, namun tidak perlu dibahas, seperti halnya rahasia takdir. Contohnya adalah Iblis. Ia telah menjadikan takdir Allah sebagai agumentasi atas tindakannya yang menolak sujud pada Adam as. Maka ia pun dilaknat karena perbuatan pongahnya itu. Sementara Nabi Adam as. selalu menimpakan kemaksiatan (yang terlanjur ia lakukan) kepada dirinya sendiri, sehingga ia digolongkan sebagai orang yang beruntung dan dirahmati.”

 

Setiap Muslim dilarang untuk memikir-mikirkan soal rahasia takdir, agar tidak terpeleset dalam perbuatan zindik. Mereka seharusnya yakin kepada kebijaksanaan Allah Ta’ala. Seluruh kejadian yang dialami manusia di bumi ini, seperti kekufuran, kemunafikan, kefasikan dan sebagainya, adalah manifestasi ke-Mahakuasaan Allah dan merupakan hikmah-Nya. Di sini ada rahasia yang sangat besar, yang tak dapat diketahui kecuali oleh Nabi Muhammad saw.

 

Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa ada sebagian ahli makrifat yang bermunajat kepada Tuhan mereka dengan berkata, “Tuhanku, Engkaulah yang telah menakdirkan (segalanya untukku), Engkau pula yang menghendakinya, dan Engkau pula yang telah menciptakan maksiat di dalam diriku.” Tiba-tiba terdengarlah sebuah seruan, “Wahai hamba-Ku, semua yang engkau katakan adalah syarat ketuhanan, lantas apa syarat kehambaanmu?” Maka ahli makrifat itu pun tertunduk seraya berucap, “Aku salah, aku berdosa dan aku telah berbuat zalim terhadap diriku.” Kemudian seruan itu pun datang menghampiri pendengarannya, “Aku mengampuni (semua dosa-dosamu dan merahmati(mu).”

 

Oleh karena itu, seorang yang beriman (mukmin) seharusnya berpandangan bahwa amal yang baik adalah karena taufik atau pertolongan Allah Ta’ala, sedangkan amal yang buruk adalah karena dirinya. Jika ia melakukan hal itu, maka niscaya ia termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an,

 

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri?, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” (Ali Imran: 135)

 

Manakala seorang hamba menganggap bahwa perbuatan maksiat yang ia kerjakan itu berasal dari dirinya sendiri, maka ia termasuk orang yang beruntung dan selamat. Itu lebih baik baginya daripada menganggap bahwa dosa (yang ia perbuat) itu adalah dari Allah, meskipun hakekatnya memang Allah yang menciptakannya.

 

Para ahli tasawuf menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “al-umm” (dalam hadits sebelumnya)? adalah kumpulan dari empat unsur, yaitu tanah, air, api dan angin sehingga menghasilkan kekuatan manusiawi. Tanah dan air merupakan lambang kebahagiaan karena keduanya menghidupkan dan mengembangkan jlmu pengetahuan, iman dan sikap tawadhu dalam hati. Sementara api dan angin adalah kebalikannya, karena keduanya memiliki sifat membakar dan memporak-porandakan. Mahasuci Allah yang mampu mengumpulkan berbagai unsur berlawanan ini dalam tubuh manusia. Sebagaimana pula Allah Ta’ala telah mengkombinasikan antara cahaya dan kegelapan pada awan. Allah berfirman,

 

“Dia-lah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung.” (ar-Ra d: 12)

 

Yahya bin Mu’ad ar-Razi suatu ketika ditanya, “Dengan apa engkau mengenal Allah swt.?” Ia lantas menjawab, “Dengan menyatukan dua hal yang berlawanan.”

 

Berangkat dari itu, manusia dianggap gambaran dari umimul kitab sekaligus cerminan Allah dalam kemuliaan dan keindahan. Manusia juga diberi gelar kaunan jami an dan ‘alaman gubra, karena Allah telah menciptakan mereka dengan “kedua tangan” -Nya (kekuasaan-Nya), yaitu sifat memaksa dan sifat lemah lembut. Ini seperti cermin yang memiliki dua sisi, yaitu sisi yang keras dan kasar, serta sisi yang halus dan indah.

 

Dengan demikian, manusia berbeda dengan makhluk lainnya, karena mereka (makhluk yang lain) diciptakan hanya dengan satu kekuasaaan atau satu sifat Allah saja. Misalnya malaikat, ia hanya diciptakan dari sifat lembut Allah saja, dan merupakan manifestasi dari nama Allah, As-Subbuh Al-Quddus. Sementara Iblis dan keturunannya diciptakan dari sifat mamaksa saja, mereka adalah manifestasi dari nama Allah, Al-Jabbar. Oleh karena itu, mereka congkak dan enggan bersujud kepada Nabi Adam as..

 

Ketika terhimpun dalam diri orang-orang khusus segala sifat makhluk, dari yang terhormat hingga yang terendah, maka para nabi dan wali juga tidak lepas dari kesalahan. Hanya saja para nabi ma’shum (terjaga) dari melakukan dosa besar setelah diangkat menjadi nabi dan rasul, namun mereka tetap tidak ma’shum dari dosa kecil. Adapun para wali bukanlah orang yang ma’shuin, Sekalipun ada yang mengatakan bahwa para wali itu ma’shum dari dosa besar setelah derajat kewalian mereka sempurna.

 

Asy-Syaqiq al-Balkhi berkata, “Tanda bahagia (seseorang) itu ada lima, antara lain memiliki hati yang lembut, banyak menangis, zuhud akan gemerlap dunia, tidak banyak angan-angan, dan punya rasa malu. Sebaliknya, tanda kesengsaraan seseorang juga ada lima, yaitu memiliki hati yang keras, sulit menangis, cinta dunia, panjang angan-angan, dan rasa malu (dalam dirinya) sedikit.”

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Tanda bahagia itu ada empat: jika diamanati ia berlaku adil, jika berjanji ia menepati, jika berbicara ia jujur, dan Jika berdebat ia tidak mencaci-maki. Dan tanda sengsara ada empat: jika diberi amanat ia berkhianat, jika berjanji ia ingkar, jika berbicara ia berbohong, dan jika berdebat ia mencaci-maki orang-orang dan enggan memaafkannya.”

 

Sementara Allah swt. berfiman,

 

“Barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah.” (asy-Syuuraa: 40)

 

Ketahuilah bahwa kesengsaraan berubah menjadi kebahagiaan -atau sebaliknya, itu terjadi karena adanya pendidikan. Sebagaimana sabda Nabi saw.,

 

“Setiap anak dilahirkan dalam fitrah Islam, namun kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)

 

Hadits ini menunjukkan bahwa setiap manusia berpotensi untuk bahagia dan sengsara. Maka dari itu seseorang tidak boleh berkata, “Orang ini pasti akan bahagia atau orang ini pasti sengsara.” Akan tetapi, perkataan yang boleh diucapkan adalah, “Dia akan bahagia jika kebaikannya lebih banyak dari keburukannya. Begitu juga sebaliknya.”

 

Orang yang mengubah-ubah ketentuan itu maka ja pun akan tersesat. Sebab ia berkeyakinan bahwa ada sebagian orang yang masuk ke dalam surga tanpa amal baik dan tobat, atau ada orang yang terporosok ke neraka padahal tidak berbuat maksiat. Keyakinan seperti ini bertentangan dengan nash Al-Qur’an, karena Allah telah menjanjikan surga bagi orang-orang yang beramal saleh dan menjanjikan neraka bagi ahli maksiat, musyrik, dan orang kafir.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri.” (Fushshilat: 46)

 

Allah Ta’ala juga berfirman,

 

“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya, tidak ada yang dirugikan pada hari ini.” (Mukmin: 17)

 

Firman-Nya pula,

 

“Dan bahwasanya manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya,” (an-Najm: 39)

 

Firman-Nya pula,

 

“Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah.” (al-Baqarah: 110)

 

 

Sebagian ulama berkata bahwa para ahli di bidang tasawuf itu disebut sufi karena mereka mengenakan pakaian dari bulu domba yang kasar. Sebagian lainnya mengatakan bahwa itu karena mereka membersihkan hati mereka dari kotoran-kotoran duniawi. Ada pula yang berkata bahwa itu karena mereka membersihkan hati dari segala hal selain Allah. Sebagian lainnya berpendapat bahwa itu karena mereka (ahli tasawuf) di hari kiamat kelak akan berdiri di garda terdepan, yaitu di alam al-qurbah.

 

Alam itu sendiri terbagi menjadi empat, yaitu alam mulki, alam malakut, alam jabarut dan alam lahut. Ilmu pun terbagi menjadi empat, yaitu ilmu syariat, ilmu tarekat, ilmu makrifat, dan ilmu hakikat. Ruh pun ada empat macam, yaitu ruh jismani, ruh rawwani atau satrani, ruh sulthani, dan ruh al-qudsi. Tajalli atau penampakan Allah baginya pun ada empat, yaitu tajalli atsar, tajalli af al, tajalli sifat dan tajalli Zat. Akal pun demikian, ada empat pula, yaitu akal ma’asyi, akal ma’adi, akal ruhani, dan akal kulli.

 

Manusia terikat dengan keempat pengetahuan yang dipaparkan di atas, yaitu ilmu yang empat, ruh yang empat, tajalli yang empat, dan akal yang empat. Sebagian manusia berada pada tingkatan alam pertama, baik itu ilmunya, ruh, tajalli maupun akalnya sehingga surganya pun berada pada tingkat pertama, yaitu surga yang aman atau surga yang bersifat duniawi (jannatul ma’wa). Sebagian lain berada di tingkatan alam kedua dan mendapat surga tingkat kedua, yaitu surga rahmat Allah (jannatun na’im). Dan sebagian lainnya berada di tingkatan alam ketiga, yang ganjarannya adalah surga ketiga, yaitu surga firdaus (jannatul firdaus).

 

Sedangkan para ahli hakikat (tasawuf) melebihi semua di atas. Ahlul-Haq dari kalangan fugara ahli makrifat telah menapaki semua itu, dan telah sampai pada kedekatan (al-qurbah) dengan Allah. Walhasil, mereka tidak lagi terikat dengan segala sesuatu selain Allah. Mereka pun memegang kokoh firman Allah,

 

“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah.” (adz-Dzariyat: 50)

 

Rasulullah saw. telah bersabda,

 

“Keduanya (dunia dan akhirat) haram bagi Ahlulllah.” Kata haram dalam hadits di atas maksudnya bukan

 

haram secara hukum, tapi para ahlullah itu hanya mengharapkan dan mencari Allah saja, sama sekali tak mengharapkan dan mencari balasan dunia dan akhirat. Mereka berkata, “Kami ini makhluk yang baru, dan keduanya (dunia dan akhirat) juga makhluk yang baru. Maka, mana mungkin yang baru mencari yang baru?” Justeru, yang wajib itu adalah makhluk mencari Penciptanya.

 

Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadis qudsi, “Kecintaan-Ku merupakan kecintaan orang-orang fakir.” Nabi saw. bersabda,

 

“Kefakiran adalah kebanggaanku.” (HR. ad-Dailami)

 

Maksud dari kefakiran dalam konteks ini bukanlah fakir dalam harta, tapi adalah sifat yang selalu bergantung kepada Allah dan dan meninggalkan segala selain Allah, baik berupa kenikmatan duniawi maupun ukhrawi, dan itu maknanya fana’ atau menenggalamkan diri kepada Allah. Di sini, tidak tersisa ruang di dalam dirinya maupun hatinya kecuali Allah serta cinta kepada-Nya.

 

Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi mengenai hal ini,

 

“Bumi dan langit-Ku tidak cukup luas untuk-Ku. Tapi yang cukup untuk-Ku adalah hati hamba-Ku yang beriman.” (HR. Ahmad)

 

Maksud dari hamba-Ku yang beriman ini adalah hamba yang hatinya bersih dari segala sifat kemanusiaan (ash-shifatu al-basyariah) dan mengosongkannya dari segala hal selain Allah, maka Allah pun akan melapangkan hati hamba itu agar dapat menampung-Nya.

 

Abu Yazid al-Busthami berkata, “Sekiranya al-‘Arasy dan apa yang terkandung di dalamnya dilemparkan ke salah satu sudut hati seorang ahli makrifat, niscaya ia tidak akan merasakannya. Orang yang mencintai mereka maka kelak ia akan bersama mereka di akhirat. Adapun tanda kecintaan mereka adalah, mereka menyukai kebersamaan dengan mereka dan merindukan perjumpaan dengan Allah.”

 

Allah Ta’ala telah firmankan dalam sebuah hadis qudsi,

 

“Betapa luar biasanya kerinduan orang-orang saleh itu untuk berjumpa dengan-Ku, sedang Aku lebih merindukan perjumpaan itu dengan mereka.”

 

Adapun pakaian para kekasih Allah itu ada tiga jenis. Pakaian dari bulu domba untuk kalangan pemula, pakaian dari bulu kambing untuk kalangan di tingkat menengah, dan bulu terhalus untuk mereka yang sudah berada pada tingkatan terakhir.

 

Pengarang Tafsir al-Majma’ berkata, “Hal yang pantas bagi para ahli zuhud adalah segala sesuatu yang kasar (berkualitas rendah), baik pakaian, makanan maupun minuman, sedangkan yang sesuai untuk ahli makrifat yang telah wushul adalah segala sesuatu yang halus.” Amal perbuatan mereka pun bereda-beda. Amal mereka yang masih tingkat pemula masih bercampur seimbang antara yang terpuji dan tercela, sedangkan amal perbuatan mereka yang berada pada tingkatan menengah dipenuhi berbagai perbuatan baik, seperti cahaya syariat, tarekat, dan makrifat. Pakaiannya pun berbeda warna, seperti warna putih, biru dan hijau. Sementara amal perbuatan mereka yang berada pada tingkatan tertinggi tidak lagi berwarna, seperti matahari yang cahayanya tidak lagi menerima aneka warna. Pakaian mereka pun tidak berwarna, seperti hanya mengenakan warna hitam. Dan itu adalah simbol kefanaan, yang merupakan penutup cahaya makrifat mereka, layaknya malam yang menjadi penutup bagi cahaya matahari. Allah swt. berfirman,

 

“Dan kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (an-Nabaa 10-11)

 

Di dalam ayat ini terkandung isyarat halus bagi orang yang berakal dan berilmu sempurna. Bagi mereka yang dekat dengan-Nya maka ia akan merasakan dunia ini ibarat penjara. Mereka merasa terasingkan, bingung, menderita, tersiksa, sengsara, dan gelap di dalamnya. Seperti yang disabdakan oleh Nabi saw.,

 

“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin.” (HR. Muslim)

 

Maka dari itu, pakaian yang sesuai bagi mereka yang masih berada dalam kondisi gelap adalah pakaian berwarna gelap. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Nabi saw. juga mengenakan pakaian hitam dan surban hitam. Dan ini merupakan pakaian orang-orang yang tengah berkabung dan sedang mengalami musibah cobaan. Sebab mereka terkena pancaran cahaya dari penyaksian, penyingkapan dan kebersamaan denganNya. Selain itu, disebabkan oleh musibah hilangnya atau belum diperolehnya kehidupan abadi (al-hayah al-abadiyah), seperti rindu, cinta, ruh al-qudsi, derajat kewalian, dan wushul.

 

Mereka itulah yang memikul musibah luar biasa sehingga mengharuskan mereka mengenakan pakaian berkabung seumur hidup, karena ia telah kehilangan kebahagian ukhrawinya. Sebagaimana seorang isteri yang ditinggal mati suaminya, Allah merintahkannya untuk mengenakan pakaian berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Ini karena ia termasuk telah kehilangan kebahagian duniawinya. Adapun lamanya berkabung (bagi mereka yang tertimpa) musibah ukhrawi, tidaklah ada batasnya.

 

Nabi saw bersabda,

 

“Orang yang paling berat cobaannya adalah para nabi, lalu orang yang derajatnya setingkat di bawahnya dan seterusnya.” (HR. at-Tirmidzi) Beliau juga bersabda, “Orang-orang yang ikhlas memiliki kekhawatiran yang besar.” (HR. as-Suyuthi) Ini semua adalah sifat kefakiran dan kefanaan. Di dalam sebuah khabar disebutkan,

 

“Kefakiran itu ibarat wajah hitam di dua negeri (dunia dan akhirat).”

 

Arti dari wajah hitam ini adalah, ia tidak menerima warna selain cahaya Allah Zat Allah. Warna hitam itu seperti tahi lalat yang melekat pada wajah seorang pemuda yang elok rupa, dimana ia semakin terlihat mengagumkan dengannya. Jika ahli al-qurbah telah melihat keindahan Allah, niscaya ia tidak akan menerima cahaya kecuali cahaya Allah. Dan mereka tidak akan melihat kepada selain Allah dengan perasaan cinta, sebab yang mereka cari dan cintai hanyalah Allah. Tujuan mereka di dunia dan akhirat hanyalah Allah, karena Allah-lah yang menciptakan manusia agar bermakrifat dan wushul kepada-Nya.

 

Oleh karena itu, wajib bagi manusia mencari tahu apa tujuan esensial penciptaannya di dunia dan akhirat, agar mereka tidak menghabiskan umurnya untuk halhal yang tidak bermanfaat. Bahkan setelah kematian mereka tidak dapat menyesali habisnya umur mereka secara Sia-sia.

 

 

 

 

 

Bersuci terbagi menjadi dua bentuk, bersuci secara lahir dan bersuci secara batin. Bersuci secara lahir dilakukan menggunakan air syariat, sementara bersuci secara batin dilakukan dengan cara bertobat, talqin, menjernihkan hati dan menempuh jalan tarekat. Jika wudhu syariat batal karena keluarnya najis, maka wajib baginya untuk memperbaharui wudhu.

 

Rasulullah saw. telah bersabda,

 

“Orang yang memperbarui wudhunya, niscaya Allah akan memperbaharui imannya.” (HR. Ibnu Majah)

 

Nabi saw. juga bersabda,

 

“Bila orang yang memiliki wudhu berwudhu lagi, itu laksana cahaya di atas cahaya.” (HR. Ibnu Majah)

 

Sedangkan wudhu batin seseorang batal manakala ia melakukan perbuatan tercela dan akhlak tak terpuji, seperti sombong, dendam, hasad (dengki), ujub (berbangga diri), ghibah, berbohong, dan khianat yaitu berkhianat mata, kedua tangan, kedua kaki dan kedua telinga.

 

Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

 

“Kedua mata dan telinga bisa berzina.” (HR. Ahmad)

 

Adapun cara untuk memperbaharui wudhu batin adalah dengan bertobat secara ikhlas dari segala dosa, memperbaharui tobat dengan penyesalan, beristighfar serta fokus menangkal segala dosa agar tidak menyusup ke relung batin. Seharusnya seorang ahli makrifat menjaga tobatnya dari berbagai dosa yang merusak itu, sehingga shalatnya menjadi sempurna.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Inilah (nikmat) yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya) (qaaf: 32)

 

Jadi, wudhu dan shalat secara lahir itu dilakukan dalam waktu-waktu tertentu, sedangkan wudhu dan shalat batin itu dilakukan sepanjang hidup, siang maupun malam.

 

 

Adapun mengenai shalat syariat telah ditegaskan dengan ayat berikut,

 

“Peliharalah shalat-shalat (mu) dan (peliharalah) shalat wusthaa.” (al-Baqarah: 238)

 

Maksud dari shalat syariat adalah, shalat yang rukunnya melibatkan seluruh gerakan tubuh, mulai dari berdiri, membaca ayat, rukuk, sujud, duduk, suara, dan bacaan-bacaan. Oleh karena itu, redaksi dalam ayat di atas menggunakan lafaz jamak: shalawaat (shalat-shalat) sebagai isyarat lima kali shalat fardhu.

 

Sementara yang dimaksud dengan shalat tarekat adalah shalatnya hati yang dilakukan secara berkelanjutan, tiada henti. Sebagaimana diisyaratkan di ayat di atas dalam kalimat: shalat wusthaa (yang tengah-tengah).

 

Maksud dari shalat wustha adalah shalatnya hati, karena hati diciptakan di tengah-tengah jasad, yaitu antara kanan dan kirinya, antara bagian atas dan bagian bawah, serta menjelaskan antara bahagia dan derita. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

 

“Sesungguhnya hati manusia itu berada di antara dua jari dari jari-jari” Allah. Allah membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya.” (HR. Muslim)

 

Maksud dari ‘dua jari’ Allah adalah sifat Maha Memaksa (Al-Qahhar) dan MahalembutNya (Al-Lathif), karena Allah Ta’ala Mahasuci dari penyerupaan memiliki jari-jari (layaknya makhluk). Melalui ayat dan hadits di atas diketahui bahwa yang paling esensial adalah, shalat hati. Jika seseorang lalai dengan shalat hatinya, maka rusaklah shalat hati dan shalat lahirnya (dengan anggota badan)-nya.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Tidaklah sah shalat (seorang hamba) kecuali dengan menghadirkan hati.”

 

Sebab, orang yang shalat sejatinya sedang bermunajat kepada Tuhannya, sedangkan ruang untuk bermunajat jitu adalah hati. Maka jika hati lalai, maka tidak sah shalat hati dan shalat anggota tubuhnya, karena hati adalah pondasinya sementara anggota badan lainnya adalah pengikut.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Ingatlah bahwa dalam tubuh terdapat segumpal daging. Bila ia baik maka baiklah seluruh badan dan bila ia rusak maka rusaklah seluruh badan. Ketahuilah ia adalah hati.” (HR. al-Bukhari)

 

Shalat syariat memiliki waktu tertentu, yaitu lima kali dalam sehari semalam. Shalat ini sunnahnya dilakukan berjamaah di masjid, serta menghadap kiblat dan mengikuti imam tanpa adanya riya’ dan sum ah. Sementara shalat tarekat waktunya dilakukan seumur hidup tanpa jeda. Masjidnya ada di hati. Cara berjamaahnya dilakukan dengan cara memadukan kekuatan batin untuk menyibukkan diri dengan asma’ tauhid melalui lisan batin. Imamnya adalah rasa rindu di relung hati, sedangkan kiblatnya ialah hadrah al-ahadiyah, yakni hadirat Zat Yang Mahaesa dan jamal ash-shamadiyyah (indahnya Zat yang menjadi tempat bergantung). Dan itu adalah kiblat yang hakiki.

 

Hati dan ruh akan selamanya harus fokus dalam shalat tarekat ini. Hati tak boleh mati atau tertidur. la selalu beraktivitas, baik saat pemiliknya tertidur maupun terjaga, tanpa suara, tanpa berdiri dan duduk. Dan berucap sebagaimana tertuang dalam firman-Nya,

 

“Kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (al-Faatihah: 5) Dengan mengikuti Nabi Muhammad saw..

 

Al-qadhi berkata dalam tafsirnya, “Ayat ini mengandung isyarat mengenai hati seorang ahli makrifat, yang telah berpindah dari kondisi gaib kepada Al-Hadrah Al-Ahadiyah (Hadirat Zat Yang Mahaesa).”

 

Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,

 

“Para nabi dan para wali shalat di alam kubur mereka, sebagaimana mereka shalat di rumah mereka.” Artinya, mereka sibuk bermunajat kepada Allah dengan hati-hati mereka yang hidup.

 

Jika shalat syariat dan shalat tarekat ini telah klop menyatu secara lahir maupun batin maka sempurnalah shalatnya. Ganjaran pahala bagi orang yang menyempurnakan kedua shalat itu amatlah besar, berupa kedekatan dengan Allah (al-qurbah) secara ruhaniyah, dan ganjaran surga yang bertingkat-tingkat bagi jasadnya. Ia pun akan menjadi seorang ahli ibadah (abid) secara lahir, dan menjadi seorang ahli makrifat (arif) secara batin. Dan bilamana shalat tarekatnya tidak mampu manghidupkan hatinya maka kualitas shalatnya amatlah kurang, sedangkan ganjarannya nanti hanya berupa surga, dan tidak mendapatkan ganjaran kedekatan (al-qurbah) bersama-Nya.

 

 

 

 

 

Kesucian makrifat terbagi menjadi dua macam, yaitu kesucian makrifat sifat dan kesucian makrifat zat. Kesucian makrifat sifat tidak didapatkan kecuali dengan talqin (bimbingan) dan membersihkan cermin hati dengan nama-nama Allah (zikir) dari rongrongan nafsu kemanusiaan (basyariyyah) maupun kebinatangan (hawaniyyah). Kemudian setelah hati menjadi bersih, mata hati dapat melihat pantulan keindahan Allah (jamalullah) di cermin hati melalui cahaya sifat-sifat Allah.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Seorang mukmin melihat dengan cahaya Allah.” (HR. ad-Dailami)

 

Beliau juga bersabda,

 

“Seorang mukmin adalah cermin Al-Mukmin (Allah).” (HR. Abu Daud)

 

Bahkan ada yang mengatakan, “Orang yang ‘alim mengukir, dan orang yang ‘arif membersihkan (cermin hati).”

 

Jika pembersihan hati telah sempurna dengan senantiasa menyebut nama-nama Allah (zikir), maka ia akan dianugerahi makrifat sifat hingga ia selalu dapat menyaksikan sifat-sifat-Nya di cermin hati.

 

Sedangkan bersuci di tingkatan makrifat Zat hanya dapat diraih dengan senantiasa menyebut sepertiga terakhir (empat nama) dari dua belas nama Allah di dalam pusat rasa (yang tersembunyi) dan dengan cahaya tauhid.

 

Jika cahaya Zat sudah terang-benderang, maka leburlah dan fana’-lah sekujur jiwa manusia. Ini adalah maqam peleburan diri (maqam istilaak) dan kefanaan yang hakiki (fana al-fana’). Inilah tajalli yang menyingkirkan semua cahaya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah.” (al-Qashshash: 88)

 

Maka yang tersisa ketika itu hanya ruh al-qudsi yang dengan cahaya kesucian sehingga mampu melihatNya, bersama-Nya dan untuk-Nya. Akan tetapi, semua jtu tidak diketahui tata cara dan perumpamaannya, karena Allah Ta’ala berfirman,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (asy-Syuura: 11)

 

Oleh karena itu, yang tersisa saat itu adalah cahaya murni (nur al-mutlaq). Namun, apa yang tersembunyi di balik itu tidak mungkin dapat diberitahukan kepada yang lain, sebab ini merupakan alam peleburan diri. Akal tidak lagi berfungsi untuk menalarnya, dan tidak ada sesuatu apapun yang mampu menyingkapnya kecuali Allah Ta’ala.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Aku memiliki waktu khusus bersama dengan Allah, yang tidak dianugerahkan kepada malaikat dan tidak pula kepada nabi yang diutus.”

 

Inilah alam al-tajrid, yaitu alam yang sunyi dari segala sesuatu selain Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Menyendirilah, niscaya engkau akan sampai kepada-Ku.”

 

Maksud dari menyendiri adalah sirnanya semua sifat manusiawi (duniawi) dari dirinya sehingga yang tertinggal hanya ia sendiri di alamnya, kemudian ia memperoleh sifat-sifat ilahi.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

 “Berakhlaklah engkau dengan Akhlak Allah.” Maksudnya adalah sifatilah diri kalian dengan sifat-sifat Allah.

 

 

 

Zakat juga ada dua jenis, yaitu zakat syariat dan zakat tarekat.

 

Zakat syariat adalah memberikan sesuatu dari hasil usaha dunia kepada orang lain yang sudah ditentukan, pada waktu tertentu, dan dikeluarkan setiap tahun dari nisab tertentu. Sementara zakat tarekat adalah memberikan semua usaha ukhrawi dijalan Allah kepada orang fakir dalam urusan agama dan miskin dalam urusan akhirat..

 

Zakat syariat disebut juga dalam Al-Qur’an dengan sedekah. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

 

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin.” (at-Taubah: 60)

 

Alasan dinamakan sedekah karena ia lebih dahulu sampai ke tangan Allah sebelum sampai ke tangan orang fakir. Maksudnya, lebih dahulu diterima oleh Allah.

 

Zakat tarekat bersifat abadi. Zakat tarekat sendiri adalah memberikan ganjaran atau usaha akhirat kepada ahli maksiat semata-mata untuk mendapat ridha Allah. Dengan itu, Allah akan memberikan ampunan kepada mereka (ahli maksiat) sesuai dengan shalat, zakat, puasa, haji, tasbih, tahlil, bacaan Al-Qur’an, kedermawanan, dan amalan baik lainnya dari hambaNya yang menyedekahkan pahala ibadahnya bagi orang yang berdosa (pelaku maksiat).

 

Jadi, orang yang menunaikan zakat tarekat itu tidak mendapat pahala untuk dirinya karena sudah diberikan kepada orang lain. Maka, ia akan berubah status menjadi orang yang bangkrut (tak lagi punya pahala bagi dirinya). Akan tetapi, Allah mencintai hamba-Nya yang dermawan itu, yang rela bangkrut pahalanya demi kebaikan (pada orang lain).

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Orang yang bangkrut berada dalam perlindungan Allah di dunia dan akhirat.”

 

Seorang hamba dengan segala apa yang ada di tanganya adalah kepunyaan tuannya. Kelak pada hari kiamat, Allah (sebagai Tuan dari si hamba) akan membalas setiap kebaikan hamba-Nya itu dengan ganjaran sepuluh kali lipat. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,

 

“Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (al-An’aam: 160)

 

Sufi wanita Rabi al al Adawiyah berdoa memohon kepada Allah, “Ya Allah, berikan seluruh bagian harta duniaku bagi orang fakir, dan berikanlah seluruh pahala akhiratku untuk orang-orang beriman. Sebab, yang aku inginkan di dunia ini hanyalah mengingatMu (rindu pada-Mu), dan yang aku inginkan di akhirat hanyalah bertemu (bersama) dengan-Mu.”

 

Termasuk pula dalam pengertian zakat adalah membersihkan hati dari sifat-sifat yang hawa nafsu.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat-gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (al-Baqarah: 245)

 

Allah Ta’ala juga berfirman,

 

“Sungguh bahagia orang-orang yang membersihkan jiwanya.” (asy-Syams: 9)

 

Sementara yang dimaksudkan dengan ‘memberi pinjaman’ di ayat 245 surat al-Baqarah diatas adalah memberikan kebaikan yang ia miliki di jalan Allah sebagai bentuk berbuat baik kepada makhluk dengan rasa kasih sayang di hadapan-Nya tanpa mengharapkan apapun. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,

 

“Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),” (al-Baqarah: 264)

 

Tidak mengharapkan balasan di dunia maka ini yang disebut dengan berinfak di jalan Allah. Sebagaimana firman-Nya

 

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali ‘Imraan: 92)

 

 

 

 

Puasa syariat adalah menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami isteri pada siang hari. Sedangkan puasa tarekat adalah menahan seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang diharamkan dan menjauhi sifat-sifat tercela, seperti ujub, sombong, bakhil dan lain sebagainya, baik secara lahir maupun batin, siang dan malam hari. Sebab, semua itu dapat membatalkan puasa tarekat. Puasa syariat dilakukan pada waktu tertentu, sedang puasa tarekat dilakukan seumur hidup.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Betapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah)

 

Maka dari itu, ada yang mengatakan, “Banyak yang berpuasa namun hakikatnya ia berbuka, sedangkan banyak pula yang berbuka padahal sebenarnya ia berpuasa.” Maksud dari kalimat ‘berbuka padahal sebenarnya berpuasa adalah orang yang tidak berpuasa perutnya tapi ia menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan dosa maupun menyakiti orang lain.

 

Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya.” (HR. Muslim)

 

Dalam hadits qudsi lainnya Allah Ta’ala juga berfirman,

 

“Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan: bahagia ketika berbuka dan bahagia ketika melihat keindahan-Ku.”

 

Menurut ahli syariat, maksud dari berbuka (al-ifthar) itu adalah makan pada saat matahari tenggelam, sedangkan rukyah adalah melihat hilal pada malam hari raya. Sementara menurut pandangan ahli tarekat, berbuka itu adalah saat ia masuk ke surga, saat seorang hamba mencicipi semua kenikmatan surga, sedangkan maksud dari kegembiraan ketika rukyah adalah mampu melihat Allah Ta’ala secara nyata pada hari kiamat dengan pandangan tersembunyi (sirr). Dengan kemuliaan dan keutamaan-Nya, semoga Allah Ta’ala memberi karunia kepada kita agar dapat melihat-Nya.

 

Sementara puasa hakikat adalah menahan hati untuk tidak mencintai selain Allah, dan menahan rasa (Ssirri) supaya tidak mencintai penyaksian (musyahadah) kecuali kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya.”

 

Rahasia itu bersumber dari cahaya Allah, jadi tidak mungkin berpindah ke selain Allah. Oleh karena itu, tidak ada yang dicintai dan dicari di kolong dunia maupun di akhirat selain Allah. Jika ia ‘jatuh cinta’ selain kepada Allah, maka batallah puasa tarekat-nya, dan ia wajib meng-gadha puasanya, dengan cara kembali kepada Allah dan menemui-Nya. Ganjaran dari puasa tarekat ini adalah berjumpa dengan Allah di alam akhirat.

 

 

 

Haji itu ada dua macam, haji syariat dan haji tarekat. Haji syariat adalah melakukan perjalanan ke Baitullah dengan menyempurnakan syarat dan rukun-rukunnya sehingga mendapatkan pahala haji (haji yang mabrur). Jika salah satu syaratnya kurang, maka kurang pulalah pahala haji, karena Allah memerintahkan kita menjalankan ibadah haji secara sempurna.

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.” (al Baqarah: 196)

 

Adapun syarat-syarat haji syariat antara lain, berihram, memasuki kota Makkah, bertawaf qudum, wukuf di Arafah, bermukim di Muzdalifah, menyembelih hewan kurban di Mina, memasuki Tanah Haram, bertawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, meneguk air zam-zam, menunaikan shalat sunnah tawaf dua rakaat di makam Nabi Ibrahim as., ber-tahalul, dan menjaga diri dari apa yang dilarang Allah, semisal berburu dan lain sebagainya. Ganjaran haji syariat ini adalah selamat dari siksaan Neraka Jahim dan kemurkaan-Nya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Orang yang masuk ke Baitullah (beribadah haji), maka ia akan aman.” (Ali “Imraan: 97)

 

Setelah itu, melakukan thawaf wada’ dan pulang ke tanah air. Semoga Allah Ta’ala memberi karunia kepada kita agar dapat melaksanakannya.

 

Sementara haji tarekat, bekal dan kendaraannya adalah kecondongan hati kepada ahli talqin dan mengambil bimbingan darinya. Kemudian, senantiasa melazimkan zikir laa ilaah illallah dengan lisan dan merenungkan maknanya sehingga menghasilkan hati yang hidup. Lalu, ia menyibukkan diri berzikir kepada Allah secara batin untuk mendapatkan hati yang jernih dengan senantiasa menyebut nama dan sifat-sifat Allah. Dengan itu, akan muncul di relung hati “Ka bah tersembunyi” melalui sinaran cahaya sifat. Sebagaimana perintah Allah pada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as. membersihkan Ka’bah.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:

 

“Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf.” (al-Baqarah: 125)

 

Ka bah lahiriah ini dibersihkan untuk para tamu Allah yang bertawaf, sedangkan Ka’bah batiniah dibersihkan (dari selain Allah) untuk melihat Sang Pencipta. Kemudian berihram dengan cahaya ruh al-qudsi, lalu masuk ke dalam “Ka’bah hati”, bertawaf gudum dengan terus menyebut nama-Nya yang kedua, yaitu ALLAH. Selanjutnya, berangkat ke Arafah hati, yang tidak lain adalah ruang untuk bermunajat. Dan berwukuf di sana dengan terus menyebut nama ketiga (HUWA, Dia) dan keempat (AL-HAQQU, Yang Mahabenar). Kemudian berangkat ke Muzdalifah hatinya (al-fu ‘ad) dengan senantisa menyebutkan sifat kelima dan keenam, yaitu AL-HAYYU (Yang Mahahidup) dan ALQAYYUM (Yang Ada dengan sendirinya). Lalu, bertolak selanjutnya ke Mina sirri (rasa) yang terletak antara dua tempat suci, lalu berwukuf di antara keduanya.

 

Kemudian menyembelih nafsu muthma’innah dengan senantiasa menyebut-nyebut nama yang ketujuh (AL QAHHAR, Yang Mahamemaksa), karena Al-Qahhar itu merupakan nama kefanaan (peleburan) dan penyibak hijab kekufuran. Sebagaimana disabdakan

 

Rasulullah saw.,

 

“Kufur dan iman adalah dua tempatdari belakang ‘Arasy. Keduanya adalah penghalanga (hijab) antara hamba dengan Tuhannya. Hijab pertama berwarna hitam, dan yang kedua bewarna putih.”

 

Selanjutnya, mencukur rambut sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) dari kepala ruh Al-Oudsi dengan senantiasa menyebut nama Allah yang kedelapan (AL-WAHHAB).

 

Kemudian ia masuk ke tanah haram sirri dengan terus menyebut nama Allah yang kesembilan (AL-FATTAH), sampai ia melihat orang-orang beriktikaf di hamparan permadani kedekatan dan ketenangan bersama-Nya, dan di sana ia bermesraan (unsiyah) dengan senantiasa menyebut nama Allah yang kesepuluh (AL-WAHID), Lalu, ia melihat keindahan Allah Yang Mahasuci dari Mahaagung tanpa bisa ditanya bagaimana keadaannya, tidak pula dapat diserupakan, atau diumpamakan dengan selain-Nya.

 

Selanjutnya, ia bertawaf batin sebanyak tujuh putaran dengan senantiasa menyebut nama Allah yang kesebelas (AL-AHAD), dan enam nama turunannya. Kemudian ia meneguk air dari “tangan” Yang Mahakuasa. Sebagaimana diisyaratkan dalam firmanNya,

 

“Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih dan suci.” (al-Insaan: 21)

 

Allah mencurahkan minuman dari cawan nama-Nya yang kedua belas (ASH-SHAMAD). Hamba itu lalu diangkat oleh-Nya sehingga ia pun melihat dengan media cahaya-Nya kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Apa yang tidak dapat dilihat oleh mata.”

 

Maksudnya adalah perjumpaan dengan Allah. Sebuah fenomena agung yang tidak bisa ditangkap secara kasat mata atau mata telanjang.

 

Demikian pula dengan penggalan berikutnya,

 

“Dan tidak dapat didengar dengan telinga.”

 

Maksudnya adalah perkataan Allah (Kalamullah) yang mengalir tanpa huruf, suara, dan perantara. Sebagaimana dikatakan juga,

 

“Dan tidak terlintas di relung hati manusia.”

 

Maksudnya adalah kenikmatan melihat dan bercengkrama dengan Allah Ta’ala.

 

Ia kemudian bertahalul dari apa saja yang diharamkan oleh Allah. Maksudnya, mengganti sifat-sifat buruk dalam dirinya dengan sifat-sifat yang baik dengan senantiasa menyebut nama tauhid. Sebagaimana yang tertera dalam firman Allah,

 

“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan.” (al-Furqaan: 70)

 

Kemudian melepaskan diri dari perbuatan hawa nafsu sehingga ia tak lagi merasa khawatir dan sedih hati. Sebagaimana difirmankan oleh Allah,

 

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran dalam diri mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)

 

Semoga Allah menganugerahkan kepada kita keutamaan dan kemuliaan-Nya.

 

Kemudian ia bertawaf shadri (wada”) dengan senantiasa menyebut ulang seluruh nama-nama Allah itu. Kemudian pulang ke negeri asal mereka di alam al-qudsi dalam bentuk yang sebaik-baiknya dengan senantiasa membaca nama Allah yang kedua belas, yang berkaitan erat dengan alam al-yakin.

 

Pentakwilan ini berada di sekitar lisan dan akal. Sementara hal-hal lain yang ada di balik itu tidaklah dapat dibeberkan, karena hal itu tidak dapat dipahami maupun dicerna oleh akal, dan hati pun tidak sanggup menampungnya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw.,

 

“Sesungguhnya di antara ilmu itu ada yang seperti mutiara yang tersembunyi (dalam kerang tempatnya), tidak ada yang mengetahuinya kecuali para ulama yang dekat dengan Allah. Jika mereka membicarakannya, niscaya tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang lalai.” (HR. ad-Dailami)

 

Seorang ahli makrifat hanya akan menyampaikan pandangan yang lebih rendah dari yang disebutkan itu, sementara orang alim akan berbicara lebih tinggi dari yang dibicarakan tersebut. Hal itu tidak lain karena ilmu ahli makrifat adalah rahasia Allah (sirrullah) dan tidak akan diketahui oleh selain-Nya. Sebagaimana firman Allah,

 

“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (al-Baqarah: 255)

 

Maksud dari “yang dikehendaki-Nya” dalam ayat di atas adalah para nabi dan para wali.

 

Allah Ta’ala juga berfirman,

 

“Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi, Dialah Allah, tidak ada Tuhan selain Di, yang mempunyai nama-nama yang terbaik,” (Thaahaa: 7-8)

 

 

 

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.” (az Zumar: 23)

 

Allah Ta’ala juga berfirman,

 

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.” (az-Zumar: 22)

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Satu tarikan (ruhani) dari tarikan-tarikan (ruhani) Allah sebanding dengan amalan seluruh jin dan manusia.”

 

Beliau juga bersabda, “Orang yang tidak punya alwajd (getaran hati) berarti ia tidak memiliki agama.” Al-Junaid al-Baghdadi berkata, “Al-wajd yang muncul di lubuk hati manusia adalah anugerah Allah yang dapat menularkan kegembiraan dan kesedihan.” Getaran hati (al-wajd) ini ada dua jenis yaitu, getaran hati jismani dan getaran hati ruhani. Getaran hati jasmani adalah getaran hati yang didorong oleh nafsu, yang muncul dari kekuatan jasad, bukan dari tarikan dominan ruhani. Contohnya seperti riya’, sum ‘ah dan kemegahan. Ini adalah batil, karena keinginan si empu masih mendominasi dan tidak bisa disingkirkan. Getaran hati seperti ini tak boleh kita ikuti.

 

Sementara getaran hati ruhani adalah getaran yang digerakkan melalui tarikan ruhaniyyah, seperti ketika mendengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suara yang merdu, atau syair yang tersusun indah, atau suara zikir yang memberi pengaruh kuat. Dalam keadaan seperti itu, maka jasad tidaklah lagi memiliki kekuatan, apalagi untuk memilih menolaknya. Pengalaman ruhani seperti ini merupakan rahmat Allah yang besar manfaatnya untuk diikuti.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu yang mendengarkan perkataan (nasihat) lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya.” (az-Zumaar: 17-18)

 

Getaran hati ruhani juga lahir saat kita mendengar suara hati orang-orang yang merindukan Tuhan, serta suara burung-burung dan nada-nada ritmis yang enak didengar. Semua itu memberi kekuatan pada ruhani untuk mencegah hawa nafsu dan setan menyusup ke dalam hati. Sebab, setan hanya mampu bergerak di wilayah nafsu yang gelap, bukan di alam ruhaniyah yang terang oleh cahaya-Nya. Di alam ruhaniyah tersebut, hal-hal jahat akan lenyap saat seseorang membaca kalimat hauqalah, yaitu laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil azhim (tiada daya dan upaya kecuali oleh Allah yang Mahatinggi dan Mahaagung). Kejahatan itu akan larut, laksana Larutnya garam saat dimasukkan ke dalam air.

 

Pada bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, puisi-puisi bijak, cinta, rindu dan keluh pilu, terdapat kekuatan cahaya bagi ruh. Oleh karena itu, penyatuan cahaya dengan cahaya lainnya harus tetap dilakukan, karena hal itu berdampak baik

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Yang baik untuk yang baik.” (an-Nuur: 26)

 

Sementara getaran hati (al-wajdu) yang bersumber dari setan dan hawa nafsu, maka tidaklah mengandung cahaya. Bahkan sebaliknya, ia mengandung kegelapan dan kekufuran. Kegelapan yang berjumpa dengan kegelapan akan menghasilkan ‘hawa nafsu’ sehingga getaran hati akan rentan tergiur dan terjungkal ke liangnya. Ini sesuai dengan firman Allah, “Yang keji untuk yang keji.” (an-Nuur: 26)

 

Dalam kondisi semacam itu, ruh sama sekali tidak memiliki kekuatan.

 

Getaran hati (al-wajd) terbagi menjadi dua, yaitu: bersifat ikhtiyariyyah (bersifat pilihan, atas kemauan sendiri) dan yang bersifat idhtirariyyah (terpaksa dilakukan).

 

Pertama, gerakan yang dilakukan atas kemauan sendiri (pilihan) ini seperti aktivitas tubuh manusia yang normal dan sehat, tidak sedang terkena penyakit tertentu (yang membatasi gerak anggota tubuhnya) atau cacat. Gerakan ini tidaklah disyariatkan.

 

Kedua, gerakan yang bersifat memaksa (kita tak punya pilihan untuk menolaknya), dan biasanya muncul karena sebab lain (di luar kesadaran), seperti kekuatan ruh yang tidak mungkin dicegah oleh jiwa. Sebab, gerakan ini mampu menaklukan gerakan tubuh, seperti orang yang menggigil saat demam tinggi. Jika demamnya semakin akut, jiwa tidak akan mampu mengendalikannya, maka saat itu dirinya tidak mempunyai pilihan lain. Maka dari itu, jika al-wajdu ini mampu menguasai gerakan ruhani, maka ia menjadi gerakan hakiki yang bersifat ruhaniyah.

 

Getaran hati dan pendengaran adalah alat penggerak, seperti pada hati orang-orang yang merindukan (Tuhannya) dan ahli makrifat. Getaran hati adalah makanan ruhaniyah bagi orang-orang yang mencintai Allah dan penguat bagi orang yang mencari-Nya.

 

Dikatakan, bahwa mendengarkan lantunan suara yang indah itu hukumnya fardhu bagi sebagian orang, tapi hukumnya bisa menjadi sunnah atau malah bid’ah bagi sebagian orang lainnya. Adapun yang fardhu diperuntukkan bagi orang-orang yang khusus (khawwash), sedangkan yang sunnah bagi para pecinta, dan bid’ah bagi orang-orang yang lalai.

 

Nabi saw. bersabda, “Orang yang tidak tersentuh hatinya ketika mendengar lantunan bacaan (Qur’an) yang indah, syair-syair para pujangga, bunga-bunga di pergantian musim, merdunya suara seruling, berarti hatinya rusak, dan itu tak ada obatnya. Bahkan, ia lebih rendah dibanding keledai dan burung-burung, atau sapi dan kerbau.”

 

Itu karena keledai, burung, sapi dan kerbau dapat merasakan nada-nada yang berirama. Buktinya, burung-burung pun hingga di atas kepala Nabi Daus as. karena ingin mendengar suara nyanyian Daud.

 

Tak heran kalau Nabi saw. juga bersabda, “Orang yang hatinya tak pernah tergetar, berarti tak punya agama.”

 

Getaran hati itu (al-wajdu) ada sepuluh tingkatan. Sebagian jelas dan tampak jelas pengaruhnya dalam gerakan, sementara sebagian lainnya nampak samar atau tersembunyi, seperti zikir batin kepada Allah atau membaca Al-Qur’an dalam hati. Juga menangis, merintih, takut, sedih, merasa putus asa, dan merasa bingung saat berzikir kepada Allah, merasa berat menanggung beban sendirian, penyesalan, perubahan secara lahir dan batin, mengharap ridha Allah dan merindukan-Nya. Kadangkala getaran itu tampak dalam bentuk demam tubuhnya dan keluar keringat dingin.

 

 

 

 

Khalwat (berduaan dengan Allah) dan uzlah K (mengasingkan diri) terbagi menjadi dua, yaitu khalwat lahir dan khalwat batin.

 

Khalwat lahir adalah mengasingkan diri (uzlah) dari dunia agar orang lain tidak terkontaminasi oleh keburukan akhlaknya mendorong jiwa untuk menyingkirkan berbagai kebiasaan buruknya. Kemudian, menjaga panca inderanya agar dapat menyingkap indera batin secara ikhlas dan penuh kepasrahan. Semua itu dilakukan dengan niat semata-mata untuk mencari ridha Allah, dan supaya keburukan dirinya tidak menimpa kaum muslimin.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Muslim (yang baik) adalah yang Muslim lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)

 

Selain itu, ia menahan lidahnya dari perkataan yang tidak bermanfaat baginya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw.,

 

“Keselamatan seseorang tergantung pada penjagaan lisannya.” (HR. Ibnu Abi ad-Dunya)

 

Kemudian, ia menjaga kedua matanya agar tidak berkhianat maupun melihat kepada yang diharamkan, serta menjaga kedua telinga, kedua tangan, dan kedua kakinya.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Kedua mata bisa berzina.”

 

Zina anggota tubuh ini akan membuat munculnya sosok yang buruk rupa, yang akan berdiri bersamanya pada hari kiamat sebagai saksi di hadapan Allah. Sosok buruk itu akan menemaninya menerima azab di neraka.

 

Tapi, jika kemudian ia bertobat dan menjaga dirinya, maka ia tergolong seperti yang Allah Ta’ala firmankan,

 

“Dan orang-orang yang menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (an Naazi aat: 40-41)

 

Maka rupa yang buruk itu akan berubah menjadi wajah yang elok menawan, lalu pemuda itu akan selamat dari keburukannya.

 

Dengan begitu, khalwat seolah telah berhasil menyelamatkannya dari berbagai kemaksiatan sehingga tiada yang tersisa kecuali amalan baik, sementara ia pun menjadi sosok manusia yang baik.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (at-Taubah: 120)

 

Di ayat lainnya, Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raaf: 56)

 

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih.” (al-Kahfi: 110)

 

Sedangkan khalwat batin, maka seseorang harus menjaga hatinya agar tidak dirasuki pikiran-pikiran kotor dan setan, seperti terlalu menyukai makanan, minuman, keluarga, binatang, riya”, sum ‘ah dan popularitas.

 

Nabi saw. bersabda,

 

“Popularitas itu musibah, namun setiap orang mendambakannya. Sedang ketidakpopuleran adalah kedamaian, namun setiap orang (berusaha) manjauhinya.”

 

Melalui khalwat batin, maka hatinya tidak akan dihinggapi kesombongan, ujub, kikir dan sifat-sifat tercela lainnya. Jika salah satu dari sifat tersebut menyusup ke lubuk hati orang yang sedang berkhalwat, maka rusaklah khalwat dan hatinya. Dan rusak pulalah amal saleh dan kebaikan yang ada di dalam hatinya, akibatnya hati itu pun tidak lagi bermanfaat.

 

Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-yang membuat kerusakan.” (Yunus: 81)

 

Setiap orang yang dihatinya meringkuk sifatsifat merusak, maka ia termasuk kalangan perusak (mufsidin). Sekalipun secara lahiriah ia terlihat seperti sosok yang baik.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Kemarahan itu merusak keimanan, sebagaimana cuka merusak madu.” (HR. ath-Thabrani dan al-Baihaqi)

 

“Kedengkian (hasad) itu melahap kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar.” (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud)

 

“Menggunjing orang lain (ghibah) itu lebih berbahaya daripada zina.” (HR. ath-Thabrani)

 

“Fitnah itu seperti orang yang terlelap, Allah akan melaknat orang yang membangunkannya.” (HR. as Suyuthi)

 

“Orang yang kikir tidak akan masuk surga walaupun dia ahli ibadah dan pezuhud.” (HR. at-Tirmidzi)

 

“Riya’ adalah syirik yang samar.”

 

“Pengadu domba (namimah) tidak akan masuk surga.” (HR. Muslim)

 

Dan hadits-hadits lain yang mengupas seputar akhlak tercela. Semua itu mengisyaratkan kepada kita untuk waspada.

 

Tujuan paling awal dari tasawuf adalah membersihkan hati dari semua sifat buruk itu dan mencabut pengaruh hawa nafsu dari akarnya melalui khalwat, latihan spiritual (riyadhah), banyak merenung, zikir secara kontinyu, cinta, ikhlas, bertobat, dan beritikad Ahlussunnah yang lurus, sesuai dengan atsar salafus saleh dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama yang mengamalkan ilmunya. Jika seseorang menyendiri (berkhalwat) dengan keadaan telah bertobat, mendapatkan bimbingan (talqin) dan menjalankan syarat-syarat tersebut maka Allah kelak akan menerima amalannya. Allah juga akan menerangi hatinya, melembutkan kulitnya, mensucikan lidahnya, menyatukan panca inderanya yang lahir maupun batin.

 

Kemudian Allah akan mengangkat amal ibadahnya ke hadirat-Nya, dan Allah mendengarkan doanya, sebagaimana tertuang dalam dalam kalimat, sami’allahu liman hamidah (Allah Mendengar orang yang memuji-Nya). Artinya, Allah akan menerima doa, segala pujian, dan ibadahnya. Allah akan memberikan ganjaran kepadanya berupa kedekatan dengan-Nya (al-qurbah) dan kenikmatan surga.

 

Sebagaimana firman Allah,

 

“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” (Fathir: 10)

 

Adapun maksud dari “al-kalam ath-thayyib” pada ayat di atas adalah menjaga lisan dari bualan tiada guna, karena lisan adalah medium untuk berzikir dan bertauhid kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya,

 

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (al-Mukminun: 1-3)

 

Oleh karena itu, Allah akan mengangkat ilmu dan amalan baik pelakunya menuju kedekatan di sisi-Nya (al-qurbah) dan rahmat-Nya melalui naungan ampunan dan ridha-Nya.

 

Jika orang yang berkhalwat telah menapaki berbagai maqam tersebut, maka hatinya akan seperti lautan yang tidak akan tercemar oleh sikap buruk manusia. Sebagaimana sabda Nabi saw.,

 

“Jadilah engkau seperti lautan yang tidak berubah.”

 

Dengan itu, ‘bakteri-bakteri’ nafsunya akan mati tenggelam, seperti tenggelamnya Fir’aun berserta keluarganya tanpa merusak ekosistem laut. Berangkat dari itu, kapal syariat akan berlayar di atasnya tanpa hambatan, dan ruh al-qudsi akan menyelam ke dalam lautan serta mengeluarkan daripadanya mutiara pengetahuan dan mutiara kelembutan (lathifah) yang tersembunyi.

 

Allah swt. telah berfirman,

 

“Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” (ar-Rahman: 22)

 

“Lautan keistimewaan” ini hanya dapat diraih oleh mereka yang mampu menyatukan lautan lahir dan batin, sehingga tidak ada sebuah kerusakan pun yang bersarang di relung hatinya. Tobatnya akan menjadi nasihat baginya, amalannya menjadi bermanfaat, dirinya tidak lagi mudah condong kepada perkara yang terlarang secara sengaja. Adapun berbagai perbuatan yang ia lakukan akibat terlupa, atas izin Allah akan dimaafkan dengan terus beristighfar dan menyesalinya. Insya Allah.

 

 

 

 

Orang yang berkhalwat seharusnya berpuasa jika ia mampu, menunaikan shalat lima waktu berjamaah di masjid, berikut dengan shalat sunnahnya (rawatib), syarat, dan rukun-rukunnya secara sempurna. Kemudian ia menunaikan shalat sunnah dua belas rakaat pada tengah malam dan sepertiga malam terakhir dengan niat tahajud.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan pada sebahagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan (nafilah) bagimu.” (alIsra’: 79)

 

Allah Ta’ala juga berfirman,

 

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya.” (as-Sajdah: 16)

 

Ia lalu menunaikan shalat sunnah dua rakaat setelah matahari terbit, yaitu shalat isyraq, dan diikuti dua rakaat setelahnya dengan niat shalat isti’adzah (mohon perlindungan) dengan membaca surat almu’awwadzatain (al-Falaq dan an-Naas) di rakaat pertama. Selanjutnya melakukan shalat dua rakaat dengan niat istikharah. Pada masing-masing rakaat tersebut ia membaca surat al-fatihah satu kali, ayat Kursi satu kali, dan surat al-ikhlas tujuh kali. Kemudian ia menunaikan shalat enam rakaat setelahnya dengan niat shalat dhuha, dan dua rakaat setelahnya dengan niat kafaratul baul (penghapus dosa kencing). Ia membaca surah al-Kautsar sebanyak tujuh kali setelah membaca surat al-Fatihah. Jika ia telah menunaikan shalat tersebut maka terhapuslah dosa kencingnya dan ia selamat dari siksaan alam kubur.

 

Nabi saw bersabda,

 

“Bersucilah kalian dari air kencing, sebab kebanyakan siksa kubur (disebabkan) olehnya.” (HR. Ad-Daraqutni dan al-Hakim)

 

Dan kemudian ia menunaikan shalat tasbih sebanyak empat rakaat. Jika engkau bermazhab Hanafi, lakukan empat rakaat sekaligus (satu kali salam). Tapi, bila engkau bermazhab Syafi’i, kerjakan dua rakaat-dua rakaat. Itu jika shalat tasbih dilakukan siang hari. Sedangkan bila dikerjakan di malam hari, baik yang bermazhab Hanafi maupun Syafi’i, kerjakan dua rakaat-rakaat.

 

Caranya, setelah berniat kemudian melakukan takbiratul ihram, lalu membaca tawajjuh, kemudian membaca kalimat tasbih sebanyak lima belas kali: subhanallah walhamdu lillah wa la ilaaha illalah wallahu akbar, laa haula wa laa guwwata illa billahi ‘aliyyil ‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan selain Allah, Allah Yang Mahabesar, dan tiada daya upaya kecuali oleh Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung). Kemudian membaca surat al-Fatihah, dilanjutkan membaca satu surah atau beberapa ayat (dari surat yang panjang), misalnya akhir surat al-Baqarah. Kemudian rukuk dan membaca doa rukuk (subhana rabbiyal azhimi wa bihamdih) sebanyak tiga kali, dilanjutkan dengan membaca kalimat tasbih sepuluh kali. Lalu berdiri dari rukuk (i’tidal), membaca doa i’tidal, dan membaca lagi kalimat tasbih sebanyak sepuluh kali. Kemudian bersujud. Pada sujud pertama ia membaca kalimat tasbih sebanyak sepuluh kali setelah membaca tasbih sujud (subhana rabbiyal a’laa wabihamdih) tiga kali: lalu duduk di antara dua sujud dan membaca kalimat tasbih sebanyak sepuluh kali setelah membaca bacaan doa duduk antara dua sujud. Demikian pula pada sujud kedua, ia juga membaca kalimat tasbih sebanyak sepuluh kali setelah membaca tasbih sujud. Selepas dua sujud, ia duduk sebentar (duduk istirakhah) dan mengucapkan kalimat tasbih lagi sebanyak sepuluh kali. Lalu berdiri untuk melanjutkan rakaat kedua, ketiga, dan keempat dengan cara yang sama, diakhiri dengan tahiyat.

 

Hendaknya orang yang berkhalwat menunaikan shalat ini satu kali dalam sehari semalam, jika ia mampu. Jika tidak, maka ia dapat melakukannya pada setiap hari Jum’at, kalau masih tidak mampu maka sebulan sekali. Kalau masih tidak mampu maka setahun sekali, sedangkan jikalau masih tidak mampu juga maka satu kali seumur hidup.

 

Rasulullah saw. pernah berkata kepada pamannya, Sayyidina Al-Abbas,

 

“Barangsiapa yang menunaikan shalat (tasbih) ini, kelak Allah akan mengampuni seluruh dosanya, walaupun lebih banyak dari jumlah pasir, bintang-bintang di langit dan dari jumlah segala sesuatunya.” (HR. Abu Daud) Seorang salik (penempuh jalan menuju Allah) seharusnya membaca doa saifi satu atau dua kali dalam sehari semalam, dan membaca Al-Qur’an lebih kurang 200 ayat. Kemudian ia memperbanyak zikir kepada Allah. Ia berzikir dengan jahr (suara keras) bila maqam-nya zikir jahr. Bila maqam-nya zikir khafi, maka ja bisa berzikir dengan zikir khafi (dalam hati). Maqam zikir khafi (secara pelan) ini biasanya dilakukan setelah hidupnya hati dan diucapkan dengan lisan sirri.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Berzikirlah kamu kepada Allah, sebagaimana Allah telah memberi hidayah kepadamu.” (al-Baqarah: 198)

 

Maksudnya, berzikirlah sesuai dengan tingkatan atau derajat zikirmu (jalr atau khafi). Kemudian untuk mereka di semua maqam, hendaknya setiap hari ia senantiasa mengucapkan salah satu nama-Nya. Selain itu, setiap hari ia juga membaca surah al-ikhlas seratus kali, shalawat kepada Nabi saw. 100 kali dalam sehari, dan mengucap istighfar: astaghfirullah al-azhim alladzi lan ilaaha illa huwal hayyul qayyum, mimma gaddamtu wa maa akhkhartu wa maa a’lantu wa maa asrartu wa maa asraftu wa maa anta a’lamu bihii minni antal muqaddimu wa antal mu ‘akhkhiru wa anta “ala kulli sya ‘in gadiir (Aku mohon ampunan kepada Allah Yang Mahaagung, yang tak ada Tuhan selain Dia, Yang Mahahidup dan Maha Berdiri Sendiri, dari semua dosa yang telah aku kerjakan dan dosa di waktu mendatang, dosa yang aku lakukan terang-terangan dan dosa yang aku kerjakan sembunyi-sembunyi dan yang berlebihan, dan semua dosa yang Engkau lebih ketahui dibanding aku. Engkau yang memulai dan Engkau pula yang mengakhiri, dan sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu). Baca istighfar ini sebanyak seratus kali.

 

Jika mampu, maka ia boleh menambah sesukanya dari amalan sunnah dan bacaan lainnya, niscaya ia akan menerima ganjaran di sisi-Nya. Sebagaimana Allah telah berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (at-Taubah: 120)

 

 

 

 

Banyak hal yang dapat diambil ibrah ketika tertidur dan mengantuk. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada RasulNya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya, (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman.” (al-Fath: 27)

 

Allah juga berfirman melalui lisan Nabi Yusuf as., “Sesungguhnya aku melihat sebelas bintang.” (Yusuf: 4)

 

Nabi saw. bersabda,

 

“Tidak ada lagi yang tersisa setelah kenabianku kecuali kabar-kabar gembira. (HR. al-Bukhari)

 

Ada dari sebagian kabar gembira tersebut yang dapat diketahui oleh kaum mukmin, atau diperlihatkan kepadanya. Sebagaimana firman Allah,

 

“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.” (Yunus: 64)

 

Sebagian orang ada menafsirkan bahwa maksudnya adalah mimpi baik. Sebagaimana pula yang disabdakan oleh Nabi saw.,

 

“Mimpi baik adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian dari kenabian.” (HR. Muslim)

 

Beliau juga bersabda, –

 

“Barang siapa yang bermimpi melihat aku, maka ia benar-benar telah melihatku, karena setan tidak dapat menyerupaiku dan orang-orang yang mengikutiku.”

 

Maksudnya adalah orang-orang mengikuti Nabi melalui cahaya syariat, tarekat, makrifat, cahaya hakikat, dan bashirah. Sebagaimana yang Allah firmankan,

 

“Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah yang nyata.” (Yusuf: 108)

 

Setan tidak akan mampu menjelma melalui cahaya-cahaya lembut tersebut. Penulis Kitab al-Mazhhar mengatakan, ini bukan hanya merupakan kekhususan bagi Nabi saw., namun setan juga tidak mampu menjelma pada sesuatu yang menunjukkan rahmat, kasih sayang, kelembutan dan hidayah Allah, seperti para nabi, wali, malaikat, Ka’bah, matahari, bulan, awan putih, mushaf, serta lain sebagainya. Sebab, setan merupakan representasi dari sifat Al-Qahhar (Mahamemaksa), dimana ia tidak akan mampu menjelma kecuali pada rupa dan nama-nama yang menyesatkan. Tidak mungkin setan mampu menjelma pada seorang yang merupakan representasi dari nama Allah, Sang Maha Pemberi Petunjuk.

 

Sesuatu tidak dapat menjelma pada suatu yang berlawanan, lantaran pada keduanya terdapat perbedaan mendasar dan berjauhan. Misalnya api dengan air. Api tak mungkin erubah menjadi air, begitu pula sebaliknya. Sebab, zat api dan air saling berlawanan dan jauh bedanya. Jadi, pastilah beda antara kebenaran dan kebatilan.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Demikianlah Allah memberi perumpamaan bagi yang benar dan yang batil.” (ar-Ra’d: 17)

 

Setan dapat menjelma dalam rupa ketuhanan dan pengakuan ketuhanan karena sifat Allah adalah Agung (Jalal) dan Indah (Jamal). Setan dapat menjelma dengan sifat Agung (Jalal) karena sifat itu merupakan representasi dari sifat ‘Mahamemaksa (Al-Qahhar)’. Adapun penjelmaan dan pengakuan setan dengan sifat ketuhanan itu hanya berlaku untuk nama (asma) Al-Mudhillu (Yang Maha menyesatkan) saja. Setan tidak akan mampu menjelma pada semua nama dan sifat Allah, terlebih lagi pada nama yang bermuatan hidayah.

 

Mengenai persoalan ini, orang-orang terdahulu telah mengemukakan banyak penjelasan.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dengan penglihatan hati (bashirah) aku dan orang-orang yang mengikutiku (setelahku).” (Yusuf: 108)

 

Ayat di atas (orang-orang yang mengikutiku setelahku) merupakan isyarat bagi pewaris sempurna, yaitu mursyid, dengan petunjuknya dan orang yang dianugerahi pandangan batin (bashirah), seperti pandangan batin-Ku yang terpancar dari wajah. Artinya, orang-orang yang memiliki kewalian yang sempurna dan mendiami al-wilayah al-kamilah. Sebagaimana yang diisyarakatkan oleh Allah melalui firman-Nya,

 

“Wali yang dapat memberi petunjuk.” (al-Kahfi: 17)

 

Penting untuk diketahui bahwa mimpi itu ada dua bentuk, yaitu mimpi afagi dan mimpi anfusi, masing-masing terbagi lagi menjadi dua.

 

Mimpi anfusi adalah mimpi yang biasanya datang dari akhlak terpuji atau akhlak tercela. Contoh mimpi ini yang dari akhlak terpuji adalah seperti surga dan kenikmatannya, bidadari, kemewahan istana, pemuda yang tampan, hamparan cahaya, matahari, bulan, bintang, dan lain sebagainya erat kaitannya dengan hati.

 

Adapun mimpi anfusi dari akhlak baik yang menyejukkan jiwa (an-nafs al-muthma’innah) seperti mimpi melahap daging hewan dan burung. Sebab, kehidupan yang tenang di surga juga mirip dengan hal ini, seperti menyantap daging kambing dan burung yang sudah dipanggang. Sedangkan sapi akan datang dari surga kepada Nabi Adam as. untuk membantunya bercocok tanam di dunia. Begitu pula halnya dengan unta yang dipergunakan untuk menapaki perjalanan menuju Ka’bah lahir maupun batin, sementara kuda datang sebagai alat transportasi untuk berjihad, baik jihad kecil maupun besar. Semua itu adalah untuk kepentingan untuk akhirat.

 

Dalam sebuah hadis disebutkan,

 

“Kambing itu diciptakan dari madu surga, sapi diciptakan dari minyak za’faran surga, unta dari cahaya surga dan kuda dari angin surga.”

 

Sementara bighal diciptakan dari sifat muthma’innah terendah. Orang yang melihat bighal dalam mimpinya, maka dapat diartikan bahwa ia sosok yang malas beribadah, malas menunaikan shalat, dan usahanya hanya menghasilkan sia-sia belaka kecuali ia mau bertobat.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan” (al-Kahfi: 88)

 

Keledai diciptakan dari batu-batu surga. Tujuan penciptaannya semata-mata untuk kemaslahatan Nabi Adam as. dan keturunannya dalam meraih kemuliaan akhirat melalui ladang dunia.

 

Adapun mimpi yang berhubungan dengan ruh, contohnya adalah seperti seseorang yang bermimpi memandang pemuda yang elok rupanya, dimana dari wajahnya terpancar cahaya-cahaya Ilahiyah. Sebab, penduduk surga semuanya seperti wujud pemuda tampan tersebut.

 

Nabi saw. bersabda,

 

“Ahli surga kelak berparas tampan dan bercelak.” (HR. at-Tirmidzi)

 

Beliau juga bersabda,

 

“Aku melihat Tuhanku dalam rupa pemuda yang sangat tampan.”

 

Sebagian ulama mengatakan, maksud dari ‘rupa’ itu adalah penampakan Allah (tajalli) pada permukaan cermin ruh melalui sifat ketuhanan-Nya. Dan inilah yang dinamakan dengan thiflul ma’ani, karena ia merupakan pembimbing bagi jasad sekaligus perantara (wasilah) antara manusia dan Rabbnya.

 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kalaulah bukan karena bimbingan Tuhanku tentu aku tidak akan mengenal Tuhanku.”

 

Pembimbing di sini adalah pembimbing batin, yang diperoleh melalui bimbingan lahir, yaitu ahli talqin. Para nabi dan wali adalah pembimbing hati, sementara mereka mendapat pendidikan dari perjumpaannya dengan ruh yang lain (Jibril).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (al-Mukmin: 15)

 

Oleh karena itu, mencari pembimbing (mursyid atau ahli talqin) untuk menghidupkan hati dan mengenal tuhan hukumnya adalah wajib. Maka, pahamilah hal tersebut!

 

Imam al-Ghazali berkata, “Seseorang bisa saja melihat Tuhan dalam mimpinya, dalam bentuk atau rupa yang indah dan ukhrawi. Tapi, yang ia lihat sebenarnya adalah simbol, sesuai dengan kesiapan dan maqam ruhani orang yang melihat. Apa yang ia lihat dalam mimpi itu sebetulnya bukanlah Zat Allah, karena Allah Mahasuci dari segala bentuk dan rupa tersebut. Begitu pula halnya dengan mimpi melihat Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad bisa saja terlihat dalam mimpi, tapi juga dalam bentuk atau symbol yang berbeda-beda sesuai kualitas kesiapaannya. Wujud beliau yang sebenarnya tidak mungkin muncul dalam mimpi seseorang kecuali bagi mereka yang mendapat sebutan “pewaris sempurna”, baik dalam amal, ilmu, ahwal, dan penglihatan hatinya, lahir maupun batin.

 

Dalam kitab Syarah Muslim dijelaskan, “Seseorang bisa saja bermimpi melihat Allah dalam rupa manusia atau cahaya, sebagaimana takwil sebelumnya. Allah mewujudkan dirinya dalam bentuk sifat-sifatnya. Kepada Nabi Musa as., Allah mewujud dalam bentuk api di dahan pohon anggur. Sebagaimana tertuang dalam firman-Nya,

 

“Tinggallah kamu (di sini), Sesungguhnya Aku melihat api, Mudah-mudahan Aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu.” (Thaaha: 10)

 

Begitu pula sebagaimana Allah firmankan dalam ayat-Nya,

 

“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?” (Thaaha: 17)

 

Api sejatinya juga cahaya, namun dinamakan “api” selaras dengan keinginan Nabi Musa as. yang ketika itu membutuhkan api. Demikian pula ketika penampakan-Nya dalam bentuk pohon maka bukan berarti manusia rendah derajatnya daripada pohon. Tidak heran, kalau Allah Ta’ala menampakkan diri-Nya (ber-tajalli) melalui salah satu sifat-Nya dalam bentuk al-insan al-haqiqi setelah manusia membersihkan dirinya dari sifat hewani kepada sifat insani. Sebagaimana saat Allah Ta’ala ber-tajalli pada sebagian wali.

 

Abu Yazid al-Busthami berkata saat melihat Allah ber-tajalli, “Betapa suci aku, betapa mulia aku.” Ketika mengalami kondisi yang sama (Allah ber-tajalli), Al-Junaid al-Baghdadi pernah berkata, “Di dalam jubahku tidak ada yang lain kecuali Allah.”

 

Pada maqam itu terdapat banyak rahasia dan berbagai hal istimewa bagi ahli tasawuf, yaitu para pencari hikmah ilahi. Dan ini membutuhkan waktu yang panjang untuk menjelaskannya.

 

Maqam ruhani seperti itu dapat diraih melalui pengajaran dan bimbingan dari seorang guru. Orang yang baru menapaki jalan spiritual belumlah memiliki “hubungan mesra” dengan Tuhan dan nabi-Nya, maka dari itu ia membutuhkan bimbingan dari seorang guru (wali) terlebih dahulu sebagai perantara. Pertama-tama, ia harus dibimbing oleh guru yang dekat secara rohani dengan Allah dan Rasul-Nya. Guru yang sejati punya hubungan rohani dengan Allah dan Rasulullah saw. Bila Rasulullah masih hidup, umatnya dapat langsung mengambil ilmunya langsung dari beliau, tanpa perlu perantara. Akan tetapi, setelah beliau wafat dan berpindah ke alam rohani (alam akhirat), maka putuslah hubungan itu. Demikian pula kondisi para wali ketika mereka sudah berpindah ke alam akhirat, maka orang-orang tidak akan mendapatkan petunjuk darinya.

 

Pahamilah hal ini, jika engkau termasuk orangorang yang mengerti. Jika tidak mampu, maka carilah pemahaman melalui latihan rohani yang mampu mengalahkan nafsu manusiawi yang menjadi sumber kegelapan. Sebab, pemahaman itu mengalir melalui cahaya, bukan melalui kegelapan, dan cahaya tidak akan hinggap kecuali pada tempat yang indah dan bersih. Seorang yang baru menapaki jalan spiritual tentu belumlah memiliki maqam yang sama dengan para wali itu (maka dari itu ia harus meningkatkan latihannya).

 

Seorang pemula dalam dunia tasawuf punya peluang untuk sama maqam-nya dengan wali yang masih hidup. Hal itu tidak lepas dari dua faktor, yaitu keterikatan jasad (at-ta’alluqiyah al-jasmaniyah) dan kebersihan rohani (at-tajarrudiyah ar-ruhaniyah) jika ditinjau dari kedudukannya sebagai pewaris sempurna dari Nabi saw.. Ia juga akan dianugerahi bagian dari wilayah kenabian agar nanti dapat memperkenalkannya di hadapan manusia. Oleh karena itu, pahamilah, karena di balik semua ini terdapat rahasia luar biasa, yang hanya diketahui oleh ahlinya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Keagungan itu hanyalah bagi Allah dan Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin.” (Al-Munafiqun: 8)

 

Adapun mengenai bimbingan roh, maka roh jasmani adalah pembimbing bagi jasad, sedangkan ruh rawwani menjadi pembimbing bagi hati, ruh sulthani menjadi pembimbing bagi mata hati (fu’ad), dan ruh al-qudsi pembimbing bagi sirri (rasa, yang tersembunyi) yang merupakan perantara antara manusia dengan Allah. Ia juga sebagai penerjemah dari Allah Ta’ala bagi makhluk-Nya, karena ruh al-qudsi adalah ahlullah sekaligus mahram-Nya. Inilah mimpi anfusi yang mencerminkan akhlak terpuji.

 

Adapun mimpi anfusi yang mencerminkan akhlak tercela, baik berupa nafsu amarah, nafsu lawwamah, atau nafsu malhamah adalah mimpi melihat kawanan binatang buas, seperti harimau, singa, beruang, anjing, babi, dan lain sebagainya. Juga mimpi melihat binatang seperti kelinci, musang, kucing atau lainnya, atau binatang yang menyakiti seperti ular, kalajengking, tawon dan lain-lain. Ini semua merupakan sifat tercela yang harus diwaspadai dan dibersihkan dari jalan roh.

 

Harimau melambangkan sifat ujub, yaitu sombong kepada Allah dan merasa besar di hadapan Allah.

 

Firman Allah,

 

“Sungguh, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadap-Nya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit” dan tidak (pula) mereka masuk surga hingga unta masuk ke lubang jarum2.”

 

Begitu pula balasan bagi orang yang sombong kepada manusia. Singa melambangkan sifat sombong dan congkak di hadapan manusia lainnya. Beruang melambangkan sifat marah dan selalu ingin menekan siapa yang ada di bawah kekuasaannya. Serigala melambangkan sifat keserakahan, suka menyantap barang yang haram dan syubhat, tanpa mau memilah-milah. Anjing melambangkan sifat cinta pada dunia (hubbud dunya), memaksa, dan marah karena masalah-masalah duniawi.

 

Babi melambangkan sifat iri, dengki, tamak dan mengekor pada kemauan syahwat.

 

Kelinci melambangkan sifat licik, dan suka memainkan tipu daya dalam urusan dunia.

 

Musang juga seperti kelinci, tapi kelalaian musang lebih besar.

 

Macan kumbang melambangkan sifat memuja-muja kejahiliyahan dan ‘mendewakan’ kekuasaan.

 

Kucing melambangkan sifat pelit dan munafik.

 

Ular melambangkan sifat menyakiti dengan lisan, seperti mencaci, melakukan ghibah dan berdusta.

 

Pada binatang-binatang buas tersebut ada juga makna-makna hakiki lain yang hanya diketahui oleh pakarnya.

 

Kalajengking melambangkan sifat suka mencela, mengejek, dan mengadu domba.

 

Tawon melambangkan sifat suka menyakiti orang dengan lisan secara samar.

 

Sedang lalat kerbau mencerminkan sifat menyakiti makhluk dengan lisan secara sembunyi-sembunyi.

 

Jika seorang salik bermimpi tengah berperang dengan kawanan binatang berbisa, tapi ia tidak kuasa mengalahkannya maka setelah ia sadar hendaklah ia melawannya dengan meningkatkan intensitas ibadah dan zikir. Dengan begitu, ia akan mampu menjungkalkan dan melenyapkan sifat-sifat binatang itu, bahkan mengubahnya menjadi sifat insani. Tapi, bila dalam mimpi itu ia berhasil mengalahkan dan melenyapkannya secara total, berarti berbagai keburukannya telah terhapus. Sebagaimana firman Allah,

 

“Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka.” (Muhammad: 2)

 

Jika ia melihat dalam mimpinya kawanan binatang tersebut berubah rupa menjadi manusia maka itu berarti keburukannya telah berubah menjadi kebaikan. Sebagaimana yang diisyaratkan Allah melalui firman-Nya,

 

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan.” (al-Furqan: 70)

 

Itu maknanya ia selamat dari binatang-binatang (kesalahan-kesalahan) tersebut. Namun, setelah ia mampu mencapai maqam tersebut, ia tetap tidak boleh merasa aman darinya, karena kekuatan nafsu dapat muncul kembali, bahkan jiwa yang tenang (nafsu muthma ‘innah) pun tidak akan mampu berkutik di hadapannya. Maka dari itu, Allah Ta’ala memerintahkan seorang hamba untuk menjauhi larangan setiap saat, selama hidup di dunia.

 

Nafsu amarah tampak dalam bentuk orang-orang kafir, nafsu lawwamah tampak dengan rupa orang Yahudi, dan nafsu mulhamah tampak dalam bentuk atau rupa orang Nasrani, bahkan terkadang tampak dalam bentuk ahli bid’ah.

 

 

 

 

 

Ahli tasawuf terbagi menjadi dua belas golongan. Golongan yang benar adalah golongan Sunniyyun. Mereka adalah kumpulan orang yang senantiasa berbuat maupun berkata sesuai dengan tuntunan syariat dan tarekat. Mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Sebagian mereka akan masuk surga tanpa hisab dan tak mendapat azab sama sekali. Sementara sebagian lainnya akan masuk surga setelah mendapatkan sedikit azab. Mereka masuk neraka Jahanam, lalu dikeluarkan setelah disiksa untuk waktu tertentu, dan kemudian dimasukan ke surga. Mereka tidak abadi di neraka seperti orang kafir dan munafik.

 

Sebelas golongan lainnya adalah kalangan ahli bid’ah, yaitu: Halawiyyah, Haliyyah, Auliya’iyyah, ats-Tsamarakhiyyah, al-Hubbiyyah, al-Huriyyah, al-Ibahiyyah, al-Mutakasilah, al-Mutajahilah, alWafigiyah, dan al-Ilhamiyah.

 

Golongan al-Halawiyyah adalah mereka yang berpendapat bahwa melihat paras wanita cantik dan laki-laki yang tampan adalah halal (diperbolehkan), karena itu merupakan bagian dari sifat Allah. Mereka juga membolehkan menari, berpelukan, dan bercium (antara laki-laki dan perempuan). Ini jelas sebuah kekufuran.

 

Golongan al-Haliyyah adalah mereka yang berpendapat bahwa menari dan bertepuk tangan itu hukumnya halal. Mereka juga berpandangan bahwa syekh mereka, yang kerap disebut “Halah”, juga tidak lagi terikat oleh hukum-hukum syariat (alias bebas seenaknya berbuat). Ini jelas merupakan bid’ah dan tidak ditemukan dalam sunnah Rasulullah saw..

 

Golongan al-Auliyaiyyah adalah mereka yang berpendapat bahwa seorang hamba yang telah sampai ke martabat wali, maka gugurlah kewajiban maupun tuntutan syariat kepadanya. Menurut mereka, seorang wali lebih utama daripada Nabi saw., karena ilmu Nabi diterima melalui perantara malaikat Jibril, sedangkan ilmu wali tanpa perantara malaikat. Ini merupakan takwal yang salah, dan mereka termasuk orang-orang yang binasa dengan keyakinan tersebut. Dan ini jelas sebuah kekufuran.

 

Golongan ats-Tsaramaniyyah adalah mereka yang berpendapat bahwa keakraban (dua insan) itu bersifat gadim, dengan alasan itu gugurlah perintah dan larangan syariat dari mereka. Mereka menghalalkan drum dan tamborin (tabuhan-tabuhan), dan berbagai hal lainnya yang secara terang dilarang syariat. Bahkan mereka menganggap bahwa anak perempuan mereka halal, sebab statusnya menurut mereka sama sebagai seorang wanita. Mereka juga kufur dan darah mereka halal.

 

Golongan al-Hubbiyyah adalah, mereka yang berpendapat bahwa seorang hamba yang telah sampai kepada maqam kecintaan (mahabbah) di sisi Allah maka gugurlah tuntutan syariat dari dirinya. Dengan alasan itu, maka di antara mereka boleh-boleh saja saling menampakan aurat.

 

Golongan al-Hurriyyah pahampa mirip dengan golongan al-Haliyyyah, akan tetapi mereka mengaku bahwa dapat bersetubuh dengan bidadari dalam ahwal (kondisi spiritual) mereka. Ketika mereka sudah tersadar, mereka pun mandi junub. Mereka adalah golongan pendusta, dan binasa dengan pandangan tersebut.

 

Golongan al-Ibahiyyah adalah, mereka yang meninggalkan halal (amar ma’ruf), dan menghalalkan yang haram. Mereka juga menghalalkan semua wanita untuk digauli (tanpa nikah).

 

Golongan al-Mutakasilah adalah mereka yang malas berusaha, suka mengemis, dan suka mengumbarumbar bahwa mereka sudah meninggalkan dunia secara lahir, namun sejatinya batinnya tidak. Mereka termasuk golongan binasa karena bersikukuh dengan keyakinan tersebut.

 

Golongan al-Mutajahilah adalah mereka yang mengenakan jubah kefasikan, dan secara diam-diam menyerukan kefasikan yang tersembunyi di batin mereka. Mereka termasuk golongan yang binasa. Sebagaimana Allah berfirman, 

 

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.” (al-Huud: 113)

 

Nabi saw. bersabda,

 

Barangsiapa yang menyerupai suatu karo maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)

 

Golongan al-Waqfiyyah adalah mereka yang berpandangan bahwa tidak ada yang mampu bermakrifat kepada Allah kecuali diriNya. Dengan alasan itu, mereka pun enggan mencari ilmu makrifat. Mereka termasuk golongan binasa lantaran kebodohannya itu.

 

Golongan al-Ilhamiyyah adalah mereka yang meninggalkan ilmu, melarang aktivitas belajar-mengajar, dan mengekor kepada para ahli hikmah (hukama). Mereka mengatakan, bahwa Al-Qur’an merupakan penghalang, dan menganggap syair-syair adalah Al-Qur’annya kalangan tarekat. Mereka meninggalkan Al-Qur’an, mengajarkan berbagai macam syair kepada anak-anak, dan meninggalkan wirid. Mereka pun termasuk golongan binasa. Sekalipun mereka mengakui diri mereka sebagai Ahlu Sunnah wal Jama’ah, namun semua itu hanyalah omong kosong.

 

Ahlu Sunnah Wal Jamaah mengatakan, bahwa para sahabat adalah orang-orang yang dianugerahi ‘tarikan Istimewa’ oleh Allah untuk dekat kepada-Nya (ahli jadzbalh), lantaran kekuatan persahabatan mereka dengan Nabi saw.. Tarikan batin tersebut turun-temurun dari sahabat Ali bin Abi Thalib kepada kalangan syaikh tarekat, dan bercabang ke silsilah yang banyak. Akan tetapi, karena semakin banyak orang mendapatkan itu, maka tarikan itu pun semakin melemah, bahkan terputus di sebagian besar mereka. Maka yang tersisa adalah orang-orang yang hanya meniru-niru gambaran seorang syaikh, namun tanpa kedalaman ilmu.

 

Oleh karena itu, dari sinilah embrio golongan ahli bid’ah itu bermunculan. Di antara mereka ada yang menisbatkan kepada Qalandar (Qalandariyah), Haidar (Haidariyah), Ad-ham (dhamiyah), dan masih banyak lagi yang lainnya. Dewasa ini, ahli ilmu dan ahli tarekat sangatlah sedikit. Akan tetapi, orang-orang yang benar itu dapat dideteksi dari dua tanda, baik tanda secara lahir maupun batin. Secara lahir ia memegang teguh aturan syariat, baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Sementara batinnya mengikuti jalur suluk dengan pandangan mata hati (bashirah) sehingga ia mampu melihat bahwa sosok yang ia ikuti (teladani) itu adalah Nabi saw..

 

Dengan begitu, yang akan menjadi perantara antara Allah Ta’ala, Nabi saw. dan dia adalah rohaniah Nabi saw. Rohaniah Nabi saw. ini memiliki jasad dan roh di alamnya. Karena kesucian Nabi saw. (secara lahir dan batin), setan tidak akan mampu menjelma menyerupai beliau. Ini merupakan isyarat bagi para salikin, bahwa apa yang mereka tapaki bukanlah jalan yang buta, tanpa arah dan tujuan.

 

Di sinilah terdapat tanda-tanda yang halus untuk membedakan mana golongan yang benar dan mana golongan yang salah, dan itu hanya diketahui oleh sedikit orang.

 

 

 

 

Seorang salik harus cerdas menangkap pelajaran dari setiap perkara dan merenungkannya. Ia juga tidak mudah tertipu oleh ahwal (kondisi) yang tampak mata lahir. Para ahli tasawuf sepakat mengatakan bahwa seorang salik yang terkesima dengan ahwal terkadang lalai akan muhawwil-nya (Zat yang mengubah keadaan yang tengah ia tapaki).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (al-A’raaf: 99)

 

Allah juga berfirman dalam hadits qudsi, sebagaimana difirmankan kepada Nabi Muhammad saw.,

 

“Wahai Muhammad, sampaikanlah kabar gembira kepada para pendosa bahwa Aku Maha Pengampun, dan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang jujur (ash-shadiqin) bahwa Aku Pencemburu.”

 

Karamah para wali dan ahwal mereka itu sungguh benar. Namun mereka tidak aman dari ketentuan Allah dan ujian yang bisa membuat mereka terperosok dalam dosa. Ini berbeda dengan mukjizat para nabi yang selamanya aman dari semua itu. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa rasa takut pada kematian yang buruk (suu’ul khatimah) dapat menyelamatkan seseorang darinya. Tujuannya agar seseorang tidak tertipu intuisi-intuisi kemanusiaannya, jika tidak, tanpa disadari ia dapat mengubur jalan keselamatannya dari su’ul khaatimah tersebut.

 

Hasan al-Bashri berkata, “Sesunggnya para wali itu diangkat ke tingkatan surga Iliyyin karena rasa takutnya. Rasa takut itu lebih tinggi daripada harapannya, karena mereka tahu betapa bahayanya tertipu oleh watak kemanusiaan (basyariyah). Sebab, tipudaya itu dapat menggelincirkan mereka dari jalan kebenaran tanpa mereka sadari.”

 

Ada seorang alim berkata, “Saat manusia dalam keadaan sehat, biasanya rasa takut lebih mendominasi dirinya. Sementara saat sakit mendera, harapan pun (untuk sehat) lebih besar (daripada rasa takut).”

 

Nabi saw. bersabda,

 

“Jika rasa takut dan pengharapan seorang mukmin itu ditimbang niscaya keduanya akan seimbang.” (HR. Ahmad)

 

Akan tetapi, berkat rahmat Allah, dalam keadaan sekarat, maka pengharapan dirinya kepada Allah akan jauh lebih besar. Sebagai pula Nabi saw. bersabda,

 

“Janganlah salah seorang dari kalian meninggal kecuali dia (dalam keadaan) berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim)

 

Sebab, Allah telah berjanji dalam sebuah firman-Nya,

 

“Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A’raaf: 156)

 

Dia juga berfirman dalam sebuah hadits qudsi, “Rahmat-Ku mendauhului kemurkaan-Ku.” Maksudnya, seorang salik harus berpikir mendalam, bahwa rahmat dan pertolongan Allah yang luas tiada terkira itu lebih dahulu daripada murka-Nya. Sungguh, Allah itu Maha Penyayang. Ia harus secara sadar beralih dari sifat Mahamemaksa-Nya (Al-Qahru) ke sifat kelembutan-Nya (Al-Lathif). Ia akan berjalan ke sana dengan merendahkan diri, memohon ampunan dan mengakui segala dosanya di depan ‘pintu’ Allah, sehingga dirinya dianugerahi kelembutan dan ampunan-Nya. Sesungguhnya Allah Mahabaik, Maha Penyayang, Maha Pemurah, lagi Mahamulia.

 

Ya Allah, tunjukilah orang-orang yang sesat, Ya Zat Yang Maha Pengampun, ampunilah orang-orang yang berbuat dosa. Kami tahu bahwa ilmu dan kemuliaanMu luas tiada terkira.

 

Ya Allah, semoga salawat senantiasa terlimpah kepada pemimpinnya para rasul, keluarga dan para sahabatnya.

 

Dengan taufik Allah, alhamdulillah kami selesaikan buku ini.”